Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 39 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 39
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA MURTI dan Mahisa Pukat memang merasakan perubahan itu. Tetapi mereka belum pernah mencoba, apakah memang benar kemampuan mereka telah meningkat karena ilmu yang telah mereka sadap itu. Ilmu yang ternyata tidak berdiri sendiri, tetapi menopang kekuatan dan kemampuan ilmu yang sudah ada di dalam diri kedua anak muda itu.

Namun di hari berikutnya, maka Pangeran Singa Narpada dan Mahendra telah berniat untuk melihat perkembangan kemampuan kedua anak muda itu. Karena itu, maka mereka bersama Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Ura, telah meninggalkan padepokan menuju ke tempat yang terpencil untuk mencoba kemampuan ilmu kedua anak muda itu.

“Hati-hatilah,“ pesan Akuwu Lemah Warah kepada Senapati prajurit khususnya, “jika dalam keadaan yang penting sekali, lepaskan panah sendaren. Mudah-mudahan kami mendengarnya.”

“Ke arah mana?“ bertanya Senapati itu.

“Ke segala arah. Aku belum tahu, kami akan ke mana?“ jawab Akuwu Lemah Warah.

Demikianlah maka sekelompok kecil telah keluar dari padepokan itu justru menuju ke tempat yang tidak pernah dirambah kaki manusia. Mereka menuju ke sebuah gumuk berbatu padas untuk menguji kemampuan ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Beberapa saat kemudian, kedua anak muda itu telah berada di antara batu-batu padas. Pangeran Singa Narpada, Mahendra dan Akuwu Lemah Warah adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Mereka akan menjadi saksi, apakah benar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meningkat karena ilmu yang mereka sadap dari Pangeran Gagak Branang.

“Anak-anak muda” berkata Pangeran Singa Narpada, “kalian telah memiliki berbagai macam ilmu. Kalian sendiri tentu merasa seberapa jauh ilmu yang pernah kalian miliki itu mampu menghancurkan sasaran. Sementara itu, kini kalian telah menyadap ilmu dari Pangeran Gagak Branang. Jika ilmu itu memang berpengaruh, maka kemampuan kalian menghancurkan sasaran tentu menjadi lebih besar.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Namun mereka berduapun telah mengangguk.

“Nah” berkata Pangeran Singa Narpada, “menurut pengetahauanku, kalian memiliki kemampuan untuk melepaskan serangan dan pukulan pada jarak jauh. Itu sajalah yang hendaknya kalian coba dengan landasan ilmu yang kau sadap dari pamanda Pangeran Gagak Branang.”

Kedua anak muda itu masih termangu-mangu. Namun Mahendra lah yang kemudian berkata, “Sekarang, tentukan sasaran. Pusatkan nalar budi dan lepaskan pukulan itu dari jarak jauh.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Kata-kata Mahendra telah sedikit membuka hati mereka, apa yang harus mereka lakukan. Sejenak kemudian kedua anak muda itu memilih sasaran. Namun, karena keduanya belum tahu pasti atas tingkat kemampuan mereka sendiri, maka ukuran sasaran yang mereka pilih masih saja sebagaimana pada saat ilmu mereka masih belum meningkat. Keduanya telah menentukan segumpal batu padas yang akan mereka hancurkan dengan serangan yang akan mereka lontarkan dari jarak beberapa langkah.

“Baiklah” berkata Mahendra, “kita akan melihat, apa yang akan terjadi atas sasaran itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera mempersiapkan diri. Dipandanginya sasaran itu dengan saksama. Kemudian mereka telah memusatkan segenap kemampuan yang ada di dalam diri mereka. Namun, keduanya memang merasakan kelainan di dalam diri mereka. Rasa-rasanya getaran di dalam diri mereka menjadi lebih berat dan mantap. Namun merekapun merasa bahwa daya lontar yang ada di dalam diri mereka pun menjadi lebih besar.

Sejenak, keduanya berdiri tegak menghadap ke arah sasaran yang telah mereka pilih. Perlahan-lahan keduanya mengangkat tangan mereka dengan telapak tangan terbuka mengarah kepada sasaran itu. Pada saat yang hampir bersamaan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melepaskan serangan mereka. Kekuatan yang sangat besar yang terlontar dari diri mereka, seakan-akan meloncat lewat telapak tangan mereka yang terbuka.

Orang-orang yang menunggui keduanya seolah-olah melihat cahaya yang memancar dengan kecepatan yang sangat tinggi, sebagaimana kecepatan lidah api di udara. Cahaya itu meluncur dan menyambar sasaran yang telah ditentukan. Akibatnya memang dahsyat sekali. Sasaran itu bagaikan telah meledak. Debu yang putih kemerah-merahan telah berhamburan seperti debu yang dihamburkan oleh angin.

Orang-orang yang menyaksikan kekuatan serangan kedua anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Bahkan Akuwu Lemah Warah pun menekan dadanya dengan telapak tangannya. Kekuatan itu sedemikian besarnya sehingga batu padas yang telah mereka pilih menjadi sasaran serangan mereka tidak pecah menjadi kerikil-kerikil padas yang memancar ke segala arah. Namun benar-benar telah menjadi debu yang lembut, mengepul seperti debu yang dihembus oleh angin yang kencang.

“Luar biasa” gumam Pangeran Singa Narpada, “sebenarnyalah apa yang dikatakan oleh pamanda Pangeran Gagak Branang. Kalian telah memiliki kemampuan ilmu yang luar biasa. Ilmu yang kalian sadap dan yang tidak mungkin berdiri sendiri itu ternyata telah membuat kemampuan menjadi nggegirisi. Bukan hanya ilmu yang mampu melontarkan kekuatan dari dalam dirimu, tetapi tentu juga ilmumu yang mampu kau lontarkan dalam ujudnya yang keras dan yang lunak. Juga ilmumu yang mampu menyusut kekuatan dan kemampuan ilmu orang lain pun akan mempunyai daya dan kemampuan yang berlipat.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun yang telah mereka coba benar-benar menakjubkan. Mereka dapat membayangkan, jika serangan itu mereka tujukan kepada wadag seseorang yang memiliki daya tahan sewajarnya, maka wadag itupun akan hancur berkeping-keping.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah menjadi ngeri sendiri membayangkan apa yang mungkin terjadi dengan kekuatan ilmu mereka. Namun karena itu, maka mereka menjadi semakin merasa bertanggung jawab. Mereka tidak mungkin mempergunakan ilmunya kapan saja mereka inginkan dengan akibat yang mengerikan itu.

“Marilah anak-anak” berkata Mahendra kemudian, “kita akan berbicara tentang ilmu kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bagaikan terbangun dari mimpi. Dengan jantung yang berdegup semakin keras mereka-pun kemudian beringsut dari tempatnya.

Demikianlah, maka beberapa orang itu telah berkumpul dan duduk melingkar di atas rerumputan kering. Dengan nada berat Pangeran Singa Narpada berkata, “Kini telah terbukti. Kalian berdua menjadi anak-anak muda yang sulit dicari imbangannya. Kalian telah memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga kalian merupakan kekuatan yang tidak terlawan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru menundukkan kepala mereka. Beban di pundak mereka terasa semakin berat sebagaimana ilmu yang tersimpan di dalam diri mereka.

Dengan demikian, maka baik Pangeran Singa Narpada maupun Mahendra tidak merasa perlu lagi untuk melihat kemampuan kedua anak muda itu apabila diungkapkan pada jenis ilmunya yang lain. Mereka sudah dapat membayangkan, dengan alas ilmu yang disadapnya dari Pangeran Gagak Branang, maka jika kedua anak muda itu melepaskan ilmu pamungkasnya dalam ujudnya yang lunak, maka udara di sekitarnya tentu akan membeku. Sebaliknya dalam ujudnya yang keras, maka sentuhan wadagnya akan dapat menggugurkan gunung.

Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun kemudian berkata, “Marilah. Kita akan kembali ke padepokan. Kita sudah tahu, seberapa tingginya tingkat ilmu kedua anak muda itu. Kami yang tua-tua ini agaknya tidak lagi mampu menjangkaunya.”

“Tentu tidak Pangeran” berkata Mahisa Murti, “yang ada pada kami, belum sebanding dengan bagian kecil dari kemampuan Pangeran.”

“Kita tidak usah berbasi-basi anak-anak muda” berkata Pangeran Singa Narpada, “sudah waktunya kita memiliki takaran tentang kemampuan kita masing-masing. Kalian pun harus menyadari kemampuan yang ada di dalam diri kalian, karena jika tidak, maka kalian akan luput menilai. Kalian tidak perlu mempergunakan segenap kemampuan ilmu yang ada pada kalian seluruhnya apabila kalian sekedar mengejar seorang yang karena kelaparan terpaksa mengambil ketela pohon di ladang orang. Kalian tidak perlu melepaskan ilmu pamungkas dalam ujudnya yang lunak maupun yang keras jika kalian menghadapi anak nakal yang melempar kalian dengan kerikil yang tajam.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahendra pun berkata, “Itulah akibat yang harus kalian tanggungkan justru karena kalian memiliki ilmu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil. Tetapi keduanya tidak menyahut. Dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada pun telah mengajak mereka segera kembali ke padepokan yang telah ditinggalkan para penghuninya. Mereka harus segera mengatur persiapan untuk meninggalkan padepokan itu. Akuwu Lemah Warah-pun sudah terlalu lama meninggalkan Pakuwonnya sehingga rakyatnya tentu sudah menunggunya meskipun seorang adiknya yang dipercaya, mampu mewakilinya memerintah di Pakuwon Lemah Warah. Namun bagaimanapun juga, akan lebih baik jika Akuwu Lemah Warah itu sendiri yang berada di tempatnya.

Sejenak kemudian maka mereka pun telah meninggalkan tempat itu. Mahisa Ura yang berjalan di paling belakang semakin merasa dirinya kecil. Tetapi ia tidak merasa iri, karena ia menganggap bahwa yang terjadi itu sudah sewajarnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah adik Mahisa Bungalan, seorang Senapati besar yang pilih tanding. Bahkan mungkin kedua anak muda itu justru sudah berada di atas tataran kakaknya.

Demikianlah untuk beberapa hari mereka memang masih akan tinggal di padepokan itu. Namun sementara itu. mereka telah bersiap-siap untuk pergi ke Lemah Warah. Yang akan mereka bawa ke Lemah Warah bukan saja alat-alat yang memang mereka miliki, tetapi mereka juga akan membawa para tawanan bersama mereka.

Sementara itu, Ki Permita masih berada di perjalanan menelusuri orang-orang yang terlepas dari padepokan vang telah direbut oleh Akuwu Lemah Warah. Memang satu pekerjaan yang sulit. Kadang-kadang ia berhasil mendapat keterangan tentang sekelompok orang yang mereka cari. Nanum kadang-kadang tidak seorang pun di satu padukuhan yang mau membantunya. Pada umumnya mereka merasa takut untuk menyebutkan atau menunjukkan arah perjalanan sekelompok kecil orang-orang berilmu tinggi itu. Mereka tidak mau terlibat ke dalam satu persoalan yang tidak akan memberikan keuntungan apapun kepada mereka.

Namun dengan keterangan yang sedikit itu, Ki Permita ternyata dapat menduga, kemana orang-orang itu pergi. Mereka agaknya telah pergi ke satu padepokan yang jauh. Padepokan asal dari salah seorang di antara mereka yang melepaskan diri itu.

Dengan kesimpulannya itu, maka Ki Permita menjadi tidak tergesa-gesa. Ia menyusuri perjalanannya dengan yakin meskipun perlahan-lahan. Bagaimanapun iuga, rasa-rasanya hatinya masih terpaut kepada orang yang ditinggalkannya. Sebagai seorang hamba yang setia, maka rasa-rasanya langkahnya memang menjadi sangat berat. Bahkan pada saat-saat terakhir dari Pangeran Gagak Branang, Ki Permita merasa seakan-akan ia sendiri telah mengalami sesuatu yang mendebarkan.

Pada saat-saat benang lawe ditarik dari arah kiri di lambung Pangeran Gagak Branang, jantung Ki Permita berdetak semakin cepat. Bahkan oleh perasaan nyeri di dadanya yang tidak diketahui sebabnya. Ki Permita yang sedang berjalan itupun telah terpaksa berhenti dan duduk di bawah sebatang pohon yang rindang. Terasa didadanya betapa isi dadanya itu bagaikan diremas oleh kekuatan yang tidak terlawan oleh daya tahannya.

Dengan lemah Ki Permita telah bersandar pada pohon yang rindang itu. Beberapa saat ia merasakan dadanya yang sakit sekali. Namun perlahan-lahan perasaan sakit itu pun mulai berkurang. Dengan demikian maka Ki Permita mulai dapat mengatasi sisa perasaan sakitnya. Untunglah bagi Ki Permita bahwa jalan yang ditempuh itu bukan jalan yang ramai sehingga tidak seorang pun yang melihat apa yang telah dialaminya.

Ketika dadanya terasa lapang. Ki Permita duduk sambil menarik nafas panjang beberapa kali. Rasa-rasanya ingin ia menghisap udara sebanyak-banyaknya untuk menyegarkan jantung di dalam dadanya itu.

“Apa yang telah terjadi?” tanya Ki Permita di dalam hatinya.

Angan-angannya segera melayang kembali ke padepokan yang telah ditinggalkannya. Sambil memandang ke kejauhan ia bergumam kepada diri sendiri, “Agaknya Pangeran Gagak Branang telah mengakhiri hidupnya.”

Namun Ki Permita pun tahu, bahwa Pangeran Gagak Branang yang disebutnya Panembahan itu telah terjerat pada satu jenis ilmu yang membuatnya menyimpang dari tatanan kehidupan sewajarnya. Namun bagaimanapun juga Ki Permita yakin, bahwa pada saatnya kematian itu tidak akan dapat dielakkannya.

“Mungkin Pangeran Gagak Branang telah mengatakan rahasianya kepada Pangeran Singa Narpada, karena tidak mungkin ia menyalahi keharusan untuk kembali kepada sumbernya. Apapun yang dapat dilakukan dan dirasa mampu memperpanjang kesempatan hidupnya itu tidak akan berarti apa-apa apabila saat itu memang telah datang” berkata Ki Permita.

Namun tiba-tiba ia telah memandang kepada dirinya sendiri. Ia telah minum jenis getah yang sama untuk menahan pertumbuhan wadagnya. Tetapi itu hanya sekedar menahan gerak ketuaan dalam ujud lahiriahnya saja. Namun jiwanva akan tetap menjadi rapuh pada saatnya dan kematian itu pun akan datang tepat pada waktunya.

Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Balikan ia kemudian berkata kepada diri sendiri, “Menurut isyarat gelar di dalam diri, agaknya Pangeran Gagak Branang memang sudah sampai pada saat kematiannya. Perjalananku ini puii tentu merupakan perjalanan terakhirku. Apakah di medan pertempuran yang akan aku hadapi, atau di antara para pemimpin Kediri, agaknya nyawaku pun sudah tidak akan berlahan lama.

Ki Permita yang nampak ujud wadagnya masih belum terlalu tua itu sudah merasa bahwa ia sebenarnya bukannya nampak pada ujudnya wadagnya itu. Sebenarnyalah bahwa dirinya memang sudah rapuh.

Demikianlah, maka setelah beristirahat beberapa saat tubuh Ki Permita merasa segar. Perlahan-lahan ia pun telah bangkit. Sekali ia menggeliat. Kemudian ia telah meneruskan langkahnya menuju ke sebuah padepokan yang sudah dikenalnya. Pada saat ia masih menjadi abdi yang setia dari Panembahan, maka ia memang pernah berada di padepokan itu sebelum mereka memasuki padepokan Suriantal. Seperti sebelumnya, maka Ki Permita memang tidak tergesa-gesa. Ia yakin bahwa orang-orang yang berhasil lolos dari padepokan Suriantal telah berada di padepokan itu.

Menurut perhitungan Ki Permita, maka orang yang memiliki ilmu tertinggi di antara mereka adalah seorang yang memiliki tongkat yang pada pangkalnya terdapat sebuah batu yang berwarna kehijau-hijauan seperti batu yang terdapat di pinggir hutan dan penuh dengan binatang berbisa itu. Kemudian seorang lagi yang memiliki kemampuan untuk menguasai dan menggerakkan segala jenis binatang dengan ilmu gendamnya. Sedangkan orang yang mampu memasuki wadag orang lain agaknya telah kehilangan kesempatan untuk bertahan hidup dalam benturan ilmu yang terjadi di padepokan Suriantal.

Namun betapa lambatnya perjalanan Ki Permita, akhirnya ia pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan padepokan yang ditujunya. Tetapi sebelum ia sampai ke tujuan, maka Ki Permita itu-pun terkejut ketika tiba-tiba seseorang menyapanya,

“He, Ki Palot. Kau mau ke mana?”

Ki Permita yang dikenal dengan nama Ki Palot itu termangu-mangu. Namun ia pun segera dapat mengenali orang itu. Salah seorang dari penghuni padepokan. Namun orang itu bukan berasal dari perguruan Suriantal yang sebagian besar dari mereka bersenjata tongkat panjang. Dengan menarik nafas dalam-dalam Ki Permita itu berkata, “Aku juga terpaksa meninggalkan padepokan itu.”

“Kenapa? Bagaimana dengan Panembahan?” bertanya orang itu.

Ki Permita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Panembahan tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri” berkata Ki Permita.

“Dan kau yang selama ini dianggapnya sebagai hambanya yang paling setia itu meninggalkannya?” bertanya orang itu.

“Aku meninggalkan Panembahan setelah aku yakin bahwa Panembahan tidak mampu melawan kedua orang lawannya yang berilmu sangat tinggi” berkata Ki Permita.

“Apakah ada orang yang kemampuannya mengimbangi Panembahan?” bertanya orang itu.

“Ternyata ada” jawab Ki Permita, “aku melihat sendiri bagaimana Panembahan itu terdesak dan akhirnya kehilangan kesempatan sama sekali. Ketika terjadi benturan ilmu melawan kedua orang Kediri itu, maka Panembahan benar-benar menjadi parah.”

“Bagaimana mungkin ada orang yang mampu mengalahkan Panembahan” gumam orang itu, “pada saat kami melarikan diri, sebenarnya kami masih mengharap Panembahan melindungi kami. Tetapi ternyata sampai saat yang paling gawat. Panembahan tidak lagi dapat berbuat banyak sebagaimana hari-hari sebelumnya, sehingga akhirnya kami memutuskan untuk meninggalkan padepokan itu. Namun kami masih tetap berpengharapan bahwa kami akan kembali ke padepokan Suriantal setelah Panembahan menghancurkan lawan lawannya."

“Yang terjadi tidak demikian” jawab Ki Permita yang dikenal sebagai Ki Palot, “Panembahan itu telah dilumpuhkan.”

“Bukankah Panembahan itu tidak dapat terbunuh? Beberapa kali Panembahan menunjukkan kemampuan yang tidak ada bandingnya itu kepada kami. Beberapa kali Panembahan menunjukkan kemampuannya untuk melawan maut. Bahkan menguasai maut” berkata orang itu, “Panembahan bukankah tidak dapat mati?”

“Waktu aku meninggalkannya. Panembahan memang belum mati. Tetapi wadagnya tidak mampu lagi mendukung tingkat ilmunya yang seolah-olah tidak ada batasnya, sehingga Panembahan itu sudah tidak berdaya sama sekali. Karena itu, maka tidak ada gunanya lagi aku menungguinya, karena tidak ada lagi harapan padanya” jawab Ki Permita.

Tetapi Ki Permita itu mengerutkan keningnya ketika orang itu bertanya kepadanya, “Ki Palot. bagaimana mungkin kau dapat melepaskan diri dari orang-orang yang telah mampu mengalahkan Panembahan itu?”

“Sebagaimana kalian juga mampu melepaskan diri” jawab Ki Permita meskipun agak ragu.

Tetapi orang itu tiba-tiba saja berkata, “Ki Palot. Apakah kau tidak berkhianat terhadap Panembahan. Dan sekarang kau berusaha melacak kami dalam rangka pengkhianatanmu?“

Ki Permita menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kau mencurigai aku?”

“Ki Palot” berkata orangitu, “jika kau memang sempat melarikan diri, kenapa baru sekarang kau sampai ke tempat ini? Menurut perhitungan kami, seandainya Panembahan memang tidak mampu mengatasi orang-orang Kediri itu, kau pun tentu telah tertangkap. Agaknya kau kini telah mengemban tugas orang-orang Lemah Warah untuk melacak perjalanan kami dengan janji pengampunan atau mungkin karena Panembahan kini berada di tangan mereka maka kau harus tunduk dan melakukan perintah orang-orang Lemah Warah itu.”

“Kenapa tiba-tiba saja kau mencurigai aku?” bertanya Ki Permita, “sudah sekian lama kita bekerja sama. Sudah sekian lama kita merasa satu. Dan kini kalian dengan serta merta telah menuduh aku berkhianat.”

“Ki Palot” berkata orang itu, “seandainya kau tidak berkhianat, maka sebaiknya kau tidak usah datang kemari. Kau adalah seorang yang menggolongkan diri pada kelompok pemimpin. Selama di padepokan itu, kau merasa lebih berkuasa dari Panembahan itu sendiri.”

“Ah” desah Ki Permita, “kenapa kau mencari-cari perkara. Saat itu Panembahan jarang sekali bersedia keluar dari barak khususnya. Akulah yang harus melakukan segalanva. Bahkan menyampaikan perintahnya. Bukan maksudku untuk memerintah kalian, apalagi melampaui kuasa Panembahan. Aku memang mendapat tugas untuk berbuat demikian dari Panembahan.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Jangan menangis Palot. Kau sama sekali tidak kami butuhkan di padepokan kami. Karena itu, kau tidak usah pergi ke padepokan. Apalagi aku di sini memang mendapat tugas untuk membendung kehadiran orang-orang yang tidak kami sukai termasuk kau.”

“Jangan mengigau” jawab Ki Permita, “aku berhak bergabung dengan kalian.”

“Jangan Palot. Pergilah atau aku akan kehilangan kesabaran dan mengusirmu seperti mengusir seekor musang dari kandang ayam” berkata orang itu.

“Jangan begitu Ki Sanak” desis Ki Permita, “kau harus mengasihani aku. Jika aku tidak bergabung dengan kalian, lalu aku harus pergi ke mana?”

Orang itu justru tertawa. Katanya, “Itu urusanmu. Ke mana saja kau mau pergi, aku tidak peduli.”

“Tidak Ki Sanak. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Aku akan bergabung dengan kalian” berkata Ki Permita.

“Palot” berkata orang itu, “makanan sudah terlalu sedikit. Selama ini kau bertingkah laku sangat menyakitkan hati, karena kau merasa lebih berkuasa dari para pemimpin dari perguruan kami. Karena itu pergilah. Jika tidak, aku akan memukulimu. Bahkan bukan hanya aku seorang diri. Di sini aku mempunyai kawan tiga orang yang berada di rumah di ujung padukuhan sebelah. Jika mereka melihat aku memukulirnu, maka mereka pun akan melibatkan diri, ikut memukulimu beramai-ramai.”

“Jangan main-main Ki Sanak. Aku sedang kebingungan sekarang ini. Aku akan pergi ke padepokan. Jika para pemimpin padepokan itu kemudian mengusirku, apa boleh buat. Tetapi jangan hentikan aku di jalan seperti ini” berkata Ki Permita.

“Menangislah Palot. Menangislah seperti anak-anak. Tetapi kau tidak akan dapat meneruskan perjalananmu menuju ke padepokan. Jika dahulu kita semuanya menaruh hormat kepadamu, bahkan merasa ketakutan, karena kau adalah hamba yang yang paling setia dari Panembahan yang kita harapkan akan dapat melindungi kita semuanya. Tetapi ternyata padepokan itu hancur, dan Panembahan tempat kami bertumpu itu dapat dikalahkan oleh orang-orang Kediri. Jika Panembahan itu sudah dikalahkan, apalagi kau Palot.”

“Ya. Apalagi aku. Itulah sebabnya, aku memerlukan perlindungan, Aku akan pergi ke padepokan.” berkata Ki Permita.

Orang itu tiba-tiba membentak, “Cukup. Pergi kau anak iblis” geram orang itu.

Orang itu agaknya telah kehilangan kesabaran. Tiba-tiba saja orang itu bersuit nyaring. Satu isyarat bagi kawan-kawannya yang ada di rumah di ujung padukuhan.

“Apa yang kau lakukan?” bertanya Ki Permita.

“Aku memanggil kawan-kawanku. Biarlah mereka ikut memberikan keputusan” berkata orang itu. Namun kemudian katanya, “Namun jangan menyesal bahwa mereka akan memukulimu dan mengusirmu lebih kasar dari yang aku lakukan.”

Ki Permita termangu-mangu sejenak. Ketika ia memandang rcgol halaman rumah di ujung padukuhan, dilihatnya tiga orang bergegas keluar dan dengan tergesa-gesa menuju ke tempatnya.

Beberapa langkah kemudian salah seorang di antara mereka telah menyapa, “He kau Palot.”

“Ya. Aku datang untuk mohon belas kasihan, agar aku diperkenankan tinggal bersama kalian di padepokan” berkata Ki Permita.

Orang itu termangu-mangu. Namun orang yang pertama menjumpai Ki Permita itu pun telah mengatakan sikapnya dan bahkan telah mengusir orang itu. Karena itu, maka ketiga orang yang datang kemudian itu pun segera menyesuaikan sikap mereka. Apalagi mereka pun telah mendapat perintah, agar tidak seorang pun yang boleh memasuki lingkungan padepokan itu.

Seorang di antara mereka pun kemudian tertawa pula sambil berkata, “Palot. Menyesal sekali. Yang sama-sama kita harapkan ternyata tidak terjadi. Padepokan Suriantal yang dianggap dapat menjadi landasan perjuangan menuju ke Kediri itu telah pecah. Panembahanmu telah kehilangan kuasanya sehingga kita semua telah terusir. Karena itu Palot, daripada kau menjadi budak kami di padepokan itu, maka lebih baik kau cari tempat yang lain. Karena kau tidak akan tetap menjadi penguasa tanpa Panembahan, sehingga yang kami kenal kemudian adalah derajadmu sebagai hamba, meskipun selama ini kau merasa dirimu lebih berkuasa dari Panembahan itu sendiri.”

“Ki Sanak” berkata Ki Permita, “kenapa kalian melupakan hubungan yang pernah terjalin di padepokan itu. Selama di padepokan kalian selalu merunduk dan minta perhatianku. Bahkan kadang-kadang kalian berusaha menjilat untuk sekedar aku sebut nama kalian. Tetapi kenapa kalian tiba-tiba menjadi garang?”

“Persetan” seorang di antara mereka telah tersinggung, “jika kau sebut sekali lagi, maka aku akan merobek mulutmu.”

Ki Permita mengerutkan keningnya. Dengan nada yang datar ia bertanya seakan-akan tidak menyadari kesalahannya, “Kenapa? Bukankah aku mengatakan yang sebenarnya?”

“Cukup” teriak salah seorang diantara orang-orang yang menghentikannya itu.

“Tetapi bukankah kau juga mengatakan cacat celaku? Bukankah dengan demikian kita sudah melakukan hal yang sama?” bertanya Ki Permita kemudian.

Tetapi orang-orang itu sudah kehabisan kesabaran. Seorang di antara mereka bergeser maju sambil berkata lantang, “Pergi. Jangan ucapkan sepatah katapun. Jika kau membuka mulutmu, apapun yang akan kau katakan, maka aku akan merontokkan gigimu seluruhnya.”

Ki Permita mengerutkan keningnya. Ia memang tidak menjawab. Tetapi ternyata orang itu menggelengkan kepalanya tanpa beranjak dari tempatnya.

“Pergi, pergi” orang-orang itu hampir berteriak.

Tetapi Ki Permita itu tetap-berdiri di tempatnya sambil menggelengkan kepalanya. Orang-orang itu telah kehilangan kesabaran. Tiba-tiba seorang di antara mereka telah mendekatinya dan mendorongnya dengan kuat. Ki Permita memang terdorong surut. Bahkan terhuyung-huyung ia berusaha untuk memperbaiki keseimbangannya.

"Jangan membantah lagi. Aku dapat berbuat lebih kasar.”

Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Namun sikapnya justru berubah. Dengan nada berat ia berkata” Anak-anak iblis. Kalian sama sekali tidak merasa berterima kasih atas perlindungan Panembahan selama ini. Tetapi kalian justru bersikap sebaliknya. Nah, dengarlah, aku tidak akan pergi. Aku akan melanjutkan niatku menuju ke padepokan itu untuk mencari perlindungan kepada para pemimpin kalian. Karena itu; maka aku tidak merasa perlu untuk berbicara dengan kalian.”

Wajah orang-orang itu menjadi merah. Telinga mereka bagaikan tersentuh bara api. Seorang yang tidak dapat menahan diri tiba-tiba telah melangkah maju dan menyerang pelipis orang itu dengan pukulan. Tetapi orang yang dikenal bernama Palot itu telah menggeser kepalanya ke samping sehingga pukulan itu sama sekali tidak menyentuhnya.

Orang yang memukulnya itu terkejut. Ia sama sekali tidak mengira bahwa hamba yang setia itu mampu mengelakkan pukulannya yang dilakukannya dengan tiba-tiba. Namun dengan demikian kemarahannya pun bagaikan api dihembus angin. Dadanya bagaikan menyala dan tanpa dapat mengendalikan diri lagi maka ia pun telah meloncat pula. Tangannya terjulur lurus ke depan langsung menyerang dada orang yang dipanggilnya Palot itu.

Ki Permita tidak menghindar lagi. Ia pun telah mengangkat tangannya ke depan dengan telapak tangan terbuka tepat menerima pukulan lawannya yang mengarah ke dada. Tidak terjadi benturan yang keras. Bahkan di luar tangkapan nalar lawannya, bahwa yang terjadi adalah sebuah benturan yang lunak. Tangan orang yang marah itu bagaikan menyentuh sasaran yang lunak dan tanpa menyakitinya. Tetapi pukulannya itu sama sekali tidak berakibat apapun pada orang yang disebutnya Palot.

“Kau gila” geram orang itu. ”kau akan memamerkan kemampuanmu di sini? Palot. Sebenarnya kami hanya sekedar mengusirmu tanpa ingin mencelakakanmu. Tetapi jika kau berbuat aneh-aneh, maka kau jangan menyesal, bahwa kau tidak akan mampu bangkit iagi untuk selamanya di sini."

“Ki Sanak” berkata Ki Permita, “aku sudah mencoba mendudukkan sikapku dengan kedudukan sebagai seorang hamba saja. Tetapi kalian tidak menanggapinya dengan baik. Justru kalian dengan sombong mengusirku seperti mengusir seekor anjing. Karena itu, maka aku sama sekali tidak akan menanggapinya. Aku akan pergi ke padepokan. Aku akan berbicara dengan para pemimpinmu. Mereka tentu akan mengerti dan akan menerima aku di antara mereka.”

“Persetan” geram salah seorang di antara mereka. ”Jika kau keras kepala, maka aku mungkin akan membunuhmu.

“Ki Sanak” berkata Ki Permita” jika aku berani berkeras. maka akupun akan berani menanggung segala akibatnya. Aku adalah hamba yang setia dari Panembahan. Karena itu, maka akupun akan bersikap sebagaimana Panembahan bersikap. Sikap seorang laki-laki. Jika aku harus mati, biarlah aku mati setelah berkelahi.”

Keempat orang itupun menjadi semakin marah Mereka tidak lagi dapat menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu. Karena itu, maka keempat orang pun telah meloncat bersama-sama. Dan tiba-tiba saja orang yang disebutnya Palot itu telah berada dalam kepungan.

“Kau memang harus mati Palot” geram salah seorang di antara mereka.

“Kalian tidak akan berani membunuhku. Orang-orang padukuhan itu akan melihat dan segera mengenali kalian. Mereka akan dapat menyampaikannya kepada para pemimpin padepokan bahwa kalian telah membunuhku.” berkata Ki Permita yang disebut Palot itu.

“Persetan” geram salah seorang di antara orang-orang yang mengepungnya itu, “katakan pesanmu terakhir. Kami sudah memutuskan untuk membunuhmu, menyeret mayatmu dan melemparkan ke tengah-tengah hutan itu. Mayatmu akan segera menjadi makanan binatang buas atau burung-burung pemakan bangkai.”

Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia telah siap menghadapi keempat orang itu. Sebenarnyalah keempat orang yang marah itu tidak dapat menahan diri lagi. Mereka pun kemudian telah bergerak hampir bersamaan menyerang orang yang selama ini dianggapnya tidak lebih dari seorang hamba yang setia. Karena itu, maka mereka tidak terlalu banyak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan perlawanan yang dilakukan oleh orang itu, meskipun seorang diantara mereka pernah menjadi heran pada saat tangannya membentur telapak tangan orang itu tanpa terjadi hentakkan kekuatan di dalam dirinya.

Namun keempat orang itu sebenarnya tidak merupakan persoalan yang sulit bagi Ki Permita. Karena itu, maka ia sama sekali tidak menjadi gentar. Ketika keempat orang itu menyerangnya, maka ia pun telah berbuat sesuatu yang tidak diduga sama sekali oleh lawan-lawannya. Hampir tanpa diketahui apa yang telah dilakukan, maka keempat orang itu telah terlempar dari tempat mereka dan jatuh terlentang. Bahkan seorang di antaranya telah terbanting demikian kerasnya sehingga tidak sadarkan diri.

Namun dalam pada itu, ketiga orang yang lain sempat melenting berdiri. Tetapi mereka tidak segera dapat mengatasi kesulitan di dalam diri masing-masing. Jantung mereka serasa berdebar semakin cepat dan kenyataan yang mereka hadapi rasa-rasanya seperti peristiwa di dalam mimpi.

Ketiga orang itu tidak segera dapat mengerti, bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi. Tetapi mereka tidak dapat ingkar dari kenyataan itu. Karena itu, maka mereka menjadi ragu-ragu untuk menyerang orang yang dianggapnya tidak lebih dari seorang hamba itu.

“Nah” berkata Ki Permita” apakah kalian masih tetap pada pendirian kalian untuk mencegah aku pergi ke padepokan?”

Ketiga orang saling berpandangan. Apapun yang mereka kehendaki, namun mereka tidak akan dapat mencegah orang yang sebelumnya dianggap sebagai hamba yang tidak dapat berbuat apa-apa selain berlindung di balik kuasa tuannya.

“Sekarang” berkata Ki Permita ”apakah kalian masih menganggap bahwa aku merasa berkuasa lebih dari Panembahan? Seandainya demikian, maka itu adalah hakku karena aku memang mempunyai kemampuan untuk berkuasa atas kalian."

Ketiga orang itu tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja Ki Permita membentak, “Jawab. Apakah kalian masih akan menahan aku di sini?”

Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi.

“Kenapa kalian diam saja,” bentak Ki Permita pula. Mereka kemudian menjawab, “Kami memang bertugas untuk mencegah siapa saja memasuki padepokan, Palot.”

“Jadi aku benar-benar harus menyingkirkan kalian agar tidak ada lagi orang mengganggu aku“ geram Ki Permita.

“Tidak. Kau tidak usah melakukannya” jawab salah seorang dari mereka ”pergilah sekehendakmu. Ternyata kami tidak mampu mencegahmu.”

“Terima kasih. Tinggallah kalian di sini. Lakukan tugas kalian sebaik-baiknya. Jangan ada orang lain yang memasuki padepokan ini. Aku sependapat dengan perintah itu. Tetapi itu tidak berlaku terhadapku” berkata Ki Permita pula.

Tidak ada yang menjawab. Sementara itu Ki Permita berkata, “Ketahuilah, bahwa aku memang memiliki kuasa seperti Panembahan. Semua kata-kataku harus berlaku atas kalian. Jika aku ingin membunuh kalian, aku dengan mudah dapat melakukannya. Tetapi aku memang tidak ingin membunuh. Kawanmu itu pun tidak mati. Rawatlah orang itu. Ia akan sadar kembali dari pingsannya.”

Masih tidak ada jawaban, sehingga orang itu pun kemudian telah melangkah meninggalkan ketiga orang yang berdiri termangu-mangu.

“Gila” desis salah seorang di antara mereka ketika Ki Permita telah menjadi semakin jauh.

“Ternyata ia memang memiliki kemampuan itu” sahut yang lain.

“Aku tidak tahu, apa yang telah dilakukannya atas kami” berkata yang lain pula.

Namun orang yang pertama itu pun segera berkata,”Kita lihat kawan kita yang pingsan itu.”

Ketiga orang itu pun kemudian telah berjongkok di samping seorang kawannya yang terbaring diam. Ternyata orang itu memang tidak mati. Tetapi pingsan karena ia telah keras terbanting di tanah. Ketika orang yang pingsan itu menjadi sadar, maka Ki Permita menjadi semakin dekat dengan padepokan yang ditujunya, la yakin bahwa orang-orang yang dicarinya memang berada di padepokan itu.

Namun ternyata bahwa jalan ke padepokan yang sudah menjadi semakin dekat itu justru menjadi semakin banyak hambatan. Jika yang telah menghentikannya di ujung padukuhan adalah orang yang pernah dikenalnya di padepokan Suriantal, karena mereka termasuk orang-orang yang berhasil melarikan diri, maka Ki Permita telah bertemu pula dengan orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Dua orang berwajah garang dengan kumis dan jambang yang panjang.

“Siapa kau?” bertanya salah seorang di antara kedua orang itu.

“Palot” jawab Ki Permita. ”aku adalah seorang di antara penghungi padepokan yang pecah oleh pasukan Lemah Warah. Aku menyusul para pemimpin padepokan yang berhasil melarikan diri dan kini berada di padepokan beberapa puluh tonggak lagi di depan padukuhan itu.”

“Bagaimana mungkin kau dapat lolos dari pengawasan empat orang kawan kami di ujung padukuhan ini.?" bertanya salah seorang diantara keduanya pula.

“Sudah aku katakan bahwa aku berasal dari padepokan Suriantal sehingga keempat orang itu telah mengenal aku. Dibiarkannya aku lewat mencari perlindungan kepada para pemimpin padepokan yang sempat melarikan diri."

“Tidak seorang pun boleh memasuki padepokan” berkata orang itu, “ini adalah perintah yang tertinggi. Siapapun tidak boleh karena kemungkinan-kemungkinan buruk akan. dapat terjadi. Meskipun ia berasal dari padepokan itu pula.”

“Kenapa? Bukankah wajar jika aku mencari perlindungan di padepokan itu?” bertanya Ki Permita.

“Palot” berkata salah seorang yang berjambang lebat itu, “kau jangan memaksa. Perintah itu jelas. Jika kau merupakan pengawal yang setia dari para pemimpin. kenapa baru sekarang kau menyusul? Semua orang yang datang kemudian memang pantas dicurigai. Mereka sudah sempat berbicara dengan para pemimpin di Lemah Warah. Mereka telah dapat dibujuk dan diberikan janji-janji yang menarik untuk melakukan pengkhianatan. Nah, jika keempat orang di ujung padukuhan itu memberi kesempatan kau memasuki daerah ini, maka aku melarang kau meneruskan langkahmu menuju ke gerbang padepokan. Tidak ada gunanya. Seandainya aku memberi ijin. maka masih ada beberapa lapis lagi lingkaran yang harus kau lalui. Semakin dalam semakin rapat, sehingga bagaimanapun juga, kau tidak akan sampai ke pintu gerbang."

“Ki Sanak” berkata Ki Permita, “kalian berdua tentu bukan sebagian di antara kami yang berada di padepokan Suriantal. Karena itu kalian tidak dapat membayangkan, betapa eratnya hubungan kami yang satu dengan yang lain. Bagaimana kami di padepokan itu menyatu dalam segala suasana. Seakan-akan kami terikat pada satu janji untuk mati bersama atau hidup bersama, meskipun ternyata pada saat-saat terakhir ada di antara kami yang sempat melarikan diri sementara yang lain mati terbunuh di medan."

“Apa maksudmu?” bertanya seorang diantara kedua orang itu.

“Tidak apa-apa. Yang melarikan diri itu termasuk aku. Memang aku harus merasa bahwa seakan-akan aku dan beberapa orang yang lain termasuk para pemimpin di padepokan itu tidak setia lagi terhadap kawan-kawan kami. Namun yang kami lakukan justru dengan satu pengertian, bahwa dengan melepaskan diri dari maut, kami akan dapat membalas dendam kematian kawan-kawan kami.” berkata Ki Permita.

Kedua orang itu nampak merenung. Namun seorang di antara mereka berkata, “Tetapi sayang Palot. Perintah itu telah jatuh. Tidak ada orang baru lagi yang boleh memasuki padepokan, meskipun bekas kawan sendiri. Ada beberapa hal yang menyebabkan larangan itu dikeluarkan. Namun yang terpenting adalah, bahwa mereka yang datang kemudian itu sudah tidak akan murni lagi. Apalagi jika orang itu sudah sempat berbicara dengan para pemimpin Lemah Warah.”

“Ki Sanak,” berkata Ki Permita, “aku bukan orang gila yang akan menyurukkan kepalaku di bawah roda pedati. Aku sadar bahwa di padepokan ini berkumpul orang-orang berilmu tinggi. Apa yang dapat aku lakukan dihadapan mereka seandainya aku dibiarkan masuk ke padepokan itu.”

“Bukan kau sendiri yang akan melakukannya. Tetapi jika kau sudah berada di dalam, maka kau akan dapat membuat banyak kesulitan dengan diam-diam. Hingga akhirnya pada satu saat, kau akan melarikan diri untuk memberikan keterangan kepada orang-orang yang telah mengupahmu, atau kau akan membuka pintu gerbang dari dalam agar orang-orang yang mungkin akan menyusulmu itu dapat memasuki padepokan dengan cepat.”

“Lalu apa keuntunganku untuk berbuat demikian,” berkata Ki Permita, “aku telah berjuang sekian lamanya bersama para pemimpin padepokan ini. Aku merasa bahwa mereka adalah saudara-saudaraku.”

Kedua orang itu agaknya menjadi ragu-ragu. Namun seorang di antara mereka agaknya tetap menjunjung perintah yang diembannya, “Sayang Ki Sanak, pergilah.”

“Para pemimpinmu tentu akan menyesal jika aku pergi,” berkata Ki Permita. Namun kemudian katanya, “Cobalah, sampaikan saja kepada pemimpinmu, bahwa Palot akan mohon perlindungan dan tinggal bersama mereka di Padepokan ini.”

Kedua orang itu menjadi semakin ragu-ragu. Namun kemudian salah seorang berkata, “Baiklah, seorang di antara kami akan menyampaikan permohonanmu kepada para pemimpin padepokan. Merekalah yang akan menentukan, apakah kau boleh menghadap atau tidak.”

Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, “Baiklah. Aku akan menunggu.”

Memang kesempatan itu adalah kesempatan yang terbaik baginya untuk memasuki padepokan daripada ia harus melumpuhkan kedua orang itu dengan kekerasan, sehingga dengan demikian. maka kesalahannya akan bertambah lagi. Sesaat kemudian, seorang di antara mereka pun telah meninggalkan Ki Permita yang dikenalnya sebagai Palot. Sementara seorang lagi masih menungguinya.

“Kita tunggu di sini,” berkata yang seorang itu kepada Ki Permita sambil duduk di regol halaman rumah sebelah.

Ki Permita pun telah duduk pula. Ketika ia memandang ke halaman lewat pintu yang sedikit terbuka, dilihatnya halaman rumah itu nampak kotor. Daun pepohonan yang kering berjatuhan tanpa dibersihkan. Bukan hanya hari itu. Namun nampaknya telah sejak beberapa hari berselang.

“Apakah rumah ini kosong?” bertanya Ki Permita.

“Nampaknya begitu,” jawab orang itu. “hampir semua orang di padukuhan ini telah menyingkir. Mereka sadar, bahwa kemungkinan yang buruk akan dapat terjadi. Ketika para pemimpin padepokan itu kembali dengan hanya beberapa orang yang sempat melarikan diri, maka mereka telah mengungsi. Mereka memperhitungkan bahwa kemungkinan pihak lain akan memburu ke padepokan ini sehingga akan terjadi pertempuran di sekitar padepokan ini.”

Ki Permita mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah kau sudah lama berada di padepokan ini?”

“Kami datang dari padepokan lain. Kami mengisi padepokan ini setelah penghuninya serta pemimpin padepokan ini pergi bersama seorang yang dianggap akan dapat menjadi tumpuan perjuangan mereka. Kami diminta oleh pemimpin padepokan ini untuk berada di sini.”

“Siapa pemimpinmu?” bertanya Ki Permita.

“Saudara tua pemimpin padepokan ini,” jawab orang itu. “maksudku saudara tua seperguruan.”

Ki Permita termangu-mangu. Pemimpin padepokan itu tentu bukan orang bertongkat yang dikenalnya sebagai pemimpin dari perguruan Suriantal yang telah berubah. Tetapi saudara tua seperguruan itu tentu saudara dari orang yang mampu menguasai binatang untuk melakukan niatnya terhadap musuh-musuhnya.

“Jika orang itu adalah saudara tuanya, maka orang itu agaknya memiliki ilmu yang lebih baik atau setidak-tidaknya sejajar dengan orang yang mempunyai ilmu gendam itu,” berkata Ki Permita di dalam hatinya.

Selain kemampuan yang tinggi, ternyata orang itu telah membawa pula para pengikutnya. Namun dalam pada itu, Ki Permita berkata kepada orang itu. “pantas jika kalian orang baru di sini. Aku pernah berada di padepokan ini. Tetapi kita belum pernah bertemu.”

Orang itu mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab. Dipandanginya arah kawannya tadi pergi. Namun sementara itu ia berdesis, “Ia memerlukan waktu beberapa saat. Sementara itu, kita akan menunggu di sini.”

Ki Permita mengangguk. Katanya, “Aku akan menunggu. Aku yakin bahwa aku akan diijinkannya.”

Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan ia pun telah bangkit dan berjalan mondar-mandir di depan regol itu.

Sementara itu kawannya telah memasuki padepokan. Di lapisan berikutnya dari pengamatan atas padepokan itu, orang itu berkata terus terang, bahwa ia akan menanyakan kemungkinan bagi orang yang bernama Palot.

“Bukankah perintah itu sudah tegas. Siapapun tidak boleh memasuki padepokan ini,” sahut kawannya di lapisan berikutnya.

“Tetapi orang ini lain. Orang ini pernah tinggal bersama para pemimpin kita yang sempat melarikan diri itu dan bekerja bersama dengan mereka untuk waktu yang lama,” jawab orang yang akan menghadap itu.

“Terserahlah. Kau tentu mempunyai alasan tersendiri. Tetapi jika alasanmu tidak masuk akal, maka kau justru akan dimaki dan bahkan mungkin kau akan mengalami perlakuan yang kurang baik,” berkata kawannya.

Tetapi orang itu tidak mengurungkan niatnya, ia langsung menuju ke padepokan untuk bertemu para pemimpin padepokan itu. Ketika orang itu menyampaikan permintaan orang yang disebut Palot untuk berlindung di padepokan itu, ternyata permintaan itu memang menarik perhatian. Orang yang memiliki kemampuan mengendalikan binatang dengan ilmu gendamnya itu berkata,

“Bawa orang itu kemari. Meskipun sebenarnya aku tidak memerlukannya. Yang kita perlukan adalah Panembahan yang memiliki ilmu tiada taranya itu yang aku kira tidak terkalahkan oleh siapapun. Namun ternyata melawan dua orang pemimpin yang datang dari Kediri, Panembahan itu tidak mampu bertahan.”

“Untuk apa sebenarnya orang itu dibawa kemari?” bertanya saudara tua seperguruannya, “jika orang itu memang tidak berarti kenapa orang itu tidak disingkirkan saja daripada memperbanyak tanggungan kita di sini?”

“Orang itu adalah hamba yang setia dari Panembahan yang kita harapkan akan dapat memberikan jalan bagi kita menuju ke Kediri,” jawab pemimpin padepokan itu. “mungkin orang itu dapat banyak bercerita. Memang tidak penting, tetapi agaknya cukup menarik jika ia berceritera tentang kesetiaannya kepada Panembahan itu.”

“Terserahlah,” berkata orang bertongkat, “padepokan ini padepokanmu. Apapun yang kau lakukan adalah tanggung jawabmu. Tetapi bagiku orang itu tidak berarti lagi sepeninggal Panembahan.”

Pemimpin padepokan yang telah dipaksa kembali oleh pasukan Lemah Warah dari padepokan Suriantal itu tersenyum. Katanya, “Kita memang tidak memerlukannya. Tetapi apa salahnya kita mempunyai seorang hamba yang setia? Mudah-mudahan disini pun ia akan menjadi seorang hamba yang setia pula, yang melakukan apa yang aku perintahkan dan mengiakan apa yang aku katakan.”

“Tetapi bagaimana mungkin ia dapat melarikan diri dari tangan orang-orang Lemah Warah jika Panembahan itu dapat dikalahkan,” desis orang bertongkat itu.

“Kita tidak usah mempersoalkan bagaimana ia keluar dari padepokan itu. Tetapi ia sekarang ada di sini,” jawab pemimpin padepokan itu.

Sementara itu kakak seperguruan dari pemimpin padepokan itupun berkata, “Sebetulnya buat apa kau memelihara seekor tikus. Lebih baik memelihara seekor kucing yang betapapun kecilnya akan dapat memberikan arti pada kehadirannya.”

“Bukan tikus,” jawab pemimpin padepokan itu. “tetapi seekor anjing yang setia dan penurut.”

Kakak seperguruannya tertawa. Katanya, “Terserah kepadamu. Tetapi ingat, jika kau kehabisan tulang, maka anjing itu akan dapat menggigit kakimu sendiri.”

Pemimpin padepokan itu pun tertawa pula. Tetapi ia berkata, “Bawa budak itu kemari. Aku akan mengangkatnya sebagai hambaku. Aku tahu ia setia meskipun karena kesetiaannya itu, ia nampaknya seperti seorang yang besar kepala. Ia memerintah atas nama Panembahan. Tetapi justru karena kesetiaannya.”

“Ia merasa lebih berkuasa dari Panembahan,” berkata orang bertongkat itu. “ia telah memerintah kita semau-maunya saja.”

“Ia tidak bermaksud demikian,” jawab pemimpin padepokan itu. “Ia sekedar menunjukkan setianya kepada Panembahan, bahwa ia telah melakukan perintah Panembahan dengan sebaik-baiknya.”

“Jika kau jadikan ia hambamu, maka ia akan merasa lebih berkuasa dari kau sendiri di padepokan ini,” berkata orang bertongkat itu.

“Aku akan mencekiknya,” sahut kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.

Tetapi pemimpin padepokan itu masih tertawa pula. Katanya, “Kenapa kalian ributkan budak yang setia itu. Nah, biarlah ia datang kemari untuk memohon perlindungan kepadaku. Tetapi ia harus menjadi hambaku yang setia.”

Orang yang datang menghadap itu termangu-mangu sejenak. Namun pemimpin padepokan itu pun berkata, “Bawa orang itu kemari. Ia tidak berbahaya. Ia lebih lunak dari buah mentimun.”

Orang yang menghadap itu pun kemudian meninggalkan ruangan itu dan kembali kepada kawannya. Ia menemui kawannya berjalan yang hilir mudik, sementara Ki Permita menunggu dengan gelisah pula. Ia mencemaskan keempat orang yang berusaha mencegahnya, tetapi yang telah dibuatnya tidak berdaya. Jika mereka tiba-tiba menyampaikan persoalan yang terjadi atas diri mereka, maka persoalannya tentu akan berbeda.

Namun karena seorang di antara mereka yang pingsan itu nampaknya masih memerlukan perawatan, maka tiga orang kawannya masih belum meninggalkannya. Bahkan mereka pun seakan-akan telah menyerahkan persoalannya kepada para penjaga di lapisan berikutnya.

“Akhirnya ia akan dihentikan,” berkata salah seorang dari keempat orang itu.

“Tetapi apakah kita tidak dianggap bersalah bahwa mereka telah mampu melewati garis pengamatan kita,” desis yang lain.

“Ternyata kita tidak mampu menahannya,” jawab yang pertama, “bahkan seorang di antara kita telah pingsan.”

“Setan,” geram orang yang baru sadar dari pingsan, “aku tidak tahu apa-apa demikian dadaku merasa tersentuh tangannya.”

“Duduklah,” berkata kawannya, “orang itu tentu akan tertangkap. Dan kita akan dapat membalas sakit hati kita.”

“Tetapi kita harus melaporkannya,” berkata orang yang pingsan itu. “Jika terjadi sesuatu karena kelengahan, maka kita tentu dapat dianggap bersalah.”

Keempat orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka yang tertua akhirnya berkata, “Baiklah. Dua orang di antara kita akan melaporkan peristiwa yang terjadi ini. Sementara dua orang akan tetap bertugas di sini.”

Akhirnya mereka menentukan orang yang pingsan itu bersama seorang yang lain akan melaporkan peristiwa yang telah terjadi itu ke lapisan berikutnya, agar laporan itu bertingkat merambat sampai kepada para pemimpin padepokan. Atau orang itu sudah terbunuh sebelum mendekati regol padepokan. Namun ketika mereka sampai ke lapisan berikutnya, mereka menjumpai hanya seorang penjaga. Seorang yang berjambang dan berkumis lebat.

“Kau sendiri?” bertanya orang yang pingsan itu.

“Ya. Seorang kawanku sedang mengantarkan budak yang setia itu ke padepokan,” jawab orang berjambang itu.

Orang yang pingsan itu termangu-mangu. Namun kemudian iapun telah menceriterakan apa yang terjadi. “Aku menjadi pingsan tanpa tahu sebab-sebabnya,” berkata orang itu kemudian.

Orang berjambang itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba iapun tertawa. Katanya, “Kalianlah yang keterlaluan. Orang itu lunak seperti ranti, lamban seperti siput dan merengek seperti anak-anak sakit-sakitan.”

“Mula-mula ia memang berbuat seperti itu,” berkata orang yang pingsan itu.

“Jika ia berlaku sebagaimana kau katakan di padepokan, maka ia akan mengalami perlakuan yang sangat pahit. Ia akan dihukum cincang atau picis,” jawab orang berjambang itu. “nah, kita akan melihat apa yang terjadi.”

Orang yang telah pingsan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tetapi kita harus melaporkannya. Para pemimpin padepokan itu harus berhati-hati menghadapinya.”

“Sebagian dari mereka sudah mengenalnya dengan baik,” jawab orang berjambang itu. Lalu, “He, bukankah kau juga pernah berada di padepokan Suriantal?”

“Ya. Itulah agaknya kami mempunyai gambaran yang keliru tentang orang itu,” jawab orang yang telah pingsan itu.

Tetapi orang berkumis dan berjambang lebat itu tidak banyak menaruh perhatian. Bahkan kemudian katanya, “Tidak ada gunanya. Orang itu sekarang sudah menghadap.”

“Tetapi untuk waktu yang akan datang. Nanti atau hesok.” berkata orang yang pingsan itu.

“Terserah kepadamu,” jawab orang berjambang itu. “aku tidak peduli. Aku menganggap bahwa orang itu tidak akan berbahaya dihadapan para pemimpin.”

“Tetapi jika ia licik?” berkata orang yang telah pingsan itu.

“Terserah kepadamu,” tiba-tiba orang berjambang itu membentak.

Orang yang pingsan itu merenung sejenak. Tetapi iapun kemudian tidak peduli lagi kepada orang berjambang itu. Katanya, “Aku akan menghadap.”

Orang berjambang itupun tidak menghiraukannya pula. Karena itu ketika orang itu berlalu, maka orang berjambang itu sama sekali tidak memperhatikannya lagi. Bahkan ia telah melemparkan pandangannya ke pepohonan di sekitarnya.

Ketika orang yang pingsan itu bersama seorang kawannya menuju ke padepokan, Ki Permita telah dibawa memasuki regol. Orang yang bertugas di regol tidak dapat mencegahnya, karena yang membawa Ki Permita itu adalah seorang pengawal pula yang mendapat tugas justru dari pemimpin padepokan itu untuk membawa hamba yang setia itu menghadap.

Ketika Ki Permita itu dibawa memasuki sebuah barak yang menjadi tempat bertemu para pemimpin padepokan itu, maka ia pun telah menjadi berdebar-debar. Ternyata di ruang itu terdapat beberapa orang yang tidak dikenal. Orang yang tidak ikut berada di padepokan Suriantal.

Ketika Ki Permita yang dikenal bernama Palot itu memasuki ruangan, maka pemimpin padepokan itu, orang yang memiliki ilmu gendam, telah menyapanya sambil tertawa, “Ki Palot. Selamat datang di padeokan ini.”

Ki Permita menjadi ragu-ragu. Ia berdiri termangu-mangu di pintu ruangan yang agak luas itu.

“Duduklah,” berkata pemimpin padepokan itu.

Ki Palot itu memandang berkeliling. Beberapa orang duduk di amben panjang yang terletak di sekeliling ruangan di bilik itu. Dengan ragu-ragu maka ia pun telah duduk pula di sebuah amben yang berada di sudut ruangan itu.

Tetapi tiba-tiba pemimpin padepokan itu berkata, “He Palot. Kemarilah. Duduklah di sini.”

Ki Permita menjadi ragu-ragu. Tetapi, pemimpin padepokan itu minta Ki Permita duduk di dekatnya, di sebuah amben yang berada di sebelah tempat duduknya. Namun Ki Permita itu berkata, “Cukup di sini.”

Pemimpin padepokan itu tertawa. Katanya, “Kau adalah seorang hamba yang setia dari Panembahan yang mengecewakan itu. Yang aku kira benar-benar akan dapat menyelesaikan berbagai masalah yang timbul di padepokan. Namun akhirnya ternyata bahwa Panembahan itu tidak kuasa menghadapi prajurit Lemah Warah.”

“Bukan sekedar prajurit Lemah Warah,” jawab Ki Permita. “tetapi ternyata di antara mereka hadir dua orang dari Kediri.”

“Dari manapun datangnya, namun ternyata bahwa Panembahan itu tidak lagi mampu bertahan,” berkata pemimpin padepokan itu.

“Demikianlah agaknya. Tetapi Panembahan sudah berusaha sejauh dapat dilakukan,” berkata Ki Permita.

“Baiklah,” berkata pemimpin padepokan itu. Lalu, “Nah sekarang, apa yang akan kau lakukan sepeninggal Panembahan?”

“Aku akan memohon perlindungan di padepokan ini,” jawab Ki Permita.

“Ya. aku sudah mendengar permintaanmu. Tetapi untuk memenuhi keinginanmu itu, kau harus memenuhi satu syarat,” berkata pemimpin padepokan itu.

“Syarat apakah yang harus aku penuhi itu?” bertanya Ki Permita.

“Palot. Selama ini kau adalah hamba yang setia dari Panembahan. Namun dengan kesetiaanmu itu ternyata kau telah membuat banyak kesalahan. Kau kadang-kadang bersikap sebagaimana Panembahan itu sendiri. Bahkan kadang-kadang kau merasa dirimu lebih berkuasa,” berkata pemimpin padepokan itu.

“Tentu bukan maksudku,” berkata Ki Permita, “aku hanya sekedar menjalankan perintah. Tidak lebih.”

“Baiklah Palot,” berkata pemimpin padepokan itu. “syarat yang aku kemukakan adalah, bahwa selama kau berada di padepokan ini, maka kau harus menjadi hambaku yang setia, sebagaimana kau lakukan terhadap Panembahan. Kau harus menurut segala perintahku dan mengiakan segala kata-kataku. Jika kau bersedia menjadi hamba yang setia, maka aku akan memeliharamu.”

Terasa jantung Ki Permita berguncang. Ia tidak mengira bahwa ia akan menerima penghinaan sedalam itu. Agaknya orang-orang di padepokan Suriantal itu mempunyai anggapan yang buram terhadap dirinya yang menjadi perantara perintah Panembahan. Kekecewaan orang-orang padepokan itu kepada Panembahan, agaknya telah ditumpahkannya kepadanya. Namun penghinaan itu benar-benar sulit untuk diterimanya. Apalagi beberapa orang yang berada di ruang itu serentak tertawa berkepanjangan.

Namun Ki Permita masih berusaha untuk menahan diri. Bahkan ia berusaha menyembunyikan kesan perasaannya itu di wajahnya. Dengan nada rendah ia berkata, “Sebenarnya aku tidak berkeberatan. Tetapi ada bedanya antara kalian dengan Panembahan bagiku. Aku adalah abdi Panembahan sejak aku masih muda dan Panembahan pun masih sangat muda. Tetapi di sini kita bertemu pada saat-saat kita sudah menjelang usia senja.”

Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu pemimpin padepokan itu berkata lagi, “kau mendapat kesempatan untuk memikirkannya barang sehari. Selama itu kau boleh berada di padepokan ini untuk melihat-lihat cara hidup kami. Kau akan dapat membayangkan, tugas apa yang bakal kau pikul jika kau menjadi hambaku yang setia.”

Penghinaan itu sudah tidak tertanggungkan lagi. Namun sebelum Ki Permita itu berbuat sesuatu, seorang pengawal telah membawa masuk dua orang pengawal yang lain ke dalam ruangan itu. Ki Permita mengerutkan keningnya. Ia mengenali kedua orang itu. Mereka adalah orang-orang yang telah menahannya di luar padepokan. Ki Permita pun sudah menduga, apa yang akan dikatakannya. Tetapi ia tidak berkeberatan. Ia pun hampir bertindak karena tidak lagi dapat menahan diri karena penghinaan itu.

Pemimpin padepokan itu termangu-mangu melihat kehadiran kedua orang pengawal itu. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Ada apa kalian menghadap?”

Orang yang telah pingsan itu pun berpaling ke arah Ki Permita yang dikenalnya bernama Palot itu. Dengan ragu-ragu ia berkata, “orang itu.”

“Kenapa dengan orang itu?” bertanya pemimpin padepokan itu.

“Ia memaksa untuk memasuki padepokan,” jawab orang yang pingsan itu.

Pemimpin padepokan itu tertawa. Katanya, “Ia ada di sini sekarang.”

“Ya. Aku melihat,” jawab orang yang pernah pingsan itu. “Tetapi jika ia sampai ke ruang ini, bukan karena kami tidak melakukan tugas kami.”

Pemimpin padepokan itu masih tertawa. Katanya, “Sudahlah. Jangan hiraukan lagi orang itu. Ia sudah bersedia menjadi hambaku yang setia. Ia akan menurut segala perintahku dan ia akan bersedia mengikut di belakang ke mana aku pergi sambil membawa barang-barangku.”

Hampir saja Ki Permita itu berteriak mengumpat. Tetapi orang yang pernah jatuh pingsan itu berkata, “Tetapi ia adalah orang yang sangat berbahaya. Orang itu mempunyai ilmu iblis.”

Pemimpin padepokan itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa, “Jangan cemaskan orang itu. Jika ia garang seperti seekor harimau, maka karena ia bersandar kepada orang yang disebut Panembahan itu.”

“Tidak,” jawab orang yang pernah pingsan itu. “ia bukan sekedar bersandar pada Panembahan. Tetapi ia memang memiliki ilmu iblis itu. Ia mampu memperlakukan kami berempat sebagai bahan permainan.”

Pemimpin padepokan itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang yang pernah pingsan itu dengan Palot berganti-ganti. Sementara itu orang yang pernah pingsan itu berkata, “Itulah yang ingin aku katakan, agar ia tidak menjadi racun di padepokan ini.”

Pemimpin padepokan itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian bangkit berdiri sambil berkata, “Apa yang dapat dilakukan oleh tikus kecil ini.”

“Bagaimanapun juga ia cukup berbahaya,” berkata orang itu.

“Terima kasih atas keteranganmu. Jika demikian, kami akan bersikap lain terhadapnya.”

Orang yang pernah pingsan itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Ki Permita sambil berdesis, “Nah, kau akan tahu akibat permainanmu yang kasar itu.”

“Tinggalkan orang itu,” berkata pemimpin padepokan kepada orang yang pernah pingsan itu. “aku akan mengurusnya.”

Demikianlah maka kedua orang yang datang untuk melaporkan tentang Ki Permita itu telah meninggalkan ruangan, sementara pemimpin padepokan itu memandanginya dengan tegang. “Palot,” berkata pemimpin padepokan itu. “apa yang telah kau lakukan? Apa pula yang telah kau pamerkan.”

Ki Permita berusaha untuk mengatur nalarnya. Karena itu maka dengan nada datar ia berkata, “Aku tidak tahu apa yang dikatakannya. Aku memang memaksa untuk memasuki padepokan ini, sementara orang yang mengantarkan aku kemari sama sekali tidak menaruh keberatan apapun juga sehingga aku sekarang ada di sini.”

Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Tetapi katanya sama sekali tidak diduga oleh Ki Permita, “Palot. Ternyata kau memang pantas untuk dijerat di kandang harimau.”

“Kenapa?” bertanya Ki Permita.

Namun sementara itu beberapa orang yang lain agaknya tidak sabar lagi menunggu pembicaraan itu. Orang bertongkat itu kemudian berkata, “Aku sudah mengorbankan padepokanku. Sekarang kau datang untuk berkhianat pula? Apa yang kami dapatkan dari Panembahan selain kehancuran. Tetapi kami berusaha untuk menerimanya sebagai satu akibat dari perjuangan kami. Tetapi jika kau datang untuk mengacaukan kedudukan kami di sini, maka kau memang harus disingkirkan. Tidak sekedar diusir pergi.”

“Ya,” desis kakak seperguruan pemimpin padepokan itu. “karena itu maka apa boleh buat. Kita tidak memerlukan seorang hamba yang setia, atau seorang budak penurut.”

“Tunggu,” berkata Ki Permita, “apa yang sudah aku lakukan selain memaksa masuk ke padepokan ini untuk mencari perlindungan?”

“Kemampuanmu itu membuat kami tidak tenang,” berkata pemimpin padepokan itu. “karena itu, maka kau tidak aku perlukan lagi. Tetapi kau pun tidak boleh berkhianat jika kau pergi. Sayang. Kau tidak mempunyai pilihan.”

Ki Permita menjadi tegang. Dengan ragu-ragu ia berkata memelas, “Kasihani aku. Apa salahku? Aku datang dengan maksud baik. Mohon perlindungan.”

“Persetan,” geram pemimpin padepokan itu. “mungkin kau benar-benar mencari perlindungan. Tetapi sikapmu kepada orang-orangku menunjukkan bahwa kau tidak lagi dapat dipercaya. Kau bagiku bukan seorang budak yang setia.”

“Aku sungguh tidak mengerti,” berkata Ki Permita.

“Sudahlah Palot. Nasibmu memang buruk. Kau akan mati di sini. Kau tidak mempunyai pilihan lain. Kehadiranmu mencurigakan kami semua. Apalagi bahwa kau tetah memaksa menembus pengawalan dengan kekerasan. Kau telah menunjukkan kemampuan yang tidak terduga-duga. Dengan demikian kami memperhitungkan kemungkinan bahwa kau masih memiliki kemampuan yang lebih tinggi lagi,” berkata pemimpin padepokan itu.

“Seandainya aku mempunyai kemampuan, kenapa kalian mencurigai aku? Bukankah kemampuanku dapat kalian pergunakan menurut kepentingan kalian dan sesuai dengan tingkat kemampuanku,” berkata Palot.

“Tetapi bahwa kau tidak menunjukkan sikap tidak jujur membuat kami curiga,” berkata orang bertongkat itu. “kau sengaja memberikan kesan bahwa kau adalah abdi yang bodoh dan dungu serta tidak berilmu sama sekali. Namun ternyata kau mampu memaksa empat orang pengawal memberikan jalan kepadamu dan mereka menilai kemampuanmu cukup tinggi. Nah, ketidak jujuranmu itu telah menyeretmu dalam kesulitan.”

“Sudahlah,” berkata kakak seperguruan pemimpin padepokan itu. “selesaikan saja orang itu. Ia tidak berarti. Seandainya ia memang seorang abdi, maka apa gunanya ia di sini? Apalagi bahwa ia tidak jujur dan berusaha berkhianat.”

“Baiklah. Aku akan memperintahkan orang-orangku untuk menyelesaikannya,” berkata pemimpin padepokan itu.

“Kematiannya tidak akan membuat kita kehilangan, siapapun orang ini sebenarnya dan kita tidak akan lagi terancam bermacam-macam kemungkinan yang dapat dilakukannya.”

Pemimpin padepokan itu pun kemudian memberi isyarat kepada pengawal kepercayaannya. Katanya dengan nada rendah, “Sayang, bahwa kita harus menyelesaikannya. Aku kira orang ini memang tidak diperlukan lagi. Ia hanya akan memperbanyak tanggungan saja di sini, sehingga sebaiknya orang ini kita selesaikan saja.”

“Tetapi, aku datang dengan maksud baik,” desis Ki Permita.

“Mungkin. Tetapi nasibmulah yang tidak baik. Kau akan mati sia-sia. Terimalah nasib ini, hamba yang setia. Karena kesetiaanmu pula agaknya maka kau tidak berkeberatan jika kau kami bunuh. Dengan setia kau harus menjalaninya tanpa mengadakan perlawanan apapun.”

Ternyata jawaban orang yang dikenalnya bernama Palot itu telah mengejutkan mereka. Dengan tenang ia tiba-tiba berkata, “Siapa yang akan mendapat tugas membunuh aku?”

Semua orang memandanginya dengan tegang. Sementara itu tiba-tiba orang yang disebut Palot itu bangkit berdiri. Sambil berjalan hilir mudik ia berkata tanpa menghiraukan pandangan mata yang mengikutinya, “Baiklah aku berterus terang. Kecurigaan kalian memang beralasan. Ternyata kalian mempunyai ketajaman penggraita, sehingga kalian tidak segera mempercayai aku. Apalagi setelah aku memaksa melampaui keempat orang pengawal kalian itu.”

Pemimpin padepokan yang masih terheran-heran itu bertanya hampir di luar sadarnya, “Sekarang kau mau apa?”

“Akulah yang bertanya,” berkata orang yang dikenal bernama Palot itu. “kalian mau apa? Akan membunuhku? Siapakah di antara kalian yang akan melakukannya?”

“Setan,” geram kakak seperguruan pemimpin padepokan itu. “aku yang akan membunuhmu.”

Palot itu tertawa. Suara tertawanya mempunyai kesan yang berbeda sekali dengan sikapnya sebelumnya. “Baiklah. Lakukanlah. Tetapi biarlah aku berbicara lebih dahulu,” berkata Palot.

“Apa yang akan kau katakan?” bertanya pemimpin padepokan itu.

“Aku akan berterus terang. Aku datang atas nama Akuwu Lemah warah,” berkata orang yang disebut Palot itu.

“Pengkhianat,” geram orang bertongkat.

“Terserahlah kau sebut apa,” berkata Ki Permita yang dikenal dengan nama Palot, “tetapi dengarlah. Kalian sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Akuwu Lemah Warah tentu akan memburu ke mana kalian pergi. Sekarang, padepokan ini telah diketahui letaknya oleh Akuwu Lemah Warah. Seandainya bukan aku yang menunjukkannya, maka banyak orang-orang kalian yang tertangkap.”

“Tetapi kita sekarang tidak lagi berada di Pakuwon Lemah Warah,” berkata pemimpin padepokan itu.

“Tetapi masih berada di tlatah Kediri, atau barangkali jika di luar Kediri juga masih di daerah Singasari,” jawab Palot. “padepokan ini memang berada di perbatasan antara Pakuwon Lemah Warah dan Pakuwon Panitikan. Tetapi justru karena itu maka kalian akan menjadi semakin sulit, karena Pakuwon Panitikan juga akan mengerahkan prajuritnya bersama prajurit Lemah Warah.”

Tetapi pemimpin padepokan itu menggeram, “Jangan menganggap kami anak-anak yang mudah sekali menjadi ketakutan. Kami sudah menentukan sikap. Sudahlah, jangan banyak bicara. Kau harus mati.”

“Tunggu,” berkata Palot, “masih ada pesan yang harus aku sampaikan.”

“Persetan,” geram para pemimpin yang ada di tempat itu.

“Dengarlah dahulu,” berkata Palot, “pesannya mengandung persahabatan.”

Orang-orang yang ada di ruang itu menjadi tegang. Saudara seperguruan pemimpin padepokan itu menjadi tidak sabar. Dengan nada tinggi ia berkata, “Tidak ada waktu lagi. Matilah dengan cara yang paling baik yang kau kehendaki.”

Tetapi orang yang disebut Palot itu berkata, “Tunggu. Dengarlah. Akuwu Lemah Warah menawarkan kesempatan kepada kalian untuk menyerah. Jika kalian bersedia menyerah, maka akan diadakan pembicaraan dengan para pemimpin di Kediri agar kalian mendapat pengampunan.”

“Gila,” teriak pemimpin padepokan itu. “kau kira kami sudah menjadi gila.”

“Bukan. Justru karena Akuwu Lemah Warah menganggap kalian masih tetap waras. Pertimbangkan. Kalian tidak lagi mempunyai kesempatan. Padepokan inipun akan dapat dihancurkan. Kalian tidak akan dapat melarikan diri untuk kedua kalinya,” berkata Ki Permita yang disebut Palot itu.

“Setan,” teriak kakak seperguruan pemimpin padepokan itu. “aku yang tidak terlibat dalam pertempuran itupun hatiku menjadi panas. Apalagi mengingat janji Panembahan yang tidak terpenuhi dengan alasan apapun juga. Ternyata bahwa ilmunya tidak mampu melindungi padepokan itu sebagaimana dijanjikannya. Karena itu, maka kau harus mati. Sebut, cara yang paling terhormat yang kau kehendaki.”

“Ki Sanak,” berkata Palot, “tenanglah sedikit. Renungkan tawaran itu. Jika kau sudah membuat pertimbangan-pertimbangan dengan nalar yang bening, barulah mengambil keputusan. Sekarang kalian belum sempat membuat pertimbangan itu, sehingga kalian dengan serta merta telah menolak tawaran yang bersahabat itu.”

“Tutup mulutmu,” teriak kakak seperguruan pemimpin padepokan itu. “sebut cara yang paling terhormat untuk mati yang kau inginkan.”

Ki Permita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Apakah benar-benar tidak ada jalan lain?”

“Tidak,” jawab kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.

Palot menarik nafas dalam-dalam. Namun sementara itu pemimpin padepokan itu pun berkata, “Biarlah anak-anak membunuhnya. Mengikatnya pada tonggak kayu di halaman padepokan. Biarlah ia menyebut cara yang paling baik yang dikehendakinya.”

“Tidak,” jawab kakak seperguruan pemimpin padepokan itu, “aku akan menyelesaikannya. Bukan orng lain. Biarlah sekali-sekali aku membunuh kelinci yang deksura, yang sombong dan tidak tahu diri.”

“Jangan kotori tanganmu dengan darah hamba yang setia dan dungu itu,” berkata pemimpin padepokan itu.

“Mulutnya membuat darahku mendidih,” berkata kakak seperguruannya itu. “karena itu biarlah aku melakukannya untuk mendapat kepuasan tersendiri. Di pertempuran membunuh merupakan kebanggaan. Tetapi sikap orang itu mendorong keinginanku untuk membunuhnya untuk mendapatkan kepuasan.”

Yang tidak disangka ternyata telah terjadi. Tiba-tiba saja orang yang disebut Palot itu tertawa. Bahkan kemudian dengan nada datar ia berkata, “Baiklah. Jika aku diberi kesempatan memilih jalan kematian, aku memilih perang tanding.”

Ruang itu telah dicengkam oleh ketegangan. Suara tertawa Palot itu benar-benar telah mengguncang setiap jantung. Mereka seakan-akan tidak percaya kepada penglihatan dan pendengaran mereka masing-masing.

“He, kenapa kalian menjadi bingung. Marilah, siapa yang akan membunuh aku dengan cara yang aku pilih?” berkata Palot kemudian.

Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu mengumpat. Dengan lantang iapun kemudian berkata, “Aku akan membunuhnya. Aku tahu satu cara untuk menggertak. Tetapi tidak ada gunanya. Aku akan tetap membunuhnya seperti membunuh seekor kelinci.”

“Marilah,” berkata Palot, “kita akan mencoba.”

“Siapkan arena di halaman. Bukan arena perang tanding. Tetapi aku akan membantainya, agar ternyata bahwa aku adalah orang yang melakukan apa yang aku katakan. Aku akan membunuhnya sepengetahuannya, agar ia dapat merasa bagaimana jalan kematiannya itu.”

Tetapi Palot itu masih tertawa. Katanya, “Seperti yang selalu aku dengar. Mengancam, menakut-nakuti dan segala macam ceritera yang mengerikan. Tetapi aku sudah terbiasa mendengarnya, dan karena itu aku sama sekali tidak gentar.”

“Setan,” kakak seperguruan pemimpin padepokan itu hampir saja menerkamnya. Namun ia sudah memerintahkan untuk menyiapkan arena, karena itu maka ia pun segera berjalan meninggalkan ruangan itu ke halaman sambil berkata, “Jika kau benar-benar jantan, aku tunggu kau di luar. Aku akan menyayat tubuhmu dan menghancurkan kepalamu sampai lumat.”

“Tidak usah banyak berbicara,” jawab Palot, “aku akan memasuki arena sebagai seorang hamba yang setia. Sekarang aku adalah abdi Sang Akuwu Lemah Warah yang mengemban tugas untuk memaksa para pemimpin padepokan ini menyerah atau membunuh mereka. Sebagai hamba yang setia, maka aku harus melakukannya.”

Darah kakak seperguruan pemimpin padepokan itu bagaikan mendidih karenanya. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa iapun telah turun ke halaman dan memasuki arena sambil berteriak, “Marilah. Semua orang di sekitar arena ini akan menjadi saksi.”

Ki Permita yang disebut Palot itu pun telah melangkah keluar ruangan itu menuju ke halaman. Namun beberapa orang pengawal mengamatinya agar orang itu tidak melarikan diri. Tanpa ragu-ragu Palot pun kemudian turun pula ke halaman. Dipandanginya orang-orang yang ada di sekelilingnya. Dengan suara mantap ia berkata, “Nah, kalian memang akan menjadi saksi kematian salah seorang pemimpin kalian dalam perang tanding ini. Jangan tangisi kepergiannya karena kesombongannya.”

Beberapa orang yang ada di sekitar arena itu menjadi heran melihat sikap orang yang disebut Palot itu. Seorang yang berjambang lebat berkata, “Apa orang itu telah menjadi gila karena ketakutan?”

Namun dalam pada itu, seorang yang termasuk orang berilmu di antara pengikut kakak seperguruan pemimpin padepokan itu berkata, “Ada dua kemungkinan. Ia menjadi gila, atau orang itu memang memiliki ilmu.”

Tetapi orang berjambang itu menyahut, “Orang itu tidak lebih dari seorang hamba yang setia dan patuh. Ia tidak pernah berbuat sesuatu selain atas nama tuannya yang ternyata tidak mampu melawan orang-orng Kediri itu.”

“Kita akan melihat apa yang terjadi,” berkata lawannya berbicara itu.

Arena itu pun kemudian menjadi tegang. Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu pun kemudian berkata lantang, “Lihatlah. Bagaimana aku membungkam mulut orang gila itu. Ketakutan itu telah sampai ke puncak sehingga ia telah kehilangan akalnya.”

Orang berjambang itu telah menggamit kawannya berbicara sambil berdesis, “Nah, bukankah dugaanku benar.”

Yang digamit menjawab, “Bukan benar. Tetapi dugaanmu sama dengan dugaan pemimpin kita itu.”

Orang berjambang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Ya. Memang sama.”

Namun perhatian mereka pun kemudian telah tertuju ke arena itu sepenuhnya. Kedua orang yang berada di arena itu sudah siap. Sementara itu, para pemimpin padepokan itu yang berilmu tinggi menjadi berdebar-debar, karena mereka melihat orang yang disebut bernama Palot itu pun telah menunjukkan sikap yang meyakinkan.

“Palot,” berkata kakak seperguruan pemimpin padepokan itu. “kau masih mempunyai kesempatan untuk menyebut nama ayah ibumu sebelum kau mati. Atau mungkin kau mempunyai pesan terakhir yang perlu kau katakan?”

“Memang mungkin ada yang ingin aku katakan,” berkata orang yang disebut Palot itu.

“Apa?” bertanya lawannya.

“Sebuah pertanyaan,” jawab Palot.

“Sebut,” lawannya menjadi geram.

“Di mana kau ingin dikubur setelah kau mati dalam perang tanding ini?” bertanya Palot.

“Gila,” orang itu berteriak sambil meloncat menyerang. Ia tidak lagi mampu menahan hatinya karena kesombongan sikap lawannya.

Tetapi Palot telah bersiap menghadapi kemungkinan itu. Karena itu, maka ia pun dengan tangkasnya telah meloncat menghindari serangan itu. Sambil tertawa ia berkata, “Inikah kemampuan seorang pemimpin tertinggi yang di padepokan ini?”

Orang itu mengumpat. Namun ia berkata, “Apakah kau menganggap bahwa yang aku lakukan adalah puncak dari kemampuanku.”

“Tidak. Tentu tidak,” jawab Palot, “baru pada tataran pertama. Aku masih menunggu tingkat-tingkat berikutnya. Baru jika kau sudah sampai ke puncak maka aku akan membalas.”

Sangat menyakitkan hati. Tetapi justru karena itu, maka lawannya itu pun berusaha menahan diri sambil berkata, “Jangan kau kira aku tidak mengetahui caramu yang licik itu. Kau sengaja membuat aku marah. Dengan demikian maka sebagian kemenangan telah tergenggam di tanganmu.”

“Jadi kau tidak marah?” bertanya Palot.

“Aku memang marah. Tetapi bukan marahnya anak-anak,” jawab kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.

Palot mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Nah. Jika demikian maka barulah aku mendapat lawan yang sebenarnya.”

“Kau terlalau sombong. Tetapi aku tahu. Kau ingin menolong dirimu sendiri dengan sikapmu. Jika kau berhasil membuat aku marah dan tidak terkendali, maka kau mengharap untuk dapat berbuat licik,” berkata lawannya.

Tiba-tiba saja Palot tertawa. Katanya, “Kau menyadari keadaan. Jika demikian tidak ada gunanya aku membuat marah. Sekarang aku harus menghadapimu dalam arena, benar-benar bertempur beradu ilmu.”

Lawannya termangu-mangu sejenak. Tetapi ia melihat sikap yang mantap pada Palot. Sangat berbeda dengan sikap seorang hamba yang setia, patuh dan dungu. Karena itu, maka lawannya itu pun menjadi semakin berhati-hati. Agaknya Palot memang bukan sekedar dapat membuatnya marah. Tetapi ia benar-benar memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri. Yang perlu dijajaginya, seberapa tingkat kemampuan itu.

Sejenak kemudian, maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu mulai menyerang. Meskipun ia menjadi lebih berhati-hati, namun ia tetap merasa sebagai orang yang memiliki ilmu tertinggi. Pemimpin padepokan itu adalah adik seperguruannya yang ilmunya lebih muda daripadanya.

Tetapi orang itu ingin membunuh lawannya dengan tangannya. Tidak dengan meminjam tangan atau mulut binatang buas yang manapun juga, yang dapat dipengaruhinya dengan ilmu gendam.

Demikianlah, maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin meningkat. Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu mulai menjadi heran bahwa lawannya, hamba yang setia dan dungu itu masih juga mampu mengimbangi ilmunya.

Sebenarnyalah bahwa Ki Permita justru sekedar mengikuti tingkat kemampuan lawannya yang semakin meningkat, ia tidak dengan serta merta mempergunakan puncak kemampuannya. Jika ia melakukannya, maka lawannya yang tidak menduga, akan dengan cepat diselesaikan. Tetapi Ki Permita tidak berbuat demikian. Jika ia berbuat dengan serta merta maka ia akan dianggap sebagai seorang yang licik meskipun lawannyalah yang sebenarnya telah merendahkannya.

Namun dengan demikian, lawannya, seorang yang memang berilmu tinggi mulai menyadari kesalahannya. Terpengaruh oleh sikap adik seperguruannya serta orang bertongkat dari perguruan Suriantal yang menganggap bahwa orang yang disebut Palot itu tidak lebih dari seorang hamba yang setia, patuh tetapi dungu, sehingga ia menganggap bahwa dengan sekedar kemampuan wajarnya ia akan dapat membantai orang itu.

Tetapi ternyata bahwa setelah ia mulai merambah pada tenaga cadangannya, orang itu masih juga tidak mengalami kesulitan. Karena itu, maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itupun berkata,

“Semakin lama aku semakin menyadari kenyataan. Kau tidak hanya mampu memancing kemarahan agar kau dapat berbuat licik. Tetapi kau agaknya memang memiliki kemampuan yang tinggi sehingga kau benar-benar merasa berani menghadapi aku. Bukan sekedar didorong oleh sikap putus asa dan tanpa harapan lagi, sehingga tingkah lakumu menjadi aneh.”

“Sudah aku katakan sejak semula,” berkata orang yang disebut Palot itu. “bahwa kaulah yang akan dikubur setelah perang tanding ini selesai.”

“Baik. Aku sudah bersiap sekarang. Aku tidak akan menganggap kau sebagai seorang hamba yang dungu. Tetapi agaknya kau memang seorang yang pantas untuk turun ke dalam arena perang tanding. Namun sayang, bahwa pada kesempatan ini kau bertemu dengan aku,” berkata kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.

Tetapi orang yang disebut Palot itu tertawa. Katanya, “Siapapun yang kau hadapi, bukan soal. Tetapi sekali lagi aku menawarkan kepada kalian untuk menyerah. Dengan demikian maka Akuwu Lemah Warah atas persetujuan orang-orang Kediri akan dapat membuat pertimbangan-pertimbangan lain tentang kalian.”

“Tutup mulutmu,” geram kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.

Palot masih akan menjawab lagi. Tetapi lawannya telah mulai bergeser. Orang yang disebut Palot itu tidak lagi dapat sekedar melayani lawannya. Ia sadar bahwa lawannya tentu mulai mempergunakan kemampuannya dan ilmunya untuk mengalahkannya.

Sebenarnyalah bahwa ketika kakak seperguruan pemimpin padepokan itu mulai menyerang, maka segala-galanya telah berbeda. Angin yang menyambarnya ketika ia mengelak terasa menampar tubuhnya. Demikian kerasnya, sehingga kulitnya merasa pedih.

Palot menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar sepenuhnya, jika anginnya cukup membuat kulitnya pedih, apalagi jika ia tersentuh langsung oleh serangan itu. Karena itu, maka Ki Permita yang disebut Palot itu pun telah meningkatkan daya tahannya. Pertempuran yang akan terjadi kemudian adalah pertempuran antara dua orang yang berilmu tinggi. Bukan hanya Ki Permita yang disebut Palot itu sajalah yang menyadari akan hal itu, tetapi lawannya pun menyadarinya pula.

Ketika lawannya meloncat menyerangnya lagi, maka Palot telah bergeser pula. Sekali lagi terasa angin menerpa kulitnya. Namun Palot tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran. Demikian serangan lawannya meluncur sejengkal dari kulitnya, maka Palot lah yang kemudian mengangkat kakinya. Tubuhnya-pun menjadi semakin condong sementara kakinya terayun lurus menyamping.

Lawannyalah yang kemudian meloncat menghindari serangannya. Namun ternyata bahwa jantungnya pun telah berdesir. Orang yang dikatakan hamba yang setia dan dungu itu ternyata seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Meskipun kakinya tidak mengenai sasaran, tetapi udara panas bagaikan berhembus menyertai ayunan kaki itu.

Dengan demikian maka ternyata bahwa hamba yang setia itu mampu mengimbangi kemampuan lawannya, yang mampu menampar tubuh lawannya dengan sambaran angin oleh dorongan serangannya, sementara hamba yang setia itu mampu menghembuskan udara panas.

Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu pun menjadi berdebar-debar. Bahkan pemimpin padepokan itu dan orang bertongkat dari perguruan Suriantal menjadi berdebar-debar. Mereka tidak saja menyaksikan pertempuran itu, tetapi mereka merasa betapa tajamnya angin menyambar kulit mereka dan sentuhan udara panas yang menyengat. Dengan demikian mereka dapat menduga, seberapa tingkat kemampuan kedua orang yang bertempur itu.

Serangan demi serangan datang dan bahkan kadang-kadang saling menyusul. Namun keduanya memiliki kemampuan yang luar biasa sehingga serangan-serangan itu sama sekali tidak mengenai sasaran. Meskipun demikian perasaan sakit pun telah menggigit kulit oleh sambaran angin dan udara panas.

Namun ketahanan tubuh mereka yang tinggi, ternyata telah mampu mengatasi perasaan sakit itu. Sementara itu mereka yang bertempur itupun telah semakin meningkatkan ilmu mereka sehingga pertempuran pun semakin lama menjadi semakin seru.

Tidak seorang pun yang dapat menduga, siapakah di antara mereka yang akan memenangkan pertempuran itu. Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu memang memiliki tataran ilmu yang lebih tinggi dan masak dari pemimpin padepokan itu sendiri, sehingga dengan demikian maka ia adalah orang yang jangat berbahaya bagi lawan-lawannya jika terlibat dalam pertempuran.

Namun ternyata bahwa lawannya, hamba yang setia dan dungu itu memiliki tingkat ilmu yang mampu mengimbanginya, sehingga dengan demikian pertempuran pun menjadi betapa sengitnya. Serangan dibalas dengan serangan. Namun keduanya memiliki kecepatan gerak untuk saling menghindari. Sehingga untuk beberapa lamanya, pertempuran itu berlangsung tanpa dapat diduga apa yang akan terjadi.

Namun, karena tata gerak mereka menjadi semakin cepat dan semakin kuat, maka mereka pun kemudian tidak selalu sempat menghindarkan diri dari serangan demi serangan. Namun mereka tidak ingin membiarkan tubuh mereka dikenai oleh serangan lawannya.

Karena itu, maka ketika lawan Palet itu meloncat menyerang dengan kecepatan yang tidak terduga, sementara Palot masih baru meletakkan kakinya setelah menghindari serangan sebelumnya, maka Palot itu tidak sempat lagi menghindar. Ia sadar, bahwa serangan kakak seperguruan pemimpin padepokan itu demikian dahsyatnya, jika benar-benar mengenai lambungnya, maka tulang-tulang iganya akan berpatahan.

Karena itu, maka yang dapat dilakukannya adalah melindungi lambungnya dari ujung serangan lawannya. Demikianlah ketika telapak kaki lawannya itu meluncur ke arah lambung, maka Palot telah merendahkan dirinya. Dengan sikunya ia melindungi lambungnya itu. Namun ia tidak sekedar bertahan. Dengan segenap kekuatan yang sempat terhimpun ia pun mendorong serangan lawannya pula

Demikianlah telah terjadi benturan yang dahsyat sekali. Sentuhan kaki kakak seperguruan pemimpin padepokan itu terasa bagaikan menyayat lengan Ki Permita yang dikenal bernama Palot itu. Sementara itu kekuatan yang sangat besar telah mendorongnya sehingga Palot itu terlempar beberapa langkah. Tubuhnya bagaikan terbanting. Beberapa kali ia berguling. Baru kemudian sambil menyeringai ia berusaha untuk bangkit.

Namun Palot terpaksa berdiri pada sebelah lututnya, sementara ia berusaha mengatur pernafasannya yang menjadi terengah-engah. Bahkan rasa-rasanya lehernya telah tersumbat oleh hentakan yang menyesak di dadanya. Perlahan-lahan Palot berhasil menembus sesak nafasnya, sehingga pernafasannya itu pun menjadi semakin teratur. Darahnya yang bergejolak oleh degup jantungnya yang melonjak-lonjak, dapat dikuasainya pula. Sementara Palot berusaha untuk meningkatkan daya tahannya dengan alas ilmunya yang mapan. Palot memang tidak tergesa-gesa. Ia sempat melakukannya karena ia melihat keadaan lawannya yang tidak lebih baik dari dirinya.

Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu ternyata telah terpental pula beberapa langkah. Kakinya yang mengenai siku Palot yang melindungi lambungnya, bagaikan menghantam besi yang membara. Betapa keras dan panasnya, sehingga ia justru terpental oleh kekuatannya sendiri beberapa langkah. Kecuali panas yang membakar kakinya, tulang-tulang kakinya terasa bagaikan berpatahan. Bahkan panas itu rasa-rasanya bagaikan merambat sampai ke seluruh tubuhnya.

Untuk beberapa saat lamanya kakak seperguruan pemimpin padepokan itu terbaring diam. Dengan segenap sisa kemampuannya, ia berusaha memperbaiki keadaannya. Ditingkatkannya daya tahan tubuhnya, sehingga perasaan sakitnya mulai berkurang. Perlahan-lahan orang itu pun mulai bangkit. Ia menduga, bahwa lawannya, hamba yang dungu yang bernama Palot itu telah berhasil dibinasakan meskipun keadaannya sendiri terasa sakit hampir di seluruh tubuhnya.

Namun ketika ia berhasil bangkit dan duduk sambil menahan sakit, alangkah terkejutnya ketika ia melihat orang yang disebut Palot itu sudah bangkit dan bahkan sedang mencoba untuk berdiri tegak. “Setan,” geram kakak seperguruan pemimpin padepokan itu. “Jadi kau belum mati?”

Palot justru mencoba tersenyum. Ketika ia sudah mampu berdiri tegak, maka iapun telah bertolak pinggang sambil berkata, “Marilah. Bangkitlah. Aku sudah menunggu.”

Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu menggeretakkan giginya. Ia pun kemudian berusaha untuk berdiri tegak meskipun tulang-tulangnya bagaikan gemeretak.

“Bagaimana Ki Sanak,” suara Palot masih tetap terdengar lantang.

“Persetan,” geram lawannya, “seharusnya kau sudah mati.”

“Tetapi aku belum mati,” berkata Palot, “karena bukan akulah yang akan mati.”

“Persetan. Persetan,” lawannya itu berteriak, “kau harus mati. Kau kira bahwa aku benar-benar sudah sampai pada puncak kemampuanku.”

“Tidak,” jawab Palot, “aku tahu bahwa kau belum sampai ke puncak ilmumu. Seharusnya kau sadar, bahwa kau terlalu merendahkan aku. Kau menganggap bahwa seorang hamba yang setia itu tentu dungu dan tidak berilmu sama sekali. Ternyata bahwa dungaanmu itu salah Ki Sanak. Meskipun aku hamba yang setia, tetapi aku bukan orang yang dungu dan sama sekali tidak berilmu.”

“Kau terlalu sombong. Sampai saat ini aku masih belum menunjukkan kemampuanku yang sebenarnya. Tetapi dalam keadaan seperti ini, maka kau akan mengalami nasib yang paling buruk. Sebenarnya aku ingin membunuhmu dalam keadaan wajar. Tetapi ternyata aku terpaksa menghancurkan tubuhmu berkeping-keping. Aku tidak mempunyai pilihan lain,” geram orang itu.

Palot memandang orang itu dengan tajamnya. Namun ia-pun sadar, bahwa orang itu tidak hanya sekedar membual. Orang itu tentu memiliki kemampuan melampaui pemimpin padepokan itu. Dengan demikian maka banyak kemungkinan dapat terjadi. Salah satu ilmu yang pantas diperhitungkan adalah ilmu penglimunannya. Dengan ilmu itu, maka Palot tentu akan mengalami kesulitan untuk melawannya.

Menurut perhitungan Ki Permita, sebagaimana pemimpin padepokan itu, maka kakak seperguruannya pun tentu memiliki ilmu yang sama. Jika Pemimpin padepokan itu, yang pernah tinggal bersama Palot masih belum mampu menyempurnakan ilmunya, maka kakak seperguruannya agaknya akan berbeda.

Karena itu, maka Palot pun telah mengetrapkan kemampuan tertinggi dari daya tahannya. Ia akan mendapat serangan yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Bukan sekedar kekuatan wadag sewajarnya. Tetapi kekuatan ilmu yang dahsyat.

Untuk beberapa saat kedua orang itu masih saling berdiam diri. Mereka tengah memusatkan segenap nalar budi untuk memulihkan kekuatan dan kemampuan masing-masing. Kemudian meningkatkannya sampai kepuncak.

Sejenak kemudian, maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu pun mulai bergerak. Namun iapun kemudian memandang berkeliling. Kepada orang-orang yang ada disekitarnya dan menyaksikan perang tanding itu, ia berkata, “Minggirlah. Jika kalian ikut terkena seranganku bukan salahku.”

Orang-orang yang menyaksikan perang tanding itu pun dengan serta merta telah menebar. Mereka tidak hanya mundur ampat lima langkah. Tetapi mereka telah bergeser sejauh-jauhnya dari arena. Namun mereka masih tetap ingin melihat apa yang akan terjadi. Karena itu, ada di antara mereka yang berdiri di belakang sebatang pohon yang setiap saat akan dapat dijadikannya tempat untuk berlindung.

Karena itu, maka halaman padepokan itu pun kemudian menjadi semakin lapang. Dengan demikian maka arena pertempuran itupun tidak lagi terganggu oleh orang-orang yang menyaksikan. Kedua orang yang berperang tanding itu mendapat kesempatan dengan leluasa untuk mengerahkan segenap ilmunya.

Sejenak kemudian kedua orang itu agaknya telah bersiap sepenuhnya. Ketika kakak seperguruan dari padepokan itu bergeser, maka Palot pun telah bergeser pula. Dalam pada itu, maka tiba-tiba saja kakak seperguruan pemimpin padepokan itu telah menghentakkan tangannya ke arah Palot yang telah bersiaga sepenuhnya pula.

Secercah sinar tiba-tiba telah menyambarnya. Sinar yang meloncat dari telapak tangan orang itu. Palot melihat sinar yang menyambar itu. Karena itu, maka dengan serta merta, maka ia pun telah meloncat menghindar, sehingga sinar itu meluncur sejengkal dari tubuhnya.

Namun akibatnya memang mendebarkan. Sinar yang memancar itu yang tidak mengenai sasarannya ternyata telah menyambar gerumbul-gerumbul perdu. Sinar yang memancar itu seakan-akan merupakan senjata yang luar biasa. Dedaunan dan ranting-ranting yang disambar menurut garis lurus telah dihancurkannya, melampaui meluncurnya sebatang tombak yang dilontarkan dengan kekuatan yang sangat besar.

Jantung orang-orang yang menyaksikan dari jarak yang agak jauh itu pun menjadi berdebar-debar. Jika serangan itu mengenai sasarannya, maka tubuh yang ditembus oleh kekuatan ilmu itu tentu akan hancur dan tulangnya pun akan berpatahan.

Palot sendiri memang menjadi berdebar-debar. Meskipun ia tidak dikenai oleh serangan itu, namun sambaran anginnya telah menyakitinya sebagaimana serangan wadagnya. Namun Palot tidak sempat memperhatikan akibat serangan itu untuk selanjutnya, karena tiba-tiba saja lawannya telah melakukan gerakan yang sama pula.

Palot harus meloncat pula menghindar. Namun serangan berikutnya ternyata telah menyusulnya, sehingga Palot yang dalam kesulitan tidak dapat berbuat lain kecuali menjatuhkan dirinya sambil berguling. Serangan lawannya itu meluncur di atas tubuhnya yang berguling, hampir saja menyambar pundaknya.

Namun Palot tidak membiarkan lawannya menyerangnya terus menerus. Sambil berguling, maka iapun telah mengacukan tangannya pula. Hanya sebelah. Tetapi ternyata dari tangannya bagaikan meluncur segumpal api yang menyambar ke arah lawannya.

Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa Palot mampu menyerangnya dalam keadaan yang sulit itu. Karena itu, maka ia tidak dapat menyusul serangannya dengan serangan berikutnya, karena ia harus menghindari sambaran gumpalan api yang meluncur dengan cepatnya. “Gila,” geram lawannya.

Sebenarnyalah gumpalan api yang dilontarkannya sambil berguling itu bagaikan terbang karena tidak mengenai sasarannya. Namun gumpalan api itu telah menyambar sebatang pohon gayam. Akibatnya memang membuat kulit meremang. Daun pohon gayam yang tersambar gumpalan api itu bagaikan didera oleh api yang panasnya melampaui bara besi baja. Terbakar dan menjadi abu.

Sekali lagi lawannya mengumpat. Ternyata Palot benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa, yang tidak disangka sebelumnya. Meskipun lawannya itu menyadari bahwa Palot memiliki ilmu yang tinggi, tetapi ternyata kenyataan yang dihadapinya jauh lebih berbahaya dari yang diperkirakannya sebelumnya.

Demikianlah maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Keduanya tidak berusaha untuk saling mendekat dan mengenai lawanya dengan wadagnya. Keduanya telah saling menyerang dari jarak tertentu dengan mempergunakan ilmu mereka masing-masing yang berimbang. Masing-masing mempunyai kelebihannya, sehingga tidak seorangpun yang dapat memperhitungkan, siapakah yang akan menang dan siapa yang akan kalah.

Pemimpin padepokan itu serta pemimpin perguruan Suriantal yang ada dipadepokan itu pula, hanya dapat menahan nafas mereka, ketika mereka melihat pertempuran dari dua raksasa ilmu yang nggegirisi. Apalagi para pengikut mereka, rasa-rasanya mereka melihat pertempuran itu bagaikan mimpi. Rasanya-rasanya apa yang terjadi itu di luar jangkauan nalar mereka.

Para pengikut kakak seperguruan pemimpin padepokan itu yang yakin akan kemampuan pimpinan mereka, ternyata merasa heran dan kagum melihat pemimpin mereka sampai ke puncak ilmunya. Mereka belum pernah menyaksikan pertempuran dalam benturan ilmu sedahsyat itu. Kekuatan yang terlontar dari diri masing-masing oleh dorongan ilmu yang sangat tinggi, membuat udara di padepokan itu penuh dengan sambaran-sambaran maut.

Karena itulah maka orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu semakin lama menjadi semakin memencar. Bahkan sebagian besar dari mereka pun kemudian mencari tempat untuk dapat berlindung pada saat-saat yang gawat, karena serangan yang tidak mengenai sasaran.

Sementara itu, sambaran-sambaran ilmu dari kedua orang yang sedang bertempur itu telah mematahkan dan membakar ranting dan cabang-cabang pepohonan. Suara retaknya cabang-cabang yang dibarengi dengan gumpalan-gumpalan api yang membakar reruntuhan gerumbul dedaunan merupakan peristiwa yang sangat mendebarkan jantung.

Dalam pada itu, pemimpin padepokan itu menjadi semakin berdebar-debar melihat api yang menyambar-nyambar. Sedangkan kakak seperguruannya tidak segera mampu menguasai hamba yang setia dari seorang yang disebutnya Panembahan.

Tetapi pemimpin padepokan itu masih mempunyai harapan. Ia tahu bahwa saudara seperguruannya itu juga memiliki ilmu Panglimunan yang cukup mapan, sehingga jika ilmu itu diuapkan, maka ia tentu akan dapat membuat lawannya menjadi bingung.

Namun kakak seperguruannya masih belum mempergunakannya. Ia masih berusaha menghancurkan lawannya dengan kemampuannya yang lain. Serangan yang meluncur bagaikan lembing yang dilontarkan dengan kekuatan yang tiada taranya.

Meskipun serangan itu tidak tertangkap oleh mata wadag. Namun akibatnyalah yang dapat dilihat. Ranting dan cabang pepohonan yang terkena serangan itu telah berderak patah dan jatuh ke tanah. Semakin lama pertempuran itu menjadi semakin dahsyat dan semakin sulit untuk diikuti.

Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu dan Ki Permita yang disebut Palot itupun telah mengerahkan segenap kemampuan pada jenis ilmunya itu. Namun ternyata keduanya masih belum mampu mengalahkan lawannya. Karena itulah maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu telah mempertimbangkan untuk mempergunakan ilmunya yang terakhir. Puncak kemampuannya yang jarang dipergunakannya, kecuali pada saat dan keadaan yang tidak teratasi.

Sementara itu, ia masih belum menemukan cara yang dapat dipergunakan untuk mengalahkan lawannya. Sehingga karena itu, maka ilmu pamungkasnya itulah satu-satunya kemungkinan yang paling baik dipergunakannya.

Palot yang mampu mengimbangi ilmu lawannya itu melihat perubahan sikap pada lawannya itu. Karena itu. maka ia pun harus menyiapkan diri menghadapi segala kemungkinan, karena ia memang menduga bahwa lawannya itu menguasai ilmu panglimunan yang dapat dipergunakan setiap saat.

Karena itu, maka Ki Permita pun harus menyiapkan ilmunya yang mungkin akan dapat dipergunakannya untuk melawan ilmu itu, karena ia sendiri tidak menguasai Aji Panglimunan. Namun Ki Permita pernah mendengar serba sedikit tentang ciri-ciri dari Aji Panglimunan itu. Karena itu, maka ia harus melawan kemampuan ilmu itu dengan ilmu yang dikuasainya.

Sebenarnyalah maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu sudah bersiap memasuki dunia panglimunan. Karena itu, maka ia berusaha untuk menghentakkan lawannya untuk mendapat kesempatan mengetrapkan ilmunya. Palot yang tanggap akan rencana lawannya, telah mengatur diri pula. Ketika lawannya menyerangnya dengan kemampuan tertinggi dari ilmu yang dipergunakannya itu, Palot telah melenting menghindarinya dengan loncatan yang jauh.

Demikianlah, maka tiba-tiba saja lawannya telah bergeser surut. Dalam kesiagaan tertinggi untuk menghadapi serangan Palot dengan gumpalan apinya, maka bayangan orang itu semakin lama menjadi semakin kabur, sehingga akhirnya kakak seperguruan pemimpin padepokan itu telah hilang dan tangkapan mata wadag.

Namun adalah di luar dugaan, bahwa pada saat itu tiba-tiba saja kabut yang tebal bagaikan turun menyelimuti halaman padepokan itu. Demikian cepat sehingga tiba-tiba saja halaman itu telah menjadi gelap.

Demikianlah, maka dua orang yang sedang bertempur itu memang telah hilang. Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu telah mempergunakan ilmu pamungkasnya, sementara Ki Permita yang dikenal dengan nama Palot itu telah menyelubungi dirinya dengan kabut tidak hanya di sekitar tubuhnya saja, tetapi hampir di seluruh halaman padepokan.

“Gila,” tiba-tiba terdengar umpatan kasar, “kenapa kau bersembunyi di balik kabutmu. Aku mempunyai Aji Panglimunan yang sah dapat aku pergunakan dalam perang tanding,” jawab kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.

“Kau kira ilmuku tidak sah dipergunakan?” bertanya Palot.

Sejenak kemudian sekali lagi terdengar umpatan kasar. Namun meskipun lawan Palot itu berada di dunia panglimunan, namun ia tidak segera dapat menemukan Palot yang terselubung kabut tebal.

Demikianlah terjadi pertempuran antara dua orang lawan yang tidak saling melihat. Kakak seperguruan dari pemimpin padepokan itu telah mempergunakan Aji Panglimunan yang sudah dalam tataran yang cukup tinggi, sehingga ia benar-benar berhasil untuk tidak dapat dilihat oleh mata wadag orang lain betapapun tajamnya. Namun ternyata bahwa lawannya yang dikenalnya bernama Palot telah berhasil menyelubungi dirinya dengan kabut yang tebal, sehingga dalam dunia panglimunan kakak seperguruan pemimpin padepokan itu tidak juga berhasil melihat, di mana Palot itu berada.

Namun dengan sekedar menduga-duga, maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu telah meluncurkan serangannya, menembus pusat dari Kabut yang gelap itu. Namun serangan itu meluncur tanpa mengenai sasarannya. Karena ternyata Palot tidak berada di pusat kabut yang meliputi seluruh padepokan itu. Namun orang yang tidak nampak itu berkali-kali melontarkan serangan ke beberapa arah. Ia berharap bahwa pada satu saat, serangannya itu akan mengenai sasarannya.

Tetapi ternyata bahwa serangannya tidak pernah menyentuh orang yang disebut Palot itu. Karena itu, maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu telah bertekad untuk menemukan lawannya. Dengan tanpa ujud menurut penglihatan wadag, maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu telah memasuki daerah kabut yang gelap. Tetapi orang itu merasa seolah-olah ia telah berada di dalam sebuah goa yang gelap yang tidak dapat ditembus oleh ketajaman pandangan matanya.

Namun tiba-tiba saja orang itu terkejut ketika ia mendengar suara bergulung-gulung, “Nah, marilah. Kenapa kau berhenti menyerang? Jika kau dapat menembus setiap titik pada kabutku, maka kau baru akan dapat mengenai aku.”

Orang yang menyusup di antara kabut dengan tidak menampakkan ujudnya itu menggeram. Dengan nada berat ia berkata, “Setan licik. Kemanapun kau bersembunyi. Aku akan menemukannya.”

Namun belum lagi getar kata-katanya hilang dari udara berkabut itu, tiba-tiba terdengar sebuah gumpalan api bagaikan bergaung tidak lebih sejengkal dari tubuhnya. Saudara tua seperguruan pemimpin padepokan itu terkejut bukan kepalang. Meskipun dalam dunia panglimunan, namun serangan ilmu orang yang dikenalnya bernama Palot itu akan dapat menghancurkannya apabila tepat mengenai tubuhnya. Sebab tubuhnya masih tetap sebagaimana wadagnya sewajarnya. Hanya karena pengaruh Aji Panglimunan wadagnya itu tidak nampak oleh penglihatan wajar orang lain.

Karena itu maka saudara seperguruan pemimpin padepokan itu harus lebih berhati-hati menghadapi lawan yang seorang ini. Jika lawan-lawannya yang berilmu tinggi, namun pernah dihancurkannya dengan ilmu panglimunannya, ternyata ia tidak segera dapat melakukannya atas Palot. Pada saat ia hilang dari pandangan Palot, maka Palot itu pun hilang pula dari pandangan matanya.

Sejenak kemudian, maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu telah mengulangi serangan-serangannya ke segala arah. Tanpa tahu pasti di mana sasaran yang ditujunya, ia asal saja melepaskan serangan. Namun Palot pun ternyata telah berbuat serupa. Gumpalan apinya pun berterbangan mencari sasaran yang tidak dilihatnya.

Beberapa saat terjadi lontaran-lontaran ilmu tanpa arah. Keduanya berusaha memperhatikan sumber dari serangan lawannya. Tetapi hal itu telah diperhitungkan pula, sehingga setiap pihak yang melepaskan serangannya, segera meloncat dari tempatnya karena serangan lawannya dengan cepat akan menyambar tempat itu.

Orang-orang yang berada di sekeliling halaman padepokan itu menjadi bingung. Mereka tidak melihat apapun juga. Mereka yang pernah berada di padepokan Suriantal segera mengenali ilmu yang dilontarkan oleh Palot. Ilmu yang pernah dilepaskan pula oleh orang yang disebutnya Panembahan. Bahkan dengan ilmu itu Panembahan pernah menyelamatkan padepokan Suriantal dari kehancuran karena serangan para prajurit Lemah Warah.

Namun pada serangan yang kedua, pasukan Lemah Warah yang diperkuat oleh orang-orang Kediri mampu melawan Panembahan yang berilmu sangat tinggi itu bahkan menghancurkannya. Pemimpin padepokan itu dan pemimpin perguruan Suriantal hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Meskipun mereka orang yang termasuk berilmu tinggi, namun ternyata bahwa mereka merasa ketinggalan menyaksikan pertempuran yang dahsyat itu. Namun yang kemudian ternyata tidak dapat dilihatnya sama sekali.

Namun yang mengerikan adalah setiap kali mereka melihat pepohonan di halaman padepokan itu berguncang. Ranting dan dahan berpatahan, sementara daunpun terbakar dan berguguran, seolah-olah di halaman padepokan itu akan terjadi bencana yang maha dahsyat yang akan menghancurkan seluruh padepokan itu.

“Ternyata Palot memiliki kemampuan sebagaimana Panembahan,” berkata pemimpin perguruan Suriantal.

“Kita salah menilai orang itu,” berkata pemimpin padepokan itu. “kita menganggapnya tidak lebih dari seorang hamba yang setia tetapi dungu. Hamba yang dengan sombong menyampaikan perintah tuannya karena merasa tuannya itu berkuasa. Namun ternyata bahwa hamba yang setia itu sendiri memiliki kemampuan yang sama, atau setidak-tidaknya hampir sana dengan orang yang disebutnya Panembahan itu.”

Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Kabut yang memencar itu benar-benar telah meliputi seluruh halaman padepokan. Karena itu, maka mereka yang menyaksikan kedahsyatan pertempuran itu harus menebar lebih luas, dan bahkan sebagian di antara mereka telah naik ke atas dinding halaman.

Sementara itu pertempuran yang dahsyat itu masih berlangsung meskipun tidak dapat diikuti dengan mata wadag. Tetapi kesan dan akibatnya sajalah yang nampak oleh mereka menggetarkan seluruh halaman. Semakin lama kedua belah pihak menjadi semakin gelisah. Mereka tidak segera dapat menyelesaikan pertempuran itu. Serangan-serangan mereka yang tidak terarah dengan baik tidak segera dapat mengenai sasaran, sehingga dengan demikian mereka telah banyak menghamburkan tenaga.

Dengan demikian maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu mulai mengurangi serangan-serangannya. Ia ingin memasuki lagi daerah berkabut itu dan mencarinya. Bukan ilmunya yang dilontarkannya ke segala arah. Tetapi ia sendiri akan mencarinya meskipun ada kemungkinan terkena serangan Palot juga dilontarkan tanpa arah dan sasaran, selain sekedar menduga-duga.

Untuk beberapa saat kakak seperguruan pemimpin padepokan itu berusaha. Namun ia tidak segera menemukannya meskipun ia sudah menjelajahi hampir seluruh bagian berkabut itu. Terutama di halaman karena dari halaman itulah serangan-serangan Palot dilontarkan. Tetapi semuanya gelap semata-mata.

Sementara itu Palot pun telah tidak telaten lagi. Ia ingin cepat menyelesaikan pertempuran itu. Karena itu maka ia telah berusaha memancing lawannya untuk melepaskan serangan agar ia dapat menduga di mana lawannya itu berada. Sejenak kemudian, serangan Palot itu terlontar lagi ke beberapa arah. Sebenarnyalah lawannya telah dengan serta merta membalasnya ke arah sumber serangan itu. Palot tidak menyerang dengan gumpalan-gumpalan apinya lagi. Tetapi ia ingin menyelesaikan pertempuran itu segera.

Karena itu ketika ia yakin bahwa lawannya yang tidak dapat dilihatnya itu masih tetap berada di tengah halaman, maka ia pun telah mengambil langkah yang menentukan, ia tidak melepaskan gumpalan apinya, namun tiba-tiba halaman itu telah diguncang oleh prahara yang dahsyat. Angin pusaran yang keras dan mengandung tenaga yang dahsyat sekali telah berputaran hampir di seluruh halaman. Demikian cepatnya, sehingga tidak mungkin bagi seseorang yang berada di halaman itu melepaskan diri, kecuali yang berada di tepi melekat dinding.

Beberapa orang yang duduk di atas dinding halaman telah terlempar keluar, sementara itu, satu dua orang yang masih berada di halaman telah berusaha melekat dinding halaman. Satu dua di antara mereka sempat meloncat. Namun di luar keinginan Palot, ternyata ada juga yang terlempar ke udara dan terbanting jatuh tanpa ampun lagi. Apalagi mereka yang berada di bagian tengah halaman. Pepohonan telah tercabut dan dengan suara yang berderak bagaikan dilontarkan dan terbang di udara.

Bahkan barak-barak yang terdekat dengan halaman padepokan itupun telah terputar dan runtuh berserakan. Sesuatu yang sangat dahsyat telah terjadi. Apalagi di pusat angin prahara itu. Tidak akan ada orang yang akan mampu bertahan betapapun tinggi ilmunya.

Demikian pula dengan kakak seperguruan pemimpin padepokan itu. Ia sama sekali tidak mengira bahwa ia akan mendapat serangan yang sangat dahsyat itu. Karena itu maka ia tidak bersedia untuk melawannya. Ketika ia mulai terputar dengan kerasnya dan terlempar ke udara maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu baru menyadari bahwa ia sudah terputar oleh ilmu Palot yang sangat dahsyat. Ilmu pamungkas yang jarang ada duanya di seluruh Kediri bahkan Singasari.

Dalam keadaan yang sulit itu, maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk melawannya. Tubuhnya yang tidak nampak oleh mata wadag itu bagaikan tidak berdaya sama sekali. Seperti sebatang kayu yang terperosok ke dalam pusaran air yang sangat dahsyat di ujung banjir.

Untuk beberapa saat tubuh itu berputaran di udara. Kemudian bagaikan hanyut melambung tinggi. Namun tiba-tiba tubuh itu telah meluncur dan terbanting jatuh di atas tanah yang keras di halaman. Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu memang sempat meningkatkan daya tahannya. Namun ketika ia terbanting dari ketinggian maka tubuhnya bagaikan remuk. Tulang-tulangnya seakan-akan berpatahan dan isi dadanya bagaikan rontok dari tangkainya.

Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu mengeluh. Namun ia tidak kuasa lagi mengetrapkan ilmunya, sehingga tubuhnya pun perlahan-lahan mulai nampak oleh mata wadag. Sementara itu kabut pun mulai menipis dan hilang dihembus sisa-sisa angin yang masih berputar perlahan-lahan.

Semua mata yang sempat menyaksikan terbelalak melihat keadaan halaman padepokan yang berserakan. Pepohonan tumbang, dan barak-barakpun bertebaran. Sementara itu ada tiga sosok tubuh yang terbaring diam. Sementara lebih dari sepuluh orang yang berdiri terlambat melekat dinding telah terlempar dan hampir pingsan. Bahkan di luar dinding halaman-pun beberapa orang telah kesakitan karena terlempar dari atas dinding.

Kakak seperguruan pemimpin padepokan itupun terbaring diam. Namun nafasnya masih nampak menggerakkan dadanya. Perlahan-lahan Palot melangkah mendekatinya. Bahkan kemudian berjongkok di sisinya.

“Ternyata kau luar biasa,” berkata orang yang sudah kehilangan hampir segenap tenaganya itu.

“Aku terpaksa melakukannya,” sahut Palot.

“Aku mengaku kalah,” desis lawannya sambil tersenyum, “kau adalah orang terbesar sampai saat ini. Karena itu, kau harus bertindak sebagaimana dilakukan oleh Panembahan, melawan orang-orang Kediri.”

Tetapi Palot menjawab, “ternyata bahwa orang-orang Kediri apalagi orang Singasari lebih besar dari Panembahan. Apalagi aku. Aku tidak akan mampu berbuat apa-apa.”

Tiba-tiba saja senyumnya lenyap dari bibirnya. Dengan nada dalam ia berkata, “Kau tidak boleh menjadi pengkhianat. Kau mampu melawan orang-orang Kediri.”

Palot termangu-mangu sejenak. Namun menghadapi orang yang sedang dalam kesulitan itu, Palot tidak sampai hati untuk menolak kata-katanya. Karena itu maka iapun berkata, “Baiklah Ki Sanak. Barangkali aku memang memiliki sekedar ilmu untuk meneruskan perlawanan Panembahan terhadap orang-orang Kediri.”

“Bagus,” orang itu seakan-akan ingin bangkit. Namun iapun kemudian terbaring lagi. Bahkan orang itupun lelah terdiam untuk selama-lamanya.

Palot menarik nafas dalam-dalam. Ia menunduk sejenak. Bagaimanapun juga orang itu pantas dihormati. Ilmunya bertimbun di dalam dirinya sehingga orang itu merupakan orang yang sangat disegani. Perlahan-lahan Palot itupun bangkit berdiri. Diamatinya orang-orang yang berada di sekeliling halaman depan padepokan itu melekat dinding. Bahkan beberapa orang yang telah berada di atas dinding halaman itu pula.

Dengan sikap seorang yang telah memenangkan perang Palot memandang berkeliling. Memandang wajah-wajah yang gelisah dan cemas. Sementara itu pemimpin padepokan itu dan orang bertongkat, pemimpin perguruan Suriantal berdiri termangu-mangu memandang Palot yang tegak di tengah-tengah halaman, di sebelah tubuh kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.

Palot mengangkat wajahnya dan menengadahkan dadanya. Ia benar-benar seorang pahlawan yang telah berhasil mengalahkan lawannya di arena perang tanding. Kemudian katanya kepada semua orang yang memandanginya itu,

“Marilah. Siapa lagi yang akan menantang aku untuk berperang tanding? Atau jika tidak, siapakah yang masih akan menangkap aku? Marilah, majulah beramai-ramai. Aku akan menggilas kalian dengan angin praharaku. Bukan salahku jika di halaman ini akan berserakkan mayat kalian yang dihancurkan oleh angin pusaran.”

Tidak seorangpun yang bergerak. Mata mereka yang memandang Palot itu memancarkan ketegangan yang sangat. Ketika Palot memandang kedua orang pemimpin tertinggi dari padepokan itu, ia pun telah berkata, “Marilah. Apakah kalian akan menuntut balas kematian saudaramu?”

Jantung pemimpin padepokan itu berdebaran. Tetapi peristiwa yang baru saja terjadi itu benar-benar telah mengguncangkan dadanya. Bagaimanapun juga ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa saudara tua seperguruannya telah dikalahkan oleh hamba yang dianggapnya setia dan dungu itu. Bukan sekedar dikalahkan, tetapi sudah disaksikannya satu pertempuran yang sangat dahsyat. Kakak seperguruannya yang berilmu sangat tinggi, bahkan memiliki Aji Panglimunan ternyata telah dihancurkan dan terbunuh oleh orang yang disangkanya tidak lebih dari hamba yang setia itu.

Karena itu, untuk menanggapi tantangan itu ia harus berpikir dua tiga kali lagi. Karena tidak ada yang menjawab, maka Palot pun berkata,

“Ki Sanak. Para pemimpin padepokan ini serta pemimpin perguruan lain yang ada di sini. Sekali lagi aku memberikan tawaran Akuwu Lemah Warah serta para pemimpin Kediri itu. Menyerahlah. Kalian akan aku bawa menghadap. Aku akan membawa kalian ke padepokan yang telah kalian tinggalkan itu. Namun jika Akuwu telah kembali ke Lemah Warah, maka kita pun akan menyusul ke Lemah Warah, atau bahkan ke Kediri.”

Pemimpin padepokan itu termangu-mangu. Demikian pula orang bertongkat dari perguruan Suriantal itu.

“Cepat, ambil keputusan atau aku akan menggulung seluruh padepokan ini dengan prahara. Semua orang akan mati dan padepokan ini akan aku terbangkan ke udara. Tidak satu pun isi padepokan yang masih akan diambil gunanya. Dan tidak pula seorang pun yang akan luput dari kematian.”

Ancaman itu benar-benar mendebarkan jantung. Sejenak kedua orang pemimpin itu saling berpandangan. Namun sorot mata mereka memancarkan keputus-asaan.

“Tidak ada harapan lagi,” berkata orang bertongkat itu. Pemimpin padepokan itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya padepokannya itu dengan pandangan iba.

“Aku tidak pernah membayangkan bahwa ada orang yang memiliki kemampuan seperti itu. Terhadap kakak seperguruanku itu aku sudah mengaguminya. Apalagi orang yang semula bagiku tidak lebih dari hamba yang setia itu. Ternyata ia memiliki ilmu sebagaimana dimiliki oleh Panembahan itu,” berkata pemimpin padepokan itu.

Orang bertongkat itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Tidak ada ilmu yang dapat melawan arus praharanya. Namun bagaimana mungkin Panembahan itu dapat dikalahkan oleh orang-orang Kediri? Jika demikian seberapa tinggi tingkat ilmu orang Kediri itu?”

“Kita tidak mempunyai pilihan lain,” berkata pemimpin padepokan itu. “jika kita berkeras hati, maka semua orang yang ada sekarang akan mati oleh pusaran praharanya itu.”

Pemimpin perguruan Suriantal itu mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Kita tidak dapat membiarkan sekian banyak orang itu terbunuh. Karena itu, maka kita memang tidak mempunyai pilihan lain. Sementara itu, orang yang paling bersalah dalam hubungan kita dengan Kediri adalah Panembahan itu. Ialah yang mengingini Mahkota Kediri sebagai benda yang sangat berharga dan bertuah bagi usahanya merebut kekuasaan di Kediri.”

Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Suaranya merendah, “Memang tidak ada pilihan lain. Orang ini lebih dahsyat dari Akuwu Lemah Warah atau kedua orang anak muda yang disebutnya sebagai kemanakannya itu.”

Pemimpin perguruan Suriantal itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian bergeser mendekati hamba yang setia itu, diikuti oleh pemimpin padepokan itu. “Aku menyerah,” berkata pemimpin perguruan Suriantal itu...

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 39

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 39
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA MURTI dan Mahisa Pukat memang merasakan perubahan itu. Tetapi mereka belum pernah mencoba, apakah memang benar kemampuan mereka telah meningkat karena ilmu yang telah mereka sadap itu. Ilmu yang ternyata tidak berdiri sendiri, tetapi menopang kekuatan dan kemampuan ilmu yang sudah ada di dalam diri kedua anak muda itu.

Namun di hari berikutnya, maka Pangeran Singa Narpada dan Mahendra telah berniat untuk melihat perkembangan kemampuan kedua anak muda itu. Karena itu, maka mereka bersama Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Ura, telah meninggalkan padepokan menuju ke tempat yang terpencil untuk mencoba kemampuan ilmu kedua anak muda itu.

“Hati-hatilah,“ pesan Akuwu Lemah Warah kepada Senapati prajurit khususnya, “jika dalam keadaan yang penting sekali, lepaskan panah sendaren. Mudah-mudahan kami mendengarnya.”

“Ke arah mana?“ bertanya Senapati itu.

“Ke segala arah. Aku belum tahu, kami akan ke mana?“ jawab Akuwu Lemah Warah.

Demikianlah maka sekelompok kecil telah keluar dari padepokan itu justru menuju ke tempat yang tidak pernah dirambah kaki manusia. Mereka menuju ke sebuah gumuk berbatu padas untuk menguji kemampuan ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Beberapa saat kemudian, kedua anak muda itu telah berada di antara batu-batu padas. Pangeran Singa Narpada, Mahendra dan Akuwu Lemah Warah adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Mereka akan menjadi saksi, apakah benar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meningkat karena ilmu yang mereka sadap dari Pangeran Gagak Branang.

“Anak-anak muda” berkata Pangeran Singa Narpada, “kalian telah memiliki berbagai macam ilmu. Kalian sendiri tentu merasa seberapa jauh ilmu yang pernah kalian miliki itu mampu menghancurkan sasaran. Sementara itu, kini kalian telah menyadap ilmu dari Pangeran Gagak Branang. Jika ilmu itu memang berpengaruh, maka kemampuan kalian menghancurkan sasaran tentu menjadi lebih besar.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Namun mereka berduapun telah mengangguk.

“Nah” berkata Pangeran Singa Narpada, “menurut pengetahauanku, kalian memiliki kemampuan untuk melepaskan serangan dan pukulan pada jarak jauh. Itu sajalah yang hendaknya kalian coba dengan landasan ilmu yang kau sadap dari pamanda Pangeran Gagak Branang.”

Kedua anak muda itu masih termangu-mangu. Namun Mahendra lah yang kemudian berkata, “Sekarang, tentukan sasaran. Pusatkan nalar budi dan lepaskan pukulan itu dari jarak jauh.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Kata-kata Mahendra telah sedikit membuka hati mereka, apa yang harus mereka lakukan. Sejenak kemudian kedua anak muda itu memilih sasaran. Namun, karena keduanya belum tahu pasti atas tingkat kemampuan mereka sendiri, maka ukuran sasaran yang mereka pilih masih saja sebagaimana pada saat ilmu mereka masih belum meningkat. Keduanya telah menentukan segumpal batu padas yang akan mereka hancurkan dengan serangan yang akan mereka lontarkan dari jarak beberapa langkah.

“Baiklah” berkata Mahendra, “kita akan melihat, apa yang akan terjadi atas sasaran itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera mempersiapkan diri. Dipandanginya sasaran itu dengan saksama. Kemudian mereka telah memusatkan segenap kemampuan yang ada di dalam diri mereka. Namun, keduanya memang merasakan kelainan di dalam diri mereka. Rasa-rasanya getaran di dalam diri mereka menjadi lebih berat dan mantap. Namun merekapun merasa bahwa daya lontar yang ada di dalam diri mereka pun menjadi lebih besar.

Sejenak, keduanya berdiri tegak menghadap ke arah sasaran yang telah mereka pilih. Perlahan-lahan keduanya mengangkat tangan mereka dengan telapak tangan terbuka mengarah kepada sasaran itu. Pada saat yang hampir bersamaan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melepaskan serangan mereka. Kekuatan yang sangat besar yang terlontar dari diri mereka, seakan-akan meloncat lewat telapak tangan mereka yang terbuka.

Orang-orang yang menunggui keduanya seolah-olah melihat cahaya yang memancar dengan kecepatan yang sangat tinggi, sebagaimana kecepatan lidah api di udara. Cahaya itu meluncur dan menyambar sasaran yang telah ditentukan. Akibatnya memang dahsyat sekali. Sasaran itu bagaikan telah meledak. Debu yang putih kemerah-merahan telah berhamburan seperti debu yang dihamburkan oleh angin.

Orang-orang yang menyaksikan kekuatan serangan kedua anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Bahkan Akuwu Lemah Warah pun menekan dadanya dengan telapak tangannya. Kekuatan itu sedemikian besarnya sehingga batu padas yang telah mereka pilih menjadi sasaran serangan mereka tidak pecah menjadi kerikil-kerikil padas yang memancar ke segala arah. Namun benar-benar telah menjadi debu yang lembut, mengepul seperti debu yang dihembus oleh angin yang kencang.

“Luar biasa” gumam Pangeran Singa Narpada, “sebenarnyalah apa yang dikatakan oleh pamanda Pangeran Gagak Branang. Kalian telah memiliki kemampuan ilmu yang luar biasa. Ilmu yang kalian sadap dan yang tidak mungkin berdiri sendiri itu ternyata telah membuat kemampuan menjadi nggegirisi. Bukan hanya ilmu yang mampu melontarkan kekuatan dari dalam dirimu, tetapi tentu juga ilmumu yang mampu kau lontarkan dalam ujudnya yang keras dan yang lunak. Juga ilmumu yang mampu menyusut kekuatan dan kemampuan ilmu orang lain pun akan mempunyai daya dan kemampuan yang berlipat.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun yang telah mereka coba benar-benar menakjubkan. Mereka dapat membayangkan, jika serangan itu mereka tujukan kepada wadag seseorang yang memiliki daya tahan sewajarnya, maka wadag itupun akan hancur berkeping-keping.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah menjadi ngeri sendiri membayangkan apa yang mungkin terjadi dengan kekuatan ilmu mereka. Namun karena itu, maka mereka menjadi semakin merasa bertanggung jawab. Mereka tidak mungkin mempergunakan ilmunya kapan saja mereka inginkan dengan akibat yang mengerikan itu.

“Marilah anak-anak” berkata Mahendra kemudian, “kita akan berbicara tentang ilmu kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bagaikan terbangun dari mimpi. Dengan jantung yang berdegup semakin keras mereka-pun kemudian beringsut dari tempatnya.

Demikianlah, maka beberapa orang itu telah berkumpul dan duduk melingkar di atas rerumputan kering. Dengan nada berat Pangeran Singa Narpada berkata, “Kini telah terbukti. Kalian berdua menjadi anak-anak muda yang sulit dicari imbangannya. Kalian telah memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga kalian merupakan kekuatan yang tidak terlawan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru menundukkan kepala mereka. Beban di pundak mereka terasa semakin berat sebagaimana ilmu yang tersimpan di dalam diri mereka.

Dengan demikian, maka baik Pangeran Singa Narpada maupun Mahendra tidak merasa perlu lagi untuk melihat kemampuan kedua anak muda itu apabila diungkapkan pada jenis ilmunya yang lain. Mereka sudah dapat membayangkan, dengan alas ilmu yang disadapnya dari Pangeran Gagak Branang, maka jika kedua anak muda itu melepaskan ilmu pamungkasnya dalam ujudnya yang lunak, maka udara di sekitarnya tentu akan membeku. Sebaliknya dalam ujudnya yang keras, maka sentuhan wadagnya akan dapat menggugurkan gunung.

Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun kemudian berkata, “Marilah. Kita akan kembali ke padepokan. Kita sudah tahu, seberapa tingginya tingkat ilmu kedua anak muda itu. Kami yang tua-tua ini agaknya tidak lagi mampu menjangkaunya.”

“Tentu tidak Pangeran” berkata Mahisa Murti, “yang ada pada kami, belum sebanding dengan bagian kecil dari kemampuan Pangeran.”

“Kita tidak usah berbasi-basi anak-anak muda” berkata Pangeran Singa Narpada, “sudah waktunya kita memiliki takaran tentang kemampuan kita masing-masing. Kalian pun harus menyadari kemampuan yang ada di dalam diri kalian, karena jika tidak, maka kalian akan luput menilai. Kalian tidak perlu mempergunakan segenap kemampuan ilmu yang ada pada kalian seluruhnya apabila kalian sekedar mengejar seorang yang karena kelaparan terpaksa mengambil ketela pohon di ladang orang. Kalian tidak perlu melepaskan ilmu pamungkas dalam ujudnya yang lunak maupun yang keras jika kalian menghadapi anak nakal yang melempar kalian dengan kerikil yang tajam.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahendra pun berkata, “Itulah akibat yang harus kalian tanggungkan justru karena kalian memiliki ilmu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil. Tetapi keduanya tidak menyahut. Dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada pun telah mengajak mereka segera kembali ke padepokan yang telah ditinggalkan para penghuninya. Mereka harus segera mengatur persiapan untuk meninggalkan padepokan itu. Akuwu Lemah Warah-pun sudah terlalu lama meninggalkan Pakuwonnya sehingga rakyatnya tentu sudah menunggunya meskipun seorang adiknya yang dipercaya, mampu mewakilinya memerintah di Pakuwon Lemah Warah. Namun bagaimanapun juga, akan lebih baik jika Akuwu Lemah Warah itu sendiri yang berada di tempatnya.

Sejenak kemudian maka mereka pun telah meninggalkan tempat itu. Mahisa Ura yang berjalan di paling belakang semakin merasa dirinya kecil. Tetapi ia tidak merasa iri, karena ia menganggap bahwa yang terjadi itu sudah sewajarnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah adik Mahisa Bungalan, seorang Senapati besar yang pilih tanding. Bahkan mungkin kedua anak muda itu justru sudah berada di atas tataran kakaknya.

Demikianlah untuk beberapa hari mereka memang masih akan tinggal di padepokan itu. Namun sementara itu. mereka telah bersiap-siap untuk pergi ke Lemah Warah. Yang akan mereka bawa ke Lemah Warah bukan saja alat-alat yang memang mereka miliki, tetapi mereka juga akan membawa para tawanan bersama mereka.

Sementara itu, Ki Permita masih berada di perjalanan menelusuri orang-orang yang terlepas dari padepokan vang telah direbut oleh Akuwu Lemah Warah. Memang satu pekerjaan yang sulit. Kadang-kadang ia berhasil mendapat keterangan tentang sekelompok orang yang mereka cari. Nanum kadang-kadang tidak seorang pun di satu padukuhan yang mau membantunya. Pada umumnya mereka merasa takut untuk menyebutkan atau menunjukkan arah perjalanan sekelompok kecil orang-orang berilmu tinggi itu. Mereka tidak mau terlibat ke dalam satu persoalan yang tidak akan memberikan keuntungan apapun kepada mereka.

Namun dengan keterangan yang sedikit itu, Ki Permita ternyata dapat menduga, kemana orang-orang itu pergi. Mereka agaknya telah pergi ke satu padepokan yang jauh. Padepokan asal dari salah seorang di antara mereka yang melepaskan diri itu.

Dengan kesimpulannya itu, maka Ki Permita menjadi tidak tergesa-gesa. Ia menyusuri perjalanannya dengan yakin meskipun perlahan-lahan. Bagaimanapun iuga, rasa-rasanya hatinya masih terpaut kepada orang yang ditinggalkannya. Sebagai seorang hamba yang setia, maka rasa-rasanya langkahnya memang menjadi sangat berat. Bahkan pada saat-saat terakhir dari Pangeran Gagak Branang, Ki Permita merasa seakan-akan ia sendiri telah mengalami sesuatu yang mendebarkan.

Pada saat-saat benang lawe ditarik dari arah kiri di lambung Pangeran Gagak Branang, jantung Ki Permita berdetak semakin cepat. Bahkan oleh perasaan nyeri di dadanya yang tidak diketahui sebabnya. Ki Permita yang sedang berjalan itupun telah terpaksa berhenti dan duduk di bawah sebatang pohon yang rindang. Terasa didadanya betapa isi dadanya itu bagaikan diremas oleh kekuatan yang tidak terlawan oleh daya tahannya.

Dengan lemah Ki Permita telah bersandar pada pohon yang rindang itu. Beberapa saat ia merasakan dadanya yang sakit sekali. Namun perlahan-lahan perasaan sakit itu pun mulai berkurang. Dengan demikian maka Ki Permita mulai dapat mengatasi sisa perasaan sakitnya. Untunglah bagi Ki Permita bahwa jalan yang ditempuh itu bukan jalan yang ramai sehingga tidak seorang pun yang melihat apa yang telah dialaminya.

Ketika dadanya terasa lapang. Ki Permita duduk sambil menarik nafas panjang beberapa kali. Rasa-rasanya ingin ia menghisap udara sebanyak-banyaknya untuk menyegarkan jantung di dalam dadanya itu.

“Apa yang telah terjadi?” tanya Ki Permita di dalam hatinya.

Angan-angannya segera melayang kembali ke padepokan yang telah ditinggalkannya. Sambil memandang ke kejauhan ia bergumam kepada diri sendiri, “Agaknya Pangeran Gagak Branang telah mengakhiri hidupnya.”

Namun Ki Permita pun tahu, bahwa Pangeran Gagak Branang yang disebutnya Panembahan itu telah terjerat pada satu jenis ilmu yang membuatnya menyimpang dari tatanan kehidupan sewajarnya. Namun bagaimanapun juga Ki Permita yakin, bahwa pada saatnya kematian itu tidak akan dapat dielakkannya.

“Mungkin Pangeran Gagak Branang telah mengatakan rahasianya kepada Pangeran Singa Narpada, karena tidak mungkin ia menyalahi keharusan untuk kembali kepada sumbernya. Apapun yang dapat dilakukan dan dirasa mampu memperpanjang kesempatan hidupnya itu tidak akan berarti apa-apa apabila saat itu memang telah datang” berkata Ki Permita.

Namun tiba-tiba ia telah memandang kepada dirinya sendiri. Ia telah minum jenis getah yang sama untuk menahan pertumbuhan wadagnya. Tetapi itu hanya sekedar menahan gerak ketuaan dalam ujud lahiriahnya saja. Namun jiwanva akan tetap menjadi rapuh pada saatnya dan kematian itu pun akan datang tepat pada waktunya.

Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Balikan ia kemudian berkata kepada diri sendiri, “Menurut isyarat gelar di dalam diri, agaknya Pangeran Gagak Branang memang sudah sampai pada saat kematiannya. Perjalananku ini puii tentu merupakan perjalanan terakhirku. Apakah di medan pertempuran yang akan aku hadapi, atau di antara para pemimpin Kediri, agaknya nyawaku pun sudah tidak akan berlahan lama.

Ki Permita yang nampak ujud wadagnya masih belum terlalu tua itu sudah merasa bahwa ia sebenarnya bukannya nampak pada ujudnya wadagnya itu. Sebenarnyalah bahwa dirinya memang sudah rapuh.

Demikianlah, maka setelah beristirahat beberapa saat tubuh Ki Permita merasa segar. Perlahan-lahan ia pun telah bangkit. Sekali ia menggeliat. Kemudian ia telah meneruskan langkahnya menuju ke sebuah padepokan yang sudah dikenalnya. Pada saat ia masih menjadi abdi yang setia dari Panembahan, maka ia memang pernah berada di padepokan itu sebelum mereka memasuki padepokan Suriantal. Seperti sebelumnya, maka Ki Permita memang tidak tergesa-gesa. Ia yakin bahwa orang-orang yang berhasil lolos dari padepokan Suriantal telah berada di padepokan itu.

Menurut perhitungan Ki Permita, maka orang yang memiliki ilmu tertinggi di antara mereka adalah seorang yang memiliki tongkat yang pada pangkalnya terdapat sebuah batu yang berwarna kehijau-hijauan seperti batu yang terdapat di pinggir hutan dan penuh dengan binatang berbisa itu. Kemudian seorang lagi yang memiliki kemampuan untuk menguasai dan menggerakkan segala jenis binatang dengan ilmu gendamnya. Sedangkan orang yang mampu memasuki wadag orang lain agaknya telah kehilangan kesempatan untuk bertahan hidup dalam benturan ilmu yang terjadi di padepokan Suriantal.

Namun betapa lambatnya perjalanan Ki Permita, akhirnya ia pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan padepokan yang ditujunya. Tetapi sebelum ia sampai ke tujuan, maka Ki Permita itu-pun terkejut ketika tiba-tiba seseorang menyapanya,

“He, Ki Palot. Kau mau ke mana?”

Ki Permita yang dikenal dengan nama Ki Palot itu termangu-mangu. Namun ia pun segera dapat mengenali orang itu. Salah seorang dari penghuni padepokan. Namun orang itu bukan berasal dari perguruan Suriantal yang sebagian besar dari mereka bersenjata tongkat panjang. Dengan menarik nafas dalam-dalam Ki Permita itu berkata, “Aku juga terpaksa meninggalkan padepokan itu.”

“Kenapa? Bagaimana dengan Panembahan?” bertanya orang itu.

Ki Permita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Panembahan tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri” berkata Ki Permita.

“Dan kau yang selama ini dianggapnya sebagai hambanya yang paling setia itu meninggalkannya?” bertanya orang itu.

“Aku meninggalkan Panembahan setelah aku yakin bahwa Panembahan tidak mampu melawan kedua orang lawannya yang berilmu sangat tinggi” berkata Ki Permita.

“Apakah ada orang yang kemampuannya mengimbangi Panembahan?” bertanya orang itu.

“Ternyata ada” jawab Ki Permita, “aku melihat sendiri bagaimana Panembahan itu terdesak dan akhirnya kehilangan kesempatan sama sekali. Ketika terjadi benturan ilmu melawan kedua orang Kediri itu, maka Panembahan benar-benar menjadi parah.”

“Bagaimana mungkin ada orang yang mampu mengalahkan Panembahan” gumam orang itu, “pada saat kami melarikan diri, sebenarnya kami masih mengharap Panembahan melindungi kami. Tetapi ternyata sampai saat yang paling gawat. Panembahan tidak lagi dapat berbuat banyak sebagaimana hari-hari sebelumnya, sehingga akhirnya kami memutuskan untuk meninggalkan padepokan itu. Namun kami masih tetap berpengharapan bahwa kami akan kembali ke padepokan Suriantal setelah Panembahan menghancurkan lawan lawannya."

“Yang terjadi tidak demikian” jawab Ki Permita yang dikenal sebagai Ki Palot, “Panembahan itu telah dilumpuhkan.”

“Bukankah Panembahan itu tidak dapat terbunuh? Beberapa kali Panembahan menunjukkan kemampuan yang tidak ada bandingnya itu kepada kami. Beberapa kali Panembahan menunjukkan kemampuannya untuk melawan maut. Bahkan menguasai maut” berkata orang itu, “Panembahan bukankah tidak dapat mati?”

“Waktu aku meninggalkannya. Panembahan memang belum mati. Tetapi wadagnya tidak mampu lagi mendukung tingkat ilmunya yang seolah-olah tidak ada batasnya, sehingga Panembahan itu sudah tidak berdaya sama sekali. Karena itu, maka tidak ada gunanya lagi aku menungguinya, karena tidak ada lagi harapan padanya” jawab Ki Permita.

Tetapi Ki Permita itu mengerutkan keningnya ketika orang itu bertanya kepadanya, “Ki Palot. bagaimana mungkin kau dapat melepaskan diri dari orang-orang yang telah mampu mengalahkan Panembahan itu?”

“Sebagaimana kalian juga mampu melepaskan diri” jawab Ki Permita meskipun agak ragu.

Tetapi orang itu tiba-tiba saja berkata, “Ki Palot. Apakah kau tidak berkhianat terhadap Panembahan. Dan sekarang kau berusaha melacak kami dalam rangka pengkhianatanmu?“

Ki Permita menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kau mencurigai aku?”

“Ki Palot” berkata orangitu, “jika kau memang sempat melarikan diri, kenapa baru sekarang kau sampai ke tempat ini? Menurut perhitungan kami, seandainya Panembahan memang tidak mampu mengatasi orang-orang Kediri itu, kau pun tentu telah tertangkap. Agaknya kau kini telah mengemban tugas orang-orang Lemah Warah untuk melacak perjalanan kami dengan janji pengampunan atau mungkin karena Panembahan kini berada di tangan mereka maka kau harus tunduk dan melakukan perintah orang-orang Lemah Warah itu.”

“Kenapa tiba-tiba saja kau mencurigai aku?” bertanya Ki Permita, “sudah sekian lama kita bekerja sama. Sudah sekian lama kita merasa satu. Dan kini kalian dengan serta merta telah menuduh aku berkhianat.”

“Ki Palot” berkata orang itu, “seandainya kau tidak berkhianat, maka sebaiknya kau tidak usah datang kemari. Kau adalah seorang yang menggolongkan diri pada kelompok pemimpin. Selama di padepokan itu, kau merasa lebih berkuasa dari Panembahan itu sendiri.”

“Ah” desah Ki Permita, “kenapa kau mencari-cari perkara. Saat itu Panembahan jarang sekali bersedia keluar dari barak khususnya. Akulah yang harus melakukan segalanva. Bahkan menyampaikan perintahnya. Bukan maksudku untuk memerintah kalian, apalagi melampaui kuasa Panembahan. Aku memang mendapat tugas untuk berbuat demikian dari Panembahan.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Jangan menangis Palot. Kau sama sekali tidak kami butuhkan di padepokan kami. Karena itu, kau tidak usah pergi ke padepokan. Apalagi aku di sini memang mendapat tugas untuk membendung kehadiran orang-orang yang tidak kami sukai termasuk kau.”

“Jangan mengigau” jawab Ki Permita, “aku berhak bergabung dengan kalian.”

“Jangan Palot. Pergilah atau aku akan kehilangan kesabaran dan mengusirmu seperti mengusir seekor musang dari kandang ayam” berkata orang itu.

“Jangan begitu Ki Sanak” desis Ki Permita, “kau harus mengasihani aku. Jika aku tidak bergabung dengan kalian, lalu aku harus pergi ke mana?”

Orang itu justru tertawa. Katanya, “Itu urusanmu. Ke mana saja kau mau pergi, aku tidak peduli.”

“Tidak Ki Sanak. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Aku akan bergabung dengan kalian” berkata Ki Permita.

“Palot” berkata orang itu, “makanan sudah terlalu sedikit. Selama ini kau bertingkah laku sangat menyakitkan hati, karena kau merasa lebih berkuasa dari para pemimpin dari perguruan kami. Karena itu pergilah. Jika tidak, aku akan memukulimu. Bahkan bukan hanya aku seorang diri. Di sini aku mempunyai kawan tiga orang yang berada di rumah di ujung padukuhan sebelah. Jika mereka melihat aku memukulirnu, maka mereka pun akan melibatkan diri, ikut memukulimu beramai-ramai.”

“Jangan main-main Ki Sanak. Aku sedang kebingungan sekarang ini. Aku akan pergi ke padepokan. Jika para pemimpin padepokan itu kemudian mengusirku, apa boleh buat. Tetapi jangan hentikan aku di jalan seperti ini” berkata Ki Permita.

“Menangislah Palot. Menangislah seperti anak-anak. Tetapi kau tidak akan dapat meneruskan perjalananmu menuju ke padepokan. Jika dahulu kita semuanya menaruh hormat kepadamu, bahkan merasa ketakutan, karena kau adalah hamba yang yang paling setia dari Panembahan yang kita harapkan akan dapat melindungi kita semuanya. Tetapi ternyata padepokan itu hancur, dan Panembahan tempat kami bertumpu itu dapat dikalahkan oleh orang-orang Kediri. Jika Panembahan itu sudah dikalahkan, apalagi kau Palot.”

“Ya. Apalagi aku. Itulah sebabnya, aku memerlukan perlindungan, Aku akan pergi ke padepokan.” berkata Ki Permita.

Orang itu tiba-tiba membentak, “Cukup. Pergi kau anak iblis” geram orang itu.

Orang itu agaknya telah kehilangan kesabaran. Tiba-tiba saja orang itu bersuit nyaring. Satu isyarat bagi kawan-kawannya yang ada di rumah di ujung padukuhan.

“Apa yang kau lakukan?” bertanya Ki Permita.

“Aku memanggil kawan-kawanku. Biarlah mereka ikut memberikan keputusan” berkata orang itu. Namun kemudian katanya, “Namun jangan menyesal bahwa mereka akan memukulimu dan mengusirmu lebih kasar dari yang aku lakukan.”

Ki Permita termangu-mangu sejenak. Ketika ia memandang rcgol halaman rumah di ujung padukuhan, dilihatnya tiga orang bergegas keluar dan dengan tergesa-gesa menuju ke tempatnya.

Beberapa langkah kemudian salah seorang di antara mereka telah menyapa, “He kau Palot.”

“Ya. Aku datang untuk mohon belas kasihan, agar aku diperkenankan tinggal bersama kalian di padepokan” berkata Ki Permita.

Orang itu termangu-mangu. Namun orang yang pertama menjumpai Ki Permita itu pun telah mengatakan sikapnya dan bahkan telah mengusir orang itu. Karena itu, maka ketiga orang yang datang kemudian itu pun segera menyesuaikan sikap mereka. Apalagi mereka pun telah mendapat perintah, agar tidak seorang pun yang boleh memasuki lingkungan padepokan itu.

Seorang di antara mereka pun kemudian tertawa pula sambil berkata, “Palot. Menyesal sekali. Yang sama-sama kita harapkan ternyata tidak terjadi. Padepokan Suriantal yang dianggap dapat menjadi landasan perjuangan menuju ke Kediri itu telah pecah. Panembahanmu telah kehilangan kuasanya sehingga kita semua telah terusir. Karena itu Palot, daripada kau menjadi budak kami di padepokan itu, maka lebih baik kau cari tempat yang lain. Karena kau tidak akan tetap menjadi penguasa tanpa Panembahan, sehingga yang kami kenal kemudian adalah derajadmu sebagai hamba, meskipun selama ini kau merasa dirimu lebih berkuasa dari Panembahan itu sendiri.”

“Ki Sanak” berkata Ki Permita, “kenapa kalian melupakan hubungan yang pernah terjalin di padepokan itu. Selama di padepokan kalian selalu merunduk dan minta perhatianku. Bahkan kadang-kadang kalian berusaha menjilat untuk sekedar aku sebut nama kalian. Tetapi kenapa kalian tiba-tiba menjadi garang?”

“Persetan” seorang di antara mereka telah tersinggung, “jika kau sebut sekali lagi, maka aku akan merobek mulutmu.”

Ki Permita mengerutkan keningnya. Dengan nada yang datar ia bertanya seakan-akan tidak menyadari kesalahannya, “Kenapa? Bukankah aku mengatakan yang sebenarnya?”

“Cukup” teriak salah seorang diantara orang-orang yang menghentikannya itu.

“Tetapi bukankah kau juga mengatakan cacat celaku? Bukankah dengan demikian kita sudah melakukan hal yang sama?” bertanya Ki Permita kemudian.

Tetapi orang-orang itu sudah kehabisan kesabaran. Seorang di antara mereka bergeser maju sambil berkata lantang, “Pergi. Jangan ucapkan sepatah katapun. Jika kau membuka mulutmu, apapun yang akan kau katakan, maka aku akan merontokkan gigimu seluruhnya.”

Ki Permita mengerutkan keningnya. Ia memang tidak menjawab. Tetapi ternyata orang itu menggelengkan kepalanya tanpa beranjak dari tempatnya.

“Pergi, pergi” orang-orang itu hampir berteriak.

Tetapi Ki Permita itu tetap-berdiri di tempatnya sambil menggelengkan kepalanya. Orang-orang itu telah kehilangan kesabaran. Tiba-tiba seorang di antara mereka telah mendekatinya dan mendorongnya dengan kuat. Ki Permita memang terdorong surut. Bahkan terhuyung-huyung ia berusaha untuk memperbaiki keseimbangannya.

"Jangan membantah lagi. Aku dapat berbuat lebih kasar.”

Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Namun sikapnya justru berubah. Dengan nada berat ia berkata” Anak-anak iblis. Kalian sama sekali tidak merasa berterima kasih atas perlindungan Panembahan selama ini. Tetapi kalian justru bersikap sebaliknya. Nah, dengarlah, aku tidak akan pergi. Aku akan melanjutkan niatku menuju ke padepokan itu untuk mencari perlindungan kepada para pemimpin kalian. Karena itu; maka aku tidak merasa perlu untuk berbicara dengan kalian.”

Wajah orang-orang itu menjadi merah. Telinga mereka bagaikan tersentuh bara api. Seorang yang tidak dapat menahan diri tiba-tiba telah melangkah maju dan menyerang pelipis orang itu dengan pukulan. Tetapi orang yang dikenal bernama Palot itu telah menggeser kepalanya ke samping sehingga pukulan itu sama sekali tidak menyentuhnya.

Orang yang memukulnya itu terkejut. Ia sama sekali tidak mengira bahwa hamba yang setia itu mampu mengelakkan pukulannya yang dilakukannya dengan tiba-tiba. Namun dengan demikian kemarahannya pun bagaikan api dihembus angin. Dadanya bagaikan menyala dan tanpa dapat mengendalikan diri lagi maka ia pun telah meloncat pula. Tangannya terjulur lurus ke depan langsung menyerang dada orang yang dipanggilnya Palot itu.

Ki Permita tidak menghindar lagi. Ia pun telah mengangkat tangannya ke depan dengan telapak tangan terbuka tepat menerima pukulan lawannya yang mengarah ke dada. Tidak terjadi benturan yang keras. Bahkan di luar tangkapan nalar lawannya, bahwa yang terjadi adalah sebuah benturan yang lunak. Tangan orang yang marah itu bagaikan menyentuh sasaran yang lunak dan tanpa menyakitinya. Tetapi pukulannya itu sama sekali tidak berakibat apapun pada orang yang disebutnya Palot.

“Kau gila” geram orang itu. ”kau akan memamerkan kemampuanmu di sini? Palot. Sebenarnya kami hanya sekedar mengusirmu tanpa ingin mencelakakanmu. Tetapi jika kau berbuat aneh-aneh, maka kau jangan menyesal, bahwa kau tidak akan mampu bangkit iagi untuk selamanya di sini."

“Ki Sanak” berkata Ki Permita, “aku sudah mencoba mendudukkan sikapku dengan kedudukan sebagai seorang hamba saja. Tetapi kalian tidak menanggapinya dengan baik. Justru kalian dengan sombong mengusirku seperti mengusir seekor anjing. Karena itu, maka aku sama sekali tidak akan menanggapinya. Aku akan pergi ke padepokan. Aku akan berbicara dengan para pemimpinmu. Mereka tentu akan mengerti dan akan menerima aku di antara mereka.”

“Persetan” geram salah seorang di antara mereka. ”Jika kau keras kepala, maka aku mungkin akan membunuhmu.

“Ki Sanak” berkata Ki Permita” jika aku berani berkeras. maka akupun akan berani menanggung segala akibatnya. Aku adalah hamba yang setia dari Panembahan. Karena itu, maka akupun akan bersikap sebagaimana Panembahan bersikap. Sikap seorang laki-laki. Jika aku harus mati, biarlah aku mati setelah berkelahi.”

Keempat orang itupun menjadi semakin marah Mereka tidak lagi dapat menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu. Karena itu, maka keempat orang pun telah meloncat bersama-sama. Dan tiba-tiba saja orang yang disebutnya Palot itu telah berada dalam kepungan.

“Kau memang harus mati Palot” geram salah seorang di antara mereka.

“Kalian tidak akan berani membunuhku. Orang-orang padukuhan itu akan melihat dan segera mengenali kalian. Mereka akan dapat menyampaikannya kepada para pemimpin padepokan bahwa kalian telah membunuhku.” berkata Ki Permita yang disebut Palot itu.

“Persetan” geram salah seorang di antara orang-orang yang mengepungnya itu, “katakan pesanmu terakhir. Kami sudah memutuskan untuk membunuhmu, menyeret mayatmu dan melemparkan ke tengah-tengah hutan itu. Mayatmu akan segera menjadi makanan binatang buas atau burung-burung pemakan bangkai.”

Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia telah siap menghadapi keempat orang itu. Sebenarnyalah keempat orang yang marah itu tidak dapat menahan diri lagi. Mereka pun kemudian telah bergerak hampir bersamaan menyerang orang yang selama ini dianggapnya tidak lebih dari seorang hamba yang setia. Karena itu, maka mereka tidak terlalu banyak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan perlawanan yang dilakukan oleh orang itu, meskipun seorang diantara mereka pernah menjadi heran pada saat tangannya membentur telapak tangan orang itu tanpa terjadi hentakkan kekuatan di dalam dirinya.

Namun keempat orang itu sebenarnya tidak merupakan persoalan yang sulit bagi Ki Permita. Karena itu, maka ia sama sekali tidak menjadi gentar. Ketika keempat orang itu menyerangnya, maka ia pun telah berbuat sesuatu yang tidak diduga sama sekali oleh lawan-lawannya. Hampir tanpa diketahui apa yang telah dilakukan, maka keempat orang itu telah terlempar dari tempat mereka dan jatuh terlentang. Bahkan seorang di antaranya telah terbanting demikian kerasnya sehingga tidak sadarkan diri.

Namun dalam pada itu, ketiga orang yang lain sempat melenting berdiri. Tetapi mereka tidak segera dapat mengatasi kesulitan di dalam diri masing-masing. Jantung mereka serasa berdebar semakin cepat dan kenyataan yang mereka hadapi rasa-rasanya seperti peristiwa di dalam mimpi.

Ketiga orang itu tidak segera dapat mengerti, bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi. Tetapi mereka tidak dapat ingkar dari kenyataan itu. Karena itu, maka mereka menjadi ragu-ragu untuk menyerang orang yang dianggapnya tidak lebih dari seorang hamba itu.

“Nah” berkata Ki Permita” apakah kalian masih tetap pada pendirian kalian untuk mencegah aku pergi ke padepokan?”

Ketiga orang saling berpandangan. Apapun yang mereka kehendaki, namun mereka tidak akan dapat mencegah orang yang sebelumnya dianggap sebagai hamba yang tidak dapat berbuat apa-apa selain berlindung di balik kuasa tuannya.

“Sekarang” berkata Ki Permita ”apakah kalian masih menganggap bahwa aku merasa berkuasa lebih dari Panembahan? Seandainya demikian, maka itu adalah hakku karena aku memang mempunyai kemampuan untuk berkuasa atas kalian."

Ketiga orang itu tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja Ki Permita membentak, “Jawab. Apakah kalian masih akan menahan aku di sini?”

Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi.

“Kenapa kalian diam saja,” bentak Ki Permita pula. Mereka kemudian menjawab, “Kami memang bertugas untuk mencegah siapa saja memasuki padepokan, Palot.”

“Jadi aku benar-benar harus menyingkirkan kalian agar tidak ada lagi orang mengganggu aku“ geram Ki Permita.

“Tidak. Kau tidak usah melakukannya” jawab salah seorang dari mereka ”pergilah sekehendakmu. Ternyata kami tidak mampu mencegahmu.”

“Terima kasih. Tinggallah kalian di sini. Lakukan tugas kalian sebaik-baiknya. Jangan ada orang lain yang memasuki padepokan ini. Aku sependapat dengan perintah itu. Tetapi itu tidak berlaku terhadapku” berkata Ki Permita pula.

Tidak ada yang menjawab. Sementara itu Ki Permita berkata, “Ketahuilah, bahwa aku memang memiliki kuasa seperti Panembahan. Semua kata-kataku harus berlaku atas kalian. Jika aku ingin membunuh kalian, aku dengan mudah dapat melakukannya. Tetapi aku memang tidak ingin membunuh. Kawanmu itu pun tidak mati. Rawatlah orang itu. Ia akan sadar kembali dari pingsannya.”

Masih tidak ada jawaban, sehingga orang itu pun kemudian telah melangkah meninggalkan ketiga orang yang berdiri termangu-mangu.

“Gila” desis salah seorang di antara mereka ketika Ki Permita telah menjadi semakin jauh.

“Ternyata ia memang memiliki kemampuan itu” sahut yang lain.

“Aku tidak tahu, apa yang telah dilakukannya atas kami” berkata yang lain pula.

Namun orang yang pertama itu pun segera berkata,”Kita lihat kawan kita yang pingsan itu.”

Ketiga orang itu pun kemudian telah berjongkok di samping seorang kawannya yang terbaring diam. Ternyata orang itu memang tidak mati. Tetapi pingsan karena ia telah keras terbanting di tanah. Ketika orang yang pingsan itu menjadi sadar, maka Ki Permita menjadi semakin dekat dengan padepokan yang ditujunya, la yakin bahwa orang-orang yang dicarinya memang berada di padepokan itu.

Namun ternyata bahwa jalan ke padepokan yang sudah menjadi semakin dekat itu justru menjadi semakin banyak hambatan. Jika yang telah menghentikannya di ujung padukuhan adalah orang yang pernah dikenalnya di padepokan Suriantal, karena mereka termasuk orang-orang yang berhasil melarikan diri, maka Ki Permita telah bertemu pula dengan orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Dua orang berwajah garang dengan kumis dan jambang yang panjang.

“Siapa kau?” bertanya salah seorang di antara kedua orang itu.

“Palot” jawab Ki Permita. ”aku adalah seorang di antara penghungi padepokan yang pecah oleh pasukan Lemah Warah. Aku menyusul para pemimpin padepokan yang berhasil melarikan diri dan kini berada di padepokan beberapa puluh tonggak lagi di depan padukuhan itu.”

“Bagaimana mungkin kau dapat lolos dari pengawasan empat orang kawan kami di ujung padukuhan ini.?" bertanya salah seorang diantara keduanya pula.

“Sudah aku katakan bahwa aku berasal dari padepokan Suriantal sehingga keempat orang itu telah mengenal aku. Dibiarkannya aku lewat mencari perlindungan kepada para pemimpin padepokan yang sempat melarikan diri."

“Tidak seorang pun boleh memasuki padepokan” berkata orang itu, “ini adalah perintah yang tertinggi. Siapapun tidak boleh karena kemungkinan-kemungkinan buruk akan. dapat terjadi. Meskipun ia berasal dari padepokan itu pula.”

“Kenapa? Bukankah wajar jika aku mencari perlindungan di padepokan itu?” bertanya Ki Permita.

“Palot” berkata salah seorang yang berjambang lebat itu, “kau jangan memaksa. Perintah itu jelas. Jika kau merupakan pengawal yang setia dari para pemimpin. kenapa baru sekarang kau menyusul? Semua orang yang datang kemudian memang pantas dicurigai. Mereka sudah sempat berbicara dengan para pemimpin di Lemah Warah. Mereka telah dapat dibujuk dan diberikan janji-janji yang menarik untuk melakukan pengkhianatan. Nah, jika keempat orang di ujung padukuhan itu memberi kesempatan kau memasuki daerah ini, maka aku melarang kau meneruskan langkahmu menuju ke gerbang padepokan. Tidak ada gunanya. Seandainya aku memberi ijin. maka masih ada beberapa lapis lagi lingkaran yang harus kau lalui. Semakin dalam semakin rapat, sehingga bagaimanapun juga, kau tidak akan sampai ke pintu gerbang."

“Ki Sanak” berkata Ki Permita, “kalian berdua tentu bukan sebagian di antara kami yang berada di padepokan Suriantal. Karena itu kalian tidak dapat membayangkan, betapa eratnya hubungan kami yang satu dengan yang lain. Bagaimana kami di padepokan itu menyatu dalam segala suasana. Seakan-akan kami terikat pada satu janji untuk mati bersama atau hidup bersama, meskipun ternyata pada saat-saat terakhir ada di antara kami yang sempat melarikan diri sementara yang lain mati terbunuh di medan."

“Apa maksudmu?” bertanya seorang diantara kedua orang itu.

“Tidak apa-apa. Yang melarikan diri itu termasuk aku. Memang aku harus merasa bahwa seakan-akan aku dan beberapa orang yang lain termasuk para pemimpin di padepokan itu tidak setia lagi terhadap kawan-kawan kami. Namun yang kami lakukan justru dengan satu pengertian, bahwa dengan melepaskan diri dari maut, kami akan dapat membalas dendam kematian kawan-kawan kami.” berkata Ki Permita.

Kedua orang itu nampak merenung. Namun seorang di antara mereka berkata, “Tetapi sayang Palot. Perintah itu telah jatuh. Tidak ada orang baru lagi yang boleh memasuki padepokan, meskipun bekas kawan sendiri. Ada beberapa hal yang menyebabkan larangan itu dikeluarkan. Namun yang terpenting adalah, bahwa mereka yang datang kemudian itu sudah tidak akan murni lagi. Apalagi jika orang itu sudah sempat berbicara dengan para pemimpin Lemah Warah.”

“Ki Sanak,” berkata Ki Permita, “aku bukan orang gila yang akan menyurukkan kepalaku di bawah roda pedati. Aku sadar bahwa di padepokan ini berkumpul orang-orang berilmu tinggi. Apa yang dapat aku lakukan dihadapan mereka seandainya aku dibiarkan masuk ke padepokan itu.”

“Bukan kau sendiri yang akan melakukannya. Tetapi jika kau sudah berada di dalam, maka kau akan dapat membuat banyak kesulitan dengan diam-diam. Hingga akhirnya pada satu saat, kau akan melarikan diri untuk memberikan keterangan kepada orang-orang yang telah mengupahmu, atau kau akan membuka pintu gerbang dari dalam agar orang-orang yang mungkin akan menyusulmu itu dapat memasuki padepokan dengan cepat.”

“Lalu apa keuntunganku untuk berbuat demikian,” berkata Ki Permita, “aku telah berjuang sekian lamanya bersama para pemimpin padepokan ini. Aku merasa bahwa mereka adalah saudara-saudaraku.”

Kedua orang itu agaknya menjadi ragu-ragu. Namun seorang di antara mereka agaknya tetap menjunjung perintah yang diembannya, “Sayang Ki Sanak, pergilah.”

“Para pemimpinmu tentu akan menyesal jika aku pergi,” berkata Ki Permita. Namun kemudian katanya, “Cobalah, sampaikan saja kepada pemimpinmu, bahwa Palot akan mohon perlindungan dan tinggal bersama mereka di Padepokan ini.”

Kedua orang itu menjadi semakin ragu-ragu. Namun kemudian salah seorang berkata, “Baiklah, seorang di antara kami akan menyampaikan permohonanmu kepada para pemimpin padepokan. Merekalah yang akan menentukan, apakah kau boleh menghadap atau tidak.”

Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, “Baiklah. Aku akan menunggu.”

Memang kesempatan itu adalah kesempatan yang terbaik baginya untuk memasuki padepokan daripada ia harus melumpuhkan kedua orang itu dengan kekerasan, sehingga dengan demikian. maka kesalahannya akan bertambah lagi. Sesaat kemudian, seorang di antara mereka pun telah meninggalkan Ki Permita yang dikenalnya sebagai Palot. Sementara seorang lagi masih menungguinya.

“Kita tunggu di sini,” berkata yang seorang itu kepada Ki Permita sambil duduk di regol halaman rumah sebelah.

Ki Permita pun telah duduk pula. Ketika ia memandang ke halaman lewat pintu yang sedikit terbuka, dilihatnya halaman rumah itu nampak kotor. Daun pepohonan yang kering berjatuhan tanpa dibersihkan. Bukan hanya hari itu. Namun nampaknya telah sejak beberapa hari berselang.

“Apakah rumah ini kosong?” bertanya Ki Permita.

“Nampaknya begitu,” jawab orang itu. “hampir semua orang di padukuhan ini telah menyingkir. Mereka sadar, bahwa kemungkinan yang buruk akan dapat terjadi. Ketika para pemimpin padepokan itu kembali dengan hanya beberapa orang yang sempat melarikan diri, maka mereka telah mengungsi. Mereka memperhitungkan bahwa kemungkinan pihak lain akan memburu ke padepokan ini sehingga akan terjadi pertempuran di sekitar padepokan ini.”

Ki Permita mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah kau sudah lama berada di padepokan ini?”

“Kami datang dari padepokan lain. Kami mengisi padepokan ini setelah penghuninya serta pemimpin padepokan ini pergi bersama seorang yang dianggap akan dapat menjadi tumpuan perjuangan mereka. Kami diminta oleh pemimpin padepokan ini untuk berada di sini.”

“Siapa pemimpinmu?” bertanya Ki Permita.

“Saudara tua pemimpin padepokan ini,” jawab orang itu. “maksudku saudara tua seperguruan.”

Ki Permita termangu-mangu. Pemimpin padepokan itu tentu bukan orang bertongkat yang dikenalnya sebagai pemimpin dari perguruan Suriantal yang telah berubah. Tetapi saudara tua seperguruan itu tentu saudara dari orang yang mampu menguasai binatang untuk melakukan niatnya terhadap musuh-musuhnya.

“Jika orang itu adalah saudara tuanya, maka orang itu agaknya memiliki ilmu yang lebih baik atau setidak-tidaknya sejajar dengan orang yang mempunyai ilmu gendam itu,” berkata Ki Permita di dalam hatinya.

Selain kemampuan yang tinggi, ternyata orang itu telah membawa pula para pengikutnya. Namun dalam pada itu, Ki Permita berkata kepada orang itu. “pantas jika kalian orang baru di sini. Aku pernah berada di padepokan ini. Tetapi kita belum pernah bertemu.”

Orang itu mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab. Dipandanginya arah kawannya tadi pergi. Namun sementara itu ia berdesis, “Ia memerlukan waktu beberapa saat. Sementara itu, kita akan menunggu di sini.”

Ki Permita mengangguk. Katanya, “Aku akan menunggu. Aku yakin bahwa aku akan diijinkannya.”

Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan ia pun telah bangkit dan berjalan mondar-mandir di depan regol itu.

Sementara itu kawannya telah memasuki padepokan. Di lapisan berikutnya dari pengamatan atas padepokan itu, orang itu berkata terus terang, bahwa ia akan menanyakan kemungkinan bagi orang yang bernama Palot.

“Bukankah perintah itu sudah tegas. Siapapun tidak boleh memasuki padepokan ini,” sahut kawannya di lapisan berikutnya.

“Tetapi orang ini lain. Orang ini pernah tinggal bersama para pemimpin kita yang sempat melarikan diri itu dan bekerja bersama dengan mereka untuk waktu yang lama,” jawab orang yang akan menghadap itu.

“Terserahlah. Kau tentu mempunyai alasan tersendiri. Tetapi jika alasanmu tidak masuk akal, maka kau justru akan dimaki dan bahkan mungkin kau akan mengalami perlakuan yang kurang baik,” berkata kawannya.

Tetapi orang itu tidak mengurungkan niatnya, ia langsung menuju ke padepokan untuk bertemu para pemimpin padepokan itu. Ketika orang itu menyampaikan permintaan orang yang disebut Palot untuk berlindung di padepokan itu, ternyata permintaan itu memang menarik perhatian. Orang yang memiliki kemampuan mengendalikan binatang dengan ilmu gendamnya itu berkata,

“Bawa orang itu kemari. Meskipun sebenarnya aku tidak memerlukannya. Yang kita perlukan adalah Panembahan yang memiliki ilmu tiada taranya itu yang aku kira tidak terkalahkan oleh siapapun. Namun ternyata melawan dua orang pemimpin yang datang dari Kediri, Panembahan itu tidak mampu bertahan.”

“Untuk apa sebenarnya orang itu dibawa kemari?” bertanya saudara tua seperguruannya, “jika orang itu memang tidak berarti kenapa orang itu tidak disingkirkan saja daripada memperbanyak tanggungan kita di sini?”

“Orang itu adalah hamba yang setia dari Panembahan yang kita harapkan akan dapat memberikan jalan bagi kita menuju ke Kediri,” jawab pemimpin padepokan itu. “mungkin orang itu dapat banyak bercerita. Memang tidak penting, tetapi agaknya cukup menarik jika ia berceritera tentang kesetiaannya kepada Panembahan itu.”

“Terserahlah,” berkata orang bertongkat, “padepokan ini padepokanmu. Apapun yang kau lakukan adalah tanggung jawabmu. Tetapi bagiku orang itu tidak berarti lagi sepeninggal Panembahan.”

Pemimpin padepokan yang telah dipaksa kembali oleh pasukan Lemah Warah dari padepokan Suriantal itu tersenyum. Katanya, “Kita memang tidak memerlukannya. Tetapi apa salahnya kita mempunyai seorang hamba yang setia? Mudah-mudahan disini pun ia akan menjadi seorang hamba yang setia pula, yang melakukan apa yang aku perintahkan dan mengiakan apa yang aku katakan.”

“Tetapi bagaimana mungkin ia dapat melarikan diri dari tangan orang-orang Lemah Warah jika Panembahan itu dapat dikalahkan,” desis orang bertongkat itu.

“Kita tidak usah mempersoalkan bagaimana ia keluar dari padepokan itu. Tetapi ia sekarang ada di sini,” jawab pemimpin padepokan itu.

Sementara itu kakak seperguruan dari pemimpin padepokan itupun berkata, “Sebetulnya buat apa kau memelihara seekor tikus. Lebih baik memelihara seekor kucing yang betapapun kecilnya akan dapat memberikan arti pada kehadirannya.”

“Bukan tikus,” jawab pemimpin padepokan itu. “tetapi seekor anjing yang setia dan penurut.”

Kakak seperguruannya tertawa. Katanya, “Terserah kepadamu. Tetapi ingat, jika kau kehabisan tulang, maka anjing itu akan dapat menggigit kakimu sendiri.”

Pemimpin padepokan itu pun tertawa pula. Tetapi ia berkata, “Bawa budak itu kemari. Aku akan mengangkatnya sebagai hambaku. Aku tahu ia setia meskipun karena kesetiaannya itu, ia nampaknya seperti seorang yang besar kepala. Ia memerintah atas nama Panembahan. Tetapi justru karena kesetiaannya.”

“Ia merasa lebih berkuasa dari Panembahan,” berkata orang bertongkat itu. “ia telah memerintah kita semau-maunya saja.”

“Ia tidak bermaksud demikian,” jawab pemimpin padepokan itu. “Ia sekedar menunjukkan setianya kepada Panembahan, bahwa ia telah melakukan perintah Panembahan dengan sebaik-baiknya.”

“Jika kau jadikan ia hambamu, maka ia akan merasa lebih berkuasa dari kau sendiri di padepokan ini,” berkata orang bertongkat itu.

“Aku akan mencekiknya,” sahut kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.

Tetapi pemimpin padepokan itu masih tertawa pula. Katanya, “Kenapa kalian ributkan budak yang setia itu. Nah, biarlah ia datang kemari untuk memohon perlindungan kepadaku. Tetapi ia harus menjadi hambaku yang setia.”

Orang yang datang menghadap itu termangu-mangu sejenak. Namun pemimpin padepokan itu pun berkata, “Bawa orang itu kemari. Ia tidak berbahaya. Ia lebih lunak dari buah mentimun.”

Orang yang menghadap itu pun kemudian meninggalkan ruangan itu dan kembali kepada kawannya. Ia menemui kawannya berjalan yang hilir mudik, sementara Ki Permita menunggu dengan gelisah pula. Ia mencemaskan keempat orang yang berusaha mencegahnya, tetapi yang telah dibuatnya tidak berdaya. Jika mereka tiba-tiba menyampaikan persoalan yang terjadi atas diri mereka, maka persoalannya tentu akan berbeda.

Namun karena seorang di antara mereka yang pingsan itu nampaknya masih memerlukan perawatan, maka tiga orang kawannya masih belum meninggalkannya. Bahkan mereka pun seakan-akan telah menyerahkan persoalannya kepada para penjaga di lapisan berikutnya.

“Akhirnya ia akan dihentikan,” berkata salah seorang dari keempat orang itu.

“Tetapi apakah kita tidak dianggap bersalah bahwa mereka telah mampu melewati garis pengamatan kita,” desis yang lain.

“Ternyata kita tidak mampu menahannya,” jawab yang pertama, “bahkan seorang di antara kita telah pingsan.”

“Setan,” geram orang yang baru sadar dari pingsan, “aku tidak tahu apa-apa demikian dadaku merasa tersentuh tangannya.”

“Duduklah,” berkata kawannya, “orang itu tentu akan tertangkap. Dan kita akan dapat membalas sakit hati kita.”

“Tetapi kita harus melaporkannya,” berkata orang yang pingsan itu. “Jika terjadi sesuatu karena kelengahan, maka kita tentu dapat dianggap bersalah.”

Keempat orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka yang tertua akhirnya berkata, “Baiklah. Dua orang di antara kita akan melaporkan peristiwa yang terjadi ini. Sementara dua orang akan tetap bertugas di sini.”

Akhirnya mereka menentukan orang yang pingsan itu bersama seorang yang lain akan melaporkan peristiwa yang telah terjadi itu ke lapisan berikutnya, agar laporan itu bertingkat merambat sampai kepada para pemimpin padepokan. Atau orang itu sudah terbunuh sebelum mendekati regol padepokan. Namun ketika mereka sampai ke lapisan berikutnya, mereka menjumpai hanya seorang penjaga. Seorang yang berjambang dan berkumis lebat.

“Kau sendiri?” bertanya orang yang pingsan itu.

“Ya. Seorang kawanku sedang mengantarkan budak yang setia itu ke padepokan,” jawab orang berjambang itu.

Orang yang pingsan itu termangu-mangu. Namun kemudian iapun telah menceriterakan apa yang terjadi. “Aku menjadi pingsan tanpa tahu sebab-sebabnya,” berkata orang itu kemudian.

Orang berjambang itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba iapun tertawa. Katanya, “Kalianlah yang keterlaluan. Orang itu lunak seperti ranti, lamban seperti siput dan merengek seperti anak-anak sakit-sakitan.”

“Mula-mula ia memang berbuat seperti itu,” berkata orang yang pingsan itu.

“Jika ia berlaku sebagaimana kau katakan di padepokan, maka ia akan mengalami perlakuan yang sangat pahit. Ia akan dihukum cincang atau picis,” jawab orang berjambang itu. “nah, kita akan melihat apa yang terjadi.”

Orang yang telah pingsan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tetapi kita harus melaporkannya. Para pemimpin padepokan itu harus berhati-hati menghadapinya.”

“Sebagian dari mereka sudah mengenalnya dengan baik,” jawab orang berjambang itu. Lalu, “He, bukankah kau juga pernah berada di padepokan Suriantal?”

“Ya. Itulah agaknya kami mempunyai gambaran yang keliru tentang orang itu,” jawab orang yang telah pingsan itu.

Tetapi orang berkumis dan berjambang lebat itu tidak banyak menaruh perhatian. Bahkan kemudian katanya, “Tidak ada gunanya. Orang itu sekarang sudah menghadap.”

“Tetapi untuk waktu yang akan datang. Nanti atau hesok.” berkata orang yang pingsan itu.

“Terserah kepadamu,” jawab orang berjambang itu. “aku tidak peduli. Aku menganggap bahwa orang itu tidak akan berbahaya dihadapan para pemimpin.”

“Tetapi jika ia licik?” berkata orang yang telah pingsan itu.

“Terserah kepadamu,” tiba-tiba orang berjambang itu membentak.

Orang yang pingsan itu merenung sejenak. Tetapi iapun kemudian tidak peduli lagi kepada orang berjambang itu. Katanya, “Aku akan menghadap.”

Orang berjambang itupun tidak menghiraukannya pula. Karena itu ketika orang itu berlalu, maka orang berjambang itu sama sekali tidak memperhatikannya lagi. Bahkan ia telah melemparkan pandangannya ke pepohonan di sekitarnya.

Ketika orang yang pingsan itu bersama seorang kawannya menuju ke padepokan, Ki Permita telah dibawa memasuki regol. Orang yang bertugas di regol tidak dapat mencegahnya, karena yang membawa Ki Permita itu adalah seorang pengawal pula yang mendapat tugas justru dari pemimpin padepokan itu untuk membawa hamba yang setia itu menghadap.

Ketika Ki Permita itu dibawa memasuki sebuah barak yang menjadi tempat bertemu para pemimpin padepokan itu, maka ia pun telah menjadi berdebar-debar. Ternyata di ruang itu terdapat beberapa orang yang tidak dikenal. Orang yang tidak ikut berada di padepokan Suriantal.

Ketika Ki Permita yang dikenal bernama Palot itu memasuki ruangan, maka pemimpin padepokan itu, orang yang memiliki ilmu gendam, telah menyapanya sambil tertawa, “Ki Palot. Selamat datang di padeokan ini.”

Ki Permita menjadi ragu-ragu. Ia berdiri termangu-mangu di pintu ruangan yang agak luas itu.

“Duduklah,” berkata pemimpin padepokan itu.

Ki Palot itu memandang berkeliling. Beberapa orang duduk di amben panjang yang terletak di sekeliling ruangan di bilik itu. Dengan ragu-ragu maka ia pun telah duduk pula di sebuah amben yang berada di sudut ruangan itu.

Tetapi tiba-tiba pemimpin padepokan itu berkata, “He Palot. Kemarilah. Duduklah di sini.”

Ki Permita menjadi ragu-ragu. Tetapi, pemimpin padepokan itu minta Ki Permita duduk di dekatnya, di sebuah amben yang berada di sebelah tempat duduknya. Namun Ki Permita itu berkata, “Cukup di sini.”

Pemimpin padepokan itu tertawa. Katanya, “Kau adalah seorang hamba yang setia dari Panembahan yang mengecewakan itu. Yang aku kira benar-benar akan dapat menyelesaikan berbagai masalah yang timbul di padepokan. Namun akhirnya ternyata bahwa Panembahan itu tidak kuasa menghadapi prajurit Lemah Warah.”

“Bukan sekedar prajurit Lemah Warah,” jawab Ki Permita. “tetapi ternyata di antara mereka hadir dua orang dari Kediri.”

“Dari manapun datangnya, namun ternyata bahwa Panembahan itu tidak lagi mampu bertahan,” berkata pemimpin padepokan itu.

“Demikianlah agaknya. Tetapi Panembahan sudah berusaha sejauh dapat dilakukan,” berkata Ki Permita.

“Baiklah,” berkata pemimpin padepokan itu. Lalu, “Nah sekarang, apa yang akan kau lakukan sepeninggal Panembahan?”

“Aku akan memohon perlindungan di padepokan ini,” jawab Ki Permita.

“Ya. aku sudah mendengar permintaanmu. Tetapi untuk memenuhi keinginanmu itu, kau harus memenuhi satu syarat,” berkata pemimpin padepokan itu.

“Syarat apakah yang harus aku penuhi itu?” bertanya Ki Permita.

“Palot. Selama ini kau adalah hamba yang setia dari Panembahan. Namun dengan kesetiaanmu itu ternyata kau telah membuat banyak kesalahan. Kau kadang-kadang bersikap sebagaimana Panembahan itu sendiri. Bahkan kadang-kadang kau merasa dirimu lebih berkuasa,” berkata pemimpin padepokan itu.

“Tentu bukan maksudku,” berkata Ki Permita, “aku hanya sekedar menjalankan perintah. Tidak lebih.”

“Baiklah Palot,” berkata pemimpin padepokan itu. “syarat yang aku kemukakan adalah, bahwa selama kau berada di padepokan ini, maka kau harus menjadi hambaku yang setia, sebagaimana kau lakukan terhadap Panembahan. Kau harus menurut segala perintahku dan mengiakan segala kata-kataku. Jika kau bersedia menjadi hamba yang setia, maka aku akan memeliharamu.”

Terasa jantung Ki Permita berguncang. Ia tidak mengira bahwa ia akan menerima penghinaan sedalam itu. Agaknya orang-orang di padepokan Suriantal itu mempunyai anggapan yang buram terhadap dirinya yang menjadi perantara perintah Panembahan. Kekecewaan orang-orang padepokan itu kepada Panembahan, agaknya telah ditumpahkannya kepadanya. Namun penghinaan itu benar-benar sulit untuk diterimanya. Apalagi beberapa orang yang berada di ruang itu serentak tertawa berkepanjangan.

Namun Ki Permita masih berusaha untuk menahan diri. Bahkan ia berusaha menyembunyikan kesan perasaannya itu di wajahnya. Dengan nada rendah ia berkata, “Sebenarnya aku tidak berkeberatan. Tetapi ada bedanya antara kalian dengan Panembahan bagiku. Aku adalah abdi Panembahan sejak aku masih muda dan Panembahan pun masih sangat muda. Tetapi di sini kita bertemu pada saat-saat kita sudah menjelang usia senja.”

Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu pemimpin padepokan itu berkata lagi, “kau mendapat kesempatan untuk memikirkannya barang sehari. Selama itu kau boleh berada di padepokan ini untuk melihat-lihat cara hidup kami. Kau akan dapat membayangkan, tugas apa yang bakal kau pikul jika kau menjadi hambaku yang setia.”

Penghinaan itu sudah tidak tertanggungkan lagi. Namun sebelum Ki Permita itu berbuat sesuatu, seorang pengawal telah membawa masuk dua orang pengawal yang lain ke dalam ruangan itu. Ki Permita mengerutkan keningnya. Ia mengenali kedua orang itu. Mereka adalah orang-orang yang telah menahannya di luar padepokan. Ki Permita pun sudah menduga, apa yang akan dikatakannya. Tetapi ia tidak berkeberatan. Ia pun hampir bertindak karena tidak lagi dapat menahan diri karena penghinaan itu.

Pemimpin padepokan itu termangu-mangu melihat kehadiran kedua orang pengawal itu. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Ada apa kalian menghadap?”

Orang yang telah pingsan itu pun berpaling ke arah Ki Permita yang dikenalnya bernama Palot itu. Dengan ragu-ragu ia berkata, “orang itu.”

“Kenapa dengan orang itu?” bertanya pemimpin padepokan itu.

“Ia memaksa untuk memasuki padepokan,” jawab orang yang pingsan itu.

Pemimpin padepokan itu tertawa. Katanya, “Ia ada di sini sekarang.”

“Ya. Aku melihat,” jawab orang yang pernah pingsan itu. “Tetapi jika ia sampai ke ruang ini, bukan karena kami tidak melakukan tugas kami.”

Pemimpin padepokan itu masih tertawa. Katanya, “Sudahlah. Jangan hiraukan lagi orang itu. Ia sudah bersedia menjadi hambaku yang setia. Ia akan menurut segala perintahku dan ia akan bersedia mengikut di belakang ke mana aku pergi sambil membawa barang-barangku.”

Hampir saja Ki Permita itu berteriak mengumpat. Tetapi orang yang pernah jatuh pingsan itu berkata, “Tetapi ia adalah orang yang sangat berbahaya. Orang itu mempunyai ilmu iblis.”

Pemimpin padepokan itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa, “Jangan cemaskan orang itu. Jika ia garang seperti seekor harimau, maka karena ia bersandar kepada orang yang disebut Panembahan itu.”

“Tidak,” jawab orang yang pernah pingsan itu. “ia bukan sekedar bersandar pada Panembahan. Tetapi ia memang memiliki ilmu iblis itu. Ia mampu memperlakukan kami berempat sebagai bahan permainan.”

Pemimpin padepokan itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang yang pernah pingsan itu dengan Palot berganti-ganti. Sementara itu orang yang pernah pingsan itu berkata, “Itulah yang ingin aku katakan, agar ia tidak menjadi racun di padepokan ini.”

Pemimpin padepokan itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian bangkit berdiri sambil berkata, “Apa yang dapat dilakukan oleh tikus kecil ini.”

“Bagaimanapun juga ia cukup berbahaya,” berkata orang itu.

“Terima kasih atas keteranganmu. Jika demikian, kami akan bersikap lain terhadapnya.”

Orang yang pernah pingsan itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Ki Permita sambil berdesis, “Nah, kau akan tahu akibat permainanmu yang kasar itu.”

“Tinggalkan orang itu,” berkata pemimpin padepokan kepada orang yang pernah pingsan itu. “aku akan mengurusnya.”

Demikianlah maka kedua orang yang datang untuk melaporkan tentang Ki Permita itu telah meninggalkan ruangan, sementara pemimpin padepokan itu memandanginya dengan tegang. “Palot,” berkata pemimpin padepokan itu. “apa yang telah kau lakukan? Apa pula yang telah kau pamerkan.”

Ki Permita berusaha untuk mengatur nalarnya. Karena itu maka dengan nada datar ia berkata, “Aku tidak tahu apa yang dikatakannya. Aku memang memaksa untuk memasuki padepokan ini, sementara orang yang mengantarkan aku kemari sama sekali tidak menaruh keberatan apapun juga sehingga aku sekarang ada di sini.”

Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Tetapi katanya sama sekali tidak diduga oleh Ki Permita, “Palot. Ternyata kau memang pantas untuk dijerat di kandang harimau.”

“Kenapa?” bertanya Ki Permita.

Namun sementara itu beberapa orang yang lain agaknya tidak sabar lagi menunggu pembicaraan itu. Orang bertongkat itu kemudian berkata, “Aku sudah mengorbankan padepokanku. Sekarang kau datang untuk berkhianat pula? Apa yang kami dapatkan dari Panembahan selain kehancuran. Tetapi kami berusaha untuk menerimanya sebagai satu akibat dari perjuangan kami. Tetapi jika kau datang untuk mengacaukan kedudukan kami di sini, maka kau memang harus disingkirkan. Tidak sekedar diusir pergi.”

“Ya,” desis kakak seperguruan pemimpin padepokan itu. “karena itu maka apa boleh buat. Kita tidak memerlukan seorang hamba yang setia, atau seorang budak penurut.”

“Tunggu,” berkata Ki Permita, “apa yang sudah aku lakukan selain memaksa masuk ke padepokan ini untuk mencari perlindungan?”

“Kemampuanmu itu membuat kami tidak tenang,” berkata pemimpin padepokan itu. “karena itu, maka kau tidak aku perlukan lagi. Tetapi kau pun tidak boleh berkhianat jika kau pergi. Sayang. Kau tidak mempunyai pilihan.”

Ki Permita menjadi tegang. Dengan ragu-ragu ia berkata memelas, “Kasihani aku. Apa salahku? Aku datang dengan maksud baik. Mohon perlindungan.”

“Persetan,” geram pemimpin padepokan itu. “mungkin kau benar-benar mencari perlindungan. Tetapi sikapmu kepada orang-orangku menunjukkan bahwa kau tidak lagi dapat dipercaya. Kau bagiku bukan seorang budak yang setia.”

“Aku sungguh tidak mengerti,” berkata Ki Permita.

“Sudahlah Palot. Nasibmu memang buruk. Kau akan mati di sini. Kau tidak mempunyai pilihan lain. Kehadiranmu mencurigakan kami semua. Apalagi bahwa kau tetah memaksa menembus pengawalan dengan kekerasan. Kau telah menunjukkan kemampuan yang tidak terduga-duga. Dengan demikian kami memperhitungkan kemungkinan bahwa kau masih memiliki kemampuan yang lebih tinggi lagi,” berkata pemimpin padepokan itu.

“Seandainya aku mempunyai kemampuan, kenapa kalian mencurigai aku? Bukankah kemampuanku dapat kalian pergunakan menurut kepentingan kalian dan sesuai dengan tingkat kemampuanku,” berkata Palot.

“Tetapi bahwa kau tidak menunjukkan sikap tidak jujur membuat kami curiga,” berkata orang bertongkat itu. “kau sengaja memberikan kesan bahwa kau adalah abdi yang bodoh dan dungu serta tidak berilmu sama sekali. Namun ternyata kau mampu memaksa empat orang pengawal memberikan jalan kepadamu dan mereka menilai kemampuanmu cukup tinggi. Nah, ketidak jujuranmu itu telah menyeretmu dalam kesulitan.”

“Sudahlah,” berkata kakak seperguruan pemimpin padepokan itu. “selesaikan saja orang itu. Ia tidak berarti. Seandainya ia memang seorang abdi, maka apa gunanya ia di sini? Apalagi bahwa ia tidak jujur dan berusaha berkhianat.”

“Baiklah. Aku akan memperintahkan orang-orangku untuk menyelesaikannya,” berkata pemimpin padepokan itu.

“Kematiannya tidak akan membuat kita kehilangan, siapapun orang ini sebenarnya dan kita tidak akan lagi terancam bermacam-macam kemungkinan yang dapat dilakukannya.”

Pemimpin padepokan itu pun kemudian memberi isyarat kepada pengawal kepercayaannya. Katanya dengan nada rendah, “Sayang, bahwa kita harus menyelesaikannya. Aku kira orang ini memang tidak diperlukan lagi. Ia hanya akan memperbanyak tanggungan saja di sini, sehingga sebaiknya orang ini kita selesaikan saja.”

“Tetapi, aku datang dengan maksud baik,” desis Ki Permita.

“Mungkin. Tetapi nasibmulah yang tidak baik. Kau akan mati sia-sia. Terimalah nasib ini, hamba yang setia. Karena kesetiaanmu pula agaknya maka kau tidak berkeberatan jika kau kami bunuh. Dengan setia kau harus menjalaninya tanpa mengadakan perlawanan apapun.”

Ternyata jawaban orang yang dikenalnya bernama Palot itu telah mengejutkan mereka. Dengan tenang ia tiba-tiba berkata, “Siapa yang akan mendapat tugas membunuh aku?”

Semua orang memandanginya dengan tegang. Sementara itu tiba-tiba orang yang disebut Palot itu bangkit berdiri. Sambil berjalan hilir mudik ia berkata tanpa menghiraukan pandangan mata yang mengikutinya, “Baiklah aku berterus terang. Kecurigaan kalian memang beralasan. Ternyata kalian mempunyai ketajaman penggraita, sehingga kalian tidak segera mempercayai aku. Apalagi setelah aku memaksa melampaui keempat orang pengawal kalian itu.”

Pemimpin padepokan yang masih terheran-heran itu bertanya hampir di luar sadarnya, “Sekarang kau mau apa?”

“Akulah yang bertanya,” berkata orang yang dikenal bernama Palot itu. “kalian mau apa? Akan membunuhku? Siapakah di antara kalian yang akan melakukannya?”

“Setan,” geram kakak seperguruan pemimpin padepokan itu. “aku yang akan membunuhmu.”

Palot itu tertawa. Suara tertawanya mempunyai kesan yang berbeda sekali dengan sikapnya sebelumnya. “Baiklah. Lakukanlah. Tetapi biarlah aku berbicara lebih dahulu,” berkata Palot.

“Apa yang akan kau katakan?” bertanya pemimpin padepokan itu.

“Aku akan berterus terang. Aku datang atas nama Akuwu Lemah warah,” berkata orang yang disebut Palot itu.

“Pengkhianat,” geram orang bertongkat.

“Terserahlah kau sebut apa,” berkata Ki Permita yang dikenal dengan nama Palot, “tetapi dengarlah. Kalian sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Akuwu Lemah Warah tentu akan memburu ke mana kalian pergi. Sekarang, padepokan ini telah diketahui letaknya oleh Akuwu Lemah Warah. Seandainya bukan aku yang menunjukkannya, maka banyak orang-orang kalian yang tertangkap.”

“Tetapi kita sekarang tidak lagi berada di Pakuwon Lemah Warah,” berkata pemimpin padepokan itu.

“Tetapi masih berada di tlatah Kediri, atau barangkali jika di luar Kediri juga masih di daerah Singasari,” jawab Palot. “padepokan ini memang berada di perbatasan antara Pakuwon Lemah Warah dan Pakuwon Panitikan. Tetapi justru karena itu maka kalian akan menjadi semakin sulit, karena Pakuwon Panitikan juga akan mengerahkan prajuritnya bersama prajurit Lemah Warah.”

Tetapi pemimpin padepokan itu menggeram, “Jangan menganggap kami anak-anak yang mudah sekali menjadi ketakutan. Kami sudah menentukan sikap. Sudahlah, jangan banyak bicara. Kau harus mati.”

“Tunggu,” berkata Palot, “masih ada pesan yang harus aku sampaikan.”

“Persetan,” geram para pemimpin yang ada di tempat itu.

“Dengarlah dahulu,” berkata Palot, “pesannya mengandung persahabatan.”

Orang-orang yang ada di ruang itu menjadi tegang. Saudara seperguruan pemimpin padepokan itu menjadi tidak sabar. Dengan nada tinggi ia berkata, “Tidak ada waktu lagi. Matilah dengan cara yang paling baik yang kau kehendaki.”

Tetapi orang yang disebut Palot itu berkata, “Tunggu. Dengarlah. Akuwu Lemah Warah menawarkan kesempatan kepada kalian untuk menyerah. Jika kalian bersedia menyerah, maka akan diadakan pembicaraan dengan para pemimpin di Kediri agar kalian mendapat pengampunan.”

“Gila,” teriak pemimpin padepokan itu. “kau kira kami sudah menjadi gila.”

“Bukan. Justru karena Akuwu Lemah Warah menganggap kalian masih tetap waras. Pertimbangkan. Kalian tidak lagi mempunyai kesempatan. Padepokan inipun akan dapat dihancurkan. Kalian tidak akan dapat melarikan diri untuk kedua kalinya,” berkata Ki Permita yang disebut Palot itu.

“Setan,” teriak kakak seperguruan pemimpin padepokan itu. “aku yang tidak terlibat dalam pertempuran itupun hatiku menjadi panas. Apalagi mengingat janji Panembahan yang tidak terpenuhi dengan alasan apapun juga. Ternyata bahwa ilmunya tidak mampu melindungi padepokan itu sebagaimana dijanjikannya. Karena itu, maka kau harus mati. Sebut, cara yang paling terhormat yang kau kehendaki.”

“Ki Sanak,” berkata Palot, “tenanglah sedikit. Renungkan tawaran itu. Jika kau sudah membuat pertimbangan-pertimbangan dengan nalar yang bening, barulah mengambil keputusan. Sekarang kalian belum sempat membuat pertimbangan itu, sehingga kalian dengan serta merta telah menolak tawaran yang bersahabat itu.”

“Tutup mulutmu,” teriak kakak seperguruan pemimpin padepokan itu. “sebut cara yang paling terhormat untuk mati yang kau inginkan.”

Ki Permita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Apakah benar-benar tidak ada jalan lain?”

“Tidak,” jawab kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.

Palot menarik nafas dalam-dalam. Namun sementara itu pemimpin padepokan itu pun berkata, “Biarlah anak-anak membunuhnya. Mengikatnya pada tonggak kayu di halaman padepokan. Biarlah ia menyebut cara yang paling baik yang dikehendakinya.”

“Tidak,” jawab kakak seperguruan pemimpin padepokan itu, “aku akan menyelesaikannya. Bukan orng lain. Biarlah sekali-sekali aku membunuh kelinci yang deksura, yang sombong dan tidak tahu diri.”

“Jangan kotori tanganmu dengan darah hamba yang setia dan dungu itu,” berkata pemimpin padepokan itu.

“Mulutnya membuat darahku mendidih,” berkata kakak seperguruannya itu. “karena itu biarlah aku melakukannya untuk mendapat kepuasan tersendiri. Di pertempuran membunuh merupakan kebanggaan. Tetapi sikap orang itu mendorong keinginanku untuk membunuhnya untuk mendapatkan kepuasan.”

Yang tidak disangka ternyata telah terjadi. Tiba-tiba saja orang yang disebut Palot itu tertawa. Bahkan kemudian dengan nada datar ia berkata, “Baiklah. Jika aku diberi kesempatan memilih jalan kematian, aku memilih perang tanding.”

Ruang itu telah dicengkam oleh ketegangan. Suara tertawa Palot itu benar-benar telah mengguncang setiap jantung. Mereka seakan-akan tidak percaya kepada penglihatan dan pendengaran mereka masing-masing.

“He, kenapa kalian menjadi bingung. Marilah, siapa yang akan membunuh aku dengan cara yang aku pilih?” berkata Palot kemudian.

Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu mengumpat. Dengan lantang iapun kemudian berkata, “Aku akan membunuhnya. Aku tahu satu cara untuk menggertak. Tetapi tidak ada gunanya. Aku akan tetap membunuhnya seperti membunuh seekor kelinci.”

“Marilah,” berkata Palot, “kita akan mencoba.”

“Siapkan arena di halaman. Bukan arena perang tanding. Tetapi aku akan membantainya, agar ternyata bahwa aku adalah orang yang melakukan apa yang aku katakan. Aku akan membunuhnya sepengetahuannya, agar ia dapat merasa bagaimana jalan kematiannya itu.”

Tetapi Palot itu masih tertawa. Katanya, “Seperti yang selalu aku dengar. Mengancam, menakut-nakuti dan segala macam ceritera yang mengerikan. Tetapi aku sudah terbiasa mendengarnya, dan karena itu aku sama sekali tidak gentar.”

“Setan,” kakak seperguruan pemimpin padepokan itu hampir saja menerkamnya. Namun ia sudah memerintahkan untuk menyiapkan arena, karena itu maka ia pun segera berjalan meninggalkan ruangan itu ke halaman sambil berkata, “Jika kau benar-benar jantan, aku tunggu kau di luar. Aku akan menyayat tubuhmu dan menghancurkan kepalamu sampai lumat.”

“Tidak usah banyak berbicara,” jawab Palot, “aku akan memasuki arena sebagai seorang hamba yang setia. Sekarang aku adalah abdi Sang Akuwu Lemah Warah yang mengemban tugas untuk memaksa para pemimpin padepokan ini menyerah atau membunuh mereka. Sebagai hamba yang setia, maka aku harus melakukannya.”

Darah kakak seperguruan pemimpin padepokan itu bagaikan mendidih karenanya. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa iapun telah turun ke halaman dan memasuki arena sambil berteriak, “Marilah. Semua orang di sekitar arena ini akan menjadi saksi.”

Ki Permita yang disebut Palot itu pun telah melangkah keluar ruangan itu menuju ke halaman. Namun beberapa orang pengawal mengamatinya agar orang itu tidak melarikan diri. Tanpa ragu-ragu Palot pun kemudian turun pula ke halaman. Dipandanginya orang-orang yang ada di sekelilingnya. Dengan suara mantap ia berkata, “Nah, kalian memang akan menjadi saksi kematian salah seorang pemimpin kalian dalam perang tanding ini. Jangan tangisi kepergiannya karena kesombongannya.”

Beberapa orang yang ada di sekitar arena itu menjadi heran melihat sikap orang yang disebut Palot itu. Seorang yang berjambang lebat berkata, “Apa orang itu telah menjadi gila karena ketakutan?”

Namun dalam pada itu, seorang yang termasuk orang berilmu di antara pengikut kakak seperguruan pemimpin padepokan itu berkata, “Ada dua kemungkinan. Ia menjadi gila, atau orang itu memang memiliki ilmu.”

Tetapi orang berjambang itu menyahut, “Orang itu tidak lebih dari seorang hamba yang setia dan patuh. Ia tidak pernah berbuat sesuatu selain atas nama tuannya yang ternyata tidak mampu melawan orang-orng Kediri itu.”

“Kita akan melihat apa yang terjadi,” berkata lawannya berbicara itu.

Arena itu pun kemudian menjadi tegang. Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu pun kemudian berkata lantang, “Lihatlah. Bagaimana aku membungkam mulut orang gila itu. Ketakutan itu telah sampai ke puncak sehingga ia telah kehilangan akalnya.”

Orang berjambang itu telah menggamit kawannya berbicara sambil berdesis, “Nah, bukankah dugaanku benar.”

Yang digamit menjawab, “Bukan benar. Tetapi dugaanmu sama dengan dugaan pemimpin kita itu.”

Orang berjambang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Ya. Memang sama.”

Namun perhatian mereka pun kemudian telah tertuju ke arena itu sepenuhnya. Kedua orang yang berada di arena itu sudah siap. Sementara itu, para pemimpin padepokan itu yang berilmu tinggi menjadi berdebar-debar, karena mereka melihat orang yang disebut bernama Palot itu pun telah menunjukkan sikap yang meyakinkan.

“Palot,” berkata kakak seperguruan pemimpin padepokan itu. “kau masih mempunyai kesempatan untuk menyebut nama ayah ibumu sebelum kau mati. Atau mungkin kau mempunyai pesan terakhir yang perlu kau katakan?”

“Memang mungkin ada yang ingin aku katakan,” berkata orang yang disebut Palot itu.

“Apa?” bertanya lawannya.

“Sebuah pertanyaan,” jawab Palot.

“Sebut,” lawannya menjadi geram.

“Di mana kau ingin dikubur setelah kau mati dalam perang tanding ini?” bertanya Palot.

“Gila,” orang itu berteriak sambil meloncat menyerang. Ia tidak lagi mampu menahan hatinya karena kesombongan sikap lawannya.

Tetapi Palot telah bersiap menghadapi kemungkinan itu. Karena itu, maka ia pun dengan tangkasnya telah meloncat menghindari serangan itu. Sambil tertawa ia berkata, “Inikah kemampuan seorang pemimpin tertinggi yang di padepokan ini?”

Orang itu mengumpat. Namun ia berkata, “Apakah kau menganggap bahwa yang aku lakukan adalah puncak dari kemampuanku.”

“Tidak. Tentu tidak,” jawab Palot, “baru pada tataran pertama. Aku masih menunggu tingkat-tingkat berikutnya. Baru jika kau sudah sampai ke puncak maka aku akan membalas.”

Sangat menyakitkan hati. Tetapi justru karena itu, maka lawannya itu pun berusaha menahan diri sambil berkata, “Jangan kau kira aku tidak mengetahui caramu yang licik itu. Kau sengaja membuat aku marah. Dengan demikian maka sebagian kemenangan telah tergenggam di tanganmu.”

“Jadi kau tidak marah?” bertanya Palot.

“Aku memang marah. Tetapi bukan marahnya anak-anak,” jawab kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.

Palot mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Nah. Jika demikian maka barulah aku mendapat lawan yang sebenarnya.”

“Kau terlalau sombong. Tetapi aku tahu. Kau ingin menolong dirimu sendiri dengan sikapmu. Jika kau berhasil membuat aku marah dan tidak terkendali, maka kau mengharap untuk dapat berbuat licik,” berkata lawannya.

Tiba-tiba saja Palot tertawa. Katanya, “Kau menyadari keadaan. Jika demikian tidak ada gunanya aku membuat marah. Sekarang aku harus menghadapimu dalam arena, benar-benar bertempur beradu ilmu.”

Lawannya termangu-mangu sejenak. Tetapi ia melihat sikap yang mantap pada Palot. Sangat berbeda dengan sikap seorang hamba yang setia, patuh dan dungu. Karena itu, maka lawannya itu pun menjadi semakin berhati-hati. Agaknya Palot memang bukan sekedar dapat membuatnya marah. Tetapi ia benar-benar memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri. Yang perlu dijajaginya, seberapa tingkat kemampuan itu.

Sejenak kemudian, maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu mulai menyerang. Meskipun ia menjadi lebih berhati-hati, namun ia tetap merasa sebagai orang yang memiliki ilmu tertinggi. Pemimpin padepokan itu adalah adik seperguruannya yang ilmunya lebih muda daripadanya.

Tetapi orang itu ingin membunuh lawannya dengan tangannya. Tidak dengan meminjam tangan atau mulut binatang buas yang manapun juga, yang dapat dipengaruhinya dengan ilmu gendam.

Demikianlah, maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin meningkat. Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu mulai menjadi heran bahwa lawannya, hamba yang setia dan dungu itu masih juga mampu mengimbangi ilmunya.

Sebenarnyalah bahwa Ki Permita justru sekedar mengikuti tingkat kemampuan lawannya yang semakin meningkat, ia tidak dengan serta merta mempergunakan puncak kemampuannya. Jika ia melakukannya, maka lawannya yang tidak menduga, akan dengan cepat diselesaikan. Tetapi Ki Permita tidak berbuat demikian. Jika ia berbuat dengan serta merta maka ia akan dianggap sebagai seorang yang licik meskipun lawannyalah yang sebenarnya telah merendahkannya.

Namun dengan demikian, lawannya, seorang yang memang berilmu tinggi mulai menyadari kesalahannya. Terpengaruh oleh sikap adik seperguruannya serta orang bertongkat dari perguruan Suriantal yang menganggap bahwa orang yang disebut Palot itu tidak lebih dari seorang hamba yang setia, patuh tetapi dungu, sehingga ia menganggap bahwa dengan sekedar kemampuan wajarnya ia akan dapat membantai orang itu.

Tetapi ternyata bahwa setelah ia mulai merambah pada tenaga cadangannya, orang itu masih juga tidak mengalami kesulitan. Karena itu, maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itupun berkata,

“Semakin lama aku semakin menyadari kenyataan. Kau tidak hanya mampu memancing kemarahan agar kau dapat berbuat licik. Tetapi kau agaknya memang memiliki kemampuan yang tinggi sehingga kau benar-benar merasa berani menghadapi aku. Bukan sekedar didorong oleh sikap putus asa dan tanpa harapan lagi, sehingga tingkah lakumu menjadi aneh.”

“Sudah aku katakan sejak semula,” berkata orang yang disebut Palot itu. “bahwa kaulah yang akan dikubur setelah perang tanding ini selesai.”

“Baik. Aku sudah bersiap sekarang. Aku tidak akan menganggap kau sebagai seorang hamba yang dungu. Tetapi agaknya kau memang seorang yang pantas untuk turun ke dalam arena perang tanding. Namun sayang, bahwa pada kesempatan ini kau bertemu dengan aku,” berkata kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.

Tetapi orang yang disebut Palot itu tertawa. Katanya, “Siapapun yang kau hadapi, bukan soal. Tetapi sekali lagi aku menawarkan kepada kalian untuk menyerah. Dengan demikian maka Akuwu Lemah Warah atas persetujuan orang-orang Kediri akan dapat membuat pertimbangan-pertimbangan lain tentang kalian.”

“Tutup mulutmu,” geram kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.

Palot masih akan menjawab lagi. Tetapi lawannya telah mulai bergeser. Orang yang disebut Palot itu tidak lagi dapat sekedar melayani lawannya. Ia sadar bahwa lawannya tentu mulai mempergunakan kemampuannya dan ilmunya untuk mengalahkannya.

Sebenarnyalah bahwa ketika kakak seperguruan pemimpin padepokan itu mulai menyerang, maka segala-galanya telah berbeda. Angin yang menyambarnya ketika ia mengelak terasa menampar tubuhnya. Demikian kerasnya, sehingga kulitnya merasa pedih.

Palot menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar sepenuhnya, jika anginnya cukup membuat kulitnya pedih, apalagi jika ia tersentuh langsung oleh serangan itu. Karena itu, maka Ki Permita yang disebut Palot itu pun telah meningkatkan daya tahannya. Pertempuran yang akan terjadi kemudian adalah pertempuran antara dua orang yang berilmu tinggi. Bukan hanya Ki Permita yang disebut Palot itu sajalah yang menyadari akan hal itu, tetapi lawannya pun menyadarinya pula.

Ketika lawannya meloncat menyerangnya lagi, maka Palot telah bergeser pula. Sekali lagi terasa angin menerpa kulitnya. Namun Palot tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran. Demikian serangan lawannya meluncur sejengkal dari kulitnya, maka Palot lah yang kemudian mengangkat kakinya. Tubuhnya-pun menjadi semakin condong sementara kakinya terayun lurus menyamping.

Lawannyalah yang kemudian meloncat menghindari serangannya. Namun ternyata bahwa jantungnya pun telah berdesir. Orang yang dikatakan hamba yang setia dan dungu itu ternyata seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Meskipun kakinya tidak mengenai sasaran, tetapi udara panas bagaikan berhembus menyertai ayunan kaki itu.

Dengan demikian maka ternyata bahwa hamba yang setia itu mampu mengimbangi kemampuan lawannya, yang mampu menampar tubuh lawannya dengan sambaran angin oleh dorongan serangannya, sementara hamba yang setia itu mampu menghembuskan udara panas.

Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu pun menjadi berdebar-debar. Bahkan pemimpin padepokan itu dan orang bertongkat dari perguruan Suriantal menjadi berdebar-debar. Mereka tidak saja menyaksikan pertempuran itu, tetapi mereka merasa betapa tajamnya angin menyambar kulit mereka dan sentuhan udara panas yang menyengat. Dengan demikian mereka dapat menduga, seberapa tingkat kemampuan kedua orang yang bertempur itu.

Serangan demi serangan datang dan bahkan kadang-kadang saling menyusul. Namun keduanya memiliki kemampuan yang luar biasa sehingga serangan-serangan itu sama sekali tidak mengenai sasaran. Meskipun demikian perasaan sakit pun telah menggigit kulit oleh sambaran angin dan udara panas.

Namun ketahanan tubuh mereka yang tinggi, ternyata telah mampu mengatasi perasaan sakit itu. Sementara itu mereka yang bertempur itupun telah semakin meningkatkan ilmu mereka sehingga pertempuran pun semakin lama menjadi semakin seru.

Tidak seorang pun yang dapat menduga, siapakah di antara mereka yang akan memenangkan pertempuran itu. Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu memang memiliki tataran ilmu yang lebih tinggi dan masak dari pemimpin padepokan itu sendiri, sehingga dengan demikian maka ia adalah orang yang jangat berbahaya bagi lawan-lawannya jika terlibat dalam pertempuran.

Namun ternyata bahwa lawannya, hamba yang setia dan dungu itu memiliki tingkat ilmu yang mampu mengimbanginya, sehingga dengan demikian pertempuran pun menjadi betapa sengitnya. Serangan dibalas dengan serangan. Namun keduanya memiliki kecepatan gerak untuk saling menghindari. Sehingga untuk beberapa lamanya, pertempuran itu berlangsung tanpa dapat diduga apa yang akan terjadi.

Namun, karena tata gerak mereka menjadi semakin cepat dan semakin kuat, maka mereka pun kemudian tidak selalu sempat menghindarkan diri dari serangan demi serangan. Namun mereka tidak ingin membiarkan tubuh mereka dikenai oleh serangan lawannya.

Karena itu, maka ketika lawan Palet itu meloncat menyerang dengan kecepatan yang tidak terduga, sementara Palot masih baru meletakkan kakinya setelah menghindari serangan sebelumnya, maka Palot itu tidak sempat lagi menghindar. Ia sadar, bahwa serangan kakak seperguruan pemimpin padepokan itu demikian dahsyatnya, jika benar-benar mengenai lambungnya, maka tulang-tulang iganya akan berpatahan.

Karena itu, maka yang dapat dilakukannya adalah melindungi lambungnya dari ujung serangan lawannya. Demikianlah ketika telapak kaki lawannya itu meluncur ke arah lambung, maka Palot telah merendahkan dirinya. Dengan sikunya ia melindungi lambungnya itu. Namun ia tidak sekedar bertahan. Dengan segenap kekuatan yang sempat terhimpun ia pun mendorong serangan lawannya pula

Demikianlah telah terjadi benturan yang dahsyat sekali. Sentuhan kaki kakak seperguruan pemimpin padepokan itu terasa bagaikan menyayat lengan Ki Permita yang dikenal bernama Palot itu. Sementara itu kekuatan yang sangat besar telah mendorongnya sehingga Palot itu terlempar beberapa langkah. Tubuhnya bagaikan terbanting. Beberapa kali ia berguling. Baru kemudian sambil menyeringai ia berusaha untuk bangkit.

Namun Palot terpaksa berdiri pada sebelah lututnya, sementara ia berusaha mengatur pernafasannya yang menjadi terengah-engah. Bahkan rasa-rasanya lehernya telah tersumbat oleh hentakan yang menyesak di dadanya. Perlahan-lahan Palot berhasil menembus sesak nafasnya, sehingga pernafasannya itu pun menjadi semakin teratur. Darahnya yang bergejolak oleh degup jantungnya yang melonjak-lonjak, dapat dikuasainya pula. Sementara Palot berusaha untuk meningkatkan daya tahannya dengan alas ilmunya yang mapan. Palot memang tidak tergesa-gesa. Ia sempat melakukannya karena ia melihat keadaan lawannya yang tidak lebih baik dari dirinya.

Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu ternyata telah terpental pula beberapa langkah. Kakinya yang mengenai siku Palot yang melindungi lambungnya, bagaikan menghantam besi yang membara. Betapa keras dan panasnya, sehingga ia justru terpental oleh kekuatannya sendiri beberapa langkah. Kecuali panas yang membakar kakinya, tulang-tulang kakinya terasa bagaikan berpatahan. Bahkan panas itu rasa-rasanya bagaikan merambat sampai ke seluruh tubuhnya.

Untuk beberapa saat lamanya kakak seperguruan pemimpin padepokan itu terbaring diam. Dengan segenap sisa kemampuannya, ia berusaha memperbaiki keadaannya. Ditingkatkannya daya tahan tubuhnya, sehingga perasaan sakitnya mulai berkurang. Perlahan-lahan orang itu pun mulai bangkit. Ia menduga, bahwa lawannya, hamba yang dungu yang bernama Palot itu telah berhasil dibinasakan meskipun keadaannya sendiri terasa sakit hampir di seluruh tubuhnya.

Namun ketika ia berhasil bangkit dan duduk sambil menahan sakit, alangkah terkejutnya ketika ia melihat orang yang disebut Palot itu sudah bangkit dan bahkan sedang mencoba untuk berdiri tegak. “Setan,” geram kakak seperguruan pemimpin padepokan itu. “Jadi kau belum mati?”

Palot justru mencoba tersenyum. Ketika ia sudah mampu berdiri tegak, maka iapun telah bertolak pinggang sambil berkata, “Marilah. Bangkitlah. Aku sudah menunggu.”

Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu menggeretakkan giginya. Ia pun kemudian berusaha untuk berdiri tegak meskipun tulang-tulangnya bagaikan gemeretak.

“Bagaimana Ki Sanak,” suara Palot masih tetap terdengar lantang.

“Persetan,” geram lawannya, “seharusnya kau sudah mati.”

“Tetapi aku belum mati,” berkata Palot, “karena bukan akulah yang akan mati.”

“Persetan. Persetan,” lawannya itu berteriak, “kau harus mati. Kau kira bahwa aku benar-benar sudah sampai pada puncak kemampuanku.”

“Tidak,” jawab Palot, “aku tahu bahwa kau belum sampai ke puncak ilmumu. Seharusnya kau sadar, bahwa kau terlalu merendahkan aku. Kau menganggap bahwa seorang hamba yang setia itu tentu dungu dan tidak berilmu sama sekali. Ternyata bahwa dungaanmu itu salah Ki Sanak. Meskipun aku hamba yang setia, tetapi aku bukan orang yang dungu dan sama sekali tidak berilmu.”

“Kau terlalu sombong. Sampai saat ini aku masih belum menunjukkan kemampuanku yang sebenarnya. Tetapi dalam keadaan seperti ini, maka kau akan mengalami nasib yang paling buruk. Sebenarnya aku ingin membunuhmu dalam keadaan wajar. Tetapi ternyata aku terpaksa menghancurkan tubuhmu berkeping-keping. Aku tidak mempunyai pilihan lain,” geram orang itu.

Palot memandang orang itu dengan tajamnya. Namun ia-pun sadar, bahwa orang itu tidak hanya sekedar membual. Orang itu tentu memiliki kemampuan melampaui pemimpin padepokan itu. Dengan demikian maka banyak kemungkinan dapat terjadi. Salah satu ilmu yang pantas diperhitungkan adalah ilmu penglimunannya. Dengan ilmu itu, maka Palot tentu akan mengalami kesulitan untuk melawannya.

Menurut perhitungan Ki Permita, sebagaimana pemimpin padepokan itu, maka kakak seperguruannya pun tentu memiliki ilmu yang sama. Jika Pemimpin padepokan itu, yang pernah tinggal bersama Palot masih belum mampu menyempurnakan ilmunya, maka kakak seperguruannya agaknya akan berbeda.

Karena itu, maka Palot pun telah mengetrapkan kemampuan tertinggi dari daya tahannya. Ia akan mendapat serangan yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Bukan sekedar kekuatan wadag sewajarnya. Tetapi kekuatan ilmu yang dahsyat.

Untuk beberapa saat kedua orang itu masih saling berdiam diri. Mereka tengah memusatkan segenap nalar budi untuk memulihkan kekuatan dan kemampuan masing-masing. Kemudian meningkatkannya sampai kepuncak.

Sejenak kemudian, maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu pun mulai bergerak. Namun iapun kemudian memandang berkeliling. Kepada orang-orang yang ada disekitarnya dan menyaksikan perang tanding itu, ia berkata, “Minggirlah. Jika kalian ikut terkena seranganku bukan salahku.”

Orang-orang yang menyaksikan perang tanding itu pun dengan serta merta telah menebar. Mereka tidak hanya mundur ampat lima langkah. Tetapi mereka telah bergeser sejauh-jauhnya dari arena. Namun mereka masih tetap ingin melihat apa yang akan terjadi. Karena itu, ada di antara mereka yang berdiri di belakang sebatang pohon yang setiap saat akan dapat dijadikannya tempat untuk berlindung.

Karena itu, maka halaman padepokan itu pun kemudian menjadi semakin lapang. Dengan demikian maka arena pertempuran itupun tidak lagi terganggu oleh orang-orang yang menyaksikan. Kedua orang yang berperang tanding itu mendapat kesempatan dengan leluasa untuk mengerahkan segenap ilmunya.

Sejenak kemudian kedua orang itu agaknya telah bersiap sepenuhnya. Ketika kakak seperguruan dari padepokan itu bergeser, maka Palot pun telah bergeser pula. Dalam pada itu, maka tiba-tiba saja kakak seperguruan pemimpin padepokan itu telah menghentakkan tangannya ke arah Palot yang telah bersiaga sepenuhnya pula.

Secercah sinar tiba-tiba telah menyambarnya. Sinar yang meloncat dari telapak tangan orang itu. Palot melihat sinar yang menyambar itu. Karena itu, maka dengan serta merta, maka ia pun telah meloncat menghindar, sehingga sinar itu meluncur sejengkal dari tubuhnya.

Namun akibatnya memang mendebarkan. Sinar yang memancar itu yang tidak mengenai sasarannya ternyata telah menyambar gerumbul-gerumbul perdu. Sinar yang memancar itu seakan-akan merupakan senjata yang luar biasa. Dedaunan dan ranting-ranting yang disambar menurut garis lurus telah dihancurkannya, melampaui meluncurnya sebatang tombak yang dilontarkan dengan kekuatan yang sangat besar.

Jantung orang-orang yang menyaksikan dari jarak yang agak jauh itu pun menjadi berdebar-debar. Jika serangan itu mengenai sasarannya, maka tubuh yang ditembus oleh kekuatan ilmu itu tentu akan hancur dan tulangnya pun akan berpatahan.

Palot sendiri memang menjadi berdebar-debar. Meskipun ia tidak dikenai oleh serangan itu, namun sambaran anginnya telah menyakitinya sebagaimana serangan wadagnya. Namun Palot tidak sempat memperhatikan akibat serangan itu untuk selanjutnya, karena tiba-tiba saja lawannya telah melakukan gerakan yang sama pula.

Palot harus meloncat pula menghindar. Namun serangan berikutnya ternyata telah menyusulnya, sehingga Palot yang dalam kesulitan tidak dapat berbuat lain kecuali menjatuhkan dirinya sambil berguling. Serangan lawannya itu meluncur di atas tubuhnya yang berguling, hampir saja menyambar pundaknya.

Namun Palot tidak membiarkan lawannya menyerangnya terus menerus. Sambil berguling, maka iapun telah mengacukan tangannya pula. Hanya sebelah. Tetapi ternyata dari tangannya bagaikan meluncur segumpal api yang menyambar ke arah lawannya.

Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa Palot mampu menyerangnya dalam keadaan yang sulit itu. Karena itu, maka ia tidak dapat menyusul serangannya dengan serangan berikutnya, karena ia harus menghindari sambaran gumpalan api yang meluncur dengan cepatnya. “Gila,” geram lawannya.

Sebenarnyalah gumpalan api yang dilontarkannya sambil berguling itu bagaikan terbang karena tidak mengenai sasarannya. Namun gumpalan api itu telah menyambar sebatang pohon gayam. Akibatnya memang membuat kulit meremang. Daun pohon gayam yang tersambar gumpalan api itu bagaikan didera oleh api yang panasnya melampaui bara besi baja. Terbakar dan menjadi abu.

Sekali lagi lawannya mengumpat. Ternyata Palot benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa, yang tidak disangka sebelumnya. Meskipun lawannya itu menyadari bahwa Palot memiliki ilmu yang tinggi, tetapi ternyata kenyataan yang dihadapinya jauh lebih berbahaya dari yang diperkirakannya sebelumnya.

Demikianlah maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Keduanya tidak berusaha untuk saling mendekat dan mengenai lawanya dengan wadagnya. Keduanya telah saling menyerang dari jarak tertentu dengan mempergunakan ilmu mereka masing-masing yang berimbang. Masing-masing mempunyai kelebihannya, sehingga tidak seorangpun yang dapat memperhitungkan, siapakah yang akan menang dan siapa yang akan kalah.

Pemimpin padepokan itu serta pemimpin perguruan Suriantal yang ada dipadepokan itu pula, hanya dapat menahan nafas mereka, ketika mereka melihat pertempuran dari dua raksasa ilmu yang nggegirisi. Apalagi para pengikut mereka, rasa-rasanya mereka melihat pertempuran itu bagaikan mimpi. Rasanya-rasanya apa yang terjadi itu di luar jangkauan nalar mereka.

Para pengikut kakak seperguruan pemimpin padepokan itu yang yakin akan kemampuan pimpinan mereka, ternyata merasa heran dan kagum melihat pemimpin mereka sampai ke puncak ilmunya. Mereka belum pernah menyaksikan pertempuran dalam benturan ilmu sedahsyat itu. Kekuatan yang terlontar dari diri masing-masing oleh dorongan ilmu yang sangat tinggi, membuat udara di padepokan itu penuh dengan sambaran-sambaran maut.

Karena itulah maka orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu semakin lama menjadi semakin memencar. Bahkan sebagian besar dari mereka pun kemudian mencari tempat untuk dapat berlindung pada saat-saat yang gawat, karena serangan yang tidak mengenai sasaran.

Sementara itu, sambaran-sambaran ilmu dari kedua orang yang sedang bertempur itu telah mematahkan dan membakar ranting dan cabang-cabang pepohonan. Suara retaknya cabang-cabang yang dibarengi dengan gumpalan-gumpalan api yang membakar reruntuhan gerumbul dedaunan merupakan peristiwa yang sangat mendebarkan jantung.

Dalam pada itu, pemimpin padepokan itu menjadi semakin berdebar-debar melihat api yang menyambar-nyambar. Sedangkan kakak seperguruannya tidak segera mampu menguasai hamba yang setia dari seorang yang disebutnya Panembahan.

Tetapi pemimpin padepokan itu masih mempunyai harapan. Ia tahu bahwa saudara seperguruannya itu juga memiliki ilmu Panglimunan yang cukup mapan, sehingga jika ilmu itu diuapkan, maka ia tentu akan dapat membuat lawannya menjadi bingung.

Namun kakak seperguruannya masih belum mempergunakannya. Ia masih berusaha menghancurkan lawannya dengan kemampuannya yang lain. Serangan yang meluncur bagaikan lembing yang dilontarkan dengan kekuatan yang tiada taranya.

Meskipun serangan itu tidak tertangkap oleh mata wadag. Namun akibatnyalah yang dapat dilihat. Ranting dan cabang pepohonan yang terkena serangan itu telah berderak patah dan jatuh ke tanah. Semakin lama pertempuran itu menjadi semakin dahsyat dan semakin sulit untuk diikuti.

Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu dan Ki Permita yang disebut Palot itupun telah mengerahkan segenap kemampuan pada jenis ilmunya itu. Namun ternyata keduanya masih belum mampu mengalahkan lawannya. Karena itulah maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu telah mempertimbangkan untuk mempergunakan ilmunya yang terakhir. Puncak kemampuannya yang jarang dipergunakannya, kecuali pada saat dan keadaan yang tidak teratasi.

Sementara itu, ia masih belum menemukan cara yang dapat dipergunakan untuk mengalahkan lawannya. Sehingga karena itu, maka ilmu pamungkasnya itulah satu-satunya kemungkinan yang paling baik dipergunakannya.

Palot yang mampu mengimbangi ilmu lawannya itu melihat perubahan sikap pada lawannya itu. Karena itu. maka ia pun harus menyiapkan diri menghadapi segala kemungkinan, karena ia memang menduga bahwa lawannya itu menguasai ilmu panglimunan yang dapat dipergunakan setiap saat.

Karena itu, maka Ki Permita pun harus menyiapkan ilmunya yang mungkin akan dapat dipergunakannya untuk melawan ilmu itu, karena ia sendiri tidak menguasai Aji Panglimunan. Namun Ki Permita pernah mendengar serba sedikit tentang ciri-ciri dari Aji Panglimunan itu. Karena itu, maka ia harus melawan kemampuan ilmu itu dengan ilmu yang dikuasainya.

Sebenarnyalah maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu sudah bersiap memasuki dunia panglimunan. Karena itu, maka ia berusaha untuk menghentakkan lawannya untuk mendapat kesempatan mengetrapkan ilmunya. Palot yang tanggap akan rencana lawannya, telah mengatur diri pula. Ketika lawannya menyerangnya dengan kemampuan tertinggi dari ilmu yang dipergunakannya itu, Palot telah melenting menghindarinya dengan loncatan yang jauh.

Demikianlah, maka tiba-tiba saja lawannya telah bergeser surut. Dalam kesiagaan tertinggi untuk menghadapi serangan Palot dengan gumpalan apinya, maka bayangan orang itu semakin lama menjadi semakin kabur, sehingga akhirnya kakak seperguruan pemimpin padepokan itu telah hilang dan tangkapan mata wadag.

Namun adalah di luar dugaan, bahwa pada saat itu tiba-tiba saja kabut yang tebal bagaikan turun menyelimuti halaman padepokan itu. Demikian cepat sehingga tiba-tiba saja halaman itu telah menjadi gelap.

Demikianlah, maka dua orang yang sedang bertempur itu memang telah hilang. Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu telah mempergunakan ilmu pamungkasnya, sementara Ki Permita yang dikenal dengan nama Palot itu telah menyelubungi dirinya dengan kabut tidak hanya di sekitar tubuhnya saja, tetapi hampir di seluruh halaman padepokan.

“Gila,” tiba-tiba terdengar umpatan kasar, “kenapa kau bersembunyi di balik kabutmu. Aku mempunyai Aji Panglimunan yang sah dapat aku pergunakan dalam perang tanding,” jawab kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.

“Kau kira ilmuku tidak sah dipergunakan?” bertanya Palot.

Sejenak kemudian sekali lagi terdengar umpatan kasar. Namun meskipun lawan Palot itu berada di dunia panglimunan, namun ia tidak segera dapat menemukan Palot yang terselubung kabut tebal.

Demikianlah terjadi pertempuran antara dua orang lawan yang tidak saling melihat. Kakak seperguruan dari pemimpin padepokan itu telah mempergunakan Aji Panglimunan yang sudah dalam tataran yang cukup tinggi, sehingga ia benar-benar berhasil untuk tidak dapat dilihat oleh mata wadag orang lain betapapun tajamnya. Namun ternyata bahwa lawannya yang dikenalnya bernama Palot telah berhasil menyelubungi dirinya dengan kabut yang tebal, sehingga dalam dunia panglimunan kakak seperguruan pemimpin padepokan itu tidak juga berhasil melihat, di mana Palot itu berada.

Namun dengan sekedar menduga-duga, maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu telah meluncurkan serangannya, menembus pusat dari Kabut yang gelap itu. Namun serangan itu meluncur tanpa mengenai sasarannya. Karena ternyata Palot tidak berada di pusat kabut yang meliputi seluruh padepokan itu. Namun orang yang tidak nampak itu berkali-kali melontarkan serangan ke beberapa arah. Ia berharap bahwa pada satu saat, serangannya itu akan mengenai sasarannya.

Tetapi ternyata bahwa serangannya tidak pernah menyentuh orang yang disebut Palot itu. Karena itu, maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu telah bertekad untuk menemukan lawannya. Dengan tanpa ujud menurut penglihatan wadag, maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu telah memasuki daerah kabut yang gelap. Tetapi orang itu merasa seolah-olah ia telah berada di dalam sebuah goa yang gelap yang tidak dapat ditembus oleh ketajaman pandangan matanya.

Namun tiba-tiba saja orang itu terkejut ketika ia mendengar suara bergulung-gulung, “Nah, marilah. Kenapa kau berhenti menyerang? Jika kau dapat menembus setiap titik pada kabutku, maka kau baru akan dapat mengenai aku.”

Orang yang menyusup di antara kabut dengan tidak menampakkan ujudnya itu menggeram. Dengan nada berat ia berkata, “Setan licik. Kemanapun kau bersembunyi. Aku akan menemukannya.”

Namun belum lagi getar kata-katanya hilang dari udara berkabut itu, tiba-tiba terdengar sebuah gumpalan api bagaikan bergaung tidak lebih sejengkal dari tubuhnya. Saudara tua seperguruan pemimpin padepokan itu terkejut bukan kepalang. Meskipun dalam dunia panglimunan, namun serangan ilmu orang yang dikenalnya bernama Palot itu akan dapat menghancurkannya apabila tepat mengenai tubuhnya. Sebab tubuhnya masih tetap sebagaimana wadagnya sewajarnya. Hanya karena pengaruh Aji Panglimunan wadagnya itu tidak nampak oleh penglihatan wajar orang lain.

Karena itu maka saudara seperguruan pemimpin padepokan itu harus lebih berhati-hati menghadapi lawan yang seorang ini. Jika lawan-lawannya yang berilmu tinggi, namun pernah dihancurkannya dengan ilmu panglimunannya, ternyata ia tidak segera dapat melakukannya atas Palot. Pada saat ia hilang dari pandangan Palot, maka Palot itu pun hilang pula dari pandangan matanya.

Sejenak kemudian, maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu telah mengulangi serangan-serangannya ke segala arah. Tanpa tahu pasti di mana sasaran yang ditujunya, ia asal saja melepaskan serangan. Namun Palot pun ternyata telah berbuat serupa. Gumpalan apinya pun berterbangan mencari sasaran yang tidak dilihatnya.

Beberapa saat terjadi lontaran-lontaran ilmu tanpa arah. Keduanya berusaha memperhatikan sumber dari serangan lawannya. Tetapi hal itu telah diperhitungkan pula, sehingga setiap pihak yang melepaskan serangannya, segera meloncat dari tempatnya karena serangan lawannya dengan cepat akan menyambar tempat itu.

Orang-orang yang berada di sekeliling halaman padepokan itu menjadi bingung. Mereka tidak melihat apapun juga. Mereka yang pernah berada di padepokan Suriantal segera mengenali ilmu yang dilontarkan oleh Palot. Ilmu yang pernah dilepaskan pula oleh orang yang disebutnya Panembahan. Bahkan dengan ilmu itu Panembahan pernah menyelamatkan padepokan Suriantal dari kehancuran karena serangan para prajurit Lemah Warah.

Namun pada serangan yang kedua, pasukan Lemah Warah yang diperkuat oleh orang-orang Kediri mampu melawan Panembahan yang berilmu sangat tinggi itu bahkan menghancurkannya. Pemimpin padepokan itu dan pemimpin perguruan Suriantal hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Meskipun mereka orang yang termasuk berilmu tinggi, namun ternyata bahwa mereka merasa ketinggalan menyaksikan pertempuran yang dahsyat itu. Namun yang kemudian ternyata tidak dapat dilihatnya sama sekali.

Namun yang mengerikan adalah setiap kali mereka melihat pepohonan di halaman padepokan itu berguncang. Ranting dan dahan berpatahan, sementara daunpun terbakar dan berguguran, seolah-olah di halaman padepokan itu akan terjadi bencana yang maha dahsyat yang akan menghancurkan seluruh padepokan itu.

“Ternyata Palot memiliki kemampuan sebagaimana Panembahan,” berkata pemimpin perguruan Suriantal.

“Kita salah menilai orang itu,” berkata pemimpin padepokan itu. “kita menganggapnya tidak lebih dari seorang hamba yang setia tetapi dungu. Hamba yang dengan sombong menyampaikan perintah tuannya karena merasa tuannya itu berkuasa. Namun ternyata bahwa hamba yang setia itu sendiri memiliki kemampuan yang sama, atau setidak-tidaknya hampir sana dengan orang yang disebutnya Panembahan itu.”

Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Kabut yang memencar itu benar-benar telah meliputi seluruh halaman padepokan. Karena itu, maka mereka yang menyaksikan kedahsyatan pertempuran itu harus menebar lebih luas, dan bahkan sebagian di antara mereka telah naik ke atas dinding halaman.

Sementara itu pertempuran yang dahsyat itu masih berlangsung meskipun tidak dapat diikuti dengan mata wadag. Tetapi kesan dan akibatnya sajalah yang nampak oleh mereka menggetarkan seluruh halaman. Semakin lama kedua belah pihak menjadi semakin gelisah. Mereka tidak segera dapat menyelesaikan pertempuran itu. Serangan-serangan mereka yang tidak terarah dengan baik tidak segera dapat mengenai sasaran, sehingga dengan demikian mereka telah banyak menghamburkan tenaga.

Dengan demikian maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu mulai mengurangi serangan-serangannya. Ia ingin memasuki lagi daerah berkabut itu dan mencarinya. Bukan ilmunya yang dilontarkannya ke segala arah. Tetapi ia sendiri akan mencarinya meskipun ada kemungkinan terkena serangan Palot juga dilontarkan tanpa arah dan sasaran, selain sekedar menduga-duga.

Untuk beberapa saat kakak seperguruan pemimpin padepokan itu berusaha. Namun ia tidak segera menemukannya meskipun ia sudah menjelajahi hampir seluruh bagian berkabut itu. Terutama di halaman karena dari halaman itulah serangan-serangan Palot dilontarkan. Tetapi semuanya gelap semata-mata.

Sementara itu Palot pun telah tidak telaten lagi. Ia ingin cepat menyelesaikan pertempuran itu. Karena itu maka ia telah berusaha memancing lawannya untuk melepaskan serangan agar ia dapat menduga di mana lawannya itu berada. Sejenak kemudian, serangan Palot itu terlontar lagi ke beberapa arah. Sebenarnyalah lawannya telah dengan serta merta membalasnya ke arah sumber serangan itu. Palot tidak menyerang dengan gumpalan-gumpalan apinya lagi. Tetapi ia ingin menyelesaikan pertempuran itu segera.

Karena itu ketika ia yakin bahwa lawannya yang tidak dapat dilihatnya itu masih tetap berada di tengah halaman, maka ia pun telah mengambil langkah yang menentukan, ia tidak melepaskan gumpalan apinya, namun tiba-tiba halaman itu telah diguncang oleh prahara yang dahsyat. Angin pusaran yang keras dan mengandung tenaga yang dahsyat sekali telah berputaran hampir di seluruh halaman. Demikian cepatnya, sehingga tidak mungkin bagi seseorang yang berada di halaman itu melepaskan diri, kecuali yang berada di tepi melekat dinding.

Beberapa orang yang duduk di atas dinding halaman telah terlempar keluar, sementara itu, satu dua orang yang masih berada di halaman telah berusaha melekat dinding halaman. Satu dua di antara mereka sempat meloncat. Namun di luar keinginan Palot, ternyata ada juga yang terlempar ke udara dan terbanting jatuh tanpa ampun lagi. Apalagi mereka yang berada di bagian tengah halaman. Pepohonan telah tercabut dan dengan suara yang berderak bagaikan dilontarkan dan terbang di udara.

Bahkan barak-barak yang terdekat dengan halaman padepokan itupun telah terputar dan runtuh berserakan. Sesuatu yang sangat dahsyat telah terjadi. Apalagi di pusat angin prahara itu. Tidak akan ada orang yang akan mampu bertahan betapapun tinggi ilmunya.

Demikian pula dengan kakak seperguruan pemimpin padepokan itu. Ia sama sekali tidak mengira bahwa ia akan mendapat serangan yang sangat dahsyat itu. Karena itu maka ia tidak bersedia untuk melawannya. Ketika ia mulai terputar dengan kerasnya dan terlempar ke udara maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu baru menyadari bahwa ia sudah terputar oleh ilmu Palot yang sangat dahsyat. Ilmu pamungkas yang jarang ada duanya di seluruh Kediri bahkan Singasari.

Dalam keadaan yang sulit itu, maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk melawannya. Tubuhnya yang tidak nampak oleh mata wadag itu bagaikan tidak berdaya sama sekali. Seperti sebatang kayu yang terperosok ke dalam pusaran air yang sangat dahsyat di ujung banjir.

Untuk beberapa saat tubuh itu berputaran di udara. Kemudian bagaikan hanyut melambung tinggi. Namun tiba-tiba tubuh itu telah meluncur dan terbanting jatuh di atas tanah yang keras di halaman. Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu memang sempat meningkatkan daya tahannya. Namun ketika ia terbanting dari ketinggian maka tubuhnya bagaikan remuk. Tulang-tulangnya seakan-akan berpatahan dan isi dadanya bagaikan rontok dari tangkainya.

Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu mengeluh. Namun ia tidak kuasa lagi mengetrapkan ilmunya, sehingga tubuhnya pun perlahan-lahan mulai nampak oleh mata wadag. Sementara itu kabut pun mulai menipis dan hilang dihembus sisa-sisa angin yang masih berputar perlahan-lahan.

Semua mata yang sempat menyaksikan terbelalak melihat keadaan halaman padepokan yang berserakan. Pepohonan tumbang, dan barak-barakpun bertebaran. Sementara itu ada tiga sosok tubuh yang terbaring diam. Sementara lebih dari sepuluh orang yang berdiri terlambat melekat dinding telah terlempar dan hampir pingsan. Bahkan di luar dinding halaman-pun beberapa orang telah kesakitan karena terlempar dari atas dinding.

Kakak seperguruan pemimpin padepokan itupun terbaring diam. Namun nafasnya masih nampak menggerakkan dadanya. Perlahan-lahan Palot melangkah mendekatinya. Bahkan kemudian berjongkok di sisinya.

“Ternyata kau luar biasa,” berkata orang yang sudah kehilangan hampir segenap tenaganya itu.

“Aku terpaksa melakukannya,” sahut Palot.

“Aku mengaku kalah,” desis lawannya sambil tersenyum, “kau adalah orang terbesar sampai saat ini. Karena itu, kau harus bertindak sebagaimana dilakukan oleh Panembahan, melawan orang-orang Kediri.”

Tetapi Palot menjawab, “ternyata bahwa orang-orang Kediri apalagi orang Singasari lebih besar dari Panembahan. Apalagi aku. Aku tidak akan mampu berbuat apa-apa.”

Tiba-tiba saja senyumnya lenyap dari bibirnya. Dengan nada dalam ia berkata, “Kau tidak boleh menjadi pengkhianat. Kau mampu melawan orang-orang Kediri.”

Palot termangu-mangu sejenak. Namun menghadapi orang yang sedang dalam kesulitan itu, Palot tidak sampai hati untuk menolak kata-katanya. Karena itu maka iapun berkata, “Baiklah Ki Sanak. Barangkali aku memang memiliki sekedar ilmu untuk meneruskan perlawanan Panembahan terhadap orang-orang Kediri.”

“Bagus,” orang itu seakan-akan ingin bangkit. Namun iapun kemudian terbaring lagi. Bahkan orang itupun lelah terdiam untuk selama-lamanya.

Palot menarik nafas dalam-dalam. Ia menunduk sejenak. Bagaimanapun juga orang itu pantas dihormati. Ilmunya bertimbun di dalam dirinya sehingga orang itu merupakan orang yang sangat disegani. Perlahan-lahan Palot itupun bangkit berdiri. Diamatinya orang-orang yang berada di sekeliling halaman depan padepokan itu melekat dinding. Bahkan beberapa orang yang telah berada di atas dinding halaman itu pula.

Dengan sikap seorang yang telah memenangkan perang Palot memandang berkeliling. Memandang wajah-wajah yang gelisah dan cemas. Sementara itu pemimpin padepokan itu dan orang bertongkat, pemimpin perguruan Suriantal berdiri termangu-mangu memandang Palot yang tegak di tengah-tengah halaman, di sebelah tubuh kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.

Palot mengangkat wajahnya dan menengadahkan dadanya. Ia benar-benar seorang pahlawan yang telah berhasil mengalahkan lawannya di arena perang tanding. Kemudian katanya kepada semua orang yang memandanginya itu,

“Marilah. Siapa lagi yang akan menantang aku untuk berperang tanding? Atau jika tidak, siapakah yang masih akan menangkap aku? Marilah, majulah beramai-ramai. Aku akan menggilas kalian dengan angin praharaku. Bukan salahku jika di halaman ini akan berserakkan mayat kalian yang dihancurkan oleh angin pusaran.”

Tidak seorangpun yang bergerak. Mata mereka yang memandang Palot itu memancarkan ketegangan yang sangat. Ketika Palot memandang kedua orang pemimpin tertinggi dari padepokan itu, ia pun telah berkata, “Marilah. Apakah kalian akan menuntut balas kematian saudaramu?”

Jantung pemimpin padepokan itu berdebaran. Tetapi peristiwa yang baru saja terjadi itu benar-benar telah mengguncangkan dadanya. Bagaimanapun juga ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa saudara tua seperguruannya telah dikalahkan oleh hamba yang dianggapnya setia dan dungu itu. Bukan sekedar dikalahkan, tetapi sudah disaksikannya satu pertempuran yang sangat dahsyat. Kakak seperguruannya yang berilmu sangat tinggi, bahkan memiliki Aji Panglimunan ternyata telah dihancurkan dan terbunuh oleh orang yang disangkanya tidak lebih dari hamba yang setia itu.

Karena itu, untuk menanggapi tantangan itu ia harus berpikir dua tiga kali lagi. Karena tidak ada yang menjawab, maka Palot pun berkata,

“Ki Sanak. Para pemimpin padepokan ini serta pemimpin perguruan lain yang ada di sini. Sekali lagi aku memberikan tawaran Akuwu Lemah Warah serta para pemimpin Kediri itu. Menyerahlah. Kalian akan aku bawa menghadap. Aku akan membawa kalian ke padepokan yang telah kalian tinggalkan itu. Namun jika Akuwu telah kembali ke Lemah Warah, maka kita pun akan menyusul ke Lemah Warah, atau bahkan ke Kediri.”

Pemimpin padepokan itu termangu-mangu. Demikian pula orang bertongkat dari perguruan Suriantal itu.

“Cepat, ambil keputusan atau aku akan menggulung seluruh padepokan ini dengan prahara. Semua orang akan mati dan padepokan ini akan aku terbangkan ke udara. Tidak satu pun isi padepokan yang masih akan diambil gunanya. Dan tidak pula seorang pun yang akan luput dari kematian.”

Ancaman itu benar-benar mendebarkan jantung. Sejenak kedua orang pemimpin itu saling berpandangan. Namun sorot mata mereka memancarkan keputus-asaan.

“Tidak ada harapan lagi,” berkata orang bertongkat itu. Pemimpin padepokan itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya padepokannya itu dengan pandangan iba.

“Aku tidak pernah membayangkan bahwa ada orang yang memiliki kemampuan seperti itu. Terhadap kakak seperguruanku itu aku sudah mengaguminya. Apalagi orang yang semula bagiku tidak lebih dari hamba yang setia itu. Ternyata ia memiliki ilmu sebagaimana dimiliki oleh Panembahan itu,” berkata pemimpin padepokan itu.

Orang bertongkat itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Tidak ada ilmu yang dapat melawan arus praharanya. Namun bagaimana mungkin Panembahan itu dapat dikalahkan oleh orang-orang Kediri? Jika demikian seberapa tinggi tingkat ilmu orang Kediri itu?”

“Kita tidak mempunyai pilihan lain,” berkata pemimpin padepokan itu. “jika kita berkeras hati, maka semua orang yang ada sekarang akan mati oleh pusaran praharanya itu.”

Pemimpin perguruan Suriantal itu mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Kita tidak dapat membiarkan sekian banyak orang itu terbunuh. Karena itu, maka kita memang tidak mempunyai pilihan lain. Sementara itu, orang yang paling bersalah dalam hubungan kita dengan Kediri adalah Panembahan itu. Ialah yang mengingini Mahkota Kediri sebagai benda yang sangat berharga dan bertuah bagi usahanya merebut kekuasaan di Kediri.”

Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Suaranya merendah, “Memang tidak ada pilihan lain. Orang ini lebih dahsyat dari Akuwu Lemah Warah atau kedua orang anak muda yang disebutnya sebagai kemanakannya itu.”

Pemimpin perguruan Suriantal itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian bergeser mendekati hamba yang setia itu, diikuti oleh pemimpin padepokan itu. “Aku menyerah,” berkata pemimpin perguruan Suriantal itu...