PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 35
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 35
Karya Singgih Hadi Mintardja
TATAS LINTANG mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, “Mana mungkin aku memberikan penawar racun itu kepada kalian. Penawar racun itu ada di dalam darah kami. Kami mendapatkannya dengan laku yang berat. Berpuasa dan pantang. Berendam dan menempa diri siang dan malam, sehingga akhirnya terjadi sesuatu di dalam diri kami. Darah kami pun kemudian telah berubah menjadi darah yang tawar akan racun dan segala bisa. Bagaimana mungkin kami dapat memberikan hal itu kepada prang lain dengan serta merta.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara Tatas Lintang pun berkata pula, “Kecuali jika kau mau menjalani laku yang berat itu, maka kau pun akan dapat menjadi tawar akan racun dan bisa. Ular yang betatapun tajamnya, tidak akan dapat membunuhmu dengan bisanya.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku tidak percaya. Kau tentu mempunyai benda-benda yang dapat mempengaruhi keadaan tubuhmu dan berkhasiat sebagai penawar racun. Nah, berikan benda-benda itu kepadaku. Atau kami akan memaksamu.”
“Ki Sanak,“ berkata Tatas Lintang, “kalian jangan mencari perkara. Jika kalian memang mencari persoalan, maka kami akan dapat mempergunakan binatang-binatang berbisa itu sebagai senjata. Jika binatang-binatang berbisa itu kami baurkan ke arah kalian, maka kalian tidak akan mampu keluar dari tepian ini. Seekor-seekor binatang itu mungkin tidak langsung membunuh. Tetapi jika lima enam ekor binatang itu bersama-sama menyengat dan menggigitmu dengan bisa dan racunnya, maka aku tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Tubuhmu akan menjadi bengkak-bengkak. Jantungmu akan berhenti berdetak dan darahmu akan membeku dan kering.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Jangan menakuti-nakuti kami. Kalian tidak akan mendapat kesempatan untuk melakukannya. Dengan sekali loncat, senjata-senjata kami akan membelah dada kalian dan menukik langsung ke pusat jantung, sebab itu jangan banyak alasan. Berikan benda-benda yang dapat membebaskan kalian dari bisa dan racun itu.”
“Tidak ada benda yang dapat membebaskan kami dari bisa dan racun,” jawab Tatas Lintang.
Tiba-tiba orang itu telah meloncat maju sambil mengacukan senjatanya, “Cepat sebelum matahari naik.”
Tatas Lintang termangu-mangu. Sementara itu yang lain-pun telah bergerak pula mendekati ketiga orang anak muda yang diakunya sebagai kemanakannya itu.
“Kami akan menghitung sampai sepuluh. Jika kalian tidak memberikan benda itu, maka kami akan memenggal leher kalian sebelum kalian sempat mengambil binatang-binatang berbisa itu dan melemparkannya kepada kami.”
Tatas Lintang masih saja termangu-mangu. Dengan garang orang itupun kemudian memerintahkan, “Letakkan bungkusan-bungkusan itu, atau parang kami menembus jantung kalian.”
Tatas Lintang memang menjadi bingung. Ketika ia sempat menghitung, orang yang mengepungnya itu berjumlah sepuluh orang. Jumlah yang baginya tidak begitu banyak menilik tingkat kemampuan orang-orang itu. Tetapi karena mereka belum menjajaginya, maka mungkin dugaannya atas kekuatan orang-orang itu meleset.
Meskipun Tatas Lintang tidak memberikan aba-aba, tetapi sikapnya telah memberikan perintah kepada ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu untuk bersiap. Agaknya sekali lagi mereka harus berkelahi. Orang yang dilawannya memang lebih banyak, tetapi mereka tidak tahu, apakah tugas mereka akan lebih berat atau tidak.
Dalam pada itu, pemimpin dari kelompok itu pun telah berkata sekali lagi, “Jangan banyak tingkah. Lakukan yang aku perintahkan agar kalian tidak mati di tepian ini. Usaha kalian mencari berjenis-jenis binatang itu tentu tidak akan ada gunanya jika kalian mati di sini Kalian tidak berhasil melakukan langkah-langkah kemanusiaan sebagaimana kalian katakan itu.”
Tatas Lintang tidak segera menjawab. Ujung-ujung parang itu agaknya memang telah siap untuk menusuk tubuh-tubuh mereka. Ketegangan pun kemudian telah mencengkam. Ujung-ujung parang telah mulai bergetar. Sementara orang tertua di antara mereka itupun membentak sekali lagi, “Cepat.”
Tatas Lintang menarik nafas panjang. Namun jantungnya sama sekali tidak dapat digetarkan oleh teriakan-teriakan itu. Meskipun ia masih berdiri diam, namun ia sudah siap untuk berbuat sesuatu sebagaimana ketiga orang yang disebutnya sebagai kemanakannya itu.
Baru sejenak kemudian Tatas Lintang itupun berkata, “Ki Sanak. Sayang sekali, bahwa kami tidak dapat memenuhi keinginan kalian. Karena itu, terserahlah, apa yang kalian lakukan. Tetapi jangan bermimpi bahwa kalian akan mendapatkan apa yang kalian inginkan. Jika kami mati karena ujung senjata kalian, maka kemampuan menawarkan racun itu akan membeku pula bersama darah kami.”
“Persetan,” geram orang yang sudah berambut warna rangkap itu, “bersiaplah untuk mati. Aku lebih baik melihat kalian mati daripada melihat kalian mampu menawarkan racun pada tubuh kalian.”
Tatas Lintang tidak menjawab lagi. Namun iapun telah bersiap menghadapi lawan-lawannya. Sementara itu, agaknya Mahisa Pukat ingin melakukan permainan sendiri. Karena itu ia berdesis kepada Mahisa Murti dan Mahisa Ura, “Lindungi aku.”
Semula Mahisa Murti dan Mahisa Ura tidak tahu maksudnya. Namun kemudian Mahisa Pukat telah meletakkan bungkusannya dan mengambil bungkusan di tangan Mahisa Murti dan Mahisa Ura dan diletakkannya di dekat bungkusannya. Bahkan kemudian bungkusan Tatas Lintang pun telah dijadikannya satu.
“Apa yang kau lakukan anak gila?” geram orang berambut mulai ubanan itu.
“Tidak apa-apa,” jawab Mahisa Pukat, “kami hanya mengumpulkan barang-barang yang kami anggap berharga, tetapi tidak bagi orang lain. Nah, selanjutnya kami siap untuk bertempur.”
Wajah orang yang tertua di antara orang-orang yang turuni ke tepian itupun menjadi tegang. Agaknya keempat orang itu sama sekali tidak gentar menghadapi mereka. Karena itu, maka orang tertua itupun mulai bergeser sambil berkata, “Tidak ada pilihan lain. Kita akan menghancurkan orang-orang yang sombong ini.”
Mahisa Murti pun telah bersiap, sementara Mahisa Ura telah mencabut sepasang pisau belati panjangnya. Pertempuran tidak dapat dielakkan lagi. Mahisa Murti dan Mahisa Ura pun telah bertempur pula. Sebagaimana pesan Mahisa Pukat, maka mereka pun telah berusaha untuk menahan serangan yang agaknya diarahkan kepada Mahisa Pukat yang justru telah berjongkok di samping bungkusan-bungkusan itu.
“Gila,” tiba-tiba saja orang tertua di antara para penyerang itu berteriak, “jangan beri kesempatan kepada anak itu untuk membuka bungkusannya.”
Tetapi Mahisa Pukat mampu bertindak lebih cepat, ia sudah mulai melepaskan ikatan salah satu di antara keempat bungkusan itu. Namun seorang di antara sepuluh orang itupun telah meloncat menyusup di antara pertahanan Mahisa Murti dan Mahisa Ura. Parangnya terjulur lurus mengarah ke punggung Mahisa Pukat.
Mahisa Murti terkejut karenanya, ia melihat orang itu meloncat. Namun ia tidak dapat berbuat sesuatu karena jaraknya yang agak jauh. Demikian pula Mahisa Ura yang sedang meloncat ke samping menghindari serangan seorang lawannya.
Karena itulah, maka tanpa berpikir panjang Mahisa Murti telah melakukan sesuatu. Tiba-tiba saja ia telah meloncat mengambil jarak dari lawannya. Demikian cepat. Kemudian kedua tangannya telah terjulur lurus ke depan, sementara kedua telapak tangannya yang terbuka mengarah kepada orang yang sudah hampir saja menyentuh punggung Mahisa Pukat dengan parangnya itu.
Yang terjadi adalah sangat mengejutkan. Orang itu terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah. Beberapa kali ia berguling menahan sakit. Namun kemudian iapun terdiam. Pingsan. Sementara itu kakinya yang disambar serangan Mahisa Murti yang bagaikan seleret sinar memancar dari telapak tangannya, nampaknya menjadi bagaikan hangus.
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu menjadi termangu-mangu. Jantung mereka terasa berdetak semakin cepat, sementara Mahisa Murti sendiri pun menjadi tegang. Bukan maksudnya untuk menghancurkan lawannya dengan ilmunya itu. Melawan orang-orang bertongkat itupun ia masih berusaha untuk menundukkan lawannya tanpa membunuhnya. Namun ia tidak mempunyai kesempatan lagi. Ia telah mempergunakan ilmu yang disadapnya dari Tatas Lintang karena ia tidak ingin melihat punggung saudara laki-lakinya itu tertusuk parang.
Selagi orang-orang itu termangu-mangu, maka Mahisa Pukat telah menggenggam sejumlah binatang-binatang berbisa. Sambil berdiri tegak ia berkata, “Nah, apakah kita akan meneruskan perkelahian ini?”
Orang-orang yang datang ke tepian itu menjadi ragu-ragu. Mereka sudah melihat bagaimana Mahisa Murti menyerang lawannya sementara itu seorang yang lain telah mampu melepaskan ikatan binatang-binatang berbisa itu dan bahkan sudah menggenggam di tangan kiri dan kanannya siap untuk dilemparkan.
Dalam ketegangan itu Tatas Lintang pun berkata, “Ikat kembali bungkusan itu agar binatang itu tidak berlarian.”
Mahisa Pukat mengangguk, iapun kemudian telah mengembalikan binatang di genggamannya dan mengikat kembali bungkusan binatang-binatang berbisa itu. Tetapi ia masih tetap bersiap untuk menggenggam dan melemparkan ke arah lawan-lawannya. Namun agaknya Tatas Lintang telah yakin, bahwa tidak akan ada perlawanan lagi dari orang-orang itu.
Sebenarnyalah orang-orang itu bagaikan menjadi beku. Tidak seorang pun yang bergerak. Bahkan parang-parang mereka-pun telah merunduk. Karena tidak seorang pun yang bergerak, maka Tatas Lintang pun kemudian telah bertanya,
“Nah, marilah. Siapakah diantara kalian yang akan bangkit dengan parang-parang kalian. Aku yakin bahwa kalian adalah laki-laki jantan yang tidak gentar melihat betapapun juga lawan yang akan dihadapi.”
Orang-orang itu masih tetap membeku. Bahkan jantung mereka terasa bergetar ketika Tatas Lintang berkata, “Kami akan dapat membakar hangus kalian semuanya dengan cara sebagaimana kau lihat. Tetapi kami pun akan mampu menjadikan tubuh kalian kehilangan bentuk dengan binatang-binatang beracun di dalam bungkusan kami ini. Cepat, sebelum kami meninggalkan tempat ini.”
Namun ternyata bahwa orang tertua di antara mereka pun telah meletakkan parangnya di atas pasir tepian sambil berkata, “ki Sanak. Kami harus melihat kenyataan. Kami menyerah. Kami tidak akan mampu berbuat apa-apa di hadapan kalian berempat. Kami telah melihat apa yang terjadi. Aku mengerti, bahwa kalian tidak berniat untuk memperlakukan salah seorang di antara kami dengan cara itu. Tetapi karena tidak ada kesempatan lagi untuk menyelamatkan salah seorang di antara kalian, maka telah terjadi serangan yang dahsyat itu. Dengan demikian kami pun harus menyadari kelemahan kami. Lebih dari itu, kami berterima kasih atas kebaikan hati kalian, sehingga kalian masih sempat memberikan peringatan kepada kami. Kalian tidak dengan serta merta menghancurkan kami sebagaimana biasa kami temui dalam dunia olah kanuragan.”
“Tidak,” jawab Tatas Lintang, “justru dalam dunia olah kanuragan berlaku sifat padi. Semakin berisi seharusnya kita menjadi semakin tunduk.”
Orang itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Nah, terserahlah apa yang akan kalian lakukan atas kami. Kami akan menyerah.”
“Kami tidak akan menghukum kalian,” berkata Tatas Lintang, “terserah kepada kalian sendiri. Apa yang pantas kalian lakukan dalam keadaan seperti ini. Kalian akan dapat menghukum diri kalian sendiri jika kalian benar-benar menyesali perbuatan kalian.”
“Kami mengerti,” jawab orang itu, “justru sikap kalian membuat kami melihat kenyataan tentang diri kami. Kami ternyata telah menemui sekelompok orang yang asing bagi kami. Jauh berbeda dengan orang-orang padepokan itu.”
“Bagaimana dengan orang-orang di padepokan itu?” bertanya Tatas Lintang.
“Membingungkan,” jawab orang itu, “ada yang bertingkah laku wajar, tetapi ada yang keras sekeras batu akik sebagaimana nampak pada senjata mereka atau perhiasan mereka.”
“Di ujung tongkat?” bertanya Tatas Lintang.
“Ya. Dan kadang-kadang pada perhiasan di tubuh mereka,” jawab orang itu.
“Batu berwarna kehijauan itu?” bertanya Tatas Lintang pula.
“Ya. Mereka telah mempergunakannya,” berkata orang tu pula.
“Apakah batu itu pernah dipecah atau diambil sebagian?” bertanya Tatas Lintang pula.
“Tidak,” jawab orang itu, “di sekitar batu itu dahulu banyak pecahan-pecahan batu serupa. Tetapi sekarang sudah habis sama sekali.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Ki Sanak. Pergilah. Bawalah kawanmu itu. Aku berharap kalian dapat mengerti arti dari peristiwa ini. Sebenarnyalah kami bukan orang yang baik hati sebagaimana kalian sangka. Jika kali ini kami tidak berbuat apa-apa itu hanya karena kami tidak sempat. Tetapi dalam kesempatan lain, mungkin kami dapat berbuat jauh lebih keras dari pada orang-orang yang kau sebut sekeras batu akik dari padepokan itu. Kami dapat membunuh dengan cara apapun juga. Dengan binatang berbisa yang akan dapat membunuh seseorang dengan perlahan-lahan. Namun kami masih cenderung percaya bahwa betapapun kecilnya, tetapi tentu ada sepercik kesadaran di dalam diri tentang tingkah laku dan perbuatan baik. Nah, kami ingin hal itu berkembang di dalam dirimu, atau kami akan memperlakukan kalian jauh lebih buruk pada kesempatan lain.”
Orang itu tidak menjawab. Namun kemudian katanya, “Kami minta diri.” Orang itupun kemudian melangkah mendekati kawannya yang terbaring diam. Kepada kawan-kawannya ia berkata, “Marilah, kita bawa kawan kita yang terluka.”
Kawan-kawannya pun telah menyarungkan senjata mereka dan mengusung tubuh yang diam itu. Sementara itu seorang lain telah berbisik di telinga orang tertua itu, “Senjatamu.”
Tetapi orang tua itu menjawab, “Aku tidak memerlukannya lagi. Biarlah senjata itu akan tinggal di tepian.”
“Tetapi bukankah kita harus melindungi diri kita dari lawan-lawan kita seandainya kita tidak akan melakukan kekerasan lagi,” desis kawannya itu.
“Kalian akan dapat melindungi aku,” jawabnya.
Kawan-kawannya tidak mempertanyakan lagi. Merekapun kemudian telah meninggalkan keempat orang itu di tepian.
Sepeninggal orang-orang itu Tatas Lintang pun berkata, “Kita pun akan pergi. Kita sudah terlalu lama berhenti di sini.”
Namun Mahisa Pukat lah yang menyahut, “Tentu sudah ada kedai yang dibuka. Justru nasinya masih mengepul dan sayur lodeh keluwih yang sedikit pedas.”
“Ah kau,” desis Mahisa Murti.
Tatas Lintang tertawa. Katanya kemudian, “Aku sependapat. Karena itu, marilah.”
Sekali lagi mereka pun telah membenahi diri masing-masing. Kemudian mereka pun telah meninggalkan tepian dan berjalan menuju ke padukuhan tempat mereka tinggal. Namun tujuan mereka masih cukup jauh.
Sebagaimana mereka rencanakan maka mereka pun telah singgah di sebuah kedai nasi di pinggir pasar yang mereka lalui. Ketika mereka memasuki kedai itu, maka beberapa orang yang ada di dalamnya telah memperhatikan mereka, karena sebenarnyalah mereka memang menarik perhatian. Mereka membawa bungkusan yang nampaknya cukup berat sehingga agaknya orang-orang yang menyaksikannya ingin mengetahui apakah yang ada didalamnya.
Tetapi keempat orang itu berpura-pura tidak mengetahui perhatian banyak orang itu. Mereka meletakkan barang-barang yang mereka bawa di bawah amben bambu tempat mereka duduk.
Ternyata orang-orang yang semula memperhatikan mereka itupun telah berpaling pula ke makanan mereka masing-masing. Agaknya orang-orang itu tidak menaruh perhatian lebih besar lagi kepada keempat orang yang baru memasuki kedai itu.
Namun dalam pada itu, dua orang yang lain telah memasuki kedai itu pula. Menurut penglihatan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakan Tatas Lintang itu, maka kedua orang itu agaknya berbeda dengan orang-orang lain di dalam kedai itu.
Tetapi sampai saatnya keempat orang itu meninggalkan kedai makan itu, tidak terjadi sesuatu yang dapat menghambat perjalanan mereka. Keempat orang itupun kemudian telah meneruskan perjalanan mereka menuju ke sebuah padukuhan yang masih cukup jauh.
Namun akhirnya perjalanan mereka pun telah mereka lalui dengan selamat. Mereka menemukan rumah mereka dalam keadaan baik. Tidak ada bekas kerusakan atau perbuatan kekerasan yang lain.
Demikianlah, maka setelah beristirahat secukupnya, maka Tatas Lintang pun telah mempersiapkan segala-segalanya. Justru ketika malam datang, maka waktunya tepat bagi Tatas Lintang untuk membuat ramuan penawar racun.
Namun sebagaimana yang terbaik dilakukan, maka pada lewat tengah malam Tatas Lintang baru melakukannya. Ia tidak memerlukan bantuan siapapun juga. Namun ia minta ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu untuk berjaga-jaga dan melindunginya jika terjadi sesuatu.
Karena itu, betapapun letihnya, namun ketiga orang itu seakan-akan tidak tertidur semalam suntuk. Mereka hanya mempergunakan waktu-waktu yang pendek untuk berganti-ganti sekedar memejamkan mata sambil duduk bersandar.
Namun tubuh mereka yang sudah mengalami tempaan yang keras tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Sekali-sekali mereka memang menguap. Tetapi perasaan kantuk itu segera dapat diatasi.
Ketika fajar menyingsing, maka Tatas Lintang telah selesai dengan pekerjaannya. Ia telah mendapatkan penawar racun dalam jumlah yang cukup. Untunglah bahwa ia masih memiliki beberapa jenis campuran reramuan, sehingga ia dapat berhasil dengan baik.
Agaknya Tatas Lintang tidak mau menunggu terlalu lama membiarkan pategalan itu menjadi tanah yang sangar dan berbahaya. Karena itulah, maka pada hari yang baru itu segalanya ingin dilakukan.
Berempat mereka telah menemui Ki Bekel dan kemudian orang yang memiliki tanah itu, sehingga sebelum tengah hari, maka Tatas Lintang telah mulai dengan kerjanya, menawarkan pategalan itu dari cengkaman racun yang berbahaya.
Ki Bekel, pemilik tanah pategalan itu dan beberapa orang lain telah menungguinya bekerja. Mereka menjadi kagum melihat keempat orang itu berusaha menawarkan racun. Meskipun mereka tidak tahu siapakah sebenarnya mereka, tetapi ternyata yang telah mereka lakukan itu rasa-rasanya memang satu tanggung jawab.
Bahwa pategalan itu mengalami usaha untuk menjadikan sangar dengan racun, seakan-akan merupakan tantangan yang ditujukan kepada keempat orang itu tidak langsung tertuju kepada pemilik tanah dan apalagi penghuni padukuhan itu. Demikian juga datangnya beberapa ekor harimau dan ular di halaman banjar.
Namun keempat orang itu cukup bertanggung jawab, sehingga mereka tidak begitu saja membiarkan semuanya itu terjadi di padukuhan itu. Tetapi sebenarnyalah, bahwa ketika usaha mereka menawarkan racun di pategalan itu selesai, maka rasa-rasanya tanggung jawab yang besar telah dilakukan.
Ki Bekel, pemilik tanah itu dan orang-orang padukuhan yang tidak berkepentingan pun telah mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada keempat orang itu.
“Kami hanya melakukan apa yang memang harus kami pertanggung jawabkan,” berkata Tatas Lintang.
“Kami tahu,” sahut Ki Bekel, “tetapi kalian memang mempunyai rasa tanggung jawab yang besar. Mungkin orang lain tidak akan melakukannya seperti kalian meskipun seandainya mereka mampu. Orang lain akan dapat meninggalkan padukuhan ini sebagaimana sebelum kalian lakukan penawaran racun itu.”
“Kami hanya berusaha untuk berlaku wajar,” jawab Tatas Lintang.
Namun yang kemudian berkata, “Tetapi Ki Bekel, sebenarnyalah sekaligus kami beritahukan bahwa kami tidak akan berada di padukuhan ini lebih lama. Kami ingin mohon diri meskipun mungkin pada kesempatan lain kami akan singgah lagi di padukuhan ini. Kami mohon diri justru setelah kami merasa tanggung jawab kami atas padukuhan ini kami selesaikan.”
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia masih ingin menahan. Tetapi nampaknya sudah tidak mungkin lagi. Karena itu, maka baik Ki Bekel, maupun pemilik pategalan itupun kemudian harus melepaskan keempat orang itu pergi.
“Kami mohon maaf,” berkata Tatas Lintang, “kami tidak dapat menyelesaikan tugas kami menanam pepohonan di pategalan ini. Tetapi lubang-lubang itu besok sudah tidak beracun lagi dan orang lain akan dapat menggantikan kami, menanam bibit pohon buah-buahan itu.”
“Jangan pikirkan itu,” jawab pemilik pategalan itu, “sejak semula kami sudah menyadari, bahwa sebenarnya kalian bukan orang yang pantas melakukannya.”
“Bukan begitu,” jawab Tatas Lintang, “kami memang bersedia melakukannya. Tetapi agaknya kehadiran kami di padukuhan ini telah membuat pategalan ini dimusuhinya. Karena itu, biarlah kami datang kepada mereka, sehingga kami akan dapat membuat penyelesaian sewajarnya. Tanpa harus mengorbankan orang lain yang tidak berkepentingan sama sekali.”
Ki Bekel lah yang kemudian menyahut, “Doa kami mengiringi kalian. Kami sudah menduga, bahwa kalian sebenarnya mengemban tugas. Kami tidak dapat menutup mata, bahwa batu kehijauan itu memang merupakan persoalan.”
“Apakah Ki Bekel hanya sekedar menduga-duga atau ada petunjuk tertentu tentang batu yang berwarna kehijauan itu?” bertanya Tatas Lintang.
“Aku tidak tahu apa-apa tentang batu itu. Tetapi hampir setiap orang percaya bahwa batu itu adalah batu yang jatuh dari langit,” berkata Ki Bekel.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mengenali berbagai jenis batu sebagaimana diajari oleh ayahnya memang menganggap bahwa batu itu cukup baik, meskipun menurut mereka bukan yang terbaik. Namun justru karena anggapan orang padukuhan itu sebagaimana dikatakan oleh Ki Bekel, bahwa batu itu jatuh dari langit, maka keduanya merasa perlu untuk mengamatinya lebih jauh.
“Menurut beberapa orang tua, batu itu semula tidak berada di situ,” berkata Ki Bekel kemudian.
“Di mana?” bertanya Tatas Lintang.
“Batu itu berada jauh di bawah permukaan dataran di puncak bukit itu. Sebuah goa telah menganga menusuk masuk ke jantung bukit itu. Namun tiba-tiba saja batu itu muncul di lambung bukit dan berguling ke bawah dan berhenti di tempatnya yang sekarang.” jawab Ki Bekel. Namun katanya kemudian, “Itu menurut ceritera. Tetapi sejak aku kecil, menurut pengetahuanku, batu itu sudah ada di sana. Aku juga seorang anak yang nakal dan sering pergi ke tempat yang jauh. Dan aku juga pernah lewat di dekat batu itu, tanpa sempat mendekatinya karena dicegah oleh rasa takut.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Keterangan Ki Bekel itu telah melengkapi pengetahuannya tentang batu yang berwarna kehijauan itu. Demikianlah, maka setelah keempat orang itu bermalam semalam lagi di padukuhan itu, maka mereka pun telah meninggalkannya betapapun berat hati mereka. Namun mereka sadar, bahwa kewajiban itu memang telah menunggunya.
Sementara itu, semakin lama mereka berada di padukuhan itu, maka padukuhan itulah yang akan menjadi sasaran dari orang-orang yang agaknya memang datang dari padepokan itu..Tetapi keempat orang itu tidak perlu berjalan tergesa-gesa. Mereka adalah pengembara yang terbiasa berada di tempat terbuka siang maupun malam.
“Kita akan mendekati padepokan itu di malam hari,” berkata Tatas Lintang, “tetapi kita harus menyadari, bahwa di padepokan itu agaknya telah tinggal beberapa orang yang semula bukan berasal dari satu perguruan sebagaimana aku katakan. Dan ini agaknya diperkuat oleh orang-orang yang datang ke tepian itu. Menurut mereka orang-orang padepokan itu ada yang wajar saja sebagaimana kebanyakan orang, tetapi ada yang tingkah lakunya terasa asing. Justru kasar dan buas. Namun jika kita berniat memasuki padukuhan itu, maka kita akan berhadapan dengan siapapun yang ada di padukuhan itu. Mungkin orang bertongkat dengan kepala batu yang berwarna kehijauan itu. Tetapi mungkin kita akan berhadapan dengan orang yang memiliki pengetahuan dan ilmu gendam yang dapat mempengaruhi jenis binatang apapun juga. Namun mungkin juga kita akan sekaligus berhadapan dengan orang yang mampu mempengaruhi dan menyusup ke dalam wadag kita, jika kita tidak benar-benar bertahan.”
Ketiga orang yang dianggapnya sebagai kemanakannya itu mengangguk-angguk. Namun dengan demikian mereka mulai menggambarkan bahwa isi padepokan itu adalah campur baur dari bermacam-macam ilmu dan jumlah orangnya pun cukup banyak dibandingkan dengan mereka berempat.
“Apakah yang sebenarnya telah terjadi dan apakah yang kemudian berada di dalam padepokan itu?” pertanyaan itulah yang ada di dalam hati keempat orang yang ingin melihat isi dari padepokan itu.
Keempatnya pun kemudian sepakat, bahwa mereka akan mengamati padepokan itu untuk beberapa malam. Kemudian baru akan menentukan sikap lebih lanjut.
“Tetapi kita harus berhati-hati. Kita sudah dapat menjajagi beberapa orang di antara mereka yang memiliki ilmu yang luar biasa,” berkata Tatas Lintang.
Ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itupun mengangguk-angguk. Mereka menyadari apa yang sebenarnya mereka hadapi. Mereka tidak dapat dengan serta merta saja meloncat masuk ke dalam dinding padepokan dan mengamati keadaannya tanpa mengetahui sebelumnya serba sedikit tentang padepokan itu. Karena itulah, maka mereka berempat harus benar-benar bersiap lahir dan batin untuk melakukan tugas mereka itu.
Pada malam yang pertama, mereka mendekati padepokan itu, dari arah belakang. Namun mereka memelihara jarak sebagaimana pernah dilakukan baik oleh Tatas Lintang, maupun oleh Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura. Namun dari arah itu mereka sama sekali tidak melihat sesuatu yang-dapat mereka jadikan petunjuk tentang padepokan itu. Karena itu maka pada kesempatan lain, mereka telah mencoba untuk melihat padepokan itu dari arah depan.
Dengan sangat berhati-hati mereka menyusup di antara gerumbul-gerumbul liar mengambil tempat yang memungkinkan mereka dapat mengamati regol padepokan itu. Namun dimalam hari, mereka tidak dapat banyak melihat. Memang ada satu dua orang yang keluar masuk regol. Tetapi sama sekali tidak menunjukkan sesuatu yang berarti.
“Kita tidak akan dapat melakukannya siang hari,” berkata Tatas Lintang dengan suara sangat lambat, “mereka sudah mengenali wajah-wajah kita. Kita tidak dapat menunggu di pasar yang terdekat untuk melihat-lihat apakah orang-orang padepokan ini hilir mudik juga di pasar, karena mereka akan lebih dahulu melihat kita dari pada kita melihat mereka.”
Ketiga orang anak-anak muda yang diakunya sebagai kemanakannya itu dengan mengangguk-angguk. Namun kemudian Mahisa Murti-pun berdesis, “Kita sudah mendapat beberapa keterangan. Sebagian dari mereka bersikap wajar. Namun sebagian yang lain nampak asing. Kita pun sudah melihat di antara satu dua orang yang masuk dan keluar regol. Ada di antara mereka yang bersenjata tongkat. Tetapi ada juga yang tidak.”
“Kita memang dapat menarik kesimpulan.” berkata Tatas Lintang, “padepokan ini memang padepokan Suriantal. Tetapi perguruan lain telah hadir pula didalam padepokan ini, justru mereka ternyata sangat berpengaruh.”
“Bahkan mungkin lebih dari satu padepokan,” jawab Mahisa Murti, “namun menilik sikap orang tua yang bersenjata tongkat dan terdapat batu berwarna kehijauan itu di pangkalnya, ia masih tetap seorang yang memiliki kekuasaan dan wibawa. Aku kira orang itu termasuk orang dari perguruan Suriantal.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun akhirnya ia berkata, “Memang tidak ada jalan lain daripada memasuki padepokan itu.”
Sejenak keempat orang itu terdiam. Yang kemudian bertanya adalah Mahisa Ura, “Mungkin aku adalah seorang yang paling pengecut di antara kita. Tetapi aku pun seorang petugas yang terbiasa memperhitungkan langkah-langkah yang aku ambil. Karena itu aku ingin mendapat penjelasan. Jika kami berempat memasuki padepokan itu, sementara itu kita tahu bahwa didalam padepokan itu terdapat sejumlah orang yang memiliki kemampuan tinggi serta sepasukan murid-murid mereka yang tentu juga memiliki ilmu, apakah kita akan dapat mencapai hasil sebagaimana kita harapkan. Aku yakin bahwa kalian bertiga, kecuali aku memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi kalian hanya bertiga. Jika ikut dihitung pula dengan aku, kita hanya berempat. Jika kita memasuki padepokan itu, apakah bukan berarti kita akan terjun ke dalam kandang dari segerombolan besar singa dan naga. Betatapun tinggi kemampuan kita namun akhirnya kita akan terbenam ke dalam mulut singa dan naga itu.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun sebelumnya ia menjawab Mahisa Murti telah berkata, “Bukan hanya kau Mahisa Ura. Aku pun mempunyai pertanyaan seperti itu. Bukan berarti kau pengecut. Tetapi kita berpikir wajar.”
“Aku mengerti,” berkata Tatas Lintang, “aku pun sependapat dengan pikiran itu. Namun agaknya kita tidak akan dapat kembali dengan sekedar keterangan bahwa kita sudah menemukan padepokan Suriantal. Di dalamnya berisi campur baur antara perguruan Suriantal sendiri dengan perguruan yang kemudian datang, tanpa dapat memberikan penjelasan, seberapa jauh pengaruh dari perguruan yang datang kemudian dan tentu ada persoalan lain, dalam hubungan dengan tugas kalian. Nah, apakah kalian telah mendapat jawab dari pertanyaan yang kalian bawa kemari dari tempat kalian berangkat?”
Ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu hanya dapat mengangguk-angguk saja. Mereka memang belum mendapat hasil apapun dari tugas mereka kecuali sedikit gambaran tentang Suriantal. Namun dengan demikian, maka Mahisa Murti pun berkata,
“Mungkin jawab itu memang belum aku dapatkan. Tetapi mungkin kami dapat menempuh jalan lain meskipun agak lama. Kami mencari dukungan pasukan untuk memasuki padepokan itu.”
“Satu pemecahan yang bagus sekali,” jawab Tatas Lintang, “namun jika itu kau lakukan, yang tentu akan memerlukan waktu yang lama, maka perubahan mungkin telah terjadi. Mungkin padepokan ini telah kosong atau mungkin padepokan ini telah berubah menjadi padepokan yang diisi dengan kewajaran orang menuntut ilmu lahir dan batin tanpa nafsu yang berlebihan untuk menguasai masalah keduniawian.”
Ketiga orang itu masih saja mengangguk-angguk. Sementara itu Tatas Lintang pun berkata, “Baiklah. Mungkin aku dapat menawarkan satu pemecahan.”
“Apa yang mungkin kita lakukan?” bertanya Mahisa Murti.
Tatas Lintang tidak segera menjawab. Tetapi diamatinya regol padepokan itu dari kejauhan. Sejenak ia justru merenung, seolah-olah sedang mengendapkan persoalan yang bergejolak di dalam dadanya.
Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun diluar sadar mereka telah ikut menatap regol itu. Meskipun malam gelap namun ketajaman penglihatan mereka mampu menembus selubung malam di seputar padepokan itu. Namun Tatas Lintang agaknya masih merenungi kata-kata yang akan diucapkan.
Untuk beberapa saat mereka hanya berdiam diri sambil mengamati regol. Mereka tidak melihat lagi orang-orang yang bergerak ke luar masuk regol. Namun penglihatan batin mereka melihat, bahwa di balik regol itu tentu ada beberapa orang yang berjaga-jaga.
Yang terdengar kemudian adalah desah Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian telah memusatkan kemampuan untuk melihat dan mendengar keadaan di sekitarnya. Namun Tatas Lintang pun kemudian yakin, bahwa tidak ada orang yang ada di sekitar tempat itu.
Sementara itu, ia sudah sampai pada satu batas yang tidak dapat ditembus lagi. Sampai kapan pun ia menunggu, maka seorang diri dan bahkan bersama ketiga orang yang disebutnya kemanakannya itupun, ia tidak akan mampu menguasai padepokan yang isinya ternyata sulit untuk diperhitungkan sebelumnya. Keterangan tentang padepokan itu sangat beraneka macam. Namun pada umumnya mengatakan, bahwa padepokan itu tidak hanya dihuni oleh satu perguruan saja. Dengan pengertian, bahwa masing-masing pihak disertai dengan pengikutnya masing-masing.
Karena itu, maka agaknya iapun sudah sampai pada waktunya untuk melepaskan kemungkinannya yang terakhir, yang memungkinkannya untuk dapat menyelesaikan tugasnya. Sehingga dengan demikian maka Tatas Lintang pun sampai pada satu langkah yang selama ini belum pernah dibayangkannya.
“Anak-anak muda,” desis Tatas Lintang kemudian, “sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Mungkin besok atau pada kesempatan lain kita akan dapat menemukan tempat yang lebih baik untuk mengamati keadaan. Seandainya sekarang kita lanjutkan pengintaian ini, maka aku kira sampai esok menjelang dini, kita tidak menemukan sesuatu yang menarik.”
Ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu mengangguk. Mereka memang sependapat, sehingga karena itu, maka Mahisa Murti pun menjawab, “Baiklah. Kita akhiri kerja kita malam ini. Kita menyingkir ke tempat yang lebih tenang dan lebih jauh dari kemungkinan untuk diketahui oleh orang-orang padepokan itu.”
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura tidak membantah. Mereka-pun kemudian dengan hati-hati telah bergeser meninggalkan tempat mereka. Keempat orang itupun kemudian telah menyingkir ke tepi sebuah hutan kecil yang tidak terlalu lebat, tetapi jarang disentuh kaki manusia. Di tempat ini mereka sempat tidur bergantian meskipun masing-masing hanya sekejap.
Ketika mereka sudah membenahi diri setelah matahari terbit. maka Mahisa Murti pun telah bertanya, “Semalam kau mengatakan untuk menawarkan satu pemecahan tentang padepokan itu. Tetapi kau belum menyebutnya.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Di sini kita lebih leluasa berbincang.”
Mahisa Murti mengiakannya sambil mendesak, “Jika demikian, katakan.”
Tatas Lintang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Anak-anak muda. Biarlah aku berterus terang. Dalam keadaan seperti ini kita telah membentur pada satu keharusan untuk melakukan langkah terakhir yang dapat kita laksanakan untuk kepentingan tugas kita. Karena itu baiklah aku katakan, bahwa selama kita bergaul, maka aku telah mempercayai kalian sepenuhnya, bahwa kalian telah mengemban satu tugas tertentu untuk mengenali dan mengetahui lebih banyak tentang padepokan itu. Dengan demikian maka aku pun yakin bahwa tugas kita memang ketemu. Jika aku telah dengan suka rela memberikan kesempatan kepada kalian untuk menguasai salah satu kemampuanku yang kebetulan berarti bagi kalian, itu adalah sebagian dari ujud kepercayaanku. Dan kini kepercayaanku kepada kalian telah utuh, sehingga untuk kepentingan tugas ini, aku akan melakukan sesuatu yang barangkali tidak kalian duga sebelumnya.”
“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Mahisa Pukat yang tidak sabar.
“Seperti yang kau pikirkan. Aku akan memanggil pasukan yang cukup kuat untuk memasuki padepokan itu,” jawab Tatas Lintang.
Ketiga orang muda itu tertegun. Namun kemudian Mahisa Pukat pun bertanya, “Pasukan apa dan dari mana? Apakah kau mempunyai pasukan? Jika yang kau lakukan itu seperti yang ingin kami lakukan, pergi ke Kediri atau Singasari, maka jawabnya akan sama saja dengan jawaban yang pernah kau berikan kepada kami.”
“Aku dapat mengambil pasukan dari jarak yang lebih dekat,” berkata Tatas Lintang.
“Siapakah kau sebenarnya?” bertanya Mahisa Murti, “pertanyaan ini belum kau jawab, sementara itu kau sudah dapat meraba kedudukan kami. “
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Jika kalian sependapat, aku akan mengambil pasukan dari Pakuwon Lemah Warah.”
“Pakuwon Lemah Warah telatah Kediri?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya. Lemah Warah telatah Kediri. Pasukan Lemah Warah akan dapat membantu kita memasuki padepokan ini sementara Pakuwon itu tidak terlalu jauh dari tempat ini. Jika kita berjalan terus dengan waktu beristirahat seperlunya, sehari-semalam kita akan sampai. Dengan demikian, maka pasukan itu akan sampai di sini dalam waktu dua hari dua malam. Tetapi jika kita harus ke Kediri atau ke Singasari, maka jaraknya akan berlipat ganda.” jawab Tatas Lintang.
“Apakah kau salah seorang Senapati dari Pakuwon Lemah Warah?” bertanya Mahisa Pukat.
Tatas Lintang termangu-mangu sejenak. Dipandangi ketiga orang anak muda itu berganti-ganti, ia memang nampak ragu-ragu. Namun akhirnya ia menemukan kepercayaan yang utuh itu kembali. Karena itu, maka ia merasa tidak perlu untuk ragu-ragu lagi. Untuk menghadapi tugas yang penting dan berbahaya itu ia memang memerlukan orang-orang seperti ketiga orang anak muda itu, yang nampaknya dengan ikhlas telah melakukan satu pengabdian tanpa menghiraukan bahaya yang dapat mengancam jiwa mereka.
Dengan demikian, maka akhirnya Tatas Lintang itupun berkata, “Aku memang seorang di antara para pemimpin Pakuwon Lemah Warah. Aku adalah Akuwu di Lemah Warah.”
Wajah ketiga anak muda itu berubah. Memang ketegangan telah mencengkam jantung mereka. Sementara itu, untuk meyakinkan kata-katanya, maka Tatas Lintang itupun telah menunjukkan sebuah cincin di jari-jari tangan kanannya, “Lihat, ini adalah cincin pertanda kuasa tertinggi di Pakuwon Lemah Warah. Jika kalian masih ingin meyakinkannya, maka kita akan dapat pergi ke Lemah Warah. Kita akan menyiapkan satu pasukan yang memadai untuk menguasai padepokan itu.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura itupun mengangguk hormat. “Maafkan kami Akuwu,” desis Mahisa Murti dengan nada berat, “kami sama sekali tidak mengerti, bahwa kami telah berhadapan dengan Akuwu dari Lemah Warah.”
“Kalian tidak bersalah. Aku memang menghendaki demikian,” jawab Akuwu, “yang penting kemudian, apakah yang harus kita lakukan.”
“Ternyata Akuwu telah melakukan langkah-langkah yang langsung, turun ke medan yang berat ini.” berkata Mahisa Murti, “agaknya sesuatu yang jarang dilakukan oleh seorang Akuwu.”
“Nah.” berkata Tatas Lintang, “biarlah kita sisihkan persoalan siapa aku. Sekarang, langkah apakah yang paling baik kita lakukan.”
“Akuwu,” sahut Mahisa Murti, “Akuwu telah menawarkan satu langkah penyelesaian. Kami menduga, bahwa tidak ada jalan lain yang lebih baik dari jalan itu.”
“Baiklah,” berkata Tatas Lintang, “jika demikian, maka agaknya kita harus segera menyiapkan pasukan itu.”
“Apakah Akuwu akan menempuh perjalanan kembali ke Lemah Warah?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku akan berbicara dengan orang-orangku,” jawab Tatas Lintang.
“Jadi Akuwu tidak sendiri?” bertanya Mahisa Pukat.
“Sekarang aku sendiri. Tetapi ada saatnya aku tidak sendiri,” jawab Tatas Lintang.
“Jadi demikian, segala sesuatunya terserah kepada Akuwu,” berkata Mahisa Murti, “bahkan kami pun akan menempatkan diri kami di bawah perintah Akuwu pula. Namun hendaknya Akuwu mengetahui bahwa kami pun sedang mengemban tugas dari Sri Baginda.”
“Aku juga menjalankan tugas yang sama. Pangeran Singa Narpada telah memberikan perintah yang sama kepadaku dan mungkin juga kepada kalian. Aku pun telah mendapat keterangan dari Pangeran Singa Narpada tentang kalian. Tetapi Pangeran Singa Narpada menyebut bahwa kalian hanya berdua saja. Namun tidak mustahil bahwa kalian telah datang bertiga. Dua di antara kalian kemudian aku ketahui memenuhi ciri-ciri yang disebutkan oleh Pangeran Singa Narpada. Meskipun ada juga keragu-raguan, bahkan kadang-kadang timbul niat untuk menolak kalian, tetapi akhirnya aku mulai percaya. Dan bahkan aku telah mempercayai kalian sepenuhnya.”
Ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itupun mengangguk-angguk. Merekapun percaya sepenuhnya dengan keterangan Tatas Lintang yang kemudian mengaku sebagai Akuwu dari Lemah Warah itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka pun telah bersiap meninggalkan tempat itu ketika Tatas Lintang mengajaknya. Katanya, “Kita akan pergi ke pasar. Kita tidak akan mengamati orang-orang padepokan ini. Tetapi seandainya orang-orang padepokan ini justru melihat kita, maka kita pun tidak akan merasa keberatan.”
Keempat orang itupun kemudian telah meninggalkan hutan itu menuju ke pasar terdekat. Mereka singgah di sebuah mata air kecil untuk membersihkan diri. Ketika mereka sampai di padukuhan, maka mereka pun telah mengamati orang-orang yang lewat di jalan-jalan yang masuk dan keluar dari padukuhan itu, sehingga akhirnya mereka melihat satu kemungkinan untuk mengikuti arah menuju ke pasar atau semacamnya.
“Agaknya orang-orang itu menuju ke pasar dengan barang-barang dagangan mereka,” berkata Tatas Lintang.
Ketiga orang anak muda itu mengangguk. Hari memang masih pagi sehingga mereka memperkirakan bahwa orang-orang itu memang sedang menuju ke pasar. Ketika mereka mengikuti jalan itu pula, maka akhirnya mereka pun telah sampai ke pasar pula. Pasar yang cukup ramai dikunjungi orang. Untuk sesaat Tatas Lintang memandang berkeliling. Namun akhirnya dilihatnya dua orang berdiri beberapa langkah dari padanya.
Tatas Lintang menggamit Mahisa Murti sambil berkata, “Dua orang itu adalah dua orang Senapati Pakuwon Lemah Warah.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Beberapa kali ia melihat orang-orang yang mirip atau mungkin juga orang itu selalu nampak dalam keadaan tertentu. Tetapi tidak pernah langsung melibatkan diri. Mereka hanya melihat, memperhatikan dan bahkan kemudian pergi. Namun ternyata bahwa orang-orang itu mempunyai hubungan dengan Tatas Lintang.
Tetapi ketiganya sadar, bahwa selain orang-orang yang berhubungan dengan Tatas Lintang, tentu ada pihak lain yang juga melakukannya. Karena itu, maka tidak semua orang yang pernah dilihatnya berada di sekitar mereka tanpa berbuat sesuatu, adalah orang-orang Tatas Lintang sendiri. Tetapi yang jelas, bahwa kedua orang itu adalah Senapati dari Pakuwon Lemah Warah.
Untuk beberapa saat lamanya Tatas Lintang tidak beranjak dari tempatnya. Namun kemudian Tatas Lintang itupun berkata, “Marilah. Kita akan pergi ke kedai itu.”
Keempat orang itupun kemudian telah memasuki sebuah kedai. Ternyata kedua orang yang disebut Tatas Lintang sebagai Senapatinya itupun telah memasuki kedai itu pula dan duduk tidak terlalu jauh dari padanya. Tatas Lintang tidak memperhatikan kedua orang itu. Apalagi ketika ada orang lain yang memasuki kedai itu pula. Meskipun demikian Tatas Lintang sempat memberi isyarat kepada kedua orang itu untuk menemuinya.
Karena itu, setelah mereka selesai makan dan minum, maka mereka pun telah meninggalkan kedai itu. Baru beberapa saat kemudian kedua orang Senapati itupun membayar makanan dan minuman mereka dan meninggalkan kedai itu. Ternyata kedua orang Senapati itu memang mengamati dari kejauhan kemana Tatas Lintang pergi. Namun setelah ia mendapat keyakinan, maka mereka pun berusaha untuk mengambil jalan lain agar tidak ada orang lain lagi yang memperhatikan mereka.
Ketika Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu sudah berada di sebuah tempat yang terpencil, di tepian sebuah sungai yang curam dan menjorok ke dekat pinggir hutan, maka Tatas Lintang telah membuat api.
“Banyak orang membuat api di pategalan. Mudah-mudahan asapnya tidak menarik perhatian secara khusus,” berkata Tatas Lintang.
Ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu mengikutinya dengan tegang. Mereka sempat membantu mengumpulkan dedaunan dan rerumputan kering. Kemudian menyulutnya. Asap pun segera mengepul ke udara. Membubung. Apalagi angin memang tidak sedang bertiup.
Tanpa diketahui maksudnya oleh ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu, Tatas Lintang telah melepaskan kain panjangnya dan membasahinya. Kemudian katanya kepada Mahisa Murti, “Bantu aku. Pegang ujung kain itu.”
Mahisa Murti pun telah melakukannya tanpa mengetahui maksudnya. Dipeganginya kedua ujung kain panjang Tatas Lintang, sedang dua sudut di ujung lain dipegang oleh Tatas Lintang sendiri.
“Ikuti gerak tanganku,” berkata Tatas Lintang.
Mahisa Murti mengangguk. Ternyata Tatas Lintang telah menyelubungi asap api dedaunan dan rerumputan itu sejenak. Kemudian membuka kembali. Demikian dilakukannya beberapa kali bersama Mahisa Murti, sehingga asap yang mengepul pun telah terputus-putus.
Barulah Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengerti maksud Tatas Lintang. Agaknya kepulan asap itu merupakan tanda isyarat yang ditujukan kepada kedua orang yang telah dipanggilnya untuk menemuinya.
Sebenarnyalah, kedua orang Senapati yang mendapat pesan untuk menemuinya telah dituntun oleh asap itu. Mereka yang memang sudah mengamati arah kepergian Tatas Lintang itupun dengan segera melihat isyarat itu, sehingga beberapa saat kemudian keduanya telah turun pula ke tepian. Ketika mereka sampai di tempat Tatas Lintang menunggu, maka keduanya pun segera diperkenalkannya dengan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya.
Sementara itu dari pembicaraan itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun yakin, bahwa Tatas Lintang memang Akuwu dari Lemah Warah.
“Kembalilah,” perintah Akuwu Lemah Warah, “bawa pasukan kemari. Kalian harus membawa orang-orang terbaik untuk menguasai padepokan itu. Padepokan yang ternyata dihuni oleh beberapa kelompok perguruan dengan para pengikutnya yang jumlahnya cukup banyak. Jangan kurang dari lima ratus orang. Meskipun aku yakin jumlah orang di Padepokan itu hanya sekitar separuhnya, tetapi kita tidak mau gagal. Kita harus menangkap semuanya. Tidak seorang pun boleh lolos. Selebihnya kami juga memperhitungkan orang-orang yang berilmu tinggi di antara mereka. Seorang yang berilmu tinggi harus dihadapi oleh sekelompok prajurit yang mempunyai bekal cukup. Karena itu kita memang harus membawa prajurit secukupnya.”
Kedua Senapati itu mengangguk. Kemudian Tatas Lintang pun berpesan, “Dalam waktu empat hari lagi, aku akan menunggu kalian di bukit kembar itu. Kami berada di antara keduanya. Kami akan berangkat dari tempat itu lewat tengah malam. Menjelang dini hari kami akan mengepung padepokan itu. Hanya jika terjadi sesuatu yang khusus, rencana ini akan berubah.”
“Kami akan melakukannya Akuwu,” sahut salah seorang dari kedua orang itu.
“Berhati-hatilah,” pesan Akuwu.
“Hamba Akuwu,” jawab keduanya hampir berbareng.
“Kita berhadapan dengan kekuatan yang sangat besar meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak. Ada bermacam-macam ilmu tersimpan di padepokan itu. Karena itu, bawa orang-orang terbaik. Perintahku kepada Panglima Pasukan Pengawal Khusus, ia sendiri harus berangkat dengan sebagian besar dari para pengawal khusus. Tenaga mereka sangat diperlukan dalam arena seperti yang akan kita hadapi.” berkata Tatas Lintang.
Kedua Senapatinya itupun menangkap semua pesannya. Kemudian mereka pun telah minta diri untuk melakukan tugas mereka. Sedangkan dari pembicaraan itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengetahui, bahwa masih ada enam orang Senapati yang ada di sekitar padepokan itu.
Ternyata bahwa Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura tidak dapat menangkap apa yang sebenarnya ada di dekatnya. Ternyata bahwa Tatas Lintang yang nampaknya sendiri itu memang tidak sendiri, meskipun pada saat-saat yang penting ia justru memang hanya sendiri.
Kepada Senapati yang memanggil prajurit-prajuritnya Tatas Lintang pun telah berpesan agar perjalanan mereka tidak menarik perhatian sehingga orang-orang padepokan itu tidak mencium rencana itu lebih dahulu, sehingga mereka akan dapat mengambil langkah-langkah yang tidak dikehendaki.
Sepeninggal kedua orang Senapatinya itu, Tatas Lintang dan ketiga orang yang disebut kemanakannya itu dengan sengaja tidak banyak melakukan kegiatan. Mereka lebih banyak diam dan menyingkir agar tidak memancing persoalan. Mereka berusaha untuk sekedar mengamati dari kejauhan dan mempertahankan agar keadaan tetap seperti itu bagi padepokan yang menjadi sasaran pengintaian mereka, agar pada saat prajurit mereka datang, padepokan itu masih tetap dalam keadaannya.
Sementara itu, kedua orang Senapati yang diperintahkan untuk memanggil pasukan di Pakuwon itupun telah berusaha dengan bersungguh-sungguh untuk melaksanakan tugas mereka. Pada saatnya mereka harus sudah kembali bersama pasukannya dan langsung menuju lembah di antara dua buah bukit yang disebut sepasang Bukit Kembar. Ketika keduanya sampai di Pakuwon, maka beberapa orang Senapati memang menjadi terkejut karena mereka tidak mengiringkan Akuwu.
Namun yang datang ternyata adalah perintah Akuwu untuk membawa sedikitnya lima ratus orang langsung di bawah pimpinan Panglima pasukan Khusus Pakuwon Lemah Warah. Panglima yang mendapat perintah itupun menyadari, bahwa tugas itu tentu gawat. Namun sudah menjadi tugasnya bahwa ia harus melakukannya sebaik-baiknya.
Karena itu, maka tugas itupun dilaksanakannya dengan cepat dan bersungguh-sungguh, iapun memilih lima ratus orang terbaik dan kemudian membekali mereka dengan senjata dan bekal-bekal lain secukupnya.
Tanpa menunggu hari berikutnya, maka pasukan itupun segera berangkat. Dua orang prajurit yang menjemput pasukan itupun tidak merasa letih karena tanggung jawabnya atas tugas yang dipikulnya. Meskipun belum dipasang namun pasukan itu juga membawa tanda-tanda kebesaran Pakuwon Lemah Warah. Mungkin tanda-tanda itu akan berguna jika mereka telah berada di lingkungan padepokan Suriantal.
Dalam waktu menunggu. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah mengisi waktu mereka dengan mempertajam kemampuan mereka. Mereka mengadakan latihan-latihan di tempat yang terasing untuk menghadapi tugas-tugas mereka, yang berat. Ternyata dalam waktu menunggu itu, tidak terjadi sesuatu yang penting yang dapat merubah keadaan. Di malam hari, keempat orang itu masih berusaha untuk dapat mengamati padepokan yang menyimpan rahasia yang sulit untuk dipecahkan. Namun pengamatan mereka itu meyakinkan, bahwa kekuatan di padepokan itu tidak akan lebih dari lima ratus orang.
Menjelang hari terakhir yang ditentukan, dua orang Senapati Lemah Warah yang masih berada di sekitar padepokan itu-pun telah menghubungi Tatas Lintang dan memberikan laporan kegiatan yang meningkat dari orang-orang padepokan itu.
“Nampaknya mereka sedang mencari seseorang,” berkata Salah seorang Senapati itu.
“Mereka mencari kami,” jawab Tatas Lintang itu, “mereka tentu menganggap bahwa tiba-tiba saja kami telah menghilang. Namun dengan demikian mereka tentu akan menjadi curiga. Mungkin mereka akan mengambil langkah-langkah yang tidak kita perhitungkan sebelumnya. Karena itu, maka pengawasan atas mereka harus diperluas.”
Namun hari yang mereka tunggu itupun telah datang. Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itupun telah pergi ke lembah di antara dua bukit kembar. Mereka akan menjemput pasukan yang datang dari Pakuwon Lemah Warah.
Tatas Lintang mengangguk-angguk ketika ia melihat pasukannya. Benar-benar pasukan sebagaimana dikehendaki yang dipimpin langsung oleh Panglima pasukan Pengawal Khusus yang memang memiliki ilmu yang tinggi. Tatas Lintang telah memperkenalkan ketiga orang anak muda itu. Namun kepada pasukannya Tatas Lintang tetap menyebut mereka sebagai kemanakannya.
“Aku memang telah memanggilnya dari Kediri untuk membantuku,” berkata Tatas Lintang.
“Apakah mereka prajurit Kediri?” bertanya Panglima itu.
“Ya. Mereka memang prajurit Kediri,” jawab Tatas Lintang, “karena itu kebetulan sekali, bahwa kita sedang bersiap-siap untuk menyelesaikan tugas ini, karena ketiga orang kemanakanku ini pun sedang menangani persoalan yang sama, juga atas perintah Pangeran Singa Narpada.”
Panglima pasukan Pengawal Khusus itu mengangguk-angguk. Namun karena Akuwu Lemah Warah mempercayai ketiga anak muda yang disebut kemanakannya itu, Panglimanya tentu mempercayainya juga.
Dengan cepat Akuwu Lemah Warah itu menyiapkan pasukannya. Namun ternyata bahwa sergapan kepada atas padepokan itu ditunda sehari untuk memberi kesempatan kepada pasukan itu untuk beristirahat.
Pada saat pasukannya beristirahat, di malam hari Tatas Lintang telah membawa Panglimanya untuk melihat padepokan. Mereka akan mengatur cara yang terbaik untuk memecahkan pertahanan padepokan itu dan mencegah orang-orang yang berusaha untuk melarikan diri.
Bersama dengan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu, maka mereka telah menentukan beberapa hal tentang arah pasukan Lemah Warah yang akan mengepung padepokan itu.
“Sebagian dari pasukan kita akan memasuki padepokan itu,” berkata Tatas Lintang, “sebagian yang lain akan berada di luar.”
Panglima pasukan pengawalnya mengangguk-angguk, ia sependapat dengan Akuwunya. Jika ada di antara orang-orang padepokan yang berusaha melarikan diri, maka para prajurit yang ada di luar padepokan akan dapat menangkap mereka.”
“Kita jangan mengguncang sarang lebah,” berkata Tatas Lintang selanjutnya, “jika orang-orang padepokan itu sempat melarikan diri berpencaran, maka orang-orang itu merupakan orang yang sangat berbahaya. Mereka akan melepaskan dendam mereka kepada siapapun juga dan barangkali juga untuk hidup mereka, maka mereka akan menjadi benalu yang justru akan dapat membunuh tempat yang dilekatinya. Selanjutnya, setelah menjadi kebiasaan, mereka akan dapat menjadi perampok-perampok yang sangat garang.”
“Hamba Akuwu,” jawab panglima itu, “hamba akan berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya agar tidak seorang pun dapat melepaskan diri. Seandainya itu tidak mungkin, maka kita akan berusaha sedikit mungkin orang yang dapat lepas dari tangan kami.”
“Nah, terserah kepadamu, siapakah yang akan memasuki padepokan dan siapa yang akan berada di luar. Demikian juga perbandingan jumlah. Sementara itu, kita harus memperhitungkan bahwa orang-orang di padepokan itu akan dapat melarikan diri lewat jalan yang manapun juga,” berkata Tatas Lintang.
“Hamba Akuwu,” jawab Panglimanya, “hamba akan mengaturnya. Namun sesuai dengan keterangan yang hamba terima bahwa yang ada di dalam padepokan itu jumlahnya kira-kira hanya separuh dari pasukan kita, maka yang akan memasuki padepokan itupun kira-kira hanya separuh pula. Yang lain akan berada di luar mengelilingi padepokan itu, dan sekelompok pasukan cadangan akan berada di sebelah dalam gerbang. Pasukan cadangan ini akan dapat dipergunakan di dalam dan di luar jika diperlukan sekali dengan isyarat tertentu.”
Akuwu Lemah Warah itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Tetapi aku perintahkan orang-orang terbaik akan memasuki padepokan itu bersama kami berempat. Sebaiknya kalian tahu, bahwa di dalam padepokan itu terdapat beberapa orang berilmu tinggi. Karena itu, maka setiap prajurit harus menyadari apa yang akan mereka hadapi. Mungkin mereka harus mempersiapkan kelompok-kelompok kecil dari dua orang sampai sepuluh orang. Mungkin mereka akan bertemu dengan orang-orang yang berilmu tinggi itu.”
“Hamba akan mengaturnya Akuwu. Hamba akan berbicara dengan para pemimpin kelompok agar mereka memperhatikan setiap pesan sebaik-baiknya,” jawab panglima itu.
“Jika kita gagal, maka sama artinya dengan kita akan menyebar bencana. Aku harus mempertanggung jawabkan kepada pemimpin pemerintahan di Kediri. Dengan hadirnya ketiga orang kemanakanku ini maka aku tidak dapat mengingkari setiap tanggung jawab itu.”
Panglima itu tidak menjawab. Tetapi pada wajahnya nampak kesungguhan tekadnya untuk melaksanakan perintah Akuwu itu sebaik-baiknya. Setelah beberapa lama mereka mengamati tempat itu, maka mereka pun telah meninggalkannya kembali ke tempat pasukan mereka beristirahat. Di lembah di antara Sepasang Bukit Kembar. Daerah yang seakan-akan tertutup bagi orang lain.
Di hari berikutnya, pasukan itu telah mendapat pesan yang lengkap tentang sasaran yang akan mereka masuki. Mereka telah mendapat gambaran yang jelas, apa yang akan mereka hadapi serta kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Karena itu, maka para pemimpin kelompok harus memegang peran yang hidup di setiap medan. Mereka harus cepat mengambil langkah jika dihadapi persoalan-persoalan yang gawat.
Sisa waktu yang ada telah dipergunakan oleh pasukan itu untuk beristirahat secukupnya. Mereka harus menyimpan tenaga untuk pertempuran yang mungkin akan memerlukan waktu yang lama.
Menjelang malam hari, maka semua persiapan telah mapan. Semua senjata telah diteliti dan benar-benar siap untuk dipergunakan. Yang ragu-ragu telah mengganti senjatanya dengan yang baru. Namun senjata yang memiliki nilai tersendiri, betapapun juga ujudnya, senjata itu tidak akan terlepas dari tangan meskipun pemiliknya mungkin membawa senjata lain sebagai rangkapannya.
Ketika saatnya para prajurit yang merangkap menjadi juru masak mempersiapkan makan mereka, maka diperintahkan kepada mereka untuk berhati-hati. Bukan saja agar api yang mereka pergunakan tidak nampak dari kejauhan, juga jangan sampai menimbulkan kebakaran hutan di sekitarnya.
Setelah semua siap, maka pasukan itupun telah menyusun diri men jelang tengah malam. Mereka telah makan dan mengisi kantong-kantong mereka dengan makanan yang dapat mereka bawa ke medan. Jika mereka bertempur sampai sehari penuh, maka mereka tidak akan kehabisan tenaga. Di dalam kantong-kantong kecil mereka membawa jenis-jenis makanan yang tahan lama.
Demikianlah, lewat tengah malam pasukan itupun mulai bergerak. Dengan sangat berhati-hati mereka telah mendekati padepokan. Sebagaimana mereka rencanakan, maka ketika pasukan itu mendekati sasaran, maka mereka telah membagi diri. Separuh lebih sedikit akan memasuki padepokan. Namun mereka tidak akan mengambil jalan pintu gerbang seluruhnya. Sebagian di antara mereka akan meloncati dinding. Hanya sebagian sajalah yang akan memasuki pintu gerbang, sementara sekelompok akan merupakan pasukan cadangan yang bersiap di pintu gerbang.
Perlahan-lahan tetapi pasti pasukan itu menjadi semakin dekat dari beberapa arah. Kelompok-kelompok itu telah merayap mendekat, sementara belum ada pertanda apapun yang nampak. Panji-panjipun masih digulung meskipun pada tunggulnya.
Ketika mereka telah berada di seputar padepokan itu, maka pasukan itupun terhenti. Mereka menunggu saatnya untuk menyerang. Namun sementara itu Tatas Lintang telah memerintahkan pasukan yang berada di depan pintu gerbang padepokan itu bersiaga sepenuhnya sebagaimana sepasukan prajurit dari sebuah Pakuwon.
Menjelang fajar, maka Tatas Lintang telah memerintahkan untuk mengurai segala macam pertanda. Umbul-umbul, rontek dan panji-panji. Kemudian terdengarlah sangkala yang berbunyi nyaring.
Seisi padepokan itu terkejut. Merekapun berloncatan bangun dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ketika beberapa orang sempat menengok lewat pintu gerbang, mereka pun terkejut. Dalam keremangan pagi mereka melihat sekelompok pasukan dengan berbagai pertanda kebesaran berada dihadapan padepokan mereka.
Sementara itu, Tatas Lintang yang berdiri di paling depan dihadapan tunggul pertanda kebesaran Pakuwon Lemah Warah berdiri sambil bertolak pinggang. Dengan lantang iapun kemudian berkata, “Saudara-saudaraku seisi padepokan. Aku. Akuwu Lemah Warah, atas nama Kekuasaan Kerajaan Kediri memerintahkan kepada kalian untuk menyerah. Tidak ada pembicaraan yang akan dilakukan sebelumnya selain bahwa kalian harus menyerah.”
Para pemimpin padepokan itu mengumpat sejadi-jadinya. Mereka merasa heran, bahwa mereka tidak tahu sebelumnya hal seperti itu akan terjadi. Mereka sebelumnya selalu mengamati orang-orang yang mereka curigai. Tetapi bahwa orang-orang itu tiba-tiba saja membawa sepasukan dalam jumlah yang cukup banyak serta pertanda kebesaran sebuah pakuwon, tidak pernah mereka bayangkan.
Seorang diantara para pemimpin itu bergumam, “Satu kelengahan yang gawat.”
Seorang yang lain menyahut, “Kita tidak mempunyai dugaan sama sekali bahwa salah seorang diantara mereka adalah Akuwu dari salah satu Pakuwon, yang ternyata kuasa mendatangkan pasukan yang cukup besar dengan pertanda kebesaran. Menilik kemampuan orang-orang yang kita jumpai, kita menduga bahwa mereka adalah orang-orang dari perguruan-perguruan yang memiliki dasar ilmu yang tinggi. Biasanya para prajurit dan Senapati tidak memiliki kemampuan secara pribadi yang mampu mencapai tataran itu.”
“Mereka agaknya memang bukan prajurit. Tetapi mereka adalah orang-orang yang mendapat tugas, mungkin dengan upah yang sangat tinggi selain Akuwu itu sendiri,” sahut yang lain lagi.
“Baiklah,” berkata seorang yang berjambang keputihan, “kita sudah tidak mempunyai waktu lagi. Kita harus menghadapi mereka. Menurut perhitunganku, jumlah mereka tidak terlalu banyak. Kita akan menerima mereka dengan senang hati siapapun mereka. Biarlah mereka masuk. Kemudian kita akan melumatkannya disini.”
Para pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa mereka terdiri dari beberapa orang yang memiliki dasar ilmu yang berbeda-beda. Seorang diantara mereka adalah orang bertongkat dan pada tongkat itu terdapat batu yang berwarna kehijauan itu. Sementara yang lain adalah orang yang mampu menguasai binatang dengan ilmu gendamnya. Seorang lagi memiliki kemampuan untuk menyusup ke dalam diri seseorang yang tidak memiliki ketahanan jiwani yang tinggi dan beberapa orang pemimpin lainnya yang berilmu tinggi pula.
Karena tidak segera terdengar jawaban, maka Tatas Lintang pun, berteriak lagi, “Aku masih memberi kesempatan kepada kalian untuk menyerah. Sebenarnya, kami dapat menghancurkan kalian dalam kelengahan. Jika kami menghendaki, kami dapat memasuki padepokan kalian dan dengan kasar membunuh sebanyak-banyaknya. Tetapi hal itu tidak kami lakukan. Kami justru telah membangunkan kalian dan mempersilahkan kalian bersiap menghadapi kedatangan kami. Dengan demikian, prajurit dari Pakuwon Lemah Warah adalah prajurit jantan yang tidak merunduk musuhnya selagi mereka lengah.”
Yang kemudian menjawab adalah orang bertongkat. Sambil mengacukan tongkatnya yang di kepalanya terdapat batu yang berwarna kehijauan itu ia menjawab, “He, orang-orang Lemah Warah. Meskipun kami tidak mengira akan kedatangan kalian, maka kami boleh memuji kejantanan kalian yang telah membangunkan kami. Kalian agaknya tidak mau menyerang kami sambil merunduk. Tetapi agaknya itu sama sekali bukan sifat kejantanan sebagaimana yang kami kira sebelumnya, karena sebenarnyalah hal itu kalian lakukan karena kesombongan kalian.”
Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian berkata pula, “Apapun yang kalian katakan, aku memerintahkan kalian menyerah. Jika tidak, maka kami akan mempergunakan kekerasan untuk memaksa kalian menyerah. Mungkin diantara kita akan jatuh korban. Dan kalianlah yang harus bertanggung jawab atas korban-korban itu, karena jika kalian tidak melawan, maka korban itu tidak akan timbul.”
“Gila,” teriak orang bertongkat itu, “enak sekali. Kalian dengan sewenang-wenang menjatuhkan tanggung jawab di tangan kami. He, orang-orang Lemah Warah. Katakan, seandainya kalian tidak mengganggu kami, apakah akan jatuh korban?”
“Menggulung isi padepokan ini termasuk tugas kami. Karena itu harus kami laksanakan atas perintah Sri Baginda di Kediri,” jawab Tatas Lintang.
“Omong kosong,” teriak orang bertongkat itu.
Namun sebelum ia melanjutkan kata-katanya Tatas Lintang telah berkata lantang pula, “Kau lihat pertanda kebesaran kami. Kami adalah pasukan yang dilindungi oleh kekuasaan Kediri yang sah. Nah, sekali lagi aku perintahkan kalian menyerah. Kediri tidak akan berbuat apa-apa selain sekedar mengetahui dan memastikan, siapakah kalian sebenarnya dan apakah langkah-langkah yang kalian lakukan di Kediri itu mempunyai latar belakang tertentu yang berakar pada satu keyakinan yang mapan.”
Orang bertongkat itu mengumpat. Namun orang-orang didalam padepokan itu mulai mengetahui apakah sebenarnya yang mereka hadapi. Dengan demikian mereka pun menyadari, bahwa mereka telah langsung berhadapan dengan kekuasaan Kediri lewat Akuwu Lemah Warah.
“Kami memang telah menunggu,” berkata orang bertongkat itu lantang, “tetapi kenapa kalian datang hanya dengan sekelompok kecil prajurit Pakuwon Lemah Warah? Apakah kalian memang dengan sengaja membunuh diri.”
“Tidak ada kesempatan untuk berbuat apapun,” berkata Tatas Lintang, “kalian harus membiarkan kami melaksanakan tugas kami menangkap kalian dan menghadapkan kalian kepada Sri Baginda untuk memastikan, apakah sebenarnya pernah kalian lakukan, sehingga kalian berani menyentuh Gedung Perbendaharaan Kediri.”
“Fitnah apa lagi yang telah dilancarkan orang terhadap padepokan ini,” berkata orang bertongkat itu, “tetapi persetan dengan segala macam igauan itu. Aku berharap tinggalkan padepokan kami dalam keadaan tenang dan damai.”
“Jangan ingkar dengan cara yang kasar seperti itu,” berkata Tatas Lintang, “jika kalian tidak merasa bersalah, kenapa kalian dengan segala macam cara menolak kehadiran kami dilingkungan ini? Kalian ternyata telah mencurigai setiap orang yang baru datang di tempat ini. Kalian telah mencurigai tiga orang pedagang batu akik dan besi bertuah yang berada di sekitar tempat ini, sejak di padukuhan yang masih agak jauh. Kalian mencurigai aku yang tinggal di padukuhan yang juga tidak terlalu dekat. Dan apalagi ketika diantara kami mendekati batu berwarna kehijauan itu? He, apakah hubungan antara batu yang berwarna kehijauan itu dengan benda yang paling berharga dari Kediri itu?”
“Persetan,” geram orang yang memiliki kemampuan menguasai tubuh orang lain dan mempergunakannya, “jangan banyak bicara. Kami memang sudah menduga, dari manapun asalnya, kalian tentu akan mengganggu kami. Karena itu, maka sudah sepantasnya jika kami berusaha mengusir kalian dengan cara-cara yang mampu kami lakukan. Sekarang ternyata kalian telah bertindak dengan langkah-langkah yang lebih kasar lagi. Seolah-olah kalian mempunyai wewenang untuk menangkap kami. Tetapi yang akan kalian lakukan tidak lebih dari membunuh diri.”
“Sekali lagi aku perintahkan, atas nama Sri Baginda di Kediri, menyerahlah. Segala sesuatu yang menyangkut dengan kalian, akan dilakukan oleh Sri Baginda sendiri,” berkata Tatas Lintang. “Baiklah,” berkata Tatas Lintang kemudian karena sama sekali tidak ada tanggapan, “aku beri kesempatan kepada kalian untuk membicarakan agar keputusan yang kalian ambil tidak akan kalian sesali di kemudian.”
Orang-orang yang berada di padepokan itu masih tetap berdiam diri. Tetapi sebenarnyalah bahwa mereka tidak sekedar diam. Para pemimpin di padepokan itu telah memerintahkan semua orang didalam padepokan itu untuk bersiap.
Sementara itu, dua orang diantara para pemimpin di regol itu telah dengan langkah yang cepat menuju ke barak induk dari padepokan itu. Seorang diantara keduanya berpesan dengan kawannya yang tinggal, “Usahakan untuk menunda gerakan mereka beberapa saat. Aku akan berhubungan dengan Panembahan.”
Kawannya mengangguk. Sementara itu, kedua orang yang lain berusaha untuk menemui seseorang yang disebutnya sebagai Panembahan.
Orang yang disebut Panembahan itupun kemudian berkata, “Tidak ada cara lain. Hancurkan mereka. Aku akan bertanggung jawab jika Kediri akan mengambil tindakan balasan. Masih ada waktu untuk memikirkannya.”
“Baik Panembahan,” jawab salah seorang dari kedua pemimpin itu, “jika demikian kita memang akan menghancurkan mereka.”
Demikianlah maka para pemimpin dipadepokan itu telah mendapatkan satu keputusan. Mereka akan menghancurkan para prajurit Pakuwon Lemah Warah yang akan memasuki padepokan itu.
Karena orang-orang padepokan itu sama sekali tidak menghiraukan perintah Tatas Lintang, maka Akuwu Lemah Warah itupun telah mengambil satu keputusan untuk menyerang padepokan itu. Dengan kelompok-kelompok yang berada di depan padepokan itu, maka Tatas Lintang telah bersiap sepenuhnya.
Sementara itu. sebenarnyalah pasukan Tatas Lintang yang berada di seputar padepokan itu hampir tidak sabar lagi. Mereka tidak banyak mendengar pembicaraan antara Tatas Lintang dengan orang-orang di padepokan itu.
Namun akhirnya Tatas Lintang pun sampai kepada batas kesabarannya. Katanya, “Aku tidak mempunyai waktu lagi. Jawablah sekarang perintahku. Menyerahlah.”
“Persetan,” teriak orang bertongkat di padepokan itu setelah mendapat kepastian sikap Panembahan, “marilah. Jika kalian ingin membunuh diri biarlah kami membantunya.”
Tatas Lintang tidak bertanya lagi. Diperintahkannya dua orang diantara prajuritnya untuk meniup sangkakala. Pertanda bahwa pasukan Tatas Lintang itu harus bersiap untuk menyerang.
Semua prajurit pun telah bersiap pula. Suara sangkakala telah menggema melingkari padepokan itu sehingga semua prajurit telah mendengarnya. Dengan tegang mereka menunggu isyarat berikutnya, sebagai pertanda untuk menyerang. Ketegangan pun segera telah meningkat. Semua senjata telah bergetar di tangan. Dan kaki pun telah bersiap untuk meloncat.
Tatas Lintang masih menunggu sejenak, ia memberi kesempatan semua prajuritnya berada pada kesiagaan tertinggi sebelum isyarat menyerang dibunyikan. Ketika menurut perhitungan Tatas Lintang semuanya telah bersiap, maka ia telah memerintahkan untuk sekali lagi meniup sangkakala.
Demikianlah ketika suara sangkakala itu menggema, maka pasukan dari Lemah Warah itupun telah meloncat menyerang. Yang bergerak lebih dahulu adalah mereka yang berada di depan pintu gerbang Padepokan itu. Beberapa kelompok kecil dengan kelengkapan pertanda kebesaran Pakuwon Lemah Warah, serta pelimpahan kuasa Kediri telah bergerak dengan cepat menuju ke pintu gerbang.
Namun di pintu gerbang itu para penghuni padepokan itupun telah bersiap pula. Bahkan di sebelah menyebelah gerbang, beberapa orang telah siap diatas dinding dengan busur dan anak panah. Orang-orang padepokan itu sama sekali tidak merasa gentar melihat kehadiran pasukan yang tidak begitu banyak itu. Bahkan beberapa orang diantara mereka sempat menjadi heran, bahwa pasukan yang itu telah membawa pertanda kebesaran Lemah Warah, dan bahkan Kediri.
Sejenak kemudian maka di depan pintu gerbang itupun telah terjadi benturan antara kedua pasukan. Orang-orang padepokan itu menunggu dengan tenang di pintu gerbang. Mereka yakin, jika pasukan Lemah Warah itu tidak menyingkir, maka mereka akan membunuh sampai orang yang terakhir.
Dalam pertempuran itu, Tatas Lintang, Mahisa Murti Mahisa Pukat, Mahisa Ura dan Panglima pasukan Pengawal Khusus dari Lemah Warah telah langsung melibatkan diri. Untuk memasuki pertempuran, mereka masih belum mempergunakan kemampuan ilmu mereka yang nggegirisi. Tetapi mereka masih mempergunakan senjata sewajarnya sebagaimana para prajurit yang lain.
Di tangan Tatas Lintang digenggam sebatang tombak pendek, sementara Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah mempergunakan pedang pilihan sedangkan Panglima Pasukan Khusus Pakuwon Lemah Warah itu telah mempergunakan sebilah luwuk yang besar dengan perisai di tangan kiri.
Dengan kemampuan olah senjata yang tinggi, maka mereka telah berusaha untuk memecahkan pertahanan orang-orang Padepokan itu, sementara para pemimpin padepokan itupun belum sempat mempergunakan kemampuan ilmu mereka karena benturan yang hiruk pikuk. Namun akhirnya, pemimpin padepokan itu telah memerintahkan agar orang-orangnya menahan agar pasukan Lemah Warah tidak sempat memasuki padepokan.
“Usir mereka keluar.” teriak orang bertongkat, “kita akan membunuh mereka diluar padepokan. Jangan kotori padepokan ini dengan darah mereka.”
Orang-orang padepokan itu telah berusaha justru mendesak pasukan Lemah Warah. Orang-orang yang berdiri diatas dinding padepokan sebelah menyebelah regol telah berusaha untuk mendesak pasukan Lemah Warah dengan anak panah.
Namun para prajurit Lemah Warah mampu melawan anak panah yang meluncur seperti hujan. Sebagian dari mereka mempergunakan perisai sementara yang lain mampu menangkis anak panah yang meluncur itu dengan senjata-senjata mereka.
Pertempuran di pintu gerbang itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Para pemimpin padepokan itupun telah berada di pintu gerbang pula. Jika para pemimpin dari Lemah Warah itu mendesak orang-orang padepokan itu, maka para pemimpin merekalah yang akan menahannya.
Namun orang-orang padepokan itu terkejut ketika mereka mendengar sekali lagi suara sangkakala. Suara yang nyaring memekik menggetarkan udara.
“Apalagi yang akan terjadi?” bertanya orang-orang padepokan itu.
Sebenarnyalah perintah itu diperuntukkan bagi para prajurit yang berada di seputar padepokan. Tatas Lintang telah memerintahkan dua orang peniup sangkakala, bahwa mereka harus membunyikannya pada saat pasukan di pintu gerbang itu sudah terlibat dalam pertempuran.
Sejenak kemudian orang-orang padepokan itu tercenung. Mereka mendengar sorak yang mengguntur di sekitar padepokan mereka. Namun mereka terlambat menyadari, bahwa serangan dapat saja datang melalui segala arah.
Karena itulah, maka orang-orang padepokan itu tidak siap menerima serangan itu. Orang-orang yang bertugas berjaga-jaga di sudut padepokan memang melihat orang-orang yang kemudian berloncatan dari balik gerumbul-gerumbul dan langsung meloncati dinding padepokan.
Pertempuran memang telah terjadi. Orang-orang padepokan yang lain, yang sempat menarik diri dari sekitar pintu gerbang telah berusaha untuk menyongsong mereka. Tetapi para prajurit Lemah Warah sebagian telah berhasil memasuki padepokan.
Sejenak kemudian memang terjadi kekacauan didalam padepokan. Beberapa orang pemimpin yang berada di sekitar regol memang telah menarik diri untuk mengatasi keributan yang terjadi. Namun para prajurit Lemah Warah yang berada didalam padepokan telah memencar dan menyerang isi barak-barak yang tersisa.
Dengan demikian maka pertempuran telah merata. Sebagian dari prajurit Lemah Warah telah menuju ke pintu gerbang. Mereka telah menyerang orang-orang padepokan yang berkumpul di belakang pintu gerbang untuk menunggu pasukan Lemah Warah. Namun ternyata bahwa mereka telah mendapat serangan justru dari arah belakang mereka.
Sementara itu, sebagian dari prajurit Lemah Warah memang masih berada diluar padepokan. Mereka mendapat tugas untuk menjaga agar tidak ada seorang pun yang dapat lolos. Namun jika diperlukan mereka akan dapat ditarik untuk memasuki padepokan itu juga. Untuk beberapa saat yang terjadi adalah perang brubuh. Perang yang hiruk pikuk.
Semakin lama maka arena pun menjadi semakin luas. Bahkan kemudian pertempuran pun terjadi di scluruh sudut padepokan. Orang-orang padepokan yang semula berada di sekitar pintu gerbang telah memencar pula untuk melawan para prajurit Lemah Warah. Demikian pula para pemimpin padepokan itu. Mercka pun telah berpencar untuk mengatasi kebingungan yang untuk sementara terjadi di padepokan.
Namun dalam hiruk pikuk itu. terdapat sebuah bangunan yang sepi. Tidak seorang pun mengerti, kenapa di sekitar dan didalam rumah yang satu itu tidak terjadi pertempuran. Pasukan Lembah Warah yang bertempur di seluruh lingkungan padepokan, tanpa sadar telah menghindari rumah itu.
Orang-orang padepokan itu sendiri, yang melawan para prajurit Lemah Warah dimanapun mereka bertemu, tidak pula berada di sekitar rumah itu, karena di tempat itu tidak terdapat prajurit Lemah Warah. Mereka bertempur diantara dinding-dinding barak dan diantara pepohonan di halaman dan kebun padepokan. Menyusup diantara gerumbul-gerumbul perdu dan rumpun bambu, berkejaran di antara lorong-lorong sempit.
Sekelompok prajurit yang menghadapi sekelompok orang-orang padepokan itu telah bertempur dengan garangnya. Ternyata seperti yang telah diperhitungkan, bahwa orang-orang di padepokan itu memiliki kemampuan yang memadai. Mereka adalah murid-murid terpercaya dari beberapa perguruan yang telah berada di satu padepokan.
Namun seperti perintah Tatas Lintang, yang dibawa oleh Panglima Pasukan Pengawal Khusus itupun prajurit-prajurit yang terpilih pula. Seandainya Tatas Lintang tidak memanggil orang-orang terbaik dari Lemah Warah. maka keadaannya akan berbeda. Korban akan berjatuhan. Dan prajurit Lemah Warah pun akan merasa bahwa mereka tidak akan mampu mengimbangi lawan mereka. Tetapi para prajurit terpilih itu telah mendapat latihan khusus, sehingga tubuh dan jiwa mereka telah ditempa dengan laku yang berat.
Ketika seorang prajurit yang tergeser dari kelompoknya menyuruk diantara rumpun bambu yang lebat, tiba-tiba saja dihadapannya telah berdiri seorang laki-laki yang berjambang lebat. Rambutnya yang keriting terurai di pundaknya. Seutas tali melilit di dahinya, sementara di lehernya bergantungan berbagai macam benda yang dianggapnya memiliki kekuatan yang akan dapat mempertebal tataran kemampuan dan ilmunya.
Prajurit Lemah Warah itu memang menjadi berdebar-debar melihat ujud orang itu. Tetapi ketika ia diluar sadarnya melihat ujung pedangnya, maka hatinya mulai mapan, ia menyadari kedudukannya, ia adalah prajurit pilihan dari Lemah Warah.
Sesaat keduanya saling berpandangan. Namun kemudian terdengar orang itu menggeram, “Kau tidak mempunyai kesempatan untuk lari tikus kecil.”
Jantung prajurit itu memang berguncang mendengar kata-kata orang itu. Namun sekali lagi ia memandang ujung pedangnya yang runcing melampui ujung duri landak. Kemudian terdengar suaranya dengan nada rendah, “Kau mencoba untuk menyembunyikan rasa takutmu dengan ancaman-ancaman seperti itu?”
Orang itu mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya ia berdesis, “Takut? Apa artinya takut he? Apalagi menghadapi tikus kecil seperti kau ini?”
Tetapi prajurit itupun tertawa, “Kau sadar, bahwa kau berhadapan dengan prajurit pilihan dari Pakuwon Lemah Warah. Itulah sebabnya kau harus berusaha untuk membesarkan hatimu sendiri.”
“Gila,” orang itu mengumpat, “bagaimana mungkin kau dapat berkata seperti itu? Apa artinya bagiku, prajurit pilihan dari Lemah Warah. Kenapa bukan Akuwu itu sendiri yang datang ke hadapanku.”
“Kita berada di arena pertempuran Ki Sanak,” jawab prajurit itu sambil mengacukan ujung pedangnya yang runcing tajam, “jangan mengigau seperti itu.”
Orang berjambang itu mengangguk kecil. Senjatanya pun mulai terangkat. Sebuah bindi yang besar. “Kau akan aku lumatkan sebelum kau sempat berteriak minta tolong kepada kawan-kawanmu,” geram orang itu.
Prajurit Lemah Warah itu tidak menjawab. Tetapi pedangnya pun mulai bergetar. Perlahan-lahan ujungnya telah bergeser mengarah ke dada orang berjambang itu. Namun tiba-tiba prajurit itu harus meloncat surut. Lawannya telah mulai menyerangnya dengan mengayunkan bindinya yang besar dan berat, namun yang nampaknya tidak lebih berat dari sepotong lidi saja ditangannya.
Karena bindi itu tidak mengenai sasarannya, maka yang terdengar kemudian adalah suara, gemerasak batang-batang bambu yang berpatahan. Prajurit itu menjadi berdebar-debar. Kekuatan orang itu memang luar biasa. Namun ia tidak mau dianggap lebih lemah. Karena itu, maka iapun telah mempergunakan kesempatan yang terbuka untuk menyerang lawannya justru pada saat bindi itu sedang terayun mematahkan pohon-pohon bambu.
Orang berjambang itu memang tidak sempat menangkis serangan yang datang begitu cepatnya. Karena itu, maka iapun telah meloncat pula surut. Yang terjadi juga mengejutkan. Ketajaman pedang itu ternyata telah sempat menebas putus beberapa batang pohon bambu.
Keduanya pun kemudian telah berhadapan lagi dalam kesiagaan penuh. Namun keduanya telah melihat kelebihan masing-masing, sehingga karena itu, maka mereka pun menjadi semakin berhati-hati.
Prajurit pilihan dari Lemah Warah itu menyadari bahwa bindi lawannya itu akan dapat mematahkan tulang-tulangnya jika ia tersentuh ayunannya. Sebaliknya orang berjambang itu sadar sepenuhnya bahwa goresan ujung pedang prajurit itu akan dapat mengoyak kulit dagingnya.
Karena itu, ketika keduanya kemudian bertempur, maka keduanya menjadi semakin berhati-hati. Orang yang memegang bindi itu tidak lagi dapat sekedar mempercayakan diri kepada kekuatannya, karena kecepatan gerak prajurit itu ternyata sangat berbahaya baginya.
Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya pun menjadi semakin seru. Meskipun keduanya tidak lagi berloncatan dengan cepat dan selalu berusaha mengekang diri, namun ternyata bahwa keduanya telah mengguncang rumpun-rumpun bambu di sekitar mereka.
Dibagian lain, sekelompok kecil orang-orang padepokan itu telah mencoba menjebak beberapa orang prajurit yang terperosok ke dalam kolam. Namun dengan cepat para prajurit itu berhasil membebaskan diri. Ketika orang-orang padepokan yang berusaha menjebaknya itu berloncatan menyerang, sebagian dari para prajurit itu telah berada di-darat, sehingga mereka mampu untuk sementara melindungi kawan-kawannya yang berusaha naik pada dinding kolam yang licin.
Namun dengan pertolongan senjata mereka, maka akhirnya mereka berhasil mencapai tanggul kolam itu dan dengan serta merta telah terjun ke dalam pertempuran pula. Ternyata bahwa sekelompok orang-orang padepokan itu memiliki ilmu yang memadai. Dengan senjata mereka yang khusus berupa tongkat-tongkat panjang, mereka telah melawan beberapa orang prajurit yang bersenjata pedang dan tombak pendek.
Ketika para prajurit yang yakin akan kemampuan diri itu berpencar, maka orang-orang bertongkat itupun berpencar pula. Sehingga akhirnya, pertempuran itupun telah menebar di arena yang luas.
Dibagian lain, orang-orang padepokan itu yang tidak bersenjata tongkat, tetapi bersenjata parang-parang yang besar merasa bahwa mereka sempat menyergap beberapa orang prajurit Lemah Warah yang jumlahnya lebih sedikit. Mereka merasa bahwa dalam waktu singkat mereka akan sempat menghancurkan para prajurit itu.
Namun para prajurit yang tersudut itu tidak membiarkan diri mereka menjadi umpan pembantaian orang-orang padepokan itu. Dengan segenap kemampuan mereka telah mempertahankan diri meskipun jumlah mereka lebih sedikit. Tetapi sejenak kemudian, maka keadaan pun cepat berubah. Sekelompok lain para prajurit Lemah Warah telah datang pula dan membantu kawan-kawannya yang terjebak itu.
Keseimbangan pun segera berbalik. Orang-orang padepokan itulah yang telah terdesak. Namun mereka pun telah bertempur dengan segenap kemampuan mereka. Ternyata orang-orang padepokan itu yang tidak bersenjata tongkat pun, memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Sehingga dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi semakin seru.
Demikianlah pertempuran telah tersebar dimana-mana didalam padepokan itu. Orang-orang padepokan itu tidak menyangka, bahwa pasukan Lemah Warah pun semakin lama terasa menjadi semakin banyak. Bahkan rasa-rasanya telah mengimbangi jumlah para penghuni padepokan yang terdiri dari beberapa perguruan itu.
Namun orang-orang padepokan itu merasa diri mereka murid dari perguruan yang linuwih, yang jarang ada duanya di seluruh Kediri, bahkan Singasari. Karena itu, maka mereka pun merasa akan mampu mengatasi kedatangan para prajurit dari Lemah Warah.
Tetapi kenyataan yang terjadi telah mendebarkan jantung orang-orang padepokan itu. Ternyata prajurit-prajurit Lemah Warah adalah benar-benar prajurit pilihan yang secara pribadi mampu mengimbangi orang-orang padepokan yang terdiri dari beberapa perguruan itu. Bahkan semakin lama tekanan para prajurit itu menjadi semakin berat, sehingga di beberapa bagian dari padepokan itu, mereka telah mulai terdesak.
Namun para pemimpin dari padepokan itu selalu meneriakkan aba-aba, agar orang-orangnya tidak perlu gentar menghadapi para prajurit. Mereka memang memiliki kemampuan dalam pertempuran gelar. Tetapi sendiri-sendiri mereka tidak berarti apa-apa. Orang-orang padepokan itu mencoba untuk mempercayainya. Namun yang mereka jumpai adalah lain. Seorang-seorang para prajurit itu tetap merupakan orang yang sangat berbahaya bagi orang-orang padepokan itu.
Sementara itu, para pemimpin dari kedua belah pihak masih belum terlibat langsung ke dalam pertempuran, apalagi diantara mereka. Kedua belah pihak masih berusaha untuk mengatur orang-orang mereka masing-masing sehingga tidak terjadi kesalahan yang dapat mengakibatkan kesulitan bagi pasukannya.
Di beberapa tempat, pertempuran terjadi dalam bentuk yang berbeda. Orang berjambang lebat dan bersenjata bindi itu masih bertempur dengan seorang prajurit yang bersenjata pedang yang sangat tajam. Sementara sekelompok orang-orang padukuhan itu mencoba bertahan dari sergapan sekelompok prajurit yang lebih banyak jumlahnya.
Dibagian lain seorang prajurit yang lengah telah terlempar karena sebatang tongkat yang mengenai tengkuknya. Namun di dekatnya seorang penghuni padepokan itu memekik tertahan ketika ujung pedang seorang prajurit mengoyak dadanya.
Seorang yang bertubuh tinggi besar dan berdada bidang tiba-tiba saja sudah berdiri dihadapan Mahisa Pukat. Senjata orang itu yang berupa tongkat besi yang panjang terayun-ayun mengerikan. Dengan suara bergetar ia berkata, “Tundukkan kepalamu. Aku akan memecahkan kepalamu.”
Mahisa Pukat termangu-mangu. Yang berdiri dihadapannya adalah orang yang bertubuh raksasa. Tongkat besi yang besar dan panjang itu seolah-olah tidak berbobot di tangannya yang besar dan berbulu lebat. Beberapa saat lamanya Mahisa Pukat bagaikan membeku. Dipandanginya saja orang bertubuh tinggi besar itu. Namun agaknya orang itu benar-benar menjadi buas.
“Cepat,” teriak orang itu, “aku masih berbaik hati untuk membunuhmu. Atau aku akan memperlakukan kau dengan cara yang khusus mengulitimu dan kemudian merendammu di air garam?”
Mahisa Pukat masih belum menjawab, sehingga orang itu menjadi marah, “Apa kau bisu he?”
Mahisa Pukat tetap terdiam. Karena itu, maka orang itupun menjadi marah. Dengan serta merta maka iapun telah menyerang. Diayunkannya tongkat besinya yang besar dan berat itu ke arah leher Mahisa Pukat.
Dengan sigapnya Mahisa Pukat merendahkan dirinya, ia masih mendengar orang bertubuh raksasa itu mengumpat. Namun umpatan itu tiba-tiba telah terdiam. Ternyata sambil menghindari ayunan tongkat besi yang besar dan panjang itu. Mahisa Pukat telah menjulurkan pedangnya, langsung mengenai dada orang itu dan menembus membelah jantung. Yang terdengar kemudian adalah tubuh yang besar itu roboh di tanah dan tidak bergerak sama sekali.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya, ia sendiri merasa heran. Demikian cepatnya ia menyelesaikan raksasa yang berteriak-teriak itu. Namun yang ternyata lebih banyak mempergunakan mulutnya daripada otaknya. Dengan demikian Mahisa Pukat telah kehilangan lawannya. Ia pun segera bergeser menuju ke arena yang hiruk pikuk. Pertempuran antara kelompok-kelompok pasukan yang ada di padepokan itu.
Mahisa Murti telah terdampar ke sudut yang lain. Dua orang telah menyergapnya dengan senjata yang mengerikan. Seorang membawa canggah bertangkai panjang, yang lain membawa tombak berkait. Senjata yang tidak banyak dipergunakan. Ketika kedua orang itu menyerangnya dengan garang, Mahisa Murti sempat bertanya, “Darimana kau dapat senjata seperti itu he?”
“Persetan,” geram orang yang membawa canggah bertangkai panjang.
“Apakah kalian mendapatkannya dari orang-orang asing yang pernah datang ke pasisir dan mudik di bengawan?” bertanya Mahisa Murti.
“Apa pedulimu,” geram orang yang bersenjata tombak berkait.
Mahisa Murti tidak bertanya lebih jauh. Ia harus berloncatan menghindari serangan kedua orang yang bersenjata bertangkai panjang itu. Canggah yang dipergunakan oleh lawannya adalah canggah yang tajam di bagian dalamnya. Sementara tombak berkait itu tajam di segala sisinya. Namun Mahisa Murti memiliki kemampuan yang tinggi dalam ilmu pedang, sehingga ia mampu mengimbangi kedua senjata lawannya yang bertangkai panjang itu.
Namun dalam pada itu, tiga orang prajurit telah bertempur dengan seorang yang bersenjata tongkat yang di pangkalnva terdapat batu yang berwarna kehijauan. Tiga orang prajurit yang bersenjata pedang itu sama sekali tidak mampu menahan ayunan tongkat yang berkepala batu itu. Sekali-sekali batu itu bagaikan bercahaya menyilaukan. Namun tiba-tiba saja batu itu telah menyambar kepalanya.
Seorang di antara ketiga prajurit itu telah mengalami nasib yang buruk. Ketika pangkal tongkat itu terayun ke arah kepalanya, matanya yang silau masih belum sempat melihat dengan jelas apa yang sedang dihadapinya. Namun yang terdengar kemudian adalah benturan yang keras dan pekik tertahan. Prajurit itu terlempar beberapa langkah dan mati di tempatnya terbaring. Kedua orang kawannya menggeram. Namun orang bertongkat itu memang orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Di bagian lain pertempuran menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak masih belum sempat mencari orang-orang terpenting dari kedua belah pihak. Mereka masih melawan siapa saja yang bertemu di medan. Jika sekiranya lawannya memiliki ilmu yang tinggi, maka setiap kelompok berusaha untuk melawan berpasangan atau lebih.
Ketika pertempuran mulai merata, maka para pemimpin dari kedua belah pihak pun mulai memperhatikan keseluruhan arena. Mereka mulai mengamati kemungkinan-kemungkinan yang pantas untuk memilih lawan.
Mahisa Ura yang sedang bertempur melawan dua orang penghuni padepokan itupun mulai menjadi sasaran pengamatan para pemimpin padepokan itu. Namun Mahisa Ura memang memiliki kemampuan ilmu pedang yang memadai. Pedangnya berputaran dengan cepatnya bagaikan baling-baling. Bahkan kemudian semakin cepat mengitari dirinya, seolah-olah bagaikan gumpalan asap yang menyelubungi tubuhnya yang bergeser-geser dengan cepatnya.
Seorang yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan memandanginya dengan kening yang berkerut. Dengan suara yang datar ia berkata kepada seorang kawannya, “Orang itu agaknya memiliki kelebihan dari prajurit-prajurit yang lain, meskipun ia tidak mengenakan pakaian prajurit.”
“Ia salah seorang dari empat orang yang tinggal bersama-sama di pategalan itu. Seorang di antaranya ternyata adalah Akuwu Lemah Warah,” jawab kawannya.
“Aku akan mencoba menghadapinya,” desis orang bertubuh tinggi itu, “aku adalah murid terpercaya dari perguruanku. Akulah wakil guru jika guru tidak ada.”
“Tetapi berhati-hatilah,” desis kawannya.
Orang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan itupun kemudian melangkah mendekati Mahisa Ura. Ia sadar, bahwa orang itu adalah salah seorang dari tiga orang yang berada bersama-sama dengan Tatas Lintang yang sebenarnya adalah Akuwu Lemah Warah, yang oleh kawannya yang lain disebut, sebelum orang itu berada bersama Tatas Lintang, ia telah berada di beberapa banjar padukuhan untuk memperdagangkan wesi aji dan batu-batu bertuah. Namun orang itupun sadar, bahwa yang dilakukannya tentu hanya sekedar cara untuk melakukan tugas yang terselubung. Mungkin bersangkutan dengan batu yang berwarna kehijauan itu tetapi mungkin juga berhubungan dengan keberadaan orang-orang dari beberapa perguruan di padepokan itu.
Tetapi orang yang bertubuh tinggi agak ke kurus-kurusan itupun kemudian berkata kepada diri sendiri, “Aku membawa bekal yang cukup. Aku akan menyelesaikannya dengan baik sebagaimana tugas-tugasku yang lain.”
Sejenak kemudian, maka orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itupun dengan langkah tetap mendekati Mahisa Ura. Langkahnya tertegun ketika ia melihat seorang lawan Mahisa Ura itu terlempar jatuh. Sekali ia berguling sambil mengaduh. Senjatanya telah terlepas dari tangannya dan terhempas beberapa langkah dari padanya.
Dengan demikian yang seorang lagi menjadi ragu-ragu. Meskipun orang itu tidak melarikan diri, tetapi ia masih berusaha untuk tetap mengambil jarak. Namun selagi orang itu masih ragu-ragu, orang yang bertubuh tinggi ke kurus-kurusan itupun telah mendekatinya sambil berkata, “Minggir. Biarlah orang itu aku selesaikan.”
Orang yang kehilangan kawannya itu termangu-mangu. Namun ia mengerti bahwa orang yang bertubuh tinggi kekurus kurusan itu adalah seorang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka iapun tidak membantah. Bahkan ada semacam rasa terima kasih di dalam hatinya, bahwa dengan demikian ia sudah terlepas dari lawannya yang mendebarkan itu.
Mahisa Ura pun tertegun sejenak. Dipandanginya orang yang melangkah mendekatinya. Dengan bekal pengetahuan tentang olah kanuragan, maka Mahisa Ura pun dapat mengenali, bahwa orang itu tentu memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Sehingga karena itu, maka iapun merasa harus berhati-hati menghadapinya.
Sambil menarik nafas dalam-dalam orang bertubuh tinggi itu bertanya dengan nada berat, “Siapakah kau sebenarnya Ki Sanak.”
“Namaku Mahisa Ura,” jawab Mahisa Ura itu.
“Kau berasal dari mana dan apakah tujuanmu yang sebenarnya memasuki padepokan ini dengan tingkah yang kasar?” bertanya orang bertubuh tinggi itu pula.
“Pertanyaan yang tidak perlu,” jawab Mahisa Ura, “pemimpinku telah mengatakan segalanya. Dan kau pun harus tahu, bahwa aku adalah salah seorang dari prajurit Lemah Warah.”
Orang bertubuh tinggi itu mengangguk-angguk. Namun ia-pun menggeram, “Baiklah. Aku percaya. Tetapi jangan menyesal jika kau kemudian mati dan tidak seorang pun yang dapat menyebut tentang kau yang sebenarnya lagi.”
“Aku sudah mengatakan yang sebenarnya,” jawab Mahisa Ura, “sekarang, apa maumu? Aku tidak akan bertanya siapa namamu dan dari perguruan mana kau datang sebelum berada di padepokan ini, karena kau tentu akan mengatakan yang tidak sebenarnya sebagaimana kau menganggap demikian pula yang aku lakukan.”
“Baiklah,” berkata orang bertubuh tinggi itu, “kita akan bertempur. Siapakah diantara kita yang akan mati di sini. Kau atau aku.”
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya, “Aku tidak datang untuk sekedar mati di sini. Karena itu, aku akan memilih membunuhmu.”
Orang bertubuh tinggi itu menggeram. Kemudian diacungkannya senjatanya, sebuah kapak bermata rangkap sambil berkata, “Baiklah. Marilah kita buktikan, siapakah yang akan mati.”
Mahisa Ura tidak menjawab. Diamatinya senjata lawannya yang tidak banyak dipergunakan orang itu. Namun agaknya orang-orang padepokan itu lebih senang mempergunakan senjata yang khusus. Sejenak kemudian kapak bermata dua itupun mulai terayun. Mula-mula perlahan saja. Sekedar ancang-ancang. Namun kemudian gerak itupun menjadi semakin cepat.
Tetapi Mahisa Ura memegang pedang di tangannya. Sebelum ia yakin bahwa ia mengalami kesulitan dengan pedangnya dan karena watak senjata lawannya, maka ia menjadi terdesak, maka ia akan bertempur dengan bekal ilmu pedangnya yang memang tinggi. Sebelum ia mendapat tuntunan dari Tatas Lintang yang sebenarnya adalah Akuwu Lemah Warah itu, maka Mahisa Ura memang mempercayakan kemampuannya pada ilmunya dan kepada senjata yang ada padanya. Pisau belati panjang atau sebilah pedang.
Dalam pada itu. ternyata kapak lawannya itupun mulai berdesing ditelinganya. Ke arah manapun kapak itu terayun, maka rasa-rasanya tajamnya siap untuk membelah kulit daging, justru karena kapak itu bermata rangkap. Mahisa Ura melangkah surut untuk mengambil jarak. Dicobanya untuk mengenali sifat senjata lawannya. Sehingga dengan demikian maka iapun telah mengambil sikap, bagaimana ia harus melawan senjata yang menggetarkan jantung itu.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Ura memiliki ilmu pedang yang tinggi. Meskipun kapak lawannya berdesing dan menyambar ke segenap arah, namun orang bertubuh tinggi itu harus meloncat surut ketika ujung pedang Mahisa Ura hampir saja menyentuh hidungnya.
“Gila,” geram orang bertubuh tinggi itu.
Mahisa Ura tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Iapun meloncat memburu sambil mengacukan pedangnya. Namun lawannya telah sempat memperbaiki kedudukannya. Karena itu, ia tidak lagi meloncat menjauh, tetapi ia bergeser menyamping sambil memukul pedang Mahisa Ura. Mahisa Ura yang tidak mengenai sasarannya itupun menggeram. Namun lawannya pun tidak dapat mengenai pedangnya, karena dengan cepat Mahisa Ura telah menarik serangannya.
Demikianlah, keduanya pun kemudian telah terlibat dalam pertempuran yang seru. Keduanya memiliki kemampuan yang tinggi serta menguasai senjata mereka masing-masing. Dengan demikian, maka kedua jenis senjata yang berbeda itu telah saling menyambar, berputar dan mematuk dengan dahsyatnya.
Sementara itu, Mahisa Murti yang juga bersenjata pedang masih juga bertempur melawan dua orang yang bersenjata bertangkai panjang. Namun Mahisa Murti yang mampu bergerak sangat cepat itupun berusaha untuk bertempur pada jarak yang dekat, sehingga justru pedangnya mempunyai keuntungan yang lebih besar dari senjata yang bertangkai panjang. Dengan cepat dan tangkas Mahisa Murti seakan-akan selalu melekat pada salah seorang lawannya. Ia mampu mempengaruhi keadaan sehingga seakan-akan lawannya yang seorang justru telah melindunginya dari lawannya yang seorang lagi.
Karena itu. maka kedua orang lawannya itupun kadang-kadang telah mengalami kesulitan. Bahkan seorang diantaranya telah mengumpat. Namun Mahisa Murti yang memiliki kecepatan gerak melampaui orang kebanyakan itu, masih mampu berloncatan dan berusaha bertempur pada jarak yang pendek melawan salah seorang dari keduanya.
Kedua orang itupun terdengar beberapa kali mengumpat. Namun pertempuran itu justru semakin lama menjadi semakin seru. Orang yang bersenjata bertangkai panjang itu berusaha untuk dapat mengambil jarak agar mata senjata mereka yang tajam itu dapat mengoyak tubuh lawannya. Tetapi ternyata mereka tidak mudah melakukannya. Mahisa Murti yang menyadari sifat senjata lawannya pun telah berusaha untuk menghindarinya.
Bahkan ternyata semakin lama pedang yang jauh lebih pendek dari senjata kedua orang lawannya itu telah mampu membuat keduanya semakin bingung. Mereka justru merasa tangkai senjata mereka yang panjang itu telah mengganggu. Sebenarnyalah Mahisa Murti memiliki tingkat ilmu yang lebih tinggi dari kedua orang lawannya. Semakin lama kedua orang itupun menjadi semakin bingung dan kehilangan kesempatan. Agaknya justru karena senjata panjang itu bermata tajam, kedua orang itu cenderung untuk mengenai lawannya dengan mata senjata mereka.
Sehingga dengan demikian mereka kurang memanfaatkan pangkal senjata mereka atau mempergunakannya sebagai tongkat panjang dari orang-orang bertongkat yang juga berada di padepokan itu. Orang-orang bertongkat itu tidak sekedar mematuk dengan ujung tongkatnya, tetapi mereka juga memukul dengan ayunan dan menyerang dengan pangkal tongkatnya.
Sifat yang berbeda itu agaknya dipahami oleh Mahisa Murti, sehingga ia mampu mengatur cara untuk melawannya. Ketika ia terlibat dalam pertempuran berjarak sepanjang ujung pedangnya, maka ia telah berkisar dengan cepat dan bertempur di arah yang berlawanan dari lawannya yang seorang. Ia selalu berusaha untuk bergeser melingkar, jika lawannya melingkar pula.
Ternyata kecepatan gerak Mahisa Murti mampu memaksakan kedudukan sebagaimana diinginkan. Dengan demikian maka lawannya kadang-kadang memang berada dalam keadaan yang sulit. Tetapi lawan-lawannya pun adalah orang-orang yang berpengalaman pula. Karena itu, dalam kedudukan yang serba sulit itu, maka orang bersenjata bertangkai panjang itu telah mengambil langkah-langkah yang dianggapnya akan dapat mengatasi cara yang ditempuh oleh Mahisa Murti.
Merekapun telah bertempur sambil berloncatan dengan jarak panjang. Dengan demikian, maka mereka kadang-kadang memang mempunyai kesempatan untuk mengambil jarak dan dengan gerak mematuk dengan ujung senjata mereka yang mengerikan.
Namun Mahisa Murti cukup tangkas untuk mengelak dan menangkis dengan cepatnya. Bahkan kemudian seolah-olah ia selalu berhasil menyusup di antara ayunan senjata bertangkai panjang itu dengan mengacukan ujung pedangnya mengarah ke dada. Keringat telah membasahi seluruh tubuh mereka yang bertempur. Kedua orang bersenjata panjang itupun bagaikan telah menyelam dengan seluruh pakaiannya di dalam air.
Namun demikian, keadaan mereka justru semakin lama menjadi semakin sulit. Ujung pedang Mahisa Murti serasa menjadi semakin dekat dengan kulit mereka, sehingga pada suatu saat, salah seorang dari kedua orang yang bersenjata panjang itu telah berdesah menahan sakit dan kemarahan yang bagaikan meledakkan dadanya.
Adalah sangat menyakitkan hati, bahwa anak muda yang bersenjata pedang itu tiba-tiba saja telah berhasil melukai salah seorang dari lawannya. Ketika lawannya itu justru telah menyerangnya dengan senjatanya yang terjulur lurus ke arah lehernya, maka Mahisa Murti itu telah merendahkan dirinya tanpa bergeser dari tempatnya. Pada saat yang demikian, maka pedangnya telah terjulur lurus dan menyentuh pundak lawannya, justru pada saat senjata lawannya berdesing di atas kepadanya.
Dengan cepat orang yang terluka itu meloncat surut. Mahisa Murti yang berusaha memburunya, harus mengalihkan perhatiannya kepada lawannya yang seorang, yang telah menyerangnya pula. Mahisa Murti harus meloncat ke samping. Ketika senjata lawannya itu terayun, maka Mahisa Murti telah menangkisnya dengan pedangnya. Dengan kemampuan ilmu pedang yang tinggi, didorong oleh tenaga cadangannya yang mapan, maka Mahisa Murti telah memutar pedangnya pada benturan di saat ia menangkis serangan lawannya itu.
Senjata lawannya bertangkai panjang itu bagaikan dihisap oleh tenaga yang kuat sekali. Hampir saja senjata itu terlepas dari tangan lawan Mahisa Murti itu. Untunglah, ia mampu berpegang kuat-kuat pada pangkalnya, sementara kawannya yang terluka telah mampu menguasai diri dan sambil menggeram menyerang Mahisa Murti, sehingga ia masih belum sempat berhasil melemparkan senjata lawannya yang seorang.
“Hampir saja,” desis Mahisa Murti, “jika aku mendapat kesempatan sesaat lagi, agaknya aku akan berhasil merenggut senjata itu.”
“Omong kosong,” lawannya berteriak, “kau jangan terlalu merasa dirimu besar dengan kemenangan-kemenangan kecil yang tidak berarti sama sekali itu.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia mengambil kesempatan untuk meloncat mendekatkan diri kepada lawannya yang telah terluka dan mengambil tempat dan kedudukan sebagaimana pernah terjadi. Mahisa Murti itu berusaha berputaran berseberangan dengan lawannya yang seorang lagi, sehingga sulit bagi lawannya itu untuk menyerang bersama-sama.
Namun sekali lagi lawannya berusaha pula untuk memecahkan kedudukan yang tidak menguntungkan mereka itu. Dengan tangkas orang bersenjata bertangkai panjang itu berloncatan, sehingga mereka berada dalam satu garis yang sepihak dengan Mahisa Murti. Tetapi usaha keduanya selalu gagal. Bahkan kecepatan pedang Mahisa Murti yang membingungkan itu sekali lagi telah mematuk lengan lawannya yang seorang, sehingga dengan demikian maka keduanya pun telah terluka
Luka itu telah membuat kedua orang lawannya bertambah marah. Dengan demikian maka pertempuran pun menjadi semakin cepat. Keduanya berusaha untuk dengan cepat menghancurkan anak muda itu. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kemarahan yang menghentak-hentak itu justru telah membuat pikiran keduanya menjadi kabur. Keduanya lebih banyak menuruti perasaannya yang marah saja, sehingga perhitungan mereka pun menjadi tidak mapan lagi. Itulah sebabnya, maka yang terjadi kemudian sangat mengejutkan. Ujung pedang Mahisa Murti telah sekali lagi mengoyak lawannya justru di lambung.
“Gila,” teriak orang itu. Tetapi luka di lambung itu ternyata lebih parah dari lukanya yang terdahulu. Meskipun tidak terlalu dalam, namun darah telah mengalir dengan derasnya. Perasaan pedih terasa menyengat sampai ke tulang.
Dengan demikian maka perlawanannya menjadi jauh susut. Karena itulah, maka kawannya yang seorang harus bertempur tanpa bersandar pada bantuan kawannya. Dengan segenap tenaga ia berusaha untuk melindungi dirinya sendiri dari ujung pedang lawannya yang kadang-kadang membingungkan. Namun orang itu tidak mampu lari dari kejaran ujung pedang itu. Betapa dahsyatnya senjatanya, namun Mahisa Murti-pun telah mendesaknya sehingga orang itu selalu berusaha mengambil jarak dengan berloncatan surut.
Tetapi usahanya tidak selalu berhasil. Ujung pedang itu telah menyentuhnya pula sehingga luka pun telah tergores di dadanya. Tetapi luka itu hanyalah luka kecil meskipun panjang. Karena itu orang padepokan itupun masih berusaha untuk bertempur terus. Namun kawannya yang terkoyak lambungnya, ternyata sudah tidak mampu lagi berbuat banyak. Bahkan kemudian iapun telah terduduk dengan lemahnya bersandar sebatang pohon.
Namun ketika Mahisa Murti sudah siap mengakhiri pertempuran, ternyata Mahisa Murti dikejutkan oleh kehadiran seorang yang bertubuh tegap berjambang dan berjanggut panjang yang langsung menyambar Mahisa Murti dengan senjatanya yang juga bertangkai panjang. Bukan canggah dan tombak berkait, tetapi sebuah trisula berujung tiga.
Mahisa Murti lah yang kemudian harus berloncatan mundur. Ayunan senjata itu terasa agak berbeda dengan kedua senjata yang terdahulu. Karena itu, maka menurut penilaian Mahisa Murti, orang itu tentu memiliki ilmu melampaui kawan-kawannya.
Karena itu, justru pada saat yang gawat itu, Mahisa Murti masih sempat membuat perhitungan. Dengan satu gerakan yang sulit diikuti dengan mata telanjang, maka iapun telah meloncat menyerang lawannya yang telah dilukainya. Memukul senjatanya sehingga pertahanan lawannya itu terbuka. Sebelum ia menyadari apa yang terjadi, justru karena kehadiran kawannya yang dianggapnya memiliki ilmu yang lebih tinggi itu, maka senjatanya bagaikan disibakkan. Ujung pedang lawannya itu menyusup dengan cepat dan sebelum orang itu sempat mengelak, maka ujung pedang itu telah mematuknya.
Orang itu masih berusaha mengelak. Namun ia tidak berhasil menghindari ujung pedang itu sepenuhnya. Meskipun ujung pedang itu tidak menghunjam ke dadanya, tetapi ujung pedang itu telah menembus pundaknya. Orang itu sempat berteriak dan mengumpat kasar. Namun Mahisa Murti telah memperhitungkan segala sesuatunya. Tetap seperti yang diduganya, maka pada saat itu, serangan lawannya yang baru itu telah menyambarnya.
Untunglah bahwa Mahisa Murti telah siap menghadapinya. Ujung trisula bertangkai panjang itu memang hampir saja menyambar punggungnya. Untunglah bahwa Mahisa Murti sempat justru menjatuhkan irinya menelungkup. Namun demikian ujung trisula itu berdesing, maka iapun telah siap melenting berdiri tegak. Dengan demikian kedua orang itu telah berhadapan lagi dengan senjata siap di tangan.
Namun dalam pada itu, orang yang telah dilukainya di pundaknya itu telah kehilangan tenaganya. Tangannya bagaikan menjadi lumpuh sementara darah mengalir dengan derasnya dari lukanya itu. Karena itu, maka ia tidak lagi mampu untuk membantu pertempuran yang kemudian terjadi antara Mahisa Murti dengan orang bersenjata trisula itu.
Ternyata bahwa orang yang mempergunakan trisula bertangkai panjang itu memang seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun ia hanya seorang diri menghadapi Mahisa Murti, namun putaran trisulanya terasa menimbulkan pusaran angin yang menyentuh wajah Mahisa Murti. Dengan demikian Mahisa Murti dapat menilai betapa kuatnya tenaga orang itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti harus berhati-hati. Agaknya orang itu bukan saja orang yang bertenaga sangat besar. Namun agaknya orang bertrisula itu memang seorang yang berilmu tinggi. Keduanya pun kemudian bertempur semakin sengit. Keduanya berloncatan semakin cepat dengan putaran senjata semakin cepat pula.
Sementara itu. Mahisa Pukat ternyata telah kehilangan lawannya pula, sehingga untuk sementara ia telah melibatkan diri dalam benturan antara dua kelompok prajurit dan penghuni padepokan itu. Kehadirannya ternyata telah banyak mempengaruhi keadaan, sehingga kelompok dari padepokan itupun telah terdesak.
Di bagian lain. Tatas Lintang masih berdiri tegak mengamati seluruh medan. Sekali-sekali ia memang terlibat langsung dalam pertempuran, namun kemudian ia telah membebaskan diri untuk dapat bergeser ke tempat lain.
Dalam pada itu. Tatas Lintang menyadari, bahwa ada beberapa orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, ia harus berhati-hati. Karena ia orang tertua di antara pihak pasukan Lemah Warah, maka ia harus berusaha untuk dapat berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu tertinggi di padepokan itu.
Namun agaknya ia belum menemukannya. Karena itu, maka ia masih selalu melepaskan lawannya yang lain dan kemudian bergeser dari medan yang satu ke medan yang lain antar kelompok-kelompok. Di regol padepokan para pemimpin padepokan itu nampaknya sudah berkumpul. Namun ketika mereka menyadari bahwa pasukan Lemah Warah masuk ke padepokan itu dari segala arah, maka para pemimpin itu telah menyebar dan berada di seluruh sudut padepokan itu.
“Mudah-mudahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berhasil menemukan mereka,” berkata Tatas Lintang di dalam hatinya. Meskipun keduanya masih sangat muda, tetapi Tatas Lintang percaya, bahwa keduanya akan dapat mengatasi kesulitan. Bagi Tatas Lintang yang agak mendebarkan adalah Mahisa Ura. Namun agaknya iapun meningkatkan ilmunya sehingga meskipun padepokan itu kemudian menjadi kancah peperangan yang mendebarkan, namun agaknya ia akan dapat berusaha untuk menjaga dirinya sendiri.
Untuk beberapa saat Tatas Lintang masih menyusuri arena yang sibuk. Sekali-sekali iapun harus mengelakkan serangan. Namun prajurit Lemah Warah yang melihatnya segera mengambil alih mereka yang telah menyerang Tatas Lintang itu.
Namun dalam pada itu, di bagian lain dari padepokan itu, seorang yang bertongkat panjang dan di pangkalnya terdapat batu berwarna kehijauan, telah menyapu lawan-lawannya tanpa ampun. Beberapa orang prajurit terpilih harus bersama-sama menghadapinya untuk membatasi geraknya. Namun tidak seorang pun di antara para prajurit yang mampu menahannya untuk tidak berkeliaran.
Di bagian lain, seorang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan bahkan menyusup ke dalam diri seseorang serta merampas pribadinya, tidak dapat terlalu banyak memanfaatkan ilmunya. Lawan terlalu banyak untuk dipergunakannya satu demi satu. Bahkan seandainya ia ingin mengurangi jumlah lawannya dengan cara itu, maka ia memerlukan waktu yang terlalu lama.
Karena itu, maka ia merasa dapat mempergunakan cara lain yang lebih baik. Dengan langsung turun ke medan maka ia akan dapat membunuh lawan-lawannya dengan lebih cepat dan langsung. Dengan kemampuannya mempermainkan senjata serta tenaga cadangan yang mampu membuat kekuatannya berlipat ganda, telah membuatnya menjadi orang yang menggemparkan di medan pertempuran itu.
Beberapa orang prajurit Lemah Warah telah menjadi korbannya. Namun para prajurit yang memiliki pengalaman cukup luas itu telah berusaha melawannya dengan satu kelompok kecil orang-orang pilihan. Bagaimanapun juga, maka orang yang berilmu tinggi itu merasa geraknya terhambat oleh prajurit-prajurit Lemah Warah yang melingkarinya, karena ujung-ujung senjata mereka akan dapat menggoresnya.
Di bagian lain, seorang yang berwajah gelap ternyata tidak sempat mempergunakan ilmu gendamnya untuk menguasai binatang apapun juga untuk melawan para prajurit Lemah Warah. Ia pun tidak sempat mempergunakan ilmunya untuk mengaburkan nalar lawan-lawannya karena ia langsung harus bertempur dengan senjatanya. Meskipun ia mencoba berusaha tetapi kesempatannya tidak pernah didapatkannya dalam hiruk pikuk pertempuran itu.
Tetapi orang itu tidak ingin menyerah. Ia mempunyai sekotak ular yang akan dapat dikuasainya dengan ilmunya dan menaburkannya ke medan. Bisa ular itu akan dapat membunuh para prajurit Lemah Warah tanpa ampun, sehingga dengan demikian, maka mereka pun akan segera dapat dihancurkan. Karena itu, maka orang itupun telah berusaha untuk melepaskan diri dari pertempuran yang ribut. Ketika beberapa orang padepokan itu hadir pula di arena, maka ia merasa mendapat kesempatan untuk meninggalkan arena itu.
Dengan diam-diam ia telah menyusup di antara barak-barak yang ada di padepokan itu dan menuju ke barak yang dipergunakannya untuk menyimpan ular-ularnya. Dengan cepat ia menyelinap memasuki pintu baraknya dan langsung menuju ke biliknya. Orang itu menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya kotak kayu yang cukup besar yang dipergunakannya untuk menyimpan ular-ularnya masih berada di tempatnya.
Dengan serta merta iapun telah meloncat mendekat dan kemudian duduk di depan peti yang penuh berisi ular itu. Ia berniat untuk mengetrapkan ilmunya dan menggerakkan ular-ularnya agar memasuki medan dan membunuh para prajurit Lemah Warah. Dengan ilmunya ia akan mempengaruhi ular-ularnya untuk mengetahui yang manakah prajurit Lemah Warah yang harus dibinasakan.
Namun orang itu terkejut ketika ia mendengar desir lembut ke arah pintu biliknya. Pendengarannya yang tajam segera dapat mengenal bahwa suara itu tentu suara langkah kaki seseorang. Sehingga karena itu, iapun menjadi sangat berhati-hati. Sebenarnyalah langkah itu memang menuju ke pintu biliknya yang ternyata masih terbuka.
Tetapi orang itu tidak mempunyai kesempatan untuk menutupnya, karena tiba-tiba saja seseorang telah berdiri di depan pintu biliknya. Orang itu menjadi tegang, sementara orang yang berdiri di depan pintu itupun bersiap pula menghadapi segala kemungkinan.
“Setan,” geram orang itu yang melihat salah seorang dari tiga orang yang disebut kemanakan Tatas Lintang telah mengikutinya.
“Kenapa kau bersembunyi?” bertanya Mahisa Pukat yang melihat orang itu menyelinap dan kemudian ia memang mengikutinya.
Orang itu termenung sejenak. Namun perlahan-lahan ia telah membuka tutup kotaknya. Tanpa dilihat oleh Mahisa Pukat tangannya telah meraih seekor ular dari kotak itu.
“Kenapa kau bersembunyi?“ sekali lagi Mahisa Pukat bertanya.
Tetapi ternyata orang itu tidak menjawab. Yang dilakukannya adalah melempar Mahisa Pukat dengan ular yang dapat diraihnya tanpa memilih. Ternyata ular itu adalah ular bandotan yang meskipun tidak begitu besar, tetapi patukannya akan dapat membunuh seseorang dalam waktu pendek.
Mahisa Pukat memang terkejut. Secara naluriah ia telah bersiap untuk menghindar. Namun ketika ia melihat seekor ular yang dilemparkan kepadanya, maka ia telah mengurungkan niatnya, ia tetap saja berdiri di muka pintu dan membiarkan ular itu mengenainya dan langsung melilit di tangannya yang memang berusaha untuk menangkap ular itu. Ular itu memang telah mematuknya dan membelitnya dengan kuat.
Untuk sesaat Mahisa Pukat tidak bergerak. Namun kemudian tangannya yang lain telah mengurai ular itu, memijit kepalanya sehingga gigitannya terlepas. Kemudian dengan sekuat tenaga ular itu dibantingnya ke tanah sehingga mati seketika.
Orang yang melemparkan ular itu menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat ularnya telah menggigit orang yang berdiri di muka pintu itu. Namun ternyata orang yang berdiri di muka pintu itu sama sekali tidak mengalami akibat dari gigitan ularnya. Bahkan Mahisa Pukat itu telah melangkah perlahan-lahan mendekatinya.
“Gila,” geram orang itu. Ia pun kemudian menyadari bahwa Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu sama sekali tidak dapat terpengaruh oleh racun dan bisa. Beberapa kali hal itu telah terjadi dan dialami oleh para penghuni padepokan itu dan mereka pun telah pernah saling membicarakannya.
Karena itu, maka orang itu tidak akan dapat mempergunakan ular-ularnya untuk melawan orang itu. Ia pun belum sempat pula mempengaruhi ular-ular itu dengan ilmunya agar ular-ular itu menyerang para prajurit Lemah Warah. Dengan demikian, maka ia tidak dapat berbuat lain kecuali menghadapi Mahisa Pukat tanpa mempergunakan ular-ularnya itu dan karena itu, maka ia telah menutup kotaknya baik-baik dan berkata kepada diri sendiri,
“Aku harus menghancurkannya dengan cepat, agar aku sempat mempergunakan ular-ular itu. Jika aku terlambat, maka keadaan akan menjadi semakin sulit bagi orang-orang di padepokan ini.”
Karena itu ketika Mahisa Pukat melangkah mendekatinya, maka orang itupun telah melangkah pula maju. “Ki Sanak,” berkata orang itu, “aku tahu siapa kau dan aku tahu untuk apa kau mengikuti aku. Karena itu, marilah, kita akan keluar dari ruang sempit ini. Kita akan mengukur kemampuan kita tanpa terganggu oleh isi bilik ini.”
Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun iapun kemudian berkata, “Baiklah. Marilah kita keluar.”
Orang itu tertawa. Katanya, “Kau terlalu berhati-hati dan berprasangka. Jangan menduga buruk terhadap seseorang. Kau kira aku telah menjebakmu dan akan menyerangmu dari belakang pada saat kau keluar dari bilik ini?”
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Satu hal yang mungkin sekali terjadi. Baru saja kau menyerangku dengan curang. Tanpa peringatan apapun juga kau telah melemparkan seekor ular untuk menyerangku. Kau kira serangan yang demikian tidak sama nilainya dengan menyerang punggung?”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Marilah kita keluar.”
Orang itulah yang kemudian berjalan ke arah pintu dan mendahului Mahisa Pukat keluar dari bilik itu dan seterusnya keluar dari barak itu pula. Di halaman orang itu berhenti langsung bersiap menghadapi Mahisa Pukat yang telah keluar dari barak itu pula.
Mahisa Pukat terkejut melihat sikap orang itu. Kesiagaan orang itu agak mencurigakan. Orang itu tidak berdiri tegak dengan tangan yang siap mengayunkan senjata, atau memiringkan tubuhnya sedikit pada kaki yang agak merendah, atau cara-cara lain, tetapi orang itu justru berdiri dengan tangan bersilang di dada. Sementara itu, terasa angin yang bagaikan berhembus ke arah wajah Mahisa Pukat. Perlahan-lahan. Namun terasa satu pengaruh yang mulai mencengkam.
“Gila,” geram Mahisa Pukat. Ia mulai menyadari apa yang sedang dilakukan oleh orang itu. Agaknya orang itu telah mengetrapkan ilmu gendamnya. Tidak untuk mempengaruhi seekor atau dua ekor harimau atau beberapa ekor orang hutan atau ular berbisa, tetapi orang itu mencoba mengetrapkan ilmunya pada dirinya.
Mahisa Pukat benar-benar tersinggung. Ia pernah melihat salah seorang yang tidak dikenal yang menurut dugaannya adalah orang dari padepokan itu pula, telah mampu menggetarkan udara dan bagaikan angin pusaran menyusup ke dalam tubuh Mahisa Ura yang kepribadiannya paling lemah di antara mereka berempat, kemudian mempergunakan tubuh Mahisa Ura untuk bertempur melawannya bertiga. Namun kini ternyata lawannya itu telah mempersamakannya dengan derajad seekor binatang untuk dapat dipengaruhi dengan ilmu gendamnya. Namun ternyata bahwa pengaruh itu memang dirasakannya meskipun tidak mampu mencengkamnya dan menguasainya.
Tetapi kemarahan Mahisa Pukat tidak dapat dikendalikannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia menjulurkan tangannya dengan kedua telapak tangannya menghadap ke depan. Seleret sinar seakan-akan telah meluncur dari telapak tangannya itu, langsung menyambar dua langkah dari tempat orang yang diduga sedang mengetrapkan ilmu gendamnya itu. Tanah yang tersentuh seleret sinar itu bagaikan meledak.
Orang itu memang terkejut. Dengan serta merta iapun telah terloncat surut beberapa langkah. Wajahnya menjadi merah membara oleh kemarahan yang menghentak di dadanya. “Kau sombong sekali,” geram orang itu, “ternyata kau-pun licik sekali. Kau menyerang aku dengan tiba-tiba tanpa memberikan peringatan lebih dahulu.”
“Gila,” geram Mahisa Pukat, “jika aku licik seperti kau, maka aku tidak akan memberimu peringatan. Aku akan langsung menyerang kepalamu sehingga kepalamu akan pecah karenanya.”
“Persetan,” orang itu hampir berteriak, “kenapa tidak kau lakukan?”
“Sudah aku katakan. Aku tidak selicik kau,” jawab Mahisa Pukat, “kita akan berhadapan sebagai laki-laki, meskipun kau sudah dua kali menyerangku tanpa peringatan. Bukan aku yang melakukannya, tetapi justru kau. Kau telah melemparkan ular itu dan yang kedua kau telah menyerangku dengan licik, bahkan menghinaku pula. Kau anggap aku seekor kerbau dungu yang akan kau jerat dengan ilmu gendammu he? Kau telah merendahkan martabat manusiaku di samping kecuranganmu itu.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia telah tertawa, “Jadi kau merasakan pengaruh ilmuku. Jika demikian maka kau memang mempunyai martabat yang terlalu rendah sebagai manusia. Tidak seorang pun yang dapat dipengaruhi oleh ilmu gendam jika pribadinya cukup bernilai dalam tataran martabat manusia wajar. Jika kau merasakan pengaruhnya, maka nilai martabat manusiamu berada di bawah tataran martabat manusia sewajarnya.”
Tetapi Mahisa Pukat justru berusaha untuk menguasai dirinya. Ia sadar, bahwa lawannya telah membuatnya marah, sehingga ia kehilangan penalarannya. Karena itu, Mahisa Pukat itu justru tertawa. Katanya, “Ceriteramu memang menarik. Mungkin kau benar, bahwa martabatku tidak pada tataran martabat manusia seutuhnya. Tetapi itu tidak apa. Kita akan membuktikan, apakah martabatmu lebih rendah atau lebih tinggi dari martabatku.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun iapun tersenyum “ Syukurlah jika kau menyadarinya. Dengan demikian maka kau tidak akan menyesali apa yang dapat terjadi atasmu nanti.”
“Tidak Ki Sanak,” berkata Mahisa Pukat, “aku tidak akan menyesali apapun juga yang mungkin terjadi atas diriku. Di sekitar barak ini pertempuran menjadi semakin seru. Korban akan jatuh di kedua belah pihak. Dan kita pun tidak akan luput dari paugeran perang. Salah seorang di antara kita akan mati, kecuali jika kau menyerah, karena kami tengah mengemban perintah Sri Maharaja di Kediri.”
“Kaulah yang kini menghinaku. Kau sangka bahwa kami mengenal menyerang menghadapi siapapun juga?” jawab orang itu.
“Jika demikian bersiaplah untuk mati.” jawab Mahisa Pukat, “aku tidak akan membiarkan kau memberikan perlawanan terlalu lama. Aku dapat membunuhmu saat ini juga.”
“Jangan terlalu sombong anak muda.” jawab orang itu.
Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun iapun telah melangkah mendekat. Pedangnya yang telah digantungkannya di lambungnya telah berada di tangannya kembali. Bahkan mulai bergetar dan teracu ke arah lawannya. Sementara iapun melangkah maju perlahan-lahan.
“Kau telah menghina aku lagi,” geram orang itu, “kenapa kau tidak menyerangku dengan ilmumu yang dapat meledakkan tanah tempat aku berpijak.”
“Sama saja,” jawab Mahisa Pukat, “yang penting kau akan mati.”
Orang itu tertawa. Namun ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan iapun telah mencabut kerisnya yang besar yang tergantung di punggungnya.
“Aku tidak biasa mempergunakannya,” berkata orang itu, “tetapi karena kau bersenjata pedang, maka aku akan melawanmu dengan kerisku ini. Keris yang barangkali tidak begitu baik. Tetapi cukup mempunyai naluri yang disegani oleh setiap orang yang berani melawan aku.”
“Aku ternyata terlepas dari naluri itu,” jawab Mahisa Pukat sambil melangkah semakin dekat, “aku sama sekali tidak merasakan pengaruhnya. Karena itu kerismu itu lebih jelek dari ilmu gendammu yang buruk itu.”
Orang itu menggeram. Namun iapun kemudian dengan tiba-tiba saja telah meloncat menyerang. Kerisnya yang besar itu terayun mendatar langsung menebas ke arah leher Mahisa Pukat...
Orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara Tatas Lintang pun berkata pula, “Kecuali jika kau mau menjalani laku yang berat itu, maka kau pun akan dapat menjadi tawar akan racun dan bisa. Ular yang betatapun tajamnya, tidak akan dapat membunuhmu dengan bisanya.”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku tidak percaya. Kau tentu mempunyai benda-benda yang dapat mempengaruhi keadaan tubuhmu dan berkhasiat sebagai penawar racun. Nah, berikan benda-benda itu kepadaku. Atau kami akan memaksamu.”
“Ki Sanak,“ berkata Tatas Lintang, “kalian jangan mencari perkara. Jika kalian memang mencari persoalan, maka kami akan dapat mempergunakan binatang-binatang berbisa itu sebagai senjata. Jika binatang-binatang berbisa itu kami baurkan ke arah kalian, maka kalian tidak akan mampu keluar dari tepian ini. Seekor-seekor binatang itu mungkin tidak langsung membunuh. Tetapi jika lima enam ekor binatang itu bersama-sama menyengat dan menggigitmu dengan bisa dan racunnya, maka aku tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Tubuhmu akan menjadi bengkak-bengkak. Jantungmu akan berhenti berdetak dan darahmu akan membeku dan kering.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Jangan menakuti-nakuti kami. Kalian tidak akan mendapat kesempatan untuk melakukannya. Dengan sekali loncat, senjata-senjata kami akan membelah dada kalian dan menukik langsung ke pusat jantung, sebab itu jangan banyak alasan. Berikan benda-benda yang dapat membebaskan kalian dari bisa dan racun itu.”
“Tidak ada benda yang dapat membebaskan kami dari bisa dan racun,” jawab Tatas Lintang.
Tiba-tiba orang itu telah meloncat maju sambil mengacukan senjatanya, “Cepat sebelum matahari naik.”
Tatas Lintang termangu-mangu. Sementara itu yang lain-pun telah bergerak pula mendekati ketiga orang anak muda yang diakunya sebagai kemanakannya itu.
“Kami akan menghitung sampai sepuluh. Jika kalian tidak memberikan benda itu, maka kami akan memenggal leher kalian sebelum kalian sempat mengambil binatang-binatang berbisa itu dan melemparkannya kepada kami.”
Tatas Lintang masih saja termangu-mangu. Dengan garang orang itupun kemudian memerintahkan, “Letakkan bungkusan-bungkusan itu, atau parang kami menembus jantung kalian.”
Tatas Lintang memang menjadi bingung. Ketika ia sempat menghitung, orang yang mengepungnya itu berjumlah sepuluh orang. Jumlah yang baginya tidak begitu banyak menilik tingkat kemampuan orang-orang itu. Tetapi karena mereka belum menjajaginya, maka mungkin dugaannya atas kekuatan orang-orang itu meleset.
Meskipun Tatas Lintang tidak memberikan aba-aba, tetapi sikapnya telah memberikan perintah kepada ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu untuk bersiap. Agaknya sekali lagi mereka harus berkelahi. Orang yang dilawannya memang lebih banyak, tetapi mereka tidak tahu, apakah tugas mereka akan lebih berat atau tidak.
Dalam pada itu, pemimpin dari kelompok itu pun telah berkata sekali lagi, “Jangan banyak tingkah. Lakukan yang aku perintahkan agar kalian tidak mati di tepian ini. Usaha kalian mencari berjenis-jenis binatang itu tentu tidak akan ada gunanya jika kalian mati di sini Kalian tidak berhasil melakukan langkah-langkah kemanusiaan sebagaimana kalian katakan itu.”
Tatas Lintang tidak segera menjawab. Ujung-ujung parang itu agaknya memang telah siap untuk menusuk tubuh-tubuh mereka. Ketegangan pun kemudian telah mencengkam. Ujung-ujung parang telah mulai bergetar. Sementara orang tertua di antara mereka itupun membentak sekali lagi, “Cepat.”
Tatas Lintang menarik nafas panjang. Namun jantungnya sama sekali tidak dapat digetarkan oleh teriakan-teriakan itu. Meskipun ia masih berdiri diam, namun ia sudah siap untuk berbuat sesuatu sebagaimana ketiga orang yang disebutnya sebagai kemanakannya itu.
Baru sejenak kemudian Tatas Lintang itupun berkata, “Ki Sanak. Sayang sekali, bahwa kami tidak dapat memenuhi keinginan kalian. Karena itu, terserahlah, apa yang kalian lakukan. Tetapi jangan bermimpi bahwa kalian akan mendapatkan apa yang kalian inginkan. Jika kami mati karena ujung senjata kalian, maka kemampuan menawarkan racun itu akan membeku pula bersama darah kami.”
“Persetan,” geram orang yang sudah berambut warna rangkap itu, “bersiaplah untuk mati. Aku lebih baik melihat kalian mati daripada melihat kalian mampu menawarkan racun pada tubuh kalian.”
Tatas Lintang tidak menjawab lagi. Namun iapun telah bersiap menghadapi lawan-lawannya. Sementara itu, agaknya Mahisa Pukat ingin melakukan permainan sendiri. Karena itu ia berdesis kepada Mahisa Murti dan Mahisa Ura, “Lindungi aku.”
Semula Mahisa Murti dan Mahisa Ura tidak tahu maksudnya. Namun kemudian Mahisa Pukat telah meletakkan bungkusannya dan mengambil bungkusan di tangan Mahisa Murti dan Mahisa Ura dan diletakkannya di dekat bungkusannya. Bahkan kemudian bungkusan Tatas Lintang pun telah dijadikannya satu.
“Apa yang kau lakukan anak gila?” geram orang berambut mulai ubanan itu.
“Tidak apa-apa,” jawab Mahisa Pukat, “kami hanya mengumpulkan barang-barang yang kami anggap berharga, tetapi tidak bagi orang lain. Nah, selanjutnya kami siap untuk bertempur.”
Wajah orang yang tertua di antara orang-orang yang turuni ke tepian itupun menjadi tegang. Agaknya keempat orang itu sama sekali tidak gentar menghadapi mereka. Karena itu, maka orang tertua itupun mulai bergeser sambil berkata, “Tidak ada pilihan lain. Kita akan menghancurkan orang-orang yang sombong ini.”
Mahisa Murti pun telah bersiap, sementara Mahisa Ura telah mencabut sepasang pisau belati panjangnya. Pertempuran tidak dapat dielakkan lagi. Mahisa Murti dan Mahisa Ura pun telah bertempur pula. Sebagaimana pesan Mahisa Pukat, maka mereka pun telah berusaha untuk menahan serangan yang agaknya diarahkan kepada Mahisa Pukat yang justru telah berjongkok di samping bungkusan-bungkusan itu.
“Gila,” tiba-tiba saja orang tertua di antara para penyerang itu berteriak, “jangan beri kesempatan kepada anak itu untuk membuka bungkusannya.”
Tetapi Mahisa Pukat mampu bertindak lebih cepat, ia sudah mulai melepaskan ikatan salah satu di antara keempat bungkusan itu. Namun seorang di antara sepuluh orang itupun telah meloncat menyusup di antara pertahanan Mahisa Murti dan Mahisa Ura. Parangnya terjulur lurus mengarah ke punggung Mahisa Pukat.
Mahisa Murti terkejut karenanya, ia melihat orang itu meloncat. Namun ia tidak dapat berbuat sesuatu karena jaraknya yang agak jauh. Demikian pula Mahisa Ura yang sedang meloncat ke samping menghindari serangan seorang lawannya.
Karena itulah, maka tanpa berpikir panjang Mahisa Murti telah melakukan sesuatu. Tiba-tiba saja ia telah meloncat mengambil jarak dari lawannya. Demikian cepat. Kemudian kedua tangannya telah terjulur lurus ke depan, sementara kedua telapak tangannya yang terbuka mengarah kepada orang yang sudah hampir saja menyentuh punggung Mahisa Pukat dengan parangnya itu.
Yang terjadi adalah sangat mengejutkan. Orang itu terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah. Beberapa kali ia berguling menahan sakit. Namun kemudian iapun terdiam. Pingsan. Sementara itu kakinya yang disambar serangan Mahisa Murti yang bagaikan seleret sinar memancar dari telapak tangannya, nampaknya menjadi bagaikan hangus.
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu menjadi termangu-mangu. Jantung mereka terasa berdetak semakin cepat, sementara Mahisa Murti sendiri pun menjadi tegang. Bukan maksudnya untuk menghancurkan lawannya dengan ilmunya itu. Melawan orang-orang bertongkat itupun ia masih berusaha untuk menundukkan lawannya tanpa membunuhnya. Namun ia tidak mempunyai kesempatan lagi. Ia telah mempergunakan ilmu yang disadapnya dari Tatas Lintang karena ia tidak ingin melihat punggung saudara laki-lakinya itu tertusuk parang.
Selagi orang-orang itu termangu-mangu, maka Mahisa Pukat telah menggenggam sejumlah binatang-binatang berbisa. Sambil berdiri tegak ia berkata, “Nah, apakah kita akan meneruskan perkelahian ini?”
Orang-orang yang datang ke tepian itu menjadi ragu-ragu. Mereka sudah melihat bagaimana Mahisa Murti menyerang lawannya sementara itu seorang yang lain telah mampu melepaskan ikatan binatang-binatang berbisa itu dan bahkan sudah menggenggam di tangan kiri dan kanannya siap untuk dilemparkan.
Dalam ketegangan itu Tatas Lintang pun berkata, “Ikat kembali bungkusan itu agar binatang itu tidak berlarian.”
Mahisa Pukat mengangguk, iapun kemudian telah mengembalikan binatang di genggamannya dan mengikat kembali bungkusan binatang-binatang berbisa itu. Tetapi ia masih tetap bersiap untuk menggenggam dan melemparkan ke arah lawan-lawannya. Namun agaknya Tatas Lintang telah yakin, bahwa tidak akan ada perlawanan lagi dari orang-orang itu.
Sebenarnyalah orang-orang itu bagaikan menjadi beku. Tidak seorang pun yang bergerak. Bahkan parang-parang mereka-pun telah merunduk. Karena tidak seorang pun yang bergerak, maka Tatas Lintang pun kemudian telah bertanya,
“Nah, marilah. Siapakah diantara kalian yang akan bangkit dengan parang-parang kalian. Aku yakin bahwa kalian adalah laki-laki jantan yang tidak gentar melihat betapapun juga lawan yang akan dihadapi.”
Orang-orang itu masih tetap membeku. Bahkan jantung mereka terasa bergetar ketika Tatas Lintang berkata, “Kami akan dapat membakar hangus kalian semuanya dengan cara sebagaimana kau lihat. Tetapi kami pun akan mampu menjadikan tubuh kalian kehilangan bentuk dengan binatang-binatang beracun di dalam bungkusan kami ini. Cepat, sebelum kami meninggalkan tempat ini.”
Namun ternyata bahwa orang tertua di antara mereka pun telah meletakkan parangnya di atas pasir tepian sambil berkata, “ki Sanak. Kami harus melihat kenyataan. Kami menyerah. Kami tidak akan mampu berbuat apa-apa di hadapan kalian berempat. Kami telah melihat apa yang terjadi. Aku mengerti, bahwa kalian tidak berniat untuk memperlakukan salah seorang di antara kami dengan cara itu. Tetapi karena tidak ada kesempatan lagi untuk menyelamatkan salah seorang di antara kalian, maka telah terjadi serangan yang dahsyat itu. Dengan demikian kami pun harus menyadari kelemahan kami. Lebih dari itu, kami berterima kasih atas kebaikan hati kalian, sehingga kalian masih sempat memberikan peringatan kepada kami. Kalian tidak dengan serta merta menghancurkan kami sebagaimana biasa kami temui dalam dunia olah kanuragan.”
“Tidak,” jawab Tatas Lintang, “justru dalam dunia olah kanuragan berlaku sifat padi. Semakin berisi seharusnya kita menjadi semakin tunduk.”
Orang itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Nah, terserahlah apa yang akan kalian lakukan atas kami. Kami akan menyerah.”
“Kami tidak akan menghukum kalian,” berkata Tatas Lintang, “terserah kepada kalian sendiri. Apa yang pantas kalian lakukan dalam keadaan seperti ini. Kalian akan dapat menghukum diri kalian sendiri jika kalian benar-benar menyesali perbuatan kalian.”
“Kami mengerti,” jawab orang itu, “justru sikap kalian membuat kami melihat kenyataan tentang diri kami. Kami ternyata telah menemui sekelompok orang yang asing bagi kami. Jauh berbeda dengan orang-orang padepokan itu.”
“Bagaimana dengan orang-orang di padepokan itu?” bertanya Tatas Lintang.
“Membingungkan,” jawab orang itu, “ada yang bertingkah laku wajar, tetapi ada yang keras sekeras batu akik sebagaimana nampak pada senjata mereka atau perhiasan mereka.”
“Di ujung tongkat?” bertanya Tatas Lintang.
“Ya. Dan kadang-kadang pada perhiasan di tubuh mereka,” jawab orang itu.
“Batu berwarna kehijauan itu?” bertanya Tatas Lintang pula.
“Ya. Mereka telah mempergunakannya,” berkata orang tu pula.
“Apakah batu itu pernah dipecah atau diambil sebagian?” bertanya Tatas Lintang pula.
“Tidak,” jawab orang itu, “di sekitar batu itu dahulu banyak pecahan-pecahan batu serupa. Tetapi sekarang sudah habis sama sekali.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Ki Sanak. Pergilah. Bawalah kawanmu itu. Aku berharap kalian dapat mengerti arti dari peristiwa ini. Sebenarnyalah kami bukan orang yang baik hati sebagaimana kalian sangka. Jika kali ini kami tidak berbuat apa-apa itu hanya karena kami tidak sempat. Tetapi dalam kesempatan lain, mungkin kami dapat berbuat jauh lebih keras dari pada orang-orang yang kau sebut sekeras batu akik dari padepokan itu. Kami dapat membunuh dengan cara apapun juga. Dengan binatang berbisa yang akan dapat membunuh seseorang dengan perlahan-lahan. Namun kami masih cenderung percaya bahwa betapapun kecilnya, tetapi tentu ada sepercik kesadaran di dalam diri tentang tingkah laku dan perbuatan baik. Nah, kami ingin hal itu berkembang di dalam dirimu, atau kami akan memperlakukan kalian jauh lebih buruk pada kesempatan lain.”
Orang itu tidak menjawab. Namun kemudian katanya, “Kami minta diri.” Orang itupun kemudian melangkah mendekati kawannya yang terbaring diam. Kepada kawan-kawannya ia berkata, “Marilah, kita bawa kawan kita yang terluka.”
Kawan-kawannya pun telah menyarungkan senjata mereka dan mengusung tubuh yang diam itu. Sementara itu seorang lain telah berbisik di telinga orang tertua itu, “Senjatamu.”
Tetapi orang tua itu menjawab, “Aku tidak memerlukannya lagi. Biarlah senjata itu akan tinggal di tepian.”
“Tetapi bukankah kita harus melindungi diri kita dari lawan-lawan kita seandainya kita tidak akan melakukan kekerasan lagi,” desis kawannya itu.
“Kalian akan dapat melindungi aku,” jawabnya.
Kawan-kawannya tidak mempertanyakan lagi. Merekapun kemudian telah meninggalkan keempat orang itu di tepian.
Sepeninggal orang-orang itu Tatas Lintang pun berkata, “Kita pun akan pergi. Kita sudah terlalu lama berhenti di sini.”
Namun Mahisa Pukat lah yang menyahut, “Tentu sudah ada kedai yang dibuka. Justru nasinya masih mengepul dan sayur lodeh keluwih yang sedikit pedas.”
“Ah kau,” desis Mahisa Murti.
Tatas Lintang tertawa. Katanya kemudian, “Aku sependapat. Karena itu, marilah.”
Sekali lagi mereka pun telah membenahi diri masing-masing. Kemudian mereka pun telah meninggalkan tepian dan berjalan menuju ke padukuhan tempat mereka tinggal. Namun tujuan mereka masih cukup jauh.
Sebagaimana mereka rencanakan maka mereka pun telah singgah di sebuah kedai nasi di pinggir pasar yang mereka lalui. Ketika mereka memasuki kedai itu, maka beberapa orang yang ada di dalamnya telah memperhatikan mereka, karena sebenarnyalah mereka memang menarik perhatian. Mereka membawa bungkusan yang nampaknya cukup berat sehingga agaknya orang-orang yang menyaksikannya ingin mengetahui apakah yang ada didalamnya.
Tetapi keempat orang itu berpura-pura tidak mengetahui perhatian banyak orang itu. Mereka meletakkan barang-barang yang mereka bawa di bawah amben bambu tempat mereka duduk.
Ternyata orang-orang yang semula memperhatikan mereka itupun telah berpaling pula ke makanan mereka masing-masing. Agaknya orang-orang itu tidak menaruh perhatian lebih besar lagi kepada keempat orang yang baru memasuki kedai itu.
Namun dalam pada itu, dua orang yang lain telah memasuki kedai itu pula. Menurut penglihatan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakan Tatas Lintang itu, maka kedua orang itu agaknya berbeda dengan orang-orang lain di dalam kedai itu.
Tetapi sampai saatnya keempat orang itu meninggalkan kedai makan itu, tidak terjadi sesuatu yang dapat menghambat perjalanan mereka. Keempat orang itupun kemudian telah meneruskan perjalanan mereka menuju ke sebuah padukuhan yang masih cukup jauh.
Namun akhirnya perjalanan mereka pun telah mereka lalui dengan selamat. Mereka menemukan rumah mereka dalam keadaan baik. Tidak ada bekas kerusakan atau perbuatan kekerasan yang lain.
Demikianlah, maka setelah beristirahat secukupnya, maka Tatas Lintang pun telah mempersiapkan segala-segalanya. Justru ketika malam datang, maka waktunya tepat bagi Tatas Lintang untuk membuat ramuan penawar racun.
Namun sebagaimana yang terbaik dilakukan, maka pada lewat tengah malam Tatas Lintang baru melakukannya. Ia tidak memerlukan bantuan siapapun juga. Namun ia minta ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu untuk berjaga-jaga dan melindunginya jika terjadi sesuatu.
Karena itu, betapapun letihnya, namun ketiga orang itu seakan-akan tidak tertidur semalam suntuk. Mereka hanya mempergunakan waktu-waktu yang pendek untuk berganti-ganti sekedar memejamkan mata sambil duduk bersandar.
Namun tubuh mereka yang sudah mengalami tempaan yang keras tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Sekali-sekali mereka memang menguap. Tetapi perasaan kantuk itu segera dapat diatasi.
Ketika fajar menyingsing, maka Tatas Lintang telah selesai dengan pekerjaannya. Ia telah mendapatkan penawar racun dalam jumlah yang cukup. Untunglah bahwa ia masih memiliki beberapa jenis campuran reramuan, sehingga ia dapat berhasil dengan baik.
Agaknya Tatas Lintang tidak mau menunggu terlalu lama membiarkan pategalan itu menjadi tanah yang sangar dan berbahaya. Karena itulah, maka pada hari yang baru itu segalanya ingin dilakukan.
Berempat mereka telah menemui Ki Bekel dan kemudian orang yang memiliki tanah itu, sehingga sebelum tengah hari, maka Tatas Lintang telah mulai dengan kerjanya, menawarkan pategalan itu dari cengkaman racun yang berbahaya.
Ki Bekel, pemilik tanah pategalan itu dan beberapa orang lain telah menungguinya bekerja. Mereka menjadi kagum melihat keempat orang itu berusaha menawarkan racun. Meskipun mereka tidak tahu siapakah sebenarnya mereka, tetapi ternyata yang telah mereka lakukan itu rasa-rasanya memang satu tanggung jawab.
Bahwa pategalan itu mengalami usaha untuk menjadikan sangar dengan racun, seakan-akan merupakan tantangan yang ditujukan kepada keempat orang itu tidak langsung tertuju kepada pemilik tanah dan apalagi penghuni padukuhan itu. Demikian juga datangnya beberapa ekor harimau dan ular di halaman banjar.
Namun keempat orang itu cukup bertanggung jawab, sehingga mereka tidak begitu saja membiarkan semuanya itu terjadi di padukuhan itu. Tetapi sebenarnyalah, bahwa ketika usaha mereka menawarkan racun di pategalan itu selesai, maka rasa-rasanya tanggung jawab yang besar telah dilakukan.
Ki Bekel, pemilik tanah itu dan orang-orang padukuhan yang tidak berkepentingan pun telah mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada keempat orang itu.
“Kami hanya melakukan apa yang memang harus kami pertanggung jawabkan,” berkata Tatas Lintang.
“Kami tahu,” sahut Ki Bekel, “tetapi kalian memang mempunyai rasa tanggung jawab yang besar. Mungkin orang lain tidak akan melakukannya seperti kalian meskipun seandainya mereka mampu. Orang lain akan dapat meninggalkan padukuhan ini sebagaimana sebelum kalian lakukan penawaran racun itu.”
“Kami hanya berusaha untuk berlaku wajar,” jawab Tatas Lintang.
Namun yang kemudian berkata, “Tetapi Ki Bekel, sebenarnyalah sekaligus kami beritahukan bahwa kami tidak akan berada di padukuhan ini lebih lama. Kami ingin mohon diri meskipun mungkin pada kesempatan lain kami akan singgah lagi di padukuhan ini. Kami mohon diri justru setelah kami merasa tanggung jawab kami atas padukuhan ini kami selesaikan.”
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia masih ingin menahan. Tetapi nampaknya sudah tidak mungkin lagi. Karena itu, maka baik Ki Bekel, maupun pemilik pategalan itupun kemudian harus melepaskan keempat orang itu pergi.
“Kami mohon maaf,” berkata Tatas Lintang, “kami tidak dapat menyelesaikan tugas kami menanam pepohonan di pategalan ini. Tetapi lubang-lubang itu besok sudah tidak beracun lagi dan orang lain akan dapat menggantikan kami, menanam bibit pohon buah-buahan itu.”
“Jangan pikirkan itu,” jawab pemilik pategalan itu, “sejak semula kami sudah menyadari, bahwa sebenarnya kalian bukan orang yang pantas melakukannya.”
“Bukan begitu,” jawab Tatas Lintang, “kami memang bersedia melakukannya. Tetapi agaknya kehadiran kami di padukuhan ini telah membuat pategalan ini dimusuhinya. Karena itu, biarlah kami datang kepada mereka, sehingga kami akan dapat membuat penyelesaian sewajarnya. Tanpa harus mengorbankan orang lain yang tidak berkepentingan sama sekali.”
Ki Bekel lah yang kemudian menyahut, “Doa kami mengiringi kalian. Kami sudah menduga, bahwa kalian sebenarnya mengemban tugas. Kami tidak dapat menutup mata, bahwa batu kehijauan itu memang merupakan persoalan.”
“Apakah Ki Bekel hanya sekedar menduga-duga atau ada petunjuk tertentu tentang batu yang berwarna kehijauan itu?” bertanya Tatas Lintang.
“Aku tidak tahu apa-apa tentang batu itu. Tetapi hampir setiap orang percaya bahwa batu itu adalah batu yang jatuh dari langit,” berkata Ki Bekel.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mengenali berbagai jenis batu sebagaimana diajari oleh ayahnya memang menganggap bahwa batu itu cukup baik, meskipun menurut mereka bukan yang terbaik. Namun justru karena anggapan orang padukuhan itu sebagaimana dikatakan oleh Ki Bekel, bahwa batu itu jatuh dari langit, maka keduanya merasa perlu untuk mengamatinya lebih jauh.
“Menurut beberapa orang tua, batu itu semula tidak berada di situ,” berkata Ki Bekel kemudian.
“Di mana?” bertanya Tatas Lintang.
“Batu itu berada jauh di bawah permukaan dataran di puncak bukit itu. Sebuah goa telah menganga menusuk masuk ke jantung bukit itu. Namun tiba-tiba saja batu itu muncul di lambung bukit dan berguling ke bawah dan berhenti di tempatnya yang sekarang.” jawab Ki Bekel. Namun katanya kemudian, “Itu menurut ceritera. Tetapi sejak aku kecil, menurut pengetahuanku, batu itu sudah ada di sana. Aku juga seorang anak yang nakal dan sering pergi ke tempat yang jauh. Dan aku juga pernah lewat di dekat batu itu, tanpa sempat mendekatinya karena dicegah oleh rasa takut.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Keterangan Ki Bekel itu telah melengkapi pengetahuannya tentang batu yang berwarna kehijauan itu. Demikianlah, maka setelah keempat orang itu bermalam semalam lagi di padukuhan itu, maka mereka pun telah meninggalkannya betapapun berat hati mereka. Namun mereka sadar, bahwa kewajiban itu memang telah menunggunya.
Sementara itu, semakin lama mereka berada di padukuhan itu, maka padukuhan itulah yang akan menjadi sasaran dari orang-orang yang agaknya memang datang dari padepokan itu..Tetapi keempat orang itu tidak perlu berjalan tergesa-gesa. Mereka adalah pengembara yang terbiasa berada di tempat terbuka siang maupun malam.
“Kita akan mendekati padepokan itu di malam hari,” berkata Tatas Lintang, “tetapi kita harus menyadari, bahwa di padepokan itu agaknya telah tinggal beberapa orang yang semula bukan berasal dari satu perguruan sebagaimana aku katakan. Dan ini agaknya diperkuat oleh orang-orang yang datang ke tepian itu. Menurut mereka orang-orang padepokan itu ada yang wajar saja sebagaimana kebanyakan orang, tetapi ada yang tingkah lakunya terasa asing. Justru kasar dan buas. Namun jika kita berniat memasuki padukuhan itu, maka kita akan berhadapan dengan siapapun yang ada di padukuhan itu. Mungkin orang bertongkat dengan kepala batu yang berwarna kehijauan itu. Tetapi mungkin kita akan berhadapan dengan orang yang memiliki pengetahuan dan ilmu gendam yang dapat mempengaruhi jenis binatang apapun juga. Namun mungkin juga kita akan sekaligus berhadapan dengan orang yang mampu mempengaruhi dan menyusup ke dalam wadag kita, jika kita tidak benar-benar bertahan.”
Ketiga orang yang dianggapnya sebagai kemanakannya itu mengangguk-angguk. Namun dengan demikian mereka mulai menggambarkan bahwa isi padepokan itu adalah campur baur dari bermacam-macam ilmu dan jumlah orangnya pun cukup banyak dibandingkan dengan mereka berempat.
“Apakah yang sebenarnya telah terjadi dan apakah yang kemudian berada di dalam padepokan itu?” pertanyaan itulah yang ada di dalam hati keempat orang yang ingin melihat isi dari padepokan itu.
Keempatnya pun kemudian sepakat, bahwa mereka akan mengamati padepokan itu untuk beberapa malam. Kemudian baru akan menentukan sikap lebih lanjut.
“Tetapi kita harus berhati-hati. Kita sudah dapat menjajagi beberapa orang di antara mereka yang memiliki ilmu yang luar biasa,” berkata Tatas Lintang.
Ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itupun mengangguk-angguk. Mereka menyadari apa yang sebenarnya mereka hadapi. Mereka tidak dapat dengan serta merta saja meloncat masuk ke dalam dinding padepokan dan mengamati keadaannya tanpa mengetahui sebelumnya serba sedikit tentang padepokan itu. Karena itulah, maka mereka berempat harus benar-benar bersiap lahir dan batin untuk melakukan tugas mereka itu.
Pada malam yang pertama, mereka mendekati padepokan itu, dari arah belakang. Namun mereka memelihara jarak sebagaimana pernah dilakukan baik oleh Tatas Lintang, maupun oleh Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura. Namun dari arah itu mereka sama sekali tidak melihat sesuatu yang-dapat mereka jadikan petunjuk tentang padepokan itu. Karena itu maka pada kesempatan lain, mereka telah mencoba untuk melihat padepokan itu dari arah depan.
Dengan sangat berhati-hati mereka menyusup di antara gerumbul-gerumbul liar mengambil tempat yang memungkinkan mereka dapat mengamati regol padepokan itu. Namun dimalam hari, mereka tidak dapat banyak melihat. Memang ada satu dua orang yang keluar masuk regol. Tetapi sama sekali tidak menunjukkan sesuatu yang berarti.
“Kita tidak akan dapat melakukannya siang hari,” berkata Tatas Lintang dengan suara sangat lambat, “mereka sudah mengenali wajah-wajah kita. Kita tidak dapat menunggu di pasar yang terdekat untuk melihat-lihat apakah orang-orang padepokan ini hilir mudik juga di pasar, karena mereka akan lebih dahulu melihat kita dari pada kita melihat mereka.”
Ketiga orang anak-anak muda yang diakunya sebagai kemanakannya itu dengan mengangguk-angguk. Namun kemudian Mahisa Murti-pun berdesis, “Kita sudah mendapat beberapa keterangan. Sebagian dari mereka bersikap wajar. Namun sebagian yang lain nampak asing. Kita pun sudah melihat di antara satu dua orang yang masuk dan keluar regol. Ada di antara mereka yang bersenjata tongkat. Tetapi ada juga yang tidak.”
“Kita memang dapat menarik kesimpulan.” berkata Tatas Lintang, “padepokan ini memang padepokan Suriantal. Tetapi perguruan lain telah hadir pula didalam padepokan ini, justru mereka ternyata sangat berpengaruh.”
“Bahkan mungkin lebih dari satu padepokan,” jawab Mahisa Murti, “namun menilik sikap orang tua yang bersenjata tongkat dan terdapat batu berwarna kehijauan itu di pangkalnya, ia masih tetap seorang yang memiliki kekuasaan dan wibawa. Aku kira orang itu termasuk orang dari perguruan Suriantal.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun akhirnya ia berkata, “Memang tidak ada jalan lain daripada memasuki padepokan itu.”
Sejenak keempat orang itu terdiam. Yang kemudian bertanya adalah Mahisa Ura, “Mungkin aku adalah seorang yang paling pengecut di antara kita. Tetapi aku pun seorang petugas yang terbiasa memperhitungkan langkah-langkah yang aku ambil. Karena itu aku ingin mendapat penjelasan. Jika kami berempat memasuki padepokan itu, sementara itu kita tahu bahwa didalam padepokan itu terdapat sejumlah orang yang memiliki kemampuan tinggi serta sepasukan murid-murid mereka yang tentu juga memiliki ilmu, apakah kita akan dapat mencapai hasil sebagaimana kita harapkan. Aku yakin bahwa kalian bertiga, kecuali aku memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi kalian hanya bertiga. Jika ikut dihitung pula dengan aku, kita hanya berempat. Jika kita memasuki padepokan itu, apakah bukan berarti kita akan terjun ke dalam kandang dari segerombolan besar singa dan naga. Betatapun tinggi kemampuan kita namun akhirnya kita akan terbenam ke dalam mulut singa dan naga itu.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun sebelumnya ia menjawab Mahisa Murti telah berkata, “Bukan hanya kau Mahisa Ura. Aku pun mempunyai pertanyaan seperti itu. Bukan berarti kau pengecut. Tetapi kita berpikir wajar.”
“Aku mengerti,” berkata Tatas Lintang, “aku pun sependapat dengan pikiran itu. Namun agaknya kita tidak akan dapat kembali dengan sekedar keterangan bahwa kita sudah menemukan padepokan Suriantal. Di dalamnya berisi campur baur antara perguruan Suriantal sendiri dengan perguruan yang kemudian datang, tanpa dapat memberikan penjelasan, seberapa jauh pengaruh dari perguruan yang datang kemudian dan tentu ada persoalan lain, dalam hubungan dengan tugas kalian. Nah, apakah kalian telah mendapat jawab dari pertanyaan yang kalian bawa kemari dari tempat kalian berangkat?”
Ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu hanya dapat mengangguk-angguk saja. Mereka memang belum mendapat hasil apapun dari tugas mereka kecuali sedikit gambaran tentang Suriantal. Namun dengan demikian, maka Mahisa Murti pun berkata,
“Mungkin jawab itu memang belum aku dapatkan. Tetapi mungkin kami dapat menempuh jalan lain meskipun agak lama. Kami mencari dukungan pasukan untuk memasuki padepokan itu.”
“Satu pemecahan yang bagus sekali,” jawab Tatas Lintang, “namun jika itu kau lakukan, yang tentu akan memerlukan waktu yang lama, maka perubahan mungkin telah terjadi. Mungkin padepokan ini telah kosong atau mungkin padepokan ini telah berubah menjadi padepokan yang diisi dengan kewajaran orang menuntut ilmu lahir dan batin tanpa nafsu yang berlebihan untuk menguasai masalah keduniawian.”
Ketiga orang itu masih saja mengangguk-angguk. Sementara itu Tatas Lintang pun berkata, “Baiklah. Mungkin aku dapat menawarkan satu pemecahan.”
“Apa yang mungkin kita lakukan?” bertanya Mahisa Murti.
Tatas Lintang tidak segera menjawab. Tetapi diamatinya regol padepokan itu dari kejauhan. Sejenak ia justru merenung, seolah-olah sedang mengendapkan persoalan yang bergejolak di dalam dadanya.
Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun diluar sadar mereka telah ikut menatap regol itu. Meskipun malam gelap namun ketajaman penglihatan mereka mampu menembus selubung malam di seputar padepokan itu. Namun Tatas Lintang agaknya masih merenungi kata-kata yang akan diucapkan.
Untuk beberapa saat mereka hanya berdiam diri sambil mengamati regol. Mereka tidak melihat lagi orang-orang yang bergerak ke luar masuk regol. Namun penglihatan batin mereka melihat, bahwa di balik regol itu tentu ada beberapa orang yang berjaga-jaga.
Yang terdengar kemudian adalah desah Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian telah memusatkan kemampuan untuk melihat dan mendengar keadaan di sekitarnya. Namun Tatas Lintang pun kemudian yakin, bahwa tidak ada orang yang ada di sekitar tempat itu.
Sementara itu, ia sudah sampai pada satu batas yang tidak dapat ditembus lagi. Sampai kapan pun ia menunggu, maka seorang diri dan bahkan bersama ketiga orang yang disebutnya kemanakannya itupun, ia tidak akan mampu menguasai padepokan yang isinya ternyata sulit untuk diperhitungkan sebelumnya. Keterangan tentang padepokan itu sangat beraneka macam. Namun pada umumnya mengatakan, bahwa padepokan itu tidak hanya dihuni oleh satu perguruan saja. Dengan pengertian, bahwa masing-masing pihak disertai dengan pengikutnya masing-masing.
Karena itu, maka agaknya iapun sudah sampai pada waktunya untuk melepaskan kemungkinannya yang terakhir, yang memungkinkannya untuk dapat menyelesaikan tugasnya. Sehingga dengan demikian maka Tatas Lintang pun sampai pada satu langkah yang selama ini belum pernah dibayangkannya.
“Anak-anak muda,” desis Tatas Lintang kemudian, “sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Mungkin besok atau pada kesempatan lain kita akan dapat menemukan tempat yang lebih baik untuk mengamati keadaan. Seandainya sekarang kita lanjutkan pengintaian ini, maka aku kira sampai esok menjelang dini, kita tidak menemukan sesuatu yang menarik.”
Ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu mengangguk. Mereka memang sependapat, sehingga karena itu, maka Mahisa Murti pun menjawab, “Baiklah. Kita akhiri kerja kita malam ini. Kita menyingkir ke tempat yang lebih tenang dan lebih jauh dari kemungkinan untuk diketahui oleh orang-orang padepokan itu.”
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura tidak membantah. Mereka-pun kemudian dengan hati-hati telah bergeser meninggalkan tempat mereka. Keempat orang itupun kemudian telah menyingkir ke tepi sebuah hutan kecil yang tidak terlalu lebat, tetapi jarang disentuh kaki manusia. Di tempat ini mereka sempat tidur bergantian meskipun masing-masing hanya sekejap.
Ketika mereka sudah membenahi diri setelah matahari terbit. maka Mahisa Murti pun telah bertanya, “Semalam kau mengatakan untuk menawarkan satu pemecahan tentang padepokan itu. Tetapi kau belum menyebutnya.”
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Di sini kita lebih leluasa berbincang.”
Mahisa Murti mengiakannya sambil mendesak, “Jika demikian, katakan.”
Tatas Lintang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Anak-anak muda. Biarlah aku berterus terang. Dalam keadaan seperti ini kita telah membentur pada satu keharusan untuk melakukan langkah terakhir yang dapat kita laksanakan untuk kepentingan tugas kita. Karena itu baiklah aku katakan, bahwa selama kita bergaul, maka aku telah mempercayai kalian sepenuhnya, bahwa kalian telah mengemban satu tugas tertentu untuk mengenali dan mengetahui lebih banyak tentang padepokan itu. Dengan demikian maka aku pun yakin bahwa tugas kita memang ketemu. Jika aku telah dengan suka rela memberikan kesempatan kepada kalian untuk menguasai salah satu kemampuanku yang kebetulan berarti bagi kalian, itu adalah sebagian dari ujud kepercayaanku. Dan kini kepercayaanku kepada kalian telah utuh, sehingga untuk kepentingan tugas ini, aku akan melakukan sesuatu yang barangkali tidak kalian duga sebelumnya.”
“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Mahisa Pukat yang tidak sabar.
“Seperti yang kau pikirkan. Aku akan memanggil pasukan yang cukup kuat untuk memasuki padepokan itu,” jawab Tatas Lintang.
Ketiga orang muda itu tertegun. Namun kemudian Mahisa Pukat pun bertanya, “Pasukan apa dan dari mana? Apakah kau mempunyai pasukan? Jika yang kau lakukan itu seperti yang ingin kami lakukan, pergi ke Kediri atau Singasari, maka jawabnya akan sama saja dengan jawaban yang pernah kau berikan kepada kami.”
“Aku dapat mengambil pasukan dari jarak yang lebih dekat,” berkata Tatas Lintang.
“Siapakah kau sebenarnya?” bertanya Mahisa Murti, “pertanyaan ini belum kau jawab, sementara itu kau sudah dapat meraba kedudukan kami. “
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Jika kalian sependapat, aku akan mengambil pasukan dari Pakuwon Lemah Warah.”
“Pakuwon Lemah Warah telatah Kediri?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya. Lemah Warah telatah Kediri. Pasukan Lemah Warah akan dapat membantu kita memasuki padepokan ini sementara Pakuwon itu tidak terlalu jauh dari tempat ini. Jika kita berjalan terus dengan waktu beristirahat seperlunya, sehari-semalam kita akan sampai. Dengan demikian, maka pasukan itu akan sampai di sini dalam waktu dua hari dua malam. Tetapi jika kita harus ke Kediri atau ke Singasari, maka jaraknya akan berlipat ganda.” jawab Tatas Lintang.
“Apakah kau salah seorang Senapati dari Pakuwon Lemah Warah?” bertanya Mahisa Pukat.
Tatas Lintang termangu-mangu sejenak. Dipandangi ketiga orang anak muda itu berganti-ganti, ia memang nampak ragu-ragu. Namun akhirnya ia menemukan kepercayaan yang utuh itu kembali. Karena itu, maka ia merasa tidak perlu untuk ragu-ragu lagi. Untuk menghadapi tugas yang penting dan berbahaya itu ia memang memerlukan orang-orang seperti ketiga orang anak muda itu, yang nampaknya dengan ikhlas telah melakukan satu pengabdian tanpa menghiraukan bahaya yang dapat mengancam jiwa mereka.
Dengan demikian, maka akhirnya Tatas Lintang itupun berkata, “Aku memang seorang di antara para pemimpin Pakuwon Lemah Warah. Aku adalah Akuwu di Lemah Warah.”
Wajah ketiga anak muda itu berubah. Memang ketegangan telah mencengkam jantung mereka. Sementara itu, untuk meyakinkan kata-katanya, maka Tatas Lintang itupun telah menunjukkan sebuah cincin di jari-jari tangan kanannya, “Lihat, ini adalah cincin pertanda kuasa tertinggi di Pakuwon Lemah Warah. Jika kalian masih ingin meyakinkannya, maka kita akan dapat pergi ke Lemah Warah. Kita akan menyiapkan satu pasukan yang memadai untuk menguasai padepokan itu.”
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura itupun mengangguk hormat. “Maafkan kami Akuwu,” desis Mahisa Murti dengan nada berat, “kami sama sekali tidak mengerti, bahwa kami telah berhadapan dengan Akuwu dari Lemah Warah.”
“Kalian tidak bersalah. Aku memang menghendaki demikian,” jawab Akuwu, “yang penting kemudian, apakah yang harus kita lakukan.”
“Ternyata Akuwu telah melakukan langkah-langkah yang langsung, turun ke medan yang berat ini.” berkata Mahisa Murti, “agaknya sesuatu yang jarang dilakukan oleh seorang Akuwu.”
“Nah.” berkata Tatas Lintang, “biarlah kita sisihkan persoalan siapa aku. Sekarang, langkah apakah yang paling baik kita lakukan.”
“Akuwu,” sahut Mahisa Murti, “Akuwu telah menawarkan satu langkah penyelesaian. Kami menduga, bahwa tidak ada jalan lain yang lebih baik dari jalan itu.”
“Baiklah,” berkata Tatas Lintang, “jika demikian, maka agaknya kita harus segera menyiapkan pasukan itu.”
“Apakah Akuwu akan menempuh perjalanan kembali ke Lemah Warah?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku akan berbicara dengan orang-orangku,” jawab Tatas Lintang.
“Jadi Akuwu tidak sendiri?” bertanya Mahisa Pukat.
“Sekarang aku sendiri. Tetapi ada saatnya aku tidak sendiri,” jawab Tatas Lintang.
“Jadi demikian, segala sesuatunya terserah kepada Akuwu,” berkata Mahisa Murti, “bahkan kami pun akan menempatkan diri kami di bawah perintah Akuwu pula. Namun hendaknya Akuwu mengetahui bahwa kami pun sedang mengemban tugas dari Sri Baginda.”
“Aku juga menjalankan tugas yang sama. Pangeran Singa Narpada telah memberikan perintah yang sama kepadaku dan mungkin juga kepada kalian. Aku pun telah mendapat keterangan dari Pangeran Singa Narpada tentang kalian. Tetapi Pangeran Singa Narpada menyebut bahwa kalian hanya berdua saja. Namun tidak mustahil bahwa kalian telah datang bertiga. Dua di antara kalian kemudian aku ketahui memenuhi ciri-ciri yang disebutkan oleh Pangeran Singa Narpada. Meskipun ada juga keragu-raguan, bahkan kadang-kadang timbul niat untuk menolak kalian, tetapi akhirnya aku mulai percaya. Dan bahkan aku telah mempercayai kalian sepenuhnya.”
Ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itupun mengangguk-angguk. Merekapun percaya sepenuhnya dengan keterangan Tatas Lintang yang kemudian mengaku sebagai Akuwu dari Lemah Warah itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka pun telah bersiap meninggalkan tempat itu ketika Tatas Lintang mengajaknya. Katanya, “Kita akan pergi ke pasar. Kita tidak akan mengamati orang-orang padepokan ini. Tetapi seandainya orang-orang padepokan ini justru melihat kita, maka kita pun tidak akan merasa keberatan.”
Keempat orang itupun kemudian telah meninggalkan hutan itu menuju ke pasar terdekat. Mereka singgah di sebuah mata air kecil untuk membersihkan diri. Ketika mereka sampai di padukuhan, maka mereka pun telah mengamati orang-orang yang lewat di jalan-jalan yang masuk dan keluar dari padukuhan itu, sehingga akhirnya mereka melihat satu kemungkinan untuk mengikuti arah menuju ke pasar atau semacamnya.
“Agaknya orang-orang itu menuju ke pasar dengan barang-barang dagangan mereka,” berkata Tatas Lintang.
Ketiga orang anak muda itu mengangguk. Hari memang masih pagi sehingga mereka memperkirakan bahwa orang-orang itu memang sedang menuju ke pasar. Ketika mereka mengikuti jalan itu pula, maka akhirnya mereka pun telah sampai ke pasar pula. Pasar yang cukup ramai dikunjungi orang. Untuk sesaat Tatas Lintang memandang berkeliling. Namun akhirnya dilihatnya dua orang berdiri beberapa langkah dari padanya.
Tatas Lintang menggamit Mahisa Murti sambil berkata, “Dua orang itu adalah dua orang Senapati Pakuwon Lemah Warah.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Beberapa kali ia melihat orang-orang yang mirip atau mungkin juga orang itu selalu nampak dalam keadaan tertentu. Tetapi tidak pernah langsung melibatkan diri. Mereka hanya melihat, memperhatikan dan bahkan kemudian pergi. Namun ternyata bahwa orang-orang itu mempunyai hubungan dengan Tatas Lintang.
Tetapi ketiganya sadar, bahwa selain orang-orang yang berhubungan dengan Tatas Lintang, tentu ada pihak lain yang juga melakukannya. Karena itu, maka tidak semua orang yang pernah dilihatnya berada di sekitar mereka tanpa berbuat sesuatu, adalah orang-orang Tatas Lintang sendiri. Tetapi yang jelas, bahwa kedua orang itu adalah Senapati dari Pakuwon Lemah Warah.
Untuk beberapa saat lamanya Tatas Lintang tidak beranjak dari tempatnya. Namun kemudian Tatas Lintang itupun berkata, “Marilah. Kita akan pergi ke kedai itu.”
Keempat orang itupun kemudian telah memasuki sebuah kedai. Ternyata kedua orang yang disebut Tatas Lintang sebagai Senapatinya itupun telah memasuki kedai itu pula dan duduk tidak terlalu jauh dari padanya. Tatas Lintang tidak memperhatikan kedua orang itu. Apalagi ketika ada orang lain yang memasuki kedai itu pula. Meskipun demikian Tatas Lintang sempat memberi isyarat kepada kedua orang itu untuk menemuinya.
Karena itu, setelah mereka selesai makan dan minum, maka mereka pun telah meninggalkan kedai itu. Baru beberapa saat kemudian kedua orang Senapati itupun membayar makanan dan minuman mereka dan meninggalkan kedai itu. Ternyata kedua orang Senapati itu memang mengamati dari kejauhan kemana Tatas Lintang pergi. Namun setelah ia mendapat keyakinan, maka mereka pun berusaha untuk mengambil jalan lain agar tidak ada orang lain lagi yang memperhatikan mereka.
Ketika Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu sudah berada di sebuah tempat yang terpencil, di tepian sebuah sungai yang curam dan menjorok ke dekat pinggir hutan, maka Tatas Lintang telah membuat api.
“Banyak orang membuat api di pategalan. Mudah-mudahan asapnya tidak menarik perhatian secara khusus,” berkata Tatas Lintang.
Ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu mengikutinya dengan tegang. Mereka sempat membantu mengumpulkan dedaunan dan rerumputan kering. Kemudian menyulutnya. Asap pun segera mengepul ke udara. Membubung. Apalagi angin memang tidak sedang bertiup.
Tanpa diketahui maksudnya oleh ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu, Tatas Lintang telah melepaskan kain panjangnya dan membasahinya. Kemudian katanya kepada Mahisa Murti, “Bantu aku. Pegang ujung kain itu.”
Mahisa Murti pun telah melakukannya tanpa mengetahui maksudnya. Dipeganginya kedua ujung kain panjang Tatas Lintang, sedang dua sudut di ujung lain dipegang oleh Tatas Lintang sendiri.
“Ikuti gerak tanganku,” berkata Tatas Lintang.
Mahisa Murti mengangguk. Ternyata Tatas Lintang telah menyelubungi asap api dedaunan dan rerumputan itu sejenak. Kemudian membuka kembali. Demikian dilakukannya beberapa kali bersama Mahisa Murti, sehingga asap yang mengepul pun telah terputus-putus.
Barulah Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengerti maksud Tatas Lintang. Agaknya kepulan asap itu merupakan tanda isyarat yang ditujukan kepada kedua orang yang telah dipanggilnya untuk menemuinya.
Sebenarnyalah, kedua orang Senapati yang mendapat pesan untuk menemuinya telah dituntun oleh asap itu. Mereka yang memang sudah mengamati arah kepergian Tatas Lintang itupun dengan segera melihat isyarat itu, sehingga beberapa saat kemudian keduanya telah turun pula ke tepian. Ketika mereka sampai di tempat Tatas Lintang menunggu, maka keduanya pun segera diperkenalkannya dengan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya.
Sementara itu dari pembicaraan itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun yakin, bahwa Tatas Lintang memang Akuwu dari Lemah Warah.
“Kembalilah,” perintah Akuwu Lemah Warah, “bawa pasukan kemari. Kalian harus membawa orang-orang terbaik untuk menguasai padepokan itu. Padepokan yang ternyata dihuni oleh beberapa kelompok perguruan dengan para pengikutnya yang jumlahnya cukup banyak. Jangan kurang dari lima ratus orang. Meskipun aku yakin jumlah orang di Padepokan itu hanya sekitar separuhnya, tetapi kita tidak mau gagal. Kita harus menangkap semuanya. Tidak seorang pun boleh lolos. Selebihnya kami juga memperhitungkan orang-orang yang berilmu tinggi di antara mereka. Seorang yang berilmu tinggi harus dihadapi oleh sekelompok prajurit yang mempunyai bekal cukup. Karena itu kita memang harus membawa prajurit secukupnya.”
Kedua Senapati itu mengangguk. Kemudian Tatas Lintang pun berpesan, “Dalam waktu empat hari lagi, aku akan menunggu kalian di bukit kembar itu. Kami berada di antara keduanya. Kami akan berangkat dari tempat itu lewat tengah malam. Menjelang dini hari kami akan mengepung padepokan itu. Hanya jika terjadi sesuatu yang khusus, rencana ini akan berubah.”
“Kami akan melakukannya Akuwu,” sahut salah seorang dari kedua orang itu.
“Berhati-hatilah,” pesan Akuwu.
“Hamba Akuwu,” jawab keduanya hampir berbareng.
“Kita berhadapan dengan kekuatan yang sangat besar meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak. Ada bermacam-macam ilmu tersimpan di padepokan itu. Karena itu, bawa orang-orang terbaik. Perintahku kepada Panglima Pasukan Pengawal Khusus, ia sendiri harus berangkat dengan sebagian besar dari para pengawal khusus. Tenaga mereka sangat diperlukan dalam arena seperti yang akan kita hadapi.” berkata Tatas Lintang.
Kedua Senapatinya itupun menangkap semua pesannya. Kemudian mereka pun telah minta diri untuk melakukan tugas mereka. Sedangkan dari pembicaraan itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengetahui, bahwa masih ada enam orang Senapati yang ada di sekitar padepokan itu.
Ternyata bahwa Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura tidak dapat menangkap apa yang sebenarnya ada di dekatnya. Ternyata bahwa Tatas Lintang yang nampaknya sendiri itu memang tidak sendiri, meskipun pada saat-saat yang penting ia justru memang hanya sendiri.
Kepada Senapati yang memanggil prajurit-prajuritnya Tatas Lintang pun telah berpesan agar perjalanan mereka tidak menarik perhatian sehingga orang-orang padepokan itu tidak mencium rencana itu lebih dahulu, sehingga mereka akan dapat mengambil langkah-langkah yang tidak dikehendaki.
Sepeninggal kedua orang Senapatinya itu, Tatas Lintang dan ketiga orang yang disebut kemanakannya itu dengan sengaja tidak banyak melakukan kegiatan. Mereka lebih banyak diam dan menyingkir agar tidak memancing persoalan. Mereka berusaha untuk sekedar mengamati dari kejauhan dan mempertahankan agar keadaan tetap seperti itu bagi padepokan yang menjadi sasaran pengintaian mereka, agar pada saat prajurit mereka datang, padepokan itu masih tetap dalam keadaannya.
Sementara itu, kedua orang Senapati yang diperintahkan untuk memanggil pasukan di Pakuwon itupun telah berusaha dengan bersungguh-sungguh untuk melaksanakan tugas mereka. Pada saatnya mereka harus sudah kembali bersama pasukannya dan langsung menuju lembah di antara dua buah bukit yang disebut sepasang Bukit Kembar. Ketika keduanya sampai di Pakuwon, maka beberapa orang Senapati memang menjadi terkejut karena mereka tidak mengiringkan Akuwu.
Namun yang datang ternyata adalah perintah Akuwu untuk membawa sedikitnya lima ratus orang langsung di bawah pimpinan Panglima pasukan Khusus Pakuwon Lemah Warah. Panglima yang mendapat perintah itupun menyadari, bahwa tugas itu tentu gawat. Namun sudah menjadi tugasnya bahwa ia harus melakukannya sebaik-baiknya.
Karena itu, maka tugas itupun dilaksanakannya dengan cepat dan bersungguh-sungguh, iapun memilih lima ratus orang terbaik dan kemudian membekali mereka dengan senjata dan bekal-bekal lain secukupnya.
Tanpa menunggu hari berikutnya, maka pasukan itupun segera berangkat. Dua orang prajurit yang menjemput pasukan itupun tidak merasa letih karena tanggung jawabnya atas tugas yang dipikulnya. Meskipun belum dipasang namun pasukan itu juga membawa tanda-tanda kebesaran Pakuwon Lemah Warah. Mungkin tanda-tanda itu akan berguna jika mereka telah berada di lingkungan padepokan Suriantal.
Dalam waktu menunggu. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah mengisi waktu mereka dengan mempertajam kemampuan mereka. Mereka mengadakan latihan-latihan di tempat yang terasing untuk menghadapi tugas-tugas mereka, yang berat. Ternyata dalam waktu menunggu itu, tidak terjadi sesuatu yang penting yang dapat merubah keadaan. Di malam hari, keempat orang itu masih berusaha untuk dapat mengamati padepokan yang menyimpan rahasia yang sulit untuk dipecahkan. Namun pengamatan mereka itu meyakinkan, bahwa kekuatan di padepokan itu tidak akan lebih dari lima ratus orang.
Menjelang hari terakhir yang ditentukan, dua orang Senapati Lemah Warah yang masih berada di sekitar padepokan itu-pun telah menghubungi Tatas Lintang dan memberikan laporan kegiatan yang meningkat dari orang-orang padepokan itu.
“Nampaknya mereka sedang mencari seseorang,” berkata Salah seorang Senapati itu.
“Mereka mencari kami,” jawab Tatas Lintang itu, “mereka tentu menganggap bahwa tiba-tiba saja kami telah menghilang. Namun dengan demikian mereka tentu akan menjadi curiga. Mungkin mereka akan mengambil langkah-langkah yang tidak kita perhitungkan sebelumnya. Karena itu, maka pengawasan atas mereka harus diperluas.”
Namun hari yang mereka tunggu itupun telah datang. Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itupun telah pergi ke lembah di antara dua bukit kembar. Mereka akan menjemput pasukan yang datang dari Pakuwon Lemah Warah.
Tatas Lintang mengangguk-angguk ketika ia melihat pasukannya. Benar-benar pasukan sebagaimana dikehendaki yang dipimpin langsung oleh Panglima pasukan Pengawal Khusus yang memang memiliki ilmu yang tinggi. Tatas Lintang telah memperkenalkan ketiga orang anak muda itu. Namun kepada pasukannya Tatas Lintang tetap menyebut mereka sebagai kemanakannya.
“Aku memang telah memanggilnya dari Kediri untuk membantuku,” berkata Tatas Lintang.
“Apakah mereka prajurit Kediri?” bertanya Panglima itu.
“Ya. Mereka memang prajurit Kediri,” jawab Tatas Lintang, “karena itu kebetulan sekali, bahwa kita sedang bersiap-siap untuk menyelesaikan tugas ini, karena ketiga orang kemanakanku ini pun sedang menangani persoalan yang sama, juga atas perintah Pangeran Singa Narpada.”
Panglima pasukan Pengawal Khusus itu mengangguk-angguk. Namun karena Akuwu Lemah Warah mempercayai ketiga anak muda yang disebut kemanakannya itu, Panglimanya tentu mempercayainya juga.
Dengan cepat Akuwu Lemah Warah itu menyiapkan pasukannya. Namun ternyata bahwa sergapan kepada atas padepokan itu ditunda sehari untuk memberi kesempatan kepada pasukan itu untuk beristirahat.
Pada saat pasukannya beristirahat, di malam hari Tatas Lintang telah membawa Panglimanya untuk melihat padepokan. Mereka akan mengatur cara yang terbaik untuk memecahkan pertahanan padepokan itu dan mencegah orang-orang yang berusaha untuk melarikan diri.
Bersama dengan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu, maka mereka telah menentukan beberapa hal tentang arah pasukan Lemah Warah yang akan mengepung padepokan itu.
“Sebagian dari pasukan kita akan memasuki padepokan itu,” berkata Tatas Lintang, “sebagian yang lain akan berada di luar.”
Panglima pasukan pengawalnya mengangguk-angguk, ia sependapat dengan Akuwunya. Jika ada di antara orang-orang padepokan yang berusaha melarikan diri, maka para prajurit yang ada di luar padepokan akan dapat menangkap mereka.”
“Kita jangan mengguncang sarang lebah,” berkata Tatas Lintang selanjutnya, “jika orang-orang padepokan itu sempat melarikan diri berpencaran, maka orang-orang itu merupakan orang yang sangat berbahaya. Mereka akan melepaskan dendam mereka kepada siapapun juga dan barangkali juga untuk hidup mereka, maka mereka akan menjadi benalu yang justru akan dapat membunuh tempat yang dilekatinya. Selanjutnya, setelah menjadi kebiasaan, mereka akan dapat menjadi perampok-perampok yang sangat garang.”
“Hamba Akuwu,” jawab panglima itu, “hamba akan berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya agar tidak seorang pun dapat melepaskan diri. Seandainya itu tidak mungkin, maka kita akan berusaha sedikit mungkin orang yang dapat lepas dari tangan kami.”
“Nah, terserah kepadamu, siapakah yang akan memasuki padepokan dan siapa yang akan berada di luar. Demikian juga perbandingan jumlah. Sementara itu, kita harus memperhitungkan bahwa orang-orang di padepokan itu akan dapat melarikan diri lewat jalan yang manapun juga,” berkata Tatas Lintang.
“Hamba Akuwu,” jawab Panglimanya, “hamba akan mengaturnya. Namun sesuai dengan keterangan yang hamba terima bahwa yang ada di dalam padepokan itu jumlahnya kira-kira hanya separuh dari pasukan kita, maka yang akan memasuki padepokan itupun kira-kira hanya separuh pula. Yang lain akan berada di luar mengelilingi padepokan itu, dan sekelompok pasukan cadangan akan berada di sebelah dalam gerbang. Pasukan cadangan ini akan dapat dipergunakan di dalam dan di luar jika diperlukan sekali dengan isyarat tertentu.”
Akuwu Lemah Warah itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Tetapi aku perintahkan orang-orang terbaik akan memasuki padepokan itu bersama kami berempat. Sebaiknya kalian tahu, bahwa di dalam padepokan itu terdapat beberapa orang berilmu tinggi. Karena itu, maka setiap prajurit harus menyadari apa yang akan mereka hadapi. Mungkin mereka harus mempersiapkan kelompok-kelompok kecil dari dua orang sampai sepuluh orang. Mungkin mereka akan bertemu dengan orang-orang yang berilmu tinggi itu.”
“Hamba akan mengaturnya Akuwu. Hamba akan berbicara dengan para pemimpin kelompok agar mereka memperhatikan setiap pesan sebaik-baiknya,” jawab panglima itu.
“Jika kita gagal, maka sama artinya dengan kita akan menyebar bencana. Aku harus mempertanggung jawabkan kepada pemimpin pemerintahan di Kediri. Dengan hadirnya ketiga orang kemanakanku ini maka aku tidak dapat mengingkari setiap tanggung jawab itu.”
Panglima itu tidak menjawab. Tetapi pada wajahnya nampak kesungguhan tekadnya untuk melaksanakan perintah Akuwu itu sebaik-baiknya. Setelah beberapa lama mereka mengamati tempat itu, maka mereka pun telah meninggalkannya kembali ke tempat pasukan mereka beristirahat. Di lembah di antara Sepasang Bukit Kembar. Daerah yang seakan-akan tertutup bagi orang lain.
Di hari berikutnya, pasukan itu telah mendapat pesan yang lengkap tentang sasaran yang akan mereka masuki. Mereka telah mendapat gambaran yang jelas, apa yang akan mereka hadapi serta kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Karena itu, maka para pemimpin kelompok harus memegang peran yang hidup di setiap medan. Mereka harus cepat mengambil langkah jika dihadapi persoalan-persoalan yang gawat.
Sisa waktu yang ada telah dipergunakan oleh pasukan itu untuk beristirahat secukupnya. Mereka harus menyimpan tenaga untuk pertempuran yang mungkin akan memerlukan waktu yang lama.
Menjelang malam hari, maka semua persiapan telah mapan. Semua senjata telah diteliti dan benar-benar siap untuk dipergunakan. Yang ragu-ragu telah mengganti senjatanya dengan yang baru. Namun senjata yang memiliki nilai tersendiri, betapapun juga ujudnya, senjata itu tidak akan terlepas dari tangan meskipun pemiliknya mungkin membawa senjata lain sebagai rangkapannya.
Ketika saatnya para prajurit yang merangkap menjadi juru masak mempersiapkan makan mereka, maka diperintahkan kepada mereka untuk berhati-hati. Bukan saja agar api yang mereka pergunakan tidak nampak dari kejauhan, juga jangan sampai menimbulkan kebakaran hutan di sekitarnya.
Setelah semua siap, maka pasukan itupun telah menyusun diri men jelang tengah malam. Mereka telah makan dan mengisi kantong-kantong mereka dengan makanan yang dapat mereka bawa ke medan. Jika mereka bertempur sampai sehari penuh, maka mereka tidak akan kehabisan tenaga. Di dalam kantong-kantong kecil mereka membawa jenis-jenis makanan yang tahan lama.
Demikianlah, lewat tengah malam pasukan itupun mulai bergerak. Dengan sangat berhati-hati mereka telah mendekati padepokan. Sebagaimana mereka rencanakan, maka ketika pasukan itu mendekati sasaran, maka mereka telah membagi diri. Separuh lebih sedikit akan memasuki padepokan. Namun mereka tidak akan mengambil jalan pintu gerbang seluruhnya. Sebagian di antara mereka akan meloncati dinding. Hanya sebagian sajalah yang akan memasuki pintu gerbang, sementara sekelompok akan merupakan pasukan cadangan yang bersiap di pintu gerbang.
Perlahan-lahan tetapi pasti pasukan itu menjadi semakin dekat dari beberapa arah. Kelompok-kelompok itu telah merayap mendekat, sementara belum ada pertanda apapun yang nampak. Panji-panjipun masih digulung meskipun pada tunggulnya.
Ketika mereka telah berada di seputar padepokan itu, maka pasukan itupun terhenti. Mereka menunggu saatnya untuk menyerang. Namun sementara itu Tatas Lintang telah memerintahkan pasukan yang berada di depan pintu gerbang padepokan itu bersiaga sepenuhnya sebagaimana sepasukan prajurit dari sebuah Pakuwon.
Menjelang fajar, maka Tatas Lintang telah memerintahkan untuk mengurai segala macam pertanda. Umbul-umbul, rontek dan panji-panji. Kemudian terdengarlah sangkala yang berbunyi nyaring.
Seisi padepokan itu terkejut. Merekapun berloncatan bangun dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ketika beberapa orang sempat menengok lewat pintu gerbang, mereka pun terkejut. Dalam keremangan pagi mereka melihat sekelompok pasukan dengan berbagai pertanda kebesaran berada dihadapan padepokan mereka.
Sementara itu, Tatas Lintang yang berdiri di paling depan dihadapan tunggul pertanda kebesaran Pakuwon Lemah Warah berdiri sambil bertolak pinggang. Dengan lantang iapun kemudian berkata, “Saudara-saudaraku seisi padepokan. Aku. Akuwu Lemah Warah, atas nama Kekuasaan Kerajaan Kediri memerintahkan kepada kalian untuk menyerah. Tidak ada pembicaraan yang akan dilakukan sebelumnya selain bahwa kalian harus menyerah.”
Para pemimpin padepokan itu mengumpat sejadi-jadinya. Mereka merasa heran, bahwa mereka tidak tahu sebelumnya hal seperti itu akan terjadi. Mereka sebelumnya selalu mengamati orang-orang yang mereka curigai. Tetapi bahwa orang-orang itu tiba-tiba saja membawa sepasukan dalam jumlah yang cukup banyak serta pertanda kebesaran sebuah pakuwon, tidak pernah mereka bayangkan.
Seorang diantara para pemimpin itu bergumam, “Satu kelengahan yang gawat.”
Seorang yang lain menyahut, “Kita tidak mempunyai dugaan sama sekali bahwa salah seorang diantara mereka adalah Akuwu dari salah satu Pakuwon, yang ternyata kuasa mendatangkan pasukan yang cukup besar dengan pertanda kebesaran. Menilik kemampuan orang-orang yang kita jumpai, kita menduga bahwa mereka adalah orang-orang dari perguruan-perguruan yang memiliki dasar ilmu yang tinggi. Biasanya para prajurit dan Senapati tidak memiliki kemampuan secara pribadi yang mampu mencapai tataran itu.”
“Mereka agaknya memang bukan prajurit. Tetapi mereka adalah orang-orang yang mendapat tugas, mungkin dengan upah yang sangat tinggi selain Akuwu itu sendiri,” sahut yang lain lagi.
“Baiklah,” berkata seorang yang berjambang keputihan, “kita sudah tidak mempunyai waktu lagi. Kita harus menghadapi mereka. Menurut perhitunganku, jumlah mereka tidak terlalu banyak. Kita akan menerima mereka dengan senang hati siapapun mereka. Biarlah mereka masuk. Kemudian kita akan melumatkannya disini.”
Para pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa mereka terdiri dari beberapa orang yang memiliki dasar ilmu yang berbeda-beda. Seorang diantara mereka adalah orang bertongkat dan pada tongkat itu terdapat batu yang berwarna kehijauan itu. Sementara yang lain adalah orang yang mampu menguasai binatang dengan ilmu gendamnya. Seorang lagi memiliki kemampuan untuk menyusup ke dalam diri seseorang yang tidak memiliki ketahanan jiwani yang tinggi dan beberapa orang pemimpin lainnya yang berilmu tinggi pula.
Karena tidak segera terdengar jawaban, maka Tatas Lintang pun, berteriak lagi, “Aku masih memberi kesempatan kepada kalian untuk menyerah. Sebenarnya, kami dapat menghancurkan kalian dalam kelengahan. Jika kami menghendaki, kami dapat memasuki padepokan kalian dan dengan kasar membunuh sebanyak-banyaknya. Tetapi hal itu tidak kami lakukan. Kami justru telah membangunkan kalian dan mempersilahkan kalian bersiap menghadapi kedatangan kami. Dengan demikian, prajurit dari Pakuwon Lemah Warah adalah prajurit jantan yang tidak merunduk musuhnya selagi mereka lengah.”
Yang kemudian menjawab adalah orang bertongkat. Sambil mengacukan tongkatnya yang di kepalanya terdapat batu yang berwarna kehijauan itu ia menjawab, “He, orang-orang Lemah Warah. Meskipun kami tidak mengira akan kedatangan kalian, maka kami boleh memuji kejantanan kalian yang telah membangunkan kami. Kalian agaknya tidak mau menyerang kami sambil merunduk. Tetapi agaknya itu sama sekali bukan sifat kejantanan sebagaimana yang kami kira sebelumnya, karena sebenarnyalah hal itu kalian lakukan karena kesombongan kalian.”
Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian berkata pula, “Apapun yang kalian katakan, aku memerintahkan kalian menyerah. Jika tidak, maka kami akan mempergunakan kekerasan untuk memaksa kalian menyerah. Mungkin diantara kita akan jatuh korban. Dan kalianlah yang harus bertanggung jawab atas korban-korban itu, karena jika kalian tidak melawan, maka korban itu tidak akan timbul.”
“Gila,” teriak orang bertongkat itu, “enak sekali. Kalian dengan sewenang-wenang menjatuhkan tanggung jawab di tangan kami. He, orang-orang Lemah Warah. Katakan, seandainya kalian tidak mengganggu kami, apakah akan jatuh korban?”
“Menggulung isi padepokan ini termasuk tugas kami. Karena itu harus kami laksanakan atas perintah Sri Baginda di Kediri,” jawab Tatas Lintang.
“Omong kosong,” teriak orang bertongkat itu.
Namun sebelum ia melanjutkan kata-katanya Tatas Lintang telah berkata lantang pula, “Kau lihat pertanda kebesaran kami. Kami adalah pasukan yang dilindungi oleh kekuasaan Kediri yang sah. Nah, sekali lagi aku perintahkan kalian menyerah. Kediri tidak akan berbuat apa-apa selain sekedar mengetahui dan memastikan, siapakah kalian sebenarnya dan apakah langkah-langkah yang kalian lakukan di Kediri itu mempunyai latar belakang tertentu yang berakar pada satu keyakinan yang mapan.”
Orang bertongkat itu mengumpat. Namun orang-orang didalam padepokan itu mulai mengetahui apakah sebenarnya yang mereka hadapi. Dengan demikian mereka pun menyadari, bahwa mereka telah langsung berhadapan dengan kekuasaan Kediri lewat Akuwu Lemah Warah.
“Kami memang telah menunggu,” berkata orang bertongkat itu lantang, “tetapi kenapa kalian datang hanya dengan sekelompok kecil prajurit Pakuwon Lemah Warah? Apakah kalian memang dengan sengaja membunuh diri.”
“Tidak ada kesempatan untuk berbuat apapun,” berkata Tatas Lintang, “kalian harus membiarkan kami melaksanakan tugas kami menangkap kalian dan menghadapkan kalian kepada Sri Baginda untuk memastikan, apakah sebenarnya pernah kalian lakukan, sehingga kalian berani menyentuh Gedung Perbendaharaan Kediri.”
“Fitnah apa lagi yang telah dilancarkan orang terhadap padepokan ini,” berkata orang bertongkat itu, “tetapi persetan dengan segala macam igauan itu. Aku berharap tinggalkan padepokan kami dalam keadaan tenang dan damai.”
“Jangan ingkar dengan cara yang kasar seperti itu,” berkata Tatas Lintang, “jika kalian tidak merasa bersalah, kenapa kalian dengan segala macam cara menolak kehadiran kami dilingkungan ini? Kalian ternyata telah mencurigai setiap orang yang baru datang di tempat ini. Kalian telah mencurigai tiga orang pedagang batu akik dan besi bertuah yang berada di sekitar tempat ini, sejak di padukuhan yang masih agak jauh. Kalian mencurigai aku yang tinggal di padukuhan yang juga tidak terlalu dekat. Dan apalagi ketika diantara kami mendekati batu berwarna kehijauan itu? He, apakah hubungan antara batu yang berwarna kehijauan itu dengan benda yang paling berharga dari Kediri itu?”
“Persetan,” geram orang yang memiliki kemampuan menguasai tubuh orang lain dan mempergunakannya, “jangan banyak bicara. Kami memang sudah menduga, dari manapun asalnya, kalian tentu akan mengganggu kami. Karena itu, maka sudah sepantasnya jika kami berusaha mengusir kalian dengan cara-cara yang mampu kami lakukan. Sekarang ternyata kalian telah bertindak dengan langkah-langkah yang lebih kasar lagi. Seolah-olah kalian mempunyai wewenang untuk menangkap kami. Tetapi yang akan kalian lakukan tidak lebih dari membunuh diri.”
“Sekali lagi aku perintahkan, atas nama Sri Baginda di Kediri, menyerahlah. Segala sesuatu yang menyangkut dengan kalian, akan dilakukan oleh Sri Baginda sendiri,” berkata Tatas Lintang. “Baiklah,” berkata Tatas Lintang kemudian karena sama sekali tidak ada tanggapan, “aku beri kesempatan kepada kalian untuk membicarakan agar keputusan yang kalian ambil tidak akan kalian sesali di kemudian.”
Orang-orang yang berada di padepokan itu masih tetap berdiam diri. Tetapi sebenarnyalah bahwa mereka tidak sekedar diam. Para pemimpin di padepokan itu telah memerintahkan semua orang didalam padepokan itu untuk bersiap.
Sementara itu, dua orang diantara para pemimpin di regol itu telah dengan langkah yang cepat menuju ke barak induk dari padepokan itu. Seorang diantara keduanya berpesan dengan kawannya yang tinggal, “Usahakan untuk menunda gerakan mereka beberapa saat. Aku akan berhubungan dengan Panembahan.”
Kawannya mengangguk. Sementara itu, kedua orang yang lain berusaha untuk menemui seseorang yang disebutnya sebagai Panembahan.
Orang yang disebut Panembahan itupun kemudian berkata, “Tidak ada cara lain. Hancurkan mereka. Aku akan bertanggung jawab jika Kediri akan mengambil tindakan balasan. Masih ada waktu untuk memikirkannya.”
“Baik Panembahan,” jawab salah seorang dari kedua pemimpin itu, “jika demikian kita memang akan menghancurkan mereka.”
Demikianlah maka para pemimpin dipadepokan itu telah mendapatkan satu keputusan. Mereka akan menghancurkan para prajurit Pakuwon Lemah Warah yang akan memasuki padepokan itu.
Karena orang-orang padepokan itu sama sekali tidak menghiraukan perintah Tatas Lintang, maka Akuwu Lemah Warah itupun telah mengambil satu keputusan untuk menyerang padepokan itu. Dengan kelompok-kelompok yang berada di depan padepokan itu, maka Tatas Lintang telah bersiap sepenuhnya.
Sementara itu. sebenarnyalah pasukan Tatas Lintang yang berada di seputar padepokan itu hampir tidak sabar lagi. Mereka tidak banyak mendengar pembicaraan antara Tatas Lintang dengan orang-orang di padepokan itu.
Namun akhirnya Tatas Lintang pun sampai kepada batas kesabarannya. Katanya, “Aku tidak mempunyai waktu lagi. Jawablah sekarang perintahku. Menyerahlah.”
“Persetan,” teriak orang bertongkat di padepokan itu setelah mendapat kepastian sikap Panembahan, “marilah. Jika kalian ingin membunuh diri biarlah kami membantunya.”
Tatas Lintang tidak bertanya lagi. Diperintahkannya dua orang diantara prajuritnya untuk meniup sangkakala. Pertanda bahwa pasukan Tatas Lintang itu harus bersiap untuk menyerang.
Semua prajurit pun telah bersiap pula. Suara sangkakala telah menggema melingkari padepokan itu sehingga semua prajurit telah mendengarnya. Dengan tegang mereka menunggu isyarat berikutnya, sebagai pertanda untuk menyerang. Ketegangan pun segera telah meningkat. Semua senjata telah bergetar di tangan. Dan kaki pun telah bersiap untuk meloncat.
Tatas Lintang masih menunggu sejenak, ia memberi kesempatan semua prajuritnya berada pada kesiagaan tertinggi sebelum isyarat menyerang dibunyikan. Ketika menurut perhitungan Tatas Lintang semuanya telah bersiap, maka ia telah memerintahkan untuk sekali lagi meniup sangkakala.
Demikianlah ketika suara sangkakala itu menggema, maka pasukan dari Lemah Warah itupun telah meloncat menyerang. Yang bergerak lebih dahulu adalah mereka yang berada di depan pintu gerbang Padepokan itu. Beberapa kelompok kecil dengan kelengkapan pertanda kebesaran Pakuwon Lemah Warah, serta pelimpahan kuasa Kediri telah bergerak dengan cepat menuju ke pintu gerbang.
Namun di pintu gerbang itu para penghuni padepokan itupun telah bersiap pula. Bahkan di sebelah menyebelah gerbang, beberapa orang telah siap diatas dinding dengan busur dan anak panah. Orang-orang padepokan itu sama sekali tidak merasa gentar melihat kehadiran pasukan yang tidak begitu banyak itu. Bahkan beberapa orang diantara mereka sempat menjadi heran, bahwa pasukan yang itu telah membawa pertanda kebesaran Lemah Warah, dan bahkan Kediri.
Sejenak kemudian maka di depan pintu gerbang itupun telah terjadi benturan antara kedua pasukan. Orang-orang padepokan itu menunggu dengan tenang di pintu gerbang. Mereka yakin, jika pasukan Lemah Warah itu tidak menyingkir, maka mereka akan membunuh sampai orang yang terakhir.
Dalam pertempuran itu, Tatas Lintang, Mahisa Murti Mahisa Pukat, Mahisa Ura dan Panglima pasukan Pengawal Khusus dari Lemah Warah telah langsung melibatkan diri. Untuk memasuki pertempuran, mereka masih belum mempergunakan kemampuan ilmu mereka yang nggegirisi. Tetapi mereka masih mempergunakan senjata sewajarnya sebagaimana para prajurit yang lain.
Di tangan Tatas Lintang digenggam sebatang tombak pendek, sementara Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah mempergunakan pedang pilihan sedangkan Panglima Pasukan Khusus Pakuwon Lemah Warah itu telah mempergunakan sebilah luwuk yang besar dengan perisai di tangan kiri.
Dengan kemampuan olah senjata yang tinggi, maka mereka telah berusaha untuk memecahkan pertahanan orang-orang Padepokan itu, sementara para pemimpin padepokan itupun belum sempat mempergunakan kemampuan ilmu mereka karena benturan yang hiruk pikuk. Namun akhirnya, pemimpin padepokan itu telah memerintahkan agar orang-orangnya menahan agar pasukan Lemah Warah tidak sempat memasuki padepokan.
“Usir mereka keluar.” teriak orang bertongkat, “kita akan membunuh mereka diluar padepokan. Jangan kotori padepokan ini dengan darah mereka.”
Orang-orang padepokan itu telah berusaha justru mendesak pasukan Lemah Warah. Orang-orang yang berdiri diatas dinding padepokan sebelah menyebelah regol telah berusaha untuk mendesak pasukan Lemah Warah dengan anak panah.
Namun para prajurit Lemah Warah mampu melawan anak panah yang meluncur seperti hujan. Sebagian dari mereka mempergunakan perisai sementara yang lain mampu menangkis anak panah yang meluncur itu dengan senjata-senjata mereka.
Pertempuran di pintu gerbang itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Para pemimpin padepokan itupun telah berada di pintu gerbang pula. Jika para pemimpin dari Lemah Warah itu mendesak orang-orang padepokan itu, maka para pemimpin merekalah yang akan menahannya.
Namun orang-orang padepokan itu terkejut ketika mereka mendengar sekali lagi suara sangkakala. Suara yang nyaring memekik menggetarkan udara.
“Apalagi yang akan terjadi?” bertanya orang-orang padepokan itu.
Sebenarnyalah perintah itu diperuntukkan bagi para prajurit yang berada di seputar padepokan. Tatas Lintang telah memerintahkan dua orang peniup sangkakala, bahwa mereka harus membunyikannya pada saat pasukan di pintu gerbang itu sudah terlibat dalam pertempuran.
Sejenak kemudian orang-orang padepokan itu tercenung. Mereka mendengar sorak yang mengguntur di sekitar padepokan mereka. Namun mereka terlambat menyadari, bahwa serangan dapat saja datang melalui segala arah.
Karena itulah, maka orang-orang padepokan itu tidak siap menerima serangan itu. Orang-orang yang bertugas berjaga-jaga di sudut padepokan memang melihat orang-orang yang kemudian berloncatan dari balik gerumbul-gerumbul dan langsung meloncati dinding padepokan.
Pertempuran memang telah terjadi. Orang-orang padepokan yang lain, yang sempat menarik diri dari sekitar pintu gerbang telah berusaha untuk menyongsong mereka. Tetapi para prajurit Lemah Warah sebagian telah berhasil memasuki padepokan.
Sejenak kemudian memang terjadi kekacauan didalam padepokan. Beberapa orang pemimpin yang berada di sekitar regol memang telah menarik diri untuk mengatasi keributan yang terjadi. Namun para prajurit Lemah Warah yang berada didalam padepokan telah memencar dan menyerang isi barak-barak yang tersisa.
Dengan demikian maka pertempuran telah merata. Sebagian dari prajurit Lemah Warah telah menuju ke pintu gerbang. Mereka telah menyerang orang-orang padepokan yang berkumpul di belakang pintu gerbang untuk menunggu pasukan Lemah Warah. Namun ternyata bahwa mereka telah mendapat serangan justru dari arah belakang mereka.
Sementara itu, sebagian dari prajurit Lemah Warah memang masih berada diluar padepokan. Mereka mendapat tugas untuk menjaga agar tidak ada seorang pun yang dapat lolos. Namun jika diperlukan mereka akan dapat ditarik untuk memasuki padepokan itu juga. Untuk beberapa saat yang terjadi adalah perang brubuh. Perang yang hiruk pikuk.
Semakin lama maka arena pun menjadi semakin luas. Bahkan kemudian pertempuran pun terjadi di scluruh sudut padepokan. Orang-orang padepokan yang semula berada di sekitar pintu gerbang telah memencar pula untuk melawan para prajurit Lemah Warah. Demikian pula para pemimpin padepokan itu. Mercka pun telah berpencar untuk mengatasi kebingungan yang untuk sementara terjadi di padepokan.
Namun dalam hiruk pikuk itu. terdapat sebuah bangunan yang sepi. Tidak seorang pun mengerti, kenapa di sekitar dan didalam rumah yang satu itu tidak terjadi pertempuran. Pasukan Lembah Warah yang bertempur di seluruh lingkungan padepokan, tanpa sadar telah menghindari rumah itu.
Orang-orang padepokan itu sendiri, yang melawan para prajurit Lemah Warah dimanapun mereka bertemu, tidak pula berada di sekitar rumah itu, karena di tempat itu tidak terdapat prajurit Lemah Warah. Mereka bertempur diantara dinding-dinding barak dan diantara pepohonan di halaman dan kebun padepokan. Menyusup diantara gerumbul-gerumbul perdu dan rumpun bambu, berkejaran di antara lorong-lorong sempit.
Sekelompok prajurit yang menghadapi sekelompok orang-orang padepokan itu telah bertempur dengan garangnya. Ternyata seperti yang telah diperhitungkan, bahwa orang-orang di padepokan itu memiliki kemampuan yang memadai. Mereka adalah murid-murid terpercaya dari beberapa perguruan yang telah berada di satu padepokan.
Namun seperti perintah Tatas Lintang, yang dibawa oleh Panglima Pasukan Pengawal Khusus itupun prajurit-prajurit yang terpilih pula. Seandainya Tatas Lintang tidak memanggil orang-orang terbaik dari Lemah Warah. maka keadaannya akan berbeda. Korban akan berjatuhan. Dan prajurit Lemah Warah pun akan merasa bahwa mereka tidak akan mampu mengimbangi lawan mereka. Tetapi para prajurit terpilih itu telah mendapat latihan khusus, sehingga tubuh dan jiwa mereka telah ditempa dengan laku yang berat.
Ketika seorang prajurit yang tergeser dari kelompoknya menyuruk diantara rumpun bambu yang lebat, tiba-tiba saja dihadapannya telah berdiri seorang laki-laki yang berjambang lebat. Rambutnya yang keriting terurai di pundaknya. Seutas tali melilit di dahinya, sementara di lehernya bergantungan berbagai macam benda yang dianggapnya memiliki kekuatan yang akan dapat mempertebal tataran kemampuan dan ilmunya.
Prajurit Lemah Warah itu memang menjadi berdebar-debar melihat ujud orang itu. Tetapi ketika ia diluar sadarnya melihat ujung pedangnya, maka hatinya mulai mapan, ia menyadari kedudukannya, ia adalah prajurit pilihan dari Lemah Warah.
Sesaat keduanya saling berpandangan. Namun kemudian terdengar orang itu menggeram, “Kau tidak mempunyai kesempatan untuk lari tikus kecil.”
Jantung prajurit itu memang berguncang mendengar kata-kata orang itu. Namun sekali lagi ia memandang ujung pedangnya yang runcing melampui ujung duri landak. Kemudian terdengar suaranya dengan nada rendah, “Kau mencoba untuk menyembunyikan rasa takutmu dengan ancaman-ancaman seperti itu?”
Orang itu mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya ia berdesis, “Takut? Apa artinya takut he? Apalagi menghadapi tikus kecil seperti kau ini?”
Tetapi prajurit itupun tertawa, “Kau sadar, bahwa kau berhadapan dengan prajurit pilihan dari Pakuwon Lemah Warah. Itulah sebabnya kau harus berusaha untuk membesarkan hatimu sendiri.”
“Gila,” orang itu mengumpat, “bagaimana mungkin kau dapat berkata seperti itu? Apa artinya bagiku, prajurit pilihan dari Lemah Warah. Kenapa bukan Akuwu itu sendiri yang datang ke hadapanku.”
“Kita berada di arena pertempuran Ki Sanak,” jawab prajurit itu sambil mengacukan ujung pedangnya yang runcing tajam, “jangan mengigau seperti itu.”
Orang berjambang itu mengangguk kecil. Senjatanya pun mulai terangkat. Sebuah bindi yang besar. “Kau akan aku lumatkan sebelum kau sempat berteriak minta tolong kepada kawan-kawanmu,” geram orang itu.
Prajurit Lemah Warah itu tidak menjawab. Tetapi pedangnya pun mulai bergetar. Perlahan-lahan ujungnya telah bergeser mengarah ke dada orang berjambang itu. Namun tiba-tiba prajurit itu harus meloncat surut. Lawannya telah mulai menyerangnya dengan mengayunkan bindinya yang besar dan berat, namun yang nampaknya tidak lebih berat dari sepotong lidi saja ditangannya.
Karena bindi itu tidak mengenai sasarannya, maka yang terdengar kemudian adalah suara, gemerasak batang-batang bambu yang berpatahan. Prajurit itu menjadi berdebar-debar. Kekuatan orang itu memang luar biasa. Namun ia tidak mau dianggap lebih lemah. Karena itu, maka iapun telah mempergunakan kesempatan yang terbuka untuk menyerang lawannya justru pada saat bindi itu sedang terayun mematahkan pohon-pohon bambu.
Orang berjambang itu memang tidak sempat menangkis serangan yang datang begitu cepatnya. Karena itu, maka iapun telah meloncat pula surut. Yang terjadi juga mengejutkan. Ketajaman pedang itu ternyata telah sempat menebas putus beberapa batang pohon bambu.
Keduanya pun kemudian telah berhadapan lagi dalam kesiagaan penuh. Namun keduanya telah melihat kelebihan masing-masing, sehingga karena itu, maka mereka pun menjadi semakin berhati-hati.
Prajurit pilihan dari Lemah Warah itu menyadari bahwa bindi lawannya itu akan dapat mematahkan tulang-tulangnya jika ia tersentuh ayunannya. Sebaliknya orang berjambang itu sadar sepenuhnya bahwa goresan ujung pedang prajurit itu akan dapat mengoyak kulit dagingnya.
Karena itu, ketika keduanya kemudian bertempur, maka keduanya menjadi semakin berhati-hati. Orang yang memegang bindi itu tidak lagi dapat sekedar mempercayakan diri kepada kekuatannya, karena kecepatan gerak prajurit itu ternyata sangat berbahaya baginya.
Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya pun menjadi semakin seru. Meskipun keduanya tidak lagi berloncatan dengan cepat dan selalu berusaha mengekang diri, namun ternyata bahwa keduanya telah mengguncang rumpun-rumpun bambu di sekitar mereka.
Dibagian lain, sekelompok kecil orang-orang padepokan itu telah mencoba menjebak beberapa orang prajurit yang terperosok ke dalam kolam. Namun dengan cepat para prajurit itu berhasil membebaskan diri. Ketika orang-orang padepokan yang berusaha menjebaknya itu berloncatan menyerang, sebagian dari para prajurit itu telah berada di-darat, sehingga mereka mampu untuk sementara melindungi kawan-kawannya yang berusaha naik pada dinding kolam yang licin.
Namun dengan pertolongan senjata mereka, maka akhirnya mereka berhasil mencapai tanggul kolam itu dan dengan serta merta telah terjun ke dalam pertempuran pula. Ternyata bahwa sekelompok orang-orang padepokan itu memiliki ilmu yang memadai. Dengan senjata mereka yang khusus berupa tongkat-tongkat panjang, mereka telah melawan beberapa orang prajurit yang bersenjata pedang dan tombak pendek.
Ketika para prajurit yang yakin akan kemampuan diri itu berpencar, maka orang-orang bertongkat itupun berpencar pula. Sehingga akhirnya, pertempuran itupun telah menebar di arena yang luas.
Dibagian lain, orang-orang padepokan itu yang tidak bersenjata tongkat, tetapi bersenjata parang-parang yang besar merasa bahwa mereka sempat menyergap beberapa orang prajurit Lemah Warah yang jumlahnya lebih sedikit. Mereka merasa bahwa dalam waktu singkat mereka akan sempat menghancurkan para prajurit itu.
Namun para prajurit yang tersudut itu tidak membiarkan diri mereka menjadi umpan pembantaian orang-orang padepokan itu. Dengan segenap kemampuan mereka telah mempertahankan diri meskipun jumlah mereka lebih sedikit. Tetapi sejenak kemudian, maka keadaan pun cepat berubah. Sekelompok lain para prajurit Lemah Warah telah datang pula dan membantu kawan-kawannya yang terjebak itu.
Keseimbangan pun segera berbalik. Orang-orang padepokan itulah yang telah terdesak. Namun mereka pun telah bertempur dengan segenap kemampuan mereka. Ternyata orang-orang padepokan itu yang tidak bersenjata tongkat pun, memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Sehingga dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi semakin seru.
Demikianlah pertempuran telah tersebar dimana-mana didalam padepokan itu. Orang-orang padepokan itu tidak menyangka, bahwa pasukan Lemah Warah pun semakin lama terasa menjadi semakin banyak. Bahkan rasa-rasanya telah mengimbangi jumlah para penghuni padepokan yang terdiri dari beberapa perguruan itu.
Namun orang-orang padepokan itu merasa diri mereka murid dari perguruan yang linuwih, yang jarang ada duanya di seluruh Kediri, bahkan Singasari. Karena itu, maka mereka pun merasa akan mampu mengatasi kedatangan para prajurit dari Lemah Warah.
Tetapi kenyataan yang terjadi telah mendebarkan jantung orang-orang padepokan itu. Ternyata prajurit-prajurit Lemah Warah adalah benar-benar prajurit pilihan yang secara pribadi mampu mengimbangi orang-orang padepokan yang terdiri dari beberapa perguruan itu. Bahkan semakin lama tekanan para prajurit itu menjadi semakin berat, sehingga di beberapa bagian dari padepokan itu, mereka telah mulai terdesak.
Namun para pemimpin dari padepokan itu selalu meneriakkan aba-aba, agar orang-orangnya tidak perlu gentar menghadapi para prajurit. Mereka memang memiliki kemampuan dalam pertempuran gelar. Tetapi sendiri-sendiri mereka tidak berarti apa-apa. Orang-orang padepokan itu mencoba untuk mempercayainya. Namun yang mereka jumpai adalah lain. Seorang-seorang para prajurit itu tetap merupakan orang yang sangat berbahaya bagi orang-orang padepokan itu.
Sementara itu, para pemimpin dari kedua belah pihak masih belum terlibat langsung ke dalam pertempuran, apalagi diantara mereka. Kedua belah pihak masih berusaha untuk mengatur orang-orang mereka masing-masing sehingga tidak terjadi kesalahan yang dapat mengakibatkan kesulitan bagi pasukannya.
Di beberapa tempat, pertempuran terjadi dalam bentuk yang berbeda. Orang berjambang lebat dan bersenjata bindi itu masih bertempur dengan seorang prajurit yang bersenjata pedang yang sangat tajam. Sementara sekelompok orang-orang padukuhan itu mencoba bertahan dari sergapan sekelompok prajurit yang lebih banyak jumlahnya.
Dibagian lain seorang prajurit yang lengah telah terlempar karena sebatang tongkat yang mengenai tengkuknya. Namun di dekatnya seorang penghuni padepokan itu memekik tertahan ketika ujung pedang seorang prajurit mengoyak dadanya.
Seorang yang bertubuh tinggi besar dan berdada bidang tiba-tiba saja sudah berdiri dihadapan Mahisa Pukat. Senjata orang itu yang berupa tongkat besi yang panjang terayun-ayun mengerikan. Dengan suara bergetar ia berkata, “Tundukkan kepalamu. Aku akan memecahkan kepalamu.”
Mahisa Pukat termangu-mangu. Yang berdiri dihadapannya adalah orang yang bertubuh raksasa. Tongkat besi yang besar dan panjang itu seolah-olah tidak berbobot di tangannya yang besar dan berbulu lebat. Beberapa saat lamanya Mahisa Pukat bagaikan membeku. Dipandanginya saja orang bertubuh tinggi besar itu. Namun agaknya orang itu benar-benar menjadi buas.
“Cepat,” teriak orang itu, “aku masih berbaik hati untuk membunuhmu. Atau aku akan memperlakukan kau dengan cara yang khusus mengulitimu dan kemudian merendammu di air garam?”
Mahisa Pukat masih belum menjawab, sehingga orang itu menjadi marah, “Apa kau bisu he?”
Mahisa Pukat tetap terdiam. Karena itu, maka orang itupun menjadi marah. Dengan serta merta maka iapun telah menyerang. Diayunkannya tongkat besinya yang besar dan berat itu ke arah leher Mahisa Pukat.
Dengan sigapnya Mahisa Pukat merendahkan dirinya, ia masih mendengar orang bertubuh raksasa itu mengumpat. Namun umpatan itu tiba-tiba telah terdiam. Ternyata sambil menghindari ayunan tongkat besi yang besar dan panjang itu. Mahisa Pukat telah menjulurkan pedangnya, langsung mengenai dada orang itu dan menembus membelah jantung. Yang terdengar kemudian adalah tubuh yang besar itu roboh di tanah dan tidak bergerak sama sekali.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya, ia sendiri merasa heran. Demikian cepatnya ia menyelesaikan raksasa yang berteriak-teriak itu. Namun yang ternyata lebih banyak mempergunakan mulutnya daripada otaknya. Dengan demikian Mahisa Pukat telah kehilangan lawannya. Ia pun segera bergeser menuju ke arena yang hiruk pikuk. Pertempuran antara kelompok-kelompok pasukan yang ada di padepokan itu.
Mahisa Murti telah terdampar ke sudut yang lain. Dua orang telah menyergapnya dengan senjata yang mengerikan. Seorang membawa canggah bertangkai panjang, yang lain membawa tombak berkait. Senjata yang tidak banyak dipergunakan. Ketika kedua orang itu menyerangnya dengan garang, Mahisa Murti sempat bertanya, “Darimana kau dapat senjata seperti itu he?”
“Persetan,” geram orang yang membawa canggah bertangkai panjang.
“Apakah kalian mendapatkannya dari orang-orang asing yang pernah datang ke pasisir dan mudik di bengawan?” bertanya Mahisa Murti.
“Apa pedulimu,” geram orang yang bersenjata tombak berkait.
Mahisa Murti tidak bertanya lebih jauh. Ia harus berloncatan menghindari serangan kedua orang yang bersenjata bertangkai panjang itu. Canggah yang dipergunakan oleh lawannya adalah canggah yang tajam di bagian dalamnya. Sementara tombak berkait itu tajam di segala sisinya. Namun Mahisa Murti memiliki kemampuan yang tinggi dalam ilmu pedang, sehingga ia mampu mengimbangi kedua senjata lawannya yang bertangkai panjang itu.
Namun dalam pada itu, tiga orang prajurit telah bertempur dengan seorang yang bersenjata tongkat yang di pangkalnva terdapat batu yang berwarna kehijauan. Tiga orang prajurit yang bersenjata pedang itu sama sekali tidak mampu menahan ayunan tongkat yang berkepala batu itu. Sekali-sekali batu itu bagaikan bercahaya menyilaukan. Namun tiba-tiba saja batu itu telah menyambar kepalanya.
Seorang di antara ketiga prajurit itu telah mengalami nasib yang buruk. Ketika pangkal tongkat itu terayun ke arah kepalanya, matanya yang silau masih belum sempat melihat dengan jelas apa yang sedang dihadapinya. Namun yang terdengar kemudian adalah benturan yang keras dan pekik tertahan. Prajurit itu terlempar beberapa langkah dan mati di tempatnya terbaring. Kedua orang kawannya menggeram. Namun orang bertongkat itu memang orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Di bagian lain pertempuran menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak masih belum sempat mencari orang-orang terpenting dari kedua belah pihak. Mereka masih melawan siapa saja yang bertemu di medan. Jika sekiranya lawannya memiliki ilmu yang tinggi, maka setiap kelompok berusaha untuk melawan berpasangan atau lebih.
Ketika pertempuran mulai merata, maka para pemimpin dari kedua belah pihak pun mulai memperhatikan keseluruhan arena. Mereka mulai mengamati kemungkinan-kemungkinan yang pantas untuk memilih lawan.
Mahisa Ura yang sedang bertempur melawan dua orang penghuni padepokan itupun mulai menjadi sasaran pengamatan para pemimpin padepokan itu. Namun Mahisa Ura memang memiliki kemampuan ilmu pedang yang memadai. Pedangnya berputaran dengan cepatnya bagaikan baling-baling. Bahkan kemudian semakin cepat mengitari dirinya, seolah-olah bagaikan gumpalan asap yang menyelubungi tubuhnya yang bergeser-geser dengan cepatnya.
Seorang yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan memandanginya dengan kening yang berkerut. Dengan suara yang datar ia berkata kepada seorang kawannya, “Orang itu agaknya memiliki kelebihan dari prajurit-prajurit yang lain, meskipun ia tidak mengenakan pakaian prajurit.”
“Ia salah seorang dari empat orang yang tinggal bersama-sama di pategalan itu. Seorang di antaranya ternyata adalah Akuwu Lemah Warah,” jawab kawannya.
“Aku akan mencoba menghadapinya,” desis orang bertubuh tinggi itu, “aku adalah murid terpercaya dari perguruanku. Akulah wakil guru jika guru tidak ada.”
“Tetapi berhati-hatilah,” desis kawannya.
Orang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan itupun kemudian melangkah mendekati Mahisa Ura. Ia sadar, bahwa orang itu adalah salah seorang dari tiga orang yang berada bersama-sama dengan Tatas Lintang yang sebenarnya adalah Akuwu Lemah Warah, yang oleh kawannya yang lain disebut, sebelum orang itu berada bersama Tatas Lintang, ia telah berada di beberapa banjar padukuhan untuk memperdagangkan wesi aji dan batu-batu bertuah. Namun orang itupun sadar, bahwa yang dilakukannya tentu hanya sekedar cara untuk melakukan tugas yang terselubung. Mungkin bersangkutan dengan batu yang berwarna kehijauan itu tetapi mungkin juga berhubungan dengan keberadaan orang-orang dari beberapa perguruan di padepokan itu.
Tetapi orang yang bertubuh tinggi agak ke kurus-kurusan itupun kemudian berkata kepada diri sendiri, “Aku membawa bekal yang cukup. Aku akan menyelesaikannya dengan baik sebagaimana tugas-tugasku yang lain.”
Sejenak kemudian, maka orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itupun dengan langkah tetap mendekati Mahisa Ura. Langkahnya tertegun ketika ia melihat seorang lawan Mahisa Ura itu terlempar jatuh. Sekali ia berguling sambil mengaduh. Senjatanya telah terlepas dari tangannya dan terhempas beberapa langkah dari padanya.
Dengan demikian yang seorang lagi menjadi ragu-ragu. Meskipun orang itu tidak melarikan diri, tetapi ia masih berusaha untuk tetap mengambil jarak. Namun selagi orang itu masih ragu-ragu, orang yang bertubuh tinggi ke kurus-kurusan itupun telah mendekatinya sambil berkata, “Minggir. Biarlah orang itu aku selesaikan.”
Orang yang kehilangan kawannya itu termangu-mangu. Namun ia mengerti bahwa orang yang bertubuh tinggi kekurus kurusan itu adalah seorang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka iapun tidak membantah. Bahkan ada semacam rasa terima kasih di dalam hatinya, bahwa dengan demikian ia sudah terlepas dari lawannya yang mendebarkan itu.
Mahisa Ura pun tertegun sejenak. Dipandanginya orang yang melangkah mendekatinya. Dengan bekal pengetahuan tentang olah kanuragan, maka Mahisa Ura pun dapat mengenali, bahwa orang itu tentu memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Sehingga karena itu, maka iapun merasa harus berhati-hati menghadapinya.
Sambil menarik nafas dalam-dalam orang bertubuh tinggi itu bertanya dengan nada berat, “Siapakah kau sebenarnya Ki Sanak.”
“Namaku Mahisa Ura,” jawab Mahisa Ura itu.
“Kau berasal dari mana dan apakah tujuanmu yang sebenarnya memasuki padepokan ini dengan tingkah yang kasar?” bertanya orang bertubuh tinggi itu pula.
“Pertanyaan yang tidak perlu,” jawab Mahisa Ura, “pemimpinku telah mengatakan segalanya. Dan kau pun harus tahu, bahwa aku adalah salah seorang dari prajurit Lemah Warah.”
Orang bertubuh tinggi itu mengangguk-angguk. Namun ia-pun menggeram, “Baiklah. Aku percaya. Tetapi jangan menyesal jika kau kemudian mati dan tidak seorang pun yang dapat menyebut tentang kau yang sebenarnya lagi.”
“Aku sudah mengatakan yang sebenarnya,” jawab Mahisa Ura, “sekarang, apa maumu? Aku tidak akan bertanya siapa namamu dan dari perguruan mana kau datang sebelum berada di padepokan ini, karena kau tentu akan mengatakan yang tidak sebenarnya sebagaimana kau menganggap demikian pula yang aku lakukan.”
“Baiklah,” berkata orang bertubuh tinggi itu, “kita akan bertempur. Siapakah diantara kita yang akan mati di sini. Kau atau aku.”
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya, “Aku tidak datang untuk sekedar mati di sini. Karena itu, aku akan memilih membunuhmu.”
Orang bertubuh tinggi itu menggeram. Kemudian diacungkannya senjatanya, sebuah kapak bermata rangkap sambil berkata, “Baiklah. Marilah kita buktikan, siapakah yang akan mati.”
Mahisa Ura tidak menjawab. Diamatinya senjata lawannya yang tidak banyak dipergunakan orang itu. Namun agaknya orang-orang padepokan itu lebih senang mempergunakan senjata yang khusus. Sejenak kemudian kapak bermata dua itupun mulai terayun. Mula-mula perlahan saja. Sekedar ancang-ancang. Namun kemudian gerak itupun menjadi semakin cepat.
Tetapi Mahisa Ura memegang pedang di tangannya. Sebelum ia yakin bahwa ia mengalami kesulitan dengan pedangnya dan karena watak senjata lawannya, maka ia menjadi terdesak, maka ia akan bertempur dengan bekal ilmu pedangnya yang memang tinggi. Sebelum ia mendapat tuntunan dari Tatas Lintang yang sebenarnya adalah Akuwu Lemah Warah itu, maka Mahisa Ura memang mempercayakan kemampuannya pada ilmunya dan kepada senjata yang ada padanya. Pisau belati panjang atau sebilah pedang.
Dalam pada itu. ternyata kapak lawannya itupun mulai berdesing ditelinganya. Ke arah manapun kapak itu terayun, maka rasa-rasanya tajamnya siap untuk membelah kulit daging, justru karena kapak itu bermata rangkap. Mahisa Ura melangkah surut untuk mengambil jarak. Dicobanya untuk mengenali sifat senjata lawannya. Sehingga dengan demikian maka iapun telah mengambil sikap, bagaimana ia harus melawan senjata yang menggetarkan jantung itu.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Ura memiliki ilmu pedang yang tinggi. Meskipun kapak lawannya berdesing dan menyambar ke segenap arah, namun orang bertubuh tinggi itu harus meloncat surut ketika ujung pedang Mahisa Ura hampir saja menyentuh hidungnya.
“Gila,” geram orang bertubuh tinggi itu.
Mahisa Ura tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Iapun meloncat memburu sambil mengacukan pedangnya. Namun lawannya telah sempat memperbaiki kedudukannya. Karena itu, ia tidak lagi meloncat menjauh, tetapi ia bergeser menyamping sambil memukul pedang Mahisa Ura. Mahisa Ura yang tidak mengenai sasarannya itupun menggeram. Namun lawannya pun tidak dapat mengenai pedangnya, karena dengan cepat Mahisa Ura telah menarik serangannya.
Demikianlah, keduanya pun kemudian telah terlibat dalam pertempuran yang seru. Keduanya memiliki kemampuan yang tinggi serta menguasai senjata mereka masing-masing. Dengan demikian, maka kedua jenis senjata yang berbeda itu telah saling menyambar, berputar dan mematuk dengan dahsyatnya.
Sementara itu, Mahisa Murti yang juga bersenjata pedang masih juga bertempur melawan dua orang yang bersenjata bertangkai panjang. Namun Mahisa Murti yang mampu bergerak sangat cepat itupun berusaha untuk bertempur pada jarak yang dekat, sehingga justru pedangnya mempunyai keuntungan yang lebih besar dari senjata yang bertangkai panjang. Dengan cepat dan tangkas Mahisa Murti seakan-akan selalu melekat pada salah seorang lawannya. Ia mampu mempengaruhi keadaan sehingga seakan-akan lawannya yang seorang justru telah melindunginya dari lawannya yang seorang lagi.
Karena itu. maka kedua orang lawannya itupun kadang-kadang telah mengalami kesulitan. Bahkan seorang diantaranya telah mengumpat. Namun Mahisa Murti yang memiliki kecepatan gerak melampaui orang kebanyakan itu, masih mampu berloncatan dan berusaha bertempur pada jarak yang pendek melawan salah seorang dari keduanya.
Kedua orang itupun terdengar beberapa kali mengumpat. Namun pertempuran itu justru semakin lama menjadi semakin seru. Orang yang bersenjata bertangkai panjang itu berusaha untuk dapat mengambil jarak agar mata senjata mereka yang tajam itu dapat mengoyak tubuh lawannya. Tetapi ternyata mereka tidak mudah melakukannya. Mahisa Murti yang menyadari sifat senjata lawannya pun telah berusaha untuk menghindarinya.
Bahkan ternyata semakin lama pedang yang jauh lebih pendek dari senjata kedua orang lawannya itu telah mampu membuat keduanya semakin bingung. Mereka justru merasa tangkai senjata mereka yang panjang itu telah mengganggu. Sebenarnyalah Mahisa Murti memiliki tingkat ilmu yang lebih tinggi dari kedua orang lawannya. Semakin lama kedua orang itupun menjadi semakin bingung dan kehilangan kesempatan. Agaknya justru karena senjata panjang itu bermata tajam, kedua orang itu cenderung untuk mengenai lawannya dengan mata senjata mereka.
Sehingga dengan demikian mereka kurang memanfaatkan pangkal senjata mereka atau mempergunakannya sebagai tongkat panjang dari orang-orang bertongkat yang juga berada di padepokan itu. Orang-orang bertongkat itu tidak sekedar mematuk dengan ujung tongkatnya, tetapi mereka juga memukul dengan ayunan dan menyerang dengan pangkal tongkatnya.
Sifat yang berbeda itu agaknya dipahami oleh Mahisa Murti, sehingga ia mampu mengatur cara untuk melawannya. Ketika ia terlibat dalam pertempuran berjarak sepanjang ujung pedangnya, maka ia telah berkisar dengan cepat dan bertempur di arah yang berlawanan dari lawannya yang seorang. Ia selalu berusaha untuk bergeser melingkar, jika lawannya melingkar pula.
Ternyata kecepatan gerak Mahisa Murti mampu memaksakan kedudukan sebagaimana diinginkan. Dengan demikian maka lawannya kadang-kadang memang berada dalam keadaan yang sulit. Tetapi lawan-lawannya pun adalah orang-orang yang berpengalaman pula. Karena itu, dalam kedudukan yang serba sulit itu, maka orang bersenjata bertangkai panjang itu telah mengambil langkah-langkah yang dianggapnya akan dapat mengatasi cara yang ditempuh oleh Mahisa Murti.
Merekapun telah bertempur sambil berloncatan dengan jarak panjang. Dengan demikian, maka mereka kadang-kadang memang mempunyai kesempatan untuk mengambil jarak dan dengan gerak mematuk dengan ujung senjata mereka yang mengerikan.
Namun Mahisa Murti cukup tangkas untuk mengelak dan menangkis dengan cepatnya. Bahkan kemudian seolah-olah ia selalu berhasil menyusup di antara ayunan senjata bertangkai panjang itu dengan mengacukan ujung pedangnya mengarah ke dada. Keringat telah membasahi seluruh tubuh mereka yang bertempur. Kedua orang bersenjata panjang itupun bagaikan telah menyelam dengan seluruh pakaiannya di dalam air.
Namun demikian, keadaan mereka justru semakin lama menjadi semakin sulit. Ujung pedang Mahisa Murti serasa menjadi semakin dekat dengan kulit mereka, sehingga pada suatu saat, salah seorang dari kedua orang yang bersenjata panjang itu telah berdesah menahan sakit dan kemarahan yang bagaikan meledakkan dadanya.
Adalah sangat menyakitkan hati, bahwa anak muda yang bersenjata pedang itu tiba-tiba saja telah berhasil melukai salah seorang dari lawannya. Ketika lawannya itu justru telah menyerangnya dengan senjatanya yang terjulur lurus ke arah lehernya, maka Mahisa Murti itu telah merendahkan dirinya tanpa bergeser dari tempatnya. Pada saat yang demikian, maka pedangnya telah terjulur lurus dan menyentuh pundak lawannya, justru pada saat senjata lawannya berdesing di atas kepadanya.
Dengan cepat orang yang terluka itu meloncat surut. Mahisa Murti yang berusaha memburunya, harus mengalihkan perhatiannya kepada lawannya yang seorang, yang telah menyerangnya pula. Mahisa Murti harus meloncat ke samping. Ketika senjata lawannya itu terayun, maka Mahisa Murti telah menangkisnya dengan pedangnya. Dengan kemampuan ilmu pedang yang tinggi, didorong oleh tenaga cadangannya yang mapan, maka Mahisa Murti telah memutar pedangnya pada benturan di saat ia menangkis serangan lawannya itu.
Senjata lawannya bertangkai panjang itu bagaikan dihisap oleh tenaga yang kuat sekali. Hampir saja senjata itu terlepas dari tangan lawan Mahisa Murti itu. Untunglah, ia mampu berpegang kuat-kuat pada pangkalnya, sementara kawannya yang terluka telah mampu menguasai diri dan sambil menggeram menyerang Mahisa Murti, sehingga ia masih belum sempat berhasil melemparkan senjata lawannya yang seorang.
“Hampir saja,” desis Mahisa Murti, “jika aku mendapat kesempatan sesaat lagi, agaknya aku akan berhasil merenggut senjata itu.”
“Omong kosong,” lawannya berteriak, “kau jangan terlalu merasa dirimu besar dengan kemenangan-kemenangan kecil yang tidak berarti sama sekali itu.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia mengambil kesempatan untuk meloncat mendekatkan diri kepada lawannya yang telah terluka dan mengambil tempat dan kedudukan sebagaimana pernah terjadi. Mahisa Murti itu berusaha berputaran berseberangan dengan lawannya yang seorang lagi, sehingga sulit bagi lawannya itu untuk menyerang bersama-sama.
Namun sekali lagi lawannya berusaha pula untuk memecahkan kedudukan yang tidak menguntungkan mereka itu. Dengan tangkas orang bersenjata bertangkai panjang itu berloncatan, sehingga mereka berada dalam satu garis yang sepihak dengan Mahisa Murti. Tetapi usaha keduanya selalu gagal. Bahkan kecepatan pedang Mahisa Murti yang membingungkan itu sekali lagi telah mematuk lengan lawannya yang seorang, sehingga dengan demikian maka keduanya pun telah terluka
Luka itu telah membuat kedua orang lawannya bertambah marah. Dengan demikian maka pertempuran pun menjadi semakin cepat. Keduanya berusaha untuk dengan cepat menghancurkan anak muda itu. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kemarahan yang menghentak-hentak itu justru telah membuat pikiran keduanya menjadi kabur. Keduanya lebih banyak menuruti perasaannya yang marah saja, sehingga perhitungan mereka pun menjadi tidak mapan lagi. Itulah sebabnya, maka yang terjadi kemudian sangat mengejutkan. Ujung pedang Mahisa Murti telah sekali lagi mengoyak lawannya justru di lambung.
“Gila,” teriak orang itu. Tetapi luka di lambung itu ternyata lebih parah dari lukanya yang terdahulu. Meskipun tidak terlalu dalam, namun darah telah mengalir dengan derasnya. Perasaan pedih terasa menyengat sampai ke tulang.
Dengan demikian maka perlawanannya menjadi jauh susut. Karena itulah, maka kawannya yang seorang harus bertempur tanpa bersandar pada bantuan kawannya. Dengan segenap tenaga ia berusaha untuk melindungi dirinya sendiri dari ujung pedang lawannya yang kadang-kadang membingungkan. Namun orang itu tidak mampu lari dari kejaran ujung pedang itu. Betapa dahsyatnya senjatanya, namun Mahisa Murti-pun telah mendesaknya sehingga orang itu selalu berusaha mengambil jarak dengan berloncatan surut.
Tetapi usahanya tidak selalu berhasil. Ujung pedang itu telah menyentuhnya pula sehingga luka pun telah tergores di dadanya. Tetapi luka itu hanyalah luka kecil meskipun panjang. Karena itu orang padepokan itupun masih berusaha untuk bertempur terus. Namun kawannya yang terkoyak lambungnya, ternyata sudah tidak mampu lagi berbuat banyak. Bahkan kemudian iapun telah terduduk dengan lemahnya bersandar sebatang pohon.
Namun ketika Mahisa Murti sudah siap mengakhiri pertempuran, ternyata Mahisa Murti dikejutkan oleh kehadiran seorang yang bertubuh tegap berjambang dan berjanggut panjang yang langsung menyambar Mahisa Murti dengan senjatanya yang juga bertangkai panjang. Bukan canggah dan tombak berkait, tetapi sebuah trisula berujung tiga.
Mahisa Murti lah yang kemudian harus berloncatan mundur. Ayunan senjata itu terasa agak berbeda dengan kedua senjata yang terdahulu. Karena itu, maka menurut penilaian Mahisa Murti, orang itu tentu memiliki ilmu melampaui kawan-kawannya.
Karena itu, justru pada saat yang gawat itu, Mahisa Murti masih sempat membuat perhitungan. Dengan satu gerakan yang sulit diikuti dengan mata telanjang, maka iapun telah meloncat menyerang lawannya yang telah dilukainya. Memukul senjatanya sehingga pertahanan lawannya itu terbuka. Sebelum ia menyadari apa yang terjadi, justru karena kehadiran kawannya yang dianggapnya memiliki ilmu yang lebih tinggi itu, maka senjatanya bagaikan disibakkan. Ujung pedang lawannya itu menyusup dengan cepat dan sebelum orang itu sempat mengelak, maka ujung pedang itu telah mematuknya.
Orang itu masih berusaha mengelak. Namun ia tidak berhasil menghindari ujung pedang itu sepenuhnya. Meskipun ujung pedang itu tidak menghunjam ke dadanya, tetapi ujung pedang itu telah menembus pundaknya. Orang itu sempat berteriak dan mengumpat kasar. Namun Mahisa Murti telah memperhitungkan segala sesuatunya. Tetap seperti yang diduganya, maka pada saat itu, serangan lawannya yang baru itu telah menyambarnya.
Untunglah bahwa Mahisa Murti telah siap menghadapinya. Ujung trisula bertangkai panjang itu memang hampir saja menyambar punggungnya. Untunglah bahwa Mahisa Murti sempat justru menjatuhkan irinya menelungkup. Namun demikian ujung trisula itu berdesing, maka iapun telah siap melenting berdiri tegak. Dengan demikian kedua orang itu telah berhadapan lagi dengan senjata siap di tangan.
Namun dalam pada itu, orang yang telah dilukainya di pundaknya itu telah kehilangan tenaganya. Tangannya bagaikan menjadi lumpuh sementara darah mengalir dengan derasnya dari lukanya itu. Karena itu, maka ia tidak lagi mampu untuk membantu pertempuran yang kemudian terjadi antara Mahisa Murti dengan orang bersenjata trisula itu.
Ternyata bahwa orang yang mempergunakan trisula bertangkai panjang itu memang seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun ia hanya seorang diri menghadapi Mahisa Murti, namun putaran trisulanya terasa menimbulkan pusaran angin yang menyentuh wajah Mahisa Murti. Dengan demikian Mahisa Murti dapat menilai betapa kuatnya tenaga orang itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti harus berhati-hati. Agaknya orang itu bukan saja orang yang bertenaga sangat besar. Namun agaknya orang bertrisula itu memang seorang yang berilmu tinggi. Keduanya pun kemudian bertempur semakin sengit. Keduanya berloncatan semakin cepat dengan putaran senjata semakin cepat pula.
Sementara itu. Mahisa Pukat ternyata telah kehilangan lawannya pula, sehingga untuk sementara ia telah melibatkan diri dalam benturan antara dua kelompok prajurit dan penghuni padepokan itu. Kehadirannya ternyata telah banyak mempengaruhi keadaan, sehingga kelompok dari padepokan itupun telah terdesak.
Di bagian lain. Tatas Lintang masih berdiri tegak mengamati seluruh medan. Sekali-sekali ia memang terlibat langsung dalam pertempuran, namun kemudian ia telah membebaskan diri untuk dapat bergeser ke tempat lain.
Dalam pada itu. Tatas Lintang menyadari, bahwa ada beberapa orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, ia harus berhati-hati. Karena ia orang tertua di antara pihak pasukan Lemah Warah, maka ia harus berusaha untuk dapat berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu tertinggi di padepokan itu.
Namun agaknya ia belum menemukannya. Karena itu, maka ia masih selalu melepaskan lawannya yang lain dan kemudian bergeser dari medan yang satu ke medan yang lain antar kelompok-kelompok. Di regol padepokan para pemimpin padepokan itu nampaknya sudah berkumpul. Namun ketika mereka menyadari bahwa pasukan Lemah Warah masuk ke padepokan itu dari segala arah, maka para pemimpin itu telah menyebar dan berada di seluruh sudut padepokan itu.
“Mudah-mudahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berhasil menemukan mereka,” berkata Tatas Lintang di dalam hatinya. Meskipun keduanya masih sangat muda, tetapi Tatas Lintang percaya, bahwa keduanya akan dapat mengatasi kesulitan. Bagi Tatas Lintang yang agak mendebarkan adalah Mahisa Ura. Namun agaknya iapun meningkatkan ilmunya sehingga meskipun padepokan itu kemudian menjadi kancah peperangan yang mendebarkan, namun agaknya ia akan dapat berusaha untuk menjaga dirinya sendiri.
Untuk beberapa saat Tatas Lintang masih menyusuri arena yang sibuk. Sekali-sekali iapun harus mengelakkan serangan. Namun prajurit Lemah Warah yang melihatnya segera mengambil alih mereka yang telah menyerang Tatas Lintang itu.
Namun dalam pada itu, di bagian lain dari padepokan itu, seorang yang bertongkat panjang dan di pangkalnya terdapat batu berwarna kehijauan, telah menyapu lawan-lawannya tanpa ampun. Beberapa orang prajurit terpilih harus bersama-sama menghadapinya untuk membatasi geraknya. Namun tidak seorang pun di antara para prajurit yang mampu menahannya untuk tidak berkeliaran.
Di bagian lain, seorang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan bahkan menyusup ke dalam diri seseorang serta merampas pribadinya, tidak dapat terlalu banyak memanfaatkan ilmunya. Lawan terlalu banyak untuk dipergunakannya satu demi satu. Bahkan seandainya ia ingin mengurangi jumlah lawannya dengan cara itu, maka ia memerlukan waktu yang terlalu lama.
Karena itu, maka ia merasa dapat mempergunakan cara lain yang lebih baik. Dengan langsung turun ke medan maka ia akan dapat membunuh lawan-lawannya dengan lebih cepat dan langsung. Dengan kemampuannya mempermainkan senjata serta tenaga cadangan yang mampu membuat kekuatannya berlipat ganda, telah membuatnya menjadi orang yang menggemparkan di medan pertempuran itu.
Beberapa orang prajurit Lemah Warah telah menjadi korbannya. Namun para prajurit yang memiliki pengalaman cukup luas itu telah berusaha melawannya dengan satu kelompok kecil orang-orang pilihan. Bagaimanapun juga, maka orang yang berilmu tinggi itu merasa geraknya terhambat oleh prajurit-prajurit Lemah Warah yang melingkarinya, karena ujung-ujung senjata mereka akan dapat menggoresnya.
Di bagian lain, seorang yang berwajah gelap ternyata tidak sempat mempergunakan ilmu gendamnya untuk menguasai binatang apapun juga untuk melawan para prajurit Lemah Warah. Ia pun tidak sempat mempergunakan ilmunya untuk mengaburkan nalar lawan-lawannya karena ia langsung harus bertempur dengan senjatanya. Meskipun ia mencoba berusaha tetapi kesempatannya tidak pernah didapatkannya dalam hiruk pikuk pertempuran itu.
Tetapi orang itu tidak ingin menyerah. Ia mempunyai sekotak ular yang akan dapat dikuasainya dengan ilmunya dan menaburkannya ke medan. Bisa ular itu akan dapat membunuh para prajurit Lemah Warah tanpa ampun, sehingga dengan demikian, maka mereka pun akan segera dapat dihancurkan. Karena itu, maka orang itupun telah berusaha untuk melepaskan diri dari pertempuran yang ribut. Ketika beberapa orang padepokan itu hadir pula di arena, maka ia merasa mendapat kesempatan untuk meninggalkan arena itu.
Dengan diam-diam ia telah menyusup di antara barak-barak yang ada di padepokan itu dan menuju ke barak yang dipergunakannya untuk menyimpan ular-ularnya. Dengan cepat ia menyelinap memasuki pintu baraknya dan langsung menuju ke biliknya. Orang itu menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya kotak kayu yang cukup besar yang dipergunakannya untuk menyimpan ular-ularnya masih berada di tempatnya.
Dengan serta merta iapun telah meloncat mendekat dan kemudian duduk di depan peti yang penuh berisi ular itu. Ia berniat untuk mengetrapkan ilmunya dan menggerakkan ular-ularnya agar memasuki medan dan membunuh para prajurit Lemah Warah. Dengan ilmunya ia akan mempengaruhi ular-ularnya untuk mengetahui yang manakah prajurit Lemah Warah yang harus dibinasakan.
Namun orang itu terkejut ketika ia mendengar desir lembut ke arah pintu biliknya. Pendengarannya yang tajam segera dapat mengenal bahwa suara itu tentu suara langkah kaki seseorang. Sehingga karena itu, iapun menjadi sangat berhati-hati. Sebenarnyalah langkah itu memang menuju ke pintu biliknya yang ternyata masih terbuka.
Tetapi orang itu tidak mempunyai kesempatan untuk menutupnya, karena tiba-tiba saja seseorang telah berdiri di depan pintu biliknya. Orang itu menjadi tegang, sementara orang yang berdiri di depan pintu itupun bersiap pula menghadapi segala kemungkinan.
“Setan,” geram orang itu yang melihat salah seorang dari tiga orang yang disebut kemanakan Tatas Lintang telah mengikutinya.
“Kenapa kau bersembunyi?” bertanya Mahisa Pukat yang melihat orang itu menyelinap dan kemudian ia memang mengikutinya.
Orang itu termenung sejenak. Namun perlahan-lahan ia telah membuka tutup kotaknya. Tanpa dilihat oleh Mahisa Pukat tangannya telah meraih seekor ular dari kotak itu.
“Kenapa kau bersembunyi?“ sekali lagi Mahisa Pukat bertanya.
Tetapi ternyata orang itu tidak menjawab. Yang dilakukannya adalah melempar Mahisa Pukat dengan ular yang dapat diraihnya tanpa memilih. Ternyata ular itu adalah ular bandotan yang meskipun tidak begitu besar, tetapi patukannya akan dapat membunuh seseorang dalam waktu pendek.
Mahisa Pukat memang terkejut. Secara naluriah ia telah bersiap untuk menghindar. Namun ketika ia melihat seekor ular yang dilemparkan kepadanya, maka ia telah mengurungkan niatnya, ia tetap saja berdiri di muka pintu dan membiarkan ular itu mengenainya dan langsung melilit di tangannya yang memang berusaha untuk menangkap ular itu. Ular itu memang telah mematuknya dan membelitnya dengan kuat.
Untuk sesaat Mahisa Pukat tidak bergerak. Namun kemudian tangannya yang lain telah mengurai ular itu, memijit kepalanya sehingga gigitannya terlepas. Kemudian dengan sekuat tenaga ular itu dibantingnya ke tanah sehingga mati seketika.
Orang yang melemparkan ular itu menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat ularnya telah menggigit orang yang berdiri di muka pintu itu. Namun ternyata orang yang berdiri di muka pintu itu sama sekali tidak mengalami akibat dari gigitan ularnya. Bahkan Mahisa Pukat itu telah melangkah perlahan-lahan mendekatinya.
“Gila,” geram orang itu. Ia pun kemudian menyadari bahwa Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu sama sekali tidak dapat terpengaruh oleh racun dan bisa. Beberapa kali hal itu telah terjadi dan dialami oleh para penghuni padepokan itu dan mereka pun telah pernah saling membicarakannya.
Karena itu, maka orang itu tidak akan dapat mempergunakan ular-ularnya untuk melawan orang itu. Ia pun belum sempat pula mempengaruhi ular-ular itu dengan ilmunya agar ular-ular itu menyerang para prajurit Lemah Warah. Dengan demikian, maka ia tidak dapat berbuat lain kecuali menghadapi Mahisa Pukat tanpa mempergunakan ular-ularnya itu dan karena itu, maka ia telah menutup kotaknya baik-baik dan berkata kepada diri sendiri,
“Aku harus menghancurkannya dengan cepat, agar aku sempat mempergunakan ular-ular itu. Jika aku terlambat, maka keadaan akan menjadi semakin sulit bagi orang-orang di padepokan ini.”
Karena itu ketika Mahisa Pukat melangkah mendekatinya, maka orang itupun telah melangkah pula maju. “Ki Sanak,” berkata orang itu, “aku tahu siapa kau dan aku tahu untuk apa kau mengikuti aku. Karena itu, marilah, kita akan keluar dari ruang sempit ini. Kita akan mengukur kemampuan kita tanpa terganggu oleh isi bilik ini.”
Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun iapun kemudian berkata, “Baiklah. Marilah kita keluar.”
Orang itu tertawa. Katanya, “Kau terlalu berhati-hati dan berprasangka. Jangan menduga buruk terhadap seseorang. Kau kira aku telah menjebakmu dan akan menyerangmu dari belakang pada saat kau keluar dari bilik ini?”
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Satu hal yang mungkin sekali terjadi. Baru saja kau menyerangku dengan curang. Tanpa peringatan apapun juga kau telah melemparkan seekor ular untuk menyerangku. Kau kira serangan yang demikian tidak sama nilainya dengan menyerang punggung?”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Marilah kita keluar.”
Orang itulah yang kemudian berjalan ke arah pintu dan mendahului Mahisa Pukat keluar dari bilik itu dan seterusnya keluar dari barak itu pula. Di halaman orang itu berhenti langsung bersiap menghadapi Mahisa Pukat yang telah keluar dari barak itu pula.
Mahisa Pukat terkejut melihat sikap orang itu. Kesiagaan orang itu agak mencurigakan. Orang itu tidak berdiri tegak dengan tangan yang siap mengayunkan senjata, atau memiringkan tubuhnya sedikit pada kaki yang agak merendah, atau cara-cara lain, tetapi orang itu justru berdiri dengan tangan bersilang di dada. Sementara itu, terasa angin yang bagaikan berhembus ke arah wajah Mahisa Pukat. Perlahan-lahan. Namun terasa satu pengaruh yang mulai mencengkam.
“Gila,” geram Mahisa Pukat. Ia mulai menyadari apa yang sedang dilakukan oleh orang itu. Agaknya orang itu telah mengetrapkan ilmu gendamnya. Tidak untuk mempengaruhi seekor atau dua ekor harimau atau beberapa ekor orang hutan atau ular berbisa, tetapi orang itu mencoba mengetrapkan ilmunya pada dirinya.
Mahisa Pukat benar-benar tersinggung. Ia pernah melihat salah seorang yang tidak dikenal yang menurut dugaannya adalah orang dari padepokan itu pula, telah mampu menggetarkan udara dan bagaikan angin pusaran menyusup ke dalam tubuh Mahisa Ura yang kepribadiannya paling lemah di antara mereka berempat, kemudian mempergunakan tubuh Mahisa Ura untuk bertempur melawannya bertiga. Namun kini ternyata lawannya itu telah mempersamakannya dengan derajad seekor binatang untuk dapat dipengaruhi dengan ilmu gendamnya. Namun ternyata bahwa pengaruh itu memang dirasakannya meskipun tidak mampu mencengkamnya dan menguasainya.
Tetapi kemarahan Mahisa Pukat tidak dapat dikendalikannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia menjulurkan tangannya dengan kedua telapak tangannya menghadap ke depan. Seleret sinar seakan-akan telah meluncur dari telapak tangannya itu, langsung menyambar dua langkah dari tempat orang yang diduga sedang mengetrapkan ilmu gendamnya itu. Tanah yang tersentuh seleret sinar itu bagaikan meledak.
Orang itu memang terkejut. Dengan serta merta iapun telah terloncat surut beberapa langkah. Wajahnya menjadi merah membara oleh kemarahan yang menghentak di dadanya. “Kau sombong sekali,” geram orang itu, “ternyata kau-pun licik sekali. Kau menyerang aku dengan tiba-tiba tanpa memberikan peringatan lebih dahulu.”
“Gila,” geram Mahisa Pukat, “jika aku licik seperti kau, maka aku tidak akan memberimu peringatan. Aku akan langsung menyerang kepalamu sehingga kepalamu akan pecah karenanya.”
“Persetan,” orang itu hampir berteriak, “kenapa tidak kau lakukan?”
“Sudah aku katakan. Aku tidak selicik kau,” jawab Mahisa Pukat, “kita akan berhadapan sebagai laki-laki, meskipun kau sudah dua kali menyerangku tanpa peringatan. Bukan aku yang melakukannya, tetapi justru kau. Kau telah melemparkan ular itu dan yang kedua kau telah menyerangku dengan licik, bahkan menghinaku pula. Kau anggap aku seekor kerbau dungu yang akan kau jerat dengan ilmu gendammu he? Kau telah merendahkan martabat manusiaku di samping kecuranganmu itu.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia telah tertawa, “Jadi kau merasakan pengaruh ilmuku. Jika demikian maka kau memang mempunyai martabat yang terlalu rendah sebagai manusia. Tidak seorang pun yang dapat dipengaruhi oleh ilmu gendam jika pribadinya cukup bernilai dalam tataran martabat manusia wajar. Jika kau merasakan pengaruhnya, maka nilai martabat manusiamu berada di bawah tataran martabat manusia sewajarnya.”
Tetapi Mahisa Pukat justru berusaha untuk menguasai dirinya. Ia sadar, bahwa lawannya telah membuatnya marah, sehingga ia kehilangan penalarannya. Karena itu, Mahisa Pukat itu justru tertawa. Katanya, “Ceriteramu memang menarik. Mungkin kau benar, bahwa martabatku tidak pada tataran martabat manusia seutuhnya. Tetapi itu tidak apa. Kita akan membuktikan, apakah martabatmu lebih rendah atau lebih tinggi dari martabatku.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun iapun tersenyum “ Syukurlah jika kau menyadarinya. Dengan demikian maka kau tidak akan menyesali apa yang dapat terjadi atasmu nanti.”
“Tidak Ki Sanak,” berkata Mahisa Pukat, “aku tidak akan menyesali apapun juga yang mungkin terjadi atas diriku. Di sekitar barak ini pertempuran menjadi semakin seru. Korban akan jatuh di kedua belah pihak. Dan kita pun tidak akan luput dari paugeran perang. Salah seorang di antara kita akan mati, kecuali jika kau menyerah, karena kami tengah mengemban perintah Sri Maharaja di Kediri.”
“Kaulah yang kini menghinaku. Kau sangka bahwa kami mengenal menyerang menghadapi siapapun juga?” jawab orang itu.
“Jika demikian bersiaplah untuk mati.” jawab Mahisa Pukat, “aku tidak akan membiarkan kau memberikan perlawanan terlalu lama. Aku dapat membunuhmu saat ini juga.”
“Jangan terlalu sombong anak muda.” jawab orang itu.
Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun iapun telah melangkah mendekat. Pedangnya yang telah digantungkannya di lambungnya telah berada di tangannya kembali. Bahkan mulai bergetar dan teracu ke arah lawannya. Sementara iapun melangkah maju perlahan-lahan.
“Kau telah menghina aku lagi,” geram orang itu, “kenapa kau tidak menyerangku dengan ilmumu yang dapat meledakkan tanah tempat aku berpijak.”
“Sama saja,” jawab Mahisa Pukat, “yang penting kau akan mati.”
Orang itu tertawa. Namun ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan iapun telah mencabut kerisnya yang besar yang tergantung di punggungnya.
“Aku tidak biasa mempergunakannya,” berkata orang itu, “tetapi karena kau bersenjata pedang, maka aku akan melawanmu dengan kerisku ini. Keris yang barangkali tidak begitu baik. Tetapi cukup mempunyai naluri yang disegani oleh setiap orang yang berani melawan aku.”
“Aku ternyata terlepas dari naluri itu,” jawab Mahisa Pukat sambil melangkah semakin dekat, “aku sama sekali tidak merasakan pengaruhnya. Karena itu kerismu itu lebih jelek dari ilmu gendammu yang buruk itu.”
Orang itu menggeram. Namun iapun kemudian dengan tiba-tiba saja telah meloncat menyerang. Kerisnya yang besar itu terayun mendatar langsung menebas ke arah leher Mahisa Pukat...