PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 79
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 79
Karya Singgih Hadi Mintardja
MAHISA PUKAT mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita menjadi semakin menyadari, bahwa sulit sekali untuk menembus hutan itu. Bukan karena kita mencemaskan diri karena didalam hutan itu masih dihuni binatang-binatang buas. Tetapi alam yang perkasa itu tentu akan menjadi hambatan yang sulit untuk di atasi. Bahkan menilik lembabnya udara dan tanah yang basah, agaknya masih terdapat rawa-rawa di dalam hutan itu.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Semu berkata, “Agaknya kita akan menempuh perjalanan yang sangat berat. Memang tidak apa-apa. Tetapi jika memperhitungkan waktu, maka waktu kita akan banyak tersita di sini. Sementara itu kita sering memperhitungkan waktu-waktu kita yang hilang di perjalanan.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat.”
Wantilan pun nampaknya menjadi semakin ragu-ragu. Tetapi selagi mereka saling berbicara, maka Mahisa Amping telah melangkah mendekati hutan yang lebat itu. Menyusup di antara pohon-pohon perdu melihat bibir hutan yang memang mendebarkan itu.
Namun Mahisa Amping itu terkejut. Ia melihat sesuatu yang tidak wajar. Ia melihat di antara dua batang pohon raksasa, jalan setapak memasuki hutan menyusup dibawah dedaunan yang rimbun. Namun Mahisa Amping terkejut ketika ia mendengar suara kakak angkatnya itu memanggilnya dari balik pohon perdu.
Mahisa Amping berlari-lari kecil. Sementara Mahisa Murti berkata, “Hati-hati kau. Jangan dekat-dekat ke tempat yang kau belum mengenalnya sama sekali.”
Mahisa Amping berlari mendekat. Tetapi ia justru berceritera tentang apa yang dilihatnya. Ceritera Mahisa Amping itu memang menarik perhatian. Karena itu maka yang lain pun telah mengikutinya menuju ke jalan setapak yang menyusup masuk ke dalam hutan itu.
Ternyata yang dikatakan Mahisa Amping memang agak aneh. Jalan setapak itu menunjukkan bekas-bekas disentuh kaki. Sudah tentu mereka tidak dengan serta merta mengatakan kaki orang. Tetapi rasa-rasanya bahwa jalan itu memang sering dilalui orang keluar masuk hutan yang lebat itu, seakan-akan mereka menemukan sebuah pintu goa yang asing.
Untuk beberapa saat mereka termangu-mangu di depan pintu goa itu. Goa yang terbentuk dari dedaunan yang lebat di antara batang-batang pohon yang besar. Anak-anak muda itu memang menjadi ragu-ragu. Apakah mereka akan masuk atau tidak.
Tetapi Mahisa Amping justru telah mencoba mengintip kedalamannya. Namun dengan serta merta Mahisa Pukat menyambarnya sambil berkata, “Sudah kami katakan. Jangan melakukan hal-hal yang berbahaya. Kita tidak tahu apa yang ada didalamnya.”
Mahisa Amping memang terkejut. Namun ia tidak berkata apa-apa.
“Aku akan melihatnya,” berkata Mahisa Murti.
“Aku pergi bersamamu,” sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berpesan kepada Mahisa Semu dan Wantilan, “Jaga anak itu. Jangan kau ijinkan melakukan hal yang berbahaya. Satu patukan ular sebesar jari akan dapat menamatkan riwayatnya. Apalagi jika kami berdua tidak ada di dekatnya.”
Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk mengiakan. Dengan cepat Mahisa Semu telah menangkap pergelangan tangan Mahisa Amping sambil berkata, “Kau tidak boleh lepas lagi.”
Mahisa Amping tidak menjawab. Dibiarkannya Mahisa Semu memegangi tangannya erat-erat.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera mempersiapkan diri. Keduanya benar-benar berada dalam kesigapan tertinggi sehingga apabila terjadi sesuatu, keduanya akan mampu mengatasinya. Sejenak kemudian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyusup memasuki terowongan di antara dedaunan yang rimbun itu.
Ternyata mereka harus menyusup beberapa puluh langkah. Namun kemudian, mereka keluar dari terowongan sempit itu dan berada di tempat yang agak lapang meskipun masih juga berada di antara pohon-pohon yang tinggi. Tetapi tidak lagi dirimbuni oleh pohon-pohon perdu padat seolah-olah dinding sebuah terowongan panjang. Sinar matahari mulai nampak menyusup di antara dedaunan. Garis-garis yang condong jatuh di atas tanah yang memang lembab.
“Memang aneh,” berkata Mahisa Murti, “nampaknya terowongan itu memang dibuat orang. Jika kita perhatikan, maka nampak bekas-bekas senjata tajam memotong ranting-ranting yang lebat.”
“Ya. Tempat ini bukannya tempat yang terasing sama sekali. Jalan ini akan dapat kita telusuri,” jawab Mahisa Pukat.
“Apakah kita akan mengikuti jalan ini?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak terlalu jauh,” jawab Mahisa Pukat.
“Marilah. Namun nampaknya sudah agak lama jalan ini memang tidak dilalui orang.”
“Tetapi bekas parang tadi?” bertanya Mahisa Pukat.
Keduanya sempat memperhatikan terowongan itu sekali lagi. Keduanya memang berkesimpulan bahwa terowongan itu telah dibuat orang. Sejenak kemudian mereka telah berjalan menyusuri jalan sempit di tengah-tengah hutan itu. Jalan yang menjelujur panjang, berkelok-kelok di antara pepohonan. Menilik jalan panjang itu, maka jalan itu tentu dibuat setelah pohon-pohon itu tumbuh menjadi besar. Namun ternyata mereka tidak menjumpai apapun juga selain jalan panjang itu.
“Tidak ada yang aneh lagi,” desis Mahisa Pukat.
“Ya,” jawab Mahisa Murti, “agaknya jalan itu akan menusuk sampai ke jantung hutan ini, bahkan sampai menembus di seberang.”
“Jika demikian, apakah kita akan mengikuti jalan ini sampai ke seberang hutan?” bertanya Mahisa Pukat, “jika demikian, maka kita akan membawa Mahisa Semu, paman Wantilan dan Mahisa Amping.”
Mahisa Murti ragu-ragu. Namun tiba-tiba saja ia berkata, ”Kau lihat sesuatu?”
Mahisa Pukat termangu-mangu. Ia memang melihat sesuatu yang agaknya bukan pepohonan dan bukan pula batu-batu padas dari sebuah gumuk kecil. Dibalik kabut yang mulai terangkat oleh sinar matahari yang menusuk udara lembab di dalam hutan itu, mereka melihat sesuatu.
Mahisa Murti pun kemudian berdesis, “Marilah. Kita lihat, apakah yang nampak itu.”
Namun Mahisa Murti yang memiliki ilmu yang tinggi itu benar-benar telah bersiap. Demikian pula Mahisa Pukat. Selangkah demi selangkah mereka memasuki daerah berkabut. Namun semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa sebuah bangunan berada di hadapan mereka.
“Candi,” desis Mahisa Murti.
“Candi yang terbuat dari batu keras. Bukan sekedar batu padas,” sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti kemudian telah berhenti sejenak untuk memandangi keseluruhan candi itu. Seakan-akan sebuah bangunan yang besar telah menguak kabut yang semakin tipis, sehingga mereka pun kemudian melihat satu candi yang besar di antara pepohonan.
“Mana mungkin,” desis Mahisa Pukat.
“Memang sebuah candi,” berkata Mahisa Murti kemudian, “mungkin buat tempat tinggal atau sebuah pertanda yang lain.”
“Tetapi hanya satu-satunya,” berkata Mahisa Pukat, “tidak nampak ada bekas-bekasnya bangunan yang lain.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Nampaknya memang tidak ada bangunan yang lain di sekitar bangunan yang terbuat dari batu itu. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat belum tahu dengan pasti, bangunan apa yang mereka hadapi. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun kemudian telah sepakat untuk melihat-lihat bangunan itu lebih dekat.
“Tetapi kita harus berhati-hati sekali,” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Selangkah demi selangkah ia maju mendekati bangunan itu, sementara Mahisa Murti melangkah menyamping. Namun keduanya kemudian telah memanjat tangga yang agak tinggi. Keduanya tertegun ketika seekor ular keluar dari pintu bangunan itu. Ular bandotan hitam.
“Tentu bangunan ini sudah lama kosong,” berkata Mahisa Murti.
“Ya. Sehingga seekor ular tinggal di dalamnya,” desis Mahisa Pukat.
Keduanya termangu-mangu sejenak di muka pintu. Dari luar mereka melihat ruangan yang suram. Apalagi pepohonan yang tumbuh liar disekitarnya serta dedaunan yang rimbun, maka udara di dalam bangunan itu terasa sangat lembab. Tetapi keduanya melangkah terus. Terasa titik-titik embun masih melekat di bebatuan.
Keduanya terkejut ketika keduanya melihat kerangka manusia yang terbaring di atas setumpuk batu yang ditata di tengah-tengah sebuah ruangan yang tidak terlalu luas. Cahaya matahari yang lemah menyentuh ruangan itu lewat lubang-lubang yang cukup besar di sisi bangunan itu, selain dari pintu depan yang bertangga.
“Apa sebenarnya yang telah terjadi di sini?” bertanya Mahisa Pukat.
“Nampaknya seorang pertapa yang hidup sendiri di tempat ini sehingga saat ajalnya tiba,” sahut Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia sependapat bahwa yang terbaring itu tentu seorang pertapa yang memang telah menyerahkan nyawanya di tempat itu. Demikian pasrahnya sehingga kerangkanya masih terbujur di tempatnya dengan baik.
Namun ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melangkah ke ruang di belakangnya yang gelap, maka ia pun melihat bahwa beberapa buah batu telah tidak berada di tempatnya lagi. Beberapa buah batu telah terjatuh dari tempat yang seharusya. Namun agaknya batu-batu itu telah diungkit dengan paksa. Meskipun gelap, namun lama-kelamaan keduanya menjadi agak terbiasa sehingga mereka mulai dapat melihat meskipun hanya lamat-lamat.
“Perampokan telah terjadi di sini,” berkata Mahisa Pukat.
“Ya,” jawab Mahisa Murti, “agaknya di bangunan ini tersimpan beberapa macam barang berharga. Tetapi sekelompok orang telah mengetahuinya sehingga mereka telah mengambilnya.”
“Apakah mungkin telah terjadi pembunuhan?” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Bukan mustahil. Pembunuhan, kemudian perampokan. Atau kematian datang lebih dahulu, baru kemudian murid-muridnya merampok isi bangunan ini.”
“Kita lihat sekali lagi kerangka itu,” berkata Mahisa Pukat.
Keduanya pun kemudian telah memperhatikan kerangka itu sekali lagi. Bahkan dengan seksama. Tetapi keduanya tidak menemukan kelainan. Tidak ada bagian yang retak. Tidak ada yang patah atau pecah. Semuanya masih utuh dan berada di tempatnya.
Dengan demikian maka Mahisa Murti berkata, “Agaknya kematian datang lebih dahulu, baru perampokan.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Keduanya telah mencoba sekali lagi untuk melihat ruangan yang telah dirusak itu. Namun yang mereka ketemukan adalah sebuah lekuk yang menarik perhatian.
“Kenapa lekuk ini tidak memanggil para perampok untuk melihat kemungkinan lebih lanjut?” berkata Mahisa Murti.
“Rahasia yang sulit untuk sekedar ditebak,” jawab Mahisa Pukat.
“Apakah kita juga harus merusak bangunan ini untuk melihat apa yang ada di belakang lekuk ini?” bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti memang menjadi ragu-ragu. Jika kemudian ada orang lain lagi datang ke tempat itu, maka orang itu pun tentu akan menganggap bahwa yang dilakukan itu adalah perampokan pula.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi kita tidak akan merampok.”
“Merusak?” desis Mahisa Murti.
Sekali lagi Mahisa Pukat tertegun. Namun rasa ingin tahunya telah mendesaknya semakin kuat. Apakah lekuk itu sebuah pintu rahasia atau bukan, atau sekedar pemanis bentuk. Untuk beberapa saat keduanya ragu-ragu. Keduanya berusaha untuk melihat-lihat bagian yang lain dari dinding batu itu. Tetapi tidak ada bagian yang lebih menarik perhatian daripada lekuk itu.
Dari sebelah, keduanya memastikan bahwa ada ruang di belakang lekuk itu. Sementara itu mereka pun menemukan rongga-rongga tipis di antara batu-batu yang tertumpuk rapi itu, sehingga keduanya memang berpendapat bahwa rongga itu akan dapat mereka temukan dengan membuka dinding batu yang berlekuk itu. Betapapun keduanya ragu-ragu, namun Mahisa Murti kemudian mengambil keputusan untuk membuka dinding itu.
“Apa boleh buat,” berkata Mahisa Murti, “kita sama sekali tidak ingin merampok. Tetapi perasaan ingin tahu ini sulit untuk ditekan.”
Bersama Mahisa Pukat keduanya telah mulai mengungkit batu-batu yang tidak terlalu besar itu dengan pedang mereka. Kemudian menekan batu-batu itu disebelah menyebelah dari batu yang diperkirakan paling mudah untuk diangkat.
Akhirnya keduanya memang berhasil. Keduanya dapat menarik satu di antara batu-batu yang menutup sebuah ruangan khusus yang luput dari perhatian orang-orang yang telah membongkar bangunan itu sebelumnya, sehingga kemudian sebuah lubang persegi telah menganga.
Seperti yang mereka duga, maka di belakang dinding itu memang terdapat sebuah ruang. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut bahwa dalam kegelapan ruang itu, keduanya melihat samar-samar sebuah kerangka yang berdiri tegak bersandar di sudut dinding masih dalam keadaan utuh.
“Apa pula yang telah terjadi?” desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Rahasia yang tidak akan dapat kita pecahkan. Marilah kita kembalikan batu penutup itu. Agaknya bukan hanya kita yang pernah membuka penutup ruang itu. Namun mereka telah mengembalikan pula.”
“Ya,” jawab Mahisa Murti,tetapi katanya, “Meskipun demikian, kita belum melihat isi sepenuhnya dari ruang itu.”
“Apakah itu perlu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Orang lain tidak melakukannya. Mereka membuka satu saja dari batu-batu penutup ini, kemudian mengembalikannya,” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi kita harus berhati-hati agar batu-batu penutup ini tidak runtuh.”
Dengan sangat berhati-hati, maka kedua orang anak muda itu telah membuka beberapa buah batu lagi. Mereka melakukannya dengan sangat berhati-hati sehingga batu-batu penutup ruang itu tidak runtuh. Ketika tutup itu sudah terbuka agak luas, maka keduanya telah berusaha menyusup masuk. Ruang itu memang sempit,tetapi cukup memberikan tempat bagi keduanya.
Tetapi keduanya telah terkejut sekali lagi. Di sisi yang berada di arah pintu, mereka telah menemukah satu lagi sosok kerangka yang sudah kering. Nampaknya sosok kerangka itu semula duduk di atas sebuah batu di sudut ruang sempit itu.
“Orang-orang yang hanya membuka satu batu saja tidak melihat kerangka ini,” berkata Mahisa Pukat.
“Ya,” jawab Mahisa Murti yang berdiri dekat di hadapan kerangka itu. Dalam kegelapan mereka pun melihat bahwa kerangka itu masih dililiti ikat pinggang yang besar dan sepasang pedang yang tergantung di lambung orang itu sebelah menyebelah.
Mahisa Pukat yang kemudian melihat pedang itu pula berkata, “Apakah kita boleh melihat pedang yang tergantung di lambung?”
Mahisa Murti pun ingin melihatnya pula. Karena itu maka katanya, “Kita akan mencoba melihatnya.”
Meskipun agak berdebar-debar, maka keduanya telah bersama-sama menarik pedang itu masing-masing sebuah. Demikian mereka menarik pedang itu, mereka harus melangkah mundur. Semacam serbuk putih terhambur dari kerangka pedang yang ditarik itu.
“Serbuk ini beracun,” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat pun menyadari hal itu. Hidungnya memang merasakan ketajaman racun itu. Namun karena keduanya memiliki penangkal racun, keduanya tidak mengalami kesulitan akibat racun itu. Ketika serbuk itu telah habis terhambur, maka mereka pun melihat sepasang pedang yang luar biasa. Pedang yang nampak menyala kehijau-hijauan di dalam kegelapan itu.
Kedua anak muda itu telah mengagumi sepasang pedang yang kembar itu. Keduanya mempunyai bentuk yang agak lain dari kebanyakan pedang yang mereka kenal. Pedang itu berbentuk seperti sebilah keris yang berlekuk-lekuk. Luk sebelas. Ada sebelas lekuk terdapat pada pedang itu. Sementara itu, pada hulunya terdapat selingkar permata yang meskipun dalam gelap tampak seperti berkeredipan.
“Luar biasa,” desis Mahisa Pukat, “hulunya terbuat dari logam. Mungkin dari emas.”
Mahisa Murti memang sudah menduga. Tetapi mereka tidak dapat melihat dengan jelas dalam kegelapan.
“Sepasang senjata yang sangat bagus,” berkata Mahisa Murti.
Tetapi sebuah pertanyaan muncul dari mulut Mahisa Pukat, “Apakah kita boleh memiliki senjata ini.”
Mahisa Murti menunduk sesaat, ia memang menjadi ragu-ragu. Apakah jika mereka membawa senjata itu, mereka tidak dapat disebut melakukan perampokan sebagaimana dilakukan orang lain sebelumnya?
Dalam pada itu, selagi Mahisa Murti merasa ragu, apakah mereka dapat membawa pedang yang aneh itu atau tidak, maka diluar sadarnya ia telah memutar pedang yang bercahaya kehijau-hijauan itu. Cahayanya yang samar telah sekilas-sekilas menyentuh dinding batu di ruang itu. Bahkan ketika diluar sadarnya ujung pedang itu menyentuh dinding batu itu, maka sepercik api telah menyala. Kemudian nampak sekilas dinding batu itu tergores dan menjadi luka.
Mahisa Murti menjadi semakin kagum melihat akibat goresan itu. Diluar sadarnya pula ia meraba goresan yang terpahat di batu itu. Namun kemudian yang terasa ditangannya bukan sekedar goresan pedang itu saja. Di sebelahnya terdapat goresan-goresan pula. Memanjang dan berliku-liku.
“Tulisan,” desisnya, “di dinding itu terpahat huruf-huruf.”
“Huruf-huruf apa?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kita tidak akan dapat membacanya. Kita tidak melihat huruf-huruf itu,” jawab Mahisa Murti.
“Apakah rabaan jari-jari kita tidak mampu membacanya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kita akan mencobanya,” jawab Mahisa Murti.
Keduanya pun kemudian mencoba untuk mengenali huruf-huruf yang terpahat pada dinding itu. Nampaknya huruf-huruf itu telah dibuat dengan goresan-goresan unjung pedang. Dengan memusatkan segenap perhatian mereka pada rabaan ujung jari, maka kedua orang anak muda itu mencoba untuk membaca huruf-huruf yang terpahat pada dinding batu itu.
Ternyata keduanya memerlukan waktu yang lama. Tetapi huruf-huruf itu cukup besar untuk dikenalinya dengan jari-jari mereka, sehingga akhirnya mereka mendapatkan kesimpulan bahwa tulisan itu berbunyi, “Siapa yang berhasil membawa pedang ini keluar, ialah yang boleh memilikinya. Tanpa dendam dan pembalasan kepada siapa pun juga.”
“Kau yakin?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku yakin. Kita sudah berulang kali mengulanginya dan bunyinya tetap sama,” berkata Mahisa Murti.
“Tanpa dendam yang mengandung dendam,” berkata Mahisa Pukat.
“Tetapi nampaknya kedua orang ini yang tinggal kerangkanya telah menerima dengan ikhlas apa yang terjadi atas diri mereka. Agaknya keduanya telah mendapat hukuman, ditutup dengan rapat sampai mati,” berkata Mahisa Murti.
“Ya. Keduanya tidak menerima dengan ikhlas, maka keduanya akan dapat berusaha untuk mengungkit batu-batu ini,” jawab Mahisa Pukat.
“Tetapi orang yang diluar itu?” desis Mahisa Murti, “Apakah orang itu yang mendapat tugas untuk menunggui kedua orang ini?”
Mahisa Pukat menggelengkan kepalanya. Katanya, “Teka-teki. Kita memang menghadapi satu teka-teki yang tidak terpecahkan. Kita hanya dapat meraba, bahwa kedua orang ini telah mendapat hukumannya didalam ruang sempit itu oleh orang yang tidak dapat dilawannya. Mungkin karena ia mendapat hukuman dari rajanya atau dari orang tuanya atau dari gurunya.”
“Bagaimana jika kedua orang yang ada di dalam ruangan ini laki-laki dan perempuan?” bertanya Mahisa Murti.
“Satu kemungkinan,” jawab Mahisa Pukat.
“Rasa-rasanya ingin juga untuk mengetahui ceritera tentang bangunan ini serta kerangka-kerangka yang ada di dalamnya,” berkata Mahisa Murti.
“Apakah sekarang kita mempunyai waktu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tentu tidak. Kita akan segera melanjutkan perjalanan,” berkata Mahisa Murti.
Demikianlah keduanya pun kemudian telah keluar dari ruangan itu. Mereka berusaha untuk mengembalikan batu-batu yang telah mereka ungkit sejauh dapat mereka lakukan, meskipun tidak dapat pulih kembali seperti semula. Namun ruangan itu telah tertutup kembali.
Sejenak kemudian, maka keduanya telah berada di ruangan induk. Sekali lagi mereka memperhatikan ruangan itu. Beberapa buah batu yang berserakan memang menunjukkan bahwa sebuah ruangan yang lain telah dibongkar. Mungkin ruang tempat penyimpanan harta benda. Namun apa hubungannya dengan kedua orang yang telah meninggal di ruang yang lain serta kerangka yang terbaring di ruang induk itu, yang nampaknya tidak terusik sejak saat meninggalnya.
Namun kedua orang itu pun kemudian telah melangkah ke pintu. Keduanya telah mencabut pedang mereka sendiri dan kemudian meletakkannya di bawah kaki kerangka yang ada di ruangan induk itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempergunakan sarung pedangnya untuk menyarungkan pedang-pedang yang telah mereka dapatkan di ruang yang telah mereka bongkar. Meskipun sarung pedang itu agak terlalu longgar, namun sarung pedang itu cukup memadainya.
Demikian mereka keluar dari bangunan itu, sebelum mereka turun dari tangga, mereka telah sekali lagi memperhatikan pedang-pedang yang telah mereka bawa. Hijau pedang itu benar-benar terselaput emas meskipun tidak utuh. Bahkan dengan beberapa buah permata di pangkalnya. Tetapi hulu itu sendiri ternyata sebagian memang terbuat dari kayu yang keras dan berwarna kehitam-hitaman dengan lingkaran-lingkaran gelang emas yang dihiasi dengan permata.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu beberapa saat. Pedang yang sepasang itu terlalu bagus bagi keduanya. Tetapi keduanya memang merasa berhak untuk memiliki, karena pemiliknya telah mengikhlaskannya sebagaimana ia mengikhlaskan nyawanya di ruang sempit itu apapun alasannya.
“Jika orang itu mengikhlaskannya, kenapa ia masih juga menaruh racun dalam serbuk yang terhambur ketika kita menarik pedang itu?” desis Mahisa Pukat.
“Hanya orang-orang yang mampu mengatasinya yang boleh memilikinya,” berkata Mahisa Murti.
“Bukankah itu hanya sekedar satu dugaan?” bertanya Mahisa Pukat kemudian.
“Kita memang sedang menduga-duga,” berkata Mahisa Murti.
“Apa boleh buat,” berkata Mahisa Pukat, “kita sudah mendapat ijinnya. Kita tidak merampok. Namun pedang ini harganya tentu sangat mahal. Setidak-tidaknya emas dan permatanya. Seandainya kita harusmenabung, maka seumur hidup kita, kita belum dapat membelinya.”
“Tetapi yang lebih mahal lagi adalah besi baja pilihan untuk membuat mata pedang yang agak berbeda dengan pedang kebanyakan itu. Mungkin ayah pernah melihat, mengetahui atau mendengar tentang pedang ini,” sahut Mahisa Murti.
“Ya. Ayah telah cukup lama berdagang besi aji dan batu-batu mulia,” desis Mahisa Pukat.
Dengan demikian maka rasa-rasanya mereka ingin segera sampai ke padepokan. Kecuali mereka memang sudah cukup lama pergi, mereka pun sudah rindu kepada ayah mereka serta dengan demikian mereka akan dapat bertanya tentang pedang-pedang mereka itu.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata, “Marilah kita keluar dari hutan ini. Mahisa Semu dan paman Wantilan menunggu kita. Tidak seorang pun akan mengenali kita karena pedang yang kita tinggalkan, karena pedang itu dapat dibeli pada semua pande besi di manapun juga.”
Keduanya pun kemudian telah turun tangga bangunan batu yang penuh dengan teka-teki itu. Sekali lagi mereka melihat seekor ular yang menjalar di tanah lembab di bawah tangga. Ular yang cukup besar berwarna hitam kemerahan.
Ular itu memang berhenti memandang kedua anak muda yang turun tangga itu. Namun kedua anak muda itu pun berhenti pula dan berdiri mematung. Meskipun keduanya memiliki penangkal bisa ular, tetapi keduanya lebih senang tidak dipatuk ular sebesar itu. Demikian ular itu kemudian menjalar meninggalkan tempatnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melanjutkan perjalanan mereka pula.
Ketika mereka sampai ke terowongan yang menuju keluar hutan yang pepat itu, maka Mahisa Murti telah berkata, “Tetapi pedang ini akan menjadi beban yang berat buat kita. Orang-orang yang pernah mengenalnya dan yang bahkan telah melupakannya akan teringat kembali dan membuat bermacam-macam cerita untuk memaksakan kehendak mereka. Mungkin seseorang merasa berhak atas pedang ini atau orang lain bahkan merasa sebagai pemiliknya atau seseorang akan mengaku bahwa pedang itu pernah dicuri orang.”
“Kita sadari akan hal itu. Kita akan mempertahankannya atas dasar hak yang telah kita terima langsung dari orang yang membawanya sampai ajalnya,” berkata Mahisa Pukat.
Demikianlah, keduanya pun kemudian telah memasuki terowongan yang terdiri dari dedaunan, ranting-ranting dan dahan pepohonan yang nampaknya pernah dibentuk oleh tangan seseorang. Ketika mereka keluar dari hutan itu, maka mereka melihat agak di kejauhan, di bawah sebatang pohon perdu yang rimbun, Mahisa Semu dan Wantilan duduk terkantuk-kantuk, sementara Mahisa Amping berbaring sambil menggapai-gapai dengan kakinya.
Demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat muncul, maka Mahisa Amping lah yang pertama-tama menyapa, “Kakang berdua terlalu lama meninggalkan kami di sini. Kami menjadi cemas. Hampir saja kami menyusul kakang.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya tersenyum saja. Namun ketika keduanya telah duduk pula bersama dengan anak itu, maka keduanya mulai berceritera tentang penglihatan mereka atas bangunan yang aneh itu serta segala macam teka-teki yang ada didalamnya.
“Jadi pedang itu ada di tangan kalian?” bertanya Wantilan.
“Ya,” jawab Mahisa Murti, “kami memang merasa berhak untuk membawanya.”
Ternyata penglihatan Wantilan cukup tajam. Ia pun kemudian telah berkata, “Tetapi berhati-hatilah. Mungkin ada orang lain yang menginginkannya apapun alasan mereka.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada datar Mahisa Pukat menyahut, “Kami sudah memperhitungkannya. Tetapi bukankah kami berhak mempertahankannya?”
“Tentu,” jawab Wantilan, “sepasang pedang itu sudah menjadi hak kalian. Kalian tidak dapat dituduh mencuri atau merampas hak orang lain.”
Mahisa Muri dan Mahisa Pukat masih saja mengangguk-angguk. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, “Marilah. Kita akan melanjutkan perjalanan.”
“Melanjutkan ke mana?” bertanya Mahisa Semu, “menyeberangi hutan ini, menelusuri tepinya atau kembali turun ke jalan yang lebih besar yang tadi kita lalui?”
Mahisa Murti memang harus berpikir sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Kita tidak dapat menembus hutan yang sangat lebat ini. Seandainya itu kita lakukan, maka kita akan memerlukan waktu yang sangat lama.”
“Kita kembali dan turun ke jalan yang kita lalui tadi,” berkata Mahisa Pukat, “kita tidak mempunyai pilihan lain.”
Mahisa Amping yang kemudian bangkit berkata, “Marilah. Aku sudah mulai mengantuk. Jika kita masih menunggu lagi, maka aku tentu akan tertidur di sini.”
“Jika kau tidur di sini, kau akan kami tinggalkan,” sahut Mahisa Pukat.
“Karena itu aku tidak tidur,” jawab Mahisa Amping.
Mahisa Semu tersenyum. Ditariknya tangan anak itu sambil berkata, “Marilah. Kita berjalan terus.”
Mahisa Amping pun kemudian berjalan mendahului yang lain menempuh jalan kembali menuju ke jalan yang lebih besar, yang mereka lalui semula. Namun mereka akan menempuh arah seperti semula jika mereka telah berada di jalan itu. Sementara itu matahari menjadi semakin rendah. Ternyata kelima anak muda itu memerlukan waktu cukup lama ketika mereka berada di dalam hutan.
Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti. Seorang yang nampaknya seperti seorang petani kebanyakan telah menyongsong langkah mereka. Demikian petani itu berada beberapa langkah di depan mereka, maka ia pun telah berhenti dan bahkan kemudian mengangguk dalam-dalam. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya terkejut. Dengan serta merta mereka pun telah berhenti pula.
“Ki Sanak,” berkata orang yang berpakaian seperti petani itu, “aku mohon maaf, bahwa aku terpaksa menghentikan perjalanan Ki Sanak.”
“Apakah ada sesuatu yang penting?” bertanya Mahisa Murti.
“Ki Sanak. Pamanku mohon agar Ki Sanak sudi singgah barang sejenak,” berkata orang itu.
“Untuk apa? Dan di mana pamanmu tinggal?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun telah menunjuk ke satu arah. Ke lereng sebuah bukit kecil dan rendah yang terdapat di pinggir hutan itu.
“Di bawah pohon itu?” desisnya.
Baru saat itu mereka melihat sebuah gubug kecil di bawah sebatang pohon. Pada saat mereka datang, mereka sama sekali tidak memperhatikannya. Mereka pun sama sekali tidak menduga bahwa di tempat itu terdapat sebuah pondok kecil. Dari hutan itu setiap saat dapat muncul binatang buas atau binatang berbisa.
Selagi para pengembara itu termangu-mangu, maka orang itu berkata, “Marilah. Silahkan Ki Sanak.”
“Tetapi untuk apa? Dan siapakah pamanmu itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku tidak begitu mengerti, apa yang akan dibicarakan paman dengan kalian. Tetapi aku hanya diperintahkan oleh paman untuk mohon kalian bersedia singgah sebentar. Paman merasa penting untuk berbicara dengan kalian,” jawab orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun saling berpandangan sejenak. Keduanya yang akan mengambil keputusan apakah mereka akan singgah atau tidak. Namun Mahisa Semu dan Wantilan merasa perlu untuk bersiap-siap sebaik-baiknya.
Ternyata bahwa Mahisa Murti telah mengangguk kecil. Dengan nada berat ia berkata, “Baiklah. Kami akan singgah sebentar.”
“Terima kasih atas kesediaan kalian,” berkata orang itu.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah beriringan mengikuti orang itu. Mereka berjalan di antara pohon-pohon perdu. Kemudian sedikit memanjat lereng rendah sebuah bukit kecil. Di bawah sebatang pohon terdapat sebuah rumah kecil berkerangka bambu dan berdinding bambu pula. Beratap ilalang.
“Marilah,” berkata orang itu yang mempersilahkan mereka singgah, “paman ada di dalam.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang merasa ragu. Namun mereka mendekati pintu yang terbuka. Kepada Mahisa Semu dan Wantilan Mahisa Murti berpesan agar menunggu saja diluar serta menjaga Mahisa Amping agar tidak pergi ke mana-mana.
“Kalian harus tanggap atas semua peristiwa yang dapat terjadi,” desis Mahisa Murti.
Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk kecil. Sesaat kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah berdiri di muka pintu yang rendah. Sambil membungkukkan kepala, mereka melangkah masuk bersama-sama. Tangan mereka telah berada di hulu pedang, sementara segala kekuatan dan ilmu sudah siap untuk dipergunakan jika perlu.
Namun yang terdengar adalah suara lembut seorang yang telah berusia tua. Katanya, “Marilah. Silahkan Ki Sanak. Aku sudah menunggu terlalu lama untuk melihat seseorang atau dua orang singgah di rumahku ini.”
Kedua orang anak muda itu melangkah masuk. Mereka kemudian berdiri pada jarak beberapa langkah.
“Marilah. Silahkan duduk ngger. Kenapa yang lain tidak kalian ajak masuk pula?” bertanya orang itu.
“Terima kasih, Kiai,” jawab Mahisa Murti, “kami hanya singgah sebentar atas permintaan orang ini.”
Orang tua yang duduk di sebuah amben yang besar itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kenapa kalian begitu tergesa-gesa?”
“Kami dalam perjalanan kembali ke padepokan kami,” jawab Mahisa Murti.
“Apa salahnya kalian singgah barang semalam di gubug ini?” bertanya orang tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun mereka memang tidak ingin terlalu lama berada di tempat itu. Dengan nada rendah Mahisa Murti pun kemudian menyahut, “Maaf Kiai. Kami akan segera melanjutkan perjalanan.”
“Sayang sekali,” desis orang tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian sempat memperhatikan orang tua yang duduk di amben yang besar itu. Seorang tua yang berjanggut putih sampai kedadanya. Matanya sudah mulai cekung, sementara giginya masih nampak rampak disaat orang itu tersenyum.
“Jika demikian,” berkata orang itu, “silahkan duduk sebentar. Aku ingin berbincang dengan Ki Sanak berdua."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian duduk diamben yang besar itu. Dengan hati-hati mereka menempatkan dirinya berhadapan dengan orang tua berjanggut putih itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang merasa harus berhati-hati itu duduk pada jarak beberapa jengkal. Sementara itu orang yang mempersilahkan anak-anak muda itu singgah telah duduk disudut amben yang besar itu.
“Anak-anak muda,” berkata orang tua berjanggjut putih itu, “sudah bertahun-tahun aku tinggal di sini. Tidak seorang-pun yang pantas aku persilahkan singgah, selain anak muda berdua.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab, sementara orang tua itu bertanya, “Anak-anak muda. Apakah yang telah mendorong anak-anak muda memasaki hutan itu, atau barangkali apakah ada orang yang telah memberikan petunjuk kepada anak-anak muda?”
“Tidak Kiai,” jawab Mahisa Murti, “tidak ada orang yang memberikan petunjuk kepada kami. Adalah kebetulan bahwa kami telah sampai kehutan itu dan mencoba-coba untuk melihat kedalamnya. Aku yakin bahwa pertanyaan Kiai ada hubungannya dengan bangunan yang ada didalam hutan itu serta sepasang pedang yang telah kami bawa.”
“Kau begitu cerdas anak muda,” berkata orang tua itu, “yang kau katakan itu benar seluruhnya. Sudah bertahun-tahun aku menunggu. Baru sekarang aku menemukan orang yang aku tunggu itu. Orang yang telah berhasil memungut keris yang ada di dalam candi itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Kemudian dengan heran Mahisa Pukat bertanya, “Bagaimana Kiai tahu sejak kami keluar dari hutan itu bahwa kami telah berhasil mengambil kedua bilah pedang itu?”
“Anak-anak muda,” berkata orang tua itu, “kedua keris itu mempunyai hubungan khusus dengan aku. Kedua keris itu adalah kerisku.”
“Sudah aku duga. Sekarang Kiai ingin merampas keris yang aku kira sebagai pedang itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tidak. Tidak. Jangan salah paham,” berkata orang tua itu dengan serta. Lalu katanya, “dengarlah dahulu keteranganku.” Orang itu berhenti sejenak, lalu “Keris itu adalah kerisku. Tetapi sudah aku berikan kepada seorang muridku. Muridku itulah yang kau jumpai di dalam ruangan tertutup itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak, lalu orang tua itu meneruskan, “Tetapi aku tidak dapat mencegah muridku melakukan satu tindakan yang tidak terpuji.”
Mahisa Marti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Sementara orang tua itu berkata selanjutnya, “Muridku adalah menantu kakak seperguruanku yang tinggal di bangunan yang terdapat di hutan itu. Ternyata muridku, atas pertolongan dari isterinya, anak kakak seperguruanku itu, telah mencuri sebuah kitab. Kitab yang sangat rahasia yang belum waktunya diberikan kepada siapapun juga, karena kitab itu ada hubungannya dengan ilmu puncak perguruan kami yang belum terpecahkan. Kakak seperguruanku menjadi sangat kecewa. Ia menghukum muridku dan anak perempuannya sendiri didalam ruang tertutup. Tetapi ia tidak berniat untuk membunuhnya. Ia hanya ingin membuatnya jera. Namun nampaknya ada tangan yang lebih berkuasa. Kakak seperguruanku terlibat dalam pertempuran yang tidak berkeputusan. Lima hari lima malam. Mereka beristirahat hanya di tengah malam sambil minum dari ujung-ujung kelopak bunga di hutan. Bunga-bunga liar serta embun yang menitik. Pertempuran itu memang berakhir dengan kemenangan kakak seperguruanku, tetapi ia luka parah. Seorang telah merawatnya tanpa mengetahui bahwa saudara seperguruanku itu sedang menghukum anak dan menantunya. Ketika kakak seperguruanku itu mulai sembuh, ia sempat mengatakan bahwa ia sedang menghukum seseorang. Tetapi terlambat. Anak dan menantunya telah meninggal. Betapa kecewanya kakak seperguruanku itu. Ia lalu menghukum diri dan menunggu saat kematiannya sendiri di ruang tengah dari bangunan batu itu. Ia tidak mau lagi mengobati dirinya sendiri yang belum sembuh benar. Aku yang kemudian mengetahui keadaan itu datang terlambat. Keadaan kakak seperguruanku telah semakin parah, sehingga ia akhirnya meninggal dengan meninggalkan beberapa pesan. Antara lain, agar tubuhnya dibiarkan saja di tempatnya terbaring.” Orang tua itu kemudian tersenyum sambil berkata, “Nah, anak-anak muda. Terserah kepada kalian. Apakah kalian akan percaya atau tidak.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Berdasarkan beberapa hal yang mereka dengar dan mereka lihat, maka mereka sepatutnya percaya kepada orang tua itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata,
“Baiklah Kiai. Aku percaya bahwa ada hubungan antara keris yang kiai miliki itu dengan kedua pedang yang kami ketemukan di dalam ruangan tertutup itu. Kamipun tidak akan menolak semua keterangan Kiai. Namun kemudian apakah yang sebenarnya Kiai kehendaki dari kami berdua setelah kami mendapatkan kedua bilah pedang ini.”
“Tidak apa-apa anak-anak muda. Aku justru ingin menitipkan sepasang keris itu kepada anak-anak muda sebagaimana aku katakan. Jika semula keris itu aku buat berpasangan untuk seorang saja yang terbiasa bertempur dengan pedang rangkap, maka sekarang sepasang keris itu telah terbagi oleh dua orang.” orang itu berhenti sejenak, lalu “tetapi itu sama sekali tidak menyebabkan apa-apa. Semuanya memang tergantung kepada orang yang memegang pedang. Meskipun ia membawa sepasang pedang, tetapi jika ia tidak menguasai ilmu pedang, maka sepasang pedang itu tidak akan berarti apa-apa. Sebaliknya orang yang hanya membawa sebilah saja, tetapi memiliki ilmu pedang yang tinggi, maka orang itu pun akan dapat mempergunakannya sebaik-baiknya.”
“Baiklah Kiai,” berkata Mahisa Murti, “kami akan menjaga sepasang senjata ini sebaik-baiknya. Mudah-mudahan kami dapat mempergunakannya untuk kepentingan yang baik, karena tulisan di dinding ruangan itu pun berbunyi tanpa dendam dan pembalasan kepada siapapun juga.”
Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia kemudian bertanya, “jadi begitu bunyi tulisan itu?”
“Ya,” jawab Mahisa Murti.
“Ternyata ada juga yang dapat dibanggakan pada anak itu. Aku yang dikecewakan oleh perbuatannya karena ia telah mencuri kitab gurunya, agak terhibur sedikit mendengar bahwa anakku itu tidak mendendam siapapun juga,” berkata orang tua itu. Lalu katanya, “besok aku akan melihat ruangan itu. Mudah-mudahan aku juga dapat membaca sebagaimana kalian membacanya.”
“Kami membaca dengan ujung jari,” jawab Mahisa Murti.
“Kami akan membawa obor,” desis orang tua itu. Namun ia pun kemudian bertanya, “Apakah kalian akan ikut bersama kami besok?”
“Tidak Kiai,” jawab Mahisa Murti, “kami akan segera melanjutkan perjalanan.”
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Anak-anak muda. Keris itu adalah keris yang sangat berharga. Aku telah membuatnya secara khusus dari bahan yang sangat khusus pula. Keris itu jauh lebih baik dari kerisku sendiri.”
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. “Keris itu akan sangat berarti bagi mereka yang pada dasarnya memiliki kemampuan ilmu pedang yang sangat tinggi,” berkata orang tua itu. Lalu katanya pula, “Tetapi aku percaya bahwa kalian berdua memenuhi syarat untuk memiliki dan mempergunakan keris itu. Namun demikian aku masih juga berpesan. Kalian harus berhati-hati. Keris itu sudah dikenal oleh beberapa orang dan celakanya mereka mengakui kelebihan sepasang keris itu. Karena itu, maka kalian akan menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk justru karena kalian membawa keris itu. Tetapi sekali lagi aku yakin bahwa kalian akan dapat mempertahankannya meskipun aku belum melihta tingkat kemampuan kalian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah menduga bahwa kemungkinan seperti itu akan dapat terjadi atas diri mereka karena sepasang senjata itu. Tetapi keduanya sudah siap untuk mempertahankannya.
Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Kiai. Kami memang sudah memperhitungkan bahwa hal seperti itu akan dapat terjadi. Keris menurut pengertian Kiai ini memiliki banyak kelebihan dari senjata-senjata kebanyakan. Karena itu, maka tentu ada orang yang menginginkannya. Apalagi orang-orang yang memang pernah mengenal sebelumnya.”
Mahisa Marti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Ada beberapa hal yang sesuai dan masuk akal. Namun ada beberapa hal yang masih perlu dipertanyakan. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah bertanya, “Kenapa kedua orang itu sama sekali tidak berusaha untuk keluar dari bilik sempit itu?”
“Keduanya tidak berani melawan perintah guru dan orang tuanya. Apapun yang terjadi, maka keduanya dengan tabah menerimanya,” berkata orang tua itu.
“Tetapi bagaimana dengan serbuk beracun yang terdapat dalam sarung pedang itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Anakku mempunyai kekebalan terhadap racun apapun juga,” berkata orang tua itu, “karena itu, maka senjatanya sengaja diberinya beracun. Jika ia menarik senjatanya, maka racun itu telah lebih dahulu memperlemah ketahanan tubuh lawannya. Bahkan ada yang tidak lagi mampu bertahan. Tetapi kalian pun agaknya mempunyai kekebalan atas racun seperti anakku.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba Mahisa Pukat bertanya, “Dimanakah kitab itu sekarang?”
“Itulah yang belum dapat diketemukan sampai sekarang. Kitab itu telah diambil kembali oleh kakak seperguruanku itu. Tetapi tidak seorang pun yang tahu di mana kitab itu disembunyikan. Di saat ia meninggal, nampaknya ia memang ingin memberitahukan di mana kitab itu disimpan. Tetapi kakak seperguruanku itu telah terlalu cepat pergi. Aku sudah mencarinya dengan membongkar tempat-tempat yang aku kira dipergunakan untuk menyimpan kitab itu, tetapi tidak aku ketemukan. Kitab itu sangat berarti bagi perguruanku. Tetapi pada bagian terakhir sampai saat meninggalnya kakakku, masih tetap merupakan rahasia yang belum terpecahkan. Jika aku dapat menemukannya, maka mungkin aku akan akan dapat menelusurinya dan mencari kemungkinan pemecahannya,” berkata orang tua itu."
Namun Mahisa Pukat tiba-tiba bertanya, “Apakah Ki Sanak menganggap bahwa kami telah menemukan kitab itu?”
“Tidak. Tidak. Sekali lagi aku katakan, aku sama sekali tidak berprasangka buruk terhadap kalian berdua,” jawab orang tua itu, “kalian yang telah mendapatkan pedang itu, silahkan mempergunakannya jika kalian berdua sudi. Pedang yang tidak berarti apa-apa. Namun pedang itu yang aku sebut saja keris, adalah buatanku sendiri. Sepasang, karena perguruan kami mempelajari ilmu pedang sepasang. Justru karena keris itu aku buat sendiri, maka seakan-akan terdapat sentuhan getaran antara keris-keris itu dan aku. Ketika kalian keluar dari hutan, sebelum aku melihat hulu keris di sarung yang berbeda itu, aku sudah merasakan sentuhan getarannya, bahwa keris itu ada pada kalian.”
“Tetapi di dinding batu itu tergores tulisan, bahwa siapa yang berhasil membawa pedang itu keluar, ialah yang boleh memilikinya.”
Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Tulisan itu telah memperkokoh hak anak-anak muda untuk memiliki keris itu. Karena itu, maka aku pun tidak akan menuntut agar keris itu dikembalikan kepadaku. Aku pun tidak berprasangka bahwa kalian telah mengambil kitab itu atau hal-hal lain yang buruk. Apalagi angger berdua memiliki kekebalan atas racun sebagaimana anakku. Namun bagaimanapun juga, karena angger berdua akan memiliki sepasang kerisku, aku ingin tahu, siapakah yang telah membentuk angger sehingga angger nampaknya telah menjadi anak muda yang berilmu tinggi, kebal akan bisa dan mungkin ilmu-ilmu yang lain. Meskipun aku belum membuktikan, tetapi aku melihat pada sikap, kata-kata dan pandangan mata anak-anak muda berdua.”
Keduanya termangu-mangu sejenak. Keduanya memang agak ragu-ragu untuk mengatakan tentang diri mereka sendiri. Namun keduanya telah bertekad untuk bertanggung jawab apapun yang terjadi. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Aku adalah Mahisa Murti dan saudaraku adalah Mahisa Pukat. Kami adalah anak ayah Mahendra dari Singasari.”
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku pernah mendengar nama Mahendra.”
“Adik seperguruan paman Witantra,” desis Mahisa Pukat, “yang pernah berada di Kediri sebagai wakil Singasari setelah pamanda Mahisa Agni.”
“Nama-nama yang terkenal. Mahisa Agni adalah seorang yang disegani dan dihormati. Aku pernah mendengar namanya. Jauh lebih besar dari nama perguruan kami di sini,” desis orang tua itu, “Karena itu, maka sepasang keris itu telah mendapatkan pemiliknya yang akan dapat mempertahankannya. Aku justru ingin menitipkannya kepada kalian berdua.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru termangu-mangu. Sementara orang tua itu berkata, “Anak-anak muda. Aku tahu, bahwa kalian tentu tidak akan dapat dengan serta merta mempecayai aku. Bahkan mungkin kalian juga menganggap keteranganku tentang bangunan dan kerangka-kerangka itu sebagai satu dongeng yang aku buat dengan maksud tertentu. Tetapi barangkali kau akan percaya jika kau sempat mengamati pangkal hulu keris itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun hampir serentak telah mengamati hulu keris yang dianggapnya pedang itu. Pada ukiran di pangkal hulu pedang, mereka melihat pahatan ujud bunga berdaun bunga lima helai. Sementara itu, orang tua itu juga telah menarik kerisnya dan menunjukkan pangkal hulu kerisnya itu kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Ternyata bahwa bentuknya memang sama.
Orang tua itu mengangguk-angguk pula. Katanya kemudian, “Nah, sebenarnya aku ingin mempersilahkan angger berdua untuk singgah barang satu hari. Akan lebih baik jika angger berdua besok bersedia bersama kami untuk kembali ke hutan. Namun segala sesuatunya terserah kepada kalian. Karena aku pun menyadari, bahwa kalian masih saja dibayangi oleh keragu-raguan tentang diriku. Kerisku mungkin dapat meyakinkan kalian bahwa akulah yang telah membuat sepasang keris itu, atau barangkali kalian dapat saja menyangka bahwa aku telah memesannya kepada seorang empu yang berilmu tinggi.”
“Kami mohon maaf Kiai. Bukan keragu-raguan kami yang memaksa kami meninggalkan tempat ini. Tetapi kami memang ingin segera sampai ke padepokan kami,” jawab Mahisa Murti.
Orang tua itu memang tidak menahannya. Tetapi berkali-kali ia berpesan agar anak-anak muda itu berhati-hati. Bahkan kemudian ia berkata, “Jika perlu, kalian dapat menghubungi aku di sini.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil. Sementara Mahisa Murti berdesis, “Terima kasih Kiai. Jika perlu kami akan bertemu dengan Kiai lagi.”
“Aku agaknya sudah tidak akan berpindah tempat lagi. Di sini memang sepi. Tetapi rasa-rasanya ada keharusan untuk selalu dekat dengan bangunan di dalam hutan itu. Seorang kawanku, satu-satunya muridku sebagaimana kau kenal itu.” orang itu berhenti sejenak lalu “mungkin kalian merasa bahwa kami telah mengganggu kalian. Namun aku baru merasa tenang jika aku sudah memberikan beberapa pesan kepada kalian sehubungan dengan sepasang keris yang kau bawa. Rasa-rasanya aku bersalah jika aku tidak pernah memberikan peringatan apapun kepada kalian berdua jika pada suatu saat kalian mengalami kesulitan karena keris itu.”
“Terima kasih Kiai,” berkata Mahisa Murti, “sekarang, kami mohon diri.”
Orang tua itu tidak menahannya lagi. Dilepaskannya kedua orang anak muda itu pergi bersama saudara-saudaranya yang menunggu di luar.
“Mereka sama sekali tidak merasa gentar,” berkata murid orang tua itu.
“Ya. Karena itu mereka memang sepantasnya memiliki sepasang keris itu. Mudah-mudahan mereka selamat dan mampu mempertahankannya,” berkata orang tua itu.
“Atau, sama sekali tidak bertemu dengan orang yang ingin merampas keris itu apapun alasannya,” desis muridnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang meninggalkan gubug itu, masih saja sangat berhati-hati. Keduanya memang merasa aneh bahwa orang tua itu ternyata tidak berbuat apa-apa meskipun ia mengaku telah membuat dan kemudian memiliki sepasang senjata itu. Namun yang kemudian telah diberikan kepada anaknya. Tetapi orang tua itu memang tidak berbuat apa-apa. Ia sudai mengikhlaskan sepasang keris itu kepada dua orang anak muda yang dianggapnya akan dapat mempertahankannya.
Sehari itu, anak-anak muda yang sedang mengembara itu, ternyata tidak menjumpai kesulitan. Namun mereka tidak berusaha singgah dan bermalam di banjar-banjar. Mereka merasa lebih baik untuk bermalam di tempat terbuka. Di banjar-banjar padukuhan mereka dapat saja menjumpai persoalan yang tidak dapat mereka tinggalkan begitu saja, sehingga akan melibatkan mereka pada persoalan-persoalan baru yang yang tidak akan kunjung berakhir, sementara mereka menjadi semakin lama meninggalkan padepokan mereka.
Tetapi anak-anak muda itu sudah berjanji kepada diri mereka sendiri, bahwa mereka sedang menempuh tapa ngrame. Dengan demikian maka mereka pun tidak dapat mengelak untuk memberikan pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan. Bahkan Mahisa Pukat telah beranggapan bahwa sepasang senjata itu adalah anugerah karena tindakan mereka, melakukan tapa ngrame itu.
“Dengan senjata yang lebih baik, maka kita akan dapat melakukannya dengan lebih baik pula,” berkata Mahisa Pukat.
“Itu adalah wajar,” sahut Wantilan, “bahkan seandainya sepasang senjata itu karunia dalam hubungan dengan laku yang kalian tempuh, maka justru dengan demikian kalian dituntut untuk berlaku lebih baik dalam olah laku itu sendiri.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Pukat berkata, “Kami menyadari akan hal itu.”
Ketika malam menjadi semakin larut, maka para pengembara itu pun telah mulai membaringkan dirinya. Mahisa Amping sudah lebih dahulu tidur. Sementara itu Mahisa Semu dan Wantilan pun rasa-rasanya tidak mampu lagi menahan agar matanya tidak segera terpejam.
Bahkan Mahisa Semu berkata, “Aku akan tidur dahulu.Nanti jika saatnya aku berjaga-jaga, tolong, bangunkan aku. Aku kantuk sekali.”
Sebelum kata-kata itu terjawab, maka Wantilan pun berkata, “aku juga. Mataku seperti kena pulut.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membiarkan mereka tidur. Keduanyalah yang masih dapat bertahan untuk tidak segera tertidur nyenyak. Namun ketika tengah malam lewat, mata kedua orang itu-pun rasa-rasanya tidak dapat lagi dibuka. Mereka benar-benar mengantuk tanpa dapat dikendalikan lagi. Tetapi justru karena itu, maka keduanya telah menjadi curiga bahwa sesuatu telah terjadi.
“Kita tidak boleh tidur, justru dalam keadaan seperti ini,” berkata Mahisa Murti.
“Ya. Suasananya memang aneh. Apakah kakang mengarah kepada satu dugaan bahwa kita sedang kena sirep?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tepat,” jawab Mahisa Murti, “karena itu kita harus semakin berhati-hati.”
“Apakah mungkin orang tua yang merasa berhak atas keris itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Memang mungkin. Tetapi agaknya bukan orang itu yang melakukannya,” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun ketika matanya menjadi semakin berat, maka Mahisa Murti berkata, “Kita harus yakin akan daya tahan kita terhadap ilmu seperti ini. Dengan demikian maka kita akan bebas dari pengaruhnya.”
Mahisa Pukat mengangguk. Namun ketika ia benar-benar mengerahkan daya tahannya, maka ia dapat melampaui saat-saat yang gawat sehingga kemudian Mahisa Pukat justru tidak merasa kantuk sama sekali.
“Apakah kita akan mencari orang itu?” bertanya Mahisa Pukat kemudian.
“Kita menunggu mereka datang kemari,” jawab Mahisa Murti.
“Apakah mereka akan datang?” bertanya Mahisa Pukat pula.
“Jika mereka menganggap bahwa kita sudah tidur nyenyak,” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Kemudian bersama Mahisa Murti maka ia pun telah membaringkan diri. Namun seakan-akan keduanya telah membagi tugas. Masing-masing memperhatikan ke arah yang berbeda. Beberapa saat keduanya menunggu. Bahkan perasaan kantuk mulai menyentuh mata mereka kembali. Namun sekali lagi mereka mengerahkan daya tahan, sehingga mereka berhasil untuk mengatasi kekuatan sirep yang telah ditebarkan itu.
Sebenarnya sebagaimana diperhitungkan oleh Mahisa Murti. Ketika malam justru mendekati dini hari, kekuatan sirep itu rasa-rasanya semakin menjadi tajam. Apalagi udara dingin dan angin berhembus perlahan. Tetapi sirep dan udara dingin tidak mampu memecahkan daya tahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menunggu perkembangan keadaan.
Ketajaman pendengaran mereka dan ketajaman penglihatan mereka meskipun digelapnya malam, maka mereka mengetahui bahwa ada beberapa orang tengah mendekati mereka yang disangkanya sudah tertidur nyenyak.
“Tidak ada tanda-tanda bahwa mereka masih terbangun,” desis seorang di antara mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak memejamkan mata mereka. Namun mereka telah berusaha untuk mengaburkannya di bawah rambut mereka yang memang tidak diikat dengan rapi.
Orang-orang yang datang itu hanya dapat menilik sikap dan nafas anak-anak muda itu. Keduanya memang berusaha untuk menyesuaikan pernafasan mereka sebagai mereka yang telah tertidur. Pernafasan yang mengalir teratur lewat lubang hidung mereka.
“Ya,” terdengar yang lain menjawabnya, “kita akan dapat mengambil pedang itu.”
“Ternyata orang tua yang dungu itu tidak mengambil sepasang pedangnya,” berkata orang yang pertama, “meskipun ia sudah memanggil anak-anak itu singah di gubugnya.”
“Orang dungu itu ingin mengelabui kita,” berkata kawannya.
“Mengelabui bagaimana?” bertanya orang yang pertama.
“Anak-anak itu dimintanya singgah di rumahnya. Ia berharap bahwa kita menganggap kedua pedang itu sudah dimintanya, sehingga kita tidak akan menyusul anak-anak malas itu,” jawab kawannya, “orang tua itu tentu berharap bahwa benturan akan terjadi antara kita dengan orang itu.”
“Untunglah bahwa kita tidak sebodoh yang dikiranya,” berkata orang yang pertama.
Sejenak orang-orang itu termangu-mangu. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Kita akan mengambilnya. Guru akan berterima kasih kepada kita, karena Guru memang sudah lama menginginkan sepasang pedang itu. Bukan saja karena sepasang pedang itu merupakan pedang yang pilih tanding, yang terbuat dari bahan yang khusus yang sulit dicari duanya, juga karena pedang itu berhulu emas bertatahkan permata. Harganya tentu akan mahal sekali. Jika hulu pedang itu diganti, maka pedangnya masih tetap bernilai tinggi, sementara harga hulunyapun akan sangat mahal.”
Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi mereka bergerak selangkah maju mendekat.
Mahisa Murti yang merasa bahwa saatnya telah datang, tiba-tiba saja telah meloncat bangkit. Mahisa Pukat pun segera menyusul pula sehingga keduanya pun kemudian telah berdiri tegak. Mahisa Pukat masih sempat menginjak kaki Mahisa Semu sehingga anak muda yang telah terkena sirep itu menggeliat. Tetapi agaknya pengaruh sirep masih mencengkamnya sehingga ia tidak terbangun karenanya.
Orang-orang yang mendekatinya itu pun telah bergeser mundur. Yang tertua di antara mereka pun kemudian telah menggeram, “Setan alas kalian berdua. Kenapa kalian tidak tertidur seperti kawan-kawan kalian?”
“Kami memang ingin tidur nyenyak. Tetapi kami selalu terganggu oleh getaran-getaran yang tidak kami kenal, sehingga kami tidak dapat tidur. Bukan kebiasaan kami. Biasanya asal kami menjatuhkan diri, maka dalam sesaat kami sudah tertidur nyenyak. Namun malam ini kami justru tidak dapat tidur,” jawab Mahisa Murti.
“Ternyata kau terlalu sombong,” geram yang tertua di antara mereka yang datang itu, “kau telah menghinakan ilmu sirep kami.”
“O, jadi kalian telah menebarkan ilmu sirep? Kenapa akibatnya justru sebaliknya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tutup mulutmu,” bentak yang tertua di antara mereka yang telah datang untuk mengambil sepasang senjata yang ditemukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat didalam ruangan tertutup itu.
Namun akhirnya Mahisa Amping itu pun terbangun juga. Sambil mengusap matanya ia bertanya, “Ada apa?”
“Sst,” desis Mahisa Semu, “berhati-hatilah. Kau harus dapat menjaga dirimu sendiri. Nampaknya ada orang yang ingin mengganggu kita malam ini.”
Mahisa Amping yang sudah terlepas dari pengaruh sirep itu pun segera menyadari apa yang terjadi. Karena itu, maka ia pun telah bersiap-siap pula. Sekali-sekali ia melihat kesekelilingnya. Ia harus mendapat tempat untuk bersembunyi jika terjadi pertempuran.
Sementara itu, orang-orang yang akan merampas sepasang pedang yang ada ditangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu telah memencar. Mahisa Murti pun telah bergeser menjauhi Mahisa Pukat. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan pun telah bersiap-siap pula menghadapi segala kemungkinan. Dalam kegelapan mereka sempat menghitung orang-orang yang ingin merampas sepasang pedang itu. Semuanya ada lima orang.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah mulai memperhitungkan kemungkinan buruk atas Mahisa Amping. Jika mereka harus bertempur seorang melawan seorang, maka masih ada seorang yang bebas yang akan dapat memanfaatkan Mahisa Amping untuk memaksa mereka menyerahkan sepasang pedang itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah bergeser pula mendekati Mahisa Amping sambil berkata, “Hati-hati. Dekati aku.”
Mahisa Amping yang memiliki ketajaman panggraita itu pun mengerti maksud Mahisa Murti. Karena itu, maka ia pun telah bergeser mendekatinya, sementara Mahisa Semu dan Wantilan pun telah menyesuaikan diri mereka sambil berusaha melindungi Mahisa Amping pula. Hanya Mahisa Pukat lah yang mengambil tempat tersendiri. Ia justru berharap untuk memancing dua orang di antara lawan-lawan mereka.
Sejenak kemudian murid tertua dari perguruan yang menginginkan pedang yang sepasang itu telah bersiap. Dengan garang ia memberikan aba-aba kepada saudara-saudara seperguruannya.
“Ambil pedang itu. Jika perlu bunuh mereka yang menghalangi.”
Yang lain pun kemudian telah bergerak. Empat orang berada dalam satu kelompok untuk menghadapi Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Wantilan, sedangkan seorang di antara mereka akan berhadapan dengan Mahisa Pukat. Meskipun baru satu orang yang berhadapan dengan Mahisa Pukat, namun Mahisa Pukat berharap bahwa seorang lagi akan datang pula kepadanya setelah mereka mulai bertempur.
Sejenak kemudian, maka lawan Mahisa Pukat pun telah mulai meloncat menyerang. Namun dengan tangkasnya Mahisa Pukat sempat menghindarinya. Meskipun demikian, maka sambaran angin serangan orang itu telah memperingatkan Mahisa Pukat, bahwa lawannya adalah seseorang yang berilmu cukup tinggi. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun dengan cepat menanggapi keadaan. Nampaknya lawannya tidak merasa perlu untuk menjajagi kemampuannya dari awal. Ia akan langsung saja menghancurkannya agar orang itu segera dapat mengambil pedang yang dibawanya.
Dengan demikian maka Mahisa Pukat pun harus mengimbanginya pula. Ia pun telah mengerahkan tenaga cadangan didalam dirinya untuk mendukung perlawanannya. Namun agaknya tenaga cadangannya tidak cukup kuat untuk melawan ilmu orang itu. Sehingga karena itu, maka Mahisa Pukat pun harus langsung merambah kedalam ilmunya.
Tetapi Mahisa Pukat tidak ingin menghancurkan lawannya dengan serangan jarak jauhnya. Mahisa Pukat masih ingin bertempur dalam ujud sewajarnya meskipun dengan landasan ilmunya. Ia pun masih belum sampai pada tataran tertinggi ilmu Bajra Geninya, karena ia memang tidak ingin menghancurkan lawannya sehingga menjadi debu.
Namun ternyata bahwa lawannya pun memiliki ilmu yang tinggi. Semakin lama mereka bertempur, maka lawannya itu seakan-akan mampu bergerak semakin cepat sehingga untuk beberapa saat Mahisa Pukat sempat terdesak. Tetapi, demikian Mahisa Pukat meningkatkan ilmunya, maka ia pun segera mampu mencapai keseimbangan kembali.
Sementara itu, Mahisa Murti pun telah tertempur pula. Bertiga Mahisa Murti harus bertempur melawan empat orang. Seorang di antaranya adalah justru yang tertua di antara mereka. Karena itu, maka berbeda dengan Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti lah yang langsung mempergunakan kemampuannya untuk mengurangi kemampuan lawan karena selain ia harus bertempur bagi dirinya sendiri, maka ia pun harus bertempur melindungi Mahisa Amping dan bahkan harus memperhatikan kemungkinan yang dapat terjadi atas Mahisa Semu dan Wantilan, karena seperti Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti pun segera menyadari bahwa lawannya memiliki ilmu yang tinggi.
Mahisa Semu yang lebih mempercayakan diri kepada kemampuan ilmu pedangnya, memang segera menarik pedangnya. Dengan cepat ia melibat lawannya yang juga segera menarik senjatanya pula. Namun orang itu sempat tertawa sambil berkata, “Kau mempercepat kematianmu. Kau kira ilmu pedangmu akan dapat melindungimu?”
Mahisa Semu tidak menjawab. Namun ia pun harus segera bertempur melawan ketajaman pedang pula.
Wantilan lah yang masih mencoba bertempur tanpa senjata. Namun ternyata ia harus menghadapi dua orang lawan. Karena itu, dalam waktu singkat, maka Wantilan telah mulai terdesak. Justru karena itu, maka Mahisa Murti pun telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengatasi keadaan itu. Ia bukan saja bertempur dengan keras, namun Mahisa Murti juga telah mengetrapkan ilmunya yang mampu menghisap kekuatan lawannya.
Namun Mahisa Murti tidak segera mampu membentur lawan-lawannya. Ternyata bahwa lawan-lawannyapun tidak menyia-nyiakan waktu sehingga mereka bukan saja telah mengerahkan ilmu mereka, tetapi mereka pun telah menggenggam senjata pula. Mahisa Murti tidak mempunyai pilihan lain. Karena yang dibawanya adalah pedang yang ditemukannya di dalam bangunan batu di dalam hutan itu, maka ia pun telah mencabut pedang itu pula.
Ternyata yang terjadi sangat mengejutkan. Kekuatan ilmu Mahisa Murti yang mampu menghisap kekuatan dan kemampuan lawan itu, telah bergejolak dengan dahsyat ketika menjalar melalui senjata yang dibuat dari besi baja pilihan itu. Cahaya yang kebiru-biruan itu bagaikan menyala semakin besar. Bahkan kemudian seperti api yang menyembur dengan dahsyatnya.
Namun Mahisa Murti masih belum puas dengan kenyataan itu meskipun semula ia sendiri telah terkejut. Mahisa Murti yang ingin mencoba kekuatan ilmunya yang berpengaruh terhadap pusakanya yang baru itu telah mengetrapkan ilmunya Bajra Geni dan segenap ilmu yang tersimpan di dalam dirinya.
Sebenarnyalah akibatnya sangat mendebarkan jantung. Pedang itu benar-benar bagaikan diselubungi oleh lidah api yang menjilat-jilat. Bahkan kemudian seperti lidah ular naga yang menyala menjilat ke segala arah.
Dengan serta merta lawan Mahisa Murti itu pun telah meloncat surut. Namun dengan kemarahan yang bergelora didalam dadanya, murid tertua dari antara mereka yang datang untuk mengambil pedang itu berteriak, “jangan gentar. Apapun yang kita lihat, namun segala sesuatunya sangat tergantung kepada orangnya. Jika orang yang menggenggam pusaka yang dahsyat itu tidak memiliki ilmu pedang yang baik, maka kita akan segera membunuhnya dan mengambil pedang itu bagi perguruan kita.”
Kata-kata itu memang dapat membangkitkan keberanian orang-orang yang akan mengambil sepasang pedang itu. Karena itu, maka mereka pun telah bertempur semakin sengit. Orang yang semula berdua bertempur melawan Wantilan, telah bergeser. Dua orang kemudian berpasangan melawan Mahisa Murti.
Mahisa Pukat memang menjadi cemas, Mahisa Amping akan dapat mengalami kesulitan. Karena itu, maka ia pun tidak memperpanjang waktu lagi. Dengan serta merta maka Mahisa Pukat pun telah mengerahkan segala macam ilmunya dan disalurkannya lewat daun pedangnya.
Lawannyapun telah terkejut pula, tetapi ia berpendirian seperti saudara seperguruannya. Betapapun dahsyatnya pedang di tangan, namun akhirnya yang menentukan adalah orangnya pula.
Pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Mahisa Murti harus bertempur melawan dua orang lawan. Sementara Mahisa Pukat bertempur melawan seorang. Demikian pula Mahisa Semu dan Wantilan. Demikian pertempuran itu menjadi semakin seru, maka segera nampak bahwa Mahisa Semu dan Wantilan mulai terdesak. Mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka, namun kemampuan itu memang terbatas.
Mahisa Murti yang harus bertempur melawan dua orang lawan, harus mengerahkan segenap kemampuannya pula. Apalagi setelah kedua lawannya itu pun sampai ke tingkat tertinggi dari ilmunya, maka Mahisa Murti pun harus mempergunakan kemampuannya sebaik-baiknya.
Namun justru karena senjata Mahisa Murti yang dahsyat itu, maka kedua lawannya telah berusaha untuk tidak membenturkan pedang yang ada di tangan mereka. Dengan demikian maka usaha Mahisa Murti untuk menghisap tenaga mereka menjadi lamban sekali.
Tetapi Mahisa Murti tidak henti-hentinya berusaha. Dengan kecepatan yang tinggi, maka ia berusaha untuk melanda kedua lawannya. Bagi Mahisa Murti, apakah ia berhasil menghisap kekuatan dan kemampuannya sampai tuntas, atau mampu menggoreskan ujung pedangnya yang nggegirisi itu ke tubuh lawan, tidak ada bedanya. Yang penting baginya adalah dengan cepat melumpuhkan lawannya sebelum lawannya melukai salah seorang saudara-saudaranya, terutama Mahisa Amping.
Namun Mahisa Murti itu menarik nafas dalam-dalam ketika dalam kekisruhan pertempuran, Mahisa Amping ternyata telah mengambil langkah yang menguntungkan. Tiba-tiba saja ia telah hilang dari medan. Mahisa Murti yakin, bahwa anak yang memang memiliki penggraita yang tajam itu telah bersembunyi, sehingga ia tidak akan menjadi sasaran kelicikan lawan-lawannya. Meskipun demikian, kecemasan yang lain telah timbul. Mahisa Semu dan Wantilan benar-benar telah terdesak, sehingga keduanya seakan-akan tidak mempunyai ruang gerak lagi.
Tetapi, di lingkaran pertempuran yang lain, Mahisa Pukat telah menggulung lawannya. Melawan seorang di antara mereka yang datang untuk merampas pedang yang baru saja mereka dapatkan di hutan itu, ternyata Mahisa Pukat masih memiliki kelebihan. Apalagi karena lawannya ternyata tidak ragu-ragu untuk membenturkan senjatanya.
Namun dengan membenturkan senjatanya, lawan Mahisa Pukat itu mengalami dua kesulitan. Demikian kerasnya benturan yang terjadi serta kelebihan jenis pedang yang dimiliki Mahisa Pukat, maka disetiap benturan itu, tajam pedang lawannya telah menjadi repih. Bahkan kemudian bagaikan menjadi retak-retak. Namun dengan demikian, tajam pedang itu justeru menjadi berbahaya, karena pedang itu menjadi seakan-akan bergerigi.
Tetapi kesulitan yang lebih besar dari lawan Mahisa Pukat itu adalah karena kemampuan ilmu Mahisa Pukat menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya. Getaran yang seakan-akan mengalir dengan cepat dalam setiap sentuhan, bukan saja wadagnya, tetapi juga senjata mereka.
Itulah sebabnya, maka lawan Mahisa Pukat itu merasakan sesuatu yang tidak wajar dalam dirinya. Selagi ia bertempur dengan segenap kekuatannya mendesak Mahisa Pukat, tiba-tiba saja terasa tenaganya telah mulai menjadi susut.
“Apa yang sebenarnya telah terjadi?” bertanya orang itu didalam dirinya.
Namun Mahisa Pukat masih juga menjadi berdebar-debar ketika ia melihat kesulitan yang mencengkam Mahisa Semu dan Wantilan. Bahkan beberapa kali keduanya harus berloncatan mengambil jarak. Ternyata orang-orang yang datang untuk mengambil sepasang pedang itu adalah orang-orang yang memang memiliki ilmu yang tinggi.
Bahkan Mahisa Murti yang harus bertempur melawan dua orang itu pun ternyata mulai mengalami kesulitan. Keduanya adalah orang-orang yang berbekal ilmu pula. Apalagi keduanya tidak dengan serta merta membenturkan senjata-senjata mereka, karena mereka menjadi silau melihat pedang di tangan Mahisa Murti. Karena keduanya bertempur berpasangan, maka mereka mampu saling mengisi dan menyerang berganti-ganti sambil menghindari sentuhan. Mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa Mahisa Murti memiliki ilmu yang dapat menghisap kemampuan mereka, namun mereka mencemaskan senjata-senjata mereka yang akan dapat merusak jika berbenturan dengan senjata Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murti memang cukup garang. Senjatanya berputar-putar dan menyambar-nyambar menggetarkan jantung. Yang lebih dahulu menyelesaikan lawannya adalah Mahisa Pukat. Beberapa saat kemudian, maka lawannya benar-benar telah kehilangan kekuatannya selapis demi selapis, sehingga akhirnya, ia merasa seluruh tubuhnya menjadi sangat lemah. Seakan-akan tulang-tulangnya telah terlepas pada persendiannya.
Karena itu, maka ketika pada saat-saat terakhir Mahisa Pukat menekannya lebih keras, maka orang itu benar-benar telah kehilangan kemampuannya untuk melawannya. Bahkan senjatanya yang telah mirip dengan gergaji telah patah dan terlepas dari tangannya. Sementara itu, ia tidak lagi mampu berdiri tegak di atas kedua kakinya ketika Mahisa Pukat sempat mencengkam pergelangan tangannya beberapa saat.
Demikian orang itu jatuh terduduk, maka Mahisa Pukat pun telah meloncat meninggalkannya. Ia pun segera berusaha untuk membantu Mahisa Semu dan Wantilan. Meskipun Mahisa Murti juga mengalami kesulitan, tetapi ia yakin, bahwa Mahisa Murti dalam keadaan yang paling gawat, masih akan mampu melindungi dirinya dengan ilmunya.
Kehadiran Mahisa Pukat telah membuat jantung Mahisa Semu dan Wantilan sedikit mengembang. Sebenarnyalah Mahisa Pukat langsung mengambil alih lawan Wantilan sambil berkata lantang, “Bantulah Mahisa Semu.”
Wantilan memang segera meninggalkan lawannya. Lawannya memang tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak berani meremehkan Mahisa Pukat karena ia tahu bahwa Mahisa Pukat telah mampu mengalahkan lawannya yang terdahulu. Apalagi pedang Mahisa Pukat yang bagaikan menyemburkan lidah api ke segala penjuru itu merupakan senjata yang menggetarkan jantung. Namun orang itu tidak dapat ingkar. Ia harus bertempur melawannya. Apapun yang terjadi.
Sementara itu, Wantilan telah bergabung dengan Mahisa Semu untuk melawan seorang di antara mereka yang ternyata juga memiliki ilmu yang tinggi. Ilmu pedang Mahisa Semu ternyata masih berada dibawah kemampuan lawannya itu. Namun bersama dengan Wantilan, maka Mahisa Semu menjadi sedikit dapat bernafas meskipun keduanya masih juga ragu, apakah mereka akan dapat mengalahkan orang itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti masih harus bertempur melawan kedua orang lawannya. Ternyata kedua orang lawannya semakin lama terasa semakin sulit di atasi. Dengan demikian maka Mahisa Murti untuk beberapa saat harus bertahan saja sambil berusaha untuk setiap kali menyentuh senjata lawan. Setiap serangan yang datang, dalam batas kemungkinan, tidak dihindarinya. Tetapi ia berusaha menangkisnya dengan sepenuh tenaganya. Selain senjata lawannya itu menjadi repih pada tajamnya, ia pun berhasil mengurangi tenaga lawannya itu selapis demi selapis tipis.
Tetapi ternyata yang tertua di antara orang-orang yang datang untuk merampas pedang itu memiliki ilmu yang tinggi pula. Meskipun pedangnya pada setiap benturan memberikan kesan yang aneh pada dirinya, namun ternyata kemampuan ilmu orang itu yang mengalir pada senjatanya telah menumbuhkan getaran udara yang memancarkan panas, menjalar menyentuh tubuh Mahisa Murti.
Mahisa Murti yang mulai merasakan getaran udara panas itu merasa bahwa tekanan lawan-lawannya tentu akan menjadi semakin berat. Setiap ayunan senjata lawannya, telah disertai dengan arus udara panas yang menampar tubuhnya. Sementara itu, lawannya yang seorang lagi, agaknya masih baru mulai sehingga udara yang terhempas oleh ayunan senjatanya masih belum terasa membakar tubuh.
Namun Mahisa Murti masih saja bertekad untuk bertahan sambil berusaha selalu menangkis serangan lawannya, betapapun terasa udara panas menerpa tubuhnya. Namun Mahisa Murti ternyata memerlukan waktu yang lama. Hampir saja Mahisa Murti menjadi kehilangan kekang diri dan menghancurkan lawannya dengan serangan berjarak disertai dengan landasan ilmu Bajra Geninya. Namun sebelum ia melakukannya, maka Mahisa Murti mulai merasa, tenaga lawannya itu melemah.
Di samping kedua lawan Mahisa Murti yang mulai melemah perlahan-lahan, maka lawan Mahisa Pukat yang baru itu pun mengalaminya pula. Lebih cepat dari kedua lawan Mahisa Murti. Namun dalam pada itu, selagi pertempuran di antara mereka masih belum selesai, tiba-tiba saja terdengar putaran angin yang dahsyat menggerakkan dedaunan, dahan-dahan dan ranting-ranting pepohonan.
Sementara itu, kedua orang lawan Mahisa Murti, lawan Mahisa Pukat dan lawan Mahisa Semu dan Wantilan, telah meloncat mengambil jarak. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang terkejut. Selain angin yang datang membadai itu, juga karena lawan-lawan mereka telah berloncatan surut.
Namun mereka pun segera mendapat jawabnya. Dalam keadaan yang mencengkam itu, tiba-tiba saja didalam kegelapan telah nampak sesosok tubuh yang berdiri tegak di atas batu padas sambil mengangkat tangannya dan berkata, “Berhentilah.”
Lawan-lawan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu pun telah melangkah surut. Sementara itu orang di atas batu padas itu berkata, “Aku sendiri telah datang ke arena. Karena itu, maka pertempuran itu tidak perlu lagi.”
Lawan-lawan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu pun telah bergeser menjauh. Sementara orang itu berkata lebih lanjut, “Biarlah aku sendiri mengambil pedang-pedang yang aku inginkan itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melangkah saling mendekat. Demikian pula Mahisa Semu dan Wantilan. Sementara itu, maka orang itu pun berkata kepada anak-anak muda yang membawa pedang yang dikehendaki oleh orang itu. “Anak-anak muda, aku datang untuk menyelesaikan persoalan ini dengan cepat. Nampaknya murid-muridku tidak dapat melakukannya, sementara waktu kami tidak terlalu banyak.”
“Siapa kau dan apa maksudmu?” bertanya Mahisa Murti
“Maksudku sudah jelas. Aku ingin mengambil sepasang pedang yang kalian bawa itu,” jawab orang itu, “sedangkan siapa aku, agaknya kau tidak perlu mengetahuinya.”
“Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “sudah aku katakan, bahwa aku akan mempertahankannya apapun yang akan terjadi.”
“Kalian memang anak iblis. Kalian memiliki ilmu iblis pula. Kau sadap ilmu itu dari Akuwu Sangling sedangkan nampaknya kau sadap ilmu yang licik itu dari Akuwu Lemah Warah,” berkata orang itu. Lalu “Tetapi ilmu yang kau tunjukkan kepadaku itu sama sekali tidak berarti apa-apa bagiku. Aku memang harus berpikir ulang jika aku harus bertempur dengan gurumu. Tetapi sayang. Malam ini aku akan terpaksa membunuh kalian jika kalian tidak menyerahkan pedang itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti berkata, “Sudah aku katakan. Apapun yang akan terjadi, kami akan mempertahankannya sepasang pedang ini.”
“Sayang,” berkata orang itu, “kalian akan mati muda.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Namun mereka terkejut ketika mereka melihat dari tubuh orang itu seakan-akan mengepul awan yang tipis. Namun semakin lama menjadi semakin banyak. Seakan-akan kabut yang menyebar meliputi lingkungan itu, sehingga malam menjadi semakin gelap. Selagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sempat melihat orang itu, maka Mahisa Murti pun berdesis, “Kita hentikan semuanya ini. Apa boleh buat, jika orang itu lumat oleh ilmu kita.”
Mahisa Pukat pun kemudian telah bersiap pula. Ia menunggu isyarat Mahisa Murti untuk melepaskan ilmu mereka yang tertinggi. Demikianlah, sejenak kemudian, dengan satu isyarat, maka keduanya telah menghentakkan tangan mereka dengan telapak tangan terbuka mengarah kepada orang yang berdiri di atas batu padas itu. Seleret cahaya seakan-akan telah meloncat dari telapak tangan kedua orang anak muda itu mengarah kepada orang yang berdiri di atas batu padas itu.
Sebuah ledakan telah terjadi. Namun kedua orang anak muda itu harus melihat satu kenyataan bahwa serangannya sama sekali tidak mengenai sasaran. Batu padas itu memang bagaikan meledak. Tetapi orang yang berdiri di atasnya telah tidak ada lagi di tempatnya. Sementara itu, maka kabutpun semakin lama menjadi semakin menyebar.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi gelisah. Apalagi Mahisa Semu dan Wantilan. Mereka seakan-akan sudah tidak dapat melihat lagi. Kabut menjadi sangat tebal menyelimuti tempat itu.
“Anak-anak,” terdengar suara yang bergulung-gulung tanpa dapat diketahui arahnya, “serahkan sepasang pedang itu atau kalian akan mati. Kabut itu memang tidak mengandung racun, karena aku tahu kalian memiliki penangkal racun. Namun dalam kabut kalian tidak akan dapat melawan aku. Penglihatanku dapat menembus kabut yang aku buat sendiri itu. Aku dengan mudah dapat mendekati kalian dan menikam jantung kalian. Kemudian memungut sepasang pedang itu. Tetapi aku akan membiarkan kalian tetap hidup jika kalian mau meletakkan pedang dan bergerak menjauh.”
Tidak terdengar jawaban. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah bertekad untuk tidak menyerahkan pedang-pedang mereka apapun yang terjadi. Karena itu, maka mereka justru menggenggam pedang mereka semakin erat.
“Tidak ada gunanya,” berkata orang itu, “tetapi baiklah. Agaknya kalian memang memilih kematian. Jangan salahkan aku jika kalian semuanya akan mati. Bukan hanya kedua anak muda yang membawa pedang saja. Tetapi kematian anak-anak muda yang lain akan kau serahkan saja kepada murid-muridku, agar mereka mendapatkan kegembiraan pula dalam perburuan sepasang pusaka itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sudah tidak dapat melihat pada jarak sepanjang hidung mereka itu pun memang menjadi semakin gelisah. Tetapi sama sekali tidak ada niat di hati mereka untuk menyerah dan meletakkan pusaka-pusaka itu. Namun dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba saja terdengar suara kidung. Suara kidung yang ngelangut memecah suara-suara malam yang sepi.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengarkan suara kidung itu dengan penuh kecurigaan. Mungkin suara kidung itu adalah satu usaha lawannya melepaskan ilmunya yang lain untuk membunuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi anak-anak muda itu menjadi heran, ketika kemudian telah bertiup angin. Mula-mula perlahan-lahan. Namun sejalan dengan irama kidung yang menghentak keras, maka angin yang bertiup pun terasa semakin kencang pula. Sedikit demi sedikit, angin itu ternyata telah mampu menguak kabut yang tebal, sehingga sejenak kemudian, jarak pandang anak-anak muda itu pun telah menjadi semakin jauh.
Namun, anak-anak muda itu pun kemudian terkejut ketika mereka mendengar derap kaki dua orang yang sedang bertempur. Tetapi sejenak kemudian, keduanya mendengar salah seorang di antara mereka meloncat mengambil jarak, sehingga pertempuran itu pun telah berhenti. Bersamaan dengan itu, maka kabut pun menjadi semakin tipis, seakan-akan telah terkuak, sehingga dalam keremangan malam, anak-anak muda itu melihat dua orang yang saling berhadapan.
“Kau iblis,” terdengar orang yang mengingini sepasang pusaka itu menggeram.
Yang seorang lagi, ternyata pernah dilihat juga oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Orang tua yang minta keduanya singgah di gubugnya. Orang tua itu berkata,
“Aku sudah mengira bahwa kau akan datang untuk mengganggu anak-anak itu. Kenapa kau masih saja berbuat seperti itu? Sebaiknya kau biarkan saja kedua orang anak muda itu memiliki temuannya sendiri,kau tidak boleh iri. Kenapa kau tidak mencarinya sendiri sehingga kau akan dapat memilikinya? Aku, yang membuat keris itu dan kemudian memberikannya kepada anakku, tidak pernah berniat untuk merampasnya kembali. Tetapi kenapa kau justru melakukannya.”
“Aku tidak peduli,” geram orang yang mengingini sepasang pusaka itu, “aku hanya ingin memiliki sepasang pusaka itu siapapun yang akan aku hadapi. Sekarang, jika kau menghalangi niatku, kau akan aku habisi sama sekali.”
“Kabutmu tidak berarti apa-apa bagiku,” berkata orang tua itu.
“Kau kira aku hanya mampu bermain dengan kabut?” geram orang itu, “aku akan membuktikan, bahwa aku akan dapat membunuhmu.”
Orang tua itu tertawa. Katanya, “Baiklah. Jika kau memang merasa akan dapat membunuhku, lakukanlah. Tetapi aku pun telah memutuskan untuk membunuhmu. Aku berkata sesungguhnya, karena jika tidak, kau tentu masih akan mengganggu kedua anak muda yang kebetulan bernasib baik itu. Kau tidak boleh merampas keris-keris itu, karena aku sudah merelakannya.”
“Persetan,” bentak orang itu. Namun ia pun segera mempersiapkan diri, “ternyata kita memang harus menguji, siapakah yang lebih kuat. Jika kau mati, maka anak-anak itu tidak akan mempunyai pelindung lagi.”
“Aku sudah siap,” berkata orang tua itu.
Demikianlah keduanya pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Orang yang mengingini sepasang pusaka itulah yang kemudian telah meloncat menyerang lebih dahulu. Tetapi lawannya dengan tangkas menghindarinya. Bahkan demikian serangan itu lewat, maka orang tua itu telah menyerangnya pula dengan cermat sekali.
Tetapi, kedua orang itu ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi. Dalam waktu yang singkat, keduanya bagaikan telah hilang dari pandangan mata wadag. Hanya dengan kemampuan khusus Mahisa Murti dan saudara-saudaranya mampu melihat keduanya berputaran. Sekali-sekali mereka melenting di udara dan seakan-akan bertempur tanpa berjejak di atas tanah. Sekali-sekali asap mengepul. Namun kemudian bagaikan dihembus oleh angin yang kuat dan lenyap dalam kegelapan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah anak-anak muda yang berilmu tinggi. Namun ternyata mereka masih juga merasa heran melihat pertempuran yang sedang berlangsung itu. Dua orang yang ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi dengan berbagai macam bentuk dan ungkapan. Bahkan kedua anak muda itu menjadi ragu-ragu, apakah ayahnya mampu mengimbangi kemampuan kedua orang itu.
Selagi mereka dengan tegang menyaksikan pertempuran dari dua orang yang berilmu sangat tinggi itu, Mahisa Semu terkejut ketika seseorang menggamitnya. Ternyata Mahisa Amping telah berdiri di belakangnya sambil berdesis, “Apakah pertempuran sudah selesai?”
Mahisa Semu tidak menjawab. Tetapi ia menunjuk dua sosok bayangan yang berterbangan di dalam kegelapan. Tetapi Mahisa Amping agaknya tidak dapat menangkap arti dari penglihatannya selain ujud diluar yang berbaur, berputaran.
Namun dalam pada itu, hampir diluar sadarnya, Mahisa Semu dapat melihat murid-murid orang yang ingin memiliki sepasang pedang itu telah bergerak-gerak. Agaknya mereka ingin mempergunakan kesempatan itu untuk menyerang anak-anak muda yang agaknya lebih memperhatikan pertempuran yang sedang terjadi itu.
Tetapi ketika Mahisa Semu hampir saja berteriak memperingatkan saudara-saudara angkatnya, Mahisa Murti ternyata telah mendahuluinya berkata, “Ki Sanak. Jangan mempersulit keadaan diri sendiri. Jika kalian menyerang, maka kalian akan mati. Kami tidak akan memaafkan kalian lagi.”
Ternyata murid-murid dari orang yang menginginkan sepasang pedang itu harus berpikir dua kali. Salah seorang di antara mereka sudah tidak berdaya. Sementara yang lain merasa tubuhnya menjadi lemah karena tenaganya telah susut diluar sadar mereka. Dengan demikian maka mereka pun telah mengurungkan niatnya untuk berbuat sesuatu, sehingga perhatian mereka pun kemudian telah mereka tujukan kepada guru mereka yang harus bertempur melawan orang yang menyatakan dirinya telah membuat pedang yang disebutnya keris itu.
Kedua orang itu pun bertempur semakin dahsyat. Keduanya telah mengerahkan kemampuan mereka sehingga dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin sulit dimengerti, siapa di antara mereka yang akan memenangkan pertempuran. Dalam kekalutan itu terdengar orang yang ingin merampas sepasang pedang itu menggeram, “Iblis kau. Ternyata kau masih mampu meningkatkan ilmumu.”
Yang terdengar adalah suara tertawa orang tua itu. Sambil bertempur berputaran terdengar orang itu menjawab, “Biarlah yang tua menyelesaikan persoalannya dengan orang tua. Jangan hanya berani mengganggu anak-anak saja.”
“Kau kira aku tidak mampu membunuhmu,” bentak orang yang mengingini sepasang pusaka itu.
Orang tua itu tertawa semakin panjang. Namun suara tertawanya pun terputus ketika tiba-tiba seleret sinar memancar dari tangan lawannya. Dengan tangkasnya orang tua itu meloncat menghindar. Tetapi serangan-serangan berikutnya menyambarnya beruntun seakan-akan tidak berjarak. Karena itu, maka orang tua itu harus berloncatan. Namun orang tua itu justru meloncat semakin mendekati lawannya, sehingga satu saat ia sempat melontarkan pisau-pisau kecil ke arah lawannya, sambil meloncat berputar di udara.
Serangan itu tidak terduga-duga. Karena itu, maka orang yang menginginkan sepasang pusaka itu, harus dengan serta merta meloncat menghindar. Namun demikian ia tegak di atas kakinya, maka terdengar suara orang tua itu, “Nah, sekarang aku pun mendapat kesempatan.”
Lawannya tidak menjawab. Dengan serta merta pula ia telah meluncurkan serangannya. Secercah cahaya telah menyambar ke arah lawannya. Tetapi orang tua itu telah sempat memusatkan nalar budinya membangunkan ilmunya. Karena itu, maka ia pun telah berbuat sebagaimana dilakukan oleh lawannya. Segumpal sinar telah memancar dan menyambar sinar yang datang menyerangnya.
Satu benturan ilmu telah terjadi. Sebuah ledakkan telah menghentak di kegelapan malam dengan melontarkan percikan cahaya yang menyilaukan. Namun sejenak kemudian, keduanya telah berloncatan sekali lagi. Keduanya telah saling menyerang dengan kekuatan ilmunya itu. Tidak dengan senjata sebagaimana telah dilakukan oleh orang tua itu sebelumnya.
Cahaya yang menyilaukan telah meluncur sambar-menyambar dari kedua arah. Dalam gelapnya malam, maka seakan-akan telah terjadi pertempuran antara bintang-bintang yang meluncur dengan garangnya sambar-menyambar. Beberapa kali telah terjadi benturan ilmu. Gumpalan-gumpalan sinar itu bagaikan pecah dan meluncur seperti bunga api ke segala arah.
Namun sebenarnyalah, benturan-benturan ilmu itu telah berpengaruh atas kedua orang yang sedang bertempur itu. Seorang di antara mereka yang ilmunya lebih kuat akan menekan lawannya langsung ke bagian dalam tubuhnya. Dalam pada itu, maka pertempuran itu pun semakin lama semakin dahsyat. Lontaran ilmu yang tidak mengenai sasaran dan tidak saling berbenturan telah menghantam batu-batu padas dan pepohonan. Ranting-ranting pun berpatahan dan dahan-dahan pun berguguran runtuh dari batangnya.
Namun akhirnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berhasil melihat bahwa keseimbangan antara kedua orang yang bertempur itu sudah mulai berubah. Orang yang ingin mengambil sepasang pedang itu nampak menjadi semakin lemah. Bahkan kemudian, serangan-serangannya tidak lagi menggetarkan ilmu lawannya yang meluncur deras dalam benturan ilmu.
Dalam keadaan yang demikian, terdengar suara orang tua itu, “Kau harus melihat kenyataan ini. Urungkan niatmu untuk mengambil sepasang keris itu.”
“Persetan,” orang itu menggeram. Bahkan langsung menyerang orang tua itu dengan sisa tenaganya.
Orang tua itu terkejut. Ia tidak menduga, bahwa lawannya dengan licik telah menyerangnya. Namun demikian tinggi ilmunya, maka ia pun dengan serta merta telah melawannya dengan menghantam serangan lawannya itu. Tetapi kemarahan orang tua itu tidak terkekang lagi. Ia tidak saja membentur serangan lawannya, tetapi ia pun dengan garang telah menyerang lawannya itu pula.
Satu serangan yang cepat dan tiba-tiba. Yang terdengar kemudian adalah keluhan tertahan. Serangan itu ternyata telah dengan tepat mengenai dada orang yang ingin mengambil sepasang pusaka itu. Betapapun orang itu berilmu tinggi, namun serangan itu pun telah dilontarkan dengan ilmu yang tinggi pula. Karena itu, maka segumpal cahaya telah menghantam dada dan mendorongnya beberapa langkah surut. Orang itu pun kemudian jatuh terbanting di tanah. Sekali ia menggeliat sambil mengumpat. Namun kemudian suaranya bagaikan tertelan kembali.
Murid-muridnya yang melihat keadaan gurunya itu pun dengan serta merta telah berloncatan berlari. Hanya lawan Mahisa Pukat yang telah menjadi sangat lemah, hanya mampu beringsut selangkah demi selangkah sambil merangkak. Ternyata Mahisa Pukat menjadi iba melihatnya. Ia pun kemudian telah mendekatinya dan memapahnya dan meletakkannya di sisi tubuh gurunya yang terdiam.
Murid-muridnya telah menjadi kebingungan melihat keadaan gurunya. Bahkan ada di antara mereka yang telah mengguncang-guncang sambil memanggil-manggil, “Guru, guru.”
Gurunya memang masih bernafas. Namun dadanya terasa sesak. Sekali ia mencoba mengangkat kepalanya. Namun ia sudah tidak mempunyai kekuatan sama sekali.
Orang tua, yang mengaku telah membuat sepasang keris yang mirip dengan pedang itu telah mendekatinya. Dadanya sendiri juga merasa sesak. Tetapi ia masih cukup kuat dan tenaganya masih cukup besar untuk melakukan sesuatu jika perlu. Tetapi lawannya sudah tidak berdaya sama sekali.
Orang tua itu pun kemudian berdiri di sebelah tubuh yang terbaring itu. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya juga mendekatinya. Tetapi mereka masih cukup berhati-hati untuk mengambil jarak.
“Jangan tinggalkan kami guru,” berkata salah seorang muridnya.
Gurunya masih mencoba untuk berbicara, “Aku sudah tidak kuat lagi.”
“Jangan guru,” teriak muridnya yang lain.
Tetapi gurunya memang sudah sangat lemah. Dalam pada itu, orang tua yang termangu-mangu itu pun kemudian berkata, “Mundurlah. Biar aku yang mencobanya.”
Tetapi sorot mata murid-muridnya nampak curiga, sehingga orang tua itu berkata, “Jangan cemas bahwa aku akan membunuhnya. Jika aku ingin melakukannya, maka aku akan dapat membunuh bukan saja gurumu. Tetapi bersama dengan kalian semuanya.”
Murid-muridnya itu termangu-mangu. Namun akhirnya mereka pun telah bergeser menjauh beberapa langkah. Demikian juga muridnya yang sudah kehabisan tenaga sama sekali itu. Dibantu oleh saudara seperguruannya, maka ia pun telah bergeser menjauh pula.
Orang tua itu kemudian telah mengambil butiran-butiran obat dari kantong ikat pinggangnya yang besar. Kemudian memasukkannya dua butir ke dalam mulut lawannya yang terluka parah itu. Sejenak orang tua itu menunggu. Namun sejenak kemudian orang yang terluka itu telah menggeliat kesakitan.
Diluar sadar, murid-muridnya pun telah bergerak pula. Namun orang tua itu berkata, “Pertanda bahwa obatku masih juga dapat mengguncang bagian dalam tubuhnya yang terluka. Justru dengan demikian, kalian masih mempunyai harapan.”
Murid-muridnya terdiam. Sementara orang tua itu berkata, “Mudah-mudahan ia akan dapat hidup atas kemurahan Yang Maha Agung. Ia tidak akan dapat memiliki ilmunya kembali. Sebagian besar ilmunya akan menjadi punah bersama dengan cacat yang dapat terjadi atas wadagnya.”
Murid-muridnya terkejut mendengar keterangan itu. Yang tertua di antara mereka bertanya terbata-bata, “Jadi maksudmu, Guru tidak akan berilmu tinggi lagi?”
Orang tua itu mengangguk kecil. Namun karena itu, muridnya yang tertua telah dengan serta merta meloncat sambil berkata lantang, “Kau telah meracuni guruku.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan serta merta telah bergeser pula. Tetapi orang tua itu masih saja tetap tenang. Dengan nada rendah ia berkata, “Jangan membuat persoalan baru. Kau tahu apa yang sudah terjadi. Karena itu, maka kau harus menilai keadaan ini dengan wajar.”
“Tetapi kau sudah membuat guruku tidak berdaya lagi,” berkata muridnya yang tertua.
“Aku kira itu lebih baik daripada aku membunuhnya,” berkata orang tua itu.
“Justru lebih buruk lagi,” berkata muridnya, “jika guruku terbunuh dalam pertempuran, maka ia telah mati sebagai laki-laki. Tetapi tanpa ilmu sama sekali maka ia akan menjadi bahan tertawaan musuh-musuh besarnya. Dan bahkan ia akan dapat menjadi bahan permainan untuk dihinakan.”
“Tetapi ia tidak akan dapat berusaha merebut sepasang keris yang kini telah berada di tangan kedua orang anak muda itu,” berkata orang tua itu.
Muridnya yang tertua termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Apapun yang terjadi, aku harus menuntut atas tindakan kalian yang licik itu.”
“Sudahlah, jangan bermimpi,” berkata orang tua itu, “jika kau tidak mau melihat kepada gurumu, maka kau pun akan mengalaminya. Kau akan kehilangan segala kekuatan dan kemampuanmu. Bahkan untuk membunuh diripun kau tidak akan mampu lagi.” Orang tua itu terdiam sejenak, lalu katanya, “lihat salah seorang saudara sepeguruanmu itu. Ia telah kehilangan segenap kekuatannya. Seandainya ia menggenggam pedangnya di tangan, maka kekuatan yang tersisa padanya, tidak akan mampu mnghunjamkannya di tubuhnya sendiri.”
Murid tertua dari orang yang terluka parah itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu orang tua itu pun berkata, “Kau tahu bahwa yang melakukannya bukan aku. Aku akan dapat melakukan lebih buruk lagi bagi kalian.”
Muridnya yang tertua itu menjadi tegang oleh gejolak di dalam dirinya. Sementara itu, Mahisa Murti sempat berkata, “Seharusnya kalian mengucapkan terima kasih bahwa guru kalian tidak terbunuh. Meskipun ia menjadi cacat dan tidak mungkin dapat pulih kembali, tetapi ia akan tetap dapat memberikan beberapa petunjuk kepada kalian untuk meningkatkan ilmu kalian. Tetapi kalianpun harus bercermin apa yang telah terjadi atas gurumu, bahwa semua usaha yang tidak sewajarnya tentu tidak akan mendapat restu dari Yang Maha Agung. Akibatnya dapat kau ketahui sendiri.”
Muridnya yang tertua itu menarik nafas dalam-dalam. Di sekitarnya terdapat beberapa orang berilmu tinggi. Anak-anak muda itu pun tidak dapat dikalahkannya. Apalagi dengan kehadiran orang tua yang telah mengalahkan gurunya itu. Dengan demikian maka murid-murid orang yang terluka parah itu harus melihat kenyataan yang mereka hadapi. Mereka tidak dapat membunuh diri pada kesempatan seperti itu.
Apalagi gurunya yang lemah itu berdesis, “Sudahlah. Kalian harus mengikhlaskan aku.”
Murid-muridnya memang tidak dapat berbuat lain. Betapa sakit hati mereka, tetapi keadaan itu harus diterimanya. Gurunya dan mereka masing-masing. Sesaat kemudian, ternyata bahwa keadaan gurunya menjadi berangsur baik. Obat orang tua itu cukup kuat untuk mengatasi luka bagian dalam tubuh lawannya yang lemah itu.
“Nah,” berkata orang tua itu, “keadaan kalian sudah berangsur baik. Karena itu, maka biarlah kami meninggalkan kalian. Uruslah diri kalian selanjutnya. Tetapi aku masih akan meninggalkan obat bagi guru kalian. Mudah-mudahan guru kalian cepat sembuh meskipun dalam keadaan yang berbeda dari sebelumnya.”
Murid-muridnya tidak dapat berbuat sesuatu. Yang dapat mereka lakukan adalah menerima obat yang dapat mempercepat kesembuhan gurunya meskipun tubuhnya akan menjadi cacat sehingga ia tidak akan memiliki ilmunya seutuhnya kembali.
Dalam pada itu, maka orang tua itu pun kemudian berkata kepada Mahisa Murti dan saudara-saudaranya, “Marilah. Kita tinggalkan mereka. Meskipun mereka yang datang kemudian ke tempat ini, namun biarlah kita sajalah yang mengalah.”
Mahisa Murti tidak membantah. Ia tahu bahwa di antara lawan-lawan mereka masih terdapat orang-orang yang lemah dan tidak mampu untuk meninggalkan tempat itu. Karena itu, maka ia pun telah memberi isyarat kepada saudara-saudaranya untuk mengikuti orang tua itu meninggalkan lawan-lawan mereka.
Dalam kegelapan mereka menyusuri padang perdu dan kemudian turun ke pategalan yang tidak begitu subur. Mahisa Amping yang dibimbing oleh Mahisa Semu berjalan sambil terkantuk-kantuk. Tetapi ia sama sekali tidak mengeluh. Ia berusaha untuk tetap berjalan bersama dengan saudara-saudaranya.
Beberapa saat kemudian, ketika fajar justru mulai membayang dilangit, maka iring-iringan kecil itu pun berhenti. Orang tua yang mengaku telah membuat sepasang keris yang disebut pedang oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu berkata, “Kita berhenti di sini. Jarang sekali pemilik pategalan ini melihat pategalannya yang gersang.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak menjawab. Mereka pun kemudian telah duduk melingkar di atas rumput kering di pinggir sebuah pategalan yang tidak ditumbuhi tanaman yang berarti kecuali beberapa pohon buah-buahan yang kurus.
Dengan nada lembut orang tua itu pun kemudian berkata, “Anak-anak muda. Yang kalian hadapi adalah kesulitan yang pertama. Aku kira, kalian masih akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang lain lagi. Sementara itu aku tidak tahu, apakah aku masih akan dapat membantu atau tidak. Namun aku merasa perlu untuk memberikan beberapa pesan kepada kalian."
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah mendengarkan pesan itu dengan seksama.
“Anak-anak muda,” berkata orang tua itu, “ketika aku membuat keris itu, atau namakanlah pedang, aku sudah berniat untuk membuat dua buah senjata tetapi satu jiwa. Ditangan kalian senjata-senjata itu memang menjadi luar biasa. Ternyata berlandaskan ilmu yang telah kalian miliki, maka kedua senjata itu seakan-akan memiliki kemampuan berlipat ganda. Itu sudah satu pertanda bahwa senjata-senjata itu memang sesuai bagi kalian berdua. Namun dalam keadaan khusus, kedua buah senjata itu akan lebih berarti jika kalian mempergunakan dalam pasangan.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak, sehingga ia pun bertanya, “Apakah maksud Kiai? Apakah kami harus merelakan salah seorang saja di antara kami yang memiliki pusaka itu?”
“Bukan anak muda. Bukan begitu,” jawab orang tua itu, “kalian dapat saja mempergunakannya sebuah bagi seorang. Tetapi dalam keadaan yang gawat, maka kalian harus menentukan satu sikap sesuai dengan watak sepasang senjata itu. Kalian harus menggabungkan kekuatan ilmu kalian dan kemudian kalian harus mempergunakan sepasang senjata itu bersama-sama. Dengan demikian maka kekuatan pedang itu tentu akan berlipat, sementara itu ilmu kalian sendiri sudah sangat tinggi. Dengan demikian maka lontaran ilmu lewat sepasang pedang itu, dalam satu kesatuan akan merupakan kekuatan ilmu yang sangat dahsyat.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Sementara orang tua itu berkata, “Karena itu, kalian harus mulai membiasakan diri mempergunakan senjata itu berpasangan meskipun dalam genggaman tangan dari orang yang berbeda. Mudah-mudahan kekuatan, kemampuan dan ilmu kalian akan dapat bulat utuh dengan kekuatan yang ada didalam pusaka itu, akan merupakan kekuatan yang dahsyat. Yang bahkan melampaui kekuatan ilmu orang yang telah dapat aku kalahkan.” orang tua itu berhenti sejenak, lalu, “tetapi itu bukan memperkecil arti dari kemampuan kalian mempergunakan senjata itu seorang-seorang.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Kami justru mengucapkan terima kasih atas petunjuk itu. Tetapi apakah tidak ada laku yang dapat menjadi jembatan agar pusaka itu menjadi bulat dalam diri kami, serta menyesuaikan antara watak dan sifat-sifat ilmuku dan watak senjata-senjata itu."
“Kalian telah sesuai. Aku sudah melihat, bagaimana kalian mempergunakan senjata kalian untuk membela diri. Agaknya kemampuan membela diri itu adalah ilmu yang paling baik untuk kalian kembangkan,” berkata orang tua itu, “tetapi yang aku maksudkan, jika kalian menjumpai lawan yang tidak dapat kalian kalahkan seorang demi seorang, maka kalian akan dapat mencobanya dengan sepasang pedang itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu orang tua itu pun berkata, “Siapakah anak-anak yang ikut bersama kalian itu.”
“Adik angkatku,” jawab Mahisa Murti.
“Kenapa anak itu sudah kau bawa mengembara melalui daerah yang paling berbahaya bagi setiap orang justru karena kalian telah memiliki pusaka itu?” bertanya orang tua itu pula.
“Kami justru akan membawanya ke padepokan kami. Anak itu kami temukan dalam lingkungan perguruan hitam yang terpaksa harus kami hancurkan. Sementara itu, kami telah mengambil pula ilmu yang sudah diwarisinya serba sedikit dari perguruan itu.”
“Perguruan hitam?” bertanya orang tua itu.
Mahisa Murti sempat menceritakan dengan singkat tentang anak yang bernama Mahisa Amping.
Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ajari anak itu baik-baik. Bukan saja ilmunya. Tetapi juga sifat, watak dan tingkah lakunya.”
“Ya Kiai,” jawab Mahisa Pukat, “saat-saat kami membebaskan anak itu dari tangan dan pengaruh jiwani sebuah perguruan hitam, maka kamipun sudah melihat sesuatu pada anak itu. Tetapi aku pun sudah mengatakan kepada mereka, bahwa mereka justru pada saatnya harus bekerja keras.”
Orang tua itu mengangguk-angguk lemah. Namun kemudian katanya, “Jika saja kalian masih bersedia menunda perjalanan kalan untuk waktu singkat.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti pun bertanya, “Untuk apa Kiai?”
“Aku ingin berceritera lebih banyak tentang sepasang keris itu. Wataknya dan kemungkinan-kemungkinannya. Aku sudah kehilangan anakku laki-laki yang diluar niatnya telah dibunuh oleh mertuanya, sehingga hidup ini rasa-rasanya terlalu sepi. Aku memang sudah menemukan seorang penggantinya. Namun bagaimanapun juga aku tidak dapat melupakan anakku itu, yang aku harapkan akan dapat menjadi tempat menumpang di hari tua,” jawab orang tua itu.
“Jika hanya untuk satu dua hari, aku kira kami tidak akan berkeberatan,” berkata Mahisa Murti.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Peristiwa yang terjadi baru-baru ini merupakan satu peringatan bagi kalian. Tetapi agaknya kalian masih akan mengalaminya lagi.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak dapat menolak niat baik orang tua itu. Dengan peristiwa yang baru saja terjadi, maka anak-anak muda itu menjadi percaya sepenuhnya bahwa orang tua itu sama sekali tidak berniat buruk terhadap mereka.
Namun orang tua itu pun kemudian berkata, “Tetapi jika demikian, maka aku berharap kalian kembali ke gubugku itu. Hanya untuk satu dua hari.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berpaling kepada Mahisa Semu dan Wantilan. Ternyata mereka juga tidak berkeberatan, karena pada dasarnya keduanya hanya mengikuti saja perjalanan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Apalagi Mahisa Amping.
Demikianlah sebelum fajar mereka telah mulai berjalan lagi justru kembali ke gubug kecil milik orang tua itu. Di gubug itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat secara khusus telah mendapatkan beberapa petunjuk tentang sepasang pusaka itu.
“Aku mohon kalian menyebutnya dengan keris, bukan pedang,” berkata orang tua itu. Lalu katanya, “Karena saat membuatnya aku memang ingin membuat keris. Meskipun keris itu ternyata terlalu besar dan karena itu aku telah memberikan hulu yang lain dari kebanyakan keris. Apalagi waktu itu, aku telah menemukan harta karun yang tidak ternilai harganya. Harta yang tidak diketahui asal usulnya. Aku menemukan harta karun itu di sebuah goa yang terpencil. Menurut pendapatku, goa itu adalah sarang penjahat yang karena sesuatu hal, kawanan perampok itu tidak pernah kembali lagi ke sarangnya. Mungkin karena sekelompok perampok itu telah bertemu dengan sepasukan prajurit dan telah dimusnahkan hingga orang terakhir, atau karena sebab lain,” orang itu berhenti sejenak, lalu katanya, “tetapi aku tidak mengambil harta karun itu lebih banyak dari yang aku perlukan untuk membuat sepasang keris itu. Aku meninggalkan yang lain di dalam goa. Mudah-mudahan goa itu runtuh dan harta karun itu tertimbun di dalamnya. Seandainya seratus atau dua ratus tahun lagi harta karun itu diketemukan, maka orang yang menemukannya tidak bersalah sama sekali karena mereka tidak tahu menahu asal usul harta karun itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Namun tiba-tiba orang tua itu bertanya, “Atau barangkali kalian berdua ingin mendapatkan harta karun itu? Aku bersedia menunjukkannya karena aku masih ingat benar di mana tempatnya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Sementara orang tua itu menunggu jawaban anak-anak muda itu dengan tegang. Baru sejenak kemudian, Mahisa Murti menjawab,
“Kiai. Seandainya Kiai masih ingat tempat itu, kenapa Kiai tidak mengambilnya dan membagikan kepada orang-orang miskin, atau barangkali lebih tepat menyerahkannya kepada Sang Akuwu sehingga harta karun itu dapat menjadi benda-benda simpanan yang mungkin mempunyai nilai yang tinggi. Seandainya benda-benda itu adalah benda-benda biasa yang tidak memiliki kekhususan, maka nilainya yang mahal itu akan berarti bagi orang banyak.”
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan melepaskan dan menghembuskan ketegangan di dalam dadanya katanya. “Jantungku hampir meledak karenanya. Aku menunggu jawaban kalian dengan hati yang berdebaran. Seandainya kalian menjawab agar aku mengantarkan kalian, maka hancurlah harapanku bagi masa datang, karena orang yang membawa sepasang kerisku adalah orang-orang yang tamak. Tetapi ternyata kalian bukan orang-orang sejenis itu. Kalian adalah orang-orang yang nampaknya mendapat landasan jiwani yang bersih, sehingga kalian mampu menekan ketamakan yang menjadi salah satu sifat manusia. Seandainya kalian menyatakan kesediaan kalian untuk mengambil harta karun itu, maka aku kira aku harus berpikir untuk mengambil sepasang kerisku kembali. Namun ternyata kalian tidak berbuat demikian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang justru menegang sejenak. Namun orang tua itu berkata selanjutnya, “Tetapi harta karun itu benar-benar ada. Aku mengambil secukupnya untuk membuat hulu sepasang kerisku itu. Emas dan permata yang sangat mahal. Namun kemudian, harta karun yang lain itu aku tinggalkan seperti yang aku katakan.”
“Kenapa Kiai tidak pernah melaporkannya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Itu salah satu kelemahanku. Aku justru takut mendapat tuduhan yang bukan-bukan,” jawab orang tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka dapat mengerti kecemasan orang tua itu. Jika ia melaporkan, maka ia dihujani seribu macam pertanyaan yang kadang-kadang tidak dapat dijawabnya, sehingga ia memilih untuk berdiam diri saja. Namun tidak berniat untuk memilikinya, kecuali sebagian kecil saja hanya sekedar untuk mendapatkan kepuasan jiwani dengan membuat sebilah keris dengan hulu yang terbuat dari emas dan tretes permata.
Karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut, maka orang tua itu pun kemudian berkata, “Itu adalah sedikit ceritera dari mana aku mendapatkan emas dan permata yang kemudian melekat pada hulu sepasang keris itu. Kalian tahu, bahwa benda yang ada di hulu keris itu harganya sangat mahal. Apalagi seluruh harta karun yang terdapat didalam goa itu. Tetapi bagiku, emas dan permata itu hanya sebagai barang mainan, karena yang terpenting bagiku adalah nilai dari bahan yang telah aku buat menjadi sepasang keris itu. Sehingga ternyata aku telah berhasil membuat sepasang keris yang baik.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk saja. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka katakan selagi orang tua itu berbicara sambil mengenang masa-masa lampaunya.
Namun kemudian orang tua itu berkata, “Tetapi angger berdua. Yang terpenting bagi kalian adalah, hubungan kedua pusaka itu yang satu dengan yang lain.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin bersungguh-sungguh mendengarkan ceritera orang itu. Namun ternyata orang tua itu tersenyum sambil berkata,
“Bukankah kalian akan berada di gubugku ini barang satu dua hari? Karena itu, kita tidak tergesa-gesa. Nanti aku akan menceriterakan tentang kedua pusaka itu. Bagaimana aku membuatnya dan bagaimana jadinya. Sekarang, kita dapat beristirahat untuk melihat-lihat keadaan di sekitar tempat ini. Tetapi aku berpesan kepada kalian semuanya, agar tidak terlalu jauh meninggalkan gubug ini. Ada beberapa keberatan, justru karena sepasang keris itu sudah ada di tangan kalian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir berbareng menjawab, “Baiklah Kiai. Kami akan berada di sekitar gubug ini saja.”
“Aku minta demikian pula saudara-saudara kalian yang lain,” desis orang tua itu.
“Ya Kiai. Aku akan memberitahukan kepada mereka,” jawab Mahisa Murti.
Namun sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta saudara-saudaranya keluar pintu gubug itu, mereka terkejut mendengar suara gemerasak, seperti arus air yang datang mengalir mendekati gubug itu. Wajah-wajah menjadi tegang.
Mahisa Amping telah bergeser mendekati Mahisa Semu sambil berbisik, “Banjir? Tetapi apakah ada sungai di dekat tempat ini?”
Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Sambil menarik Mahisa Amping lebih dekat lagi ia berkata, “Berhati-hatilah. Aku tidak tahu suara apa itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mencoba memperhatikan suara itu dengan saksama, sementara Wantilan telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Namun dalam pada itu, murid orang tua itu telah melangkah masuk. Namun sebelum ia berkata sesuatu orang tua yang masih tetap tenang itu bertanya, “Naga Pasa?”
“Ya Kiai,” jawab orang yang baru masuk itu.
“Aku sudah mengira bahwa pada suatu saat ia akan mempergunakannya terhadapku,” berkata orang tua itu. Lalu katanya, “Baiklah, kita harus bersiap-siap.”
Tetapi ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bangkit, orang tua itu berkata, “Duduklah ngger. Kita hanya akan menunggu saja. Ilmu Naga Pasa adalah kekuatan yang jarang ada duanya, satu ilmu yang mampu menggerakkan berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus ekor ular untuk menyerang sasaran yang dikehendaki. Yang terdengar itu adalah memang arus banjir. Tetapi banjir ular. Karena itu, maka kalian harus bersiap-siap menghadapinya.”
Yang mendengar penjelasan itu terkejut. Betapapun berani dan nakalnya Mahisa Amping, namun mendengar keterangan itu, bulu-bulunya bagaikan berdiri.
“Tetapi kita tidak melawan kekuatan itu begitu saja. Kedua anak muda itu sudah aku ketahui, mempunyai penangkal racun betapapun keras racun itu. Tetapi bagaimana dengan yang lain?”
Mahisa Murti menggeleng sambil berkata, “Mereka tidak mempunyai kekuatan penangkal racun itu Kiai.”
Orang tua itu mengangguk-angguk kecil. Kemudian katanya, “Baiklah. Jika demikian maka kepada mereka harus diberikan penangkal racun itu.”
Tanpa menunggu jawaban maka orang tua itu telah mengambil butir-butir obat dari kantong ikat pinggangnya pula. Butir-butir obat yang berwarna merah menyala. “Cepat, makanlah,” berkata orang tua itu sambil memberikan kepada Mahisa Semu, Mahisa Amping dan Wantilan. Lalu katanya, “Sekarang kita bersiap menghadapi banjir itu. Kalian dengar bahwa arus itu menjadi semakin dekat. Kita akan melawannya diluar gubug kecil ini.”
Demikianlah, maka sejenak kemudian orang tua itu telah melangkah keluar gubugnya, diikuti oleh muridnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, serta Mahisa Semu, Mahisa Amping dan Wantilan yang sudah menelan obat penangkal racun itu. Ketika mereka kemudian berdiri di luar gubug, maka mereka masih belum melihat sesuatu. Mereka hanya mendengar arus itu bagaikan datang dari segala arah.
“Hati-hati,” berkata orang tua itu, “arus itu sudah dekat. Lihat pepohonan yang bergerak-gerak. Ular itu memang bukan ular-ular raksasa yang nampak dari kejauhan. Tetapi ular itu adalah ular-ular kecil namun jumlahnya banyak sekali. Ular yang meskipun kecil, bahkan sebesar kelilingking sekalipun, namun jika menggigit seseorang dalam keadaan wajar, maka orang itu tidak akan berumur panjang. Namun kalian telah mempunyai penangkal racun dan bisa.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranyapun kemudian telah memperhatikan pohon-pohon perdu di sekitar mereka. Mereka melihat gerumbul-gerumbul perdu itu berguncang-guncang seperti benar-benar telah diterpa oleh arus banjir.
“Bersiaplah,” berkata orang tua itu, “ujung dari arus itu sudah dekat di hadapan dan bahkan di sekitar kita. Kita harus menghadap ke segala arah.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di tempat yang berlawanan arah pandang. Sementara itu Mahisa Murti masih berkata, “Hati-hati dengan Mahisa Amping. Kau harus berada di tengah dan pergunakan apa saja untuk menghalau ular yang sempat mendekatimu meskipun kau sudah tawar racun.”
Mahisa Amping memang berusaha untuk berada di tengah-tengah orang-orang yang akan bertahan terhadap serangan sekelompok ular yang tidak terhitung jumlahnya.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun tiba-tiba bertanya, “Kiai, apakah aku dapat mempergunakan serangan jarak jauh.”
“Ya, tentu. Aku pun akan mempergunakan. Ternyata kalian memiliki kemampuan itu?” bertanya orang tua itu.
“Serba sedikit Kiai,” jawab Mahisa Murti.
“Bagus,” jawab orang tua itu, “kita menghadap ke tiga arah...”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Semu berkata, “Agaknya kita akan menempuh perjalanan yang sangat berat. Memang tidak apa-apa. Tetapi jika memperhitungkan waktu, maka waktu kita akan banyak tersita di sini. Sementara itu kita sering memperhitungkan waktu-waktu kita yang hilang di perjalanan.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat.”
Wantilan pun nampaknya menjadi semakin ragu-ragu. Tetapi selagi mereka saling berbicara, maka Mahisa Amping telah melangkah mendekati hutan yang lebat itu. Menyusup di antara pohon-pohon perdu melihat bibir hutan yang memang mendebarkan itu.
Namun Mahisa Amping itu terkejut. Ia melihat sesuatu yang tidak wajar. Ia melihat di antara dua batang pohon raksasa, jalan setapak memasuki hutan menyusup dibawah dedaunan yang rimbun. Namun Mahisa Amping terkejut ketika ia mendengar suara kakak angkatnya itu memanggilnya dari balik pohon perdu.
Mahisa Amping berlari-lari kecil. Sementara Mahisa Murti berkata, “Hati-hati kau. Jangan dekat-dekat ke tempat yang kau belum mengenalnya sama sekali.”
Mahisa Amping berlari mendekat. Tetapi ia justru berceritera tentang apa yang dilihatnya. Ceritera Mahisa Amping itu memang menarik perhatian. Karena itu maka yang lain pun telah mengikutinya menuju ke jalan setapak yang menyusup masuk ke dalam hutan itu.
Ternyata yang dikatakan Mahisa Amping memang agak aneh. Jalan setapak itu menunjukkan bekas-bekas disentuh kaki. Sudah tentu mereka tidak dengan serta merta mengatakan kaki orang. Tetapi rasa-rasanya bahwa jalan itu memang sering dilalui orang keluar masuk hutan yang lebat itu, seakan-akan mereka menemukan sebuah pintu goa yang asing.
Untuk beberapa saat mereka termangu-mangu di depan pintu goa itu. Goa yang terbentuk dari dedaunan yang lebat di antara batang-batang pohon yang besar. Anak-anak muda itu memang menjadi ragu-ragu. Apakah mereka akan masuk atau tidak.
Tetapi Mahisa Amping justru telah mencoba mengintip kedalamannya. Namun dengan serta merta Mahisa Pukat menyambarnya sambil berkata, “Sudah kami katakan. Jangan melakukan hal-hal yang berbahaya. Kita tidak tahu apa yang ada didalamnya.”
Mahisa Amping memang terkejut. Namun ia tidak berkata apa-apa.
“Aku akan melihatnya,” berkata Mahisa Murti.
“Aku pergi bersamamu,” sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berpesan kepada Mahisa Semu dan Wantilan, “Jaga anak itu. Jangan kau ijinkan melakukan hal yang berbahaya. Satu patukan ular sebesar jari akan dapat menamatkan riwayatnya. Apalagi jika kami berdua tidak ada di dekatnya.”
Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk mengiakan. Dengan cepat Mahisa Semu telah menangkap pergelangan tangan Mahisa Amping sambil berkata, “Kau tidak boleh lepas lagi.”
Mahisa Amping tidak menjawab. Dibiarkannya Mahisa Semu memegangi tangannya erat-erat.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera mempersiapkan diri. Keduanya benar-benar berada dalam kesigapan tertinggi sehingga apabila terjadi sesuatu, keduanya akan mampu mengatasinya. Sejenak kemudian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyusup memasuki terowongan di antara dedaunan yang rimbun itu.
Ternyata mereka harus menyusup beberapa puluh langkah. Namun kemudian, mereka keluar dari terowongan sempit itu dan berada di tempat yang agak lapang meskipun masih juga berada di antara pohon-pohon yang tinggi. Tetapi tidak lagi dirimbuni oleh pohon-pohon perdu padat seolah-olah dinding sebuah terowongan panjang. Sinar matahari mulai nampak menyusup di antara dedaunan. Garis-garis yang condong jatuh di atas tanah yang memang lembab.
“Memang aneh,” berkata Mahisa Murti, “nampaknya terowongan itu memang dibuat orang. Jika kita perhatikan, maka nampak bekas-bekas senjata tajam memotong ranting-ranting yang lebat.”
“Ya. Tempat ini bukannya tempat yang terasing sama sekali. Jalan ini akan dapat kita telusuri,” jawab Mahisa Pukat.
“Apakah kita akan mengikuti jalan ini?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak terlalu jauh,” jawab Mahisa Pukat.
“Marilah. Namun nampaknya sudah agak lama jalan ini memang tidak dilalui orang.”
“Tetapi bekas parang tadi?” bertanya Mahisa Pukat.
Keduanya sempat memperhatikan terowongan itu sekali lagi. Keduanya memang berkesimpulan bahwa terowongan itu telah dibuat orang. Sejenak kemudian mereka telah berjalan menyusuri jalan sempit di tengah-tengah hutan itu. Jalan yang menjelujur panjang, berkelok-kelok di antara pepohonan. Menilik jalan panjang itu, maka jalan itu tentu dibuat setelah pohon-pohon itu tumbuh menjadi besar. Namun ternyata mereka tidak menjumpai apapun juga selain jalan panjang itu.
“Tidak ada yang aneh lagi,” desis Mahisa Pukat.
“Ya,” jawab Mahisa Murti, “agaknya jalan itu akan menusuk sampai ke jantung hutan ini, bahkan sampai menembus di seberang.”
“Jika demikian, apakah kita akan mengikuti jalan ini sampai ke seberang hutan?” bertanya Mahisa Pukat, “jika demikian, maka kita akan membawa Mahisa Semu, paman Wantilan dan Mahisa Amping.”
Mahisa Murti ragu-ragu. Namun tiba-tiba saja ia berkata, ”Kau lihat sesuatu?”
Mahisa Pukat termangu-mangu. Ia memang melihat sesuatu yang agaknya bukan pepohonan dan bukan pula batu-batu padas dari sebuah gumuk kecil. Dibalik kabut yang mulai terangkat oleh sinar matahari yang menusuk udara lembab di dalam hutan itu, mereka melihat sesuatu.
Mahisa Murti pun kemudian berdesis, “Marilah. Kita lihat, apakah yang nampak itu.”
Namun Mahisa Murti yang memiliki ilmu yang tinggi itu benar-benar telah bersiap. Demikian pula Mahisa Pukat. Selangkah demi selangkah mereka memasuki daerah berkabut. Namun semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa sebuah bangunan berada di hadapan mereka.
“Candi,” desis Mahisa Murti.
“Candi yang terbuat dari batu keras. Bukan sekedar batu padas,” sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti kemudian telah berhenti sejenak untuk memandangi keseluruhan candi itu. Seakan-akan sebuah bangunan yang besar telah menguak kabut yang semakin tipis, sehingga mereka pun kemudian melihat satu candi yang besar di antara pepohonan.
“Mana mungkin,” desis Mahisa Pukat.
“Memang sebuah candi,” berkata Mahisa Murti kemudian, “mungkin buat tempat tinggal atau sebuah pertanda yang lain.”
“Tetapi hanya satu-satunya,” berkata Mahisa Pukat, “tidak nampak ada bekas-bekasnya bangunan yang lain.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Nampaknya memang tidak ada bangunan yang lain di sekitar bangunan yang terbuat dari batu itu. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat belum tahu dengan pasti, bangunan apa yang mereka hadapi. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun kemudian telah sepakat untuk melihat-lihat bangunan itu lebih dekat.
“Tetapi kita harus berhati-hati sekali,” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Selangkah demi selangkah ia maju mendekati bangunan itu, sementara Mahisa Murti melangkah menyamping. Namun keduanya kemudian telah memanjat tangga yang agak tinggi. Keduanya tertegun ketika seekor ular keluar dari pintu bangunan itu. Ular bandotan hitam.
“Tentu bangunan ini sudah lama kosong,” berkata Mahisa Murti.
“Ya. Sehingga seekor ular tinggal di dalamnya,” desis Mahisa Pukat.
Keduanya termangu-mangu sejenak di muka pintu. Dari luar mereka melihat ruangan yang suram. Apalagi pepohonan yang tumbuh liar disekitarnya serta dedaunan yang rimbun, maka udara di dalam bangunan itu terasa sangat lembab. Tetapi keduanya melangkah terus. Terasa titik-titik embun masih melekat di bebatuan.
Keduanya terkejut ketika keduanya melihat kerangka manusia yang terbaring di atas setumpuk batu yang ditata di tengah-tengah sebuah ruangan yang tidak terlalu luas. Cahaya matahari yang lemah menyentuh ruangan itu lewat lubang-lubang yang cukup besar di sisi bangunan itu, selain dari pintu depan yang bertangga.
“Apa sebenarnya yang telah terjadi di sini?” bertanya Mahisa Pukat.
“Nampaknya seorang pertapa yang hidup sendiri di tempat ini sehingga saat ajalnya tiba,” sahut Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia sependapat bahwa yang terbaring itu tentu seorang pertapa yang memang telah menyerahkan nyawanya di tempat itu. Demikian pasrahnya sehingga kerangkanya masih terbujur di tempatnya dengan baik.
Namun ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melangkah ke ruang di belakangnya yang gelap, maka ia pun melihat bahwa beberapa buah batu telah tidak berada di tempatnya lagi. Beberapa buah batu telah terjatuh dari tempat yang seharusya. Namun agaknya batu-batu itu telah diungkit dengan paksa. Meskipun gelap, namun lama-kelamaan keduanya menjadi agak terbiasa sehingga mereka mulai dapat melihat meskipun hanya lamat-lamat.
“Perampokan telah terjadi di sini,” berkata Mahisa Pukat.
“Ya,” jawab Mahisa Murti, “agaknya di bangunan ini tersimpan beberapa macam barang berharga. Tetapi sekelompok orang telah mengetahuinya sehingga mereka telah mengambilnya.”
“Apakah mungkin telah terjadi pembunuhan?” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Bukan mustahil. Pembunuhan, kemudian perampokan. Atau kematian datang lebih dahulu, baru kemudian murid-muridnya merampok isi bangunan ini.”
“Kita lihat sekali lagi kerangka itu,” berkata Mahisa Pukat.
Keduanya pun kemudian telah memperhatikan kerangka itu sekali lagi. Bahkan dengan seksama. Tetapi keduanya tidak menemukan kelainan. Tidak ada bagian yang retak. Tidak ada yang patah atau pecah. Semuanya masih utuh dan berada di tempatnya.
Dengan demikian maka Mahisa Murti berkata, “Agaknya kematian datang lebih dahulu, baru perampokan.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Keduanya telah mencoba sekali lagi untuk melihat ruangan yang telah dirusak itu. Namun yang mereka ketemukan adalah sebuah lekuk yang menarik perhatian.
“Kenapa lekuk ini tidak memanggil para perampok untuk melihat kemungkinan lebih lanjut?” berkata Mahisa Murti.
“Rahasia yang sulit untuk sekedar ditebak,” jawab Mahisa Pukat.
“Apakah kita juga harus merusak bangunan ini untuk melihat apa yang ada di belakang lekuk ini?” bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti memang menjadi ragu-ragu. Jika kemudian ada orang lain lagi datang ke tempat itu, maka orang itu pun tentu akan menganggap bahwa yang dilakukan itu adalah perampokan pula.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi kita tidak akan merampok.”
“Merusak?” desis Mahisa Murti.
Sekali lagi Mahisa Pukat tertegun. Namun rasa ingin tahunya telah mendesaknya semakin kuat. Apakah lekuk itu sebuah pintu rahasia atau bukan, atau sekedar pemanis bentuk. Untuk beberapa saat keduanya ragu-ragu. Keduanya berusaha untuk melihat-lihat bagian yang lain dari dinding batu itu. Tetapi tidak ada bagian yang lebih menarik perhatian daripada lekuk itu.
Dari sebelah, keduanya memastikan bahwa ada ruang di belakang lekuk itu. Sementara itu mereka pun menemukan rongga-rongga tipis di antara batu-batu yang tertumpuk rapi itu, sehingga keduanya memang berpendapat bahwa rongga itu akan dapat mereka temukan dengan membuka dinding batu yang berlekuk itu. Betapapun keduanya ragu-ragu, namun Mahisa Murti kemudian mengambil keputusan untuk membuka dinding itu.
“Apa boleh buat,” berkata Mahisa Murti, “kita sama sekali tidak ingin merampok. Tetapi perasaan ingin tahu ini sulit untuk ditekan.”
Bersama Mahisa Pukat keduanya telah mulai mengungkit batu-batu yang tidak terlalu besar itu dengan pedang mereka. Kemudian menekan batu-batu itu disebelah menyebelah dari batu yang diperkirakan paling mudah untuk diangkat.
Akhirnya keduanya memang berhasil. Keduanya dapat menarik satu di antara batu-batu yang menutup sebuah ruangan khusus yang luput dari perhatian orang-orang yang telah membongkar bangunan itu sebelumnya, sehingga kemudian sebuah lubang persegi telah menganga.
Seperti yang mereka duga, maka di belakang dinding itu memang terdapat sebuah ruang. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut bahwa dalam kegelapan ruang itu, keduanya melihat samar-samar sebuah kerangka yang berdiri tegak bersandar di sudut dinding masih dalam keadaan utuh.
“Apa pula yang telah terjadi?” desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Rahasia yang tidak akan dapat kita pecahkan. Marilah kita kembalikan batu penutup itu. Agaknya bukan hanya kita yang pernah membuka penutup ruang itu. Namun mereka telah mengembalikan pula.”
“Ya,” jawab Mahisa Murti,tetapi katanya, “Meskipun demikian, kita belum melihat isi sepenuhnya dari ruang itu.”
“Apakah itu perlu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Orang lain tidak melakukannya. Mereka membuka satu saja dari batu-batu penutup ini, kemudian mengembalikannya,” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi kita harus berhati-hati agar batu-batu penutup ini tidak runtuh.”
Dengan sangat berhati-hati, maka kedua orang anak muda itu telah membuka beberapa buah batu lagi. Mereka melakukannya dengan sangat berhati-hati sehingga batu-batu penutup ruang itu tidak runtuh. Ketika tutup itu sudah terbuka agak luas, maka keduanya telah berusaha menyusup masuk. Ruang itu memang sempit,tetapi cukup memberikan tempat bagi keduanya.
Tetapi keduanya telah terkejut sekali lagi. Di sisi yang berada di arah pintu, mereka telah menemukah satu lagi sosok kerangka yang sudah kering. Nampaknya sosok kerangka itu semula duduk di atas sebuah batu di sudut ruang sempit itu.
“Orang-orang yang hanya membuka satu batu saja tidak melihat kerangka ini,” berkata Mahisa Pukat.
“Ya,” jawab Mahisa Murti yang berdiri dekat di hadapan kerangka itu. Dalam kegelapan mereka pun melihat bahwa kerangka itu masih dililiti ikat pinggang yang besar dan sepasang pedang yang tergantung di lambung orang itu sebelah menyebelah.
Mahisa Pukat yang kemudian melihat pedang itu pula berkata, “Apakah kita boleh melihat pedang yang tergantung di lambung?”
Mahisa Murti pun ingin melihatnya pula. Karena itu maka katanya, “Kita akan mencoba melihatnya.”
Meskipun agak berdebar-debar, maka keduanya telah bersama-sama menarik pedang itu masing-masing sebuah. Demikian mereka menarik pedang itu, mereka harus melangkah mundur. Semacam serbuk putih terhambur dari kerangka pedang yang ditarik itu.
“Serbuk ini beracun,” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat pun menyadari hal itu. Hidungnya memang merasakan ketajaman racun itu. Namun karena keduanya memiliki penangkal racun, keduanya tidak mengalami kesulitan akibat racun itu. Ketika serbuk itu telah habis terhambur, maka mereka pun melihat sepasang pedang yang luar biasa. Pedang yang nampak menyala kehijau-hijauan di dalam kegelapan itu.
Kedua anak muda itu telah mengagumi sepasang pedang yang kembar itu. Keduanya mempunyai bentuk yang agak lain dari kebanyakan pedang yang mereka kenal. Pedang itu berbentuk seperti sebilah keris yang berlekuk-lekuk. Luk sebelas. Ada sebelas lekuk terdapat pada pedang itu. Sementara itu, pada hulunya terdapat selingkar permata yang meskipun dalam gelap tampak seperti berkeredipan.
“Luar biasa,” desis Mahisa Pukat, “hulunya terbuat dari logam. Mungkin dari emas.”
Mahisa Murti memang sudah menduga. Tetapi mereka tidak dapat melihat dengan jelas dalam kegelapan.
“Sepasang senjata yang sangat bagus,” berkata Mahisa Murti.
Tetapi sebuah pertanyaan muncul dari mulut Mahisa Pukat, “Apakah kita boleh memiliki senjata ini.”
Mahisa Murti menunduk sesaat, ia memang menjadi ragu-ragu. Apakah jika mereka membawa senjata itu, mereka tidak dapat disebut melakukan perampokan sebagaimana dilakukan orang lain sebelumnya?
Dalam pada itu, selagi Mahisa Murti merasa ragu, apakah mereka dapat membawa pedang yang aneh itu atau tidak, maka diluar sadarnya ia telah memutar pedang yang bercahaya kehijau-hijauan itu. Cahayanya yang samar telah sekilas-sekilas menyentuh dinding batu di ruang itu. Bahkan ketika diluar sadarnya ujung pedang itu menyentuh dinding batu itu, maka sepercik api telah menyala. Kemudian nampak sekilas dinding batu itu tergores dan menjadi luka.
Mahisa Murti menjadi semakin kagum melihat akibat goresan itu. Diluar sadarnya pula ia meraba goresan yang terpahat di batu itu. Namun kemudian yang terasa ditangannya bukan sekedar goresan pedang itu saja. Di sebelahnya terdapat goresan-goresan pula. Memanjang dan berliku-liku.
“Tulisan,” desisnya, “di dinding itu terpahat huruf-huruf.”
“Huruf-huruf apa?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kita tidak akan dapat membacanya. Kita tidak melihat huruf-huruf itu,” jawab Mahisa Murti.
“Apakah rabaan jari-jari kita tidak mampu membacanya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kita akan mencobanya,” jawab Mahisa Murti.
Keduanya pun kemudian mencoba untuk mengenali huruf-huruf yang terpahat pada dinding itu. Nampaknya huruf-huruf itu telah dibuat dengan goresan-goresan unjung pedang. Dengan memusatkan segenap perhatian mereka pada rabaan ujung jari, maka kedua orang anak muda itu mencoba untuk membaca huruf-huruf yang terpahat pada dinding batu itu.
Ternyata keduanya memerlukan waktu yang lama. Tetapi huruf-huruf itu cukup besar untuk dikenalinya dengan jari-jari mereka, sehingga akhirnya mereka mendapatkan kesimpulan bahwa tulisan itu berbunyi, “Siapa yang berhasil membawa pedang ini keluar, ialah yang boleh memilikinya. Tanpa dendam dan pembalasan kepada siapa pun juga.”
“Kau yakin?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku yakin. Kita sudah berulang kali mengulanginya dan bunyinya tetap sama,” berkata Mahisa Murti.
“Tanpa dendam yang mengandung dendam,” berkata Mahisa Pukat.
“Tetapi nampaknya kedua orang ini yang tinggal kerangkanya telah menerima dengan ikhlas apa yang terjadi atas diri mereka. Agaknya keduanya telah mendapat hukuman, ditutup dengan rapat sampai mati,” berkata Mahisa Murti.
“Ya. Keduanya tidak menerima dengan ikhlas, maka keduanya akan dapat berusaha untuk mengungkit batu-batu ini,” jawab Mahisa Pukat.
“Tetapi orang yang diluar itu?” desis Mahisa Murti, “Apakah orang itu yang mendapat tugas untuk menunggui kedua orang ini?”
Mahisa Pukat menggelengkan kepalanya. Katanya, “Teka-teki. Kita memang menghadapi satu teka-teki yang tidak terpecahkan. Kita hanya dapat meraba, bahwa kedua orang ini telah mendapat hukumannya didalam ruang sempit itu oleh orang yang tidak dapat dilawannya. Mungkin karena ia mendapat hukuman dari rajanya atau dari orang tuanya atau dari gurunya.”
“Bagaimana jika kedua orang yang ada di dalam ruangan ini laki-laki dan perempuan?” bertanya Mahisa Murti.
“Satu kemungkinan,” jawab Mahisa Pukat.
“Rasa-rasanya ingin juga untuk mengetahui ceritera tentang bangunan ini serta kerangka-kerangka yang ada di dalamnya,” berkata Mahisa Murti.
“Apakah sekarang kita mempunyai waktu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tentu tidak. Kita akan segera melanjutkan perjalanan,” berkata Mahisa Murti.
Demikianlah keduanya pun kemudian telah keluar dari ruangan itu. Mereka berusaha untuk mengembalikan batu-batu yang telah mereka ungkit sejauh dapat mereka lakukan, meskipun tidak dapat pulih kembali seperti semula. Namun ruangan itu telah tertutup kembali.
Sejenak kemudian, maka keduanya telah berada di ruangan induk. Sekali lagi mereka memperhatikan ruangan itu. Beberapa buah batu yang berserakan memang menunjukkan bahwa sebuah ruangan yang lain telah dibongkar. Mungkin ruang tempat penyimpanan harta benda. Namun apa hubungannya dengan kedua orang yang telah meninggal di ruang yang lain serta kerangka yang terbaring di ruang induk itu, yang nampaknya tidak terusik sejak saat meninggalnya.
Namun kedua orang itu pun kemudian telah melangkah ke pintu. Keduanya telah mencabut pedang mereka sendiri dan kemudian meletakkannya di bawah kaki kerangka yang ada di ruangan induk itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempergunakan sarung pedangnya untuk menyarungkan pedang-pedang yang telah mereka dapatkan di ruang yang telah mereka bongkar. Meskipun sarung pedang itu agak terlalu longgar, namun sarung pedang itu cukup memadainya.
Demikian mereka keluar dari bangunan itu, sebelum mereka turun dari tangga, mereka telah sekali lagi memperhatikan pedang-pedang yang telah mereka bawa. Hijau pedang itu benar-benar terselaput emas meskipun tidak utuh. Bahkan dengan beberapa buah permata di pangkalnya. Tetapi hulu itu sendiri ternyata sebagian memang terbuat dari kayu yang keras dan berwarna kehitam-hitaman dengan lingkaran-lingkaran gelang emas yang dihiasi dengan permata.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu beberapa saat. Pedang yang sepasang itu terlalu bagus bagi keduanya. Tetapi keduanya memang merasa berhak untuk memiliki, karena pemiliknya telah mengikhlaskannya sebagaimana ia mengikhlaskan nyawanya di ruang sempit itu apapun alasannya.
“Jika orang itu mengikhlaskannya, kenapa ia masih juga menaruh racun dalam serbuk yang terhambur ketika kita menarik pedang itu?” desis Mahisa Pukat.
“Hanya orang-orang yang mampu mengatasinya yang boleh memilikinya,” berkata Mahisa Murti.
“Bukankah itu hanya sekedar satu dugaan?” bertanya Mahisa Pukat kemudian.
“Kita memang sedang menduga-duga,” berkata Mahisa Murti.
“Apa boleh buat,” berkata Mahisa Pukat, “kita sudah mendapat ijinnya. Kita tidak merampok. Namun pedang ini harganya tentu sangat mahal. Setidak-tidaknya emas dan permatanya. Seandainya kita harusmenabung, maka seumur hidup kita, kita belum dapat membelinya.”
“Tetapi yang lebih mahal lagi adalah besi baja pilihan untuk membuat mata pedang yang agak berbeda dengan pedang kebanyakan itu. Mungkin ayah pernah melihat, mengetahui atau mendengar tentang pedang ini,” sahut Mahisa Murti.
“Ya. Ayah telah cukup lama berdagang besi aji dan batu-batu mulia,” desis Mahisa Pukat.
Dengan demikian maka rasa-rasanya mereka ingin segera sampai ke padepokan. Kecuali mereka memang sudah cukup lama pergi, mereka pun sudah rindu kepada ayah mereka serta dengan demikian mereka akan dapat bertanya tentang pedang-pedang mereka itu.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata, “Marilah kita keluar dari hutan ini. Mahisa Semu dan paman Wantilan menunggu kita. Tidak seorang pun akan mengenali kita karena pedang yang kita tinggalkan, karena pedang itu dapat dibeli pada semua pande besi di manapun juga.”
Keduanya pun kemudian telah turun tangga bangunan batu yang penuh dengan teka-teki itu. Sekali lagi mereka melihat seekor ular yang menjalar di tanah lembab di bawah tangga. Ular yang cukup besar berwarna hitam kemerahan.
Ular itu memang berhenti memandang kedua anak muda yang turun tangga itu. Namun kedua anak muda itu pun berhenti pula dan berdiri mematung. Meskipun keduanya memiliki penangkal bisa ular, tetapi keduanya lebih senang tidak dipatuk ular sebesar itu. Demikian ular itu kemudian menjalar meninggalkan tempatnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melanjutkan perjalanan mereka pula.
Ketika mereka sampai ke terowongan yang menuju keluar hutan yang pepat itu, maka Mahisa Murti telah berkata, “Tetapi pedang ini akan menjadi beban yang berat buat kita. Orang-orang yang pernah mengenalnya dan yang bahkan telah melupakannya akan teringat kembali dan membuat bermacam-macam cerita untuk memaksakan kehendak mereka. Mungkin seseorang merasa berhak atas pedang ini atau orang lain bahkan merasa sebagai pemiliknya atau seseorang akan mengaku bahwa pedang itu pernah dicuri orang.”
“Kita sadari akan hal itu. Kita akan mempertahankannya atas dasar hak yang telah kita terima langsung dari orang yang membawanya sampai ajalnya,” berkata Mahisa Pukat.
Demikianlah, keduanya pun kemudian telah memasuki terowongan yang terdiri dari dedaunan, ranting-ranting dan dahan pepohonan yang nampaknya pernah dibentuk oleh tangan seseorang. Ketika mereka keluar dari hutan itu, maka mereka melihat agak di kejauhan, di bawah sebatang pohon perdu yang rimbun, Mahisa Semu dan Wantilan duduk terkantuk-kantuk, sementara Mahisa Amping berbaring sambil menggapai-gapai dengan kakinya.
Demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat muncul, maka Mahisa Amping lah yang pertama-tama menyapa, “Kakang berdua terlalu lama meninggalkan kami di sini. Kami menjadi cemas. Hampir saja kami menyusul kakang.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya tersenyum saja. Namun ketika keduanya telah duduk pula bersama dengan anak itu, maka keduanya mulai berceritera tentang penglihatan mereka atas bangunan yang aneh itu serta segala macam teka-teki yang ada didalamnya.
“Jadi pedang itu ada di tangan kalian?” bertanya Wantilan.
“Ya,” jawab Mahisa Murti, “kami memang merasa berhak untuk membawanya.”
Ternyata penglihatan Wantilan cukup tajam. Ia pun kemudian telah berkata, “Tetapi berhati-hatilah. Mungkin ada orang lain yang menginginkannya apapun alasan mereka.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada datar Mahisa Pukat menyahut, “Kami sudah memperhitungkannya. Tetapi bukankah kami berhak mempertahankannya?”
“Tentu,” jawab Wantilan, “sepasang pedang itu sudah menjadi hak kalian. Kalian tidak dapat dituduh mencuri atau merampas hak orang lain.”
Mahisa Muri dan Mahisa Pukat masih saja mengangguk-angguk. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, “Marilah. Kita akan melanjutkan perjalanan.”
“Melanjutkan ke mana?” bertanya Mahisa Semu, “menyeberangi hutan ini, menelusuri tepinya atau kembali turun ke jalan yang lebih besar yang tadi kita lalui?”
Mahisa Murti memang harus berpikir sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Kita tidak dapat menembus hutan yang sangat lebat ini. Seandainya itu kita lakukan, maka kita akan memerlukan waktu yang sangat lama.”
“Kita kembali dan turun ke jalan yang kita lalui tadi,” berkata Mahisa Pukat, “kita tidak mempunyai pilihan lain.”
Mahisa Amping yang kemudian bangkit berkata, “Marilah. Aku sudah mulai mengantuk. Jika kita masih menunggu lagi, maka aku tentu akan tertidur di sini.”
“Jika kau tidur di sini, kau akan kami tinggalkan,” sahut Mahisa Pukat.
“Karena itu aku tidak tidur,” jawab Mahisa Amping.
Mahisa Semu tersenyum. Ditariknya tangan anak itu sambil berkata, “Marilah. Kita berjalan terus.”
Mahisa Amping pun kemudian berjalan mendahului yang lain menempuh jalan kembali menuju ke jalan yang lebih besar, yang mereka lalui semula. Namun mereka akan menempuh arah seperti semula jika mereka telah berada di jalan itu. Sementara itu matahari menjadi semakin rendah. Ternyata kelima anak muda itu memerlukan waktu cukup lama ketika mereka berada di dalam hutan.
Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti. Seorang yang nampaknya seperti seorang petani kebanyakan telah menyongsong langkah mereka. Demikian petani itu berada beberapa langkah di depan mereka, maka ia pun telah berhenti dan bahkan kemudian mengangguk dalam-dalam. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya terkejut. Dengan serta merta mereka pun telah berhenti pula.
“Ki Sanak,” berkata orang yang berpakaian seperti petani itu, “aku mohon maaf, bahwa aku terpaksa menghentikan perjalanan Ki Sanak.”
“Apakah ada sesuatu yang penting?” bertanya Mahisa Murti.
“Ki Sanak. Pamanku mohon agar Ki Sanak sudi singgah barang sejenak,” berkata orang itu.
“Untuk apa? Dan di mana pamanmu tinggal?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun telah menunjuk ke satu arah. Ke lereng sebuah bukit kecil dan rendah yang terdapat di pinggir hutan itu.
“Di bawah pohon itu?” desisnya.
Baru saat itu mereka melihat sebuah gubug kecil di bawah sebatang pohon. Pada saat mereka datang, mereka sama sekali tidak memperhatikannya. Mereka pun sama sekali tidak menduga bahwa di tempat itu terdapat sebuah pondok kecil. Dari hutan itu setiap saat dapat muncul binatang buas atau binatang berbisa.
Selagi para pengembara itu termangu-mangu, maka orang itu berkata, “Marilah. Silahkan Ki Sanak.”
“Tetapi untuk apa? Dan siapakah pamanmu itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku tidak begitu mengerti, apa yang akan dibicarakan paman dengan kalian. Tetapi aku hanya diperintahkan oleh paman untuk mohon kalian bersedia singgah sebentar. Paman merasa penting untuk berbicara dengan kalian,” jawab orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun saling berpandangan sejenak. Keduanya yang akan mengambil keputusan apakah mereka akan singgah atau tidak. Namun Mahisa Semu dan Wantilan merasa perlu untuk bersiap-siap sebaik-baiknya.
Ternyata bahwa Mahisa Murti telah mengangguk kecil. Dengan nada berat ia berkata, “Baiklah. Kami akan singgah sebentar.”
“Terima kasih atas kesediaan kalian,” berkata orang itu.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah beriringan mengikuti orang itu. Mereka berjalan di antara pohon-pohon perdu. Kemudian sedikit memanjat lereng rendah sebuah bukit kecil. Di bawah sebatang pohon terdapat sebuah rumah kecil berkerangka bambu dan berdinding bambu pula. Beratap ilalang.
“Marilah,” berkata orang itu yang mempersilahkan mereka singgah, “paman ada di dalam.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang merasa ragu. Namun mereka mendekati pintu yang terbuka. Kepada Mahisa Semu dan Wantilan Mahisa Murti berpesan agar menunggu saja diluar serta menjaga Mahisa Amping agar tidak pergi ke mana-mana.
“Kalian harus tanggap atas semua peristiwa yang dapat terjadi,” desis Mahisa Murti.
Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk kecil. Sesaat kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah berdiri di muka pintu yang rendah. Sambil membungkukkan kepala, mereka melangkah masuk bersama-sama. Tangan mereka telah berada di hulu pedang, sementara segala kekuatan dan ilmu sudah siap untuk dipergunakan jika perlu.
Namun yang terdengar adalah suara lembut seorang yang telah berusia tua. Katanya, “Marilah. Silahkan Ki Sanak. Aku sudah menunggu terlalu lama untuk melihat seseorang atau dua orang singgah di rumahku ini.”
Kedua orang anak muda itu melangkah masuk. Mereka kemudian berdiri pada jarak beberapa langkah.
“Marilah. Silahkan duduk ngger. Kenapa yang lain tidak kalian ajak masuk pula?” bertanya orang itu.
“Terima kasih, Kiai,” jawab Mahisa Murti, “kami hanya singgah sebentar atas permintaan orang ini.”
Orang tua yang duduk di sebuah amben yang besar itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kenapa kalian begitu tergesa-gesa?”
“Kami dalam perjalanan kembali ke padepokan kami,” jawab Mahisa Murti.
“Apa salahnya kalian singgah barang semalam di gubug ini?” bertanya orang tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun mereka memang tidak ingin terlalu lama berada di tempat itu. Dengan nada rendah Mahisa Murti pun kemudian menyahut, “Maaf Kiai. Kami akan segera melanjutkan perjalanan.”
“Sayang sekali,” desis orang tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian sempat memperhatikan orang tua yang duduk di amben yang besar itu. Seorang tua yang berjanggut putih sampai kedadanya. Matanya sudah mulai cekung, sementara giginya masih nampak rampak disaat orang itu tersenyum.
“Jika demikian,” berkata orang itu, “silahkan duduk sebentar. Aku ingin berbincang dengan Ki Sanak berdua."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian duduk diamben yang besar itu. Dengan hati-hati mereka menempatkan dirinya berhadapan dengan orang tua berjanggut putih itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang merasa harus berhati-hati itu duduk pada jarak beberapa jengkal. Sementara itu orang yang mempersilahkan anak-anak muda itu singgah telah duduk disudut amben yang besar itu.
“Anak-anak muda,” berkata orang tua berjanggjut putih itu, “sudah bertahun-tahun aku tinggal di sini. Tidak seorang-pun yang pantas aku persilahkan singgah, selain anak muda berdua.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab, sementara orang tua itu bertanya, “Anak-anak muda. Apakah yang telah mendorong anak-anak muda memasaki hutan itu, atau barangkali apakah ada orang yang telah memberikan petunjuk kepada anak-anak muda?”
“Tidak Kiai,” jawab Mahisa Murti, “tidak ada orang yang memberikan petunjuk kepada kami. Adalah kebetulan bahwa kami telah sampai kehutan itu dan mencoba-coba untuk melihat kedalamnya. Aku yakin bahwa pertanyaan Kiai ada hubungannya dengan bangunan yang ada didalam hutan itu serta sepasang pedang yang telah kami bawa.”
“Kau begitu cerdas anak muda,” berkata orang tua itu, “yang kau katakan itu benar seluruhnya. Sudah bertahun-tahun aku menunggu. Baru sekarang aku menemukan orang yang aku tunggu itu. Orang yang telah berhasil memungut keris yang ada di dalam candi itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Kemudian dengan heran Mahisa Pukat bertanya, “Bagaimana Kiai tahu sejak kami keluar dari hutan itu bahwa kami telah berhasil mengambil kedua bilah pedang itu?”
“Anak-anak muda,” berkata orang tua itu, “kedua keris itu mempunyai hubungan khusus dengan aku. Kedua keris itu adalah kerisku.”
“Sudah aku duga. Sekarang Kiai ingin merampas keris yang aku kira sebagai pedang itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tidak. Tidak. Jangan salah paham,” berkata orang tua itu dengan serta. Lalu katanya, “dengarlah dahulu keteranganku.” Orang itu berhenti sejenak, lalu “Keris itu adalah kerisku. Tetapi sudah aku berikan kepada seorang muridku. Muridku itulah yang kau jumpai di dalam ruangan tertutup itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak, lalu orang tua itu meneruskan, “Tetapi aku tidak dapat mencegah muridku melakukan satu tindakan yang tidak terpuji.”
Mahisa Marti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Sementara orang tua itu berkata selanjutnya, “Muridku adalah menantu kakak seperguruanku yang tinggal di bangunan yang terdapat di hutan itu. Ternyata muridku, atas pertolongan dari isterinya, anak kakak seperguruanku itu, telah mencuri sebuah kitab. Kitab yang sangat rahasia yang belum waktunya diberikan kepada siapapun juga, karena kitab itu ada hubungannya dengan ilmu puncak perguruan kami yang belum terpecahkan. Kakak seperguruanku menjadi sangat kecewa. Ia menghukum muridku dan anak perempuannya sendiri didalam ruang tertutup. Tetapi ia tidak berniat untuk membunuhnya. Ia hanya ingin membuatnya jera. Namun nampaknya ada tangan yang lebih berkuasa. Kakak seperguruanku terlibat dalam pertempuran yang tidak berkeputusan. Lima hari lima malam. Mereka beristirahat hanya di tengah malam sambil minum dari ujung-ujung kelopak bunga di hutan. Bunga-bunga liar serta embun yang menitik. Pertempuran itu memang berakhir dengan kemenangan kakak seperguruanku, tetapi ia luka parah. Seorang telah merawatnya tanpa mengetahui bahwa saudara seperguruanku itu sedang menghukum anak dan menantunya. Ketika kakak seperguruanku itu mulai sembuh, ia sempat mengatakan bahwa ia sedang menghukum seseorang. Tetapi terlambat. Anak dan menantunya telah meninggal. Betapa kecewanya kakak seperguruanku itu. Ia lalu menghukum diri dan menunggu saat kematiannya sendiri di ruang tengah dari bangunan batu itu. Ia tidak mau lagi mengobati dirinya sendiri yang belum sembuh benar. Aku yang kemudian mengetahui keadaan itu datang terlambat. Keadaan kakak seperguruanku telah semakin parah, sehingga ia akhirnya meninggal dengan meninggalkan beberapa pesan. Antara lain, agar tubuhnya dibiarkan saja di tempatnya terbaring.” Orang tua itu kemudian tersenyum sambil berkata, “Nah, anak-anak muda. Terserah kepada kalian. Apakah kalian akan percaya atau tidak.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Berdasarkan beberapa hal yang mereka dengar dan mereka lihat, maka mereka sepatutnya percaya kepada orang tua itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata,
“Baiklah Kiai. Aku percaya bahwa ada hubungan antara keris yang kiai miliki itu dengan kedua pedang yang kami ketemukan di dalam ruangan tertutup itu. Kamipun tidak akan menolak semua keterangan Kiai. Namun kemudian apakah yang sebenarnya Kiai kehendaki dari kami berdua setelah kami mendapatkan kedua bilah pedang ini.”
“Tidak apa-apa anak-anak muda. Aku justru ingin menitipkan sepasang keris itu kepada anak-anak muda sebagaimana aku katakan. Jika semula keris itu aku buat berpasangan untuk seorang saja yang terbiasa bertempur dengan pedang rangkap, maka sekarang sepasang keris itu telah terbagi oleh dua orang.” orang itu berhenti sejenak, lalu “tetapi itu sama sekali tidak menyebabkan apa-apa. Semuanya memang tergantung kepada orang yang memegang pedang. Meskipun ia membawa sepasang pedang, tetapi jika ia tidak menguasai ilmu pedang, maka sepasang pedang itu tidak akan berarti apa-apa. Sebaliknya orang yang hanya membawa sebilah saja, tetapi memiliki ilmu pedang yang tinggi, maka orang itu pun akan dapat mempergunakannya sebaik-baiknya.”
“Baiklah Kiai,” berkata Mahisa Murti, “kami akan menjaga sepasang senjata ini sebaik-baiknya. Mudah-mudahan kami dapat mempergunakannya untuk kepentingan yang baik, karena tulisan di dinding ruangan itu pun berbunyi tanpa dendam dan pembalasan kepada siapapun juga.”
Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia kemudian bertanya, “jadi begitu bunyi tulisan itu?”
“Ya,” jawab Mahisa Murti.
“Ternyata ada juga yang dapat dibanggakan pada anak itu. Aku yang dikecewakan oleh perbuatannya karena ia telah mencuri kitab gurunya, agak terhibur sedikit mendengar bahwa anakku itu tidak mendendam siapapun juga,” berkata orang tua itu. Lalu katanya, “besok aku akan melihat ruangan itu. Mudah-mudahan aku juga dapat membaca sebagaimana kalian membacanya.”
“Kami membaca dengan ujung jari,” jawab Mahisa Murti.
“Kami akan membawa obor,” desis orang tua itu. Namun ia pun kemudian bertanya, “Apakah kalian akan ikut bersama kami besok?”
“Tidak Kiai,” jawab Mahisa Murti, “kami akan segera melanjutkan perjalanan.”
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Anak-anak muda. Keris itu adalah keris yang sangat berharga. Aku telah membuatnya secara khusus dari bahan yang sangat khusus pula. Keris itu jauh lebih baik dari kerisku sendiri.”
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. “Keris itu akan sangat berarti bagi mereka yang pada dasarnya memiliki kemampuan ilmu pedang yang sangat tinggi,” berkata orang tua itu. Lalu katanya pula, “Tetapi aku percaya bahwa kalian berdua memenuhi syarat untuk memiliki dan mempergunakan keris itu. Namun demikian aku masih juga berpesan. Kalian harus berhati-hati. Keris itu sudah dikenal oleh beberapa orang dan celakanya mereka mengakui kelebihan sepasang keris itu. Karena itu, maka kalian akan menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk justru karena kalian membawa keris itu. Tetapi sekali lagi aku yakin bahwa kalian akan dapat mempertahankannya meskipun aku belum melihta tingkat kemampuan kalian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah menduga bahwa kemungkinan seperti itu akan dapat terjadi atas diri mereka karena sepasang senjata itu. Tetapi keduanya sudah siap untuk mempertahankannya.
Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Kiai. Kami memang sudah memperhitungkan bahwa hal seperti itu akan dapat terjadi. Keris menurut pengertian Kiai ini memiliki banyak kelebihan dari senjata-senjata kebanyakan. Karena itu, maka tentu ada orang yang menginginkannya. Apalagi orang-orang yang memang pernah mengenal sebelumnya.”
Mahisa Marti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Ada beberapa hal yang sesuai dan masuk akal. Namun ada beberapa hal yang masih perlu dipertanyakan. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah bertanya, “Kenapa kedua orang itu sama sekali tidak berusaha untuk keluar dari bilik sempit itu?”
“Keduanya tidak berani melawan perintah guru dan orang tuanya. Apapun yang terjadi, maka keduanya dengan tabah menerimanya,” berkata orang tua itu.
“Tetapi bagaimana dengan serbuk beracun yang terdapat dalam sarung pedang itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Anakku mempunyai kekebalan terhadap racun apapun juga,” berkata orang tua itu, “karena itu, maka senjatanya sengaja diberinya beracun. Jika ia menarik senjatanya, maka racun itu telah lebih dahulu memperlemah ketahanan tubuh lawannya. Bahkan ada yang tidak lagi mampu bertahan. Tetapi kalian pun agaknya mempunyai kekebalan atas racun seperti anakku.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba Mahisa Pukat bertanya, “Dimanakah kitab itu sekarang?”
“Itulah yang belum dapat diketemukan sampai sekarang. Kitab itu telah diambil kembali oleh kakak seperguruanku itu. Tetapi tidak seorang pun yang tahu di mana kitab itu disembunyikan. Di saat ia meninggal, nampaknya ia memang ingin memberitahukan di mana kitab itu disimpan. Tetapi kakak seperguruanku itu telah terlalu cepat pergi. Aku sudah mencarinya dengan membongkar tempat-tempat yang aku kira dipergunakan untuk menyimpan kitab itu, tetapi tidak aku ketemukan. Kitab itu sangat berarti bagi perguruanku. Tetapi pada bagian terakhir sampai saat meninggalnya kakakku, masih tetap merupakan rahasia yang belum terpecahkan. Jika aku dapat menemukannya, maka mungkin aku akan akan dapat menelusurinya dan mencari kemungkinan pemecahannya,” berkata orang tua itu."
Namun Mahisa Pukat tiba-tiba bertanya, “Apakah Ki Sanak menganggap bahwa kami telah menemukan kitab itu?”
“Tidak. Tidak. Sekali lagi aku katakan, aku sama sekali tidak berprasangka buruk terhadap kalian berdua,” jawab orang tua itu, “kalian yang telah mendapatkan pedang itu, silahkan mempergunakannya jika kalian berdua sudi. Pedang yang tidak berarti apa-apa. Namun pedang itu yang aku sebut saja keris, adalah buatanku sendiri. Sepasang, karena perguruan kami mempelajari ilmu pedang sepasang. Justru karena keris itu aku buat sendiri, maka seakan-akan terdapat sentuhan getaran antara keris-keris itu dan aku. Ketika kalian keluar dari hutan, sebelum aku melihat hulu keris di sarung yang berbeda itu, aku sudah merasakan sentuhan getarannya, bahwa keris itu ada pada kalian.”
“Tetapi di dinding batu itu tergores tulisan, bahwa siapa yang berhasil membawa pedang itu keluar, ialah yang boleh memilikinya.”
Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Tulisan itu telah memperkokoh hak anak-anak muda untuk memiliki keris itu. Karena itu, maka aku pun tidak akan menuntut agar keris itu dikembalikan kepadaku. Aku pun tidak berprasangka bahwa kalian telah mengambil kitab itu atau hal-hal lain yang buruk. Apalagi angger berdua memiliki kekebalan atas racun sebagaimana anakku. Namun bagaimanapun juga, karena angger berdua akan memiliki sepasang kerisku, aku ingin tahu, siapakah yang telah membentuk angger sehingga angger nampaknya telah menjadi anak muda yang berilmu tinggi, kebal akan bisa dan mungkin ilmu-ilmu yang lain. Meskipun aku belum membuktikan, tetapi aku melihat pada sikap, kata-kata dan pandangan mata anak-anak muda berdua.”
Keduanya termangu-mangu sejenak. Keduanya memang agak ragu-ragu untuk mengatakan tentang diri mereka sendiri. Namun keduanya telah bertekad untuk bertanggung jawab apapun yang terjadi. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Aku adalah Mahisa Murti dan saudaraku adalah Mahisa Pukat. Kami adalah anak ayah Mahendra dari Singasari.”
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku pernah mendengar nama Mahendra.”
“Adik seperguruan paman Witantra,” desis Mahisa Pukat, “yang pernah berada di Kediri sebagai wakil Singasari setelah pamanda Mahisa Agni.”
“Nama-nama yang terkenal. Mahisa Agni adalah seorang yang disegani dan dihormati. Aku pernah mendengar namanya. Jauh lebih besar dari nama perguruan kami di sini,” desis orang tua itu, “Karena itu, maka sepasang keris itu telah mendapatkan pemiliknya yang akan dapat mempertahankannya. Aku justru ingin menitipkannya kepada kalian berdua.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru termangu-mangu. Sementara orang tua itu berkata, “Anak-anak muda. Aku tahu, bahwa kalian tentu tidak akan dapat dengan serta merta mempecayai aku. Bahkan mungkin kalian juga menganggap keteranganku tentang bangunan dan kerangka-kerangka itu sebagai satu dongeng yang aku buat dengan maksud tertentu. Tetapi barangkali kau akan percaya jika kau sempat mengamati pangkal hulu keris itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun hampir serentak telah mengamati hulu keris yang dianggapnya pedang itu. Pada ukiran di pangkal hulu pedang, mereka melihat pahatan ujud bunga berdaun bunga lima helai. Sementara itu, orang tua itu juga telah menarik kerisnya dan menunjukkan pangkal hulu kerisnya itu kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Ternyata bahwa bentuknya memang sama.
Orang tua itu mengangguk-angguk pula. Katanya kemudian, “Nah, sebenarnya aku ingin mempersilahkan angger berdua untuk singgah barang satu hari. Akan lebih baik jika angger berdua besok bersedia bersama kami untuk kembali ke hutan. Namun segala sesuatunya terserah kepada kalian. Karena aku pun menyadari, bahwa kalian masih saja dibayangi oleh keragu-raguan tentang diriku. Kerisku mungkin dapat meyakinkan kalian bahwa akulah yang telah membuat sepasang keris itu, atau barangkali kalian dapat saja menyangka bahwa aku telah memesannya kepada seorang empu yang berilmu tinggi.”
“Kami mohon maaf Kiai. Bukan keragu-raguan kami yang memaksa kami meninggalkan tempat ini. Tetapi kami memang ingin segera sampai ke padepokan kami,” jawab Mahisa Murti.
Orang tua itu memang tidak menahannya. Tetapi berkali-kali ia berpesan agar anak-anak muda itu berhati-hati. Bahkan kemudian ia berkata, “Jika perlu, kalian dapat menghubungi aku di sini.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil. Sementara Mahisa Murti berdesis, “Terima kasih Kiai. Jika perlu kami akan bertemu dengan Kiai lagi.”
“Aku agaknya sudah tidak akan berpindah tempat lagi. Di sini memang sepi. Tetapi rasa-rasanya ada keharusan untuk selalu dekat dengan bangunan di dalam hutan itu. Seorang kawanku, satu-satunya muridku sebagaimana kau kenal itu.” orang itu berhenti sejenak lalu “mungkin kalian merasa bahwa kami telah mengganggu kalian. Namun aku baru merasa tenang jika aku sudah memberikan beberapa pesan kepada kalian sehubungan dengan sepasang keris yang kau bawa. Rasa-rasanya aku bersalah jika aku tidak pernah memberikan peringatan apapun kepada kalian berdua jika pada suatu saat kalian mengalami kesulitan karena keris itu.”
“Terima kasih Kiai,” berkata Mahisa Murti, “sekarang, kami mohon diri.”
Orang tua itu tidak menahannya lagi. Dilepaskannya kedua orang anak muda itu pergi bersama saudara-saudaranya yang menunggu di luar.
“Mereka sama sekali tidak merasa gentar,” berkata murid orang tua itu.
“Ya. Karena itu mereka memang sepantasnya memiliki sepasang keris itu. Mudah-mudahan mereka selamat dan mampu mempertahankannya,” berkata orang tua itu.
“Atau, sama sekali tidak bertemu dengan orang yang ingin merampas keris itu apapun alasannya,” desis muridnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang meninggalkan gubug itu, masih saja sangat berhati-hati. Keduanya memang merasa aneh bahwa orang tua itu ternyata tidak berbuat apa-apa meskipun ia mengaku telah membuat dan kemudian memiliki sepasang senjata itu. Namun yang kemudian telah diberikan kepada anaknya. Tetapi orang tua itu memang tidak berbuat apa-apa. Ia sudai mengikhlaskan sepasang keris itu kepada dua orang anak muda yang dianggapnya akan dapat mempertahankannya.
Sehari itu, anak-anak muda yang sedang mengembara itu, ternyata tidak menjumpai kesulitan. Namun mereka tidak berusaha singgah dan bermalam di banjar-banjar. Mereka merasa lebih baik untuk bermalam di tempat terbuka. Di banjar-banjar padukuhan mereka dapat saja menjumpai persoalan yang tidak dapat mereka tinggalkan begitu saja, sehingga akan melibatkan mereka pada persoalan-persoalan baru yang yang tidak akan kunjung berakhir, sementara mereka menjadi semakin lama meninggalkan padepokan mereka.
Tetapi anak-anak muda itu sudah berjanji kepada diri mereka sendiri, bahwa mereka sedang menempuh tapa ngrame. Dengan demikian maka mereka pun tidak dapat mengelak untuk memberikan pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan. Bahkan Mahisa Pukat telah beranggapan bahwa sepasang senjata itu adalah anugerah karena tindakan mereka, melakukan tapa ngrame itu.
“Dengan senjata yang lebih baik, maka kita akan dapat melakukannya dengan lebih baik pula,” berkata Mahisa Pukat.
“Itu adalah wajar,” sahut Wantilan, “bahkan seandainya sepasang senjata itu karunia dalam hubungan dengan laku yang kalian tempuh, maka justru dengan demikian kalian dituntut untuk berlaku lebih baik dalam olah laku itu sendiri.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Pukat berkata, “Kami menyadari akan hal itu.”
Ketika malam menjadi semakin larut, maka para pengembara itu pun telah mulai membaringkan dirinya. Mahisa Amping sudah lebih dahulu tidur. Sementara itu Mahisa Semu dan Wantilan pun rasa-rasanya tidak mampu lagi menahan agar matanya tidak segera terpejam.
Bahkan Mahisa Semu berkata, “Aku akan tidur dahulu.Nanti jika saatnya aku berjaga-jaga, tolong, bangunkan aku. Aku kantuk sekali.”
Sebelum kata-kata itu terjawab, maka Wantilan pun berkata, “aku juga. Mataku seperti kena pulut.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membiarkan mereka tidur. Keduanyalah yang masih dapat bertahan untuk tidak segera tertidur nyenyak. Namun ketika tengah malam lewat, mata kedua orang itu-pun rasa-rasanya tidak dapat lagi dibuka. Mereka benar-benar mengantuk tanpa dapat dikendalikan lagi. Tetapi justru karena itu, maka keduanya telah menjadi curiga bahwa sesuatu telah terjadi.
“Kita tidak boleh tidur, justru dalam keadaan seperti ini,” berkata Mahisa Murti.
“Ya. Suasananya memang aneh. Apakah kakang mengarah kepada satu dugaan bahwa kita sedang kena sirep?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tepat,” jawab Mahisa Murti, “karena itu kita harus semakin berhati-hati.”
“Apakah mungkin orang tua yang merasa berhak atas keris itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Memang mungkin. Tetapi agaknya bukan orang itu yang melakukannya,” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun ketika matanya menjadi semakin berat, maka Mahisa Murti berkata, “Kita harus yakin akan daya tahan kita terhadap ilmu seperti ini. Dengan demikian maka kita akan bebas dari pengaruhnya.”
Mahisa Pukat mengangguk. Namun ketika ia benar-benar mengerahkan daya tahannya, maka ia dapat melampaui saat-saat yang gawat sehingga kemudian Mahisa Pukat justru tidak merasa kantuk sama sekali.
“Apakah kita akan mencari orang itu?” bertanya Mahisa Pukat kemudian.
“Kita menunggu mereka datang kemari,” jawab Mahisa Murti.
“Apakah mereka akan datang?” bertanya Mahisa Pukat pula.
“Jika mereka menganggap bahwa kita sudah tidur nyenyak,” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Kemudian bersama Mahisa Murti maka ia pun telah membaringkan diri. Namun seakan-akan keduanya telah membagi tugas. Masing-masing memperhatikan ke arah yang berbeda. Beberapa saat keduanya menunggu. Bahkan perasaan kantuk mulai menyentuh mata mereka kembali. Namun sekali lagi mereka mengerahkan daya tahan, sehingga mereka berhasil untuk mengatasi kekuatan sirep yang telah ditebarkan itu.
Sebenarnya sebagaimana diperhitungkan oleh Mahisa Murti. Ketika malam justru mendekati dini hari, kekuatan sirep itu rasa-rasanya semakin menjadi tajam. Apalagi udara dingin dan angin berhembus perlahan. Tetapi sirep dan udara dingin tidak mampu memecahkan daya tahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menunggu perkembangan keadaan.
Ketajaman pendengaran mereka dan ketajaman penglihatan mereka meskipun digelapnya malam, maka mereka mengetahui bahwa ada beberapa orang tengah mendekati mereka yang disangkanya sudah tertidur nyenyak.
“Tidak ada tanda-tanda bahwa mereka masih terbangun,” desis seorang di antara mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak memejamkan mata mereka. Namun mereka telah berusaha untuk mengaburkannya di bawah rambut mereka yang memang tidak diikat dengan rapi.
Orang-orang yang datang itu hanya dapat menilik sikap dan nafas anak-anak muda itu. Keduanya memang berusaha untuk menyesuaikan pernafasan mereka sebagai mereka yang telah tertidur. Pernafasan yang mengalir teratur lewat lubang hidung mereka.
“Ya,” terdengar yang lain menjawabnya, “kita akan dapat mengambil pedang itu.”
“Ternyata orang tua yang dungu itu tidak mengambil sepasang pedangnya,” berkata orang yang pertama, “meskipun ia sudah memanggil anak-anak itu singah di gubugnya.”
“Orang dungu itu ingin mengelabui kita,” berkata kawannya.
“Mengelabui bagaimana?” bertanya orang yang pertama.
“Anak-anak itu dimintanya singgah di rumahnya. Ia berharap bahwa kita menganggap kedua pedang itu sudah dimintanya, sehingga kita tidak akan menyusul anak-anak malas itu,” jawab kawannya, “orang tua itu tentu berharap bahwa benturan akan terjadi antara kita dengan orang itu.”
“Untunglah bahwa kita tidak sebodoh yang dikiranya,” berkata orang yang pertama.
Sejenak orang-orang itu termangu-mangu. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Kita akan mengambilnya. Guru akan berterima kasih kepada kita, karena Guru memang sudah lama menginginkan sepasang pedang itu. Bukan saja karena sepasang pedang itu merupakan pedang yang pilih tanding, yang terbuat dari bahan yang khusus yang sulit dicari duanya, juga karena pedang itu berhulu emas bertatahkan permata. Harganya tentu akan mahal sekali. Jika hulu pedang itu diganti, maka pedangnya masih tetap bernilai tinggi, sementara harga hulunyapun akan sangat mahal.”
Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi mereka bergerak selangkah maju mendekat.
Mahisa Murti yang merasa bahwa saatnya telah datang, tiba-tiba saja telah meloncat bangkit. Mahisa Pukat pun segera menyusul pula sehingga keduanya pun kemudian telah berdiri tegak. Mahisa Pukat masih sempat menginjak kaki Mahisa Semu sehingga anak muda yang telah terkena sirep itu menggeliat. Tetapi agaknya pengaruh sirep masih mencengkamnya sehingga ia tidak terbangun karenanya.
Orang-orang yang mendekatinya itu pun telah bergeser mundur. Yang tertua di antara mereka pun kemudian telah menggeram, “Setan alas kalian berdua. Kenapa kalian tidak tertidur seperti kawan-kawan kalian?”
“Kami memang ingin tidur nyenyak. Tetapi kami selalu terganggu oleh getaran-getaran yang tidak kami kenal, sehingga kami tidak dapat tidur. Bukan kebiasaan kami. Biasanya asal kami menjatuhkan diri, maka dalam sesaat kami sudah tertidur nyenyak. Namun malam ini kami justru tidak dapat tidur,” jawab Mahisa Murti.
“Ternyata kau terlalu sombong,” geram yang tertua di antara mereka yang datang itu, “kau telah menghinakan ilmu sirep kami.”
“O, jadi kalian telah menebarkan ilmu sirep? Kenapa akibatnya justru sebaliknya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tutup mulutmu,” bentak yang tertua di antara mereka yang telah datang untuk mengambil sepasang senjata yang ditemukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat didalam ruangan tertutup itu.
Namun akhirnya Mahisa Amping itu pun terbangun juga. Sambil mengusap matanya ia bertanya, “Ada apa?”
“Sst,” desis Mahisa Semu, “berhati-hatilah. Kau harus dapat menjaga dirimu sendiri. Nampaknya ada orang yang ingin mengganggu kita malam ini.”
Mahisa Amping yang sudah terlepas dari pengaruh sirep itu pun segera menyadari apa yang terjadi. Karena itu, maka ia pun telah bersiap-siap pula. Sekali-sekali ia melihat kesekelilingnya. Ia harus mendapat tempat untuk bersembunyi jika terjadi pertempuran.
Sementara itu, orang-orang yang akan merampas sepasang pedang yang ada ditangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu telah memencar. Mahisa Murti pun telah bergeser menjauhi Mahisa Pukat. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan pun telah bersiap-siap pula menghadapi segala kemungkinan. Dalam kegelapan mereka sempat menghitung orang-orang yang ingin merampas sepasang pedang itu. Semuanya ada lima orang.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah mulai memperhitungkan kemungkinan buruk atas Mahisa Amping. Jika mereka harus bertempur seorang melawan seorang, maka masih ada seorang yang bebas yang akan dapat memanfaatkan Mahisa Amping untuk memaksa mereka menyerahkan sepasang pedang itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah bergeser pula mendekati Mahisa Amping sambil berkata, “Hati-hati. Dekati aku.”
Mahisa Amping yang memiliki ketajaman panggraita itu pun mengerti maksud Mahisa Murti. Karena itu, maka ia pun telah bergeser mendekatinya, sementara Mahisa Semu dan Wantilan pun telah menyesuaikan diri mereka sambil berusaha melindungi Mahisa Amping pula. Hanya Mahisa Pukat lah yang mengambil tempat tersendiri. Ia justru berharap untuk memancing dua orang di antara lawan-lawan mereka.
Sejenak kemudian murid tertua dari perguruan yang menginginkan pedang yang sepasang itu telah bersiap. Dengan garang ia memberikan aba-aba kepada saudara-saudara seperguruannya.
“Ambil pedang itu. Jika perlu bunuh mereka yang menghalangi.”
Yang lain pun kemudian telah bergerak. Empat orang berada dalam satu kelompok untuk menghadapi Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Wantilan, sedangkan seorang di antara mereka akan berhadapan dengan Mahisa Pukat. Meskipun baru satu orang yang berhadapan dengan Mahisa Pukat, namun Mahisa Pukat berharap bahwa seorang lagi akan datang pula kepadanya setelah mereka mulai bertempur.
Sejenak kemudian, maka lawan Mahisa Pukat pun telah mulai meloncat menyerang. Namun dengan tangkasnya Mahisa Pukat sempat menghindarinya. Meskipun demikian, maka sambaran angin serangan orang itu telah memperingatkan Mahisa Pukat, bahwa lawannya adalah seseorang yang berilmu cukup tinggi. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun dengan cepat menanggapi keadaan. Nampaknya lawannya tidak merasa perlu untuk menjajagi kemampuannya dari awal. Ia akan langsung saja menghancurkannya agar orang itu segera dapat mengambil pedang yang dibawanya.
Dengan demikian maka Mahisa Pukat pun harus mengimbanginya pula. Ia pun telah mengerahkan tenaga cadangan didalam dirinya untuk mendukung perlawanannya. Namun agaknya tenaga cadangannya tidak cukup kuat untuk melawan ilmu orang itu. Sehingga karena itu, maka Mahisa Pukat pun harus langsung merambah kedalam ilmunya.
Tetapi Mahisa Pukat tidak ingin menghancurkan lawannya dengan serangan jarak jauhnya. Mahisa Pukat masih ingin bertempur dalam ujud sewajarnya meskipun dengan landasan ilmunya. Ia pun masih belum sampai pada tataran tertinggi ilmu Bajra Geninya, karena ia memang tidak ingin menghancurkan lawannya sehingga menjadi debu.
Namun ternyata bahwa lawannya pun memiliki ilmu yang tinggi. Semakin lama mereka bertempur, maka lawannya itu seakan-akan mampu bergerak semakin cepat sehingga untuk beberapa saat Mahisa Pukat sempat terdesak. Tetapi, demikian Mahisa Pukat meningkatkan ilmunya, maka ia pun segera mampu mencapai keseimbangan kembali.
Sementara itu, Mahisa Murti pun telah tertempur pula. Bertiga Mahisa Murti harus bertempur melawan empat orang. Seorang di antaranya adalah justru yang tertua di antara mereka. Karena itu, maka berbeda dengan Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti lah yang langsung mempergunakan kemampuannya untuk mengurangi kemampuan lawan karena selain ia harus bertempur bagi dirinya sendiri, maka ia pun harus bertempur melindungi Mahisa Amping dan bahkan harus memperhatikan kemungkinan yang dapat terjadi atas Mahisa Semu dan Wantilan, karena seperti Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti pun segera menyadari bahwa lawannya memiliki ilmu yang tinggi.
Mahisa Semu yang lebih mempercayakan diri kepada kemampuan ilmu pedangnya, memang segera menarik pedangnya. Dengan cepat ia melibat lawannya yang juga segera menarik senjatanya pula. Namun orang itu sempat tertawa sambil berkata, “Kau mempercepat kematianmu. Kau kira ilmu pedangmu akan dapat melindungimu?”
Mahisa Semu tidak menjawab. Namun ia pun harus segera bertempur melawan ketajaman pedang pula.
Wantilan lah yang masih mencoba bertempur tanpa senjata. Namun ternyata ia harus menghadapi dua orang lawan. Karena itu, dalam waktu singkat, maka Wantilan telah mulai terdesak. Justru karena itu, maka Mahisa Murti pun telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengatasi keadaan itu. Ia bukan saja bertempur dengan keras, namun Mahisa Murti juga telah mengetrapkan ilmunya yang mampu menghisap kekuatan lawannya.
Namun Mahisa Murti tidak segera mampu membentur lawan-lawannya. Ternyata bahwa lawan-lawannyapun tidak menyia-nyiakan waktu sehingga mereka bukan saja telah mengerahkan ilmu mereka, tetapi mereka pun telah menggenggam senjata pula. Mahisa Murti tidak mempunyai pilihan lain. Karena yang dibawanya adalah pedang yang ditemukannya di dalam bangunan batu di dalam hutan itu, maka ia pun telah mencabut pedang itu pula.
Ternyata yang terjadi sangat mengejutkan. Kekuatan ilmu Mahisa Murti yang mampu menghisap kekuatan dan kemampuan lawan itu, telah bergejolak dengan dahsyat ketika menjalar melalui senjata yang dibuat dari besi baja pilihan itu. Cahaya yang kebiru-biruan itu bagaikan menyala semakin besar. Bahkan kemudian seperti api yang menyembur dengan dahsyatnya.
Namun Mahisa Murti masih belum puas dengan kenyataan itu meskipun semula ia sendiri telah terkejut. Mahisa Murti yang ingin mencoba kekuatan ilmunya yang berpengaruh terhadap pusakanya yang baru itu telah mengetrapkan ilmunya Bajra Geni dan segenap ilmu yang tersimpan di dalam dirinya.
Sebenarnyalah akibatnya sangat mendebarkan jantung. Pedang itu benar-benar bagaikan diselubungi oleh lidah api yang menjilat-jilat. Bahkan kemudian seperti lidah ular naga yang menyala menjilat ke segala arah.
Dengan serta merta lawan Mahisa Murti itu pun telah meloncat surut. Namun dengan kemarahan yang bergelora didalam dadanya, murid tertua dari antara mereka yang datang untuk mengambil pedang itu berteriak, “jangan gentar. Apapun yang kita lihat, namun segala sesuatunya sangat tergantung kepada orangnya. Jika orang yang menggenggam pusaka yang dahsyat itu tidak memiliki ilmu pedang yang baik, maka kita akan segera membunuhnya dan mengambil pedang itu bagi perguruan kita.”
Kata-kata itu memang dapat membangkitkan keberanian orang-orang yang akan mengambil sepasang pedang itu. Karena itu, maka mereka pun telah bertempur semakin sengit. Orang yang semula berdua bertempur melawan Wantilan, telah bergeser. Dua orang kemudian berpasangan melawan Mahisa Murti.
Mahisa Pukat memang menjadi cemas, Mahisa Amping akan dapat mengalami kesulitan. Karena itu, maka ia pun tidak memperpanjang waktu lagi. Dengan serta merta maka Mahisa Pukat pun telah mengerahkan segala macam ilmunya dan disalurkannya lewat daun pedangnya.
Lawannyapun telah terkejut pula, tetapi ia berpendirian seperti saudara seperguruannya. Betapapun dahsyatnya pedang di tangan, namun akhirnya yang menentukan adalah orangnya pula.
Pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Mahisa Murti harus bertempur melawan dua orang lawan. Sementara Mahisa Pukat bertempur melawan seorang. Demikian pula Mahisa Semu dan Wantilan. Demikian pertempuran itu menjadi semakin seru, maka segera nampak bahwa Mahisa Semu dan Wantilan mulai terdesak. Mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka, namun kemampuan itu memang terbatas.
Mahisa Murti yang harus bertempur melawan dua orang lawan, harus mengerahkan segenap kemampuannya pula. Apalagi setelah kedua lawannya itu pun sampai ke tingkat tertinggi dari ilmunya, maka Mahisa Murti pun harus mempergunakan kemampuannya sebaik-baiknya.
Namun justru karena senjata Mahisa Murti yang dahsyat itu, maka kedua lawannya telah berusaha untuk tidak membenturkan pedang yang ada di tangan mereka. Dengan demikian maka usaha Mahisa Murti untuk menghisap tenaga mereka menjadi lamban sekali.
Tetapi Mahisa Murti tidak henti-hentinya berusaha. Dengan kecepatan yang tinggi, maka ia berusaha untuk melanda kedua lawannya. Bagi Mahisa Murti, apakah ia berhasil menghisap kekuatan dan kemampuannya sampai tuntas, atau mampu menggoreskan ujung pedangnya yang nggegirisi itu ke tubuh lawan, tidak ada bedanya. Yang penting baginya adalah dengan cepat melumpuhkan lawannya sebelum lawannya melukai salah seorang saudara-saudaranya, terutama Mahisa Amping.
Namun Mahisa Murti itu menarik nafas dalam-dalam ketika dalam kekisruhan pertempuran, Mahisa Amping ternyata telah mengambil langkah yang menguntungkan. Tiba-tiba saja ia telah hilang dari medan. Mahisa Murti yakin, bahwa anak yang memang memiliki penggraita yang tajam itu telah bersembunyi, sehingga ia tidak akan menjadi sasaran kelicikan lawan-lawannya. Meskipun demikian, kecemasan yang lain telah timbul. Mahisa Semu dan Wantilan benar-benar telah terdesak, sehingga keduanya seakan-akan tidak mempunyai ruang gerak lagi.
Tetapi, di lingkaran pertempuran yang lain, Mahisa Pukat telah menggulung lawannya. Melawan seorang di antara mereka yang datang untuk merampas pedang yang baru saja mereka dapatkan di hutan itu, ternyata Mahisa Pukat masih memiliki kelebihan. Apalagi karena lawannya ternyata tidak ragu-ragu untuk membenturkan senjatanya.
Namun dengan membenturkan senjatanya, lawan Mahisa Pukat itu mengalami dua kesulitan. Demikian kerasnya benturan yang terjadi serta kelebihan jenis pedang yang dimiliki Mahisa Pukat, maka disetiap benturan itu, tajam pedang lawannya telah menjadi repih. Bahkan kemudian bagaikan menjadi retak-retak. Namun dengan demikian, tajam pedang itu justeru menjadi berbahaya, karena pedang itu menjadi seakan-akan bergerigi.
Tetapi kesulitan yang lebih besar dari lawan Mahisa Pukat itu adalah karena kemampuan ilmu Mahisa Pukat menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya. Getaran yang seakan-akan mengalir dengan cepat dalam setiap sentuhan, bukan saja wadagnya, tetapi juga senjata mereka.
Itulah sebabnya, maka lawan Mahisa Pukat itu merasakan sesuatu yang tidak wajar dalam dirinya. Selagi ia bertempur dengan segenap kekuatannya mendesak Mahisa Pukat, tiba-tiba saja terasa tenaganya telah mulai menjadi susut.
“Apa yang sebenarnya telah terjadi?” bertanya orang itu didalam dirinya.
Namun Mahisa Pukat masih juga menjadi berdebar-debar ketika ia melihat kesulitan yang mencengkam Mahisa Semu dan Wantilan. Bahkan beberapa kali keduanya harus berloncatan mengambil jarak. Ternyata orang-orang yang datang untuk mengambil sepasang pedang itu adalah orang-orang yang memang memiliki ilmu yang tinggi.
Bahkan Mahisa Murti yang harus bertempur melawan dua orang itu pun ternyata mulai mengalami kesulitan. Keduanya adalah orang-orang yang berbekal ilmu pula. Apalagi keduanya tidak dengan serta merta membenturkan senjata-senjata mereka, karena mereka menjadi silau melihat pedang di tangan Mahisa Murti. Karena keduanya bertempur berpasangan, maka mereka mampu saling mengisi dan menyerang berganti-ganti sambil menghindari sentuhan. Mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa Mahisa Murti memiliki ilmu yang dapat menghisap kemampuan mereka, namun mereka mencemaskan senjata-senjata mereka yang akan dapat merusak jika berbenturan dengan senjata Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murti memang cukup garang. Senjatanya berputar-putar dan menyambar-nyambar menggetarkan jantung. Yang lebih dahulu menyelesaikan lawannya adalah Mahisa Pukat. Beberapa saat kemudian, maka lawannya benar-benar telah kehilangan kekuatannya selapis demi selapis, sehingga akhirnya, ia merasa seluruh tubuhnya menjadi sangat lemah. Seakan-akan tulang-tulangnya telah terlepas pada persendiannya.
Karena itu, maka ketika pada saat-saat terakhir Mahisa Pukat menekannya lebih keras, maka orang itu benar-benar telah kehilangan kemampuannya untuk melawannya. Bahkan senjatanya yang telah mirip dengan gergaji telah patah dan terlepas dari tangannya. Sementara itu, ia tidak lagi mampu berdiri tegak di atas kedua kakinya ketika Mahisa Pukat sempat mencengkam pergelangan tangannya beberapa saat.
Demikian orang itu jatuh terduduk, maka Mahisa Pukat pun telah meloncat meninggalkannya. Ia pun segera berusaha untuk membantu Mahisa Semu dan Wantilan. Meskipun Mahisa Murti juga mengalami kesulitan, tetapi ia yakin, bahwa Mahisa Murti dalam keadaan yang paling gawat, masih akan mampu melindungi dirinya dengan ilmunya.
Kehadiran Mahisa Pukat telah membuat jantung Mahisa Semu dan Wantilan sedikit mengembang. Sebenarnyalah Mahisa Pukat langsung mengambil alih lawan Wantilan sambil berkata lantang, “Bantulah Mahisa Semu.”
Wantilan memang segera meninggalkan lawannya. Lawannya memang tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak berani meremehkan Mahisa Pukat karena ia tahu bahwa Mahisa Pukat telah mampu mengalahkan lawannya yang terdahulu. Apalagi pedang Mahisa Pukat yang bagaikan menyemburkan lidah api ke segala penjuru itu merupakan senjata yang menggetarkan jantung. Namun orang itu tidak dapat ingkar. Ia harus bertempur melawannya. Apapun yang terjadi.
Sementara itu, Wantilan telah bergabung dengan Mahisa Semu untuk melawan seorang di antara mereka yang ternyata juga memiliki ilmu yang tinggi. Ilmu pedang Mahisa Semu ternyata masih berada dibawah kemampuan lawannya itu. Namun bersama dengan Wantilan, maka Mahisa Semu menjadi sedikit dapat bernafas meskipun keduanya masih juga ragu, apakah mereka akan dapat mengalahkan orang itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti masih harus bertempur melawan kedua orang lawannya. Ternyata kedua orang lawannya semakin lama terasa semakin sulit di atasi. Dengan demikian maka Mahisa Murti untuk beberapa saat harus bertahan saja sambil berusaha untuk setiap kali menyentuh senjata lawan. Setiap serangan yang datang, dalam batas kemungkinan, tidak dihindarinya. Tetapi ia berusaha menangkisnya dengan sepenuh tenaganya. Selain senjata lawannya itu menjadi repih pada tajamnya, ia pun berhasil mengurangi tenaga lawannya itu selapis demi selapis tipis.
Tetapi ternyata yang tertua di antara orang-orang yang datang untuk merampas pedang itu memiliki ilmu yang tinggi pula. Meskipun pedangnya pada setiap benturan memberikan kesan yang aneh pada dirinya, namun ternyata kemampuan ilmu orang itu yang mengalir pada senjatanya telah menumbuhkan getaran udara yang memancarkan panas, menjalar menyentuh tubuh Mahisa Murti.
Mahisa Murti yang mulai merasakan getaran udara panas itu merasa bahwa tekanan lawan-lawannya tentu akan menjadi semakin berat. Setiap ayunan senjata lawannya, telah disertai dengan arus udara panas yang menampar tubuhnya. Sementara itu, lawannya yang seorang lagi, agaknya masih baru mulai sehingga udara yang terhempas oleh ayunan senjatanya masih belum terasa membakar tubuh.
Namun Mahisa Murti masih saja bertekad untuk bertahan sambil berusaha selalu menangkis serangan lawannya, betapapun terasa udara panas menerpa tubuhnya. Namun Mahisa Murti ternyata memerlukan waktu yang lama. Hampir saja Mahisa Murti menjadi kehilangan kekang diri dan menghancurkan lawannya dengan serangan berjarak disertai dengan landasan ilmu Bajra Geninya. Namun sebelum ia melakukannya, maka Mahisa Murti mulai merasa, tenaga lawannya itu melemah.
Di samping kedua lawan Mahisa Murti yang mulai melemah perlahan-lahan, maka lawan Mahisa Pukat yang baru itu pun mengalaminya pula. Lebih cepat dari kedua lawan Mahisa Murti. Namun dalam pada itu, selagi pertempuran di antara mereka masih belum selesai, tiba-tiba saja terdengar putaran angin yang dahsyat menggerakkan dedaunan, dahan-dahan dan ranting-ranting pepohonan.
Sementara itu, kedua orang lawan Mahisa Murti, lawan Mahisa Pukat dan lawan Mahisa Semu dan Wantilan, telah meloncat mengambil jarak. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang terkejut. Selain angin yang datang membadai itu, juga karena lawan-lawan mereka telah berloncatan surut.
Namun mereka pun segera mendapat jawabnya. Dalam keadaan yang mencengkam itu, tiba-tiba saja didalam kegelapan telah nampak sesosok tubuh yang berdiri tegak di atas batu padas sambil mengangkat tangannya dan berkata, “Berhentilah.”
Lawan-lawan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu pun telah melangkah surut. Sementara itu orang di atas batu padas itu berkata, “Aku sendiri telah datang ke arena. Karena itu, maka pertempuran itu tidak perlu lagi.”
Lawan-lawan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu pun telah bergeser menjauh. Sementara orang itu berkata lebih lanjut, “Biarlah aku sendiri mengambil pedang-pedang yang aku inginkan itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melangkah saling mendekat. Demikian pula Mahisa Semu dan Wantilan. Sementara itu, maka orang itu pun berkata kepada anak-anak muda yang membawa pedang yang dikehendaki oleh orang itu. “Anak-anak muda, aku datang untuk menyelesaikan persoalan ini dengan cepat. Nampaknya murid-muridku tidak dapat melakukannya, sementara waktu kami tidak terlalu banyak.”
“Siapa kau dan apa maksudmu?” bertanya Mahisa Murti
“Maksudku sudah jelas. Aku ingin mengambil sepasang pedang yang kalian bawa itu,” jawab orang itu, “sedangkan siapa aku, agaknya kau tidak perlu mengetahuinya.”
“Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “sudah aku katakan, bahwa aku akan mempertahankannya apapun yang akan terjadi.”
“Kalian memang anak iblis. Kalian memiliki ilmu iblis pula. Kau sadap ilmu itu dari Akuwu Sangling sedangkan nampaknya kau sadap ilmu yang licik itu dari Akuwu Lemah Warah,” berkata orang itu. Lalu “Tetapi ilmu yang kau tunjukkan kepadaku itu sama sekali tidak berarti apa-apa bagiku. Aku memang harus berpikir ulang jika aku harus bertempur dengan gurumu. Tetapi sayang. Malam ini aku akan terpaksa membunuh kalian jika kalian tidak menyerahkan pedang itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti berkata, “Sudah aku katakan. Apapun yang akan terjadi, kami akan mempertahankannya sepasang pedang ini.”
“Sayang,” berkata orang itu, “kalian akan mati muda.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Namun mereka terkejut ketika mereka melihat dari tubuh orang itu seakan-akan mengepul awan yang tipis. Namun semakin lama menjadi semakin banyak. Seakan-akan kabut yang menyebar meliputi lingkungan itu, sehingga malam menjadi semakin gelap. Selagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sempat melihat orang itu, maka Mahisa Murti pun berdesis, “Kita hentikan semuanya ini. Apa boleh buat, jika orang itu lumat oleh ilmu kita.”
Mahisa Pukat pun kemudian telah bersiap pula. Ia menunggu isyarat Mahisa Murti untuk melepaskan ilmu mereka yang tertinggi. Demikianlah, sejenak kemudian, dengan satu isyarat, maka keduanya telah menghentakkan tangan mereka dengan telapak tangan terbuka mengarah kepada orang yang berdiri di atas batu padas itu. Seleret cahaya seakan-akan telah meloncat dari telapak tangan kedua orang anak muda itu mengarah kepada orang yang berdiri di atas batu padas itu.
Sebuah ledakan telah terjadi. Namun kedua orang anak muda itu harus melihat satu kenyataan bahwa serangannya sama sekali tidak mengenai sasaran. Batu padas itu memang bagaikan meledak. Tetapi orang yang berdiri di atasnya telah tidak ada lagi di tempatnya. Sementara itu, maka kabutpun semakin lama menjadi semakin menyebar.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi gelisah. Apalagi Mahisa Semu dan Wantilan. Mereka seakan-akan sudah tidak dapat melihat lagi. Kabut menjadi sangat tebal menyelimuti tempat itu.
“Anak-anak,” terdengar suara yang bergulung-gulung tanpa dapat diketahui arahnya, “serahkan sepasang pedang itu atau kalian akan mati. Kabut itu memang tidak mengandung racun, karena aku tahu kalian memiliki penangkal racun. Namun dalam kabut kalian tidak akan dapat melawan aku. Penglihatanku dapat menembus kabut yang aku buat sendiri itu. Aku dengan mudah dapat mendekati kalian dan menikam jantung kalian. Kemudian memungut sepasang pedang itu. Tetapi aku akan membiarkan kalian tetap hidup jika kalian mau meletakkan pedang dan bergerak menjauh.”
Tidak terdengar jawaban. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah bertekad untuk tidak menyerahkan pedang-pedang mereka apapun yang terjadi. Karena itu, maka mereka justru menggenggam pedang mereka semakin erat.
“Tidak ada gunanya,” berkata orang itu, “tetapi baiklah. Agaknya kalian memang memilih kematian. Jangan salahkan aku jika kalian semuanya akan mati. Bukan hanya kedua anak muda yang membawa pedang saja. Tetapi kematian anak-anak muda yang lain akan kau serahkan saja kepada murid-muridku, agar mereka mendapatkan kegembiraan pula dalam perburuan sepasang pusaka itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sudah tidak dapat melihat pada jarak sepanjang hidung mereka itu pun memang menjadi semakin gelisah. Tetapi sama sekali tidak ada niat di hati mereka untuk menyerah dan meletakkan pusaka-pusaka itu. Namun dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba saja terdengar suara kidung. Suara kidung yang ngelangut memecah suara-suara malam yang sepi.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengarkan suara kidung itu dengan penuh kecurigaan. Mungkin suara kidung itu adalah satu usaha lawannya melepaskan ilmunya yang lain untuk membunuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi anak-anak muda itu menjadi heran, ketika kemudian telah bertiup angin. Mula-mula perlahan-lahan. Namun sejalan dengan irama kidung yang menghentak keras, maka angin yang bertiup pun terasa semakin kencang pula. Sedikit demi sedikit, angin itu ternyata telah mampu menguak kabut yang tebal, sehingga sejenak kemudian, jarak pandang anak-anak muda itu pun telah menjadi semakin jauh.
Namun, anak-anak muda itu pun kemudian terkejut ketika mereka mendengar derap kaki dua orang yang sedang bertempur. Tetapi sejenak kemudian, keduanya mendengar salah seorang di antara mereka meloncat mengambil jarak, sehingga pertempuran itu pun telah berhenti. Bersamaan dengan itu, maka kabut pun menjadi semakin tipis, seakan-akan telah terkuak, sehingga dalam keremangan malam, anak-anak muda itu melihat dua orang yang saling berhadapan.
“Kau iblis,” terdengar orang yang mengingini sepasang pusaka itu menggeram.
Yang seorang lagi, ternyata pernah dilihat juga oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Orang tua yang minta keduanya singgah di gubugnya. Orang tua itu berkata,
“Aku sudah mengira bahwa kau akan datang untuk mengganggu anak-anak itu. Kenapa kau masih saja berbuat seperti itu? Sebaiknya kau biarkan saja kedua orang anak muda itu memiliki temuannya sendiri,kau tidak boleh iri. Kenapa kau tidak mencarinya sendiri sehingga kau akan dapat memilikinya? Aku, yang membuat keris itu dan kemudian memberikannya kepada anakku, tidak pernah berniat untuk merampasnya kembali. Tetapi kenapa kau justru melakukannya.”
“Aku tidak peduli,” geram orang yang mengingini sepasang pusaka itu, “aku hanya ingin memiliki sepasang pusaka itu siapapun yang akan aku hadapi. Sekarang, jika kau menghalangi niatku, kau akan aku habisi sama sekali.”
“Kabutmu tidak berarti apa-apa bagiku,” berkata orang tua itu.
“Kau kira aku hanya mampu bermain dengan kabut?” geram orang itu, “aku akan membuktikan, bahwa aku akan dapat membunuhmu.”
Orang tua itu tertawa. Katanya, “Baiklah. Jika kau memang merasa akan dapat membunuhku, lakukanlah. Tetapi aku pun telah memutuskan untuk membunuhmu. Aku berkata sesungguhnya, karena jika tidak, kau tentu masih akan mengganggu kedua anak muda yang kebetulan bernasib baik itu. Kau tidak boleh merampas keris-keris itu, karena aku sudah merelakannya.”
“Persetan,” bentak orang itu. Namun ia pun segera mempersiapkan diri, “ternyata kita memang harus menguji, siapakah yang lebih kuat. Jika kau mati, maka anak-anak itu tidak akan mempunyai pelindung lagi.”
“Aku sudah siap,” berkata orang tua itu.
Demikianlah keduanya pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Orang yang mengingini sepasang pusaka itulah yang kemudian telah meloncat menyerang lebih dahulu. Tetapi lawannya dengan tangkas menghindarinya. Bahkan demikian serangan itu lewat, maka orang tua itu telah menyerangnya pula dengan cermat sekali.
Tetapi, kedua orang itu ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi. Dalam waktu yang singkat, keduanya bagaikan telah hilang dari pandangan mata wadag. Hanya dengan kemampuan khusus Mahisa Murti dan saudara-saudaranya mampu melihat keduanya berputaran. Sekali-sekali mereka melenting di udara dan seakan-akan bertempur tanpa berjejak di atas tanah. Sekali-sekali asap mengepul. Namun kemudian bagaikan dihembus oleh angin yang kuat dan lenyap dalam kegelapan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah anak-anak muda yang berilmu tinggi. Namun ternyata mereka masih juga merasa heran melihat pertempuran yang sedang berlangsung itu. Dua orang yang ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi dengan berbagai macam bentuk dan ungkapan. Bahkan kedua anak muda itu menjadi ragu-ragu, apakah ayahnya mampu mengimbangi kemampuan kedua orang itu.
Selagi mereka dengan tegang menyaksikan pertempuran dari dua orang yang berilmu sangat tinggi itu, Mahisa Semu terkejut ketika seseorang menggamitnya. Ternyata Mahisa Amping telah berdiri di belakangnya sambil berdesis, “Apakah pertempuran sudah selesai?”
Mahisa Semu tidak menjawab. Tetapi ia menunjuk dua sosok bayangan yang berterbangan di dalam kegelapan. Tetapi Mahisa Amping agaknya tidak dapat menangkap arti dari penglihatannya selain ujud diluar yang berbaur, berputaran.
Namun dalam pada itu, hampir diluar sadarnya, Mahisa Semu dapat melihat murid-murid orang yang ingin memiliki sepasang pedang itu telah bergerak-gerak. Agaknya mereka ingin mempergunakan kesempatan itu untuk menyerang anak-anak muda yang agaknya lebih memperhatikan pertempuran yang sedang terjadi itu.
Tetapi ketika Mahisa Semu hampir saja berteriak memperingatkan saudara-saudara angkatnya, Mahisa Murti ternyata telah mendahuluinya berkata, “Ki Sanak. Jangan mempersulit keadaan diri sendiri. Jika kalian menyerang, maka kalian akan mati. Kami tidak akan memaafkan kalian lagi.”
Ternyata murid-murid dari orang yang menginginkan sepasang pedang itu harus berpikir dua kali. Salah seorang di antara mereka sudah tidak berdaya. Sementara yang lain merasa tubuhnya menjadi lemah karena tenaganya telah susut diluar sadar mereka. Dengan demikian maka mereka pun telah mengurungkan niatnya untuk berbuat sesuatu, sehingga perhatian mereka pun kemudian telah mereka tujukan kepada guru mereka yang harus bertempur melawan orang yang menyatakan dirinya telah membuat pedang yang disebutnya keris itu.
Kedua orang itu pun bertempur semakin dahsyat. Keduanya telah mengerahkan kemampuan mereka sehingga dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin sulit dimengerti, siapa di antara mereka yang akan memenangkan pertempuran. Dalam kekalutan itu terdengar orang yang ingin merampas sepasang pedang itu menggeram, “Iblis kau. Ternyata kau masih mampu meningkatkan ilmumu.”
Yang terdengar adalah suara tertawa orang tua itu. Sambil bertempur berputaran terdengar orang itu menjawab, “Biarlah yang tua menyelesaikan persoalannya dengan orang tua. Jangan hanya berani mengganggu anak-anak saja.”
“Kau kira aku tidak mampu membunuhmu,” bentak orang yang mengingini sepasang pusaka itu.
Orang tua itu tertawa semakin panjang. Namun suara tertawanya pun terputus ketika tiba-tiba seleret sinar memancar dari tangan lawannya. Dengan tangkasnya orang tua itu meloncat menghindar. Tetapi serangan-serangan berikutnya menyambarnya beruntun seakan-akan tidak berjarak. Karena itu, maka orang tua itu harus berloncatan. Namun orang tua itu justru meloncat semakin mendekati lawannya, sehingga satu saat ia sempat melontarkan pisau-pisau kecil ke arah lawannya, sambil meloncat berputar di udara.
Serangan itu tidak terduga-duga. Karena itu, maka orang yang menginginkan sepasang pusaka itu, harus dengan serta merta meloncat menghindar. Namun demikian ia tegak di atas kakinya, maka terdengar suara orang tua itu, “Nah, sekarang aku pun mendapat kesempatan.”
Lawannya tidak menjawab. Dengan serta merta pula ia telah meluncurkan serangannya. Secercah cahaya telah menyambar ke arah lawannya. Tetapi orang tua itu telah sempat memusatkan nalar budinya membangunkan ilmunya. Karena itu, maka ia pun telah berbuat sebagaimana dilakukan oleh lawannya. Segumpal sinar telah memancar dan menyambar sinar yang datang menyerangnya.
Satu benturan ilmu telah terjadi. Sebuah ledakkan telah menghentak di kegelapan malam dengan melontarkan percikan cahaya yang menyilaukan. Namun sejenak kemudian, keduanya telah berloncatan sekali lagi. Keduanya telah saling menyerang dengan kekuatan ilmunya itu. Tidak dengan senjata sebagaimana telah dilakukan oleh orang tua itu sebelumnya.
Cahaya yang menyilaukan telah meluncur sambar-menyambar dari kedua arah. Dalam gelapnya malam, maka seakan-akan telah terjadi pertempuran antara bintang-bintang yang meluncur dengan garangnya sambar-menyambar. Beberapa kali telah terjadi benturan ilmu. Gumpalan-gumpalan sinar itu bagaikan pecah dan meluncur seperti bunga api ke segala arah.
Namun sebenarnyalah, benturan-benturan ilmu itu telah berpengaruh atas kedua orang yang sedang bertempur itu. Seorang di antara mereka yang ilmunya lebih kuat akan menekan lawannya langsung ke bagian dalam tubuhnya. Dalam pada itu, maka pertempuran itu pun semakin lama semakin dahsyat. Lontaran ilmu yang tidak mengenai sasaran dan tidak saling berbenturan telah menghantam batu-batu padas dan pepohonan. Ranting-ranting pun berpatahan dan dahan-dahan pun berguguran runtuh dari batangnya.
Namun akhirnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berhasil melihat bahwa keseimbangan antara kedua orang yang bertempur itu sudah mulai berubah. Orang yang ingin mengambil sepasang pedang itu nampak menjadi semakin lemah. Bahkan kemudian, serangan-serangannya tidak lagi menggetarkan ilmu lawannya yang meluncur deras dalam benturan ilmu.
Dalam keadaan yang demikian, terdengar suara orang tua itu, “Kau harus melihat kenyataan ini. Urungkan niatmu untuk mengambil sepasang keris itu.”
“Persetan,” orang itu menggeram. Bahkan langsung menyerang orang tua itu dengan sisa tenaganya.
Orang tua itu terkejut. Ia tidak menduga, bahwa lawannya dengan licik telah menyerangnya. Namun demikian tinggi ilmunya, maka ia pun dengan serta merta telah melawannya dengan menghantam serangan lawannya itu. Tetapi kemarahan orang tua itu tidak terkekang lagi. Ia tidak saja membentur serangan lawannya, tetapi ia pun dengan garang telah menyerang lawannya itu pula.
Satu serangan yang cepat dan tiba-tiba. Yang terdengar kemudian adalah keluhan tertahan. Serangan itu ternyata telah dengan tepat mengenai dada orang yang ingin mengambil sepasang pusaka itu. Betapapun orang itu berilmu tinggi, namun serangan itu pun telah dilontarkan dengan ilmu yang tinggi pula. Karena itu, maka segumpal cahaya telah menghantam dada dan mendorongnya beberapa langkah surut. Orang itu pun kemudian jatuh terbanting di tanah. Sekali ia menggeliat sambil mengumpat. Namun kemudian suaranya bagaikan tertelan kembali.
Murid-muridnya yang melihat keadaan gurunya itu pun dengan serta merta telah berloncatan berlari. Hanya lawan Mahisa Pukat yang telah menjadi sangat lemah, hanya mampu beringsut selangkah demi selangkah sambil merangkak. Ternyata Mahisa Pukat menjadi iba melihatnya. Ia pun kemudian telah mendekatinya dan memapahnya dan meletakkannya di sisi tubuh gurunya yang terdiam.
Murid-muridnya telah menjadi kebingungan melihat keadaan gurunya. Bahkan ada di antara mereka yang telah mengguncang-guncang sambil memanggil-manggil, “Guru, guru.”
Gurunya memang masih bernafas. Namun dadanya terasa sesak. Sekali ia mencoba mengangkat kepalanya. Namun ia sudah tidak mempunyai kekuatan sama sekali.
Orang tua, yang mengaku telah membuat sepasang keris yang mirip dengan pedang itu telah mendekatinya. Dadanya sendiri juga merasa sesak. Tetapi ia masih cukup kuat dan tenaganya masih cukup besar untuk melakukan sesuatu jika perlu. Tetapi lawannya sudah tidak berdaya sama sekali.
Orang tua itu pun kemudian berdiri di sebelah tubuh yang terbaring itu. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya juga mendekatinya. Tetapi mereka masih cukup berhati-hati untuk mengambil jarak.
“Jangan tinggalkan kami guru,” berkata salah seorang muridnya.
Gurunya masih mencoba untuk berbicara, “Aku sudah tidak kuat lagi.”
“Jangan guru,” teriak muridnya yang lain.
Tetapi gurunya memang sudah sangat lemah. Dalam pada itu, orang tua yang termangu-mangu itu pun kemudian berkata, “Mundurlah. Biar aku yang mencobanya.”
Tetapi sorot mata murid-muridnya nampak curiga, sehingga orang tua itu berkata, “Jangan cemas bahwa aku akan membunuhnya. Jika aku ingin melakukannya, maka aku akan dapat membunuh bukan saja gurumu. Tetapi bersama dengan kalian semuanya.”
Murid-muridnya itu termangu-mangu. Namun akhirnya mereka pun telah bergeser menjauh beberapa langkah. Demikian juga muridnya yang sudah kehabisan tenaga sama sekali itu. Dibantu oleh saudara seperguruannya, maka ia pun telah bergeser menjauh pula.
Orang tua itu kemudian telah mengambil butiran-butiran obat dari kantong ikat pinggangnya yang besar. Kemudian memasukkannya dua butir ke dalam mulut lawannya yang terluka parah itu. Sejenak orang tua itu menunggu. Namun sejenak kemudian orang yang terluka itu telah menggeliat kesakitan.
Diluar sadar, murid-muridnya pun telah bergerak pula. Namun orang tua itu berkata, “Pertanda bahwa obatku masih juga dapat mengguncang bagian dalam tubuhnya yang terluka. Justru dengan demikian, kalian masih mempunyai harapan.”
Murid-muridnya terdiam. Sementara orang tua itu berkata, “Mudah-mudahan ia akan dapat hidup atas kemurahan Yang Maha Agung. Ia tidak akan dapat memiliki ilmunya kembali. Sebagian besar ilmunya akan menjadi punah bersama dengan cacat yang dapat terjadi atas wadagnya.”
Murid-muridnya terkejut mendengar keterangan itu. Yang tertua di antara mereka bertanya terbata-bata, “Jadi maksudmu, Guru tidak akan berilmu tinggi lagi?”
Orang tua itu mengangguk kecil. Namun karena itu, muridnya yang tertua telah dengan serta merta meloncat sambil berkata lantang, “Kau telah meracuni guruku.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan serta merta telah bergeser pula. Tetapi orang tua itu masih saja tetap tenang. Dengan nada rendah ia berkata, “Jangan membuat persoalan baru. Kau tahu apa yang sudah terjadi. Karena itu, maka kau harus menilai keadaan ini dengan wajar.”
“Tetapi kau sudah membuat guruku tidak berdaya lagi,” berkata muridnya yang tertua.
“Aku kira itu lebih baik daripada aku membunuhnya,” berkata orang tua itu.
“Justru lebih buruk lagi,” berkata muridnya, “jika guruku terbunuh dalam pertempuran, maka ia telah mati sebagai laki-laki. Tetapi tanpa ilmu sama sekali maka ia akan menjadi bahan tertawaan musuh-musuh besarnya. Dan bahkan ia akan dapat menjadi bahan permainan untuk dihinakan.”
“Tetapi ia tidak akan dapat berusaha merebut sepasang keris yang kini telah berada di tangan kedua orang anak muda itu,” berkata orang tua itu.
Muridnya yang tertua termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Apapun yang terjadi, aku harus menuntut atas tindakan kalian yang licik itu.”
“Sudahlah, jangan bermimpi,” berkata orang tua itu, “jika kau tidak mau melihat kepada gurumu, maka kau pun akan mengalaminya. Kau akan kehilangan segala kekuatan dan kemampuanmu. Bahkan untuk membunuh diripun kau tidak akan mampu lagi.” Orang tua itu terdiam sejenak, lalu katanya, “lihat salah seorang saudara sepeguruanmu itu. Ia telah kehilangan segenap kekuatannya. Seandainya ia menggenggam pedangnya di tangan, maka kekuatan yang tersisa padanya, tidak akan mampu mnghunjamkannya di tubuhnya sendiri.”
Murid tertua dari orang yang terluka parah itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu orang tua itu pun berkata, “Kau tahu bahwa yang melakukannya bukan aku. Aku akan dapat melakukan lebih buruk lagi bagi kalian.”
Muridnya yang tertua itu menjadi tegang oleh gejolak di dalam dirinya. Sementara itu, Mahisa Murti sempat berkata, “Seharusnya kalian mengucapkan terima kasih bahwa guru kalian tidak terbunuh. Meskipun ia menjadi cacat dan tidak mungkin dapat pulih kembali, tetapi ia akan tetap dapat memberikan beberapa petunjuk kepada kalian untuk meningkatkan ilmu kalian. Tetapi kalianpun harus bercermin apa yang telah terjadi atas gurumu, bahwa semua usaha yang tidak sewajarnya tentu tidak akan mendapat restu dari Yang Maha Agung. Akibatnya dapat kau ketahui sendiri.”
Muridnya yang tertua itu menarik nafas dalam-dalam. Di sekitarnya terdapat beberapa orang berilmu tinggi. Anak-anak muda itu pun tidak dapat dikalahkannya. Apalagi dengan kehadiran orang tua yang telah mengalahkan gurunya itu. Dengan demikian maka murid-murid orang yang terluka parah itu harus melihat kenyataan yang mereka hadapi. Mereka tidak dapat membunuh diri pada kesempatan seperti itu.
Apalagi gurunya yang lemah itu berdesis, “Sudahlah. Kalian harus mengikhlaskan aku.”
Murid-muridnya memang tidak dapat berbuat lain. Betapa sakit hati mereka, tetapi keadaan itu harus diterimanya. Gurunya dan mereka masing-masing. Sesaat kemudian, ternyata bahwa keadaan gurunya menjadi berangsur baik. Obat orang tua itu cukup kuat untuk mengatasi luka bagian dalam tubuh lawannya yang lemah itu.
“Nah,” berkata orang tua itu, “keadaan kalian sudah berangsur baik. Karena itu, maka biarlah kami meninggalkan kalian. Uruslah diri kalian selanjutnya. Tetapi aku masih akan meninggalkan obat bagi guru kalian. Mudah-mudahan guru kalian cepat sembuh meskipun dalam keadaan yang berbeda dari sebelumnya.”
Murid-muridnya tidak dapat berbuat sesuatu. Yang dapat mereka lakukan adalah menerima obat yang dapat mempercepat kesembuhan gurunya meskipun tubuhnya akan menjadi cacat sehingga ia tidak akan memiliki ilmunya seutuhnya kembali.
Dalam pada itu, maka orang tua itu pun kemudian berkata kepada Mahisa Murti dan saudara-saudaranya, “Marilah. Kita tinggalkan mereka. Meskipun mereka yang datang kemudian ke tempat ini, namun biarlah kita sajalah yang mengalah.”
Mahisa Murti tidak membantah. Ia tahu bahwa di antara lawan-lawan mereka masih terdapat orang-orang yang lemah dan tidak mampu untuk meninggalkan tempat itu. Karena itu, maka ia pun telah memberi isyarat kepada saudara-saudaranya untuk mengikuti orang tua itu meninggalkan lawan-lawan mereka.
Dalam kegelapan mereka menyusuri padang perdu dan kemudian turun ke pategalan yang tidak begitu subur. Mahisa Amping yang dibimbing oleh Mahisa Semu berjalan sambil terkantuk-kantuk. Tetapi ia sama sekali tidak mengeluh. Ia berusaha untuk tetap berjalan bersama dengan saudara-saudaranya.
Beberapa saat kemudian, ketika fajar justru mulai membayang dilangit, maka iring-iringan kecil itu pun berhenti. Orang tua yang mengaku telah membuat sepasang keris yang disebut pedang oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu berkata, “Kita berhenti di sini. Jarang sekali pemilik pategalan ini melihat pategalannya yang gersang.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak menjawab. Mereka pun kemudian telah duduk melingkar di atas rumput kering di pinggir sebuah pategalan yang tidak ditumbuhi tanaman yang berarti kecuali beberapa pohon buah-buahan yang kurus.
Dengan nada lembut orang tua itu pun kemudian berkata, “Anak-anak muda. Yang kalian hadapi adalah kesulitan yang pertama. Aku kira, kalian masih akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang lain lagi. Sementara itu aku tidak tahu, apakah aku masih akan dapat membantu atau tidak. Namun aku merasa perlu untuk memberikan beberapa pesan kepada kalian."
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah mendengarkan pesan itu dengan seksama.
“Anak-anak muda,” berkata orang tua itu, “ketika aku membuat keris itu, atau namakanlah pedang, aku sudah berniat untuk membuat dua buah senjata tetapi satu jiwa. Ditangan kalian senjata-senjata itu memang menjadi luar biasa. Ternyata berlandaskan ilmu yang telah kalian miliki, maka kedua senjata itu seakan-akan memiliki kemampuan berlipat ganda. Itu sudah satu pertanda bahwa senjata-senjata itu memang sesuai bagi kalian berdua. Namun dalam keadaan khusus, kedua buah senjata itu akan lebih berarti jika kalian mempergunakan dalam pasangan.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak, sehingga ia pun bertanya, “Apakah maksud Kiai? Apakah kami harus merelakan salah seorang saja di antara kami yang memiliki pusaka itu?”
“Bukan anak muda. Bukan begitu,” jawab orang tua itu, “kalian dapat saja mempergunakannya sebuah bagi seorang. Tetapi dalam keadaan yang gawat, maka kalian harus menentukan satu sikap sesuai dengan watak sepasang senjata itu. Kalian harus menggabungkan kekuatan ilmu kalian dan kemudian kalian harus mempergunakan sepasang senjata itu bersama-sama. Dengan demikian maka kekuatan pedang itu tentu akan berlipat, sementara itu ilmu kalian sendiri sudah sangat tinggi. Dengan demikian maka lontaran ilmu lewat sepasang pedang itu, dalam satu kesatuan akan merupakan kekuatan ilmu yang sangat dahsyat.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Sementara orang tua itu berkata, “Karena itu, kalian harus mulai membiasakan diri mempergunakan senjata itu berpasangan meskipun dalam genggaman tangan dari orang yang berbeda. Mudah-mudahan kekuatan, kemampuan dan ilmu kalian akan dapat bulat utuh dengan kekuatan yang ada didalam pusaka itu, akan merupakan kekuatan yang dahsyat. Yang bahkan melampaui kekuatan ilmu orang yang telah dapat aku kalahkan.” orang tua itu berhenti sejenak, lalu, “tetapi itu bukan memperkecil arti dari kemampuan kalian mempergunakan senjata itu seorang-seorang.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Kami justru mengucapkan terima kasih atas petunjuk itu. Tetapi apakah tidak ada laku yang dapat menjadi jembatan agar pusaka itu menjadi bulat dalam diri kami, serta menyesuaikan antara watak dan sifat-sifat ilmuku dan watak senjata-senjata itu."
“Kalian telah sesuai. Aku sudah melihat, bagaimana kalian mempergunakan senjata kalian untuk membela diri. Agaknya kemampuan membela diri itu adalah ilmu yang paling baik untuk kalian kembangkan,” berkata orang tua itu, “tetapi yang aku maksudkan, jika kalian menjumpai lawan yang tidak dapat kalian kalahkan seorang demi seorang, maka kalian akan dapat mencobanya dengan sepasang pedang itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu orang tua itu pun berkata, “Siapakah anak-anak yang ikut bersama kalian itu.”
“Adik angkatku,” jawab Mahisa Murti.
“Kenapa anak itu sudah kau bawa mengembara melalui daerah yang paling berbahaya bagi setiap orang justru karena kalian telah memiliki pusaka itu?” bertanya orang tua itu pula.
“Kami justru akan membawanya ke padepokan kami. Anak itu kami temukan dalam lingkungan perguruan hitam yang terpaksa harus kami hancurkan. Sementara itu, kami telah mengambil pula ilmu yang sudah diwarisinya serba sedikit dari perguruan itu.”
“Perguruan hitam?” bertanya orang tua itu.
Mahisa Murti sempat menceritakan dengan singkat tentang anak yang bernama Mahisa Amping.
Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ajari anak itu baik-baik. Bukan saja ilmunya. Tetapi juga sifat, watak dan tingkah lakunya.”
“Ya Kiai,” jawab Mahisa Pukat, “saat-saat kami membebaskan anak itu dari tangan dan pengaruh jiwani sebuah perguruan hitam, maka kamipun sudah melihat sesuatu pada anak itu. Tetapi aku pun sudah mengatakan kepada mereka, bahwa mereka justru pada saatnya harus bekerja keras.”
Orang tua itu mengangguk-angguk lemah. Namun kemudian katanya, “Jika saja kalian masih bersedia menunda perjalanan kalan untuk waktu singkat.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti pun bertanya, “Untuk apa Kiai?”
“Aku ingin berceritera lebih banyak tentang sepasang keris itu. Wataknya dan kemungkinan-kemungkinannya. Aku sudah kehilangan anakku laki-laki yang diluar niatnya telah dibunuh oleh mertuanya, sehingga hidup ini rasa-rasanya terlalu sepi. Aku memang sudah menemukan seorang penggantinya. Namun bagaimanapun juga aku tidak dapat melupakan anakku itu, yang aku harapkan akan dapat menjadi tempat menumpang di hari tua,” jawab orang tua itu.
“Jika hanya untuk satu dua hari, aku kira kami tidak akan berkeberatan,” berkata Mahisa Murti.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Peristiwa yang terjadi baru-baru ini merupakan satu peringatan bagi kalian. Tetapi agaknya kalian masih akan mengalaminya lagi.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak dapat menolak niat baik orang tua itu. Dengan peristiwa yang baru saja terjadi, maka anak-anak muda itu menjadi percaya sepenuhnya bahwa orang tua itu sama sekali tidak berniat buruk terhadap mereka.
Namun orang tua itu pun kemudian berkata, “Tetapi jika demikian, maka aku berharap kalian kembali ke gubugku itu. Hanya untuk satu dua hari.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berpaling kepada Mahisa Semu dan Wantilan. Ternyata mereka juga tidak berkeberatan, karena pada dasarnya keduanya hanya mengikuti saja perjalanan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Apalagi Mahisa Amping.
Demikianlah sebelum fajar mereka telah mulai berjalan lagi justru kembali ke gubug kecil milik orang tua itu. Di gubug itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat secara khusus telah mendapatkan beberapa petunjuk tentang sepasang pusaka itu.
“Aku mohon kalian menyebutnya dengan keris, bukan pedang,” berkata orang tua itu. Lalu katanya, “Karena saat membuatnya aku memang ingin membuat keris. Meskipun keris itu ternyata terlalu besar dan karena itu aku telah memberikan hulu yang lain dari kebanyakan keris. Apalagi waktu itu, aku telah menemukan harta karun yang tidak ternilai harganya. Harta yang tidak diketahui asal usulnya. Aku menemukan harta karun itu di sebuah goa yang terpencil. Menurut pendapatku, goa itu adalah sarang penjahat yang karena sesuatu hal, kawanan perampok itu tidak pernah kembali lagi ke sarangnya. Mungkin karena sekelompok perampok itu telah bertemu dengan sepasukan prajurit dan telah dimusnahkan hingga orang terakhir, atau karena sebab lain,” orang itu berhenti sejenak, lalu katanya, “tetapi aku tidak mengambil harta karun itu lebih banyak dari yang aku perlukan untuk membuat sepasang keris itu. Aku meninggalkan yang lain di dalam goa. Mudah-mudahan goa itu runtuh dan harta karun itu tertimbun di dalamnya. Seandainya seratus atau dua ratus tahun lagi harta karun itu diketemukan, maka orang yang menemukannya tidak bersalah sama sekali karena mereka tidak tahu menahu asal usul harta karun itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Namun tiba-tiba orang tua itu bertanya, “Atau barangkali kalian berdua ingin mendapatkan harta karun itu? Aku bersedia menunjukkannya karena aku masih ingat benar di mana tempatnya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Sementara orang tua itu menunggu jawaban anak-anak muda itu dengan tegang. Baru sejenak kemudian, Mahisa Murti menjawab,
“Kiai. Seandainya Kiai masih ingat tempat itu, kenapa Kiai tidak mengambilnya dan membagikan kepada orang-orang miskin, atau barangkali lebih tepat menyerahkannya kepada Sang Akuwu sehingga harta karun itu dapat menjadi benda-benda simpanan yang mungkin mempunyai nilai yang tinggi. Seandainya benda-benda itu adalah benda-benda biasa yang tidak memiliki kekhususan, maka nilainya yang mahal itu akan berarti bagi orang banyak.”
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan melepaskan dan menghembuskan ketegangan di dalam dadanya katanya. “Jantungku hampir meledak karenanya. Aku menunggu jawaban kalian dengan hati yang berdebaran. Seandainya kalian menjawab agar aku mengantarkan kalian, maka hancurlah harapanku bagi masa datang, karena orang yang membawa sepasang kerisku adalah orang-orang yang tamak. Tetapi ternyata kalian bukan orang-orang sejenis itu. Kalian adalah orang-orang yang nampaknya mendapat landasan jiwani yang bersih, sehingga kalian mampu menekan ketamakan yang menjadi salah satu sifat manusia. Seandainya kalian menyatakan kesediaan kalian untuk mengambil harta karun itu, maka aku kira aku harus berpikir untuk mengambil sepasang kerisku kembali. Namun ternyata kalian tidak berbuat demikian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang justru menegang sejenak. Namun orang tua itu berkata selanjutnya, “Tetapi harta karun itu benar-benar ada. Aku mengambil secukupnya untuk membuat hulu sepasang kerisku itu. Emas dan permata yang sangat mahal. Namun kemudian, harta karun yang lain itu aku tinggalkan seperti yang aku katakan.”
“Kenapa Kiai tidak pernah melaporkannya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Itu salah satu kelemahanku. Aku justru takut mendapat tuduhan yang bukan-bukan,” jawab orang tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka dapat mengerti kecemasan orang tua itu. Jika ia melaporkan, maka ia dihujani seribu macam pertanyaan yang kadang-kadang tidak dapat dijawabnya, sehingga ia memilih untuk berdiam diri saja. Namun tidak berniat untuk memilikinya, kecuali sebagian kecil saja hanya sekedar untuk mendapatkan kepuasan jiwani dengan membuat sebilah keris dengan hulu yang terbuat dari emas dan tretes permata.
Karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut, maka orang tua itu pun kemudian berkata, “Itu adalah sedikit ceritera dari mana aku mendapatkan emas dan permata yang kemudian melekat pada hulu sepasang keris itu. Kalian tahu, bahwa benda yang ada di hulu keris itu harganya sangat mahal. Apalagi seluruh harta karun yang terdapat didalam goa itu. Tetapi bagiku, emas dan permata itu hanya sebagai barang mainan, karena yang terpenting bagiku adalah nilai dari bahan yang telah aku buat menjadi sepasang keris itu. Sehingga ternyata aku telah berhasil membuat sepasang keris yang baik.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk saja. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka katakan selagi orang tua itu berbicara sambil mengenang masa-masa lampaunya.
Namun kemudian orang tua itu berkata, “Tetapi angger berdua. Yang terpenting bagi kalian adalah, hubungan kedua pusaka itu yang satu dengan yang lain.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin bersungguh-sungguh mendengarkan ceritera orang itu. Namun ternyata orang tua itu tersenyum sambil berkata,
“Bukankah kalian akan berada di gubugku ini barang satu dua hari? Karena itu, kita tidak tergesa-gesa. Nanti aku akan menceriterakan tentang kedua pusaka itu. Bagaimana aku membuatnya dan bagaimana jadinya. Sekarang, kita dapat beristirahat untuk melihat-lihat keadaan di sekitar tempat ini. Tetapi aku berpesan kepada kalian semuanya, agar tidak terlalu jauh meninggalkan gubug ini. Ada beberapa keberatan, justru karena sepasang keris itu sudah ada di tangan kalian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir berbareng menjawab, “Baiklah Kiai. Kami akan berada di sekitar gubug ini saja.”
“Aku minta demikian pula saudara-saudara kalian yang lain,” desis orang tua itu.
“Ya Kiai. Aku akan memberitahukan kepada mereka,” jawab Mahisa Murti.
Namun sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta saudara-saudaranya keluar pintu gubug itu, mereka terkejut mendengar suara gemerasak, seperti arus air yang datang mengalir mendekati gubug itu. Wajah-wajah menjadi tegang.
Mahisa Amping telah bergeser mendekati Mahisa Semu sambil berbisik, “Banjir? Tetapi apakah ada sungai di dekat tempat ini?”
Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Sambil menarik Mahisa Amping lebih dekat lagi ia berkata, “Berhati-hatilah. Aku tidak tahu suara apa itu.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mencoba memperhatikan suara itu dengan saksama, sementara Wantilan telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Namun dalam pada itu, murid orang tua itu telah melangkah masuk. Namun sebelum ia berkata sesuatu orang tua yang masih tetap tenang itu bertanya, “Naga Pasa?”
“Ya Kiai,” jawab orang yang baru masuk itu.
“Aku sudah mengira bahwa pada suatu saat ia akan mempergunakannya terhadapku,” berkata orang tua itu. Lalu katanya, “Baiklah, kita harus bersiap-siap.”
Tetapi ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bangkit, orang tua itu berkata, “Duduklah ngger. Kita hanya akan menunggu saja. Ilmu Naga Pasa adalah kekuatan yang jarang ada duanya, satu ilmu yang mampu menggerakkan berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus ekor ular untuk menyerang sasaran yang dikehendaki. Yang terdengar itu adalah memang arus banjir. Tetapi banjir ular. Karena itu, maka kalian harus bersiap-siap menghadapinya.”
Yang mendengar penjelasan itu terkejut. Betapapun berani dan nakalnya Mahisa Amping, namun mendengar keterangan itu, bulu-bulunya bagaikan berdiri.
“Tetapi kita tidak melawan kekuatan itu begitu saja. Kedua anak muda itu sudah aku ketahui, mempunyai penangkal racun betapapun keras racun itu. Tetapi bagaimana dengan yang lain?”
Mahisa Murti menggeleng sambil berkata, “Mereka tidak mempunyai kekuatan penangkal racun itu Kiai.”
Orang tua itu mengangguk-angguk kecil. Kemudian katanya, “Baiklah. Jika demikian maka kepada mereka harus diberikan penangkal racun itu.”
Tanpa menunggu jawaban maka orang tua itu telah mengambil butir-butir obat dari kantong ikat pinggangnya pula. Butir-butir obat yang berwarna merah menyala. “Cepat, makanlah,” berkata orang tua itu sambil memberikan kepada Mahisa Semu, Mahisa Amping dan Wantilan. Lalu katanya, “Sekarang kita bersiap menghadapi banjir itu. Kalian dengar bahwa arus itu menjadi semakin dekat. Kita akan melawannya diluar gubug kecil ini.”
Demikianlah, maka sejenak kemudian orang tua itu telah melangkah keluar gubugnya, diikuti oleh muridnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, serta Mahisa Semu, Mahisa Amping dan Wantilan yang sudah menelan obat penangkal racun itu. Ketika mereka kemudian berdiri di luar gubug, maka mereka masih belum melihat sesuatu. Mereka hanya mendengar arus itu bagaikan datang dari segala arah.
“Hati-hati,” berkata orang tua itu, “arus itu sudah dekat. Lihat pepohonan yang bergerak-gerak. Ular itu memang bukan ular-ular raksasa yang nampak dari kejauhan. Tetapi ular itu adalah ular-ular kecil namun jumlahnya banyak sekali. Ular yang meskipun kecil, bahkan sebesar kelilingking sekalipun, namun jika menggigit seseorang dalam keadaan wajar, maka orang itu tidak akan berumur panjang. Namun kalian telah mempunyai penangkal racun dan bisa.”
Mahisa Murti dan saudara-saudaranyapun kemudian telah memperhatikan pohon-pohon perdu di sekitar mereka. Mereka melihat gerumbul-gerumbul perdu itu berguncang-guncang seperti benar-benar telah diterpa oleh arus banjir.
“Bersiaplah,” berkata orang tua itu, “ujung dari arus itu sudah dekat di hadapan dan bahkan di sekitar kita. Kita harus menghadap ke segala arah.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di tempat yang berlawanan arah pandang. Sementara itu Mahisa Murti masih berkata, “Hati-hati dengan Mahisa Amping. Kau harus berada di tengah dan pergunakan apa saja untuk menghalau ular yang sempat mendekatimu meskipun kau sudah tawar racun.”
Mahisa Amping memang berusaha untuk berada di tengah-tengah orang-orang yang akan bertahan terhadap serangan sekelompok ular yang tidak terhitung jumlahnya.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun tiba-tiba bertanya, “Kiai, apakah aku dapat mempergunakan serangan jarak jauh.”
“Ya, tentu. Aku pun akan mempergunakan. Ternyata kalian memiliki kemampuan itu?” bertanya orang tua itu.
“Serba sedikit Kiai,” jawab Mahisa Murti.
“Bagus,” jawab orang tua itu, “kita menghadap ke tiga arah...”