Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 34 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 34
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA MURTI yang masih duduk di amben memang mendengar desir pada dinding pondoknya. Apalagi ketika ia mendengar langkah Tatas Lintang yang masuk ke dalam dapur. Iapun mengira bahwa di luar tentu ada sesuatu. Mungkin seseorang, mungkin seekor binatang yang meskipun bukan seekor harimau, namun yang telah dicengkam oleh ilmu gendam.

Untuk beberapa saat Mahisa Murti bagaikan membeku. Ia tidak bergerak sama sekali, sehingga tempat duduknya tidak berderit. Namun sejenak kemudian, Mahisa Murti telah mendengar suara yang asing. Bukan desir langkah seseorang, bukan pula derak kuku harimau di dinding. Mahisa Murti itupun memasang telinganya baik-baik. Ia berusaha untuk mengetahui suara apakah yang telah didengarnya itu. Namun ia tidak segera mengetahuinya.

Sementara itu, ketika Mahisa Murti sempat memperhatikan Mahisa Pukat dan Mahisa Ura, maka dilihatnya kedua orang itu tidurnya sangat nyenyak. Agaknya keduanya memang merasa letih. Bukan saja tubuhnya, tetapi nalarnya, justru karena peristiwa yang baru saja terjadi di padukuhan itu.

Namun selagi Mahisa Murti masih berangan-angan, tiba-tiba suara yang aneh itu terdengar di bawah amben yang besar itu di arah dinding. Ia mendengar pula seakan-akan dinding itu berderik kecil. Tentu bukan seekor harimau yang masuk. Sejenak kemudian terasa tengkuk Mahisa Murti meremang, ia tidak menjadi ketakutan, tetapi rasa-rasanya ngeri juga menghadapi peristiwa yang terjadi itu.

Sejenak Mahisa Murti masih tetap duduk di tempatnya. Suara di bawah amben bambu yang besar itu menjadi semakin jelas. Tetapi Mahisa Murti tidak menduga, bahwa yang terjadi itu adalah demikian cepatnya. Tiba-tiba saja ia melihat sesuatu yang bergerak naik ke amben tempatnya duduk sekaligus tempat Mahisa Pukat dan Mahisa Ura tertidur nyenyak.

Sebuah kepala dengan lidah yang bercabang terjulur naik ke atas amben itu langsung menuju ke arah kaki Mahisa Ura. Seekor ular belang. Seekor ular belang yang cukup besar. Jantung Mahisa Murti berdesir. Jika ular itu menyerang Mahisa Pukat, Mahisa Murti tidak terlalu gugup, karena Mahisa Pukat, sebagaimana dirinya, mempunyai kekuatan untuk menangkal bisa yang betatapapun tajamnya. Tetapi Mahisa Ura tidak.

Karena itu maka Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain. Setelah memusatkan kemampuannya sejenak, maka tiba-tiba iapun telah mengangkat tangannya ke arah kepala seekor ular yang besar, yang merambat ke arah kaki Mahisa Ura dan tangan Mahisa Murti itu telah memancar secercah sinar yang menyambar kepala ular itu. Namun bukan saja kepala ular itu yang pecah, tetapi amben besar itupun telah berderak pula.

Mahisa Pukat, Mahisa Ura dan Tatas Lintang yang berada di dapur itupun terkejut. Bahkan Mahisa Murti pun telah terkejut pula. Ketika Mahisa Pukat, Mahisa Ura terbangun, serta Tatas Lintang meloncat ke ruang dalam, maka mereka telah melihat seekor ular belang yang besar sedang menggeliat di lantai. Namun sejenak kemudian maka ular itupun telah terdiam. Mati.

“Ular,“ berkata Tatas Lintang dengan tegang, “mereka telah mempergunakan cara baru.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam, sementara itu Mahisa Pukat memandangi bangkai ular itu dengan termangu-mangu.

“Hampir saja,“ desis Mahisa Ura, “mungkin ular itu tidak berbahaya bagi kalian berdua, tetapi berbahaya bagiku.”

“Bagi kami pun berbahaya,“ sahut Mahisa Pukat, “ular itu cukup besar untuk membelit dan mencekik leherku.”

Namun Mahisa Murti pun berkata, “Agaknya memang ada maksud tertentu. Orang-orang itu tahu, bahwa ular-ular di dekat batu yang berwarna kehijauan itu tidak mampu membunuhku. Tetapi mereka mempergunakan ular juga untuk menyerang kita.”

“Mungkin akulah yang diancamnya,“ berkata Tatas Lintang.

“Katakan, apakah kau tidak mempunyai penawar bisa?“ bertanya Mahisa Murti.

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya,“ beruntunglah aku…“ namun suaranya terputus. Ia menjadi ragu-ragu sambil memandangi dinding pondoknya. Tetapi sejenak kemudian iapun mengangguk kecil.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun mengetahui, bahwa Tatas Lintang pun mempunyai penawar bisa. Namun dalam pada itu, selagi mereka sibuk dengan peristiwa yang baru saja terjadi, terdengar suara isyarat kentongan. Merekapun segera mengetahui, bahwa suara kentongan itu adalah kentongan banjar padukuhan, yang kemudian disahut oleh yang lain.

Tatas Lintang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Apakah kita akan pergi ke banjar?”

“Baiklah,“ berkata Mahisa Murti, “kita akan pergi ke banjar.“

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah berkemas dan membenahi diri mereka masing-masing. Sejenak kemudian, mereka pun telah siap untuk meninggalkan pondok mereka. Tetapi mereka tidak keluar lewat pintu depan. Mereka telah keluar dari pondok itu lewat pintu dapur. Namun mereka pun telah berhati-hati, karena masih mungkin sesuatu terjadi pada diri mereka. Mungkin serangan yang tiba-tiba dari orang-orang tersembunyi, atau seekor ular raksasa yang akan mampu mematahkan tulang belakang mereka dengan belitannya.

Ternyata tidak ada apapun di luar. Tidak ada serangan yang tiba-tiba dan tidak ada seekor ular yang dapat mengganggu mereka. Namun sementara itu suara kenthongan pun telah bergema di seluruh padukuhan. Semakin lama semakin banyak dan merata. Tetapi mereka sudah mengetahui bahwa sumber isyarat itu adalah suara kentongan di banjar padukuhan. Ketika Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu sampai di banjar, mereka melihat banyak orang sudah berkerumun.

Mereka yang berkerumun itupun segera menyibak ketika mereka melihat Tatas Lintang itu datang. Meskipun sebelumnya Tatas Lintang tidak lebih dari seorang yang hanya sekedar mendapat tempat di sudut pategalan untuk membangun sebuah pondok kecil dan tidak termasuk orang yang dibicarakan, namun kemudian Tatas Lintang telah berubah menjadi orang yang mendapat tempat yang terhormat karena beberapa hal yang telah dilakukannya, termasuk membunuh kelima ekor harimau, meskipun bangkainya yang telah diletakkan di banjar itu hilang.

Ketika Tatas Lintang memasuki halaman banjar, maka Ki Bekel telah menyongsongnya. Dengan nada rendah ia berkata, “Satu bencana baru telah terjadi. Justru akan membawa kematian. Bukan sekedar tiga ekor kambing, tetapi beberapa orang anak muda terbaik dari padukuhan ini.”

“Apa yang terjadi?“ bertanya Tatas Lintang.

“Entahlah. Tetapi tiba-tiba saja beberapa ekor ular telah mematuk anak-anak muda yang berada di gardu di depan banjar ini. Kini mereka dalam keadaan gawat di ruang dalam banjar itu.” sahut Ki Bekel.

“Mereka dipatuk ular?“ bertanya Mahisa Murti.

“Ya. Tidak seekor ular pun tertangkap. Ular-ular itu seakan-akan mengetahui dengan pasti, apa yang harus mereka lakukan. Mematuk dan melarikan diri.“ jawab Ki Bekel.

“Apakah mereka tidak diobati?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Seorang yang kami anggap paling pandai dalam ilmu pengobatan di padukuhan ini sedang mencoba.“ jawab Ki Bekel, “tetapi menurut keterangannya, bisa ular itu terlalu tajam, sehingga sulit untuk mengatasinya. Ular itu adalah ular sejenis bandotan hitam dan ular weling.”

Mahisa Pukat menggeram. Namun kemudian bertanya, “Marilah. Kita melihatnya.”

Ki Bekel pun telah membawa empat orang itu masuk ke ruang dalam banjar padukuhan itu. Tiga orang terbaring sambil merintih dalam keputus-asaan. Dua orang yang lain agaknya lebih tabah menghadapi bencana itu. Namun meskipun mereka hanya berdiam diri, tetapi ketakutan memang membayang di wajah mereka.

Ketika Tatas Lintang mendekati seorang tua yang berusaha mengobati kelima anak muda itu, maka orang tua itupun telah menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Aku telah mencoba. Aku sudah memberi obat menurut pengetahuanku. Tetapi agaknya kita hanya dapat menunggu, apakah obat itu akan berhasil atau tidak.”

Tatas Lintang termangu-mangu. Namun agaknya anak-anak muda yang dipatuk ular itu keadaannya menjadi semakin gawat.

“Ada satu kesalahan yang pokok,“ berkata orang tua itu. “demikian anak-anak ini digigit ular, seharusnya mereka tidak dibawa masuk ke bawah atap banjar ini. Tetapi ketika aku datang, mereka sudah ada di dalam, sehingga keadaannya menjadi parah. Merekapun tidak dengan segera diberi penawar pelepah pisang yang perahannya diminumkan kepada mereka.”

Tatas Lintang mengerutkan keningnya, ia belum pernah mendengar syarat yang demikian agar orang yang digigit ular tidak menjadi semakin parah. Namun agaknya obat orang tua itu-pun kurang tajam untuk melawan bisa ular bandotan hitam dan sejenis ular weling. Karena itu, maka iapun kemudian berbisik kepada Mahisa Murti, “Apakah kita akan mengobatinya?”

Mahisa Murti mengangguk. “Apakah kau mempunyai obatnya ?“ bertanya Tatas Lintang.

“Aku mempunyai sejenis batu akik, sedangkan Pukat memiliki gelang sejenis akar yang mampu menawarkan racun.” desis Mahisa Murti pula.

“Bagus,“ berkata Tatas Lintang, “tetapi agaknya lebih mudah jika kepada mereka diberikan serbuk obat saja. Aku membawanya.”

Mahisa Murti mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab. Dalam pada itu, Tatas Lintang pun telah minta diri kepada Ki Bekel agar memerintahkan seseorang untuk mengambil air di sumur di samping banjar, serta mengambil sebuah mangkuk bersih.

Ki Bekel mengangguk. Ia pun cepat memerintahkan seseorang untuk melakukannya. Namun agaknya orang itu tidak berani pergi sendiri. Ia telah membawa dua orang kawan yang membawa obor, karena di lingkungan pakiwan dan sumur yang gelap itu akan dapat bersembunyi ular-ular berbisa pula. Namun ternyata mereka tidak dipatuk ular sehingga mereka pun dengan cepat telah membawa mangkuk bersih serta air dari sumur.

Tatas Lintang pun bekerja cepat. Ia telah menaburkan obat ke dalam air di dalam mangkuk, kemudian berturut-turut anak-anak muda yang digigit ular itu telah disuruhnya minum obat itu masing-masing beberapa teguk. Sedangkan Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah membantu menaburkan obat yang lain pada luka-luka bekas gigitan ular itu.

Orang tua yang telah mengobatinya lebih dahulu itupun mengerutkan keningnya. Agaknya ia kurang senang melihat tingkah laku Tatas Lintang. Namun Tatas Lintang tidak begitu menghiraukannya. Ia lebih memperhatikan keselamatan anak-anak yang telah digigit ular itu daripada sikap dan harga diri orang tua yang telah memberikan obat, namun agaknya tidak akan banyak menolong itu.

Ternyata obat yang diberikan oleh Tatas Lintang itu jauh lebih baik dari obat yang diberikan oleh orang tua sebelumnya. Tetapi obat yang diberikan oleh orang tua itu bukannya tidak bermanfaat. Karena obat orang tua itulah maka laju arus bisa ular itu terhambat meskipun tidak mampu menghentikannya.

Namun karena terhambat, maka anak-anak muda yang digigit ular itu sempat menunggu kedatangan Tatas Lintang. Sedangkan jika arus bisa itu sama sekali tidak terhambat, maka anak-anak muda itu tentu sudah tidak akan tertolong lagi.

Karena itulah, maka Tatas Lintang itupun kemudian berkata, “Anak-anak muda ini tentu akan berterima kasih kepada Ki Sanak. Tanpa bantuan Ki Sanak, maka mereka tidak akan sempat menelan obat yang aku berikan.”

Orang tua itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia mengerti maksud Tatas Lintang. Meskipun demikian, tetapi orang itu masih saja merasa tersinggung oleh sikap Tatas Lintang yang ternyata mempunyai kemampuan pengobatan yang lebih baik.

Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Adalah satu kenyataan bahwa obatnya tidak banyak menolong anak-anak muda itu, bahkan jiwa anak-anak muda itu tetap terancam. Namun bahwa orang yang tinggal di sudut pategalan itulah yang telah mengobatinya, ia pun merasa harga dirinya telah tersentuh.

Namun dalam pada itu perlahan-lahan keadaan anak-anak muda itu nampak berangsur baik. Mereka yang sudah mulai dicengkam oleh kebekuan karena bisa yang tajam, mulai merasa darahnya mengalir lagi. Bahkan kemudian seakan-akan hambatan-hambatan serta perasaan sakit di dalam tubuh anak-anak muda itu telah terhisap ke arah luka bekas gigitan ular itu. Panas yang bagaikan membakar di luka itupun mulai susut dan keringat yang dingin rasa-rasanya menjadi hangat

Harapan pun mulai tumbuh lagi di dada anak-anak muda yang sudah menjadi putus asa itu. Jiwa mereka yang sudah terdesak sampai ke ubun-ubun itupun seakan-akan telah mapan lagi di dalam diri mereka.

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata. “Terima kasih. Kau sudah menyelamatkan anak-anak itu.”

“Mudah-mudahan mereka menjadi baik,“ berkata Tatas Lintang, “marilah kita berdoa, semoga Yang Maha Agung memperkenankan mereka sembuh kembali.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita semua akan berdoa. Namun kau sudah melakukan satu usaha. Agaknya usahamu menjadi perkenan-Nya.”

Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah keadaan anak-anak muda yang dipatuk ular itu menjadi kian membaik. Wajah mereka tidak lagi nampak sangat pucat. Bahkan seorang di antara mereka mulai berdesis, “Aku haus.”

Tatas Lintang yang mendengar desis itupun bergumam, “Air.”

Seorang pun kemudian pergi ke belakang untuk mengambil air yang sudah masak di dapur. Air masak yang disediakan untuk para peronda di gardu, yang ternyata masih tersisa. Beberapa titik air masak itu diteguknya. Terasa betapa segarnya.

“Biarlah di situ,“ berkata Ki Bekel, “mungkin yang lain juga memerlukan nanti.”

Mangkuk air itu tidak disingkirkan. Tetapi diletakkannya saja di amben itu. Dalam pada itu maka beberapa orang mulai berdesis. Mereka merasa lukanya itu menjadi pedih lagi. Namun justru karena itu, maka Tatas Lintang pun yakin, bahwa pengobatannya akan menolong.

Ketika Tatas Lintang mengamati luka-luka di tubuh anak-anak muda itu, maka nampak darah mulai mengalir dari luka-luka itu. Karena itu maka Tatas Lintang itupun berkata kepada tiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya, “Bantu aku mengobati mereka dengan obat yang berikutnya.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun kemudian telah membantu Tatas Lintang membersihkan darah yang keluar dari luka-luka di tubuh anak-anak muda itu dan menaburkan obat yang lain. Agaknya obat itu terasa sangat pedih sehingga terdengar mereka menyeringai dan mengeluh. Namun Tatas Lintang berkata, “Memang terasa pedih. Tetapi itu justru satu harapan, bahwa kalian akan sembuh.”

Anak-anak muda itu masih saja menahan pedih. Tetapi mereka-pun menjadi semakin berpengharapan, bahwa mereka akan sembuh dan jiwa mereka pun akan tertolong. Dalam pada itu, ketika anak-anak muda itu sudah menjadi berangsur baik maka Ki Bekel pun telah meninggalkan mereka bersama Tatas Lintang dan ketiga orang yang disebutnya kemanakannya itu. Beberapa orang yang lain masih berada di dalam menunggui anak-anak muda itu. Bahkan orang tua di antara anak-anak muda yang terluka itu ada pula yang sudah datang untuk menunggui anaknya.

Ki Bekel dan Tatas Lintang serta ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itupun telah pergi ke gardu. Mereka mulai bertanya-tanya kepada anak-anak muda yang sedang meronda dan menyaksikan apa yang telah terjadi dengan kawan-kawannya yang telah dipatuk ular itu.

Namun tidak seorang pun yang dapat berceritera dengan jelas. Pada umumnya mereka tidak tahu tepat apa yang telah terjadi. Yang mereka ketahui adalah, bahwa tiba-tiba saja beberapa ekor ulat telah mematuk kawan-kawannya yang menjerit kesakitan. Namun sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, ular-ular itu telah meluncur dan seakan-akan hilang begitu saja dalam kegelapan sebelum anak-anak muda yang lain sempat berbuat sesuatu.

Tatas Lintang, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun telah memperhatikan tempat itu dengan seksama. Mereka berusaha untuk melihat kemungkinan dari peristiwa yang telah terjadi. Orang-orang yang melepaskan ular itu tentu tidak akan berada jauh dari peristiwa yang terjadi itu.

“Agaknya telah terjadi dalam waktu yang bersamaan,“ berkata Tatas Lintang, “namun karena kita mempunyai kesempatan untuk mengetahui apa yang akan terjadi pada waktu itu, karena kita belum tidur, maka kita tidak mengalami sesuatu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun katanya, “yang terjadi pada kita agaknya sekedar mengikat agar kita tetap tinggal. Sementara itu mereka telah melakukan rencana mereka di gardu ini.”

Ki Bekel yang kurang jelas tentang apa yang dibicarakan itu bertanya, “Apakah yang telah terjadi di pondok kalian?”

“Seekor ular. Tetapi cukup besar untuk mematahkan punggung, jawab Tatas Lintang.

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Agaknya padukuhan ini telah dibayangi oleh satu kekuatan yang mendebarkan. Bukan saja orang-orang yang berilmu tinggi, tetapi mereka mampu menguasai dan menggerakkan berjenis-jenis binatang untuk menyerang lawan. Yang sudah terjadi adalah beberapa ekor harimau. Kemudian ular dan yang lebih mengerikan, apabila mereka berhasil menguasai sekelompok anjing hutan atau kera-kera liar di hutan itu. Jumlahnya tidak terhitung. Mereka akan dapat merusak apa saja yang terdapat di padukuhan ini. Seandainya mereka tidak berani menyerang orang-orang di padukuhan ini, maka sawah dan pategalan akan dapat dihancurkan. Sementara itu akibatnya pun akan sangat mengerikan.”

Tatas Lintang itupun mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Ki Bekel. Seperti yang sudah aku katakan. Agaknya kamilah yang menjadi sasaran. Tetapi karena mereka gagal menyerang kami, apakah dengan seekor harimau atau ular-ular berbisa, maka orang-orang padukuhan inilah yang kemudian tertimpa akibatnya. Mereka harus menanggung beban kemarahan orang-orang yang gagal membunuh kami itu.”

Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian wajahnya nampak dibayangi oleh kebimbangan perasaannya. Dengan nada rendah ia berkata, “Manakah yang lebih baik. Kalian meninggalkan padukuhan ini atau kalian tetap berada di sini? Mungkin mula-mula kalianlah yang menjadi sasaran. Tetapi ternyata bahwa tanpa bantuan kalian padukuhan ini benar-benar mengalami malapetaka. Apalagi jika benar-benar datang jenis-jenis binatang yang lain menyerang padukuhan ini.”

“Ki Bekel,“ sahut Tatas Lintang, “memang setiap langkah mengandung kemungkinan-kemungkinan. Tetapi jika kami sudah tidak ada di padukuhan ini, aku kira mereka tidak akan mengganggu padukuhan ini lagi.”

Ki Bekel memandang Tatas Lintang dengan tajamnya. Jawabnya, “Semuanya masih teka-teki. Seperti yang kau katakan, setiap langkah akan mengandung kemungkinan-kemungkinan.”

Tatas Lintang tidak menyahut. Tetapi iapun mengedarkan pandangan matanya berkeliling. Obor yang ada di gardu dan di regol banjar tidak dapat menggapai jarak yang jauh. Karena itu, maka di belakang dinding dan pepohonan yang terdekat, malam masih tetap berwarna kelam.

Namun Tatas Lintang tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Bahkan iapun masih belum tahu, dari mana ular-ular berbisa itu dapat mencapai gardu tanpa diketahui oleh para peronda sebelumnya. Bahkan serentak memanjat gardu dan menggigit beberapa orang peronda, justru yang berada di gardu.

Namun sejenak kemudian Tatas Lintang itupun berkata, “Sudahlah Ki Bekel. Kami akan mohon diri. Mudah-mudahan tidak terjadi lagi sesuatu di sini. Langit sudah mulai menjadi terang. Agaknya fajar akan segera menyingsing. Namun satu peringatan bagi Ki Bekel, bahwa semua orang di padukuhan ini harus siap. Jika benar, pada satu saat datang menyerbu padukuhan ini sepasukan anjing liar atau kera, maka semua orang, laki-laki perempuan, para remaja dan orang-orang tua harus melawannya. Kecuali anak-anak. Karena itu, maka semua orang harus menyediakan senjata apa saja. Mereka yang tidak siap dengan apapun dapat membuat senjata dengan bahan yang ada. Bambu diruncingkan atau sepotong kayu yang cukup berat, atau apapun. Sudah aku katakan, kita mempunyai akal, sementara binatang tidak.”

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun terbayang kengerian di sorot matanya. Bahkan kemudian iapun bergumam, “Bagaimana jika yang datang itu beberapa jenis binatang bersama-sama. Ular, harimau, serigala, anjing hutan kera? Bahkan bagaimana akibatnya jika binatang-binatang peliharaan kita sendiri menjadi gila dan menyerang kita? Kerbau, sapi, kambing dan apa saja?”

“Ahh,“ sahut Tatas Lintang, “bayangan yang terlalu buram. Tidak akan terjadi. Karena itu, kita jangan terlalu dibayangi oleh kegelisahan dan ketakutan. Seperti yang sudah aku katakan berkali-kali. Kita semuanya, seisi padukuhan harus bersiap. Kita akan dapat melawan apa saja jika kita memang siap melakukannya.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kami seisi padukuhan ini akan mempersiapkan diri. Tetapi beri kami waktu. Sebelum kami siap benar, kalian jangan meninggalkan padukuhan ini.”

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Mahisa Pukat lah yang nampak menjadi gelisah. Tetapi Tatas Lintang tidak sampai hati untuk menolak permintaan itu, meskipun ia tahu, bahwa Mahisa Pukat agaknya tidak telaten lagi tinggal di padukuhan itu, karena tugasnya yang mendesak.

“Baiklah Ki Bekel. Kami akan memikirkannya,“ berkata Tatas Lintang dengan ragu-ragu.

Ki Bekel mengangguk kecil. Dengan nada dalam ia berkata, “Terima kasih. Tanpa kalian, anak-anak itupun sudah mati.”

Tatas Lintang pun mengangguk-angguk pula. Lalu katanya, “Kami mohon diri Ki Bekel.”

Ki Bekel tidak menahan mereka. Apalagi langit telah menjadi semakin cerah. Matahari mulai menerangi sudut-sudut mega yang mengambang ke Utara. Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itupun kemudian meninggalkan banjar itu kembali ke pondok mereka.

Sebagaimana diduga oleh Tatas Lintang, maka Mahisa Pukat pun bergeremang, “Kita jangan kehilangan kesempatan. Jika kita tertahan lagi di sini, maka akhirnya kita akan melupakan tugas kita yang sebenarnya.”

“Aku tahu. Tetapi aku tidak sampai hati menolak permintaan Ki Bekel. Tanpa kita anak-anak itu memang akan mati. Sementara itu kitalah yang menjadi sebab, sehingga padukuhan ini menjadi sasaran dendam orang-orang yang tidak kita kenal. Sementara itu, jika yang datang orang-orang padepokan yang kita tuju, agaknya memang kebetulan sekali. Kita dapat mengurangi lawan. Justru tanpa kita kehendaki, kita sudah memancingnya keluar.“ jawab Tatas Lintang, “namun kita tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa ada pihak-pihak lain yang memang melibatkan diri ke dalam persoalan ini, karena sebagaimana kita ketahui, bahwa peristiwa yang terjadi di warung itu bukannya satu hal yang disengaja oleh kedua belah pihak. Kita tidak tahu siapa mereka, dan mereka pun belum mengetahui siapa kita.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun ia dapat mengerti keterangan Tatas Lintang itu. Karena itu maka ia tidak menolak lagi untuk tetap tinggal barang satu dua hari. Agaknya di samping sikap berhati-hati, maka Tatas Lintang melihat satu keuntungan, jika mereka berhasil memancing keluar orang-orang dari padepokan itu.

Ketika keempat orang itu sampai di pondok mereka, mereka tidak menjumpai sesuatu yang lain. Sehingga karena itu. maka mereka tidak mendapat bahan-bahan baru dalam persoalan yang sedang mereka hadapi. Setelah membenahi rumah kecilnya, maka keempat orang itupun telah datang ke rumah pemilik tanah pategalan itu. Sebagaimana mereka sanggupkan, bahwa mereka akan menanam bibit pepohonan di pategalan di ujung padukuhan.

Tetapi tanggapan pemilik tanah itu sudah lain sekali. Sikapnya, kata-katanya dan tentang rencana penanaman bibit pohon buah-buahan itu.

“Kami sekeluarga minta maaf atas sikap kami,“ berkata pemilik tanah itu, “betapa bodohnya kami, namun kami dapat menangkap peristiwa-peristiwa yang telah terjadi sebagai satu pernyataan, bahwa yang aku hadapi bukannya seorang yang membutuhkan pekerjaan di padukuhan ini.”

“Jangan salah memberikan arti dari sikap dan tingkah laku kami,“ berkata Tatas Lintang, “mungkin kami memang memiliki kemampuan sedikit dalam olah kanuragan. Tetapi itu bukannya berarti bahwa kami sudah memiliki sesuatu yang berharga di dalam hidup kami sehari-hari. Karena dengan bekal ilmu kanuragan kami telah pergi merantau untuk menempuh satu kehidupan yang barangkali akan dapat memberikan pengalaman yang baik bagi masa depan kami. Sementara itu untuk hidup kami sehari-hari, kami memang memerlukan kerja.”

“Aku menjadi sangsi,“ berkata pemilik tanah itu, “apakah benar kalian memerlukan kerja sebagaimana kalian lakukan itu?”

“Jangan ragu-ragu,“ berkata Tatas Lintang, “jika kerja itu diurungkan, maka kami akan kehilangan penghasilan yang akan dapat kami pergunakan untuk hidup kami dalam beberapa hari sambil menunggu kerja yang akan kami dapatkan pada kesempatan berikutnya.”

Pemilik tanah itu masih saja ragu-ragu. Tetapi Tatas Lintang mendesak, “Tanpa kerja, kami tidak akan mungkin dapat hidup lebih lama di padukuhan ini.”

Meskipun ragu pemilik tanah itu akhirnya tidak dapat menolak. Diserahkannya bibit pohon buah-buahan yang telah diusahakannya untuk ditanam di pategalan di ujung padukuhan. Pemilik tanah itupun telah menyiapkan sebuah gerobag kecil untuk membawa bibit-bibit pohon itu ke ujung padukuhan. Gerobag kecil yang ditarik oleh seekor kuda.

Sebenarnyalah yang dilakukan oleh Tatas Lintang bersama ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu memang sangat menarik perhatian. Orang-orang padukuhan itupun merasa heran, bahwa keempat orang itu masih tetap melakukan kerja sebagaimana mereka lakukan sebelumnya. Karena itulah, maka beberapa orang anak muda telah menyatakan diri untuk membantu melakukan kerja itu.

“Terima kasih,“ berkata Tatas Lintang, “yang kami lakukan sekarang adalah kerja bagi hidup kami. Memang agak berbeda dari apa yang kami lakukan bagi kalian. Tetapi bukankah kami memerlukan kerja yang dapat menopang hidup kami.”

“Tanpa kerja kasar seperti ini pun kalian akan dapat dipenuhi kebutuhan kalian sehari-hari,“ berkata seorang anak muda.

“Bukan maksudku,“ jawab Tatas Lintang, “kami bukannya orang-orang yang memiliki kekhususan. Kami sebagaimana orang lain, harus bekerja untuk hidup kami.”

Anak-anak muda itu tidak dapat memaksa. Tetapi ada di antara mereka yang datang kepada pemilik tanah dan menanyakannya, kenapa ia memperlakukan keempat orang itu dengan cara sebagaimana dilakukannya sebelum padukuhan itu mengetahui kemampuan mereka yang melebihi orang kebanyakan.

“Itu adalah kehendak mereka sendiri,“ jawab pemilik tanah itu, “aku sudah mencoba mencegahnya. Tetapi mereka tetap saja pada pendiriannya. Karena itu, aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi.”

Anak-anak muda itu tidak puas. Seorang diantara mereka berkata, “Seandainya kau tidak memberikan pekerjaan itu, apakah yang akan mereka lakukan. Kau berikan bibit pepohonan kepada mereka sehingga mereka mendapat kesempatan untuk mengerjakannya.”

“Perjanjian kerja itu sudah berlangsung sebelum peristiwa-peristiwa itu terjadi,“ jawab pemilik tanah itu, “namun seperti sudah aku katakan, aku mencoba untuk mencegahnya.“ pemilik tanah itu berhenti sebentar, lalu, “tetapi aku pun memikirkannya, bagaimana jika mereka benar-benar memerlukan kerja itu. Darimana mereka dapat hidup sedangkan mereka memiliki ilmu yang sangat tinggi. Bukankah jika mereka menjadi kelaparan, akibatnya akan dapat berbalik mengenai diri kita sendiri?”

Anak-anak muda itu merenung sejenak. Namun mereka-pun kemudian mengangguk-angguk. Tetapi seorang di antara mereka berkata, “Bukankah Ki Bekel akan dapat memberikan apa saja yang mereka butuhkan sehingga mereka tidak akan pernah merasa kekurangan?”

“Aku tidak yakin jika mereka begitu saja menerima pemberian orang lain. Karena itu, akhirnya aku memutuskan untuk memberi mereka kerja. Upah yang akan aku berikan, tentu lain dari upah yang sebenarnya harus mereka terima.“ berkata pemilik tanah itu.

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Merekapun kemudian meninggalkan rumah pemilik tanah itu tanpa dapat mengerti apa yang sebenarnya bergejolak di dalam hati mereka masing-masing tentang orang-orang yang bekerja di ujung padukuhan itu.

Sementara itu Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu telah berada di pategalan di ujung padukuhan. Merekapun mulai melakukan kerja mereka. Menanam beberapa bibit pepohonan di pategalan itu. Mereka harus menggali lubang-lubang yang cukup besar sebelum bibit-bibit itu ditanam. Di lubang-lubang itupun harus ditaburi dahulu dengan rabuk yang didapat dari kandang-kandang ternak.

Karena itu, untuk menanam bibit-bibit pohon buah-buahan yang tersedia, Tatas Lintang serta ketiga orang anak muda yang diakunya sebagai kemanakannya itu memerlukan waktu beberapa hari. Di hari pertama mereka dapat bekerja tanpa gangguan sesuatu. Bahkan di malam harinya pun tidak pula terjadi peristiwa yang dapat menimbulkan goncangan-goncangan pada padukuhan itu.

Sementara itu, di hari berikutnya, Tatas Lintang telah pergi pula ke pategalan di ujung padukuhan untuk melanjutkan kerja mereka menanam bibit pohon buah-buahan. Namun mereka menjadi terkejut ketika mereka melihat lubang-lubang yang telah mereka gali untuk menanam pohon buah-buahan itu. Mereka melihat hampir di semua lubang, asap yang mengepul tipis.

Tatas Lintang yang berdiri di paling depan itupun tertegun. Kemudian dengan nada berat ia berkata, “berhati-hatilah. Tentu ada sesuatu yang tidak wajar.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun berhenti. Mereka memang menjadi berdebar-debar. Asap yang tipis itu masih saja mengepul dari lubang-lubang yang telah mereka buat, seolah-olah di setiap lubang itu terdapat bara api yang panas.

“Tunggulah,“ berkata Tatas Lintang yang kemudian melangkah maju. Tangannya meraba sebentuk cincin di jari-jarinya. Agaknya ia memang sudah curiga, bahwa asap itu ditimbulkan oleh kekuatan racun yang sangat tajam, karena ia melihat beberapa jenis pohon perdu di dekat lubang-lubang itu menjadi layu.

Dengan sangat berhati-hati Tatas Lintang telah menjenguk ke salah sebuah lubang yang masih mengepulkan asap tipis itu. Meskipun ia memiliki penawar bisa, namun ia masih juga menutup hidungnya dengan ujung kain panjangnya. Tatas Lintang itu mengerutkan keningnya. Ia mencium bau yang sangat tajam meskipun hidungnya sudah tertutup sehelai kain.

Di dalam lubang-lubang itu ia melihat bekas cairan yang dituangkan. Cairan itulah yang telah menimbulkan asap yang tipis dan berbau tajam itu. Tatas Lintang pun mengangguk-angguk ketika ia melibat bangkai seekor ayam yang agaknya terlepas dari kandangnya dan tersesat sampai ke pategalan itu dari lingkungannya di ujung padukuhan. Bahkan beberapa ekor binatang yang lain-pun terdapat mati di lubang itu pula. Seekor kadal, seekor tikus tanah dan sejumlah binatang-binatang kecil lainnya. Bahkan ketika Tatas Lintang menjenguk lubang yang lain, dilihatnya seekor ular pun telah mati.

Tatas Lintang itupun kemudian melangkah menjauhi lubang-lubang itu menuju ke arah Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura menunggu. Sambil membuka tutup hidungnya ia kemudian berkata, “Memang racun. Racun yang sangat tajam. Seekor ular dan beberapa jenis binatang telah terbunuh di lubang-lubang itu.”

“Apakah ujud dari racun itu?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Cairan yang agaknya dituangkan di setiap lubang,“ berkata Tatas Lintang. “Dengan demikian, jika kita menanam pohon di lubang-lubang itu, maka pohon itu akan mati.”

“Bukan hanya pohon-pohonnya yang mati. Seandainya aku yang menanaminya, maka aku pun akan mati juga,“ berkata Mahisa Ura.

Tatas Lintang pun mengangguk sambil bergumam, “Ya. Karena itu, kau harus minum obat penawar racun lebih dahulu. Meskipun hanya berlaku untuk beberapa lama, namun agaknya kita akan dapat menunjukkan, bahwa kita tidak akan dapat diganggu oleh racun-racun itu.”

“Jika orang yang memasang racun itu sama dengan orang yang menyerang kami di dekat batu hijau itu, mereka tahu, bahwa kami tawar akan racun.“ berkata Mahisa Murti.

“Tetapi mungkin orang lain tidak,“ jawab Tatas Lintang. “Karena itu maka harus kita buktikan bahwa orang lain itupun benar-benar tawar racun pula.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan Tatas Lintang. Tetapi mereka pun tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa orang-orang itu memang akan menggagalkan kerja mereka berempat atau jika keempat orang itu tawar akan racun dan tidak menghiraukan apa yang mereka lihat, maka setiap batang pohon yang ditanam dengan susah payah, akan mati layu.

Dalam pada itu Tatas Lintang pun berkata, “Aku yakin bahwa orang-orang yang menuangkan cairan beracun itu akan datang lagi melihat hasil kerja mereka, atau sekarang ini mereka justru mengamati dari kejauhan, apa yang kita kerjakan.”

“Baiklah,“ berkata Mahisa Murti, “Marilah kita berbuat sesuatu. Namun apakah Mahisa Ura harus mencari air untuk mencairkan obat penawar itu lebih dahulu ke padukuhan?”

Tatas Lintang termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kita mencari cara lain. Aku akan mendapat sepucuk duri di pategalan ini.”

“Duri salak?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Duri apapun,“ jawab Tatas Lintang.

Mahisa Pukat pun kemudian mengambil beberapa pucuk duri dari sebatang pohon salak yang tumbuh di pagar pategalan itu. Tatas Lintang pun kemudian minta mereka berempat berdiri rapat. Katanya, “Agar jika orang yang mengawasi kita, mereka tidak mengetahui apa yang kita lakukan.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura berdiri mendekat, hampir melekat yang satu dengan yang lain.

”Berikan jari tengah tangan kirimu,“ berkata Tatas Lintang kepada Mahisa Ura.

Mahisa Ura ragu-ragu sejenak. Namun iapun kemudian telah memberikan jari tengah tangan kirinya. Dengan ujung duri salak yang tajam maka Tatas Lintang telah menusuk ujung jari itu. Tidak terlalu dalam, tetapi cukup untuk memeras darahnya keluar dari bekas tusukan itu.

Tatas Lintang pun kemudian menempelkan akik pada cincinnya sambil berkata, “benda-benda penawar racun milik kalian dapat juga dipergunakan untuk mencegah keracunan dengan cara seperti ini. Tetapi kekuatannya untuk menawarkan racun tidak lebih dari setengah hari. Jika lewat setengah hari, maka ia harus menghindarkan diri dari kemungkinan baru. Seorang yang dipatuk ular akan dapat sembuh dengan menempelkan benda ini di mulut luka, tetapi untuk penawar racun sebagai pencegahan, maka benda ini harus bersentuhan dengan arus darah.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Ura perhatiannya tertuju sepenuhnya kepada jari-jarinya yang berdarah dan ditempeli dengan batu akik pada cincin Tatas Lintang itu. Namun sejenak kemudian Mahisa Ura pun berdesis menahan sakit. Ujung jarinya itu rasa-rasanya bagaikan disentuh bara api.

Tetapi Tatas Lintang berkata, “Itu adalah pertanda bahwa di dalam tubuhmu mulai mengalir penawar racun itu, untuk kurang lebih setengah hari.”

Mahisa Ura tidak menjawab. Tetapi perasaan sakit itu perlahan-lahan telah berkurang sehingga akhirnya lenyap sama sekali.

“Nah,“ berkata Tatas Lintang, “darahmu pun sudah pampat. Kau sekarang tawar akan racun meskipun hanya untuk setengah hari.”

Demikianlah, maka keempat orang itupun segera menebar membawa alat mereka masing-masing. Merekapun kemudian telah dengan sengaja memasuki lubang-lubang yang masih berasap tipis itu. Meskipun baunya menusuk hidung, bahkan Mahisa Pukat hampir saja muntah-muntah karenanya.

Memang terasa pada tubuh mereka, serangan racun yang tajam mencengkam. Tetapi mereka berempat memiliki penawar racun itu tidak berpengaruh terhadap mereka, kecuali justru baunya sajalah yang membuat kepala mereka menjadi pening.

Tetapi keempat orang itu tetap bekerja di lubang-lubang yang berasap tipis itu. Mereka membuat lubang itu lebih dalam meskipun sebenarnya sudah cukup. Namun mereka tidak dapat segera menanam pohon buah-buahan karena pengaruh racun itu akan dapat membunuh.

Namun dalam pada itu, tanah yang mereka lemparkan naik pada saat mereka memperdalam lubang itupun masih juga mengandung racun. Pepohonan yang ada di sekitar lubang itu yang tersentuh oleh tanah itupun terpengaruh pula karenanya. Beberapa batang pohon-pohon kecil menjadi layu dan merunduk.

Beberapa saat kemudian, maka Tatas Lintang pun telah meloncat naik. Sambil melangkah ke tepi ia berkata lantang kepada ketiga orang anak muda yang diakunya sebagai kemanakannya itu, “Marilah kita beristirahat.”

Ketiga orang anak muda itupun dengan serta merta telah meloncat naik. Rasa-rasanya mereka memang tersiksa oleh bau yang sangat tajam itu. Ketika mereka duduk di bawah sebatang pohon, maka Mahisa Ura pun berkata, “Apakah pengaruh racun itu tidak akan membunuh beberapa jenis pepohonan buah-buahan yang sudah ada? Akar pohon itu mungkin akan menjalar sampai agak jauh dan menjangkau cairan yang dituangkan ke dalam lubang-lubang itu, apalagi jika cairan itu sudah meresap ke dalam tanah.”

Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar. Cairan itulah yang seharusnya ditawarkan. Lihat, tanah yang kita naikkan dari lubang yang kita gali itu berpengaruh pula pada tetumbuhan.”

“Apakah yang dapat kita lakukan?“ bertanya Mahisa Murti.

Tatas Lintang termangu-mangu. Namun sebelum ia menjawab, mereka berempat dikejutkan oleh suara tertawa yang melingkar-lingkar di pategalan itu. Keempat orang itu tidak tergesa-gesa berbuat sesuatu. Mereka memusatkan indra mereka untuk mengetahui arah suara yang menggetarkan dada mereka.

“Jangan menyerah,“ bisik Mahisa Murti kepada Mahisa Ura yang masih saja merasa dirinya terlalu kecil di antara mereka berempat. “Kau mempunyai kemampuan yang cukup untuk mempertahankan dirimu.”

Mahisa Ura tersentuh oleh kata-kata itu. Ketika mula-mula ia mendengar suara tertawa itu, hatinya sudah mulai kecut. Sehingga dengan demikian maka pertahanannya pun menjadi goyah sebelum terbentur oleh kekuatan yang sebenarnya.

Kata-kata Mahisa Murti itu seolah-olah telah mendorong kekuatan yang besar ke dalam dirinya, sehingga iapun kemudian telah menghentakkan kekuatan di dalam tubuhnya. Mengerahkan daya tahannya untuk melawan suara tertawa yang mengguncang isi dadanya itu.

Ternyata bahwa Mahisa Ura berhasil mengerahkan tenaga cadangan di dalam dirinya untuk meningkatkan daya tahannya, sehingga suara tertawa yang menghentak-hentak itu tidak merontokkan isi dadanya.

Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu tidak segera berbuat sesuatu meskipun mereka berada dalam kesiagaan tertinggi. Namun mereka masih tetap duduk di tempatnya.

Meskipun demikian, mereka perlahan-lahan berhasil menangkap getaran arah suara tertawa itu. Meskipun suaranya seakan-akan masih tetap melingkar-lingkar, namun keempat orang itu sama sekali tidak lagi menjadi kebingungan. Mereka mampu bertahan dari hentakkan suara tertawa yang mengetuk-ngetuk jantung itu dan bahkan telah mengetahui arah sumbernya.

Justru karena itu, maka Tatas Lintang pun sama sekali tidak menunjukkan perhatiannya, ia masih saja duduk dan bahkan seakan-akan ia tidak mendengar sesuatu. Untuk beberapa saat kemudian, suara itu masih tetap menggetarkan udara pategalan itu. Bahkan semakin keras. Tetapi keempat orang itu seakan-akan tidak terpengaruh sama sekali oleh suara itu. Mereka masih duduk tanpa bergeser sama sekali.

“Bukan main,“ terdengar suara itu berubah nadanya. Bukan lagi suara tertawa, “Kalian memang orang-orang berilmu sangat tinggi.”

Tatas Lintang berpaling ke arah sumber suara yang sudah diketahuinya itu. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya dengan suara wajar, “Marilah Ki Sanak. Silahkan duduk bersama kami. Kami sedang menunggu kiriman makanan dan minuman hangat dari rumah pemilik pategalan ini.”

Sejenak tidak terdengar sesuatu. Namun kemudian terdengar suara yang menggetarkan jantung itu, “Ki Sanak memang merendahkan diri. Kenapa Ki Sanak tidak membalas?”

“Membalas apa?“ Tatas Lintang masih tetap mempergunakan suara wajarnya. “Aku tidak merasa mendapat serangan dari siapapun dan serangan macam apapun. Entahlah jika serangan itu terlalu lemah sehingga aku tidak merasakannya. Atau daya tahan kami terlalu tinggi dibanding dengan serangan itu.”

“Gila,“ terdengar geram yang menggetarkan udara, “ternyata kalian bukannya orang yang rendah hati sebagaimana aku duga. Tetapi kalian ternyata seorang yang sangat sombong. Mungkin demikian pula orang-orang lain yang bersamamu itu?”

“Ki Sanak,“ berkata Tatas Lintang kemudian, “kemarilah. Duduklah. Kita dapat berbicara dengan baik. Apakah sebenarnya keperluan kalian. Agaknya kalian bukan sekedar datang hari ini. Sebelumnya kalian telah berulang kali datang dengan cara yang berbeda-beda.”

“Mungkin kau benar Ki Sanak. Aku memang mempunyai kepentingan dengan kalian. Kalian telah membuat kami merasa terganggu. Untuk apa sebenarnya kalian berkeliaran di tempat ini?”

“Kenapa kau merasa terganggu Ki Sanak?“ Tatas Lintang justru bertanya, “bukankah kami tidak pernah mengganggumu? Bahkan kami pun masih akan bertanya, siapakah kau sebenarnya?”

“Jangan berpura-pura Ki Sanak,“ berkata suara itu, “aku kira permainanku selama ini sudah cukup baik. Namun kalian sama sekali tidak merasa gentar karenanya. Aku sudah mengirimkan beberapa ekor harimau dan bahkan sempat menakut-nakuti padukuhan ini. Demikian pula dengan beberapa ekor ular dan permainan racunku hari ini. Kalian sama sekali tidak terusik karenanya. Karena itu, maka sekarang kami tidak akan mempergunakan binatang-binatang apapun juga, tetapi kami ingin langsung berbicara dan memberikan beberapa peringatan langsung kepada kalian.”

“Oo, begitu,“ bertanya Tatas Lintang, “karena itu silahkan Ki Sanak. Kita berbicara dengan wajar.”

Tidak terdengar jawaban. Namun tiba-tiba terasa angin yang semilir bertiup di pategalan itu. Kemudian terasa sesuatu yang kurang wajar pada diri keempat orang yang tersentuh angin yang semakin sejuk itu.

Tatas Lintang yang tertua di antara mereka dan memiliki pengalaman terbanyak tiba-tiba saja berdesis perlahan, “berhati-hatilah. Sesuatu tengah menyerang kita. Lebih dahsyat dari suara tertawa itu. Tetapi aku tidak dapat mengatakan, bentuk ilmu apa lagi yang dipergunakannya.”

Mereka berempat kemudian telah berusaha untuk bertahan. Sementara itu Tatas Lintang berbisik, “Sasarannya bukan wadag kita. Tetapi ketahanan jiwa kita. Berhati-hatilah.”

Keempat orang itupun menjadi semakin dalam memusatkan nalar budi mereka. Apalagi ketika kemudian mereka seakan-akan merasakan angin pusaran yang membelit udara di sekitar tempat mereka duduk. Tidak terlalu besar, tetapi pengaruhnya terasa sekali menusuk ke dada.

Keempat orang itupun bertahan dengan sekuat-kuatnya. Mereka berusaha menolak getaran yang seakan-akan menusuk nusuk berusaha menyusup ke dalam diri mereka. Justru ke dalam pribadi mereka.

Tatas Lintang yang duduk sambil menyilangkan tangannya di dadanya, merasa sesuatu bergejolak di dalam dirinya. Terasa seakan-akan kesadarannya mulai dibayangi oleh kabut tebal. Kemudian seolah-olah paruh dari angin pusaran itu telah mematuk ubun-ubunnya menyusup ke dalam dirinya. Demikian cepatnya pusaran itu berputar seakan-akan mempunyai kekuatan menghisap yang sulit dilawan. Kesadarannya serasa mulai goyah, terhisap oleh angin pusaran yang berputar di atas ubun-ubunnya yang paruhnya menyusup ke dalam dirinya itu.

Tatas Lintang harus mengerahkan segenap kekuatan jiwani untuk melawan hisapan yang sangat besar terhadap kesadarannya itu. Kekuatan pribadinya ternyata mampu mengatasinya sehingga kesadarannya masih tetap utuh di dalam dirinya, ia tetap menyadari apa yang terjadi. Sehingga karena itu, ketika terjadi kekuatan lain dari pusaran di atas ubun-ubun itu, Tatas Lintang masih tetap siap untuk melawan.

Karena sejenak kemudian, tidak lagi terasa kekuatan yang menghisap itu. Tetapi justru sebaliknya. Ada kekuatan yang berusaha memasuki pribadinya, mempengaruhi penalarannya. Sesaat terjadi kegoncangan di dalam diri Tatas Lintang. Namun sekali terjadi kegoncangan di dalam diri Tatas Lintang. Namun sekali lagi kekuatan pribadinya mampu mengatasinya, sehingga Tatas Lintang masih tetap berdiri di atas kesadaran dan pribadinya.

Demikian pula terjadi atas Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura. Mereka masih belum berpengalaman sebanyak Tatas Lintang. Namun mereka pun berusaha untuk melawan, justru karena Tatas Lintang telah memperingatkan mereka.

Dengan menghentakkan kekuatannya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha mempertahankan kesadarannya. Mereka sudah terlatih untuk pemusatan nalar budinya dalam pengerahan ilmu puncak. Karena itu, maka mereka pun seakan-akan mampu menutup dirinya sehingga kesadarannya tidak terhisap. Demikian pula ketika terjadi sebaliknya, ketika kekuatan yang tidak dikenal seolah-olah menyusup ke dalam diri dan pribadi mereka.

Untuk mempertahankan pemusatan nalar budinya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tanpa berjanji telah bersama-sama mempergunakan kemampuannya dalam pemusatan kekuatan ilmu puncaknya, meskipun ilmu itu tidak akan dilontarkannya.

Ternyata bahwa usaha Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berhasil. Meskipun mereka masih muda tetapi kekuatan pribadi mereka ternyata mampu mengatasi kesulitan yang timbul karena paruh pusaran yang seakan-akan menusuk menyusup ke dalam diri mereka. Landasan ilmu dan tempaan lahir batin yang pernah mereka alami, ternyata sangat membantu keduanya mengatasi kekuatan yang berusaha menyusup ke dalam pribadi mereka.

Yang mengalami kesulitan adalah Mahisa Ura. Ketika ujung pusaran itu menyusup menusuk ke dalam ubun-ubunnya, menghisap kesadarannya, Mahisa Ura telah mengalami kesulitan itu. Betapapun ia bertahan, namun agaknya ia tidak mempunyai cukup kekuatan untuk mempertahankannya. Karena itulah, maka perlahan-lahan kesadarannya mulai goncang. Terasa yang kemudian berputar bukan saja udara di atas ubun-ubunnya tetapi dirinya pun seakan-akan telah hanyut pula oleh arus angin pusaran itu.

Pengalamannya atas dirinya dan lingkungannya mulai kabur, sehingga akhirnya iapun merasa telah terlepas dari dirinya sendiri, pada saat kesadarannya benar-benar telah hilang. Itulah sebabnya Mahisa Ura tidak mampu melawan kekuatan yang masuk menyusup ke dalam dirinya. Mahisa Ura sama sekali tidak tahu, apa yang dilakukannya. Ia benar-benar telah kehilangan kesadaran dan kepribadiannya.

Sejenak kemudian terdengar Mahisa Ura itupun menggeram. Kemudian terdengar iapun telah tertawa perlahan-lahan. Semakin lama menjadi semakin keras. Berbareng dengan itu, maka angin pusaran yang memutar udara di pategalan itupun mulai susut, dan akhirnya lenyap sama sekali. Pusaran-pusaran kecil yang menyerang setiap pribadi dari keempat orang itupun telah lenyap.

Tatas Lintang, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mulai melepaskan diri dari pemusatan nalar budinya. Namun mereka-pun telah dikejutkan oleh suara tertawa Mahisa Ura yang hanya beberapa langkah saja dari mereka. Tatas Lintang, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meloncat bangkit dan bergeser mundur. Mereka memandang tingkah laku Mahisa Ura dengan heran.

Mahisa Ura yang juga sudah berdiri tegak itu masih saja tertawa. Namun tiba-tiba saja suara tertawanya telah berhenti. Dengan tajam Mahisa Ura itupun memandang ketiga orang yang berdiri di depannya itu berganti-ganti. Bahkan tatapan dan sorot matanya yang aneh itu membuat ketiga orang itu seakan-akan tidak dapat mengenalinya lagi.

“Mahisa Ura,“ desis Mahisa Murti.

Mahisa Ura memandanginya. Tetapi tiba-tiba saja iapun menggeram sambil bergeser maju. Mahisa Murti justru bergeser surut, ia melihat ketidakwajaran pada Mahisa Ura. Sementara itu Mahisa Pukat pun telah memanggilnya, “Mahisa Ura, kenapa kau?”

Mahisa Ura berpaling ke arah Mahisa Pukat. Sejenak ia memandang dengan sorot yang menyala. Namun tiba-tiba saja Mahisa Ura telah menerkamnya dengan garangnya. Kedua tangannya teracu ke depan dengan jari-jari yang mengembang.

“Pukat, “ teriak Mahisa Murti memperingatkan saudaranya. Untunglah Mahisa Pukat bergerak cepat. Dengan tangkas ia meloncat ke samping. Hampir saja jari-jari Mahisa Ura berhasil menyambar keningnya. Sementara itu jantungnya menjadi berdebaran.

“Apa yang terjadi pada dirinya,“ Mahisa Pukat hampir berteriak pula.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Tatas Lintang menjadi sangat tegang. Sementara itu Mahisa Ura memandang mereka berganti-ganti dengan tatapan mata yang liar. Dengan nada dalam dan bagaikan gaung di relung goa yang dalam terdengar Mahisa Ura berkata, “Marilah. Aku tantang kalian bertiga. Aku tidak lagi mempergunakan binatang yang dungu untuk melawan kalian. Kini lawan aku. Aku datang langsung kepada kalian.”

Tatas Lintang menggeram. Kemarahannya memuncak sampai ke ubun-ubun. Dengan suara bergetar ia berkata, “Kau licik. Licik sekali. Kau pergunakan wadag salah seorang di antara kami.”

Mahisa Ura itu tertawa. Namun suara tertawa itu memang bukan suara Mahisa Ura sendiri. Di sela-sela derai suara tertawanya yang bergema di seluruh pategalan itu, terdengar ia berkata dengan suara yang bergulung-gulung, “Siapa yang licik he? Salah kalian sendiri. Seorang di antara kalian ternyata tidak mampu mempertahankan dirinya, sehingga ia memberi kesempatan dan bahkan bersedia membantuku membunuh kalian.”

Tatas Lintang bergeser selangkah surut ketika wadag Mahisa Ura yang telah kehilangan kepribadiannya itu bergeser mendekatinya. Dalam pada itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Tatas Lintang telah mengetahui dengan pasti, apakah yang terjadi. Namun mereka dihadapkan pada satu keadaan yang sulit. Tubuh yang mereka hadapi adalah tubuh Mahisa Ura.

Jika mereka melawan langsung dalam benturan ilmu, maka jika terjadi sesuatu atas lawannya itu, maka wadag Mahisa Ura lah yang akan menderita. Jika mereka berusaha membunuh lawannya, maka wadag itulah yang rusak, dan Mahisa Ura pun terbunuh pula, sementara pribadi yang menguasai seluruh pribadi Mahisa Ura itu dapat meloncat meninggalkan wadag itu.

“Ayo,“ terdengar gaung suara Mahisa Ura, “siapakah yang akan mati lebih dahulu, atau kalian akan membunuh aku? Marilah. Majulah bertiga.”

Tatas Lintang lah yang menjawab, “Kenapa kau begitu pengecut, licik dan tidak tahu diri? Kenapa kau tidak mencoba untuk bertempur dengan jantan. Barangkali kau tidak berani menghadapi kami berempat. Ada banyak cara dapat kau tempuh. Kau dapat memanggil kawan-kawanmu di padepokanmu. Bukankah kau mempunyai banyak pengikut? Jika tidak ada orang yang memiliki kemampuan yang kau anggap cukup, kau dapat menantang kami perang tanding. Kau dapat memilih seorang di antara kami bertiga.”

“Aku sudah memilih dan aku sudah mengalahkannya. Anggaplah kawanmu yang seorang ini sudah mati. Karena itu jangan segan-segan bertempur. Nanti, dalam keadaan letih, aku akan dapat mengambil seorang yang lain di antara kalian dan mempergunakannya pula, sehingga akhirnya, jika kalian bersisa dua orang, akan terjadi perang tanding yang seru dan menarik.“ berkata mulut Mahisa Ura itu.

Tatas Lintang, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi bingung. Mereka tidak segera dapat menemukan jalan untuk mengatasinya. Namun sementara itu wadag Mahisa Ura itupun tertawa semakin keras. Dan tiba-tiba saja tubuh itu telah melenting menyerang Tatas Lintang.

Serangan itu datang begitu cepat. Namun Tatas Lintang-pun memiliki kemampuan yang sangat besar sehingga ia mampu mengelakkan serangan itu. Namun tubuh itupun segera meloncat menyerang Mahisa Murti. Seperti Tatas Lintang, maka Mahisa Murti pun hanya dapat mengelakkan dirinya tanpa berusaha untuk menyerang kembali. Demikian pula Mahisa Pukat meskipun sambil mengumpat dengan sangat marah.

Wadag Mahisa Ura itu tertawa pula. Katanya, “Kenapa kalian tidak membalas menyerangku. Kau takut tubuh ini menjadi rusak? Sudah aku katakan, anggap saja seorang kawanmu ini telah terbunuh. Jika tidak demikian, maka akulah yang akan membunuh kalian bertiga. Cara ini memang menyenangkan sekali.”

“Gila,“ geram Tatas Lintang. Namun iapun terdiam ketika wadag Mahisa Ura itu telah menyerang pula. Meskipun Tatas Lintang masih dapat mengelakkan diri, tetapi sambaran angin yang dihentakkan oleh ayunan serangan tubuh Mahisa Ura itu memberikan isyarat kepadanya, bahwa lawannya itu memang mempunyai kekuatan yang besar sekali.

Ternyata seseorang yang telah mempergunakan wadag Mahisa Ura itupun telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Dengan tangkasnya ia berloncat menyerang ketiga orang lawannya bergantian, sementara itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Tatas Lintang masih menjaga agar mereka tidak menyakiti tubuh Mahisa Ura yang telah dipergunakan oleh lawannya itu.

Karena itu, maka pertempuran pun menjadi berat sebelah. Dengan tangkasnya wadag Mahisa Ura itu menyerang tanpa takut mendapat serangan balasan. Sehingga dengan demikian, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Tatas Lintang pun hanya berloncatan menghindar.

Namun bagaimanapun juga ketiga orang itu menjaga diri untuk tidak menyakiti apalagi melukai wadag Mahisa Ura, namun sekali-sekali dalam keadaan yang sulit, mereka tidak sempat untuk mengelak, sehingga mereka harus menangkis serangan-serangan yang datang bahkan beruntun. Mahisa Pukat yang terdesak ke sudut pategalan, terpaksa membentur serangan lawannya. Keduanya terdorong selangkah surut, sehingga Mahisa Pukat membentur pagar.

Namun dalam keadaan yang demikian lawannya berkata, “Bagus. Kau telah menyakiti tubuh saudaramu he? Aku berharap agar kau melakukannya sekali lagi dan sekali lagi.”

Mahisa Pukat menggeram, ia berada dalam keadaan yang serba sulit sebagaimana Mahisa Murti dan Tatas Lintang. Yang akan dilakukan kemudian adalah sekedar melepaskan diri dari tempat yang hampir terkurung.

Tetapi lawannya agaknya tidak memberinya kesempatan. Dengan hati-hati wadag Mahisa Ura itu maju. Bukan karena ia takut mengalami serangan. Tetapi ia menjaga agar Mahisa Pukat tidak dapat terlepas. Dengan demikian maka Mahisa Pukat itu akan terpaksa melawan dan menyakiti tubuh Mahisa Ura. Demikian juga jika kedua orang yang lain ingin menolongnya.

Karena itu, sambil tertawa lawannya itu berkata, “kau akan terjebak di sudut pategalan. Aku akan menyerangmu, membunuhmu dan mencincangmu menjadi sewalang-walang. Melawan lah agar kau tidak mati. Biarlah tubuh ini sajalah yang mati dan hancur sama sekali. Sebaiknya kedua orang saudaramu yang lain itu berusaha menolongmu.”

Mahisa Pukat termangu-mangu. Ia memang tidak melihat jalan keluar selain melakukan perlawanan dengan membenturkan ilmu mereka. Namun dengan demikian, tubuh Mahisa Ura itu memang akan dapat menjadi cidera. Jika orang itu meninggalkannya dan membiarkan pribadi Mahisa Ura kembali, maka Mahisa Ura itu akan berada dalam keadaan yang gawat.

Mahisa Murti dan Tatas Lintang pun menjadi bingung pula. Mereka mengerti apa yang mungkin terjadi. Namun mereka tidak segera menemukan jalan untuk membantu membebaskan Mahisa Pukat. Sedangkan Mahisa Murti menjadi semakin cemas karena ia mengenal watak dan tabiat Mahisa Pukat. Pada saat yang terjepit, kadang-kadang ia tidak berpikir terlalu panjang. Sehingga menurut dugaan Mahisa Murti. Mahisa Pukat yang marah akan dapat berbuat sesuatu yang membahayakan tubuh Mahisa Ura.

Sementara itu tubuh Mahisa Ura yang berada di bawah pengaruh lawan itu maju lagi selangkah sambil memperdengarkan suara tertawa yang menjengkelkan. Tetapi pada saat yang demikian, Tatas Lintang harus bertindak. Dengan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya. Tatas Lintang telah mencoba menyerang. Diacukannya tangannya serta dikembangkannya telapak tangannya. Seberkas sinar memancar dari telapak tangannya itu menyambar tanah sejengkal dari tempat Mahisa Ura berpijak.

Serangan yang tiba-tiba itu ternyata memang mengejutkan. Tanah yang dikenai serangan itu bagaikan meledak. Dan ledakan itu telah membuat pribadi yang mempengaruhi wadag Mahisa Ura itu terkejut pula dan dengan gerak naluriah meloncat ke samping.

Mahisa Pukat ternyata mampu menanggapi peristiwa itu. Pada saat wadag Mahisa Ura itu melenting ke samping, maka Mahisa Pukat pun telah mempergunakan kesempatan itu, meloncat, melepaskan diri dari keadaan yang tidak menguntungkannya. Menjauhi sudut pategalan itu. Namun demikian Mahisa Pukat benar-benar menjadi marah sehingga tubuhnya bergetar. Justru karena ia tidak mendapat kesempatan untuk melawan.

“Gila,“ geram Mahisa Pukat, “licik, pengecut. Pergunakan wadagmu sendiri. Kita berperang tanding.”

Tetapi orang yang telah berhasil mempengaruhi pribadi Mahisa Ura itupun menjadi marah juga. Ternyata ia telah dapat dikejutkan oleh lawannya sehingga Mahisa Pukat sempat melepaskan dirinya tanpa harus benar-benar membenturkan ilmunya, sehingga wadag yang dipergunakannya itu mengalami cidera.

“Baiklah,“ geram orang itu, “kau berhasil melepaskan dirimu. Tetapi keadaan yang serupa akan terulang kembali, justru karena kalian tidak berani melawan aku. Mungkin kau mungkin kau dan mungkin kau.”

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Memang sulit untuk melawan seorang yang licik seperti kau. Tetapi baiklah. Jika memang terpaksa, apa boleh buat. Mungkin aku atau kedua kemanakanku yang lain akan menyakiti wadag yang kau pergunakan. Tetapi aku pun yakin, bahwa aku akan dapat mengobatinya.”

“Omong kosong,“ geram orang itu, “jika tubuh ini sudah berada pada tataran mati, tidak seorang pun akan dapat mengobatinya. Aku akan meninggalkannya, dan tubuh ini akan terkapar dengan darah yang membeku. Apa yang akan kau lakukan?”

Tatas Lintang hanya dapat mengumpat di dalam hati. Yang dikatakan orang itu memang benar. Sementara itu, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sejenak kemudian, maka tubuh Mahisa Ura itupun telah kembali berloncatan menyerang ketiga orang lawannya. Suara tertawa berderai mengiringi geraknya yang cepat cekatan. Untunglah ketiga lawannya memiliki kemampuan bergerak yang melampaui kebanyakan orang, sehingga karena itu, mereka sempat menghindari serangan-serangan itu.

“Ayo,“ berkata Mahisa Ura di bawah ketidak sadaran pribadinya sendiri, “sampai kapan kalian mampu berloncatan, berlari-lari dan menghindari serangan-seranganku he?”

Tidak ada jawaban, sementara mereka masih saja berkejar-kejaran di pategalan itu. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Tatas Lintang menemukan satu cara yang mungkin akan dapat memecahkan persoalan mereka. Meskipun ia masih belum yakin, namun tiba-tiba saja ia berteriak, “Hambat orang itu, meskipun kita harus mengorbankan tubuh Mahisa Ura. Tetapi jaga agar tubuh itu tidak kalian rusakkan. Aku akan memecahkan rahasia keadaan yang memusingkan kepala kita ini.”

“Apa yang akan kau lakukan?“ bertanya Mahisa Murti sambil menghindari serangan lawannya.

“Lakukan yang aku katakan. Tahan orang itu agar tidak mencegah langkah-langkah yang akan aku ambil,“ jawab Tatas Lintang.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sempat bertanya lebih banyak lagi. Mereka melihat Tatas Lintang berlari meninggalkan medan yang berat sebelah itu. Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah, melakukan sebagaimana dikatakan oleh Tatas Lintang meskipun hal itu akan sangat sulit dilakukan.

Sementara itu, tubuh Mahisa Ura itupun berteriak nyaring, “He, akan lari ke mana kau?”

Tatas Lintang tidak menghiraukannya. Tetapi ia justru berlari semakin cepat. Sejenak Mahisa Ura yang berada di bawah pengaruh pribadi seseorang itu menggeram. Katanya lantang, “Jangan lari. Berhenti, atau aku hancurkan tubuh ini.”

Tatas Lintang berlari terus tanpa berpaling. Tubuh Mahisa Ura itupun tiba-tiba telah meloncat pula mengejar Tatas Lintang. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk menghalanginya. Mereka telah berusaha untuk menghentikan langkahnya dengan mencegatnya.

Tetapi tubuh Mahisa Ura yang berada di bawah pengaruh pribadi orang lain tidak menghiraukannya. Dengan kuat tubuh itu membentur Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berada di garis derap langkah kakinya.

Ketiga orang itu ternyata telah terpental dan jatuh berguling. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan tangkas telah melenting berdiri tegak di atas kedua kakinya. Namun ternyata wadag Mahisa Ura itupun telah bangkit pula berdiri. Bahkan tubuh itu telah siap untuk berlari mengejar Tatas Lintang.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak membiarkannya. Dengan tangkas Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meloncat mendekatinya. Wadag Mahisa Ura itu tertegun. Pribadi yang mempengaruhinya itupun menjadi sangat marah. Terdengar ia menggeram sambil berkata, “Jangan halangi aku, atau aku akan membinasakan kalian berdua atau wadag yang aku pergunakan.”

“Aku melakukan perintah pamanku. Kami berdua harus menghambatmu jika kau akan mengejarnya,“ jawab Mahisa Murti.

Tubuh itu tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia telah menyerang dengan dahsyatnya. Sama sekali tanpa ragu-ragu meskipun ia sadar bahwa lawannya pun memiliki ilmu yang tinggi. karena pribadi di dalam diri Mahisa Ura itu memang dengan sengaja ingin membenturkan wadag yang dipergunakannya.

Tetapi Mahisa Murti tidak membentur kekuatan itu. Dengan tangkas pula ia menghindar meskipun hampir saja keningnya disambar oleh tangan tubuh Mahisa Ura yang berada di luar kepribadiannya sendiri. Ternyata bahwa orang yang mempengaruhi pribadi Mahisa Ura itu tidak menghiraukannya, iapun dengan cepat meloncat berlari mengejar Tatas Lintang. Namun Tatas Lintang telah menjadi semakin jauh.

”Berhenti,“ teriak orang yang mempergunakan wadag Mahisa Ura, “jika kau tidak berhenti, aku benturkan kepala tubuh ini pada sebatang pohon cangkring yang berduri tajam itu.”

Tatas Lintang tidak menghiraukannya. Ia berlari semakin kencang. Sementara itu Mahisa Pukat telah meloncat menerkam tubuh Mahisa Ura itu. Ternyata yang dapat ditangkapnya hanyalah kakinya. Namun dengan demikian Mahisa Ura itu telah jatuh terjerembab.

Ternyata yang terjadi telah mengejutkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Ketika keduanya meloncat dan mempersiapkan diri ternyata tubuh Mahisa Ura itu tidak segera bangkit berdiri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ragu-ragu sejenak. Mereka terkejut ketika mereka kemudian melihat tubuh itu bergerak sambil berdesah. Perlahan-lahan Mahisa Ura itu menggeliat. Diusapnya matanya sambil bertanya lirih, “Apa yang telah terjadi?”

Mahisa Ura terengah-engah. Nafasnya terasa belum mengalir wajar. Namun iapun kemudian bangkit sambil memegangi pinggangnya, “Aku kehilangan kesadaranku. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi dengan diriku.“

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Mahisa Ura telah kembali kepada kepribadiannya sendiri. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Mahisa Ura. Wadagmu memang telah terlepas dari kuasa pribadimu sendiri. Kau baru saja berada di bawah pengaruh lawan kita.”

Mahisa Ura termangu-mangu. Namun iapun kemudian berdesis sambil berkata, “Pinggangku sakit sekali. Juga lenganku bagaikan retak. Tetapi apakah yang sebenarnya telah terjadi.”

“Tidak banyak waktu yang tersedia,“ berkata Mahisa Murti, “marilah kita lihat, apa yang terjadi dengan Tatas Lintang.”

Ketiganya pun kemudian telah bersiap untuk menyusuri arah langkah Tatas Lintang yang sudah tidak nampak lagi, karena terlindung oleh dedaunan dan pepohonan di pategalan itu. Namun ketika mereka mulai berlari, Mahisa Ura masih harus mengeluh lagi, karena tubuhnya terasa sangat sakit di beberapa tempat.

“Pergilah dahulu,“ berkata Mahisa Ura.

“Marilah, agar tidak terjadi sesuatu lagi dengan kau,“ sahut Mahisa Murti.

Mahisa Ura pun kemudian telah memaksa dirinya berlari mengikuti arah Tatas Lintang menghilang. “Apa yang dilakukannya?“ bertanya Mahisa Ura.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi agaknya mereka mulai mengerti apa yang dilakukan oleh Tatas Lintang. Namun mereka tidak mempunyai kesempatan untuk lebih banyak berbicara, karena mereka harus dengan cepat menyusul Tatas Lintang dan mengetahui lebih banyak, apa yang telah terjadi kemudian.

Ternyata mereka tidak terlalu sulit untuk menemukan Tatas Lintang. Ketika mereka menyelinap di belakang beberapa jenis pohon buah-buahan di pategalan itu maka mereka melihat Tatas Lintang tengah bertempur dengan seseorang. Pertempuran itu memang merupakan pertempuran yang luar biasa. Keduanya memiliki ilmu yang tinggi.

Demikian ketiga orang itu mendekat, maka terdengar suara lawan Tatas Lintang itu, “Ayo apakah kalian berempat akan bertempur melawan aku?”

Namun Tatas Lintang lah yang menjawab, “Aku akan bertempur seorang diri melawan kau seorang diri pula. Betapapun tinggi ilmumu, aku tidak akan gentar, karena ilmumu yang terutama adalah ilmu yang sangat licik sebagaimana baru saja kau tunjukkan kepada kami.”

“Persetan,“ geram orang itu, “ternyata kalian berhasil menyelematkan seorang di antara kalian. Sayang aku tidak sempat membenturkan kepalanya pada sebatang pohon cangkring, sehingga pecah karenanya.”

“Satu cara membunuh yang tidak terhormat,“ berkata Tatas Lintang sambil bertempur, “jika kau memang seorang berilmu tinggi, bunuhlah aku sekarang.”

Lawannya tidak menjawab. Namun serangannya pun menjadi semakin berbahaya mengejar Tatas Lintang yang masih selalu memperhitungkan kemampuan lawan. Pertempuran antara kedua orang itupun semakin lama menjadi semakin seru. Mereka semakin meningkatkan ilmu mereka masing-masing sehingga kekuatan dan kecepatan gerak mereka pun menjadi semakin meningkat pula.

Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura hanya dapat menyaksikan saja pertempuran itu. Tatas Lintang sudah memberikan isyarat bahwa ia berada dalam keadaan perang tanding, sehingga ia tidak mengharapkan bantuan dari siapapun juga. Apapun yang mungkin terjadi atas dirinya.

Mahisa Ura menyaksikan pertempuran itu dengan wajah yang tegang. Kemarahannya benar-benar membakar dadanya karena peristiwa yang telah terjadi atas dirinya. Meskipun ia masih belum mengetahui sepenuhnya, tetapi ia sudah dapat mengerti, bahwa orang yang bertempur melawan Tatas Lintang itu telah berhasil mempengaruhi pribadinya dan mempergunakan wadagnya.

Namun agaknya Tatas Lintang telah memburu ke arah tubuh lawannya itu ditinggalkannya, sehingga lawannya itu telah meninggalkan wadagnya dan kembali ke dalam dirinya sendiri. Pada saat yang demikian maka pribadinya sendiri telah muncul kembali di dalam wadagnya, meskipun wadag itu terasa lemah dan kesakitan.

“Untunglah Tatas Lintang mengambil langkah yang tepat untuk menyelamatkan tubuhku,“ berkata Mahisa Ura di dalam hatinya. Tetapi betapapun kemarahan bergejolak di dalam dirinya, tetapi yang disaksikannya adalah pertempuran yang sengit dari dua orang yang berilmu sangat tinggi.

Dalam pada itu, Tatas Lintang yang bertempur itupun telah merambah kepada ilmunya yang jarang ada duanya. Namun lawannya pun memiliki ilmu andalannya pula yang mengagumkan. Karena itu, maka keduanya benar-benar telah terlibat dalam pertempuran yang sulit dimengerti oleh orang kebanyakan. Bahkan Mahisa Ura pun mulai dibingungkan oleh sikap dan gerak yang tidak diduganya sama sekali yang berhubungan dengan ilmu kedua orang itu masing-masing.

Sebenarnyalah bahwa lawan Tatas Lintang itupun memiliki kemampuan untuk menyerang dari jarak jauh. Meskipun dengan landasan ilmu yang lain, namun akibatnya tidak jauh berbeda. Lawan Tatas Lintang itupun mampu menghentakkan tangannya mengarah ke tubuh lawannya, sehingga semacam sinar telah terlontar dan menyambar. Sementara itu Tatas Lintang pun telah melakukannya pula. Telapak tangannya yang terbuka telah melontarkan cahaya yang menyambar sasaran dengan kekuatan yang sulit diperhitungkan.

Karena itulah, maka ketiga orang yang menyaksikan pertempuran itu harus mengambil jarak. Mereka harus berada di tempat yang paling baik. Mungkin lawan Tatas Lintang yang memang licik itu dengan sengaja mengarahkan ilmunya kepada salah seorang di antara mereka. Sehingga karena itu, maka mereka pun telah berusaha berdiri di sebelah sebatang pohon yang cukup besar.

Ternyata yang mereka perhitungkan itu memang terjadi. Pada satu saat yang tiba-tiba, ternyata orang itu telah mengarahkan serangannya kepada Mahisa Murti yang memang berada dekat dengan garis serangannya. Orang itu mengira, bahwa Mahisa Murti tidak menyadari, justru karena perhatiannya tertuju kepada pertempuran itu sendiri.

Namun Mahisa Murti cukup berhati-hati. Ketika ia melihat arah tangan orang itu agak bergeser dengan garis serangannya atas Tatas Lintang, justru mengarah kepadanya, maka iapun cepat bergeser ke balik sebatang pohon.

Terdengar batang pohon itu bagaikan meledak. Namun pohon itu ternyata tidak tumbang meskipun berguncang dengan kerasnya. Terdengar orang itu mengumpat. Ia telah gagal membunuh setidak-tidaknya menghancurkan tubuh seorang yang lain karena Tatas Lintang telah mengambil satu langkah yang semula tidak diduganya.

Namun serangan itu telah memperingatkan Mahisa Pukat dan Mahisa Ura. Karena itulah maka mereka pun tidak beranjak dari sisi sebatang pohon yang cukup dapat melindungi dirinya apabila serangan itu datang dengan tiba-tiba.

Dalam pada itu, maka pertempuran itupun telah berlangsung semakin sengit. Serangan datang silih berganti semakin lama semakin cepat dan semakin dahsyat. Keduanya pun berloncatan menghindari serangan demi serangan yang datang beruntun. Keduanya berebut kesempatan dan beradu kecepatan.

Pepohonan di sekitar mereka pun telah menjadi berpatahan. Batang-batang kayu yang besar telah menjadi hangus oleh ledakan-ledakan serangan berjarak di antara mereka. Pohon-pohon perdu pun bagaikan telah ditebas berserakan dan berhamburan.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura masih tetap berusaha untuk berada di dekat batang-batang pohon yang besar, yang akan dapat melindungi mereka dari serangan-serangan lawan. Sengaja atau tidak sengaja.

Namun dalam pada itu. beberapa saat kemudian, ternyata keseimbangan pertempuran itupun telah berubah. Kecepatan gerak Tatas Lintang yang tinggi agaknya telah mampu membuat lawannya menjadi agak terdesak. Selain kemampuannya bergerak cepat, ternyata Tatas Lintang memiliki ketahanan tubuh yang lebih tinggi.

Karena mengerahkan segenap kemampuan dan ilmu, maka ketahanan tempur lawan Tatas Lintang itupun mulai menjadi susut. Karena itulah.»maka setiap kali orang itu berusaha mengambil jarak dan berusaha berlindung di balik pepohonan untuk dapat sekedar beristirahat meskipun hanya sekejap.

“Jangan licik,“ berkata Tatas Lintang.

Orang itu sama sekali tidak menghiraukannya, ia masih saja bertempur dengan caranya. Menyerang, kemudian meloncat jauh dan menghindar. Dengan demikian maka Tatas Lintang pun telah mendesaknya semakin jauh, sehingga arena itupun telah bergeser pula.

Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun telah bergerak pula mengikuti arena yang bergeser. Tetapi mereka masih selalu berusaha untuk berada di dekat batang-batang pohon yang cukup besar. Tetapi ternyata orang itu tidak bertahan lebih lama lagi. Sebelum ia benar-benar kehabisan nafas, maka iapun telah mengambil satu keputusan. Meninggalkan pertempuran itu.

Demikianlah, selagi mereka masih berada di antara batang-batang pohon buah-buahan, maka lawan Tatas Lintang itupun telah mengambil satu kesempatan. Pada saat Tatas Lintang memburunya, selagi lawannya itu berhasil menyelinap di balik sebatang pohon, maka orang itupun telah mendahuluinya menyerang dengan satu hentakkan yang memancarkan semacam berkas sinar yang menyambar Tatas Lintang.

Tetapi Tatas Lintang cukup tangkas untuk menghindarinya. Namun diluar dugaan, bahwa pada saat Tatas Lintang meloncat menghindar orang itu telah meloncat pula. justru menjauhinya. Berlari menyusup di antara pohon-pohon buah-buahan pategalan itu.

“Jangan lari,“ teriak Tatas Lintang.

Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Yang terdengar kemudian adalah suara tertawanya berderai menggetarkan dada orang-orang yang mendengarnya.

Namun Tatas Lintang yang marah itupun menyahut tidak dengan suara tertawanya, tetapi dengan teriakan yang menggetarkan dinding jantung. “Baiklah. Ternyata kemenanganmu terletak pada kemampuanmu berlari dengan licik meninggalkan arena."

Suara tertawa itu terhenti. Yang terdengar kemudian adalah geram yang menyeramkan, “Persetan. Jika kau mampu, tangkap aku.”

“Aku merasa kasihan kepadamu. Justru karena kau melarikan diri dari arena,“ jawab Tatas Lintang dengan suaranya yang bagaikan guruh.

Tetapi tidak ada jawaban lagi. Agaknya orang itu telah menjadi semakin jauh.

“Ia memang memiliki kemampuan melarikan diri,“ berkata Tatas Lintang.

“Tetapi kau memiliki kecepatan gerak yang lebih tinggi,“ sahut Mahisa Murti.

"Mungkin, tetapi aku tidak mampu menangkapnya karena ia memiliki kesempatan beberapa kejap lebih dahulu,“ sahut Tatas Lintang.

Mahisa Pukat pun kemudian telah mendekati Tatas Lintang pula sebagaimana Mahisa Murti. Namun tiba-tiba Mahisa Pukat itu bertanya, “Di mana Mahisa Ura?”

Ketika mereka mengedarkan pandangan mereka di sekitar pategalan itu, maka mereka melihat Mahisa Ura yang melangkah tertatih-tatih sambil memegangi dadanya.

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti dengan tergesa-gesa mendekatinya. Namun Mahisa Ura masih sempat tersenyum sambil berkata, “Aku sudah berusaha. Tetapi keadaan tubuhku yang masih lemah, membuat daya tahanku agak menurun.”

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku melupakan keadaannya, sehingga aku telah mempergunakan kemampuanku untuk menjawab serangan orang itu dengan getaran suaranya. Tetapi ternyata kaulah yang paling menderita karena suara-suara itu.”

“Aku sudah berusaha mengatasinya,“ jawab Mahisa Ura yang mendekat dibantu oleh Mahisa Pukat.

“Duduklah,“ berkata Tatas Lintang, “kau dapat memperbaiki keadaanmu. Mungkin karena benturan suara ini, tetapi juga mungkin karena tubuhmu yang telah dipergunakan oleh orang yang belum kita kenal itu.”

Mahisa Ura pun kemudian duduk di atas seonggok dedaunan perdu yang terserak di tanah akibat pertempuran yang baru saja terjadi untuk menenangkan gejolak jantungnya serta mengatur pernafasannya.

“Aku menyesal, bahwa orang itu sempat terlepas dari tangan kita,“ berkata Tatas Lintang kemudian.

“Aku tidak dapat mencampurinya, karena agaknya kau memang ingin menyelesaikannya sendiri,“ sahut Mahisa Murti.

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Aku memang ingin menghadapinya sendiri. Bukan karena kesombonganku, tetapi aku memang ingin menunjukkan, bahwa kita bukan orang yang mudah dipermainkan.”

Namun di luar dugaan Mahisa Ura berkata dengan nada rendah, “Maaf. Aku benar-benar tidak mampu menyesuaikan diriku. Agaknya aku telah menghambat kalian menghadapi orang itu.”

Tatas Lintang memandanginya sejenak. Lalu katanya, “Jangan menyesali diri sendiri. Bagaimanapun juga kami memerlukanmu. Setiap orang yang bersedia membantu kita akan kita hargai. Apalagi kita sendiri. Mungkin memang ada kekurangan padamu. Tetapi itu bukan berarti bahwa kau telah mengganggu tugas-tugas kita dalam keseluruhan.”

Mahisa Ura tidak menjawab. Sementara Tatas Lintang pun berkata, “Sudahlah. Usahakan agar keadaanmu menjadi semakin baik.”

Mahisa Ura tidak menjawab. Ia masih duduk di atas seonggok dedaunan untuk menenangkan dirinya dan mengatur pernafasannya.

Sementara itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Tatas Lintang mulai memperhatikan keadaan. Pategalan itu memang menjadi rusak. Banyak tanaman yang berpatahan. Bahkan beberapa batang pohon buah-buahan yang disambar oleh serangan-serangan kedua orang yang bertempur itu, akan menjadi layu dan mungkin mati karena batangnya menjadi hangus.

“Apakah pemiliknya akan marah?“ desis Mahisa Murti.

“Kita akan memberikan laporan sesuai dengan keadaan,“ jawab Tatas Lintang, “mudah-mudahan pemilik pategalan ini akan dapat mengerti.”

Ketiga orang itupun kemudian telah membersihkan pategalan itu. Mereka telah menimbun dedaunan dan ranting-ranting yang berpatahan di pagar pategalan itu.

Sementara itu keadaan Mahisa Ura pun menjadi berangsur baik. Dengan demikian, maka mereka pun telah kembali ke tempat mereka bekerja. Namun sekali lagi Mahisa Ura memperingatkan, bahwa mereka masih berhadapan dengan racun yang telah disebarkan oleh orang yang tidak dikenal itu.

Mahisa Murti pun kemudian telah pergi ke padukuhan di sebelah pategalan itu. Setelah melewati beberapa tonggak, barulah ia sampai ke batas pategalan dan memasuki jalan sempit menuju ke padukuhan.

Dari padukuhan Mahisa Murti mendapatkan sebuah kelenting. Namun Mahisa Murti pun telah mengatakan bahwa kelenting itu tidak akan dikembalikan, karena kelenting itu akan dipergunakan untuk mencairkan racun. Namun air sekelenting itu agaknya tidak cukup, sehingga karena itu, maka ia harus mendapatkan kelenting yang lain untuk mengambil dan membawa air ke pategalan.

Demikianlah, maka Tatas Lintang telah mencoba untuk melawan racun yang telah dituangkan ke setiap lubang yang telah dibuat bersama-sama itu. Tetapi ia memerlukan bahan yang agak banyak, sehingga karena itu, maka ia tidak dapat menyelesaikannya pada hari itu. Penawar racun yang ada padanya terlalu sedikit. Namun ia telah mencoba untuk menawarkan racun pada salah satu lubang yang ada di pategalan itu.

Setelah lubang itu disiramnya dengan penawar racun yang dicairkannya di dalam kelenting, maka ternyata bahwa kekuatan racun itu menjadi jauh susut. Tanah dari lubang itu ketika dibaurkan pada sebatang pohon, ternyata pohon perdu itu tidak menjadi layu. Karena itu, maka penawar yang tersedia itupun kemudian telah dicairkannya pula dan disiramkannya ke lubang-lubang yang ada meskipun baru sebagian.

“Aku harus mengusahakan penawar racun itu lagi,“ berkata Tatas Lintang.

“Bagaimana kita akan mendapatkannya?“ bertanya Mahisa Murti.

“Aku harus membuatnya. Jika tidak, maka lubang-lubang itu akan tetap berbahaya. Bukan saja jika kita menanam pohon di dalamnya yang akan mati, tetapi jika seseorang atau seekor binatang yang terperosok ke dalamnya, tentu akan terbunuh pula.” Jawab Tatas Lintang.

“Bagaimana kau dapat membuatnya?“ bertanya Mahisa Pukat, “kapan lagi kau akan melakukannya?”

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia bertanya, “Manakah yang lebih baik. Apakah kita akan membiarkan lubang-lubang ini merupakan lubang-lubang bisa yang dapat membunuh, atau kita mengorbankan waktu sedikit untuk menawarkannya?”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Namun dalam pada itu, Tatas Lintang pun berkata, “Bagaimanapun juga kita harus memberitahukan hal ini kepada Ki Bekel dan pemilik tanah ini. Tempat ini harus menjadi tempat tertutup, sementara kita belum dapat menawarkan racun dalam keseluruhan.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa dengan demikian mereka harus mengorbankan waktu lagi. Tetapi ia tidak akan dapat mengingkari tugas yang tidak kalah pentingnya, menyelamatkan lingkungan itu dari kerasnya racun yang berbahaya.

“Baiklah,“ berkata Tatas Lintang, “ternyata kita telah mendapat beban baru. Aku minta dua orang di antara kita menemui Ki Bekel dan pemilik tanah ini, sementara dua yang lain menjaga agar lubang-lubang yang tersisa ini tidak membunuh.”

“Siapakah yang akan pergi?“ bertanya Mahisa Murti.

“Pergilah bersama Mahisa Ura,“ jawab Tatas Lintang, “aku dan Mahisa Pukat akan menjaga tempat ini.”

Mahisa Murti mengangguk. Ketika ia berpaling ke arah Mahisa Ura, maka Mahisa Ura pun telah bersiap. “Bagaimana keadaanmu?“ bertanya Mahisa Murti.

“Aku sudah baik,“ jawab Mahisa Ura, “aku siap untuk pergi menghadap Ki Bekel.”

Mahisa Murti mengangguk. Katanya, “Marilah. Kita akan melaporkannya.”

Keduanya pun kemudian meninggalkan pategalan itu. Mereka langsung menuju ke rumah Ki Bekel sebelum mereka melaporkannya kepada pemilik pategalan itu.

Sementara itu, di pategalan. Tatas Lintang telah berusaha untuk mengamati jenis racun yang dituangkan ke dalam lubang-lubang yang telah mereka buat untuk menanam pepohonan. Diambilnya segenggam tanah yang telah dituangi bisa itu. Kemudian dengan takir-takir daun pisang ia mencairkan tanah itu dengan air dan dicobanya pula meneteskan cairan penawarnya dengan kadar yang berbeda-beda.

Dengan demikian Tatas Lintang ingin mengetahui, apa yang harus dibuatnya untuk menawarkan racun itu, karena obat penawar racun yang dimilikinya terlalu sedikit untuk menawarkan racun yang banyak dituangkan di lubang-lubang yang disiapkan untuk menanam pohon buah-buahan itu.

Ternyata keahlian Tatas Lintang telah memberikan jalan kepadanya untuk menentukan ramuan apakah yang paling baik dipergunakannya untuk menawarkan racun itu. Dan reramuan itu masih harus dibuatnya.

Sementara itu. Mahisa Murti dan Mahisa Ura telah menghadap Ki Bekel, di rumahnya. Laporannya memang membuat Ki Bekel itu terkejut.

“Bukan main,“ berkata Ki Bekel, “orang itu benar-benar melakukan apa saja tanpa menghiraukan pertimbangan-pertimbangan sama sekali untuk mencapai maksudnya. Untunglah kalian masih mampu mengatasinya. Namun tentu bukan untuk yang terakhir kalinya.”

“Mungkin Ki Bekel. Kami pun harus mempersiapkan diri menghadapi masa-masa mendatang. Aku memang menduga, bahwa langkahnya itu bukan langkah yang terakhir,“ jawab Mahisa Murti.

“Baiklah,“ berkata Ki Bekel, “aku akan pergi ke pategalan itu. Aku akan membawa beberapa orang untuk menutup pategalan itu agar tidak dimasuki oleh seseorang, sampai segalanya dapat diatasi.”

“Terima kasih Ki Bekel,“ sahut Mahisa Murti, yang kemudian minta diri untuk pergi menemui pemilik tanah itu.

“Pergilah. Mudah-mudahan pemilik tanah itu dapat mengerti. Juga tentang kerusakan yang telah terjadi di pategalan itu,“ jawab Ki Bekel, “jika terjadi salah paham, maka aku akan berusaha menyelesaikannya, karena akulah yang telah menahan kalian untuk tinggal lebih lama di padukuhan ini.”

Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Ura pun telah menemui pemilik tanah itu, meskipun dengan sedikit berdebar-debar. Jika terjadi salah paham karena kerusakan bukan saja tanahnya, tetapi juga tanaman-tanamannya karena perkelahian yang terjadi, maka persoalannya akan semakin berkepanjangan.

Tetapi ternyata dugaan itu sama sekali tidak terjadi. Pemilik tanah itu sama sekali tidak merasa dirugikan. Bahkan dengan nada menyesal ia berkata, “Seharusnya aku tidak membiarkan kalian melakukan kerja itu. Aku sama sekali tidak menyesali tanah dan pepohonan yang ada di pategalan itu, tetapi aku justru menyesali peristiwa itu. Seandainya kalian tidak melakukan kerja di pategalan itu. agaknya kalian tidak akan mengalami kesulitan meskipun kalian dapat mengatasinya.”

“Tidak,“ jawab Mahisa Murti, “bukan karena kami bekerja di pategalan itu. Seandainya kami tidak berada di pategalan itu, maka mereka pun akan tetap menyerang kami di manapun kami berada dan apapun yang kami lakukan.”

“Aku akan pergi ke pategalan,“ berkata pemilik tanah itu, “tanah itu memang harus ditutup untuk sementara.”

“Ki Bekel akan melakukannya,“ jawab Mahisa Murti, “Ki Bekel akan membawa beberapa orang. Tetapi seharusnya kami pun dapat melakukannya. Bukankah kami memang telah melakukan kerja untuk menerima upah.”

Pemilik tanah itu menarik nafas. Namun kemudian katanya, “Aku akan pergi ke pategalan itu.”

Pemilik tanah itupun kemudian berkemas untuk pergi ke pategalan dengan membawa dua orang pembantu laki-laki di rumahnya. Keduanya membawa parang dan cangkul, yang barangkali akan dapat dipergunakan di pategalan itu.

“Kami telah membawa alat-alat ke pategalan itu,“ berkata Mahisa Murti.

“Biarlah mereka juga membawa,“ jawab pemilik tanah itu.

Ketika Mahisa Murti, Mahisa Ura dan pemilik tanah itu sampai di pategalan, ternyata di pategalan itu telah terdapat banyak orang. Namun Ki Bekel telah menarik gawar lawe melingkari lingkungan yang ternyata masih beracun keras itu.

“Tidak seorang pun boleh melintasi gawar ini,“ berkata Ki Bekel kepada orang-orang yang berkerumun.

Namun ternyata bahwa gawar lawe saja tidak cukup. Karena itu, maka Ki Bekel pun telah memerintahkan orang-orangnya untuk membuat pagar yang kuat di sekitar tempat yang berbahaya itu.

Sementara itu Tatas Lintang telah menentukan reramuan yang agaknya paling baik untuk menawarkan racun itu. Ada beberapa jenis binatang berbisa yang akan dapat dipergunakannya untuk menawarkan racun, diramu dengan getah dari pepohonan tertentu. Yang harus dilakukannya kemudian adalah mencari jenis binatang dan getah pohon yang diperlukan itu.

Karena itu, ketika orang-orang mulai melakukan kerja mereka, membuat pagar yang kuat dan cukup tinggi untuk menutup pategalan itu, maka Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya kemanakannya telah minta diri untuk mencari reramuan yang mungkin akan dapat menjadi penawar racun yang tersebar di pategalan itu.

“Kami harus segera mendapatkannya,“ berkata Tatas Lintang.

Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengikut saja kemana Tatas Lintang pergi. Namun ketika mereka sudah keluar dari pategalan dan tidak memasuki padukuhannya. Mahisa Murti bertanya, “Kita akan ke mana?”

“Kita harus menemukan bahan reramuan obat penawar racun itu,“ jawab Tatas Lintang.

“Bahan yang kita perlukan terdapat di mana? Apakah kau sudah mempunyai gambaran, di mana kita akan mendapatkannya?“ bertanya Mahisa Murti pula.

“Aku memerlukan sejenis binatang beracun dan getah sejenis pohon nyamplung berbuah panjang yang sulit dicari. Tetapi aku kira aku akan dapat mempergunakan cairan pelepah pisang kering sebagai penggantinya meskipun kadar kekuatannya berbeda. Tetapi dengan mengentalkan cairan itu bersama bisa dari binatang-binatang yang akan kita dapatkan itu, maka aku kira akan mendapatkan obat penawar racun. Di pondok kita aku masih mempunyai buah dari sebangsa nyamplung berbuah panjang itu, yang akan dapat menentukan ketajaman obat penawar yang akan kita buat,“ berkata Tatas Lintang.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura hanya mengangguk-angguk saja. Mereka kurang mengerti jenis-jenis bahan yang disebut oleh Tatas Lintang. Sepengetahuan mereka, nyamplung buahnya selalu bulat.

Tetapi Tatas Lintang tentu memiliki pengetahuan yang jauh lebih luas dari mereka, sehingga apa yang diketahuinya, tidak diketahui oleh ketiga orang yang disebutnya sebagai kemenakannya itu.

Dalam pada itu, maka Mahisa Pukat pun bertanya, “Kita sekarang akan pergi ke mana?”

“Kita akan pergi ke batu yang berwarna kehijauan itu,“ jawab Tatas Lintang.

“Untuk apa?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Mencari bahan yang kita perlukan. Memang kita akan berjalan agak panjang. Tetapi harus kita lakukan jika kita akan menolong orang-orang dari padukuhan itu,“ jawab Tatas Lintang.

“Bahan apa? Batu itu?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Di celah-celah batu itu,“ jawab Tatas Lintang.

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Meskipun demikian ia berkata kepada diri sendiri, “Jadi Tatas Lintang juga sudah mengamati batu yang berwarna kehijauan itu?”

Ternyata Mahisa Murti pun berpikir demikian. Karena Tatas Lintang mengetahui, bahwa di celah-celah batu yang berwarna kehijauan itu terdapat beratus bahkan beribu binatang beracun sejenis kala dalam beberapa macamnya. Ada yang jenisnya kecil dan yang besar. Demikianlah mereka berempat telah berjalan langsung menuju ke tempat batu yang berwarna kehijauan, yang letaknya tidak terlalu dekat dari padukuhan itu.

Namun ternyata bahwa Tatas Lintang memang memiliki ketajaman penggraita melampaui orang kebanyakan. Karena itulah, maka iapun berkata, “Kita akan mendekati batu itu pada malam hari.”

“Kenapa?“ bertanya Mahisa Murti.

“Kita akan menghindari kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas kita.“ berkata Tatas Lintang, “setidak-tidaknya kita akan mempunyai kesempatan untuk bersiap-siap menghadapi kemungkinan dihadapan kita.”

“Apakah ada sesuatu yang akan terjadi menurut perhitunganmu?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Aku kira, orang yang menaburkan racun itupun telah memperhitungkan bahwa kita akan mencari bahan penolak racun. Orang itupun tentu mengetahui bahwa bahan penawar racun yang banyak diketemukan adalah pada celah-celah batu hijau itu,” jawab Tatas Lintang.

Mahisa Murti. Mahisa Pukat Mahisa Ura pun mengangguk-angguk. Sementara itu Tatas Lintang pun berkata, “Akhirnya kita akan berbenturan dengan kekuatan di dalam padepokan itu justru di luar padepokan. Namun jika pekerjaan ini dapat kita selesaikan, maka tugas selanjutnya bukannya tugas yang berat. Kita akan dapat memasuki padepokan itu seolah-olah kitalah pemimpin dari padepokan itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Mereka tidak mengerti, apakah dengan demikian mereka sudah dapat dikatakan menyelesaikan tugas mereka. Apakah dengan demikian mereka akan dapat menjawab, apakah alasan orang-orang bertongkat itu untuk menguasai Mahkota yang dianggap menjadi lambang tempat bermukim Wahyu Keraton itu.

Namun keduanya sama sekali tidak mengatakan sesuatu. Mereka masih akan melihat apa yang terjadi kemudian. Tetapi mereka merasa sulit untuk dapat berprasangka buruk terhadap Tatas Lintang yang telah memberikan kemampuan baru pada pelepasan ilmu mereka.

Demikianlah mereka berjalan menuju ke tempat batu berwarna kehijauan itu. Namun mereka tidak langsung mengambil arah. Tetapi mereka telah menempuh jalan-jalan sempit yang agak menyimpang. Sebagaimana dikatakan oleh Tatas Lintang, mereka baru akan mendekati sasaran pada malam hari. Dengan demikian mereka akan mendapat kesempatan untuk menilai, apakah mereka akan dapat melakukan dengan aman atau mereka harus melakukan langkah kekerasan.

Namun apapun yang harus mereka lakukan, mereka semuanya telah bersiap. Meskipun seandainya mereka harus bertempur menghadapi lawan yang lebih besar dari mereka. Mungkin dalam jumlah, tetapi mungkin juga pada tingkat kemampuan. Karena itu. maka mereka berempat memang tidak tergesa-gesa. Karena mereka memang menunggu hari menjadi gelap di perjalanan. Dengan singgah di sebuah kedai maka mereka telah banyak membuang waktu, sehingga akhirnya, malam pun telah turun.

“Kita akan mendekat,“ berkata Tatas Lintang, “berhati-hatilah. Mungkin kita diamati oleh orang-orang yang telah menuangkan racun itu.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun menyadari hal itu. Karena itu maka mereka pun telah berada dalam kesiapan tertinggi ketika mereka mulai mendekati batu yang berwarna kehijauan itu.

Namun Tatas Lintang memang berhati-hati. Mereka tidak langsung mendekati batu itu. Tetapi Tatas Lintang telah membawa ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu untuk menunggu dan mengamati keadaan.

“Biasanya kita terlambat mengetahui orang yang mengamati kita,“ berkata Tatas Lintang, “beberapa kali terjadi, merekalah yang menyapa kita lebih dahulu. Menyapa dengan serangan-serangannya.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura tidak membantah. Mereka memang menganggap bahwa Tatas Lintang memiliki pengamatan yang sangat tajam, sehingga ia akan dapat memilih kesempatan yang paling baik untuk melakukan rencana mereka.

Beberapa saat lamanya mereka menunggu. Tetapi mereka sama sekali tidak melihat atau mendengar apapun juga, selain gelapnya malam dan desir angin di hutan sebelah. Namun sejenak kemudian Mahisa Murti pun terkejut ketika Tatas Lintang menggamitnya sambil memberi isyarat bahwa ia mendengar sesuatu.

Mahisa Murti pun kemudian telah menggamit Mahisa Pukat dan Mahisa Ura dan memberi isyarat yang sama pula. Keempat orang itupun kemudian memperhatikan keadaan dengan saksama. Mereka memang mendengar langkah berdesir. Semakin lama terdengar semakin dekat, sehingga mereka-pun telah menahan nafas mereka.

Dalam keremangan malam maka mereka pun telah melihat beberapa orang berjalan menuju ke batu berwarna kehijauan itu. Tiga di antara mereka langsung mendekati batu itu, sementara tiga orang yang lain berdiri mengawasi keadaan di sekitar mereka.

“Orang-orang bertongkat,“ berkata keempat orang itu di dalam hati.

Sebenarnyalah keenam orang itu membawa tongkat yang agak panjang. Namun keempat orang itupun segera mengetahui gunanya, ketika seorang di antara mereka telah merundukkan tongkatnya dan ketika ia menghentakkan tongkatnya, maka nampak samar-samar sesuatu yang menggeliat.

Agaknya orang itu telah menekan kepala seekor ular yang mendekatinya. Karena di tempat itu memang banyak terdapat ular-ular yang berbisa. Tetapi bagi keempat orang itu, agaknya tongkat itu bukan hanya khusus untuk membunuh ular saja. Tetapi tongkat itu tentu juga merupakan senjata mereka.

Namun dengan demikian memang telah timbul pula satu pertanyaan, Apakah memang ada hubungannya antara orang-orang bertongkat ini dengan orang yang telah menuang cairan beracun di lubang-lubang yang telah dibuat oleh keempat orang itu di pategalan. Sementara menurut penglihatan keempat orang itu, orang yang bertempur melawan Tatas Lintang di pategalan itu tidak mempergunakan senjata tongkat.

Tetapi agaknya tongkat bukannya ciri yang memastikan. Mungkin di dalam padepokan itu memang terisi oleh orang-orang yang bersenjata tongkat dan orang-orang yang tidak mempergunakan tongkat sebagai senjata mereka. Menurut perhitungan keempat orang itu. maka orang-orang yang datang ke dekat batu itu agaknya memang ada hubungannya dengan peristiwa yang telah terjadi di pategalan.

Sejenak tiga orang yang mendekati batu yang berwarna kehijauan itu mengamati-amatinya. Namun kemudian terdengar suara salah seorang di antara mereka, “belum ada perubahan. Binatang itu masih berada di celah-celah retak-retak batu itu.”

“Mungkin mereka tidak datang kemari,“ sahut yang lain.

“Binatang-binatang seperti itu terdapat di banyak tempat. Mungkin mereka mempunyai persediaan yang mereka pelihara di satu tempat yang tersembunyi, sehingga setiap kali mereka membutuhkan, mereka tidak perlu mencarinya lagi.“ berkata yang lain lagi.

Namun terdengar suara yang agaknya mempunyai pengaruh di antara mereka, “Kita akan menunggu beberapa lama. Jika mereka datang, kita akan menghancurkannya. Tetapi ingat, mereka memiliki ilmu yang tinggi.”

“Mereka tidak akan mampu berbuat banyak,“ jawab seseorang di antara mereka, “seorang di antara mereka memang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi yang lain bukan apa-apa.”

“Jangan pura-pura. Justru yang lain itulah yang pernah menghancurkan perlawanan beberapa ekor harimau di tempat ini. Jika kau pura-pura tidak mengetahui bahwa mereka berilmu tinggi, maka kita sudah mulai dengan satu kesalahan yang akan dapat menjerat diri kita sendiri. Namun kita pun tidak akan menjadi ketakutan karenanya. Kita adalah orang-orang terpercaya.“ berkata suara orang yang agaknya memimpin keenam orang itu.

Kawan-kawannya tidak menjawab lagi. Namun mereka-pun kemudian telah menebar. Mereka memandang ke segenap arah. Namun agaknya mereka pun tidak lengah terhadap ular-ular yang banyak terdapat di tempat itu.

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Ia pun mempersilahkan Mahisa Ura berada di antara ketiga orang yang lain dengan isyarat, agar seekor ular tidak sempat menggigitnya.

Tanpa mengatakan sesuatu Tatas Lintang telah memberikan segelintir obat penawar racun yang mampu melindunginya untuk beberapa lama kepada Mahisa Ura. Sedangkan Mahisa Ura pun agaknya mengerti pula kekuatan obat itu sebagaimana pernah diterimanya dari Tatas Lintang. Karena itu, maka dengan serta merta maka iapun telah menelan obat penawar itu.

Sementara itu, setelah menunggu beberapa lama, enam orang itu masih juga tetap berada di tempatnya meskipun beberapa kali mereka harus membunuh beberapa ekor ular yang merambat mendekati mereka, maka Mahisa Pukat pun mulai menjadi jemu. Ia menjadi gelisah dan sekali-sekali berdesah.

Mahisa Murti yang mengenal saudara laki-lakinya itu dengan baik mengerti pula perasaannya. Mahisa Pukat tentu sudah mulai menjadi jemu menunggu. Bahkan Tatas Lintang dan Mahisa Ura pun merasakan kegelisahan itu.

Karena itu. Tatas Lintang pun kemudian bertanya, “Apakah yang akan kita lakukan sekarang?”

“Kita akan banyak kehilangan waktu di sini,“ desis Mahisa Pukat.

Tatas Lintang yang sudah mengira bahwa Mahisa Pukat sudah tidak sabar lagi menyahut, “Apakah kita akan mengambilnya sekarang?”

“Apa salahnya,“ berkata Mahisa Pukat, “kita akan dapat menjajagi kemampuan orang-orang bertongkat itu.”

“Kita pernah bertempur dengan orang-orang itu di sini.” berkata Mahisa Murti, “sebelum kita bertempur dengan harimau-harimau yang dikuasai oleh ilmu gendam. Bukankah pernah ada orang-orang yang menyebut dirinya satu dengan ular-ular yang ada di tempat ini?”

“Mungkin. Tetapi tentu orang lain yang hadir sekarang. Orang yang mempunyai ilmu yang lebih tinggi untuk menebus kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi. Bahkan mungkin seorang diantaranya adalah lawan Tatas Lintang itu. Mereka tentu bukan orang-orang dungu yang tidak mengenal perbandingan ilmu setelah mereka berusaha menjajaginya beberapa kali dengan beberapa macam cara. Tetapi bukan berarti bahwa kita harus tetap bersembunyi di sini,“ sahut Mahisa Pukat.

“Baiklah,“ berkata Tatas Lintang. Lalu, “Lihat, agaknya ada di antara mereka yang mendengar suara kita. Ternyata pendengaran mereka pun cukup tajam, meskipun mereka belum menemukan tempat kita.”

“Kita akan mempergunakan cara sebagaimana dilakukan oleh kawan-kawan mereka,“ desis Mahisa Pukat.

“Bagaimana?“ bertanya Tatas Lintang.

“Kita sapa mereka. Tetapi sebaiknya kita berpisah dan berlindung di tempat yang berbeda,“ jawab Mahisa Pukat.

Tatas Lintang mengerti maksud Mahisa Pukat. Karena itu, maka iapun menggamit Mahisa Ura dan dengan isyarat mengajaknya meninggalkan tempat itu. Dengan hati-hati keduanya bergeser dari tempat mereka. Berlindung di balik gelapnya rimbunnya dedaunan dan pohon-pohon perdu, mereka mengambil jarak dari dekat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bersembunyi.

“Beberapa saat kemudian, setelah Tatas Lintang berada beberapa puluh langkah dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, mereka mulai mempersiapkan diri untuk menyapa orang-orang yang berada di sekitar batu yang kehijauan itu.

Namun dalam pada itu, Tatas Lintang pun berkata kepada Mahisa Ura perlahan-lahan, “Kerahkan daya tahanmu. Yakinkah dirimu, bahwa kau tidak terpengaruh sama sekali oleh getaran suaraku. Justru karena kau berada di sebelahku.”

Mahisa Ura mengangguk. Iapun segera memusatkan nalar budinya untuk mengerahkan daya tahannya. Ia mengerti apa yang akan dilakukan oleh Mahisa Pukat, Mahisa Murti dan Tatas Lintang. Sebenarnyalah, sebelum Tatas Lintang berbuat sesuatu, telah terdengar suara yang menggetarkan udara di sekitar batu yang berwarna kehijauan itu.

“Selamat malam Ki Sanak. Agaknya kalian sedang menunggu seseorang.”

Orang-orang yang berdiri di sekitar batu yang berwarna kehijauan itu nampaknya terkejut. Dalam kegelapan malam, ketajaman penglihatan Tatas Lintang dan ketiga orang yang disebut kemanakannya itu mampu melihat, keenam orang itu telah bergeser selangkah saling mendekat. Namun agaknya mereka tidak segera mengerti dari mana arah suara yang terdengar itu. Ternyata keenam orang itu telah menghadap ke arah yang berbeda-beda.

Sejenak kemudian telah terdengar lagi suara yang menggelarkan udara, “Siapakah sebenarnya yang kalian tunggu? Coba, sebutkan, apakah kau menunggu pemimpinmu orang yang bertongkat dengan kepala yang terbuat dari pecahan batu di sebelahmu itu? Atau mungkin orang yang mampu menguasai binatang dengan ilmu gendamnya, atau barangkali siapa lagi?”

“Persetan,“ geram pemimpin dari keenam orang itu. “Kemarilah jika kau jantan. Jangan bersembunyi.”

“Carilah, di mana sumber suara yang kau dengar itu,“ getaran itu bergulung lagi di sekitar batu berwarna kehijauan itu.

“Pengecut. Kenapa kami harus mencari? Jika kalian benar-benar memiliki keberanian, marilah.“ teriak pemimpin dari keenam orang itu.

Namun ketika sekali terdengar suara itu menggetarkan udara, terdengar orang itu berdesah. “Aku akan dapat datang kepada kalian setiap saat. Tetapi ternyata kalian tidak tahu di mana kami berada,” jawab suara itu yang disusul oleh suara tertawa yang menggelegar mengguncang isi dada.

Keenam orang itu harus berjuang untuk menahan goncangan di dadanya. Sementara itu mereka masih belum mengetahui dari mana arah suara yang telah menggetarkan dadanya itu. Suara tertawa itu bagaikan bergulung-gulung dari segala penjuru. Menyusup dan kemudian mengguncang-guncang isi dada. Sehingga dengan demikian maka keenam orang itu benar-benar harus memusatkan segala perhatiannya.

Karena itu, maka tiba-tiba saja pemimpin dari keenam orang itu telah berteriak, “berhati-hatilah. Kita akan melakukannya sekarang.”

Suara itu memang menarik perhatian. Sejenak kemudian suara tertawa yang bergulung-gulung itupun telah mereda. Orang-orang yang bersembunyi itu agaknya telah tertarik untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh keenam orang itu.

Ternyata keenam orang itu telah menelan sesuatu. Orang-orang yang bersembunyi itu tidak melihat dengan jelas, apakah yang telah mereka telan itu. Namun Tatas Lintang telah berdesis, “Agaknya mereka telah menelan semacam penawar racun.”

“Kenapa baru sekarang?“ bertanya Tatas Lintang.

“Mereka merasa bahwa ular yang ada di padang di sekitar batu itu tidak berbahaya bagi mereka, karena mereka mempunyai kemampuan untuk membunuh ular-ular itu. Tetapi dalam keadaan yang sulit karena mereka harus mempertahankan diri maka mereka tidak akan sempat lagi untuk memperhatikan ular yang mungkin menyerang mereka, sehingga mereka harus mempersiapkan diri. “jawab Tatas Lintang.

“Aku mengerti. Tetapi kenapa tidak sejak mereka memasuki lingkungan ini?“ bertanya Tatas Lintang pula.

“Mungkin penawar racun itu tidak dapat bekerja cukup lama, sehingga mereka harus memperhatikan waktu. Hanya apabila keadaan mereka benar-benar menjadi gawat mereka telah melindungi diri dengan penawar racun itu. Agaknya mereka memperhitungkan, bahwa persoalan yang mereka hadapi tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu dekat,“ berkata Tatas Lintang.

Mahisa Ura mengangguk-angguk. Iapun agaknya telah melihat kepada dirinya sendiri. Penawar racun yang diterima dari Tatas Lintang hanya mampu berpengaruh dalam waktu yang terbatas, kurang lebih setengah hari atau setengah malam.

Tatas Lintang agaknya dapat menangkap perasaan Mahisa Ura. Karena itu maka katanya, “Jika lebih panjang dari setengah malam, maka kau pun memerlukan penawar itu lagi. Tetapi kau tidak dapat mempergunakannya sekarang sekaligus, karena dengan demikian, maka penawar itu tidak akan berlaku lebih dari setengah hari pula, sehingga karena itu, tentu hanya sekedar kelebihan yang tidak bermanfaat, karena kelebihan kekuatannya tidak akan diperlukan. Dengan demikian maka jika tiba saatnya, sebaiknya kau harus menelan penawar berikutnya. Dengan demikian maka kau tidak akan diganggu oleh-ular-ular dan jenis binatang berbisa lainnya. Kau dapat memusatkan perhatianmu terhadap kemungkinan lain yang mengancammu.“

Mahisa Ura mengangguk-angguk. Sementara itu Tatas Lintang pun telah mengambil sebutir penawar racun dan diberikannya kepada Mahisa Ura yang kemudian menyimpannya di kantong ikat pinggangnya.

Dalam pada itu, maka terdengar lagi suara yang menggelegar bergulung-gulung. Agaknya Mahisa Murti telah mulai lagi mengganggu keenam orang itu dengan suara tertawanya.

Untuk beberapa saat keenam orang itu berusaha dengan segenap kemampuan mereka untuk menemukan arah suara tertawa yang telah mengguncang jantung mereka. Keenam orang yang menyebar itu perlahan-lahan telah bergeser saling mendekat. Bahkan kemudian mereka telah membuat lingkaran dan saling bergandengan tangan, dengan tongkat mereka yang tegak dalam pegangan.

“Apa yang mereka lakukan?“ bertanya Mahisa Ura.

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Mereka telah menghubungkan diri. Mereka berusaha untuk menyatukan kemampuan mereka. Dengan demikian mereka berharap untuk mampu mengatasi kebingungan mereka menemukan arah suara tertawa yang menggetarkan jantung mereka.”

Mahisa Ura mengangguk-angguk. Dilihatnya orang-orang itu mulai bergeser melingkar. Namun agaknya pegangan mereka semakin lama menjadi semakin menjadi kuat. Sehingga lingkaran itu benar-benar merupakan satu kesatuan yang kokoh.

Dengan demikian mereka telah menyatukan pula pemusatan nalar budi untuk menemukan arah suara yang agaknya telah menyakiti dada mereka, sekaligus untuk menyusun lapisan-lapisan perisai yang melindungi mereka. Untuk beberapa saat keenam orang itu bergeser perlahan-lahan. Namun mereka mulai yakin bahwa mereka akan dapat menemukan arah suara yang telah mengganggu isi dada mereka itu

Ternyata kebingungan memang telah terjadi. Keenam orang yang telah menyatukan diri itu telah kehilangan arah suara yang menggetarkan jantung mereka. Suara itu seakan-akan telah berpindah pada saat mereka hampir menemukannya.

“Gila,“ geram pemimpin dari keenam orang itu. Sementara itu suara tertawa itu benar-benar telah menghentak-hentak jantung mereka.

Demikianlah, Tatas Lintang berganti-ganti dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang telah membuat keenam orang itu semakin kebingungan. Namun akhirnya pemimpin dari keenam orang itu berkata, “Kita tidak usah mencarinya. Kita akan melawannya.”

Keenam orang itupun kemudian telah duduk di dalam lingkaran. Mereka meletakkan tongkat-tongkat mereka di dalam lingkaran, sementara tangan mereka pun telah bergandengan dengan erat. Keenam orang itu telah memusatkan kekuatan daya tahan mereka. Namun mereka tidak menunduk dan menajamkan mata. Mereka justru mengamati langsung ke dalam kegelapan di arah pandangan masing-masing.

Dengan mengerahkan daya tahan di dalam diri masing-masing, maka mereka berhasil mengurangi hentakan-hentakan di dalam dada mereka. Dengan bergandengan tangan erat-erat mereka memang benar-benar telah menjadi satu dan saling mengisi.

Tatas Lintang akhirnya menghentikan serangannya, iapun sadar bahwa dalam sikapnya keenam orang itu akan mampu melindungi diri mereka meskipun harus menahan sakit. Namun agaknya dengan cara itu mereka tidak akan dapat segera menyelesaikan persoalan.

Sejenak kemudian Tatas Lintang pun berbisik kepada Mahisa Ura, “Kita kembali kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.”

Namun sebelum Tatas Lintang benar-benar mendekati kedua anak muda itu maka Mahisa Pukat telah sampai kepadanya dan berkata, “Aku tidak telaten. Apakah kita akan bermain-main seperti ini semalam suntuk. Atau bahkan tiga hari tiga malam.”

“Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu?“ bertanya Tatas Lintang.

“Mahisa Murti setuju kita mengambil jalan yang paling pasti. Berhasil atau tidak berhasil,“ berkata Mahisa Pukat.

“Baiklah,“ berkata Tatas Lintang, “kita akan mendekati mereka.”

Dengan demikian, maka Tatas Lintang pun kemudian telah minta mereka berkumpul dan bersama-sama mendekati keenam orang yang telah menyatukan diri itu. Mahisa Pukat kemudian telah memanggil Mahisa Murti. Sejenak kemudian maka keempat orang itupun telah keluar dari rimbunnya pohon perdu dan berjalan menuju ke arah keenam orang yang sedang duduk memusatkan kemampuan mereka untuk mengerahkan daya tahan di dalam diri untuk melawan suara tertawa yang menggelegar.

Kehadiran keempat orang itu memang telah mengejutkan. Keenam orang itu sama sekali tidak menduga, bahwa orang itu akan muncul dari arah itu, karena menurut pengamatan mereka arah timbulnya getaran dari suara yang menggelepar itu bukannya dari arah itu. Melihat kehadiran keempat orang itu, maka keenam orang itupun segera menguraikan lingkaran mereka. Dengan cepat mereka pun bangkit sambil meraih tongkat mereka masing-masing.

Beberapa langkah di hadapan keenam orang itu. Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itupun telah berhenti Tatas Lintang yang berdiri di paling depan pun kemudian berkata, “Selamat malam Ki Sanak. Apakah kerja kalian malam-malam begini di sini?”

Pemimpin dari keenam orang itupun maju selangkah sambil menjawab, “Kami tidak berbuat apa-apa. Kami sekedar berhenti di sini.”

“Baiklah,“ berkata Tatas Lintang, “Jika kalian memang tidak berbuat apa-apa biarlah aku saja yang berbuat sesuatu di sini.”

“Apa yang akan kau lakukan?“ bertanya pemimpin dari keenam orang itu.

“Kami adalah pemburu binatang-binatang beracun,“ jawab Tatas lintang, “kami ingin berburu di tempat ini kecuali ular. Kami tidak memerlukan lagi, karena kami mempunyai persediaan cukup banyak.”

“Apa yang kalian cari?“ bertanya pemimpin dari keenam orang itu.

“Kala segala jenis, babak salu, rena, laba-laba hijau, kelabang dan jenis-jenisnya,“ jawab Tatas Lintang.

“Di mana kalian akan mencari?“ bertanya pemimpin itu.

Tatas Lintang ternyata telah menjawab sebenarnya, “Kami akan mencari di celah-celah retak-retak batu hijau itu.”

Jawaban yang berterus terang itu justru membuat orang-orang itu agak kebingungan. Namun pemimpin mereka pun kemudian menjawab, “Sayang sekali. Kami tidak mengijinkan kalian melakukannya.”

“Kenapa? Apakah batu hijau itu milikmu?“ bertanya Tatas Lintang.

“Ya,“ jawab orang itu dengan serta merta.

“Ki Sanak,“ berkata Tatas Lintang, “Aku tidak percaya. Tetapi seandainya benar, apa salahnya aku mengambil binatang-binatang berbisa itu? Bukankah sama sekali tidak merugikanmu?”

“Batu itu milik kami. Semua yang melekat pada batu itu-pun milik kami,“ jawab pemimpin dari keenam orang itu, “termasuk binatang-binatang yang ada di celah-celah retak-retaknya.”

“Baiklah. Tetapi apakah binatang berbisa itu bagi kalian ada gunanya selain sekedar untuk menakut-nakuti orang,“ bertanya Tatas Lintang.

Pemimpin dari keenam orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Apapun yang kami lakukan bukan persoalanmu. Aku mempunyai hak untuk menolak atau mengijinkan permintaanmu.”

“Baiklah,“ jawab Tatas Lintang, “aku mohon kalian mengijinkan. Kami memerlukan sekali binatang-binatang itu. Aku harus menyelamatkan beberapa kotak pategalan yang telah dikotori dengan racun, sehingga tanah pategalan itu menjadi sangat berbahaya jika tidak ditawarkannya. Dengan biadab seseorang atau sekelompok orang telah menuangkan cairan racun ke dalam lubang-lubang yang sedianya untuk ditanami pohon buah-buahan. Bukan hanya pohon buah-buahan yang akan ditanam di lubang-lubang itu sajalah yang akan mati, tetapi seseorang yang terperosok ke dalam lubang itupun akan mati. Bahkan seluruh tanah pategalan itupun akan bernafaskan racun yang mampu membunuh seseorang yang memasukinya.”

Orang-orang yang bersenjata tongkat itu menegang. Pemimpin mereka pun kemudian menjawab, “Itu persoalanmu. Kalau kau ingin menjadi pahlawan bagi orang-orang yang memiliki pategalan itu lakukanlah. Tetapi kau tidak akan dapat memperalat kami.”

“Kami tidak akan memperalat. Kami hanya minta binatang-binatang berbisa itu. Bukankah dengan demikian batu kalian justru akan menjadi bersih,“ sahut Tatas Lintang.

“Dengan demikian maka seseorang akan dengan sangat mudah mengambil batu itu. Tetapi jika binatang-binatang berbisa itu masih tetap berada di celah-celah retak-retaknya, maka sulit bagi seseorang untuk mengambilnya,“ berkata pemimpin dari keenam orang itu.

“Kau salah Ki Sanak,“ berkata Tatas Lintang, “jika kami berniat mengambilnya, maka binatang-binatang itu sama sekali tidak berarti bagi kami. Bahkan seandainya batu itu dililit oleh seribu ekor ular bandotan sekalipun.”

“Aku percaya,“ jawab pemimpin itu, “karena itu jika kalian yang datang, yang akan mencegah bukan binatang-binatang berbisa itu. Tetapi kami.”

“Ki Sanak,“ berkata Mahisa Murti, “apakah kalian masih ingin mengulangi kegagalan kalian pada waktu yang lewat?”

“Tidak Ki Sanak,“ jawab pemimpin itu, “sekarang kami sudah dilengkapi oleh pengalaman. Kami sudah dibekali dengan penawar racun. Sementara itu, kami memiliki ilmu yang lebih baik dari orang-orang yang pernah kalian kalahkan itu.”

“Tetapi jumlah kami pun bertambah,“ berkata Mahisa Murti, “karena itu, apakah salahnya jika kita tidak usah bertengkar. Berilah kesempatan kepadaku untuk mengambil binatang-binatang berbisa itu. Agar batu itu tidak diambil orang, maka aku berjanji bahwa aku tidak akan mengambil binatang-binatang itu sampai habis. Kami hanya akan mengambil separuhnya atau lebih sedikit. Dengan demikian, maka pada batu itu masih terdapat banyak sekali binatang yang akan mampu melindunginya dari tangan-tangan yang akan berniat buruk.”

“Sudahlah,“ berkata orang itu, “jangan banyak bicara. Pergilah. Kalian tidak boleh mengambil seekor pun binatang yang ada pada batu-batu hijau itu. Seekor dari binatang itu kalian ambil, maka sebagai gantinya satu jiwa diantara kalian melayang. Apakah kalian mengerti?”

“Kita akan mencari jalan keluar,“ jawab Mahisa Pukat, “jangan dengan serta merta menutup kemungkinan itu.”

“Cukup,“ bentak orang itu, “sekarang pergilah. Atau kami akan memaksa kalian pergi.”

“Baiklah,“ sahut Mahisa Pukat, “kami akan memaksa. Kami akan mengambil binatang-binatang itu sekarang. Pergilah, jangan halangi kami.”

Wajah-wajah pun menjadi tegang. Sementara itu, keenam orang itupun telah bergeser merenggang. Sekali-sekali seekor ular berdesis di bawah kaki. Tetapi sepuluh orang yang ada di dekat batu yang berwarna kehijauan itu tidak memperhatikannya lagi. Bahkan ketika seorang di antara keenam orang itu menginjak seekor ular tanpa sengaja dan digigitnya, maka orang itu hanyalah sekedar memukul kepala ular itu sehingga mati. Orang itu tidak lagi menjadi kebingungan karena racun ular itu di dalam tubuhnya.

Mahisa Pukat agaknya tidak sabar lagi. Dengan lantang ia berkata, “Jadi apakah kami harus memaksa. Kami akan melakukannya jika diperlukan.”

“Mulailah,“ geram pemimpin kelompok itu, “bukankah kalian memang datang dengan niat buruk? Sebelum kita berbicara apapun juga, kalian telah mulai menyerang. Untunglah kami mampu mempertahankan diri.”

“Kami memang sengaja ingin menunjukkan, bahwa kami memiliki ilmu yang cukup tinggi,“ jawab Mahisa Pukat sambil mengangkat wajahnya, “nah, apakah kalian tidak takut? Baru dengan suara dan suara tertawa kalian sudah kebingungan. Apalagi jika kami benar-benar bertempur dengan wadag kami.”

“Kami bukan pengecut,“ jawab pemimpin dari keenam orang itu, “kami siap bertarung beradu dada. Kami sama sekali tidak takut akan getaran suara kalian yang tidak berbobot sama sekali itu.”

Mahisa Pukat pun telah bergeser pula, siap untuk menyerang. Dengan demikian maka Mahisa Murti. Tatas Lintang dan Mahisa Ura pun harus segera mempersiapkan diri. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat benar-benar telah mulai dengan serangannya langsung ke arah pemimpin dari keenam orang itu. Namun orang itupun dengan tangkas telah bergeser menghindari serangan Mahisa Pukat.

Demikianlah, maka kedua belah pihak pun segera mempersiapkan diri sepenuhnya. Mahisa Murti pun mulai bergerak mendekati mereka, diikuti oleh Tatas Lintang dan Mahisa Ura.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat telah bertempur melawan pemimpin dari keenam orang itu. Keduanya justru telah beringsut menjauh. Sementara itu, seorang di antara keenam orang itupun telah meloncat pula menyerang Mahisa Ura yang bergeser mundur. Sejenak kemudian maka pertempuran di antara mereka-pun terjadi dengan sengitnya.

Mahisa Pukat melawan pemimpin dari keenam orang itu, sementara Mahisa Ura melawan orang yang telah menyerangnya. Mahisa Murti lah yang kemudian berusaha untuk memancing dua orang diantara mereka untuk melawannya sebagaimana dilakukan oleh Tatas Lintang, agar dengan demikian Mahisa Ura akan tetap berhadapan dengan seorang saja di antara keenam orang itu.

Demikianlah, maka di dekat batu yang berwarna kehijauan itu telah terjadi lagi pertempuran yang sengit. Namun agaknya Tatas Lintang memang menghendaki demikian. Ia akan dapat menjajagi isi dari padepokan yang memang akan mereka masuki. Jika sebagian dari isi padepokan itu telah dapat dipancingnya keluar, maka jika saatnya mereka memasuki padepokan itu, mereka tidak akan terkejut lagi. Bahkan mungkin yang tinggal di padepokan tidak akan berbahaya lagi bagi mereka.

Mahisa Ura yang berhadapan dengan salah seorang dari kelima orang itu, telah bergeser agak menjauh untuk mendapat kesempatan bertempur dengan baik sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat. Ternyata bahwa lawan Mahisa Ura itupun memiliki ilmu yang baik sebagai bekalnya menghadapi lawannya, yang sebenarnya adalah seorang petugas sandi dari Singasari itu.

Karena itu, maka Tatas Lintang pun harus mengerahkan kemampuannya pula. Untunglah bahwa Mahisa Ura memiliki pengalaman yang sangat luas, sementara itu ia telah membekali dirinya pula dengan ilmu yang memadai.

Ketika keduanya mulai mempergunakan tenaga cadangan di dalam diri masing-masing, maka pertempuran pun menjadi semakin seru. Keduanya bergerak semakin cepat dan benturan-benturan yang terjadi pun menjadi semakin sering. Namun akhirnya tongkat lawan Mahisa Ura itupun ikut menentukan.

Karena itulah, maka Mahisa Ura pun telah menarik sepasang pisau belati panjangnya dari balik kainnya. Dengan sepasang pisau belati panjang itu ia berusaha untuk dapat melawan tongkat lawannya. Tongkat yang dengan kemampuan yang tinggi diputar, diayunkan dan kadang-kadang mematuk dengan cepatnya.

Namun sepasang pisau belati panjang Mahisa Ura pun agaknya mampu mengimbangi tongkat itu. Meskipun pisau itu jauh lebih pendek dibanding dengan tongkat lawannya, tetapi ternyata bahwa kemampuan Mahisa Ura mempergunakannya, telah mampu sekali-sekali mengejutkan lawannya. Mahisa Ura mampu menangkis serangan lawannya dengan sebelah pisau belati panjangnya, kemudian dengan cepat meloncat maju dan mematuk dengan pisaunya yang lain.

Tetapi lawannya pun mampu bergerak cepat pula. Jika tongkatnya terhentak menyamping, maka dengan cepat pula ia menariknya dan memutarnya secepat baling-baling untuk melindungi dirinya.

Sementara itu Mahisa Murti dan Tatas Lintang masing-masing bertempur melawan dua orang. Dua orang yang bersenjata tongkat, sementara Mahisa Murti dan Tatas Lintang tidak bersenjata apapun juga. Namun Mahisa Murti dan Tatas Lintang memiliki kemampuan untuk menghambat gerak lawannya. Jika kedua orang lawannya mulai mendesak dengan putaran tongkatnya dan bahkan berusaha menggiringnya ke dalam keadaan yang sulit, maka Mahisa Murti dan Tatas Lintang mampu menghambat gerak lawannya. Dengan serangan berjarak mereka berusaha untuk menghentikan desakan kedua lawan masing-masing.

Tetapi agaknya Tatas Lintang memang tidak bermain-main. Ia justru ingin menunjukkan kepada lawan-lawannya bahwa mereka tidak akan mampu berbuat banyak. Meskipun ia harus berhadapan dengan dua orang, namun dalam waktu singkat, ia segera dapat melumpuhkannya. Karena itu, maka Tatas Lintang tidak sekedar menghentikan lawannya dengan meledakkan tanah yang akan dipijaknya, tetapi ia telah benar-benar menyerang dengan hentakkan ilmunya itu.

Karena itu, ketika dua orang bertongkat itu menyerangnya bersama-sama dari dua arah, Tatas Lintang telah mengambil jarak. Ia justru meloncat menjauh. Namun demikian kedua orang lawannya siap untuk meloncat menyerangnya, kedua tangan Tatas Lintang telah mengembang. Sekilat cahaya meluncur dan menyambar salah seorang dari lawannya.

Terdengar pekik tertahan. Sasaran itupun kemudian terhuyung-huyung sejenak. Orang itu masih sempat mengumpat sebelum ia terjatuh, bahkan sempat pula melemparkan tongkatnya ke arah Tatas Lintang. Namun tongkat itu tidak mengenai sasarannya. Bahkan ketika kawannya yang lain ingin mempergunakan kesempatan itu untuk menyerang, Tatas Lintang telah mempergunakan ilmu yang sama, menyerang orang itu dengan hentakkan ilmunya, sehingga sekali lagi seberkas kilat menyambar.

Orang itu bagaikan terdorong surut. Namun kemudian ia-pun terjatuh di tanah. Kedua orang itu tidak mati. Tetapi keduanya telah kehilangan kemampuannya untuk melawan. Tubuh mereka rasa-rasanya menjadi panas sedangkan tulang belulangnya bagaikan terlepas dari sendi-sendinya. Perlawanan mereka ternyata hanya terjadi dalam waktu singkat. Tatas Lintang telah menyelesaikan perkelahiannya.

Sementara itu Mahisa Murti telah mempergunakan kemampuan ilmunya yang lain. Dengan tangkasnya ia selalu berusaha menyusup putaran tongkat kedua lawannya. Sentuhan-sentuhan kecil telah terjadi beberapa kali. Namun kemudian kedua lawannya itu bagaikan kehilangan segenap kekuatannya. Demikian cepatnya susut tanpa mereka sadari.

Mereka seakan-akan telah kehilangan sebagian besar dari tenaga dan kemampuan mereka, sehingga mereka merasa tidak mungkin lagi untuk meneruskan perlawanan. Kedua orang lawan Mahisa Murti itu menjadi heran. Mereka mempunyai pengalaman yang luas. Mereka pernah berkelahi untuk waktu yang lama tanpa merasa bahwa kemampuan dan kekuatan mereka susut. Namun menghadapi anak muda itu, seakan-akan kekuatan dan ilmunya telah terperas bersama keringatnya.

Sebelum mereka mengerti apa yang terjadi, maka Mahisa Murti pun menjadi semakin sering berhasil menyentuh kedua lawannya berganti-ganti, sehingga akhirnya, kedua lawannya itu benar-benar menjadi tidak berdaya dan pada saat-saat terakhir, Mahisa Murti tidak sekedar menyentuhnya untuk mengetrapkan ilmunya, namun dengan sentuhan terakhirnya, maka kedua orang lawannya itupun telah terjatuh dan menjadi pingsan karenanya.

Yang masih bertempur adalah Mahisa Ura dan Mahisa Pukat. Lawan Mahisa Pukat, pemimpin dari keenam orang itu, memang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Ia memiliki kemampuan bergerak dengan kecepatan yang luar biasa. Sehingga karena itu, maka Mahisa Pukat memang mengalami kesulitan karena lawannya itu bersenjata tongkat.

Namun dalam keadaan yang mendesak, tibia-tiba saja Mahisa Pukat telah meloncat memungut tongkat dari salah seorang yang telah dikalahkan oleh Mahisa Murti. Dengan demikian maka kedua orang yang bertempur itu masing-masing telah bersenjata tongkat. Ternyata Mahisa Pukat pun memiliki kemampuan untuk mempergunakan tongkat yang jarang dilakukannya. Sehingga karena itu maka pertempuran antara dua orang yang bersenjata tongkat itupun semakin seru.

Pemimpin dari keenam orang itu agaknya memang memiliki ilmu yang tinggi dan kekuatan yang sangat besar. Jauh melampaui lima orang lainnya. Karena itulah maka agaknya Mahisa Pukat tidak segera mampu mengatasi lawannya. Namun ketika Mahisa Pukat telah mempergunakan sebatang tongkat panjang, maka keseimbangan dari pertempuran itupun telah berubah. Perlahan-lahan Mahisa Pukat telah berhasil mendesak lawannya.

Bahkan ketika Mahisa Pukat menjadi semakin mapan, ia telah mampu mengetrapkan ilmunya pula. Pada saat ia sempat menangkis serangan lawan, maka iapun telah menyerang dengan kakinya langsung menyentuh tubuh lawannya.

Yang terjadi kemudian adalah sebagaimana telah terjadi atas lawan Mahisa Murti. Perlahan-lahan, namun pasti, kekuatan lawannya itupun menjadi susut. Tongkatnya pun menjadi semakin lambat berputar dan kecepatan geraknya pun telah dengan cepat menurun.

Orang itu mengumpat di dalam hati. Ia tidak mengerti, apa yang apa yang sebenarnya telah terjadi pada dirinya. Namun akhirnya ia mengerti juga. Pengenalannya atas berbagai macam ilmu melampaui kelima orang yang dipimpinnya, sehingga iapun kemudian dapat mengenali ilmu lawannya itu.

“Gila,“ geram orang itu, “kau memiliki ilmu iblis itu, sehingga kau dapat dengan licik mencuri kekuatan dan kemampuanku.“

“Apapun yang terjadi Ki Sanak,“ jawab Mahisa Pukat, “menyerahlah. Aku tidak akan berbuat apa-apa selain mengambil binatang-binatang itu.”

“Persetan. Selagi belum terlambat, aku akan membunuhmu,“ geram orang itu.

Namun sebenarnyalah bahwa ia sudah terlambat menyadari apa yang sudah terjadi. Ia tidak lagi mampu bergerak cepat dan tenaganya tidak lagi dapat mengimbangi kekuatan tenaga lawannya. Bahkan kemudian, Mahisa Pukat telah berhasil mengenainya dengan tongkat panjangnya beberapa kali. Meskipun ia tidak lagi menghisap kekuatan lawannya, tetapi pukulan-pukulan tongkatnya yang tidak terelakkan, telah benar-benar menyakitinya. Bahkan benturan-benturan yang terjadi pun seakan-akan telah menggetarkan genggaman tangannya.

Sehingga akhirnya, ketika Mahisa Pukat telah menjadi jemu, maka pukulan tongkatnyalah yang kemudian menentukan. Dengan ayunan yang keras maka Mahisa Pukat telah berhasil menghantam tongkat lawan sehingga tongkat itu terlepas dari tangannya. Sebelum lawannya itu mampu berbuat apa-apa, maka ujung tongkat Mahisa Pukat telah mematuk lambungnya.

Orang itu menyeringai menahan kesakitan yang sangat yang menyengat lambungnya itu. Bahkan rasa-rasanya tenaganya telah menjadi lumpuh sama sekali. Matanya menjadi suram dan kabur meskipun ia masih memiliki kesadarannya.

“Aku dapat meremukkan kepalamu,“ geram Mahisa Pukat yang menyentuh tengkuk orang itu dengan tongkatnya. “Mengakulah bahwa kau menyerah.”

Tetapi orang itu menggeram. Katanya, “Hanya kematian yang dapat memaksaku untuk menyerah.”

“Kau terlalu sombong,“ geram Mahisa Pukat.

“Seorang laki-laki akan memilih mati daripada menyerah,“ katanya.

Kemarahan Mahisa Pukat tidak dapat dibendung lagi. Karena itu maka tiba-tiba saja iapun telah melepaskan tongkatnya. Dengan geram Mahisa Pukat telah menangkap lengan orang itu dengan kerasnya.

Orang itu tidak menyadari apa yang akan terjadi dengan dirinya. Ia mengira bahwa dengan marah Mahisa Pukat akan mengguncang tubuhnya memukulnya atau memperlakukannya dengan kasar. Namun akhirnya iapun menyadari, bahwa Mahisa Pukat telah menyerap semua tenaganya. Dengan demikian ketika Mahisa Pukat itu melepaskannya, maka orang itu benar-benar sudah tidak berdaya.

Mahisa Pukat kemudian berdiri tegak di samping pemimpin kelompok yang sudah tidak berdaya itu. Dengan geram ia berkata, “Apakah kau masih akan membunuh aku?”

Pemimpin kelompok yang sudah tidak berdaya itupun berkata dengan lemah tetapi masih dengan getar kemarahan yang bergejolak di dalam dadanya, “Kau licik. Jika kau jantan, kita akan bertempur dalam keadaan sewajarnya. Kau pergunakan ilmu iblismu yang mampu mencuri kekuatan dari lawanmu.”

“Itu adalah satu kemampuan ilmu untuk melawan kecuranganmu. Aku tidak bersenjata, dan kau mempergunakan senjatamu,“ jawab Mahisa Pukat.

“Jika kau sekarang tidak membunuhku, kau akan menyesal, karena akulah yang kelak akan membunuhmu.“ geram orang itu.

Mahisa Pukat tidak menghiraukan lagi. Namun iapun kemudian berpaling ke arah Mahisa Ura yang masih bertempur dengan mempergunakan sepasang pisau belatinya. Mahisa Murti dan Tatas Lintang pun kemudian juga memperhatikan pertempuran itu. Namun mereka pun segera mengetahui bahwa Mahisa Ura akan dapat memenangkan pertempuran itu. Dengan sepasang pisau belati panjangnya, Mahisa Ura ternyata dapat melawan kegarangan tongkat panjang lawannya.

“Ternyata ia mempunyai senjata yang baik,“ desis Tatas Lintang.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Keduanya pun terbiasa juga membawa pisau belati panjang. Tetapi saat itu keduanya memang tidak membawanya. Mereka lebih percaya kepada kemampuan yang telah mereka miliki daripada pisau belati panjang. Menurut perhitungan mereka, maka mereka akan dapat memanfaatkan ilmu yang mereka terima dari Tatas Lintang jika sangat diperlukan. Namun ternyata tanpa mempergunakan ilmu itupun mereka telah mampu mengalahkan lawan-lawannya.

Dalam pada itu, Mahisa Ura benar-benar telah mendesak lawannya sehingga lawannya itu tidak mampu lagi bertahan lebih lama lagi. Tongkatnya seakan-akan tidak lagi banyak berarti, karena pisau belati Mahisa Ura yang sepasang itu mampu mengimbangi kecepatan putaran tongkatnya.

Karena itu, ketika Mahisa Ura melihat semuanya telah menyelesaikan tugas masing-masing, maka iapun segera mengerahkan kemampuannya pula. Ketika menangkis patukan tongkat lawannya dengan pisau belati panjang di tangan kiri sambil meloncat mendekat. Demikian cepatnya sehingga lawannya tidak sempat menghindarinya. Sehingga karena itu, maka ujung pisau itu telah tergores di pundaknya.

Orang itu menyeringai kesakitan. Bahkan dengan demikian, maka sebelah tangannya pun menjadi bagaikan lumpuh. Meskipun demikian, orang itu sama sekali tidak berniat untuk menyerah. Karena itu, maka dengan sebelah tangannya ia masih juga melawan Mahisa Ura dengan sisa tenaganya.

Mahisa Ura lah yang kemudian merasa diburu oleh waktu karena ia harus menyelesaikan pertempuran itu yang terakhir sementara ia hanya melawan seorang saja. Meskipun Mahisa Pukat juga hanya melawan satu orang saja, tetapi lawannya adalah pemimpin dari sekelompok orang bertongkat itu, yang memiliki ilmu paling tinggi di antara mereka.

Karena itu, maka Mahisa Ura pun telah kehilangan perhitungannya. Asal saja ia ingin cepat mengalahkan orang bertongkat itu. Karena itulah, maka iapun telah mempergunakan kesempatan yang terbuka itu untuk mengakhiri perlawanan orang bertongkat itu. Dengan sebelah tangan, maka tongkat itu tidak lagi dapat berputar, berayun dan mematuk sebagaimana digerakkan oleh kedua tangannya.

Mahisa Ura lah yang kemudian menguasai medan. Dengan tangkasnya ia telah menyusup di antara putaran tongkat itu dengan sebelah pisaunya dan seperti yang sudah dilakukannya, menusuk lawannya dengan pisaunya yang lain. Namun lawannya tidak membiarkan tubuhnya dilukainya lagi. Karena itu, maka dengan cepat ia meloncat surut.

Tetapi agaknya Mahisa Ura telah memperhitungkannya. Dengan cepat ia memburunya dan sekali lagi ia menikamkan pisaunya langsung ke arah dada. Orang itu tidak sempat meloncat lagi. Iapun tidak sempat menangkis karena ia hanya menggerakkan tongkatnya dengan sebelah tangan. Karena itulah, maka pisau itu benar-benar telah menikam dadanya menghunjam sampai ke jantung.

Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Tatas Lintang sempat melihat pisau itu menghunjam ke dada orang bertongkat itu. Merekapun melihat orang itu terkulai jatuh dan tidak akan sempat bangkit kembali. Mereka hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu Mahisa Ura pun berdiri termangu-mangu ketika ia berpaling kepada Tatas Lintang, iapun berkata, “Maafkan aku. Aku memang tidak mampu melakukan sebagaimana kalian lakukan. Agaknya aku telah membunuh lawanku.”

Ketiga orang yang termangu-mangu itu tidak menjawab. Sementara Mahisa Ura pun berkata pula, “Aku tidak dapat berbuat lain. Tetapi apakah lawan-lawan kalian tidak terbunuh?“

Mahisa Murti lah yang menjawab, “Terbunuh atau tidak, tergantung kepada keadaannya. Kami tidak menyalahkan seandainya lawanmu itu terbunuh. Kemungkinan itu memang dapat terjadi dalam pertempuran. Karena itu, jangan disesali.”

Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Tatas Lintang pun berkata, “Marilah. Kita lakukan kewajiban kita.”

Keempat orang itupun kemudian telah meninggalkan tubuh-tubuh yang terbaring lemah dan seorang diantaranya telah terbunuh. Sambil melangkah menuju ke batu yang berwarna kehijauan itu Tatas Lintang berkata, “Nanti kita akan mengurusnya jika kerja kita sudah selesai, sementara itu mereka yang pingsan sudah mulai sadar.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura tidak menjawab. Mereka mengikuti saja Tatas Lintang menuju ke batu yang berwarna kehijauan itu. Meskipun malam gelap tetapi dengan ketajaman penglihatan mereka, maka mereka melihat apa yang mereka cari.

Namun terasa tengkuk mereka pun meremang. Meskipun mereka telah memiliki kemampuan untuk menawarkan racun, tetapi pada malam hari berjenis-jenis binatang beracun itu seolah-olah telah keluar dari celah-celah retak batu yang berwarna kehijauan itu merambat di wajah batu yang besar itu dalam jumlah yang tidak terhitung.

Tatas Lintang pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa beruntung bahwa akhirnya ia akan mendapatkan apa yang mereka cari. Dengan demikian ia akan dapat membantu orang-orang padukuhan itu untuk mengamankan salah satu lingkungan di padukuhan mereka yang telah dicemarkan dengan racun.

Namun dalam pada itu, maka iapun berkata kepada Mahisa Ura, “Telanlah penawar itu. Meskipun saat ini kau masih dilindungi oleh penawarmu yang pertama, tetapi sebentar lagi, kekuatannya akan susut. Jika kau terlupa, maka kau akan mengalami akibat yang buruk. Karena itu, lakukanlah sekarang.”

Mahisa Ura tidak menjawab. Tetapi ia telah mengambil sebutir penawar racun dari kantong ikat pinggangnya dan kemudian menelannya.

Sebentar kemudian, maka mereka berempat pun telah memungut binatang-binatang beracun yang berada di batu besar yang berwarna kehijauan itu. Binatang-binatang itu memang menyengat, menggigit dan menusuk dengan duri-durinya yang beracun. Tetapi keempat orang itu tidak menghiraukannya. Mereka telah mempergunakan ikat kepala mereka untuk membungkus binatang-binatang itu.

“Tetapi ada juga benarnya alasan orang-orang yang mencegah kita,“ berkata Tatas Lintang, lalu katanya, “tanpa binatang-binatang ini maka batu ini pun akan cepat lenyap. Karena itu, kita harus membiarkan sebagian dari binatang-binatang ini untuk tetap berada di celah-celah retak batu-batu itu.”

“Jumlah binatang ini tidak terhitung,“ berkata Mahisa Murti ketika ia kemudian mengetuk-ketuk batu itu, maka bermunculanlah binatang sejenis lebih banyak lagi.

Namun Tatas Lintang itupun kemudian berkata, “Kita akan mengambil secukupnya.”

Ketiga orang anak muda yang diakunya sebagai kemanakannya itupun tidak menyahut. Namun kemudian Tatas Lintang memberikan isyarat, bahwa yang telah mereka ambil agaknya telah cukup banyak. Dengan demikian, maka mereka pun telah berhenti memunguti binatang-binatang berbisa itu dan kemudian membungkusnya dengan ikat kepala mereka.

“Marilah.“ berkata Tatas Lintang, “tetapi kita akan melihat orang-orang itu. Mudah-mudahan mereka telah menjadi baik dan dapat meninggalkan tempat ini sambil merawat seorang yang terbunuh di antara mereka berenam.”

Keempat orang itupun kemudian meninggalkan batu itu dan mendekati tubuh-tubuh itu, maka mereka pun terkejut. Pemimpin dari kelompok itu telah mampu bangkit. Namun yang lain tidak akan dapat bangkit untuk selamanya.

“Kenapa mereka mati?“ justru Tatas Lintang lah yang bertanya.

“Kalian adalah pembunuh-pembunuh yang keji,“ jawab pemimpin kelompok itu.

“Kami tidak membunuh,“ jawab Tatas Lintang, “hanya seorang di antara kalian yang terbunuh. Dalam perkelahian hal itu memang mungkin terjadi. Menurut pengertian kami, yang lain masih tetap hidup meskipun mungkin pingsan atau tidak berdaya.”

“Tetapi di lingkungan ini banyak sekali ular,“ berkata pemimpin kelompok itu.

“Bukankah kalian tawar akan bisa?“ bertanya Tatas Lintang pula.

“Tetapi penawar yang kami telan hanya berlaku untuk beberapa lama, kecuali aku sendiri memang memiliki penawar yang tetap.“ jawab pemimpin kelompok itu, “pada saat mereka pingsan dan tidak berdaya, maka ular-ular itu telah menggigit mereka, sementara kekuatan penawar mereka telah lewat waktu berlakunya.”

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Maaf. Aku tidak mengerti. Tetapi agaknya nasib kawan-kawanmulah yang memang terlalu buruk, sehingga mereka harus mendahuluimu.”

Pemimpin kelompok itu memandang keempat orang itu dengan penuh kebencian. Katanya, “Kali ini aku gagal mencegah kalian. Tetapi sekali lagi aku peringatkan, jika kalian tidak membunuh aku pula, maka kalian akan menyesal, karena akulah yang akan membunuh kalian.”

Tatas Lintang hanya menarik nafas saja. Ia pun kemudian berpaling kepada tiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu dan mengisyaratkan kepada mereka untuk meninggalkan tempat itu. Sejenak kemudian, maka keempat orang itupun telah meninggalkan keenam orang yang telah berusaha mencegah mereka, namun dapat mereka atasinya, sehingga lima orang telah, mati meskipun dengan sebab yang tidak langsung. Seorang masih tetap selamat dan melepaskan keempat orang itu pergi, namun dengan dendam yang membara di dalam hati.

Sekali-sekali Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengibaskan kaki-kaki mereka jika seekor ular menyerang mereka bagaimanapun juga mereka tawar akan racun, namun mereka lebih senang tidak digigit ular sama sekali dari pada harus membunuh ular yang seakan-akan lekat pada pergelangan kakinya pada waktu menggigit.

Keempat orang itupun kemudian telah berjalan di sisa malam itu menuju langsung ke padukuhan mereka tinggal. Jaraknya memang agak jauh dan mereka tidak akan dapat menempuh perjalanan itu hanya pada saat hari gelap karena itu, mereka namun harus berjalan juga setelah matahari terbit dan bahkan sampai saatnya matahari turun ke sisi Barat.

Ketika mereka sampai ke tepi sebatang sungai, mereka sempat berhenti dan membenahi diri. Mencuci muka, kaki dan tangan. Kemudian duduk sejenak untuk melepaskan lelah. Dari sebuah belik di tepi sungai itu mereka mendapatkan air yang cukup bersih dan bening yang dapat mereka minum untuk melepaskan haus.

“Biarlah untuk sementara kita mengobati haus kita,“ berkata Tatas Lintang, “nanti jika hari sudah pagi, kita akan singgah di kedai untuk makan. Apakah kalian tidak lapar?”

Tidak ada yang menjawab. Tetapi nampaknya ketiganya sependapat. Tatas Lintang pun tersenyum. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Setelah beristirahat sejenak. Merekapun kemudian telah bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Sementara itu langit pun menjadi kemerah-merahan. Namun mereka telah tertegun ketika mereka mendengar desir langkah beberapa orang mendekat.

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam hati, “ternyata mereka berusaha untuk menyusul. Dendam orang itu agaknya benar-benar harus ditumpahkan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang juga mendengar langkah itu mendekat. Merekapun mengira bahwa yang datang itu adalah kawan-kawan dari pemimpin kelompok yang mendendam itu. Namun yang kemudian muncul dari balik tanggul adalah beberapa orang bertubuh garang dan berwajah kasar. Mereka berloncatan turun ke tepian dengan parang di tangan.

Keempat orang itu menarik nafas dalam-dalam. Yang datang tentu bukan orang-orang padepokan itu. Bahkan para cantrik pun tidak. Tetapi yang datang itu agaknya adalah penyamun yang melihat mereka turun ke sungai dan beristirahat.

Sebenarnyalah orang yang tertua diantara mereka, yang rambutnya sudah berwarna rangkap maju selangkah sambil mengayunkan senjatanya. Dengan kasar ia berkata, “Apa yang kalian bawa dengan bersembunyi-sembunyi itu?”

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kami tidak bersembunyi-sembunyi. Kami merasa haus dan kami telah mencari belik di sini.”

Orang yang tertua diantara mereka pun tertawa. Katanya, “katakan, apakah yang kalian bawa dalam bungkusan-bungkusan itu?”

“Bukan apa-apa Ki Sanak,“ jawab Tatas Lintang, “kami membawa bahan obat-obatan yang kami ambil dari hutan.”

“Omong kosong,“ geram orang itu. Lalu katanya, “Kalian tentu telah menyamun seseorang. Tetapi menurut pengamatan kami, kalian bukan orang yang berhak melakukan di daerah ini. Daerah ini adalah daerah kuasaku. Aku sendiri jarang sekali melakukan di daerah ini. Tiba-tiba sekarang kau, orang yang tidak berhak telah melakukannya. Meskipun aku menganggap bahwa kalian terlalu berani telah merampok di sini, karena kalian akan dapat dipenggal leher kalian oleh orang-orang bertongkat yang tidak ada tandingnya itu.”

“Siapakah yang kau maksud orang-orang bertongkat itu?“ bertanya Tatas Lintang.

“Orang-orang padepokan,“ jawab orang itu, “mereka tidak menghendaki seseorang melakukan perampokan dan penyamunan di daerah ini. Jika aku melakukan, aku memilih tempat yang agak jauh. Namun kalian agaknya telah melakukan di sini. Ada dua kemungkinan yang dapat aku tangkap dari perbuatan kalian. Kalian memang tidak mengetahui medan dan tidak mengenal orang-orang bertongkat itu menghukum kami. Untunglah kami dapat menjumpai kalian langsung sehingga kami pun dapat menghindarkan diri dari kemungkinan yang buruk bagi kami. Kamilah yang akan menangkap kalian dan menyerahkan kepada orang-orang bertongkat. Atau kalian menyerahkan barang-barang itu kepada kita. Seandainya kita harus mempertanggung-jawabkan peristiwa penyamunan ini, agaknya kami tidak akan berkeberatan karena kami telah memetik hasilnya.”

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Ada-ada saja hambatan yang harus dihadapinya. Karena itu, maka katanya, “Baiklah Ki Sanak. Jika kalian menghendaki barang-barangku ini, ambillah. Tetapi aku minta kalian melihat isinya lebih dahulu, agar barang-barang itu tidak tersia-sia. Jika barang-barang yang terbungkus itu sudah kalian bawa, tetapi ternyata kalian tidak memerlukannya, sementara kami sangat membutuhkan, maka barang itu akan terbuang tanpa arti. Sayang sekali, karena barang itu dalam dunia obat-obatan mempunyai nilai kemanusiaan yang tinggi.”

Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kepada seorang kawannya, “Lihat apa yang mereka bawa.”

Tatas Lintang pun telah menyerahkan sebuah bungkusan kepada orang yang kemudian bergeser mendekat. Kemudian Tatas Lintang pun beringsut mundur beberapa langkah. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun orang tertua diantara mereka pun mendesaknya, “Lepaskan bungkusan itu agar kita dapat melihat isinya.”

”Berhati-hatilah,“ pesan Tatas Lintang.

Orang yang menerima bungkusan itu mulai menjadi ragu-ragu. Diletakkannya bungkusan itu di atas tanah. Kemudian perlahan-lahan ia mulai melepas ikatan sudut-sudut ikat kepala itu. Namun tiba-tiba saja orang itu meloncat surut. Dalam keremangan fajar ia melihat berjenis-jenis binatang beracun merayap keluar dari bungkusan yang dibukanya.

“Gila,“ orang itu berteriak, “binatang-binatang berbisa.”

Orang-orang yang berwajah kasar itupun tertegun. Sementara itu Tatas Lintang pun meloncat mendekat sambil mengumpulkan binatang-binatang yang mulai merayap berpencaran itu.

“Kami memerlukan binatang-binatang ini,“ berkata Tatas Lintang sambil membungkus kembali binatang-binatang berbisa itu, meskipun ada juga beberapa di antaranya yang sempat melarikan diri.

“Apa yang sudah kau lakukan?“ bertanya orang tertua diantara mereka yang datang itu dengan nada tinggi, “untuk apa kau kumpulkan binatang-binatang berbisa itu?”

“Kami memerlukannya untuk perikemanusiaan,“ jawab Tatas Lintang, “kami harus menawarkan racun yang disebarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab di pategalan di padukuhan kami.”

Orang tertua di antara mereka itupun mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi kau sendiri tawar akan racun?”

Tatas Lintang termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Adalah kebetulan bahwa aku mendapat kurnia terbebas dari racun dan bisa.”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata kau memiliki juga barang berharga. Jika demikian maka tidak sia-sia kami datang menemui kalian. Baiklah Ki Sanak. Jika demikian, biarlah kita saling berbaik hati. Aku menginginkan penawar racun itu...”

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 34

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 34
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA MURTI yang masih duduk di amben memang mendengar desir pada dinding pondoknya. Apalagi ketika ia mendengar langkah Tatas Lintang yang masuk ke dalam dapur. Iapun mengira bahwa di luar tentu ada sesuatu. Mungkin seseorang, mungkin seekor binatang yang meskipun bukan seekor harimau, namun yang telah dicengkam oleh ilmu gendam.

Untuk beberapa saat Mahisa Murti bagaikan membeku. Ia tidak bergerak sama sekali, sehingga tempat duduknya tidak berderit. Namun sejenak kemudian, Mahisa Murti telah mendengar suara yang asing. Bukan desir langkah seseorang, bukan pula derak kuku harimau di dinding. Mahisa Murti itupun memasang telinganya baik-baik. Ia berusaha untuk mengetahui suara apakah yang telah didengarnya itu. Namun ia tidak segera mengetahuinya.

Sementara itu, ketika Mahisa Murti sempat memperhatikan Mahisa Pukat dan Mahisa Ura, maka dilihatnya kedua orang itu tidurnya sangat nyenyak. Agaknya keduanya memang merasa letih. Bukan saja tubuhnya, tetapi nalarnya, justru karena peristiwa yang baru saja terjadi di padukuhan itu.

Namun selagi Mahisa Murti masih berangan-angan, tiba-tiba suara yang aneh itu terdengar di bawah amben yang besar itu di arah dinding. Ia mendengar pula seakan-akan dinding itu berderik kecil. Tentu bukan seekor harimau yang masuk. Sejenak kemudian terasa tengkuk Mahisa Murti meremang, ia tidak menjadi ketakutan, tetapi rasa-rasanya ngeri juga menghadapi peristiwa yang terjadi itu.

Sejenak Mahisa Murti masih tetap duduk di tempatnya. Suara di bawah amben bambu yang besar itu menjadi semakin jelas. Tetapi Mahisa Murti tidak menduga, bahwa yang terjadi itu adalah demikian cepatnya. Tiba-tiba saja ia melihat sesuatu yang bergerak naik ke amben tempatnya duduk sekaligus tempat Mahisa Pukat dan Mahisa Ura tertidur nyenyak.

Sebuah kepala dengan lidah yang bercabang terjulur naik ke atas amben itu langsung menuju ke arah kaki Mahisa Ura. Seekor ular belang. Seekor ular belang yang cukup besar. Jantung Mahisa Murti berdesir. Jika ular itu menyerang Mahisa Pukat, Mahisa Murti tidak terlalu gugup, karena Mahisa Pukat, sebagaimana dirinya, mempunyai kekuatan untuk menangkal bisa yang betatapapun tajamnya. Tetapi Mahisa Ura tidak.

Karena itu maka Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain. Setelah memusatkan kemampuannya sejenak, maka tiba-tiba iapun telah mengangkat tangannya ke arah kepala seekor ular yang besar, yang merambat ke arah kaki Mahisa Ura dan tangan Mahisa Murti itu telah memancar secercah sinar yang menyambar kepala ular itu. Namun bukan saja kepala ular itu yang pecah, tetapi amben besar itupun telah berderak pula.

Mahisa Pukat, Mahisa Ura dan Tatas Lintang yang berada di dapur itupun terkejut. Bahkan Mahisa Murti pun telah terkejut pula. Ketika Mahisa Pukat, Mahisa Ura terbangun, serta Tatas Lintang meloncat ke ruang dalam, maka mereka telah melihat seekor ular belang yang besar sedang menggeliat di lantai. Namun sejenak kemudian maka ular itupun telah terdiam. Mati.

“Ular,“ berkata Tatas Lintang dengan tegang, “mereka telah mempergunakan cara baru.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam, sementara itu Mahisa Pukat memandangi bangkai ular itu dengan termangu-mangu.

“Hampir saja,“ desis Mahisa Ura, “mungkin ular itu tidak berbahaya bagi kalian berdua, tetapi berbahaya bagiku.”

“Bagi kami pun berbahaya,“ sahut Mahisa Pukat, “ular itu cukup besar untuk membelit dan mencekik leherku.”

Namun Mahisa Murti pun berkata, “Agaknya memang ada maksud tertentu. Orang-orang itu tahu, bahwa ular-ular di dekat batu yang berwarna kehijauan itu tidak mampu membunuhku. Tetapi mereka mempergunakan ular juga untuk menyerang kita.”

“Mungkin akulah yang diancamnya,“ berkata Tatas Lintang.

“Katakan, apakah kau tidak mempunyai penawar bisa?“ bertanya Mahisa Murti.

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya,“ beruntunglah aku…“ namun suaranya terputus. Ia menjadi ragu-ragu sambil memandangi dinding pondoknya. Tetapi sejenak kemudian iapun mengangguk kecil.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun mengetahui, bahwa Tatas Lintang pun mempunyai penawar bisa. Namun dalam pada itu, selagi mereka sibuk dengan peristiwa yang baru saja terjadi, terdengar suara isyarat kentongan. Merekapun segera mengetahui, bahwa suara kentongan itu adalah kentongan banjar padukuhan, yang kemudian disahut oleh yang lain.

Tatas Lintang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Apakah kita akan pergi ke banjar?”

“Baiklah,“ berkata Mahisa Murti, “kita akan pergi ke banjar.“

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah berkemas dan membenahi diri mereka masing-masing. Sejenak kemudian, mereka pun telah siap untuk meninggalkan pondok mereka. Tetapi mereka tidak keluar lewat pintu depan. Mereka telah keluar dari pondok itu lewat pintu dapur. Namun mereka pun telah berhati-hati, karena masih mungkin sesuatu terjadi pada diri mereka. Mungkin serangan yang tiba-tiba dari orang-orang tersembunyi, atau seekor ular raksasa yang akan mampu mematahkan tulang belakang mereka dengan belitannya.

Ternyata tidak ada apapun di luar. Tidak ada serangan yang tiba-tiba dan tidak ada seekor ular yang dapat mengganggu mereka. Namun sementara itu suara kenthongan pun telah bergema di seluruh padukuhan. Semakin lama semakin banyak dan merata. Tetapi mereka sudah mengetahui bahwa sumber isyarat itu adalah suara kentongan di banjar padukuhan. Ketika Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu sampai di banjar, mereka melihat banyak orang sudah berkerumun.

Mereka yang berkerumun itupun segera menyibak ketika mereka melihat Tatas Lintang itu datang. Meskipun sebelumnya Tatas Lintang tidak lebih dari seorang yang hanya sekedar mendapat tempat di sudut pategalan untuk membangun sebuah pondok kecil dan tidak termasuk orang yang dibicarakan, namun kemudian Tatas Lintang telah berubah menjadi orang yang mendapat tempat yang terhormat karena beberapa hal yang telah dilakukannya, termasuk membunuh kelima ekor harimau, meskipun bangkainya yang telah diletakkan di banjar itu hilang.

Ketika Tatas Lintang memasuki halaman banjar, maka Ki Bekel telah menyongsongnya. Dengan nada rendah ia berkata, “Satu bencana baru telah terjadi. Justru akan membawa kematian. Bukan sekedar tiga ekor kambing, tetapi beberapa orang anak muda terbaik dari padukuhan ini.”

“Apa yang terjadi?“ bertanya Tatas Lintang.

“Entahlah. Tetapi tiba-tiba saja beberapa ekor ular telah mematuk anak-anak muda yang berada di gardu di depan banjar ini. Kini mereka dalam keadaan gawat di ruang dalam banjar itu.” sahut Ki Bekel.

“Mereka dipatuk ular?“ bertanya Mahisa Murti.

“Ya. Tidak seekor ular pun tertangkap. Ular-ular itu seakan-akan mengetahui dengan pasti, apa yang harus mereka lakukan. Mematuk dan melarikan diri.“ jawab Ki Bekel.

“Apakah mereka tidak diobati?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Seorang yang kami anggap paling pandai dalam ilmu pengobatan di padukuhan ini sedang mencoba.“ jawab Ki Bekel, “tetapi menurut keterangannya, bisa ular itu terlalu tajam, sehingga sulit untuk mengatasinya. Ular itu adalah ular sejenis bandotan hitam dan ular weling.”

Mahisa Pukat menggeram. Namun kemudian bertanya, “Marilah. Kita melihatnya.”

Ki Bekel pun telah membawa empat orang itu masuk ke ruang dalam banjar padukuhan itu. Tiga orang terbaring sambil merintih dalam keputus-asaan. Dua orang yang lain agaknya lebih tabah menghadapi bencana itu. Namun meskipun mereka hanya berdiam diri, tetapi ketakutan memang membayang di wajah mereka.

Ketika Tatas Lintang mendekati seorang tua yang berusaha mengobati kelima anak muda itu, maka orang tua itupun telah menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Aku telah mencoba. Aku sudah memberi obat menurut pengetahuanku. Tetapi agaknya kita hanya dapat menunggu, apakah obat itu akan berhasil atau tidak.”

Tatas Lintang termangu-mangu. Namun agaknya anak-anak muda yang dipatuk ular itu keadaannya menjadi semakin gawat.

“Ada satu kesalahan yang pokok,“ berkata orang tua itu. “demikian anak-anak ini digigit ular, seharusnya mereka tidak dibawa masuk ke bawah atap banjar ini. Tetapi ketika aku datang, mereka sudah ada di dalam, sehingga keadaannya menjadi parah. Merekapun tidak dengan segera diberi penawar pelepah pisang yang perahannya diminumkan kepada mereka.”

Tatas Lintang mengerutkan keningnya, ia belum pernah mendengar syarat yang demikian agar orang yang digigit ular tidak menjadi semakin parah. Namun agaknya obat orang tua itu-pun kurang tajam untuk melawan bisa ular bandotan hitam dan sejenis ular weling. Karena itu, maka iapun kemudian berbisik kepada Mahisa Murti, “Apakah kita akan mengobatinya?”

Mahisa Murti mengangguk. “Apakah kau mempunyai obatnya ?“ bertanya Tatas Lintang.

“Aku mempunyai sejenis batu akik, sedangkan Pukat memiliki gelang sejenis akar yang mampu menawarkan racun.” desis Mahisa Murti pula.

“Bagus,“ berkata Tatas Lintang, “tetapi agaknya lebih mudah jika kepada mereka diberikan serbuk obat saja. Aku membawanya.”

Mahisa Murti mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab. Dalam pada itu, Tatas Lintang pun telah minta diri kepada Ki Bekel agar memerintahkan seseorang untuk mengambil air di sumur di samping banjar, serta mengambil sebuah mangkuk bersih.

Ki Bekel mengangguk. Ia pun cepat memerintahkan seseorang untuk melakukannya. Namun agaknya orang itu tidak berani pergi sendiri. Ia telah membawa dua orang kawan yang membawa obor, karena di lingkungan pakiwan dan sumur yang gelap itu akan dapat bersembunyi ular-ular berbisa pula. Namun ternyata mereka tidak dipatuk ular sehingga mereka pun dengan cepat telah membawa mangkuk bersih serta air dari sumur.

Tatas Lintang pun bekerja cepat. Ia telah menaburkan obat ke dalam air di dalam mangkuk, kemudian berturut-turut anak-anak muda yang digigit ular itu telah disuruhnya minum obat itu masing-masing beberapa teguk. Sedangkan Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah membantu menaburkan obat yang lain pada luka-luka bekas gigitan ular itu.

Orang tua yang telah mengobatinya lebih dahulu itupun mengerutkan keningnya. Agaknya ia kurang senang melihat tingkah laku Tatas Lintang. Namun Tatas Lintang tidak begitu menghiraukannya. Ia lebih memperhatikan keselamatan anak-anak yang telah digigit ular itu daripada sikap dan harga diri orang tua yang telah memberikan obat, namun agaknya tidak akan banyak menolong itu.

Ternyata obat yang diberikan oleh Tatas Lintang itu jauh lebih baik dari obat yang diberikan oleh orang tua sebelumnya. Tetapi obat yang diberikan oleh orang tua itu bukannya tidak bermanfaat. Karena obat orang tua itulah maka laju arus bisa ular itu terhambat meskipun tidak mampu menghentikannya.

Namun karena terhambat, maka anak-anak muda yang digigit ular itu sempat menunggu kedatangan Tatas Lintang. Sedangkan jika arus bisa itu sama sekali tidak terhambat, maka anak-anak muda itu tentu sudah tidak akan tertolong lagi.

Karena itulah, maka Tatas Lintang itupun kemudian berkata, “Anak-anak muda ini tentu akan berterima kasih kepada Ki Sanak. Tanpa bantuan Ki Sanak, maka mereka tidak akan sempat menelan obat yang aku berikan.”

Orang tua itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia mengerti maksud Tatas Lintang. Meskipun demikian, tetapi orang itu masih saja merasa tersinggung oleh sikap Tatas Lintang yang ternyata mempunyai kemampuan pengobatan yang lebih baik.

Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Adalah satu kenyataan bahwa obatnya tidak banyak menolong anak-anak muda itu, bahkan jiwa anak-anak muda itu tetap terancam. Namun bahwa orang yang tinggal di sudut pategalan itulah yang telah mengobatinya, ia pun merasa harga dirinya telah tersentuh.

Namun dalam pada itu perlahan-lahan keadaan anak-anak muda itu nampak berangsur baik. Mereka yang sudah mulai dicengkam oleh kebekuan karena bisa yang tajam, mulai merasa darahnya mengalir lagi. Bahkan kemudian seakan-akan hambatan-hambatan serta perasaan sakit di dalam tubuh anak-anak muda itu telah terhisap ke arah luka bekas gigitan ular itu. Panas yang bagaikan membakar di luka itupun mulai susut dan keringat yang dingin rasa-rasanya menjadi hangat

Harapan pun mulai tumbuh lagi di dada anak-anak muda yang sudah menjadi putus asa itu. Jiwa mereka yang sudah terdesak sampai ke ubun-ubun itupun seakan-akan telah mapan lagi di dalam diri mereka.

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata. “Terima kasih. Kau sudah menyelamatkan anak-anak itu.”

“Mudah-mudahan mereka menjadi baik,“ berkata Tatas Lintang, “marilah kita berdoa, semoga Yang Maha Agung memperkenankan mereka sembuh kembali.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita semua akan berdoa. Namun kau sudah melakukan satu usaha. Agaknya usahamu menjadi perkenan-Nya.”

Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah keadaan anak-anak muda yang dipatuk ular itu menjadi kian membaik. Wajah mereka tidak lagi nampak sangat pucat. Bahkan seorang di antara mereka mulai berdesis, “Aku haus.”

Tatas Lintang yang mendengar desis itupun bergumam, “Air.”

Seorang pun kemudian pergi ke belakang untuk mengambil air yang sudah masak di dapur. Air masak yang disediakan untuk para peronda di gardu, yang ternyata masih tersisa. Beberapa titik air masak itu diteguknya. Terasa betapa segarnya.

“Biarlah di situ,“ berkata Ki Bekel, “mungkin yang lain juga memerlukan nanti.”

Mangkuk air itu tidak disingkirkan. Tetapi diletakkannya saja di amben itu. Dalam pada itu maka beberapa orang mulai berdesis. Mereka merasa lukanya itu menjadi pedih lagi. Namun justru karena itu, maka Tatas Lintang pun yakin, bahwa pengobatannya akan menolong.

Ketika Tatas Lintang mengamati luka-luka di tubuh anak-anak muda itu, maka nampak darah mulai mengalir dari luka-luka itu. Karena itu maka Tatas Lintang itupun berkata kepada tiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya, “Bantu aku mengobati mereka dengan obat yang berikutnya.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun kemudian telah membantu Tatas Lintang membersihkan darah yang keluar dari luka-luka di tubuh anak-anak muda itu dan menaburkan obat yang lain. Agaknya obat itu terasa sangat pedih sehingga terdengar mereka menyeringai dan mengeluh. Namun Tatas Lintang berkata, “Memang terasa pedih. Tetapi itu justru satu harapan, bahwa kalian akan sembuh.”

Anak-anak muda itu masih saja menahan pedih. Tetapi mereka-pun menjadi semakin berpengharapan, bahwa mereka akan sembuh dan jiwa mereka pun akan tertolong. Dalam pada itu, ketika anak-anak muda itu sudah menjadi berangsur baik maka Ki Bekel pun telah meninggalkan mereka bersama Tatas Lintang dan ketiga orang yang disebutnya kemanakannya itu. Beberapa orang yang lain masih berada di dalam menunggui anak-anak muda itu. Bahkan orang tua di antara anak-anak muda yang terluka itu ada pula yang sudah datang untuk menunggui anaknya.

Ki Bekel dan Tatas Lintang serta ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itupun telah pergi ke gardu. Mereka mulai bertanya-tanya kepada anak-anak muda yang sedang meronda dan menyaksikan apa yang telah terjadi dengan kawan-kawannya yang telah dipatuk ular itu.

Namun tidak seorang pun yang dapat berceritera dengan jelas. Pada umumnya mereka tidak tahu tepat apa yang telah terjadi. Yang mereka ketahui adalah, bahwa tiba-tiba saja beberapa ekor ulat telah mematuk kawan-kawannya yang menjerit kesakitan. Namun sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, ular-ular itu telah meluncur dan seakan-akan hilang begitu saja dalam kegelapan sebelum anak-anak muda yang lain sempat berbuat sesuatu.

Tatas Lintang, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun telah memperhatikan tempat itu dengan seksama. Mereka berusaha untuk melihat kemungkinan dari peristiwa yang telah terjadi. Orang-orang yang melepaskan ular itu tentu tidak akan berada jauh dari peristiwa yang terjadi itu.

“Agaknya telah terjadi dalam waktu yang bersamaan,“ berkata Tatas Lintang, “namun karena kita mempunyai kesempatan untuk mengetahui apa yang akan terjadi pada waktu itu, karena kita belum tidur, maka kita tidak mengalami sesuatu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun katanya, “yang terjadi pada kita agaknya sekedar mengikat agar kita tetap tinggal. Sementara itu mereka telah melakukan rencana mereka di gardu ini.”

Ki Bekel yang kurang jelas tentang apa yang dibicarakan itu bertanya, “Apakah yang telah terjadi di pondok kalian?”

“Seekor ular. Tetapi cukup besar untuk mematahkan punggung, jawab Tatas Lintang.

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Agaknya padukuhan ini telah dibayangi oleh satu kekuatan yang mendebarkan. Bukan saja orang-orang yang berilmu tinggi, tetapi mereka mampu menguasai dan menggerakkan berjenis-jenis binatang untuk menyerang lawan. Yang sudah terjadi adalah beberapa ekor harimau. Kemudian ular dan yang lebih mengerikan, apabila mereka berhasil menguasai sekelompok anjing hutan atau kera-kera liar di hutan itu. Jumlahnya tidak terhitung. Mereka akan dapat merusak apa saja yang terdapat di padukuhan ini. Seandainya mereka tidak berani menyerang orang-orang di padukuhan ini, maka sawah dan pategalan akan dapat dihancurkan. Sementara itu akibatnya pun akan sangat mengerikan.”

Tatas Lintang itupun mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Ki Bekel. Seperti yang sudah aku katakan. Agaknya kamilah yang menjadi sasaran. Tetapi karena mereka gagal menyerang kami, apakah dengan seekor harimau atau ular-ular berbisa, maka orang-orang padukuhan inilah yang kemudian tertimpa akibatnya. Mereka harus menanggung beban kemarahan orang-orang yang gagal membunuh kami itu.”

Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian wajahnya nampak dibayangi oleh kebimbangan perasaannya. Dengan nada rendah ia berkata, “Manakah yang lebih baik. Kalian meninggalkan padukuhan ini atau kalian tetap berada di sini? Mungkin mula-mula kalianlah yang menjadi sasaran. Tetapi ternyata bahwa tanpa bantuan kalian padukuhan ini benar-benar mengalami malapetaka. Apalagi jika benar-benar datang jenis-jenis binatang yang lain menyerang padukuhan ini.”

“Ki Bekel,“ sahut Tatas Lintang, “memang setiap langkah mengandung kemungkinan-kemungkinan. Tetapi jika kami sudah tidak ada di padukuhan ini, aku kira mereka tidak akan mengganggu padukuhan ini lagi.”

Ki Bekel memandang Tatas Lintang dengan tajamnya. Jawabnya, “Semuanya masih teka-teki. Seperti yang kau katakan, setiap langkah akan mengandung kemungkinan-kemungkinan.”

Tatas Lintang tidak menyahut. Tetapi iapun mengedarkan pandangan matanya berkeliling. Obor yang ada di gardu dan di regol banjar tidak dapat menggapai jarak yang jauh. Karena itu, maka di belakang dinding dan pepohonan yang terdekat, malam masih tetap berwarna kelam.

Namun Tatas Lintang tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Bahkan iapun masih belum tahu, dari mana ular-ular berbisa itu dapat mencapai gardu tanpa diketahui oleh para peronda sebelumnya. Bahkan serentak memanjat gardu dan menggigit beberapa orang peronda, justru yang berada di gardu.

Namun sejenak kemudian Tatas Lintang itupun berkata, “Sudahlah Ki Bekel. Kami akan mohon diri. Mudah-mudahan tidak terjadi lagi sesuatu di sini. Langit sudah mulai menjadi terang. Agaknya fajar akan segera menyingsing. Namun satu peringatan bagi Ki Bekel, bahwa semua orang di padukuhan ini harus siap. Jika benar, pada satu saat datang menyerbu padukuhan ini sepasukan anjing liar atau kera, maka semua orang, laki-laki perempuan, para remaja dan orang-orang tua harus melawannya. Kecuali anak-anak. Karena itu, maka semua orang harus menyediakan senjata apa saja. Mereka yang tidak siap dengan apapun dapat membuat senjata dengan bahan yang ada. Bambu diruncingkan atau sepotong kayu yang cukup berat, atau apapun. Sudah aku katakan, kita mempunyai akal, sementara binatang tidak.”

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun terbayang kengerian di sorot matanya. Bahkan kemudian iapun bergumam, “Bagaimana jika yang datang itu beberapa jenis binatang bersama-sama. Ular, harimau, serigala, anjing hutan kera? Bahkan bagaimana akibatnya jika binatang-binatang peliharaan kita sendiri menjadi gila dan menyerang kita? Kerbau, sapi, kambing dan apa saja?”

“Ahh,“ sahut Tatas Lintang, “bayangan yang terlalu buram. Tidak akan terjadi. Karena itu, kita jangan terlalu dibayangi oleh kegelisahan dan ketakutan. Seperti yang sudah aku katakan berkali-kali. Kita semuanya, seisi padukuhan harus bersiap. Kita akan dapat melawan apa saja jika kita memang siap melakukannya.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kami seisi padukuhan ini akan mempersiapkan diri. Tetapi beri kami waktu. Sebelum kami siap benar, kalian jangan meninggalkan padukuhan ini.”

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Mahisa Pukat lah yang nampak menjadi gelisah. Tetapi Tatas Lintang tidak sampai hati untuk menolak permintaan itu, meskipun ia tahu, bahwa Mahisa Pukat agaknya tidak telaten lagi tinggal di padukuhan itu, karena tugasnya yang mendesak.

“Baiklah Ki Bekel. Kami akan memikirkannya,“ berkata Tatas Lintang dengan ragu-ragu.

Ki Bekel mengangguk kecil. Dengan nada dalam ia berkata, “Terima kasih. Tanpa kalian, anak-anak itupun sudah mati.”

Tatas Lintang pun mengangguk-angguk pula. Lalu katanya, “Kami mohon diri Ki Bekel.”

Ki Bekel tidak menahan mereka. Apalagi langit telah menjadi semakin cerah. Matahari mulai menerangi sudut-sudut mega yang mengambang ke Utara. Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itupun kemudian meninggalkan banjar itu kembali ke pondok mereka.

Sebagaimana diduga oleh Tatas Lintang, maka Mahisa Pukat pun bergeremang, “Kita jangan kehilangan kesempatan. Jika kita tertahan lagi di sini, maka akhirnya kita akan melupakan tugas kita yang sebenarnya.”

“Aku tahu. Tetapi aku tidak sampai hati menolak permintaan Ki Bekel. Tanpa kita anak-anak itu memang akan mati. Sementara itu kitalah yang menjadi sebab, sehingga padukuhan ini menjadi sasaran dendam orang-orang yang tidak kita kenal. Sementara itu, jika yang datang orang-orang padepokan yang kita tuju, agaknya memang kebetulan sekali. Kita dapat mengurangi lawan. Justru tanpa kita kehendaki, kita sudah memancingnya keluar.“ jawab Tatas Lintang, “namun kita tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa ada pihak-pihak lain yang memang melibatkan diri ke dalam persoalan ini, karena sebagaimana kita ketahui, bahwa peristiwa yang terjadi di warung itu bukannya satu hal yang disengaja oleh kedua belah pihak. Kita tidak tahu siapa mereka, dan mereka pun belum mengetahui siapa kita.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun ia dapat mengerti keterangan Tatas Lintang itu. Karena itu maka ia tidak menolak lagi untuk tetap tinggal barang satu dua hari. Agaknya di samping sikap berhati-hati, maka Tatas Lintang melihat satu keuntungan, jika mereka berhasil memancing keluar orang-orang dari padepokan itu.

Ketika keempat orang itu sampai di pondok mereka, mereka tidak menjumpai sesuatu yang lain. Sehingga karena itu. maka mereka tidak mendapat bahan-bahan baru dalam persoalan yang sedang mereka hadapi. Setelah membenahi rumah kecilnya, maka keempat orang itupun telah datang ke rumah pemilik tanah pategalan itu. Sebagaimana mereka sanggupkan, bahwa mereka akan menanam bibit pepohonan di pategalan di ujung padukuhan.

Tetapi tanggapan pemilik tanah itu sudah lain sekali. Sikapnya, kata-katanya dan tentang rencana penanaman bibit pohon buah-buahan itu.

“Kami sekeluarga minta maaf atas sikap kami,“ berkata pemilik tanah itu, “betapa bodohnya kami, namun kami dapat menangkap peristiwa-peristiwa yang telah terjadi sebagai satu pernyataan, bahwa yang aku hadapi bukannya seorang yang membutuhkan pekerjaan di padukuhan ini.”

“Jangan salah memberikan arti dari sikap dan tingkah laku kami,“ berkata Tatas Lintang, “mungkin kami memang memiliki kemampuan sedikit dalam olah kanuragan. Tetapi itu bukannya berarti bahwa kami sudah memiliki sesuatu yang berharga di dalam hidup kami sehari-hari. Karena dengan bekal ilmu kanuragan kami telah pergi merantau untuk menempuh satu kehidupan yang barangkali akan dapat memberikan pengalaman yang baik bagi masa depan kami. Sementara itu untuk hidup kami sehari-hari, kami memang memerlukan kerja.”

“Aku menjadi sangsi,“ berkata pemilik tanah itu, “apakah benar kalian memerlukan kerja sebagaimana kalian lakukan itu?”

“Jangan ragu-ragu,“ berkata Tatas Lintang, “jika kerja itu diurungkan, maka kami akan kehilangan penghasilan yang akan dapat kami pergunakan untuk hidup kami dalam beberapa hari sambil menunggu kerja yang akan kami dapatkan pada kesempatan berikutnya.”

Pemilik tanah itu masih saja ragu-ragu. Tetapi Tatas Lintang mendesak, “Tanpa kerja, kami tidak akan mungkin dapat hidup lebih lama di padukuhan ini.”

Meskipun ragu pemilik tanah itu akhirnya tidak dapat menolak. Diserahkannya bibit pohon buah-buahan yang telah diusahakannya untuk ditanam di pategalan di ujung padukuhan. Pemilik tanah itupun telah menyiapkan sebuah gerobag kecil untuk membawa bibit-bibit pohon itu ke ujung padukuhan. Gerobag kecil yang ditarik oleh seekor kuda.

Sebenarnyalah yang dilakukan oleh Tatas Lintang bersama ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu memang sangat menarik perhatian. Orang-orang padukuhan itupun merasa heran, bahwa keempat orang itu masih tetap melakukan kerja sebagaimana mereka lakukan sebelumnya. Karena itulah, maka beberapa orang anak muda telah menyatakan diri untuk membantu melakukan kerja itu.

“Terima kasih,“ berkata Tatas Lintang, “yang kami lakukan sekarang adalah kerja bagi hidup kami. Memang agak berbeda dari apa yang kami lakukan bagi kalian. Tetapi bukankah kami memerlukan kerja yang dapat menopang hidup kami.”

“Tanpa kerja kasar seperti ini pun kalian akan dapat dipenuhi kebutuhan kalian sehari-hari,“ berkata seorang anak muda.

“Bukan maksudku,“ jawab Tatas Lintang, “kami bukannya orang-orang yang memiliki kekhususan. Kami sebagaimana orang lain, harus bekerja untuk hidup kami.”

Anak-anak muda itu tidak dapat memaksa. Tetapi ada di antara mereka yang datang kepada pemilik tanah dan menanyakannya, kenapa ia memperlakukan keempat orang itu dengan cara sebagaimana dilakukannya sebelum padukuhan itu mengetahui kemampuan mereka yang melebihi orang kebanyakan.

“Itu adalah kehendak mereka sendiri,“ jawab pemilik tanah itu, “aku sudah mencoba mencegahnya. Tetapi mereka tetap saja pada pendiriannya. Karena itu, aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi.”

Anak-anak muda itu tidak puas. Seorang diantara mereka berkata, “Seandainya kau tidak memberikan pekerjaan itu, apakah yang akan mereka lakukan. Kau berikan bibit pepohonan kepada mereka sehingga mereka mendapat kesempatan untuk mengerjakannya.”

“Perjanjian kerja itu sudah berlangsung sebelum peristiwa-peristiwa itu terjadi,“ jawab pemilik tanah itu, “namun seperti sudah aku katakan, aku mencoba untuk mencegahnya.“ pemilik tanah itu berhenti sebentar, lalu, “tetapi aku pun memikirkannya, bagaimana jika mereka benar-benar memerlukan kerja itu. Darimana mereka dapat hidup sedangkan mereka memiliki ilmu yang sangat tinggi. Bukankah jika mereka menjadi kelaparan, akibatnya akan dapat berbalik mengenai diri kita sendiri?”

Anak-anak muda itu merenung sejenak. Namun mereka-pun kemudian mengangguk-angguk. Tetapi seorang di antara mereka berkata, “Bukankah Ki Bekel akan dapat memberikan apa saja yang mereka butuhkan sehingga mereka tidak akan pernah merasa kekurangan?”

“Aku tidak yakin jika mereka begitu saja menerima pemberian orang lain. Karena itu, akhirnya aku memutuskan untuk memberi mereka kerja. Upah yang akan aku berikan, tentu lain dari upah yang sebenarnya harus mereka terima.“ berkata pemilik tanah itu.

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Merekapun kemudian meninggalkan rumah pemilik tanah itu tanpa dapat mengerti apa yang sebenarnya bergejolak di dalam hati mereka masing-masing tentang orang-orang yang bekerja di ujung padukuhan itu.

Sementara itu Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu telah berada di pategalan di ujung padukuhan. Merekapun mulai melakukan kerja mereka. Menanam beberapa bibit pepohonan di pategalan itu. Mereka harus menggali lubang-lubang yang cukup besar sebelum bibit-bibit itu ditanam. Di lubang-lubang itupun harus ditaburi dahulu dengan rabuk yang didapat dari kandang-kandang ternak.

Karena itu, untuk menanam bibit-bibit pohon buah-buahan yang tersedia, Tatas Lintang serta ketiga orang anak muda yang diakunya sebagai kemanakannya itu memerlukan waktu beberapa hari. Di hari pertama mereka dapat bekerja tanpa gangguan sesuatu. Bahkan di malam harinya pun tidak pula terjadi peristiwa yang dapat menimbulkan goncangan-goncangan pada padukuhan itu.

Sementara itu, di hari berikutnya, Tatas Lintang telah pergi pula ke pategalan di ujung padukuhan untuk melanjutkan kerja mereka menanam bibit pohon buah-buahan. Namun mereka menjadi terkejut ketika mereka melihat lubang-lubang yang telah mereka gali untuk menanam pohon buah-buahan itu. Mereka melihat hampir di semua lubang, asap yang mengepul tipis.

Tatas Lintang yang berdiri di paling depan itupun tertegun. Kemudian dengan nada berat ia berkata, “berhati-hatilah. Tentu ada sesuatu yang tidak wajar.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun berhenti. Mereka memang menjadi berdebar-debar. Asap yang tipis itu masih saja mengepul dari lubang-lubang yang telah mereka buat, seolah-olah di setiap lubang itu terdapat bara api yang panas.

“Tunggulah,“ berkata Tatas Lintang yang kemudian melangkah maju. Tangannya meraba sebentuk cincin di jari-jarinya. Agaknya ia memang sudah curiga, bahwa asap itu ditimbulkan oleh kekuatan racun yang sangat tajam, karena ia melihat beberapa jenis pohon perdu di dekat lubang-lubang itu menjadi layu.

Dengan sangat berhati-hati Tatas Lintang telah menjenguk ke salah sebuah lubang yang masih mengepulkan asap tipis itu. Meskipun ia memiliki penawar bisa, namun ia masih juga menutup hidungnya dengan ujung kain panjangnya. Tatas Lintang itu mengerutkan keningnya. Ia mencium bau yang sangat tajam meskipun hidungnya sudah tertutup sehelai kain.

Di dalam lubang-lubang itu ia melihat bekas cairan yang dituangkan. Cairan itulah yang telah menimbulkan asap yang tipis dan berbau tajam itu. Tatas Lintang pun mengangguk-angguk ketika ia melibat bangkai seekor ayam yang agaknya terlepas dari kandangnya dan tersesat sampai ke pategalan itu dari lingkungannya di ujung padukuhan. Bahkan beberapa ekor binatang yang lain-pun terdapat mati di lubang itu pula. Seekor kadal, seekor tikus tanah dan sejumlah binatang-binatang kecil lainnya. Bahkan ketika Tatas Lintang menjenguk lubang yang lain, dilihatnya seekor ular pun telah mati.

Tatas Lintang itupun kemudian melangkah menjauhi lubang-lubang itu menuju ke arah Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura menunggu. Sambil membuka tutup hidungnya ia kemudian berkata, “Memang racun. Racun yang sangat tajam. Seekor ular dan beberapa jenis binatang telah terbunuh di lubang-lubang itu.”

“Apakah ujud dari racun itu?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Cairan yang agaknya dituangkan di setiap lubang,“ berkata Tatas Lintang. “Dengan demikian, jika kita menanam pohon di lubang-lubang itu, maka pohon itu akan mati.”

“Bukan hanya pohon-pohonnya yang mati. Seandainya aku yang menanaminya, maka aku pun akan mati juga,“ berkata Mahisa Ura.

Tatas Lintang pun mengangguk sambil bergumam, “Ya. Karena itu, kau harus minum obat penawar racun lebih dahulu. Meskipun hanya berlaku untuk beberapa lama, namun agaknya kita akan dapat menunjukkan, bahwa kita tidak akan dapat diganggu oleh racun-racun itu.”

“Jika orang yang memasang racun itu sama dengan orang yang menyerang kami di dekat batu hijau itu, mereka tahu, bahwa kami tawar akan racun.“ berkata Mahisa Murti.

“Tetapi mungkin orang lain tidak,“ jawab Tatas Lintang. “Karena itu maka harus kita buktikan bahwa orang lain itupun benar-benar tawar racun pula.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan Tatas Lintang. Tetapi mereka pun tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa orang-orang itu memang akan menggagalkan kerja mereka berempat atau jika keempat orang itu tawar akan racun dan tidak menghiraukan apa yang mereka lihat, maka setiap batang pohon yang ditanam dengan susah payah, akan mati layu.

Dalam pada itu Tatas Lintang pun berkata, “Aku yakin bahwa orang-orang yang menuangkan cairan beracun itu akan datang lagi melihat hasil kerja mereka, atau sekarang ini mereka justru mengamati dari kejauhan, apa yang kita kerjakan.”

“Baiklah,“ berkata Mahisa Murti, “Marilah kita berbuat sesuatu. Namun apakah Mahisa Ura harus mencari air untuk mencairkan obat penawar itu lebih dahulu ke padukuhan?”

Tatas Lintang termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kita mencari cara lain. Aku akan mendapat sepucuk duri di pategalan ini.”

“Duri salak?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Duri apapun,“ jawab Tatas Lintang.

Mahisa Pukat pun kemudian mengambil beberapa pucuk duri dari sebatang pohon salak yang tumbuh di pagar pategalan itu. Tatas Lintang pun kemudian minta mereka berempat berdiri rapat. Katanya, “Agar jika orang yang mengawasi kita, mereka tidak mengetahui apa yang kita lakukan.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura berdiri mendekat, hampir melekat yang satu dengan yang lain.

”Berikan jari tengah tangan kirimu,“ berkata Tatas Lintang kepada Mahisa Ura.

Mahisa Ura ragu-ragu sejenak. Namun iapun kemudian telah memberikan jari tengah tangan kirinya. Dengan ujung duri salak yang tajam maka Tatas Lintang telah menusuk ujung jari itu. Tidak terlalu dalam, tetapi cukup untuk memeras darahnya keluar dari bekas tusukan itu.

Tatas Lintang pun kemudian menempelkan akik pada cincinnya sambil berkata, “benda-benda penawar racun milik kalian dapat juga dipergunakan untuk mencegah keracunan dengan cara seperti ini. Tetapi kekuatannya untuk menawarkan racun tidak lebih dari setengah hari. Jika lewat setengah hari, maka ia harus menghindarkan diri dari kemungkinan baru. Seorang yang dipatuk ular akan dapat sembuh dengan menempelkan benda ini di mulut luka, tetapi untuk penawar racun sebagai pencegahan, maka benda ini harus bersentuhan dengan arus darah.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Ura perhatiannya tertuju sepenuhnya kepada jari-jarinya yang berdarah dan ditempeli dengan batu akik pada cincin Tatas Lintang itu. Namun sejenak kemudian Mahisa Ura pun berdesis menahan sakit. Ujung jarinya itu rasa-rasanya bagaikan disentuh bara api.

Tetapi Tatas Lintang berkata, “Itu adalah pertanda bahwa di dalam tubuhmu mulai mengalir penawar racun itu, untuk kurang lebih setengah hari.”

Mahisa Ura tidak menjawab. Tetapi perasaan sakit itu perlahan-lahan telah berkurang sehingga akhirnya lenyap sama sekali.

“Nah,“ berkata Tatas Lintang, “darahmu pun sudah pampat. Kau sekarang tawar akan racun meskipun hanya untuk setengah hari.”

Demikianlah, maka keempat orang itupun segera menebar membawa alat mereka masing-masing. Merekapun kemudian telah dengan sengaja memasuki lubang-lubang yang masih berasap tipis itu. Meskipun baunya menusuk hidung, bahkan Mahisa Pukat hampir saja muntah-muntah karenanya.

Memang terasa pada tubuh mereka, serangan racun yang tajam mencengkam. Tetapi mereka berempat memiliki penawar racun itu tidak berpengaruh terhadap mereka, kecuali justru baunya sajalah yang membuat kepala mereka menjadi pening.

Tetapi keempat orang itu tetap bekerja di lubang-lubang yang berasap tipis itu. Mereka membuat lubang itu lebih dalam meskipun sebenarnya sudah cukup. Namun mereka tidak dapat segera menanam pohon buah-buahan karena pengaruh racun itu akan dapat membunuh.

Namun dalam pada itu, tanah yang mereka lemparkan naik pada saat mereka memperdalam lubang itupun masih juga mengandung racun. Pepohonan yang ada di sekitar lubang itu yang tersentuh oleh tanah itupun terpengaruh pula karenanya. Beberapa batang pohon-pohon kecil menjadi layu dan merunduk.

Beberapa saat kemudian, maka Tatas Lintang pun telah meloncat naik. Sambil melangkah ke tepi ia berkata lantang kepada ketiga orang anak muda yang diakunya sebagai kemanakannya itu, “Marilah kita beristirahat.”

Ketiga orang anak muda itupun dengan serta merta telah meloncat naik. Rasa-rasanya mereka memang tersiksa oleh bau yang sangat tajam itu. Ketika mereka duduk di bawah sebatang pohon, maka Mahisa Ura pun berkata, “Apakah pengaruh racun itu tidak akan membunuh beberapa jenis pepohonan buah-buahan yang sudah ada? Akar pohon itu mungkin akan menjalar sampai agak jauh dan menjangkau cairan yang dituangkan ke dalam lubang-lubang itu, apalagi jika cairan itu sudah meresap ke dalam tanah.”

Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar. Cairan itulah yang seharusnya ditawarkan. Lihat, tanah yang kita naikkan dari lubang yang kita gali itu berpengaruh pula pada tetumbuhan.”

“Apakah yang dapat kita lakukan?“ bertanya Mahisa Murti.

Tatas Lintang termangu-mangu. Namun sebelum ia menjawab, mereka berempat dikejutkan oleh suara tertawa yang melingkar-lingkar di pategalan itu. Keempat orang itu tidak tergesa-gesa berbuat sesuatu. Mereka memusatkan indra mereka untuk mengetahui arah suara yang menggetarkan dada mereka.

“Jangan menyerah,“ bisik Mahisa Murti kepada Mahisa Ura yang masih saja merasa dirinya terlalu kecil di antara mereka berempat. “Kau mempunyai kemampuan yang cukup untuk mempertahankan dirimu.”

Mahisa Ura tersentuh oleh kata-kata itu. Ketika mula-mula ia mendengar suara tertawa itu, hatinya sudah mulai kecut. Sehingga dengan demikian maka pertahanannya pun menjadi goyah sebelum terbentur oleh kekuatan yang sebenarnya.

Kata-kata Mahisa Murti itu seolah-olah telah mendorong kekuatan yang besar ke dalam dirinya, sehingga iapun kemudian telah menghentakkan kekuatan di dalam tubuhnya. Mengerahkan daya tahannya untuk melawan suara tertawa yang mengguncang isi dadanya itu.

Ternyata bahwa Mahisa Ura berhasil mengerahkan tenaga cadangan di dalam dirinya untuk meningkatkan daya tahannya, sehingga suara tertawa yang menghentak-hentak itu tidak merontokkan isi dadanya.

Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu tidak segera berbuat sesuatu meskipun mereka berada dalam kesiagaan tertinggi. Namun mereka masih tetap duduk di tempatnya.

Meskipun demikian, mereka perlahan-lahan berhasil menangkap getaran arah suara tertawa itu. Meskipun suaranya seakan-akan masih tetap melingkar-lingkar, namun keempat orang itu sama sekali tidak lagi menjadi kebingungan. Mereka mampu bertahan dari hentakkan suara tertawa yang mengetuk-ngetuk jantung itu dan bahkan telah mengetahui arah sumbernya.

Justru karena itu, maka Tatas Lintang pun sama sekali tidak menunjukkan perhatiannya, ia masih saja duduk dan bahkan seakan-akan ia tidak mendengar sesuatu. Untuk beberapa saat kemudian, suara itu masih tetap menggetarkan udara pategalan itu. Bahkan semakin keras. Tetapi keempat orang itu seakan-akan tidak terpengaruh sama sekali oleh suara itu. Mereka masih duduk tanpa bergeser sama sekali.

“Bukan main,“ terdengar suara itu berubah nadanya. Bukan lagi suara tertawa, “Kalian memang orang-orang berilmu sangat tinggi.”

Tatas Lintang berpaling ke arah sumber suara yang sudah diketahuinya itu. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya dengan suara wajar, “Marilah Ki Sanak. Silahkan duduk bersama kami. Kami sedang menunggu kiriman makanan dan minuman hangat dari rumah pemilik pategalan ini.”

Sejenak tidak terdengar sesuatu. Namun kemudian terdengar suara yang menggetarkan jantung itu, “Ki Sanak memang merendahkan diri. Kenapa Ki Sanak tidak membalas?”

“Membalas apa?“ Tatas Lintang masih tetap mempergunakan suara wajarnya. “Aku tidak merasa mendapat serangan dari siapapun dan serangan macam apapun. Entahlah jika serangan itu terlalu lemah sehingga aku tidak merasakannya. Atau daya tahan kami terlalu tinggi dibanding dengan serangan itu.”

“Gila,“ terdengar geram yang menggetarkan udara, “ternyata kalian bukannya orang yang rendah hati sebagaimana aku duga. Tetapi kalian ternyata seorang yang sangat sombong. Mungkin demikian pula orang-orang lain yang bersamamu itu?”

“Ki Sanak,“ berkata Tatas Lintang kemudian, “kemarilah. Duduklah. Kita dapat berbicara dengan baik. Apakah sebenarnya keperluan kalian. Agaknya kalian bukan sekedar datang hari ini. Sebelumnya kalian telah berulang kali datang dengan cara yang berbeda-beda.”

“Mungkin kau benar Ki Sanak. Aku memang mempunyai kepentingan dengan kalian. Kalian telah membuat kami merasa terganggu. Untuk apa sebenarnya kalian berkeliaran di tempat ini?”

“Kenapa kau merasa terganggu Ki Sanak?“ Tatas Lintang justru bertanya, “bukankah kami tidak pernah mengganggumu? Bahkan kami pun masih akan bertanya, siapakah kau sebenarnya?”

“Jangan berpura-pura Ki Sanak,“ berkata suara itu, “aku kira permainanku selama ini sudah cukup baik. Namun kalian sama sekali tidak merasa gentar karenanya. Aku sudah mengirimkan beberapa ekor harimau dan bahkan sempat menakut-nakuti padukuhan ini. Demikian pula dengan beberapa ekor ular dan permainan racunku hari ini. Kalian sama sekali tidak terusik karenanya. Karena itu, maka sekarang kami tidak akan mempergunakan binatang-binatang apapun juga, tetapi kami ingin langsung berbicara dan memberikan beberapa peringatan langsung kepada kalian.”

“Oo, begitu,“ bertanya Tatas Lintang, “karena itu silahkan Ki Sanak. Kita berbicara dengan wajar.”

Tidak terdengar jawaban. Namun tiba-tiba terasa angin yang semilir bertiup di pategalan itu. Kemudian terasa sesuatu yang kurang wajar pada diri keempat orang yang tersentuh angin yang semakin sejuk itu.

Tatas Lintang yang tertua di antara mereka dan memiliki pengalaman terbanyak tiba-tiba saja berdesis perlahan, “berhati-hatilah. Sesuatu tengah menyerang kita. Lebih dahsyat dari suara tertawa itu. Tetapi aku tidak dapat mengatakan, bentuk ilmu apa lagi yang dipergunakannya.”

Mereka berempat kemudian telah berusaha untuk bertahan. Sementara itu Tatas Lintang berbisik, “Sasarannya bukan wadag kita. Tetapi ketahanan jiwa kita. Berhati-hatilah.”

Keempat orang itupun menjadi semakin dalam memusatkan nalar budi mereka. Apalagi ketika kemudian mereka seakan-akan merasakan angin pusaran yang membelit udara di sekitar tempat mereka duduk. Tidak terlalu besar, tetapi pengaruhnya terasa sekali menusuk ke dada.

Keempat orang itupun bertahan dengan sekuat-kuatnya. Mereka berusaha menolak getaran yang seakan-akan menusuk nusuk berusaha menyusup ke dalam diri mereka. Justru ke dalam pribadi mereka.

Tatas Lintang yang duduk sambil menyilangkan tangannya di dadanya, merasa sesuatu bergejolak di dalam dirinya. Terasa seakan-akan kesadarannya mulai dibayangi oleh kabut tebal. Kemudian seolah-olah paruh dari angin pusaran itu telah mematuk ubun-ubunnya menyusup ke dalam dirinya. Demikian cepatnya pusaran itu berputar seakan-akan mempunyai kekuatan menghisap yang sulit dilawan. Kesadarannya serasa mulai goyah, terhisap oleh angin pusaran yang berputar di atas ubun-ubunnya yang paruhnya menyusup ke dalam dirinya itu.

Tatas Lintang harus mengerahkan segenap kekuatan jiwani untuk melawan hisapan yang sangat besar terhadap kesadarannya itu. Kekuatan pribadinya ternyata mampu mengatasinya sehingga kesadarannya masih tetap utuh di dalam dirinya, ia tetap menyadari apa yang terjadi. Sehingga karena itu, ketika terjadi kekuatan lain dari pusaran di atas ubun-ubun itu, Tatas Lintang masih tetap siap untuk melawan.

Karena sejenak kemudian, tidak lagi terasa kekuatan yang menghisap itu. Tetapi justru sebaliknya. Ada kekuatan yang berusaha memasuki pribadinya, mempengaruhi penalarannya. Sesaat terjadi kegoncangan di dalam diri Tatas Lintang. Namun sekali terjadi kegoncangan di dalam diri Tatas Lintang. Namun sekali lagi kekuatan pribadinya mampu mengatasinya, sehingga Tatas Lintang masih tetap berdiri di atas kesadaran dan pribadinya.

Demikian pula terjadi atas Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura. Mereka masih belum berpengalaman sebanyak Tatas Lintang. Namun mereka pun berusaha untuk melawan, justru karena Tatas Lintang telah memperingatkan mereka.

Dengan menghentakkan kekuatannya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha mempertahankan kesadarannya. Mereka sudah terlatih untuk pemusatan nalar budinya dalam pengerahan ilmu puncak. Karena itu, maka mereka pun seakan-akan mampu menutup dirinya sehingga kesadarannya tidak terhisap. Demikian pula ketika terjadi sebaliknya, ketika kekuatan yang tidak dikenal seolah-olah menyusup ke dalam diri dan pribadi mereka.

Untuk mempertahankan pemusatan nalar budinya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tanpa berjanji telah bersama-sama mempergunakan kemampuannya dalam pemusatan kekuatan ilmu puncaknya, meskipun ilmu itu tidak akan dilontarkannya.

Ternyata bahwa usaha Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berhasil. Meskipun mereka masih muda tetapi kekuatan pribadi mereka ternyata mampu mengatasi kesulitan yang timbul karena paruh pusaran yang seakan-akan menusuk menyusup ke dalam diri mereka. Landasan ilmu dan tempaan lahir batin yang pernah mereka alami, ternyata sangat membantu keduanya mengatasi kekuatan yang berusaha menyusup ke dalam pribadi mereka.

Yang mengalami kesulitan adalah Mahisa Ura. Ketika ujung pusaran itu menyusup menusuk ke dalam ubun-ubunnya, menghisap kesadarannya, Mahisa Ura telah mengalami kesulitan itu. Betapapun ia bertahan, namun agaknya ia tidak mempunyai cukup kekuatan untuk mempertahankannya. Karena itulah, maka perlahan-lahan kesadarannya mulai goncang. Terasa yang kemudian berputar bukan saja udara di atas ubun-ubunnya tetapi dirinya pun seakan-akan telah hanyut pula oleh arus angin pusaran itu.

Pengalamannya atas dirinya dan lingkungannya mulai kabur, sehingga akhirnya iapun merasa telah terlepas dari dirinya sendiri, pada saat kesadarannya benar-benar telah hilang. Itulah sebabnya Mahisa Ura tidak mampu melawan kekuatan yang masuk menyusup ke dalam dirinya. Mahisa Ura sama sekali tidak tahu, apa yang dilakukannya. Ia benar-benar telah kehilangan kesadaran dan kepribadiannya.

Sejenak kemudian terdengar Mahisa Ura itupun menggeram. Kemudian terdengar iapun telah tertawa perlahan-lahan. Semakin lama menjadi semakin keras. Berbareng dengan itu, maka angin pusaran yang memutar udara di pategalan itupun mulai susut, dan akhirnya lenyap sama sekali. Pusaran-pusaran kecil yang menyerang setiap pribadi dari keempat orang itupun telah lenyap.

Tatas Lintang, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mulai melepaskan diri dari pemusatan nalar budinya. Namun mereka-pun telah dikejutkan oleh suara tertawa Mahisa Ura yang hanya beberapa langkah saja dari mereka. Tatas Lintang, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meloncat bangkit dan bergeser mundur. Mereka memandang tingkah laku Mahisa Ura dengan heran.

Mahisa Ura yang juga sudah berdiri tegak itu masih saja tertawa. Namun tiba-tiba saja suara tertawanya telah berhenti. Dengan tajam Mahisa Ura itupun memandang ketiga orang yang berdiri di depannya itu berganti-ganti. Bahkan tatapan dan sorot matanya yang aneh itu membuat ketiga orang itu seakan-akan tidak dapat mengenalinya lagi.

“Mahisa Ura,“ desis Mahisa Murti.

Mahisa Ura memandanginya. Tetapi tiba-tiba saja iapun menggeram sambil bergeser maju. Mahisa Murti justru bergeser surut, ia melihat ketidakwajaran pada Mahisa Ura. Sementara itu Mahisa Pukat pun telah memanggilnya, “Mahisa Ura, kenapa kau?”

Mahisa Ura berpaling ke arah Mahisa Pukat. Sejenak ia memandang dengan sorot yang menyala. Namun tiba-tiba saja Mahisa Ura telah menerkamnya dengan garangnya. Kedua tangannya teracu ke depan dengan jari-jari yang mengembang.

“Pukat, “ teriak Mahisa Murti memperingatkan saudaranya. Untunglah Mahisa Pukat bergerak cepat. Dengan tangkas ia meloncat ke samping. Hampir saja jari-jari Mahisa Ura berhasil menyambar keningnya. Sementara itu jantungnya menjadi berdebaran.

“Apa yang terjadi pada dirinya,“ Mahisa Pukat hampir berteriak pula.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Tatas Lintang menjadi sangat tegang. Sementara itu Mahisa Ura memandang mereka berganti-ganti dengan tatapan mata yang liar. Dengan nada dalam dan bagaikan gaung di relung goa yang dalam terdengar Mahisa Ura berkata, “Marilah. Aku tantang kalian bertiga. Aku tidak lagi mempergunakan binatang yang dungu untuk melawan kalian. Kini lawan aku. Aku datang langsung kepada kalian.”

Tatas Lintang menggeram. Kemarahannya memuncak sampai ke ubun-ubun. Dengan suara bergetar ia berkata, “Kau licik. Licik sekali. Kau pergunakan wadag salah seorang di antara kami.”

Mahisa Ura itu tertawa. Namun suara tertawa itu memang bukan suara Mahisa Ura sendiri. Di sela-sela derai suara tertawanya yang bergema di seluruh pategalan itu, terdengar ia berkata dengan suara yang bergulung-gulung, “Siapa yang licik he? Salah kalian sendiri. Seorang di antara kalian ternyata tidak mampu mempertahankan dirinya, sehingga ia memberi kesempatan dan bahkan bersedia membantuku membunuh kalian.”

Tatas Lintang bergeser selangkah surut ketika wadag Mahisa Ura yang telah kehilangan kepribadiannya itu bergeser mendekatinya. Dalam pada itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Tatas Lintang telah mengetahui dengan pasti, apakah yang terjadi. Namun mereka dihadapkan pada satu keadaan yang sulit. Tubuh yang mereka hadapi adalah tubuh Mahisa Ura.

Jika mereka melawan langsung dalam benturan ilmu, maka jika terjadi sesuatu atas lawannya itu, maka wadag Mahisa Ura lah yang akan menderita. Jika mereka berusaha membunuh lawannya, maka wadag itulah yang rusak, dan Mahisa Ura pun terbunuh pula, sementara pribadi yang menguasai seluruh pribadi Mahisa Ura itu dapat meloncat meninggalkan wadag itu.

“Ayo,“ terdengar gaung suara Mahisa Ura, “siapakah yang akan mati lebih dahulu, atau kalian akan membunuh aku? Marilah. Majulah bertiga.”

Tatas Lintang lah yang menjawab, “Kenapa kau begitu pengecut, licik dan tidak tahu diri? Kenapa kau tidak mencoba untuk bertempur dengan jantan. Barangkali kau tidak berani menghadapi kami berempat. Ada banyak cara dapat kau tempuh. Kau dapat memanggil kawan-kawanmu di padepokanmu. Bukankah kau mempunyai banyak pengikut? Jika tidak ada orang yang memiliki kemampuan yang kau anggap cukup, kau dapat menantang kami perang tanding. Kau dapat memilih seorang di antara kami bertiga.”

“Aku sudah memilih dan aku sudah mengalahkannya. Anggaplah kawanmu yang seorang ini sudah mati. Karena itu jangan segan-segan bertempur. Nanti, dalam keadaan letih, aku akan dapat mengambil seorang yang lain di antara kalian dan mempergunakannya pula, sehingga akhirnya, jika kalian bersisa dua orang, akan terjadi perang tanding yang seru dan menarik.“ berkata mulut Mahisa Ura itu.

Tatas Lintang, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi bingung. Mereka tidak segera dapat menemukan jalan untuk mengatasinya. Namun sementara itu wadag Mahisa Ura itupun tertawa semakin keras. Dan tiba-tiba saja tubuh itu telah melenting menyerang Tatas Lintang.

Serangan itu datang begitu cepat. Namun Tatas Lintang-pun memiliki kemampuan yang sangat besar sehingga ia mampu mengelakkan serangan itu. Namun tubuh itupun segera meloncat menyerang Mahisa Murti. Seperti Tatas Lintang, maka Mahisa Murti pun hanya dapat mengelakkan dirinya tanpa berusaha untuk menyerang kembali. Demikian pula Mahisa Pukat meskipun sambil mengumpat dengan sangat marah.

Wadag Mahisa Ura itu tertawa pula. Katanya, “Kenapa kalian tidak membalas menyerangku. Kau takut tubuh ini menjadi rusak? Sudah aku katakan, anggap saja seorang kawanmu ini telah terbunuh. Jika tidak demikian, maka akulah yang akan membunuh kalian bertiga. Cara ini memang menyenangkan sekali.”

“Gila,“ geram Tatas Lintang. Namun iapun terdiam ketika wadag Mahisa Ura itu telah menyerang pula. Meskipun Tatas Lintang masih dapat mengelakkan diri, tetapi sambaran angin yang dihentakkan oleh ayunan serangan tubuh Mahisa Ura itu memberikan isyarat kepadanya, bahwa lawannya itu memang mempunyai kekuatan yang besar sekali.

Ternyata seseorang yang telah mempergunakan wadag Mahisa Ura itupun telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Dengan tangkasnya ia berloncat menyerang ketiga orang lawannya bergantian, sementara itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Tatas Lintang masih menjaga agar mereka tidak menyakiti tubuh Mahisa Ura yang telah dipergunakan oleh lawannya itu.

Karena itu, maka pertempuran pun menjadi berat sebelah. Dengan tangkasnya wadag Mahisa Ura itu menyerang tanpa takut mendapat serangan balasan. Sehingga dengan demikian, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Tatas Lintang pun hanya berloncatan menghindar.

Namun bagaimanapun juga ketiga orang itu menjaga diri untuk tidak menyakiti apalagi melukai wadag Mahisa Ura, namun sekali-sekali dalam keadaan yang sulit, mereka tidak sempat untuk mengelak, sehingga mereka harus menangkis serangan-serangan yang datang bahkan beruntun. Mahisa Pukat yang terdesak ke sudut pategalan, terpaksa membentur serangan lawannya. Keduanya terdorong selangkah surut, sehingga Mahisa Pukat membentur pagar.

Namun dalam keadaan yang demikian lawannya berkata, “Bagus. Kau telah menyakiti tubuh saudaramu he? Aku berharap agar kau melakukannya sekali lagi dan sekali lagi.”

Mahisa Pukat menggeram, ia berada dalam keadaan yang serba sulit sebagaimana Mahisa Murti dan Tatas Lintang. Yang akan dilakukan kemudian adalah sekedar melepaskan diri dari tempat yang hampir terkurung.

Tetapi lawannya agaknya tidak memberinya kesempatan. Dengan hati-hati wadag Mahisa Ura itu maju. Bukan karena ia takut mengalami serangan. Tetapi ia menjaga agar Mahisa Pukat tidak dapat terlepas. Dengan demikian maka Mahisa Pukat itu akan terpaksa melawan dan menyakiti tubuh Mahisa Ura. Demikian juga jika kedua orang yang lain ingin menolongnya.

Karena itu, sambil tertawa lawannya itu berkata, “kau akan terjebak di sudut pategalan. Aku akan menyerangmu, membunuhmu dan mencincangmu menjadi sewalang-walang. Melawan lah agar kau tidak mati. Biarlah tubuh ini sajalah yang mati dan hancur sama sekali. Sebaiknya kedua orang saudaramu yang lain itu berusaha menolongmu.”

Mahisa Pukat termangu-mangu. Ia memang tidak melihat jalan keluar selain melakukan perlawanan dengan membenturkan ilmu mereka. Namun dengan demikian, tubuh Mahisa Ura itu memang akan dapat menjadi cidera. Jika orang itu meninggalkannya dan membiarkan pribadi Mahisa Ura kembali, maka Mahisa Ura itu akan berada dalam keadaan yang gawat.

Mahisa Murti dan Tatas Lintang pun menjadi bingung pula. Mereka mengerti apa yang mungkin terjadi. Namun mereka tidak segera menemukan jalan untuk membantu membebaskan Mahisa Pukat. Sedangkan Mahisa Murti menjadi semakin cemas karena ia mengenal watak dan tabiat Mahisa Pukat. Pada saat yang terjepit, kadang-kadang ia tidak berpikir terlalu panjang. Sehingga menurut dugaan Mahisa Murti. Mahisa Pukat yang marah akan dapat berbuat sesuatu yang membahayakan tubuh Mahisa Ura.

Sementara itu tubuh Mahisa Ura yang berada di bawah pengaruh lawan itu maju lagi selangkah sambil memperdengarkan suara tertawa yang menjengkelkan. Tetapi pada saat yang demikian, Tatas Lintang harus bertindak. Dengan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya. Tatas Lintang telah mencoba menyerang. Diacukannya tangannya serta dikembangkannya telapak tangannya. Seberkas sinar memancar dari telapak tangannya itu menyambar tanah sejengkal dari tempat Mahisa Ura berpijak.

Serangan yang tiba-tiba itu ternyata memang mengejutkan. Tanah yang dikenai serangan itu bagaikan meledak. Dan ledakan itu telah membuat pribadi yang mempengaruhi wadag Mahisa Ura itu terkejut pula dan dengan gerak naluriah meloncat ke samping.

Mahisa Pukat ternyata mampu menanggapi peristiwa itu. Pada saat wadag Mahisa Ura itu melenting ke samping, maka Mahisa Pukat pun telah mempergunakan kesempatan itu, meloncat, melepaskan diri dari keadaan yang tidak menguntungkannya. Menjauhi sudut pategalan itu. Namun demikian Mahisa Pukat benar-benar menjadi marah sehingga tubuhnya bergetar. Justru karena ia tidak mendapat kesempatan untuk melawan.

“Gila,“ geram Mahisa Pukat, “licik, pengecut. Pergunakan wadagmu sendiri. Kita berperang tanding.”

Tetapi orang yang telah berhasil mempengaruhi pribadi Mahisa Ura itupun menjadi marah juga. Ternyata ia telah dapat dikejutkan oleh lawannya sehingga Mahisa Pukat sempat melepaskan dirinya tanpa harus benar-benar membenturkan ilmunya, sehingga wadag yang dipergunakannya itu mengalami cidera.

“Baiklah,“ geram orang itu, “kau berhasil melepaskan dirimu. Tetapi keadaan yang serupa akan terulang kembali, justru karena kalian tidak berani melawan aku. Mungkin kau mungkin kau dan mungkin kau.”

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Memang sulit untuk melawan seorang yang licik seperti kau. Tetapi baiklah. Jika memang terpaksa, apa boleh buat. Mungkin aku atau kedua kemanakanku yang lain akan menyakiti wadag yang kau pergunakan. Tetapi aku pun yakin, bahwa aku akan dapat mengobatinya.”

“Omong kosong,“ geram orang itu, “jika tubuh ini sudah berada pada tataran mati, tidak seorang pun akan dapat mengobatinya. Aku akan meninggalkannya, dan tubuh ini akan terkapar dengan darah yang membeku. Apa yang akan kau lakukan?”

Tatas Lintang hanya dapat mengumpat di dalam hati. Yang dikatakan orang itu memang benar. Sementara itu, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sejenak kemudian, maka tubuh Mahisa Ura itupun telah kembali berloncatan menyerang ketiga orang lawannya. Suara tertawa berderai mengiringi geraknya yang cepat cekatan. Untunglah ketiga lawannya memiliki kemampuan bergerak yang melampaui kebanyakan orang, sehingga karena itu, mereka sempat menghindari serangan-serangan itu.

“Ayo,“ berkata Mahisa Ura di bawah ketidak sadaran pribadinya sendiri, “sampai kapan kalian mampu berloncatan, berlari-lari dan menghindari serangan-seranganku he?”

Tidak ada jawaban, sementara mereka masih saja berkejar-kejaran di pategalan itu. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Tatas Lintang menemukan satu cara yang mungkin akan dapat memecahkan persoalan mereka. Meskipun ia masih belum yakin, namun tiba-tiba saja ia berteriak, “Hambat orang itu, meskipun kita harus mengorbankan tubuh Mahisa Ura. Tetapi jaga agar tubuh itu tidak kalian rusakkan. Aku akan memecahkan rahasia keadaan yang memusingkan kepala kita ini.”

“Apa yang akan kau lakukan?“ bertanya Mahisa Murti sambil menghindari serangan lawannya.

“Lakukan yang aku katakan. Tahan orang itu agar tidak mencegah langkah-langkah yang akan aku ambil,“ jawab Tatas Lintang.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sempat bertanya lebih banyak lagi. Mereka melihat Tatas Lintang berlari meninggalkan medan yang berat sebelah itu. Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah, melakukan sebagaimana dikatakan oleh Tatas Lintang meskipun hal itu akan sangat sulit dilakukan.

Sementara itu, tubuh Mahisa Ura itupun berteriak nyaring, “He, akan lari ke mana kau?”

Tatas Lintang tidak menghiraukannya. Tetapi ia justru berlari semakin cepat. Sejenak Mahisa Ura yang berada di bawah pengaruh pribadi seseorang itu menggeram. Katanya lantang, “Jangan lari. Berhenti, atau aku hancurkan tubuh ini.”

Tatas Lintang berlari terus tanpa berpaling. Tubuh Mahisa Ura itupun tiba-tiba telah meloncat pula mengejar Tatas Lintang. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk menghalanginya. Mereka telah berusaha untuk menghentikan langkahnya dengan mencegatnya.

Tetapi tubuh Mahisa Ura yang berada di bawah pengaruh pribadi orang lain tidak menghiraukannya. Dengan kuat tubuh itu membentur Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berada di garis derap langkah kakinya.

Ketiga orang itu ternyata telah terpental dan jatuh berguling. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan tangkas telah melenting berdiri tegak di atas kedua kakinya. Namun ternyata wadag Mahisa Ura itupun telah bangkit pula berdiri. Bahkan tubuh itu telah siap untuk berlari mengejar Tatas Lintang.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak membiarkannya. Dengan tangkas Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meloncat mendekatinya. Wadag Mahisa Ura itu tertegun. Pribadi yang mempengaruhinya itupun menjadi sangat marah. Terdengar ia menggeram sambil berkata, “Jangan halangi aku, atau aku akan membinasakan kalian berdua atau wadag yang aku pergunakan.”

“Aku melakukan perintah pamanku. Kami berdua harus menghambatmu jika kau akan mengejarnya,“ jawab Mahisa Murti.

Tubuh itu tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia telah menyerang dengan dahsyatnya. Sama sekali tanpa ragu-ragu meskipun ia sadar bahwa lawannya pun memiliki ilmu yang tinggi. karena pribadi di dalam diri Mahisa Ura itu memang dengan sengaja ingin membenturkan wadag yang dipergunakannya.

Tetapi Mahisa Murti tidak membentur kekuatan itu. Dengan tangkas pula ia menghindar meskipun hampir saja keningnya disambar oleh tangan tubuh Mahisa Ura yang berada di luar kepribadiannya sendiri. Ternyata bahwa orang yang mempengaruhi pribadi Mahisa Ura itu tidak menghiraukannya, iapun dengan cepat meloncat berlari mengejar Tatas Lintang. Namun Tatas Lintang telah menjadi semakin jauh.

”Berhenti,“ teriak orang yang mempergunakan wadag Mahisa Ura, “jika kau tidak berhenti, aku benturkan kepala tubuh ini pada sebatang pohon cangkring yang berduri tajam itu.”

Tatas Lintang tidak menghiraukannya. Ia berlari semakin kencang. Sementara itu Mahisa Pukat telah meloncat menerkam tubuh Mahisa Ura itu. Ternyata yang dapat ditangkapnya hanyalah kakinya. Namun dengan demikian Mahisa Ura itu telah jatuh terjerembab.

Ternyata yang terjadi telah mengejutkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Ketika keduanya meloncat dan mempersiapkan diri ternyata tubuh Mahisa Ura itu tidak segera bangkit berdiri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ragu-ragu sejenak. Mereka terkejut ketika mereka kemudian melihat tubuh itu bergerak sambil berdesah. Perlahan-lahan Mahisa Ura itu menggeliat. Diusapnya matanya sambil bertanya lirih, “Apa yang telah terjadi?”

Mahisa Ura terengah-engah. Nafasnya terasa belum mengalir wajar. Namun iapun kemudian bangkit sambil memegangi pinggangnya, “Aku kehilangan kesadaranku. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi dengan diriku.“

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Mahisa Ura telah kembali kepada kepribadiannya sendiri. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Mahisa Ura. Wadagmu memang telah terlepas dari kuasa pribadimu sendiri. Kau baru saja berada di bawah pengaruh lawan kita.”

Mahisa Ura termangu-mangu. Namun iapun kemudian berdesis sambil berkata, “Pinggangku sakit sekali. Juga lenganku bagaikan retak. Tetapi apakah yang sebenarnya telah terjadi.”

“Tidak banyak waktu yang tersedia,“ berkata Mahisa Murti, “marilah kita lihat, apa yang terjadi dengan Tatas Lintang.”

Ketiganya pun kemudian telah bersiap untuk menyusuri arah langkah Tatas Lintang yang sudah tidak nampak lagi, karena terlindung oleh dedaunan dan pepohonan di pategalan itu. Namun ketika mereka mulai berlari, Mahisa Ura masih harus mengeluh lagi, karena tubuhnya terasa sangat sakit di beberapa tempat.

“Pergilah dahulu,“ berkata Mahisa Ura.

“Marilah, agar tidak terjadi sesuatu lagi dengan kau,“ sahut Mahisa Murti.

Mahisa Ura pun kemudian telah memaksa dirinya berlari mengikuti arah Tatas Lintang menghilang. “Apa yang dilakukannya?“ bertanya Mahisa Ura.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi agaknya mereka mulai mengerti apa yang dilakukan oleh Tatas Lintang. Namun mereka tidak mempunyai kesempatan untuk lebih banyak berbicara, karena mereka harus dengan cepat menyusul Tatas Lintang dan mengetahui lebih banyak, apa yang telah terjadi kemudian.

Ternyata mereka tidak terlalu sulit untuk menemukan Tatas Lintang. Ketika mereka menyelinap di belakang beberapa jenis pohon buah-buahan di pategalan itu maka mereka melihat Tatas Lintang tengah bertempur dengan seseorang. Pertempuran itu memang merupakan pertempuran yang luar biasa. Keduanya memiliki ilmu yang tinggi.

Demikian ketiga orang itu mendekat, maka terdengar suara lawan Tatas Lintang itu, “Ayo apakah kalian berempat akan bertempur melawan aku?”

Namun Tatas Lintang lah yang menjawab, “Aku akan bertempur seorang diri melawan kau seorang diri pula. Betapapun tinggi ilmumu, aku tidak akan gentar, karena ilmumu yang terutama adalah ilmu yang sangat licik sebagaimana baru saja kau tunjukkan kepada kami.”

“Persetan,“ geram orang itu, “ternyata kalian berhasil menyelematkan seorang di antara kalian. Sayang aku tidak sempat membenturkan kepalanya pada sebatang pohon cangkring, sehingga pecah karenanya.”

“Satu cara membunuh yang tidak terhormat,“ berkata Tatas Lintang sambil bertempur, “jika kau memang seorang berilmu tinggi, bunuhlah aku sekarang.”

Lawannya tidak menjawab. Namun serangannya pun menjadi semakin berbahaya mengejar Tatas Lintang yang masih selalu memperhitungkan kemampuan lawan. Pertempuran antara kedua orang itupun semakin lama menjadi semakin seru. Mereka semakin meningkatkan ilmu mereka masing-masing sehingga kekuatan dan kecepatan gerak mereka pun menjadi semakin meningkat pula.

Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura hanya dapat menyaksikan saja pertempuran itu. Tatas Lintang sudah memberikan isyarat bahwa ia berada dalam keadaan perang tanding, sehingga ia tidak mengharapkan bantuan dari siapapun juga. Apapun yang mungkin terjadi atas dirinya.

Mahisa Ura menyaksikan pertempuran itu dengan wajah yang tegang. Kemarahannya benar-benar membakar dadanya karena peristiwa yang telah terjadi atas dirinya. Meskipun ia masih belum mengetahui sepenuhnya, tetapi ia sudah dapat mengerti, bahwa orang yang bertempur melawan Tatas Lintang itu telah berhasil mempengaruhi pribadinya dan mempergunakan wadagnya.

Namun agaknya Tatas Lintang telah memburu ke arah tubuh lawannya itu ditinggalkannya, sehingga lawannya itu telah meninggalkan wadagnya dan kembali ke dalam dirinya sendiri. Pada saat yang demikian maka pribadinya sendiri telah muncul kembali di dalam wadagnya, meskipun wadag itu terasa lemah dan kesakitan.

“Untunglah Tatas Lintang mengambil langkah yang tepat untuk menyelamatkan tubuhku,“ berkata Mahisa Ura di dalam hatinya. Tetapi betapapun kemarahan bergejolak di dalam dirinya, tetapi yang disaksikannya adalah pertempuran yang sengit dari dua orang yang berilmu sangat tinggi.

Dalam pada itu, Tatas Lintang yang bertempur itupun telah merambah kepada ilmunya yang jarang ada duanya. Namun lawannya pun memiliki ilmu andalannya pula yang mengagumkan. Karena itu, maka keduanya benar-benar telah terlibat dalam pertempuran yang sulit dimengerti oleh orang kebanyakan. Bahkan Mahisa Ura pun mulai dibingungkan oleh sikap dan gerak yang tidak diduganya sama sekali yang berhubungan dengan ilmu kedua orang itu masing-masing.

Sebenarnyalah bahwa lawan Tatas Lintang itupun memiliki kemampuan untuk menyerang dari jarak jauh. Meskipun dengan landasan ilmu yang lain, namun akibatnya tidak jauh berbeda. Lawan Tatas Lintang itupun mampu menghentakkan tangannya mengarah ke tubuh lawannya, sehingga semacam sinar telah terlontar dan menyambar. Sementara itu Tatas Lintang pun telah melakukannya pula. Telapak tangannya yang terbuka telah melontarkan cahaya yang menyambar sasaran dengan kekuatan yang sulit diperhitungkan.

Karena itulah, maka ketiga orang yang menyaksikan pertempuran itu harus mengambil jarak. Mereka harus berada di tempat yang paling baik. Mungkin lawan Tatas Lintang yang memang licik itu dengan sengaja mengarahkan ilmunya kepada salah seorang di antara mereka. Sehingga karena itu, maka mereka pun telah berusaha berdiri di sebelah sebatang pohon yang cukup besar.

Ternyata yang mereka perhitungkan itu memang terjadi. Pada satu saat yang tiba-tiba, ternyata orang itu telah mengarahkan serangannya kepada Mahisa Murti yang memang berada dekat dengan garis serangannya. Orang itu mengira, bahwa Mahisa Murti tidak menyadari, justru karena perhatiannya tertuju kepada pertempuran itu sendiri.

Namun Mahisa Murti cukup berhati-hati. Ketika ia melihat arah tangan orang itu agak bergeser dengan garis serangannya atas Tatas Lintang, justru mengarah kepadanya, maka iapun cepat bergeser ke balik sebatang pohon.

Terdengar batang pohon itu bagaikan meledak. Namun pohon itu ternyata tidak tumbang meskipun berguncang dengan kerasnya. Terdengar orang itu mengumpat. Ia telah gagal membunuh setidak-tidaknya menghancurkan tubuh seorang yang lain karena Tatas Lintang telah mengambil satu langkah yang semula tidak diduganya.

Namun serangan itu telah memperingatkan Mahisa Pukat dan Mahisa Ura. Karena itulah maka mereka pun tidak beranjak dari sisi sebatang pohon yang cukup dapat melindungi dirinya apabila serangan itu datang dengan tiba-tiba.

Dalam pada itu, maka pertempuran itupun telah berlangsung semakin sengit. Serangan datang silih berganti semakin lama semakin cepat dan semakin dahsyat. Keduanya pun berloncatan menghindari serangan demi serangan yang datang beruntun. Keduanya berebut kesempatan dan beradu kecepatan.

Pepohonan di sekitar mereka pun telah menjadi berpatahan. Batang-batang kayu yang besar telah menjadi hangus oleh ledakan-ledakan serangan berjarak di antara mereka. Pohon-pohon perdu pun bagaikan telah ditebas berserakan dan berhamburan.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura masih tetap berusaha untuk berada di dekat batang-batang pohon yang besar, yang akan dapat melindungi mereka dari serangan-serangan lawan. Sengaja atau tidak sengaja.

Namun dalam pada itu. beberapa saat kemudian, ternyata keseimbangan pertempuran itupun telah berubah. Kecepatan gerak Tatas Lintang yang tinggi agaknya telah mampu membuat lawannya menjadi agak terdesak. Selain kemampuannya bergerak cepat, ternyata Tatas Lintang memiliki ketahanan tubuh yang lebih tinggi.

Karena mengerahkan segenap kemampuan dan ilmu, maka ketahanan tempur lawan Tatas Lintang itupun mulai menjadi susut. Karena itulah.»maka setiap kali orang itu berusaha mengambil jarak dan berusaha berlindung di balik pepohonan untuk dapat sekedar beristirahat meskipun hanya sekejap.

“Jangan licik,“ berkata Tatas Lintang.

Orang itu sama sekali tidak menghiraukannya, ia masih saja bertempur dengan caranya. Menyerang, kemudian meloncat jauh dan menghindar. Dengan demikian maka Tatas Lintang pun telah mendesaknya semakin jauh, sehingga arena itupun telah bergeser pula.

Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun telah bergerak pula mengikuti arena yang bergeser. Tetapi mereka masih selalu berusaha untuk berada di dekat batang-batang pohon yang cukup besar. Tetapi ternyata orang itu tidak bertahan lebih lama lagi. Sebelum ia benar-benar kehabisan nafas, maka iapun telah mengambil satu keputusan. Meninggalkan pertempuran itu.

Demikianlah, selagi mereka masih berada di antara batang-batang pohon buah-buahan, maka lawan Tatas Lintang itupun telah mengambil satu kesempatan. Pada saat Tatas Lintang memburunya, selagi lawannya itu berhasil menyelinap di balik sebatang pohon, maka orang itupun telah mendahuluinya menyerang dengan satu hentakkan yang memancarkan semacam berkas sinar yang menyambar Tatas Lintang.

Tetapi Tatas Lintang cukup tangkas untuk menghindarinya. Namun diluar dugaan, bahwa pada saat Tatas Lintang meloncat menghindar orang itu telah meloncat pula. justru menjauhinya. Berlari menyusup di antara pohon-pohon buah-buahan pategalan itu.

“Jangan lari,“ teriak Tatas Lintang.

Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Yang terdengar kemudian adalah suara tertawanya berderai menggetarkan dada orang-orang yang mendengarnya.

Namun Tatas Lintang yang marah itupun menyahut tidak dengan suara tertawanya, tetapi dengan teriakan yang menggetarkan dinding jantung. “Baiklah. Ternyata kemenanganmu terletak pada kemampuanmu berlari dengan licik meninggalkan arena."

Suara tertawa itu terhenti. Yang terdengar kemudian adalah geram yang menyeramkan, “Persetan. Jika kau mampu, tangkap aku.”

“Aku merasa kasihan kepadamu. Justru karena kau melarikan diri dari arena,“ jawab Tatas Lintang dengan suaranya yang bagaikan guruh.

Tetapi tidak ada jawaban lagi. Agaknya orang itu telah menjadi semakin jauh.

“Ia memang memiliki kemampuan melarikan diri,“ berkata Tatas Lintang.

“Tetapi kau memiliki kecepatan gerak yang lebih tinggi,“ sahut Mahisa Murti.

"Mungkin, tetapi aku tidak mampu menangkapnya karena ia memiliki kesempatan beberapa kejap lebih dahulu,“ sahut Tatas Lintang.

Mahisa Pukat pun kemudian telah mendekati Tatas Lintang pula sebagaimana Mahisa Murti. Namun tiba-tiba Mahisa Pukat itu bertanya, “Di mana Mahisa Ura?”

Ketika mereka mengedarkan pandangan mereka di sekitar pategalan itu, maka mereka melihat Mahisa Ura yang melangkah tertatih-tatih sambil memegangi dadanya.

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti dengan tergesa-gesa mendekatinya. Namun Mahisa Ura masih sempat tersenyum sambil berkata, “Aku sudah berusaha. Tetapi keadaan tubuhku yang masih lemah, membuat daya tahanku agak menurun.”

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku melupakan keadaannya, sehingga aku telah mempergunakan kemampuanku untuk menjawab serangan orang itu dengan getaran suaranya. Tetapi ternyata kaulah yang paling menderita karena suara-suara itu.”

“Aku sudah berusaha mengatasinya,“ jawab Mahisa Ura yang mendekat dibantu oleh Mahisa Pukat.

“Duduklah,“ berkata Tatas Lintang, “kau dapat memperbaiki keadaanmu. Mungkin karena benturan suara ini, tetapi juga mungkin karena tubuhmu yang telah dipergunakan oleh orang yang belum kita kenal itu.”

Mahisa Ura pun kemudian duduk di atas seonggok dedaunan perdu yang terserak di tanah akibat pertempuran yang baru saja terjadi untuk menenangkan gejolak jantungnya serta mengatur pernafasannya.

“Aku menyesal, bahwa orang itu sempat terlepas dari tangan kita,“ berkata Tatas Lintang kemudian.

“Aku tidak dapat mencampurinya, karena agaknya kau memang ingin menyelesaikannya sendiri,“ sahut Mahisa Murti.

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Aku memang ingin menghadapinya sendiri. Bukan karena kesombonganku, tetapi aku memang ingin menunjukkan, bahwa kita bukan orang yang mudah dipermainkan.”

Namun di luar dugaan Mahisa Ura berkata dengan nada rendah, “Maaf. Aku benar-benar tidak mampu menyesuaikan diriku. Agaknya aku telah menghambat kalian menghadapi orang itu.”

Tatas Lintang memandanginya sejenak. Lalu katanya, “Jangan menyesali diri sendiri. Bagaimanapun juga kami memerlukanmu. Setiap orang yang bersedia membantu kita akan kita hargai. Apalagi kita sendiri. Mungkin memang ada kekurangan padamu. Tetapi itu bukan berarti bahwa kau telah mengganggu tugas-tugas kita dalam keseluruhan.”

Mahisa Ura tidak menjawab. Sementara Tatas Lintang pun berkata, “Sudahlah. Usahakan agar keadaanmu menjadi semakin baik.”

Mahisa Ura tidak menjawab. Ia masih duduk di atas seonggok dedaunan untuk menenangkan dirinya dan mengatur pernafasannya.

Sementara itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Tatas Lintang mulai memperhatikan keadaan. Pategalan itu memang menjadi rusak. Banyak tanaman yang berpatahan. Bahkan beberapa batang pohon buah-buahan yang disambar oleh serangan-serangan kedua orang yang bertempur itu, akan menjadi layu dan mungkin mati karena batangnya menjadi hangus.

“Apakah pemiliknya akan marah?“ desis Mahisa Murti.

“Kita akan memberikan laporan sesuai dengan keadaan,“ jawab Tatas Lintang, “mudah-mudahan pemilik pategalan ini akan dapat mengerti.”

Ketiga orang itupun kemudian telah membersihkan pategalan itu. Mereka telah menimbun dedaunan dan ranting-ranting yang berpatahan di pagar pategalan itu.

Sementara itu keadaan Mahisa Ura pun menjadi berangsur baik. Dengan demikian, maka mereka pun telah kembali ke tempat mereka bekerja. Namun sekali lagi Mahisa Ura memperingatkan, bahwa mereka masih berhadapan dengan racun yang telah disebarkan oleh orang yang tidak dikenal itu.

Mahisa Murti pun kemudian telah pergi ke padukuhan di sebelah pategalan itu. Setelah melewati beberapa tonggak, barulah ia sampai ke batas pategalan dan memasuki jalan sempit menuju ke padukuhan.

Dari padukuhan Mahisa Murti mendapatkan sebuah kelenting. Namun Mahisa Murti pun telah mengatakan bahwa kelenting itu tidak akan dikembalikan, karena kelenting itu akan dipergunakan untuk mencairkan racun. Namun air sekelenting itu agaknya tidak cukup, sehingga karena itu, maka ia harus mendapatkan kelenting yang lain untuk mengambil dan membawa air ke pategalan.

Demikianlah, maka Tatas Lintang telah mencoba untuk melawan racun yang telah dituangkan ke setiap lubang yang telah dibuat bersama-sama itu. Tetapi ia memerlukan bahan yang agak banyak, sehingga karena itu, maka ia tidak dapat menyelesaikannya pada hari itu. Penawar racun yang ada padanya terlalu sedikit. Namun ia telah mencoba untuk menawarkan racun pada salah satu lubang yang ada di pategalan itu.

Setelah lubang itu disiramnya dengan penawar racun yang dicairkannya di dalam kelenting, maka ternyata bahwa kekuatan racun itu menjadi jauh susut. Tanah dari lubang itu ketika dibaurkan pada sebatang pohon, ternyata pohon perdu itu tidak menjadi layu. Karena itu, maka penawar yang tersedia itupun kemudian telah dicairkannya pula dan disiramkannya ke lubang-lubang yang ada meskipun baru sebagian.

“Aku harus mengusahakan penawar racun itu lagi,“ berkata Tatas Lintang.

“Bagaimana kita akan mendapatkannya?“ bertanya Mahisa Murti.

“Aku harus membuatnya. Jika tidak, maka lubang-lubang itu akan tetap berbahaya. Bukan saja jika kita menanam pohon di dalamnya yang akan mati, tetapi jika seseorang atau seekor binatang yang terperosok ke dalamnya, tentu akan terbunuh pula.” Jawab Tatas Lintang.

“Bagaimana kau dapat membuatnya?“ bertanya Mahisa Pukat, “kapan lagi kau akan melakukannya?”

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia bertanya, “Manakah yang lebih baik. Apakah kita akan membiarkan lubang-lubang ini merupakan lubang-lubang bisa yang dapat membunuh, atau kita mengorbankan waktu sedikit untuk menawarkannya?”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Namun dalam pada itu, Tatas Lintang pun berkata, “Bagaimanapun juga kita harus memberitahukan hal ini kepada Ki Bekel dan pemilik tanah ini. Tempat ini harus menjadi tempat tertutup, sementara kita belum dapat menawarkan racun dalam keseluruhan.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa dengan demikian mereka harus mengorbankan waktu lagi. Tetapi ia tidak akan dapat mengingkari tugas yang tidak kalah pentingnya, menyelamatkan lingkungan itu dari kerasnya racun yang berbahaya.

“Baiklah,“ berkata Tatas Lintang, “ternyata kita telah mendapat beban baru. Aku minta dua orang di antara kita menemui Ki Bekel dan pemilik tanah ini, sementara dua yang lain menjaga agar lubang-lubang yang tersisa ini tidak membunuh.”

“Siapakah yang akan pergi?“ bertanya Mahisa Murti.

“Pergilah bersama Mahisa Ura,“ jawab Tatas Lintang, “aku dan Mahisa Pukat akan menjaga tempat ini.”

Mahisa Murti mengangguk. Ketika ia berpaling ke arah Mahisa Ura, maka Mahisa Ura pun telah bersiap. “Bagaimana keadaanmu?“ bertanya Mahisa Murti.

“Aku sudah baik,“ jawab Mahisa Ura, “aku siap untuk pergi menghadap Ki Bekel.”

Mahisa Murti mengangguk. Katanya, “Marilah. Kita akan melaporkannya.”

Keduanya pun kemudian meninggalkan pategalan itu. Mereka langsung menuju ke rumah Ki Bekel sebelum mereka melaporkannya kepada pemilik pategalan itu.

Sementara itu, di pategalan. Tatas Lintang telah berusaha untuk mengamati jenis racun yang dituangkan ke dalam lubang-lubang yang telah mereka buat untuk menanam pepohonan. Diambilnya segenggam tanah yang telah dituangi bisa itu. Kemudian dengan takir-takir daun pisang ia mencairkan tanah itu dengan air dan dicobanya pula meneteskan cairan penawarnya dengan kadar yang berbeda-beda.

Dengan demikian Tatas Lintang ingin mengetahui, apa yang harus dibuatnya untuk menawarkan racun itu, karena obat penawar racun yang dimilikinya terlalu sedikit untuk menawarkan racun yang banyak dituangkan di lubang-lubang yang disiapkan untuk menanam pohon buah-buahan itu.

Ternyata keahlian Tatas Lintang telah memberikan jalan kepadanya untuk menentukan ramuan apakah yang paling baik dipergunakannya untuk menawarkan racun itu. Dan reramuan itu masih harus dibuatnya.

Sementara itu. Mahisa Murti dan Mahisa Ura telah menghadap Ki Bekel, di rumahnya. Laporannya memang membuat Ki Bekel itu terkejut.

“Bukan main,“ berkata Ki Bekel, “orang itu benar-benar melakukan apa saja tanpa menghiraukan pertimbangan-pertimbangan sama sekali untuk mencapai maksudnya. Untunglah kalian masih mampu mengatasinya. Namun tentu bukan untuk yang terakhir kalinya.”

“Mungkin Ki Bekel. Kami pun harus mempersiapkan diri menghadapi masa-masa mendatang. Aku memang menduga, bahwa langkahnya itu bukan langkah yang terakhir,“ jawab Mahisa Murti.

“Baiklah,“ berkata Ki Bekel, “aku akan pergi ke pategalan itu. Aku akan membawa beberapa orang untuk menutup pategalan itu agar tidak dimasuki oleh seseorang, sampai segalanya dapat diatasi.”

“Terima kasih Ki Bekel,“ sahut Mahisa Murti, yang kemudian minta diri untuk pergi menemui pemilik tanah itu.

“Pergilah. Mudah-mudahan pemilik tanah itu dapat mengerti. Juga tentang kerusakan yang telah terjadi di pategalan itu,“ jawab Ki Bekel, “jika terjadi salah paham, maka aku akan berusaha menyelesaikannya, karena akulah yang telah menahan kalian untuk tinggal lebih lama di padukuhan ini.”

Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Ura pun telah menemui pemilik tanah itu, meskipun dengan sedikit berdebar-debar. Jika terjadi salah paham karena kerusakan bukan saja tanahnya, tetapi juga tanaman-tanamannya karena perkelahian yang terjadi, maka persoalannya akan semakin berkepanjangan.

Tetapi ternyata dugaan itu sama sekali tidak terjadi. Pemilik tanah itu sama sekali tidak merasa dirugikan. Bahkan dengan nada menyesal ia berkata, “Seharusnya aku tidak membiarkan kalian melakukan kerja itu. Aku sama sekali tidak menyesali tanah dan pepohonan yang ada di pategalan itu, tetapi aku justru menyesali peristiwa itu. Seandainya kalian tidak melakukan kerja di pategalan itu. agaknya kalian tidak akan mengalami kesulitan meskipun kalian dapat mengatasinya.”

“Tidak,“ jawab Mahisa Murti, “bukan karena kami bekerja di pategalan itu. Seandainya kami tidak berada di pategalan itu, maka mereka pun akan tetap menyerang kami di manapun kami berada dan apapun yang kami lakukan.”

“Aku akan pergi ke pategalan,“ berkata pemilik tanah itu, “tanah itu memang harus ditutup untuk sementara.”

“Ki Bekel akan melakukannya,“ jawab Mahisa Murti, “Ki Bekel akan membawa beberapa orang. Tetapi seharusnya kami pun dapat melakukannya. Bukankah kami memang telah melakukan kerja untuk menerima upah.”

Pemilik tanah itu menarik nafas. Namun kemudian katanya, “Aku akan pergi ke pategalan itu.”

Pemilik tanah itupun kemudian berkemas untuk pergi ke pategalan dengan membawa dua orang pembantu laki-laki di rumahnya. Keduanya membawa parang dan cangkul, yang barangkali akan dapat dipergunakan di pategalan itu.

“Kami telah membawa alat-alat ke pategalan itu,“ berkata Mahisa Murti.

“Biarlah mereka juga membawa,“ jawab pemilik tanah itu.

Ketika Mahisa Murti, Mahisa Ura dan pemilik tanah itu sampai di pategalan, ternyata di pategalan itu telah terdapat banyak orang. Namun Ki Bekel telah menarik gawar lawe melingkari lingkungan yang ternyata masih beracun keras itu.

“Tidak seorang pun boleh melintasi gawar ini,“ berkata Ki Bekel kepada orang-orang yang berkerumun.

Namun ternyata bahwa gawar lawe saja tidak cukup. Karena itu, maka Ki Bekel pun telah memerintahkan orang-orangnya untuk membuat pagar yang kuat di sekitar tempat yang berbahaya itu.

Sementara itu Tatas Lintang telah menentukan reramuan yang agaknya paling baik untuk menawarkan racun itu. Ada beberapa jenis binatang berbisa yang akan dapat dipergunakannya untuk menawarkan racun, diramu dengan getah dari pepohonan tertentu. Yang harus dilakukannya kemudian adalah mencari jenis binatang dan getah pohon yang diperlukan itu.

Karena itu, ketika orang-orang mulai melakukan kerja mereka, membuat pagar yang kuat dan cukup tinggi untuk menutup pategalan itu, maka Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya kemanakannya telah minta diri untuk mencari reramuan yang mungkin akan dapat menjadi penawar racun yang tersebar di pategalan itu.

“Kami harus segera mendapatkannya,“ berkata Tatas Lintang.

Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengikut saja kemana Tatas Lintang pergi. Namun ketika mereka sudah keluar dari pategalan dan tidak memasuki padukuhannya. Mahisa Murti bertanya, “Kita akan ke mana?”

“Kita harus menemukan bahan reramuan obat penawar racun itu,“ jawab Tatas Lintang.

“Bahan yang kita perlukan terdapat di mana? Apakah kau sudah mempunyai gambaran, di mana kita akan mendapatkannya?“ bertanya Mahisa Murti pula.

“Aku memerlukan sejenis binatang beracun dan getah sejenis pohon nyamplung berbuah panjang yang sulit dicari. Tetapi aku kira aku akan dapat mempergunakan cairan pelepah pisang kering sebagai penggantinya meskipun kadar kekuatannya berbeda. Tetapi dengan mengentalkan cairan itu bersama bisa dari binatang-binatang yang akan kita dapatkan itu, maka aku kira akan mendapatkan obat penawar racun. Di pondok kita aku masih mempunyai buah dari sebangsa nyamplung berbuah panjang itu, yang akan dapat menentukan ketajaman obat penawar yang akan kita buat,“ berkata Tatas Lintang.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura hanya mengangguk-angguk saja. Mereka kurang mengerti jenis-jenis bahan yang disebut oleh Tatas Lintang. Sepengetahuan mereka, nyamplung buahnya selalu bulat.

Tetapi Tatas Lintang tentu memiliki pengetahuan yang jauh lebih luas dari mereka, sehingga apa yang diketahuinya, tidak diketahui oleh ketiga orang yang disebutnya sebagai kemenakannya itu.

Dalam pada itu, maka Mahisa Pukat pun bertanya, “Kita sekarang akan pergi ke mana?”

“Kita akan pergi ke batu yang berwarna kehijauan itu,“ jawab Tatas Lintang.

“Untuk apa?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Mencari bahan yang kita perlukan. Memang kita akan berjalan agak panjang. Tetapi harus kita lakukan jika kita akan menolong orang-orang dari padukuhan itu,“ jawab Tatas Lintang.

“Bahan apa? Batu itu?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Di celah-celah batu itu,“ jawab Tatas Lintang.

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Meskipun demikian ia berkata kepada diri sendiri, “Jadi Tatas Lintang juga sudah mengamati batu yang berwarna kehijauan itu?”

Ternyata Mahisa Murti pun berpikir demikian. Karena Tatas Lintang mengetahui, bahwa di celah-celah batu yang berwarna kehijauan itu terdapat beratus bahkan beribu binatang beracun sejenis kala dalam beberapa macamnya. Ada yang jenisnya kecil dan yang besar. Demikianlah mereka berempat telah berjalan langsung menuju ke tempat batu yang berwarna kehijauan, yang letaknya tidak terlalu dekat dari padukuhan itu.

Namun ternyata bahwa Tatas Lintang memang memiliki ketajaman penggraita melampaui orang kebanyakan. Karena itulah, maka iapun berkata, “Kita akan mendekati batu itu pada malam hari.”

“Kenapa?“ bertanya Mahisa Murti.

“Kita akan menghindari kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas kita.“ berkata Tatas Lintang, “setidak-tidaknya kita akan mempunyai kesempatan untuk bersiap-siap menghadapi kemungkinan dihadapan kita.”

“Apakah ada sesuatu yang akan terjadi menurut perhitunganmu?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Aku kira, orang yang menaburkan racun itupun telah memperhitungkan bahwa kita akan mencari bahan penolak racun. Orang itupun tentu mengetahui bahwa bahan penawar racun yang banyak diketemukan adalah pada celah-celah batu hijau itu,” jawab Tatas Lintang.

Mahisa Murti. Mahisa Pukat Mahisa Ura pun mengangguk-angguk. Sementara itu Tatas Lintang pun berkata, “Akhirnya kita akan berbenturan dengan kekuatan di dalam padepokan itu justru di luar padepokan. Namun jika pekerjaan ini dapat kita selesaikan, maka tugas selanjutnya bukannya tugas yang berat. Kita akan dapat memasuki padepokan itu seolah-olah kitalah pemimpin dari padepokan itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Mereka tidak mengerti, apakah dengan demikian mereka sudah dapat dikatakan menyelesaikan tugas mereka. Apakah dengan demikian mereka akan dapat menjawab, apakah alasan orang-orang bertongkat itu untuk menguasai Mahkota yang dianggap menjadi lambang tempat bermukim Wahyu Keraton itu.

Namun keduanya sama sekali tidak mengatakan sesuatu. Mereka masih akan melihat apa yang terjadi kemudian. Tetapi mereka merasa sulit untuk dapat berprasangka buruk terhadap Tatas Lintang yang telah memberikan kemampuan baru pada pelepasan ilmu mereka.

Demikianlah mereka berjalan menuju ke tempat batu berwarna kehijauan itu. Namun mereka tidak langsung mengambil arah. Tetapi mereka telah menempuh jalan-jalan sempit yang agak menyimpang. Sebagaimana dikatakan oleh Tatas Lintang, mereka baru akan mendekati sasaran pada malam hari. Dengan demikian mereka akan mendapat kesempatan untuk menilai, apakah mereka akan dapat melakukan dengan aman atau mereka harus melakukan langkah kekerasan.

Namun apapun yang harus mereka lakukan, mereka semuanya telah bersiap. Meskipun seandainya mereka harus bertempur menghadapi lawan yang lebih besar dari mereka. Mungkin dalam jumlah, tetapi mungkin juga pada tingkat kemampuan. Karena itu. maka mereka berempat memang tidak tergesa-gesa. Karena mereka memang menunggu hari menjadi gelap di perjalanan. Dengan singgah di sebuah kedai maka mereka telah banyak membuang waktu, sehingga akhirnya, malam pun telah turun.

“Kita akan mendekat,“ berkata Tatas Lintang, “berhati-hatilah. Mungkin kita diamati oleh orang-orang yang telah menuangkan racun itu.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun menyadari hal itu. Karena itu maka mereka pun telah berada dalam kesiapan tertinggi ketika mereka mulai mendekati batu yang berwarna kehijauan itu.

Namun Tatas Lintang memang berhati-hati. Mereka tidak langsung mendekati batu itu. Tetapi Tatas Lintang telah membawa ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu untuk menunggu dan mengamati keadaan.

“Biasanya kita terlambat mengetahui orang yang mengamati kita,“ berkata Tatas Lintang, “beberapa kali terjadi, merekalah yang menyapa kita lebih dahulu. Menyapa dengan serangan-serangannya.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura tidak membantah. Mereka memang menganggap bahwa Tatas Lintang memiliki pengamatan yang sangat tajam, sehingga ia akan dapat memilih kesempatan yang paling baik untuk melakukan rencana mereka.

Beberapa saat lamanya mereka menunggu. Tetapi mereka sama sekali tidak melihat atau mendengar apapun juga, selain gelapnya malam dan desir angin di hutan sebelah. Namun sejenak kemudian Mahisa Murti pun terkejut ketika Tatas Lintang menggamitnya sambil memberi isyarat bahwa ia mendengar sesuatu.

Mahisa Murti pun kemudian telah menggamit Mahisa Pukat dan Mahisa Ura dan memberi isyarat yang sama pula. Keempat orang itupun kemudian memperhatikan keadaan dengan saksama. Mereka memang mendengar langkah berdesir. Semakin lama terdengar semakin dekat, sehingga mereka-pun telah menahan nafas mereka.

Dalam keremangan malam maka mereka pun telah melihat beberapa orang berjalan menuju ke batu berwarna kehijauan itu. Tiga di antara mereka langsung mendekati batu itu, sementara tiga orang yang lain berdiri mengawasi keadaan di sekitar mereka.

“Orang-orang bertongkat,“ berkata keempat orang itu di dalam hati.

Sebenarnyalah keenam orang itu membawa tongkat yang agak panjang. Namun keempat orang itupun segera mengetahui gunanya, ketika seorang di antara mereka telah merundukkan tongkatnya dan ketika ia menghentakkan tongkatnya, maka nampak samar-samar sesuatu yang menggeliat.

Agaknya orang itu telah menekan kepala seekor ular yang mendekatinya. Karena di tempat itu memang banyak terdapat ular-ular yang berbisa. Tetapi bagi keempat orang itu, agaknya tongkat itu bukan hanya khusus untuk membunuh ular saja. Tetapi tongkat itu tentu juga merupakan senjata mereka.

Namun dengan demikian memang telah timbul pula satu pertanyaan, Apakah memang ada hubungannya antara orang-orang bertongkat ini dengan orang yang telah menuang cairan beracun di lubang-lubang yang telah dibuat oleh keempat orang itu di pategalan. Sementara menurut penglihatan keempat orang itu, orang yang bertempur melawan Tatas Lintang di pategalan itu tidak mempergunakan senjata tongkat.

Tetapi agaknya tongkat bukannya ciri yang memastikan. Mungkin di dalam padepokan itu memang terisi oleh orang-orang yang bersenjata tongkat dan orang-orang yang tidak mempergunakan tongkat sebagai senjata mereka. Menurut perhitungan keempat orang itu. maka orang-orang yang datang ke dekat batu itu agaknya memang ada hubungannya dengan peristiwa yang telah terjadi di pategalan.

Sejenak tiga orang yang mendekati batu yang berwarna kehijauan itu mengamati-amatinya. Namun kemudian terdengar suara salah seorang di antara mereka, “belum ada perubahan. Binatang itu masih berada di celah-celah retak-retak batu itu.”

“Mungkin mereka tidak datang kemari,“ sahut yang lain.

“Binatang-binatang seperti itu terdapat di banyak tempat. Mungkin mereka mempunyai persediaan yang mereka pelihara di satu tempat yang tersembunyi, sehingga setiap kali mereka membutuhkan, mereka tidak perlu mencarinya lagi.“ berkata yang lain lagi.

Namun terdengar suara yang agaknya mempunyai pengaruh di antara mereka, “Kita akan menunggu beberapa lama. Jika mereka datang, kita akan menghancurkannya. Tetapi ingat, mereka memiliki ilmu yang tinggi.”

“Mereka tidak akan mampu berbuat banyak,“ jawab seseorang di antara mereka, “seorang di antara mereka memang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi yang lain bukan apa-apa.”

“Jangan pura-pura. Justru yang lain itulah yang pernah menghancurkan perlawanan beberapa ekor harimau di tempat ini. Jika kau pura-pura tidak mengetahui bahwa mereka berilmu tinggi, maka kita sudah mulai dengan satu kesalahan yang akan dapat menjerat diri kita sendiri. Namun kita pun tidak akan menjadi ketakutan karenanya. Kita adalah orang-orang terpercaya.“ berkata suara orang yang agaknya memimpin keenam orang itu.

Kawan-kawannya tidak menjawab lagi. Namun mereka-pun kemudian telah menebar. Mereka memandang ke segenap arah. Namun agaknya mereka pun tidak lengah terhadap ular-ular yang banyak terdapat di tempat itu.

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Ia pun mempersilahkan Mahisa Ura berada di antara ketiga orang yang lain dengan isyarat, agar seekor ular tidak sempat menggigitnya.

Tanpa mengatakan sesuatu Tatas Lintang telah memberikan segelintir obat penawar racun yang mampu melindunginya untuk beberapa lama kepada Mahisa Ura. Sedangkan Mahisa Ura pun agaknya mengerti pula kekuatan obat itu sebagaimana pernah diterimanya dari Tatas Lintang. Karena itu, maka dengan serta merta maka iapun telah menelan obat penawar itu.

Sementara itu, setelah menunggu beberapa lama, enam orang itu masih juga tetap berada di tempatnya meskipun beberapa kali mereka harus membunuh beberapa ekor ular yang merambat mendekati mereka, maka Mahisa Pukat pun mulai menjadi jemu. Ia menjadi gelisah dan sekali-sekali berdesah.

Mahisa Murti yang mengenal saudara laki-lakinya itu dengan baik mengerti pula perasaannya. Mahisa Pukat tentu sudah mulai menjadi jemu menunggu. Bahkan Tatas Lintang dan Mahisa Ura pun merasakan kegelisahan itu.

Karena itu. Tatas Lintang pun kemudian bertanya, “Apakah yang akan kita lakukan sekarang?”

“Kita akan banyak kehilangan waktu di sini,“ desis Mahisa Pukat.

Tatas Lintang yang sudah mengira bahwa Mahisa Pukat sudah tidak sabar lagi menyahut, “Apakah kita akan mengambilnya sekarang?”

“Apa salahnya,“ berkata Mahisa Pukat, “kita akan dapat menjajagi kemampuan orang-orang bertongkat itu.”

“Kita pernah bertempur dengan orang-orang itu di sini.” berkata Mahisa Murti, “sebelum kita bertempur dengan harimau-harimau yang dikuasai oleh ilmu gendam. Bukankah pernah ada orang-orang yang menyebut dirinya satu dengan ular-ular yang ada di tempat ini?”

“Mungkin. Tetapi tentu orang lain yang hadir sekarang. Orang yang mempunyai ilmu yang lebih tinggi untuk menebus kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi. Bahkan mungkin seorang diantaranya adalah lawan Tatas Lintang itu. Mereka tentu bukan orang-orang dungu yang tidak mengenal perbandingan ilmu setelah mereka berusaha menjajaginya beberapa kali dengan beberapa macam cara. Tetapi bukan berarti bahwa kita harus tetap bersembunyi di sini,“ sahut Mahisa Pukat.

“Baiklah,“ berkata Tatas Lintang. Lalu, “Lihat, agaknya ada di antara mereka yang mendengar suara kita. Ternyata pendengaran mereka pun cukup tajam, meskipun mereka belum menemukan tempat kita.”

“Kita akan mempergunakan cara sebagaimana dilakukan oleh kawan-kawan mereka,“ desis Mahisa Pukat.

“Bagaimana?“ bertanya Tatas Lintang.

“Kita sapa mereka. Tetapi sebaiknya kita berpisah dan berlindung di tempat yang berbeda,“ jawab Mahisa Pukat.

Tatas Lintang mengerti maksud Mahisa Pukat. Karena itu, maka iapun menggamit Mahisa Ura dan dengan isyarat mengajaknya meninggalkan tempat itu. Dengan hati-hati keduanya bergeser dari tempat mereka. Berlindung di balik gelapnya rimbunnya dedaunan dan pohon-pohon perdu, mereka mengambil jarak dari dekat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bersembunyi.

“Beberapa saat kemudian, setelah Tatas Lintang berada beberapa puluh langkah dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, mereka mulai mempersiapkan diri untuk menyapa orang-orang yang berada di sekitar batu yang kehijauan itu.

Namun dalam pada itu, Tatas Lintang pun berkata kepada Mahisa Ura perlahan-lahan, “Kerahkan daya tahanmu. Yakinkah dirimu, bahwa kau tidak terpengaruh sama sekali oleh getaran suaraku. Justru karena kau berada di sebelahku.”

Mahisa Ura mengangguk. Iapun segera memusatkan nalar budinya untuk mengerahkan daya tahannya. Ia mengerti apa yang akan dilakukan oleh Mahisa Pukat, Mahisa Murti dan Tatas Lintang. Sebenarnyalah, sebelum Tatas Lintang berbuat sesuatu, telah terdengar suara yang menggetarkan udara di sekitar batu yang berwarna kehijauan itu.

“Selamat malam Ki Sanak. Agaknya kalian sedang menunggu seseorang.”

Orang-orang yang berdiri di sekitar batu yang berwarna kehijauan itu nampaknya terkejut. Dalam kegelapan malam, ketajaman penglihatan Tatas Lintang dan ketiga orang yang disebut kemanakannya itu mampu melihat, keenam orang itu telah bergeser selangkah saling mendekat. Namun agaknya mereka tidak segera mengerti dari mana arah suara yang terdengar itu. Ternyata keenam orang itu telah menghadap ke arah yang berbeda-beda.

Sejenak kemudian telah terdengar lagi suara yang menggelarkan udara, “Siapakah sebenarnya yang kalian tunggu? Coba, sebutkan, apakah kau menunggu pemimpinmu orang yang bertongkat dengan kepala yang terbuat dari pecahan batu di sebelahmu itu? Atau mungkin orang yang mampu menguasai binatang dengan ilmu gendamnya, atau barangkali siapa lagi?”

“Persetan,“ geram pemimpin dari keenam orang itu. “Kemarilah jika kau jantan. Jangan bersembunyi.”

“Carilah, di mana sumber suara yang kau dengar itu,“ getaran itu bergulung lagi di sekitar batu berwarna kehijauan itu.

“Pengecut. Kenapa kami harus mencari? Jika kalian benar-benar memiliki keberanian, marilah.“ teriak pemimpin dari keenam orang itu.

Namun ketika sekali terdengar suara itu menggetarkan udara, terdengar orang itu berdesah. “Aku akan dapat datang kepada kalian setiap saat. Tetapi ternyata kalian tidak tahu di mana kami berada,” jawab suara itu yang disusul oleh suara tertawa yang menggelegar mengguncang isi dada.

Keenam orang itu harus berjuang untuk menahan goncangan di dadanya. Sementara itu mereka masih belum mengetahui dari mana arah suara yang telah menggetarkan dadanya itu. Suara tertawa itu bagaikan bergulung-gulung dari segala penjuru. Menyusup dan kemudian mengguncang-guncang isi dada. Sehingga dengan demikian maka keenam orang itu benar-benar harus memusatkan segala perhatiannya.

Karena itu, maka tiba-tiba saja pemimpin dari keenam orang itu telah berteriak, “berhati-hatilah. Kita akan melakukannya sekarang.”

Suara itu memang menarik perhatian. Sejenak kemudian suara tertawa yang bergulung-gulung itupun telah mereda. Orang-orang yang bersembunyi itu agaknya telah tertarik untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh keenam orang itu.

Ternyata keenam orang itu telah menelan sesuatu. Orang-orang yang bersembunyi itu tidak melihat dengan jelas, apakah yang telah mereka telan itu. Namun Tatas Lintang telah berdesis, “Agaknya mereka telah menelan semacam penawar racun.”

“Kenapa baru sekarang?“ bertanya Tatas Lintang.

“Mereka merasa bahwa ular yang ada di padang di sekitar batu itu tidak berbahaya bagi mereka, karena mereka mempunyai kemampuan untuk membunuh ular-ular itu. Tetapi dalam keadaan yang sulit karena mereka harus mempertahankan diri maka mereka tidak akan sempat lagi untuk memperhatikan ular yang mungkin menyerang mereka, sehingga mereka harus mempersiapkan diri. “jawab Tatas Lintang.

“Aku mengerti. Tetapi kenapa tidak sejak mereka memasuki lingkungan ini?“ bertanya Tatas Lintang pula.

“Mungkin penawar racun itu tidak dapat bekerja cukup lama, sehingga mereka harus memperhatikan waktu. Hanya apabila keadaan mereka benar-benar menjadi gawat mereka telah melindungi diri dengan penawar racun itu. Agaknya mereka memperhitungkan, bahwa persoalan yang mereka hadapi tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu dekat,“ berkata Tatas Lintang.

Mahisa Ura mengangguk-angguk. Iapun agaknya telah melihat kepada dirinya sendiri. Penawar racun yang diterima dari Tatas Lintang hanya mampu berpengaruh dalam waktu yang terbatas, kurang lebih setengah hari atau setengah malam.

Tatas Lintang agaknya dapat menangkap perasaan Mahisa Ura. Karena itu maka katanya, “Jika lebih panjang dari setengah malam, maka kau pun memerlukan penawar itu lagi. Tetapi kau tidak dapat mempergunakannya sekarang sekaligus, karena dengan demikian, maka penawar itu tidak akan berlaku lebih dari setengah hari pula, sehingga karena itu, tentu hanya sekedar kelebihan yang tidak bermanfaat, karena kelebihan kekuatannya tidak akan diperlukan. Dengan demikian maka jika tiba saatnya, sebaiknya kau harus menelan penawar berikutnya. Dengan demikian maka kau tidak akan diganggu oleh-ular-ular dan jenis binatang berbisa lainnya. Kau dapat memusatkan perhatianmu terhadap kemungkinan lain yang mengancammu.“

Mahisa Ura mengangguk-angguk. Sementara itu Tatas Lintang pun telah mengambil sebutir penawar racun dan diberikannya kepada Mahisa Ura yang kemudian menyimpannya di kantong ikat pinggangnya.

Dalam pada itu, maka terdengar lagi suara yang menggelegar bergulung-gulung. Agaknya Mahisa Murti telah mulai lagi mengganggu keenam orang itu dengan suara tertawanya.

Untuk beberapa saat keenam orang itu berusaha dengan segenap kemampuan mereka untuk menemukan arah suara tertawa yang telah mengguncang jantung mereka. Keenam orang yang menyebar itu perlahan-lahan telah bergeser saling mendekat. Bahkan kemudian mereka telah membuat lingkaran dan saling bergandengan tangan, dengan tongkat mereka yang tegak dalam pegangan.

“Apa yang mereka lakukan?“ bertanya Mahisa Ura.

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Mereka telah menghubungkan diri. Mereka berusaha untuk menyatukan kemampuan mereka. Dengan demikian mereka berharap untuk mampu mengatasi kebingungan mereka menemukan arah suara tertawa yang menggetarkan jantung mereka.”

Mahisa Ura mengangguk-angguk. Dilihatnya orang-orang itu mulai bergeser melingkar. Namun agaknya pegangan mereka semakin lama menjadi semakin menjadi kuat. Sehingga lingkaran itu benar-benar merupakan satu kesatuan yang kokoh.

Dengan demikian mereka telah menyatukan pula pemusatan nalar budi untuk menemukan arah suara yang agaknya telah menyakiti dada mereka, sekaligus untuk menyusun lapisan-lapisan perisai yang melindungi mereka. Untuk beberapa saat keenam orang itu bergeser perlahan-lahan. Namun mereka mulai yakin bahwa mereka akan dapat menemukan arah suara yang telah mengganggu isi dada mereka itu

Ternyata kebingungan memang telah terjadi. Keenam orang yang telah menyatukan diri itu telah kehilangan arah suara yang menggetarkan jantung mereka. Suara itu seakan-akan telah berpindah pada saat mereka hampir menemukannya.

“Gila,“ geram pemimpin dari keenam orang itu. Sementara itu suara tertawa itu benar-benar telah menghentak-hentak jantung mereka.

Demikianlah, Tatas Lintang berganti-ganti dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang telah membuat keenam orang itu semakin kebingungan. Namun akhirnya pemimpin dari keenam orang itu berkata, “Kita tidak usah mencarinya. Kita akan melawannya.”

Keenam orang itupun kemudian telah duduk di dalam lingkaran. Mereka meletakkan tongkat-tongkat mereka di dalam lingkaran, sementara tangan mereka pun telah bergandengan dengan erat. Keenam orang itu telah memusatkan kekuatan daya tahan mereka. Namun mereka tidak menunduk dan menajamkan mata. Mereka justru mengamati langsung ke dalam kegelapan di arah pandangan masing-masing.

Dengan mengerahkan daya tahan di dalam diri masing-masing, maka mereka berhasil mengurangi hentakan-hentakan di dalam dada mereka. Dengan bergandengan tangan erat-erat mereka memang benar-benar telah menjadi satu dan saling mengisi.

Tatas Lintang akhirnya menghentikan serangannya, iapun sadar bahwa dalam sikapnya keenam orang itu akan mampu melindungi diri mereka meskipun harus menahan sakit. Namun agaknya dengan cara itu mereka tidak akan dapat segera menyelesaikan persoalan.

Sejenak kemudian Tatas Lintang pun berbisik kepada Mahisa Ura, “Kita kembali kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.”

Namun sebelum Tatas Lintang benar-benar mendekati kedua anak muda itu maka Mahisa Pukat telah sampai kepadanya dan berkata, “Aku tidak telaten. Apakah kita akan bermain-main seperti ini semalam suntuk. Atau bahkan tiga hari tiga malam.”

“Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu?“ bertanya Tatas Lintang.

“Mahisa Murti setuju kita mengambil jalan yang paling pasti. Berhasil atau tidak berhasil,“ berkata Mahisa Pukat.

“Baiklah,“ berkata Tatas Lintang, “kita akan mendekati mereka.”

Dengan demikian, maka Tatas Lintang pun kemudian telah minta mereka berkumpul dan bersama-sama mendekati keenam orang yang telah menyatukan diri itu. Mahisa Pukat kemudian telah memanggil Mahisa Murti. Sejenak kemudian maka keempat orang itupun telah keluar dari rimbunnya pohon perdu dan berjalan menuju ke arah keenam orang yang sedang duduk memusatkan kemampuan mereka untuk mengerahkan daya tahan di dalam diri untuk melawan suara tertawa yang menggelegar.

Kehadiran keempat orang itu memang telah mengejutkan. Keenam orang itu sama sekali tidak menduga, bahwa orang itu akan muncul dari arah itu, karena menurut pengamatan mereka arah timbulnya getaran dari suara yang menggelepar itu bukannya dari arah itu. Melihat kehadiran keempat orang itu, maka keenam orang itupun segera menguraikan lingkaran mereka. Dengan cepat mereka pun bangkit sambil meraih tongkat mereka masing-masing.

Beberapa langkah di hadapan keenam orang itu. Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itupun telah berhenti Tatas Lintang yang berdiri di paling depan pun kemudian berkata, “Selamat malam Ki Sanak. Apakah kerja kalian malam-malam begini di sini?”

Pemimpin dari keenam orang itupun maju selangkah sambil menjawab, “Kami tidak berbuat apa-apa. Kami sekedar berhenti di sini.”

“Baiklah,“ berkata Tatas Lintang, “Jika kalian memang tidak berbuat apa-apa biarlah aku saja yang berbuat sesuatu di sini.”

“Apa yang akan kau lakukan?“ bertanya pemimpin dari keenam orang itu.

“Kami adalah pemburu binatang-binatang beracun,“ jawab Tatas lintang, “kami ingin berburu di tempat ini kecuali ular. Kami tidak memerlukan lagi, karena kami mempunyai persediaan cukup banyak.”

“Apa yang kalian cari?“ bertanya pemimpin dari keenam orang itu.

“Kala segala jenis, babak salu, rena, laba-laba hijau, kelabang dan jenis-jenisnya,“ jawab Tatas Lintang.

“Di mana kalian akan mencari?“ bertanya pemimpin itu.

Tatas Lintang ternyata telah menjawab sebenarnya, “Kami akan mencari di celah-celah retak-retak batu hijau itu.”

Jawaban yang berterus terang itu justru membuat orang-orang itu agak kebingungan. Namun pemimpin mereka pun kemudian menjawab, “Sayang sekali. Kami tidak mengijinkan kalian melakukannya.”

“Kenapa? Apakah batu hijau itu milikmu?“ bertanya Tatas Lintang.

“Ya,“ jawab orang itu dengan serta merta.

“Ki Sanak,“ berkata Tatas Lintang, “Aku tidak percaya. Tetapi seandainya benar, apa salahnya aku mengambil binatang-binatang berbisa itu? Bukankah sama sekali tidak merugikanmu?”

“Batu itu milik kami. Semua yang melekat pada batu itu-pun milik kami,“ jawab pemimpin dari keenam orang itu, “termasuk binatang-binatang yang ada di celah-celah retak-retaknya.”

“Baiklah. Tetapi apakah binatang berbisa itu bagi kalian ada gunanya selain sekedar untuk menakut-nakuti orang,“ bertanya Tatas Lintang.

Pemimpin dari keenam orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Apapun yang kami lakukan bukan persoalanmu. Aku mempunyai hak untuk menolak atau mengijinkan permintaanmu.”

“Baiklah,“ jawab Tatas Lintang, “aku mohon kalian mengijinkan. Kami memerlukan sekali binatang-binatang itu. Aku harus menyelamatkan beberapa kotak pategalan yang telah dikotori dengan racun, sehingga tanah pategalan itu menjadi sangat berbahaya jika tidak ditawarkannya. Dengan biadab seseorang atau sekelompok orang telah menuangkan cairan racun ke dalam lubang-lubang yang sedianya untuk ditanami pohon buah-buahan. Bukan hanya pohon buah-buahan yang akan ditanam di lubang-lubang itu sajalah yang akan mati, tetapi seseorang yang terperosok ke dalam lubang itupun akan mati. Bahkan seluruh tanah pategalan itupun akan bernafaskan racun yang mampu membunuh seseorang yang memasukinya.”

Orang-orang yang bersenjata tongkat itu menegang. Pemimpin mereka pun kemudian menjawab, “Itu persoalanmu. Kalau kau ingin menjadi pahlawan bagi orang-orang yang memiliki pategalan itu lakukanlah. Tetapi kau tidak akan dapat memperalat kami.”

“Kami tidak akan memperalat. Kami hanya minta binatang-binatang berbisa itu. Bukankah dengan demikian batu kalian justru akan menjadi bersih,“ sahut Tatas Lintang.

“Dengan demikian maka seseorang akan dengan sangat mudah mengambil batu itu. Tetapi jika binatang-binatang berbisa itu masih tetap berada di celah-celah retak-retaknya, maka sulit bagi seseorang untuk mengambilnya,“ berkata pemimpin dari keenam orang itu.

“Kau salah Ki Sanak,“ berkata Tatas Lintang, “jika kami berniat mengambilnya, maka binatang-binatang itu sama sekali tidak berarti bagi kami. Bahkan seandainya batu itu dililit oleh seribu ekor ular bandotan sekalipun.”

“Aku percaya,“ jawab pemimpin itu, “karena itu jika kalian yang datang, yang akan mencegah bukan binatang-binatang berbisa itu. Tetapi kami.”

“Ki Sanak,“ berkata Mahisa Murti, “apakah kalian masih ingin mengulangi kegagalan kalian pada waktu yang lewat?”

“Tidak Ki Sanak,“ jawab pemimpin itu, “sekarang kami sudah dilengkapi oleh pengalaman. Kami sudah dibekali dengan penawar racun. Sementara itu, kami memiliki ilmu yang lebih baik dari orang-orang yang pernah kalian kalahkan itu.”

“Tetapi jumlah kami pun bertambah,“ berkata Mahisa Murti, “karena itu, apakah salahnya jika kita tidak usah bertengkar. Berilah kesempatan kepadaku untuk mengambil binatang-binatang berbisa itu. Agar batu itu tidak diambil orang, maka aku berjanji bahwa aku tidak akan mengambil binatang-binatang itu sampai habis. Kami hanya akan mengambil separuhnya atau lebih sedikit. Dengan demikian, maka pada batu itu masih terdapat banyak sekali binatang yang akan mampu melindunginya dari tangan-tangan yang akan berniat buruk.”

“Sudahlah,“ berkata orang itu, “jangan banyak bicara. Pergilah. Kalian tidak boleh mengambil seekor pun binatang yang ada pada batu-batu hijau itu. Seekor dari binatang itu kalian ambil, maka sebagai gantinya satu jiwa diantara kalian melayang. Apakah kalian mengerti?”

“Kita akan mencari jalan keluar,“ jawab Mahisa Pukat, “jangan dengan serta merta menutup kemungkinan itu.”

“Cukup,“ bentak orang itu, “sekarang pergilah. Atau kami akan memaksa kalian pergi.”

“Baiklah,“ sahut Mahisa Pukat, “kami akan memaksa. Kami akan mengambil binatang-binatang itu sekarang. Pergilah, jangan halangi kami.”

Wajah-wajah pun menjadi tegang. Sementara itu, keenam orang itupun telah bergeser merenggang. Sekali-sekali seekor ular berdesis di bawah kaki. Tetapi sepuluh orang yang ada di dekat batu yang berwarna kehijauan itu tidak memperhatikannya lagi. Bahkan ketika seorang di antara keenam orang itu menginjak seekor ular tanpa sengaja dan digigitnya, maka orang itu hanyalah sekedar memukul kepala ular itu sehingga mati. Orang itu tidak lagi menjadi kebingungan karena racun ular itu di dalam tubuhnya.

Mahisa Pukat agaknya tidak sabar lagi. Dengan lantang ia berkata, “Jadi apakah kami harus memaksa. Kami akan melakukannya jika diperlukan.”

“Mulailah,“ geram pemimpin kelompok itu, “bukankah kalian memang datang dengan niat buruk? Sebelum kita berbicara apapun juga, kalian telah mulai menyerang. Untunglah kami mampu mempertahankan diri.”

“Kami memang sengaja ingin menunjukkan, bahwa kami memiliki ilmu yang cukup tinggi,“ jawab Mahisa Pukat sambil mengangkat wajahnya, “nah, apakah kalian tidak takut? Baru dengan suara dan suara tertawa kalian sudah kebingungan. Apalagi jika kami benar-benar bertempur dengan wadag kami.”

“Kami bukan pengecut,“ jawab pemimpin dari keenam orang itu, “kami siap bertarung beradu dada. Kami sama sekali tidak takut akan getaran suara kalian yang tidak berbobot sama sekali itu.”

Mahisa Pukat pun telah bergeser pula, siap untuk menyerang. Dengan demikian maka Mahisa Murti. Tatas Lintang dan Mahisa Ura pun harus segera mempersiapkan diri. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat benar-benar telah mulai dengan serangannya langsung ke arah pemimpin dari keenam orang itu. Namun orang itupun dengan tangkas telah bergeser menghindari serangan Mahisa Pukat.

Demikianlah, maka kedua belah pihak pun segera mempersiapkan diri sepenuhnya. Mahisa Murti pun mulai bergerak mendekati mereka, diikuti oleh Tatas Lintang dan Mahisa Ura.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat telah bertempur melawan pemimpin dari keenam orang itu. Keduanya justru telah beringsut menjauh. Sementara itu, seorang di antara keenam orang itupun telah meloncat pula menyerang Mahisa Ura yang bergeser mundur. Sejenak kemudian maka pertempuran di antara mereka-pun terjadi dengan sengitnya.

Mahisa Pukat melawan pemimpin dari keenam orang itu, sementara Mahisa Ura melawan orang yang telah menyerangnya. Mahisa Murti lah yang kemudian berusaha untuk memancing dua orang diantara mereka untuk melawannya sebagaimana dilakukan oleh Tatas Lintang, agar dengan demikian Mahisa Ura akan tetap berhadapan dengan seorang saja di antara keenam orang itu.

Demikianlah, maka di dekat batu yang berwarna kehijauan itu telah terjadi lagi pertempuran yang sengit. Namun agaknya Tatas Lintang memang menghendaki demikian. Ia akan dapat menjajagi isi dari padepokan yang memang akan mereka masuki. Jika sebagian dari isi padepokan itu telah dapat dipancingnya keluar, maka jika saatnya mereka memasuki padepokan itu, mereka tidak akan terkejut lagi. Bahkan mungkin yang tinggal di padepokan tidak akan berbahaya lagi bagi mereka.

Mahisa Ura yang berhadapan dengan salah seorang dari kelima orang itu, telah bergeser agak menjauh untuk mendapat kesempatan bertempur dengan baik sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat. Ternyata bahwa lawan Mahisa Ura itupun memiliki ilmu yang baik sebagai bekalnya menghadapi lawannya, yang sebenarnya adalah seorang petugas sandi dari Singasari itu.

Karena itu, maka Tatas Lintang pun harus mengerahkan kemampuannya pula. Untunglah bahwa Mahisa Ura memiliki pengalaman yang sangat luas, sementara itu ia telah membekali dirinya pula dengan ilmu yang memadai.

Ketika keduanya mulai mempergunakan tenaga cadangan di dalam diri masing-masing, maka pertempuran pun menjadi semakin seru. Keduanya bergerak semakin cepat dan benturan-benturan yang terjadi pun menjadi semakin sering. Namun akhirnya tongkat lawan Mahisa Ura itupun ikut menentukan.

Karena itulah, maka Mahisa Ura pun telah menarik sepasang pisau belati panjangnya dari balik kainnya. Dengan sepasang pisau belati panjang itu ia berusaha untuk dapat melawan tongkat lawannya. Tongkat yang dengan kemampuan yang tinggi diputar, diayunkan dan kadang-kadang mematuk dengan cepatnya.

Namun sepasang pisau belati panjang Mahisa Ura pun agaknya mampu mengimbangi tongkat itu. Meskipun pisau itu jauh lebih pendek dibanding dengan tongkat lawannya, tetapi ternyata bahwa kemampuan Mahisa Ura mempergunakannya, telah mampu sekali-sekali mengejutkan lawannya. Mahisa Ura mampu menangkis serangan lawannya dengan sebelah pisau belati panjangnya, kemudian dengan cepat meloncat maju dan mematuk dengan pisaunya yang lain.

Tetapi lawannya pun mampu bergerak cepat pula. Jika tongkatnya terhentak menyamping, maka dengan cepat pula ia menariknya dan memutarnya secepat baling-baling untuk melindungi dirinya.

Sementara itu Mahisa Murti dan Tatas Lintang masing-masing bertempur melawan dua orang. Dua orang yang bersenjata tongkat, sementara Mahisa Murti dan Tatas Lintang tidak bersenjata apapun juga. Namun Mahisa Murti dan Tatas Lintang memiliki kemampuan untuk menghambat gerak lawannya. Jika kedua orang lawannya mulai mendesak dengan putaran tongkatnya dan bahkan berusaha menggiringnya ke dalam keadaan yang sulit, maka Mahisa Murti dan Tatas Lintang mampu menghambat gerak lawannya. Dengan serangan berjarak mereka berusaha untuk menghentikan desakan kedua lawan masing-masing.

Tetapi agaknya Tatas Lintang memang tidak bermain-main. Ia justru ingin menunjukkan kepada lawan-lawannya bahwa mereka tidak akan mampu berbuat banyak. Meskipun ia harus berhadapan dengan dua orang, namun dalam waktu singkat, ia segera dapat melumpuhkannya. Karena itu, maka Tatas Lintang tidak sekedar menghentikan lawannya dengan meledakkan tanah yang akan dipijaknya, tetapi ia telah benar-benar menyerang dengan hentakkan ilmunya itu.

Karena itu, ketika dua orang bertongkat itu menyerangnya bersama-sama dari dua arah, Tatas Lintang telah mengambil jarak. Ia justru meloncat menjauh. Namun demikian kedua orang lawannya siap untuk meloncat menyerangnya, kedua tangan Tatas Lintang telah mengembang. Sekilat cahaya meluncur dan menyambar salah seorang dari lawannya.

Terdengar pekik tertahan. Sasaran itupun kemudian terhuyung-huyung sejenak. Orang itu masih sempat mengumpat sebelum ia terjatuh, bahkan sempat pula melemparkan tongkatnya ke arah Tatas Lintang. Namun tongkat itu tidak mengenai sasarannya. Bahkan ketika kawannya yang lain ingin mempergunakan kesempatan itu untuk menyerang, Tatas Lintang telah mempergunakan ilmu yang sama, menyerang orang itu dengan hentakkan ilmunya, sehingga sekali lagi seberkas kilat menyambar.

Orang itu bagaikan terdorong surut. Namun kemudian ia-pun terjatuh di tanah. Kedua orang itu tidak mati. Tetapi keduanya telah kehilangan kemampuannya untuk melawan. Tubuh mereka rasa-rasanya menjadi panas sedangkan tulang belulangnya bagaikan terlepas dari sendi-sendinya. Perlawanan mereka ternyata hanya terjadi dalam waktu singkat. Tatas Lintang telah menyelesaikan perkelahiannya.

Sementara itu Mahisa Murti telah mempergunakan kemampuan ilmunya yang lain. Dengan tangkasnya ia selalu berusaha menyusup putaran tongkat kedua lawannya. Sentuhan-sentuhan kecil telah terjadi beberapa kali. Namun kemudian kedua lawannya itu bagaikan kehilangan segenap kekuatannya. Demikian cepatnya susut tanpa mereka sadari.

Mereka seakan-akan telah kehilangan sebagian besar dari tenaga dan kemampuan mereka, sehingga mereka merasa tidak mungkin lagi untuk meneruskan perlawanan. Kedua orang lawan Mahisa Murti itu menjadi heran. Mereka mempunyai pengalaman yang luas. Mereka pernah berkelahi untuk waktu yang lama tanpa merasa bahwa kemampuan dan kekuatan mereka susut. Namun menghadapi anak muda itu, seakan-akan kekuatan dan ilmunya telah terperas bersama keringatnya.

Sebelum mereka mengerti apa yang terjadi, maka Mahisa Murti pun menjadi semakin sering berhasil menyentuh kedua lawannya berganti-ganti, sehingga akhirnya, kedua lawannya itu benar-benar menjadi tidak berdaya dan pada saat-saat terakhir, Mahisa Murti tidak sekedar menyentuhnya untuk mengetrapkan ilmunya, namun dengan sentuhan terakhirnya, maka kedua orang lawannya itupun telah terjatuh dan menjadi pingsan karenanya.

Yang masih bertempur adalah Mahisa Ura dan Mahisa Pukat. Lawan Mahisa Pukat, pemimpin dari keenam orang itu, memang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Ia memiliki kemampuan bergerak dengan kecepatan yang luar biasa. Sehingga karena itu, maka Mahisa Pukat memang mengalami kesulitan karena lawannya itu bersenjata tongkat.

Namun dalam keadaan yang mendesak, tibia-tiba saja Mahisa Pukat telah meloncat memungut tongkat dari salah seorang yang telah dikalahkan oleh Mahisa Murti. Dengan demikian maka kedua orang yang bertempur itu masing-masing telah bersenjata tongkat. Ternyata Mahisa Pukat pun memiliki kemampuan untuk mempergunakan tongkat yang jarang dilakukannya. Sehingga karena itu maka pertempuran antara dua orang yang bersenjata tongkat itupun semakin seru.

Pemimpin dari keenam orang itu agaknya memang memiliki ilmu yang tinggi dan kekuatan yang sangat besar. Jauh melampaui lima orang lainnya. Karena itulah maka agaknya Mahisa Pukat tidak segera mampu mengatasi lawannya. Namun ketika Mahisa Pukat telah mempergunakan sebatang tongkat panjang, maka keseimbangan dari pertempuran itupun telah berubah. Perlahan-lahan Mahisa Pukat telah berhasil mendesak lawannya.

Bahkan ketika Mahisa Pukat menjadi semakin mapan, ia telah mampu mengetrapkan ilmunya pula. Pada saat ia sempat menangkis serangan lawan, maka iapun telah menyerang dengan kakinya langsung menyentuh tubuh lawannya.

Yang terjadi kemudian adalah sebagaimana telah terjadi atas lawan Mahisa Murti. Perlahan-lahan, namun pasti, kekuatan lawannya itupun menjadi susut. Tongkatnya pun menjadi semakin lambat berputar dan kecepatan geraknya pun telah dengan cepat menurun.

Orang itu mengumpat di dalam hati. Ia tidak mengerti, apa yang apa yang sebenarnya telah terjadi pada dirinya. Namun akhirnya ia mengerti juga. Pengenalannya atas berbagai macam ilmu melampaui kelima orang yang dipimpinnya, sehingga iapun kemudian dapat mengenali ilmu lawannya itu.

“Gila,“ geram orang itu, “kau memiliki ilmu iblis itu, sehingga kau dapat dengan licik mencuri kekuatan dan kemampuanku.“

“Apapun yang terjadi Ki Sanak,“ jawab Mahisa Pukat, “menyerahlah. Aku tidak akan berbuat apa-apa selain mengambil binatang-binatang itu.”

“Persetan. Selagi belum terlambat, aku akan membunuhmu,“ geram orang itu.

Namun sebenarnyalah bahwa ia sudah terlambat menyadari apa yang sudah terjadi. Ia tidak lagi mampu bergerak cepat dan tenaganya tidak lagi dapat mengimbangi kekuatan tenaga lawannya. Bahkan kemudian, Mahisa Pukat telah berhasil mengenainya dengan tongkat panjangnya beberapa kali. Meskipun ia tidak lagi menghisap kekuatan lawannya, tetapi pukulan-pukulan tongkatnya yang tidak terelakkan, telah benar-benar menyakitinya. Bahkan benturan-benturan yang terjadi pun seakan-akan telah menggetarkan genggaman tangannya.

Sehingga akhirnya, ketika Mahisa Pukat telah menjadi jemu, maka pukulan tongkatnyalah yang kemudian menentukan. Dengan ayunan yang keras maka Mahisa Pukat telah berhasil menghantam tongkat lawan sehingga tongkat itu terlepas dari tangannya. Sebelum lawannya itu mampu berbuat apa-apa, maka ujung tongkat Mahisa Pukat telah mematuk lambungnya.

Orang itu menyeringai menahan kesakitan yang sangat yang menyengat lambungnya itu. Bahkan rasa-rasanya tenaganya telah menjadi lumpuh sama sekali. Matanya menjadi suram dan kabur meskipun ia masih memiliki kesadarannya.

“Aku dapat meremukkan kepalamu,“ geram Mahisa Pukat yang menyentuh tengkuk orang itu dengan tongkatnya. “Mengakulah bahwa kau menyerah.”

Tetapi orang itu menggeram. Katanya, “Hanya kematian yang dapat memaksaku untuk menyerah.”

“Kau terlalu sombong,“ geram Mahisa Pukat.

“Seorang laki-laki akan memilih mati daripada menyerah,“ katanya.

Kemarahan Mahisa Pukat tidak dapat dibendung lagi. Karena itu maka tiba-tiba saja iapun telah melepaskan tongkatnya. Dengan geram Mahisa Pukat telah menangkap lengan orang itu dengan kerasnya.

Orang itu tidak menyadari apa yang akan terjadi dengan dirinya. Ia mengira bahwa dengan marah Mahisa Pukat akan mengguncang tubuhnya memukulnya atau memperlakukannya dengan kasar. Namun akhirnya iapun menyadari, bahwa Mahisa Pukat telah menyerap semua tenaganya. Dengan demikian ketika Mahisa Pukat itu melepaskannya, maka orang itu benar-benar sudah tidak berdaya.

Mahisa Pukat kemudian berdiri tegak di samping pemimpin kelompok yang sudah tidak berdaya itu. Dengan geram ia berkata, “Apakah kau masih akan membunuh aku?”

Pemimpin kelompok yang sudah tidak berdaya itupun berkata dengan lemah tetapi masih dengan getar kemarahan yang bergejolak di dalam dadanya, “Kau licik. Jika kau jantan, kita akan bertempur dalam keadaan sewajarnya. Kau pergunakan ilmu iblismu yang mampu mencuri kekuatan dari lawanmu.”

“Itu adalah satu kemampuan ilmu untuk melawan kecuranganmu. Aku tidak bersenjata, dan kau mempergunakan senjatamu,“ jawab Mahisa Pukat.

“Jika kau sekarang tidak membunuhku, kau akan menyesal, karena akulah yang kelak akan membunuhmu.“ geram orang itu.

Mahisa Pukat tidak menghiraukan lagi. Namun iapun kemudian berpaling ke arah Mahisa Ura yang masih bertempur dengan mempergunakan sepasang pisau belatinya. Mahisa Murti dan Tatas Lintang pun kemudian juga memperhatikan pertempuran itu. Namun mereka pun segera mengetahui bahwa Mahisa Ura akan dapat memenangkan pertempuran itu. Dengan sepasang pisau belati panjangnya, Mahisa Ura ternyata dapat melawan kegarangan tongkat panjang lawannya.

“Ternyata ia mempunyai senjata yang baik,“ desis Tatas Lintang.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Keduanya pun terbiasa juga membawa pisau belati panjang. Tetapi saat itu keduanya memang tidak membawanya. Mereka lebih percaya kepada kemampuan yang telah mereka miliki daripada pisau belati panjang. Menurut perhitungan mereka, maka mereka akan dapat memanfaatkan ilmu yang mereka terima dari Tatas Lintang jika sangat diperlukan. Namun ternyata tanpa mempergunakan ilmu itupun mereka telah mampu mengalahkan lawan-lawannya.

Dalam pada itu, Mahisa Ura benar-benar telah mendesak lawannya sehingga lawannya itu tidak mampu lagi bertahan lebih lama lagi. Tongkatnya seakan-akan tidak lagi banyak berarti, karena pisau belati Mahisa Ura yang sepasang itu mampu mengimbangi kecepatan putaran tongkatnya.

Karena itu, ketika Mahisa Ura melihat semuanya telah menyelesaikan tugas masing-masing, maka iapun segera mengerahkan kemampuannya pula. Ketika menangkis patukan tongkat lawannya dengan pisau belati panjang di tangan kiri sambil meloncat mendekat. Demikian cepatnya sehingga lawannya tidak sempat menghindarinya. Sehingga karena itu, maka ujung pisau itu telah tergores di pundaknya.

Orang itu menyeringai kesakitan. Bahkan dengan demikian, maka sebelah tangannya pun menjadi bagaikan lumpuh. Meskipun demikian, orang itu sama sekali tidak berniat untuk menyerah. Karena itu, maka dengan sebelah tangannya ia masih juga melawan Mahisa Ura dengan sisa tenaganya.

Mahisa Ura lah yang kemudian merasa diburu oleh waktu karena ia harus menyelesaikan pertempuran itu yang terakhir sementara ia hanya melawan seorang saja. Meskipun Mahisa Pukat juga hanya melawan satu orang saja, tetapi lawannya adalah pemimpin dari sekelompok orang bertongkat itu, yang memiliki ilmu paling tinggi di antara mereka.

Karena itu, maka Mahisa Ura pun telah kehilangan perhitungannya. Asal saja ia ingin cepat mengalahkan orang bertongkat itu. Karena itulah, maka iapun telah mempergunakan kesempatan yang terbuka itu untuk mengakhiri perlawanan orang bertongkat itu. Dengan sebelah tangan, maka tongkat itu tidak lagi dapat berputar, berayun dan mematuk sebagaimana digerakkan oleh kedua tangannya.

Mahisa Ura lah yang kemudian menguasai medan. Dengan tangkasnya ia telah menyusup di antara putaran tongkat itu dengan sebelah pisaunya dan seperti yang sudah dilakukannya, menusuk lawannya dengan pisaunya yang lain. Namun lawannya tidak membiarkan tubuhnya dilukainya lagi. Karena itu, maka dengan cepat ia meloncat surut.

Tetapi agaknya Mahisa Ura telah memperhitungkannya. Dengan cepat ia memburunya dan sekali lagi ia menikamkan pisaunya langsung ke arah dada. Orang itu tidak sempat meloncat lagi. Iapun tidak sempat menangkis karena ia hanya menggerakkan tongkatnya dengan sebelah tangan. Karena itulah, maka pisau itu benar-benar telah menikam dadanya menghunjam sampai ke jantung.

Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Tatas Lintang sempat melihat pisau itu menghunjam ke dada orang bertongkat itu. Merekapun melihat orang itu terkulai jatuh dan tidak akan sempat bangkit kembali. Mereka hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu Mahisa Ura pun berdiri termangu-mangu ketika ia berpaling kepada Tatas Lintang, iapun berkata, “Maafkan aku. Aku memang tidak mampu melakukan sebagaimana kalian lakukan. Agaknya aku telah membunuh lawanku.”

Ketiga orang yang termangu-mangu itu tidak menjawab. Sementara Mahisa Ura pun berkata pula, “Aku tidak dapat berbuat lain. Tetapi apakah lawan-lawan kalian tidak terbunuh?“

Mahisa Murti lah yang menjawab, “Terbunuh atau tidak, tergantung kepada keadaannya. Kami tidak menyalahkan seandainya lawanmu itu terbunuh. Kemungkinan itu memang dapat terjadi dalam pertempuran. Karena itu, jangan disesali.”

Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Tatas Lintang pun berkata, “Marilah. Kita lakukan kewajiban kita.”

Keempat orang itupun kemudian telah meninggalkan tubuh-tubuh yang terbaring lemah dan seorang diantaranya telah terbunuh. Sambil melangkah menuju ke batu yang berwarna kehijauan itu Tatas Lintang berkata, “Nanti kita akan mengurusnya jika kerja kita sudah selesai, sementara itu mereka yang pingsan sudah mulai sadar.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura tidak menjawab. Mereka mengikuti saja Tatas Lintang menuju ke batu yang berwarna kehijauan itu. Meskipun malam gelap tetapi dengan ketajaman penglihatan mereka, maka mereka melihat apa yang mereka cari.

Namun terasa tengkuk mereka pun meremang. Meskipun mereka telah memiliki kemampuan untuk menawarkan racun, tetapi pada malam hari berjenis-jenis binatang beracun itu seolah-olah telah keluar dari celah-celah retak batu yang berwarna kehijauan itu merambat di wajah batu yang besar itu dalam jumlah yang tidak terhitung.

Tatas Lintang pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa beruntung bahwa akhirnya ia akan mendapatkan apa yang mereka cari. Dengan demikian ia akan dapat membantu orang-orang padukuhan itu untuk mengamankan salah satu lingkungan di padukuhan mereka yang telah dicemarkan dengan racun.

Namun dalam pada itu, maka iapun berkata kepada Mahisa Ura, “Telanlah penawar itu. Meskipun saat ini kau masih dilindungi oleh penawarmu yang pertama, tetapi sebentar lagi, kekuatannya akan susut. Jika kau terlupa, maka kau akan mengalami akibat yang buruk. Karena itu, lakukanlah sekarang.”

Mahisa Ura tidak menjawab. Tetapi ia telah mengambil sebutir penawar racun dari kantong ikat pinggangnya dan kemudian menelannya.

Sebentar kemudian, maka mereka berempat pun telah memungut binatang-binatang beracun yang berada di batu besar yang berwarna kehijauan itu. Binatang-binatang itu memang menyengat, menggigit dan menusuk dengan duri-durinya yang beracun. Tetapi keempat orang itu tidak menghiraukannya. Mereka telah mempergunakan ikat kepala mereka untuk membungkus binatang-binatang itu.

“Tetapi ada juga benarnya alasan orang-orang yang mencegah kita,“ berkata Tatas Lintang, lalu katanya, “tanpa binatang-binatang ini maka batu ini pun akan cepat lenyap. Karena itu, kita harus membiarkan sebagian dari binatang-binatang ini untuk tetap berada di celah-celah retak batu-batu itu.”

“Jumlah binatang ini tidak terhitung,“ berkata Mahisa Murti ketika ia kemudian mengetuk-ketuk batu itu, maka bermunculanlah binatang sejenis lebih banyak lagi.

Namun Tatas Lintang itupun kemudian berkata, “Kita akan mengambil secukupnya.”

Ketiga orang anak muda yang diakunya sebagai kemanakannya itupun tidak menyahut. Namun kemudian Tatas Lintang memberikan isyarat, bahwa yang telah mereka ambil agaknya telah cukup banyak. Dengan demikian, maka mereka pun telah berhenti memunguti binatang-binatang berbisa itu dan kemudian membungkusnya dengan ikat kepala mereka.

“Marilah.“ berkata Tatas Lintang, “tetapi kita akan melihat orang-orang itu. Mudah-mudahan mereka telah menjadi baik dan dapat meninggalkan tempat ini sambil merawat seorang yang terbunuh di antara mereka berenam.”

Keempat orang itupun kemudian meninggalkan batu itu dan mendekati tubuh-tubuh itu, maka mereka pun terkejut. Pemimpin dari kelompok itu telah mampu bangkit. Namun yang lain tidak akan dapat bangkit untuk selamanya.

“Kenapa mereka mati?“ justru Tatas Lintang lah yang bertanya.

“Kalian adalah pembunuh-pembunuh yang keji,“ jawab pemimpin kelompok itu.

“Kami tidak membunuh,“ jawab Tatas Lintang, “hanya seorang di antara kalian yang terbunuh. Dalam perkelahian hal itu memang mungkin terjadi. Menurut pengertian kami, yang lain masih tetap hidup meskipun mungkin pingsan atau tidak berdaya.”

“Tetapi di lingkungan ini banyak sekali ular,“ berkata pemimpin kelompok itu.

“Bukankah kalian tawar akan bisa?“ bertanya Tatas Lintang pula.

“Tetapi penawar yang kami telan hanya berlaku untuk beberapa lama, kecuali aku sendiri memang memiliki penawar yang tetap.“ jawab pemimpin kelompok itu, “pada saat mereka pingsan dan tidak berdaya, maka ular-ular itu telah menggigit mereka, sementara kekuatan penawar mereka telah lewat waktu berlakunya.”

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Maaf. Aku tidak mengerti. Tetapi agaknya nasib kawan-kawanmulah yang memang terlalu buruk, sehingga mereka harus mendahuluimu.”

Pemimpin kelompok itu memandang keempat orang itu dengan penuh kebencian. Katanya, “Kali ini aku gagal mencegah kalian. Tetapi sekali lagi aku peringatkan, jika kalian tidak membunuh aku pula, maka kalian akan menyesal, karena akulah yang akan membunuh kalian.”

Tatas Lintang hanya menarik nafas saja. Ia pun kemudian berpaling kepada tiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu dan mengisyaratkan kepada mereka untuk meninggalkan tempat itu. Sejenak kemudian, maka keempat orang itupun telah meninggalkan keenam orang yang telah berusaha mencegah mereka, namun dapat mereka atasinya, sehingga lima orang telah, mati meskipun dengan sebab yang tidak langsung. Seorang masih tetap selamat dan melepaskan keempat orang itu pergi, namun dengan dendam yang membara di dalam hati.

Sekali-sekali Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengibaskan kaki-kaki mereka jika seekor ular menyerang mereka bagaimanapun juga mereka tawar akan racun, namun mereka lebih senang tidak digigit ular sama sekali dari pada harus membunuh ular yang seakan-akan lekat pada pergelangan kakinya pada waktu menggigit.

Keempat orang itupun kemudian telah berjalan di sisa malam itu menuju langsung ke padukuhan mereka tinggal. Jaraknya memang agak jauh dan mereka tidak akan dapat menempuh perjalanan itu hanya pada saat hari gelap karena itu, mereka namun harus berjalan juga setelah matahari terbit dan bahkan sampai saatnya matahari turun ke sisi Barat.

Ketika mereka sampai ke tepi sebatang sungai, mereka sempat berhenti dan membenahi diri. Mencuci muka, kaki dan tangan. Kemudian duduk sejenak untuk melepaskan lelah. Dari sebuah belik di tepi sungai itu mereka mendapatkan air yang cukup bersih dan bening yang dapat mereka minum untuk melepaskan haus.

“Biarlah untuk sementara kita mengobati haus kita,“ berkata Tatas Lintang, “nanti jika hari sudah pagi, kita akan singgah di kedai untuk makan. Apakah kalian tidak lapar?”

Tidak ada yang menjawab. Tetapi nampaknya ketiganya sependapat. Tatas Lintang pun tersenyum. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Setelah beristirahat sejenak. Merekapun kemudian telah bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Sementara itu langit pun menjadi kemerah-merahan. Namun mereka telah tertegun ketika mereka mendengar desir langkah beberapa orang mendekat.

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam hati, “ternyata mereka berusaha untuk menyusul. Dendam orang itu agaknya benar-benar harus ditumpahkan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang juga mendengar langkah itu mendekat. Merekapun mengira bahwa yang datang itu adalah kawan-kawan dari pemimpin kelompok yang mendendam itu. Namun yang kemudian muncul dari balik tanggul adalah beberapa orang bertubuh garang dan berwajah kasar. Mereka berloncatan turun ke tepian dengan parang di tangan.

Keempat orang itu menarik nafas dalam-dalam. Yang datang tentu bukan orang-orang padepokan itu. Bahkan para cantrik pun tidak. Tetapi yang datang itu agaknya adalah penyamun yang melihat mereka turun ke sungai dan beristirahat.

Sebenarnyalah orang yang tertua diantara mereka, yang rambutnya sudah berwarna rangkap maju selangkah sambil mengayunkan senjatanya. Dengan kasar ia berkata, “Apa yang kalian bawa dengan bersembunyi-sembunyi itu?”

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kami tidak bersembunyi-sembunyi. Kami merasa haus dan kami telah mencari belik di sini.”

Orang yang tertua diantara mereka pun tertawa. Katanya, “katakan, apakah yang kalian bawa dalam bungkusan-bungkusan itu?”

“Bukan apa-apa Ki Sanak,“ jawab Tatas Lintang, “kami membawa bahan obat-obatan yang kami ambil dari hutan.”

“Omong kosong,“ geram orang itu. Lalu katanya, “Kalian tentu telah menyamun seseorang. Tetapi menurut pengamatan kami, kalian bukan orang yang berhak melakukan di daerah ini. Daerah ini adalah daerah kuasaku. Aku sendiri jarang sekali melakukan di daerah ini. Tiba-tiba sekarang kau, orang yang tidak berhak telah melakukannya. Meskipun aku menganggap bahwa kalian terlalu berani telah merampok di sini, karena kalian akan dapat dipenggal leher kalian oleh orang-orang bertongkat yang tidak ada tandingnya itu.”

“Siapakah yang kau maksud orang-orang bertongkat itu?“ bertanya Tatas Lintang.

“Orang-orang padepokan,“ jawab orang itu, “mereka tidak menghendaki seseorang melakukan perampokan dan penyamunan di daerah ini. Jika aku melakukan, aku memilih tempat yang agak jauh. Namun kalian agaknya telah melakukan di sini. Ada dua kemungkinan yang dapat aku tangkap dari perbuatan kalian. Kalian memang tidak mengetahui medan dan tidak mengenal orang-orang bertongkat itu menghukum kami. Untunglah kami dapat menjumpai kalian langsung sehingga kami pun dapat menghindarkan diri dari kemungkinan yang buruk bagi kami. Kamilah yang akan menangkap kalian dan menyerahkan kepada orang-orang bertongkat. Atau kalian menyerahkan barang-barang itu kepada kita. Seandainya kita harus mempertanggung-jawabkan peristiwa penyamunan ini, agaknya kami tidak akan berkeberatan karena kami telah memetik hasilnya.”

Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Ada-ada saja hambatan yang harus dihadapinya. Karena itu, maka katanya, “Baiklah Ki Sanak. Jika kalian menghendaki barang-barangku ini, ambillah. Tetapi aku minta kalian melihat isinya lebih dahulu, agar barang-barang itu tidak tersia-sia. Jika barang-barang yang terbungkus itu sudah kalian bawa, tetapi ternyata kalian tidak memerlukannya, sementara kami sangat membutuhkan, maka barang itu akan terbuang tanpa arti. Sayang sekali, karena barang itu dalam dunia obat-obatan mempunyai nilai kemanusiaan yang tinggi.”

Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kepada seorang kawannya, “Lihat apa yang mereka bawa.”

Tatas Lintang pun telah menyerahkan sebuah bungkusan kepada orang yang kemudian bergeser mendekat. Kemudian Tatas Lintang pun beringsut mundur beberapa langkah. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun orang tertua diantara mereka pun mendesaknya, “Lepaskan bungkusan itu agar kita dapat melihat isinya.”

”Berhati-hatilah,“ pesan Tatas Lintang.

Orang yang menerima bungkusan itu mulai menjadi ragu-ragu. Diletakkannya bungkusan itu di atas tanah. Kemudian perlahan-lahan ia mulai melepas ikatan sudut-sudut ikat kepala itu. Namun tiba-tiba saja orang itu meloncat surut. Dalam keremangan fajar ia melihat berjenis-jenis binatang beracun merayap keluar dari bungkusan yang dibukanya.

“Gila,“ orang itu berteriak, “binatang-binatang berbisa.”

Orang-orang yang berwajah kasar itupun tertegun. Sementara itu Tatas Lintang pun meloncat mendekat sambil mengumpulkan binatang-binatang yang mulai merayap berpencaran itu.

“Kami memerlukan binatang-binatang ini,“ berkata Tatas Lintang sambil membungkus kembali binatang-binatang berbisa itu, meskipun ada juga beberapa di antaranya yang sempat melarikan diri.

“Apa yang sudah kau lakukan?“ bertanya orang tertua diantara mereka yang datang itu dengan nada tinggi, “untuk apa kau kumpulkan binatang-binatang berbisa itu?”

“Kami memerlukannya untuk perikemanusiaan,“ jawab Tatas Lintang, “kami harus menawarkan racun yang disebarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab di pategalan di padukuhan kami.”

Orang tertua di antara mereka itupun mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi kau sendiri tawar akan racun?”

Tatas Lintang termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Adalah kebetulan bahwa aku mendapat kurnia terbebas dari racun dan bisa.”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata kau memiliki juga barang berharga. Jika demikian maka tidak sia-sia kami datang menemui kalian. Baiklah Ki Sanak. Jika demikian, biarlah kita saling berbaik hati. Aku menginginkan penawar racun itu...”