Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 40

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 40 karya Singgih Hadi Mintarjda
Sonny Ogawa
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 40
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

PALOT menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih atas kesediaanmu itu. Tetapi bagaimana dengan yang lain?”

“Aku tidak dapat berbuat lain,” berkata pemimpin padepokan itu. “aku tidak ingin para pengikutku di padepokan ini mati seperti tebasan ilalang, tanpa hitungan.”

Palot mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku tahu bahwa kalian memang akan menyerah. Dengan demikian maka tugas yang dibebankan kepadaku telah dapat aku selesaikan.”

“Lalu apa yang harus kami lakukan?” bertanya pemimpin perguruan Suriantal itu.

“Kita akan menghadap Akuwu Lemah Warah,” berkata Palot, “mudah-mudahan ia bersama pasukannya masih berada di padepokan yang pernah kita tinggalkan itu.”

“Apakah kita seisi padepokan ini harus pergi padepokan itu?” bertanya pemimpin padepokan itu.

Palot menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak. Aku tidak akan membawa semuanya bersamaku. Tetapi orang-orang tertentu sajalah yang akan pergi ke padepokan itu bersamaku.”

Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Siapakah di antara kita yang harus pergi?”

Palot termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tentu kalian berdua. Aku berharap bahwa sepeninggal kalian, akan terjadi perubahan di padepokan ini. Kecuali jika para pengikut kalian memang sudah jemu hidup dengan tenang.”

Kedua pemimpin itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu pemimpin perguruan Suriantal itu bertanya, “Jadi, kalian biarkan para pengikut kami bebas?”

“Tidak,” jawab Palot, “tetapi aku tidak akan membawa mereka. Mungkin aku akan mengalami kesulitan di perjalanan. Aku hanya akan membawa kalian berdua saja. Namun kalian harus mampu mengendalikan dengan pesan dan perintah, bahwa para pengikutmu tidak akan berbuat sesuatu yang dapat mengeruhkan suasana. Karena, jika terjadi demikian maka akan terjadi tindak kekerasan lagi atas padepokan ini.”

Kedua pemimpin perguruan itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian pemimpin perguruan Suriantal itu berkata, “Terima kasih. Biarlah orang-orang kami tetap berada di padepokan dengan cara hidup yang baru. Percaya atau tidak, sebenarnya kami bukan sejenis perampok ternak yang sering mengganggu orang-orang pedukuhan.”

Orang yang disebut Palot itu mengangguk kecil. Katanya. “Aku mengerti. Tetapi segala kemungkinan dapat terjadi.“

Pemimpin perguruan Suriantal itu menarik nafas dalam-dalam. Ia pun mengerti maksud Palot. Dalam kesulitan maka orang-orang yang memiliki kekuatan kadang-kadang lupa diri. Dan hal itu memang sudah terjadi. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Aku akan berpesan, agar orang-orangku dan isi padepokan ini berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya agar mereka tidak digilas sekali lagi dengan kekerasan.”

“Baiklah,” berkata Palot, “lakukanlah. Kalian masih mempunyai kesempatan untuk membenahi padepokan ini. Menyelenggarakan kawan-kawan kalian yang terbunuh, sengaja atau tidak aku sengaja.”

Kedua pemimpin perguruan yang ada di padepokan itu mengangguk kecil. Ternyata sikap Palot cukup lunak sehingga kesan mereka terhadap orang itu ternyata telah terguncang-guncang. Mula-mula mereka menganggap orang itu tidak lebih dari seorang hamba yang mencari perlindungan. Kemudian mereka menghadapi satu kenyataan bahwa orang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Namun akhirnya mereka menyadari, bahwa orang yang berilmu tinggi itu bukan orang yang kasar dan keras sebagaimana mereka juga sebelumnya. Dengan demikian maka kedua orang pemimpin yang akan ikut bersama Palot ke padepokan yang telah mereka tinggalkan dan menyerahkan diri itu, masih mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu atas padepokannya.

Ternyata Palot seakan-akan sama sekali tidak menaruh curiga bahwa kedua orang pemimpin itu akan berbuat curang dan licik. Karena itu, maka ia sama sekali tidak berusaha untuk membatasi tingkah laku kedua pemimpin itu. Bahkan sekali lagi berpesan, “Kalian harus mempergunakan sisa-sisa wibawa kalian dan pengaruh kalian untuk mengarahkan hidup mereka untuk selanjutnya.”

Demikianlah seperti yang dipesankan oleh Palot, maka kedua orang pemimpin itu telah berbuat sebagaimana dikehendaki. Mula-mula mereka mengatur orang-orangnya untuk menyelenggarakan kawan-kawan mereka dan kakak seperguruan pemimpin padepokan itu yang terbunuh di pertempuran itu. Kemudian kedua orang itu telah mengumpulkan para pengikutnya yang tersisa, serta para pengikut kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.

Dengan penuh kesungguhan mereka memberikan pesan bagi kehidupan para penghuni padepokan itu untuk selanjutnya. Sementara itu, kedua orang itu menganjurkan agar para pengikut kakak seperguruan pemimpin padepokan itu tetap tinggal untuk sementara.

“Di Lemah Warah atau di Kediri, kami tentu mendapat perintah bagi kalian. Karena itu, kalian sebaiknya tetap tinggal saja di sini. Agar tidak timbul salah paham dikemudian hari, sehingga dapat memancing tindakan-tindakan yang seharusnya tidak perlu dilakukan.”

Pesan itu memang terasa asing di telinga para penghuni padepokan itu. Mereka yang sebelumnya selalu ditempa dengan sifat-sifat kejantanan, tiba-tiba mereka harus menghadapi satu kenyataan, bahwa mereka tidak dapat berbuat sesuatu hanya menghadapi satu orang saja. Bahkan mereka harus menyerah bukan saja dihadapannya, sepeninggal orang itu, seisi padepokan masih harus melakukan sebagaimana dikehendakinya.

Apa artinya tindakan kekerasan bagi mereka, jika mereka tetap pada sikap dan pendirian mereka sebelumnya. Tetapi ternyata bahwa para pemimpin mereka telah memerintahkan mereka untuk mengekang diri dan menjadi jinak. Namun mereka memang tidak dapat ingkar dari kekalahan yang berturut-turut mereka alami. Bahkan di padepokan itu mereka tidak akan mampu melawan lawan yang hanya seorang tetapi mampu menggerakkan prahara yang sangat dahsyat.

Apalagi mereka menyadari, bahwa di belakang orang itu terdapat kekuatan yang tidak akan dapat dilawan dengan cara apapun juga. Demikianlah, maka para penghuni padepokan itu tidak dapat berbuat lain daripada menyatakan kesediaan mereka. Seorang di antara mereka yang dianggap paling tua bukan saja umurnya, tetapi juga kemampuannya telah ditunjuk untuk memimpin kawan-kawan mereka di padepokan itu, siapa pun mereka dan dari perguruan yang manapun.

“Masih banyak jalan yang dapat kalian tempuh,” berkata pemimpin padepokan itu, “masih ada hutan yang dapat kalian tebang untuk memperluas tanah persawahan. Dengan kerja kalian akan dapat memenuhi kebutuhan mereka sewajarnya. Selanjutnya kalian dapat menunggu. Seandainya aku tidak lagi kembali ke padepokan ini, maka tentu ada perintah dari Kediri apa yang harus kalian lakukan.”

Demikianlah, maka kedua orang pemimpin padepokan itu telah ikut bersama Ki Permita yang dikenalnya bernama Palot. Mereka tidak langsung pergi ke Pakuwon Lemah Warah. Tetapi mereka akan pergi ke padepokan yang telah dikalahkan oleh Lemah Warah bersama Senapati dari Kediri itu. Ki Permita berharap bahwa Akuwu Lemah Warah atau yang ditugaskannya masih berada di padepokan itu.

Sepanjang perjalanan Ki Permita menuju ke padepokan itu, maka sepanjang itu pula perjalanan mereka kembali ke padepokan orang-orang Suriantal. Tetapi ternyata bahwa Akuwu Lemah Warah telah kembali ke Pakuwon. Namun padepokan itu ternyata tidak menjadi kosong. Orang-orang yang menyerah dan tertangkap, ternyata oleh Akuwu Lemah Warah telah dibiarkan tinggal di padepokan itu.

Ki Permita yang datang bersama pemimpin perguruan Suriantal dan seorang pemimpin dari padepokan yang telah mereka tinggalkan itu, telah diterima dengan baik oleh orang yang diserahi untuk sementara memimpin padepokan Suriantal itu.

Semula Ki Permita memang merasa heran bahwa padepokan itu telah ditinggalkan begitu saja. Namun iapun telah melakukannya pula atas padepokan yang lain. Tetapi ia telah membawa dua orang pemimpin perguruan yang sangat berpengaruh. Kepada orang yang memimpin padepokan Suriantal itu Ki Permita bertanya, “Apakah ada pesan untuk aku?”

“Ya Ki Sanak,” jawab orang yang memimpin padepokan itu, “Jika Ki Palot berhasil menghubungi kedua pemimpin perguruan kita yang pernah tinggal di padepokan ini, maka Ki Palot diharap untuk mengajaknya langsung ke Pakuwon Lemah Warah. Mungkin Pangeran Singa Narpada masih dapat kau jumpai di Pakuwon itu.”

Palot menarik nafas dalam-dalam. Dari orang yang memimpin padepokan itu pula ia pun kemudian mendengar tentang orang yang disebut Panembahan itu. Dari orang yang diserahi memimpin padepokan itu ia mendengar bahwa Panembahan memang sudah tidak dapat diselamatkan lagi.

“Aku memang sudah menduga sebelumnya. Keadaannya sudah sangat gawat ketika aku berangkat,” berkata Ki Permita yang disebut Palot.

Sehari Palot berada di padepokan itu. Ia sama sekali tidak menunjukkan kecurigaannya. Ia biarkan saja kedua orang tawanannya bebas berkeliaran di padepokan itu. Selama ia di padepokan, maka Palot telah mendengar sikap Akuwu Lemah Warah tentang padepokan itu sepengetahuan Pangeran Singa Narpada.

“Semua persoalan nampaknya telah dikembalikan kepada Panembahan,” berkata orang yang diserahi pimpinan di padepokan itu, “dengan demikian, seakan-akan orang lain telah dibebaskan dari segala kesalahan yang telah dibuatnya menurut pandangan Akuwu Lemah Warah.”

Palot menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian Pangeran Singa Narpada sebenarnya telah mengembalikan semua persoalan pada sumbernya. Pangeran Singa Narpada agaknya telah memperhitungkan bahwa yang menggerakkan orang-orang dari berbagai perguruan itu adalah Pangeran Gagak Branang yang disebutnya Panembahan.

Dengan demikian maka sepeninggal Pangeran Gagak Branang, Pangeran Singa Narpada menganggap bahwa persoalannya akan dapat dibatasi. Bahkan para pengikutnya tidak akan bergerak lebih jauh. Orang-orang dari berbagai perguruan itu tentu akan menghentikan kegiatan mereka dalam hubungan mereka dengan persoalan Kediri dan Singasari.

Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada telah mengambil kebijaksanaan untuk membiarkan saja orang-orang yang masih tersisa di padepokan itu. Namun dengan demikian Ki Permita pun merasa bahwa langkah yang telah dilakukannya pun merupakan langkah yang benar.

Demikianlah, ternyata yang semalam itu tidak terjadi sesuatu. Meskipun Palot pun tidak lepas dari sikap berhati-hati. Kedua orang pemimpin perguruan yang menjadi tawanannya itu sama sekali tidak diawasinya. Seandainya mereka berniat untuk melarikan diri, maka agaknya hal itu dapat dilakukannya.

Namun kedua orang itu harus memperhitungkan kemungkinan yang sangat buruk yang dapat terjadi di padepokan itu dan padepokan yang ditinggalkan. Orang yang disebut Palot itu dalam kemarahannya akan mampu membunuh korban yang tidak terhitung jumlahnya meskipun ia hanya sendiri.

Pagi-pagi Palot sudah bersiap. Demikian pula kedua orang tawanannya. Mereka akan segera pergi ke Pakuwon Lemah Warah untuk menghadap. Di perjalanan tidak ada kesan bahwa kedua orang itu adalah tawanan Ki Permita. Mereka berjalan beriringan sebagaimana tiga orang yang bersama-sama menempuh perjalanan.

Namun dalam pada itu tiba-tiba saja orang bertongkat dari perguruan Suriantal itu pun bertanya, “Apakah kau kenal dengan tiga orang anak muda yang diaku kemanakan Akuwu Lemah Warah itu?”

Palot mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeleng, “Kenal benar tidak. Kenapa?”

Pemimpin perguruan Suriantal itu menjawab, “Mereka tertarik kepada batu di pinggir hutan yang berwarna kehijau-hijauan itu. Nampaknya mereka memiliki pengetahuan tentang batu-batuan. Mereka mengaku pedagang batu akik dan wesi aji.”

“Mungkin mereka memang memiliki pengetahuan itu,” berkata Ki Permita, “tetapi aku kurang mendalaminya.”

Orang bertongkat itu mengangguk-angguk. Sebenarnyalah baginya batu itu memang sangat berharga. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya kepada Palot. Tetapi ia berkata di dalam hatinya, “Jika ada kesempatan di kemudian hari, aku akan mengambilnya.” Tetapi ia berkata selanjutnya, “Namun agaknya anak-anak muda itu tentu akan mengambilnya lebih dahulu. Batu itu tentu sangat berharga jika jatuh ke tangan orang yang benar-benar mampu menggosoknya. Batu itu akan dipecah menjadi berkeping-keping. Setiap keping akan dapat digosok menjadi puluhan batu yang berharga mahal. Bahkan pecahan-pecahannya yang berserakan pun akan dapat digosok menjadi batu akik yang berharga.”

Namun akhirnya orang itu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia memang harus melupakannya. Ia harus puas pada segumpal yang telah dipasangnya di tongkatnya itu.

Demikianlah, seperti tiga orang pengembara, mereka memasuki Pakuwon Lemah Warah. Mereka memasuki gerbang kota dan langsung menuju ke istana Akuwu yang terletak di pusat kota yang tidak terlalu luas.

Para pengawal di regol halaman memang bertanya dengan cermat, siapakah mereka. Namun akhirnya Palot berhasil meyakinkan, bahwa mereka memang dipanggil oleh Akuwu menghadap.

“Kalian menunggu di gardu pengawal,” berkata pemimpin pengawal, “kehadiran kalian akan dilaporkan.”

Seorang pengawal pun kemudian telah menyampaikan kehadirannya seorang yang bernama Palot kepada seorang Pelayan Dalam, agar disampaikan kepada Akuwu Lemah Warah.

“Namanya Palot yang juga disebut Permita,” berkata kepada pengawal itu.

“Ooo,” Akuwu Lemah Warah pun kemudian telah turun sendiri ke halaman depan untuk menyongsong orang yang bernama Permita dan disebut Palot itu.

“Marilah,” berkata Akuwu Lemah Warah ketika ia melihat Ki Permita di depan gardu bersama dua orang yang harus ditangkapnya. Akuwu Lemah Warah tidak perlu bertanya lagi. Ia pun segera mengerti bahwa Ki Permita telah berhasil dengan tugasnya, menangkap atau membujuk kedua orang itu untuk menyerah.

Demikianlah, maka Ki Permita dan kedua orang yang datang bersamanya itu telah dipersilahkan masuk ke ruang dalam. Baru setelah mereka duduk, maka Akuwu Lemah Warah itu telah memanggil Pangeran Singa Narpada dan Mahendra. Bahkan juga Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura yang ternyata masih berada di Pakuwon itu pula.

Sejenak kemudian, maka orang-orang yang masih berada di Pakuwon itu pun telah duduk pula bersama Ki Permita dan kedua orang pemimpin perguruan yang menyerah itu. Sementara itu, maka Ki Permita pun telah menyatakan, bahwa kedua orang pemimpin perguruan itu memang sudah menyerah.

“Syukurlah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “dengan demikian kalian telah bertindak bijaksana. Kalian ternyata termasuk pemimpin yang bertanggung jawab, sehingga kalian tidak ingin melihat korban berjatuhan lebih banyak lagi.”

“Kami memang tidak mempunyai harapan lagi,” berkata pemimpin perguruan Suriantal yang bertongkat itu, “karena itu, maka kami telah memilih jalan yang kami anggap terbaik ini. Menyerah.”

“Itulah yang aku maksudkan,” sahut Pangeran Singa Narpada, “dengan demikian kalian sudah membantu penyelesaian yang lebih baik daripada saling menghancurkan.”

Kedua orang tawanan itu menarik nafas dalam-dalam. Pemimpin padepokan itupun kemudian berkata, “Ternyata sikap Palot dan Pangeran tidak berbeda. Tetapi kenapa Palot dan Pangeran telah membiarkan para pengikut kami tetap berada di padepokan?”

“Mungkin orang-orang yang aku tinggalkan pernah mengatakan kepada kalian, apa sebabnya,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Yaa. Kalian membebankan semua kesalahan kepada Panembahan, karena itu, maka yang lain bagi kalian dapat dianggap tidak bersalah lagi,” berkata pemimpin padepokan yang telah mereka tinggalkan itu.

“Bukan begitu,” berkata Pangeran Singa Narpada, “tetapi kami sudah tahu pasti, apa yang telah terjadi dan siapakah sumber dari segala peristiwa itu. Nah, apakah dugaanku salah, bahwa kesalahan utama ada pada Panembahan itu?”

Kedua orang pemimpin perguruan itu mengangguk-angguk. Meskipun mereka tidak mengharap bebas sama sekali dari hukuman yang mungkin akan dijatuhkan oleh Kediri atau Lemah Warah, namun rasa-rasanya kesalahan mereka tidak lagi menentukan.

Sebenarnyalah maka Pangeran Singa Narpada pun berkata, “Meskipun demikian, kami tidak dapat membebaskan kalian dari tuntutan. Kalian adalah para pemimpin yang bertanggung jawab sebuah perguruan. Keterlibatan perguruan kalian tergantung kepada kalian.”

Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun sementara itu Pangeran Singa Narpada pun berkata, “Tetapi seperti yang aku katakan, letak kesalahan utama dari segala peristiwa yang telah terjadi tentu pada Panembahan. Tetapi apakah kalian mengenal siapakah orang yang disebutnya Panembahan itu?”

Kedua orang pemimpin perguruan itu menggeleng. Sementara itu orang bertongkat dari perguruan Suriantal itu justru bertanya, “Apakah Pangeran dapat menjelaskan siapakah Panembahan itu? Bagiku Panembahan adalah orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Orang yang memiliki pengetahuan yang luas dan mempunyai pandangan tentang masa depan yang bagi kami memberikan banyak harapan daripada masa depan yang kami lihat sekarang, yang dikemudikan oleh para pemimpin di Kediri yang berkiblat kepada Singasari.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “orang itu memang orang yang luar biasa. Ia memiliki ilmu yang tidak ada bandingnya.”

Dalam pada itu, ketika Pangeran Singa Narpada memandang kepada Ki Permita yang dikenal bernama Palot itu, maka orang itu telah menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Sementara itu Pangeran Singa Narpadapun berkata, “Ki Sanak. Ternyata bukan saja orang itu yang memiliki ilmu yang nggegirisi. Tetapi hambanya yang setia pun memiliki tingkat ilmu yang sulit dicari bandingnya.” Pangeran Singa Narpada pun berhenti sejenak, lalu, “sebenarnyalah kalian dapat bertanya kepada hambanya yang setia itu, siapakah sebenarnya orang yang kalian kenal dengan sebutan Panembahan itu.”

Kedua orang pemimpin perguruan itupun telah berpaling ke arah Palot. Mereka mengakui bahwa Palot adalah orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi pula. Namun dalam pada itu, dengan nada rendah Palot pun berkata, “Pangeran, sebaiknya bukan akulah yang harus menyampaikannya. Bukankah lebih baik Pangeran saja sama sekali yang berceritera tentang Panembahan dan barangkali tentang hambanya yang setia itu pula.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Baiklah jika kau tidak bersedia.” Kemudian sambil memandang kedua orang pemimpin perguruan itu berganti-ganti Pangeran Singa Narpadapun berkata, “Ki Sanak. Sebenarnyalah bahwa orang yang kalian sebut Panembahan itu adalah masih keluargaku sendiri. Orang itu adalah pamanku.”

Kedua orang itu terkejut. Hampir di luar sadar, orang bertongkat itu bertanya, “jadi, Panembahan itu juga seorang dari lingkungan istana di Kediri sendiri?”

“Ya. Yang disebut Panembahan itu adalah paman Pangeran Gagak Branang,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya mereka telah berpaling ke arah Ki Permita yang mereka kenal bernama Palot. Bahkan orang yang memiliki ilmu gendam itu berkata, “Jika demikian, siapa pula sebenarnya Palot yang memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya itu?”

“Bertanyalah kepadanya,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Namun dalam pada itu Palot pun berkata, “Tidak ada yang aneh pada diriku. Aku adalah hamba yang setia itu. Dan aku adalah hamba yang setia dari Pangeran Gagak Branang.”

Kedua orang pemimpin perguruan itu mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu Pangeran Singa Narpada telah membenarkannya. Katanya, “Memang demikian. Palot adalah seorang hamba yang setia. Namun barangkali kami lebih mengenalnya bernama Ki Permita daripada Palot. Tetapi apakah artinya nama. Yang penting, kalian dapat menilai sendiri kemampuannya.”

Kedua orang itu mengangguk-angguk pula. Memang tidak banyak yang dapat dijelaskan tentang Palot yang dikenal dengan nama Ki Permita itu selain ia memang seorang hamba yang setia. Namun keterangan tentang Panembahan itu telah memberikan arah berpikir kepada kedua orang itu. Itulah sebabnya maka baik Pangeran Singa Narpada maupun Palot menganggap bahwa beban kesalahan terbesar ada pada orang yang disebut Panembahan yang tidak lain adalah keluarga Kediri sendiri. Itulah sebabnya maka Panembahan itu mengingini Mahkota Kediri yang dianggapnya sebagai benda yang menjadi tempat bersemayam wahyu keraton.

Tetapi meskipun demikian, maka mereka tidak dapat ingkar dari tanggung jawab, karena keduanya adalah pemimpin perguruan yang langsung ikut serta mendukung gerakan Pangeran yang disebutnya Panembahan itu.

Sebenarnyalah maka Pangeran Singa Narpada pun kemudian berkata, “Baiklah Ki Sanak. Pada saatnya kita akan meninggalkan Pakuwon ini dan menuju ke Kediri.”

Pemimpin perguruan Suriantal itu menarik nafas

dalam-dalam sambil bergumam, “Batu itu.” Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya sambil bertanya, “Batu apa?”

“Batu yang ada di pinggir hutan itu. Batu yang berwarna kehijau-hijauan,” berkata orang bertongkat itu, “tetapi aku menyadari, bahwa aku tidak akan dapat memilikinya.”

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Sementara itu orang bertongkat itu berkata, “Terserahlah kepada ketiga orang anak muda itu.”

Pangeran Singa Narpada memandang wajah orang bertongkat yang kecewa itu. Dengan nada berat ia bertanya, “Kenapa dengan ketiga orang anak muda itu?”

“Agaknya mereka juga tahu nilai dari batu kehijau-hijauan itu,” jawab orang bertongkat itu.

Pangeran Singa Narpada berpaling ke arah Mahendra yang termangu-mangu. Namun ia tidak mengatakan sesuatu. Sementara itu, Pangeran Singa Narpada telah berketetapan untuk membawa kedua orang itu ke Kediri, agar mereka tidak menjadi beban bagi Akuwu Lemah Warah.

Demikianlah maka Pangeran Singa Narpada pun telah melakukan persiapan untuk segera kembali ke Kediri bersama kedua orang tawanan itu. Pangeran Singa Narpada merencanakan untuk meninggalkan Pakuwon itu dihari berikutnya.

Meskipun Akuwu Lemah Warah masih berusaha menahannya agar Pangeran Singa Narpada bersedia tinggal di Pakuwon itu barang dua tiga hari lagi, namun agaknya Pangeran Singa Narpada ingin segera kembali dan melakukan pemeriksaan yang lebih teliti atas kedua orang tawanannya. Namun dalam kesempatan tersendiri ia juga berkata kepada Ki Permita, “Kau juga sebaiknya ikut aku ke Kediri.”

Ki Permita mengangguk kecil. Katanya, “Aku sudah menyadari bahwa kedudukanku tidak ada bedanya dengan kedua orang itu.”

“Ah, tentu tidak,” berkata Pangeran Singa Narpada, “kau telah membantuku, menyelesaikan tugas ini dengan baik.”

Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi semuanya sudah lewat bagiku. Pangeran, aku memang tidak berkeberatan untuk pergi bersama Pangeran dan kedua orang tawanan itu ke Kediri. Namun setelah itu, maka aku mempunyai permohonan kepada Pangeran dan para pemimpin di Kediri lainnya.”

“Apa permohonanmu?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Pangeran, aku adalah hamba yang setia dari Pangeran Gagak Branang. Sementara itu, Pangeran Gagak Branang telah tidak ada lagi. Karena itu, maka tidak ada gunanya lagi bagiku untuk hidup lebih lama lagi. Apalagi sebenarnyalah bahwa aku sudah terlalu lama hidup sebagaimana Pangeran Gagak Branang. Aku sudah terlalu tua untuk dapat berbuat sesuatu,” berkata Ki Permita.

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Sebagaimana Pangeran Gagak Branang, maka Ki Permita pun tentu sudah sangat tua. Sementara itu sebagaimana juga Pangeran Gagak Branang, maka Ki Permita pun telah minum sejenis getah yang dapat menahan gerak jaringan tubuhnya untuk menjadi lebih tua dari saat obat itu mulai berpengaruh pada dirinya.

“Jadi apa yang kau inginkan?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Menyusul Pangeran Gagak Branang,” jawab Ki Permita.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan ragu ia bertanya, “Untuk itu apa yang harus aku lakukan?”

“Pangeran,” berkata Ki Permita, “banyak cara yang dapat ditempuh. Selagi Pangeran dan Mahendra masih berada di sini.”

“Maksudmu?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Pangeran dapat melakukannya dengan cara yang sama sebagaimana pangeran lakukan atas Pangeran Gagak Branang.” jawab Ki Permita.

“Membunuhmu dengan benturan ilmu atau dengan benang lawe itu?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Pangeran tidak perlu menggunakan lawe itu terhadap diriku. Aku tidak memiliki ilmu sebagaimana dimiliki oleh Pangeran Gagak Branang didalam hal seperti itu. Karena itu, maka jika terjadi benturan ilmu itu, maka aku akan langsung mati.” jawab Ki Permita.

Tetapi Pangeran Singa Narpada menggeleng. Katanya, “Itu merupakan satu pembunuhan,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Sementara itu bagaimana mungkin aku dapat ikut bersama kami ke Kediri jika kau mati di sini?”

“Pangeran,” jawab Ki Permita, “sudah aku katakan, bahwa aku akan ikut bersama Pangeran ke Kediri. Kemudian Pangeran dapat melakukannya.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berkata, “Ki Permita, baiklah kita akan pergi ke Kediri. Kita akan menyelesaikan tugas ini dengan tuntas. Kemudian aku akan menentukan sendiri, jalan yang paling baik yang akan kau tempuh. Tetapi tidak ada cara yang paling baik daripada cara yang sewajarnya. Kau tidak dapat dengan syah mempercepat kematianmu hanya karena kejemuan, atau mungkin kesetiaan.”

Nampak keragu-raguan di wajah Ki Permita. Sekilas ia memandang kedua tangannya dengan jari-jari yang mengembang.

“Ki Permita,” berkata Pangeran Singa Narpada, “tidak ada cara untuk menunda dan mempercepat kematian yang syah dihadapan Yang Maha Agung. Semua akan berjalan sebagaimana seharusnya. Pangeran Gagak Branang pun telah kembali ke asalnya sebagaimana harus berlaku. Seandainya ia tidak mempergunakan ilmu apapun juga, maka umurnya memang akan cukup panjang sebagaimana terjadi atas dirinya. Pangeran Gagak Branang memang dapat hidup lebih dari seratus tahun. Tetapi ia bukan orang satu-satunya. Aku mengenal seorang petani yang tidak pernah memiliki ilmu apapun juga yang dapat hidup sampai seratus tahun pula. Bahkan masih mampu memilih gabah di antara beras yang akan ditanaknya.”

Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengerti Pangeran. Umur yang terlalu panjang memang dapat menjemukan bagi beberapa orang termasuk aku. Tetapi tentu orang yang tidak tahu diri dihadapan Yang Maha Agung itu.”

“Mudah-mudahan kau tidak dicengkam oleh kejemuan itu,” berkata Pangeran Singa Narpada, “meskipun getah itu dapat menghambat pertumbuhan jaringan tubuhmu, tetapi tidak akan dapat menjerat nyawamu untuk tetap berada didalam tubuhmu itu. Tetapi kau harus tabah, sehingga saat yang wajar itu datang.”

Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia menyadari bahwa yang dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada itu bukan sekedar petunjuk untuk menenangkan hatinya yang bergejolak, tetapi sebenarnyalah memang demikian.

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku yakin, bahwa hatimu tidak selemah itu sehingga kau menyerahkan dirimu pada keputus-asaan dan memasuki jalan pintas yang terkutuk itu.”

Ki Permita tidak menjawab. Hanya kepalanya sajalah yang mengangguk-angguk kecil.

“Bagus,” berkata Pangeran Singa Narpada, “besok kita akan kembali ke Kediri. Kita akan membawa dua orang tawanan kita bersama-sama dengan kita. Kita tidak perlu mempersulit tugas Akuwu Lemah Warah ini dengan kedua orang tawanan yang berilmu tinggi itu.”

Ki Permita hanya mengangguk-angguk saja tanpa menjawab. Dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada tidak lagi menaruh curiga kepada Ki Permita. Ia adalah seorang yang setia kepada sikapnya, sebagaimana telah dibuktikannya ketika ia mengabdi kepada Pangeran Gagak Branang.

Orang yang memiliki kesetiaan seperti Ki Permita itu tidak akan berkhianat. Jika ia sudah menyatakan kesediaannya, maka yang dikatakan itu akan dilakukannya. Tetapi jika ia mengatakan tidak maka apapun yang terjadi akan ditempuhnya.

Seperti yang direncanakan, maka di hari berikutnya, maka Pangeran Singa Narpada telah bersiap untuk kembali ke Kediri. Ternyata bahwa Mahendra pun telah ikut pula bersama mereka. Bahkan Mahisa Ura juga menyatakan diri untuk kembali ke Singasari.

“Bagaimana dengan kedua orang anak muda itu?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Mereka akan tinggal,” berkata Mahendra.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia bertanya perlahan-lahan kepada Mahendra, “Apakah ada hubungannya dengan batu yang disebut-sebut oleh orang bertongkat itu?”

Mahendra tersenyum. Katanya, “Batu itu berada di pinggir hutan. Tidak ada yang memilikinya. Anak-anak itu menganggap batu itu memang menarik. Aku tidak tahu, apakah mereka merasa perlu untuk memilikinya. Tetapi sekali lagi aku tegaskan, batu itu terletak di pinggir hutan tanpa seorang pun yang memilikinya, sehingga jika kedua anak-anak itu mengambilnya ia tidak merugikan siapapun juga. Agaknya orang-orang di sekitarnya tidak menganggap penting atas batu itu.”

“Mereka mungkin tidak tahu bahwa batu itu adalah batu yang berharga meskipun bukan yang terbaik,” desis Pangeran Singa Narpada.

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Dengan demikian mereka tidak merasa kehilangan jika batu itu dimiliki oleh siapapun juga.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mempersoalkannya lagi. Demikianlah, maka sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan Pakuwon Lemah Warah. Mereka tidak lagi berjalan kaki. Tetapi mereka telah mendapat kuda dari Akuwu Lemah Warah, agar perjalanan mereka menjadi agak cepat.

Seperti yang dikatakan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak ikut bersama mereka. Tetapi keduanya akan tetap tinggal di Pakuwon Lemah Warah. Mahendra tidak memaksa mereka untuk kembali. Keduanya menurut pendapatnya telah cukup dewasa. Ilmu mereka-pun telah cukup sebagai bekal pengembaraan mereka yang masih akan mereka lakukan.

Di perjalanan kembali Pangeran Singa Narpada telah berkata kepada Mahendra, “Anak-anak itu telah memberikan bantuan terbaik kepada Kediri. Sebenarnya aku ingin mengajak mereka kembali ke Kediri karena bagiku mereka akan dapat memberikan arti yang lebih besar lagi bagi Kediri. Tetapi aku tidak ingin mengecewakan mereka. Aku harap bahwa setelah pengembaraannya selesai, anak-anak itu bersedia kembali ke Kediri.”

Mahendra mengangguk. Katanya, “Aku akan mengatakannya kelak jika mereka kembali.”

“Terima kasih,” jawab Pangeran Singa Narpada. Kemudian katanya seolah-olah kepada diri sendiri, “Mudah-mudahan mereka bersedia.”

Mahendra tidak menjawab, meskipun ia tersenyum sambil mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih berada di Lemah Warah memang masih mempunyai keinginan untuk melihat-lihat batu yang berwarna kehijau-hijauan itu.

Namun dalam pada itu, Akuwu Lemah Warah telah memperingatkan kepada mereka, “Mungkin ada orang lain juga yang tertarik kepada batu itu selain pemimpin perguruan Suriantal itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganguk-angguk. Kemungkinan itu memang ada. Tetapi keduanya akan berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya atas batu itu.

“Kalian langsung atau tidak langsung telah membantu aku dalam hubungan Pakuwon ini dengan padepokan itu,” berkata Akuwu Lemah Warah, “karena itu, maka aku berharap kalian untuk menganggap Pakuwon ini sebagai tempat tinggal kalian sendiri, kampung halaman sendiri dan mudah-mudahan tempat ini dapat memberikan kesenangan kepada kalian.” Akuwu itu berhenti sejenak, lalu, “dengan demikian maka kalian dapat mengamati atau menentukan langkah-langkah kalian dari tempat ini atas batu itu. Jika kalian memerlukan bantuan, maka kau akan mendapatkannya di sini.”

Tetapi ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berpendapat lain. Mereka ingin mendekati batu yang berwarna kehijau-hijauan itu. Memang mungkin ada orang lain yang ingin memilikinya. Tetapi keduanya telah siap menghadapi akibat yang bagaimanapun juga.

“Jadi, ke mana kalian akan pergi?” bertanya Akuwu Lemah Warah.

“Kembali ke padepokan Suriantal,” jawab Mahisa Murti.

Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian bertanya, “Apakah kalian mempercayai orang-orang yang menyerah dan tertangkap yang kini tinggal di padepokan itu?”

“Aku akan mengamati keadaan. Namun agaknya mereka dapat dipercaya. Mereka tidak akan berani lagi berbuat sesuatu yang dapat menjerat mereka ke dalam kesulitan,” jawab Mahisa Murti.

Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya, “Akupun berpendapat demikian. Tetapi jika perlu jangan merasa segan untuk memberikan isyarat dengan cara apapun, agar aku dapat memberikan bantuan yang kalian perlukan.”

“Terima kasih,” berkata Mahisa Murti kemudian.

“Kapan kau akan berangkat ke padepokan itu?” bertanya Akuwu Lemah Warah.

“Besok atau lusa,” jawab Mahisa Murti.

Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk pula. Katanya, “Kalian harus mempersiapkan diri lahir dan batin.”

“Satu pengembaraan yang mengasyikkan,” berkata Mahisa Pukat, “kami akan mengulangi peristiwa-peristiwa yang telah pernah kami alami di sekitar batu itu. Mungkin dengan pelaku yang lain.”

Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam. Agaknya anak-anak muda itu masih saja dipanasi oleh gejolak darahnya yang hangat.

Demikianlah, maka dua hari kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah benar-benar meninggalkan Pakuwon Lemah Warah kembali ke padepokan Suriantal yang telah ditinggalkan oleh sebagian besar dari penghuninya. Perjalanan kembali itu bukan merupakan perjalanan yang sulit bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sebagai pengembara yang berpengalaman, maka keduanya segera dapat menelusuri kembali jalan yang telah mereka tempuh sebelumnya.

Ketika mereka sampai di sebuah padukuhan menjelang padepokan Suriantal, maka keduanya ternyata telah memilih jalan lain. Mereka tidak langsung menuju ke padepokan itu, tetapi mereka akan menuju ke tepi sebuah hutan, untuk melihat apakah batu itu masih tetap berada di tempatnya.

Bagi keduanya tempat bermalam bukan merupakan persoalan yang rumit. Mereka dapat tidur di mana saja dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Namun mereka memang tidak ingin melihat batu itu di malam hari. Karena itu, maka mereka telah mendekati batu itu di siang hari.

Seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya, mereka telah mengamati batu yang berkilau karena pantulan cahaya matahari. Meskipun tidak menyilaukan, namun pantulan itu memang menarik perhatian.

Tetapi jarang orang yang berani mendekati batu itu. Di sekitarnya banyak terdapat ular berbisa. Bahkan pada celah-celah batu itu terdapat banyak sekali jenis binatang berbisa lainnya. Beberapa jenis kala, kelabang dan jenis-jenis lainnya. Karena itu batu itu seakan-akan telah memiliki penjaganya sendiri.

“Kenapa orang yang memiliki ilmu gendam itu tidak menyingkirkan binatang-binatang itu dan mengambil batu itu dengan aman?” desis Mahisa Murti.

“Orang itu dan barangkali juga para pengikutnya masih belum memerlukan batu itu dengan tergesa-gesa. Atau barangkali mereka memang tidak menaruh perhatian,” sahut Mahisa Pukat.

“Tetapi mungkin orang itu dengan sengaja membiarkan berjenis-jenis binatang berbisa itu untuk mengamankan batu itu,” berkata Mahisa Murti kemudian.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Memang banyak kemungkinan dapat terjadi. Agaknya orang yang memiliki ilmu gendam itu berusaha untuk menyelamatkan batu itu dari tangan orang-orang Suriantal. Orang-orang bertongkat itu tentu juga menginginkan batu itu, karena pemimpin mereka telah memasang batu serupa di pangkal tongkat mereka. Tetapi agaknya mereka masih saling menyegani sehingga untuk sementara mereka membiarkan saja batu itu tetap ditempatnya tanpa diusik oleh siapapun juga.

Untuk beberapa lama keduanya masih saja mengamati batu itu, seakan-akan mereka belum pernah melihat sebelumnya. Di celah-celah batu itu memang terdapat binatang berbisa yang tidak terhitung jumlahnya. Jika batu itu disentuh, maka binatang-binatang berbisa itu telah bergerak, bergeser dan siap untuk menyengat dan menggigit.

Tetapi kedua anak muda itu tidak merasa ngeri melihat binatang-binatang berbisa itu. Bahkan ketika beberapa ekor ular merambat dekat ujung jari kaki mereka silang menyilang, mereka sama sekali tidak menjadi cemas.

“Kita akan membawa pecahan dari batu itu,” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi bagaimana kita mendapatkannya?” sahut Mahisa Pukat, “nampaknya jika ada pecahan kepingannya di sekitarnya, telah lebih dahulu diambil seseorang, termasuk yang berada di pangkal tongkat orang Suriantal itu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun ia pun masih merenung bagaimana caranya mereka memecah batu yang kehijau-hijauan sehingga mereka akan mendapat pecahannya betapapun kecilnya. Dengan memiliki pecahannya, mereka akan dapat menilai batu itu lebih cermat.

“Aku akan memecah batu itu,” berkata Mahisa Pukat dengan tiba-tiba, “aku memiliki kemampuan sebagaimana kau. Atau kita akan melakukan bersama-sama.”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “jangan. Kita tidak akan memecahkan batu itu menjadi berkeping-keping dan pecah berserakan. Apalagi kita memang tidak tergesa-gesa.”

Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita masih akan membiarkan batu itu dalam keadaannya. Tetapi bagaimana jika pada satu hari orang lain mendahului kita? Bukankah setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengambilnya.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Batu itu dijaga oleh berbagai jenis binatang berbisa. Tidak setiap orang dapat mengambilnya. Apalagi batu itu tentu berat dan keras. Tidak ada alat yang dipakai untuk memecah batu biasa dapat dipergunakan atas batu itu. Sementara itu, ular berkeliaran di bawah kakinya.”

Mahisa Pukat memandang berkeliling. Terasa daerah itu memang sepi dan bahkan mencengkam. Meskipun beberapa puluh langkah dari batu itu terdapat jalan setapak, tetapi nampaknya jalan itu jarang sekali dilalui orang.

Setelah beberapa saat mereka berada di tempat itu dan memperhatikan batu itu dengan saksama, seolah-olah belum pernah dilihatnya sebelumnya, maka keduanya pun sepakat untuk sementara meninggalkan batu itu tetap di tempatnya.

Ketika mereka mulai bergeser menjauh, tiba-tiba seekor ular yang terkejut telah menyambar kaki Mahisa Pukat. Mahisa Pukat pun terkejut. Tetapi ia hanya mengibaskan ular itu. Karena agaknya ular itu tidak segera melepaskan gigitannya, maka ular itu telah dicekiknya sampai mati.

“Bukan salahku,” berkata Mahisa Pukat sambil melemparkan ular itu jauh-jauh.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ular-ular yang berkeliaran itu akan membantu kita.”

Demikianlah, maka keduanya pun meninggalkan tempat itu. Seperti yang mereka rencanakan, keduanya telah menuju ke padepokan yang telah mereka tinggalkan setelah mereka mengambilnya dari tangan orang-orang Suriantal dan perguruan-perguruan lain yang pernah berada di padepokan itu pula.

Ternyata kedatangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengejutkan orang-orang yang berada di padepokan itu. Orang yang untuk sementara memimpin padepokan itu telah mempersilahkannya naik ke barak induk di padepokan itu. Dengan nada cemas orang itu kemudian bertanya, “Apakah yang kemudian yang harus kami lakukan?”

Mahisa Murti lah yang kemudian sambil tersenyum menjawab, “Tidak Ki Sanak. Tidak ada hal yang penting yang akan kami lakukan. Kami datang untuk sekedar melihat-lihat keadaan.”

“O..,” orang itu menarik nafas dalam-dalam, “aku sudah menjadi berdebar-debar. Aku kira kalian datang untuk memanggil kami dan membawa kami ke Lemah Warah untuk dimasukkan ke dalam penjara.”

Mahisa Pukat sambil tertawa berkata, “Kalian hanya akan menghabiskan beras di Lemah Warah.”

“Syukurlah jika kami masih diberi kesempatan hidup bebas di padepokan ini,” berkata orang yang untuk sementara memimpin padepokan itu. Namun kemudian ia pun bertanya, “Jadi apakah keperluan kalian sebenarnya? Apakah benar hanya sekedar melihat-lihat keadaan?”

“Aku akan tinggal di padepokan ini,” berkata Mahisa Murti, “apakah kalian berkeberatan?”

Pemimpin padepokan itu termangu-mangu. Hampir tidak percaya ia bertanya, “Kalian akan tinggal di sini?”

Mahisa Pukat lah yang menjawab, “Hanya untuk sementara. Nah, apakah kalian memang berkeberatan?”

“Tidak. Sama sekali tidak,” jawab pemimpin padepokan itu. Namun katanya kemudian dengan nada ragu, “Tetapi benar yang kau katakan? Sekedar tinggal di sini tanpa maksud apa-apa?”

“Kau tidak percaya? Buat apa kami harus berbohong karena kami dapat berbuat apa saja sekehendak kami,” jawab Mahisa Pukat, “karena itu jangan mudah berprasangka. Jika kalian mencurigai kami, maka justru kami akan dapat berbuat sesuatu di luar niat kami semula.”

“Tidak. Kami tidak mencurigai kalian,” jawab orang yang untuk sementara memimpin padepokan itu dengan serta merta. “Silahkan. Apa saja yang kalian kehendaki,” orang itu berhenti sejenak, lalu, “sebenarnya jika kami secara khusus menanyakan kepentingan kalian yang sebenarnya, justru kami menaruh harapan atas kedatangan kalian berdua.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Kami telah dicemaskan oleh kehadiran orang yang tidak kami kenal.”

“O..,” Mahisa Murti mengerutkan keningnya, “Untuk apa?”

“Itulah,” berkata pemimpin padepokan itu, “mereka minta kesediaan kami untuk memberikan tempat kepada mereka.”

“Tempat untuk apa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Mereka ingin tinggal bersama kami. Menurut mereka, padepokan ini tidak ada lagi yang dapat mengaku berhak atasnya. Setelah Suriantal dihancurkan dan pemimpinnya dibawa ke Lemah Warah, maka padepokan ini telah kehilangan pemiliknya. Siapapun boleh mengaku dan ikut memilikinya,” berkata pemimpin padepokan itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Satu isyarat hadirnya persoalan baru di padepokan ini.”

“Tetapi apakah kalian tidak yakin akan kemampuan kalian menolak kehadiran mereka?” bertanya Mahisa Pukat.

Orang yang memimpin padepokan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Kekuatan kami yang tinggal hanyalah sisa-sisa yang sudah tidak lagi mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka menyadari bahwa orang-orang yang ada di padepokan itu adalah orang-orang yang pernah dikalahkan, sehingga seakan-akan mereka tidak lagi merasa memiliki kekuatan untuk berlindung kepada kemampuan mereka sendiri. Apalagi di antara mereka terdapat orang-orang yang cacat setelah perang melawan para prajurit Lemah Warah, atau bahkan yang terluka parah dan belum sembuh dan pulih kembali.

Namun demikian Mahisa Murti masih berkata, “Sebaiknya kalian melihat kembali kepada diri sendiri. Menilai kemampuan yang kalian miliki. Karena kemampuan yang pernah kalian miliki itu masih tetap ada di dalam diri kalian.”

Tetapi orang yang untuk sementara memimpin padepokan itu berkata, “Kami sudah kehilangan semuanya. Kami tidak lagi mampu bangkit lagi.”

Tetapi Mahisa Pukat berkata, “Kalian telah mengalami goncangan perasaan yang dahsyat sekali, sehingga kalian merasa seakan-akan kalian tidak lagi mempunyai kekuatan sama sekali.”

Pemimpin padepokan itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Mungkin pendapat kalian benar. Tetapi tidak ada lagi yang dapat membangkitkan orang-orang di padepokan ini agar mereka mampu melihat kedalam diri sendiri. Apalagi sebagian dari mereka memang merasa bahwa mereka bukan penghuni padepokan ini sejak semula, sehingga merekapun merasa asing di sini dan tidak merasa mempunyai kewajiban untuk mempertahankannya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Baiklah. Kami akan berusaha untuk membangunkan kalian yang jumlahnya tinggal sedikit ini.”

“Itulah yang membuat aku berpengharapan atas kedatangan kalian berdua,” berkata pemimpin padepokan itu.

Dalam pada itu kehadiran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah diketahui oleh semua orang yang masih tertinggal di padepokan itu. Bahkan pemimpin padepokan itupun telah memanggil semua orang yang tersisa di padepokan itu untuk berkumpul.

Hal itu memang membuat penghuni padepokan itu menjadi berdebar-debar. Mereka mengenal kedua anak muda itu sebagai dua orang anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, yang pernah ikut menundukkan padepokan itu dan seakan-akan membuat lingkungan padepokan itu menjadi bagaikan terbenam ke dalam arus pusaran.

Namun ketika mereka melihat wajah dan sorot mata kedua anak muda itu, maka rasa-rasanya hati mereka menjadi tenang. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa kedua orang anak muda itu akan melakukan kekerasan terhadap mereka. Bahkan ternyata pemimpin mereka itupun berkata,

“Kehadiran kedua anak muda ini sama sekali tidak membawa perintah untuk menjatuhkan hukuman kepada kita, tetapi kedua anak muda ini ingin tinggal bersama kita di sini.”

Beberapa orang di antara mereka itupun saling berpandangan. Tanpa mereka sadari terpercik harapan di hati para penghuni padepokan itu. Meskipun demikian, mereka masih dibayangi oleh kecemasan, bahwa kedatangan kedua orang itu akan semakin menyulitkan kedudukan mereka.

Namun dalam pada itu, pemimpin padepokan itu berkata, “Saudara-saudaraku yang tinggal di padepokan ini. Aku telah memberitahukan kepada kedua anak muda ini tentang kedatangan orang asing yang menuntut tempat di padepokan ini. Untuk itulah maka kedua anak muda itu ingin berbicara kepada kalian.”

Orang-orang yang masih tinggal di padepokan itu termangu-mangu. Sementara itu Mahisa Murti lah yang kemudian berbicara, “kami telah mendengar semuanya tentang padepokan ini. Sebagaimana diputuskan oleh Akuwu Lemah Warah dan disetujui oleh Pangeran Singa Narpada dari Kediri, maka padepokan ini telah diserahkan kepada kalian. Kalian yang barangkali memang berasal dari perguruan yang berbeda-beda, namun saat ini kalian telah berada di satu tempat. Kalian harus berusaha menyesuaikan diri kalian dengan keadaan baru yang sekarang ini merupakan kenyataan bagi kalian.”

Orang-orang yang berada di padepokan itu pun mendengarkan penjelasan Mahisa Murti dengan saksama. Sementara itu, Mahisa Murti telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Banyak penjelasan yang diberikan, sehingga hati mereka yang mendengarkannya telah tersentuh karenanya.

Akhirnya Mahisa Murti itupun berkata, “Kalianlah pemilik padepokan ini. Kalian harus mempertahankannya. Padepokan ini adalah hak kalian yang sah sesuai dengan ketetapan Akuwu Lemah Warah yang sudah disetujui oleh Pangeran Singa Narpada.”

Para penghuni padepokan itu pun mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Pukatpun berkata, “Kalian harus kembali ke dalam keadaan kalian sewajarnya. Kalian adalah orang-orang perguruan yang memiliki kemampuan yang cukup. Namun demikian, kalian memang harus dibangunkan dari pingsan. Untuk itu, kita akan berusaha untuk bangkit kembali. Mulai besok kita akan mengadakan latihan olah kanuragan, sesuai dengan dasar kemampuan yang kita peroleh dari perguruan kita masing-masing.”

Kata-kata Mahisa Pukat memang terdengar hangat di telinga orang-orang yang sudah kehilangan kepercayaan diri sendiri itu. Sebagian di antara mereka rasa-rasanya tidak lagi mampu untuk berbuat sesuatu. Kemampuan mereka yang sedikit itu seakan-akan telah menguap dan tidak tersisa sama sekali.

Namun Mahisa Pukat yakin, jika mereka mulai bergerak dan mengingat kembali unsur-unsur dari ilmu kanuragan yang pernah mereka kuasai, maka segalanya akan berjalan lancar.

Demikianlah, maka kedatangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di padepokan itu telah menumbuhkan satu suasana yang baru. Jika semula semakin lama kehidupan di padepokan itu terasa menjadi semakin lesu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membangunkan mereka dengan kehangatang olah kanuragan.

Demikianlah, di hari-hari berikutnya, sejak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada di padepokan itu. maka isi padepokan itupun telah mulai dengan latihan-latihan kanuragan. Semula sebagian di antara mereka memang merasa segan. Seakan-akan mereka telah melakukan sesuatu yang tidak akan ada gunanya sama sekali. Meskipun demikian mereka terpaksa melakukannya juga serba sedikit.

Tetapi ketika mereka memasuki hari ketiga, maka Mahisa Murti pun berkata, “Ki Sanak. Orang-orang di sekitar padepokan ini telah melihat bahwa kalian telah memasuki lagi latihan-latihan olah kanuragan. Dengan demikian maka orang-orang itu menganggap bahwa kalian telah memiliki kembali kemampuan kalian. Karena itu, maka setiap orang yang ingin memiliki padepokan ini selain kalian akan datang dengan kekuatan-kekuatan yang dianggapnya akan dapat mengalahkan kalian. Karena itu, jika kalian tidak bersungguh-sungguh, maka kalian justru akan menjadi korban yang sia-sia. Kalian akan dibantai tanpa dapat membalas, apalagi mempertahankan diri. Kalian akan diperlakukan seperti seekor kerbau yang akan disembelih. Padahal seekor kerbau memiliki kekuatan yang akan mampu melindungi dirinya sendiri.”

Orang-orang padepokan itu termangu-mangu. Mereka yang berlatih dengan segan, tiba-tiba merasa bahwa mereka telah berbuat salah dengan sikapnya itu. Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti maka orang lain akan datang menggilas padepokan itu tanpa tahu siapa yang telah dengan sungguh-sungguh berlatih dan siapa yang tidak. Bahkan yang sungguh-sungguh berlatih, mungkin masih mempunyai kesempatan melindungi dirinya. Dengan demikian maka di hari-hari berikutnya maka isi padepokan itu ternyata telah memasuki hari-hari latihan, dengan bersungguh-sungguh.

Meskipun mereka terdiri dari orang-orang perguruan yang berbeda, namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mampu memberikan unsur-unsur gerak yang dapat dipergunakan secara umum oleh mereka dari perguruan yang berbeda, karena pada dasarnya mereka telah memahami tata gerak dasar yang tidak jauh berbeda dari perguruan yang satu dengan perguruan yang lain.

“Justru kalian dari perguruan yang berbeda, telah memberi kesempatan kalian masing-masing untuk memperkaya tata gerak dalam menghadapi pertempuran yang sebenarnya,” berkata Mahisa Pukat ketika ia memimpin latihan yang diselenggarakan oleh penghuni padepokan itu dari perguruan yang berbeda.

Dengan diamati oleh Mahisa Pukat, maka mereka yang memiliki ilmu dari perguruan yang berbeda telah dipertemukan. Dengan demikian latihan-latihan yang diselenggarakan itu seakan-akan telah menjadi bersungguh-sungguh. Namun seperti yang dikatakan oleh Mahisa Pukat, dengan demikian maka mereka telah menggali pengalaman di antara mereka sendiri.

Dengan alas yang berbeda, maka mereka memiliki unsur-unsur gerak yang berbeda pada perkembangan ilmu dasar mereka. Sementara itu dengan kemampuannya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berusaha untuk memanfaatkan perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka justru untuk memperkaya kemampuan unsur gerak di antara para penghuni padepokan itu.

Ternyata usaha Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sia-sia. Hari demi hari, latihan-latihan itupun berlangsung semakin mantap. Para penghuni padepokan itu mulai merasakan kembali kemampuan ilmu yang mereka miliki. Latihan-latihan yang kadang-kadang benar-benar membuat tubuh mereka merah biru itu telah membangkitkan kembali gelora di dalam diri para penghuni padepokan itu.

Latihan-latihan yang terus menerus di antara mereka, seperti yang dikehendaki Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, benar-benar telah memperkaya kemampuan mereka. Unsur gerak yang saling mempengaruhi telah membuat mereka semakin mapan. Di samping itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berusaha untuk memperdalam pengertian para penghuni padepokan itu terhadap unsur-unsur gerak yang telah mereka miliki.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak hanya sekedar menyuruh para penghuni padepokan itu menirukan unsur-unsur gerak baru yang diperkenalkannya. Tetapi keduanya telah memberikan pengertian arti dan gunanya sehingga unsur gerak itu benar-benar berarti bagi mereka.

Dengan demikian, maka para penghuni padepokan yang berasal dari perguruan yang berbeda itu bukan saja telah berada kembali dalam tingkat kemampuan mereka, tetapi meskipun serba sedikit, ternyata kemampuan mereka telah memanjat naik. Mereka telah memahami kemampuan yang mereka miliki bukan sekedar mampu mempergunakan. Tetapi mereka mengerti sifat dan watak unsur gerak itu sehingga mereka mampu mempergunakannya dengan tepat.

Dengan landasan kemampuan mereka yang mereka dapat dari perguruan mereka masing-masing, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berhasil membuat mereka menjadi orang-orang yang mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri dan mengenali kemampuan mereka masing-masing. Itulah sebabnya, maka latihan-latihan yang diadakan di setiap hari kemudian merupakan latihan-latihan yang semakin meningkat, sejalan dengan peningkatan kemampuan mereka masing-masing.

Sementara itu, pemimpin padepokan itu pun merasa semakin tenang menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang mengancam padepokan itu, sehingga pada suatu saat, ketika ia sempat berbincang dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, ia-pun berkata, “Kau telah membangkitkan kemampuan hidup kami yang telah hampir padam sama sekali.”

“Segalanya terserah kepada kalian sendiri,” jawab Mahisa Murti, “namun agaknya kalian memang masih memiliki kemampuan yang patut dibanggakan untuk melindungi padepokan kalian ini.”

“Kami baru menyadari kemudian,” berkata pemimpin padepokan itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan senyum di bibir, Mahisa Murti berkata, “Nah, bukankah tidak sia-sia usaha kita selama ini untuk menumbuhkan kembali harga diri kita?”

“Aku sekarang percaya,” berkata pemimpin padepokan itu, “dengan keadaan kita sekarang, maka orang-orang yang akan merebut kedudukan kita itu tidak akan mendapat kesempatan lagi.”

“Tetapi jika mereka datang,” berkata Mahisa Murti, “jangan merubah sikap. Kau harus tetap bersikap seperti sikap kalian sebelumnya.”

“Sikap kami waktu itu ragu,” berkata pemimpin padepokan itu, “bahkan kami telah menyatakan bahwa terserah saja apa yang akan mereka lakukan jika mereka kehendaki, meskipun kami merasa bahwa padepokan ini tetap milik kami.”

“Sikapmu tetap. Hanya isi pernyataanmu sajalah yang harus berbeda,” berkata Mahisa Pukat.

Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Sementara itu ia yakin bahwa orang yang pernah datang itu akan datang lagi dengan dada tengadah, memasuki padepokan itu dan kemudian memilikinya.

Namun bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kedatangan mereka dan usaha mereka tinggal di padepokan itu telah dihubungkannya dengan batu yang berwarna kehijau-hijauan itu. Karena itu. maka mereka ikut merasa berkepentingan dengan orang-orang itu.

Sambil menunggu, padepokan itu rasa-rasanya menjadi hangat oleh gejolak yang mulai bergelora. Hampir setiap saat, pagi, siang, sore dan bahkan malam, terdapat di sana-sini orang yang sedang berlatih.

Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di tempat yang terpisah, lebih senang menunggui latihan-latihan yang diadakan antara dua orang dari landasan perguruan yang berbeda. Dengan demikian mereka dapat saling menyadap unsur gerak dari perguruan yang berbeda dan memperkaya unsur gerak sendiri.

Bahkan kadang-kadang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memberikan tuntunan dengan unsur-unsur gerak yang baru bagi mereka. Bahkan di samping kemampuan dan kelengkapan tata gerak mereka, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga memberikan tuntunan kepada mereka untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan gerak keseimbangan.

Di padepokan itu telah ditanam patok-patok yang besar yang dibuat dari pokok-pokok kayu dengan ketinggian yang tidak sama. Sebagian setinggi tubuh, namun yang lain lebih tinggi dan bahkan ada yang tingginya dua kali setinggi tubuh.

Untuk meningkatkan ketrampilan gerak kaki dan keseimbangan serta daya tahan, maka setiap pagi, hampir semua orang di padepokan itu telah berlari-lari dan berloncatan di atas patok-patok itu. Ternyata bahwa usaha itu telah memberikan banyak pengaruh pada mereka. Secara tidak langsung, latihan itu telah meningkatkan kemampuan seisi padepokan itu.

Bahkan bukan saja patok-patok yang terbuat dari pokok kayu itu. Pada kesempatan lain, setelah latihan dengan pokok-pokok kayu yang besar itu berjalan lancar, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membuat patok-patok dari bahan yang lebih kecil. Patok-patok bambu.

Ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berhenti sampai sekian. Bukan saja latihan keseimbangan dan berloncatan di atas patok-patok bambu, tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memberikan latihan kepada penghuni padepokan itu untuk bertempur di atas patok-patok bambu itu.

Pada saat isi padepokan itu sedang dalam gelora untuk menemukan harga diri mereka kembali di atas landasan perjuangan yang berbeda, maka orang yang telah menyatakan akan datang kembali itu benar-benar telah datang.

Pemimpin padepokan itu telah menerima dua orang tamunya di barak induk padepokan itu. Sikapnya dan caranya menerima kedua tamunya sama sekali tidak berubah. Sambil mengangguk-angguk hormat orang yang diserahi memimpin padepokan itu telah mempersilahkan tamunya duduk. Seorang penghuni padepokan itu telah menyuguhkan minuman dan makanan kepada kedua orang tamu itu.

Kedua orang tamu yang merasa diterima dengan penuh kehormatan itu menjadi semakin menengadahkan wajahnya. Di pandanginya halaman padepokan itu dari ujung sampai ke ujung. Kemudian dengan senyum di bibir, salah seorang di antara mereka berkata,

“Halaman ini cukup luas untuk mengadakan latihan-latihan olah kanuragan. Orang-orangku tidak terlalu banyak. Tidak lebih banyak dari orang-orangmu di sini. Kemampuan kamilah yang lebih besar dari kemampuan kalian. Karena itu, maka sudah sewajarnya jika kami akan mendapat kesempatan lebih besar untuk mengurus padepokan yang sudah tidak bertuan ini,” orang itu berhenti sejenak, lalu, “aku sudah menyiapkan segala-galanya. Pada saatnya orang-orangku akan datang kemari.”

“Di manakah mereka sekarang?” bertanya pemimpin padepokan itu.

Kedua orang itu tertawa. Seorang di antaranya menjawab, “Kau tidak perlu mengetahuinya. Besok jika mereka datang, kau akan mengenal mereka tanpa mengetahui asal-usul mereka.”

“Apakah sebenarnya yang akan kalian lakukan?” bertanya pemimpin padepokan itu.

“Kenapa kau masih juga bertanya?” salah seorang dari kedua orang itu justru ganti bertanya, “apakah yang aku katakan beberapa saat yang lalu masih kurang jelas? Kami akan datang dan tinggal di padepokan ini. Kami akan memilikinya karena padepokan ini memang tidak bertuan.”

Orang yang diserahi memimpin padepokan itupun mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, “Apakah kalian telah mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan dari banyak segi?”

“Pertimbangan apa lagi?” bertanya salah seorang dari kedua orang yang datang itu, “kami datang untuk mempersiapkan tempat bagi orang-orang kami. Kami akan memilih barak-barak yang pantas untuk kami, sedangkan yang tersisa untuk sementara dapat kalian pergunakan bagi orang-orang yang sekarang masih ada di sini untuk sementara. Namun kemudian persoalannya masih akan kita bicarakan lebih lanjut.”

Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Marilah aku antarkan kalian melihat-lihat padepokan ini.”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun keduanyapun kemudian tersenyum. Agaknya tidak ada hambatan yang akan mereka hadapi untuk memasuki padepokan itu bersama para pengikutnya.

Sesaat kemudian, maka kedua orang itupun telah turun pula ke halaman. Diantar oleh pemimpin padepokan itu, maka keduanya telah melihat-lihat isi padepokan. Mereka melihat barak-barak yang tidak terlalu bersih meskipun nampak juga dipelihara. Sedangkan barak-barak itu sendiri bukannya barak-barak yang baik. Tidak lebih dari bangunan-bangunan bambu yang sederhana dengan ikatan tali ijuk dan atap ilalang. Sementara barak induk di padepokan itu secara khusus mendapat atap dari ijuk. Meskipun padepokan itu dibangun dengan sederhana, apalagi barak-barak yang nampaknya ditambahkan dengan tergesa-gesa, namun bagi kedua orang itu, segalanya cukup memadai.

“Menyenangkan,” berkata salah seorang di antara kedua orang itu, “kami dapat dengan leluasa memilih. Meskipun sederhana tetapi padepokan ini cukup memadai.”

Yang lainpun tersenyum. Katanya, “Kita akan mempergunakan sayap bangunan pada padepokan ini di samping bangunan induk. Tetapi kita akan menentukan yang manakah yang boleh dipakai untuk sementara oleh orang-orang yang sekarang berada di padepokan ini.”

“Kenapa untuk sementara?” bertanya pemimpin padepokan itu.

“Kami akan membuat pertimbangan-pertimbangan, apakah kami akan membiarkan perguruan kami berbaur dengan perguruan lain,” berkata salah seorang dari kedua orang itu.

“Tetapi sekarang kami berada di padepokan ini,” desis pemimpin padepokan itu.

“Sudah kami katakan,” jawab orang itu, “kalian tinggal di sini dengan cara yang tidak syah. Padepokan ini sudah tidak bertuan. Dan kamilah yang mengambil alih kepemimpinan di sini dan menentukan segala-galanya. Mudah-mudahan kami dapat membuat keputusan yang paling baik bagi kalian.”

Pemimpin padepokan itu menarik nafas dalam-dalam. Beberapa orang penghuni padepokan yang lewat berpaling ke arah ketiga orang itu. Tetapi mereka tidak banyak menaruh perhatian.

“Banyak juga orang yang masih ada di padepokan ini,” desis salah seorang dari kedua orang itu, “tetapi mereka tidak berarti apa-apa.”

Pemimpin padepokan itu tidak menjawab. Tetapi ia telah mempersilahkannya untuk melanjutkan pengamatannya atas padepokan itu. “Marilah,” berkata pemimpin padepokan itu, “kita akan melihat bagian belakang dari padepokan ini.”

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Selangkah demi selangkah mereka menyusuri lorong-lorong di dalam padepokan itu, di antara barak-barak yang sudah dibangun bersama padepokan itu, namun ada juga barak-barak yang dibangun kemudian.

Namun ketika mereka memasuki bagian belakang dari halaman padepokan itu yang luas, di sebelah kebun yang ditanami dengan berbagai macam pohon buah-buahan yang berhubungan dengan pategalan yang cukup luas, kedua orang itu terkejut. Mereka melihat beberapa orang penghuni padepokan itu sedang berlatih di atas patok-patok bambu. Beberapa orang sedang bertempur di atas patok-patok bambu itu dengan mempergunakan tongkat kayu sebagaimana ciri mereka yang termasuk para cantrik dari perguruan Suriantal.

“Apa yang mereka lakukan?” bertanya salah seorang dari kedua orang itu.

“Sebagaimana biasa dilakukan oleh para penghuni padepokan,” jawab pemimpin padepokan itu.

“Apa?” desak orang itu.

“Mereka sedang berlatih. Mereka sedang memperdalam pengetahuan mereka tentang olah kanuragan,” jawab pemimpin padepokan itu.

Kedua orang itu saling berpandangan. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa orang-orang padepokan itu masih tetap menempa diri dalam latihan-latihan yang berat. Bahkan hampir di luar sadarnya, salah seorang dari mereka bertanya, “Untuk apa mereka dengan tekun berlatih olah kanuragan?”

“Pertanyaan Ki Sanak terdengar aneh,” desis pemimpin padepokan itu, “kami merasa perlu untuk memperkuat kedudukan kami. Kami yang merasa mewarisi padepokan ini, merasa perlu untuk berbuat sesuatu, agar kedudukan kami tidak tergeser.”

Wajah kedua orang itu menjadi tegang. Dengan nada tinggi seorang di antaranya berkata, “jadi kalian merasa wajib bertahan di sini?”

“Kami adalah sisa-sisa dari beberapa perguruan yang memiliki padepokan ini. Karena itu, maka kami akan mempertahankannya.”

Kedua orang itu menjadi tegang. Namun kemudian seorang di antaranya bertanya, “jadi kalian menantang kami?”

“Bukan menantang. Kami sekedar menghargai milik kami,” jawab pemimpin padepokan itu.

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Sekilas mereka menyaksikan latihan-latihan yang dilakukan oleh dua orang yang kebetulan sama-sama dari perguruan Suriantal. Mereka mempergunakan tongkat panjang sebagai senjata dan sekaligus ciri mereka. Dengan tangkas keduanya saling berloncatan di atas tonggak bambu yang tidak sama tingginya. Ada yang kurang dari tinggi tubuh, namun ada yang sampai dua kali.

Bagaimanapun juga keduanya tidak dapat mengabaikan apa yang dilihatnya. Mereka terpaksa membayangkan kembali para pengikutnya. Apakah mereka memiliki kemampuan berbuat sebagaimana kedua orang yang sedang berlatih itu. Namun hampir bersamaan mereka berpikir, “Tentu hanya dua orang itu sajalah yang mampu berbuat demikian.”

Karena itu, maka salah seorang di antara keduanya itu bertanya, “Ki Sanak. Jadi apakah artinya kesediaanmu beberapa saat yang lalu untuk menyerahkan padepokan ini kepada kami?”

“Siapakah yang menyatakan demikian?” bertanya pemimpin padepokan itu, “bukankah pada waktu itu kami sekedar minta waktu untuk berpikir? Nah, hasil dari renungan kami adalah, bahwa sebenarnyalah padepokan ini milik kami.”

“Jadi kau tidak lagi memberikan kesempatan kepada kami untuk menguasai padepokan ini dengan cara yang baik?” bertanya salah seorang dari kedua orang itu.

“Ki Sanak,” berkata pemimpin padepokan itu, “kau memang aneh. Seandainya padepokan ini memang tidak bertuan, bukankah kami telah ada di dalamnya lebih dahulu? Apalagi kami merasa bahwa kami adalah orang-orang yang memang pernah menguasai padepokan ini.”

“Ternyata sikapmu berubah,” berkata salah seorang dari kedua orang itu, “agaknya yang kau lakukan adalah sekedar menunda waktu, agar kau dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mungkin berlatih untuk meningkatkan kemampuan. Namun apa yang dapat kalian capai dalam waktu dekat ini?”

“Yang penting adalah harga diri,” jawab pemimpin padepokan itu, “dengan memantapkan harga diri, maka kami telah bertekad untuk mempertahankan padepokan ini.”

Kedua orang itu menjadi tegang. Seorang di antaranya berkata, “jadi dengan meloncat-loncat di atas patok-patok bambu itu kalian merasa akan dapat mempertahankan padepokan ini?”

“Seperti yang aku katakan. Harga diri, meskipun kami akan binasa,” jawab pemimpin padepokan itu.

Kedua orang itu menggeram. Seorang yang hampir tidak sabar berkata, “Sebaiknya kalian menyadari, bahwa kalian bukan apa-apa buat kami.”

Sebelum pemimpin padepokan itu menjawab, maka seorang di antara mereka berdesis, “Marilah, kita hancurkan sanggar mereka yang gila-gilaan itu.”

Tetapi pemimpin padepokan itu berkata, “jangan membuat persoalan. Jika anak-anakku tidak mampu mengendalikan diri, maka apa artinya kalian hanya berdua. Sementara itu kami sudah siap menunggu kehadiran kalian bersama para pengikut kalian.”

Kedua orang itu menggeretakkan gigi. Namun mereka yang sedang berlatih itu sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan setelah kedua orang dari perguruan Suriantal itu meloncat turun, maka telah meloncat naik ke atas patok-patok bambu itu dua orang dari perguruan yang berbeda. Dengan bersenjata bindi kayu dan landean tombak pendek tanpa ujung runcing, keduanya telah bertempur di atas patok-patok bambu itu.

“Gila,” geram salah seorang dari kedua orang itu, “penghinaan ini akan membuat kalian menyesal. Kami akan tetap pada pendirian kami. Datang ke padepokan ini dan memilikinya. Kalian bahkan tidak akan mendapat tempat lagi di padepokan ini. Kalian akan kami usir seperti mengusir anjing sakit-sakitan.”

“Kami akan menutup pintu gerbang dan menghalau orang-orang yang ingin datang merebutnya seperti menghalau burung di sawah,” jawab pemimpin padepokan. Lalu, “Bukankah itu masih lebih sopan daripada menghalau anjing sakit-sakitan.”

“Persetan,” orang itu pun kemudian telah mengumpat kasar. Tanpa minta diri kedua orang itupun segera meninggalkan padepokan itu. Keduanya benar-benar merasa terhina oleh sikap orang yang untuk sementara memimpin padepokan itu. Orang itu pada mulanya nampaknya sama sekali tidak akan menentangnya. Bahkan nampak pasrah dan putus asa. Namun ternyata bahwa para penghuni padepokan itu telah melakukan latihan-latihan yang berat untuk menghadapi kehadiran mereka.

“Mereka agaknya memang ingin membunuh diri,” geram salah seorang di antara keduanya, “karena itu, maka kita harus membuktikan bahwa kita akan dapat melumatkan padepokan ini, membunuh semua penghuninya, selain pemimpin itu, dan kemudian mendudukinya.”

“Kenapa pemimpin padepokan itu justru tidak kita bunuh?” bertanya kawannya.

“Kita harus membuktikan kepadanya, bahwa yang kita katakan itu dapat kita lakukan,” sahut yang pertama, “baru setelah ia melihat kenyataan itu, ia akan kita bunuh dengan cara kita. Kita akan mengikatnya di halaman. Biarlah kulitnya dibakar panas matahari di waktu siang dan dan direndam embun di waktu malam.”

“Sampai mati?” bertanya kawannya.

“Sampai mati. Kita tidak perlu mempercepat kematiannya,” jawab orang yang pertama, “kesalahannya memang terlalu besar terhadap kita.”

Kawannya mengangguk-angguk saja. Tetapi tidak menjawab. Demikianlah keduanya menjadi semakin jauh meninggalkan padepokan itu. Tetapi dengan dendam yang membara di hati mereka, sehingga mereka benar-benar ingin kembali dan menghancurkan isi padepokan itu.

Apalagi kedua orang itu merasa memiliki kekuatan yang memadai. Mereka tahu bahwa para pemimpin dari perguruan yang ada di padepokan itu sudah tidak ada di tempat. Selain yang terbunuh, maka mereka telah dibawa oleh Akuwu Lemah Warah atau orang yang ditugaskannya.

Karena itu, maka mereka yakin, bahwa mereka akan datang dan dengan tidak terlalu banyak kesulitan akan dapat menghancurkan orang-orang yang sombong yang merasa akan mampu mempertahankan padepokan itu.

Sementara itu, di padepokan yang ditinggalkan oleh kedua orang itu, pemimpin mereka telah memanggil semua orang yang tinggal di padepokan itu bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan singkat orang yang diserahi memimpin padepokan itu pun telah menguraikan apa yang telah terjadi. Apa yang dikatakan oleh kedua orang yang datang kepadanya itu dan apa pula yang telah dikatakannya kepada mereka.

“Aku mohon kesediaan kalian membantuku, menyelamatkan padepokan ini meskipun kita berasal dari perguruan yang berbeda. Peristiwa yang telah mengguncang padepokan ini, serta pemimpin-pemimpin perguruan kita masing-masing yang tidak ada lagi di antara kita, serta nasib yang buruk yang telah menghimpit kehidupan kita, seharusnya dapat membuat kita merasa senasib dan sepenanggungan. Kita pun akan merasa berkewajiban untuk mempertahankan apa yang masih tinggal pada kita sekarang. Kita tidak lagi menganggap diri kita berasal dari perguruan yang berbeda, tetapi kita harus merasa satu.”

Para penghuni padepokan itu memang merasa tidak mempunyai pilihan lain. Mereka sudah merasa bersyukur bahwa mereka tidak di seret di belakang kaki kuda menuju ke Lemah Warah dan kemudian diikat di alun-alun. Karena itu, maka telah menyala tekad dihati mereka, bahwa mereka memang harus berjuang untuk mempertahankan padepokan itu.

Karena itulah, maka dihari-hari berikutnya isi padepokan itu justru telah menjadi semakin gigih berlatih. Mereka seakan-akan tidak lagi mengingat waktu. Mereka ingin mempergunakan waktu yang tidak terlalu banyak itu untuk menjangkau kemampuan sebanyak-banyaknya, karena mereka sadar, bahwa yang akan datang tentu kekuatan yang cukup besar bagi padepokan itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bekerja sejauh dapat mereka lakukan. Mereka berusaha untuk mematangkan setiap kemampuan yang telah dikuasai oleh para penghuni padepokan itu. Namun dalam waktu yang sempit itu, mereka pun berusaha memperkenalkan berbagai macam unsur yang sebelumnya terasa asing. Bukan untuk dipelajari dan dikuasai, tetapi sekedar untuk dikenal, sehingga jika dalam benturan kekerasan kelak mereka bertemu dengan unsur-unsur gerak seperti itu, mereka tidak akan terkejut dan kebingungan. Mereka akan dapat berusaha mencari jalan untuk mengatasinya.

Ternyata usaha mereka tidak sia-sia. Para penghuni padepokan itu menjadi semakin matang untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Mereka bukan lagi orang-orang yang putus asa dan kehilangan harga diri. Tetapi mereka adalah para pengawal dari sebuah padepokan yang kemudian benar-benar terasa sebagai milik mereka, sehingga dengan demikian maka mereka harus mempertahankannya dengan segala kemampuan yang ada pada mereka.

Dengan gelora yang menggetarkan jantung, serta darah yang menjadi hangat, para penghuni padepokan itu telah memperbaiki dinding padepokan mereka yang rusak. Memperbaiki pintu gerbang dan beberapa panggungan untuk mengamati keadaan di sekitar padepokan itu. Mereka pun telah mempersiapkan lembing bambu yang akan dapat menghambat pasukan yang dalam waktu dekat tentu akan datang ke padepokanku.

Mereka pun telah telah menyediakan anak panah yang tidak terhitung jumlahnya yang terbuat dari bambu beruas panjang dengan bedor besi yang dapat mereka buat sendiri. Di padepokan itu ada beberapa perapian pande besi untuk membuat bermacam-macam kelengkapan. Kelengkapan untuk bekerja di sawah dan pategalan, sampai dengan perlengkapan perang.

Untuk menghadapi berbagai kemungkinan, maka lumbung-lumbung pun telah mereka penuhi. Mereka harus bersiap-siap untuk bertahan dalam waktu yang lama jika padepokan itu kemudian akan di kepung.

Para penghuni padepokan itu telah mempunyai pengalaman yang pahit pada saat pasukan Lemah Warah mengepung mereka. Karena itu, maka mereka harus belajar dari pengalaman itu. Apalagi mereka sama sekali tidak mengetahui kekuatan dari orang-orang yang akan datang menyerang padepokan mereka.

Dalam keadaan yang menegangkan itu, maka penjagaan di dalam padepokan itu telah diatur sebaik-baiknya. Dipanggungan yang telah disiapkan, sekelompok kecil bergantian mengamati keadaan. Mereka tidak boleh lengah barang sekejap pun, sehingga karena itu, maka setiap kelompok yang bertugas harus benar-benar mampu membagi waktu sebaik-baiknya.

Sementara itu, pintu gerbang padepokan itu pun tidak lagi terbuka seperti biasanya. Pintunya yang tertutup telah diselarak dengan sebatang kayu yang cukup besar dan kuat. Sementara itu di sebelah menyebelah, panggungannya pun telah diperbaiki. Di panggungan itu selalu bersiap beberapa orang pemanah yang terbaik, sehingga dalam saat-saat yang tiba-tiba mereka akan dapat menghambat lawan.

Pengalaman para penghuni padepokan itu, digabungkan dengan kemampuan berpikir Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, ternyata telah mampu melahirkan jaringan pertahanan yang sangat kuat. Jika lawan itu benar-benar datang, maka mereka akan menjumpai perlawanan yang tidak terbayangkan sebelumnya, karena kedua orang yang pernah datang itu menganggap bahwa kekuatan di padepokan itu sama sekali sudah tidak mempunyai arti apa-apa.

Sebenarnyalah bahwa sekelompok orang dari sebuah perguruan yang hidup seakan-akan tidak menetap telah memutuskan untuk mengambil alih padepokan itu. Ketika pemimpin mereka mendengar peristiwa yang terjadi di padepokan Suriantal, maka mereka telah mengirimkan beberapa orang untuk mengetahui apa yang telah terjadi.

“Kita telah menemukan tempat yang baik tanpa bersusah payah membangunnya,” berkata salah seorang dari pemimpin mereka.

Beberapa orang terpenting dari perguruan yang dikenal sebagai sebuah perguruan yang berpindah-pindah sarang itu, telah mengadakan pembicaraan. Mereka sepakat untuk merubah tata cara hidup mereka.

Kemalasan mereka untuk membuka sebuah padepokan dengan kelengkapannya, tanah persawahan, ladang dan pategalan membuat mereka lebih senang tinggal di goa-goa atau mengusir orang-orang dari padukuhan-padukuhan kecil yang tidak berdaya. Tetapi mereka tidak tinggal terlalu lama. Mereka segera berpindah lagi dari satu tempat ke tempat yang lain.

Namun para pengikut dari perguruan itu, pada umumnya mempunyai keluarga di tempat yang menetap. Di kampung halaman yang ditinggalkannya untuk waktu tidak menentu. Kadang-kadang saja mereka pulang ke rumah orang tua mereka, atau bahkan ada yang mempunyai isteri dan anak, untuk memberikan uang dan barang-barang yang dapat untuk menyambung hidup mereka.

Sesungguhnya, mereka hidup dalam sekelompok perguruan yang tidak menentu. Seperti segerombolan burung-burung liar mereka terbang dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari tempat yang memberikan makanan bagi mereka. Namun demikian, para pengikut dari perguruan itu adalah orang-orang yang setia dalam kedunguan mereka. Sambil berpindah-pindah tempat, mereka masih saja sempat menempa diri dalam latihan-latihan yang cukup berat.

Kini mereka mendapat kesempatan untuk melakukan satu kerja yang belum pernah mereka lakukan. Mereka tidak akan merampok harta benda, tetapi mereka akan merebut dan menduduki sebuah padepokan yang bagi mereka tentu lebih baik dari sebuah padukuhan kecil. Di padepokan itu terdapat berbagai kelengkapan yang memang mereka perlukan. Bahkan termasuk sumber kehidupan bagi mereka sehari-hari, sehingga apa yang mereka dapatkan dari kerja mereka yang kasar dan liar itu, akan dapat mereka simpan sebagai kekayaan mereka.

Karena itulah, maka ketika para pemimpin mereka mempersiapkan para pengikutnya untuk pergi mengambil padepokan itu dengan kekerasan, maka mereka pun telah bersiap-siap dengan penuh gairah yang menggelora.

“Semula mereka sama sekali tidak berusaha untuk mempertahankannya,” berkata salah seorang yang kembali dari padepokan Suriantal itu, “mereka telah kehilangan kepercayaan diri.”

“Jika demikian maka kita tidak akan bertempur,” berkata seorang di antara para pengikutnya.

“Tetapi agaknya pemimpin padepokan itu telah berubah pendirian. Agaknya selama kami bersiap-siap untuk berangkat ke padepokan itu, ia telah berusaha untuk membangunkan orang-orangnya yang menjadi putus asa dan tidak mempunyai pegangan lagi. Mereka berusaha untuk mendapatkan kepercayaan kepada diri sendiri dengan mengadakan latihan-latihan yang berat. Namun aku yakin, bahwa hati mereka yang telah susut sampai sebiji sawi itu tidak akan mampu bertahan. Jika kita datang menggertaknya, maka mereka akan segera kehilangan lagi kepercayaan diri lagi. Mereka akan menjadi ketakutan dan dengan serta merta mereka akan segera menyerah,” berkata salah seorang dari kedua orang yang telah mengunjungi padepokan Suriantal itu.

Namun yang tidak dikatakannya kepada para pengikutnya, tetapi hanya diketahui oleh kedua orang yang datang ke padepokan itu, adalah tentang batu yang berwarna kehijau-hijauan itu. Dalam kesempatan terpisah, kedua orang itu sepakat untuk sementara tidak membicarakannya lebih dahulu.

“Jika kita sudah berhasil tinggal di padepokan itu, maka kita tentu akan mendapat banyak kesempatan datang ke tepi hutan untuk mengamati batu itu lebih saksama. Mungkin kita harus memecahkannya atau dengan cara lain,” berkata seorang di antara mereka.

“Biarlah kita tentukan kelak,” jawab kawannya.

Demikianlah, maka para pengikut perguruan itupun telah bersiap-siap seluruhnya. Mereka akan berangkat meninggalkan sarang mereka terakhir di sebuah hutan yang tidak terlalu lebat, namun berbukit-bukit padas. Beberapa buah goa terdapat di bukit-bukit itu, yang dapat mereka pergunakan sebagai sarang mereka.

“Namun bagaimanapun juga kita harus bersiap sepenuhnya,” berkata salah seorang di antara kedua orang pemimpin yang pernah datang ke padepokan Suriantal, “mereka bekas orang-orang dari sebuah perguruan yang besar. Meskipun mereka telah dihancurkan oleh Akuwu Lemah Warah, namun sisa-sisanya, apabila mereka berhasil membangun diri mereka kembali, akan merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan pula.”

Tetapi berpegang kepada keterangan sebelumnya, maka orang-orang di bukit-bukit padas itu menganggap bahwa yang akan mereka lakukan bukannya satu pekerjaan yang berat. Mereka akan dengan mudah memecahkan pintu gerbang padepokan, memasukinya dan menghancurkan perlawanan yang sia-sia. Membantai orang-orang yang keras kepala dan kemudian tinggal di sebuah padepokan yang baik dan memberikan kenyamanan bagi mereka.

Dengan mimpi-mimpi yang menyenangkan, maka mereka-pun kemudian telah berangkat ke padepokan Suriantal. Untuk sementara mereka memang tidak membawa kekayaan mereka selain senjata.

Namun sementara itu, orang-orang yang berada di padepokan Suriantal pun telah bersiap pula. Kekuatan mereka dibanding pada saat mereka menghadapi pasukan Akuwu Lemah Warah memang tidak lebih dari sepertiganya, setelah yang lain terbunuh dan melarikan diri. Tetapi yang akan datang menyerang pun tidak sekuat dan sebesar pasukan Lemah Warah.

Meskipun kekuatan mereka jauh susut, namun berdasarkan atas pengalaman mereka, maka orang-orang di padepokan itu dapat membagi tenaga mereka sebaik-baiknya. Mereka tidak menghamburkan tenaga tanpa arti yang hanya akan membuat kelelahan saja, sehingga justru pada saatnya, mereka tidak lagi mempunyai tenaga yang segar untuk melawan.

Dengan demikian, maka mereka tidak lagi dalam kelompok-kelompok yang besar berada di panggungan di belakang dinding padepokan untuk mengamati keadaan. Jika mereka sekelompok petugas berada di panggungan, maka tidak lebih dari dua orang di antara mereka sajalah yang bergantian mengamati keadaan, sedangkan yang lain sempat beristirahat dan tidur di panggungan yang memang dibuat agak besar.

Cara itu ternyata lebih baik dari cara yang telah pernah mereka lakukan dengan kelompok-kelompok yang besar bersama-sama mengawasi keadaan. Dengan menghemat tenaga, maka mereka dapat menyimpan kekuatan. Jika terpaksa harus dipergunakannya, maka mereka memilih mempergunakan tenaga mereka untuk mengadakan latihan-latihan. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah membatasi latihan-latihan itu pula, agar mereka tidak kehabisan tenaga justru pada saat diperlukan.

Dalam pada itu, maka orang-orang yang mengingini padepokan itu, semakin lama menjadi dekat pula dengan padepokan Suriantal, sehingga akhirnya, pada satu saat, seorang pengawas di sisi pintu gerbang melihat kehadiran mereka. Tetapi yang dilihatnya jauh berbeda dengan kehadiran pasukan Akuwu Lemah Warah yang memperlihatkan tanda-tanda kebesaran dari sebuah Pakuwon sehingga kehadiran pasukan Lemah Warah itu dapat membuat tengkuk mereka meremang.

Namun yang datang itu adalah sekelompok orang dalam sebuah iring-iringan yang tidak teratur. Mereka menebar begitu saja dihadapan padepokan Suriantal tanpa terdengar aba-aba, orang-orang itu telah menghambur mencari tempat mereka masing-masing untuk duduk beristirahat. Kelompok-kelompok kecil dari orang-orang itu, membuat lingkaran-lingkaran pembicaraan. Agaknya mereka memang sedang memperbincangkan padepokan Suriantal yang mereka hadapi.

“Menarik,” desis salah seorang di antara mereka.

“Dindingnya cukup kuat,” desis yang lain.

“Bukan apa-apa,” sahut kawannya, “kita akan memecahkan pintu gerbang dan memasuki padepokan itu dengan penuh kebanggaan atas kebesaran pasukan kita. Pasukan yang sekuat ini tentu belum pernah dilihat oleh orang-orang padepokan yang dungu itu.”

Yang lain tidak menjawab. Namun kemudian mereka telah mendapat perintah, bahwa mereka memang harus beristirahat.

“Utusan kita akan menemui pemimpin padepokan itu. Setelah mereka melihat kekuatan kita, mungkin mereka berubah pendirian, sehingga kita akan memasuki padepokan itu tanpa bertempur. Kita akan mengusir beberapa orang di antara mereka yang kita anggap tidak berbahaya. Tetapi orang-orang yang sudah bersiap-siap menentang kita akan tetap mendapat hukuman yang sepantasnya. Mereka harus mati. Tetapi hal itu akan kita lakukan kelak,” berkata salah seorang di antara para pemimpin mereka.

Dengan demikian, maka orang-orang yang berada di depan padepokan itu memang telah menebar. Agaknya mereka memang mendapat tugas untuk mengawasi seputar padepokan itu, sehingga tidak ada orang yang akan dapat lolos. Sambil berbaring, duduk-duduk dengan bersandar pepohonan, memeluk lutut dan menguap, mereka menunggu perintah yang bakal datang selanjutnya.

Bahkan banyak di antara mereka yang kemudian jatuh tertidur. Namun ternyata bahwa mereka telah melakukan pembagian pekerjaan cukup baik pula. Sementara pasukan itu beristirahat, beberapa orang telah membuat tungku perapian dan menyiapkan makan dan minum bagi mereka.

Ternyata dalam waktu yang pendek, hampir semua orang di antara mereka telah tertidur kecuali orang-orang yang bekerja di dapur. Bahkan yang kemudian mengawasi keadaan adalah justru orang-orang yang sedang memasak itu.

Namun para pemimpin mereka sama sekali tidak menghiraukannya. Siapapun yang mengawasi keadaan tidak penting, karena para pemimpin mereka memang sudah menduga, bahwa orang-orang padepokan itu pada mulanya akan berusaha untuk mempertahankan padepokan mereka, sehingga mereka tidak akan melarikan diri. Hanya dengan menakut-nakuti mereka, maka orang-orang di padepokan itu mungkin akan kembali kepada sikapnya semula, meskipun akibatnya bagi mereka akan berbeda.

Selagi orang-orangnya beristirahat, dua orang pemimpin dari perguruan yang datang untuk mengambil alih padepokan itu memang telah memasuki padepokan untuk bertemu sekali lagi dengan orang yang untuk sementara memimpin padepokan itu. Sekali lagi mereka menjelaskan bahwa mereka memerlukan padepokan itu.

“Kau lihat, betapa kekuatan kami telah berada di seputar padepokan ini,” berkata salah seorang dari kedua orang itu.

“Ya,” jawab pemimpin padepokan itu, “tetapi kami sudah siap pula.”

Tetapi kedua orang itu tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Apa yang telah berhasil kalian siapkan di padepokan yang sudah lumat menjadi debu ini? Jika kami datang, maka kami masih harus membangunnya kembali menjadi sebuah padepokan yang besar dan berwibawa.”

“Ki Sanak,” berkata pemimpin padepokan itu, “ketika kami menerima Ki Sanak beberapa waktu berselang, kami memang sudah bertekad bulat untuk mempertahankan padepokan ini. Tekad itu pun tetap menyala di dalam hati kami sampai hari ini.”

“Jangan mengelabui diri sendiri,” berkata salah seorang dari kedua orang pemimpin perguruan yang datang itu, “aku yakin bahwa ketika kalian melihat pasukan kami datang, maka hati kalian telah kuncup.”

Tetapi pemimpin padepokan itu tersenyum. Katanya, “Kau memang seorang pemimpin perguruan yang senang berkelakar.”

“Apa maksudmu?” bertanya orang itu.

“Ketika kalian datang, ternyata bahwa bayangan kami tentang kalian telah rusak sama sekali,” berkata pemimpin padepokan itu, “kami pernah melihat pasukan Lemah Warah datang mengepung padepokan ini. Kami kagum melihat pasukan itu menempatkan diri. Belum lagi bagaimana setiap prajurit di antara mereka berbuat sesuatu, kami sudah digetarkan oleh kehadiran mereka dalam gelar kebesaran pasukan sebuah Pakuwon. Tanda-tanda kebesaran yang menandai setiap kelompok prajurit membuat hati ini menjadi berdebar-debar,” pemimpin padepokan itu berhenti sejenak. Namun kemudian ia berkata lebih lanjut, “Tetapi ketika kami melihat kalian datang, kemudian orang-orang kalian bertebaran dan berbaring di atas rerumputan kering, maka yang terbayang oleh kami adalah sekelompok orang kelaparan yang menunggu kemurahan hati seorang dermawan yang akan membagikan makan bagi mereka.”

“Gila,” geram kedua orang pemimpin perguruan yang datang itu hampir berbareng. Seorang di antara mereka kemudian berkata, “kau jangan mencoba membesarkan hatimu dengan cara yang tidak wajar. Aku percaya bahwa Akuwu Lemah Warah dapat menunjukkan tanda-tanda kebesaran seperti yang kau katakan. Tetapi tidak lebih dari sekedar rontek dan umbul-umbul. Tetapi bukan ujung senjata yang dapat membelah lambung kalian sebagaimana dibawa oleh orang-orangku.”

Tetapi pemimpin padepokan itu masih saja tersenyum. Katanya, “Kau kira para prajurit Lemah Warah itu hanya membawa rontek dan umbul-umbul serta kelebet?”

“Persetan,” pemimpin perguruan yang ingin memiliki padepokan itu mulai marah, “sebaiknya kau mengerti apa yang sebenarnya kau hadapi. Atau kau memang sedang berpura-pura?”

“Ki Sanak,” berkata pemimpin padepokan itu, “pengalaman telah mengajarkan kepada kami, bagaimana kami harus mempertahankan padepokan ini. Kekalahan kami dari pasukan Lemah Warah, merupakan pelajaran yang sangat mahal bagi kami.”

“Kekalahan kalian dari Pakuwon Lemah Warah telah menghancurkan semua kekuatan yang tersisa. Tidak ada lagi yang dapat kalian banggakan sekarang ini. Semuanya sudah hancur. Karena itu, kalian jangan mencoba bersembunyi di balik reruntuhan yang sudah tidak berarti apa-apa ini,” berkata salah seorang dari kedua orang yang datang itu, “cobalah melihat kenyataan dengan jujur. Kemudian kalian akan dapat mengambil keputusan yang tepat tanpa mengorbankan orang-orang kalian yang sudah tinggal beberapa orang itu.”

Tetapi pemimpin pengawal itu menyahut, “Sudahlah. Apa maumu sebenarnya? Membunuh diri atau karena kebodohan kalian sehingga kalian tidak tahu siapakah yang kalian hadapi?”

“Gila,” geram orang itu, “baiklah jika kau tidak mampu menilai dirimu sendiri. Kami akan menunggu sampai esok. Kalian masih mempunyai kesempatan untuk menentukan langkah apa yang akan kalian ambil.”

“Tidak ada gunanya,” jawab pemimpin padepokan itu, “kami sudah siap sejak lama. Karena itu, kami tidak perlu waktu sampai esok sebagaimana kau katakan. Kecuali jika kalian sendirilah yang memang belum siap. Sebaiknya kalian mempersiapkan diri baik-baik menghadapi kekuatan yang tidak kau duga sebelumnya.”

“Kau terlalu sombong,” sahut salah seorang dari kedua orang itu, “tetapi kau akan segera menyesal.”

Pemimpin padepokan itu masih akan menjawab. Tetapi kedua orang itu sudah bangkit dan melangkah meninggalkan barak induk dari padepokan itu. Di pintu gerbang, sekelompok orang padepokan itu mengangguk. Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan terdengar seorang di antara kedua orang itu mengumpat.

Tetapi para penjaga di pintu gerbang itu tidak menjadi marah. Bahkan ketika kedua orang itu melangkah menjauh, terdengar gelak tertawa yang meledak di pintu gerbang itu, sehingga kedua orang itu telah berpaling ke arah mereka. Kemarahan telah menghentak di jantung keduanya. Tetapi keduanya masih harus menahan diri betapapun sakit hati mereka.

Demikianlah, ketika keduanya telah kembali ke dalam lingkungan mereka, maka keduanya telah memanggil semua pemimpin kelompok. Dengan tegas keduanya memerintahkan agar semua orang bersiaga sepenuhnya. Ternyata mereka harus merebut padepokan itu dengan kekerasan.

“Bukankah hal itu lebih baik?” desis salah seorang dari pemimpin kelompok itu.

“Mungkin memang demikian,” sahut pemimpin kelompok yang lain, “kematian bukan lagi menjadi persoalan. Berapapun kita membunuh, perbuatan kami itu dapat dianggap sah.”

Beberapa orang yang lain ternyata telah membenarkan, sehingga keputusan untuk merebut dengan kekerasan itu justru disambut dengan gembira. Karena itulah, maka orang-orang yang datang itu pun telah mempersiapkan diri. Besok, jika matahari terbit, mereka akan memasuki padepokan itu, menghabisi semua isinya dan mendudukinya sebagai milik mereka.

Namun orang-orang padepokan itu pun telah mempersiapkan diri pula sebaik-baiknya. Meskipun pimpinan tertinggi tetap dipercayakan kepada orang yang sedang memimpin padepokan itu, namun sesungguhnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang mengatur mereka, disesuaikan dengan pengalaman orang-orang padepokan itu pada saat pasukan Lemah Warah menyerang mereka.

“Tetapi nampaknya orang-orang ini mempunyai cara yang lain untuk menyerang,” berkata pemimpin padepokan itu.

“Mereka tidak mempunyai ikatan sebagaimana sekelompok prajurit. Mereka akan dengan liar menyerang padepokan ini dari arah yang disukai oleh setiap orang. Karena itu, maka pertahanan kita pun harus menyesuaikannya.”

Pemimpin padepokan itu pun telah menebarkan orang-orangnya yang sudah tidak terlalu banyak. Namun sebagian terbesar di antara mereka tetap berada di bagian depan padepokan. Menilik cara mereka memilih tempat untuk beristirahat, maka sebagian dari mereka memang berada di bagian depan dari padepokan itu. Tetapi bukan berarti bahwa tidak ada di antara mereka yang tidur mendekur di bagian belakang padepokan.

Tetapi baik Mahisa Murti, Mahisa Pukat maupun pemimpin padepokan itu tidak berniat untuk pada malam itu keluar dari padepokan dan menyerang orang-orang yang nampaknya bertebaran tidak teratur sama sekali.

“Kita tidak tahu cara mereka mempersiapkan diri,” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kepada orang-orang padepokan itu.

Sebenarnyalah, menjelang pagi, orang-orang yang bertugas menyiapkan makan dan minumpun telah menjadi sibuk. Baik yang berada di luar maupun di dalam padepokan. Mereka tidak boleh membiarkan orang-orang mereka maju ke medan pertempuran sebelum makan lebih dahulu. Jika demikian, maka kawan-kawan mereka itu tidak akan mampu bertahan cukup lama.

Ketika langit menjadi merah, maka orang-orang yang berada di luar padepokan telah bersiap. Mereka tetap menebar di sekitar padepokan. Tetapi seperti yang diperhitungkan, maka sebagian besar di antara mereka memang berada di depan padepokan.

Dalam pada itu, ternyata orang-orang yang menyerang padepokan itu tidak memiliki persiapan sebagaimana sepasukan prajurit. Hanya beberapa orang saja di antara mereka yang membawa perisai yang akan dapat melindungi mereka dari serangan anak panah.

Namun orang-orang itu yakin akan kemampuan mereka, bahwa dengan senjata di tangan mereka, maka mereka akan dapat menangkis serangan anak panah. Pada saat-saat terakhir, pemimpin mereka yang menyerang padepokan itu masih memanggil setiap pemimpin kelompok dan memberikan pesan-pesan terakhir.

“Hancurkan dengan segala cara. Jangan menahan diri lagi. Kematian tidak akan berarti apa-apa. Dalam pertempuran, maka membunuh merupakan pekerjaan yang wajar. Dan kalian harus melakukannya sebanyak-banyaknya. Bahkan semua orang di padepokan itu harus mati. Tetapi ingat, jika mungkin tangkap pemimpin padepokan itu hidup-hidup. Aku ingin melihat bagaimana ia mati di hadapan kita.”

Beberapa orang pemimpin kelompok itu tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Baiklah. Satu hal yang akan sangat menyenangkan. Setelah kita bertempur mati-matian, maka kita akan mendapatkan satu tontonan yang mengasyikan.”

“Kita tidak akan bertempur mati-matian. Semuanya akan berlangsung cepat. Yang kita lakukan adalah membantai orang-orang padepokan itu,” berkata yang lain.

Para pemimpin kelompok itu tertawa berbareng. Mereka memang terlalu yakin bahwa mereka akan dapat melakukan tugas mereka dengan mudah berdasarkan keterangan kedua orang pemimpin mereka yang pernah datang ke padepokan itu.

Namun tiba-tiba seorang di antara pemimpin mereka itu memperingatkan, “Tetapi dengar. Pada saat terakhir mereka telah menempa diri, sehingga mungkin kemampuan mereka akan pulih kembali. Karena itu, maka kalian harus berhati-hati.”

Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka berkata, “Kita akan melihat, apa yang dapat mereka lakukan.”

Demikianlah, ketika para pemimpin kelompok itu kembali ke kelompok mereka masing-masing, ternyata mereka telah menyampaikan pesan pemimpin mereka, bahwa mereka harus berhati-hati, karena orang-orang padepokan itu telah melatih diri mereka kembali.

Ketika matahari mulai memancarkan sinarnya, maka terdengar pemimpin perguruan yang menyerang padepokan itu memberikan isyarat. Ternyata mereka mengenal juga isyarat panah sendaren. Demikian panah sendaren mengaum di udara, maka orang-orang yang mengepung padepokan itu mulai bergerak.

Sebagian besar dari orang-orang yang menyerang padepokan itu memang berada di bagian depan. Mereka maju dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur, seperti kelompok anak-anak muda yang pergi menonton wayang beber. Nainun di antara mereka yang berada di paling depan memang mereka yang mempergunakan perisai untuk melawan serangan anak panah dari orang-orang yang berada di sebelah-menyebelah regol.

“Sulit untuk memecahkan regol,” gumam seorang pemimpin kelompok.

“Kita memang tidak akan memecahkan regol,” sahut seorang kawannya yang berjalan di sebelahnya. Lalu katanya, “Kita berpegang pada rencana kita.”

Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Ia sadar sepenuhnya bahwa mereka tidak akan mungkin dapat memasuki padepokan itu lewat regol yang berat dan kuat. Apalagi di panggungan di sebelah menyebelah regol itu dijaga oleh orang-orang bersenjata panah.

Hal itu memang sudah disadari sebelumnya. Karena itu, maka sebenarnyalah orang-orang yang menyerang padepokan itu sudah mempunyai rencana yang tidak pernah diperhitungkan oleh orang-orang padepokan itu. Justru tidak pula dilakukan oleh para prajurit dari Lemah Warah.

Demikian orang-orang itu mendekati regol, maka orang-orang yang berada di sebelah-menyebelah regol itu telah melepaskan anak panah mereka. Namun pada saat yang demikian, dua buah anak panah sendaren telah terbang dan mengaum di udara. Isyarat itu merupakan teka-teki bagi orang-orang padepokan. Mereka tidak segera tahu, apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yang telah mulai menyerang itu.

Namun, yang berlangsung adalah terlalu cepat. Orang-orang itu dengan serta merta telah berlari menyusuri dinding padepokan. Untuk beberapa saat orang-orang padepokan itu justru tercenung. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka lakukan. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat cepat tanggap. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berteriak hampir berbareng,

“Mereka akan memasuki padepokan dengan meloncati dinding.”

Sebenarnyalah pertahanan di beberapa bagian dari dinding padepokan itu agak lemah. Bagian yang sama sekali nampaknya tidak menjadi sasaran serangan, dianggap tidak perlu untuk dipertahankan. Sehingga dengan demikian, hanya di beberapa tempat saja berjaga-jaga kelompok-kelompok kecil yang akan menahan beberapa orang yang nampaknya memang akan berusaha meloncati dinding.

Namun ternyata orang-orang yang berkerumun di depan regol itu telah berlari memencar. Peristiwa yang terjadi begitu cepatnya itu telah membuat orang-orang di padepokan itu menjadi agak gugup. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat berkata, ”jangan menjadi bingung. Atasi segala kejadian yang tiba-tiba. Cepat ambil sikap.”

Orang-orang padepokan yang hampir saja kehilangan arah itu tiba-tiba telah menemukan diri mereka kembali. Dengan cepat, mereka pun menebar. Meskipun mereka tidak sempat mencegah orang-orang yang datang itu meloncat ke atas dinding. Namun mereka sempat bersiap menunggu orang-orang itu meloncat.

Dengan cara itu, maka orang-orang yang menyerang padepokan itu telah sempat memasukinya. Meskipun mereka yang berada di luar, di depan regol, masih harus melawan hujan anak panah, tetapi sebagian di antara mereka telah berhasil masuk ke dalam padepokan.

Meskipun demikian bukan berarti bahwa mereka dapat berbuat menurut keinginan mereka. Tetapi dihadapan mereka orang-orang padepokan itu telah siap menunggu dengan senjata terhunus.

Dengan demikian, maka pertempuran pun telah terjadi dengan sengitnya. Untunglah bahwa orang-orang padepokan itu cepat menebar sehingga mereka yang telah meloncat masuk tidak mendapat kesempatan untuk langsung menyerang ke arah pintu gerbang dan membuka dari dalam. Karena itu, maka pintu gerbang itu masih tetap tertutup meskipun sebagian dari orang-orang itu telah memasuki padepokan.

Di bagian lain, beberapa orang telah meloncat pula. Tetapi orang-orang padepokan itu telah menunggu, sehingga mereka tidak dapat melakukannya dengan mudah sebagaimana mereka harapkan.

Dengan demikian, maka pertempuranpun telah terjadi di beberapa bagian dari padepokan itu. Orang-orang yang memasuki padepokan itu dengan dada tengadah, ternyata telah membentur kekuatan yang tidak mereka duga sebelumnya. Ternyata orang-orang padepokan itu, yang mereka sangka tidak lagi mempunyai keberanian untuk berbuat apapun juga menghadapi ujung senjata, ternyata adalah orang-orang yang telah menempa dirinya dengan latihan-latihan yang keras dan pengalaman yang sangat pahit.

Dalam pada itu, orang-orang yang menunggu di luar regol padepokan itu menjadi tidak sabar lagi. Regol itu masih tetap tertutup sementara orang-orang di sebelah menyebelah regol itu, di atas sebuah panggungan telah menyerang mereka dengan anak panah. Mereka yang berperisai berusaha untuk melindungi dirinya dan kawan-kawannya dengan perisai, sementara yang lain, yang memiliki kemampuan bermain pedang telah berusaha menangkis anak panah yang meluncur tidak terhitung itu.

Dalam pada itu, kedua orang pemimpin padepokan itu menjadi tidak sabar menunggu. Agaknya mereka merasa sudah terlalu lama menunggu, sementara orang-orangnya yang memasuki padepokan itu masih belum berhasil membuka pintu gerbang itu dari dalam. Karena itu, maka kedua orang itu pun telah bersepakat untuk membuka pintu itu dengan cara mereka.

“Marilah,” berkata salah seorang di antara keduanya kepada para pengikutnya, “kita akan memecahkan pintu itu. Bantu aku. Lindungi kami dari serangan anak panah itu. Kalian harus melontarkan lembing, pisau atau apapun yang dapat kalian lontarkan. Lima orang di antara kalian yang terbaik, bantu aku dengan kekuatan ilmu yang yang ada padamu. Berikan perisai itu kepada kami.”

Beberapa orang yang masih berada di depan pintu itupun dengan cepat telah mengatur diri. Dua orang pemimpin padepokan itu bersama dengan lima orang terbaik, telah mengambil ancang-ancang. Sebenarnyalah kedua orang pemimpin padepokan itu tidak memerlukan lima orang kawan. Namun dengan demikian, sasaran dari orang-orang yang berada di sebelah menyebelah regol di panggungan itu menjadi lebih banyak.

Demikianlah kedua orang pemimpin dari perguruan yang ingin merampas padepokan itu telah mempersiapkan ilmu puncak mereka. Mereka akan menyalurkan kekuatan puncak itu pada kaki mereka, sehingga bersama-sama mereka akan memecahkan pintu gerbang itu dengan kekuatan ilmu mereka yang sangat besar.

Dengan melindungi diri dengan perisai, maka kedua orang itu bersama kelima orang yang lain, telah siap sepenuhnya. Ketika salah seorang di antara kedua pemimpin itu memberikan aba-aba, maka mereka pun telah meloncat berlari ke arah pintu gerbang. Sementara itu, orang-orangnya yang lain telah berusaha untuk mengurangi serangan dari panggungan di sebelah-menyebelah pintu gerbang itu. Dengan lembing, pisau dan bahkan bandil, orang-orang di luar pintu gerbang itu telah menyerang orang-orang yang berusaha menghalangi ketujuh orang itu dengan anak panah.

Bagaimanapun juga ternyata usaha itu berarti pula. Beberapa orang yang menyerang ketujuh orang itu dengan anak panah, harus memperhatikan serangan-serangan yang datang dari luar padepokan.

Sementara itu, kedua orang pemimpin padepokan yang berlari ke pintu gerbang sambil melindungi diri mereka dengan perisai, telah menyalurkan segenap kekuatan ilmu mereka pada kaki kanan mereka. Serentak keduanya telah meloncat dengan kaki terjulur menyamping. Sementara itu, kelima orang yang bersama mereka juga telah melakukan hal yang sama, meskipun mereka tidak memiliki ilmu setinggi kedua orang pemimpin mereka.

Ternyata bahwa kekuatan ilmu kedua orang itu memang luar biasa. Ketika kaki mereka menghantam pintu gerbang, maka dua kekuatan yang sangat besar, ditambah dengan kekuatan lima orang, ternyata telah mampu meretakkan selarak pintu gerbang padepokan itu. Karena itu, maka ketika mereka kemudian mendorong pintu itu, maka pintu gerbang itu pun telah terbuka.

Beberapa orang penghuni padepokan yang menyaksikan hal itu menjadi berdebar-debar. Demikian pula pemimpin padepokan itu. Mereka dapat menduga, seberapa besar kekuatan kedua orang pemimpin padepokan yang telah mampu meretakkan selarak pintu gerbang yang besar itu.

Namun mereka tidak dapat tinggal diam dan membiarkan orang-orang yang masih berada di luar itu begitu saja memasuki padepokan. Karena itu, maka pemimpin padepokan itupun telah meneriakkan aba-aba, agar orang-orangnya segera menghambat gerak maju orang-orang itu.

Demikianlah, pertempuran yang sengit telah terjadi di mana-mana. Orang-orang yang ingin memiliki padepokan itu telah berusaha melakukan sebagaimana mereka rencanakan. Mereka akan membinasakan semua orang di padepokan itu, kecuali seorang. Pemimpin padepokan itu.

Tetapi ketika mereka telah terlibat dalam pertempuran dengan para penghuni padepokan itu, maka gambaran mereka tentang rencana itu telah menjadi kabur. Mereka tidak dapat dengan mudah mengalahkan orang-orang padepokan itu. Bahkan dalam pertempuran yang terjadi kemudian, mereka mulai merasakan bahwa orang-orang padepokan itu ternyata memiliki kemampuan yang tidak kalah dari kemampuan mereka yang datang untuk merebut padepokan itu.

Bukan saja kemampuan mereka yang tinggi, tetapi mereka pun telah bertempur dengan tekad yang menyala di dalam setiap dada karena mereka merasa wajib untuk mempertahankan padepokan mereka.

Di antara mereka yang bertahan itu adalah orang-orang Suriantal yang tersisa. Mereka masih tetap mempergunakan tongkat-tongkat mereka sebagai senjata. Dengan kemampuan dasar yang mereka miliki serta tuntunan yang mereka terima dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka mereka ternyata mampu mengatasi lawan-lawan mereka yang semula menganggap mereka tidak lagi memiliki keberanian untuk melawan.

Demikianlah, maka pertempuran itu pun ternyata merupakan pertempuran yang semakin seru. Orang-orang yang memasuki padepokan itu merasa bahwa mereka telah terjerumus ke dalam sarang serigala, sama sekali bukan sarang domba-domba yang jinak, yang dengan suka rela menyerahkan leher mereka untuk dibantai.

Di regol padepokan, dua orang pemimpin dari perguruan yang menghendaki padepokan itu, telah bertempur dengan garangnya. Orang-orang padepokan yang mencoba menghalanginya telah disapunya tanpa ampun sebagaimana memang ingin dilakukannya. Dengan demikian, maka orang-orang yang mempertahankan padepokan itu di regol mulai terdesak. Beberapa orang pendatang sempat menerobos masuk mengikuti kedua orang pemimpinnya itu.

Dalam pada itu, pemimpin padepokan itu tidak dapat tinggal diam. Meskipun ia sadar, bahwa kemampuannya tentu tidak akan dapat mengimbangi pemimpin perguruan yang datang itu, tetapi ia merasa bertanggung jawab atas padepokan itu. Karena itu, apapun yang terjadi, maka iapun telah siap untuk melawan.

Namun ketika ia melangkah maju, terasa seseorang menggamitnya. Bahkan dengan nada datar terdengar orang yang menggamitnya itu berkata, “Mereka bukan lawanmu, apalagi berdua. Serahkan mereka kepada kami.”

Pemimpin padepokan itu termangu-mangu. Yang menggamitnya itu adalah Mahisa Murti. Pemimpin padepokan itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka menurut penilaian pemimpin padepokan itu, adalah anak-anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi pula. Karena itu, maka dengan jantung yang berdebaran ia berdesis, “Terima kasih. Semoga Yang Maha Agung melindungi kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah menyiapkan dirinya untuk menghadapi dua orang yang tentu berilmu tinggi. Namun mereka sudah menyatakan kesediaannya untuk membantu orang-orang padepokan itu. Karena itu maka mereka harus membuktikan, apa yang dapat mereka lakukan sesuai dengan kesediaannya itu.

Untuk beberapa saat orang yang diserahi memimpin padepokan itu masih termangu-mangu. Rasa-rasanya berat baginya untuk melepaskan begitu saja anak-anak yang masih sangat muda itu untuk turun melawan orang-orang yang berilmu tinggi, yang tentu sudah memiliki pengalaman yang sangat luas. Namun pemimpin padepokan itu mengerti, bahwa kedua anak muda itu adalah anak-anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi pemimpin padepokan itu tidak sempat termangu-mangu terlalu lama. Orang-orang yang menyerang padepokan itu melanda seperti banjir. Karena itu, maka ia pun harus segera turun ke dalam pertempuran.

Kedua orang pemimpin perguruan yang datang menyerang padepokan itu telah mendera orang-orangnya untuk memasuki padepokan lewat regol yang telah terbuka. Jika mereka menjumpai hambatan, maka kedua orang itulah yang membuka jalan, sehingga orang-orangnya mendesak maju. Tetapi kedua orang itu pun kemudian termangu-mangu ketika mereka melihat dua orang anak muda berada di arus orang-orangnya yang memasuki padepokan itu.

Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak membiarkan orang-orang padepokan itu menjadi gentar melihat sikap dan kelebihan kedua orang pemimpin dari perguruan yang telah mendatangi padepokan mereka. Beberapa kawan mereka telah terlempar dari arena dengan luka parah jika mereka berani menghalangi kedua orang itu.

Untuk memulihkan ketabahan hati orang-orang padepokan itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah melakukan hal yang sama. Keduanya memang mampu melemparkan orang-orang yang berlari-larian memasuki padepokan itu. Siapa yang dekat dengan kedua anak muda itu, maka ia akan terlempar dan terbanting jatuh. Bahkan luka parah di tubuh mereka, telah membuat mereka tidak mampu lagi untuk bangkit.

Orang-orang padepokan itu yang menjadi gentar melihat kegarangan kedua orang pemimpin perguruan lawan itu, hatinya telah menjadi kembang kembali. Ternyata di antara mereka, terdapat pula seorang yang berilmu tinggi, sebagaimana kedua orang yang datang bersama seluruh perguruannya itu.

Kedua orang pemimpin perguruan yang datang ke padepokan itu pun menjadi tegang pula melihat dua orang anak muda yang ternyata memiliki kelebihan dari orang-orangnya. Sebagaimana dilakukan, maka kedua orang anak muda itupun telah melemparkan beberapa orang dari perguruannya keluar arena. Karena itu, maka kedua orang itu pun sadar, bahwa kedua orang anak muda itu tentu dengan sengaja telah berusaha untuk menghadapinya. Karena itu, dengan isyarat kedua orang itu telah berpencar. Mereka mengambil jarak beberapa langkah dari yang satu dengan yang lain.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun melakukan hal yang sama, maka kedua orang itu pun telah menjadi yakin karenanya. Dengan demikian, maka keduanya pun telah bersiap menghadapinya. Namun demikian, kedua.orang itu dianggapnya masih terlalu muda untuk turun di medan menghadapinya. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak memberinya banyak kesempatan. Keduanya segera telah menempatkan dirinya menghadapi kedua orang itu, masing-masing seorang.

Namun berbeda dengan lawannya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak merendahkan lawan-lawannya itu. Bahkan mereka menjadi sangat berhati-hati karena menurut perhitungannya keduanya memang orang-orang yang mumpuni.

Orang yang kemudian berhadapan dengan Mahisa Murti ternyata masih sempat bertanya, “Siapa kau anak muda?”

“Aku adalah salah seorang penghuni padepokan ini,” jawab Mahisa Murti.

“Siapakah namamu?” desak lawannya.

“Apa artinya sebuah nama,” jawab Mahisa Murti, “atau barang kali kau mau juga menyebut namamu?”

“Persetan,” geram orang itu, “sebenarnya aku merasa sayang, bahwa dalam umurmu yang masih sangat muda itu, kau harus mati.”

“Jangan cemas bahwa aku akan mati. Cemaskan dirimu sendiri. Kau sajalah yang mati karena kau sudah lebih tua dari aku,” jawab Mahisa Murti, “kau tentu sudah mengalami kehidupan yang lebih panjang dari aku.”

“Persetan,” geram orang itu, “ternyata bahwa kau memang pantas untuk dibunuh. Mulutmu harus dikoyak dan jantungmu harus dihancurkan.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Jangan terlalu garang Ki Sanak. Kita masih belum saling berkenalan, meskipun aku yakin bahwa kau memiliki ilmu yang sangat tinggi.”

Orang itu tidak berbicara lagi. Namun iapun segera bersiap. Dengan garang ia telah menerkam Mahisa Murti. Namun ia masih mempergunakan gerak wajarnya sebagaimana ia melemparkan orang-orang lain di padepokan itu.

Tetapi Mahisa Murti bukannya orang kebanyakan seperti orang-orang yang pernah terlemar dari arena. Jika serangan itu, datang ke arahnya, maka dengan sigapnya iapun telah berkisar menghindarinya, sehingga dengan demikian serangan itu sama sekali tidak menyentuhnya.

Tetapi lawan Mahisa Murti itu tidak menghentikan serangannya. Ketika ia gagal mengenai anak muda itu, maka serangan berikutnya pun telah datang pula. Demikian cepatnya. Tetapi Mahisa Murti pun mampu bergerak secepat serangan lawannya.

“Anak iblis,” geram orang itu, “ternyata kau memang mampu bertempur dengan baik. Kau dapat bergerak cepat menghindari serangan-seranganku. Tetapi jangan kau kira. bahwa aku hanya mampu bertempur dengan cara ini.”

“Aku tahu,” jawab Mahisa Murti, “kau mampu memecahkan pintu gerbang itu.”

Orang itu menggeram. Katanya, “Jika demikian kau tentu merasa memiliki ilmu yang tinggi, yang akan mampu mengatasi kekuatan yang kau kenali itu he?”

“Bukan begitu,” jawab Mahisa Murti, “tetapi sudah tentu harus ada orang yang bersedia menghadapimu.”

“Persetan,” geram orang itu, “tetapi jika yang kau dapatkan adalah kematian bukan salahku.”

“Sudah aku katakan, jangan cemas bahwa aku akan mati,” jawab Mahisa Murti.

Orang itu menjadi semakin marah. Karena itu. maka ia pun telah menyerang lagi dengan garangnya. Tetapi Mahisa Murti yang meinadari kekuatan orang itu. berusaha untuk tidak tersentuh oleh serangannya, karena sentuhan itu akan berbahaya baginya.

Sejenak kemudian maka pertempuran itu pun telah menjadi semakin seru. Orang itu telah meningkatkan kemampuannya. Namun Mahisa Murti pun telah berbuat sebagaimana dilakukan oleh lawannya. Dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama benar-benar menjadi semakin dahsyat pula...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.