Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 41

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 41 karya Singgih Hadi Mintarjda
Sonny Ogawa
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 41
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

DI TEMPAT lain, Mahisa Pukat pun telah bertempur dengan sengitnya. Ternyata lawannya mempunyai darah yang lebih cepat mendidih dari lawan Mahisa Murti. Karena itu. maka pertempuran di antara Mahisa Pukat dan lawannya telah meningkat menjadi keras bahkan kasar. Mereka telah mulai mengetrapkan kemampuan ilmu mereka. Lawannya yang memiliki kekuatan yang sangat besar, yang mampu memecahkan pintu regol bersama seorang kawannya itu. rasa-rasanya memang ingin segera melumatkan Mahisa Pukat.

Tetapi Mahisa Pukat pun termasuk seorang anak muda yang tidak terlalu banyak membuat pertimbangan untuk mengambil langkah. Itulah sebabnya, maka pertempuran yang terjadi telah meningkat lebih cepat dari lingkaran pertempuran antara Mahisa Murti dan lawannya.

Namun dengan demikian, kedua orang pemimpin dari sebuah perguruan yang ingin memiliki padepokan itu telah terikat oleh dua orang lawan mereka. Meskipun keduanya masih muda, tetapi ternyata bahwa keduanya benar-benar mampu menghambat gerak maju kedua orang pemimpin perguruan itu. Bahkan apa saja yang dilakukan oleh kedua orang pemimpin itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mampu mengimbangi.

Sementara itu, pertempuran telah terjadi dimana-mana. Hampir tersebar diseluruh halaman dan kebun di padepokan itu. Namun apa yang dibayangkan oleh orang-orang yang datang untuk mengambil padepokan itu ternyata berbeda dengan apa yang mereka hadapi.

Orang-orang yang masih tinggal di padepokan itu ternyata tidak dengan cepat dapat dikuasai. Mereka tidak menjadi ketakutan dan dengan serta merta kehilangan keberanian untuk melawan.

Mereka tidak dengan gemetar melemparkan senjatanya untuk menyerah. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang yang datang untuk menduduki padepokan itu tidak dapat dengan sesuka hati melakukan apa yang telah mereka angan-angankan. Mereka tidak dapat mendera orang-orang mereka untuk dipenggal. Mereka tidak dapat membunuh sebanyak-banyaknya dengan sah, karena itu dilakukan di dalam pertempuran.

Tetapi yang terjadi adalah justru bertentangan sama sekali dengan yang mereka angankan itu. Orang-orang padepokan itu ternyata telah bertempur dengan gigihnya. Mereka mempertahankan setiap jengkal tanah di padepokan itu tanpa mengenal surut.

Dalam pertempuran yang menjadi semakin sengit itu, ternyata bahwa kemampuan orang-orang padepokan itu tidak berada di bawah tataran kemampuan orang-orang yang ingin merampas padepokan mereka. Latihan-latihan yang berat yang mereka lakukan, telah banyak memberikan arti dalam pertempuran yang keras dan bahkan kasar.

Ternyata bahwa usaha Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memperkenalkan unsur-unsur gerak yang dianggapnya masih asing itu banyak pula artinya. Dalam keadaan yang tiba-tiba dan mendesak, mereka mampu mengambil sikap. Dan sikap itu banyak menolong dan menyelamatkan mereka dari ujung senjata lawan. Bahkan kemudian ternyata bahwa perlahan-lahan orang-orang padepokan itu berhasil mendesak lawannya.

Meskipun jumlah orang-orang yang datang untuk merebut padepokan itu lebih banyak, namun tekad yang membaja di hati para penghuni padepokan itu untuk mempertahankannya, maka mereka telah berhasil menguasai hampir di semua sudut pertempuran. Apalagi karena kedua orang pemimpin dari perguruan yang datang itu telah terikat dalam pertempuran melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Karena itu, maka semakin lama para penghuni padepokan itu pun menjadi semakin yakin, bahwa mereka akan dapat mengusir lawan mereka untuk meninggalkan padepokan itu. Kecuali jika orang-orang itu memang ingin membunuh dirinya.

Seorang pemimpin kelompok dari orang-orang yang datang untuk merebut padepokan itu, telah bertempur dengan salah seorang dari perguruan Suriantal yang bersenjata tongkat panjang. Semula orang itu mengira bahwa orang yang bersenjata tongkat panjang itu tidak akan mampu bertahan sepenginang. Namun ketika mereka telah bertempur maka ternyata bahwa orang bertongkat itu memiliki kemampuan jauh melampaui dugaannya. Ketika usahanya untuk dengan cepat mengakhiri perlawanan orang Suriantal itu gagal, maka orang itu pun telah mengumpat kasar.

“Kenapa kau mengumpat-umpat?“ bertanya orang Suriantal itu sambil mengayunkan tongkat panjangnya mendatar.

Lawannya meloncat surut selangkah. Sekali lagi ia justru mengumpat. Namun kemudian katanya, “Iblis manakah yang telah membantumu, sehingga kau mampu bertahan?”

Orang Suriantal yang telah memiliki keyakinan akan dirinya setelah ia berlatih bersama dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu menjawab, “Kaulah yang tidak mampu menilai ilmu seseorang. Kau dan barangkali juga kawan-kawanmu menganggap kami tidak berkemampuan sama sekali, justru karena padepokan ini telah dihancurkan oleh pasukan dari Lemah Warah. Tetapi yang perlu kau ingat adalah, bahwa kekuatan prajurit Lemah Warah jauh lebih besar dari kekuatan perguruanmu. Bahkan kemampuan secara pribadi, prajurit Lemah Warah jauh di atas tataran kemampuan kalian.”

“Persetan,“ geram orang itu. “bagaimanapun juga, kemampuan kami berada di atas kemampuanmu. Karena itu, menyerahlah. Juga kawan-kawanmu. Dengan demikian maka kalian masih akan mendapat kesempatan untuk ikut memiliki padepokan ini.”

Tetapi orang bertongkat itu tersenyum. Sekali lagi tongkatnya menyambar hampir mengenai kepala lawannya. Ketika lawannya itu meloncat menghindar, maka orang Suriantal itu menjawab, “Kami sadar, bahwa kami akan dihancurkan mutlak pada saat ini. Tidak seorang pun di antara kami akan hidup. Aku sudah mendengar salah seorang kawanmu tadi berteriak, bahwa isi padepokan ini akan dimusnahkan.”

“Tentu tidak,“ jawab orang itu. “itu hanya ungkapan kemarahan saja.”

“Bagaimana jika ungkapan kemarahan itu diujudkan dalam tingkah laku dan tindakan. Bukan sekedar pada kata-kata?“ bertanya orang Suriantal itu.

“Baiklah. Aku benar-benar akan melakukannya. Sebentar lagi kau dan kawan-kawanmu yang tersisa pada perang melawan para prajurit Lemah Warah akan musnah sekarang ini,“ berkata orang itu.

Orang Suriantal itu tidak sempat menjawab. Lawannya menerkamnya dengan pedang terjulur lurus ke arah dada. Tetapi orang Suriantal itu cepat mengelak. Bahkan kemudian tongkatnya pun berputar. Ujungnya dengan cepat mematuk orang yang menerkamnya dengan pedang itu. Tetapi orang itu masih sempat menangkis serangan orang bertongkat itu.

Namun ketika benturan terjadi, sekali lagi pemimpin kelompok dari orang-orang yang ingin merebut padepokan itu terkejut. Ia tidak menyangka bahwa orang bertongkat itu memiliki kekuatan yang besar sekali, bahkan hampir saja melemparkan pedangnya.

Dengan demikian maka pemimpin kelompok itu dapat menduga apa yang telah terjadi di padepokan itu. Kawan-kawannya tentu menghadapi kekuatan yang sama sekali tidak diduganya. Harapan mereka satu-satunya terletak pada jumlah mereka yang lebih banyak serta kepada kedua orang pemimpin perguruan mereka. Namun pemimpin kelompok itu harus berjuang mati-matian untuk melindungi dirinya dari serangan tongkat panjang yang semakin lama justru bergerak semakin cepat.

Di bagian lain, orang-orang yang datang dengan dada tengadah itu pun telah membentur kekuatan yang tidak diduganya sebelumnya. Jika mereka menganggap bahwa merebut padepokan itu dengan kekerasan justru akan lebih menyenangkan, karena mereka akan dapat membantai penghuni padepokan itu dengan sah, ternyata telah menghadapi perlawanan yang sulit untuk ditembus. Bahkan perlahan-lahan orang-orang yang datang memasuki padepokan itu telah semakin terdesak.

Dalam pada itu, sebagian besar dari mereka memang menunggu pemimpin mereka mengakhiri pertempurannya. Dan kemudian datang menghancurkan orang-orang padepokan itu. Namun ternyata kedua pemimpin mereka itu masih belum nampak di antara para pengikutnya.

Tetapi mereka yang bertempur di halaman depan melihat, apa yang sebenarnya telah terjadi. Kedua orang pemimpin yang mereka harapkan akan dapat menolong mereka itu telah terikat dalam pertempuran melawan anak-anak muda. Namun ternyata bahwa kedua pemimpin mereka itu tidak segera dapat mengalahkan kedua anak muda itu. Bahkan semakin lama nampaknya kedua orang pemimpin mereka itu menjadi semakin terdesak.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun kemudian nampaknya tidak lagi terlalu tergesa-gesa. Ketika ia melihat bahwa orang-orang padepokan itu mampu mempertahankan diri. Bahkan di halaman depan, penghuni padepokan yang jumlahnya lebih kecil itu mampu bertahan dan mendesak lawannya meskipun sejengkal demi sejengkal.

Kenyataan itu telah membuat kedua orang pemimpin perguruan yang datang ke padepokan itu menjadi berdebar-debar. Seakan-akan mereka tidak dapat mempercayai penglihatan mereka atas kejadian itu, karena mereka masih tetap beranggapan bahwa kemampuan orang-orang padepokan itu tidak setinggi orang-orangnya. Apalagi tekad perjuangan mereka telah runtuh pada saat orang-orang padepokan itu dikalahkan oleh prajurit Lemah Warah. Namun ternyata yang terjadi adalah sebaliknya.

Orang-orang padepokan itu sama sekali tidak digentarkan oleh kehadiran lawan yang garang dalam jumlah yang lebih banyak dari jumlah mereka. Bahkan setelah pertempuran itu terjadi, terbukti bahwa kemampuan orang-orang padepokan itu lebih baik dari mereka yang datang menyerang dan ingin menguasai padepokan itu.

Karena itu, maka kedua orang pemimpin itu menyadari, bahwa orang-orangnya tentu menyandarkan diri kepada mereka berdua. Jika mereka berdua tidak dapat menolong para pengikutnya, maka para pengikutnya itu tentu akan mengalami kesulitan. Dengan demikian maka kedua orang itu telah bertekad untuk segera menyelesaikan pertempuran itu, agar mereka segera dapat membantu para pengikutnya. Namun lawan mereka, anak-anak yang masih muda itu, memiliki ilmu yang mendebarkan.

Lawan Mahisa Murti yang telah menghentakkan kekuatannya, ternyata tidak dengan segera dapat mengalahkan anak muda itu. Ketika dengan sigap dan cepat orang itu melanda lawannya, Mahisa Murti pun mampu mengimbangi kecepatan geraknya. Dengan demikian maka serangan-serangan orang itu sama sekali tidak mengenai sasarannya.

Betapa kemarahan menghentak-hentak di dalam dada orang itu. Ia merasa memiliki kekuatan yang sangat tinggi. Jika ia berhasil mengenai lawannya, maka orang itu menduga, bahwa tubuh anak muda itu akan dapat dihancurkannya. Tulang-tulangnya akan dapat dipatahkannya sehingga anak muda itu akan terkapar di halaman padepokan itu.

Kekuatannya yang sangat besar, bergabung dengan pemimpin perguruan yang lain, telah dapat mematahkan selarak pintu gerbang yang besar dan kuat. Sehingga dengan demikian maka betapapun tubuh anak muda itu tentu akan dapat dihancurkannya pula. Tetapi anak muda itu mampu bergerak terlalu cepat melampaui kecepatan serangan-serangannya. Karena itu, ia sama sekali masih belum dapat menyentuhnya sama sekali. Karena itulah, maka orang itu telah menghentakkan segenap kemampuannya. Seperti badai ia menyerang. Jika serangannya gagal, maka serangan berikutnya telah menyusul pula.

Mahisa Murti memang menyadari, bahwa lawannya mempunyai kekuatan yang sangat besar. Tetapi lawannya tidak mampu bergerak melampaui kecepatan geraknya. Karena itu, maka dengan demikian, lawan-lawannya tidak akan pernah mampu mengenainya. Sebaliknya Mahisa Murti yang memiliki kemampuan bergerak lebih cepat, telah memanfaatkan kemampuan itu sebaik-baiknya. Ia tidak hanya selalu menghindari serangan lawannya yang memiliki kekuatan yang sangat besar, tetapi ia justru telah mempergunakan kesempatan yang baik untuk menyerang kembali lawannya itu.

Justru karena itu, maka bukannya lawannya yang telah mengenainya, tetapi Mahisa Murtilah yang telah berhasil menyentuh lawannya yang garang itu. Kemarahan orang itu menjadi semakin memuncak ketika serangan Mahisa Murti telah mulai menyentuhnya. Meskipun sentuhan itu tidak berakibat parah, tetapi orang itu merasakan sentuhan itu telah menyakitinya.

Karena itu, maka ia pun telah menghentakkan segenap kemampuan untuk mengimbangi kecepatan gerak Mahisa Murti. Bahkan ketika kemudian Mahisa Murti menyerangnya, orang itu sama sekali tidak berusaha untuk menghindar. Ia justru berusaha membentur kekuatan Mahisa Murti dengan lambaran segenap kekuatannya. Orang itu berusaha bahwa dengan demikian, maka benturan itu akan berakibat buruk bagi Mahisa Murti.

Demikianlah seperti yang diperhitungkan oleh lawannya, maka benar-benar telah terjadi benturan. Dengan sigapnya orang itu dengan sengaja telah membiarkan serangan Mahisa Murti yang mengarah ke lambungnya. Orang itu hanya berusaha melindungi lambungnya dengan sikunya.

Mahisa Murti yang melihat sikap orang itu, segera mengetahui bahwa orang itu sama sekali tidak akan menghindari serangannya, tetapi justru akan menangkisnya sehingga terjadi benturan. Namun Mahisa Murti memang tidak mengerahkan segenap kekuatannya, sehingga ketika terjadi benturan itu, justru Mahisa Murti lah yang bergeser selangkah surut. Sementara orang itu masih tetap tegak di tempatnya meskipun kakinya tergetar pula.

Namun dengan benturan itu, Mahisa Murti berusaha semakin menyesatkan pendapat orang itu tentang dirinya. Orang itu menganggap bahwa Mahisa Murti memang tidak memiliki kekuatan cukup untuk bertahan atas benturan itu.

Tetapi ternyata orang itu menjadi curiga. Meskipun anak muda itu tergeser surut, tetapi di wajahnya sama sekali tidak nampak perasaan cemas atau getaran perasaan apapun juga. Karena itu, maka orang itu pun menyadari, bahwa anak muda itu tentu masih belum sampai pada puncak kemampuannya.

Karena itu, maka tidak ada cara lam untuk melawannya selain mempergunakan senjatanya yang dianggapnya sebagai satu cara terakhir. Jarang sekali ia mempergunakan senjatanya yang satu itu. Tetapi menghadapi anak muda yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi, maka ia tidak mempunyai cara lain.

Dengan demikian, ketika ia mendapat kesempatan, ia pun telah dengan cepat mengambil senjata itu dari kantong ikat pinggangnya. Dengan cepatnya, maka sebuah lingkaran bergerigi telah terbang menyambar Mahisa Murti.

Mahisa Murti yang sempat melihat tangan orang itu memang sudah menduga, bahwa orang itu akan menyerangnya dengan senjata. Ternyata bahwa sebuah cakra telah benar-benar menyambarnya. Namun lingkaran bergerigi itu sama sekali tidak mengenai sasarannya, karena Mahisa Murti dengan cepat sempat bergeser mengelak.

Tetapi orang itu tidak membiarkan lawannya terlepas. Ia sudah terlanjur mempergunakan senjata andalannya. Karena itu maka satu di antara lingkaran bergeriginya harus mengenai sasarannya. Tubuh lawannya harus dapat dikoyakannya dengan Senjata itu. Karena itu, maka lontaran pertama itu segera disusul dengan lontaran kedua. Lontaran yang dilambari dengan segenap kekuatannya yang sangat besar.

Namun sekali lagi lawannya mampu mengelak, sehingga lingkaran bergerigi itu tidak mengenainya. Namun ternyata lingkaran bergerigi itu telah membabat dahan-dahan pepohonan dengan suara gemersak. Bahkan bukan saja dahan-dahannya berpatahan, tetapi pohon-pohon itu bagaikan telah diguncang oleh angin yang kencang.

Mahisa Murti menjadi berdebar-debar. Tetapi lawannya benar-benar berusaha untuk membinasakannya. Karena itu maka serangannya telah datang beruntun saling menyusul. Sehingga dengan demikian, maka pepohonan pun bagaikan telah dirampas dahan serta daun-daunnya.

Ternyata bahwa di dalam kantong ikat pinggangnya terdapat senjata seperti itu dalam jumlah yang banyak. Lingkaran bergerigi yang memang tidak terlalu besar itu terbuat dari baja yang tipis.

Dalam pada itu, pertempuran antara Mahisa Pukat dan lawannya pun menjadi semakin sengit. Lawannya yang merasa memiliki kekuatan yang sangat besar itu pun tidak segera mampu mengalahkan Mahisa Pukat, karena Mahisa Pukat mampu bergerak lebih cepat dari serangan-serangan yang datang membanjir.

Kegagalan-kegagalan itu pun telah membuat lawan Mahisa Pukat itu menjadi marah. Apalagi ketika ia menyadari, bahwa orang-orangnya ternyata justru telah terdesak. Semua dugaan dan perhitungan yang telah dibuatnya agaknya telah meleset dari kenyataan yang dihadapinya. Ternyata orang-orang padepokan itu memiliki kelebihan dari orang-orangnya, sehingga meskipun jumlahnya lebih kecil dari jumlah orang-orangnya, namun mereka mampu bertahan, bahkan mendesak mundur. Karena itu, maka orang itu pun tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus mempergunakan apa yang ada padanya untuk membinasakan lawannya secepatnya.

Jika pemimpin perguruan itu yang seorang mempergunakan lingkaran bergerigi untuk menyerang Mahisa Murti, maka orang itu mempergunakan jenis senjata yang lain. Namun sebagaimana saudara seperguruannya, maka ia pun telah mempergunakan senjata yang dilontarkannya untuk membunuh lawan.

Orang itu telah melemparkan pisau-pisau kecil ke arah Mahisa Pukat dengan kekuatan yang sangat besar. Terdengar siul angin yang mengikuti arah terbang pisau-pisau kecil itu menggetarkan jantung. Pisau-pisau yang luput dari sasarannya itu telah menghunjam ke dalam pokok-pokok kayu sedalam panjang pisau itu sendiri.

Jika pisau itu sempat mengenai dada Mahisa Pukat, maka kekuatannya yang besar akan mampu mendorong pisau itu sehingga tembus sampai ke punggung. Namun Mahisa Pukat menyadarinya, sehingga karena itu ia menjadi sangat berhati-hati menghadapi pisau-pisau itu.

Tetapi lawannya seakan-akan tidak memberinya kesempatan sama sekali. Pisau-pisau itu menyambarnya susul menyusul tidak henti-hentinya. Ternyata orang itu memiliki sejumlah pisau yang terselip diikat pinggangnya melingkar penuh. Karena itu, maka ia dapat melontarkan pisau-pisau itu yang kadang-kadang bahkan dua buah pisau sekaligus.

Mahisa Pukat ternyata lebih cepat kehabisan kesabaran dari Mahisa Murti. Ia tidak mau menjadi sasaran tanpa membalas. Kesalahan kecil yang dilakukannya akan mampu menyeretnya ke dalam kubur. Karena itu, ketika serangan-serangan itu menyambarnya semakin deras, maka Mahisa Pukat telah bertekad untuk membalasnya. Ia tidak telaten menunggu sampai pisau-pisau itu habis, karena dengan demikian, kemungkinan yang pahit akan dapat terjadi.

Demikianlah, ketika lawannya itu mengurungnya dengan lontaran-lontaran pisau sambil berusaha mendekat untuk memperpendek dan mempersempit arah bidik. Mahisa Pukat telah membalasnya. Tetapi ia tidak mempunyai senjata yang dapat dilontarkan. Namun seandainya ia memilikinya, maka tentu akan berakibat lebih baik bagi lawannya, karena Mahisa Pukat tidak perlu mempergunakan ilmunya yang dahsyat.

Tetapi justru karena ia tidak bersenjata sebagaimana dimiliki oleh lawannya, maka Mahisa Pukat itu pun telah berusaha untuk membalas serangan-serangan lawannya itu dengan ilmunya. Ketika lawannya sempat melontarkan dua buah pisau ke arah Mahisa Pukat, maka sebuah diantaranya hampir saja telah mengoyak kulitnya. Anginnya yang menyambar tubuhnya terasa berdesir sebagaimana jantungnya berdesir.

Namun dalam pada itu, sambil meloncat menghindari serangan berikutnya, Mahisa Pukat telah menghentakkan tangannya dengan telapak tangan yang terbuka. Ternyata bahwa sikap itu telah membawa bencana yang menentukan akhir dari pertempuran itu. Dari telapak tangan Mahisa Pukat itu seakan-akan telah meluncur sinar yang silau kebiru-biruan menyambar tubuh lawannya dengan kecepatan petir di langit. Lawannya sama sekali tidak mampu menghindarinya, sehingga karena itu yang terdengar kemudian adalah teriakan yang menggetarkan jantung.

Lawan Mahisa Pukat itu telah terlempar beberapa langkah. Kemudian tubuhnya terbanting jatuh di tanah. Tubuh itu hanya sempat menggeliat. Namun kemudian tubuh itu telah diam untuk selama-lamanya. Sementara itu Mahisa Pukat berdiri tegak dengan kaki renggang memandangi keadaan lawannya yang terbaring diam itu.

Pada saat yang demikian, Mahisa Murti masih juga bertempur melawan lawannya yang membawa lingkaran bergerigi. Satu-satu lawannya itu melontarkan cakranya. Namun sama sekali tidak mengenai sasarannya. Namun Mahisa Murti masih telaten menunggu lawannya kehabisan senjatanya. Ia tidak dengan garang menghancurkan lawannya sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat. Tetapi ia ingin menundukkan lawannya dan memaksanya untuk membawa orang-orangnya keluar dari padepokan itu.

Kemarahan yang memuncak membuat orang itu justru kehilangan kemampuan bidiknya. Kegelisahan dan kecemasan membuatnya semakin tidak dapat menguasai diri. Senjatanya bertebaran semakin jauh dari sasaran. Akhirnya, seperti yang diharapkan oleh Mahisa Murti. Seberapa banyak senjata itu dapat dibawanya, namun pada saatnya orang itu telah menggenggam senjatanya yang terakhir.

Mahisa Murti melihat lawannya menjadi ragu-ragu untuk melontarkan senjatanya. Karena itu, maka ia pun dapat menebak, bahwa senjata di tangannya itu tinggal satu-satunya yang masih dimilikinya. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata dengan nada lunak, “Ki Sanak. Bukankah Ki Sanak telah kehilangan semua senjata Ki Sanak tanpa arti apa-apa. Jika senjata Ki Sanak yang terakhir itu kau lemparkan, maka kau telah kehilangan semua senjatamu.”

“Persetan,“ geram orang itu. “aku akan membidikkan senjataku di depan hidungmu.”

“Aku akan bergeser menjauh jika kau mendekat,“ berkata Mahisa Murti.

“Aku akan mengejarmu sampai ke ujung bumi sekalipun,“ berkata orang itu.

Mahisa Murti termangu-mangu. Jika benar yang dikatakan, maka ia terpaksa mencegah orang itu untuk mendekatinya. Semakin dekat jarak orang itu daripadanya, maka lontaran lingkaran bergerigi itu menjadi semakin berbahaya baginya.

Ketika Mahisa Murti berpaling ke arah Mahisa Pukat, maka dilihatnya Mahisa Pukat telah menyelesaikan lawannya. Bahkan Mahisa Pukat kemudian sempat memperhatikannya. Sementara lawannya terbaring diam. Agaknya lawannya tidak dapat bertahan terhadap kekuatan serangan ilmu Mahisa Pukat.

Sementara orang yang membawa senjata lingkaran bergerigi itu benar-benar melangkah setapak maju. Justru pada saat ia tidak mempunyai harapan lagi, maka ia telah melakukan satu cara yang mendebarkan bagi lawannya.

“Jangan maju lagi,“ berkata Mahisa Murti, “kau tahu, bahwa kawanmu itu terbunuh.”

“Persetan,“ geram orang itu. “aku tidak peduli. Jika kau menjadi ketakutan, panggil kawanmu itu. Bertempurlah berpasangan. Aku tidak takut.”

Mahisa Murti menjadi berdebar-debar. Ia tidak ingin membunuh orang itu. Seorang di antara pemimpin perguruan yang datang itu sudah tidak berdaya, bahkan mungkin benar-benar telah mati. Karena itu, maka ia ingin mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya dan memaksanya untuk membawa sisa orang-orangnya pergi.

Tetapi agaknya lawannya itu benar-benar seorang yang keras kepala. Bahkan seperti yang dikatakan, ia benar-benar melangkah maju dengan senjata yang tinggal sebuah di tangannya. Ia akan membidik dari jarak yang dekat dan melontarkannya, sehingga ia tidak akan luput lagi.

“Berhenti,“ berkata Mahisa Murti.

Ternyata Mahisa Pukat lah yang menjadi tidak telaten. Sambil bergeser selangkah maju ia berkata, “Kau-biarkan lawanmu tetap berkeras kepala, sehingga justru kau sendiri yang terdesak?”

“Aku ingin ia tetap hidup,“ jawab Mahisa Murti.

“Kau tidak pantas memberi kesempatan orang itu hidup,“ sahut Mahisa Pukat, “kecuali jika ia menyerah.”

“Aku bukan pengecut,“ orang itu pun berteriak, “aku akan membunuh kalian.”

Orang itu justru telah melangkah maju mendekati Mahisa Murti. Namun langkah orang itu tertegun. Tiba-tiba saja tanah di depan kakinya bagaikan meledak.

“Bukan kau yang kuledakkan,“ geram Mahisa Murti, “tetapi jika kau maju lagi, maka kaulah yang akan terlempar dan terbanting jatuh. Mati.”

“Aku tidak peduli,“ jawab orang itu. “jika kau mampu membunuhku, lakukanlah.”

Orang itu maju selangkah lagi. Sekali lagi ia tertegun. Ledakkan itu terjadi dekat di ujung ibu jarinya. Bahkan tanah yang terlempar dari ledakkan itu, serta batu-batu kerikil telah mengenai tubuhnya. Orang itu memang menjadi kesakitan. Tetapi ia benar-benar bagaikan orang yang kehilangan akal. Ia maju lagi selangkah.

Namun setiap kali ia melangkah maju, langkahnya terhenti. Sehingga karena itu, maka orang itulah yang tidak telaten. Ketika ia sudah menjadi semakin dekat, maka ia pun telah tidak menunggu lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat sambil melontarkan senjatanya dengan sepenuh kekuatannya.

Jaraknya memang jauh lebih dekat dari sebelumnya. Namun Mahisa Murti yang sudah memperhitungkan kemungkinan itu, melihat tangannya yang bergerak, sehingga dengan kemampuannya yang tinggi, ia berhasil melenting menghindarkan diri dari sambaran senjata itu. Namun lawannya benar-benar telah menjadi liar. Justru karena serangannya yang terakahir telah gagal, maka ia telah meloncat menyerang Mahisa Murti dengan garangnya.

Mahisa Murti pun telah siap menghadapi serangan itu. Bahkan ia memang telah menunggunya. Ia sadar, bahwa kekuatan lawannya memang sangat besar, karena berdua mampu memecahkan selarak gapura padepokan itu. Tetapi Mahisa Murti pun telah menyiapkan puncak dari daya tahan tubuhnya serta ilmunya yang diwarisinya dari Pangeran Singa Narpada.

Sejenak kemudian telah terjadi benturan yang sangat dahsyat. Mahisa Murti memang terpental beberapa langkah surut. Tetapi ia masih tetap mampu mempertahankan keseimbangannya. Sementara itu, lawannya yang merasa berhasil mengenai lawannya dan akan menghancurkannya, namun ternyata ia sendiri telah terpental pula beberapa langkah surut. Kakinya yang mengenai tubuh lawannya justru terasa sakit. Namun seperti Mahisa Murti ia pun masih tetap tegak berdiri meskipun harus menyeringai.

Tetapi orang itu menjadi heran. Dalam pertempuran yang sudah berlangsung cukup lama, ia sama sekali tidak dapat mengenai tubuh lawannya. Namun tiba-tiba justru pada saat ia sudah berputus asa, ia benar-benar mampu menghantamnya. Meskipun ia juga menjadi sangat heran, bahwa lawannya yang dikenainya itu tidak lumat menjadi debu.

Namun dengan demikian, maka gairah perjuangannya telah tumbuh kembali. Ia merasa bahwa pada serangan pertama ia hanya mampu mendorong lawannya beberapa langkah surut. Namun jika ia mampu mengenainya beberapa kali, lawannya itu tentu akan dapat dihancurkannya pada akhirnya. Karena itu, maka ia pun telah bersiap pula. Sekali lagi ia telah menyerang dengan cara yang sama. Demikian cepatnya, sehingga seolah-olah Mahisa Murti tidak siap untuk mengelak.

Sekali lagi benturan telah terjadi. Sekali lagi Mahisa Murti tergeser dari tempatnya. Kakinya yang mengenai lawannya justru menjadi semakin sakit. Itulah sebabnya, maka ia telah berniat menyerang Mahisa Murti dengan kakinya yang satu lagi. Dengan demikian maka ia telah mengambil sikap yang berbeda.

Namun Mahisa Murti masih tetap berusaha untuk membentur serangan orang itu. Karena itu, ketika serangan itu datang lagi, ia masih juga tidak menghindar, tetapi justru membenturnya, sehingga yang telah terjadi itu terulang kembali.

Tetapi Mahisa Murti tidak lagi tergeser beberapa langkah. Ia hanya tergeser dua langkah saja, sementara lawannya justru mengalami kesulitan yang lebih parah. Kakinya yang sebelah itu pun menjadi sakit pula dan bahkan rasa-rasanya kaki itu akan patah.

Mahisa Pukat yang mengetahui niat Mahisa Murti itu menggeramang karenanya. Ia sebenarnya tidak telaten menunggu. Tetapi ia tidak dapat mencegah niat Mahisa Murti itu. Karena itu, yang dapat dilakukannya hanyalah sekedar menunggu. Sementara itu, Mahisa Murti masih saja tetap menunggu lawannya itu menyerang. Bukan berarti bahwa ia tidak merasakan sengatan kesakitan. Namun ia memang telah meningkatkan daya tahan tubuhnya sampai ke puncak untuk mengatasi rasa sakit, karena ia yakin bahwa pekerjaannya tidak akan terlalu lama lagi.

Sementara itu, lawannya berusaha untuk benar-benar menghancurkannya dengan serangan-serangannya. Ia yakin, betapapun kuatnya daya tubuhnya, namun perlahan-lahan tubuh itu tentu akan dapat dihancurkannya. Tetapi kemudian orang itu merasakan satu kelainan pada dirinya. Rasa-rasanya ilmunya tidak lagi sekuat sebelumnya.

Ketika ia kemudian menyerang sekali lagi dengan puncak kemampuannya, maka Mahisa Murti sudah tidak tergeser lagi dari tempatnya. Bahkan kemudian anak muda itu berdiri sambil bertolak pinggang. Dipandanginya lawannya sambil tersenyum dan berkata, “Marilah. Lepaskan semua kekuatan dan kemampuan ilmumu.”

Orang yang telah bangkit harapannya untuk menang itu telah menjadi goyah kembali. Rasa-rasanya lawannya itu menjadi semakin lama semakin perkasa. Serangan-serangannya sama sekali tidak menggoyahkannya. Namun orang itu masih ingin mencobanya. Diulanginya sekali lagi dan sekali lagi. Namun justru benturan-benturan itulah yang telah menghancurkannya. Tenaganya seakan-akan telah terhisap sehingga kemudian ia menyadari, bahwa ia memang berhadapan dengan anak muda yang luar biasa.

“Pengecut,“ geram orang yang sudah hampir kehabisan tenaga itu. “kau hisap kekuatanku sebagaimana laku seorang pencuri. Kau tidak berani bertempur beradu ilmu.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Jangan marah-marah begitu Ki Sanak. Kau tidak akan mendapat apa-apa dengan sikapmu itu. Karena itu lebih baik kau menyerah saja. Kau akan mendapat perlakuan yang baik dan mungkin sangat menguntungkan bagimu.”

“Persetan. Aku akan membunuhmu,“ geram orang itu.

Tetapi ia menjadi semakin lemah. Ia tidak lagi mampu meloncat menyerang meskipun ia masih tetap berusaha berdiri tegak. Namun Mahisa Murti lah yang yang datang mendekat. Orang itu tidak dapat mengelak ketika Mahisa Murti kemudian menangkap pergelangan tangannya.

Dalam waktu yang singkat, seluruh tenaganya sudah terhisap habis. Karena itu, ketika Mahisa Murti melepaskannya, maka orang itu telah terhuyung-huyung sejenak. Namun kemudian ia pun telah berjatuh dan sama sekali tidak mampu lagi untuk bangkit, karena seakan-akan seluruh tenaganya telah terhisap habis. Bahkan untuk mengumpat pun suaranya tidak lagi mampu meloncat dari bibirnya kecuali sekedar seperti orang berbisik, “Setan kau. Aku akan membunuhmu.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia berpaling kearah Mahisa Pukat, sementara Mahisa Pukat melangkah mendekatinya. “Kau telaten juga bermain-main dengan orang itu,“ berkata Mahisa Pukat.

“Aku ingin ia tetap hidup,“ berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Mungkin ia memang masih diperlukan.”

“Ya. Kita tidak akan memusnahkan semua orang yang memasuki padepokan ini. Kita akan mengusir mereka pergi. Dan orang ini akan dapat membawa mereka, karena orang ini adalah salah seorang dari pemimpin mereka.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun dilayangkannya pandangannya ke bagian lain dari padepokan itu. Sebagian besar dari pertempuran sudah selesai. Orang-orang yang datang dengan penuh kepastian akan dapat membantai seisi padepokan itu, ternyata harus menyerah kalah, karena mereka memang sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk melawan.

Bahkan mereka pun telah pasrah jika leher mereka akan ditebas putus dengan pedang. Orang-orang itu memang menduga, bahwa mereka semuanya tentu akan diselesaikan, sebagaimana mereka juga merencanakan berbuat demikian atas isi padepokan itu. Beberapa orang memang tidak bersedia untuk menyerah. Mereka merasa lebih baik bertempur sampai mati dari pada menyerah dan dibantai tanpa perlawanan.

Namun betapapun mereka mengadakan perlawanan, namun mereka memang tidak memiliki kekuatan untuk bertahan. Ternyata lawan mereka tidak berusaha untuk membunuh mereka. Namun orang-orang padepokan yang telah kehilangan lawannya, berusaha membantu kawan-kawannya melumpuhkan lawannya tanpa membunuhnya. Hanya karena tidak lagi dapat dihindari, dengan terpaksa sekali orang padepokan itu telah membunuh.

Ternyata dalam waktu singkat, selama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memberikan tuntunan oleh kanuragan, mereka-pun telah berhasil menyisipkan olah kajiwan, sehingga sifat-sifat orang-orang padepokanku menjadi berubah. Mereka tidak lagi termabuk orang-orang yang kasar dan apalagi buas.

Meskipun demikian masih ada juga orang yang tidak mau menyerah dalam keadaan yang betapapun sulitnya. Dengan liar orang itu melawan. Mereka tidak lagi memikirkan, apakah lawannya akan membunuhnya atau tidak. Beberapa orang penghuni padepokan itu memang menjadi bingung. Namun pada saat-saat terakhir, mereka tidak mempunyai pilihan lain. Orang-orang yang keras hati itu terpaksa dilumpuhkan dengan kasar, meskipun mungkin akan membunuhnya.

Namun pada saat yang demikian. Mahisa Pukat telah datang mendekat, ia telah meninggalkan Mahisa Murti yang masih menunggui lawannya yang tidak berdaya. Ketika dilihatnya orang-orang yang keras hati dan tidak mau menyerah pada keadaan yang bagaimanapun juga itu, maka ia pun telah teringat apa yang dilakukan oleh Mahisa Murti. Karena itu maka ia pun telah menyusup diantara orang-orang padepokan itu yang mengepung beberapa orang yang tidak mau menyerah.

Mahisa Pukat memperhatikan orang-orang itu sejenak. Kemudian maka ia pun telah terjun ke arena bertempur di antara orang-orang padepokan itu. Namun Mahisa Pukat tidak membunuh lawan-lawannya. Ia memperlakukan lawan-lawannya seperti Mahisa Murti. Dengan cekatan ia berloncatan, menyusup diantara desing senjata. Sekali-sekali ia berhasil menyentuh lawannya di bagian yang manapun juga dari tubuhnya.

Sementara itu, keseimbangan pertempuran pun segera berubah. Orang-orang yang bertekad untuk mati itu benar-benar telah tidak mampu berbuat sesuatu. Namun dalam keadaan yang demikian, maka Mahisa Pukat pun memerintahkan agar orang-orang padepokan itu menghentikan perlawanan mereka.

“Kenapa?“ bertanya salah seorang di antara mereka yang telah mengambil jarak karena pertempuran itu telah terhenti.

“Mereka akan menyerah,“ berkata Mahisa Pukat.

“Persetan,“ geram salah seorang di antara mereka, “untuk apa aku menyerah. Jika kau ingin membunuhku, bunuhlah aku.”

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba ia telah mengambil sebilah pedang dari salah seorang penghuni padepokan itu yang kebetulan bukan dari perguruan Suriantal. Dengan pedang itu, maka Mahisa Pukat telah menyerang orang-orang yang menjadi lemah karena sentuhan-sentuhannya, sehingga senjata-senjata mereka berloncatan dari tangan.

Kemudian Mahisa Pukat telah memasuki kelompok orang-orang yang telah kehilangan senjata mereka, setelah ia sendiri mengembalikan pedang yang dipinjamnya. Bagaimanapun juga orang-orang itu masih berusaha melawan. Mereka telah menyerang Mahisa Pukat yang menyusup di antara mereka.

Mahisa Pukat sama sekali tidak membalas. Ia berdiam diri saja di antara beberapa orang yang mengerumuninya dalam memukulinya dengan tangan mereka, karena senjata mereka telah terlepas dari tangan mereka. Mahisa Pukat hanya meningkatkan saja daya tahan tubuhnya, sehingga ia mampu mengatasi perasaan sakit karena serangan-serangan itu.

Namun satu hal yang tidak dimengerti oleh orang-orang itu telah terjadi. Orang-orang yang beramai-ramai memukuli Mahisa Pukat itu, semakin lama justru menjadi semakin lemah. Pukulan-pukulan mereka semakin tidak berarti lagi. Bahkan akhirnya mereka tidak lagi berdaya untuk berbuat sesuatu. Mahisa Pukat lah yang kemudian mulai meraba mereka seorang demi seorang, sehingga akhirnya, maka orang-orang itu pun telah terjatuh dan tidak berdaya sama sekali.

Dengan demikian, maka pertempuran pun telah berakhir. Bagaimanapun juga tidak dapat dihindarkan korban pada kedua belah pihak. Namun orang-orang yang datang ke padepokan itu dengan rencana yang paling buruk di kepala mereka untuk membantai semua orang yang ada di padepokan, benar-benar telah mengalami kegagalan, bahkan orang-orang merekalah yang justru lebih banyak menjadi korban, karena lawan mereka yang pada saat-saat terakhir sempat menempa diri, ternyata memiliki kemampuan yang lebih besar dari mereka.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah mengumpulkan para pemimpin kelompok dari orang-orang padepokan itu. Mereka telah memberikan petunjuk-petunjuk untuk mengatasi persoalan yang timbul kemudian.

“Orang-orang yang terluka harus dikumpulkan, sementara yang meninggal di peperangan harus diselenggarakannya dengan baik,“ berkata Mahisa Murti.

Orang yang diserahi memimpin padepokan itu nampak muram. Dengan nada rendah ia berkata, “Penghuni padepokan ini tinggal sedikit. Hari ini harus berkurang lagi.”

“Kita tidak dapat menghindari kemungkinan itu,“ berkata Mahisa Pukat, “bukan salah kita karena kita sudah berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Namun apa yang terjadi ini masih terlalu baik dibandingkan dengan apabila padepokan ini jatuh ke tangan mereka.”

Pemimpin padepokan itu mengangguk kecil. Katanya, “Aku percaya. Keadaan ini masih jauh lebih baik daripada jika padepokan ini jatuh ke tangan mereka. Namun sekarang, apa yang harus kita lakukah terhadap mereka?”

“Itu akan kita pikirkan kelak. Tetapi kita harus merawat lebih dahulu orang-orang yang terluka dalam pertempuran ini. Yang terbunuh agaknya memang sudah nasibnya. Tetapi yang masih hidup dalam keadaan payah itulah yang harus dengan cepat mendapat perawatan,” berkata Mahisa Murti kemudian.

Pemimpin padepokan itu mengangguk. Katanya, “Anak-anak telah melakukannya. Aku minta para pemimpin kelompok akan mengaturnya sebaik-baiknya.”

Para pemimpin kelompok itu pun telah kembali ke kelompok masing-masing. Hampir semua orang di antara mereka yang datang ke padepokan itu mengalami keadaan yang payah. Selebihnya justru telah terbunuh karena kekerasan hati mereka.

Sepeninggal para pemimpin kelompok, Mahisa Murti telah berkata lirih kepada pemimpin padepokan itu. “Bagaimana jika kau mencoba memikirkan untuk memperkuat kedudukan padepokanmu dengan orang-orang baru?”

Pemimpin padepokan itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya dengan ragu, “Apa maksudmu? Jika demikian, darimana datangnya orang-orang baru itu?”

Mahisa Murti memandang Mahisa Pukat sejenak. Memang ada keragu-raguan membayang di wajahnya. Namun kemudian katanya, “Bagaimana dengan orang-orang yang telah datang dengan sendirinya itu? Mereka bemaksud memiliki padepokan ini. Tetapi jika kita dapat mengadakan pendekatan secara baik, apakah tidak mungkin kalian tinggal bersama-sama di padepokan ini?”

Pemimpin padepokan itu mengerutkan keningnya. Dengan wajah yang tegang ia berkata, “Bagaimana mungkin hal itu akan dapat dilakukan. Mereka datang dengan senjata di tangan. Mereka berniat untuk bukan sekedar mengusir kami, tetapi membunuh kami semuanya. Selebihnya, seorang di antara pemimpin mereka yang berilmu tinggi itu masih ada, sehingga akhirnya merekalah yang benar-benar akan berkuasa.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Mereka dapat mengerti alasan pemimpin padepokan itu. Jika pemimpin perguruan yang datang itu masih tetap hidup, maka ia akan mempunyai kesempatan lebih besar dari siapa pun di padepokan itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Bagaimana jika tanpa pemimpin mereka? Seorang di antara kedua orang pemimpin mereka telah terbunuh. Seorang lagi tidak berdaya sama sekali sekarang ini.”

“Namun orang itu akan menjadi pulih kembali dan ia adalah orang terkuat di antara kami semuanya,“ jawab pemimpin padepokan itu.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun katanya, “Aku akan dapat membawanya pergi. Aku dapat menyerahkannya kepada Akuwu Lemah Warah untuk ditelusuri asal-usulnya. Itulah sebabnya salah seorang di antara kedua orang pemimpin perguruan itu sebaiknya tetap hidup, agar dapat diketahui siapakah mereka sebenarnya beserta perguruannya.”

Pemimpin perguruan itu termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Aku akan membicarakan dengan para pemimpin kelompok. Namun perasaan kami agaknya masih sulit untuk menerima kenyataan, bahwa mereka akan menjadi bagian dari kami.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mendesaknya untuk mengambil keputusan. Namun sementara itu, pemimpin perguruan yang datang yang telah kehilangan kekuatannya itu pun terdengar mengeluh tertahan. Ketika Mahisa Pukat kemudian mendekati orang itu, Mahisa Murti pun berkata,

“Baiklah. Kita tidak tergesa-gesa. Kau mempunyai waktu untuk membicarakannya dengan para pemimpin kelompok. Mungkin mereka mempunyai pendapat yang lebih baik dari yang aku katakan itu.”

“Aku akan mencobanya,“ jawab pemimpin kelompok itu. “tetapi aku tidak akan dapat memaksakan kehendakku kepada para pemimpin kelompok itu. Aku harus menghargai pendapat mereka karena meskipun kami berasal dari perguruan yang berbeda, tetapi kami sudah merasa seakan-akan kami ini satu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk, ia mengerti, bahwa orang yang diserahi untuk memimpin padepokan itu tidak akan dapat mengambil keputusan. Dan bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menyadari, bahwa kehadiran pemimpin perguruan yang menginginkan untuk memiliki padepokan itu akan dapat mendesak orang-orang yang sudah lebih dahulu berada di tempat itu. Karena itu, maka sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menunggu, bagaimana keputusan orang-orang padepokan itu.

Dalam pada itu, pemimpin padepokan itu pun akan mengumpulkan para pemimpin kelompoknya sekali lagi. Tetapi ia tidak tergesa-gesa. Ia ingin memberikan kesempatan kepada para pemimpin kelompok itu untuk melakukan tugas mereka.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun juga tidak tergesa-gesa. Ia tahu bahwa semua orang sedang sibuk di padepokan itu, sehingga mereka membiarkan orang-orang padepokan itu bekerja dengan tenang.

Dalam pada itu, semua orang yang terluka telah mendapat perawatan. Meskipun demikian letak mereka telah dipisahkan. Orang-orang padepokan itu sendiri ditempatkan pada satu barak, sementara orang-orang yang datang ke padepokan itu, pada barak yang lain.

Tetapi, di samping mereka terdapat seorang yang harus mendapat perawatan khusus. Orang itu adalah pemimpin perguruan yang datang kemudian untuk memiliki padepokan itu, namun gagal. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari, bahwa, orang itu adalah orang yang berilmu sangat tinggi, karena itu orang itu harus mendapat pengawasan langsung dari Mahisa Murti atau Mahisa Pukat.

Demikianlah dari waktu ke waktu, keadaan tubuh orang itu menjadi semakin baik. Luka-lukanya di luar tubuhnya maupun di dalam dirinya sudah berangsur sembuh, sehingga ia mulai membiasakan diri untuk melakukan apapun juga yang memang dapat dikerjakannya. Namun dengan demikian tugas Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin berat karena mereka harus mengawasi hal-hal yang mungkin dapat terjadi.

Sementara itu, maka tugas para penghuni padepokan itu-pun akhirnya telah selesai. Mereka telah mengumpulkan orang-orang yang terluka dan merawatnya dengan baik. Yang meninggal pun telah diselenggarakannya sebagai mestinya.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mengadakan semacam pembicaraan dengan pemimpin padepokan itu. Sementara itu pengawasan terhadap para tawanan itu pun telah diperketat pula. Orang yang berilmu tinggi itu pun telah ditempatkan ditempat yang khusus. Ampat orang penghuni padepokan itu mengawasi mereka bergantian. Tugas mereka adalah memberikan isyarat jika mereka melihat sesuatu yang mencurigakan. Mereka tidak akan mungkin berbuat sesuatu jika orang itu memang ingin melarikan diri.

Kepada pemimpin padepokan itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ingin mengulangi pendapatnya, bagaimanakah kiranya jika orang.-orang dari perguruan yang datang itu diterima saja menjadi keluarga mereka. Pemimpin padepokan itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Marilah. Kita akan berbicara langsung saja dengan para pemimpin kelompok. Aku akan mengumpulkan mereka.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berkeberatan. Karena itu, maka sejenak kemudian, mereka telah berhadapan dengan para pemimpin kelompok dari padepokan itu. Kepada mereka Mahisa Murti telah mengatakan berterus terang niatnya, apabila disetujui, maka biarlah orang-orang yang datang kepadepokan itu menjadi satu dengan mereka.

“Jumlah kalian telah semakin berkurang. Sementara itu, ada sekelompok kecil orang yang memerlukan tempat tinggal. Nah, apakah bukan satu kebetulan telah terjadi?“ bertanya Mahisa Murti.

Tetapi semua pemimpin kelompok itu menggelengkan kepalanya. Seorang diantara mereka berkata, “Bagaimana mungkin kita dapat hidup bersama. Kita sudah saling membunuh?”

“Kami berdua dan kalian pada waktu itu telah berada pada tempat sebagaimana kalian dengan orang-orang itu,“ berkata Mahisa Pukat.

“Ada bedanya,“ berkata pemimpin padepokan itu. “kalian memang tidak mempunyai nafsu untuk memiliki padepokan ini.”

Mahisa Murti lah yang menyahut, “Ki Sanak. Jumlah orang-orang itu yang masih hidup dan terluka sudah tidak begitu banyak lagi. Kalian tentu akan menguasai mereka. Apalagi jika lambat laun hubungan kalian menjadi bertambah baik dengan saling pengertian dan saling menyesuaikan diri.”

“Tetapi pemimpinnya sangat berbahaya bagi kami,“ berkata pemimpin padepokan itu.

“Jika kalian berkeberatan, sebagaimana pernah aku katakan, biarlah aku menyingkirkan pemimpinnya itu. Aku dapat membawanya ke Lemah Warah. Ia memang sebaiknya ditangkap dan harus mempertanggungjawabkan kesalahannya,“ berkata Mahisa Murti.

Para pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Sementara Mahisa Murti berkata, “Kalian akan merenungkannya. Kalian masih mempunyai banyak waktu sampai saatnya orang-orang yang terluka itu sembuh.”

Pemimpin padepokan itu mengangguk. Tetapi ia tidak segera menjawab. Demikian para pemimpin kelompok. Mereka tertunduk diam. Mamun mereka merenungkan apa yang dikatakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi bagaimanapun juga, rasa-rasa perasaan mereka sulit untuk dapat mengerti, bagaimanapun juga mereka berusaha untuk mempergunakan nalar.

“Baiklah,“ berkata Mahisa Murti, “pikirkan untuk satu dua hari. Apakah kalian akan berjiwa besar, atau kalian memang tetap berjiwa kecil.”

Pemimpin padepokan itu hanya menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempersilahkan mereka membicarakannya dengan tidak tergesa-gesa.

“Langkah ini akan menentukan satu bentuk baru dari padepokan ini,“ berkata Mahisa Murti, “karena itu kalian harus memikirkannya masak-masak. Bagiku, padepokan ini tetap milik kalian. Karena itu kalianlah yang akan menentukan, apakah kalian akan dapat menerima mereka di antara kalian.”

Pemimpin pengawal itu mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah Mahisa Murti. Kita akan membicarakannya dengan mendalam.”

Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mempersilahkan para pemimpin kelompok itu kembali ke kelompok-kelompok masing-masing. Hanya pemimpin padepokan itu sajalah yang masih tinggal bersama mereka untuk berbicara tentang beberapa hal yang menyangkut padepokan itu.

Di hari berikutnya, pemimpin padepokan itu mulai membicarakan persoalan padepokan itu dengan sungguh-sungguh. Ia minta agar setiap pemimpin kelompok menyatakan pendapatnya dengan jujur. Namun pada umumnya, para pemimpin kelompok itu memang berkeberatan.

“Saudara-saudaraku,“ berkata pemimpin padepokan itu, “jumlah orang-orang itu memang tidak banyak lagi dibanding dengan kawan-kawan kita. Agaknya kita terpaksa membunuh mereka untuk melindungi diri kita sendiri. Mula-mula jumlah mereka lebih banyak dari kita. Kini ternyata jumlah mereka telah susut jauh sekali. Karena itu, dipandang dari satu segi, mereka memang tidak lagi membahayakan kedudukan kita.”

“Tetapi bagaimana dengan pemimpin mereka?“ bertanya salah seorang pemimpin kelompok, “orang itu memiliki ilmu yang sebagaimana kita saksikan, benar-benar nggegirisi. Adalah kebetulan bahwa di sini ada dua orang anak muda kemenakan Akuwu Lemah Warah itu.”

“Aku tidak tahu, apakah benar mereka kemenakan Akuwu Lemah Warah, karena ternyata semuanya lain dengan kenyataannya. Namun kita dapat mengajukan syarat kepada mereka, jika pemimpin orang-orang pendatang itu ada di sini, maka keduanya harus tetap tinggal di sini pula. Jika mereka akan pergi, biarlah orang itu dibawanya,“ berkata pemimpin padepokan itu.

“Aku masih sulit untuk mengerti tentang sikapku sendiri,“ desis seorang pemimpin kelompok yang lain.

Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah kita harus belajar dari sikap kedua anak muda itu? Keduanya sama sekali tidak nampak bekas-bekas permusuhan dengan kita. Keduanya benar-benar telah melupakannya. Bahkan keduanya bersedia membantu kita.”

Para pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Aku sependapat. Mereka kita minta tinggal di sini. Jika keduanya pergi, biarlah orang itu dibawanya.”

Ternyata pendapat itu disetujui oleh para pemimpin kelompok. Mereka menerima orang-orang yang datang itu menjadi keluarga mereka kecuali pemimpinnya yang memiliki ilmu yang tinggi. Orang itu hanya disetujui tinggal di padepokan itu selama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga berada di padepokan itu.

Hal itulah yang kemudian disampaikan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Orang-orang di padepokan yang sebenarnya memang berasal dari beberapa perguruan itu dapat menerima orang baru di antara mereka, kecuali seorang. Seorang yang dianggap memiliki kemampuan jauh melampaui kemampuan mereka, sehingga orang itu akan dapat membahayakan kedudukan mereka. Bukan sekedar kedudukan pemimpin padepokan yang akan dengan mudah dapat diambilnya. Tetapi orang itu akan dapat meneruskan niatnya untuk mengambil seluruh padepokan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka pun mengerti sikap orang-orang padepokan itu. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak akan menuntut lebih dari itu. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertemu lagi dengan para pemimpin kelompok, maka para pemimpin kelompok itu, termasuk orang yang diserahi untuk memimpin padepokan itu, minta agar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang akan menjadi pemimpin padepokan itu. Dengan demikian maka kedudukan padepokan itu akan menjadi kuat dan tidak mudah diguncang oleh kekuatan dari manapun.

Tetapi sambil tersenyum Mahisa Murti berkata, “Kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan itu. Tetapi itu bukan hak kami.”

“Anak-anak muda,“ berkata pemimpin padepokan itu. “di setiap padepokan, yang biasanya terdiri dari satu perguruan, maka pemimpin padepokan itu adalah guru dari para penghuni padepokan itu. Ia memiliki ilmu yang tinggi dan dapat melindungi padepokan itu dari berbagai ancaman dan bahaya. Tanpa orang kuat di sebuah padepokan, maka padepokan itu tidak akan mampu berdiri untuk waktu yang lama. Setiap saat akan datang orang lain yang dengan mudah mengambil padepokan itu dengan paksa.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Memang ada cara yang barangkali dapat ditempuh. Jika padepokan ini memang sudah tidak mempunyai sandaran lagi, kenapa padepokan ini tidak dirubah saja menjadi sebuah padukuhan yang bergantung pada kelompok padukuhan di sekitar tempat ini. Mungkin pada Kabuyutan yang meliputi lingkungan di sekitar padepokan ini. Dengan demikian, maka padepokan ini akan memiliki ujud yang berbeda.”

“Kami masih bermimpi tentang sebuah padepokan anak muda,“ berkata pemimpin padepokan itu. “entahlah waktu yang akan datang. Namun sementara ini kami mengharap kalian berdua berada di padepokan ini.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Mereka tidak ingin mengecewakan para penghuni padepokan itu. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah sepakat untuk tetap berada di padepokan ituhntuk waktu yang tidak ditentukan.

Namun dalam pada itu, pemimpin dari orang-orang yang menginginkan padepokan itu pun telah berangsur baik. Kekuatannya perlahan-lahan tumbuh kembali di dalam dirinya, yang untuk beberapa saat seakan-akan telah terhisap kering oleh kemampuan ilmu lawannya. Tetapi untuk sementara orang itu masih tetap terpisah dari orang lain. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tetap menempatkannya di ruang tersendiri.

Sementara itu, sesuai dengan keputusan orang-orang dari padepokan itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta pemimpin padepokan itu telah mengumpulkan orang-orang yang datang ke padepokan itu untuk memilikinya, namun yang ternyata telah dihancurkan oleh kekuatan yang masih tersisa di padepokan itu, yang sebelumnya tidak diduga sama sekali.

Kepada mereka, maka pemimpin padepokan itu telah menyatakan bahwa padepokan itu akan tetap dipertahankan sampai kemungkinan yang terakhir. Tidak ada orang lain yang akan dapat mengambilnya.

“Kecuali jika kami mengorbankan orang terakhir,“ berkata pemimpin padepokan itu. Tetapi ia masih meneruskan, “Namun demikian ada sesuatu yang dapat kami berikan kepada kalian. Satu kesempatan yang mungkin akan sama-sama berarti bagi kita.”

Orang-orang yang tersisa itu termangu-mangu. Mereka yang pada umumnya dibebani oleh perasaan bersalah karena niat buruk mereka untuk membunuh semua orang di padepokan itu, selalu dibayangi oleh ketakutan, bahwa mereka akan diperlakukan sangat buruk oleh orang-orang padepokan itu. Mereka sama sekali tidak akan berdaya untuk melawan seandainya mereka setiap hari dengan kaki tangan terikat harus bekerja untuk kepentingan orang-orang di padepokan itu. Mereka tidak akan dapat menolak seandainya mereka diperlakukan seperti seekor binatang sekalipun.

Tetapi pemimpin padepokan itu berkata, “Ki Sanak. Jumlah kalian susut tajam setelah pertempuran selesai. Kalian telah menjadi tawanan kami, sementara kawan-kawan kalian terpaksa terbunuh di peperangan. Sekarang, pada keadaan seperti ini, apakah kira-kira yang akan kalian lakukan?”

Orang-orang itu menundukkan kepalanya. Sementara itu sebagian dari mereka masih dalam keadaan terluka. Meskipun mereka mendapat perawatan dan pengobatan yang baik, namun luka yang cukup parah tidak akan dapat dengan cepat disembuhkan. Bahkan ada di antara mereka yang merasa lebih senang jika luka-lukanya tidak segera sembuh, karena mereka membayangkan bahwa apabila keadaan mereka menjadi baik, maka mereka akan diperlakukan dengan buruk.

Dengan demikian maka ketika mereka mendengar pertanyaan pemimpin padepokan itu, jantung mereka menjadi berdebaran. Mereka menduga, bahwa saat-saat yang pahit itu akan datang. Pemimpin padepokan itu akan membagi mereka yang masih tersisa hidup itu untuk melakukan kerja yang sulit dan berat. Tetapi orang-orang itu justru menjadi bingung ketika pemimpin padepokan itu bertanya kepada mereka,

“Ki Sanak. Menilik keadaan kalian yang parah, maka apakah kalian masih berniat untuk kembali ke perguruan kalian dan menghimpun kekuatan untuk berusaha merebut padepokan ini? Kenapa kita tidak menempuh cara yang lebih baik. Misalnya, kita akan membangun padepokan ini bersama-sama. Kami, penghuni padepokan ini pernah juga kehilangan sanak-kadang kami dalam jumlah yang besar pada saat kami menghadapi langkah keras dari Akuwu Lemah Warah. Namun ternyata bahwa keadaan kami masih jauh lebih baik dari keadaan kalian. Karena itu kami justru menawarkan kepada kalian untuk tinggal saja bersama kami. Kalian tidak perlu merebut padepokan ini dengan kekerasan, bahkan dengan niat yang paling buruk untuk menyingkirkan kami semua. Tetapi kami justru menawarkan, marilah padepokan ini bersama-sama kita miliki. Kita bangun dan kita jadikan satu tempat yang baik dan tenang tanpa saling mencurigai dan saling mendengki.”

Melihat keragu-raguan di wajah-wajah mereka, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Kalian harus yakin, bahwa apa yang kami katakan itu benar sebagaimana kami katakan. Kami tidak berniat buruk sebagaimana niat yang kalian bawa pada saat kalian datang ke padepokan ini. Kami ingin memberi kesempatan kepada kalian untuk ikut bersama kami memiliki padepokan ini. Kami tidak akan dapat menyerahkan padepokan ini kepada siapa pun juga. Kami akan mempertahankannya sampai akhir hayat kami. Namun kami tidak menutup pintu untuk menerima sikap persahabatan jika memang kalian kehendaki.”

Orang-orang itu masih termangu-mangu. Sementara Mahisa Pukat berkata dengan nada yang lebih keras, “Singkatnya, apakah kalian mau bergabung dengan kami atau kami harus tetap memperlakukan kalian sebagai tawanan kami.”

Orang-orang itu seperti terbangun dari mimpi yang buram, yang tidak jelas dan mengambang dalam kehidupan semu. Namun tiba-tiba mereka merasa benar-benar berpijak di atas tanah. Mereka kemudian merasa yakin, bahwa memang mereka mendengar satu tawaran yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.

Karena itu, maka mereka pun kemudian mendengar dengan jelas keterangan pemimpin padepokan itu. “Ki Sanak. Kami memang ingin menawarkan satu kesempatan. Jika kalian mau menerima, maka kita akan hidup bersama dalam padepokan ini, sudah tentu dengan ketentuan dan paugeran yang sudah berlaku di sini. Kita akan bersama-sama membina padepokan ini asal kita bersikap jujur.”

Terasa Jantung mereka tergetar. Mereka yang sudah berputus asa justru karena dibebani oleh warna yang kotor di dalam hati yang ditujukan kepada penghuni padepokan itu, tiba-tiba telah mendapatkan satu tawaran yang justru memberikan tempat kepada mereka.

Namun karena hal yang tidak terduga-duga itu, maka mereka justru terdiam. Tetapi dada mereka terasa bergejolak. Ada semacam keragu-raguan, apakah yang didengar itu benar-benar sebagaimana arti kata-katanya atau orang-orang itu sekedar menjebaknya dan kemudian menjerumuskan mereka ke dalam bencana yang menentukan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat keragu-raguan itu. Karena itu Mahisa Murti pun berkata, “Ki Sanak, jangan melihat niat kami dengan prasangka buruk. Kami benar-benar memberi kesempatan kepada kalian. Kami merasa bahwa padepokan dan tanah garapan yang tersedia terlalu luas bagi kami. Karena itu, jika kalian bersedia bekerja sama dengan kami atas dasar paugeran yang telah ada di padepokan ini, maka seperti yang dikatakan tadi, kita akan saling mendapat keuntungan. Apalagi jika kelak kita benar-benar dapat merasa satu keluarga.”

Seorang di antara mereka yang ragu-ragu itu tiba-tiba saja telah bertanya, “Apakah yang aku dengar ini benar?”

“Aku tahu bahwa kau menjadi ragu-ragu,“ sahut Mahisa Pukat, “kau tentu membayangkan, bahwa kau dan kawan-kawanmu sepantasnya dihukum mati atau dihukum kerja paksa seumur hidup. Atau hukuman-hukuman lain yang pantas menurut ukuran kalian. Tetapi dengan demikian kalian harus terbangun dan melihat kenyataan, bahwa di dunia ini isinya bukan hati-hati yang kelam seperti hati kalian seluruhnya. Bahkan tidak semua orang menganggap bahwa seseorang atau sekelompok orang pantas untuk memaksakan kehendaknya atas orang lain, apalagi dengan kekerasan dan usaha pembunuhan.”

Orang-orang itu saling berpandangan. Hati mereka memang tersentuh oleh kata-kata itu. Bagi mereka, kekerasan adalah jalan yang paling mereka banggakan untuk memaksakan kehendak atas orang lain. Bahkan mereka sudah berniat untuk membunuh semua orang di padepokan itu. Ketika mereka mendapat penjelasan bahwa mereka harus merebut padepokan itu dengan kekerasan, mereka justru merasa gembira bahwa mereka akan mendapat kesempatan untuk membunuh sebanyak-banyaknya tanpa harus bertanggung jawab kepada siapa pun juga, bahkan semakin banyak mereka membunuh, namanya akan semakin banyak disebut-sebut.

Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Justru pasukan merekalah yang dihancurkan. Jika orang-orang padepokan itu berpikir sebagaimana mereka pikirkan, maka tentu tidak ada seorang pun yang masih akan tetap hidup. Tetapi orang-orang padepokan itu tidak membunuh mereka. Bahkan mereka diberi kesempatan untuk ikut tinggal bahkan ikut memiliki padepokan itu. Padepokan yang dipertahankan mati-matian.

Orang-orang yang ingin merebut padepokan itu memang sulit untuk mengerti jalan pikiran para penghuni padepokan itu. Apalagi para pemimpinnya. Dua orang anak muda yang ada di padepokan itu membuat sifat yang sulit untuk mereka pahami. Namun adalah satu kenyataan, bahwa isi padepokan itu telah menerima mereka.

Demikianlah, maka orang-orang yang semula telah menyerang dan bahkan berusaha untuk membinasakan seluruh isi padepokan itu mulai mencoba untuk hidup bersama di dalam satu padepokan. Karena jumlah mereka tidak terlalu banyak, maka mereka tidak terasa mengganggu putaran kehidupan di padepokan itu. Bahkan perlahan-lahan mereka berusaha untuk menyesuaikan diri dan mencoba mengerti, apakah yang telah mendorong orang-orang padepokan itu menerima mereka.

Memang tidak mudah untuk memahami apa yang sebenarnya telah terjadi. Namun lambat-laun, dalam pembicaraan, pesan-pesan dan petunjuk-petunjuk yang banyak diberikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, orang-orang itu akhirnya mampu melihat sisi lain dari kehidupan sebagaimana yang pernah mereka jalani. Ternyata tidak semua orang berhati kelam sebagaimana pernah membakar dada mereka.

Demikianlah, maka ternyata kemudian kehidupan di padepokan itu telah menemukan keseimbangannya. Orang-orang yang datang ke padepokan itu akhirnya berhasil menyesuaikan diri mereka.

Namun dalam pada itu, seorang di antara mereka yang datang ke padepokan itu, masih harus tersisih dari kehidupan isi padepokan itu. Pemimpin perguruan yang telah membawa orang-orangnya memasuki padepokan itu, justru merasa terhina atas sikap para pengikutnya. Dengan sikapnya yang keras ia masih tetap menentang usaha Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk membuat kehidupan di padepokan itu tenang.

“Kau sudah tidak berdaya,“ berkata Mahisa Murti, “kau tidak dapat menentukan apa pun juga disini.”

“Aku tetap pada pendirianku. Aku menuntut padepokan ini untuk aku miliki. Aku tidak akan memberi tempat kepada satu orang pun selain orang-orangku sendiri,“ berkata orang itu.

“Apakah kau tidak menyadari, bahwa kau tidak mampu berbuat apa-apa lagi?“ bentak Mahisa Pukat, “atau kau ingin kami membunuhmu.”

“Itu lebih baik,“ berkata orang itu. “tetapi aku tidak mau surut dari rencanaku. Hanya kematian yang dapat mencegah rencanaku.”

“Bagus,“ Mahisa Pukat berteriak, “aku masih sanggup membunuhmu.”

“Persetan,“ geram orang itu.

Namun Mahisa Pukat benar-benar menjadi marah. Tiba-tiba saja ia meloncat menerkam orang itu dengan kemampuannya yang luar biasa, meskipun ia memang tidak ingin membunuh lawannya. Namun sejenak kemudian kekuatan lawannya itu bagaikan terhisap oleh sentuhan tangan Mahisa Pukat, pada saat ia mencoba melawan.

Pada waktu Mahisa Pukat melepaskan orang yang menjadi tawannya itu, maka orang itu sama sekali sudah tidak mampu berbuat apa pun lagi. Tubuhnya terkulai di pembaringannya, sementara nafasnya menjadi terengah-engah. Namun kedua matanya masih tetap memancarkan hatinya yang bagaikan membara. Bahkan dari sela-sela bibirnya masih terdengar suaranya berdesis,

“Pada satu saat, akulah yang akan membunuhmu jika kau tidak membunuhku sekarang.”

Mahisa Pukat menggeram. Namun Mahisa Murti berkata, “Sudahlah. Jangan kau dengar suara orang yang berputus asa itu.”

“Aku memang ingin membunuhnya,“ berkata Mahisa Pukat, “buat apa sebenarnya orang itu? Para pengikutnya sudah menyesuaikan dirinya dalam kehidupan padepokan ini. Mereka telah berusaha menyatukan diri. Perlahan-lahan mereka sudah berhasil berbaur dengan para penghuni padepokan ini. Namun orang gila ini masih menganggap bahwa ia akan dapat berbuat sesuatu atas kita di sini.”

“Itu adalah pertanda bahwa ia benar-benar berputus-asa. Kita tidak akan bersedia diperalat untuk membunuh diri. Kelak jika ia ingin membunuh diri, jika kekuatannya pulih kembali, biarlah ia melakukan dengan caranya sendiri. Tetapi kita bukan budaknya, bukan pula hambanya yang dapat diperintahnya untuk membantunya membunuh diri,“ jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat tercenung sejenak. Namun orang itulah yang mengumpat, “Anak setan, iblis. Kau anggap aku apa he? Bunuh aku sekarang.”

Mahisa Murti pun kemudian membetulkan letak orang yang dalam keadaan yang sangat lemah itu, sehingga ia terbaring lurus di pembaringannya sambil berkata, “Tidurlah anak manis. Tidurlah dengan nyenyak. Besok kau boleh bangun lagi setelah kau mimpi indah.”

Orang itu menggeram. Kemarahan yang membara di dadanya rasa-rasanya membuat jantungnya hampir meledak. Dengan demikian ia merasa semakin tersiksa justru karena ia tidak dapat berbuat apa-apa sama sekali. Ia tidak lagi mempunyai tenaga lagi meskipun hanya sekedar untuk menggerakkan ujung jarinya.

Sementara itu, Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Marilah. Kita tinggalkan orang itu. Ia tidak akan dapat bangkit untuk sehari semalam. Besok perlahan-lahan sekali tenaganya baru akan mulai tumbuh lagi, sehingga jika sehari ini orang itu kita biarkan saja di pembaringannya, ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Biarlah ia merenungi kekalahannya. Kelemahannya dan kenyataan bahwa kita memang lebih perkasa dibanding dengan dirinya.”

Rasa-rasanya orang itu ingin meloncat menerkam Mahisa Murti. Kata-katanya lebih menyiksanya dari kemarahan Mahisa Pukat. Namun ia tidak mampu berbuat apa-apa, sehingga yang terdengar adalah sekedar umpatan-umpatan kasar dari mulutnya.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah meninggalkan bilik itu diiringi oleh umpatan kasar, namun dilontarkan dengan tenaga yang sangat kecil.

Ketika mereka sampai di luar bilik itu. maka ia pun telah menyerahkan tawanannya kepada para pengawal. Namun bagaimanapun juga, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum dapat melenyapkan sama sekali kecurigaannya kepada para pengikut orang yang terbaring di dalam bilik itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berpesan,

“Hati-hatilah. Jangan ada seorang pun yang boleh mendekatinya, lebih-lebih para pengikutnya. Kalian berhak untuk mengambil langkah-langkah yang perlu. Jika kalian mengalami kesulitan, laporkan kepada pemimpin padepokan ini.”

Orang yang diserahinya itu termangu-mangu sejenak. Ia merasa bahwa ia telah mendapat beban yang berat, namun yang memang harus dilaksanakan. Tetapi Mahisa Pukat pun kemudian berpesan, “Namun terhadap orang di dalam bilik itu kalian tidak usah cemas. Orang itu sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Ia hanya dapat berbaring seperti beberapa hari yang lalu.”

Pengawal itu mengangguk. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah melangkah pergi. Di luar, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat kehidupan yang mulai serasi. Orang-orang yang datang kemudian itu benar-benar telah luluh di dalam kehidupan di padepokan itu. Karena itu, maka yang penting kemudian adalah memberikan tekanan terhadap mereka agar mereka untuk selanjutnya selalu berpegang pada alas kehidupan itu.

Namun untuk selanjutnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun harus memikirkan orang-orang yang tidak nampak di padepokan itu, tetapi tersangkut pada kehidupan yang ada di dalamnya. Orang-orang yang tinggal di padepokan itu ternyata sebagian mempunyai keluarga dan sanak kadang yang mereka tinggalkan di padukuhan-padukuhan, bahkan padukuhan yang jauh. Bukan saja mereka yang telah lama tinggal di padepokan itu, tetapi mereka yang baru datang pun mempunyai persoalan yang sama.

Sebelumnya, orang-orang itu telah memberikan uang atau barang apa pun juga untuk hidup sanak kadang itu dengan cara yang tidak sepantasnya dilakukan. Karena itu, jika mereka tidak melakukannya lagi, maka harus ada jalan untuk mengatasinya. Tetapi hal itu tidak tergesa-gesa dipecahkan. Untuk sementara, yang penting bagi padepokan itu adalah keseimbangan kehidupan, karena goncangan-goncangan yang telah terjadi. Termasuk orang yang keras kepala, yang tidak mau melihat kenyataan tentang dirinya dan orang-orangnya.

Namun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menganggap bahwa persoalan itu tidak akan teratasi. Masih banyak jalan yang dapat ditempuh untuk menentukan, apa yang akan dilakukan atas orang itu.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun telah menemui pemimpin padepokan itu. Kepada pemimpin padepokan itu mereka memberitahukan apa yang telah terjadi. Karena itu, maka pemimpin padepokan itu pun berkata,

“Karena itu, maka orang itu kami serahkan kepada kalian berdua. Selain keras kepala, ternyata orang itu berilmu tinggi, sehingga dengan demikian, maka diperlukan orang yang dapat mengendalikannya.”

“Kami menyadari akan hal itu.“ jawab Mahisa Murti, “tetapi hari ini orang itu tidak akan dapat berbuat apa pun juga. Ia akan berbaring di pembaringannya. Kekuatannya akan pulih perlahan-lahan sekali. Baru besok ia akan dapat bangkit.”

Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Meskipun demikian ia berkata, “Jangan tinggalkan orang itu terlalu lama. Bagaimanapun juga di sini terdapat beberapa orang pengikutnya. Mungkin masih ada satu dua orang yang setia kepadanya.”

“Seandainya ada yang setia kepada orang itu, tidak ada yang dapat dilakukan. Orang itu tidak akan dapat menolong pemimpinnya yang telah kehilangan kekuatan dan kemampuannya itu,“ berkata Mahisa Pukat, “untuk membawanya pergi diperlukan paling sedikit dua orang, sementara itu, yang lain tidak akan mampu melindungi kedua orang itu. Bukankah kau yakin?”

Pemimpin kelompok itu mengangguk. Jika orang yang memiliki ilmu yang tinggi itu dalam keadaan tidak berdaya, maka memang tidak ada persoalan yang perlu dicemaskan. Tetapi jika orang yang berilmu tinggi itu kemudian mendapatkan kekuatannya kembali, maka seisi padepokan itu tidak akan mampu mengalahkannya.

Dalam pada itu, setelah minta diri kepada pemimpin padepokan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun untuk beberapa saat akan meninggalkan padepokan itu. Tidak ada orang yang diberitahukannya, ke mana ia akan pergi.

Sebenarnyalah bahwa keduanya telah pergi ke tempat batu yang berwarna kehijauan itu. Seperti hari-hari yang lewat, mereka hanya melihat-lihat saja batu itu. Ketika mereka mendekat, maka di sela-sela retak-retak batu itu, mereka masih melihat binatang berbisa yang tidak terhitung jumlahnya. Jika mereka mengguncang batu itu dengan kekuatan mereka yang sangat besar, maka getar batu itu telah menggerakkan berbagai jenis binatang berbisa itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah orang-orang yang memiliki ketahanan tubuh dari sengatan bisa yang betapapun tajamnya. Namun melihat berjenis-jenis binatang berbisa dalam jumlah yang tidak terhitung di sela-sela retak batu yang berwarna kehijauan itu, kulitnya terasa meremang juga.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum mendapat cara untuk mengambil batu itu, seluruhnya atau sebagian. Sementara itu, mereka yakin, bahwa selain pemimpin padepokan Suriantal tentu ada orang lain yang telah memiliki pecahan batu itu sebagaimana dipasang di pangkal tongkat pemimpin perguruan Suriantal itu. Dengan demikian, maka lambat atau cepat, tentu akan datang orang lain lagi untuk mengambilnya.

“Perguruan yang ingin memiliki padepokan itu tentu ada juga hubungannya dengan batu itu,“ berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Apakah mungkin kita menarik batu itu ke padepokan?”

“Kita berusaha untuk mendapatkan sepuluh ekor lembu yang kuat dan besar. Kita akan mengikat batu itu dengan tambang yang kuat dan kemudian menyeret batu itu ke padepokan. Di padepokan kita akan dapat memecah batu itu, sementara batu itu sudah terlindung,“ berkata Mahisa Murti.

“Bagaimana jika seperti yang pernah kita sebut-sebut, batu itu kita pecahkan dengan kemampuan ilmu kita,“ berkata Mahisa Pukat.

“Agaknya tidak akan menguntungkan,“ jawab Mahisa Murti, “batu itu akan berserakan. Binatang-binatang berbisa itu akan terbunuh dan kita tidak akan dapat sekaligus mengumpulkan dan membawa pecahan batu itu.“ Mahisa Murti terdiam sejenak, “namun lebih daripada itu, jika kita dapat membawa batu itu utuh. sebenarnya bukan semata-mata karena kita ingin memiliki. Kita akan dapat berhubungan dengan seorang pemahat yang paling baik yang kita kenal. Batu itu akan dapat dibuat menjadi sebuah patung yang bagus sekali. Sementara itu, pecahan-pecahannya tentu sudah terlalu banyak untuk dibuat batu akik dan batu perhiasan. Berapa ratus batu akik akan dapat dibuat dari pecahan-pecahannya, jika batu itu dipahat, sementara itu kita dapat juga membuat untaian batu-batu perhiasan yang sudah kita asah dan kita rangkai. Ayah akan dapat menjual barang-barang itu. Tetapi kita tidak semata-mata sekedar mencari keuntungan bagi kita, atau keluarga kita sendiri. Jika batu itu benar-benar dapat dibuat sebuah patung yang baik, maka nilai patung itu akan menjadi sangat tinggi. Mungkin kita akan dapat mempersembahkan patung itu kepada Sri Maharaja di Singasari sebagai satu persembahan yang berarti.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku sependapat. Patung itu akan menjadi benda yang berharga jika orang yang membuatnya berhasil menciptakan patung yang baik.”

“Kita dapat bertanya kepada kakang Mahisa Bungalan atau kepada ayah atau paman Mahisa Agni atau paman Witantra atau kepada siapapun juga, siapakah pemahat terbaik di Singasari.“

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, maka batu ini harus kita selamatkan lebih dahulu. Aku setuju untuk mencari sepuluh ekor kerbau terkuat. Tetapi apakah ada pedati yang kuat untuk membawa batu ini?“

“Tanpa pedati,“ jawab Mahisa Murti, “kita tarik batu itu begitu saja.“

Mahisa Pukat termangu-mangu. Bahkan kemudian katanya, “Satu kerja yang sulit dibayangkan.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia memang dapat mengerti pendapat Mahisa Pukat itu. Kerja itu adalah kerja yang sangat berat. Tetapi Mahisa Murti kemudian berkata, “Kita akan mencoba.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Kita memang dapat mencobanya. Tetapi darimana kita mendapatkan sepuluh ekor kerbau?”

“Kita dapat mencarinya di padukuhan. Jika perlu kita akan menyewanya,“ jawab Mahisa Murti.

“Ya. Kita dapat menyewanya di padukuhan diseberang padang perdu sebelah padepokan,“ berkata Mahisa Pukat.

Keduanya pun kemudian bergeser menjauh. Masih saja seekor ular menelusur dibawah kaki mereka. Tetapi ular itu tidak menggigit. Demikianlah, maka kedua anak muda itu telah kembali ke padepokan. Namun mereka telah singgah di sebuah padukuhan. Padukuhan yang terletak diseberang padang perdu.

Orang-orang padukuhan itu memang menjadi ketakutan. Mereka tidak terbiasa berhubungan dengan orang-orang padepokan. Meskipun orang-orang padepokan sejak semula tidak pernah mengganggu mereka, namun peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian, yang mengguncang-guncang padepokan itu, telah membuat orang-orang padukuhan menjadi ragu-ragu dan bahkan ketakutan berhubungan dengan mereka.

Orang-orang padukuhan itu sudah menduga, bahwa kedua orang itu memang orang padepokan, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak ingkar, bahwa mereka memang berasal dari padepokan yang semula hanya dihuni oleh orang-orang Suriantal. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat melihat seseorang di halaman, maka mereka pun telah mendekatinya.

Orang itu memang menjadi gemetar. Namun Mahisa Murti telah mendahului berkata dengan nada lunak, “Ki Sanak. Kami tidak bermaksud buruk. Bukankah kawan-kawan kami dari padepokan itu tidak pernah berbuat sesuatu yang menyulitkan kalian. Memang kadang-kadang kami datang untuk mencari kebutuhan sehari-hari. Dan bukankah kami telah membelinya?”

“Ya, ya Ki Sanak,“ jawab orang itu dengan suara bergetar, “selama ini kalian memang tidak menyulitkan kami.”

“Sekarang pun kami tidak akan menyulitkan kalian. Kami hanya ingin menemui Ki Bekel. Dimanakah rumah Ki Bekel?“ bertanya Mahisa Murti.

“Apakah kalian belum pernah pergi kerumah Ki Bekel? Bukankah orang-orang padepokan itu sering menemui Ki Bekel,“ bertanya orang itu.

“Ya. Tetapi aku belum,“ jawab Mahisa Pukat.

Orang itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun telah menunjukkan jalan untuk pergi kerumah Ki Bekel. Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah pergi ke rumah Ki Bekel. Sementara itu, ternyata Ki Bekel pun menjadi berdebar-debar pula menerima kedatangan kedua orang dari padepokan di seberang padang perdu. Peristiwa yang terjadi di padepokan pada saat-saat terakhir, telah mengaburkan pengertian orang-orang padukuhan itu tentang padepokan yang tidak terlalu banyak diketahui itu.

“Silahkan Ki Sanak,“ berkata Ki Bekel.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian duduk dipendapa rumah Ki Bekel yang tidak terlalu besar. Namun keduanya kemudian mengerutkan kening ketika mereka melihat beberapa orang anak muda berada di halaman itu. Agaknya Ki Bekel terlalu berhati-hati menghadapi orang-orang padepokan, sehingga ia pun telah menyiapkan anak-anak muda di halaman dan di luar regol rumahnya.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak banyak terpengaruh oleh kehadiran anak-anak muda itu. Mereka akan dapat berbuat apa saja seandainya anak-anak muda itu berbuat sesuatu atas mereka.

Dalam pada itu maka setelah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk bersama Ki Bekel di pendapa, maka Ki Bekel pun telah bertanya, “Apakah angger berdua mempunyai kepentingan, sehingga angger berdua telah datang ke padukuhan ini? Bukankah angger berdua penghuni padepokan yang terpencil itu?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Sementara itu Mahisa Murti pun menyahut, “Ki Bekel. Kami memang datang dari padepokan itu. Ada sesuatu yang ingin kami sampaikan kepada Ki Bekel. Tetapi kami tidak bermaksud merugikan Ki Bekel dan penghuni padukuhan ini.”

“Apakah yang kalian perlukan?“ bertanya Ki Bekel.

“Kami memerlukan sepuluh ekor kerbau yang besar dan kuat,“ jawab Mahisa Murti.

Wajah Ki Bekel menjadi tegang. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Kami bukan orang-orang kaya Ki Sanak, Jika kalian ingin mendapatkan sepuluh ekor kerbau dari padukuhan kami, maka padukuhan ini akan mengalami banyak kesulitan. Sawah kami akan banyak yang tidak dikerjakan karena kekurangan tenaga. Akibatnya dapat kalian bayangkan. Karena itu, kerbau bagi kami merupakan binatang yang sangat berarti. Karena itu, agaknya kami tidak akan dapat memenuhinya jika kalian memerlukan sepuluh ekor kerbau kami.”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menyadari kesalahannya. Karena itu maka katanya, “Ki Bekel. Kami tidak bermaksud mengambil sepuluh ekor kerbau dan membawanya ke padepokan. Tetapi kami ingin meminjam atau bahkan menyewa sepuluh ekor kerbau untuk mengambil dan kemudian menarik sesuatu dari tempatnya ke padepokan itu.”

Wajah Ki Bekel justru menjadi tegang. Ia tidak segera menangkap maksud yang sebenarnya dari kedua orang anak muda yang datang kepadanya itu. Karena itu, maka Ki Bekel tidak segera memberikan jawaban. Bahkan Ki Bekel itu pun bertanya, “Anak-anak muda. Apakah yang sebenarnya ingin kalian lakukan.”

“Kami belum dapat mengatakannya Ki Bekel,“ jawab Mahisa Murti, “tetapi jika Ki Bekel tidak berkeberatan, kami akan membawa sepuluh ekor kerbau itu ke padepokan.”

Ki Bekel termangu-mangu. Ia tidak dapat segera mengiakan atau menolak. Ternyata orang-orang padepokan itu tidak sekedar akan merampas kerbau yang ada di padukuhan itu. Tetapi mereka akan memberikan imbalan atas sepuluh ekor kerbau itu.

Dengan demikian maka Ki Bekel pun kemudian berkata, “Anak-anak muda. Baiklah persolan ini kami perhatikan. Tetapi aku sendiri tidak mempunyai sepuluh ekor kerbau. Aku sendiri hanya mempunyai sepasang yang sering aku pergunakan untuk mengerjakan sawah. Padukuhan ini pun bukan padukuhan yang kaya, sehingga untuk mengumpulkan sepuluh ekor kerbau, kami memang harus menghitung lebih dahulu untuk satu padukuhan ini.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Kemudian Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah Ki Bekel. Kami akan menunggu. Dalam waktu dua hari mendatang, kami akan datang lagi. Mudah-mudahan Ki Bekel setuju. Jika Ki Bekel setuju, maka kami akan membawa sepuluh ekor kerbau itu ke padepokan. Kemudian dalam waktu selambat-lambatnya sepekan, kami akan mengembalikannya dalam keadaan baik dan utuh. Jika ada cacat atau mungkin mati, maka aku akan menggantinya.”

“Mudah-mudahan aku dapat memenuhinya. Tetapi sebaiknya, dalam waktu dua hari lagi, aku persilahkan kalian datang lagi. Aku akan membicarakannya dengan para penghuni padukuhan ini. Tetapi jika ternyata di padukuhan ini tidak ada sepuluh ekor kerbau, maka kami tidak akan dapat memenuhinya,“ berkata Ki Bekel.

“Terima kasih Ki Bekel,“ berkata Mahisa Murti, “aku yakin bahwa di satu padukuhan ini terdapat sepuluh ekor kerbau. Jika tidak, maka aku harap di padukuhan sebelah kami mendapatkan genapnya. Bahkan mungkin Ki Bekel dapat membantu menyampaikan persoalan ini kepada Ki Bekel di padukuhan sebelah.”

“Aku tidak berjanji. Tetapi aku akan mencobanya,“ berkata Ki Bekel.

Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun telah meninggalkan padukuhan itu. Mereka telah mulai menempuh satu jalan untuk menangani batu yang berwarna kehijau-hijauan itu.

“Tetapi apakah jika batu itu berada di padepokan, akan menjadi lebih aman?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Mudah-mudahan,“ jawab Mahisa Murti, “setidak-tidaknya kita mempunyai sejumlah kawan untuk membantu kita mengawasi batu itu. Sementara jika dapat dipertahankan maka pada batu itu masih tetap ditunggui oleh binatang-binatang yang dapat menjadi pengaman dari batu itu sendiri.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian ia-pun berkata, “Jika demikian, kita harus benar-benar mempersiapkan padepokan kita.”

“Ya. Kita akan membuat padepokan itu sebagai satu lingkungan yang dapat menjadi tempat penyimpanan batu itu. Selama ini, batu itu masih berada di tempat terbuka, sehingga orang-orang yang tertarik padanya, masih belum merasa perlu untuk mengambil langkah-langkah yang tergesa-gesa. Tetapi jika kita sudah berbuat sesuatu atas batu itu, apalagi menyimpannya di padepokan ini, maka sudah tentu orang-orang yang merasa berkepentingan dengan batu itu akan dengan serta merta mempertimbangkan sikap yang akan mereka ambil. Mungkin mereka telah mempertimbangkan pula langkah-langkah kekerasan,“ berkata Mahisa Murti.

“Itulah yang aku maksud,“ berkata Mahisa Pukat, “bukankah dengan demikian kita harus siap menghadapi kekerasan?”

“Orang-orang padepokan itu cukup baik,“ berkata Mahisa Murti, “sedangkan orang-orang baru itu pun benar-benar dapat memperkuat kedudukan padepokan ini. Mereka nampaknya benar-benar menyadari apa yang sebaiknya mereka lakukan, sementara pemimpinnya memang masih harus diasingkan. Ia keras kepala dan tidak mudah ditundukkan.”

“Orang itu memang berniat membunuh diri,“ berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin demikian. Tetapi agaknya kita memang harus menaruh perhatian yang sangat besar atas dirinya.”

“Bagaimana jika orang itu kita singkirkan saja ke Lemah Warah,“ berkata Mahisa Pukat, “di sana ada tempat yang pantas bagi orang itu. Sementara itu, kita justru akan mendapat kesempatan untuk memusatkan perhatian kita kepada batu itu.”

Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Ada juga baiknya. Jika demikian, maka setelah kita mendapat kepastian dari padukuhan itu, kita akan pergi ke Lemah Warah untuk membawa orang itu ke sana, sekaligus menyampaikan rencana kita dengan batu itu kepada Akuwu Lemah Warah. Jika Akuwu sependapat, maka Akuwu tentu bersedia membantunya.”

Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu sependapat untuk menghubungi lagi Akuwu Lemah Warah. Mereka akan menyampaikan rencana mereka dengan penuh harapan, bahwa Akuwu itu akan sependapat dengan mereka.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum memberitahukan tentang batu kehijauan itu kepada orang-orang padepokan. Mereka masih menunggu keterangan Ki Bekel dan pendapat Akuwu Lemah Warah. Karena itu maka mereka baru akan mengatakannya apabila mereka telah kembali menghadap Sang Akuwu.

Seperti yang dijanjikan oleh Ki Bekel, maka dua hari kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah pergi menemuinya. Sementara itu mereka terpaksa membuat tawanannya tidak berdaya, agar sepeninggal mereka, tawanan itu tidak berbuat sesuatu yang sulit diatasi oleh orang-orang padepokan.

Ternyata Ki Bekel merasa, tidak mempunyai pilihan lain kecuali menerima permintaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Ia sudah berbicara dengan tiga orang Bekel dari padukuhan-padukuhan yang terdekat. Ternyata mereka tidak dapat menolaknya. Mereka mencemaskan akibatnya jika mereka menolak untuk meminjamkan, bahkan dengan istilah menyewakan kerbau mereka.

“Jika kerbau itu kembali dengan utuh, kita sudah merasa beruntung,“ berkata salah seorang di antara para bekel itu. “apalagi jika anak-anak muda yang kau katakan itu benar-benar membayar sewanya.”

Karena itulah, maka ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ditemui oleh Ki Bekel, maka pembicaraan mereka pun menjadi cepat. Ki Bekel telah menyediakan sepuluh ekor kerbau, yang dikumpulkannya dari ampat padukuhan.

“Terima kasih Ki Bekel,“ berkata Mahisa Murti, “dalam waktu sepekan lagi, kerbau-kerbau itu akan kami ambil. Kami akan meminjam selama kira-kira sepekan. Bahkan tidak sampai selama itu.”

“Baiklah Ki Sanak,“ berkata Ki Bekel, “dalam sepekan aku akan mengumpulkan kerbau-kerbau itu di sini. Kalian tinggal mengambilnya di sini. Tidak usah ke padukuhan-padukuhan yang lain.”

“Terima kasih,“ berkata Mahisa Murti, “mudah-mudahan kerja kami dapat selesai.”

Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah meninggalkan Ki Bekel dan kembali ke padepokan. Mereka pun segera berkemas untuk menempuh perjalanan ke Lemah Warah. Ketika ia mengatakan hal itu kepada pemimpin padepokan, maka dengan wajah cemas pemimpin padepokan itu bertanya, “Lalu bagaimana dengan tawanan yang seorang itu?”

“Kami akan membawanya,“ jawab Mahisa Murti, “karena itu kami baru akan berangkat besok, jika orang itu telah mampu berjalan sendiri.”

“Bukankah kalian akan kembali lagi kemari?“ bertanya pemimpin padepokan itu..

“Tentu. Kami akan kembali kemari,“ berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “kami mempunyai rencana khusus untuk menjadikan rawa-rawa di sebelah padang perdu itu untuk dijadikan tanah garapan yang akan dapat membuat daerah ini lebih baik. Karena itu, kami tentu kembali. Dan tentu tidak terlalu lama.”

Demikianlah, di hari berikutnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meninggalkan padepokan itu menuju ke Pakuwon Lemah Warah. Tawanannya yang merasa berilmu tinggi itu telah dibawanya serta. Meskipun orang itu mengumpat-umpat, namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memaksanya untuk berangkat.

“Aku tidak mau,“ bentak orang itu tanpa bangkit dari pembaringannya.

“Jangan membuat kami marah,“ geram Mahisa Murti.

“Aku tidak peduli,“ jawab orang itu.

Mahisa Pukat menggeram. Ia tidak telaten melihat sikap orang itu. Tiba-tiba saja telah menyengat lawannya dengan ilmunya, sekedar untuk menyakitinya.

“Setan,“ geram orang itu. “bunuh jika kau ingin membunuh.”

“Hanya ada dua pilihan,“ berkata Mahisa Pukat, “kau ikut kami, atau kau akan dihukum picis di halaman depan padepokan ini. Kau tahu, betapa bencinya orang-orang yang pernah menjadi pengikutmu itu kepadamu. Mereka merasa telah kau tipu, bahkan kau jebak dalam kesulitan.”

“Omong kosong,“ geram orang itu.

“Kau kira aku hanya dapat menakut-nakutimu,“ bentak Mahisa Pukat.

“Tidak ada tali yang dapat mengikat aku untuk menjalani hukum picis,“ berkata orang itu.

“Jangan kau kira kami terlalu dungu. Kami mempunyai jangat rangkap tiga. Tidak seorang pun dengan ilmu apa pun yang dapat memutuskannya,“ berkata Mahisa Pukat.

“Coba, ikatkan janget tinatelon itu. Aku sanggup memutuskannya,” jawab orang itu.

“Baik,“ berkata Mahisa Pukat, “jika demikian, separo dari kekuatanmu harus dihisap lebih dahulu.”

Wajah orang itu tiba-tiba menjadi pucat. Ketika Mahisa Pukat bergeser mendekat orang itu berdesis, “Jangan.”

“Kau menjadi ketakutan. Kau akan dihukum picis selagi kau tidak berada di puncak kekuatan ilmumu,“ berkata Mahisa Pukat.

Orang itu memandang Mahisa Pukat dengan penuh kebencian. Tetapi terbayang juga kecemasan di hatinya. Karena itu, yang terjadi adalah campur baurnya perasaan di dalam dadanya. Namun Mahisa Pukat tidak telaten. Dicengkamnya pundak orang itu. Tidak dengan kemampuannya menghisap kekuatan lawan. Tetapi justru mengerahkan tenaga cadangannya, hingga cengkamannya itu terasa sakit.

“Jangan main-main dengan apimu,“ bentak Mahisa Pukat, “jika aku kehilangan kesabaran, aku benar-benar akan menghisap tenagamu dan membunuhmu dengan hukum picis. Sesudah itu aku bebas dari gangguanmu, meskipun aku harus menunggumu mati dalam tiga atau ampat hari.”

“Setan,“ geram orang itu.

“Pilih. Pergi bersama kami atau mati,“ bertanya Mahisa Pukat.

Orang itu tidak mempunyai pilihan. Ia ngeri juga menghadapi Mahisa Pukat yang nampaknya sikapnya lebih keras dari Mahisa Murti. Karena itu, maka ia tidak dapat berbuat lain kecuali ikut bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menuju ke Lemah Warah.

Para pengikutnya yang tinggal ternyata tidak merasa kehilangan lagi, kesetiaan mereka telah surut setelah mereka berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan di padepokan itu. Karena itu ketika mereka melihat orang yang pernah menjadi pemimpin perguruannya itu dibawa pergi, mereka tidak berkeberatan sama sekali. Justru bekas pemimpin perguruan itu, yang melihat orang-orangnya memandanginya dengan acuh tak acuh, terdengar ia mengumpat kasar.

Tetapi Mahisa Pukat berkata, “Kau harus menerima kenyataan itu. Lihat, orang-orangmu kini hatinya sudah terbuka.”

“Kalian telah menenung mereka dengan ilmu iblis,“ geram orang itu.

“Dalam keadaan putus asa, apapun dapat saja kau katakan,“ sahut Mahisa Pukat, “tetapi ingat, bahwa kesabaran seseorang itu terbatas. Jika di perjalanan aku kehabisan kesabaran itu, maka aku akan menggantungimu dengan batu dan menenggelamkanmu ke dalam kedung setelah sebagian kemampuanmu aku hisap lebih dahulu. Dengan kemampuanmu yang tersisa kau tidak akan segera mati, karena secara naluriah kau akan berusaha menyelamatkan diri.”

“Kau memang iblis,“ orang itu masih mengumpat.

Mahisa Pukat hampir saja kehilangan kesabaran. Namun Mahisa Murti kemudian berkata, “Biarlah ia menikmati kenyataan tentang para pengikutnya yang terbuka hatinya. Biarlah ia kemudian melihat, betapa dunia ini tidak selalu dihuni oleh orang-orang berhati kelam seperti dirinya sendiri. Karena itu kita tidak akan segera membunuhnya, kecuali jika terpaksa.”

Jantung orang itu terasa bagaikan meledak. Tetapi ia memang tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia berada di bawah kekuasaan kedua anak muda itu.

Demikianlah, maka betapapun segannya, orang itu berjalan meninggalkan padepokan yang diinginkannya itu menuju ke Lemah Warah. Memang satu perjalanan yang panjang dan berat bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang harus mengawasi tawanannya di sepanjang perjalanan. Apalagi mereka memang harus bermalam. Di malam hari, dapat terjadi banyak kemungkinan. Karena itu, ketika mereka terpaksa beristirahat di sebuah gumuk kecil, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membagi tugas.

Namun orang itu masih sempat juga membakar hati Mahisa Pukat, “Jaga aku baik-baik he. Usir jika ada nyamuk yang menggigit kulitku.”

Mahisa Pukat yang telah menyimpan kemarahan di hatinya, tidak lagi dapat mengendalikan dirinya. Tiba-tiba tangannya yang kuat didorong oleh tenaga cadangannya telah terayun dan memukul mulut orang itu.

Sebenarnyalah bahwa orang itu pun telah menduga. Karena itu, ia telah meningkatkan daya tahan tubuhnya. Meskipun demikian ternyata sebagaimana terjadi, orang itu telah menyeringai menahan sakit. Tenaga cadangan Mahisa Pukat yang dikerahkannya karena kemarahannya, benar-benar telah memecahkan bibir orang itu, sehingga berdarah.

Orang itu mengumpat sejadi-jadinya. Namun Mahisa Pukat telah menantangnya, “Balas kalau mau membalas.”

Tetapi orang itu tidak membalas. Ia sadar, jika ia membalas maka ia akan mengalami keadaan yang lebih buruk lagi. Namun demikian ia sama sekali tidak menunjukkan perasaan cemasnya. Ia tahankan gejolak di dadanya bahkan sempat menengadahkan kepalanya sambil berkata, “Bunuh aku jika kau mampu.”

Tetapi Mahisa Murti lah yang kemudian menyahut, “Membunuhmu sama sekali tidak ada kesulitannya. Tetapi kami ingin membiarkan kau hidup sampai batas tertentu. Kecuali jika kau ingin membunuh dirimu sendiri. Kami tidak akan mencegahnya jika kau membenturkan kepalamu di batu yang besar itu. Atau dengan kemampuanmu yang lain kau berbuat sesuatu sehingga kau mati. Tetapi bukan kami yang melakukannya.”

“Jangan menyesal jika datang saatnya akulah yang membunuh kalian berdua,“ geram orang itu.

Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Kau mimpi atau menggigau atau sekedar ingin memanaskan hati kami he?”

Wajah orang itu menjadi merah seperti bara api. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Demikianlah, malam itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berganti-ganti menjaga tawanan mereka. Sementara itu, orang itu berusaha untuk dapat tidur nyenyak untuk memanaskan hati kedua anak muda itu. Tetapi ternyata bahwa orang itu tidak juga dapat tidur sebagaimana dikehendaki. Apalagi ketika Mahisa Pukat yang sedang mendapat giliran menjaganya. Ada saja yang dilakukan sehingga menimbulkan bunyi yang mengejutkan, sementara Mahisa Murti berbaring ditempat yang agak jauh.

“Kau jangan membuat gaduh he?“ bentak orang itu. “aku mau tidur. Jika kau ingin tidur, tidur sajalah. Tetapi jangan ribut di situ.”

Tetapi Mahisa Pukat menjawab, “aku sengaja membuat gaduh agar kau tidak dapat tidur. Aku benci melihat kau tidur, sementara itu aku harus berjaga-jaga karena kau.”

“Bukankah itu salahmu,“ geram orang itu. “kenapa kau tidak tidur saja dan tidak usah mengurusi aku.”

“Aku sengaja mengurusimu. Karena itu aku harus berjaga-jaga. Supaya aku tidak menjadi semakin sakit hati melihat kau mendekur, maka aku sengaja membuatmu tidak tidur. Jika kau keberatan, aku dapat membuat kau lebih sulit lagi,“ berkata Mahisa Pukat.

Orang itu memandang Mahisa Pukat dengan sorot mata yang menyala. Tetapi ia tidak dapat melepaskan kemampuannya, karena jika demikian, ia harus bertempur melawan anak muda itu, sementara anak muda itu jelas memiliki kelebihan daripadanya, sehingga ia tidak akan mungkin dapat mengalahkannya.

Karena itu, agar anak muda itu tidak semakin ribut, maka orang itu pun segera terdiam. Ia pun kemudian mencoba berbaring lagi di atas rerumputan kering. Namun ia terpaksa membiarkan apa saja yang dilakukan oleh Mahisa Pukat. Ternyata orang itu benar-benar tidak bisa tidur selama Mahisa Pukat yang bertugas menjaganya.

Tetapi ternyata bukan hanya orang itu sajalah yang tidak dapat tidur selain Mahisa Pukat. Mahisa Murti pun telah terpengaruh pula keributan itu meskipun ia berada di tempat yang agak jauh. Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak menegurnya.

Demikianlah, ketika matahari mulai membayangkan cahaya fajar, maka ketiga orang itu telah bersiap. Mereka telah menemukan sebuah parit kecil, namun berair jernih. Hari itu ketiganya berjalan tanpa berhenti, meskipun mereka berjalan perlahan-lahan. Di luar sebuah pasar, Mahisa Pukat telah membeli makanan yang dapat mereka makan sambil berjalan. Kecuali beberapa potong ketela pohon, maka Mahisa Pukat juga membeli beberapa potong ubi panjang.

Tetapi sekali lagi Mahisa Pukat hampir tidak dapat menahan dirinya ketika orang yang dibawanya itu berkata, “Itukah jenis makananmu? Aku tidak biasa makan seperti itu. Aku makan nasi dengan lauk pauk yang pantas. Daging binatang buruan atau daging burung tekukur.”

“Setan,“ geram Mahisa Pukat. Jantungnya serasa telah membengkak.

Namun Mahisa Murti berkata, “Makanlah, agar kau tidak kelaparan. Hari ini hanya inilah yang kita punya. Kita tidak punya beras dan tidak punya daging apapun.”

Orang itu menarik bibirnya ke bawah sambil berdesis, “Beli nasi buat aku dengan daging atau telur.”

Mahisa Pukat menjadi tidak sabar lagi. Ketika tiba-tiba saja ia melihat seekor ular menelusur di tanggul parit di pinggir jalan tiba-tiba saja ia telah menerkamnya. Mahisa Pukat sama sekali tidak menghiraukan ketika ular itu mematuk tangannya. Bahkan dengan tangannya yang lain Mahisa Pukat telah menekan lehernya sehingga mulut ular itu terbuka dan gigitannya terlepas.

Dengan kemarahan yang memuncak Mahisa Pukat telah mendorong mulut ular itu ke mulut orang yang keras kepala itu sambil berkata, “Makan ular ini. Ini pun daging yang barangkali kau sukai. Makan atau kau akan dimakannya.”

Orang itu benar-benar menjadi berdebar-debar, ular itu dapat menggigit mulutnya. Jika pada saat ular itu menggigit Mahisa Pukat racun di mulutnya belum tuntas, maka gigitan berikutnya akan dapat membunuhnya, tanpa menunggu terbentuknya bisa yang baru di kelenjar bisanya.

Mahisa Murti yang melihat kemarahan Mahisa Pukat itu-pun kemudian berkata, “Sudahlah. Jangan hiraukan mulut orang yang sedang berputus asa itu.”

“Aku ingin melihat, bisa yang manakah yang lebih tajam antara mulutnya dan mulut ular ini,“ geram Mahisa Pukat.

“Orang itu sudah menjadi pucat,“ berkata Mahisa Murti.

Orang itu tidak menjawab. Ia sadar, bahwa Mahisa Pukat benar-benar sudah marah. Orang itu akan dapat menyentuh mulutnya dengan mulut ular. Satu cara kematian yang tidak menyenangkan.

Mahisa Pukat yang marah itu telah menarik kepala ular itu. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian dilemparkannya ular di tangannya itu ke tanah.

Sejenak ketiga orang itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja orang yang dibawa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu tersenyum. Katanya, “Kaulah yang telah dipatuk oleh ular itu. Sebentar lagi, maka bisa ular itu tentu akan membuat jantungmu membeku.”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun seolah-olah tidak mendengar kata-kata itu Mahisa Murti berkata, “Kita berjalan terus. Kita akan makan apa yang ada pada kita. Jika ada di antara kita yang tidak mau makan, kemudian menjadi kelaparan, itu karena salahnya sendiri.”

Orang yang dibawa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu termangu-mangu. Anak muda itu telah dipatuk ular. Ia sendiri melihatnya. Tetapi anak muda itu sama sekali tidak menghiraukannya. Sebenarnyalah bisa ular itu sama sekali tidak berpengaruh. Mahisa Pukat masih saja berjalan dengan wajar. Bahkan kemudian sambil menyuapi mulutnya dengan ketela pohon rebus.

Orang yang dibawa oleh kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun telah mengambil pula sepotong ketela rebus yang nampaknya telah direbus dengan santan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak mengatakan sesuatu. Mereka berjalan sambil makan, tanpa berhenti.

Demikianlah, maka perjalanan mereka pun semakin lama menjadi semakin mendekati Pakuwon Lemah Warah. Mereka yang berjalan tidak tergesa-gesa itu tidak perlu bermalam lagi. Sebelum matahari sampai ke batas cakrawala, mereka telah sampai ke regol Pakuwon.

Kedatangan mereka telah disambut baik oleh Akuwu Lemah Warah. Benar-benar sebagai kemenakannya sendiri. Keduanya pun langsung diterima di serambi samping sebagaimana Akuwu menerima keluarganya sendiri.

“Siapakah Ki Sanak ini?“ bertanya Akuwu kepada kedua orang anak muda yang dianggapnya sebagai kemenakannya itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Murtilah yang menjawab, “Ampun Akuwu. Kami telah membawa saudara kami ini, karena ada sedikit persoalan yang telah menyangkut dalam hubungan kami dengan padepokan Suriantal.”

Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Persoalan apa lagi yang tumbuh di padepokan itu?”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun terpaksa menceriterakan apa yang telah terjadi, dan memperkenalkan orang yang telah dibawanya itu.

Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Dipandanginya orang itu sejenak. Lalu katanya, “Sayang Ki Sanak. Sebenarnya padepokan itu memerlukan seseorang. Jika Ki Sanak bersikap lain, mungkin kedua orang anak muda itu tidak akan membawa Ki Sanak kemari.”

“Aku mengerti,“ jawab orang itu. “tetapi aku tidak mau menjadi seorang pemimpin yang masih berada di bawah perintah. Aku memerlukan padepokan itu. Kalian harus memenuhi tuntutanku itu tanpa syarat.”

Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia berkata, “ternyata yang dikatakan oleh anak-anak muda itu benar tentang kau. Sikapmu seharusnya berubah. Aku menerimamu dengan baik, bahkan aku kira kau adalah kawan dari kedua orang kemenakanku itu. Tetapi kau tidak mengimbangi sikapku.”

“Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mau berpura-pura. Aku mengatakan dan berbuat sesuai dengan nuraniku. Diterima atau tidak oleh orang lain, itu bukan persoalanku,“ jawab orang itu.

Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya, “kalian benar anak-anak. Orang ini memang harus kau bawa kemari. Baru kau berbuat lebih banyak lagi bagi padepokan itu. Jika orang ini masih juga berada di padepokan, maka ia akan dapat menjadi penghambat, atau bahkan penghalang sama sekali.”

“Itulah sebabnya aku membawanya kemari,“ berkata Mahisa Murti, “aku ingin menitipkan orang itu di sini. Atau barangkali Akuwu mengambil sikap lain.”

“Aku akan melihatnya lebih dahulu, apa yang akan dilakukannya di sini,“ berkata Akuwu.

“Jangan memberikan kesempatan kepadanya,“ berkata Mahisa Pukat, “orang ini benar-benar berbahaya. Sebenarnya kami sudah ingin memperlakukannya dengan baik. Tetapi orang ini dengan sengaja selalu memancing persoalan.”

“Aku akan berusaha melarikan diri dan membunuh kalian,“ geram orang itu.

Akuwu Lemah Warah memandang orang itu dengan tajamnya. Ia sadar bahwa orang itu memang berbahaya. Karena itu, maka katanya, “Aku sendiri akan mengurusnya. Jangan cemas, ia tidak akan sempat melarikan diri.”

Tiba-tiba saja orang itu tertawa. Katanya, “Kau belum tahu siapa aku.”

“Tidak ada artinya dihadapan Akuwu,“ desis Mahisa Pukat.

“Aku tidak yakin. Jika kalian berdua meninggalkan aku di sini, maka isi istana Pakuwon Lemah Warah ini akan aku hancurkan,“ berkata orang itu.

“Jadi apa sebenarnya yang kau inginkan,“ bertanya Akuwu.

“Padepokan itu harus diserahkan kepadaku tanpa syarat,“ jawab orang itu.

Mahisa Pukat yang sudah terlalu lama menahan diri, hampir saja telah bertindak lagi. Namun Akuwu yang melihat sikap itu cepat berkata, “Jangan. Orang itu harus diyakinkan dengan cara lain, bahwa aku akan dapat menjinakkannya.”

“Tidak ada seorang pun yang akan mampu menjinakkan aku. Mungkin kalian dapat membunuhku beramai-ramai. Tetapi aku tidak akan dapat menjadi jinak,“ jawab orang itu.

Namun orang itu terkejut ketika tiba-tiba saja Akuwu itu berkata, “Baiklah. Kita akan melihat, apakah aku akan dapat menjinakkannya atau tidak.”

“Apa maksud Akuwu?“ bertanya Mahisa Murti.

“Kita akan pergi ke sanggar,“ jawab Akuwu, “kita akan melihat, apakah orang itu akan dapat bertahan.”

“Persetan,“ geram orang itu. “jika terjadi sesuatu atasmu, bukan salahku.”

“Ya. Memang bukan salahmu,“ jawab Akuwu.

Demikianlah maka Akuwu telah membawa orang itu ke sanggar bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Demikian mereka berada di dalam Sanggar maka Akuwu berkata, “terhadap orang yang demikian, kita harus mempunyai cara khusus untuk menundukkannya. Cara sebagaimana dikehendakinya.”

“Cara mati yang paling menyedihkan dari seorang Akuwu. Sebaiknya kau kerahkan Senapatimu yang terpilih,“ berkata orang itu.

Akuwu itu mengerutkan keningnya. Tetapi menurut ceritera Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang dapat ditangkapnya meskipun tidak berterus terang, orang itu dapat dikalahkan oleh anak-anak muda itu, sehingga dengan demikian, maka Akuwu Lemah Warah itu pun dapat menduga seberapa jauh dan seberapa tinggi ilmu yang dimilikinya.

Demikianlah, maka setelah mereka berada di sanggar, maka Akuwu itu pun berkata, “Aku tidak akan berbuat curang. Aku akan bertempur sebagai seorang laki-laki agar kau yakin bahwa kau tidak akan dapat berbuat apa-apa di sini. Kau di bawah pengawasanku dan orang-orangku tidak ubahnya sebagaimana kau berada di bawah pengawasan kedua orang kemenakanku itu.”

“Persetan,“ geram orang itu. “jika kau mati di sini, sama sekali bukan salahku. Kaulah yang telah menantangku untuk berperang tanding. Bukan aku.”

“Bersiaplah,“ desis Akuwu, “Jangan terlalu banyak bicara.”

Demikianlah keduanya pun telah bersiap. Dari Mahisa Murti Akuwu menyadari, bahwa orang itu memiliki ilmu yang dapat membakar udara di sekitarnya. Tetapi orang itu pun memiliki senjata yang dapat dilontarkannya, meskipun jenis yang pernah dipergunakannya untuk bertempur melawan Mahisa Murti sudah habis.

Sejenak kemudian keduanya telah bersiap. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang berdebar-debar juga. Tetapi mereka pun menyadari bahwa Akuwu Lemah Warah memiliki ilmu yang tinggi. Keduanya pernah mendapat tuntunannya, dan mewarisinya salah satu dari ilmunya yang nggegirisi.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pernah mendapatkan kesempatan penajaman ilmu dari seorang Pangeran yang mendekati masa ajalnya, namun justru menemukan cahaya di saat-saat terakhirnya.

Demikianlah, maka kedua orang itu telah saling bergeser. Orang yang dibawa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu ternyata benar-benar menjadi liar. Orang itu sama sekali tidak dapat dijinakkan sebagaimana dikatakannya sendiri. Para pengikutnya yang mendapatkan perlakuan baik di luar dugaannya, telah menjadi lunak pula dan perlahan-lahan berubah untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di padepokan sebagai tempat tinggalnya yang baru. Namun orang itu sama sekali tidak mengenal kebaikan sikap orang lain.

Hal itulah yang telah dilihat oleh Akuwu Lemah Warah. Karena itu, maka ia telah mempunyai cara tersendiri untuk membuat penyelesaian dengan orang itu. Sejenak kemudian, maka orang yang merasa dirinya pemimpin dari sebuah perguruan dan berilmu tinggi itu telah menyerang. Meskipun belum menentukan, namun Akuwu harus meloncat surut.

Pemimpin perguruan yang gagal memiliki padepokan Suriantal itu pun kemudian meloncat pula menyerang. Lebih keras dan bahkan serangan-serangan berikutnya pun menyusul dengan derasnya. Akuwu Lemah Warah sudah menduga, bahwa orang itu akan bersikap demikian. Ia akan menjadi kasar, keras dan bahkan liar. Namun Akuwu Lemah Warah sudah siap menghadapi kemungkinan itu. Karena itu, maka ia sama sekali tidak terkejut mengalami perlawanan yang demikian.

Sejenak kemudian pertempuran itu pun menjadi semakin seru. Akuwu justru menunggu lawannya mempergunakan ilmu puncaknya. Karena sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa orang itu memiliki ilmu yang cukup tinggi.

Namun sebelum orang itu sampai ke puncak ilmunya, agaknya ia ingin mengetahui, apakah benar Akuwu memiliki kekuatan kewadagan yang tinggi. Serangannyalah yang kemudian menjadi semakin cepat dengan kekuatan tenaga cadangan yang besar.

Namun Akuwu justru telah membenturkan kekuatannya melawan kekuatan orang itu. Ternyata Akuwu Lemah Warah benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, apapun yang dilakukan oleh lawannya, Akuwu mampu mengimbanginya.

Dalam keadaan yang tersudut, maka lawan Akuwu itu pun segera merambah sampai ke puncak ilmunya. Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka orang itu memang memiliki kekuatan untuk seakan-akan membakar udara di sekitarnya. Karena itu, untuk melemahkan ketahanan tubuh lawannya, maka udara di dalam sanggar itu menjadi berangsur panas.

“Aku bakar seisi sanggarmu, termasuk kau dan kedua anak ingusan itu,“ geram orang itu. Dihentakkannya ilmunya sampai ke batas kemampuannya.

Udara di dalam sanggar itu memang dengan cepat meningkat panasnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meningkatkan daya tahan tubuh mereka, agar mereka tidak justru menjadi lemah oleh udara yang panas itu.

Akuwu Lemah Warah memang agak terkejut ketika ia mengalami serangan udara panas yang demikian cepat meningkat. Namun Akuwu Lemah Warah tidak dapat dengan serta merta menghentikannya. Tetapi Akuwu juga bukan orang kebanyakan. Ketika udara sampai pada batas yang membahayakan, maka Akuwu pun telah bersiap untuk menghentikannya.

Tetapi Akuwu juga harus menjaga, agar serangannya jika lepas dari sasaran tidak justru merusakkan sanggarnya sendiri. Karena itu, maka tiba-tiba saja Akuwu telah meloncat naik ke atas sebuah patok bambu yang tinggi, yang terbiasa dipergunakannya untuk berlatih. Dengan sigapnya ia meloncat dari satu patok ke patok yang lain.

“Jangan lari,“ geram orang yang ingin merebut Suriantal.

Akuwu tidak menjawab. Tetapi ia telah meloncat menjauh di atas patok-patok batang bambu itu.

“Kau kira aku tidak dapat mengejarmu?“ berteriak orang itu.

Akuwu tidak menjawab. Ia justru berbalik dan menghadapi orang itu. Akhirnya waktu yang ditunggu itu pun datang. Tepat pada saat orang itu meloncat naik ke atas patok bambu untuk mengejarnya, maka Akuwu Lemah Warah telah melontarkan serangan ilmunya yang dahsyat. Kedua tangannya telah terangkat dengan telapak tangan menghadap, ke arah lawannya. Sebuah sinar yang silau seolah-olah telah meluncur dari telapak, tangannya itu.

Orang itu terkejut. Tetapi justru pada saat ia melayang meloncat ke atas patok bambu itu, ia tidak sempat menghindar. Ia memang berusaha menggeliat. Namun ternyata bahwa sinar yang tajam itu telah mengenainya..Orang itu telah terlempar dengan kerasnya, menghantam dinding sanggar, dan kemudian terbanting jatuh di tanah.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Akuwu Lemah Warah pun segera meloncat turun. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati orang yang terbanting diam itu. Pingsan.

“Agaknya Akuwu tidak mempergunakan seluruh kekuatan dan kemampuan Akuwu,“ desis Mahisa Murti.

“Kenapa kau menduga demikian?“ bertanya Akuwu.

“Orang itu tidak menjadi lumat,“ jawab Mahisa Murti.

Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian menjawab, “Aku memang tidak ingin membunuhnya. Ia harus menjadi jera. Aku ingin menjinakkannya dengan paksa. Sebagian besar dari kekuatan dan ilmunya harus dimusnahkan dari dalam dirinya,“ berkata Akuwu Lemah Warah.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Itulah agaknya yang dikehendaki oleh Akuwu dengan perang tanding itu. Ia sengaja menantang orang itu untuk mendapatkan kesempatan melakukan rencananya dengan cara yang jantan. Akuwu Lemah Warah tidak mau bertindak sebagai seorang pengecut untuk menjinakkan orang yang sombong dan tidak tahu diri itu.

“Marilah, para pengawal akan membawanya ketempat yang diperuntukkan baginya. Aku akan memerintahkan mereka itu untuk mempersiapkannya,“ berkata Akuwu Lemah Warah.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka pun kemudian mengikuti Akuwu keluar dari sanggar. Keduanya kemudian menyaksikan, bagaimana Akuwu memerintahkan kepada pemimpin pasukan pengawal khususnya untuk mengambil orang yang pingsan didalam sanggar. Kepada pemimpin pengawal itu Akuwu telah memberikan beberapa pesan khusus.

Demikianlah, maka pemimpin pengawal khusus itu telah membawa ampat orang pengawal kedalam sanggar dan membawa orang yang pingsan itu keluar, serta menempatkannya di sebuah bilik yang kuat dan diawasi oleh beberapa orang pengawal pilihan.

Namun Akuwu Lemah Warah menyadari betapa berbahayanya orang itu. Karena itu, maka setelah beristirahat sejenak untuk minum minuman hangat bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka Akuwu itu pun kemudian berkata, “Marilah, kita akan melakukan rencana kita. Keadaan orang itu agak parah. Agaknya ia belum sempat menumbuhkan seluruh kekuatannya kembali. Aku ingin memaksanya menjadi jinak.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mengikutinya ke bilik bagi orang itu. Ternyata seperti yang dikatakan oleh Akuwu, orang itu masih terbaring diam. Orang itu masih belum sadar sama sekali. Akuwu Lemah Warah pun kemudian duduk di pembaringan, di sisi orang itu. Sejenak ia memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun kemudian ia telah mengambil satu keputusan untuk melakukannya.

“Untuk kebaikan, maka aku harus melakukannya,“ berkata Akuwu Lemah Warah, “kadang-kadang kita memang harus mempertimbangkan kemungkinan atas seseorang. Jika masih ada kemungkinan jalan kembali, maka aku tidak akan mengambil langkah yang paling tajam untuk menghukumnya. Tetapi aku tidak melihat kemungkinan itu pada orang ini. Karena itu aku memutuskan untuk memaksanya dengan cara yang keras ini.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya menarik nafas saja. Tetapi keduanya sama sekali tidak menyahut. Demikianlah, maka Akuwu Lemah Warah itu pun telah menelungkupkan tubuh yang masih lemah itu. Dengan jari-jarinya yang kuat dan berpengalaman, maka Akuwu Lemah Warah telah menekan beberapa bagian di sebelah menyebelah tulang belakangnya. Meskipun orang itu masih pingsan, tetapi sentuhan itu ternyata berakibat demikian dahsyatnya sehingga orang itu menggeliat tanpa sadarnya.

Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia-pun telah membalikkan kembali tubuh itu dan membiarkannya terbaring diam. Akuwu Lemah Warah yang kemudian bangkit dan melangkah keluar diikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun kemudian telah memerintahkan para pengawal untuk berusaha menyadarkannya.

“Titikkan air dibibirnya. Jangan hanya sekali dua kali. Tetapi ulangi lagi. Namun jangan sampai semangkuk penuh,“ pesan Akuwu kepada seorang pengawal.

Pengawal itu mengangguk hormat. Sepeninggal Akuwu. Maka ia-pun telah mencoba untuk menitikkan air dingin dibibir orang yang pingsan itu. Ternyata bahwa titik-titik air itu telah mempengaruhi kesegaran tubuh orang yang pingsan itu. Perlahan-lahan darahnya yang seolah-olah membeku telah mengalir.

Ketika orang itu membuka matanya, maka dilihatnya pengawal yang duduk sebelahnya. Agaknya orang itulah yang telah menitikkan air dibibirnya. Perlahan-lahan terasa kesegaran itu menjalar di seluruh tubuhnya. Kekuatannya pun agaknya terasa mulai menelusuri urat-urat nadinya. Bahkan dengan nada rendah orang itu berkata, “beri aku setitik lagi.”

Pengawal itu memang menjadi ragu-ragu. Tetapi agaknya orang itu masih sangat lemah, sehingga ia tidak akan mampu berbuat sesuatu. Karena itu, maka ia pun telah menitikkan air itu lagi dibibirnya. Orang yang merasa tubuhnya menjadi semakin segar itu masih berbaring diam. Ia masih berusaha menunjukkan kesan, bahwa ia masih terlalu lemah untuk berbuat sesuatu.

Namun ketika setitik air diteguknya lagi, maka ia merasa bahwa ia akan mampu untuk berbuat sesuatu, meskipun tenaganya tentu belum pulih sebagaimana sebelumnya. Namun untuk melawan seorang prajurit, agaknya ia tidak akan mengalami kesulitan. Orang itu berpikir sejenak untuk menilai keadaan. Ketika prajurit itu akan meninggalkannya, maka ia pun berkata, “Tunggu. Mungkin aku masih memerlukan air itu lagi...”

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.