Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 55 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 55
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA MURTI dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Nampaknya Akuwu memang yakin akan keberhasilan tugas orang-orangnya. Karena itu maka Mahisa Murti pun berkata, “Jika demikian, kami serahkan kebijaksanaan kepada Akuwu.”

“Terima kasih,” jawab Akuwu, “aku akan segera menghubungi orang-orang yang mengenal padepokan itu dengan baik, bahkan mengenal beberapa iblis yang ada di padepokan itu.”

Demikianlah, maka Akuwu pun telah memanggil beberapa orang untuk menghadap. Namun demikian mereka tampil, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang terkejut melihat ujud mereka. Orang-orang itu adalah orang-orang yang kasar, kotor, bahkan memberikan kesan sebagai perampok-perampok dan penjahat.

“Hanya orang-orang seperti merekalah yang dapat berhubungan dengan orang-orang Manik Wungu,” desis Akuwu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud Akuwu Lemah Warah. Agaknya pada petugas sandi Lemah Warah terdapat prajurit-prajurit yang harus menyesuaikan diri dengan segala lapisan rakyat yang ada di Lemah Warah. Ada diantara mereka yang harus berujud dan bersikap sebagaimana orang-orang kaya. Ada yang harus menyatakan dirinya sebagai pedagang dan saudagar. Tetapi ada yang harus bersikap seperti bangsawan dan ada pula sebagaimana mereka hadapi saat itu.

Akuwu Lemah Warah tersenyum. Katanya, “Apakah kau heran melihat mereka?”

Mahisa Murti lah yang menggeleng. Katanya, “Kami dapat mengerti.”

“Tentu,” berkata Akuwu Lemah Warah, “kalian pernah berada dalam lingkungan petugas sandi.”

Sambil memperkenalkan orang-orang itu, Akuwu Lemah Warah berkata, “bersikaplah wajar. Keduanya juga petugas sandi yang berpengalaman.”

Orang-orang itu tersenyum. Seorang diantara mereka berkata, “Ampun Akuwu. Hamba menjadi cemas pada diri hamba sendiri. Jika sikap ini kemudian menjadi kebiasaan hidup hamba sehari-hari.”

Akuwu Lemah Warah tertawa. Katanya, “Bukankah peran seperti ini tidak harus kau lakukan terus-menerus sepanjang tahun? Bukankah para petugas yang berperan seperti kalian ini berganti dalam waktu empat bulan sekali?”

“Dalam empat bulan itu Akuwu, rasa-rasanya hamba menjadi masak,” jawab petugas sandi itu sambil tertawa.

“Satu ujian jiwani bagi kalian dalam tugas kalian,” berkata Akuwu. Lalu “Nah, sekarang kalian benar-benar dihadapkan kepada tugas yang sesuai. Kalian harus menghubungi orang-orang Manik Wungu.”

“Orang-orang Manik Wungu,” bertanya seorang diantara mereka, “apakah yang harus hamba lakukan atas orang-orang Manik Wungu itu.”

“Hubungi mereka,” berkata Akuwu yang kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi di padepokan yang semula disebut Suriantal, namun yang kemudian bernama Bajra Seta.

Orang-orang yang berwajah kasar dan keras itu mengangguk-angguk. Seorang diantara berkata, “Agaknya memang kamilah diantara para petugas sandi yang paling tepat datang kepada mereka. Hamba mengenal satu dua diantara mereka.”

“Nah,” berkata Akuwu, “usahakan untuk mendapat keterangan, apakah yang akan mereka lakukan, bulan depan di saat purnama naik.”

Orang-orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu Akuwu berkata selanjutnya, “Terserah kepada kalian. Apakah kalian memerlukan kawan sedikit atau banyak. Atau bahkan kalian menganggap bahwa justru cukup dua orang saja diantara kalian yang akan melakukannya.”

Orang yang agaknya pemimpin diantara mereka itu pun berkata, “Baiklah Akuwu. Perkenankanlah kami membicarakannya. Menyusup diantara orang-orang Manik Wungu bukan tugas yang ringan. Karena itu kami harus benar-benar siap menghadapi segala kemungkinan. Sebagaimana Akuwu ketahui, orang-orang Manik Wungu adalah iblis-iblis yang aneh.”

“Terserahlah,” berkata Akuwu, “aku percaya kepada kalian. Namun kalian pun harus mencoba untuk mengetahui, apakah ada perguruan lain yang berhubungan dengan padepokan Manik Wungu itu. Perguruan yang mengaku bernama Suriantal atau cabang ilmu keturunannya. Kau harus berusaha menemukan orang-orang bertongkat untuk mulai dengan penyelidikan yang akan kau lakukan berikutnya.”

“Hamba Akuwu,” jawab pemimpin mereka, “segalanya akan kami pelajari sehingga kami akan menemukan satu kesimpulan yang berarti bagi tugas kami.”

“Baiklah,” berkata Akuwu, “aku menunggu sampai besok. Kalian harus sudah memberikan laporan kepadaku.”

Orang-orang kasar itu pun mengangguk hormat. Kemudian mereka meninggalkan ruang itu. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menarik nafas dalam-dalam.

“Apakah kau pernah membayangkan untuk berperan seperti orang-orang itu?” bertanya Akuwu Lemah Warah.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Dengan nada datar Mahisa Murti berkata, “Yang pernah kami lakukan tidak lebih dari pada menjadikan diri kami pengembara. Atau barangkali lebih rendah sedikit derajadnya dari seorang pengembara. Tetapi tidak menjadi orang-orang sekasar itu. Tetapi ternyata bahwa cara ini pun akan baik juga dilakukan.”

“Aku menghadapi seribu masalah disini,” berkata Akuwu Lemah Warah, “karena itu belajar dari pengalaman, aku memerlukan orang-orang seperti itu. Ternyata kali ini ada juga gunanya, di samping hasil yang memang pernah mereka capai sebelumnya untuk kepentingan ketenangan dan ketentraman di Pakuwon Lemah Warah ini.”

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka mengakui sepenuhnya keterangan Akuwu Lemah Warah yang telah banyak sekali belajar dari pengalaman. Namun yang kemudian mereka pikirkan adalah, bahwa mereka justru akan duduk-duduk bertopang dagu di Pakuwon Lemah Warah sementara para petugas sandi dari Lemah Warah lah yang bekerja keras bagi mereka.

Karena itu, tiba-tiba Mahisa Pukat berkata, “Bagaimana jika kami berdua ikut bersama mereka dengan cara sebagaimana mereka lakukan. Berperan menjadi orang-orang sekasar itu agaknya justru lebih mudah daripada berperan menjadi seorang yang lembut dan berbudi tinggi.”

Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum, “Agaknya sulit bagi kalian. Apalagi dihadapan orang-orang Manik Wungu. Karena itu, tunggu sajalah disini. Semuanya akan dapat mereka selesaikan dengan baik, sehingga kalian akan dapat mengurai dan kemudian menentukan langkah-langkah yang patut kalian ambil.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Namun nampak bahwa ada perasaan kecewa pada keduanya. Agaknya keduanya akan lebih mantap jika mereka diperkenankan untuk ikut serta meskipun keduanya harus membuat diri mereka sebagaimana para petugas sandi itu.

Namun dalam pada itu Akuwu Lemah Warah pun berkata, “Anak-anak muda. Ada keberatan lain yang harus dipertimbangkan. Jika ternyata salah seorang diantara kelima orang bertongkat yang datang ke padepokan kalian itu ada di padepokan Manik Wungu dan melihat kehadiran kalian, akibatnya akan menjadi gawat.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk, sehingga akhirnya Mahisa Murti berkata, “Baiklah Akuwu. Kami berdua akan tinggal disini untuk menunggu, meskipun dengan demikian, rasa-rasanya kami tidak mampu berbuat berlandaskan tenaga kami sendiri. Kami hanya akan memetik hasilnya tanpa mau melakukan kerja.”

“Bukan kau yang ingin berbuat demikian,” berkata Akuwu Lemah Warah, “tetapi aku menasehatkan kalian berbuat demikian jika kalian masih menganggap aku sebagai orang tuamu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Mahisa Murti menjawab, “Kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya.”

Akuwu pun kemudian tersenyum. Katanya, “Sudahlah. Kalian sudah sepantasnya beristirahat setelah kerja keras sejak kau mulai menyiapkan patung batu yang menjadi rebutan itu dan terakhir kalian harus menghalau orang-orang Windu Putih.

“Tetapi sebagian dilakukan oleh kakang Mahisa Bungalan,” jawab Mahisa Murti.

“Bagaimanapun juga kalian tentu juga merasa letih. Belum lagi kerja kalian membangun kembali padepokan yang rusak itu. Kemudian ketegangan jiwa karena kehadiran orang-orang bertongkat yang mengaku datang dari perguruan Suriantal yang tersebar di empat padepokan,” berkata Akuwu.

“Sekali lagi, kami mengucapkan terima kasih,” sahut Mahisa Murti.

Demikianlah, maka sejak hari itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru sempat beristirahat. Mereka menjadi tamu yang dihormati di istana Akuwu Lemah Warah. Namun dengan demikian, mereka justru merasa kebingungan. Tidak ada apa-apa yang pantas mereka lakukan.

Agaknya Akuwu mengerti kegelisahan itu. Karena itu, maka di hari-hari berikutnya keduanya telah diajaknya masuk ke dalam sanggar. “Kita isi waktu kalian dengan bermain-main di dalam sanggar,” berkata Akuwu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berkeberatan. Ternyata mereka memang lebih senang berada di dalam sanggar daripada sekedar duduk, bangkit, berjalan hilir mudik di halaman, berbicara ke sana-kemari. Apalagi jika Akuwu sedang melakukan tugasnya.

Di sanggar mereka dapat melupakan waktu dengan berlatih dan berusaha menemukan perkembangan baru dari ilmu yang telah mereka miliki. Sedangkan di waktu senggang, maka bersama Akuwu mereka dapat menemukan perbandingan bagi ilmu mereka.

Demikian Akuwu Lemah Warah yang tidak pernah menemukan kawan yang seimbang untuk berlatih, kehadiran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata memberikan arti yang besar baginya. Anak-anak muda yang sudah mendapat tempaan dari berbagai pihak itu ternyata telah memiliki ilmu yang tinggi.

Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada di Pakuwon Lemah Warah, maka beberapa orang petugas sandi telah berangkat. Atas persetujuan Akuwu, yang kemudian berangkat adalah empat orang yang terbagi menjadi dua kelompok masing-masing dengan dua orang. Tugas mereka adalah menghubungi orang-orang padepokan Manik Wungu. Karena diantara mereka terdapat orang yang telah mengenal penghuni padepokan itu, maka diharapkan bahwa tugas mereka akan dapat berhasil.

Ternyata para petugas sandi itu benar-benar mampu membawakan peranan mereka dengan baik. Di perjalanan mereka segera menjadi bahan pembicaraan. Meskipun tidak ada korban yang jatuh, namun orang-orang di sepanjang jalan yang mereka lalui, menilai mereka sebagai orang-orang liar yang tidak mengenal martabat kemanusiaan mereka.

“Tetapi mereka bukan orang Manik Wungu,” berkata orang-orang yang pernah menjumpai para petugas sandi itu.

“Dari mana kau tahu?” bertanya kawannya.

“Setiap kali mereka sesumbar. Mereka datang dari pusatnya bumi. Mereka agaknya memang datang dari Barat,” sahut orang yang pernah mendengar orang-orang itu sesumbar.

“Biar saja. Pada suatu saat mereka akan bertemu dengan orang-orang Manik Wungu. Mereka akan berbicara dan bersikap sama-sama liar dan kasar,” berkata salah seorang dari orang-orang padukuhan itu.

Sebenarnyalah, kehadiran orang-orang itu memang terdengar oleh orang-orang Manik Wungu. Karena itu, padepokan Manik Wungu telah mengirim beberapa orang untuk membuktikan, apakah benar bahwa di luar padepokan, di padukuhan-padukuhan ada orang-orang liar yang mengganggu.

Sementara itu orang-orang Manik Wungu sendiri tidak pernah melakukannya terhadap orang-orang terdekat, karena mereka lebih banyak menjangkau daerah yang jauh. Hanya dalam saat-saat tertentu sajalah mereka memang berlaku kasar dan liar kepada para penghuni padukuhan yang terdekat. Bukan untuk merampok atau merampas harta benda, karena pada umumnya mereka memang orang-orang yang tidak kaya.

Tetapi jika orang-orang padepokan memerlukan bantuan tenaga mereka untuk satu kepentingan. Yang pernah terjadi adalah untuk membantu memperbaiki barak-barak di padepokan, serta membuat parit bagi lahan yang dibuat oleh orang-orang Manik Wungu beserta bendungannya.

Ketika orang-orang Manik Wungu menemukan para petugas sandi dari Pakuwon Lemah Warah itu, memang terjadi beberapa benturan kecil. Namun para petugas sandi itu segera menyebut beberapa nama dari orang-orang Manik Wungu yang pernah mereka kenal.

“Kenapa Kebo Rupak tidak bersama kalian,” bertanya salah seorang dari petugas sandi itu.

“Kau kenal Kebo Rupak?” bertanya orang Manik Wungu.

“Aku ingin bertemu dan berbicara dengan orang itu,” berkata salah seorang diantara para petugas sandi.

Orang-orang Manik Wungu itu termangu-mangu. Kebo Rupak merupakan salah seorang yang berpengaruh diantara orang-orang Manik Wungu itu. Karena itu, maka salah seorang diantara mereka berkata, “Marilah. Jika kau ingin berbicara dengan kakang Kebo Rupak. Ikut aku.”

“Kenapa tidak kau suruh saja ia kemari?” bertanya petugas sandi itu.

“Kalianlah yang memerlukannya. Kalianlah yang wajib datang kepadanya,” berkata salah seorang dari mereka.

“Baiklah,” berkata salah seorang petugas sandi, “kami akan datang ke padepokanmu.”

Keempat petugas sandi yang bertemu di tempat yang sudah ditentukan itu pun kemudian telah pergi ke padepokan Manik Wungu. Padepokan yang dikenal sebagai sarang siluman yang menggetarkan jantung.

Demikian keempat orang itu mendekati pintu gerbang, maka orang yang disebut Kebo Rupak itu telah berdiri di tengah pintu. Sambil menyilangkan tangan di dadanya ia menunggu kedatangan empat orang yang akan menemuinya.

Ketika dilihatnya salah seorang yang dikenalnya diantara keempat petugas sandi itu, maka tiba-tiba saja mulutnya mengumpat kasar. Sambil tertawa berkepanjangan ia berkata, “jadi kau itu Gagak Sampir.”

Yang disebut Gagak Sampir pun mengumpat dengan kata-kata kotor. Hampir berteriak ia berkata kasar, “Nyawamu ternyata masih juga liat Kebo dungu.”

Kebo Rupak tertawa semakin keras. Sementara itu, seorang diantara petugas sandi itu berdesis, “Nama Gagak Sampir akan menjadi lebih terkenal dari namamu sendiri.”

“Jika kata-katamu mereka dengar, kita akan dibantai di sini,” desis orang yang disebut Gagak Sampir itu.

Kawan-kawannya tersenyum. Namun seorang diantara mereka berkata, “Aku masih saja sering lupa akan namaku sendiri. Tetapi aku juga mengenal dua orang penghuni padepokan ini.”

“Ya. Tentu Terung dan Damplak Paten,” berkata orang yang menyebut dirinya Gagak Sampir. “Bukankah kita mengenal mereka dalam tugas yang sama?”

Kawannya tidak sempat menjawab. Mereka menjadi semakin dekat dengan pintu gerbang itu. Pertemuan itu nampaknya merupakan pertemuan yang menggembirakan. Dengan ungkapan yang khusus mereka menyatakan kegembiraan hati mereka. Umpatan kasar, kata-kata kotor dan sikap yang mendebarkan.

“Marilah. Masuklah,” berkata orang yang disebut Kebo Rupak itu, “kau akan melihat isi dari rumah kami.”

“Aku pernah datang kemari beberapa waktu yang lalu,” berkata petugas sandi yang disebut Gagak Sampir itu. Lalu katanya, “Kawanku yang satu ini pernah juga datang kemari.”

Kebo Rupak itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun mengumpat kasar. Katanya, “Kau itu Gempol. He, bukankah namanya Gempol.”

“Bukan,” jawab petugas sandi yang disebut Gempol itu, “itu hanya nama panggilan. Namaku bukan Gempol.”

“Siapa?” bertanya Kebo Rupak.

“Namaku Kuda Wisesa,” jawab Gempol.

Kebo Rupak tertawa berkepanjangan. Dengan nada tinggi ia berkata, “Kau memang pembual. Orang seperti kunyuk tidak pantas bernama Kuda Wisesa. Namamu memang Gempol. Gempol kotor.”

Orang-orang itu tertawa. Gagak Sampir ikut tertawa. Dan dua orang petugas sandi yang lain pun tertawa pula. Sementara Gempol itu pun akhirnya ikut pula tertawa.

Mereka pun kemudian memasuki padepokan yang disebut sarang Siluman itu. Bagi petugas yang menyebut dirinya Gagak Sampir dan yang dipanggil Gempol itu memang pernah melihat, meskipun hanya sekilas. Tetapi dua orang petugas sandi yang lain, yang belum pernah memasuki padepokan itu, kulitnya terasa meremang pula. Mereka telah membuat diri mereka seperti orang-orang liar. Namun ternyata isi dari padepokan itu terasa lebih liar dari yang mereka duga.

Namun dalam pada itu, Gagak Sampir berkata, “Aku tidak akan lama berada di sarang iblis ini. Aku akan segera melanjutkan perjalananku.”

“Kemana?” bertanya Kebo Rupak.

“Kau pernah bertanya begitu kepada dirimu sendiri jika kau berada di pengembaraanmu?” Gagak Sampir justru bertanya.

Kebo Rupak tertawa. Katanya, “Kau masih juga gila seperti dahulu. Tetapi marilah, kau harus singgah barang semalam disini.”

Gagak Sampir mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi tidak lebih semalam. Aku dapat menjadi gila terlalu lama berada di sarangmu yang kotor ini.”

“He, sebut sarangmu sendiri. Aku memang belum pernah melihat. Tetapi menilik ujudmu, sarangmu tidak lebih baik dari kandang kambing di belakang padepokan ini,” geram Kebo Rupak.

Gagak Sampir tertawa. Jawabnya, “Tidak. Kau salah. Justru karena aku tidak mempunyai rumah tempat tinggal.”

Kebo Rupak tertawa keras-keras, sehingga perutnya terguncang-guncang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Tinggallah bersama kami disini. Kau pantas untuk berada di tempat kami, karena kau ternyata memiliki sifat-sifat iblis yang paling jahanam. Disini kau akan mendapat tempat, karena hanya laki-laki yang sadar akan kelaki-lakiannya yang dapat tinggal bersama kami.”

“Itulah sebabnya padepokan ini disebut sarang siluman,” sahut Gagak Sampir.

“Aku senang akan nama itu,” jawab Kebo Rupak. Lalu “Mari, kita pergi ke barak itu.”

Ketika mereka mendekati barak itu, mereka terkejut ketika dua orang perempuan keluar dari dalamnya. Namun kedua perempuan itu pun tidak lebih dari iblis betina yang mendebarkan. Begitu keduanya melihat keempat orang yang datang bersama Kebo Rupak, maka kedua perempuan itu telah berhenti. Tingkah laku mereka segera berubah. Selangkah demi selangkah mereka mendekati keempat orang itu. Pada bibirnya nampak senyum yang mendebarkan.

“Siapakah mereka?” desis salah seorang dari perempuan itu.

Tetapi sebelum seorang pun menjawab, tiba-tiba saja Gagak Sampir telah menariknya. Dengan kuat dipegangnya pinggang perempuan itu. Beberapa kali perempuan itu diputarnya. Kemudian dipegangnya dagunya dan diangkatnya wajah perempuan itu. Namun kemudian didorongnya perempuan itu menjauh.

Belum lagi perempuan itu berbuat sesuatu, perempuan yang lain telah ditariknya dan diperlakukannya sama. Namun Gagak Sampir sempat memandanginya agak lama. Baru kemudian perempuan itu pun telah didorongnya pula.

“Anak iblis,” geram kedua perempuan itu hampir bersamaan.

Gagak Sampir tertawa keras-keras. Katanya kepada Kebo Rupak, “Kaukah yang menyimpan setan betina ini?”

“Persetan,” geram Kebo Rupak, “kenapa?”

“Berapa umurnya?“ tiba-tiba saja Gagak Sampir bertanya.

“Iblis,” geram Kebo Rupak, “untuk apa kau bertanya tentang umurnya?”

“Kenapa kau tidak mencari yang lebih segar dari perempuan-perempuan yang sudah menjadi segemuk kerbau?” desis Gagak Sampir.

Sebelum Kebo Rupak menjawab, ternyata salah seorang perempuan itu telah meloncat maju sambil menampar pipi Gagak Sampir. Namun Gagak Sampir tertawa saja tanpa menghiraukannya. Bahkan katanya, “Ternyata lebih baik bagiku untuk mencari perempuan di sepanjang perjalanan dari perempuan yang telah terlalu lama kau simpan disini.”

Kebo Rupak mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja ia tertawa bagaikan meledak. Katanya, “Iblis kau. Demit, thethekan. Kau masih saja hantu bagi perempuan di sepanjang jalan yang kau lalui. He, apakah kawan-kawanmu juga kau ajari begitu?”

“Aku tidak pernah mengajarinya. Jika Gempol itu melampaui kerakusanmu, itu adalah karena tingkahnya sendiri,” jawab Gagak Sampir.

“Aku?” bertanya Kebo Rupak.

“Ya. Aku tidak bertanggung jawab jika kedua perempuan itu nanti malam dibawa Gempol keluar padepokanmu dan besok kalian temukan keduanya pingsan di semak-semak,” jawab Gagak Sampir.

“Gila,” tetapi Kebo Rupak tertawa berkepanjangan.

Sementara itu kedua perempuan yang tidak kalah kasarnya itu tiba-tiba mengumpat pula. Dengan serta merta keduanya segera meninggalkan orang-orang yang dianggapnya melampaui orang gila di sarang siluman itu.

Kebo Rupak justru tertawa semakin keras. Katanya, “Ternyata kau dapat juga menakuti-nakuti perempuan itu he? Perempuan yang kami anggap berhati batu.”

Gagak Sampir tidak menjawab. Namun mereka pun kemudian mengikuti Kebo Rupak memasuki sebuah barak yang tidak terlalu besar. Mereka tertegun ketika mereka melihat seorang yang sudah melampaui pertengahan abad duduk bersila di sebuah amben yang cukup besar. Rambut dan janggutnya yang agak panjang telah menjadi keputih-putihan. Sementara tatapan matanya masih memancarkan api kehidupan yang membara.

“Siapakah mereka?” tiba-tiba saja orang tua itu berdesis.

“Kawan-kawanku. Orang-orang liar yang tidak mempunyai tempat tinggal. Mereka mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Beberapa saat yang lewat mereka pernah singgah sebentar di padepokan ini. Kini mereka singgah lagi,” jawab Kebo Rupak.

“Apakah mereka bukan orang-orang berbahaya?” bertanya orang tua itu.

“Mereka memang berbahaya bagi perempuan. Tetapi tidak bagi kita,” jawab Kebo Rupak.

“Jika demikian jauhkan perempuan-perempuanku daripadanya. Yang lain aku tidak peduli,” berkata orang tua itu.

Kebo Rupak tertawa. Namun dalam pada itu, petugas-petugas sandi itu mengumpat didalam hatinya.

“Apa yang mereka kehendaki sekarang?” bertanya orang tua itu pula.

“Aku belum menanyakannya,” jawab Kebo Rupak. Lalu kepada Gagak Sampir ia bertanya, “He, apa yang kau kehendaki sekarang he?”

Tetapi Gagak Sampir menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak menghendaki apa-apa. Kebetulan saja aku lewat di daerah ini. Beberapa orang Manik Wungu ternyata telah menghalangi jalanku. Karena itu aku justru singgah disini.”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “jadi orang-orang inilah yang membuat orang-orang padukuhan gelisah.”

“Ya. Terutama perempuan,” sahut Kebo Rupak.

“Bohong,” potong Gagak Sampir, “aku tidak mengganggu perempuan yang kebetulan tidak aku jumpai di jalan.”

Kebo Rupak mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun mengumpat sambil tertawa, “Kau memang gila. Sudah tentu bahwa kau tidak akan mengganggu perempuan yang tidak kau jumpai,” jawab Gagak Sampir.

“Persetan,” geram orang tua itu, “bawa mereka pergi.”

Kebo Rupak pun kemudian telah membawa keempat orang petugas sandi yang membuat diri mereka sebagaimana orang-orang padepokan Manik Wungu itu meninggalkan ruangan itu. Mereka telah memasuki ruangan lain yang lebih luas. Beberapa orang berada dalam ruangan itu. Namun agaknya mereka berada dibawah pengaruh Kebo Rupak, hingga ketika Kebo Rupak memasuki ruangan itu, maka mereka pun beringsut pergi.

“He,” geram Kebo Rupak, “kau cacing hitam. Panggil orang di dapur. Aku mempunyai empat orang tamu.”

Orang yang disebut cacing hitam itu pun mengangguk sambil menjawab, “Baik Ki Lurah.”

“Jadi kau sekarang menjadi lurah,” tiba-tiba dahi Gagak Sampir berkerut.

“Sudah lama aku menjadi lurah mereka,” jawab Kebo Rupak, “marilah. Duduklah.”

Keempat orang petugas sandi itu pun kemudian duduk di sebuah ruangan yang lebih luas meskipun sama kotornya dengan ruang-ruang yang lain. Beberapa saat kemudian, maka seorang telah menghidangkan minuman panas bagi keempat orang itu. Wedang sere dengan gula kelapa.

“Bawa makanan itu kemari,” berkata Kebo Rupak.

“Makanan yang mana?” bertanya orang yang menghidangkan minuman itu.

“Aku injak keningmu yang keriput itu. Kau mempunyai makanan atau tidak? “ Kebo Rupak hampir berteriak.

“Kaspa yang direbus dengan badek,” jawab orang itu.

“Nah. Bawa itu kemari. Jangan bertanya lagi. Perutku menjadi mual mendengar pertanyaanmu,” geram Kebo Rupak.

Orang itu kemudian beringsut meninggalkan bilik itu. Namun sebentar lagi ia memang membawa kaspa yang direbus dengan badek. Bahkan masih hangat, sehingga asap yang putih mengepul menebarkan bau sedap.

“Kau cium bau sedap itu?” bertanya Kebo Rupak.

“Sedikit. Tetapi bau ampak bilik ini lebih banyak mengganggu,” jawab Gagak Sampir.

“Setan alas, jangan banyak bicara. Makan saja kaspa yang direbus dengan badek ini,” geram Kebo Rupak.

Demikianlah, sejenak kemudian mereka pun telah mengunyah ketela kaspa yang direbus dengan cairan dari manggar kelapa yang biasanya dibuat menjadi gula kelapa. Ternyata bahwa keempat orang petugas sandi itu memang telah berhasil menyesuaikan diri dengan sikap orang-orang Manik Wungu sehingga agaknya diantara mereka memang sudah tidak ada jarak lagi.

Sehari itu serta malam harinya, para petugas sandi itu berada di padepokan Manik Wungu. Di malam hari mereka sempat berbicara tidak saja dengan Kebo Rupak, karena kemudian telah hadir pula orang yang bernama Terung dan Damplak Paten.

Pada kesempatan yang tidak semata-mata, Gagak Sampir sempat bertanya, “Apa rencana padepokan ini dalam waktu dekat? Atau mungkin padepokan ini dapat memberi kesempatan kepada kami untuk ikut serta dalam satu kerja yang besar.”

“Kau hanya membual saja sejak dahulu,” jawab Kebo Rupak, “sekarang saja kau sudah begitu tergesa-gesa untuk pergi. He, apakah kawanmu akan mengambil kedua perempuan itu?”

Gagak Sampir mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian berpaling kepada Gempol sambil berkata kasar, “Ambil perempuan seperti kerbau itu jika kau ingin.”

“Bukan kebiasaanku membawa kerbau ke pembaringan. Beri aku yang lain. Apakah ada?” bertanya Gempol.

Kebo Rupak mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa. Katanya, “Minta kepada guru. Jika ia berkenan, kau akan diberinya.”

Tetapi Gempol menggeleng. Katanya, “Tidak sepantasnya. Meskipun ia menyimpan sepuluh, tetapi kita dapat terkutuk karena itu.”

Kebo Rupak tertawa keras-keras. Katanya, “He, mengenal juga unggah-ungguh he?”

“Jangan hiraukan anak demit itu,” berkata Gagak Sampir, “kau akan mengatakan apa tentang rencanamu?”

“Kau mau ikut? Kami memang memerlukan banyak kawan,” berkata Kebo Rupak.

“Untuk apa?” bertanya Gagak Sampir.

“Orang-orang Suriantal minta kami untuk membantunya,” berkata Kebo Rupak.

“Suriantal? He, apakah kau bermimpi? Suriantal sudah hancur menjadi debu,” berkata Gagak Sampir.

Kebo Rupak tertawa pendek. Katanya, “Ada satu dua orang Suriantal yang dapat lolos. Mereka kemudian menggabungkan diri dengan perguruan Randu Papak. Namun mereka tidak mau melepaskan ciri dan sebutan mereka sebagai orang-orang dari perguruan Suriantal. Sementara itu, orang-orang Randu Papak juga tidak berkeberatan. Mereka memberikan tempat bagi orang-orang Suriantal itu, bahkan membiarkan orang-orang yang kemudian menjadi pengikut dari sisa-sisa orang Suriantal itu berada di padepokan Randu Papak itu pula.”

“Apakah tidak terjadi benturan diantara mereka?” bertanya Gagak Sampir.

“Tidak,” jawab Kebo Rupak, “agaknya orang-orang yang masih menyebut dirinya orang-orang Suriantal itu dapat menempatkan dirinya. Dengan demikian, maka mereka dapat hidup bersama-sama di dalam satu padepokan.”

Gagak Sampir mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Apa keuntungan kalian membantu orang-orang Suriantal?”

Kebo Rupak tertawa. Katanya, “Satu pengalaman menarik. Orang-orang Suriantal itu ingin merebut kembali padepokannya yang diduduki orang lain. Nah, besok tengah bulan depan, kita akan datang untuk mengambil padepokan itu kembali.”

“Siapa saja yang akan ikut bersama kalian?” bertanya Gagak Sampir, meskipun ia agak ragu-ragu juga. Jika Kebo Rupak itu mencurigainya, maka akibatnya akan buruk sekali.

Untunglah Kebo Rupak itu tidak begitu menghiraukan pertanyaan itu. Namun demikian ia menjawab, “Hanya kami. Padepokan ini dan padepokan para pelarian yang kehilangan induknya dan berkumpul di padepokan yang disebut Randu Papak. Namun justru karena itu, maka padepokan Randu Papak adalah padepokan yang paling gila yang pernah aku ketahui.”

“Uh,” Gagak Sampir menggeleng, “tidak ada orang yang lebih liar dari kalian disini. Kau kira aku percaya bahwa ada sekelompok orang yang lebih gila dari kalian? Orang-orang Suriantal bukan sejenis kalian. Mereka adalah orang-orang yang tahu diri, mengenal diri mereka sendiri dan lingkungannya. Itulah agaknya mereka dapat menyesuaikan diri dengan tempat tinggal mereka yang baru.”

Kebo Rupak termangu-mangu. Namun tiba-tiba suara tertawanya meledak. Katanya disela-sela tertawanya, “Sejak kapan kau mengerti tentang hubungan antara sesama kita? He, Gagak Sampir. Kau jangan membual disini. Bercerminlah di belumbang di belakang padepokan ini. Lihat mukamu yang kasar dan matamu yang liar itu.”

Gagak Sampir mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku tidak mengatakan tentang diriku. Tetapi tentang orang-orang Suriantal.”

“Orang-orang Suriantal adalah orang-orang yang cengeng. Pengecut dan tidak tahu diri. Justru tidak tahu diri. Karena itu, maka kami telah menerima ajakannya. Kami akan bersama-sama dengan unsur-unsur yang benar-benar laki-laki dari padepokan Randu Papak. Kami rebut padepokan Suriantal itu, dan kita selesaikan pula orang-orang Suriantal itu sendiri. Kita akan menemukan sebuah padepokan yang baru yang barangkali lebih pantas dari padepokan kita sendiri,” berkata Kebo Rupak.

“Apakah kami juga dapat ikut merasa menemukan?” bertanya Gagak Sampir.

“Anak iblis,” geram Kebo Rupak, “ikut kami. Kalian akan ikut merasa menemukan.”

“Kalian perlakukan kami seperti orang-orang Suriantal!” bertanya Gagak Sampir.

“Jika kau berbuat seperti orang-orang Suriantal, maka kalian juga akan kami perlakukan seperti orang-orang Suriantal,” jawab Kebo Rupak.

Gagak Sampir mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian bertanya, “Jika tidak?”

“Tentu saja tidak,” jawab Kebo Rupak.

Gagak Sampir memandang ketiga orang kawannya. Lalu katanya kepada Kebo Rupak, “besok aku akan pergi. Tunggu sampai pertengahan bulan depan. Jika kau berminat, aku akan datang. Jika ternyata ada tugas lain yang lebih menguntungkan, aku tidak akan datang.”

“Kau benar-benar setan alasan,” berkata Kebo Rupak, “tugas lain yang mana yang kau maksud? Kau dapat merampok, membajak, menyamun dan barangkali merampas perempuan kapan saja. Sementara kau dapat hadir disini sebelum purnama naik. Lima hari sebelumnya, karena kami akan berangkat empat hari sebelum purnama naik. Singgah di padepokan Randu Papak dan bersama-sama berangkat ke padepokan Suriantal.”

“Akan aku pikirkan. Tetapi aku masih menghitung, apa yang akan aku dapat dari perebutan padepokan itu. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa aku akan ikut. Barangkali ada sesuatu yang dapat dirampas di padepokan itu,” berkata Gagak Sampir.

“Terserah kepadamu. Itu urusanmu,” berkata Kebo Rupak.

“Tetapi tolong sebutkan, apakah padepokan Randu Papak itu lebih besar dari padepokan ini? Kenapa kalian yang harus singgah di padepokan itu, bukan padepokan itu yang berangkat lebih dahulu dan singgah disini, jika padepokan ini memang lebih besar dan berwibawa,” bertanya Gagak Sampir.

Kebo Rupak mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Kami memperhitungkan waktu. Padepokan ini memang lebih besar dari padepokan Randu Papak meskipun beberapa orang pelarian dan sisa-sisa orang-orang Suriantal sebagian ada di padepokan itu. Meskipun dengan menampung pelarian-pelarian itu mereka ingin menjadi sebuah padepokan yang besar, tetapi sebenarnyalah, padepokan ini lebih besar. Tetapi arah perjalanan kamilah yang memberikan kemungkinan lain dari wibawa sebuah padepokan.”

Gagak Sampir mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Bahkan tiba-tiba saja ia berkata, “Tanpa perempuan, mata Gempol cepat terpejam. Tidurlah jika kau mengantuk. Atau kau ambil kerbau betina itu.”

Gempol mengerutkan keningnya. Bagaimanapun juga ia membiasakan diri dengan sikap dan sifat yang kasar dan liar, namun mendengar kata-kata kawannya itu, rasa-rasanya kulitnya masih juga meremang. Namun ia menjawab juga, “Persetan. Aku memang ingin tidur. Lebih baik bermimpikan seorang perempuan cantik daripada kerbau betina itu.”

Kebo Rupak pun tertawa. Katanya, “Aku sembunyikan perempuan cantik itu. Kalian dapat mencari sendiri di sepanjang jalan.”

Demikianlah, maka Gagak Sampir pun akhirnya mendapat kesempatan pula untuk tidur, meskipun sudah lewat tengah malam. Pagi-pagi, ketika matahari mulai memancarkan sinarnya ke dedaunan, Gagak Sampir dan kawan-kawannya sudah siap untuk berangkat. Kebo Rupak ternyata masih belum bangun ketika matahari mulai memanjat langit.

“Aku akan minta diri,” berkata Gagak Sampir kepada salah seorang penghuni padepokan itu.

“Aku tidak berani membangunkannya,” berkata orang itu.

“Kapan biasanya kerbau itu bangun?” bertanya Gagak Sampir.

“Menjelang tengah hari,” jawab orang itu.

Gagak Sampir mengangguk-angguk. Sebenarnya ia memang agak bimbang. Jika ia tidak menunggunya, mungkin akan dapat menimbulkan kecurigaan terhadap maksud kehadirannya di padepokan itu. Jika ia harus menunggu, itu berarti keberangkatan mereka tertunda sampai menjelang tengah hari. Namun Gagak Sampir tidak mempunyai pilihan lain. Ketika kemudian ia menemukan Damplak Paten, diajaknya orang itu berkeliling padepokan.

Kawan-kawan Gagak Sampir pun memperhatikan padepokan itu dengan saksama tanpa menimbulkan kecurigaan. Mereka menduga-duga kekuatan yang ada di padepokan itu. Ternyata bahwa padepokan itu memang pantas disebut sarang siluman, karena orang-orang yang ada di padepokan itu merupakan orang-orang yang sifat, sikap dan tingkah lakunya memang menggetarkan tengkuk. Bahkan beberapa orang perempuan yang nampak di padepokan itu pun agaknya adalah iblis-iblis betina yang liar.

Untuk beberapa saat mereka berjalan-jalan berkeliling padepokan. Namun kemudian mereka pun telah memasuki bilik yang dipergunakan oleh Kebo Rupak menerima para petugas sandi itu di hari sebelumnya.

“Ia akan segera bangun,” berkata Damplak Paten.

“Kami ingin berjalan selagi matahari belum terlampau panas,” berkata Gagak Sampir.

Sebenarnyalah, bahwa Kebo Rupak tidak terlalu lama lagi telah terbangun. Dari biliknya di sebelah ruang itu, terdengar ia mengumpat, “Masih sepagi ini kalian telah ribut saja he?”

“Kami akan berangkat,” berkata Gagak Sampir.

“Berangkat ke mana?” bertanya Kebo Rupak.

“Kami akan minta diri,” jawab Gagak Sampir, “seperti yang aku katakan kemarin. Kami akan meneruskan perjalanan.”

“Pergilah,” berkata Kebo Rupak sambil muncul di ruangan itu, “datanglah lima hari sebelum purnama. Aku benar-benar mengharap kau datang. Kita akan memasuki padepokan Suriantal dan mengambil sendiri apa yang kita inginkan di padepokan itu.”

“Aku akan memikirkannya,” berkata Gagak Sampir, “jika pekerjaanku selesai, aku akan datang.”

Petugas sandi dari Lemah Warah yang menyebut dirinya Gagak Sampir itu pun kemudian meninggalkan padepokan Manik Wungu bersama ketiga orang kawannya. Sebelum matahari terbenam, mereka telah berada di tempat yang jauh. Karena itu, maka mereka tidak lagi merasa cemas, bahwa tingkah laku mereka akan diketahui oleh orang-orang Manik Wungu.

Dalam pada itu, orang yang disebut Gagak Sampir itu pun bertanya kepada kawan-kawannya, “Apakah kita akan melihat-lihat padepokan Randu Papak?”

“Tidak banyak gunanya,” berkata seorang kawannya, “kita sudah mendapat keterangan tentang padepokan itu. Tidak sebesar padepokan Manik Wungu. Dengan demikian kita sudah dapat memberikan sedikit keterangan tentang kekuatan kedua padepokan itu. Dengan demikian, maka kedua anak muda dari Bajra Seta itu akan dapat memperhitungkan kekuatannya.”

“Jika demikian, maka kita dapat segera kembali ke Lemah Warah,” berkata petugas sandi yang disebut Gagak Sampir itu, “semakin cepat semakin baik.”

Demikianlah, keempat orang itu telah memutuskan untuk kembali ke Lemah Warah. Mereka telah mendapatkan beberapa keterangan yang akan dapat menjadi bahan yang penting bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Ternyata bahwa mereka berempat telah menempuh jalan kembali ke Lemah Warah. Di malam hari mereka berjalan menempuh jalan memintas. Mereka ingin segera sampai ke Pakuwon untuk dapat memberikan laporan tentang padepokan yang disebut Sarang Siluman itu.

Perjalanan kembali itu agaknya jauh lebih cepat dari saat mereka berangkat. Mereka tidak perlu memancing perhatian orang-orang padepokan Manik Wungu lagi. Namun mereka langsung menuju ke istana Akuwu Lemah Warah. Namun perjalanan itu tetap merupakan perjalanan yang panjang. Sehingga karena itu, maka keempat orang itu pun datang ke istana Akuwu dengan langkah yang letih.

Kedatangan keempat orang petugas sandi itu telah memberikan banyak sekali keterangan bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka telah memberikan gambaran kekuatan padepokan Manik Wungu dan sekaligus memperkirakan kekuatan padepokan Randu Papak.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengarkan keterangan itu dengan saksama. Namun mereka sudah mulai membuat perhitungan-perhitungan tentang kekuatan yang akan mereka hadapi, meskipun baru didalam angan-angan.

Akuwu Lemah Warah yang ikut mendengarkan keterangan para petugas sandinya, hanya mengangguk-angguk saja. Namun setelah keterangan itu selesai, maka katanya, “Pertimbangkan Putut-putut muda. Kalian dapat memperhitungkan kekuatan kalian. Nah, bukankah kalian ada diantara dua Pakuwon? Jika kalian memerlukan, kalian dapat menghubungi Pakuwon Lemah Warah atau Pakuwon Sangling. Namun jika kalian merasa akan dapat mengatasinya sendiri, maka kalian dapat melakukannya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun mereka masih belum dapat mengambil keputusan. Mereka tidak dapat mengatakan, bahwa mereka akan mohon bantuan Akuwu Lemah Warah atau Akuwu Sangling. Namun mereka pun belum dapat menentukan, bahwa mereka akan dapat mengatasi kehadiran padepokan-padepokan itu tanpa bantuan orang lain. Keduanya masih akan berbicara dengan Mahendra dan para pemimpin kelompok dari padepokan Bajra Seta.

Namun terbersit satu sikap, bahwa mereka harus berani tegak berdiri sendiri tanpa menggantungkan kepada orang lain. Namun mereka juga tidak akan menutup kemungkinan untuk bekerja sama dengan siapa pun juga menghadapi kekuatan-kekuatan hitam yang mengikatkan diri dalam kelompok-kelompok yang besar melampaui kemampuan dari padepokan mereka.

Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun kemudian telah mohon diri untuk kembali ke padepokannya. Masih banyak yang harus dilakukan menghadapi tingkah orang-orang Suriantal yang pernah melarikan diri dari padepokannya itu, namun yang kemudian telah menemukan tempat baru yang sesuai dengan perkembangan sikap mereka. Dengan dukungan lingkungan yang baru itu, maka orang-orang yang masih saja menyebut diri mereka orang-orang dari perguruan Suriantal itu ingin kembali dan menguasai padepokan yang pernah mereka tinggalkan.

Namun agaknya mereka akan menjadi sangat kecewa, karena orang-orang Manik Wungu ternyata sudah siap untuk membinasakan orang-orang Suriantal jika usaha mereka merebut padepokan itu berhasil. Bahkan tentu juga orang-orang Randu Papak, sehingga dengan demikian maka padepokan Bajra Seta akan jatuh ke tangan orang-orang Manik Wungu sepenuhnya.

“Baiklah,” berkata Akuwu Lemah Warah, “jika kalian memerlukan, jangan segan untuk menyampaikannya kepadaku atau kepada kakakmu, Akuwu Sangling. Bukan berarti bahwa kau masih belum dewasa, maksudku padepokan yang kau nama Bajra Seta itu, tetapi dengan pertimbangan kekuatan lawan yang sebenarnya. Perguruan yang telah masak sekalipun akan membuat perhitungan yang serupa. Mereka akan sama saja dengan membunuh diri jika mereka tidak mau melihat kenyataan apabila hal itu sudah diketahuinya lebih dahulu, bahwa kekuatan lawan berada di luar jangkauan kekuatan sendiri.”

“Terima kasih Akuwu,” jawab Mahisa Murti, “jika kami memerlukan bantuan, maka kami akan datang tanpa merasa segan. Kami memang harus mencari keseimbangan antara harga diri dan kenyataan yang kami hadapi. Apalagi perguruan kami yang masih baru itu, tentu sangat membutuhkan bimbingan dan bahkan perlindungan. Namun apabila menurut perhitungan kami, kami akan dapat mengatasinya, maka kami akan melakukannya sendiri."

“Bagus,” berkata Akuwu Lemah Warah. Lalu “Tetapi ingat, bahwa orang-orang Manik Wungu telah bergabung pula dengan orang-orang Randu Papak. Sementara itu, di padepokan Randu Papak terdapat orang-orang yang datang dari berbagai perguruan yang lain. Dengan demikian maka Bajra Seta tidak harus dengan serta merta merasa dirinya dewasa dan kuat untuk tegak tanpa kerjasama dengan siapa pun juga."

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk hormat. Mereka memang merasa bahwa masih terlalu banyak kekurangan yang terdapat di perguruan dan padepokannya yang baru. Namun demikian Mahisa Murti menjawab,

“Baiklah Akuwu. Kami mengucapkan terima kasih sebelumnya. Jika terasa betapa beratnya tekanan yang akan kami alami dengan kehadiran kedua padepokan itu, maka biarlah kami datang kembali untuk mohon batuan dari Akuwu Lemah Warah."

“Jangan segan,” berkata Akuwu, “ingat. Aku adalah pamanmu, sebagaimana Akuwu Sangling adalah kakakmu.”

“Terima kasih,” jawab Mahisa Murti sambil menundukkan kepalanya.

Namun dalam pada itu, keduanya benar-benar akan meninggalkan Pakuwon Lemah Warah di keesokan harinya. Beberapa kali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengulangi pernyataan terima kasihnya kepada Akuwu Lemah Warah dan kepada para petugas sandi yang telah berhasil mendapatkan gambaran tentang kekuatan yang akan datang ke padepokan Bajra Seta.

Ketika matahari terbit di hari berikutnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meninggalkan Pakuwon Lemah Warah. Akuwu masih memberikan beberapa pesan agar keduanya tidak merasa segan jika mereka memang memerlukan bantuan.

Di sepanjang perjalanan mereka kembali ke padepokan Bajra Seta, keduanya sempat membuat perhitungan kasar dari kekuatan kedua padepokan yang akan datang ke padepokan mereka, dibandingkan dengan kekuatan yang ada di padepokan mereka itu.

“Agaknya orang-orang dari kedua padepokan yang akan datang ke padepokan kita, memang lebih kuat dari orang-orang kita,” berkata Mahisa Murti.

“Bukan lebih kuat. Tetapi lebih banyak,” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Ya. Kau benar. Lebih banyak. Memang lebih banyak bukan berarti lebih kuat. Tetapi bahwa padepokan mereka disebut sarang siluman, tentu mempunyai arti tersendiri.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi jawabnya, “Mungkin mereka ditakuti karena kekasaran dan keliaran mereka. Bukan karena memiliki modal yang lebih berharga dari kemampuan orang-orang liar itu. Kita mempunyai ketahanan jiwani untuk mempertahankan hak kami. Sedangkan dari segi kewadagan, dinding-dinding padepokan kami akan menahan mereka, sehingga mereka harus memberikan korban pertama yang lebih besar.

Mahisa Murti tidak membantah, Perhitungan Mahisa Pukat dapat dimengerti. Namun jika kedua padepokan itu benar-benar mengerahkan kekuatan mereka, Mahisa Murti memang harus membuat pertimbangan-pertimbangan lain.

Demikianlah, perjalanan mereka kembali ke padepokan Bajra Seta tidak menjumpai hambatan apa pun juga. Perjalanan yang panjang itu memang cukup melelahkan. Tetapi kedua anak muda itu memiliki ketahanan tubuh yang tinggi, sehingga ketika mereka sampai di padepokannya, nampaknya ke duanya masih tetap segar. Setelah membersihkan dan membenahi diri, maka keduanya langsung berbicara dengan ayahnya, Mahendra yang menunggunya dengan berdebar-debar.

“Kalian tidak beristirahat?” bertanya Mahendra.

“Kami tidak lelah ayah,” jawab Mahisa Murti, yang kemudian langsung menceriterakan hasil perjalanannya.

Mahendra mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Yang Maha Agung telah memberi kalian jalan yang lancar pada tugas kalian. Bahkan atas bantuan yang sangat besar dari Akuwu Lemah Warah.”

“Ya ayah,” jawab Mahisa Murti, “bahkan semua tugas yang seharusnya kami lakukan telah dilakukan oleh para prajurit sandi Lemah Warah.”

“Nah, yang penting bagi kalian adalah memperhitungkan kekuatan yang ada di padepokan ini dengan kedua padepokan yang akan datang itu. Mungkin padepokan yang disebut Sarang siluman itu memang lebih besar dari padepokan yang banyak menampung pelarian dari berbagai perguruan itu. Tetapi mungkin pula tidak. Untuk membuat perhitungan, maka anggap saja bahwa kekuatan kedua padepokan itu sama,” berkata Mahendra.

“Kita sudah memasang umbul-umbul sendiri sebagai satu perguruan,” berkata Mahisa Pukat, “kita akan menyelesaikannya sendiri. Seberapa pun besarnya kekuatan mereka.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Kita belum membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang akan kita tempuh. Kita baru menilai kekuatan lawan.”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Tetapi pada saatnya kita tentu akan membuat perhitungan, seberapa kekuatan yang ada pada kita.”

Mahendra pun tersenyum pula. Katanya, “Kau benar. Pada saatnya kita harus membuat perhitungan seperti itu.”

“Jika sampai saatnya kita dapat mengalahkan mereka dengan kekuatan kita sendiri. Bukannya kemana kita akan minta bantuan. Jika demikian, kita untuk seterusnya tidak akan dapat berdiri tegak sebagai satu perguruan yang dewasa,” berkata Mahisa Pukat.

Mahendra dan Mahisa Murti yang masih saja tersenyum mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahendra berkata, “Pada dasarnya aku sependapat dengan kalian.”

“Kenapa hanya pada dasarnya saja?” bertanya Mahisa Pukat.

“Mahisa Pukat,” berkata Mahendra dengan nada rendah, “yang kita hadapi adalah persoalan yang besar. Karena itu, maka kita tidak dapat mengambil keputusan dalam waktu sekejap atau dalam pembicaraan seperti ini. Kita harus berbicara lebih dalam, bukan saja hanya dasar-dasarnya, tetapi sampai kepada bagian-bagiannya. Nah, jika pada dasarnya aku sependapat, mungkin pada bagian-bagiannya kita berpendirian lain.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan membicarakan bagian-bagiannya.”

“Tidak perlu sekarang. Biarlah persoalannya mengendap di dalam diri kita. Besok kita berbicara tentang hal ini,” jawab Mahendra.

“Kita kehilangan waktu sehari,” berkata Mahisa Pukat.

“Masih ada waktu,” berkata Mahendra.

“Aku sependapat dengan ayah. Mungkin pikiran kita sekarang masih dipengaruhi oleh suasana perjalanan yang panjang itu,” berkata Mahisa Murti pula.

Mahisa Pukat tidak dapat memaksa ayah dan saudaranya untuk membicarakannya lebih jauh. Betapapun mendesaknya persoalan itu di dalam dadanya, namun ia harus menahan diri sampai hari berikutnya.

Sebenarnyalah, mereka sempat mengendapkan persoalan yang mereka hadapi. Mereka sempat melihat dari berbagai sisi untuk mendapatkan keseimbangan sikap yang sebaik-baiknya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat mengingat kembali pesan Akuwu Lemah Warah serta sikap para petugas sandi.

Demikianlah maka ketika mereka di hari berikutnya berhadapan dengan seisi padepokan itu, maka mereka tidak dengan serta merta menyatakan sikap dan pendapat mereka masing-masing.

“Kita memang menghadapi kekuatan yang besar,” berkata Mahisa Murti kepada orang-orang dari perguruan Bajra Seta, “tetapi kita tidak perlu berkecil hati. Kita akan menemukan satu cara yang paling baik untuk mengalahkan mereka. Kita yakin bahwa kita berdiri diatas hak kita sendiri, sehingga dengan demikian maka Yang Maha Agung tentu akan melindungi kita semuanya.”

“Apakah yang dikatakan oleh orang yang mengaku orang perguruan Suriantal itu benar?” bertanya seorang diantara mereka.

Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Tidak seluruhnya benar. Tetapi bahwa akan ada tamu di padepokan ini agaknya memang benar. Karena itu, kita harus bersiaga.”

“Mereka akan menyerang kita?” bertanya seorang yang lain. Lalu, “dengan kekuatan dari tujuh padepokan?”

“Itulah yang tidak benar,” jawab Mahisa Murti, “yang sudah kami ketahui, mereka akan datang bersama dari dua padepokan.”

“Lalu, apa yang harus kami lakukan?” bertanya seorang pemimpin kelompok.

“Kami baru membicarakannya. Yang penting adalah bahwa kita harus menempa diri,” jawab Mahisa Murti.

Nampaknya orang-orang padepokan Bajra Seta masih belum pas dengan jawaban-jawaban itu. Namun kemudian Mahisa Murti telah berkata, “Tunggulah barang satu dua hari. Semuanya akan menjadi jelas.”

Orang-orang itu tidak dapat memaksa untuk mendapat keterangan lebih banyak. Tetapi mereka percaya bahwa pimpinan mereka akan berbuat sebaik-baiknya.

Namun dalam pada itu Mahisa Murti pun berpesan, “Tetapi ingat. Apa yang kita ketahui ini adalah rahasia. Jika pihak lain mendengar, bahwa kita telah mengetahui sebagian dari rencana mereka, maka rencana itu akan dirubah sehingga mungkin justru akan menyulitkan kita sendiri. Mungkin mereka akan melakukan langkah-langkah di luar dugaan tanpa dapat kita atasi lagi.”

Orang-orang padepokan Bajra Seta itu mengangguk-angguk. Mereka menyadari kebenaran pesan pemimpin mereka, sehingga karena itu mereka pun telah bertekad untuk merahasiakannya, terutama kepada orang-orang di luar padepokan mereka.

Seperti yang diperintahkan oleh Mahisa Murti dari Mahisa Pukat, maka sebelum mereka tahu pasti apa yang akan mereka lakukan, maka yang segera dapat mereka kerjakan adalah menempa diri. Latihan-latihan menjadi lebih sering dan lebih berat, karena menurut keterangan yang mereka dengar, yang akan datang adalah lawan yang kuat dan besar.

Dalam pada itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahendra telah mencoba untuk memecahkan persoalan yang akan mereka hadapi itu. Apa yang sebaiknya mereka lakukan menghadapi kekuatan yang menurut gambaran dari para petugas sandi sebagaimana mereka lihat pada padepokan Manik Wungu dan kemungkinan pada padepokan Randu Papak, lebih besar dari kekuatan yang ada pada padepokan Bajra Seta. Namun sebagaimana pendapat Mahisa Pukat, sebaiknya mereka tidak menggantungkan bantuan dari orang lain.

“Baiklah,” berkata Mahendra, “aku yakin akan keberanian kalian. Aku pun yakin akan kemampuan orang-orang Bajra Seta, meskipun mereka akan berhadapan dengan siluman sekalipun. Karena itu, maka kalian harus berusaha mengurangi kekuatan mereka, sehingga akhirnya kekuatan yang akan sampai di padepokan ini tidak terlalu jauh melampaui kekuatan yang ada di sini.”

“Apa yang baik kami lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kalian harus menyiapkan sepasukan prajurit yang terpilih. Kalian harus melatihnya dalam waktu dekat untuk melakukan perlawanan tersembunyi,” jawab Mahendra.

“Aku kurang tahu maksud ayah,” desis Mahisa Pukat.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Pukat menjadi tidak sabar menunggu penjelasan ayahnya. Karena itu, maka ia pun telah mendesak, “Ayah, beri aku penjelasan. Apakah yang sebenarnya ayah maksudkan dengan perlawanan tersembunyi itu? Justru kita berhadapan dengan segerombolan siluman.”

Mahendra memandang kedua anaknya itu berganti-ganti. Namun memang terbayang keragu-raguan di sorot matanya. Tetapi ia tidak dapat sekedar menggenggam pendapatnya sementara kedua anaknya mendesak untuk mengetahuinya betapapun ia merasa ragu.

Karena itu maka katanya kemudian, “Anak-anakku. Kalian harus bertanya berulang kali kepada diri sendiri, apakah kalian sanggup melakukannya atau tidak.”

Mahisa Pukat benar-benar tidak sabar, sehingga diluar sadarnya ia telah beringsut maju. Katanya, “Bertanya kepada diri sendiri tentang apa?”

“Satu hal yang perlu kalian perhatikan adalah perjalanan pasukan kedua padepokan itu,” berkata Mahendra, “kalian dapat membayangkannya. Ada dua malam atau bahkan mungkin tiga malam yang kalian dapatkan pada perjalanan mereka itu. Jika yang satu malam mereka berada di padepokan Randu Papak, maka yang dua malam berikutnya mereka berada di perjalanan. Nah, perhitungkan, apa yang dapat kalian lakukan di malam hari itu selama mereka berhenti di perjalanan. Kalian akan dapat mengurangi jumlah mereka. Namun kalian tidak akan berhadapan langsung dengan mereka.”

Wajah Mahisa Pukat menjadi tegang. Dengan nada rendah ia bertanya, “Apakah itu bukan satu sikap yang licik.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita akan dapat menilai dari beberapa sisi. Jika mereka datang dengan kekuatan lebih dari satu padepokan untuk melawan satu padepokan tidak dapat dinilai sebagai satu langkah yang licik, sementara kau menganggap bahwa karena kita sudah mendirikan umbul-umbul sendiri sebagai satu perguruan maka tidak sepantasnya kita bukan saja menggantungkan diri tetapi berhubungan atau katakanlah kerjasama dengan perguruan lain pun dianggap sebagai mempersempit harga diri kita serta perguruan ini.”

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Sementara Mahendra berkata selanjutnya, “Jika setiap langkah menjadi pantangan, maka kita tidak akan melangkah satu tapak pun. Justru karena kita terlalu menyanjung harga diri itu sendiri.”

Mahisa Pukat masih saja termangu-mangu. Namun sementara itu Mahisa Murti berkata, “Apa yang dapat kita lakukan di malam hari itu ayah? Menyergap mereka selagi mereka lengah?”

“Ya. Menyergap mereka, kemudian menghilang. Demikian pula malam berikutnya,” jawab Mahendra, “tetapi di malam berikutnya mereka tentu sudah lebih bersiaga. Karena itu, maka di malam pertama kalian harus berhasil mengurangi jumlah lawan sebanyak-banyaknya. Kalian tidak perlu membunuhnya. Asal saja kalian membuat mereka tidak berkemampuan lagi untuk bertempur di hari-hari berikutnya.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti dan aku dapat membayangkan apa yang terjadi. Dengan demikian, maka mereka akan datang ke padepokan ini dengan kekuatan yang susut. Sementara pasukan kita akan mendahului mereka kembali ke padepokan.“

Mahendra tersenyum sambil mengangguk-angguk. Dengan nada tinggi ia berkata, “Nah, apa lagi?”

Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Agaknya cara itu lebih baik ditempuh daripada minta bantuan kepada siapa pun juga.”

“Nah, jika demikian kalian harus mulai sejak sekarang,” berkata Mahendra.

“Mulai apa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kalian harus memilih sekelompok orang terbaik. Kalian harus mengadakan latihan-latihan secara bersungguh-sungguh, karena waktu kalian yang singkat,” berkata Mahendra.

“Latihan bertempur di malam hari?” bertanya Mahisa Pukat.

“Ya. Menyerang dan kemudian menghilang. Karena itu kalian harus berlatih membidik dalam kegelapan. Menyusup di antara gerumbul-gerumbul liar. Bersembunyi diantara pepohonan dan cara-cara yang lain yang mungkin harus dilakukan dalam perang seperti itu,” berkata Mahendra.

“Apa saja yang kita pelajari?” bertanya Mahisa Pukat.

“Lakukanlah lebih dahulu. Nanti kau akan tahu, apa saja yang kalian perlukan,” jawab Mahendra.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk pula. Ia mulai memikirkan dengan sungguh-sungguh cara yang dikatakan oleh ayahnya itu. Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah memilih beberapa kelompok orang terbaik dari perguruan Bajra Seta. Di malam hari, mereka harus bersiap untuk mengadakan latihan.

“Latihan di malam hari?” bertanya salah seorang diantara mereka.

“Ya. Kita akan mengadakan latihan khusus di malam hari,” jawab Mahisa Murti.

Memang agak lain dari kebiasaan mereka. Mereka memang pernah juga berlatih di malam hari, tetapi sekedar untuk mendapatkan satu pengalaman, jika mereka benar-benar terpaksa bertempur di malam hari. Tetapi agaknya latihan yang akan diadakan di malam hari itu, bukan sekedar untuk mendapatkan pengalaman.

Demikianlah, maka pada saat yang sudah ditentukan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membawa beberapa kelompok orang-orangnya keluar dari padepokan. Mereka menyusuri jalan-jalan sempit menuju ke pinggir hutan.

Namun ternyata di malam pertama itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya membawa mereka menelusuri tempat-tempat yang gelap, yang sulit dilalui dan menyusup diantara pepohonan hutan yang meskipun tidak terlalu pepat, tetapi cukup rumit. Baru di malam kedua, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memerintahkan orang-orangnya membawa busur dan anak panah.

Tetapi mereka tidak lagi berjalan menyusuri jalan-jalan sempit. Menyusup hutan diantara pepohonan, namun ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membawa mereka berlatih membidik di dalam gelapnya malam.

Di malam ketiga, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai dengan latihan-latihan yang lebih berat. Mereka harus menyusup diantara pepohonan sambil membidik sasaran-sasaran yang tidak ditentukan. Mereka dapat melepaskan anak panah ke sasaran yang manapun yang ingin mereka kenai.

Namun di hari berikutnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyiapkan sasaran-sasaran yang ditentukan. Mereka telah memasang sasaran yang dibuat dari batang-batang pisang. Ketika kemudian malam turun, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membawa beberapa kelompok diantara orang-orang Bajra Seta yang terpilih itu untuk menyusup di seputar sasaran dan mengenai sasaran itu dengan anak panah mereka.

Tetapi latihan-latihan itu tidak terhenti sampai malam itu. Untuk selanjutnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membawa mereka ke dalam latihan-latihan yang semakin berat. Mereka bukan saja dilatih untuk memanah sasaran di malam hari. Tetapi mereka mendapat latihan untuk menyusup ke tempat yang sudah ditentukan. Menyelinap diantara pohon-pohon perdu, merayap mendekati sasaran. Namun kemudian dengan cepat menghilang menghindari benturan kekuatan langsung dengan lawan yang menjadi sasaran.

Dengan sadar orang-orang Bajra Seta itu berlatih untuk turun ke dalam satu perlawanan yang tidak langsung atas satu kekuatan yang besar. Dengan demikian memang diperlukan, bukan saja kekuatan dan ketrampilan ilmu, tetapi juga kesiagaan jiwani.

“Waktu kita tidak banyak,” berkata Mahisa Murti, “karena itu kita harus memanfaatkan sebaik-baiknya.”

Dengan perhitungan yang demikian, maka di malam hari latihan-latihan memang menjadi semakin berat. Namun di siang hari, mereka dapat beristirahat hampir mutlak untuk menjaga agar mereka justru tidak menjadi terlampau letih, sehingga ketika saatnya datang, mereka sudah tidak mempunyai tenaga lagi.

Sementara latihan-latihan berlangsung terus, Mahendra telah berbicara dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentang pelaksanaan dari perlawanan yang tidak langsung itu. “Kalian akan melakukannya di daerah Pakuwon Lemah Warah,” berkata Mahendra.

“Tidak perlu di daerah Lemah Warah,” berkata Mahisa Pukat, “Kita dapat melakukannya di luar.”

“Menurut perhitungan, mereka akan bermalam satu malam di padepokan Randu Papak, satu malam di daerah Lemah Warah dan satu malam terakhir, tetap masih di daerah Lemah Warah meskipun menjadi lebih dekat dengan padepokan ini. Kau kira padepokan ini terletak di mana?” bertanya Mahendra.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Agaknya memang demikian. Orang-orang itu akan berhenti dan bermalam di daerah Lemah Warah. Dengan demikian maka menurut nalar, mereka harus minta ijin kepada Akuwu Lemah Warah jika mereka tidak ingin terjadi salah paham dengan para prajurit Lemah Warah. Jika pasukan Bajra Seta itu memasuki Lemah Warah untuk berusaha melakukan perlawanan terhadap iring-iringan pasukan yang menuju ke padepokan mereka, dan kemudian terjadi pertempuran di lingkungan Lemah Warah serta diketahui oleh para petugas Lemah Warah, mungkin akan terjadi persoalan yang tidak dikehendaki.

Ketika hal itu kemudian dibicarakan, maka Mahendra pun berkata, “Karena itu, maka mau tidak mau kalian harus minta ijin untuk melakukan hal itu kepada Akuwu Lemah Warah. Kalian tidak minta bantuan. Tetapi minta ijin. Meskipun ijin itu sendiri merupakan bantuan yang sangat besar artinya.”

Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak dapat berbuat lain. Mereka memang harus menghadap Akuwu Lemah Warah untuk minta ijin melakukan perlawanan tidak langsung terhadap mereka yang akan menyerang padepokan Bajra Seta.

“Kami akan menghadap Akuwu Lemah Warah ayah,” berkata Mahisa Murti kemudian, “tetapi kami akan melakukan latihan-latihan yang lebih baik lebih dahulu.”

“Waktunya terserah kepada kalian, kalian tidak terlambat,” berkata Mahendra.

Demikianlah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membuat latihan-latihan mereka menjadi semakin keras. Mereka telah berlatih sebagaimana mereka harus berbuat di lingkungan dan medan yang semakin berat. Namun dengan demikian, mereka menjadi semakin matang menghadapi tugas yang khusus itu.

Ketika waktunya semakin dekat, serta latihan-latihan sudah menjadi semakin mapan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah pergi ke Lemah Warah untuk mohon ijin melaksanakan rencananya.

Ketika hal itu disampaikan kepada Akuwu Lemah Warah, maka sambil tersenyum Akuwu itu berkata, “Aku hargai sikap kalian. Kalian bukan saja ingin menyelesaikan masalah kalian dengan kekuatan kalian sendiri, tetapi kalian ternyata menemukan cara yang mengagumkan.”

“Bukan kami Akuwu,” jawab Mahisa Murti.

“Jadi siapa?” bertanya Akuwu Lemah Warah.

“Ayah menunjukkan jalan itu kepada kami,” jawab Mahisa Murti dengan jujur.

Akuwu Lemah Warah tersenyum sambil menepuk bahu kedua anak muda itu berganti-ganti. Katanya, “Kalian memang mengagumkan. Lebih dari segala macam tingkat ilmu yang kalian miliki, kalian adalah anak-anak muda yang berani, berpendirian kuat dan jujur.”

Keduanya tidak menjawab. Yang mereka tunggu adalah ijin Akuwu atas rencana mereka. Namun sejenak kemudian Akuwu itu berkata, “Baiklah anak-anak muda. Aku tidak berkeberatan dengan rencanamu. Tetapi agar tidak mudah terjadi salah paham, maka akan aku sertakan bersama pasukanku, sekelompok prajurit sandi yang akan dapat menjernihkan setiap persoalan yang mungkin timbul dengan prajurit-prajuritku, karena kalian berada di lingkungan pengawasan para prajurit peronda Lemah Warah.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk hormat. Namun sebelum mereka menjawab Akuwu telah mendahului, “Tetapi jangan kau anggap bahwa dengan demikian kami akan memberikan bantuan kepada kalian. Kami hanya sekedar memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi gerak pasukan kalian agar tidak terjadi kesulitan dengan prajurit Lemah Warah.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat menjawab lain kecuali mengucapkan terima kasih.

“Aku akan menyiapkan sekelompok prajurit sandi yang terlatih untuk bertempur sebagaimana cara yang kau kehendaki. Dalam waktu yang dekat, mereka akan mendapatkan latihan-latihan yang akan mengingatkan mereka kembali atas kemampuan mereka itu.”

“Kami mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga. Setiap kali kami telah mendapatkan bantuan yang tidak terhitung besarnya, sehingga sebenarnyalah kami tidak akan dapat berbuat apa-apa tanpa bantuan Akuwu,” berkata Mahisa Murti.

Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah dapat mempersiapkan segala-galanya yang diperlukan. Mereka dapat mempersiapkan pasukannya di wilayah Lemah Warah sebagaimana ijin yang telah diberikan oleh Akuwu.

Pada hari yang sudah diperhitungkan, maka pasukan Bajra Seta yang terpilih telah meninggalkan padepokan dengan diam-diam, justru di malam hari. Sementara mereka yang masih tinggal berada dibawah pimpinan Mahendra. Jika usaha Mahisa Murti dan Mahisa Pukat gagal, maka mereka harus segera kembali ke padepokan mendahului arus pasukan lawan. Atau jika tidak mungkin, mereka harus bersiap dan menyerang pasukan lawan selagi mereka menembus masuk ke padepokan.

Demikianlah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membuat perhitungan yang sebaik-baiknya atas segala kemungkinan. Jika pasukan dari kedua padepokan itu berangkat dari Randu Papak, maka mereka akan dapat memperkirakan, pasukan itu akan mengambil jalan yang mana menuju ke padepokan Bajra Seta. Mereka tentu tidak akan mengambil jalan yang mungkin diketahui apalagi bertemu dengan para prajurit Lemah Warah yang sedang meronda.

Dengan demikian, maka pasukan Bajra Seta yang telah dilengkapi dengan sekelompok prajurit sandi dari Lemah Warah, telah menunggu di tempat yang menurut perhitungan akan dilalui pasukan itu pada jarak satu hari perjalanan. Namun demikian, beberapa orang petugas khusus dari Bajra Seta dan prajurit sandi dari Lemah Warah telah dipasang di tempat-tempat tertentu untuk mengamati perjalanan pasukan itu.

Ternyata kecermatan perhitungan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memberikan arti yang besar. Para pengamat telah dapat mengetahui, arah pasukan dari padepokan Manik Wungu dan Randu Papak. Seorang diantara mereka telah memasuki perkemahan pasukan Bajra Seta dan langsung memberikan laporan tentang gerakan pasukan yang diamatinya.

“Jika demikian, jarak kita tidak terlalu jauh,” berkata Mahisa Murti.

“Ya,” jawab pengamat itu, “mereka menuju ke hutan kecil di seberang sungai. Seorang kawan akan melaporkan jika pasukan itu sudah menentukan tempat untuk berhenti.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah mempersiapkan pasukannya. Dari para petugas sandi Lemah Warah, mereka mendapat keterangan tentang lingkungan. Bahkan para petugas sandi itu sudah siap berada diantara pasukan Bajra Seta dalam segala rencananya, sehingga mereka telah menjadi bagian dari kebulatan pasukan Bajra Seta itu.

Ketika malam turun dan menjadi semakin kelam, maka laporan yang ditunggu itu pun datang. Memang seperti yang diperhitungkan, pasukan Manik Wungu telah berhenti tidak terlalu jauh dari perkemahan orang-orang dari padepokan Bajra Seta itu.

Dengan cepat orang-orang Bajra Seta itu pun telah bergerak. Mereka telah mengirimkan beberapa orang disertai para petugas sandi yang menunjukkan jalan yang paling baik bagi gerak pasukan Bajra Seta itu, telah mendahului untuk mengamati keadaan. Mereka harus mengambil langkah bagi pasukan Bajra Seta yang akan melakukan satu gerakan yang khusus. Dengan sangat hati-hati mereka bergerak. Merayap digelapnya malam, mendekati pasukan yang besar yang sedang beristirahat.

Setelah membuat beberapa perhitungan tentang keadaan pasukan yang sedang beristirahat itu, tentang kelompok-kelompok yang berserakan serta beberapa tempat penjagaan, maka para petugas itu telah kembali untuk memberikan laporan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan sangat berhati-hati memperhatikan setiap bagian dari laporan itu. Namun untuk meyakinkan diri, apa yang akan mereka lakukan, maka mereka telah langsung mendekati pasukan Manik Wungu dan pasukan Randu Papak itu. Dari pengamatan langsung itu mereka mengetahui, bahwa pasukan kedua padepokan yang akan merebut kedudukan mereka itu adalah pasukan yang kuat.

Beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih membuat pertimbangan-pertimbangan dengan pemimpin sekelompok pasukan sandi yang dikirim oleh Lemah Warah itu. Di antara mereka adalah orang yang disebut Gagak Sampir, yang telah datang ke padepokan Manik Wungu bersama beberapa orang petugas yang lain.

Baru setelah mereka menemukan kebulatan sikap, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memerintahkan pasukannya mulai bergerak. Dengan petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah yang lengkap dan terperinci, maka pasukan Bajra Seta itu telah melakukan satu gerakan yang merupakan satu tugas yang berat.

Namun Mahisa Murti masih juga memberikan pesan, “Kita tidak tahu, apakah kita masih berkesempatan untuk kembali ke padepokan kita. Tetapi apa yang kita lakukan ini, meskipun di tempat yang jauh, namun tetap merupakan kesetiaan kita bagi perguruan dan padepokan kita.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Namun mereka memang telah bertekad bulat untuk melakukan tugas itu sebaik-baiknya.

Sementara itu Mahisa Pukat pun memberikan pesan pula, “satu hal yang harus kita pegang teguh. Sasaran kita tidak boleh mengetahui siapakah kita sebenarnya. Jika kita terpaksa menjadi tawanan mereka, maka kita harus tabah untuk mengalami tekanan agar kita memberikan pengakuan. Karena itu, maka jangan lupa. Kita sudah bersetuju, bahwa kita bukan berasal dari padepokan Bajra Seta, tetapi sebagaimana kita sepakati, bahwa kita adalah prajurit yang mendapat perintah dari Senopati Pakuwon Lemah Warah untuk mengetahui dan menghancurkan orang-orang yang dengan diam-diam menyusup ke dalam wilayah Pakuwon Lemah Warah, sebagaimana justru disarankan oleh Akuwu. Kita tidak saja diijinkan untuk melakukan gerakan ini di dalam wilayah Lemah Warah, namun kita juga diijinkan untuk mengaku, bahwa kita adalah prajurit-prajurit Lemah Warah dalam tugas khusus. Apa pun yang terjadi atas diri kita, kita bukan orang-orang Bajra Seta.” Mahisa Pukat pun berhenti sejenak. Lalu ia pun berkata pula, “Tetapi yang terbaik adalah yang kita rencanakan. Jangan ada seorang pun yang jatuh ke tangan mereka. Mati atau hidup. Setiap kelompok berkewajiban untuk membawa semua anggauta kelompoknya kembali ke tempat ini, hidup, mati atau pun terluka parah.”

Semua orang dalam pasukan yang sudah siap itu mengangguk-angguk kecil. Mereka telah menggenggam kesanggupan, untuk melakukannya. Apa pun yang akan terjadi atas diri mereka masing-masing.

Demikianlah, maka pasukan itu pun mulai bergerak serentak. Namun mereka tidak menempuh satu arah perjalanan. Seluruh pasukan itu dibagi dalam beberapa kelompok. Di setiap kelompok terdapat pasukan sandi Lemah Warah yang benar-benar menguasai medan yang akan mereka hadapi.

Senjata utama mereka adalah busur dan anak panah. Mereka tidak akan mendekati sasaran untuk bertempur dalam jarak gapai pedang jika tidak terpaksa. Tetapi mereka akan melumpuhkan lawan-lawan mereka dengan serangan dari jarak jauh, dan kemudian menghilang di gelapnya malam.

Beberapa diantara mereka, di samping busur dan anak panah, telah membawa pula pisau-pisau kecil yang dapat mereka lontarkan kepada lawan-lawan mereka pada jarak yang lebih pendek dari jarak yang dapat dicapai oleh lontaran anak panah dari busurnya.

Beberapa saat, setelah mereka menyeberangi sungai, mulailah mereka merayap diantara semak-semak dan pepohonan. Mereka telah berusaha untuk menjadi samar bukan saja karena gelapnya malam, tetapi juga sikap dan langkah mereka. Warna pakaian yang gelap pula serta kemampuan untuk menghindarkan tubuh mereka dari bunyi sentuhan-sentuhan yang kasar.

Beberapa saat kemudian, mereka benar-benar telah mendekati sasaran. Bagaimanapun juga mereka merasa jantung mereka berdetak semakin cepat. Meskipun mereka mempunyai pengalaman yang luas, serta latihan-latihan yang berat, namun menghadapi kenyataan itu, mereka memang menjadi berdebar-debar. Apalagi mereka sudah diberi tahu pula bahwa orang-orang yang akan menjadi sasaran mereka adalah orang-orang yang dianggap sebagai siluman-siluman yang sangat berbahaya.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selalu berkata, “Mereka adalah orang-orang yang kulit dagingnya dapat ditembus bedor anak panah serta tajamnya pisau-pisau kecil mereka.”

“Mereka sama sekali tidak mempunyai kelebihan apa pun juga kecuali bahwa mereka tidak mengenal adab, unggah-ungguh dan adat hubungan antar sesama. Mereka berbuat apa saja yang ingin mereka lakukan, bahkan dengan kasar dan liar,” pesan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “karena itu, jangan anggap mereka lebih baik dari kalian.”

Untuk beberapa saat orang-orang dari perguruan Bajra Seta itu menunggu. Mereka menantikan isyarat yang akan diberikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bukan isyarat sendaren atau panah api. Namun mereka akan memperdengarkan suara burung bence di beberapa arah. Tetapi tidak boleh menimbulkan kesan, bahwa suara burung itu bukan suara burung sewajarnya.”

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memperhitungkan bahwa setiap orang telah berada di tempat masing-masing, maka isyarat itu pun telah terdengar. Suara burung bence yang memecah sepinya malam.

Suara yang terdengar di satu tempat itu, tidak segera disahut oleh suara yang lain. Tetapi baru beberapa saat kemudian terdengar pula suara burung itu, seakan-akan burung bence itu telah terbang berpindah tempat dari satu batang pohon ke pohon yang lain.

Orang-orang Bajra Seta memang tidak membutuhkan isyarat terlalu banyak. Suara burung bence di dua tempat itu, yang terdengar nyaring dalam kesepian malam, telah didengar oleh setiap orang yang seakan-akan telah mengepung perkemahan orang-orang padepokan Manik Wungu dan Randu Papak. Namun menurut perhitungan mereka, orang-orang yang berada dalam perkemahan itu memang merupakan kekuatan yang sangat besar. Tetapi tidak seorang pun yang bermimpi, bahwa pada jarak yang masih sedemikian jauh, orang-orang Bajra Seta justru telah menyongsong mereka.

Demikian suara isyarat itu terdengar oleh orang-orang dari perguruan Bajra Seta dan para petugas sandi dari Lemah Warah, maka mereka pun segera mulai bergerak. Tidak terdengar suara pasukan yang berderap. Tidak pula terdengar teriakan yang bagaikan meruntuhkan langit. Namun yang kemudian terdengar adalah desing anak panah yang terlepas dari busurnya. Tidak terlalu keras. Namun dari beberapa arah.

Beberapa orang yang bertugas berjaga-jaga, dan sedang duduk di sekeliling perapian tidak sempat terkejut, karena tiba-tiba saja lambung, punggung atau dada mereka telah tertembus anak panah yang dilepaskan dari jarak yang tidak terlalu jauh. Sehingga dengan demikian, maka pada umumnya mereka tidak sempat mengaduh karena ujung, anak panah itu telah menggapai jantung.

Ketika orang-orang yang bertugas itu telah terpelanting jatuh, maka orang-orang perguruan Bajra Seta itu merayap semakin dekat. Mereka telah membidik orang-orang yang sedang tidur nyenyak. Mula-mula mereka memperhitungkan kelompok-kelompok dari orang-orang yang akan menjadi sasaran. Beberapa orang diantara mereka pun telah melepaskan anak panah bersama-sama.

Namun akhirnya, serangan itu diketahui juga setelah jatuh korban semakin banyak. Pada satu saat seseorang yang terkena panah tidak tepat di jantung telah sempat berteriak. Orang-orang yang sedang beristirahat itu pun terbangun. Mereka mula-mula tidak menyadari apa yang terjadi. Peristiwa itu berlangsung demikian cepatnya.

Justru pada saat-saat yang demikian, anak panah telah menyerang mereka bagaikan hujan dari segala arah. Seakan-akan setiap batang pohon dan setiap gerumbul dan semak-semak telah menyerang mereka dengan anak panah. Beberapa orang berteriak kasar. Mereka mengumpat dengan kata-kata kotor. Dengan serta merta mereka pun telah menarik senjata masing-masing. Namun mereka tidak segera tahu, dimanakah lawan mereka bersembunyi, sementara anak panah lawan menghujan tidak henti-hentinya.

Namun ternyata ada juga orang yang masih sempat berpikir meskipun agak terlambat. Seorang tua yang dianggap sebagai guru dan pimpinan padepokan Manik Wungu pun berteriak, “Cepat, cari perlindungan.”

Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak pun telah berusaha untuk berada di bayangan pepohonan. Tetapi mereka, benar-benar tidak mengerti di mana lawan mereka itu bersembunyi.

Cara seperti itu memang sudah diperhitungkan oleh orang-orang Bajra Seta. Karena itu, maka mereka telah mempergunakan cara yang lebih berbahaya. Namun keberhasilan mereka pada langkah pertama mendapat membuat mereka menjadi semakin berani, karena menurut anggapan mereka, cara yang mereka tempuh adalah cara yang ternyata benar.

Orang-orang Bajra Seta menjadi semakin mendekat. Dengan anak panah yang siap di busur, mereka memasuki lingkungan orang-orang yang sedang kebingungan itu. Setiap mereka bertemu dengan seseorang, maka mereka telah menyapanya dengan kata-kata sandi. Jika orang itu tidak menjawabnya dengan benar, maka tanpa ampun lagi, anak panah yang sudah siap di busur itu akan meluncur menembus jantung. Sebaliknya, jika seseorang menyapa salah seorang dari Padepokan Bajra Seta yang menyusup diantara mereka tidak dengan kata-kata sandi, maka pertanyaan itu akan dijawab dengan tusukan anak panah di dada mereka.

Dengan demikian maka kelompok-kelompok orang dari padepokan Bajra Seta yang dilengkapi dengan sekelompok petugas sandi yang terbagi diantara kelompok-kelompok pasukan dari padepokan Bajra Seta itu telah dapat mengacaukan pasukan yang jauh lebih besar. Bahkan ujung-ujung anak panah telah membunuh dan melukai sejumlah dari antara mereka.

Bahkan ketika para pemimpin dari padepokan Manik Wungu dan Randu Papak berhasil menguasai orang-orang mereka dan meneriakkan aba-aba, maka orang-orang Bajra Seta itu masih berada diantara mereka. Mereka tidak lagi mempergunakan busur dan anak panah karena jarak yang semakin dekat, serta waktu yang semakin memburu. Namun mereka telah melontarkan pisau-pisau kecil yang menyambar leher, dada dan lambung.

Namun orang-orang Bajra Seta itu tidak mau terjebak di dalam lingkungan pasukan lawan. Karena itu, maka ketika orang-orang Manik Wungu dan orang-orang Randu Papak menjadi semakin mapan, maka beberapa buah anak panah sendaren telah terbang di udara sebagai isyarat, bahwa orang-orang Bajra Seta harus meninggalkan lingkungan lawan.

Ternyata bahwa latihan-latihan yang matang, benar-benar memberikan tuntutan bagi mereka. Dalam waktu dekat, maka kelompok-kelompok terkecil dari orang-orang Bajra Seta telah sempat menghitung kawan mereka masing-masing, sehingga mereka dapat kembali ke pangkal mereka dengan utuh. Memang ada beberapa orang yang terluka, tetapi tidak seorang pun diantara mereka yang tertinggal, apalagi tertawan.

“Sungguh satu hasil yang gemilang,” berkata Mahisa Murti.

Pemimpin petugas sandi Lemah Warah yang diperbantukan itu pun menyahut, “Hampir tidak masuk akal, bahwa tidak seorang pun yang hilang diantara kita.”

“Kita telah mengejutkan mereka, sementara mereka benar-benar lengah, karena mereka tidak mengira bahwa kita akan menyerang mereka pada jarak yang demikian jauhnya,” berkata Mahisa Pukat.

Yang lain mengangguk-angguk. Memang keberhasilan mereka sebagian besar adalah karena kelengahan sasaran mereka.

“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, “kita wajib mengucap syukur kepada Yang Maha Agung yang telah melindungi kita semuanya. Namun kawan-kawan kita yang terluka, lebih-lebih yang parah, harus segera mendapat perawatan.”

Namun dalam pada itu Mahisa Pukat pun berdesis, “Tetapi apakah tempat ini cukup aman bagi kita?”

“Aku kira cukup,” berkata pemimpin petugas sandi dari Lemah Warah itu, “tempat ini telah dipisahkan oleh sebuah sungai yang bertebing tinggi. Mereka tidak akan mencari kita sampai ke tempat ini. Mereka tidak akan menuruni tebing dan naik jurang dalam gelapnya malam dan licinnya batu padas di tebing."

“Tetapi jika ada diantara mereka yang ahli menelusuri jejak, maka mereka agaknya akan sampai ke tempat ini,” berkata salah seorang pemimpin kelompok dari pasukan Bajra Seta.

“Memang mungkin pula. Tetapi kita telah menyeberangi sebuah sungai. Kita sudah berjalan dalam air beberapa puluh langkah, sehingga akan sangat sulit bagi mereka untuk menemukan kembali jejak kami,” sahut pemimpin petugas sandi itu. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Meskipun demikian, jika tempat ini dianggap berbahaya, maka kita akan dapat meninggalkan tempat ini bergeser beberapa ratus tonggak.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Menurut keduanya tempat ini memang sudah cukup aman. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Baiklah. Kita akan berpindah tempat. Kita harus bergeser tanpa meninggalkan jejak.

“Jika kita masih juga meninggalkan jejak, maka kita tidak perlu meninggalkan tempat ini.”

Orang-orang yang mendengarkan pendapat itu mengangguk-angguk. Mereka setuju bahwa mereka harus berusaha untuk menghapuskan jejak jika mereka berniat untuk bergeser dari tempat itu. Meskipun orang-orang Bajra Seta itu merasa letih dan ingin segera beristirahat, namun mereka tidak dapat membantah ketika perintah pun akhirnya jatuh, bahwa mereka akan mencari tempat yang lain, tanpa meninggalkan jejak.

Dalam pada itu, kegemparan memang telah terjadi diantara orang-orang Manik Wungu dan orang-orang Randu Papak. Sergapan yang datang dengan tiba-tiba dan kemudian dengan tiba-tiba pula menghilang, telah menelan korban yang bagi mereka terlalu banyak jumlahnya.

Setelah keadaan mereda, serta mereka berkeyakinan tidak akan datang lagi serangan-serangan yang tiba-tiba itu, maka para pemimpin dari kedua padepokan itu pun telah bertemu, sementara penjagaan di sekitar perkemahan itu pun telah ditingkatkan. Sedangkan di seluruh perkemahan tidak seorang pun yang sempat tidur lagi. Semuanya telah dicengkam oleh kegelisahan dan kecemasan.

Beberapa orang telah mengumpat-umpat dengan kasarnya. Yang lain menggeram sambil menghentak-hentakkan tangannya. Sedangkan beberapa orang lainnya berjalan hilir mudik tidak menentu. Sementara itu para pemimpin mereka sibuk menduga-duga, siapakah yang telah melakukan serangan yang tiba-tiba namun meninggalkan bekas yang parah itu.

Pimpinan tertinggi dari Manik Wungu yang ada diantara orang-orangnya itu berkata, “Tentu rencana ini disusun dengan sebaik-baiknya dan dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Mereka tentu pernah mengalami latihan-latihan khusus untuk tugas mereka.”

“Aku tidak mempunyai dugaan lain kecuali prajurit-prajurit sandi dari Lemah Warah,” berkata pemimpin padepokan Randu Papak. Lalu “Bukankah kita berada di wilayah Lemah Warah sekarang ini?”

Yang lain mengangguk-angguk. Sementara pemimpin padepokan Randu Papak itu melanjutkan, “hanya prajurit-prajurit yang terlatih sajalah yang dapat melakukan sergapan iblis seperti itu.”

Namun demikian pemimpin Manik Wungu itu pun bertanya, “Jika mereka prajurit Lemah Warah, kenapa mereka tidak datang saja dengan kekuatan segelar sepapan, dan sekaligus menghancurkan pasukan kita? Jika Lemah Warah memang mengerahkan semua prajurit yang ada, maka mereka akan dapat menumpas kita semuanya.”

“Tetapi Akuwu Lemah Warah tidak mempunyai alasan yang kuat untuk membinasakan kita. Kita adalah orang lewat, karena kita memang melintas di daerah Lemah Warah. Tetapi kita tidak berbuat apa-apa disini. Kita tidak menimbulkan kegelisahan karena kita telah memilih jalan yang sepi. Kita bermalam di daerah yang jauh dari padukuhan-padukuhan yang ada,” sahut salah seorang pemimpin yang lain, “karena itu maka Akuwu tidak dapat dengan terang-terangan menghancurkan kita. Ia telah mengambil satu langkah yang bagus sekali menurut kepentingannya. Namun bagi kami adalah tindakan pengecut."

“Apa yang sebaiknya kita lakukan?” bertanya pemimpin padepokan Manik Wungu, “membalas dendam dengan menyerang orang-orang Lemah Warah serta membunuh mereka sejumlah paling sedikit sama dengan orang-orang kita yang terbunuh?”

Pemimpin padepokan Randu Papak pun berkata, “Apakah hal itu menguntungkan kita? Bukankah kita akan menuju ke padepokan Suriantal? Jika kita terlibat dalam pertempuran dengan prajurit Lemah Warah, maka kita tentu tidak akan dapat keluar dari Pakuwon ini hidup-hidup. Semua orang diantara kita akan mati disini. Sedangkan kita sudah terlanjur melepaskan tantangan bagi orang-orang padepokan Suriantal itu.”

“Jadi?” bertanya pemimpin padepokan Manik Wungu.

“Kita akan pergi ke padepokan Suriantal. Merebutnya dan kemudian memilikinya. Kita harus memelihara sisa kekuatan yang ada sebaik-baiknya. Disini kita sudah kehilangan terlalu banyak,” jawab pemimpin padepokan Randu Papak.

Yang lain mengangguk-angguk. Sementara itu pemimpin padepokan Randu Papak itu pun berkata selanjutnya, “Kita akan berangkat sekarang.”

“Sekarang?” seorang pemimpin yang lain bertanya.

“Ya. Sebaiknya kita segera keluar dari daerah Lemah Warah,” berkata pemimpin padepokan Randu Papak itu.

“Kau kira padepokan Suriantal itu bukan tlatah Lemah Warah?” berkata pemimpin padepokan Manik Wungu.

“Tetapi daerah yang dilupakan. Akuwu Lemah Warah tidak menganggap perlu untuk mengurusi padepokan yang demikian jauh dari pusat pemerintahan. Kecuali jika padepokan itu menjadi besar dan menarik,” jawab pemimpin padepokan Randu Papak.

Namun dalam pada itu pemimpin yang lain dari Randu Papak itu pun bertanya, “Bagaimana dengan kawan-kawan kita yang terbunuh di sini?”

“Kita tinggalkan saja mereka,” jawab pemimpin padepokan Randu Papak itu, “yang mati biarlah mati. Yang masih akan dapat hidup biarlah berusaha menemukan hidupnya kembali, sementara yang masih akan mati biarlah mati. Kita tidak sempat berbuat apa-apa atas mereka. Yang masih dapat berjalan, akan berjalan bersama kita.”

Pemimpin yang berada dibawah kekuasaan pemimpin tertinggi padepokan Randu Papak itu tidak menjawab. Agaknya memang sudah menjadi kebiasaan mereka berbuat seperti itu. Bahkan pemimpin padepokan Manik Wungu pun berkata,” jangan kotori tangan kita dengan darah orang-orang dungu seperti itu. Jika mereka mati itu adalah salah mereka sendiri. Demikian pula yang terluka.”

Demikianlah malam yang tersisa itu telah dipergunakan oleh orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak untuk meneruskan perjalanan. Mereka ingin secepatnya meninggalkan daerah Lemah Warah. Semakin jauh semakin baik. Meskipun kemudian mereka masih berada di daerah yang berada dalam kekuasaan Pakuwon Lemah Warah, namun di daerah yang tidak mendapat banyak perhatian dari Akuwu, maka mereka tidak akan mengalami kesulitan dengan para prajurit Lemah Warah itu.

Namun gerakan itu tidak terlepas dari pengamatan para petugas sandi dari Lemah Warah yang diperbantukan kepada orang-orang dari perguruan Bajra Seta. Mereka telah membuat hubungan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah mengalihkan perkemahan mereka.

Kepada penghubung itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun minta untuk menunggu sejenak. Mereka akan berbicara dengan para pemimpin kelompok, apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Ternyata bahwa para pemimpin kelompok itu pun sependapat, bahwa mereka pun harus bergerak dengan arah yang sejajar.

“Kami akan menjadi penunjuk jalan,” berkata seorang petugas sandi Lemah Warah kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Dengan demikian maka ketika penghubung itu kembali menemui kawan-kawannya bertugas dapat memberitahukan, bahwa orang-orang Bajra Seta telah bergerak pula. Sebagai petugas sandi di Lemah Warah, maka mereka pun memiliki pengenalan yang luas dan sungguh-sungguh atas medan yang sedang mereka hadapi.

Dengan hati-hati pasukan Bajra Seta telah bergerak sejajar dengan gerak pasukan dari dua padepokan yang akan menuju ke padepokan Bajra Seta. Setiap kali para penghubung selalu membuat hubungan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, agar ikatan diantara mereka tidak, terlepas yang satu dengan yang lain.

Karena pasukan Bajra Seta yang tidak terlalu besar, maka mereka memang dapat bergerak lebih lincah dari pasukan lawannya. Namun jumlah yang kecil itu telah terlatih dengan baik untuk melakukan perlawanan tidak langsung atas kedua pasukan yang besar itu, tetapi yang telah kehilangan banyak kekuatan diantara mereka.

Beberapa orang yang terluka tidak begitu menghambat gerak orang-orang padepokan Bajra Seta. Kawan-kawannya telah memapah mereka. Sedangkan yang lain masih sanggup berjalan sendiri tanpa bantuan. Apalagi mereka yang hanya sekedar tergores senjata.

Ketika pagi mulai membayang, maka orang-orang Bajra Seta itu harus menjadi lebih berhati-hati. Mereka harus mencari jarak yang sesuai, sehingga pasukan yang besar itu tidak akan sempat mendekatinya. Di siang hari, pasukan Bajra Seta tidak akan mungkin dapat bergerak.

Untuk mengurangi perhatian orang terhadap pasukan kecil itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membagi orang-orangnya. Bahkan mereka tidak terikat lagi dengan gerak pasukan lawan. Namun mengurai laporan dari para penghubung, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, atas petunjuk para petugas sandi, telah dapat memperhitungkan, ke arah mana pasukan yang besar itu bergerak.

“Kita akan dapat berpencar dan kemudian berkumpul di satu tempat yang ditentukan,” berkata pemimpin dari petugas sandi itu.

Demikianlah akhirnya pasukan kecil itu mendapat petunjuk seperlunya tentang jalan yang harus mereka tempuh. Mereka akan berpencar dalam kelompok-kelompok yang kecil, yang terdiri dari tiga atau empat orang menuju ke tempat yang sudah diancar-ancarkan oleh pemimpin petugas sandi. Sementara itu, diantara mereka yang bergerak itu juga terdapat beberapa orang dari kelompok petugas sandi itu sendiri yang memang diperbantukan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Namun dalam pada itu, beberapa orang petugas yang lain akan langsung mengamati gerak pasukan yang besar itu. Meskipun pasukan itu sudah memilih jalan yang paling sepi sekalipun, namun mereka sama sekali tidak dapat menghindari padukuhan-padukuhan, pategalan dan hutan-hutan besar dan kecil.

Tetapi agaknya pasukan itu sudah belajar dari pengalaman. Mereka tidak mau lengah untuk kedua kalinya. Namun karena mereka sudah menjadi semakin jauh dari Lemah Warah, maka mereka pun berharap bahwa tidak akan ada lagi gangguan atas pasukan mereka.

Pemimpin padepokan Manik Wungu dan Randu Papak ternyata sepakat untuk beristirahat sebelum sore hari. Mereka mencari tempat yang paling baik bagi pasukan mereka. Tanpa menghiraukan tanaman yang ada, mereka telah berhenti dan beristirahat di sebuah pategalan yang terbuka, yang tidak mempunyai banyak pepohonan, sehingga mereka akan dapat mengamati keadaan di sekitar tempat itu dengan jelas.

Orang-orang padukuhan terdekat, yang memiliki daerah pategalan itu pun melihat kehadiran pasukan itu di pategalan mereka. Namun mereka justru menjadi ketakutan. Tidak seorang pun yang berani menegur sekelompok pasukan yang besar yang terdiri dari orang-orang yang kasar dan bahkan liar.

Justru menjelang sore, dibawah rimbunnya dedaunan di pategalan orang-orang yang letih itu sempat beristirahat. Sebagian besar dari mereka telah tertidur dibawah pepohonan, atau di sela-sela tanaman jagung muda. Mereka tidak merasa cemas bahwa mereka akan mendapat serangan sebagaimana mereka alami semalam, karena mereka yang bertugas dapat melihat keadaan di sekitar pategalan itu dengan jelas.

Para petugas sandi yang membayangi pasukan itu harus bersembunyi pula agar tidak diketahui oleh orang-orang yang bertugas berjaga-jaga dalam pasukan yang besar itu. Betapapun mereka merasa letih, namun mereka tidak dapat meninggalkan tugas mereka. Ketika kemudian malam turun, maka yang bertugas pun menjadi berlipat. Mereka yang sudah sempat beristirahat, menggantikan tugas mereka yang dengan letih mengawasi keadaan menjelang matahari tenggelam.

Yang bertugas itu tidak hanya melingkar di sekitar pasukan yang sedang beristirahat itu. Tetapi untuk mencegah peristiwa yang menyakitkan itu terulang, maka penjagaan pun diatur dalam lapis-lapis yang rapat, sehingga tidak akan ada seorang pun yang akan dapat mendekat.

Para petugas sandi yang mengamati keadaan mereka menganggap bahwa penjagaan pasukan itu terlalu kuat untuk sekelompok kecil pasukan Bajra Seta. Karena itu, seorang penghubung yang datang di tempat yang sudah ditentukan, menyarankan agar mereka tidak mengganggu lawan malam itu.

“Mereka tidak akan bermalam lagi di jalan,” berkata Mahisa Pukat.

“Tetapi berbahaya sekali untuk melakukannya sekarang,” jawab petugas sandi itu. “Aku kira, kita harus mencari kesempatan lain.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka memang tidak boleh mengorbankan orang-orangnya dengan semena-mena. Tetapi mereka tidak melihat lagi kesempatan untuk melakukan sebagaimana pernah mereka lakukan. Meskipun mereka menyadari, bahwa keadaannya tentu sudah jauh berbeda.

“Kekuatan mereka sudah banyak berkurang,” berkata Mahisa Murti kemudian.

“Apakah kita harus menghibur diri kita sendiri dengan cara seperti itu?” desis Mahisa Pukat.

Mahisa-Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian bertanya, “Bagaimana dengan keberhasilan kita itu? Apakah itu bukan berarti pengurangan kekuatan yang cukup besar pada lawan kita?”

Mahisa Pukat mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Tetapi lawan masih terlalu kuat bagi padepokan Bajra Seta.”

“Justru karena itu, kita harus berhati-hati. Kita tidak dapat berbuat sesuatu yang akan dapat menjatuhkan korban terlalu banyak atas kekuatan kita yang sudah terlalu kecil ini,” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk pula. Dengan nada datar ia berkata, “Aku mengerti.”

Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berusaha untuk mendekati pasukan lawan. Hanya beberapa orang saja masih mengamatinya dengan cermat, namun dengan sangat berhati-hati.

Ternyata bahwa orang-orang dari padepokan Manik Wungu dan Randu Papak itu tidak menunggu sampai fajar. Sedikit lewat tengah malam mereka telah melanjutkan perjalanan mereka menuju ke sasaran. Padepokan Bajra Seta. Orang yang pernah datang ke padepokan Bajra Seta dan menyebut diri mereka orang-orang Suriantal, akan memasuki padepokan itu pula menemui para pemimpinnya. Mereka masih tetap akan mengatakan, bahwa para pengikut dari perguruan Suriantal akan mengadakan pertemuan di padepokan itu.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendapat laporan tentang keberangkatan orang-orang dari padepokan Manik Wungu dan Randu Papak, maka ia pun telah memerintahkan orang-orangnya untuk bergerak pula. Dalam perjalanan itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan pemimpin petugas sandi dari Lemah Warah telah berusaha untuk memecahkan persoalan mereka. Bagaimana mereka dapat mengurangi lagi kekuatan lawan sebagaimana pernah mereka lakukan. Tetapi lawan mereka tidak akan membuat kesalahan yang sama sampai kedua kalinya.

Perjalanan mereka ternyata merupakan perjalanan yang panjang dan berat. Ketika matahari terbit, maka orang-orang Bajra Seta sekali lagi telah memecah orang-orangnya dengan cara sebagaimana telah mereka lakukan. Namun jarak mereka dengan padepokan telah menjadi semakin dekat, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memutuskan, bahwa mereka akan berkumpul kembali, beberapa puluh patok saja dari padepokan. Sehingga jika diperlukan, maka mereka akan dapat bergerak dengan cepat.

Dalam pada itu, maka orang-orang padepokan Manik Wungu dan Randu Papak pun ternyata telah berhenti tidak jauh pula dari padepokan yang akan menjadi sasaran itu. Tetapi mereka tidak akan langsung menyerang padepokan itu. Mereka akan mengirimkan orang-orang bertongkat, yang mengaku dari perguruan Suriantal itu untuk menemui para pemimpin padepokan Bajra Seta. Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak sama sekali tidak mencemaskan kesiagaan orang-orang Bajra Seta yang dianggapnya baru mengatur diri sehingga mereka masih belum mempunyai kekuatan yang mapan.

Namun perkemahan orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu tidak terlepas sama sekali dari pengamatan para petugas sandi dari Lemah Warah dan orang-orang Bajra Seta yang sudah terlatih baik. Ternyata bahwa para pengamat itu telah melihat perubahan sikap dari orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak. Justru ketika mereka sudah berada dekat dengan padepokan yang mereka tuju, maka mereka tidak lagi merasa bahwa mereka masih berada dalam bahaya sebagaimana pernah mereka alami.

Mereka menganggap bahwa Lemah Warah telah menjadi terlalu jauh sehingga para prajurit Lemah Warah tidak akan mengganggu mereka lagi dengan cara apa pun juga. Ternyata orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak nampaknya memang tidak tergesa-gesa. Yang tergesa-gesa menurut perhitungan mereka adalah justru menjauhi dan meninggalkan Lemah Warah.

Di hari berikutnya orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu telah menyiapkan beberapa orang bertongkat untuk, pergi ke padepokan Bajra Seta. Mereka harus menemui kedua orang anak muda yang mengaku sebagai Putut dan memimpin padepokan itu.

Ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pada hari itu justru berada di padepokan. Setelah mereka menempatkan pasukannya di tempat yang tidak akan diketahui oleh lawan yang berjumlah lebih besar dari kekuatan Bajra Seta itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memasuki padepokan mereka dengan diam-diam untuk membicarakan rencana berikutnya bersama dengan Mahendra.

Kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat orang-orang yang mengaku dari perguruan Suriantal itu tidak merubah keterangan mereka. Beberapa padepokan dari cabang perguruan Suriantal akan bertemu di padepokan Suriantal yang telah berubah menjadi padepokan Bajra Seta itu.

“Sayang Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti, “seperti yang sudah aku katakan. Kami tidak dapat menerima. Kami bukan orang-orang Suriantal. Kami sama sekali tidak berkepentingan dengan pertemuan itu sehingga kami tidak dapat menerima kehadiran kalian.”

“Jangan begitu Ki Sanak,” berkata orang yang mengaku dari perguruan Suriantal itu, “barangkali kalian perlu mengetahui bahwa kami dalam jumlah yang besar telah berada di sekitar padepokan ini. Sebenarnya kalian tidak mempunyai pilihan.”

“Kenapa tidak?” bertanya Mahisa Murti, “kami mempunyai wewenang atas padepokan kami sendiri.”

Orang-orang yang menyebut dirinya dari perguruan Suriantal itu saling berpandangan sejenak. Namun orang yang dianggapnya pemimpin oleh kelompok itu pun kemudian berkata,

“Anak-anak muda. Kalian harus mampu membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan. Kalian telah menyebut diri kalian sebagai pemimpin dari sebuah perguruan dan padepokan. Namun kalian agaknya sama sekali belum dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang bijaksana. Jiwa kalian sama sekali belum mengendap. Darah kalian masih mudah mendidih, sedang jantung kalian cepat membara.”

“Aku tidak mengerti maksudmu,” potong Mahisa Pukat.

“Kalian jangan menuruti luapan perasaan muda kalian. Pertimbangkan baik-baik. Kami akan mengadakan pertemuan di padepokan ini. Bukalah pintunya dan persilahkan kami masuk. Terimalah kami sebagai tamu yang terhormat disini. Dengan demikian maka tidak akan timbul masalah diantara kita. Tetapi jika kalian bersikap terlalu sombong dan sekedar hanyut oleh perasaan tanpa penalaran, maka kalian akan menyesal.”

“Kenapa kami akan menyesal?” bertanya Mahisa Murti.

“Kami dapat berbuat apa saja atas padepokan ini. Kami dapat menghancurkannya dan membakarnya menjadi debu,” berkata orang itu.

“Kalian terlalu sombong,” berkata Mahisa Murti, “kalian kira kami akan membiarkan kalian melakukannya? Kau lihat, kami mempunyai kekuatan yang cukup untuk mempertahankan padepokan ini.”

Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Apa kau kira, kami tidak dapat melihat. Ada berapa orang-orangmu disini? Dan apa saja yang dapat mereka lakukan untuk mencegah kami yang memiliki selumbung pengalaman. Perguruan yang kau sebut-sebut itu adalah perguruan baru. Orang-orangmu baru belajar bagaimana memegang pedang. Bagaimana memasang tali busur dan mengetrapkan anak panah sebelum dilepas. Kau tentu baru dapat memberikan sedikit petunjuk tentang memutar tombak serta, mengenakan perisai. Apa daya padepokan ini? Apalagi menurut penglihatanku sekarang, isi padepokan ini terlalu sedikit untuk dapat bertahan”

“Cukup,” potong Mahisa Pukat, “aku persilahkan kalian meninggalkan padepokan ini selagi pintu gerbang kami masih terbuka. Kami akan segera menutup dan menyelaraknya. Setiap orang yang berani mendekatinya akan kami binasakan.”

Orang-orang yang menyebut dirinya dari perguruan Suriantal itu tertawa. Pemimpin mereka itu pun berkata, “jangan berusaha untuk menutupi kecemasanmu dengan sikap yang garang begitu. Anak-anak muda. Sebenarnya kami ingin mengundang kalian untuk melihat sendiri pasukan yang datang bersama kami. Jika kalian bersedia, maka kalian akan dapat membuat pertimbangan yang paling mapan untuk menanggapi keadaan ini.”

“Aku tidak peduli dengan omong kosongmu itu,” sahut Mahisa Pukat. Lalu “Sekali lagi aku minta, pergilah. Jika kalian tidak segera pergi, dan gerbang itu sudah terlanjur tertutup, maka kalian akan mati disini sebelum kawan-kawanmu datang.”

“Itu bukan laku laki-laki,” geram orang yang menyebut dirinya dari perguruan Suriantal.

“Aku tidak peduli, apakah aku dapat disebut laki-laki atau bukan. Aku sama sekali tidak berkepentingan dengan sebutan-sebutan. Yang penting aku dapat memuaskan hatiku dengan mencincang kalian di halaman dan melemparkan sisa-sisa tubuh kalian keluar dinding padepokan ini untuk dilihat oleh kawan-kawanmu.”

“Baiklah,” berkata orang bertongkat itu, “aku akan pergi. Aku akan membawa orang-orangku mendekat dan berkemah di sekitar padepokanmu ini. Dengan demikian kalian akan mengetahui betapa besar kekuatan keluarga Suriantal dan beberapa orang wakil dari padepokan lain yang akan menjadi tamu kita.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun ia benar-benar telah berusaha untuk mengusir orang-orang itu. Sambil berdiri tegak Mahisa Pukat telah menunjuk ke arah pintu gerbang padepokannya.

Terdengar orang-orang bertongkat itu mengumpat. Pemimpin mereka telah berkata dengan marah, “Sekarang kalian mengusir aku. Tetapi besok, aku akan mengusir kalian bukan saja keluar dari padepokan ini, tetapi mengusir kalian ke lubang maut.”

“Cepat,” geram Mahisa Pukat, “aku tidak mempunyai waktu untuk melayani pemimpi seperti kalian.”

Orang-orang yang mengaku dari perguruan Suriantal itu-pun kemudian meninggalkan padepokan itu dengan wajah yang merah. Jantung mereka rasa-rasanya telah membengkak menahan kemarahan. Namun mereka bertekad untuk kembali memasuki padepokan itu dan sekaligus menghancurkannya.

Demikian orang-orang bertongkat itu keluar, maka pintu gerbang pun segera ditutup kembali. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera menemui ayah mereka untuk melanjutkan pembicaraan tentang rencana yang akan mereka lakukan menghadapi pasukan yang besar itu.

“Agaknya mereka akan mendekati padepokan dan memamerkan kekuatan mereka,” berkata Mahisa Murti.

“Jika demikian, bawa orang-orangmu keluar,” berkata Mahendra, “hati-hati dan jangan sampai diketahui oleh mereka. Orang-orangmu harus menunggu sampai malam datang.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun keduanya pun mengangguk-angguk. Dengan nada datar Mahisa Murti bertanya, “Menurut ayah, kami harus menyerang mereka di malam hari?”

“Ya,” berkata Mahendra, “kalian lebih menguasai medan. Jika kalian menunggu mereka menyerang esok, mungkin kalian akan banyak mengalami kesulitan. Tetapi jika kalian menyerang malam hari kemudian menghilang, agaknya keadaan akan berbeda.”

“Tetapi yang terlatih hanyalah sekelompok yang kami bawa menyongsong mereka di Lemah Warah,” berkata Mahisa Pukat.

Mahendra mengangguk-angguk. Ia memang sudah memperhitungkan hal itu sebelum ia mengatakan kemungkinan itu kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Karena itu katanya,

“Kau harus membagi orang-orang yang kau anggap mempunyai kemampuan bertempur dengan cara yang pernah kau pergunakan dan berhasil. Tetapi kau harus tetap mempunyai sekelompok pasukan yang akan dapat mengacaukan mereka dalam kegelapan. Namun sebelumnya kau harus mengumpulkan orang-orangmu dan secara cepat dan singkat memberikan petunjuk-petunjuk tentang perang yang akan kalian lakukan. Cara-caranya, tujuannya dan sasarannya...”

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 55

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 55
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA MURTI dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Nampaknya Akuwu memang yakin akan keberhasilan tugas orang-orangnya. Karena itu maka Mahisa Murti pun berkata, “Jika demikian, kami serahkan kebijaksanaan kepada Akuwu.”

“Terima kasih,” jawab Akuwu, “aku akan segera menghubungi orang-orang yang mengenal padepokan itu dengan baik, bahkan mengenal beberapa iblis yang ada di padepokan itu.”

Demikianlah, maka Akuwu pun telah memanggil beberapa orang untuk menghadap. Namun demikian mereka tampil, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang terkejut melihat ujud mereka. Orang-orang itu adalah orang-orang yang kasar, kotor, bahkan memberikan kesan sebagai perampok-perampok dan penjahat.

“Hanya orang-orang seperti merekalah yang dapat berhubungan dengan orang-orang Manik Wungu,” desis Akuwu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud Akuwu Lemah Warah. Agaknya pada petugas sandi Lemah Warah terdapat prajurit-prajurit yang harus menyesuaikan diri dengan segala lapisan rakyat yang ada di Lemah Warah. Ada diantara mereka yang harus berujud dan bersikap sebagaimana orang-orang kaya. Ada yang harus menyatakan dirinya sebagai pedagang dan saudagar. Tetapi ada yang harus bersikap seperti bangsawan dan ada pula sebagaimana mereka hadapi saat itu.

Akuwu Lemah Warah tersenyum. Katanya, “Apakah kau heran melihat mereka?”

Mahisa Murti lah yang menggeleng. Katanya, “Kami dapat mengerti.”

“Tentu,” berkata Akuwu Lemah Warah, “kalian pernah berada dalam lingkungan petugas sandi.”

Sambil memperkenalkan orang-orang itu, Akuwu Lemah Warah berkata, “bersikaplah wajar. Keduanya juga petugas sandi yang berpengalaman.”

Orang-orang itu tersenyum. Seorang diantara mereka berkata, “Ampun Akuwu. Hamba menjadi cemas pada diri hamba sendiri. Jika sikap ini kemudian menjadi kebiasaan hidup hamba sehari-hari.”

Akuwu Lemah Warah tertawa. Katanya, “Bukankah peran seperti ini tidak harus kau lakukan terus-menerus sepanjang tahun? Bukankah para petugas yang berperan seperti kalian ini berganti dalam waktu empat bulan sekali?”

“Dalam empat bulan itu Akuwu, rasa-rasanya hamba menjadi masak,” jawab petugas sandi itu sambil tertawa.

“Satu ujian jiwani bagi kalian dalam tugas kalian,” berkata Akuwu. Lalu “Nah, sekarang kalian benar-benar dihadapkan kepada tugas yang sesuai. Kalian harus menghubungi orang-orang Manik Wungu.”

“Orang-orang Manik Wungu,” bertanya seorang diantara mereka, “apakah yang harus hamba lakukan atas orang-orang Manik Wungu itu.”

“Hubungi mereka,” berkata Akuwu yang kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi di padepokan yang semula disebut Suriantal, namun yang kemudian bernama Bajra Seta.

Orang-orang yang berwajah kasar dan keras itu mengangguk-angguk. Seorang diantara berkata, “Agaknya memang kamilah diantara para petugas sandi yang paling tepat datang kepada mereka. Hamba mengenal satu dua diantara mereka.”

“Nah,” berkata Akuwu, “usahakan untuk mendapat keterangan, apakah yang akan mereka lakukan, bulan depan di saat purnama naik.”

Orang-orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu Akuwu berkata selanjutnya, “Terserah kepada kalian. Apakah kalian memerlukan kawan sedikit atau banyak. Atau bahkan kalian menganggap bahwa justru cukup dua orang saja diantara kalian yang akan melakukannya.”

Orang yang agaknya pemimpin diantara mereka itu pun berkata, “Baiklah Akuwu. Perkenankanlah kami membicarakannya. Menyusup diantara orang-orang Manik Wungu bukan tugas yang ringan. Karena itu kami harus benar-benar siap menghadapi segala kemungkinan. Sebagaimana Akuwu ketahui, orang-orang Manik Wungu adalah iblis-iblis yang aneh.”

“Terserahlah,” berkata Akuwu, “aku percaya kepada kalian. Namun kalian pun harus mencoba untuk mengetahui, apakah ada perguruan lain yang berhubungan dengan padepokan Manik Wungu itu. Perguruan yang mengaku bernama Suriantal atau cabang ilmu keturunannya. Kau harus berusaha menemukan orang-orang bertongkat untuk mulai dengan penyelidikan yang akan kau lakukan berikutnya.”

“Hamba Akuwu,” jawab pemimpin mereka, “segalanya akan kami pelajari sehingga kami akan menemukan satu kesimpulan yang berarti bagi tugas kami.”

“Baiklah,” berkata Akuwu, “aku menunggu sampai besok. Kalian harus sudah memberikan laporan kepadaku.”

Orang-orang kasar itu pun mengangguk hormat. Kemudian mereka meninggalkan ruang itu. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menarik nafas dalam-dalam.

“Apakah kau pernah membayangkan untuk berperan seperti orang-orang itu?” bertanya Akuwu Lemah Warah.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Dengan nada datar Mahisa Murti berkata, “Yang pernah kami lakukan tidak lebih dari pada menjadikan diri kami pengembara. Atau barangkali lebih rendah sedikit derajadnya dari seorang pengembara. Tetapi tidak menjadi orang-orang sekasar itu. Tetapi ternyata bahwa cara ini pun akan baik juga dilakukan.”

“Aku menghadapi seribu masalah disini,” berkata Akuwu Lemah Warah, “karena itu belajar dari pengalaman, aku memerlukan orang-orang seperti itu. Ternyata kali ini ada juga gunanya, di samping hasil yang memang pernah mereka capai sebelumnya untuk kepentingan ketenangan dan ketentraman di Pakuwon Lemah Warah ini.”

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka mengakui sepenuhnya keterangan Akuwu Lemah Warah yang telah banyak sekali belajar dari pengalaman. Namun yang kemudian mereka pikirkan adalah, bahwa mereka justru akan duduk-duduk bertopang dagu di Pakuwon Lemah Warah sementara para petugas sandi dari Lemah Warah lah yang bekerja keras bagi mereka.

Karena itu, tiba-tiba Mahisa Pukat berkata, “Bagaimana jika kami berdua ikut bersama mereka dengan cara sebagaimana mereka lakukan. Berperan menjadi orang-orang sekasar itu agaknya justru lebih mudah daripada berperan menjadi seorang yang lembut dan berbudi tinggi.”

Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum, “Agaknya sulit bagi kalian. Apalagi dihadapan orang-orang Manik Wungu. Karena itu, tunggu sajalah disini. Semuanya akan dapat mereka selesaikan dengan baik, sehingga kalian akan dapat mengurai dan kemudian menentukan langkah-langkah yang patut kalian ambil.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Namun nampak bahwa ada perasaan kecewa pada keduanya. Agaknya keduanya akan lebih mantap jika mereka diperkenankan untuk ikut serta meskipun keduanya harus membuat diri mereka sebagaimana para petugas sandi itu.

Namun dalam pada itu Akuwu Lemah Warah pun berkata, “Anak-anak muda. Ada keberatan lain yang harus dipertimbangkan. Jika ternyata salah seorang diantara kelima orang bertongkat yang datang ke padepokan kalian itu ada di padepokan Manik Wungu dan melihat kehadiran kalian, akibatnya akan menjadi gawat.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk, sehingga akhirnya Mahisa Murti berkata, “Baiklah Akuwu. Kami berdua akan tinggal disini untuk menunggu, meskipun dengan demikian, rasa-rasanya kami tidak mampu berbuat berlandaskan tenaga kami sendiri. Kami hanya akan memetik hasilnya tanpa mau melakukan kerja.”

“Bukan kau yang ingin berbuat demikian,” berkata Akuwu Lemah Warah, “tetapi aku menasehatkan kalian berbuat demikian jika kalian masih menganggap aku sebagai orang tuamu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Mahisa Murti menjawab, “Kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya.”

Akuwu pun kemudian tersenyum. Katanya, “Sudahlah. Kalian sudah sepantasnya beristirahat setelah kerja keras sejak kau mulai menyiapkan patung batu yang menjadi rebutan itu dan terakhir kalian harus menghalau orang-orang Windu Putih.

“Tetapi sebagian dilakukan oleh kakang Mahisa Bungalan,” jawab Mahisa Murti.

“Bagaimanapun juga kalian tentu juga merasa letih. Belum lagi kerja kalian membangun kembali padepokan yang rusak itu. Kemudian ketegangan jiwa karena kehadiran orang-orang bertongkat yang mengaku datang dari perguruan Suriantal yang tersebar di empat padepokan,” berkata Akuwu.

“Sekali lagi, kami mengucapkan terima kasih,” sahut Mahisa Murti.

Demikianlah, maka sejak hari itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru sempat beristirahat. Mereka menjadi tamu yang dihormati di istana Akuwu Lemah Warah. Namun dengan demikian, mereka justru merasa kebingungan. Tidak ada apa-apa yang pantas mereka lakukan.

Agaknya Akuwu mengerti kegelisahan itu. Karena itu, maka di hari-hari berikutnya keduanya telah diajaknya masuk ke dalam sanggar. “Kita isi waktu kalian dengan bermain-main di dalam sanggar,” berkata Akuwu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berkeberatan. Ternyata mereka memang lebih senang berada di dalam sanggar daripada sekedar duduk, bangkit, berjalan hilir mudik di halaman, berbicara ke sana-kemari. Apalagi jika Akuwu sedang melakukan tugasnya.

Di sanggar mereka dapat melupakan waktu dengan berlatih dan berusaha menemukan perkembangan baru dari ilmu yang telah mereka miliki. Sedangkan di waktu senggang, maka bersama Akuwu mereka dapat menemukan perbandingan bagi ilmu mereka.

Demikian Akuwu Lemah Warah yang tidak pernah menemukan kawan yang seimbang untuk berlatih, kehadiran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata memberikan arti yang besar baginya. Anak-anak muda yang sudah mendapat tempaan dari berbagai pihak itu ternyata telah memiliki ilmu yang tinggi.

Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada di Pakuwon Lemah Warah, maka beberapa orang petugas sandi telah berangkat. Atas persetujuan Akuwu, yang kemudian berangkat adalah empat orang yang terbagi menjadi dua kelompok masing-masing dengan dua orang. Tugas mereka adalah menghubungi orang-orang padepokan Manik Wungu. Karena diantara mereka terdapat orang yang telah mengenal penghuni padepokan itu, maka diharapkan bahwa tugas mereka akan dapat berhasil.

Ternyata para petugas sandi itu benar-benar mampu membawakan peranan mereka dengan baik. Di perjalanan mereka segera menjadi bahan pembicaraan. Meskipun tidak ada korban yang jatuh, namun orang-orang di sepanjang jalan yang mereka lalui, menilai mereka sebagai orang-orang liar yang tidak mengenal martabat kemanusiaan mereka.

“Tetapi mereka bukan orang Manik Wungu,” berkata orang-orang yang pernah menjumpai para petugas sandi itu.

“Dari mana kau tahu?” bertanya kawannya.

“Setiap kali mereka sesumbar. Mereka datang dari pusatnya bumi. Mereka agaknya memang datang dari Barat,” sahut orang yang pernah mendengar orang-orang itu sesumbar.

“Biar saja. Pada suatu saat mereka akan bertemu dengan orang-orang Manik Wungu. Mereka akan berbicara dan bersikap sama-sama liar dan kasar,” berkata salah seorang dari orang-orang padukuhan itu.

Sebenarnyalah, kehadiran orang-orang itu memang terdengar oleh orang-orang Manik Wungu. Karena itu, padepokan Manik Wungu telah mengirim beberapa orang untuk membuktikan, apakah benar bahwa di luar padepokan, di padukuhan-padukuhan ada orang-orang liar yang mengganggu.

Sementara itu orang-orang Manik Wungu sendiri tidak pernah melakukannya terhadap orang-orang terdekat, karena mereka lebih banyak menjangkau daerah yang jauh. Hanya dalam saat-saat tertentu sajalah mereka memang berlaku kasar dan liar kepada para penghuni padukuhan yang terdekat. Bukan untuk merampok atau merampas harta benda, karena pada umumnya mereka memang orang-orang yang tidak kaya.

Tetapi jika orang-orang padepokan memerlukan bantuan tenaga mereka untuk satu kepentingan. Yang pernah terjadi adalah untuk membantu memperbaiki barak-barak di padepokan, serta membuat parit bagi lahan yang dibuat oleh orang-orang Manik Wungu beserta bendungannya.

Ketika orang-orang Manik Wungu menemukan para petugas sandi dari Pakuwon Lemah Warah itu, memang terjadi beberapa benturan kecil. Namun para petugas sandi itu segera menyebut beberapa nama dari orang-orang Manik Wungu yang pernah mereka kenal.

“Kenapa Kebo Rupak tidak bersama kalian,” bertanya salah seorang dari petugas sandi itu.

“Kau kenal Kebo Rupak?” bertanya orang Manik Wungu.

“Aku ingin bertemu dan berbicara dengan orang itu,” berkata salah seorang diantara para petugas sandi.

Orang-orang Manik Wungu itu termangu-mangu. Kebo Rupak merupakan salah seorang yang berpengaruh diantara orang-orang Manik Wungu itu. Karena itu, maka salah seorang diantara mereka berkata, “Marilah. Jika kau ingin berbicara dengan kakang Kebo Rupak. Ikut aku.”

“Kenapa tidak kau suruh saja ia kemari?” bertanya petugas sandi itu.

“Kalianlah yang memerlukannya. Kalianlah yang wajib datang kepadanya,” berkata salah seorang dari mereka.

“Baiklah,” berkata salah seorang petugas sandi, “kami akan datang ke padepokanmu.”

Keempat petugas sandi yang bertemu di tempat yang sudah ditentukan itu pun kemudian telah pergi ke padepokan Manik Wungu. Padepokan yang dikenal sebagai sarang siluman yang menggetarkan jantung.

Demikian keempat orang itu mendekati pintu gerbang, maka orang yang disebut Kebo Rupak itu telah berdiri di tengah pintu. Sambil menyilangkan tangan di dadanya ia menunggu kedatangan empat orang yang akan menemuinya.

Ketika dilihatnya salah seorang yang dikenalnya diantara keempat petugas sandi itu, maka tiba-tiba saja mulutnya mengumpat kasar. Sambil tertawa berkepanjangan ia berkata, “jadi kau itu Gagak Sampir.”

Yang disebut Gagak Sampir pun mengumpat dengan kata-kata kotor. Hampir berteriak ia berkata kasar, “Nyawamu ternyata masih juga liat Kebo dungu.”

Kebo Rupak tertawa semakin keras. Sementara itu, seorang diantara petugas sandi itu berdesis, “Nama Gagak Sampir akan menjadi lebih terkenal dari namamu sendiri.”

“Jika kata-katamu mereka dengar, kita akan dibantai di sini,” desis orang yang disebut Gagak Sampir itu.

Kawan-kawannya tersenyum. Namun seorang diantara mereka berkata, “Aku masih saja sering lupa akan namaku sendiri. Tetapi aku juga mengenal dua orang penghuni padepokan ini.”

“Ya. Tentu Terung dan Damplak Paten,” berkata orang yang menyebut dirinya Gagak Sampir. “Bukankah kita mengenal mereka dalam tugas yang sama?”

Kawannya tidak sempat menjawab. Mereka menjadi semakin dekat dengan pintu gerbang itu. Pertemuan itu nampaknya merupakan pertemuan yang menggembirakan. Dengan ungkapan yang khusus mereka menyatakan kegembiraan hati mereka. Umpatan kasar, kata-kata kotor dan sikap yang mendebarkan.

“Marilah. Masuklah,” berkata orang yang disebut Kebo Rupak itu, “kau akan melihat isi dari rumah kami.”

“Aku pernah datang kemari beberapa waktu yang lalu,” berkata petugas sandi yang disebut Gagak Sampir itu. Lalu katanya, “Kawanku yang satu ini pernah juga datang kemari.”

Kebo Rupak itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun mengumpat kasar. Katanya, “Kau itu Gempol. He, bukankah namanya Gempol.”

“Bukan,” jawab petugas sandi yang disebut Gempol itu, “itu hanya nama panggilan. Namaku bukan Gempol.”

“Siapa?” bertanya Kebo Rupak.

“Namaku Kuda Wisesa,” jawab Gempol.

Kebo Rupak tertawa berkepanjangan. Dengan nada tinggi ia berkata, “Kau memang pembual. Orang seperti kunyuk tidak pantas bernama Kuda Wisesa. Namamu memang Gempol. Gempol kotor.”

Orang-orang itu tertawa. Gagak Sampir ikut tertawa. Dan dua orang petugas sandi yang lain pun tertawa pula. Sementara Gempol itu pun akhirnya ikut pula tertawa.

Mereka pun kemudian memasuki padepokan yang disebut sarang Siluman itu. Bagi petugas yang menyebut dirinya Gagak Sampir dan yang dipanggil Gempol itu memang pernah melihat, meskipun hanya sekilas. Tetapi dua orang petugas sandi yang lain, yang belum pernah memasuki padepokan itu, kulitnya terasa meremang pula. Mereka telah membuat diri mereka seperti orang-orang liar. Namun ternyata isi dari padepokan itu terasa lebih liar dari yang mereka duga.

Namun dalam pada itu, Gagak Sampir berkata, “Aku tidak akan lama berada di sarang iblis ini. Aku akan segera melanjutkan perjalananku.”

“Kemana?” bertanya Kebo Rupak.

“Kau pernah bertanya begitu kepada dirimu sendiri jika kau berada di pengembaraanmu?” Gagak Sampir justru bertanya.

Kebo Rupak tertawa. Katanya, “Kau masih juga gila seperti dahulu. Tetapi marilah, kau harus singgah barang semalam disini.”

Gagak Sampir mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi tidak lebih semalam. Aku dapat menjadi gila terlalu lama berada di sarangmu yang kotor ini.”

“He, sebut sarangmu sendiri. Aku memang belum pernah melihat. Tetapi menilik ujudmu, sarangmu tidak lebih baik dari kandang kambing di belakang padepokan ini,” geram Kebo Rupak.

Gagak Sampir tertawa. Jawabnya, “Tidak. Kau salah. Justru karena aku tidak mempunyai rumah tempat tinggal.”

Kebo Rupak tertawa keras-keras, sehingga perutnya terguncang-guncang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Tinggallah bersama kami disini. Kau pantas untuk berada di tempat kami, karena kau ternyata memiliki sifat-sifat iblis yang paling jahanam. Disini kau akan mendapat tempat, karena hanya laki-laki yang sadar akan kelaki-lakiannya yang dapat tinggal bersama kami.”

“Itulah sebabnya padepokan ini disebut sarang siluman,” sahut Gagak Sampir.

“Aku senang akan nama itu,” jawab Kebo Rupak. Lalu “Mari, kita pergi ke barak itu.”

Ketika mereka mendekati barak itu, mereka terkejut ketika dua orang perempuan keluar dari dalamnya. Namun kedua perempuan itu pun tidak lebih dari iblis betina yang mendebarkan. Begitu keduanya melihat keempat orang yang datang bersama Kebo Rupak, maka kedua perempuan itu telah berhenti. Tingkah laku mereka segera berubah. Selangkah demi selangkah mereka mendekati keempat orang itu. Pada bibirnya nampak senyum yang mendebarkan.

“Siapakah mereka?” desis salah seorang dari perempuan itu.

Tetapi sebelum seorang pun menjawab, tiba-tiba saja Gagak Sampir telah menariknya. Dengan kuat dipegangnya pinggang perempuan itu. Beberapa kali perempuan itu diputarnya. Kemudian dipegangnya dagunya dan diangkatnya wajah perempuan itu. Namun kemudian didorongnya perempuan itu menjauh.

Belum lagi perempuan itu berbuat sesuatu, perempuan yang lain telah ditariknya dan diperlakukannya sama. Namun Gagak Sampir sempat memandanginya agak lama. Baru kemudian perempuan itu pun telah didorongnya pula.

“Anak iblis,” geram kedua perempuan itu hampir bersamaan.

Gagak Sampir tertawa keras-keras. Katanya kepada Kebo Rupak, “Kaukah yang menyimpan setan betina ini?”

“Persetan,” geram Kebo Rupak, “kenapa?”

“Berapa umurnya?“ tiba-tiba saja Gagak Sampir bertanya.

“Iblis,” geram Kebo Rupak, “untuk apa kau bertanya tentang umurnya?”

“Kenapa kau tidak mencari yang lebih segar dari perempuan-perempuan yang sudah menjadi segemuk kerbau?” desis Gagak Sampir.

Sebelum Kebo Rupak menjawab, ternyata salah seorang perempuan itu telah meloncat maju sambil menampar pipi Gagak Sampir. Namun Gagak Sampir tertawa saja tanpa menghiraukannya. Bahkan katanya, “Ternyata lebih baik bagiku untuk mencari perempuan di sepanjang perjalanan dari perempuan yang telah terlalu lama kau simpan disini.”

Kebo Rupak mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja ia tertawa bagaikan meledak. Katanya, “Iblis kau. Demit, thethekan. Kau masih saja hantu bagi perempuan di sepanjang jalan yang kau lalui. He, apakah kawan-kawanmu juga kau ajari begitu?”

“Aku tidak pernah mengajarinya. Jika Gempol itu melampaui kerakusanmu, itu adalah karena tingkahnya sendiri,” jawab Gagak Sampir.

“Aku?” bertanya Kebo Rupak.

“Ya. Aku tidak bertanggung jawab jika kedua perempuan itu nanti malam dibawa Gempol keluar padepokanmu dan besok kalian temukan keduanya pingsan di semak-semak,” jawab Gagak Sampir.

“Gila,” tetapi Kebo Rupak tertawa berkepanjangan.

Sementara itu kedua perempuan yang tidak kalah kasarnya itu tiba-tiba mengumpat pula. Dengan serta merta keduanya segera meninggalkan orang-orang yang dianggapnya melampaui orang gila di sarang siluman itu.

Kebo Rupak justru tertawa semakin keras. Katanya, “Ternyata kau dapat juga menakuti-nakuti perempuan itu he? Perempuan yang kami anggap berhati batu.”

Gagak Sampir tidak menjawab. Namun mereka pun kemudian mengikuti Kebo Rupak memasuki sebuah barak yang tidak terlalu besar. Mereka tertegun ketika mereka melihat seorang yang sudah melampaui pertengahan abad duduk bersila di sebuah amben yang cukup besar. Rambut dan janggutnya yang agak panjang telah menjadi keputih-putihan. Sementara tatapan matanya masih memancarkan api kehidupan yang membara.

“Siapakah mereka?” tiba-tiba saja orang tua itu berdesis.

“Kawan-kawanku. Orang-orang liar yang tidak mempunyai tempat tinggal. Mereka mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Beberapa saat yang lewat mereka pernah singgah sebentar di padepokan ini. Kini mereka singgah lagi,” jawab Kebo Rupak.

“Apakah mereka bukan orang-orang berbahaya?” bertanya orang tua itu.

“Mereka memang berbahaya bagi perempuan. Tetapi tidak bagi kita,” jawab Kebo Rupak.

“Jika demikian jauhkan perempuan-perempuanku daripadanya. Yang lain aku tidak peduli,” berkata orang tua itu.

Kebo Rupak tertawa. Namun dalam pada itu, petugas-petugas sandi itu mengumpat didalam hatinya.

“Apa yang mereka kehendaki sekarang?” bertanya orang tua itu pula.

“Aku belum menanyakannya,” jawab Kebo Rupak. Lalu kepada Gagak Sampir ia bertanya, “He, apa yang kau kehendaki sekarang he?”

Tetapi Gagak Sampir menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak menghendaki apa-apa. Kebetulan saja aku lewat di daerah ini. Beberapa orang Manik Wungu ternyata telah menghalangi jalanku. Karena itu aku justru singgah disini.”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “jadi orang-orang inilah yang membuat orang-orang padukuhan gelisah.”

“Ya. Terutama perempuan,” sahut Kebo Rupak.

“Bohong,” potong Gagak Sampir, “aku tidak mengganggu perempuan yang kebetulan tidak aku jumpai di jalan.”

Kebo Rupak mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun mengumpat sambil tertawa, “Kau memang gila. Sudah tentu bahwa kau tidak akan mengganggu perempuan yang tidak kau jumpai,” jawab Gagak Sampir.

“Persetan,” geram orang tua itu, “bawa mereka pergi.”

Kebo Rupak pun kemudian telah membawa keempat orang petugas sandi yang membuat diri mereka sebagaimana orang-orang padepokan Manik Wungu itu meninggalkan ruangan itu. Mereka telah memasuki ruangan lain yang lebih luas. Beberapa orang berada dalam ruangan itu. Namun agaknya mereka berada dibawah pengaruh Kebo Rupak, hingga ketika Kebo Rupak memasuki ruangan itu, maka mereka pun beringsut pergi.

“He,” geram Kebo Rupak, “kau cacing hitam. Panggil orang di dapur. Aku mempunyai empat orang tamu.”

Orang yang disebut cacing hitam itu pun mengangguk sambil menjawab, “Baik Ki Lurah.”

“Jadi kau sekarang menjadi lurah,” tiba-tiba dahi Gagak Sampir berkerut.

“Sudah lama aku menjadi lurah mereka,” jawab Kebo Rupak, “marilah. Duduklah.”

Keempat orang petugas sandi itu pun kemudian duduk di sebuah ruangan yang lebih luas meskipun sama kotornya dengan ruang-ruang yang lain. Beberapa saat kemudian, maka seorang telah menghidangkan minuman panas bagi keempat orang itu. Wedang sere dengan gula kelapa.

“Bawa makanan itu kemari,” berkata Kebo Rupak.

“Makanan yang mana?” bertanya orang yang menghidangkan minuman itu.

“Aku injak keningmu yang keriput itu. Kau mempunyai makanan atau tidak? “ Kebo Rupak hampir berteriak.

“Kaspa yang direbus dengan badek,” jawab orang itu.

“Nah. Bawa itu kemari. Jangan bertanya lagi. Perutku menjadi mual mendengar pertanyaanmu,” geram Kebo Rupak.

Orang itu kemudian beringsut meninggalkan bilik itu. Namun sebentar lagi ia memang membawa kaspa yang direbus dengan badek. Bahkan masih hangat, sehingga asap yang putih mengepul menebarkan bau sedap.

“Kau cium bau sedap itu?” bertanya Kebo Rupak.

“Sedikit. Tetapi bau ampak bilik ini lebih banyak mengganggu,” jawab Gagak Sampir.

“Setan alas, jangan banyak bicara. Makan saja kaspa yang direbus dengan badek ini,” geram Kebo Rupak.

Demikianlah, sejenak kemudian mereka pun telah mengunyah ketela kaspa yang direbus dengan cairan dari manggar kelapa yang biasanya dibuat menjadi gula kelapa. Ternyata bahwa keempat orang petugas sandi itu memang telah berhasil menyesuaikan diri dengan sikap orang-orang Manik Wungu sehingga agaknya diantara mereka memang sudah tidak ada jarak lagi.

Sehari itu serta malam harinya, para petugas sandi itu berada di padepokan Manik Wungu. Di malam hari mereka sempat berbicara tidak saja dengan Kebo Rupak, karena kemudian telah hadir pula orang yang bernama Terung dan Damplak Paten.

Pada kesempatan yang tidak semata-mata, Gagak Sampir sempat bertanya, “Apa rencana padepokan ini dalam waktu dekat? Atau mungkin padepokan ini dapat memberi kesempatan kepada kami untuk ikut serta dalam satu kerja yang besar.”

“Kau hanya membual saja sejak dahulu,” jawab Kebo Rupak, “sekarang saja kau sudah begitu tergesa-gesa untuk pergi. He, apakah kawanmu akan mengambil kedua perempuan itu?”

Gagak Sampir mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian berpaling kepada Gempol sambil berkata kasar, “Ambil perempuan seperti kerbau itu jika kau ingin.”

“Bukan kebiasaanku membawa kerbau ke pembaringan. Beri aku yang lain. Apakah ada?” bertanya Gempol.

Kebo Rupak mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa. Katanya, “Minta kepada guru. Jika ia berkenan, kau akan diberinya.”

Tetapi Gempol menggeleng. Katanya, “Tidak sepantasnya. Meskipun ia menyimpan sepuluh, tetapi kita dapat terkutuk karena itu.”

Kebo Rupak tertawa keras-keras. Katanya, “He, mengenal juga unggah-ungguh he?”

“Jangan hiraukan anak demit itu,” berkata Gagak Sampir, “kau akan mengatakan apa tentang rencanamu?”

“Kau mau ikut? Kami memang memerlukan banyak kawan,” berkata Kebo Rupak.

“Untuk apa?” bertanya Gagak Sampir.

“Orang-orang Suriantal minta kami untuk membantunya,” berkata Kebo Rupak.

“Suriantal? He, apakah kau bermimpi? Suriantal sudah hancur menjadi debu,” berkata Gagak Sampir.

Kebo Rupak tertawa pendek. Katanya, “Ada satu dua orang Suriantal yang dapat lolos. Mereka kemudian menggabungkan diri dengan perguruan Randu Papak. Namun mereka tidak mau melepaskan ciri dan sebutan mereka sebagai orang-orang dari perguruan Suriantal. Sementara itu, orang-orang Randu Papak juga tidak berkeberatan. Mereka memberikan tempat bagi orang-orang Suriantal itu, bahkan membiarkan orang-orang yang kemudian menjadi pengikut dari sisa-sisa orang Suriantal itu berada di padepokan Randu Papak itu pula.”

“Apakah tidak terjadi benturan diantara mereka?” bertanya Gagak Sampir.

“Tidak,” jawab Kebo Rupak, “agaknya orang-orang yang masih menyebut dirinya orang-orang Suriantal itu dapat menempatkan dirinya. Dengan demikian, maka mereka dapat hidup bersama-sama di dalam satu padepokan.”

Gagak Sampir mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Apa keuntungan kalian membantu orang-orang Suriantal?”

Kebo Rupak tertawa. Katanya, “Satu pengalaman menarik. Orang-orang Suriantal itu ingin merebut kembali padepokannya yang diduduki orang lain. Nah, besok tengah bulan depan, kita akan datang untuk mengambil padepokan itu kembali.”

“Siapa saja yang akan ikut bersama kalian?” bertanya Gagak Sampir, meskipun ia agak ragu-ragu juga. Jika Kebo Rupak itu mencurigainya, maka akibatnya akan buruk sekali.

Untunglah Kebo Rupak itu tidak begitu menghiraukan pertanyaan itu. Namun demikian ia menjawab, “Hanya kami. Padepokan ini dan padepokan para pelarian yang kehilangan induknya dan berkumpul di padepokan yang disebut Randu Papak. Namun justru karena itu, maka padepokan Randu Papak adalah padepokan yang paling gila yang pernah aku ketahui.”

“Uh,” Gagak Sampir menggeleng, “tidak ada orang yang lebih liar dari kalian disini. Kau kira aku percaya bahwa ada sekelompok orang yang lebih gila dari kalian? Orang-orang Suriantal bukan sejenis kalian. Mereka adalah orang-orang yang tahu diri, mengenal diri mereka sendiri dan lingkungannya. Itulah agaknya mereka dapat menyesuaikan diri dengan tempat tinggal mereka yang baru.”

Kebo Rupak termangu-mangu. Namun tiba-tiba suara tertawanya meledak. Katanya disela-sela tertawanya, “Sejak kapan kau mengerti tentang hubungan antara sesama kita? He, Gagak Sampir. Kau jangan membual disini. Bercerminlah di belumbang di belakang padepokan ini. Lihat mukamu yang kasar dan matamu yang liar itu.”

Gagak Sampir mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku tidak mengatakan tentang diriku. Tetapi tentang orang-orang Suriantal.”

“Orang-orang Suriantal adalah orang-orang yang cengeng. Pengecut dan tidak tahu diri. Justru tidak tahu diri. Karena itu, maka kami telah menerima ajakannya. Kami akan bersama-sama dengan unsur-unsur yang benar-benar laki-laki dari padepokan Randu Papak. Kami rebut padepokan Suriantal itu, dan kita selesaikan pula orang-orang Suriantal itu sendiri. Kita akan menemukan sebuah padepokan yang baru yang barangkali lebih pantas dari padepokan kita sendiri,” berkata Kebo Rupak.

“Apakah kami juga dapat ikut merasa menemukan?” bertanya Gagak Sampir.

“Anak iblis,” geram Kebo Rupak, “ikut kami. Kalian akan ikut merasa menemukan.”

“Kalian perlakukan kami seperti orang-orang Suriantal!” bertanya Gagak Sampir.

“Jika kau berbuat seperti orang-orang Suriantal, maka kalian juga akan kami perlakukan seperti orang-orang Suriantal,” jawab Kebo Rupak.

Gagak Sampir mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian bertanya, “Jika tidak?”

“Tentu saja tidak,” jawab Kebo Rupak.

Gagak Sampir memandang ketiga orang kawannya. Lalu katanya kepada Kebo Rupak, “besok aku akan pergi. Tunggu sampai pertengahan bulan depan. Jika kau berminat, aku akan datang. Jika ternyata ada tugas lain yang lebih menguntungkan, aku tidak akan datang.”

“Kau benar-benar setan alasan,” berkata Kebo Rupak, “tugas lain yang mana yang kau maksud? Kau dapat merampok, membajak, menyamun dan barangkali merampas perempuan kapan saja. Sementara kau dapat hadir disini sebelum purnama naik. Lima hari sebelumnya, karena kami akan berangkat empat hari sebelum purnama naik. Singgah di padepokan Randu Papak dan bersama-sama berangkat ke padepokan Suriantal.”

“Akan aku pikirkan. Tetapi aku masih menghitung, apa yang akan aku dapat dari perebutan padepokan itu. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa aku akan ikut. Barangkali ada sesuatu yang dapat dirampas di padepokan itu,” berkata Gagak Sampir.

“Terserah kepadamu. Itu urusanmu,” berkata Kebo Rupak.

“Tetapi tolong sebutkan, apakah padepokan Randu Papak itu lebih besar dari padepokan ini? Kenapa kalian yang harus singgah di padepokan itu, bukan padepokan itu yang berangkat lebih dahulu dan singgah disini, jika padepokan ini memang lebih besar dan berwibawa,” bertanya Gagak Sampir.

Kebo Rupak mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Kami memperhitungkan waktu. Padepokan ini memang lebih besar dari padepokan Randu Papak meskipun beberapa orang pelarian dan sisa-sisa orang-orang Suriantal sebagian ada di padepokan itu. Meskipun dengan menampung pelarian-pelarian itu mereka ingin menjadi sebuah padepokan yang besar, tetapi sebenarnyalah, padepokan ini lebih besar. Tetapi arah perjalanan kamilah yang memberikan kemungkinan lain dari wibawa sebuah padepokan.”

Gagak Sampir mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Bahkan tiba-tiba saja ia berkata, “Tanpa perempuan, mata Gempol cepat terpejam. Tidurlah jika kau mengantuk. Atau kau ambil kerbau betina itu.”

Gempol mengerutkan keningnya. Bagaimanapun juga ia membiasakan diri dengan sikap dan sifat yang kasar dan liar, namun mendengar kata-kata kawannya itu, rasa-rasanya kulitnya masih juga meremang. Namun ia menjawab juga, “Persetan. Aku memang ingin tidur. Lebih baik bermimpikan seorang perempuan cantik daripada kerbau betina itu.”

Kebo Rupak pun tertawa. Katanya, “Aku sembunyikan perempuan cantik itu. Kalian dapat mencari sendiri di sepanjang jalan.”

Demikianlah, maka Gagak Sampir pun akhirnya mendapat kesempatan pula untuk tidur, meskipun sudah lewat tengah malam. Pagi-pagi, ketika matahari mulai memancarkan sinarnya ke dedaunan, Gagak Sampir dan kawan-kawannya sudah siap untuk berangkat. Kebo Rupak ternyata masih belum bangun ketika matahari mulai memanjat langit.

“Aku akan minta diri,” berkata Gagak Sampir kepada salah seorang penghuni padepokan itu.

“Aku tidak berani membangunkannya,” berkata orang itu.

“Kapan biasanya kerbau itu bangun?” bertanya Gagak Sampir.

“Menjelang tengah hari,” jawab orang itu.

Gagak Sampir mengangguk-angguk. Sebenarnya ia memang agak bimbang. Jika ia tidak menunggunya, mungkin akan dapat menimbulkan kecurigaan terhadap maksud kehadirannya di padepokan itu. Jika ia harus menunggu, itu berarti keberangkatan mereka tertunda sampai menjelang tengah hari. Namun Gagak Sampir tidak mempunyai pilihan lain. Ketika kemudian ia menemukan Damplak Paten, diajaknya orang itu berkeliling padepokan.

Kawan-kawan Gagak Sampir pun memperhatikan padepokan itu dengan saksama tanpa menimbulkan kecurigaan. Mereka menduga-duga kekuatan yang ada di padepokan itu. Ternyata bahwa padepokan itu memang pantas disebut sarang siluman, karena orang-orang yang ada di padepokan itu merupakan orang-orang yang sifat, sikap dan tingkah lakunya memang menggetarkan tengkuk. Bahkan beberapa orang perempuan yang nampak di padepokan itu pun agaknya adalah iblis-iblis betina yang liar.

Untuk beberapa saat mereka berjalan-jalan berkeliling padepokan. Namun kemudian mereka pun telah memasuki bilik yang dipergunakan oleh Kebo Rupak menerima para petugas sandi itu di hari sebelumnya.

“Ia akan segera bangun,” berkata Damplak Paten.

“Kami ingin berjalan selagi matahari belum terlampau panas,” berkata Gagak Sampir.

Sebenarnyalah, bahwa Kebo Rupak tidak terlalu lama lagi telah terbangun. Dari biliknya di sebelah ruang itu, terdengar ia mengumpat, “Masih sepagi ini kalian telah ribut saja he?”

“Kami akan berangkat,” berkata Gagak Sampir.

“Berangkat ke mana?” bertanya Kebo Rupak.

“Kami akan minta diri,” jawab Gagak Sampir, “seperti yang aku katakan kemarin. Kami akan meneruskan perjalanan.”

“Pergilah,” berkata Kebo Rupak sambil muncul di ruangan itu, “datanglah lima hari sebelum purnama. Aku benar-benar mengharap kau datang. Kita akan memasuki padepokan Suriantal dan mengambil sendiri apa yang kita inginkan di padepokan itu.”

“Aku akan memikirkannya,” berkata Gagak Sampir, “jika pekerjaanku selesai, aku akan datang.”

Petugas sandi dari Lemah Warah yang menyebut dirinya Gagak Sampir itu pun kemudian meninggalkan padepokan Manik Wungu bersama ketiga orang kawannya. Sebelum matahari terbenam, mereka telah berada di tempat yang jauh. Karena itu, maka mereka tidak lagi merasa cemas, bahwa tingkah laku mereka akan diketahui oleh orang-orang Manik Wungu.

Dalam pada itu, orang yang disebut Gagak Sampir itu pun bertanya kepada kawan-kawannya, “Apakah kita akan melihat-lihat padepokan Randu Papak?”

“Tidak banyak gunanya,” berkata seorang kawannya, “kita sudah mendapat keterangan tentang padepokan itu. Tidak sebesar padepokan Manik Wungu. Dengan demikian kita sudah dapat memberikan sedikit keterangan tentang kekuatan kedua padepokan itu. Dengan demikian, maka kedua anak muda dari Bajra Seta itu akan dapat memperhitungkan kekuatannya.”

“Jika demikian, maka kita dapat segera kembali ke Lemah Warah,” berkata petugas sandi yang disebut Gagak Sampir itu, “semakin cepat semakin baik.”

Demikianlah, keempat orang itu telah memutuskan untuk kembali ke Lemah Warah. Mereka telah mendapatkan beberapa keterangan yang akan dapat menjadi bahan yang penting bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Ternyata bahwa mereka berempat telah menempuh jalan kembali ke Lemah Warah. Di malam hari mereka berjalan menempuh jalan memintas. Mereka ingin segera sampai ke Pakuwon untuk dapat memberikan laporan tentang padepokan yang disebut Sarang Siluman itu.

Perjalanan kembali itu agaknya jauh lebih cepat dari saat mereka berangkat. Mereka tidak perlu memancing perhatian orang-orang padepokan Manik Wungu lagi. Namun mereka langsung menuju ke istana Akuwu Lemah Warah. Namun perjalanan itu tetap merupakan perjalanan yang panjang. Sehingga karena itu, maka keempat orang itu pun datang ke istana Akuwu dengan langkah yang letih.

Kedatangan keempat orang petugas sandi itu telah memberikan banyak sekali keterangan bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka telah memberikan gambaran kekuatan padepokan Manik Wungu dan sekaligus memperkirakan kekuatan padepokan Randu Papak.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengarkan keterangan itu dengan saksama. Namun mereka sudah mulai membuat perhitungan-perhitungan tentang kekuatan yang akan mereka hadapi, meskipun baru didalam angan-angan.

Akuwu Lemah Warah yang ikut mendengarkan keterangan para petugas sandinya, hanya mengangguk-angguk saja. Namun setelah keterangan itu selesai, maka katanya, “Pertimbangkan Putut-putut muda. Kalian dapat memperhitungkan kekuatan kalian. Nah, bukankah kalian ada diantara dua Pakuwon? Jika kalian memerlukan, kalian dapat menghubungi Pakuwon Lemah Warah atau Pakuwon Sangling. Namun jika kalian merasa akan dapat mengatasinya sendiri, maka kalian dapat melakukannya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun mereka masih belum dapat mengambil keputusan. Mereka tidak dapat mengatakan, bahwa mereka akan mohon bantuan Akuwu Lemah Warah atau Akuwu Sangling. Namun mereka pun belum dapat menentukan, bahwa mereka akan dapat mengatasi kehadiran padepokan-padepokan itu tanpa bantuan orang lain. Keduanya masih akan berbicara dengan Mahendra dan para pemimpin kelompok dari padepokan Bajra Seta.

Namun terbersit satu sikap, bahwa mereka harus berani tegak berdiri sendiri tanpa menggantungkan kepada orang lain. Namun mereka juga tidak akan menutup kemungkinan untuk bekerja sama dengan siapa pun juga menghadapi kekuatan-kekuatan hitam yang mengikatkan diri dalam kelompok-kelompok yang besar melampaui kemampuan dari padepokan mereka.

Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun kemudian telah mohon diri untuk kembali ke padepokannya. Masih banyak yang harus dilakukan menghadapi tingkah orang-orang Suriantal yang pernah melarikan diri dari padepokannya itu, namun yang kemudian telah menemukan tempat baru yang sesuai dengan perkembangan sikap mereka. Dengan dukungan lingkungan yang baru itu, maka orang-orang yang masih saja menyebut diri mereka orang-orang dari perguruan Suriantal itu ingin kembali dan menguasai padepokan yang pernah mereka tinggalkan.

Namun agaknya mereka akan menjadi sangat kecewa, karena orang-orang Manik Wungu ternyata sudah siap untuk membinasakan orang-orang Suriantal jika usaha mereka merebut padepokan itu berhasil. Bahkan tentu juga orang-orang Randu Papak, sehingga dengan demikian maka padepokan Bajra Seta akan jatuh ke tangan orang-orang Manik Wungu sepenuhnya.

“Baiklah,” berkata Akuwu Lemah Warah, “jika kalian memerlukan, jangan segan untuk menyampaikannya kepadaku atau kepada kakakmu, Akuwu Sangling. Bukan berarti bahwa kau masih belum dewasa, maksudku padepokan yang kau nama Bajra Seta itu, tetapi dengan pertimbangan kekuatan lawan yang sebenarnya. Perguruan yang telah masak sekalipun akan membuat perhitungan yang serupa. Mereka akan sama saja dengan membunuh diri jika mereka tidak mau melihat kenyataan apabila hal itu sudah diketahuinya lebih dahulu, bahwa kekuatan lawan berada di luar jangkauan kekuatan sendiri.”

“Terima kasih Akuwu,” jawab Mahisa Murti, “jika kami memerlukan bantuan, maka kami akan datang tanpa merasa segan. Kami memang harus mencari keseimbangan antara harga diri dan kenyataan yang kami hadapi. Apalagi perguruan kami yang masih baru itu, tentu sangat membutuhkan bimbingan dan bahkan perlindungan. Namun apabila menurut perhitungan kami, kami akan dapat mengatasinya, maka kami akan melakukannya sendiri."

“Bagus,” berkata Akuwu Lemah Warah. Lalu “Tetapi ingat, bahwa orang-orang Manik Wungu telah bergabung pula dengan orang-orang Randu Papak. Sementara itu, di padepokan Randu Papak terdapat orang-orang yang datang dari berbagai perguruan yang lain. Dengan demikian maka Bajra Seta tidak harus dengan serta merta merasa dirinya dewasa dan kuat untuk tegak tanpa kerjasama dengan siapa pun juga."

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk hormat. Mereka memang merasa bahwa masih terlalu banyak kekurangan yang terdapat di perguruan dan padepokannya yang baru. Namun demikian Mahisa Murti menjawab,

“Baiklah Akuwu. Kami mengucapkan terima kasih sebelumnya. Jika terasa betapa beratnya tekanan yang akan kami alami dengan kehadiran kedua padepokan itu, maka biarlah kami datang kembali untuk mohon batuan dari Akuwu Lemah Warah."

“Jangan segan,” berkata Akuwu, “ingat. Aku adalah pamanmu, sebagaimana Akuwu Sangling adalah kakakmu.”

“Terima kasih,” jawab Mahisa Murti sambil menundukkan kepalanya.

Namun dalam pada itu, keduanya benar-benar akan meninggalkan Pakuwon Lemah Warah di keesokan harinya. Beberapa kali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengulangi pernyataan terima kasihnya kepada Akuwu Lemah Warah dan kepada para petugas sandi yang telah berhasil mendapatkan gambaran tentang kekuatan yang akan datang ke padepokan Bajra Seta.

Ketika matahari terbit di hari berikutnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meninggalkan Pakuwon Lemah Warah. Akuwu masih memberikan beberapa pesan agar keduanya tidak merasa segan jika mereka memang memerlukan bantuan.

Di sepanjang perjalanan mereka kembali ke padepokan Bajra Seta, keduanya sempat membuat perhitungan kasar dari kekuatan kedua padepokan yang akan datang ke padepokan mereka, dibandingkan dengan kekuatan yang ada di padepokan mereka itu.

“Agaknya orang-orang dari kedua padepokan yang akan datang ke padepokan kita, memang lebih kuat dari orang-orang kita,” berkata Mahisa Murti.

“Bukan lebih kuat. Tetapi lebih banyak,” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Ya. Kau benar. Lebih banyak. Memang lebih banyak bukan berarti lebih kuat. Tetapi bahwa padepokan mereka disebut sarang siluman, tentu mempunyai arti tersendiri.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi jawabnya, “Mungkin mereka ditakuti karena kekasaran dan keliaran mereka. Bukan karena memiliki modal yang lebih berharga dari kemampuan orang-orang liar itu. Kita mempunyai ketahanan jiwani untuk mempertahankan hak kami. Sedangkan dari segi kewadagan, dinding-dinding padepokan kami akan menahan mereka, sehingga mereka harus memberikan korban pertama yang lebih besar.

Mahisa Murti tidak membantah, Perhitungan Mahisa Pukat dapat dimengerti. Namun jika kedua padepokan itu benar-benar mengerahkan kekuatan mereka, Mahisa Murti memang harus membuat pertimbangan-pertimbangan lain.

Demikianlah, perjalanan mereka kembali ke padepokan Bajra Seta tidak menjumpai hambatan apa pun juga. Perjalanan yang panjang itu memang cukup melelahkan. Tetapi kedua anak muda itu memiliki ketahanan tubuh yang tinggi, sehingga ketika mereka sampai di padepokannya, nampaknya ke duanya masih tetap segar. Setelah membersihkan dan membenahi diri, maka keduanya langsung berbicara dengan ayahnya, Mahendra yang menunggunya dengan berdebar-debar.

“Kalian tidak beristirahat?” bertanya Mahendra.

“Kami tidak lelah ayah,” jawab Mahisa Murti, yang kemudian langsung menceriterakan hasil perjalanannya.

Mahendra mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Yang Maha Agung telah memberi kalian jalan yang lancar pada tugas kalian. Bahkan atas bantuan yang sangat besar dari Akuwu Lemah Warah.”

“Ya ayah,” jawab Mahisa Murti, “bahkan semua tugas yang seharusnya kami lakukan telah dilakukan oleh para prajurit sandi Lemah Warah.”

“Nah, yang penting bagi kalian adalah memperhitungkan kekuatan yang ada di padepokan ini dengan kedua padepokan yang akan datang itu. Mungkin padepokan yang disebut Sarang siluman itu memang lebih besar dari padepokan yang banyak menampung pelarian dari berbagai perguruan itu. Tetapi mungkin pula tidak. Untuk membuat perhitungan, maka anggap saja bahwa kekuatan kedua padepokan itu sama,” berkata Mahendra.

“Kita sudah memasang umbul-umbul sendiri sebagai satu perguruan,” berkata Mahisa Pukat, “kita akan menyelesaikannya sendiri. Seberapa pun besarnya kekuatan mereka.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Kita belum membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang akan kita tempuh. Kita baru menilai kekuatan lawan.”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Tetapi pada saatnya kita tentu akan membuat perhitungan, seberapa kekuatan yang ada pada kita.”

Mahendra pun tersenyum pula. Katanya, “Kau benar. Pada saatnya kita harus membuat perhitungan seperti itu.”

“Jika sampai saatnya kita dapat mengalahkan mereka dengan kekuatan kita sendiri. Bukannya kemana kita akan minta bantuan. Jika demikian, kita untuk seterusnya tidak akan dapat berdiri tegak sebagai satu perguruan yang dewasa,” berkata Mahisa Pukat.

Mahendra dan Mahisa Murti yang masih saja tersenyum mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahendra berkata, “Pada dasarnya aku sependapat dengan kalian.”

“Kenapa hanya pada dasarnya saja?” bertanya Mahisa Pukat.

“Mahisa Pukat,” berkata Mahendra dengan nada rendah, “yang kita hadapi adalah persoalan yang besar. Karena itu, maka kita tidak dapat mengambil keputusan dalam waktu sekejap atau dalam pembicaraan seperti ini. Kita harus berbicara lebih dalam, bukan saja hanya dasar-dasarnya, tetapi sampai kepada bagian-bagiannya. Nah, jika pada dasarnya aku sependapat, mungkin pada bagian-bagiannya kita berpendirian lain.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan membicarakan bagian-bagiannya.”

“Tidak perlu sekarang. Biarlah persoalannya mengendap di dalam diri kita. Besok kita berbicara tentang hal ini,” jawab Mahendra.

“Kita kehilangan waktu sehari,” berkata Mahisa Pukat.

“Masih ada waktu,” berkata Mahendra.

“Aku sependapat dengan ayah. Mungkin pikiran kita sekarang masih dipengaruhi oleh suasana perjalanan yang panjang itu,” berkata Mahisa Murti pula.

Mahisa Pukat tidak dapat memaksa ayah dan saudaranya untuk membicarakannya lebih jauh. Betapapun mendesaknya persoalan itu di dalam dadanya, namun ia harus menahan diri sampai hari berikutnya.

Sebenarnyalah, mereka sempat mengendapkan persoalan yang mereka hadapi. Mereka sempat melihat dari berbagai sisi untuk mendapatkan keseimbangan sikap yang sebaik-baiknya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat mengingat kembali pesan Akuwu Lemah Warah serta sikap para petugas sandi.

Demikianlah maka ketika mereka di hari berikutnya berhadapan dengan seisi padepokan itu, maka mereka tidak dengan serta merta menyatakan sikap dan pendapat mereka masing-masing.

“Kita memang menghadapi kekuatan yang besar,” berkata Mahisa Murti kepada orang-orang dari perguruan Bajra Seta, “tetapi kita tidak perlu berkecil hati. Kita akan menemukan satu cara yang paling baik untuk mengalahkan mereka. Kita yakin bahwa kita berdiri diatas hak kita sendiri, sehingga dengan demikian maka Yang Maha Agung tentu akan melindungi kita semuanya.”

“Apakah yang dikatakan oleh orang yang mengaku orang perguruan Suriantal itu benar?” bertanya seorang diantara mereka.

Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Tidak seluruhnya benar. Tetapi bahwa akan ada tamu di padepokan ini agaknya memang benar. Karena itu, kita harus bersiaga.”

“Mereka akan menyerang kita?” bertanya seorang yang lain. Lalu, “dengan kekuatan dari tujuh padepokan?”

“Itulah yang tidak benar,” jawab Mahisa Murti, “yang sudah kami ketahui, mereka akan datang bersama dari dua padepokan.”

“Lalu, apa yang harus kami lakukan?” bertanya seorang pemimpin kelompok.

“Kami baru membicarakannya. Yang penting adalah bahwa kita harus menempa diri,” jawab Mahisa Murti.

Nampaknya orang-orang padepokan Bajra Seta masih belum pas dengan jawaban-jawaban itu. Namun kemudian Mahisa Murti telah berkata, “Tunggulah barang satu dua hari. Semuanya akan menjadi jelas.”

Orang-orang itu tidak dapat memaksa untuk mendapat keterangan lebih banyak. Tetapi mereka percaya bahwa pimpinan mereka akan berbuat sebaik-baiknya.

Namun dalam pada itu Mahisa Murti pun berpesan, “Tetapi ingat. Apa yang kita ketahui ini adalah rahasia. Jika pihak lain mendengar, bahwa kita telah mengetahui sebagian dari rencana mereka, maka rencana itu akan dirubah sehingga mungkin justru akan menyulitkan kita sendiri. Mungkin mereka akan melakukan langkah-langkah di luar dugaan tanpa dapat kita atasi lagi.”

Orang-orang padepokan Bajra Seta itu mengangguk-angguk. Mereka menyadari kebenaran pesan pemimpin mereka, sehingga karena itu mereka pun telah bertekad untuk merahasiakannya, terutama kepada orang-orang di luar padepokan mereka.

Seperti yang diperintahkan oleh Mahisa Murti dari Mahisa Pukat, maka sebelum mereka tahu pasti apa yang akan mereka lakukan, maka yang segera dapat mereka kerjakan adalah menempa diri. Latihan-latihan menjadi lebih sering dan lebih berat, karena menurut keterangan yang mereka dengar, yang akan datang adalah lawan yang kuat dan besar.

Dalam pada itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahendra telah mencoba untuk memecahkan persoalan yang akan mereka hadapi itu. Apa yang sebaiknya mereka lakukan menghadapi kekuatan yang menurut gambaran dari para petugas sandi sebagaimana mereka lihat pada padepokan Manik Wungu dan kemungkinan pada padepokan Randu Papak, lebih besar dari kekuatan yang ada pada padepokan Bajra Seta. Namun sebagaimana pendapat Mahisa Pukat, sebaiknya mereka tidak menggantungkan bantuan dari orang lain.

“Baiklah,” berkata Mahendra, “aku yakin akan keberanian kalian. Aku pun yakin akan kemampuan orang-orang Bajra Seta, meskipun mereka akan berhadapan dengan siluman sekalipun. Karena itu, maka kalian harus berusaha mengurangi kekuatan mereka, sehingga akhirnya kekuatan yang akan sampai di padepokan ini tidak terlalu jauh melampaui kekuatan yang ada di sini.”

“Apa yang baik kami lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kalian harus menyiapkan sepasukan prajurit yang terpilih. Kalian harus melatihnya dalam waktu dekat untuk melakukan perlawanan tersembunyi,” jawab Mahendra.

“Aku kurang tahu maksud ayah,” desis Mahisa Pukat.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Pukat menjadi tidak sabar menunggu penjelasan ayahnya. Karena itu, maka ia pun telah mendesak, “Ayah, beri aku penjelasan. Apakah yang sebenarnya ayah maksudkan dengan perlawanan tersembunyi itu? Justru kita berhadapan dengan segerombolan siluman.”

Mahendra memandang kedua anaknya itu berganti-ganti. Namun memang terbayang keragu-raguan di sorot matanya. Tetapi ia tidak dapat sekedar menggenggam pendapatnya sementara kedua anaknya mendesak untuk mengetahuinya betapapun ia merasa ragu.

Karena itu maka katanya kemudian, “Anak-anakku. Kalian harus bertanya berulang kali kepada diri sendiri, apakah kalian sanggup melakukannya atau tidak.”

Mahisa Pukat benar-benar tidak sabar, sehingga diluar sadarnya ia telah beringsut maju. Katanya, “Bertanya kepada diri sendiri tentang apa?”

“Satu hal yang perlu kalian perhatikan adalah perjalanan pasukan kedua padepokan itu,” berkata Mahendra, “kalian dapat membayangkannya. Ada dua malam atau bahkan mungkin tiga malam yang kalian dapatkan pada perjalanan mereka itu. Jika yang satu malam mereka berada di padepokan Randu Papak, maka yang dua malam berikutnya mereka berada di perjalanan. Nah, perhitungkan, apa yang dapat kalian lakukan di malam hari itu selama mereka berhenti di perjalanan. Kalian akan dapat mengurangi jumlah mereka. Namun kalian tidak akan berhadapan langsung dengan mereka.”

Wajah Mahisa Pukat menjadi tegang. Dengan nada rendah ia bertanya, “Apakah itu bukan satu sikap yang licik.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita akan dapat menilai dari beberapa sisi. Jika mereka datang dengan kekuatan lebih dari satu padepokan untuk melawan satu padepokan tidak dapat dinilai sebagai satu langkah yang licik, sementara kau menganggap bahwa karena kita sudah mendirikan umbul-umbul sendiri sebagai satu perguruan maka tidak sepantasnya kita bukan saja menggantungkan diri tetapi berhubungan atau katakanlah kerjasama dengan perguruan lain pun dianggap sebagai mempersempit harga diri kita serta perguruan ini.”

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Sementara Mahendra berkata selanjutnya, “Jika setiap langkah menjadi pantangan, maka kita tidak akan melangkah satu tapak pun. Justru karena kita terlalu menyanjung harga diri itu sendiri.”

Mahisa Pukat masih saja termangu-mangu. Namun sementara itu Mahisa Murti berkata, “Apa yang dapat kita lakukan di malam hari itu ayah? Menyergap mereka selagi mereka lengah?”

“Ya. Menyergap mereka, kemudian menghilang. Demikian pula malam berikutnya,” jawab Mahendra, “tetapi di malam berikutnya mereka tentu sudah lebih bersiaga. Karena itu, maka di malam pertama kalian harus berhasil mengurangi jumlah lawan sebanyak-banyaknya. Kalian tidak perlu membunuhnya. Asal saja kalian membuat mereka tidak berkemampuan lagi untuk bertempur di hari-hari berikutnya.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti dan aku dapat membayangkan apa yang terjadi. Dengan demikian, maka mereka akan datang ke padepokan ini dengan kekuatan yang susut. Sementara pasukan kita akan mendahului mereka kembali ke padepokan.“

Mahendra tersenyum sambil mengangguk-angguk. Dengan nada tinggi ia berkata, “Nah, apa lagi?”

Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Agaknya cara itu lebih baik ditempuh daripada minta bantuan kepada siapa pun juga.”

“Nah, jika demikian kalian harus mulai sejak sekarang,” berkata Mahendra.

“Mulai apa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kalian harus memilih sekelompok orang terbaik. Kalian harus mengadakan latihan-latihan secara bersungguh-sungguh, karena waktu kalian yang singkat,” berkata Mahendra.

“Latihan bertempur di malam hari?” bertanya Mahisa Pukat.

“Ya. Menyerang dan kemudian menghilang. Karena itu kalian harus berlatih membidik dalam kegelapan. Menyusup di antara gerumbul-gerumbul liar. Bersembunyi diantara pepohonan dan cara-cara yang lain yang mungkin harus dilakukan dalam perang seperti itu,” berkata Mahendra.

“Apa saja yang kita pelajari?” bertanya Mahisa Pukat.

“Lakukanlah lebih dahulu. Nanti kau akan tahu, apa saja yang kalian perlukan,” jawab Mahendra.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk pula. Ia mulai memikirkan dengan sungguh-sungguh cara yang dikatakan oleh ayahnya itu. Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah memilih beberapa kelompok orang terbaik dari perguruan Bajra Seta. Di malam hari, mereka harus bersiap untuk mengadakan latihan.

“Latihan di malam hari?” bertanya salah seorang diantara mereka.

“Ya. Kita akan mengadakan latihan khusus di malam hari,” jawab Mahisa Murti.

Memang agak lain dari kebiasaan mereka. Mereka memang pernah juga berlatih di malam hari, tetapi sekedar untuk mendapatkan satu pengalaman, jika mereka benar-benar terpaksa bertempur di malam hari. Tetapi agaknya latihan yang akan diadakan di malam hari itu, bukan sekedar untuk mendapatkan pengalaman.

Demikianlah, maka pada saat yang sudah ditentukan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membawa beberapa kelompok orang-orangnya keluar dari padepokan. Mereka menyusuri jalan-jalan sempit menuju ke pinggir hutan.

Namun ternyata di malam pertama itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya membawa mereka menelusuri tempat-tempat yang gelap, yang sulit dilalui dan menyusup diantara pepohonan hutan yang meskipun tidak terlalu pepat, tetapi cukup rumit. Baru di malam kedua, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memerintahkan orang-orangnya membawa busur dan anak panah.

Tetapi mereka tidak lagi berjalan menyusuri jalan-jalan sempit. Menyusup hutan diantara pepohonan, namun ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membawa mereka berlatih membidik di dalam gelapnya malam.

Di malam ketiga, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai dengan latihan-latihan yang lebih berat. Mereka harus menyusup diantara pepohonan sambil membidik sasaran-sasaran yang tidak ditentukan. Mereka dapat melepaskan anak panah ke sasaran yang manapun yang ingin mereka kenai.

Namun di hari berikutnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyiapkan sasaran-sasaran yang ditentukan. Mereka telah memasang sasaran yang dibuat dari batang-batang pisang. Ketika kemudian malam turun, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membawa beberapa kelompok diantara orang-orang Bajra Seta yang terpilih itu untuk menyusup di seputar sasaran dan mengenai sasaran itu dengan anak panah mereka.

Tetapi latihan-latihan itu tidak terhenti sampai malam itu. Untuk selanjutnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membawa mereka ke dalam latihan-latihan yang semakin berat. Mereka bukan saja dilatih untuk memanah sasaran di malam hari. Tetapi mereka mendapat latihan untuk menyusup ke tempat yang sudah ditentukan. Menyelinap diantara pohon-pohon perdu, merayap mendekati sasaran. Namun kemudian dengan cepat menghilang menghindari benturan kekuatan langsung dengan lawan yang menjadi sasaran.

Dengan sadar orang-orang Bajra Seta itu berlatih untuk turun ke dalam satu perlawanan yang tidak langsung atas satu kekuatan yang besar. Dengan demikian memang diperlukan, bukan saja kekuatan dan ketrampilan ilmu, tetapi juga kesiagaan jiwani.

“Waktu kita tidak banyak,” berkata Mahisa Murti, “karena itu kita harus memanfaatkan sebaik-baiknya.”

Dengan perhitungan yang demikian, maka di malam hari latihan-latihan memang menjadi semakin berat. Namun di siang hari, mereka dapat beristirahat hampir mutlak untuk menjaga agar mereka justru tidak menjadi terlampau letih, sehingga ketika saatnya datang, mereka sudah tidak mempunyai tenaga lagi.

Sementara latihan-latihan berlangsung terus, Mahendra telah berbicara dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentang pelaksanaan dari perlawanan yang tidak langsung itu. “Kalian akan melakukannya di daerah Pakuwon Lemah Warah,” berkata Mahendra.

“Tidak perlu di daerah Lemah Warah,” berkata Mahisa Pukat, “Kita dapat melakukannya di luar.”

“Menurut perhitungan, mereka akan bermalam satu malam di padepokan Randu Papak, satu malam di daerah Lemah Warah dan satu malam terakhir, tetap masih di daerah Lemah Warah meskipun menjadi lebih dekat dengan padepokan ini. Kau kira padepokan ini terletak di mana?” bertanya Mahendra.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Agaknya memang demikian. Orang-orang itu akan berhenti dan bermalam di daerah Lemah Warah. Dengan demikian maka menurut nalar, mereka harus minta ijin kepada Akuwu Lemah Warah jika mereka tidak ingin terjadi salah paham dengan para prajurit Lemah Warah. Jika pasukan Bajra Seta itu memasuki Lemah Warah untuk berusaha melakukan perlawanan terhadap iring-iringan pasukan yang menuju ke padepokan mereka, dan kemudian terjadi pertempuran di lingkungan Lemah Warah serta diketahui oleh para petugas Lemah Warah, mungkin akan terjadi persoalan yang tidak dikehendaki.

Ketika hal itu kemudian dibicarakan, maka Mahendra pun berkata, “Karena itu, maka mau tidak mau kalian harus minta ijin untuk melakukan hal itu kepada Akuwu Lemah Warah. Kalian tidak minta bantuan. Tetapi minta ijin. Meskipun ijin itu sendiri merupakan bantuan yang sangat besar artinya.”

Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak dapat berbuat lain. Mereka memang harus menghadap Akuwu Lemah Warah untuk minta ijin melakukan perlawanan tidak langsung terhadap mereka yang akan menyerang padepokan Bajra Seta.

“Kami akan menghadap Akuwu Lemah Warah ayah,” berkata Mahisa Murti kemudian, “tetapi kami akan melakukan latihan-latihan yang lebih baik lebih dahulu.”

“Waktunya terserah kepada kalian, kalian tidak terlambat,” berkata Mahendra.

Demikianlah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membuat latihan-latihan mereka menjadi semakin keras. Mereka telah berlatih sebagaimana mereka harus berbuat di lingkungan dan medan yang semakin berat. Namun dengan demikian, mereka menjadi semakin matang menghadapi tugas yang khusus itu.

Ketika waktunya semakin dekat, serta latihan-latihan sudah menjadi semakin mapan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah pergi ke Lemah Warah untuk mohon ijin melaksanakan rencananya.

Ketika hal itu disampaikan kepada Akuwu Lemah Warah, maka sambil tersenyum Akuwu itu berkata, “Aku hargai sikap kalian. Kalian bukan saja ingin menyelesaikan masalah kalian dengan kekuatan kalian sendiri, tetapi kalian ternyata menemukan cara yang mengagumkan.”

“Bukan kami Akuwu,” jawab Mahisa Murti.

“Jadi siapa?” bertanya Akuwu Lemah Warah.

“Ayah menunjukkan jalan itu kepada kami,” jawab Mahisa Murti dengan jujur.

Akuwu Lemah Warah tersenyum sambil menepuk bahu kedua anak muda itu berganti-ganti. Katanya, “Kalian memang mengagumkan. Lebih dari segala macam tingkat ilmu yang kalian miliki, kalian adalah anak-anak muda yang berani, berpendirian kuat dan jujur.”

Keduanya tidak menjawab. Yang mereka tunggu adalah ijin Akuwu atas rencana mereka. Namun sejenak kemudian Akuwu itu berkata, “Baiklah anak-anak muda. Aku tidak berkeberatan dengan rencanamu. Tetapi agar tidak mudah terjadi salah paham, maka akan aku sertakan bersama pasukanku, sekelompok prajurit sandi yang akan dapat menjernihkan setiap persoalan yang mungkin timbul dengan prajurit-prajuritku, karena kalian berada di lingkungan pengawasan para prajurit peronda Lemah Warah.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk hormat. Namun sebelum mereka menjawab Akuwu telah mendahului, “Tetapi jangan kau anggap bahwa dengan demikian kami akan memberikan bantuan kepada kalian. Kami hanya sekedar memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi gerak pasukan kalian agar tidak terjadi kesulitan dengan prajurit Lemah Warah.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat menjawab lain kecuali mengucapkan terima kasih.

“Aku akan menyiapkan sekelompok prajurit sandi yang terlatih untuk bertempur sebagaimana cara yang kau kehendaki. Dalam waktu yang dekat, mereka akan mendapatkan latihan-latihan yang akan mengingatkan mereka kembali atas kemampuan mereka itu.”

“Kami mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga. Setiap kali kami telah mendapatkan bantuan yang tidak terhitung besarnya, sehingga sebenarnyalah kami tidak akan dapat berbuat apa-apa tanpa bantuan Akuwu,” berkata Mahisa Murti.

Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah dapat mempersiapkan segala-galanya yang diperlukan. Mereka dapat mempersiapkan pasukannya di wilayah Lemah Warah sebagaimana ijin yang telah diberikan oleh Akuwu.

Pada hari yang sudah diperhitungkan, maka pasukan Bajra Seta yang terpilih telah meninggalkan padepokan dengan diam-diam, justru di malam hari. Sementara mereka yang masih tinggal berada dibawah pimpinan Mahendra. Jika usaha Mahisa Murti dan Mahisa Pukat gagal, maka mereka harus segera kembali ke padepokan mendahului arus pasukan lawan. Atau jika tidak mungkin, mereka harus bersiap dan menyerang pasukan lawan selagi mereka menembus masuk ke padepokan.

Demikianlah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membuat perhitungan yang sebaik-baiknya atas segala kemungkinan. Jika pasukan dari kedua padepokan itu berangkat dari Randu Papak, maka mereka akan dapat memperkirakan, pasukan itu akan mengambil jalan yang mana menuju ke padepokan Bajra Seta. Mereka tentu tidak akan mengambil jalan yang mungkin diketahui apalagi bertemu dengan para prajurit Lemah Warah yang sedang meronda.

Dengan demikian, maka pasukan Bajra Seta yang telah dilengkapi dengan sekelompok prajurit sandi dari Lemah Warah, telah menunggu di tempat yang menurut perhitungan akan dilalui pasukan itu pada jarak satu hari perjalanan. Namun demikian, beberapa orang petugas khusus dari Bajra Seta dan prajurit sandi dari Lemah Warah telah dipasang di tempat-tempat tertentu untuk mengamati perjalanan pasukan itu.

Ternyata kecermatan perhitungan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memberikan arti yang besar. Para pengamat telah dapat mengetahui, arah pasukan dari padepokan Manik Wungu dan Randu Papak. Seorang diantara mereka telah memasuki perkemahan pasukan Bajra Seta dan langsung memberikan laporan tentang gerakan pasukan yang diamatinya.

“Jika demikian, jarak kita tidak terlalu jauh,” berkata Mahisa Murti.

“Ya,” jawab pengamat itu, “mereka menuju ke hutan kecil di seberang sungai. Seorang kawan akan melaporkan jika pasukan itu sudah menentukan tempat untuk berhenti.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah mempersiapkan pasukannya. Dari para petugas sandi Lemah Warah, mereka mendapat keterangan tentang lingkungan. Bahkan para petugas sandi itu sudah siap berada diantara pasukan Bajra Seta dalam segala rencananya, sehingga mereka telah menjadi bagian dari kebulatan pasukan Bajra Seta itu.

Ketika malam turun dan menjadi semakin kelam, maka laporan yang ditunggu itu pun datang. Memang seperti yang diperhitungkan, pasukan Manik Wungu telah berhenti tidak terlalu jauh dari perkemahan orang-orang dari padepokan Bajra Seta itu.

Dengan cepat orang-orang Bajra Seta itu pun telah bergerak. Mereka telah mengirimkan beberapa orang disertai para petugas sandi yang menunjukkan jalan yang paling baik bagi gerak pasukan Bajra Seta itu, telah mendahului untuk mengamati keadaan. Mereka harus mengambil langkah bagi pasukan Bajra Seta yang akan melakukan satu gerakan yang khusus. Dengan sangat hati-hati mereka bergerak. Merayap digelapnya malam, mendekati pasukan yang besar yang sedang beristirahat.

Setelah membuat beberapa perhitungan tentang keadaan pasukan yang sedang beristirahat itu, tentang kelompok-kelompok yang berserakan serta beberapa tempat penjagaan, maka para petugas itu telah kembali untuk memberikan laporan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan sangat berhati-hati memperhatikan setiap bagian dari laporan itu. Namun untuk meyakinkan diri, apa yang akan mereka lakukan, maka mereka telah langsung mendekati pasukan Manik Wungu dan pasukan Randu Papak itu. Dari pengamatan langsung itu mereka mengetahui, bahwa pasukan kedua padepokan yang akan merebut kedudukan mereka itu adalah pasukan yang kuat.

Beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih membuat pertimbangan-pertimbangan dengan pemimpin sekelompok pasukan sandi yang dikirim oleh Lemah Warah itu. Di antara mereka adalah orang yang disebut Gagak Sampir, yang telah datang ke padepokan Manik Wungu bersama beberapa orang petugas yang lain.

Baru setelah mereka menemukan kebulatan sikap, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memerintahkan pasukannya mulai bergerak. Dengan petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah yang lengkap dan terperinci, maka pasukan Bajra Seta itu telah melakukan satu gerakan yang merupakan satu tugas yang berat.

Namun Mahisa Murti masih juga memberikan pesan, “Kita tidak tahu, apakah kita masih berkesempatan untuk kembali ke padepokan kita. Tetapi apa yang kita lakukan ini, meskipun di tempat yang jauh, namun tetap merupakan kesetiaan kita bagi perguruan dan padepokan kita.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Namun mereka memang telah bertekad bulat untuk melakukan tugas itu sebaik-baiknya.

Sementara itu Mahisa Pukat pun memberikan pesan pula, “satu hal yang harus kita pegang teguh. Sasaran kita tidak boleh mengetahui siapakah kita sebenarnya. Jika kita terpaksa menjadi tawanan mereka, maka kita harus tabah untuk mengalami tekanan agar kita memberikan pengakuan. Karena itu, maka jangan lupa. Kita sudah bersetuju, bahwa kita bukan berasal dari padepokan Bajra Seta, tetapi sebagaimana kita sepakati, bahwa kita adalah prajurit yang mendapat perintah dari Senopati Pakuwon Lemah Warah untuk mengetahui dan menghancurkan orang-orang yang dengan diam-diam menyusup ke dalam wilayah Pakuwon Lemah Warah, sebagaimana justru disarankan oleh Akuwu. Kita tidak saja diijinkan untuk melakukan gerakan ini di dalam wilayah Lemah Warah, namun kita juga diijinkan untuk mengaku, bahwa kita adalah prajurit-prajurit Lemah Warah dalam tugas khusus. Apa pun yang terjadi atas diri kita, kita bukan orang-orang Bajra Seta.” Mahisa Pukat pun berhenti sejenak. Lalu ia pun berkata pula, “Tetapi yang terbaik adalah yang kita rencanakan. Jangan ada seorang pun yang jatuh ke tangan mereka. Mati atau hidup. Setiap kelompok berkewajiban untuk membawa semua anggauta kelompoknya kembali ke tempat ini, hidup, mati atau pun terluka parah.”

Semua orang dalam pasukan yang sudah siap itu mengangguk-angguk kecil. Mereka telah menggenggam kesanggupan, untuk melakukannya. Apa pun yang akan terjadi atas diri mereka masing-masing.

Demikianlah, maka pasukan itu pun mulai bergerak serentak. Namun mereka tidak menempuh satu arah perjalanan. Seluruh pasukan itu dibagi dalam beberapa kelompok. Di setiap kelompok terdapat pasukan sandi Lemah Warah yang benar-benar menguasai medan yang akan mereka hadapi.

Senjata utama mereka adalah busur dan anak panah. Mereka tidak akan mendekati sasaran untuk bertempur dalam jarak gapai pedang jika tidak terpaksa. Tetapi mereka akan melumpuhkan lawan-lawan mereka dengan serangan dari jarak jauh, dan kemudian menghilang di gelapnya malam.

Beberapa diantara mereka, di samping busur dan anak panah, telah membawa pula pisau-pisau kecil yang dapat mereka lontarkan kepada lawan-lawan mereka pada jarak yang lebih pendek dari jarak yang dapat dicapai oleh lontaran anak panah dari busurnya.

Beberapa saat, setelah mereka menyeberangi sungai, mulailah mereka merayap diantara semak-semak dan pepohonan. Mereka telah berusaha untuk menjadi samar bukan saja karena gelapnya malam, tetapi juga sikap dan langkah mereka. Warna pakaian yang gelap pula serta kemampuan untuk menghindarkan tubuh mereka dari bunyi sentuhan-sentuhan yang kasar.

Beberapa saat kemudian, mereka benar-benar telah mendekati sasaran. Bagaimanapun juga mereka merasa jantung mereka berdetak semakin cepat. Meskipun mereka mempunyai pengalaman yang luas, serta latihan-latihan yang berat, namun menghadapi kenyataan itu, mereka memang menjadi berdebar-debar. Apalagi mereka sudah diberi tahu pula bahwa orang-orang yang akan menjadi sasaran mereka adalah orang-orang yang dianggap sebagai siluman-siluman yang sangat berbahaya.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selalu berkata, “Mereka adalah orang-orang yang kulit dagingnya dapat ditembus bedor anak panah serta tajamnya pisau-pisau kecil mereka.”

“Mereka sama sekali tidak mempunyai kelebihan apa pun juga kecuali bahwa mereka tidak mengenal adab, unggah-ungguh dan adat hubungan antar sesama. Mereka berbuat apa saja yang ingin mereka lakukan, bahkan dengan kasar dan liar,” pesan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “karena itu, jangan anggap mereka lebih baik dari kalian.”

Untuk beberapa saat orang-orang dari perguruan Bajra Seta itu menunggu. Mereka menantikan isyarat yang akan diberikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bukan isyarat sendaren atau panah api. Namun mereka akan memperdengarkan suara burung bence di beberapa arah. Tetapi tidak boleh menimbulkan kesan, bahwa suara burung itu bukan suara burung sewajarnya.”

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memperhitungkan bahwa setiap orang telah berada di tempat masing-masing, maka isyarat itu pun telah terdengar. Suara burung bence yang memecah sepinya malam.

Suara yang terdengar di satu tempat itu, tidak segera disahut oleh suara yang lain. Tetapi baru beberapa saat kemudian terdengar pula suara burung itu, seakan-akan burung bence itu telah terbang berpindah tempat dari satu batang pohon ke pohon yang lain.

Orang-orang Bajra Seta memang tidak membutuhkan isyarat terlalu banyak. Suara burung bence di dua tempat itu, yang terdengar nyaring dalam kesepian malam, telah didengar oleh setiap orang yang seakan-akan telah mengepung perkemahan orang-orang padepokan Manik Wungu dan Randu Papak. Namun menurut perhitungan mereka, orang-orang yang berada dalam perkemahan itu memang merupakan kekuatan yang sangat besar. Tetapi tidak seorang pun yang bermimpi, bahwa pada jarak yang masih sedemikian jauh, orang-orang Bajra Seta justru telah menyongsong mereka.

Demikian suara isyarat itu terdengar oleh orang-orang dari perguruan Bajra Seta dan para petugas sandi dari Lemah Warah, maka mereka pun segera mulai bergerak. Tidak terdengar suara pasukan yang berderap. Tidak pula terdengar teriakan yang bagaikan meruntuhkan langit. Namun yang kemudian terdengar adalah desing anak panah yang terlepas dari busurnya. Tidak terlalu keras. Namun dari beberapa arah.

Beberapa orang yang bertugas berjaga-jaga, dan sedang duduk di sekeliling perapian tidak sempat terkejut, karena tiba-tiba saja lambung, punggung atau dada mereka telah tertembus anak panah yang dilepaskan dari jarak yang tidak terlalu jauh. Sehingga dengan demikian, maka pada umumnya mereka tidak sempat mengaduh karena ujung, anak panah itu telah menggapai jantung.

Ketika orang-orang yang bertugas itu telah terpelanting jatuh, maka orang-orang perguruan Bajra Seta itu merayap semakin dekat. Mereka telah membidik orang-orang yang sedang tidur nyenyak. Mula-mula mereka memperhitungkan kelompok-kelompok dari orang-orang yang akan menjadi sasaran. Beberapa orang diantara mereka pun telah melepaskan anak panah bersama-sama.

Namun akhirnya, serangan itu diketahui juga setelah jatuh korban semakin banyak. Pada satu saat seseorang yang terkena panah tidak tepat di jantung telah sempat berteriak. Orang-orang yang sedang beristirahat itu pun terbangun. Mereka mula-mula tidak menyadari apa yang terjadi. Peristiwa itu berlangsung demikian cepatnya.

Justru pada saat-saat yang demikian, anak panah telah menyerang mereka bagaikan hujan dari segala arah. Seakan-akan setiap batang pohon dan setiap gerumbul dan semak-semak telah menyerang mereka dengan anak panah. Beberapa orang berteriak kasar. Mereka mengumpat dengan kata-kata kotor. Dengan serta merta mereka pun telah menarik senjata masing-masing. Namun mereka tidak segera tahu, dimanakah lawan mereka bersembunyi, sementara anak panah lawan menghujan tidak henti-hentinya.

Namun ternyata ada juga orang yang masih sempat berpikir meskipun agak terlambat. Seorang tua yang dianggap sebagai guru dan pimpinan padepokan Manik Wungu pun berteriak, “Cepat, cari perlindungan.”

Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak pun telah berusaha untuk berada di bayangan pepohonan. Tetapi mereka, benar-benar tidak mengerti di mana lawan mereka itu bersembunyi.

Cara seperti itu memang sudah diperhitungkan oleh orang-orang Bajra Seta. Karena itu, maka mereka telah mempergunakan cara yang lebih berbahaya. Namun keberhasilan mereka pada langkah pertama mendapat membuat mereka menjadi semakin berani, karena menurut anggapan mereka, cara yang mereka tempuh adalah cara yang ternyata benar.

Orang-orang Bajra Seta menjadi semakin mendekat. Dengan anak panah yang siap di busur, mereka memasuki lingkungan orang-orang yang sedang kebingungan itu. Setiap mereka bertemu dengan seseorang, maka mereka telah menyapanya dengan kata-kata sandi. Jika orang itu tidak menjawabnya dengan benar, maka tanpa ampun lagi, anak panah yang sudah siap di busur itu akan meluncur menembus jantung. Sebaliknya, jika seseorang menyapa salah seorang dari Padepokan Bajra Seta yang menyusup diantara mereka tidak dengan kata-kata sandi, maka pertanyaan itu akan dijawab dengan tusukan anak panah di dada mereka.

Dengan demikian maka kelompok-kelompok orang dari padepokan Bajra Seta yang dilengkapi dengan sekelompok petugas sandi yang terbagi diantara kelompok-kelompok pasukan dari padepokan Bajra Seta itu telah dapat mengacaukan pasukan yang jauh lebih besar. Bahkan ujung-ujung anak panah telah membunuh dan melukai sejumlah dari antara mereka.

Bahkan ketika para pemimpin dari padepokan Manik Wungu dan Randu Papak berhasil menguasai orang-orang mereka dan meneriakkan aba-aba, maka orang-orang Bajra Seta itu masih berada diantara mereka. Mereka tidak lagi mempergunakan busur dan anak panah karena jarak yang semakin dekat, serta waktu yang semakin memburu. Namun mereka telah melontarkan pisau-pisau kecil yang menyambar leher, dada dan lambung.

Namun orang-orang Bajra Seta itu tidak mau terjebak di dalam lingkungan pasukan lawan. Karena itu, maka ketika orang-orang Manik Wungu dan orang-orang Randu Papak menjadi semakin mapan, maka beberapa buah anak panah sendaren telah terbang di udara sebagai isyarat, bahwa orang-orang Bajra Seta harus meninggalkan lingkungan lawan.

Ternyata bahwa latihan-latihan yang matang, benar-benar memberikan tuntutan bagi mereka. Dalam waktu dekat, maka kelompok-kelompok terkecil dari orang-orang Bajra Seta telah sempat menghitung kawan mereka masing-masing, sehingga mereka dapat kembali ke pangkal mereka dengan utuh. Memang ada beberapa orang yang terluka, tetapi tidak seorang pun diantara mereka yang tertinggal, apalagi tertawan.

“Sungguh satu hasil yang gemilang,” berkata Mahisa Murti.

Pemimpin petugas sandi Lemah Warah yang diperbantukan itu pun menyahut, “Hampir tidak masuk akal, bahwa tidak seorang pun yang hilang diantara kita.”

“Kita telah mengejutkan mereka, sementara mereka benar-benar lengah, karena mereka tidak mengira bahwa kita akan menyerang mereka pada jarak yang demikian jauhnya,” berkata Mahisa Pukat.

Yang lain mengangguk-angguk. Memang keberhasilan mereka sebagian besar adalah karena kelengahan sasaran mereka.

“Baiklah,” berkata Mahisa Murti, “kita wajib mengucap syukur kepada Yang Maha Agung yang telah melindungi kita semuanya. Namun kawan-kawan kita yang terluka, lebih-lebih yang parah, harus segera mendapat perawatan.”

Namun dalam pada itu Mahisa Pukat pun berdesis, “Tetapi apakah tempat ini cukup aman bagi kita?”

“Aku kira cukup,” berkata pemimpin petugas sandi dari Lemah Warah itu, “tempat ini telah dipisahkan oleh sebuah sungai yang bertebing tinggi. Mereka tidak akan mencari kita sampai ke tempat ini. Mereka tidak akan menuruni tebing dan naik jurang dalam gelapnya malam dan licinnya batu padas di tebing."

“Tetapi jika ada diantara mereka yang ahli menelusuri jejak, maka mereka agaknya akan sampai ke tempat ini,” berkata salah seorang pemimpin kelompok dari pasukan Bajra Seta.

“Memang mungkin pula. Tetapi kita telah menyeberangi sebuah sungai. Kita sudah berjalan dalam air beberapa puluh langkah, sehingga akan sangat sulit bagi mereka untuk menemukan kembali jejak kami,” sahut pemimpin petugas sandi itu. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Meskipun demikian, jika tempat ini dianggap berbahaya, maka kita akan dapat meninggalkan tempat ini bergeser beberapa ratus tonggak.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Menurut keduanya tempat ini memang sudah cukup aman. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Baiklah. Kita akan berpindah tempat. Kita harus bergeser tanpa meninggalkan jejak.

“Jika kita masih juga meninggalkan jejak, maka kita tidak perlu meninggalkan tempat ini.”

Orang-orang yang mendengarkan pendapat itu mengangguk-angguk. Mereka setuju bahwa mereka harus berusaha untuk menghapuskan jejak jika mereka berniat untuk bergeser dari tempat itu. Meskipun orang-orang Bajra Seta itu merasa letih dan ingin segera beristirahat, namun mereka tidak dapat membantah ketika perintah pun akhirnya jatuh, bahwa mereka akan mencari tempat yang lain, tanpa meninggalkan jejak.

Dalam pada itu, kegemparan memang telah terjadi diantara orang-orang Manik Wungu dan orang-orang Randu Papak. Sergapan yang datang dengan tiba-tiba dan kemudian dengan tiba-tiba pula menghilang, telah menelan korban yang bagi mereka terlalu banyak jumlahnya.

Setelah keadaan mereda, serta mereka berkeyakinan tidak akan datang lagi serangan-serangan yang tiba-tiba itu, maka para pemimpin dari kedua padepokan itu pun telah bertemu, sementara penjagaan di sekitar perkemahan itu pun telah ditingkatkan. Sedangkan di seluruh perkemahan tidak seorang pun yang sempat tidur lagi. Semuanya telah dicengkam oleh kegelisahan dan kecemasan.

Beberapa orang telah mengumpat-umpat dengan kasarnya. Yang lain menggeram sambil menghentak-hentakkan tangannya. Sedangkan beberapa orang lainnya berjalan hilir mudik tidak menentu. Sementara itu para pemimpin mereka sibuk menduga-duga, siapakah yang telah melakukan serangan yang tiba-tiba namun meninggalkan bekas yang parah itu.

Pimpinan tertinggi dari Manik Wungu yang ada diantara orang-orangnya itu berkata, “Tentu rencana ini disusun dengan sebaik-baiknya dan dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Mereka tentu pernah mengalami latihan-latihan khusus untuk tugas mereka.”

“Aku tidak mempunyai dugaan lain kecuali prajurit-prajurit sandi dari Lemah Warah,” berkata pemimpin padepokan Randu Papak. Lalu “Bukankah kita berada di wilayah Lemah Warah sekarang ini?”

Yang lain mengangguk-angguk. Sementara pemimpin padepokan Randu Papak itu melanjutkan, “hanya prajurit-prajurit yang terlatih sajalah yang dapat melakukan sergapan iblis seperti itu.”

Namun demikian pemimpin Manik Wungu itu pun bertanya, “Jika mereka prajurit Lemah Warah, kenapa mereka tidak datang saja dengan kekuatan segelar sepapan, dan sekaligus menghancurkan pasukan kita? Jika Lemah Warah memang mengerahkan semua prajurit yang ada, maka mereka akan dapat menumpas kita semuanya.”

“Tetapi Akuwu Lemah Warah tidak mempunyai alasan yang kuat untuk membinasakan kita. Kita adalah orang lewat, karena kita memang melintas di daerah Lemah Warah. Tetapi kita tidak berbuat apa-apa disini. Kita tidak menimbulkan kegelisahan karena kita telah memilih jalan yang sepi. Kita bermalam di daerah yang jauh dari padukuhan-padukuhan yang ada,” sahut salah seorang pemimpin yang lain, “karena itu maka Akuwu tidak dapat dengan terang-terangan menghancurkan kita. Ia telah mengambil satu langkah yang bagus sekali menurut kepentingannya. Namun bagi kami adalah tindakan pengecut."

“Apa yang sebaiknya kita lakukan?” bertanya pemimpin padepokan Manik Wungu, “membalas dendam dengan menyerang orang-orang Lemah Warah serta membunuh mereka sejumlah paling sedikit sama dengan orang-orang kita yang terbunuh?”

Pemimpin padepokan Randu Papak pun berkata, “Apakah hal itu menguntungkan kita? Bukankah kita akan menuju ke padepokan Suriantal? Jika kita terlibat dalam pertempuran dengan prajurit Lemah Warah, maka kita tentu tidak akan dapat keluar dari Pakuwon ini hidup-hidup. Semua orang diantara kita akan mati disini. Sedangkan kita sudah terlanjur melepaskan tantangan bagi orang-orang padepokan Suriantal itu.”

“Jadi?” bertanya pemimpin padepokan Manik Wungu.

“Kita akan pergi ke padepokan Suriantal. Merebutnya dan kemudian memilikinya. Kita harus memelihara sisa kekuatan yang ada sebaik-baiknya. Disini kita sudah kehilangan terlalu banyak,” jawab pemimpin padepokan Randu Papak.

Yang lain mengangguk-angguk. Sementara itu pemimpin padepokan Randu Papak itu pun berkata selanjutnya, “Kita akan berangkat sekarang.”

“Sekarang?” seorang pemimpin yang lain bertanya.

“Ya. Sebaiknya kita segera keluar dari daerah Lemah Warah,” berkata pemimpin padepokan Randu Papak itu.

“Kau kira padepokan Suriantal itu bukan tlatah Lemah Warah?” berkata pemimpin padepokan Manik Wungu.

“Tetapi daerah yang dilupakan. Akuwu Lemah Warah tidak menganggap perlu untuk mengurusi padepokan yang demikian jauh dari pusat pemerintahan. Kecuali jika padepokan itu menjadi besar dan menarik,” jawab pemimpin padepokan Randu Papak.

Namun dalam pada itu pemimpin yang lain dari Randu Papak itu pun bertanya, “Bagaimana dengan kawan-kawan kita yang terbunuh di sini?”

“Kita tinggalkan saja mereka,” jawab pemimpin padepokan Randu Papak itu, “yang mati biarlah mati. Yang masih akan dapat hidup biarlah berusaha menemukan hidupnya kembali, sementara yang masih akan mati biarlah mati. Kita tidak sempat berbuat apa-apa atas mereka. Yang masih dapat berjalan, akan berjalan bersama kita.”

Pemimpin yang berada dibawah kekuasaan pemimpin tertinggi padepokan Randu Papak itu tidak menjawab. Agaknya memang sudah menjadi kebiasaan mereka berbuat seperti itu. Bahkan pemimpin padepokan Manik Wungu pun berkata,” jangan kotori tangan kita dengan darah orang-orang dungu seperti itu. Jika mereka mati itu adalah salah mereka sendiri. Demikian pula yang terluka.”

Demikianlah malam yang tersisa itu telah dipergunakan oleh orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak untuk meneruskan perjalanan. Mereka ingin secepatnya meninggalkan daerah Lemah Warah. Semakin jauh semakin baik. Meskipun kemudian mereka masih berada di daerah yang berada dalam kekuasaan Pakuwon Lemah Warah, namun di daerah yang tidak mendapat banyak perhatian dari Akuwu, maka mereka tidak akan mengalami kesulitan dengan para prajurit Lemah Warah itu.

Namun gerakan itu tidak terlepas dari pengamatan para petugas sandi dari Lemah Warah yang diperbantukan kepada orang-orang dari perguruan Bajra Seta. Mereka telah membuat hubungan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah mengalihkan perkemahan mereka.

Kepada penghubung itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun minta untuk menunggu sejenak. Mereka akan berbicara dengan para pemimpin kelompok, apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Ternyata bahwa para pemimpin kelompok itu pun sependapat, bahwa mereka pun harus bergerak dengan arah yang sejajar.

“Kami akan menjadi penunjuk jalan,” berkata seorang petugas sandi Lemah Warah kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Dengan demikian maka ketika penghubung itu kembali menemui kawan-kawannya bertugas dapat memberitahukan, bahwa orang-orang Bajra Seta telah bergerak pula. Sebagai petugas sandi di Lemah Warah, maka mereka pun memiliki pengenalan yang luas dan sungguh-sungguh atas medan yang sedang mereka hadapi.

Dengan hati-hati pasukan Bajra Seta telah bergerak sejajar dengan gerak pasukan dari dua padepokan yang akan menuju ke padepokan Bajra Seta. Setiap kali para penghubung selalu membuat hubungan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, agar ikatan diantara mereka tidak, terlepas yang satu dengan yang lain.

Karena pasukan Bajra Seta yang tidak terlalu besar, maka mereka memang dapat bergerak lebih lincah dari pasukan lawannya. Namun jumlah yang kecil itu telah terlatih dengan baik untuk melakukan perlawanan tidak langsung atas kedua pasukan yang besar itu, tetapi yang telah kehilangan banyak kekuatan diantara mereka.

Beberapa orang yang terluka tidak begitu menghambat gerak orang-orang padepokan Bajra Seta. Kawan-kawannya telah memapah mereka. Sedangkan yang lain masih sanggup berjalan sendiri tanpa bantuan. Apalagi mereka yang hanya sekedar tergores senjata.

Ketika pagi mulai membayang, maka orang-orang Bajra Seta itu harus menjadi lebih berhati-hati. Mereka harus mencari jarak yang sesuai, sehingga pasukan yang besar itu tidak akan sempat mendekatinya. Di siang hari, pasukan Bajra Seta tidak akan mungkin dapat bergerak.

Untuk mengurangi perhatian orang terhadap pasukan kecil itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membagi orang-orangnya. Bahkan mereka tidak terikat lagi dengan gerak pasukan lawan. Namun mengurai laporan dari para penghubung, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, atas petunjuk para petugas sandi, telah dapat memperhitungkan, ke arah mana pasukan yang besar itu bergerak.

“Kita akan dapat berpencar dan kemudian berkumpul di satu tempat yang ditentukan,” berkata pemimpin dari petugas sandi itu.

Demikianlah akhirnya pasukan kecil itu mendapat petunjuk seperlunya tentang jalan yang harus mereka tempuh. Mereka akan berpencar dalam kelompok-kelompok yang kecil, yang terdiri dari tiga atau empat orang menuju ke tempat yang sudah diancar-ancarkan oleh pemimpin petugas sandi. Sementara itu, diantara mereka yang bergerak itu juga terdapat beberapa orang dari kelompok petugas sandi itu sendiri yang memang diperbantukan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Namun dalam pada itu, beberapa orang petugas yang lain akan langsung mengamati gerak pasukan yang besar itu. Meskipun pasukan itu sudah memilih jalan yang paling sepi sekalipun, namun mereka sama sekali tidak dapat menghindari padukuhan-padukuhan, pategalan dan hutan-hutan besar dan kecil.

Tetapi agaknya pasukan itu sudah belajar dari pengalaman. Mereka tidak mau lengah untuk kedua kalinya. Namun karena mereka sudah menjadi semakin jauh dari Lemah Warah, maka mereka pun berharap bahwa tidak akan ada lagi gangguan atas pasukan mereka.

Pemimpin padepokan Manik Wungu dan Randu Papak ternyata sepakat untuk beristirahat sebelum sore hari. Mereka mencari tempat yang paling baik bagi pasukan mereka. Tanpa menghiraukan tanaman yang ada, mereka telah berhenti dan beristirahat di sebuah pategalan yang terbuka, yang tidak mempunyai banyak pepohonan, sehingga mereka akan dapat mengamati keadaan di sekitar tempat itu dengan jelas.

Orang-orang padukuhan terdekat, yang memiliki daerah pategalan itu pun melihat kehadiran pasukan itu di pategalan mereka. Namun mereka justru menjadi ketakutan. Tidak seorang pun yang berani menegur sekelompok pasukan yang besar yang terdiri dari orang-orang yang kasar dan bahkan liar.

Justru menjelang sore, dibawah rimbunnya dedaunan di pategalan orang-orang yang letih itu sempat beristirahat. Sebagian besar dari mereka telah tertidur dibawah pepohonan, atau di sela-sela tanaman jagung muda. Mereka tidak merasa cemas bahwa mereka akan mendapat serangan sebagaimana mereka alami semalam, karena mereka yang bertugas dapat melihat keadaan di sekitar pategalan itu dengan jelas.

Para petugas sandi yang membayangi pasukan itu harus bersembunyi pula agar tidak diketahui oleh orang-orang yang bertugas berjaga-jaga dalam pasukan yang besar itu. Betapapun mereka merasa letih, namun mereka tidak dapat meninggalkan tugas mereka. Ketika kemudian malam turun, maka yang bertugas pun menjadi berlipat. Mereka yang sudah sempat beristirahat, menggantikan tugas mereka yang dengan letih mengawasi keadaan menjelang matahari tenggelam.

Yang bertugas itu tidak hanya melingkar di sekitar pasukan yang sedang beristirahat itu. Tetapi untuk mencegah peristiwa yang menyakitkan itu terulang, maka penjagaan pun diatur dalam lapis-lapis yang rapat, sehingga tidak akan ada seorang pun yang akan dapat mendekat.

Para petugas sandi yang mengamati keadaan mereka menganggap bahwa penjagaan pasukan itu terlalu kuat untuk sekelompok kecil pasukan Bajra Seta. Karena itu, seorang penghubung yang datang di tempat yang sudah ditentukan, menyarankan agar mereka tidak mengganggu lawan malam itu.

“Mereka tidak akan bermalam lagi di jalan,” berkata Mahisa Pukat.

“Tetapi berbahaya sekali untuk melakukannya sekarang,” jawab petugas sandi itu. “Aku kira, kita harus mencari kesempatan lain.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka memang tidak boleh mengorbankan orang-orangnya dengan semena-mena. Tetapi mereka tidak melihat lagi kesempatan untuk melakukan sebagaimana pernah mereka lakukan. Meskipun mereka menyadari, bahwa keadaannya tentu sudah jauh berbeda.

“Kekuatan mereka sudah banyak berkurang,” berkata Mahisa Murti kemudian.

“Apakah kita harus menghibur diri kita sendiri dengan cara seperti itu?” desis Mahisa Pukat.

Mahisa-Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian bertanya, “Bagaimana dengan keberhasilan kita itu? Apakah itu bukan berarti pengurangan kekuatan yang cukup besar pada lawan kita?”

Mahisa Pukat mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Tetapi lawan masih terlalu kuat bagi padepokan Bajra Seta.”

“Justru karena itu, kita harus berhati-hati. Kita tidak dapat berbuat sesuatu yang akan dapat menjatuhkan korban terlalu banyak atas kekuatan kita yang sudah terlalu kecil ini,” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk pula. Dengan nada datar ia berkata, “Aku mengerti.”

Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berusaha untuk mendekati pasukan lawan. Hanya beberapa orang saja masih mengamatinya dengan cermat, namun dengan sangat berhati-hati.

Ternyata bahwa orang-orang dari padepokan Manik Wungu dan Randu Papak itu tidak menunggu sampai fajar. Sedikit lewat tengah malam mereka telah melanjutkan perjalanan mereka menuju ke sasaran. Padepokan Bajra Seta. Orang yang pernah datang ke padepokan Bajra Seta dan menyebut diri mereka orang-orang Suriantal, akan memasuki padepokan itu pula menemui para pemimpinnya. Mereka masih tetap akan mengatakan, bahwa para pengikut dari perguruan Suriantal akan mengadakan pertemuan di padepokan itu.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendapat laporan tentang keberangkatan orang-orang dari padepokan Manik Wungu dan Randu Papak, maka ia pun telah memerintahkan orang-orangnya untuk bergerak pula. Dalam perjalanan itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan pemimpin petugas sandi dari Lemah Warah telah berusaha untuk memecahkan persoalan mereka. Bagaimana mereka dapat mengurangi lagi kekuatan lawan sebagaimana pernah mereka lakukan. Tetapi lawan mereka tidak akan membuat kesalahan yang sama sampai kedua kalinya.

Perjalanan mereka ternyata merupakan perjalanan yang panjang dan berat. Ketika matahari terbit, maka orang-orang Bajra Seta sekali lagi telah memecah orang-orangnya dengan cara sebagaimana telah mereka lakukan. Namun jarak mereka dengan padepokan telah menjadi semakin dekat, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memutuskan, bahwa mereka akan berkumpul kembali, beberapa puluh patok saja dari padepokan. Sehingga jika diperlukan, maka mereka akan dapat bergerak dengan cepat.

Dalam pada itu, maka orang-orang padepokan Manik Wungu dan Randu Papak pun ternyata telah berhenti tidak jauh pula dari padepokan yang akan menjadi sasaran itu. Tetapi mereka tidak akan langsung menyerang padepokan itu. Mereka akan mengirimkan orang-orang bertongkat, yang mengaku dari perguruan Suriantal itu untuk menemui para pemimpin padepokan Bajra Seta. Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak sama sekali tidak mencemaskan kesiagaan orang-orang Bajra Seta yang dianggapnya baru mengatur diri sehingga mereka masih belum mempunyai kekuatan yang mapan.

Namun perkemahan orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu tidak terlepas sama sekali dari pengamatan para petugas sandi dari Lemah Warah dan orang-orang Bajra Seta yang sudah terlatih baik. Ternyata bahwa para pengamat itu telah melihat perubahan sikap dari orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak. Justru ketika mereka sudah berada dekat dengan padepokan yang mereka tuju, maka mereka tidak lagi merasa bahwa mereka masih berada dalam bahaya sebagaimana pernah mereka alami.

Mereka menganggap bahwa Lemah Warah telah menjadi terlalu jauh sehingga para prajurit Lemah Warah tidak akan mengganggu mereka lagi dengan cara apa pun juga. Ternyata orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak nampaknya memang tidak tergesa-gesa. Yang tergesa-gesa menurut perhitungan mereka adalah justru menjauhi dan meninggalkan Lemah Warah.

Di hari berikutnya orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu telah menyiapkan beberapa orang bertongkat untuk, pergi ke padepokan Bajra Seta. Mereka harus menemui kedua orang anak muda yang mengaku sebagai Putut dan memimpin padepokan itu.

Ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pada hari itu justru berada di padepokan. Setelah mereka menempatkan pasukannya di tempat yang tidak akan diketahui oleh lawan yang berjumlah lebih besar dari kekuatan Bajra Seta itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memasuki padepokan mereka dengan diam-diam untuk membicarakan rencana berikutnya bersama dengan Mahendra.

Kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat orang-orang yang mengaku dari perguruan Suriantal itu tidak merubah keterangan mereka. Beberapa padepokan dari cabang perguruan Suriantal akan bertemu di padepokan Suriantal yang telah berubah menjadi padepokan Bajra Seta itu.

“Sayang Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti, “seperti yang sudah aku katakan. Kami tidak dapat menerima. Kami bukan orang-orang Suriantal. Kami sama sekali tidak berkepentingan dengan pertemuan itu sehingga kami tidak dapat menerima kehadiran kalian.”

“Jangan begitu Ki Sanak,” berkata orang yang mengaku dari perguruan Suriantal itu, “barangkali kalian perlu mengetahui bahwa kami dalam jumlah yang besar telah berada di sekitar padepokan ini. Sebenarnya kalian tidak mempunyai pilihan.”

“Kenapa tidak?” bertanya Mahisa Murti, “kami mempunyai wewenang atas padepokan kami sendiri.”

Orang-orang yang menyebut dirinya dari perguruan Suriantal itu saling berpandangan sejenak. Namun orang yang dianggapnya pemimpin oleh kelompok itu pun kemudian berkata,

“Anak-anak muda. Kalian harus mampu membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan. Kalian telah menyebut diri kalian sebagai pemimpin dari sebuah perguruan dan padepokan. Namun kalian agaknya sama sekali belum dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang bijaksana. Jiwa kalian sama sekali belum mengendap. Darah kalian masih mudah mendidih, sedang jantung kalian cepat membara.”

“Aku tidak mengerti maksudmu,” potong Mahisa Pukat.

“Kalian jangan menuruti luapan perasaan muda kalian. Pertimbangkan baik-baik. Kami akan mengadakan pertemuan di padepokan ini. Bukalah pintunya dan persilahkan kami masuk. Terimalah kami sebagai tamu yang terhormat disini. Dengan demikian maka tidak akan timbul masalah diantara kita. Tetapi jika kalian bersikap terlalu sombong dan sekedar hanyut oleh perasaan tanpa penalaran, maka kalian akan menyesal.”

“Kenapa kami akan menyesal?” bertanya Mahisa Murti.

“Kami dapat berbuat apa saja atas padepokan ini. Kami dapat menghancurkannya dan membakarnya menjadi debu,” berkata orang itu.

“Kalian terlalu sombong,” berkata Mahisa Murti, “kalian kira kami akan membiarkan kalian melakukannya? Kau lihat, kami mempunyai kekuatan yang cukup untuk mempertahankan padepokan ini.”

Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Apa kau kira, kami tidak dapat melihat. Ada berapa orang-orangmu disini? Dan apa saja yang dapat mereka lakukan untuk mencegah kami yang memiliki selumbung pengalaman. Perguruan yang kau sebut-sebut itu adalah perguruan baru. Orang-orangmu baru belajar bagaimana memegang pedang. Bagaimana memasang tali busur dan mengetrapkan anak panah sebelum dilepas. Kau tentu baru dapat memberikan sedikit petunjuk tentang memutar tombak serta, mengenakan perisai. Apa daya padepokan ini? Apalagi menurut penglihatanku sekarang, isi padepokan ini terlalu sedikit untuk dapat bertahan”

“Cukup,” potong Mahisa Pukat, “aku persilahkan kalian meninggalkan padepokan ini selagi pintu gerbang kami masih terbuka. Kami akan segera menutup dan menyelaraknya. Setiap orang yang berani mendekatinya akan kami binasakan.”

Orang-orang yang menyebut dirinya dari perguruan Suriantal itu tertawa. Pemimpin mereka itu pun berkata, “jangan berusaha untuk menutupi kecemasanmu dengan sikap yang garang begitu. Anak-anak muda. Sebenarnya kami ingin mengundang kalian untuk melihat sendiri pasukan yang datang bersama kami. Jika kalian bersedia, maka kalian akan dapat membuat pertimbangan yang paling mapan untuk menanggapi keadaan ini.”

“Aku tidak peduli dengan omong kosongmu itu,” sahut Mahisa Pukat. Lalu “Sekali lagi aku minta, pergilah. Jika kalian tidak segera pergi, dan gerbang itu sudah terlanjur tertutup, maka kalian akan mati disini sebelum kawan-kawanmu datang.”

“Itu bukan laku laki-laki,” geram orang yang menyebut dirinya dari perguruan Suriantal.

“Aku tidak peduli, apakah aku dapat disebut laki-laki atau bukan. Aku sama sekali tidak berkepentingan dengan sebutan-sebutan. Yang penting aku dapat memuaskan hatiku dengan mencincang kalian di halaman dan melemparkan sisa-sisa tubuh kalian keluar dinding padepokan ini untuk dilihat oleh kawan-kawanmu.”

“Baiklah,” berkata orang bertongkat itu, “aku akan pergi. Aku akan membawa orang-orangku mendekat dan berkemah di sekitar padepokanmu ini. Dengan demikian kalian akan mengetahui betapa besar kekuatan keluarga Suriantal dan beberapa orang wakil dari padepokan lain yang akan menjadi tamu kita.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun ia benar-benar telah berusaha untuk mengusir orang-orang itu. Sambil berdiri tegak Mahisa Pukat telah menunjuk ke arah pintu gerbang padepokannya.

Terdengar orang-orang bertongkat itu mengumpat. Pemimpin mereka telah berkata dengan marah, “Sekarang kalian mengusir aku. Tetapi besok, aku akan mengusir kalian bukan saja keluar dari padepokan ini, tetapi mengusir kalian ke lubang maut.”

“Cepat,” geram Mahisa Pukat, “aku tidak mempunyai waktu untuk melayani pemimpi seperti kalian.”

Orang-orang yang mengaku dari perguruan Suriantal itu-pun kemudian meninggalkan padepokan itu dengan wajah yang merah. Jantung mereka rasa-rasanya telah membengkak menahan kemarahan. Namun mereka bertekad untuk kembali memasuki padepokan itu dan sekaligus menghancurkannya.

Demikian orang-orang bertongkat itu keluar, maka pintu gerbang pun segera ditutup kembali. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera menemui ayah mereka untuk melanjutkan pembicaraan tentang rencana yang akan mereka lakukan menghadapi pasukan yang besar itu.

“Agaknya mereka akan mendekati padepokan dan memamerkan kekuatan mereka,” berkata Mahisa Murti.

“Jika demikian, bawa orang-orangmu keluar,” berkata Mahendra, “hati-hati dan jangan sampai diketahui oleh mereka. Orang-orangmu harus menunggu sampai malam datang.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun keduanya pun mengangguk-angguk. Dengan nada datar Mahisa Murti bertanya, “Menurut ayah, kami harus menyerang mereka di malam hari?”

“Ya,” berkata Mahendra, “kalian lebih menguasai medan. Jika kalian menunggu mereka menyerang esok, mungkin kalian akan banyak mengalami kesulitan. Tetapi jika kalian menyerang malam hari kemudian menghilang, agaknya keadaan akan berbeda.”

“Tetapi yang terlatih hanyalah sekelompok yang kami bawa menyongsong mereka di Lemah Warah,” berkata Mahisa Pukat.

Mahendra mengangguk-angguk. Ia memang sudah memperhitungkan hal itu sebelum ia mengatakan kemungkinan itu kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Karena itu katanya,

“Kau harus membagi orang-orang yang kau anggap mempunyai kemampuan bertempur dengan cara yang pernah kau pergunakan dan berhasil. Tetapi kau harus tetap mempunyai sekelompok pasukan yang akan dapat mengacaukan mereka dalam kegelapan. Namun sebelumnya kau harus mengumpulkan orang-orangmu dan secara cepat dan singkat memberikan petunjuk-petunjuk tentang perang yang akan kalian lakukan. Cara-caranya, tujuannya dan sasarannya...”