Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 81 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 81
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA MURTI yang telah memegang jala itu pun segera turun ke sungai. Disangkutkannya bagian jala itu disiku tangan kanannya, kemudian tangan kirinya memegang bagian dari lingkar jala itu, dan dengan tangkas ditebarkannya ke dalam 

Ternyata jala itu dapat mekar seperti payung dan jatuh ke dalam air yang agak dalam. Perlahan-lahan Mahisa Murti menarik tali jala itu, sehingga akhirnya jala itu pun menjadi kuncup seperti payung yang tertutup.

Ketika Mahisa Murti membawa jala itu menepi, maka sebenarnyalah ia mendapat beberapa ekor ikan. Agaknya di sungai itu memang banyak terdapat ikan, karena jarang sekali orang yang turun untuk mencari ikan di sungai yang kecil itu.

Mahisa Murti telah melemparkan ikan-ikan itu kembali ke sungai sambil berkata, “Nah Ki Sanak. Aku adalah anak yang tumbuh menjadi besar di tepi sebuah sungai yang juga tidak terlalu besar.”

Wajah orang itu menegang sejenak. Namun kemudian ia pun terseyum sambil berkata, “Ternyata kau dapat juga mempergunakan jala anak muda.”

“Ya. Aku memang dapat. Kaulah yang tidak dapat,” berkata Mahisa Murti sambil mengembalikan jala itu.

Orang itu menerima jalanya. Tetapi masih saja tersenyum. Kemudian katanya, “Sudahlah. Kita tidak sedang berlomba mempergunakan jala. Karena itu, sebaiknya aku pergi saja.”

Mahisa Murti mengangguk. Tetapi ia berkata, “Malam nanti aku masih ada di tepian. Aku pun terbiasa juga menebarkan jala di malam hari.”

“Baiklah,” berkata orang itu, “jika aku memerlukanmu malam nanti, maka aku akan datang.”

“Aku tunggu kedatanganmu,” jawab Mahisa Murti.

Orang itu pun kemudian telah meninggalkan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Mahisa Murti bahkan telah yakin, bahwa orang itulah yang telah bersembunyi di dalam rimbunnya daun preh semalam.

Sementara itu, langit pun menjadi semakin buram. Kelima orang itu memang memerlukan meninggalkan tepian sejenak untuk pergi ke kedai. Namun kemudian mereka pun telah kembali ke tepian itu lagi.

Kepada saudara-saudaranya Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Menurut perhitunganku ia akan datang. Tetapi tidak sendiri.”

“Ya,” jawab Mahisa Pukat, “ia akan membawa kawan-kawannya atau saudara-saudaranya seperguruannya.”

Seperti malam sebelumnya, maka keempat orang itu pun telah mengatur pembagian tugas mereka. Mahisa Murti dan Wantilan akan berjaga-jaga lebih dahulu. Baru kemudian, setelah tengah malam, Mahisa Pukat bertugas bersama Mahisa Semu.

“Kapan aku berjaga-jaga?” bertanya Mahisa Amping.

“Menjelang pagi,” jawab Mahisa Semu dengan serta merta.

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Menjelang pagi aku akan berjaga-jaga.”

Sementara itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah mencari tempat untuk berbaring. Sementara Wantilan yang bertugas bersama dengan Mahisa Murti telah memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Ia yakin bahwa orang itu tidak akan datang sebelum mendekati tengah malam. Karena itu, maka ia pun telah mencoba untuk meningkatkan ilmu pedangnya dibawah tuntunan Mahisa Murti.

“Tetapi kita tidak boleh tenggelam dalam latihan,” berkata Mahisa Murti.

“Hanya sebentar, aku ingin memecahkan satu persoalan dalam unsur gerakku,” berkata Wantilan.

Sebenarnyalah dengan bantuan Mahisa Murti, Wantilan telah mampu memecahkan satu persoalan kecil pada unsur geraknya. Namun dengan demikian, maka ia telah mampu mengembangkan beberapa unsur lainnya dengan baik dan cepat.

Namun kemudian Mahisa Murti pun telah menghentikannya. Katanya, “Kemarilah, paman. Kita lihat unsur gerak itu dengan cara lain.”

Wantilan pun kemudian telah duduk berhadapan dengan Mahisa Murti. Dengan beberapa goresan di pasir, Mahisa Murti memberikan beberapa petunjuk kepada Wantilan. Tetapi karena malam terasa terlalu gelap, maka ia tidak dapat melihat petunjuk Mahisa Murti dengan jelas. Tetapi Mahisa Murti memang minta Wantilan menghentikan latihan-latihannya.

“Kenapa?” bertanya Wantilan.

“Ilmu paman Wantilan belum terlalu tinggi,” jawab Mahisa Murti,”jangan sampai terbaca oleh lawan. Bahkan sebaliknya dalam pertempuran yang sungguh-sungguh, sekali-sekali paman harus menunjukkan sesuatu yang dapat mengejutkan lawan. Karena itu, maka bertempur yang paling baik adalah, tidak sekedar mempergunakan ilmu yang telah kita miliki, tetapi juga harus mampu menentukan sikap yang bahkan kadang-kadang dengan tidak sengaja mampu mengembangkan ilmu kita.”

Wantilan mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya keterangan Mahisa Murti itu. Karena itulah, maka ia pun telah benar-benar berhenti berlatih.

“Kita sekarang benar-benar mengamati keadaan, paman,” berkata Mahisa Murti.

Wantilan mengangguk kecil. Ia pun segera menempatkan dirinya, duduk bersandar sebongkah batu padas. Dalam pada itu, Mahisa Murti masih sempat merenungi pusaka yang diketemukannya itu. Hampir diluar sadarnya, ia telah mencabut keris itu dari sarungnya dan memperhatikannya dengan saksama.

Dalam gelapnya malam, Mahisa Murti melihat bagaikan kilatan-kilatan debu lembut ditebarkan di atas daun keris itu. Tanpa dukungan kekuatan ilmu apapun, taburan debu di atas daun keris itu memang sudah memancarkan warna kehijauan. Karena itu, maka dalam keadaan puncak kekuatan yang dapat tersalur pada keris itu, maka cahaya itu bagaikan lidah api yang memancar menyilaukan.

“Betapa tamaknya manusia,” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya, “seseorang mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan sesuatu yang dianggapnya akan dapat memberikan keberuntungan, kekuatan dan tentu juga kekuasaan. Kenapa mereka tidak menyadari bahwa jika mereka mati, semuanya itu tidak akan berarti lagi?”

Terbersit satu pikiran untuk mengembalikan keris itu. Dengan sengaja diperlihatkan kepada seseorang bahwa keris itu telah kembali kepada pemiliknya, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terlepas dari libatan putaran kematian itu.

“Tetapi bagaimana jika masih saja ada orang yang tidak percaya bahwa keris itu tidak ada lagi di tangan kami?” pertanyaan itu telah muncul pula di dalam hatinya.

Memang ada semacam penyesalan bahwa keris itu telah diambilnya dari kuburnya. Namun waktu itu ia dan Mahisa Pukat sama sekali tidak mengira akan timbul akibat yang pahit seperti itu. Seperti Mahisa Pukat yang mempunyai perasaan yang sama, ia tidak mencemaskan tentang nyawa mereka sendiri. Tetapi membunuh dan membunuh setiap hari, bukannya satu kerja yang menyenangkan, meskipun ia sadar, bahwa hal itu bukan karena kesalahannya.

Mahisa Murti itu kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ditebarkannya penglihatannya ke kegelapan. Namun ketajaman matanya sama sekali tidak menangkap gerak apapun juga. Bahkan anginpun rasa-rasanya telah diam dan tidur nyenyak.

Sampai tengah malam tidak ada sesuatu yang menarik perhatian. Sebelum membangunkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, sekali lagi Mahisa Murti masih berpesan, “Hati-hatilah dengan orang yang siang tadi membawa jala. Ia memiliki aji Gelap Ngampar. Ia dapat menyerang kita dengan lontaran bunyi. Mungkin dengan suara tertawanya seperti yang penah kita dengar. Tetapi mungkin dengn memanfaatkan bunyi yang lain. Untuk itu, maka kita dapat menyumbat saluran yang dapat menerima getaran bunyi dan menyerang bagian dalam tubuh kita.”

“Telinga, maksudmu?” bertanya Wantilan.

“Ya paman. Mungkin kita dapat menyumbat dengan sepotong kain atau apapun yang mungkin kita pergunakan. Sebab tangan kita kemungkinan besar akan kita pergunakan untuk melindungi tubuh kita ini dari serangan secara kewadagan,” sahut Mahisa Murti.

“Bagaimana dengan Mahisa Amping?” bertanya Wantilan.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. “Ia memerlukan sesuatu,” desisnya. Namun kemudian, “Jika perlu, biarlah kita mempergunakan sesobek kain kita sendiri. Tetapi jika masih ada waktu sampai esok, kita dapat mencari sebatang pohon kapuk randu jika sedang berbuah, atau kita membuat serat dari klika kayu waru atau sebangsanya. Kita akan menjemurnya dan melembutkannya.”

Wantilan mengangguk-angguk. Sementara itu malam pun telah melampaui pertengahannya, sehingga Mahisa Murti kemudian telah membangunkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, untuk mendapat giliran berjaga-jaga.

Tetapi ternyata Mahisa Murti dan Wantilan tidak sempat mendapat giliran untuk beristirahat. Selagi keduanya berbaring maka telah terdengar suara tertawa dikejauhan. Hanya terdengar lamat-lamat sekali. Mahisa Murti pun segera bangkit. Demikian pula Wantilan.

“Nah,” berkata Mahisa Murti, “kau dengar suara itu?”

“Ya,” jawab Wantilan, “tetapi tidak terasa sesuatu yang lain.”

“Itu adalah suara wajarnya. Kita pun tahu pasti darimana arah suara itu. Tetapi itu tentu baru satu permulaan dari sebuah serangan yang keras,” jawab Mahisa Murti.

Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, “Tutup telinga kalian. Tetapi sebaiknya jangan dengan jari-jari tangan. Jika yang datang itu lebih dari seorang, kita memang harus bertempur. Lawan kita adalah lawan dalam ujud kewadagan, dan lontaran ilmu yang akan langsung menyerang bagian dalam tubuh kita.”

Ternyata Mahisa Pukat tidak menunggu. Ia pun telah memberikan contoh kepada yang lain untuk mengoyak ujung dari kain panjangnya dan kemudian menyumbat telinganya.

“Bangunkan Mahisa Amping,” berkata Mahisa Murti.

Ketika mereka mulai membangunkan Mahisa Amping, maka suara tertawa itu sudah mulai berubah. Suara itu arahnya mulai menjadi kabur. Sementara itu, getarannya mulai mengetuk telinga.

Mahisa Amping yang terbangun terkejut. Namun dengan cepat Mahisa Semu telah menyumbat telinganya sambil berkata, “Jangan dengarkan suara itu.”

Mahisa Amping masih sempat mendengar suara Mahisa Semu. Namun kemudian, telinganya pun telah tersumbat dengan rapat. Untuk beberapa saat mereka terbebas dari suara itu. Mereka memang tidak mendengar sesuatu. Namun ternyata ilmu itu demikian tajamnya, sehingga perlahan-lahan suara itu bagaikan mulai menyusup di antara kain yang menyumbat telinga mereka. Dengan demikian maka mereka harus menutup telinga mereka dengan tangan-tangan mereka pula.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha dengan kemampuan mereka untuk mencari darimanakah asal suara itu. Namun ternyata tidak semudah yang mereka lakukan di malam sebelumnya. Dalam keadaan demikian, maka dua orang tiba-tiba saja telah datang dari dalam kegelapan. Keduanya berjalan saja sesukanya. Bahkan keduanya masih sempat berbincang yang satu dengan yang lain. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Satu di antara kedua orang itu adalah orang yang dilihatnya menyusuri sungai itu sambil membawa jala.

“Jika demikian, tentu ada orang lain lagi,” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya, “orang yang tertawa itu. Tetapi agaknya mereka seperguruan.”

Namun Mahisa Murti segera mengetahui, bahwa mereka harus bertempur melawan kedua orang yang datang itu, sementara dari kejauhan seseorang telah menyerang mereka dengan kekuatan aji Gelap Ngampar. Tetapi sudah tentu Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat tidak akan dapat menolak cara itu. Bahkan cara apapun yang akan dipergunakan oleh lawan-lawan mereka.

“Selamat malam anak-anak muda,” berkata salah seorang di antara kedua orang itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak begitu mendengar suara orang itu, karena keduanya telah menutup telinga mereka dengan sesobek kain. Karena kedua orang anak muda itu tidak menjawab, maka orang-orang itu pun mengetahui bahwa anak-anak muda itu telah menutup telinga mereka agar tidak terganggu oleh ilmu Gelap Ngampar, meskipun ternyata suara tertawa itu masih juga mereka dengar meskipun hanya lamat-lamat.

Kedua orang itu pun tiba-tiba saja telah tertawa. Meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mendengarnya tetapi menilik sikapnya, keduanya tahu bahwa orang-orang itu telah mentertawakan mereka. Karena itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan isyarat, maka Mahisa Murti telah mengajak Mahisa Pukat untuk dengan cepat memasuki pertempuran apapun yang terjadi, sementara suara tertawa itu tentu masih akan menjadi semakin keras.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah dengan serta merta mencabut kerisnya. Demikian Mahisa Pukat melihatnya, maka ia pun telah melakukannya pula. Tanpa bertanya dan berbicara apapun, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mulai menyerang lawan-lawan mereka.

Kedua orang itu memang tidak mengira dengan tiba-tiba saja kedua orang anak muda itu telah menyerang. Namun mereka pun kemudian menyadari, bahwa pilihan itulah satu-satunya yang dapat mereka lakukan. Karena itu, maka kedua orang itu pun telah meloncat surut. Namun setelah mereka menggenggam senjata mereka di tangan, maka mereka pun telah berdiri tegak untuk menyongsong kedua orang anak muda itu.

Sementara itu serangan ilmu Gelap Ngampar itu pun semakin lama menjadi semakin tajam. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah dua orang anak muda yang berilmu tinggi. Apalagi mereka telah menutup telinga mereka dengan sesobek kain sehingga getaran yang menusuk ke dalam dadanya lewat telinganya hanya terbatas sekali. Namun ketajaman ilmu itu, benar-benar terasa sangat mengganggu pemusatan nalar budinya. Sebagian perhatian mereka ditujukan untuk tetap mengerahkan daya tahannya. Sementara mereka pun harus memperhatikan lawan mereka yang siap dengan senjata di tangan.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah terlibat dalam pertempuran. Kedua orang yang datang dari kegelapan itu melibat keduanya dengan dahsyatnya, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja merasa terganggu oleh getaran kekuatan ilmu Gelap Ngampar itu betapapun lemahnya. Namun agaknya ilmu itu telah dilontarkan oleh orang yang memiliki ilmu Gelap Ngampar hampir sempurna.

“Menyerahlah,” berkata lawan Mahisa Murti.

Tetapi Mahisa Murti tidak mendengar. Karena itu, ia tidak menjawab sama sekali. Bahkan kerisnya mulai memancarkan lidah api yang berwarna kehijauan. Dalam pada itu, kedua orang lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu menyadari, bahwa mereka sebaiknya tidak bertempur di satu arah. Mereka harus berada pada jarak yang cukup, serta arah yang berbeda. Dengan demikian, maka kedua orang anak muda itu tentu memerlukan waktu untuk dapat menyerang salah seorang di antara mereka bersama-sama.

Nampaknya kedua orang itu benar-benar telah mempersiapkan diri menghadapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Keduanya tidak ingin mengalami kegagalan sebagaimana mereka yang lebih dahulu berusaha untuk memiliki sepasang keris itu.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun agaknya benar-benar bertekad tidak akan menyerahkan sepasang keris itu kepada orang lain, apapun yang terjadi atas diri mereka. Keduanya merasa bahwa mereka telah mendapat kepercayaan untuk menyimpan dan memelihara sepasang keris yang memiliki kekuatan yang sangat besar itu. Karena itu, maka pertempuran pun menjadi semakin lama semakin sengit.

Tetapi ternyata terasa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa kedua orang itu selalu berusaha menghindarkan diri dari setiap benturan senjata. Tetapi kedua orang itu telah berusaha dengan kecepatan geraknya untuk dapat menggapai tubuh anak-anak muda itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mampu mengimbangi kecepatan gerak mereka, sehingga usaha kedua orang itu tidak segera berhasil.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata tidak dapat menghindarkan diri dari pengaruh suara tertawa yang dilontarkan dengan lambaran ilmu Gelap Ngampar yang sangat kuat. Selagi ia mengerahkan perhatiannya kepada lawan-lawannya, maka Gelap Ngampar itu bagaikan telah menusuk langsung ke-dalam dadanya. Tetapi jika keduanya berusaha melawan Gelap Ngampar itu dengan puncak daya tahan mereka, maka perhatian mereka terhadap lawan-lawan mereka menjadi berkurang, sehingga ujung-ujung senjata lawannya hampir menyentuh kulitnya.

Dalam keadaan yang demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu telah terdesak. Sedangkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah mengetrapkan ilmunya yang mampu menghisap tenaga dan kemampuan lawannya, tidak banyak berarti, karena nampaknya kedua lawannya menyadari akan ilmu itu, sehingga keduanya berusaha menghindarinya.

Tetapi lawannya pun mengerti pula bahwa kedua anak-anak muda itu mampu menyerang dari jarak jauh, bahkan lebih dahsyat lagi setelah keduanya memiliki keris itu. Apalagi jika keduanya mampu berbareng menyerang dengan menyatukan kedua bilah keris itu.

Karena itu, maka keduanya telah berusaha melibat kedua anak muda itu dalam pertempuran jarak pendek, namun tanpa membenturkan senjata mereka. Memang sulit. Tetapi suara tertawa yang menghentak-hentak dada itu selalu mengganggu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka tidak dapat mengerahkan daya tahan mereka untuk melindungi isi dadanya, karena perhatian mereka terbagi. Tanpa dapat memusatkan nalar budi, maka sulit bagi mereka untuk membangunkan puncak daya tahan mereka sehingga mampu menangkal serangan Gelap Ngampar itu.

Dengan demikian, maka semakin lama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang semakin mengalami kesulitan. Serangan dari dua arah itu sangat berat bagi keduanya untuk dapat mengatasinya.

Sementara itu, Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping-pun telah mengalami kesulitan. Meskipun mereka telah menutup telinga mereka dengan sesobek kain, kemudian menutup pula dengan tangan mereka, namun jantung mereka seakan-akan hampir meledak karenanya.

Betapapun mereka mengerahkan daya tahan mereka, tetapi ilmu itu benar-benar telah menyakiti dada mereka. Beruntunglah mereka, bahwa orang-orang itu tidak membawa lawan bagi mereka sehingga dengan pertolongan tangan-tangan mereka, maka mereka mampu mengurangi kekuatan ilmu yang menyusup ketelinga mereka.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar telah menjadi semakin terdesak. Keduanya tidak lagi mempunyai cara yang paling baik untuk mengatasinya. Dalam keadaan seperti itu, mereka tidak akan mampu memusatkan nalar budi untuk membangunkan serangan jarak jauh mereka. Bahkan lidah api yang menyala pada sepasang keris mereka pun nampak sedikit memudar. Tetapi keduanya tidak ingin menyerah. Apapun yang terjadi, mereka akan tetap bertahan.

Namun, dalam pada itu, ketika keadaan kedua orang anak muda itu sudah menjadi semakin sulit, tiba-tiba saja suara yang dilontarkan berlandaskan ilmu Gelap Ngampar menjadi susut. Keduanya tidak mendengar bahwa telah terdengar pula suara kidung di kejauhan. Suaranya ngelangut, mengimbangi getar suara ilmu Gelap Ngampar.

Tetapi lambat laun, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mampu mendengarnya pula meskipun hanya lamat-lamat sebagaimana ilmu Gelap Ngampar itu menyusup ketelinganya. Namun rasa-rasanya suara kidung itu telah menitikkan kesejukan di dalam jantung mereka. Getar ilmu lawannya yang bagaikan menusuk-nusuk jantung itu, perlahan-lahan bagaikan terusir. Bahkan yang terasa kemudian, seakan-akan serangan ilmu Gelap Ngampar itu tidak terasa lagi.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat meyakinkan hal itu oleh sikap kedua lawannya. Kedua lawannya menjadi heran, bahwa serangan ilmu itu bagaikan telah mereda dan tidak lagi terdengar apalagi menggetarkan isi dada. Dengan demikian maka Mahisa Murti telah meloncat mengambil jarak dari lawannya. Ketika lawannya memburunya, ia sudah sempat melepas sebelah tutup telinganya.

Sebenarnyalah bahwa suara yang menghentak-hentak isi dada itu telah tidak terasa lagi. Suara tertawa yang didengarnya kemudian sama sekali tidak lagi berpengaruh atasnya, justru karena suara kidung yang juga terdengar menyusuri lembah.

Ternyata Mahisa Pukat pun telah melakukan hal yang sama pula, sehingga dengan demikian, maka kedua orang anak muda itu telah merasa terbebas dari serangan ilmu yang mampu menggetarkan jantung dan seisi dada itu.

Meskipun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya melepas tutup telinganya sebelah. Keduanya masih ragu-ragu, apa yang sebenarnya telah terjadi. Apakah orang yang melontarkan serangan dengan ilmu Gelap Ngampar itu sedang memancingnya, atau karena memang suara kidung itu mampu mengimbangi kekuatan getar ilmu yang dahsyat itu.

Dalam pada itu, Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping pun merasa tekanan di dada mereka menjadi semakin longgar. Jika semula Mahisa Amping yang hampir saja tidak mampu bertahan lagi, sehingga sambil menutup kedua telinganya dengan tangannya setelah sebelumnya disumbatnya dengan sesobek kain. Anak itu telah berguling-guling menahan perasaan sakit di dadanya, maka anak itu telah berani mengangkat tangannya.

Kedua orang lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi bingung. Nampaknya yang terjadi itu adalah diluar perhitungan mereka. Sebenarnyalah dalam pada itu, terdengar suara di tempat yang tidak diketahui bergema membentur lereng gunung dan menelusuri lembah-lembah dan tebing-tebing sungai. “Siapakah kau yang telah berani mengganggu suaraku?”

Dari tempat yang tidak diketahui pula terdengar jawaban, “Aku Ki Sanak. Kau tentu mengenal aku. Aku adalah sumber dari kericuhan ini. Aku pun telah terhukum pula karenanya, karena aku tidak pernah merasa tenang di rumah. Aku harus mengembara mengikuti sepasang keris yang telah aku buat. Aku pernah menganggap bahwa tugasku telah selesai, karena keris itu sudah ada yang memiliki serta akan mampu mengatasi segala kesulitan yang bakal dihadapi. Tetapi ketika aku teringat kepadamu Ki Sanak, serta kelicikanmu, maka aku terpaksa mengembara terus. Aku mencemaskan anak-anak muda itu, sebagaimana ternyata telah terjadi. Kau sama sekali tanpa malu-malu telah menjebaknya dalam satu kesulitan. Kau pergunakan murid-muridmu untuk menyerangnya secara wadag. Kemudian kau lemahkan daya perlawanannya dengan kekuatan Ajimu yang gila itu.”

“Persetan kau,” geram suara yang pertama, “Jika kau tidak pergi, maka aku terpaksa membunuhmu, karena aku tidak mempunyai cara lain untuk berbuat lebih baik daripada membunuhmu. Karena itu, sekali lagi aku peringatkan, pergilah. Biarlah aku menyelesaikan persoalanku dengan anak-anak muda itu.”

“Kau memang aneh,” jawab suara yang lain, “seharusnya kaulah yang pergi. Seharusnya akulah yang mengancammu.”

“Persetan. Aku tidak mempunyai banyak waktu,” geram suara yang pertama.

Yang terdengar adalah suara tertawa. Keras, bergema dan melingkar-lingkar. Tetapi sama sekali tidak menyakitkan dada orang-orang yang mendengarnya. “Ki Sanak,” berkata suara itu, “kenapa kau berpura-pura tidak melihat kenyataan yang kita hadapi. Kau tentu tahu, tanpa Ajimu yang kasar itu, murid-muridmu tidak akan mampu melawan kedua orang anak muda yang memiliki sepasang keris itu. Karena itu, renungkanlah apa yang sebaiknya terjadi.”

“Kau mencoba menghina aku,” terdengar jawaban. Tidak kalah kerasnya, “Kau tentu mengira bahwa dengan cara itu kau dapat membuat aku kehilangan akal sehingga kau akan dengan mudah dapat mengalahkan aku.”

“Kita bukan kanak-kanak lagi,” jawab suara yang lunak itu, “kita sudah sama-sama tua. Sudah cukup banyak makan pahit getirnya kehidupan.”

“Aku tidak akan berbuat tanggung-tanggung,” geram suara yang pertama, “kalian serahkan keris itu, atau kalian akan mati.”

“Jika itu yang kau kehendaki, baiklah. Kita akan bermain-main sementara biarlah anak-anak kita juga bermain-main. Tetapi kita sudah saling mengetahui bahwa kemungkinan terburuk dari permainan ini adalah mati,” jawab suara yang lain.

Untuk beberapa saat tidak terdengar sesuatu. Namun kemudian terdengar, “Hati-hatilah. Aku tidak mempunyai pilihan lain.”

Orang-orang yang berhenti bertempur itu termangu-mangu. Namun kemudian mereka pun terkejut oleh ledakan-ledakan yang dahsyat dilangit. Seakan-akan lidah-lidah api saling menyambar dan guruh pun menggelegar. Namun kemudian, mereka melihat samar-samar dalam gelapnya malam sumber cahaya yang berkilat, memancar dan menyambar. Tetapi agaknya tidak segera mengenai sasaran. Cahaya yang lainlah yang kemudian menyambar dengan dahsyatnya. Dengan demikian, maka orang-orang yang tengah termangu-mangu itu mulai dapat membayangkan, apakah yang telah terjadi.

Sementara itu, Mahisa Murti pun kemudian telah menyadari bahwa kedua orang yang ada di hadapannya itu pun harus dihadapinya pula bersama Mahisa Pukat. Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Murti bertanya, “Nah, sekarang bagaimana dengan kita?”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja seleret serangan telah datang dengan cepatnya ke arah dada Mahisa Murti. Namun Mahisa Murti menyadari, bahwa serangan itu adalah serangan wadag. Sebilah pisau belati kecil. Namun yang tajamnya tidak terkira. Karena itu, maka ia pun telah bergeser dengan cepat menghindarinya.

Namun serangan yang berikut adalah serangan yang mendebarkan. Memang masih juga serangan wadag. Tetapi tidak dengan pisau yang berkilat. Tetapi dengan pisau-pisau kecil yang berwarna kehitaman, sehingga tidak mudah untuk dilihat. Hanya karena ketajaman penglihatan Mahisa Murti sajalah maka ia mengetahui serangan itu datang kepadanya. Mahisa Murti tidak meloncat menghindar. Tetapi ia telah menangkis serangan itu dengan kerisnya.

Sementara itu, Mahisa Pukat masih sempat menyaksikannya. Tetapi ia pun segera bersiap, bahwa serangan itu mungkin saja datang pula kepadanya. Tetapi yang seorang itu tidak menyerang dengan pisau-pisau kecil. Tetapi ia langsung meloncat dengan garangnya menyerang Mahisa Pukat. Dengan demikian maka pertempuran antara mereka pun telah berlangsung kembali.

Namun Mahisa Pukat kini dapat memusatkan perhatian mereka kepada lawannya, karena ia tidak lagi terganggu oleh ilmu Gelap Ngampar. Dengan demikian maka Mahisa Pukat tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Dengan cepat ia segera mendesak lawannya.

Tetapi Mahisa Pukat tetap berhati-hati. Ia sudah melihat apa yang telah dilakukan oleh lawan Mahisa Murti. Karena itu, Mahisa Pukat selalu memperhatikan gerak tangan orang itu, karena setiap saat kemungkinan buruk itu dapat terjadi. Pisau-pisau kecil sebagaimana dilakukan oleh lawan Mahisa Murti.

Tetapi ternyata lawan Mahisa Pukat tidak mempergunakan pisau pisau kecil. Ia menyerang dengan kecepatan yang semakin tinggi. Bahkan kemudian serangannya datang seperti angin pusaran.

Namun Mahisa Pukat sama sekali tidak mengalami kesukaran. Ia pun mampu bergerak secepat lawannya itu. Apalagi dengan senjatanya yang luar biasa itu, maka Mahisa Pukat mampu melindungi dirinya sendiri. Bahkan lawannya dalam tatarannya itu, tidak dapat menggoyahkannya sama sekali.

Sementara itu, lawan Mahisa Murti pun tidak mampu mengalahkannya. Pisau-pisaunya telah dilemparkannya sampai yang terakhir. Namun pisau itu sama sekali tidak menyentuhnya. Karena itu, maka lawannya itu pun telah mempergunakan pedangnya untuk menyerang.

Mahisa Murti sebagaimana juga Mahisa Pukat, sama sekali tidak mengalami kesulitan. Karena itu, maka baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat tidak merasa perlu mempergunakan kekuatan ilmunya sepenuhnya untuk menghisap kekuatan dan kemampuan lawan.

Nampaknya kedua lawan anak-anak muda yang gelisah itu tidak lagi memperhitungkan kemampuan kedua anak muda itu. Bahkan serangannya jarak jauh yang akan dapat melumatkannya tanpa harus bergabung menjadi satu. Keduanya hanya sekedar didorong oleh gejolak perasaan dan bahkan kebingungan setelah kekuatan Aji Gelap Ngampar tidak lagi dapat ikut mempengaruhi medan.

Dalam pada itu, kedua orang lawan anak muda itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Bahkan berlebihan sehingga tenaga mereka telah menjadi semakin susut. Bukan karena kekuatan ilmu anak-anak muda itu, tetapi karena orang itu telah memerasnya sampai tuntas, sehingga dengan sendirinya kekuatan mereka akan menjadi susut.

Dalam keadaan yang demikian masih juga terdengar peringatan, ”jangan sentuh senjata lawanmu.” Suara itu bergaung berputaran. Namun kemudian telah disusul oleh ledakan-ledakan yang sambar menyambar.

Kedua orang lawan anak muda itu segera teringat pesan gurunya. Namun semuanya telah terlanjur. Tenaganya telah susut sementara keringatnya bagaikan terperas kering dari tubuhnya.

Namun terdengar Mahisa Murti tertawa sambil menjawab, “Kami tidak mempergunakan ilmu itu. Jika tenaga kalian menjadi susut, bukan karena ilmu kami. Tetapi kalian memang telah mengerahkan tenaga kalian melampaui kemampuan wadag kalian.”

“Persetan,” geram lawan Mahisa Murti.

“Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “kalian telah dipersiapkan untuk melawan kami dengan bantuan ilmu Gelap Ngampar itu. Tetapi setelah ilmu itu tidak dapat dipergunakan lagi, maka kemampuanmu masih jauh dari cukup untuk merebut sepasang senjata yang dapat menyala dengan cahaya yang kehijauan ini. Jika kami benar-benar meningkatkan ilmu kami sampai ke puncak, maka kalian tidak akan banyak dapat berbuat. Tanpa ilmu Gelap Ngampar itu, kalian masih jauh dari masak untuk merebut sepasang keris ini.”

“Tutup mulutmu,” teriak lawannya yang menyerangnya dengan garang.

Tetapi Mahisa Murti tersenyum saja. Sementara Mahisa Pukat berkata, “Jika kami pergunakan ilmu kami, maka kalian tentu sudah terbaring tanpa dapat bangkit kembali.”

Lawan Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi ia telah mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk menyerang Mahisa Pukat. Tetapi yang dilakukannya itu sama sekali tidak ada artinya. Bahkan hanya membuang sisa-sisa tenaga yang masih ada.

Karena itu, ketika lawan Mahisa Pukat itu mengayunkan senjatanya, namun Mahisa Pukat sempat bergeser surut selangkah, sehingga ujung pedang itu tidak menggapainya, maka orang itu justru telah terseret oleh kekuatan ayunan pedangnya sendiri. Hampir saja orang itu jatuh terjerembab. Namun ia berhasil untuk tegak kembali meskipun dengan nafas yang terengah-engah.

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Bahkan ia menjadi bingung, apa yang harus dilakukan terhadap orang itu. Sementara masih terdengar suara yang bergaung, “Sudah aku peringatkan, jangan sentuh senjata lawan.”

“Kau salah Ki Sanak,” jawab suara lain di sela-sela hentakkan ilmu di antara kedua orang berilmu sangat tinggi yang sedang bertempur itu, “murid-muridmu memang benar-benar sudah kehabisan tenaga.”

“Omong kosong,” geram orang yang memiliki ilmu Gelap Ngampar.

Tetapi orang itu tidak dapat mengingkari kenyataan. Kedua orang yang ingin mengambil sepasang keris dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu sama sekali memang sudah tidak berdaya. Ayunan senjata mereka sama sekali tidak bertenaga lagi.

Namun dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun justru tidak dapat bertindak lebih jauh. Mereka kemudian hanya sekedar bergeser dan menghindari serangan yang sudah tidak terarah sama sekali. Beberapa kali mereka menyaksikan lawan-lawan mereka terhuyung-huyung terseret oleh ayunan senjata mereka sendiri.

“Apa maumu sekarang?” bertanya Mahisa Pukat.

“Serahkan sepasang pusaka itu,” geram lawannya, “kau akan aku biarkan hidup.”

“Kenapa kau masih saja mengigau seperti itu?” bertanya Mahisa Pukat, “apakah kau tidak sempat melihat kenyataan tentang dirimu dan tentang gurumu yang tidak sempat lagi membantumu dengan ilmunya karena ia harus bertempur sendiri.”

“Sebut nama ayah ibumu,” geram orang itu sambil mengayunkan senjatanya.

Namun Mahisa Pukat tidak perlu menghindar, karena ayunan itu masih beberapa jengkal dari tubuhnya. Bahkan orang itulah yang terhuyung-huyung sehingga terpaksa bertelekan pada pedangnya yang diayunkannya itu agar ia tidak terjatuh.

Sementara itu, tiba-tiba saja terdengar suara yang bergulung-gulung di langit, “Anak-anak manja. Ternyata kalian tidak mampu berbuat apa-apa. Karena itu, maka aku tidak akan membantumu lagi untuk mendapatkan sepasang pusaka itu. Terserah kepada kalian, apakah kalian akan dapat menyelamatkan diri kalian sendiri.”

Kedua orang lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu terkejut. Mereka sadar, bahwa guru mereka telah menjadi marah bahwa mereka tidak mampu mengimbangi kedua orang anak-anak muda itu. Namun mereka memang tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Mereka memang tidak berdaya.

Sementara itu, maka tiba-tiba saja pertempuran yang terjadi di dalam kegelapan itu pun telah berakhir. Tidak ada lagi loncatan cahaya dan ledakan-ledakan yang saling berbenturan, sepi.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun sudah tidak bertempur lagi. Lawan-lawan mereka meskipun masih berdiri dengan senjata di tangan, namun mereka sudah tidak mampu menyerang lagi.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja telah berdiri di antara mereka orang tua yang telah membuat sepasang keris itu. Katanya, “Maaf anak-anak muda. Ternyata kalian masih saja diganggu oleh sepasang keris itu. Tetapi aku tidak dapat mencuci tangan. Ketika aku teringat iblis itu, maka aku telah berusaha menyusul dan kemudian mengikuti kalian. Aku yakin bahwa iblis itu tentu akan mengganggu kalian dengan cara yang licik seperti yang dilakukannya ini.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Sementara itu orang tua itu pun berpaling kepada kedua orang murid yang sudah dikalahkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu. Katanya, “Nah, karena kalian berdua telah ditinggalkan oleh gurumu, maka kau akan kami lenyapkan sekarang di sini.”

Wajah kedua orang itu menjadi pucat. Tidak seorang pun yang sempat menjawab. Mati dalam pertempuran memang tidak menakutkan. Tetapi mati dibunuh sungguh tidak menyenangkan. Karena itu, maka rasa-rasanya kedua orang itu ingin melawan sampai saat kematian itu datang. Tetapi mereka sudah tidak bertenaga sama sekali. Perlawanan mereka tentu hanya akan menjadi bahan tertawaan dan permainan yang dianggap sangat menyenangkan bagi orang-orang yang akan membunuhnya. Dengan demikian maka apapun yang akan terjadi atas diri mereka, maka mereka menjadi pasrah.

“He, apa yang akan kalian lakukan? Kami akan membunuh kalian. Bersiaplah. Bukankah kau masih menggenggam senjata di tangan?” berkata orang tua itu.

Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak mengangkat senjata mereka. Seorang di antaranya berkata, “Lakukan yang ingin kalian lakukan. Kami sudah kalah.”

“Kalian mengakui kekalahan itu?” bertanya orang tua itu pula.

“Ya. Aku memang harus mengakuinya,” jawab orang itu.

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya kedua orang itu berganti-ganti. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan nada rendah ia bertanya, “Jadi dengan demikian kalian sudah tidak akan melawan lagi?”

“Tidak ada gunanya. Kami tidak mau menjadi bahan tertawaan orang di saat menjelang kematian. Karena itu, biarlah kami mati tanpa terlalu banyak tingkah,” berkata salah seorang di antara keduanya.

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada lunak, “Kalian ternyata benar-benar seorang laki-laki meskipun kalian telah berusaha membunuh lawanmu dengan licik. Karena itu, jika kedua orang lawanmu tidak berkeberatan, maka aku akan memohonkan ampun bagi kalian. Tetapi dengan satu syarat, jika kalian mencobanya sekali lagi, maka kalian akan mati dengan cara yang paling tidak kalian sukai.”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Di luar sadarnya mereka berpaling kepada kedua orang anak muda itu. Jika keduanya ingin membunuh mereka, maka mereka tentu sudah mati. Meskipun demikian, keduanya menjadi berdebar-debar juga menunggu jawaban kedua orang anak muda itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya Mahisa Murti lah yang menjawab, “Baiklah Kiai. Kami tidak berkeberatan untuk memaafkan mereka berdua dengan janji sebagaimana yang Kiai katakan tadi.”

Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Demikian pula orang tua yang telah membuat sepasang keris itu. Dengan nada rendah orang tua itu berkata, “Nah, kau dengar sikapnya? Meskipun keduanya masih sangat muda, tetapi sikapnya adalah sikap yang terpuji. Sebaliknya, kalian orang-orang yang lebih tua, justru bersikap kekanak-kanakan. Kalian ingin merampas barang yang bukan milik kalian. Bahkan dengan kekerasan. Apakah kalian tidak malu kepada diri kalian sendiri?”

Kedua orang itu tidak menjawab sama sekali. Tetapi kata-kata itu benar-benar telah menyentuh hatinya.

Demikianlah, maka orang tua itu kemudian berkata, “Baiklah. Tinggalkan tempat ini. Mudah-mudahan gurumu tidak menghukummu.”

Hampir berbareng kedua orang itu mengucapkan terima kasih. Kemudian mereka pun telah minta diri meninggalkan tempat itu. Tetapi sebenarnyalah mereka menjadi berdebar-debar, bahwa justru guru mereka sendirilah yang akan menghukum mereka.

Sementara itu, sepeninggal kedua orang itu, maka orang tua itu pun berkata, “Angger berdua. Ternyata bahaya itu masih saja memburu kalian. Guru kedua orang inilah sebenarnya yang sangat licik dan berbahaya sehingga mereka akan dapat benar-benar membunuh untuk mencapai maksud tertentu. Bahkan aku tidak yakin bahwa mereka benar-benar telah jera. Mungkin kedua orang muridnya benar-benar menjadi jera. Tetapi gurunya tentu akan mengambil setiap kesempatan untuk berbuat sesuatu yang dapat membahayakan kalian. Orang itu memang tidak segan-segan membunuh dengan cara yang licik sekalipun.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara orang tua itu berkata, “Aku yakin, seandainya kedua orang itu dapat merebut sepasang keris itu, tentu keduanya tidak dibiarkan untuk memilikinya. Mungkin satu dua hari. Tetapi untuk selanjutnya sepasang keris itu tentu diambilnya. Bahkan jika perlu kedua muridnya itu akan dibunuhnya. Orang itu tidak segan-segan mengorbankan siapa saja untuk landasan pencapaian cita-citanya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun mengangguk-angguk. Sementara orang tua itu ternyata telah mendahului berkata selanjutnya, “jadi kedua orang itu tidak seberbahaya gurunya yang mencoba memperalatnya. Tetapi syukurlah bahwa mereka tidak berhasil.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang dapat bersukur saat itu. Tetapi orang yang memiliki ilmu Gelap Ngampar itu tentu akan dapat datang lagi dan menyerang mereka dengan ilmunya, sementara orang lain menyerang mereka secara wadag.

Orang tua itu melihat kecemasan di sorot mata kedua anak muda itu. Karena itu, maka katanya, “Anak-anak muda. Aku sudah bertekad untuk menyerahkan sepasang keris itu kepada kalian. Karena itu, maka aku pun harus melengkapi kalian untuk melawan segala kemungkinan. Termasuk kekuatan ilmu Gelap Ngampar.”

Kedua orang anak muda itu justru berdebar-debar. Sementara orang tua itu berkata, “Sebenarnya ada kekuatan yang dapat menangkal serangan Gelap Ngampar itu. Ketika seorang sahabatku berlayar di lautan yang garang, di Samodra Hindia. Seisi kapalnya telah diganggu oleh suara yang sangat menyakitkan dada mereka. Suara bergaung yang tidak diketahui asalnya. Seperti angin yang menerpa sebuah goa yang sangat besar. Menurut kata orang, di dekat mereka berlayar terdapat sebuah pulau sumber dari ilmu Gelap Ngampar itu. Namun jika seseorang mampu mengambil bunga dari sejenis tanaman yang tumbuh di pulau kecil itu, maka bunga dari tanaman itu jika dikeringkan akan dapat menjadi penangkal ilmu yang sangat mengerikan itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun hampir diluar Mahisa Murti bertanya, “Apakah mungkin kami dapat melakukan pelayaran seperti itu, sementara kami tidak memiliki keahlian dan pengalaman dalam dunia pelayaran. Atau kami harus menjalani laku apapun untuk dapat mendapat penangkal ilmu itu.”

“Anak-anak muda,” berkata orang tua itu, “sangat sulit untuk dapat menemukan pulau itu. Bahkan pelaut-pelaut yang berpengalamanpun sulit untuk menemukannya. Tetapi adalah kebetulan sekali bahwa sahabatku dapat memiliki benda penangkal itu. Bunga dari sejenis tanaman yang dikeringkan, sehingga ujudnya menyerupai kapuk, namun warnanya tidak putih. Tetapi biru. Bunga itu akan aku serahkan kepada kalian berdua. Kalian dapat membungkus bunga berwarna biru itu dan menyimpannya di kantong ikat pinggang kalian. Dalam keadaan yang sangat memerlukan, maka bungkusan kecil bunga itu dapat kalian sumbatkan ke telinga kalian. Namun hati-hati. Benda ini jangan hilang.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Pukat bertanya, “Tetapi bagaimana dengan Kiai sendiri?”

“Aku tidak memerlukan penangkal itu. Aku telah memiliki ilmu yang dapat untuk mengimbangi kemampuan getaran ilmuitu. Bahkan bukan saja bagi diriku sendiri, tetapi aku dapat membantu orang lain membebaskan mereka dari pengaruh ilmu Gelap Ngampar dari jenis yang dimiliki oleh orang itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian tiba-tiba saja Mahisa Pukat telah bertanya, “Apakah ada jenis yang lain?”

Orang tua itu tertawa. Katanya, “Ada lagi ilmu sejenis yang memiliki dasar kekuatan yang berbeda. Ilmu semacam dengan yang dilontarkan oleh orang itu, namun hanya mengenai orang yang dituju. Ada pula ilmu lain dengan akibat yang berbeda, namun bentuknya hampir sama. Bunga dari jenis tanaman itu akan dapat menangkal semua kekuatan yang melancarkan ilmu serupa itu.”

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara orang tua itu berkata, “Inilah bunga yang aku katakan itu. Sekali lagi aku pesankan kepada kalian, jangan sampai hilang, karena benda ini memiliki nilai yang tinggi di dalam dunia olah kanuragan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bersama-sama telah menerima bunga sejenis tumbuh-tumbuhan di pulau yang mengerikan itu. Segenggam kecil bunga yang seperti kapuk tetapi berwarna biru itu telah dibagi dua. Separo diberikan kepada Mahisa Murti, yang separo diberikan kepada Mahisa Pukat.

“Pada suatu saat, jika kalian sempat, kalian dapat membuat bungkusan kecil dari bunga itu. Masing-masing menjadi dua yang langsung dapat kalian sumbatkan ke telinga kalian jika perlu. Dengan demikian maka benda itu tidak akan pernah berkurang. Kalian dapat menyimpan bungkusan-bungkusan kecil yang siap untuk menyumbat telinga itu dibungkusan yang lebih besar untuk kalian masukkan ke dalam kantong ikat pinggang kulit kalian itu,” berkata orang tua itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti maksud orang tua itu. Karena itu sambil mengangguk-angguk Mahisa Murti berkata, “Kami akan melakukannya Kiai.”

Tetapi agaknya masih ada yang akan dikatakan oleh orang tua itu. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun masih memperhatikan dengan sungguh-sungguh.

“Anak-anak muda,” berkata orang tua itu,”benda itu untuk sementara akan sangat berarti bagi kalian. Namun demikian, jika kalian bersedia menunda perjalanan kalian satu hari lagi, aku akan bersedia memberikan petunjuk laku.Sehingga kalian dapat memiliki ilmu penangkal dari ilmu itu tanpa benda-benda yang dapat tercecer itu. Jika benda itu tertinggal atau hilang, maka kalian tidak akan mampu lagi melawan ilmu jenis Gelap Ngampar itu. Tetapi jika kalian memiliki kemampuan ilmu penangkalnya, maka ilmu yang demikian tidak akan mudah hilang.”

“Tetapi apakah dalam satu hari kami dapat menguasai ilmu itu?” bertanya Mahisa Pukat.

Orang tua itu tersenyum sambil menjawab, “Tentu tidak. Tetapi akan berbilang tahun. Aku hanya ingin menunjukkan laku yang harus kau tempuh. Jika kalian berniat menempuh laku itu, dapat kalian jalani kapan saja kalian sempat.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Di luar sadar, mereka telah berpaling kepada Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping yang telah duduk agak dikejauhan. Namun bagi kedua orang anak muda itu, tawaran itu sangat menarik. Mereka akan dapat mulai menjalani laku jika mereka telah sampai di padepokan mereka.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian bertanya, “Kiai, apakah kami dapat melakukannya jika kami sudah menyelesaikan perjalanan kami?”

“Tentu. Laku itu memang agak berat. Kalian harus menjalaninya dengan penuh kesungguhan. Memang tidak perlu menyerap waktumu terus-menerus setiap saat seperti seorang pertapa. Tetapi setiap hari kalian harus menyisihkan waktu tertentu untuk menjalani laku itu, sehingga akhirnya kau mampu menimbulkan daya tangkal itu dari dalam diri kalian sendiri tanpa mempergunakan alat apapun juga,” berkata orang tua itu. Lalu katanya, “Waktu yang kau perlukan berbanding lurus dengan waktu yang kau ambil setiap hari. Jika kau dapat menyisihkan waktu yang cukup panjang setiap hari, maka dalam waktu satu tahun, kau akan dapat menguasai ilmu penangkal itu. Tetapi jika waktu yang dapat kau sisihkan setiap hari lebih pendek, maka kau memerlukan waktu lebih lama untuk dapat menguasainya. Tetapi bagiku, lebih baik kau mulai mempelajarinya meskipun satu, dua atau tiga tahun baru kau kuasai. Namun kau akan mendapatkan hasil akhir. Sedangkan jika tidak sama sekali, maka kau tidak akan pernah memiliki ilmu itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Satu kepercayaan yang sangat tinggi telah diterimanya dari orang tua itu. Selain sepasang keris itu, maka mereka telah mendapat kesempatan untuk meningkatkan alas ilmunya sehingga seakan-akan segalanya telah meningkat pada diri mereka. Kemudian ilmu penangkal ilmu yang dahsyat itu. Gelap Ngampar.

Ketika kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berpaling ke arah Mahisa Semu sejenak, maka dilihatnya anak muda itu mengangguk, sehingga Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Baiklah Kiai. Kami akan menunda perjalanan kami satu hari lagi agar kami dapat menyerap petunjuk laku yang harus kami jalani untuk mendapatkan kekuatan melawan ilmu seperti itu. Sementara itu, kami hanya mengandalkan daya tahan kami meskipun daya tahan kami masih mampu mengatasi serangan ilmu serupa dari murid-murid orang berilmu tinggi itu.”

“Mereka tidak mempergunakannya lagi malam ini setelah gurunya kehilangan kekuatan ilmunya, karena mereka tahu ilmu yang baru mereka kuasai sebagian kecil itu tidak akan mampu berbuat apa-apa atas kalian.”

Demikianlah, maka orang tua itu pun kemudian memberikan kesempatan anak-anak muda itu untuk beristirahat. Sementara orang tua itu sendiri kemudian telah meninggalkan tempat itu sambil berkata, “Aku akan kembali saat matahari sepenggalah.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganguk hormat ketika orang tua itu kemudian meninggalkan tempat itu. Sepeninggal orang tua itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendekati Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping yang termangu-mangu. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Beristirahatlah. Matahari masih belum terbit. Masih ada waktu sekejap meskipun fajar telah naik.”

Tetapi Mahisa Semu dan Wantilan masih saja duduk bersandar sebatang pohon. Mahisa Amping lah yang kemudian berbaring di atas rumput yang kering. Hanya sejenak kemudian, anak itu sudah tertidur lelap. Ketika sesaat kemudian matahari terbit, Mahisa Amping masih juga belum terbangun. Sinarnya yang jatuh ke tubuhnya tidak mampu membangunkannya, sementara Mahisa Pukat berdesis, “Biar saja anak itu beristirahat.”

Bergantian mereka telah membersihkan diri. Kemudian mereka telah bersiap menunggu matahari sepenggalah. Namun sebelum matahari sampai sepenggalah, Mahisa Amping ternyata telah terbangun. Sambil menggosok matanya yang menjadi silau ia bangkit sambil melangkah.

“He, mau ke mana?” bertanya Mahisa Semu.

“Mandi,” jawab Mahisa Amping.

“Tunggu. Jangan pergi sendiri,” berkata Mahisa Semu sambil bangkit serta melangkah disamping Mahisa Amping menuju ke air yang mengalir tidak begitu deras. Meskipun jaraknya hanya beberapa puluh langkah, namun dalam keadaan yang gawat itu, Mahisa Semu tidak membiarkannya mandi sendiri. Karena itulah, maka Mahisa Semu telah menungguinya sambil duduk di atas sebongkah batu. Sementara yang lain mengawasinya dari tepian.

Seperti yang dikatakan, maka ketika matahari sepenggalah, orang tua itu telah datang kembali. Nampaknya ia pun telah membenahi dirinya sehingga telah kelihatan lebih rapi meskipun dalam ujud kesederhanaannya.

“Nah,” berkata orang tua itu, “marilah. Aku akan menunjukkan kepada kalian berdua, laku yang harus kalian tempuh di saat mendatang, jika kalian ingin memiliki ilmu penangkal dari ilmu Gelap Ngampar.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang bangkit menyongsongnya mengangguk hormat. Sementara itu, orang tua itu pun berkata kepada Wantilan dan Mahisa Semu, “Maaf Ki Sanak. Perhatianku sementara ini masih aku tujukan kepada kedua orang anak muda yang aku percaya untuk menyimpan kerisku itu.”

“Silahkan Kiai,” jawab Wantilan, “peningkatan kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, berarti peningkatan kemampuan kami juga.”

Orang tua itu pun tersenyum. Katanya, “Kami akan mengambil tempat yang terpisah.”

“Silahkan,” jawab Wantilan sambil mengangguk.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukatitu pun telah mengikuti orang tua yang akan memberikan petunjuk tentang laku untuk menguasai penangkal ilmu yang sangat mengerikan itu. Ternyata orang tua itu telah membawa kedua orang anak muda itu ke bawah sebatang pohon ketapang yang tumbuh di atas tanggul. Pohon ketapang itu sendiri tidak terlalu besar. Tetapi daunnya yang sedang tumbuh dan bersemi itu, namun rimbun dan hijau.

Sementara itu, Mahisa Amping ternyata telah memanfaatkan waktu untuk berlatih mempergunakan pisau panjangnya. Dengan ilmu dasar yang telah diberikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat anak itu mempermainkan pisaunya sambil berloncatan di atas pasir. Ternyata anak itu memang memiliki kelebihan. Adalah di luar sadarnya, bahwa ia telah mampu mempergunakan dasar ilmunya dengan sangat baik. Bahkan seakan-akan ilmu itu telah berkembang dengan sendirinya, diluar kesadaran anak itu sendiri.

Mahisa Semu dan Wantilan memperhatikan anak itu dengan kagum. Ternyata anak itu memang luar biasa. Tenaganya cukup besar dibandingkan dengan umur dan bentuk serta ujudnya. Sambil berloncatan, bahkan berlari dengan langkah-langkah panjang, Mahisa Amping mempermainkan pisau panjangnya. Sekali-sekali anak itu menjatuhkan diri di atas pasir tepian, kemudian meloncat bangkit sambil memutar pisaunya.

Namun bagaimanapun juga Mahisa Amping adalah masih anak-anak. Dalam latihan yang kadang-kadang nampak bersungguh-sungguh, sekali-sekali ia pun telah bermain-main dengan berguling-guling dan melenting berputaran sambil bertumpu pada tangannya. Meloncat tinggi-tinggi kemudian jatuh pada pundaknya untuk bergulung sambil melingkarkan badannya.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk sambil memusatkan segenap perhatiannya kepada orang tua yang telah memberikan petunjuk laku bagi kedua orang anak muda itu. Orang tua itu telah membeberkan langkah awal sebelum laku yang sebenarnya dijalani. Selangkah demi selangkah, sehingga kemudian keduanya memasuki petunjuk tentang laku yang sebenarnya. Sambil memperhatikan segala petunjuk, maka kedua anakmuda itu menyadari, bahwa laku yang kelak harus dijalani itu tentu akan sangat berat.

Demikianlah, orang tua itu telah mengulanginya sampai tiga kali. Anak-anak muda itu tidak boleh salah dengan laku yang akan mereka jalani. Jika mereka salah langkah, maka mereka tidak akan sampai ke tujuan. Ternyata mereka memang memerlukan waktu hampir sehari penuh. Ketika matahari turun mendekati punggung pegunungan, maka orang tua itu mengakhiri petunjuk laku yang telah diulanginya berkali-kali itu.

“Nah,” berkata orang tua itu, “aku yakin kalian akan dapat menjalaninya. Bahkan dalam umur kalian yang masih muda, kalian telah memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga agaknya kalian sudah terbiasa menjalani laku yang berat untuk menguasai ilmu.”

“Kami mohon doa restu Kiai,” berkata Mahisa Murti, “kami telah mencoba memahami laku yang harus kami jalani.”

“Jika kalian belum sempat menjalani dalam waktu dekat, maka setidak-tidaknya kalian harus membicarakan laku itu setiap kali, agar kalian tidak melupakannya atau ada bagian-bagian yang terlampaui,” berkata orang tua itu.

“Terima kasih Kiai,” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir berbareng.

“Nah, menurut perhitunganku, maka orang-orang penting yang sebelumnya ingin menguasai keris itu telah datang kepada kalian. Seandainya orang yang memiliki ilmu Gelap Ngampar itu datang lagi, ia tidak begitu berbahaya bagi kalian setelah kalian memiliki penangkal ilmu itu, meskipun untuk sementara kalian masih memerlukan bantuan bunga dari tanaman yang asing itu,” berkata orang tua itu. Lalu katanya, “Jika orang itu masih saja memaksa, maka kalian berdua akan dapat mengalahkannya.”

“Kiai,” tiba-tiba saja Mahisa Pukat bertanya, “sebagaimana benda-benda itu, apakah kami diijinkan untuk mengalirkan ilmu ini kepada orang lain?”

“Kau dapat memberikan kepada orang lain yang kau percayai bahwa benda-benda itu tidak akan dipergunakan untuk maksud-maksud buruk,” jawab orang tua itu. “Seperti benda-benda itu,” berkata orang tua itu, “hanya kepada orang-orang yang kalian percayai sepenuhnya.”

“Terima kasih Kiai,” jawab Mahisa Pukat.

Dalam pada itu, maka orang tua itu pun berkata, “Sudahlah. Aku sudah berusaha sejauh dapat aku lakukan. Mungkin masih ada orang yang ingin memiliki sepasang keris itu. Tetapi bukan orang-orang yang paling berbahaya. Karena itu, maka biarlah kalian menyelesaikannya sendiri. Meskipun demikian, ada yang perlu kalian perhatikan. Masih ada seorang yang cukup berbahaya yang belum hadir saat ini. Mudah-mudahan ia tidak datang kepada kalian. Orang itu mempunyai cacat di sebelah matanya. Namun ia memiliki ilmu kebal. Meskipun demikian, ia tidak akan mampu menahan kekuatan yang kalian lontarkan bersama-sama.” Orang tua itu berhenti sejenak, lalu “baiklah. Aku minta diri. Bukan berarti bahwa kita tidak akan bertemu lagi. Bagaimanapun juga sepasang keris itu mempunyai ikatan khusus dengan pembuatnya.”

“Terima kasih Kiai,” desis Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir berbareng.

“Ikatan itulah yang menyebabkan seakan-akan aku tahu di mana sepasang keris itu berada meskipun sudah berpisah untuk waktu yang cukup lama atau dibatasi oleh jarak yang cukup panjang. Aku dapat tersentuh pula jika sepasang keris itu berada dalam bahaya. Maksudku terancam oleh orang-orang yang tidak sepantasnya memilikinya,” berkata orang tua itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Mereka dapat mengerti pernyataan itu, dan mereka pun mempercayainya, karena nampaknya memang ada sesuatu yang tertinggal pada sepasang keris itu dari sisi kehidupan orang tua itu.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menanyakannya. Demikianlah maka sesaat kemudian, orang tua itu pun telah meninggalkan kedua orang anak muda itu. Ia pun menyempatkan diri untuk minta diri kepada Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping.

“Hati-hati dengan pisau itu,” pesannya kepada Mahisa Amping.

“Ya Kiai,” jawab Mahisa Amping sambil mengangguk hormat.

Orang tua itu menepuk bahu Mahisa Amping. Namun kemudian ia pun telah melangkah meninggalkan mereka. Sementara itu, senja telah mulai membayang. Mahisa Murti telah mengajak saudara-saudaranya untuk meninggalkan tempat itu. Mereka tidak menunggu seorang pun lagi, sementara mereka masih harus menempuh perjalanan panjang.

“Mudah-mudahan kita masih menemukan kedai yang terbuka,” berkata Mahisa Murti yang menyadari, bahwa Mahisa Amping tentu merasa sangat lapar.

Ternyata mereka masih menemukannya. Sebuah kedai yang hampir saja menutup pintunya ketika senja turun. Namun cahaya lampu minyak yang masih terlempar ke jalan telah memangil Mahisa Murti dan saudara-saudaranya untuk singgah.

“Seadanya,” berkata Mahisa Murti ketika pemilik kedai itu mengatakan bahwa dagangannya sudah hampir habis, “Anak ini perlu makan.”

Pemilik kedai itu pun kemudian mempersilahkan mereka masuk. Katanya, “Jika Ki Sanak mau seadanya, marilah. Hanya inilah yang masih ada.”

Tetapi kelima orang itu pun duduk pula dikedai itu. Sebenarnyalah bahwa Mahisa Amping memang sangat lapar. Meskipun yang ada hanya nasi dingin dan sayur asam, namun anak itu makan dengan lahapnya. Bahkan bukan saja Mahisa Amping, tetapi yang lain pun sebenarnya juga lapar.

Dari kedai itu, maka kelimanya telah berjalan sepanjang jalan bulak yang tidak terlalu panjang. Selangkah-selangkah perlahan-lahan, agar lambung mereka tidak menjadi sakit. Mereka berniat bermalam di padukuhan di depan mereka. Di banjar padukuhan. Kelima orang itu sama sekali tidak cemas, bahwa perjalanan mereka akan terganggu di bulak itu, karena pemilik kedai yang sudah hampir menutup pintu itu mengatakan, bahwa daerah itu adalah daerah yang aman.

“Di sini tidak pernah terjadi pencurian, apalagi perampokan, pembunuhan dan kekerasan yang lain,” berkata pemilik kedai itu.

Dengan demikian maka kelima orang itu pun sama sekali tidak memikirkan penyamun di bulak yang mereka lalui. Sebenarnyalah mereka memasuki padukuhan di hadapan mereka dengan selamat. Ketika mereka sampai ke banjar, maka mereka pun telah mendapat tempat dan perlakuan yang baik oleh penunggu banjar.

“Apakah banjar ini tidak dipergunakan oleh anak-anak muda sebagai tempat perondan?” bertanya Mahisa Murti ketika dilihatnya banjar itu sepi, sementara malam telah turun.

“Tidak ada perondan di sini, karena di sini memang tidak pernah ada kejahatan,” jawab penunggu banjar itu.

Mahisa Murti menarik nafas sambil berkata, “Alangkah damainya padukuhan ini. Jika setiap padukuhan mengalami kedamaian seperti ini, maka hidup ini akan terasa sejuk sekali. Tidak seorang pun memerlukan senjata. Dan sepasang keris itu tidak akan menjadi rebutan.”

Tetapi sayang, bahwa yang diliputi oleh kedamaian itu hanyalah titik-titik kecil diluasnya pantai, sehingga hampir tidak berarti sama sekali dibandingkan dengan kekerasan, kegelisahan dan kecemasan yang terjadi dimana-mana. Meskipun demikian, malam itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan masih juga membagi tugas untuk berjaga-jaga.

Tetapi sebenarnyalah, malam itu terasa betapa damainya. Jika terdengar suara kenthongan, itu adalah pertanda waktu yang dibunyikan oleh bebahu padukuhan yang bertugas. Bahkan menurut penunggu banjar, pintu-pintu rumah di padukuhan itu dan sekitarnya tidak perlu diselarak dimalam apalagi disiang hari.

“Ki Sanak,” bertanya Mahisa Murti kepada penunggu banjar itu sebelum Mahisa Murti dipersilahkan beristirahat di serambi, “kenapa padukuhan ini terasa damai sekali? Seolah-olah di antara sesama tidak pernah ada persoalan?”

“Kami berusaha untuk menempatkan diri kami masing-masing dalam martabat kemanusiaan kami,” berkata penunggu banjar itu, “Kami mematuhi semua ajaran tentang hidup dan kehidupan sebagaimana diajarkan kepada kami dalam rangkuman Sumber Hidup kami.”

Kata-kata itu tetap menjadi renungan disaat-saat kelima orang itu telah berada diserambi dan bahkan telah berbaring sampai saatnya mereka tertidur nyenyak.

Pagi-pagi sekali kelima orang itu telah membenahi diri. Mereka pun kemudian telah minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju ke padepokan yang telah cukup lama mereka tinggalkan.

Menjelang matahari terbit, setelah mengucapkan terima kasih maka kelima orang itu telah meninggalkan banjar padukuhan menyusuri jalan yang membelah padukuhan itu. Mereka-pun kemudian telah keluar dari mulut lorong, memasuki bulak yang tidak begitu luas. Menjelang terang, maka mereka telah berpapasan dengan orang-orang yang pergi ke pasar. Nampaknya mereka sama sekali tidak mencemaskan perjalanan mereka.

Tetapi seberapa jauh mereka akan berada dalam suasana yang demikian itu. Dengan sengaja mereka telah melewati pasar yang cukup ramai. Apalagi di hari pasaran. Para penjual meluap sampai merambat ke jalan-jalan diluar pasar.

Tetapi kelima orang itu tidak singgah. Mereka hanya lewat saja didepan pasar itu. Sekali-sekali langkah mereka memang terhenti melihat beberapa macam barang yang dijual dipasar itu. Sayuran yang segar. Beras yang putih seperti kapas. Ketela pohon, ubi jalar sepanjang badan penjualnya dan disatu sisi terdapat pasar yang khusus untuk jual beli berbagai jenis burung. Burung perkutut dan burung yang bersiul.

Nampaknya Mahisa Amping senang melihat seekor burung beo. Tetapi bahwa mereka pengembara, agaknya tidak memungkinkan untuk memelihara seekor burung disepanjang perjalanan.

“Besok, jika kita sudah berada di padepokan, maka kita akan menangkap burung beo atau jenis burung yang lain,” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Amping mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menyahut sama sekali. Anak itu agaknya menyadari bahwa mereka tidak mungkin memelihara didalam perjalanan panjang itu.

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah meninggalkan pasar itu tanpa membeli apapun. Mereka menempuh perjalanan lewat tanah datar, melintasi bulak-bulak panjang dan pendek serta padukuhan-padukuhan. Mereka memang merasakan kedamaian dibeberapa padukuhan yang mereka lewati. Mereka melihat satu kehidupan yang rukun. Namun sayang sekali bahwa ada kesan kemalasan di antara mereka yang menghuni padukuhan itu.

Ketika matahari semakin tinggi, masih saja nampak beberapa orang duduk-duduk di sudut padukuhan sambil berbincang-bincang. Perempuan yang berbicara tidak berkeputusan dengan membiarkan anak-anak mereka berkeliaran di halaman tanpa memandikannya sejak bangun tidur. Sementara itu tanaman di sawah agaknya juga kurang baik. Rumput-rumput tumbuh di sela-sela batang padi.

“Seharusnya dapat dipisahkan,” berkata Mahisa Murti, “hidup tenang, tenteram dan dalam suasana damai, tidak perlu diwarnai dengan kemalasan seperti itu. Tenang, damai, tertib, tetapi bergetar dan penuh gairah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup ini. Bersama-sama dan tidak saling bermusuhan.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu, ia sependapat dengan Mahisa Murti. Karena dengan kemalasan, maka mereka akan tertinggal oleh kehidupan di padukuhan-padukuhan yang lain.

Namun, setelah mereka melewati padukuhan-padukuhan yang lain, maka suasana pun mulai berubah. Sedikit demi sedikit. Sehingga kemudian mereka telah sampai ke sebuah padukuhan yang besar yang agaknya mempunyai kelebihan dari padukuhan-padukuhan yang lain. Di padukuhan itu terdapat banyak rumah-rumah yang besar. Halaman yang luas dan nampaknya kehidupanpun terasa lebih baik dari padukuhan-padukuhan lain.

Menilik jalan yang memasuki padukuhan itu dari satu arah, kemudian terdapat cabang-cabang jalan yang menyebar ke segala sudut padukuhan dengan beberapa jalur jalan besar, maka padukuhan itu menjadi tempat persimpangan yang ramai. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memasuki padukuhan itu semakin dalam telah melihat satu bentuk kehidupan yang lebih cepat dari padukuhan-padukuhan sebelumnya.

Mereka telah berpapasan dengan beberapa orang berkuda. Kemudian di tengah-tengah padukuhan itu terdapat sebuah rumah yang besar dengan halaman luas. Ada beberapa pedati yang ada di halaman itu. Orang-orang pun nampak sibuk memuat dan menurunkan barang-barang dari pedati-pedati itu. Sementara itu, terdapat beberapa buah kedai di sebelahnya.

Kecuali mereka sudah merasa lapar, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya ingin mengetahui serba sedikit tentang kesibukan di tempat itu. Karena itu, maka mereka telah memilih sebuah kedai yang paling ujung untuk singgah. Kedai yang termasuk bukan yang terbesar. Bahkan termasuk kecil. Tetapi di dalamnya sudah terdapat dua tiga orang yang sedang duduk makan.

Kehadiran Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang tidak menarik perhatian. Tempat itu adalah tempat yang dikunjungi oleh banyak orang dari berbagai daerah. Setelah memesan minuman dan makan, maka Mahisa Murti sempat bertanya kepada pemilik kedai itu, “Apakah tempat itu tempat persinggahan pedati yang mengangkut barang-barang dagangan?”

“Ya, Ki Sanak,” jawab pemilik kedai itu dengan ramah, “juga tempat para pedagang menginap jika mereka kemalaman. Pedagang yang datang di padukuhan ini adalah pedagang dari segala penjuru. Mereka datang dari tempat yang mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Pedati yang berjalan ke daerah yang aman, biasanya tidak perlu bermalam di sini setelah menurunkan barang-barang mereka dan memuat kebutuhan bagi padukuhan mereka. Di perjalanan kembali, mereka tidak takut barang-barang itu dirampas orang. Tetapi pedati yang menuju ke arah yang suasana kehidupan keras, maka diperlukan sikap yang lebih berhati-hati. Meskipun agaknya para penjahat mulai memandang ke arah padukuhan-padukuhan yang selama ini hidup tenang di sebelah meliputi daerah yang agak luas.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara tanpa diminta pemilik kedai itu menceriterakan kesempatan berusaha yang baik bagi penghuni padukuhan itu, justru karena letak padukuhan mereka. Tetapi di samping itu, maka di padukuhan ini terdapat pula segala jenis manusia dengan cara hidupnya yang berbeda-beda.

Ternyata bahwa orang-orang yang sudah lebih dahulu berada di kedai itu justru mulai tertarik kepada kelima orang yang datang kemudian itu. Bahkan seorang di antara mereka tiba-tiba saja bertanya, “Apakah kalian orang asing di sini?”

“Ya Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti, “kami adalah pengembara yang menjelajahi banyak tempat. Kami sekarang sedang berada dalam perjalanan kembali.”

“Jika kau ingin melihat seribu jenis manusia dengan seribu jenis wataknya, masuklah ke dalam penginapan itu. Aku adalah salah seorang pedagang yang datang dari Barat. Aku membawa sejenis gerabah yang banyak peminatnya di padukuhan-padukuhan lain sehingga daganganku cepat habis di sini. Tetapi untuk menunggu kesempatan pulang, aku merasa tersiksa di penginapan itu. Karena itu, aku lebih senang duduk di sini sambil minum minuman hangat dan makan makanan dari jenis apapun juga,” berkata orang itu.

“Kenapa harus menunggu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Menunggu pembayaran yang kadang-kadang tertunda sehari,” jawab orang itu.

Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil berdesis, “Memang mungkin sekali. Bukankah pembayaran itu dilakukan setelah pembelinya menjual barang dagangannya pula?”

“Nah, kau nampaknya juga seorang pedagang,” tebak orang itu.

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Bukan pedagang. Tetapi aku dapat menduganya.”

Orang itulah yang kemudian tersenyum. Katanya, “Seperti sekarang ini. Aku harus menunggu sampai esok pagi. Rasa-rasanya aku tidak tahan lagi. Tetapi apa boleh buat.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat bertanya, “Apa sebenarnya yang membuatmu tersiksa?”

“Cara orang-orang di dalam rumah itu mengisi waktunya,” jawab orang itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Mereka tidak begitu memahami jawaban orang itu. Sementara Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping masih saja sibuk dengan minuman dan makanan mereka.

Selagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu, maka mereka terkejut mendengar suara tertawa perempuan yang meledak. Kemudian jerit kecil yang serak. Ketika mereka berpaling, dilihatnya seorang perempuan berlari-lari mengejar seorang laki-laki. Namun kemudian keduanya telah pergi meninggalkan halaman itu sambil meninggalkan suara tertawa panjang.

“Salah satu contoh dari kehidupan yang mengerikan itu,” desis orang yang telah lebih dahulu berada di kedai itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Karena itu maka keduanya telah berniat untuk segera meninggalkan tempat itu. Mereka tidak ingin terlibat dalam satu persoalan apapun juga. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah berkata, “Marilah. Kita akan melanjutkan perjalanan.”

Demikianlah, maka kelima orang itu pun telah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu, ketika dua orang memasuki kedai itu. Seorang laki-laki dan seorang perempuan didahului oleh suara tertawa yang memekik.

Kedatangan kedua orang itu telah mempercepat rencana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk meninggalkan tempat itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah menarik MahisaAmping sambil berdesis, “Marilah. Bukankah kau sudah kenyang.”

Mahisa Amping sama sekali tidak mengerti apapun juga yang terjadi. Karena itu, maka ia menurut saja dibimbing oleh Mahisa Pukat keluar dari kedai itu. Namun Mahisa Pukat terkejut ketika ia mendengar perempuan itu berkata, “He, kalian telah menghina aku.”

Mahisa Murti yang masih baru bergeser dari tempat duduknya terhenti. Ia melihat kemungkinan buruk dapat terjadi. Karena itu, maka ia pun telah melangkah sambil menggamit Mahisa Pukat, “Marilah, jangan hiraukan.”

Kelima orang itu sudah berada di luar kedai ketika perempuan itu berdiri di pintu sambil bertolak pinggang, “Kenapa kalian pergi begitu aku masuk?”

Mahisa Murti yang berada di paling belakang memang berpaling. Ia tidak dapat berdiam diri tanpa memberikan penjelasan. Karena itu maka ia pun kemudian berkata, “Maaf Ki Sanak. Kami sama sekali tidak berniat demikian. Sebelum Ki Sanak masuk ke kedai ini, kami memang sudah berniat untuk pergi, karena kami sudah terlalu lama berada di sini.”

“Bohong,” teriak perempuan itu, “kau kira aku apa he? Kau kira aku hantu perempuan yang harus dijauhi? He, atau kau kira aku apa? Kau anggap aku tidak pantas duduk di kedai itu atau kau menganggap dirimu tidak pantas duduk dekat aku?”

“Tidak. Sama sekali tidak Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “Kami benar-benar tidak menyadari apa yang kami lakukan, karena kami memang tidak mempunyai perasaan apapun terhadap Ki Sanak. Karena itu, jika yang kami lakukan membuat Ki Sanak tersinggung, kami mohon maaf.”

“Omong kosong,” geram perempuan itu yang kemudian berpaling kepada laki-laki yang menyertainya memasuki kedai itu, “apakah kau tidak dapat berbuat sesuatu atas mereka?”

Tetapi laki-laki itu sama sekali tidak mengacuhkannya. Bahkan katanya, “Biarkan saja mereka pergi.”

“Pengecut,”teriak perempuan itu.

Namun dalam pada itu, laki-laki penjual gerabah yang lebih senang berada di kedai itu daripada di rumah besar itu pun berkata, “Ia memang sudah minta diri sebelum kalian datang. Ia tidak berniat menghina kalian.”

“Jangan turut campur,” teriak perempuan itu, “kau siapa?”

“Aku pedagang gerabah. Pedatiku berada di halaman rumah itu pula. Aku menunggu uangku yang akan dibayar besok,” jawab orang itu.

“Jika kau sudah mengenal tempat ini, kenapa kau ikut campur persoalan orang lain?” teriak perempuan itu pula.

“Aku tidak mencampuri persoalanmu. Aku hanya ingin menjelaskan bahwa orang-orang itu tidak bersalah,” jawab pedagang gerabah itu.

Tetapi perempuan itu justru semakin marah. Tiba-tiba saja ia telah bersuit nyaring. Satu hal yang tidak diduga bahwa ia akan memberikan isyarat seperti itu. Ternyata dari dalam rumah yang besar itu telah keluar dua orang yang nampaknya sangat garang.

Dengan tergesa-gesa orang itu telah menyeberangi halaman yang luas dan langsung menuju ke arah perempuan yang berdiri di depan kedai itu. Sementara kawannya, laki-laki yang datang bersamanya justru telah melangkah keluar dan begitu saja pergi tanpa mengatakan apa-apa. Kepada kedua orang yang garang itu ia sempat mengatakan sesuatu. Tetapi tidak begitu jelas didengar oleh orang-orang yang berada di kedai. Kedua orang itu nampak ragu-ragu. Namun kemudian mereka melanjutkan langkah mereka meskipun tidak lagi dengan tergesa-gesa.

“Cepat,” perempuan itu hampir berteriak.

Keduanya mempercepat langkah mereka. Namun nampak bahwa mereka masih saja ragu-ragu. Demikian keduanya sampai di depan kedai itu, maka perempuan itu segera berteriak, “Seret laki-laki di dalam kedai itu kemari. Ia sudah mencampuri persoalanku dengan anak-anak liar itu.”

Kedua orang itu masih saja ragu-ragu. Dipandanginya Mahisa Murti dan saudara-saudaranya yang berdiri termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja salah seorang dari kedua orang yang berwajah garang itu berkata, “Bukankah yang bersalah anak-anak liar itu? Sedangkan orang yang ada di dalam kedai itu hanya mencampuri persoalannya.”

“Aku tidak senang ia mencampuri persoalan orang lain. Karena itu ia harus dihukum,” bentak perempuan itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru tidak dapat meninggalkan laki-laki itu begitu saja. Jika benar ia mengalami kesulitan, maka mereka harus membantu, karena orang itu telah mengatakan bahwa Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak bersalah.

Tetapi jawaban salah seorang laki-laki berwajah garang itu mengejutkan. Katanya, “Laki-laki yang ada di dalam kedai itu adalah Kiai Liman Serapat. Penjual gerabah yang namanya tentu sudah pernah kau kenal. Ia memiliki ilmu yang sangat tinggi. Jika kami mencoba memaksanya, maka yang akan kau dapatkan adalah mayat-mayat kami.”

“He,” wajah perempuan itu menjadi merah, ”jadi laki-laki itu Kiai Liman Serapat? Kenapa kakang Sindu tidak mengatakan apa-apa dan pergi begitu saja?”

“Ia tidak berani berbuat apa-apa di hadapan Kiai Liman Serapat,” jawab salah seorang dari kedua orang yang garang itu.

Perempuan itu termangu-mangu. Sekali-sekali ia berpaling ke arah Mahisa Murti dan saudara-saudaranya yang berdiri termangu-mangu. Tetapi ia pun tidak berani berbuat apa-apa, karena didalam kedai itu terdapat orang yang disebut Liman Serapat.

Sementara itu, orang yang semula ada di dalam kedai itu telah melangkah keluar. Tanpa menghiraukan perempuan itu serta kedua orang yang garang itu, maka ia telah melangkah mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Seharusnya aku memang tidak usah mencampuri persoalan kalian justru untuk memberi pelajaran kepada orang-orang upahan itu,” berkata orang yang disebut Kiai Liman Serapat itu.

“Maksud Kiai?” desis Mahisa Murti.

“Kalian tentu akan membuat mereka jera. Kalian tentu anak-anak muda yang berilmu sangat tinggi. Apalagi menilik sepasang pusaka yang menjadi rebutan di antara orang-orang berilmu tinggi itu sudah ada pada kalian,” jawab orang itu.

Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang. Tetapi orang itu berkata, “Tetapi kalian tidak perlu cemas. Aku bukan termasuk orang-orang tamak yang menginginkan sepasang pusaka itu. Bukannya aku tidak ingin. Tetapi sudah tentu ilmuku tidak akan mampu untuk aku jadikan bekal mencapainya. Kedua orang itu agak berlebihan memuji kemampuanku.”

“Ah,” desis Mahisa Murti, “kami bukan apa-apa bagi Kiai.”

“Kalian adalah anak-anak muda yang rendah hati. Ketika terjadi persoalan, kalian tidak langsung menanggapinya dengan keras, karena seandainya semua orang yang ada di dalam rumah itu ikut melawan kalian, maka mereka tidak akan berarti apa-apa. Tetapi kalian sengaja menghindari kekerasan itu,” berkata Kiai Liman Serapat. Lalu katanya, “Nah, silahkan melanjutkan perjalanan. Jangan berhenti dan apalagi bermalam di rumah seperti itu. Jika aku melakukannya, karena aku mendapat sumber penghidupan dari penjualan gerabah itu, yang menurut pendapatku lebih baik daripada aku merampok.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Terima kasih Kiai. Perkenankan kami mohon diri.”

“Hati-hati dengan sepasang pusaka itu,” berkata Kiai Liman Serapat, “sebaiknya kau memberi selongsong hulu pusaka itu. Hulunya itu pun telah sangat menarik perhatian orang.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih atas petunjuk Kiai. Barangkali sebaiknya kami memang melakukannya.”

“Nah, sekarang selamat jalan,” berkata Kiai Liman Serapat.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk hormat. Sementara Mahisa Amping berdiri termangu-mangu. Namun mereka pun kemudian telah meninggalkan tempat itu. Sementara Kiai Liman Serapat mendekati kedua laki-laki yang garang itu sambil menggeram, “Jika kau ingin kepalamu terlepas, hentikan anak-anak itu.”

Kedua laki-laki yang garang itu tidak menjawab sama sekali. Ketika kemudian Kiai Liman Serapat telah meninggalkan kedua orang laki-laki yang garang itu, maka perempuan yang semula marah-marah itu telah datang kepada mereka sambil bertanya, “He, kenapa aku tidak mengenal Kiai Liman Serapat?”

“Ya, kenapa?” laki-laki yang muda di antara keduanya itu justru bertanya.

Namun laki-laki yang lainlah yang menjawab, “Ia memang jarang kemari. Jika ia datang, ia lebih senang berada di kedai atau berjalan-jalan. Malam hari ia tidur di pedatinya jika ia harus bermalam di sini.”

“Huh,” perempuan itu mencibir, “ia merasa dirinya bersih seperti kapas. Ia sudah menghina kita semuanya.”

“Kenapa? Ia tidak pernah mengatakan apa-apa tentang kita. Ia memang tidak senang terhadap cara hidup kita. Tetapi ia selalu diam saja. Ia sendirilah yang lebih senang menyingkir. Bukan karena ia merasa dirinya bersih serta menilai kita tidak pantas. Tetapi ia tidak mau hidup seperti kita. Dan itu adalah haknya,” jawab laki-laki itu.

“Sejak kapan kau menjadi alim seperti itu? Bukankah kau masih memerlukan aku?” berkata perempuan itu sambil bertolak pinggang.

“Tentu,” jawab laki-laki itu, “tetapi itu adalah kita. Bukan Kiai Liman Serapat.”

Perempuan itu tiba-tiba tersenyum. Katanya, “Kau lihat, besok ia akan menyembah aku seperti kalian berdua.”

“Kau jangan melakukan itu. Kalau kau mau menghancurkan kami berdua, lakukanlah. Kami memang orang-orang yang tidak lagi pantas berdiri di atas martabat kami. Tetapi jangan ganggu Kiai Liman Serapat,” berkata salah seorang laki-laki itu.

“Nah, kau mulai berkeberatan. Kau takut aku berhasil dan kemudian melupakan kalian berdua,” berkata perempuan itu sambil tertawa.

“Tidak. Aku justru mencemaskan kau. Mungkin untuk selamanya kau tidak akan dapat bertemu bukan saja dengan kami berdua, tetapi juga dengan matahari dan rembulan,” berkata salah seorang dari kedua orang laki-laki itu.

Keduanya tidak lagi menghiraukan perempuan itu. Nampaknya perempuan itu sama sekali tidak puas terhadap jawaban laki-laki itu. Tetapi ia tidak berbicara apa-apa lagi. Bahkan kemudian ia telah tersenyum sendiri.

Sementara itu Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah berjalan semakin jauh. Namun mereka pun kemudian telah terhenti karena beberapa orang yang menyusul mereka. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mengira bahwa ia masih harus terlibat dalam soal-soal yang sebenarnya tidak perlu mendapat perhatiannya.

Semula Mahisa Murti mengira bahwa di antara orang-orang itu tentu terdapat dua orang yang berwajah garang, yang tidak berani berbuat sesuatu karena ada orang yang bernama Liman Serapat. Tetapi ternyata dugaannya salah. Di antara orang-orang yang menyusulnya itu, tidak terdapat dua orang yang berwajah garang itu.

Tetapi orang-orang yang menyusulnya itu juga menjadi heran, bahwa kelima orang itu justru tidak melarikan diri. Tetapi mereka bahkan telah berhenti menunggunya.

Ketika orang-orangitu telah menjadi semakin dekat, maka seorang di antara mereka telah melangkah maju sambil berkata, “Kaliankah yang baru saja meninggalkan kedai di dekat pemberhentian pedati itu?”

“Ya,” jawab Mahisa Murti.

Orang yang bertanya itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Jika demikian maka sebaiknya kalian kembali ke tempat itu.”

“Ada apa?” bertanya Mahisa Murti, “kami tidak mempunyai banyak waktu. Karena itu, maka sebaiknya kami tidak perlu memenuhi permintaanmu.”

“Kalian tidak mempunyai pilihan lain. Sebaiknya kalian memenuhi perintah kami,” berkata orang itu.

Mahisa Murti justru termangu-mangu sejenak. Namun Mahisa Pukat lah yang bertanya, “Siapa yang menghendaki kami kembali ke tempat itu?”

“Nyi Rantam. Perempuan yang disegani di tempat itu,” berkata orang itu.

Mahisa Murti dengan cepat menyahut, “Maaf Ki Sanak. Kami tidak dapat kembali.”

“Kalian harus kembali. Ki Liman Serapat telah menjadi tawanan kami. Jika kalian tidak mau kembali, maka Kiai Liman Serapat akan mati,” berkata orang itu.

Mahisa Murti dan saudara-saudaranya terkejut. Menurut penilaian mereka, Kiai Liman Serapat adalah orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka mereka tidak mengira bahwa ia akan demikian cepat menjadi tawanan. Karena itu, maka keterangan itu telah menggelitik Mahisa Murti dan saudara-saudaranya untuk melihat, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Meskipun ada keraguan, namun rasa-rasanya tidak akan ada salahnya jika mereka melihat keadaan Kiai Liman Serapat.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian menyahut, “Baiklah. Kita akan kembali.”

Mahisa Pukat agaknya masih ragu-ragu. Tetapi ia tidak mau membantah keputusan Mahisa Murti, sehingga karena itu, maka ia pun telah ikut melangkah kembali menuju ke tempat pemberhentian pedati, sekaligus merupakan tempat perdagangan yang cukup ramai.

Beberapa orang yang menyusul mereka telah berjalan di belakang kelima orang itu dengan sikap yang membuat Mahisa Pukat hampir saja kehilangan pengekangan diri. Mereka berjalan sambil menengadahkan wajah mereka. Langkah yang seakan-akan dibuat-buat, sehingga mereka memberikan kesan orang-orang yang sombong dan merasa diri mereka melampaui kebanyakan orang.

Untunglah bahwa Mahisa Pukat masih sempat menyadari apa yang sedang dihadapinya. Karena itu, maka ia pun telah memutuskan untuk berpura-pura tidak pernah melihat orang-orang itu berjalan dibelakangnya. Namun dalam pada itu perhatian Mahisa Pukat pun segera beralih kepada Mahisa Murti yang berdesis,

“Bagaimana mungkin hal itu terjadi atas orang tua itu. Ia agaknya disegani oleh beberapa pihak. Namanya dikenal oleh banyak orang. Agaknya tidak mungkin bahwa begitu mudahnya orang itu menjadi tawanan.”

“Ya,” jawab Mahisa Pukat, “memang menarik. Tetapi sikap orang-orang yang berjalan di belakang kita sangat memuakkan. Aku ingin memberikan sedikit peringatan kepada mereka jika mereka masih saja bersikap sombong.”

“Biarkan saja mereka,” berkata Mahisa Murti, “mungkin mereka merasa bahwa tanpa Kiai Liman Serapat maka mereka akan dapat berbuat apapun menurut keinginan mereka.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berdesis, “Agaknya ada sesuatu yang tidak wajar.”

“Ya. Karena itulah maka aku ingin melihatnya,” jawab Mahisa Murti.

“Aku mencemaskan Mahisa Semu dan paman Wantilan,”bisik Mahisa Pukat, “apalagi Mahisa Amping. Agaknya Kiai Liman Serapat berhadapan dengan orang-orang yang sangat licik.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan membagi diri. Aku akan mencari keterangan tentang Kiai Liman Serapat. Cobalah kau awasi saudara-saudara kita itu.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu mereka telah menjadi semakin dekat dengan tempat pemberhentian pedati itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah berjalan semakin cepat, sementara Mahisa Pukat masih saja berjalan dengan langkah seperti semula. Bahkan kemudian ia berada di antara saudara-saudaranya.

Orang-orang yang membawa mereka kembali itu tiba-tiba saja telah berjalan semakin dekat di belakang mereka. Karena Mahisa Murti berjalan lebih cepat, maka seorang di antara mereka membentak. “Cepat. Kenapa kalian tidak bersama-sama dengan kawanmu yang berjalan di depan itu?”

Mahisa Pukat hampir saja kehilangan kesabaran. Namun ia masih menahan diri. Katanya, “Jika kalian sekali lagi membentak-bentak seperti itu, maka aku akan mengoyak bibirmu.”

“Setan,” geram orang itu.

Mahisa Pukat tiba-tiba saja telah berhenti. Namun Mahisa Murti sempat berhenti pula dan berpaling, ”Mahisa Pukat. Bukankah kita sedang ditunggu.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun ia telah memaksa diri untuk berjalan terus. Ketika mereka sampai ke regol halaman tempat pemberhentian pedati yang luas itu, mereka tidak melihat kesan apapun.

Namun dua orang yang berdiri di dalam regol itu menyambut mereka sambil berkata, “Kiai Liman Serapat ada di serambi gandok di dalam seketheng.”

Mahisa Murti tidak menjawab. Ia pun melangkah langsung menuju seketheng dan melangkah masuk. Tiba-tiba saja langkah terhenti. Ia melihat seorang yang berbaring di pembaringan. Sementara itu, tiga orang yang bertubuh sedang, namun menunjukkan pancaran mata yang tajam, berdiri sambil menyilangkan tangannya di dadanya.

Demikian Mahisa Murti datang, maka perempuan yang sudah dikenalnya lebih dahulu itu keluar dari pintu butulan sambil berkata, “Anak itulah yang aku katakan kepada kalian, sehingga orang yang bernama Kiai Liman Serapat itu mencampuri persoalanku. Untunglah kalian kebetulan ada di sini, sehingga kalian dapat mengambil langkah melumpuhkan Kiai Liman Serapat.”

“Apakah kau keluarganya anak muda?” salah seorang dari ketiga orang itu bertanya.

Mahisa Murti menggeleng sambil menjawab. “Tidak. Aku baru mengenalnya di kedai itu.”

“Tetapi ia sudah membelamu,” berkata orang itu pula dengan nada berat.

“Ia orang yang baik menurut penilaianku,” jawab Mahisa Murti.

“Sekarang ia terbaring tanpa dapat berbuat sesuatu. Ia adalah tawanan kami. Jika kami memanggil kalian, maka mungkin ada pesan yang akan disampaikannya kepada kalian sebelum saat-saat terakhirnya,” berkata orang itu.

“Akan kau apakan orang itu?” bertanya Mahisa Murti.

“Ia adalah musuh lamaku. Aku tidak mengira bahwa ia akan mencari penghidupan dengan berdagang gerabah. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, banyak yang dapat dilakukannya. Tetapi ia memilih laku yang rendah itu,” jawab orang itu.

“Kau bawa dendam lamamu, atau kau anggap apa yang dilakukan itu sudah cukup alasan untuk menghukumnya?” bertanya Mahisa Murti.

Orang itu tertawa. Kedua orang yang lain pun tertawa pula. Mahisa Murti yang berdiri beberapa langkah dari serambi itu berdiri termangu-mangu. Sementara beberapa langkah di belakangnya, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan mengamati keadaan dengan penuh kewaspadaan. Hanya Mahisa Amping sajalah yang sempat memandang keadaan di sekelilingnya.

“Anak muda,” berkata orang yang berdiri di sebelah pembaringan, “apakah kalian berkeberatan jika kami membunuh Liman Serapat?”

“Apakah alasan pembunuhan itu?” bertanya Mahisa Murti.

“Apapun alasannya,” jawab orang itu. Namun katanya kemudian, “tetapi orang itu telah menolong kalian, sehingga kalian tidak mengalami kesulitan di kedai itu. Tanpa Kiai Liman Serapat, kalian sudah menjadi tontonan di halaman itu.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tak ada gunanya kau membunuhnya. Sebaiknya kalian menyelesaikan persoalan antara kalian dengan kami tanpa menyangkut Kiai Liman Serapat.”

Wajah orang itu menjadi tegang. Mereka tidak mengira bahwa anak muda itu akan berkata demikian. Namun orang itu masih juga berkata, “Kau mulai putus asa. Tetapi kau masih mempunyai jalan untuk menyelamatkan Kiai Liman Serapat.”

“Apa maksudmu?” bertanya Mahisa Murti.

“Bukankah kalian mempunyai sepasang pusaka yang menarik itu?” desis orang itu, “jika kalian menyerahkan pusaka itu, maka Kiai Liman Serapat akan kami bebaskan.”

Wajah Mahisa Murti menjadi tegang. Demikian pula Mahisa Pukat yang juga mendengar permintaan itu. Untuk beberapa saat kemudian justru berdiri mematung.

Namun tiba-tiba orang itu berkata, “Aku beri kalian kesempatan untuk berbicara dengan Kiai Liman Serapat. Mungkin kalian akan dapat membuat pertimbangan yang lebih mapan sehingga langkah yang akan kalian ambil tidak akan kalian sesali kemudian.”

Mahisa Murti berpikir sejenak. Namun orang itu telah membungkuk dan berbicara keras-keras ditelinga Kiai Liman Serapat, “Cobalah minta tolong kepada anak-anak itu. Aku bersedia menukar nyawamu dengan sepasang keris yang dibawanya itu.”

Tidak terdengar jawaban. Sementara orang itu berkata kepada Mahisa Murti, “Ia masih dapat berbicara. Tetapi suaranya sangat lemah. Ia masih mempunyai waktu beberapa saat, sebelum nyawanya akan meninggalkan tubuhnya. Tetapi jika kalian setuju dengan usul kami, maka kami mempunyai obat penangkal racun yang akan dapat menyembuhkannya.”

“Aku sudah mengira bahwa kalian dapat menguasai Kiai Liman Serapat dengan cara yang licik,” geram Mahisa Murti.

Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Sudahlah. Jangan kehabisan waktu. Aku beri kalian kesempatan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih ragu-ragu. Namun sementara itu orang-orang yang ada di sekitar Kiai Liman Serapat itu telah menyingkir menjauh untuk memberi kesempatan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendekat.

Sejenak kemudian, maka dengan hati-hati kedua orang anak muda itu telah berlutut di samping pembaringan Kiai Liman Serapat. Dengan lembut Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Apa yang terjadi Kiai?”

Dari tempat yang agak jauh salah seorang dari ketiga orang yang telah menawan Kiai Liman Serapat itu berteriak, “Kau harus berteriak keras-keras. Racun itu telah membuatnya agak tuli.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi tegang. Tetapi adalah diluar dugaan mereka sesuatu telah terjadi, sehingga keduanya menjadi sangat terkejut. Namun dengan cepat keduanya berusaha untuk menghapus kesan itu dari wajah mereka.

Diluar dugaan, terdengar Kiai Liman Serapat berbisik perlahan sekali, tetapi cukup jelas bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Jangan cemas. Aku tidak apa-apa. Lakukan sebagaimana diminta.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti pun berteriak “ Kiai, apa yang sudah terjadi?”

Terdengar ketiga orang itu tertawa. Juga perempuan yang menjadi sumber persoalan itu. Namun jawaban Kiai Liman Serapat, “Mereka telah meracun aku. Tetapi aku mempunyai penangkal racun itu, sehingga sebenarnya aku tidak terpengaruh karenanya. Namun dengan susah payah aku harus mengacaukan pernafasanku dan peredaran darahku untuk mengelabui mereka. Ternyata mereka bukan orang-orang yang berpenglihatan tajam meskipun mungkin mereka berilmu tinggi. Mereka tidak melihat bahwa aku berpura-pura.”

Jawaban itu demikian perlahan dan tersendat-sendat sehingga tidak ada orang lain yang mendengar kecuali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Apa jawabnya?” bertanya salah seorang dari ketiga orang itu.

Mahisa Murti memandang ketiga orang itu. Lalu katanya, “Jika kau ingin mendengar pembicaraan kami, mendekatlah. Kenapa kalian justru menjauh?”

“Kami ingin memberi kesempatan agar Kiai Liman Serapat berbicara terbuka kepada kalian tanpa takut bahwa kami akan mendengarnya. Mungkin tentang sepasang keris itu. Atau barangkali orang itu memang sudah berputus asa dan ingin mati.” jawab salah seorang dari ketiga orang itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam, sementara Mahisa Pukat berbisik, “Kita selesaikan mereka.”

“Tunggu,” desis Kiai Liman Serapat.

Mahisa Pukat termangu-mangu. Rasa-rasanya ia tidak sabar lagi untuk menunggu. Sikap ketiga orang itu sangat menyakitkan hatinya. Apalagi perempuan yang menjadi sebab dari persoalan yang timbul itu, yang disebut Nyi Rantam.

Tetapi Kiai Liman Serapat itu pun kemudian berkata, “Jangan tergesa-gesa anak muda. Biar mereka puas mentertawakan aku. Baru kemudian giliran kita mentertawakan mereka.” orang tua itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Tetapi berhati-hatilah. Agaknya ketiganya adalah orang-orang yang berilmu. Mereka mengetahui bahwa kalian berdua telah membawa sepasang keris yang menjadi buruan hampir setiap orang berilmu itu.”

“Ya Kiai,” jawab Mahisa Pukat.

“Sebaiknya kita berbicara saja sendiri. Biarlah mereka menunggu sampai saatnya mereka tidak sabar,” berkata Kiai Liman Serapat, “sementara itu, beri aku kesempatan memperbaiki pernafasanku serta peredaran darahku yang aku kacaukan sendiri. Dengan demikian, maka aku akan segera berada di tataran puncak dari kekuatan, kemampuan dan ilmuku.”

“Silahkan Kiai,” berkata Mahisa Murti, “kami akan menjaga Kiai.

“Aku tidak memerlukan waktu lama. Bahkan seandainya dalam keadaan seperti ini aku harus langsung bertempur, tidak akan banyak mempengaruhinya juga,” sahut orang itu.

Tetapi Kiai Liman Serapat pun segera bersemadi sambil berbaring. Dipusatkannya nalar budinya pada pernafasannya dan peredaran darahnya, sehingga perlahan-lahan peredaran nafas dan darahnya telah menjadi pulih kembali.

Sementara itu, ketiga orang itu mulai merasa curiga. Bahkan seorang di antara mereka berteriak, “He, apakah kalian sudah selesai?”

“Belum,” jawab Mahisa Murti, “sebentar lagi.”

“Apa ia menawarkan nyawanya untuk kalian tolong?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Ya,” jawab Mahisa Murti, “ia ingin nyawanya diselamatkan. Kiai Liman Serapat, masih ingin hidup.”

“Nah, rasakan kau orang sombong,” geram Nyi Rantam.

Sementara itu seorang di antara ketiga orang itu bertanya, “Jika demikian, apa jawabmu.”

“Aku tidak dapat melepaskan pusaka-pusaka kami,” jawab Mahisa Murti.

“Jika demikian, maka kami akan membiarkan orang itu mati. Sementara itu, kalian pun akan mati kemudian,” geram orang itu.

“Tidak,” jawab Mahisa Murti, “Kiai Liman Serapat tidak akan mati. Kami pun tidak akan membiarkan diri kami dibunuh.”

“Cepat. Ambil keputusan sebelum orang itu benar-benar mati,” teriak yang lain.

Tetapi Mahisa Pukat yang sudah tidak sabar lagi ia menjawab, “Tidak. Kiai Liman Serapat tidak akan mati, karena Kiai Liman Serapat tidak apa-apa.”

Jawaban Mahisa Pukat itu mengejutkan, sementara Kiai Liman Serapat sendiri tersenyum sambil berdesis, “Kau tidak sabar lagi anak muda.”

Ketiga orang itu memang terkejut. Ketiganya bergerak maju. Satu di antara mereka berkata. “Anak-anak muda. Minggirlah. Kami ingin melihat keadaan orang itu.”

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serentak bangkit berdiri sambil berkata, “Jangan mendekat lagi. Kami telah menjadi orang-orang bebas yang akan mampu melawan kalian jika kalian memaksakan pertempuran.”

“Setan kau,” geram seorang di antara mereka, “racun itu telah bekerja di tubuh Kiai Liman Serapat. Kau kira, ada obat yang dapat menyembuhkannya selain penangkalnya yang ada pada kami.”

“Omong kosong,” geram Mahisa Pukat, “jangan mencoba menipu dan menakuti-nakuti kami. Kiai Liman Serapat tidak apa-apa. Nafasnya dan peredaran darahnya sedikit dikacaukannya sendiri untuk mengelabui kalian. Sementara itu penglihatan kalian pun agaknya sudah menjadi kabur.”

Ketiganya tertegun sejenak. Tetapi salah seorang di antara ketiga orang itu berteriak, ”jangan berpura-pura. Itu hanya suatu sikap putus asa. Kiai Liman Serapat tentu akan mati.”

Tetapi ketiga orang itu benar-benar terkejut ketika mereka melihat Kiai Liman Serapat bangkit dari pembaringannya. Kemudian berdiri sambil menggeliat seperti seorang yang baru saja bangun dari tidurnya.

“Satu kesempatan untuk beristirahat,” berkata Kiai Liman Serapat.

Ketiga orang itu melangkah surut. Seorang di antara mereka berkata, “Iblis kau Serapat. Tetapi tidak ada penangkal racun itu kecuali yang ada pada kami.”

“Racun yang kau pergunakan itu adalah racun yang hanya akan membunuh nyamuk. Tetapi tidak akan membunuh orang seperti aku ini,” berkata Kiai Liman Serapat.

“Tetapi racun itu sangat keras,” salah seorang dari ketiga orang itu mulai gagap.

“Racun kalian itu bukan apa-apa. Kedua anak muda ini pun tidak akan mengalami kesulitan apa-apa seandainya mereka kau gores dengan ujung tongkat itu,” jawab Liman Serapat.

“Persetan, kalian,” geram salah seorang dari ketiga orang itu, “siapakah sebenarnya kalian.”

“Kau lihat, kami adalah pengembara,” jawab Mahisa Murti.

Ketiga orang itu memang menjadi tegang. Sementara Nyi Rantam menjadi ketakutan. Ternyata bahwa untuk melumpuhkan Kiai Liman Serapat tidak semudah yang mereka duga. Tiga orang yang dianggap orang berilmu tinggi itu pun masih dapat dikelabui oleh Kiai Liman Serapat. Mereka mengira bahwa Kiai Liman Serapat adalah tawanan mereka. Namun ternyata Kiai Liman Serapat itu tidak apa-apa. Orang itu sama sekali tidak menjadi lumpuh. Nafasnya tidak terputus-putus dan darahnya tidak mengalir tersendat-sendat.

Bahkan kemudian Kiai Liman Serapat itu telah bangkit seperti orang yang baru saja bangun dari tidurnya tanpa menunjukkan kesulitan apa-apa pada tubuhnya yang telah dikenai racun itu.

Sebenarnyalah Kiai Liman Serapat telah memulihkan keadaan tubuhnya dengan bersamadi. Bahkan bersamadi sambil berbaring. Ia sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk menata kembali pernafasan dan peredaran darahnya yang telah dikacaunya sendiri.

“Ki Sanak,” berkata Kiai Liman Serapat, “aku memang ingin mendapat pertolongan dari anak-anak muda ini. Aku tidak cemas untuk bertempur sendiri melawan kalian bertiga. Tetapi karena kalian adalah orang-orang berilmu tinggi, maka terus terang, aku agak ragu-ragu. Apakah aku dapat bertempur melawan kalian sendiri. Namun tiba-tiba anak-anak muda ini telah hadir. Mereka akan dapat bersamaku menyelesaikan persoalan kita. Ada satu keuntungan yang memaksa anak-anak muda itu berpihak kepadaku, karena kalian telah menginginkan sepasang keris yang dibawanya, meskipun seandainya kalian berhasil, maka kalian tentu akan saling bertempur untuk memperebutkannya, karena jumlah pusaka itu hanya dua, sedangkan kalian datang bertiga.”

“Kata-katamu ternyata lebih tajam dari racun yang menyuruk ke dalam tubuhmu,” geram salah seorang dari ketiga orang itu.

Kiai Liman Serapat tertawa. Katanya, “Tentu. Racunmu sama sekali tidak berarti apa-apa. Nah, sekarang kita berjumlah sama. Aku akan minta kepada anak-anak muda ini, agar saudara-saudaranya yang lain tidak mencampuri persoalan kita.”

“Setan kau,” geram salah seorang dari ketiga orang itu, “jangan menyesal jika kepalamu terpenggal di sini. Sebenarnya racun itu bagimu merupakan jalan kematian yang paling baik. Tenang, tenteram dan penuh kedamaian. Tetapi dengan bertempur, maka kau akan menempuh jalan kematian yang rumit.”

Kiai Liman Serapat tertawa. Katanya, “Sekedar untuk mengisi waktu. Aku sudah menjadi jemu menunggu uang gerabahku tapa berbuat sesuatu. Mari, kita pergi ke halaman depan agar kita mendapat ruang gerak yang lebih luas dari halaman kecil di belakang seketheng ini.”

Ketiga orang itu menjadi sangat marah. Bagaimanapun juga mereka adalah orang-orang yang merasa dirinya berilmu tinggi. Karena itu, maka mereka tidak mau direndahkan oleh orang yang meskipun bernama Kiai Liman Serapat.

Karena ketiga orang itu tidak beranjak dari tempatnya, maka Kiai Liman Serapat mengulanginya, “Marilah Tiga Serangkai dari Bukit Wadas. Atau barangkali ada orang yang menyebut kalian Sangga Langit Kinatelon atau barangkali kalian masih memiliki nama-nama lain yang lebih garang. Di halaman kita akan mendapat beberapa orang penonton. Barangkali permainan kita akan menjadi lebih bergairah daripada kita bermain di sini.”

“Persetan,” geram salah seorang dari mereka, “agaknya kau ingin mati di hadapan saksi-saksi. Marilah. Kita pergi ke halaman depan.”

Ketiga orang itu pun kemudian telah melangkah ke halaman depan rumah yang cukup besar itu. Halamannya pun cukup luas meskipun ada beberapa buah pedati yang berada di halaman itu.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Kiai Liman Serapat pun kemudian telah melangkah pula ke halaman. Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping berdiri agak jauh dari mereka. Bagaimanapun juga, di halaman itu masih ada beberapa orang yang mungkin akan dapat ikut campur. Beberapa orang yang telah menyusul perjalanan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu.

Sejenak kemudian, maka ketiga orang yang disebut Tiga Serangkai dari Bukit Wadas itu telah berdiri di halaman. Sementara Kiai Liman Serapat, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Liman Serapat, maka beberapa orang ternyata telah berada di sekitar halaman itu. Mereka melihat ketegangan yang terjadi. Dengan segera mereka pun mengerti, bahwa akan terjadi sesuatu di halaman itu.

Beberapa orang yang mengenal Kiai Liman Serapat tidak lebih dari penjual gerabah memang menjadi heran. Apa yang akan dilakukannya menghadapi orang-orang yang nampaknya memang orang-orang berilmu. Tetapi dua orang berwajah garang, yang bekerja bagi rumah penginapan itu telah berkata kepada orang-orang yang berdiri dekat mereka, “Orang itu Kiai Liman Serapat.”

“Apakah kau tidak mengigau?” bertanya seseorang.

“Lihat saja, apa yang dilakukannya,” jawab orang berwajah garang itu.

Namun ada di antara orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu yang mengenal Kiai Liman Serapat. Tetapi ada juga yang tidak. Karena itu, maka sikap orang-orang yang menyaksikan itu pun berdasarkan atas pengenalan mereka atas penjual gerabah itu.

Beberapa saat kemudian, maka Kiai Liman Serapat telah berkata, “Marilah Ki Sanak Sangga Langit Kinatelon. Apalagi yang kalian tunggu. Waktu kalian tentunya tidak banyak. Berbeda dengan aku. Aku memang harus berada di tempat ini sampai besok karena aku masih harus menunggu.”

“Kiai Liman Serapat. Apakah kau sudah kelaparan sehingga kau harus berjualan gerabah? Menurut pendengaranku Kiai Liman Serapat adalah orang berilmu tinggi. Kenapa kau tidak memilih pekerjaan yang lain yang lebih terhormat dari sekedar menjadi penjual gerabah saja?” bertanya salah seorang dari ketiga orang itu.

Tetapi Kiai Liman Serapat tertawa. Katanya, “Pekerjaan apapun baik asal tidak merugikan orang lain. Tidak melanggar paugeran dan tidak akan merusakkan lingkungan.”

“Persetan,” geram salah seorang di antara ketiga orang itu pula, ”bersiaplah. Kalian bertiga akan segera mati.”

Ketiga orang itu mulai bergerak. Tetapi dua di antaranya telah bergerak mendekati Mahisa Murti.

“Serahkan anak ini kepadaku,” desis yang seorang.

“Bunuh orang tua penjual gerabah itu, biarlah aku yang melawan anak ini dan sekaligus membunuhnya,” sahut yang lain.

“Kau lawan saja Liman Serapat,” bentak yang pertama, “Aku adalah saudara yang lebih tua darimu.”

Yang lain termangu-mangu. Tetapi ia pun kemudian mendekati orang yang berhadapan dengan Mahisa Pukat sambil berkata, “Bunuh Liman Serapat.”

“Kenapa tidak kau lakukan sendiri?” bertanya yang sudah berdiri berhadapan dengan Mahisa Pukat.

“Jangan membantah,” geram yang baru datang, “orang ini sangat berbahaya.”

“Selesaikan saja Kiai Liman Serapat,” jawab yang sudah berhadapan dengan Mahisa Murti.

Semula Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Kiai Liman Serapat agak menjadi bingung. Mereka semula mengira bahwa orang-orang itu merasa segan bertempur melawan Kiai Liman Serapat. Tetapi ternyata alasannya adalah lain. Mereka berebut bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, karena keduanya membawa masing-masing pusaka yang sedang diperebutkan oleh orang-orang berilmu tinggi itu.

Kiai Liman Serapat yang menyadari hal itu tiba-tiba saja telah tertawa sambil berkata, “Ternyata aku salah duga. Aku merasa diriku terlalu besar. Aku kira kalian takut melawan aku, sehingga kalian berebut menghindar. Tetapi ternyata kalian mempunyai pamrih lain atas anak-anak muda itu. Nah, jika demikian lebih baik kalian saling membunuh lebih dahulu, sehingga dua yang tersisa hidup akan bertempur melawan kedua anak muda itu. Biarlah yang sudah mati melawan aku.”

“Cukup,” bentak yang tertua di antara ketiga orang itu, “baiklah. Ternyata sikap kami telah membuat hatimu berkembang. Tetapi tidak. Aku memang menganggap lebih baik membunuhmu daripada mengambil keris-keris itu dari tangan anak-anak muda itu. Biarlah kedua orang saudaraku membunuh mereka dan mendapatkan keris itu.”

“Lalu, jika kau berhasil membunuhku, apa yang akan kau dapatkan?” bertanya Kiai Liman Serapat.

“Tentu ada,” jawab orang itu, “kau mempunyai penangkal racun. Apapun yang kau pergunakan, tetapi penangkal racun itu sangat penting artinya bagiku.”

“Penangkal racun itu tentu akan kau pergunakan untuk meracuni saudara-saudaramu,” berkata Kiai Liman Serapat.

“Bagaimana mungkin hal seperti itu terjadi. Penangkal racun itu dipergunakan hanya untuk menangkal racun. Tidak untuk meracuni orang lain seperti yang kau katakan itu,” berkata orang tertua itu.

“Tentu mungkin saja. Kalian bertiga makan bersama atau minum bersama atau apapun yang kalian lakukan, maka kau yang memiliki penangkal racun dapat minta kepada orang lain atau kau lakukan sendiri dengan meracuni semua makanan, termasuk yang akan kau makan,” berkata Kiai Liman Serapat.

“Tutup mulutmu,” bentak orang itu, “mulutmu memang lebih tajam dari racun yang manapun juga. Karena itu, maka kau harus segera dibinasakan.”

Kiai Liman Serapat bergeser selangkah. Ia melihat orang yang tertua itu sudah mengambil ancang-ancang. Agaknya ia akan menyerang dengan langsung. Sebenarnyalah yang diduga, maka orang itu pun kemudian telah meloncat menyerang. Bukan saja menjajagi kemampuan lawannya. Tetapi serangan itu benar-benar serangan yang mengarah ke dada.

Jika saja serangan itu mengenai, maka Kiai Liman Serapat tentu akan benar-benar sulit bernafas dan bahkan mungkin tulang-tulang iganya berpatahan. Tetapi karena Kiai Liman Serapat sudah benar-benar bersiap, maka ia pun dengan tangkas pula menghindari serangan itu. Bahkan ia pun telah menyusul dengan cepat, menyerang ke arah tengkuk.

Tetapi Kiai Liman Serapat juga tidak segera berhasil. Lawannya itu pun dengan tangkas menghindar. Namun dalam waktu sekejap orang itu telah menyerang Kiai Liman Serapat kembali. Serangannya kemudian datang membadai, menyambar-nyambar Kiai Liman Serapat. Tetapi pertahanan Kiai Liman Serapat sama sekali tidak segera goyah oleh serangan orang yang menjadi sangat marah itu.

Dengan demikian, maka pertempuran antara Kiai Liman Serapat dengan orang tertua di antara tiga orang seperguruan itu telah menjadi semakin sengit. Orang yang merasa dirinya juga berilmu tinggi itu telah melibat dengan segenap kemampuannya. Agaknya ia memang ingin segera menyelesaikan pertempuran itu. Namun Kiai Liman Serapat yang lebih dikenal sebagai pedagang gerabah itu mampu mengimbanginya. Bahkan sama sekali tidak banyak mengalami kesulitan.

Sementara itu dua orang yang telah menghadapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bersiap pula. Mereka pun ingin segera menyelesaikan lawan-lawan mereka. Karena itu, maka mereka pun telah menarik senjata masing-masing. Sejenis pedang yang tajam di kedua sisi. Ujungnya runcing seperti ujung duri.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bergeser saling menjajuhi. Namun keduanya pun tidak ingin mengalami kesulitan karena lawannya bersenjata. Karena itu, maka keduanya pun telah menarik senjata mereka. Keris yang ukurannya terlalu besar, sehingga baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat lebih senang menyebutnya pedang.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum mengerahkan kemampuannya, sehingga yang nampak adalah sebilah keris yang terbuat dari besi baja pilihan, bercahaya kehijau-hijauan. Namun keris itu masih belum nampak menyala dan memancarkan lidah api yang menggetarkan jantung. Meskipun demikian cahaya yang memang memancar dari besi baja pilihan serta pamornya yang jarang ada duanya itu, telah membuat lawan-lawan mereka berdebar-debar.

Tetapi keris-keris itu memang menarik untuk dimiliki. Dengan pusaka itu, maka mereka akan menjadi semakin disegani. Tetapi mereka pun sadar, bahwa lawan-lawan mereka yang memiliki pusaka-pusaka itu pun tentu memiliki kelebihan justru karena mereka menggenggam dan mempergunakannya.

“Namun bagaimanapun juga, kelebihan manusianya akan ikut menentukan,” berkata orang-orang yang ingin merebutnya itu di dalam hati.

Sehingga dengan demikian maka mereka sama sekali tidak ingin melangkah surut. Persoalan yang mereka hadapi bukan lagi untuk menyingkirkan Kiai Liman Serapat yang telah mencampuri persoalan Nyi Rantam yang marah, tetapi satu perjuangan untuk merebut pusaka-pusaka itu dari tangan anak-anak muda yang mengaku sebagai pengembara itu..Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah terlibat dalam pertempuran yang cepat dan keras.

Dalam pada itu, lawan Mahisa Pukat itu masih sempat berdesis, “Sebaiknya kau serahkan saja keris itu agar kau masih akan dapat keluar dari halaman rumah ini. Meskipun pusaka itu memiliki kelebihan dari jenis senjata apapun, tetapi segala sesuatunya masih juga tergantung orang yang memegangnya. Betapapun tingginya nilai sebuah pusaka, tetapi jika orang yang memiliki tidak memiliki kelebihan yang mendukung nilai dari pusaka itu, maka pusaka itu tidak akan banyak berarti.”

“Aku sependapat,” jawab Mahisa Pukat, “karena itu, jangan mencoba merampas pusaka-pusaka ini, karena kalian tidak akan mampu melakukannya. Tanpa pusaka ini pun kau tidak akan dapat mengalahkan aku. Apalagi di tanganku sekarang tergenggam pusaka yang dahsyat ini.”

“Kau jangan terlalu sombong,” geram orang itu.

“Tidak. Sebenarnya aku masih ingin mencegah pertempuran ini, karena dalam pertempuran ini, kau tidak akan mendapat kesempatan apapun juga. Bahkan kesempatan untuk mempertahankan diri,” sahut Mahisa Pukat.

“Agaknya kau memang belum pernah mendengar nama Sangga Langit Kinatelon. Kami adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi yang diakui oleh banyak orang yang berilmu tinggi sekalipun,” berkata orang itu dengan garang.

Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Baiklah. Kita akan membuktikan, apakah benar bahwa kau adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia pun telah meloncat sambil menjulurkan pedangnya. Namun Mahisa Pukat telah siap menghadapinya. Karena itu, maka ia pun telah bergeser selangkah surut. Ujung pedang itu masih sejengkal dari dada Mahisa Pukat. Tetapi orang itu tidak menarik pedangnya. Bahkan ia telah bergeser dengan cepat menggapai sasarannya.

Mahisa Pukat pun harus bergerak cepat. Ia tidak meloncat surut lagi. Tetapi ia justru menangkis serangan itu. Dengan kuat pedang yang terjulur itu telah dipukulnya menyamping.

Lawan Mahisa Pukat itu terkejut. Pukulan pedang Mahisa Pukat ternyata demikian kuatnya, sehingga hampir saja pedang orang itu terlepas dari tangannya. Tetapi ternyata ia masih mampu mempertahankannya meskipun telapak tangannya kemudian terasa sangat pedih.

“Setan kau,” geram orang itu. Lalu katanya, “Jika ujung pendangku mampu menggapaimu dengan goresan setebal rambut, maka racun yang melekat ditubuhmu akan mengikuti arus darahmu dan menghentikan kerja jantungmu.”

“Racunmu tidak dapat membunuh Kiai Liman Serapat,” sahut Mahisa Pukat.

“Orang itu mempunyai penangkal racun yang tidak ada duanya,” jawab lawan Mahisa Pukat.

“Ia akan dapat mengobati aku jika tubuhku tergores racunmu,” desis Mahisa Pukat.

Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Kau tidak akan sempat melakukannya. Jadi apa artinya keterangan Kiai Liman Serapat bahwa kalian pun tidak akan dapat dibunuh dengan racun?”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika aku terkena racunmu lebih dahulu dari pengobatan itu, maka aku akan kehilangan waktu. Tetapi aku sudah mendapatkan penangkal racun itu lebih dahulu,” jawab Mahisa Pukat.

Wajah lawannya menjadi tegang. Namun tiba-tiba tanpa berbicara lagi, maka ia pun telah meloncat sambil mengayunkan pedangnya mendatar. Namun Mahisa Pukat sudah bersiap untuk melayaninya. Karena itu, maka serangan itu dengan cepat pula dapat dihindarinya.

Tetapi orang itu kemudian justru berteriak, “Kau berbohong. Kau akan mati karena racun. Aku melihat kau datang, mendekati Kiai Liman Serapat yang berbaring dan kemudian turun ke halaman. Tidak ada kesempatan untuk memberikan obat itu kepadamu. Karena itu, maka kau harus mati. Racunku akan membunuhmu.”

Tetapi sambil berloncatan Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya, “Jika demikian, maka penangkal racun itu adalah milikku sendiri, sehingga racun kalian tidak akan berarti apa-apa bagiku sebagaimana bagi Kiai Liman Serapat. Demikian pula saudaraku itu tidak akan dapat kau bunuh dengan racun apapun juga.”

“Setan kau,” geram lawannya yang menyerangnya semakin cepat.

Mahisa Pukat tidak menjwab lagi, serangan lawannya semakin lama menjadi semakin cepat. Pedangnya berputaran menyambar-nyambar. Tetapi Mahisa Pukat pun mampu mengimbanginya. Ia bergerak tidak kalah cepatnya dari lawannya. Setiap serangan dapat dihindarinya. Bahkan jika Mahisa Pukat sempat menangkis serangan pedang lawannya, maka lawannya selalu merasakan betapa besarnya kekuatan anak muda itu. Tetapi pertempuran itu semakin lama masih juga meningkat semakin cepat. Keduanya bagaikan berterbangan berputaran sambil mengayun-ayunkan senjata mereka masing-masing.

Di sisi yang lain, Mahisa Murti pun telah bertempur pula melawan salah seorang di antara ketiganya yang disebut Sangga Langit Kinatelon itu. Tetapi seperti Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti masih selalu mampu mengimbangi kecepatan gerak lawannya. Bahkan semakin lama Mahisa Murti justru nampak menjadi semakin cepat bergerak. Sementara benturan-benturan yang terjadi menunjukkan bahwa kekuatan Mahisa Murti justru menjadi semakin lama semakin besar, sehingga melampaui kekuatan lawannya itu. Dengan demikian maka lawan Mahisa Murti itu justru menjadi semakin gelisah.

Tetapi satu hal yang belum diketahui oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah, bahwa ujung-ujung pedang lawan-lawannya itu dapat terjulur seperti lidah seekor ular. Ujungnya yang runcing seperti duri itu mampu menjadi lebih panjang. Jari-jari tangan yang menggenggam hulu pedang itu dapat mengatur dengan cepat, agar ujung pedang yang runcing itu memanjang.

Meskipun tidak terlalu panjang, tetapi cara itu dapat mengelabui lawannya yang merasa bahwa ia telah bergeser mengambil jarak yang cukup. Namun ternyata ujung pedang yang terjulur itu masih mampu menggapainya. Dalam pada itu, ketika kedua orang lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu semakin terdesak, maka mereka telah mempergunakan cara yang tersembunyi itu untuk mengacaukan pertahanan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Bahkan ketika Mahisa Pukat harus bergeser menghindari sambaran pedang lawannya ke samping, maka ia terkejut. Menurut perhitungannya, Mahisa Pukat telah terlepas dari jangkauan pedang lawannya itu. Namun ternyata lengannya telah tergores ujung pedang yang seruncing duri itu.

Demikian lawannya berhasil menggoreskan ujung pedangnya, maka lawan Mahisa Pukat itu segera meloncat surut sambil berkata, “Nah, hari-harimu sudah berakhir.”

Tetapi Mahisa Pukat justru tersenyum. Katanya, “Lukaku tidak seberapa. Goresan ujung pedangmu tidak dapat mengoyakkan dagingku. Hanya selapis tipis kulit luarku.”

“Sudah aku katakan, racun ujung pedangku terlalu tajam,” berkata orang itu.

Tetapi Mahisa Pukat menjawab, “Racunmu tidak berarti apa-apa bagiku. Bukankah sudah aku katakan.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi tegang. Sementara itu, ia sama sekali tidak melihat pengaruh racunnya itu. Karena itu, maka ia pun segera meloncat menyerang sambil berkata, “Jika kau mencoba melawanku, maka setiap gerakmu telah mempercepat menjalarnya racun di ujung pedangku.”

Mahisa Pukat bukan saja tersenyum. Tetapi ia justru tertawa sambil berkata, “Kau masih saja bermimpi. Racunmu tidak berarti apa-apa. Kau dengar?”

Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Ia pun segera menyerang dengan garangnya. Pedangnya menyambar-nyambar. Bahkan pedang itu menjadi sangat berbahaya karena ujungnya dapat terjulur memanjang seperti lidah seekor ular ular yang mampu mematuk lawannya.

Mahisa Pukat tidak terlalu banyak menghiraukan racun itu. Tetapi ujung pedang yang mampu terjulur itu kadang-kadang memang sangat mengejutkannya. Bahkan tubuhnya telah tergores sekali lagi. Pundaknyalah yang kemudian terluka segores memanjang meskipun tidak dalam.

Goresan itu memang tidak berbahaya bagi Mahisa Pukat. Tetapi ketika keringatnya menyentuh luka itu, ia merasa disengat oleh perasaan pedih. Sehingga dengan demikian maka Mahisa Pukat pun mulai digelitik oleh perasaan marah. Karena itulah, maka Mahisa Pukat pun telah mempercepat tata geraknya. Pedangnya berputaran semakin cepat. Namun ia harus menjadi semakin berhati-hati, karena pedang lawannya memang menjadi sangat berbahaya baginya.

Namun Mahisa Pukat tidak ingin dilukai lebih banyak lagi. Karena itu maka ia tidak saja mempergunakan tenaga wanitanya. Mahisa Pukat mulai merambah kepada ilmunya, sehingga dengan demikian, maka lawannya merasakan perubahan pada keseimbangan pertempuran itu. Pedangnya yang setiap kali terjulur memanjang tidak lagi mampu menggapai tubuh Mahisa Pukat yang bergerak semakin cepat.

Sementara itu Mahisa Murti pun bertempur dengan sengitnya pula. Lawannya juga memiliki senjata sebagaimana lawan Mahisa Pukat. Bahkan kulit Mahisa Murti pun telah tergores oleh ujung pedang yang dapat terjulur memanjang itu. Namun seperti Mahisa Pukat, maka luka itu sama sekali tidak berpengaruh meskipun terasa pedih.

Ketika lawannya melihat luka di tubuh Mahisa Murti itu, maka ia pun telah berkata, “Ujung pedangku beracun.”

Tetapi Mahisa Murti menjawab, “Racun tidak akan mampu membunuhku sebagaimana tidak mampu membunuh Kiai Liman Serapat.”

Lawannya memang ragu-ragu. Tetapi setelah beberapa saat mereka bertempur, ternyata luka itu memang tidak berpengaruh sama sekali. Karena itu, maka lawannya pun menyadari, bahwa Mahisa Murti memang memiliki kemampuan untuk menangkal racun sebagaimana Kiai Liman Serapat. Dengan demikian maka lawan Mahisa Murti tidak bertumpu kepada kekuatan racunnya, ia berusaha melibat lawannya dengan pertempuran yang cepat, agar dalam kekalutan gerak itu, ujung pedangnya yang dapat terjulur itu mampu menggapainya...

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 81

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 81
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA MURTI yang telah memegang jala itu pun segera turun ke sungai. Disangkutkannya bagian jala itu disiku tangan kanannya, kemudian tangan kirinya memegang bagian dari lingkar jala itu, dan dengan tangkas ditebarkannya ke dalam 

Ternyata jala itu dapat mekar seperti payung dan jatuh ke dalam air yang agak dalam. Perlahan-lahan Mahisa Murti menarik tali jala itu, sehingga akhirnya jala itu pun menjadi kuncup seperti payung yang tertutup.

Ketika Mahisa Murti membawa jala itu menepi, maka sebenarnyalah ia mendapat beberapa ekor ikan. Agaknya di sungai itu memang banyak terdapat ikan, karena jarang sekali orang yang turun untuk mencari ikan di sungai yang kecil itu.

Mahisa Murti telah melemparkan ikan-ikan itu kembali ke sungai sambil berkata, “Nah Ki Sanak. Aku adalah anak yang tumbuh menjadi besar di tepi sebuah sungai yang juga tidak terlalu besar.”

Wajah orang itu menegang sejenak. Namun kemudian ia pun terseyum sambil berkata, “Ternyata kau dapat juga mempergunakan jala anak muda.”

“Ya. Aku memang dapat. Kaulah yang tidak dapat,” berkata Mahisa Murti sambil mengembalikan jala itu.

Orang itu menerima jalanya. Tetapi masih saja tersenyum. Kemudian katanya, “Sudahlah. Kita tidak sedang berlomba mempergunakan jala. Karena itu, sebaiknya aku pergi saja.”

Mahisa Murti mengangguk. Tetapi ia berkata, “Malam nanti aku masih ada di tepian. Aku pun terbiasa juga menebarkan jala di malam hari.”

“Baiklah,” berkata orang itu, “jika aku memerlukanmu malam nanti, maka aku akan datang.”

“Aku tunggu kedatanganmu,” jawab Mahisa Murti.

Orang itu pun kemudian telah meninggalkan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Mahisa Murti bahkan telah yakin, bahwa orang itulah yang telah bersembunyi di dalam rimbunnya daun preh semalam.

Sementara itu, langit pun menjadi semakin buram. Kelima orang itu memang memerlukan meninggalkan tepian sejenak untuk pergi ke kedai. Namun kemudian mereka pun telah kembali ke tepian itu lagi.

Kepada saudara-saudaranya Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Menurut perhitunganku ia akan datang. Tetapi tidak sendiri.”

“Ya,” jawab Mahisa Pukat, “ia akan membawa kawan-kawannya atau saudara-saudaranya seperguruannya.”

Seperti malam sebelumnya, maka keempat orang itu pun telah mengatur pembagian tugas mereka. Mahisa Murti dan Wantilan akan berjaga-jaga lebih dahulu. Baru kemudian, setelah tengah malam, Mahisa Pukat bertugas bersama Mahisa Semu.

“Kapan aku berjaga-jaga?” bertanya Mahisa Amping.

“Menjelang pagi,” jawab Mahisa Semu dengan serta merta.

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Menjelang pagi aku akan berjaga-jaga.”

Sementara itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah mencari tempat untuk berbaring. Sementara Wantilan yang bertugas bersama dengan Mahisa Murti telah memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Ia yakin bahwa orang itu tidak akan datang sebelum mendekati tengah malam. Karena itu, maka ia pun telah mencoba untuk meningkatkan ilmu pedangnya dibawah tuntunan Mahisa Murti.

“Tetapi kita tidak boleh tenggelam dalam latihan,” berkata Mahisa Murti.

“Hanya sebentar, aku ingin memecahkan satu persoalan dalam unsur gerakku,” berkata Wantilan.

Sebenarnyalah dengan bantuan Mahisa Murti, Wantilan telah mampu memecahkan satu persoalan kecil pada unsur geraknya. Namun dengan demikian, maka ia telah mampu mengembangkan beberapa unsur lainnya dengan baik dan cepat.

Namun kemudian Mahisa Murti pun telah menghentikannya. Katanya, “Kemarilah, paman. Kita lihat unsur gerak itu dengan cara lain.”

Wantilan pun kemudian telah duduk berhadapan dengan Mahisa Murti. Dengan beberapa goresan di pasir, Mahisa Murti memberikan beberapa petunjuk kepada Wantilan. Tetapi karena malam terasa terlalu gelap, maka ia tidak dapat melihat petunjuk Mahisa Murti dengan jelas. Tetapi Mahisa Murti memang minta Wantilan menghentikan latihan-latihannya.

“Kenapa?” bertanya Wantilan.

“Ilmu paman Wantilan belum terlalu tinggi,” jawab Mahisa Murti,”jangan sampai terbaca oleh lawan. Bahkan sebaliknya dalam pertempuran yang sungguh-sungguh, sekali-sekali paman harus menunjukkan sesuatu yang dapat mengejutkan lawan. Karena itu, maka bertempur yang paling baik adalah, tidak sekedar mempergunakan ilmu yang telah kita miliki, tetapi juga harus mampu menentukan sikap yang bahkan kadang-kadang dengan tidak sengaja mampu mengembangkan ilmu kita.”

Wantilan mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya keterangan Mahisa Murti itu. Karena itulah, maka ia pun telah benar-benar berhenti berlatih.

“Kita sekarang benar-benar mengamati keadaan, paman,” berkata Mahisa Murti.

Wantilan mengangguk kecil. Ia pun segera menempatkan dirinya, duduk bersandar sebongkah batu padas. Dalam pada itu, Mahisa Murti masih sempat merenungi pusaka yang diketemukannya itu. Hampir diluar sadarnya, ia telah mencabut keris itu dari sarungnya dan memperhatikannya dengan saksama.

Dalam gelapnya malam, Mahisa Murti melihat bagaikan kilatan-kilatan debu lembut ditebarkan di atas daun keris itu. Tanpa dukungan kekuatan ilmu apapun, taburan debu di atas daun keris itu memang sudah memancarkan warna kehijauan. Karena itu, maka dalam keadaan puncak kekuatan yang dapat tersalur pada keris itu, maka cahaya itu bagaikan lidah api yang memancar menyilaukan.

“Betapa tamaknya manusia,” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya, “seseorang mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan sesuatu yang dianggapnya akan dapat memberikan keberuntungan, kekuatan dan tentu juga kekuasaan. Kenapa mereka tidak menyadari bahwa jika mereka mati, semuanya itu tidak akan berarti lagi?”

Terbersit satu pikiran untuk mengembalikan keris itu. Dengan sengaja diperlihatkan kepada seseorang bahwa keris itu telah kembali kepada pemiliknya, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terlepas dari libatan putaran kematian itu.

“Tetapi bagaimana jika masih saja ada orang yang tidak percaya bahwa keris itu tidak ada lagi di tangan kami?” pertanyaan itu telah muncul pula di dalam hatinya.

Memang ada semacam penyesalan bahwa keris itu telah diambilnya dari kuburnya. Namun waktu itu ia dan Mahisa Pukat sama sekali tidak mengira akan timbul akibat yang pahit seperti itu. Seperti Mahisa Pukat yang mempunyai perasaan yang sama, ia tidak mencemaskan tentang nyawa mereka sendiri. Tetapi membunuh dan membunuh setiap hari, bukannya satu kerja yang menyenangkan, meskipun ia sadar, bahwa hal itu bukan karena kesalahannya.

Mahisa Murti itu kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ditebarkannya penglihatannya ke kegelapan. Namun ketajaman matanya sama sekali tidak menangkap gerak apapun juga. Bahkan anginpun rasa-rasanya telah diam dan tidur nyenyak.

Sampai tengah malam tidak ada sesuatu yang menarik perhatian. Sebelum membangunkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, sekali lagi Mahisa Murti masih berpesan, “Hati-hatilah dengan orang yang siang tadi membawa jala. Ia memiliki aji Gelap Ngampar. Ia dapat menyerang kita dengan lontaran bunyi. Mungkin dengan suara tertawanya seperti yang penah kita dengar. Tetapi mungkin dengn memanfaatkan bunyi yang lain. Untuk itu, maka kita dapat menyumbat saluran yang dapat menerima getaran bunyi dan menyerang bagian dalam tubuh kita.”

“Telinga, maksudmu?” bertanya Wantilan.

“Ya paman. Mungkin kita dapat menyumbat dengan sepotong kain atau apapun yang mungkin kita pergunakan. Sebab tangan kita kemungkinan besar akan kita pergunakan untuk melindungi tubuh kita ini dari serangan secara kewadagan,” sahut Mahisa Murti.

“Bagaimana dengan Mahisa Amping?” bertanya Wantilan.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. “Ia memerlukan sesuatu,” desisnya. Namun kemudian, “Jika perlu, biarlah kita mempergunakan sesobek kain kita sendiri. Tetapi jika masih ada waktu sampai esok, kita dapat mencari sebatang pohon kapuk randu jika sedang berbuah, atau kita membuat serat dari klika kayu waru atau sebangsanya. Kita akan menjemurnya dan melembutkannya.”

Wantilan mengangguk-angguk. Sementara itu malam pun telah melampaui pertengahannya, sehingga Mahisa Murti kemudian telah membangunkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, untuk mendapat giliran berjaga-jaga.

Tetapi ternyata Mahisa Murti dan Wantilan tidak sempat mendapat giliran untuk beristirahat. Selagi keduanya berbaring maka telah terdengar suara tertawa dikejauhan. Hanya terdengar lamat-lamat sekali. Mahisa Murti pun segera bangkit. Demikian pula Wantilan.

“Nah,” berkata Mahisa Murti, “kau dengar suara itu?”

“Ya,” jawab Wantilan, “tetapi tidak terasa sesuatu yang lain.”

“Itu adalah suara wajarnya. Kita pun tahu pasti darimana arah suara itu. Tetapi itu tentu baru satu permulaan dari sebuah serangan yang keras,” jawab Mahisa Murti.

Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, “Tutup telinga kalian. Tetapi sebaiknya jangan dengan jari-jari tangan. Jika yang datang itu lebih dari seorang, kita memang harus bertempur. Lawan kita adalah lawan dalam ujud kewadagan, dan lontaran ilmu yang akan langsung menyerang bagian dalam tubuh kita.”

Ternyata Mahisa Pukat tidak menunggu. Ia pun telah memberikan contoh kepada yang lain untuk mengoyak ujung dari kain panjangnya dan kemudian menyumbat telinganya.

“Bangunkan Mahisa Amping,” berkata Mahisa Murti.

Ketika mereka mulai membangunkan Mahisa Amping, maka suara tertawa itu sudah mulai berubah. Suara itu arahnya mulai menjadi kabur. Sementara itu, getarannya mulai mengetuk telinga.

Mahisa Amping yang terbangun terkejut. Namun dengan cepat Mahisa Semu telah menyumbat telinganya sambil berkata, “Jangan dengarkan suara itu.”

Mahisa Amping masih sempat mendengar suara Mahisa Semu. Namun kemudian, telinganya pun telah tersumbat dengan rapat. Untuk beberapa saat mereka terbebas dari suara itu. Mereka memang tidak mendengar sesuatu. Namun ternyata ilmu itu demikian tajamnya, sehingga perlahan-lahan suara itu bagaikan mulai menyusup di antara kain yang menyumbat telinga mereka. Dengan demikian maka mereka harus menutup telinga mereka dengan tangan-tangan mereka pula.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha dengan kemampuan mereka untuk mencari darimanakah asal suara itu. Namun ternyata tidak semudah yang mereka lakukan di malam sebelumnya. Dalam keadaan demikian, maka dua orang tiba-tiba saja telah datang dari dalam kegelapan. Keduanya berjalan saja sesukanya. Bahkan keduanya masih sempat berbincang yang satu dengan yang lain. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Satu di antara kedua orang itu adalah orang yang dilihatnya menyusuri sungai itu sambil membawa jala.

“Jika demikian, tentu ada orang lain lagi,” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya, “orang yang tertawa itu. Tetapi agaknya mereka seperguruan.”

Namun Mahisa Murti segera mengetahui, bahwa mereka harus bertempur melawan kedua orang yang datang itu, sementara dari kejauhan seseorang telah menyerang mereka dengan kekuatan aji Gelap Ngampar. Tetapi sudah tentu Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat tidak akan dapat menolak cara itu. Bahkan cara apapun yang akan dipergunakan oleh lawan-lawan mereka.

“Selamat malam anak-anak muda,” berkata salah seorang di antara kedua orang itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak begitu mendengar suara orang itu, karena keduanya telah menutup telinga mereka dengan sesobek kain. Karena kedua orang anak muda itu tidak menjawab, maka orang-orang itu pun mengetahui bahwa anak-anak muda itu telah menutup telinga mereka agar tidak terganggu oleh ilmu Gelap Ngampar, meskipun ternyata suara tertawa itu masih juga mereka dengar meskipun hanya lamat-lamat.

Kedua orang itu pun tiba-tiba saja telah tertawa. Meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mendengarnya tetapi menilik sikapnya, keduanya tahu bahwa orang-orang itu telah mentertawakan mereka. Karena itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan isyarat, maka Mahisa Murti telah mengajak Mahisa Pukat untuk dengan cepat memasuki pertempuran apapun yang terjadi, sementara suara tertawa itu tentu masih akan menjadi semakin keras.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah dengan serta merta mencabut kerisnya. Demikian Mahisa Pukat melihatnya, maka ia pun telah melakukannya pula. Tanpa bertanya dan berbicara apapun, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mulai menyerang lawan-lawan mereka.

Kedua orang itu memang tidak mengira dengan tiba-tiba saja kedua orang anak muda itu telah menyerang. Namun mereka pun kemudian menyadari, bahwa pilihan itulah satu-satunya yang dapat mereka lakukan. Karena itu, maka kedua orang itu pun telah meloncat surut. Namun setelah mereka menggenggam senjata mereka di tangan, maka mereka pun telah berdiri tegak untuk menyongsong kedua orang anak muda itu.

Sementara itu serangan ilmu Gelap Ngampar itu pun semakin lama menjadi semakin tajam. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah dua orang anak muda yang berilmu tinggi. Apalagi mereka telah menutup telinga mereka dengan sesobek kain sehingga getaran yang menusuk ke dalam dadanya lewat telinganya hanya terbatas sekali. Namun ketajaman ilmu itu, benar-benar terasa sangat mengganggu pemusatan nalar budinya. Sebagian perhatian mereka ditujukan untuk tetap mengerahkan daya tahannya. Sementara mereka pun harus memperhatikan lawan mereka yang siap dengan senjata di tangan.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah terlibat dalam pertempuran. Kedua orang yang datang dari kegelapan itu melibat keduanya dengan dahsyatnya, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja merasa terganggu oleh getaran kekuatan ilmu Gelap Ngampar itu betapapun lemahnya. Namun agaknya ilmu itu telah dilontarkan oleh orang yang memiliki ilmu Gelap Ngampar hampir sempurna.

“Menyerahlah,” berkata lawan Mahisa Murti.

Tetapi Mahisa Murti tidak mendengar. Karena itu, ia tidak menjawab sama sekali. Bahkan kerisnya mulai memancarkan lidah api yang berwarna kehijauan. Dalam pada itu, kedua orang lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu menyadari, bahwa mereka sebaiknya tidak bertempur di satu arah. Mereka harus berada pada jarak yang cukup, serta arah yang berbeda. Dengan demikian, maka kedua orang anak muda itu tentu memerlukan waktu untuk dapat menyerang salah seorang di antara mereka bersama-sama.

Nampaknya kedua orang itu benar-benar telah mempersiapkan diri menghadapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Keduanya tidak ingin mengalami kegagalan sebagaimana mereka yang lebih dahulu berusaha untuk memiliki sepasang keris itu.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun agaknya benar-benar bertekad tidak akan menyerahkan sepasang keris itu kepada orang lain, apapun yang terjadi atas diri mereka. Keduanya merasa bahwa mereka telah mendapat kepercayaan untuk menyimpan dan memelihara sepasang keris yang memiliki kekuatan yang sangat besar itu. Karena itu, maka pertempuran pun menjadi semakin lama semakin sengit.

Tetapi ternyata terasa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa kedua orang itu selalu berusaha menghindarkan diri dari setiap benturan senjata. Tetapi kedua orang itu telah berusaha dengan kecepatan geraknya untuk dapat menggapai tubuh anak-anak muda itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mampu mengimbangi kecepatan gerak mereka, sehingga usaha kedua orang itu tidak segera berhasil.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata tidak dapat menghindarkan diri dari pengaruh suara tertawa yang dilontarkan dengan lambaran ilmu Gelap Ngampar yang sangat kuat. Selagi ia mengerahkan perhatiannya kepada lawan-lawannya, maka Gelap Ngampar itu bagaikan telah menusuk langsung ke-dalam dadanya. Tetapi jika keduanya berusaha melawan Gelap Ngampar itu dengan puncak daya tahan mereka, maka perhatian mereka terhadap lawan-lawan mereka menjadi berkurang, sehingga ujung-ujung senjata lawannya hampir menyentuh kulitnya.

Dalam keadaan yang demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu telah terdesak. Sedangkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah mengetrapkan ilmunya yang mampu menghisap tenaga dan kemampuan lawannya, tidak banyak berarti, karena nampaknya kedua lawannya menyadari akan ilmu itu, sehingga keduanya berusaha menghindarinya.

Tetapi lawannya pun mengerti pula bahwa kedua anak-anak muda itu mampu menyerang dari jarak jauh, bahkan lebih dahsyat lagi setelah keduanya memiliki keris itu. Apalagi jika keduanya mampu berbareng menyerang dengan menyatukan kedua bilah keris itu.

Karena itu, maka keduanya telah berusaha melibat kedua anak muda itu dalam pertempuran jarak pendek, namun tanpa membenturkan senjata mereka. Memang sulit. Tetapi suara tertawa yang menghentak-hentak dada itu selalu mengganggu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka tidak dapat mengerahkan daya tahan mereka untuk melindungi isi dadanya, karena perhatian mereka terbagi. Tanpa dapat memusatkan nalar budi, maka sulit bagi mereka untuk membangunkan puncak daya tahan mereka sehingga mampu menangkal serangan Gelap Ngampar itu.

Dengan demikian, maka semakin lama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang semakin mengalami kesulitan. Serangan dari dua arah itu sangat berat bagi keduanya untuk dapat mengatasinya.

Sementara itu, Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping-pun telah mengalami kesulitan. Meskipun mereka telah menutup telinga mereka dengan sesobek kain, kemudian menutup pula dengan tangan mereka, namun jantung mereka seakan-akan hampir meledak karenanya.

Betapapun mereka mengerahkan daya tahan mereka, tetapi ilmu itu benar-benar telah menyakiti dada mereka. Beruntunglah mereka, bahwa orang-orang itu tidak membawa lawan bagi mereka sehingga dengan pertolongan tangan-tangan mereka, maka mereka mampu mengurangi kekuatan ilmu yang menyusup ketelinga mereka.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar telah menjadi semakin terdesak. Keduanya tidak lagi mempunyai cara yang paling baik untuk mengatasinya. Dalam keadaan seperti itu, mereka tidak akan mampu memusatkan nalar budi untuk membangunkan serangan jarak jauh mereka. Bahkan lidah api yang menyala pada sepasang keris mereka pun nampak sedikit memudar. Tetapi keduanya tidak ingin menyerah. Apapun yang terjadi, mereka akan tetap bertahan.

Namun, dalam pada itu, ketika keadaan kedua orang anak muda itu sudah menjadi semakin sulit, tiba-tiba saja suara yang dilontarkan berlandaskan ilmu Gelap Ngampar menjadi susut. Keduanya tidak mendengar bahwa telah terdengar pula suara kidung di kejauhan. Suaranya ngelangut, mengimbangi getar suara ilmu Gelap Ngampar.

Tetapi lambat laun, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mampu mendengarnya pula meskipun hanya lamat-lamat sebagaimana ilmu Gelap Ngampar itu menyusup ketelinganya. Namun rasa-rasanya suara kidung itu telah menitikkan kesejukan di dalam jantung mereka. Getar ilmu lawannya yang bagaikan menusuk-nusuk jantung itu, perlahan-lahan bagaikan terusir. Bahkan yang terasa kemudian, seakan-akan serangan ilmu Gelap Ngampar itu tidak terasa lagi.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat meyakinkan hal itu oleh sikap kedua lawannya. Kedua lawannya menjadi heran, bahwa serangan ilmu itu bagaikan telah mereda dan tidak lagi terdengar apalagi menggetarkan isi dada. Dengan demikian maka Mahisa Murti telah meloncat mengambil jarak dari lawannya. Ketika lawannya memburunya, ia sudah sempat melepas sebelah tutup telinganya.

Sebenarnyalah bahwa suara yang menghentak-hentak isi dada itu telah tidak terasa lagi. Suara tertawa yang didengarnya kemudian sama sekali tidak lagi berpengaruh atasnya, justru karena suara kidung yang juga terdengar menyusuri lembah.

Ternyata Mahisa Pukat pun telah melakukan hal yang sama pula, sehingga dengan demikian, maka kedua orang anak muda itu telah merasa terbebas dari serangan ilmu yang mampu menggetarkan jantung dan seisi dada itu.

Meskipun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya melepas tutup telinganya sebelah. Keduanya masih ragu-ragu, apa yang sebenarnya telah terjadi. Apakah orang yang melontarkan serangan dengan ilmu Gelap Ngampar itu sedang memancingnya, atau karena memang suara kidung itu mampu mengimbangi kekuatan getar ilmu yang dahsyat itu.

Dalam pada itu, Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping pun merasa tekanan di dada mereka menjadi semakin longgar. Jika semula Mahisa Amping yang hampir saja tidak mampu bertahan lagi, sehingga sambil menutup kedua telinganya dengan tangannya setelah sebelumnya disumbatnya dengan sesobek kain. Anak itu telah berguling-guling menahan perasaan sakit di dadanya, maka anak itu telah berani mengangkat tangannya.

Kedua orang lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi bingung. Nampaknya yang terjadi itu adalah diluar perhitungan mereka. Sebenarnyalah dalam pada itu, terdengar suara di tempat yang tidak diketahui bergema membentur lereng gunung dan menelusuri lembah-lembah dan tebing-tebing sungai. “Siapakah kau yang telah berani mengganggu suaraku?”

Dari tempat yang tidak diketahui pula terdengar jawaban, “Aku Ki Sanak. Kau tentu mengenal aku. Aku adalah sumber dari kericuhan ini. Aku pun telah terhukum pula karenanya, karena aku tidak pernah merasa tenang di rumah. Aku harus mengembara mengikuti sepasang keris yang telah aku buat. Aku pernah menganggap bahwa tugasku telah selesai, karena keris itu sudah ada yang memiliki serta akan mampu mengatasi segala kesulitan yang bakal dihadapi. Tetapi ketika aku teringat kepadamu Ki Sanak, serta kelicikanmu, maka aku terpaksa mengembara terus. Aku mencemaskan anak-anak muda itu, sebagaimana ternyata telah terjadi. Kau sama sekali tanpa malu-malu telah menjebaknya dalam satu kesulitan. Kau pergunakan murid-muridmu untuk menyerangnya secara wadag. Kemudian kau lemahkan daya perlawanannya dengan kekuatan Ajimu yang gila itu.”

“Persetan kau,” geram suara yang pertama, “Jika kau tidak pergi, maka aku terpaksa membunuhmu, karena aku tidak mempunyai cara lain untuk berbuat lebih baik daripada membunuhmu. Karena itu, sekali lagi aku peringatkan, pergilah. Biarlah aku menyelesaikan persoalanku dengan anak-anak muda itu.”

“Kau memang aneh,” jawab suara yang lain, “seharusnya kaulah yang pergi. Seharusnya akulah yang mengancammu.”

“Persetan. Aku tidak mempunyai banyak waktu,” geram suara yang pertama.

Yang terdengar adalah suara tertawa. Keras, bergema dan melingkar-lingkar. Tetapi sama sekali tidak menyakitkan dada orang-orang yang mendengarnya. “Ki Sanak,” berkata suara itu, “kenapa kau berpura-pura tidak melihat kenyataan yang kita hadapi. Kau tentu tahu, tanpa Ajimu yang kasar itu, murid-muridmu tidak akan mampu melawan kedua orang anak muda yang memiliki sepasang keris itu. Karena itu, renungkanlah apa yang sebaiknya terjadi.”

“Kau mencoba menghina aku,” terdengar jawaban. Tidak kalah kerasnya, “Kau tentu mengira bahwa dengan cara itu kau dapat membuat aku kehilangan akal sehingga kau akan dengan mudah dapat mengalahkan aku.”

“Kita bukan kanak-kanak lagi,” jawab suara yang lunak itu, “kita sudah sama-sama tua. Sudah cukup banyak makan pahit getirnya kehidupan.”

“Aku tidak akan berbuat tanggung-tanggung,” geram suara yang pertama, “kalian serahkan keris itu, atau kalian akan mati.”

“Jika itu yang kau kehendaki, baiklah. Kita akan bermain-main sementara biarlah anak-anak kita juga bermain-main. Tetapi kita sudah saling mengetahui bahwa kemungkinan terburuk dari permainan ini adalah mati,” jawab suara yang lain.

Untuk beberapa saat tidak terdengar sesuatu. Namun kemudian terdengar, “Hati-hatilah. Aku tidak mempunyai pilihan lain.”

Orang-orang yang berhenti bertempur itu termangu-mangu. Namun kemudian mereka pun terkejut oleh ledakan-ledakan yang dahsyat dilangit. Seakan-akan lidah-lidah api saling menyambar dan guruh pun menggelegar. Namun kemudian, mereka melihat samar-samar dalam gelapnya malam sumber cahaya yang berkilat, memancar dan menyambar. Tetapi agaknya tidak segera mengenai sasaran. Cahaya yang lainlah yang kemudian menyambar dengan dahsyatnya. Dengan demikian, maka orang-orang yang tengah termangu-mangu itu mulai dapat membayangkan, apakah yang telah terjadi.

Sementara itu, Mahisa Murti pun kemudian telah menyadari bahwa kedua orang yang ada di hadapannya itu pun harus dihadapinya pula bersama Mahisa Pukat. Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Murti bertanya, “Nah, sekarang bagaimana dengan kita?”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja seleret serangan telah datang dengan cepatnya ke arah dada Mahisa Murti. Namun Mahisa Murti menyadari, bahwa serangan itu adalah serangan wadag. Sebilah pisau belati kecil. Namun yang tajamnya tidak terkira. Karena itu, maka ia pun telah bergeser dengan cepat menghindarinya.

Namun serangan yang berikut adalah serangan yang mendebarkan. Memang masih juga serangan wadag. Tetapi tidak dengan pisau yang berkilat. Tetapi dengan pisau-pisau kecil yang berwarna kehitaman, sehingga tidak mudah untuk dilihat. Hanya karena ketajaman penglihatan Mahisa Murti sajalah maka ia mengetahui serangan itu datang kepadanya. Mahisa Murti tidak meloncat menghindar. Tetapi ia telah menangkis serangan itu dengan kerisnya.

Sementara itu, Mahisa Pukat masih sempat menyaksikannya. Tetapi ia pun segera bersiap, bahwa serangan itu mungkin saja datang pula kepadanya. Tetapi yang seorang itu tidak menyerang dengan pisau-pisau kecil. Tetapi ia langsung meloncat dengan garangnya menyerang Mahisa Pukat. Dengan demikian maka pertempuran antara mereka pun telah berlangsung kembali.

Namun Mahisa Pukat kini dapat memusatkan perhatian mereka kepada lawannya, karena ia tidak lagi terganggu oleh ilmu Gelap Ngampar. Dengan demikian maka Mahisa Pukat tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Dengan cepat ia segera mendesak lawannya.

Tetapi Mahisa Pukat tetap berhati-hati. Ia sudah melihat apa yang telah dilakukan oleh lawan Mahisa Murti. Karena itu, Mahisa Pukat selalu memperhatikan gerak tangan orang itu, karena setiap saat kemungkinan buruk itu dapat terjadi. Pisau-pisau kecil sebagaimana dilakukan oleh lawan Mahisa Murti.

Tetapi ternyata lawan Mahisa Pukat tidak mempergunakan pisau pisau kecil. Ia menyerang dengan kecepatan yang semakin tinggi. Bahkan kemudian serangannya datang seperti angin pusaran.

Namun Mahisa Pukat sama sekali tidak mengalami kesukaran. Ia pun mampu bergerak secepat lawannya itu. Apalagi dengan senjatanya yang luar biasa itu, maka Mahisa Pukat mampu melindungi dirinya sendiri. Bahkan lawannya dalam tatarannya itu, tidak dapat menggoyahkannya sama sekali.

Sementara itu, lawan Mahisa Murti pun tidak mampu mengalahkannya. Pisau-pisaunya telah dilemparkannya sampai yang terakhir. Namun pisau itu sama sekali tidak menyentuhnya. Karena itu, maka lawannya itu pun telah mempergunakan pedangnya untuk menyerang.

Mahisa Murti sebagaimana juga Mahisa Pukat, sama sekali tidak mengalami kesulitan. Karena itu, maka baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat tidak merasa perlu mempergunakan kekuatan ilmunya sepenuhnya untuk menghisap kekuatan dan kemampuan lawan.

Nampaknya kedua lawan anak-anak muda yang gelisah itu tidak lagi memperhitungkan kemampuan kedua anak muda itu. Bahkan serangannya jarak jauh yang akan dapat melumatkannya tanpa harus bergabung menjadi satu. Keduanya hanya sekedar didorong oleh gejolak perasaan dan bahkan kebingungan setelah kekuatan Aji Gelap Ngampar tidak lagi dapat ikut mempengaruhi medan.

Dalam pada itu, kedua orang lawan anak muda itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Bahkan berlebihan sehingga tenaga mereka telah menjadi semakin susut. Bukan karena kekuatan ilmu anak-anak muda itu, tetapi karena orang itu telah memerasnya sampai tuntas, sehingga dengan sendirinya kekuatan mereka akan menjadi susut.

Dalam keadaan yang demikian masih juga terdengar peringatan, ”jangan sentuh senjata lawanmu.” Suara itu bergaung berputaran. Namun kemudian telah disusul oleh ledakan-ledakan yang sambar menyambar.

Kedua orang lawan anak muda itu segera teringat pesan gurunya. Namun semuanya telah terlanjur. Tenaganya telah susut sementara keringatnya bagaikan terperas kering dari tubuhnya.

Namun terdengar Mahisa Murti tertawa sambil menjawab, “Kami tidak mempergunakan ilmu itu. Jika tenaga kalian menjadi susut, bukan karena ilmu kami. Tetapi kalian memang telah mengerahkan tenaga kalian melampaui kemampuan wadag kalian.”

“Persetan,” geram lawan Mahisa Murti.

“Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “kalian telah dipersiapkan untuk melawan kami dengan bantuan ilmu Gelap Ngampar itu. Tetapi setelah ilmu itu tidak dapat dipergunakan lagi, maka kemampuanmu masih jauh dari cukup untuk merebut sepasang senjata yang dapat menyala dengan cahaya yang kehijauan ini. Jika kami benar-benar meningkatkan ilmu kami sampai ke puncak, maka kalian tidak akan banyak dapat berbuat. Tanpa ilmu Gelap Ngampar itu, kalian masih jauh dari masak untuk merebut sepasang keris ini.”

“Tutup mulutmu,” teriak lawannya yang menyerangnya dengan garang.

Tetapi Mahisa Murti tersenyum saja. Sementara Mahisa Pukat berkata, “Jika kami pergunakan ilmu kami, maka kalian tentu sudah terbaring tanpa dapat bangkit kembali.”

Lawan Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi ia telah mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk menyerang Mahisa Pukat. Tetapi yang dilakukannya itu sama sekali tidak ada artinya. Bahkan hanya membuang sisa-sisa tenaga yang masih ada.

Karena itu, ketika lawan Mahisa Pukat itu mengayunkan senjatanya, namun Mahisa Pukat sempat bergeser surut selangkah, sehingga ujung pedang itu tidak menggapainya, maka orang itu justru telah terseret oleh kekuatan ayunan pedangnya sendiri. Hampir saja orang itu jatuh terjerembab. Namun ia berhasil untuk tegak kembali meskipun dengan nafas yang terengah-engah.

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Bahkan ia menjadi bingung, apa yang harus dilakukan terhadap orang itu. Sementara masih terdengar suara yang bergaung, “Sudah aku peringatkan, jangan sentuh senjata lawan.”

“Kau salah Ki Sanak,” jawab suara lain di sela-sela hentakkan ilmu di antara kedua orang berilmu sangat tinggi yang sedang bertempur itu, “murid-muridmu memang benar-benar sudah kehabisan tenaga.”

“Omong kosong,” geram orang yang memiliki ilmu Gelap Ngampar.

Tetapi orang itu tidak dapat mengingkari kenyataan. Kedua orang yang ingin mengambil sepasang keris dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu sama sekali memang sudah tidak berdaya. Ayunan senjata mereka sama sekali tidak bertenaga lagi.

Namun dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun justru tidak dapat bertindak lebih jauh. Mereka kemudian hanya sekedar bergeser dan menghindari serangan yang sudah tidak terarah sama sekali. Beberapa kali mereka menyaksikan lawan-lawan mereka terhuyung-huyung terseret oleh ayunan senjata mereka sendiri.

“Apa maumu sekarang?” bertanya Mahisa Pukat.

“Serahkan sepasang pusaka itu,” geram lawannya, “kau akan aku biarkan hidup.”

“Kenapa kau masih saja mengigau seperti itu?” bertanya Mahisa Pukat, “apakah kau tidak sempat melihat kenyataan tentang dirimu dan tentang gurumu yang tidak sempat lagi membantumu dengan ilmunya karena ia harus bertempur sendiri.”

“Sebut nama ayah ibumu,” geram orang itu sambil mengayunkan senjatanya.

Namun Mahisa Pukat tidak perlu menghindar, karena ayunan itu masih beberapa jengkal dari tubuhnya. Bahkan orang itulah yang terhuyung-huyung sehingga terpaksa bertelekan pada pedangnya yang diayunkannya itu agar ia tidak terjatuh.

Sementara itu, tiba-tiba saja terdengar suara yang bergulung-gulung di langit, “Anak-anak manja. Ternyata kalian tidak mampu berbuat apa-apa. Karena itu, maka aku tidak akan membantumu lagi untuk mendapatkan sepasang pusaka itu. Terserah kepada kalian, apakah kalian akan dapat menyelamatkan diri kalian sendiri.”

Kedua orang lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu terkejut. Mereka sadar, bahwa guru mereka telah menjadi marah bahwa mereka tidak mampu mengimbangi kedua orang anak-anak muda itu. Namun mereka memang tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Mereka memang tidak berdaya.

Sementara itu, maka tiba-tiba saja pertempuran yang terjadi di dalam kegelapan itu pun telah berakhir. Tidak ada lagi loncatan cahaya dan ledakan-ledakan yang saling berbenturan, sepi.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun sudah tidak bertempur lagi. Lawan-lawan mereka meskipun masih berdiri dengan senjata di tangan, namun mereka sudah tidak mampu menyerang lagi.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja telah berdiri di antara mereka orang tua yang telah membuat sepasang keris itu. Katanya, “Maaf anak-anak muda. Ternyata kalian masih saja diganggu oleh sepasang keris itu. Tetapi aku tidak dapat mencuci tangan. Ketika aku teringat iblis itu, maka aku telah berusaha menyusul dan kemudian mengikuti kalian. Aku yakin bahwa iblis itu tentu akan mengganggu kalian dengan cara yang licik seperti yang dilakukannya ini.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Sementara itu orang tua itu pun berpaling kepada kedua orang murid yang sudah dikalahkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu. Katanya, “Nah, karena kalian berdua telah ditinggalkan oleh gurumu, maka kau akan kami lenyapkan sekarang di sini.”

Wajah kedua orang itu menjadi pucat. Tidak seorang pun yang sempat menjawab. Mati dalam pertempuran memang tidak menakutkan. Tetapi mati dibunuh sungguh tidak menyenangkan. Karena itu, maka rasa-rasanya kedua orang itu ingin melawan sampai saat kematian itu datang. Tetapi mereka sudah tidak bertenaga sama sekali. Perlawanan mereka tentu hanya akan menjadi bahan tertawaan dan permainan yang dianggap sangat menyenangkan bagi orang-orang yang akan membunuhnya. Dengan demikian maka apapun yang akan terjadi atas diri mereka, maka mereka menjadi pasrah.

“He, apa yang akan kalian lakukan? Kami akan membunuh kalian. Bersiaplah. Bukankah kau masih menggenggam senjata di tangan?” berkata orang tua itu.

Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak mengangkat senjata mereka. Seorang di antaranya berkata, “Lakukan yang ingin kalian lakukan. Kami sudah kalah.”

“Kalian mengakui kekalahan itu?” bertanya orang tua itu pula.

“Ya. Aku memang harus mengakuinya,” jawab orang itu.

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya kedua orang itu berganti-ganti. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan nada rendah ia bertanya, “Jadi dengan demikian kalian sudah tidak akan melawan lagi?”

“Tidak ada gunanya. Kami tidak mau menjadi bahan tertawaan orang di saat menjelang kematian. Karena itu, biarlah kami mati tanpa terlalu banyak tingkah,” berkata salah seorang di antara keduanya.

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada lunak, “Kalian ternyata benar-benar seorang laki-laki meskipun kalian telah berusaha membunuh lawanmu dengan licik. Karena itu, jika kedua orang lawanmu tidak berkeberatan, maka aku akan memohonkan ampun bagi kalian. Tetapi dengan satu syarat, jika kalian mencobanya sekali lagi, maka kalian akan mati dengan cara yang paling tidak kalian sukai.”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Di luar sadarnya mereka berpaling kepada kedua orang anak muda itu. Jika keduanya ingin membunuh mereka, maka mereka tentu sudah mati. Meskipun demikian, keduanya menjadi berdebar-debar juga menunggu jawaban kedua orang anak muda itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya Mahisa Murti lah yang menjawab, “Baiklah Kiai. Kami tidak berkeberatan untuk memaafkan mereka berdua dengan janji sebagaimana yang Kiai katakan tadi.”

Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Demikian pula orang tua yang telah membuat sepasang keris itu. Dengan nada rendah orang tua itu berkata, “Nah, kau dengar sikapnya? Meskipun keduanya masih sangat muda, tetapi sikapnya adalah sikap yang terpuji. Sebaliknya, kalian orang-orang yang lebih tua, justru bersikap kekanak-kanakan. Kalian ingin merampas barang yang bukan milik kalian. Bahkan dengan kekerasan. Apakah kalian tidak malu kepada diri kalian sendiri?”

Kedua orang itu tidak menjawab sama sekali. Tetapi kata-kata itu benar-benar telah menyentuh hatinya.

Demikianlah, maka orang tua itu kemudian berkata, “Baiklah. Tinggalkan tempat ini. Mudah-mudahan gurumu tidak menghukummu.”

Hampir berbareng kedua orang itu mengucapkan terima kasih. Kemudian mereka pun telah minta diri meninggalkan tempat itu. Tetapi sebenarnyalah mereka menjadi berdebar-debar, bahwa justru guru mereka sendirilah yang akan menghukum mereka.

Sementara itu, sepeninggal kedua orang itu, maka orang tua itu pun berkata, “Angger berdua. Ternyata bahaya itu masih saja memburu kalian. Guru kedua orang inilah sebenarnya yang sangat licik dan berbahaya sehingga mereka akan dapat benar-benar membunuh untuk mencapai maksud tertentu. Bahkan aku tidak yakin bahwa mereka benar-benar telah jera. Mungkin kedua orang muridnya benar-benar menjadi jera. Tetapi gurunya tentu akan mengambil setiap kesempatan untuk berbuat sesuatu yang dapat membahayakan kalian. Orang itu memang tidak segan-segan membunuh dengan cara yang licik sekalipun.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara orang tua itu berkata, “Aku yakin, seandainya kedua orang itu dapat merebut sepasang keris itu, tentu keduanya tidak dibiarkan untuk memilikinya. Mungkin satu dua hari. Tetapi untuk selanjutnya sepasang keris itu tentu diambilnya. Bahkan jika perlu kedua muridnya itu akan dibunuhnya. Orang itu tidak segan-segan mengorbankan siapa saja untuk landasan pencapaian cita-citanya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun mengangguk-angguk. Sementara orang tua itu ternyata telah mendahului berkata selanjutnya, “jadi kedua orang itu tidak seberbahaya gurunya yang mencoba memperalatnya. Tetapi syukurlah bahwa mereka tidak berhasil.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang dapat bersukur saat itu. Tetapi orang yang memiliki ilmu Gelap Ngampar itu tentu akan dapat datang lagi dan menyerang mereka dengan ilmunya, sementara orang lain menyerang mereka secara wadag.

Orang tua itu melihat kecemasan di sorot mata kedua anak muda itu. Karena itu, maka katanya, “Anak-anak muda. Aku sudah bertekad untuk menyerahkan sepasang keris itu kepada kalian. Karena itu, maka aku pun harus melengkapi kalian untuk melawan segala kemungkinan. Termasuk kekuatan ilmu Gelap Ngampar.”

Kedua orang anak muda itu justru berdebar-debar. Sementara orang tua itu berkata, “Sebenarnya ada kekuatan yang dapat menangkal serangan Gelap Ngampar itu. Ketika seorang sahabatku berlayar di lautan yang garang, di Samodra Hindia. Seisi kapalnya telah diganggu oleh suara yang sangat menyakitkan dada mereka. Suara bergaung yang tidak diketahui asalnya. Seperti angin yang menerpa sebuah goa yang sangat besar. Menurut kata orang, di dekat mereka berlayar terdapat sebuah pulau sumber dari ilmu Gelap Ngampar itu. Namun jika seseorang mampu mengambil bunga dari sejenis tanaman yang tumbuh di pulau kecil itu, maka bunga dari tanaman itu jika dikeringkan akan dapat menjadi penangkal ilmu yang sangat mengerikan itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun hampir diluar Mahisa Murti bertanya, “Apakah mungkin kami dapat melakukan pelayaran seperti itu, sementara kami tidak memiliki keahlian dan pengalaman dalam dunia pelayaran. Atau kami harus menjalani laku apapun untuk dapat mendapat penangkal ilmu itu.”

“Anak-anak muda,” berkata orang tua itu, “sangat sulit untuk dapat menemukan pulau itu. Bahkan pelaut-pelaut yang berpengalamanpun sulit untuk menemukannya. Tetapi adalah kebetulan sekali bahwa sahabatku dapat memiliki benda penangkal itu. Bunga dari sejenis tanaman yang dikeringkan, sehingga ujudnya menyerupai kapuk, namun warnanya tidak putih. Tetapi biru. Bunga itu akan aku serahkan kepada kalian berdua. Kalian dapat membungkus bunga berwarna biru itu dan menyimpannya di kantong ikat pinggang kalian. Dalam keadaan yang sangat memerlukan, maka bungkusan kecil bunga itu dapat kalian sumbatkan ke telinga kalian. Namun hati-hati. Benda ini jangan hilang.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Pukat bertanya, “Tetapi bagaimana dengan Kiai sendiri?”

“Aku tidak memerlukan penangkal itu. Aku telah memiliki ilmu yang dapat untuk mengimbangi kemampuan getaran ilmuitu. Bahkan bukan saja bagi diriku sendiri, tetapi aku dapat membantu orang lain membebaskan mereka dari pengaruh ilmu Gelap Ngampar dari jenis yang dimiliki oleh orang itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian tiba-tiba saja Mahisa Pukat telah bertanya, “Apakah ada jenis yang lain?”

Orang tua itu tertawa. Katanya, “Ada lagi ilmu sejenis yang memiliki dasar kekuatan yang berbeda. Ilmu semacam dengan yang dilontarkan oleh orang itu, namun hanya mengenai orang yang dituju. Ada pula ilmu lain dengan akibat yang berbeda, namun bentuknya hampir sama. Bunga dari jenis tanaman itu akan dapat menangkal semua kekuatan yang melancarkan ilmu serupa itu.”

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara orang tua itu berkata, “Inilah bunga yang aku katakan itu. Sekali lagi aku pesankan kepada kalian, jangan sampai hilang, karena benda ini memiliki nilai yang tinggi di dalam dunia olah kanuragan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bersama-sama telah menerima bunga sejenis tumbuh-tumbuhan di pulau yang mengerikan itu. Segenggam kecil bunga yang seperti kapuk tetapi berwarna biru itu telah dibagi dua. Separo diberikan kepada Mahisa Murti, yang separo diberikan kepada Mahisa Pukat.

“Pada suatu saat, jika kalian sempat, kalian dapat membuat bungkusan kecil dari bunga itu. Masing-masing menjadi dua yang langsung dapat kalian sumbatkan ke telinga kalian jika perlu. Dengan demikian maka benda itu tidak akan pernah berkurang. Kalian dapat menyimpan bungkusan-bungkusan kecil yang siap untuk menyumbat telinga itu dibungkusan yang lebih besar untuk kalian masukkan ke dalam kantong ikat pinggang kulit kalian itu,” berkata orang tua itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti maksud orang tua itu. Karena itu sambil mengangguk-angguk Mahisa Murti berkata, “Kami akan melakukannya Kiai.”

Tetapi agaknya masih ada yang akan dikatakan oleh orang tua itu. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun masih memperhatikan dengan sungguh-sungguh.

“Anak-anak muda,” berkata orang tua itu,”benda itu untuk sementara akan sangat berarti bagi kalian. Namun demikian, jika kalian bersedia menunda perjalanan kalian satu hari lagi, aku akan bersedia memberikan petunjuk laku.Sehingga kalian dapat memiliki ilmu penangkal dari ilmu itu tanpa benda-benda yang dapat tercecer itu. Jika benda itu tertinggal atau hilang, maka kalian tidak akan mampu lagi melawan ilmu jenis Gelap Ngampar itu. Tetapi jika kalian memiliki kemampuan ilmu penangkalnya, maka ilmu yang demikian tidak akan mudah hilang.”

“Tetapi apakah dalam satu hari kami dapat menguasai ilmu itu?” bertanya Mahisa Pukat.

Orang tua itu tersenyum sambil menjawab, “Tentu tidak. Tetapi akan berbilang tahun. Aku hanya ingin menunjukkan laku yang harus kau tempuh. Jika kalian berniat menempuh laku itu, dapat kalian jalani kapan saja kalian sempat.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Di luar sadar, mereka telah berpaling kepada Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping yang telah duduk agak dikejauhan. Namun bagi kedua orang anak muda itu, tawaran itu sangat menarik. Mereka akan dapat mulai menjalani laku jika mereka telah sampai di padepokan mereka.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian bertanya, “Kiai, apakah kami dapat melakukannya jika kami sudah menyelesaikan perjalanan kami?”

“Tentu. Laku itu memang agak berat. Kalian harus menjalaninya dengan penuh kesungguhan. Memang tidak perlu menyerap waktumu terus-menerus setiap saat seperti seorang pertapa. Tetapi setiap hari kalian harus menyisihkan waktu tertentu untuk menjalani laku itu, sehingga akhirnya kau mampu menimbulkan daya tangkal itu dari dalam diri kalian sendiri tanpa mempergunakan alat apapun juga,” berkata orang tua itu. Lalu katanya, “Waktu yang kau perlukan berbanding lurus dengan waktu yang kau ambil setiap hari. Jika kau dapat menyisihkan waktu yang cukup panjang setiap hari, maka dalam waktu satu tahun, kau akan dapat menguasai ilmu penangkal itu. Tetapi jika waktu yang dapat kau sisihkan setiap hari lebih pendek, maka kau memerlukan waktu lebih lama untuk dapat menguasainya. Tetapi bagiku, lebih baik kau mulai mempelajarinya meskipun satu, dua atau tiga tahun baru kau kuasai. Namun kau akan mendapatkan hasil akhir. Sedangkan jika tidak sama sekali, maka kau tidak akan pernah memiliki ilmu itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Satu kepercayaan yang sangat tinggi telah diterimanya dari orang tua itu. Selain sepasang keris itu, maka mereka telah mendapat kesempatan untuk meningkatkan alas ilmunya sehingga seakan-akan segalanya telah meningkat pada diri mereka. Kemudian ilmu penangkal ilmu yang dahsyat itu. Gelap Ngampar.

Ketika kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berpaling ke arah Mahisa Semu sejenak, maka dilihatnya anak muda itu mengangguk, sehingga Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Baiklah Kiai. Kami akan menunda perjalanan kami satu hari lagi agar kami dapat menyerap petunjuk laku yang harus kami jalani untuk mendapatkan kekuatan melawan ilmu seperti itu. Sementara itu, kami hanya mengandalkan daya tahan kami meskipun daya tahan kami masih mampu mengatasi serangan ilmu serupa dari murid-murid orang berilmu tinggi itu.”

“Mereka tidak mempergunakannya lagi malam ini setelah gurunya kehilangan kekuatan ilmunya, karena mereka tahu ilmu yang baru mereka kuasai sebagian kecil itu tidak akan mampu berbuat apa-apa atas kalian.”

Demikianlah, maka orang tua itu pun kemudian memberikan kesempatan anak-anak muda itu untuk beristirahat. Sementara orang tua itu sendiri kemudian telah meninggalkan tempat itu sambil berkata, “Aku akan kembali saat matahari sepenggalah.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganguk hormat ketika orang tua itu kemudian meninggalkan tempat itu. Sepeninggal orang tua itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendekati Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping yang termangu-mangu. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Beristirahatlah. Matahari masih belum terbit. Masih ada waktu sekejap meskipun fajar telah naik.”

Tetapi Mahisa Semu dan Wantilan masih saja duduk bersandar sebatang pohon. Mahisa Amping lah yang kemudian berbaring di atas rumput yang kering. Hanya sejenak kemudian, anak itu sudah tertidur lelap. Ketika sesaat kemudian matahari terbit, Mahisa Amping masih juga belum terbangun. Sinarnya yang jatuh ke tubuhnya tidak mampu membangunkannya, sementara Mahisa Pukat berdesis, “Biar saja anak itu beristirahat.”

Bergantian mereka telah membersihkan diri. Kemudian mereka telah bersiap menunggu matahari sepenggalah. Namun sebelum matahari sampai sepenggalah, Mahisa Amping ternyata telah terbangun. Sambil menggosok matanya yang menjadi silau ia bangkit sambil melangkah.

“He, mau ke mana?” bertanya Mahisa Semu.

“Mandi,” jawab Mahisa Amping.

“Tunggu. Jangan pergi sendiri,” berkata Mahisa Semu sambil bangkit serta melangkah disamping Mahisa Amping menuju ke air yang mengalir tidak begitu deras. Meskipun jaraknya hanya beberapa puluh langkah, namun dalam keadaan yang gawat itu, Mahisa Semu tidak membiarkannya mandi sendiri. Karena itulah, maka Mahisa Semu telah menungguinya sambil duduk di atas sebongkah batu. Sementara yang lain mengawasinya dari tepian.

Seperti yang dikatakan, maka ketika matahari sepenggalah, orang tua itu telah datang kembali. Nampaknya ia pun telah membenahi dirinya sehingga telah kelihatan lebih rapi meskipun dalam ujud kesederhanaannya.

“Nah,” berkata orang tua itu, “marilah. Aku akan menunjukkan kepada kalian berdua, laku yang harus kalian tempuh di saat mendatang, jika kalian ingin memiliki ilmu penangkal dari ilmu Gelap Ngampar.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang bangkit menyongsongnya mengangguk hormat. Sementara itu, orang tua itu pun berkata kepada Wantilan dan Mahisa Semu, “Maaf Ki Sanak. Perhatianku sementara ini masih aku tujukan kepada kedua orang anak muda yang aku percaya untuk menyimpan kerisku itu.”

“Silahkan Kiai,” jawab Wantilan, “peningkatan kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, berarti peningkatan kemampuan kami juga.”

Orang tua itu pun tersenyum. Katanya, “Kami akan mengambil tempat yang terpisah.”

“Silahkan,” jawab Wantilan sambil mengangguk.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukatitu pun telah mengikuti orang tua yang akan memberikan petunjuk tentang laku untuk menguasai penangkal ilmu yang sangat mengerikan itu. Ternyata orang tua itu telah membawa kedua orang anak muda itu ke bawah sebatang pohon ketapang yang tumbuh di atas tanggul. Pohon ketapang itu sendiri tidak terlalu besar. Tetapi daunnya yang sedang tumbuh dan bersemi itu, namun rimbun dan hijau.

Sementara itu, Mahisa Amping ternyata telah memanfaatkan waktu untuk berlatih mempergunakan pisau panjangnya. Dengan ilmu dasar yang telah diberikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat anak itu mempermainkan pisaunya sambil berloncatan di atas pasir. Ternyata anak itu memang memiliki kelebihan. Adalah di luar sadarnya, bahwa ia telah mampu mempergunakan dasar ilmunya dengan sangat baik. Bahkan seakan-akan ilmu itu telah berkembang dengan sendirinya, diluar kesadaran anak itu sendiri.

Mahisa Semu dan Wantilan memperhatikan anak itu dengan kagum. Ternyata anak itu memang luar biasa. Tenaganya cukup besar dibandingkan dengan umur dan bentuk serta ujudnya. Sambil berloncatan, bahkan berlari dengan langkah-langkah panjang, Mahisa Amping mempermainkan pisau panjangnya. Sekali-sekali anak itu menjatuhkan diri di atas pasir tepian, kemudian meloncat bangkit sambil memutar pisaunya.

Namun bagaimanapun juga Mahisa Amping adalah masih anak-anak. Dalam latihan yang kadang-kadang nampak bersungguh-sungguh, sekali-sekali ia pun telah bermain-main dengan berguling-guling dan melenting berputaran sambil bertumpu pada tangannya. Meloncat tinggi-tinggi kemudian jatuh pada pundaknya untuk bergulung sambil melingkarkan badannya.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk sambil memusatkan segenap perhatiannya kepada orang tua yang telah memberikan petunjuk laku bagi kedua orang anak muda itu. Orang tua itu telah membeberkan langkah awal sebelum laku yang sebenarnya dijalani. Selangkah demi selangkah, sehingga kemudian keduanya memasuki petunjuk tentang laku yang sebenarnya. Sambil memperhatikan segala petunjuk, maka kedua anakmuda itu menyadari, bahwa laku yang kelak harus dijalani itu tentu akan sangat berat.

Demikianlah, orang tua itu telah mengulanginya sampai tiga kali. Anak-anak muda itu tidak boleh salah dengan laku yang akan mereka jalani. Jika mereka salah langkah, maka mereka tidak akan sampai ke tujuan. Ternyata mereka memang memerlukan waktu hampir sehari penuh. Ketika matahari turun mendekati punggung pegunungan, maka orang tua itu mengakhiri petunjuk laku yang telah diulanginya berkali-kali itu.

“Nah,” berkata orang tua itu, “aku yakin kalian akan dapat menjalaninya. Bahkan dalam umur kalian yang masih muda, kalian telah memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga agaknya kalian sudah terbiasa menjalani laku yang berat untuk menguasai ilmu.”

“Kami mohon doa restu Kiai,” berkata Mahisa Murti, “kami telah mencoba memahami laku yang harus kami jalani.”

“Jika kalian belum sempat menjalani dalam waktu dekat, maka setidak-tidaknya kalian harus membicarakan laku itu setiap kali, agar kalian tidak melupakannya atau ada bagian-bagian yang terlampaui,” berkata orang tua itu.

“Terima kasih Kiai,” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir berbareng.

“Nah, menurut perhitunganku, maka orang-orang penting yang sebelumnya ingin menguasai keris itu telah datang kepada kalian. Seandainya orang yang memiliki ilmu Gelap Ngampar itu datang lagi, ia tidak begitu berbahaya bagi kalian setelah kalian memiliki penangkal ilmu itu, meskipun untuk sementara kalian masih memerlukan bantuan bunga dari tanaman yang asing itu,” berkata orang tua itu. Lalu katanya, “Jika orang itu masih saja memaksa, maka kalian berdua akan dapat mengalahkannya.”

“Kiai,” tiba-tiba saja Mahisa Pukat bertanya, “sebagaimana benda-benda itu, apakah kami diijinkan untuk mengalirkan ilmu ini kepada orang lain?”

“Kau dapat memberikan kepada orang lain yang kau percayai bahwa benda-benda itu tidak akan dipergunakan untuk maksud-maksud buruk,” jawab orang tua itu. “Seperti benda-benda itu,” berkata orang tua itu, “hanya kepada orang-orang yang kalian percayai sepenuhnya.”

“Terima kasih Kiai,” jawab Mahisa Pukat.

Dalam pada itu, maka orang tua itu pun berkata, “Sudahlah. Aku sudah berusaha sejauh dapat aku lakukan. Mungkin masih ada orang yang ingin memiliki sepasang keris itu. Tetapi bukan orang-orang yang paling berbahaya. Karena itu, maka biarlah kalian menyelesaikannya sendiri. Meskipun demikian, ada yang perlu kalian perhatikan. Masih ada seorang yang cukup berbahaya yang belum hadir saat ini. Mudah-mudahan ia tidak datang kepada kalian. Orang itu mempunyai cacat di sebelah matanya. Namun ia memiliki ilmu kebal. Meskipun demikian, ia tidak akan mampu menahan kekuatan yang kalian lontarkan bersama-sama.” Orang tua itu berhenti sejenak, lalu “baiklah. Aku minta diri. Bukan berarti bahwa kita tidak akan bertemu lagi. Bagaimanapun juga sepasang keris itu mempunyai ikatan khusus dengan pembuatnya.”

“Terima kasih Kiai,” desis Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir berbareng.

“Ikatan itulah yang menyebabkan seakan-akan aku tahu di mana sepasang keris itu berada meskipun sudah berpisah untuk waktu yang cukup lama atau dibatasi oleh jarak yang cukup panjang. Aku dapat tersentuh pula jika sepasang keris itu berada dalam bahaya. Maksudku terancam oleh orang-orang yang tidak sepantasnya memilikinya,” berkata orang tua itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Mereka dapat mengerti pernyataan itu, dan mereka pun mempercayainya, karena nampaknya memang ada sesuatu yang tertinggal pada sepasang keris itu dari sisi kehidupan orang tua itu.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menanyakannya. Demikianlah maka sesaat kemudian, orang tua itu pun telah meninggalkan kedua orang anak muda itu. Ia pun menyempatkan diri untuk minta diri kepada Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping.

“Hati-hati dengan pisau itu,” pesannya kepada Mahisa Amping.

“Ya Kiai,” jawab Mahisa Amping sambil mengangguk hormat.

Orang tua itu menepuk bahu Mahisa Amping. Namun kemudian ia pun telah melangkah meninggalkan mereka. Sementara itu, senja telah mulai membayang. Mahisa Murti telah mengajak saudara-saudaranya untuk meninggalkan tempat itu. Mereka tidak menunggu seorang pun lagi, sementara mereka masih harus menempuh perjalanan panjang.

“Mudah-mudahan kita masih menemukan kedai yang terbuka,” berkata Mahisa Murti yang menyadari, bahwa Mahisa Amping tentu merasa sangat lapar.

Ternyata mereka masih menemukannya. Sebuah kedai yang hampir saja menutup pintunya ketika senja turun. Namun cahaya lampu minyak yang masih terlempar ke jalan telah memangil Mahisa Murti dan saudara-saudaranya untuk singgah.

“Seadanya,” berkata Mahisa Murti ketika pemilik kedai itu mengatakan bahwa dagangannya sudah hampir habis, “Anak ini perlu makan.”

Pemilik kedai itu pun kemudian mempersilahkan mereka masuk. Katanya, “Jika Ki Sanak mau seadanya, marilah. Hanya inilah yang masih ada.”

Tetapi kelima orang itu pun duduk pula dikedai itu. Sebenarnyalah bahwa Mahisa Amping memang sangat lapar. Meskipun yang ada hanya nasi dingin dan sayur asam, namun anak itu makan dengan lahapnya. Bahkan bukan saja Mahisa Amping, tetapi yang lain pun sebenarnya juga lapar.

Dari kedai itu, maka kelimanya telah berjalan sepanjang jalan bulak yang tidak terlalu panjang. Selangkah-selangkah perlahan-lahan, agar lambung mereka tidak menjadi sakit. Mereka berniat bermalam di padukuhan di depan mereka. Di banjar padukuhan. Kelima orang itu sama sekali tidak cemas, bahwa perjalanan mereka akan terganggu di bulak itu, karena pemilik kedai yang sudah hampir menutup pintu itu mengatakan, bahwa daerah itu adalah daerah yang aman.

“Di sini tidak pernah terjadi pencurian, apalagi perampokan, pembunuhan dan kekerasan yang lain,” berkata pemilik kedai itu.

Dengan demikian maka kelima orang itu pun sama sekali tidak memikirkan penyamun di bulak yang mereka lalui. Sebenarnyalah mereka memasuki padukuhan di hadapan mereka dengan selamat. Ketika mereka sampai ke banjar, maka mereka pun telah mendapat tempat dan perlakuan yang baik oleh penunggu banjar.

“Apakah banjar ini tidak dipergunakan oleh anak-anak muda sebagai tempat perondan?” bertanya Mahisa Murti ketika dilihatnya banjar itu sepi, sementara malam telah turun.

“Tidak ada perondan di sini, karena di sini memang tidak pernah ada kejahatan,” jawab penunggu banjar itu.

Mahisa Murti menarik nafas sambil berkata, “Alangkah damainya padukuhan ini. Jika setiap padukuhan mengalami kedamaian seperti ini, maka hidup ini akan terasa sejuk sekali. Tidak seorang pun memerlukan senjata. Dan sepasang keris itu tidak akan menjadi rebutan.”

Tetapi sayang, bahwa yang diliputi oleh kedamaian itu hanyalah titik-titik kecil diluasnya pantai, sehingga hampir tidak berarti sama sekali dibandingkan dengan kekerasan, kegelisahan dan kecemasan yang terjadi dimana-mana. Meskipun demikian, malam itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan masih juga membagi tugas untuk berjaga-jaga.

Tetapi sebenarnyalah, malam itu terasa betapa damainya. Jika terdengar suara kenthongan, itu adalah pertanda waktu yang dibunyikan oleh bebahu padukuhan yang bertugas. Bahkan menurut penunggu banjar, pintu-pintu rumah di padukuhan itu dan sekitarnya tidak perlu diselarak dimalam apalagi disiang hari.

“Ki Sanak,” bertanya Mahisa Murti kepada penunggu banjar itu sebelum Mahisa Murti dipersilahkan beristirahat di serambi, “kenapa padukuhan ini terasa damai sekali? Seolah-olah di antara sesama tidak pernah ada persoalan?”

“Kami berusaha untuk menempatkan diri kami masing-masing dalam martabat kemanusiaan kami,” berkata penunggu banjar itu, “Kami mematuhi semua ajaran tentang hidup dan kehidupan sebagaimana diajarkan kepada kami dalam rangkuman Sumber Hidup kami.”

Kata-kata itu tetap menjadi renungan disaat-saat kelima orang itu telah berada diserambi dan bahkan telah berbaring sampai saatnya mereka tertidur nyenyak.

Pagi-pagi sekali kelima orang itu telah membenahi diri. Mereka pun kemudian telah minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju ke padepokan yang telah cukup lama mereka tinggalkan.

Menjelang matahari terbit, setelah mengucapkan terima kasih maka kelima orang itu telah meninggalkan banjar padukuhan menyusuri jalan yang membelah padukuhan itu. Mereka-pun kemudian telah keluar dari mulut lorong, memasuki bulak yang tidak begitu luas. Menjelang terang, maka mereka telah berpapasan dengan orang-orang yang pergi ke pasar. Nampaknya mereka sama sekali tidak mencemaskan perjalanan mereka.

Tetapi seberapa jauh mereka akan berada dalam suasana yang demikian itu. Dengan sengaja mereka telah melewati pasar yang cukup ramai. Apalagi di hari pasaran. Para penjual meluap sampai merambat ke jalan-jalan diluar pasar.

Tetapi kelima orang itu tidak singgah. Mereka hanya lewat saja didepan pasar itu. Sekali-sekali langkah mereka memang terhenti melihat beberapa macam barang yang dijual dipasar itu. Sayuran yang segar. Beras yang putih seperti kapas. Ketela pohon, ubi jalar sepanjang badan penjualnya dan disatu sisi terdapat pasar yang khusus untuk jual beli berbagai jenis burung. Burung perkutut dan burung yang bersiul.

Nampaknya Mahisa Amping senang melihat seekor burung beo. Tetapi bahwa mereka pengembara, agaknya tidak memungkinkan untuk memelihara seekor burung disepanjang perjalanan.

“Besok, jika kita sudah berada di padepokan, maka kita akan menangkap burung beo atau jenis burung yang lain,” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Amping mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menyahut sama sekali. Anak itu agaknya menyadari bahwa mereka tidak mungkin memelihara didalam perjalanan panjang itu.

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah meninggalkan pasar itu tanpa membeli apapun. Mereka menempuh perjalanan lewat tanah datar, melintasi bulak-bulak panjang dan pendek serta padukuhan-padukuhan. Mereka memang merasakan kedamaian dibeberapa padukuhan yang mereka lewati. Mereka melihat satu kehidupan yang rukun. Namun sayang sekali bahwa ada kesan kemalasan di antara mereka yang menghuni padukuhan itu.

Ketika matahari semakin tinggi, masih saja nampak beberapa orang duduk-duduk di sudut padukuhan sambil berbincang-bincang. Perempuan yang berbicara tidak berkeputusan dengan membiarkan anak-anak mereka berkeliaran di halaman tanpa memandikannya sejak bangun tidur. Sementara itu tanaman di sawah agaknya juga kurang baik. Rumput-rumput tumbuh di sela-sela batang padi.

“Seharusnya dapat dipisahkan,” berkata Mahisa Murti, “hidup tenang, tenteram dan dalam suasana damai, tidak perlu diwarnai dengan kemalasan seperti itu. Tenang, damai, tertib, tetapi bergetar dan penuh gairah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup ini. Bersama-sama dan tidak saling bermusuhan.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu, ia sependapat dengan Mahisa Murti. Karena dengan kemalasan, maka mereka akan tertinggal oleh kehidupan di padukuhan-padukuhan yang lain.

Namun, setelah mereka melewati padukuhan-padukuhan yang lain, maka suasana pun mulai berubah. Sedikit demi sedikit. Sehingga kemudian mereka telah sampai ke sebuah padukuhan yang besar yang agaknya mempunyai kelebihan dari padukuhan-padukuhan yang lain. Di padukuhan itu terdapat banyak rumah-rumah yang besar. Halaman yang luas dan nampaknya kehidupanpun terasa lebih baik dari padukuhan-padukuhan lain.

Menilik jalan yang memasuki padukuhan itu dari satu arah, kemudian terdapat cabang-cabang jalan yang menyebar ke segala sudut padukuhan dengan beberapa jalur jalan besar, maka padukuhan itu menjadi tempat persimpangan yang ramai. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memasuki padukuhan itu semakin dalam telah melihat satu bentuk kehidupan yang lebih cepat dari padukuhan-padukuhan sebelumnya.

Mereka telah berpapasan dengan beberapa orang berkuda. Kemudian di tengah-tengah padukuhan itu terdapat sebuah rumah yang besar dengan halaman luas. Ada beberapa pedati yang ada di halaman itu. Orang-orang pun nampak sibuk memuat dan menurunkan barang-barang dari pedati-pedati itu. Sementara itu, terdapat beberapa buah kedai di sebelahnya.

Kecuali mereka sudah merasa lapar, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya ingin mengetahui serba sedikit tentang kesibukan di tempat itu. Karena itu, maka mereka telah memilih sebuah kedai yang paling ujung untuk singgah. Kedai yang termasuk bukan yang terbesar. Bahkan termasuk kecil. Tetapi di dalamnya sudah terdapat dua tiga orang yang sedang duduk makan.

Kehadiran Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang tidak menarik perhatian. Tempat itu adalah tempat yang dikunjungi oleh banyak orang dari berbagai daerah. Setelah memesan minuman dan makan, maka Mahisa Murti sempat bertanya kepada pemilik kedai itu, “Apakah tempat itu tempat persinggahan pedati yang mengangkut barang-barang dagangan?”

“Ya, Ki Sanak,” jawab pemilik kedai itu dengan ramah, “juga tempat para pedagang menginap jika mereka kemalaman. Pedagang yang datang di padukuhan ini adalah pedagang dari segala penjuru. Mereka datang dari tempat yang mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Pedati yang berjalan ke daerah yang aman, biasanya tidak perlu bermalam di sini setelah menurunkan barang-barang mereka dan memuat kebutuhan bagi padukuhan mereka. Di perjalanan kembali, mereka tidak takut barang-barang itu dirampas orang. Tetapi pedati yang menuju ke arah yang suasana kehidupan keras, maka diperlukan sikap yang lebih berhati-hati. Meskipun agaknya para penjahat mulai memandang ke arah padukuhan-padukuhan yang selama ini hidup tenang di sebelah meliputi daerah yang agak luas.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara tanpa diminta pemilik kedai itu menceriterakan kesempatan berusaha yang baik bagi penghuni padukuhan itu, justru karena letak padukuhan mereka. Tetapi di samping itu, maka di padukuhan ini terdapat pula segala jenis manusia dengan cara hidupnya yang berbeda-beda.

Ternyata bahwa orang-orang yang sudah lebih dahulu berada di kedai itu justru mulai tertarik kepada kelima orang yang datang kemudian itu. Bahkan seorang di antara mereka tiba-tiba saja bertanya, “Apakah kalian orang asing di sini?”

“Ya Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti, “kami adalah pengembara yang menjelajahi banyak tempat. Kami sekarang sedang berada dalam perjalanan kembali.”

“Jika kau ingin melihat seribu jenis manusia dengan seribu jenis wataknya, masuklah ke dalam penginapan itu. Aku adalah salah seorang pedagang yang datang dari Barat. Aku membawa sejenis gerabah yang banyak peminatnya di padukuhan-padukuhan lain sehingga daganganku cepat habis di sini. Tetapi untuk menunggu kesempatan pulang, aku merasa tersiksa di penginapan itu. Karena itu, aku lebih senang duduk di sini sambil minum minuman hangat dan makan makanan dari jenis apapun juga,” berkata orang itu.

“Kenapa harus menunggu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Menunggu pembayaran yang kadang-kadang tertunda sehari,” jawab orang itu.

Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil berdesis, “Memang mungkin sekali. Bukankah pembayaran itu dilakukan setelah pembelinya menjual barang dagangannya pula?”

“Nah, kau nampaknya juga seorang pedagang,” tebak orang itu.

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Bukan pedagang. Tetapi aku dapat menduganya.”

Orang itulah yang kemudian tersenyum. Katanya, “Seperti sekarang ini. Aku harus menunggu sampai esok pagi. Rasa-rasanya aku tidak tahan lagi. Tetapi apa boleh buat.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat bertanya, “Apa sebenarnya yang membuatmu tersiksa?”

“Cara orang-orang di dalam rumah itu mengisi waktunya,” jawab orang itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Mereka tidak begitu memahami jawaban orang itu. Sementara Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping masih saja sibuk dengan minuman dan makanan mereka.

Selagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu, maka mereka terkejut mendengar suara tertawa perempuan yang meledak. Kemudian jerit kecil yang serak. Ketika mereka berpaling, dilihatnya seorang perempuan berlari-lari mengejar seorang laki-laki. Namun kemudian keduanya telah pergi meninggalkan halaman itu sambil meninggalkan suara tertawa panjang.

“Salah satu contoh dari kehidupan yang mengerikan itu,” desis orang yang telah lebih dahulu berada di kedai itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Karena itu maka keduanya telah berniat untuk segera meninggalkan tempat itu. Mereka tidak ingin terlibat dalam satu persoalan apapun juga. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah berkata, “Marilah. Kita akan melanjutkan perjalanan.”

Demikianlah, maka kelima orang itu pun telah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu, ketika dua orang memasuki kedai itu. Seorang laki-laki dan seorang perempuan didahului oleh suara tertawa yang memekik.

Kedatangan kedua orang itu telah mempercepat rencana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk meninggalkan tempat itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah menarik MahisaAmping sambil berdesis, “Marilah. Bukankah kau sudah kenyang.”

Mahisa Amping sama sekali tidak mengerti apapun juga yang terjadi. Karena itu, maka ia menurut saja dibimbing oleh Mahisa Pukat keluar dari kedai itu. Namun Mahisa Pukat terkejut ketika ia mendengar perempuan itu berkata, “He, kalian telah menghina aku.”

Mahisa Murti yang masih baru bergeser dari tempat duduknya terhenti. Ia melihat kemungkinan buruk dapat terjadi. Karena itu, maka ia pun telah melangkah sambil menggamit Mahisa Pukat, “Marilah, jangan hiraukan.”

Kelima orang itu sudah berada di luar kedai ketika perempuan itu berdiri di pintu sambil bertolak pinggang, “Kenapa kalian pergi begitu aku masuk?”

Mahisa Murti yang berada di paling belakang memang berpaling. Ia tidak dapat berdiam diri tanpa memberikan penjelasan. Karena itu maka ia pun kemudian berkata, “Maaf Ki Sanak. Kami sama sekali tidak berniat demikian. Sebelum Ki Sanak masuk ke kedai ini, kami memang sudah berniat untuk pergi, karena kami sudah terlalu lama berada di sini.”

“Bohong,” teriak perempuan itu, “kau kira aku apa he? Kau kira aku hantu perempuan yang harus dijauhi? He, atau kau kira aku apa? Kau anggap aku tidak pantas duduk di kedai itu atau kau menganggap dirimu tidak pantas duduk dekat aku?”

“Tidak. Sama sekali tidak Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “Kami benar-benar tidak menyadari apa yang kami lakukan, karena kami memang tidak mempunyai perasaan apapun terhadap Ki Sanak. Karena itu, jika yang kami lakukan membuat Ki Sanak tersinggung, kami mohon maaf.”

“Omong kosong,” geram perempuan itu yang kemudian berpaling kepada laki-laki yang menyertainya memasuki kedai itu, “apakah kau tidak dapat berbuat sesuatu atas mereka?”

Tetapi laki-laki itu sama sekali tidak mengacuhkannya. Bahkan katanya, “Biarkan saja mereka pergi.”

“Pengecut,”teriak perempuan itu.

Namun dalam pada itu, laki-laki penjual gerabah yang lebih senang berada di kedai itu daripada di rumah besar itu pun berkata, “Ia memang sudah minta diri sebelum kalian datang. Ia tidak berniat menghina kalian.”

“Jangan turut campur,” teriak perempuan itu, “kau siapa?”

“Aku pedagang gerabah. Pedatiku berada di halaman rumah itu pula. Aku menunggu uangku yang akan dibayar besok,” jawab orang itu.

“Jika kau sudah mengenal tempat ini, kenapa kau ikut campur persoalan orang lain?” teriak perempuan itu pula.

“Aku tidak mencampuri persoalanmu. Aku hanya ingin menjelaskan bahwa orang-orang itu tidak bersalah,” jawab pedagang gerabah itu.

Tetapi perempuan itu justru semakin marah. Tiba-tiba saja ia telah bersuit nyaring. Satu hal yang tidak diduga bahwa ia akan memberikan isyarat seperti itu. Ternyata dari dalam rumah yang besar itu telah keluar dua orang yang nampaknya sangat garang.

Dengan tergesa-gesa orang itu telah menyeberangi halaman yang luas dan langsung menuju ke arah perempuan yang berdiri di depan kedai itu. Sementara kawannya, laki-laki yang datang bersamanya justru telah melangkah keluar dan begitu saja pergi tanpa mengatakan apa-apa. Kepada kedua orang yang garang itu ia sempat mengatakan sesuatu. Tetapi tidak begitu jelas didengar oleh orang-orang yang berada di kedai. Kedua orang itu nampak ragu-ragu. Namun kemudian mereka melanjutkan langkah mereka meskipun tidak lagi dengan tergesa-gesa.

“Cepat,” perempuan itu hampir berteriak.

Keduanya mempercepat langkah mereka. Namun nampak bahwa mereka masih saja ragu-ragu. Demikian keduanya sampai di depan kedai itu, maka perempuan itu segera berteriak, “Seret laki-laki di dalam kedai itu kemari. Ia sudah mencampuri persoalanku dengan anak-anak liar itu.”

Kedua orang itu masih saja ragu-ragu. Dipandanginya Mahisa Murti dan saudara-saudaranya yang berdiri termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja salah seorang dari kedua orang yang berwajah garang itu berkata, “Bukankah yang bersalah anak-anak liar itu? Sedangkan orang yang ada di dalam kedai itu hanya mencampuri persoalannya.”

“Aku tidak senang ia mencampuri persoalan orang lain. Karena itu ia harus dihukum,” bentak perempuan itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru tidak dapat meninggalkan laki-laki itu begitu saja. Jika benar ia mengalami kesulitan, maka mereka harus membantu, karena orang itu telah mengatakan bahwa Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak bersalah.

Tetapi jawaban salah seorang laki-laki berwajah garang itu mengejutkan. Katanya, “Laki-laki yang ada di dalam kedai itu adalah Kiai Liman Serapat. Penjual gerabah yang namanya tentu sudah pernah kau kenal. Ia memiliki ilmu yang sangat tinggi. Jika kami mencoba memaksanya, maka yang akan kau dapatkan adalah mayat-mayat kami.”

“He,” wajah perempuan itu menjadi merah, ”jadi laki-laki itu Kiai Liman Serapat? Kenapa kakang Sindu tidak mengatakan apa-apa dan pergi begitu saja?”

“Ia tidak berani berbuat apa-apa di hadapan Kiai Liman Serapat,” jawab salah seorang dari kedua orang yang garang itu.

Perempuan itu termangu-mangu. Sekali-sekali ia berpaling ke arah Mahisa Murti dan saudara-saudaranya yang berdiri termangu-mangu. Tetapi ia pun tidak berani berbuat apa-apa, karena didalam kedai itu terdapat orang yang disebut Liman Serapat.

Sementara itu, orang yang semula ada di dalam kedai itu telah melangkah keluar. Tanpa menghiraukan perempuan itu serta kedua orang yang garang itu, maka ia telah melangkah mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Seharusnya aku memang tidak usah mencampuri persoalan kalian justru untuk memberi pelajaran kepada orang-orang upahan itu,” berkata orang yang disebut Kiai Liman Serapat itu.

“Maksud Kiai?” desis Mahisa Murti.

“Kalian tentu akan membuat mereka jera. Kalian tentu anak-anak muda yang berilmu sangat tinggi. Apalagi menilik sepasang pusaka yang menjadi rebutan di antara orang-orang berilmu tinggi itu sudah ada pada kalian,” jawab orang itu.

Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang. Tetapi orang itu berkata, “Tetapi kalian tidak perlu cemas. Aku bukan termasuk orang-orang tamak yang menginginkan sepasang pusaka itu. Bukannya aku tidak ingin. Tetapi sudah tentu ilmuku tidak akan mampu untuk aku jadikan bekal mencapainya. Kedua orang itu agak berlebihan memuji kemampuanku.”

“Ah,” desis Mahisa Murti, “kami bukan apa-apa bagi Kiai.”

“Kalian adalah anak-anak muda yang rendah hati. Ketika terjadi persoalan, kalian tidak langsung menanggapinya dengan keras, karena seandainya semua orang yang ada di dalam rumah itu ikut melawan kalian, maka mereka tidak akan berarti apa-apa. Tetapi kalian sengaja menghindari kekerasan itu,” berkata Kiai Liman Serapat. Lalu katanya, “Nah, silahkan melanjutkan perjalanan. Jangan berhenti dan apalagi bermalam di rumah seperti itu. Jika aku melakukannya, karena aku mendapat sumber penghidupan dari penjualan gerabah itu, yang menurut pendapatku lebih baik daripada aku merampok.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Terima kasih Kiai. Perkenankan kami mohon diri.”

“Hati-hati dengan sepasang pusaka itu,” berkata Kiai Liman Serapat, “sebaiknya kau memberi selongsong hulu pusaka itu. Hulunya itu pun telah sangat menarik perhatian orang.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih atas petunjuk Kiai. Barangkali sebaiknya kami memang melakukannya.”

“Nah, sekarang selamat jalan,” berkata Kiai Liman Serapat.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk hormat. Sementara Mahisa Amping berdiri termangu-mangu. Namun mereka pun kemudian telah meninggalkan tempat itu. Sementara Kiai Liman Serapat mendekati kedua laki-laki yang garang itu sambil menggeram, “Jika kau ingin kepalamu terlepas, hentikan anak-anak itu.”

Kedua laki-laki yang garang itu tidak menjawab sama sekali. Ketika kemudian Kiai Liman Serapat telah meninggalkan kedua orang laki-laki yang garang itu, maka perempuan yang semula marah-marah itu telah datang kepada mereka sambil bertanya, “He, kenapa aku tidak mengenal Kiai Liman Serapat?”

“Ya, kenapa?” laki-laki yang muda di antara keduanya itu justru bertanya.

Namun laki-laki yang lainlah yang menjawab, “Ia memang jarang kemari. Jika ia datang, ia lebih senang berada di kedai atau berjalan-jalan. Malam hari ia tidur di pedatinya jika ia harus bermalam di sini.”

“Huh,” perempuan itu mencibir, “ia merasa dirinya bersih seperti kapas. Ia sudah menghina kita semuanya.”

“Kenapa? Ia tidak pernah mengatakan apa-apa tentang kita. Ia memang tidak senang terhadap cara hidup kita. Tetapi ia selalu diam saja. Ia sendirilah yang lebih senang menyingkir. Bukan karena ia merasa dirinya bersih serta menilai kita tidak pantas. Tetapi ia tidak mau hidup seperti kita. Dan itu adalah haknya,” jawab laki-laki itu.

“Sejak kapan kau menjadi alim seperti itu? Bukankah kau masih memerlukan aku?” berkata perempuan itu sambil bertolak pinggang.

“Tentu,” jawab laki-laki itu, “tetapi itu adalah kita. Bukan Kiai Liman Serapat.”

Perempuan itu tiba-tiba tersenyum. Katanya, “Kau lihat, besok ia akan menyembah aku seperti kalian berdua.”

“Kau jangan melakukan itu. Kalau kau mau menghancurkan kami berdua, lakukanlah. Kami memang orang-orang yang tidak lagi pantas berdiri di atas martabat kami. Tetapi jangan ganggu Kiai Liman Serapat,” berkata salah seorang laki-laki itu.

“Nah, kau mulai berkeberatan. Kau takut aku berhasil dan kemudian melupakan kalian berdua,” berkata perempuan itu sambil tertawa.

“Tidak. Aku justru mencemaskan kau. Mungkin untuk selamanya kau tidak akan dapat bertemu bukan saja dengan kami berdua, tetapi juga dengan matahari dan rembulan,” berkata salah seorang dari kedua orang laki-laki itu.

Keduanya tidak lagi menghiraukan perempuan itu. Nampaknya perempuan itu sama sekali tidak puas terhadap jawaban laki-laki itu. Tetapi ia tidak berbicara apa-apa lagi. Bahkan kemudian ia telah tersenyum sendiri.

Sementara itu Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah berjalan semakin jauh. Namun mereka pun kemudian telah terhenti karena beberapa orang yang menyusul mereka. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mengira bahwa ia masih harus terlibat dalam soal-soal yang sebenarnya tidak perlu mendapat perhatiannya.

Semula Mahisa Murti mengira bahwa di antara orang-orang itu tentu terdapat dua orang yang berwajah garang, yang tidak berani berbuat sesuatu karena ada orang yang bernama Liman Serapat. Tetapi ternyata dugaannya salah. Di antara orang-orang yang menyusulnya itu, tidak terdapat dua orang yang berwajah garang itu.

Tetapi orang-orang yang menyusulnya itu juga menjadi heran, bahwa kelima orang itu justru tidak melarikan diri. Tetapi mereka bahkan telah berhenti menunggunya.

Ketika orang-orangitu telah menjadi semakin dekat, maka seorang di antara mereka telah melangkah maju sambil berkata, “Kaliankah yang baru saja meninggalkan kedai di dekat pemberhentian pedati itu?”

“Ya,” jawab Mahisa Murti.

Orang yang bertanya itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Jika demikian maka sebaiknya kalian kembali ke tempat itu.”

“Ada apa?” bertanya Mahisa Murti, “kami tidak mempunyai banyak waktu. Karena itu, maka sebaiknya kami tidak perlu memenuhi permintaanmu.”

“Kalian tidak mempunyai pilihan lain. Sebaiknya kalian memenuhi perintah kami,” berkata orang itu.

Mahisa Murti justru termangu-mangu sejenak. Namun Mahisa Pukat lah yang bertanya, “Siapa yang menghendaki kami kembali ke tempat itu?”

“Nyi Rantam. Perempuan yang disegani di tempat itu,” berkata orang itu.

Mahisa Murti dengan cepat menyahut, “Maaf Ki Sanak. Kami tidak dapat kembali.”

“Kalian harus kembali. Ki Liman Serapat telah menjadi tawanan kami. Jika kalian tidak mau kembali, maka Kiai Liman Serapat akan mati,” berkata orang itu.

Mahisa Murti dan saudara-saudaranya terkejut. Menurut penilaian mereka, Kiai Liman Serapat adalah orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka mereka tidak mengira bahwa ia akan demikian cepat menjadi tawanan. Karena itu, maka keterangan itu telah menggelitik Mahisa Murti dan saudara-saudaranya untuk melihat, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Meskipun ada keraguan, namun rasa-rasanya tidak akan ada salahnya jika mereka melihat keadaan Kiai Liman Serapat.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian menyahut, “Baiklah. Kita akan kembali.”

Mahisa Pukat agaknya masih ragu-ragu. Tetapi ia tidak mau membantah keputusan Mahisa Murti, sehingga karena itu, maka ia pun telah ikut melangkah kembali menuju ke tempat pemberhentian pedati, sekaligus merupakan tempat perdagangan yang cukup ramai.

Beberapa orang yang menyusul mereka telah berjalan di belakang kelima orang itu dengan sikap yang membuat Mahisa Pukat hampir saja kehilangan pengekangan diri. Mereka berjalan sambil menengadahkan wajah mereka. Langkah yang seakan-akan dibuat-buat, sehingga mereka memberikan kesan orang-orang yang sombong dan merasa diri mereka melampaui kebanyakan orang.

Untunglah bahwa Mahisa Pukat masih sempat menyadari apa yang sedang dihadapinya. Karena itu, maka ia pun telah memutuskan untuk berpura-pura tidak pernah melihat orang-orang itu berjalan dibelakangnya. Namun dalam pada itu perhatian Mahisa Pukat pun segera beralih kepada Mahisa Murti yang berdesis,

“Bagaimana mungkin hal itu terjadi atas orang tua itu. Ia agaknya disegani oleh beberapa pihak. Namanya dikenal oleh banyak orang. Agaknya tidak mungkin bahwa begitu mudahnya orang itu menjadi tawanan.”

“Ya,” jawab Mahisa Pukat, “memang menarik. Tetapi sikap orang-orang yang berjalan di belakang kita sangat memuakkan. Aku ingin memberikan sedikit peringatan kepada mereka jika mereka masih saja bersikap sombong.”

“Biarkan saja mereka,” berkata Mahisa Murti, “mungkin mereka merasa bahwa tanpa Kiai Liman Serapat maka mereka akan dapat berbuat apapun menurut keinginan mereka.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berdesis, “Agaknya ada sesuatu yang tidak wajar.”

“Ya. Karena itulah maka aku ingin melihatnya,” jawab Mahisa Murti.

“Aku mencemaskan Mahisa Semu dan paman Wantilan,”bisik Mahisa Pukat, “apalagi Mahisa Amping. Agaknya Kiai Liman Serapat berhadapan dengan orang-orang yang sangat licik.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan membagi diri. Aku akan mencari keterangan tentang Kiai Liman Serapat. Cobalah kau awasi saudara-saudara kita itu.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu mereka telah menjadi semakin dekat dengan tempat pemberhentian pedati itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah berjalan semakin cepat, sementara Mahisa Pukat masih saja berjalan dengan langkah seperti semula. Bahkan kemudian ia berada di antara saudara-saudaranya.

Orang-orang yang membawa mereka kembali itu tiba-tiba saja telah berjalan semakin dekat di belakang mereka. Karena Mahisa Murti berjalan lebih cepat, maka seorang di antara mereka membentak. “Cepat. Kenapa kalian tidak bersama-sama dengan kawanmu yang berjalan di depan itu?”

Mahisa Pukat hampir saja kehilangan kesabaran. Namun ia masih menahan diri. Katanya, “Jika kalian sekali lagi membentak-bentak seperti itu, maka aku akan mengoyak bibirmu.”

“Setan,” geram orang itu.

Mahisa Pukat tiba-tiba saja telah berhenti. Namun Mahisa Murti sempat berhenti pula dan berpaling, ”Mahisa Pukat. Bukankah kita sedang ditunggu.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun ia telah memaksa diri untuk berjalan terus. Ketika mereka sampai ke regol halaman tempat pemberhentian pedati yang luas itu, mereka tidak melihat kesan apapun.

Namun dua orang yang berdiri di dalam regol itu menyambut mereka sambil berkata, “Kiai Liman Serapat ada di serambi gandok di dalam seketheng.”

Mahisa Murti tidak menjawab. Ia pun melangkah langsung menuju seketheng dan melangkah masuk. Tiba-tiba saja langkah terhenti. Ia melihat seorang yang berbaring di pembaringan. Sementara itu, tiga orang yang bertubuh sedang, namun menunjukkan pancaran mata yang tajam, berdiri sambil menyilangkan tangannya di dadanya.

Demikian Mahisa Murti datang, maka perempuan yang sudah dikenalnya lebih dahulu itu keluar dari pintu butulan sambil berkata, “Anak itulah yang aku katakan kepada kalian, sehingga orang yang bernama Kiai Liman Serapat itu mencampuri persoalanku. Untunglah kalian kebetulan ada di sini, sehingga kalian dapat mengambil langkah melumpuhkan Kiai Liman Serapat.”

“Apakah kau keluarganya anak muda?” salah seorang dari ketiga orang itu bertanya.

Mahisa Murti menggeleng sambil menjawab. “Tidak. Aku baru mengenalnya di kedai itu.”

“Tetapi ia sudah membelamu,” berkata orang itu pula dengan nada berat.

“Ia orang yang baik menurut penilaianku,” jawab Mahisa Murti.

“Sekarang ia terbaring tanpa dapat berbuat sesuatu. Ia adalah tawanan kami. Jika kami memanggil kalian, maka mungkin ada pesan yang akan disampaikannya kepada kalian sebelum saat-saat terakhirnya,” berkata orang itu.

“Akan kau apakan orang itu?” bertanya Mahisa Murti.

“Ia adalah musuh lamaku. Aku tidak mengira bahwa ia akan mencari penghidupan dengan berdagang gerabah. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, banyak yang dapat dilakukannya. Tetapi ia memilih laku yang rendah itu,” jawab orang itu.

“Kau bawa dendam lamamu, atau kau anggap apa yang dilakukan itu sudah cukup alasan untuk menghukumnya?” bertanya Mahisa Murti.

Orang itu tertawa. Kedua orang yang lain pun tertawa pula. Mahisa Murti yang berdiri beberapa langkah dari serambi itu berdiri termangu-mangu. Sementara beberapa langkah di belakangnya, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan mengamati keadaan dengan penuh kewaspadaan. Hanya Mahisa Amping sajalah yang sempat memandang keadaan di sekelilingnya.

“Anak muda,” berkata orang yang berdiri di sebelah pembaringan, “apakah kalian berkeberatan jika kami membunuh Liman Serapat?”

“Apakah alasan pembunuhan itu?” bertanya Mahisa Murti.

“Apapun alasannya,” jawab orang itu. Namun katanya kemudian, “tetapi orang itu telah menolong kalian, sehingga kalian tidak mengalami kesulitan di kedai itu. Tanpa Kiai Liman Serapat, kalian sudah menjadi tontonan di halaman itu.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tak ada gunanya kau membunuhnya. Sebaiknya kalian menyelesaikan persoalan antara kalian dengan kami tanpa menyangkut Kiai Liman Serapat.”

Wajah orang itu menjadi tegang. Mereka tidak mengira bahwa anak muda itu akan berkata demikian. Namun orang itu masih juga berkata, “Kau mulai putus asa. Tetapi kau masih mempunyai jalan untuk menyelamatkan Kiai Liman Serapat.”

“Apa maksudmu?” bertanya Mahisa Murti.

“Bukankah kalian mempunyai sepasang pusaka yang menarik itu?” desis orang itu, “jika kalian menyerahkan pusaka itu, maka Kiai Liman Serapat akan kami bebaskan.”

Wajah Mahisa Murti menjadi tegang. Demikian pula Mahisa Pukat yang juga mendengar permintaan itu. Untuk beberapa saat kemudian justru berdiri mematung.

Namun tiba-tiba orang itu berkata, “Aku beri kalian kesempatan untuk berbicara dengan Kiai Liman Serapat. Mungkin kalian akan dapat membuat pertimbangan yang lebih mapan sehingga langkah yang akan kalian ambil tidak akan kalian sesali kemudian.”

Mahisa Murti berpikir sejenak. Namun orang itu telah membungkuk dan berbicara keras-keras ditelinga Kiai Liman Serapat, “Cobalah minta tolong kepada anak-anak itu. Aku bersedia menukar nyawamu dengan sepasang keris yang dibawanya itu.”

Tidak terdengar jawaban. Sementara orang itu berkata kepada Mahisa Murti, “Ia masih dapat berbicara. Tetapi suaranya sangat lemah. Ia masih mempunyai waktu beberapa saat, sebelum nyawanya akan meninggalkan tubuhnya. Tetapi jika kalian setuju dengan usul kami, maka kami mempunyai obat penangkal racun yang akan dapat menyembuhkannya.”

“Aku sudah mengira bahwa kalian dapat menguasai Kiai Liman Serapat dengan cara yang licik,” geram Mahisa Murti.

Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Sudahlah. Jangan kehabisan waktu. Aku beri kalian kesempatan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih ragu-ragu. Namun sementara itu orang-orang yang ada di sekitar Kiai Liman Serapat itu telah menyingkir menjauh untuk memberi kesempatan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendekat.

Sejenak kemudian, maka dengan hati-hati kedua orang anak muda itu telah berlutut di samping pembaringan Kiai Liman Serapat. Dengan lembut Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Apa yang terjadi Kiai?”

Dari tempat yang agak jauh salah seorang dari ketiga orang yang telah menawan Kiai Liman Serapat itu berteriak, “Kau harus berteriak keras-keras. Racun itu telah membuatnya agak tuli.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi tegang. Tetapi adalah diluar dugaan mereka sesuatu telah terjadi, sehingga keduanya menjadi sangat terkejut. Namun dengan cepat keduanya berusaha untuk menghapus kesan itu dari wajah mereka.

Diluar dugaan, terdengar Kiai Liman Serapat berbisik perlahan sekali, tetapi cukup jelas bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Jangan cemas. Aku tidak apa-apa. Lakukan sebagaimana diminta.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti pun berteriak “ Kiai, apa yang sudah terjadi?”

Terdengar ketiga orang itu tertawa. Juga perempuan yang menjadi sumber persoalan itu. Namun jawaban Kiai Liman Serapat, “Mereka telah meracun aku. Tetapi aku mempunyai penangkal racun itu, sehingga sebenarnya aku tidak terpengaruh karenanya. Namun dengan susah payah aku harus mengacaukan pernafasanku dan peredaran darahku untuk mengelabui mereka. Ternyata mereka bukan orang-orang yang berpenglihatan tajam meskipun mungkin mereka berilmu tinggi. Mereka tidak melihat bahwa aku berpura-pura.”

Jawaban itu demikian perlahan dan tersendat-sendat sehingga tidak ada orang lain yang mendengar kecuali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Apa jawabnya?” bertanya salah seorang dari ketiga orang itu.

Mahisa Murti memandang ketiga orang itu. Lalu katanya, “Jika kau ingin mendengar pembicaraan kami, mendekatlah. Kenapa kalian justru menjauh?”

“Kami ingin memberi kesempatan agar Kiai Liman Serapat berbicara terbuka kepada kalian tanpa takut bahwa kami akan mendengarnya. Mungkin tentang sepasang keris itu. Atau barangkali orang itu memang sudah berputus asa dan ingin mati.” jawab salah seorang dari ketiga orang itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam, sementara Mahisa Pukat berbisik, “Kita selesaikan mereka.”

“Tunggu,” desis Kiai Liman Serapat.

Mahisa Pukat termangu-mangu. Rasa-rasanya ia tidak sabar lagi untuk menunggu. Sikap ketiga orang itu sangat menyakitkan hatinya. Apalagi perempuan yang menjadi sebab dari persoalan yang timbul itu, yang disebut Nyi Rantam.

Tetapi Kiai Liman Serapat itu pun kemudian berkata, “Jangan tergesa-gesa anak muda. Biar mereka puas mentertawakan aku. Baru kemudian giliran kita mentertawakan mereka.” orang tua itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Tetapi berhati-hatilah. Agaknya ketiganya adalah orang-orang yang berilmu. Mereka mengetahui bahwa kalian berdua telah membawa sepasang keris yang menjadi buruan hampir setiap orang berilmu itu.”

“Ya Kiai,” jawab Mahisa Pukat.

“Sebaiknya kita berbicara saja sendiri. Biarlah mereka menunggu sampai saatnya mereka tidak sabar,” berkata Kiai Liman Serapat, “sementara itu, beri aku kesempatan memperbaiki pernafasanku serta peredaran darahku yang aku kacaukan sendiri. Dengan demikian, maka aku akan segera berada di tataran puncak dari kekuatan, kemampuan dan ilmuku.”

“Silahkan Kiai,” berkata Mahisa Murti, “kami akan menjaga Kiai.

“Aku tidak memerlukan waktu lama. Bahkan seandainya dalam keadaan seperti ini aku harus langsung bertempur, tidak akan banyak mempengaruhinya juga,” sahut orang itu.

Tetapi Kiai Liman Serapat pun segera bersemadi sambil berbaring. Dipusatkannya nalar budinya pada pernafasannya dan peredaran darahnya, sehingga perlahan-lahan peredaran nafas dan darahnya telah menjadi pulih kembali.

Sementara itu, ketiga orang itu mulai merasa curiga. Bahkan seorang di antara mereka berteriak, “He, apakah kalian sudah selesai?”

“Belum,” jawab Mahisa Murti, “sebentar lagi.”

“Apa ia menawarkan nyawanya untuk kalian tolong?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Ya,” jawab Mahisa Murti, “ia ingin nyawanya diselamatkan. Kiai Liman Serapat, masih ingin hidup.”

“Nah, rasakan kau orang sombong,” geram Nyi Rantam.

Sementara itu seorang di antara ketiga orang itu bertanya, “Jika demikian, apa jawabmu.”

“Aku tidak dapat melepaskan pusaka-pusaka kami,” jawab Mahisa Murti.

“Jika demikian, maka kami akan membiarkan orang itu mati. Sementara itu, kalian pun akan mati kemudian,” geram orang itu.

“Tidak,” jawab Mahisa Murti, “Kiai Liman Serapat tidak akan mati. Kami pun tidak akan membiarkan diri kami dibunuh.”

“Cepat. Ambil keputusan sebelum orang itu benar-benar mati,” teriak yang lain.

Tetapi Mahisa Pukat yang sudah tidak sabar lagi ia menjawab, “Tidak. Kiai Liman Serapat tidak akan mati, karena Kiai Liman Serapat tidak apa-apa.”

Jawaban Mahisa Pukat itu mengejutkan, sementara Kiai Liman Serapat sendiri tersenyum sambil berdesis, “Kau tidak sabar lagi anak muda.”

Ketiga orang itu memang terkejut. Ketiganya bergerak maju. Satu di antara mereka berkata. “Anak-anak muda. Minggirlah. Kami ingin melihat keadaan orang itu.”

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serentak bangkit berdiri sambil berkata, “Jangan mendekat lagi. Kami telah menjadi orang-orang bebas yang akan mampu melawan kalian jika kalian memaksakan pertempuran.”

“Setan kau,” geram seorang di antara mereka, “racun itu telah bekerja di tubuh Kiai Liman Serapat. Kau kira, ada obat yang dapat menyembuhkannya selain penangkalnya yang ada pada kami.”

“Omong kosong,” geram Mahisa Pukat, “jangan mencoba menipu dan menakuti-nakuti kami. Kiai Liman Serapat tidak apa-apa. Nafasnya dan peredaran darahnya sedikit dikacaukannya sendiri untuk mengelabui kalian. Sementara itu penglihatan kalian pun agaknya sudah menjadi kabur.”

Ketiganya tertegun sejenak. Tetapi salah seorang di antara ketiga orang itu berteriak, ”jangan berpura-pura. Itu hanya suatu sikap putus asa. Kiai Liman Serapat tentu akan mati.”

Tetapi ketiga orang itu benar-benar terkejut ketika mereka melihat Kiai Liman Serapat bangkit dari pembaringannya. Kemudian berdiri sambil menggeliat seperti seorang yang baru saja bangun dari tidurnya.

“Satu kesempatan untuk beristirahat,” berkata Kiai Liman Serapat.

Ketiga orang itu melangkah surut. Seorang di antara mereka berkata, “Iblis kau Serapat. Tetapi tidak ada penangkal racun itu kecuali yang ada pada kami.”

“Racun yang kau pergunakan itu adalah racun yang hanya akan membunuh nyamuk. Tetapi tidak akan membunuh orang seperti aku ini,” berkata Kiai Liman Serapat.

“Tetapi racun itu sangat keras,” salah seorang dari ketiga orang itu mulai gagap.

“Racun kalian itu bukan apa-apa. Kedua anak muda ini pun tidak akan mengalami kesulitan apa-apa seandainya mereka kau gores dengan ujung tongkat itu,” jawab Liman Serapat.

“Persetan, kalian,” geram salah seorang dari ketiga orang itu, “siapakah sebenarnya kalian.”

“Kau lihat, kami adalah pengembara,” jawab Mahisa Murti.

Ketiga orang itu memang menjadi tegang. Sementara Nyi Rantam menjadi ketakutan. Ternyata bahwa untuk melumpuhkan Kiai Liman Serapat tidak semudah yang mereka duga. Tiga orang yang dianggap orang berilmu tinggi itu pun masih dapat dikelabui oleh Kiai Liman Serapat. Mereka mengira bahwa Kiai Liman Serapat adalah tawanan mereka. Namun ternyata Kiai Liman Serapat itu tidak apa-apa. Orang itu sama sekali tidak menjadi lumpuh. Nafasnya tidak terputus-putus dan darahnya tidak mengalir tersendat-sendat.

Bahkan kemudian Kiai Liman Serapat itu telah bangkit seperti orang yang baru saja bangun dari tidurnya tanpa menunjukkan kesulitan apa-apa pada tubuhnya yang telah dikenai racun itu.

Sebenarnyalah Kiai Liman Serapat telah memulihkan keadaan tubuhnya dengan bersamadi. Bahkan bersamadi sambil berbaring. Ia sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk menata kembali pernafasan dan peredaran darahnya yang telah dikacaunya sendiri.

“Ki Sanak,” berkata Kiai Liman Serapat, “aku memang ingin mendapat pertolongan dari anak-anak muda ini. Aku tidak cemas untuk bertempur sendiri melawan kalian bertiga. Tetapi karena kalian adalah orang-orang berilmu tinggi, maka terus terang, aku agak ragu-ragu. Apakah aku dapat bertempur melawan kalian sendiri. Namun tiba-tiba anak-anak muda ini telah hadir. Mereka akan dapat bersamaku menyelesaikan persoalan kita. Ada satu keuntungan yang memaksa anak-anak muda itu berpihak kepadaku, karena kalian telah menginginkan sepasang keris yang dibawanya, meskipun seandainya kalian berhasil, maka kalian tentu akan saling bertempur untuk memperebutkannya, karena jumlah pusaka itu hanya dua, sedangkan kalian datang bertiga.”

“Kata-katamu ternyata lebih tajam dari racun yang menyuruk ke dalam tubuhmu,” geram salah seorang dari ketiga orang itu.

Kiai Liman Serapat tertawa. Katanya, “Tentu. Racunmu sama sekali tidak berarti apa-apa. Nah, sekarang kita berjumlah sama. Aku akan minta kepada anak-anak muda ini, agar saudara-saudaranya yang lain tidak mencampuri persoalan kita.”

“Setan kau,” geram salah seorang dari ketiga orang itu, “jangan menyesal jika kepalamu terpenggal di sini. Sebenarnya racun itu bagimu merupakan jalan kematian yang paling baik. Tenang, tenteram dan penuh kedamaian. Tetapi dengan bertempur, maka kau akan menempuh jalan kematian yang rumit.”

Kiai Liman Serapat tertawa. Katanya, “Sekedar untuk mengisi waktu. Aku sudah menjadi jemu menunggu uang gerabahku tapa berbuat sesuatu. Mari, kita pergi ke halaman depan agar kita mendapat ruang gerak yang lebih luas dari halaman kecil di belakang seketheng ini.”

Ketiga orang itu menjadi sangat marah. Bagaimanapun juga mereka adalah orang-orang yang merasa dirinya berilmu tinggi. Karena itu, maka mereka tidak mau direndahkan oleh orang yang meskipun bernama Kiai Liman Serapat.

Karena ketiga orang itu tidak beranjak dari tempatnya, maka Kiai Liman Serapat mengulanginya, “Marilah Tiga Serangkai dari Bukit Wadas. Atau barangkali ada orang yang menyebut kalian Sangga Langit Kinatelon atau barangkali kalian masih memiliki nama-nama lain yang lebih garang. Di halaman kita akan mendapat beberapa orang penonton. Barangkali permainan kita akan menjadi lebih bergairah daripada kita bermain di sini.”

“Persetan,” geram salah seorang dari mereka, “agaknya kau ingin mati di hadapan saksi-saksi. Marilah. Kita pergi ke halaman depan.”

Ketiga orang itu pun kemudian telah melangkah ke halaman depan rumah yang cukup besar itu. Halamannya pun cukup luas meskipun ada beberapa buah pedati yang berada di halaman itu.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Kiai Liman Serapat pun kemudian telah melangkah pula ke halaman. Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping berdiri agak jauh dari mereka. Bagaimanapun juga, di halaman itu masih ada beberapa orang yang mungkin akan dapat ikut campur. Beberapa orang yang telah menyusul perjalanan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu.

Sejenak kemudian, maka ketiga orang yang disebut Tiga Serangkai dari Bukit Wadas itu telah berdiri di halaman. Sementara Kiai Liman Serapat, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Liman Serapat, maka beberapa orang ternyata telah berada di sekitar halaman itu. Mereka melihat ketegangan yang terjadi. Dengan segera mereka pun mengerti, bahwa akan terjadi sesuatu di halaman itu.

Beberapa orang yang mengenal Kiai Liman Serapat tidak lebih dari penjual gerabah memang menjadi heran. Apa yang akan dilakukannya menghadapi orang-orang yang nampaknya memang orang-orang berilmu. Tetapi dua orang berwajah garang, yang bekerja bagi rumah penginapan itu telah berkata kepada orang-orang yang berdiri dekat mereka, “Orang itu Kiai Liman Serapat.”

“Apakah kau tidak mengigau?” bertanya seseorang.

“Lihat saja, apa yang dilakukannya,” jawab orang berwajah garang itu.

Namun ada di antara orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu yang mengenal Kiai Liman Serapat. Tetapi ada juga yang tidak. Karena itu, maka sikap orang-orang yang menyaksikan itu pun berdasarkan atas pengenalan mereka atas penjual gerabah itu.

Beberapa saat kemudian, maka Kiai Liman Serapat telah berkata, “Marilah Ki Sanak Sangga Langit Kinatelon. Apalagi yang kalian tunggu. Waktu kalian tentunya tidak banyak. Berbeda dengan aku. Aku memang harus berada di tempat ini sampai besok karena aku masih harus menunggu.”

“Kiai Liman Serapat. Apakah kau sudah kelaparan sehingga kau harus berjualan gerabah? Menurut pendengaranku Kiai Liman Serapat adalah orang berilmu tinggi. Kenapa kau tidak memilih pekerjaan yang lain yang lebih terhormat dari sekedar menjadi penjual gerabah saja?” bertanya salah seorang dari ketiga orang itu.

Tetapi Kiai Liman Serapat tertawa. Katanya, “Pekerjaan apapun baik asal tidak merugikan orang lain. Tidak melanggar paugeran dan tidak akan merusakkan lingkungan.”

“Persetan,” geram salah seorang di antara ketiga orang itu pula, ”bersiaplah. Kalian bertiga akan segera mati.”

Ketiga orang itu mulai bergerak. Tetapi dua di antaranya telah bergerak mendekati Mahisa Murti.

“Serahkan anak ini kepadaku,” desis yang seorang.

“Bunuh orang tua penjual gerabah itu, biarlah aku yang melawan anak ini dan sekaligus membunuhnya,” sahut yang lain.

“Kau lawan saja Liman Serapat,” bentak yang pertama, “Aku adalah saudara yang lebih tua darimu.”

Yang lain termangu-mangu. Tetapi ia pun kemudian mendekati orang yang berhadapan dengan Mahisa Pukat sambil berkata, “Bunuh Liman Serapat.”

“Kenapa tidak kau lakukan sendiri?” bertanya yang sudah berdiri berhadapan dengan Mahisa Pukat.

“Jangan membantah,” geram yang baru datang, “orang ini sangat berbahaya.”

“Selesaikan saja Kiai Liman Serapat,” jawab yang sudah berhadapan dengan Mahisa Murti.

Semula Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Kiai Liman Serapat agak menjadi bingung. Mereka semula mengira bahwa orang-orang itu merasa segan bertempur melawan Kiai Liman Serapat. Tetapi ternyata alasannya adalah lain. Mereka berebut bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, karena keduanya membawa masing-masing pusaka yang sedang diperebutkan oleh orang-orang berilmu tinggi itu.

Kiai Liman Serapat yang menyadari hal itu tiba-tiba saja telah tertawa sambil berkata, “Ternyata aku salah duga. Aku merasa diriku terlalu besar. Aku kira kalian takut melawan aku, sehingga kalian berebut menghindar. Tetapi ternyata kalian mempunyai pamrih lain atas anak-anak muda itu. Nah, jika demikian lebih baik kalian saling membunuh lebih dahulu, sehingga dua yang tersisa hidup akan bertempur melawan kedua anak muda itu. Biarlah yang sudah mati melawan aku.”

“Cukup,” bentak yang tertua di antara ketiga orang itu, “baiklah. Ternyata sikap kami telah membuat hatimu berkembang. Tetapi tidak. Aku memang menganggap lebih baik membunuhmu daripada mengambil keris-keris itu dari tangan anak-anak muda itu. Biarlah kedua orang saudaraku membunuh mereka dan mendapatkan keris itu.”

“Lalu, jika kau berhasil membunuhku, apa yang akan kau dapatkan?” bertanya Kiai Liman Serapat.

“Tentu ada,” jawab orang itu, “kau mempunyai penangkal racun. Apapun yang kau pergunakan, tetapi penangkal racun itu sangat penting artinya bagiku.”

“Penangkal racun itu tentu akan kau pergunakan untuk meracuni saudara-saudaramu,” berkata Kiai Liman Serapat.

“Bagaimana mungkin hal seperti itu terjadi. Penangkal racun itu dipergunakan hanya untuk menangkal racun. Tidak untuk meracuni orang lain seperti yang kau katakan itu,” berkata orang tertua itu.

“Tentu mungkin saja. Kalian bertiga makan bersama atau minum bersama atau apapun yang kalian lakukan, maka kau yang memiliki penangkal racun dapat minta kepada orang lain atau kau lakukan sendiri dengan meracuni semua makanan, termasuk yang akan kau makan,” berkata Kiai Liman Serapat.

“Tutup mulutmu,” bentak orang itu, “mulutmu memang lebih tajam dari racun yang manapun juga. Karena itu, maka kau harus segera dibinasakan.”

Kiai Liman Serapat bergeser selangkah. Ia melihat orang yang tertua itu sudah mengambil ancang-ancang. Agaknya ia akan menyerang dengan langsung. Sebenarnyalah yang diduga, maka orang itu pun kemudian telah meloncat menyerang. Bukan saja menjajagi kemampuan lawannya. Tetapi serangan itu benar-benar serangan yang mengarah ke dada.

Jika saja serangan itu mengenai, maka Kiai Liman Serapat tentu akan benar-benar sulit bernafas dan bahkan mungkin tulang-tulang iganya berpatahan. Tetapi karena Kiai Liman Serapat sudah benar-benar bersiap, maka ia pun dengan tangkas pula menghindari serangan itu. Bahkan ia pun telah menyusul dengan cepat, menyerang ke arah tengkuk.

Tetapi Kiai Liman Serapat juga tidak segera berhasil. Lawannya itu pun dengan tangkas menghindar. Namun dalam waktu sekejap orang itu telah menyerang Kiai Liman Serapat kembali. Serangannya kemudian datang membadai, menyambar-nyambar Kiai Liman Serapat. Tetapi pertahanan Kiai Liman Serapat sama sekali tidak segera goyah oleh serangan orang yang menjadi sangat marah itu.

Dengan demikian, maka pertempuran antara Kiai Liman Serapat dengan orang tertua di antara tiga orang seperguruan itu telah menjadi semakin sengit. Orang yang merasa dirinya juga berilmu tinggi itu telah melibat dengan segenap kemampuannya. Agaknya ia memang ingin segera menyelesaikan pertempuran itu. Namun Kiai Liman Serapat yang lebih dikenal sebagai pedagang gerabah itu mampu mengimbanginya. Bahkan sama sekali tidak banyak mengalami kesulitan.

Sementara itu dua orang yang telah menghadapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bersiap pula. Mereka pun ingin segera menyelesaikan lawan-lawan mereka. Karena itu, maka mereka pun telah menarik senjata masing-masing. Sejenis pedang yang tajam di kedua sisi. Ujungnya runcing seperti ujung duri.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bergeser saling menjajuhi. Namun keduanya pun tidak ingin mengalami kesulitan karena lawannya bersenjata. Karena itu, maka keduanya pun telah menarik senjata mereka. Keris yang ukurannya terlalu besar, sehingga baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat lebih senang menyebutnya pedang.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum mengerahkan kemampuannya, sehingga yang nampak adalah sebilah keris yang terbuat dari besi baja pilihan, bercahaya kehijau-hijauan. Namun keris itu masih belum nampak menyala dan memancarkan lidah api yang menggetarkan jantung. Meskipun demikian cahaya yang memang memancar dari besi baja pilihan serta pamornya yang jarang ada duanya itu, telah membuat lawan-lawan mereka berdebar-debar.

Tetapi keris-keris itu memang menarik untuk dimiliki. Dengan pusaka itu, maka mereka akan menjadi semakin disegani. Tetapi mereka pun sadar, bahwa lawan-lawan mereka yang memiliki pusaka-pusaka itu pun tentu memiliki kelebihan justru karena mereka menggenggam dan mempergunakannya.

“Namun bagaimanapun juga, kelebihan manusianya akan ikut menentukan,” berkata orang-orang yang ingin merebutnya itu di dalam hati.

Sehingga dengan demikian maka mereka sama sekali tidak ingin melangkah surut. Persoalan yang mereka hadapi bukan lagi untuk menyingkirkan Kiai Liman Serapat yang telah mencampuri persoalan Nyi Rantam yang marah, tetapi satu perjuangan untuk merebut pusaka-pusaka itu dari tangan anak-anak muda yang mengaku sebagai pengembara itu..Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah terlibat dalam pertempuran yang cepat dan keras.

Dalam pada itu, lawan Mahisa Pukat itu masih sempat berdesis, “Sebaiknya kau serahkan saja keris itu agar kau masih akan dapat keluar dari halaman rumah ini. Meskipun pusaka itu memiliki kelebihan dari jenis senjata apapun, tetapi segala sesuatunya masih juga tergantung orang yang memegangnya. Betapapun tingginya nilai sebuah pusaka, tetapi jika orang yang memiliki tidak memiliki kelebihan yang mendukung nilai dari pusaka itu, maka pusaka itu tidak akan banyak berarti.”

“Aku sependapat,” jawab Mahisa Pukat, “karena itu, jangan mencoba merampas pusaka-pusaka ini, karena kalian tidak akan mampu melakukannya. Tanpa pusaka ini pun kau tidak akan dapat mengalahkan aku. Apalagi di tanganku sekarang tergenggam pusaka yang dahsyat ini.”

“Kau jangan terlalu sombong,” geram orang itu.

“Tidak. Sebenarnya aku masih ingin mencegah pertempuran ini, karena dalam pertempuran ini, kau tidak akan mendapat kesempatan apapun juga. Bahkan kesempatan untuk mempertahankan diri,” sahut Mahisa Pukat.

“Agaknya kau memang belum pernah mendengar nama Sangga Langit Kinatelon. Kami adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi yang diakui oleh banyak orang yang berilmu tinggi sekalipun,” berkata orang itu dengan garang.

Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Baiklah. Kita akan membuktikan, apakah benar bahwa kau adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia pun telah meloncat sambil menjulurkan pedangnya. Namun Mahisa Pukat telah siap menghadapinya. Karena itu, maka ia pun telah bergeser selangkah surut. Ujung pedang itu masih sejengkal dari dada Mahisa Pukat. Tetapi orang itu tidak menarik pedangnya. Bahkan ia telah bergeser dengan cepat menggapai sasarannya.

Mahisa Pukat pun harus bergerak cepat. Ia tidak meloncat surut lagi. Tetapi ia justru menangkis serangan itu. Dengan kuat pedang yang terjulur itu telah dipukulnya menyamping.

Lawan Mahisa Pukat itu terkejut. Pukulan pedang Mahisa Pukat ternyata demikian kuatnya, sehingga hampir saja pedang orang itu terlepas dari tangannya. Tetapi ternyata ia masih mampu mempertahankannya meskipun telapak tangannya kemudian terasa sangat pedih.

“Setan kau,” geram orang itu. Lalu katanya, “Jika ujung pendangku mampu menggapaimu dengan goresan setebal rambut, maka racun yang melekat ditubuhmu akan mengikuti arus darahmu dan menghentikan kerja jantungmu.”

“Racunmu tidak dapat membunuh Kiai Liman Serapat,” sahut Mahisa Pukat.

“Orang itu mempunyai penangkal racun yang tidak ada duanya,” jawab lawan Mahisa Pukat.

“Ia akan dapat mengobati aku jika tubuhku tergores racunmu,” desis Mahisa Pukat.

Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Kau tidak akan sempat melakukannya. Jadi apa artinya keterangan Kiai Liman Serapat bahwa kalian pun tidak akan dapat dibunuh dengan racun?”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika aku terkena racunmu lebih dahulu dari pengobatan itu, maka aku akan kehilangan waktu. Tetapi aku sudah mendapatkan penangkal racun itu lebih dahulu,” jawab Mahisa Pukat.

Wajah lawannya menjadi tegang. Namun tiba-tiba tanpa berbicara lagi, maka ia pun telah meloncat sambil mengayunkan pedangnya mendatar. Namun Mahisa Pukat sudah bersiap untuk melayaninya. Karena itu, maka serangan itu dengan cepat pula dapat dihindarinya.

Tetapi orang itu kemudian justru berteriak, “Kau berbohong. Kau akan mati karena racun. Aku melihat kau datang, mendekati Kiai Liman Serapat yang berbaring dan kemudian turun ke halaman. Tidak ada kesempatan untuk memberikan obat itu kepadamu. Karena itu, maka kau harus mati. Racunku akan membunuhmu.”

Tetapi sambil berloncatan Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya, “Jika demikian, maka penangkal racun itu adalah milikku sendiri, sehingga racun kalian tidak akan berarti apa-apa bagiku sebagaimana bagi Kiai Liman Serapat. Demikian pula saudaraku itu tidak akan dapat kau bunuh dengan racun apapun juga.”

“Setan kau,” geram lawannya yang menyerangnya semakin cepat.

Mahisa Pukat tidak menjwab lagi, serangan lawannya semakin lama menjadi semakin cepat. Pedangnya berputaran menyambar-nyambar. Tetapi Mahisa Pukat pun mampu mengimbanginya. Ia bergerak tidak kalah cepatnya dari lawannya. Setiap serangan dapat dihindarinya. Bahkan jika Mahisa Pukat sempat menangkis serangan pedang lawannya, maka lawannya selalu merasakan betapa besarnya kekuatan anak muda itu. Tetapi pertempuran itu semakin lama masih juga meningkat semakin cepat. Keduanya bagaikan berterbangan berputaran sambil mengayun-ayunkan senjata mereka masing-masing.

Di sisi yang lain, Mahisa Murti pun telah bertempur pula melawan salah seorang di antara ketiganya yang disebut Sangga Langit Kinatelon itu. Tetapi seperti Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti masih selalu mampu mengimbangi kecepatan gerak lawannya. Bahkan semakin lama Mahisa Murti justru nampak menjadi semakin cepat bergerak. Sementara benturan-benturan yang terjadi menunjukkan bahwa kekuatan Mahisa Murti justru menjadi semakin lama semakin besar, sehingga melampaui kekuatan lawannya itu. Dengan demikian maka lawan Mahisa Murti itu justru menjadi semakin gelisah.

Tetapi satu hal yang belum diketahui oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah, bahwa ujung-ujung pedang lawan-lawannya itu dapat terjulur seperti lidah seekor ular. Ujungnya yang runcing seperti duri itu mampu menjadi lebih panjang. Jari-jari tangan yang menggenggam hulu pedang itu dapat mengatur dengan cepat, agar ujung pedang yang runcing itu memanjang.

Meskipun tidak terlalu panjang, tetapi cara itu dapat mengelabui lawannya yang merasa bahwa ia telah bergeser mengambil jarak yang cukup. Namun ternyata ujung pedang yang terjulur itu masih mampu menggapainya. Dalam pada itu, ketika kedua orang lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu semakin terdesak, maka mereka telah mempergunakan cara yang tersembunyi itu untuk mengacaukan pertahanan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Bahkan ketika Mahisa Pukat harus bergeser menghindari sambaran pedang lawannya ke samping, maka ia terkejut. Menurut perhitungannya, Mahisa Pukat telah terlepas dari jangkauan pedang lawannya itu. Namun ternyata lengannya telah tergores ujung pedang yang seruncing duri itu.

Demikian lawannya berhasil menggoreskan ujung pedangnya, maka lawan Mahisa Pukat itu segera meloncat surut sambil berkata, “Nah, hari-harimu sudah berakhir.”

Tetapi Mahisa Pukat justru tersenyum. Katanya, “Lukaku tidak seberapa. Goresan ujung pedangmu tidak dapat mengoyakkan dagingku. Hanya selapis tipis kulit luarku.”

“Sudah aku katakan, racun ujung pedangku terlalu tajam,” berkata orang itu.

Tetapi Mahisa Pukat menjawab, “Racunmu tidak berarti apa-apa bagiku. Bukankah sudah aku katakan.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi tegang. Sementara itu, ia sama sekali tidak melihat pengaruh racunnya itu. Karena itu, maka ia pun segera meloncat menyerang sambil berkata, “Jika kau mencoba melawanku, maka setiap gerakmu telah mempercepat menjalarnya racun di ujung pedangku.”

Mahisa Pukat bukan saja tersenyum. Tetapi ia justru tertawa sambil berkata, “Kau masih saja bermimpi. Racunmu tidak berarti apa-apa. Kau dengar?”

Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Ia pun segera menyerang dengan garangnya. Pedangnya menyambar-nyambar. Bahkan pedang itu menjadi sangat berbahaya karena ujungnya dapat terjulur memanjang seperti lidah seekor ular ular yang mampu mematuk lawannya.

Mahisa Pukat tidak terlalu banyak menghiraukan racun itu. Tetapi ujung pedang yang mampu terjulur itu kadang-kadang memang sangat mengejutkannya. Bahkan tubuhnya telah tergores sekali lagi. Pundaknyalah yang kemudian terluka segores memanjang meskipun tidak dalam.

Goresan itu memang tidak berbahaya bagi Mahisa Pukat. Tetapi ketika keringatnya menyentuh luka itu, ia merasa disengat oleh perasaan pedih. Sehingga dengan demikian maka Mahisa Pukat pun mulai digelitik oleh perasaan marah. Karena itulah, maka Mahisa Pukat pun telah mempercepat tata geraknya. Pedangnya berputaran semakin cepat. Namun ia harus menjadi semakin berhati-hati, karena pedang lawannya memang menjadi sangat berbahaya baginya.

Namun Mahisa Pukat tidak ingin dilukai lebih banyak lagi. Karena itu maka ia tidak saja mempergunakan tenaga wanitanya. Mahisa Pukat mulai merambah kepada ilmunya, sehingga dengan demikian, maka lawannya merasakan perubahan pada keseimbangan pertempuran itu. Pedangnya yang setiap kali terjulur memanjang tidak lagi mampu menggapai tubuh Mahisa Pukat yang bergerak semakin cepat.

Sementara itu Mahisa Murti pun bertempur dengan sengitnya pula. Lawannya juga memiliki senjata sebagaimana lawan Mahisa Pukat. Bahkan kulit Mahisa Murti pun telah tergores oleh ujung pedang yang dapat terjulur memanjang itu. Namun seperti Mahisa Pukat, maka luka itu sama sekali tidak berpengaruh meskipun terasa pedih.

Ketika lawannya melihat luka di tubuh Mahisa Murti itu, maka ia pun telah berkata, “Ujung pedangku beracun.”

Tetapi Mahisa Murti menjawab, “Racun tidak akan mampu membunuhku sebagaimana tidak mampu membunuh Kiai Liman Serapat.”

Lawannya memang ragu-ragu. Tetapi setelah beberapa saat mereka bertempur, ternyata luka itu memang tidak berpengaruh sama sekali. Karena itu, maka lawannya pun menyadari, bahwa Mahisa Murti memang memiliki kemampuan untuk menangkal racun sebagaimana Kiai Liman Serapat. Dengan demikian maka lawan Mahisa Murti tidak bertumpu kepada kekuatan racunnya, ia berusaha melibat lawannya dengan pertempuran yang cepat, agar dalam kekalutan gerak itu, ujung pedangnya yang dapat terjulur itu mampu menggapainya...