Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 70 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 70
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

Miyatsangka pun tidak dapat menahan hatinya lagi. Ia sadar, bahwa pembicaraan yang mana pun tidak akan dapat membawa hasil yang memuaskan baginya dan saudara-saudara seperguruannya yang berpihak kepadanya. Karena itu, maka Miyatsangka pun telah mempersiapkan saudara-saudara seperguruannya untuk bersiap-siap.

“Kami tidak akan menyerang dengan licik,” berkata orang itu. “aku akan menyerang beradu dada. Karena itu, turunlah ke halaman. Aku pun segera akan bersiap pula.”

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berdesis di telinga Miyatsangka, “Aku berpihak kepadamu. Seperti kedua saudara kandungku itu, aku akan segera menjadi pembantu di sini.”

Miyatsangka mengangguk-angguk. Kedua saudaranya dan ketiga anak muda itu memang hanya dapat membantu, karena mereka sebenarnya tidak terlibat ke dalam pertikaian itu. Namun ia merasa bersyukur bahwa ketiga orang anak muda itu telah berpihak pula kepadanya.

Tetapi ternyata Mahisa Murti telah memerintahkan agar Mahisa Semu membawa gadis itu menepi dan menjaganya agar tidak seorang pun mengusiknya.

“Mahisa Semu,” berkata Mahisa Murti, “menghadapi keadaan yang paling gawat, maka kau dapat benar-benar mempergunakan senjatamu sebagaimana pernah terjadi. Kita memang bukan pembunuh. Kita tidak ingin membunuh. Namun jika hal itu terjadi di peperangan, maka bukan semata-mata salah kita.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Mahisa Murti. Karena itu maka ia pun kemudian telah membawa gadis itu menepi demikian kedua belah pihak telah turun dari pendapa dan berdiri di halaman.

Beberapa saat kemudian keduanya telah bersiap. Orang yang ingin merampas hak untuk memimpin perguruan itu telah berdiri di paling depan di antara para pengikutnya. Seorang yang disebut adik terdekatnya telah berdiri pula di sampingnya.

“Ayo,” berkata orang itu, “siapakah yang akan melawan aku. Jika ada di antara kalian merasa sebagai orang tertua dalam perguruan ini, maka kadar ilmunya pun tentu paling tinggi. Nah, marilah. Siapakah yang ilmunya paling tinggi, lawan aku.”

Miyatsangka mendekatinya selangkah demi selangkah. Katanya, “Seharusnya aku menghormatimu sebagaimana aku menghormati guru. Jangan kau kira bahwa aku tidak yakin bahwa kau adalah adik seperguruan dari guru yang kau aku sebagai gurumu itu. Karena itu, maka aku percaya bahwa kau sebagai paman guruku tentu memiliki ilmu yang lebih tinggi dari kami semuanya. Meskipun demikian, sebagaimana sudah berulang kali aku katakan, bahwa aku berpegang teguh kepada pesan guru. Aku harus melakukannya meskipun aku harus mempertaruhkan nyawaku.”

“Bukan main,” geram orang itu, “kau adalah seorang murid yang sangat setia. Tetapi kesetiaanmu adalah kesetiaan yang mati. Tentu guru menunjukmu waktu itu, karena guru tidak melihat aku.”

“Jangan sebut guru lagi,” berkata Miyatsangka, “kau telah mengkhianati saudaramu sendiri. Kau terlalu tamak dengan mengaku sebagai saudara kami yang tertua.”

“Sekarang tutup mulutmu. Cabut senjatamu. Kita bertempur,” berkata orang itu sambil berdiri bertolak pinggang. Lalu katanya, “Kau masih sempat melihat langit sesaat sebelum kau dijemput maut.”

Miyatsangka memang agak ragu. Ia sadar, bahwa orang itu memiliki ilmu jauh lebih tinggi dari ilmunya. Karena itu, maka ia pun sadar, bahwa nampaknya hari itu adalah harinya yang terakhir. Tetapi sama sekali tidak ada niatnya untuk berkhianat kepada gurunya. Ia akan menjalankan perintahnya sampai ujung umurnya.

Kedua belah pihak pun segera telah bersiap. Kedua belah pihak sebagian besar terdiri dari saudara-saudara seperguruan. Hanya dua orang yang mengaku murid tertua itulah yang sebenarnya bukan saudara seperguruan. Sementara di pihak lain dua orang saudara kandung Miyatsangka siap membantunya ditambah lagi dengan dua orang anak muda.

Ketika Miyatsangka melangkah mendekati lawannya, tiba-tiba saja semua orang terkejut ketika Mahisa Murti lah yang mendahuluinya sambil berkata, “Tidak pantas jika dua orang saudara seperguruan akan bertempur berebut kedudukan meskipun gurunya telah memberikan pesan.”

“Apa maksudmu?” bertanya Miyatsangka yang juga menjadi bingung melihat sikap Mahisa Murti.

“Begini saja,” berkata Mahisa Murti, “aku akan minta kedua orang yang mengaku saudara tertua ini tidak ikut. Biarlah saudara-saudaranya yang lain menyelesaikan persoalan mereka. Soal keyakinan antara salah dan benar. Pesan guru merupakan kebenaran bagi murid-muridnya sejauh itu menyangkut persoalan ke dalam dan tidak bertentangan dengan kebenaran bagi paugeran hidup orang banyak serta kebenaran menurut paugeran Yang Maha Agung.”

“Kau nampaknya memang orang gila.” geram orang yang mengaku saudara tertua itu.

“Terserah apa yang ingin kau katakan,” jawab Mahisa Murti, “tetapi kau dan seorang saudaramu itu tidak patut untuk bertempur melawan murid-murid perguruan ini. Apalagi setelah aku tahu bahwa kau sebenarnya adalah paman guru dari murid-murid perguruan ini. Dengan demikian aku semakin yakin bahwa kau benar-benar dikendalikan oleh ketamakanmu sehingga kau sampai hati memusuhi murid-murid saudaramu dan bahkan mengaku saudaranya yang tertua.”

“Tutup mulutmu atau aku terpaksa membunuhmu lebih dahulu dari saudara-saudaraku yang berkhianat itu,” berkata orang itu.

Tetapi seperti tidak mendengar kata-kata itu Mahisa Murti berkata kepada Miyatsangka, “jatuhkan perintah untuk bertempur. Aku dan saudaraku akan mengikat kedua orang ini dalam pertempuran yang khusus, agar keduanya tidak ikut campur dalam usaha menentukan siapakah yang benar-benar mengabdi bagi perguruannya.”

Tetapi Miyatsangka menjadi ragu-ragu. Bahkan ia pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Terima kasih atas bantuanmu. Tetapi kedua paman guruku itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Sebaiknya kau tidak menjadi korban pertama dalam perselisihan antar keluarga perguruan kami. Biarlah aku yang bertanggung jawab atas permusuhan ini dengan dasar yang kuat, pesan guru.”

“Jangan cemas Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “aku adalah pelari yang ulung. Jika aku tidak dapat mengimbangi kemampuan paman gurumu ini, biarlah aku melarikan diri. Orang itu tidak akan dapat mengejarku.”

Namun Miyatsangka masih saja ragu-ragu. Ia merasa bersalah untuk mengorbankan orang lain melawan kedua orang yang memang diketahui berilmu sangat tinggi itu. Namun dalam pada itu, pemimpin kelompok yang telah menculik gadis itu pun berdesis, “Keduanya adalah anak-anak muda yang berilmu tinggi.”

“Tetapi tentu tidak setingkat dengan kedua paman guru itu.” desis Miyatsangka.

Namun agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah berketetapan hati. Karena itu, maka keduanya langsung mendekati kedua orang yang disebut paman guru oleh Miyatsangka itu. Ternyata bahwa sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu telah membuat kedua orang tua itu sangat marah. Karena itu, maka dengan isyarat, yang tertua di antara mereka telah memerintahkan saudaranya untuk menyerang.

Demikianlah, maka kedua orang paman guru Miyatsangka itu telah menyerang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Menurut perhitungan mereka, dalam waktu yang singkat, mereka akan dapat membunuh kedua orang anak muda itu. Kemudian mereka akan segera menyelesaikan sekelompok murid perguruan itu yang lain, yang tidak mau tunduk pada perintahnya.

Miyatsangka memang menjadi berdebar-debar. Namun ia-pun menjadi heran melihat anak-anak muda itu dengan tangkas mengelakkan serangan itu. Sementara Miyatsangka termangu-mangu, saudaranya yang telah menculik gadis itu berbisik lagi di telinganya,

“Aku kira keduanya akan dapat bertahan untuk waktu yang lama, sementara kita mendapat kesempatan untuk bertempur melawan yang lain. Tanpa kedua orang paman guru itu, maka kita tentu akan dapat menguasai mereka kembali. Baru kemudian, kita bersama-sama melawan kedua paman guru itu.”

“Kau memang berniat mengorbankan kedua orang anak muda itu? Meskipun keduanya mampu bertahan berapa pun lamanya, jika akhirnya harus kita korbankan, rasa-rasanya itu tidak adil, karena persoalan ini adalah persoalan perguruan kita.” jawab Miyatsangka.

“Kita tidak akan mengorbankannya,” jawab yang telah menculik gadis itu, “sudah barang tentu kita mengharapkan keduanya dapat menang.”

Miyatsangka termangu-mangu. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah bertempur. Kedua orang yang mengaku berhak memerintah perguruan itu, tidak memandang perlu untuk mempergunakan senjata. Bagi mereka kedua orang anak muda itu tidak lebih dari dua orang yang sombong namun tidak berarti sama sekali.

Dalam pada itu, Miyatsangka memang belum memerintahkan saudara-saudaranya untuk menyerang. Tanpa dua orang paman gurunya, maka Miyatsangka dan saudara-saudaranya masih mempunyai harapan untuk dapat bertahan. Tetapi bagi Miyatsangka, musuh yang utama memang kedua orang paman gurunya itu. Jika keduanya dikalahkan, maka yang lain tentu tidak akan bertahan lebih lama lagi. Mereka benar-benar tergantung kepada kedua orang paman gurunya yang agaknya telah memberikan janji-janji yang khusus bagi mereka. Bahkan orang-orang yang kemudian berada di halaman itu telah terpesona melihat pertempuran yang semakin lama menjadi semakin seru.

Ternyata kedua orang paman guru dari saudara-saudara seperguruan yang bertengkar itu merasa heran. Mereka tidak segera dapat menguasai anak-anak muda itu. Bahkan mereka tidak sekedar mempergunakan ilmu dasar mereka. Tetapi mereka telah meningkatkannya dengan lambaran tenaga cadangan di dalam dirinya.

Dalam pada itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih harus menyesuaikan diri. Mereka memang ingin memancing agar kedua orang itu terikat dalam pertempuran melawan mereka berdua. Sehingga dengan demikian maka yang lain akan dapat bertempur melawan kemampuan yang memadai.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian menyadari, bahwa orang-orang yang ada di halaman itu perhatiannya sepenuhnya tertuju kepada mereka. Namun justru karena itu, maka Mahisa Murti yang sempat meloncat mendekati Mahisa Pukat berdesis, “Kita pergunakan saat ini untuk mempertunjukkan satu arena pertempuran yang menarik.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia mengerti maksudnya. Keduanya akan bertempur sejalan dengan tingkat kemampuan lawan untuk mencengkam perhatian saudara-saudara seperguruan yang bertengkar itu. Jika mereka lupa bertempur dan sekedar memperhatikan pertempuran yang sudah terjadi itu, maka pertumpahan darah antara saudara seperguruan itu mudah-mudahan dapat dihindari.

Demikianlah, pertempuran antara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melawan kedua orang paman guru Miyatsangka itu memang menjadi semakin sengit. Ilmu mereka semakin lama menang menjadi semakin meningkat.

Kedua orang yang berniat untuk menguasai perguruan itu menjadi heran terhadap kedua orang anak muda itu. Mereka sudah memperhitungkan, bahwa pekerjaan mereka tidak akan begitu sulit di rumah itu. Jika orang-orang yang menentangnya itu tidak mau tunduk kepada ketentuan yang dibuatnya, maka dengan cepat mereka akan dapat menghancurkan mereka.

Bahkan alasan itulah sebenarnya yang diinginkannya, sehingga akan terjadi pertengkaran dan pertempuran sehingga dengan demikian mereka akan dapat mempunyai landasan yang kuat untuk membunuh mereka. Tetapi adalah di luar perhitungannya bahwa mereka akan berhadapan dengan dua orang anak muda yang telah mampu melawannya untuk beberapa lama. Yang tertua di antara kedua orang itu pun kemudian berkata lantang,

“Nampaknya keduanya merasa memiliki ilmu yang cukup. Karena itu, maka kita tidak usah bermain-main. Kita tidak mempunyai waktu cukup. Kita harus cepat mengakhiri perlawanan mereka. Kita harus membunuh segera.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengar juga kata-kata lantang yang mendebarkan itu. Karena itu keduanya menjadi semakin berhati-hati. Bukan menjadi kebiasaan mereka untuk meremehkan lawan. Apalagi kedua orang itu adalah saudara seperguruan dari seorang guru yang sangat dihormati oleh murid-muridnya. Keduanya tentu orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

Sebenarnyalah sejenak kemudian, kedua orang itu pun telah meningkatkan ilmu mereka. Keduanya ingin dengan cepat membunuh anak-anak muda yang telah memberanikan diri melawan mereka. Tetapi ternyata tidak mudah untuk melakukannya. Ketika kedua orang itu kemudian bergerak semakin cepat dan semakin kuat, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun melakukannya juga.

Bahkan keduanya kemudian telah memancing lawan-lawan mereka untuk berpencar. Mereka telah bertekad untuk mempertunjukkan satu permainan yang akan sangat mengasyikkan bagi saudara-saudara seperguruan yang sedang bertengkar itu tanpa merendahkan kemampuan kedua orang lawan mereka. Karena itu, maka pertempuran antara mereka pun semakin lama menjadi semakin sengit.

Namun agaknya kedua orang yang merasa diri mereka berilmu tinggi itu, masih belum merasa perlu mempergunakan senjata. Mereka berniat untuk menunjukkan kepada orang-orang yang menentang kuasanya itu, bahwa tangan-tangan mereka akan mampu mematahkan leher seseorang. Mereka yang berani melawan mereka pun akan mengalami nasib yang sama pula dengan anak-anak muda yang sombong itu.

Tetapi, anak-anak muda itu ternyata selalu mampu mengimbangi ilmu mereka meskipun ilmu mereka menjadi semakin meningkat. Bahkan seakan-akan kedua orang itu tidak melihat kesulitan sama sekali pada kedua anak muda itu. Dengan demikian maka kedua orang itu menjadi semakin yakin bahwa kedua anak muda itu tentu memiliki ilmu yang tinggi. Itulah agaknya maka dengan sombong keduanya berniat untuk merubah rencananya tentang perguruan mereka itu.

Tetapi jarak antara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin jauh. Mahisa Murti bergerak semakin dekat dengar sudut halaman, bahkan bergeser ke arah yang berlawanan dengan Mahisa Murti. Perhatian orang-orang yang ada di halaman itu terpecah. Sementara kedua anak muda itu dengan sangat berhati-hati menjajagi kemampuan kedua lawannya. Namun mereka masih bertempur dengan tangan mereka tanpa memegang senjata.

Saudara tertua dari kedua orang yang ingin menguasai perguruan itu pun menjadi semakin marah. Dengan geram yang tertua berkata, “Aku percaya sekarang, bahwa kalian memang mempunyai bekal ilmu. Tetapi sayang bahwa kalian tidak mempunyai wawasan yang luas tentang olah kanuragan, sehingga kau mengira bahwa ilmumu adalah ilmu yang terbaik yang dapat kau pergunakan untuk melawan siapa pun juga.”

Mahisa Murti keningnya. Lawannya telah menyerangnya seperti badai. Namun dengan tangkasnya Mahisa Murti masih sempat menilai bahwa lawannya masih berada pada tataran dasar ilmu kanuragan. Bukan berarti bahwa lawannya tidak akan mampu meningkatkan lagi ilmunya, tetapi ternyata lawannya memang menganggap Mahisa Murti masih sebagai kanak-kanak yang terlalu sombong. Meskipun dasar-dasar ilmu lawannya adalah dasar dari satu ilmu yang kuat, dan telah dikuasai dengan masak, namun bagi Mahisa Murti memang terasa telah menyinggung perasaannya.

Mahisa Murti merasa terlalu direndahkan meskipun ia sendiri tidak akan pernah meremehkan orang lain. Karena itu, maka Mahisa Murti lah yang kemudian ingin menuntun lawannya agar mulai mendaki dengan lebih pada tataran berikutnya. Dengan demikian, maka Mahisa Murti lah yang memacu lawannya untuk meningkat lebih tinggi. Dengan mempercepat dan meningkatkan kekuatan tenaga cadangannya, maka Mahisa Murti tiba-tiba saja telah mendesak lawannya.

Demikian cepat dan kerasnya serangan Mahisa Murti yang datang dengan tiba-tiba, sehingga lawannya harus berloncatan surut beberapa langkah. Namun Mahisa Murti ternyata tidak melepaskannya. Dengan cepat pula ia memburu. Dengan loncatan panjang, kakinya terjulur lurus menyamping mengarah dada.

Lawannya dengan cepat pula meloncat ke samping, mengelakkan serangan itu. Tetapi Mahisa Murti yang meskipun masih muda telah menyimpan sebanyak pengalaman itu, dengan mudah cepat menyerang pula. Demikian kakinya yang terjulur itu kemudian berjejak di tanah, maka tubuhnya segera berputar. Kakinya yang lainlah yang kemudian menyerang mendatar dalam putaran yang sangat cepat.

Ternyata bahwa lawannya tidak menduga datangnya serangan yang begitu cepat dan tiba-tiba. Karena itu, maka ia tidak sempat lagi mengelak. Dengan tangannya orang itu mencoba menangkis serangan Mahisa Murti. Tetapi serangan itu demikian kerasnya. Putaran kaki Mahisa Murti tidak tertahankan oleh tangan lawannya, sehingga karena itu maka orang yang merasa dirinya memiliki ilmu yang hampir sempurna itu telah terlempar ke samping.

Betapa pun ia berusaha, namun ia tidak mampu untuk menguasai keseimbangannya, sehingga karena itu, maka orang itu pun telah jatuh terguling di tanah. Namun orang itu benar-benar seorang yang tangkas. Dengan cepat ia melenting berdiri. Dalam sekejap orang itu telah siap menghadapi segala kemungkinan.

Mahisa Murti berdiri dengan kaki renggang. Tangannya bertolak pinggang. Bukan niatnya untuk menyombongkan diri. Tetapi ia benar-benar ingin memancing perhatian saudara-saudara seperguruan yang bermusuhan itu. Orang yang mengaku murid tertua itulah sebenarnya sumber dari malapetaka yang akan memecah hadirnya sebuah perguruan. Nampaknya memang sebuah perguruan yang kuat meskipun hanya dengan beberapa orang murid.

Terdengar Mahisa Murti tertawa. Dengan nada tinggi ia berkata, “Ki Sanak. Aku hanya ingin menunjukkan, bahwa seseorang tidak akan dapat berbuat sekehendak hatinya dengan memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Mungkin kau memang dapat membunuh murid-murid saudara seperguruan itu. Tetapi ternyata bahwa niatmu itu harus dicegah. Aku yang tidak bersangkut paut dengan perguruanmu, ternyata telah dipergunakan oleh Yang Maha Agung untuk mencegah niatmu yang jahat itu.”

Orang itu menggeram marah sekali. Sementara itu Miyatsangka pun menjadi sangat cemas. Namun pemimpin kelompok dari saudara-saudaranya yang telah menculik gadis itu berkata, “Nah, bukankah anak muda itu memiliki ilmu yang tinggi.”

“Mudah-mudahan. Tetapi aku masih cemas, bahwa yang dilakukan itu hanya akan mempercepat kematiannya saja. Paman guru itu akan menjadi marah sekali. Dalam keadaan yang demikian, maka ia akan mempergunakan ilmu simpanannya. Ilmu yang baru aku kenal dasarnya saja. Tetapi paman guru itu benar-benar telah menguasainya meskipun belum sematang guru sendiri. Tetapi untuk membunuh seseorang, rasa-rasanya ilmu itu akan dapat dipergunakan sebaik-baiknya. Tetapi jika aku sempat melawannya, mungkin aku akan dapat berusaha untuk mengimbanginya jika aku mampu menemukan kesempatan yang baik.” berkata Miyatsangka.

“Tetapi kau pun akan sulit melawannya. Kau tidak akan mampu mengimbanginya.” berkata pemimpin kelompok itu.

“Namun jika aku mati, aku memang mempunyai tanggung jawab. Tetapi anak itu tidak. Apalagi ia masih terlalu muda untuk mati.” desis Miyatsangka.

Namun kata-katanya itu terhenti. Pertempuran antara Mahisa Murti dan lawannya telah mulai lagi. Semakin lama semakin dahsyat. Lawannya yang marah sampai ke ubun-ubun itu memang telah mengerahkan kekuatan dan kemampuan tenaga cadangannya. Namun ternyata bahwa ia masih belum mampu mengalahkan anak muda itu. Sehingga karena itu, maka memang tidak ada cara lain yang dapat ditempuhnya selain dengan ilmu pamungkasnya.

Tetapi untuk beberapa saat ia masih mencoba bertahan untuk tidak melepaskan ilmu pamungkasnya itu. Apalagi di hadapan murid-murid saudara seperguruannya yang hendak dibinasakan itu. Seolah-olah untuk mengalahkan anak-anak muda saja ia harus sudah merambah sampai ke ilmu pamungkas.

Sementara itu, yang terjadi di lingkaran pertempuran yang lain tidak jauh berbeda. Justru Mahisa Pukat bergerak lebih cepat dan lebih kuat. Kedua tangannya yang berputaran membuat lawannya kadang-kadang memang bingung. Tangan itu bergerak mendatar, terayun condong ke arah dada, namun kemudian mematuk dengan kerasnya ke arah dada. Untuk menghindarinya lawan Mahisa Pukat itu harus berloncatatan pula. Bahkan kadang-kadang ia semakin terdesak surut. Namun dalam satu kesempatan, orang itu telah menyerang lambung Mahisa Pukat dengan kakinya.

Hampir saja kaki orang itu menyentuh lambungnya. Meskipun kaki itu bergerak mendatar senyari dari lambungnya, namun terasa anginnya telah menyambar. Tetapi ketika orang itu menyerangnya sekali lagi dengan ayunan tangannya ke arah kening, Mahisa Pukat dengan cepatnya merendah. Ayunan tangan itu menyambar diatas kepalanya. Namun pada saat yang sama, Mahisa Pukat telah menyerang dengan dahsyatnya. Tangannya terjulur lurus menghantam bagian bawah ketiak lawannya justru di saat tangannya terangkat dan berayun mendatar.

Orang itu mengaduh tertahan. Sisi dadanya itu terasa bagaikan dihantam sebongkah batu padas. Nafasnya terasa sesak dan keseimbangannya telah guncang. Untuk memperbaiki keadaannya, orang itu justru meloncat beberapa langkah surut.

Yang terdengar adalah suara tertawa Mahisa Pukat. Ia tidak berlari mengejar lawannya. Tetapi ia melangkah maju perlahan-lahan sambil berkata, “Kau harus membuat pertimbangan-pertimbangan baru. Kami sudah bertekad berpihak kepada orang-orang yang memang berhak untuk menerima warisan dari perguruannya. Seharusnya kau justru mendukung dan merestuinya sebagai seorang paman yang baik. Tetapi kau justru telah berniat untuk merampasnya.”

“Persetan,” geram orang itu, “aku masih dapat menahan diri sampai saat ini. Sebaiknya kau minggir. Persoalan ini adalah persoalan di antara keluarga kami. Sebaiknya kau tidak usah ikut campur.”

Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Telah terjadi ketidak adilan di sini. Dua orang paman yang berilmu tinggi berniat merampas hak anak-anaknya. Itu adalah persoalan ketidak adilan, sehingga orang-orang yang memang ingin melihat keadilan ditegakkan akan dapat melibatkan dirinya.”

“Cukup,” bentak orang itu, “bersiaplah untuk mati.”

“Aku tidak mau mati. Aku akan mempertahankan hidupku dan jika terpaksa justru membunuhmu.” jawab Mahisa Pukat.

Lawannya memang menjadi semakin marah. Dengan serta merta maka ia pun telah meloncat seolah-olah hendak menerkam Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat telah bersiaga sepenuhnya, sehingga karena itu, tangan lawannya yang menyambar wajahnya itu tidak menyentuhnya. Namun terasa jantung Mahisa Pukat berdesir. Yang menerpa wajahnya adalah sambaran angin yang keras, sehingga matanya terasa menjadi pedas.

Selagi Mahisa Pukat memperbaiki keadaannya, maka orang itu telah meloncat lagi menyerang. Tangannya terjulur dengan garangnya dengan jari-jari yang mengembang. Sepintas Mahisa Pukat sempat melihat kuku-kuku yang tajam dan panjang, hampir mengoyak kulitnya. Mahisa Pukat memang bergeser ke samping. Namun ia telah bersiap menghadapi kemungkinan yang sudah diperhitungkannya.

Sebenarnyalah lawannya memang telah memburunya. Tangannya dengan jari-jari yang mengembang berusaha menggapai keningnya. Namun Mahisa Pukat telah menarik wajahnya dan melangkah surut selangkah. Demikian tangan itu menyambar udara tanpa menyentuhnya, maka dengan serta merta Mahisa Pukat telah memukul pergelangan tangan itu. Demikian cepat dan tiba-tiba.

Orang itu mengaduh perlahan. Pergelangan tangannya terasa bagaikan patah. Namun itu bukan serangan yang sebenarnya, karena tiba-tiba saja Mahisa Pukat telah meloncat mendekat. Begitu dekat sehingga lututnya telah menghantam bagian bawah perut lawannya itu. Lawannya tidak sempat berbuat sesuatu. Serangan Mahisa Pukat datang demikian tiba-tiba.

Demikian sakitnya serangan itu, sehingga tubuh orang itu terbongkok karenanya. Namun Mahisa Pukat telah memanfaatkannya. Dengan sisi telapak tangannya, Mahisa Pukat telah menghantam tengkuk orang itu, sehingga orang itu terjerumus jatuh di tanah.

Namun adalah di luar dugaan Mahisa Pukat. Ia mengira bahwa untuk beberapa saat orang itu akan terbaring kesakitan. Tetapi ternyata bahwa daya tahannya adalah sangat tinggi. Karena itu, demikian ia jatuh terjerembab, maka ia pun telah berguling beberapa kali dan meloncat bangkit. Sejenak kemudian ia telah berdiri tegak menghadapi segala kemungkinan.

Meskipun demikian orang itu tidak dapat menyembunyikan perasaannya sepenuhnya. Sekali-sekali ia masih nampak menyeringai menahan sakit di perut dan di tengkuknya. Perasaan mual yang sangat serasa telah meremas usus-ususnya, sementara kepalanya menjadi pening. Tulang lehernya seolah-olah telah menjadi patah karena pukulan Mahisa Pukat.

Dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan yang sangat orang itu menggeram, “Ternyata kau harus dibunuh.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun menilik sikapnya, maka orang itu benar-benar tidak dapat menahan diri lagi, sehingga karena itu, maka agaknya orang itu sudah siap untuk memasuki kemampuan ilmu puncaknya.

Sebenarnyalah orang itu tidak lagi mau memperpanjang waktu. Jika semula ia tidak mau merendahkan diri dihadapan orang-orang yang akan direndahkan dan akan dibinasakan untuk merampas hak atas perguruan itu, maka ia pun kemudian berpendirian lain. Ia tidak mau direndahkan oleh anak-anak muda itu dengan kegagalan-kegagalan beruntun.

Mahisa Pukat pun kemudian telah bersiap sepenuhnya. Ia sadar bahwa orang itu adalah orang yang sangat kuat daya tahannya. Ia mampu mengatasi rasa sakit yang luar biasa oleh serangannya pada perutnya dan pada lehernya. Karena itu, maka dengan landasan ilmunya yang tinggi, maka ia adalah orang yang sangat berbahaya.

Mahisa Pukat memang menjadi berdebar-debar ketika orang itu mengetrapkan senjata khusus pada telapak tangannya. Dengan demikian, maka jari-jarinya telah terbalut oleh semacam kepingan baja yang berbentuk kuku-kuku yang panjang dan berwarna keputih-putihan. Namun pada ujung-ujungnya kuku-kuku baja itu berwarna agak kehitam-hitaman.

Mahisa Pukat memang menjadi curiga bahwa senjata khusus itu beracun. Apalagi menilik bahwa senjata itu disimpan dalam kantung yang khusus yang terbuat dari kulit yang dibungkus dengan ikat pinggangnya yang besar. Bagi orang itu, maka senjata itu adalah senjata yang sangat mapan menilik unsur-unsur gerak yang sudah diperlihatkan sebelumnya.

Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak terpancing untuk melakukan langkah-langkah yang tergesa-gesa. Ia masih tetap berniat untuk menunjukkan satu rangkaian pertempuran yang dapat mencengkam orang-orang yang menyaksikannya.

Wah, ada ada bagian yang hilang lagi di sini!

Tetapi semua orang yang melihat betapa Mahisa Pukat terluka menjadi berdebar-debar. Bahkan para pengikut kedua orang yang ingin merebut kedudukan Miyatsangka itu pun menjadi gelisah pula. Lawan anak muda yang telah mengerahkan ilmunya itu telah mengatakan, bahwa kuku bajanya yang membara itu ternyata beracun. Namun mereka juga menjadi heran, bahwa anak muda itu seakan-akan tidak menghiraukan kata-kata lawannya.

“Agaknya anak muda itu tidak percaya bahwa kuku baja itu beracun. Agaknya orang yang licik itu tidak berbohong. Ia dapat melakukan apa saja untuk menghancurkan lawannya, termasuk racun yang paling tajam sekalipun.” berkata Miyatsangka di dalam hatinya.

Karena itu, maka agar Mahisa Pukat tidak mengalami bencana yang paling parah, Miyatsangka itu pun berteriak, “Hati-hati dengan racun itu.”

Tetapi Mahisa Pukat justru tersenyum sambil menjawab, “jangan cemas. Ia hanya berbohong.”

Namun lawannya tertawa sambil meloncat mengambil jarak. Katanya, “Kau memang sombong anak muda, tetapi kau ternyata sangat dungu. Aku akan memberi kesempatan kepadamu untuk melihat luka-lukamu. Bintik-bintik biru tentu mulai nampak di sekitar lukamu.”

“Kaulah yang bodoh,” berkata Mahisa Pukat, “racunmu tidak berdaya justru karena apimu. Seseorang yang digigit racun dapat membakar lukanya dengan api, sehingga daging di sekitar gigitan itu akan tidak lagi dialiri darah yang dapat membawa racun itu ke jantung dan menjalar ke bagian tubuh yang lain.”

“Tetapi apiku bukan api biasa,” berkata orang itu, “apiku adalah kekuatan ilmuku yang justru dapat mempercepat arus bisa itu merasuk ke dalam urat nadimu, mengalir bersama darah sampai ke jantung. Karena itu, maka bersiaplah untuk mati.”

Ternyata orang itu memang memberi kesempatan kepada Mahisa Pukat untuk memperhatikan luka-lukanya. Tetapi Mahisa Pukat justru menunjukkan kepada lawannya sambil berkata, “Manakah bintik-bintik biru yang kau maksud itu?”

Wajah orang itu menjadi tegang. Di sebelah menyebelah lukanya, memang tidak nampak bintik-bintik biru itu. Apalagi menjalar melalui saluran darahnya dan menghentikan denyut jantung. Dengan demikian maka wajah orang itu pun menjadi tegang. Untuk beberapa saat ia tercenung. Namun tiba-tiba saja ia meloncat menyerang sambil berteriak, “Ternyata kau kebal racun. Tetapi jangan kau sangka bahwa aku tidak dapat membunuhmu. Kulitmu akan terbakar oleh apiku dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki.”

Mahisa Pukat dengan tangkasnya meloncat menghindar sehingga serangan itu tidak berarti sama sekali.

Dalam pada itu, perhatian orang-orang yang termangu-mangu kebingungan itu tiba-tiba saja telah beralih kepada Mahisa Murti. Lawannya yang garang itu pun telah mempergunakan ilmu puncaknya. Tetapi ia tidak mempergunakan kuku-kuku baja sehingga orang itu berusaha membakar kulit Mahisa Murti dengan sentuhan-sentuhan jari-jarinya yang membara.

Namun ternyata bahwa Mahisa Murti yang mengerahkan segenap tenaga cadangannya dan justru mulai merambah ke dalam ilmunya, berusaha untuk melawan kekuatan api itu dengan kekuatan ilmu yang diwarisi dari ayahnya dalam bentuknya yang lunak. Ia tidak membentur kekuatan api dengan api yang akan dapat membakar udara, meskipun Mahisa Murti yakin, bahwa kekuatannya tentu lebih besar dari lawannya. Apalagi jika ia berkehendak untuk melontarkannya dari jarak tertentu, maka lawannya itu tentu akan segera dapat dikalahkannya.

Tetapi Mahisa Murti tidak berbuat demikian. Dengan bentuknya yang lunak, maka serangan lawannya dengan tangannya yang membara itu, seakan-akan justru tidak menyentuh sesuatu. Panas api itu justru terhisap oleh kekuatan yang luar biasa besarnya dengan pengaruh yang sebaliknya. Itulah sebabnya, maka beberapa kali Mahisa Murti sengaja membiarkan dirinya dikenai oleh lawannya. Namun panas api itu seakan-akan tidak berpengaruh pada dirinya.

Lawannya memang menjadi kebingungan. Bahkan sampai dikerahkannya segenap kemampuannya sampai tuntas. Namun panas apinya sama sekali tidak dapat melumpuhkan kemampuan lawannya yang masih sangat muda itu. Bahkan beberapa kali Mahisa Murti justru telah mengenainya. Tidak dengan kekuatan ilmunya dalam bentuknya yang keras, yang akan dapat menghancur lumatkannya. Tetapi Mahisa Murti masih saja mengekang kekuatan dan kemampuannya.

Namun demikian, beberapa kali lawan Mahisa Murti itu telah dikenai oleh serangan Mahisa Murti. Ketika orang itu menyerang dengan tangannya yang membara ke arah dada Mahisa Murti, maka Mahisa Murti pun telah menghindar. Namun orang itu tetap memburunya. Tangannya berputar mendatar. Ayunan sisi telapak tangannya ternyata telah menghantam punggung Mahisa Murti. Memang terasa sakit. Tetapi panas yang terpancar dari ilmunya yang nampak pada telapak tangannya yang membara, telah mengenai kekuatan ilmu dalam bentuknya yang lunak.

Karena itu, maka demikian Mahisa Murti mengatasi rasa sakit karena benturan sisi telapak tangannya itu, maka ia tidak lagi merasakan sesuatu. Punggungnya sama sekali tidak menjadi hangus oleh sisi telapak tangan yang membara itu.

Lawannya menjadi bingung. Ia adalah orang yang memiliki kemampuan tertinggi dalam jalur perguruan itu sepeninggal kakak seperguruannya yang akan mewariskan pimpinan perguruan itu kepada Miyatsangka, muridnya yang tertua. Namun yang kemudian telah dihalangi dan bahkan hak itu ingin dimiliki oleh lawan Mahisa Murti itu.

Miyatsangka pun menjadi bingung. Paman gurunya dengan ilmunya yang dianggap paling sempurna itu sama sekali tidak dapat melukai kulit anak muda itu. “Seandainya aku harus melawannya, aku tidak tahu, apakah yang akan terjadi.” berkata Miyatsangka.

Ternyata bahwa kedua orang anak muda itu memiliki kemampuan ilmu yang sangat tinggi. Beberapa saat kemudian, maka keduanya telah semakin mendesak lawan-lawannya mereka. Orang-orang yang sebelumnya diyakini memiliki ilmu yang sulit dicari bandingnya itu ternyata telah tidak berhasil mengalahkan dua orang anak muda.

Agak jauh di pinggir halaman, Mahisa Semu yang menjaga gadis yang diculik itu pun menjadi tegang. Anak muda itu menjadi semakin kagum terhadap kedua orang saudara angkatnya. Menilik sikapnya, maka kedua orang saudara angkatnya itu masih belum sampai pada tingkat tertinggi dari ilmunya.

Miyatsangka pun melihat juga akan hal itu. Terutama pada sikap Mahisa Pukat. Semakin lama ia justru menjadi semakin banyak melepaskan dan memberikan kesempatan kepada lawannya.. Bahkan rasa-rasanya ia mulai tidak bersungguh-sungguh meskipun lawannya telah bertempur sampai pada tingkat puncak dari kemampuannya.

Sebenarnyalah, bahwa akhirnya Mahisa Pukat memang berniat untuk menyelesaikan pertempuran itu dengan caranya. Ia tidak akan membakar lawannya dengan semburan api dari ilmunya atau lontaran kekuatan ilmu Bajra Geni, gabungan dari kekuatan ilmu itu serta kemampuannya melontarkan dari jarak tertentu. Jika ia berbuat demikian, maka lawannya itu tentu akan luluh dan tidak akan pernah dapat melihat terbitnya matahari. Tetapi yang dikerjakan oleh Mahisa Pukat adalah menyusut kemampuan lawan dengan ilmunya yang khusus.

Dengan isyarat ia memberitahukan kepada Mahisa Murti yang bertempur pada jarak yang semakin jauh. Agaknya Mahisa Pukat sempat melihat, bahwa Mahisa Murti telah mempergunakan ilmu yang diwarisinya dari ayahnya dalam bentuk yang lunak. Sehingga ilmu yang memiliki sifat dan ungkapan yang mirip, akan dapat justru bagaikan diserap jika terjadi benturan.

Mahisa Murti pun ternyata telah menangkap isyarat itu. Karena itu, maka ia pun telah bersiap-siap untuk melakukannya sebagaimana Mahisa Pukat. Ternyata lawan Mahisa Murti telah mengerahkan segenap kemampuan ilmu yang ada di dalam dirinya. Bukan saja telapak tangannya yang menjadi merah membara, tetapi ternyata bahwa udara di sekitarnya pun telah menjadi semakin panas. Karena itu, maka Mahisa Murti pun harus segera menyusut kekuatan ilmu lawannya itu.

Dalam pada itu, ternyata saudara-saudara seperguruan yang sudah siap untuk bertempur itu benar-benar dicengkam oleh pertempuran antara orang-orang yang memiliki kemampuan tertinggi dari jalur perguruan yang diperebutkan itu melawan dua orang anak muda yang tidak dikenal sebelumnya. Para pengikut dari kedua orang yang bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu justru bagaikan membeku.

Tanpa mereka berdua, maka para pengikutnya itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Apalagi Miyatsangka telah datang bersama kedua orang saudara kandungnya, meskipun bukan orang dari perguruan itu, tetapi agaknya ia memang berhak membantu saudara kandungnya yang mengalami kesulitan dalam mempertaruhkan haknya.

Karena itu, maka para pengikut kedua orang itu memang lebih banyak menunggu. Jika kedua orang paman guru mereka itu telah menyelesaikan kedua anak muda itu, maka mereka pun akan segera mulai bertempur. Mereka akan membinasakan saudara-saudara seperguruan mereka, untuk mendapatkan kesenangan sebagaimana dijanjikan oleh paman gurunya yang mengaku saudara mereka yang lebih tua dari Miyatsangka. Sehingga mereka tidak mengakui lagi pesan guru Miyatsangka yang memberikan hak kepadanya untuk memimpin perguruan itu dan memiliki bersama rumah milik perguruan itu.

Tetapi kedua orang yang telah memberikan beberapa macam janji itu ternyata semakin lama justru menjadi semakin terdesak. Bahkan ilmu mereka yang sangat ditakuti itu, sekaligus ditambah dengan kekuatan racun, seakan-akan tidak berarti sama sekali bagi kedua orang anak muda yang bertempur melawan mereka itu. Apalagi ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempergunakan ilmu mereka yang khusus, yang mampu menyusut kekuatan dan kemampuan lawan selapis demi selapis.

Mahisa Murti memang agak kesulitan menghadapi lawannya yang memiliki tataran ilmu lebih tinggi dari lawan Mahisa Pukat. Udara memang terasa semakin panas. Tetapi Mahisa Murti masih mampu berusaha untuk membentur kekuatan lawan dengan kekuatan ilmunya selain ilmunya dalam bentuk yang lunak, tetapi juga ilmunya yang mampu menyusut kekuatan dan kemampuan lawan.

Beberapa kali Mahisa Murti harus mengerahkan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi panasnya udara. Meskipun sentuhan telapak tangan lawannya tidak menyakitinya, namun panasnya udara membuat tubuhnya berkeringat dan bahkan bagaikan terpanggang diatas api. Sekali-sekali memang timbul niatnya untuk menghancurkan saja lawannya dengan serangan dari jarak tertentu diluar jangkauan panasnya udara. Namun ia sudah memberikan isyarat bahwa ia sependapat dengan Mahisa Pukat untuk menyusut saja kekuatan dan kemampuan ilmu lawannya itu.

Tetapi sentuhan-sentuhan yang terjadi, ternyata telah mulai berpengaruh kepada lawannya. Kemampuannya pun mulai menyusut selapis demi selapis. Meskipun tubuh Mahisa Murti basah oleh keringat, serta sekali-sekali menyeringai menahan panas yang menyengat, namun sekali-sekali ia telah berhasil menyentuh tubuh lawannya. Bahkan ia justru tidak menghindar jika lawannya itu meloncat menyerangnya. Dengan tangkasnya Mahisa Murti menangkis serangan-serangan itu, meskipun ia harus segera meloncat menjauh.

Tugas Mahisa Pukat ternyata agak lebih ringan. Meskipun lawannya telah mengerahkan kemampuan ilmunya sampai tuntas, namun lawannya yang tingkat ilmunya belum setinggi saudara tuanya yang bertempur melawan Mahisa Murti masih belum mampu memanasi udara sepanas air mendidih. Meskipun Mahisa Murti juga merasakan hangatnya udara, namun tidak memerlukan seluruh kekuatan daya tahannya untuk mengatasinya.

Sementara Mahisa Pukat mampu memancing serangan-serangan lawannya dan menangkis serangan-serangan itu, maka Mahisa Murti tubuhnya mulai menjadi merah oleh panasnya udara. Bahkan hampir saja Mahisa Murti tidak tahan lagi dan harus mempergunakan ilmunya yang lain, meskipun lawannya akan menjadi lumat. Namun sebelum ia mengambil keputusan untuk merubah cara perlawanannya, maka kekuatan ilmunya mulai menampakkan hasilnya.

Panas udara di sekitar lawannya itu memang menjadi susut sedikit demi sedikit. Kecepatan gerak orang itu pun terasa menjadi berkurang pula. Namun demikian, Mahisa Murti masih harus berloncatan untuk menyerang dan menghindar, atau jika ia membiarkan lawannya menyerangnya, maka ia harus menangkis dan kemudian meloncat menjauh menghindari agar dagingnya tidak menjadi matang oleh panasnya udara.

Tetapi agaknya lawannya pun mulai merasa, bahwa tiba-tiba saja tenaga dan kekuatan lontaran ilmunya menjadi susut. Orang itu menjadi heran atas dirinya sendiri. Ia adalah seorang yang berilmu tinggi, yang mampu bertempur untuk waktu yang seakan-akan tidak terbatas. Namun tiba-tiba saja ia mengalami satu keadaan yang lain dari yang selama itu terjadi pada dirinya. Namun ia masih berusaha untuk meyakinkan dirinya, bahwa ia adalah orang yang memiliki ilmu yang tidak ada duanya. Karena itu, maka ia pun telah menghentakkan ilmunya dan menyerang dengan kecepatan yang tinggi.

Mahisa Murti memang menghadapi kesulitan. Namun ia telah mengerahkan daya tahannya mengatasi udara panas sekaligus meningkatkan ilmunya sehingga sentuhan-sentuhan bara api pada telapak tangan lawannya itu dapat diserapnya. Namun dalam pada itu, ilmunya dalam ujud yang lunak itu tidak dapat menyerap udara panas yang bagaikan membakarnya, meskipun seakan-akan dapat menghapus kekuatan ilmu lawannya, namun hanya yang bersentuhan dan berbenturan langsung dengan wadagnya.

Tetapi Mahisa Murti masih belum berniat untuk menghancurkan lawannya sampai lumat. Sebenarnya ia mampu menyerang lawannya sekaligus mengoyak kekuatan udara panas itu. Namun ia ingin memaksa lawannya berhenti bertempur karena kehabisan tenaga sebagaimana telah disepakatinya sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat. Namun sejalan dengan susutnya kekuatan lawan, maka panas udara pun menjadi susut pula, meskipun hal itu belum disadari sepenuhnya oleh lawannya yang hanya merasakan bahwa kekuatan telah menjadi susut.

Karena itulah, maka Mahisa Murti mampu mengatasi udara panas itu lebih banyak daripada sebelumnya. Selain beberapa kali ia harus menangkis serangan lawannya kemudian meloncat menghindari panasnya udara, maka ia pun telah menyerang pula. Bagi Mahisa Murti sasaran tidak lagi terlalu penting. Yang penting baginya adalah justru sentuhan-sentuhan yang terjadi, karena pada setiap sentuhan berarti susutnya kekuatan dan kemampuan lawan.

Sementara itu, ternyata Mahisa Pukat dapat menyelesaikan tugasnya lebih cepat dari Mahisa Murti. Benturan-benturan memang telah terjadi. Meskipun Mahisa Pukat harus selalu menghindari sentuhan kuku-kuku baja yang dapat mengoyak kulitnya meskipun racunnya tidak berbahaya baginya, namun ia berhasil setiap kali menyentuh lawannya. Bahkan kadang-kadang membenturkan kekuatannya meskipun harus dengan sangat berhati-hati.

Pertempuran itu ternyata memang sangat menarik perhatian semua orang yang menyaksikannya. Apalagi ketika mereka melihat dua orang yang memiliki kemampuan tertinggi dari semua orang di jalur perguruan itu semakin lama menjadi semakin tidak berdaya. Betapa mereka mencoba mengerahkan kemampuan mereka, tetapi semuanya itu sama sekali sudah tidak berarti lagi.

Beberapa kali lawan Mahisa Pukat telah terdorong jatuh. Dengan telapak tangannya saja, Mahisa Pukat telah berhasil membanting lawannya jatuh terlentang di tanah. Apalagi orang itu tidak lagi mampu melenting berdiri sebagaimana selalu dilakukannya. Bahkan ketika ia mencobanya, maka ia pun menjadi terhuyung-huyung dan jatuh lagi di tanah.

Mahisa Pukat kemudian mendekatinya dan berdiri bertolak pinggang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Marilah. Bangkitlah. Kita masih mempunyai banyak waktu.”

Orang itu mengumpat kasar. Ia memang masih mencoba bangkit. Bahkan dengan kuku bajanya ia mencoba menggapai kaki Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat bergeser surut, sehingga tangan orang itu tidak menyentuhnya. Bahkan kuku-kukunya telah menancap di tanah. Ketika ia mencoba menarik tangannya, tiba-tiba saja kaki Mahisa Pukat sudah menginjaknya.

Orang itu berteriak kesakitan sambil mengumpat sejadi-jadinya. Ia tidak lagi mampu mempergunakan tangannya yang lain karena sentuhan kaki Mahisa Pukat itu seakan-akan telah mengisap semua kekuatannya sampai tuntas. Karena itu, maka orang itu justru telah terjatuh seperti selembar kain yang koyak.

Mahisa Pukat mengangkat kakinya. Jika ia membiarkan sentuhan itu, maka orang itu akan mati lemas. “Kenapa kau tidak bangkit lagi?” bertanya Mahisa Pukat.

Orang itu benar-benar sudah tidak bertenaga. Karena itu, maka ia terkapar diam di tanah betapa pun mulutnya mengumpat.

Sementara itu, Mahisa Murti masih bertempur dalam saat-saat yang menentukan. Kekuatan ilmu lawannya benar-benar sudah tidak berarti lagi baginya, sehingga karena itu, maka sentuhan-sentuhan tangan Mahisa Murti menjadi semakin sering terjadi. Seperti lawan Mahisa Pukat, maka akhirnya orang itu terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan. Akhirnya orang itu pun telah jatuh pula terbaring di tanah. Tubuhnya menjadi sangat lemah. Tulang-tulangnya bagaikan telah terlepas sehingga tidak lagi mampu mengangkat kulit dagingnya.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun telah selesai. Orang-orang yang ada di halaman rumah itu menjadi kebingungan menanggapi keadaan. Bahkan Miyatsangka pun untuk beberapa saat hanya berdiri mematung sambil mengawasi kedua orang paman gurunya berganti-ganti.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah menyelesaikan pertempuran itu telah melangkah mendekati kedua belah pihak yang sedang bermusuhan, namun masih belum berbuat apa-apa itu. Dengan nada tinggi Mahisa Murti bertanya kepada mereka, “He, kenapa kalian belum bertempur?”

Orang-orang itu masih termangu-mangu. Karena itu maka Mahisa Murti pun berkata pula kepada para pengikut kedua orang yang telah dikalahkan itu, “Bagaimana dengan kalian? Bukankah kalian sependapat, bahwa saudara kalian yang tertua bukan Miyatsangka meskipun ia telah mendapat pesan dari guru kalian? Bukankah kalian lebih senang jika kedua orang itulah yang memimpin kalian meskipun itu tidak dikehendaki oleh guru kalian?”

Murid-murid dari perguruan itu yang berpihak kepada kedua orang yang telah dikalahkan itu menjadi semakin cemas. Mereka tidak lagi mempunyai sandaran yang akan dapat membantu mereka jika mereka mendapat kesulitan. Tanpa kedua orang yang dianggapnya memiliki ilmu yang tidak terkalahkan itu, maka mereka bukan apa-apa. Dalam perguruan mereka, maka mereka bukannya murid-murid yang terbaik.

Justru karena mereka merasa tidak mendapat tempat, maka mereka telah menyatukan diri dengan kedua orang yang ingin mendesak kedudukan Miyatsangka itu. Tetapi kini mereka melihat satu kenyataan, bahwa kedua orang itu sudah tidak berdaya.

Untuk beberapa saat Miyatsangka sendiri tidak berbuat sesuatu. Namun kemudian, ia bagaikan tersadar dari sebuah mimpi yang pahit. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Terima kasih. Kalian telah berbuat sesuatu yang sangat berarti bagi kami.”

Mahisa Murti mengangguk kecil. Dipandanginya saudara-saudara seperguruan yang sedang bermusuhan itu. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Apakah kalian masih akan bertempur?”

Miyatsangka lah yang menjawab, “Aku tidak mempunyai keinginan lain daripada melakukan pesan guru. Terserah kepada mereka. Yang sependapat dengan aku dan saudara-saudaraku yang mengakui pesan Guru, merupakan kekuatan bagiku. Tetapi siapa yang menentang pesan Guru akan berhadapan dengan kami. Sekarang waktunya untuk menyatakan sikap itu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun Mahisa Pukat lah yang melangkah maju ke arah mereka yang semula menentang Miyatsangka itu sambil berkata, “Nah, bagaimanakah keputusan kalian? Kedua orang itu telah kehilangan segala-galanya. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi sekarang.”

Orang-orang itu saling berpandangan. Tidak seorang pun yang menjawab.

“Cepat. Ambil sikap. Kalian merubah pendirian kalian atau tidak. Jika kalian tetap tidak mau menerima pelaksanaan pesan guru kalian itu, maka kalian akan bertempur. Salah satu pihak harus lenyap. Bagaikan minyak dan air, maka kalian tentu tidak akan bercampur,” bentak Mahisa Pukat, “sementara itu, yakinilah bahwa kalianlah yang bersalah, karena kalian telah melanggar pesan guru kalian. Jika kalian tidak lagi mentaati pesan guru, maka apa artinya kalian tetap berada dalam perguruan ini? Cepat, jawab pertanyaanku atau aku akan membiarkan kalian dibantai di sini?”

Orang yang tertua di antara merekalah yang kemudian bergeser setapak maju. Dengan nada rendah ia berkata, “Kami mohon maaf. Kami telah melakukan satu kesalahan yang sangat besar.”

“Katakanlah kepada saudara tertuamu. Jangan kepadaku.” geram Mahisa Pukat.

Orang itu ragu-ragu sejenak. Bahkan ia pun telah berpaling kepada kedua orang yang beberapa saat sebelumnya menjadi tumpuan kekuatannya bersama sebagian saudara-saudara seperguruannya. Tetapi kedua orang itu telah terbaring diam. Betapa keduanya pernah menunjukkan kepadanya dan kepada sebagian dari saudara-saudara seperguruannya, bahwa mereka berdua memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Ternyata keduanya memang tidak berbohong. Keduanya telah menunjukkan kemampuan mereka yang sangat tinggi. Keduanya telah melakukan yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Tetapi mereka telah membentur kekuatan dan kemampuan yang lebih tinggi. Jauh lebih tinggi. Dua orang anak muda yang belum pernah mereka kenal sebelumnya.

Sementara itu Mahisa Semu masih saja berdiri di pinggir halaman menjaga gadis yang telah diculik itu. Bagaimanapun juga keadaan masih belum jelas benar baginya. Apakah yang sebenarnya telah terjadi. Meskipun ia memastikan kemenangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, tetapi mereka masih berbicara dengan saudara-saudara seperguruan yang sedang bertengkar itu. Kekerasan mungkin masih akan terjadi.

Tetapi ternyata bahwa mereka yang semula dengan segala cara telah dibujuk untuk berpihak kepada kedua orang yang telah dikalahkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, telah menyatakan penyesalan mereka. Mereka telah menyerahkan segala sesuatunya kepada Miyatsangka.

“Jika kami harus dihukum, maka hukuman apa pun akan kami terima dengan ikhlas. Kami telah merasa sangat bersalah, bahkan telah mencoba berkhianat terhadap pesan Guru.” berkata orang tertua di antara mereka yang berpihak kepada kedua orang yang telah tidak berdaya itu.

Miyatsangka menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Tingkah laku kalian telah membuat aku sangat bersedih. Kita yang sudah berkumpul dalam satu perguruan untuk waktu yang lama, ternyata harus terbelah. Bahkan hampir saja kita akan saling menghancurkan. Aku telah memanggil dua orang saudara kandungku untuk membantu menegakkan perguruan ini karena aku merasa bahwa kekuatan yang ada padaku terlalu kecil dibandingkan dengan kedua paman yang ternyata memang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu. Tetapi ternyata bahwa Yang Maha Agung menentukan lain dari rencana kedua orang yang tamak itu. Kedua paman guru itu sudah mendapat hukumannya. Hukuman itu datang langsung dari Yang Maha Agung yang mengirimkan kedua orang anak muda itu kepada kita.”

“Kami menyesal sekali.” jawab orang tertua di antara mereka yang semula menentang Miyatsangka itu.

“Bagaimana jika kedua orang itu pada satu saat sembuh kembali dan kekuatannya pulih lagi sehingga memungkinkan mereka untuk berusaha merebut kembali kedudukan Miyatsangka?“ tiba-tiba Mahisa Pukat bertanya.

Orang tertua di antara mereka yang berpihak kepada kedua orang itu menjawab, “Kami sudah menemukan diri kami kembali.”

“Kau berkata sebenarnya? Tetapi kedua orang itu akan dapat membunuhmu bahkan membunuh kalian semuanya.” berkata Mahisa Pukat.

“Sisa-sisa umurku tidak berarti lagi, karena seharusnya kami sudah mati hari ini.” berkata orang itu.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya kata-kata orang itu cukup meyakinkan. Sehingga dengan demikian, maka yang harus mereka cegah adalah kemungkinan pembalasan dendam kedua orang yang telah dikalahkan itu. Bukan terhadap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri, tetapi justru terhadap Miyatsangka dan adik-adik seperguruannya.

Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berkata, “Kita akan berbicara lebih bersungguh-sungguh. Bawa kedua orang itu naik ke pendapa.”

Sejenak orang-orang itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian beberapa orang telah mendekati kedua orang paman gurunya itu meskipun dengan ragu-ragu.

Namun Mahisa Murti pun berkata, “Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Angkatlah dan bawalah ke pendapa.”

Meskipun demikian, ketika orang-orang itu menyentuh tubuh kedua orang yang sudah tidak berdaya lagi itu tersentak karena kedua orang itu hampir bersamaan telah membentak dan mengumpat.

“Jangan takut,” berkata Mahisa Pukat, “jika mereka menyakiti kalian maka aku akan mencekiknya sampai mati.”

Sebenarnyalah kedua orang itu tidak berdaya sama sekali ketika keduanya diangkat dan dibawa ke pendapa. Perlahan-lahan mereka telah dibaringkan di atas tikar, sementara murid-murid dari perguruan yang hampir saja terbelah itu telah duduk pula melingkarinya. Sementara Mahisa Semu pun telah hadir pula bersama gadis yang telah diculik itu. Sementara itu, malam pun telah merambat semakin kelam dan lampu-lampu minyak berkeredipan di mana-mana.

“Ternyata kalian berdua adalah orang yang paling malas di antara kita semua,” berkata Mahisa Pukat, “kami semuanya duduk tegak meskipun kami pun sudah mengantuk. Tetapi kalian berdua justru telah berbaring di antara kami.”

“Persetan,” geram yang tertua di antara kedua orang itu, “kenapa tidak kau bunuh kami?”

“Kami bukan pembunuh-pembunuh yang tidak berjantung,” berkata Mahisa Murti, “kami masih memikirkan kemungkinan lain dari pada membunuh, meskipun pada suatu saat kami tidak dapat menghindari kemungkinan untuk melakukannya.”

Kedua orang itu menggeram. Meskipun keduanya sudah tidak mampu lagi berbuat sesuatu, tetapi dendam masih menyala di dalam sorot mata mereka. Bahkan yang tertua di antara mereka itu pun berkata, “Kenapa kau telah memperlakukan kami seperti ini? Bagiku kematian akan lebih baik dari mengalami perlakuan seperti ini.”

“Tidak,” jawab Mahisa Murti, “jika kau mati, kau tidak akan pernah sempat menyesali kesalahanmu.”

“Aku tidak akan pernah menyesal, karena aku tidak pernah melakukan kesalahan. Aku telah berjuang untuk menegakkan kebenaran. Aku tidak mau perguruan yang sudah dibina berpuluh tahun ini akan dinodai oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan berkhianat.” berkata yang tertua.

“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “kau jangan mengigau lagi. Kau tidak akan dapat menipu siapa pun di sini. Lebih-lebih dirimu sendiri. Setiap orang di sini sudah tahu siapakah kalian berdua sebenarnya. Bukankah Miyatsangka sudah mengatakan bahwa kalian bukan saudara seperguruannya, tetapi justru paman gurunya? Kau akui atau tidak kau akui, tetapi kau sendiri mengetahui akan hal itu.”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, murid-murid dari perguruan yang hampir pecah itu duduk dengan tegang. Mereka menunggu perkembangan yang akan terjadi dalam percakapan antara anak-anak muda itu dengan paman guru mereka. Beberapa saat kedua orang yang terbaring itu tidak mengucapkan sepatah katapun.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun bertanya, “Bagaimana pendapatmu? Apakah kalian masih tetap dalam sikap kalian?”

Kedua masih berdiam diri. Mahisa Murti tiba-tiba saja telah bergeser mendekat. Ketika lengan yang tertua di antara mereka disentuh oleh Mahisa Murti, maka terasa sisa kekuatannya yang hampir kering itu terhisap karenanya. Meskipun hanya sesaat, tetapi rasa-rasanya nyawanya akan ikut terhisap pula karenanya.

Dengan nada berat orang itu berdesis, “Ilmu iblismu itu benar-benar terkutuk.”

“Tergantung untuk apa aku mempergunakannya,” jawab Mahisa Murti, “aku dapat mempergunakannya untuk perbuatan licik. Tetapi aku juga dapat mempergunakan untuk perbuatan yang lebih berarti daripada membunuh.”

“Jika kau tidak mempergunakan ilmu licikmu, kau tentu sudah aku lumatkan.” geram yang tertua.

“Kau salah,” berkata Mahisa Murti, “jika kau ingin melihat, aku dapat memperlihatkan kepadamu, bagaimana aku dapat meremas batu sebesar kepala kerbau dari jarak yang jauh. Tetapi aku tidak melakukannya, karena aku memang tidak ingin membunuh. Bahkan saudaraku itu telah dilukai oleh saudaramu. Tetapi ia tetap menahan diri untuk melakukan pembunuhan itu. Bahkan sampai sekarang pun kami tidak membunuh, meskipun kalian masih saja mengumpat-umpat.”

“Jika kalian tidak membunuh kami sekarang, maka pada saatnya kami akan membunuh kalian dan orang-orang yang telah berkhianat itu.” geram yang tertua di antara kedua orang itu.

“Kau tidak akan dapat melakukannya,” berkata Mahisa Murti, “tetapi dengan ancamanmu itu berarti bahwa kau tidak akan dapat menemukan kekuatanmu sepenuhnya kembali. Ilmumu akan musnah dan kau akan tidak lebih dari orang kebanyakan.”

“Jangan lakukan itu, bunuh saja kami berdua.” geram orang itu.

“Tidak. Jika kalian masih tetap hidup, kalian akan mendapat kesempatan untuk mengakui kesalahan kalian, bertobat dan bahkan kalian akan mendapat kesempatan untuk berbuat baik.” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi jangan musnahkan kemampuan ilmu kami.” berkata orang itu.

“Sayang,” berkata Mahisa Murti, “aku memang mencemaskan sikapmu jika kau tetap dalam tingkat kemampuanmu sekarang. Karena itu, maka kalian akan sembuh dan mendapatkan kekuatan kalian kembali, tetapi tidak dengan ilmu kalian.”

“Jangan,” teriak orang itu. Tetapi ia tidak dapat bergerak lebih dari sekedar menggerak-gerakkan tangan dan sedikit tubuh mereka. Ketika yang tertua itu berusaha untuk bangkit, maka ternyata ia masih juga tidak mampu melakukannya.

“Ada dua kesempatan yang akan aku berikan kepada kalian berdua,” berkata Mahisa Murti, “tetap berbaring untuk seterusnya atau kembali dalam keadaan wajar, tetapi kehilangan ilmu kanuragan kalian.”

“Kami memilih mati.” jawab orang itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang-orang itu adalah orang-orang yang hatinya telah mengeras seperti batu. Adalah sangat berbahaya jika keduanya dibiarkan sembuh dan memiliki segala sesuatunya kembali. Karena itu, maka mereka harus mendapat hukuman, sehingga mereka tidak akan dapat melakukan kejahatan lagi di saat mendatang terhadap murid-murid perguruan yang hampir pecah itu. Apalagi terhadap mereka yang dianggap berkhianat. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata,

“Baiklah. Jika demikian, maka kamilah yang akan menentukan. Tetapi dalam keadaan kalian seperti itu, kami tidak akan berbuat sesuatu, karena dengan demikian kalian akan dapat mati. Besok, jika keadaan kalian telah menjadi lebih baik, maka kami akan melakukan sesuatu atas kalian yang tidak perlu kalian sesali. Karena menurut pengamatan kami, orang-orang seperti kalian itu, tidak akan lagi dapat diperbaiki. Dengan demikian, maka jalan hidup kalian harus ditentukan sebelumnya.”

Tetapi kedua orang itu masih saja mengumpat. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, murid-murid dari perguruan itu, “Nah, biarlah kedua orang itu besok menjadi urusan kami. Sekarang, lakukan apa yang baik kalian lakukan bagi perguruan kalian.”

Miyatsangka lah yang menjawab, “Terima kasih Ki Sanak. Kami ingin berbicara dengan saudara-saudara kami yang untuk beberapa saat telah terpisah.”

“Silahkan.” jawab Mahisa Pukat.

Sementara itu maka Miyatsangka pun berkata, “Nah, sebaiknya aku tidak berputar-putar lagi. Aku akan langsung berbicara tentang sikap kalian. Besok aku akan memenuhi pesan guru. Kita bersama-sama akan menyatakan kesetiaan kami kepada Guru dengan menepati pesannya. Tidak ada orang yang akan dapat mengukuhkan kedudukanku selain dukungan dan kesediaan kalian. Karena itu, maka aku perlu pernyataan kalian.”

Yang tertua di antara mereka yang tersesat itu pun berkata, “Sudah kami katakan, bahwa kami telah menemukan diri kami kembali. Kami akan menjunjung tinggi pesan Guru.”

“Pengkhianat.” teriak paman gurunya yang masih saja terbaring.

Miyatsangka berpaling ke arahnya. Katanya, “Maaf paman. Kami persilahkan paman beristirahat dengan tenang. Kami akan memutuskan persoalan kami sendiri tanpa gangguan dari paman.”

“Jika aku sembuh kelak, maka kalian semua akan menyesal.” geramnya.

Tetapi Miyatsangka tidak menghiraukannya. Ia telah membuat rencana bahwa besok, di saat matahari naik sepenggalah, maka mereka akan menyatakan bersama-sama kesetiaan mereka kepada pesan Guru mereka. Menjelang tengah malam, maka mereka pun tidak lagi membicarakan rencana mereka. Mereka telah menutup pembicaraan mereka untuk beristirahat.

Meskipun kedua belah pihak telah mendapatkan kesepakatan, namun Miyatsangka masih belum dapat menghilangkan kecurigaan sama sekali. Karena itu, maka Miyatsangka pun telah mempersilahkan saudara-saudaranya yang hampir saja memberontak itu untuk tidur di gandok. Sementara Miyatsangka dan saudara-saudaranya yang berpihak kepadanya, berada di dalam rumah.

“Kalian dapat memilih tempat.” berkata Miyatsangka kepada anak-anak muda yang melindungi seorang gadis itu.

“Kami akan berada di sini.” jawab Mahisa Murti.

“Gadis itu?” bertanya Miyatsangka.

“Biarlah ia berada di Pringgitan. Kami akan menungguinya.” jawab Mahisa Murti.

“Kedua paman itu?” bertanya Miyatsangka pula.

“Biarlah mereka beristirahat sampai esok. Jangan diganggu lagi.” berkata Mahisa Pukat.

Miyatsangka memandang Mahisa Pukat dengan ragu-ragu. Sementara Mahisa Pukat mengerti perasaan Miyatsangka. Karena itu maka katanya, “Kedua orang ini sampai besok pagi masih belum akan bangun. Keduanya masih ingin beristirahat. Mereka akan tidur nyenyak sampai besok.”

Hampir berbareng keduanya mengumpat. Keduanya merasa menjadi barang mainan ditempat itu. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.

Demikianlah, maka gadis yang telah diculik dari orang tuanya itu telah dipersilahkan tidur di pringgitan. Meskipun masih tetap diluar rumah, tetapi agak terlindung oleh dinding-dinding samping. Sementara ketiga anak muda itu duduk saja di pringgitan itu pula, agak jauh dari tempat gadis itu tidur. Bagi gadis itu, tidur di pringgitan adalah satu-satunya kemungkinan yang paling baik, karena dengan demikian ia akan berada dibawah pengawasan ketiga orang anak muda itu. Di sisa malam itu, ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membagi waktu untuk berjaga-jaga. Sementara Mahisa Semu mendapat kesempatan untuk tidur saja.

“Kau harus beristirahat baik-baik. Mungkin besok kaulah yang harus bertempur.” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Semu tertawa. Ia tahu, bahwa Mahisa Murti tidak bersungguh-sungguh. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti beristirahat, maka yang berjaga-jaga di antara mereka harus tetap mengawasi gandok. Mungkin orang-orang yang telah menyatakan diri kembali ke dalam perguruannya itu berubah lagi pendiriannya dan mempergunakan kesempatan untuk melakukan sesuatu yang dapat menyulitkan. Tetapi agaknya mereka benar-benar telah menyerah, sehingga justru karena itu, mereka merasa tidak mempunyai masalah lagi.

Karena itulah, maka mereka pun segera tidur di gandok yang telah diperuntukkan bagi mereka. Meskipun untuk beberapa lama mereka belum dapat tertidur karena persoalan-persoalan tentang diri mereka sendiri, namun akhirnya mereka semuanya tertidur tanpa mencemaskan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Sementara di ruang dalam seorang di antara mereka bergantian berjaga-jaga. Bagaimanapun juga mereka harus tetap berhati-hati.

Namun mereka merasa tenang ketika mereka tahu, bahwa salah seorang di antara ketiga anak muda di pringgitan masih duduk bersandar tiang. Karena menurut perhitungan mereka, anak-anak muda itu akan segera menguasai keadaan jika terjadi sesuatu diluar. Sedangkan mereka yang ada di dalam rumah itu benar-benar telah mempercayai mereka tanpa ragu-ragu lagi.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus bersabar. Mereka harus menunggu keduanya memiliki sebagian kekuatannya kembali agar keduanya mampu bertahan untuk tetap hidup. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah meninggalkan kedua orang yang marah sambil mengumpat-umpat itu.

“Mereka tidak akan pernah menyadari diri mereka.” berkata Mahisa Pukat.

“Karena itu keputusan kita sudah bulat. Keduanya harus kehilangan kemampuan untuk membalas dendam.” sahut Mahisa Murti.

Demikianlah, maka pada hari itu, segala sesuatunya telah diselesaikan di antara saudara-saudara seperguruan yang hampir saja terpecah itu. Sementara kedua orang yang ingin merebut kedudukan Miyatsangka itu dengan penuh kemarahan telah menuduh orang-orang yang semula berpihak kepada mereka sebagai pengkhianat dan pengecut.

Meskipun dengan cara yang sangat sederhana, maka saudara-saudara seperguruan yang disaksikan oleh beberapa orang lain yang kebetulan ada di tempat itu, termasuk kedua saudara kandung Miyatsangka, telah menetapkan, memenuhi pesan gurunya yang sudah tidak ada lagi, bahwa sejak saat itu, Miyatsangka telah dianggap sebagai pemimpin dari perguruan mereka. Untuk selanjutnya, mereka akan tetap berada di rumah itu sebagaimana gurunya pernah tinggal.

Namun sebenarnyalah bahwa Miyatsangka telah pernah berbicara secara khusus dengan orang tua suami isteri yang tinggal di pondok di belakang rumah. Orang yang dalam saat-saat tertentu mampu memberikan beberapa keterangan yang dianggap sangat penting, justru karena orang itu telah tinggal di tempat itu untuk waktu yang lama sekali.

“Kedua paman gurumu itu tentu tidak sekedar ingin memimpin perguruan ini,” berkata orang tua itu kepada Miyatsangka, “mereka tentu mengetahui bahwa di rumah ini dan mungkin di halaman atau di kebun atau di mana pun juga dalam lingkungan dinding halaman terdapat sesuatu yang sangat berharga.”

“Darimana paman tahu?” bertanya Miyatsangka.

“Gurumu pernah mengatakannya meskipun tidak langsung. Dalam samadi ia mohon kepada Yang Agung untuk mendapat petunjuk di mana benda yang sangat berharga itu disimpan. Aku memang merasa bersalah, bahwa aku dapat mendengarnya. Tetapi aku benar-benar tidak sengaja melakukannya.” jawab orang tua itu.

“Benda itu milik siapa?” bertanya Miyatsangka.

Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya ia berkata, “Aku tidak tahu pasti. Pada saat kakek gurumu meninggal, gurumu tidak ada di rumah ini. Untuk menyelamatkan benda yang sangat berharga itu, maka benda itu telah disimpan oleh kakek gurumu itu tanpa sempat memberitahukan kepada gurumu. Kakek gurumu percaya kepada siapa pun juga selain kepada gurumu. Agaknya gurumu mengetahui hal itu dari perhitungan dan penalaran. Benda yang sangat berharga itu sudah tidak ada di tempatnya, sementara tidak seorang pun yang memilikinya di antara saudara-saudara seperguruannya. Bahkan agaknya gurumu tahu bahwa tidak ada seorang pun di antara saudara-saudara seperguruannya yang tahu bahwa di bawah pembaringan gurunya terdapat benda yang sangat berharga itu. Selain dari itu aku tidak tahu apa-apa lagi. Aku pun tidak tahu, dari mana kedua orang paman gurumu itu mengetahui bahwa di halaman atau di dalam rumah ini terdapat sesuatu yang sangat berharga untuk diperebutkan. Mungkin pusaka, mungkin harta benda dan mungkin sebuah kitab yang berisi ilmu atau apa pun juga.”

“Baik paman,” berkata Miyatsangka, “seandainya kami tidak menemukan sesuatu yang sangat berharga itu, kami tidak akan menyesal. Asal yang berharga itu tidak jatuh ke tangan orang lain. Apalagi jika yang berharga itu adalah sumber ilmu yang akan dapat menimbulkan akibat yang sangat panjang. Namun demikian, aku akan berusaha, tetapi tidak menarik perhatian orang lain, karena saudara seperguruan pun pada suatu saat, jika terbentur kepada kepentingan diri sendiri, akan dapat mengingkari kesetiaan mereka sebagai saudara seperguruan.”

Sebenarnyalah Miyatsangka tidak pernah mengatakan hal itu kepada siapa pun juga. Rahasia itu disimpannya di dalam dirinya rapat-rapat untuk waktu yang lama sejak ia mendapat kesempatan berbicara dengan orang tua itu, di samping beberapa orang tua yang lain yang dianggapnya tahu serba sedikit tentang perguruannya. Sudah tentu orang-orang tua yang dipercayainya. Namun bahwa keterangan tentang gurunya tidak ada di saat kakek gurunya meninggal, beberapa orang tua itu memang sependapat menurut pengetahuan mereka.

Dengan penetapan itu, maka segala tanggung jawab atas perguruannya memang ada di tangan Miyatsangka. Adalah tidak dapat diterangkannya, kenapa tiba-tiba saja ia menaruh kepercayaan yang sangat besar kepada Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Tiga orang anak muda yang baru saja dikenalnya.

Namun apa yang, pernah dilakukan oleh anak-anak muda itu, ternyata telah membuatnya percaya bahkan mutlak. Sehingga karena itulah, maka rahasia yang disimpannya itu, telah dikatakannya pula kepada Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.

Namun jawab Mahisa Murti membuat Miyatsangka berhati-hati. “Miyatsangka,” berkata Mahisa Murti, “dalam keadaan tertentu, mungkin kedua orang paman gurumu telah memberikan isyarat tentang hal itu. Atau mungkin berdasarkan naluri dan panggraita, saudara-saudaramu berpendapat demikian pula meskipun tidak ada seorang pun yang memberitahukan. Karena sebenarnyalah aku juga bertanya kepada diri sendiri, kenapa kedua orang pamanmu itu begitu bernafsu untuk menguasai perguruan ini dan berarti menguasai rumah ini beserta halamannya.”

Miyatsangka mengangguk-angguk. Kemungkinan itu memang dapat terjadi. Sementara itu Mahisa Murti berkata pula, “Kedua paman gurumu itu tentu mempunyai kesempatan untuk membuka padepokan sendiri tanpa mengganggumu. Tetapi sudah tentu tidak di rumah ini,” Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah gurumu tidak pernah memberikan pesan apa pun juga tentang benda-benda berharga itu?”

Miyatsangka menggeleng. Katanya, “Tidak.”

“Memang agak aneh,” berkata Mahisa Murti, “isyarat-isyarat pun tidak?”

“Nampaknya guru tidak mau memberikan teka-teki kepadaku. Karena Guru sendiri tidak yakin, maka lebih baik baginya untuk tidak mengatakan apa-apa.” berkata Miyatsangka.

“Agaknya semuanya timbul dari dugaan-dugaan.” berkata Mahisa Murti.

Miyatsangka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin. Dengan demikian aku menjadi semakin yakin bahwa sebaiknya aku tidak mengatakan apa-apa sebagaimana Guru. Mungkin memang tidak ada apa-apa.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun ia masih juga berpesan, “Tetapi kau dapat saja meskipun nampaknya sambil lalu dan tidak menarik perhatian, berusaha menemukannya.”

“Seandainya ada sesuatu, mungkin juga sudah berada di luar rumah ini. Namun bagaimanapun juga hal itu akan menjadi perhatianku.” berkata Miyatsangka.

Dengan singkat Mahisa Murti masih sempat menceriterakan bagaimana sebuah perguruan menjadi terpecah belah karena sebuah kitab yang dianggapnya sangat berharga. Kitab itu memang berharga, tetapi Mahisa Murti kemudian berkata, “Namun nampaknya masih lebih berharga keutuhan keluarga perguruan ini daripada benda berharga apa pun juga. Apalagi jika harus dikorbankan nyawa seseorang.”

“Aku mengerti,” berkata Miyatsangka, “tetapi bagaimana dengan kedua orang paman guru itu? Jika pada suatu saat kekuatan dan kemampuan mereka pulih kembali, aku tidak tahu, apakah mereka akan dapat menerima keadaan ini.”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Mereka tidak akan mengganggu kalian lagi.”

Miyatsangka termangu-mangu. Namun ia tidak membantahnya. Di hari itu kedua orang yang kehilangan kekuatannya itu masih berada di pendapa. Keduanya masih sangat lemah. Tetapi yang tertua di antara mereka telah mampu bangkit dan duduk bertelekan kedua tangannya. Rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggu kekuatannya pulih kembali.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berbuat sesuatu atas mereka. Bahkan menjelang senja, anak-anak muda itu telah minta diri. Ternyata Miyatsangka dan saudara-saudara seperguruannya tidak menahan mereka.

Meskipun demikian seorang di antara mereka bertanya, “Kenapa tidak besok siang saja?”

“Kami senang menempuh perjalanan malam hari. Tidak panas dan tidak banyak menarik perhatian orang lain, meskipun harus menghindari padukuhan sejauh mungkin.” jawab Mahisa Murti.

Kedua orang yang terbaring di pendapa itu mengumpat ketika anak-anak muda itu minta diri kepada mereka. Bahkan Mahisa Pukat sempat berkata, “Mudah-mudahan besok kalian sudah dapat bangkit dan berdiri tegak.”

“Persetan,” geram yang tertua, “jika aku pulih kembali, aku buru kalian sampai ke ujung langit sekalipun. Kami berdua berjanji untuk membunuh kalian.”

Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Jika kau jumpai lagi kami berdua, maka hidupmu akan berakhir.”

“Anak iblis.” geram orang itu.

Demikianlah sejenak kemudian ketiga orang anak muda bersama gadis yang telah diculik dari rumahnya itu meninggalkan halaman rumah yang telah diperebutkan bersama kedudukan pemimpin perguruan itu. Tetapi mereka tidak menempuh perjalanan jauh. Tetapi mereka hanya melingkar saja dan masuk kembali melalui regol butulan dan singgah di pondok di belakang rumah itu tanpa sepengetahuan para murid dari perguruan yang telah ditinggalkan oleh gurunya itu.

Sementara itu, ketika malam turun, kedua orang yang berada di pendapa itu telah mampu duduk lebih tegak. Miyatsangka telah memberikan minuman hangat dan makanan bagi mereka. Meskipun keduanya minum dan makan makanan yang dihidangkan, namun mereka masih saja mengumpat-umpat.

“Jangan memaksa kami berbuat kasar paman,” berkata Miyatsangka, “kami sudah bersedia melayani paman di saat paman dalam kesulitan. Tetapi jika sikap paman masih tetap kasar seperti itu, maka kami pun dapat berbuat kasar.”

“Kenapa tidak kau lakukan, pengkhianat?” bentak yang tertua.

“Kami masih menghormati paman.” jawab Miyatsangka.

“Kenapa kau panggil aku paman? Aku adalah murid tertua dari perguruan ini.” orang itu berteriak.

Tetapi Miyatsangka tidak berteriak pula. Tetapi ia menjawab sewajarnya, “Kami sudah tahu semuanya tentang paman berdua. Karena itu paman berdua tidak usah terus-menerus berbohong kepada kami dan kepada diri sendiri.”

“Persetan,” geram orang itu, “sebentar lagi kekuatanku akan pulih kembali. Besok pagi-pagi, aku sudah dapat membunuh kalian semua yang tidak mau berpihak kepadaku. Malam ini aku yakin bahwa ilmuku akan aku dapatkan kembali sebagaimana sediakala.”

Miyatsangka termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian berkata, “Jadi paman sama sekali tidak menyesali perbuatan paman selama ini, tetapi justru berniat untuk melanjutkannya meskipun keadaan paman sudah menjadi seperti itu? “

“Anak iblis,” geram yang tertua, “aku hampir berniat untuk mengurungkannya. Tetapi sekarang justru sebaliknya. Hatiku semakin terbakar melihat pengkhianatan saudara-saudara seperguruanku. Mereka semula telah sepakat untuk bersama-sama menegakkan paugeran perguruan, tetapi kemudian mereka telah berkhianat.”

“Mereka telah menemukan diri mereka kembali,” berkata Miyatsangka, “mereka menyesali perbuatan mereka karena mereka telah terbujuk oleh paman berdua dengan hasutan, janji-janji dan ancaman-ancaman. Karena itu, maka sebaiknya paman juga mulai melihat kembali ke dalam diri paman. Apakah niat paman masih akan paman teruskan atau tidak.”

“Persetan,” geram yang muda, “besok kami bunuh kalian semuanya. Camkan ini.”

Miyatsangka menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Jika paman benar-benar ingin berbuat demikian, maka kami pun akan sampai hati memperlakukan paman seperti itu.”

“Aku tidak takut.” geram yang muda.

Miyatsangka pun kemudian berkata lebih keras, “Baik. Jika itu yang paman-paman kehendaki.”

Tanpa menunggu lagi, Miyatsangka pun kemudian telah meninggalkan kedua orang yang masih lemah itu. Namun mereka menyadari bahwa kekuatan mereka telah tumbuh kembali. Minuman dan makanan memang mempercepat perkembangan keadaan mereka. Sehingga dengan demikian maka yang tertua di antara mereka berkata, “Kita harus benar-benar beristirahat. Aku yakin, besok pagi-pagi benar keadaan kita sudah memadai. Kita tentu sudah mampu membangunkan ilmu kita untuk menghancurkan orang-orang yang dungu itu. Bahkan kita akan dapat membunuh mereka sekaligus.”

Yang muda itu pun telah mencoba untuk bangkit berdiri. Ternyata ia sudah dapat berdiri tegak. Demikian pula ketika yang tertua di antara mereka.

“Bagus,” berkata yang tertua, “besok mereka akan menyesal bahwa mereka tidak membunuh kita malam ini.”

Keduanya pun kemudian telah berbaring kembali. Namun yang tertua di antara mereka masih juga mengumpat-umpat. Mereka merasa diremehkan sekali oleh Miyatsangka dan adik-adik seperguruannya, karena tidak seorang pun yang mendapat tugas untuk mengawasi mereka. Yang ada di pendapa itu hanyalah lampu minyak yang berkerdipan. Sementara di ruang dalam dan di gandok Miyatsangka dan saudara-saudara seperguruan telah menutup pintu-pintu dan agaknya mereka telah berada di pembaringan, atau bahkan telah tertidur nyenyak.

Kedua orang itu pun kemudian telah benar-benar mempergunakan kesempatan itu untuk beristirahat agar kekuatan mereka dapat segera pulih kembali, sehingga kemampuan ilmu mereka-pun dapat mencapai tataran tertinggi.

Lewat tengah malam yang tertua di antara mereka itu pun telah terbangun. Perlahan-lahan ia pun telah bangkit berdiri dan menggeliat. Tiba-tiba saja dibangunkannya saudara seperguruannya yang masih tidur nyenyak sambil berkata, “Sadari. Kekuatan kita benar-benar telah hampir pulih kembali.”

Yang muda pun telah melakukan hal yang sama pula. Ia pun telah berdiri tegak dan menggeliat. Katanya, “Saat pembalasan itu akan segera datang. Mereka akan terkejut melihat kekuatan kita telah pulih kembali. Aku kira kita akan memerlukan waktu lama. Ternyata dalam waktu pendek, segalanya telah dapat diatasi.”

Namun keduanya sama sekali tidak menyadari, bahwa sepasang mata tengah mengamatinya dari kegelapan. Mahisa Murti yang bergantian dengan Mahisa Pukat selalu mengamati mereka. Ternyata obat yang mereka berikan, benar-benar memberikan dukungan terhadap kekuatan daya tahan kedua orang itu selain karena daya tahan tubuh keduanya memang sangat tinggi.

Mahisa Murti yang sedang bertugas mengawasi keduanya mengangguk-angguk. Katanya kepada diri sendiri, “Obat untuk meningkatkan daya tahan tubuh yang dicobakan kepada keduanya lewat minuman yang dihidangkan kepada mereka ternyata berhasil baik. Ketahanan tubuh keduanya telah meningkat, sehingga dengan demikian kekuatan mereka pun telah tumbuh dengan cepat. Apalagi kedua orang itu memang pada dasarnya memiliki tubuh yang kokoh kuat dilandasi dengan ilmu yang tinggi. Nampaknya besok pagi-pagi mereka akan menjadi hampir pulih.”

Ketika kemudian Mahisa Pukat yang bertugas mengamati mereka, maka Mahisa Murti telah memberikan keterangan tentang kemungkinan itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun menjadi sangat berhati-hati. Ia berpesan kepada Mahisa Murti, agar menjelang fajar, Mahisa Semu ikut bersamanya mengawasi orang itu.

“Aku akan mengatakan kepadanya.” jawab Mahisa Murti.

Sebenarnyalah menjelang fajar Mahisa Semu telah menyusul Mahisa Pukat. Keduanya mengawasi apakah yang akan terjadi atas kedua orang yang berada di pendapa itu.

“Menurut Mahisa Murti, keduanya akan mendapatkan kekuatannya kembali menjelang atau pada saat fajar menyingsing, mengingat obat yang diberikan lewat minuman itu.” berkata Mahisa Pukat.

“Apakah mereka kira-kira akan terpancing?” bertanya Mahisa Semu.

“Jika mereka tidak berbuat sesuatu, berarti mereka telah menyadari kesalahan langkahnya, sehingga untuk selanjutnya mereka juga tidak akan mengganggu perguruan ini.” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia mengerti rencana yang disusun oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun rencana itu memang mengandung bahaya.

Beberapa saat kemudian, maka kedua orang yang ada di pendapa itu telah terbangun. Yang tertualah yang bangkit lebih dahulu dan kemudian membangunkan adik seperguruannya. Keduanya tiba-tiba saja telah meloncat bangkit. Sambil mengayun-ayunkan kedua tangannya, kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi, yang tertua di antara mereka berkata, “Aku telah hampir pulih kembali.”

Yang muda pun menyahut, “Rasa-rasanya kekuatanku telah utuh. Tentu ilmuku telah utuh pula.”

Namun tiba-tiba yang muda itu pun berdesis, “Di mana senjataku.”

“Jangan-jangan dicuri oleh anak-anak gila itu.” desis yang tertua.

Namun kemudian yang muda itu berkata lantang, “Di sini.”

Dipungutnya senjata khususnya yang terletak di sebelah tempat ia berbaring. Katanya, “Aku memang melepaskan semalam sebelum makan. Hampir aku lupa di mana aku letakkan.”

“Untunglah, senjata pun tidak dicuri.” sahut yang tua.

Yang muda itu pun kemudian telah memasang senjatanya di telapak tangannya, sehingga jari-jarinya menjadi terlindung dan memanjang dengan jari-jari baja. Bahkan sejenak kemudian, ia pun telah memusatkan nalar budinya untuk mengetrapkan ilmunya.

“Semuanya akan segera selesai,” berkata yang muda itu, “sementara ketiga anak-anak muda yang gila itu telah pergi. Kita akan membunuh anak-anak yang telah berkhianat itu seluruhnya. Kemudian kita akan mencari isi dari rumah ini.”

Yang tertua mengangguk-angguk. Katanya, “Sudahlah. Simpanlah ilmumu itu. Nanti kita akan menghabiskan mereka.”

Perlahan-lahan yang muda itu pun telah melepaskan ilmunya, sehingga bara di telapak tangan serta kuku-kuku bajanya itu telah menjadi pudar kembali.

Sementara itu Mahisa Pukat yang melihat hal itu pun telah berbisik kepada Mahisa Semu, “beritahukan Mahisa Murti. Nampaknya mereka tidak dapat berubah lagi. Tidak ada jalan untuk menggiring mereka kembali ke jalan yang benar.”

Mahisa Semu pun segera meninggalkan tempat itu, sementara Mahisa Pukat berpesan, bahwa jika langit menjadi terang, mereka harus mencari tempat lain yang lebih tersembunyi di belakang pohon-pohon perdu. Sejenak kemudian Mahisa Murti telah berdiri di sebelah Mahisa Pukat. Namun mereka memang segera bergeser ke belakang semak-semak.

“Kita akan melihat, apakah yang mereka lakukan. Menilik sikap dan kata-kata yang mereka ucapkan meskipun kurang jelas kita dengar, nampaknya mereka tidak berubah.” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. “Kita akan melihat.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berbisik, “Di mana Mahisa Semu?”

“Aku minta ia mengawani gadis itu. Gadis itu mulai menjadi ketakutan lagi.” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat menjadi tegang ketika ia melihat kedua orang itu membenahi diri. Nampaknya mereka benar-benar tidak berjantung,” berkata Mahisa Murti, “tidak ada jalan kembali bagi mereka.”

Namun kedua orang anak muda itu masih menunggu, apa yang akan dilakukan oleh kedua orang itu. Sebenarnyalah, bahwa kedua orang itu sudah siap untuk melaksanakan rencananya. Dengan lantang salah seorang di antara mereka berteriak, “He, Miyatsangka. Keluar.”

Untuk beberapa saat tidak terdengar jawaban. Namun sebenarnyalah beberapa orang memang sudah bersiap di ruang dalam dan di gandok.

“Miyatsangka dan para pengkhianat yang lain,” teriak yang tertua, “Keluar! Kita akan membuat perhitungan!”

Miyatsangka tidak menunggu lagi. Ia pun segera membuka pintu rumah itu dan keluar bersama saudara-saudara seperguruannya. Ketika mereka sampai di pendapa, maka mereka yang ada di gandok pun telah keluar pula dan melangkah menuju ke pendapa.

“Nah, kemarilah,” berkata yang tertua, “waktu itu akhirnya datang juga.”

Miyatsangka lah yang kemudian mendekatinya sambil bertanya, “Kenapa kau berteriak-teriak, seperti itu?”

“Waktu untuk membalas dendam itu telah datang. Menyerahlah. Kalian akan kami bunuh. Kami ternyata tidak dapat lagi mengampuni kalian.” berkata yang tertua dari kedua orang itu.

“Jadi paman berdua masih belum berubah? Paman tidak memperhitungkan sikap kami? Seandainya kami mau, maka paman berdua tentu sudah mati.” sahut Miyatsangka.

“Bukankah aku sudah bilang, jika kalian tidak membunuh kami, maka kami berdualah yang akan membunuh kalian. Karena itu, maka jangan menyesal jika kami benar-benar melakukannya.” sahut yang muda sambil tertawa.

Miyatsangka memang menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Tetapi kami sekarang sudah menjadi satu. Apakah kau kira, kau berdua mampu mengalahkan kami?”

Miyatsangka dan saudara-saudara seperguruannya menyadari, bahwa kedua orang itu menjadi sangat marah. Apalagi ada di antara mereka yang berhasil mengenai tubuh yang muda di antara kedua orang itu. Jika datang saatnya kedua orang itu melepaskan ilmunya, maka nasib mereka akan tergantung kepada janji kedua orang anak muda itu untuk membantu mereka. Jika mereka tidak datang pada saatnya, maka mereka benar-benar tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi.

Sebenarnyalah, bahwa sejenak kemudian, terdengar yang muda di antara kedua orang itu berteriak nyaring karena kemarahan yang menyesak di dadanya. Beberapa orang yang bertempur melawannya terkejut dan berloncatan surut. Kesempatan itu ternyata dipergunakan sebaik-baiknya untuk membangunkan ilmunya yang menggetarkan. Sejenak kemudian, maka telapak tangannya bahkan kuku-kukunya yang terbuat dari baja itu pun telah merah membara. Orang-orang yang bertempur melawannya menjadi termangu-mangu. Setiap sentuhan tangannya itu akan dapat berarti maut.

Sementara itu, yang tertua pun telah melakukannya pula. Meskipun tenaganya belum pulih seutuhnya, tetapi ia mampu membangunkan puncak ilmunya yang nggegirisi. Dengan lantang yang tertua di antara keduanya itu berkata, “Saatnya telah datang, bahwa kalian semuanya akan mati.”

Saudara-saudara seperguruan Miyatsangka, termasuk kedua saudara kandungnya memang menjadi berdebar-debar. Kedua orang itu telah benar-benar berada pada puncak kemampuan mereka.

“Nah, Miyatsangka,” berkata yang tertua, “bukankah kau juga pernah mendapat warisan ilmu seperti yang aku miliki sekarang? Nah, bangunkanlah. Kita akan beradu kekuatan ilmu yang sama. Dengan demikian kita akan mengetahui dan memastikan siapakah yang lebih tua di antara kita.”

Kedua orang itu harus berpikir. Namun agaknya mereka terlalu yakin akan kemampuan dirinya. Karena itu, maka yang tertua di antara keduanya itu berkata, “Kalian jangan menjadi gila. Kau tahu akan kemampuan kami. Ilmu kami yang sempurna akan menggilas kalian yang tidak tahu diri berapa pun jumlahnya kalian. Anak-anak iblis yang kalian banggakan itu sudah meninggalkan kalian, sehingga kalian tidak akan dapat minta bantuan mereka lagi.”

Miyatsangka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak mengira bahwa ada juga orang yang tidak berjantung seperti paman berdua. Aku kira betapa pun sesatnya seseorang, namun masih akan dapat menghargai sikap orang lain. Permusuhan yang kasar akan dapat diselesaikan dengan sikap yang lunak. Tetapi ternyata paman berdua benar-benar tidak dapat diperlakukan dengan lembut untuk mendapatkan cahaya kedamaian di hati.”

Kedua orang pamannya sama sekali tidak menghiraukan. Keduanya benar-benar telah dikuasai oleh nafsu iblis mereka. Karena itu, maka katanya kepada orang-orang yang semula berpihak kepada mereka, “terserah kepada kalian. Apakah kalian tetap ingin menegakkan paugeran dalam perguruan ini, atau tidak. Betapa pun kuasanya seorang guru, namun ia tidak akan dapat merubah paugeran. Manakah yang lebih kalian hargai. Guru kita yang tidak setia kepada paugeran perguruan atau paugeran itu sendiri. Bagiku, paugeran perguruan ini, yang menyebutkan bahwa murid tertua akan menggantikan kedudukan pimpinan perguruan harus ditegakkan.”

“Aku setuju paman,” berkata Miyatsangka, “jika seorang pemimpin perguruan kita ini meninggal, maka yang menggantikan adalah murid tertuanya. Bukan adik seperguruannya, demikian pula Guru. Tanpa pesan kepada siapa pun juga, maka sudah pasti menurut paugeran, akulah yang harus menggantikan kedudukannya. Sebenarnya aku bukan sejenis orang yang begitu tamak akan kedudukan. Tetapi justru paman berdualah yang memaksa aku untuk bertahan karena aku tidak mau melanggar paugeran perguruan ini.”

“Persetan,” yang tertua di antara keduanya hampir berteriak, “Aku adalah murid tertua di sini. Bukan adik seperguruan guru kalian.”

“Paman dapat berbicara apa saja. Tanpa alasan pun paman dapat merampok kedudukan kami jika paman merasa sangat kuat untuk melakukannya.” berkata Miyatsangka.

“Aku bukan perampok. Tetapi aku ingin menegakkan paugeran di perguruan ini.” sahut yang muda di antara kedua orang itu.

“Kenapa paman masih saja berpura-pura? Bukankah sudah waktunya kita saling berterus-terang?” Miyatsangka berkata pula. Lalu katanya pula, “Apakah yang menahan paman untuk berterus terang. Kita semuanya sudah tahu.”

“Jangan banyak bicara. Marilah. Jika kalian ingin melawan lawanlah. Kalian tidak perlu menghiraukan apa-apa lagi. Kami berdua ingin membunuh kalian, kecuali yang berpihak kepada kami.” berkata yang muda.

Namun seorang di antara saudara-saudara seperguruan Miyatsangka yang pernah berpihak kepadanya itu berkata, “Aku menyesal telah ikut serta memanaskan suasana perguruan ini. Karena itu, maka aku tidak akan melakukan kesalahan untuk kedua kalinya, meskipun harus aku tebus dengan nyawaku.”

“Persetan,” geram yang tua, “bersiaplah. Aku tidak akan menunggu lebih lama lagi. Aku ingin membunuh kalian selagi masih pagi, agar perjalanan nyawa kalian tidak kepanasan.”

Miyatsangka memang tidak melihat kemungkinan lain daripada bertempur melawan keduanya. Karena itu, maka ia pun segera memberi isyarat saudara-saudara seperguruannya untuk menebar. Sebagian dari mereka telah berloncatan turun ke halaman dan bersiap untuk melawan orang yang memiliki ilmu jauh lebih tinggi dari mereka.

“Bagus,” berkata yang tertua di antara kedua orang itu, “ternyata kalian cukup jantan menghadapi maut. Murid-murid dari perguruan ini memang bukan pengecut.”

Miyatsangka yang merasa memiliki pula ilmu sebagaimana dimiliki oleh kedua pamannya itu pun segera bersiap. Namun ia menyadari, bahwa ilmunya masih dalam tataran yang dasar sekali. Dua orang saudara seperguruannya yang lain pun telah menerima alas ilmu itu pula, meskipun belum dapat diperbandingkan dengan ilmu kedua orang itu.

Namun dengan jumlah yang cukup, maka mereka berharap untuk dapat mengatasi kedua orang itu. Apalagi Miyatsangka dan saudara-saudara seperguruannya mengetahui, bahwa anak-anak muda yang berilmu tinggi itu masih belum melepaskan mereka.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyaksikan semuanya itu dari balik sebatang pohon perdu. Meskipun mereka tidak mendengar semua pembicaraan, namun sebagian di antaranya telah mereka dengar karena kedua orang itu berteriak-teriak dan membentak-bentak.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat- pun telah melihat kedua orang itu bertempur. Mereka harus melawan saudara-saudara seperguruan Miyatsangka yang jumlahnya jauh lebih banyak. Tetapi kedua orang itu memang orang-orang berilmu tinggi. Meskipun mereka belum mempergunakan ilmunya, namun sudah nampak bahwa Miyatsangka dan saudara-saudara seperguruannya harus bekerja keras.

Dengan jumlah yang jauh lebih banyak, maka mereka memang dapat mendesak kedua orang itu. Namun hal itu hanya mempercepat kesulitan saja, karena kedua orang itu pun segera merasa perlu untuk mempergunakan ilmunya yang menggetarkan.

“Kalian memang tidak tahu diri.” teriak yang tertua di antara kedua orang itu.

Namun kedua orang yang telah membangunkan ilmunya itu terkejut ketika terdengar jawaban, “Tentu ilmumu lebih masak Ki Sanak. Bukan karena kau saudara tertua di antara mereka, tetapi kau adalah paman gurunya.”

Semua orang berpaling ke arah suara itu. Mereka terkejut, terutama kedua orang itu, bahwa dua orang di antara anak-anak muda yang disangkanya telah meninggalkan rumah itu telah berdiri di halaman.

“Persetan,” geram yang tertua, “jadi kau masih ada di situ?”

“Aku memang tidak pergi. Aku ingin melihat, apakah yang akan kalian lakukan jika kalian mendapatkan kekuatan kalian kembali. Apakah kalian merasa bahwa kesalahan kalian telah diampuni dan kalian tidak dibunuh karenanya, sehingga kalian menyesali perbuatan kalian, atau tidak.”

“Persetan dengan kalian.” geram yang muda.

“Ki Sanak,” berkata Mahisa Pukat, “dengan demikian kami yakin bahwa kalian memang bukan orang yang pantas untuk diampuni. Karena itu, maka kami datang untuk membuat perhitungan terakhir.”

Kedua orang itu menjadi tegang. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera berpencar. Mahisa Pukat telah melangkah mendekati yang muda di antara kedua orang itu, sementara Mahisa Murti berjalan setapak demi setapak mendekati yang tertua di antara mereka.

“Minggirlah,” berkata Mahisa Murti kepada orang-orang yang mengepung yang tua itu, “orang ini dapat membangunkan panas di sekitarnya.”

Demikian orang-orang itu berloncatan menjauh, maka Mahisa Murti pun telah bersiap pula menghadapinya.

“Kau harus kehilangan tenagamu dan untuk selanjutnya kehilangan ilmumu,” geram Mahisa Murti, “baru dengan demikian maka kalian akan berhenti melakukan kejahatan.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia sudah menerkam Mahisa Murti dengan garangnya. Namun Mahisa Murti sempat menghindarinya, meskipun udara panas masih terasa menyentuhnya. Demikian pula ketika orang itu memburunya. Kedua tangannya yang membara mengembang, siap untuk menerkamnya. Sekali lagi Mahisa Murti harus mengelakkan serangan itu.

Sementara itu Mahisa Pukat pun telah mulai bertempur dengan garangnya. Dengan mengerahkan kemampuannya, maka lawannya itu berloncatan menyerang. Kuku-kuku bajanya mengembang mengerikan seperti kuku-kuku seekor burung garuda. Namun Mahisa Pukat yang bertempur lebih berhati-hati itu sama sekali tidak dapat disentuhnya. Bahkan sekali-sekali Mahisa Pukat sudah dapat mengenainya.

Orang itu pun sadar, bahwa ia harus menghindari benturan atau sentuhan dengan lawannya itu jika ia tidak ingin tenaganya terkuras habis. Karena itu, maka orang itu menjadi lebih berhati-hati. Ia berusaha untuk menghindari setiap sentuhan dengan berusaha menggoreskan kukunya jika jarak mereka menjadi lebih dekat.

Mahisa Pukat memang menjadi kesulitan untuk mendapat kesempatan itu. Nampaknya lawannya dapat mengerti kekuatan ilmunya, sehingga ia berusaha untuk selalu menghindari benturan, meskipun sekali-sekali dapat juga terjadi. Namun kesempatan itu terlalu kecil untuk mampu menghisap tenaga lawan cukup banyak. Dengan demikian maka pertempuran itu pun berlangsung lebih lama. Demikian pula lawan Mahisa Murti. Ia pun berusaha untuk selalu membuat jarak dari lawannya dengan perisai udara panasnya.

Namun pada saat-saat yang tepat, ia telah meloncat menyerang, namun tanpa menyentuh lawannya. Orang itu menyadari, bahwa lawannya yang masih muda itu memiliki kemampuan menyerap kekuatan panas bara telapak tangannya dengan kekuatan yang berlawanan, sehingga tidak menimbulkan luka-luka bakar pada kulitnya. Mungkin lawannya yang muda itu merasa sakit, tetapi orang itu sadar, bahwa anak muda itu juga memiliki daya tubuh yang luar biasa, sehingga dengan cepat ia akan dapat mengatasi rasa sakit itu.

Karena itu, maka serangannya adalah justru dengan melibatnya dalam panasnya udara yang dapat diserap oleh kekuatan yang berlawanan sebagaimana jika terjadi benturan kekuatan ilmu. Dengan demikian jika Mahisa Murti meloncat menyerangnya, maka orang itu akan selalu menghindari sejauh dapat dilakukan, namun kemudian ia telah berusaha untuk meloncat menyerang dengan kekuatan panasnya udara, tanpa menyentuhnya.

Mahisa Murti memang mengalami kesulitan. Panasnya udara itu serasa membakar kulitnya. Ia menyadari, bahwa lawannya ternyata telah mengetahui kekuatan lawannya yang dapat menghisap kekuatan lawannya itu dalam sentuhan-sentuhan yang terjadi. Sehingga karena itu, maka lawannya telah berusaha untuk menghindari setiap singgungan, namun selalu memanggangnya dalam kekuatan panasnya.

Miyatsangka yang menyaksikan pertempuran itu bersama saudara-saudara seperguruannya menjadi tegang. Ternyata tidak semudah yang diharapkan untuk menundukkan kedua orang paman gurunya yang telah mengetahui rahasia kekuatan kedua anak muda itu.

Bahkan yang tertua di antara mereka sempat berkata lantang, “Anak muda. Aku tidak akan mengulangi kesalahanku untuk kedua kalinya. Kau tidak akan mampu berbuat sebagaimana kau lakukan sebelumnya. Rahasia kekuatanmu telah aku ketahui, sehingga karena itu, maka pada gilirannya, kaulah yang akan menyesali nasibmu yang buruk. Kau harus menebus kesombonganmu dengan nyawamu.”

Mahisa Murti tidak menjawab. Sementara Miyatsangka dan saudara-saudara seperguruannya menjadi semakin berdebar-debar. Beberapa saat kemudian keduanya masih bertempur. Mahisa Murti justru mengalami kesulitan dengan lawannya yang bertempur dengan sangat berhati-hati. Keringat rasa-rasanya telah terperas dari tubuhnya yang menjadi kemerah-merahan oleh panasnya udara, sementara itu tidak mendapat kesempatan untuk menyentuh tubuh lawannya itu.

“Aku bukan orang yang baik hati seperti kau,” berkata orang yang tertua dari kedua orang itu, “karena itu, aku akan benar-benar memanggangmu dalam apiku, kemudian setelah kau tidak mampu lagi berbuat sesuatu, maka aku akan membunuhmu tanpa menyentuhmu. Aku hanya akan duduk saja selangkah di sebelahmu. Maka kau akan mati dengan tubuh yang kering.”

Mahisa Murti menjadi semakin geram karena kata-kata lawannya itu. Jika semula ia hanya sekedar ingin membuat lawannya itu jera dan tidak mampu lagi melepaskan dendamnya kepada murid-murid perguruan yang akan dirampasnya itu, maka kemudian Mahisa Murti harus memperhitungkan pula kemungkinan yang dapat terjadi pada dirinya sendiri. Karena, itu, ketika terasa kesulitan itu semakin mendesaknya, maka Mahisa Murti tidak mempunyai pertimbangan yang lain lagi kecuali benar-benar menghancurkan lawannya itu.

Karena itu, maka ia telah berketetapan hati, untuk tidak mempergunakan kekuatan ilmunya yang mampu menghisap kekuatan lawannya. Tetapi Mahisa Murti benar-benar akan menyerang dan melumpuhkan lawannya itu.

“Memang kemungkinan yang sangat buruk dapat terjadi,” katanya di dalam hati, “tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain.”

Itulah sebabnya maka Mahisa Murti pun telah memusatkan nalar budinya pada saat kesempatan ia menjauhi lawannya. Kemudian dalam sekejap ia sudah siap untuk melontarkan kekuatan ilmunya yang luar biasa. Mahisa Murti telah merubah kekuatan ilmunya dari bentuknya yang lunak menjadi bentuknya yang keras. Sementara ia sudah siap pula dengan ilmunya yang mampu melontarkan serangan dari jarak tertentu. Karena itu, ketika lawannya itu meloncat mendekatinya untuk memanggangnya dalam panas apinya, maka Mahisa Murti telah melepaskan serangannya itu.

Akibatnya memang luar biasa pula sebagaimana kekuatan ilmunya itu. Satu benturan yang dahsyat telah terjadi. Ilmu Mahisa Murti yang dilontarkannya telah menghantam ilmu lawannya yang melingkari dan melindungi dirinya. Namun demikian besarnya kekuatan dan kemampuan ilmu Mahisa Murti, maka kekuatannya telah memecahkan ilmu lawannya, menyusup dan kemudian menghantam tubuh paman guru Miyatsangka yang tertua itu.

Terdengar teriakan keras. Hanya sesaat pendek sekali. Suara itu kemudian lenyap sama sekali, bersamaan dengan tubuhnya yang terlontar dan terbanting jatuh. Demikian kerasnya, sehingga tubuh itu sama sekali tidak berdaya untuk bertahan betapa pun tinggi daya tahannya. Sejenak kemudian tubuh itu telah terbaring diam. Tidak ada lagi aliran nafasnya dan tidak lagi detak jantungnya yang ternyata telah terbakar sebagaimana luka-luka yang nampak pada tubuh yang diam itu.

Semua orang terkejut melihat hal itu terjadi. Beberapa orang justru bagaikan membeku di tempatnya. Namun Miyatsangka dan beberapa orang yang lain telah berlari mendekati tubuh yang diam itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku telah membunuhnya.”

Sebenarnyalah Mahisa Murti telah membunuh lawannya. Kemarahannya tidak lagi dapat dikekangnya. Paman guru Miyatsangka itu telah dapat mengetahui rahasia ilmunya sehingga ia berusaha untuk menghindari setiap sentuhan, sementara ia sendiri mampu melepaskan panas yang seakan-akan telah membakar udara.

Sejenak Miyatsangka merenungi paman gurunya yang terbaring diam. Kulitnya bernoda kebiru-biruan dan bahkan hangus di beberapa bagian. Meskipun orang itu bermain-main dengan panasnya api, namun akhirnya ia telah terbakar oleh kekuatan api yang dipancarkan oleh Mahisa Murti.

“Aku tidak mengira, bahwa begini akhir dari hidup paman.” berkata Miyatsangka.

Namun dalam pada itu, masih ada lagi dua orang yang sedang bertempur. Namun keseimbangannya sudah berubah. Paman guru Miyatsangka yang muda itu, telah kehilangan keberanian untuk meneruskan perlawanannya. Ia sempat melihat, bagaimana kakak seperguruannya itu terlempar jatuh setelah dinding ilmunya dihancurkan oleh kekuatan lawannya. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain daripada menyerah.

Ketika Mahisa Pukat mendesaknya, maka orang itu sempat meloncat beberapa langkah surut sambil berteriak, “Cukup. Cukup anak muda.”

“Apa maksudmu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku menyerah.” jawab orang itu.

“Pengecut. Seharusnya kau tidak boleh menyerah. Kau harus bertempur sampai batas terakhir kemampuanmu. Kau atau aku yang mati di arena ini.” berkata Mahisa Pukat dengan lantang. Ia menjadi kecewa bahwa orang itu tiba-tiba saja menyerah. Sementara itu ia mempunyai satu pegangan, bahwa ia tidak boleh memperlakukan kasar terhadap mereka yang telah menyerah.

Tetapi orang itu menjawab, “Aku sudah menyerah. Aku tidak akan berani melawan lagi.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara orang itu telah melepas kukunya dan meletakkan ilmunya, sehingga dengan demikian maka bara di telapak tangannya itu pun telah pudar dan akhirnya padam sama sekali. Beberapa orang saudara seperguruan Miyatsangka menjadi berdebar-debar. Seorang dari kedua orang paman guru mereka itu telah terbunuh, sementara yang lain telah menyerah.

Miyatsangka yang semula berjongkok di sisi tubuh paman gurunya itu pun telah bangkit berdiri. Sementara Mahisa Pukat berkata kepada orang yang telah menyerah itu, “Mari ikut mendekati saudara seperguruanmu yang menjadi abu itu. Sebenarnya aku pun ingin melumatkan kau juga jika kau tidak menyerah.”

Orang itu termangu-mangu. Namun Mahisa Pukat telah menangkap pergelangan tangannya dan menariknya mendekati tubuh saudara seperguruan orang itu. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Pukat justru telah mengetrapkan kembali ilmunya yang mampu menghisap kekuatan lawan. Karena itu, tanpa disadari, sambil berjalan menuju ke tempat tubuh saudara seperguruannya itu terbaring, maka orang itu telah kehilangan kekuatannya pula. Bukan hanya karena sentuhan-sentuhan dalam pertempuran, tetapi tangan Mahisa Pukat telah menggenggam pergelangan tangan orang itu.

Karena itu, demikian ia sampai ke tempat tubuh saudara seperguruannya terbaring, maka tubuhnya tiba-tiba saja terasa semakin lemah. Baru kemudian ia menyadari, bahwa pergelangannya telah digenggam oleh anak muda yang memiliki ilmu yang sudah jarang ada duanya lagi itu. Namun semuanya sudah terlambat. Ia tidak mampu lagi menghentakkan tangannya dari genggaman tangan anak muda itu. Tenaganya seakan-akan telah terkuras habis, sebagaimana dialaminya sehari sebelumnya.

Demikian Mahisa Pukat melepaskan tangannya, maka orang itu pun telah terjatuh dan bahkan kemudian terbaring di tanah beberapa langkah dari tubuh saudara seperguruannya.

“Sayang, kau telah menyerah,” berkata Mahisa Pukat, “dengan demikian aku tidak lagi pantas membunuhmu. Sementara itu kami meyakini, bahwa kau dan kakak seperguruanmu itu adalah orang-orang yang sudah tidak akan dapat menyadari kesalahan-kesalahannya sendiri yang pernah diperbuatnya. Orang yang sama sekali tidak mau mengerti betapa orang lain berbuat baik kepadanya. Kau telah dibebaskan dari kematian di saat kau tidak berdaya. Tetapi demikian kau sembuh lagi, ternyata kau sudah berniat untuk membunuh lagi.”

“Aku mohon ampun,” orang itu seakan-akan telah menangis.

Tetapi tangis itu sama sekali tidak berarti lagi bagi Mahisa Pukat. Bahkan katanya, “Apa pun yang kau katakan tidak akan ada orang yang percaya. Aku pun tidak percaya. Jika pada saatnya kau sembuh, maka kau tentu akan berusaha membunuh para penghuni rumah ini. Karena itu, kita semuanya harus yakin, bahwa kau tidak akan dapat melakukannya.”

“Aku bersumpah tidak akan membalas dendam.” berkata orang yang sudah tidak berdaya itu.

Tetapi Mahisa Pukat menggeleng. Katanya, “Sudah terlambat. Kau tidak akan dapat mengingkari hukuman yang pantas bagimu. Aku memang tidak akan membunuhmu, tetapi juga tidak akan membiarkan pada suatu saat kau bangkit kembali dengan dendam di dalam hati.”

“Tidak. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku akan pergi jauh sekali dari tempat ini, sehingga aku tidak akan lagi menyentuh rumah ini. Bahkan lingkungan ini.” orang itu hampir berteriak.

...Waduh...! Ada bagian cerita yang hilang lagi di sini...

Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Ia tidak mempunyai pilihan. Mungkin saja mereka bermalam di banjar atau tempat-tempat lain yang lebih baik daripada bermalam di bawah sebatang pohon randu alas.

Demikianlah, maka keempat orang itu berjalan di sepanjang bulak-bulak panjang. Kemudian memasuki padukuhan-padukuhan. Sebagai seorang pengembara, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih dapat mengenali jalan yang mereka tempuh ketika mereka datang ke tempat itu.

Di jalan-jalan padukuhan kadang-kadang mereka memang menarik perhatian banyak orang. Di antara ketiga orang-orang anak muda terdapat seorang gadis. Namun di setiap kesempatan orang bertanya tentang mereka, maka Mahisa Murti selalu berusaha untuk dapat mengatakan bahwa gadis itu adalah adiknya yang bungsu.

“Kami menempuh perjalanan panjang untuk mengunjungi kadang yang sudah lama tidak bertemu.” berkata Mahisa Murti.

Tetapi tidak banyak ia berkesempatan berbicara dengan orang-orang padukuhan. Kebanyakan di antara mereka hanya bertanya-tanya saja di dalam hati. Bahkan ada yang memalingkan wajahnya melihat seorang perempuan berjalan bersama-sama tiga orang laki-laki.

Di sore hari, ketiga orang anak muda itu merasa perlu untuk singgah di sebuah kedai untuk makan. Ketika hal itu mereka tanyakan kepada gadis yang bersama mereka itu, maka gadis itu menjawab, “Terserah kepada kalian.”

“Kau lapar atau tidak?” bertanya Mahisa Semu.

“Tidak,” jawab gadis itu. Namun sebenarnyalah ia hampir tidak makan selama berada di rumah orang-orang yang hampir saja bertengkar di antara mereka itu. Meskipun ia makan juga, tetapi hanya sekedarnya saja. Karena itu, maka sebenarnyalah bahwa ia pun merasa lapar.

Beberapa saat kemudian, ketika mereka memasuki sebuah padukuhan yang agak besar, yang menjadi tempat pemberhentian para pedagang yang mengirimkan hasil sawah mereka ke tempat yang agak jauh dengan pedati, mereka mendapatkan sebuah kedai yang cukup ramai meskipun suasananya tidak seperti yang diharapkan.

Namun hal baru mereka ketahui setelah mereka masuk dan duduk di sebuah amben panjang yang bersandaran. Dihadapan mereka terdapat geledeg bambu yang rendah, yang di dalamnya terdapat beberapa buah tenong berisi makanan.

Baru beberapa saat mereka duduk, mereka sudah merasakan suasana itu. Beberapa orang laki-laki yang duduk di sudut kedai itu telah membicarakan mereka berempat. Tidak dengan berbisik-bisik. Tetapi seakan-akan sengaja diperdengarkan perempuan satu-satunya di antara ketiga orang anak muda itu.

“Nampaknya perempuan yang menarik.” berkata salah seorang di antara mereka.

“He, dari mana mereka mendapatkannya?” bertanya yang lain, “nampaknya mereka membawa perempuan padukuhan.”

“Tentu mereka akan berbaik hati kepada kita.” berkata yang lain pula.

Kemudian terdengar suara tertawa yang berkepanjangan. Dalam pada itu, pelayan kedai itu telah menghidangkan makanan minuman yang dipesan oleh ketiga orang anak muda dan gadis yang bersamanya itu. Namun ternyata pelayan itu sempat berbisik, “Siapakah kalian?”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.

“Siapakah perempuan itu?” bertanya pelayan itu pula tanpa menghiraukan apakah gadis itu mendengar atau tidak.

“Adikku. Adikku yang bungsu.” jawab Mahisa Murti.

Pelayan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian bisiknya, “Perempuan baik-baik?”

“Tentu.” Mahisa Murti mulai tersinggung.

Namun ternyata pelayan itu bermaksud baik, “Jika ia perempuan baik-baik, ajak saja segera pergi. Laki-laki di sudut itu tidak seberapa liar. Mereka hanya mentertawakan kalian. Tetapi di sini banyak laki-laki liar yang jika melihat seorang perempuan lain dari perempuan yang terbiasa mereka temukan di sini, kadang-kadang mereka menjadi buas.”

“Terhadap orang lewat?” bertanya Mahisa Murti.

“Tidak. Mereka memang tidak mengganggu orang lewat, meskipun hal itu memang pernah terjadi. Tetapi tidak selalu terjadi setahun dua kali.” jawab pelayan itu.

“Jadi bagaimana?” bertanya Mahisa Murti.

“Berbeda dengan terhadap perempuan yang singgah di kedai ini. Mereka menganggap perempuan yang singgah di kedai ini adalah sebagaimana perempuan-perempuan yang memang berkeliaran diri. Kau tentu melihatnya, perempuan yang ada di sebelah dinding rendah itu.” bertanya pelayan itu.

“Ya.” jawab Mahisa Murti.

“Dan dua tiga perempuan yang lain?” bertanya pelayan itu pula.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Baru mereka sadari bahwa kedai itu adalah sebuah kedai yang besar dan luas. Beberapa bagian justru telah disekat dengan dinding-dinding rendah.

Di luar sadar, maka Mahisa Pukat, Mahisa Semu bahkan gadis itu bersama mereka itu pun telah memandang berkeliling. Mereka memang melihat beberapa orang perempuan di antara beberapa orang laki-laki yang duduk dan makan dengan kasarnya sambil tertawa-tawa tanpa ujung pangkal.

Tiba-tiba saja bulu tengkuk gadis itu meremang. Namun Mahisa Murti pun berkata, “Kita sudah terlanjur ada di dalam. Jika kita pergi, justru akan sangat menarik perhatian.”

Tetapi pelayan itu berkata, “Aku sudah memperingatkanmu. Hal yang sama pernah terjadi. Dan orang itu tentu akan menyesal sepanjang umurnya. Bahkan pada suatu kejadian, seorang perempuan telah membunuh diri. Aku memang bukan orang baik-baik. Tetapi aku akan ikut menyesali kejadian seperti itu di kedai ini. Rasa-rasanya aku ikut dikejar-kejar dosa itu. Apalagi ketika seorang perempuan telah membunuh diri, karena ia dinodai oleh orang-orang liar di kedai ini.”

Di luar sadarnya gadis itu bergeser mendekati Mahisa Semu sambil berdesis, “Aku takut.”

Tetapi Mahisa Semu menyahut, “jangan takut. Kita tidak akan menyerahkan diri kepada orang-orang yang demikian.”

Mahisa Pukat pun berdesis, “Bukankah kita mempunyai pilihan yang lebih baik dari mengalami perlakuan seperti itu tanpa membunuh diri? Melawan sampai mati atau mengusir mereka pergi.”

Pelayan itu termangu-mangu. Nampaknya anak-anak muda itu sama sekali tidak merasa takut. Namun demikian sekali lagi ia mencoba, “Maaf Ki Sanak. Aku sudah memberi peringatan kepada kalian. Sebentar lagi kedai ini akan menjadi semakin ramai. Beberapa pedati yang membaca bahan mentah dan hasil bumi dari berbagai tempat akan datang dan bermalam di sini. Berbagai jenis manusia akan berkumpul di sini. Karena itu, jika Ki Sanak sependapat dengan aku, Ki Sanak lebih baik meninggalkan tempat ini dan bermalam di banjar padukuhan sebelah. Ki Sanak akan merasa lebih aman diantar anak-anak muda yang meronda.”

Mahisa Murti memang mencoba memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Suasana kedai itu memang tidak menyenangkan sama sekali. Karena itu, maka ia pun berdesis, “Aku sependapat dengan pelayan itu. Kita meneruskan perjalanan. Kita akan sampai ke padukuhan sebelah menjelang gelap. Kita akan bermalam di banjar jika diijinkan.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak menolak jika itu memang dikehendaki oleh Mahisa Murti. Namun ketika mereka bersiap-siap dan bertanya kepada pelayan itu berapa mereka harus membayar, maka pelayan itu berkata, “Sudahlah. Kalian belum menikmati makanan dan minuman yang kau pesan. Kalian tidak usah membayar. Pemilik kedai ini tidak akan marah, karena sikapku adalah sikapnya juga.”

“Terima kasih.” berkata Mahisa Murti.

Namun dalam pada itu, ketika Mahisa Murti mulai beringsut, pelayan itu tiba-tiba berdesah, “terlambat. Orang-orang mulai berdatangan. Jika kalian keluar, kalian memang akan sangat menarik perhatian. Karena itu, dalam keadaan seperti ini, kalian lebih baik duduk diam dan jangan menarik perhatian.”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Ia melihat beberapa buah pedati mendekat. Namun juga beberapa orang dari arah lain yang mempunyai hubungan dengan barang-barang yang diperdagangkan dalam pedati-pedati itu.

“Silahkan,” berkata pelayan itu, “mudah-mudahan kalian tidak mengalami kesulitan.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih atas niat baik kalian. Tetapi kamilah yang lambat mengerti maksudmu itu.”

Pelayan itu meninggalkan ketiga anak muda yang menyertai seorang gadis itu. Sementara beberapa laki-laki di sudut masih saja berteriak. Bahkan seorang telah memanggil pelayan itu sambil berkata kasar, “He, kau bujuk perempuan itu he?”

Pelayan itu tidak menjawab. Tetapi orang-orang yang mendengarnya tertawa pula menghentak. Sementara itu laki-laki yang lain bertanya, “Apa yang kau bicarakan dengan perempuan itu, he? Begitu lama? Nampaknya tidak segera mendapatkan persesuaian.”

Pertanyaan itu disambut lagi oleh suara tertawa dari beberapa orang yang ada di dalam kedai itu. Namun suara tertawa itu tiba-tiba saja telah berhenti ketika dua orang laki-laki yang garang memasuki kedai itu. Ternyata mereka memang tidak hanya berdua saja. Di belakangnya beberapa orang mengikutinya dan langsung menebar duduk di amben yang terserak di dalam kedai itu. Sementara kedua orang yang garang itu duduk di tengah.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Kedua orang itu ternyata duduk membelakangi mereka, sehingga agaknya tidak akan ada kesulitan yang terjadi dari mereka, yang nampaknya orang-orang berpengaruh di tempat itu, sehingga orang-orang yang tertawa pun berhenti seketika karena kedua orang itu masuk. Untuk beberapa saat memang tidak terjadi sesuatu. Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan perempuan yang bersamanya itu dapat makan dan minum betapa pun jantung perempuan itu berdebaran.

Mereka melihat kedua orang laki-laki itu memanggil pelayan dan menunjuk dua orang yang duduk di ruang sebelah. Meskipun kedua orang perempuan itu duduk bersama dua orang laki-laki, tetapi tidak ada yang menentang niat kedua orang yang nampak garang itu. Kedua orang itu pun agaknya sama sekali tidak berkeberatan. Bahkan keduanya nampak bangga dan manja dibuat-buat.

Namun yang tidak diharapkan itu ternyata telah terjadi. Ketika kedua orang yang garang itu telah memanggil dua orang. Kedua orang itu pun agaknya sama sekali tidak berkeberatan. Bahkan keduanya nampak bangga dan manja dibuat-buat.

Namun yang tidak diharapkan itu ternyata telah terjadi. Ketika kedua orang yang garang itu telah memanggil dua orang perempuan untuk menemaninya makan, maka tiba-tiba saja justru seorang pengikutnya telah bangkit berdiri dan melangkah mendekati Mahisa Semu, yang duduk di sebelah gadis yang akan diantarkan kembali kepada orang tuanya itu.

“Pergilah. Aku yang akan membayar, makanan dan minuman yang telah kau pesan.” berkata orang itu.

Mahisa Semu terkejut, ia memang bergeser, tetapi ia tidak berniat untuk beranjak dari tempatnya. Karena itu, maka ia pun segera menjawab, “Aku sudah duduk di sini sejak tadi.”

“Jangan membantah. Pergi, dan tinggalkan perempuan ini bersamaku.” berkata orang itu.

“Gila,” geram Mahisa Semu, “gadis ini adalah adikku.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa. Katanya, “Kebetulan sekali. Jika demikian aku minta adikmu. Tidak hanya saat ini. Tetapi tinggalkan adikmu untuk selamanya.”

Mahisa Semu tidak dapat menahan diri lagi. Apalagi ketika gadis itu menjadi gemetar dan bergeser mendesaknya. Karena itu maka Mahisa Semu lah yang kemudian membentak sambil bangkit berdiri, “Pergi.”

Orang itu terkejut. Ia tidak pernah dibentak. Apalagi jika ia datang bersama kedua orang yang garang itu. Semua orang menghormatinya dan tunduk kepada perintahnya.

Pemilik dan pelayan kedai itu menjadi berdebar-debar. Mereka sudah mencoba memperingatkan. Tetapi terlambat. Yang dicemaskan itu ternyata terjadi. Apalagi ketika mereka melihat sikap anak muda itu, yang hanya akan menambah penderitaan gadis yang masih sangat muda itu. Bahkan untuk waktu yang lama.

Orang yang dibentak itu menjadi marah sekali. Dengan kasar orang itu telah berusaha mendorong Mahisa Semu. Namun demikian ia menyentuh tubuh anak muda itu, orang itu terkejut. Seakan-akan ia telah menyentuh tonggak sebatang pohon yang kokoh dan tidak tergoyahkan. ...Ada bagian cerita yang hilang lagi di sini...

“Cukup,” geram orang itu, “kalian harus menyerah.”

“Tetapi kami tidak tahu kesalahan kami. Mungkin telah terjadi salah paham. Mungkin kami akan dapat menjelaskan persoalannya lebih jelas jika kau mau berterus terang. Karena itu tentu lebih baik daripada aku harus berteka-teki seperti ini.” berkata Mahisa Murti pula.

“Berlututlah. Kami akan mengikat tangan dan kakimu. Kami akan menyerahkanmu kepada Ki Buyut untuk mengadilimu.” berkata orang itu.

Namun ternyata Mahisa Pukat menjadi kurang sabar. Katanya, “Kami akan menyerah jika kami tahu kesalahan kami. Tetapi karena kami tidak tahu kesalahan kami, maka kami tidak akan menyerah. Kami akan mempertahankan diri kami dengan sekuat tenaga. Jika perlu kami akan membunuh beberapa orang di antara kalian.”

Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Kemudian orang yang mewakili kawan-kawannya itu pun berkata, “Nah, bukankah kami benar. Kalianlah pembunuh-pembunuh itu.”

“Siapakah yang pernah kami bunuh menurut kalian?” bertanya Mahisa Pukat.

“Jangan banyak bicara,” geram orang itu, “cepat menyerah atau kalian bertiga akan mati.” orang yang bertubuh tinggi tegap menggeram...

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 70

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 70
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

Miyatsangka pun tidak dapat menahan hatinya lagi. Ia sadar, bahwa pembicaraan yang mana pun tidak akan dapat membawa hasil yang memuaskan baginya dan saudara-saudara seperguruannya yang berpihak kepadanya. Karena itu, maka Miyatsangka pun telah mempersiapkan saudara-saudara seperguruannya untuk bersiap-siap.

“Kami tidak akan menyerang dengan licik,” berkata orang itu. “aku akan menyerang beradu dada. Karena itu, turunlah ke halaman. Aku pun segera akan bersiap pula.”

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berdesis di telinga Miyatsangka, “Aku berpihak kepadamu. Seperti kedua saudara kandungku itu, aku akan segera menjadi pembantu di sini.”

Miyatsangka mengangguk-angguk. Kedua saudaranya dan ketiga anak muda itu memang hanya dapat membantu, karena mereka sebenarnya tidak terlibat ke dalam pertikaian itu. Namun ia merasa bersyukur bahwa ketiga orang anak muda itu telah berpihak pula kepadanya.

Tetapi ternyata Mahisa Murti telah memerintahkan agar Mahisa Semu membawa gadis itu menepi dan menjaganya agar tidak seorang pun mengusiknya.

“Mahisa Semu,” berkata Mahisa Murti, “menghadapi keadaan yang paling gawat, maka kau dapat benar-benar mempergunakan senjatamu sebagaimana pernah terjadi. Kita memang bukan pembunuh. Kita tidak ingin membunuh. Namun jika hal itu terjadi di peperangan, maka bukan semata-mata salah kita.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Mahisa Murti. Karena itu maka ia pun kemudian telah membawa gadis itu menepi demikian kedua belah pihak telah turun dari pendapa dan berdiri di halaman.

Beberapa saat kemudian keduanya telah bersiap. Orang yang ingin merampas hak untuk memimpin perguruan itu telah berdiri di paling depan di antara para pengikutnya. Seorang yang disebut adik terdekatnya telah berdiri pula di sampingnya.

“Ayo,” berkata orang itu, “siapakah yang akan melawan aku. Jika ada di antara kalian merasa sebagai orang tertua dalam perguruan ini, maka kadar ilmunya pun tentu paling tinggi. Nah, marilah. Siapakah yang ilmunya paling tinggi, lawan aku.”

Miyatsangka mendekatinya selangkah demi selangkah. Katanya, “Seharusnya aku menghormatimu sebagaimana aku menghormati guru. Jangan kau kira bahwa aku tidak yakin bahwa kau adalah adik seperguruan dari guru yang kau aku sebagai gurumu itu. Karena itu, maka aku percaya bahwa kau sebagai paman guruku tentu memiliki ilmu yang lebih tinggi dari kami semuanya. Meskipun demikian, sebagaimana sudah berulang kali aku katakan, bahwa aku berpegang teguh kepada pesan guru. Aku harus melakukannya meskipun aku harus mempertaruhkan nyawaku.”

“Bukan main,” geram orang itu, “kau adalah seorang murid yang sangat setia. Tetapi kesetiaanmu adalah kesetiaan yang mati. Tentu guru menunjukmu waktu itu, karena guru tidak melihat aku.”

“Jangan sebut guru lagi,” berkata Miyatsangka, “kau telah mengkhianati saudaramu sendiri. Kau terlalu tamak dengan mengaku sebagai saudara kami yang tertua.”

“Sekarang tutup mulutmu. Cabut senjatamu. Kita bertempur,” berkata orang itu sambil berdiri bertolak pinggang. Lalu katanya, “Kau masih sempat melihat langit sesaat sebelum kau dijemput maut.”

Miyatsangka memang agak ragu. Ia sadar, bahwa orang itu memiliki ilmu jauh lebih tinggi dari ilmunya. Karena itu, maka ia pun sadar, bahwa nampaknya hari itu adalah harinya yang terakhir. Tetapi sama sekali tidak ada niatnya untuk berkhianat kepada gurunya. Ia akan menjalankan perintahnya sampai ujung umurnya.

Kedua belah pihak pun segera telah bersiap. Kedua belah pihak sebagian besar terdiri dari saudara-saudara seperguruan. Hanya dua orang yang mengaku murid tertua itulah yang sebenarnya bukan saudara seperguruan. Sementara di pihak lain dua orang saudara kandung Miyatsangka siap membantunya ditambah lagi dengan dua orang anak muda.

Ketika Miyatsangka melangkah mendekati lawannya, tiba-tiba saja semua orang terkejut ketika Mahisa Murti lah yang mendahuluinya sambil berkata, “Tidak pantas jika dua orang saudara seperguruan akan bertempur berebut kedudukan meskipun gurunya telah memberikan pesan.”

“Apa maksudmu?” bertanya Miyatsangka yang juga menjadi bingung melihat sikap Mahisa Murti.

“Begini saja,” berkata Mahisa Murti, “aku akan minta kedua orang yang mengaku saudara tertua ini tidak ikut. Biarlah saudara-saudaranya yang lain menyelesaikan persoalan mereka. Soal keyakinan antara salah dan benar. Pesan guru merupakan kebenaran bagi murid-muridnya sejauh itu menyangkut persoalan ke dalam dan tidak bertentangan dengan kebenaran bagi paugeran hidup orang banyak serta kebenaran menurut paugeran Yang Maha Agung.”

“Kau nampaknya memang orang gila.” geram orang yang mengaku saudara tertua itu.

“Terserah apa yang ingin kau katakan,” jawab Mahisa Murti, “tetapi kau dan seorang saudaramu itu tidak patut untuk bertempur melawan murid-murid perguruan ini. Apalagi setelah aku tahu bahwa kau sebenarnya adalah paman guru dari murid-murid perguruan ini. Dengan demikian aku semakin yakin bahwa kau benar-benar dikendalikan oleh ketamakanmu sehingga kau sampai hati memusuhi murid-murid saudaramu dan bahkan mengaku saudaranya yang tertua.”

“Tutup mulutmu atau aku terpaksa membunuhmu lebih dahulu dari saudara-saudaraku yang berkhianat itu,” berkata orang itu.

Tetapi seperti tidak mendengar kata-kata itu Mahisa Murti berkata kepada Miyatsangka, “jatuhkan perintah untuk bertempur. Aku dan saudaraku akan mengikat kedua orang ini dalam pertempuran yang khusus, agar keduanya tidak ikut campur dalam usaha menentukan siapakah yang benar-benar mengabdi bagi perguruannya.”

Tetapi Miyatsangka menjadi ragu-ragu. Bahkan ia pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Terima kasih atas bantuanmu. Tetapi kedua paman guruku itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Sebaiknya kau tidak menjadi korban pertama dalam perselisihan antar keluarga perguruan kami. Biarlah aku yang bertanggung jawab atas permusuhan ini dengan dasar yang kuat, pesan guru.”

“Jangan cemas Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti, “aku adalah pelari yang ulung. Jika aku tidak dapat mengimbangi kemampuan paman gurumu ini, biarlah aku melarikan diri. Orang itu tidak akan dapat mengejarku.”

Namun Miyatsangka masih saja ragu-ragu. Ia merasa bersalah untuk mengorbankan orang lain melawan kedua orang yang memang diketahui berilmu sangat tinggi itu. Namun dalam pada itu, pemimpin kelompok yang telah menculik gadis itu pun berdesis, “Keduanya adalah anak-anak muda yang berilmu tinggi.”

“Tetapi tentu tidak setingkat dengan kedua paman guru itu.” desis Miyatsangka.

Namun agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah berketetapan hati. Karena itu, maka keduanya langsung mendekati kedua orang yang disebut paman guru oleh Miyatsangka itu. Ternyata bahwa sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu telah membuat kedua orang tua itu sangat marah. Karena itu, maka dengan isyarat, yang tertua di antara mereka telah memerintahkan saudaranya untuk menyerang.

Demikianlah, maka kedua orang paman guru Miyatsangka itu telah menyerang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Menurut perhitungan mereka, dalam waktu yang singkat, mereka akan dapat membunuh kedua orang anak muda itu. Kemudian mereka akan segera menyelesaikan sekelompok murid perguruan itu yang lain, yang tidak mau tunduk pada perintahnya.

Miyatsangka memang menjadi berdebar-debar. Namun ia-pun menjadi heran melihat anak-anak muda itu dengan tangkas mengelakkan serangan itu. Sementara Miyatsangka termangu-mangu, saudaranya yang telah menculik gadis itu berbisik lagi di telinganya,

“Aku kira keduanya akan dapat bertahan untuk waktu yang lama, sementara kita mendapat kesempatan untuk bertempur melawan yang lain. Tanpa kedua orang paman guru itu, maka kita tentu akan dapat menguasai mereka kembali. Baru kemudian, kita bersama-sama melawan kedua paman guru itu.”

“Kau memang berniat mengorbankan kedua orang anak muda itu? Meskipun keduanya mampu bertahan berapa pun lamanya, jika akhirnya harus kita korbankan, rasa-rasanya itu tidak adil, karena persoalan ini adalah persoalan perguruan kita.” jawab Miyatsangka.

“Kita tidak akan mengorbankannya,” jawab yang telah menculik gadis itu, “sudah barang tentu kita mengharapkan keduanya dapat menang.”

Miyatsangka termangu-mangu. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah bertempur. Kedua orang yang mengaku berhak memerintah perguruan itu, tidak memandang perlu untuk mempergunakan senjata. Bagi mereka kedua orang anak muda itu tidak lebih dari dua orang yang sombong namun tidak berarti sama sekali.

Dalam pada itu, Miyatsangka memang belum memerintahkan saudara-saudaranya untuk menyerang. Tanpa dua orang paman gurunya, maka Miyatsangka dan saudara-saudaranya masih mempunyai harapan untuk dapat bertahan. Tetapi bagi Miyatsangka, musuh yang utama memang kedua orang paman gurunya itu. Jika keduanya dikalahkan, maka yang lain tentu tidak akan bertahan lebih lama lagi. Mereka benar-benar tergantung kepada kedua orang paman gurunya yang agaknya telah memberikan janji-janji yang khusus bagi mereka. Bahkan orang-orang yang kemudian berada di halaman itu telah terpesona melihat pertempuran yang semakin lama menjadi semakin seru.

Ternyata kedua orang paman guru dari saudara-saudara seperguruan yang bertengkar itu merasa heran. Mereka tidak segera dapat menguasai anak-anak muda itu. Bahkan mereka tidak sekedar mempergunakan ilmu dasar mereka. Tetapi mereka telah meningkatkannya dengan lambaran tenaga cadangan di dalam dirinya.

Dalam pada itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih harus menyesuaikan diri. Mereka memang ingin memancing agar kedua orang itu terikat dalam pertempuran melawan mereka berdua. Sehingga dengan demikian maka yang lain akan dapat bertempur melawan kemampuan yang memadai.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian menyadari, bahwa orang-orang yang ada di halaman itu perhatiannya sepenuhnya tertuju kepada mereka. Namun justru karena itu, maka Mahisa Murti yang sempat meloncat mendekati Mahisa Pukat berdesis, “Kita pergunakan saat ini untuk mempertunjukkan satu arena pertempuran yang menarik.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia mengerti maksudnya. Keduanya akan bertempur sejalan dengan tingkat kemampuan lawan untuk mencengkam perhatian saudara-saudara seperguruan yang bertengkar itu. Jika mereka lupa bertempur dan sekedar memperhatikan pertempuran yang sudah terjadi itu, maka pertumpahan darah antara saudara seperguruan itu mudah-mudahan dapat dihindari.

Demikianlah, pertempuran antara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melawan kedua orang paman guru Miyatsangka itu memang menjadi semakin sengit. Ilmu mereka semakin lama menang menjadi semakin meningkat.

Kedua orang yang berniat untuk menguasai perguruan itu menjadi heran terhadap kedua orang anak muda itu. Mereka sudah memperhitungkan, bahwa pekerjaan mereka tidak akan begitu sulit di rumah itu. Jika orang-orang yang menentangnya itu tidak mau tunduk kepada ketentuan yang dibuatnya, maka dengan cepat mereka akan dapat menghancurkan mereka.

Bahkan alasan itulah sebenarnya yang diinginkannya, sehingga akan terjadi pertengkaran dan pertempuran sehingga dengan demikian mereka akan dapat mempunyai landasan yang kuat untuk membunuh mereka. Tetapi adalah di luar perhitungannya bahwa mereka akan berhadapan dengan dua orang anak muda yang telah mampu melawannya untuk beberapa lama. Yang tertua di antara kedua orang itu pun kemudian berkata lantang,

“Nampaknya keduanya merasa memiliki ilmu yang cukup. Karena itu, maka kita tidak usah bermain-main. Kita tidak mempunyai waktu cukup. Kita harus cepat mengakhiri perlawanan mereka. Kita harus membunuh segera.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengar juga kata-kata lantang yang mendebarkan itu. Karena itu keduanya menjadi semakin berhati-hati. Bukan menjadi kebiasaan mereka untuk meremehkan lawan. Apalagi kedua orang itu adalah saudara seperguruan dari seorang guru yang sangat dihormati oleh murid-muridnya. Keduanya tentu orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

Sebenarnyalah sejenak kemudian, kedua orang itu pun telah meningkatkan ilmu mereka. Keduanya ingin dengan cepat membunuh anak-anak muda yang telah memberanikan diri melawan mereka. Tetapi ternyata tidak mudah untuk melakukannya. Ketika kedua orang itu kemudian bergerak semakin cepat dan semakin kuat, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun melakukannya juga.

Bahkan keduanya kemudian telah memancing lawan-lawan mereka untuk berpencar. Mereka telah bertekad untuk mempertunjukkan satu permainan yang akan sangat mengasyikkan bagi saudara-saudara seperguruan yang sedang bertengkar itu tanpa merendahkan kemampuan kedua orang lawan mereka. Karena itu, maka pertempuran antara mereka pun semakin lama menjadi semakin sengit.

Namun agaknya kedua orang yang merasa diri mereka berilmu tinggi itu, masih belum merasa perlu mempergunakan senjata. Mereka berniat untuk menunjukkan kepada orang-orang yang menentang kuasanya itu, bahwa tangan-tangan mereka akan mampu mematahkan leher seseorang. Mereka yang berani melawan mereka pun akan mengalami nasib yang sama pula dengan anak-anak muda yang sombong itu.

Tetapi, anak-anak muda itu ternyata selalu mampu mengimbangi ilmu mereka meskipun ilmu mereka menjadi semakin meningkat. Bahkan seakan-akan kedua orang itu tidak melihat kesulitan sama sekali pada kedua anak muda itu. Dengan demikian maka kedua orang itu menjadi semakin yakin bahwa kedua anak muda itu tentu memiliki ilmu yang tinggi. Itulah agaknya maka dengan sombong keduanya berniat untuk merubah rencananya tentang perguruan mereka itu.

Tetapi jarak antara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin jauh. Mahisa Murti bergerak semakin dekat dengar sudut halaman, bahkan bergeser ke arah yang berlawanan dengan Mahisa Murti. Perhatian orang-orang yang ada di halaman itu terpecah. Sementara kedua anak muda itu dengan sangat berhati-hati menjajagi kemampuan kedua lawannya. Namun mereka masih bertempur dengan tangan mereka tanpa memegang senjata.

Saudara tertua dari kedua orang yang ingin menguasai perguruan itu pun menjadi semakin marah. Dengan geram yang tertua berkata, “Aku percaya sekarang, bahwa kalian memang mempunyai bekal ilmu. Tetapi sayang bahwa kalian tidak mempunyai wawasan yang luas tentang olah kanuragan, sehingga kau mengira bahwa ilmumu adalah ilmu yang terbaik yang dapat kau pergunakan untuk melawan siapa pun juga.”

Mahisa Murti keningnya. Lawannya telah menyerangnya seperti badai. Namun dengan tangkasnya Mahisa Murti masih sempat menilai bahwa lawannya masih berada pada tataran dasar ilmu kanuragan. Bukan berarti bahwa lawannya tidak akan mampu meningkatkan lagi ilmunya, tetapi ternyata lawannya memang menganggap Mahisa Murti masih sebagai kanak-kanak yang terlalu sombong. Meskipun dasar-dasar ilmu lawannya adalah dasar dari satu ilmu yang kuat, dan telah dikuasai dengan masak, namun bagi Mahisa Murti memang terasa telah menyinggung perasaannya.

Mahisa Murti merasa terlalu direndahkan meskipun ia sendiri tidak akan pernah meremehkan orang lain. Karena itu, maka Mahisa Murti lah yang kemudian ingin menuntun lawannya agar mulai mendaki dengan lebih pada tataran berikutnya. Dengan demikian, maka Mahisa Murti lah yang memacu lawannya untuk meningkat lebih tinggi. Dengan mempercepat dan meningkatkan kekuatan tenaga cadangannya, maka Mahisa Murti tiba-tiba saja telah mendesak lawannya.

Demikian cepat dan kerasnya serangan Mahisa Murti yang datang dengan tiba-tiba, sehingga lawannya harus berloncatan surut beberapa langkah. Namun Mahisa Murti ternyata tidak melepaskannya. Dengan cepat pula ia memburu. Dengan loncatan panjang, kakinya terjulur lurus menyamping mengarah dada.

Lawannya dengan cepat pula meloncat ke samping, mengelakkan serangan itu. Tetapi Mahisa Murti yang meskipun masih muda telah menyimpan sebanyak pengalaman itu, dengan mudah cepat menyerang pula. Demikian kakinya yang terjulur itu kemudian berjejak di tanah, maka tubuhnya segera berputar. Kakinya yang lainlah yang kemudian menyerang mendatar dalam putaran yang sangat cepat.

Ternyata bahwa lawannya tidak menduga datangnya serangan yang begitu cepat dan tiba-tiba. Karena itu, maka ia tidak sempat lagi mengelak. Dengan tangannya orang itu mencoba menangkis serangan Mahisa Murti. Tetapi serangan itu demikian kerasnya. Putaran kaki Mahisa Murti tidak tertahankan oleh tangan lawannya, sehingga karena itu maka orang yang merasa dirinya memiliki ilmu yang hampir sempurna itu telah terlempar ke samping.

Betapa pun ia berusaha, namun ia tidak mampu untuk menguasai keseimbangannya, sehingga karena itu, maka orang itu pun telah jatuh terguling di tanah. Namun orang itu benar-benar seorang yang tangkas. Dengan cepat ia melenting berdiri. Dalam sekejap orang itu telah siap menghadapi segala kemungkinan.

Mahisa Murti berdiri dengan kaki renggang. Tangannya bertolak pinggang. Bukan niatnya untuk menyombongkan diri. Tetapi ia benar-benar ingin memancing perhatian saudara-saudara seperguruan yang bermusuhan itu. Orang yang mengaku murid tertua itulah sebenarnya sumber dari malapetaka yang akan memecah hadirnya sebuah perguruan. Nampaknya memang sebuah perguruan yang kuat meskipun hanya dengan beberapa orang murid.

Terdengar Mahisa Murti tertawa. Dengan nada tinggi ia berkata, “Ki Sanak. Aku hanya ingin menunjukkan, bahwa seseorang tidak akan dapat berbuat sekehendak hatinya dengan memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Mungkin kau memang dapat membunuh murid-murid saudara seperguruan itu. Tetapi ternyata bahwa niatmu itu harus dicegah. Aku yang tidak bersangkut paut dengan perguruanmu, ternyata telah dipergunakan oleh Yang Maha Agung untuk mencegah niatmu yang jahat itu.”

Orang itu menggeram marah sekali. Sementara itu Miyatsangka pun menjadi sangat cemas. Namun pemimpin kelompok dari saudara-saudaranya yang telah menculik gadis itu berkata, “Nah, bukankah anak muda itu memiliki ilmu yang tinggi.”

“Mudah-mudahan. Tetapi aku masih cemas, bahwa yang dilakukan itu hanya akan mempercepat kematiannya saja. Paman guru itu akan menjadi marah sekali. Dalam keadaan yang demikian, maka ia akan mempergunakan ilmu simpanannya. Ilmu yang baru aku kenal dasarnya saja. Tetapi paman guru itu benar-benar telah menguasainya meskipun belum sematang guru sendiri. Tetapi untuk membunuh seseorang, rasa-rasanya ilmu itu akan dapat dipergunakan sebaik-baiknya. Tetapi jika aku sempat melawannya, mungkin aku akan dapat berusaha untuk mengimbanginya jika aku mampu menemukan kesempatan yang baik.” berkata Miyatsangka.

“Tetapi kau pun akan sulit melawannya. Kau tidak akan mampu mengimbanginya.” berkata pemimpin kelompok itu.

“Namun jika aku mati, aku memang mempunyai tanggung jawab. Tetapi anak itu tidak. Apalagi ia masih terlalu muda untuk mati.” desis Miyatsangka.

Namun kata-katanya itu terhenti. Pertempuran antara Mahisa Murti dan lawannya telah mulai lagi. Semakin lama semakin dahsyat. Lawannya yang marah sampai ke ubun-ubun itu memang telah mengerahkan kekuatan dan kemampuan tenaga cadangannya. Namun ternyata bahwa ia masih belum mampu mengalahkan anak muda itu. Sehingga karena itu, maka memang tidak ada cara lain yang dapat ditempuhnya selain dengan ilmu pamungkasnya.

Tetapi untuk beberapa saat ia masih mencoba bertahan untuk tidak melepaskan ilmu pamungkasnya itu. Apalagi di hadapan murid-murid saudara seperguruannya yang hendak dibinasakan itu. Seolah-olah untuk mengalahkan anak-anak muda saja ia harus sudah merambah sampai ke ilmu pamungkas.

Sementara itu, yang terjadi di lingkaran pertempuran yang lain tidak jauh berbeda. Justru Mahisa Pukat bergerak lebih cepat dan lebih kuat. Kedua tangannya yang berputaran membuat lawannya kadang-kadang memang bingung. Tangan itu bergerak mendatar, terayun condong ke arah dada, namun kemudian mematuk dengan kerasnya ke arah dada. Untuk menghindarinya lawan Mahisa Pukat itu harus berloncatatan pula. Bahkan kadang-kadang ia semakin terdesak surut. Namun dalam satu kesempatan, orang itu telah menyerang lambung Mahisa Pukat dengan kakinya.

Hampir saja kaki orang itu menyentuh lambungnya. Meskipun kaki itu bergerak mendatar senyari dari lambungnya, namun terasa anginnya telah menyambar. Tetapi ketika orang itu menyerangnya sekali lagi dengan ayunan tangannya ke arah kening, Mahisa Pukat dengan cepatnya merendah. Ayunan tangan itu menyambar diatas kepalanya. Namun pada saat yang sama, Mahisa Pukat telah menyerang dengan dahsyatnya. Tangannya terjulur lurus menghantam bagian bawah ketiak lawannya justru di saat tangannya terangkat dan berayun mendatar.

Orang itu mengaduh tertahan. Sisi dadanya itu terasa bagaikan dihantam sebongkah batu padas. Nafasnya terasa sesak dan keseimbangannya telah guncang. Untuk memperbaiki keadaannya, orang itu justru meloncat beberapa langkah surut.

Yang terdengar adalah suara tertawa Mahisa Pukat. Ia tidak berlari mengejar lawannya. Tetapi ia melangkah maju perlahan-lahan sambil berkata, “Kau harus membuat pertimbangan-pertimbangan baru. Kami sudah bertekad berpihak kepada orang-orang yang memang berhak untuk menerima warisan dari perguruannya. Seharusnya kau justru mendukung dan merestuinya sebagai seorang paman yang baik. Tetapi kau justru telah berniat untuk merampasnya.”

“Persetan,” geram orang itu, “aku masih dapat menahan diri sampai saat ini. Sebaiknya kau minggir. Persoalan ini adalah persoalan di antara keluarga kami. Sebaiknya kau tidak usah ikut campur.”

Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Telah terjadi ketidak adilan di sini. Dua orang paman yang berilmu tinggi berniat merampas hak anak-anaknya. Itu adalah persoalan ketidak adilan, sehingga orang-orang yang memang ingin melihat keadilan ditegakkan akan dapat melibatkan dirinya.”

“Cukup,” bentak orang itu, “bersiaplah untuk mati.”

“Aku tidak mau mati. Aku akan mempertahankan hidupku dan jika terpaksa justru membunuhmu.” jawab Mahisa Pukat.

Lawannya memang menjadi semakin marah. Dengan serta merta maka ia pun telah meloncat seolah-olah hendak menerkam Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat telah bersiaga sepenuhnya, sehingga karena itu, tangan lawannya yang menyambar wajahnya itu tidak menyentuhnya. Namun terasa jantung Mahisa Pukat berdesir. Yang menerpa wajahnya adalah sambaran angin yang keras, sehingga matanya terasa menjadi pedas.

Selagi Mahisa Pukat memperbaiki keadaannya, maka orang itu telah meloncat lagi menyerang. Tangannya terjulur dengan garangnya dengan jari-jari yang mengembang. Sepintas Mahisa Pukat sempat melihat kuku-kuku yang tajam dan panjang, hampir mengoyak kulitnya. Mahisa Pukat memang bergeser ke samping. Namun ia telah bersiap menghadapi kemungkinan yang sudah diperhitungkannya.

Sebenarnyalah lawannya memang telah memburunya. Tangannya dengan jari-jari yang mengembang berusaha menggapai keningnya. Namun Mahisa Pukat telah menarik wajahnya dan melangkah surut selangkah. Demikian tangan itu menyambar udara tanpa menyentuhnya, maka dengan serta merta Mahisa Pukat telah memukul pergelangan tangan itu. Demikian cepat dan tiba-tiba.

Orang itu mengaduh perlahan. Pergelangan tangannya terasa bagaikan patah. Namun itu bukan serangan yang sebenarnya, karena tiba-tiba saja Mahisa Pukat telah meloncat mendekat. Begitu dekat sehingga lututnya telah menghantam bagian bawah perut lawannya itu. Lawannya tidak sempat berbuat sesuatu. Serangan Mahisa Pukat datang demikian tiba-tiba.

Demikian sakitnya serangan itu, sehingga tubuh orang itu terbongkok karenanya. Namun Mahisa Pukat telah memanfaatkannya. Dengan sisi telapak tangannya, Mahisa Pukat telah menghantam tengkuk orang itu, sehingga orang itu terjerumus jatuh di tanah.

Namun adalah di luar dugaan Mahisa Pukat. Ia mengira bahwa untuk beberapa saat orang itu akan terbaring kesakitan. Tetapi ternyata bahwa daya tahannya adalah sangat tinggi. Karena itu, demikian ia jatuh terjerembab, maka ia pun telah berguling beberapa kali dan meloncat bangkit. Sejenak kemudian ia telah berdiri tegak menghadapi segala kemungkinan.

Meskipun demikian orang itu tidak dapat menyembunyikan perasaannya sepenuhnya. Sekali-sekali ia masih nampak menyeringai menahan sakit di perut dan di tengkuknya. Perasaan mual yang sangat serasa telah meremas usus-ususnya, sementara kepalanya menjadi pening. Tulang lehernya seolah-olah telah menjadi patah karena pukulan Mahisa Pukat.

Dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan yang sangat orang itu menggeram, “Ternyata kau harus dibunuh.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun menilik sikapnya, maka orang itu benar-benar tidak dapat menahan diri lagi, sehingga karena itu, maka agaknya orang itu sudah siap untuk memasuki kemampuan ilmu puncaknya.

Sebenarnyalah orang itu tidak lagi mau memperpanjang waktu. Jika semula ia tidak mau merendahkan diri dihadapan orang-orang yang akan direndahkan dan akan dibinasakan untuk merampas hak atas perguruan itu, maka ia pun kemudian berpendirian lain. Ia tidak mau direndahkan oleh anak-anak muda itu dengan kegagalan-kegagalan beruntun.

Mahisa Pukat pun kemudian telah bersiap sepenuhnya. Ia sadar bahwa orang itu adalah orang yang sangat kuat daya tahannya. Ia mampu mengatasi rasa sakit yang luar biasa oleh serangannya pada perutnya dan pada lehernya. Karena itu, maka dengan landasan ilmunya yang tinggi, maka ia adalah orang yang sangat berbahaya.

Mahisa Pukat memang menjadi berdebar-debar ketika orang itu mengetrapkan senjata khusus pada telapak tangannya. Dengan demikian, maka jari-jarinya telah terbalut oleh semacam kepingan baja yang berbentuk kuku-kuku yang panjang dan berwarna keputih-putihan. Namun pada ujung-ujungnya kuku-kuku baja itu berwarna agak kehitam-hitaman.

Mahisa Pukat memang menjadi curiga bahwa senjata khusus itu beracun. Apalagi menilik bahwa senjata itu disimpan dalam kantung yang khusus yang terbuat dari kulit yang dibungkus dengan ikat pinggangnya yang besar. Bagi orang itu, maka senjata itu adalah senjata yang sangat mapan menilik unsur-unsur gerak yang sudah diperlihatkan sebelumnya.

Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak terpancing untuk melakukan langkah-langkah yang tergesa-gesa. Ia masih tetap berniat untuk menunjukkan satu rangkaian pertempuran yang dapat mencengkam orang-orang yang menyaksikannya.

Wah, ada ada bagian yang hilang lagi di sini!

Tetapi semua orang yang melihat betapa Mahisa Pukat terluka menjadi berdebar-debar. Bahkan para pengikut kedua orang yang ingin merebut kedudukan Miyatsangka itu pun menjadi gelisah pula. Lawan anak muda yang telah mengerahkan ilmunya itu telah mengatakan, bahwa kuku bajanya yang membara itu ternyata beracun. Namun mereka juga menjadi heran, bahwa anak muda itu seakan-akan tidak menghiraukan kata-kata lawannya.

“Agaknya anak muda itu tidak percaya bahwa kuku baja itu beracun. Agaknya orang yang licik itu tidak berbohong. Ia dapat melakukan apa saja untuk menghancurkan lawannya, termasuk racun yang paling tajam sekalipun.” berkata Miyatsangka di dalam hatinya.

Karena itu, maka agar Mahisa Pukat tidak mengalami bencana yang paling parah, Miyatsangka itu pun berteriak, “Hati-hati dengan racun itu.”

Tetapi Mahisa Pukat justru tersenyum sambil menjawab, “jangan cemas. Ia hanya berbohong.”

Namun lawannya tertawa sambil meloncat mengambil jarak. Katanya, “Kau memang sombong anak muda, tetapi kau ternyata sangat dungu. Aku akan memberi kesempatan kepadamu untuk melihat luka-lukamu. Bintik-bintik biru tentu mulai nampak di sekitar lukamu.”

“Kaulah yang bodoh,” berkata Mahisa Pukat, “racunmu tidak berdaya justru karena apimu. Seseorang yang digigit racun dapat membakar lukanya dengan api, sehingga daging di sekitar gigitan itu akan tidak lagi dialiri darah yang dapat membawa racun itu ke jantung dan menjalar ke bagian tubuh yang lain.”

“Tetapi apiku bukan api biasa,” berkata orang itu, “apiku adalah kekuatan ilmuku yang justru dapat mempercepat arus bisa itu merasuk ke dalam urat nadimu, mengalir bersama darah sampai ke jantung. Karena itu, maka bersiaplah untuk mati.”

Ternyata orang itu memang memberi kesempatan kepada Mahisa Pukat untuk memperhatikan luka-lukanya. Tetapi Mahisa Pukat justru menunjukkan kepada lawannya sambil berkata, “Manakah bintik-bintik biru yang kau maksud itu?”

Wajah orang itu menjadi tegang. Di sebelah menyebelah lukanya, memang tidak nampak bintik-bintik biru itu. Apalagi menjalar melalui saluran darahnya dan menghentikan denyut jantung. Dengan demikian maka wajah orang itu pun menjadi tegang. Untuk beberapa saat ia tercenung. Namun tiba-tiba saja ia meloncat menyerang sambil berteriak, “Ternyata kau kebal racun. Tetapi jangan kau sangka bahwa aku tidak dapat membunuhmu. Kulitmu akan terbakar oleh apiku dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki.”

Mahisa Pukat dengan tangkasnya meloncat menghindar sehingga serangan itu tidak berarti sama sekali.

Dalam pada itu, perhatian orang-orang yang termangu-mangu kebingungan itu tiba-tiba saja telah beralih kepada Mahisa Murti. Lawannya yang garang itu pun telah mempergunakan ilmu puncaknya. Tetapi ia tidak mempergunakan kuku-kuku baja sehingga orang itu berusaha membakar kulit Mahisa Murti dengan sentuhan-sentuhan jari-jarinya yang membara.

Namun ternyata bahwa Mahisa Murti yang mengerahkan segenap tenaga cadangannya dan justru mulai merambah ke dalam ilmunya, berusaha untuk melawan kekuatan api itu dengan kekuatan ilmu yang diwarisi dari ayahnya dalam bentuknya yang lunak. Ia tidak membentur kekuatan api dengan api yang akan dapat membakar udara, meskipun Mahisa Murti yakin, bahwa kekuatannya tentu lebih besar dari lawannya. Apalagi jika ia berkehendak untuk melontarkannya dari jarak tertentu, maka lawannya itu tentu akan segera dapat dikalahkannya.

Tetapi Mahisa Murti tidak berbuat demikian. Dengan bentuknya yang lunak, maka serangan lawannya dengan tangannya yang membara itu, seakan-akan justru tidak menyentuh sesuatu. Panas api itu justru terhisap oleh kekuatan yang luar biasa besarnya dengan pengaruh yang sebaliknya. Itulah sebabnya, maka beberapa kali Mahisa Murti sengaja membiarkan dirinya dikenai oleh lawannya. Namun panas api itu seakan-akan tidak berpengaruh pada dirinya.

Lawannya memang menjadi kebingungan. Bahkan sampai dikerahkannya segenap kemampuannya sampai tuntas. Namun panas apinya sama sekali tidak dapat melumpuhkan kemampuan lawannya yang masih sangat muda itu. Bahkan beberapa kali Mahisa Murti justru telah mengenainya. Tidak dengan kekuatan ilmunya dalam bentuknya yang keras, yang akan dapat menghancur lumatkannya. Tetapi Mahisa Murti masih saja mengekang kekuatan dan kemampuannya.

Namun demikian, beberapa kali lawan Mahisa Murti itu telah dikenai oleh serangan Mahisa Murti. Ketika orang itu menyerang dengan tangannya yang membara ke arah dada Mahisa Murti, maka Mahisa Murti pun telah menghindar. Namun orang itu tetap memburunya. Tangannya berputar mendatar. Ayunan sisi telapak tangannya ternyata telah menghantam punggung Mahisa Murti. Memang terasa sakit. Tetapi panas yang terpancar dari ilmunya yang nampak pada telapak tangannya yang membara, telah mengenai kekuatan ilmu dalam bentuknya yang lunak.

Karena itu, maka demikian Mahisa Murti mengatasi rasa sakit karena benturan sisi telapak tangannya itu, maka ia tidak lagi merasakan sesuatu. Punggungnya sama sekali tidak menjadi hangus oleh sisi telapak tangan yang membara itu.

Lawannya menjadi bingung. Ia adalah orang yang memiliki kemampuan tertinggi dalam jalur perguruan itu sepeninggal kakak seperguruannya yang akan mewariskan pimpinan perguruan itu kepada Miyatsangka, muridnya yang tertua. Namun yang kemudian telah dihalangi dan bahkan hak itu ingin dimiliki oleh lawan Mahisa Murti itu.

Miyatsangka pun menjadi bingung. Paman gurunya dengan ilmunya yang dianggap paling sempurna itu sama sekali tidak dapat melukai kulit anak muda itu. “Seandainya aku harus melawannya, aku tidak tahu, apakah yang akan terjadi.” berkata Miyatsangka.

Ternyata bahwa kedua orang anak muda itu memiliki kemampuan ilmu yang sangat tinggi. Beberapa saat kemudian, maka keduanya telah semakin mendesak lawan-lawannya mereka. Orang-orang yang sebelumnya diyakini memiliki ilmu yang sulit dicari bandingnya itu ternyata telah tidak berhasil mengalahkan dua orang anak muda.

Agak jauh di pinggir halaman, Mahisa Semu yang menjaga gadis yang diculik itu pun menjadi tegang. Anak muda itu menjadi semakin kagum terhadap kedua orang saudara angkatnya. Menilik sikapnya, maka kedua orang saudara angkatnya itu masih belum sampai pada tingkat tertinggi dari ilmunya.

Miyatsangka pun melihat juga akan hal itu. Terutama pada sikap Mahisa Pukat. Semakin lama ia justru menjadi semakin banyak melepaskan dan memberikan kesempatan kepada lawannya.. Bahkan rasa-rasanya ia mulai tidak bersungguh-sungguh meskipun lawannya telah bertempur sampai pada tingkat puncak dari kemampuannya.

Sebenarnyalah, bahwa akhirnya Mahisa Pukat memang berniat untuk menyelesaikan pertempuran itu dengan caranya. Ia tidak akan membakar lawannya dengan semburan api dari ilmunya atau lontaran kekuatan ilmu Bajra Geni, gabungan dari kekuatan ilmu itu serta kemampuannya melontarkan dari jarak tertentu. Jika ia berbuat demikian, maka lawannya itu tentu akan luluh dan tidak akan pernah dapat melihat terbitnya matahari. Tetapi yang dikerjakan oleh Mahisa Pukat adalah menyusut kemampuan lawan dengan ilmunya yang khusus.

Dengan isyarat ia memberitahukan kepada Mahisa Murti yang bertempur pada jarak yang semakin jauh. Agaknya Mahisa Pukat sempat melihat, bahwa Mahisa Murti telah mempergunakan ilmu yang diwarisinya dari ayahnya dalam bentuk yang lunak. Sehingga ilmu yang memiliki sifat dan ungkapan yang mirip, akan dapat justru bagaikan diserap jika terjadi benturan.

Mahisa Murti pun ternyata telah menangkap isyarat itu. Karena itu, maka ia pun telah bersiap-siap untuk melakukannya sebagaimana Mahisa Pukat. Ternyata lawan Mahisa Murti telah mengerahkan segenap kemampuan ilmu yang ada di dalam dirinya. Bukan saja telapak tangannya yang menjadi merah membara, tetapi ternyata bahwa udara di sekitarnya pun telah menjadi semakin panas. Karena itu, maka Mahisa Murti pun harus segera menyusut kekuatan ilmu lawannya itu.

Dalam pada itu, ternyata saudara-saudara seperguruan yang sudah siap untuk bertempur itu benar-benar dicengkam oleh pertempuran antara orang-orang yang memiliki kemampuan tertinggi dari jalur perguruan yang diperebutkan itu melawan dua orang anak muda yang tidak dikenal sebelumnya. Para pengikut dari kedua orang yang bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu justru bagaikan membeku.

Tanpa mereka berdua, maka para pengikutnya itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Apalagi Miyatsangka telah datang bersama kedua orang saudara kandungnya, meskipun bukan orang dari perguruan itu, tetapi agaknya ia memang berhak membantu saudara kandungnya yang mengalami kesulitan dalam mempertaruhkan haknya.

Karena itu, maka para pengikut kedua orang itu memang lebih banyak menunggu. Jika kedua orang paman guru mereka itu telah menyelesaikan kedua anak muda itu, maka mereka pun akan segera mulai bertempur. Mereka akan membinasakan saudara-saudara seperguruan mereka, untuk mendapatkan kesenangan sebagaimana dijanjikan oleh paman gurunya yang mengaku saudara mereka yang lebih tua dari Miyatsangka. Sehingga mereka tidak mengakui lagi pesan guru Miyatsangka yang memberikan hak kepadanya untuk memimpin perguruan itu dan memiliki bersama rumah milik perguruan itu.

Tetapi kedua orang yang telah memberikan beberapa macam janji itu ternyata semakin lama justru menjadi semakin terdesak. Bahkan ilmu mereka yang sangat ditakuti itu, sekaligus ditambah dengan kekuatan racun, seakan-akan tidak berarti sama sekali bagi kedua orang anak muda yang bertempur melawan mereka itu. Apalagi ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempergunakan ilmu mereka yang khusus, yang mampu menyusut kekuatan dan kemampuan lawan selapis demi selapis.

Mahisa Murti memang agak kesulitan menghadapi lawannya yang memiliki tataran ilmu lebih tinggi dari lawan Mahisa Pukat. Udara memang terasa semakin panas. Tetapi Mahisa Murti masih mampu berusaha untuk membentur kekuatan lawan dengan kekuatan ilmunya selain ilmunya dalam bentuk yang lunak, tetapi juga ilmunya yang mampu menyusut kekuatan dan kemampuan lawan.

Beberapa kali Mahisa Murti harus mengerahkan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi panasnya udara. Meskipun sentuhan telapak tangan lawannya tidak menyakitinya, namun panasnya udara membuat tubuhnya berkeringat dan bahkan bagaikan terpanggang diatas api. Sekali-sekali memang timbul niatnya untuk menghancurkan saja lawannya dengan serangan dari jarak tertentu diluar jangkauan panasnya udara. Namun ia sudah memberikan isyarat bahwa ia sependapat dengan Mahisa Pukat untuk menyusut saja kekuatan dan kemampuan ilmu lawannya itu.

Tetapi sentuhan-sentuhan yang terjadi, ternyata telah mulai berpengaruh kepada lawannya. Kemampuannya pun mulai menyusut selapis demi selapis. Meskipun tubuh Mahisa Murti basah oleh keringat, serta sekali-sekali menyeringai menahan panas yang menyengat, namun sekali-sekali ia telah berhasil menyentuh tubuh lawannya. Bahkan ia justru tidak menghindar jika lawannya itu meloncat menyerangnya. Dengan tangkasnya Mahisa Murti menangkis serangan-serangan itu, meskipun ia harus segera meloncat menjauh.

Tugas Mahisa Pukat ternyata agak lebih ringan. Meskipun lawannya telah mengerahkan kemampuan ilmunya sampai tuntas, namun lawannya yang tingkat ilmunya belum setinggi saudara tuanya yang bertempur melawan Mahisa Murti masih belum mampu memanasi udara sepanas air mendidih. Meskipun Mahisa Murti juga merasakan hangatnya udara, namun tidak memerlukan seluruh kekuatan daya tahannya untuk mengatasinya.

Sementara Mahisa Pukat mampu memancing serangan-serangan lawannya dan menangkis serangan-serangan itu, maka Mahisa Murti tubuhnya mulai menjadi merah oleh panasnya udara. Bahkan hampir saja Mahisa Murti tidak tahan lagi dan harus mempergunakan ilmunya yang lain, meskipun lawannya akan menjadi lumat. Namun sebelum ia mengambil keputusan untuk merubah cara perlawanannya, maka kekuatan ilmunya mulai menampakkan hasilnya.

Panas udara di sekitar lawannya itu memang menjadi susut sedikit demi sedikit. Kecepatan gerak orang itu pun terasa menjadi berkurang pula. Namun demikian, Mahisa Murti masih harus berloncatan untuk menyerang dan menghindar, atau jika ia membiarkan lawannya menyerangnya, maka ia harus menangkis dan kemudian meloncat menjauh menghindari agar dagingnya tidak menjadi matang oleh panasnya udara.

Tetapi agaknya lawannya pun mulai merasa, bahwa tiba-tiba saja tenaga dan kekuatan lontaran ilmunya menjadi susut. Orang itu menjadi heran atas dirinya sendiri. Ia adalah seorang yang berilmu tinggi, yang mampu bertempur untuk waktu yang seakan-akan tidak terbatas. Namun tiba-tiba saja ia mengalami satu keadaan yang lain dari yang selama itu terjadi pada dirinya. Namun ia masih berusaha untuk meyakinkan dirinya, bahwa ia adalah orang yang memiliki ilmu yang tidak ada duanya. Karena itu, maka ia pun telah menghentakkan ilmunya dan menyerang dengan kecepatan yang tinggi.

Mahisa Murti memang menghadapi kesulitan. Namun ia telah mengerahkan daya tahannya mengatasi udara panas sekaligus meningkatkan ilmunya sehingga sentuhan-sentuhan bara api pada telapak tangan lawannya itu dapat diserapnya. Namun dalam pada itu, ilmunya dalam ujud yang lunak itu tidak dapat menyerap udara panas yang bagaikan membakarnya, meskipun seakan-akan dapat menghapus kekuatan ilmu lawannya, namun hanya yang bersentuhan dan berbenturan langsung dengan wadagnya.

Tetapi Mahisa Murti masih belum berniat untuk menghancurkan lawannya sampai lumat. Sebenarnya ia mampu menyerang lawannya sekaligus mengoyak kekuatan udara panas itu. Namun ia ingin memaksa lawannya berhenti bertempur karena kehabisan tenaga sebagaimana telah disepakatinya sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat. Namun sejalan dengan susutnya kekuatan lawan, maka panas udara pun menjadi susut pula, meskipun hal itu belum disadari sepenuhnya oleh lawannya yang hanya merasakan bahwa kekuatan telah menjadi susut.

Karena itulah, maka Mahisa Murti mampu mengatasi udara panas itu lebih banyak daripada sebelumnya. Selain beberapa kali ia harus menangkis serangan lawannya kemudian meloncat menghindari panasnya udara, maka ia pun telah menyerang pula. Bagi Mahisa Murti sasaran tidak lagi terlalu penting. Yang penting baginya adalah justru sentuhan-sentuhan yang terjadi, karena pada setiap sentuhan berarti susutnya kekuatan dan kemampuan lawan.

Sementara itu, ternyata Mahisa Pukat dapat menyelesaikan tugasnya lebih cepat dari Mahisa Murti. Benturan-benturan memang telah terjadi. Meskipun Mahisa Pukat harus selalu menghindari sentuhan kuku-kuku baja yang dapat mengoyak kulitnya meskipun racunnya tidak berbahaya baginya, namun ia berhasil setiap kali menyentuh lawannya. Bahkan kadang-kadang membenturkan kekuatannya meskipun harus dengan sangat berhati-hati.

Pertempuran itu ternyata memang sangat menarik perhatian semua orang yang menyaksikannya. Apalagi ketika mereka melihat dua orang yang memiliki kemampuan tertinggi dari semua orang di jalur perguruan itu semakin lama menjadi semakin tidak berdaya. Betapa mereka mencoba mengerahkan kemampuan mereka, tetapi semuanya itu sama sekali sudah tidak berarti lagi.

Beberapa kali lawan Mahisa Pukat telah terdorong jatuh. Dengan telapak tangannya saja, Mahisa Pukat telah berhasil membanting lawannya jatuh terlentang di tanah. Apalagi orang itu tidak lagi mampu melenting berdiri sebagaimana selalu dilakukannya. Bahkan ketika ia mencobanya, maka ia pun menjadi terhuyung-huyung dan jatuh lagi di tanah.

Mahisa Pukat kemudian mendekatinya dan berdiri bertolak pinggang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Marilah. Bangkitlah. Kita masih mempunyai banyak waktu.”

Orang itu mengumpat kasar. Ia memang masih mencoba bangkit. Bahkan dengan kuku bajanya ia mencoba menggapai kaki Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat bergeser surut, sehingga tangan orang itu tidak menyentuhnya. Bahkan kuku-kukunya telah menancap di tanah. Ketika ia mencoba menarik tangannya, tiba-tiba saja kaki Mahisa Pukat sudah menginjaknya.

Orang itu berteriak kesakitan sambil mengumpat sejadi-jadinya. Ia tidak lagi mampu mempergunakan tangannya yang lain karena sentuhan kaki Mahisa Pukat itu seakan-akan telah mengisap semua kekuatannya sampai tuntas. Karena itu, maka orang itu justru telah terjatuh seperti selembar kain yang koyak.

Mahisa Pukat mengangkat kakinya. Jika ia membiarkan sentuhan itu, maka orang itu akan mati lemas. “Kenapa kau tidak bangkit lagi?” bertanya Mahisa Pukat.

Orang itu benar-benar sudah tidak bertenaga. Karena itu, maka ia terkapar diam di tanah betapa pun mulutnya mengumpat.

Sementara itu, Mahisa Murti masih bertempur dalam saat-saat yang menentukan. Kekuatan ilmu lawannya benar-benar sudah tidak berarti lagi baginya, sehingga karena itu, maka sentuhan-sentuhan tangan Mahisa Murti menjadi semakin sering terjadi. Seperti lawan Mahisa Pukat, maka akhirnya orang itu terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan. Akhirnya orang itu pun telah jatuh pula terbaring di tanah. Tubuhnya menjadi sangat lemah. Tulang-tulangnya bagaikan telah terlepas sehingga tidak lagi mampu mengangkat kulit dagingnya.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun telah selesai. Orang-orang yang ada di halaman rumah itu menjadi kebingungan menanggapi keadaan. Bahkan Miyatsangka pun untuk beberapa saat hanya berdiri mematung sambil mengawasi kedua orang paman gurunya berganti-ganti.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah menyelesaikan pertempuran itu telah melangkah mendekati kedua belah pihak yang sedang bermusuhan, namun masih belum berbuat apa-apa itu. Dengan nada tinggi Mahisa Murti bertanya kepada mereka, “He, kenapa kalian belum bertempur?”

Orang-orang itu masih termangu-mangu. Karena itu maka Mahisa Murti pun berkata pula kepada para pengikut kedua orang yang telah dikalahkan itu, “Bagaimana dengan kalian? Bukankah kalian sependapat, bahwa saudara kalian yang tertua bukan Miyatsangka meskipun ia telah mendapat pesan dari guru kalian? Bukankah kalian lebih senang jika kedua orang itulah yang memimpin kalian meskipun itu tidak dikehendaki oleh guru kalian?”

Murid-murid dari perguruan itu yang berpihak kepada kedua orang yang telah dikalahkan itu menjadi semakin cemas. Mereka tidak lagi mempunyai sandaran yang akan dapat membantu mereka jika mereka mendapat kesulitan. Tanpa kedua orang yang dianggapnya memiliki ilmu yang tidak terkalahkan itu, maka mereka bukan apa-apa. Dalam perguruan mereka, maka mereka bukannya murid-murid yang terbaik.

Justru karena mereka merasa tidak mendapat tempat, maka mereka telah menyatukan diri dengan kedua orang yang ingin mendesak kedudukan Miyatsangka itu. Tetapi kini mereka melihat satu kenyataan, bahwa kedua orang itu sudah tidak berdaya.

Untuk beberapa saat Miyatsangka sendiri tidak berbuat sesuatu. Namun kemudian, ia bagaikan tersadar dari sebuah mimpi yang pahit. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Terima kasih. Kalian telah berbuat sesuatu yang sangat berarti bagi kami.”

Mahisa Murti mengangguk kecil. Dipandanginya saudara-saudara seperguruan yang sedang bermusuhan itu. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Apakah kalian masih akan bertempur?”

Miyatsangka lah yang menjawab, “Aku tidak mempunyai keinginan lain daripada melakukan pesan guru. Terserah kepada mereka. Yang sependapat dengan aku dan saudara-saudaraku yang mengakui pesan Guru, merupakan kekuatan bagiku. Tetapi siapa yang menentang pesan Guru akan berhadapan dengan kami. Sekarang waktunya untuk menyatakan sikap itu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun Mahisa Pukat lah yang melangkah maju ke arah mereka yang semula menentang Miyatsangka itu sambil berkata, “Nah, bagaimanakah keputusan kalian? Kedua orang itu telah kehilangan segala-galanya. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi sekarang.”

Orang-orang itu saling berpandangan. Tidak seorang pun yang menjawab.

“Cepat. Ambil sikap. Kalian merubah pendirian kalian atau tidak. Jika kalian tetap tidak mau menerima pelaksanaan pesan guru kalian itu, maka kalian akan bertempur. Salah satu pihak harus lenyap. Bagaikan minyak dan air, maka kalian tentu tidak akan bercampur,” bentak Mahisa Pukat, “sementara itu, yakinilah bahwa kalianlah yang bersalah, karena kalian telah melanggar pesan guru kalian. Jika kalian tidak lagi mentaati pesan guru, maka apa artinya kalian tetap berada dalam perguruan ini? Cepat, jawab pertanyaanku atau aku akan membiarkan kalian dibantai di sini?”

Orang yang tertua di antara merekalah yang kemudian bergeser setapak maju. Dengan nada rendah ia berkata, “Kami mohon maaf. Kami telah melakukan satu kesalahan yang sangat besar.”

“Katakanlah kepada saudara tertuamu. Jangan kepadaku.” geram Mahisa Pukat.

Orang itu ragu-ragu sejenak. Bahkan ia pun telah berpaling kepada kedua orang yang beberapa saat sebelumnya menjadi tumpuan kekuatannya bersama sebagian saudara-saudara seperguruannya. Tetapi kedua orang itu telah terbaring diam. Betapa keduanya pernah menunjukkan kepadanya dan kepada sebagian dari saudara-saudara seperguruannya, bahwa mereka berdua memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Ternyata keduanya memang tidak berbohong. Keduanya telah menunjukkan kemampuan mereka yang sangat tinggi. Keduanya telah melakukan yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Tetapi mereka telah membentur kekuatan dan kemampuan yang lebih tinggi. Jauh lebih tinggi. Dua orang anak muda yang belum pernah mereka kenal sebelumnya.

Sementara itu Mahisa Semu masih saja berdiri di pinggir halaman menjaga gadis yang telah diculik itu. Bagaimanapun juga keadaan masih belum jelas benar baginya. Apakah yang sebenarnya telah terjadi. Meskipun ia memastikan kemenangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, tetapi mereka masih berbicara dengan saudara-saudara seperguruan yang sedang bertengkar itu. Kekerasan mungkin masih akan terjadi.

Tetapi ternyata bahwa mereka yang semula dengan segala cara telah dibujuk untuk berpihak kepada kedua orang yang telah dikalahkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, telah menyatakan penyesalan mereka. Mereka telah menyerahkan segala sesuatunya kepada Miyatsangka.

“Jika kami harus dihukum, maka hukuman apa pun akan kami terima dengan ikhlas. Kami telah merasa sangat bersalah, bahkan telah mencoba berkhianat terhadap pesan Guru.” berkata orang tertua di antara mereka yang berpihak kepada kedua orang yang telah tidak berdaya itu.

Miyatsangka menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Tingkah laku kalian telah membuat aku sangat bersedih. Kita yang sudah berkumpul dalam satu perguruan untuk waktu yang lama, ternyata harus terbelah. Bahkan hampir saja kita akan saling menghancurkan. Aku telah memanggil dua orang saudara kandungku untuk membantu menegakkan perguruan ini karena aku merasa bahwa kekuatan yang ada padaku terlalu kecil dibandingkan dengan kedua paman yang ternyata memang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu. Tetapi ternyata bahwa Yang Maha Agung menentukan lain dari rencana kedua orang yang tamak itu. Kedua paman guru itu sudah mendapat hukumannya. Hukuman itu datang langsung dari Yang Maha Agung yang mengirimkan kedua orang anak muda itu kepada kita.”

“Kami menyesal sekali.” jawab orang tertua di antara mereka yang semula menentang Miyatsangka itu.

“Bagaimana jika kedua orang itu pada satu saat sembuh kembali dan kekuatannya pulih lagi sehingga memungkinkan mereka untuk berusaha merebut kembali kedudukan Miyatsangka?“ tiba-tiba Mahisa Pukat bertanya.

Orang tertua di antara mereka yang berpihak kepada kedua orang itu menjawab, “Kami sudah menemukan diri kami kembali.”

“Kau berkata sebenarnya? Tetapi kedua orang itu akan dapat membunuhmu bahkan membunuh kalian semuanya.” berkata Mahisa Pukat.

“Sisa-sisa umurku tidak berarti lagi, karena seharusnya kami sudah mati hari ini.” berkata orang itu.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya kata-kata orang itu cukup meyakinkan. Sehingga dengan demikian, maka yang harus mereka cegah adalah kemungkinan pembalasan dendam kedua orang yang telah dikalahkan itu. Bukan terhadap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri, tetapi justru terhadap Miyatsangka dan adik-adik seperguruannya.

Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berkata, “Kita akan berbicara lebih bersungguh-sungguh. Bawa kedua orang itu naik ke pendapa.”

Sejenak orang-orang itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian beberapa orang telah mendekati kedua orang paman gurunya itu meskipun dengan ragu-ragu.

Namun Mahisa Murti pun berkata, “Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Angkatlah dan bawalah ke pendapa.”

Meskipun demikian, ketika orang-orang itu menyentuh tubuh kedua orang yang sudah tidak berdaya lagi itu tersentak karena kedua orang itu hampir bersamaan telah membentak dan mengumpat.

“Jangan takut,” berkata Mahisa Pukat, “jika mereka menyakiti kalian maka aku akan mencekiknya sampai mati.”

Sebenarnyalah kedua orang itu tidak berdaya sama sekali ketika keduanya diangkat dan dibawa ke pendapa. Perlahan-lahan mereka telah dibaringkan di atas tikar, sementara murid-murid dari perguruan yang hampir saja terbelah itu telah duduk pula melingkarinya. Sementara Mahisa Semu pun telah hadir pula bersama gadis yang telah diculik itu. Sementara itu, malam pun telah merambat semakin kelam dan lampu-lampu minyak berkeredipan di mana-mana.

“Ternyata kalian berdua adalah orang yang paling malas di antara kita semua,” berkata Mahisa Pukat, “kami semuanya duduk tegak meskipun kami pun sudah mengantuk. Tetapi kalian berdua justru telah berbaring di antara kami.”

“Persetan,” geram yang tertua di antara kedua orang itu, “kenapa tidak kau bunuh kami?”

“Kami bukan pembunuh-pembunuh yang tidak berjantung,” berkata Mahisa Murti, “kami masih memikirkan kemungkinan lain dari pada membunuh, meskipun pada suatu saat kami tidak dapat menghindari kemungkinan untuk melakukannya.”

Kedua orang itu menggeram. Meskipun keduanya sudah tidak mampu lagi berbuat sesuatu, tetapi dendam masih menyala di dalam sorot mata mereka. Bahkan yang tertua di antara mereka itu pun berkata, “Kenapa kau telah memperlakukan kami seperti ini? Bagiku kematian akan lebih baik dari mengalami perlakuan seperti ini.”

“Tidak,” jawab Mahisa Murti, “jika kau mati, kau tidak akan pernah sempat menyesali kesalahanmu.”

“Aku tidak akan pernah menyesal, karena aku tidak pernah melakukan kesalahan. Aku telah berjuang untuk menegakkan kebenaran. Aku tidak mau perguruan yang sudah dibina berpuluh tahun ini akan dinodai oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan berkhianat.” berkata yang tertua.

“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “kau jangan mengigau lagi. Kau tidak akan dapat menipu siapa pun di sini. Lebih-lebih dirimu sendiri. Setiap orang di sini sudah tahu siapakah kalian berdua sebenarnya. Bukankah Miyatsangka sudah mengatakan bahwa kalian bukan saudara seperguruannya, tetapi justru paman gurunya? Kau akui atau tidak kau akui, tetapi kau sendiri mengetahui akan hal itu.”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, murid-murid dari perguruan yang hampir pecah itu duduk dengan tegang. Mereka menunggu perkembangan yang akan terjadi dalam percakapan antara anak-anak muda itu dengan paman guru mereka. Beberapa saat kedua orang yang terbaring itu tidak mengucapkan sepatah katapun.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun bertanya, “Bagaimana pendapatmu? Apakah kalian masih tetap dalam sikap kalian?”

Kedua masih berdiam diri. Mahisa Murti tiba-tiba saja telah bergeser mendekat. Ketika lengan yang tertua di antara mereka disentuh oleh Mahisa Murti, maka terasa sisa kekuatannya yang hampir kering itu terhisap karenanya. Meskipun hanya sesaat, tetapi rasa-rasanya nyawanya akan ikut terhisap pula karenanya.

Dengan nada berat orang itu berdesis, “Ilmu iblismu itu benar-benar terkutuk.”

“Tergantung untuk apa aku mempergunakannya,” jawab Mahisa Murti, “aku dapat mempergunakannya untuk perbuatan licik. Tetapi aku juga dapat mempergunakan untuk perbuatan yang lebih berarti daripada membunuh.”

“Jika kau tidak mempergunakan ilmu licikmu, kau tentu sudah aku lumatkan.” geram yang tertua.

“Kau salah,” berkata Mahisa Murti, “jika kau ingin melihat, aku dapat memperlihatkan kepadamu, bagaimana aku dapat meremas batu sebesar kepala kerbau dari jarak yang jauh. Tetapi aku tidak melakukannya, karena aku memang tidak ingin membunuh. Bahkan saudaraku itu telah dilukai oleh saudaramu. Tetapi ia tetap menahan diri untuk melakukan pembunuhan itu. Bahkan sampai sekarang pun kami tidak membunuh, meskipun kalian masih saja mengumpat-umpat.”

“Jika kalian tidak membunuh kami sekarang, maka pada saatnya kami akan membunuh kalian dan orang-orang yang telah berkhianat itu.” geram yang tertua di antara kedua orang itu.

“Kau tidak akan dapat melakukannya,” berkata Mahisa Murti, “tetapi dengan ancamanmu itu berarti bahwa kau tidak akan dapat menemukan kekuatanmu sepenuhnya kembali. Ilmumu akan musnah dan kau akan tidak lebih dari orang kebanyakan.”

“Jangan lakukan itu, bunuh saja kami berdua.” geram orang itu.

“Tidak. Jika kalian masih tetap hidup, kalian akan mendapat kesempatan untuk mengakui kesalahan kalian, bertobat dan bahkan kalian akan mendapat kesempatan untuk berbuat baik.” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi jangan musnahkan kemampuan ilmu kami.” berkata orang itu.

“Sayang,” berkata Mahisa Murti, “aku memang mencemaskan sikapmu jika kau tetap dalam tingkat kemampuanmu sekarang. Karena itu, maka kalian akan sembuh dan mendapatkan kekuatan kalian kembali, tetapi tidak dengan ilmu kalian.”

“Jangan,” teriak orang itu. Tetapi ia tidak dapat bergerak lebih dari sekedar menggerak-gerakkan tangan dan sedikit tubuh mereka. Ketika yang tertua itu berusaha untuk bangkit, maka ternyata ia masih juga tidak mampu melakukannya.

“Ada dua kesempatan yang akan aku berikan kepada kalian berdua,” berkata Mahisa Murti, “tetap berbaring untuk seterusnya atau kembali dalam keadaan wajar, tetapi kehilangan ilmu kanuragan kalian.”

“Kami memilih mati.” jawab orang itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang-orang itu adalah orang-orang yang hatinya telah mengeras seperti batu. Adalah sangat berbahaya jika keduanya dibiarkan sembuh dan memiliki segala sesuatunya kembali. Karena itu, maka mereka harus mendapat hukuman, sehingga mereka tidak akan dapat melakukan kejahatan lagi di saat mendatang terhadap murid-murid perguruan yang hampir pecah itu. Apalagi terhadap mereka yang dianggap berkhianat. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata,

“Baiklah. Jika demikian, maka kamilah yang akan menentukan. Tetapi dalam keadaan kalian seperti itu, kami tidak akan berbuat sesuatu, karena dengan demikian kalian akan dapat mati. Besok, jika keadaan kalian telah menjadi lebih baik, maka kami akan melakukan sesuatu atas kalian yang tidak perlu kalian sesali. Karena menurut pengamatan kami, orang-orang seperti kalian itu, tidak akan lagi dapat diperbaiki. Dengan demikian, maka jalan hidup kalian harus ditentukan sebelumnya.”

Tetapi kedua orang itu masih saja mengumpat. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, murid-murid dari perguruan itu, “Nah, biarlah kedua orang itu besok menjadi urusan kami. Sekarang, lakukan apa yang baik kalian lakukan bagi perguruan kalian.”

Miyatsangka lah yang menjawab, “Terima kasih Ki Sanak. Kami ingin berbicara dengan saudara-saudara kami yang untuk beberapa saat telah terpisah.”

“Silahkan.” jawab Mahisa Pukat.

Sementara itu maka Miyatsangka pun berkata, “Nah, sebaiknya aku tidak berputar-putar lagi. Aku akan langsung berbicara tentang sikap kalian. Besok aku akan memenuhi pesan guru. Kita bersama-sama akan menyatakan kesetiaan kami kepada Guru dengan menepati pesannya. Tidak ada orang yang akan dapat mengukuhkan kedudukanku selain dukungan dan kesediaan kalian. Karena itu, maka aku perlu pernyataan kalian.”

Yang tertua di antara mereka yang tersesat itu pun berkata, “Sudah kami katakan, bahwa kami telah menemukan diri kami kembali. Kami akan menjunjung tinggi pesan Guru.”

“Pengkhianat.” teriak paman gurunya yang masih saja terbaring.

Miyatsangka berpaling ke arahnya. Katanya, “Maaf paman. Kami persilahkan paman beristirahat dengan tenang. Kami akan memutuskan persoalan kami sendiri tanpa gangguan dari paman.”

“Jika aku sembuh kelak, maka kalian semua akan menyesal.” geramnya.

Tetapi Miyatsangka tidak menghiraukannya. Ia telah membuat rencana bahwa besok, di saat matahari naik sepenggalah, maka mereka akan menyatakan bersama-sama kesetiaan mereka kepada pesan Guru mereka. Menjelang tengah malam, maka mereka pun tidak lagi membicarakan rencana mereka. Mereka telah menutup pembicaraan mereka untuk beristirahat.

Meskipun kedua belah pihak telah mendapatkan kesepakatan, namun Miyatsangka masih belum dapat menghilangkan kecurigaan sama sekali. Karena itu, maka Miyatsangka pun telah mempersilahkan saudara-saudaranya yang hampir saja memberontak itu untuk tidur di gandok. Sementara Miyatsangka dan saudara-saudaranya yang berpihak kepadanya, berada di dalam rumah.

“Kalian dapat memilih tempat.” berkata Miyatsangka kepada anak-anak muda yang melindungi seorang gadis itu.

“Kami akan berada di sini.” jawab Mahisa Murti.

“Gadis itu?” bertanya Miyatsangka.

“Biarlah ia berada di Pringgitan. Kami akan menungguinya.” jawab Mahisa Murti.

“Kedua paman itu?” bertanya Miyatsangka pula.

“Biarlah mereka beristirahat sampai esok. Jangan diganggu lagi.” berkata Mahisa Pukat.

Miyatsangka memandang Mahisa Pukat dengan ragu-ragu. Sementara Mahisa Pukat mengerti perasaan Miyatsangka. Karena itu maka katanya, “Kedua orang ini sampai besok pagi masih belum akan bangun. Keduanya masih ingin beristirahat. Mereka akan tidur nyenyak sampai besok.”

Hampir berbareng keduanya mengumpat. Keduanya merasa menjadi barang mainan ditempat itu. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.

Demikianlah, maka gadis yang telah diculik dari orang tuanya itu telah dipersilahkan tidur di pringgitan. Meskipun masih tetap diluar rumah, tetapi agak terlindung oleh dinding-dinding samping. Sementara ketiga anak muda itu duduk saja di pringgitan itu pula, agak jauh dari tempat gadis itu tidur. Bagi gadis itu, tidur di pringgitan adalah satu-satunya kemungkinan yang paling baik, karena dengan demikian ia akan berada dibawah pengawasan ketiga orang anak muda itu. Di sisa malam itu, ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membagi waktu untuk berjaga-jaga. Sementara Mahisa Semu mendapat kesempatan untuk tidur saja.

“Kau harus beristirahat baik-baik. Mungkin besok kaulah yang harus bertempur.” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Semu tertawa. Ia tahu, bahwa Mahisa Murti tidak bersungguh-sungguh. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti beristirahat, maka yang berjaga-jaga di antara mereka harus tetap mengawasi gandok. Mungkin orang-orang yang telah menyatakan diri kembali ke dalam perguruannya itu berubah lagi pendiriannya dan mempergunakan kesempatan untuk melakukan sesuatu yang dapat menyulitkan. Tetapi agaknya mereka benar-benar telah menyerah, sehingga justru karena itu, mereka merasa tidak mempunyai masalah lagi.

Karena itulah, maka mereka pun segera tidur di gandok yang telah diperuntukkan bagi mereka. Meskipun untuk beberapa lama mereka belum dapat tertidur karena persoalan-persoalan tentang diri mereka sendiri, namun akhirnya mereka semuanya tertidur tanpa mencemaskan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Sementara di ruang dalam seorang di antara mereka bergantian berjaga-jaga. Bagaimanapun juga mereka harus tetap berhati-hati.

Namun mereka merasa tenang ketika mereka tahu, bahwa salah seorang di antara ketiga anak muda di pringgitan masih duduk bersandar tiang. Karena menurut perhitungan mereka, anak-anak muda itu akan segera menguasai keadaan jika terjadi sesuatu diluar. Sedangkan mereka yang ada di dalam rumah itu benar-benar telah mempercayai mereka tanpa ragu-ragu lagi.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus bersabar. Mereka harus menunggu keduanya memiliki sebagian kekuatannya kembali agar keduanya mampu bertahan untuk tetap hidup. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah meninggalkan kedua orang yang marah sambil mengumpat-umpat itu.

“Mereka tidak akan pernah menyadari diri mereka.” berkata Mahisa Pukat.

“Karena itu keputusan kita sudah bulat. Keduanya harus kehilangan kemampuan untuk membalas dendam.” sahut Mahisa Murti.

Demikianlah, maka pada hari itu, segala sesuatunya telah diselesaikan di antara saudara-saudara seperguruan yang hampir saja terpecah itu. Sementara kedua orang yang ingin merebut kedudukan Miyatsangka itu dengan penuh kemarahan telah menuduh orang-orang yang semula berpihak kepada mereka sebagai pengkhianat dan pengecut.

Meskipun dengan cara yang sangat sederhana, maka saudara-saudara seperguruan yang disaksikan oleh beberapa orang lain yang kebetulan ada di tempat itu, termasuk kedua saudara kandung Miyatsangka, telah menetapkan, memenuhi pesan gurunya yang sudah tidak ada lagi, bahwa sejak saat itu, Miyatsangka telah dianggap sebagai pemimpin dari perguruan mereka. Untuk selanjutnya, mereka akan tetap berada di rumah itu sebagaimana gurunya pernah tinggal.

Namun sebenarnyalah bahwa Miyatsangka telah pernah berbicara secara khusus dengan orang tua suami isteri yang tinggal di pondok di belakang rumah. Orang yang dalam saat-saat tertentu mampu memberikan beberapa keterangan yang dianggap sangat penting, justru karena orang itu telah tinggal di tempat itu untuk waktu yang lama sekali.

“Kedua paman gurumu itu tentu tidak sekedar ingin memimpin perguruan ini,” berkata orang tua itu kepada Miyatsangka, “mereka tentu mengetahui bahwa di rumah ini dan mungkin di halaman atau di kebun atau di mana pun juga dalam lingkungan dinding halaman terdapat sesuatu yang sangat berharga.”

“Darimana paman tahu?” bertanya Miyatsangka.

“Gurumu pernah mengatakannya meskipun tidak langsung. Dalam samadi ia mohon kepada Yang Agung untuk mendapat petunjuk di mana benda yang sangat berharga itu disimpan. Aku memang merasa bersalah, bahwa aku dapat mendengarnya. Tetapi aku benar-benar tidak sengaja melakukannya.” jawab orang tua itu.

“Benda itu milik siapa?” bertanya Miyatsangka.

Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya ia berkata, “Aku tidak tahu pasti. Pada saat kakek gurumu meninggal, gurumu tidak ada di rumah ini. Untuk menyelamatkan benda yang sangat berharga itu, maka benda itu telah disimpan oleh kakek gurumu itu tanpa sempat memberitahukan kepada gurumu. Kakek gurumu percaya kepada siapa pun juga selain kepada gurumu. Agaknya gurumu mengetahui hal itu dari perhitungan dan penalaran. Benda yang sangat berharga itu sudah tidak ada di tempatnya, sementara tidak seorang pun yang memilikinya di antara saudara-saudara seperguruannya. Bahkan agaknya gurumu tahu bahwa tidak ada seorang pun di antara saudara-saudara seperguruannya yang tahu bahwa di bawah pembaringan gurunya terdapat benda yang sangat berharga itu. Selain dari itu aku tidak tahu apa-apa lagi. Aku pun tidak tahu, dari mana kedua orang paman gurumu itu mengetahui bahwa di halaman atau di dalam rumah ini terdapat sesuatu yang sangat berharga untuk diperebutkan. Mungkin pusaka, mungkin harta benda dan mungkin sebuah kitab yang berisi ilmu atau apa pun juga.”

“Baik paman,” berkata Miyatsangka, “seandainya kami tidak menemukan sesuatu yang sangat berharga itu, kami tidak akan menyesal. Asal yang berharga itu tidak jatuh ke tangan orang lain. Apalagi jika yang berharga itu adalah sumber ilmu yang akan dapat menimbulkan akibat yang sangat panjang. Namun demikian, aku akan berusaha, tetapi tidak menarik perhatian orang lain, karena saudara seperguruan pun pada suatu saat, jika terbentur kepada kepentingan diri sendiri, akan dapat mengingkari kesetiaan mereka sebagai saudara seperguruan.”

Sebenarnyalah Miyatsangka tidak pernah mengatakan hal itu kepada siapa pun juga. Rahasia itu disimpannya di dalam dirinya rapat-rapat untuk waktu yang lama sejak ia mendapat kesempatan berbicara dengan orang tua itu, di samping beberapa orang tua yang lain yang dianggapnya tahu serba sedikit tentang perguruannya. Sudah tentu orang-orang tua yang dipercayainya. Namun bahwa keterangan tentang gurunya tidak ada di saat kakek gurunya meninggal, beberapa orang tua itu memang sependapat menurut pengetahuan mereka.

Dengan penetapan itu, maka segala tanggung jawab atas perguruannya memang ada di tangan Miyatsangka. Adalah tidak dapat diterangkannya, kenapa tiba-tiba saja ia menaruh kepercayaan yang sangat besar kepada Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Tiga orang anak muda yang baru saja dikenalnya.

Namun apa yang, pernah dilakukan oleh anak-anak muda itu, ternyata telah membuatnya percaya bahkan mutlak. Sehingga karena itulah, maka rahasia yang disimpannya itu, telah dikatakannya pula kepada Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.

Namun jawab Mahisa Murti membuat Miyatsangka berhati-hati. “Miyatsangka,” berkata Mahisa Murti, “dalam keadaan tertentu, mungkin kedua orang paman gurumu telah memberikan isyarat tentang hal itu. Atau mungkin berdasarkan naluri dan panggraita, saudara-saudaramu berpendapat demikian pula meskipun tidak ada seorang pun yang memberitahukan. Karena sebenarnyalah aku juga bertanya kepada diri sendiri, kenapa kedua orang pamanmu itu begitu bernafsu untuk menguasai perguruan ini dan berarti menguasai rumah ini beserta halamannya.”

Miyatsangka mengangguk-angguk. Kemungkinan itu memang dapat terjadi. Sementara itu Mahisa Murti berkata pula, “Kedua paman gurumu itu tentu mempunyai kesempatan untuk membuka padepokan sendiri tanpa mengganggumu. Tetapi sudah tentu tidak di rumah ini,” Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah gurumu tidak pernah memberikan pesan apa pun juga tentang benda-benda berharga itu?”

Miyatsangka menggeleng. Katanya, “Tidak.”

“Memang agak aneh,” berkata Mahisa Murti, “isyarat-isyarat pun tidak?”

“Nampaknya guru tidak mau memberikan teka-teki kepadaku. Karena Guru sendiri tidak yakin, maka lebih baik baginya untuk tidak mengatakan apa-apa.” berkata Miyatsangka.

“Agaknya semuanya timbul dari dugaan-dugaan.” berkata Mahisa Murti.

Miyatsangka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin. Dengan demikian aku menjadi semakin yakin bahwa sebaiknya aku tidak mengatakan apa-apa sebagaimana Guru. Mungkin memang tidak ada apa-apa.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun ia masih juga berpesan, “Tetapi kau dapat saja meskipun nampaknya sambil lalu dan tidak menarik perhatian, berusaha menemukannya.”

“Seandainya ada sesuatu, mungkin juga sudah berada di luar rumah ini. Namun bagaimanapun juga hal itu akan menjadi perhatianku.” berkata Miyatsangka.

Dengan singkat Mahisa Murti masih sempat menceriterakan bagaimana sebuah perguruan menjadi terpecah belah karena sebuah kitab yang dianggapnya sangat berharga. Kitab itu memang berharga, tetapi Mahisa Murti kemudian berkata, “Namun nampaknya masih lebih berharga keutuhan keluarga perguruan ini daripada benda berharga apa pun juga. Apalagi jika harus dikorbankan nyawa seseorang.”

“Aku mengerti,” berkata Miyatsangka, “tetapi bagaimana dengan kedua orang paman guru itu? Jika pada suatu saat kekuatan dan kemampuan mereka pulih kembali, aku tidak tahu, apakah mereka akan dapat menerima keadaan ini.”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Mereka tidak akan mengganggu kalian lagi.”

Miyatsangka termangu-mangu. Namun ia tidak membantahnya. Di hari itu kedua orang yang kehilangan kekuatannya itu masih berada di pendapa. Keduanya masih sangat lemah. Tetapi yang tertua di antara mereka telah mampu bangkit dan duduk bertelekan kedua tangannya. Rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggu kekuatannya pulih kembali.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berbuat sesuatu atas mereka. Bahkan menjelang senja, anak-anak muda itu telah minta diri. Ternyata Miyatsangka dan saudara-saudara seperguruannya tidak menahan mereka.

Meskipun demikian seorang di antara mereka bertanya, “Kenapa tidak besok siang saja?”

“Kami senang menempuh perjalanan malam hari. Tidak panas dan tidak banyak menarik perhatian orang lain, meskipun harus menghindari padukuhan sejauh mungkin.” jawab Mahisa Murti.

Kedua orang yang terbaring di pendapa itu mengumpat ketika anak-anak muda itu minta diri kepada mereka. Bahkan Mahisa Pukat sempat berkata, “Mudah-mudahan besok kalian sudah dapat bangkit dan berdiri tegak.”

“Persetan,” geram yang tertua, “jika aku pulih kembali, aku buru kalian sampai ke ujung langit sekalipun. Kami berdua berjanji untuk membunuh kalian.”

Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Jika kau jumpai lagi kami berdua, maka hidupmu akan berakhir.”

“Anak iblis.” geram orang itu.

Demikianlah sejenak kemudian ketiga orang anak muda bersama gadis yang telah diculik dari rumahnya itu meninggalkan halaman rumah yang telah diperebutkan bersama kedudukan pemimpin perguruan itu. Tetapi mereka tidak menempuh perjalanan jauh. Tetapi mereka hanya melingkar saja dan masuk kembali melalui regol butulan dan singgah di pondok di belakang rumah itu tanpa sepengetahuan para murid dari perguruan yang telah ditinggalkan oleh gurunya itu.

Sementara itu, ketika malam turun, kedua orang yang berada di pendapa itu telah mampu duduk lebih tegak. Miyatsangka telah memberikan minuman hangat dan makanan bagi mereka. Meskipun keduanya minum dan makan makanan yang dihidangkan, namun mereka masih saja mengumpat-umpat.

“Jangan memaksa kami berbuat kasar paman,” berkata Miyatsangka, “kami sudah bersedia melayani paman di saat paman dalam kesulitan. Tetapi jika sikap paman masih tetap kasar seperti itu, maka kami pun dapat berbuat kasar.”

“Kenapa tidak kau lakukan, pengkhianat?” bentak yang tertua.

“Kami masih menghormati paman.” jawab Miyatsangka.

“Kenapa kau panggil aku paman? Aku adalah murid tertua dari perguruan ini.” orang itu berteriak.

Tetapi Miyatsangka tidak berteriak pula. Tetapi ia menjawab sewajarnya, “Kami sudah tahu semuanya tentang paman berdua. Karena itu paman berdua tidak usah terus-menerus berbohong kepada kami dan kepada diri sendiri.”

“Persetan,” geram orang itu, “sebentar lagi kekuatanku akan pulih kembali. Besok pagi-pagi, aku sudah dapat membunuh kalian semua yang tidak mau berpihak kepadaku. Malam ini aku yakin bahwa ilmuku akan aku dapatkan kembali sebagaimana sediakala.”

Miyatsangka termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian berkata, “Jadi paman sama sekali tidak menyesali perbuatan paman selama ini, tetapi justru berniat untuk melanjutkannya meskipun keadaan paman sudah menjadi seperti itu? “

“Anak iblis,” geram yang tertua, “aku hampir berniat untuk mengurungkannya. Tetapi sekarang justru sebaliknya. Hatiku semakin terbakar melihat pengkhianatan saudara-saudara seperguruanku. Mereka semula telah sepakat untuk bersama-sama menegakkan paugeran perguruan, tetapi kemudian mereka telah berkhianat.”

“Mereka telah menemukan diri mereka kembali,” berkata Miyatsangka, “mereka menyesali perbuatan mereka karena mereka telah terbujuk oleh paman berdua dengan hasutan, janji-janji dan ancaman-ancaman. Karena itu, maka sebaiknya paman juga mulai melihat kembali ke dalam diri paman. Apakah niat paman masih akan paman teruskan atau tidak.”

“Persetan,” geram yang muda, “besok kami bunuh kalian semuanya. Camkan ini.”

Miyatsangka menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Jika paman benar-benar ingin berbuat demikian, maka kami pun akan sampai hati memperlakukan paman seperti itu.”

“Aku tidak takut.” geram yang muda.

Miyatsangka pun kemudian berkata lebih keras, “Baik. Jika itu yang paman-paman kehendaki.”

Tanpa menunggu lagi, Miyatsangka pun kemudian telah meninggalkan kedua orang yang masih lemah itu. Namun mereka menyadari bahwa kekuatan mereka telah tumbuh kembali. Minuman dan makanan memang mempercepat perkembangan keadaan mereka. Sehingga dengan demikian maka yang tertua di antara mereka berkata, “Kita harus benar-benar beristirahat. Aku yakin, besok pagi-pagi benar keadaan kita sudah memadai. Kita tentu sudah mampu membangunkan ilmu kita untuk menghancurkan orang-orang yang dungu itu. Bahkan kita akan dapat membunuh mereka sekaligus.”

Yang muda itu pun telah mencoba untuk bangkit berdiri. Ternyata ia sudah dapat berdiri tegak. Demikian pula ketika yang tertua di antara mereka.

“Bagus,” berkata yang tertua, “besok mereka akan menyesal bahwa mereka tidak membunuh kita malam ini.”

Keduanya pun kemudian telah berbaring kembali. Namun yang tertua di antara mereka masih juga mengumpat-umpat. Mereka merasa diremehkan sekali oleh Miyatsangka dan adik-adik seperguruannya, karena tidak seorang pun yang mendapat tugas untuk mengawasi mereka. Yang ada di pendapa itu hanyalah lampu minyak yang berkerdipan. Sementara di ruang dalam dan di gandok Miyatsangka dan saudara-saudara seperguruan telah menutup pintu-pintu dan agaknya mereka telah berada di pembaringan, atau bahkan telah tertidur nyenyak.

Kedua orang itu pun kemudian telah benar-benar mempergunakan kesempatan itu untuk beristirahat agar kekuatan mereka dapat segera pulih kembali, sehingga kemampuan ilmu mereka-pun dapat mencapai tataran tertinggi.

Lewat tengah malam yang tertua di antara mereka itu pun telah terbangun. Perlahan-lahan ia pun telah bangkit berdiri dan menggeliat. Tiba-tiba saja dibangunkannya saudara seperguruannya yang masih tidur nyenyak sambil berkata, “Sadari. Kekuatan kita benar-benar telah hampir pulih kembali.”

Yang muda pun telah melakukan hal yang sama pula. Ia pun telah berdiri tegak dan menggeliat. Katanya, “Saat pembalasan itu akan segera datang. Mereka akan terkejut melihat kekuatan kita telah pulih kembali. Aku kira kita akan memerlukan waktu lama. Ternyata dalam waktu pendek, segalanya telah dapat diatasi.”

Namun keduanya sama sekali tidak menyadari, bahwa sepasang mata tengah mengamatinya dari kegelapan. Mahisa Murti yang bergantian dengan Mahisa Pukat selalu mengamati mereka. Ternyata obat yang mereka berikan, benar-benar memberikan dukungan terhadap kekuatan daya tahan kedua orang itu selain karena daya tahan tubuh keduanya memang sangat tinggi.

Mahisa Murti yang sedang bertugas mengawasi keduanya mengangguk-angguk. Katanya kepada diri sendiri, “Obat untuk meningkatkan daya tahan tubuh yang dicobakan kepada keduanya lewat minuman yang dihidangkan kepada mereka ternyata berhasil baik. Ketahanan tubuh keduanya telah meningkat, sehingga dengan demikian kekuatan mereka pun telah tumbuh dengan cepat. Apalagi kedua orang itu memang pada dasarnya memiliki tubuh yang kokoh kuat dilandasi dengan ilmu yang tinggi. Nampaknya besok pagi-pagi mereka akan menjadi hampir pulih.”

Ketika kemudian Mahisa Pukat yang bertugas mengamati mereka, maka Mahisa Murti telah memberikan keterangan tentang kemungkinan itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun menjadi sangat berhati-hati. Ia berpesan kepada Mahisa Murti, agar menjelang fajar, Mahisa Semu ikut bersamanya mengawasi orang itu.

“Aku akan mengatakan kepadanya.” jawab Mahisa Murti.

Sebenarnyalah menjelang fajar Mahisa Semu telah menyusul Mahisa Pukat. Keduanya mengawasi apakah yang akan terjadi atas kedua orang yang berada di pendapa itu.

“Menurut Mahisa Murti, keduanya akan mendapatkan kekuatannya kembali menjelang atau pada saat fajar menyingsing, mengingat obat yang diberikan lewat minuman itu.” berkata Mahisa Pukat.

“Apakah mereka kira-kira akan terpancing?” bertanya Mahisa Semu.

“Jika mereka tidak berbuat sesuatu, berarti mereka telah menyadari kesalahan langkahnya, sehingga untuk selanjutnya mereka juga tidak akan mengganggu perguruan ini.” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia mengerti rencana yang disusun oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun rencana itu memang mengandung bahaya.

Beberapa saat kemudian, maka kedua orang yang ada di pendapa itu telah terbangun. Yang tertualah yang bangkit lebih dahulu dan kemudian membangunkan adik seperguruannya. Keduanya tiba-tiba saja telah meloncat bangkit. Sambil mengayun-ayunkan kedua tangannya, kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi, yang tertua di antara mereka berkata, “Aku telah hampir pulih kembali.”

Yang muda pun menyahut, “Rasa-rasanya kekuatanku telah utuh. Tentu ilmuku telah utuh pula.”

Namun tiba-tiba yang muda itu pun berdesis, “Di mana senjataku.”

“Jangan-jangan dicuri oleh anak-anak gila itu.” desis yang tertua.

Namun kemudian yang muda itu berkata lantang, “Di sini.”

Dipungutnya senjata khususnya yang terletak di sebelah tempat ia berbaring. Katanya, “Aku memang melepaskan semalam sebelum makan. Hampir aku lupa di mana aku letakkan.”

“Untunglah, senjata pun tidak dicuri.” sahut yang tua.

Yang muda itu pun kemudian telah memasang senjatanya di telapak tangannya, sehingga jari-jarinya menjadi terlindung dan memanjang dengan jari-jari baja. Bahkan sejenak kemudian, ia pun telah memusatkan nalar budinya untuk mengetrapkan ilmunya.

“Semuanya akan segera selesai,” berkata yang muda itu, “sementara ketiga anak-anak muda yang gila itu telah pergi. Kita akan membunuh anak-anak yang telah berkhianat itu seluruhnya. Kemudian kita akan mencari isi dari rumah ini.”

Yang tertua mengangguk-angguk. Katanya, “Sudahlah. Simpanlah ilmumu itu. Nanti kita akan menghabiskan mereka.”

Perlahan-lahan yang muda itu pun telah melepaskan ilmunya, sehingga bara di telapak tangan serta kuku-kuku bajanya itu telah menjadi pudar kembali.

Sementara itu Mahisa Pukat yang melihat hal itu pun telah berbisik kepada Mahisa Semu, “beritahukan Mahisa Murti. Nampaknya mereka tidak dapat berubah lagi. Tidak ada jalan untuk menggiring mereka kembali ke jalan yang benar.”

Mahisa Semu pun segera meninggalkan tempat itu, sementara Mahisa Pukat berpesan, bahwa jika langit menjadi terang, mereka harus mencari tempat lain yang lebih tersembunyi di belakang pohon-pohon perdu. Sejenak kemudian Mahisa Murti telah berdiri di sebelah Mahisa Pukat. Namun mereka memang segera bergeser ke belakang semak-semak.

“Kita akan melihat, apakah yang mereka lakukan. Menilik sikap dan kata-kata yang mereka ucapkan meskipun kurang jelas kita dengar, nampaknya mereka tidak berubah.” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. “Kita akan melihat.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berbisik, “Di mana Mahisa Semu?”

“Aku minta ia mengawani gadis itu. Gadis itu mulai menjadi ketakutan lagi.” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat menjadi tegang ketika ia melihat kedua orang itu membenahi diri. Nampaknya mereka benar-benar tidak berjantung,” berkata Mahisa Murti, “tidak ada jalan kembali bagi mereka.”

Namun kedua orang anak muda itu masih menunggu, apa yang akan dilakukan oleh kedua orang itu. Sebenarnyalah, bahwa kedua orang itu sudah siap untuk melaksanakan rencananya. Dengan lantang salah seorang di antara mereka berteriak, “He, Miyatsangka. Keluar.”

Untuk beberapa saat tidak terdengar jawaban. Namun sebenarnyalah beberapa orang memang sudah bersiap di ruang dalam dan di gandok.

“Miyatsangka dan para pengkhianat yang lain,” teriak yang tertua, “Keluar! Kita akan membuat perhitungan!”

Miyatsangka tidak menunggu lagi. Ia pun segera membuka pintu rumah itu dan keluar bersama saudara-saudara seperguruannya. Ketika mereka sampai di pendapa, maka mereka yang ada di gandok pun telah keluar pula dan melangkah menuju ke pendapa.

“Nah, kemarilah,” berkata yang tertua, “waktu itu akhirnya datang juga.”

Miyatsangka lah yang kemudian mendekatinya sambil bertanya, “Kenapa kau berteriak-teriak, seperti itu?”

“Waktu untuk membalas dendam itu telah datang. Menyerahlah. Kalian akan kami bunuh. Kami ternyata tidak dapat lagi mengampuni kalian.” berkata yang tertua dari kedua orang itu.

“Jadi paman berdua masih belum berubah? Paman tidak memperhitungkan sikap kami? Seandainya kami mau, maka paman berdua tentu sudah mati.” sahut Miyatsangka.

“Bukankah aku sudah bilang, jika kalian tidak membunuh kami, maka kami berdualah yang akan membunuh kalian. Karena itu, maka jangan menyesal jika kami benar-benar melakukannya.” sahut yang muda sambil tertawa.

Miyatsangka memang menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Tetapi kami sekarang sudah menjadi satu. Apakah kau kira, kau berdua mampu mengalahkan kami?”

Miyatsangka dan saudara-saudara seperguruannya menyadari, bahwa kedua orang itu menjadi sangat marah. Apalagi ada di antara mereka yang berhasil mengenai tubuh yang muda di antara kedua orang itu. Jika datang saatnya kedua orang itu melepaskan ilmunya, maka nasib mereka akan tergantung kepada janji kedua orang anak muda itu untuk membantu mereka. Jika mereka tidak datang pada saatnya, maka mereka benar-benar tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi.

Sebenarnyalah, bahwa sejenak kemudian, terdengar yang muda di antara kedua orang itu berteriak nyaring karena kemarahan yang menyesak di dadanya. Beberapa orang yang bertempur melawannya terkejut dan berloncatan surut. Kesempatan itu ternyata dipergunakan sebaik-baiknya untuk membangunkan ilmunya yang menggetarkan. Sejenak kemudian, maka telapak tangannya bahkan kuku-kukunya yang terbuat dari baja itu pun telah merah membara. Orang-orang yang bertempur melawannya menjadi termangu-mangu. Setiap sentuhan tangannya itu akan dapat berarti maut.

Sementara itu, yang tertua pun telah melakukannya pula. Meskipun tenaganya belum pulih seutuhnya, tetapi ia mampu membangunkan puncak ilmunya yang nggegirisi. Dengan lantang yang tertua di antara keduanya itu berkata, “Saatnya telah datang, bahwa kalian semuanya akan mati.”

Saudara-saudara seperguruan Miyatsangka, termasuk kedua saudara kandungnya memang menjadi berdebar-debar. Kedua orang itu telah benar-benar berada pada puncak kemampuan mereka.

“Nah, Miyatsangka,” berkata yang tertua, “bukankah kau juga pernah mendapat warisan ilmu seperti yang aku miliki sekarang? Nah, bangunkanlah. Kita akan beradu kekuatan ilmu yang sama. Dengan demikian kita akan mengetahui dan memastikan siapakah yang lebih tua di antara kita.”

Kedua orang itu harus berpikir. Namun agaknya mereka terlalu yakin akan kemampuan dirinya. Karena itu, maka yang tertua di antara keduanya itu berkata, “Kalian jangan menjadi gila. Kau tahu akan kemampuan kami. Ilmu kami yang sempurna akan menggilas kalian yang tidak tahu diri berapa pun jumlahnya kalian. Anak-anak iblis yang kalian banggakan itu sudah meninggalkan kalian, sehingga kalian tidak akan dapat minta bantuan mereka lagi.”

Miyatsangka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak mengira bahwa ada juga orang yang tidak berjantung seperti paman berdua. Aku kira betapa pun sesatnya seseorang, namun masih akan dapat menghargai sikap orang lain. Permusuhan yang kasar akan dapat diselesaikan dengan sikap yang lunak. Tetapi ternyata paman berdua benar-benar tidak dapat diperlakukan dengan lembut untuk mendapatkan cahaya kedamaian di hati.”

Kedua orang pamannya sama sekali tidak menghiraukan. Keduanya benar-benar telah dikuasai oleh nafsu iblis mereka. Karena itu, maka katanya kepada orang-orang yang semula berpihak kepada mereka, “terserah kepada kalian. Apakah kalian tetap ingin menegakkan paugeran dalam perguruan ini, atau tidak. Betapa pun kuasanya seorang guru, namun ia tidak akan dapat merubah paugeran. Manakah yang lebih kalian hargai. Guru kita yang tidak setia kepada paugeran perguruan atau paugeran itu sendiri. Bagiku, paugeran perguruan ini, yang menyebutkan bahwa murid tertua akan menggantikan kedudukan pimpinan perguruan harus ditegakkan.”

“Aku setuju paman,” berkata Miyatsangka, “jika seorang pemimpin perguruan kita ini meninggal, maka yang menggantikan adalah murid tertuanya. Bukan adik seperguruannya, demikian pula Guru. Tanpa pesan kepada siapa pun juga, maka sudah pasti menurut paugeran, akulah yang harus menggantikan kedudukannya. Sebenarnya aku bukan sejenis orang yang begitu tamak akan kedudukan. Tetapi justru paman berdualah yang memaksa aku untuk bertahan karena aku tidak mau melanggar paugeran perguruan ini.”

“Persetan,” yang tertua di antara keduanya hampir berteriak, “Aku adalah murid tertua di sini. Bukan adik seperguruan guru kalian.”

“Paman dapat berbicara apa saja. Tanpa alasan pun paman dapat merampok kedudukan kami jika paman merasa sangat kuat untuk melakukannya.” berkata Miyatsangka.

“Aku bukan perampok. Tetapi aku ingin menegakkan paugeran di perguruan ini.” sahut yang muda di antara kedua orang itu.

“Kenapa paman masih saja berpura-pura? Bukankah sudah waktunya kita saling berterus-terang?” Miyatsangka berkata pula. Lalu katanya pula, “Apakah yang menahan paman untuk berterus terang. Kita semuanya sudah tahu.”

“Jangan banyak bicara. Marilah. Jika kalian ingin melawan lawanlah. Kalian tidak perlu menghiraukan apa-apa lagi. Kami berdua ingin membunuh kalian, kecuali yang berpihak kepada kami.” berkata yang muda.

Namun seorang di antara saudara-saudara seperguruan Miyatsangka yang pernah berpihak kepadanya itu berkata, “Aku menyesal telah ikut serta memanaskan suasana perguruan ini. Karena itu, maka aku tidak akan melakukan kesalahan untuk kedua kalinya, meskipun harus aku tebus dengan nyawaku.”

“Persetan,” geram yang tua, “bersiaplah. Aku tidak akan menunggu lebih lama lagi. Aku ingin membunuh kalian selagi masih pagi, agar perjalanan nyawa kalian tidak kepanasan.”

Miyatsangka memang tidak melihat kemungkinan lain daripada bertempur melawan keduanya. Karena itu, maka ia pun segera memberi isyarat saudara-saudara seperguruannya untuk menebar. Sebagian dari mereka telah berloncatan turun ke halaman dan bersiap untuk melawan orang yang memiliki ilmu jauh lebih tinggi dari mereka.

“Bagus,” berkata yang tertua di antara kedua orang itu, “ternyata kalian cukup jantan menghadapi maut. Murid-murid dari perguruan ini memang bukan pengecut.”

Miyatsangka yang merasa memiliki pula ilmu sebagaimana dimiliki oleh kedua pamannya itu pun segera bersiap. Namun ia menyadari, bahwa ilmunya masih dalam tataran yang dasar sekali. Dua orang saudara seperguruannya yang lain pun telah menerima alas ilmu itu pula, meskipun belum dapat diperbandingkan dengan ilmu kedua orang itu.

Namun dengan jumlah yang cukup, maka mereka berharap untuk dapat mengatasi kedua orang itu. Apalagi Miyatsangka dan saudara-saudara seperguruannya mengetahui, bahwa anak-anak muda yang berilmu tinggi itu masih belum melepaskan mereka.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyaksikan semuanya itu dari balik sebatang pohon perdu. Meskipun mereka tidak mendengar semua pembicaraan, namun sebagian di antaranya telah mereka dengar karena kedua orang itu berteriak-teriak dan membentak-bentak.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat- pun telah melihat kedua orang itu bertempur. Mereka harus melawan saudara-saudara seperguruan Miyatsangka yang jumlahnya jauh lebih banyak. Tetapi kedua orang itu memang orang-orang berilmu tinggi. Meskipun mereka belum mempergunakan ilmunya, namun sudah nampak bahwa Miyatsangka dan saudara-saudara seperguruannya harus bekerja keras.

Dengan jumlah yang jauh lebih banyak, maka mereka memang dapat mendesak kedua orang itu. Namun hal itu hanya mempercepat kesulitan saja, karena kedua orang itu pun segera merasa perlu untuk mempergunakan ilmunya yang menggetarkan.

“Kalian memang tidak tahu diri.” teriak yang tertua di antara kedua orang itu.

Namun kedua orang yang telah membangunkan ilmunya itu terkejut ketika terdengar jawaban, “Tentu ilmumu lebih masak Ki Sanak. Bukan karena kau saudara tertua di antara mereka, tetapi kau adalah paman gurunya.”

Semua orang berpaling ke arah suara itu. Mereka terkejut, terutama kedua orang itu, bahwa dua orang di antara anak-anak muda yang disangkanya telah meninggalkan rumah itu telah berdiri di halaman.

“Persetan,” geram yang tertua, “jadi kau masih ada di situ?”

“Aku memang tidak pergi. Aku ingin melihat, apakah yang akan kalian lakukan jika kalian mendapatkan kekuatan kalian kembali. Apakah kalian merasa bahwa kesalahan kalian telah diampuni dan kalian tidak dibunuh karenanya, sehingga kalian menyesali perbuatan kalian, atau tidak.”

“Persetan dengan kalian.” geram yang muda.

“Ki Sanak,” berkata Mahisa Pukat, “dengan demikian kami yakin bahwa kalian memang bukan orang yang pantas untuk diampuni. Karena itu, maka kami datang untuk membuat perhitungan terakhir.”

Kedua orang itu menjadi tegang. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera berpencar. Mahisa Pukat telah melangkah mendekati yang muda di antara kedua orang itu, sementara Mahisa Murti berjalan setapak demi setapak mendekati yang tertua di antara mereka.

“Minggirlah,” berkata Mahisa Murti kepada orang-orang yang mengepung yang tua itu, “orang ini dapat membangunkan panas di sekitarnya.”

Demikian orang-orang itu berloncatan menjauh, maka Mahisa Murti pun telah bersiap pula menghadapinya.

“Kau harus kehilangan tenagamu dan untuk selanjutnya kehilangan ilmumu,” geram Mahisa Murti, “baru dengan demikian maka kalian akan berhenti melakukan kejahatan.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia sudah menerkam Mahisa Murti dengan garangnya. Namun Mahisa Murti sempat menghindarinya, meskipun udara panas masih terasa menyentuhnya. Demikian pula ketika orang itu memburunya. Kedua tangannya yang membara mengembang, siap untuk menerkamnya. Sekali lagi Mahisa Murti harus mengelakkan serangan itu.

Sementara itu Mahisa Pukat pun telah mulai bertempur dengan garangnya. Dengan mengerahkan kemampuannya, maka lawannya itu berloncatan menyerang. Kuku-kuku bajanya mengembang mengerikan seperti kuku-kuku seekor burung garuda. Namun Mahisa Pukat yang bertempur lebih berhati-hati itu sama sekali tidak dapat disentuhnya. Bahkan sekali-sekali Mahisa Pukat sudah dapat mengenainya.

Orang itu pun sadar, bahwa ia harus menghindari benturan atau sentuhan dengan lawannya itu jika ia tidak ingin tenaganya terkuras habis. Karena itu, maka orang itu menjadi lebih berhati-hati. Ia berusaha untuk menghindari setiap sentuhan dengan berusaha menggoreskan kukunya jika jarak mereka menjadi lebih dekat.

Mahisa Pukat memang menjadi kesulitan untuk mendapat kesempatan itu. Nampaknya lawannya dapat mengerti kekuatan ilmunya, sehingga ia berusaha untuk selalu menghindari benturan, meskipun sekali-sekali dapat juga terjadi. Namun kesempatan itu terlalu kecil untuk mampu menghisap tenaga lawan cukup banyak. Dengan demikian maka pertempuran itu pun berlangsung lebih lama. Demikian pula lawan Mahisa Murti. Ia pun berusaha untuk selalu membuat jarak dari lawannya dengan perisai udara panasnya.

Namun pada saat-saat yang tepat, ia telah meloncat menyerang, namun tanpa menyentuh lawannya. Orang itu menyadari, bahwa lawannya yang masih muda itu memiliki kemampuan menyerap kekuatan panas bara telapak tangannya dengan kekuatan yang berlawanan, sehingga tidak menimbulkan luka-luka bakar pada kulitnya. Mungkin lawannya yang muda itu merasa sakit, tetapi orang itu sadar, bahwa anak muda itu juga memiliki daya tubuh yang luar biasa, sehingga dengan cepat ia akan dapat mengatasi rasa sakit itu.

Karena itu, maka serangannya adalah justru dengan melibatnya dalam panasnya udara yang dapat diserap oleh kekuatan yang berlawanan sebagaimana jika terjadi benturan kekuatan ilmu. Dengan demikian jika Mahisa Murti meloncat menyerangnya, maka orang itu akan selalu menghindari sejauh dapat dilakukan, namun kemudian ia telah berusaha untuk meloncat menyerang dengan kekuatan panasnya udara, tanpa menyentuhnya.

Mahisa Murti memang mengalami kesulitan. Panasnya udara itu serasa membakar kulitnya. Ia menyadari, bahwa lawannya ternyata telah mengetahui kekuatan lawannya yang dapat menghisap kekuatan lawannya itu dalam sentuhan-sentuhan yang terjadi. Sehingga karena itu, maka lawannya telah berusaha untuk menghindari setiap singgungan, namun selalu memanggangnya dalam kekuatan panasnya.

Miyatsangka yang menyaksikan pertempuran itu bersama saudara-saudara seperguruannya menjadi tegang. Ternyata tidak semudah yang diharapkan untuk menundukkan kedua orang paman gurunya yang telah mengetahui rahasia kekuatan kedua anak muda itu.

Bahkan yang tertua di antara mereka sempat berkata lantang, “Anak muda. Aku tidak akan mengulangi kesalahanku untuk kedua kalinya. Kau tidak akan mampu berbuat sebagaimana kau lakukan sebelumnya. Rahasia kekuatanmu telah aku ketahui, sehingga karena itu, maka pada gilirannya, kaulah yang akan menyesali nasibmu yang buruk. Kau harus menebus kesombonganmu dengan nyawamu.”

Mahisa Murti tidak menjawab. Sementara Miyatsangka dan saudara-saudara seperguruannya menjadi semakin berdebar-debar. Beberapa saat kemudian keduanya masih bertempur. Mahisa Murti justru mengalami kesulitan dengan lawannya yang bertempur dengan sangat berhati-hati. Keringat rasa-rasanya telah terperas dari tubuhnya yang menjadi kemerah-merahan oleh panasnya udara, sementara itu tidak mendapat kesempatan untuk menyentuh tubuh lawannya itu.

“Aku bukan orang yang baik hati seperti kau,” berkata orang yang tertua dari kedua orang itu, “karena itu, aku akan benar-benar memanggangmu dalam apiku, kemudian setelah kau tidak mampu lagi berbuat sesuatu, maka aku akan membunuhmu tanpa menyentuhmu. Aku hanya akan duduk saja selangkah di sebelahmu. Maka kau akan mati dengan tubuh yang kering.”

Mahisa Murti menjadi semakin geram karena kata-kata lawannya itu. Jika semula ia hanya sekedar ingin membuat lawannya itu jera dan tidak mampu lagi melepaskan dendamnya kepada murid-murid perguruan yang akan dirampasnya itu, maka kemudian Mahisa Murti harus memperhitungkan pula kemungkinan yang dapat terjadi pada dirinya sendiri. Karena, itu, ketika terasa kesulitan itu semakin mendesaknya, maka Mahisa Murti tidak mempunyai pertimbangan yang lain lagi kecuali benar-benar menghancurkan lawannya itu.

Karena itu, maka ia telah berketetapan hati, untuk tidak mempergunakan kekuatan ilmunya yang mampu menghisap kekuatan lawannya. Tetapi Mahisa Murti benar-benar akan menyerang dan melumpuhkan lawannya itu.

“Memang kemungkinan yang sangat buruk dapat terjadi,” katanya di dalam hati, “tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain.”

Itulah sebabnya maka Mahisa Murti pun telah memusatkan nalar budinya pada saat kesempatan ia menjauhi lawannya. Kemudian dalam sekejap ia sudah siap untuk melontarkan kekuatan ilmunya yang luar biasa. Mahisa Murti telah merubah kekuatan ilmunya dari bentuknya yang lunak menjadi bentuknya yang keras. Sementara ia sudah siap pula dengan ilmunya yang mampu melontarkan serangan dari jarak tertentu. Karena itu, ketika lawannya itu meloncat mendekatinya untuk memanggangnya dalam panas apinya, maka Mahisa Murti telah melepaskan serangannya itu.

Akibatnya memang luar biasa pula sebagaimana kekuatan ilmunya itu. Satu benturan yang dahsyat telah terjadi. Ilmu Mahisa Murti yang dilontarkannya telah menghantam ilmu lawannya yang melingkari dan melindungi dirinya. Namun demikian besarnya kekuatan dan kemampuan ilmu Mahisa Murti, maka kekuatannya telah memecahkan ilmu lawannya, menyusup dan kemudian menghantam tubuh paman guru Miyatsangka yang tertua itu.

Terdengar teriakan keras. Hanya sesaat pendek sekali. Suara itu kemudian lenyap sama sekali, bersamaan dengan tubuhnya yang terlontar dan terbanting jatuh. Demikian kerasnya, sehingga tubuh itu sama sekali tidak berdaya untuk bertahan betapa pun tinggi daya tahannya. Sejenak kemudian tubuh itu telah terbaring diam. Tidak ada lagi aliran nafasnya dan tidak lagi detak jantungnya yang ternyata telah terbakar sebagaimana luka-luka yang nampak pada tubuh yang diam itu.

Semua orang terkejut melihat hal itu terjadi. Beberapa orang justru bagaikan membeku di tempatnya. Namun Miyatsangka dan beberapa orang yang lain telah berlari mendekati tubuh yang diam itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku telah membunuhnya.”

Sebenarnyalah Mahisa Murti telah membunuh lawannya. Kemarahannya tidak lagi dapat dikekangnya. Paman guru Miyatsangka itu telah dapat mengetahui rahasia ilmunya sehingga ia berusaha untuk menghindari setiap sentuhan, sementara ia sendiri mampu melepaskan panas yang seakan-akan telah membakar udara.

Sejenak Miyatsangka merenungi paman gurunya yang terbaring diam. Kulitnya bernoda kebiru-biruan dan bahkan hangus di beberapa bagian. Meskipun orang itu bermain-main dengan panasnya api, namun akhirnya ia telah terbakar oleh kekuatan api yang dipancarkan oleh Mahisa Murti.

“Aku tidak mengira, bahwa begini akhir dari hidup paman.” berkata Miyatsangka.

Namun dalam pada itu, masih ada lagi dua orang yang sedang bertempur. Namun keseimbangannya sudah berubah. Paman guru Miyatsangka yang muda itu, telah kehilangan keberanian untuk meneruskan perlawanannya. Ia sempat melihat, bagaimana kakak seperguruannya itu terlempar jatuh setelah dinding ilmunya dihancurkan oleh kekuatan lawannya. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain daripada menyerah.

Ketika Mahisa Pukat mendesaknya, maka orang itu sempat meloncat beberapa langkah surut sambil berteriak, “Cukup. Cukup anak muda.”

“Apa maksudmu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku menyerah.” jawab orang itu.

“Pengecut. Seharusnya kau tidak boleh menyerah. Kau harus bertempur sampai batas terakhir kemampuanmu. Kau atau aku yang mati di arena ini.” berkata Mahisa Pukat dengan lantang. Ia menjadi kecewa bahwa orang itu tiba-tiba saja menyerah. Sementara itu ia mempunyai satu pegangan, bahwa ia tidak boleh memperlakukan kasar terhadap mereka yang telah menyerah.

Tetapi orang itu menjawab, “Aku sudah menyerah. Aku tidak akan berani melawan lagi.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara orang itu telah melepas kukunya dan meletakkan ilmunya, sehingga dengan demikian maka bara di telapak tangannya itu pun telah pudar dan akhirnya padam sama sekali. Beberapa orang saudara seperguruan Miyatsangka menjadi berdebar-debar. Seorang dari kedua orang paman guru mereka itu telah terbunuh, sementara yang lain telah menyerah.

Miyatsangka yang semula berjongkok di sisi tubuh paman gurunya itu pun telah bangkit berdiri. Sementara Mahisa Pukat berkata kepada orang yang telah menyerah itu, “Mari ikut mendekati saudara seperguruanmu yang menjadi abu itu. Sebenarnya aku pun ingin melumatkan kau juga jika kau tidak menyerah.”

Orang itu termangu-mangu. Namun Mahisa Pukat telah menangkap pergelangan tangannya dan menariknya mendekati tubuh saudara seperguruan orang itu. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Pukat justru telah mengetrapkan kembali ilmunya yang mampu menghisap kekuatan lawan. Karena itu, tanpa disadari, sambil berjalan menuju ke tempat tubuh saudara seperguruannya itu terbaring, maka orang itu telah kehilangan kekuatannya pula. Bukan hanya karena sentuhan-sentuhan dalam pertempuran, tetapi tangan Mahisa Pukat telah menggenggam pergelangan tangan orang itu.

Karena itu, demikian ia sampai ke tempat tubuh saudara seperguruannya terbaring, maka tubuhnya tiba-tiba saja terasa semakin lemah. Baru kemudian ia menyadari, bahwa pergelangannya telah digenggam oleh anak muda yang memiliki ilmu yang sudah jarang ada duanya lagi itu. Namun semuanya sudah terlambat. Ia tidak mampu lagi menghentakkan tangannya dari genggaman tangan anak muda itu. Tenaganya seakan-akan telah terkuras habis, sebagaimana dialaminya sehari sebelumnya.

Demikian Mahisa Pukat melepaskan tangannya, maka orang itu pun telah terjatuh dan bahkan kemudian terbaring di tanah beberapa langkah dari tubuh saudara seperguruannya.

“Sayang, kau telah menyerah,” berkata Mahisa Pukat, “dengan demikian aku tidak lagi pantas membunuhmu. Sementara itu kami meyakini, bahwa kau dan kakak seperguruanmu itu adalah orang-orang yang sudah tidak akan dapat menyadari kesalahan-kesalahannya sendiri yang pernah diperbuatnya. Orang yang sama sekali tidak mau mengerti betapa orang lain berbuat baik kepadanya. Kau telah dibebaskan dari kematian di saat kau tidak berdaya. Tetapi demikian kau sembuh lagi, ternyata kau sudah berniat untuk membunuh lagi.”

“Aku mohon ampun,” orang itu seakan-akan telah menangis.

Tetapi tangis itu sama sekali tidak berarti lagi bagi Mahisa Pukat. Bahkan katanya, “Apa pun yang kau katakan tidak akan ada orang yang percaya. Aku pun tidak percaya. Jika pada saatnya kau sembuh, maka kau tentu akan berusaha membunuh para penghuni rumah ini. Karena itu, kita semuanya harus yakin, bahwa kau tidak akan dapat melakukannya.”

“Aku bersumpah tidak akan membalas dendam.” berkata orang yang sudah tidak berdaya itu.

Tetapi Mahisa Pukat menggeleng. Katanya, “Sudah terlambat. Kau tidak akan dapat mengingkari hukuman yang pantas bagimu. Aku memang tidak akan membunuhmu, tetapi juga tidak akan membiarkan pada suatu saat kau bangkit kembali dengan dendam di dalam hati.”

“Tidak. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku akan pergi jauh sekali dari tempat ini, sehingga aku tidak akan lagi menyentuh rumah ini. Bahkan lingkungan ini.” orang itu hampir berteriak.

...Waduh...! Ada bagian cerita yang hilang lagi di sini...

Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Ia tidak mempunyai pilihan. Mungkin saja mereka bermalam di banjar atau tempat-tempat lain yang lebih baik daripada bermalam di bawah sebatang pohon randu alas.

Demikianlah, maka keempat orang itu berjalan di sepanjang bulak-bulak panjang. Kemudian memasuki padukuhan-padukuhan. Sebagai seorang pengembara, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih dapat mengenali jalan yang mereka tempuh ketika mereka datang ke tempat itu.

Di jalan-jalan padukuhan kadang-kadang mereka memang menarik perhatian banyak orang. Di antara ketiga orang-orang anak muda terdapat seorang gadis. Namun di setiap kesempatan orang bertanya tentang mereka, maka Mahisa Murti selalu berusaha untuk dapat mengatakan bahwa gadis itu adalah adiknya yang bungsu.

“Kami menempuh perjalanan panjang untuk mengunjungi kadang yang sudah lama tidak bertemu.” berkata Mahisa Murti.

Tetapi tidak banyak ia berkesempatan berbicara dengan orang-orang padukuhan. Kebanyakan di antara mereka hanya bertanya-tanya saja di dalam hati. Bahkan ada yang memalingkan wajahnya melihat seorang perempuan berjalan bersama-sama tiga orang laki-laki.

Di sore hari, ketiga orang anak muda itu merasa perlu untuk singgah di sebuah kedai untuk makan. Ketika hal itu mereka tanyakan kepada gadis yang bersama mereka itu, maka gadis itu menjawab, “Terserah kepada kalian.”

“Kau lapar atau tidak?” bertanya Mahisa Semu.

“Tidak,” jawab gadis itu. Namun sebenarnyalah ia hampir tidak makan selama berada di rumah orang-orang yang hampir saja bertengkar di antara mereka itu. Meskipun ia makan juga, tetapi hanya sekedarnya saja. Karena itu, maka sebenarnyalah bahwa ia pun merasa lapar.

Beberapa saat kemudian, ketika mereka memasuki sebuah padukuhan yang agak besar, yang menjadi tempat pemberhentian para pedagang yang mengirimkan hasil sawah mereka ke tempat yang agak jauh dengan pedati, mereka mendapatkan sebuah kedai yang cukup ramai meskipun suasananya tidak seperti yang diharapkan.

Namun hal baru mereka ketahui setelah mereka masuk dan duduk di sebuah amben panjang yang bersandaran. Dihadapan mereka terdapat geledeg bambu yang rendah, yang di dalamnya terdapat beberapa buah tenong berisi makanan.

Baru beberapa saat mereka duduk, mereka sudah merasakan suasana itu. Beberapa orang laki-laki yang duduk di sudut kedai itu telah membicarakan mereka berempat. Tidak dengan berbisik-bisik. Tetapi seakan-akan sengaja diperdengarkan perempuan satu-satunya di antara ketiga orang anak muda itu.

“Nampaknya perempuan yang menarik.” berkata salah seorang di antara mereka.

“He, dari mana mereka mendapatkannya?” bertanya yang lain, “nampaknya mereka membawa perempuan padukuhan.”

“Tentu mereka akan berbaik hati kepada kita.” berkata yang lain pula.

Kemudian terdengar suara tertawa yang berkepanjangan. Dalam pada itu, pelayan kedai itu telah menghidangkan makanan minuman yang dipesan oleh ketiga orang anak muda dan gadis yang bersamanya itu. Namun ternyata pelayan itu sempat berbisik, “Siapakah kalian?”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.

“Siapakah perempuan itu?” bertanya pelayan itu pula tanpa menghiraukan apakah gadis itu mendengar atau tidak.

“Adikku. Adikku yang bungsu.” jawab Mahisa Murti.

Pelayan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian bisiknya, “Perempuan baik-baik?”

“Tentu.” Mahisa Murti mulai tersinggung.

Namun ternyata pelayan itu bermaksud baik, “Jika ia perempuan baik-baik, ajak saja segera pergi. Laki-laki di sudut itu tidak seberapa liar. Mereka hanya mentertawakan kalian. Tetapi di sini banyak laki-laki liar yang jika melihat seorang perempuan lain dari perempuan yang terbiasa mereka temukan di sini, kadang-kadang mereka menjadi buas.”

“Terhadap orang lewat?” bertanya Mahisa Murti.

“Tidak. Mereka memang tidak mengganggu orang lewat, meskipun hal itu memang pernah terjadi. Tetapi tidak selalu terjadi setahun dua kali.” jawab pelayan itu.

“Jadi bagaimana?” bertanya Mahisa Murti.

“Berbeda dengan terhadap perempuan yang singgah di kedai ini. Mereka menganggap perempuan yang singgah di kedai ini adalah sebagaimana perempuan-perempuan yang memang berkeliaran diri. Kau tentu melihatnya, perempuan yang ada di sebelah dinding rendah itu.” bertanya pelayan itu.

“Ya.” jawab Mahisa Murti.

“Dan dua tiga perempuan yang lain?” bertanya pelayan itu pula.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Baru mereka sadari bahwa kedai itu adalah sebuah kedai yang besar dan luas. Beberapa bagian justru telah disekat dengan dinding-dinding rendah.

Di luar sadar, maka Mahisa Pukat, Mahisa Semu bahkan gadis itu bersama mereka itu pun telah memandang berkeliling. Mereka memang melihat beberapa orang perempuan di antara beberapa orang laki-laki yang duduk dan makan dengan kasarnya sambil tertawa-tawa tanpa ujung pangkal.

Tiba-tiba saja bulu tengkuk gadis itu meremang. Namun Mahisa Murti pun berkata, “Kita sudah terlanjur ada di dalam. Jika kita pergi, justru akan sangat menarik perhatian.”

Tetapi pelayan itu berkata, “Aku sudah memperingatkanmu. Hal yang sama pernah terjadi. Dan orang itu tentu akan menyesal sepanjang umurnya. Bahkan pada suatu kejadian, seorang perempuan telah membunuh diri. Aku memang bukan orang baik-baik. Tetapi aku akan ikut menyesali kejadian seperti itu di kedai ini. Rasa-rasanya aku ikut dikejar-kejar dosa itu. Apalagi ketika seorang perempuan telah membunuh diri, karena ia dinodai oleh orang-orang liar di kedai ini.”

Di luar sadarnya gadis itu bergeser mendekati Mahisa Semu sambil berdesis, “Aku takut.”

Tetapi Mahisa Semu menyahut, “jangan takut. Kita tidak akan menyerahkan diri kepada orang-orang yang demikian.”

Mahisa Pukat pun berdesis, “Bukankah kita mempunyai pilihan yang lebih baik dari mengalami perlakuan seperti itu tanpa membunuh diri? Melawan sampai mati atau mengusir mereka pergi.”

Pelayan itu termangu-mangu. Nampaknya anak-anak muda itu sama sekali tidak merasa takut. Namun demikian sekali lagi ia mencoba, “Maaf Ki Sanak. Aku sudah memberi peringatan kepada kalian. Sebentar lagi kedai ini akan menjadi semakin ramai. Beberapa pedati yang membaca bahan mentah dan hasil bumi dari berbagai tempat akan datang dan bermalam di sini. Berbagai jenis manusia akan berkumpul di sini. Karena itu, jika Ki Sanak sependapat dengan aku, Ki Sanak lebih baik meninggalkan tempat ini dan bermalam di banjar padukuhan sebelah. Ki Sanak akan merasa lebih aman diantar anak-anak muda yang meronda.”

Mahisa Murti memang mencoba memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Suasana kedai itu memang tidak menyenangkan sama sekali. Karena itu, maka ia pun berdesis, “Aku sependapat dengan pelayan itu. Kita meneruskan perjalanan. Kita akan sampai ke padukuhan sebelah menjelang gelap. Kita akan bermalam di banjar jika diijinkan.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak menolak jika itu memang dikehendaki oleh Mahisa Murti. Namun ketika mereka bersiap-siap dan bertanya kepada pelayan itu berapa mereka harus membayar, maka pelayan itu berkata, “Sudahlah. Kalian belum menikmati makanan dan minuman yang kau pesan. Kalian tidak usah membayar. Pemilik kedai ini tidak akan marah, karena sikapku adalah sikapnya juga.”

“Terima kasih.” berkata Mahisa Murti.

Namun dalam pada itu, ketika Mahisa Murti mulai beringsut, pelayan itu tiba-tiba berdesah, “terlambat. Orang-orang mulai berdatangan. Jika kalian keluar, kalian memang akan sangat menarik perhatian. Karena itu, dalam keadaan seperti ini, kalian lebih baik duduk diam dan jangan menarik perhatian.”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Ia melihat beberapa buah pedati mendekat. Namun juga beberapa orang dari arah lain yang mempunyai hubungan dengan barang-barang yang diperdagangkan dalam pedati-pedati itu.

“Silahkan,” berkata pelayan itu, “mudah-mudahan kalian tidak mengalami kesulitan.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih atas niat baik kalian. Tetapi kamilah yang lambat mengerti maksudmu itu.”

Pelayan itu meninggalkan ketiga anak muda yang menyertai seorang gadis itu. Sementara beberapa laki-laki di sudut masih saja berteriak. Bahkan seorang telah memanggil pelayan itu sambil berkata kasar, “He, kau bujuk perempuan itu he?”

Pelayan itu tidak menjawab. Tetapi orang-orang yang mendengarnya tertawa pula menghentak. Sementara itu laki-laki yang lain bertanya, “Apa yang kau bicarakan dengan perempuan itu, he? Begitu lama? Nampaknya tidak segera mendapatkan persesuaian.”

Pertanyaan itu disambut lagi oleh suara tertawa dari beberapa orang yang ada di dalam kedai itu. Namun suara tertawa itu tiba-tiba saja telah berhenti ketika dua orang laki-laki yang garang memasuki kedai itu. Ternyata mereka memang tidak hanya berdua saja. Di belakangnya beberapa orang mengikutinya dan langsung menebar duduk di amben yang terserak di dalam kedai itu. Sementara kedua orang yang garang itu duduk di tengah.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Kedua orang itu ternyata duduk membelakangi mereka, sehingga agaknya tidak akan ada kesulitan yang terjadi dari mereka, yang nampaknya orang-orang berpengaruh di tempat itu, sehingga orang-orang yang tertawa pun berhenti seketika karena kedua orang itu masuk. Untuk beberapa saat memang tidak terjadi sesuatu. Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan perempuan yang bersamanya itu dapat makan dan minum betapa pun jantung perempuan itu berdebaran.

Mereka melihat kedua orang laki-laki itu memanggil pelayan dan menunjuk dua orang yang duduk di ruang sebelah. Meskipun kedua orang perempuan itu duduk bersama dua orang laki-laki, tetapi tidak ada yang menentang niat kedua orang yang nampak garang itu. Kedua orang itu pun agaknya sama sekali tidak berkeberatan. Bahkan keduanya nampak bangga dan manja dibuat-buat.

Namun yang tidak diharapkan itu ternyata telah terjadi. Ketika kedua orang yang garang itu telah memanggil dua orang. Kedua orang itu pun agaknya sama sekali tidak berkeberatan. Bahkan keduanya nampak bangga dan manja dibuat-buat.

Namun yang tidak diharapkan itu ternyata telah terjadi. Ketika kedua orang yang garang itu telah memanggil dua orang perempuan untuk menemaninya makan, maka tiba-tiba saja justru seorang pengikutnya telah bangkit berdiri dan melangkah mendekati Mahisa Semu, yang duduk di sebelah gadis yang akan diantarkan kembali kepada orang tuanya itu.

“Pergilah. Aku yang akan membayar, makanan dan minuman yang telah kau pesan.” berkata orang itu.

Mahisa Semu terkejut, ia memang bergeser, tetapi ia tidak berniat untuk beranjak dari tempatnya. Karena itu, maka ia pun segera menjawab, “Aku sudah duduk di sini sejak tadi.”

“Jangan membantah. Pergi, dan tinggalkan perempuan ini bersamaku.” berkata orang itu.

“Gila,” geram Mahisa Semu, “gadis ini adalah adikku.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa. Katanya, “Kebetulan sekali. Jika demikian aku minta adikmu. Tidak hanya saat ini. Tetapi tinggalkan adikmu untuk selamanya.”

Mahisa Semu tidak dapat menahan diri lagi. Apalagi ketika gadis itu menjadi gemetar dan bergeser mendesaknya. Karena itu maka Mahisa Semu lah yang kemudian membentak sambil bangkit berdiri, “Pergi.”

Orang itu terkejut. Ia tidak pernah dibentak. Apalagi jika ia datang bersama kedua orang yang garang itu. Semua orang menghormatinya dan tunduk kepada perintahnya.

Pemilik dan pelayan kedai itu menjadi berdebar-debar. Mereka sudah mencoba memperingatkan. Tetapi terlambat. Yang dicemaskan itu ternyata terjadi. Apalagi ketika mereka melihat sikap anak muda itu, yang hanya akan menambah penderitaan gadis yang masih sangat muda itu. Bahkan untuk waktu yang lama.

Orang yang dibentak itu menjadi marah sekali. Dengan kasar orang itu telah berusaha mendorong Mahisa Semu. Namun demikian ia menyentuh tubuh anak muda itu, orang itu terkejut. Seakan-akan ia telah menyentuh tonggak sebatang pohon yang kokoh dan tidak tergoyahkan. ...Ada bagian cerita yang hilang lagi di sini...

“Cukup,” geram orang itu, “kalian harus menyerah.”

“Tetapi kami tidak tahu kesalahan kami. Mungkin telah terjadi salah paham. Mungkin kami akan dapat menjelaskan persoalannya lebih jelas jika kau mau berterus terang. Karena itu tentu lebih baik daripada aku harus berteka-teki seperti ini.” berkata Mahisa Murti pula.

“Berlututlah. Kami akan mengikat tangan dan kakimu. Kami akan menyerahkanmu kepada Ki Buyut untuk mengadilimu.” berkata orang itu.

Namun ternyata Mahisa Pukat menjadi kurang sabar. Katanya, “Kami akan menyerah jika kami tahu kesalahan kami. Tetapi karena kami tidak tahu kesalahan kami, maka kami tidak akan menyerah. Kami akan mempertahankan diri kami dengan sekuat tenaga. Jika perlu kami akan membunuh beberapa orang di antara kalian.”

Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Kemudian orang yang mewakili kawan-kawannya itu pun berkata, “Nah, bukankah kami benar. Kalianlah pembunuh-pembunuh itu.”

“Siapakah yang pernah kami bunuh menurut kalian?” bertanya Mahisa Pukat.

“Jangan banyak bicara,” geram orang itu, “cepat menyerah atau kalian bertiga akan mati.” orang yang bertubuh tinggi tegap menggeram...