Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 69 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 69
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

TETAPI yang terjadi adalah sebaliknya. Ayunan kapak itu sama sekali tidak menyentuh pedang Mahisa Murti. Justru ketika kapak itu terayun dengan derasnya, Mahisa Murti yang tahu pasti bahwa baja kapak itu jauh lebih baik dari pedangnya, justru telah menghindarinya. 

Namun demikian kapak bertangkai agak panjang itu terayun sejengkal dari dadanya, maka dengan Mahisa Murti meloncat maju. Ternyata ia memiliki kecepatan jauh lebih besar dari orang itu. Pedangnyalah yang kemudian memukul kapak itu. Bukan pada baja pilihannya, tetapi pada tangkainya yang terbuat dari kayu pilihan. Kayu berlian.

Namun, arah pukulan pedang Mahisa Murti yang searah dengan ayunan kapak itu, justru telah mendorong kapak itu dari genggaman pemiliknya. Orang berkapak itu memaki kasar. Tetapi Mahisa Murti memang tidak sempat menyerangnya karena orang lain, dengan golok yang besar berlari menyerangnya dengan golok terjulur lurus ke arah dada.

Namun demikian Mahisa Murti bergeser selangkah ke samping, serangan itu gagal sama sekali. Orang itu justru terseret oleh dorongan serangannya sendiri, sehingga ia tidak sempat menghindari ketika kaki Mahisa Murti mengaitnya.

Orang itu telah jatuh terjerembab justru di depan pemilik pedati yang sedang melindungi anaknya itu. Goloknya yang besar telah terlepas dari tangannya dan jatuh beberapa langkah dari padanya.

Pemilik pedati itu memang terkejut. Namun dengan gerak naluriah ia telah mengangkat kerisnya. Hampir saja keris itu menghunjam ke punggung orang yang tertelungkup dihadapannya. Namun tiba-tiba saja anak gadisnya berdesis, “Ayah.”

Laki-laki itu tertegun, sementara anak gadisnya telah memalingkan wajahnya. Pemilik pedati itu menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari keadaannya bahwa memang sebaiknya ia tidak membunuh. Akan tetapi ia tidak mau membiarkan orang itu bangkit, mengambil senjatanya dan melawan anak muda itu lagi. Karena itu, maka ketika orang itu berusaha untuk meloncat berdiri, keris pemilik pedati itu telah mengoyak pundaknya.

Orang itu mengeluh kesakitan. Tetapi luka di pundak kanannya itu telah melumpuhkan tangannya pula, sehingga ia tidak akan mampu bertempur dengan senjatanya. Namun agaknya luka itu terlalu dalam, sehingga darah pun telah mengalir terlalu banyak. Dengan demikian maka orang itu justru tidak berani lagi terlalu banyak bergerak. Ketika ia kemudian bangkit, maka dengan tegangnya ia bergeser mundur. Rasa-rasanya ia menjadi ketakutan jika ayah dari gadis yang dipertaruhkan itu menusuk pada punggungnya.

Tetapi adalah diluar dugaan, bahwa tiba-tiba saja serangan yang keras telah mengenai punggungnya. Mahisa Pukat lah yang telah menyerangnya. Tidak dengan pedangnya, tetapi dengan sisi telapak tangan kirinya. Orang itu menyeringai kesakitan. Perlahan-lahan ia justru jatuh diatas lututnya. Pukulan di punggungnya itu rasa-rasanya telah membuat dadanya menjadi sesak. Tulang-tulangnya bagaikan berpatahan.

Karena itu, maka akhirnya ia pun benar-benar jatuh terlentang. Rasa-rasanya langit yang gelap menjadi bertambah pekat, sehingga bintang-bintang pun menjadi kabur dan lenyap sama sekali. Pingsan. Pemilik pedati yang mendekap anaknya yang ketakutan itu berdiri termangu-mangu melihat orang itu terbaring diam. Dari pundaknya masih mengalir darah yang segar.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata telah berhasil menghalau lawan-lawan mereka seorang demi seorang. Seorang yang bersenjata sebatang tombak berkait, masih berusaha untuk menyerang Mahisa Pukat dengan garangnya. Tetapi Mahisa Pukat dengan tangkasnya selalu berhasil menghindar. Bahkan sekali-sekali menangkis serangan itu dengan pedangnya.

Dengan demikian, maka lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi semakin susut. Dan bahkan kemudian orang-orang terakhirlah yang masih saja bertempur. Mereka tidak dapat melarikan diri, karena mereka justru takut hukuman orang berjambang itu. Mereka mengenal orang itu baik-baik, sehingga jika orang itu mengancam untuk membunuh, ia benar-benar akan membunuh.

Sementara itu, Mahisa Semu masih bertempur melawan orang berjambang itu. Ternyata keduanya memiliki ilmu yang seimbang. Meskipun Mahisa Semu tidak memiliki pengalaman seluas lawannya, tetapi ia memiliki dasar ilmu yang lebih tinggi, sehingga karena itu, maka Mahisa Semu dapat mengisi kekurangannya itu dengan kelebihan yang lain.

Beberapa lamanya keduanya bertempur dengan sengitnya. Senjata masing-masing telah berputaran, terayun mendatar, menebas lurus menyamping, menyambar tegak lurus dan mematuk ke arah dada. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang masih bertempur melawan beberapa orang yang sebenarnya telah tidak berdaya.

Tetapi agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak menghentikan perlawanan mereka seluruhnya, untuk menjaga suasana pertempuran. Jika pertempuran itu berhenti sama sekali, maka Mahisa Semu akan dapat memasuki satu keadaan perang tanding. Kedua orang anak muda itu masih belum dapat melepaskan Mahisa Semu memasuki perang tanding meskipun tingkat kemampuan lawannya nampaknya memang seimbang.

Sambil bertempur dengan lawan yang tidak seimbang, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengawasi pertempuran antara Mahisa Semu dan orang berjambang itu. Mahisa Semu kadang-kadang memang terkejut menghadapi lawannya yang sudah berpengalaman luas sekali. Namun latihan-latihan yang berat dan menggapai rentangan yang luas, maka membuat Mahisa Semu seorang anak muda yang liat dan dengan cepat mengatasi persoalan yang tiba-tiba saja dijumpainya dalam pertempuran itu.

Mahisa Murti yang masih saja bertempur melawan dua orang dan Mahisa Pukat melawan orang yang bersenjata tombak berkait. Bahkan sekali-sekali Mahisa Pukat masih juga memberikan harapan dengan berloncatan surut. Membiarkan pedangnya terkait oleh tombak lawannya, namun tidak melepaskannya ketika lawannya menariknya meskipun dengan hentakkan yang kuat. Bahkan tombak itu sendirilah yang tiap kali hampir terlepas dari tangannya.

Namun ketika pertempuran antara Mahisa Semu dan orang berjambang itu menjadi semakin sengit dan gerakannya semakin rumit, Mahisa Pukat merasa perlu untuk mengamati lebih cermat. Sementara itu ia berusaha untuk mengamati seluruh medan dengan saksama. Orang-orang yang terbaring karena luka-lukanya. Orang yang terdahulu terluka pada pertempuran itu ternyata sempat ditolong dan dibawa menepi oleh kawan-kawannya. Namun yang terluka kemudian harus merangkak sendiri menepi.

Menurut pengamatan Mahisa Pukat, selain tiga orang yang masih bertempur itu, tidak ada lagi orang yang masih akan dapat melibatkan diri. Karena itu, maka Mahisa Pukat menganggap bahwa ia akan dapat meninggalkan arena itu dan mendekati Mahisa Semu. Sementara itu, orang-orang itu akan diserahkan kepada Mahisa Murti untuk melayaninya.

Namun, ketika Mahisa Pukat sedang memperhitungkan berbagai kemungkinan orang bertombak pendek itu telah menyerangnya. Demikian tiba-tiba sehingga Mahisa Pukat harus mengatasinya. Ternyata Mahisa Pukat tidak mengelak. Ia telah memiringkan tubuhnya sambil menangkis serangan itu dengan pedangnya. Tombak itu memang terdorong menyamping. Namun Mahisa Pukat telah memutar pedangnya, sehingga seakan-akan telah membelit dan memutar tangkai tombak pendek itu. Tongkat itu ternyata telah terloncat dari tangannya.

Dengan tangkas Mahisa Pukat telah meloncat menggapai tangkai tombak itu. Sementara itu pemiliknya juga telah berusaha menggapai tombaknya yang terlempar keatas. Namun ternyata bahwa orang itu justru menangkap tangkai tombaknya dibawah tajam berkait dari tombak itu, sementara Mahisa Pukat di bagian lain. Karena itu ketika dengan tidak sengaja Mahisa Pukat menghentak menarik tombak itu, maka kait pada tajam tombak itu justru telah mengait tangan pemiliknya itu sendiri.

Orang yang tangannya terkait oleh tombaknya sendiri itu telah berteriak kesakitan. Mahisa Pukat pun agaknya telah terkejut karenanya. Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Pukat itu pun berkata lantang, “Jangan bergerak.”

Orang itu justru telah membeku, sementara Mahisa Pukat telah mendekatinya dan berusaha untuk mencabut kait tombak yang menancap pada tangan orang itu. Orang itu berteriak kesakitan. Namun sejenak kemudian Mahisa Pukat telah berhasil.

Ketika Mahisa Pukat melepaskan tangan orang itu dan kemudian melemparkan tombak berkait itu, maka orang yang tangannya terluka itu telah tertatih-tatih menepi. Demikian ia sampai di tangga pendapa, maka ia pun telah menjatuhkan diri di samping kawannya yang juga telah terluka sambil memegangi pergelangan tangannya untuk menahan arus darahnya yang mengalir dari lukanya itu.

Dengan demikian, maka Mahisa Pukat telah terbebas dari semua lawan-lawannya. Namun Mahisa Murti masih bertempur melawan dua orang yang sebenarnya sudah tidak mampu untuk berbuat apa-apa, sehingga kedua orang itu justru menjadi heran, kenapa lawannya tidak saja mengakhiri mereka sekaligus. Karena itulah, maka meskipun keduanya tidak menyerah, namun keduanya tidak lagi bergairah lagi untuk bertempur. Mereka justru menjadi berdebar-debar, kenapa lawannya itu masih saja membiarkannya bertempur.

Sementara itu, Mahisa Pukat lah yang mendekati Mahisa Semu yang justru bertempur semakin sengit. Keduanya berloncatan serang menyerang, desak-mendesak dan bahkan ujung-ujung senjata mereka seakan-akan mulai menyentuh kulit lawan masing-masing.

Sebenarnyalah, Mahisa Semu terkejut ketika segores luka telah menyengat lengannya. Perasaan pedih bagaikan menggigit tulang. Darah pun telah menitik dari luka itu. Namun darah yang hangat itu telah membuat jantung Mahisa Semu berdegup semakin cepat. Kemarahannya bagaikan membakar ubun-ubunnya. Dengan demikian maka Mahisa Semu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Ia bergerak lebih cepat dan ayunan pedangnya pun menjadi semakin kuat.

Sebenarnyalah bahwa lawannya yang telah mengerahkan segenap kemampuannya justru merasakan bahwa tenaganya mulai susut. Anak muda yang tangkas itu justru baru dalam puncak perlawanannya yang sangat garang. Dalam serangan yang cepat dan tiba-tiba, maka Mahisa Semu ternyata telah berhasil membalas luka di lengannya. Ujung pedangnya telah mengoyak lambung orang berjambang itu.

Mahisa Pukat yang menjadi cemas, telah menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa Mahisa Semu mampu mengimbangi lawannya yang agaknya telah memiliki pengalaman yang cukup luas. Bahkan beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat mulai melihat, bahwa tenaga orang berjambang itu mulai menjadi susut.

Nampaknya luka di lambungnya itu memang mulai mengganggunya, sehingga setiap kali ia meloncat mengambil jarak sambil meraba lukanya itu. Tangannya sudah menjadi merah oleh darah. Demikian pula pakaian yang dikenakannya.

Namun orang itu tidak menyerah. Apalagi ketika sekilas dilihatnya gadis yang telah disembunyikannya itu berpegang ayahnya erat-erat. Tiba-tiba saja jantungnya menjadi semakin bergolak. Bukan saja karena gadis itu terlepas dari tangannya. Tetapi keinginannya untuk membunuh ayah gadis itu serasa semakin mendesak di dalam dadanya. Ia tidak mau melihat kenyataan bahwa semua orang yang berpihak padanya telah tidak berdaya.

Bahkan dua orang yang mula-mula masih bertempur melawan Mahisa Murti telah kehilangan tenaganya sama sekali, sehingga keduanya sudah tidak mampu lagi berbuat apa-apa, selain menjatuhkan diri dan berusaha menjaga agar nafasnya tidak terputus karenanya.

Dalam pada itu, Mahisa Murti ternyata masih sempat berkata lantang, “Aku mulai jemu dengan permainan ini. Siapa yang mau mendengar kata-kataku, akan selamat. Tetapi jika tidak, maka bukan salah kami jika kalian akan tertembus tajamnya pedang. Minggirlah. Tinggalkan arena pertempuran ini.”

Namun terdengar jawaban orang berjambang, “Bunuh orang-orang itu, cepat. Siapa yang meninggalkan arena akan aku bunuh sendiri.”

Tetapi Mahisa Semu menyahut, “Orang itu tidak akan sempat membunuh siapa pun karena nyawanya akan segera dicabut dari wadagnya yang sombong ini.”

Orang berjambang itu menjadi semakin marah. Dengan serta merta ia meloncat menyerang dengan garangnya. Tetapi Mahisa Semu benar-benar telah mempersiapkan dirinya. Ia masih saja menganggap pertempuran itu sebagai satu upaya untuk menambah pengalamannya. Ternyata bahwa orang berjambang itu memiliki ilmu yang cukup.

Dengan demikian Mahisa Semu memang harus mengerahkan kemampuannya. Dengan dasar ilmu yang dimilikinya, maka sekali-sekali Mahisa Semu masih harus berloncatan mundur. Orang itu rasa-rasanya akan mendesaknya. Namun dengan membuat perhitungan-perhitungan yang mapan, maka Mahisa Semu dapat segera menguasai keadaan kembali. Dengan tangkasnya ia memutar pedangnya kemudian dengan perhitungan yang cermat ia justru mulai mendesak lawannya dengan tusukan-tusukan lurus ke arah dada.

Bahkan dengan sisa tenaga yang ada, maka orang berjambang itu masih berusaha untuk mendesak Mahisa Semu. Nafsunya yang menyala di dadanya, memang membuat lukanya seakan-akan tidak terasa. Tetapi darahnyalah yang tidak dapat dicegahnya, mengalir semakin deras. Dengan demikian, maka tenaganya pun menjadi semakin cepat susut. Bahkan kemudian, rasa-rasanya kakinya menjadi berat bagaikan timah, sementara tangannya pun menjadi lesu dan tidak bertenaga lagi untuk menggerakkan senjatanya.

Maka mereka pun segera sampai pada akhir dari pertempuran itu. Orang berjambang itu benar-benar telah kehilangan penalarannya. Dengan membabi buta ia menyerang Mahisa Semu yang belum berpengalaman. Ketika orang itu menyerangnya dengan melibat dari jarak yang sangat dekat, serta mengumpat-umpat kasar dan bahkan kotor, Mahisa Semu memang menjadi agak bingung. Namun latihan-latihan yang berat dan mapan telah memberikan banyak kemungkinan baginya. Bahkan justru pada saat-saat lawannya bagaikan kehilangan akal itu Mahisa Semu telah mempergunakannya dengan sebaik-baiknya meskipun agak tergesa-gesa.

Demikianlah, beberapa saat kemudian, pertempuran itu kian menjadi rapat. Keduanya pun seakan-akan tidak dapat mengambil jarak sama sekali. Senjata kedua orang itu sekali-sekali mencuat, namun pada kesempatan lain saling menekan. Sehingga akhirnya, terdengar teriakan nyaring bagaikan menggetarkan langit. Beberapa saat kemudian Mahisa Semu pun bergeser surut. Tubuhnya berlumuran darah, bukan saja di lengannya yang terluka. Tetapi di dadanya pun telah memerah darah.

Mahisa Pukat terkejut. Dengan serta merta ia meloncat mendekati Mahisa Semu. Namun langkahnya tertegun ketika kemudian ia pun melihat orang berjambang panjang itu juga berlumuran darah. Bahkan senjatanya telah terkulai jatuh, terlepas dari tangannya. Beberapa langkah ia tertatih-tatih surut. Namun kemudian ia pun telah terjatuh terlentang. Dadanya menyemburkan darah dari jantungnya yang tertikam senjata Mahisa Semu.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Darah di tubuh Mahisa Semu adalah pancaran darah lawannya. Tubuh Mahisa Semu sendiri tidak terluka selain lukanya yang terdahulu. Mahisa Pukat menepuk bahu adik angkatnya itu sambil berkata, “Kau berhasil melindungi dirimu sendiri.”

Mahisa Semu tidak menjawab. Diperhatikannya orang yang telah terbujur diam itu. “Apakah aku telah membunuhnya?” bertanya Mahisa Semu.

“Bukan salahmu.” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Semu berdiri mematung sambil memperhatikan lawannya yang telah terbunuh itu. Sedangkan Mahisa Murti pun telah berdiri disebelahnya pula.

“Satu akibat yang sulit dihindari di peperangan,” berkata Mahisa Murti, “Marilah. Beristirahatlah di pendapa itu.”

Mahisa Murti pun kemudian telah membimbing Mahisa Semu sementara Mahisa Pukat mengajak pemilik pedati yang masih saja mendekap anak gadisnya yang ketakutan untuk pergi ke pendapa dan duduk di tangga.

Sementara itu beberapa sosok tubuh terbaring di halaman. Mahisa Murti memang tidak melukai lawan-lawannya yang terakhir. Tetapi membiarkan mereka kehabisan nafas dan kemudian menghentikan perlawanan mereka. Untuk beberapa saat halaman rumah itu memang menjadi lengang. Beberapa orang masih mengerang kesakitan. Yang lain terengah-engah, sementara yang lain lagi diam membeku.

Namun beberapa saat kemudian Mahisa Murti telah mendekati kedua orang lawannya yang terakhir. Sambil berdiri bertolak pinggang ia berkata, “Nah, sekarang giliran kalian untuk mati.”

Kedua orang itu terkejut. Dengan nada tinggi keduanya bertanya hampir berbareng, “Kenapa?”

“Kalian tidak usah bertanya. Kalian tahu, bahwa kita sedang bertempur. Dalam pertempuran bukankah membunuh lawan itu merupakan satu hal yang biasa?”

“Tetapi kenapa baru sekarang?” bertanya salah seorang dari keduanya, “kenapa tidak di saat kita sedang bertempur.”

“Itu adalah urusanku. Kapan saja aku ingin membunuh, maka aku akan membunuh. Demikian pula sekarang ini, aku tiba-tiba saja ingin membunuh kalian.” berkata Mahisa Murti pula.

“Jangan,” minta yang seorang, “jangan bunuh kami.”

“Terserah kepadaku, apakah aku akan membunuh atau tidak.” jawab Mahisa Murti.

Orang-orang itu menjadi pucat. Mahisa Murti memang nampak bersungguh-sungguh. Namun ketika dilihatnya kedua orang itu benar-benar menjadi ketakutan, maka katanya, “Baiklah, jika kalian tidak ingin mati. Tetapi ada syarat yang harus kalian lakukan.”

“Syarat apa?” bertanya kedua orang itu hampir berbareng.

“Urusilah kawan-kawanmu yang terbunuh. Terserah kepadamu apa yang akan kau lakukan atas rumah ini dan persoalan-persoalan lainnya. Kami akan meninggalkan tempat ini.” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi apa yang dapat kami katakan kepada orang-orang lain jika mereka berdatangan ke tempat ini?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Itu urusanmu. Tetapi ternyata sampai sekarang tidak ada seorang pun yang mempedulikan apa yang telah terjadi di sini. Karena itu, maka kalian akan dapat berbuat banyak di sini.” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi jangan serahkan seluruhnya kepada kami. Di sini ada beberapa orang terbunuh, terluka dan bahkan parah.” berkata seorang di antara mereka.

“Jika demikian maka kalian akan aku bunuh saja sama sekali. Semua orang aku bunuh, dan kami akan pergi dengan tenang.” geram Mahisa Murti.

“Jangan. Jangan lakukan itu.” minta keduanya hampir berbareng.

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Jika demikian, maka kalian harus melakukan apa yang aku minta.”

Kedua orang itu termangu-mangu. Sementara Mahisa Murti berkata pula, “kalian dapat memilih. Melakukan permintaanku atau aku bunuh sama sekali.”

Kedua orang itu memang menjadi tegang. Keduanya mengumpat di dalam hati. Tetapi keduanya memang tidak dapat berbuat lain. Karena itu, maka mereka tidak berbuat sesuatu ketika Mahisa Murti kemudian mengajak Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan ayah dan anak perempuannya itu pergi.

Demikian mereka keluar dari regol halaman, ternyata mereka merasakan, berpasang-pasang mata tengah mengawasi mereka dari balik dinding, dari balik dedaunan dan dari tempat-tempat tersembunyi yang gelap. Tetapi nampaknya mereka tidak berani untuk berbuat sesuatu. Bagi mereka, penghuni rumah itu adalah orang yang menakutkan. Jika ada orang yang dapat menundukkannya, maka orang-orang di sekitarnya tentu akan berterima kasih.

Tetapi Mahisa Murti dan orang-orang yang bersamanya tidak menghiraukan orang-orang itu. Mereka berjalan digelapnya malam menuju ke rumah pemilik pedati yang masih saja mendekap anaknya yang hampir saja menjadi korban itu.

Namun sejenak kemudian, maka apa yang terjadi itu telah menjadi bahan pembicaraan orang. Beberapa orang yang telah memberanikan diri untuk menjenguk ke halaman setelah mereka melihat beberapa orang meninggalkan halaman itu. Mereka memang terkejut melihat beberapa sosok tubuh yang terbaring.

Sementara itu, orang yang masih dapat berdiri tegak di halaman itu menjadi ketakutan. Namun orang yang menjenguk itu pun segera meninggalkan halaman itu. Mereka tidak mau terlibat dalam persoalan yang tidak mereka ketahui, sementara orang-orang padukuhan itu menganggap bahwa di dalam rumah itu terdapat orang-orang berilmu yang lebih senang bertindak menurut kesenangan mereka masing-masing tanpa menghiraukan orang lain.

Ketika tidak lagi nampak orang di regol, maka salah seorang di antara mereka dengan tergesa-gesa telah berlari untuk menutup pintu regol itu dan menyelaraknya dari depan.

“Setan,” geramnya, “orang-orang itu benar-benar iblis.”

“Lebih baik kita mengubur mereka daripada kita yang dikuburkan.” sahut yang lain.

Kawannya tidak menjawab. Namun kemudian diamatinya orang-orang yang terluka. Katanya dengan lantang, “Siapa yang tidak mau dikubur harus ikut mengubur. Siapa yang tidak lagi bangkit, maka ia akan diseret ke lubang yang akan aku buat di samping gandok itu.”

Beberapa orang yang terluka masih mencoba untuk bangkit. Tetapi ternyata ada di antara mereka yang memang tidak berhasil. Namun akhirnya mereka yang masih mampu melakukan telah membantu membuat beberapa lubang untuk mengubur kawan-kawan mereka yang terbunuh.

Namun ternyata dua orang yang masih cukup kuat itu telah dengan diam-diam meninggalkan tempat itu ketika semuanya dianggap sudah selesai. Mereka merasa lebih baik tidak bersangkut paut lagi dengan orang-orang yang di dalam halaman rumah itu serta orang-orang padukuhan. Tetapi orang-orang yang terluka tidak dapat berbuat seperti keduanya. Mereka terpaksa tetap berada di tempat itu dan berusaha menolong diri sendiri jika mereka tidak mau mati.

Sementara itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu bersama kedua orang ayah dan anak gadisnya itu telah menyusuri jalan ke rumah orang itu. Beberapa orang memang dengan tidak sengaja melihat mereka melintas di depan gardu. Bahkan orang yang kebetulan melihat pemilik pedati itu berangkat dengan tergesa-gesa sambil membawa keris telah melihat orang itu kembali membawa anaknya.

“Orang itu berhasil membebaskan anak gadisnya.” gumam orang itu.

“Luar biasa,” sahut yang lain, “bukankah di rumah itu seakan-akan tersembunyi maut yang dapat menerkam setiap saat.”

Orang-orang di gardu itu mengangguk-angguk. Namun mereka pun mulai menilai anak-anak muda yang lewat bersama pemilik pedati yang membawa anaknya itu. Seorang di antara mereka berkata, “Anak-anak muda itu tentu telah menolongnya.”

“Mungkin. Tetapi dapat terjadi kemungkinan yang lain. Terlepas dari mulut harimau, gadis itu akan dapat jatuh ke mulut seekor buaya.” berkata yang lain.

“Maksudmu?” bertanya yang pertama.

“Apakah anak-anak muda itu benar-benar tanpa pamrih jika mereka menyabung nyawa melepaskan gadis itu?.” jawab kawannya.

“Tetapi mereka masih muda. Nampaknya ada keseimbangan dibanding dengan iblis tua itu. Apalagi iblis itu telah mengambil ibunya pula sebelumnya.” jawab yang pertama.

Kawannya mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab. Sementara itu, pemilik pedati itu pun telah sampai ke regol halaman rumahnya. Namun tiba-tiba ia menjadi termangu-mangu.

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi akhirnya ia pun telah melangkah memasuki regol halaman rumahnya yang tua. Namun bagaimanapun juga ayah dan anak gadisnya itu nampak ragu-ragu. Meskipun di rumah itu telah dinyalakan lampu minyak, namun keduanya tidak segera masuk.

“Menunggu apa lagi?” bertanya Mahisa Murti.

Pemilik pedati itu tidak menjawab. Namun dalam pada itu, ternyata isterinya yang ada di dalam, telah mendengar kehadiran mereka, sehingga ia pun telah berlari-lari ke pintu. Dalam keremangan malam dan lampu minyak yang suram di dalam rumahnya yang menyorot lewat pintu yang terbuka, ia melihat anak gadisnya yang masih ketakutan dan berpegang erat kepada ayahnya.

Karena itu, maka perempuan itu pun segera berlari-lari mendapatkannya. Tetapi perempuan itu terkejut. Anak gadisnya itu tidak lari pula kepadanya, tetapi ia justru menjerit ketakutan dan bersembunyi di belakang ayahnya.

“Anakku.” desis perempuan itu.

“Tidak,” gadis itu hampir berteriak, “Ibu khianati ayah dan ibu bawa aku ke rumah iblis gila itu, sehingga hampir saja aku menjadi korbannya pula. Ibu datang ke rumah itu dengan sengaja dan dengan senang hati menerima laki-laki itu. Tetapi aku tidak. Dan aku tidak menerima perlakuan laki-laki itu terhadapku.”

“Anakku.” suara ibunya bagaikan tersumbat.

“Jangan ibu sentuh lagi aku.” berkata gadis itu.

“Oo.” perempuan itu menangis.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Marilah. Kita masuk ke dalam. Kita akan berbicara dengan baik.”

Pemilik pedati itu telah membimbing anaknya masuk. Ibunya mengikutinya di belakang, sementara ketiga anak muda itu pun telah masuk pula. Orang itu memang bukan orang yang berkecukupan. Nampaknya hidupnya tidak lebih dari mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tidak ada perabot rumah yang berharga. Sementara segala sesuatunya nampak sangat sederhana.

“Silahkan duduk.” pemilik pedati itu mempersilahkan.

Ketiga orang anak muda itu duduk di sebuah amben yang cukup besar. Agaknya itulah satu-satunya kekayaan orang itu. Dalam pada itu, perempuan yang sedang menangis itu pun kemudian berkata, “Aku memang bersalah. Aku mohon maaf.”

Pemilik pedati itu pun termangu-mangu. Dipandanginya isterinya yang pernah meninggalkannya itu sejenak. Namun anak gadisnyalah yang berkata,

“Di rumah laki-laki itu segala-galanya memang ada. Di hari-hari pertama, ibu merasa senang sekali hidup di rumah itu. Segala kebutuhannya dipenuhi. Sementara itu, di rumah itu memang tidak ada perempuan lain selain para pelayan. Tetapi itu tidak berlangsung lama. Laki-laki itu mulai mengambil perempuan lain. Perempuan-perempuannya sendiri yang untuk sementara memang disisihkan. Ibu mulai mengalami masa yang suram. Perempuan-perempuan yang semakin banyak telah mulai menunjukkan sikapnya yang tidak senang. Bahkan laki-laki itu pun mulai menunjukkan sikap yang lain. Akhirnya malapetaka itu pun datang. Laki-laki itu mulai memperhatikan aku, sehingga pada suatu hari, aku pun mulai dikurungnya. Aku harus mengalami masa-masa yang menakutkan, ketika aku dipersiapkan untuk menjadi isterinya pula, yang barang tentu akan menyingkirkan ibu dan bahkan akan melemparkan ibu kepada beberapa orang laki-laki yang ada di rumah itu sebagaimana satu dua perempuan pernah mengalami sebelumnya.”

Laki-laki pemilik pedati itu menggeram. Sementara perempuan yang merasa bersalah itu masih saja menangis sambil berkata, “Aku mengaku bersalah. Aku bersedia dihukum apa pun juga. Tetapi jangan pergi daripadaku.”

Tetapi anak perempuannya menyahut, “Seorang perempuan yang telah meninggalkan suaminya dan pergi kepada laki-laki lain karena godaan harta benda dan kesenangan duniawi, tidak sepantasnya dipanggil seorang ibu.”

“Anakku,” tangis ibunya, “hidupku sudah cukup tersiksa. Kau jangan menambah siksaan itu lagi.”

“Ibu telah menggali lubang. Ibu akan terperosok sendiri ke dalamnya.” berkata anak gadisnya.

Ibunya menangis semakin pedih. Seakan-akan penyesalan yang tidak terbatas telah menusuk ke jantungnya yang paling dalam.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka mengerti, betapa anak itu hatinya terluka di saat ia disekap oleh orang berjambang yang pernah mengambil ibunya dari ayahnya. Betapa pula kecewa gadis itu kepada ibunya waktu itu. Ketika ayahnya datang membebaskannya, maka hati anak itu menjadi semakin dekat dengan ayahnya dan semakin jauh dari ibunya.

Namun ternyata bahwa laki-laki pemilik pedati itu adalah seorang yang berhati samodra. Dengan lembut ia berkata, “Sudahlah anakku. Semua sudah berlalu. Laki-laki berjambang itu tidak akan mengganggumu lagi. Ia pun tidak akan membawa ibumu meninggalkan rumah kita ini.”

“Kakang,” suara perempuan yang menangis itu tersumbat di kerongkongan. Lalu di antara isaknya terdengar pula suaranya, “Kau memaafkan aku?”

Laki-laki itu memandang anak gadisnya sambil berkata, “Marilah kita bersama-sama melupakan masa lampau yang pahit itu untuk mulai dengan satu kehidupan baru.”

“Tetapi ayah,” gadis itu masih menangis pula, “ibu telah berkhianat kepada ayah. Kesalahan itu tidak akan dapat ditebus dengan apa pun juga. Dosanya kepada ayah tidak akan dapat terhapus.”

“Aku mengerti,” berkata pemilik pedati itu, “yang dapat menghapus dosa itu adalah kebesaran hati kita. Karena itu, maka kita harus memaafkannya. Dengan demikian maka kesalahan yang betapa pun besarnya akan terhapus karenanya.”

Anak gadis itu termangu-mangu. Namun setiap kali ia memandang wajah ibunya yang memang cantik itu, maka terbayang pulalah dosa yang pernah dilakukannya. Bagaimana dengan sombong ibunya itu meninggalkan ayahnya dan tinggal di rumah yang besar dan mewah. Bagaimana ia bersikap sebagai seorang perempuan yang kaya dan berkuasa, namun yang hanya beberapa hari itu. Sementara ayahnya bekerja memeras keringat untuk hidupnya sehari-hari.

“Anakku,” terdengar suara ayahnya yang lembut, “marilah kita mulai hidup dan kehidupan kita dengan lembaran-lembaran baru. Kita masih mempunyai waktu. Karena itu jangan siksa diri kita dengan kenangan buruk itu di waktu yang tersisa itu.”

Gadis itu tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk lesu. Betapa sulitnya bersikap seperti ayahnya, yang sepantasnya menjadi sangat marah dan bahkan menolak kehadiran ibunya kembali di rumah itu. Jika ayahnya seorang yang kasar, akan dapat terjadi, ayahnya itu membunuh ibunya yang berkhianat. Tetapi ternyata ayahnya tidak berbuat demikian.

Dengan lembut ayahnya berkata, “Yang dapat menghapus dosa itu adalah kebesaran hati kita. Karena itu kita harus memaafkannya.”

Yang terdengar kemudian adalah isak tangis gadis dan ibunya. Sementara ketiga anak muda itu pun menjadi termangu-mangu. Namun Mahisa Murti yang belum banyak berpengalaman dalam kehidupan keluarga itu berkata, “Sudahlah. Aku sangat menghargai sikap seorang laki-laki yang berhati seluas lautan. Hati yang tidak akan pernah penuh dan apalagi meluap dan tumpah.”

“Aku tidak mempunyai pilihan lain dalam keadaan seperti ini.” berkata laki-laki pemilik pedati itu.

“Sikapmu sangat terpuji. Ternyata kau seorang laki-laki yang jarang ada duanya.” desis Mahisa Murti pula.

“Jangan-memuji. Yang aku lakukan semata-mata karena kedunguanku. Karena aku tidak dapat menentukan sikap yang lain yang barangkali lebih baik.” jawab laki-laki itu.

“Tidak ada sikap yang lebih baik dari sikapmu itu.” sahut Mahisa Murti.

Laki-laki itu tidak menjawab. Sementara itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Baiklah kami berada di luar. Nampaknya udara terasa sangat panas di sini.”

“Tetapi jangan pergi anak-anak muda,” minta laki-laki itu, “kalian telah berbuat terlalu banyak bagi keluarga kami.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Kami memang tidak akan pergi. Kami akan tidur di serambi rumah ini untuk menghabiskan sisa malam yang tinggal sedikit ini.”

Demikianlah, ketiga anak muda itu pun telah berada di serambi rumah yang sederhana itu. Mereka berbaring di amben yang tidak terlalu luas sehingga mereka memang menjadi agak berdesak-desakan. Tetapi Mahisa Murti lah yang kemudian duduk bersandar dinding rumah itu sambil berkata, “Tidurlah. Aku akan berjaga-jaga. Waktu memang tinggal sedikit.”

“Kau tidak mengantuk?” bertanya Mahisa Semu.

“Bukankah besok kita tidak mempunyai tugas tertentu. Aku akan dapat tidur sehari penuh, sementara kalian berdualah yang harus berjaga-jaga.” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat sama sekali tidak berkata apapun. Ia justru menggeliat dan membetulkan letak kepalanya, sementara matanya masih tetap terpejam.

Mahisa Murti tersenyum. Katanya kepada Mahisa Semu, “berbuatlah seperti Mahisa Pukat. Seakan-akan ia tidak mendengar lagi apa yang aku katakan.”

Mahisa Semu mengangguk kecil. Mahisa Pukat memang tidak membuka matanya sama sekali. Dengan demikian, maka sejenak kemudian kedua orang anak muda itu memang tertidur lelap, sementara Mahisa Murti duduk bersandar dinding. Sekali kesadarannya juga bagaikan tergelincir. Namun ia pun kembali ke dalam kesadarannya sepenuhnya.

Namun malam itu berakhir tanpa peristiwa yang menyusul setelah terjadi kekerasan di rumah orang berjambang itu. Nampaknya orang-orang padukuhan itu pun tidak mempersoalkannya. Mereka justru berpura-pura tidak mengetahui dan tidak mau terlibat dalam kedalamnya, karena keterlibatan mereka akan berarti kesulitan.

Ketika ketiga orang anak muda yang tidur di serambi itu sudah terbangun dan duduk di bibir amben, maka yang pertama-tama keluar dari dalam rumahnya adalah laki-laki pemilik pedati itu. Dengan langkah yang lesu ia pun telah duduk pula di amben di serambi rumahnya itu.

“Bagaimana dengan anak gadismu?” bertanya Mahisa Murti.

“Ia tidur karena keletihan sekarang,” berkata laki-laki itu, “mudah-mudahan ia dapat mengerti. Kita tidak akan dapat terus-menerus marah dan mendendam. Perempuan itu adalah ibunya sendiri,” berkata laki-laki itu.

“Jarang aku bertemu dengan laki-laki sesabar kau.” berkata Mahisa Pukat.

“Sebenarnya aku pun bukan orang yang sabar. Memang rasa-rasanya ingin aku membunuh perempuan itu. Tetapi aku memikirkan hari depan anak gadisku itu. Ia akan menjadi sangat tersiksa oleh tingkah laku orang tuanya. Ibunya telah berkhianat kepada ayahnya karena seorang laki-laki lain. Dan ia akan menjadi semakin menderita jika ternyata ayahnya adalah seorang pembunuh. Sedangkan yang dibunuh itu adalah ibunya sendiri.” berkata laki-laki itu.

“Penalaranmu panjang sekali. Kau tahu apa yang sebaiknya kau lakukan untuk anak gadismu berdasarkan pertimbangan nalar. Kau bukan jenis orang yang mudah tenggelam dalam arus perasaanmu, tetapi kau dalam keadaan seperti ini masih sempat membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan,” berkata Mahisa Pukat.

“Kau salah. Aku bukan seorang yang dapat mengekang perasaanku. Tetapi khusus dihadapan anak gadisku, aku seakan-akan berubah menjadi orang yang bijaksana. Sebenarnyalah seluruh hidupku memang bertumpu kepadanya. Karena itu, ketika ia pergi bersama ibunya dan tinggal bersama laki-laki yang kaya itu, hidupku seakan-akan telah berakhir. Aku tidak lagi mempunyai tujuan selain melakukan apa yang biasa aku lakukan. Sehingga pada suatu saat aku bertemu dengan kalian. Kehadiran kalian sangat menyenangkan bagiku, karena dengan demikian aku akan mempunyai kawan berbincang di dalam rumah ini. Tetapi yang terjadi adalah sebagaimana kalian lihat.” berkata laki-laki itu.

“Tetapi bukankah semuanya telah berlalu?” bertanya Mahisa Pukat.

Laki-laki itu mengangguk. Tetapi kemudian ia berkata, “Aku masih menunggu anak gadisku terbangun. Apakah sikapnya akan menjadi lunak.”

“Hatinya tidak terbuat dari batu Ki Sanak.” berkata Mahisa Murti, “Yakinlah. Ia akan mengerti.”

Laki-laki itu terdiam. Dipandanginya halaman rumahnya yang kotor. Bukan saja karena orang itu memang bukan seorang ayah berada, tetapi karena hatinya yang gersang untuk beberapa lama sepeninggal isterinya mengikuti laki-laki yang kaya raya itu, maka ia sama sekali tidak mempedulikan lagi rumahnya. Daun-daun kering yang bertebaran di halaman. Sarang laba-laba yang bergayutan di sudut-sudut rumah bagaikan rumah yang telah sewindu dikosongkannya. Beberapa saat kemudian, laki-laki itu mendengar langkah lembut di ruang dalam serta suara seorang perempuan terbatuk-batuk.

“Itu anakku.” berkata laki-laki itu.

Sebenarnyalah beberapa saat kemudian gadis itu pun telah berdiri di pintu. Matanya bagaikan bengkak dan menjadi kemerah-merahan oleh tangisnya yang berkepanjangan.

“Marilah.” panggil ayahnya.

Ketika gadis itu nampak ragu-ragu, maka ketiga anak muda itu pun segera bangkit dan turun dari amben bambu itu.

“Silahkan. Kalian tidak usah pergi.” minta pemilik rumah itu.

“Kami akan mandi dahulu. Tetapi aku kira lebih baik kami pergi ke sungai. Apakah ada sungai di dekat padukuhan ini?” bertanya Mahisa Murti.

“Oo,” laki-laki itu mengangguk-angguk. Katanya, “Di tengah-tengah bulak itu ada sungai meskipun tidak besar. Tetapi kadang-kadang orang-orang padukuhan ini pergi juga ke sungai itu. Apalagi anak-anak.”

“Baiklah. Kami akan ke sungai sebentar.” berkata Mahisa Murti pula.

“Tetapi kalian harus kembali. Jika kalian tidak kembali, maka aku akan mencari kalian sampai ketemu meskipun aku harus berjalan bertahun-tahun.” berkata laki-laki itu.

Mahisa Murti tersenyum, sementara Mahisa Pukat menjawab, “Kami tentu akan kembali. Aku mencium bau sedap di dapur. Pepes teri.”

“Ah,” Mahisa Murti menggamitnya, “hidungmu tajam sekali.”

Laki-laki yang murung itu mencoba untuk tersenyum. Sementara Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu berjalan meninggalkan halaman itu. Laki-laki pemilik pedati itu masih sempat memberikan petunjuk arah, ke mana ketiga orang anak muda itu harus pergi.

Ketika ketiga orang anak muda itu kemudian berjalan di jalan padukuhan, maka rasa-rasanya setiap orang yang bertemu dengan mereka menjadi tegang. Mula-mula ketiga orang anak muda itu tidak menyadari. Tetapi kemudian terasa juga oleh mereka, seakan-akan yang bertemu dengan mereka selalu berusaha menghindar.

Mahisa Semu yang kemudian menjadi tegang telah bertanya, “Apa yang telah terjadi dengan diri kita?”

“Kita adalah pembunuh-pembunuh menurut anggapan mereka,” jawab Mahisa Pukat, “kadang-kadang orang-orang yang tidak tahu pasti apa yang telah terjadi telah menentukan sikap sebelum mereka tahu pasti apa yang terjadi itu.”

Namun Mahisa Murti menyahut, “Tetapi tidak bagi orang-orang padukuhan ini. Mereka tahu pasti apa yang terjadi. Mereka pun tahu pasti siapakah yang telah terbunuh. Namun mereka tetap menganggap kita sebagai pembunuh-pembunuh sehingga mereka merasa cemas berpapasan dengan kita yang tangannya telah berbau darah.”

“Apakah demikian untuk selanjutnya? Jika orang-orang lain dan semakin banyak orang yang mengetahui bahwa kita pernah membunuh, maka kita akan tersingkir dari pergaulan?” bertanya Mahisa Semu.

“Tidak selalu begitu,” jawab Mahisa Murti, “kadang-kadang seorang pembunuh justru mendapat sambutan yang luar biasa hangatnya. Bahkan pembunuh akan dapat disebut pahlawan. Segala sesuatunya tergantung apa yang telah dilakukan dan untuk apa serta atas siapa pula pembunuhan itu dilakukan.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, “Tetapi kenapa mereka segan bertemu dengan kita?”

“Nampaknya pembunuhan di padukuhan ini jarang sekali atau katakanlah tidak pernah terjadi meskipun kekerasan dan kesewenang-wenangan mereka sadari adanya.” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Karena itu, ia tidak bertanya lagi. Beberapa saat kemudian, mereka sampai di mulut lorong. Dihadapan mereka terbentang bulak yang cukup luas. Sungai akan mereka datangi terletak di tengah-tengah bulak itu. Di dekat gardu di ujung lorong itu terdapat sebuah kedai. Namun ternyata kedai itu masih tertutup, sementara gardu itu sudah kosong.

Mereka bertiga tidak menghiraukan kedai yang tertutup serta gardu yang kosong itu. Mereka justru semakin bergegas pergi ke sungai ketika matahari menjadi semakin tinggi. Seperti petunjuk pemilik pedati itu, maka ketiga orang anak muda itu pun telah sampai ke tanggul. Ternyata bahwa tepian sungai di bawah tanggul itu nampaknya memang sering dikunjungi orang.

Tetapi justru karena itu, maka mereka bertiga telah menyusuri tanggul itu beberapa saat untuk menemukan tempat yang agaknya jarang dikunjungi orang.

“Kau perlu berlatih setelah kau mendapatkan pengalaman.” berkata Mahisa Murti kepada Mahisa Semu.

Mahisa Semu tidak berkeberatan. Ia ingin menilai pengalamannya dengan kemungkinan perkembangan ilmunya lebih lanjut. Beberapa saat kemudian, mereka telah menemukan tepian yang luas, namun yang agaknya jarang dikunjungi orang.

Ketiga orang anak muda itu pun segera turun ke tepian. Tetapi mereka tidak segera mandi. Beberapa saat mereka memanaskan tubuh mereka dengan loncatan-loncatan kecil. Namun kemudian Mahisa Semu pun mulai dengan latihan-latihannya. Ia mulai dengan penilaian kembali atas tata gerak yang telah dikuasainya dengan pengalamannya.

Pada saat ia bertempur, maka ia tidak sempat menilai dengan cermat apa saja yang telah dilakukannya untuk mengatasi saat-saat gawat. Namun dalam latihan itu, ia dapat mengulanginya satu demi satu. Kemudian dalam hubungannya dengan ilmu yang telah dikuasainya yang mendorongnya untuk melakukan gerak yang tiba-tiba itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengamatinya dengan saksama. Hampir diluar sadarnya Mahisa Pukat mengangguk-angguk sambil berkata, “Kau telah berhasil mengembangkan ilmumu dengan baik. Ternyata nalarmu tajam. Kau tidak semata-mata berpegang kepada unsur-unsur yang telah kau pelajari. Tetapi unsur-unsur itu justru telah berkembang dengan gerak-gerak yang memperkayanya.”

Mahisa Semu tidak menjawab. Ia memang tidak sedang mengulangi unsur-unsur gerak yang telah dipelajarinya. Tetapi ia sedang mengulangi beberapa ragam gerak yang dilakukannya di saat ia bertempur melawan orang berjambang itu. Bahkan kadang-kadang gerak yang lahir begitu saja, namun ada pula ragam yang memang telah diperhitungkan dengan mapan.

“Bagus,” berkata Mahisa Murti, “ternyata yang kau lakukan adalah selangkah maju dalam tataran ilmumu. Unsur-unsur yang baru beberapa saat kemudian akan kami ajarkan kepadamu, ternyata bentuk mulanya telah kau dapatkan sendiri.”

Mahisa Semu masih tetap berdiam diri dengan melepaskan beberapa gerakan yang merupakan satu perkembangan yang sangat menakjubkan. Baru beberapa saat kemudian Mahisa Semu itu mulai mengendorkan tata geraknya dan dengan mapan ia pun telah menghentikan latihannya.

“Bagus sekali.” hampir berbareng Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memuji.

“Apakah kalian melihat kemajuan?” bertanya Mahisa Semu.

“Kemajuan yang pesat,” sahut Mahisa Pukat, “ternyata pengalaman sangat penting artinya bagimu. Tetapi bukan berarti bahwa kau dapat mencari pengalaman tanpa perhitungan.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Mahisa Pukat, bahwa ia tidak akan dapat memasuki arena pertempuran tanpa perhitungan untuk sekedar mendapatkan pengalaman. Karena jika ia terperosok ke dalam pertempuran melawan seorang yang berilmu sangat tinggi, maka pengalaman yang didapatkannya tidak akan dapat dinikmatinya, Mati.

Namun bahwa dalam pertempuran, Mahisa Semu dalam keadaan yang kadang-kadang terpaksa, telah mampu berbuat sesuatu atas unsur-unsur gerak yang dimilikinya, merupakan satu langkah yang menguntungkan.

“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “sekarang kita mandi. Jika kita terlalu lama di sini, maka pemilik rumah itu tentu mengira, bahwa kita tidak akan kembali lagi ke rumahnya.”

Ketiga orang anak muda itu pun kemudian telah duduk diatas batu batu-batu yang berserakan di tepian untuk mengeringkan keringat. Baru kemudian mereka mandi sambil mencuci pakaian mereka. Sehingga dengan demikian, maka mereka pun harus menunggu sampai pakaian mereka yang jemur diatas bebatuan itu kering.

Sebenarnyalah pemilik rumah itu telah menjadi gelisah. Ketika ia bersiap-siap untuk menyusul ke sungai, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam karena ketiga orang anak muda itu telah muncul dari balik regol halaman rumahnya yang tua itu.

“Aku sudah cemas,” berkata pemilik rumah itu, “aku sangka kalian begitu saja pergi meninggalkan kami.”

“Tidak,” jawab Mahisa Pukat, “ketika kami berangkat, kami mencium bau yang sedap sekali. Pepes teri.”

Pemilik rumah itu tertawa. Katanya, “Marilah. Kami memang sudah menunggu.”

Ketiga anak muda itu mengerutkan kening mereka. Nampaknya telah terjadi perubahan sikap di antara orang-orang yang menghuni rumah itu. Laki-laki itu tidak lagi terlalu murung, meskipun sisa-sisa kemurungan itu masih nampak.

Laki-laki itu telah mempersilahkan lagi ketiga anak muda itu untuk masuk ke dalam rumahnya. Ketiganya masih berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti lah yang mula-mula melangkahi pintu dan masuk ke ruang dalam, disusul oleh Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.

Ketiga orang anak muda itu pun kemudian telah duduk di amben yang besar di ruang dalam. Sejenak kemudian, maka isteri laki-laki pemilik rumah itu telah keluar sambil membawa mangkuk yang berisi nasi dan lauk pauknya. Dibantu oleh anak gadisnya yang agaknya telah mengalami perubahan sikap meskipun belum sepenuhnya. Tetapi gadis itu sudah mau membantu ibunya menghidangkan makan dan minuman bagi ketiga orang anak muda itu.

Bahkan kemudian nampak pula keduanya telah bercakap-cakap ketika ibunya menyuruhnya mengambil kelengkapan untuk makan tamu-tamu mereka. Sejenak kemudian, maka pemilik rumah itu pun telah mempersilahkan ketiga orang anak muda itu makan bersamanya.

“Tidak ada apa-apa, selain sayur melinjo yang kami petik sendiri dari kebun serta pepes teri.” berkata laki-laki itu.

“Ternyata aku tidak salah. Pepes teri.” sahut Mahisa Pukat.

“Kami tidak dapat membeli yang lain. Untuk pepes teri itu, kami dapat mengambil kelapa dari kebun dan teri adalah bahan yang paling murah yang dapat kami beli.” berkata laki-laki itu.

“Kau tahu Ki Sanak,” berkata Mahisa Pukat, “sudah beberapa lama aku tidak makan pepes teri. Sejak kanak-kanak aku adalah penggemar jenis lauk ini. Jika terlalu lama tidak bertemu, rasa-rasanya aku menjadi ketagihan. Adalah kebetulan sekali, di sini aku bertemu dengan pepes teri.”

Pemilik rumah itu tertawa. Mahisa Pukat pun tertawa pula. Sementara Mahisa Semu dan Mahisa Murti tersenyum. Bahkan Mahisa Murti sempat berkata, “Apalagi nasi hangat. Nasi yang disosoh putih.”

“Hasil sawah sendiri.” desis laki-laki itu.

Demikianlah, sejenak kemudian maka ketiga orang anak muda itu dikawani oleh pemilik rumah, makan dengan lahapnya. Rasa-rasanya perut mereka memang lapar. Apalagi mereka telah melakukan latihan di tepian setelah semalam mereka bertempur mati-matian. Karena itu, maka nasi yang dihidangkan ternyata hampir tandas. Hanya masih ada beberapa gumpal saja yang tersisa.

“Jangan segan,” berkata pemilik rumah, “nasi masih ada di dapur. Jika seandainya habis, beras masih ada di bakul. Jika beras di bakul habis, padi masih ada di lumbung.”

Ketiga anak muda itu tertawa hampir bersamaan. Tetapi rasa-rasanya perut mereka memang sudah kenyang. Sehingga karena itu, maka mereka pun telah berhenti makan. Namun dalam pada itu, selagi isteri laki-laki pemilik rumah itu bersama anak gadisnya menyingkirkan sisa-sisa makanan, maka pintu depan pun telah diketuk orang. Cukup keras, sehingga seisi rumah itu terkejut.

“Siapa?” bertanya perempuan itu.

Pemilik rumah itu menggeleng. Jawabnya, “Aku belum tahu.”

Perasaan takut masih saja meliputi perempuan itu serta anak gadisnya, sehingga mereka berdua tiba-tiba saja telah naik pula ke amben besar di ruang tengah itu.

“Aku lihat.” berkata pemilik rumah itu. Namun ketika laki-laki itu pergi ke pintu, Mahisa Pukat mengikutinya di belakang. Ketika pintu lereg dari anyaman bambu itu terbuka, maka pemilik rumah itu terkejut. Yang berdiri di luar adalah Ki Bekel, Ki Jagabaya dan tiga orang bebahu padukuhan itu yang lain.

“Ki Bekel.” sapa laki-laki itu.

“Ya. Atas nama Ki Buyut aku datang ke rumahmu ini.” jawab Ki Bekel.

“Marilah, silahkan masuk ke rumahku yang tua ini.” pemilik rumah itu mempersilahkan.

Tetapi Ki Bekel menjawab, “Tidak. Aku tidak perlu masuk. Aku hanya ingin berbicara sedikit serta menuntut tanggung jawabmu.”

“Tanggung jawab tentang apa?” bertanya pemilik rumah yang menjadi berdebar-debar. Ia agaknya mulai menduga, bahwa yang dimaksud oleh Ki Bekel adalah peristiwa yang terjadi di rumah orang berjambang itu.

Ternyata dugaannya itu benar. Ki Bekel itu pun kemudian berkata, “Kau telah melakukan pembunuhan.”

Wajah pemilik rumah itu menjadi merah. Sementara itu Ki Bekel pun berkata, “Kemarilah. Kita berbicara di halaman.”

Pemilik rumah itu pun kemudian telah melangkah mendekat pula diikuti oleh Mahisa Pukat. Namun ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Semu pun telah keluar pula.

“Nah, inilah agaknya sekelompok pembunuh itu.” berkata Ki Bekel.

“Apa yang Ki Bekel maksudkan?” bertanya pemilik rumah itu.

“Kenapa kau masih bertanya?” geram Ki Bekel.

“Maksud Ki Bekel pembunuh di rumah orang kaya yang gila itu?” bertanya pemilik rumah itu.

“Siapa pun yang kau bunuh, maka pembunuhan tidak dapat dibiarkan terjadi begitu saja. Seolah-olah setiap orang dapat membunuh sesuka hatinya saja.” berkata Ki Bekel.

Pemilik rumah itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Ki Bekel. Tetapi apakah Ki Bekel tidak mengerti apa yang sebelumnya terjadi di rumah itu dalam hubungannya dengan keluargaku.”

“Apa yang terjadi? Mungkin kau mempunyai persoalan dengan penghuni rumah itu. Tetapi begitukah caranya menyelesaikan persoalan?” bertanya Ki Bekel.

“Ki Bekel,” berkata pemilik rumah itu, “apa sebenarnya yang ingin Ki Bekel lakukan? Ki Bekel adalah tetua dari padukuhan ini. Jika Ki Bekel tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam hubungannya dengan keluargaku, kenapa Ki Bekel tidak pernah berbuat sesuatu sebelumnya? Bukankah aku sendiri pernah datang kepada Ki Bekel mengadukan persoalanku kepada Ki Bekel? Bukankah waktu itu aku pernah memberitahukan kepada Ki Bekel, bahwa isteriku telah dilarikan orang?” pemilik rumah itu berhenti sejenak, lalu “tetapi apa jawab Ki Bekel? Ki Bekel justru menyalahkan aku, karena menurut Ki Bekel isterikulah yang telah melarikan diri dari rumahku. Aku pun kemudian telah menerima keadaanku itu, sehingga aku membiarkannya tanpa berbuat sesuatu. Ki Bekel pun tidak mau membantuku sama sekali, meskipun hanya sekedar memberikan nasehat kepada isteriku. Namun yang terakhir, laki-laki keparat itu telah menangkap anakku dan menyimpannya untuk dijadikan isterinya pula. Sementara itu ia telah berniat untuk melemparkan isteriku itu kepada beberapa orang laki-laki kasar dan buas yang ada di rumahnya, setelah ia menjadi jemu. Nah, apakah yang paling baik aku lakukan dalam keadaan seperti itu? Ketika isteriku berhasil melarikan diri dari rumah itu dan memberitahukan tentang anakku itu kepadaku, maka aku tidak dapat membendung perasaanku lagi. Aku datang kepadanya untuk minta anakku. Tetapi apa yang dilakukannya? Ia berniat membunuhku.”

“Cukup,” bentak Ki Bekel, “kau dapat berkata apa saja. Tetapi kau telah melakukan pembunuhan.”

Sementara itu Ki Jagabaya yang bertubuh tinggi besar berdada bidang dan ditumbuhi bulu lebat itu pun berkata, “Kau harus bertanggung jawab atas pembunuhan itu. Kau tidak dapat ingkar dengan seribu macam alasan.”

Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Murti lah yang menjawab, “Bukan orang itu yang membunuhnya. Akulah yang telah membunuhnya.”

Semua orang berpaling ke arah Mahisa Murti. Dengan wajah yang kemerah-merahan Ki Jagabaya bertanya, “Siapa kau?”

“Aku seorang pengembara,” jawab Mahisa Murti, “sebenarnya aku senang mendengar kata-kata kalian. Bagaimanapun juga seorang yang melakukan kesalahan harus dihukum. Tetapi apakah hal ini kau lakukan juga atas laki-laki yang telah mengambil isteri orang itu? Kemudian mengumpulkan beberapa orang laki-laki di rumahnya serta menyekap beberapa orang perempuan dengan paksa. Perempuan dari rumah ini pun akhirnya telah disekapnya di dalam rumahnya. Namun ia sempat keluar dan memberitahukan tentang perlakuan laki-laki itu atas anak gadisnya? He, Ki Bekel. Apakah hal itu baru dilakukannya untuk pertama kali, sehingga Ki Bekel belum pernah mengambil tindakan apa-apa? Apakah orang itu sebelumnya belum pernah mengambil perempuan dengan paksa seperti yang dilakukannya atas anak pemilik rumah ini? Mungkin Ki Bekel dapat menyalahkan perempuan yang telah dengan senang hati mengikut laki-laki itu. Tetapi bagaimana dengan anaknya dan perempuan yang lain sebelumnya.”


“Dan sekarang apa yang akan Ki Bekel lakukan terhadap kami, orang-orang yang telah membunuh orang kuat yang tidak terkalahkan itu?” bertanya Mahisa Murti.

Pertanyaan itu memang mengejutkan Ki Bekel, Ki Jagabaya dan para bebahu. Sementara itu sikap Mahisa Murti sama sekali tidak berubah. Sama sekali tidak ada ketegangan di wajahnya. Pertanyaannya itu seakan-akan begitu saja terlontar lewat mulutnya tanpa melalui getar perasaannya.

“Kenapa kau diam saja Ki Bekel?” bertanya Mahisa Murti pula, “bukankah kau dan para bebahu tahu, kamilah yang telah membunuh dan melukai bukan saja orang kaya berhati iblis namun yang tidak terkalahkan itu, tetapi juga beberapa orang kawan-kawannya? Jika kalian tidak dapat menghalangi setiap kemauan orang itu, aku menantangmu Ki Bekel. Ayo, halangi kemauanku meskipun seandainya aku akan membunuh Ki Bekel sendiri.”

Wajah Ki Bekel dan Ki Jagabaya menjadi merah. Sementara itu beberapa orang bebahu yang lain pun menjadi berdebar-debar. Nampaknya sikap anak muda itu demikian meyakinkan sehingga Ki Bekel, Ki Jagabaya dan para bebahu itu sama sekali tidak berarti.

Ki Bekel memang tersinggung. Demikian pula Ki Jagabaya. Namun ternyata mereka menjadi ragu-ragu untuk bertindak. Adalah satu kenyataan, bahwa mereka telah membunuh orang yang ditakuti di padukuhan itu. Jika mereka tidak dapat berbuat apa-apa terhadap laki-laki kaya yang memang sering melakukan tindak sewenang-wenang itu, maka apa yang akan dapat mereka lakukan atas orang yang telah membunuh laki-laki yang ditakuti itu.

Namun menurut penilaian Ki Bekel, laki-laki yang kaya itu tidak sendiri. Dengan uangnya orang itu dapat mengupah beberapa orang untuk membantunya melakukan tindak sewenang-wenang itu. Tetapi bagaimanapun juga, satu kenyataan bahwa laki-laki yang kaya dengan orang-orang upahannya itu telah dikalahkan oleh anak-anak muda itu. Sehingga dengan demikian maka kemampuan anak-anak muda itu tentu lebih tinggi dari kekuatan yang ada di rumah yang besar dan mewah itu bersama-sama isinya.

Untuk beberapa saat lamanya Ki Bekel berdiri termangu-mangu. Namun akhirnya ia berpaling kepada Ki Jagabaya sambil bertanya, “Apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang?”

Ki Jagabaya termangu-mangu. Tetapi ia pun menyadari kenyataan yang dihadapinya. Namun karena ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan, maka ia pun kemudian berkata, “Terserah kepada Ki Bekel. Apa yang sebaiknya kita lakukan.”

Wajah Ki Bekel menjadi tegang. Namun akhirnya ia berkata, “Aku minta diri. Tetapi setiap saat, persoalan ini dapat kita angkat lagi.”

Namun Mahisa Murti menyahut, “Kami memang tidak akan lama berada di sini. Tetapi kami akan kembali. Jika Ki Bekel mengangkat lagi persoalan ini dan menyulitkan kedudukan pamanku, pemilik rumah ini, maka kedudukan Ki Bekel pun akan mengalami kesulitan. Bukan hanya sekedar kedudukan Ki Bekel, tetapi jiwa Ki Bekel. Ki Bekel tahu, bahwa kami dengan mudah dapat membunuh orang-orang yang menurut Ki Bekel ditakuti di padukuhan ini termasuk ditakuti oleh Ki Bekel, Ki Jagabaya dan para bebahu Tanah ini.”

Ki Bekel memandang Mahisa Murti dengan tegang. Tetapi tanpa menjawab sepatah katapun, maka Ki Bekel itu pun telah melangkah meninggalkan rumah itu diikuti oleh Ki Jagabaya dan bebahu yang lain.

Pemilik rumah itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, “Terima kasih. Setidak-tidaknya untuk sementara mereka tidak akan mengganggu aku.”

“Aku kira bukan untuk sementara. Mereka memang tidak akan mengganggu Ki Sanak untuk seterusnya. Aku bukan saja sekedar menakut-nakuti. Tetapi sebagai pengembara maka mungkin sekali aku memang akan datang kembali.” berkata Mahisa Murti.

“Terima kasih,” berkata orang itu, “ternyata kalian tidak sekedar membantu aku membetulkan pedatiku yang rusak. Tetapi kalian telah membantu apa saja yang tidak mungkin aku lakukan. Bahkan dilakukan oleh orang lain.”

“Bukan apa-apa,” berkata Mahisa Murti, “saling membantu adalah kewajiban setiap orang.”

Pemilik rumah itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya dengan nada tinggi. “Tetapi marilah. Silahkan masuk. Aku berharap bahwa kalian akan bersedia tinggal di rumah ini untuk beberapa lama.”

Tetapi Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Sudah tentu aku tidak akan dapat tinggal terlalu lama di rumah ini.”

“Tidak. Kalian tidak boleh segera pergi.” orang itu tiba-tiba saja telah memotong.

Mahisa Murti tersenyum. Ia pun kemudian berpaling kepada Mahisa Pukat sambil bertanya, “Bagaimana pendapatmu.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Baiklah. Kita akan tinggal untuk satu dua hari di sini. Nampaknya tempat ini akan dapat memberikan kesempatan kepada kita untuk beristirahat.”

“Tidak hanya satu dua hari. Tetapi sepekan dua pekan atau sebulan dua bulan.” minta pemilik rumah itu.

Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Kami sudah terlalu lama mengembara. Pada suatu saat, kami pun harus kembali. Seperti seekor burung yang terbang berputar-putar, namun pada saatnya tentu akan hinggap di sarangnya.”

Laki-laki itu mengerutkan keningnya. Namun yang dikatakan oleh Mahisa Pukat itu memang tidak dapat dibantahnya, sehingga orang itu hanya dapat mengangguk saja.

...Ada bagian cerita yang hilang di sini, dari buku aslinya...

Ketiga orang anak muda itu menjadi tegang. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa pada satu saat mereka akan menghadapi keadaan seperti itu. Ketika Mahisa Murti bergerak dan maju selangkah, maka laki-laki yang mendekap gadis itu telah memperkeras lilitan tangannya di leher gadis itu.

“Jika kau tidak mau mendengarkan kata-kataku, maka ucapanlah selamat jalan kepada gadis ini. Agaknya kali ini kau bertemu untuk yang terakhir kalinya.” berkata orang itu.

Suasana yang tegang benar-benar telah mencengkam. Ketiga orang anak muda itu memang tidak dapat berbuat banyak. Nampaknya laki-laki yang garang, yang mendekap gadis itu, benar-benar dapat berbuat sesuatu dalam satu hentakkan, sehingga gadis itu tidak akan lagi sempat berteriak.

Dalam ketegangan itu, maka Mahisa Murti pun telah bertanya, “Apa maksud kalian yang sebenarnya.”

“Sudah kami katakan. Kami tidak pernah dapat mengalahkan sekelompok lawan kami. Kalian bertiga harus membantu kami sehingga lawan kami itu terbunuh semuanya. Terutama pemimpinnya. Jika hal itu berhasil, maka kalian benar-benar akan mendapat- imbalan serta gadis ini kami lepaskan, bahkan kalian akan dapat kami angkat menjadi anggauta terhormat dari kelompok kami.

“Kelompok apa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Belum waktunya kalian mengetahui sekarang,” jawab orang itu. Lalu katanya, “Nah, sekarang kita bersama-sama pergi ke padepokanku.”

“Siapa saja yang harus pergi?” bertanya Mahisa Murti.

“Kami bertiga? Jika demikian maka kami minta kalian melepaskan gadis itu. Kami bertiga akan pergi bersama kalian.”

Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Kami tidak sebodoh yang kau kira? Jika kami melepaskan gadis itu, maka kemungkinan terbesar di antara kamilah yang justru akan terbunuh. Nah, masih ada waktu untuk mengambil keputusan terakhir.”

Ketiga anak muda itu termangu-mangu. Sementara itu kedua orang tua gadis itu pun menjadi bingung. Mereka tidak mau kehilangan anak gadis mereka, apa pun yang terjadi. Namun tidak sepantasnya ketiga orang anak muda itu harus berkorban terlalu banyak bagi keluarga mereka.

Namun mereka pun terkejut ketika orang itu tiba-tiba membentak, “Cepat. Katakan sikap kalian.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Jawaban kami tentu sudah kau ketahui.”

“Jadi kalian bertiga setuju bekerja sama dengan kami?” bertanya pemimpin sekelompok orang itu.

“Pertanyaanmu aneh sekali. Sejak tadi kau sendirilah yang telah memaksa kami menerima sikap kalian. Tetapi tidak lebih dari itu.” jawab Mahisa Murti.

Orang itu tertawa. Katanya, “Apa pun alasanmu. Jika kau sudah setuju, marilah, kita akan berangkat sekarang.”

“Kau tinggalkan gadis itu?“ minta Mahisa Murti.

“Sekali lagi aku tegaskan,” berkata orang itu, “aku tidak sebodoh yang kau duga. Kelak, jika tugas kita sudah selesai, maka bawa gadis itu kembali. Bawa pula imbalan bagi kalian bertiga dan sudah barang tentu salam kami kepada kedua orang tua gadis itu.”

Laki-laki pemilik rumah itu menggeram. Namun ketika leher anak gadisnya semakin tercekik, ia memang tidak dapat berbuat apa-apa.

“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “kami bertiga akan memenuhi keinginan mereka. Kami tidak melihat jalan lain."

Kedua orang tua gadis itu justru telah mematung. Ia melihat orang-orang itu meninggalkan halaman rumahnya sambil membawa anak gadisnya yang baru beberapa hari terlepas dari tangan orang kaya yang gila, yang terpaksa terbunuh dalam pertempuran melawan anak-anak muda itu. Kini gadis itu justru berada di tangan serigala-serigala yang buas dan liar. Tetapi orang tua gadis itu masih percaya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta Mahisa Semu. Apa pun akal mereka, kedua orang tua itu berharap bahwa anak-anak muda itu akan dapat menyelamatkannya.

Demikianlah, maka sebuah iring-iringan kecil berjalan di jalan induk padukuhan itu. Ketiga orang anak muda itu harus berjalan di depan. Kemudian beberapa orang laki-laki yang memerasnya. Di belakang mereka berjalan gadis yang malang itu di sisi seorang laki-laki yang nampaknya tidak menghiraukannya. Tetapi ia sudah siap dengan sebilah pisau belati kecil. Jika perlu dalam sekejap maka pisau itu akan dapat menghunjam di dada gadis itu tembus sampai ke jantung.

Beberapa orang memang melihat iring-iringan itu. Tetapi tidak seorang pun yang menduga, bahwa gadis itu telah dibawa untuk menjadi taruhan. Mereka menyangka bahwa gadis itu telah diungsikan oleh sanak kadangnya ke tempat yang lain. Beberapa saat kemudian maka iring-iringan itu telah terlepas dari padukuhan itu. Dengan demikian maka mereka dapat berjalan lebih bebas sesuai dengan sifat dan watak mereka masing-masing.

Gadis yang dibawa sebagai taruhan itu memang menjadi sangat ketakutan sebagaimana ia dikurung oleh laki-laki yang telah mengambil ibunya itu. Sekali-sekali terasa hatinya tenang melihat ketiga anak muda itu. Namun kemudian telah bergejolak kembali dengan kerasnya.

Ternyata iring-iringan itu berusaha sejauh mungkin menghindari jalan-jalan yang melalui padukuhan-padukuhan. Ketiga anak muda itu termangu-mangu. Namun mereka tidak dapat berbuat sesuatu tanpa diperhitungkan sebaik-baiknya. Jika mereka salah langkah, maka nasib gadis itu dapat menjadi lebih buruk daripada saat ia berada di rumah orang kaya berjambang itu.

Sementara itu, ketiga orang anak muda itu seakan-akan dibiarkannya begitu saja. Orang-orang yang membawa gadis itu semuanya telah masuk ke dalam, sehingga yang tinggal di luar adalah ketiga orang anak muda itu saja. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun kemudian duduk diatas tikar pandan yang dibentangkan di pendapa.

“Lalu apa yang akan kita lakukan?” bertanya Mahisa Murti.

Mahisa Pukat justru telah berbaring sambil berdesis, “Tidur. Kita tidak dapat berbuat apa-apa selama gadis itu masih mereka kuasai.”

“Kita harus mencari cara untuk melepaskan gadis itu.” berkata Mahisa Semu.

“Itulah yang sulit,” sahut Mahisa Murti, “tetapi kita memang harus menemukannya.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia mencoba mengedarkan pandangan matanya menembus kegelapan. Tetapi ia tidak melihat sesuatu selain cahaya obor yang lemah regol halaman.

“Beristirahatlah,” berkata Mahisa Murti, “di sini tentu lebih baik daripada diatas rerumputan. Jika aku mengantuk nanti, aku akan membangunkan salah seorang di antara kalian.”

Mahisa Semu termangu-mangu. Namun ia pun berdesis, “Aku justru belum merasa mengantuk.”

“Baiklah. Jika demikian kita sempat berbincang lebih lama lagi.” berkata Mahisa Murti.

Namun dalam pada itu sambil memejamkan matanya Mahisa Pukat berdesis, “Aku akan tidur.”

Mahisa Murti tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara Mahisa Semu telah bergeser mencari sandaran pada tiang pendapa yang tidak terlalu besar itu. Namun agaknya kedua anak muda yang masih duduk itu tidak terlalu banyak berbicara. Mereka sedang memikirkan cara yang terbaik untuk membebaskan gadis itu. Di rumah orang kaya yang berjambang itu, Mahisa Murti dapat membebaskan gadis itu dengan mudah karena hal itu tidak diperhitungkan sebelumnya. Tetapi saat itu, gadis itu memang sedang dijadikan taruhan, sehingga ia akan dijaga dengan ketat.

Dalam kegelapan Mahisa Murti itu berdesis, “Apakah kita harus memenuhi permintaan mereka dengan mengalahkan sekelompok lawan yang belum pernah dapat dikalahkan itu?”

“Tetapi siapakah mereka?” sahut Mahisa Semu.

Mahisa Murti menggelengkan kepalanya. Untuk beberapa saat suasana menjadi semakin hening. Hanya suara-suara malam sajalah yang terdengar di sekitar pendapa itu. Angin yang lembut berdesir mengusap tubuh-tubuh yang berkeringat oleh kegelisahan itu. Mereka menyadari, jika mereka tidak dapat dengan segera melepaskan gadis itu, maka mereka benar-benar harus memenuhi keinginan mereka. Bertempur dan bahkan mungkin membunuh lawan yang tidak mempunyai persoalan apa pun dengan mereka.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun berbisik, “Aku akan mencoba. Jika gagal, apa boleh buat. Mudah-mudahan kegagalan itu tidak segera mereka ketahui sebagai satu usaha untuk melepaskan gadis itu.”

Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Bagaimana dengan kakang Mahisa Pukat? Apakah aku harus membangunkannya?”

“Ia belum tidur.” desis Mahisa Murti.

Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Namun agaknya Mahisa Pukat yang masih saja memejamkan matanya itu memang belum tidur. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti pun bangkit dan melangkah menuju pintu pringgitan. Dengan keras Mahisa Murti mengetuk pintu itu sambil memanggil, “He, siapa yang masih terbangun?”

Ketika tidak terdengar jawaban, maka Mahisa Murti mengetuk semakin keras dan berteriak, “Siapa yang masih bangun?”

Agaknya suara Mahisa Murti itu mengejutkan orang-orang yang ada di dalam. Apalagi ketika Mahisa Murti mengetuk pintu lebih keras lagi.

Tiba-tiba saja terdengar langkah cepat menuju ke pintu. Dibukanya pintu dengan hentakkan yang keras, sementara seorang di antara orang-orang yang membawa mereka ke tempat itu muncul sambil membentak, “Kenapa kau berteriak-teriak?”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian bertanya, “Di mana pakiwannya?”

“Hanya itu?” bertanya orang yang muncul dari balik pintu itu.

“Ya. Sudah tentu aku tidak dapat melakukannya di pendapa.” berkata Mahisa Murti.

“Persetan,” geram orang itu, “di seluruh halaman ini terdapat tempat-tempat yang gelap. Bahkan hampir seluruhnya.”

“Tetapi…” suara Mahisa Murti terputus. Orang itu telah menghentakkan pintu itu lagi sehingga tertutup rapat.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam, sementara Mahisa Semu memandanginya dengan heran. Namun kemudian Mahisa Murti pun mendekatinya sambil berdesis, “berhati-hatilah. Dalam keadaan yang mendadak, suruh Mahisa Pukat duduk.”

Mahisa Semu mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Sementara itu Mahisa Murti pun kemudian melangkah turun dari pendapa. Tentu tidak akan ada orang yang mencurigainya seandainya dari kegelapan ada yang melihatnya. Mahisa Murti telah mendapat ijin, bahkan dianjurkan oleh orang yang ada di dalam rumah itu dengan kata-kata yang cukup keras.

Meskipun demikian Mahisa Murti memang memasuki lingkungan yang gelap di halaman itu dengan hati-hati. Ia memperhatikan keadaan di sekitarnya. Namun di halaman itu agaknya memang tidak ada seorang pun yang berjaga-jaga.

“Kelompok ini nampaknya kelompok yang aneh,” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya, “rumah ini tentu bukan sarang mereka. Tetapi sekedar tempat persinggahan saja.”

Dengan demikian maka Mahisa Murti pun berusaha untuk mendekati rumah itu dari samping, sehingga di dalam kegelapan ia dapat melekatkan diri pada dinding. Dari tempatnya ia mendengar pembicaraan, “Mau apa orang itu?”

“Mencari pakiwan.” jawab yang ditanya.

“Gila. Aku kira mau apa. Jadi, kau bawa juga ia ke pakiwan?” bertanya suara yang pertama.

“Aku mengantuk. Aku suruh cari saja tempat di mana-mana di halaman yang gelap itu.” jawab yang lain.

Ternyata terdengar suara tertawa pendek sambil berkata, “Nah, tidurlah. Aku pun akan tidur.”

Tetapi terdengar suara lain, “Siapakah di antara kita yang bertugas berjaga-jaga?”

“Tiga orang anak muda di pendapa itu adalah orang-orang berilmu tinggi. Mau tidak mau mereka akan berjaga-jaga. Gadis itu menjadi taruhan.” jawab yang pertama.

“Jika ada lawan datang dari belakang?” bertanya suara yang lain itu.

“Rumah ini cukup kuat. Kita akan mendengar seandainya ada orang merusak dinding. Apalagi dinding rumah ini rangkap. Bukankah dinding rumah ini terlalu kuat untuk, disibakkan? Tali-tali ijuk itu tidak mudah diputuskan dengan pisau sekalipun. Jika dinding ini pecah dan kita tidak terbangun, itu adalah nasib kita yang sangat buruk.” jawab suara yang pertama.

“Baik. Tidurlah. Siapa yang menjaga bilik itu?” bertanya yang lain.

“Kepala batu itu.” jawab yang pertama.

“Bagus. Ia tidak akan memasuki bilik itu,” jawab yang lain. Yang terdengar kemudian adalah suara serak orang yang pertama, “Aku akan tidur.”

“Kau kira aku tidak letih.” desis yang lain.

Mahisa Murti menunggu sejenak. Langkah kaki terdengar semakin jauh. Kemudian terdengar derit amben di ruang dalam. Agaknya orang itu pun sudah berbaring di antara kawan-kawannya. Mahisa Murti kemudian mengetahui bahwa tidak seorang-pun yang berjaga-jaga diluar karena mereka mempercayakannya kepada Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu dengan taruhan gadis itu. Dengan demikian maka Mahisa Murti pun merasa akan dapat berbuat lebih banyak lagi.

Namun sebelum ia berbuat sesuatu, maka Mahisa Murti yang merasa tidak mendapat pengawasan itu pun sempat menemui Mahisa Semu dan Mahisa Pukat, yang justru telah duduk bersandar tiang sebagaimana Mahisa Semu. Dengan singkat Mahisa Murti menceriterakan rencananya. Kemudian membagi tugas jika terjadi sesuatu.

“Tetapi gadis itu harus selamat. Jika kita gagal, maka sia-sialah kita membunuh beberapa orang di rumah mewah itu.” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mengangguk. Mereka pun menyadari bahwa taruhannya terlalu mahal, sehingga harus benar-benar berhati-hati. Beberapa saat kemudian, Mahisa Murti pun telah menghilang kembali ke dalam kegelapan.

Dicobanya mengingat kembali, apa yang pernah dilakukan di rumah mewah itu. Tetapi orang-orang yang ada di rumah itu ternyata menjadi lengah. Mereka sama sekali tidak mengira akan terjadi serangan yang demikian tiba-tiba. Berbeda dengan isi rumah itu. Mereka adalah orang-orang yang siap melakukan apa saja untuk memaksakan kehendaknya. Sedangkan taruhannya adalah gadis yang ada di dalam rumah itu, dijaga oleh orang yang memiliki pengalaman yang luas.

Karena itu, maka Mahisa Murti harus bekerja lebih cermat. Sekali lagi ia mendekati dinding rumah itu dengan sangat hati-hati. Namun ia sudah tidak mendengar suara apa pun juga. Sementara itu, ia tidak menemukan lubang yang sekecil apa pun untuk mengintip ke dalam. Mahisa Murti masih ingat, orang yang ada di dalam rumah itu mengatakan, bahwa dinding rumah itu adalah rangkap.

Dengan demikian, tidak ada cara lain untuk dapat melihat ke dalam daripada menguak atap dan melihat keadaan di dalam rumah itu dari sela-sela raguman langit-langit. Dengan sangat berhati-hati, maka Mahisa Murti pun telah memanjat dinding longkangan. Dengan saksama ditelitinya keadaan atap rumah itu, apakah atap itu akan mampu menahan tubuhnya.

Ternyata rumah itu adalah rumah yang memang dibuat sangat kuat sebagaimana dindingnya yang rangkap. Karena itu, maka Mahisa Murti pun yakin, bahwa atap rumah itu tidak akan patah jika ia memanjat diatasnya. Perlahan-lahan Mahisa Murti telah merayap diatas atap itu. Ternyata atap ijuk itu justru seakan-akan membantunya, karena ijuk itu telah menghisap suara geseran tubuh Mahisa Murti yang berdesis diatas atap itu.

Namun Mahisa Murti memang sulit untuk menduga, di manakah letak bilik untuk menyimpan gadis yang menjadi taruhan itu. Tetapi Mahisa Murti dapat mengenali rumah menurut bentuknya secara umum. Biasanya ada tiga bilik di tengah, kemudian dua bilik depan di sebelah pringgitan. Di sebelah menyebelah terdapat longkangan yang memisahkan rumah itu dengan gandok.

Untuk sesaat Mahisa Murti termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja ia teringat, di mana laki-laki berjambang itu menyembunyikan gadis itu.

“Jika saja mereka mempunyai pikiran yang sama.” berkata Mahisa Murti kepada diri sendiri.

Namun Mahisa Murti memang ingin membuktikannya. Dengan sangat berhati-hati Mahisa Murti telah menyibakkan atap ijuk itu. Kemudian melihat bagian dalam rumah itu dari sela-sela raguman atap. Ternyata Mahisa Murti saat itu berada diatas bilik tengah. Tetapi gadis itu tidak disimpan di bilik tengah sebagaimana dilakukan oleh orang berjambang itu.

Dengan demikian maka Mahisa Murti harus mengulanginya diatas bilik kiri dan kanan. Tetapi gadis itu tidak ada di sana. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia yakin bahwa gadis itu telah dibawa masuk ke dalam rumah. Tetapi ia tidak ada di dalam ketiga bilik itu. Untuk beberapa saat Mahisa Murti justru berbaring diam. Dicobanya untuk mendengarkan suara di dalam rumah itu. Menurut pendengarannya gadis itu telah dijaga orang-orang yang disebut sebagai Kepala Batu.

Untuk mengusir kegelisahannya, maka Mahisa Murti pun telah menyibak atap diatas ruang tengah. Namun tiba-tiba ia menjadi berdebar-debar. Gadis itu ternyata ada di ruang tengah, berbaring diatas amben yang besar ditunggui oleh seorang yang berkepala botak yang duduk terkantuk-kantuk di bibir amben yang besar itu. Di sudut ruang itu, Mahisa Murti melihat seorang lagi di antara orang-orang yang membawa gadis itu tidur berselimut kain panjangnya.

Sejenak kemudian Mahisa Murti termangu-mangu. Namun sejenak kemudian, ia pun telah menarik pisau belati kecilnya. Dengan pisau itu ia mulai memutuskan tali-tali ijuk yang mengikat raguman atap rumah itu. Baru kemudian, ia berhasil menyibak raguman bambu itu dan siap meluncur turun.

Mahisa Murti membutuhkan tali ijuk yang agak panjang. Karena itu, maka ia pun telah mengumpulkan tali-tali ijuk raguman atap itu. Kemudian menyambung-nyambungnya rangkap dua, sehingga dengan sangat berhati-hati Mahisa Murti dapat meluncur turun dari atap rumah itu. Ternyata tidak seorang pun mengetahui. Ketika gadis yang tidak dapat tidur itu melihatnya, Mahisa Murti memberi isyarat agar ia tetap diam di tempatnya, sehingga tidak membangunkan Kepala Batu yang terkantuk-kantuk itu.

Tetapi ketika Mahisa Murti menyentuh tanah, ternyata orang yang disebut Kepala Batu itu mendengarnya. Karena itu, maka ia pun segera bangkit berdiri. Dalam keadaan yang masih belum sadar penuh, ia melihat anak muda berdiri dihadapannya. Karena itu, dengan serta merta, maka ia pun telah siap menyerangnya.

Namun ternyata bahwa Mahisa Murti bertindak lebih cepat, jari-jari tangannya yang merapat telah menyentuh bagian dada orang yang disebut Kepala Batu itu di sebelah atas kiri dan kanan. Kemudian mendorongnya duduk kembali. Tanpa mendapatkan perlawanan maka Mahisa Murti telah menyentuh pundak orang itu di sebelah kiri dan kanan pula. Ketika kemudian tangannya memijit tengkuk orang yang disebut Kepala Batu itu, maka orang itu pun segera menundukkan kepalanya, seakan-akan ia telah tertidur sambil duduk.

“Tidurlah sampai esok pagi.” berkata Mahisa Murti perlahan-lahan, sehingga hanya dapat didengarnya sendiri.

Kemudian ia pun telah memberikan isyarat kepada gadis itu untuk bangkit dan turun dari amben yang besar itu. Dibimbingnya gadis itu menuju ke pintu. Ternyata orang-orang yang membawa gadis itu telah tidur berpencar. Tetapi mereka benar-benar tidur nyenyak. Mereka menganggap bahwa dinding rumah itu terlalu kuat untuk dibuka dengan paksa sehingga mereka tentu akan dapat mendengarnya. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa seseorang akan memasuki rumah itu dengan menyibakkan atap.

Perlahan-lahan sekali Mahisa Murti mengangkat selarak. Kemudian membawa gadis itu keluar dan menyerahkannya kepada Mahisa Pukat.

“Kau mau apa?” bertanya Mahisa Pukat.

Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia pun telah masuk kembali ke dalam rumah itu dan menyelarak pintu dari dalam. Ternyata bahwa Mahisa Murti telah keluar dari atap itu pula. Kemudian menarik tali ijuk dan mengikat kembali raguman yang dirusaknya. Meskipun tidak utuh, tetapi Mahisa Murti sudah berhasil menghilangkan jejaknya setelah ia menutup ijuk atap itu kembali. Juga yang telah dibuka sebelumnya. Baru kemudian Mahisa Murti turun dari longkangan dan kembali ke pendapa.

“Kita akan lari?” bertanya gadis itu.

Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Jawabnya, “Kita menunggu mereka bangun.”

“Tetapi…?” gadis itu tidak mengerti.

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Percayalah kepada kami.”

Meskipun perasaan takut dan cemas mencengkamnya, tetapi ia tidak berani membuat rencana pelarian mereka. Segala sesuatunya memang dipercayakannya kepada ketiga anak muda itu.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang semula tidak jelas apakah maksud Mahisa Murti, akhirnya menjadi terang. Karena itu, maka keduanya pun telah duduk di sebelah-menyebelah gadis itu. Dengan nada rendah Mahisa Pukat berkata,

“Kita harus menunjukkan kepada orang-orang yang ada di rumah itu, bahwa kita tidak dapat mereka tundukkan dengan cara apa pun juga.”

“Tetapi apakah kalian akan bertempur?” bertanya gadis itu.

“Tergantung kepada keadaan. Mudah-mudahan tidak. Agar kami tidak perlu membunuh lagi.” jawab Mahisa Pukat.

Gadis itu mengangguk-angguk. Meskipun ia tidak mengerti sepenuhnya, namun samar-samar ia dapat menangkap maksud anak-anak muda itu. Dalam pada itu, orang yang disebut Kepala Batu itu bagaikan membeku di tempatnya. Meskipun ia masih tetap duduk, namun kesadarannya telah hilang sampai esok pagi.

Ketika pemimpin dari orang-orang yang ada di dalam rumah itu terbangun, maka ia pun telah bangkit dari tempat pembaringannya. Bagaimanapun juga ia merasa bertanggung jawab atas gadis yang mereka pergunakan sebagai taruhan itu. Karena itu, meskipun dengan mata yang agak terpejam, ia telah melangkah ke ruang dalam untuk melihat apakah tidak terjadi sesuatu.

Ternyata orang itu terkejut ketika ia tidak menemukan gadis yang menjadi taruhan itu di tempatnya. Dilihatnya orang yang disebut Kepala Batu itu menundukkan kepalanya, seakan-akan sedang tertidur nyenyak. Dengan cemas pemimpin itu telah mengguncang tubuh orang itu sambil bertanya lantang, “Di mana gadis itu he?”

Orang yang disebut Kepala Batu itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi bahkan ia telah jatuh terlentang di atas amben itu pula.

“Gila,” geram pemimpin itu, “gadis itu lari.”

Suaranya telah membangunkan orang-orangnya. Beberapa orang telah berloncatan bangkit dan berlari-lari ke ruang tengah itu. Mereka memang tidak menemukan gadis itu di sana, sementara orang yang disebut Kepala Batu itu telah pingsan.

“Siapa yang melakukannya?” bertanya salah seorang di antara mereka.

Dengan saksama orang-orang itu telah memeriksa segala sudut rumah. Pintu masuk diselarak. Pintu butulan dan pintu-pintu longkangan masih pula tetap tertutup rapat, sementara selaraknya masih berada di tempatnya dan terpasang dengan baik.

“Gila,” geram pemimpin itu. Sementara orang-orangnya sama sekali tidak menemukan kerusakan pada dinding seujung duri sekalipun. Tali-tali ijuk masih mengikat dengan erat, sementara tiang-tiang tidak ada yang goyah sama sekali. Namun mereka tidak menemukan gadis itu di dalam rumah.

Pemimpin dan orang-orang yang ada di rumah itu pun kemudian berkata, “Kita lihat keluar. Mungkin gadis itu telah melarikan diri.”

“Tetapi bagaimana hal itu dapat terjadi. Semua pintu masih tetap tertutup dan selaraknya masih terpasang rapi. Jika tidak ada di antara kita yang berkhianat, tentu hal ini tidak akan dapat terjadi.”

Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Memang terasa satu suasana yang lain. Tiba-tiba saja mereka menjadi saling mencurigai. Tetapi menurut pendapat mereka, apakah ada di antara mereka yang dapat memperlakukan orang yang disebut Kepala Batu itu sehingga ia menjadi pingsan seperti itu?

Namun pemimpin kelompok itu tidak mau menunggu terlalu lama dalam keadaan saling mencurigai. Ialah yang kemudian bergegas ke pintu dan mengangkat selaraknya. Demikian pintu terbuka, maka orang itu pun justru bergeser selangkah surut. Yang lain pun dengan cepat telah berloncatan ke pintu pula. Mereka pun ternyata terkejut bukan buatan. Di pendapa itu duduk tiga orang anak muda yang menunggui seorang gadis yang sedang tidur. Pemimpin kelompok itu mengumpat. Selangkah demi selangkah, diikuti oleh kawan-kawannya.

Mahisa Murti lah yang kemudian bergeser sambil berkata, “O, ternyata kalian belum juga tidur. Marilah. Tetapi jangan ribut. Gadis ini sedang tidur nyenyak.”

“Persetan,” geram pemimpin kelompok itu, “apa yang telah kau lakukan atas gadis itu?”

“Apa? Tidak apa-apa. Bukankah kau minta kami menungguinya dan menjaganya agar gadis itu tidak direbut oleh kelompok lain yang selalu bermusuhan dengan kelompokmu?” berkata Mahisa Murti pula.

“Cukup.” bentak pemimpin kelompok itu.

“Sudah aku peringatkan. Jangan kejutkan gadis yang sedang tidur ini,” minta Mahisa Murti, “duduklah. Kita berbicara dengan tenang. Apakah yang kalian kehendaki?”

“Jangan permainkan kami.” geram pemimpin kelompok itu.

Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Jangan marah. Bukankah sudah aku katakan, bahwa aku telah menjaganya dengan baik?”

“Apa pun yang kau lakukan, tetapi kau tidak akan dapat keluar dari halaman rumah ini.” suara pemimpin kelompok itu menjadi gemetar.

Tetapi Mahisa Murti masih saja tertawa. Bahkan Mahisa Pukat pun tertawa juga sambil berkata, “Sudahlah. Jangan mengumpat-umpat. Besok jika matahari terbit, kami akan meninggalkan tempat ini, kembali ke padukuhan kami. Kami tidak mau lagi mendengar ceritera tentang permusuhan antara kelompok dengan kelompok yang mana pun juga.”

Tetapi pemimpin kelompok itu menggeleng. Katanya, “Tidak ada jalan yang dapat kalian lalui. Kami akan menjaga semua pintu regol halaman. Baik halaman depan maupun pintu butulan di halaman belakang.”

Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Kau tahu siapa kami. Kau tentu tahu pula kemampuan kami. Jika tidak, kalian tidak akan mencuri gadis itu untuk memaksa kami berpihak pada kalian.”

Pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Sehingga Mahisa Murti melanjutkan kata-katanya, “Nah, apakah kalian akan berusaha mencegah kami? Dengan demikian, maka kalian akan terkapar mati di halaman ini. Sementara pada saat lain kawan-kawanmu akan mengalami kekalahan yang lebih parah dari lawan-lawanmu itu, justru karena jumlah kalian telah berkurang.”


“Jadi?” bertanya Mahisa Murti.

“Terserahlah kepada kalian. Kalian telah berhasil menguasai kembali gadis itu.” berkata pemimpin kelompok itu, “Kami memang tidak akan dapat berbuat apa-apa.”

“Jadi kalian tidak berkeberatan besok kami kembali?” bertanya Mahisa Murti.

“Berkeberatan atau tidak berkeberatan,” jawab pemimpin kelompok itu. Namun kemudian katanya, “Tetapi satu hal yang ingin kami sampaikan kepadamu jika besok pagi meninggalkan tempat ini bersama-sama dengan saudara-saudaramu dan gadis itu, bahwa kita untuk selamanya tidak akan bertemu kembali.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.

“Besok akan terjadi pertempuran yang dahsyat di sini. Besok pagi-pagi kawan-kawanku akan datang untuk menunggu sekelompok lawan kami yang akan menghancurkan rumah kami ini. Bahkan membunuh semua isinya. Kami sudah berkeyakinan bahwa kami tidak akan dapat melawan mereka meskipun seandainya kawan-kawan kami berhasil mendapat bantuan dari saudara-saudaranya.” berkata pemimpin kelompok itu.

“Kenapa kalian bermusuhan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kami memang sedang memperebutkan warisan.” jawab pemimpin kelompok itu.

“Jadi kalian akan bertempur di antara saudara sendiri?” bertanya Mahisa Pukat pula.

“Saudara-saudara seperguruan.” jawab pemimpin kelompok itu.

“Warisan apa yang kalian perebutkan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kedudukan dan rumah ini,” jawab pemimpin kelompok itu, “rumah ini adalah rumah guru yang telah meninggal. Di antara kami telah timbul persoalan, siapakah yang akan mewarisi kedudukan guru sekaligus rumah ini, sebagai tempat tinggal guru.”

“Apakah gurumu tidak mempunyai anak?” bertanya Mahisa Semu.

“Guru tidak beristri dan tidak beranak.” jawab orang itu.

Namun Mahisa Murti pun kemudian bertanya, “Tetapi kenapa kedudukan gurumu menjadi rebutan? Apalagi rumah ini. Menurut penglihatanku, rumah ini adalah rumah yang biasa meskipun kuat. Tidak ada sesuatu yang mahal yang harus dipertaruhkan dengan nyawa. Apalagi nyawa saudara seperguruan sendiri.”

“Memang benar,” jawab pemimpin kelompok itu, “tidak ada yang berharga di sini. Kedudukan itu pun tidak terlalu penting karena hanya orang-orang yang memiliki ilmu tertinggi sajalah yang akan dapat menggantikannya.“ orang itu berhenti sejenak, lalu “namun yang paling berharga bagi kami adalah pesan guru. Kakak tertua kami memang seorang yang memiliki ilmu tertinggi. Tetapi ada orang lain yang mengaku bahwa ia dalam kedudukannya sebagai murid, lebih tua dari kakak tertua kami. Sayang sekali bahwa beberapa orang saudara seperguruan kami mempercayainya dan bahkan berpihak kepadanya. Orang itu minta haknya untuk menjadi pemimpin perguruan kami dan sekaligus mengambil rumah ini.”

“Kenapa tidak diberikan saja?” bertanya Mahisa Pukat.

“Sebabnya kami, bahkan kakak tertua kami itu tidak berkeberatan. Tetapi pesan guru harus kami junjung tinggi. Kakak tertua berniat untuk bertahan sampai batas yang manapun. Bukan karena kedudukannya, tetapi karena kesetiaannya kepada guru.”

“Dan kelompok yang satu itu lebih kuat dari kelompokmu ini?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya,” jawab pemimpin kelompok itu, “menurut perhitungan dan keyakinan, kekuatan mereka lebih besar dari kekuatan kami meskipun saudara tertua kami akan datang bersama dua orang saudara kandungnya. Tetapi jika ia berhasil menemukan kedua saudara kandungnya itu. Sementara kami mendengar dan melihat kalian serta hasil pekerjaan kalian, timbullah niat itu di dalam hati kami. Karena kami tidak mempunyai cara lain, maka kami telah mengambil gadis itu.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “warisan di mana-mana dapat menimbulkan persoalan. Baru saja kami menjumpai persoalan yang hampir sama. Tentang warisan. Tetapi bukan antara saudara-saudara seperguruan. Tetapi antara dua saudara sepupu. Sedangkan masih ada pihak ketiga yang ikut melibatkan diri, dan justru yang nampaknya akan berhasil. Tetapi kami berhasil meletakkan persoalannya pada kedudukan yang sebenarnya.”

“Itulah yang sebenarnya kami inginkan Ki Sanak,” berkata pemimpin kelompok itu, “namun sebenarnyalah dengan jujur aku katakan, bahwa kita para murid yang bertengkar ini mempunyai dugaan yang sama, bahwa di halaman rumah ini tentu terdapat peninggalan yang berharga. Sebuah pusaka.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu saling berpandangan sejenak, dengan nada rendah Mahisa Murti berdesis, “Harta benda, kedudukan, kitab sebagai lambang pengetahuan, pusaka yang dapat mendukung derajat dan kekuasaan, agaknya memang selalu diperebutkan. Kita masih belum sempat mengeringkan keringat setelah terlibat dalam perebutan warisan yang berujud kitab di luar kehendak kita, setelah kita terperosok ke dalam perebutan kekuasaan yang juga merupakan warisan, kini kita menjumpai perebutan warisan yang berupa kedudukan, harta benda yang berujut rumah ini dan yang agaknya paling penting adalah pusaka yang diduga ada di rumah ini atau di halaman atau di mana pun disembunyikan di dalam lingkungan dinding halaman ini.”

Pemimpin kelompok itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tetapi bagi kami, yang terpenting bukannya pusaka itu. Tetapi kami sedang berjuang untuk mendapat pengakuan dari segala pihak, siapakah yang berhak melanjutkan kehadiran perguruan kami ini.”

“Kenapa kalian tidak berusaha untuk berbicara yang satu dengan yang lain? Atau kenapa kalian tidak bersama-sama menegakkan kehadiran perguruan kalian? Jika kalian bersatu, maka perguruan kalian tentu akan menjadi kuat.” berkata Mahisa Pukat.

“Kami sudah mencoba. Kakak tertua kami pun telah bersedia untuk memberikan berbagai macam hak kepada mereka. Tetapi agaknya mereka menuntut kemutlakan. Itulah yang sulit kami terima, juga berdasarkan pesan guru yang harus kami junjung tinggi.” berkata pemimpin kelompok itu.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun katanya, “Aku baru mendengar dari satu sisi. Tetapi ternyata menarik untuk mendengar ceritera dari sisi lain.”

“Silahkan Ki Sanak,” berkata pemimpin kelompok itu, “jika Ki Sanak berminat, besok Ki Sanak akan dapat bertemu dengan keluarga besar kami yang terpecah. Ki Sanak akan dapat menimbang pembicaraan kami. Menilai dan kemudian mengambil satu sikap.”

“Kami memang ingin melakukannya,” berkata Mahisa Pukat, “tetapi sayang. Kalian telah membuat kami menghadapi kesulitan. Kami harus mengembalikan gadis ini kepada orang tuanya. Karena itu maka kami harus pergi besok pagi-pagi.”

Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Menyesal sekali. Kami pun telah menyesal, karena kami telah membawa gadis itu.”

“Nah, sekarang pergunakan sisa waktu yang sedikit ini untuk beristirahat jika besok kalian harus menghadapi kerja berat. Mungkin kalian memang harus bertempur dan tidak sempat lagi menikmati nikmatnya tidur di pagi hari.” berkata Mahisa Pukat.

“Jadi niat Ki Sanak untuk meninggalkan kami sudah bulat?” bertanya orang itu.

“Ya. Kenapa? Apakah kau masih ingin mendapat kesempatan menculik gadis itu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kami minta maaf. Semata-mata terdorong oleh keinginan kami untuk mempertahankan diri.” berkata pemimpin kelompok itu.

“Nah, sudahlah. Pergunakan sisa malam ini sebaik-baiknya.” berkata Mahisa Murti kemudian.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kami akan tidur lagi di sisa malam ini, “Lalu katanya kepada kawan-kawannya, “Marilah. Kita masuk.”

Kawan-kawannya menjadi heran. Untuk sesaat mereka saling berpandangan. Namun pemimpin kelompok itu menjelaskan, “Tidak ada yang dapat kita lakukan di sini. Meskipun kita menunggui mereka, kita tidak akan dapat mencegah apa saja yang ingin mereka lakukan. Jika mereka ingin pergi, maka mereka akan pergi. Jika mereka akan tinggal di sini, maka mereka akan tinggal.”

Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi mereka mengerti maksud pemimpinnya. Karena itu, maka mereka pun segera mengikutinya masuk ke ruang dalam.

Ketiga orang anak muda yang ada di pendapa itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti itu pun berkata kepada gadis yang masih berpura-pura tidur itu, “Bagaimana pendapatmu tentang mereka?”

“Aku takut.” jawab gadis itu hampir berdesis.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya, “Sebenarnya aku ingin juga melihat apa yang akan terjadi. Bagaimanakah pendapatmu jika kita tinggal di sini? Kami bertiga berjanji untuk melindungimu. Kami akan mempertaruhkan nyawa kami.”

Gadis itu termangu-mangu. Ia percaya sepenuhnya kepada ketiga orang anak muda itu. Tetapi perasaan takut tidak dapat disembunyikannya.

“Jika kau bersedia dan yakin akan perlindungan kami, biarlah kami menunggu sampai mereka memecahkan persoalan mereka. Nampaknya orang-orang ini memang tidak terlalu jahat. Mereka berbuat kasar justru karena sebenarnya mereka berada dalam ketakutan, sehingga yang dilakukannya itu agak dipaksakannya dan bukan kebiasaan mereka sehari-hari. Mereka berbuat sebagaimana orang-orang kasar dan liar untuk menunjukkan bahwa mereka berkuasa dan kuat.” berkata Mahisa Murti.

Gadis itu nampaknya masih saja ragu-ragu. Tetapi ia melihat keyakinan pada sorot mata Mahisa Murti, sehingga karena itu katanya, “Terserah kepada kalian bertiga. Aku percayakan keselamatanku kepada kalian. Aku yakin bahwa kalian telah berbuat dengan jujur menurut nurani kalian.”

“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, “jika demikian kita akan tinggal di sini. Besok kita akan melihat, rahasia yang tersimpan di rumah ini.”

“Beristirahatlah,“ berkata Mahisa Murti kepada Mahisa Semu.

Tetapi Mahisa Semu telah menggeleng sambil menjawab, “Aku tidak merasa mengantuk sama sekali.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Baiklah. Kegelisahan kadang-kadang memang dapat mengalahkan perasaan kantuk.”

Hanya Mahisa Pukat lah yang dapat tidur dengan nyenyak di sisa malam itu. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Semu duduk saja bersandar tiang. Gadis yang berbaring itu pun tidak lagi dapat memejamkan matanya, sehingga ia pun kemudian justru bangkit dan duduk pula sambil memandang ke kejauhan. Tetapi dari sikapnya Mahisa Murti dapat mengerti, bahwa gadis itu masih saja gelisah. Beberapa saat kemudian, maka cahaya yang keremangan mulai membayangi halaman. Warna tanah mulai menjadi terang dan ayam jantan pun telah berkokok bersahutan.

Orang-orang yang ada di dalam rumah itu pun telah terbangun. Beberapa orang diantara mereka, termasuk pemimpin kelompoknya telah keluar pula. Ketika dilihatnya Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Pukat yang masih tidur, serta gadis yang termangu-mangu itu, ia bertanya, “Kalian belum pergi?”

“Belum,“ jawab Mahisa Murti.

“Jika kalian memang ingin pergi, pergilah. Jangan sampai terjadi salah paham dengan saudara-saudara seperguruan yang sebentar lagi tentu akan datang,“ berkata pemimpin kelompok itu.

“Sekehendakkulah,“ jawab Mahisa Murti.

Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia memang sudah merasa, bahwa ia dan kelompoknya tidak akan dapat mengatur ketiga orang anak muda itu. Namun adalah sayang sekali jika terjadi selisih paham dengan saudara-saudaranya, terutama saudaranya yang tertua. Jika terjadi keributan dan pertempuran, pasti kekuatan mereka akan berkurang, karena tiga orang anak muda itu akan dapat membunuh siapa saja yang dikehendaki.

Namun karena itu, maka pemimpin kelompok itu tidak bertanya lebih lanjut. Namun ia masih juga memberitahu, “Menurut rencana, di saat matahari terbit, saudara-saudaraku akan datang.”

“Saudaramu yang mana?“ bertanya Mahisa Murti.

“Saudara tertua, yang mendapat pesan dari guru,“ jawab pemimpin kelompok itu.

“Saudara yang lain, yang berdiri berseberangan dengan kepentingan saudara tertuamu itu?“ bertanya Mahisa Murti pula.

“Setelah tengah hari,“ jawab pemimpin kelompok itu.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Selama kalian pergi menculik gadis ini, siapakah yang ada di rumah ini?”

“Ada dua orang yang menunggu rumah ini. Tetapi mereka tidak tahu apa-apa tentang persoalan kami. Keduanya adalah orang-orang yang sejak kanak-kanaknya tinggal disini. Orang tua mereka juga menunggu rumah ini dahulu,“ jawab pemimpin kelompok itu.

“Dimana mereka tinggal?“ bertanya Mahisa Murti.

“Di belakang,“ jawab pemimpin kelompok itu.

“Aku ingin menemui orang itu. Barangkali aku akan berubah pendirian untuk tinggal disini sampai saudara-saudaramu dari kedua pihak itu datang,“ berkata Mahisa Murti kemudian.

“Jadi kau mau tinggal?“ bertanya orang itu dengan nada tinggi.

“Tetapi mungkin kami akan membantu saudara-saudaramu yang memusuhimu itu. Soalnya kami sudah terlanjur mendendam kepada kalian, karena kalian telah menculik gadis ini,“ jawab Mahisa Murti.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya menjadi muram. Namun katanya, “Aku sudah minta maaf. Tetapi segala sesuatunya terserah kepada kalian. Aku tahu kalian memiliki kemampuan yang tidak terlawan oleh kami. Alat kami untuk memaksa kalian pun telah berhasil kalian ambil kembali.”

“Bawa kami ke belakang,“ berkata Mahisa Murti kemudian.

Pemimpin kelompok itu tidak membantah. Maka dibawanya ketiga orang anak muda dan gadis itu ke belakang. Ke sebuah pondok kecil di halaman belakang yang dihuni oleh dua orang yang ternyata adalah suami istri.

Ketiga orang anak muda dan gadis itu pun telah dipersilahkan masuk ke dalam pondok itu. Mereka dipersilahkan duduk di sebuah amben yang besar di ruang tengah. Nampaknya amben itu adalah satu-satunya perabot yang ada di rumah itu. Kedua orang suami isteri itu memang merasa heran, bahwa tiga orang anak muda dan seorang gadis telah memasuki halaman rumah itu.

“Untuk apa sebenarnya kalian kemari?“ bertanya laki-laki yang sudah lebih separuh baya itu.

Mahisa Murti memang agak sulit menjawab pertanyaan itu. Namun akhirnya ia pun berkata, “Aku tidak sengaja datang kemari. Aku datang bersama orang-orang yang tinggal di rumah ini.”

“Apakah kau sudah mengenal mereka sebelumnya?“ bertanya orang itu.

“Belum,“ jawab Mahisa Murti, “aku mengenal mereka dalam perjalanan kemari.”

“Kami berjalan bersama-sama dan kami singgah di rumah ini untuk sekedar bermalam,“ jawab Mahisa Murti.

“Kalian sudah bermalam disini. Lalu apa keperluan kalian menemui aku?“ bertanya orang itu.

Mahisa Murti mengerutkan dahinya. Ternyata ia salah duga. Orang itu tentu bukan sekedar menunggu rumah dan juru taman yang setiap hari tugasnya menyiangi tanaman. Orang itu memiliki sikap tertentu terhadap peristiwa yang terjadi di rumah itu. Ditunjukkan atau tidak ditunjukkan. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata,

“Ki Sanak. Aku adalah orang yang sudah terlanjur terlibat dalam persoalan yang mungkin terjadi di rumah ini. Aku sudah mendengar ceritera tentang dua kelompok dari saudara-saudara seperguruan di rumah ini.”

“Lalu kau akan berpihak?“ bertanya orang itu.

“Aku tidak tahu, karena aku belum tahu persoalannya,“ jawab Mahisa Murti.

“Apakah orang-orang yang membawamu kemari minta kepadamu untuk berpihak kepadanya?“ bertanya orang itu.

“Ki Sanak. Kami adalah orang-orang sederhana yang barangkali tidak mempunyai bekal apa pun seandainya kami harus terlibat. Jika kami diminta untuk melibatkan diri, semata-mata sekedar untuk menambah jumlah orang saja, namun yang barangkali tidak akan dapat membantu merubah keseimbangan sama sekali, jika terjadi benturan kekerasan,“ jawab Mahisa Murti.

Orang itu termenung sejenak. Sementara itu isterinya telah berada di dapur rumahnya yang kecil untuk menjerang air. Dalam pada itu, dengan nada rendah orang itu berkata hampir kepada diri sendiri, “Orang-orang itu memang kasar. Tetapi mereka pantas dikasihani.”

“Kenapa?“ bertanya Mahisa Murti.

“Aku tahu, kau datang kepadaku untuk mendapat keterangan tentang isi rumah ini. Orang-orang yang membawamu itu juga tidak berkeberatan membawamu kepadaku, karena keteranganku mungkin akan menguntungkan mereka,“ berkata orang itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa orang itu benar-benar seorang yang mempunyai sikap. Namun sebelum ia menjawab, maka Mahisa Pukat lah yang menjawab, “Kau benar Ki Sanak. Nah, sekarang ceriterakan menurut sisi penglihatanmu tentang orang-orang di rumah ini yang kau katakan meskipun kasar tetapi pantas dikasihani. Kemudian katakan siapa kau sebenarnya, karena kau tentu bukan sekedar juru taman atau pekatik atau gamel atau sekedar menumpang di tempat ini. Menurut pemimpin kelompok orang-orang yang tinggal di rumah itu, kau tinggal disini sejak kecil karena orang tuamu juga tinggal disini dahulu.”

“Ya,“ jawab orang itu, “semua benar. Aku tinggal disini sejak aku kecil. Karena itu, maka aku mempunyai keinginan atas rumah ini. Tetapi aku tidak berdaya untuk menentukannya.”

“Apakah keinginanmu?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Supaya rumah ini tetap menjadi pusat perguruan yang dipimpin oleh murid tertua sesuai dengan pesan guru mereka ketika guru mereka itu meninggal,“ berkata orang itu.

“Apa pesan guru mereka?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Kau tentu sudah mendengarnya,“ jawab orang itu, “orang-orang itu tentu sudah mengatakannya, karena pesan itu adalah pangkal dari pertentangan yang agaknya akan memuncak.”

“Kenapa kau berpihak kepada mereka? Tidak kepada kelompok yang satu lagi?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Aku adalah orang tua yang mengikuti perkembangan perguruan ini. Jadi aku mempunyai wawasan yang agak lengkap tentang perguruan ini. Disamping murid tertua itu ternyata ada orang lain yang mengaku murid yang lebih tua. Ketika orang itu menyatakan dirinya, ia memang mampu menunjukkan ciri-ciri perguruannya. Ciri-ciri perguruan ini. Bahkan ia mempunyai beberapa kelebihan dari saudara tertua yang mendapat pesan dari gurunya untuk menggantikan kedudukannya,“ berkata orang itu.

“Murid tertua itu akan bertahan?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Menilik wataknya, ia bukan orang yang gila pada kedudukan dan apalagi untuk dihormati. Ia orang sederhana. Yang memaksanya untuk bertahan adalah justru pesan gurunya sebelum gurunya meninggal,“ jawab orang itu.

“Baik. Sekali lagi aku mendengarkan ceriteramu yang nampaknya menurut pandanganmu dari satu sisi. Tetapi aku masih ingin mendengar pendapat orang yang berdiri di sisi lain,“ berkata Mahisa Pukat.

“Silahkan Ki Sanak,“ jawab orang tua itu, “kau memang berhak untuk melakukannya.”

Namun dalam pada itu Mahisa Murti berkata selanjutnya, “Tetapi untuk sementara aku minta ijin tinggal di pondokmu ini.”

“Silahkan. Aku tidak berkeberatan,“ berkata orang tua itu.

.Waduh! Ada bagian cerita yang hilang lagi di sini. Tapi tidak apa-apa. Kita lanjut membaca yang ada saja ya!

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun kemudian tidak menghiraukan lagi tentang namanya yang tidak dipercaya oleh orang yang dianggap saudara tertua itu. Bahkan kemudian Mahisa Murti pun bertanya, “Namamu? Saudara-saudaramu yang terdahulu pun namanya belum kami ketahui?”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya aku juga mempunyai pertanyaan seperti pertanyaanmu. Apakah nama itu begitu penting? Tetapi baiklah, aku akan menyebut namaku, Miyatsangka. Aku agaknya tidak perlu menyebut nama saudaraku seorang demi seorang.”

“Memang sudah cukup.” jawab Mahisa Murti.

“Lalu, apakah kepentinganmu dengan kami di sini?” bertanya Miyatsangka.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun kemudian Mahisa Murti bertanya, “Apakah saudara-saudaramu yang datang lebih dahulu di rumah ini belum mengatakan sesuatu tentang kami?”

Miyatsangka menggeleng. Katanya, “Mereka tidak mengatakan apa-apa selain bahwa tiga orang anak muda di pondok belakang. Kalian datang justru pada saat-saat yang gawat.”

Mahisa Murti memandang pemimpin kelompok yang telah mengambil gadis itu sambil berkata, “Kenapa kau tidak mengatakannya?“ Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Bertanyalah kepada orang yang disebut Kepala Batu itu.”

Orang yang disebut saudara tertua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun berpaling kepada pemimpin kelompok dari antara mereka yang datang lebih dahulu, “Apa yang dapat kalian katakan kepada kami?”

“Maaf kakang,” orang itu menundukkan kepalanya, “tidak ada maksud lain kecuali untuk mempertahankan kedudukan kakang sebagaimana dipesankan oleh guru.”

“Jadi kau minta bantuan mereka?” bertanya orang itu.

Pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Lalu katanya dengan nada sendat, “Ya. Kami telah minta bantuan mereka. Tetapi cara yang kami tempuh ternyata akhirnya justru tidak menguntungkan.”

“Apa yang sudah kau lakukan? Aku juga datang bersama dua orang saudara kandungku. Meskipun kedua orang saudara kandungku itu tidak memiliki ilmu yang memadai, tetapi ia akan dapat membantu menegakkan pesan guru.”

Pemimpin kelompok dari orang-orang yang menculik gadis itu akhirnya menceriterakan apa yang sudah dilakukannya.

“Jadi kau telah menculik seorang gadis?” bentak saudara tertua itu.

“Maaf kakang. Aku tidak menemukan jalan lain.” jawab orang itu.

Wajah orang itu menjadi merah. Katanya dengan geram, “Kau jangan mengorbankan martabat kemanusiaanmu untuk mempertahankan kedudukan ini. Aku tidak berkeberatan kau minta bantuan. Tetapi dengan cara yang wajar dan jujur. Jadi gadis yang ada di belakang itu adalah gadis taruhan untuk memaksa orang-orang ini membantu kita?”

“Semula begitu.” jawab pemimpin kelompok itu.

“Lalu bagaimana sekarang?” bertanya saudaranya yang tertua.

“Anak-anak muda itu dengan mudah tanpa kami ketahui, berhasil membebaskannya. Tetapi mereka tidak melarikan diri. Mereka justru menunggu kami terbangun.” jawab pemimpin kelompok itu.

“Aku tidak tahu maksudmu.” berkata saudaranya yang tertua.

“Kami ternyata tidak mampu berbuat apa-apa atas mereka. Juga untuk menahan gadis itu. Mereka ternyata dapat berbuat apa saja sesuka hati mereka. Bahkan membunuh kami sekalipun.” jawab pemimpin kelompok itu.

Saudaranya tertua mengangguk-angguk. Kemudian katanya dengan nada dalam, “Aku minta maaf atas tingkah laku adik-adik seperguruanku. Mereka benar-benar menjadi kebingungan menghadapi persoalan di antara kami bersaudara, sehingga mereka telah kehilangan akal warasnya. Memang pada mereka terdapat bekal kekasaran dan sedikit liar. Tetapi aku tidak mengira bahwa mereka telah melangkah sejauh itu.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Baiklah. Kami akan melupakannya.”

“Terima kasih atas sikap kalian anak-anak muda,” berkata saudara tertua itu, “jika kalian menjadi marah dan mengambil sikap terhadap kami, maka kekuatan kami akan menjadi semakin susut, bahkan mungkin kami sudah tidak akan mampu berbuat apa-apa lagi.”

“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, “sikapmu membuat aku semakin mantap. Aku tidak akan pergi. Aku akan menunggu saudara-saudaramu yang lain. Saudaramu yang menganggap dirinya saudara tertua itu.”

Orang yang disebut saudara tertua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah menghubungi beberapa orang tua. Ternyata orang yang mampu menunjukkan ciri-ciri ilmu perguruan kami itu bukan murid guru yang tertua sebagaimana pengakuannya. Tetapi ia adalah sebenarnya paman guru kami. Ia adalah adik seperguruan dari guru. Dengan demikian maka ilmunya memang ada diatas kemampuan kami. Demikian pula paman guru yang seorang lagi, yang memperkuat kedudukannya. Namun kami tidak akan menyerah. Kami sadar bahwa kami akan ditumpasnya. Namun kami akan mempertahankan pesan guru dengan sepanjang nyawa kami.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka memang hampir yakin. Tetapi mereka masih akan menunggu. Karena itu maka Mahisa Murti pun berkata, “Aku sudah mendapat beberapa bahan untuk menyiapkan keputusan langkah kami. Tetapi kami akan menunggu sampai orang-orang itu datang.”

“Silahkan,” jawab orang yang disebut saudara tertua dan yang menyebut dirinya bernama Miyatsangka itu, “Kami tidak akan menuntut apa pun juga. Kalian adalah orang yang bebas untuk menentukan sikap. Sudah barang tentu antara baik dan tidak baik sesuai dengan pertimbangan kalian.”

“Jika demikian kami akan minta diri,” berkata Mahisa Murti, “kami akan berada di belakang. Jika orang-orang yang mengaku saudara seperguruan kalian menurut keterangan kalian itu datang, kami mohon untuk diberi tahu.”

“Baiklah.” jawab Miyatsangka.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah meninggalkan pendapa, kembali ke pondok di belakang. Kedua orang suami isteri yang telah menginjak usia tuanya itu pun telah bertanya, apa saja yang mereka bicarakan.

“Kami belum mengambil keputusan apa-apa,” jawab Mahisa Murti, “kami masih ingin berbicara dengan orang-orang yang bermusuhan dengan mereka yang sudah ada di rumah itu.” Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu tiba-tiba saja ia bertanya, “Kau kenal orang yang bernama Miyatsangka?”

“Itulah saudara tertua itu.” jawab orang tua yang tinggal di pondok itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang itu tidak berbohong. Ia sudah menyebut namanya yang sebenarnya. Sementara itu sambil menunggu kehadiran kelompok yang lain, maka orang tua pemilik pondok itu telah mempersilahkan mereka untuk beristirahat.

“Tidurlah,” berkata Mahisa Pukat kepada Mahisa Semu, “bukankah kau sama sekali belum sempat tidur?”

Mahisa Semu termangu-mangu. Namun ketika Mahisa Murti berbaring di amben besar di ruang tengah pondok itu, maka Mahisa Semu pun ikut berbaring pula. Mahisa Pukat lah yang kemudian duduk di sebelah gadis yang masih saja selalu dibayangi oleh kecemasan dan ketakutan itu.

“Tidurlah,” berkata Mahisa Pukat, “bukankah kau juga hampir tidak tidur semalam suntuk?”

Tetapi gadis itu menggeleng. Katanya, “Aku sama sekali tidak merasa mengantuk.” Karena itu, maka gadis itu pun masih saja duduk bersandar dinding sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat.

Namun ketika pemilik pondok itu mendekat, Mahisa Pukat telah bertanya, “Bagaimana dengan kau? Bagaimana jika kelompok pertama itu menang? Dan bagaimana jika kelompok kedua yang menang.”

Pemilik pondok itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Pengaruh itu tidak terlalu banyak. Siapa pun yang menang dan siapa pun yang kalah, aku tidak akan terganggu. Aku akan dibiarkannya saja tinggal di sini. Mengurus rumah ini dan memelihara halaman dan kebun.”

“Jika tidak?” bertanya Mahisa Pukat.

“Apa boleh buat. Jika aku harus pergi, maka aku pun akan pergi.” berkata orang itu.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya apa-apa lagi. Namun dalam pada itu, ternyata isteri pemilik pondok itu telah menanak nasi untuk mereka. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, isteri pemilik pondok itu telah menghidangkan makan dan minuman hangat bagi ketiga orang anak muda dan seorang gadis itu.

“Silahkan,” perempuan itu mempersilahkan, “tetapi hanya dengan sayuran yang aku dapat dari kebun belakang. Kulit melinjo dan daun so.”

“Terima kasih.” berkata Mahisa Murti yang telah dibangunkan.

Ternyata bahwa ketiga orang anak muda itu telah makan dengan lahapnya. Tetapi gadis yang bersama mereka itu hanya makan sedikit sekali. Tetapi makan dan minuman hangat itu akan memulihkan kelelahan yang mereka alami semalam dalam perjalanan dan hampir semalam suntuk mereka tidak tidur sama sekali.

Namun agaknya mereka tidak sempat menyelesaikan makan mereka. Pada saat-saat mereka menyuapi mulut mereka dengan gumpalan-gumpalan nasi terakhir, maka terdengar pintu rumah itu bagaikan dihentakkan sekali dari luar.

“Siapa yang ada di dalam?“ terdengar suara yang keras dan kasar.

Orang-orang yang ada di dalam rumah itu terkejut. Sementara itu pemilik pondok itu telah didorong keras-keras masuk ke dalam sehingga hampir saja ia jatuh terlentang jika Mahisa Pukat tidak cepat menangkapnya.

“Ada apa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku mendengar bahwa tiga orang anak muda ada di dalam sementara mereka menyimpan seorang gadis di sini. Kau kira rumah apa ini he? Pondok ini berada di dalam lingkungan sebuah perguruan yang terhormat. Kenapa kau biarkan mereka berada di sini? Dan kenapa tikus-tikus clurut itu tidak mencegahnya pula.” bentak orang itu.

“Siapakah yang mengatakannya?” bertanya pemilik pondok itu.

“Kenapa kau bertanya siapa yang mengatakannya? Bukankah di sini memang ada tiga orang anak muda dan seorang gadis?” bentak orang itu.

“Tetapi mereka adalah sanak kadangku.” jawab orang itu.

Orang yang mendorong pemilik pondok itu menjadi semakin marah. Dengan wajah yang marah ia berkata, “Jika kau menjawab satu kata saja, maka aku koyakkan mulutmu.”

Orang itu memang tidak berani mengatakan sesuatu. Sementara itu orang itu pun membentak-bentak, “Ikut aku. Ketiga-tiganya dan gadis itu.”

Mahisa Murti memberi isyarat kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu untuk mengikutinya. Ketika gadis itu menjadi gemetar Mahisa Pukat berkata perlahan sekali ditelinganya, “Jangan takut.”

Keempat orang itu pun kemudian telah mengikuti keluar dari pondok itu. Pemilik pondok yang tua itu pun telah mengikuti pula dengan hati yang cemas. Di luar pondok telah berdiri beberapa orang. Di antaranya adalah orang yang disebut saudara tertua, yang mendapat pesan dari gurunya untuk memimpin padepokan itu.

Dengan nada berat ia bertanya, “Kau mau apa dengan ke empat orang anak muda itu.”

“Jangan turut campur. Sebentar lagi kau akan aku usir dari rumah ini. Tetapi aku masih ingin berbicara dengan kau dan saudara-saudara seperguruan yang sesat. Mudah-mudahan kau menyadari keadaan dirimu.” jawab orang yang kasar itu.

“Mereka adalah tamu-tamuku.” berkata Miyatsangka.

“Omong kosong,” bentak orang kasar itu, “kau kira kami tidak tahu bahwa mereka datang semalam langsung ke pondok itu. Apa saja yang dilakukan oleh ketiga orang laki-laki dan perempuan itu?”

“Kamilah yang membawanya kemari.” jawab saudara tertua itu.

“Kau baru datang pagi tadi.” bentak orang yang mengaku saudara yang lebih tua lagi itu.

“Saudara-saudarakulah yang membawa mereka.” jawab murid tertua itu.

“Persetan. Jangan campuri urusanku.”

“Ini juga urusanku. Urusan kita belum selesai. Kita harus menyelesaikan urusan kita lebih dahulu. Baru siapa yang berhak mengurusi tamu-tamu itu. Mereka tamuku. Segala akibat kehadirannya adalah tanggung jawabku.” geram saudara tertua itu.

“Persetan,” orang yang mengaku lebih tua itu membentak semakin keras. Katanya selanjutnya, “Miyatsangka. Ternyata kau menjadi semakin keras kepala. Pergi ke pendapa. Aku akan menyelesaikan persoalanku dengan orang-orang ini sesuai dengan paugeran yang aku berlakukan di sini.”

“Tidak. Jika kau memaksa, kita akan memaksakan kehendak kita masing-masing tanpa berbicara apa-apa.” berkata saudara tertua itu.

“Anak iblis. Kau tahu akibatnya? Kalian akan mati semuanya. Termasuk kau sendiri.”

“Tidak ada bedanya. Mati nanti atau mati sekarang.” jawab Miyatsangka.

Orang yang mengaku berhak atas pimpinan perguruan itu menjadi semakin marah. Tetapi seorang yang nampaknya lebih banyak mempergunakan nalarnya telah mencegahnya. Katanya, “Biarkan saja ketiga anak muda dan perempuan itu. Kita akhirnya akan menyelesaikannya juga nanti.”

“Awasi mereka,” geram orang itu, “jangan sampai mereka melarikan diri.”

“Mereka akan bersama kami berbicara dengan kalian di pendapa.” berkata Miyatsangka tiba-tiba.

“Apakah kau sudah gila.” bentak orang yang mengaku lebih berhak itu.

“Mungkin,” berkata Miyatsangka, “kau sudah terlanjur memanggilnya keluar.”

“Persetan,” geram orang itu, “kau benar-benar sudah gila.”

“Jangan hiraukan.” berkata orang nampaknya lebih banyak berpikir itu.

Akhirnya orang itu pun telah pergi ke pendapa tanpa menghiraukan orang lain. Sementara Miyatsangka yang dianggap saudara tertua itu pun telah pergi ke pendapa pula. Ternyata mereka duduk dalam kelompok yang terbagi. Satu kelompok di sisi sebelah sedangkan satu kelompok di sisi yang lain.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan gadis itu pun telah ikut pula duduk di pendapa. Ternyata dengan tidak sengaja Mahisa Murti berempat telah duduk di belakang kelompok yang dipimpin oleh saudara tertua yang disebut Miyatsangka itu.

“Baiklah,” berkata pemimpin dari kelompok yang lain, yang agaknya merasa lebih berhak memimpin padepokan itu, “kita akan membagi hak. Seperti yang sudah aku katakan, maka aku tidak akan berkepanjangan. Aku akan memimpin perguruan ini. Sedangkan Miyatsangka akan mendapat hak untuk membuka perguruan sendiri asal tidak menyangkut nama perguruan kita di sini. Miyatsangka tidak boleh pula menyebut-nyebut bahwa ia memiliki sangkut paut dengan guru dalam segala hal. Nah, jika ia memenuhi hak yang aku berikan itu, maka aku tidak akan mengganggunya. Tetapi jika ia melanggar maka kau akan menghukumnya.”

“Tidak,” jawab Miyatsangka, “seperti sudah aku katakan pula, sebenarnya aku tidak terlalu bernafsu untuk memegang kedudukan apa pun juga. Tetapi aku tidak dapat mengabaikan pesan guru. Karena itu, maka aku akan memimpin perguruan ini.”

“Kau tidak usah mengigau,” berkata orang itu, “kau harus melihat kenyataan. Saudara-saudara seperguruan kita sudah menentukan, siapakah yang mereka anggap benar. Hitung, berapa orang yang berpihak kepadaku dan berapa orang yang berpihak kepadamu. Sudah tentu kau tidak dapat menghitung orang-orang lain yang kau bawa kemari hari ini.”

Miyatsangka menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia menjawab, “Kau kira kebenaran dapat diukur dengan jumlah mulut yang meneriakkannya? Aku yakin bahwa tanpa kau takut-takuti dan kau ancam atau barangkali kau beri janji-janji yang tidak masuk akal, maka mereka tidak akan berpihak kepadamu. Tetapi aku tetap berpegang kepada pesan guru yang didengar oleh semua murid-muridnya termasuk saudara-saudaraku yang berpihak kepadamu, bahwa akulah yang mendapat beban untuk memimpin padepokan ini. Sekali lagi aku katakan, bahwa aku tidak menginginkan kedudukan itu. Yang aku lakukan adalah semata-mata pesan guru.”

“Guru tidak tahu bahwa kami masih hidup. Jika guru tahu, maka pesannya akan berbunyi lain.” jawab orang yang ingin merampas kedudukan itu.

“Jangan kau kira bahwa aku tidak tahu siapakah kau sebenarnya. Kau bukan saudara tertua di perguruan ini. Tetapi kau adalah justru paman guruku. Kau adalah adik seperguruan guru. Karena itu, maka kau dapat menunjukkan ciri-ciri perguruan ini dengan baik.” berkata saudara tertua itu.

Wajah orang itu menjadi tegang. Sejenak ia justru terdiam. Namun akhirnya ia berkata hampir berteriak, “Jangan mencari-cari. Kau tidak akan dapat mengelak lagi. Akulah saudara tertua di perguruan ini.”

Tetapi Miyatsangka tetap berkeras kepala. Katanya dengan mantap, “Tidak. Aku telah mendapat pesan guru yang tidak akan dapat diganggu gugat oleh siapapun.”

“Persetan,” geram orang itu, “kau tahu akibat dari sikapmu itu.”

“Aku tidak peduli. Yang penting, pesan guru harus aku lakukan sebaik-baiknya. Apa pun yang dapat terjadi atas diriku.” sahut Miyatsangka.

Orang yang mengaku tertua itu menggeram. Katanya, “Ternyata kau memang keras kepala. Jika kau mati, maka kau pun tidak akan dapat memenuhi pesan guru itu.”

“Tetapi aku sudah menebusnya dengan nyawaku,” berkata Miyatsangka.

“Anak iblis,” geramnya, “baiklah. Jika demikian maka kami akan memenuhi keinginanmu. Kami yang sebenarnya datang dengan maksud baik harus bertindak lebih tegas lagi menghadapi anak-anak bengal seperti kau ini.”

Miyangsangka sudah tidak peduli lagi. Ia pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun dalam pada itu, terdengar suara Mahisa Murti, “Apakah persoalan ini benar-benar sudah tidak dapat dibicarakan lagi?”

“Anak setan,” teriak orang yang ingin merampas kedudukan itu, “apa hakmu mencampuri persoalanku. Sebaiknya kau diam saja. Jika kau masih juga berbicara, maka mulutmu akan aku koyak sampai ke telinga.”

Tetapi Mahisa Murti justru tertawa. Katanya, “Jangan cepat marah. Kau akan menjadi semakin cepat tua.”

Wajah orang itu menjadi merah. Namun sebelum orang itu bertindak, maka Miyatsangka berkata, “Jangan mengembangkan persoalan. Tinggalkan tempat ini, dan jangan mencoba merusak pesan guru. Kau adalah adik seperguruan guruku, sehingga karena itu, maka sebenarnya aku pun harus menghormatinya.” Miyatsangka berhenti sejenak, lalu “Aku pun mengerti, sebenarnya aku memang harus hormat kepada paman. Tetapi Paman telah menjadikan diri paman sendiri, seorang yang tidak pantas dihormati. Karena itu, apa boleh buat, jika aku telah memberanikan diri melawan paman untuk mengemban tugas guru. Aku yakin bahwa yang tidak bersalah akan dilindungi oleh Yang Maha Agung.”

“Miyatsangka. Apakah kau sudah gila. Bukankah kau tahu ketentuan yang memberi hidup. Tataran ilmuku?”

“Ya,” jawab Miyatsangka tegas, “aku tahu tataran ilmumu yang tinggi, meskipun belum setinggi guru. Sehinggah kau merasa tidak terkalahkan di padepokan ini.”

“Setan manakah yang telah memberanikan diri menghadapi aku.” jawab Miyatsangka.

Demikianlah, maka kedua belah pihak pun segera telah mempersiapkan diri. Nampaknya mereka sudah tidak mungkin lagi untuk menemukan titik terang, sampai kapan pun mereka berbicara meskipun keduanya tetap bersaudara.

Orang yang menginginkan kedudukan itu telah memandangi orang-orang yang menentangnya. Dengan jari-jarinya yang gemetar ia menunjuk ke arah saudara-saudaranya yang menentangnya sambil berkata,

“Kalian tidak akan mendapat kesempatan lain jika kalian tidak menyatakan tunduk kepadaku sekarang...”

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 69

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 69
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

TETAPI yang terjadi adalah sebaliknya. Ayunan kapak itu sama sekali tidak menyentuh pedang Mahisa Murti. Justru ketika kapak itu terayun dengan derasnya, Mahisa Murti yang tahu pasti bahwa baja kapak itu jauh lebih baik dari pedangnya, justru telah menghindarinya. 

Namun demikian kapak bertangkai agak panjang itu terayun sejengkal dari dadanya, maka dengan Mahisa Murti meloncat maju. Ternyata ia memiliki kecepatan jauh lebih besar dari orang itu. Pedangnyalah yang kemudian memukul kapak itu. Bukan pada baja pilihannya, tetapi pada tangkainya yang terbuat dari kayu pilihan. Kayu berlian.

Namun, arah pukulan pedang Mahisa Murti yang searah dengan ayunan kapak itu, justru telah mendorong kapak itu dari genggaman pemiliknya. Orang berkapak itu memaki kasar. Tetapi Mahisa Murti memang tidak sempat menyerangnya karena orang lain, dengan golok yang besar berlari menyerangnya dengan golok terjulur lurus ke arah dada.

Namun demikian Mahisa Murti bergeser selangkah ke samping, serangan itu gagal sama sekali. Orang itu justru terseret oleh dorongan serangannya sendiri, sehingga ia tidak sempat menghindari ketika kaki Mahisa Murti mengaitnya.

Orang itu telah jatuh terjerembab justru di depan pemilik pedati yang sedang melindungi anaknya itu. Goloknya yang besar telah terlepas dari tangannya dan jatuh beberapa langkah dari padanya.

Pemilik pedati itu memang terkejut. Namun dengan gerak naluriah ia telah mengangkat kerisnya. Hampir saja keris itu menghunjam ke punggung orang yang tertelungkup dihadapannya. Namun tiba-tiba saja anak gadisnya berdesis, “Ayah.”

Laki-laki itu tertegun, sementara anak gadisnya telah memalingkan wajahnya. Pemilik pedati itu menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari keadaannya bahwa memang sebaiknya ia tidak membunuh. Akan tetapi ia tidak mau membiarkan orang itu bangkit, mengambil senjatanya dan melawan anak muda itu lagi. Karena itu, maka ketika orang itu berusaha untuk meloncat berdiri, keris pemilik pedati itu telah mengoyak pundaknya.

Orang itu mengeluh kesakitan. Tetapi luka di pundak kanannya itu telah melumpuhkan tangannya pula, sehingga ia tidak akan mampu bertempur dengan senjatanya. Namun agaknya luka itu terlalu dalam, sehingga darah pun telah mengalir terlalu banyak. Dengan demikian maka orang itu justru tidak berani lagi terlalu banyak bergerak. Ketika ia kemudian bangkit, maka dengan tegangnya ia bergeser mundur. Rasa-rasanya ia menjadi ketakutan jika ayah dari gadis yang dipertaruhkan itu menusuk pada punggungnya.

Tetapi adalah diluar dugaan, bahwa tiba-tiba saja serangan yang keras telah mengenai punggungnya. Mahisa Pukat lah yang telah menyerangnya. Tidak dengan pedangnya, tetapi dengan sisi telapak tangan kirinya. Orang itu menyeringai kesakitan. Perlahan-lahan ia justru jatuh diatas lututnya. Pukulan di punggungnya itu rasa-rasanya telah membuat dadanya menjadi sesak. Tulang-tulangnya bagaikan berpatahan.

Karena itu, maka akhirnya ia pun benar-benar jatuh terlentang. Rasa-rasanya langit yang gelap menjadi bertambah pekat, sehingga bintang-bintang pun menjadi kabur dan lenyap sama sekali. Pingsan. Pemilik pedati yang mendekap anaknya yang ketakutan itu berdiri termangu-mangu melihat orang itu terbaring diam. Dari pundaknya masih mengalir darah yang segar.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata telah berhasil menghalau lawan-lawan mereka seorang demi seorang. Seorang yang bersenjata sebatang tombak berkait, masih berusaha untuk menyerang Mahisa Pukat dengan garangnya. Tetapi Mahisa Pukat dengan tangkasnya selalu berhasil menghindar. Bahkan sekali-sekali menangkis serangan itu dengan pedangnya.

Dengan demikian, maka lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi semakin susut. Dan bahkan kemudian orang-orang terakhirlah yang masih saja bertempur. Mereka tidak dapat melarikan diri, karena mereka justru takut hukuman orang berjambang itu. Mereka mengenal orang itu baik-baik, sehingga jika orang itu mengancam untuk membunuh, ia benar-benar akan membunuh.

Sementara itu, Mahisa Semu masih bertempur melawan orang berjambang itu. Ternyata keduanya memiliki ilmu yang seimbang. Meskipun Mahisa Semu tidak memiliki pengalaman seluas lawannya, tetapi ia memiliki dasar ilmu yang lebih tinggi, sehingga karena itu, maka Mahisa Semu dapat mengisi kekurangannya itu dengan kelebihan yang lain.

Beberapa lamanya keduanya bertempur dengan sengitnya. Senjata masing-masing telah berputaran, terayun mendatar, menebas lurus menyamping, menyambar tegak lurus dan mematuk ke arah dada. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang masih bertempur melawan beberapa orang yang sebenarnya telah tidak berdaya.

Tetapi agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak menghentikan perlawanan mereka seluruhnya, untuk menjaga suasana pertempuran. Jika pertempuran itu berhenti sama sekali, maka Mahisa Semu akan dapat memasuki satu keadaan perang tanding. Kedua orang anak muda itu masih belum dapat melepaskan Mahisa Semu memasuki perang tanding meskipun tingkat kemampuan lawannya nampaknya memang seimbang.

Sambil bertempur dengan lawan yang tidak seimbang, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengawasi pertempuran antara Mahisa Semu dan orang berjambang itu. Mahisa Semu kadang-kadang memang terkejut menghadapi lawannya yang sudah berpengalaman luas sekali. Namun latihan-latihan yang berat dan menggapai rentangan yang luas, maka membuat Mahisa Semu seorang anak muda yang liat dan dengan cepat mengatasi persoalan yang tiba-tiba saja dijumpainya dalam pertempuran itu.

Mahisa Murti yang masih saja bertempur melawan dua orang dan Mahisa Pukat melawan orang yang bersenjata tombak berkait. Bahkan sekali-sekali Mahisa Pukat masih juga memberikan harapan dengan berloncatan surut. Membiarkan pedangnya terkait oleh tombak lawannya, namun tidak melepaskannya ketika lawannya menariknya meskipun dengan hentakkan yang kuat. Bahkan tombak itu sendirilah yang tiap kali hampir terlepas dari tangannya.

Namun ketika pertempuran antara Mahisa Semu dan orang berjambang itu menjadi semakin sengit dan gerakannya semakin rumit, Mahisa Pukat merasa perlu untuk mengamati lebih cermat. Sementara itu ia berusaha untuk mengamati seluruh medan dengan saksama. Orang-orang yang terbaring karena luka-lukanya. Orang yang terdahulu terluka pada pertempuran itu ternyata sempat ditolong dan dibawa menepi oleh kawan-kawannya. Namun yang terluka kemudian harus merangkak sendiri menepi.

Menurut pengamatan Mahisa Pukat, selain tiga orang yang masih bertempur itu, tidak ada lagi orang yang masih akan dapat melibatkan diri. Karena itu, maka Mahisa Pukat menganggap bahwa ia akan dapat meninggalkan arena itu dan mendekati Mahisa Semu. Sementara itu, orang-orang itu akan diserahkan kepada Mahisa Murti untuk melayaninya.

Namun, ketika Mahisa Pukat sedang memperhitungkan berbagai kemungkinan orang bertombak pendek itu telah menyerangnya. Demikian tiba-tiba sehingga Mahisa Pukat harus mengatasinya. Ternyata Mahisa Pukat tidak mengelak. Ia telah memiringkan tubuhnya sambil menangkis serangan itu dengan pedangnya. Tombak itu memang terdorong menyamping. Namun Mahisa Pukat telah memutar pedangnya, sehingga seakan-akan telah membelit dan memutar tangkai tombak pendek itu. Tongkat itu ternyata telah terloncat dari tangannya.

Dengan tangkas Mahisa Pukat telah meloncat menggapai tangkai tombak itu. Sementara itu pemiliknya juga telah berusaha menggapai tombaknya yang terlempar keatas. Namun ternyata bahwa orang itu justru menangkap tangkai tombaknya dibawah tajam berkait dari tombak itu, sementara Mahisa Pukat di bagian lain. Karena itu ketika dengan tidak sengaja Mahisa Pukat menghentak menarik tombak itu, maka kait pada tajam tombak itu justru telah mengait tangan pemiliknya itu sendiri.

Orang yang tangannya terkait oleh tombaknya sendiri itu telah berteriak kesakitan. Mahisa Pukat pun agaknya telah terkejut karenanya. Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Pukat itu pun berkata lantang, “Jangan bergerak.”

Orang itu justru telah membeku, sementara Mahisa Pukat telah mendekatinya dan berusaha untuk mencabut kait tombak yang menancap pada tangan orang itu. Orang itu berteriak kesakitan. Namun sejenak kemudian Mahisa Pukat telah berhasil.

Ketika Mahisa Pukat melepaskan tangan orang itu dan kemudian melemparkan tombak berkait itu, maka orang yang tangannya terluka itu telah tertatih-tatih menepi. Demikian ia sampai di tangga pendapa, maka ia pun telah menjatuhkan diri di samping kawannya yang juga telah terluka sambil memegangi pergelangan tangannya untuk menahan arus darahnya yang mengalir dari lukanya itu.

Dengan demikian, maka Mahisa Pukat telah terbebas dari semua lawan-lawannya. Namun Mahisa Murti masih bertempur melawan dua orang yang sebenarnya sudah tidak mampu untuk berbuat apa-apa, sehingga kedua orang itu justru menjadi heran, kenapa lawannya tidak saja mengakhiri mereka sekaligus. Karena itulah, maka meskipun keduanya tidak menyerah, namun keduanya tidak lagi bergairah lagi untuk bertempur. Mereka justru menjadi berdebar-debar, kenapa lawannya itu masih saja membiarkannya bertempur.

Sementara itu, Mahisa Pukat lah yang mendekati Mahisa Semu yang justru bertempur semakin sengit. Keduanya berloncatan serang menyerang, desak-mendesak dan bahkan ujung-ujung senjata mereka seakan-akan mulai menyentuh kulit lawan masing-masing.

Sebenarnyalah, Mahisa Semu terkejut ketika segores luka telah menyengat lengannya. Perasaan pedih bagaikan menggigit tulang. Darah pun telah menitik dari luka itu. Namun darah yang hangat itu telah membuat jantung Mahisa Semu berdegup semakin cepat. Kemarahannya bagaikan membakar ubun-ubunnya. Dengan demikian maka Mahisa Semu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Ia bergerak lebih cepat dan ayunan pedangnya pun menjadi semakin kuat.

Sebenarnyalah bahwa lawannya yang telah mengerahkan segenap kemampuannya justru merasakan bahwa tenaganya mulai susut. Anak muda yang tangkas itu justru baru dalam puncak perlawanannya yang sangat garang. Dalam serangan yang cepat dan tiba-tiba, maka Mahisa Semu ternyata telah berhasil membalas luka di lengannya. Ujung pedangnya telah mengoyak lambung orang berjambang itu.

Mahisa Pukat yang menjadi cemas, telah menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa Mahisa Semu mampu mengimbangi lawannya yang agaknya telah memiliki pengalaman yang cukup luas. Bahkan beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat mulai melihat, bahwa tenaga orang berjambang itu mulai menjadi susut.

Nampaknya luka di lambungnya itu memang mulai mengganggunya, sehingga setiap kali ia meloncat mengambil jarak sambil meraba lukanya itu. Tangannya sudah menjadi merah oleh darah. Demikian pula pakaian yang dikenakannya.

Namun orang itu tidak menyerah. Apalagi ketika sekilas dilihatnya gadis yang telah disembunyikannya itu berpegang ayahnya erat-erat. Tiba-tiba saja jantungnya menjadi semakin bergolak. Bukan saja karena gadis itu terlepas dari tangannya. Tetapi keinginannya untuk membunuh ayah gadis itu serasa semakin mendesak di dalam dadanya. Ia tidak mau melihat kenyataan bahwa semua orang yang berpihak padanya telah tidak berdaya.

Bahkan dua orang yang mula-mula masih bertempur melawan Mahisa Murti telah kehilangan tenaganya sama sekali, sehingga keduanya sudah tidak mampu lagi berbuat apa-apa, selain menjatuhkan diri dan berusaha menjaga agar nafasnya tidak terputus karenanya.

Dalam pada itu, Mahisa Murti ternyata masih sempat berkata lantang, “Aku mulai jemu dengan permainan ini. Siapa yang mau mendengar kata-kataku, akan selamat. Tetapi jika tidak, maka bukan salah kami jika kalian akan tertembus tajamnya pedang. Minggirlah. Tinggalkan arena pertempuran ini.”

Namun terdengar jawaban orang berjambang, “Bunuh orang-orang itu, cepat. Siapa yang meninggalkan arena akan aku bunuh sendiri.”

Tetapi Mahisa Semu menyahut, “Orang itu tidak akan sempat membunuh siapa pun karena nyawanya akan segera dicabut dari wadagnya yang sombong ini.”

Orang berjambang itu menjadi semakin marah. Dengan serta merta ia meloncat menyerang dengan garangnya. Tetapi Mahisa Semu benar-benar telah mempersiapkan dirinya. Ia masih saja menganggap pertempuran itu sebagai satu upaya untuk menambah pengalamannya. Ternyata bahwa orang berjambang itu memiliki ilmu yang cukup.

Dengan demikian Mahisa Semu memang harus mengerahkan kemampuannya. Dengan dasar ilmu yang dimilikinya, maka sekali-sekali Mahisa Semu masih harus berloncatan mundur. Orang itu rasa-rasanya akan mendesaknya. Namun dengan membuat perhitungan-perhitungan yang mapan, maka Mahisa Semu dapat segera menguasai keadaan kembali. Dengan tangkasnya ia memutar pedangnya kemudian dengan perhitungan yang cermat ia justru mulai mendesak lawannya dengan tusukan-tusukan lurus ke arah dada.

Bahkan dengan sisa tenaga yang ada, maka orang berjambang itu masih berusaha untuk mendesak Mahisa Semu. Nafsunya yang menyala di dadanya, memang membuat lukanya seakan-akan tidak terasa. Tetapi darahnyalah yang tidak dapat dicegahnya, mengalir semakin deras. Dengan demikian, maka tenaganya pun menjadi semakin cepat susut. Bahkan kemudian, rasa-rasanya kakinya menjadi berat bagaikan timah, sementara tangannya pun menjadi lesu dan tidak bertenaga lagi untuk menggerakkan senjatanya.

Maka mereka pun segera sampai pada akhir dari pertempuran itu. Orang berjambang itu benar-benar telah kehilangan penalarannya. Dengan membabi buta ia menyerang Mahisa Semu yang belum berpengalaman. Ketika orang itu menyerangnya dengan melibat dari jarak yang sangat dekat, serta mengumpat-umpat kasar dan bahkan kotor, Mahisa Semu memang menjadi agak bingung. Namun latihan-latihan yang berat dan mapan telah memberikan banyak kemungkinan baginya. Bahkan justru pada saat-saat lawannya bagaikan kehilangan akal itu Mahisa Semu telah mempergunakannya dengan sebaik-baiknya meskipun agak tergesa-gesa.

Demikianlah, beberapa saat kemudian, pertempuran itu kian menjadi rapat. Keduanya pun seakan-akan tidak dapat mengambil jarak sama sekali. Senjata kedua orang itu sekali-sekali mencuat, namun pada kesempatan lain saling menekan. Sehingga akhirnya, terdengar teriakan nyaring bagaikan menggetarkan langit. Beberapa saat kemudian Mahisa Semu pun bergeser surut. Tubuhnya berlumuran darah, bukan saja di lengannya yang terluka. Tetapi di dadanya pun telah memerah darah.

Mahisa Pukat terkejut. Dengan serta merta ia meloncat mendekati Mahisa Semu. Namun langkahnya tertegun ketika kemudian ia pun melihat orang berjambang panjang itu juga berlumuran darah. Bahkan senjatanya telah terkulai jatuh, terlepas dari tangannya. Beberapa langkah ia tertatih-tatih surut. Namun kemudian ia pun telah terjatuh terlentang. Dadanya menyemburkan darah dari jantungnya yang tertikam senjata Mahisa Semu.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Darah di tubuh Mahisa Semu adalah pancaran darah lawannya. Tubuh Mahisa Semu sendiri tidak terluka selain lukanya yang terdahulu. Mahisa Pukat menepuk bahu adik angkatnya itu sambil berkata, “Kau berhasil melindungi dirimu sendiri.”

Mahisa Semu tidak menjawab. Diperhatikannya orang yang telah terbujur diam itu. “Apakah aku telah membunuhnya?” bertanya Mahisa Semu.

“Bukan salahmu.” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Semu berdiri mematung sambil memperhatikan lawannya yang telah terbunuh itu. Sedangkan Mahisa Murti pun telah berdiri disebelahnya pula.

“Satu akibat yang sulit dihindari di peperangan,” berkata Mahisa Murti, “Marilah. Beristirahatlah di pendapa itu.”

Mahisa Murti pun kemudian telah membimbing Mahisa Semu sementara Mahisa Pukat mengajak pemilik pedati yang masih saja mendekap anak gadisnya yang ketakutan untuk pergi ke pendapa dan duduk di tangga.

Sementara itu beberapa sosok tubuh terbaring di halaman. Mahisa Murti memang tidak melukai lawan-lawannya yang terakhir. Tetapi membiarkan mereka kehabisan nafas dan kemudian menghentikan perlawanan mereka. Untuk beberapa saat halaman rumah itu memang menjadi lengang. Beberapa orang masih mengerang kesakitan. Yang lain terengah-engah, sementara yang lain lagi diam membeku.

Namun beberapa saat kemudian Mahisa Murti telah mendekati kedua orang lawannya yang terakhir. Sambil berdiri bertolak pinggang ia berkata, “Nah, sekarang giliran kalian untuk mati.”

Kedua orang itu terkejut. Dengan nada tinggi keduanya bertanya hampir berbareng, “Kenapa?”

“Kalian tidak usah bertanya. Kalian tahu, bahwa kita sedang bertempur. Dalam pertempuran bukankah membunuh lawan itu merupakan satu hal yang biasa?”

“Tetapi kenapa baru sekarang?” bertanya salah seorang dari keduanya, “kenapa tidak di saat kita sedang bertempur.”

“Itu adalah urusanku. Kapan saja aku ingin membunuh, maka aku akan membunuh. Demikian pula sekarang ini, aku tiba-tiba saja ingin membunuh kalian.” berkata Mahisa Murti pula.

“Jangan,” minta yang seorang, “jangan bunuh kami.”

“Terserah kepadaku, apakah aku akan membunuh atau tidak.” jawab Mahisa Murti.

Orang-orang itu menjadi pucat. Mahisa Murti memang nampak bersungguh-sungguh. Namun ketika dilihatnya kedua orang itu benar-benar menjadi ketakutan, maka katanya, “Baiklah, jika kalian tidak ingin mati. Tetapi ada syarat yang harus kalian lakukan.”

“Syarat apa?” bertanya kedua orang itu hampir berbareng.

“Urusilah kawan-kawanmu yang terbunuh. Terserah kepadamu apa yang akan kau lakukan atas rumah ini dan persoalan-persoalan lainnya. Kami akan meninggalkan tempat ini.” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi apa yang dapat kami katakan kepada orang-orang lain jika mereka berdatangan ke tempat ini?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Itu urusanmu. Tetapi ternyata sampai sekarang tidak ada seorang pun yang mempedulikan apa yang telah terjadi di sini. Karena itu, maka kalian akan dapat berbuat banyak di sini.” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi jangan serahkan seluruhnya kepada kami. Di sini ada beberapa orang terbunuh, terluka dan bahkan parah.” berkata seorang di antara mereka.

“Jika demikian maka kalian akan aku bunuh saja sama sekali. Semua orang aku bunuh, dan kami akan pergi dengan tenang.” geram Mahisa Murti.

“Jangan. Jangan lakukan itu.” minta keduanya hampir berbareng.

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Jika demikian, maka kalian harus melakukan apa yang aku minta.”

Kedua orang itu termangu-mangu. Sementara Mahisa Murti berkata pula, “kalian dapat memilih. Melakukan permintaanku atau aku bunuh sama sekali.”

Kedua orang itu memang menjadi tegang. Keduanya mengumpat di dalam hati. Tetapi keduanya memang tidak dapat berbuat lain. Karena itu, maka mereka tidak berbuat sesuatu ketika Mahisa Murti kemudian mengajak Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan ayah dan anak perempuannya itu pergi.

Demikian mereka keluar dari regol halaman, ternyata mereka merasakan, berpasang-pasang mata tengah mengawasi mereka dari balik dinding, dari balik dedaunan dan dari tempat-tempat tersembunyi yang gelap. Tetapi nampaknya mereka tidak berani untuk berbuat sesuatu. Bagi mereka, penghuni rumah itu adalah orang yang menakutkan. Jika ada orang yang dapat menundukkannya, maka orang-orang di sekitarnya tentu akan berterima kasih.

Tetapi Mahisa Murti dan orang-orang yang bersamanya tidak menghiraukan orang-orang itu. Mereka berjalan digelapnya malam menuju ke rumah pemilik pedati yang masih saja mendekap anaknya yang hampir saja menjadi korban itu.

Namun sejenak kemudian, maka apa yang terjadi itu telah menjadi bahan pembicaraan orang. Beberapa orang yang telah memberanikan diri untuk menjenguk ke halaman setelah mereka melihat beberapa orang meninggalkan halaman itu. Mereka memang terkejut melihat beberapa sosok tubuh yang terbaring.

Sementara itu, orang yang masih dapat berdiri tegak di halaman itu menjadi ketakutan. Namun orang yang menjenguk itu pun segera meninggalkan halaman itu. Mereka tidak mau terlibat dalam persoalan yang tidak mereka ketahui, sementara orang-orang padukuhan itu menganggap bahwa di dalam rumah itu terdapat orang-orang berilmu yang lebih senang bertindak menurut kesenangan mereka masing-masing tanpa menghiraukan orang lain.

Ketika tidak lagi nampak orang di regol, maka salah seorang di antara mereka dengan tergesa-gesa telah berlari untuk menutup pintu regol itu dan menyelaraknya dari depan.

“Setan,” geramnya, “orang-orang itu benar-benar iblis.”

“Lebih baik kita mengubur mereka daripada kita yang dikuburkan.” sahut yang lain.

Kawannya tidak menjawab. Namun kemudian diamatinya orang-orang yang terluka. Katanya dengan lantang, “Siapa yang tidak mau dikubur harus ikut mengubur. Siapa yang tidak lagi bangkit, maka ia akan diseret ke lubang yang akan aku buat di samping gandok itu.”

Beberapa orang yang terluka masih mencoba untuk bangkit. Tetapi ternyata ada di antara mereka yang memang tidak berhasil. Namun akhirnya mereka yang masih mampu melakukan telah membantu membuat beberapa lubang untuk mengubur kawan-kawan mereka yang terbunuh.

Namun ternyata dua orang yang masih cukup kuat itu telah dengan diam-diam meninggalkan tempat itu ketika semuanya dianggap sudah selesai. Mereka merasa lebih baik tidak bersangkut paut lagi dengan orang-orang yang di dalam halaman rumah itu serta orang-orang padukuhan. Tetapi orang-orang yang terluka tidak dapat berbuat seperti keduanya. Mereka terpaksa tetap berada di tempat itu dan berusaha menolong diri sendiri jika mereka tidak mau mati.

Sementara itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu bersama kedua orang ayah dan anak gadisnya itu telah menyusuri jalan ke rumah orang itu. Beberapa orang memang dengan tidak sengaja melihat mereka melintas di depan gardu. Bahkan orang yang kebetulan melihat pemilik pedati itu berangkat dengan tergesa-gesa sambil membawa keris telah melihat orang itu kembali membawa anaknya.

“Orang itu berhasil membebaskan anak gadisnya.” gumam orang itu.

“Luar biasa,” sahut yang lain, “bukankah di rumah itu seakan-akan tersembunyi maut yang dapat menerkam setiap saat.”

Orang-orang di gardu itu mengangguk-angguk. Namun mereka pun mulai menilai anak-anak muda yang lewat bersama pemilik pedati yang membawa anaknya itu. Seorang di antara mereka berkata, “Anak-anak muda itu tentu telah menolongnya.”

“Mungkin. Tetapi dapat terjadi kemungkinan yang lain. Terlepas dari mulut harimau, gadis itu akan dapat jatuh ke mulut seekor buaya.” berkata yang lain.

“Maksudmu?” bertanya yang pertama.

“Apakah anak-anak muda itu benar-benar tanpa pamrih jika mereka menyabung nyawa melepaskan gadis itu?.” jawab kawannya.

“Tetapi mereka masih muda. Nampaknya ada keseimbangan dibanding dengan iblis tua itu. Apalagi iblis itu telah mengambil ibunya pula sebelumnya.” jawab yang pertama.

Kawannya mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab. Sementara itu, pemilik pedati itu pun telah sampai ke regol halaman rumahnya. Namun tiba-tiba ia menjadi termangu-mangu.

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi akhirnya ia pun telah melangkah memasuki regol halaman rumahnya yang tua. Namun bagaimanapun juga ayah dan anak gadisnya itu nampak ragu-ragu. Meskipun di rumah itu telah dinyalakan lampu minyak, namun keduanya tidak segera masuk.

“Menunggu apa lagi?” bertanya Mahisa Murti.

Pemilik pedati itu tidak menjawab. Namun dalam pada itu, ternyata isterinya yang ada di dalam, telah mendengar kehadiran mereka, sehingga ia pun telah berlari-lari ke pintu. Dalam keremangan malam dan lampu minyak yang suram di dalam rumahnya yang menyorot lewat pintu yang terbuka, ia melihat anak gadisnya yang masih ketakutan dan berpegang erat kepada ayahnya.

Karena itu, maka perempuan itu pun segera berlari-lari mendapatkannya. Tetapi perempuan itu terkejut. Anak gadisnya itu tidak lari pula kepadanya, tetapi ia justru menjerit ketakutan dan bersembunyi di belakang ayahnya.

“Anakku.” desis perempuan itu.

“Tidak,” gadis itu hampir berteriak, “Ibu khianati ayah dan ibu bawa aku ke rumah iblis gila itu, sehingga hampir saja aku menjadi korbannya pula. Ibu datang ke rumah itu dengan sengaja dan dengan senang hati menerima laki-laki itu. Tetapi aku tidak. Dan aku tidak menerima perlakuan laki-laki itu terhadapku.”

“Anakku.” suara ibunya bagaikan tersumbat.

“Jangan ibu sentuh lagi aku.” berkata gadis itu.

“Oo.” perempuan itu menangis.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Marilah. Kita masuk ke dalam. Kita akan berbicara dengan baik.”

Pemilik pedati itu telah membimbing anaknya masuk. Ibunya mengikutinya di belakang, sementara ketiga anak muda itu pun telah masuk pula. Orang itu memang bukan orang yang berkecukupan. Nampaknya hidupnya tidak lebih dari mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tidak ada perabot rumah yang berharga. Sementara segala sesuatunya nampak sangat sederhana.

“Silahkan duduk.” pemilik pedati itu mempersilahkan.

Ketiga orang anak muda itu duduk di sebuah amben yang cukup besar. Agaknya itulah satu-satunya kekayaan orang itu. Dalam pada itu, perempuan yang sedang menangis itu pun kemudian berkata, “Aku memang bersalah. Aku mohon maaf.”

Pemilik pedati itu pun termangu-mangu. Dipandanginya isterinya yang pernah meninggalkannya itu sejenak. Namun anak gadisnyalah yang berkata,

“Di rumah laki-laki itu segala-galanya memang ada. Di hari-hari pertama, ibu merasa senang sekali hidup di rumah itu. Segala kebutuhannya dipenuhi. Sementara itu, di rumah itu memang tidak ada perempuan lain selain para pelayan. Tetapi itu tidak berlangsung lama. Laki-laki itu mulai mengambil perempuan lain. Perempuan-perempuannya sendiri yang untuk sementara memang disisihkan. Ibu mulai mengalami masa yang suram. Perempuan-perempuan yang semakin banyak telah mulai menunjukkan sikapnya yang tidak senang. Bahkan laki-laki itu pun mulai menunjukkan sikap yang lain. Akhirnya malapetaka itu pun datang. Laki-laki itu mulai memperhatikan aku, sehingga pada suatu hari, aku pun mulai dikurungnya. Aku harus mengalami masa-masa yang menakutkan, ketika aku dipersiapkan untuk menjadi isterinya pula, yang barang tentu akan menyingkirkan ibu dan bahkan akan melemparkan ibu kepada beberapa orang laki-laki yang ada di rumah itu sebagaimana satu dua perempuan pernah mengalami sebelumnya.”

Laki-laki pemilik pedati itu menggeram. Sementara perempuan yang merasa bersalah itu masih saja menangis sambil berkata, “Aku mengaku bersalah. Aku bersedia dihukum apa pun juga. Tetapi jangan pergi daripadaku.”

Tetapi anak perempuannya menyahut, “Seorang perempuan yang telah meninggalkan suaminya dan pergi kepada laki-laki lain karena godaan harta benda dan kesenangan duniawi, tidak sepantasnya dipanggil seorang ibu.”

“Anakku,” tangis ibunya, “hidupku sudah cukup tersiksa. Kau jangan menambah siksaan itu lagi.”

“Ibu telah menggali lubang. Ibu akan terperosok sendiri ke dalamnya.” berkata anak gadisnya.

Ibunya menangis semakin pedih. Seakan-akan penyesalan yang tidak terbatas telah menusuk ke jantungnya yang paling dalam.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka mengerti, betapa anak itu hatinya terluka di saat ia disekap oleh orang berjambang yang pernah mengambil ibunya dari ayahnya. Betapa pula kecewa gadis itu kepada ibunya waktu itu. Ketika ayahnya datang membebaskannya, maka hati anak itu menjadi semakin dekat dengan ayahnya dan semakin jauh dari ibunya.

Namun ternyata bahwa laki-laki pemilik pedati itu adalah seorang yang berhati samodra. Dengan lembut ia berkata, “Sudahlah anakku. Semua sudah berlalu. Laki-laki berjambang itu tidak akan mengganggumu lagi. Ia pun tidak akan membawa ibumu meninggalkan rumah kita ini.”

“Kakang,” suara perempuan yang menangis itu tersumbat di kerongkongan. Lalu di antara isaknya terdengar pula suaranya, “Kau memaafkan aku?”

Laki-laki itu memandang anak gadisnya sambil berkata, “Marilah kita bersama-sama melupakan masa lampau yang pahit itu untuk mulai dengan satu kehidupan baru.”

“Tetapi ayah,” gadis itu masih menangis pula, “ibu telah berkhianat kepada ayah. Kesalahan itu tidak akan dapat ditebus dengan apa pun juga. Dosanya kepada ayah tidak akan dapat terhapus.”

“Aku mengerti,” berkata pemilik pedati itu, “yang dapat menghapus dosa itu adalah kebesaran hati kita. Karena itu, maka kita harus memaafkannya. Dengan demikian maka kesalahan yang betapa pun besarnya akan terhapus karenanya.”

Anak gadis itu termangu-mangu. Namun setiap kali ia memandang wajah ibunya yang memang cantik itu, maka terbayang pulalah dosa yang pernah dilakukannya. Bagaimana dengan sombong ibunya itu meninggalkan ayahnya dan tinggal di rumah yang besar dan mewah. Bagaimana ia bersikap sebagai seorang perempuan yang kaya dan berkuasa, namun yang hanya beberapa hari itu. Sementara ayahnya bekerja memeras keringat untuk hidupnya sehari-hari.

“Anakku,” terdengar suara ayahnya yang lembut, “marilah kita mulai hidup dan kehidupan kita dengan lembaran-lembaran baru. Kita masih mempunyai waktu. Karena itu jangan siksa diri kita dengan kenangan buruk itu di waktu yang tersisa itu.”

Gadis itu tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk lesu. Betapa sulitnya bersikap seperti ayahnya, yang sepantasnya menjadi sangat marah dan bahkan menolak kehadiran ibunya kembali di rumah itu. Jika ayahnya seorang yang kasar, akan dapat terjadi, ayahnya itu membunuh ibunya yang berkhianat. Tetapi ternyata ayahnya tidak berbuat demikian.

Dengan lembut ayahnya berkata, “Yang dapat menghapus dosa itu adalah kebesaran hati kita. Karena itu kita harus memaafkannya.”

Yang terdengar kemudian adalah isak tangis gadis dan ibunya. Sementara ketiga anak muda itu pun menjadi termangu-mangu. Namun Mahisa Murti yang belum banyak berpengalaman dalam kehidupan keluarga itu berkata, “Sudahlah. Aku sangat menghargai sikap seorang laki-laki yang berhati seluas lautan. Hati yang tidak akan pernah penuh dan apalagi meluap dan tumpah.”

“Aku tidak mempunyai pilihan lain dalam keadaan seperti ini.” berkata laki-laki pemilik pedati itu.

“Sikapmu sangat terpuji. Ternyata kau seorang laki-laki yang jarang ada duanya.” desis Mahisa Murti pula.

“Jangan-memuji. Yang aku lakukan semata-mata karena kedunguanku. Karena aku tidak dapat menentukan sikap yang lain yang barangkali lebih baik.” jawab laki-laki itu.

“Tidak ada sikap yang lebih baik dari sikapmu itu.” sahut Mahisa Murti.

Laki-laki itu tidak menjawab. Sementara itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Baiklah kami berada di luar. Nampaknya udara terasa sangat panas di sini.”

“Tetapi jangan pergi anak-anak muda,” minta laki-laki itu, “kalian telah berbuat terlalu banyak bagi keluarga kami.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Kami memang tidak akan pergi. Kami akan tidur di serambi rumah ini untuk menghabiskan sisa malam yang tinggal sedikit ini.”

Demikianlah, ketiga anak muda itu pun telah berada di serambi rumah yang sederhana itu. Mereka berbaring di amben yang tidak terlalu luas sehingga mereka memang menjadi agak berdesak-desakan. Tetapi Mahisa Murti lah yang kemudian duduk bersandar dinding rumah itu sambil berkata, “Tidurlah. Aku akan berjaga-jaga. Waktu memang tinggal sedikit.”

“Kau tidak mengantuk?” bertanya Mahisa Semu.

“Bukankah besok kita tidak mempunyai tugas tertentu. Aku akan dapat tidur sehari penuh, sementara kalian berdualah yang harus berjaga-jaga.” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat sama sekali tidak berkata apapun. Ia justru menggeliat dan membetulkan letak kepalanya, sementara matanya masih tetap terpejam.

Mahisa Murti tersenyum. Katanya kepada Mahisa Semu, “berbuatlah seperti Mahisa Pukat. Seakan-akan ia tidak mendengar lagi apa yang aku katakan.”

Mahisa Semu mengangguk kecil. Mahisa Pukat memang tidak membuka matanya sama sekali. Dengan demikian, maka sejenak kemudian kedua orang anak muda itu memang tertidur lelap, sementara Mahisa Murti duduk bersandar dinding. Sekali kesadarannya juga bagaikan tergelincir. Namun ia pun kembali ke dalam kesadarannya sepenuhnya.

Namun malam itu berakhir tanpa peristiwa yang menyusul setelah terjadi kekerasan di rumah orang berjambang itu. Nampaknya orang-orang padukuhan itu pun tidak mempersoalkannya. Mereka justru berpura-pura tidak mengetahui dan tidak mau terlibat dalam kedalamnya, karena keterlibatan mereka akan berarti kesulitan.

Ketika ketiga orang anak muda yang tidur di serambi itu sudah terbangun dan duduk di bibir amben, maka yang pertama-tama keluar dari dalam rumahnya adalah laki-laki pemilik pedati itu. Dengan langkah yang lesu ia pun telah duduk pula di amben di serambi rumahnya itu.

“Bagaimana dengan anak gadismu?” bertanya Mahisa Murti.

“Ia tidur karena keletihan sekarang,” berkata laki-laki itu, “mudah-mudahan ia dapat mengerti. Kita tidak akan dapat terus-menerus marah dan mendendam. Perempuan itu adalah ibunya sendiri,” berkata laki-laki itu.

“Jarang aku bertemu dengan laki-laki sesabar kau.” berkata Mahisa Pukat.

“Sebenarnya aku pun bukan orang yang sabar. Memang rasa-rasanya ingin aku membunuh perempuan itu. Tetapi aku memikirkan hari depan anak gadisku itu. Ia akan menjadi sangat tersiksa oleh tingkah laku orang tuanya. Ibunya telah berkhianat kepada ayahnya karena seorang laki-laki lain. Dan ia akan menjadi semakin menderita jika ternyata ayahnya adalah seorang pembunuh. Sedangkan yang dibunuh itu adalah ibunya sendiri.” berkata laki-laki itu.

“Penalaranmu panjang sekali. Kau tahu apa yang sebaiknya kau lakukan untuk anak gadismu berdasarkan pertimbangan nalar. Kau bukan jenis orang yang mudah tenggelam dalam arus perasaanmu, tetapi kau dalam keadaan seperti ini masih sempat membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan,” berkata Mahisa Pukat.

“Kau salah. Aku bukan seorang yang dapat mengekang perasaanku. Tetapi khusus dihadapan anak gadisku, aku seakan-akan berubah menjadi orang yang bijaksana. Sebenarnyalah seluruh hidupku memang bertumpu kepadanya. Karena itu, ketika ia pergi bersama ibunya dan tinggal bersama laki-laki yang kaya itu, hidupku seakan-akan telah berakhir. Aku tidak lagi mempunyai tujuan selain melakukan apa yang biasa aku lakukan. Sehingga pada suatu saat aku bertemu dengan kalian. Kehadiran kalian sangat menyenangkan bagiku, karena dengan demikian aku akan mempunyai kawan berbincang di dalam rumah ini. Tetapi yang terjadi adalah sebagaimana kalian lihat.” berkata laki-laki itu.

“Tetapi bukankah semuanya telah berlalu?” bertanya Mahisa Pukat.

Laki-laki itu mengangguk. Tetapi kemudian ia berkata, “Aku masih menunggu anak gadisku terbangun. Apakah sikapnya akan menjadi lunak.”

“Hatinya tidak terbuat dari batu Ki Sanak.” berkata Mahisa Murti, “Yakinlah. Ia akan mengerti.”

Laki-laki itu terdiam. Dipandanginya halaman rumahnya yang kotor. Bukan saja karena orang itu memang bukan seorang ayah berada, tetapi karena hatinya yang gersang untuk beberapa lama sepeninggal isterinya mengikuti laki-laki yang kaya raya itu, maka ia sama sekali tidak mempedulikan lagi rumahnya. Daun-daun kering yang bertebaran di halaman. Sarang laba-laba yang bergayutan di sudut-sudut rumah bagaikan rumah yang telah sewindu dikosongkannya. Beberapa saat kemudian, laki-laki itu mendengar langkah lembut di ruang dalam serta suara seorang perempuan terbatuk-batuk.

“Itu anakku.” berkata laki-laki itu.

Sebenarnyalah beberapa saat kemudian gadis itu pun telah berdiri di pintu. Matanya bagaikan bengkak dan menjadi kemerah-merahan oleh tangisnya yang berkepanjangan.

“Marilah.” panggil ayahnya.

Ketika gadis itu nampak ragu-ragu, maka ketiga anak muda itu pun segera bangkit dan turun dari amben bambu itu.

“Silahkan. Kalian tidak usah pergi.” minta pemilik rumah itu.

“Kami akan mandi dahulu. Tetapi aku kira lebih baik kami pergi ke sungai. Apakah ada sungai di dekat padukuhan ini?” bertanya Mahisa Murti.

“Oo,” laki-laki itu mengangguk-angguk. Katanya, “Di tengah-tengah bulak itu ada sungai meskipun tidak besar. Tetapi kadang-kadang orang-orang padukuhan ini pergi juga ke sungai itu. Apalagi anak-anak.”

“Baiklah. Kami akan ke sungai sebentar.” berkata Mahisa Murti pula.

“Tetapi kalian harus kembali. Jika kalian tidak kembali, maka aku akan mencari kalian sampai ketemu meskipun aku harus berjalan bertahun-tahun.” berkata laki-laki itu.

Mahisa Murti tersenyum, sementara Mahisa Pukat menjawab, “Kami tentu akan kembali. Aku mencium bau sedap di dapur. Pepes teri.”

“Ah,” Mahisa Murti menggamitnya, “hidungmu tajam sekali.”

Laki-laki yang murung itu mencoba untuk tersenyum. Sementara Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu berjalan meninggalkan halaman itu. Laki-laki pemilik pedati itu masih sempat memberikan petunjuk arah, ke mana ketiga orang anak muda itu harus pergi.

Ketika ketiga orang anak muda itu kemudian berjalan di jalan padukuhan, maka rasa-rasanya setiap orang yang bertemu dengan mereka menjadi tegang. Mula-mula ketiga orang anak muda itu tidak menyadari. Tetapi kemudian terasa juga oleh mereka, seakan-akan yang bertemu dengan mereka selalu berusaha menghindar.

Mahisa Semu yang kemudian menjadi tegang telah bertanya, “Apa yang telah terjadi dengan diri kita?”

“Kita adalah pembunuh-pembunuh menurut anggapan mereka,” jawab Mahisa Pukat, “kadang-kadang orang-orang yang tidak tahu pasti apa yang telah terjadi telah menentukan sikap sebelum mereka tahu pasti apa yang terjadi itu.”

Namun Mahisa Murti menyahut, “Tetapi tidak bagi orang-orang padukuhan ini. Mereka tahu pasti apa yang terjadi. Mereka pun tahu pasti siapakah yang telah terbunuh. Namun mereka tetap menganggap kita sebagai pembunuh-pembunuh sehingga mereka merasa cemas berpapasan dengan kita yang tangannya telah berbau darah.”

“Apakah demikian untuk selanjutnya? Jika orang-orang lain dan semakin banyak orang yang mengetahui bahwa kita pernah membunuh, maka kita akan tersingkir dari pergaulan?” bertanya Mahisa Semu.

“Tidak selalu begitu,” jawab Mahisa Murti, “kadang-kadang seorang pembunuh justru mendapat sambutan yang luar biasa hangatnya. Bahkan pembunuh akan dapat disebut pahlawan. Segala sesuatunya tergantung apa yang telah dilakukan dan untuk apa serta atas siapa pula pembunuhan itu dilakukan.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, “Tetapi kenapa mereka segan bertemu dengan kita?”

“Nampaknya pembunuhan di padukuhan ini jarang sekali atau katakanlah tidak pernah terjadi meskipun kekerasan dan kesewenang-wenangan mereka sadari adanya.” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Karena itu, ia tidak bertanya lagi. Beberapa saat kemudian, mereka sampai di mulut lorong. Dihadapan mereka terbentang bulak yang cukup luas. Sungai akan mereka datangi terletak di tengah-tengah bulak itu. Di dekat gardu di ujung lorong itu terdapat sebuah kedai. Namun ternyata kedai itu masih tertutup, sementara gardu itu sudah kosong.

Mereka bertiga tidak menghiraukan kedai yang tertutup serta gardu yang kosong itu. Mereka justru semakin bergegas pergi ke sungai ketika matahari menjadi semakin tinggi. Seperti petunjuk pemilik pedati itu, maka ketiga orang anak muda itu pun telah sampai ke tanggul. Ternyata bahwa tepian sungai di bawah tanggul itu nampaknya memang sering dikunjungi orang.

Tetapi justru karena itu, maka mereka bertiga telah menyusuri tanggul itu beberapa saat untuk menemukan tempat yang agaknya jarang dikunjungi orang.

“Kau perlu berlatih setelah kau mendapatkan pengalaman.” berkata Mahisa Murti kepada Mahisa Semu.

Mahisa Semu tidak berkeberatan. Ia ingin menilai pengalamannya dengan kemungkinan perkembangan ilmunya lebih lanjut. Beberapa saat kemudian, mereka telah menemukan tepian yang luas, namun yang agaknya jarang dikunjungi orang.

Ketiga orang anak muda itu pun segera turun ke tepian. Tetapi mereka tidak segera mandi. Beberapa saat mereka memanaskan tubuh mereka dengan loncatan-loncatan kecil. Namun kemudian Mahisa Semu pun mulai dengan latihan-latihannya. Ia mulai dengan penilaian kembali atas tata gerak yang telah dikuasainya dengan pengalamannya.

Pada saat ia bertempur, maka ia tidak sempat menilai dengan cermat apa saja yang telah dilakukannya untuk mengatasi saat-saat gawat. Namun dalam latihan itu, ia dapat mengulanginya satu demi satu. Kemudian dalam hubungannya dengan ilmu yang telah dikuasainya yang mendorongnya untuk melakukan gerak yang tiba-tiba itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengamatinya dengan saksama. Hampir diluar sadarnya Mahisa Pukat mengangguk-angguk sambil berkata, “Kau telah berhasil mengembangkan ilmumu dengan baik. Ternyata nalarmu tajam. Kau tidak semata-mata berpegang kepada unsur-unsur yang telah kau pelajari. Tetapi unsur-unsur itu justru telah berkembang dengan gerak-gerak yang memperkayanya.”

Mahisa Semu tidak menjawab. Ia memang tidak sedang mengulangi unsur-unsur gerak yang telah dipelajarinya. Tetapi ia sedang mengulangi beberapa ragam gerak yang dilakukannya di saat ia bertempur melawan orang berjambang itu. Bahkan kadang-kadang gerak yang lahir begitu saja, namun ada pula ragam yang memang telah diperhitungkan dengan mapan.

“Bagus,” berkata Mahisa Murti, “ternyata yang kau lakukan adalah selangkah maju dalam tataran ilmumu. Unsur-unsur yang baru beberapa saat kemudian akan kami ajarkan kepadamu, ternyata bentuk mulanya telah kau dapatkan sendiri.”

Mahisa Semu masih tetap berdiam diri dengan melepaskan beberapa gerakan yang merupakan satu perkembangan yang sangat menakjubkan. Baru beberapa saat kemudian Mahisa Semu itu mulai mengendorkan tata geraknya dan dengan mapan ia pun telah menghentikan latihannya.

“Bagus sekali.” hampir berbareng Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memuji.

“Apakah kalian melihat kemajuan?” bertanya Mahisa Semu.

“Kemajuan yang pesat,” sahut Mahisa Pukat, “ternyata pengalaman sangat penting artinya bagimu. Tetapi bukan berarti bahwa kau dapat mencari pengalaman tanpa perhitungan.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Mahisa Pukat, bahwa ia tidak akan dapat memasuki arena pertempuran tanpa perhitungan untuk sekedar mendapatkan pengalaman. Karena jika ia terperosok ke dalam pertempuran melawan seorang yang berilmu sangat tinggi, maka pengalaman yang didapatkannya tidak akan dapat dinikmatinya, Mati.

Namun bahwa dalam pertempuran, Mahisa Semu dalam keadaan yang kadang-kadang terpaksa, telah mampu berbuat sesuatu atas unsur-unsur gerak yang dimilikinya, merupakan satu langkah yang menguntungkan.

“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “sekarang kita mandi. Jika kita terlalu lama di sini, maka pemilik rumah itu tentu mengira, bahwa kita tidak akan kembali lagi ke rumahnya.”

Ketiga orang anak muda itu pun kemudian telah duduk diatas batu batu-batu yang berserakan di tepian untuk mengeringkan keringat. Baru kemudian mereka mandi sambil mencuci pakaian mereka. Sehingga dengan demikian, maka mereka pun harus menunggu sampai pakaian mereka yang jemur diatas bebatuan itu kering.

Sebenarnyalah pemilik rumah itu telah menjadi gelisah. Ketika ia bersiap-siap untuk menyusul ke sungai, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam karena ketiga orang anak muda itu telah muncul dari balik regol halaman rumahnya yang tua itu.

“Aku sudah cemas,” berkata pemilik rumah itu, “aku sangka kalian begitu saja pergi meninggalkan kami.”

“Tidak,” jawab Mahisa Pukat, “ketika kami berangkat, kami mencium bau yang sedap sekali. Pepes teri.”

Pemilik rumah itu tertawa. Katanya, “Marilah. Kami memang sudah menunggu.”

Ketiga anak muda itu mengerutkan kening mereka. Nampaknya telah terjadi perubahan sikap di antara orang-orang yang menghuni rumah itu. Laki-laki itu tidak lagi terlalu murung, meskipun sisa-sisa kemurungan itu masih nampak.

Laki-laki itu telah mempersilahkan lagi ketiga anak muda itu untuk masuk ke dalam rumahnya. Ketiganya masih berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti lah yang mula-mula melangkahi pintu dan masuk ke ruang dalam, disusul oleh Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.

Ketiga orang anak muda itu pun kemudian telah duduk di amben yang besar di ruang dalam. Sejenak kemudian, maka isteri laki-laki pemilik rumah itu telah keluar sambil membawa mangkuk yang berisi nasi dan lauk pauknya. Dibantu oleh anak gadisnya yang agaknya telah mengalami perubahan sikap meskipun belum sepenuhnya. Tetapi gadis itu sudah mau membantu ibunya menghidangkan makan dan minuman bagi ketiga orang anak muda itu.

Bahkan kemudian nampak pula keduanya telah bercakap-cakap ketika ibunya menyuruhnya mengambil kelengkapan untuk makan tamu-tamu mereka. Sejenak kemudian, maka pemilik rumah itu pun telah mempersilahkan ketiga orang anak muda itu makan bersamanya.

“Tidak ada apa-apa, selain sayur melinjo yang kami petik sendiri dari kebun serta pepes teri.” berkata laki-laki itu.

“Ternyata aku tidak salah. Pepes teri.” sahut Mahisa Pukat.

“Kami tidak dapat membeli yang lain. Untuk pepes teri itu, kami dapat mengambil kelapa dari kebun dan teri adalah bahan yang paling murah yang dapat kami beli.” berkata laki-laki itu.

“Kau tahu Ki Sanak,” berkata Mahisa Pukat, “sudah beberapa lama aku tidak makan pepes teri. Sejak kanak-kanak aku adalah penggemar jenis lauk ini. Jika terlalu lama tidak bertemu, rasa-rasanya aku menjadi ketagihan. Adalah kebetulan sekali, di sini aku bertemu dengan pepes teri.”

Pemilik rumah itu tertawa. Mahisa Pukat pun tertawa pula. Sementara Mahisa Semu dan Mahisa Murti tersenyum. Bahkan Mahisa Murti sempat berkata, “Apalagi nasi hangat. Nasi yang disosoh putih.”

“Hasil sawah sendiri.” desis laki-laki itu.

Demikianlah, sejenak kemudian maka ketiga orang anak muda itu dikawani oleh pemilik rumah, makan dengan lahapnya. Rasa-rasanya perut mereka memang lapar. Apalagi mereka telah melakukan latihan di tepian setelah semalam mereka bertempur mati-matian. Karena itu, maka nasi yang dihidangkan ternyata hampir tandas. Hanya masih ada beberapa gumpal saja yang tersisa.

“Jangan segan,” berkata pemilik rumah, “nasi masih ada di dapur. Jika seandainya habis, beras masih ada di bakul. Jika beras di bakul habis, padi masih ada di lumbung.”

Ketiga anak muda itu tertawa hampir bersamaan. Tetapi rasa-rasanya perut mereka memang sudah kenyang. Sehingga karena itu, maka mereka pun telah berhenti makan. Namun dalam pada itu, selagi isteri laki-laki pemilik rumah itu bersama anak gadisnya menyingkirkan sisa-sisa makanan, maka pintu depan pun telah diketuk orang. Cukup keras, sehingga seisi rumah itu terkejut.

“Siapa?” bertanya perempuan itu.

Pemilik rumah itu menggeleng. Jawabnya, “Aku belum tahu.”

Perasaan takut masih saja meliputi perempuan itu serta anak gadisnya, sehingga mereka berdua tiba-tiba saja telah naik pula ke amben besar di ruang tengah itu.

“Aku lihat.” berkata pemilik rumah itu. Namun ketika laki-laki itu pergi ke pintu, Mahisa Pukat mengikutinya di belakang. Ketika pintu lereg dari anyaman bambu itu terbuka, maka pemilik rumah itu terkejut. Yang berdiri di luar adalah Ki Bekel, Ki Jagabaya dan tiga orang bebahu padukuhan itu yang lain.

“Ki Bekel.” sapa laki-laki itu.

“Ya. Atas nama Ki Buyut aku datang ke rumahmu ini.” jawab Ki Bekel.

“Marilah, silahkan masuk ke rumahku yang tua ini.” pemilik rumah itu mempersilahkan.

Tetapi Ki Bekel menjawab, “Tidak. Aku tidak perlu masuk. Aku hanya ingin berbicara sedikit serta menuntut tanggung jawabmu.”

“Tanggung jawab tentang apa?” bertanya pemilik rumah yang menjadi berdebar-debar. Ia agaknya mulai menduga, bahwa yang dimaksud oleh Ki Bekel adalah peristiwa yang terjadi di rumah orang berjambang itu.

Ternyata dugaannya itu benar. Ki Bekel itu pun kemudian berkata, “Kau telah melakukan pembunuhan.”

Wajah pemilik rumah itu menjadi merah. Sementara itu Ki Bekel pun berkata, “Kemarilah. Kita berbicara di halaman.”

Pemilik rumah itu pun kemudian telah melangkah mendekat pula diikuti oleh Mahisa Pukat. Namun ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Semu pun telah keluar pula.

“Nah, inilah agaknya sekelompok pembunuh itu.” berkata Ki Bekel.

“Apa yang Ki Bekel maksudkan?” bertanya pemilik rumah itu.

“Kenapa kau masih bertanya?” geram Ki Bekel.

“Maksud Ki Bekel pembunuh di rumah orang kaya yang gila itu?” bertanya pemilik rumah itu.

“Siapa pun yang kau bunuh, maka pembunuhan tidak dapat dibiarkan terjadi begitu saja. Seolah-olah setiap orang dapat membunuh sesuka hatinya saja.” berkata Ki Bekel.

Pemilik rumah itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Ki Bekel. Tetapi apakah Ki Bekel tidak mengerti apa yang sebelumnya terjadi di rumah itu dalam hubungannya dengan keluargaku.”

“Apa yang terjadi? Mungkin kau mempunyai persoalan dengan penghuni rumah itu. Tetapi begitukah caranya menyelesaikan persoalan?” bertanya Ki Bekel.

“Ki Bekel,” berkata pemilik rumah itu, “apa sebenarnya yang ingin Ki Bekel lakukan? Ki Bekel adalah tetua dari padukuhan ini. Jika Ki Bekel tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam hubungannya dengan keluargaku, kenapa Ki Bekel tidak pernah berbuat sesuatu sebelumnya? Bukankah aku sendiri pernah datang kepada Ki Bekel mengadukan persoalanku kepada Ki Bekel? Bukankah waktu itu aku pernah memberitahukan kepada Ki Bekel, bahwa isteriku telah dilarikan orang?” pemilik rumah itu berhenti sejenak, lalu “tetapi apa jawab Ki Bekel? Ki Bekel justru menyalahkan aku, karena menurut Ki Bekel isterikulah yang telah melarikan diri dari rumahku. Aku pun kemudian telah menerima keadaanku itu, sehingga aku membiarkannya tanpa berbuat sesuatu. Ki Bekel pun tidak mau membantuku sama sekali, meskipun hanya sekedar memberikan nasehat kepada isteriku. Namun yang terakhir, laki-laki keparat itu telah menangkap anakku dan menyimpannya untuk dijadikan isterinya pula. Sementara itu ia telah berniat untuk melemparkan isteriku itu kepada beberapa orang laki-laki kasar dan buas yang ada di rumahnya, setelah ia menjadi jemu. Nah, apakah yang paling baik aku lakukan dalam keadaan seperti itu? Ketika isteriku berhasil melarikan diri dari rumah itu dan memberitahukan tentang anakku itu kepadaku, maka aku tidak dapat membendung perasaanku lagi. Aku datang kepadanya untuk minta anakku. Tetapi apa yang dilakukannya? Ia berniat membunuhku.”

“Cukup,” bentak Ki Bekel, “kau dapat berkata apa saja. Tetapi kau telah melakukan pembunuhan.”

Sementara itu Ki Jagabaya yang bertubuh tinggi besar berdada bidang dan ditumbuhi bulu lebat itu pun berkata, “Kau harus bertanggung jawab atas pembunuhan itu. Kau tidak dapat ingkar dengan seribu macam alasan.”

Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Murti lah yang menjawab, “Bukan orang itu yang membunuhnya. Akulah yang telah membunuhnya.”

Semua orang berpaling ke arah Mahisa Murti. Dengan wajah yang kemerah-merahan Ki Jagabaya bertanya, “Siapa kau?”

“Aku seorang pengembara,” jawab Mahisa Murti, “sebenarnya aku senang mendengar kata-kata kalian. Bagaimanapun juga seorang yang melakukan kesalahan harus dihukum. Tetapi apakah hal ini kau lakukan juga atas laki-laki yang telah mengambil isteri orang itu? Kemudian mengumpulkan beberapa orang laki-laki di rumahnya serta menyekap beberapa orang perempuan dengan paksa. Perempuan dari rumah ini pun akhirnya telah disekapnya di dalam rumahnya. Namun ia sempat keluar dan memberitahukan tentang perlakuan laki-laki itu atas anak gadisnya? He, Ki Bekel. Apakah hal itu baru dilakukannya untuk pertama kali, sehingga Ki Bekel belum pernah mengambil tindakan apa-apa? Apakah orang itu sebelumnya belum pernah mengambil perempuan dengan paksa seperti yang dilakukannya atas anak pemilik rumah ini? Mungkin Ki Bekel dapat menyalahkan perempuan yang telah dengan senang hati mengikut laki-laki itu. Tetapi bagaimana dengan anaknya dan perempuan yang lain sebelumnya.”


“Dan sekarang apa yang akan Ki Bekel lakukan terhadap kami, orang-orang yang telah membunuh orang kuat yang tidak terkalahkan itu?” bertanya Mahisa Murti.

Pertanyaan itu memang mengejutkan Ki Bekel, Ki Jagabaya dan para bebahu. Sementara itu sikap Mahisa Murti sama sekali tidak berubah. Sama sekali tidak ada ketegangan di wajahnya. Pertanyaannya itu seakan-akan begitu saja terlontar lewat mulutnya tanpa melalui getar perasaannya.

“Kenapa kau diam saja Ki Bekel?” bertanya Mahisa Murti pula, “bukankah kau dan para bebahu tahu, kamilah yang telah membunuh dan melukai bukan saja orang kaya berhati iblis namun yang tidak terkalahkan itu, tetapi juga beberapa orang kawan-kawannya? Jika kalian tidak dapat menghalangi setiap kemauan orang itu, aku menantangmu Ki Bekel. Ayo, halangi kemauanku meskipun seandainya aku akan membunuh Ki Bekel sendiri.”

Wajah Ki Bekel dan Ki Jagabaya menjadi merah. Sementara itu beberapa orang bebahu yang lain pun menjadi berdebar-debar. Nampaknya sikap anak muda itu demikian meyakinkan sehingga Ki Bekel, Ki Jagabaya dan para bebahu itu sama sekali tidak berarti.

Ki Bekel memang tersinggung. Demikian pula Ki Jagabaya. Namun ternyata mereka menjadi ragu-ragu untuk bertindak. Adalah satu kenyataan, bahwa mereka telah membunuh orang yang ditakuti di padukuhan itu. Jika mereka tidak dapat berbuat apa-apa terhadap laki-laki kaya yang memang sering melakukan tindak sewenang-wenang itu, maka apa yang akan dapat mereka lakukan atas orang yang telah membunuh laki-laki yang ditakuti itu.

Namun menurut penilaian Ki Bekel, laki-laki yang kaya itu tidak sendiri. Dengan uangnya orang itu dapat mengupah beberapa orang untuk membantunya melakukan tindak sewenang-wenang itu. Tetapi bagaimanapun juga, satu kenyataan bahwa laki-laki yang kaya dengan orang-orang upahannya itu telah dikalahkan oleh anak-anak muda itu. Sehingga dengan demikian maka kemampuan anak-anak muda itu tentu lebih tinggi dari kekuatan yang ada di rumah yang besar dan mewah itu bersama-sama isinya.

Untuk beberapa saat lamanya Ki Bekel berdiri termangu-mangu. Namun akhirnya ia berpaling kepada Ki Jagabaya sambil bertanya, “Apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang?”

Ki Jagabaya termangu-mangu. Tetapi ia pun menyadari kenyataan yang dihadapinya. Namun karena ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan, maka ia pun kemudian berkata, “Terserah kepada Ki Bekel. Apa yang sebaiknya kita lakukan.”

Wajah Ki Bekel menjadi tegang. Namun akhirnya ia berkata, “Aku minta diri. Tetapi setiap saat, persoalan ini dapat kita angkat lagi.”

Namun Mahisa Murti menyahut, “Kami memang tidak akan lama berada di sini. Tetapi kami akan kembali. Jika Ki Bekel mengangkat lagi persoalan ini dan menyulitkan kedudukan pamanku, pemilik rumah ini, maka kedudukan Ki Bekel pun akan mengalami kesulitan. Bukan hanya sekedar kedudukan Ki Bekel, tetapi jiwa Ki Bekel. Ki Bekel tahu, bahwa kami dengan mudah dapat membunuh orang-orang yang menurut Ki Bekel ditakuti di padukuhan ini termasuk ditakuti oleh Ki Bekel, Ki Jagabaya dan para bebahu Tanah ini.”

Ki Bekel memandang Mahisa Murti dengan tegang. Tetapi tanpa menjawab sepatah katapun, maka Ki Bekel itu pun telah melangkah meninggalkan rumah itu diikuti oleh Ki Jagabaya dan bebahu yang lain.

Pemilik rumah itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, “Terima kasih. Setidak-tidaknya untuk sementara mereka tidak akan mengganggu aku.”

“Aku kira bukan untuk sementara. Mereka memang tidak akan mengganggu Ki Sanak untuk seterusnya. Aku bukan saja sekedar menakut-nakuti. Tetapi sebagai pengembara maka mungkin sekali aku memang akan datang kembali.” berkata Mahisa Murti.

“Terima kasih,” berkata orang itu, “ternyata kalian tidak sekedar membantu aku membetulkan pedatiku yang rusak. Tetapi kalian telah membantu apa saja yang tidak mungkin aku lakukan. Bahkan dilakukan oleh orang lain.”

“Bukan apa-apa,” berkata Mahisa Murti, “saling membantu adalah kewajiban setiap orang.”

Pemilik rumah itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya dengan nada tinggi. “Tetapi marilah. Silahkan masuk. Aku berharap bahwa kalian akan bersedia tinggal di rumah ini untuk beberapa lama.”

Tetapi Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Sudah tentu aku tidak akan dapat tinggal terlalu lama di rumah ini.”

“Tidak. Kalian tidak boleh segera pergi.” orang itu tiba-tiba saja telah memotong.

Mahisa Murti tersenyum. Ia pun kemudian berpaling kepada Mahisa Pukat sambil bertanya, “Bagaimana pendapatmu.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Baiklah. Kita akan tinggal untuk satu dua hari di sini. Nampaknya tempat ini akan dapat memberikan kesempatan kepada kita untuk beristirahat.”

“Tidak hanya satu dua hari. Tetapi sepekan dua pekan atau sebulan dua bulan.” minta pemilik rumah itu.

Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Kami sudah terlalu lama mengembara. Pada suatu saat, kami pun harus kembali. Seperti seekor burung yang terbang berputar-putar, namun pada saatnya tentu akan hinggap di sarangnya.”

Laki-laki itu mengerutkan keningnya. Namun yang dikatakan oleh Mahisa Pukat itu memang tidak dapat dibantahnya, sehingga orang itu hanya dapat mengangguk saja.

...Ada bagian cerita yang hilang di sini, dari buku aslinya...

Ketiga orang anak muda itu menjadi tegang. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa pada satu saat mereka akan menghadapi keadaan seperti itu. Ketika Mahisa Murti bergerak dan maju selangkah, maka laki-laki yang mendekap gadis itu telah memperkeras lilitan tangannya di leher gadis itu.

“Jika kau tidak mau mendengarkan kata-kataku, maka ucapanlah selamat jalan kepada gadis ini. Agaknya kali ini kau bertemu untuk yang terakhir kalinya.” berkata orang itu.

Suasana yang tegang benar-benar telah mencengkam. Ketiga orang anak muda itu memang tidak dapat berbuat banyak. Nampaknya laki-laki yang garang, yang mendekap gadis itu, benar-benar dapat berbuat sesuatu dalam satu hentakkan, sehingga gadis itu tidak akan lagi sempat berteriak.

Dalam ketegangan itu, maka Mahisa Murti pun telah bertanya, “Apa maksud kalian yang sebenarnya.”

“Sudah kami katakan. Kami tidak pernah dapat mengalahkan sekelompok lawan kami. Kalian bertiga harus membantu kami sehingga lawan kami itu terbunuh semuanya. Terutama pemimpinnya. Jika hal itu berhasil, maka kalian benar-benar akan mendapat- imbalan serta gadis ini kami lepaskan, bahkan kalian akan dapat kami angkat menjadi anggauta terhormat dari kelompok kami.

“Kelompok apa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Belum waktunya kalian mengetahui sekarang,” jawab orang itu. Lalu katanya, “Nah, sekarang kita bersama-sama pergi ke padepokanku.”

“Siapa saja yang harus pergi?” bertanya Mahisa Murti.

“Kami bertiga? Jika demikian maka kami minta kalian melepaskan gadis itu. Kami bertiga akan pergi bersama kalian.”

Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Kami tidak sebodoh yang kau kira? Jika kami melepaskan gadis itu, maka kemungkinan terbesar di antara kamilah yang justru akan terbunuh. Nah, masih ada waktu untuk mengambil keputusan terakhir.”

Ketiga anak muda itu termangu-mangu. Sementara itu kedua orang tua gadis itu pun menjadi bingung. Mereka tidak mau kehilangan anak gadis mereka, apa pun yang terjadi. Namun tidak sepantasnya ketiga orang anak muda itu harus berkorban terlalu banyak bagi keluarga mereka.

Namun mereka pun terkejut ketika orang itu tiba-tiba membentak, “Cepat. Katakan sikap kalian.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Jawaban kami tentu sudah kau ketahui.”

“Jadi kalian bertiga setuju bekerja sama dengan kami?” bertanya pemimpin sekelompok orang itu.

“Pertanyaanmu aneh sekali. Sejak tadi kau sendirilah yang telah memaksa kami menerima sikap kalian. Tetapi tidak lebih dari itu.” jawab Mahisa Murti.

Orang itu tertawa. Katanya, “Apa pun alasanmu. Jika kau sudah setuju, marilah, kita akan berangkat sekarang.”

“Kau tinggalkan gadis itu?“ minta Mahisa Murti.

“Sekali lagi aku tegaskan,” berkata orang itu, “aku tidak sebodoh yang kau duga. Kelak, jika tugas kita sudah selesai, maka bawa gadis itu kembali. Bawa pula imbalan bagi kalian bertiga dan sudah barang tentu salam kami kepada kedua orang tua gadis itu.”

Laki-laki pemilik rumah itu menggeram. Namun ketika leher anak gadisnya semakin tercekik, ia memang tidak dapat berbuat apa-apa.

“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “kami bertiga akan memenuhi keinginan mereka. Kami tidak melihat jalan lain."

Kedua orang tua gadis itu justru telah mematung. Ia melihat orang-orang itu meninggalkan halaman rumahnya sambil membawa anak gadisnya yang baru beberapa hari terlepas dari tangan orang kaya yang gila, yang terpaksa terbunuh dalam pertempuran melawan anak-anak muda itu. Kini gadis itu justru berada di tangan serigala-serigala yang buas dan liar. Tetapi orang tua gadis itu masih percaya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta Mahisa Semu. Apa pun akal mereka, kedua orang tua itu berharap bahwa anak-anak muda itu akan dapat menyelamatkannya.

Demikianlah, maka sebuah iring-iringan kecil berjalan di jalan induk padukuhan itu. Ketiga orang anak muda itu harus berjalan di depan. Kemudian beberapa orang laki-laki yang memerasnya. Di belakang mereka berjalan gadis yang malang itu di sisi seorang laki-laki yang nampaknya tidak menghiraukannya. Tetapi ia sudah siap dengan sebilah pisau belati kecil. Jika perlu dalam sekejap maka pisau itu akan dapat menghunjam di dada gadis itu tembus sampai ke jantung.

Beberapa orang memang melihat iring-iringan itu. Tetapi tidak seorang pun yang menduga, bahwa gadis itu telah dibawa untuk menjadi taruhan. Mereka menyangka bahwa gadis itu telah diungsikan oleh sanak kadangnya ke tempat yang lain. Beberapa saat kemudian maka iring-iringan itu telah terlepas dari padukuhan itu. Dengan demikian maka mereka dapat berjalan lebih bebas sesuai dengan sifat dan watak mereka masing-masing.

Gadis yang dibawa sebagai taruhan itu memang menjadi sangat ketakutan sebagaimana ia dikurung oleh laki-laki yang telah mengambil ibunya itu. Sekali-sekali terasa hatinya tenang melihat ketiga anak muda itu. Namun kemudian telah bergejolak kembali dengan kerasnya.

Ternyata iring-iringan itu berusaha sejauh mungkin menghindari jalan-jalan yang melalui padukuhan-padukuhan. Ketiga anak muda itu termangu-mangu. Namun mereka tidak dapat berbuat sesuatu tanpa diperhitungkan sebaik-baiknya. Jika mereka salah langkah, maka nasib gadis itu dapat menjadi lebih buruk daripada saat ia berada di rumah orang kaya berjambang itu.

Sementara itu, ketiga orang anak muda itu seakan-akan dibiarkannya begitu saja. Orang-orang yang membawa gadis itu semuanya telah masuk ke dalam, sehingga yang tinggal di luar adalah ketiga orang anak muda itu saja. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun kemudian duduk diatas tikar pandan yang dibentangkan di pendapa.

“Lalu apa yang akan kita lakukan?” bertanya Mahisa Murti.

Mahisa Pukat justru telah berbaring sambil berdesis, “Tidur. Kita tidak dapat berbuat apa-apa selama gadis itu masih mereka kuasai.”

“Kita harus mencari cara untuk melepaskan gadis itu.” berkata Mahisa Semu.

“Itulah yang sulit,” sahut Mahisa Murti, “tetapi kita memang harus menemukannya.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia mencoba mengedarkan pandangan matanya menembus kegelapan. Tetapi ia tidak melihat sesuatu selain cahaya obor yang lemah regol halaman.

“Beristirahatlah,” berkata Mahisa Murti, “di sini tentu lebih baik daripada diatas rerumputan. Jika aku mengantuk nanti, aku akan membangunkan salah seorang di antara kalian.”

Mahisa Semu termangu-mangu. Namun ia pun berdesis, “Aku justru belum merasa mengantuk.”

“Baiklah. Jika demikian kita sempat berbincang lebih lama lagi.” berkata Mahisa Murti.

Namun dalam pada itu sambil memejamkan matanya Mahisa Pukat berdesis, “Aku akan tidur.”

Mahisa Murti tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara Mahisa Semu telah bergeser mencari sandaran pada tiang pendapa yang tidak terlalu besar itu. Namun agaknya kedua anak muda yang masih duduk itu tidak terlalu banyak berbicara. Mereka sedang memikirkan cara yang terbaik untuk membebaskan gadis itu. Di rumah orang kaya yang berjambang itu, Mahisa Murti dapat membebaskan gadis itu dengan mudah karena hal itu tidak diperhitungkan sebelumnya. Tetapi saat itu, gadis itu memang sedang dijadikan taruhan, sehingga ia akan dijaga dengan ketat.

Dalam kegelapan Mahisa Murti itu berdesis, “Apakah kita harus memenuhi permintaan mereka dengan mengalahkan sekelompok lawan yang belum pernah dapat dikalahkan itu?”

“Tetapi siapakah mereka?” sahut Mahisa Semu.

Mahisa Murti menggelengkan kepalanya. Untuk beberapa saat suasana menjadi semakin hening. Hanya suara-suara malam sajalah yang terdengar di sekitar pendapa itu. Angin yang lembut berdesir mengusap tubuh-tubuh yang berkeringat oleh kegelisahan itu. Mereka menyadari, jika mereka tidak dapat dengan segera melepaskan gadis itu, maka mereka benar-benar harus memenuhi keinginan mereka. Bertempur dan bahkan mungkin membunuh lawan yang tidak mempunyai persoalan apa pun dengan mereka.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun berbisik, “Aku akan mencoba. Jika gagal, apa boleh buat. Mudah-mudahan kegagalan itu tidak segera mereka ketahui sebagai satu usaha untuk melepaskan gadis itu.”

Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Bagaimana dengan kakang Mahisa Pukat? Apakah aku harus membangunkannya?”

“Ia belum tidur.” desis Mahisa Murti.

Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Namun agaknya Mahisa Pukat yang masih saja memejamkan matanya itu memang belum tidur. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti pun bangkit dan melangkah menuju pintu pringgitan. Dengan keras Mahisa Murti mengetuk pintu itu sambil memanggil, “He, siapa yang masih terbangun?”

Ketika tidak terdengar jawaban, maka Mahisa Murti mengetuk semakin keras dan berteriak, “Siapa yang masih bangun?”

Agaknya suara Mahisa Murti itu mengejutkan orang-orang yang ada di dalam. Apalagi ketika Mahisa Murti mengetuk pintu lebih keras lagi.

Tiba-tiba saja terdengar langkah cepat menuju ke pintu. Dibukanya pintu dengan hentakkan yang keras, sementara seorang di antara orang-orang yang membawa mereka ke tempat itu muncul sambil membentak, “Kenapa kau berteriak-teriak?”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian bertanya, “Di mana pakiwannya?”

“Hanya itu?” bertanya orang yang muncul dari balik pintu itu.

“Ya. Sudah tentu aku tidak dapat melakukannya di pendapa.” berkata Mahisa Murti.

“Persetan,” geram orang itu, “di seluruh halaman ini terdapat tempat-tempat yang gelap. Bahkan hampir seluruhnya.”

“Tetapi…” suara Mahisa Murti terputus. Orang itu telah menghentakkan pintu itu lagi sehingga tertutup rapat.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam, sementara Mahisa Semu memandanginya dengan heran. Namun kemudian Mahisa Murti pun mendekatinya sambil berdesis, “berhati-hatilah. Dalam keadaan yang mendadak, suruh Mahisa Pukat duduk.”

Mahisa Semu mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Sementara itu Mahisa Murti pun kemudian melangkah turun dari pendapa. Tentu tidak akan ada orang yang mencurigainya seandainya dari kegelapan ada yang melihatnya. Mahisa Murti telah mendapat ijin, bahkan dianjurkan oleh orang yang ada di dalam rumah itu dengan kata-kata yang cukup keras.

Meskipun demikian Mahisa Murti memang memasuki lingkungan yang gelap di halaman itu dengan hati-hati. Ia memperhatikan keadaan di sekitarnya. Namun di halaman itu agaknya memang tidak ada seorang pun yang berjaga-jaga.

“Kelompok ini nampaknya kelompok yang aneh,” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya, “rumah ini tentu bukan sarang mereka. Tetapi sekedar tempat persinggahan saja.”

Dengan demikian maka Mahisa Murti pun berusaha untuk mendekati rumah itu dari samping, sehingga di dalam kegelapan ia dapat melekatkan diri pada dinding. Dari tempatnya ia mendengar pembicaraan, “Mau apa orang itu?”

“Mencari pakiwan.” jawab yang ditanya.

“Gila. Aku kira mau apa. Jadi, kau bawa juga ia ke pakiwan?” bertanya suara yang pertama.

“Aku mengantuk. Aku suruh cari saja tempat di mana-mana di halaman yang gelap itu.” jawab yang lain.

Ternyata terdengar suara tertawa pendek sambil berkata, “Nah, tidurlah. Aku pun akan tidur.”

Tetapi terdengar suara lain, “Siapakah di antara kita yang bertugas berjaga-jaga?”

“Tiga orang anak muda di pendapa itu adalah orang-orang berilmu tinggi. Mau tidak mau mereka akan berjaga-jaga. Gadis itu menjadi taruhan.” jawab yang pertama.

“Jika ada lawan datang dari belakang?” bertanya suara yang lain itu.

“Rumah ini cukup kuat. Kita akan mendengar seandainya ada orang merusak dinding. Apalagi dinding rumah ini rangkap. Bukankah dinding rumah ini terlalu kuat untuk, disibakkan? Tali-tali ijuk itu tidak mudah diputuskan dengan pisau sekalipun. Jika dinding ini pecah dan kita tidak terbangun, itu adalah nasib kita yang sangat buruk.” jawab suara yang pertama.

“Baik. Tidurlah. Siapa yang menjaga bilik itu?” bertanya yang lain.

“Kepala batu itu.” jawab yang pertama.

“Bagus. Ia tidak akan memasuki bilik itu,” jawab yang lain. Yang terdengar kemudian adalah suara serak orang yang pertama, “Aku akan tidur.”

“Kau kira aku tidak letih.” desis yang lain.

Mahisa Murti menunggu sejenak. Langkah kaki terdengar semakin jauh. Kemudian terdengar derit amben di ruang dalam. Agaknya orang itu pun sudah berbaring di antara kawan-kawannya. Mahisa Murti kemudian mengetahui bahwa tidak seorang-pun yang berjaga-jaga diluar karena mereka mempercayakannya kepada Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu dengan taruhan gadis itu. Dengan demikian maka Mahisa Murti pun merasa akan dapat berbuat lebih banyak lagi.

Namun sebelum ia berbuat sesuatu, maka Mahisa Murti yang merasa tidak mendapat pengawasan itu pun sempat menemui Mahisa Semu dan Mahisa Pukat, yang justru telah duduk bersandar tiang sebagaimana Mahisa Semu. Dengan singkat Mahisa Murti menceriterakan rencananya. Kemudian membagi tugas jika terjadi sesuatu.

“Tetapi gadis itu harus selamat. Jika kita gagal, maka sia-sialah kita membunuh beberapa orang di rumah mewah itu.” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mengangguk. Mereka pun menyadari bahwa taruhannya terlalu mahal, sehingga harus benar-benar berhati-hati. Beberapa saat kemudian, Mahisa Murti pun telah menghilang kembali ke dalam kegelapan.

Dicobanya mengingat kembali, apa yang pernah dilakukan di rumah mewah itu. Tetapi orang-orang yang ada di rumah itu ternyata menjadi lengah. Mereka sama sekali tidak mengira akan terjadi serangan yang demikian tiba-tiba. Berbeda dengan isi rumah itu. Mereka adalah orang-orang yang siap melakukan apa saja untuk memaksakan kehendaknya. Sedangkan taruhannya adalah gadis yang ada di dalam rumah itu, dijaga oleh orang yang memiliki pengalaman yang luas.

Karena itu, maka Mahisa Murti harus bekerja lebih cermat. Sekali lagi ia mendekati dinding rumah itu dengan sangat hati-hati. Namun ia sudah tidak mendengar suara apa pun juga. Sementara itu, ia tidak menemukan lubang yang sekecil apa pun untuk mengintip ke dalam. Mahisa Murti masih ingat, orang yang ada di dalam rumah itu mengatakan, bahwa dinding rumah itu adalah rangkap.

Dengan demikian, tidak ada cara lain untuk dapat melihat ke dalam daripada menguak atap dan melihat keadaan di dalam rumah itu dari sela-sela raguman langit-langit. Dengan sangat berhati-hati, maka Mahisa Murti pun telah memanjat dinding longkangan. Dengan saksama ditelitinya keadaan atap rumah itu, apakah atap itu akan mampu menahan tubuhnya.

Ternyata rumah itu adalah rumah yang memang dibuat sangat kuat sebagaimana dindingnya yang rangkap. Karena itu, maka Mahisa Murti pun yakin, bahwa atap rumah itu tidak akan patah jika ia memanjat diatasnya. Perlahan-lahan Mahisa Murti telah merayap diatas atap itu. Ternyata atap ijuk itu justru seakan-akan membantunya, karena ijuk itu telah menghisap suara geseran tubuh Mahisa Murti yang berdesis diatas atap itu.

Namun Mahisa Murti memang sulit untuk menduga, di manakah letak bilik untuk menyimpan gadis yang menjadi taruhan itu. Tetapi Mahisa Murti dapat mengenali rumah menurut bentuknya secara umum. Biasanya ada tiga bilik di tengah, kemudian dua bilik depan di sebelah pringgitan. Di sebelah menyebelah terdapat longkangan yang memisahkan rumah itu dengan gandok.

Untuk sesaat Mahisa Murti termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja ia teringat, di mana laki-laki berjambang itu menyembunyikan gadis itu.

“Jika saja mereka mempunyai pikiran yang sama.” berkata Mahisa Murti kepada diri sendiri.

Namun Mahisa Murti memang ingin membuktikannya. Dengan sangat berhati-hati Mahisa Murti telah menyibakkan atap ijuk itu. Kemudian melihat bagian dalam rumah itu dari sela-sela raguman atap. Ternyata Mahisa Murti saat itu berada diatas bilik tengah. Tetapi gadis itu tidak disimpan di bilik tengah sebagaimana dilakukan oleh orang berjambang itu.

Dengan demikian maka Mahisa Murti harus mengulanginya diatas bilik kiri dan kanan. Tetapi gadis itu tidak ada di sana. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia yakin bahwa gadis itu telah dibawa masuk ke dalam rumah. Tetapi ia tidak ada di dalam ketiga bilik itu. Untuk beberapa saat Mahisa Murti justru berbaring diam. Dicobanya untuk mendengarkan suara di dalam rumah itu. Menurut pendengarannya gadis itu telah dijaga orang-orang yang disebut sebagai Kepala Batu.

Untuk mengusir kegelisahannya, maka Mahisa Murti pun telah menyibak atap diatas ruang tengah. Namun tiba-tiba ia menjadi berdebar-debar. Gadis itu ternyata ada di ruang tengah, berbaring diatas amben yang besar ditunggui oleh seorang yang berkepala botak yang duduk terkantuk-kantuk di bibir amben yang besar itu. Di sudut ruang itu, Mahisa Murti melihat seorang lagi di antara orang-orang yang membawa gadis itu tidur berselimut kain panjangnya.

Sejenak kemudian Mahisa Murti termangu-mangu. Namun sejenak kemudian, ia pun telah menarik pisau belati kecilnya. Dengan pisau itu ia mulai memutuskan tali-tali ijuk yang mengikat raguman atap rumah itu. Baru kemudian, ia berhasil menyibak raguman bambu itu dan siap meluncur turun.

Mahisa Murti membutuhkan tali ijuk yang agak panjang. Karena itu, maka ia pun telah mengumpulkan tali-tali ijuk raguman atap itu. Kemudian menyambung-nyambungnya rangkap dua, sehingga dengan sangat berhati-hati Mahisa Murti dapat meluncur turun dari atap rumah itu. Ternyata tidak seorang pun mengetahui. Ketika gadis yang tidak dapat tidur itu melihatnya, Mahisa Murti memberi isyarat agar ia tetap diam di tempatnya, sehingga tidak membangunkan Kepala Batu yang terkantuk-kantuk itu.

Tetapi ketika Mahisa Murti menyentuh tanah, ternyata orang yang disebut Kepala Batu itu mendengarnya. Karena itu, maka ia pun segera bangkit berdiri. Dalam keadaan yang masih belum sadar penuh, ia melihat anak muda berdiri dihadapannya. Karena itu, dengan serta merta, maka ia pun telah siap menyerangnya.

Namun ternyata bahwa Mahisa Murti bertindak lebih cepat, jari-jari tangannya yang merapat telah menyentuh bagian dada orang yang disebut Kepala Batu itu di sebelah atas kiri dan kanan. Kemudian mendorongnya duduk kembali. Tanpa mendapatkan perlawanan maka Mahisa Murti telah menyentuh pundak orang itu di sebelah kiri dan kanan pula. Ketika kemudian tangannya memijit tengkuk orang yang disebut Kepala Batu itu, maka orang itu pun segera menundukkan kepalanya, seakan-akan ia telah tertidur sambil duduk.

“Tidurlah sampai esok pagi.” berkata Mahisa Murti perlahan-lahan, sehingga hanya dapat didengarnya sendiri.

Kemudian ia pun telah memberikan isyarat kepada gadis itu untuk bangkit dan turun dari amben yang besar itu. Dibimbingnya gadis itu menuju ke pintu. Ternyata orang-orang yang membawa gadis itu telah tidur berpencar. Tetapi mereka benar-benar tidur nyenyak. Mereka menganggap bahwa dinding rumah itu terlalu kuat untuk dibuka dengan paksa sehingga mereka tentu akan dapat mendengarnya. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa seseorang akan memasuki rumah itu dengan menyibakkan atap.

Perlahan-lahan sekali Mahisa Murti mengangkat selarak. Kemudian membawa gadis itu keluar dan menyerahkannya kepada Mahisa Pukat.

“Kau mau apa?” bertanya Mahisa Pukat.

Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia pun telah masuk kembali ke dalam rumah itu dan menyelarak pintu dari dalam. Ternyata bahwa Mahisa Murti telah keluar dari atap itu pula. Kemudian menarik tali ijuk dan mengikat kembali raguman yang dirusaknya. Meskipun tidak utuh, tetapi Mahisa Murti sudah berhasil menghilangkan jejaknya setelah ia menutup ijuk atap itu kembali. Juga yang telah dibuka sebelumnya. Baru kemudian Mahisa Murti turun dari longkangan dan kembali ke pendapa.

“Kita akan lari?” bertanya gadis itu.

Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Jawabnya, “Kita menunggu mereka bangun.”

“Tetapi…?” gadis itu tidak mengerti.

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Percayalah kepada kami.”

Meskipun perasaan takut dan cemas mencengkamnya, tetapi ia tidak berani membuat rencana pelarian mereka. Segala sesuatunya memang dipercayakannya kepada ketiga anak muda itu.

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang semula tidak jelas apakah maksud Mahisa Murti, akhirnya menjadi terang. Karena itu, maka keduanya pun telah duduk di sebelah-menyebelah gadis itu. Dengan nada rendah Mahisa Pukat berkata,

“Kita harus menunjukkan kepada orang-orang yang ada di rumah itu, bahwa kita tidak dapat mereka tundukkan dengan cara apa pun juga.”

“Tetapi apakah kalian akan bertempur?” bertanya gadis itu.

“Tergantung kepada keadaan. Mudah-mudahan tidak. Agar kami tidak perlu membunuh lagi.” jawab Mahisa Pukat.

Gadis itu mengangguk-angguk. Meskipun ia tidak mengerti sepenuhnya, namun samar-samar ia dapat menangkap maksud anak-anak muda itu. Dalam pada itu, orang yang disebut Kepala Batu itu bagaikan membeku di tempatnya. Meskipun ia masih tetap duduk, namun kesadarannya telah hilang sampai esok pagi.

Ketika pemimpin dari orang-orang yang ada di dalam rumah itu terbangun, maka ia pun telah bangkit dari tempat pembaringannya. Bagaimanapun juga ia merasa bertanggung jawab atas gadis yang mereka pergunakan sebagai taruhan itu. Karena itu, meskipun dengan mata yang agak terpejam, ia telah melangkah ke ruang dalam untuk melihat apakah tidak terjadi sesuatu.

Ternyata orang itu terkejut ketika ia tidak menemukan gadis yang menjadi taruhan itu di tempatnya. Dilihatnya orang yang disebut Kepala Batu itu menundukkan kepalanya, seakan-akan sedang tertidur nyenyak. Dengan cemas pemimpin itu telah mengguncang tubuh orang itu sambil bertanya lantang, “Di mana gadis itu he?”

Orang yang disebut Kepala Batu itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi bahkan ia telah jatuh terlentang di atas amben itu pula.

“Gila,” geram pemimpin itu, “gadis itu lari.”

Suaranya telah membangunkan orang-orangnya. Beberapa orang telah berloncatan bangkit dan berlari-lari ke ruang tengah itu. Mereka memang tidak menemukan gadis itu di sana, sementara orang yang disebut Kepala Batu itu telah pingsan.

“Siapa yang melakukannya?” bertanya salah seorang di antara mereka.

Dengan saksama orang-orang itu telah memeriksa segala sudut rumah. Pintu masuk diselarak. Pintu butulan dan pintu-pintu longkangan masih pula tetap tertutup rapat, sementara selaraknya masih berada di tempatnya dan terpasang dengan baik.

“Gila,” geram pemimpin itu. Sementara orang-orangnya sama sekali tidak menemukan kerusakan pada dinding seujung duri sekalipun. Tali-tali ijuk masih mengikat dengan erat, sementara tiang-tiang tidak ada yang goyah sama sekali. Namun mereka tidak menemukan gadis itu di dalam rumah.

Pemimpin dan orang-orang yang ada di rumah itu pun kemudian berkata, “Kita lihat keluar. Mungkin gadis itu telah melarikan diri.”

“Tetapi bagaimana hal itu dapat terjadi. Semua pintu masih tetap tertutup dan selaraknya masih terpasang rapi. Jika tidak ada di antara kita yang berkhianat, tentu hal ini tidak akan dapat terjadi.”

Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Memang terasa satu suasana yang lain. Tiba-tiba saja mereka menjadi saling mencurigai. Tetapi menurut pendapat mereka, apakah ada di antara mereka yang dapat memperlakukan orang yang disebut Kepala Batu itu sehingga ia menjadi pingsan seperti itu?

Namun pemimpin kelompok itu tidak mau menunggu terlalu lama dalam keadaan saling mencurigai. Ialah yang kemudian bergegas ke pintu dan mengangkat selaraknya. Demikian pintu terbuka, maka orang itu pun justru bergeser selangkah surut. Yang lain pun dengan cepat telah berloncatan ke pintu pula. Mereka pun ternyata terkejut bukan buatan. Di pendapa itu duduk tiga orang anak muda yang menunggui seorang gadis yang sedang tidur. Pemimpin kelompok itu mengumpat. Selangkah demi selangkah, diikuti oleh kawan-kawannya.

Mahisa Murti lah yang kemudian bergeser sambil berkata, “O, ternyata kalian belum juga tidur. Marilah. Tetapi jangan ribut. Gadis ini sedang tidur nyenyak.”

“Persetan,” geram pemimpin kelompok itu, “apa yang telah kau lakukan atas gadis itu?”

“Apa? Tidak apa-apa. Bukankah kau minta kami menungguinya dan menjaganya agar gadis itu tidak direbut oleh kelompok lain yang selalu bermusuhan dengan kelompokmu?” berkata Mahisa Murti pula.

“Cukup.” bentak pemimpin kelompok itu.

“Sudah aku peringatkan. Jangan kejutkan gadis yang sedang tidur ini,” minta Mahisa Murti, “duduklah. Kita berbicara dengan tenang. Apakah yang kalian kehendaki?”

“Jangan permainkan kami.” geram pemimpin kelompok itu.

Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Jangan marah. Bukankah sudah aku katakan, bahwa aku telah menjaganya dengan baik?”

“Apa pun yang kau lakukan, tetapi kau tidak akan dapat keluar dari halaman rumah ini.” suara pemimpin kelompok itu menjadi gemetar.

Tetapi Mahisa Murti masih saja tertawa. Bahkan Mahisa Pukat pun tertawa juga sambil berkata, “Sudahlah. Jangan mengumpat-umpat. Besok jika matahari terbit, kami akan meninggalkan tempat ini, kembali ke padukuhan kami. Kami tidak mau lagi mendengar ceritera tentang permusuhan antara kelompok dengan kelompok yang mana pun juga.”

Tetapi pemimpin kelompok itu menggeleng. Katanya, “Tidak ada jalan yang dapat kalian lalui. Kami akan menjaga semua pintu regol halaman. Baik halaman depan maupun pintu butulan di halaman belakang.”

Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Kau tahu siapa kami. Kau tentu tahu pula kemampuan kami. Jika tidak, kalian tidak akan mencuri gadis itu untuk memaksa kami berpihak pada kalian.”

Pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Sehingga Mahisa Murti melanjutkan kata-katanya, “Nah, apakah kalian akan berusaha mencegah kami? Dengan demikian, maka kalian akan terkapar mati di halaman ini. Sementara pada saat lain kawan-kawanmu akan mengalami kekalahan yang lebih parah dari lawan-lawanmu itu, justru karena jumlah kalian telah berkurang.”


“Jadi?” bertanya Mahisa Murti.

“Terserahlah kepada kalian. Kalian telah berhasil menguasai kembali gadis itu.” berkata pemimpin kelompok itu, “Kami memang tidak akan dapat berbuat apa-apa.”

“Jadi kalian tidak berkeberatan besok kami kembali?” bertanya Mahisa Murti.

“Berkeberatan atau tidak berkeberatan,” jawab pemimpin kelompok itu. Namun kemudian katanya, “Tetapi satu hal yang ingin kami sampaikan kepadamu jika besok pagi meninggalkan tempat ini bersama-sama dengan saudara-saudaramu dan gadis itu, bahwa kita untuk selamanya tidak akan bertemu kembali.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.

“Besok akan terjadi pertempuran yang dahsyat di sini. Besok pagi-pagi kawan-kawanku akan datang untuk menunggu sekelompok lawan kami yang akan menghancurkan rumah kami ini. Bahkan membunuh semua isinya. Kami sudah berkeyakinan bahwa kami tidak akan dapat melawan mereka meskipun seandainya kawan-kawan kami berhasil mendapat bantuan dari saudara-saudaranya.” berkata pemimpin kelompok itu.

“Kenapa kalian bermusuhan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kami memang sedang memperebutkan warisan.” jawab pemimpin kelompok itu.

“Jadi kalian akan bertempur di antara saudara sendiri?” bertanya Mahisa Pukat pula.

“Saudara-saudara seperguruan.” jawab pemimpin kelompok itu.

“Warisan apa yang kalian perebutkan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kedudukan dan rumah ini,” jawab pemimpin kelompok itu, “rumah ini adalah rumah guru yang telah meninggal. Di antara kami telah timbul persoalan, siapakah yang akan mewarisi kedudukan guru sekaligus rumah ini, sebagai tempat tinggal guru.”

“Apakah gurumu tidak mempunyai anak?” bertanya Mahisa Semu.

“Guru tidak beristri dan tidak beranak.” jawab orang itu.

Namun Mahisa Murti pun kemudian bertanya, “Tetapi kenapa kedudukan gurumu menjadi rebutan? Apalagi rumah ini. Menurut penglihatanku, rumah ini adalah rumah yang biasa meskipun kuat. Tidak ada sesuatu yang mahal yang harus dipertaruhkan dengan nyawa. Apalagi nyawa saudara seperguruan sendiri.”

“Memang benar,” jawab pemimpin kelompok itu, “tidak ada yang berharga di sini. Kedudukan itu pun tidak terlalu penting karena hanya orang-orang yang memiliki ilmu tertinggi sajalah yang akan dapat menggantikannya.“ orang itu berhenti sejenak, lalu “namun yang paling berharga bagi kami adalah pesan guru. Kakak tertua kami memang seorang yang memiliki ilmu tertinggi. Tetapi ada orang lain yang mengaku bahwa ia dalam kedudukannya sebagai murid, lebih tua dari kakak tertua kami. Sayang sekali bahwa beberapa orang saudara seperguruan kami mempercayainya dan bahkan berpihak kepadanya. Orang itu minta haknya untuk menjadi pemimpin perguruan kami dan sekaligus mengambil rumah ini.”

“Kenapa tidak diberikan saja?” bertanya Mahisa Pukat.

“Sebabnya kami, bahkan kakak tertua kami itu tidak berkeberatan. Tetapi pesan guru harus kami junjung tinggi. Kakak tertua berniat untuk bertahan sampai batas yang manapun. Bukan karena kedudukannya, tetapi karena kesetiaannya kepada guru.”

“Dan kelompok yang satu itu lebih kuat dari kelompokmu ini?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya,” jawab pemimpin kelompok itu, “menurut perhitungan dan keyakinan, kekuatan mereka lebih besar dari kekuatan kami meskipun saudara tertua kami akan datang bersama dua orang saudara kandungnya. Tetapi jika ia berhasil menemukan kedua saudara kandungnya itu. Sementara kami mendengar dan melihat kalian serta hasil pekerjaan kalian, timbullah niat itu di dalam hati kami. Karena kami tidak mempunyai cara lain, maka kami telah mengambil gadis itu.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “warisan di mana-mana dapat menimbulkan persoalan. Baru saja kami menjumpai persoalan yang hampir sama. Tentang warisan. Tetapi bukan antara saudara-saudara seperguruan. Tetapi antara dua saudara sepupu. Sedangkan masih ada pihak ketiga yang ikut melibatkan diri, dan justru yang nampaknya akan berhasil. Tetapi kami berhasil meletakkan persoalannya pada kedudukan yang sebenarnya.”

“Itulah yang sebenarnya kami inginkan Ki Sanak,” berkata pemimpin kelompok itu, “namun sebenarnyalah dengan jujur aku katakan, bahwa kita para murid yang bertengkar ini mempunyai dugaan yang sama, bahwa di halaman rumah ini tentu terdapat peninggalan yang berharga. Sebuah pusaka.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu saling berpandangan sejenak, dengan nada rendah Mahisa Murti berdesis, “Harta benda, kedudukan, kitab sebagai lambang pengetahuan, pusaka yang dapat mendukung derajat dan kekuasaan, agaknya memang selalu diperebutkan. Kita masih belum sempat mengeringkan keringat setelah terlibat dalam perebutan warisan yang berujud kitab di luar kehendak kita, setelah kita terperosok ke dalam perebutan kekuasaan yang juga merupakan warisan, kini kita menjumpai perebutan warisan yang berupa kedudukan, harta benda yang berujut rumah ini dan yang agaknya paling penting adalah pusaka yang diduga ada di rumah ini atau di halaman atau di mana pun disembunyikan di dalam lingkungan dinding halaman ini.”

Pemimpin kelompok itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tetapi bagi kami, yang terpenting bukannya pusaka itu. Tetapi kami sedang berjuang untuk mendapat pengakuan dari segala pihak, siapakah yang berhak melanjutkan kehadiran perguruan kami ini.”

“Kenapa kalian tidak berusaha untuk berbicara yang satu dengan yang lain? Atau kenapa kalian tidak bersama-sama menegakkan kehadiran perguruan kalian? Jika kalian bersatu, maka perguruan kalian tentu akan menjadi kuat.” berkata Mahisa Pukat.

“Kami sudah mencoba. Kakak tertua kami pun telah bersedia untuk memberikan berbagai macam hak kepada mereka. Tetapi agaknya mereka menuntut kemutlakan. Itulah yang sulit kami terima, juga berdasarkan pesan guru yang harus kami junjung tinggi.” berkata pemimpin kelompok itu.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun katanya, “Aku baru mendengar dari satu sisi. Tetapi ternyata menarik untuk mendengar ceritera dari sisi lain.”

“Silahkan Ki Sanak,” berkata pemimpin kelompok itu, “jika Ki Sanak berminat, besok Ki Sanak akan dapat bertemu dengan keluarga besar kami yang terpecah. Ki Sanak akan dapat menimbang pembicaraan kami. Menilai dan kemudian mengambil satu sikap.”

“Kami memang ingin melakukannya,” berkata Mahisa Pukat, “tetapi sayang. Kalian telah membuat kami menghadapi kesulitan. Kami harus mengembalikan gadis ini kepada orang tuanya. Karena itu maka kami harus pergi besok pagi-pagi.”

Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Menyesal sekali. Kami pun telah menyesal, karena kami telah membawa gadis itu.”

“Nah, sekarang pergunakan sisa waktu yang sedikit ini untuk beristirahat jika besok kalian harus menghadapi kerja berat. Mungkin kalian memang harus bertempur dan tidak sempat lagi menikmati nikmatnya tidur di pagi hari.” berkata Mahisa Pukat.

“Jadi niat Ki Sanak untuk meninggalkan kami sudah bulat?” bertanya orang itu.

“Ya. Kenapa? Apakah kau masih ingin mendapat kesempatan menculik gadis itu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kami minta maaf. Semata-mata terdorong oleh keinginan kami untuk mempertahankan diri.” berkata pemimpin kelompok itu.

“Nah, sudahlah. Pergunakan sisa malam ini sebaik-baiknya.” berkata Mahisa Murti kemudian.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kami akan tidur lagi di sisa malam ini, “Lalu katanya kepada kawan-kawannya, “Marilah. Kita masuk.”

Kawan-kawannya menjadi heran. Untuk sesaat mereka saling berpandangan. Namun pemimpin kelompok itu menjelaskan, “Tidak ada yang dapat kita lakukan di sini. Meskipun kita menunggui mereka, kita tidak akan dapat mencegah apa saja yang ingin mereka lakukan. Jika mereka ingin pergi, maka mereka akan pergi. Jika mereka akan tinggal di sini, maka mereka akan tinggal.”

Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi mereka mengerti maksud pemimpinnya. Karena itu, maka mereka pun segera mengikutinya masuk ke ruang dalam.

Ketiga orang anak muda yang ada di pendapa itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti itu pun berkata kepada gadis yang masih berpura-pura tidur itu, “Bagaimana pendapatmu tentang mereka?”

“Aku takut.” jawab gadis itu hampir berdesis.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya, “Sebenarnya aku ingin juga melihat apa yang akan terjadi. Bagaimanakah pendapatmu jika kita tinggal di sini? Kami bertiga berjanji untuk melindungimu. Kami akan mempertaruhkan nyawa kami.”

Gadis itu termangu-mangu. Ia percaya sepenuhnya kepada ketiga orang anak muda itu. Tetapi perasaan takut tidak dapat disembunyikannya.

“Jika kau bersedia dan yakin akan perlindungan kami, biarlah kami menunggu sampai mereka memecahkan persoalan mereka. Nampaknya orang-orang ini memang tidak terlalu jahat. Mereka berbuat kasar justru karena sebenarnya mereka berada dalam ketakutan, sehingga yang dilakukannya itu agak dipaksakannya dan bukan kebiasaan mereka sehari-hari. Mereka berbuat sebagaimana orang-orang kasar dan liar untuk menunjukkan bahwa mereka berkuasa dan kuat.” berkata Mahisa Murti.

Gadis itu nampaknya masih saja ragu-ragu. Tetapi ia melihat keyakinan pada sorot mata Mahisa Murti, sehingga karena itu katanya, “Terserah kepada kalian bertiga. Aku percayakan keselamatanku kepada kalian. Aku yakin bahwa kalian telah berbuat dengan jujur menurut nurani kalian.”

“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, “jika demikian kita akan tinggal di sini. Besok kita akan melihat, rahasia yang tersimpan di rumah ini.”

“Beristirahatlah,“ berkata Mahisa Murti kepada Mahisa Semu.

Tetapi Mahisa Semu telah menggeleng sambil menjawab, “Aku tidak merasa mengantuk sama sekali.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Baiklah. Kegelisahan kadang-kadang memang dapat mengalahkan perasaan kantuk.”

Hanya Mahisa Pukat lah yang dapat tidur dengan nyenyak di sisa malam itu. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Semu duduk saja bersandar tiang. Gadis yang berbaring itu pun tidak lagi dapat memejamkan matanya, sehingga ia pun kemudian justru bangkit dan duduk pula sambil memandang ke kejauhan. Tetapi dari sikapnya Mahisa Murti dapat mengerti, bahwa gadis itu masih saja gelisah. Beberapa saat kemudian, maka cahaya yang keremangan mulai membayangi halaman. Warna tanah mulai menjadi terang dan ayam jantan pun telah berkokok bersahutan.

Orang-orang yang ada di dalam rumah itu pun telah terbangun. Beberapa orang diantara mereka, termasuk pemimpin kelompoknya telah keluar pula. Ketika dilihatnya Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Pukat yang masih tidur, serta gadis yang termangu-mangu itu, ia bertanya, “Kalian belum pergi?”

“Belum,“ jawab Mahisa Murti.

“Jika kalian memang ingin pergi, pergilah. Jangan sampai terjadi salah paham dengan saudara-saudara seperguruan yang sebentar lagi tentu akan datang,“ berkata pemimpin kelompok itu.

“Sekehendakkulah,“ jawab Mahisa Murti.

Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia memang sudah merasa, bahwa ia dan kelompoknya tidak akan dapat mengatur ketiga orang anak muda itu. Namun adalah sayang sekali jika terjadi selisih paham dengan saudara-saudaranya, terutama saudaranya yang tertua. Jika terjadi keributan dan pertempuran, pasti kekuatan mereka akan berkurang, karena tiga orang anak muda itu akan dapat membunuh siapa saja yang dikehendaki.

Namun karena itu, maka pemimpin kelompok itu tidak bertanya lebih lanjut. Namun ia masih juga memberitahu, “Menurut rencana, di saat matahari terbit, saudara-saudaraku akan datang.”

“Saudaramu yang mana?“ bertanya Mahisa Murti.

“Saudara tertua, yang mendapat pesan dari guru,“ jawab pemimpin kelompok itu.

“Saudara yang lain, yang berdiri berseberangan dengan kepentingan saudara tertuamu itu?“ bertanya Mahisa Murti pula.

“Setelah tengah hari,“ jawab pemimpin kelompok itu.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Selama kalian pergi menculik gadis ini, siapakah yang ada di rumah ini?”

“Ada dua orang yang menunggu rumah ini. Tetapi mereka tidak tahu apa-apa tentang persoalan kami. Keduanya adalah orang-orang yang sejak kanak-kanaknya tinggal disini. Orang tua mereka juga menunggu rumah ini dahulu,“ jawab pemimpin kelompok itu.

“Dimana mereka tinggal?“ bertanya Mahisa Murti.

“Di belakang,“ jawab pemimpin kelompok itu.

“Aku ingin menemui orang itu. Barangkali aku akan berubah pendirian untuk tinggal disini sampai saudara-saudaramu dari kedua pihak itu datang,“ berkata Mahisa Murti kemudian.

“Jadi kau mau tinggal?“ bertanya orang itu dengan nada tinggi.

“Tetapi mungkin kami akan membantu saudara-saudaramu yang memusuhimu itu. Soalnya kami sudah terlanjur mendendam kepada kalian, karena kalian telah menculik gadis ini,“ jawab Mahisa Murti.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya menjadi muram. Namun katanya, “Aku sudah minta maaf. Tetapi segala sesuatunya terserah kepada kalian. Aku tahu kalian memiliki kemampuan yang tidak terlawan oleh kami. Alat kami untuk memaksa kalian pun telah berhasil kalian ambil kembali.”

“Bawa kami ke belakang,“ berkata Mahisa Murti kemudian.

Pemimpin kelompok itu tidak membantah. Maka dibawanya ketiga orang anak muda dan gadis itu ke belakang. Ke sebuah pondok kecil di halaman belakang yang dihuni oleh dua orang yang ternyata adalah suami istri.

Ketiga orang anak muda dan gadis itu pun telah dipersilahkan masuk ke dalam pondok itu. Mereka dipersilahkan duduk di sebuah amben yang besar di ruang tengah. Nampaknya amben itu adalah satu-satunya perabot yang ada di rumah itu. Kedua orang suami isteri itu memang merasa heran, bahwa tiga orang anak muda dan seorang gadis telah memasuki halaman rumah itu.

“Untuk apa sebenarnya kalian kemari?“ bertanya laki-laki yang sudah lebih separuh baya itu.

Mahisa Murti memang agak sulit menjawab pertanyaan itu. Namun akhirnya ia pun berkata, “Aku tidak sengaja datang kemari. Aku datang bersama orang-orang yang tinggal di rumah ini.”

“Apakah kau sudah mengenal mereka sebelumnya?“ bertanya orang itu.

“Belum,“ jawab Mahisa Murti, “aku mengenal mereka dalam perjalanan kemari.”

“Kami berjalan bersama-sama dan kami singgah di rumah ini untuk sekedar bermalam,“ jawab Mahisa Murti.

“Kalian sudah bermalam disini. Lalu apa keperluan kalian menemui aku?“ bertanya orang itu.

Mahisa Murti mengerutkan dahinya. Ternyata ia salah duga. Orang itu tentu bukan sekedar menunggu rumah dan juru taman yang setiap hari tugasnya menyiangi tanaman. Orang itu memiliki sikap tertentu terhadap peristiwa yang terjadi di rumah itu. Ditunjukkan atau tidak ditunjukkan. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata,

“Ki Sanak. Aku adalah orang yang sudah terlanjur terlibat dalam persoalan yang mungkin terjadi di rumah ini. Aku sudah mendengar ceritera tentang dua kelompok dari saudara-saudara seperguruan di rumah ini.”

“Lalu kau akan berpihak?“ bertanya orang itu.

“Aku tidak tahu, karena aku belum tahu persoalannya,“ jawab Mahisa Murti.

“Apakah orang-orang yang membawamu kemari minta kepadamu untuk berpihak kepadanya?“ bertanya orang itu.

“Ki Sanak. Kami adalah orang-orang sederhana yang barangkali tidak mempunyai bekal apa pun seandainya kami harus terlibat. Jika kami diminta untuk melibatkan diri, semata-mata sekedar untuk menambah jumlah orang saja, namun yang barangkali tidak akan dapat membantu merubah keseimbangan sama sekali, jika terjadi benturan kekerasan,“ jawab Mahisa Murti.

Orang itu termenung sejenak. Sementara itu isterinya telah berada di dapur rumahnya yang kecil untuk menjerang air. Dalam pada itu, dengan nada rendah orang itu berkata hampir kepada diri sendiri, “Orang-orang itu memang kasar. Tetapi mereka pantas dikasihani.”

“Kenapa?“ bertanya Mahisa Murti.

“Aku tahu, kau datang kepadaku untuk mendapat keterangan tentang isi rumah ini. Orang-orang yang membawamu itu juga tidak berkeberatan membawamu kepadaku, karena keteranganku mungkin akan menguntungkan mereka,“ berkata orang itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa orang itu benar-benar seorang yang mempunyai sikap. Namun sebelum ia menjawab, maka Mahisa Pukat lah yang menjawab, “Kau benar Ki Sanak. Nah, sekarang ceriterakan menurut sisi penglihatanmu tentang orang-orang di rumah ini yang kau katakan meskipun kasar tetapi pantas dikasihani. Kemudian katakan siapa kau sebenarnya, karena kau tentu bukan sekedar juru taman atau pekatik atau gamel atau sekedar menumpang di tempat ini. Menurut pemimpin kelompok orang-orang yang tinggal di rumah itu, kau tinggal disini sejak kecil karena orang tuamu juga tinggal disini dahulu.”

“Ya,“ jawab orang itu, “semua benar. Aku tinggal disini sejak aku kecil. Karena itu, maka aku mempunyai keinginan atas rumah ini. Tetapi aku tidak berdaya untuk menentukannya.”

“Apakah keinginanmu?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Supaya rumah ini tetap menjadi pusat perguruan yang dipimpin oleh murid tertua sesuai dengan pesan guru mereka ketika guru mereka itu meninggal,“ berkata orang itu.

“Apa pesan guru mereka?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Kau tentu sudah mendengarnya,“ jawab orang itu, “orang-orang itu tentu sudah mengatakannya, karena pesan itu adalah pangkal dari pertentangan yang agaknya akan memuncak.”

“Kenapa kau berpihak kepada mereka? Tidak kepada kelompok yang satu lagi?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Aku adalah orang tua yang mengikuti perkembangan perguruan ini. Jadi aku mempunyai wawasan yang agak lengkap tentang perguruan ini. Disamping murid tertua itu ternyata ada orang lain yang mengaku murid yang lebih tua. Ketika orang itu menyatakan dirinya, ia memang mampu menunjukkan ciri-ciri perguruannya. Ciri-ciri perguruan ini. Bahkan ia mempunyai beberapa kelebihan dari saudara tertua yang mendapat pesan dari gurunya untuk menggantikan kedudukannya,“ berkata orang itu.

“Murid tertua itu akan bertahan?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Menilik wataknya, ia bukan orang yang gila pada kedudukan dan apalagi untuk dihormati. Ia orang sederhana. Yang memaksanya untuk bertahan adalah justru pesan gurunya sebelum gurunya meninggal,“ jawab orang itu.

“Baik. Sekali lagi aku mendengarkan ceriteramu yang nampaknya menurut pandanganmu dari satu sisi. Tetapi aku masih ingin mendengar pendapat orang yang berdiri di sisi lain,“ berkata Mahisa Pukat.

“Silahkan Ki Sanak,“ jawab orang tua itu, “kau memang berhak untuk melakukannya.”

Namun dalam pada itu Mahisa Murti berkata selanjutnya, “Tetapi untuk sementara aku minta ijin tinggal di pondokmu ini.”

“Silahkan. Aku tidak berkeberatan,“ berkata orang tua itu.

.Waduh! Ada bagian cerita yang hilang lagi di sini. Tapi tidak apa-apa. Kita lanjut membaca yang ada saja ya!

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun kemudian tidak menghiraukan lagi tentang namanya yang tidak dipercaya oleh orang yang dianggap saudara tertua itu. Bahkan kemudian Mahisa Murti pun bertanya, “Namamu? Saudara-saudaramu yang terdahulu pun namanya belum kami ketahui?”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya aku juga mempunyai pertanyaan seperti pertanyaanmu. Apakah nama itu begitu penting? Tetapi baiklah, aku akan menyebut namaku, Miyatsangka. Aku agaknya tidak perlu menyebut nama saudaraku seorang demi seorang.”

“Memang sudah cukup.” jawab Mahisa Murti.

“Lalu, apakah kepentinganmu dengan kami di sini?” bertanya Miyatsangka.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun kemudian Mahisa Murti bertanya, “Apakah saudara-saudaramu yang datang lebih dahulu di rumah ini belum mengatakan sesuatu tentang kami?”

Miyatsangka menggeleng. Katanya, “Mereka tidak mengatakan apa-apa selain bahwa tiga orang anak muda di pondok belakang. Kalian datang justru pada saat-saat yang gawat.”

Mahisa Murti memandang pemimpin kelompok yang telah mengambil gadis itu sambil berkata, “Kenapa kau tidak mengatakannya?“ Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Bertanyalah kepada orang yang disebut Kepala Batu itu.”

Orang yang disebut saudara tertua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun berpaling kepada pemimpin kelompok dari antara mereka yang datang lebih dahulu, “Apa yang dapat kalian katakan kepada kami?”

“Maaf kakang,” orang itu menundukkan kepalanya, “tidak ada maksud lain kecuali untuk mempertahankan kedudukan kakang sebagaimana dipesankan oleh guru.”

“Jadi kau minta bantuan mereka?” bertanya orang itu.

Pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Lalu katanya dengan nada sendat, “Ya. Kami telah minta bantuan mereka. Tetapi cara yang kami tempuh ternyata akhirnya justru tidak menguntungkan.”

“Apa yang sudah kau lakukan? Aku juga datang bersama dua orang saudara kandungku. Meskipun kedua orang saudara kandungku itu tidak memiliki ilmu yang memadai, tetapi ia akan dapat membantu menegakkan pesan guru.”

Pemimpin kelompok dari orang-orang yang menculik gadis itu akhirnya menceriterakan apa yang sudah dilakukannya.

“Jadi kau telah menculik seorang gadis?” bentak saudara tertua itu.

“Maaf kakang. Aku tidak menemukan jalan lain.” jawab orang itu.

Wajah orang itu menjadi merah. Katanya dengan geram, “Kau jangan mengorbankan martabat kemanusiaanmu untuk mempertahankan kedudukan ini. Aku tidak berkeberatan kau minta bantuan. Tetapi dengan cara yang wajar dan jujur. Jadi gadis yang ada di belakang itu adalah gadis taruhan untuk memaksa orang-orang ini membantu kita?”

“Semula begitu.” jawab pemimpin kelompok itu.

“Lalu bagaimana sekarang?” bertanya saudaranya yang tertua.

“Anak-anak muda itu dengan mudah tanpa kami ketahui, berhasil membebaskannya. Tetapi mereka tidak melarikan diri. Mereka justru menunggu kami terbangun.” jawab pemimpin kelompok itu.

“Aku tidak tahu maksudmu.” berkata saudaranya yang tertua.

“Kami ternyata tidak mampu berbuat apa-apa atas mereka. Juga untuk menahan gadis itu. Mereka ternyata dapat berbuat apa saja sesuka hati mereka. Bahkan membunuh kami sekalipun.” jawab pemimpin kelompok itu.

Saudaranya tertua mengangguk-angguk. Kemudian katanya dengan nada dalam, “Aku minta maaf atas tingkah laku adik-adik seperguruanku. Mereka benar-benar menjadi kebingungan menghadapi persoalan di antara kami bersaudara, sehingga mereka telah kehilangan akal warasnya. Memang pada mereka terdapat bekal kekasaran dan sedikit liar. Tetapi aku tidak mengira bahwa mereka telah melangkah sejauh itu.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Baiklah. Kami akan melupakannya.”

“Terima kasih atas sikap kalian anak-anak muda,” berkata saudara tertua itu, “jika kalian menjadi marah dan mengambil sikap terhadap kami, maka kekuatan kami akan menjadi semakin susut, bahkan mungkin kami sudah tidak akan mampu berbuat apa-apa lagi.”

“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, “sikapmu membuat aku semakin mantap. Aku tidak akan pergi. Aku akan menunggu saudara-saudaramu yang lain. Saudaramu yang menganggap dirinya saudara tertua itu.”

Orang yang disebut saudara tertua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah menghubungi beberapa orang tua. Ternyata orang yang mampu menunjukkan ciri-ciri ilmu perguruan kami itu bukan murid guru yang tertua sebagaimana pengakuannya. Tetapi ia adalah sebenarnya paman guru kami. Ia adalah adik seperguruan dari guru. Dengan demikian maka ilmunya memang ada diatas kemampuan kami. Demikian pula paman guru yang seorang lagi, yang memperkuat kedudukannya. Namun kami tidak akan menyerah. Kami sadar bahwa kami akan ditumpasnya. Namun kami akan mempertahankan pesan guru dengan sepanjang nyawa kami.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka memang hampir yakin. Tetapi mereka masih akan menunggu. Karena itu maka Mahisa Murti pun berkata, “Aku sudah mendapat beberapa bahan untuk menyiapkan keputusan langkah kami. Tetapi kami akan menunggu sampai orang-orang itu datang.”

“Silahkan,” jawab orang yang disebut saudara tertua dan yang menyebut dirinya bernama Miyatsangka itu, “Kami tidak akan menuntut apa pun juga. Kalian adalah orang yang bebas untuk menentukan sikap. Sudah barang tentu antara baik dan tidak baik sesuai dengan pertimbangan kalian.”

“Jika demikian kami akan minta diri,” berkata Mahisa Murti, “kami akan berada di belakang. Jika orang-orang yang mengaku saudara seperguruan kalian menurut keterangan kalian itu datang, kami mohon untuk diberi tahu.”

“Baiklah.” jawab Miyatsangka.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah meninggalkan pendapa, kembali ke pondok di belakang. Kedua orang suami isteri yang telah menginjak usia tuanya itu pun telah bertanya, apa saja yang mereka bicarakan.

“Kami belum mengambil keputusan apa-apa,” jawab Mahisa Murti, “kami masih ingin berbicara dengan orang-orang yang bermusuhan dengan mereka yang sudah ada di rumah itu.” Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu tiba-tiba saja ia bertanya, “Kau kenal orang yang bernama Miyatsangka?”

“Itulah saudara tertua itu.” jawab orang tua yang tinggal di pondok itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang itu tidak berbohong. Ia sudah menyebut namanya yang sebenarnya. Sementara itu sambil menunggu kehadiran kelompok yang lain, maka orang tua pemilik pondok itu telah mempersilahkan mereka untuk beristirahat.

“Tidurlah,” berkata Mahisa Pukat kepada Mahisa Semu, “bukankah kau sama sekali belum sempat tidur?”

Mahisa Semu termangu-mangu. Namun ketika Mahisa Murti berbaring di amben besar di ruang tengah pondok itu, maka Mahisa Semu pun ikut berbaring pula. Mahisa Pukat lah yang kemudian duduk di sebelah gadis yang masih saja selalu dibayangi oleh kecemasan dan ketakutan itu.

“Tidurlah,” berkata Mahisa Pukat, “bukankah kau juga hampir tidak tidur semalam suntuk?”

Tetapi gadis itu menggeleng. Katanya, “Aku sama sekali tidak merasa mengantuk.” Karena itu, maka gadis itu pun masih saja duduk bersandar dinding sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat.

Namun ketika pemilik pondok itu mendekat, Mahisa Pukat telah bertanya, “Bagaimana dengan kau? Bagaimana jika kelompok pertama itu menang? Dan bagaimana jika kelompok kedua yang menang.”

Pemilik pondok itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Pengaruh itu tidak terlalu banyak. Siapa pun yang menang dan siapa pun yang kalah, aku tidak akan terganggu. Aku akan dibiarkannya saja tinggal di sini. Mengurus rumah ini dan memelihara halaman dan kebun.”

“Jika tidak?” bertanya Mahisa Pukat.

“Apa boleh buat. Jika aku harus pergi, maka aku pun akan pergi.” berkata orang itu.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya apa-apa lagi. Namun dalam pada itu, ternyata isteri pemilik pondok itu telah menanak nasi untuk mereka. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, isteri pemilik pondok itu telah menghidangkan makan dan minuman hangat bagi ketiga orang anak muda dan seorang gadis itu.

“Silahkan,” perempuan itu mempersilahkan, “tetapi hanya dengan sayuran yang aku dapat dari kebun belakang. Kulit melinjo dan daun so.”

“Terima kasih.” berkata Mahisa Murti yang telah dibangunkan.

Ternyata bahwa ketiga orang anak muda itu telah makan dengan lahapnya. Tetapi gadis yang bersama mereka itu hanya makan sedikit sekali. Tetapi makan dan minuman hangat itu akan memulihkan kelelahan yang mereka alami semalam dalam perjalanan dan hampir semalam suntuk mereka tidak tidur sama sekali.

Namun agaknya mereka tidak sempat menyelesaikan makan mereka. Pada saat-saat mereka menyuapi mulut mereka dengan gumpalan-gumpalan nasi terakhir, maka terdengar pintu rumah itu bagaikan dihentakkan sekali dari luar.

“Siapa yang ada di dalam?“ terdengar suara yang keras dan kasar.

Orang-orang yang ada di dalam rumah itu terkejut. Sementara itu pemilik pondok itu telah didorong keras-keras masuk ke dalam sehingga hampir saja ia jatuh terlentang jika Mahisa Pukat tidak cepat menangkapnya.

“Ada apa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku mendengar bahwa tiga orang anak muda ada di dalam sementara mereka menyimpan seorang gadis di sini. Kau kira rumah apa ini he? Pondok ini berada di dalam lingkungan sebuah perguruan yang terhormat. Kenapa kau biarkan mereka berada di sini? Dan kenapa tikus-tikus clurut itu tidak mencegahnya pula.” bentak orang itu.

“Siapakah yang mengatakannya?” bertanya pemilik pondok itu.

“Kenapa kau bertanya siapa yang mengatakannya? Bukankah di sini memang ada tiga orang anak muda dan seorang gadis?” bentak orang itu.

“Tetapi mereka adalah sanak kadangku.” jawab orang itu.

Orang yang mendorong pemilik pondok itu menjadi semakin marah. Dengan wajah yang marah ia berkata, “Jika kau menjawab satu kata saja, maka aku koyakkan mulutmu.”

Orang itu memang tidak berani mengatakan sesuatu. Sementara itu orang itu pun membentak-bentak, “Ikut aku. Ketiga-tiganya dan gadis itu.”

Mahisa Murti memberi isyarat kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu untuk mengikutinya. Ketika gadis itu menjadi gemetar Mahisa Pukat berkata perlahan sekali ditelinganya, “Jangan takut.”

Keempat orang itu pun kemudian telah mengikuti keluar dari pondok itu. Pemilik pondok yang tua itu pun telah mengikuti pula dengan hati yang cemas. Di luar pondok telah berdiri beberapa orang. Di antaranya adalah orang yang disebut saudara tertua, yang mendapat pesan dari gurunya untuk memimpin padepokan itu.

Dengan nada berat ia bertanya, “Kau mau apa dengan ke empat orang anak muda itu.”

“Jangan turut campur. Sebentar lagi kau akan aku usir dari rumah ini. Tetapi aku masih ingin berbicara dengan kau dan saudara-saudara seperguruan yang sesat. Mudah-mudahan kau menyadari keadaan dirimu.” jawab orang yang kasar itu.

“Mereka adalah tamu-tamuku.” berkata Miyatsangka.

“Omong kosong,” bentak orang kasar itu, “kau kira kami tidak tahu bahwa mereka datang semalam langsung ke pondok itu. Apa saja yang dilakukan oleh ketiga orang laki-laki dan perempuan itu?”

“Kamilah yang membawanya kemari.” jawab saudara tertua itu.

“Kau baru datang pagi tadi.” bentak orang yang mengaku saudara yang lebih tua lagi itu.

“Saudara-saudarakulah yang membawa mereka.” jawab murid tertua itu.

“Persetan. Jangan campuri urusanku.”

“Ini juga urusanku. Urusan kita belum selesai. Kita harus menyelesaikan urusan kita lebih dahulu. Baru siapa yang berhak mengurusi tamu-tamu itu. Mereka tamuku. Segala akibat kehadirannya adalah tanggung jawabku.” geram saudara tertua itu.

“Persetan,” orang yang mengaku lebih tua itu membentak semakin keras. Katanya selanjutnya, “Miyatsangka. Ternyata kau menjadi semakin keras kepala. Pergi ke pendapa. Aku akan menyelesaikan persoalanku dengan orang-orang ini sesuai dengan paugeran yang aku berlakukan di sini.”

“Tidak. Jika kau memaksa, kita akan memaksakan kehendak kita masing-masing tanpa berbicara apa-apa.” berkata saudara tertua itu.

“Anak iblis. Kau tahu akibatnya? Kalian akan mati semuanya. Termasuk kau sendiri.”

“Tidak ada bedanya. Mati nanti atau mati sekarang.” jawab Miyatsangka.

Orang yang mengaku berhak atas pimpinan perguruan itu menjadi semakin marah. Tetapi seorang yang nampaknya lebih banyak mempergunakan nalarnya telah mencegahnya. Katanya, “Biarkan saja ketiga anak muda dan perempuan itu. Kita akhirnya akan menyelesaikannya juga nanti.”

“Awasi mereka,” geram orang itu, “jangan sampai mereka melarikan diri.”

“Mereka akan bersama kami berbicara dengan kalian di pendapa.” berkata Miyatsangka tiba-tiba.

“Apakah kau sudah gila.” bentak orang yang mengaku lebih berhak itu.

“Mungkin,” berkata Miyatsangka, “kau sudah terlanjur memanggilnya keluar.”

“Persetan,” geram orang itu, “kau benar-benar sudah gila.”

“Jangan hiraukan.” berkata orang nampaknya lebih banyak berpikir itu.

Akhirnya orang itu pun telah pergi ke pendapa tanpa menghiraukan orang lain. Sementara Miyatsangka yang dianggap saudara tertua itu pun telah pergi ke pendapa pula. Ternyata mereka duduk dalam kelompok yang terbagi. Satu kelompok di sisi sebelah sedangkan satu kelompok di sisi yang lain.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan gadis itu pun telah ikut pula duduk di pendapa. Ternyata dengan tidak sengaja Mahisa Murti berempat telah duduk di belakang kelompok yang dipimpin oleh saudara tertua yang disebut Miyatsangka itu.

“Baiklah,” berkata pemimpin dari kelompok yang lain, yang agaknya merasa lebih berhak memimpin padepokan itu, “kita akan membagi hak. Seperti yang sudah aku katakan, maka aku tidak akan berkepanjangan. Aku akan memimpin perguruan ini. Sedangkan Miyatsangka akan mendapat hak untuk membuka perguruan sendiri asal tidak menyangkut nama perguruan kita di sini. Miyatsangka tidak boleh pula menyebut-nyebut bahwa ia memiliki sangkut paut dengan guru dalam segala hal. Nah, jika ia memenuhi hak yang aku berikan itu, maka aku tidak akan mengganggunya. Tetapi jika ia melanggar maka kau akan menghukumnya.”

“Tidak,” jawab Miyatsangka, “seperti sudah aku katakan pula, sebenarnya aku tidak terlalu bernafsu untuk memegang kedudukan apa pun juga. Tetapi aku tidak dapat mengabaikan pesan guru. Karena itu, maka aku akan memimpin perguruan ini.”

“Kau tidak usah mengigau,” berkata orang itu, “kau harus melihat kenyataan. Saudara-saudara seperguruan kita sudah menentukan, siapakah yang mereka anggap benar. Hitung, berapa orang yang berpihak kepadaku dan berapa orang yang berpihak kepadamu. Sudah tentu kau tidak dapat menghitung orang-orang lain yang kau bawa kemari hari ini.”

Miyatsangka menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia menjawab, “Kau kira kebenaran dapat diukur dengan jumlah mulut yang meneriakkannya? Aku yakin bahwa tanpa kau takut-takuti dan kau ancam atau barangkali kau beri janji-janji yang tidak masuk akal, maka mereka tidak akan berpihak kepadamu. Tetapi aku tetap berpegang kepada pesan guru yang didengar oleh semua murid-muridnya termasuk saudara-saudaraku yang berpihak kepadamu, bahwa akulah yang mendapat beban untuk memimpin padepokan ini. Sekali lagi aku katakan, bahwa aku tidak menginginkan kedudukan itu. Yang aku lakukan adalah semata-mata pesan guru.”

“Guru tidak tahu bahwa kami masih hidup. Jika guru tahu, maka pesannya akan berbunyi lain.” jawab orang yang ingin merampas kedudukan itu.

“Jangan kau kira bahwa aku tidak tahu siapakah kau sebenarnya. Kau bukan saudara tertua di perguruan ini. Tetapi kau adalah justru paman guruku. Kau adalah adik seperguruan guru. Karena itu, maka kau dapat menunjukkan ciri-ciri perguruan ini dengan baik.” berkata saudara tertua itu.

Wajah orang itu menjadi tegang. Sejenak ia justru terdiam. Namun akhirnya ia berkata hampir berteriak, “Jangan mencari-cari. Kau tidak akan dapat mengelak lagi. Akulah saudara tertua di perguruan ini.”

Tetapi Miyatsangka tetap berkeras kepala. Katanya dengan mantap, “Tidak. Aku telah mendapat pesan guru yang tidak akan dapat diganggu gugat oleh siapapun.”

“Persetan,” geram orang itu, “kau tahu akibat dari sikapmu itu.”

“Aku tidak peduli. Yang penting, pesan guru harus aku lakukan sebaik-baiknya. Apa pun yang dapat terjadi atas diriku.” sahut Miyatsangka.

Orang yang mengaku tertua itu menggeram. Katanya, “Ternyata kau memang keras kepala. Jika kau mati, maka kau pun tidak akan dapat memenuhi pesan guru itu.”

“Tetapi aku sudah menebusnya dengan nyawaku,” berkata Miyatsangka.

“Anak iblis,” geramnya, “baiklah. Jika demikian maka kami akan memenuhi keinginanmu. Kami yang sebenarnya datang dengan maksud baik harus bertindak lebih tegas lagi menghadapi anak-anak bengal seperti kau ini.”

Miyangsangka sudah tidak peduli lagi. Ia pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun dalam pada itu, terdengar suara Mahisa Murti, “Apakah persoalan ini benar-benar sudah tidak dapat dibicarakan lagi?”

“Anak setan,” teriak orang yang ingin merampas kedudukan itu, “apa hakmu mencampuri persoalanku. Sebaiknya kau diam saja. Jika kau masih juga berbicara, maka mulutmu akan aku koyak sampai ke telinga.”

Tetapi Mahisa Murti justru tertawa. Katanya, “Jangan cepat marah. Kau akan menjadi semakin cepat tua.”

Wajah orang itu menjadi merah. Namun sebelum orang itu bertindak, maka Miyatsangka berkata, “Jangan mengembangkan persoalan. Tinggalkan tempat ini, dan jangan mencoba merusak pesan guru. Kau adalah adik seperguruan guruku, sehingga karena itu, maka sebenarnya aku pun harus menghormatinya.” Miyatsangka berhenti sejenak, lalu “Aku pun mengerti, sebenarnya aku memang harus hormat kepada paman. Tetapi Paman telah menjadikan diri paman sendiri, seorang yang tidak pantas dihormati. Karena itu, apa boleh buat, jika aku telah memberanikan diri melawan paman untuk mengemban tugas guru. Aku yakin bahwa yang tidak bersalah akan dilindungi oleh Yang Maha Agung.”

“Miyatsangka. Apakah kau sudah gila. Bukankah kau tahu ketentuan yang memberi hidup. Tataran ilmuku?”

“Ya,” jawab Miyatsangka tegas, “aku tahu tataran ilmumu yang tinggi, meskipun belum setinggi guru. Sehinggah kau merasa tidak terkalahkan di padepokan ini.”

“Setan manakah yang telah memberanikan diri menghadapi aku.” jawab Miyatsangka.

Demikianlah, maka kedua belah pihak pun segera telah mempersiapkan diri. Nampaknya mereka sudah tidak mungkin lagi untuk menemukan titik terang, sampai kapan pun mereka berbicara meskipun keduanya tetap bersaudara.

Orang yang menginginkan kedudukan itu telah memandangi orang-orang yang menentangnya. Dengan jari-jarinya yang gemetar ia menunjuk ke arah saudara-saudaranya yang menentangnya sambil berkata,

“Kalian tidak akan mendapat kesempatan lain jika kalian tidak menyatakan tunduk kepadaku sekarang...”