Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 54 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 54
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

SEBENARNYALAH, meskipun jumlah prajurit dari pasukan berkuda itu pun juga susut, tetapi jumlahnya dalam perbandingan dengan orang-orang Windu Putih agaknya berlipat ganda. Selain kejutan-kejutan gelombang kedatangan mereka, maka agaknya pasukan berkuda itu memang mempunyai kesempatan yang lebih baik di tempat yang luas sebagaimana di depan padepokan Suriantal itu.

Karena itu, maka setiap kali perhatian murid terpercaya dari pemimpin perguruan Windu Putih itu memang telah terguncang. Sehingga dengan demikian, maka kadang-kadang ia harus meloncat surut untuk mengambil jarak, jika keadaan menjadi sulit.

Tetapi dalam keadaan yang paling gawat, maka murid tertua dari perguruan Windu Putih itu tidak sempat lagi untuk memperhatikan keadaan orang-orangnya. Ketika Mahisa Bungalan menyerangnya seperti prahara.

Pertempuran antara kedua orang itu pun menjadi semakin sengit. Murid Windu Putih itu tidak lagi mau membagi perhatiannya. Dipusatkannya segenap kemampuannya untuk melawan Mahisa Bungalan. Namun betapapun juga ia berusaha, Mahisa Bungalan selalu berhasil mendesaknya.

Namun dalam batas kemungkinan terakhir, orang itu harus mengerahkan kemampuan puncaknya. Ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus melepaskan ilmunya dengan daya lontar menggetarkan.

Demikianlah, ketika keduanya sedang terlibat dalam pertempuran yang sengit, tiba-tiba saja murid terpercaya dari Windu Putih itu telah meloncat mengambil jarak. Ia memang memerlukan waktu sekejap untuk membangunkan ilmunya yang akan mampu menyerang lawannya dari jarak tertentu. Namun Mahisa Bungalan menyadari bahaya itu. Karena itu, maka ia pun telah bersiap menghadapinya.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian, murid Windu Putih itu telah mengangkat tangannya. Dari telapak tangannya seakan-akan telah terhempas kekuatan yang dahsyat mengarah ke tubuh Mahisa Bungalan. Namun Mahisa Bungalan dengan cepat melenting menghindarinya. Ia bukan saja meloncat menyamping, tetapi kemampuannya bergerak cepat benar-benar diluar jangkauan kemampuan lawannya, ketika ia justru meloncat mendekat.

Lawannya tidak sempat mempersiapkan serangan berikutnya, sehingga karena itu, maka ia terpaksa melenting mengambil jarak. Namun Mahisa Bungalan yang menyadari, telah berusaha untuk memburunya. Murid Windu Putih itu memang mempunyai waktu sekejap. Dengan tergesa-gesa ia sempat juga melontarkan ilmunya. Namun justru karena ia tergesa-gesa, maka sasarannya sama sekali tidak mampu dikenainya. Bahkan dalam waktu yang sekejap, serangan Mahisa Bungalan lah yang datang menerkamnya.

Murid Windu Putih itu berusaha untuk menghindar. Demikian sulitnya kemungkinan yang dapat ditempuhnya, sehingga ia justru telah menjatuhkan dirinya berguling beberapa kali. Murid perguruan Windu Putih itu tidak sempat untuk bangkit. Masih sambil berbaring, ia telah menyerang Mahisa Bungalan dengan ilmunya yang menggetarkan itu. Tanpa bangkit, ia telah menggerakkan tangannya.

Seperti yang pernah terjadi, dari tangannya, telah menyambar kekuatan ilmunya yang dahsyat. Mahisa Bungalan memang terkejut mendapat serangan itu. Dengan serta merta ia-pun telah berusaha untuk mengelak. Tetapi ternyata bahwa kekuatan lawannya itu masih sempat menyambar pundaknya, sehingga Mahisa Bungalan telah terlempar selangkah surut.

Lawannya melihat serangannya berhasil. Ia pun dengan sigapnya meloncat berdiri. Namun pada saat yang demikian, Mahisa Bungalan pun telah melenting pula. Bahkan ketika lawannya bersiap untuk menyerangnya, Mahisa Bungalan yang menjadi sangat marah karena sentuhan serangan lawannya itu telah mendahuluinya. Dengan kecepatan yang tidak teratasi oleh lawannya, Mahisa Bungalan telah meloncat mendekat. Satu kakinya telah terjulur hampir saja mengenai dada lawannya. Namun lawannya sempat mengelak dan meloncat ke samping.

Mahisa Bungalan tidak mau kehilangan kesempatan itu. Ia pun dengan cepat memburu. Namun sekali lagi langkahnya tertahan, ketika lawannya melontarkan serangan sekali lagi. Mahisa Bungalan berdesis. Lengannyalah yang telah tersentuh serangan itu. Namun dengan demikian, Mahisa Bungalan tidak lagi menahan dirinya. Kemarahannya benar-benar telah memuncak. Karena itu, maka dihentakkannya segenap kemampuan ilmunya untuk mengatasi kemampuan lawannya melontarkan ilmunya itu.

Mahisa Bungalan pun kemudian bergerak cepat sekali, seperti bayangan yang tidak berjejak diatas tanah. Namun tiba-tiba saja ia sudah berputar dekat sekali dengan lawannya. Ketika lawannya sempat melepaskan serangan, maka Mahisa Bungalan justru sudah berada di belakangnya. Pada saat-saat yang berat bagi Mahisa Bungalan itulah, maka ia telah mempergunakan segenap kemampuan yang ada pada dirinya. Bukan saja kecepatan gerak, tetapi juga kekuatan ilmunya yang jarang ada duanya.

Ketika lawannya tiba-tiba saja berputar ke arahnya dan bersiap menggerakkan tangannya, maka Mahisa Bungalan telah meloncat mendahuluinya. Ia tidak saja mempergunakan kekuatan wadagnya, tetapi di tangannya telah terpusat kekuatan ilmunya Gundala Sasra yang diwarisinya dari Mahisa Agni. Semula Mahisa Bungalan memang ingin mengenai lawannya di dahinya. Namun sesuatu telah mengekangnya, sehingga arah tangannya pun telah bergeser ke samping.

Murid Windu Putih itu tidak sempat mengelak lagi. Pundaknya lah yang kemudian dihantam oleh kekuatan ilmu Mahisa Bungalan yang dahsyat, sehingga orang itu telah terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya kemudian terbanting di tanah. Sekali ia menggeliat, namun kemudian ia tidak bergerak lagi.

Mahisa Bungalan termangu-mangu. Perlahan-lahan ia mendekati lawannya. Ternyata bahwa lawannya benar-benar sudah tidak bergerak sama sekali. Meskipun demikian Mahisa Bungalan tidak dengan serta merta menghampirinya. Ia masih berdiri selangkah dari orang yang terbaring diam itu.

Sementara itu, orang-orang Windu Putih yang melihat salah seorang pemimpinnya terkapar di tanah, tidak sempat mendekatinya. Sekelompok orang Windu Putih yang ingin mendekat, selalu dihalau oleh pasukan-pasukan berkuda yang menjadi semakin mapan, justru karena murid terpercaya dari Windu Putih itu dikalahkan oleh Akuwu Sangling. Namun, terasa luka-luka Akuwu Sangling itu pun menjadi semakin pedih.

Tetapi Akuwu Sangling itu berusaha untuk mengatasi perasaan sakitnya. Bahkan kemudian, ketika ia sudah yakin bahwa lawannya memang tidak akan bergerak lagi, ia pun telah mendekatinya. Tiga orang prajurit berkuda telah meloncat dari kudanya. Seorang diantaranya adalah Senopati yang memimpin pasukan berkuda itu pada gelombang kedua. Mereka pun kemudian telah berjongkok pula ketika Mahisa Bungalan pun berjongkok di sisi tubuh murid terpercaya dari Windu Putih itu.

Namun Mahisa Bungalan telah menggelengkan kepalanya. Ternyata kekuatan ilmunya Gundala Sasra yang dilontarkan sepenuh kemampuan ilmunya itu, tidak melukai tubuh lawannya itu sama sekali. Pundaknya pun sama sekali tidak terkelupas kulitnya. Tetapi ketika Mahisa Bungalan meraba pundak itu, maka ia pun mengetahui bahwa beberapa tulang telah menjadi goyah, meskipun juga tidak patah.

“Bukan main,“ desis Mahisa Bungalan, “orang ini sudah ada di permulaan ilmu kebal, meskipun belum mapan.”

“Ilmu kebal?“ ulang Senopati yang ada di belakangnya.

“Ya. Ilmuku tidak melukai kulitnya. Tetapi luka di dalam bagian tubuhnya, ternyata telah mencekiknya dari dalam. Sehingga akhirnya ia mati juga,“ berkata Akuwu Sangling.

“Bukan karena ilmu kebalnya belum mapan,“ berkata Senopati itu, “tetapi kekuatan ilmu Akuwu yang tidak ada duanya,“ berkata Senopati itu.

“Tidak terlalu baik,“ berkata Akuwu, “pertempuran ini telah memperingatkan aku untuk berbuat lebih banyak lagi.”

Senopati itu tidak menjawab lagi. Tetapi ia memang melihat orang yang terbaring itu sama sekali tidak terluka. Dalam pada itu, maka para prajurit berkuda pun seakan-akan menjadi semakin garang. Bahkan sekelompok diantara mereka telah menerobos pertempuran dan memasuki padepokan.

Dengan demikian, maka keseimbangan pertempuran di dalam padepokan itu pun telah terguncang. Pasukan berkuda itu dengan garangnya telah bergerak sepanjang dinding padepokan. Tetapi ternyata bahwa kesempatan bagi pasukan berkuda itu lebih besar di luar padepokan yang luas daripada di dalam lingkungan padepokan, sehingga karena itu, maka para prajurit berkuda itu memang nampak lebih garang jika bertempur di luar.

Meskipun demikian, kehadiran pasukan berkuda itu benar-benar telah membuat orang-orang Windu Putih menjadi semakin cemas. Orang-orang dari padepokan Suriantal yang bebannya telah dikurangi, merasa menjadi semakin longgar lagi untuk bernafas. Karena itu, maka mereka yakin, bahwa mereka akan dapat bertahan sampai matahari terbenam. Jika orang-orang Windu Putih menjadi kehilangan nalar dan tidak menghentikan pertempuran, maka orang-orang dari padepokan Suriantal pun tidak akan gentar menghadapinya.

Yang bertempur diantara para pengikut dari perguruan Windu Putih dan orang-orang padepokan Suriantal adalah para pemimpin mereka pula. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan kemampuan mereka yang telah berhasil mengimbangi kemampuan murid-murid terpercaya dari Windu Putih. Bahkan semakin lama menjadi semakin nyata, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan dapat mengatasi lawan-lawannya itu. Sedangkan di sisi lain, Mahendra tetap merupakan hantu bagi orang-orang perguruan Windu Putih.

Dengan demikian, meskipun jumlah orang-orang Windu Putih dari tiga padepokan yang besar, ia semula jauh lebih banyak dari orang-orang dari padepokan Suriantal, namun ternyata kemudian bahwa akhirnya, jumlah orang-orang Windu Putih itu cepat menjadi susut.

Kenyataan itu tidak dapat dihindari oleh orang-orang Windu Putih. Mereka harus mengakui, bahwa jumlah mereka telah jauh berkurang. Sementara itu, mereka merasa bahwa mereka sama sekali tidak lagi mendapat perlindungan dari para pemimpin mereka.

Sementara itu di tengah-tengah padepokan, justru di tempat yang terpisah dari pertempuran yang tersebar. Kiai Windu Putih masih bertempur melawan guru Akuwu Singling yang lama. Keduanya memang memiliki kemampuan yang seimbang. Dengan berbagai cara mereka telah menunjukkan kemampuan mereka. Namun apa yang dapat dilakukan oleh yang seorang, yang lain pun dapat melakukannya pula.

Karena itu, maka masih belum ada tanda-tanda bahwa salah seorang diantara mereka akan kalah. Sekali-sekali Kiai Windu Putih terdesak, namun kemudian guru Akuwu Sangling itulah yang harus melenting menghindari serangan lawannya.

Namun dengan demikian keduanya tidak lagi sempat menghiraukan apa yang telah terjadi di padepokan itu. Kiai Windu Putih terlalu percaya dan yakin akan murid-muridnya serta jumlah yang besar dari orang-orangnya. Namun Kiai Windu Putih tidak sempat memperhitungkan apa yang dapat dilakukan oleh pasukan berkuda dari Sangling serta kedatangan Akuwu Sangling sendiri.

Karena itu, maka Kiai Windu Putih benar-benar memusatkan perhatiannya kepada lawannya, orang yang mengaku guru dari Akuwu Sangling itu. Dengan penuh kebencian, maka ia memang bertekad untuk membunuhnya, karena selama orang itu masih hidup, maka ia akan selalu membayanginya dengan dendamnya, karena anak orang itu telah dijeratnya ke dalam maut, meskipun dengan cara yang licik dan rumit, sehingga tidak mudah untuk diketahui oleh orang lain. Semua orang mengira, bahwa anak itu memang meninggal karena sakit yang tidak terobati, meskipun Kiai Windu Putih nampaknya sudah memanggil orang-orang yang berilmu dalam pengobatan.

Tetapi guru Akuwu Sangling itu ternyata tidak dapat dikelabuinya. Anak yang tidak lain adalah anaknya itu, memang telah dibunuh dengan perlahan-lahan. Betapa dendam menyala di hati orang itu, sehingga ia selalu berusaha untuk mendapatkan kesempatan. Tetapi karena Kiai Windu Putih ternyata berhasil menyusun satu perguruan yang besar dan bahkan membangun tiga padepokan dengan pengikut yang cukup banyak, maka guru Akuwu Sangling itu tidak dapat melakukan balas dendam begitu saja.

Ketika seorang muridnya menjadi Akuwu di Sangling, ia berharap, bahwa dengan kekuatan yang ada di Sangling ia akan dapat menyerang perguruan Ki Windu Putih, sehingga ia akan dapat membuat perhitungan dengan orang yang telah membunuh anaknya itu. Jika para pengikut Kiai Windu Putih dapat diikat dalam pertempuran melawan para prajurit Sangling, maka ia akan mendapat kesempatan bertemu seorang dengan seorang untuk membuat perhitungan sebagai orang laki-laki.

Tetapi muridnya yang menjadi Akuwu Sangling itu ternyata bukannya seorang yang dapat diharapkan. Ia adalah seorang yang akhirnya jatuh ke dalam sikap yang tercela. Ketamakan dan nafsu yang berlebihan tanpa menghiraukan gurunya lagi. Karena itu, maka gurunya itu sama sekali tidak berkeberatan ketika akhirnya Akuwu Sangling itu terbunuh.

Namun akhirnya niatnya itu pun dapat juga dipenuhinya. Bertemu dan mendapat kesempatan untuk membuat perhitungan dengan Kiai Windu Putih. Karena itu, maka guru Akuwu Sangling itu tidak lagi mempunyai perhitungan lain kecuali untuk membalas sakit hatinya. Ternyata dalam keadaan yang demikian, ia tidak saja merasa bahwa anaknya telah disingkirkan, tetapi telah terungkat pula kebenciannya kepada orang yang telah mengambil istrinya itu.

Jika semula ia seolah-olah telah mengiklhaskannya, justru karena anaknya terbunuh, maka dendamnya rasa-rasanya menjadi berlipat ganda. Dengan demikian maka pertempuran antara kedua orang itu menjadi semakin seru. Dengan ilmu yang tinggi keduanya telah saling menyerang, menghindar dan membenturkan ilmu mereka yang bersumber dari ilmu yang sama.

Sementara itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih juga bertempur melawan murid-murid terpercaya dari perguruan Windu Putih. Betapapun murid-murid Windu Putih itu mengerahkan kemampuan mereka, namun ternyata mereka memang tidak dapat melampaui kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu.

Dalam saat-saat yang gawat, maka kedua orang murid Windu Putih itu memang tidak akan dapat menghindarkan diri dari penggunaan ilmu puncak mereka. Sebelum orang-orangnya menjadi semakin susut, maka mereka berniat untuk mengakhiri perlawanan kedua orang yang mengaku sebagai Putut itu.

Dengan demikian maka kedua orang murid dari perguruan Windu Putih itu telah berusaha untuk menyibakkan pertempuran, sehingga mendapat kesempatan untuk bertempur di arena yang lebih luas. Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak berkeberatan. Keduanya pun telah bersiap menghadapi kedua orang murid dari perguruan Windu Putih itu, apa pun yang akan mereka lakukan.

Ternyata dalam kesempatan itu, kedua orang murid terpercaya dari perguruan Windu Putih itu sempat memperhatikan pertempuran meskipun hanya sekilas. Mereka melihat bahwa keadaan orang-orangnya menjadi semakin parah. Apalagi ketika mereka kemudian melihat beberapa orang prajurit berkuda berpacu di dalam lingkungan padepokan itu.

Namun mereka tidak mendapat kesempatan terlalu banyak. Ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera menghadapi mereka. Sehingga karena itu, mereka pun segera telah terlibat lagi dalam pertempuran. Namun murid-murid perguruan Windu Putih itu pun telah mengambil sikap. Mereka harus membinasakan lawan-lawan mereka dengan cepat sehingga mereka akan segera dapat membantu orang-orangnya yang mengalami kesulitan.

Karena itu, maka kedua orang itu pun segera sampai ke ilmu puncaknya. Sebagaimana murid tertua dari perguruan Windu Putih, maka kedua orang itu pun mampu melepaskan kekuatan ilmunya, menyerang lawan-lawannya pada jarak tertentu.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun memiliki ilmu yang mampu mengimbanginya. Ketika murid-murid Windu Putih itu menyerang mereka dari jarak jauh, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat menghindarinya. Serangan-serangan berikutnya pun sempat dihindarinya pula. Bahkan kemudian baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat tidak membiarkan dirinya diburu oleh serangan-serangan lawan-lawannya.

Ketika mereka mendapat kesempatan, maka sambil melenting berkisar dari tempatnya, maka keduanya telah mempersiapkan diri. Demikian mereka berdiri tegak, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah melepaskan serangan pula dari tempat mereka berdiri menyambar lawan-lawan mereka.

Dengan demikian maka pertempuran diantara mereka-pun semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua orang-orang murid Windu Putih itu pun sempat pula menghindari serangan itu. Bahkan lawan Mahisa Murti telah meloncat ke samping sambil menjatuhkan dirinya, sehingga serangan Mahisa Murti sama sekali tidak menyentuhnya. Sebelum Mahisa Murti menyerangnya lagi, maka sambil melenting tegak, orang itu telah menghentakkan tangannya.

Tetapi serangannya yang dilontarkan dengan tergesa-gesa itu kurang terarah, sehingga dengan bergeser selangkah, Mahisa Murti sudah bebas dari sentuhan serangan itu. Tetapi Mahisa Murti lah yang kemudian telah membidikkan serangannya. Dengan cepat ia telah menggerakkan tangannya. Hentakkan kekuatannya telah meluncur mengarah ke lawannya. Demikian cepatnya, sehingga lawannya itu pun telah terkejut karenanya.

Karena itu, sekali lagi ia telah menjatuhkan diri dan berguling di tanah. Namun secepat itu pula ia telah melenting berdiri. Agaknya orang itu tidak mau didahului lagi oleh lawannya. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa pula ia telah melontarkan serangannya. Namun ia tidak mau serangannya itu tidak mengarah tepat ke sasaran.

Mahisa Murti memang melihat orang itu melepaskan serangannya. Tetapi ia sudah bertekad untuk menyelesaikan pertempuran itu. Karena itu, maka ia sekali tidak ingin menghindar. Bahkan apa pun yang terjadi, Mahisa Murti berniat untuk membentur serangan itu dengan kekuatan ilmunya.

Karena itu, ketika lawannya melepaskan ilmunya, Mahisa Murti pun telah melakukannya pula. Ia telah menghentakkan segala kemampuan yang ada padanya. Dengan berdiri kokoh pada kedua kakinya yang renggang Mahisa Murti telah mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangan menghadap ke arah lawannya. Seakan-akan dari telapak tangan itu telah meluncur kekuatan ilmunya yang luar biasa, yang diwarisi dan kemudian dikembangkan dan ditingkatkannya atas tuntunan beberapa orang yang dianggapnya sebagai gurunya.

Sejenak kemudian telah terjadi benturan yang sangat dahsyat. Kedua kekuatan ilmu yang dahsyat telah saling menghantam dengan kekuatan masing-masing. Namun ternyata bahwa kekuatan kedua ilmu itu tidak sama. Kekuatan ilmu yang lebih besar telah mendorong kekuatan ilmu yang lebih kecil, seakan-akan kembali ke dalam sumbernya.

Karena itulah, maka tiba-tiba terdengar teriakan kesakitan. Lawan Mahisa Murti itu telah terlempar beberapa langkah surut. Jika kemudian ia terjatuh dan terguling, sama sekali bukan untuk menghindari, tetapi ia memang telah didera dengan dahsyatnya oleh kekuatan ilmu Mahisa Murti yang seakan-akan telah mendorong ilmunya dan berbalik menghantam bagian dalam dirinya sendiri.

Sejenak kemudian, maka orang itu pun telah terbaring diam. Demikian dahsyatnya benturan itu terjadi, sehingga jantung orang itu rasa-rasanya bagaikan terbakar oleh ilmunya sendiri yang didorong ke arah sumbernya oleh kekuatan ilmu Mahisa Murti.

Namun itu tidak berarti bahwa Mahisa Murti tidak mengalami kesulitan di dalam dirinya. Ketika benturan itu terjadi, ternyata bahwa sebagian getaran ilmunya pun telah terdorong kembali. Meskipun tidak sedahsyat benturan di dalam diri lawannya, namun terasa bahwa dada Mahisa Murti itu pun bagaikan terhimpit oleh sebongkah batu padas.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah terduduk. Ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali memusatkan nalar budinya untuk mengatasi kesulitan di dalam dadanya dan pernafasannya. Karena itu, Mahisa Murti tidak mendengar teriakan yang membahana diantara orang-orang padepokan Suriantal yang melihat lawan Mahisa Murti itu jatuh terbaring dan tidak bergerak lagi.

Namun dalam pada itu, beberapa orang dari perguruan Windu Putih yang melihat keadaan Mahisa Murti ingin memanfaatkan keadaan itu. Apalagi ketika mereka melihat salah seorang pemimpinnya terjatuh. Dengan garangnya mereka telah menyerang Mahisa Murti yang sedang berusaha untuk memperbaiki keadaannya.

Tetapi mereka tidak pernah sempat mencapai Mahisa Murti. Beberapa orang padepokan Windu Putih yang dengan pedang teracu siap untuk membantai Mahisa Murti yang baru dalam keadaan yang khusus itu, telah membentur kekuatan dari padepokan Suriantal. Beberapa orang padepokan Suriantal yang melihat keadaan Mahisa Murti, tidak saja sekedar berteriak mengungkapkan kemenangannya atas lawannya, tetapi mereka pun dengan serta merta telah melindunginya.

Karena itu, maka dengan cepat, orang-orang dari padepokan Suriantal telah berada di sekitar Mahisa Murti. Dengan garangnya mereka telah mendesak orang-orang Windu Putih yang ingin mempergunakan kesempatan itu untuk menghancurkannya.

Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat yang masih bertempur ternyata telah berdesis menahan sakit ketika pundaknya tersentuh serangan lawannya. Demikian kuatnya sehingga Mahisa Pukat telah terputar di tempatnya. Agaknya lawannya tidak mau kehilangan kesempatan yang baik itu. Sekali lagi telah menyerang Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat sempat melihat serangan itu. Dengan sigapnya ia telah menjatuhkan diri dan berjongkok rendah. Dengan demikian maka serangan lawannya tidak mengenainya.

Sementara itu, betapa sakit luka yang dideritanya, tetapi Mahisa Pukat telah menghentakkan sisa kekuatan dan kemampuannya. Tanpa bangkit berdiri, maka ia telah mengangkat tangannya sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Murti di saat ia menyerang lawannya dengan kemampuan ilmunya. Serangan itu sama sekali tidak diduga oleh lawannya. Karena itu maka murid Windu Putih itu terkejut sekali. Namun ia sudah tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu.

Karena itu, maka sebelum ia sempat menemukan jalan untuk mengatasi persoalannya, maka serangan Mahisa Pukat telah menghantam dadanya. Meskipun di saat Mahisa Pukat melepaskan ilmunya, ia masih dibebani perasaan sakit di pundaknya yang terluka, namun serangan ilmunya masih juga mampu menghancurkan isi dada lawannya. Tulang-tulang rusuknya telah berpatahan, sementara jantungnya bagaikan runtuh dari tangkainya.

Lawan Mahisa Pukat itu telah terlempar jatuh terlentang. Orang itu masih berusaha untuk bangkit sambil mengumpat kasar. Namun kemudian tubuhnya telah sekali lagi roboh di tanah untuk tidak bergerak sama sekali. Mahisa Pukat pun telah terduduk pula di tanah. Dari pundaknya yang bagaikan terkelupas karena serangan lawannya, tiba-tiba saja darah mulai mengalir meskipun menjadi agak kehitam-hitaman.

Tubuh Mahisa Pukat bagaikan kehilangan kekuatannya sama sekali. Ia telah memaksa diri untuk menghempaskan kekuatannya, justru pada saat ia terluka. Dengan demikian, maka darahnya pun kemudian bagaikan diperas pula lewat lukanya itu.

Seperti yang terjadi saat Mahisa Murti membunuh lawannya, maka ketika lawan Mahisa Pukat itu terjatuh sekali lagi dan tidak bergerak sama sekali, maka orang-orang padepokan Suriantal pun telah bersorak bagaikan hendak meruntuhkan langit.

Namun seperti yang terjadi pada Mahisa Murti pula, orang-orang Windu Putih ingin memanfaatkan keadaan Mahisa Pukat yang lemah. Namun demikian mereka mulai bergerak, Mahisa Pukat sudah dikerumuni orang-orang padepokan Suriantal.

Memang keadaan Mahisa Murti agak berbeda dengan keadaan Mahisa Pukat. Setelah memusatkan nalar budi dan mengerahkan kemampuan ilmunya, mengatur pernafasannya sebaik-baiknya, maka keadaan Mahisa Murti menjadi berangsur baik. Kekuatannya perlahan-lahan bagaikan mulai bergetar di pusat jantungnya dan merambat ke seluruh urat darahnya. Nafasnya pun telah menjadi teratur dan rasa-rasanya sebagian dari kekuatannya telah berangsur pulih kembali.

Agak berbeda dengan Mahisa Pukat. Mahisa Pukat memang telah terluka. Karena itu, maka ia tidak dapat sekedar duduk memusatkan nalar budi dan mengatur pernafasannya. Seandainya hal itu juga dilakukan, namun Mahisa Pukat memang memerlukan obat untuk mengatasi lukanya.

Untunglah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selalu berbekal obat, apalagi dalam pertempuran seperti itu. Karena itu, maka tanpa bantuan orang lain, Mahisa Pukat telah mengobati lukanya sendiri, sementara di sekitarnya pertempuran telah berlangsung dengan sengitnya. Orang-orang Suriantal bertempur dengan berani, berbekal kemampuan yang ada serta senjata yang lebih baik dari lawan-lawannya.

Namun, meskipun Mahisa Pukat sudah mengobati lukanya, ternyata keadaannya memang agak parah. Karena itu, maka beberapa orang telah mengangkatnya dan membawanya ke bayangan sebatang pohon yang rimbun di bawah perlindungan beberapa orang padepokan Suriantal.

Mahisa Murti yang kemudian mengetahui keadaan Mahisa Pukat, dengan tergesa-gesa telah menyibak orang-orang Suriantal untuk mengetahui keadaannya. Bagaimana juga Mahisa Murti juga merasa cemas melihat keadaan Mahisa Pukat.

Namun kemudian Mahisa Pukat sendiri justru telah berkata, “Aku tidak apa-apa. Memang lukaku semula agaknya cukup parah. Tetapi setelah aku obati, darahnya telah tidak terlalu banyak mengalir, bahkan sekarang telah pampat.”

“Tetapi kau dalam keadaan lemah,“ berkata Mahisa Murti.

“Ya,“ Mahisa Pukat tidak ingkar.

Namun ia ternyata tidak mau berbaring diatas rerumputan. Ia minta duduk bersandar pada pohon yang melindunginya dari teriknya matahari itu.

Dalam pada itu beberapa orang padepokan Suriantal telah bersiap di sekitar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Meskipun pada Mahisa Murti keadaannya berangsur pulih kembali, tetapi orang-orang Suriantal masih mencemaskan keadaannya.

Sementara itu pertempuran di seluruh padepokan itu pun menjadi semakin susut pula. Orang-orang Windu Putih yang jumlahnya dengan cepat susut, memang menyadari bahwa mereka telah kehilangan para pemimpin mereka. Murid-murid terpercaya yang berjumlah tiga orang, yang telah dipercaya untuk memimpin padepokan sendiri-sendiri, ternyata semuanya telah terbunuh. Yang berada di luar padepokan telah terbunuh oleh Mahisa Bungalan, sementara yang berada di dalam telah dibunuh pula oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Dalam pada itu, maka Mahendra yang melihat keadaan orang-orang Suriantal menjadi berangsur semakin baik, maka ia pun telah datang pula menghampiri Mahisa Pukat yang tersandar pada sebatang pohon.

“Bagaimana keadaanmu?“ bertanya Mahendra.

Mahisa Pukat masih juga sempat tersenyum. Katanya, ”Tidak apa-apa ayah. Hanya sedikit kesulitan dengan pundakku ini.”

Mahendra memperhatikan luka itu dengan saksama. Namun kemudian katanya, “Bukankah sudah diobati?”

“Ya,“ jawab Mahisa Murti, “Mahisa Pukat mengobatinya sendiri.”

“Obat itu cukup baik,“ berkata Mahendra, “keadaannya akan segera menjadi pulih kembali.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara itu, perasaan sakit pada tubuh Mahisa Pukat memang berangsur telah berkurang, meskipun ia masih harus berjuang mengatasi keadaannya.

Di saat-saat Mahisa Pukat sedikit demi sedikit berhasil mengatasi keadaannya, maka pertempuran pun telah sampai pada kemungkinan yang pasti. Orang-orang Windu Putih menjadi semakin lemah. Sedangkan jumlahnya pun menjadi semakin sedikit.

Karena itu, maka pada akhirnya orang-orang Windu Putih itu telah kehilangan harapan. Apa yang mereka perhitungkan semula telah terlepas sama sekali dari kenyataan yang mereka hadapi. Ketiga orang murid Kiai Windu Putih ternyata tidak mampu menghadapi kekuatan yang ada di Suriantal dan yang ternyata telah mendapat bantuan dari saudara mereka yang tertua, Mahisa Bungalan yang menjadi Akuwu di Sangling.

Sedangkan tumpuan harapan mereka yang terakhir adalah Kiai Windu Putih sendiri. Namun yang ternyata telah terikat dalam pertempuran dengan seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi pula.

Sebenarnyalah pertempuran antara Kiai Windu Putih dan guru Akuwu Sangling itu pun telah menjadi semakin dahsyat. Namun karena mereka sudah sampai pada kemampuan puncak masing-masing, maka agaknya pertempuran itu pun telah sampai pula pada batas-batas terakhir.

Kedua orang tua itu telah memeras segenap kemampuan dan ilmu mereka. Tubuh-tubuh mereka telah menjadi gemetar dan dari ubun-ubun mereka sekali-sekali masih nampak asap yang mengepul. Namun bagaimanapun juga, seseorang tidak akan mampu melampaui batas yang sudah ditakarkan bagi mereka. Betapapun seseorang mampu menyadap ilmu, tetapi pada satu saat mereka akan membentur batas itu.

Demikian pula dengan kedua orang itu. Mereka telah berusaha untuk memaksa lawan masing-masing untuk lebih dahulu sampai ke batas. Namun ternyata luka di hati guru Akuwu Sangling telah memaksanya untuk lebih menekuni ilmunya. Karena itu, maka ia telah mencapai satu lapis lebih tinggi dari kemampuan Kiai Windu Putih.

Itulah sebabnya, dalam benturan-benturan ilmu yang semakin dahsyat, maka keadaan Kiai Windu Putih pun menjadi semakin terdesak. Meskipun demikian, Kiai Windu Putih sama sekali belum berputus asa. Ia masih berusaha dengan sekuat kemampuannya untuk mengatasi kemampuan lawannya.

Namun selagi Kiai Windu Putih sedang berjuang mengerahkan sisa-sisa tenaganya serta memeras kemampuannya, maka kedua orang itu telah dikejutkan karena kehadiran beberapa orang di sekitar arena itu. Mereka adalah Mahendra, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan bahkan Akuwu Sangling.

“Kenapa kalian kemari?“ bertanya guru Akuwu Sangling itu. Tetapi ia tidak dapat melepaskan diri dari pertempuran ilmu yang menegangkan. Keduanya memang tidak banyak bergerak. Tetapi setiap gerakan, betapapun sederhananya, seakan-akan telah melontarkan tenaga yang dahsyat sekali.

Mahendra lah yang kemudian menjawab, “Tugas kami sudah selesai Ki Sanak. Semua orang Windu Putih telah kami selesaikan. Sebagian dari mereka menyerah, sementara yang lain, di luar kemampuan kami untuk mencegah, bahwa mereka telah terbunuh.”

“Omong kosong,“ Kiai Windu Putih hampir berteriak.

Sementara itu, Mahendra berkata selanjutnya, “Ketiga orang murid Windu Putih itu pun telah diselesaikan. Sayang bahwa jiwa mereka tidak terselamatkan.”

“Tidak. Aku tidak percaya,“ Kiai Windu Putih berteriak lebih keras.

Namun Mahendra berkata, “Jika persoalan mereka belum kami selesaikan, maka kami tidak akan sempat menyaksikan pertempuran yang dahsyat ini.“

“Persetan,“ geram Kiai Windu Putih, “Jika benar yang kalian katakan, maka akibatnya akan sangat pahit bagi kalian. Aku akan membunuh kalian semuanya dengan ilmuku.”

Mahendra menjadi tegang. Ia sadar, bahwa dalam keadaan yang paling sulit, seseorang kadang-kadang menjadi kehilangan penalaran. Meskipun Kiai Windu Putih adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi dan pengalaman yang sangat luas, berita tentang kematian tiga orang muridnya, telah membuatnya sangat marah. Karena itu, maka ia pun telah mengibaskan tangannya ke arah keempat orang yang menyaksikan pertempuran itu.

Namun Mahendra adalah juga seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, maka ia sempat melihat gerak itu. Dengan serta merta mereka maka ia pun telah mendorong anak-anaknya sambil berkata lantang, “Hati-hati.”

Ketiga anak Mahendra adalah orang-orang yang memiliki bekal ilmu yang tinggi pula. Karena itu, ketika serangan itu tiba-tiba datang, mereka sempat berloncatan menjatuhkan diri.

Namun ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat agak terlambat. Meskipun tidak mengenai tubuh mereka di bagian yang berbahaya tetapi sentuhan yang telah mengenai kulit mereka, benar-benar telah membuat kulit mereka terkoyak. Namun yang mengejutkan mereka, tempat mereka semula berdiri seakan-akan telah meledak.

Gerak itu pun telah mencemaskan guru Akuwu Sangling pula. Kecemasan yang sangat terhadap orang-orang yang telah mendapat serangan itu, telah membuat guru Akuwu Sangling itu mengambil keputusan yang cepat pula.

Demikian ia melihat lawannya menyerang keempat orang di luar arena itu, maka ia pun telah menyerang pula dengan garangnya. Satu hentakkan ilmu yang dahsyat telah diarahkan kepada Kiai Windu Putih yang perhatiannya sedang tertuju kepada orang-orang yang berada di luar arena itu.

Serangan itu telah melanda Kiai Windu Putih bagaikan runtuhnya gunung berapi yang menghantam tubuhnya. Demikian dahsyatnya, sehingga Kiai Windu Putih yang berilmu tinggi itu telah terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh berguling di tanah. Keadaan bagian dalam tubuhnya memang parah. Namun dalam kesempatan terakhir, dengan sisa tenaganya ia telah menyerang guru Akuwu Sangling itu pula.

Satu serangan yang tidak terduga. Namun karena keadaan tubuhnya yang lemah, maka serangan itu tidak sedahsyat serangan guru Akuwu Sangling. Namun demikian, serangan itu rasa-rasanya bagaikan membakar seluruh tubuhnya. Sejenak guru Akuwu Sangling itu tergetar. Namun ia masih mampu bertahan pada keseimbangannya.

Meskipun demikian, guru Akuwu Sangling itu merasa perlu untuk menenangkan dirinya sebelum keadaannya menjadi semakin parah. Karena itu, maka ia pun segera bergeser menepi dan duduk memusatkan nalar budi, mengatur pernafasannya untuk mempertahankan arus nafas dan darahnya agar tetap berjalan wajar.

Namun dalam pada itu, Kiai Windu Putih yang terluka di dalam dirinya, serta mengerahkan sisa tenaganya untuk menghentakkan ilmunya, telah mengalami keadaan yang sangat parah. Justru pada saat ia memerlukan kekuatan untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi kesulitan di dalam dirinya, ia telah mempergunakan seluruh sisa kekuatannya untuk melontarkan ilmunya.

Dengan demikian, maka Kiai Windu Putih itu seakan-akan telah kehilangan seluruh kesempatan untuk mengatasi kesulitan di dalam dirinya. Daya tahannya sama sekali tidak mampu lagi menyelamatkannya.

Sejenak Kiai Windu Putih yang terbaring itu masih bertahan. Ketika Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Bungalan berusaha untuk mendekatinya, maka Mahendra telah mencegahnya. Kiai Windu Putih adalah orang yang memiliki ilmu sangat tinggi. Meskipun ia berada dalam keadaan yang parah, sentuhan tangannya masih akan dapat menghancurkan sasarannya.

Karena itu, maka Mahendra lah yang telah bergeser mendekati. Sementara itu ia minta Mahisa Bungalan untuk mengamati keadaan adik-adiknya yang terluka meskipun tidak terlalu parah. Namun bahwa kulit mereka telah terkoyak, maka mereka memang memerlukan perawatan. Ketika Mahendra berjongkok di sisi Kiai Windu, maka ternyata bahwa orang itu sudah tidak bergerak sama sekali. Bahkan nafasnya pun telah berhenti pula mengalir.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam, ia pun kemudian mengamati keadaan guru Akuwu Sangling. Namun Mahendra sama sekali tidak mengganggunya, karena ia tahu, bahwa orang itu sedang berusaha memperbaiki keadaannya. Sebenarnyalah bahwa pertempuran di dalam dan di luar padepokan telah berhenti. Sisa-sisa orang-orang Windu Putih memang telah menyerah. Mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk dapat memenangkan pertempuran.

Mahendra masih menunggu beberapa saat, sehingga akhirnya guru Akuwu Sangling itu pun melepaskan pemusatan nalar budinya. Ia merasa keadaan tubuhnya menjadi berangsur baik, meskipun rasa-rasanya tulang-tulangnya masih bagaikan retak. Mahendra lah yang kemudian mendekatinya. Sambil berjongkok di sebelahnya ia bertanya, “Bagaimana Ki Sanak?”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil menyeringai menahan sakit orang itu menjawab, “Sakit hatiku sudah tertumpahkan. Tetapi Ki Sanak, apakah aku memang seorang pendendam?”

“Sudahlah,“ berkata Mahendra, “kita masih berada dalam suasana yang sangat keruh.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun setiap kali ia masih saja berdesah karena tubuhnya yang terasa sangat sakit. Mahendra lah yang kemudian memapahnya meninggalkan tempat itu. Mereka harus pergi ke barak induk, karena barak di sebelah menyebelah telah hancur berhamburan.

Ketika ia melangkah di sebelah ketiga anaknya, ia berkata, “Biarlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memperbaiki keadaannya. Mahisa Bungalan, ambillah pimpinan untuk sementara.

Mahisa Bungalan mengangguk. Ia pun kemudian menyerahkan kedua adiknya kepada orang-orang padepokan Suriantal untuk mendapat perawatan. Sementara itu, Mahisa Bungalan pun telah mengambil alih seluruh pimpinan di padepokan itu.

Dengan pengalaman yang luas, maka dengan lancar Mahisa Bungalan mengatur keadaan padepokan itu. Diperintahkannya untuk mengatur para tawanan dan merawat yang terluka. Kemudian menyelenggarakan mereka yang telah terbunuh. Bagaimanapun juga, memang harus dibedakan, yang mana kawan dan yang mana lawan.

Dalam pada itu, orang-orang Windu Putih memang sudah tidak mempunyai pimpinan lagi. Pemimpin tertinggi dari perguruan Windu Putih, serta ketiga pemimpin padepokan yang cukup besar itu telah benar-benar dihancurkan, memang tidak diperhitungkan lebih dahulu bahwa Kiai Windu Putih akan bertemu dengan seorang laki-laki yang pernah disakiti hatinya, namun ternyata kemudian memiliki ilmu yang sangat tinggi meskipun keduanya mempunyai bekal dan sumber yang sama.

Tidak diperhitungkan pula kehadiran Akuwu Sangling dengan pasukan berkudanya yang memiliki kemampuan tempur yang luar biasa, sehingga mampu menyapu sebagian pasukan Windu Putih yang terutama berada di luar padepokan. Beberapa hal yang berada di luar jangkauan perhitungan itulah yang kemudian telah menghancurkan pasukan Windu Putih, sehingga untuk selanjutnya akan sulit bagi perguruan itu untuk dapat bangkit kembali.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih dirawat dengan sebaik-baiknya sehingga luka-luka mereka pun dengan segera telah menjadi pampat. Meskipun demikian, luka itu masih juga terasa panas bagaikan luka bakar. Obat yang dipergunakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah obat yang diberikan oleh Mahendra sendiri.

Demikian pula, ketika segalanya telah berjalan di bawah tanggung jawab beberapa orang yang telah ditunjuk oleh Mahisa Bungalan. Mahisa Bungalan sendiri memerlukan pengobatan bagi luka-luka pada tubuhnya, meskipun tidak terlalu parah.

Di sisa hari itu dan di malam yang kemudian datang, maka di padepokan Suriantal telah disibukkan dengan orang-orang yang merawat orang-orang yang terluka serta menyelenggarakan mereka yang terbunuh.

Mahisa Bungalan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sudah berangsur menjadi baik, telah melibatkan diri dalam kesibukan itu. Hampir semalam suntuk mereka berkeliling di seluruh padepokan. Memasuki barak-barak, baik yang dipergunakan oleh orang-orang dari padepokan Suriantal sendiri, maupun yang dipergunakan oleh orang-orang Windu Putih yang terluka.

Beberapa orang tabib dari lingkungan pasukan Windu Putih telah mendapat kesempatan untuk mengobati kawan-kawannya yang terluka di bawah pengawasan orang-orang padepokan Suriantal dan para prajurit dari Sangling.

Keadaan di padepokan Suriantal malam itu memang sangat mendebarkan. Di sana sini terdengar orang-orang yang mengaduh dan mengeluh kesakitan, sementara beberapa sosok mayat masih belum sempat diselenggarakan, karena masih saja ada orang yang terluka parah yang tidak dapat diusahakan penyembuhannya.

Ketika malam menjadi semakin larut, Mahendra telah memperingatkan anak-anaknya agar mereka pun beristirahat pula karena keadaan tubuh mereka yang masih belum pulih kembali. Jika mereka memaksa diri untuk bekerja terlalu keras, maka keadaan mereka sendiri akan menjadi kurang baik.

Dengan demikian, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Bungalan pun telah berusaha untuk mendapatkan waktu barang sedikit, agar mereka sendiri sempat beristirahat di dalam bilik yang terpisah. Sementara itu, para prajurit Sangling dan orang-orang dari padepokan Suriantal yang bertugas pun mengamati keadaan dengan penuh kewaspadaan.

Di tempat yang tersendiri, di barak induk, Mahendra duduk bersama orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling itu. Orang itu sudah berhasil mengatasi kesulitan di dalam dirinya, sehingga keadaannya pun menjadi semakin baik. Namun serangan Kiai Windu Putih yang dahsyat itu benar-benar telah melarutkan sebagian dari tenaganya, sehingga ia memerlukan waktu yang lebih panjang untuk dapat pulih seutuhnya. Mungkin dua tiga hari ia harus menyisihkan waktu untuk secara khusus memusatkan nalar dan budinya, sehingga kekuatannya itu pun dapat pulih kembali sepenuhnya.

Bahkan sampai di hari berikutnya pun padepokan Suriantal masih diliputi oleh suasana yang buram. Tubuh yang terbujur sambil mengerang, bau segala jenis obat-obatan yang dapat dipergunakan serta para tabib yang masih sangat sibuk. Bahkan satu dua masih ada orang-orang yang tidak dapat lagi diselamatkan jiwanya karena luka-lukanya yang parah.

Namun dalam pada itu, Akuwu Sangling telah mengambil kebijaksanaan, bahwa tawanan yang ada di padepokan Suriantal itu akan dibawa ke Sangling dan menjadi tanggung jawab Pakuwon Sangling, karena ia tahu, bahwa padepokan itu akan mengalami kesulitan menanggung beban sekian banyak tawanan dan orang-orang yang terluka.

Tetapi sudah barang tentu Mahisa Bungalan tidak akan dengan serta merta membawa orang-orang itu ke Sangling. Yang terluka parah sebaiknya menunggu barang dua tiga hari, sehingga keadaannya berangsur baik. Bahkan mereka yang benar-benar dalam keadaan parah memang akan ditinggal di padepokan itu untuk beberapa lama. Namun pada satu saat, mereka pun akan diambil pula oleh para prajurit dari Sangling.

Sementara itu, ada juga prajurit Sangling yang terbunuh di medan perang. Bagi mereka, Akuwu Sangling telah mengambil kebijaksanaan untuk membawanya kembali ke Sangling. Seorang diantara para Senapatinya yang datang ke padepokan itu telah ditugaskannya untuk membawa para prajurit yang gugur itu dengan pedati. Sekelompok prajurit berkuda mengawal mereka dengan segala pertanda kebesaran keprajuritan.

Mudah-mudahan tidak ada gangguan di sepanjang jalan,“ berkata Akuwu Sangling, “orang-orang Windu Putih sudah tidak lagi mempunyai kekuatan yang tersisa. Hampir semua kekuatan yang ada telah dikerahkan. Dan ternyata mereka kita hancurkan di sini.”

Dengan penuh tanggung jawab seorang Senopati telah membawa tubuh para prajurit dari Sangling itu kembali dengan mempergunakan beberapa buah pedati, sementara Akuwu Sangling sendiri tetap berada di padepokan Suriantal untuk sementara. Ia tidak sampai hati meninggalkan kedua adiknya dalam keadaan yang kalut, meskipun ayahnya masih tetap di padepokan itu. Bahkan demikian pula orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling itu.

Sementara itu, ketika mereka tidak lagi terlalu sibuk, pada satu kesempatan guru Akuwu Sangling itu memerlukan berbicara dengan Akuwu Sangling tanpa orang lain. Dengan rendah hati, orang itu minta agar ia dapat menitipkan sebagian dari ilmunya kepada Akuwu Sangling, agar ilmu itu tidak begitu saja musna jika tubuhnya kelak kembali ke dalam pangkuan bumi.

“Maksud Ki Sanak?“ bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku akan datang ke Sangling. Jika Akuwu tidak berkeberatan, aku akan memberikan sedikit ilmu yang aku miliki untuk Akuwu warisi. Sudah tentu dengan perhitungan yang mapan sehingga tidak akan terjadi benturan ilmu di dalam diri Akuwu,“ berkata orang itu.

Akuwu Sangling itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku sangat berterima kasih atas kesempatan ini.”

Guru Akuwu Sangling itu mengangguk-angguk. Katanya, “Menurut penilaianku, Akuwu memiliki sifat dan watak yang jauh berbeda dengan muridku. Karena itu, apa yang tidak pernah aku berikan kepada muridku itu, akan aku berikan kepada Akuwu. Bahkan aku merasa beruntung bahwa aku telah mengekang diri untuk tidak menuangkan seluruh isi jambangan perbendaharaan ilmuku kepada muridku itu. Jika demikian, maka akibatnya akan lebih parah lagi, justru karena sifat dan watak muridku itu.”

Akuwu Sangling menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih sempat berpaling kepada ayahnya untuk mendapatkan pertimbangan.

“Temui pamanmu Mahisa Agni dan Witantra. Dari mereka kau mendapat ilmu yang kini kau miliki. Kau memang harus mohon ijin kepada mereka,“ berkata Mahendra.

“Bagaimana dengan ayah sendiri?“ bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku tidak keberatan, selama kau mampu menyesuaikan ilmu yang akan dan telah berada di dalam dirimu,“ jawab Mahendra.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah ayah. Aku akan pergi ke Singasari.”

Demikianlah, untuk beberapa lama Akuwu Sangling masih berada di padepokan Suriantal. Kecuali untuk ikut serta menyelesaikan beberapa masalah yang masih tertinggal, Akuwu sendiri masih harus memulihkan semua kekuatan dan kemampuan ilmunya. Luka-luka yang meskipun tipis pada kulitnya, sudah menjadi kering dan ketegangan yang mencengkamnya pun telah mengendor.

Ketika semuanya sudah mapan, maka Mahisa Bungalan-pun minta diri bersama pasukan berkuda yang masih tertinggal di padepokan itu. Bersama guru Akuwu Sangling yang lama, maka Mahisa Bungalan telah membawa para tawanan ke Sangling. Tawanan yang menurut penilaian Mahisa Bungalan dan bahkan juga Mahendra, bahwa orang-orang Windu Putih itu sudah tidak berbahaya lagi. Meskipun demikian, di sepanjang jalan, prajurit berkuda dari Sangling itu pun tetap berhati-hati.

Iring-iringan itu memang menarik banyak perhatian orang-orang yang tinggal di padukuhan-padukuhan yang dilalui. Namun mereka pun segera mengenali pertanda-pertanda yang ada pada para prajurit Sangling, sehingga mereka pun segera mengetahui pula, bahwa prajurit berkuda dari Sangling itu tengah menggiring tawanan untuk dibawa ke Sangling.

Seperti yang diperhitungkan, memang tidak ada hambatan diperjalanan. Sementara di padepokan Suriantal, keadaan pun telah berangsur tenang. Ketegangan-ketegangan sudah tidak lagi mewarnai kehidupan di padepokan itu. Namun jumlah orang-orang padepokan itu telah berkurang. Beberapa orang diantara mereka telah gugur ketika orang-orang Windu Putih menyerang. Untunglah, bahwa orang-orang padepokan Suriantal telah sempat menempa diri dalam kesatuan ilmu, sehingga kerja-sama diantara mereka pun menjadi semakin baik di samping secara pribadi orang-orang Suriantal memang lebih baik dari orang-orang Windu Putih.

Mahendra yang melihat keadaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sampai hati untuk meninggalkan padepokan itu. Kedua anaknya itu masih belum sembuh benar, sehingga mereka masih harus memikirkan diri mereka di samping seluruh isi padepokan. Namun memang tidak banyak persoalan yang kemudian timbul. Orang-orang padepokan itu telah kembali ke dalam kerja mereka masing-masing. Sawah mereka sama sekali tidak terbengkalai. Bahkan orang-orang padukuhan terdekat pun telah menghubungi mereka, untuk menanyakan apa yang telah terjadi.

“Satu benturan kecil,“ berkata Mahisa Murti.

“Bukan benturan kecil,“ jawab salah seorang Bekel dari padukuhan itu, “menilik yang terjadi serta bekas-bekasnya, maka tentu benturan yang besar. Ada beberapa buah barak yang hancur serta pintu gerbang pun telah pecah pula karenanya. Dan menilik mereka yang gugur, pertempuran itu tentu pertempuran yang besar.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara Mahisa Pukat lah yang menjawab, “Memang agak mengejutkan Ki Bekel. Namun kita dapat bersyukur bahwa semuanya dapat diatasi. Yang Maha Agung masih melindungi kami, seisi padepokan ini. Jika ada diantara kami yang dipanggil-Nya, maka agaknya memang sudah sampai pada batas garis pepesten. Batas garis kematian.”

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Dengan ikhlas maka ia pun telah menawarkan bantuan jika diperlukan.

“Baiklah Ki Bekel,“ jawab Mahisa Murti, “meskipun kami juga memiliki sedikit tanaman bambu, tetapi jika kami kekurangan bambu nanti, di saat kami perbaiki barak-barak kami, maka kami akan mohon bantuan Ki Bekel. Namun kami belum tergesa-gesa memperbaikinya karena kami masih harus membuat persiapan-persiapan. Mungkin kami masih harus memintal ijuk untuk tali atau menebangi beberapa batang kayu. Kami juga harus mengumpulkan jerami untuk dianyam menjadi bahan atap, karena agaknya sulit untuk mencari ijuk.”

“Sebenarnyalah ijuk yang lama masih dapat dipergunakan,“ berkata Ki Bekel, “asal kita dengan cermat mengumpulkannya dari reruntuhan barak-barak itu.”

“Ijuk itu akan kami jadikan tali. Bukankah untuk membangun barak serta memperbaiki pintu gerbang akan dibutuhkan tali ijuk yang banyak sekali,“ jawab Mahisa Murti.

Ki Bekel mengangguk-angguk. Ia pun menyadari bahwa tidak terlalu banyak tumbuh pohon aren di sekitar padepokan itu, sehingga memang agak sulit untuk mengumpulkan ijuk dalam jumlah yang banyak di waktu yang pendek. Karena itu, maka orang-orang padepokan agaknya memilih jerami untuk membuat bahan atap barak-barak mereka yang rusak. Demikianlah, maka orang-orang padepokan Suriantal itu telah mulai mempersiapkan diri untuk membangun padepokan mereka yang telah menjadi rusak dalam pertempuran yang baru saja terjadi.

Yang dilakukan mula-mula oleh orang-orang padepokan itu adalah membuat tali ijuk sebanyak-banyaknya. Yang lain telah menebangi beberapa batang kayu. Mereka juga memilih batang-batang kayu yang tidak terlalu besar, yang akan mereka pergunakan untuk membuat pintu gerbang. Sebagaimana pintu gerbang semula dari padepokan itu adalah terbuat dari anyaman batang-batang kayu yang diikat dengan tali-tali ijuk yang kokoh.

Mereka telah memotong-motong batang-batang kayu yang akan mereka anyam secara utuh itu dan menjemurnya agar menjadi kering. Baru kemudian maka orang-orang Suriantal itu mulai menebangi batang-batang bambu milik padepokan mereka sendiri. Setelah dipotong-potong dan yang perlu telah dibelah pula, maka potongan-potongan bambu itu direndam ke dalam air.

Dengan demikian, maka orang-orang Suriantal itu dapat memperhitungkan seberapa mereka akan minta bantuan bambu kepada Ki Bekel padukuhan terdekat. Dengan merendam persediaan bambu yang akan mereka pergunakan, maka mereka telah membuat tali ijuk sebanyak-banyaknya. Mereka memerlukan bahan yang tidak mudah dimakan oleh sebangsa rayap.

Sambil menunggu, maka orang-orang Suriantal itu telah menyiapkan semua keperluan bagi pembangunan beberapa bagian dari barak-barak mereka yang rusak. Ketika orang-orang Suriantal sibuk dengan usaha mereka memperbaiki padepokan mereka yang rusak, maka di Sangling, orang yang mengaku guru Akuwu Sangling itu pun benar-benar telah memenuhi keinginannya untuk menitipkan ilmunya pada Akuwu Sangling yang baru untuk dapat bertahan dan bahkan dikembangkan jika ia sendiri pada saatnya akan meninggalkan dunia.

Dengan sungguh-sungguh Mahisa Bungalan telah berusaha untuk menyadap ilmu dari orang itu. Mula-mula yang dilakukan oleh Guru Akuwu Sangling itu adalah mengetahui ilmu yang telah ada di dalam diri Mahisa Bungalan. Tatarannya, tingkatnya dan unsur-unsur yang ada di dalamnya.

Kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia berkata, “Ilmu yang sangat dahsyat. Aku tidak akan dapat memberikan lebih dari yang sudah ada di dalam diri Akuwu. Yang dapat aku titipkan adalah ilmu yang akan dapat mengisi sela-sela dari ilmu yang telah Akuwu miliki. Mungkin satu cara yang lain yang dapat dipergunakan untuk melontarkan ilmu yang dahsyat yang sudah ada pada Akuwu. Serta ilmu sejenis yang meskipun tidak akan sedahsyat ilmu yang sudah ada, namun mempunyai kelainan kegunaan yang barangkali akan berarti bagi Akuwu.”

Demikianlah, maka Akuwu Sangling telah menempa diri. Dengan menerima ilmu dari guru Akuwu Sangling yang lama maka ilmu Mahisa Bungalan menjadi semakin lengkap. Ia memiliki kekuatan ilmu yang dahsyat dari ilmu Gundala Sasra. Sementara itu, ia telah mendapat warisan ilmu yang lain dari guru Akuwu Sangling itu. Bahkan kemudian Mahisa Bungalan telah mampu membuat ilmu itu luluh di dalam dirinya.

Dengan kemampuan daya lontar yang diwarisi dari guru Akuwu Sangling yang lama itu, ia dapat melontarkan ilmu puncaknya Gundala Sasra. Bahkan kemampuan-kemampuan yang menggetarkan yang lain telah dapat dikuasainya di samping ilmu Gundala Sasra itu.

Sebagaimana kesibukan yang terjadi di padepokan Suriantal, maka Mahisa Bungalan pun memerlukan waktu yang cukup lama. Tetapi ia tidak meninggalkan tugasnya sehari-hari meskipun hampir setiap malam ia berada di dalam sanggar, atau di lereng-lereng pegunungan dan di lembah-lembah yang sepi.

Ternyata bahwa orang yang menyebut dirinya guru dari Akuwu Sangling itu telah berbuat dengan jujur. Ia benar-benar melakukannya tanpa pamrih selain sekedar menitipkan ilmunya agar tidak punah bersama kematiannya jika saat itu tiba. Karena itu, maka ketika menurut pertimbangan orang itu, Mahisa Bungalan telah mewarisi dasar-dasar ilmunya lengkap, maka ia menganggap bahwa tugasnya telah selesai.

“Akuwu,“ berkata orang itu, “dasar-dasar ilmu yang ada padaku telah aku wariskan. Aku tahu pasti bahwa dalam waktu yang singkat semuanya akan berkembang dan bahkan atas alas ilmu yang telah ada di dalam diri Akuwu, maka ilmu Akuwu akan jauh melampaui kemampuanku. Karena itu, aku mohon Akuwu tidak jemu-jemunya menilik setiap perkembangan ilmu Akuwu itu sebaik-baiknya. Mencari tanpa jemu-jemunya kemungkinan-kemungkinan yang paling baik bagi perkembangan selanjutnya. Jangan terpancang pada apa yang telah ada sebagai unsur gerak dari ilmu itu. Tetapi Akuwu akan dapat mencari dan menciptakan kemungkinan yang akan lebih berarti.”

Mahisa Bungalan mengangguk kecil. Dengan sendat ia berkata, “Terima kasih. Aku telah membawa bekal yang jauh lebih lengkap sekarang.”

Orang yang menyebut guru Akuwu Sangling itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Akuwu. Aku mohon Akuwu untuk mewariskan semua ilmu yang ada di dalam diri Akuwu bagi seorang yang paling dapat dipercaya. Akuwu adalah orang Singasari. Meskipun kini kesatuan Singasari dan Kediri dapat dipertahankan, namun bukan berarti untuk seterusnya akan demikian. Kediri pada dasarnya tidak ingin berada di bawah kuasa Singasari. Jika saat ini kesatuan itu masih dapat bertahan, karena ada orang-orang yang mengerti arti dari persatuan itu, maka pada suatu saat pikiran-pikiran lain akan tumbuh dan berkembang.”

Akuwu Sangling itu termangu-mangu. Ternyata bahwa wawasan orang itu bukannya sekedar karena ia tidak mau ilmunya menjadi punah. Tetapi ada keinginan padanya, bahwa Akuwu Sangling itu akan dapat membantu mempertahankan keseimbangan. Apakah Akuwu Sangling itu sendiri, atau keturunannya atau orang lain yang dipercaya. Agaknya orang itu mempunyai wawasan jauh dalam hubungan yang nampaknya masih mapan antara Singasari dan Kediri. Namun benih-benih sebagaimana dikatakan itu memang sudah ada sejak semula. Bahkan seakan-akan tidak pernah padam sejak Kediri disatukan dengan Singasari oleh Akuwu di Tumapel, yang kemudian memegang pimpinan pemerintahan bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwa Bumi.

Tetapi jika orang-orang yang berusaha untuk tetap mempertahankan keseimbangan persatuan itu seperti Pangeran Singa Narpada dan beberapa orang Senapati yang sejalan dengannya, termasuk Akuwu Lemah Warah telah tidak ada, maka hubungan antara Kediri dan Singasari tentu akan menjadi goncang.

Karena Akuwu Sangling itu masih saja termangu-mangu, maka orang itu pun berkata, “Akuwu. Mungkin yang aku katakan itu belum nampak sekarang ini. Tetapi aku minta Akuwu bersiap-siap sebagai orang Singasari yang berada di jalur pemerintahan Kediri. Bagaimanapun juga Akuwu harus berusaha memandang persoalan itu dengan jernih pada setiap tahap."

“Aku akan mencoba,“ berkata Akuwu Sangling.

“Akuwu harus berusaha mempertahankan kepemimpinan ini. Pada saatnya kepemimpinan di Sangling harus jatuh ke tangan orang yang mempunyai sikap dan pandangan seperti Akuwu khususnya dalam persoalan hubungan antara Singasari dan Kediri,“ pesan orang itu.

“Terima kasih,“ Akuwu Sangling pun mengangguk-angguk.

“Namun tidak kalah pentingnya, aku titipkan agar ilmuku itu tidak punah karenanya. Jika kemudian ilmuku menjadi bagian dari jalur ilmu Akuwu yang lain, aku tidak berkeberatan, karena dengan demikian ilmuku akan tetap menjadi unsur dari ilmu yang hidup dan bahkan mungkin berkembang lebih luas,“ berkata orang itu.

“Aku akan selalu mengingat pesan ini,“ berkata Mahisa Bungalan.

Demikianlah, maka pada saatnya, orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling yang lama namun juga ternyata telah menjadi guru Akuwu Sangling yang baru itu minta diri.

Tanpa menyebutkan dimana ia tinggal, maka ia pun berkata, “Biarlah aku yang setiap kali datang kemari. Akuwu tidak perlu mengetahui tempat tinggalku. Seandainya aku tidak sempat lagi datang, maka rasa-rasanya hidupku di saat-saat terakhir masih juga berarti. Dendam itu telah terselesaikan."

Akuwu Sangling mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab. Meskipun didalam hati ia bertanya, “Apakah demikian itu merupakan satu-satunya jalan untuk mengucapkannya. Ia tidak mau menyinggung perasaan orang yang telah berbaik hati memberikan tuntunan kepadanya tentang ilmu yang bernilai tinggi di samping ilmunya yang telah ada lebih dahulu didalam dirinya.

Namun demikian, pesan orang itu tidak akan pernah dilupakan. Ia harus mempersiapkan masa depan Sangling untuk menghadapi kemungkinan yang buruk dalam hubungan antara Singasari dan Kediri.

Namun agaknya penglihatan orang itu bukan sekedar sikap dan pendirian. Tetapi jika perlu harus diujudkan dalam benturan-benturan sikap yang bakal terjadi, bahkan dengan kekerasan. Ternyata bahwa orang itu berpesan, agar Akuwu Sangling mempersiapkan orang, apakah itu keturunannya atau orang yang paling dipercaya, untuk mewarisi ilmunya yang mungkin akan dapat disumbangkan bagi Singasari di masa mendatang.

Dalam pada itu, di padepokan Suriantal pun kerja yang keras sudah menjadi semakin ramai. Waktu yang diperlukan untuk merendam bambu telah cukup. Sementara tali-tali ijuk pun telah siap beberapa gulung, sehingga menurut dugaan, akan mencukupi bagi pembangunan barak-barak yang rusak serta pintu gerbang.

Namun di samping itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah menjadi pulih kembali, masih saja berniat untuk mendirikan satu perguruan baru yang utuh di padepokan itu. Keduanya telah membiasakan diri untuk disebut sebagai Putut.

Mahendra memang telah memberikan beberapa petunjuk. Namun tiba-tiba saja Mahendra bertanya, “Apakah keberatan kalian jika padepokan ini tetap disebut padepokan Suriantal?”

“Padepokan ini tentu akan dihubungkan dengan isinya,“ sahut Mahisa Murti, “jika kami yang ada di padepokan ini kemudian disebut perguruan Suriantal, maka kami memang agak berkeberatan.”

“Suriantal yang sebenarnya bukan sebuah perguruan yang hitam,“ berkata Mahendra.

“Tetapi noda itu telah terpercik di atasnya. Selain itu, maka jika orang menyebut Suriantal, maka kita sudah mulai membayangkan tongkat-tongkat panjang yang dianggap menjadi ciri dari perguruan ini,“ jawab Mahisa Murti.

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Persoalannya tinggallah pada nama. Karena itu, maka kalian akan dapat memilih nama yang sesuai. Tetapi apakah nama itu menjadi demikian penting bagi kalian?”

“Nama adalah lambang dari kepribadian sebuah perguruan,“ jawab Mahisa Pukat, “jika kita mendengar nama sebuah perguruan, maka kita dapat membayangkan ujud dari perguruan itu.”

“Itu dapat terjadi setelah kita mengenal perguruan itu,“ berkata Mahendra, “tetapi nama yang baru sama sekali, masih belum merupakan citra dari perguruan itu. Mungkin orang yang membuat nama itu sudah mempunyai ujud yang mantap. Namun bagi orang lain yang baru mendengar untuk pertama kalinya, memang bukan apa-apa.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Mahendra pun kemudian memberikan pendapatnya, “Lebih baik, kita benahi dahulu padepokan ini. Baru kemudian kita memikirkan nama itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada datar Mahisa Murti berkata, “Baiklah ayah. Kita akan memperbaiki lebih dahulu padepokan ini.”

Mahendra tersenyum sambil berkata, “Bagus. Kita akan mulai dengan kerja.”

Sebenarnyalah, maka padepokan Suriantal itu pun menjadi terlalu sibuk dengan kerja. Mereka mulai mengangkat bambu-bambu yang telah direndam untuk dikeringkan. Sementara itu, mereka yang memiliki ketrampilan untuk mengerjakan kayu, telah melakukannya pula. Mereka telah mulai mengganti pintu di gerbang halaman padepokan itu yang dibuat untuk sementara, dengan pintu yang sebenarnya.

Para penghuni padepokan itu terutama yang memiliki kemampuan mengerjakan kayu, telah sibuk membuat pintu gerbang. Batang-batang kayu yang bulat telah diikat dengan tali-tali ijuk. Kemudian kayu yang menjadi gantungan serta uger-uger yang sangat kuat.

Ternyata bahwa untuk membuat pintu gerbang itu diperlukan cukup banyak tenaga. Beberapa orang harus mengangkat kayu-kayu yang akan diikat menjadi daun pintu. Yang lain membuat palang dan gapit. Sementara yang lain lagi memasang uger-uger dan selarak serta gantungannya.

Pada saat pintu gerbang itu sudah mendekati penyelesaian, maka bambu-bambu pun mulai mengering. Sebagian dari tenaga yang ada di padepokan itu telah mengerjakan bambu-bambu itu untuk membuat barak-barak pengganti yang telah rusak.

Dengan bambu petung disiapkannya tiang-tiang induk diatas ompak batu. Kemudian dengan jenis bambu lain yang lebih kecil, bambu wulung dan apus, telah dibuat kerangka dari barak yang akan didirikan itu. Di sudut padepokan itu pun telah tertimbun atap yang dianyam dari jerami kering.

Dengan mengerahkan seluruh tenaga yang ada, maka dari hari ke hari, bangunan-bangunan yang dibuat di padepokan itu pun mulai nampak hasilnya. Yang pertama-tama siap adalah pintu gerbang yang kuat, yang dibuat dari kayu-kayu utuh, meskipun dipilih kayu yang tidak terlalu besar. Sebuah selarak yang besar dan kuat serta palang yang tidak mudah patah.

Ternyata sebagaimana orang membangun rumah, maka sasaran yang dikerjakan seakan-akan telah merambat dari yang satu ke yang lain. Rasa-rasanya kurang puas untuk membiarkan bangunan-bangunan yang lama tetap tidak mendapat perbaikan.

Karena itu, maka orang-orang padepokan itu pun telah memperbaiki pula barak induk di samping mendirikan kembali barak yang telah hancur karena pertempuran yang terjadi antara Kiai Windu Putih dengan guru Akuwu Sangling.

Namun, setelah bekerja berbulan-bulan, akhirnya barak-barak itu pun telah siap. Dinding-dinding bambu yang dianyam sendiri oleh para penghuni padepokan itu pun telah dipasang. Sekat-sekatnya pun telah dibuat pula, sehingga barak yang baru itu justru menjadi barak yang paling baik dari antara barak-barak yang ada di padepokan.

Namun sebagaimana mereka tidak puas dengan barak induk yang telah mereka perbaiki, maka barak-barak yang lain-pun telah dibenahi pula meskipun hanya sekedar memperbaiki pintu leregnya yang sering meleset dari palangnya.

“Mumpung kita sedang bergairah,“ berkata seorang di antara para pemimpin padepokan itu.

Apalagi bahan yang telah mereka sediakan ternyata lebih banyak dari yang dibutuhkan untuk membuat barak yang baru. Tetapi akhirnya kerja mereka pun selesai pula. Barak-barak yang baru serta barak-barak yang telah diperbaiki, pintu gerbang dan bangunan induk di dalam padepokan itu pun telah nampak lebih baik dari sebelumnya.

Pada saat-saat Mahendra sempat berbincang dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka ia pun berkata, “Nah, sekarang kerja kalian telah selesai. Meskipun kerja pada tahap ini, karena pada saatnya akan segera disusul oleh kerja yang lain.”

“Ya ayah,“ jawab Mahisa Murti, “lalu apa lagi yang harus kami kerjakan?”

“Sekarang agaknya sudah waktunya untuk memikirkan perguruan yang kau maksudkan,“ berkata Mahendra.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara Mahendra berkata lebih lanjut, “Ternyata bahwa ilmu yang kalian miliki bukan lagi murni dari satu perguruan. Apalagi nampaknya kalian telah mengembangkan ilmu yang ada pada diri kalian. Beberapa macam ilmu yang kau anyam menjadi satu ujud yang utuh, yang bahkan kemudian menemukan ujud yang baru. Bahkan sifat dan wataknya. Karena itu, maka kalian memang mempunyai hak untuk menyebut bahwa ilmu yang ada pada diri kalian adalah ilmu dari satu perguruan yang utuh dan bulat, serta bukan perguruan yang telah ada sebelumnya.”

“Aku mengerti ayah,“ berkata Mahisa Murti, “agaknya jalan yang kami tempuh memang sudah benar menurut pandangan ayah.”

“Ya. Kalian sudah berjalan di jalur yang menurut pendapatku benar. Karena itu, maka aku tidak mempunyai keberatan jika kau mempunyai sebutan tersendiri dari aliran ilmu kalian,“ berkata Mahendra.

“Terima kasih ayah,“ desis Mahisa Murti, “kami mohon doa dan restu ayah.“ Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu “Nah, persoalannya adalah nama itu. Nama apakah yang paling baik kami pergunakan untuk perguruan kami yang baru itu.”

Mahendra tersenyum. Katanya, “Kalianlah yang paling mengenal bentuk dan isi dari ilmu kalian. Dasar dan tujuannya serta sifat dan wataknya.”

Mahisa Murti berpaling ke arah Mahisa Pukat. Namun Mahisa Pukat pun nampaknya masih menunggu juga. Karena itu, maka Mahendra pun kemudian berkata,

“Bicarakan dengan orang-orang tua di padepokan ini. Meskipun hanya diantara kita seisi padepokan, maka kita akan memerlukan waktu untuk menyatakan bahwa kerja kita sudah selesai. Sekaligus kita beritahukan kepada para penghuni padepokan ini, satu nama yang pantas untuk perguruan yang akan kalian dirikan. Mungkin kita akan mengundang Ki Bekel yang telah banyak memberikan bantuan kepada kita selama ini serta para bebahunya untuk menjadi saksi dari pemberian nama atas perguruan yang bakal berdiri.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun Mahisa Pukat masih juga berdesah, “Tetapi nama itu.”

“Kau sempat berbicara dengan orang-orang tua seperti aku katakan,“ berkata Mahendra.

“Baiklah ayah,“ jawab Mahisa Murti, “sementara ini kita akan menyiapkan satu pertemuan yang meriah.”

Demikianlah, sebagaimana dianjurkan oleh ayahnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengundang Ki Bekel dan beberapa orang bebahu untuk menghadiri satu upacara yang sebenarnya khusus bagi para penghuni padepokan, karena sifatnya yang selain sederhana juga tidak mengada-ada. Namun diharapkan bahwa Ki Bekel dan para bebahu itu akan dapat menjadi saksi dari upacara yang sederhana itu.

Akhirnya saat yang ditentukan itu pun tiba. Semua persiapan dari upacara yang sederhana itu pun telah diadakan. Makan dan minum pun telah disiapkan. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menghadap kepada ayahnya dan mengajukan sebuah nama yang barangkali ayahnya sependapat.

“Ayah,“ berkata Mahisa Murti, “ilmu tertinggi yang pernah ayah berikan kepada kami adalah ilmu Bajra Geni. Karena itu, bagaimana jika sebagian dari nama itu kita pergunakan sebagai nama perguruan ini. Namun untuk selalu mengingatkan kepada kami agar kami tidak melupakan sumber kekuatan kami, maka kami akan menyebutnya bahwa perguruan kami ini mempunyai niat yang putih dan bersih. Meskipun tidak akan dapat kami lakukan sepenuhnya, namun setidak-tidaknya ada semacam bayangan yang akan selalu mengikuti apa pun yang sedang kami lakukan, justru karena nama itu.”

“Sebut nama yang kau kehendaki itu,“ berkata Mahendra.

“Bajra Seta,“ jawab Mahisa Murti.

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Nama yang baik. Aku tidak mempunyai keberatan bagi nama itu.”

“Jika demikian, nanti akan kita beritahukan, bahwa perguruan ini bernama perguruan Bajra Seta. Padepokan ini pun akan bernama padepokan Bajra Seta pula,“ berkata Mahisa Pukat.

Demikianlah, maka upacara itu pun telah berlangsung dengan meriah meskipun sederhana. Beberapa ekor kambing telah dipotong. Beberapa orang yang telah terbiasa, memanggangnya diatas api yang menyala. Kemudian beramai-ramai mereka pun makan bersama-sama.

Namun selain acara yang diperuntukkan bagi orang-orang padepokan yang baru saja mereka nyatakan sebagai padepokan Bajra Seta, maka beberapa orang tua-tua telah mewakili seisi padepokan itu, memasuki sanggar khusus untuk memanjatkan doa agar perguruan dan padepokan yang lahir pada hari itu, selalu mendapat bimbingan dari Yang Maha Agung. Bukan saja tuntunan kewadagan, tetapi semoga selalu mendapat terang di hati, sehingga seisi padepokan itu tidak akan melakukan langkah-langkah yang tercela sebagaimana pernah terjadi dengan perguruan di padepokan itu sebelumnya.

Demikianlah, ternyata bahwa padepokan itu telah terbangun semalam suntuk. Setelah doa yang dilakukan oleh orang-orang tua di dalam sanggar, maka seluruh padepokan itu benar-benar menjadi ramai. Mereka bergembira dengan cara mereka masing-masing. Meskipun semua dilakukan menurut apa adanya, namun padepokan itu benar-benar telah menikmati kegembiraannya. Ki Bekel dan para bebahu dari padukuhan terdekat pun ikut pula bergembira bersama mereka. Bahkan mereka telah lupa waktu, sehingga mereka baru sadar, ketika terdengar ayam jantan berkokok bersahutan.

“Hampir pagi,“ desis Ki Bekel.

“Ya,“ sahut seorang bebahu, “hampir semalam suntuk kita berada di padepokan ini.”

“Apa salahnya,“ jawab Ki Bekel, “kita ikut berjaga-jaga atas lahirnya satu perguruan baru dan sekaligus kelahiran kembali padepokan ini.”

Bebahu itu pun tertawa. Katanya, “Jika demikian, kita menunggu kegembiraan ini selesai, meskipun sampai matahari terbit sekalipun.”

Ki Bekel itu pun tertawa pula. Sambil meneguk minuman panas ia berkata, “Kita akan berlomba, siapakah yang merasa kantuk lebih dahulu, ialah yang kalah.”

Dengan demikian maka Ki Bekel dan para bebahu itu tetap berada di padepokan itu meskipun sudah menjelang pagi. Namun ketika fajar mulai menyingsing, tiba-tiba seorang diantara mereka yang bertugas diatas regol padepokan itu telah datang tergesa-gesa mencari Mahisa Murti. Dengan gagap ia berkata, “Ada tamu di luar.”

“Siapa?“ bertanya Mahisa Murti.

“Aku tidak tahu,“ jawab orang itu.

Mahisa Murti pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian bersama Mahisa Pukat dan Mahendra, ia pun naik ke panggungan diatas regol. Ketiganya memang menjadi berdebar-debar. Oleh cahaya obor yang menggapai mereka, maka nampak lima orang yang berdiri di luar regol. Mereka bersenjata tongkat-tongkat panjang sebagaimana orang-orang perguruan Suriantal.

Beberapa saat ketiga orang yang berada diantara para pengawal diatas regol itu termangu-mangu. Namun ketika kelima orang itu bergerak maju, maka Mahendra pun berdesis, “bertanyalah kepada mereka.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun telah bertanya, “Ki Sanak. Siapakah Ki Sanak itu dan apakah keperluan Ki Sanak?”

“Beginikah caranya para pemimpin padepokan Suriantal menerima saudara-saudaranya,“ bertanya salah seorang diantara kelima orang itu.

“Maaf Ki Sanak,“ berkata Mahisa Murti kemudian, “beberapa saat yang lampau padepokan ini memang padepokan Suriantal. Tetapi sekarang padepokan ini bukan lagi padepokan Suriantal. Baru sejak malam ini padepokan ini bernama padepokan Bajra Seta.”

“Aku sudah mendengar tentang rencana itu,“ berkata salah seorang diantara kelima orang itu, “karena itu maka aku datang kemari. Namun bahwa padepokan ini kemudian bernama Bajra Seta, aku belum mendengarnya.”

“Jika demikian, sekaligus kau dapat mendengarnya pada saat kami melakukan upacara malam ini, menetapkan nama padepokan ini sebagai tempat tinggal dan pasat dari sebuah perguruan yang juga bernama perguruan Bajra Seta,“ berkata Mahisa Murti kemudian.

“Terima kasih,“ jawab salah seorang diantara mereka, “tetapi sekali lagi aku ingin bertanya, beginikah caranya kalian menyambut kedatangan kami?”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Ia pun kemudian berpaling kepada Mahendra dengan pandang penuh tanya. Mahendra pun kemudian mengangguk sambil berkata, “Persilahkan mereka masuk.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Pukat pun telah memberi isyarat kepada para pengawal di dekat pintu gerbang untuk membukanya. Sebelum pintu gerbang itu terbuka, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahendra pun telah berada di belakang pintu gerbang itu.

“Marilah,“ Mahisa Murti telah mempersilahkan kelima orang yang membawa tongkat panjang itu.

Kelima orang itu pun kemudian telah melangkah memasuki pintu gerbang. Mahisa Murti telah mempersilahkan mereka naik ke pendapa. Bersama Mahisa Pukat dan Mahendra, ia telah menemui kelima orang yang membawa tongkat panjang itu.

“Kami datang atas nama keluarga besar perguruan kita. Sudah lama Perguruan Suriantal tidak menyelenggarakan pertemuan keluarga. Karena itu, maka Maha Guru dari perguruan kita telah memanggil kita semuanya untuk berkumpul dan berbicara tentang perguruan kita,“ berkata orang itu. Lalu “Tetapi agaknya aku datang terlambat. Perguruan Suriantal di padepokan ini ternyata telah dengan sengaja memutuskan hubungan dengan kepemimpinan Maha Guru. Ternyata padepokan ini telah menentukan nama dan sikap sendiri. Ketika kami mendengar rencana ini, kami tidak segera percaya. Tetapi ketika kami tiba di sini, maka ternyata rencana itu benar.”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menjawab, Mahisa Pukat sudah mendahuluinya, “Kenapa kalian masih juga bermimpi? Kami bukan murid-murid dari keluarga besar Suriantal. Kami sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan perguruan itu.”

“Padepokan ini adalah salah satu diantara beberapa padepokan Suriantal. Di Tanah Jawa ada empat perguruan Suriantal yang diikat menjadi satu. Memang padepokan-padepokan yang sudah dianggap dewasa telah memilih namanya sendiri. Bahkan ada diantara perguruan itu benar-benar telah memisahkan diri dari induk perguruannya. Tetapi semuanya itu dilakukan atas ijin Maha Guru. Perguruan Manik Wungu adalah salah satu pecahan dari perguruan Suriantal. Tetapi perguruan Manik Wungu dengan mudah dapat dikenali bahwa perguruan itu adalah satu kelahiran baru dari perguruan Suriantal. Mereka masih tetap menunjukkan ciri perguruan besar dengan tongkat panjangnya,“ jawab salah seorang diantara mereka. Lalu “tetapi tidak dengan padepokan ini. Kalian yang ada di sini telah mengambil langkah-langkah sendiri.”

“Omong kosong,“ bentak Mahisa Pukat, “kami tidak mempunyai hubungan dengan kalian. Apakah kalian tidak tahu, beberapa perguruan pernah hadir disini dan bahkan telah menghilangkan kepribadian perguruan Suriantal itu sendiri. Sejak kehadiran mereka, maka seakan-akan padepokan Suriantal tinggal namanya saja. Usaha untuk menguasai Mahkota dari Kediri dan kemudian kerja yang lain yang dilakukan oleh padepokan ini, telah berubah sama sekali ujudnya sebagai hasil kerja orang-orang Suriantal.”

“Tetapi orang-orang Suriantal masih berkuasa disini. Atas ijin mereka, orang-orang dari perguruan lain itu berada disini,“ jawab seorang diantara mereka.

“Ternyata ikatan yang ada antara perguruan besar Suriantal yang dipimpin oleh seorang Maha Guru itu pun tidak banyak artinya. Kalian tidak tahu apa yang pernah terjadi disini. Dan kalian sekarang datang begitu terlambat,“ geram Mahisa Pukat.

“Kami memang datang terlambat,“ jawab salah seorang diantara mereka, “tetapi belum terlalu terlambat. Siapa pun kalian, tetapi kalian merupakan penerus dari perguruan dan padepokan Suriantal. Karena itu, kalian tidak berhak untuk merubah nama perguruan dan padepokan ini apa pun alasannya. Baru setelah kalian mendapat ijin kalian dapat mengumumkan nama perguruan dan padepokan ini dalam bentuknya yang baru. Tetapi jika tidak ada ijin itu, maka kalian tidak dapat melakukannya.”

“Sudah aku katakan, kami tidak mempunyai hubungan apa pun dengan perguruan Suriantal,“ tiba-tiba saja Mahisa Pukat membentak, “Ki Sanak. Jangan kalian berpura-pura. Kalian tahu siapa kami. Dan apa yang telah terjadi disini.”

Orang-orang bertongkat panjang itu mengerutkan keningnya. Namun mereka pun kemudian saling berpandangan. Baru kemudian seorang diantara mereka berkata, “Apa yang kau maksud berpura-pura itu anak muda.”

“Ki Sanak,“ jawab Mahisa Pukat, “aku tidak percaya apa yang kalian katakan. Aku belum pernah mendengar perguruan induk dari perguruan Suriantal. Jika kemarin kami menghancurkan perguruan Windu Putih yang datang dengan kekuatan tiga padepokan yang masih juga bernama Windu Putih, kami percaya bahwa Windu Putih memang mempunyai perguruan induk yang dipimpin oleh seorang Maha Guru menurut penilaian mereka, yang sayang sekali Maha Guru itu telah terbunuh disini.”

“Bohong,“ tiba-tiba seorang diantara kelima orang itu berteriak, “Omong kosong. Aku tidak percaya bahwa kalian dapat menghancurkan perguruan Windu Putih.”

“Terserah. Itu hak kalian. Percaya atau tidak percaya,“ jawab Mahisa Pukat, “namun sekarang, apa yang kalian kehendaki sebenarnya, mungkin kalian memang orang-orang dari perguruan Suriantal yang pernah meninggalkan padepokan ini karena sesuatu hal. Tetapi jangan sebut perguruan induk, Manik Wungu dan segala macam kebohongan itu.”

Orang-orang itu menggeretakkan giginya. Namun dalam pada itu Mahendra lah yang berkata, “Ki Sanak. Sebaiknya Ki Sanak mempelajari persoalannya dengan tuntas. Meskipun aku sependapat dengan Putut Mahisa Pukat ini, tetapi ternyata bahwa kalian memang kurang cermat mengamati keadaan.”

“Apalagi yang kau maksud?“ bertanya salah seorang dari kelima orang itu.

“Baiklah,“ berkata Mahendra mendahului anak-anaknya, “sekarang sebaiknya kalian katakan saja apa maksud kalian yang sebenarnya dan siapakah kalian. Kita tidak usah melingkar-lingkar dan mengambil alasan yang tidak sewajarnya. Tongkat panjang kalian memang menunjukkan ciri Suriantal. Tetapi kami tahu bahwa tongkat semacam itu dapat diambil di pinggir-pinggir jalan. Mungkin batang turi atau batang lamtara atau kayu metir. Jika tongkat itu tongkat yang memang kalian anggap sebagai senjata kalian, serta kalian memang orang-orang Suriantal yang pernah melarikan diri dari padepokan ini, apa sebenarnya yang kalian inginkan?”

Orang yang nampaknya paling berpengaruh diantara mereka itu pun bergeser maju. Dengan nada tinggi ia berkata, “Kalian jangan membuat persoalan Ki Sanak. Apa pun yang kalian katakan, Maha Guru mengharap kalian datang pada saat yang sudah ditentukan dalam pertemuan yang akan dipimpin langsung oleh Maha Guru kami.”

Mahendra mengerutkan keningnya. Namun ia pun bertanya, “Di mana dan kapan?”

“Saatnya adalah purnama naik di bulan depan. Sedang tempatnya adalah disini. Di padepokan Suriantal ini,“ jawab orang itu.

Mahendra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut mendengar jawaban itu. Sejenak mereka justru terdiam betapapun jantung mereka seakan-akan berdentang semakin keras.

“Kenapa kalian terkejut?“ bertanya orang itu, “kalian tidak akan dapat menolak. Itu keputusan Maha Guru. Dan padepokan ini adalah padepokan Suriantal.”

Mahendra lah yang kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi peristiwa sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Windu Putih itu akan terulang kembali. Kami sadar, bahwa yang kalian katakan itu adalah sekedar alasan yang tidak masuk akal. Tetapi yang akan kalian lakukan adalah satu cara yang barangkali kalian anggap paling baik untuk merebut padepokan ini dengan landasan yang seakan-akan masuk akal.”

“Apa pun jawaban kalian. Paling sedikit akan datang utusan dari empat padepokan. Dengar, bahwa yang datang hanyalah utusan dari empat padepokan. Tetapi Maha Guru juga mengundang beberapa padepokan yang dianggap sebagai sahabat. Ada tiga padepokan lain sudah menyatakan kesediaannya untuk datang dan berbicara sebagaimana pembicaraan antara keluarga sendiri. Memang tidak ada masalah yang penting. Tetapi karena hal seperti itu sudah lama tidak pernah kita lakukan, maka kita akan melakukannya di saat purnama naik di bulan depan,“ berkata orang yang paling berpengaruh diantara mereka.

“Ki Sanak,“ berkata Mahisa Murti, “apa pun alasannya maka yang akan kalian lakukan justru melampaui kelicikan orang-orang Windu Putih. Baiklah. Sebelum purnama naik bulan depan, kami sudah siap menerima kalian. Pintu gerbang kami akan berlapis baja dan dinding padepokan kami akan menjadi sekeras batu karang. Lakukan apa yang ingin kalian lakukan.”

Orang itu tiba-tiba menggeram. Katanya, “kau masih terlalu muda untuk mengenal kehidupan yang selengkapnya. Tetapi baiklah. Kita akan melihat apa yang akan terjadi.”

Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat pun berkata, “Tunggulah sebentar. Aku akan memanggil seseorang yang barangkali dapat berbicara banyak tentang padepokan Suriantal.”

Orang-orang bertongkat itu mengerutkan keningnya. Namun Mahisa Pukat sama sekali tidak menghiraukannya. Ketika ia lewat di depan Ki Bekel, ia sempat berkata, “Tidak ada apa-apa Ki Bekel. Hanya orang-orang yang ingin mendapat keuntungan bagi diri mereka sendiri.”

Ki Bekel itu mengangguk-angguk meskipun hatinya agak berdebar-debar juga. Sementara itu, Mahisa Pukat telah memanggil seorang yang umurnya sudah, merayap mendekati pertengahan abad. Orang itu terkejut ketika Mahisa Pukat bertanya, “Bukankah kau dahulu murid dari perguruan Suriantal.”

Orang itu terkejut. Ia tidak tahu, kenapa hal itu telah diungkit lagi oleh Mahisa Pukat. Karena itu, maka ia pun menjadi ragu-ragu untuk menjawab.

“Kenapa kau menjadi bingung,“ Mahisa Pukat yang agak tergesa-gesa mendesak, “bukankah kau orang Suriantal?”

Orang itu masih kebingungan. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Itu dahulu. Tetapi bukankah kita sudah bersepakat untuk melupakannya.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Maaf. Bukan maksudku untuk mempersoalkannya. Tetapi aku ingin kau mengenali orang-orang yang mengaku sebagai orang-orang Suriantal. Mungkin kau dapat membantu kami.”

Orang yang sudah hampir setengah abad itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Apa yang harus aku lakukan?”

“Ikutlah aku,“ jawab Mahisa Pukat.

Demikianlah, maka orang itu pun telah mengikut Mahisa Pukat menuju ke pendapa padepokan itu. Orang itu memang berdebar-debar melihat lima orang yang bersenjata tongkat panjang. Namun ketika ia naik ke pendapa, tiba-tiba saja wajahnya menjadi tegang. Dipandanginya salah seorang dari kelima orang itu dengan tajamnya. Namun dalam pada itu, orang yang dipandanginya itu pun menjadi tegang pula.

Orang-orang yang hadir di pendapa dengan segera mengetahui, bahwa keduanya tentu pernah berhubungan sebelumnya. Demikianlah orang itu duduk, maka Mahisa Pukat pun segera bertanya, “Apakah ada diantara mereka yang kau kenal?”

“Ya. Aku mengenalnya,“ berkata orang itu sambil menunjuk salah seorang diantara kelima orang itu.

“Aku kira kau sudah ditumpas mati bersama kawan-kawanmu,“ geram orang yang bertongkat panjang itu, “kenapa selagi kalian masih hidup, kalian biarkan orang lain menginjak-injak padepokan kita ini he?”

“Jangan asal saja bicara, agar tidak didahului,“ berkata bekas orang Suriantal, yang masih berada di padepokan itu, “kenapa kau melarikan diri pada waktu itu, justru pada saat kita memerlukan sekali keutuhan tekad. Bukan hanya kau. Tetapi beberapa orang yang sempat membuat seribu macam alasan. Kami mencoba bertahan disini. Tetapi pertempuran demi pertempuran telah benar-benar menghancurkan padepokan ini. Sehingga akhirnya, latar belakang kehidupan Suriantal yang tertinggal tidak ada lagi seperlima dari kehidupan di Padepokan ini. Nah apakah yang seperlima itu akan memaksakan kehendaknya atas yang empat perlima? Jika hal itu harus kami lakukan, apa saja yang pernah kau lakukan bagi Suriantal.”

Wajah orang itu menjadi merah. Lalu katanya, “Persetan dengan kau. Diluar padepokan ini aku telah menghidupkan kembali jiwa perguruan Suriantal.”

“Omong kosong,“ sahut orang yang tinggal di padepokan yang kemudian bernama Bajra Seta itu, “Guru sudah tidak ada. Apa yang akan dapat kami jadikan tuntunan?”

Orang yang bertongkat panjang itu tiba-tiba tertawa. Katanya, “Hidupmu bertumpu pada seseorang. Jika tumpuanmu itu runtuh, maka kau ikut runtuh seperti yang terjadi sekarang ini. Tanpa tumpuan baru, kau sama sekali tidak berarti sama sekali.”

Bekas orang Suriantal itu menjadi merah telinganya. Dengan nada geram ia berkata, “Itukah caramu menyembunyikan kelicikanmu. Bahkan pengkhianatanmu pada waktu itu dengan membiarkan kesulitan itu menjadi beban orang-orang yang kau tinggalkan melarikan diri sekedar memenuhi ketakutan yang membakar jantungmu?”

“Persetan,“ geram orang itu, “aku tidak peduli apapun. Sekarang Maha Guru menentukan, kita akan bertemu dan berbicara disini. Di padepokan Suriantal.”

“Maha Guru siapa?“ bertanya orang itu.

“Sejak dahulu kau selalu ketinggalan,“ jawab orang itu, “kau tidak perlu tahu sekarang. Tetapi padepokan ini harus dipersiapkan untuk menerima satu pertemuan antara perguruan-perguruan Suriantal dan beberapa perguruan yang akan menjadi tamu.”

“Perguruan-perguruan Suriantal yang mana yang kau maksud?“ bertanya bekas orang perguruan Suriantal itu, “ada berapa perguruan Suriantal menurut hitunganmu?”

“Kau benar-benar berpengetahuan picik sekali,“ jawab orang itu, “karena itu, kita tidak dapat berbicara lebih panjang. Bahan yang kau ketahui sama sekali tidak memadai kau pergunakan sebagai bekal berbicara dengan aku dan saudara-saudaraku ini.”

Orang itu terdiam. Tetapi wajahnya memang menjadi tegang. Dipandanginya orang-orang yang lain seorang demi seorang. Tetapi ia belum pernah mengenal mereka. Karena itu, maka ia pun berkata, “Aku belum pernah mengenal mereka.”

“Tentu,“ jawab orang yang mengaku dari perguruan Suriantal itu, “jika kau mengenalnya justru akan terjadi satu keanehan. Kau memang hanya mengenal padepokan ini. Mungkin ternaknya, sawah dan pategalannya atau barangkali satu dua kali mencuri kambing di padukuhan.”

“Tutup mulutmu,“ bentak bekas orang Suriantal itu, “kau kira aku tidak dapat berbuat sesuatu terhadapmu.”

Namun ketika orang itu bergeser, Mahisa Murti telah berdesis, “Tunggu. Kita akan berbicara.”

Orang bertongkat panjang itu tertawa. Sementara itu ia masih juga berkata, “Kau marah?”

“Tidak. Aku tidak jadi marah,“ jawab orang yang hampir saja meloncat menerkam itu.

“Kenapa?“ Orang bertongkat itu tiba-tiba saja ingin tahu.

“Tidak aku lupa mengingat, dengan siapa aku berbicara,“ jawab bekas orang Suriantal itu.

“Jadi kenapa?“ orang itu mendesak.

“Tidak apa-apa. Tetapi setelah aku ingat sepenuhnya, bukan saatnya untuk marah,“ jawab bekas orang Suriantal itu.

Orang bertongkat yang mengaku orang dari perguruan Suriantal itu justru menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “He, kenapa dengan kau? Apa yang kau ingat, sehingga kau tidak menjadi marah?”

“Aku baru ingat siapakah kau sebenarnya. Kedudukanmu diantara orang-orang Suriantal dan barangkali juga sikap dan tingkah lakumu. Kau adalah orang yang paling tidak disukai diantara kita, orang-orang Suriantal. Dan kini kau datang dengan cara yang tidak wajar sama sekali. Justru pada saat nama Suriantal telah mulai kita lupakan,“ berkata bekas orang Suriantal yang masih berada di padepokan itu.

“Kau mulai mengigau,“ berkata orang bertongkat itu, “sebaiknya aku tidak melayanimu. Aku datang dengan kepentingan yang jauh lebih besar dari berbicara dengan orang-orang yang tidak berarti seperti kau.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Sebaiknya kau tidak berbuat aneh-aneh sekarang ini disini. Kau harus melihat satu kenyataan. Satu kelahiran baru dari sebuah perguruan dan sekaligus padepokan ini. Lupakan mimpimu yang buruk itu. Seolah-olah ada beberapa padepokan Suriantal yang akan mengadakan pertemuan disini. Bahkan ada perguruan lain yang akan ikut hadir. Benar-benar satu mimpi yang bukan saja buruk, tetapi mimpi yang jahat. Karena dibalik mimpi itu terkandung niat yang memang jahat.”

“Tutup mulutmu,“ dua orang diantara orang bertongkat itu berteriak hampir bersamaan.

Tetapi orang itu justru tertawa. Kemudian ia pun berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Putut berdua. Inilah kenyataan dari orang-orang yang menyebut dirinya orang-orang dari perguruan Suriantal. Orang yang menyebut seorang Maha Guru dari perguruan yang telah mekar dan bahkan ada yang telah memiliki pribadinya sendiri dan apalagi.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Dengan nada datar Mahisa Murti berkata, “Kami memang sudah memperhitungkan bahwa yang akan kalian lakukan adalah satu tantangan. Tetapi apa boleh buat. Kami tidak akan dapat dengan suka rela menundukkan kepala kami dan membiarkan leher kami dipancung. Lebih baik menengadahkan kepala sambil menepuk dada sebagai laku seorang laki-laki.”

“Persetan,“ geram orang bertongkat yang agaknya memimpin kawan-kawannya itu, “kami sudah menyampaikan segala pesan Maha Guru. Jika kalian mencoba ingkar dari pesan itu, maka kalian akan mengalami akibat yang sang buruk.”

“Sudahlah,“ berkata Mahendra, “kami sudah mendapat gambaran serba sedikit tentang kalian dan siapa yang kau sebut sebagai Maha Guru itu. Karena itu kembalilah. Katakan kepada mereka, bahwa besok, di bulan depan pada saat purnama naik, kami tidak dapat menerima mereka yang kau sebutkan tadi disini. Katakan kepada Maha Gurumu bahwa disini tidak ada padepokan Suriantal sebagaimana kalian maksudkan.”

Kelima orang itu memandang Mahendra dengan sorot mata yang memancarkan gejolak di dalam dada mereka. Namun ternyata bahwa mereka berlima memang tidak berniat untuk berbuat sesuatu, karena mereka menyadari, bahwa mereka berlima tidak akan dapat melakukan apa pun juga. Sementara itu, langit pun telah menjadi terang. Cahaya matahari mulai membayang.

“Cukup,“ berkata orang yang agaknya memimpin kelima orang bertongkat itu, “kita akan pergi.”

“Ki Sanak,“ berkata Mahendra, “apa pun yang terjadi diantara kita, aku ingin mempersilahkan Ki Sanak menunggu minuman panas yang akan kami hidangkan.”

“Terima kasih,“ jawab orang bertongkat itu, “bukan waktunya untuk minum dan apalagi makan. Kami mengemban tugas dari Maha Guru. Karena itu, kami minta diri.”

Mahendra tidak menahannya lagi. Sejenak kemudian maka kelima orang bertongkat itu pun telah meninggalkan padepokan itu.

Ki Bekel yang menunggu keterangan tentang orang-orang bertongkat itu ternyata masih juga berada di padepokan. Dengan jantung yang berdebaran ia menemui Mahendra dan anak-anaknya sambil bertanya, “Apa yang telah terjadi?”

Mahendra lah yang menjawab sambil tersenyum, “Tidak ada apa-apa Ki Bekel. Agaknya memang wajar sekali jika setiap usaha itu akan mengalami hambatan. Mereka adalah orang-orang yang mengaku orang-orang perguruan Suriantal.”

“Ya,“ jawab Ki Bekel, “dahulu, penghuni padepokan ini memang bersenjata tongkat panjang. Hampir semua orang bersenjata tongkat. Namun kemudian telah terjadi perubahan-perubahan sehingga saat terakhir sekarang ini.”

“Satu permainan yang kotor dari orang-orang yang tidak tahu diri,“ berkata Mahendra.

“Tetapi, apakah ini satu pertanda bahwa pertentangan dan kekerasan akan terjadi lagi di padepokan ini?“ bertanya Ki Bekel.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia berkata, “Memang kami menjadi prihatin sekali akan keadaan seperti itu. Kami menginginkan suasana yang tenang dan damai. Namun sudah tentu bahwa kami harus mempertahankan hak kami terhadap siapa pun yang akan mengambilnya, seluruhnya atau bahkan hanya sebagian sekalipun.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Aku pun dapat menilai tentang hak itu atas padepokan ini sebagaimana aku lihat sejak kelahirannya sampai saat ini.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kami mohon maaf Ki Bekel. Apa pun yang terjadi disini tentu akan mempengaruhi kehidupan di padukuhan. Mudah-mudahan tidak akan selalu berulang setiap kali.”

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ki Bekel itu pun berkata, “Nampaknya kalian memang tidak dapat mengingkari kenyataan ini. Tetapi kami pun berdoa, semoga kalian tidak selalu mengalami kesulitan seperti ini. Sehingga pada satu saat, kalian benar-benar dapat hidup dengan damai di padepokan ini.”

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah kita akan bersama-sama berdoa. Kali ini pun kami mohon Ki Bekel juga berdoa agar kami dapat mengatasi kesulitan-kesulitan ini.”

Ki Bekel itu memandang Mahendra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti. Kemudian katanya dengan nada rendah, “Kalian masih harus mengalami cobaan-cobaan berat. Tetapi aku yakin bahwa kalian akan dapat mengatasinya.”

“Terima kasih Ki Bekel. Kami memang akan berbuat sejauh dapat kami lakukan untuk mempertahankan hak-hak kami,“ desis Mahisa Murti.

Ki Bekel itu pun kemudian telah minta diri. Sementara matahari telah mulai merayap di kaki langit. Bau asap yang masih mengepul ternyata telah diwarnai dengan kegelisahan yang timbul karena kedatangan lima orang bertongkat yang mengaku orang-orang Suriantal itu.

Namun sepeninggal Ki Bekel dan para bebahu maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berusaha untuk menghilangkan kegelisahan itu. Mereka pun telah menemui para penghuni padepokan yang baru saja disyahkan bernama padepokan Bajra Seta itu, dan mengatakan agar mereka melupakan kedatangan orang-orang bertongkat itu.

“Setidak-tidaknya untuk hari-hari ini,“ berkata Mahisa Pukat, “mereka tidak akan mengganggu kita sampai bulan purnama yang akan datang.”

“Bulan purnama?“ bertanya seseorang.

“Ya, Purnama di bulan ini sudah lewat. Karena itu, mereka baru akan datang kira-kira sebulan lagi,“ jawab Mahisa Pukat.

Para penghuni padepokan itu menjadi tenang. Bahkan mereka pun kemudian justru merasa mendapat dorongan untuk bekerja keras menyongsong kedatangan orang-orang yang ingin merebut hak atas padepokan Bajra Seta itu.

Dengan demikian, maka orang-orang padepokan itu masih sempat menghabiskan sisa-sisa kegembiraan mereka. Namun sebagian dari mereka telah mulai membersihkan halaman padepokan mereka yang menjadi kotor dan sampah pun berserakan di sana-sini.

Demikianlah untuk dua tiga hari, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum mengambil langkah-langkah penting. Meskipun demikian penjagaan atas padepokan itu nampaknya sudah mulai diperkuat.

Baru sepekan kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengumpulkan para pemimpin kelompok di padepokan itu, untuk memberitahukan selengkapnya, apa yang telah dikatakan oleh orang-orang bertongkat itu. Kepada bekas orang padepokan Suriantal yang telah menemui mereka, Mahisa Murti telah memberinya kesempatan untuk menceriterakan siapakah orang yang pernah dikenalinya di antara kelima orang itu.

Kawan-kawannya yang semula juga dari perguruan Suriantal ternyata telah mengenalinya pula. Seorang diantara mereka berkata, “Jadi pengecut itulah yang datang? Agaknya di tempatnya yang baru, ia merasa dirinya sebagai seekor burung rajawali, meskipun semula ia tidak lebih dari seekor bilalang sakit-sakitan.”

Beberapa orang yang juga mengenalinya tertawa. Seorang yang juga bekas murid perguruan Suriantal itu berkata, “Jika demikian, maka kita tidak perlu cemas.”

“Jangan merendahkan mereka,“ berkata Mahisa Murti, “mungkin orang itu dibawa sekedar untuk menjadi penunjuk jalan.”

“Tetapi menilik sikapnya diantara kelima orang itu, ia termasuk orang yang sederajad,“ berkata bekas orang Suriantal yang ikut menemui kelima orang bertongkat itu.

“Baiklah,“ berkata Mahisa Murti, “namun bagaimanapun juga kita harus berhati-hati. Mereka telah menyebut-nyebut Maha Guru bagi seseorang yang tentu mereka anggap penting. Ada empat padepokan yang akan terlibat langsung, sementara itu ada tiga padepokan yang akan diundang menjadi tamu. Nah, kita dapat membayangkan. Tujuh padepokan. Sementara padepokan Windu Putih yang datang itu tidak lebih dari tiga padepokan.”

“Bagaimanapun juga, kita tidak akan menundukkan kepala kita,“ berkata bekas orang Suriantal itu, “kita sudah bertekad untuk berdiri diatas reruntuhan-reruntuhan masa lampau. Jika kita memang harus runtuh lagi, maka biarlah kita runtuh bersama perguruan dan padepokan kita yang baru ini.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Dengan nada berat Mahisa Murti berkata, “Terima kasih atas tekad yang membara di hati kalian. Agaknya kita memang harus bertahan dengan kekuatan kita sendiri. Kita akan segan untuk sekali lagi mohon kepada Akuwu Sangling agar mempersiapkan pasukan dan membantu kita menghadapi ke tujuh padepokan itu.”

“Apakah kita benar-benar yakin, mereka akan datang?“ tiba-tiba seorang pemimpin kelompok bertanya.

Pertanyaan itu terdengar aneh. Tetapi ternyata pertanyaan itu telah menarik perhatian mereka yang ikut dalam pertemuan itu.

“Ya,“ seorang yang lain berdesis pula, “apakah mereka tidak sekedar membuat jantung kita selalu berdebaran. Setidak-tidaknya untuk satu bulan mendatang.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Pukat menjawab, “Kita akan memperhitungkannya kemudian. Tetapi apa salahnya jika kita berjaga-jaga menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang bagaimanapun juga.”

Orang-orang padepokan Bajra Seta itu mengangguk-angguk. Namun dengan nada rendah Mahisa Pukat justru bertanya, “Ada beberapa kemungkinan. Orang itu hanya sekedar mengganggu kita. Namun kemungkinan lain, setelah mereka melihat kekuatan yang ada di padepokan ini, mereka justru menyergap kita sebelum saat yang mereka tentukan. Mungkin mereka akan dapat membuat alasan, seakan-akan mereka mempersiapkan tempat bagi pertemuan yang akan mereka adakan itu disini.”

Mahisa Murti lah yang kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Memang, kemungkinan itu dapat terjadi. Karena itu, kita harus berhati-hati.”

Para pemimpin kelompok di padepokan itu memang menyadari kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi. Karena itu, maka mereka sepakat untuk meningkatkan penjagaan. Tetapi juga meningkatkan latihan-latihan sehingga secara pribadi mereka harus memiliki kelebihan dari orang-orang perguruan dan padepokan manapun juga, termasuk perguruan yang disebut-sebut bernama Suriantal.

Dalam pada itu, ketika pertemuan itu sudah dibubarkan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berbincang agak panjang dengan Mahendra. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang pernah bekerja sebagai petugas sandi di Kediri, berniat untuk menyelidiki kebenaran ceritera orang-orang bertongkat itu.

Tetapi Mahendra berkata, “Kau tidak perlu melakukannya. Kalian berdua tidak sepantasnya meninggalkan padepokan ini. Kalian adalah pemimpin dari padepokan ini.”

“Jadi bagaimana?“ bertanya Mahisa Murti.

“Biarlah aku kembali ke Singasari. Mungkin pamanmu yang mempunyai pengaruh di bidang keprajuritan di Singasari akan dapat memberikan jalan,“ berkata Mahendra.

Tetapi dengan serta merta Mahisa Pukat berkata, “Jangan ayah. Padepokan ini terletak di wilayah Kediri. Jika prajurit Singasari dalam susunan pasukan memasuki Kediri, meskipun Kediri merupakan satu kesatuan dengan Singasari, namun agaknya akan dapat memancing persoalan. Selama ini, Kediri masih mempunyai wewenang untuk mengurus dirinya sendiri meskipun harus mengakui kekuasaan Singasari.”

“Bukan maksudku untuk minta agar pamanmu mengerahkan pasukan Singasari dan diperbantukan disini. Tetapi mungkin pamanmu akan dapat mencari jalan untuk mengetahui kebenaran ceritera orang-orang bertongkat itu. Mungkin dua atau tiga orang petugas sandi akan dapat melakukannya.”

“Ayah,“ berkata Mahisa Murti, “aku berpendapat lain. Aku mohon ayah berada di padepokan ini untuk satu dua pekan. Atau mungkin sampai saatnya purnama naik itu. Biarlah kami berdua mencari jalan untuk mengetahui, apakah yang dikatakan oleh orang-orang itu benar.”

“Apa yang dapat kau lakukan?“ bertanya Mahendra.

“Ayah,“ berkata Mahisa Murti, “biarlah kami berdua melakukannya. Kami akan meninggalkan padepokan ini untuk waktu yang tidak terlalu lama. Bahkan jika dalam perjalanan kami mendengar berita perjalanan pasukan lawan, kami berdua akan segera kembali.”

Mahendra memang menjadi ragu-ragu. Tetapi ia dapat mengerti, bahwa jika Singasari langsung atau tidak langsung mencampuri persoalan yang terjadi di Kediri, maka mungkin sekali akan dapat memanggil persoalan meskipun tidak selalu berakibat demikian. Jika Singasari dapat memberikan alasan yang mapan, maka Kediri tentu akan dapat mengerti.

Karena itu, maka yang mungkin dimohon bantuannya adalah Pakuwon Sangling atau Lemah Warah yang masih berada di bawah kuasa Kediri. Atau bahkan Kediri itu sendiri. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih ingin mengetahui, apakah orang-orang bertongkat itu bukannya sekedar bermain-main.

Dengan menunjukkan beberapa alasan, akhirnya Mahendra melepaskan kedua anaknya pergi meninggalkan padepokan itu. Kepada para penghuninya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memberitahukan bahwa ayahnyalah yang untuk sementara akan tetap berada di padepokan.

“Latihan-latihan berikutnya akan dipimpin oleh ayah langsung,“ berkata Mahisa Murti.

Demikianlah, maka setelah berbenah diri, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bersiap untuk pergi. Di malam hari ia masih mengumpulkan para pemimpin kelompok. Namun kemudian keduanya pun telah minta diri dan meninggalkan beberapa pesan bagi mereka.

“Kami titipkan padepokan ini kepada kalian dibawah pimpinan ayah Mahendra. Jika kalian mengakui kepemimpinan kami, maka kalian pun akan mengakui kepemimpinan ayah, karena kami berdua justru mengakui bahwa ayah adalah guru kami,“ berkata Mahisa Murti.

Meskipun para pemimpin kelompok itu tidak menjawab, namun pada sorot mata mereka, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat menangkap kesediaan para pemimpin kelompok itu. Di pagi hari berikutnya, menjelang matahari terbit, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berangkat meninggalkan padepokannya. Mereka berniat untuk mengetahui kebenaran ceritera kelima orang bertongkat itu. Satu-satunya ancar-ancar yang dapat mereka pakai sebagai sasaran adalah padepokan Manik Wungu.

“Dimanakah kira-kira letak padepokan Manik Wungu,“ bertanya Mahisa Pukat.

“Apa salahnya jika kita bertanya kepada orang yang kita anggap mempunyai pengamatan yang luas,“ jawab Mahisa Murti.

“Siapa?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Apa salahnya jika kita menghadap Akuwu Lemah Warah,“ jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Kita akan menghadap Akuwu Lemah Warah. Mungkin Akuwu pernah mendengar nama perguruan Manik Wungu.

Ternyata keduanya memang sependapat untuk langsung menuju ke Pakuwon Lemah Warah. Demikianlah, kedua anak muda yang telah mengangkat diri sebagai pemimpin sebuah perguruan dan pemimpin padepokan itu telah menuju ke Lemah Warah. Meskipun Akuwu Lemah Warah itu orang lain bagi mereka, namun Akuwu telah mengaku mereka sebagai kemanakannya. Bahkan rasa-rasanya, sikap Akuwu Lemah Warah itu bukan sekedar diucapkan, tetapi benar-benar terpahat di dalam hati. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah anak-anak muda yang telah dapat menarik perhatiannya.

Ternyata kehadiran kedua anak muda itu memang disambut dengan gembira. Akuwu Lemah Warah yang pernah berada di padepokan Bajra Seta yang sebelumnya disebut padepokan Suriantal itu mendengarkan ceritera Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentang padepokan mereka dengan sungguh-sungguh. Sekali-kali wajahnya nampak berkerut. Namun kemudian mengangguk-angguk kecil. Sehingga akhirnya Mahisa Murti-pun mengakhiri ceriteranya dengan sebuah pertanyaan,

“Ampun Akuwu, apakah Akuwu mengetahui serba sedikit tentang sebuah perguruan atau padepokan yang bernama Manik Wungu? Perguruan itulah yang pernah disebut-sebut oleh orang-orang bertongkat yang mengaku dari perguruan Suriantal itu.”

Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Anak-anakku. Ternyata kalian berhadapan dengan sekelompok siluman.“

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Dengan nada rendah Mahisa Pukat bertanya, “Apakah maksud Akuwu dengan sekelompok siluman?”

“Dengarlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,“ berkata Akuwu Lemah Warah, “perguruan Manik Wungu adalah perguruan dari orang-orang yang tidak lagi mengikatkan diri dengan martabat kemanusiaan mereka. Perguruan itu tidak terlalu besar, tetapi sangat berbahaya.”

“Jadi apakah menurut Akuwu, perguruan itu benar-benar merupakan cabang atau satu perkembangan dari perguruan Suriantal?“ bertanya Mahisa Murti.

“Aku sama sekali tidak melihat persamaannya sama sekali antara kedua perguruan itu,“ berkata Akuwu, “yang aku tahu, perguruan Manik Wungu itu bergerak di tempat-tempat yang jauh. Letak padepokannya pun tidak terlalu dekat dengan Pakuwon Lemah Warah ini. Agaknya orang-orang Manik Wungu telah menjadi jera memasuki Pakuwon Lemah Warah, karena aku pernah mengambil tindakan yang tidak tanggung-tang-gung terhadap padepokan itu. Aku pernah menghancurkannya hampir enam tahun yang lalu. Namun aku memang mendengar bahwa padepokan dan perguruan Manik Wungu telah tumbuh kembali.”

“Agaknya mereka telah bekerja bersama dengan pelarian dari padepokan Suriantal,“ berkata Mahisa Pukat.

“Memang mungkin sekali,“ jawab Akuwu Lemah Warah, “orang-orang Manik Wungu akan senang sekali menerima pelarian dari Suriantal untuk memperkuat kedudukan mereka.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Orang-orang Suriantal yang putus asa itu telah terperosok ke dalam sarang siluman yang garang. Jika pada dasarnya orang-orang Suriantal bukannya orang-orang yang tidak menghiraukan martabat kemanusiaannya, namun mereka yang kehilangan pegangan, ternyata telah terjerat ke dalamnya.

Dalam pada itu, Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Ampun Akuwu. Agaknya kami berdua harus mencari keterangan tentang padepokan Manik Wungu untuk meyakinkan, apakah benar mereka akan datang di saat purnama naik di bulan mendatang.”

Akuwu Lemah Warah itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sebaiknya bukan kalian. Biarlah orang-orangku pergi ke Manik Wungu. Ada diantara mereka yang akan dapat mengadakan hubungan dengan penghuni padepokan itu dengan caranya.”

“Bukankah kerja itu kerja yang berbahaya?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Orang-orang yang akan aku kirim, tentulah orang-orang yang menyadari akan bahaya itu. Namun memang ada diantara mereka yang mengenali satu dua orang Manik Wungu yang garang itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Lalu dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Jika demikian, apa yang harus kami lakukan kemudian?”

“Menunggu orang-orangku itu disini,“ berkata Akuwu Lemah Warah.

“Tetapi apakah itu pantas, bahwa justru kami yang berkepentingan sekedar menunggu disini, sementara orang lain harus bekerja keras dengan mempertaruhkan nyawanya,“ desis Mahisa Murti.

“Bukan begitu,“ berkata Akuwu Lemah Warah, “aku tahu siapa kalian berdua. Aku pun tahu apa yang pernah kalian lakukan. Kalian juga pernah melakukan tugas sandi, sehingga kalian tidak akan gentar menghadapi segala persoalan yang mungkin timbul dalam tugas-tugas kalian yang berat. Tetapi jika aku akan memerintahkan orang-orangku itu semata-mata karena medan yang lebih kami kuasai dari pada kalian...”

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 54

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 54
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

SEBENARNYALAH, meskipun jumlah prajurit dari pasukan berkuda itu pun juga susut, tetapi jumlahnya dalam perbandingan dengan orang-orang Windu Putih agaknya berlipat ganda. Selain kejutan-kejutan gelombang kedatangan mereka, maka agaknya pasukan berkuda itu memang mempunyai kesempatan yang lebih baik di tempat yang luas sebagaimana di depan padepokan Suriantal itu.

Karena itu, maka setiap kali perhatian murid terpercaya dari pemimpin perguruan Windu Putih itu memang telah terguncang. Sehingga dengan demikian, maka kadang-kadang ia harus meloncat surut untuk mengambil jarak, jika keadaan menjadi sulit.

Tetapi dalam keadaan yang paling gawat, maka murid tertua dari perguruan Windu Putih itu tidak sempat lagi untuk memperhatikan keadaan orang-orangnya. Ketika Mahisa Bungalan menyerangnya seperti prahara.

Pertempuran antara kedua orang itu pun menjadi semakin sengit. Murid Windu Putih itu tidak lagi mau membagi perhatiannya. Dipusatkannya segenap kemampuannya untuk melawan Mahisa Bungalan. Namun betapapun juga ia berusaha, Mahisa Bungalan selalu berhasil mendesaknya.

Namun dalam batas kemungkinan terakhir, orang itu harus mengerahkan kemampuan puncaknya. Ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus melepaskan ilmunya dengan daya lontar menggetarkan.

Demikianlah, ketika keduanya sedang terlibat dalam pertempuran yang sengit, tiba-tiba saja murid terpercaya dari Windu Putih itu telah meloncat mengambil jarak. Ia memang memerlukan waktu sekejap untuk membangunkan ilmunya yang akan mampu menyerang lawannya dari jarak tertentu. Namun Mahisa Bungalan menyadari bahaya itu. Karena itu, maka ia pun telah bersiap menghadapinya.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian, murid Windu Putih itu telah mengangkat tangannya. Dari telapak tangannya seakan-akan telah terhempas kekuatan yang dahsyat mengarah ke tubuh Mahisa Bungalan. Namun Mahisa Bungalan dengan cepat melenting menghindarinya. Ia bukan saja meloncat menyamping, tetapi kemampuannya bergerak cepat benar-benar diluar jangkauan kemampuan lawannya, ketika ia justru meloncat mendekat.

Lawannya tidak sempat mempersiapkan serangan berikutnya, sehingga karena itu, maka ia terpaksa melenting mengambil jarak. Namun Mahisa Bungalan yang menyadari, telah berusaha untuk memburunya. Murid Windu Putih itu memang mempunyai waktu sekejap. Dengan tergesa-gesa ia sempat juga melontarkan ilmunya. Namun justru karena ia tergesa-gesa, maka sasarannya sama sekali tidak mampu dikenainya. Bahkan dalam waktu yang sekejap, serangan Mahisa Bungalan lah yang datang menerkamnya.

Murid Windu Putih itu berusaha untuk menghindar. Demikian sulitnya kemungkinan yang dapat ditempuhnya, sehingga ia justru telah menjatuhkan dirinya berguling beberapa kali. Murid perguruan Windu Putih itu tidak sempat untuk bangkit. Masih sambil berbaring, ia telah menyerang Mahisa Bungalan dengan ilmunya yang menggetarkan itu. Tanpa bangkit, ia telah menggerakkan tangannya.

Seperti yang pernah terjadi, dari tangannya, telah menyambar kekuatan ilmunya yang dahsyat. Mahisa Bungalan memang terkejut mendapat serangan itu. Dengan serta merta ia-pun telah berusaha untuk mengelak. Tetapi ternyata bahwa kekuatan lawannya itu masih sempat menyambar pundaknya, sehingga Mahisa Bungalan telah terlempar selangkah surut.

Lawannya melihat serangannya berhasil. Ia pun dengan sigapnya meloncat berdiri. Namun pada saat yang demikian, Mahisa Bungalan pun telah melenting pula. Bahkan ketika lawannya bersiap untuk menyerangnya, Mahisa Bungalan yang menjadi sangat marah karena sentuhan serangan lawannya itu telah mendahuluinya. Dengan kecepatan yang tidak teratasi oleh lawannya, Mahisa Bungalan telah meloncat mendekat. Satu kakinya telah terjulur hampir saja mengenai dada lawannya. Namun lawannya sempat mengelak dan meloncat ke samping.

Mahisa Bungalan tidak mau kehilangan kesempatan itu. Ia pun dengan cepat memburu. Namun sekali lagi langkahnya tertahan, ketika lawannya melontarkan serangan sekali lagi. Mahisa Bungalan berdesis. Lengannyalah yang telah tersentuh serangan itu. Namun dengan demikian, Mahisa Bungalan tidak lagi menahan dirinya. Kemarahannya benar-benar telah memuncak. Karena itu, maka dihentakkannya segenap kemampuan ilmunya untuk mengatasi kemampuan lawannya melontarkan ilmunya itu.

Mahisa Bungalan pun kemudian bergerak cepat sekali, seperti bayangan yang tidak berjejak diatas tanah. Namun tiba-tiba saja ia sudah berputar dekat sekali dengan lawannya. Ketika lawannya sempat melepaskan serangan, maka Mahisa Bungalan justru sudah berada di belakangnya. Pada saat-saat yang berat bagi Mahisa Bungalan itulah, maka ia telah mempergunakan segenap kemampuan yang ada pada dirinya. Bukan saja kecepatan gerak, tetapi juga kekuatan ilmunya yang jarang ada duanya.

Ketika lawannya tiba-tiba saja berputar ke arahnya dan bersiap menggerakkan tangannya, maka Mahisa Bungalan telah meloncat mendahuluinya. Ia tidak saja mempergunakan kekuatan wadagnya, tetapi di tangannya telah terpusat kekuatan ilmunya Gundala Sasra yang diwarisinya dari Mahisa Agni. Semula Mahisa Bungalan memang ingin mengenai lawannya di dahinya. Namun sesuatu telah mengekangnya, sehingga arah tangannya pun telah bergeser ke samping.

Murid Windu Putih itu tidak sempat mengelak lagi. Pundaknya lah yang kemudian dihantam oleh kekuatan ilmu Mahisa Bungalan yang dahsyat, sehingga orang itu telah terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya kemudian terbanting di tanah. Sekali ia menggeliat, namun kemudian ia tidak bergerak lagi.

Mahisa Bungalan termangu-mangu. Perlahan-lahan ia mendekati lawannya. Ternyata bahwa lawannya benar-benar sudah tidak bergerak sama sekali. Meskipun demikian Mahisa Bungalan tidak dengan serta merta menghampirinya. Ia masih berdiri selangkah dari orang yang terbaring diam itu.

Sementara itu, orang-orang Windu Putih yang melihat salah seorang pemimpinnya terkapar di tanah, tidak sempat mendekatinya. Sekelompok orang Windu Putih yang ingin mendekat, selalu dihalau oleh pasukan-pasukan berkuda yang menjadi semakin mapan, justru karena murid terpercaya dari Windu Putih itu dikalahkan oleh Akuwu Sangling. Namun, terasa luka-luka Akuwu Sangling itu pun menjadi semakin pedih.

Tetapi Akuwu Sangling itu berusaha untuk mengatasi perasaan sakitnya. Bahkan kemudian, ketika ia sudah yakin bahwa lawannya memang tidak akan bergerak lagi, ia pun telah mendekatinya. Tiga orang prajurit berkuda telah meloncat dari kudanya. Seorang diantaranya adalah Senopati yang memimpin pasukan berkuda itu pada gelombang kedua. Mereka pun kemudian telah berjongkok pula ketika Mahisa Bungalan pun berjongkok di sisi tubuh murid terpercaya dari Windu Putih itu.

Namun Mahisa Bungalan telah menggelengkan kepalanya. Ternyata kekuatan ilmunya Gundala Sasra yang dilontarkan sepenuh kemampuan ilmunya itu, tidak melukai tubuh lawannya itu sama sekali. Pundaknya pun sama sekali tidak terkelupas kulitnya. Tetapi ketika Mahisa Bungalan meraba pundak itu, maka ia pun mengetahui bahwa beberapa tulang telah menjadi goyah, meskipun juga tidak patah.

“Bukan main,“ desis Mahisa Bungalan, “orang ini sudah ada di permulaan ilmu kebal, meskipun belum mapan.”

“Ilmu kebal?“ ulang Senopati yang ada di belakangnya.

“Ya. Ilmuku tidak melukai kulitnya. Tetapi luka di dalam bagian tubuhnya, ternyata telah mencekiknya dari dalam. Sehingga akhirnya ia mati juga,“ berkata Akuwu Sangling.

“Bukan karena ilmu kebalnya belum mapan,“ berkata Senopati itu, “tetapi kekuatan ilmu Akuwu yang tidak ada duanya,“ berkata Senopati itu.

“Tidak terlalu baik,“ berkata Akuwu, “pertempuran ini telah memperingatkan aku untuk berbuat lebih banyak lagi.”

Senopati itu tidak menjawab lagi. Tetapi ia memang melihat orang yang terbaring itu sama sekali tidak terluka. Dalam pada itu, maka para prajurit berkuda pun seakan-akan menjadi semakin garang. Bahkan sekelompok diantara mereka telah menerobos pertempuran dan memasuki padepokan.

Dengan demikian, maka keseimbangan pertempuran di dalam padepokan itu pun telah terguncang. Pasukan berkuda itu dengan garangnya telah bergerak sepanjang dinding padepokan. Tetapi ternyata bahwa kesempatan bagi pasukan berkuda itu lebih besar di luar padepokan yang luas daripada di dalam lingkungan padepokan, sehingga karena itu, maka para prajurit berkuda itu memang nampak lebih garang jika bertempur di luar.

Meskipun demikian, kehadiran pasukan berkuda itu benar-benar telah membuat orang-orang Windu Putih menjadi semakin cemas. Orang-orang dari padepokan Suriantal yang bebannya telah dikurangi, merasa menjadi semakin longgar lagi untuk bernafas. Karena itu, maka mereka yakin, bahwa mereka akan dapat bertahan sampai matahari terbenam. Jika orang-orang Windu Putih menjadi kehilangan nalar dan tidak menghentikan pertempuran, maka orang-orang dari padepokan Suriantal pun tidak akan gentar menghadapinya.

Yang bertempur diantara para pengikut dari perguruan Windu Putih dan orang-orang padepokan Suriantal adalah para pemimpin mereka pula. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan kemampuan mereka yang telah berhasil mengimbangi kemampuan murid-murid terpercaya dari Windu Putih. Bahkan semakin lama menjadi semakin nyata, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan dapat mengatasi lawan-lawannya itu. Sedangkan di sisi lain, Mahendra tetap merupakan hantu bagi orang-orang perguruan Windu Putih.

Dengan demikian, meskipun jumlah orang-orang Windu Putih dari tiga padepokan yang besar, ia semula jauh lebih banyak dari orang-orang dari padepokan Suriantal, namun ternyata kemudian bahwa akhirnya, jumlah orang-orang Windu Putih itu cepat menjadi susut.

Kenyataan itu tidak dapat dihindari oleh orang-orang Windu Putih. Mereka harus mengakui, bahwa jumlah mereka telah jauh berkurang. Sementara itu, mereka merasa bahwa mereka sama sekali tidak lagi mendapat perlindungan dari para pemimpin mereka.

Sementara itu di tengah-tengah padepokan, justru di tempat yang terpisah dari pertempuran yang tersebar. Kiai Windu Putih masih bertempur melawan guru Akuwu Singling yang lama. Keduanya memang memiliki kemampuan yang seimbang. Dengan berbagai cara mereka telah menunjukkan kemampuan mereka. Namun apa yang dapat dilakukan oleh yang seorang, yang lain pun dapat melakukannya pula.

Karena itu, maka masih belum ada tanda-tanda bahwa salah seorang diantara mereka akan kalah. Sekali-sekali Kiai Windu Putih terdesak, namun kemudian guru Akuwu Sangling itulah yang harus melenting menghindari serangan lawannya.

Namun dengan demikian keduanya tidak lagi sempat menghiraukan apa yang telah terjadi di padepokan itu. Kiai Windu Putih terlalu percaya dan yakin akan murid-muridnya serta jumlah yang besar dari orang-orangnya. Namun Kiai Windu Putih tidak sempat memperhitungkan apa yang dapat dilakukan oleh pasukan berkuda dari Sangling serta kedatangan Akuwu Sangling sendiri.

Karena itu, maka Kiai Windu Putih benar-benar memusatkan perhatiannya kepada lawannya, orang yang mengaku guru dari Akuwu Sangling itu. Dengan penuh kebencian, maka ia memang bertekad untuk membunuhnya, karena selama orang itu masih hidup, maka ia akan selalu membayanginya dengan dendamnya, karena anak orang itu telah dijeratnya ke dalam maut, meskipun dengan cara yang licik dan rumit, sehingga tidak mudah untuk diketahui oleh orang lain. Semua orang mengira, bahwa anak itu memang meninggal karena sakit yang tidak terobati, meskipun Kiai Windu Putih nampaknya sudah memanggil orang-orang yang berilmu dalam pengobatan.

Tetapi guru Akuwu Sangling itu ternyata tidak dapat dikelabuinya. Anak yang tidak lain adalah anaknya itu, memang telah dibunuh dengan perlahan-lahan. Betapa dendam menyala di hati orang itu, sehingga ia selalu berusaha untuk mendapatkan kesempatan. Tetapi karena Kiai Windu Putih ternyata berhasil menyusun satu perguruan yang besar dan bahkan membangun tiga padepokan dengan pengikut yang cukup banyak, maka guru Akuwu Sangling itu tidak dapat melakukan balas dendam begitu saja.

Ketika seorang muridnya menjadi Akuwu di Sangling, ia berharap, bahwa dengan kekuatan yang ada di Sangling ia akan dapat menyerang perguruan Ki Windu Putih, sehingga ia akan dapat membuat perhitungan dengan orang yang telah membunuh anaknya itu. Jika para pengikut Kiai Windu Putih dapat diikat dalam pertempuran melawan para prajurit Sangling, maka ia akan mendapat kesempatan bertemu seorang dengan seorang untuk membuat perhitungan sebagai orang laki-laki.

Tetapi muridnya yang menjadi Akuwu Sangling itu ternyata bukannya seorang yang dapat diharapkan. Ia adalah seorang yang akhirnya jatuh ke dalam sikap yang tercela. Ketamakan dan nafsu yang berlebihan tanpa menghiraukan gurunya lagi. Karena itu, maka gurunya itu sama sekali tidak berkeberatan ketika akhirnya Akuwu Sangling itu terbunuh.

Namun akhirnya niatnya itu pun dapat juga dipenuhinya. Bertemu dan mendapat kesempatan untuk membuat perhitungan dengan Kiai Windu Putih. Karena itu, maka guru Akuwu Sangling itu tidak lagi mempunyai perhitungan lain kecuali untuk membalas sakit hatinya. Ternyata dalam keadaan yang demikian, ia tidak saja merasa bahwa anaknya telah disingkirkan, tetapi telah terungkat pula kebenciannya kepada orang yang telah mengambil istrinya itu.

Jika semula ia seolah-olah telah mengiklhaskannya, justru karena anaknya terbunuh, maka dendamnya rasa-rasanya menjadi berlipat ganda. Dengan demikian maka pertempuran antara kedua orang itu menjadi semakin seru. Dengan ilmu yang tinggi keduanya telah saling menyerang, menghindar dan membenturkan ilmu mereka yang bersumber dari ilmu yang sama.

Sementara itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih juga bertempur melawan murid-murid terpercaya dari perguruan Windu Putih. Betapapun murid-murid Windu Putih itu mengerahkan kemampuan mereka, namun ternyata mereka memang tidak dapat melampaui kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu.

Dalam saat-saat yang gawat, maka kedua orang murid Windu Putih itu memang tidak akan dapat menghindarkan diri dari penggunaan ilmu puncak mereka. Sebelum orang-orangnya menjadi semakin susut, maka mereka berniat untuk mengakhiri perlawanan kedua orang yang mengaku sebagai Putut itu.

Dengan demikian maka kedua orang murid dari perguruan Windu Putih itu telah berusaha untuk menyibakkan pertempuran, sehingga mendapat kesempatan untuk bertempur di arena yang lebih luas. Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak berkeberatan. Keduanya pun telah bersiap menghadapi kedua orang murid dari perguruan Windu Putih itu, apa pun yang akan mereka lakukan.

Ternyata dalam kesempatan itu, kedua orang murid terpercaya dari perguruan Windu Putih itu sempat memperhatikan pertempuran meskipun hanya sekilas. Mereka melihat bahwa keadaan orang-orangnya menjadi semakin parah. Apalagi ketika mereka kemudian melihat beberapa orang prajurit berkuda berpacu di dalam lingkungan padepokan itu.

Namun mereka tidak mendapat kesempatan terlalu banyak. Ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera menghadapi mereka. Sehingga karena itu, mereka pun segera telah terlibat lagi dalam pertempuran. Namun murid-murid perguruan Windu Putih itu pun telah mengambil sikap. Mereka harus membinasakan lawan-lawan mereka dengan cepat sehingga mereka akan segera dapat membantu orang-orangnya yang mengalami kesulitan.

Karena itu, maka kedua orang itu pun segera sampai ke ilmu puncaknya. Sebagaimana murid tertua dari perguruan Windu Putih, maka kedua orang itu pun mampu melepaskan kekuatan ilmunya, menyerang lawan-lawannya pada jarak tertentu.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun memiliki ilmu yang mampu mengimbanginya. Ketika murid-murid Windu Putih itu menyerang mereka dari jarak jauh, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat menghindarinya. Serangan-serangan berikutnya pun sempat dihindarinya pula. Bahkan kemudian baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat tidak membiarkan dirinya diburu oleh serangan-serangan lawan-lawannya.

Ketika mereka mendapat kesempatan, maka sambil melenting berkisar dari tempatnya, maka keduanya telah mempersiapkan diri. Demikian mereka berdiri tegak, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah melepaskan serangan pula dari tempat mereka berdiri menyambar lawan-lawan mereka.

Dengan demikian maka pertempuran diantara mereka-pun semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua orang-orang murid Windu Putih itu pun sempat pula menghindari serangan itu. Bahkan lawan Mahisa Murti telah meloncat ke samping sambil menjatuhkan dirinya, sehingga serangan Mahisa Murti sama sekali tidak menyentuhnya. Sebelum Mahisa Murti menyerangnya lagi, maka sambil melenting tegak, orang itu telah menghentakkan tangannya.

Tetapi serangannya yang dilontarkan dengan tergesa-gesa itu kurang terarah, sehingga dengan bergeser selangkah, Mahisa Murti sudah bebas dari sentuhan serangan itu. Tetapi Mahisa Murti lah yang kemudian telah membidikkan serangannya. Dengan cepat ia telah menggerakkan tangannya. Hentakkan kekuatannya telah meluncur mengarah ke lawannya. Demikian cepatnya, sehingga lawannya itu pun telah terkejut karenanya.

Karena itu, sekali lagi ia telah menjatuhkan diri dan berguling di tanah. Namun secepat itu pula ia telah melenting berdiri. Agaknya orang itu tidak mau didahului lagi oleh lawannya. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa pula ia telah melontarkan serangannya. Namun ia tidak mau serangannya itu tidak mengarah tepat ke sasaran.

Mahisa Murti memang melihat orang itu melepaskan serangannya. Tetapi ia sudah bertekad untuk menyelesaikan pertempuran itu. Karena itu, maka ia sekali tidak ingin menghindar. Bahkan apa pun yang terjadi, Mahisa Murti berniat untuk membentur serangan itu dengan kekuatan ilmunya.

Karena itu, ketika lawannya melepaskan ilmunya, Mahisa Murti pun telah melakukannya pula. Ia telah menghentakkan segala kemampuan yang ada padanya. Dengan berdiri kokoh pada kedua kakinya yang renggang Mahisa Murti telah mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangan menghadap ke arah lawannya. Seakan-akan dari telapak tangan itu telah meluncur kekuatan ilmunya yang luar biasa, yang diwarisi dan kemudian dikembangkan dan ditingkatkannya atas tuntunan beberapa orang yang dianggapnya sebagai gurunya.

Sejenak kemudian telah terjadi benturan yang sangat dahsyat. Kedua kekuatan ilmu yang dahsyat telah saling menghantam dengan kekuatan masing-masing. Namun ternyata bahwa kekuatan kedua ilmu itu tidak sama. Kekuatan ilmu yang lebih besar telah mendorong kekuatan ilmu yang lebih kecil, seakan-akan kembali ke dalam sumbernya.

Karena itulah, maka tiba-tiba terdengar teriakan kesakitan. Lawan Mahisa Murti itu telah terlempar beberapa langkah surut. Jika kemudian ia terjatuh dan terguling, sama sekali bukan untuk menghindari, tetapi ia memang telah didera dengan dahsyatnya oleh kekuatan ilmu Mahisa Murti yang seakan-akan telah mendorong ilmunya dan berbalik menghantam bagian dalam dirinya sendiri.

Sejenak kemudian, maka orang itu pun telah terbaring diam. Demikian dahsyatnya benturan itu terjadi, sehingga jantung orang itu rasa-rasanya bagaikan terbakar oleh ilmunya sendiri yang didorong ke arah sumbernya oleh kekuatan ilmu Mahisa Murti.

Namun itu tidak berarti bahwa Mahisa Murti tidak mengalami kesulitan di dalam dirinya. Ketika benturan itu terjadi, ternyata bahwa sebagian getaran ilmunya pun telah terdorong kembali. Meskipun tidak sedahsyat benturan di dalam diri lawannya, namun terasa bahwa dada Mahisa Murti itu pun bagaikan terhimpit oleh sebongkah batu padas.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah terduduk. Ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali memusatkan nalar budinya untuk mengatasi kesulitan di dalam dadanya dan pernafasannya. Karena itu, Mahisa Murti tidak mendengar teriakan yang membahana diantara orang-orang padepokan Suriantal yang melihat lawan Mahisa Murti itu jatuh terbaring dan tidak bergerak lagi.

Namun dalam pada itu, beberapa orang dari perguruan Windu Putih yang melihat keadaan Mahisa Murti ingin memanfaatkan keadaan itu. Apalagi ketika mereka melihat salah seorang pemimpinnya terjatuh. Dengan garangnya mereka telah menyerang Mahisa Murti yang sedang berusaha untuk memperbaiki keadaannya.

Tetapi mereka tidak pernah sempat mencapai Mahisa Murti. Beberapa orang padepokan Windu Putih yang dengan pedang teracu siap untuk membantai Mahisa Murti yang baru dalam keadaan yang khusus itu, telah membentur kekuatan dari padepokan Suriantal. Beberapa orang padepokan Suriantal yang melihat keadaan Mahisa Murti, tidak saja sekedar berteriak mengungkapkan kemenangannya atas lawannya, tetapi mereka pun dengan serta merta telah melindunginya.

Karena itu, maka dengan cepat, orang-orang dari padepokan Suriantal telah berada di sekitar Mahisa Murti. Dengan garangnya mereka telah mendesak orang-orang Windu Putih yang ingin mempergunakan kesempatan itu untuk menghancurkannya.

Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat yang masih bertempur ternyata telah berdesis menahan sakit ketika pundaknya tersentuh serangan lawannya. Demikian kuatnya sehingga Mahisa Pukat telah terputar di tempatnya. Agaknya lawannya tidak mau kehilangan kesempatan yang baik itu. Sekali lagi telah menyerang Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat sempat melihat serangan itu. Dengan sigapnya ia telah menjatuhkan diri dan berjongkok rendah. Dengan demikian maka serangan lawannya tidak mengenainya.

Sementara itu, betapa sakit luka yang dideritanya, tetapi Mahisa Pukat telah menghentakkan sisa kekuatan dan kemampuannya. Tanpa bangkit berdiri, maka ia telah mengangkat tangannya sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Murti di saat ia menyerang lawannya dengan kemampuan ilmunya. Serangan itu sama sekali tidak diduga oleh lawannya. Karena itu maka murid Windu Putih itu terkejut sekali. Namun ia sudah tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu.

Karena itu, maka sebelum ia sempat menemukan jalan untuk mengatasi persoalannya, maka serangan Mahisa Pukat telah menghantam dadanya. Meskipun di saat Mahisa Pukat melepaskan ilmunya, ia masih dibebani perasaan sakit di pundaknya yang terluka, namun serangan ilmunya masih juga mampu menghancurkan isi dada lawannya. Tulang-tulang rusuknya telah berpatahan, sementara jantungnya bagaikan runtuh dari tangkainya.

Lawan Mahisa Pukat itu telah terlempar jatuh terlentang. Orang itu masih berusaha untuk bangkit sambil mengumpat kasar. Namun kemudian tubuhnya telah sekali lagi roboh di tanah untuk tidak bergerak sama sekali. Mahisa Pukat pun telah terduduk pula di tanah. Dari pundaknya yang bagaikan terkelupas karena serangan lawannya, tiba-tiba saja darah mulai mengalir meskipun menjadi agak kehitam-hitaman.

Tubuh Mahisa Pukat bagaikan kehilangan kekuatannya sama sekali. Ia telah memaksa diri untuk menghempaskan kekuatannya, justru pada saat ia terluka. Dengan demikian, maka darahnya pun kemudian bagaikan diperas pula lewat lukanya itu.

Seperti yang terjadi saat Mahisa Murti membunuh lawannya, maka ketika lawan Mahisa Pukat itu terjatuh sekali lagi dan tidak bergerak sama sekali, maka orang-orang padepokan Suriantal pun telah bersorak bagaikan hendak meruntuhkan langit.

Namun seperti yang terjadi pada Mahisa Murti pula, orang-orang Windu Putih ingin memanfaatkan keadaan Mahisa Pukat yang lemah. Namun demikian mereka mulai bergerak, Mahisa Pukat sudah dikerumuni orang-orang padepokan Suriantal.

Memang keadaan Mahisa Murti agak berbeda dengan keadaan Mahisa Pukat. Setelah memusatkan nalar budi dan mengerahkan kemampuan ilmunya, mengatur pernafasannya sebaik-baiknya, maka keadaan Mahisa Murti menjadi berangsur baik. Kekuatannya perlahan-lahan bagaikan mulai bergetar di pusat jantungnya dan merambat ke seluruh urat darahnya. Nafasnya pun telah menjadi teratur dan rasa-rasanya sebagian dari kekuatannya telah berangsur pulih kembali.

Agak berbeda dengan Mahisa Pukat. Mahisa Pukat memang telah terluka. Karena itu, maka ia tidak dapat sekedar duduk memusatkan nalar budi dan mengatur pernafasannya. Seandainya hal itu juga dilakukan, namun Mahisa Pukat memang memerlukan obat untuk mengatasi lukanya.

Untunglah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selalu berbekal obat, apalagi dalam pertempuran seperti itu. Karena itu, maka tanpa bantuan orang lain, Mahisa Pukat telah mengobati lukanya sendiri, sementara di sekitarnya pertempuran telah berlangsung dengan sengitnya. Orang-orang Suriantal bertempur dengan berani, berbekal kemampuan yang ada serta senjata yang lebih baik dari lawan-lawannya.

Namun, meskipun Mahisa Pukat sudah mengobati lukanya, ternyata keadaannya memang agak parah. Karena itu, maka beberapa orang telah mengangkatnya dan membawanya ke bayangan sebatang pohon yang rimbun di bawah perlindungan beberapa orang padepokan Suriantal.

Mahisa Murti yang kemudian mengetahui keadaan Mahisa Pukat, dengan tergesa-gesa telah menyibak orang-orang Suriantal untuk mengetahui keadaannya. Bagaimana juga Mahisa Murti juga merasa cemas melihat keadaan Mahisa Pukat.

Namun kemudian Mahisa Pukat sendiri justru telah berkata, “Aku tidak apa-apa. Memang lukaku semula agaknya cukup parah. Tetapi setelah aku obati, darahnya telah tidak terlalu banyak mengalir, bahkan sekarang telah pampat.”

“Tetapi kau dalam keadaan lemah,“ berkata Mahisa Murti.

“Ya,“ Mahisa Pukat tidak ingkar.

Namun ia ternyata tidak mau berbaring diatas rerumputan. Ia minta duduk bersandar pada pohon yang melindunginya dari teriknya matahari itu.

Dalam pada itu beberapa orang padepokan Suriantal telah bersiap di sekitar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Meskipun pada Mahisa Murti keadaannya berangsur pulih kembali, tetapi orang-orang Suriantal masih mencemaskan keadaannya.

Sementara itu pertempuran di seluruh padepokan itu pun menjadi semakin susut pula. Orang-orang Windu Putih yang jumlahnya dengan cepat susut, memang menyadari bahwa mereka telah kehilangan para pemimpin mereka. Murid-murid terpercaya yang berjumlah tiga orang, yang telah dipercaya untuk memimpin padepokan sendiri-sendiri, ternyata semuanya telah terbunuh. Yang berada di luar padepokan telah terbunuh oleh Mahisa Bungalan, sementara yang berada di dalam telah dibunuh pula oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Dalam pada itu, maka Mahendra yang melihat keadaan orang-orang Suriantal menjadi berangsur semakin baik, maka ia pun telah datang pula menghampiri Mahisa Pukat yang tersandar pada sebatang pohon.

“Bagaimana keadaanmu?“ bertanya Mahendra.

Mahisa Pukat masih juga sempat tersenyum. Katanya, ”Tidak apa-apa ayah. Hanya sedikit kesulitan dengan pundakku ini.”

Mahendra memperhatikan luka itu dengan saksama. Namun kemudian katanya, “Bukankah sudah diobati?”

“Ya,“ jawab Mahisa Murti, “Mahisa Pukat mengobatinya sendiri.”

“Obat itu cukup baik,“ berkata Mahendra, “keadaannya akan segera menjadi pulih kembali.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara itu, perasaan sakit pada tubuh Mahisa Pukat memang berangsur telah berkurang, meskipun ia masih harus berjuang mengatasi keadaannya.

Di saat-saat Mahisa Pukat sedikit demi sedikit berhasil mengatasi keadaannya, maka pertempuran pun telah sampai pada kemungkinan yang pasti. Orang-orang Windu Putih menjadi semakin lemah. Sedangkan jumlahnya pun menjadi semakin sedikit.

Karena itu, maka pada akhirnya orang-orang Windu Putih itu telah kehilangan harapan. Apa yang mereka perhitungkan semula telah terlepas sama sekali dari kenyataan yang mereka hadapi. Ketiga orang murid Kiai Windu Putih ternyata tidak mampu menghadapi kekuatan yang ada di Suriantal dan yang ternyata telah mendapat bantuan dari saudara mereka yang tertua, Mahisa Bungalan yang menjadi Akuwu di Sangling.

Sedangkan tumpuan harapan mereka yang terakhir adalah Kiai Windu Putih sendiri. Namun yang ternyata telah terikat dalam pertempuran dengan seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi pula.

Sebenarnyalah pertempuran antara Kiai Windu Putih dan guru Akuwu Sangling itu pun telah menjadi semakin dahsyat. Namun karena mereka sudah sampai pada kemampuan puncak masing-masing, maka agaknya pertempuran itu pun telah sampai pula pada batas-batas terakhir.

Kedua orang tua itu telah memeras segenap kemampuan dan ilmu mereka. Tubuh-tubuh mereka telah menjadi gemetar dan dari ubun-ubun mereka sekali-sekali masih nampak asap yang mengepul. Namun bagaimanapun juga, seseorang tidak akan mampu melampaui batas yang sudah ditakarkan bagi mereka. Betapapun seseorang mampu menyadap ilmu, tetapi pada satu saat mereka akan membentur batas itu.

Demikian pula dengan kedua orang itu. Mereka telah berusaha untuk memaksa lawan masing-masing untuk lebih dahulu sampai ke batas. Namun ternyata luka di hati guru Akuwu Sangling telah memaksanya untuk lebih menekuni ilmunya. Karena itu, maka ia telah mencapai satu lapis lebih tinggi dari kemampuan Kiai Windu Putih.

Itulah sebabnya, dalam benturan-benturan ilmu yang semakin dahsyat, maka keadaan Kiai Windu Putih pun menjadi semakin terdesak. Meskipun demikian, Kiai Windu Putih sama sekali belum berputus asa. Ia masih berusaha dengan sekuat kemampuannya untuk mengatasi kemampuan lawannya.

Namun selagi Kiai Windu Putih sedang berjuang mengerahkan sisa-sisa tenaganya serta memeras kemampuannya, maka kedua orang itu telah dikejutkan karena kehadiran beberapa orang di sekitar arena itu. Mereka adalah Mahendra, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan bahkan Akuwu Sangling.

“Kenapa kalian kemari?“ bertanya guru Akuwu Sangling itu. Tetapi ia tidak dapat melepaskan diri dari pertempuran ilmu yang menegangkan. Keduanya memang tidak banyak bergerak. Tetapi setiap gerakan, betapapun sederhananya, seakan-akan telah melontarkan tenaga yang dahsyat sekali.

Mahendra lah yang kemudian menjawab, “Tugas kami sudah selesai Ki Sanak. Semua orang Windu Putih telah kami selesaikan. Sebagian dari mereka menyerah, sementara yang lain, di luar kemampuan kami untuk mencegah, bahwa mereka telah terbunuh.”

“Omong kosong,“ Kiai Windu Putih hampir berteriak.

Sementara itu, Mahendra berkata selanjutnya, “Ketiga orang murid Windu Putih itu pun telah diselesaikan. Sayang bahwa jiwa mereka tidak terselamatkan.”

“Tidak. Aku tidak percaya,“ Kiai Windu Putih berteriak lebih keras.

Namun Mahendra berkata, “Jika persoalan mereka belum kami selesaikan, maka kami tidak akan sempat menyaksikan pertempuran yang dahsyat ini.“

“Persetan,“ geram Kiai Windu Putih, “Jika benar yang kalian katakan, maka akibatnya akan sangat pahit bagi kalian. Aku akan membunuh kalian semuanya dengan ilmuku.”

Mahendra menjadi tegang. Ia sadar, bahwa dalam keadaan yang paling sulit, seseorang kadang-kadang menjadi kehilangan penalaran. Meskipun Kiai Windu Putih adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi dan pengalaman yang sangat luas, berita tentang kematian tiga orang muridnya, telah membuatnya sangat marah. Karena itu, maka ia pun telah mengibaskan tangannya ke arah keempat orang yang menyaksikan pertempuran itu.

Namun Mahendra adalah juga seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, maka ia sempat melihat gerak itu. Dengan serta merta mereka maka ia pun telah mendorong anak-anaknya sambil berkata lantang, “Hati-hati.”

Ketiga anak Mahendra adalah orang-orang yang memiliki bekal ilmu yang tinggi pula. Karena itu, ketika serangan itu tiba-tiba datang, mereka sempat berloncatan menjatuhkan diri.

Namun ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat agak terlambat. Meskipun tidak mengenai tubuh mereka di bagian yang berbahaya tetapi sentuhan yang telah mengenai kulit mereka, benar-benar telah membuat kulit mereka terkoyak. Namun yang mengejutkan mereka, tempat mereka semula berdiri seakan-akan telah meledak.

Gerak itu pun telah mencemaskan guru Akuwu Sangling pula. Kecemasan yang sangat terhadap orang-orang yang telah mendapat serangan itu, telah membuat guru Akuwu Sangling itu mengambil keputusan yang cepat pula.

Demikian ia melihat lawannya menyerang keempat orang di luar arena itu, maka ia pun telah menyerang pula dengan garangnya. Satu hentakkan ilmu yang dahsyat telah diarahkan kepada Kiai Windu Putih yang perhatiannya sedang tertuju kepada orang-orang yang berada di luar arena itu.

Serangan itu telah melanda Kiai Windu Putih bagaikan runtuhnya gunung berapi yang menghantam tubuhnya. Demikian dahsyatnya, sehingga Kiai Windu Putih yang berilmu tinggi itu telah terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh berguling di tanah. Keadaan bagian dalam tubuhnya memang parah. Namun dalam kesempatan terakhir, dengan sisa tenaganya ia telah menyerang guru Akuwu Sangling itu pula.

Satu serangan yang tidak terduga. Namun karena keadaan tubuhnya yang lemah, maka serangan itu tidak sedahsyat serangan guru Akuwu Sangling. Namun demikian, serangan itu rasa-rasanya bagaikan membakar seluruh tubuhnya. Sejenak guru Akuwu Sangling itu tergetar. Namun ia masih mampu bertahan pada keseimbangannya.

Meskipun demikian, guru Akuwu Sangling itu merasa perlu untuk menenangkan dirinya sebelum keadaannya menjadi semakin parah. Karena itu, maka ia pun segera bergeser menepi dan duduk memusatkan nalar budi, mengatur pernafasannya untuk mempertahankan arus nafas dan darahnya agar tetap berjalan wajar.

Namun dalam pada itu, Kiai Windu Putih yang terluka di dalam dirinya, serta mengerahkan sisa tenaganya untuk menghentakkan ilmunya, telah mengalami keadaan yang sangat parah. Justru pada saat ia memerlukan kekuatan untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi kesulitan di dalam dirinya, ia telah mempergunakan seluruh sisa kekuatannya untuk melontarkan ilmunya.

Dengan demikian, maka Kiai Windu Putih itu seakan-akan telah kehilangan seluruh kesempatan untuk mengatasi kesulitan di dalam dirinya. Daya tahannya sama sekali tidak mampu lagi menyelamatkannya.

Sejenak Kiai Windu Putih yang terbaring itu masih bertahan. Ketika Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Bungalan berusaha untuk mendekatinya, maka Mahendra telah mencegahnya. Kiai Windu Putih adalah orang yang memiliki ilmu sangat tinggi. Meskipun ia berada dalam keadaan yang parah, sentuhan tangannya masih akan dapat menghancurkan sasarannya.

Karena itu, maka Mahendra lah yang telah bergeser mendekati. Sementara itu ia minta Mahisa Bungalan untuk mengamati keadaan adik-adiknya yang terluka meskipun tidak terlalu parah. Namun bahwa kulit mereka telah terkoyak, maka mereka memang memerlukan perawatan. Ketika Mahendra berjongkok di sisi Kiai Windu, maka ternyata bahwa orang itu sudah tidak bergerak sama sekali. Bahkan nafasnya pun telah berhenti pula mengalir.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam, ia pun kemudian mengamati keadaan guru Akuwu Sangling. Namun Mahendra sama sekali tidak mengganggunya, karena ia tahu, bahwa orang itu sedang berusaha memperbaiki keadaannya. Sebenarnyalah bahwa pertempuran di dalam dan di luar padepokan telah berhenti. Sisa-sisa orang-orang Windu Putih memang telah menyerah. Mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk dapat memenangkan pertempuran.

Mahendra masih menunggu beberapa saat, sehingga akhirnya guru Akuwu Sangling itu pun melepaskan pemusatan nalar budinya. Ia merasa keadaan tubuhnya menjadi berangsur baik, meskipun rasa-rasanya tulang-tulangnya masih bagaikan retak. Mahendra lah yang kemudian mendekatinya. Sambil berjongkok di sebelahnya ia bertanya, “Bagaimana Ki Sanak?”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil menyeringai menahan sakit orang itu menjawab, “Sakit hatiku sudah tertumpahkan. Tetapi Ki Sanak, apakah aku memang seorang pendendam?”

“Sudahlah,“ berkata Mahendra, “kita masih berada dalam suasana yang sangat keruh.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun setiap kali ia masih saja berdesah karena tubuhnya yang terasa sangat sakit. Mahendra lah yang kemudian memapahnya meninggalkan tempat itu. Mereka harus pergi ke barak induk, karena barak di sebelah menyebelah telah hancur berhamburan.

Ketika ia melangkah di sebelah ketiga anaknya, ia berkata, “Biarlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memperbaiki keadaannya. Mahisa Bungalan, ambillah pimpinan untuk sementara.

Mahisa Bungalan mengangguk. Ia pun kemudian menyerahkan kedua adiknya kepada orang-orang padepokan Suriantal untuk mendapat perawatan. Sementara itu, Mahisa Bungalan pun telah mengambil alih seluruh pimpinan di padepokan itu.

Dengan pengalaman yang luas, maka dengan lancar Mahisa Bungalan mengatur keadaan padepokan itu. Diperintahkannya untuk mengatur para tawanan dan merawat yang terluka. Kemudian menyelenggarakan mereka yang telah terbunuh. Bagaimanapun juga, memang harus dibedakan, yang mana kawan dan yang mana lawan.

Dalam pada itu, orang-orang Windu Putih memang sudah tidak mempunyai pimpinan lagi. Pemimpin tertinggi dari perguruan Windu Putih, serta ketiga pemimpin padepokan yang cukup besar itu telah benar-benar dihancurkan, memang tidak diperhitungkan lebih dahulu bahwa Kiai Windu Putih akan bertemu dengan seorang laki-laki yang pernah disakiti hatinya, namun ternyata kemudian memiliki ilmu yang sangat tinggi meskipun keduanya mempunyai bekal dan sumber yang sama.

Tidak diperhitungkan pula kehadiran Akuwu Sangling dengan pasukan berkudanya yang memiliki kemampuan tempur yang luar biasa, sehingga mampu menyapu sebagian pasukan Windu Putih yang terutama berada di luar padepokan. Beberapa hal yang berada di luar jangkauan perhitungan itulah yang kemudian telah menghancurkan pasukan Windu Putih, sehingga untuk selanjutnya akan sulit bagi perguruan itu untuk dapat bangkit kembali.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih dirawat dengan sebaik-baiknya sehingga luka-luka mereka pun dengan segera telah menjadi pampat. Meskipun demikian, luka itu masih juga terasa panas bagaikan luka bakar. Obat yang dipergunakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah obat yang diberikan oleh Mahendra sendiri.

Demikian pula, ketika segalanya telah berjalan di bawah tanggung jawab beberapa orang yang telah ditunjuk oleh Mahisa Bungalan. Mahisa Bungalan sendiri memerlukan pengobatan bagi luka-luka pada tubuhnya, meskipun tidak terlalu parah.

Di sisa hari itu dan di malam yang kemudian datang, maka di padepokan Suriantal telah disibukkan dengan orang-orang yang merawat orang-orang yang terluka serta menyelenggarakan mereka yang terbunuh.

Mahisa Bungalan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sudah berangsur menjadi baik, telah melibatkan diri dalam kesibukan itu. Hampir semalam suntuk mereka berkeliling di seluruh padepokan. Memasuki barak-barak, baik yang dipergunakan oleh orang-orang dari padepokan Suriantal sendiri, maupun yang dipergunakan oleh orang-orang Windu Putih yang terluka.

Beberapa orang tabib dari lingkungan pasukan Windu Putih telah mendapat kesempatan untuk mengobati kawan-kawannya yang terluka di bawah pengawasan orang-orang padepokan Suriantal dan para prajurit dari Sangling.

Keadaan di padepokan Suriantal malam itu memang sangat mendebarkan. Di sana sini terdengar orang-orang yang mengaduh dan mengeluh kesakitan, sementara beberapa sosok mayat masih belum sempat diselenggarakan, karena masih saja ada orang yang terluka parah yang tidak dapat diusahakan penyembuhannya.

Ketika malam menjadi semakin larut, Mahendra telah memperingatkan anak-anaknya agar mereka pun beristirahat pula karena keadaan tubuh mereka yang masih belum pulih kembali. Jika mereka memaksa diri untuk bekerja terlalu keras, maka keadaan mereka sendiri akan menjadi kurang baik.

Dengan demikian, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Bungalan pun telah berusaha untuk mendapatkan waktu barang sedikit, agar mereka sendiri sempat beristirahat di dalam bilik yang terpisah. Sementara itu, para prajurit Sangling dan orang-orang dari padepokan Suriantal yang bertugas pun mengamati keadaan dengan penuh kewaspadaan.

Di tempat yang tersendiri, di barak induk, Mahendra duduk bersama orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling itu. Orang itu sudah berhasil mengatasi kesulitan di dalam dirinya, sehingga keadaannya pun menjadi semakin baik. Namun serangan Kiai Windu Putih yang dahsyat itu benar-benar telah melarutkan sebagian dari tenaganya, sehingga ia memerlukan waktu yang lebih panjang untuk dapat pulih seutuhnya. Mungkin dua tiga hari ia harus menyisihkan waktu untuk secara khusus memusatkan nalar dan budinya, sehingga kekuatannya itu pun dapat pulih kembali sepenuhnya.

Bahkan sampai di hari berikutnya pun padepokan Suriantal masih diliputi oleh suasana yang buram. Tubuh yang terbujur sambil mengerang, bau segala jenis obat-obatan yang dapat dipergunakan serta para tabib yang masih sangat sibuk. Bahkan satu dua masih ada orang-orang yang tidak dapat lagi diselamatkan jiwanya karena luka-lukanya yang parah.

Namun dalam pada itu, Akuwu Sangling telah mengambil kebijaksanaan, bahwa tawanan yang ada di padepokan Suriantal itu akan dibawa ke Sangling dan menjadi tanggung jawab Pakuwon Sangling, karena ia tahu, bahwa padepokan itu akan mengalami kesulitan menanggung beban sekian banyak tawanan dan orang-orang yang terluka.

Tetapi sudah barang tentu Mahisa Bungalan tidak akan dengan serta merta membawa orang-orang itu ke Sangling. Yang terluka parah sebaiknya menunggu barang dua tiga hari, sehingga keadaannya berangsur baik. Bahkan mereka yang benar-benar dalam keadaan parah memang akan ditinggal di padepokan itu untuk beberapa lama. Namun pada satu saat, mereka pun akan diambil pula oleh para prajurit dari Sangling.

Sementara itu, ada juga prajurit Sangling yang terbunuh di medan perang. Bagi mereka, Akuwu Sangling telah mengambil kebijaksanaan untuk membawanya kembali ke Sangling. Seorang diantara para Senapatinya yang datang ke padepokan itu telah ditugaskannya untuk membawa para prajurit yang gugur itu dengan pedati. Sekelompok prajurit berkuda mengawal mereka dengan segala pertanda kebesaran keprajuritan.

Mudah-mudahan tidak ada gangguan di sepanjang jalan,“ berkata Akuwu Sangling, “orang-orang Windu Putih sudah tidak lagi mempunyai kekuatan yang tersisa. Hampir semua kekuatan yang ada telah dikerahkan. Dan ternyata mereka kita hancurkan di sini.”

Dengan penuh tanggung jawab seorang Senopati telah membawa tubuh para prajurit dari Sangling itu kembali dengan mempergunakan beberapa buah pedati, sementara Akuwu Sangling sendiri tetap berada di padepokan Suriantal untuk sementara. Ia tidak sampai hati meninggalkan kedua adiknya dalam keadaan yang kalut, meskipun ayahnya masih tetap di padepokan itu. Bahkan demikian pula orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling itu.

Sementara itu, ketika mereka tidak lagi terlalu sibuk, pada satu kesempatan guru Akuwu Sangling itu memerlukan berbicara dengan Akuwu Sangling tanpa orang lain. Dengan rendah hati, orang itu minta agar ia dapat menitipkan sebagian dari ilmunya kepada Akuwu Sangling, agar ilmu itu tidak begitu saja musna jika tubuhnya kelak kembali ke dalam pangkuan bumi.

“Maksud Ki Sanak?“ bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku akan datang ke Sangling. Jika Akuwu tidak berkeberatan, aku akan memberikan sedikit ilmu yang aku miliki untuk Akuwu warisi. Sudah tentu dengan perhitungan yang mapan sehingga tidak akan terjadi benturan ilmu di dalam diri Akuwu,“ berkata orang itu.

Akuwu Sangling itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku sangat berterima kasih atas kesempatan ini.”

Guru Akuwu Sangling itu mengangguk-angguk. Katanya, “Menurut penilaianku, Akuwu memiliki sifat dan watak yang jauh berbeda dengan muridku. Karena itu, apa yang tidak pernah aku berikan kepada muridku itu, akan aku berikan kepada Akuwu. Bahkan aku merasa beruntung bahwa aku telah mengekang diri untuk tidak menuangkan seluruh isi jambangan perbendaharaan ilmuku kepada muridku itu. Jika demikian, maka akibatnya akan lebih parah lagi, justru karena sifat dan watak muridku itu.”

Akuwu Sangling menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih sempat berpaling kepada ayahnya untuk mendapatkan pertimbangan.

“Temui pamanmu Mahisa Agni dan Witantra. Dari mereka kau mendapat ilmu yang kini kau miliki. Kau memang harus mohon ijin kepada mereka,“ berkata Mahendra.

“Bagaimana dengan ayah sendiri?“ bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku tidak keberatan, selama kau mampu menyesuaikan ilmu yang akan dan telah berada di dalam dirimu,“ jawab Mahendra.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah ayah. Aku akan pergi ke Singasari.”

Demikianlah, untuk beberapa lama Akuwu Sangling masih berada di padepokan Suriantal. Kecuali untuk ikut serta menyelesaikan beberapa masalah yang masih tertinggal, Akuwu sendiri masih harus memulihkan semua kekuatan dan kemampuan ilmunya. Luka-luka yang meskipun tipis pada kulitnya, sudah menjadi kering dan ketegangan yang mencengkamnya pun telah mengendor.

Ketika semuanya sudah mapan, maka Mahisa Bungalan-pun minta diri bersama pasukan berkuda yang masih tertinggal di padepokan itu. Bersama guru Akuwu Sangling yang lama, maka Mahisa Bungalan telah membawa para tawanan ke Sangling. Tawanan yang menurut penilaian Mahisa Bungalan dan bahkan juga Mahendra, bahwa orang-orang Windu Putih itu sudah tidak berbahaya lagi. Meskipun demikian, di sepanjang jalan, prajurit berkuda dari Sangling itu pun tetap berhati-hati.

Iring-iringan itu memang menarik banyak perhatian orang-orang yang tinggal di padukuhan-padukuhan yang dilalui. Namun mereka pun segera mengenali pertanda-pertanda yang ada pada para prajurit Sangling, sehingga mereka pun segera mengetahui pula, bahwa prajurit berkuda dari Sangling itu tengah menggiring tawanan untuk dibawa ke Sangling.

Seperti yang diperhitungkan, memang tidak ada hambatan diperjalanan. Sementara di padepokan Suriantal, keadaan pun telah berangsur tenang. Ketegangan-ketegangan sudah tidak lagi mewarnai kehidupan di padepokan itu. Namun jumlah orang-orang padepokan itu telah berkurang. Beberapa orang diantara mereka telah gugur ketika orang-orang Windu Putih menyerang. Untunglah, bahwa orang-orang padepokan Suriantal telah sempat menempa diri dalam kesatuan ilmu, sehingga kerja-sama diantara mereka pun menjadi semakin baik di samping secara pribadi orang-orang Suriantal memang lebih baik dari orang-orang Windu Putih.

Mahendra yang melihat keadaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sampai hati untuk meninggalkan padepokan itu. Kedua anaknya itu masih belum sembuh benar, sehingga mereka masih harus memikirkan diri mereka di samping seluruh isi padepokan. Namun memang tidak banyak persoalan yang kemudian timbul. Orang-orang padepokan itu telah kembali ke dalam kerja mereka masing-masing. Sawah mereka sama sekali tidak terbengkalai. Bahkan orang-orang padukuhan terdekat pun telah menghubungi mereka, untuk menanyakan apa yang telah terjadi.

“Satu benturan kecil,“ berkata Mahisa Murti.

“Bukan benturan kecil,“ jawab salah seorang Bekel dari padukuhan itu, “menilik yang terjadi serta bekas-bekasnya, maka tentu benturan yang besar. Ada beberapa buah barak yang hancur serta pintu gerbang pun telah pecah pula karenanya. Dan menilik mereka yang gugur, pertempuran itu tentu pertempuran yang besar.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara Mahisa Pukat lah yang menjawab, “Memang agak mengejutkan Ki Bekel. Namun kita dapat bersyukur bahwa semuanya dapat diatasi. Yang Maha Agung masih melindungi kami, seisi padepokan ini. Jika ada diantara kami yang dipanggil-Nya, maka agaknya memang sudah sampai pada batas garis pepesten. Batas garis kematian.”

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Dengan ikhlas maka ia pun telah menawarkan bantuan jika diperlukan.

“Baiklah Ki Bekel,“ jawab Mahisa Murti, “meskipun kami juga memiliki sedikit tanaman bambu, tetapi jika kami kekurangan bambu nanti, di saat kami perbaiki barak-barak kami, maka kami akan mohon bantuan Ki Bekel. Namun kami belum tergesa-gesa memperbaikinya karena kami masih harus membuat persiapan-persiapan. Mungkin kami masih harus memintal ijuk untuk tali atau menebangi beberapa batang kayu. Kami juga harus mengumpulkan jerami untuk dianyam menjadi bahan atap, karena agaknya sulit untuk mencari ijuk.”

“Sebenarnyalah ijuk yang lama masih dapat dipergunakan,“ berkata Ki Bekel, “asal kita dengan cermat mengumpulkannya dari reruntuhan barak-barak itu.”

“Ijuk itu akan kami jadikan tali. Bukankah untuk membangun barak serta memperbaiki pintu gerbang akan dibutuhkan tali ijuk yang banyak sekali,“ jawab Mahisa Murti.

Ki Bekel mengangguk-angguk. Ia pun menyadari bahwa tidak terlalu banyak tumbuh pohon aren di sekitar padepokan itu, sehingga memang agak sulit untuk mengumpulkan ijuk dalam jumlah yang banyak di waktu yang pendek. Karena itu, maka orang-orang padepokan agaknya memilih jerami untuk membuat bahan atap barak-barak mereka yang rusak. Demikianlah, maka orang-orang padepokan Suriantal itu telah mulai mempersiapkan diri untuk membangun padepokan mereka yang telah menjadi rusak dalam pertempuran yang baru saja terjadi.

Yang dilakukan mula-mula oleh orang-orang padepokan itu adalah membuat tali ijuk sebanyak-banyaknya. Yang lain telah menebangi beberapa batang kayu. Mereka juga memilih batang-batang kayu yang tidak terlalu besar, yang akan mereka pergunakan untuk membuat pintu gerbang. Sebagaimana pintu gerbang semula dari padepokan itu adalah terbuat dari anyaman batang-batang kayu yang diikat dengan tali-tali ijuk yang kokoh.

Mereka telah memotong-motong batang-batang kayu yang akan mereka anyam secara utuh itu dan menjemurnya agar menjadi kering. Baru kemudian maka orang-orang Suriantal itu mulai menebangi batang-batang bambu milik padepokan mereka sendiri. Setelah dipotong-potong dan yang perlu telah dibelah pula, maka potongan-potongan bambu itu direndam ke dalam air.

Dengan demikian, maka orang-orang Suriantal itu dapat memperhitungkan seberapa mereka akan minta bantuan bambu kepada Ki Bekel padukuhan terdekat. Dengan merendam persediaan bambu yang akan mereka pergunakan, maka mereka telah membuat tali ijuk sebanyak-banyaknya. Mereka memerlukan bahan yang tidak mudah dimakan oleh sebangsa rayap.

Sambil menunggu, maka orang-orang Suriantal itu telah menyiapkan semua keperluan bagi pembangunan beberapa bagian dari barak-barak mereka yang rusak. Ketika orang-orang Suriantal sibuk dengan usaha mereka memperbaiki padepokan mereka yang rusak, maka di Sangling, orang yang mengaku guru Akuwu Sangling itu pun benar-benar telah memenuhi keinginannya untuk menitipkan ilmunya pada Akuwu Sangling yang baru untuk dapat bertahan dan bahkan dikembangkan jika ia sendiri pada saatnya akan meninggalkan dunia.

Dengan sungguh-sungguh Mahisa Bungalan telah berusaha untuk menyadap ilmu dari orang itu. Mula-mula yang dilakukan oleh Guru Akuwu Sangling itu adalah mengetahui ilmu yang telah ada di dalam diri Mahisa Bungalan. Tatarannya, tingkatnya dan unsur-unsur yang ada di dalamnya.

Kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia berkata, “Ilmu yang sangat dahsyat. Aku tidak akan dapat memberikan lebih dari yang sudah ada di dalam diri Akuwu. Yang dapat aku titipkan adalah ilmu yang akan dapat mengisi sela-sela dari ilmu yang telah Akuwu miliki. Mungkin satu cara yang lain yang dapat dipergunakan untuk melontarkan ilmu yang dahsyat yang sudah ada pada Akuwu. Serta ilmu sejenis yang meskipun tidak akan sedahsyat ilmu yang sudah ada, namun mempunyai kelainan kegunaan yang barangkali akan berarti bagi Akuwu.”

Demikianlah, maka Akuwu Sangling telah menempa diri. Dengan menerima ilmu dari guru Akuwu Sangling yang lama maka ilmu Mahisa Bungalan menjadi semakin lengkap. Ia memiliki kekuatan ilmu yang dahsyat dari ilmu Gundala Sasra. Sementara itu, ia telah mendapat warisan ilmu yang lain dari guru Akuwu Sangling itu. Bahkan kemudian Mahisa Bungalan telah mampu membuat ilmu itu luluh di dalam dirinya.

Dengan kemampuan daya lontar yang diwarisi dari guru Akuwu Sangling yang lama itu, ia dapat melontarkan ilmu puncaknya Gundala Sasra. Bahkan kemampuan-kemampuan yang menggetarkan yang lain telah dapat dikuasainya di samping ilmu Gundala Sasra itu.

Sebagaimana kesibukan yang terjadi di padepokan Suriantal, maka Mahisa Bungalan pun memerlukan waktu yang cukup lama. Tetapi ia tidak meninggalkan tugasnya sehari-hari meskipun hampir setiap malam ia berada di dalam sanggar, atau di lereng-lereng pegunungan dan di lembah-lembah yang sepi.

Ternyata bahwa orang yang menyebut dirinya guru dari Akuwu Sangling itu telah berbuat dengan jujur. Ia benar-benar melakukannya tanpa pamrih selain sekedar menitipkan ilmunya agar tidak punah bersama kematiannya jika saat itu tiba. Karena itu, maka ketika menurut pertimbangan orang itu, Mahisa Bungalan telah mewarisi dasar-dasar ilmunya lengkap, maka ia menganggap bahwa tugasnya telah selesai.

“Akuwu,“ berkata orang itu, “dasar-dasar ilmu yang ada padaku telah aku wariskan. Aku tahu pasti bahwa dalam waktu yang singkat semuanya akan berkembang dan bahkan atas alas ilmu yang telah ada di dalam diri Akuwu, maka ilmu Akuwu akan jauh melampaui kemampuanku. Karena itu, aku mohon Akuwu tidak jemu-jemunya menilik setiap perkembangan ilmu Akuwu itu sebaik-baiknya. Mencari tanpa jemu-jemunya kemungkinan-kemungkinan yang paling baik bagi perkembangan selanjutnya. Jangan terpancang pada apa yang telah ada sebagai unsur gerak dari ilmu itu. Tetapi Akuwu akan dapat mencari dan menciptakan kemungkinan yang akan lebih berarti.”

Mahisa Bungalan mengangguk kecil. Dengan sendat ia berkata, “Terima kasih. Aku telah membawa bekal yang jauh lebih lengkap sekarang.”

Orang yang menyebut guru Akuwu Sangling itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Akuwu. Aku mohon Akuwu untuk mewariskan semua ilmu yang ada di dalam diri Akuwu bagi seorang yang paling dapat dipercaya. Akuwu adalah orang Singasari. Meskipun kini kesatuan Singasari dan Kediri dapat dipertahankan, namun bukan berarti untuk seterusnya akan demikian. Kediri pada dasarnya tidak ingin berada di bawah kuasa Singasari. Jika saat ini kesatuan itu masih dapat bertahan, karena ada orang-orang yang mengerti arti dari persatuan itu, maka pada suatu saat pikiran-pikiran lain akan tumbuh dan berkembang.”

Akuwu Sangling itu termangu-mangu. Ternyata bahwa wawasan orang itu bukannya sekedar karena ia tidak mau ilmunya menjadi punah. Tetapi ada keinginan padanya, bahwa Akuwu Sangling itu akan dapat membantu mempertahankan keseimbangan. Apakah Akuwu Sangling itu sendiri, atau keturunannya atau orang lain yang dipercaya. Agaknya orang itu mempunyai wawasan jauh dalam hubungan yang nampaknya masih mapan antara Singasari dan Kediri. Namun benih-benih sebagaimana dikatakan itu memang sudah ada sejak semula. Bahkan seakan-akan tidak pernah padam sejak Kediri disatukan dengan Singasari oleh Akuwu di Tumapel, yang kemudian memegang pimpinan pemerintahan bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwa Bumi.

Tetapi jika orang-orang yang berusaha untuk tetap mempertahankan keseimbangan persatuan itu seperti Pangeran Singa Narpada dan beberapa orang Senapati yang sejalan dengannya, termasuk Akuwu Lemah Warah telah tidak ada, maka hubungan antara Kediri dan Singasari tentu akan menjadi goncang.

Karena Akuwu Sangling itu masih saja termangu-mangu, maka orang itu pun berkata, “Akuwu. Mungkin yang aku katakan itu belum nampak sekarang ini. Tetapi aku minta Akuwu bersiap-siap sebagai orang Singasari yang berada di jalur pemerintahan Kediri. Bagaimanapun juga Akuwu harus berusaha memandang persoalan itu dengan jernih pada setiap tahap."

“Aku akan mencoba,“ berkata Akuwu Sangling.

“Akuwu harus berusaha mempertahankan kepemimpinan ini. Pada saatnya kepemimpinan di Sangling harus jatuh ke tangan orang yang mempunyai sikap dan pandangan seperti Akuwu khususnya dalam persoalan hubungan antara Singasari dan Kediri,“ pesan orang itu.

“Terima kasih,“ Akuwu Sangling pun mengangguk-angguk.

“Namun tidak kalah pentingnya, aku titipkan agar ilmuku itu tidak punah karenanya. Jika kemudian ilmuku menjadi bagian dari jalur ilmu Akuwu yang lain, aku tidak berkeberatan, karena dengan demikian ilmuku akan tetap menjadi unsur dari ilmu yang hidup dan bahkan mungkin berkembang lebih luas,“ berkata orang itu.

“Aku akan selalu mengingat pesan ini,“ berkata Mahisa Bungalan.

Demikianlah, maka pada saatnya, orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling yang lama namun juga ternyata telah menjadi guru Akuwu Sangling yang baru itu minta diri.

Tanpa menyebutkan dimana ia tinggal, maka ia pun berkata, “Biarlah aku yang setiap kali datang kemari. Akuwu tidak perlu mengetahui tempat tinggalku. Seandainya aku tidak sempat lagi datang, maka rasa-rasanya hidupku di saat-saat terakhir masih juga berarti. Dendam itu telah terselesaikan."

Akuwu Sangling mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab. Meskipun didalam hati ia bertanya, “Apakah demikian itu merupakan satu-satunya jalan untuk mengucapkannya. Ia tidak mau menyinggung perasaan orang yang telah berbaik hati memberikan tuntunan kepadanya tentang ilmu yang bernilai tinggi di samping ilmunya yang telah ada lebih dahulu didalam dirinya.

Namun demikian, pesan orang itu tidak akan pernah dilupakan. Ia harus mempersiapkan masa depan Sangling untuk menghadapi kemungkinan yang buruk dalam hubungan antara Singasari dan Kediri.

Namun agaknya penglihatan orang itu bukan sekedar sikap dan pendirian. Tetapi jika perlu harus diujudkan dalam benturan-benturan sikap yang bakal terjadi, bahkan dengan kekerasan. Ternyata bahwa orang itu berpesan, agar Akuwu Sangling mempersiapkan orang, apakah itu keturunannya atau orang yang paling dipercaya, untuk mewarisi ilmunya yang mungkin akan dapat disumbangkan bagi Singasari di masa mendatang.

Dalam pada itu, di padepokan Suriantal pun kerja yang keras sudah menjadi semakin ramai. Waktu yang diperlukan untuk merendam bambu telah cukup. Sementara tali-tali ijuk pun telah siap beberapa gulung, sehingga menurut dugaan, akan mencukupi bagi pembangunan barak-barak yang rusak serta pintu gerbang.

Namun di samping itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah menjadi pulih kembali, masih saja berniat untuk mendirikan satu perguruan baru yang utuh di padepokan itu. Keduanya telah membiasakan diri untuk disebut sebagai Putut.

Mahendra memang telah memberikan beberapa petunjuk. Namun tiba-tiba saja Mahendra bertanya, “Apakah keberatan kalian jika padepokan ini tetap disebut padepokan Suriantal?”

“Padepokan ini tentu akan dihubungkan dengan isinya,“ sahut Mahisa Murti, “jika kami yang ada di padepokan ini kemudian disebut perguruan Suriantal, maka kami memang agak berkeberatan.”

“Suriantal yang sebenarnya bukan sebuah perguruan yang hitam,“ berkata Mahendra.

“Tetapi noda itu telah terpercik di atasnya. Selain itu, maka jika orang menyebut Suriantal, maka kita sudah mulai membayangkan tongkat-tongkat panjang yang dianggap menjadi ciri dari perguruan ini,“ jawab Mahisa Murti.

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Persoalannya tinggallah pada nama. Karena itu, maka kalian akan dapat memilih nama yang sesuai. Tetapi apakah nama itu menjadi demikian penting bagi kalian?”

“Nama adalah lambang dari kepribadian sebuah perguruan,“ jawab Mahisa Pukat, “jika kita mendengar nama sebuah perguruan, maka kita dapat membayangkan ujud dari perguruan itu.”

“Itu dapat terjadi setelah kita mengenal perguruan itu,“ berkata Mahendra, “tetapi nama yang baru sama sekali, masih belum merupakan citra dari perguruan itu. Mungkin orang yang membuat nama itu sudah mempunyai ujud yang mantap. Namun bagi orang lain yang baru mendengar untuk pertama kalinya, memang bukan apa-apa.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Mahendra pun kemudian memberikan pendapatnya, “Lebih baik, kita benahi dahulu padepokan ini. Baru kemudian kita memikirkan nama itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada datar Mahisa Murti berkata, “Baiklah ayah. Kita akan memperbaiki lebih dahulu padepokan ini.”

Mahendra tersenyum sambil berkata, “Bagus. Kita akan mulai dengan kerja.”

Sebenarnyalah, maka padepokan Suriantal itu pun menjadi terlalu sibuk dengan kerja. Mereka mulai mengangkat bambu-bambu yang telah direndam untuk dikeringkan. Sementara itu, mereka yang memiliki ketrampilan untuk mengerjakan kayu, telah melakukannya pula. Mereka telah mulai mengganti pintu di gerbang halaman padepokan itu yang dibuat untuk sementara, dengan pintu yang sebenarnya.

Para penghuni padepokan itu terutama yang memiliki kemampuan mengerjakan kayu, telah sibuk membuat pintu gerbang. Batang-batang kayu yang bulat telah diikat dengan tali-tali ijuk. Kemudian kayu yang menjadi gantungan serta uger-uger yang sangat kuat.

Ternyata bahwa untuk membuat pintu gerbang itu diperlukan cukup banyak tenaga. Beberapa orang harus mengangkat kayu-kayu yang akan diikat menjadi daun pintu. Yang lain membuat palang dan gapit. Sementara yang lain lagi memasang uger-uger dan selarak serta gantungannya.

Pada saat pintu gerbang itu sudah mendekati penyelesaian, maka bambu-bambu pun mulai mengering. Sebagian dari tenaga yang ada di padepokan itu telah mengerjakan bambu-bambu itu untuk membuat barak-barak pengganti yang telah rusak.

Dengan bambu petung disiapkannya tiang-tiang induk diatas ompak batu. Kemudian dengan jenis bambu lain yang lebih kecil, bambu wulung dan apus, telah dibuat kerangka dari barak yang akan didirikan itu. Di sudut padepokan itu pun telah tertimbun atap yang dianyam dari jerami kering.

Dengan mengerahkan seluruh tenaga yang ada, maka dari hari ke hari, bangunan-bangunan yang dibuat di padepokan itu pun mulai nampak hasilnya. Yang pertama-tama siap adalah pintu gerbang yang kuat, yang dibuat dari kayu-kayu utuh, meskipun dipilih kayu yang tidak terlalu besar. Sebuah selarak yang besar dan kuat serta palang yang tidak mudah patah.

Ternyata sebagaimana orang membangun rumah, maka sasaran yang dikerjakan seakan-akan telah merambat dari yang satu ke yang lain. Rasa-rasanya kurang puas untuk membiarkan bangunan-bangunan yang lama tetap tidak mendapat perbaikan.

Karena itu, maka orang-orang padepokan itu pun telah memperbaiki pula barak induk di samping mendirikan kembali barak yang telah hancur karena pertempuran yang terjadi antara Kiai Windu Putih dengan guru Akuwu Sangling.

Namun, setelah bekerja berbulan-bulan, akhirnya barak-barak itu pun telah siap. Dinding-dinding bambu yang dianyam sendiri oleh para penghuni padepokan itu pun telah dipasang. Sekat-sekatnya pun telah dibuat pula, sehingga barak yang baru itu justru menjadi barak yang paling baik dari antara barak-barak yang ada di padepokan.

Namun sebagaimana mereka tidak puas dengan barak induk yang telah mereka perbaiki, maka barak-barak yang lain-pun telah dibenahi pula meskipun hanya sekedar memperbaiki pintu leregnya yang sering meleset dari palangnya.

“Mumpung kita sedang bergairah,“ berkata seorang di antara para pemimpin padepokan itu.

Apalagi bahan yang telah mereka sediakan ternyata lebih banyak dari yang dibutuhkan untuk membuat barak yang baru. Tetapi akhirnya kerja mereka pun selesai pula. Barak-barak yang baru serta barak-barak yang telah diperbaiki, pintu gerbang dan bangunan induk di dalam padepokan itu pun telah nampak lebih baik dari sebelumnya.

Pada saat-saat Mahendra sempat berbincang dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka ia pun berkata, “Nah, sekarang kerja kalian telah selesai. Meskipun kerja pada tahap ini, karena pada saatnya akan segera disusul oleh kerja yang lain.”

“Ya ayah,“ jawab Mahisa Murti, “lalu apa lagi yang harus kami kerjakan?”

“Sekarang agaknya sudah waktunya untuk memikirkan perguruan yang kau maksudkan,“ berkata Mahendra.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara Mahendra berkata lebih lanjut, “Ternyata bahwa ilmu yang kalian miliki bukan lagi murni dari satu perguruan. Apalagi nampaknya kalian telah mengembangkan ilmu yang ada pada diri kalian. Beberapa macam ilmu yang kau anyam menjadi satu ujud yang utuh, yang bahkan kemudian menemukan ujud yang baru. Bahkan sifat dan wataknya. Karena itu, maka kalian memang mempunyai hak untuk menyebut bahwa ilmu yang ada pada diri kalian adalah ilmu dari satu perguruan yang utuh dan bulat, serta bukan perguruan yang telah ada sebelumnya.”

“Aku mengerti ayah,“ berkata Mahisa Murti, “agaknya jalan yang kami tempuh memang sudah benar menurut pandangan ayah.”

“Ya. Kalian sudah berjalan di jalur yang menurut pendapatku benar. Karena itu, maka aku tidak mempunyai keberatan jika kau mempunyai sebutan tersendiri dari aliran ilmu kalian,“ berkata Mahendra.

“Terima kasih ayah,“ desis Mahisa Murti, “kami mohon doa dan restu ayah.“ Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu “Nah, persoalannya adalah nama itu. Nama apakah yang paling baik kami pergunakan untuk perguruan kami yang baru itu.”

Mahendra tersenyum. Katanya, “Kalianlah yang paling mengenal bentuk dan isi dari ilmu kalian. Dasar dan tujuannya serta sifat dan wataknya.”

Mahisa Murti berpaling ke arah Mahisa Pukat. Namun Mahisa Pukat pun nampaknya masih menunggu juga. Karena itu, maka Mahendra pun kemudian berkata,

“Bicarakan dengan orang-orang tua di padepokan ini. Meskipun hanya diantara kita seisi padepokan, maka kita akan memerlukan waktu untuk menyatakan bahwa kerja kita sudah selesai. Sekaligus kita beritahukan kepada para penghuni padepokan ini, satu nama yang pantas untuk perguruan yang akan kalian dirikan. Mungkin kita akan mengundang Ki Bekel yang telah banyak memberikan bantuan kepada kita selama ini serta para bebahunya untuk menjadi saksi dari pemberian nama atas perguruan yang bakal berdiri.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun Mahisa Pukat masih juga berdesah, “Tetapi nama itu.”

“Kau sempat berbicara dengan orang-orang tua seperti aku katakan,“ berkata Mahendra.

“Baiklah ayah,“ jawab Mahisa Murti, “sementara ini kita akan menyiapkan satu pertemuan yang meriah.”

Demikianlah, sebagaimana dianjurkan oleh ayahnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengundang Ki Bekel dan beberapa orang bebahu untuk menghadiri satu upacara yang sebenarnya khusus bagi para penghuni padepokan, karena sifatnya yang selain sederhana juga tidak mengada-ada. Namun diharapkan bahwa Ki Bekel dan para bebahu itu akan dapat menjadi saksi dari upacara yang sederhana itu.

Akhirnya saat yang ditentukan itu pun tiba. Semua persiapan dari upacara yang sederhana itu pun telah diadakan. Makan dan minum pun telah disiapkan. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menghadap kepada ayahnya dan mengajukan sebuah nama yang barangkali ayahnya sependapat.

“Ayah,“ berkata Mahisa Murti, “ilmu tertinggi yang pernah ayah berikan kepada kami adalah ilmu Bajra Geni. Karena itu, bagaimana jika sebagian dari nama itu kita pergunakan sebagai nama perguruan ini. Namun untuk selalu mengingatkan kepada kami agar kami tidak melupakan sumber kekuatan kami, maka kami akan menyebutnya bahwa perguruan kami ini mempunyai niat yang putih dan bersih. Meskipun tidak akan dapat kami lakukan sepenuhnya, namun setidak-tidaknya ada semacam bayangan yang akan selalu mengikuti apa pun yang sedang kami lakukan, justru karena nama itu.”

“Sebut nama yang kau kehendaki itu,“ berkata Mahendra.

“Bajra Seta,“ jawab Mahisa Murti.

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Nama yang baik. Aku tidak mempunyai keberatan bagi nama itu.”

“Jika demikian, nanti akan kita beritahukan, bahwa perguruan ini bernama perguruan Bajra Seta. Padepokan ini pun akan bernama padepokan Bajra Seta pula,“ berkata Mahisa Pukat.

Demikianlah, maka upacara itu pun telah berlangsung dengan meriah meskipun sederhana. Beberapa ekor kambing telah dipotong. Beberapa orang yang telah terbiasa, memanggangnya diatas api yang menyala. Kemudian beramai-ramai mereka pun makan bersama-sama.

Namun selain acara yang diperuntukkan bagi orang-orang padepokan yang baru saja mereka nyatakan sebagai padepokan Bajra Seta, maka beberapa orang tua-tua telah mewakili seisi padepokan itu, memasuki sanggar khusus untuk memanjatkan doa agar perguruan dan padepokan yang lahir pada hari itu, selalu mendapat bimbingan dari Yang Maha Agung. Bukan saja tuntunan kewadagan, tetapi semoga selalu mendapat terang di hati, sehingga seisi padepokan itu tidak akan melakukan langkah-langkah yang tercela sebagaimana pernah terjadi dengan perguruan di padepokan itu sebelumnya.

Demikianlah, ternyata bahwa padepokan itu telah terbangun semalam suntuk. Setelah doa yang dilakukan oleh orang-orang tua di dalam sanggar, maka seluruh padepokan itu benar-benar menjadi ramai. Mereka bergembira dengan cara mereka masing-masing. Meskipun semua dilakukan menurut apa adanya, namun padepokan itu benar-benar telah menikmati kegembiraannya. Ki Bekel dan para bebahu dari padukuhan terdekat pun ikut pula bergembira bersama mereka. Bahkan mereka telah lupa waktu, sehingga mereka baru sadar, ketika terdengar ayam jantan berkokok bersahutan.

“Hampir pagi,“ desis Ki Bekel.

“Ya,“ sahut seorang bebahu, “hampir semalam suntuk kita berada di padepokan ini.”

“Apa salahnya,“ jawab Ki Bekel, “kita ikut berjaga-jaga atas lahirnya satu perguruan baru dan sekaligus kelahiran kembali padepokan ini.”

Bebahu itu pun tertawa. Katanya, “Jika demikian, kita menunggu kegembiraan ini selesai, meskipun sampai matahari terbit sekalipun.”

Ki Bekel itu pun tertawa pula. Sambil meneguk minuman panas ia berkata, “Kita akan berlomba, siapakah yang merasa kantuk lebih dahulu, ialah yang kalah.”

Dengan demikian maka Ki Bekel dan para bebahu itu tetap berada di padepokan itu meskipun sudah menjelang pagi. Namun ketika fajar mulai menyingsing, tiba-tiba seorang diantara mereka yang bertugas diatas regol padepokan itu telah datang tergesa-gesa mencari Mahisa Murti. Dengan gagap ia berkata, “Ada tamu di luar.”

“Siapa?“ bertanya Mahisa Murti.

“Aku tidak tahu,“ jawab orang itu.

Mahisa Murti pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian bersama Mahisa Pukat dan Mahendra, ia pun naik ke panggungan diatas regol. Ketiganya memang menjadi berdebar-debar. Oleh cahaya obor yang menggapai mereka, maka nampak lima orang yang berdiri di luar regol. Mereka bersenjata tongkat-tongkat panjang sebagaimana orang-orang perguruan Suriantal.

Beberapa saat ketiga orang yang berada diantara para pengawal diatas regol itu termangu-mangu. Namun ketika kelima orang itu bergerak maju, maka Mahendra pun berdesis, “bertanyalah kepada mereka.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun telah bertanya, “Ki Sanak. Siapakah Ki Sanak itu dan apakah keperluan Ki Sanak?”

“Beginikah caranya para pemimpin padepokan Suriantal menerima saudara-saudaranya,“ bertanya salah seorang diantara kelima orang itu.

“Maaf Ki Sanak,“ berkata Mahisa Murti kemudian, “beberapa saat yang lampau padepokan ini memang padepokan Suriantal. Tetapi sekarang padepokan ini bukan lagi padepokan Suriantal. Baru sejak malam ini padepokan ini bernama padepokan Bajra Seta.”

“Aku sudah mendengar tentang rencana itu,“ berkata salah seorang diantara kelima orang itu, “karena itu maka aku datang kemari. Namun bahwa padepokan ini kemudian bernama Bajra Seta, aku belum mendengarnya.”

“Jika demikian, sekaligus kau dapat mendengarnya pada saat kami melakukan upacara malam ini, menetapkan nama padepokan ini sebagai tempat tinggal dan pasat dari sebuah perguruan yang juga bernama perguruan Bajra Seta,“ berkata Mahisa Murti kemudian.

“Terima kasih,“ jawab salah seorang diantara mereka, “tetapi sekali lagi aku ingin bertanya, beginikah caranya kalian menyambut kedatangan kami?”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Ia pun kemudian berpaling kepada Mahendra dengan pandang penuh tanya. Mahendra pun kemudian mengangguk sambil berkata, “Persilahkan mereka masuk.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Pukat pun telah memberi isyarat kepada para pengawal di dekat pintu gerbang untuk membukanya. Sebelum pintu gerbang itu terbuka, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahendra pun telah berada di belakang pintu gerbang itu.

“Marilah,“ Mahisa Murti telah mempersilahkan kelima orang yang membawa tongkat panjang itu.

Kelima orang itu pun kemudian telah melangkah memasuki pintu gerbang. Mahisa Murti telah mempersilahkan mereka naik ke pendapa. Bersama Mahisa Pukat dan Mahendra, ia telah menemui kelima orang yang membawa tongkat panjang itu.

“Kami datang atas nama keluarga besar perguruan kita. Sudah lama Perguruan Suriantal tidak menyelenggarakan pertemuan keluarga. Karena itu, maka Maha Guru dari perguruan kita telah memanggil kita semuanya untuk berkumpul dan berbicara tentang perguruan kita,“ berkata orang itu. Lalu “Tetapi agaknya aku datang terlambat. Perguruan Suriantal di padepokan ini ternyata telah dengan sengaja memutuskan hubungan dengan kepemimpinan Maha Guru. Ternyata padepokan ini telah menentukan nama dan sikap sendiri. Ketika kami mendengar rencana ini, kami tidak segera percaya. Tetapi ketika kami tiba di sini, maka ternyata rencana itu benar.”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menjawab, Mahisa Pukat sudah mendahuluinya, “Kenapa kalian masih juga bermimpi? Kami bukan murid-murid dari keluarga besar Suriantal. Kami sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan perguruan itu.”

“Padepokan ini adalah salah satu diantara beberapa padepokan Suriantal. Di Tanah Jawa ada empat perguruan Suriantal yang diikat menjadi satu. Memang padepokan-padepokan yang sudah dianggap dewasa telah memilih namanya sendiri. Bahkan ada diantara perguruan itu benar-benar telah memisahkan diri dari induk perguruannya. Tetapi semuanya itu dilakukan atas ijin Maha Guru. Perguruan Manik Wungu adalah salah satu pecahan dari perguruan Suriantal. Tetapi perguruan Manik Wungu dengan mudah dapat dikenali bahwa perguruan itu adalah satu kelahiran baru dari perguruan Suriantal. Mereka masih tetap menunjukkan ciri perguruan besar dengan tongkat panjangnya,“ jawab salah seorang diantara mereka. Lalu “tetapi tidak dengan padepokan ini. Kalian yang ada di sini telah mengambil langkah-langkah sendiri.”

“Omong kosong,“ bentak Mahisa Pukat, “kami tidak mempunyai hubungan dengan kalian. Apakah kalian tidak tahu, beberapa perguruan pernah hadir disini dan bahkan telah menghilangkan kepribadian perguruan Suriantal itu sendiri. Sejak kehadiran mereka, maka seakan-akan padepokan Suriantal tinggal namanya saja. Usaha untuk menguasai Mahkota dari Kediri dan kemudian kerja yang lain yang dilakukan oleh padepokan ini, telah berubah sama sekali ujudnya sebagai hasil kerja orang-orang Suriantal.”

“Tetapi orang-orang Suriantal masih berkuasa disini. Atas ijin mereka, orang-orang dari perguruan lain itu berada disini,“ jawab seorang diantara mereka.

“Ternyata ikatan yang ada antara perguruan besar Suriantal yang dipimpin oleh seorang Maha Guru itu pun tidak banyak artinya. Kalian tidak tahu apa yang pernah terjadi disini. Dan kalian sekarang datang begitu terlambat,“ geram Mahisa Pukat.

“Kami memang datang terlambat,“ jawab salah seorang diantara mereka, “tetapi belum terlalu terlambat. Siapa pun kalian, tetapi kalian merupakan penerus dari perguruan dan padepokan Suriantal. Karena itu, kalian tidak berhak untuk merubah nama perguruan dan padepokan ini apa pun alasannya. Baru setelah kalian mendapat ijin kalian dapat mengumumkan nama perguruan dan padepokan ini dalam bentuknya yang baru. Tetapi jika tidak ada ijin itu, maka kalian tidak dapat melakukannya.”

“Sudah aku katakan, kami tidak mempunyai hubungan apa pun dengan perguruan Suriantal,“ tiba-tiba saja Mahisa Pukat membentak, “Ki Sanak. Jangan kalian berpura-pura. Kalian tahu siapa kami. Dan apa yang telah terjadi disini.”

Orang-orang bertongkat panjang itu mengerutkan keningnya. Namun mereka pun kemudian saling berpandangan. Baru kemudian seorang diantara mereka berkata, “Apa yang kau maksud berpura-pura itu anak muda.”

“Ki Sanak,“ jawab Mahisa Pukat, “aku tidak percaya apa yang kalian katakan. Aku belum pernah mendengar perguruan induk dari perguruan Suriantal. Jika kemarin kami menghancurkan perguruan Windu Putih yang datang dengan kekuatan tiga padepokan yang masih juga bernama Windu Putih, kami percaya bahwa Windu Putih memang mempunyai perguruan induk yang dipimpin oleh seorang Maha Guru menurut penilaian mereka, yang sayang sekali Maha Guru itu telah terbunuh disini.”

“Bohong,“ tiba-tiba seorang diantara kelima orang itu berteriak, “Omong kosong. Aku tidak percaya bahwa kalian dapat menghancurkan perguruan Windu Putih.”

“Terserah. Itu hak kalian. Percaya atau tidak percaya,“ jawab Mahisa Pukat, “namun sekarang, apa yang kalian kehendaki sebenarnya, mungkin kalian memang orang-orang dari perguruan Suriantal yang pernah meninggalkan padepokan ini karena sesuatu hal. Tetapi jangan sebut perguruan induk, Manik Wungu dan segala macam kebohongan itu.”

Orang-orang itu menggeretakkan giginya. Namun dalam pada itu Mahendra lah yang berkata, “Ki Sanak. Sebaiknya Ki Sanak mempelajari persoalannya dengan tuntas. Meskipun aku sependapat dengan Putut Mahisa Pukat ini, tetapi ternyata bahwa kalian memang kurang cermat mengamati keadaan.”

“Apalagi yang kau maksud?“ bertanya salah seorang dari kelima orang itu.

“Baiklah,“ berkata Mahendra mendahului anak-anaknya, “sekarang sebaiknya kalian katakan saja apa maksud kalian yang sebenarnya dan siapakah kalian. Kita tidak usah melingkar-lingkar dan mengambil alasan yang tidak sewajarnya. Tongkat panjang kalian memang menunjukkan ciri Suriantal. Tetapi kami tahu bahwa tongkat semacam itu dapat diambil di pinggir-pinggir jalan. Mungkin batang turi atau batang lamtara atau kayu metir. Jika tongkat itu tongkat yang memang kalian anggap sebagai senjata kalian, serta kalian memang orang-orang Suriantal yang pernah melarikan diri dari padepokan ini, apa sebenarnya yang kalian inginkan?”

Orang yang nampaknya paling berpengaruh diantara mereka itu pun bergeser maju. Dengan nada tinggi ia berkata, “Kalian jangan membuat persoalan Ki Sanak. Apa pun yang kalian katakan, Maha Guru mengharap kalian datang pada saat yang sudah ditentukan dalam pertemuan yang akan dipimpin langsung oleh Maha Guru kami.”

Mahendra mengerutkan keningnya. Namun ia pun bertanya, “Di mana dan kapan?”

“Saatnya adalah purnama naik di bulan depan. Sedang tempatnya adalah disini. Di padepokan Suriantal ini,“ jawab orang itu.

Mahendra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut mendengar jawaban itu. Sejenak mereka justru terdiam betapapun jantung mereka seakan-akan berdentang semakin keras.

“Kenapa kalian terkejut?“ bertanya orang itu, “kalian tidak akan dapat menolak. Itu keputusan Maha Guru. Dan padepokan ini adalah padepokan Suriantal.”

Mahendra lah yang kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi peristiwa sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Windu Putih itu akan terulang kembali. Kami sadar, bahwa yang kalian katakan itu adalah sekedar alasan yang tidak masuk akal. Tetapi yang akan kalian lakukan adalah satu cara yang barangkali kalian anggap paling baik untuk merebut padepokan ini dengan landasan yang seakan-akan masuk akal.”

“Apa pun jawaban kalian. Paling sedikit akan datang utusan dari empat padepokan. Dengar, bahwa yang datang hanyalah utusan dari empat padepokan. Tetapi Maha Guru juga mengundang beberapa padepokan yang dianggap sebagai sahabat. Ada tiga padepokan lain sudah menyatakan kesediaannya untuk datang dan berbicara sebagaimana pembicaraan antara keluarga sendiri. Memang tidak ada masalah yang penting. Tetapi karena hal seperti itu sudah lama tidak pernah kita lakukan, maka kita akan melakukannya di saat purnama naik di bulan depan,“ berkata orang yang paling berpengaruh diantara mereka.

“Ki Sanak,“ berkata Mahisa Murti, “apa pun alasannya maka yang akan kalian lakukan justru melampaui kelicikan orang-orang Windu Putih. Baiklah. Sebelum purnama naik bulan depan, kami sudah siap menerima kalian. Pintu gerbang kami akan berlapis baja dan dinding padepokan kami akan menjadi sekeras batu karang. Lakukan apa yang ingin kalian lakukan.”

Orang itu tiba-tiba menggeram. Katanya, “kau masih terlalu muda untuk mengenal kehidupan yang selengkapnya. Tetapi baiklah. Kita akan melihat apa yang akan terjadi.”

Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat pun berkata, “Tunggulah sebentar. Aku akan memanggil seseorang yang barangkali dapat berbicara banyak tentang padepokan Suriantal.”

Orang-orang bertongkat itu mengerutkan keningnya. Namun Mahisa Pukat sama sekali tidak menghiraukannya. Ketika ia lewat di depan Ki Bekel, ia sempat berkata, “Tidak ada apa-apa Ki Bekel. Hanya orang-orang yang ingin mendapat keuntungan bagi diri mereka sendiri.”

Ki Bekel itu mengangguk-angguk meskipun hatinya agak berdebar-debar juga. Sementara itu, Mahisa Pukat telah memanggil seorang yang umurnya sudah, merayap mendekati pertengahan abad. Orang itu terkejut ketika Mahisa Pukat bertanya, “Bukankah kau dahulu murid dari perguruan Suriantal.”

Orang itu terkejut. Ia tidak tahu, kenapa hal itu telah diungkit lagi oleh Mahisa Pukat. Karena itu, maka ia pun menjadi ragu-ragu untuk menjawab.

“Kenapa kau menjadi bingung,“ Mahisa Pukat yang agak tergesa-gesa mendesak, “bukankah kau orang Suriantal?”

Orang itu masih kebingungan. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Itu dahulu. Tetapi bukankah kita sudah bersepakat untuk melupakannya.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Maaf. Bukan maksudku untuk mempersoalkannya. Tetapi aku ingin kau mengenali orang-orang yang mengaku sebagai orang-orang Suriantal. Mungkin kau dapat membantu kami.”

Orang yang sudah hampir setengah abad itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Apa yang harus aku lakukan?”

“Ikutlah aku,“ jawab Mahisa Pukat.

Demikianlah, maka orang itu pun telah mengikut Mahisa Pukat menuju ke pendapa padepokan itu. Orang itu memang berdebar-debar melihat lima orang yang bersenjata tongkat panjang. Namun ketika ia naik ke pendapa, tiba-tiba saja wajahnya menjadi tegang. Dipandanginya salah seorang dari kelima orang itu dengan tajamnya. Namun dalam pada itu, orang yang dipandanginya itu pun menjadi tegang pula.

Orang-orang yang hadir di pendapa dengan segera mengetahui, bahwa keduanya tentu pernah berhubungan sebelumnya. Demikianlah orang itu duduk, maka Mahisa Pukat pun segera bertanya, “Apakah ada diantara mereka yang kau kenal?”

“Ya. Aku mengenalnya,“ berkata orang itu sambil menunjuk salah seorang diantara kelima orang itu.

“Aku kira kau sudah ditumpas mati bersama kawan-kawanmu,“ geram orang yang bertongkat panjang itu, “kenapa selagi kalian masih hidup, kalian biarkan orang lain menginjak-injak padepokan kita ini he?”

“Jangan asal saja bicara, agar tidak didahului,“ berkata bekas orang Suriantal, yang masih berada di padepokan itu, “kenapa kau melarikan diri pada waktu itu, justru pada saat kita memerlukan sekali keutuhan tekad. Bukan hanya kau. Tetapi beberapa orang yang sempat membuat seribu macam alasan. Kami mencoba bertahan disini. Tetapi pertempuran demi pertempuran telah benar-benar menghancurkan padepokan ini. Sehingga akhirnya, latar belakang kehidupan Suriantal yang tertinggal tidak ada lagi seperlima dari kehidupan di Padepokan ini. Nah apakah yang seperlima itu akan memaksakan kehendaknya atas yang empat perlima? Jika hal itu harus kami lakukan, apa saja yang pernah kau lakukan bagi Suriantal.”

Wajah orang itu menjadi merah. Lalu katanya, “Persetan dengan kau. Diluar padepokan ini aku telah menghidupkan kembali jiwa perguruan Suriantal.”

“Omong kosong,“ sahut orang yang tinggal di padepokan yang kemudian bernama Bajra Seta itu, “Guru sudah tidak ada. Apa yang akan dapat kami jadikan tuntunan?”

Orang yang bertongkat panjang itu tiba-tiba tertawa. Katanya, “Hidupmu bertumpu pada seseorang. Jika tumpuanmu itu runtuh, maka kau ikut runtuh seperti yang terjadi sekarang ini. Tanpa tumpuan baru, kau sama sekali tidak berarti sama sekali.”

Bekas orang Suriantal itu menjadi merah telinganya. Dengan nada geram ia berkata, “Itukah caramu menyembunyikan kelicikanmu. Bahkan pengkhianatanmu pada waktu itu dengan membiarkan kesulitan itu menjadi beban orang-orang yang kau tinggalkan melarikan diri sekedar memenuhi ketakutan yang membakar jantungmu?”

“Persetan,“ geram orang itu, “aku tidak peduli apapun. Sekarang Maha Guru menentukan, kita akan bertemu dan berbicara disini. Di padepokan Suriantal.”

“Maha Guru siapa?“ bertanya orang itu.

“Sejak dahulu kau selalu ketinggalan,“ jawab orang itu, “kau tidak perlu tahu sekarang. Tetapi padepokan ini harus dipersiapkan untuk menerima satu pertemuan antara perguruan-perguruan Suriantal dan beberapa perguruan yang akan menjadi tamu.”

“Perguruan-perguruan Suriantal yang mana yang kau maksud?“ bertanya bekas orang perguruan Suriantal itu, “ada berapa perguruan Suriantal menurut hitunganmu?”

“Kau benar-benar berpengetahuan picik sekali,“ jawab orang itu, “karena itu, kita tidak dapat berbicara lebih panjang. Bahan yang kau ketahui sama sekali tidak memadai kau pergunakan sebagai bekal berbicara dengan aku dan saudara-saudaraku ini.”

Orang itu terdiam. Tetapi wajahnya memang menjadi tegang. Dipandanginya orang-orang yang lain seorang demi seorang. Tetapi ia belum pernah mengenal mereka. Karena itu, maka ia pun berkata, “Aku belum pernah mengenal mereka.”

“Tentu,“ jawab orang yang mengaku dari perguruan Suriantal itu, “jika kau mengenalnya justru akan terjadi satu keanehan. Kau memang hanya mengenal padepokan ini. Mungkin ternaknya, sawah dan pategalannya atau barangkali satu dua kali mencuri kambing di padukuhan.”

“Tutup mulutmu,“ bentak bekas orang Suriantal itu, “kau kira aku tidak dapat berbuat sesuatu terhadapmu.”

Namun ketika orang itu bergeser, Mahisa Murti telah berdesis, “Tunggu. Kita akan berbicara.”

Orang bertongkat panjang itu tertawa. Sementara itu ia masih juga berkata, “Kau marah?”

“Tidak. Aku tidak jadi marah,“ jawab orang yang hampir saja meloncat menerkam itu.

“Kenapa?“ Orang bertongkat itu tiba-tiba saja ingin tahu.

“Tidak aku lupa mengingat, dengan siapa aku berbicara,“ jawab bekas orang Suriantal itu.

“Jadi kenapa?“ orang itu mendesak.

“Tidak apa-apa. Tetapi setelah aku ingat sepenuhnya, bukan saatnya untuk marah,“ jawab bekas orang Suriantal itu.

Orang bertongkat yang mengaku orang dari perguruan Suriantal itu justru menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “He, kenapa dengan kau? Apa yang kau ingat, sehingga kau tidak menjadi marah?”

“Aku baru ingat siapakah kau sebenarnya. Kedudukanmu diantara orang-orang Suriantal dan barangkali juga sikap dan tingkah lakumu. Kau adalah orang yang paling tidak disukai diantara kita, orang-orang Suriantal. Dan kini kau datang dengan cara yang tidak wajar sama sekali. Justru pada saat nama Suriantal telah mulai kita lupakan,“ berkata bekas orang Suriantal yang masih berada di padepokan itu.

“Kau mulai mengigau,“ berkata orang bertongkat itu, “sebaiknya aku tidak melayanimu. Aku datang dengan kepentingan yang jauh lebih besar dari berbicara dengan orang-orang yang tidak berarti seperti kau.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Sebaiknya kau tidak berbuat aneh-aneh sekarang ini disini. Kau harus melihat satu kenyataan. Satu kelahiran baru dari sebuah perguruan dan sekaligus padepokan ini. Lupakan mimpimu yang buruk itu. Seolah-olah ada beberapa padepokan Suriantal yang akan mengadakan pertemuan disini. Bahkan ada perguruan lain yang akan ikut hadir. Benar-benar satu mimpi yang bukan saja buruk, tetapi mimpi yang jahat. Karena dibalik mimpi itu terkandung niat yang memang jahat.”

“Tutup mulutmu,“ dua orang diantara orang bertongkat itu berteriak hampir bersamaan.

Tetapi orang itu justru tertawa. Kemudian ia pun berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Putut berdua. Inilah kenyataan dari orang-orang yang menyebut dirinya orang-orang dari perguruan Suriantal. Orang yang menyebut seorang Maha Guru dari perguruan yang telah mekar dan bahkan ada yang telah memiliki pribadinya sendiri dan apalagi.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Dengan nada datar Mahisa Murti berkata, “Kami memang sudah memperhitungkan bahwa yang akan kalian lakukan adalah satu tantangan. Tetapi apa boleh buat. Kami tidak akan dapat dengan suka rela menundukkan kepala kami dan membiarkan leher kami dipancung. Lebih baik menengadahkan kepala sambil menepuk dada sebagai laku seorang laki-laki.”

“Persetan,“ geram orang bertongkat yang agaknya memimpin kawan-kawannya itu, “kami sudah menyampaikan segala pesan Maha Guru. Jika kalian mencoba ingkar dari pesan itu, maka kalian akan mengalami akibat yang sang buruk.”

“Sudahlah,“ berkata Mahendra, “kami sudah mendapat gambaran serba sedikit tentang kalian dan siapa yang kau sebut sebagai Maha Guru itu. Karena itu kembalilah. Katakan kepada mereka, bahwa besok, di bulan depan pada saat purnama naik, kami tidak dapat menerima mereka yang kau sebutkan tadi disini. Katakan kepada Maha Gurumu bahwa disini tidak ada padepokan Suriantal sebagaimana kalian maksudkan.”

Kelima orang itu memandang Mahendra dengan sorot mata yang memancarkan gejolak di dalam dada mereka. Namun ternyata bahwa mereka berlima memang tidak berniat untuk berbuat sesuatu, karena mereka menyadari, bahwa mereka berlima tidak akan dapat melakukan apa pun juga. Sementara itu, langit pun telah menjadi terang. Cahaya matahari mulai membayang.

“Cukup,“ berkata orang yang agaknya memimpin kelima orang bertongkat itu, “kita akan pergi.”

“Ki Sanak,“ berkata Mahendra, “apa pun yang terjadi diantara kita, aku ingin mempersilahkan Ki Sanak menunggu minuman panas yang akan kami hidangkan.”

“Terima kasih,“ jawab orang bertongkat itu, “bukan waktunya untuk minum dan apalagi makan. Kami mengemban tugas dari Maha Guru. Karena itu, kami minta diri.”

Mahendra tidak menahannya lagi. Sejenak kemudian maka kelima orang bertongkat itu pun telah meninggalkan padepokan itu.

Ki Bekel yang menunggu keterangan tentang orang-orang bertongkat itu ternyata masih juga berada di padepokan. Dengan jantung yang berdebaran ia menemui Mahendra dan anak-anaknya sambil bertanya, “Apa yang telah terjadi?”

Mahendra lah yang menjawab sambil tersenyum, “Tidak ada apa-apa Ki Bekel. Agaknya memang wajar sekali jika setiap usaha itu akan mengalami hambatan. Mereka adalah orang-orang yang mengaku orang-orang perguruan Suriantal.”

“Ya,“ jawab Ki Bekel, “dahulu, penghuni padepokan ini memang bersenjata tongkat panjang. Hampir semua orang bersenjata tongkat. Namun kemudian telah terjadi perubahan-perubahan sehingga saat terakhir sekarang ini.”

“Satu permainan yang kotor dari orang-orang yang tidak tahu diri,“ berkata Mahendra.

“Tetapi, apakah ini satu pertanda bahwa pertentangan dan kekerasan akan terjadi lagi di padepokan ini?“ bertanya Ki Bekel.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia berkata, “Memang kami menjadi prihatin sekali akan keadaan seperti itu. Kami menginginkan suasana yang tenang dan damai. Namun sudah tentu bahwa kami harus mempertahankan hak kami terhadap siapa pun yang akan mengambilnya, seluruhnya atau bahkan hanya sebagian sekalipun.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Aku pun dapat menilai tentang hak itu atas padepokan ini sebagaimana aku lihat sejak kelahirannya sampai saat ini.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kami mohon maaf Ki Bekel. Apa pun yang terjadi disini tentu akan mempengaruhi kehidupan di padukuhan. Mudah-mudahan tidak akan selalu berulang setiap kali.”

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ki Bekel itu pun berkata, “Nampaknya kalian memang tidak dapat mengingkari kenyataan ini. Tetapi kami pun berdoa, semoga kalian tidak selalu mengalami kesulitan seperti ini. Sehingga pada satu saat, kalian benar-benar dapat hidup dengan damai di padepokan ini.”

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah kita akan bersama-sama berdoa. Kali ini pun kami mohon Ki Bekel juga berdoa agar kami dapat mengatasi kesulitan-kesulitan ini.”

Ki Bekel itu memandang Mahendra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti. Kemudian katanya dengan nada rendah, “Kalian masih harus mengalami cobaan-cobaan berat. Tetapi aku yakin bahwa kalian akan dapat mengatasinya.”

“Terima kasih Ki Bekel. Kami memang akan berbuat sejauh dapat kami lakukan untuk mempertahankan hak-hak kami,“ desis Mahisa Murti.

Ki Bekel itu pun kemudian telah minta diri. Sementara matahari telah mulai merayap di kaki langit. Bau asap yang masih mengepul ternyata telah diwarnai dengan kegelisahan yang timbul karena kedatangan lima orang bertongkat yang mengaku orang-orang Suriantal itu.

Namun sepeninggal Ki Bekel dan para bebahu maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berusaha untuk menghilangkan kegelisahan itu. Mereka pun telah menemui para penghuni padepokan yang baru saja disyahkan bernama padepokan Bajra Seta itu, dan mengatakan agar mereka melupakan kedatangan orang-orang bertongkat itu.

“Setidak-tidaknya untuk hari-hari ini,“ berkata Mahisa Pukat, “mereka tidak akan mengganggu kita sampai bulan purnama yang akan datang.”

“Bulan purnama?“ bertanya seseorang.

“Ya, Purnama di bulan ini sudah lewat. Karena itu, mereka baru akan datang kira-kira sebulan lagi,“ jawab Mahisa Pukat.

Para penghuni padepokan itu menjadi tenang. Bahkan mereka pun kemudian justru merasa mendapat dorongan untuk bekerja keras menyongsong kedatangan orang-orang yang ingin merebut hak atas padepokan Bajra Seta itu.

Dengan demikian, maka orang-orang padepokan itu masih sempat menghabiskan sisa-sisa kegembiraan mereka. Namun sebagian dari mereka telah mulai membersihkan halaman padepokan mereka yang menjadi kotor dan sampah pun berserakan di sana-sini.

Demikianlah untuk dua tiga hari, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum mengambil langkah-langkah penting. Meskipun demikian penjagaan atas padepokan itu nampaknya sudah mulai diperkuat.

Baru sepekan kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengumpulkan para pemimpin kelompok di padepokan itu, untuk memberitahukan selengkapnya, apa yang telah dikatakan oleh orang-orang bertongkat itu. Kepada bekas orang padepokan Suriantal yang telah menemui mereka, Mahisa Murti telah memberinya kesempatan untuk menceriterakan siapakah orang yang pernah dikenalinya di antara kelima orang itu.

Kawan-kawannya yang semula juga dari perguruan Suriantal ternyata telah mengenalinya pula. Seorang diantara mereka berkata, “Jadi pengecut itulah yang datang? Agaknya di tempatnya yang baru, ia merasa dirinya sebagai seekor burung rajawali, meskipun semula ia tidak lebih dari seekor bilalang sakit-sakitan.”

Beberapa orang yang juga mengenalinya tertawa. Seorang yang juga bekas murid perguruan Suriantal itu berkata, “Jika demikian, maka kita tidak perlu cemas.”

“Jangan merendahkan mereka,“ berkata Mahisa Murti, “mungkin orang itu dibawa sekedar untuk menjadi penunjuk jalan.”

“Tetapi menilik sikapnya diantara kelima orang itu, ia termasuk orang yang sederajad,“ berkata bekas orang Suriantal yang ikut menemui kelima orang bertongkat itu.

“Baiklah,“ berkata Mahisa Murti, “namun bagaimanapun juga kita harus berhati-hati. Mereka telah menyebut-nyebut Maha Guru bagi seseorang yang tentu mereka anggap penting. Ada empat padepokan yang akan terlibat langsung, sementara itu ada tiga padepokan yang akan diundang menjadi tamu. Nah, kita dapat membayangkan. Tujuh padepokan. Sementara padepokan Windu Putih yang datang itu tidak lebih dari tiga padepokan.”

“Bagaimanapun juga, kita tidak akan menundukkan kepala kita,“ berkata bekas orang Suriantal itu, “kita sudah bertekad untuk berdiri diatas reruntuhan-reruntuhan masa lampau. Jika kita memang harus runtuh lagi, maka biarlah kita runtuh bersama perguruan dan padepokan kita yang baru ini.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Dengan nada berat Mahisa Murti berkata, “Terima kasih atas tekad yang membara di hati kalian. Agaknya kita memang harus bertahan dengan kekuatan kita sendiri. Kita akan segan untuk sekali lagi mohon kepada Akuwu Sangling agar mempersiapkan pasukan dan membantu kita menghadapi ke tujuh padepokan itu.”

“Apakah kita benar-benar yakin, mereka akan datang?“ tiba-tiba seorang pemimpin kelompok bertanya.

Pertanyaan itu terdengar aneh. Tetapi ternyata pertanyaan itu telah menarik perhatian mereka yang ikut dalam pertemuan itu.

“Ya,“ seorang yang lain berdesis pula, “apakah mereka tidak sekedar membuat jantung kita selalu berdebaran. Setidak-tidaknya untuk satu bulan mendatang.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Pukat menjawab, “Kita akan memperhitungkannya kemudian. Tetapi apa salahnya jika kita berjaga-jaga menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang bagaimanapun juga.”

Orang-orang padepokan Bajra Seta itu mengangguk-angguk. Namun dengan nada rendah Mahisa Pukat justru bertanya, “Ada beberapa kemungkinan. Orang itu hanya sekedar mengganggu kita. Namun kemungkinan lain, setelah mereka melihat kekuatan yang ada di padepokan ini, mereka justru menyergap kita sebelum saat yang mereka tentukan. Mungkin mereka akan dapat membuat alasan, seakan-akan mereka mempersiapkan tempat bagi pertemuan yang akan mereka adakan itu disini.”

Mahisa Murti lah yang kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Memang, kemungkinan itu dapat terjadi. Karena itu, kita harus berhati-hati.”

Para pemimpin kelompok di padepokan itu memang menyadari kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi. Karena itu, maka mereka sepakat untuk meningkatkan penjagaan. Tetapi juga meningkatkan latihan-latihan sehingga secara pribadi mereka harus memiliki kelebihan dari orang-orang perguruan dan padepokan manapun juga, termasuk perguruan yang disebut-sebut bernama Suriantal.

Dalam pada itu, ketika pertemuan itu sudah dibubarkan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berbincang agak panjang dengan Mahendra. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang pernah bekerja sebagai petugas sandi di Kediri, berniat untuk menyelidiki kebenaran ceritera orang-orang bertongkat itu.

Tetapi Mahendra berkata, “Kau tidak perlu melakukannya. Kalian berdua tidak sepantasnya meninggalkan padepokan ini. Kalian adalah pemimpin dari padepokan ini.”

“Jadi bagaimana?“ bertanya Mahisa Murti.

“Biarlah aku kembali ke Singasari. Mungkin pamanmu yang mempunyai pengaruh di bidang keprajuritan di Singasari akan dapat memberikan jalan,“ berkata Mahendra.

Tetapi dengan serta merta Mahisa Pukat berkata, “Jangan ayah. Padepokan ini terletak di wilayah Kediri. Jika prajurit Singasari dalam susunan pasukan memasuki Kediri, meskipun Kediri merupakan satu kesatuan dengan Singasari, namun agaknya akan dapat memancing persoalan. Selama ini, Kediri masih mempunyai wewenang untuk mengurus dirinya sendiri meskipun harus mengakui kekuasaan Singasari.”

“Bukan maksudku untuk minta agar pamanmu mengerahkan pasukan Singasari dan diperbantukan disini. Tetapi mungkin pamanmu akan dapat mencari jalan untuk mengetahui kebenaran ceritera orang-orang bertongkat itu. Mungkin dua atau tiga orang petugas sandi akan dapat melakukannya.”

“Ayah,“ berkata Mahisa Murti, “aku berpendapat lain. Aku mohon ayah berada di padepokan ini untuk satu dua pekan. Atau mungkin sampai saatnya purnama naik itu. Biarlah kami berdua mencari jalan untuk mengetahui, apakah yang dikatakan oleh orang-orang itu benar.”

“Apa yang dapat kau lakukan?“ bertanya Mahendra.

“Ayah,“ berkata Mahisa Murti, “biarlah kami berdua melakukannya. Kami akan meninggalkan padepokan ini untuk waktu yang tidak terlalu lama. Bahkan jika dalam perjalanan kami mendengar berita perjalanan pasukan lawan, kami berdua akan segera kembali.”

Mahendra memang menjadi ragu-ragu. Tetapi ia dapat mengerti, bahwa jika Singasari langsung atau tidak langsung mencampuri persoalan yang terjadi di Kediri, maka mungkin sekali akan dapat memanggil persoalan meskipun tidak selalu berakibat demikian. Jika Singasari dapat memberikan alasan yang mapan, maka Kediri tentu akan dapat mengerti.

Karena itu, maka yang mungkin dimohon bantuannya adalah Pakuwon Sangling atau Lemah Warah yang masih berada di bawah kuasa Kediri. Atau bahkan Kediri itu sendiri. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih ingin mengetahui, apakah orang-orang bertongkat itu bukannya sekedar bermain-main.

Dengan menunjukkan beberapa alasan, akhirnya Mahendra melepaskan kedua anaknya pergi meninggalkan padepokan itu. Kepada para penghuninya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memberitahukan bahwa ayahnyalah yang untuk sementara akan tetap berada di padepokan.

“Latihan-latihan berikutnya akan dipimpin oleh ayah langsung,“ berkata Mahisa Murti.

Demikianlah, maka setelah berbenah diri, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bersiap untuk pergi. Di malam hari ia masih mengumpulkan para pemimpin kelompok. Namun kemudian keduanya pun telah minta diri dan meninggalkan beberapa pesan bagi mereka.

“Kami titipkan padepokan ini kepada kalian dibawah pimpinan ayah Mahendra. Jika kalian mengakui kepemimpinan kami, maka kalian pun akan mengakui kepemimpinan ayah, karena kami berdua justru mengakui bahwa ayah adalah guru kami,“ berkata Mahisa Murti.

Meskipun para pemimpin kelompok itu tidak menjawab, namun pada sorot mata mereka, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat menangkap kesediaan para pemimpin kelompok itu. Di pagi hari berikutnya, menjelang matahari terbit, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berangkat meninggalkan padepokannya. Mereka berniat untuk mengetahui kebenaran ceritera kelima orang bertongkat itu. Satu-satunya ancar-ancar yang dapat mereka pakai sebagai sasaran adalah padepokan Manik Wungu.

“Dimanakah kira-kira letak padepokan Manik Wungu,“ bertanya Mahisa Pukat.

“Apa salahnya jika kita bertanya kepada orang yang kita anggap mempunyai pengamatan yang luas,“ jawab Mahisa Murti.

“Siapa?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Apa salahnya jika kita menghadap Akuwu Lemah Warah,“ jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Kita akan menghadap Akuwu Lemah Warah. Mungkin Akuwu pernah mendengar nama perguruan Manik Wungu.

Ternyata keduanya memang sependapat untuk langsung menuju ke Pakuwon Lemah Warah. Demikianlah, kedua anak muda yang telah mengangkat diri sebagai pemimpin sebuah perguruan dan pemimpin padepokan itu telah menuju ke Lemah Warah. Meskipun Akuwu Lemah Warah itu orang lain bagi mereka, namun Akuwu telah mengaku mereka sebagai kemanakannya. Bahkan rasa-rasanya, sikap Akuwu Lemah Warah itu bukan sekedar diucapkan, tetapi benar-benar terpahat di dalam hati. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah anak-anak muda yang telah dapat menarik perhatiannya.

Ternyata kehadiran kedua anak muda itu memang disambut dengan gembira. Akuwu Lemah Warah yang pernah berada di padepokan Bajra Seta yang sebelumnya disebut padepokan Suriantal itu mendengarkan ceritera Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentang padepokan mereka dengan sungguh-sungguh. Sekali-kali wajahnya nampak berkerut. Namun kemudian mengangguk-angguk kecil. Sehingga akhirnya Mahisa Murti-pun mengakhiri ceriteranya dengan sebuah pertanyaan,

“Ampun Akuwu, apakah Akuwu mengetahui serba sedikit tentang sebuah perguruan atau padepokan yang bernama Manik Wungu? Perguruan itulah yang pernah disebut-sebut oleh orang-orang bertongkat yang mengaku dari perguruan Suriantal itu.”

Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Anak-anakku. Ternyata kalian berhadapan dengan sekelompok siluman.“

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Dengan nada rendah Mahisa Pukat bertanya, “Apakah maksud Akuwu dengan sekelompok siluman?”

“Dengarlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,“ berkata Akuwu Lemah Warah, “perguruan Manik Wungu adalah perguruan dari orang-orang yang tidak lagi mengikatkan diri dengan martabat kemanusiaan mereka. Perguruan itu tidak terlalu besar, tetapi sangat berbahaya.”

“Jadi apakah menurut Akuwu, perguruan itu benar-benar merupakan cabang atau satu perkembangan dari perguruan Suriantal?“ bertanya Mahisa Murti.

“Aku sama sekali tidak melihat persamaannya sama sekali antara kedua perguruan itu,“ berkata Akuwu, “yang aku tahu, perguruan Manik Wungu itu bergerak di tempat-tempat yang jauh. Letak padepokannya pun tidak terlalu dekat dengan Pakuwon Lemah Warah ini. Agaknya orang-orang Manik Wungu telah menjadi jera memasuki Pakuwon Lemah Warah, karena aku pernah mengambil tindakan yang tidak tanggung-tang-gung terhadap padepokan itu. Aku pernah menghancurkannya hampir enam tahun yang lalu. Namun aku memang mendengar bahwa padepokan dan perguruan Manik Wungu telah tumbuh kembali.”

“Agaknya mereka telah bekerja bersama dengan pelarian dari padepokan Suriantal,“ berkata Mahisa Pukat.

“Memang mungkin sekali,“ jawab Akuwu Lemah Warah, “orang-orang Manik Wungu akan senang sekali menerima pelarian dari Suriantal untuk memperkuat kedudukan mereka.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Orang-orang Suriantal yang putus asa itu telah terperosok ke dalam sarang siluman yang garang. Jika pada dasarnya orang-orang Suriantal bukannya orang-orang yang tidak menghiraukan martabat kemanusiaannya, namun mereka yang kehilangan pegangan, ternyata telah terjerat ke dalamnya.

Dalam pada itu, Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Ampun Akuwu. Agaknya kami berdua harus mencari keterangan tentang padepokan Manik Wungu untuk meyakinkan, apakah benar mereka akan datang di saat purnama naik di bulan mendatang.”

Akuwu Lemah Warah itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sebaiknya bukan kalian. Biarlah orang-orangku pergi ke Manik Wungu. Ada diantara mereka yang akan dapat mengadakan hubungan dengan penghuni padepokan itu dengan caranya.”

“Bukankah kerja itu kerja yang berbahaya?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Orang-orang yang akan aku kirim, tentulah orang-orang yang menyadari akan bahaya itu. Namun memang ada diantara mereka yang mengenali satu dua orang Manik Wungu yang garang itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Lalu dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Jika demikian, apa yang harus kami lakukan kemudian?”

“Menunggu orang-orangku itu disini,“ berkata Akuwu Lemah Warah.

“Tetapi apakah itu pantas, bahwa justru kami yang berkepentingan sekedar menunggu disini, sementara orang lain harus bekerja keras dengan mempertaruhkan nyawanya,“ desis Mahisa Murti.

“Bukan begitu,“ berkata Akuwu Lemah Warah, “aku tahu siapa kalian berdua. Aku pun tahu apa yang pernah kalian lakukan. Kalian juga pernah melakukan tugas sandi, sehingga kalian tidak akan gentar menghadapi segala persoalan yang mungkin timbul dalam tugas-tugas kalian yang berat. Tetapi jika aku akan memerintahkan orang-orangku itu semata-mata karena medan yang lebih kami kuasai dari pada kalian...”