Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 36 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 36
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

NAMUN Mahisa Pukat sudah cukup bersiaga. Dengan tangkas ia bergeser. Namun pedangnyalah yang kemudian terjulur mematuk dada. Tetapi serangan Mahisa Pukat itupun tidak berhasil. Lawannya pun dengan cepat menghindar, bahkan orang itu telah meloncat pula menyerang.

Demikianlah keduanya telah terlibat ke dalam pertempuran yang sengit. Keduanya ternyata mampu mempergunakan senjata masing-masing dengan baik. Karena itulah maka kedua senjata itu berputaran bagaikan gumpalan-gumpalan awan di seputar tubuh masing-masing.

Pedang Mahisa Pukat yang berputar dengan cepat sekali, telah melindungi tubuhnya dengan gumpalan asap yang berwarna putih kebiru-biruan. Sementara itu putaran keris lawannya telah menjadi perisai di seputar dirinya dengan kabut yang berwarna kehitam-hitaman. Dalam pertempuran itu, sekali-sekali kedua senjata itu memang bersentuhan, sehingga menimbulkan percikan bunga api yang berloncatan.

Lawan Mahisa Pukat itu mengumpat di dalam hati. Ternyata anak muda itu memang memiliki kelebihan. Pada awal pertemuan mereka, anak muda itu telah melontarkan serangan yang mengejutkan, sehingga tanah tempat mereka berpijak itu dapat meledak. Untunglah serangan itu tidak langsung ditujukan kepadanya, tetapi justru di hadapannya.

“Tetapi ia tidak akan mampu melakukannya lagi dalam pertempuran berjarak pendek ini,” berkata lawan Mahisa Pukat itu di dalam hati, “anak itu tidak akan sempat barang sekejap pun untuk membangunkan ilmunya itu.”

Sebenarnyalah, Mahisa Pukat akan mengalami kesulitan jika ia masih saja terlibat dalam pertempuran yang seakan-akan tidak berjarak itu. Tetapi Mahisa Pukat memang belum memerlukannya. Ia memang berusaha untuk dapat menyelesaikan lawannya itu tanpa mempergunakan ilmunya yang disadapnya dari Tatas Lintang yang ternyata adalah Akuwu dari Lemah Warah.

Yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang sengit dengan mengandalkan ilmu masing-masing dalam mempergunakan senjata. Pedang Mahisa Pukat yang berputar itu sekali-sekali telah terayun mendatar. Namun kemudian mematuk dengan cepat ke arah dada.

Tetapi setiap kali lawannya mampu mengelak. Bahkan kerisnya yang besar itulah yang kemudian dengan garangnya bagaikan menerkam lawannya. Ujungnya yang berwarna kehitaman itu nampak betapa mendebarkan. Namun Mahisa Pukat cukup tangkas menghadapi keris itu. Pada saat-saat yang gawat, Mahisa Pukat masih selalu dapat mengatasinya dengan kecepatan gerak dan kemampuannya bermain pedang.

Dengan demikian maka keduanya yang bertempur terpisah dari lingkungan pertempuran yang lain itu, seakan-akan memang telah disediakan waktu dan tempat yang tidak terbatas. Keduanya berloncatan saling menyerang dengan langkah-langkah yang panjang. Ayunan pedang Mahisa Pukat dan tebasan ujung keris lawannya, telah mendorong keduanya bergeser sedikit demi sedikit dari tempat semula.

Namun keduanya masih tetap bertempur di antara barak-barak di padepokan itu. Desak mendesak, sekali-sekali berloncatan surut untuk mengambil jarak. Semakin lama keduanya pun telah meningkatkan ilmu mereka sampai ke tataran tertinggi. Pedang dan keris di tangan itu berputar semakin cepat. Menebas, terayun mendatar, mematuk dan sekali-sekali terdengar benturan yang kuat.

Kecuali memercikkan bunga api di udara, maka dalam benturan itu keduanya seolah-olah mampu saling menjajagi. Namun semakin sering benturan itu terjadi, maka tangan mereka-pun semakin terasa sakitnya.

Namun kemudaan Mahisa Pukat agaknya memberikan keuntungan kepadanya. Darahnya yang panas dan tekad di dalam dadanya yang menyala, membuatnya menjadi semakin garang. Keyakinannya dalam mengemban tugas serta kesadaran pengabdiannya telah membuat kekuatannya bagaikan berlipat. Daya tahan tubuhnya pun seolah-olah menjadi tanpa batas.

Betapapun juga, Mahisa Pukat memiliki bekal yang cukup dengan menempa dirinya untuk waktu yang lama di bawah bimbingan orang-orang berilmu sangat tinggi. Dengan demikian maka Mahisa Pukat pun telah mengerahkan segenap kemampuannya karena ia ingin menyelesaikan pertempuran itu lebih cepat.

Hentakan kekuatan dan kemampuan Mahisa Pukat itu telah membuat lawannya mulai terdesak. Darah Mahisa Pukat yang mendidih oleh kesadaran pengabdiannya benar-benar menjadi dorongan yang luar biasa sehingga tenaga cadangan di dalam dirinya yang dialirkan lewat ilmu pedangnya menjadi seakan-akan berlipat.

Lawan Mahisa Pukat itu menjadi heran. Kekuatan anak muda itu semakin lama tidak menjadi semakin susut. Tetapi justru semakin berlipat. Sedikit demi sedikit, tetapi pasti, lawan Mahisa Pukat itu merasa semakin terdesak. Kemampuannya mempermainkan kerisnya terasa semakin lamban dibandingkan dengan putaran pedang Mahisa Pukat.

Karena itu, lawan Mahisa Pukat itu tidak mempunyai cara lain untuk mengatasi lawannya kecuali dengan mempergunakan kemampuannya yang jarang sekali dipergunakan, jika tidak terpaksa sebagaimana dialaminya pada waktu itu. Jika ia tidak mempergunakannya, maka kemungkinan yang paling buruk akan dapat terjadi atasnya. Mungkin sekali ujung pedang anak muda itu akan menembus dada dan membelah jantungnya, sehingga semua rencana yang telah disusun di padepokan itu akan hancur berantakan.

Sejenak pertempuran itu masih berlangsung terus. Lawan Mahisa Pukat itu semakin terdesak. Sehingga orang itu akhirnya tidak lagi dapat berbuat lain. Pada saat ia terdorong mundur, selagi ujung pedang Mahisa Pukat hampir menyentuh dadanya, maka orang itu telah mengetrapkan ilmunya yang jarang dipergunakannya. Mahisa Pukat yang mendesaknya, memang tidak mau melepaskannya lagi. Setiap kali lawannya meloncat surut, Mahisa Pukat itu selalu memburunya.

Namun ketika Mahisa Pukat merasa yakin, bahwa lawannya itu tidak akan mampu menghindar lagi, serta pada saat ujung pedangnya mematuk dengan satu keyakinan akan menyelesaikan pertempuran itu, maka tiba-tiba saja lawannya telah lenyap dari pandangan matanya. Mahisa Pukat menjadi bingung sejenak. Namun iapun segera meloncat justru ke depan, dan dengan tangkas berbalik. Sebenarnyalah lawannya telah berada beberapa langkah dari padanya, siap untuk menyerangnya.

Mahisa Pukat memang menjadi berdebar-debar. Namun iapun segera menyadari bahwa lawannya memiliki ilmu panglimunan. Namun ia masih belum tahu, dari jenis yang manakah ilmu yang dimiliki oleh lawannya itu. Apakah ilmu itu sempurna sehingga lawannya itu benar-benar dapat menghilang dan bertindak dalam ketiadaan menurut pengamatan mata wadag. Namun mungkin ilmu yang dimilikinya itu masih dalam jenis yang wungkul. Sehingga lawannya itu hanya memiliki sebagian unsur dari jenis ilmu panglimunan.

Namun kenyataan tentang lawannya itu memang membuat Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Ia akan mengalami pertempuran yang berat jika lawannya memiliki ilmu Panglimunan yang sempurna. Sehingga dengan demikian ia tidak akan dapat mempergunakan mata wadagnya untuk mengikuti tata gerak lawannya.

Sejenak kemudian terdengar lawannya itu justru tertawa. Pada saat Mahisa Pukat siap menunggunya, orang itu justru berkata lantang, “Jangan cemas anak muda. Mungkin memang sudah menjadi nasibmu, bahwa kau akan mengalami kematian yang pahit. Kau akan bertempur tanpa mengetahui apa yang dapat kau perbuat.”

Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Namun ia ingin membiarkan lawannya itu membual, sehingga ia sempat untuk menemukan cara yang lebih baik untuk melawannya.

Dalam pada itu orang itupun berkata pula, “Bersiaplah untuk mati. Sebentar lagi, aku akan hilang dari pandangan matamu. Tiba-tiba saja ujung kerisku sudah menggores di kulitmu. Sebuah goresan kecil akan dapat membunuh seseorang. Tetapi aku tahu, bahwa kau tawar akan racun dan segala macam bisa, sehingga dengan demikian, maka racun kerisku tidak akan membunuhmu. Tetapi pada suatu saat kerisku akan menghunjam ke perutmu.”

Mahisa Pukat berusaha untuk tetap menguasai perasaannya. Dengan nada rendah iapun berkata, “Satu permainan yang buruk. Marilah kita lihat, apakah benar-benar kau dapat menghindari tatapan mata wadagku.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Bukankah sudah terbukti bahwa kau merasa kehilangan lawanmu?”

“Hanya karena tiba-tiba saja terjadi. Tetapi untuk selanjutnya kau tidak akan dapat berbuat seperti itu lagi,” berkata Mahisa Pukat.

Orang itu masih tertawa. Namun kemudian iapun telah menggerakkan kerisnya yang besar. Dengan tangkasnya ia meloncat menyerang Mahisa Pukat. Mahisa Pukat sempat menghindar. Tetapi ia berusaha untuk tetap berdiri dekat dengan dinding barak. Ia akan melihat, apakah lawannya dapat melenyapkan diri dan menyerangnya dalam keadaannya itu.

Sejenak mereka bertempur. Namun seperti yang sudah terjadi, maka Mahisa Pukat segera dapat mengatasi kemampuan lawannya. Namun Mahisa Pukat tidak berusaha untuk mendesaknya. Ia justru lebih banyak bertahan meskipun kemampuannya berada di atas kemampuan lawannya pada tataran tertinggi ilmu pedangnya.

Lawannya memang memancing Mahisa Pukat untuk memburunya. Tetapi Mahisa Pukat berusaha untuk tetap di tempatnya. Lawannya yang merasa bahwa ia tidak akan mampu berbuat banyak dengan kerisnya, tiba-tiba saja telah berusaha membuat lawannya kebingungan. Dengan serta merta, maka iapun telah bergeser surut. Namun tiba-tiba saja iapun telah lenyap.

Mahisa Pukat justru bergeser surut melekat dinding barak di belakangnya. Dengan hati-hati ia bersiap untuk menghadapi ilmu lawannya yang menyulitkan itu. Mahisa Pukat memang tidak perlu menunggu terlalu lama. Ketajaman pendengarannya segera memberitahukan kepadanya, bahwa lawannya berdiri di sebelah kirinya. Karena itulah, maka Mahisa Pukat pun segera memusatkan perhatiannya ke arah lawannya.

Sebenarnyalah tiba-tiba saja lawannya telah menjulurkan kerisnya. Namun dengan tangkas Mahisa Pukat berhasil mempergunakan ilmu pedangnya untuk menangkis serangan lawannya. Ketika kemudian terjadi pula hal seperti itu, sekejap dari saat lenyapnya tubuh lawannya, maka ia sudah nampak lagi berdiri di sebelah lain dengan keris teracu. Kadang-kadang lawannya itu dengan cepat langsung menyerangnya. Namun kadang-kadang ia masih menunggu.

Dengan demikian, maka Mahisa Pukat berhasil mengenali jenis ilmunya, ia tidak perlu memusatkan segenap nalar budinya untuk mengetahui di mana lawannya berada jika lawannya mampu mempergunakan ilmu panglimunan dengan sempurna. Namun dengan pengamatan nalar dan ketajaman penglihatannya, Mahisa Pukat dapat memperhitungkan, ke mana lawannya akan muncul, karena menurut uraian Mahisa Pukat atas pengenalannya terhadap ilmu lawannya itu adalah, pada saat lawannya itu lenyap dari tangkapan mata wadagnya, ia hanya mempunyai kesempatan untuk sekedar meloncat dari tempatnya ke tempat yang lain.

Namun demikian jika lawannya itu mampu memanfaatkannya dengan baik maka Mahisa Pukat benar-benar akan kebingungan. Tetapi memang jarang sekali seseorang yang mampu memiliki ilmu panglimunan yang sempurna, sehingga ia benar-benar dapat melenyapkan diri untuk waktu yang tidak terbatas dan berbuat sesuatu dengan sentuhan wadagnya dengan orang yang tidak berada pada keadaan seperti dirinya.

Adapun lawan Mahisa Pukat itu berada pula pada satu tataran ilmu panglimunan yang belum sempurna, ia hanya dapat lenyap untuk sekejap saja. Dan agaknya ia mempergunakan waktu yang sekejap itu untuk melenting dari tempatnya ke tempat yang lain. Kemudian dengan tiba-tiba ia menyergap lawannya dengan ujung senjatanya.

Meskipun demikian pada permulaannya Mahisa Pukat memang agak kebingungan menghadapi lawannya. Serangannya tidak akan pernah dapat mengenai sasarannya, karena jika lawannya terdesak, orang itu akan segera mempergunakan ilmunya. Ia dengan tiba-tiba saja muncul di tempat lain dan langsung menyerangnya dengan ujung keris teracu.

Hanya dengan ketangkasan dan kecepatan gerak sajalah Mahisa Pukat mampu bertahan untuk beberapa saat, meskipun setiap kali ia harus bergeser dengan loncatan panjang. Namun untuk menghindari serangan dari arah belakang, maka Mahisa Pukat berusaha untuk tetap melekat pada dinding barak di belakangnya.

“Licik,” teriak lawannya, “ayo, kita bertempur di tempat yang luas dan tidak terganggu.”

“Aku senang bertempur di sini,” jawab Mahisa Pukat.

“Kau pergunakan dinding barak sebagai perisai,” berkata lawannya.

“Apa boleh buat,” jawab Mahisa Pukat, “kau telah mempergunakan ilmu yang kurang aku kenal.”

“Karena itu sadari kedunguanmu. Menyerah sajalah.” berkata orang itu.

“Aku memasuki padepokan bukan sekedar untuk menyerah,” berkata Mahisa Pukat, “aku datang untuk menangkapmu.”

“Persetan,” geram orang itu. Iapun kemudian dengan serta merta telah meloncat menyerang. Namun Mahisa Pukat-pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu. maka iapun dengan tangkas telah menangkis serangan itu dengan pedangnya.

Namun menghadapi ilmu lawannya Mahisa Pukat pun telah mempergunakan ilmunya pula, ilmunya yang semula memang agak meragukannya karena seakan-akan ilmunya ini telah dipergunakan untuk mengambil milik orang lain tanpa diketahuinya. Tetapi Mahisa Pukat tidak dapat berbuat lain. Lawannya-pun telah mempergunakan ilmu yang mendebarkan pula.

Karena serangannya yang beruntun tidak dapat menembus pertahanan Mahisa Pukat, maka tiba-tiba saja lawannya itu telah lenyap untuk sesaat. Ia muncul di tempat yang lain dengan ujung keris yang terjulur. Bahkan tiba-tiba iapun telah meloncat sambil mengayunkan kerisnya yang besar itu.

Menghadapi sikap yang demikian Mahisa Pukat memang kadang-kadang harus berdesah. Ia harus dengan cepat berputar mengarah ke lawannya yang muncul dengan tiba-tiba. Kemudian menghadapi serangannya yang datang dengan cepat pula. Sementara itu, Mahisa Pukat sulit untuk memperhitungkan, di mana lawannya itu akan muncul. Namun Mahisa Pukat pun bukannya melawan dengan wantah. Iapun telah mengetrapkan ilmunya pula.

Pertempuran itupun kemudian menjadi semakin seru dan tegang. Denyut jantung di dada Mahisa Pukat rasa-rasanya menjadi semakin cepat. Kadang-kadang ia kehilangan lawannya yang muncul di tempat yang tidak diduganya sama sekali.

Mahisa Pukat terkejut ketika tiba-tiba saja lawannya menyerang dari arah yang sama sekali tidak diduganya. Ketika lawannya itu lenyap, maka Mahisa Pukat memperhitungkan bahwa lawannya itu akan muncul di sisi yang lain dari tempatnya berdiri. Namun tiba-tiba lawannya itu muncul di tempatnya semula. Bahkan tiba-tiba saja satu loncatan yang panjang datang demikian cepatnya sementara ujung keris itu terayun menebas ke arah lehernya.

Mahisa Pukat yang terkejut itu bergeser mundur. Namun ia sempat menangkis serangan itu meskipun karena sangat tergesa-gesa, maka ujung keris itu masih menggores di kulitnya. Goresan yang memanjang di pundaknya menyilang ke arah dada. Goresan itu memang tidak begitu dalam. Tetapi dari goresan itu telah mengalir darah yang semula nampak kehitam-hitaman. Namun kemudian menjadi merah segar.

Mahisa Pukat mengaduh tertahan. Luka itu terasa pedih. Racun di ujung keris itu telah membentur penawarnya di tubuh Mahisa Pukat, sehingga luka itu menjadi pedih meskipun tidak terlalu lama.

Lawan Mahisa Pukat itu tertawa berkepanjangan, ia melihat luka di pundak anak muda itu. Katanya, “Jangan menyesal anak muda. Kau memang akan mati di padepokan ini.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ujung pedangnyalah yang terjulur. Hampir saja menyentuh kening lawannya. Tetapi lawannya itu sempat mengelak dan ketika Mahisa Pukat memburunya, lawannya itupun telah lenyap dan muncul di arah yang lain. Tetapi lawannya itu tidak langsung menyerangnya, ia masih tertawa sepuas-puasnya menikmati kemenangan kecilnya.

Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat lah yang telah menyerangnya. Tetapi Mahisa Pukat telah membuat perhitungan tersendiri menghadapi lawannya yang membingungkannya itu. Ternyata serangan-serangan Mahisa Pukat selanjutnya tidak lagi begitu garang. Geraknya menjadi lamban dan kadang-kadang nampak keragu-raguannya.

Karena itu, maka dengan mudah lawannya itu menangkis setiap serangan. Bahkan untuk beberapa lama ia merasa tidak perlu melenyapkan dirinya untuk mengelabui lawannya yang menurut penilaiannya, tidak lagi segarang sebelum dilukainya.

Dengan demikian maka untuk beberapa saat lamanya keduanya bertempur dalam keadaan wajar. Mahisa Pukat nampaknya tidak lagi mampu mendesak lawannya. Meskipun serangan-serangannya masih nampak berbahaya, tetapi lawannya tidak melihat lagi kelebihan yang menekannya.

Namun beberapa saat kemudian, lawan Mahisa Pukat itu menjadi heran atas dirinya sendiri. Ia menilai lawannya bergerak semakin lamban. Namun dirinya sendiri rasa-rasanya tidak juga mampu berbuat lebih cepat dari lawannya. Beberapa kali ia hanya berloncatan mundur, menangkis serangan lawan dan serasa tidak lagi mampu menyerang.

“Apa yang telah terjadi atas diriku,” bertanya orang itu kepada diri sendiri.

Namun tiba-tiba saja ia menyadari, bahwa tenaganya sudah menjadi jauh susut. Bahkan tiba-tiba saja rasa-rasanya sangat berat mengangkat dan mengayunkan kerisnya yang sangat besar. “Gila,” geram orang itu.

Ketika kemudian Mahisa Pukat mendesaknya, iapun telah mempergunakan ilmu Panglimunannya dan meloncat menjauh. Orang it masih mampu melenyapkan diri dari tangkapan mata wadag Mahisa Pukat. Namun ketika ia nampak lagi di tempat lain, nafasnya menjadi terengah-engah. Rasa-rasanya tenaganya benar-benar sudah terkuras habis.

“Bagaimana Ki Sanak.” tiba-tiba saja Mahisa Pukat bertanya, “waktu kita masih banyak.”

Orang itu mengumpat. Dengan nada geram ia berkata, “Kau licik. Kau pergunakan ilmu yang sama sekali tidak bersifat jantan. Kau curi kekuatan lawanmu dengan laku yang sangat pengecut.”

“Jangan mengumpat-umpat,” berkata Mahisa Pukat, “kita sama-sama licik. Bukankah aji panglimunanmu itu bukan cara yang licik dalam pertempuran apalagi perang tanding. Kau berusaha untuk melarikan diri dari penglihatan lawan. Apa salahnya jika aku pun telah mencuri kekuatanmu dengan caraku. Karena aku sebenarnya dapat menghancurkanmu dengan ilmuku yang lain.”

“Omong kosong,” geram orang itu, “jika benar demikian, kenapa tidak kau lakukan?”

“Aku dapat menghancurkan tubuhmu menjadi sewalang-walang,” Mahisa Pukat pun menggeram.

Namun lawannya tidak menjawab. Tiba-tiba saja ia telah melenyapkan diri dan muncul di jarak yang lebih jauh. Mahisa Pukat meloncat memburu. Tetapi ia kehilangan lagi lawannya. Tiba-tiba saja lawannya itu sudah berada di tempat lain. Mahisa Pukat sadar, bahwa lawannya tentu berusaha melarikan diri. Karena itu maka iapun telah berusaha untuk mengejarnya.

Tetapi kemampuan lawannya setiap kali melepaskan diri meskipun hanya sesaat memang telah membuat Mahisa Pukat bingung. Karena itu jarak antara dirinya dan lawannya itupun menjadi semakin lama semakin jauh. Meskipun lawannya tidak lagi memiliki kekuatan dan kemampuan yang utuh. Namun dengan caranya ternyata bahwa akhirnya ia benar-benar tidak lagi dapat dikejar oleh Mahisa Pukat dan hilang di antara barak-barak di padepokan itu.

Mahisa Pukat yang kemudian kehilangan lawannya itu berdiri termangu-mangu. Namun justru karena ia berdiri seorang diri di antara barak-barak di padepokan itu. Ia mulai memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ia mulai mendengar teriakan-teriakan yang riuh di sisi lain dari padepokan itu.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam, ia mulai menyadari kembali bahwa ia tidak hanya berhadapan dengan orang yang melarikan diri itu saja. Tetapi di padepokan itu telah terjadi pertempuran yang sengit antara pasukan Lemah Warah dan orang-orang yang berada di padepokan itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah berniat untuk terjun kembali ke pertempuran. Ia menganggap bahwa lawannya itu tidak akan mampu memasuki medan karena untuk beberapa lama ia telah kehilangan kekuatan dan kemampuannya.

Tatapi ketika Mahisa Pukat siap untuk meloncat meninggalkan tempatnya, tiba-tiba saja ia teringat pada sekotak ular yang tersimpan di dalam barak. Jika ular itu kemudian dipergunakan di bawah kuasa ilmu gendam, maka ular-ular itu akan dapat menimbulkan kesulitan bagi prajurit Lemah Warah, karena ular yang berada di bawah pengaruh ilmu itu akan mampu berbuat sebagaimana diperintahkan oleh orang yang mempengaruhinya, sehingga ular-ular itupun seakan-akan dapat memilih yang manakah prajurit Lemah Warah dan yang manakah kawan-kawan mereka, penghuni padepokan itu.

Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah berlari-lari menuju ke barak itu. Namun Mahisa Pukat terkejut karenanya, ketika ia melihat seekor ular merambat di tangga barak itu. Demikian ia melihat Mahisa Pukat, maka ular itupun langsung menyerangnya. Meskipun Mahisa Pukat memiliki kekuatan yang dapat menawarkan bisa ular, tetapi ia tidak senang ular itu menggigitnya. Karena itu, maka iapun telah menebas leher ular itu sehingga putus. Namun ternyata bahwa seekor ular telah menelusur di bawah barak itu dan menghilang di rerumputan.

“Gila,” geram Mahisa Pukat, “ternyata orang itu telah berhasil melakukannya.”

Dengan serta merta Mahisa Pukat meloncat masuk ke dalam barak itu. Tetapi ia tidak melihat seorang pun lagi. Namun ia melihat kotak tempat ular berbisa itu sudah terbuka. Sementara itu beberapa ekor ular masih berkeliaran.

Namun ular-ular yang berada di bawah pengaruh lawannya itu telah menganggap bahwa Mahisa Pukat harus dibunuh sebagaimana kebencian orang yang memiliki ilmu gendam itu. Karena itu, maka tiba-tiba beberapa ekor ular yang berkeliaran itu telah berbalik ke arah Mahisa Pukat dan siap untuk menyerangnya.

Mahisa Pukat memang memiliki penawar bisa. Tetapi menghadapi ular yang cukup banyak, apakah penawar bisa itu akan mampu melawan bisa yang terlalu banyak menusuk ke dalam tubuhnya. Mahisa Pukat tidak mendapat kesempatan untuk terlalu lama berpikir. Beberapa ekor ular telah merayap semakin dekat.

Namun agaknya Mahisa Pukat lebih senang berkelahi melawan ular-ular itu di tempat yang lapang. Karena itu, maka ia-pun telah melenting ke pintu dan meloncat keluar dari bilik dan barak itu.

Namun demikian ia berdiri di atas tanah yang ditumbuhi rerumputan, beberapa ekor ular yang garang telah mengepungnya. Beberapa di antaranya telah mengangkat kepalanya dan berdiri pada bagian depan tubuhnya. Lidahnya yang bercabang terjulur-julur mendebarkan. Suaranya yang berdesis-desis dan membuat tengkuk Mahisa Pukat meremang.

Tetapi di tangan Mahisa Pukat tergenggam pedang, sementara ia masih mempunyai perisai yang lain jika ada satu dua di antara ular-ular itu yang lolos dari ujung pedangnya. Bahkan kemudian ia merasa wajib untuk menghancurkan ular-ular itu daripada ular-ular itu merayap memasuki arena dan mematuk para prajurit Lemah Warah.

Dalam pada itu, Mahisa Murti telah berdiri bebas pula. Lawannya terpaksa diselesaikannya sebagaimana paugeran perang berbicara. Jika ia tidak membunuh lawannya, maka ialah yang akan terbunuh atau prajurit-prajurit Lemah Warah yang lain akan mati jika lawannya itu berhasil lepas dari tangannya dan memasuki medan di sudut lain dari pertempuran itu.

Namun Mahisa Murti tidak sempat beristirahat. Tiba-tiba saja ia telah terperosok ke dalam lingkaran pertempuran yang mendebarkan. Ia melihat sebatang tongkat yang terayun-ayun mengerikan. Tongkat yang pada pangkalnya terdapat sebuah batu yang berwarna kehijau-hijauan itu. Mahisa Murti melihat bagaimana seorang prajurit Lemah Warah terlempar keluar dari arena, sementara yang lain berloncatan menghindari ayunan tongkat yang berputar mengerikan. Dengan pedang di tangan, Mahisa Murti pun telah memasuki arena itu.

Orang bertongkat itu tertegun melihat kehadiran Mahisa Murti. Namun iapun telah bergeser beberapa langkah meninggalkan arena, sementara itu orang-orang padepokan itu telah menggantikannya melawan para prajurit Lemah Warah yang sudah susut karena tongkat yang pada pangkalnya terdapat batu yang kebiru-biruan itu. Mahisa Murti menyadari, bahwa orang itu sengaja keluar dari arena untuk menghindarinya. Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah mengikutinya dengan pedang teracu.

“Akhirnya kita sempat juga berbicara,” berkata orang itu, “siapakah sebenarnya kau pedagang batu akik?”

“Kau sudah tahu jawabnya, di mana aku berdiri sekarang,” jawab Mahisa Murti.

“Apakah kau benar kemanakan Akuwu Lemah Warah itu?” bertanya orang bertongkat itu.

“Ya. Kenapa?” Mahisa Murti ganti bertanya.

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Satu pengakuan yang sudah aku duga sebelumnya. Tetapi kau kira aku begitu saja percaya? Mungkin kalian mempunyai kepentingan yang sama dengan Akuwu itu atau setidak-tidaknya mempunyai persamaan. Mungkin atas batu hijau itu, tetapi mungkin persoalan lain yang tidak kau katakan. Tetapi menilik tingkah lakumu dan perhatianmu terhadap batu hijau itu sehingga kau pertaruhkan nyawamu, serta penyamaranmu sebagai penjual batu akik, maka kepentinganmu tentu berkisar kepada batu hijau itu. Sedangkan hal yang lain agaknya merupakan kepentingan Akuwu Lemah Warah itu. Mungkin kalian telah membuat perjanjian saling membantu meskipun mungkin sekali kalian akan berebut hasil yang mungkin dapat kalian capai dengan kerja sama ini.”

“Satu ceritera yang menarik,” desis Mahisa Murti, “apakah kau masih mempunyai ceritera yang lain?”

“Persetan,” geram orang bertongkat itu, “tetapi aku yakin bahwa kau berkepentingan dengan batu itu. Bukan karena kau juga mengemban tugas sebagaimana Akuwu Lemah Warah.”

“Aku tidak membantah,” berkata Mahisa Murti, “namun mungkin dapat aku tanyakan serba sedikit tentang padepokan Suriantal?”

Orang itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ia menggeram, “Persetan dengan pertanyaanmu itu.”

“Aku mendengar nama padepokan itu justru sebelum aku melihat padepokan itu,” jawab Mahisa Murti, “sebenarnyalah kami ingin berbicara dengan baik. Atas nama kuasa yang lebih tinggi, Akuwu Lemah Warah memerintahkan kalian menyerah. Tetapi kalian ternyata memilih untuk melawan.”

“Aku tidak tahu arah bicaramu,” berkata orang bertongkat itu, “alasan apakah yang dapat dipergunakan oleh Akuwu itu untuk memaksa kami menyerah?”

“Sebenarnya alasan itu tidak perlu disebut,” berkata Mahisa Murti, “meskipun agaknya orang-orang bertongkat yang berada di padepokan inilah yang paling berkepentingan.”

“Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan,” jawab orang bertongkat itu, “karena itu, kita sudah terlanjur membuka medan. Kita akan menyelesaikannya sebagaimana kita mulai.”

“Baik,” jawab Mahisa Murti, “tetapi apakah kepentinganmu dengan Mahkota Kediri?”

Pertanyaan itu mengejutkan orang bertongkat itu. Namun iapun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Itukah tugas Akuwu Lemah Warah?”

“Salah satu saja,” jawab Mahisa Murti, “masih banyak alasan lain, meskipun masih meragukan. Agaknya isi padepokan ini bukan lagi diwarnai oleh satu cabang perguruan.”

“Ternyata kau memang harus mati,” geram orang bertongkat itu, “aku memang sudah berniat untuk menempuh cara ini menghadapi kuasa Kediri.”

“Kediri pun telah memerintahkan untuk menempuh cara ini untuk membuat penyelesaian meskipun Kediri masih menawarkan langkah-langkah yang lebih lembut dan kekeluargaan,” berkata Mahisa Murti.

Orang bertongkat itu menggeram. Sejenak ia berpaling ke arah pertempuran yang menyala di sebelahnya. Orang-orangnya telah bertempur dengan keras melawan para prajurit Lemah Warah. Tongkat-tongkat panjang terayun-ayun mendebarkan. Namun tidak setiap ayunan itu mampu mengenai lawan mereka.

Orang bertongkat itu menggeram. Katanya kemudian, “Baiklah, akhirnya kita berhadapan dalam arena seperti ini. Aku memang mengharap bahwa kita akan dapat bertemu dalam kesempatan seperti ini. Meskipun aku merasa tersinggung bahwa aku harus berhadapan dengan anak ingusan seperti ini, namun apa boleh buat. Agaknya Kediri memang tidak mempunyai orang yang lebih baik dari kanak-kanak dan Akuwu Lemah Warah.”

“Kita akan melihat, siapakah yang lebih baik di antara kita,” jawab Mahisa Murti.

Orang itu mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja tongkatnya telah terayun-ayun sambil menggeram, “Marilah agar aku cepat menyelesaikanmu. Kemudian aku harus mencari Akuwu Lemah Warah itu untuk membunuhnya pula. Prajurit-prajuritnya tidak akan berarti apa-apa lagi bagiku.”

Mahisa Murti pun segera mempersiapkan diri. Ketika tongkat itu terayun, maka Mahisa Murti pun telah meloncat surut. Namun lawannya itu tidak membiarkannya. Dengan tangkasnya orang itu telah meloncat memburunya. Sekali lagi tongkatnya terayun deras. Ketika Mahisa Murti meloncat lagi menghindar, maka terasa angin berdesing lebih keras.

Mahisa Murti tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran. Iapun kemudian telah memutar pedangnya pula. Namun ia tidak mau langsung membentur tongkat lawannya dengan pedangnya sebelum ia sempat menjajaginya. Demikian pertempuran antara Mahisa Murti dan orang bertongkat itu menjadi semakin lama semakin sengit. Keduanya adalah orang-orang berilmu tinggi. Mereka memiliki kekuatan melampaui orang kebanyakan.

Sekali-sekali Mahisa Murti dengan hati-hati mencoba menjajagi kekuatan lawannya. Sekali-sekali ia telah menyentuh ayunan tongkat itu meskipun tidak membenturkannya langsung. Dengan demikian maka Mahisa Murti dapat sekedar menjajagi, apakah kekuatan orang itu akan dapat diimbangi atau tidak.

Sementara itu lawannya yang bertongkat itu agaknya memang ingin segera dapat menyelesaikan pertempuran. Agaknya ia mulai menyadari, bahwa prajurit Lemah Warah menjadi semakin mendesak orang-orang padepokan itu. Sehingga orang-orang padepokan itupun semakin lama menjadi semakin terhimpit oleh tekanan para prajurit Lemah Warah.

“Gila,” geram orang itu, “prajurit-prajurit Lemah Warah licik sekali.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.

“Mereka datang dalam jumlah yang jauh lebih banyak dari orang-orangku,” jawab orang bertongkat itu.

“Itu adalah hak dari Akuwu Lemah Warah yang mendapat perintah untuk menangkap kalian,” jawab Mahisa Murti, “karena itu menyerah sajalah. Kau dan orang-orangmu akan mendapat perlakuan yang baik.”

“Tidak ada seorang pun yang akan mampu memaksa aku untuk menyerah. Apalagi anak-anak ingusan seperti kau,” geram orang bertongkat itu.

“Bukan aku, tetapi Akuwu Lemah Warah,” jawab Mahisa Murti.

“Jangankan Akuwu Lemah Warah, Sri Baginda Kediri sekalipun tidak akan aku dengar perintahnya untuk menyerah,” jawab orang itu.

“Kau terlalu sombong,” jawab Mahisa Murti, “seharusnya kau menyadari, apakah usahamu dengan orang-orangmu pilihan untuk mengambil mahkota itu berhasil? Mereka telah mati terbunuh sebelum mereka mendapat apa yang mereka cari. Nah, jika kau bersedia untuk menyerah, maka persoalannya hanya berkisar pada usahamu untuk mendapatkan mahkota itu saja.”

“Persetan,” geram orang itu, “sebentar lagi kau akan mati.”

“Jika demikian, maka kita benar-benar akan sampai kepada batas terakhir dari sebuah perang tanding,” berkata Mahisa Murti.

“Kita tidak sedang berperang tanding,” jawab orang itu, “karena itu jika kau merasa perlu untuk memanggil beberapa orang prajurit dan bertempur bersamamu, aku tidak berkeberatan.”

“Ah, pada saatnya tentu akan aku lakukan,” jawab Mahisa Murti, “tetapi agaknya aku akan dapat menyelesaikan tugas ini tanpa bantuan orang lain.”

“Kau terlalu sombong anak muda,” jawab orang itu.

Mahisa Murti terkejut. Tongkat itu hampir saja mematuk dahinya. Untunglah ia cepat menyadari keadaan, sehingga ia sempat meloncat ke samping, sehingga ujung tongkat itu tidak menyentuhnya. Mahisa Murti sadar sepenuhnya bahwa patukan ujung tongkat itu akan dapat melubangi dahinya dalam keadaan wajar.

Orang itu tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Kau terkejut anak muda. Namun bagaimanapun juga aku tetap merasa heran, bahwa kau mampu bertahan sekian lama.”

“Kenapa kau heran?” bertanya Mahisa Murti, “kau akan menjadi semakin heran jika kau sempat menyadari akhir dari pertempuran ini. Tetapi agaknya kau tidak akan sempat melihatnya secara wadag apa yang akan terjadi di akhir perang tanding ini.”

“Gila,” geram orang itu. Tongkatnya pun menjadi semakin cepat berputaran sehingga menimbulkan desing yang semakin lama semakin keras.

Namun Mahisa Murti pun telah bersiap sepenuhnya menghadapinya. Karena itu, apapun yang dilakukan oleh lawannya. Mahisa Murti mampu mengimbanginya.”

Dengan demikian maka pertempuran antara Mahisa Murti dan orang bertongkat itupun menjadi semakin sengit. Tongkat itu menyambar-nyambar dengan dahsyatnya sehingga menimbulkan angin yang berdesing berputaran, semakin lama semakin keras sehingga bagaikan angin pusaran.

Tetapi Mahisa Murti tidak menjadi bingung karenanya, ia dengan penuh kesadaran menghadapi lawannya yang memiliki kekuatan yang luar biasa itu. Ketahanan tubuhnya yang besar telah mengikatnya pada bumi tempatnya berpijak sehingga ia tidak menjadi goyah oleh dorongan angin pusaran.

Sekali-sekali kedua senjata di tangan kedua orang berilmu tinggi itu telah bersentuhan. Ternyata bahwa tongkat yang ujudnya terbuat dari kayu itu memiliki kekuatan yang mampu beradu dengan pedang di tangan Mahisa Murti yang terbuat dari baja yang keras.

Mahisa Murti menjadi kagum akan kekuatan tongkat itu. sehingga ia menyadari bahwa kekuatan tongkat itu bukannya kekuatan kayu sewajarnya, tetapi tentu karena kemampuan dan kekuatan orang yang mempergunakannya.

Tetapi sebaliknya orang itupun heran mengalami benturan yang keras dengan pedang Mahisa Murti. Anak muda itu ternyata memiliki kekuatan yang mampu mengimbangi kekuatannya. Sehingga dalam setiap benturan, pedang anak muda itu sama sekali tidak terguncang di pegangan tangannya.

Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya semakin lama menjadi semakin dahsyat. Pengaruhnya pun terasa di sekitar putaran pertempuran. Namun ternyata keduanya telah bergeser semakin jauh dari arena pertempuran yang riuh antara para prajurit Lemah Warah dan isi padepokan itu.

“Anak itu harus segera mati,” geram orang bertongkat itu.

Namun ternyata bahwa ia tidak sanggup membunuh lawannya itu. Apalagi dalam waktu singkat. Bahkan terasa bahwa kekuatan dan kemampuan anak muda itu semakin lama menjadi semakin meningkat.

Dalam pada itu, di tempat lain, Mahisa Pukat masih berjuang melawan sekelompok ular berbisa. Ia dengan sengaja membiarkan dirinya menjadi sasaran ular-ular berbisa itu daripada para prajurit Lemah Warah. Agar dengan demikian maka bisa ular itu tidak akan berhamburan di medan. Karena ular itu akan dapat mematuk beberapa orang prajurit sekaligus sehingga seekor ular akan dapat membunuh dua tiga orang sekaligus.

Namun membunuh ular-ular itu bukannya satu pekerjaan yang mudah. Ular-ular itu seakan-akan telah mendapat latihan untuk bertempur. Mereka mampu menyerang dari arah yang berlainan, sehingga dapat menimbulkan kebingungan pada lawan yang dikepungnya. Beberapa saat Mahisa Pukat bertempur dengan pedangnya. Beberapa ekor ular yang berusaha menyerangnya sambil tegak pada bagian kepalanya telah tertebas pedang.

Beberapa saat Mahisa Pukat bertempur dengan pedangnya. Beberapa ekor ular yang berusaha menyerangnya sambil tegak pada bagian kepalanya telah tertebas putus. Namun yang lain tetap merayap perlahan-lahan mendekatinya sambil berdesis mengerikan.

“Gila,” geram Mahisa Pukat, “ilmu setan ini benar-benar membuat kepalaku menjadi pening.”

Ternyata Mahisa Pukat tidak membiarkan dirinya terlalu lama dikepung oleh segerombolan ular berbisa. Meskipun ia dengan sengaja memang menempatkan diri memancing perhatian ular-ular itu. Karena itu maka iapun justru telah menyarungkan pedangnya. Kemudian dibangunkannya ilmunya yang disadapnya dari Tatas Lintang yang ternyata adalah Akuwu Lemah Warah itu.

Dengan demikian maka Mahisa Pukat itupun telah mengembangkan kedua telapak tangannya yang terjulur ke depan. Dari sepasang telapak tangannya itu telah memancar sinar yang menyambar ke arah segerombolan ular di satu sisi dari kepungan yang rapat.

Tanah di arah sambaran sinar yang memancar dari telapak tangan Mahisa Pukat itupun bagaikan meledak. Sekelompok ular berbisa itupun bagaikan terlempar dari ledakan itu dan berhamburan jatuh beberapa langkah dari tempatnya. Mahisa Pukat masih melihat beberapa ekor di antara ular-ular itu menggelepar. Namun yang lain telah tergolek diam. Mati.

Serangan yang demikian itu telah diulanginya ke arah yang lain. Sehingga terjadi pulalah ledakkan yang telah melemparkan segerombolan ular yang lain. Serangan yang demikian telah diulanginya beberapa kali sehingga akhirnya, ular yang merambat keluar dari kotak yang besar itu telah habis berhamburan sampai beberapa langkah di sekitar Mahisa Pukat.

Namun tidak semua ular telah terbunuh. Masih ada beberapa yang menelusur di antara rerumputan dan sela-sela barak meninggalkan tempat itu dan menuju ke arena pertempuran. Namun karena ular itu tidak terlalu banyak, maka agaknya ular itu tidak lagi berbahaya bagi para prajurit Lemah Warah.

Dalam pada itu, lawan Mahisa Pukat yang memiliki ilmu gendam dan aji panglimunan yang belum sempurna itu terpaksa, menyingkir jauh-jauh. Ketika ia mendapat kesempatan untuk mengetrapkan ilmu gendamnya dan melepaskan ular-ularnya, maka ia berharap bahwa dengan demikian pertempuran itupun akan segera berakhir karena ularnya tentu akan membunuh banyak prajurit Lemah Warah. Namun ternyata bahwa ular-ularnya tidak banyak dapat membantunya, karena sebagian besar dari ular-ular itu telah terbunuh oleh Mahisa Pukat.

Tetapi orang itu tidak melihat kehancuran ularnya, karena ia sendiri telah berusaha untuk bersembunyi. Ia tidak lagi memiliki kemampuan untuk bertempur secara langsung. Tenaganya bagaikan telah terkuras habis terhisap oleh ilmu Mahisa Pukat yang luar biasa. Sehingga dengan demikian orang itu telah bersembunyi sambil berusaha untuk menumbuhkan kembali kemampuan di dalam dirinya. Namun ia sadar sepenuhnya, bahwa untuk itu ia memerlukan waktu.

Sementara itu pertempuran berlangsung terus. Di segala sudut padepokan itu senjata saling beradu. Namun telah banyak diantara mereka yang terbaring diam atau harus mengerang kesakitan.

Mahisa Pukat yang telah menghabiskan lawan itupun mulai memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ia masih melihat di jarak yang agak jauh seekor ular merayap diantara rerumputan. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun segera melenting ke arah ular itu. Ketika ular itu kemudian berbalik dan mengangkat kepalanya, maka pedang Mahisa Pukat-pun telah terayun.

Agaknya Mahisa Pukat tidak lagi terlalu banyak mempertimbangkan tindakannya dalam perang yang semakin keras itu. Menggunakan kekuatan dan kecepatan gerak mereka untuk mencoba menghancurkan lawan masing-masing. Namun pertempuran yang demikian itu tentu hanya akan menelan waktu yang berkepanjangan.

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti maupun orang bertongkat itu tidak akan mampu mengalahkan lawan mereka. Keduanya memiliki kekuatan dan ketrampilan yang tinggi mempermainkan senjata mereka. Benturan demi benturan telah terjadi. Keduanya saling mendesak dan memburu. Namun keduanya-pun kemudian menyadari, bahwa mereka harus meningkatkan ilmu mereka jika mereka memang ingin dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu. Karena itulah, maka orang bertongkat itu kemudian telah berusaha untuk benar-benar menghancurkan lawannya dengan ilmunya yang mendebarkan.

Pertempuran antara keduanya yang menjadi semakin seru dan cepat itu memang telah bergeser semakin jauh dari hiruk pikuk pertempuran antara para prajurit Lemah Warah dan isi padepokan itu. Dengan demikian maka keduanya telah mendapat kesempatan untuk bertempur beralaskan kemampuan masing-masing tanpa bantuan dan ikut campur orang lain.

Untuk beberapa saat kedua senjata itu masih beradu. Namun jantung Mahisa Murti berdesir ketika ia melihat lawannya meloncat menjauh dan tiba-tiba saja telah mengangkat tongkatnya teracu ke arahnya. Dengan cepat Mahisa Murti telah meloncat tepat pada saat tongkat itu memancarkan seleret cahaya menyambarnya. Karena itu, maka serangan itu tidak mengenainya. Meskipun demikian, Mahisa Murti tidak mendapat banyak kesempatan. Orang itu telah mengarahkan tongkatnya sekali lagi ke arah Mahisa Murti.

Mahisa Murti menyadari bahwa serangan pun akan segera datang lagi. Iapun tidak menunggu ilmu lawannya itu menyambarnya. Karena itu maka dengan cepat pula Mahisa Murti telah meloncat menghindar. Sekali lagi serangan orang bertongkat itu tidak mengenainya. Cahaya yang menyambar dan tidak mengenainya itu telah menghantam tanah tempat Mahisa Murti semula berpijak, sehingga tanah itu seakan-akan telah meledak.

Kegagalan itu telah membuat orang bertongkat itu semakin marah. Karena itu, maka ia tidak mau melepaskan lawannya yang berloncatan menghindari serangannya itu. Sekali lagi ujung tongkat itu telah terangkat mengarah kepada tubuh Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti tidak mau sekedar menjadi sasaran. Dengan demikian maka iapun telah bersiap menghadapi serangan itu dengan kemampuan ilmunya pula.

Namun Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain ketika sekali lagi seleret sinar menyambar dari ujung tongkat itu. Mahisa Murti bahkan telah meloncat dan berguling beberapa kali di tanah. Demikian Mahisa Murti melenting berdiri, maka sekali lagi ia harus menjatuhkan dirinya karena serangan itu menyambarnya lagi.

Namun Mahisa Murti tidak dengan tergesa-gesa meloncat berdiri. Sambil berbaring tiba-tiba saja ia telah menjulurkan tangannya dengan telapak tangan terbuka ke arah lawannya. Lawannyalah yang kemudian terkejut, iapun melihat sinar yang menyala di telapak tangan anak muda itu. Karena itu, maka iapun harus dengan cepat menghindar. Sebenarnyalah seleret sinar telah menyambar orang itu.

Namun orang bertongkat itupun dengan cepat meloncat pula ke samping, sehingga sambaran sinar itu tidak mengenainya. Tetapi jantung orang itu berdebar ketika sinar itu menembus dan menebas dahan dan ranting sebatang pohon yang tumbuh di halaman padepokan itu. Suaranya gemeretak dan berderak, sehingga dengan demikian maka hampir separuh dari rimbunnya dahan dan dedaunan pohon itu runtuh di tanah. Dengan demikian maka kedua orang itupun harus semakin berhati-hati. Mereka menyadari bahwa masing-masing memang memiliki kemampuan yang sangat tinggi.

Mahisa Murti yang kemudian berdiri tegak justru masih mengacukan pedangnya. Dengan suara gemetar ia berkata, “Marilah. Manakah yang kau pilih. Kau mampu meluncurkan serangan lewat ujung tongkatmu sementara aku mampu membalasmu dengan sebelah telapak tanganku. Kita akan dapat saling menyerang dari jarak tertentu. Namun kita dapat bertempur dengan cara lain, sebagaimana pernah kita lakukan sebelumnya.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia telah mengangkat ujung tongkatnya. Ketika sinar itu meluncur. Mahisa Murti sempat menghindar ke samping. Sementara itu dengan menjulurkan tangannya, maka serangan balasannya pun telah menyambar orang bertongkat itu. Tetapi orang bertongkat itupun mampu bergerak secepat Mahisa Murti. Karena itu maka serangannya pun tidak mengenai sasarannya.

Namun dengan demikian Mahisa Murti mendapat kesempatan untuk meloncat mendekati lawannya. Sebelum lawannya siap mengangkat tongkatnya, sekali lagi Mahisa Murti meluncurkan serangannya. Tetapi sekali lagi pula lawannya berhasil bergeser menghindar. Namun dengan demikian, Mahisa Murti telah mendapat kesempatan lagi untuk meloncat mendekat. Sehingga dengan demikian maka ujung pedang Mahisa Murti telah hampir dapat menjangkau tubuh lawannya.

“Gila,” geram orang bertongkat itu. Tetapi ia tidak sempat mengangkat tongkatnya dan menyerang Mahisa Murti dengan loncatan sinar dari ujung tongkatnya itu. Mahisa Murti dengan kecepatan yang mungkin dilakukan berusaha untuk memaksa lawannya bertempur pada jarak dekat dengan beradu senjata. Dengan demikian, maka lawannya tidak mempunyai pilihan lain. Keduanya kembali terlibat ke dalam pertempuran jarak dekat dengan mengandalkan kemampuan mereka beradu senjata.

Sementara itu, Tatas Lintang yang berusaha untuk dapat mengamati seluruh arena pertempuran melihat, bahwa prajuritnya mendapat kemajuan di beberapa tempat. Kecuali jumlahnya memang lebih banyak, para prajurit Lemah Warah itu benar-benar terpilih. Karena itu meskipun mereka harus berhadapan dengan para pengikut orang-orang berilmu tinggi dengan bekal yang cukup pula, namun para prajurit itu tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Untuk menghadapi orang-orang yang memiliki kemampuan yang melampaui kemampuan mereka, maka para prajurit itu telah bertempur berpasangan.

Dalam pada itu, maka Tatas Lintang pun akhirnya merasa bahwa ia tidak perlu mencemaskan keadaan prajuritnya. Bahkan ketika ia bergeser lagi, dilihatnya Mahisa Pukat yang muncul dari antara barak orang-orang padepokan itu seorang diri pula.

“Kau terluka?” bertanya Tatas Lintang.

“Ya.” jawab Mahisa Pukat. “Tetapi tidak seberapa.”

“Meskipun begitu, kau harus mengobatinya sebelum kau terjun ke lingkungan pertempuran yang lebih sibuk,” berkata Tatas Lintang.

Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun iapun tidak menolak ketika Tatas Lintang kemudian mengobatinya. Sementara itu Mahisa Pukat sempat berceritera tentang perkelahiannya melawan salah seorang pemimpin padepokan itu. “Tetapi aku telah kehilangan orang itu,” berkata Mahisa Pukat.

“Orang itu tetap berbahaya,” berkata Tatas Lintang, “meskipun ia sendiri tidak akan mampu memasuki arena karena kekuatannya telah terhisap, tetapi ilmu gendamnya masih mampu dipergunakannya.”

“Aku sudah membunuh hampir semua ular-ularnya,” berkata Mahisa Pukat, “ular adalah binatang yang paling berbahaya. Seandainya ia sempat melepaskan dua tiga ekor harimau, maka persoalannya tidak akan segawat jika ia melepaskan tiga atau empat ekor ular di medan.”

Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah jika kau sudah menghabiskan ular-ular itu.”

“Masih ada satu dua yang terlepas,” jawab Mahisa Pukat, “tetapi yang sekotak sudah aku bunuh semuanya.”

“Jika demikian, sebaiknya kita pergi ke medan. Kita harus menyelesaikan pertempuran ini sesegera mungkin,” berkata Tatas Lintang.

Keduanya pun kemudian telah meninggalkan tempat itu. Namun keduanya tidak selalu bersama-sama. Tatas Lintang telah memilih arah tersendiri, sementara Mahisa Pukat pun telah menentukan tujuannya sendiri pula.

“Jika pertempuran ini tidak segera berakhir sampai petang, maka orang yang memiliki ilmu gendam itu akan mampu muncul lagi di medan. Bahkan jika ia sempat memanfaatkan waktu yang semalam untuk mendapatkan jenis-jenis binatang yang akan dapat dipergunakannya, maka arena akan menjadi semakin gawat. Apalagi jika ia mempergunakan ular lagi,” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya.

Sementara itu Tatas Lintang yang muncul di bagian lain dari padepokan itu, melihat pertempuran yang semakin seru. Namun seperti di bagian lain, agaknya para prajurit Lemah Warah semakin mendesak lawan-lawan mereka.

Dalam pada itu, Mahisa Murti yang telah bertempur pada jarak pendek, telah mempergunakan ilmunya sebagaimana telah dipergunakan oleh Mahisa Pukat. Ia telah memanfaatkan setiap benturan untuk melemahkan kekuatan lawannya. Namun ternyata sesuatu di luar pengetahuan Mahisa Murti telah terjadi. Orang bertongkat itu ternyata telah mendapat peringatan dengan pesan langsung dengan aji pameling yang hanya dapat didengarnya.

Ternyata orang yang telah dikalahkan oleh Mahisa Pukat itu sempat menyaksikan pertempuran antara Mahisa Murti dan lawannya, orang yang bersenjata tongkat. Untuk dapat memahami pesan itu, maka orang bertongkat itu telah berusaha melenting menjauhi Mahisa Murti. Ia mendapat kesempatan sekejap untuk mendengarkan pesan itu, bahwa lawannya mungkin mempergunakan ilmu yang mampu menghisap tenaga sebagaimana pernah dialami.

“Karena itu, hindari benturan,” bisik pesan itu.

Orang bertongkat itu mampu memahaminya karena ia memang sudah mendengar bahwa ada semacam ilmu yang mampu menghisap tenaga dan kemampuan lawannya. Karena itu, maka iapun menjadi semakin berhenti-hati menghadapi Mahisa Murti. Bahkan benturan-benturan yang satu dua kali telah terjadi, sempat dinilainya, sehingga iapun kemudian berkesimpulan bahwa lawannya memang memiliki ilmu itu.

Karena itu, maka iapun berusaha untuk berbuat sebaliknya dari yang dilakukan oleh Mahisa Murti. Orang bertongkat itu kemudian telah berusaha untuk bertempur pada jarak tertentu dengan mempergunakan kemampuannya melontarkan serangan dari ujung tongkatnya. Setiap kali ia berusaha untuk menghindar jika Mahisa Marti memancingnya bertempur pada jarak dekat. Dengan serangan-serangan beruntun orang bertongkat itu berusaha dengan sungguh-sungguh mempertahankan jarak di antara mereka.

Mahisa Murti memang merasa heran akan perubahan itu. Jika semula orang itu tidak merasa gentar bertempur dengan cara apapun, namun tiba-tiba saja ia telah menghindari kemungkinan sentuhan senjata di antara mereka dengan memelihara jarak dan bertempur dengan senjata ilmunya yang membentur dari tongkatnya.

Untuk beberapa saat Mahisa Murti berusaha untuk meyakinkan. Ia telah menempuh cara yang sama seperti pernah dilakukannya untuk mendapat kesempatan bertempur pada jarak dekat. Tetapi orang bertongkat itu selalu berusaha untuk menghindari cara sebagaimana dikehendaki oleh Mahisa Murti.

Akhirnya Mahisa Murti pun sadar, bahwa agaknya lawannya itu mengerti, bahwa sentuhan senjata dengan senjata Mahisa Murti adalah pertanda bahwa nasibnya akan menjadi sangat buruk.

“Siapakah yang telah memberitahukan hal itu kepadanya,” geram Mahisa Murti di dalam dirinya.

Namun sebenarnyalah bahwa lawannya tidak mau lagi bertempur pada jarak dekat yang memungkinkan senjata mereka saling beradu. vNamun demikian Mahisa Murti pun tidak menjadi gentar. Untunglah bahwa iapun telah memiliki satu kemampuan untuk bertempur dalam jarak tertentu.

Karena itu, maka pertempuran antara keduanya pun menjadi semakin seru. Namun mereka ternyata memerlukan arena yang cukup luas agar serangan-serangan mereka yang luput dari sasaran tidak justru membunuh orang-orang yang baru bertempur dengan sengitnya, karena mungkin justru kawan-kawan sendirilah yang akan dikuasainya.

Namun bagaimanapun juga, agaknya Mahisa Murti memang memiliki kelebihan. Umurnya yang masih muda telah mempengaruhi dorongan kekuatannya. Namun dalam usianya yang muda itu, Mahisa Murti telah memiliki ilmu dan pengalaman yang sangat luas. Itulah sebabnya maka perlahan-lahan tetapi pasti, Mahisa Murti telah mendesak lawannya.

Sementara itu Tatas Lintang yang mengambil arah sendiri dan berpisah dengan Mahisa Pukat, telah melihat di sudut padepokan itu, pertempuran yang kurang seimbang. Seorang yang agaknya memiliki ilmu yang tinggi telah menyapu lawan-lawannya yang mengepungnya.

Namun karena lawannya cukup banyak, maka ia tidak mendapat banyak kesempatan untuk melepaskan ilmunya yang luar biasa. Namun ketika sekali ia mendapat kesempatan itu, maka ia telah mengacukan tangannya. Seleret sinar telah menyambar. Sekaligus tiga orang telah terlempar dan seakan-akan meledak dengan akibat yang mengerikan sekali.

Serangan itu memang mengejutkan. Tetapi para prajurit Lemah Warah justru menyadari bahwa serangan yang demikian sangat berbahaya. Karena itu maka mereka pun segera meloncat menyerang dari beberapa arah. Mereka harus bertempur pada jarak dekat, sehingga lawannya itu tidak sempat melepaskan serangannya yang mengerikan itu.

Namun ternyata orang itupun memiliki ketrampilan yang sangat tinggi. Apalagi dalam keadaan yang demikian ia sempat berloncatan menghindar dan memberi isyarat kepada orang-orang padepokan itu untuk memasuki arena. Dengan demikian maka iapun telah mendapat kesempatan untuk memasuki pertempuran yang lain yang memungkinkannya untuk menebas lawannya dengan ilmunya yang nggegirisi.

Namun dalam pada itu, ketika ia melenting keluar dari arena, tiba-tiba saja seseorang telah menandinginya sambil tersenyum. Bahkan orang itu telah bertepuk tangan sambil berkata lantang, “luar biasa. Kau benar-benar seorang yang pilih tanding.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun segera mengenali orang yang datang itu. “Ha, kau Sang Akuwu yang Agung,” sapa orang itu sambil melangkah mendekat, “Aku memang menunggu kesempatan seperti ini.”

“Kita sudah pernah mendapat kesempatan,” berkata Tatas Lintang, “tetapi kesempatan itu telah kau tinggalkan.”

“Di mana kemanakanmu itu?” bertanya orang itu, “aku pernah meminjam wadag seorang di antara mereka. Sayang aku tidak mendapat kesempatan sekarang ini. Sebenarnya aku dapat menyembunyikan wadagku dan kemudian mengoyak pasukan Lemah Warah dengan caraku. Memasuki tubuh mereka seorang demi seorang dan membunuhnya dengan mudah.”

“Kenapa mudah?” bertanya Tatas Lintang.

“Aku memang bodoh,” berkata orang itu, “kenapa aku baru teringat sekarang. Aku dapat memasuki wadag prajurit Lemah Warah dan membiarkan orang-orang padepokan ini menghunjamkan senjatanya di dada. Dengan cepat aku harus melepaskan diri dan memasuki tubuh yang lain. Dengan cara yang sama aku akan dapat banyak membunuh orang-orang Lemah Warah.”

“Kenapa tidak kau lakukan?” bertanya Akuwu Lemah Warah.

“Sudah aku katakan, itulah kebodohanku.” jawab orang itu.

“Kau masih mendapat kesempatan,” berkata Akuwu Lemah Warah.

“Tentu tidak Sang Akuwu,” jawab orang itu, “kau tentu akan menemukan tubuhku dan mencincangnya dengan geram.”

“Karena itu, maka kesempatanmu sekarang adalah bertempur melawan aku,” berkata Akuwu Lemah Warah, “tidak sepantasnya kau membunuh prajurit-prajurit itu.”

“Di peperangan aku boleh membunuh lawanku yang manapun,” jawab orang itu.

“Tetapi aku tidak melakukannya,” jawab Tatas Lintang, “aku masih mempunyai harga diri, sehingga aku sempat memilih lawan. Nah, sekarang aku telah menemukan lawan itu.”

“Salahmu sendiri,” berkata orang itu, “kenapa kau harus mempertahankan harga dirimu.”

“Baiklah. Kita tidak mempersoalkannya lagi. Kita sekarang sudah mendapat kesempatan untuk bertemu lagi. Apakah kau akan lari lagi?”

Orang itu tertawa. Katanya, “Tentu tidak Sang Akuwu yang mulia. Aku tidak akan lari. Tetapi aku akan membunuhmu.”

Akuwu Lemah Warah itu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sejenak mereka saling berhadapan. Keduanya telah bersiap dalam kesiagaan tertinggi. Mereka masing-masing mengerti bahwa lawannya memiliki ilmu yang nggegirisi, yang mampu menyambar lawannya pada jarak tertentu.

Namun selagi keduanya telah bersiap, terdengar lawan Tatas Lintang itupun berkata, “Kita menyadari, bahwa kita tidak akan dapat dengan cepat menyelesaikan pertempuran di antara kita. Jika kita mempergunakan kemampuan kita sebagaimana pernah terjadi, maka kita hanya akan berkejaran dan saling berloncatan. Karena itu aku tantang kau bertempur dengan cara yang lain.”

“Cara apakah yang kau maksud?” bertanya Tatas Lintang.

“Kita akan beradu ilmu pedang,” berkata orang itu.

Tatas lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak berkeberatan. Kita akan melakukannya dengan jujur. Di antara kita tidak akan dengan tiba-tiba dan curang menyerang dari jarak jauh.”

“Aku setuju,” jawab orang itu.

Demikianlah maka keduanya pun telah bersiap dengan pedang. Keduanya, akan mengukur kemampuan mereka dalam ilmu pedang. Sejenak kemudian maka pedang mereka pun telah terjulur. Ujung-ujungnya itupun mulai mematuk dengan cepatnya.

Keduanya ternyata memang memiliki kemampuan ilmu pedang yang tinggi. Kedua pedang di tangan kedua orang yang sedang bertempur itupun kemudian berputar dengan cepatnya, sehingga yang nampak hanyalah gulungan awan putih yang menyelubungi keduanya masing-masing. Namun sekali-sekali kedua senjata itupun telah beradu sehingga bunga api pun telah memercik ke udara.

Semakin lama pertempuran antara kedua orang itupun menjadi semakin cepat. Benturan-benturan telah memperingatkan kepada mereka, bahwa lawan mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan kemampuan yang tinggi.

Namun dalam pada itu, pertempuran yang bertebaran di seluruh padepokan itu telah menjadi semakin kehilangan keseimbangan. Prajurit Lemah Warah yang memang lebih banyak, ternyata menjadi semakin mapan. Orang-orang dari padepokan itu, betapapun mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka, namun mereka benar-benar sulit untuk mengimbangi kemampuan prajurit Lemah Warah. Karena itulah, maka lambat laun orang-orang padepokan itupun bagaikan telah tergiring ke sudut-sudut padepokan. Mereka tidak mempunyai kesempatan untuk menentukan dan memilih medan.

Para pemimpin padepokan itu menyadari kesulitan yang terjadi pada para pengikut mereka. Namun mereka tidak segera mendapat cara untuk mengatasinya. Para pemimpin itu ternyata telah mendapat lawan yang seimbang. Bahkan ternyata mereka, memiliki beberapa kelebihan sehingga para pemimpin dari padepokan itupun telah terdesak sebagaimana para pengikutnya.

Dalam keadaan yang demikian, maka rasa-rasanya tidak akan ada harapan lagi bagi orang-orang padepokan itu. Satu-satunya kemungkinan bagi mereka, jika tidak ada perubahan keadaan, adalah melarikan diri dari padepokan itu. Namun di luar padepokan sebagian kecil pasukan Lemah Warah telah menunggu. Karena itu, maka sebenarnyalah keadaan orang-orang padepokan itu benar-benar menjadi sangat gawat. Sedangkan pertempuran telah terjadi sedemikian lamanya dan benar-benar telah menghisap tenaga.

Di sudut-sudut padepokan, orang-orang padepokan itu bertempur dalam keadaan putus asa. Namun justru karena itu, maka mereka seakan-akan menjadi keras, kasar dan bahkan liar. Mereka tidak lagi sempat membuat perhitungan-perhitungan. Apapun telah mereka lakukan bukan untuk mempertahankan diri lagi, tetapi mereka telah bertempur untuk mencari kawan sebanyak-banyaknya untuk terjun ke daerah maut.

Namun dalam keadaan yang demikian, mereka masih mengharapkan sesuatu terjadi, meskipun hanya sepercik kecil. Harapan yang semakin lama menjadi semakin pudar. Tetapi dalam pada itu, di tengah-tengah padepokan itu, suasananya memang agak berbeda. Suasana tetap lengang dan sepi. Tidak seorang pun yang nampak. Seakan-akan tempat itu menjadi terlarang bagi siapapun.

Dalam keadaan yang sepi lengang itu, ternyata sesuatu telah terjadi. Di dalam barak yang tertutup rapat, seorang sedang duduk di atas sebuah amben yang besar. Tangannya bersilang di dadanya. Sementara kepalanya menunduk dan matanya separuh terpejam.

Dengan ketajaman panggraitanya ia telah mengikuti pertempuran yang terjadi di padepokan itu. Dengan jantung yang berdebaran ia melihat orang-orang padepokan itu semakin terdesak. Bahkan para pemimpinnya yang diandalkannya pun telah terdesak pula. Bahkan seorang di antara mereka benar-benar telah dilumpuhkan oleh lawannya. Hanya karena ia memiliki ilmu panglimunan meskipun belum sempurna sajalah maka ia dapat membebaskan dirinya dan harus bersembunyi, karena tenaganya hampir seluruhnya telah terhisap habis!

Kekalahan-kekalahan itu tidak dapat dibiarkannya begitu saja. Semula ia memang berharap bahwa segalanya akan terselesaikan tanpa ia sendiri ikut campur. Namun ternyata bahwa orang-orang padepokan itu telah terdesak dan hampir kehilangan kesempatan sama sekali. Karena itu, maka orang itupun akhirnya merasa bahwa ia tidak akan dapat tinggal diam. Ia harus berbuat sesuatu untuk membantu orang-orang padepokan itu, agar mereka tidak dihancurkan sama sekali oleh para prajurit dari Lemah Warah.

Untuk beberapa saat orang itu masih memperhatikan keadaan dengan saksama sebelum mengambil langkah-langkah tertentu. Sementara itu, orang-orang yang telah memasuki padepokan itu memang menjadi bingung. Mereka tidak melihat apapun pada jarak selangkah di hadapan mereka. Karena itu yang mereka lihat adalah bayangan-bayangan kabur yang tidak begitu jelas, apakah mereka kawan atau lawan.

Orang-orang padepokan itupun merasa sulit untuk menyerang. Tetapi mereka mempunyai kesempatan untuk bergeser dari tempatnya. Mereka dengan pengenalan mereka yang baik atas padepokan itu, seorang demi seorang telah berhasil lolos dari himpitan pasukan dari Lemah Warah.

Dengan demikian maka pertempuran pun pada dasarnya telah berhenti. Kedua belah pihak tidak mau menanggung akibat buruk karena kesalahan mereka menentukan lawan dan kawan. Jika mereka hanya melihat bayangan yang sepintas lewat di depan mereka, maka mereka tidak akan segera dapat mengenalinya.

Tatas Lintang yang memimpin langsung para prajurit Lemah Warah itupun semula tidak segera dapat menentukan langkah-langkah yang perlu diambil oleh pasukannya. Namun akhirnya Tatas Lintang tidak dapat berbuat lain daripada untuk sementara menyelamatkan prajurit-prajuritnya yang terjebak oleh kabut yang semakin tebal itu.

Karena itu, maka dengan suaranya yang bergaung memenuhi, udara padepokan itu Tatas Lintang berkata, “Kita lebih baik keluar dari padepokan ini. Kita akan mengepung padepokan ini diluar dinding.”

Para prajuritnya mendengar suara Tatas Lintang itu. Meskipun mula-mula mereka ragu-ragu, namun akhirnya mereka menyadari, bahwa perintah itu memang datang dari Akuwu Lemah Warah.

Karena itu, maka para prajurit itupun telah berusaha untuk mencapai dinding padepokan. Mereka yang sempat menemukan kawan-kawan mereka yang terluka dan terbaring di padepokan itu, dengan susah payah telah mereka bawa keluar. Mereka sadar, bahwa mereka tidak akan mungkin keluar lewat pintu gerbang, karena pintu gerbang itu tentu telah ditutup dan dijaga oleh para penghuni padepokan itu.

Dalam pada itu, para penghuni padepokan itupun telah berusaha untuk mencegah para prajurit Lemah Warah keluar dari padepokan itu, namun terlalu sulit bagi mereka untuk dapat berbuat demikian, karena mereka pun tidak dapat melihat pada jarak selangkah.

Para prajurit Lemah Warah yang berusaha mencapai dinding padepokan harus mengamati setiap tubuh yang terbaring yang mereka jumpai. Jika ternyata tubuh itu adalah tubuh prajurit Lemah Warah hidup atau mati, maka prajurit itu telah berusaha membawanya.

Betapapun sulit dan lambatnya, namun akhirnya para prajurit Lemah Warah itupun telah berhasil keluar dari dinding padepokan itu. Padepokan yang semula dikenal sebagai padepokan orang-orang bertongkat. Namun ternyata yang memenuhi padepokan itu bukannya hanya orang-orang bertongkat saja.

Ternyata beberapa perguruan telah bergabung menjadi satu. Atau mungkin salah satu perguruan yang mempunyai kekuatan tidak terlawan oleh yang lain telah memaksakan kehendaknya atas perguruan yang lain yang ada di padepokan itu.

Ketiga orang anak muda yang disebut kemanakan Tatas Lintang itupun telah berada di luar padepokan pula, sementara Tatas Lintang adalah orang yang terakhir yang meloncati dinding padepokan.

Diluar padepokan, tidak ada selembar kabut pun yang menghalangi pandangan mereka. Tidak ada angin yang tidak ada suasana apapun yang mempengaruhi mereka. Langit cerah dan dedaunan pun bergerak dihembus oleh angin yang tidak begitu kencang.

“Luar Biasa,” geram Tatas Lintang, “ternyata didalam padepokan itu terdapat seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ilmu yang telah berhasil menghentikan pertempuran. Kemenangan yang perlahan-lahan telah diraih oleh para prajurit itu, ternyata tidak dapat mereka selesaikan dengan tuntas.”

Namun bagi Tatas Lintang, menarik pasukannya keluar dari padepokan adalah jalan yang paling baik yang dapat ditempuh. Jika tidak, maka orang-orang padepokan itu yang kemudian menjadi mapan akan sangat berbahaya bagi mereka. Jika kabut itu dibuatnya sedikit menipis setelah orang-orang dari padepokan itu berhasil bebas dari himpitan dan tekanan pasukan Lemah Warah, maka mereka akan mendapat banyak kesempatan untuk menyerang dan kemudian menghilang diantara kabut dan sudut-sudut barak di padepokan itu.

Karena itu, maka satu-satunya kemungkinan yang dapat ditempuh adalah sebagaimana dilakukan oleh Tatas Lintang. Setelah mereka berada di luar padepokan, maka Tatas Lintang pun segera mengumpulkan para pemimpin kelompok serta ketiga orang yang disebutnya sebagai kemanakannya, serta Panglima pasukan khusus itu. Mereka berusaha untuk memecahkan teka-teki yang mereka hadapi di padepokan itu.

Namun akhirnya Tatas Lintang pun memerintahkan kepada para pemimpin kelompok untuk kembali ke kelompok masing-masing dengan pesan, “Jangan ada seorang pun yang lolos. Kita tetap mengepung padepokan ini. Pada saatnya nanti kita akan berbicara lebih mendalam. Mungkin kita mendapat petunjuk apa yang harus kita lakukan."

Para pemimpin kelompok itupun segera kembali ke pasukan masing-masing. Mereka telah mengatur kelompoknya serta menyampaikan perintah Akuwu agar mereka tetap mengepung padepokan itu dengan ketat.

“Tidak seorang pun boleh lolos dari kepungan,” berkata setiap pemimpin kelompok kepada pasukannya.

Dalam kesempatan itu, Tatas Lintang sempat berbicara secara khusus dengan Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Ura dan Panglima pasukan khususnya.

“Sayang kita tidak menemukan orang itu dan tidak mengetahui di mana orang itu berada,” berkata Tatas Lintang.

Ketiga orang yang pernah diaku sebagai kemanakan Tatas Lintang itu serta Panglima khususnya mengangguk-angguk. Mereka sebenarnya tidak gentar menghadapinya seandainya mereka mendapat kesempatan. Tetapi agaknya mereka sulit untuk menemukan orang itu di antara para penghuni padepokan itu.

“Pada waktu ia melepaskan ilmunya, mungkin ia berada di salah satu barak di padepokan itu,” berkata Mahisa Murti.

“Mungkin,” sahut Tatas Lintang, “tetapi bagaimana menemukan barak yang satu itu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun baginya tidak segera nampak satu cara untuk memecahkan teka-teki itu.

“Kita akan menunggu sampai kita menemukan satu cara. Selama itu kita akan mengepung padepokan ini,” berkata Tatas Lintang. Lalu, “Sementara itu kita dapat menghitung berapa orang kita yang gugur, yang terluka dan yang hilang. Namun kita yakin, bahwa jumlah korban di antara kita dan orang-orang padepokan itu, tentu lebih banyak di antara mereka.”

“Ya. Aku yakin,” desis Mahisa Pukat.

Dengan demikian, maka mereka tidak melanjutkan pembicaraan itu. Mereka justru telah mengelilingi pasukan Lemah Warah yang mengepung padepokan itu dalam kelompok-kelompok kecil yang tersebar. Seperti diperintahkan oleh Akuwu Lemah Warah, maka tidak boleh seorang pun lolos.

Untuk menjaga agar pasukan Lemah Warah itu tidak dikoyak-koyak oleh orang-orang yang berilmu tinggi dari padepokan itu yang dengan sengaja dan diam-diam meloncati dinding untuk menyerang, maka para kelompok harus mempunyai alat untuk menyampaikan isyarat. Karena itu, maka mereka harus berusaha mencari batang bambu di rumpun-rumpun bambu di luar padepokan itu untuk membuat kentongan.

Dengan isyarat itu, maka mereka akan dapat memanggil para pemimpin dari Lemah Warah untuk menghadapi orang-orang berilmu tinggi dari padepokan itu apabila mereka dengan diam-diam keluar dari padepokannya untuk mengacaukan kepungan para prajurit Lemah Warah. Kepada setiap pemimpin kelompok Akuwu Lemah Warah yang datang kepada kelompok-kelompok itu telah memberikan pesan agar pasukan Lemah Warah tidak justru terjebak.

“Kita harus berhasil,” berkata Akuwu Lemah Warah, “yang perlu dicari pemecahannya adalah kabut yang membuat padepokan itu menjadi gelap. Apalagi jika dalam gelapnya kabut itu, orang-orang padepokan itu sempat mempergunakan ular-ular mereka. Maka kita benar-benar akan dihancurkan, karena ular itu akan dapat menelusur ke seluruh medan dengan bekal pengenalan atas lawan-lawan dari orang yang mempengaruhinya dengan Ilmu Gendam.”

Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Mereka memang dapat membayangkan, betapa ngerinya jika di dalam kabut yang gelap itu, di bawah kaki mereka berkeliaran ular-ular berbisa yang setiap saat dapat mematuk mereka. Dengan demikian maka mereka akan dibantai oleh lawan mereka tanpa mampu memberikan perlawanan apapun juga.

Dengan demikian maka yang harus dilakukan oleh pasukan itu adalah sekedar menunggu perintah lebih lanjut. Sementara itu mereka harus mengawasi padepokan itu dengan ketat, sehingga mereka tidak akan terjerumus ke dalam keadaan yang tiba-tiba saja menjadi gawat.

Namun di antara mereka yang terluka itu ternyata ada juga yang telah digigit oleh ular berbisa. Untunglah bahwa mereka pada umumnya membawa obat penawar bisa, sehingga meskipun untuk sementara, mereka berhasil menahan menjalarnya bisa di dalam tubuh mereka, sampai saatnya Akuwu Lemah Warah sendiri memberikan pengobatan kepada mereka.

Di malam hari, pengawasan di sekitar padepokan itu tidak mengendor. Setiap kelompok telah membagi orang-orangnya untuk mengamati keadaan dengan saksama. Sementara itu, setiap kelompok pun harus menghitung dengan teliti, berapa orang yang terbunuh, hilang atau terluka.

Sambil mengamati keadaan, maka beberapa orang prajurit telah menyelenggarakan persiapan penguburan kawan-kawan mereka yang terbunuh, yang akan dilakukan besok. Sedangkan yang lain merawat kawan-kawan mereka yang terluka.

Di hari berikutnya kesibukan para prajurit Lemah Warah ditandai dengan beberapa gundukan tanah basah. Mereka telah menguburkan kawan-kawan mereka yang terbunuh di peperangan. Meskipun demikian, pengawasan terhadap padepokan itu sama sekali tidak diabaikan. Setiap jengkal mendapat pengawasan secermat-cermatnya.

Tatas Lintang, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Ura dan Panglima pasukan khusus dari Lemah Warah itu agaknya masih belum mendapatkan cara untuk menembus padepokan itu. Ketika mereka berbicara tentang kemungkinan itu, maka Mahisa Pukat pun berkata, “Kita bakar saja padepokan itu.”

“Kita tidak akan mendapatkan apa-apa. Mungkin barak-barak itu akan terbakar, tetapi orang-orangnya masih akan tetap bertahan,” jawab Tatas Lintang.

“Jika persediaan makan mereka juga terbakar?” berkata Mahisa Pukat pula.

“Kita tidak tahu di manakah mereka menyimpan persediaan makanan mereka. Tetapi membakar padepokan itu mempunyai kesan yang terlalu kasar, meskipun kita tidak melanggar paugeran apapun juga,” jawab Akuwu Tatas Lintang, “namun jika kita mempunyai cara lain yang lebih baik untuk memaksa menyerah, aku kira kita akan menempuhnya.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, yang lain pun berpikir juga untuk mencari satu kemungkinan yang lebih baik dari yang diusulkan oleh Mahisa Pukat itu. Namun tidak mudah untuk menemukan cara itu. Karena itu Tatas Lintang pun telah memerintahkan agar pasukannya mengepung padepokan itu dengan rapat.

“Kita akan berada di sini untuk waktu yang tidak ditentukan,” berkata Tatas Lintang kepada para pemimpin kelompok, “kita harus mencari jalan yang sebaik-baiknya agar korban tidak terlalu banyak jatuh. Karena itu kita tidak boleh tergesa-gesa.”

Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti bahwa Akuwu Lemah Warah itu harus berbuat dengan sangat berhati-hati tanpa mengorbankan prajurit-prajuritnya tanpa arti. Namun demikian mereka juga mulai memandang hari-hari berikutnya yang tidak pasti. Meskipun dihadapan mereka masih tetap berdiri dinding padepokan yang garang yang menyimpan orang-orang berilmu tinggi.

Namun dalam pada itu, peristiwa lain telah terjadi. Beberapa orang prajurit telah menangkap tiga orang yang tidak dikenal. Tetapi ketiga orang itu tidak melakukan perlawanan. Ketika para prajurit mengacukan senjata mereka, maka salah seorang dari ketiga orang itu berkata, “Kami justru ingin bertemu dengan Panglima pasukan kalian.”

“Kami dipimpin langsung oleh Panglima kami dan Akuwu kami,” jawab prajurit itu.

“Bawa kami kepada keduanya,” jawab salah seorang dari ketiga orang itu.

Para prajurit itu memang ragu-ragu. Tetapi ketiga orang itu nampaknya memang tidak ingin melakukan sesuatu. Bahkan seandainya mereka ingin berbuat curang, maka biarlah mereka berhadapan dengan Akuwu dan tiga orang anak muda yang disebut kemanakannya itu. Orang-orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Sebenarnyalah maka ketiga orang itu telah dibawa menghadap Akuwu Lemah Warah yang sedang berbincang dengan tiga orang yang disebut kemanakannya itu serta Panglima pasukan khususnya. Perbincangan yang panjang yang masih belum menemukan kesimpulan yang meyakinkan untuk mengatasi kesulitan di dalam padepokan itu.

Seorang di antara para prajurit itu telah menghadap Akuwu Lemah Warah yang berada di dalam sebuah gubug kecil yang telah dibangun oleh para prajurit Lemah Warah untuk sekedar berlindung dari terik matahari basahnya embun malam.

“Kami telah menangkap tiga orang yang tidak dikenal, Akuwu,” berkata prajurit itu.

“Apa yang mereka lakukan?” bertanya Akuwu.

“Mereka tidak berbuat apa-apa. Dan mereka sama sekali tidak melakukan perlawanan. Bahkan mereka mohon untuk dapat menghadap Akuwu Lemah Warah,” jawab prajurit itu.

Akuwu Lemah Warah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Bawa mereka kemari.”

Para prajurit itupun kemudian telah membawa ketiga orang itu memasuki gubug menghadap Akuwu Lemah Warah. Namun ketika Akuwu Lemah Warah, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Ura dan Panglima pasukan khusus melihat orang yang datang itu, mereka pun serentak telah bangkit berdiri sambil mengangguk hormat.

Prajurit yang membawa ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Namun mereka pun menjadi jelas ketika Akuwu Lemah Warah kemudian mempersilahkan, “Marilah pangeran Singa Narpada. Silahkan duduk di perkemahan kami yang besar ini.”

Salah seorang dari ketiga orang yang datang itu mengangguk sambil menjawab, “Terima kasih.” Lalu sambil berpaling kepada kedua orang yang lain ia berkata, “Akuwu, kedua orang ini adalah Ki Mahendra, ayah dari kedua orang anak muda yang sudah ada di sini, dan yang lain adalah Senapati dari Kediri yang memang aku bawa untuk kawan berjalan.”

“Oo,” Akuwu Lemah Warah itu mengangguk. Katanya, “Syukurlah, Pangeran dari kedua orang saudara kita ini telah datang. Tetapi maksud Pangeran, Ki Mahendra adalah ayah dari ketiga orang yang selama ini aku sebut sebagai kemanakanku ini.”

“Hanya dua,” jawab Pangeran Singa Narpada. Lalu ia-pun bertanya kepada Mahendra, “Bukankah anak Ki Mahendra yang seorang lagi adalah Mahisa Bungalan. Apakah Ki Mahendra masih mempunyai anak yang lain.”

Mahendra tersenyum. Katanya, “Anakku memang hanya dua.”

Mahisa Ura termangu-mangu. Namun iapun kemudian tersenyum, “Aku adalah anak angkatnya.”

Mahendra lah yang kemudian tersenyum, sementara Mahisa Ura berkata, “Aku adalah sahabat Mahisa Bungalan. Aku telah mendapat beban dari padanya untuk menyertai kedua adiknya yang sudah aku anggap sebagai adikku sendiri. Namun bedanya, Mahisa Bungalan akan mampu melindungi kedua adiknya, sementara aku justru menjadi bebannya.”

“Ahh,” desah Mahendra, “tentu bukan begitu.”

“Mahisa Ura telah memberikan banyak sekali petunjuk sehingga kami sempat sampai ke tempat ini,” berkata Mahisa Murti.

Mahendra pun mengangguk-angguk, sementara Akuwu Lemah Warah pun berkata, “Baiklah. Marilah silahkan duduk. Kita akan berbicara banyak. Aku yakin kehadiran Pangeran tentu ada hubungannya dengan tugas yang harus aku laksanakan. Namun yang membentur kesulitan ini.”

“Kesulitan?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Ya. Kesulitan yang belum terpecahkan,” jawab Akuwu Lemah Warah. Lalu, “Tetapi nanti sajalah jika Pangeran telah beristirahat, kita akan membicarakannya.”

Dalam pada itu, maka para petugas di perkemahan itu telah menyiapkan hidangan bagi ketiga orang tamu itu, meskipun dengan gaya makanan di medan perang. Namun ketiga orang tamu itupun adalah tiga orang prajurit, sehingga suguhan itupun cukup baik bagi mereka. Baru kemudian setelah mereka menghirup minuman hangat dari sepotong bumbung pring wulung, barulah mereka mulai berbicara tentang kesulitan yang dialami oleh Tatas Lintang. Namun demikian, Pangeran Singa Narpada sempat berceritera kenapa ia bertiga sampai ke padepokan orang-orang bertongkat itu.

“Kepergian kedua anak Ki Mahendra itu sudah terlalu lama, sehingga ayahnya menjadi cemas,” berkata Pangeran Singa Narpada, “tetapi karena ayahnya juga seorang pengembara di masa mudanya maka ia tidak tinggal menunggu sambil meratap. Tetapi Ki Mahendra telah mencari anaknya. Agaknya Ki Mahendra telah datang ke Kediri untuk menanyakan kedua anaknya. Dalam pada itu aku ikut merasa bertanggung jawab, karena akulah yang telah memberikan mereka tugas, sehingga karena itu maka kami berdua telah sepakat untuk mencarinya. Karena itulah maka kami berdua telah mengajak seorang Senopati untuk menyusul. Sementara itu aku pun ingin tahu apa yang telah dilakukan oleh Akuwu Lemah Warah. Ternyata bahwa Akuwu Lemah Warah telah memanggil sepasukan prajurit untuk pergi ke padepokan ini. Dengan keterangan yang kami peroleh dari Lemah Warah maka kami telah sampai pula ke tempat ini.”

Akuwu Lemah Warah itu mengangguk-angguk. Sementara itu Mahendra pun berkata, “Ternyata aku pun telah menemukan kedua orang anakku di sini dan seorang yang telah menjadi saudaranya pula.”

Mahisa Ura tersenyum. Katanya, “Namaku Mahisa Ura sekedar untuk meyakinkan bahwa aku adalah saudaranya.”

Mahendra tertawa. Katanya, “Kau pantas disebut kakak oleh anak-anakku.”

Pangeran Singa Narpada pun mengangguk-angguk, iapun kemudian mengetahui bahwa Singasari pun telah mengirimkan pula seorang petugas sandinya untuk menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun agaknya Mahisa Bungalan menghendaki orang itu mampu memberikan beberapa petunjuk arah kepada kedua adiknya.

Dalam pada itu maka Akuwu Tatas Lintang pun kemudian melaporkan kesulitan yang dialaminya karena seorang yang berilmu sangat tinggi telah mempengaruhi medan pada saat pasukannya hampir menguasai padepokan itu.

“Kami tidak dapat bertahan dalam kegelapan kabut itu,” berkata Akuwu Tatas Lintang, “kami masih dapat melihat beberapa langkah di hadapan kami dalam gelapnya malam. Tetapi di dalam gelapnya kabut kami sama sekali tidak melihat sesuatu. Di malam hari kami masih sanggup untuk bertempur terus. Tetapi di dalam kabut kami mengalami kesulitan, sementara itu orang-orang padepokan itu jauh lebih mengenal medan dari kami sehingga mereka yang telah tersudut pun lolos dari tangan kami. Mereka kemudian memencar dan tidak lagi dapat kami cari dalam gelapnya kabut yang semakin padat. Apalagi jika kemudian ternyata di bawah kaki kami beberapa ekor ular dalam kuasa ilmu gendam menyerang kami.”

Pangeran Singa Narpada, Mahendra dan Senapati yang menyertai mereka itupun mengangguk-angguk. Mereka sudah mendapat gambaran jelas dari kesulitan yang dialami oleh Tatas Lintang beserta pasukannya.

Sementara itu Tatas lintang melanjutkan, “untuk mengatasi kesulitan tersebut, kami sudah berbicara banyak sekali. Namun kami masih belum menemukan cara yang paling baik untuk mengatasinya.”

“Baiklah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “kita harus memperhitungkan setiap kemungkinan. Kami yang baru datang akan mencoba untuk melihat-lihat keadaan. Kemudian kita bersama-sama akan mencoba lagi untuk menentukan langkah yang paling baik yang dapat kita tempuh.”

“Segala sesuatunya terserah kepada Pangeran karena Pangeran sudah ada di sini,” berkata Tatas Lintang.

“Kita akan menentukan bersama-sama,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Demikianlah, maka Pangeran Singa Narpada, Mahendra dan seorang Senapati Kediri telah bergabung dengan pasukan Pakuwon Lemah Warah. Namun ternyata mereka pun tidak dengan tergesa-gesa menentukan langkah-langkah yang akan mereka ambil.

Di hari berikutnya, maka Pangeran Singa Narpada dan Mahendra diiringi oleh Senapati Kediri yang bersama keduanya datang ke tempat itu. Akuwu Lemah Warah serta tiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya serta Panglima pasukan khususnya diiringi oleh sekelompok kecil pasukan khususnya telah mendekati padepokan itu.

Para penjaga yang bertugas mengamati keadaan di padepokan itu, yang berdiri di atas panggung di dalam lingkungan dinding padepokan telah melihat mereka mendekat. Karena itu mereka pun telah memberikan isyarat kepada para pemimpin padepokan itu.

Para pemimpin padepokan itupun segera mengambil langkah. Mereka segera naik pula ke panggung pengamatan untuk melihat sendiri, siapa sajakah yang telah datang mendekati padepokan itu.

Namun orang-orang padepokan itu tidak melihat orang lain di antara mereka kecuali Akuwu Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya. Mereka tidak melihat Pangeran Singa Narpada, Mahendra dan seorang Senapati Kediri sebagai orang-orang penting, karena mereka tidak mengenakan tanda-tanda khusus dan sikap tertentu sehingga mereka dapat dikenali sebagai orang-orang penting.

Karena itu maka para pemimpin dari padepokan itupun tidak menentukan sikap-sikap khusus pula. Bahkan mereka menjadi tidak acuh saja karena mereka menganggap kehadiran mereka tidak lebih dari usaha untuk menentukan langkah-langkah yang masih gelap bagi para pemimpin dari Lemah Warah itu.

“Biar saja mereka dalam kebingungan,” berkata para pemimpin padepokan itu.

Para pengawas dari padepokan itu tidak menjawab. Tetapi mereka juga menganggap sebagaimana para pemimpin mereka. Orang-orang Lemah Warah benar-benar dalam kebingungan. Mereka memerlukan melihat-lihat untuk mencari kemungkinan.

Karena itu, maka salah seorang di antara mereka tiba-tiba saja berteriak, “He, apa yang kalian cari?”

Orang-orang Lemah Warah itu memperhatikan orang-orang yang berada di atas panggungan di dalam dinding padepokan. Mereka melihat beberapa orang sedang memperhatikan mereka. Namun kemudian para pemimpin dari padepokan itu telah turun sambil berpesan,

“Amati saja mereka. Hanya jika mereka menunjukkan sikap yang membahayakan, beri kami isyarat. Sementara itu, orang-orang yang berada di gardu-gardu pengawas di sisi lain dari padepokan ini akan mengawasi mereka jika mereka mengelilingi padepokan ini.”

Sebenarnyalah bahwa orang-orang Lemah Warah bersama Pangeran Singa Narpada, Mahendra dan Senapati yang baru datang dari Kediri itu telah mengelilingi padepokan. Mereka mencoba menilai betapa tingginya ilmu orang yang mampu memenuhi padepokan yang seluas itu dengan kabut.

“Memang luar biasa,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Jarang ada duanya,” sahut Mahendra. Namun kemudian katanya, “Tetapi jika kita sempat menghadapinya, belum tentu ia memiliki kemampuan ilmu kanuragan yang tidak terkalahkan. Mungkin ia akan dapat menyelubungi dirinya dengan kabut. Namun mungkin pula ada kesempatan untuk menembus kepadatan kabut itu dengan daya penglihatan khusus atau dengan kekuatan untuk menghembus kabut itu sehingga menyibak meskipun tidak seluruhnya.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Menurut Akuwu Lemah Warah, maka kesulitannya adalah menemukan orang yang melepaskan ilmu itu. Jika kita sempat menemukannya, maka mungkin kita akan memancingnya dalam pertempuran sebelum ia sempat melepaskan kabutnya.”

“Kita sebaiknya memasuki padepokan itu,” berkata Mahendra.

Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, “Ya. Sebaiknya kita memasuki padepokan itu malam nanti.”

Ternyata para pemimpin Lemah Warah itu sepakat untuk memasuki padepokan itu jika malam turun. Karena itu maka, mereka pun telah berusaha untuk melihat dengan cermat tempat-tempat pengawasan. Gardu-gardu dan panggungan untuk melihat keadaan di luar padepokan.

Namun orang-orang yang berada di gardu-gardu dan panggungan-panggungan itu tidak dapat mengamati setiap jengkal dinding padepokan. Tetapi hal itu disadari oleh para pemimpin padepokan, sehingga mereka mengadakan pengawasan di dalam dinding.

Dua orang secara teratur harus meronda nganglang mengitari bagian dalam dinding padepokan, sehingga jika ada seseorang yang meloncat memasuki padepokan itu tanpa dilihat oleh para pengawas di gardu-gardu dan panggungan-panggungan, akan dapat ditemukan oleh para peronda dan pengawas-pengawas yang berada di dalam dinding padepokan.

Namun orang-orang Lemah Warah pun telah memperhitungkan hal itu pula. Karena itu, maka mereka pun telah membuat rencana yang sebaik-baiknya untuk memasuki padepokan itu dan mencoba untuk mengetahui, di manakah orang yang dianggap memiliki ilmu tertinggi itu berada.

Orang-orang Lemah Warah itupun kemudian memutuskan, bahwa yang akan memasuki padepokan itu adalah Pangeran Singa Narpada sendiri, Mahendra, Tatas Lintang serta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sementara itu, yang lain harus bersiap-siap di luar dinding dan bergerak setiap saat jika diperlukan.

Selain itu maka semua prajurit Lemah Warah pun harus berada dalam kesiagaan tertinggi. Karena mereka pun mungkin akan terlibat di dalam pertempuran jika keadaan memaksa. Demikianlah maka setelah mengelilingi padepokan itu, para pemimpin Lemah Warah itu mempunyai sedikit gambaran apa yang harus mereka kerjakan malam nanti.

Namun demikian Mahisa Pukat sempat juga mengacukan genggaman tangannya ketika orang-orang padepokan itu berteriak, “Marilah. Singgahlah barang sejenak di padepokan kami.”

Mahendra yang melihat sikap Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “satu sambutan yang ramah. Karena itu jangan marah.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun wajahnya masih berkerut.

Demikianlah, ketika mereka telah berada kembali dalam sebuah gubug kecil yang menjadi tempat para pemimpin Lemah Warah mengatur dan membicarakan langkah-langkah mereka, Pangeran Singa Narpada pun telah memberikan pesan-pesan kepada orang-orang yang akan bersamanya memasuki padepokan itu.

Sebaliknya, Akuwu Tatas Lintang telah memberikan beberapa keterangan tentang isi padepokan itu. Memberikan sedikit gambaran tentang barak-barak yang bertebaran dan halaman serta kebun bahkan pategalan yang memiliki banyak tanaman dan bahkan rumpun-rumpun bambu.

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan melakukan dengan sangat berhati-hati. Mudah-mudahan kita tidak usah terlibat dalam kekerasan. Jika orang-orang padepokan itu sempat melihat kehadiran kita, maka usaha pertama kita adalah meninggalkan padepokan itu dan keluar dengan meloncati dinding. Hanya dalam keadaan yang memaksa kita akan mempergunakan kekerasan. Namun kita harus menyadari, jika demikian maka mungkin sekali akan terjadi pertempuran dan akan terulang lagi apa yang pernah terjadi.”

Yang lain pun mengangguk-angguk. Namun mereka menyadari sepenuhnya pesan Pangeran Singa Narpada. Karena itu, maka mereka pun siap untuk melaksanakan. Ketika malam pun kemudian turun, maka para pemimpin Lemah Warah pun telah bersiap pula untuk melakukan tugas mereka yang berat.

Namun Pangeran Singa Narpada menyadari bahwa segalanya harus dilakukan dengan hati-hati. Pasukan Lemah Warah harus belajar dari pengalaman, apa yang pernah terjadi di padepokan itu. Semakin dalam malam menukik ke pusatnya, maka orang-orang Lemah Warah pun menjadi semakin bersiaga, karena Pangeran Singa Narpada telah siap pula untuk memasuki padepokan itu bersama dengan beberapa orang yang telah ditunjuknya.

“Ternyata bahwa kita masih mendapat kesempatan untuk ikut menyelesaikan tugas ini,” berkata Pangeran Singa Narpada, “karena itu, hendaknya kita dapat menyelesaikan dengan baik.”

Mahendra mengangguk kecil. Diamatinya dari kejauhan dinding padepokan yang tegak membeku. Namun ia sadar bahwa dibalik dinding itu tersimpan kekuatan ilmu yang sangat tinggi.

Dalam pada itu, ketika saatnya telah datang, maka Pangeran Singa Narpada pun telah memberikan pesan terakhir kepada Panglima pasukan khusus Lemah Warah serta Mahisa Ura. Dalam keadaan tertentu maka mereka memang harus menggerakkan pasukan.

Sejenak kemudian, maka Pangeran Singa Narpada telah meninggalkan gubug kecil itu bersama dengan Akuwu Tatas Lintang, Mahendra dan kedua orang anaknya. Dengan sangat berhati-hati mereka telah mendekati dinding padepokan. Mereka menyusuri tempat-tempat gelap di bawah bayangan pepohonan. Di siang hari sebelumnya mereka telah mengamati keadaan padepokan itu, sehingga mereka dapat memperhitungkan tempat-tempat yang tidak terlalu tajam mendapat pengawasan.

Namun mereka pun menyadari, bahwa yang mereka lihat adalah pengawasan yang nampak dari luar dinding. Di belakang dinding itu tentu terdapat penjagaan yang kuat sebagaimana yang mereka lihat dari luar padepokan. Bahkan mungkin di balik dinding itu, orang-orang padepokan itu berdiri berjajar rapat berjarak sepanjang langkah mereka. Karena itu, maka mereka harus berhati-hati. Mereka harus memperhitungkan setiap langkah yang mereka ambil.

Beberapa langkah dari dinding padepokan, mereka telah berhenti seorang di antara mereka, Pangeran Singa Narpada sendiri telah bergeser mendekat. Dengan ketajaman pendengarannya ia berusaha untuk mengetahui apakah di balik dinding kayu itu terdapat seseorang atau bahkan lebih.

Namun Pangeran Singa Narpada tidak mendengar desah nafas. Bahkan yang didengarnya adalah justru desir langkah. Namun langkah yang semula mendekat itu justru telah menjauh. Dengan demikian Pangeran Singa Narpada memperhitungkan bahwa di dalam dinding padepokan itu tidak terdapat penjaga yang berjaga-jaga di setiap jengkal, tetapi para perondalah yang mengamatinya, yang lewat pada saat-saat tertentu saja.

Beberapa saat Pangeran Singa Narpada menunggu. Dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada mampu memperkirakan jarak waktu para peronda yang nganglang itu. Sejenak Pangeran Singa Narpada masih menunggu, di beberapa langkah nampak sebuah gardu panggungan. Meskipun dalam keremangan malam, namun ketajaman penglihatan Pangeran Singa Narpada mampu melihat, bahwa ada tiga orang yang bertugas di gardu itu.

Dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada telah dapat menentukan di mana mereka harus mencoba memanjat masuk. Dengan isyarat Pangeran Singa Narpada telah memanggil Mahendra. Dengan hati-hati Mahendra telah merayap mendekati Pangeran Singa Narpada. Dengan bahasa isyarat pula mereka berdua berniat untuk melihat apa yang ada di balik dinding itu. Sejenak kemudian mereka menunggu. Merekapun mendengar langkah para peronda pula.

Namun demikian peronda itu berlalu, maka kedua orang itu dengan sigapnya telah meloncat keatas dinding. Keduanya kemudian telah menelungkup melekat dinding padepokan itu, di bawah bayangan sebatang pohon yang tumbuh justru di dalam padepokan itu, namun daunnya yang rimbun telah membayangi bagian dari dinding padepokan itu.

Untuk beberapa saat keduanya menunggu. Seperti yang mereka perhitungkan, maka para peronda pun telah lewat pula dengan langkah yang pasti namun tidak tergesa-gesa. Para peronda itu nampaknya memang mendapat perintah untuk mengamati keadaan dengan saksama. Tetapi kemampuan kedua orang itu memang sangat tinggi. Mereka mampu menahan pernafasan mereka dan menyerap bunyi yang timbul karena diri mereka. Sehingga dengan demikian maka para peronda itu tidak mendengar sama sekali kehadiran mereka di atas dinding padepokan.

Dengan mengamati keadaan secara langsung, maka mereka pun dapat menentukan, kapan orang-orang yang bersama dengan mereka itu dapat meloncat masuk. Dengan perhitungan yang cermat, maka keduanya telah memberikan isyarat kepada Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Akuwu Lemah Warah agar mereka segera memasuki padepokan.

Seorang demi seorang di antara mereka telah meloncat masuk. Demikian mereka berada di dalam, maka mereka pun segera menempatkan diri di balik pohon-pohon perdu. Mereka berusaha untuk bukan saja tidak dapat dilihat oleh para peronda, tetapi juga tidak didengar. Dengan penuh kewaspadaan, maka orang-orang itupun mulai menebar, sampai saatnya Pangeran Singa Narpada dan Mahendra sendiri meloncat masuk pula.

Seperti yang mereka rencanakan, maka orang-orang itu telah memecah diri menjadi dua kelompok. Tatas Lintang bersama Pangeran Singa Narpada, sementara Mahendra bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereda akan menentukan langkah-langkah mereka masing-masing untuk menentukan di mana orang terpenting dari padepokan itu berada.

Dengan sangat berhati-hati kedua kelompok itu mulai bergerak. Mereka harus mengamati setiap barak. Mungkin mereka mendapat isyarat atau pertanda atau apapun juga yang dapat menunjukkan kepada mereka di mana orang yang mereka cari itu berada.

Karena itulah, maka kedua kelompok itu selalu bergerak di sekitar barak-barak. Mereka bergeser dari balik gerumbul yang satu ke balik gerumbul yang lain. Mereka berusaha mencapai setiap dinding barak meskipun mereka tidak boleh lengah karena ternyata di dalam padepokan itu, telah dilakukan pengawasan yang sangat ketat.

Mahendra. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergeser ke barak-barak yang berada di sisi depan dari padepokan itu, sementara Pangeran Singa Narpada dan Tatas Lintang mengamati di bagian belakang. Namun dalam pada itu selagi beberapa orang Lemah Warah berhasil menembus dinding penjagaan isi padepokan itu, ternyata orang-orang padepokan itupun berhasil melakukan hal yang sama.

Ternyata malam itu beberapa orang telah meninggalkan padepokan. Dua di antara mereka adalah orang terbaik dari padepokan itu. Dengan kemampuan mereka yang tinggi, mereka berhasil menyusup di antara para pengawas dari Lemah Warah menembus kepungan.

Ketika mereda sudah berada pada jarak yang aman maka seorang di antara mereka berkata sambil tertawa, “ternyata kemampuan pengamatan para prajurit Lemah Warah tidak setajam seperti yang kita duga. Mereka, tidak dapat melihat sama sekali kita menyusup kepungan mereka.”

“Ya. Mereka akan terkejut jika tiba-tiba saja mereka menghadapi bahaya,” berkata seorang yang lain.

Orang yang pertama itu tertawa. Katanya, “Aku akan membuktikan bahwa kemampuan kita melampaui kemampuan orang-orang Lemah Warah. Jika aku pernah kehilangan kesempatan untuk melawan, karena waktu itu aku memang lengah, sehingga aku tidak menyadari bahwa sedikit demi sedikit kekuatanku telah dicurinya dengan licik. Kini aku telah mengetahuinya sehingga dalam waktu yang akan datang, jika aku bertemu lagi dengan anak muda yang licik itu, aku sudah dapat menempatkan diriku menghadapi ilmu pengecutnya itu.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang yang lain. yang ternyata adalah orang memiliki kemampuan menyusup ke dalam wadag orang lain itupun berkata, “Baiklah. Kita akan mencari binatang jenis apapun yang dapat menjadi berbahaya. Aku sependapat bahwa kita akan mencari ular berapa karung pun yang dapat kita peroleh. Nanti ular-ular itu kita lepaskan di perkemahan prajurit Lemah Warah sementara sebagian yang lain akan kita pergunakan untuk melawan mereka jika mereka berani memasuki padepokan lagi. Sementara kabut meliputi padepokan, ular-ular itu akan mematuk kaki para prajurit Lemah Warah.”

Orang-orang yang lain itupun masih mengangguk-angguk. Mereka memang mempunyai keyakinan bahwa orang-orang Lemah Warah itu tidak akan dapat menundukkan mereka.

Demikianlah, maka sekelompok kecil orang-orang itu telah memasuki hutan yang tidak terlalu jauh dari padepokan mereka. Dalam gelapnya malam mereka langsung menuju ke bongkahan-bongkahan padas yang terdapat pada lereng rendah sebuah sungai yang tidak begitu besar. Namun di tempat itu memang terdapat banyak sekali ular.

Ternyata mereka adalah orang-orang yang memiliki ketrampilan untuk menguasai ular. Kecuali itu, mereka pun telah minum obat penawar bisa meskipun hanya akan dapat bertahan untuk beberapa lama. Namun waktu itu tentu sudah cukup lama untuk mengumpulkan ular sebanyak yang mereka butuhkan.

Demikianlah, mereka telah menangkap ular sebanyak-banyaknya dan mereka masukkan ke dalam karung. Ular-ular itu akan sangat berarti jika pasukan Lemah Warah menyerang lagi padepokan mereka.

Tetapi orang-orang itu tidak sekedar menangkap ular. Dengan kemampuan yang tinggi untuk menguasai binatang dengan lambaran ilmu gendam maka beberapa ekor harimau berhasil dikumpulkan. Orang yang memiliki ilmu gendam itu duduk di paling depan, sementara beberapa orang yang bersamanya duduk di belakangnya. Dalam puncak samadi sesuai dengan laku ilmu gendamnya maka empat ekor harimau yang terjangkau oleh ilmunya itu telah datang. Sejenak keempat ekor harimau itu berjalan hilir mudik. Namun kemudian keempatnya telah mendekam di hadapan orang yang memiliki ilmu gendam itu.

Agaknya telah terjadi hubungan getar di dalam diri orang yang berilmu gendam itu dengan getar di dalam diri harimau-harimau itu. Dalam ketiadaan kesadaran berpribadi dan penalaran maka harimau itu telah menerima getaran yang telah mempengaruhi nalurinya untuk berbuat sesuatu. Karena itu, ketika getaran itu telah benar-benar menguasai dirinya, maka harimau itupun telah bangkit dan mulai bergerak berdasarkan tuntunan dan perintah kekuatan ilmu gendam atas nalurinya.

“Satu cara untuk sekedar menghalau dingin bagi para prajurit Lemah Warah itu,” berkata orang yang memiliki ilmu gendam itu setelah dilepaskannya samadinya.

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka sadar bahwa keempat ekor harimau itu tentu akan menuju ke perkemahan para prajurit Lemah Warah dan menimbulkan kekisruhan. Pada saat yang demikian, maka mereka akan lebih mudah berusaha menerobos kepungan itu kembali memasuki lingkungan padepokan dengan membawa beberapa karung ular.

Dalam pada itu Pangeran Singa Narpada dan Tatas Lintang telah menyusup semakin dalam. Namun mereka tidak menemukan orang yang mereka cari atau tanda-tanda tentang orang itu. Demikian pula Mahendra bersama kedua anaknya. Mereka telah memasuki lorong-lorong di antara barak-barak dengan kemungkinan bertemu dengan para peronda. Namun mereka tidak melihat tanda-tanda tentang orang yang memiliki ilmu yang paling tinggi di padepokan itu, yang mampu menyelimuti padepokan itu dengan kabut yang tebal.

Namun mereka justru telah sampai di belakang sebuah barak yang khusus. Mereka melihat beberapa orang penjaga yang berada di depan pintu barak itu. Nampaknya barak itu memang mendapat penjagaan lebih baik dari barak-barak yang lain. Dengan sangat hati-hati Mahendra mendekati barak itu, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus mengawasi dari dua sudut barak itu jika ada peronda yang mengitari pondok itu.

Dari belakang pondok itu, Mahendra berhasil mengintai ke dalam. Yang dilihatnya adalah beberapa orang yang terluka terbaring di sebuah amben yang besar. Orang-orang terluka yang agaknya mendapat perawatan dengan baik. Namun mereka mendapat penjagaan yang kuat pula.

“Agaknya mereka bukan orang-orang padepokan ini,” berkata Mahendra kepada diri sendiri. Beberapa saat ia memperhatikan ruangan itu. Namun kemudian iapun telah bergeser menjauh dan mengajak kedua anaknya menyingkir ke belakang gerumbul perdu.

“Apa yang ayah lihat?” bertanya Mahisa Murti.

“Beberapa orang yang terluka. Namun agaknya mereka telah mendapat perawatan yang baik,” jawab Mahendra.

“Maksud ayah orang-orang padepokan ini yang terluka?” bertanya Mahisa Pukat pula.

“Aku tidak jelas. Tetapi menilik sikap dan pelayanan orang-orang yang ada di ruang itu, mereka bukan orang-orang padepokan ini. Ketika seorang bangkit dan duduk di pembaringannya, menurut penglihatanku ia nampak lain dari orang-orang yang merawat orang-orang yang terluka itu,” jawab Mahendra.

“Mungkin orang-orang Lemah Warah yang terhitung hilang. Karena kami tidak dapat membawa semua orang yang gugur atau terluka saat kami meninggalkan medan di padepokan ini,” berkata Mahisa Murti.

“Apakah kalian mengalami tekanan yang demikian beratnya, sehingga kalian harus melarikan diri dengan sangat tergesa-gesa?” bertanya Mahendra.

“Bukan tekanan para penghuni padepokan ini dalam pertempuran. Tetapi dalam kabut yang gelap itu kita tidak mampu untuk mencari kawan-kawan kita yang terluka dan gugur dengan cermat,” jawab Mahisa Murti.

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “jika benar orang-orang yang dirawat itu para prajurit Lemah Warah, ternyata orang-orang padepokan ini adalah orang-orang yang baik.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun mereka tidak dapat menjawab. Namun mereka memang pernah mendengar bahwa isi padepokan ini memang merupakan campur baur dari beberapa perguruan, sehingga mungkin ada perbedaan sikap di antara para penghuni yang berasal dari beberapa padepokan itu. Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terdiam, sementara Mahendra memperhatikan keadaan di sekitarnya.

“Hari ini kita gagal menemukan yang kita cari,” berkata Mahendra. “mudah-mudahan Pangeran Singa Narpada menemukannya. Namun jika Pangeran Singa Narpada juga gagal, kita masih mempunyai waktu untuk mengulanginya atau mencari jalan lain yang lebih baik.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, waktu pun berjalan terus. Sebagaimana mereka sepakati sebelumnya, maka mereka pun segera kembali ke tempat mereka memasuki padepokan itu untuk bersama-sama meninggalkannya.

Namun untuk beberapa saat Mahendra dan kedua anaknya menunggu. Baru beberapa waktu kemudian, Pangeran Singa Narpada dan Tatas Lintang telah datang pula. Dengan sangat berhati-hati mereka telah meloncat keluar dinding padepokan dengan memperhatikan para peronda yang setiap waktu mengelilingi lingkungan padepokan itu. Demikian mereka sampai di luar, maka mereka pun telah berusaha untuk menghindari pengamatan orang-orang padepokan itu yang berada di gardu-gardu di panggungan.

“Kita harus mencari cara lain,” berkata Pangeran Singa Narpada kemudian setelah, mereka merasa lepas dari setiap pengamatan.

“Ya Pangeran,” jawab Mahendra, “dengan cara ini kita sulit menemukannya.”

Yang lain pun mengangguk-angguk. Sementara itu Tatas Lintang pun berkata, “Kita harus memancing agar orang itu melepaskan ilmunya. Mungkin kita akan dapat melihat, sesuatu yang menjadi pertanda lepasnya ilmu itu.”

Pangeran Singa Narpada dan Mahendra agaknya setuju dengan pendapat itu. Dengan nada datar Pangeran Singa Narpada berkata, “Mungkin kita harus mempergunakan semua kekuatan seperti yang pernah kita lakukan.”

Yang lain pun mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, kelima orang itupun terkejut. Mereka yang hampir sampai ke perkemahan melihat keributan terjadi di antara para prajurit Lemah Warah.

“Apa yang terjadi?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

Yang lain tidak segera menjawab. Namun mereka telah mempercepat langkah mereka menuju ke perkemahan. Semakin dekat mereka dengan perkemahan, maka mereka pun lelah melihat para prajurit yang sedang berkelahi. Beberapa orang prajurit telah mengacukan senjata mereka dan memutarnya. Kemudian sekelompok-sekelompok prajurit yang lain juga sedang sibuk.

Pangeran Singa Narpada dan mereka yang bersamanya telah mempercepat langkah mereka. Namun mereka pun kemudian mengetahui bahwa keributan itu tidak hanya terjadi di gubug yang dipergunakan oleh Akuwu Tatas Lintang. Tetapi juga di bagian-bagian lain dari perkemahan itu. Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka mereka pun kemudian melihat bahwa para prajurit itu sedang berkelahi melawan seekor harimau.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Kepada seorang prajurit ia bertanya, “Hanya seekor?”

“Ya Pangeran. Disini. Tetapi ada lagi di tempat lain.” jawab prajurit itu.

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Namun baik Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah maupun yang lain tidak merasa perlu untuk ikut dalam perkelahian itu. Para prajurit pun segera dapat mengatasi harimau yang mengamuk itu. Termasuk Mahisa Ura.

Namun tiba-tiba saja terdengar beberapa orang prajurit yang berteriak tentang ular. Mereka melihat beberapa ekor ular tiba-tiba saja telah merayap mendekati arena pertarungan itu. Demikian para prajurit berhasil membunuh harimau yang bagaikan gila itu, maka mereka pun telah terdesak mundur oleh beberapa ekor ular yang melata mendekati mereka.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang melihat ular-ular itu mendekat segera meloncat maju. Namun Mahendra pun kemudian berteriak, “gunakan senjata kalian. Tusuk tepat di belakang kepalanya, jika kalian tidak sempat menghindar.”

Namun Mahendra mulai mencemaskan kelompok-kelompok prajurit yang lain. Meskipun dengan ujung tombak dan pedang mereka akan membunuh ular yang merayap mendekat, tetapi jika ular itu terlalu banyak, maka tentu saja ada diantara mereka yang akan dapat dipatuknya.

Namun di kelompok lain, Mahendra melihat obor yang menyala. Sambil menarik nafas ia berkata, “Bagus. Ular itu akan menjadi ketakutan melihat api.”

“Tetapi mereka dikuasai ilmu gendam sebagaimana harimau itu,” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi bagaimanapun juga naluri binatang itu sendiri masih akan tetap berperan pada tingkah lakunya. Seandainya karena pengaruh ilmu gendam ular itu tidak lagi takut terhadap api, namun mereka tidak akan dapat menembus lidah api yang menyala dan diayun-ayunkan di hadapan ular-ular itu. Panas api itu akan membakarnya karena ular yang dipengaruhi ilmu gendam itu tidak menjadi kebal api.“ Mahendra menjelaskan.

Mahisa Murti tidak menyahut lebih lanjut. Ia pun kemudian disibukkan oleh ular-ular yang datang kepadanya. Namun ia tidak lagi mencemaskan para prajurit dalam kelompok-kelompok yang lain. Karena api yang semula hanya nampak pada sekelompok prajurit, kemudian nampak pada kelompok-kelompok yang lain, yang agaknya telah terpengaruh pula untuk melawan ular yang menyerang mereka dengan cara yang sama. Dengan api.

Keributan itu tidak terlalu lama berlangsung. Para prajurit itu segera menguasai beberapa ekor harimau dan ular yang menyerang mereka. Dengan demikian maka beberapa saat kemudian, maka keadaan pun telah menjadi tenang kembali.

Para panglima dan pemimpin kelompok pun menarik nafas lega. Sambil menyeka peluh yang membasahi pakaian mereka, para prajurit itu merasa bahwa mereka telah berhasil mengatasi kesulitan yang datang karena serangan orang-orang berilmu tinggi di padepokan itu.

Namun sebenarnyalah mereka tidak menyadari bahwa yang terjadi itu hanyalah sekedar cara orang-orang padepokan itu mengalihkan perhatian. Pada saat para prajurit Lemah Warah sibuk dengan harimau dan ular yang menyerang, maka beberapa orang telah menembus kepungan memasuki padepokan itu sambil membawa beberapa karung ular.

Orang-orang padepokan yang dari tempat mereka menembus kepungan melihat dalam keremangan malam orang-orang yang sibuk melawan harimau dan ular, bahkan dengan menyalakan obor-obor belarak dan ranting-ranting kering, tidak dapat menahan tertawa mereka. Demikian mereka memasuki regol padepokan, maka mereka pun telah tertawa berkepanjangan. Namun sebaliknya, mereka pun tidak mengetahui, bahwa orang-orang Lemah Warah dan Kediri pun telah berhasil memasuki padepokan itu pula.

Demikianlah, maka semalam suntuk para prajurit Lemah Warah hampir tidak sempat beristirahat. Mereka dengan hati-hati selalu bersiaga menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan datang. Setiap saat, beberapa ekor ular dapat meluncur dan mematuk kaki mereka. Jika ular itu sangat berbisa, maka jika terlambat beberapa kejap saja, maka nyawa mereka yang dipatuknya tidak akan dapat tertolong lagi.

“Dalam pada itu, Akuwu Tatas Lintang pun telah memberikan pesan kepada setiap pemimpin kelompok untuk tetap berhati-hati menghadapi beberapa unsur ilmu yang ada didalam padepokan itu, karena padepokan itu memang terisi oleh beberapa perguruan.

Ternyata sampai saatnya fajar menyingsing, tidak ada lagi peristiwa yang mengejutkan. Tidak ada lagi seekor ular pun yang datang ke perkemahan para prajurit Lemah Warah. Tidak ada pula seekor harimau atau binatang lain yang menyerang para prajurit Lemah Warah.

Dengan demikian maka suasana di perkemahan terasa menjadi tenang. Para prajurit telah mendapat kesempatan untuk beristirahat. Sementara yang lain telah pergi ke sumber air di sebuah belik kecil. Lainnya lagi pergi ke sungai yang tidak terlalu jauh. Sedangkan dari gubug yang dipergunakan sebagai dapur telah mengepul asap. Mereka yang bertugas di dapur telah menyiapkan minuman panas dan makanan bagi para prajurit Lemah Warah.

Para pemimpin prajurit Lemah Warah pun sempat pula beristirahat. Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada dan Mahendra masih membicarakan perlakuan orang-orang padepokan itu terhadap para prajurit Lemah Warah yang terluka.

“Mudah-mudahan mereka memang memperlakukan para prajurit itu dengan baik,” berkata Tatas Lintang pula.

“Mudah-mudahan,” berkata Mahendra, “namun dalam pada itu kita masih juga belum berhasil menemukan yang kita cari.”

“Kita tidak tergesa-gesa,” berkata Pangeran Singa Narpada kita masih mempunyai waktu. Kita akan mencoba sekali lagi memasuki padepokan itu. Namun jika kita tidak berhasil, maka kita akan memakai cara lain.”

“Cara itulah yang harus kita persiapkan,” berkata Tatas Lintang.

“Mungkin kita akan mengulangi serangan ke dalam padepokan itu,” berkata Pangeran Singa Narpada, “sementara itu, di antara kita akan mengamati seluruh padepokan itu. Kita harus menemukan saat-saat permulaan dari pelepasan ilmu yang menggetarkan jantung itu. Kita harus melihat, di manakah kabut itu mulai nampak.”

Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun iapun telah siap dengan pasukannya untuk kembali menyerang isi padepokan itu. Karena itulah maka Tatas Lintang selalu memelihara keadaan pasukannya, agar setiap saat dapat digerakkan dengan cepat dan mampu memenuhi harapan para pemimpinnya, apalagi telah hadir Pangeran Singa Narpada.

Sebab itu, para prajurit Lemah Warah memang tidak mempunyai tugas khusus. Namun mereka yang bertugas sajalah yang tetap dengan waspada mengamati keadaan. Kepungan mereka tidak boleh ditembus oleh orang-orang dari padepokan itu. Sebenarnyalah bahwa para prajurit Lemah Warah masih belum mengetahui bahwa sebenarnya orang-orang padepokan itu telah mampu menembus kepungan para prajurit itu di malam hari.

Hari itu tidak terjadi sesuatu yang menarik perhatian. Keadaan padepokan itu masih tetap tenang. Sementara para petugas masih tetap mengamati keadaan dengan waspada. Demikian juga di malam hari. Para pemimpin dari Lemah Warah tidak berusaha memasuki padepokan, sementara orang-orang padepokan itupun tidak mengganggu para prajurit dari Lemah Warah yang mengepung mereka dengan jenis binatang apapun.

Namun ketika matahari terbit di pagi hari, para prajurit Lemah Warah telah melihat seorang dari kawannya yang tiba-tiba saja telah berlari-lari dari arah padepokan. Para prajurit Lemah Warah mengenalinya sebagai salah seorang kawan mereka yang telah hilang.

Karena itu, kedatangannya telah disambut oleh kawan-kawannya dengan gembira. Beberapa orang menyongsongnya dan kemudian ketika kawan-kawannya itu melihat tubuhnya yang terluka, mereka pun telah membantunya berjalan menuju ke gubug-gubug kecil.

“Kau terluka?” bertanya salah seorang prajurit.

“Ya. Aku terluka,” katanya dengan nada rendah.

Kawan-kawannya telah membawanya ke sebuah amben bambu yang sederhana, yang mereka buat sendiri. Seorang di antara para prajurit itu berkata, ”beristirahatlah. Bagaimana kau dapat keluar dari padepokan itu?”

“Aku melarikan diri dengan meloncat dinding ketika aku merasa lukaku agak baik. Namun karena itu, maka rasa-rasanya lukaku menjadi kambuh lagi.”

“Berbaringlah. Beristirahat sebaik-baiknya. Syukurlah bahwa kau sempat melepaskan diri dari padepokan itu,” berkata prajurit yang lain, “namun apakah dengan demikian kawan-kawan kita yang tertangkap tidak mengalami kesulitan?”

“Mudah-mudahan tidak,” jawab prajurit itu, “kami mendapat perlakuan baik di padepokan itu. Meskipun demikian, aku merasa bahwa jika kesempatan itu datang, aku lebih baik keluar dari padepokan...”

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 36

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 36
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

NAMUN Mahisa Pukat sudah cukup bersiaga. Dengan tangkas ia bergeser. Namun pedangnyalah yang kemudian terjulur mematuk dada. Tetapi serangan Mahisa Pukat itupun tidak berhasil. Lawannya pun dengan cepat menghindar, bahkan orang itu telah meloncat pula menyerang.

Demikianlah keduanya telah terlibat ke dalam pertempuran yang sengit. Keduanya ternyata mampu mempergunakan senjata masing-masing dengan baik. Karena itulah maka kedua senjata itu berputaran bagaikan gumpalan-gumpalan awan di seputar tubuh masing-masing.

Pedang Mahisa Pukat yang berputar dengan cepat sekali, telah melindungi tubuhnya dengan gumpalan asap yang berwarna putih kebiru-biruan. Sementara itu putaran keris lawannya telah menjadi perisai di seputar dirinya dengan kabut yang berwarna kehitam-hitaman. Dalam pertempuran itu, sekali-sekali kedua senjata itu memang bersentuhan, sehingga menimbulkan percikan bunga api yang berloncatan.

Lawan Mahisa Pukat itu mengumpat di dalam hati. Ternyata anak muda itu memang memiliki kelebihan. Pada awal pertemuan mereka, anak muda itu telah melontarkan serangan yang mengejutkan, sehingga tanah tempat mereka berpijak itu dapat meledak. Untunglah serangan itu tidak langsung ditujukan kepadanya, tetapi justru di hadapannya.

“Tetapi ia tidak akan mampu melakukannya lagi dalam pertempuran berjarak pendek ini,” berkata lawan Mahisa Pukat itu di dalam hati, “anak itu tidak akan sempat barang sekejap pun untuk membangunkan ilmunya itu.”

Sebenarnyalah, Mahisa Pukat akan mengalami kesulitan jika ia masih saja terlibat dalam pertempuran yang seakan-akan tidak berjarak itu. Tetapi Mahisa Pukat memang belum memerlukannya. Ia memang berusaha untuk dapat menyelesaikan lawannya itu tanpa mempergunakan ilmunya yang disadapnya dari Tatas Lintang yang ternyata adalah Akuwu dari Lemah Warah.

Yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang sengit dengan mengandalkan ilmu masing-masing dalam mempergunakan senjata. Pedang Mahisa Pukat yang berputar itu sekali-sekali telah terayun mendatar. Namun kemudian mematuk dengan cepat ke arah dada.

Tetapi setiap kali lawannya mampu mengelak. Bahkan kerisnya yang besar itulah yang kemudian dengan garangnya bagaikan menerkam lawannya. Ujungnya yang berwarna kehitaman itu nampak betapa mendebarkan. Namun Mahisa Pukat cukup tangkas menghadapi keris itu. Pada saat-saat yang gawat, Mahisa Pukat masih selalu dapat mengatasinya dengan kecepatan gerak dan kemampuannya bermain pedang.

Dengan demikian maka keduanya yang bertempur terpisah dari lingkungan pertempuran yang lain itu, seakan-akan memang telah disediakan waktu dan tempat yang tidak terbatas. Keduanya berloncatan saling menyerang dengan langkah-langkah yang panjang. Ayunan pedang Mahisa Pukat dan tebasan ujung keris lawannya, telah mendorong keduanya bergeser sedikit demi sedikit dari tempat semula.

Namun keduanya masih tetap bertempur di antara barak-barak di padepokan itu. Desak mendesak, sekali-sekali berloncatan surut untuk mengambil jarak. Semakin lama keduanya pun telah meningkatkan ilmu mereka sampai ke tataran tertinggi. Pedang dan keris di tangan itu berputar semakin cepat. Menebas, terayun mendatar, mematuk dan sekali-sekali terdengar benturan yang kuat.

Kecuali memercikkan bunga api di udara, maka dalam benturan itu keduanya seolah-olah mampu saling menjajagi. Namun semakin sering benturan itu terjadi, maka tangan mereka-pun semakin terasa sakitnya.

Namun kemudaan Mahisa Pukat agaknya memberikan keuntungan kepadanya. Darahnya yang panas dan tekad di dalam dadanya yang menyala, membuatnya menjadi semakin garang. Keyakinannya dalam mengemban tugas serta kesadaran pengabdiannya telah membuat kekuatannya bagaikan berlipat. Daya tahan tubuhnya pun seolah-olah menjadi tanpa batas.

Betapapun juga, Mahisa Pukat memiliki bekal yang cukup dengan menempa dirinya untuk waktu yang lama di bawah bimbingan orang-orang berilmu sangat tinggi. Dengan demikian maka Mahisa Pukat pun telah mengerahkan segenap kemampuannya karena ia ingin menyelesaikan pertempuran itu lebih cepat.

Hentakan kekuatan dan kemampuan Mahisa Pukat itu telah membuat lawannya mulai terdesak. Darah Mahisa Pukat yang mendidih oleh kesadaran pengabdiannya benar-benar menjadi dorongan yang luar biasa sehingga tenaga cadangan di dalam dirinya yang dialirkan lewat ilmu pedangnya menjadi seakan-akan berlipat.

Lawan Mahisa Pukat itu menjadi heran. Kekuatan anak muda itu semakin lama tidak menjadi semakin susut. Tetapi justru semakin berlipat. Sedikit demi sedikit, tetapi pasti, lawan Mahisa Pukat itu merasa semakin terdesak. Kemampuannya mempermainkan kerisnya terasa semakin lamban dibandingkan dengan putaran pedang Mahisa Pukat.

Karena itu, lawan Mahisa Pukat itu tidak mempunyai cara lain untuk mengatasi lawannya kecuali dengan mempergunakan kemampuannya yang jarang sekali dipergunakan, jika tidak terpaksa sebagaimana dialaminya pada waktu itu. Jika ia tidak mempergunakannya, maka kemungkinan yang paling buruk akan dapat terjadi atasnya. Mungkin sekali ujung pedang anak muda itu akan menembus dada dan membelah jantungnya, sehingga semua rencana yang telah disusun di padepokan itu akan hancur berantakan.

Sejenak pertempuran itu masih berlangsung terus. Lawan Mahisa Pukat itu semakin terdesak. Sehingga orang itu akhirnya tidak lagi dapat berbuat lain. Pada saat ia terdorong mundur, selagi ujung pedang Mahisa Pukat hampir menyentuh dadanya, maka orang itu telah mengetrapkan ilmunya yang jarang dipergunakannya. Mahisa Pukat yang mendesaknya, memang tidak mau melepaskannya lagi. Setiap kali lawannya meloncat surut, Mahisa Pukat itu selalu memburunya.

Namun ketika Mahisa Pukat merasa yakin, bahwa lawannya itu tidak akan mampu menghindar lagi, serta pada saat ujung pedangnya mematuk dengan satu keyakinan akan menyelesaikan pertempuran itu, maka tiba-tiba saja lawannya telah lenyap dari pandangan matanya. Mahisa Pukat menjadi bingung sejenak. Namun iapun segera meloncat justru ke depan, dan dengan tangkas berbalik. Sebenarnyalah lawannya telah berada beberapa langkah dari padanya, siap untuk menyerangnya.

Mahisa Pukat memang menjadi berdebar-debar. Namun iapun segera menyadari bahwa lawannya memiliki ilmu panglimunan. Namun ia masih belum tahu, dari jenis yang manakah ilmu yang dimiliki oleh lawannya itu. Apakah ilmu itu sempurna sehingga lawannya itu benar-benar dapat menghilang dan bertindak dalam ketiadaan menurut pengamatan mata wadag. Namun mungkin ilmu yang dimilikinya itu masih dalam jenis yang wungkul. Sehingga lawannya itu hanya memiliki sebagian unsur dari jenis ilmu panglimunan.

Namun kenyataan tentang lawannya itu memang membuat Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Ia akan mengalami pertempuran yang berat jika lawannya memiliki ilmu Panglimunan yang sempurna. Sehingga dengan demikian ia tidak akan dapat mempergunakan mata wadagnya untuk mengikuti tata gerak lawannya.

Sejenak kemudian terdengar lawannya itu justru tertawa. Pada saat Mahisa Pukat siap menunggunya, orang itu justru berkata lantang, “Jangan cemas anak muda. Mungkin memang sudah menjadi nasibmu, bahwa kau akan mengalami kematian yang pahit. Kau akan bertempur tanpa mengetahui apa yang dapat kau perbuat.”

Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Namun ia ingin membiarkan lawannya itu membual, sehingga ia sempat untuk menemukan cara yang lebih baik untuk melawannya.

Dalam pada itu orang itupun berkata pula, “Bersiaplah untuk mati. Sebentar lagi, aku akan hilang dari pandangan matamu. Tiba-tiba saja ujung kerisku sudah menggores di kulitmu. Sebuah goresan kecil akan dapat membunuh seseorang. Tetapi aku tahu, bahwa kau tawar akan racun dan segala macam bisa, sehingga dengan demikian, maka racun kerisku tidak akan membunuhmu. Tetapi pada suatu saat kerisku akan menghunjam ke perutmu.”

Mahisa Pukat berusaha untuk tetap menguasai perasaannya. Dengan nada rendah iapun berkata, “Satu permainan yang buruk. Marilah kita lihat, apakah benar-benar kau dapat menghindari tatapan mata wadagku.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Bukankah sudah terbukti bahwa kau merasa kehilangan lawanmu?”

“Hanya karena tiba-tiba saja terjadi. Tetapi untuk selanjutnya kau tidak akan dapat berbuat seperti itu lagi,” berkata Mahisa Pukat.

Orang itu masih tertawa. Namun kemudian iapun telah menggerakkan kerisnya yang besar. Dengan tangkasnya ia meloncat menyerang Mahisa Pukat. Mahisa Pukat sempat menghindar. Tetapi ia berusaha untuk tetap berdiri dekat dengan dinding barak. Ia akan melihat, apakah lawannya dapat melenyapkan diri dan menyerangnya dalam keadaannya itu.

Sejenak mereka bertempur. Namun seperti yang sudah terjadi, maka Mahisa Pukat segera dapat mengatasi kemampuan lawannya. Namun Mahisa Pukat tidak berusaha untuk mendesaknya. Ia justru lebih banyak bertahan meskipun kemampuannya berada di atas kemampuan lawannya pada tataran tertinggi ilmu pedangnya.

Lawannya memang memancing Mahisa Pukat untuk memburunya. Tetapi Mahisa Pukat berusaha untuk tetap di tempatnya. Lawannya yang merasa bahwa ia tidak akan mampu berbuat banyak dengan kerisnya, tiba-tiba saja telah berusaha membuat lawannya kebingungan. Dengan serta merta, maka iapun telah bergeser surut. Namun tiba-tiba saja iapun telah lenyap.

Mahisa Pukat justru bergeser surut melekat dinding barak di belakangnya. Dengan hati-hati ia bersiap untuk menghadapi ilmu lawannya yang menyulitkan itu. Mahisa Pukat memang tidak perlu menunggu terlalu lama. Ketajaman pendengarannya segera memberitahukan kepadanya, bahwa lawannya berdiri di sebelah kirinya. Karena itulah, maka Mahisa Pukat pun segera memusatkan perhatiannya ke arah lawannya.

Sebenarnyalah tiba-tiba saja lawannya telah menjulurkan kerisnya. Namun dengan tangkas Mahisa Pukat berhasil mempergunakan ilmu pedangnya untuk menangkis serangan lawannya. Ketika kemudian terjadi pula hal seperti itu, sekejap dari saat lenyapnya tubuh lawannya, maka ia sudah nampak lagi berdiri di sebelah lain dengan keris teracu. Kadang-kadang lawannya itu dengan cepat langsung menyerangnya. Namun kadang-kadang ia masih menunggu.

Dengan demikian, maka Mahisa Pukat berhasil mengenali jenis ilmunya, ia tidak perlu memusatkan segenap nalar budinya untuk mengetahui di mana lawannya berada jika lawannya mampu mempergunakan ilmu panglimunan dengan sempurna. Namun dengan pengamatan nalar dan ketajaman penglihatannya, Mahisa Pukat dapat memperhitungkan, ke mana lawannya akan muncul, karena menurut uraian Mahisa Pukat atas pengenalannya terhadap ilmu lawannya itu adalah, pada saat lawannya itu lenyap dari tangkapan mata wadagnya, ia hanya mempunyai kesempatan untuk sekedar meloncat dari tempatnya ke tempat yang lain.

Namun demikian jika lawannya itu mampu memanfaatkannya dengan baik maka Mahisa Pukat benar-benar akan kebingungan. Tetapi memang jarang sekali seseorang yang mampu memiliki ilmu panglimunan yang sempurna, sehingga ia benar-benar dapat melenyapkan diri untuk waktu yang tidak terbatas dan berbuat sesuatu dengan sentuhan wadagnya dengan orang yang tidak berada pada keadaan seperti dirinya.

Adapun lawan Mahisa Pukat itu berada pula pada satu tataran ilmu panglimunan yang belum sempurna, ia hanya dapat lenyap untuk sekejap saja. Dan agaknya ia mempergunakan waktu yang sekejap itu untuk melenting dari tempatnya ke tempat yang lain. Kemudian dengan tiba-tiba ia menyergap lawannya dengan ujung senjatanya.

Meskipun demikian pada permulaannya Mahisa Pukat memang agak kebingungan menghadapi lawannya. Serangannya tidak akan pernah dapat mengenai sasarannya, karena jika lawannya terdesak, orang itu akan segera mempergunakan ilmunya. Ia dengan tiba-tiba saja muncul di tempat lain dan langsung menyerangnya dengan ujung keris teracu.

Hanya dengan ketangkasan dan kecepatan gerak sajalah Mahisa Pukat mampu bertahan untuk beberapa saat, meskipun setiap kali ia harus bergeser dengan loncatan panjang. Namun untuk menghindari serangan dari arah belakang, maka Mahisa Pukat berusaha untuk tetap melekat pada dinding barak di belakangnya.

“Licik,” teriak lawannya, “ayo, kita bertempur di tempat yang luas dan tidak terganggu.”

“Aku senang bertempur di sini,” jawab Mahisa Pukat.

“Kau pergunakan dinding barak sebagai perisai,” berkata lawannya.

“Apa boleh buat,” jawab Mahisa Pukat, “kau telah mempergunakan ilmu yang kurang aku kenal.”

“Karena itu sadari kedunguanmu. Menyerah sajalah.” berkata orang itu.

“Aku memasuki padepokan bukan sekedar untuk menyerah,” berkata Mahisa Pukat, “aku datang untuk menangkapmu.”

“Persetan,” geram orang itu. Iapun kemudian dengan serta merta telah meloncat menyerang. Namun Mahisa Pukat-pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu. maka iapun dengan tangkas telah menangkis serangan itu dengan pedangnya.

Namun menghadapi ilmu lawannya Mahisa Pukat pun telah mempergunakan ilmunya pula, ilmunya yang semula memang agak meragukannya karena seakan-akan ilmunya ini telah dipergunakan untuk mengambil milik orang lain tanpa diketahuinya. Tetapi Mahisa Pukat tidak dapat berbuat lain. Lawannya-pun telah mempergunakan ilmu yang mendebarkan pula.

Karena serangannya yang beruntun tidak dapat menembus pertahanan Mahisa Pukat, maka tiba-tiba saja lawannya itu telah lenyap untuk sesaat. Ia muncul di tempat yang lain dengan ujung keris yang terjulur. Bahkan tiba-tiba iapun telah meloncat sambil mengayunkan kerisnya yang besar itu.

Menghadapi sikap yang demikian Mahisa Pukat memang kadang-kadang harus berdesah. Ia harus dengan cepat berputar mengarah ke lawannya yang muncul dengan tiba-tiba. Kemudian menghadapi serangannya yang datang dengan cepat pula. Sementara itu, Mahisa Pukat sulit untuk memperhitungkan, di mana lawannya itu akan muncul. Namun Mahisa Pukat pun bukannya melawan dengan wantah. Iapun telah mengetrapkan ilmunya pula.

Pertempuran itupun kemudian menjadi semakin seru dan tegang. Denyut jantung di dada Mahisa Pukat rasa-rasanya menjadi semakin cepat. Kadang-kadang ia kehilangan lawannya yang muncul di tempat yang tidak diduganya sama sekali.

Mahisa Pukat terkejut ketika tiba-tiba saja lawannya menyerang dari arah yang sama sekali tidak diduganya. Ketika lawannya itu lenyap, maka Mahisa Pukat memperhitungkan bahwa lawannya itu akan muncul di sisi yang lain dari tempatnya berdiri. Namun tiba-tiba lawannya itu muncul di tempatnya semula. Bahkan tiba-tiba saja satu loncatan yang panjang datang demikian cepatnya sementara ujung keris itu terayun menebas ke arah lehernya.

Mahisa Pukat yang terkejut itu bergeser mundur. Namun ia sempat menangkis serangan itu meskipun karena sangat tergesa-gesa, maka ujung keris itu masih menggores di kulitnya. Goresan yang memanjang di pundaknya menyilang ke arah dada. Goresan itu memang tidak begitu dalam. Tetapi dari goresan itu telah mengalir darah yang semula nampak kehitam-hitaman. Namun kemudian menjadi merah segar.

Mahisa Pukat mengaduh tertahan. Luka itu terasa pedih. Racun di ujung keris itu telah membentur penawarnya di tubuh Mahisa Pukat, sehingga luka itu menjadi pedih meskipun tidak terlalu lama.

Lawan Mahisa Pukat itu tertawa berkepanjangan, ia melihat luka di pundak anak muda itu. Katanya, “Jangan menyesal anak muda. Kau memang akan mati di padepokan ini.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ujung pedangnyalah yang terjulur. Hampir saja menyentuh kening lawannya. Tetapi lawannya itu sempat mengelak dan ketika Mahisa Pukat memburunya, lawannya itupun telah lenyap dan muncul di arah yang lain. Tetapi lawannya itu tidak langsung menyerangnya, ia masih tertawa sepuas-puasnya menikmati kemenangan kecilnya.

Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat lah yang telah menyerangnya. Tetapi Mahisa Pukat telah membuat perhitungan tersendiri menghadapi lawannya yang membingungkannya itu. Ternyata serangan-serangan Mahisa Pukat selanjutnya tidak lagi begitu garang. Geraknya menjadi lamban dan kadang-kadang nampak keragu-raguannya.

Karena itu, maka dengan mudah lawannya itu menangkis setiap serangan. Bahkan untuk beberapa lama ia merasa tidak perlu melenyapkan dirinya untuk mengelabui lawannya yang menurut penilaiannya, tidak lagi segarang sebelum dilukainya.

Dengan demikian maka untuk beberapa saat lamanya keduanya bertempur dalam keadaan wajar. Mahisa Pukat nampaknya tidak lagi mampu mendesak lawannya. Meskipun serangan-serangannya masih nampak berbahaya, tetapi lawannya tidak melihat lagi kelebihan yang menekannya.

Namun beberapa saat kemudian, lawan Mahisa Pukat itu menjadi heran atas dirinya sendiri. Ia menilai lawannya bergerak semakin lamban. Namun dirinya sendiri rasa-rasanya tidak juga mampu berbuat lebih cepat dari lawannya. Beberapa kali ia hanya berloncatan mundur, menangkis serangan lawan dan serasa tidak lagi mampu menyerang.

“Apa yang telah terjadi atas diriku,” bertanya orang itu kepada diri sendiri.

Namun tiba-tiba saja ia menyadari, bahwa tenaganya sudah menjadi jauh susut. Bahkan tiba-tiba saja rasa-rasanya sangat berat mengangkat dan mengayunkan kerisnya yang sangat besar. “Gila,” geram orang itu.

Ketika kemudian Mahisa Pukat mendesaknya, iapun telah mempergunakan ilmu Panglimunannya dan meloncat menjauh. Orang it masih mampu melenyapkan diri dari tangkapan mata wadag Mahisa Pukat. Namun ketika ia nampak lagi di tempat lain, nafasnya menjadi terengah-engah. Rasa-rasanya tenaganya benar-benar sudah terkuras habis.

“Bagaimana Ki Sanak.” tiba-tiba saja Mahisa Pukat bertanya, “waktu kita masih banyak.”

Orang itu mengumpat. Dengan nada geram ia berkata, “Kau licik. Kau pergunakan ilmu yang sama sekali tidak bersifat jantan. Kau curi kekuatan lawanmu dengan laku yang sangat pengecut.”

“Jangan mengumpat-umpat,” berkata Mahisa Pukat, “kita sama-sama licik. Bukankah aji panglimunanmu itu bukan cara yang licik dalam pertempuran apalagi perang tanding. Kau berusaha untuk melarikan diri dari penglihatan lawan. Apa salahnya jika aku pun telah mencuri kekuatanmu dengan caraku. Karena aku sebenarnya dapat menghancurkanmu dengan ilmuku yang lain.”

“Omong kosong,” geram orang itu, “jika benar demikian, kenapa tidak kau lakukan?”

“Aku dapat menghancurkan tubuhmu menjadi sewalang-walang,” Mahisa Pukat pun menggeram.

Namun lawannya tidak menjawab. Tiba-tiba saja ia telah melenyapkan diri dan muncul di jarak yang lebih jauh. Mahisa Pukat meloncat memburu. Tetapi ia kehilangan lagi lawannya. Tiba-tiba saja lawannya itu sudah berada di tempat lain. Mahisa Pukat sadar, bahwa lawannya tentu berusaha melarikan diri. Karena itu maka iapun telah berusaha untuk mengejarnya.

Tetapi kemampuan lawannya setiap kali melepaskan diri meskipun hanya sesaat memang telah membuat Mahisa Pukat bingung. Karena itu jarak antara dirinya dan lawannya itupun menjadi semakin lama semakin jauh. Meskipun lawannya tidak lagi memiliki kekuatan dan kemampuan yang utuh. Namun dengan caranya ternyata bahwa akhirnya ia benar-benar tidak lagi dapat dikejar oleh Mahisa Pukat dan hilang di antara barak-barak di padepokan itu.

Mahisa Pukat yang kemudian kehilangan lawannya itu berdiri termangu-mangu. Namun justru karena ia berdiri seorang diri di antara barak-barak di padepokan itu. Ia mulai memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ia mulai mendengar teriakan-teriakan yang riuh di sisi lain dari padepokan itu.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam, ia mulai menyadari kembali bahwa ia tidak hanya berhadapan dengan orang yang melarikan diri itu saja. Tetapi di padepokan itu telah terjadi pertempuran yang sengit antara pasukan Lemah Warah dan orang-orang yang berada di padepokan itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah berniat untuk terjun kembali ke pertempuran. Ia menganggap bahwa lawannya itu tidak akan mampu memasuki medan karena untuk beberapa lama ia telah kehilangan kekuatan dan kemampuannya.

Tatapi ketika Mahisa Pukat siap untuk meloncat meninggalkan tempatnya, tiba-tiba saja ia teringat pada sekotak ular yang tersimpan di dalam barak. Jika ular itu kemudian dipergunakan di bawah kuasa ilmu gendam, maka ular-ular itu akan dapat menimbulkan kesulitan bagi prajurit Lemah Warah, karena ular yang berada di bawah pengaruh ilmu itu akan mampu berbuat sebagaimana diperintahkan oleh orang yang mempengaruhinya, sehingga ular-ular itupun seakan-akan dapat memilih yang manakah prajurit Lemah Warah dan yang manakah kawan-kawan mereka, penghuni padepokan itu.

Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah berlari-lari menuju ke barak itu. Namun Mahisa Pukat terkejut karenanya, ketika ia melihat seekor ular merambat di tangga barak itu. Demikian ia melihat Mahisa Pukat, maka ular itupun langsung menyerangnya. Meskipun Mahisa Pukat memiliki kekuatan yang dapat menawarkan bisa ular, tetapi ia tidak senang ular itu menggigitnya. Karena itu, maka iapun telah menebas leher ular itu sehingga putus. Namun ternyata bahwa seekor ular telah menelusur di bawah barak itu dan menghilang di rerumputan.

“Gila,” geram Mahisa Pukat, “ternyata orang itu telah berhasil melakukannya.”

Dengan serta merta Mahisa Pukat meloncat masuk ke dalam barak itu. Tetapi ia tidak melihat seorang pun lagi. Namun ia melihat kotak tempat ular berbisa itu sudah terbuka. Sementara itu beberapa ekor ular masih berkeliaran.

Namun ular-ular yang berada di bawah pengaruh lawannya itu telah menganggap bahwa Mahisa Pukat harus dibunuh sebagaimana kebencian orang yang memiliki ilmu gendam itu. Karena itu, maka tiba-tiba beberapa ekor ular yang berkeliaran itu telah berbalik ke arah Mahisa Pukat dan siap untuk menyerangnya.

Mahisa Pukat memang memiliki penawar bisa. Tetapi menghadapi ular yang cukup banyak, apakah penawar bisa itu akan mampu melawan bisa yang terlalu banyak menusuk ke dalam tubuhnya. Mahisa Pukat tidak mendapat kesempatan untuk terlalu lama berpikir. Beberapa ekor ular telah merayap semakin dekat.

Namun agaknya Mahisa Pukat lebih senang berkelahi melawan ular-ular itu di tempat yang lapang. Karena itu, maka ia-pun telah melenting ke pintu dan meloncat keluar dari bilik dan barak itu.

Namun demikian ia berdiri di atas tanah yang ditumbuhi rerumputan, beberapa ekor ular yang garang telah mengepungnya. Beberapa di antaranya telah mengangkat kepalanya dan berdiri pada bagian depan tubuhnya. Lidahnya yang bercabang terjulur-julur mendebarkan. Suaranya yang berdesis-desis dan membuat tengkuk Mahisa Pukat meremang.

Tetapi di tangan Mahisa Pukat tergenggam pedang, sementara ia masih mempunyai perisai yang lain jika ada satu dua di antara ular-ular itu yang lolos dari ujung pedangnya. Bahkan kemudian ia merasa wajib untuk menghancurkan ular-ular itu daripada ular-ular itu merayap memasuki arena dan mematuk para prajurit Lemah Warah.

Dalam pada itu, Mahisa Murti telah berdiri bebas pula. Lawannya terpaksa diselesaikannya sebagaimana paugeran perang berbicara. Jika ia tidak membunuh lawannya, maka ialah yang akan terbunuh atau prajurit-prajurit Lemah Warah yang lain akan mati jika lawannya itu berhasil lepas dari tangannya dan memasuki medan di sudut lain dari pertempuran itu.

Namun Mahisa Murti tidak sempat beristirahat. Tiba-tiba saja ia telah terperosok ke dalam lingkaran pertempuran yang mendebarkan. Ia melihat sebatang tongkat yang terayun-ayun mengerikan. Tongkat yang pada pangkalnya terdapat sebuah batu yang berwarna kehijau-hijauan itu. Mahisa Murti melihat bagaimana seorang prajurit Lemah Warah terlempar keluar dari arena, sementara yang lain berloncatan menghindari ayunan tongkat yang berputar mengerikan. Dengan pedang di tangan, Mahisa Murti pun telah memasuki arena itu.

Orang bertongkat itu tertegun melihat kehadiran Mahisa Murti. Namun iapun telah bergeser beberapa langkah meninggalkan arena, sementara itu orang-orang padepokan itu telah menggantikannya melawan para prajurit Lemah Warah yang sudah susut karena tongkat yang pada pangkalnya terdapat batu yang kebiru-biruan itu. Mahisa Murti menyadari, bahwa orang itu sengaja keluar dari arena untuk menghindarinya. Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah mengikutinya dengan pedang teracu.

“Akhirnya kita sempat juga berbicara,” berkata orang itu, “siapakah sebenarnya kau pedagang batu akik?”

“Kau sudah tahu jawabnya, di mana aku berdiri sekarang,” jawab Mahisa Murti.

“Apakah kau benar kemanakan Akuwu Lemah Warah itu?” bertanya orang bertongkat itu.

“Ya. Kenapa?” Mahisa Murti ganti bertanya.

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Satu pengakuan yang sudah aku duga sebelumnya. Tetapi kau kira aku begitu saja percaya? Mungkin kalian mempunyai kepentingan yang sama dengan Akuwu itu atau setidak-tidaknya mempunyai persamaan. Mungkin atas batu hijau itu, tetapi mungkin persoalan lain yang tidak kau katakan. Tetapi menilik tingkah lakumu dan perhatianmu terhadap batu hijau itu sehingga kau pertaruhkan nyawamu, serta penyamaranmu sebagai penjual batu akik, maka kepentinganmu tentu berkisar kepada batu hijau itu. Sedangkan hal yang lain agaknya merupakan kepentingan Akuwu Lemah Warah itu. Mungkin kalian telah membuat perjanjian saling membantu meskipun mungkin sekali kalian akan berebut hasil yang mungkin dapat kalian capai dengan kerja sama ini.”

“Satu ceritera yang menarik,” desis Mahisa Murti, “apakah kau masih mempunyai ceritera yang lain?”

“Persetan,” geram orang bertongkat itu, “tetapi aku yakin bahwa kau berkepentingan dengan batu itu. Bukan karena kau juga mengemban tugas sebagaimana Akuwu Lemah Warah.”

“Aku tidak membantah,” berkata Mahisa Murti, “namun mungkin dapat aku tanyakan serba sedikit tentang padepokan Suriantal?”

Orang itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ia menggeram, “Persetan dengan pertanyaanmu itu.”

“Aku mendengar nama padepokan itu justru sebelum aku melihat padepokan itu,” jawab Mahisa Murti, “sebenarnyalah kami ingin berbicara dengan baik. Atas nama kuasa yang lebih tinggi, Akuwu Lemah Warah memerintahkan kalian menyerah. Tetapi kalian ternyata memilih untuk melawan.”

“Aku tidak tahu arah bicaramu,” berkata orang bertongkat itu, “alasan apakah yang dapat dipergunakan oleh Akuwu itu untuk memaksa kami menyerah?”

“Sebenarnya alasan itu tidak perlu disebut,” berkata Mahisa Murti, “meskipun agaknya orang-orang bertongkat yang berada di padepokan inilah yang paling berkepentingan.”

“Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan,” jawab orang bertongkat itu, “karena itu, kita sudah terlanjur membuka medan. Kita akan menyelesaikannya sebagaimana kita mulai.”

“Baik,” jawab Mahisa Murti, “tetapi apakah kepentinganmu dengan Mahkota Kediri?”

Pertanyaan itu mengejutkan orang bertongkat itu. Namun iapun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Itukah tugas Akuwu Lemah Warah?”

“Salah satu saja,” jawab Mahisa Murti, “masih banyak alasan lain, meskipun masih meragukan. Agaknya isi padepokan ini bukan lagi diwarnai oleh satu cabang perguruan.”

“Ternyata kau memang harus mati,” geram orang bertongkat itu, “aku memang sudah berniat untuk menempuh cara ini menghadapi kuasa Kediri.”

“Kediri pun telah memerintahkan untuk menempuh cara ini untuk membuat penyelesaian meskipun Kediri masih menawarkan langkah-langkah yang lebih lembut dan kekeluargaan,” berkata Mahisa Murti.

Orang bertongkat itu menggeram. Sejenak ia berpaling ke arah pertempuran yang menyala di sebelahnya. Orang-orangnya telah bertempur dengan keras melawan para prajurit Lemah Warah. Tongkat-tongkat panjang terayun-ayun mendebarkan. Namun tidak setiap ayunan itu mampu mengenai lawan mereka.

Orang bertongkat itu menggeram. Katanya kemudian, “Baiklah, akhirnya kita berhadapan dalam arena seperti ini. Aku memang mengharap bahwa kita akan dapat bertemu dalam kesempatan seperti ini. Meskipun aku merasa tersinggung bahwa aku harus berhadapan dengan anak ingusan seperti ini, namun apa boleh buat. Agaknya Kediri memang tidak mempunyai orang yang lebih baik dari kanak-kanak dan Akuwu Lemah Warah.”

“Kita akan melihat, siapakah yang lebih baik di antara kita,” jawab Mahisa Murti.

Orang itu mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja tongkatnya telah terayun-ayun sambil menggeram, “Marilah agar aku cepat menyelesaikanmu. Kemudian aku harus mencari Akuwu Lemah Warah itu untuk membunuhnya pula. Prajurit-prajuritnya tidak akan berarti apa-apa lagi bagiku.”

Mahisa Murti pun segera mempersiapkan diri. Ketika tongkat itu terayun, maka Mahisa Murti pun telah meloncat surut. Namun lawannya itu tidak membiarkannya. Dengan tangkasnya orang itu telah meloncat memburunya. Sekali lagi tongkatnya terayun deras. Ketika Mahisa Murti meloncat lagi menghindar, maka terasa angin berdesing lebih keras.

Mahisa Murti tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran. Iapun kemudian telah memutar pedangnya pula. Namun ia tidak mau langsung membentur tongkat lawannya dengan pedangnya sebelum ia sempat menjajaginya. Demikian pertempuran antara Mahisa Murti dan orang bertongkat itu menjadi semakin lama semakin sengit. Keduanya adalah orang-orang berilmu tinggi. Mereka memiliki kekuatan melampaui orang kebanyakan.

Sekali-sekali Mahisa Murti dengan hati-hati mencoba menjajagi kekuatan lawannya. Sekali-sekali ia telah menyentuh ayunan tongkat itu meskipun tidak membenturkannya langsung. Dengan demikian maka Mahisa Murti dapat sekedar menjajagi, apakah kekuatan orang itu akan dapat diimbangi atau tidak.

Sementara itu lawannya yang bertongkat itu agaknya memang ingin segera dapat menyelesaikan pertempuran. Agaknya ia mulai menyadari, bahwa prajurit Lemah Warah menjadi semakin mendesak orang-orang padepokan itu. Sehingga orang-orang padepokan itupun semakin lama menjadi semakin terhimpit oleh tekanan para prajurit Lemah Warah.

“Gila,” geram orang itu, “prajurit-prajurit Lemah Warah licik sekali.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.

“Mereka datang dalam jumlah yang jauh lebih banyak dari orang-orangku,” jawab orang bertongkat itu.

“Itu adalah hak dari Akuwu Lemah Warah yang mendapat perintah untuk menangkap kalian,” jawab Mahisa Murti, “karena itu menyerah sajalah. Kau dan orang-orangmu akan mendapat perlakuan yang baik.”

“Tidak ada seorang pun yang akan mampu memaksa aku untuk menyerah. Apalagi anak-anak ingusan seperti kau,” geram orang bertongkat itu.

“Bukan aku, tetapi Akuwu Lemah Warah,” jawab Mahisa Murti.

“Jangankan Akuwu Lemah Warah, Sri Baginda Kediri sekalipun tidak akan aku dengar perintahnya untuk menyerah,” jawab orang itu.

“Kau terlalu sombong,” jawab Mahisa Murti, “seharusnya kau menyadari, apakah usahamu dengan orang-orangmu pilihan untuk mengambil mahkota itu berhasil? Mereka telah mati terbunuh sebelum mereka mendapat apa yang mereka cari. Nah, jika kau bersedia untuk menyerah, maka persoalannya hanya berkisar pada usahamu untuk mendapatkan mahkota itu saja.”

“Persetan,” geram orang itu, “sebentar lagi kau akan mati.”

“Jika demikian, maka kita benar-benar akan sampai kepada batas terakhir dari sebuah perang tanding,” berkata Mahisa Murti.

“Kita tidak sedang berperang tanding,” jawab orang itu, “karena itu jika kau merasa perlu untuk memanggil beberapa orang prajurit dan bertempur bersamamu, aku tidak berkeberatan.”

“Ah, pada saatnya tentu akan aku lakukan,” jawab Mahisa Murti, “tetapi agaknya aku akan dapat menyelesaikan tugas ini tanpa bantuan orang lain.”

“Kau terlalu sombong anak muda,” jawab orang itu.

Mahisa Murti terkejut. Tongkat itu hampir saja mematuk dahinya. Untunglah ia cepat menyadari keadaan, sehingga ia sempat meloncat ke samping, sehingga ujung tongkat itu tidak menyentuhnya. Mahisa Murti sadar sepenuhnya bahwa patukan ujung tongkat itu akan dapat melubangi dahinya dalam keadaan wajar.

Orang itu tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Kau terkejut anak muda. Namun bagaimanapun juga aku tetap merasa heran, bahwa kau mampu bertahan sekian lama.”

“Kenapa kau heran?” bertanya Mahisa Murti, “kau akan menjadi semakin heran jika kau sempat menyadari akhir dari pertempuran ini. Tetapi agaknya kau tidak akan sempat melihatnya secara wadag apa yang akan terjadi di akhir perang tanding ini.”

“Gila,” geram orang itu. Tongkatnya pun menjadi semakin cepat berputaran sehingga menimbulkan desing yang semakin lama semakin keras.

Namun Mahisa Murti pun telah bersiap sepenuhnya menghadapinya. Karena itu, apapun yang dilakukan oleh lawannya. Mahisa Murti mampu mengimbanginya.”

Dengan demikian maka pertempuran antara Mahisa Murti dan orang bertongkat itupun menjadi semakin sengit. Tongkat itu menyambar-nyambar dengan dahsyatnya sehingga menimbulkan angin yang berdesing berputaran, semakin lama semakin keras sehingga bagaikan angin pusaran.

Tetapi Mahisa Murti tidak menjadi bingung karenanya, ia dengan penuh kesadaran menghadapi lawannya yang memiliki kekuatan yang luar biasa itu. Ketahanan tubuhnya yang besar telah mengikatnya pada bumi tempatnya berpijak sehingga ia tidak menjadi goyah oleh dorongan angin pusaran.

Sekali-sekali kedua senjata di tangan kedua orang berilmu tinggi itu telah bersentuhan. Ternyata bahwa tongkat yang ujudnya terbuat dari kayu itu memiliki kekuatan yang mampu beradu dengan pedang di tangan Mahisa Murti yang terbuat dari baja yang keras.

Mahisa Murti menjadi kagum akan kekuatan tongkat itu. sehingga ia menyadari bahwa kekuatan tongkat itu bukannya kekuatan kayu sewajarnya, tetapi tentu karena kemampuan dan kekuatan orang yang mempergunakannya.

Tetapi sebaliknya orang itupun heran mengalami benturan yang keras dengan pedang Mahisa Murti. Anak muda itu ternyata memiliki kekuatan yang mampu mengimbangi kekuatannya. Sehingga dalam setiap benturan, pedang anak muda itu sama sekali tidak terguncang di pegangan tangannya.

Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya semakin lama menjadi semakin dahsyat. Pengaruhnya pun terasa di sekitar putaran pertempuran. Namun ternyata keduanya telah bergeser semakin jauh dari arena pertempuran yang riuh antara para prajurit Lemah Warah dan isi padepokan itu.

“Anak itu harus segera mati,” geram orang bertongkat itu.

Namun ternyata bahwa ia tidak sanggup membunuh lawannya itu. Apalagi dalam waktu singkat. Bahkan terasa bahwa kekuatan dan kemampuan anak muda itu semakin lama menjadi semakin meningkat.

Dalam pada itu, di tempat lain, Mahisa Pukat masih berjuang melawan sekelompok ular berbisa. Ia dengan sengaja membiarkan dirinya menjadi sasaran ular-ular berbisa itu daripada para prajurit Lemah Warah. Agar dengan demikian maka bisa ular itu tidak akan berhamburan di medan. Karena ular itu akan dapat mematuk beberapa orang prajurit sekaligus sehingga seekor ular akan dapat membunuh dua tiga orang sekaligus.

Namun membunuh ular-ular itu bukannya satu pekerjaan yang mudah. Ular-ular itu seakan-akan telah mendapat latihan untuk bertempur. Mereka mampu menyerang dari arah yang berlainan, sehingga dapat menimbulkan kebingungan pada lawan yang dikepungnya. Beberapa saat Mahisa Pukat bertempur dengan pedangnya. Beberapa ekor ular yang berusaha menyerangnya sambil tegak pada bagian kepalanya telah tertebas pedang.

Beberapa saat Mahisa Pukat bertempur dengan pedangnya. Beberapa ekor ular yang berusaha menyerangnya sambil tegak pada bagian kepalanya telah tertebas putus. Namun yang lain tetap merayap perlahan-lahan mendekatinya sambil berdesis mengerikan.

“Gila,” geram Mahisa Pukat, “ilmu setan ini benar-benar membuat kepalaku menjadi pening.”

Ternyata Mahisa Pukat tidak membiarkan dirinya terlalu lama dikepung oleh segerombolan ular berbisa. Meskipun ia dengan sengaja memang menempatkan diri memancing perhatian ular-ular itu. Karena itu maka iapun justru telah menyarungkan pedangnya. Kemudian dibangunkannya ilmunya yang disadapnya dari Tatas Lintang yang ternyata adalah Akuwu Lemah Warah itu.

Dengan demikian maka Mahisa Pukat itupun telah mengembangkan kedua telapak tangannya yang terjulur ke depan. Dari sepasang telapak tangannya itu telah memancar sinar yang menyambar ke arah segerombolan ular di satu sisi dari kepungan yang rapat.

Tanah di arah sambaran sinar yang memancar dari telapak tangan Mahisa Pukat itupun bagaikan meledak. Sekelompok ular berbisa itupun bagaikan terlempar dari ledakan itu dan berhamburan jatuh beberapa langkah dari tempatnya. Mahisa Pukat masih melihat beberapa ekor di antara ular-ular itu menggelepar. Namun yang lain telah tergolek diam. Mati.

Serangan yang demikian itu telah diulanginya ke arah yang lain. Sehingga terjadi pulalah ledakkan yang telah melemparkan segerombolan ular yang lain. Serangan yang demikian telah diulanginya beberapa kali sehingga akhirnya, ular yang merambat keluar dari kotak yang besar itu telah habis berhamburan sampai beberapa langkah di sekitar Mahisa Pukat.

Namun tidak semua ular telah terbunuh. Masih ada beberapa yang menelusur di antara rerumputan dan sela-sela barak meninggalkan tempat itu dan menuju ke arena pertempuran. Namun karena ular itu tidak terlalu banyak, maka agaknya ular itu tidak lagi berbahaya bagi para prajurit Lemah Warah.

Dalam pada itu, lawan Mahisa Pukat yang memiliki ilmu gendam dan aji panglimunan yang belum sempurna itu terpaksa, menyingkir jauh-jauh. Ketika ia mendapat kesempatan untuk mengetrapkan ilmu gendamnya dan melepaskan ular-ularnya, maka ia berharap bahwa dengan demikian pertempuran itupun akan segera berakhir karena ularnya tentu akan membunuh banyak prajurit Lemah Warah. Namun ternyata bahwa ular-ularnya tidak banyak dapat membantunya, karena sebagian besar dari ular-ular itu telah terbunuh oleh Mahisa Pukat.

Tetapi orang itu tidak melihat kehancuran ularnya, karena ia sendiri telah berusaha untuk bersembunyi. Ia tidak lagi memiliki kemampuan untuk bertempur secara langsung. Tenaganya bagaikan telah terkuras habis terhisap oleh ilmu Mahisa Pukat yang luar biasa. Sehingga dengan demikian orang itu telah bersembunyi sambil berusaha untuk menumbuhkan kembali kemampuan di dalam dirinya. Namun ia sadar sepenuhnya, bahwa untuk itu ia memerlukan waktu.

Sementara itu pertempuran berlangsung terus. Di segala sudut padepokan itu senjata saling beradu. Namun telah banyak diantara mereka yang terbaring diam atau harus mengerang kesakitan.

Mahisa Pukat yang telah menghabiskan lawan itupun mulai memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ia masih melihat di jarak yang agak jauh seekor ular merayap diantara rerumputan. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun segera melenting ke arah ular itu. Ketika ular itu kemudian berbalik dan mengangkat kepalanya, maka pedang Mahisa Pukat-pun telah terayun.

Agaknya Mahisa Pukat tidak lagi terlalu banyak mempertimbangkan tindakannya dalam perang yang semakin keras itu. Menggunakan kekuatan dan kecepatan gerak mereka untuk mencoba menghancurkan lawan masing-masing. Namun pertempuran yang demikian itu tentu hanya akan menelan waktu yang berkepanjangan.

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti maupun orang bertongkat itu tidak akan mampu mengalahkan lawan mereka. Keduanya memiliki kekuatan dan ketrampilan yang tinggi mempermainkan senjata mereka. Benturan demi benturan telah terjadi. Keduanya saling mendesak dan memburu. Namun keduanya-pun kemudian menyadari, bahwa mereka harus meningkatkan ilmu mereka jika mereka memang ingin dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu. Karena itulah, maka orang bertongkat itu kemudian telah berusaha untuk benar-benar menghancurkan lawannya dengan ilmunya yang mendebarkan.

Pertempuran antara keduanya yang menjadi semakin seru dan cepat itu memang telah bergeser semakin jauh dari hiruk pikuk pertempuran antara para prajurit Lemah Warah dan isi padepokan itu. Dengan demikian maka keduanya telah mendapat kesempatan untuk bertempur beralaskan kemampuan masing-masing tanpa bantuan dan ikut campur orang lain.

Untuk beberapa saat kedua senjata itu masih beradu. Namun jantung Mahisa Murti berdesir ketika ia melihat lawannya meloncat menjauh dan tiba-tiba saja telah mengangkat tongkatnya teracu ke arahnya. Dengan cepat Mahisa Murti telah meloncat tepat pada saat tongkat itu memancarkan seleret cahaya menyambarnya. Karena itu, maka serangan itu tidak mengenainya. Meskipun demikian, Mahisa Murti tidak mendapat banyak kesempatan. Orang itu telah mengarahkan tongkatnya sekali lagi ke arah Mahisa Murti.

Mahisa Murti menyadari bahwa serangan pun akan segera datang lagi. Iapun tidak menunggu ilmu lawannya itu menyambarnya. Karena itu maka dengan cepat pula Mahisa Murti telah meloncat menghindar. Sekali lagi serangan orang bertongkat itu tidak mengenainya. Cahaya yang menyambar dan tidak mengenainya itu telah menghantam tanah tempat Mahisa Murti semula berpijak, sehingga tanah itu seakan-akan telah meledak.

Kegagalan itu telah membuat orang bertongkat itu semakin marah. Karena itu, maka ia tidak mau melepaskan lawannya yang berloncatan menghindari serangannya itu. Sekali lagi ujung tongkat itu telah terangkat mengarah kepada tubuh Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti tidak mau sekedar menjadi sasaran. Dengan demikian maka iapun telah bersiap menghadapi serangan itu dengan kemampuan ilmunya pula.

Namun Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain ketika sekali lagi seleret sinar menyambar dari ujung tongkat itu. Mahisa Murti bahkan telah meloncat dan berguling beberapa kali di tanah. Demikian Mahisa Murti melenting berdiri, maka sekali lagi ia harus menjatuhkan dirinya karena serangan itu menyambarnya lagi.

Namun Mahisa Murti tidak dengan tergesa-gesa meloncat berdiri. Sambil berbaring tiba-tiba saja ia telah menjulurkan tangannya dengan telapak tangan terbuka ke arah lawannya. Lawannyalah yang kemudian terkejut, iapun melihat sinar yang menyala di telapak tangan anak muda itu. Karena itu, maka iapun harus dengan cepat menghindar. Sebenarnyalah seleret sinar telah menyambar orang itu.

Namun orang bertongkat itupun dengan cepat meloncat pula ke samping, sehingga sambaran sinar itu tidak mengenainya. Tetapi jantung orang itu berdebar ketika sinar itu menembus dan menebas dahan dan ranting sebatang pohon yang tumbuh di halaman padepokan itu. Suaranya gemeretak dan berderak, sehingga dengan demikian maka hampir separuh dari rimbunnya dahan dan dedaunan pohon itu runtuh di tanah. Dengan demikian maka kedua orang itupun harus semakin berhati-hati. Mereka menyadari bahwa masing-masing memang memiliki kemampuan yang sangat tinggi.

Mahisa Murti yang kemudian berdiri tegak justru masih mengacukan pedangnya. Dengan suara gemetar ia berkata, “Marilah. Manakah yang kau pilih. Kau mampu meluncurkan serangan lewat ujung tongkatmu sementara aku mampu membalasmu dengan sebelah telapak tanganku. Kita akan dapat saling menyerang dari jarak tertentu. Namun kita dapat bertempur dengan cara lain, sebagaimana pernah kita lakukan sebelumnya.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia telah mengangkat ujung tongkatnya. Ketika sinar itu meluncur. Mahisa Murti sempat menghindar ke samping. Sementara itu dengan menjulurkan tangannya, maka serangan balasannya pun telah menyambar orang bertongkat itu. Tetapi orang bertongkat itupun mampu bergerak secepat Mahisa Murti. Karena itu maka serangannya pun tidak mengenai sasarannya.

Namun dengan demikian Mahisa Murti mendapat kesempatan untuk meloncat mendekati lawannya. Sebelum lawannya siap mengangkat tongkatnya, sekali lagi Mahisa Murti meluncurkan serangannya. Tetapi sekali lagi pula lawannya berhasil bergeser menghindar. Namun dengan demikian, Mahisa Murti telah mendapat kesempatan lagi untuk meloncat mendekat. Sehingga dengan demikian maka ujung pedang Mahisa Murti telah hampir dapat menjangkau tubuh lawannya.

“Gila,” geram orang bertongkat itu. Tetapi ia tidak sempat mengangkat tongkatnya dan menyerang Mahisa Murti dengan loncatan sinar dari ujung tongkatnya itu. Mahisa Murti dengan kecepatan yang mungkin dilakukan berusaha untuk memaksa lawannya bertempur pada jarak dekat dengan beradu senjata. Dengan demikian, maka lawannya tidak mempunyai pilihan lain. Keduanya kembali terlibat ke dalam pertempuran jarak dekat dengan mengandalkan kemampuan mereka beradu senjata.

Sementara itu, Tatas Lintang yang berusaha untuk dapat mengamati seluruh arena pertempuran melihat, bahwa prajuritnya mendapat kemajuan di beberapa tempat. Kecuali jumlahnya memang lebih banyak, para prajurit Lemah Warah itu benar-benar terpilih. Karena itu meskipun mereka harus berhadapan dengan para pengikut orang-orang berilmu tinggi dengan bekal yang cukup pula, namun para prajurit itu tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Untuk menghadapi orang-orang yang memiliki kemampuan yang melampaui kemampuan mereka, maka para prajurit itu telah bertempur berpasangan.

Dalam pada itu, maka Tatas Lintang pun akhirnya merasa bahwa ia tidak perlu mencemaskan keadaan prajuritnya. Bahkan ketika ia bergeser lagi, dilihatnya Mahisa Pukat yang muncul dari antara barak orang-orang padepokan itu seorang diri pula.

“Kau terluka?” bertanya Tatas Lintang.

“Ya.” jawab Mahisa Pukat. “Tetapi tidak seberapa.”

“Meskipun begitu, kau harus mengobatinya sebelum kau terjun ke lingkungan pertempuran yang lebih sibuk,” berkata Tatas Lintang.

Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun iapun tidak menolak ketika Tatas Lintang kemudian mengobatinya. Sementara itu Mahisa Pukat sempat berceritera tentang perkelahiannya melawan salah seorang pemimpin padepokan itu. “Tetapi aku telah kehilangan orang itu,” berkata Mahisa Pukat.

“Orang itu tetap berbahaya,” berkata Tatas Lintang, “meskipun ia sendiri tidak akan mampu memasuki arena karena kekuatannya telah terhisap, tetapi ilmu gendamnya masih mampu dipergunakannya.”

“Aku sudah membunuh hampir semua ular-ularnya,” berkata Mahisa Pukat, “ular adalah binatang yang paling berbahaya. Seandainya ia sempat melepaskan dua tiga ekor harimau, maka persoalannya tidak akan segawat jika ia melepaskan tiga atau empat ekor ular di medan.”

Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah jika kau sudah menghabiskan ular-ular itu.”

“Masih ada satu dua yang terlepas,” jawab Mahisa Pukat, “tetapi yang sekotak sudah aku bunuh semuanya.”

“Jika demikian, sebaiknya kita pergi ke medan. Kita harus menyelesaikan pertempuran ini sesegera mungkin,” berkata Tatas Lintang.

Keduanya pun kemudian telah meninggalkan tempat itu. Namun keduanya tidak selalu bersama-sama. Tatas Lintang telah memilih arah tersendiri, sementara Mahisa Pukat pun telah menentukan tujuannya sendiri pula.

“Jika pertempuran ini tidak segera berakhir sampai petang, maka orang yang memiliki ilmu gendam itu akan mampu muncul lagi di medan. Bahkan jika ia sempat memanfaatkan waktu yang semalam untuk mendapatkan jenis-jenis binatang yang akan dapat dipergunakannya, maka arena akan menjadi semakin gawat. Apalagi jika ia mempergunakan ular lagi,” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya.

Sementara itu Tatas Lintang yang muncul di bagian lain dari padepokan itu, melihat pertempuran yang semakin seru. Namun seperti di bagian lain, agaknya para prajurit Lemah Warah semakin mendesak lawan-lawan mereka.

Dalam pada itu, Mahisa Murti yang telah bertempur pada jarak pendek, telah mempergunakan ilmunya sebagaimana telah dipergunakan oleh Mahisa Pukat. Ia telah memanfaatkan setiap benturan untuk melemahkan kekuatan lawannya. Namun ternyata sesuatu di luar pengetahuan Mahisa Murti telah terjadi. Orang bertongkat itu ternyata telah mendapat peringatan dengan pesan langsung dengan aji pameling yang hanya dapat didengarnya.

Ternyata orang yang telah dikalahkan oleh Mahisa Pukat itu sempat menyaksikan pertempuran antara Mahisa Murti dan lawannya, orang yang bersenjata tongkat. Untuk dapat memahami pesan itu, maka orang bertongkat itu telah berusaha melenting menjauhi Mahisa Murti. Ia mendapat kesempatan sekejap untuk mendengarkan pesan itu, bahwa lawannya mungkin mempergunakan ilmu yang mampu menghisap tenaga sebagaimana pernah dialami.

“Karena itu, hindari benturan,” bisik pesan itu.

Orang bertongkat itu mampu memahaminya karena ia memang sudah mendengar bahwa ada semacam ilmu yang mampu menghisap tenaga dan kemampuan lawannya. Karena itu, maka iapun menjadi semakin berhenti-hati menghadapi Mahisa Murti. Bahkan benturan-benturan yang satu dua kali telah terjadi, sempat dinilainya, sehingga iapun kemudian berkesimpulan bahwa lawannya memang memiliki ilmu itu.

Karena itu, maka iapun berusaha untuk berbuat sebaliknya dari yang dilakukan oleh Mahisa Murti. Orang bertongkat itu kemudian telah berusaha untuk bertempur pada jarak tertentu dengan mempergunakan kemampuannya melontarkan serangan dari ujung tongkatnya. Setiap kali ia berusaha untuk menghindar jika Mahisa Marti memancingnya bertempur pada jarak dekat. Dengan serangan-serangan beruntun orang bertongkat itu berusaha dengan sungguh-sungguh mempertahankan jarak di antara mereka.

Mahisa Murti memang merasa heran akan perubahan itu. Jika semula orang itu tidak merasa gentar bertempur dengan cara apapun, namun tiba-tiba saja ia telah menghindari kemungkinan sentuhan senjata di antara mereka dengan memelihara jarak dan bertempur dengan senjata ilmunya yang membentur dari tongkatnya.

Untuk beberapa saat Mahisa Murti berusaha untuk meyakinkan. Ia telah menempuh cara yang sama seperti pernah dilakukannya untuk mendapat kesempatan bertempur pada jarak dekat. Tetapi orang bertongkat itu selalu berusaha untuk menghindari cara sebagaimana dikehendaki oleh Mahisa Murti.

Akhirnya Mahisa Murti pun sadar, bahwa agaknya lawannya itu mengerti, bahwa sentuhan senjata dengan senjata Mahisa Murti adalah pertanda bahwa nasibnya akan menjadi sangat buruk.

“Siapakah yang telah memberitahukan hal itu kepadanya,” geram Mahisa Murti di dalam dirinya.

Namun sebenarnyalah bahwa lawannya tidak mau lagi bertempur pada jarak dekat yang memungkinkan senjata mereka saling beradu. vNamun demikian Mahisa Murti pun tidak menjadi gentar. Untunglah bahwa iapun telah memiliki satu kemampuan untuk bertempur dalam jarak tertentu.

Karena itu, maka pertempuran antara keduanya pun menjadi semakin seru. Namun mereka ternyata memerlukan arena yang cukup luas agar serangan-serangan mereka yang luput dari sasaran tidak justru membunuh orang-orang yang baru bertempur dengan sengitnya, karena mungkin justru kawan-kawan sendirilah yang akan dikuasainya.

Namun bagaimanapun juga, agaknya Mahisa Murti memang memiliki kelebihan. Umurnya yang masih muda telah mempengaruhi dorongan kekuatannya. Namun dalam usianya yang muda itu, Mahisa Murti telah memiliki ilmu dan pengalaman yang sangat luas. Itulah sebabnya maka perlahan-lahan tetapi pasti, Mahisa Murti telah mendesak lawannya.

Sementara itu Tatas Lintang yang mengambil arah sendiri dan berpisah dengan Mahisa Pukat, telah melihat di sudut padepokan itu, pertempuran yang kurang seimbang. Seorang yang agaknya memiliki ilmu yang tinggi telah menyapu lawan-lawannya yang mengepungnya.

Namun karena lawannya cukup banyak, maka ia tidak mendapat banyak kesempatan untuk melepaskan ilmunya yang luar biasa. Namun ketika sekali ia mendapat kesempatan itu, maka ia telah mengacukan tangannya. Seleret sinar telah menyambar. Sekaligus tiga orang telah terlempar dan seakan-akan meledak dengan akibat yang mengerikan sekali.

Serangan itu memang mengejutkan. Tetapi para prajurit Lemah Warah justru menyadari bahwa serangan yang demikian sangat berbahaya. Karena itu maka mereka pun segera meloncat menyerang dari beberapa arah. Mereka harus bertempur pada jarak dekat, sehingga lawannya itu tidak sempat melepaskan serangannya yang mengerikan itu.

Namun ternyata orang itupun memiliki ketrampilan yang sangat tinggi. Apalagi dalam keadaan yang demikian ia sempat berloncatan menghindar dan memberi isyarat kepada orang-orang padepokan itu untuk memasuki arena. Dengan demikian maka iapun telah mendapat kesempatan untuk memasuki pertempuran yang lain yang memungkinkannya untuk menebas lawannya dengan ilmunya yang nggegirisi.

Namun dalam pada itu, ketika ia melenting keluar dari arena, tiba-tiba saja seseorang telah menandinginya sambil tersenyum. Bahkan orang itu telah bertepuk tangan sambil berkata lantang, “luar biasa. Kau benar-benar seorang yang pilih tanding.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun segera mengenali orang yang datang itu. “Ha, kau Sang Akuwu yang Agung,” sapa orang itu sambil melangkah mendekat, “Aku memang menunggu kesempatan seperti ini.”

“Kita sudah pernah mendapat kesempatan,” berkata Tatas Lintang, “tetapi kesempatan itu telah kau tinggalkan.”

“Di mana kemanakanmu itu?” bertanya orang itu, “aku pernah meminjam wadag seorang di antara mereka. Sayang aku tidak mendapat kesempatan sekarang ini. Sebenarnya aku dapat menyembunyikan wadagku dan kemudian mengoyak pasukan Lemah Warah dengan caraku. Memasuki tubuh mereka seorang demi seorang dan membunuhnya dengan mudah.”

“Kenapa mudah?” bertanya Tatas Lintang.

“Aku memang bodoh,” berkata orang itu, “kenapa aku baru teringat sekarang. Aku dapat memasuki wadag prajurit Lemah Warah dan membiarkan orang-orang padepokan ini menghunjamkan senjatanya di dada. Dengan cepat aku harus melepaskan diri dan memasuki tubuh yang lain. Dengan cara yang sama aku akan dapat banyak membunuh orang-orang Lemah Warah.”

“Kenapa tidak kau lakukan?” bertanya Akuwu Lemah Warah.

“Sudah aku katakan, itulah kebodohanku.” jawab orang itu.

“Kau masih mendapat kesempatan,” berkata Akuwu Lemah Warah.

“Tentu tidak Sang Akuwu,” jawab orang itu, “kau tentu akan menemukan tubuhku dan mencincangnya dengan geram.”

“Karena itu, maka kesempatanmu sekarang adalah bertempur melawan aku,” berkata Akuwu Lemah Warah, “tidak sepantasnya kau membunuh prajurit-prajurit itu.”

“Di peperangan aku boleh membunuh lawanku yang manapun,” jawab orang itu.

“Tetapi aku tidak melakukannya,” jawab Tatas Lintang, “aku masih mempunyai harga diri, sehingga aku sempat memilih lawan. Nah, sekarang aku telah menemukan lawan itu.”

“Salahmu sendiri,” berkata orang itu, “kenapa kau harus mempertahankan harga dirimu.”

“Baiklah. Kita tidak mempersoalkannya lagi. Kita sekarang sudah mendapat kesempatan untuk bertemu lagi. Apakah kau akan lari lagi?”

Orang itu tertawa. Katanya, “Tentu tidak Sang Akuwu yang mulia. Aku tidak akan lari. Tetapi aku akan membunuhmu.”

Akuwu Lemah Warah itu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sejenak mereka saling berhadapan. Keduanya telah bersiap dalam kesiagaan tertinggi. Mereka masing-masing mengerti bahwa lawannya memiliki ilmu yang nggegirisi, yang mampu menyambar lawannya pada jarak tertentu.

Namun selagi keduanya telah bersiap, terdengar lawan Tatas Lintang itupun berkata, “Kita menyadari, bahwa kita tidak akan dapat dengan cepat menyelesaikan pertempuran di antara kita. Jika kita mempergunakan kemampuan kita sebagaimana pernah terjadi, maka kita hanya akan berkejaran dan saling berloncatan. Karena itu aku tantang kau bertempur dengan cara yang lain.”

“Cara apakah yang kau maksud?” bertanya Tatas Lintang.

“Kita akan beradu ilmu pedang,” berkata orang itu.

Tatas lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak berkeberatan. Kita akan melakukannya dengan jujur. Di antara kita tidak akan dengan tiba-tiba dan curang menyerang dari jarak jauh.”

“Aku setuju,” jawab orang itu.

Demikianlah maka keduanya pun telah bersiap dengan pedang. Keduanya, akan mengukur kemampuan mereka dalam ilmu pedang. Sejenak kemudian maka pedang mereka pun telah terjulur. Ujung-ujungnya itupun mulai mematuk dengan cepatnya.

Keduanya ternyata memang memiliki kemampuan ilmu pedang yang tinggi. Kedua pedang di tangan kedua orang yang sedang bertempur itupun kemudian berputar dengan cepatnya, sehingga yang nampak hanyalah gulungan awan putih yang menyelubungi keduanya masing-masing. Namun sekali-sekali kedua senjata itupun telah beradu sehingga bunga api pun telah memercik ke udara.

Semakin lama pertempuran antara kedua orang itupun menjadi semakin cepat. Benturan-benturan telah memperingatkan kepada mereka, bahwa lawan mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan kemampuan yang tinggi.

Namun dalam pada itu, pertempuran yang bertebaran di seluruh padepokan itu telah menjadi semakin kehilangan keseimbangan. Prajurit Lemah Warah yang memang lebih banyak, ternyata menjadi semakin mapan. Orang-orang dari padepokan itu, betapapun mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka, namun mereka benar-benar sulit untuk mengimbangi kemampuan prajurit Lemah Warah. Karena itulah, maka lambat laun orang-orang padepokan itupun bagaikan telah tergiring ke sudut-sudut padepokan. Mereka tidak mempunyai kesempatan untuk menentukan dan memilih medan.

Para pemimpin padepokan itu menyadari kesulitan yang terjadi pada para pengikut mereka. Namun mereka tidak segera mendapat cara untuk mengatasinya. Para pemimpin itu ternyata telah mendapat lawan yang seimbang. Bahkan ternyata mereka, memiliki beberapa kelebihan sehingga para pemimpin dari padepokan itupun telah terdesak sebagaimana para pengikutnya.

Dalam keadaan yang demikian, maka rasa-rasanya tidak akan ada harapan lagi bagi orang-orang padepokan itu. Satu-satunya kemungkinan bagi mereka, jika tidak ada perubahan keadaan, adalah melarikan diri dari padepokan itu. Namun di luar padepokan sebagian kecil pasukan Lemah Warah telah menunggu. Karena itu, maka sebenarnyalah keadaan orang-orang padepokan itu benar-benar menjadi sangat gawat. Sedangkan pertempuran telah terjadi sedemikian lamanya dan benar-benar telah menghisap tenaga.

Di sudut-sudut padepokan, orang-orang padepokan itu bertempur dalam keadaan putus asa. Namun justru karena itu, maka mereka seakan-akan menjadi keras, kasar dan bahkan liar. Mereka tidak lagi sempat membuat perhitungan-perhitungan. Apapun telah mereka lakukan bukan untuk mempertahankan diri lagi, tetapi mereka telah bertempur untuk mencari kawan sebanyak-banyaknya untuk terjun ke daerah maut.

Namun dalam keadaan yang demikian, mereka masih mengharapkan sesuatu terjadi, meskipun hanya sepercik kecil. Harapan yang semakin lama menjadi semakin pudar. Tetapi dalam pada itu, di tengah-tengah padepokan itu, suasananya memang agak berbeda. Suasana tetap lengang dan sepi. Tidak seorang pun yang nampak. Seakan-akan tempat itu menjadi terlarang bagi siapapun.

Dalam keadaan yang sepi lengang itu, ternyata sesuatu telah terjadi. Di dalam barak yang tertutup rapat, seorang sedang duduk di atas sebuah amben yang besar. Tangannya bersilang di dadanya. Sementara kepalanya menunduk dan matanya separuh terpejam.

Dengan ketajaman panggraitanya ia telah mengikuti pertempuran yang terjadi di padepokan itu. Dengan jantung yang berdebaran ia melihat orang-orang padepokan itu semakin terdesak. Bahkan para pemimpinnya yang diandalkannya pun telah terdesak pula. Bahkan seorang di antara mereka benar-benar telah dilumpuhkan oleh lawannya. Hanya karena ia memiliki ilmu panglimunan meskipun belum sempurna sajalah maka ia dapat membebaskan dirinya dan harus bersembunyi, karena tenaganya hampir seluruhnya telah terhisap habis!

Kekalahan-kekalahan itu tidak dapat dibiarkannya begitu saja. Semula ia memang berharap bahwa segalanya akan terselesaikan tanpa ia sendiri ikut campur. Namun ternyata bahwa orang-orang padepokan itu telah terdesak dan hampir kehilangan kesempatan sama sekali. Karena itu, maka orang itupun akhirnya merasa bahwa ia tidak akan dapat tinggal diam. Ia harus berbuat sesuatu untuk membantu orang-orang padepokan itu, agar mereka tidak dihancurkan sama sekali oleh para prajurit dari Lemah Warah.

Untuk beberapa saat orang itu masih memperhatikan keadaan dengan saksama sebelum mengambil langkah-langkah tertentu. Sementara itu, orang-orang yang telah memasuki padepokan itu memang menjadi bingung. Mereka tidak melihat apapun pada jarak selangkah di hadapan mereka. Karena itu yang mereka lihat adalah bayangan-bayangan kabur yang tidak begitu jelas, apakah mereka kawan atau lawan.

Orang-orang padepokan itupun merasa sulit untuk menyerang. Tetapi mereka mempunyai kesempatan untuk bergeser dari tempatnya. Mereka dengan pengenalan mereka yang baik atas padepokan itu, seorang demi seorang telah berhasil lolos dari himpitan pasukan dari Lemah Warah.

Dengan demikian maka pertempuran pun pada dasarnya telah berhenti. Kedua belah pihak tidak mau menanggung akibat buruk karena kesalahan mereka menentukan lawan dan kawan. Jika mereka hanya melihat bayangan yang sepintas lewat di depan mereka, maka mereka tidak akan segera dapat mengenalinya.

Tatas Lintang yang memimpin langsung para prajurit Lemah Warah itupun semula tidak segera dapat menentukan langkah-langkah yang perlu diambil oleh pasukannya. Namun akhirnya Tatas Lintang tidak dapat berbuat lain daripada untuk sementara menyelamatkan prajurit-prajuritnya yang terjebak oleh kabut yang semakin tebal itu.

Karena itu, maka dengan suaranya yang bergaung memenuhi, udara padepokan itu Tatas Lintang berkata, “Kita lebih baik keluar dari padepokan ini. Kita akan mengepung padepokan ini diluar dinding.”

Para prajuritnya mendengar suara Tatas Lintang itu. Meskipun mula-mula mereka ragu-ragu, namun akhirnya mereka menyadari, bahwa perintah itu memang datang dari Akuwu Lemah Warah.

Karena itu, maka para prajurit itupun telah berusaha untuk mencapai dinding padepokan. Mereka yang sempat menemukan kawan-kawan mereka yang terluka dan terbaring di padepokan itu, dengan susah payah telah mereka bawa keluar. Mereka sadar, bahwa mereka tidak akan mungkin keluar lewat pintu gerbang, karena pintu gerbang itu tentu telah ditutup dan dijaga oleh para penghuni padepokan itu.

Dalam pada itu, para penghuni padepokan itupun telah berusaha untuk mencegah para prajurit Lemah Warah keluar dari padepokan itu, namun terlalu sulit bagi mereka untuk dapat berbuat demikian, karena mereka pun tidak dapat melihat pada jarak selangkah.

Para prajurit Lemah Warah yang berusaha mencapai dinding padepokan harus mengamati setiap tubuh yang terbaring yang mereka jumpai. Jika ternyata tubuh itu adalah tubuh prajurit Lemah Warah hidup atau mati, maka prajurit itu telah berusaha membawanya.

Betapapun sulit dan lambatnya, namun akhirnya para prajurit Lemah Warah itupun telah berhasil keluar dari dinding padepokan itu. Padepokan yang semula dikenal sebagai padepokan orang-orang bertongkat. Namun ternyata yang memenuhi padepokan itu bukannya hanya orang-orang bertongkat saja.

Ternyata beberapa perguruan telah bergabung menjadi satu. Atau mungkin salah satu perguruan yang mempunyai kekuatan tidak terlawan oleh yang lain telah memaksakan kehendaknya atas perguruan yang lain yang ada di padepokan itu.

Ketiga orang anak muda yang disebut kemanakan Tatas Lintang itupun telah berada di luar padepokan pula, sementara Tatas Lintang adalah orang yang terakhir yang meloncati dinding padepokan.

Diluar padepokan, tidak ada selembar kabut pun yang menghalangi pandangan mereka. Tidak ada angin yang tidak ada suasana apapun yang mempengaruhi mereka. Langit cerah dan dedaunan pun bergerak dihembus oleh angin yang tidak begitu kencang.

“Luar Biasa,” geram Tatas Lintang, “ternyata didalam padepokan itu terdapat seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ilmu yang telah berhasil menghentikan pertempuran. Kemenangan yang perlahan-lahan telah diraih oleh para prajurit itu, ternyata tidak dapat mereka selesaikan dengan tuntas.”

Namun bagi Tatas Lintang, menarik pasukannya keluar dari padepokan adalah jalan yang paling baik yang dapat ditempuh. Jika tidak, maka orang-orang padepokan itu yang kemudian menjadi mapan akan sangat berbahaya bagi mereka. Jika kabut itu dibuatnya sedikit menipis setelah orang-orang dari padepokan itu berhasil bebas dari himpitan dan tekanan pasukan Lemah Warah, maka mereka akan mendapat banyak kesempatan untuk menyerang dan kemudian menghilang diantara kabut dan sudut-sudut barak di padepokan itu.

Karena itu, maka satu-satunya kemungkinan yang dapat ditempuh adalah sebagaimana dilakukan oleh Tatas Lintang. Setelah mereka berada di luar padepokan, maka Tatas Lintang pun segera mengumpulkan para pemimpin kelompok serta ketiga orang yang disebutnya sebagai kemanakannya, serta Panglima pasukan khusus itu. Mereka berusaha untuk memecahkan teka-teki yang mereka hadapi di padepokan itu.

Namun akhirnya Tatas Lintang pun memerintahkan kepada para pemimpin kelompok untuk kembali ke kelompok masing-masing dengan pesan, “Jangan ada seorang pun yang lolos. Kita tetap mengepung padepokan ini. Pada saatnya nanti kita akan berbicara lebih mendalam. Mungkin kita mendapat petunjuk apa yang harus kita lakukan."

Para pemimpin kelompok itupun segera kembali ke pasukan masing-masing. Mereka telah mengatur kelompoknya serta menyampaikan perintah Akuwu agar mereka tetap mengepung padepokan itu dengan ketat.

“Tidak seorang pun boleh lolos dari kepungan,” berkata setiap pemimpin kelompok kepada pasukannya.

Dalam kesempatan itu, Tatas Lintang sempat berbicara secara khusus dengan Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Ura dan Panglima pasukan khususnya.

“Sayang kita tidak menemukan orang itu dan tidak mengetahui di mana orang itu berada,” berkata Tatas Lintang.

Ketiga orang yang pernah diaku sebagai kemanakan Tatas Lintang itu serta Panglima khususnya mengangguk-angguk. Mereka sebenarnya tidak gentar menghadapinya seandainya mereka mendapat kesempatan. Tetapi agaknya mereka sulit untuk menemukan orang itu di antara para penghuni padepokan itu.

“Pada waktu ia melepaskan ilmunya, mungkin ia berada di salah satu barak di padepokan itu,” berkata Mahisa Murti.

“Mungkin,” sahut Tatas Lintang, “tetapi bagaimana menemukan barak yang satu itu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun baginya tidak segera nampak satu cara untuk memecahkan teka-teki itu.

“Kita akan menunggu sampai kita menemukan satu cara. Selama itu kita akan mengepung padepokan ini,” berkata Tatas Lintang. Lalu, “Sementara itu kita dapat menghitung berapa orang kita yang gugur, yang terluka dan yang hilang. Namun kita yakin, bahwa jumlah korban di antara kita dan orang-orang padepokan itu, tentu lebih banyak di antara mereka.”

“Ya. Aku yakin,” desis Mahisa Pukat.

Dengan demikian, maka mereka tidak melanjutkan pembicaraan itu. Mereka justru telah mengelilingi pasukan Lemah Warah yang mengepung padepokan itu dalam kelompok-kelompok kecil yang tersebar. Seperti diperintahkan oleh Akuwu Lemah Warah, maka tidak boleh seorang pun lolos.

Untuk menjaga agar pasukan Lemah Warah itu tidak dikoyak-koyak oleh orang-orang yang berilmu tinggi dari padepokan itu yang dengan sengaja dan diam-diam meloncati dinding untuk menyerang, maka para kelompok harus mempunyai alat untuk menyampaikan isyarat. Karena itu, maka mereka harus berusaha mencari batang bambu di rumpun-rumpun bambu di luar padepokan itu untuk membuat kentongan.

Dengan isyarat itu, maka mereka akan dapat memanggil para pemimpin dari Lemah Warah untuk menghadapi orang-orang berilmu tinggi dari padepokan itu apabila mereka dengan diam-diam keluar dari padepokannya untuk mengacaukan kepungan para prajurit Lemah Warah. Kepada setiap pemimpin kelompok Akuwu Lemah Warah yang datang kepada kelompok-kelompok itu telah memberikan pesan agar pasukan Lemah Warah tidak justru terjebak.

“Kita harus berhasil,” berkata Akuwu Lemah Warah, “yang perlu dicari pemecahannya adalah kabut yang membuat padepokan itu menjadi gelap. Apalagi jika dalam gelapnya kabut itu, orang-orang padepokan itu sempat mempergunakan ular-ular mereka. Maka kita benar-benar akan dihancurkan, karena ular itu akan dapat menelusur ke seluruh medan dengan bekal pengenalan atas lawan-lawan dari orang yang mempengaruhinya dengan Ilmu Gendam.”

Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Mereka memang dapat membayangkan, betapa ngerinya jika di dalam kabut yang gelap itu, di bawah kaki mereka berkeliaran ular-ular berbisa yang setiap saat dapat mematuk mereka. Dengan demikian maka mereka akan dibantai oleh lawan mereka tanpa mampu memberikan perlawanan apapun juga.

Dengan demikian maka yang harus dilakukan oleh pasukan itu adalah sekedar menunggu perintah lebih lanjut. Sementara itu mereka harus mengawasi padepokan itu dengan ketat, sehingga mereka tidak akan terjerumus ke dalam keadaan yang tiba-tiba saja menjadi gawat.

Namun di antara mereka yang terluka itu ternyata ada juga yang telah digigit oleh ular berbisa. Untunglah bahwa mereka pada umumnya membawa obat penawar bisa, sehingga meskipun untuk sementara, mereka berhasil menahan menjalarnya bisa di dalam tubuh mereka, sampai saatnya Akuwu Lemah Warah sendiri memberikan pengobatan kepada mereka.

Di malam hari, pengawasan di sekitar padepokan itu tidak mengendor. Setiap kelompok telah membagi orang-orangnya untuk mengamati keadaan dengan saksama. Sementara itu, setiap kelompok pun harus menghitung dengan teliti, berapa orang yang terbunuh, hilang atau terluka.

Sambil mengamati keadaan, maka beberapa orang prajurit telah menyelenggarakan persiapan penguburan kawan-kawan mereka yang terbunuh, yang akan dilakukan besok. Sedangkan yang lain merawat kawan-kawan mereka yang terluka.

Di hari berikutnya kesibukan para prajurit Lemah Warah ditandai dengan beberapa gundukan tanah basah. Mereka telah menguburkan kawan-kawan mereka yang terbunuh di peperangan. Meskipun demikian, pengawasan terhadap padepokan itu sama sekali tidak diabaikan. Setiap jengkal mendapat pengawasan secermat-cermatnya.

Tatas Lintang, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Ura dan Panglima pasukan khusus dari Lemah Warah itu agaknya masih belum mendapatkan cara untuk menembus padepokan itu. Ketika mereka berbicara tentang kemungkinan itu, maka Mahisa Pukat pun berkata, “Kita bakar saja padepokan itu.”

“Kita tidak akan mendapatkan apa-apa. Mungkin barak-barak itu akan terbakar, tetapi orang-orangnya masih akan tetap bertahan,” jawab Tatas Lintang.

“Jika persediaan makan mereka juga terbakar?” berkata Mahisa Pukat pula.

“Kita tidak tahu di manakah mereka menyimpan persediaan makanan mereka. Tetapi membakar padepokan itu mempunyai kesan yang terlalu kasar, meskipun kita tidak melanggar paugeran apapun juga,” jawab Akuwu Tatas Lintang, “namun jika kita mempunyai cara lain yang lebih baik untuk memaksa menyerah, aku kira kita akan menempuhnya.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, yang lain pun berpikir juga untuk mencari satu kemungkinan yang lebih baik dari yang diusulkan oleh Mahisa Pukat itu. Namun tidak mudah untuk menemukan cara itu. Karena itu Tatas Lintang pun telah memerintahkan agar pasukannya mengepung padepokan itu dengan rapat.

“Kita akan berada di sini untuk waktu yang tidak ditentukan,” berkata Tatas Lintang kepada para pemimpin kelompok, “kita harus mencari jalan yang sebaik-baiknya agar korban tidak terlalu banyak jatuh. Karena itu kita tidak boleh tergesa-gesa.”

Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti bahwa Akuwu Lemah Warah itu harus berbuat dengan sangat berhati-hati tanpa mengorbankan prajurit-prajuritnya tanpa arti. Namun demikian mereka juga mulai memandang hari-hari berikutnya yang tidak pasti. Meskipun dihadapan mereka masih tetap berdiri dinding padepokan yang garang yang menyimpan orang-orang berilmu tinggi.

Namun dalam pada itu, peristiwa lain telah terjadi. Beberapa orang prajurit telah menangkap tiga orang yang tidak dikenal. Tetapi ketiga orang itu tidak melakukan perlawanan. Ketika para prajurit mengacukan senjata mereka, maka salah seorang dari ketiga orang itu berkata, “Kami justru ingin bertemu dengan Panglima pasukan kalian.”

“Kami dipimpin langsung oleh Panglima kami dan Akuwu kami,” jawab prajurit itu.

“Bawa kami kepada keduanya,” jawab salah seorang dari ketiga orang itu.

Para prajurit itu memang ragu-ragu. Tetapi ketiga orang itu nampaknya memang tidak ingin melakukan sesuatu. Bahkan seandainya mereka ingin berbuat curang, maka biarlah mereka berhadapan dengan Akuwu dan tiga orang anak muda yang disebut kemanakannya itu. Orang-orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Sebenarnyalah maka ketiga orang itu telah dibawa menghadap Akuwu Lemah Warah yang sedang berbincang dengan tiga orang yang disebut kemanakannya itu serta Panglima pasukan khususnya. Perbincangan yang panjang yang masih belum menemukan kesimpulan yang meyakinkan untuk mengatasi kesulitan di dalam padepokan itu.

Seorang di antara para prajurit itu telah menghadap Akuwu Lemah Warah yang berada di dalam sebuah gubug kecil yang telah dibangun oleh para prajurit Lemah Warah untuk sekedar berlindung dari terik matahari basahnya embun malam.

“Kami telah menangkap tiga orang yang tidak dikenal, Akuwu,” berkata prajurit itu.

“Apa yang mereka lakukan?” bertanya Akuwu.

“Mereka tidak berbuat apa-apa. Dan mereka sama sekali tidak melakukan perlawanan. Bahkan mereka mohon untuk dapat menghadap Akuwu Lemah Warah,” jawab prajurit itu.

Akuwu Lemah Warah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Bawa mereka kemari.”

Para prajurit itupun kemudian telah membawa ketiga orang itu memasuki gubug menghadap Akuwu Lemah Warah. Namun ketika Akuwu Lemah Warah, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Ura dan Panglima pasukan khusus melihat orang yang datang itu, mereka pun serentak telah bangkit berdiri sambil mengangguk hormat.

Prajurit yang membawa ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Namun mereka pun menjadi jelas ketika Akuwu Lemah Warah kemudian mempersilahkan, “Marilah pangeran Singa Narpada. Silahkan duduk di perkemahan kami yang besar ini.”

Salah seorang dari ketiga orang yang datang itu mengangguk sambil menjawab, “Terima kasih.” Lalu sambil berpaling kepada kedua orang yang lain ia berkata, “Akuwu, kedua orang ini adalah Ki Mahendra, ayah dari kedua orang anak muda yang sudah ada di sini, dan yang lain adalah Senapati dari Kediri yang memang aku bawa untuk kawan berjalan.”

“Oo,” Akuwu Lemah Warah itu mengangguk. Katanya, “Syukurlah, Pangeran dari kedua orang saudara kita ini telah datang. Tetapi maksud Pangeran, Ki Mahendra adalah ayah dari ketiga orang yang selama ini aku sebut sebagai kemanakanku ini.”

“Hanya dua,” jawab Pangeran Singa Narpada. Lalu ia-pun bertanya kepada Mahendra, “Bukankah anak Ki Mahendra yang seorang lagi adalah Mahisa Bungalan. Apakah Ki Mahendra masih mempunyai anak yang lain.”

Mahendra tersenyum. Katanya, “Anakku memang hanya dua.”

Mahisa Ura termangu-mangu. Namun iapun kemudian tersenyum, “Aku adalah anak angkatnya.”

Mahendra lah yang kemudian tersenyum, sementara Mahisa Ura berkata, “Aku adalah sahabat Mahisa Bungalan. Aku telah mendapat beban dari padanya untuk menyertai kedua adiknya yang sudah aku anggap sebagai adikku sendiri. Namun bedanya, Mahisa Bungalan akan mampu melindungi kedua adiknya, sementara aku justru menjadi bebannya.”

“Ahh,” desah Mahendra, “tentu bukan begitu.”

“Mahisa Ura telah memberikan banyak sekali petunjuk sehingga kami sempat sampai ke tempat ini,” berkata Mahisa Murti.

Mahendra pun mengangguk-angguk, sementara Akuwu Lemah Warah pun berkata, “Baiklah. Marilah silahkan duduk. Kita akan berbicara banyak. Aku yakin kehadiran Pangeran tentu ada hubungannya dengan tugas yang harus aku laksanakan. Namun yang membentur kesulitan ini.”

“Kesulitan?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Ya. Kesulitan yang belum terpecahkan,” jawab Akuwu Lemah Warah. Lalu, “Tetapi nanti sajalah jika Pangeran telah beristirahat, kita akan membicarakannya.”

Dalam pada itu, maka para petugas di perkemahan itu telah menyiapkan hidangan bagi ketiga orang tamu itu, meskipun dengan gaya makanan di medan perang. Namun ketiga orang tamu itupun adalah tiga orang prajurit, sehingga suguhan itupun cukup baik bagi mereka. Baru kemudian setelah mereka menghirup minuman hangat dari sepotong bumbung pring wulung, barulah mereka mulai berbicara tentang kesulitan yang dialami oleh Tatas Lintang. Namun demikian, Pangeran Singa Narpada sempat berceritera kenapa ia bertiga sampai ke padepokan orang-orang bertongkat itu.

“Kepergian kedua anak Ki Mahendra itu sudah terlalu lama, sehingga ayahnya menjadi cemas,” berkata Pangeran Singa Narpada, “tetapi karena ayahnya juga seorang pengembara di masa mudanya maka ia tidak tinggal menunggu sambil meratap. Tetapi Ki Mahendra telah mencari anaknya. Agaknya Ki Mahendra telah datang ke Kediri untuk menanyakan kedua anaknya. Dalam pada itu aku ikut merasa bertanggung jawab, karena akulah yang telah memberikan mereka tugas, sehingga karena itu maka kami berdua telah sepakat untuk mencarinya. Karena itulah maka kami berdua telah mengajak seorang Senopati untuk menyusul. Sementara itu aku pun ingin tahu apa yang telah dilakukan oleh Akuwu Lemah Warah. Ternyata bahwa Akuwu Lemah Warah telah memanggil sepasukan prajurit untuk pergi ke padepokan ini. Dengan keterangan yang kami peroleh dari Lemah Warah maka kami telah sampai pula ke tempat ini.”

Akuwu Lemah Warah itu mengangguk-angguk. Sementara itu Mahendra pun berkata, “Ternyata aku pun telah menemukan kedua orang anakku di sini dan seorang yang telah menjadi saudaranya pula.”

Mahisa Ura tersenyum. Katanya, “Namaku Mahisa Ura sekedar untuk meyakinkan bahwa aku adalah saudaranya.”

Mahendra tertawa. Katanya, “Kau pantas disebut kakak oleh anak-anakku.”

Pangeran Singa Narpada pun mengangguk-angguk, iapun kemudian mengetahui bahwa Singasari pun telah mengirimkan pula seorang petugas sandinya untuk menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun agaknya Mahisa Bungalan menghendaki orang itu mampu memberikan beberapa petunjuk arah kepada kedua adiknya.

Dalam pada itu maka Akuwu Tatas Lintang pun kemudian melaporkan kesulitan yang dialaminya karena seorang yang berilmu sangat tinggi telah mempengaruhi medan pada saat pasukannya hampir menguasai padepokan itu.

“Kami tidak dapat bertahan dalam kegelapan kabut itu,” berkata Akuwu Tatas Lintang, “kami masih dapat melihat beberapa langkah di hadapan kami dalam gelapnya malam. Tetapi di dalam gelapnya kabut kami sama sekali tidak melihat sesuatu. Di malam hari kami masih sanggup untuk bertempur terus. Tetapi di dalam kabut kami mengalami kesulitan, sementara itu orang-orang padepokan itu jauh lebih mengenal medan dari kami sehingga mereka yang telah tersudut pun lolos dari tangan kami. Mereka kemudian memencar dan tidak lagi dapat kami cari dalam gelapnya kabut yang semakin padat. Apalagi jika kemudian ternyata di bawah kaki kami beberapa ekor ular dalam kuasa ilmu gendam menyerang kami.”

Pangeran Singa Narpada, Mahendra dan Senapati yang menyertai mereka itupun mengangguk-angguk. Mereka sudah mendapat gambaran jelas dari kesulitan yang dialami oleh Tatas Lintang beserta pasukannya.

Sementara itu Tatas lintang melanjutkan, “untuk mengatasi kesulitan tersebut, kami sudah berbicara banyak sekali. Namun kami masih belum menemukan cara yang paling baik untuk mengatasinya.”

“Baiklah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “kita harus memperhitungkan setiap kemungkinan. Kami yang baru datang akan mencoba untuk melihat-lihat keadaan. Kemudian kita bersama-sama akan mencoba lagi untuk menentukan langkah yang paling baik yang dapat kita tempuh.”

“Segala sesuatunya terserah kepada Pangeran karena Pangeran sudah ada di sini,” berkata Tatas Lintang.

“Kita akan menentukan bersama-sama,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Demikianlah, maka Pangeran Singa Narpada, Mahendra dan seorang Senapati Kediri telah bergabung dengan pasukan Pakuwon Lemah Warah. Namun ternyata mereka pun tidak dengan tergesa-gesa menentukan langkah-langkah yang akan mereka ambil.

Di hari berikutnya, maka Pangeran Singa Narpada dan Mahendra diiringi oleh Senapati Kediri yang bersama keduanya datang ke tempat itu. Akuwu Lemah Warah serta tiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya serta Panglima pasukan khususnya diiringi oleh sekelompok kecil pasukan khususnya telah mendekati padepokan itu.

Para penjaga yang bertugas mengamati keadaan di padepokan itu, yang berdiri di atas panggung di dalam lingkungan dinding padepokan telah melihat mereka mendekat. Karena itu mereka pun telah memberikan isyarat kepada para pemimpin padepokan itu.

Para pemimpin padepokan itupun segera mengambil langkah. Mereka segera naik pula ke panggung pengamatan untuk melihat sendiri, siapa sajakah yang telah datang mendekati padepokan itu.

Namun orang-orang padepokan itu tidak melihat orang lain di antara mereka kecuali Akuwu Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya. Mereka tidak melihat Pangeran Singa Narpada, Mahendra dan seorang Senapati Kediri sebagai orang-orang penting, karena mereka tidak mengenakan tanda-tanda khusus dan sikap tertentu sehingga mereka dapat dikenali sebagai orang-orang penting.

Karena itu maka para pemimpin dari padepokan itupun tidak menentukan sikap-sikap khusus pula. Bahkan mereka menjadi tidak acuh saja karena mereka menganggap kehadiran mereka tidak lebih dari usaha untuk menentukan langkah-langkah yang masih gelap bagi para pemimpin dari Lemah Warah itu.

“Biar saja mereka dalam kebingungan,” berkata para pemimpin padepokan itu.

Para pengawas dari padepokan itu tidak menjawab. Tetapi mereka juga menganggap sebagaimana para pemimpin mereka. Orang-orang Lemah Warah benar-benar dalam kebingungan. Mereka memerlukan melihat-lihat untuk mencari kemungkinan.

Karena itu, maka salah seorang di antara mereka tiba-tiba saja berteriak, “He, apa yang kalian cari?”

Orang-orang Lemah Warah itu memperhatikan orang-orang yang berada di atas panggungan di dalam dinding padepokan. Mereka melihat beberapa orang sedang memperhatikan mereka. Namun kemudian para pemimpin dari padepokan itu telah turun sambil berpesan,

“Amati saja mereka. Hanya jika mereka menunjukkan sikap yang membahayakan, beri kami isyarat. Sementara itu, orang-orang yang berada di gardu-gardu pengawas di sisi lain dari padepokan ini akan mengawasi mereka jika mereka mengelilingi padepokan ini.”

Sebenarnyalah bahwa orang-orang Lemah Warah bersama Pangeran Singa Narpada, Mahendra dan Senapati yang baru datang dari Kediri itu telah mengelilingi padepokan. Mereka mencoba menilai betapa tingginya ilmu orang yang mampu memenuhi padepokan yang seluas itu dengan kabut.

“Memang luar biasa,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Jarang ada duanya,” sahut Mahendra. Namun kemudian katanya, “Tetapi jika kita sempat menghadapinya, belum tentu ia memiliki kemampuan ilmu kanuragan yang tidak terkalahkan. Mungkin ia akan dapat menyelubungi dirinya dengan kabut. Namun mungkin pula ada kesempatan untuk menembus kepadatan kabut itu dengan daya penglihatan khusus atau dengan kekuatan untuk menghembus kabut itu sehingga menyibak meskipun tidak seluruhnya.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Menurut Akuwu Lemah Warah, maka kesulitannya adalah menemukan orang yang melepaskan ilmu itu. Jika kita sempat menemukannya, maka mungkin kita akan memancingnya dalam pertempuran sebelum ia sempat melepaskan kabutnya.”

“Kita sebaiknya memasuki padepokan itu,” berkata Mahendra.

Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, “Ya. Sebaiknya kita memasuki padepokan itu malam nanti.”

Ternyata para pemimpin Lemah Warah itu sepakat untuk memasuki padepokan itu jika malam turun. Karena itu maka, mereka pun telah berusaha untuk melihat dengan cermat tempat-tempat pengawasan. Gardu-gardu dan panggungan untuk melihat keadaan di luar padepokan.

Namun orang-orang yang berada di gardu-gardu dan panggungan-panggungan itu tidak dapat mengamati setiap jengkal dinding padepokan. Tetapi hal itu disadari oleh para pemimpin padepokan, sehingga mereka mengadakan pengawasan di dalam dinding.

Dua orang secara teratur harus meronda nganglang mengitari bagian dalam dinding padepokan, sehingga jika ada seseorang yang meloncat memasuki padepokan itu tanpa dilihat oleh para pengawas di gardu-gardu dan panggungan-panggungan, akan dapat ditemukan oleh para peronda dan pengawas-pengawas yang berada di dalam dinding padepokan.

Namun orang-orang Lemah Warah pun telah memperhitungkan hal itu pula. Karena itu, maka mereka pun telah membuat rencana yang sebaik-baiknya untuk memasuki padepokan itu dan mencoba untuk mengetahui, di manakah orang yang dianggap memiliki ilmu tertinggi itu berada.

Orang-orang Lemah Warah itupun kemudian memutuskan, bahwa yang akan memasuki padepokan itu adalah Pangeran Singa Narpada sendiri, Mahendra, Tatas Lintang serta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sementara itu, yang lain harus bersiap-siap di luar dinding dan bergerak setiap saat jika diperlukan.

Selain itu maka semua prajurit Lemah Warah pun harus berada dalam kesiagaan tertinggi. Karena mereka pun mungkin akan terlibat di dalam pertempuran jika keadaan memaksa. Demikianlah maka setelah mengelilingi padepokan itu, para pemimpin Lemah Warah itu mempunyai sedikit gambaran apa yang harus mereka kerjakan malam nanti.

Namun demikian Mahisa Pukat sempat juga mengacukan genggaman tangannya ketika orang-orang padepokan itu berteriak, “Marilah. Singgahlah barang sejenak di padepokan kami.”

Mahendra yang melihat sikap Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “satu sambutan yang ramah. Karena itu jangan marah.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun wajahnya masih berkerut.

Demikianlah, ketika mereka telah berada kembali dalam sebuah gubug kecil yang menjadi tempat para pemimpin Lemah Warah mengatur dan membicarakan langkah-langkah mereka, Pangeran Singa Narpada pun telah memberikan pesan-pesan kepada orang-orang yang akan bersamanya memasuki padepokan itu.

Sebaliknya, Akuwu Tatas Lintang telah memberikan beberapa keterangan tentang isi padepokan itu. Memberikan sedikit gambaran tentang barak-barak yang bertebaran dan halaman serta kebun bahkan pategalan yang memiliki banyak tanaman dan bahkan rumpun-rumpun bambu.

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan melakukan dengan sangat berhati-hati. Mudah-mudahan kita tidak usah terlibat dalam kekerasan. Jika orang-orang padepokan itu sempat melihat kehadiran kita, maka usaha pertama kita adalah meninggalkan padepokan itu dan keluar dengan meloncati dinding. Hanya dalam keadaan yang memaksa kita akan mempergunakan kekerasan. Namun kita harus menyadari, jika demikian maka mungkin sekali akan terjadi pertempuran dan akan terulang lagi apa yang pernah terjadi.”

Yang lain pun mengangguk-angguk. Namun mereka menyadari sepenuhnya pesan Pangeran Singa Narpada. Karena itu, maka mereka pun siap untuk melaksanakan. Ketika malam pun kemudian turun, maka para pemimpin Lemah Warah pun telah bersiap pula untuk melakukan tugas mereka yang berat.

Namun Pangeran Singa Narpada menyadari bahwa segalanya harus dilakukan dengan hati-hati. Pasukan Lemah Warah harus belajar dari pengalaman, apa yang pernah terjadi di padepokan itu. Semakin dalam malam menukik ke pusatnya, maka orang-orang Lemah Warah pun menjadi semakin bersiaga, karena Pangeran Singa Narpada telah siap pula untuk memasuki padepokan itu bersama dengan beberapa orang yang telah ditunjuknya.

“Ternyata bahwa kita masih mendapat kesempatan untuk ikut menyelesaikan tugas ini,” berkata Pangeran Singa Narpada, “karena itu, hendaknya kita dapat menyelesaikan dengan baik.”

Mahendra mengangguk kecil. Diamatinya dari kejauhan dinding padepokan yang tegak membeku. Namun ia sadar bahwa dibalik dinding itu tersimpan kekuatan ilmu yang sangat tinggi.

Dalam pada itu, ketika saatnya telah datang, maka Pangeran Singa Narpada pun telah memberikan pesan terakhir kepada Panglima pasukan khusus Lemah Warah serta Mahisa Ura. Dalam keadaan tertentu maka mereka memang harus menggerakkan pasukan.

Sejenak kemudian, maka Pangeran Singa Narpada telah meninggalkan gubug kecil itu bersama dengan Akuwu Tatas Lintang, Mahendra dan kedua orang anaknya. Dengan sangat berhati-hati mereka telah mendekati dinding padepokan. Mereka menyusuri tempat-tempat gelap di bawah bayangan pepohonan. Di siang hari sebelumnya mereka telah mengamati keadaan padepokan itu, sehingga mereka dapat memperhitungkan tempat-tempat yang tidak terlalu tajam mendapat pengawasan.

Namun mereka pun menyadari, bahwa yang mereka lihat adalah pengawasan yang nampak dari luar dinding. Di belakang dinding itu tentu terdapat penjagaan yang kuat sebagaimana yang mereka lihat dari luar padepokan. Bahkan mungkin di balik dinding itu, orang-orang padepokan itu berdiri berjajar rapat berjarak sepanjang langkah mereka. Karena itu, maka mereka harus berhati-hati. Mereka harus memperhitungkan setiap langkah yang mereka ambil.

Beberapa langkah dari dinding padepokan, mereka telah berhenti seorang di antara mereka, Pangeran Singa Narpada sendiri telah bergeser mendekat. Dengan ketajaman pendengarannya ia berusaha untuk mengetahui apakah di balik dinding kayu itu terdapat seseorang atau bahkan lebih.

Namun Pangeran Singa Narpada tidak mendengar desah nafas. Bahkan yang didengarnya adalah justru desir langkah. Namun langkah yang semula mendekat itu justru telah menjauh. Dengan demikian Pangeran Singa Narpada memperhitungkan bahwa di dalam dinding padepokan itu tidak terdapat penjaga yang berjaga-jaga di setiap jengkal, tetapi para perondalah yang mengamatinya, yang lewat pada saat-saat tertentu saja.

Beberapa saat Pangeran Singa Narpada menunggu. Dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada mampu memperkirakan jarak waktu para peronda yang nganglang itu. Sejenak Pangeran Singa Narpada masih menunggu, di beberapa langkah nampak sebuah gardu panggungan. Meskipun dalam keremangan malam, namun ketajaman penglihatan Pangeran Singa Narpada mampu melihat, bahwa ada tiga orang yang bertugas di gardu itu.

Dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada telah dapat menentukan di mana mereka harus mencoba memanjat masuk. Dengan isyarat Pangeran Singa Narpada telah memanggil Mahendra. Dengan hati-hati Mahendra telah merayap mendekati Pangeran Singa Narpada. Dengan bahasa isyarat pula mereka berdua berniat untuk melihat apa yang ada di balik dinding itu. Sejenak kemudian mereka menunggu. Merekapun mendengar langkah para peronda pula.

Namun demikian peronda itu berlalu, maka kedua orang itu dengan sigapnya telah meloncat keatas dinding. Keduanya kemudian telah menelungkup melekat dinding padepokan itu, di bawah bayangan sebatang pohon yang tumbuh justru di dalam padepokan itu, namun daunnya yang rimbun telah membayangi bagian dari dinding padepokan itu.

Untuk beberapa saat keduanya menunggu. Seperti yang mereka perhitungkan, maka para peronda pun telah lewat pula dengan langkah yang pasti namun tidak tergesa-gesa. Para peronda itu nampaknya memang mendapat perintah untuk mengamati keadaan dengan saksama. Tetapi kemampuan kedua orang itu memang sangat tinggi. Mereka mampu menahan pernafasan mereka dan menyerap bunyi yang timbul karena diri mereka. Sehingga dengan demikian maka para peronda itu tidak mendengar sama sekali kehadiran mereka di atas dinding padepokan.

Dengan mengamati keadaan secara langsung, maka mereka pun dapat menentukan, kapan orang-orang yang bersama dengan mereka itu dapat meloncat masuk. Dengan perhitungan yang cermat, maka keduanya telah memberikan isyarat kepada Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Akuwu Lemah Warah agar mereka segera memasuki padepokan.

Seorang demi seorang di antara mereka telah meloncat masuk. Demikian mereka berada di dalam, maka mereka pun segera menempatkan diri di balik pohon-pohon perdu. Mereka berusaha untuk bukan saja tidak dapat dilihat oleh para peronda, tetapi juga tidak didengar. Dengan penuh kewaspadaan, maka orang-orang itupun mulai menebar, sampai saatnya Pangeran Singa Narpada dan Mahendra sendiri meloncat masuk pula.

Seperti yang mereka rencanakan, maka orang-orang itu telah memecah diri menjadi dua kelompok. Tatas Lintang bersama Pangeran Singa Narpada, sementara Mahendra bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereda akan menentukan langkah-langkah mereka masing-masing untuk menentukan di mana orang terpenting dari padepokan itu berada.

Dengan sangat berhati-hati kedua kelompok itu mulai bergerak. Mereka harus mengamati setiap barak. Mungkin mereka mendapat isyarat atau pertanda atau apapun juga yang dapat menunjukkan kepada mereka di mana orang yang mereka cari itu berada.

Karena itulah, maka kedua kelompok itu selalu bergerak di sekitar barak-barak. Mereka bergeser dari balik gerumbul yang satu ke balik gerumbul yang lain. Mereka berusaha mencapai setiap dinding barak meskipun mereka tidak boleh lengah karena ternyata di dalam padepokan itu, telah dilakukan pengawasan yang sangat ketat.

Mahendra. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergeser ke barak-barak yang berada di sisi depan dari padepokan itu, sementara Pangeran Singa Narpada dan Tatas Lintang mengamati di bagian belakang. Namun dalam pada itu selagi beberapa orang Lemah Warah berhasil menembus dinding penjagaan isi padepokan itu, ternyata orang-orang padepokan itupun berhasil melakukan hal yang sama.

Ternyata malam itu beberapa orang telah meninggalkan padepokan. Dua di antara mereka adalah orang terbaik dari padepokan itu. Dengan kemampuan mereka yang tinggi, mereka berhasil menyusup di antara para pengawas dari Lemah Warah menembus kepungan.

Ketika mereda sudah berada pada jarak yang aman maka seorang di antara mereka berkata sambil tertawa, “ternyata kemampuan pengamatan para prajurit Lemah Warah tidak setajam seperti yang kita duga. Mereka, tidak dapat melihat sama sekali kita menyusup kepungan mereka.”

“Ya. Mereka akan terkejut jika tiba-tiba saja mereka menghadapi bahaya,” berkata seorang yang lain.

Orang yang pertama itu tertawa. Katanya, “Aku akan membuktikan bahwa kemampuan kita melampaui kemampuan orang-orang Lemah Warah. Jika aku pernah kehilangan kesempatan untuk melawan, karena waktu itu aku memang lengah, sehingga aku tidak menyadari bahwa sedikit demi sedikit kekuatanku telah dicurinya dengan licik. Kini aku telah mengetahuinya sehingga dalam waktu yang akan datang, jika aku bertemu lagi dengan anak muda yang licik itu, aku sudah dapat menempatkan diriku menghadapi ilmu pengecutnya itu.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang yang lain. yang ternyata adalah orang memiliki kemampuan menyusup ke dalam wadag orang lain itupun berkata, “Baiklah. Kita akan mencari binatang jenis apapun yang dapat menjadi berbahaya. Aku sependapat bahwa kita akan mencari ular berapa karung pun yang dapat kita peroleh. Nanti ular-ular itu kita lepaskan di perkemahan prajurit Lemah Warah sementara sebagian yang lain akan kita pergunakan untuk melawan mereka jika mereka berani memasuki padepokan lagi. Sementara kabut meliputi padepokan, ular-ular itu akan mematuk kaki para prajurit Lemah Warah.”

Orang-orang yang lain itupun masih mengangguk-angguk. Mereka memang mempunyai keyakinan bahwa orang-orang Lemah Warah itu tidak akan dapat menundukkan mereka.

Demikianlah, maka sekelompok kecil orang-orang itu telah memasuki hutan yang tidak terlalu jauh dari padepokan mereka. Dalam gelapnya malam mereka langsung menuju ke bongkahan-bongkahan padas yang terdapat pada lereng rendah sebuah sungai yang tidak begitu besar. Namun di tempat itu memang terdapat banyak sekali ular.

Ternyata mereka adalah orang-orang yang memiliki ketrampilan untuk menguasai ular. Kecuali itu, mereka pun telah minum obat penawar bisa meskipun hanya akan dapat bertahan untuk beberapa lama. Namun waktu itu tentu sudah cukup lama untuk mengumpulkan ular sebanyak yang mereka butuhkan.

Demikianlah, mereka telah menangkap ular sebanyak-banyaknya dan mereka masukkan ke dalam karung. Ular-ular itu akan sangat berarti jika pasukan Lemah Warah menyerang lagi padepokan mereka.

Tetapi orang-orang itu tidak sekedar menangkap ular. Dengan kemampuan yang tinggi untuk menguasai binatang dengan lambaran ilmu gendam maka beberapa ekor harimau berhasil dikumpulkan. Orang yang memiliki ilmu gendam itu duduk di paling depan, sementara beberapa orang yang bersamanya duduk di belakangnya. Dalam puncak samadi sesuai dengan laku ilmu gendamnya maka empat ekor harimau yang terjangkau oleh ilmunya itu telah datang. Sejenak keempat ekor harimau itu berjalan hilir mudik. Namun kemudian keempatnya telah mendekam di hadapan orang yang memiliki ilmu gendam itu.

Agaknya telah terjadi hubungan getar di dalam diri orang yang berilmu gendam itu dengan getar di dalam diri harimau-harimau itu. Dalam ketiadaan kesadaran berpribadi dan penalaran maka harimau itu telah menerima getaran yang telah mempengaruhi nalurinya untuk berbuat sesuatu. Karena itu, ketika getaran itu telah benar-benar menguasai dirinya, maka harimau itupun telah bangkit dan mulai bergerak berdasarkan tuntunan dan perintah kekuatan ilmu gendam atas nalurinya.

“Satu cara untuk sekedar menghalau dingin bagi para prajurit Lemah Warah itu,” berkata orang yang memiliki ilmu gendam itu setelah dilepaskannya samadinya.

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka sadar bahwa keempat ekor harimau itu tentu akan menuju ke perkemahan para prajurit Lemah Warah dan menimbulkan kekisruhan. Pada saat yang demikian, maka mereka akan lebih mudah berusaha menerobos kepungan itu kembali memasuki lingkungan padepokan dengan membawa beberapa karung ular.

Dalam pada itu Pangeran Singa Narpada dan Tatas Lintang telah menyusup semakin dalam. Namun mereka tidak menemukan orang yang mereka cari atau tanda-tanda tentang orang itu. Demikian pula Mahendra bersama kedua anaknya. Mereka telah memasuki lorong-lorong di antara barak-barak dengan kemungkinan bertemu dengan para peronda. Namun mereka tidak melihat tanda-tanda tentang orang yang memiliki ilmu yang paling tinggi di padepokan itu, yang mampu menyelimuti padepokan itu dengan kabut yang tebal.

Namun mereka justru telah sampai di belakang sebuah barak yang khusus. Mereka melihat beberapa orang penjaga yang berada di depan pintu barak itu. Nampaknya barak itu memang mendapat penjagaan lebih baik dari barak-barak yang lain. Dengan sangat hati-hati Mahendra mendekati barak itu, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus mengawasi dari dua sudut barak itu jika ada peronda yang mengitari pondok itu.

Dari belakang pondok itu, Mahendra berhasil mengintai ke dalam. Yang dilihatnya adalah beberapa orang yang terluka terbaring di sebuah amben yang besar. Orang-orang terluka yang agaknya mendapat perawatan dengan baik. Namun mereka mendapat penjagaan yang kuat pula.

“Agaknya mereka bukan orang-orang padepokan ini,” berkata Mahendra kepada diri sendiri. Beberapa saat ia memperhatikan ruangan itu. Namun kemudian iapun telah bergeser menjauh dan mengajak kedua anaknya menyingkir ke belakang gerumbul perdu.

“Apa yang ayah lihat?” bertanya Mahisa Murti.

“Beberapa orang yang terluka. Namun agaknya mereka telah mendapat perawatan yang baik,” jawab Mahendra.

“Maksud ayah orang-orang padepokan ini yang terluka?” bertanya Mahisa Pukat pula.

“Aku tidak jelas. Tetapi menilik sikap dan pelayanan orang-orang yang ada di ruang itu, mereka bukan orang-orang padepokan ini. Ketika seorang bangkit dan duduk di pembaringannya, menurut penglihatanku ia nampak lain dari orang-orang yang merawat orang-orang yang terluka itu,” jawab Mahendra.

“Mungkin orang-orang Lemah Warah yang terhitung hilang. Karena kami tidak dapat membawa semua orang yang gugur atau terluka saat kami meninggalkan medan di padepokan ini,” berkata Mahisa Murti.

“Apakah kalian mengalami tekanan yang demikian beratnya, sehingga kalian harus melarikan diri dengan sangat tergesa-gesa?” bertanya Mahendra.

“Bukan tekanan para penghuni padepokan ini dalam pertempuran. Tetapi dalam kabut yang gelap itu kita tidak mampu untuk mencari kawan-kawan kita yang terluka dan gugur dengan cermat,” jawab Mahisa Murti.

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “jika benar orang-orang yang dirawat itu para prajurit Lemah Warah, ternyata orang-orang padepokan ini adalah orang-orang yang baik.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun mereka tidak dapat menjawab. Namun mereka memang pernah mendengar bahwa isi padepokan ini memang merupakan campur baur dari beberapa perguruan, sehingga mungkin ada perbedaan sikap di antara para penghuni yang berasal dari beberapa padepokan itu. Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terdiam, sementara Mahendra memperhatikan keadaan di sekitarnya.

“Hari ini kita gagal menemukan yang kita cari,” berkata Mahendra. “mudah-mudahan Pangeran Singa Narpada menemukannya. Namun jika Pangeran Singa Narpada juga gagal, kita masih mempunyai waktu untuk mengulanginya atau mencari jalan lain yang lebih baik.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, waktu pun berjalan terus. Sebagaimana mereka sepakati sebelumnya, maka mereka pun segera kembali ke tempat mereka memasuki padepokan itu untuk bersama-sama meninggalkannya.

Namun untuk beberapa saat Mahendra dan kedua anaknya menunggu. Baru beberapa waktu kemudian, Pangeran Singa Narpada dan Tatas Lintang telah datang pula. Dengan sangat berhati-hati mereka telah meloncat keluar dinding padepokan dengan memperhatikan para peronda yang setiap waktu mengelilingi lingkungan padepokan itu. Demikian mereka sampai di luar, maka mereka pun telah berusaha untuk menghindari pengamatan orang-orang padepokan itu yang berada di gardu-gardu di panggungan.

“Kita harus mencari cara lain,” berkata Pangeran Singa Narpada kemudian setelah, mereka merasa lepas dari setiap pengamatan.

“Ya Pangeran,” jawab Mahendra, “dengan cara ini kita sulit menemukannya.”

Yang lain pun mengangguk-angguk. Sementara itu Tatas Lintang pun berkata, “Kita harus memancing agar orang itu melepaskan ilmunya. Mungkin kita akan dapat melihat, sesuatu yang menjadi pertanda lepasnya ilmu itu.”

Pangeran Singa Narpada dan Mahendra agaknya setuju dengan pendapat itu. Dengan nada datar Pangeran Singa Narpada berkata, “Mungkin kita harus mempergunakan semua kekuatan seperti yang pernah kita lakukan.”

Yang lain pun mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, kelima orang itupun terkejut. Mereka yang hampir sampai ke perkemahan melihat keributan terjadi di antara para prajurit Lemah Warah.

“Apa yang terjadi?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

Yang lain tidak segera menjawab. Namun mereka telah mempercepat langkah mereka menuju ke perkemahan. Semakin dekat mereka dengan perkemahan, maka mereka pun lelah melihat para prajurit yang sedang berkelahi. Beberapa orang prajurit telah mengacukan senjata mereka dan memutarnya. Kemudian sekelompok-sekelompok prajurit yang lain juga sedang sibuk.

Pangeran Singa Narpada dan mereka yang bersamanya telah mempercepat langkah mereka. Namun mereka pun kemudian mengetahui bahwa keributan itu tidak hanya terjadi di gubug yang dipergunakan oleh Akuwu Tatas Lintang. Tetapi juga di bagian-bagian lain dari perkemahan itu. Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka mereka pun kemudian melihat bahwa para prajurit itu sedang berkelahi melawan seekor harimau.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Kepada seorang prajurit ia bertanya, “Hanya seekor?”

“Ya Pangeran. Disini. Tetapi ada lagi di tempat lain.” jawab prajurit itu.

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Namun baik Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah maupun yang lain tidak merasa perlu untuk ikut dalam perkelahian itu. Para prajurit pun segera dapat mengatasi harimau yang mengamuk itu. Termasuk Mahisa Ura.

Namun tiba-tiba saja terdengar beberapa orang prajurit yang berteriak tentang ular. Mereka melihat beberapa ekor ular tiba-tiba saja telah merayap mendekati arena pertarungan itu. Demikian para prajurit berhasil membunuh harimau yang bagaikan gila itu, maka mereka pun telah terdesak mundur oleh beberapa ekor ular yang melata mendekati mereka.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang melihat ular-ular itu mendekat segera meloncat maju. Namun Mahendra pun kemudian berteriak, “gunakan senjata kalian. Tusuk tepat di belakang kepalanya, jika kalian tidak sempat menghindar.”

Namun Mahendra mulai mencemaskan kelompok-kelompok prajurit yang lain. Meskipun dengan ujung tombak dan pedang mereka akan membunuh ular yang merayap mendekat, tetapi jika ular itu terlalu banyak, maka tentu saja ada diantara mereka yang akan dapat dipatuknya.

Namun di kelompok lain, Mahendra melihat obor yang menyala. Sambil menarik nafas ia berkata, “Bagus. Ular itu akan menjadi ketakutan melihat api.”

“Tetapi mereka dikuasai ilmu gendam sebagaimana harimau itu,” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi bagaimanapun juga naluri binatang itu sendiri masih akan tetap berperan pada tingkah lakunya. Seandainya karena pengaruh ilmu gendam ular itu tidak lagi takut terhadap api, namun mereka tidak akan dapat menembus lidah api yang menyala dan diayun-ayunkan di hadapan ular-ular itu. Panas api itu akan membakarnya karena ular yang dipengaruhi ilmu gendam itu tidak menjadi kebal api.“ Mahendra menjelaskan.

Mahisa Murti tidak menyahut lebih lanjut. Ia pun kemudian disibukkan oleh ular-ular yang datang kepadanya. Namun ia tidak lagi mencemaskan para prajurit dalam kelompok-kelompok yang lain. Karena api yang semula hanya nampak pada sekelompok prajurit, kemudian nampak pada kelompok-kelompok yang lain, yang agaknya telah terpengaruh pula untuk melawan ular yang menyerang mereka dengan cara yang sama. Dengan api.

Keributan itu tidak terlalu lama berlangsung. Para prajurit itu segera menguasai beberapa ekor harimau dan ular yang menyerang mereka. Dengan demikian maka beberapa saat kemudian, maka keadaan pun telah menjadi tenang kembali.

Para panglima dan pemimpin kelompok pun menarik nafas lega. Sambil menyeka peluh yang membasahi pakaian mereka, para prajurit itu merasa bahwa mereka telah berhasil mengatasi kesulitan yang datang karena serangan orang-orang berilmu tinggi di padepokan itu.

Namun sebenarnyalah mereka tidak menyadari bahwa yang terjadi itu hanyalah sekedar cara orang-orang padepokan itu mengalihkan perhatian. Pada saat para prajurit Lemah Warah sibuk dengan harimau dan ular yang menyerang, maka beberapa orang telah menembus kepungan memasuki padepokan itu sambil membawa beberapa karung ular.

Orang-orang padepokan yang dari tempat mereka menembus kepungan melihat dalam keremangan malam orang-orang yang sibuk melawan harimau dan ular, bahkan dengan menyalakan obor-obor belarak dan ranting-ranting kering, tidak dapat menahan tertawa mereka. Demikian mereka memasuki regol padepokan, maka mereka pun telah tertawa berkepanjangan. Namun sebaliknya, mereka pun tidak mengetahui, bahwa orang-orang Lemah Warah dan Kediri pun telah berhasil memasuki padepokan itu pula.

Demikianlah, maka semalam suntuk para prajurit Lemah Warah hampir tidak sempat beristirahat. Mereka dengan hati-hati selalu bersiaga menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan datang. Setiap saat, beberapa ekor ular dapat meluncur dan mematuk kaki mereka. Jika ular itu sangat berbisa, maka jika terlambat beberapa kejap saja, maka nyawa mereka yang dipatuknya tidak akan dapat tertolong lagi.

“Dalam pada itu, Akuwu Tatas Lintang pun telah memberikan pesan kepada setiap pemimpin kelompok untuk tetap berhati-hati menghadapi beberapa unsur ilmu yang ada didalam padepokan itu, karena padepokan itu memang terisi oleh beberapa perguruan.

Ternyata sampai saatnya fajar menyingsing, tidak ada lagi peristiwa yang mengejutkan. Tidak ada lagi seekor ular pun yang datang ke perkemahan para prajurit Lemah Warah. Tidak ada pula seekor harimau atau binatang lain yang menyerang para prajurit Lemah Warah.

Dengan demikian maka suasana di perkemahan terasa menjadi tenang. Para prajurit telah mendapat kesempatan untuk beristirahat. Sementara yang lain telah pergi ke sumber air di sebuah belik kecil. Lainnya lagi pergi ke sungai yang tidak terlalu jauh. Sedangkan dari gubug yang dipergunakan sebagai dapur telah mengepul asap. Mereka yang bertugas di dapur telah menyiapkan minuman panas dan makanan bagi para prajurit Lemah Warah.

Para pemimpin prajurit Lemah Warah pun sempat pula beristirahat. Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada dan Mahendra masih membicarakan perlakuan orang-orang padepokan itu terhadap para prajurit Lemah Warah yang terluka.

“Mudah-mudahan mereka memang memperlakukan para prajurit itu dengan baik,” berkata Tatas Lintang pula.

“Mudah-mudahan,” berkata Mahendra, “namun dalam pada itu kita masih juga belum berhasil menemukan yang kita cari.”

“Kita tidak tergesa-gesa,” berkata Pangeran Singa Narpada kita masih mempunyai waktu. Kita akan mencoba sekali lagi memasuki padepokan itu. Namun jika kita tidak berhasil, maka kita akan memakai cara lain.”

“Cara itulah yang harus kita persiapkan,” berkata Tatas Lintang.

“Mungkin kita akan mengulangi serangan ke dalam padepokan itu,” berkata Pangeran Singa Narpada, “sementara itu, di antara kita akan mengamati seluruh padepokan itu. Kita harus menemukan saat-saat permulaan dari pelepasan ilmu yang menggetarkan jantung itu. Kita harus melihat, di manakah kabut itu mulai nampak.”

Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun iapun telah siap dengan pasukannya untuk kembali menyerang isi padepokan itu. Karena itulah maka Tatas Lintang selalu memelihara keadaan pasukannya, agar setiap saat dapat digerakkan dengan cepat dan mampu memenuhi harapan para pemimpinnya, apalagi telah hadir Pangeran Singa Narpada.

Sebab itu, para prajurit Lemah Warah memang tidak mempunyai tugas khusus. Namun mereka yang bertugas sajalah yang tetap dengan waspada mengamati keadaan. Kepungan mereka tidak boleh ditembus oleh orang-orang dari padepokan itu. Sebenarnyalah bahwa para prajurit Lemah Warah masih belum mengetahui bahwa sebenarnya orang-orang padepokan itu telah mampu menembus kepungan para prajurit itu di malam hari.

Hari itu tidak terjadi sesuatu yang menarik perhatian. Keadaan padepokan itu masih tetap tenang. Sementara para petugas masih tetap mengamati keadaan dengan waspada. Demikian juga di malam hari. Para pemimpin dari Lemah Warah tidak berusaha memasuki padepokan, sementara orang-orang padepokan itupun tidak mengganggu para prajurit dari Lemah Warah yang mengepung mereka dengan jenis binatang apapun.

Namun ketika matahari terbit di pagi hari, para prajurit Lemah Warah telah melihat seorang dari kawannya yang tiba-tiba saja telah berlari-lari dari arah padepokan. Para prajurit Lemah Warah mengenalinya sebagai salah seorang kawan mereka yang telah hilang.

Karena itu, kedatangannya telah disambut oleh kawan-kawannya dengan gembira. Beberapa orang menyongsongnya dan kemudian ketika kawan-kawannya itu melihat tubuhnya yang terluka, mereka pun telah membantunya berjalan menuju ke gubug-gubug kecil.

“Kau terluka?” bertanya salah seorang prajurit.

“Ya. Aku terluka,” katanya dengan nada rendah.

Kawan-kawannya telah membawanya ke sebuah amben bambu yang sederhana, yang mereka buat sendiri. Seorang di antara para prajurit itu berkata, ”beristirahatlah. Bagaimana kau dapat keluar dari padepokan itu?”

“Aku melarikan diri dengan meloncat dinding ketika aku merasa lukaku agak baik. Namun karena itu, maka rasa-rasanya lukaku menjadi kambuh lagi.”

“Berbaringlah. Beristirahat sebaik-baiknya. Syukurlah bahwa kau sempat melepaskan diri dari padepokan itu,” berkata prajurit yang lain, “namun apakah dengan demikian kawan-kawan kita yang tertangkap tidak mengalami kesulitan?”

“Mudah-mudahan tidak,” jawab prajurit itu, “kami mendapat perlakuan baik di padepokan itu. Meskipun demikian, aku merasa bahwa jika kesempatan itu datang, aku lebih baik keluar dari padepokan...”