PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 21
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 21
Karya Singgih Hadi Mintardja
NAMUN dalam pada itu, ketiga orang pengawal itu mau-pun Purnadewi sendiri juga menjadi cemas. Mereka tidak tahu pasti siapakah kelima orang petani itu. Yang pasti bahwa mereka bukannya Pangeran Kuda Permati. Jika diantara mereka terdapat Pangeran Kuda Permati, maka mereka tidak akan berbuat demikian lamban. Mereka akan langsung menyerang, dan menghancurkan sepuluh orang yang telah berani mengganggu perjalanan Purnadewi.
Tetapi kelima orang petani itu telah mempergunakan cara yang aneh untuk membantu ketiga orang yang mengawal Purnadewi itu. Namun apa-pun yang akan mereka hadapi kemudian, tetapi mereka sudah terlepas dari tingkah laku sepuluh orang yang sangat menyakiti hati itu. Sebenarnyalah bahwa orang-orang yang mencegat perjalanan Purnadewi itu tidak dapat bertahan terlalu lama.
Orang yang bertempur menghadapi para petani itu-pun segera kehilangan kesempatan untuk memenangkan pertempuran. Seorang demi seorang mereka telah dilumpuhkan. Meskipun para petani itu tidak ingin membunuh lawannya, tetapi diluar kehendaknya ternyata bahwa ada di antara lawan mereka yang tertusuk senjata sampai ke pusat jantung.
Agak berbeda dengan para petani itu, maka ketiga orang pengawal Purnadewi sama sekali tidak mempertimbangkan untuk mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya. Mereka bertempur sebagaimana mereka bertempur. Karena itu, maka ketika senjatanya menusuk sampai ke pusat dada lawannya, maka mereka sama sekali tidak terlalu banyak menaruh perhatian.
Ternyata bahwa dua ujung tombak dan sebilah pedang yang berada di tangan ketiga orang pengawal Purnadewi itu telah mematuk tubuh lawannya dan menghilangkan nyawanya. Bahkan seorang di antara mereka telah membunuh dua orang berturut-turut.
Karena itu, maka dalam waktu yang dekat, sepuluh orang yang mencegat perjalanan Purnadewi dan ketiga orang perwira yang dilepaskannya itu telah dilumpuhkan, sehingga mereka tidak lagi berdaya untuk berbuat apa-pun juga.
Namun ketiga orang pengawal Purnadewi itu benar-benar menjadi heran. Kelima orang petani yang telah mengalahkan Purnadewi dan para pengawalnya. Demikian lawan-lawan mereka, mereka kalahkan, maka mereka-pun begitu saja melangkah meninggalkan tempat itu. Para pengawal Purnadewi tidak menahannya. Dibiarkannya saja kelima orang itu pergi memasuki pategalan.
Baru sejenak kemudian, maka Purnadewi dapat menjadi tenang. Jantungnya menjadi lebih teratur dan nafasnya tidak lagi terasa memburu lewat kerongkongannya. Karena itu, maka ia-pun mulai dapat menilai apa yang telah terjadi. Ketika ketiga orang perwira yang mengawalnya itu sudah membenahi diri, maka Purnadewi itu-pun bertanya, “Siapakah orang-orang yang telah menolong kita itu?”
Para pengawalnya menggelengkan kepalanya. Salah seorang diantaranya menjawab, “Orang itu asing bagi kami. Entahlah jika mereka mengenakan pakaian yang lain dan di siang hari pula. Agaknya mereka bukan petani-petani biasa yang kebetulan melihat peristiwa ini.”
Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian ia telah melihat sendiri, betapa pertentangan dan peperangan telah merusak kesadaran manusia tentang baik dan buruk. Orang-orang yang menghentikannya itu sama sekali tidak lagi menghormati peradaban dan hubungan diantara sesamanya.
“Bagaimana-pun juga, kita merasa bersyukur,” berkata Purnadewi, “Aku telah terlepas dari petaka yang sangat mengerikan. Aku benar-benar merasa ketakutan dan putus asa.”
“Baiklah puteri,” berkata salah seorang diantara ketiga perwira yang mengawalnya, “Marilah kita melanjutkan perjalanan. Jika di sini kita bertemu dengan sekelompok prajurit yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati, maka agaknya kita telah menempuh jalan yang benar.”
Dengan demikian, maka keempat orang itu-pun telah meneruskan perjalanan. Sementara itu dari balik semak-semak kelima orang yang mengenakan pakaian petani memperhatikan perjalanan itu.
“Untunglah bahwa kita selalu mengawasinya,” berkata Pangeran Singa Narpada yang mengenakan pakaian petani itu pula.
“Ya Pangeran,” jawab Panji Sempana Murti yang ikut bersama Pangeran Singa Narpada, “Jika kita percayakan puteri itu bersama ketiga orang yang mengawalnya, maka ia sudah mengalami bencana yang paling dahsyat.”
“Kita ikut bertanggung jawab bahwa Purnadewi harus sampai kepada suaminya,” berkata Pangeran Singa Narpada.
Panji Sempana Murti mengangguk-angguk. Ia-pun sependapat bahwa puteri Purnadewi harus sampai kepada Pangeran Kuda Permati untuk dapat diharapkan bahwa perjalanannya akan membawa hasil.
“Marilah,” Tiba-tiba terdengar suara Pangeran Singa Narpada yang selalu berkepentingan bahwa Purnadewi harus sampai kepada suaminya, maka ia-pun berkepentingan untuk menyelamatkan Purnadewi karena ia adalah saudara sepupunya, “Tugas kita belum selesai. Kita harus yakin, bahwa usaha ini akan berhasil. Baru jika Purnadewi bertemu dengan suaminya, maka ia akan dapat menyampaikan segala pesan kita dalam ujud yang sudah berbeda menurut tanggapan Purnadewi sendiri. Peristiwa yang baru saja terjadi akan menguatkan sikapnya, bahwa peperangan ini hanya akan menghasilkan bencana saja.”
Panji Sempana Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun mereka-pun telah meneruskan perjalanan mereka membayangi perjalanan puteri Purnadewi dengan ketiga orang perwira yang telah dibebaskannya.
Perjalanan itu memang perjalanan yang berat. Apalagi bagi Purnadewi. Tetapi ternyata ketiga orang perwira yang merasa dirinya diselamatkan itu telah membantunya sejauh dapat mereka lakukan. Ketika Purnadewi menjadi sangat letih, maka ketiganya bergantian telah menolongnya dengan memapahnya.
“Kita beristirahat sebentar,” berkata Purnadewi, “Aku tidak kuat lagi meneruskan perjalanan. Kakiku telah terluka oleh goresan-goresan batu-batu yang runcing."
Ketiga orang perwira itu tidak dapat memaksanya. Mereka-pun kemudian memberikan kesempatan kepada Purnadewi untuk beristirahat, berbaring diatas sebuah batu yang besar. Sementara itu, ketiga orang perwira itu menungguinya dengan setia. Bahkan karena kakinya yang terasa bagaikan terbakar, Purnadewi telah berpindah, duduk dan merendam kakinya di dalam sebuah parit yang tidak begitu besar, namun airnya yang bening rasa-rasanya bagaikan menghisap perasaan sakit dan letihnya meskipun mula-mula kaki itu terasa sangat pedih ketika menyentuh air.
Dari kejauhan Pangeran Singa Narpada menyaksikan adik sepupunya yang kelelahan. Ia merasa kasihan. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali dengan sabar menunggunya. Namun ternyata Purnadewi mempunyai kemauan yang keras. Sejenak kemudian, ketika kakinya sudah merasa dingin, ia-pun telah bangkit sambil berkata, “Kita meneruskan perjalanan.”
“Bagaimana dengan kaki puteri?” bertanya salah seorang diantara para perwira.
“Tidak apa-apa. Kakiku sudah terasa baik,” jawab Purnadewi.
Namun demikian mereka mulai berjalan, maka kaki Purnadewi yang tersentuh runcingnya bebatuan telah kembali merasa sakit.
“Puteri,” berkata salah seorang perwira, “Jika puteri berkenan, apakah kami dapat menyediakan sebuah terompah. Mungkin dengan cumpring bambu atau dengan apa-pun juga. Bahkan dapat juga dengan mempergunakan sobekan kain panjang untuk dibalutkan ke kaki puteri.”
Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Terima kasih. Aku akan mencoba untuk berjalan tanpa alas.”
Namun kaki Purnadewi tidak memenuhi gejolak tekadnya untuk berjalan terus tanpa alas. Karena itu, maka ia terpaksa tidak menolak ketika seorang diantara para perwira itu telah mengoyak kain penjangnya dan kemudian membalut kaki Purnadewi dengan sobekan kain panjangnya itu. Dengan demikian, maka kaki Purnadewi menjadi agak terlindung, sehingga meskipun terasa sakit, tetapi ia kemudian dapat melanjutkan perjalanannya.
Pangeran Singa Narpada melihat keadaan adik sepupunya itu. Ia memang menjadi sangat kasihan. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak dapat menolong lebih banyak lagi selain membebaskannya dari tangan orang-orang yang menjadi liar karena pengaruh peperangan yang tidak berkesudahan.
Betapa-pun lambatnya, namun Purnadewi itu berjalan juga ke arah yang diduganya menjadi tempat tinggal dan landasan sementara dari pasukan Pangeran Kuda Permati. Beberapa saat kemudian, maka sekali lagi keempat orang itu dikejutkan oleh kedatangan beberapa orang yang berloncatan dari balik semak-semak. Menilik sikap dan pakaian mereka, maka keempat orang itu-pun segera mengetahui bahwa mereka adalah para pengikut Pangeran Kuda Permati sebagaimana yang mereka jumpai beberapa saat yang lalu.
Purnadewi yang telah mengalami perlakuan yang sangat menyakitkan hati, sekali lagi menjadi ketakutan. Mungkin orang-orang itu-pun akan bersikap sebagaimana sikap kawan-kawannya yang terdahulu. Jika disini tidak ada seorang-pun yang menolong sebagaimana terjadi beberapa saat yang lalu, akibatnya akan sangat parah baginya dan tentu juga ketiga orang yang mengawalnya itu.
Ternyata bahwa sikap orang-orang itu tidak kalah garangnya. Mereka mengepung keempat orang yang telah mereka hentikan itu. Sementara itu sebagaimana telah dilakukan, maka ketiga orang perwira yang mengawal Purnadewi itu-pun telah berpencar diseputar Purnadewi yang ketakutan pula.
“Siapakah kalian,” geram pemimpin dari orang-orang yang menghentikannya itu.
Perwira yang mengawal Purnadewi itu tidak ingin berputar-putar lagi. Dengan tegas ia-pun menjawab, “Aku mengawal puteri Purnadewi, isteri Pangeran Kuda Permati.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Ya. Puteri inilah yang akan aku antar menghadap Pangeran Kuda Permati.”
Suasana menjadi tegang. Tetapi orang yang menghentikan itu tidak segera percaya. Dalam keremangan malam mereka mencoba memperhatikan puteri itu dengan saksama. Namun seorang diantara mereka yang menghentikan itu berkata, “Apakah masuk akal bahwa puteri Purnadewi akan berada di sini di malam buta ini? Bukankah puteri berada di landasan utama.”
“Apakah kau belum mendengar berita tentang jatuhnya landasan Utama itu ke tangan para penjilat di Kediri,” sahut salah seorang perwira yang mengantar puteri itu.
“Mustahil,” jawab orang yang menghentikan perjalanan itu, “Tempat itu tidak akan diketahui oleh pasukan Singa Narpada.”
“Tetapi akhirnya diketahuinya juga,” jawab perwira itu, “Dan puteri ini sudah tertawan. Untunglah bahwa diantara mereka yang berkhianat dan menjadi penjilat itu masih terdapat orang-orang yang menyadari kebesaran diri, sehingga orang itu telah berusaha untuk membebaskan kami.”
Orang-orang yang menghentikannya itu masih ragu-ragu. Bahkan seorang diantara mereka bertanya, “Jika demikian, maka bukti apakah yang dapat kau berikan kepada kami?”
“Bukti,” ulang salah seorang perwira itu, “bukti apakah yang kalian kehendaki. Bukti itu adalah puteri itu sendiri. Lihatlah dengan saksama. Bukankah perempuan ini adalah puteri Purnadewi. Bukti apa lagi yang kalian kehendaki?”
“Aku belum pernah bertemu secara pribadi dengan puteri Purnadewi. Karena itu, bagaimana aku dapat mempercayai bahwa puteri ini adalah Purnadewi,” berkata orang yang menghentikannya itu.
“Bawa kami menghadap. Jika kami sudah menghadap Pangeran Kuda Permati, maka kalian akan tahu, apakah benar puteri ini adalah Purnadewi,” berkata perwira yang mengawalnya.
Ternyata ketegangan telah terjadi lagi. Orang-orang yang menghentikan keempat orang itu tidak juga dapat mempercayainya sebagaimana yang terdahulu. Bahkan pemimpinnya berkata, “Apakah kalian orang-orang yang diselusupkan oleh orang-orang Kediri yang menjadi penjilat itu untuk membujuk Pangeran Kuda Permati atau untuk melakukan satu tindakan yang licik atau perbuatan-perbuatan lain.”
“Tidak,” Seorang perwira yang tidak sabar lagi membentak, “Kami ingin menyerahkan puteri Purnadewi.”
Suasana-pun menjadi tegang. Sebagaimana pernah terjadi sebelumnya. Orang-orang yang menghentikan keempat orang itu nampaknya menjadi sangat ragu-ragu. Jika benar puteri Purnadewi telah ditangkap oleh orang-orang Kediri, apakah mungkin ia dapat meloloskan diri bersama tiga orang perwira yang juga telah tertangkap.
Ketegangan itu-pun semakin lama menjadi semakin menyakitkan jantung Purnadewi sendiri. Hampir saja ia menjerit meledakkan himpitan perasaan yang tidak tertahankan. Namun ia masih berusaha untuk bertahan. Di belakang semak-semak lima orang yang berpakaian petani masih mengamatinya. Dua diantara mereka adalah Pangeran Singa Narpada sendiri dan Panji Sempana Murti. Dua orang yang memiliki ilmu yang sulit dicari bandingnya. Namun dalam puncak ketegangan itu, tiba-tiba terdengar suara seseorang. Salah seorang diantara mereka yang menghentikan keempat orang itu.
“Kakang. Engkaukah itu?” desis seseorang sambil melangkah maju mendekati salah seorang dari ketiga orang yang mengawal puteri Purnadewi itu.
Orang yang dipanggil itu termangu-mangu. Namun ketika orang yang menyebutnya itu melangkah mendekat, maka wajahnya-pun menjadi cerah. Dengan lantang ia berkata, “Kau Tembi?”
“Ya kakang. Jadi orang-orang ini kawan-kawan kakang?” berkata orang yang disebut Tembi.
“Ya. Keduanya juga perwira dari pasukan Pangeran Kuda Permati, sedangkan puteri ini benar-benar puteri Purnadewi.”
Orang yang disebut Tembi itu-pun kemudian menghadap kepada orang yang memimpin kelompok kecil yang menghentikan perjalanan keempat orang itu sambil berkata, “Seorang diantara para perwira itu adalah kakakku.”
“Kau yakin?” bertanya pemimpin kelompok itu.
“Aku yakin. Ia memang kakakku yang tertangkap oleh pasukan Kediri. Aku yakin,” jawab Tembi.
Pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Namun kemudian ia-pun berkata, “Jika kau yakin, maka biarlah kita membawa mereka melalui tahap-tahap yang seharusnya. Jika benar puteri itu Purnadewi, isteri Pangeran Kuda Permati, maka biarlah ia dibawa menghadap.”
“Ya. Puteri itu adalah puteri Purnadewi,” jawab seorang diantara pengawalnya. Lalu, “Namun bagaimana-pun juga kami tidak akan melepaskannya. Jika puteri itu dibawa menghadap, maka kami baru melepaskannya setelah kami yakin, bahwa puteri itu benar-benar akan bertemu dengan Pangeran Kuda Permati.”
“Percayalah kepadaku,” berkata pemimpin kelompok itu, “Marilah. Kita akan mulai dengan tahap demi tahap. Tidak mudah bagi seseorang untuk menghadapi Pangeran Kuda Permati.”
“Tetapi kaki puteri itu sakit. Apakah Pangeran Kuda Permati masih jauh?” bertanya salah seorang pengawalnya.
“Pangeran Kuda Permati tidak berada di daerah ini,” jawab pemimpin kelompok ini, “Tetapi jangan cemas. Jika kalian benar, maka pada saatnya puteri itu tentu akan bertemu dengan Pangeran Kuda Permati.”
Ketiga orang pengawal itu tidak menjawab. Namun dalam pada itu pemimpin kelompok itu-pun berkata, “Marilah ikut aku. Kalian dapat membantu puteri itu berjalan.”
Para perwira itu tidak dapat berbuat lain. Seorang diantara orang-orang yang mencegatnya itu adalah adik dari seorang diantara ketiga perwira yang mengawal puteri Purnadewi, sehingga-pengenalan itu ternyata sangat berarti bagi keempat orang yang mencari Pangeran Kuda Permati itu. Meskipun demikian, kelima orang dalam pakaian petani itu masih belum melepaskan mereka. Dengan sangat hati-hati mereka mengikuti dari kejauhan.
Perlahan-lahan karena keadaan kaki puteri Purnadewi, keempat orang diikuti oleh orang-orang yang menghentikannya itu merayap maju, sehingga akhirnya mereka memasuki sebuah padukuhan. Namun agaknya penjagaan di padukuhan itu cukup ketat, sehingga akan sangat sulit bagi Pangeran Singa Narpada untuk dapat memasukinya.
Namun dengan demikian, maka Pangeran Singa Narpada menjadi yakin, bahwa puteri Purnadewi tentu akan sampai kepada suaminya, karena di dalam padukuhan yang dijaga ketat itu tentu ada satu atau dua orang perwira yang akan dapat menghubungkan Purnadewi dengan Pangeran Kuda Permati.
Dengan nada dalam Pangeran Singa Narpada itu-pun kemudian bertanya kepada Panji Sempana Murti, “Bagaimana pendapatmu tentang kemungkinan yang dapat terjadi atas Purnadewi?”
“Aku kira perjalanannya selanjutnya telah aman,” jawab Panji Sempana Murti.
“Aku sependapat,” berkata Pangeran Singa Narpada selanjutnya, “Karena itu, maka tugas kita mengantar Purnadewi sudah selesai. Semoga ia dapat bertemu dengan suaminya dan berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Kediri.”
Panji Sempana Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tugas puteri Purnadewi adalah tugas yang besar. Jika ia berhasil, maka ia akan dapat menyelesaikan tugas yang tidak dapat kita selesaikan dengan kekuatan prajurit.”
“Ya. Purnadewi benar-benar mengemban tugas yang sangat besar. Mudah-mudahan hatinya mantap dan tidak terpengaruh oleh sikap suaminya,” desis Pangeran Singa Narpada. Lalu, “Tetapi jika Purnadewi gagal, maka Kediri benar-benar akan dibakar oleh pembantaian yang tidak ada batasnya. Kedua belah pihak akan menjadi liar dan buas. Sehingga orang-orang yang tidak bersalah akan menjadi korban pembantaian yang sangat keji. Aku merasa, bahwa aku bukan seorang yang berhati lembut sebagaimana kau dan seluruh pasukan kita. Keadaan akan semakin kalut jika Singasari ikut mencampuri persoalan ini dengan kekuatan prajurit pula.”
Dengan demikian, maka kedua orang itu berpendapat, bahwa mereka tidak merasa perlu lagi untuk mengikuti Purnadewi lebih jauh. Kecuali menurut pendapat mereka sudah tidak ada gunanya lagi, maka perjalanan yang demikian tentu akan menjadi sangat berbahaya, karena beberapa ratus tonggak lagi, mereka benar-benar akan berada di daerah yang untuk saat itu dikuasai oleh Pangeran Kuda Permati.
“Perjalanan kita cukup sampai di sini,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Marilah. Kita akan kembali ke Kota Raja. Besok kita akan kembali kepada pasukan kita masing-masing yang bertugas di sisi Utara, meskipun barangkali ada tugas lain yang harus kita lakukan.”
Dengan demikian, maka Pangeran Singa Narpada, Panji Sempana Murti dan pengawal-pengawalnya telah meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Kota Raja. Ternyata bahwa mereka telah berhasil mengirimkan Purnadewi kepada suaminya dengan cara yang agak berbelit-belit. Tetapi jika benar Purnadewi dapat bertemu dengan suaminya, maka akan mungkin timbul satu perubahan suasana di Kediri.
Sementara itu, sekelompok prajurit Kediri yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati telah membawa puteri Purnadewi ke sebuah padukuhan terpencil. Padukuhan yang kecil, yang terletak di tempat yang tidak terlalu mudah untuk dijangkau. Tetapi di padukuhan itu terdapat sebuah sumber air yang besar, yang mampu membuat tanah di sekitar padukuhan itu menjadi hijau. Meskipun demikian, selingkar bukit bukit gersang seakan-akan telah membatasi padukuhan itu dari hubungan dengan padukuhan padukuhan yang lain.
Semula padukuhan itu sepi. Penduduknya sangat sedikit. Namun tiba-tiba padukuhan itu menjadi ramai, ketika sepasukan Pangeran Kuda Permati berada di padukuhan itu, karena mereka menganggap bahwa tempat itu adalah tempat yang sangat baik untuk mereka pergunakan sementara, sebelum pasukan itu meneruskan pengembaraan mereka mengelilingi Kota Raja. Menyerang dan menghilang. Namun para perwiranya tidak dapat mencegah akibat-akibat buruk dari cara hidup yang demikian bagi orang-orang yang tidak mempunyai pegangan yang kuat itu.
Ketika Purnadewi memasuki padukuhan itu, ia berpengharapan untuk dapat segera bertemu dengan Pangeran Kuda Permati. Namun ternyata bahwa ia-pun menjadi sangat kecewa. Pangeran Kuda Permati tidak berada di tempat itu.
“Dimana kakangmas Kuda Permati?” bertanya Purnadewi kepada pemimpin kelompok yang menghentikan perjalanannya itu.
“Aku tidak tahu puteri,” jawab pemimpin kelompok itu, “Tetapi di padukuhan ini ada beberapa orang perwira yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari aku. Mungkin mereka akan dapat menunjukkan jalan yang paling baik puteri.”
Purnadewi tidak tergesa-gesa minta diantarkan kepada suaminya. Jika ia berniat demikian, maka akan mungkin dapat menimbulkan persoalan lain. Demikianlah, kedatangan Purnadewi telah menimbulkan sedikit keributan di padukuhan kecil itu. Untunglah bahwa persoalannya segera dapat dijernihkan. Dan bahkan akhirnya para perwira di padukuhan itu percaya bahwa puteri itu adalah Purnadewi.
Bahkan ada diantara mereka yang mengenali ketiga orang pengawal itu sebagai perwira yang memiliki kedudukan yang baik karena kemampuan ilmu mereka di dalam pasukan Pangeran Kuda Permati. Namun dalam satu sergapan yang tiba-tiba mereka telah dapat tertangkap oleh pasukan Pangeran Singa Narpada. Dan bahkan ada di antara mereka yang mengenal puteri Purnadewi itu sendiri. Tetapi Purnadewi menjadi kecewa. Pangeran Kuda Permati tidak ada di padukuhan itu.
“Kakiku sudah tidak dapat aku pergunakan untuk berjalan lagi,” berkata Purnadewi dengan wajah yang sayu.
“Puteri dapat beristirahat di sini sehari atau lebih,” berkata seorang perwira yang bertanggung jawab terhadap pasukan yang ada di daerah itu, “pada saatnya kaki puteri telah sembuh, maka kita akan berangkat.”
“Apakah kau tidak dapat melaporkan kepada kakangmas Kuda Permati, bahwa aku berada di sini?” bertanya puteri Purnadewi.
“Tentu puteri,” jawab perwira itu, “Tetapi aku tidak dapat mengatakan, keputusan apa yang akan diambil oleh Pangeran Kuda Permati. Mungkin Pangeran akan menjemput puteri, tetapi mungkin Pangeran akan memerintahkan kepada puteri untuk menyusul Pangeran di tempat yang lain.”
“Kenapa begitu?” bertanya Purnadewi, “apakah kakangmas Kuda Permati sudah tidak menghiraukan aku lagi?”
“Mungkin bukan begitu puteri,” jawab perwira itu, “Tetapi kehadiran puteri mungkin akan dapat menimbulkan persoalan tesendiri. Jika Pangeran Kuda Permati datang ke tempat ini, apakah terjamin bahwa Pangeran akan selamat dari sergapan orang-orang Kediri yang menjadi penjilat dari orang-orang Singasari?”
“Jadi apakah kehadiranku ini tidak akan berarti apa-apa bagi kakangmas Kuda Permati?” bertanya Purnadewi.
“Bukan begitu, “Jawab perwira itu, “Tetapi aku harap puteri menyadari, bahwa perjalanan puteri dapat saja diikuti oleh orang-orang Kediri. Diluar tahu puteri, aku telah memerintahkan untuk meneliti dengan saksama daerah di sekitar bukit-bukit yang melingkari padukuhan ini. Mungkin ada sekelompok prajurit Kediri yang mengikuti perjalanan puteri.”
Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, perwira itu membiarkannya merenung. Sebenarnyalah, bahwa perwira itu telah memerintahkan untuk melihat sekeliling padukuhan itu. Di celah-celah bukit, dibalik semak-semak dan di tempat-tempat yang dapat dipergunakan untuk bersembunyi.
Namun mereka tidak menemukan seorang-pun yang mengamati perjalanan Purnadewi dengan ketiga orang pengawalnya, sementara Pangeran Singa Narpada, Panji Sempana Murti dan kawan-kawannya telah kembali ke Kota Raja. Mereka-pun telah memperhatikan bahwa jika mereka mengikuti perjalanan Purnadewi untuk selanjutnya, maka mereka akan dapat terperosok kedalam bahaya.
Karena para pengikut Pangeran Kuda Permati yang berada di padukuhan itu tidak menemukan tanda-tanda apa-pun, serta atas dasar laporan mereka yang membawa keempat orang ke padukuhan itu, maka perwira itu menganggap bahwa kedatangan Purnadewi tidak membawa kemungkinan diketahuinya persembunyian mereka. Tetapi ternyata bahwa Pangeran Kuda Permati masih harus dihubungi.
Ketika kemudian malam berakhir dengan terkoyaknya kegelapan oleh sinar matahari pagi, maka Purnadewi dan para pengawalnya telah beristirahat di padukuhan itu. Purnadewi tidak lagi merendam kakinya didalam air. Tetapi seorang yang mengerti serba sedikit tentang obat-obatan telah mengobati kaki Purnadewi dengan sejenis dedaunan, butir-butir nasi yang dilembutkan dengan sedikit garam, diusapkan dari lutut sampai ke telapak kakinya.
Terasa kaki Purnadewi menjadi dingin. Sama sekali tidak terasa pedih sebagaimana jika kakinya direndam didalam air. Meskipun kemudian kaki yang panas itu terasa dingin, tetapi luka-lukanya terasa pedih bukan main. Jenis dedaunan, butir-butir nasi dan sedikit garam itu membuat kaki Purnadewi bagaikan direndam tidak saja didalam air di parit yang bening, tetapi seolah-olah direndam didalam air yang tersimpan sewindu lamanya. Dingin tanpa rasa pedih. Panas, letih dan sakit yang bagaikan menggigit telah hilang dihisap oleh obat-obatan itu.
Namun demikian kegelisahan Purnadewi masih belum dapat dihapus dengan obat apa-pun juga, sebelum ia berhasil bertemu dengan Pangeran Kuda Permati. Rasa-rasanya ia tidak lagi dapat mempercayai siapa-pun juga, termasuk orang-orang yang berada didalam padukuhan. Yang paling mungkin untuk bertindak jujur terhadapnya hanyalah ketiga orang yang telah dibebaskannya. Sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur lebih dahulu oleh Pangeran Singa Narpada dan Panji Sempana Murti dengan persetujuan, pimpinan petugas sandi dari Kediri.
Namun Purnadewi tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat menunggu, sampai saatnya Pangeran Kuda Permati memberikan kabar kepadanya. Apakah ia harus datang menghadap, atau Pangeran itu datang menjemputnya. Namun bagaimana-pun juga, masa istirahat itu telah membuat badan Purnadewi menjadi segar.
Demikian pula ketiga perwira yang menyertainya. Makanan dan minuman yang dihidangkan kepada mereka, kesempatan untuk berbaring dan minum obat-obatan membuat mereka melupakan perasaan letih yang dialaminya dalam perjalanan itu.
Namun betapa kecewa puteri Purnadewi ketika di tengah hari ia bertanya tentang suaminya, perwira yang bertanggungjawab atas padukuhan itu memberikan keterangan, bahwa mereka belum berhasil membuat hubungan dengan Pangeran Kuda Permati. Demikian pula ketika matahari telah turun dan hampir tenggelam di bawah cakrawala. Perwira itu telah menemui Purnadewi sebelum Purnadewi mencarinya.
“Puteri, sampai saat ini utusan kami masih belum berhasil membuat hubungan dengan Pangeran Kuda Permati,” berkata perwira itu, “Sebagaimana puteri mengetahui, maka Pangeran Kuda Permati adalah orang yang sangat penting bagi Kediri. Tentu banyak orang yang ingin menemukannya. Mungkin diantara mereka adalah pengkhianat-pengkhianat, sehingga karena itu, maka Pangeran Kuda Permati harus benar-benar berada di tempat yang paling aman. Dan itu berarti bahwa tempat tinggalnya yang selalu bergerak itu tidak dengan mudah diketemukan siapa-pun juga.”
“Tetapi aku adalah isterinya,” berkata puteri Purnadewi.
“Kami mengetahuinya,” jawab perwira itu, “Karena itu betapa-pun sulitnya, kami berusaha untuk menemukannya. Tetapi Pangeran Kuda Permati sendiri tentu tidak mengetahui bahwa puteri sedang mencarinya. Bahkan mungkin Pangeran Kuda Permati masih belum mengetahui jika landasan utamanya telah berhasil diketemukan oleh orang-orang Kediri dengan petunjuk para pengkhianat.”
Puteri Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak dapat memaksa orang-orang itu dengan cepat dapat menemukan Pangeran Kuda Permati. Puteri Purnadewi-pun menyadari bahwa tempat tinggal Pangeran Kuda Permati tentu merupakan rahasia yang harus dipegang teguh oleh para pengikutnya yang setia.
“Mudah-mudahan malam nanti kita dapat membuat hubungan" berkata perwira itu. "Agaknya petugas kita telah mendekati kemungkinan itu.”
“Mudah-mudahan,” berkata Purnadewi, “Aku sudah terlalu lama mengalami tekanan batin yang hampir tidak teratasi.”
Dalam pada itu, beberapa orang petugas telah bekerja keras sesuai dengan kemampuan mereka dan pengenalan mereka atas medan, untuk menemukan Pangeran Kuda Permati. Dengan pengalaman dan ketekunan, maka akhirnya mereka-pun telah dapat membuat hubungan sebelum waktu yang telah ditentukan sebagaimana kebiasaan Pangeran Kuda Permati.
Hubungan itu telah membuat Pangeran Kuda Permati terkejut. Namun dengan demikian, maka petugas itu telah mendapat kesempatan untuk menghadapnya. Kesempatan yang jarang sekali didapatkan oleh para pengikut Pangeran Kuda Permati itu. Dengan penuh kesungguhan, petugas itu menceriterakan apa yang telah terjadi dengan puteri Purnadewi sesuai dengan keterangan yang diterimanya. Perjalanan yang panjang dan keadaan wadagnya yang memelas.
Wajah Pangeran Kuda Permati menjadi merah. Ia memang sudah mendapat laporan tentang landasan utamanya yang telah diketahui oleh Pangeran Singa Narpada. Ia-pun telah mendapat laporan bahwa isterinya telah tertangkap. Namun ternyata menurut laporan yang diterima kemudian, atas bantuan beberapa orang petugas sandinya di Kediri, isterinya berhasil lolos dari tangan orang-orang Kediri. Tetapi Pangeran Kuda Permati tidak begitu saja menerima keadaan itu. Bukan karena ia curiga terhadap isterinya. Tetapi ia curiga terhadap kelicikan orang-orang Kediri.
“Mungkin perjalanan Purnadewi diawasi,” berkata Pangeran Kuda Permati.
“Perwira yang bertanggung jawab atas daerah kedudukan kami telah mencurigai kemungkinan itu pula, sehingga ia-pun telah mengamankan daerah di sekitar kedudukan kami. Ternyata tidak seorang-pun yang diketemukannya,” jawab petugas itu.
Pangeran Kuda Permati mengangguk-angguk. Tetapi ia adalah seorang yang sangat cermat menghadapi keadaan, karena menurut pendapatnya orang-orang Kediri yang tidak berpihak kepadanya adalah orang-orang yang sangat licik dan pengecut.
Karena itu, maka Pangeran Kuda Permati sendiri telah mengatur perjalanan Purnadewi. Ia telah memberikan pesan kepada petugas itu untuk membawa Purnadewi ke satu tempat. Baru kemudian ia akan dijemput oleh orang-orang kepercayaan terdekat dari Pangeran Kuda Permati.
“Katakan kepada Purnadewi. Bukan berarti aku tidak memperhatikannya. Tetapi segala sesuatunya akan aku selesaikan tanpa menimbulkan akibat yang tidak kita inginkan.”
Demikianlah, maka petugas itu-pun segera kembali ke padukuhan yang menjadi tempat kedudukan pasukannya untuk sementara. Segala sesuatunya-pun telah dilaporkannya kepada pimpinannya, sehingga perwira yang bertanggung jawab atas padukuhan itu-pun mengatur segala suatunya sesuai dengan kehendak Pangeran Kuda Permati.
Dengan hati-hati, maka di hari berikutnya Purnadewi-pun telah disiapkan. Dengan sebuah pedati, maka puteri Purnadewi akan dibawa ke satu tempat yang telah ditentukan. Dengan cermat pula pemimpin pasukan di padukuhan itu telah mempersiapkan pengawalan.
Iring-iringan itu akan meninggalkan padukuhan menjelang senja, sehingga perjalanan mereka akan ditempuh pada malam hari. Perjalanan yang paling baik menurut perhitungan Pangeran Kuda Permati. Sementara jalan yang ditentukan-pun merupakan jalan yang jarang sekali dilalui oleh pasukan peronda dari Kediri.
“Mereka tidak akan berani melalui daerah ini jika tidak membawa pasukan segelar sepapan,” berkata perwira yang memimpin pasukan itu.
Purnadewi yang berjalan didalam satu iring-iringan yang besar itu-pun merasa lebih tenang. Apalagi ia tidak berjalan sebagaimana yang dilakukan sebelumnya, tetapi dalam perjalanan itu ia berada didalam sebuah pedati. Meskipun kadang-kadang ia turun dari pedati dan benar-benar berjalan untuk mengurangi kejemuannya duduk di dalam pedati, tetapi ia tidak mengalami kelelahan yang sangat seperti yang telah dijalaninya.
Meskipun demikian, di dalam iring-ringan yang besar itu, Purnadewi telah menyaksikan satu dua peristiwa yang membuat jantungnya semakin pedih. Ketika iring-iringan itu melewati sebuah jalan di pinggir sebuah padukuhan di malam hari dan mereka menjumpai dua orang anak muda yang sedang meronda dan bersikap mencurigai iring-iringan itu, maka tanpa ragu-ragu kedua orang anak muda itu telah dibinasakan untuk menghilangkan jejak.
“Menyedihkan sekali,” berkata Purnadewi didalam hatinya. Sementara itu, Purnadewi masih mencemaskan nasib beberapa orang lainnya yang mungkin akan dijumpainya diperjalanan, meskipun ada juga orang yang terlepas dari maut waktu mereka melihat iring-iringan itu lewat, karena agaknya orang itu tidak menaruh banyak perhatian atau tidak tahu menahu tentang iring-iringan yang lewat itu.
Namun sebenarnyalah Pangeran Kuda Permati telah memasang satu jaringan kekuatan yang mengamati perjalanan itu tanpa diketahui oleh siapa-pun juga. Sasarannya adalah, kemungkinan orang-orang Kediri yang setia terhadap Pangeran Singa Narpada mengikuti perjalanan Purnadewi yang sengaja dilepaskannya. Tetapi pasukan terpilih Pangeran Kuda Permati itu juga tidak menemukan seorang-pun yang pantas mereka curigai.
Dengan demikian, maka kepercayaan Pangeran Kuda Permati yang mengamati perjalanan itu berkesimpulan, bahwa Memang tidak ada orang-orang Kediri yang mengikuti perjalanan Purnadewi untuk mengetahui tempat Pengeran Kuda Permati tinggal. Karena itulah, maka Purnadewi telah sampai di tempat yang dituju tanpa hambatan apa-pun juga. Ia sampai ke sebuah padukuhan yang memang sudah disiapkan untuk menerimanya.
Namun padukuhan itu bukan tempat tinggal Pangeran Kuda Permati. Karena itu, maka Purnadewi masih harus menempuh perjalanan lagi, perjalanannya yang terakhir untuk sampai kepada suaminya, Pengeran Kuda Permati. Purnadewi beristirahat di padukuhan itu selama siang hari. Ia mendapat kesempatan untuk melepaskan lelahnya, meskipun ia tidak menjadi terlalu lelah sebagaimana perjalanannya yang pertama.
Tetapi hari itu, Purnadewi sempat berbaring sejenak untuk mendapatkan kesegarannya kembali. Ia sempat mulai memperhatikan dirinya sebelum ia bertemu dengan suaminya. Kakinya tidak lagi terasa bengkak, meskipun masih juga agak terasa sakit. Tetapi sudah hampir dapat dilupakannya.
Ketika malam turun, maka mereka-pun telah bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi Purnadewi akan mengalami pengawalan dengan orang yang berbeda. Orang yang akan mengawalnya kemudian adalah orang-orang yang dikirim langsung oleh Pangeran Kuda Permati.
Menjelang keberangkatan mereka, Purnadewi sudah sempat untuk mandi dan membenahi pakaiannya dengan pakaian yang didapatkannya dari orang-orang padukuhan itu. Dengan demikian, maka tubuh Purnadewi-pun rasa-rasanya menjadi bersih dan segar. Tidak lagi dibayangi oleh debu dan keringat, serta bau yang tidak sedap.
Ketika malam turun, maka Purnadewi-pun telah melanjutkan perjalanan mereka. Namun ada satu perintah yang kurang disenanginya. Ketiga orang perwira yang mengawalnya tidak boleh melanjutkan perjalanan. Mereka harus tinggal bersama para pengikutnya yang lain di padukuhan itu untuk menerima tugas-tugas mereka yang akan datang.
“Pengawalnya puteri Purnadewi sepenuhnya ada di tangan kami,” berkata pemimpin pengawal yang menjemput Purnadewi atas perintah langsung dari Pangeran Kuda Permati.
“Tetapi mereka telah menunjukkan kesetiaan mereka,” berkata Purnadewi, “Tanpa mereka, aku telah menjadi lumut di perjalanan.”
Tetapi pemimpin pengawal itu-pun berkeras. Katanya, “Atas perintah Pangeran Kuda Permati sendiri. Pangeran menghargai dan sangat berterima kasih kepada mereka bertiga. Tetapi mereka tidak perlu ikut bersama puteri untuk menghadap. Kepada mereka akan diberikan tugas-tugas yang lain, yang sesuai dengan kedudukan mereka sebagai perwira didalam pasukan Pangeran Kuda Permati.”
Ketiga orang yang telah mengawal puteri Purnadewi dari Kota Raja itu tidak dapat memaksa. Mereka mengenal sifat dan watak Pangeran Kuda Permati apabila telah menjatuhkan perintah. Karena itu, maka mereka-pun telah berhenti sampai di padukuhan itu dan tidak melanjutkan perjalanan mereka mengikuti Purnadewi yang telah mendapatkan pengawalan yang khusus.
Perjalanan Purnadewi untuk selanjutnya merupakan perjalanan yang tidak terlalu sulit. Baginya tetap disediakan sebuah pedati. Namun demikian, ada juga perasaan kecewa, bahwa ia tidak diperkenankan membawa ketiga orang yang telah memberikan jasa kepadanya di sepanjang perjalanan dari Kota Raja. Bahkan yang telah dengan tanpa gentar siap mempertaruhkan nyawa mereka. Tetapi seperti ketiga orang perwira itu, maka Purnadewi-pun tidak dapat memaksa. Ia harus tunduk kepada perintah Pangeran Kuda Permati.
Namun perjalanan mereka di malam hari itu ternyata merupakan perjalanan yang cukup panjang. Mereka melintasi bulak-bulak panjang dan jalan-jalan setapak. Dengan demikian, maka perjalanan pedati yang diperuntukkan bagi Puteri Purnadewi-pun kadang-kadang mengalami kesulitan, sehingga Purnadewi lebih senang turun dari pedati itu dan berjalan kaki bersama dengan para pengawalnya.
Ketika langit mulai dibayangi oleh warna-warna merah, maka barulah mereka mendekati sebuah padukuhan kecil yang berada diantara bulak-bulak yang panjang, di pinggir sebatang sungai yang bertebing curam.
Sebagai seorang isteri prajurit yang melakukan pengembaraan, maka Purnadewi dapat memperhitungkan kemungkinan yang ada pada padukuhan itu. Padukuhan itu merupakan padukuhan yang terpencil, yang dapat melihat ke arah yang jauh, sementara apabila datang bahaya, maka mereka akan turun ke sungai dan mencari jalan untuk menghindarkan diri. Purnadewi-pun kemudian diberitahu oleh pemimpin pengawalnya, bahwa Pangeran Kuda Permati berada di padukuhan itu.
“Mudah-mudahan belum ada persoalan yang memaksa Pangeran meninggalkan tempat itu,” berkata pemimpin pengawal itu, “Namun seandainya demikian, maka aku akan segera mendapat keterangan kemana arah kepergian Pangeran Kuda Permati.”
Puteri Purnadewi menjadi berdebar-debar. Jika Pangeran Kuda Permati karena sesuatu hal harus meninggalkan tempat itu, maka ia harus mencarinya lagi. Mungkin semalam, tetapi mungkin lebih dari itu, sehingga pertemuannya akan menjadi semakin tertunda-tunda, sementara persoalan didalam dirinya terasa menjadi semakin mendesak.
Tetapi ketika iring-iringan itu memasuki padukuhan dan dilihatnya para pengawal masih berkeliaran, maka Purnadewi dapat menduga bahwa Pangeran Kuda Permati tentu masih berada di padukuhan itu.
Sebenarnyalah, maka Purnadewi-pun telah dibawa ke sebuah rumah kecil di ujung padukuhan, namun berhalaman cukup luas. Puteri itu melihat penjagaan yang kuat di halaman rumah itu, dan bahkan beberapa orang berada di luar dinding halaman, sehingga dengan demikian, maka Purnadewi-pun menduga bahwa di rumah itulah Pangeran Kuda Permati tinggal.
Purnadewi yang sudah turun dari pedati telah memasuki regol halaman rumah itu. Perlahan-lahan ia melintas menuju ke pendapa yang sederhana dan kecil, sebagaimana bagian dari keseluruhan rumah yang hanya kecil pula.
“Marilah puteri,” pemimpin pengawalnya mempersilahkan.
Purnadewi-pun naik ke pendapa dengan jantung yang berdebaran. Sementara itu, pemimpin pengawal itu berkata, “Silahkan masuk. Puteri dapat beristirahat di rumah ini sebagaimana puteri berada di rumah sendiri. Rumah ini memang disediakana untuk puteri.”
Jantung Purnadewi berdentang semakin cepat. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Tetapi dimana kakangmas Kuda Permati?”
“Pangeran Kuda Permati ada di padukuhan ini pula. Seorang diantara kami sudah memberitahukan kepada Pangeran, bahwa puteri telah tiba. Kami mohon maaf, bahwa puteri harus menempuh jalan yang berliku-liku. Tetapi kami mohon puteri dapat mengerti keadaan Pangeran Kuda Permati dan kelicikan petugas sandi Pangeran Singa Narpada dan orang-orang Singasari."
Puteri Purnadewi mengangguk kecil. Betapa-pun ia merasa kecewa, tetapi ia berusaha untuk mengerti. Apalagi menurut pemimpin pengawalnya itu, Pangeran Kuda Permati ada di padukuhan itu. Dalam pada itu, maka Purnadewi justru telah mengisi waktunya dengan membersihkan dirinya. Mandi di pakiwan agar tubuhnya menjadi segar. Kemudian minum minuman panas yang dihidangkan serta beberapa potong makanan.
Baru kemudian, ketika matahari terbit, sekelompok pengawal terpilih telah memasuki halaman rumah itu. Purnadewi yang duduk di pendapa menjadi berdebar-debar. Dengan serta merta ia-pun telah berdiri dan sebenarnyalah ia melihat diantara iring-iringan yang datang itu adalah Pangeran Kuda Permati.
Dengan serta merta, maka puteri Purnadewi-pun telah menghambur menyongsong Pangeran Kuda Permati. Sebagaimana puteri Purnadewi, maka Pangeran Kuda Permati-pun telah ditekan oleh kerinduan yang tajam. Sambil menangis puteri Purnadewi memeluk suaminya.
Sementara itu Pangeran Kuda Permati-pun berdesis, “Sudahlah Diajeng. Kita sudah dipertemukan dalam keadaan selamat. Untuk selanjutnya, aku tidak akan meninggalkanmu lagi.”
“Kakangmas,” tangis Purnadewi, “Aku takut.”
“Aku mengerti Diajeng,” jawab Kuda Permati, “Aku sudah mendapat laporan semua peristiwa tentang dirimu. Bahkan sampai saat-saat kau mendapat kesempatan untuk lolos, karena ada beberapa petugas sandi yang dapat melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk membebaskanmu. Tetapi ternyata bahwa yang terjadi itu sangat meragukan aku, karena dalam jaringan petugas sandi kami yang berada di Kediri, terdapat perbedaan pengertian tentang orang-orang yang dimaksud. Tidak ada petugas sandi yang akan dapat membebaskanmu dan tiga orang perwira, kecuali diantara orang-orang Kediri yang menjadi penjilat itu terdapat orang-orang yang atas kesadaran sendiri telah berjuang bagi tegaknya Kediri.”
“Oh,” Purnadewi termangu-mangu, “aku kurang mengerti kakangmas.”
“Ya. Kau tentu tidak dapat membedakannya,” jawab Pangeran Kuda Permati, “Karena itu jangan pikirkan. Biarlah kami yang memikirkannya. Tetapi yang jelas, bahwa tidak ada petugas sandi yang mengikutimu untuk menemukan tempat kedudukanku yang sekarang.”
“Ya kakangmas,” jawab Purnadewi.
“Marilah,”Ajak Pangeran Kuda Permati, “Kita duduk di pendapa.”
Keduanya-pun kemudian naik ke pendapa. Beberapa orang pengawalnya-pun telah menyebar. Dalam pada itu, dengan singkat Pangeran Kuda Permati memberitahukan kepada Purnadewi alasan-alasan apakah yang mendorongnya untuk tidak segera menemuinya. Dengan penuh pengertian Purnadewi-pun mengangguk-angguk mengiakan.
“Teka-teki yang belum terpecahkan Diajeng,” berkata Pangeran Kuda Permati, “Siapakah yang telah melepaskan Diajeng dan ketiga orang perwira yang kemudian mengawal Diajeng sampai ke tempat yang memungkinkan Diajeng berhubungan dengan orang-orangku.”
Purnadewi sama sekali tidak menjawab. Namun terlintas didalam ingatannya, sepuluh orang pengikut suaminya telah dengan kasar dan berani menghinanya. Mereka tidak percaya bahwa ia adalah Purnadewi, dan bahkan mereka berani merencanakan untuk melakukan sesuatu yang paling terkutuk. Kemudian kehadiran lima orang petani yang telah menolongnya dan membebaskannya dari kesepuluh orang itu. Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Memang ada sesuatu yang dirahasiakannya terhadap suaminya.
Hari itu, kedudanya sama sekali tidak membicarakan tentang persoalan yang menyangkut perjuangan Pangeran Kuda Permati. Purnadewi-pun sama sekali tidak menyinggung kelima orang petani yang telah menolongnya, dan para pengikut suaminya yang telah kehilangan alas peradabannya. Hari itu baik Purnadewi mau-pun Pangeran Kuda Permati menempatkan dirinya sebagaimana dua orang suami isteri yang sudah lama tidak bertemu dengan mengungkapkan pengalaman-pengalaman batin yang kadang-kadang terasa aneh.
Namun Pangeran Kuda Permati adalah seorang pemimpin yang bertanggung jawab atas satu tugas yang baginya merupakan tugas yang besar, yang menyangkut masa depan Kediri. Karena itu, maka ia tidak dapat melepaskan diri terlalu lama dari tugas-tugasnya. Sehari ia berada di rumah itu bersama Purnadewi. Namun di hari berikutnya, tugas-tugasnya sudah membayanginya.
Tetapi Purnadewi-pun menyadari kedudukannya. Karena itu, maka ia tidak menghalanginya. Purnadewi sama sekali tidak menunjukkan sikap yang lain dari sikapnya ketika ia akan ditinggalkan oleh Pangeran Kuda Permati di landasan utama dari perjuangannya yang telah berhasil diketemukan oleh Pangeran Singa Narpada.
Karena itu, maka Pangeran Kuda Permati sama sekali tidak ragu-ragu lagi, bahwa tidak ada petugas lawan yang membayangi isterinya sebagai satu cara menemukan landasannya, meskipun untuk sementara. Ternyata bahwa Pangeran Kuda Permati masih melanjutkan perjuangannya yang disangkanya akan mendatangkan satu masa kebesaran bagi Kediri sebagaimana masa-masa yang telah lampau.
Namun dalam pada itu, Purnadewi yang telah melihat sendiri cacat-cacat dari perjuangan suaminya, pengertian yang lain serta wawasan yang lebih luas, telah mempunyai satu sikap yang mapan. Dalam waktu yang dekat, maka ia-pun sempat memperhatikan dan mengamati apa yang dilakukan oleh para pengikut suaminya.
Ternyata apa yang tidak pernah diperhatikannya sebelumnya, kini dapat dilihatnya. Para pengikut suaminya bukanlah pejuang-pejuang yang murni, yang telah mengorbankan segala-galanya bagi Kediri. Tetapi mereka ternyata telah dihinggapi oleh godaan-godaan nafsu yang hitam. Ketamakan akan harta benda, akan kekuasaan dan dengki serta iri. Pelanggaran atas paugeran hubungan antara manusia sebagaimana yang selalu mereka hormati sebelumnya serta penghinaan atas martabat perempuan yang tidak berdaya. Karena itu, maka semua rencananya justru telah menjadi semakin bulat. Ia bertekad untuk bertemu dan berbicara kepada suaminya.
Namun pada hari-hari pertama, Purnadewi masih tetap merupakan isteri yang mampu menempatkan diri dalam perjuangan Pangeran Kuda Permati. Ketika Pangeran Kuda Permati di hari berikutnya lagi kembali dengan hulu pedang yang bernoda darah, sebagaimana sering dilihatnya, sementara Pangeran itu sedang mencuci tangannya, Purnadewi sama sekali tidak mempertanyakannya.
Namun sebenarnyalah Pangeran Kuda Permati masih belum dapat memecahkan teka-teki, bagaimana mungkin Purnadewi dapat melepaskan diri bersama ketiga orang perwira yang telah tertangkap oleh pasukaan Pangeran Singa Narpada. Satu hal yang sulit dimengerti, bahwa hal itu dapat terjadi.
Hari demi hari berjalan sebagaimana kwajarannya. Namun bagi Pangeran Kuda Permati dan bagi Purnadewi, ternyata telah terjadi gejolak perasaan yang semakin lama semakin sulit untuk tetap di pertahankan mengendap didalam dada mereka. Karena itulah, maka pada satu sore, setelah Pangeran Kuda Permati membersihkan dirinya, ia telah menemui Purnadewi di ruang dalam rumah yang tidak begitu besar itu.
“Diajeng. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” berkata Pangeran Kuda Permati.
Purnadewi menjadi berdebar-debar. Tetapi ia memang menunggu saat yang demikian. Purnadewi memang ingin mendapat kesempatan untuk berbicara dengan Pangeran Kuda Permati. Sejenak Purnadewi berusaha untuk menguasai perasaannya. Kemudian dengan tenang ia-pun duduk berhadapan dengan Pangeran Kuda Permati. Demikian cermatnya Purnadewi menguasai dirinya, maka Pangeran Kuda Permati telah menjadi ragu-ragu.
Tetapi akhirnya Pangeran Kuda Permati itu-pun berkata, “Diajeng. Ada sesuatu yang ingin aku beritahukan kepadamu. Aku telah berbicara langsung dengan ketiga orang perwira yang mengawalmu sampai ke tempat yang telah aku tentukan untuk mengirimkan pasukan menjemputmu.”
Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Syukurlah. Dengan demikian kakangmas akan mendapat gambaran perjalanan yang telah aku tempuh untuk menemukan kakangmas.”
“Ya Diajeng. Aku tahu, bahwa kau telah menempuh satu perjalanan yang sangat berat bersama ketiga orang perwira itu. Ketiga perwira itu ternyata merupakan tiga orang pewira yang sangat setia. Yang bersedia mempertaruhkan nyawanya bagi keselamatanmu,” berkata Pangeran Kuda Permati.
“Ya,” jawab Purnadewi, “Mereka berbuat apa saja bagi keselamatanku.”
“Juga ketika kau bertemu dengan sepuluh orang pengikutku yang tidak percaya, bahwa kau adalah puteri Purnadewi, isteri Pangeran Kuda Permati.”
Sesuatu berdesir di hati Purnadewi. Tetapi dengan cepat ia berhasil menguasainya. Sambil mengaguk-angguk ia menjawab, “Benar kakangmas. Ketiga orang itu telah mempertaruhkan nyawanya. Karena itu, aku pernah minta kepada pemimpin pengawal agar ketiganya diperkenankan untuk ikut bersamaku.”
“Sayang sekali,” berkata Pangeran Kuda Permati, “permintaanmu itu tidak diijinkannya.”
Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Agaknya waktunya memang sudah tiba untuk mengatakan sesuatu kepada Pangeran Kuda Permati. Namun demikian Purnadewi masih menunggu waktu yang paling tepat untuk memulainya.
“Diajeng. Katakan, apakah yang dikehendaki oleh orang-orang Kediri yang telah membebaskanmu dan mengantarmu kepadaku? Semula aku mengira bahwa mereka ingin mengikutimu dan menemukan tempat persembunyianku. Tetapi aku salah. Tidak seorang-pun yang mengikutimu untuk seterusnya. Ketika mereka yakin bahwa kau selamat menembus daerah perbatasan, maka mereka telah meninggalkanmu.”
Purnadewi mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Memang ada sesuatu yang aneh. Lima orang petani yang muncul membantu kami, kemudian menghilang begitu saja tanpa memberikan pesan apa-pun juga.”
Pangeran Kuda Permati itu-pun kemudian berjalan mondar-mandir didalam ruangan itu. Katanya, “Memang sulit untuk menjawab teka-teki itu. Apalagi aku tidak melihat sendiri apa yang terjadi. Tetapi yang dapat aku lakukan adalah mengurai peristiwa itu dan mengambil satu kesimpulan. Memang kesimpulan itu dapat salah, tetapi juga dapat benar.”
Wajah Purnadewi menjadi tegang. Tetapi ia-pun kemudian mendengarkan suaminya berkata, “Diajeng Purnadewi. Dengar, kelima orang itu adalah orang-orang Kediri yang menjadi penjilat kaki orang-orang Singasari. Orang-orang Kediri yang demikian pulalah yang telah membebaskanmu. Sama sekali bukan orang-orangku. Meskipun ada satu dua petugas sandi kita yang berada diantara orang-orang Kediri yang sedang terbius oleh ketamakan itu, tetapi mereka tidak akan mampu membebaskanmu dan apalagi membebaskan ketiga orang perwira itu.”
“Jadi menurut kakangmas?” bertanya Purnadewi.
“Kau dan ketiga orang perwira itu memang sengaja telah dilepaskan oleh orang-orang Kediri. Ketiga orang itu diperlukan untuk mengawalmu sampai saatnya kau bertemu dengan pasukanku yang sebenarnya. Sebelum mereka yakin bahwa kau akan selamat sampai kepadaku, maka lima orang dengan ilmu sependapat…?” bertanya Pangeran Kuda Permati.
“Sependapat tentang apa?” bertanya Purnadewi.
“Bahkan kehadiranmu disini justru sudah diatur oleh orang-orang Kediri. Dan agaknya orang-orang Kediri yang membiarkan dirinya diperbudak oleh orang-orang Singasari itu berhasil,” jawab Pangeran Kuda Permati.
“Oh,” wajah Purnadewi menjadi tegang, “Jika demikian apakah kakangmas menjadi kecewa dan menyesal, bahwa aku telah berada disini?”
Pengeran Kuda Permati menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “jangan salah mengerti. Aku sama sekali tidak menyesal bahwa kau telah kembali kepadaku. Tetapi yang harus aku perhatikan adalah caramu untuk kembali.”
“Siapa-pun yang menolongku untuk kembali,” berkata Purnadewi, “Apakah ada bedanya?”
“Tentu Diajeng,” wajah Pangeran Kuda Permati menjadi buram, “yang paling baik bagiku adalah bahwa kau tidak tertangkap oleh Pengeran Singa Narpada, sehingga tidak menumbuhkan masalah seperti sekarang ini.”
“Masalah apa?” bertanya Purnadewi.
Pengeran Kuda Permati termangu-mangu sejenak. Namun nampaknya Pangeran Kuda Permati telah menghentakkan perasaannya untuk mendapatkan kekuatan jiwani. Katanya kemudian dengan suara yang menghentak-hentak.
Wajah Purnadewi benar-benar menjadi tegang. Tetapi dibiarkannya Pangeran Kuda Permati berkata selanjutnya, “Dengan demikian, maka mereka tidak mempergunakan untuk menemukan tempatku sekarang ini. Tetapi bukan berarti bahwa kau telah dilepaskan begitu saja bersama dengan ketiga orang perwiraku yang setia itu. Tetapi nampaknya ketiga orang itu benar-benar tidak mengerti apa yang mereka hadapi sebenarnya. Tetapi, aku kira kau berbeda dengan mereka.”
Namun dalam pada itu Pangeran Kuda Permati-pun melanjutkan, “Tetapi Diajeng. Memang ada satu teka-teki yang sulit untuk dijawab dalam perjalananmu. Ketika kau bertemu dengan sepuluh orang yang tidak percaya bahwa kau adalah isteriku, maka kau telah mendapat pertolongan dari lima orang dalam pakaian petani. Lima orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Nah, apa katamu tentang para petani itu?”
Pengeran Kuda Permati berhenti sejenak. Dipandanginya wajah isterinya yang tegang. Memang ada sesuatu yang rasa-rasanya menahan kata-katanya. Tetapi ternyata Senapati tertinggi dari satu kelompok yang besar, yang mewakili salah satu sikap orang-orang Kediri itu berkata, “Diajeng. Sebaiknya kita saling berterus terang. Pesan apakah yang sampaikan kepadaku dari kakangmas Pangeran Singa Narpada?”
Wajah puteri Purnadewi itu menjadi semakin tegang. Ia tidak akan dapat ingkar lagi. Ternyata ketajaman penggraita Pangeran Kuda Permati berhasil melihat apa yang sebenarnya telah terjadi dengan dirinya. Tetapi Purnadewi memang sudah bersiap untuk mengatakannya. Ia tidak akan menyimpan rahasia itu untuk seterusnya. Ia datang menemui suaminya, dengan tujuan tertentu. Bukan saja pesan Pangeran Singa Narpada, tetapi ketika ia telah melihat dan menghayati sendiri peperangan yang membakar Kediri, maka ia-pun ingin menyampaikan isi hatinya sendiri. Namun untuk sesaat Purnadewi masih tetap berdiam diri. Memang masih terasa keragu-raguan mengekangnya. Namun ia berusaha untuk mengatasinya jika saatnya tiba.
Sementara itu Pangeran Kuda Permati telah mendesaknya pula, “Katakan Diajeng. Jangan ragu-ragu. Bukankah pesan itu dapat diterima dan dapat pula tidak diterima? Karena itu, kau tidak usah merasa terlalu bersalah untuk menyampaikan pesan itu.”
Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Baiklah kakangmas. Memang ada pesan dari kakangmas Singa Narpada yang ingin aku sampaikan kepada kakangmas. Sebenarnyalah aku memang dikirim oleh kakangmas Singa Narpada sebagaimana dugaan kakangmas.”
Pangeran Kuda Permati mengangguk-angguk. Katanya, “Kakangmas Singa Narpada memang seorang yang sangat cerdik. Ia mempunyai seribu cara didalam peperangan. Ia dapat sekejam serigala lapar menghadapi mangsanya, tetapi ia dapat mempergunakan cara selembut cara yang dipergunakannya sekarang.”
“Ya,” jawab Purnadewi, “pasukan kakangmas Singa Narpada di medan perang membantai lawannya tanpa ampun, sebagaimana prajurit-prajuritnya dibantai oleh lawan-lawannya.”
Pangeran Kuda Permati mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Itulah gambaran dari peperangan.”
“Aku sudah melihatnya sendiri kakangmas,” berkata Purnadewi, “Ketika landasan Utama kakangmas Kuda Permati pecah oleh serangan pasukan kakangmas Singa Narpada, aku melihat kekejaman dari peperangan itu sendiri. Seandainya aku bukan adik sepupu kakangmas Singa Narpada, mungkin nasibku sudah lain.”
“Tidak,” jawab Kuda Permati, “Bukan karena kau adik sepupunya. Meskipun kau adik sepupunya, tetapi jika kau tidak akan dapat dipergunakan, maka kau tentu sudah menjadi korbannya pula.”
Purnadewi merenung sejenak. Lalu jawabnya, “Mungkin juga kakangmas. Mungkin pada saat itu, kakangmas Singa Narpada menemukan satu cara unatuk mempergunakan aku menyampaikan pesan kepada kakangmas Kuda Permati.”
“Dan ternyata ia telah melakukannya,” berkata Pangeran Kuda Permati.
“Ya. Aku telah mendapat pesan itu,” berkata Purnadewi kemudian.
“Karena itu, katakanlah,” desak Pangeran Kuda Permati.
Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian. “Kakangmas. Sebagaimana kakangmas dapat menebak, bahwa aku memang telah dikirim untuk menyampaikan satu pesan, agaknya kakangmas juga dapat menebak pesan apakah yang aku bawa itu.”
“Mungkin aku dapat menduganya Diajeng,” jawab Pangeran Kuda Permati, “Mungkin kakangmas Singa Narpada mengira bahwa kau adalah orang yang paling berpengaruh atasku, sehingga ia berpesan, agar aku menyerah saja.”
“Hampir tepat kakangmas,” jawab puteri Purnadewi, “Kakangmas Singa Narpada memang menginginkan kakangmas menghentikan peperangan.”
“Dan bukankah kau sudah tahu jawabnya?” bertanya Pangeran Kuda Permati. “Kau sudah mengenal aku dengan baik. Kau-pun mengerti landasan perjuanganku, sehingga kau tentu dapat mengerti pula tanggapanku atas tawaran kakangmas Singa Narpada itu.”
“Aku mengerti kakangmas. Kakangmas tidak akan mau mendengarkannya. Kakangmas tentu menanggapi permintaan kakangmas Singa Narpada itu sebagai satu lelucon saja. Kita telah terjerumus kedalam satu peperangan yang dapat disebut perang yang besar dan meliputi daerah yang luas. Karena pesan yang demikian sederhana ini tidak akan berpengaruh sama sekali,” jawab Purnadewi.
Pangeran Kuda Permati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau benar Diajeng. Pesan itu tidak ada harganya sama sekali bagiku. Dengan demikian aku pantas mengucapkan terima kasih kepada kakangmas Singa Narpada yang telah mengirimkan kau kembali kepadaku. Sementara itu, kita dapat mengabaikan pesan-pesannya yang tidak berarti sama sekali. Sebenarnya kakangmas Singa Narpada sudah harus dapat memperhitungkan bahwa pesannya tidak akan memberikan kesan apa-pun kepadaku meskipun yang menyampaikan isteriku sendiri.”
“Ya kakangmas,” jawab Purnadewi, “Tetapi agaknya kakangmas Singa Narpada memang sudah menduganya. Karena itu tidak begitu mengharap bahwa pesannya akan berpengaruh. Ia justru lebih banyak berbuat dengan pasukannya. Ia telah memanggil lagi anak-anak muda yang dipersiapkan oleh Panji Sempana Murti untuk menjadi prajurit dengan latihan-latihan khusus.”
“Persetan,” geram Kuda Permati, “Meskipun kakangmas Singa Narpada memanggil semua laki-laki penjilat di seluruh Kediri, tetapi ia tidak akan dapat mencegah usaha kita untuk membebaskan Kediri dari tangan orang-orang Singasari yang tamak.”
“Tetapi apakah kakangmas Kuda Permati tidak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi?” bertanya puteri Purnadewi kemudian.
“Kemungkinan yang mana?” Pangeran Kuda Permati justru ganti bertanya.
“Kakangmas,” desis Purnadewi, “Semakin lama pertempuran ini berlangsung, maka korban-pun akan menjadi semakin banyak.”
Pertanyaan yang tidak diduga-duga oleh puteri Purnadewi itu telah membuat jantung Pangeran Kuda Permati bagaikan berhenti berdetak. Ia sama sekali tidak mengira bahwa akhirnya Purnadewi sampai pada pendapat yang demikian. Karena itu, maka dengan wajah yang kemerah-merahan Pangeran Kuda Permati menjawab dengan suara yang bergetar,
“Diajeng. Sungguh betapa dungunya aku di hadapan Pangeran Singa Narpada. Aku mengira bahwa aku akan mendapatkan kemenangan didalam perang yang aneh ini. Aku kira, aku akan dapat menyampaikan pernyataan terima kasih kepada kakangmas Singa Narpada karena ia sudah mengirimkan kau kepadaku dengan sikap yang bodoh. Aku kira kakangmas Singa Narpada hanya sekedar mengirimkan pesan kepadamu karena kau dianggap berpengaruh kepadaku. Ketika kau menyampaikan pesan itu, maka kau merasa bahwa aku telah mencapai satu kemenangan. Betapa bodohnya kakangmas Singa Narpada yang telah melepaskanmu dan mendorongmu kembali kepadaku dengan cerdik bersama tiga orang perwira yang diperlukannya untuk mengawalmu di perjalanan, hanya sekedar untuk menyampaikan pesan itu. Aku kira bahwa kakangmas Singa Narpada demikian yakin akan pengaruhmu atas diriku, sehingga pesanmu akan dapat aku terima, setidak-tidaknya aku pikirkan. Tetapi aku sama sekali tidak menghiraukannya. Dan aku menganggap bahwa perang telah selesai dan aku mendapatkan kemenangan mutlak.”
Pangeran Kuda Permati berhenti sejenak, lalu, “Tetapi ternyata tidak. Pesan kakangmas Singa Narpada bukan pesan yang diharapkan akan aku dengarkan. Tetapi ia telah membentukmu menjadi seorang yang lain. Kau bukan sekedar membawa pesan. Tetapi kakangmas Singa Narpada sudah berhasil merubah sikapmu. Secara jiwani kakangmas Singa Narpada telah menjadikan kau orang lain. Dan kau yang lain itulah yang akan mempengaruhi aku. Bukan sekedar pesan orang yang mengirimkan kau kemari.”
Wajah puteri Purnadewi memang menjadi tegang. Tetapi seakan-akan ia sudah siap menghadapi kemungkinan itu. Pengalamannya yang pendek pada saat terakhir, sejak ia diambil oleh Pangeran Singa Narpada dari alas utama perjuangan Pangeran Kuda Permati sampai ia kembali kepada suaminya, telah menempa jiwanya, sehingga ia sudah siap menghadapi persoalan-persoalan yang akan timbul kemudian. Sebenarnyalah puteri Purnadewi secara jiwani telah berubah. Karena itu, maka jawabnya,
“Kakangmas. Aku mohon maaf. Tetapi perkenankanlah aku menyampaikan satu pendapat yang barangkali ada gunanya kakangmas dengarkan.”
“Tidak ada gunanya Diajeng,” jawab Pangeran Kuda Permati, “Jika kau sekarang sudah berubah, maka kau harus menyadari, bahwa aku adalah Kuda Permati yang dahulu. Kuda Permati yang tidak akan pernah berubah.”
“Justru karena itu kakangmas,” berkata puteri Purnadewi, “Justru karena kakangmas adalah seorang kesatria. Seorang yang lebih mementingkan kepentingan rakyat banyak daripada kepentingan diri sendiri.”
Wajah Pangeran Kuda Permati menjadi semakin tegang, sementara Purnadewi berkata lebih lanjut, “Kakangmas, dengan demikian, maka aku mengharap bahwa kakang mas Kuda Permati untuk selanjutnya tetap memperhatikan keadaan rakyat kecil yang tidak banyak tahu menahu tentang peperangan ini.”
“Cukup Diajeng,” potong Pangeran Kuda Permati, “Kau tidak usah mengajari aku tentang apa-pun juga. Aku mempunyai sikap yang matang, sehingga aku akan dapat mengetrapkannya sesuai dengan kepentingan yang tentu sudah aku pertimbangkan masak-masak.”
Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan nada lembut ia berkata, “jadi kakangmas tidak mau lagi mendengarkan kata-kataku.”
“Aku sudah dapat membaca, apa yang akan kau katakan,” jawab Pangeran Kuda Permati.
“Mungkin kakangmas, tetapi jika aku yang mengucapkannya, maka kesannya akan dapat berbeda, karena aku melihat sendiri apa yang terjadi, dan bahwa aku-pun mengalami perlakuan yang sangat pahit sebagai akibat peperangan. Namun ternyata bahwa berpuluh-puluh, beratus ratus bahkan beribu-ribu orang yang mengalami keadaan lebih parah dari yang aku alami akibat dari peperangan ini. Apakah kita, orang-orang yang kebetulan berperanan didalam kemungkinan-kemungkinan terjadinya satu perubahan tidak merasa perlu untuk menghiraukannya,” berkata Purnadewi.
“Kenapa hal itu tidak kau sampaikan kepada kakang-mas Singa Narpada agar ia menghentikan pembantaian yang dilakukannya tanpa ampun?” bertanya Pangeran Kuda Permati.
“Aku sudah menyampaikan kepadanya. Tetapi pasukan kakangmas Singa Narpada-pun mengalami pembantaian tanpa ampun,” jawab Purnadewi, “Tetapi itu tidak terlalu menyakitkan hati. Yang lebih parah adalah pembantaian terhadap orang-orang yang tidak tahu menahu sama sekali tentang pertempuran ini. Orang yang tidak tahu akan cita-cita kakangmas Kuda Permati yang ingin membebaskan diri dari kesatuan Singasari dan berdiri sendiri bahkan kemudian menguasai Singasari dan tidak pula mengerti, tugas kakangmas Singa Narpada untuk mempertahankan kedudukan Kediri seperti sekarang ini.”
“Diajeng,” potong Pangeran Kuda Permati, “istilah yang kau pergunakan-pun telah berbeda. Inilah puteri Purnadewi yang sekarang, setelah ditangkap oleh Pangeran Singa Narpada dan kemudian dilepaskannya lagi?”
Wajah Purnadewi menjadi semakin tegang. Dipandanginya wajah suaminya dengan tajamnya. Kemudian dengan nada ragu ia bertanya, “Apa yang berubah kakangmas.”
“Sejak kapan kau menyebut negeri ini sebagai bagian dari Kesatuan Singasari yang besar?” bertanya Pangeran Kuda Permati, “Tentu kakangmas Singa Narpada yang mengajarimu. Yang mengatakan, bahwa Kediri merupakan satu bagian dari kesatuan Singasari itu, yang mempunyai wewenang mengurus dirinya sendiri. Sehingga dengan demikian, maka Kediri merupakan anggauta dari sebuah keluarga besar yang duduk dalam tataran yang sama, yang diembani oleh Sri Maharaja di Singasari yang Besar, Yang Bijaksana, Yang penuh Kasih Sayang terhadap rakyatnya, dan sebutan-sebutan apalagi yang dapat diucapkan untuk menjilat kaki orang-orang Singasari.”
“Kakangmas,” potong Purnadewi dengan suara melengking, “Kakangmas melihat persoalan ini dari satu sisi, sebagaimana yang pernah aku lihat dahulu. Tetapi kemudian aku sempat melihat dari sisi yang lain, yang dapat aku jadikan bahan perbandingan antara kedua sisi penglihatanku itu.”
“Begitukah menurut kakangmas Singa Narpada?” bertanya Pangeran Kuda Permati dengan suara yang berat.
“Kakangmas Singa Narpada tidak mengatakan demikian, kakangmas,” jawab puteri Purnadewi, “Kakangmas Singa Narpada hanya memberi kesempatan kepadaku untuk melihat sisi yang lain yang belum pernah aku lihat.”
“Tetapi sebelumnya kau tidak pernah mengatakan tentang satu Kesatuan dari Singasari yang besar, yang didalamnya terkandung Kediri dan daerah-daerah lainnya di wilayah yang sekarang disebut Singasari. Coba kau lihat, jika kita menyetujui istilah itu, maka Kediri merupakan bagian kecil dari yang disebut Singasari sebagai beberapa Pakuwon yang dahulu merupakan daerah Kediri. Wewenang dan haknya tidak lebih dari satu kerajaan yang berada dibawah pengaruh kekuatan Maharaja di Singasari, apa-pun yang dikatakan oleh orang-orang Singasari untuk sekedar menyenangkan hatiku, hatimu dan hati orang-orang Kediri yang lemah,” jawab Pangeran Kuda Permati.
Purnadewi memandang Pangeran Kuda Permati dengan tajamnya. Ia tidak menunduk sebagai dilakukannya pada saat-saat lampau jika Pangeran Kuda Permati bersikap agak keras kepadanya. Tetapi saat itu Purnadewi justru berkata, “Kakangmas. Marilah kita berpikir bening. Jangan tenggelam kedalam arus perasaan yang tidak berujung pangkal. Biasanya seorang perempuanlah yang tidak mampu mempergunakan nalarnya. Tetapi sekarang, ternyata sikapku benar-benar dipengaruhi oleh nalar dalam keseimbangannya dengan perasaan.”
“Omong kosong,” teriak Pangeran Kuda Permati, “omong kosong. He, begitukah kakangmas Singa Narpada mengajarimu, atau kau sudah tidak waras lagi sekarang?”
Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Ia mengenal suaminya dengan baik, sehingga ia tahu, bahwa suaminya telah menjadi benar-benar marah. Tetapi pengalamannya telah menempanya, sehingga Purnadewi tidak menjadi gemetar karenanya.
“Diajeng,” berkata Pangeran Kuda Permati dengan suara geram, “Sebaiknya kau tidak usah ikut berbicara tentang sikapku menghadapi Singasari. Apa-pun yang aku lakukan, biarlah aku lakukan. Pada saatnya kau akan ikut menikmati hasil dari perjuanganku.”
“Ampun kakangmas,” jawab Purnadewi, “Aku tidak akan dapat berdiam diri menghadapi keadaan yang semakin parah ini.”
“Apa pedulimu,” bentak Pangeran Kuda Permati.
“Kakangmas,” berkata Purnadewi kemudian, “Setiap hari kematian akan bertambah-tambah, sementara aku sama sekali tidak berbuat apa-apa bagi Kediri yang sama-sama kita cintai ini. Tetapi cintaku kepada Kediri bukannya beralaskan kepada kepentingan diriku pribadi. Kepada kepuasan diri atau cita-cita pribadi, tetapi aku mencintai Kediri sebagai satu kenyataan yang aku hadapi di setiap hari. Kematian, tangis, dan kepahitan hidup yang menyayat tanpa ada henti-hentinya.”
“Itu adalah korban dari sebuah perjuangan,” teriak Pangeran Kuda Permati, “Semakin besar cita-cita perjuangan, maka pengorbanan-pun akan menjadi semakin besar.”
“Perjuangan apa?” bertanya Purnadewi, “perjuangan bagi kepentingan siapa? Mereka yang menjadi korban sama sekali tidak merasa bahwa mereka sedang berjuang untuk satu cita-cita. Mereka sama sekali tidak mengerti, untuk apa sebenarnya perang itu terjadi.”
“Cukup,” bentak Pangeran Kuda Permati, “Aku tidak akan mendengarkan kata-katamu. Biarlah kau tetap berada disini atau jika kau ingin kembali kepada kakangmas Singa Narpada. Tetapi kau jangan menjadi racun bagiku. Selama ini kau merupakan satu dorongan yang tidak ternilai bagi perjuanganku. Aku menjadi semakin bergairah dalam perjuangan ini karena doronganmu. Namun kini kau sudah berubah. Meskipun demikian aku tidak akan bergeser sama sekali dari arah yang telah aku yakini.”
Purnadewi masih akan menjawab, tetapi Pangeran Kuda Permati telah berkata, “Kau mendapat kesempatan untuk merenungi kata-kataku. Pada saatnya aku akan bertanya kepadamu, apakah kau masih mengerti arti dari perjuangan ini, atau sebaliknya.”
Purnadewi sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menjawab. Pangeran Kuda Permati tidak menunggunya. Dengan wajah yang garang dan jantung yang berdegup semakin cepat, Pangeran Kuda Permati meninggalkan rumah itu. Beberapa orang yang memang ditempatkan sebagai pengawal Purnadewi itu termangu-mangu. Mereka tidak tahu pasti, apa yang terjadi. Tetapi mereka mendengar perselisihan yang telah terjadi antara Pangeran Kuda Permati dengan isterinya. Satu peristiwa yang jarang sekali terjadi.
Apalagi ketika Pangeran Kuda Permati pada saat meninggalkan rumah itu berpesan kepada pemimpin pengawal khusus yang menjaga rumah itu, “Hati-hati. Amati. Jangan ada orang yang berhubungan dengan Purnadewi dan apalagi Purnadewi jangan sampai meninggalkan halaman rumah ini. Kalian bertanggungjawab jika terjadi sesuatu atasnya.”
Pemimpin pengawal itu tidak sempat menjawab. Ia tidak tahu maksud Pangeran Kuda Permati. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali melakukan perintah itu.
“Tidak boleh ada orang yang berhubungan dengan puteri dan puteri-pun tidak boleh keluar dari halaman ini,” pemimpin pengawal itu memberikan perintah pula kepada para pengawal yang lain.
Berbagai pertanyaan telah timbul diantara para pengawal tentang puteri Purnadewi. Perselisihan yang terjadi dengan Pangeran Kuda Permati apalagi tidak jelas persoalannya bagi mereka, telah membuat mereka bertanya-tanya.
Dalam pada itu, sepeninggal Pangeran Kuda Permati, maka Purnadewi-pun telah berlari masuk kedalam biliknya. Dijatuhkannya dirinya tertelungkup di pembaringannya. Rasa-rasanya tugas yang diembannya telah gagal sama sekali. Ia tidak mendapat cukup kesempatan untuk menjelaskan. Apalagi meyakinkan Pangeran Kuda Permati.
Namun puteri Purnadewi-pun mengerti sepenuhnya sifat dan watak Pangeran Kuda Permati. Apalagi perjuangannya itu-pun telah dirintisnya untuk waktu yang lama. Ia tidak tiba-tiba saja mengumpulkan para prajurit dan mengajak mereka untuk berontak. Tetapi Pangeran Kuda Permati telah menempuh jalan yang agak panjang. Ia telah menempa secara jiwani beberapa orang pemimpin prajurit untuk bersamanya melakukan perlawanan terhadap Singasari. Karena itulah, maka dalam keadaan yang bagaimana-pun juga, para pengikut Pangeran Kuda Permati pada umumnya adalah orang-orang setia, yakin akan kebenaran perjuangannya dan berani.
Meskipun demikian dalam perkembangan selanjutnya telah timbul akibat-akibat buruk yang mempengaruhi sikap jiwani yang sekuat baja itu. Kegersangan, kesendirian tanpa anak dan isteri, kekejaman dan perjalanan yang seakan-akan tidak pernah berakhir. Bahkan kadang-kadang haus dan lapar serta pengalaman-pengalaman yang lain, telah menggeser sikap mereka dari sikap seorang pejuang menjadi orang-orang yang ganas dan garang. Bahkan tujuan perjuangan mereka semakin lama menjadi semakin kabur dibayangi oleh sifat-sifat yang justru bertentangan dengan dasar perjuangan mereka sendiri.
Apa yang dilihat dan dialami oleh puteri Purnadewi sama sekali tidak mencerminkan satu pengalaman yang mengharukan tentang seorang pahlawan yang berjuang, tetapi rasa-rasanya yang dialaminya tidak lebih dari berada diantara segerombolan penyamun dan perampok. Yang merampas milik orang lain, membunuh dan bahkan berbuat kasar yang lain yang jauh lebih rendah dari martabat yang seharusnya bagi seorang pejuang.
“Tetapi masih ada kesempatan,” berkata Purnadewi kepada dirinya sendiri. “Ia harus berbuat dengan sabar. Bukankah pada suatu saat Pangeran Kuda Permati akan datang lagi kepadanya?”
Sebagaimana kerasnya sikap Pangeran Kuda Permati, maka Purnadewi-pun harus sadar, bahwa ia tidak boleh berputus asa. Betapa kerasnya batu karang, tetapi titik-titik air akan dapat melubanginya. Dengan demikian, maka Purnadewi-pun masih berpengharapan. Ia tidak boleh dengan cepat menjadi putus asa.
Sementara itu Pangeran Kuda Permati telah berada kembali diantara para Senopatinya. Kemarahannya kepada isterinya, masih nampak terkesan di wajahnya. Bahkan kemudian Pangeran Kuda Permati telah memerintahkan para Senopatinya untuk meningkatkan pengawasan.
“Sikap kita tidak boleh mengendor,” berkata Pangeran Kuda Permati, “Dalam beberapa waktu yang tidak terlalu lama, aku akan menyerang Kota Raja dari beberapa penjuru. Aku ingin mengatakan kepada kakangmas Singa Narpada, bahwa usahanya dengan mempengaruhi Purnadewi sama sekali tidak berarti apa-apa.”
Para Senopati itu-pun kemudian mendapat gambaran, apa yang sebenarnya telah terjadi. Pemimpin pengawal di rumah yang didiami oleh Purnadewi-pun kemudian mengerti juga, bagaimana sikap Purnadewi itu kemudian, sehingga Pangeran Kuda Permati telah mengambil sikap yang tegas terhadapnya, meskipun ia adalah isterinya.
Dengan demikian, maka para pengawal di rumah yang didiami oleh Purnadewi itu-pun berusaha dengan sungguh-sungguh untuk dapat melakukan tugas mereka dengan sebaik-baiknya, karena sedikit saja kesalahan yang mereka lakukan, mungkin akan dapat menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki. Bukan saja atas mereka, tetapi atas lingkungan yang lebih luas.
Ternyata bahwa Purnadewi-pun menyadari sikap suaminya. Ia melihat para pengawal yang hilir mudik dihalaman. Siang dan malam. Tidak seorang-pun yang pernah memasuki halaman rumah itu kecuali para pembantu yang telah mendapat kepercayaan untuk melayani Purnadewi di rumah itu. Juru patehan, juru taman, juru madaran, juru panebah dan beberapa orang tertentu lainnya.
Namun Purnadewi tidak berputus-asa. Ia masih menunggu kesempatan. Ia yakin bahwa pada satu saat, suaminya tentu masih akan datang mengunjunginya. Ia tidak akan menjadi jemu untuk mengatakan, bahwa saatnya pembantaian harus dihentikan.
Tetapi sebelum Pangeran Kuda Permati datang kerumah itu, maka telah terjadi sesuatu yang mengejutkan bagi Puteri Purnadewi. Di tengah malam buta ia telah dibangunkan oleh para pengawal. Dengan tergesa-gesa pemimpin pengawal itu berkata, “Puteri, mohon maaf. Malam ini juga puteri diminta untuk meninggalkan tempat ini.”
“Kenapa?” bertanya puteri Purnadewi.
“Orang-orang Kediri yang menjadi penjilat itu agaknya dapat mencium kegiatan kami dan oleh para pengkhianat mereka agaknya telah mendapat petunjuk tentang padukuhan ini,” jawab pemimpin pengawal itu.
Purnadewi tidak dapat membantah. Jika demikian, maka ia memang harus pergi. Ia tidak mau tertangkap lagi sebelum ia sempat berbicara lebih panjang dengan suaminya. Karena itu, maka Purnadewi-pun segera berbenah diri. Namun ia masih sempat bertanya, “Dimana kakangmas Kuda Permati sekarang?”
“Di bagian lain dari pertahanan kita telah terjadi pertempuran sejak lewat senja. Pangeran Kuda Permati memimpin sendiri para prajurit untuk melawan pasukan yang besar dari Kediri. Yang agaknya tidak lagi berpegang pada paugeran perang yang hanya dapat terjadi di siang hari. Tetapi mereka dengan sengaja menyerang, mungkin mereka bermaksud menyergap kita,” berkata pemimpin pengawal itu, “Tetapi usaha mereka tentu akan sia-sia.”
“Jadi kemana aku harus pergi?” bertanya Purnadewi.
“Pangeran Kuda Permati telah memberikan perintah terperinci. Kita akan menuju ke sebuah padukuhan yang sudah ditentukan oleh Pangeran Kuda Permati,” jawab pemimpin pengawal itu.
Namun puteri Purnadewi menjadi berdebar-debar pula. Mungkin orang-orang Kediri berhasil menemukan tempat itu, karena ada diantara mereka yang sempat mengikutinya dan melihat arah kepergiannya.
“Tetapi tidak,” Katanya, “Segala pihak waktu itu telah meyakinkan, bahwa tidak ada seorang-pun yang mengikuti perjalananku. Memang masuk akal bahwa kelima orang petani itu adalah orang-orang kakangmas Pangeran Singa Narpada yang mendapat tugas untuk menyelamatkan perjalananku, sampai mereka yakin aku akan dapat sampai kepada kakangmas Kuda Permati karena mereka-pun berkepentingan sekali dengan perjalananku. Tetapi setelah itu, tidak ada orang lain yang akan dapat menembus jebakan kakangmas Kuda Permati.”
Demikianlah, di malam yang gelap Purnadewi dikawal oleh sekelompok prajurit pilihan telah menyusuri jalan-jalan kecil berpindah dari satu padukuhan ke padukuhan yang telah di tentukan. Perjalanan di malam hari melewati jalan-jalan yang sempit bukan satu perjalanan yang mudah, sebagaimana ia meninggalkan Kota Raja.
Beberapa orang pengawal berjalan di depannya, selebihnya berjalan di belakangnya. Dua orang diantara mereka telah mendahului untuk mengamati apakah jalan yang akan mereka lalui aman, karena dalam keadaan yang rumit itu, disetiap tempat akan dapat mereka temui kawan dan mungkin juga lawan.
Namun ternyata bahwa beberapa puluh langkah dari sebuah padukuhan yang nampak di hadapan mereka, meskipun jalan yang mereka lalui tidak akan menembus padukuhan itu, terdapat sesuatu yang mencurigakan. Dua orang yang berjalan mendahului kelompok itu telah memberikan laporan tentang sesuatu yang mencurigakan, sepasukan yang cukup kuat.
“Jika demikian, kita turun ke sungai,” berkata pemimpin pengawal itu.
Kedua orang itu sependapat. Mereka harus menghindar, karena menurut pengamatan mereka, jumlah pasukan itu jauh lebih kuat dari pada pengawal. Purnadewi sama sekali tidak mengeluh ketika mereka harus menuruni tebing sungai yang sulit. Bagaimana-pun juga jiwanya sudah ditempa untuk mengalami satu peristiwa yang betapa-pun beratnya. Meskipun demikian Purnadewi mengalami sedikit kesulitan, sehingga dua orang pengawal terpaksa menolongnya. Belum lagi mereka menyusuri tepian sungai sampai seratus langkah, maka mereka telah mendapat perintah untuk berhenti.
“Cepat, melekat ke tebing,” perintah itu menjalar dari mulut kemulut.
Dengan cepat, para pengawal itu-pun telah melekat ke tebing. Yang sempat mencari perlindungan pada pohon-pohon perdu telah berusaha untuk membayangi dirinya dengan rimbunnya daun perdu yang tumbuh di lereng itu.
Dalam pada itu, puteri Purnadewi-pun telah berjongkok pula dibawah sebuah semak-semak, dibayangi oleh seorang pengawal di belakangnya. Untuk beberapa saat orang-orang itu berusaha untuk tidak menarik perhatian dengan berdiam diri bagaikan membeku.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, sebuah iring-iringan telah lewat diatas tebing. Sepasukan prajurit Kediri yang jumlahnya jauh lebih banyak dari para pengawal Purnadewi, sehingga jika para pengawal itu berusaha untuk bertemu dalam kancah pertempuran, maka mereka tidak akan dapat menang. Karena itu, maka para pengawal lebih baik berusaha untuk menghindar. Kecuali jika mereka bertemu dan dalam keadaan memaksa, maka mereka memang harus berusaha melindungi puteri Purnadewi dengan mempertaruhkan nyawa mereka.
Tetapi agaknya para prajurit Kediri itu tidak melihat bahwa ada sekelompok pasukan di tepian. Karena itu, maka mereka-pun hanya berjalan saja beriringan didalam gelapnya malam tanpa berpaling. Tidak seorang-pun diantara mereka yang membawa obor. Mungkin mereka-pun berusaha untuk tidak bertemu dengan pasukan Pangeran Kuda Permati yang lebih besar, karena jumlah mereka sebenarnya juga tidak terlalu banyak.
Beberapa saat kemudian, maka orang terakhir dari iring-iringan itu-pun telah lewat. Meskipun demikian, para pengawal yang baru berada di tepian itu masih menunggu untuk sesaat. Baru setelah keadaan menjadi sepi, dan tidak lagi terdengar langkah orang dan desir dedaunan, maka pemimpin pengawal itu-pun memberi isyarat kepada dua orang pengamatnya untuk melihat keadaan.
Kedua orang itu-pun kemudian merangkak naik keatas tebing. Tenyata iring-iringan itu sudah menjadi semakin jauh. Mereka telah lenyap dalam gelapnya malam, sehingga mereka sama sekali sudah tidak nampak lagi. Karena itu, maka kedua orang itu-pun kemudian kembali memberikan laporan kepada pemimpin pengawal itu.
“Baiklah,” berkata pemimpin pengawal itu, “Kita akan meneruskan perjalanan.”
Sejenak kemudian, maka Purnadewi-pun telah dipersilahkan untuk meneruskan perjalanan. Tetapi berjalan di tepian ternyata jauh lebih sulit daripada berjalan diatas tebing. Dalam kelokan-kelokan sungai kadang-kadang mereka temukan sebuah kedung yang mungkin masih menyimpan buaya didalamnya. Karena itulah, maka sejenak kemudian mereka telah memanjat tebing. Beberapa orang pengawal-pun kemudian membantu Purnadewi merangkak memanjat tebing yang curam.
Purnadewi masih juga tidak mengeluh. Ia berjalan dalam keletihan. Kakinya mulai merasa sakit, sebagaimana pernah dirasakannya pada saat ia meninggalkan Kota Raja bersama tiga orang perwira yang mengawalnya dengan setia.
Meskipun Purnadewi tidak mengeluh sama sekali, tetapi pemimpin pengawal itu kemudian mengerti bahwa kaki Purnadewi telah terluka. Karena itu, maka pemimpin pengawal itu-pun kemudian bertanya kepada para pengawalnya, “Siapa yang mempergunakan terompah?”
Namun ternyata tidak seorang-pun yang memakai terompah diantara para pengawalnya, sehingga akhirnya, ternyata pemimpin pengawal itu berpikir seperti para perwira yang mengawalnya dari Kota Raja. Dengan sesosok kain panjang salah seorang pengawal, maka kaki Purnadewi telah dilindungi dari kemungkinan yang lebih parah lagi.
Demikianlah, maka mereka-pun telah melanjutkan perjalanan. Ketika mereka mendekati sebuah pedukuhan, maka sekali lagi telah terjadi sesuatu yang mencurigakan. Namun ketika dua orang pengamat itu menyelidiki keadaan, maka mereka menemukan padukuhan itu baru saja menjadi ajang pertempuran antara para prajurit Kediri dengan para pengkikut Pangeran Kuda Permati.
Nampaknya sepasukan Pangeran Kuda Permati yang kuat telah menemukan sepasukan prajurit Kediri yang sedang memasuki daerah pengaruh mereka. Pertempuran tidak dapat dihindarkan. Namun para prajurit Kediri yang jumlahnya lebih kecil itu harus melarikan diri dalam keadaan yang pahit.
Ketika Purnadewi dan para pengawalnya memasuki padukuhan itu, mereka masih menemukan para pengikut Pangeran Kuda Permati menikmati kemenangannya. Sementara itu, sepasukan Kediri yang mereka jumpai di tebing sungai, adalah sebagian dari pasukan yang melarikan diri dari tangan para pengikut Pangeran Kuda Permati di padukuhan itu.
Ternyata sikap pemimpin pasukan para pengikut Pangeran Kuda Permati itu sangat menyakitkan hati. Hampir saja terjadi salah paham sebagaimana pernah terjadi dengan para pengikut Pangeran Kuda Permati, sehingga terpaksa hadir kelima orang dalam pakaian petani untuk menolongnya. Tetapi akhirnya salah paham itu dapat diatasi. Tetapi pemimpin pengawal itu harus membawa Purnadewi melanjutkan perjalanan.
“Aku tidak yakin bahwa perempuan itu benar puteri Purnadewi isteri Pangeran Kuda Permati,” berkata pemimpin pasukan pengikut Pangeran Kuda Permati di padukuhan itu.
“Tetapi ciri-ciri para pengawal serta pengenalan mereka atas kata-kata sandi menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari kita,” berkata salah seorang perwiranya.
“Mungkin. Tetapi mereka tidak boleh mengganggu tugas-tugas kita disini. Karena itu, biar saja mereka pergi ke tempat yang sudah ditunjuk bagi mereka,” jawab pemimpin pasukan di padukuhan itu.
Dengan demikian, maka Purnadewi-pun telah meninggalkan padukuhan itu dengan selapis lagi pengalaman yang penting baginya. Purnadewi melihat sendiri korban yang silang melintang di padukuhan yang baru saja ditinggalkan. Sebagian besar diantara korban itu adalah prajurit Kediri yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Mereka yang tidak sempat melarikan diri ternyata harus mengalami nasib yang paling pahit. Tidak ada lagi kesempatan untuk dapat hidup bagi mereka.
Dengan demikian, maka Purnadewi-pun menjadi semakin yakin, bahwa perang harus dihentikan. Pangeran Kuda Permati harus menyadari, bahwa perjuangan yang diyakininya akan membawa keberuntungan bagi rakyat Kediri itu ternyata hanya membawa korban tanpa hitungan.
“Tidak mungkin jika kakangmas menuntut Sri Baginda di Kediri-lah yang harus menghentikan perlawanan dan kemudian menyerahkan segala sesuatunya kepada kakangmas Pangeran Kuda Permati,” berkata Purnadewi didalam hatinya.
Sementara itu ia-pun menjadi semakin yakin bahwa perjuangan Pangeran Kuda Permati sebagian terbesar hanyalah didorong oleh gejolak perasaannya saja, “Ia tidak melandasi perjuangannya dengan perhitungan yang mapan dan dengan sikap yang dewasa. Ternyata sebelum kakangmas Kuda Permati mendapatkan kemenangan yang berarti, kakangmas Kuda Permati sudah tidak mampu lagi menguasai sifat dan watak para pengikutnya, sehingga tingkah laku para pengikutnya sudah keluar dari jejer seorang kesatria.”
Karena itu, maka tekadnya menjadi semakin bulat untuk berbuat sesuatu agar perang itu-pun segera berhenti. Pembantaian akan berhenti pula, sehingga rakyat Kediri tidak lagi akan saling berhubungan.
“Jika Kediri menjadi semakin ringkih, maka tidak mustahil bahwa akhirnya Kediri memang tidak akan mampu menjaga dirinya sendiri, sehingga akan menjadi alasan yang kuat bagi Singasari untuk datang dan memegang segala kendali di Kediri. Dengan demikian hubungan Singasari dan Kediri akan berubah. Tidak lagi satu lingkungan keluarga besar yang satu, tetapi Singasari akan menguasai Kediri. Dengan seribu macam alasan,” berkata Purnadewi selanjutnya.
Dalam pada itu, maka puteri itu-pun telah melanjutkan perjalanan mereka. Dengan kesan tersendiri Purnadewi meninggalkan padukuhan yang mengerikan, yang berubah menjadi neraka yang hampir saja membakar dirinya pula. Untunglah bahwa Yang Maha Agung masih melindunginya dan memberinya kesempatan untuk meninggalkan tempat itu.
Seperti perjalanan yang ditempuhnya terdahulu, maka perjalanan berikutnya-pun merupakan perjalanan yang sulit. Namun Purnadewi berjalan dengan hati yang teguh meskipun tubuhnya menjadi semakin lemah. Namun akhirnya Purnadewi sampai juga ke sebuah padukuhan yang telah ditunjuk oleh Pangeran Kuda Permati.
Tetapi seperti pesan Pangeran Kuda Permati, padukuhan itu hanya dipergunakan untuk sehari saja. Malam berikutnya mereka harus melanjutkan perjalanan ke sebuah padukuhan lain yang akan menjadi tempat tinggal sementara Pangeran Kuda Permati dan Purnadewi. Dari tempat itu Pangeran Kuda Permati akan mengendalikan pasukannya untuk beberapa waktu, sehingga pada saat tertentu berikutnya mereka akan mencari tempat yang lain yang lebih aman.
“Sampai kapan keadaan seperti ini berlaku bagi orang-orang Kediri?” bertanya Purnadewi didalam hatinya.
Ketika matahari terbit, maka Purnadewi-pun dipersilahkan untuk membersihkan dirinya dengan air panas. Sehari ia akan mendapat kesempatan untuk beristirahat di sebuah padukuhan. Padukuhan yang telah dijaga dengan baik oleh sepasukan pengikut Pangeran Kuda Permati. Namun sikap para pengawal di padukuhan itu terhadap para pengawal yang mengawal Purnadewi agaknya juga kurang baik. Mereka menganggap bahwa para pengawal Purnadewi bukan prajurit yang tangguh tanggon di peperangan. Tetapi mereka adalah pengawal-pengawal yang hanya pantas untuk mengantarkan seorang perempuan yang pergi mengungsi.
Sikap itu sangat menyakitkan hati. Demikian tersinggung pemimpin pengawal puteri Purnadewi itu, sehingga dengan nada kasar ia berkata, “Marilah kita buktikan. Aku adalah pemimpin pasukan khusus yang mendapat tugas untuk mengawal Puteri Purnadewi. Jika kalian menganggap kami terlalu tidak berarti, maka marilah, kita akan saling menjajagi. Siapakah yang lebih baik diantara kita. Kalian atau kami. Karena itu, maka tunjukkan seorang wakil dari antara kalian yang paling baik untuk berhadapan dengan aku di arena perang tanding. Aku menurut saja pilihan kalian. Sampai mati atau tidak.”
Tantangan itu-pun terlalu menyakitkan hati. Pemimpin pasukan yang ada di padukuhan itu-pun kemudian menjawab dengan lantang, “Aku akan memasuki arena. Bersiaplah. Arena akan siap dalam sekejap.”
Namun demikian pemimpin pengawal itu sama sekali tidak memberitahukan hal itu kepada Purnadewi. Ia-pun berpesan kepada para pengawal yang bertugas berada di halaman rumah yang dipergunakan untuk beristirahat, agar hal itu tidak diketahuinya. Sebenarnyalah arena-pun siap dalam sekejap. Para pengikut Pangeran Kuda Permati dari kedua belah pihak telah berkumpul diseputar arena.
“Kau harus menebus kesombonganmu dengan nyawamu,” teriak pemimpin pasukan yang berada di padukuhan itu.
Pemimpin pengawal puteri Purnadewi sama sekali tidak menyahut. Sejanak kemudian kedua orang pemimpin pasukan yang sama-sama menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati itu-pun telah bersiap. Diseputar arena berkumpul para anggauta pasukan masing-masing. Jumlah mereka yang ada di padukuhan itu memang lebih banyak dari jumlah para pengawal Puteri Purnadewi. Tetapi para pengawal Purnadewi sama sekali tidak merasa gentar jika akibat dari perang tanding itu akan semakin meluas.
Pemimpin pasukan yang ada di padukuhan itu agaknya tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dengan kemarahan yang membakar jantungnya, karena tantangan itu, maka ia-pun telah mendahului meloncat menyerang. Tetapi serangan yang pertama itu tidak menyentuh sasarannya. Pemimpin pengawal puteri Purnadewipun sempat mengelak dengan loncatan kecil. Tetapi lawannya tidak melepaskannya. Dengan serta merta, maka serangan berikutnya-pun telah memburunya.
Meskipun demikian serangan itu sama sekali tidak berhasil mengenai sasarannya, sehingga akhirnya pengawal Puteri Purnadewi itu harus berusaha untuk menyerang kembali. Ia tidak mau sekedar menjadi sasaran serangan dan harus berloncatan menghindar terus-menerus. Dengan demikian, maka pertempuran itu-pun menjadi semakin sengit. Keduanya saling menyerang dan menghindar. Sekali-sekali kekuatan mereka berbenturan meskipun tidak dalam kekuatan sepenuhnya.
Namun lambat laun, mereka semakin memanjatkan ilmunya. Ketika pertempuran itu menjadi semakin cepat dan keras, maka keduanya-pun mulai merambah pada puncak ilmu mereka. Ternyata pengawal Purnadewi itu bukannya prajurit sebagaimana disangka oleh para pengawal di padukuhan itu. Mereka bukan sekedar untuk menakut-nakuti perampok-perampok kecil dalam pengawalnya atas puteri Purnadewi. Sebenarnyalah mereka adalah pasukan pilihan yang ditunjuk oleh Pangeran Kuda Permati untuk mengawal isterinya.
Karena itu, maka pemimpin pasukan pengawal yang diambil dari pasukan khusus itu, merupakan seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, melampaui pemimpin pengawal yang berada di padukuhan itu. Dengan demikian, maka dalam pertempuran yang berlangsung semakin cepat, mulai nampak kelebihan pemimpin pengawal puteri Purnadewi itu.
Perasaan tersinggung yang menyentuh jantungnya telah membuatnya ingin membuktikan, bahwa ia dan pasukannya justru memiliki kemampuan lebih baik dari para pengawal yang ada di padukuhan itu. Mereka berhasil menguasai daerah yang memang tidak dipertahankan oleh satu kekuatan prajurit. Mereka berada di padukuhan itu, begitu saja tanpa mengalami perlawanan.
Karena itu, maka para pengawal di padukuhan itu agak kurang menyadari kemampuan diri dibanding dengan kesatuan-kesatuan yang lain dari para pengikut Pangeran Kuda Permati. Meskipun sebagian dari mereka mula-mula adalah prajurit Kediri tetapi sebagian yang lain adalah anak-anak muda yang dapat dibujuk untuk ikut dalam pasukan mereka tanpa mengerti dan mengenal arti perjuangan yang sesungguhnya yang dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati.
Sementara itu meskipun pemimpin pasukan yang ada di padukuhan itu juga seorang prajurit, tetapi ia bukan dari pasukan khusus yang mendapat latihan mirunggan untuk melakukan tugasnya. Demikianlah pertempuran antara kedua orang pemimpin pasukan itu berlangsung semakin keras. Keduanya saling menyerang, saling menghindar dan saling menunjukkan ilmu kanuragan yang mereka kuasai masing-masing.
Namun dalam pertempuran yang semakin cepat, maka pemimpin pengawal puteri Purnadewi mulai berhasil menyentuh lawannya dengan serangan-serangannya. Ketika tangannya mengenai lambung, maka lawannya menyeringai menahan mual perutnya. Lawannya itu meloncat mundur. Tetapi pemimpin pengawal itu tidak ingin melepaskannya. Ia ingin segera menyelesaikan dan membuatnya jera. Pengawal itu tidak ingin apa yang dilakukan itu diketahui oleh puteri Purnadewi.
Karena itu, maka ia-pun telah memburunya. Dengan satu lontaran kaki menyamping dan tubuh yang miring, maka pemimpin pengawal itu berhasil mengenai lawannya sekali lagi, sehingga ia telah terhuyung-huyung. Namun sekali lagi pemimpin pengawal itu memanfaatkan keadaan. Sekali lagi meloncat maju menyerang. Dengan tangannya langsung mengenai dadanya. Pemimpin pengawal di padukuhan itu terlempar selangkah surut. Namun ternyata bahwa ia tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangnnya. Karena itu, maka sejenak kemudian, ia-pun telah terjatuh di tanah.
Suasana di sekitar arena itu-pun menjadi goyah. Para pengikut Pangeran Kuda Permati dari kedua belah pihak mulai bergerak saling mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang lebih luas dari sekedar perang tanding. Namun pemimpin pasukan di padukuhan itu, ternyata masih belum sampai pada akhir perlawanannya. Tiba-tiba saja ia telah menarik pedangnya. Sambil bangkit dan berdiri tegak ia mengacungkan pedangnya sambil menggeram,
“Kita akan bertempur sampai mati.”
Pemimpin pengawal puteri Purnadewi itu termangu-mangu. Namun lawannya sudah mengacungkan pedangnya. Sudah tidak ada pilihan lagi baginya. Sejak semula ia memang sudah berkata, apakah perang tanding itu akan berlangsung sampai salah seorang diantara mereka mati atau tidak.
Karena itu, maka pemimpin pengawal puteri Purnadewi itu-pun telah menarik senjatanya pula. Juga pedang. Tetapi agak berbeda dengan pedang yang lain yang terbiasa dipergunakan. Pedang pemimpin pengawal itu adalah pedang yang lurus dan tajam dikedua sisinya. Dengan demikian, maka kedua orang pemimpin itu telah berhadapan dengan senjata di tangan. Kemarahan yang membakar jantung mereka telah membuat sorot mata mereka menjadi berapi-api.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itu telah mulai mengacukan senjata mereka. Beberapa langkah mereka bergeser. Namun yang kemudian dengan tiba-tiba pemimpin pasukan yang ada di padukuhan itu-pun telah meloncat menyerang dengan pedangnya langsung mengarah dada.
Lawannya-pun segera menangkis serangan itu dengan pedang lurusnya. Sambil memutar pedangnya, maka pemimpin pengawal puteri Purnadewi itu bergeser setengah langkah. Dengan cepat, maka ia-pun menarik pedangnya dan mengayunkan mendatar menebas leher.
Dengan tangkasnya lawannya menyilangkan pedangnya. Ketika benturan kemudian terjadi, maka bunga api-pun telah memercik ke udara. Namun dengan cepat pemimpin pengawal itu memutar pedangnya dan sekali lagi pedang itu mematuk dada. Tetapi ternyata pemimpin pasukan yang ada di padukuhan itu-pun memiliki ilmu pedang yang memadai. Karena itu, maka perang tanding dengan pedang itu-pun berlangsung semakin lama semakin cepat. Keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan mereka bermain pedang.
Mereka yang berdiri diseputar arena itu-pun menjadi berdebar-debar. Masing-masing berharap bahwa pemimpinnyalah yang akan menang. Dengan demikian, maka mereka akan membuktikan bahwa pasukannya adalah pasukan yang lebih baik dari pasukan yang lain.
Namun kemudian, sebagaimana yang pernah terjadi, pemimpin pasukan pengawal puteri Purnadewi itu-pun mulai nampak menguasai arena. Pedangnya berputar lebih cepat dan sekali-sekali berhasil menyusup diantara putaran pedang lawannya meskipun belum menyentuh tubuh lawannya. Tetapi sekali-sekali keadaan lawannya menjadi sangat berbahaya, sehingga setiap kali ia harus berloncatan surut. Meskipun demikian pertempuran berpedang itu berlangsung semakin seru. Keduanya menunjukkan kemampuan mereka mengusai ilmunya.
Mereka yang berada di sekitar arena itu, menyaksikan dengan ketegangan yang setiap kejap semakin meningkat. Apalagi pasukan yang berada di padukuhan itu. Mereka mulai melihat pemimpinnya benar-benar mulai terdesak. Ujung pedang pemimpin pasukan pengawal puteri Purnadewi itu rasa-rasanya berterbangan semakin dekat tubuhnya.
Sebenarnyalah, ketika pertempuran itu berlangsung semakin cepat, maka tiba-tiba saja terdengar desah tertahan. Pemimpin pasukan di padukuhan itu-pun meloncat surut dengan loncatan panjang sambil menyilangkan pedangnya di depan dada. Lawannya termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak memburunya.
Sejenak kemudian ia-pun melihat bahwa pemimpin pasukan di padukuhan itu, ternyata tidak mampu lagi menghindari setiap serangan, sehingga lengan kirinya telah terluka tersayat oleh ujung pedang lawannya. Orang itu mengumpat. Tetapi satu kenyataan, darah telah menitik dari lukanya.
Pemimpin pasukan pengawal itu-pun berdiri termangu-mangu. Namun dengan suara datar ia berkata, “Kau sudah terluka. Kita sudah membuktikan, siapa yang lebih baik diantara kita.”
“Tidak,” pemimpin pasukan itu-pun menjawab hampir berteriak, “Kita buktikan, siapakah yang akan mati di arena ini.”
“Kau sudah terluka,” berkata pemimpin pengawal.
“Hanya satu kelengahan kecil. Tetapi kemampuan ilmuku tentu lebih tinggi dari ilmumu, sehingga kau akan mati karenanya,” jawab pemimpin pasukan di padukuhan itu.
Sejenak pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian ia-pun berkata, “Aku sudah berusaha untuk mencari jalan yang paling baik. Aku sebenarnya hanya ingin menghapus kesan bahwa pasukanku adalah pasukan yang hanya pantas untuk mengungsi. Tetapi jika kau menjadi gila dengan ketamakanmu, maka aku tidak berkeberatan.”
“Persetan,” geram pemimpin pasukan itu, “Kau kira bahwa dengan luka ini kau sudah dapat menepuk dada.”
“Apa-pun yang kau katakan. Tetapi aku sudah mengatakan apa yang tersirat didalam hatiku. Tetapi aku tidak akan ingkar untuk memenuhi keinginanmu, karena aku adalah seorang prajurit,” jawab pemimpin pengawal itu.
Dengan demikian, maka kedua orang itu-pun sudah berhadapan kembali di arena. Wajah mereka menjadi semakin tegang, dan pada sorot mata mereka nampak bahwa mereka tidak lagi mempunyai pilihan lain kecuali saling membunuh. Namun dengan demikian, maka para pengikut dari kedua pemimpin itu-pun tanpa perintah telah saling mempersiapkan diri. Rasa-rasanya mereka dihadapkan pada satu kemungkinan untuk juga saling membunuh.
Sejenak kemudian, maka pertempuran itu-pun telah berlangsung lagi. Semakin lama semakin cepat. Namun beberapa saat kemudian keseimbangan dari pertempuran itu-pun telah terulang lagi. Apabila ketika darah mengalir semakin banyak dari luka di lengannya. Tetapi pemimpin pasukan di padukuhan itu agaknya tidak mau melihat kenyataan itu. Ia masih tetap bertempur dengan garangnya. Namun setiap ia mengerahkan tenaganya, maka darah bagaikan terperas dari luka itu.
Para pengawal yang berada di sekitar arena itu-pun menjadi berdebar-debar. Kedua belah pihak benar-benar telah mempersiapkan diri. Dengan demikian maka pertempuran itu akan dapat menjadi luas.
Sementara itu kedua orang pemimpin itu masih bertempur terus. Namun agaknya pemimpin pengawal itu memang memiliki kelebihan. Ketika keduanya membenturkan senjata mereka, maka terasa tangan pemimpin pasukan di padukuhan itu menjadi pedih,. Ketika pemimpin pengawal itu memutar pedangnya, maka hampir saja pedang pemimpin pasukan di padukuhan itu terlepas. Namun untunglah bahwa ia masih sempat mempertahankan senjatanya, meskipun ia harus meloncat surut.
Tetapi lawannya tidak melepaskannya. Justru pada saat pemimpin pasukan itu memperbaiki keadaannya, pemimpin pengawal itu telah meloncat menyerangnya. Ujung pedangnya bagaikan meluncur mematuk ke arah jantung. Pemimpin pasukan itu terkejut. Denyut jantungnya terasa bagaikan berhenti. Namun ia masih berusaha untuk mengelak. Dengan keseimbangan yang kurang mapan ia telah bergeser. Namun pedang itu rasa-rasanya terus memburunya, sehingga akhirnya pemimpin pasukan itu tidak lagi mampu bertahan pada keseimbangannya, sehingga ia-pun telah terguling.
Namun pemimpin pasukan di padukuhan itu merasa bahwa justru karena itu, ia telah terlepas dari ujung pedang lawannya. Dengan serta merta, maka ia-pun berusaha untuk melenting berdiri. Tetapi ketika tubuhnya mulai bergerak, terasa tajam ujung pedang lawannya menyentuh lambungnya. Dengan suara datar pemimpin pengawal itu berkata, “jangan bergerak.”
Pemimpin pasukan itu terkejut. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Jika ia bergerak, maka ujung pedang lawannya itu akan dapat menusuk menembus keperutnya. Karena itu, maka ia tetap berada di tempatnya. Berbaring di tengah meskipun ia masih tetap menggenggam pedang.
“Apa yang kau kehendaki sekarang?” bertanya pemimpin pengawal itu.
Lawannya termangu-mangu. Ketika ia memandang kepada pasukannya di sekitar arena, maka pandangan matanya itu bagaikan aba-aba. Karena itu, maka pasukannya-pun tiba-tiba saja telah bergerak.
Namun pada saat yang bersmaan, para pengawal yang meskipun jumlahnya lebih sedikit, tetapi mereka adalah prajurit yang terlatih untuk menghadapi berbagai keadaan dalam keadaan yang khusus, sehingga karena itu, maka mereka-pun telah bersiap pula.
Pada saat yang tegang itu, pemimpin pengawal yang telah meletakkan ujung pedang di lambung lawannya itu-pun berkata, “Apa yang akan kalian lakukan? Kalian akan bertempur melawan kekuatan kita sendiri? Jika aku menantang perang tanding, maka aku berharap bahwa kita akan melihat satu kenyataan tanpa mengorbankan terlalu banyak orang. Sekarang kita sudah melihat kenyataan itu. Apakah masih kurang, sehingga setiap orang harus bertempur untuk membuktikan yang manakah diantara kita yang lebih baik. Aku tidak akan menantang perang tanding jika kalian tidak merendahkan martabat keprajuritan kami, seolah-olah kami bukannya prajurit yang pantas berada di peperangan, selain sekedar untuk mengatur para pengungsi. Nah, sekarang sudah ternyata bahwa kemampuan kami sama sekali tidak berada dibawah kemampuan kalian. Demikian pula setiap orang didalam pasukan kami. Kami memang mengantarkan seorang yang menyingkir dari kekalutan pertempuran. Tetapi yang seorang itu adalah isteri Pangeran Kuda Permati. Kalian tentu mengetahuinya, sehingga kalian akan dapat menilai, bahwa tugas kami bukannya tugas yang ringan sebagaimana kalian sebut bahkan dengan istilah-istilah yang mengejek.”
Orang-orang yang mendengar kata-kata itu menjadi tercenung bagaikan membeku. Sementara pemimpin pengawal itu meneruskan,
“Tidak ada gunanya perang tanding sampai mati. Aku tidak merasa perlu membunuhnya, karena orang ini-pun mempunyai tugas yang penting pula didalam pasukan Pangeran Kuda Permati. Aku akan melepaskannya. Tetapi jika ia masih mengganggu tugasku, maka jika hal ini diketahui oleh Pangeran Kuda Permati, maka kalian akan tahu sendiri akibatnya. Kalian tentu pernah mendengar, tujuh orang digantung bersama-sama oleh Pangeran Kuda Permati karena atas kebodohan mereka, satu rancangan serangan yang matang telah gagal. Dan sekarang, jika kalian mengganggu tugas kami, berarti mengganggu keselamatan isteri Pangerah Kuda Permati, maka bukan hanya para perwira sajalah yang akan digantung. Tetapi kalian semuanya.”
Pasukan yang ada di padukuhan itu, yang telah mulai terpengaruh oleh kata-kata pemimpin pengawal itu-pun mulai berpikir sementara pemimpinnya masih tetap terbaring dengan ujung pedang melekat di lambungnya. Untuk beberapa saat suasana menjadi hening namun tegang. Pemimpin pengawal itu-pun masih tetap mengancam pemimpin pasukan yang masih juga terbaring di tanah.
Pemimpin pengawal yang mengancam dengan pedangnya itu menunggu sejenak. Namun kemudian ia-pun menarik pedangnya dan melangkah menjauh sambil berkata, “Aku anggap bahwa perang tanding ini sudah selesai. Semua orang tahu, bahwa aku tidak kalah. Demikian pula orang-orangku. Mereka adalah prajurit-prajurit dari pasukan khusus yang mendapat kepercayaan untuk mengawal puteri Purnadewi. Karena itu, jangan sekali-kali menghina kami lagi.”
Wajah pemimpin pasukan yang kalah itu-pun menjadi tegang. Tetapi pemimpin pengawal itu benar-benar telah meninggalkannya. Beberapa langkah kemudian, maka pemimpin pengawal itu-pun berkata kepada orang-orangnya, “Kita tinggalkan arena ini. Kita kembali kepada tugas kita.”
Tidak seorang-pun yang menyahut. Tetapi orang-orangnya-pun kemudian bergerak meninggalkan arena itu menuju ke tempat yang diperuntukkan bagi mereka. Pemimpin pengawal itu langsung menuju ke sebuah rumah yang disediakan bagi Purnadewi. Rumah yang nampaknya tenang saja. Purnadewi memang tidak tahu apa yang telah terjadi dengan para pengawalnya. Karena itu, maka ia sama sekali tidak bertanya apa-pun juga tentang pasukan yang ada di padukuhan itu.
Sebenarnyalah Purnadewi tidak akan tetap tinggal di padukuhan itu. Menurut perintah Pangeran Kuda Permati, maka pada malam hari kemudian ia harus pergi bersama para pengawalnya ke sebuah padukuhan yang lain, yang telah ditunjuk pula oleh Pangeran Kuda Permati. Padukuhan yang lebih tenang dan aman dari padukuhan itu, dilihat dari kemungkinan direbut atau diserang oleh pasukan Kediri.
Dalam pada itu, pemimpin pengawal yang ditinggalkan dalam keadaan terluka itu mengumpat-umpat. Tetapi ia tidak dapat memerintahkan orang-orangnya untuk bertempur melawan pengawal Purnadewi. Jika ada satu saja diantara para pengawal itu yang hidup dan sempat melarikan diri dan dengan selamat bertemu dengan Pangeran Kuda Permati, maka seperti yang dikatakan oleh pemimpin pengawal itu, maka semua orang dalam pasukannya akan dapat digantung tanpa ampun.
Karena itu, maka ia harus melihat satu kenyataan. Pemimpin pengawal yang sebelumnya disebut sebagai pengiring orang-orang yang mengungsi itu telah mengalahkannya. Tubuhnya telah terluka dan ia memang kalah. Orang-orang didalam pasukan itu-pun kemudian menyadari, bahwa para pengawal puteri Purnadewi itu justru orang-orang terpilih yang dianggap akan dapat melindunginya.
Dalam pada itu, maka para pengawal puteri Purnadewi itu-pun telah bersiap-siap pula. Jika malam turun, maka mereka akan meninggalkan tempat itu untuk meneruskan perjalanan mereka. Beberapa orang diantara para pengawal itu ternyata mulai merasa jemu dengan tugasnya. Mereka lebih senang dengan tugas-tugas yang lain di medan. Kecuali tidak menjemukan, anggapan orang terhadap mereka-pun akan berubah. Mereka jika dikirim kemedan, tidak akan ada lagi orang yang menganggap mereka tidak lebih dari sekelompok pengawal orang-orang yang sedang mengungsi itu.
Tetapi sebagaimana mereka merasa bahwa mereka masih juga seorang prajurit, maka mereka tidak akan dapat memilih tugas. Apa-pun perintah yang diberikan kepada mereka, maka mereka harus melakukannya. Senang atau tidak senang. Demikianlah ketika malam turun, maka pemimpin pengawal itu-pun telah mempersiapkan diri. Pasukannya-pun telah dipersiapkan pula untuk meneruskan perjalanan.
Diperintahkannya salah seorang dari para perwira yang ada didalam pasukan pengawal itu untuk bertemu dengan pemimpin pengawal yang terluka itu, atau orang yang ditunjuk mewakilinya, untuk menyatakan bahwa mereka akan melanjutkan perjalanan. Tanggapan pasukan yang ada di padukuhan itu memang berubah. Mereka tidak lagi menganggap bahwa pasukan pengawal itu tidak lebih dari sepasukan prajurit yang tidak berarti lagi di peperangan dan memberi tugas kepada mereka sekedar mengantar orang yang sedang mengungsi.
Namun akhirnya pasukan di padukuhan itu-pun menyadari, bahwa Pangeran Kuda Permati tentu akan menunjuk pasukan yang paling baik untuk mengawal isterinya. Sebagaimana terbukti, bahwa pemimpin pengawal itu memiliki kelebihan dari pemimpin pasukan Pangeran Kuda Permati yang ada di padukuhan itu.
Demikianlah, maka ketika pasukan pengawal itu kemudian siap berangkat mengantar puteri Purnadewi melanjutkan perjalanan, maka pemimpin pengawal itu sempat memberitahukan, bahwa pasukan Pangeran Singa Narpada dan Panji Sempana Murti dari perbatasan Utara telah berada di mana-mana pula.
Sejenak kemudian, maka pasukan pengawal itu-pun bersiap. Pemimpin pengawal itu-pun kemudian mempersilahkan puteri untuk melanjutkan perjalanan bersama para pengawal. Mereka menuju kesatu tempat yang dirahasiakan, kecuali para pengawal itu sendirilah yang mengetahuinya. Karena itu, maka para pengawal itu-pun tidak mengatakan, kemana mereka akan membawa puteri Purnadewi itu.
Maka perjalanan yang sangat melelahkan telah dimulai lagi. Tetapi ternyata beberapa orang diantara para pengawal itu-pun telah sempat membawa sebuah bambu. Dengan dua batang bambu yang panjang, maka amben itu akan dapat dijadikan sebuah tandu yang sederhana. Dalam keadaan yang memaksa, maka Puteri Purnadewi akan dapat dipersilahkan untuk duduk diatas tandu itu.
Namun agaknya Purnadewi tidak senang dengan tandu itu. Ia lebih senang berjalan kaki, meskipun terasa sakit. Tetapi istirahat yang sehari serta kesempatan untuk merendam kakinya di air hangat serta mengolesnya dengan sejenis param yang dibuat khusus untuk memulihkan kelelahan, Purnadewi telah siap menempuh perjalanan pengikutnya.
Sementara itu pertempuran besar-besaran antara pasukan Pangeran Kuda Permati dan pasukan Kediri telah terjadi. Pangeran Kuda Permati sengaja telah menyerang kedudukan Kediri di perbatasan sebelah Barat. Pasukan yang tidak segarang di perbatasan Utara. Tetapi perhitungan Pangeran Kuda Permati tidak seluruhnya benar. Sri Baginda telah memerintahkan semua pasukan Kediri bersiaga menghadapi segala kemungkinan.
Namun demikian menurut pengamatan para perwira petugas sandi Pangeran Kuda Permati, pasukan di sebelah Barat memang agak lemah. Dengan demikian, maka usaha untuk menghancurkan pasukan Kediri itu mempunyai kemungkinan yang cukup besar.
Dengan pasukan berkuda, Pangeran Kuda Permati telah mengelabui pemusatan pasukan Kediri. Pasukan Pangeran Kuda Permati telah menyerang sebuah padukuhan yang tidak terlalu kuat dijaga oleh pasukan Kediri. Ketika isyarat dibunyikan untuk memanggil pasukan yang lebih kuat, maka sebagian pasukan Pangeran Kuda Permati telah meninggalkan padukuhan itu untuk menyerang padukuhan yang lain. Dengan pasukan berkuda Pangeran Kuda Permati dapat bergerak dengan cepat mendahului gerak pasukan Kediri.
Tetapi isyarat yang menjalar kesegenap penjuru itu, akhirnya terdengar juga oleh para petugas sandi Kediri yang bertugas bagi Pangeran Singa Narpada. Sesuai dengan kedudukan Pangeran Singa Narpada, maka Pangeran Singa Narpada-pun telah mengerahkan pasukannya. Sementara itu, daerah perbatasan disisi Utara sepenuhnya berada di bawah pengawasan Panji Sempana Murti.
Dengan sikap yang hati-hati, Panji Sempana Murti telah menarik pasukannya, sebagian ke daerah perbatasan Utara yang berhadapan dengan sisi sebelah Barat, sementara Pangeran Singa Narpada dengan pasukan berkudanya langsung memasuki daerah Barat itu sendiri. Dengan demikian, di perbatasan sebelah Barat itu telah terjadi pertempuran yang besar. Pertempuran yang melibatkan pasukan dalam jumlah yang banyak dari kedua belah pihak.
Namun ternyata bahwa pertempuran itu tidak terjadi pada satu garis yang panjang membujur dalam ujud gelar. Tetapi kedua belah pihak itu saling menyusup dan bertempur kapan dan dimana saja mereka bertemu. Karena itu, maka pertempuran-pun terjadi dipadukuhan-padukuhan yang terpisah-pisah. Bahkan kadang-kadang dua pihak pasukan bertemu di sebuah simpang empat. Mungkin kekuatan mereka seimbang, tetapi mungkin tidak.
Dengan demikian, maka perbatasan sebelah Barat itu telah berubah menjadi neraka. Baik pasukan Pangeran Kuda Permati mau-pun pasukan Kediri yang memang bertugas di perbatasan sebelah Barat, serta pasukan Pangeran Singa Narpada telah terlibat dalam pertempuran yang baur.
Karena itu, maka tidak seperti biasanya, Pangeran Kuda Permati sendiri telah berada di medan dengan sepasukan pengawal yang sangat kuat. Pangeran Kuda Permati sendiri mengendalikan langsung pertempuran yang kisruh itu. Namun demikian, dari pusat pengendalian pasukannya, Pangeran Kuda Permati telah mengikuti pertempuran yang terjadi di beberapa tempat dengan saksama. Setiap kali beberapa orang penghubung telah datang untuk memberikan laporan tentang pertempuran yang tersebar itu.
Di pihak lain, pasukan Kediri di daerah perbatasan sebelah Barat itu-pun telah menyebar pula. Mereka berusaha untuk mengimbangi pasukan Pangeran Kuda Permati. Namun agaknya Panglima pasukan Kediri di perbatasan sebelah Barat itu kurang menguasai cara-cara yang selalu ditempuh oleh Pangeran Kuda Permati, sehingga pasukannya mengalami kesulitan. Kadang-kadang sepasukan prajurit Kediri telah terjebak, sehingga mereka harus melarikan diri bercerai berai. Dengan susah payah mereka berusaha untuk berkumpul kembali dan menyusun kekuatan untuk melakukan pertempuran lebih lanjut.
Namun kemudian di daerah yang kisruh itu telah hadir sekelompok pasukan berkuda yang kuat. Atas beberapa petunjuk, maka Pangeran Singa Narpada berhasil menemukan pusat pengendalian pasukan Kediri di perbatasan sebelah Barat. Dengan demikian, maka dengan sepengetahuan Panglima pasukan Kediri, Pangeran Singa Narpada dengan pasukannya yang bagaikan sekelompok burung yang berterbangan kesegala penjuru, telah memasuki arena pertempuran yang garang itu.
Dengan hadirnya pasukan berkuda Pengeran Singa Narpada yang kuat dan mampu bergerak dengan cepat, maka kedudukan pasukan Kediri-pun kemudian menjadi lebih baik. Dengan demikian, maka pertempuran itu-pun menjadi semakin seru. Seakan-akan tidak lagi dapat dikenal batas antara kedua kekuatan yang berbaur dalam pertempuran yang kisruh.
Pasukan Pangeran Kuda Permati yang semula berhasil mengejutkan dan membuat pasukan Kediri di perbatasan sebelah Barat menjadi bingung dan sebagian pecah bercerai berai, kemudian harus membuat pemusatan-pemusatan kekuatan untuk menghadapi pasukan lawan. Selain pasukan Kediri di perbatasan Barat yang masih terdapat disela-sela pasukan Pangeran Kuda Permati, maka pasukan berkuda Pangeran Singa Narpada yang dengan garangnya menjelajahi medan. Yang berada di jalur jalannya telah disapu bersih tanpa ampun, sebagaimana pasukan Pangeran Kuda Permati memperlakukan lawan-lawan mereka sebelumnya.
Dengan demikian, maka pertempuran di perbatasan sebelah Barat itu benar-benar merupakan pertempuran yang sangat dahsyat, sehingga Pangeran Kuda Permati sama sekali tidak mau meninggalkan pasukannya barang sekejap. Di tempat yang dirahasiakan ia mengatur pasukannya dengan perintah-perintah dan petunjuk-petunjuk.
Memang agak berbeda dengan Pangeran Singa Narpada. Pangeran Singa Narpada itu langsung berada diantara pasukannya yang paling depan. Sebelum Pangeran Singa Narpada memasuki arena, dengan menyesal ia berkata kepada Panji Sempana Murti, “Agaknya aku gagal mempergunakan Purnadewi untuk membujuk adimas Pangeran Kuda Permati. Karena itu, maka aku harus menempuh cara terakhir.”
“Tetapi masih ada kemungkinan Pangeran,” jawab Panji Sempana Murti, “Meskipun demikian kita harus menghadapi gerak Pangeran Kuda Permati sekarang ini dengan cara Pangeran Kuda Permati pula.”
“Berjaga-jagalah di perbatasan Utara dengan sebaik-baiknya, aku akan berada di daerah pertempuran sebelah Barat,” berkata Pangeran Singa Narpada.
Dengan demikian, sepeninggal Pangeran Singa Narpada, maka Panji Sempana Murti telah bersiap sepenuhnya. Ia sadar, bahwa terjadi satu kemungkinan pasukan Pangeran Kuda Permati yang terdesak di sebelah Barat akan bergeser ke Utara. Atau sebaliknya pasukan Kediri di sebelah Barat memerlukan bantuan seperlunya.
Dengan demikian, maka yang dipersiapkan oleh Panji Sempana Murti bukan saja prajurit-prajurit Kediri. Tetapi pasukan yang terdiri dari anak-anak muda di setiap padukuhan sebagaimana dipersiapkan. Anak-anak muda yang tergolong dalam tataran pertama dan kedua, benar-benar telah bersiap untuk bertempur bersama para prajurit Kediri yang sebenarnya jumlahnya tidak terlalu banyak. Namun dengan cara yang ditempuh oleh Panji Sempana Murti, maka kekuatan pasukan Kediri di perbatasan di sebelah Utara itu cukup memadai.
Dalam pada itu, pasukan di Kediri di sebelah Selatan-pun telah bersiap-siap pula menghadapi segala kemungkinan. Karena di sisi Selatan itu tidak ditempuh cara sebagaimana dipergunakan oleh Panji Sempana Murti, maka pimpinan prajurit Kediri di sebelah Selatan telah menarik sebagian besar pasukannya untuk berada di ujung daerah pengawasannya menghadapi kekuatan Pangeran Kuda Permati di sebelah Barat. Namun agaknya dengan demikian, maka di beberapa tempat terdapat kekosongan kekuatan, sehingga merupakan noda-noda kelemahan kekuatan prajurit Kediri di sebelah Selatan.
Namun agaknya pimpinan prajurit Kediri di sebelah Selatan menyadarinya, sehingga karena itu, maka ia-pun telah mempersiapkan pasukan berkuda sebanyak dapat dihimpunnya untuk dapat mencapai tempat-tempat yang terasa lemah. Bahkan atas laporan dari segala pihak, maka di Kota Raja-pun telah disiapkan pula kekuatan pasukan berkuda yang dapat bergerak kesegala penjuru di samping pasukan Pangeran Singa Narpada yang memang mempunyai tugas untuk menghadapi pasukan Pangeran Kuda Permati.
Dalam pada itu, maka pertempuran di daerah perbatasan sebelah Barat benar-benar merupakan pertempuran yang menggetarkan, sehingga bagi rakyat di daerah itu, maka daerah mereka seakan-akan telah berubah menjadi neraka. Bahkan tidak sedikit rakyat yang tidak tahu menahu telah menjadi korban. Setiap kecurigaan yang betapa-pun kecilnya telah memungkinkan untuk menghilangkan nyawa seseorang.
Demikianlah, maka meskipun tidak melihat sendiri secara langsung, ternyata Purnadewi-pun dapat mendengar tentang peristiwa itu dari tempat tinggalnya yang terbaru. Para pengawalnya memang mencoba untuk tidak menyampaikan apa-pun juga kepada puteri Purnadewi. Namun percakapan diantara mereka, sikap mereka dan kesiagaan mereka menunjukkan kepada Purnadewi bahwa keadaan semakin lama menjadi semakin gawat. Korban semakin banyak berjatuhan dan bahkan tanpa sebab. Kematian yang benar-benar sia-sia dari rakyat Kediri.
Dalam pada itu, kehadiran Pasukan Pangeran Singa Narpada dan gerak pasukan berkudanya yang cepat yang mampu mengimbangi kecepatan gerak Pangeran Kuda Permati telah menyebabkan pasukan Pangeran Kuda Permati menjadi kehilangan banyak ruang geraknya. Beberapa kesatuannya telah terdorong untuk bergeser menjauh. Jika semula mereka banyak berhasil menghancurkan kelompok-kelompok kecil pasukan Kediri, akhirnya merekalah yang lebih banyak melepaskan korban dalam pertempuran yang mengerikan itu.
Dengan hati yang pedih Purnadewi mengikuti perkembangan keadaan itu. Meskipun ia tidak beranjak dari rumah yang ditinggalinya sebagaimana dikehendaki oleh Pangeran Kuda Permati, namun ternyata bahwa mata hatinya telah menyaksikan apa yang telah terjadi. Perang yang dahsyat dan seakan-akan tidak berkesudahan. Padukuhan-padukuhan yang bagaikan berubah menjadi neraka. Mayat terbujur lintang di bunuh oleh orang. Darah yang mengalir dari luka-luka yang menganga telah menyiram bumi Kediri. Darah putera-puteranya yang berdiri berseberangan pada pihak-pihak yang saling bermusuhan.
Purnadewi yang berada didalam biliknya telah berbaring menelungkup sambil menangis. Seperti seorang ibu yang melihat anak-anaknya saling berkelahi dan bahkan saling berbunuhan.
“Pembantaian ini harus dihentikan,” desis puteri Purnadewi disela-sela isak tangisnya.
Tetapi Purnadewi tidak tahu, kepada siapa ia harus mengdukan pedih hatinya. Ia tidak akan dapat mengatakan kepada suaminya, karena sikap suaminya yang keras menghadapi Singasari.
Sementara itu pertempuran masih berlangsung dengan dahsyatnya. Pasukan Pangeran Singa Narpada yang menyusuri medan bagaikan arus angin prahara yang bertiup menyapu segala hambatan yang ditemuinya. Tidak ada yang dapat menahannya. Kekuatan yang besar yang terpecah menjadi tiga itu menjalajahi medan seperti sebuah trisula. Sebuah tombak yang bermata tiga. Menusuk dan kemudian menghancurkan sama sekali.
Dengan demikian, maka pasukan Pangeran Kuda Permati-pun telah bergeser mundur. Mereka mulai meninggalkan arena yang telah dibakar oleh kekerasan tanpa ampun. Pasukan Pangeran Kuda Permati mulai mengambil tempat yang terlindung dan tidak terlalu mudah dicapai oleh pasukan berkuda Pangeran Singa Narpada, serta mempunyai jalur yang mudah untuk menyingkir.
“Kakangmas Singa Narpada memang gila,” geram Pangeram Kuda Permati, “ia benar-benar melakukan sebagaimana dikatakannya.”
Tetapi Pangeran Kuda Permati sama sekali tidak mau melihat, apa yang telah dilakukan oleh para pengikutnya. Meskipun ia tahu pasti, bahwa dalam perang yang dahsyat itu kedua belah pihak telah kehilangan nalar serta terlepas dari segala macam paugeran perang bagi para kesatria.
Perlahan-lahan pertempuran-pun mereda. Para pengikut Pangeran Kuda Permati telah melepaskan daerah-daeran yang untuk sementara telah didudukinya dan mengumpulkan kekuatannya pada tempat-tempat yang dapat dipergunakan untuk menjadi landasan perjuangannya selanjutnya.
Betapa-pun banyak korban yang dilepaskan, dan berapa-pun banyaknya lawan yang telah terbunuh sama sekali tidak meredakan niatnya dan melepaskan usahanya merebut kedudukan di Kediri. Baginya tidak ada jalan lain kecuali menguasai pemerintahan di Kediri, sehingga kemudian ia akan dapat menentukan sikap terhadap Singasari.
“Tidak ada orang lain yang akan berani melakukannya,” berkata Pangeran Kuda Permati, “Kakangmas Singa Narpada adalah hantu di medan perang. Tetapi ia tidak berani berbuat apa-apa terhadap Singasari.”
Pangeran Kuda Permati tidak mau tahu, bahwa keyakinannya tentang kedudukan Kediri terhadap Singasari berbeda dengan sikap dan pandangan Pangeran Singa Narpada, sehingga karena itu, maka orang-orang yang tidak sejalan dengan pikirannya dianggapnya sebagai pengkhianat.
Pangeran Singa Narpada yang telah berhasil menguasai sebagian besar medan di perbatasan sebelah Barat itu-pun kemudian telah menghentikan geraknya. Tetapi ia masih tetap berada di daerah pertempuran itu. Yang kemudian bergerak adalah pasukan Kediri yang memang bertugas di daerah perbatasan sebelah Barat. Meskipun prajurit Kediri itu tidak segarang pasukan Pangeran Singa Narpada, tetapi pengaruh medan yang ganas itu telah membentuk setiap prajurit menjadi prajurit yang keras.
Dalam pada itu, Pangeran Kuda Permati dengan darah yang mendidih telah mempersiapkan pasukannya untuk gerakannya selanjutnya. Ia tidak mau memberikan kesempatan para prajurit Kediri untuk bernafas. Karena itu, maka ia-pun telah menyebarkan petugas sandinya untuk melihat daerah kelemahan prajurit Kediri itu. Bukan hanya di sisi Barat, tetapi juga di sisi Selatan dan Timur.
Yang kemudian dilihat oleh para petugas sandi adalah beberapa daerah yang kosong di sisi Selatan, karena sebagian besar prajurit Kediri di daerah Selatan telah berkumpul di baris yang berhadapan langsung dengan arena pertempuran yang dahsyat itu untuk membendung kemungkinan pasukan Pangeran Kuda Permati menembus ke Selatan.
Namun pasukan Pangeran Kuda Permati tidak akan dengan bodoh melalui pagar pasukan berjari-jari tombak. Pasukan Pangeran Kuda Permati akan dapat memasuki daerah lawan melewati lingkaran yang paling jauh sekali-pun untuk menghindari kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi dengan pasukannya.
Laporan itu ternyata telah menarik perhatian. Justru karena itu, maka Pangeran Kuda Permati menganggap bahwa pasukannya harus bergerak dengan cepat. Tetapi Pangeran Kuda Permati yang baru saja merasa kelelahan menghadapi Pasukan Pangeran Singa Narpada, telah memerlukan beristirahat barang satu dua hari sebelum ia memasuki satu arena yang tentu tidak akan kalah dahsyatnya.
Dalam kesempatan itu Pangeran Kuda Permati ingin berbicara dengan isterinya. Ia ingin meyakinkan, bahwa tidak ada perjuangan yang lebih mulia dari perjuangan yang sedang ditempuhnya, meskipun harus melepaskan banyak sekali korban. Dengan dikawal oleh beberapa orang prajuritnya yang terbaik, Pangeran Kuda Permati telah berpacu ke sebuah padukuhan yang ditentukannya sendiri bagi isterinya.
Pangeran Kuda Permati dengan para pengawalnya mengenal betul jalan yang harus mereka lalui. Mereka mengenal padukuhan-padukuhan yang dapat mereka lewati tanpa hambatan. Dan mereka-pun tahu benar, bahwa mereka tidak akan bertemu dengan pasukan Kediri disepanjang jalan-jalan yang akan mereka lalui. Demikianlah, dengan selamat Pangeran Kuda Permati sampai ke sebuah padukuhan yang telah ditentukannya bagi tempat isterinya.
Puteri Purnadewi menerima Pangeran Kuda Permati dengan penuh harapan. Sebagaimana Pangeran Kuda Permati ingin meyakinkan isterinya tentang perjuangan yang sedang dilakukannya, maka puteri Purnadewi pun berpengharapan bahwa ia akan dapat menghentikan pertempuran yang membakar Kediri dan menuntut kematian yang tidak terhitung jumlahnya. Ketika lewat makan malam, maka Pangeran Kuda Permati lah yang mulai berbicara tentang perjuangannya yang masih akan berkelanjutan.
“Mungkin pertempuran-pertempuran masih akan membakar Kediri,” berkata Pangeran Kuda Permati, “Aku minta kau mengerti. Kau harus menerima keadaanmu seperti sekarang ini sebagai satu pengorbanan yang akan memberikan arti yang sangat besar bagi Kediri.”
“Aku tidak pernah menyesali pengorbanan yang pernah aku berikan,” berkata Purnadewi, “pengorbananku tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan pengorbanan yang sudah jatuh di seluruh Kediri.”
“Ya,” sahut Pangeran Kuda Permati, “Karena itu pengorbanan yang sudah jatuh itu jangan menjadi pengorbanan yang sia-sia. Pengorbanan mereka harus kita hargai, sehingga akhirnya cita-cita kita, cita-cita mereka yang telah berkorban itu akan dapat kita ujudkan.”
Tetapi puteri Purnadewi menggeleng. Katanya, “Kakangmas terlampau dalam terbenam kedalam sebuah mimpi yang indah. Hanya indah bagi kakangmas sendiri. Tetapi bagi orang lain mimpi itu merupakan bencana yang tidak ada taranya.”
“Diajeng,” berkata Pangeran Kuda Permati, “pada saat seperti ini aku memerlukan dukungan jiwani, terutama dari kau. Tetapi agaknya kau justru memperlemah hasrat dan tekadku untuk berjuang terus justru pada saat aku mengalami kelelahan jiwa.”
“Kakangmas,” jawab Purnadewi, “Aku hanya ingin meyakinkan kakangmas, bahwa apa yang kakangmas lakukan sekarang ini adalah satu kesia-siaan. Yang terjadi hanyalah pembantaian disegala tempat. Tetapi cita-cita kita, cita-cita kakangmas merupakan cita-cita yang tidak akan mungkin terjangkau, betapa-pun besarnya korban yang akan jatuh. Pertempuran di sisi Barat daerah perbatasan membuktikan bahwa kakangmas tidak akan dapat menembus kekuatan pasukan yang setia kepada Sri Baginda.”
“Cukup,” Tiba-tiba saja Pangeran Kuda Permati berteriak, “Jika kau benar-benar telah kehilangan tekad perjuanganmu, terserah. Aku akan meneruskan perjuangan ini sampai batas yang tidak tertentu.”
Ketika Purnadewi akan menjawab, Pangeran Kuda Permati telah menutup pembicaraan. Katanya, “jangan berbicara lagi tentang perjuanganku. Kau akan membuat aku menjadi gila.”
Puteri Purnadewi termangu-mangu. Namun Pangeran Kuda Permati benar-benar tidak ingin berbicara lagi tentang perjuangannya. Dengan demikian, maka puteri Purnadewi-pun menjadi sangat berprihatin. Ia tidak lagi dapat berharap bahwa pertempuran yang menelan banyak sekali korban itu dihentikan.
“Hanya kakangmas Kuda Permati yang dapat melakukannya,” desis puteri Purnadewi itu bagi dirinya sendiri, “Atau, jika kakangmas Kuda Permati tidak lagi dapat mengendalikan pasukannya dengan perintah-perintahnya.”
Didalam biliknya puteri Purnadewi menelungkupkan wajahnya dalam dekapan kedua telapak tangannya, sementara Pangeran Kuda Permati masih berbicara dengan para perwiranya. Dalam tekanan jiwani yang semakin menghimpit, maka puteri Purnadewi berusaha untuk menemukan satu penyelesaian yang akan mengakhiri segala bencana yang terjadi di Kediri.
Bukan saja bahwa ia sudah terpengaruh oleh saudara sepupunya, Pangeran Singa Narpada, tetapi apa yang telah dilihatnya dan didengarnya tentang peperangan telah memaksanya mengambil satu sikap. Ternyata bahwa puteri Purnadewi tidak melihat satu cara apa-pun yang dapat menyelesaikan perang yang membakar Kediri itu selain sumber api itulah yang dipadamkannya.
“Betapa-pun pedihnya,” berkata puteri itu kepada diri sendiri.
Dengan demikian, maka puteri Purnadewi-pun telah bangkit dari pembaringannya. Ia menghentakkan tangannya untuk mendapatkan satu kekuatan yang dapat mendukungnya melaksanakan rencananya. Purnadewi itu-pun kemudian membenahi dirinya. Wajahnya yang basah telah dikeringkannya. Sikapnya dan kata-katanya telah disusunnya, sehingga tidak memberikan kesan betapa dadanya dihimpit oleh ketegangan yang memuncak.
Lewat tengah malam, Pangeran Kuda Permati telah selesai berbicara dengan para perwiranya. Bukan satu kebiasaan bagi Pangeran Kuda Permati, namun saat itu badannya terasa sangat letih. Karena itu, maka katanya kemudian kepada para perwira kepercayaannya,
“Aku akan beristirahat. Bicarakan diantara kalian, yang mana yang akan kita lakukan lebih dahulu.”
“Baik Pangeran,” jawab salah seorang diantara para perwira itu.
“Daerah di sisi Selatan itu harus kita hancurkan,” berkata Pangeran Kuda Permati, “Justru pada saat di beberapa tempat terdapat kekosongan. Kita tidak akan melibatkan diri dengan pasukan Kediri yang kuat, apalagi pasukan kakangmas Singa Narpada yang tentu akan datang ke arena. Kita akan segera menarik diri dan meninggalkan korban yang sebanyak-banyaknya diantara lawan dan sedikit-dikitnya diantara kita.”
“Baik Pangeran,” jawab perwiranya itu, “Bagian-bagian yang lebih terperinci akan kita bicarakan.”
Pangeran Kuda Permati-pun kemudian meninggalkan para perwiranya untuk beristirahat. Keputusan Pangeran Kuda Permati untuk menghancurkan sisi Selatan yang didengar pula oleh Purnadewi bukan saja dari pembicaraan yang kurang jelas diantara Pangeran Kuda Permati dengan para perwiranya, namun juga dari keterangan Pangeran Kuda Permati sendiri, telah menguatkan niat Purnadewi untuk bertindak. Karena menurut gambarannya, pertempuran itu benar-benar akan berubah menjadi arena pembantaian yang tidak terkendali. Sementara itu, puteri Purnadewi masih berusaha dengan perasaan putus asa untuk memperingatkan suaminya. Namun semuanya itu adalah sia-sia belaka.
“Jika itu sudah menjadi tekad kakangmas, apa boleh buat,” berkata Purnadewi.
“Sudahlah Diajeng,” sahut suaminya, “jangan kau pikirkan lagi peperangan yang sedang membakar Kediri sekarang pada saatnya, perang ini akan selesai, dan rencana kita akan terwujud.”
Puteri Purnadewi tidak menyahut. Sementara itu Pangeran Kuda Permati yang lelah telah membaringkan dirinya untuk beristirahat.
Diluar beberapa orang perwira masih berbicara diantara mereka. Suara mereka perlahan-lahan karena pembicaraan mereka merupakan pembicaraan rahasia. Keputusan mereka harus mereka sampaikan besok kepada Pangeran Kuda Permati. Baru jika Pangeran itu menyetujui, para perwira akan melakukan rencana yang mereka putuskan itu.
“Tidak ada yang boleh lepas dari tangan kita,” berkata salah seorang perwira itu, “Di sisi Barat kita sudah melepaskan banyak sekali korban. Karena itu, besok kita akan menuntut balas. Prajurit Kediri yang kita jumpai akan menjadi mayat meskipun mereka sudah menyerah.”
Setelah berbicara cukup lama, maka akhirnya para perwira itu-pun mengakhiri pembicaraan mereka. Sejenak kemudian, maka pendapa rumah yang dipergunakan oleh puteri Purnadewi itu-pun menjadi sepi. Para perwira itu kemudian telah memasuki bilik yang disediakan bagi mereka. Ada yang memang disediakan tempat di gandok rumah itu juga. Tetapi ada pula yang tinggal di rumah sebelah.
Dengan demikian, maka menjelang dini hari, rumah itu telah benar-benar menjadi sepi. Yang kemudian masih berjaga-jaga hanyalah para peronda yang bertugas mengamati rumah itu. Sekelompok pengawal yang kuat dan terpilih berada di sekitar rumah itu dalam lapis-lapis yang rapat. Sebagian diantara mereka berjaga-jaga diluar dinding halaman, sementara sekelompok yang lain berada didalam halaman. Bahkan dua orang diantara mereka berganti-ganti bertugas didalam seketheng sebelah menyebelah. Dengan demikian, maka rumah itu benar-benar telah terjaga sangat rapat. Tidak ada seekor lalat-pun yang dapat memasuki rumah itu tanpa setahu para petugas.
Dalam pada itu, menjelang dini hari, Pangeran Kuda Permati-pun telah tertidur lelap. Ia sama sekali tidak berprasangka apa-pun juga, karena ia tahu, betapa kuatnya penjagaan di sekitar rumah itu.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa petugas sandi dari Kediri telah berhasil mencium tempat yang menjadi landasan perjuangan Pangeran Kuda Permati untuk sementara itu. Justru pada saat Pangeran Kuda Permati menemui isterinya, maka ketajaman hidung para petugas sandi segera menciumnya.
Ternyata bahwa pengawal terdekat Pangeran Kuda Permati telah dengan tidak sengaja melakukan satu kesalahan. Ia telah minta diri kepada seseorang untuk meninggalkan padukuhan tempat ia tinggal. Namun orang itu telah menyampaikan rencana kepergiannya kepada seorang petugas sandi dari Kediri yang berada di padukuhan itu.
Dengan cepat petugas sandi itu menghubungkan tugas dan kedudukan orang itu dengan rencana kepergiannya, sehingga petugas sandi itu mengambil satu kesimpulan, pengawal itu harus mengawal Pangeran Kuda Permati meninggalkan padukuhan itu untuk pergi ke suatu tempat. Dengan cermat petugas sandi itu mengikuti perkembangan berikutnya. Namun seorang kawannya telah mempersiapkan beberapa orang yang akan mengikuti kepergian pengawal itu, dengan atau tidak dengan Pangeran Kuda Permati.
Ternyata bahwa dugaan petugas sandi itu benar. Pengawal itu meninggalkan padukuhannya bukan karena tugas lain, tetapi adalah tugas yang sangat besar dan rahasia, mengawal Pangeran Kuda Permati yang ingin beristirahat barang dua tiga hari sebelum penyerbuannya ke sisi Selatan. Sementara itu Pangeran Kuda Permati tetap memerintahkan untuk mengadakan gerakan di bagian Barat itu untuk memberikan kesan, bahwa pasukan Pangeran Kuda Permati masih tetap memusatkan gerakannya di sisi Barat dan tidak menimbulkan perhitungan lain, sehingga kekosongan dibeberapa bagian di sisi Selatan itu terisi.
Dengan demikian, maka kepergian Pangeran Kuda Permati dari padukuhan yang dipergunakannya sebagai tempat mengatur dan mengendalikan pasukannya itu berada di bawah pengamatan sekelompok petugas sandi dari Kediri, yang berbaur dengan penduduk di padukuhan itu. Para petugas sandi itu ternyata mempunyai tugas yang sangat berat. Mereka harus membuat perhitungan-perhitungan yang cermat.
Selama itu pasukan Kediri tidak dapat menyergap tempat persembunyian Pangeran Kuda Permati, karena tempat itu mendapat penjagaan yang berlapis-lapis, sehingga setiap usaha untuk menyerang tempat itu akan sia-sia. Jauh sebelum pasukan Kediri sampai ketujuan, maka Pangeran Kuda Permati tentu sudah tidak ada di tempatnya. Karena itu, maka para petugas sandi, meskipun disaat terakhir berhasil menyusup dan berada di padukuhan itu, tidak mengisyaratkan pasukan Kediri untuk menyerang.
Pasukan sandi itu berpengharapan, bahwa dengan kepergian Pangeran Kuda Permati, maka mereka akan dapat menemukan kelemahan-kelemahan pengawalannya. Adalah tidak mungkin untuk menyergap Pangeran Kuda Permati di perjalanan. Tidak ada kesempatan untuk melakukannya, karena hubungan yang memerlukan waktu dengan pasukan Kediri di sisi Barat serta pasukan Pangeran Singa Narpada.
Karena itu, dengan sangat berhati-hati sekelompok dalam pakaian yang diusahakan mirip dengan para pengawal iringan Pangeran Kuda Permati itu, yang pada dasarnya semula adalah memang pakaian prajurit Kediri, tetapi yang dalam keadaan berikutnya justru telah berubah dan tidak teratur lagi, telah mengikuti perjalanan pasukan Pangeran Kuda Permati. Dua orang ahli mengikuti jejak telah ikut bersama mereka. Meskipun malam gelap, tetapi mengikuti jejak itu dapat mengenali jejak iring-iringan berkuda yang masih belum terlalu lama.
Memang iring-iringan itu akan mungkin sekali terjebak kedalam satu bahaya. Tetapi ketika mereka dihentikan oleh sekelompok peronda di sebuah padukuhan yang menurut perhitungan para petugas sandi yang ada didalam iring-iringan itu termasuk daerah pengaruh yang kuat dari Pangeran Kuda Permati, maka salah seorang diantara mereka menjawab, “Kami mengikuti dan mengadakan pengamatan demi keselamatan Pangeran Kuda Permati.”
“Apa yang kalian lakukan?” bertanya peronda itu.
“Kami adalah pengawal-pengawal yang memang mendapat tugas untuk mengikuti perjalanan Pangeran dalam jarak tertentu, agar dengan demikian kami dapat mengamati kemungkinan jika ada bahaya di belakang perjalanan Pangeran.”
Kata-kata itu diucapkan dengan tanpa ragu-ragu. Demikian pula sikap sekelompok orang berkuda itu dalam pakaian yang mereka kenali sebagaimana pakaian para pengawal Pangeran Kuda Permati. Namun dalam gerak mereka selanjutnya, maka mereka harus menjadi sangat berhati-hati. Mereka harus mengenali setiap regol padukuhan sebelum mereka memasukinya. Dengan demikian, maka perjalanan mereka menjadi sangat lamban.
“Perjalanan yang sulit,” berkata ahli pengamat jejak. Lalu, “Kita tidak boleh bergerak dalam iring-iringan begini. Beri aku kesempatan untuk mengikuti perjalanan ini. Aku akan melaporkan hasilnya.”
“Apakah keselamatan dapat dijamin?” bertanya pemimpin dari sekelompok prajurit Kediri itu.
“Aku minta menempuh pengamatan ini bersama petugas sandi saja. Kalian kami harap berada di tempat yang tersembunyi. Aku akan datang lagi untuk memberikan laporan.”
Pemimpin kelompok itu menjadi ragu-ragu. Tetapi ia dapat mengerti pendapat pengamat jejak itu. Dengan kelompok yang kecil, maka tugas mereka akan menjadi lebih cepat diselesaikan. Tetapi sudah tentu dengan kemungkinan yang sangat berbahaya bagi yang melaksanakan.
Tetapi pengamat jejak itu berkata pula, “Kami bertanggung jawab atas keselamatan kami sendiri.”
Dengan demikian, maka pemimpin kelompok kecil itu tidak berkeberatan. Dua orang pengamat jejak dan seorang petugas sandi akan melanjutkan pelacakan mereka atas iring-iringan Pangeran Kuda Permati.
“Kami harus dapat menyelesaikan malam ini,” berkata pengamat jejak itu, “Jika tidak, maka akan sulit bagiku untuk mengikuti jejaknya besok malam. Mungkin sudah terhapus oleh langkah-langkah kaki orang di siang hari. Mungkin oleh jejak-jejak lain pula.”
“Sebenarnya tidak begitu,” berkata pemimpin pasukan Kediri itu, “Jalan ini tentu menjadi sangat sepi. Tidak akan ada orang yang lewat di jalan-jalan ini.”
“Tentu ada,” jawab pengamat jejak itu, “Apalagi di padukuhan-padukuhan. Meskipun suasananya tetap gawat, tetapi tentu ada orang yang melintasi jalan dari rumah ke rumah tetangganya untuk keperluan-keperluan yang tidak dapat ditunda.”
“Terserahlah,” berkata pemimpin itu kemudian, “Kami akan berada di hutan itu. Kami menunggu laporanmu.”
“Kami akan berada di hutan itu selambat-lambatnya saat matahari terbit. Jika sampai sepenggalah kami tidak datang, maka berarti kami menemui kegagalan. Lebih baik kalian meninggalkan tempat itu. Siapa tahu, bahwa mulut kami tidak akan dapat menahan rahasia kehadiran kalian jika kami tertangkap dan diperas untuk berbicara,” jawab pengamat jejak itu.
Dengan demikian, maka pengamat jejak itu-pun kemudian telah melanjutkan tugasnya, bertiga dengan seorang petugas sandi yang menguasai daerah yang sedang mereka jelajahi.
Sementara itu, sekelompok prajurit Kediri itu-pun kemudian telah pergi ke sebuah hutan yang tidak terlalu lebat. Mereka akan berada di hutan itu menunggu petugas-petugas yang sedang melanjutkan usaha pelacakan. Mereka sadar, bahwa mereka mungkin akan berada di hutan itu untuk sisa malam itu dan sehari kemudian. Tetapi sebagai prajurit mereka telah mengalami latihan khusus menempuh perjalanan, di hutan untuk beberapa hari tanpa bekal sebutir nasi-pun. Mereka dapat juga hidup dari tetumbuhan dan binatang yang ada di dalam hutan itu.
Ada-pun dua orang pengamat jejak dan seorang petugas sandi telah melakukan tugas mereka sebaik-baiknya. Ternyata perjalanan mereka justru menjadi lebih cepat. Mereka tidak terlalu terikat kepada sebuah kelompok yang besar, sehingga mereka lebih mudah untuk menyusup diantara semak-semak, memasuki padukuhan dengan memanjat dinding kemudian menelusuri kelanjutan jejaknya di jalan di seberang padukuhan.
Cara yang ditempuh oleh kedua pengamat jejak dan seorang petugas sandi itu ternyata membawa hasil. Kedua pengamat dan petugas sandi itu akhirnya sampai ke sebuah padukuhan yang dijaga dengan sangat ketat, sehingga sulit bagi mereka bertiga untuk dapat mendekat.
Tetapi mereka bertiga adalah petugas-petugas yang terlatih baik, sehingga dengan sangat hati-hati mereka berhasil mendekati dinding padukuhan. Mereka menyadari bahwa mereka sedang melakukan satu tugas yang sangat berbahaya dengan memasuki padukuhan itu.
Seorang demi seorang mereka memanjat dinding dan masuk kedalamnya. Barulah mereka menyadari, bahwa mereka berada di sebuah padukuhan yang dijaga dengan sangat ketat, sehingga mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa di padukuhan itu.
Karena itu, maka ketiga orang itu-pun justru telah meloncat kembali keluar padukuhan. Kedua pengamat jejak itu kemudian bersama petugas sandi itu telah mengamati jalur jalan yang keluar dari padukuhan itu. Tidak ada jejak yang keluar dari padukuhan itu, sehingga ketiga orang itu mengambil kesimpulan bahwa iring-iringan Pangeran Kuda Permati yang memasuki padukuhan itu tidak lagi keluar. Dengan demikian, maka para pengamat dan petugas sandi itu berkesimpulan bahwa Pangeran Kuda Permati berada di padukuhan itu.
Kesimpulan itulah yang kemudian dilaporkan kepada pemimpin kelompok yang membawa beberapa orang prajurit Kediri dan untuk beberapa saat lamanya bersembunyi di hutan. Mereka tidak dapat keluar dari hutan itu di siang hari, karena kekuatan mereka yang kurang memadai. Jika mereka bertemu dengan para pengikut Pangeran Kuda Permati, maka mereka akan menemui kesulitan. Tetapi meskipun demikian, mereka telah mengirimkan dua orang petugas untuk melaporkan hasil penyelidikan para pengamat dan petugas sandinya.
Akhirnya jatuh keputusan, bahwa padukuhan itu akan disergap menjelang dini hari di malam berikutnya, di malam Pangeran Kuda Permati terbaring tidur di samping isterinya setelah mereka berbincang dengan para perwiranya, sementara para perwira itu-pun telah kembali kedalam bilik masing-masing. Pangeran Kuda Permati sendiri menganggap bahwa penjagaan di padukuhan itu cukup kuat, sementara padukuhan itu cukup jauh dari kesatuan-kesatuan Kediri.
Penjagaan di padukuhan itu memang tidak sekuat penjagaan pada padukuhan yang dipergunakan oleh Pangeran Kuda Permati sebagai pusat kendali bagi pasukannya. Meskipun demikian, maka di padukuhan itu terdapat sepasukan pengawal terpilih yang akan melindungi Pangeran Kuda Permati dan isterinya Purnadewi.
Sementara itu Pangeran Singa Narpada telah mempersiapkan sebuah pasukan yang kuat, yang berdasarkan laporan para pengamat jejak dan petugas sandi tidak akan mengalami kegagalan jika mereka menyergap padukuhan tempat Pangeran Kuda Permati beristirahat.
Dengan cermat Pangeran Singa Narpada membagi pasukannya. Agar perjalanan mereka tidak segera diketahui, apalagi sempat dilaporkan kepada Pangeran Kuda Permati, maka perjalanan pasukannya harus sangat berhati-hati dan menempuh garis perjalanan yang diperhitungkan dengan cermat.
Ketika hari menjadi gelap, maka pasukan itu-pun telah bersiap. Petugas sandi yang telah berhasil menemukan padukuhan tempat tinggal Pangeran Kuda Permati itu masih sempat memberikan laporan yang lebih terperinci, sehingga pada saat terakhir, Pangeran Singa Narpada masih dapat memberikan petunjuk-petunjuk yang lebih cermat kepada para perwiranya.
Sejenak kemudian, maka pasukan Pangeran Singa Narpada-pun telah berangkat. Tetapi pasukan itu telah dibagi dalam kelompok-kelompok yang kecil, yang akan mendekati sasaran dari beberapa arah. Dengan isyarat tertentu, maka pasukan itu pada saatnya akan menerobos memasuki padukuhan itu, dekat menjelang pagi hari.
Dengan perhitungan yang cermat serta kesungguhan para perwiranya melakukan segala perintah Pangeran Singa Narpada, maka pasukan yang kuat itu pada waktu yang ditentukan telah berada di sekitar sasaran. Mereka tinggal menunggu langit menjadi merah dan isyarat untuk menyerang sebagaimana ditentukan oleh Pangeran Singa Narpada.
Namun pada saat-saat yang demikian itu ketegangan bagaikan mencekam setiap jantung. Rasa-rasanya waktu berjalan terlalu lambat. Rasa-rasanya para prajurit Kediri itu tidak sabar lagi menunggu langit dibayangi oleh cahaya pagi. Tetapi betapa-pun lambatnya, akhirnya waktu yang ditentukan itu tiba juga. Bayangan warna merah di langit menjadi semakin jelas, sementara koko ayam jantan berangsur menurun.
Waktu itulah yang ditunggu-tunggu oleh seluruh prajurit Kediri yang kuat. Karena saat yang demikian itu sudah ditentukan, merupakan saat yang paling tepat untuk menyerang dengan tiba-tiba. Yang mereka tunggu kemudian adalah perintah untuk menyerang. Demikian mereka mendengar desing panah sendaren, maka mereka dengan serentak memasuki padukuhan itu. Tentu bukan satu tugas yang ringan. Mereka tidak dapat memasuki padukuan itu sebagaimana mereka memasuki halaman rumah mereka sendiri.
Di belakang regol dan dibalik dinding halaman itu, berjejal pasukan lawan menunggu kedatangan mereka dengan ujung tombak. Seandainya mereka belum menyadari kehadiran pasukan Pangeran Singa Narpada, maka dengan satu teriakan perintah, maka mereka-pun akan bersiap menyambut kedatangan pasukan Kediri itu.
“Satu diantara dua,” gumam seorang diantara para prajurit itu, karena ia menyadari, betapa sulitnya untuk menyelamatkan jiwanya dalam pertempuran yang dahsyat sebagaimana pernah dialaminya.
Akhirnya saat yang mereka tunggu dengan hati yang tegang itu-pun datang. Pada saat langit menjadi semakin cerah, terdengar lengking panah sendaren yang terlontar ke udara seakan-akan menusuk langit.
Tiga anak panah sendaren terbang diatas padukuhan yang masih sepi itu. Para pengawal di padukuhan itu sebagian besar masih berada didalam barak masing-masing. Beberapa orang memang sudah terbangun sementara para petugas berjaga-jaga dengan patuh.
Namun sesaat sebelumnya kesibukan yang luar biasa telah terjadi di rumah yang dipergunakan oleh Pangeran Kuda Permati. Beberapa orang berlari-lari menghubungi orang lain, sehingga kesibukan itu telah menarik perhatian para pengawal di seluruh padukuhan itu.
Pada saat semua perhatian tertuju ke rumah itu, maka panah sendaren itu telah mengejutkan seisi padukuhan. Dengan serta merta, maka para pengawal di padukuhan itu-pun telah berlari-lari untuk menyambar senjata mereka. Dengan cepat mereka bersiap menghadapi segala kemungkinan, karena mereka menyadari, bahwa isyarat itu tentu isyarat pasukan Kediri. Apa-pun yang mereka maksudkan, maka seisi padukuhan itu harus bersiap-siap.
Dalam pada itu, di serambi rumah yang dipergunakan Pangeran Kuda Permati dan puteri Purnadewi, dua orang perwira sedang berbantah untuk mempertahankan sikap masing-masing. Seorang diantaranya berniat untuk melawan pasukan Kediri sampai orang yang terakhir, namun yang lain berpendirian, tidak ada gunanya lagi untuk bertempur.
“Tetapi kita tidak ingin mati seperti seekor cengkerik dimuka lubangnya tanpa berbuat apa-apa,” jawab yang lain.
Tetapi nampaknya perwira yang seorang lagi tidak sependapat. Dengan lantang ia berkata, “Kita akan saling membantai. Jumlah lawan banyak sekali. Bukankah dengan demikian, maka yang akan terjadi adalah kematian yang tidak berarti. Jika kita tidak bertempur, maka sikap orang-orang Kediri-pun akan berbeda.”
“Tidak,” perwira yang lain berteriak. Bahkan kemudian ia-pun telah berkata kepada para perwira yang lain yang ada di serambi itu, “Siapa yang merasa dirinya kelinci kecil, menyerahlah. Tetapi siapa yang merasa dirinya serigala, matilah dengan jantan,” perwira itu berhenti sejenak, lalu, “Marilah, siapa ikut bersama aku.”
Perwira itu segera menarik pedangnya dan berlari-lari kecil turun ke halaman. Sementara itu pasukan Kediri telah mulai bergerak mendekat, sedangkan para pengikut Pangeran Kuda Permati telah menutup semua pintu gerbang di dinding padukuhan yang tidak begitu besar itu. Ternyata bahwa para pengikut Pangeran Kuda Permati condong untuk memberikan perlawanan. Mereka memang tidak ingin menyerah dan menjadi tawanan.
Karena itu, maka sebagian diantara mereka telah bersiap di belakang pintu gerbang yang tertutup. Sebagian yang lain memanjat pepohonan dan tangan yang tersandar didinding dengan anak panah yang siap pada busurnya. Sedangkan yang lain menebar disegala sudut untuk menghadapi segala kemungkinan. Perwira yang berpendirian lain, masih berdiri diserambi. Rasa-rasanya jantungnya berdentang semakin keras. Ada kebimbangan yang bergejolak didalam dirinya.
Ternyata ada tiga orang yang kemudian mendekatinya. Seorang diantaranya berkata, “perlawanan kali ini memang tidak ada artinya lagi. Selama ini perasaan kita telah tertutup oleh suasana yang keras dan bayangan kematian demi kematian. Justru pada saat terakhir hati kita mulai terbuka.”
“Tetapi sudah terlambat,” sahut yang lain, “Sebentar lagi kita memang akan dibantai di halaman rumah ini.”
“Aku memang akan mati. Tetapi aku tidak ingin menambah kotor tanganku dengan darah sesama. Aku sudah terlalu banyak membunuh,” berkata perwira itu.
Sementara itu, seorang yang lain berkata, “Aku sendiri tidak mengerti, apa yang terjadi didalam diri ini. Tiba-tiba saja aku merasa bahwa aku-pun sudah terlalu banyak membunuh.”
“Aku sudah siap untuk mati,” berkata yang lain pula, “Kematian yang mungkin tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Tetapi aku akan menerimanya dengan dada tengadah.”
Empat orang perwira itu-pun kemudian berdiri sejenak memandang halaman rumah yang dilapisi oleh para pengikut Pangeran Kuda Permati dalam beberapa baris pertahanan. Mereka sudah membayangkan bahwa di halaman itu akan terjadi pertumpahan darah yang sangat mengerikan. Baru setelah pertahanan itu patah, maka prajurit-prajurit Kediri akan datang kepada mereka berempat dan membunuh mereka sekaligus.
Namun keempat orang itu tidak berada di serambi, mereka-pun kemudian memasuki rumah itu dan pintu-pun kemudian ditutup meskipun tidak terlalu rapat, untuk memberikan kesan bahwa pintu itu tidak diselarak. Pada saat yang demikian, maka pasukan Kediri telah menjadi semakin dekat. Mereka melihat pintu-pintu regol yang kemudian tertutup. Kemudian mereka-pun melihat ujung-ujung tombak yang mulai menciut diatas dinding diseputar padukuhan itu.
Karena itu, maka para prajurit Kediri itu-pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Mereka menyadari bahwa pertempuran yang keras dan kasar akan segera terjadi, sebagian pernah mereka alami di sisi Utara dan Barat dari Kota Raja.
Pangeran Singa Narpada sendirilah yang memimpin pengepungan dengan harapan, bahwa pasukannya saat itu akan dapat menangkap Pangeran Kuda Permati hidup atau mati. Para prajurit Kediri dibawah pimpinan Pangeran Singa Narpada itu-pun ternyata memiliki sikap dan watak sebagaimana Pangeran Singa Narpada sendiri. Ujung-ujung tombak yang memagari dinding padukuhan itu telah membuat darah mereka justru semakin mendidih.
Demikianlah, maka ketika para prajurit Kediri itu sudah siap di depan dinding, maka sekali lagi terdengar desing panah sendaren. Pangeran Singa Narpada telah memerintahkan melepaskan anak panah sendaren untuk yang kedua kalinya. Isyarat setiap prajurit bersiap untuk menyerang.
Ketegangan menjadi semakin memuncak. Para pengikut Pangeran Kuda Permati-pun mengerti, bahwa isyarat kedua bagi para prajurit Kediri adalah perintah untuk bersiap menyerang, sedangkan isyarat berikutnya, maka gelombang pasukan Kediri itu akan mulai melanda dinding padukuhan itu.
Para pengikut Pangeran Kuda Permati-pun melihat pasukan Kediri dengan hati yang berdebar-debar. Dari atas dinding mereka melihat pasukan yang mengepung padukuhan itu tidak terhitung jumlahnya. Sementara itu sebagian dari mereka tengah mengawasi kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi, seandainya ada juga pasukan Pangeran Kuda Permati yang ada di padukuhan sebelah menyebelah.
Sejenak kemudian, maka saat yang paling menegangkan itu telah dipecahkan oleh isyarat ketiga. Sekali lagi, panah sendaren telah berdesing di udara. Suaranya bagaikan siulan maut yang mengumandang dari sudut sampai ke sudut padukuhan itu. Sebenarnyalah, bahwa isyarat ketiga itu adalah perintah untuk langsung menyerang pasukan Pangeran Kuda Permati yang ada di padukuhan itu.
Sementara itu, memang ada sebagian yang tidak terlalu besar, pengawal Pengeran Kuda Permati yang ada di padukuhan sebelah menyebelah. Mereka ternyata terkejut melihat serangkaian yang tiba-tiba saja telah melanda padukuhan yang justru dipergunakan untuk beristirahat Pangeran Kuda Permati dan isterinya, Purnadewi.
Karena itu, pengawal yang tidak terlalu banyak yang berada di padukuhan sebelah menyebelah, yang tugas pokok mereka adalah sebagai pengamat, telah bersiap untuk segera melibatkan diri kedalam pertempuran yang sebentar lagi akan terjadi.
“Kita tentu akan mendapat hukuman dari Pangeran Kuda Permati,” berkata salah seorang perwira yang memimpin pasukan itu.
“Kita memang lengah. Kita menganggap daerah ini terlalu aman, sehingga kita mengendor. Pada saat yang demikian mereka telah datang dan langsung mengepung padukuhan itu. Agaknya ada seorang pengkhianat yang telah memberitahukan tempat tinggal Pangeran Kuda Permati,” berkata perwira yang lain, “Tanpa seorang pengkhianat, maka mereka tidak akan dapat menemukan padukuhan tempat tinggal Pangeran Kuda Permati.”
Para perwira itu tidak sempat untuk mengurai persoalan yang mereka hadapi lebih lama lagi. Pasukan Kediri yang dipimpin langsung oleh Pangeran Singa Narpada benar-benar telah menggempur pintu gerbang padukuhan yang telah menjadi tempat beristirahat Pangeran Kuda Permati dan Purnadewi.
Karena itu, maka para pengikut Pangeran Kuda Permati di padukuhan-padukuhan yang lain tidak menunggu lebih lama lagi. Tidak ada perintah yang memanggil mereka. Namun ketika sekelompok para pengikut Pangeran Kuda Permati keluar dari sebuah padukuhan, maka kelompok yang lain telah muncul dari padukuhan yang lain pula.
Namun Pangeran Singa Narpada sudah memperhitungkannya. Karena itu, maka pasukan yang tersedia untuk itu-pun segera memisahkan diri. Mereka tidak ikut menyerang para pengikut Pangeran Kuda Permati di padukuhan di depan mereka, tetapi mereka akan menghadapi langsung pasukan lawan yang datang dari arah yang lain.
Dengan demikian, maka pertempuran diluar padukuhan itu ternyata telah terjadi lebih dahulu dari pertempuran didalam padukuhan itu sendiri. Namun dalam waktu yang pendek, maka pasukan Pangeran Singa Narpada telah mulai menggempur pintu-pintu gerbang di ampat jurusan.
Sementara itu, dari atas dinding di sebelah menyebelah pintu gerbang itu, para pengikut Pangeran Kuda Permati telah menyerang mereka dengan melontarkan anak-anak panah yang meluncur bagaikan hujan.
Tetapi hal seperti itu sudah diperhitungkan oleh para perwira pasukan Pangeran Singa Narpada. Karena itu, maka ketika anak panah itu menghujani mereka, mereka-pun telah melindungi diri mereka dengan perisai-perisai yang sudah mereka persiapkan lebih dahulu.
Dengan demikian, maka tidak ada lagi yang dapat menahan arus pasukan Pangeran Singa Narpada. Pintu gerbang padukuhan yang tidak terlalu kuat itu-pun dengan cepat dapat dipecahkan, sehingga pasukan Pangeran Singa Narpada-pun telah menghambur memasuki padukuhan itu.
Meskipun didalam pintu gerbang itu telah menunggu pasukan Pangeran Kuda Permati, namun agaknya arus yang kuat, bagaikan banjir bandang yang telah berhasil memecahkan bendungan itu tidak dapat ditahan sama sekali. Arus itu mendesak meluap memasuki jalan-jalan dan halaman-halaman didalam padukuhan.
Dengan demikian, maka pertempuran-pun segera telah menebar di seluruh padukuhan. Sementara itu, sebagian dari pasukan Kediri yang tidak sabar menunggu kesempatan memasuki padukuhan lewat pintu gerbang, telah memanjat dinding dan berloncatan masuk. Karena itulah, maka pertempuran telah terjadi disegala sudut. Bagaikan luapan air yang mengalir kesegala penjuru.
Namun pasukan Kediri memang lebih banyak. Ketika semua kekuatan yang ada di padukuhan itu telah dikerahkan, maka masih ada sebagian dari pasukan Kediri yang belum sempat memasuki pintu gerbang. Karena itu, maka pertempuran yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang berat sebelah. Pasukan Kediri benar-benar bagaikan banjir bandang yang tidak tertahankan.
Meskipun demikian, namun para pengikut Pangeran Kuda Permati telah bertempur dengan gagah berani. Justru karena mereka merasa bahwa mereka tidak akan mampu mengimbangi kekuatan lawan, maka dengan putus asa mereka telah bertempur tanpa pengendalian diri sama sekali. Sebenarnyalah seperti yang sudah diduga. Kematian dan kematian yang tidak terelakkan sudah terjadi di padukuhan itu. Bukan saja para pengikut Pangeran Kuda Permati, tetapi juga para prajurit Kediri.
Sementara itu, Pangeran Singa Narpada sendiri telah mengamuk bagaikan seekor singa yang terluka. Menurut pengertiannya, kepergian Purnadewi menemui suaminya, tidak akan ada gunanya sama sekali. Bahkan Pangeran Kuda Permati justru telah menjadi semakin ganas dengan serangan-serangannya di sisi Barat perbatasan Kota Raja Kediri. Karena itu, maka agaknya tidak ada lagi jalan lain daripada menghancurkan sama sekali kekuatan Pangeran Kuda Permati.
Meskipun Pangeran Singa Narpada menyadari, bahwa yang ada di padukuhan itu sebenarnya bukan pasukan induk Pangeran Kuda Permati, tetapi sepasukan pengawal yang kuat yang melindungi Pangeran Kuda Permati dan isterinya, puteri Purnadewi.
“Jika aku dapat menangkap hidup atau mati Pangeran Kuda Permati, maka semuanya tentu akan berubah. Tanpa Pangeran Kuda Permati, maka tidak akan ada lagi sandaran perjuangan para pengikutnya, sehingga kekuatan mereka akan dengan mudah dipatahkan,” berkata Pangeran Singa Narpada didalam hatinya.
Dengan demikian, maka Pangeran Singa Narpada-pun tidak lagi mengekang pasukannya. Ia sudah berusaha dengan segala cara untuk menyelesaikan perang itu dengan korban yang sekecil-kecilnya. Tetapi usahanya itu agaknya sia-sia saja.
Ternyata bahwa Pangeran Singa Narpada adalah seorang Senapati yang memiliki kemampuan yang jarang ada duanya. Tanpa dapat ditahan lagi, maka Pangeran Singa Narpada telah bergerak menuju ke rumah yang telah diisyaratkan oleh pasukan sandinya. Meskipun tidak pasti, tetapi menurut perhitungan, rumah yang paling kuat mendapatkan penjagaan tentu rumah yang dipergunakan oleh Pangeran Kuda Permati.
Para pengawalnyalah yang dengan susah payah harus menyesuaikan diri. Mereka-pun harus berusaha dengan segenap kemampuan untuk ikut menusuk memasuki daerah pertahanan yang berlapis-lapis dari pasukan Pangeran Kuda Permati. Namun pasukan yang berlapis itu tidak mampu membendung arus prahara yang melanda mereka. Kekuatan Pangeran Singa Narpada dan kekuatannya benar-benar tidak tertahankan.
Betapa-pun para pengikut Pangeran Kuda Permati berusaha namun akhirnya mereka-pun telah dibabat bagaikan batang ilalang, sehingga akhirnya Pangerah Singa Narpada-pun berhasil mencapai tangga rumah yang diperkirakan menjadi tempat tinggal Pangeran Kuda Permati.
Dengan senjata teracu, maka Pangeran Singa Narpada itu-pun kemudian telah berusaha untuk memasuki pringgitan rumah itu. Perlahan-lahan dengan tangan kirinya Pangeran Singa Narpada mendorong pintu yang tidak diselarak itu. Namun ketika pintu terbuka, ia tidak melihat seorang-pun didalam ruangan itu.
Beberapa orang pengawalnya telah menyusulnya. Seorang perwira yang mengenal benar-benar watak Pangeran Singa Narpada memperingatkan, “berhati-hatilah Pangeran. Pangeran tentu tahu, bahwa Pangeran Kuda Permati seorang yang memiliki kemampuan yang sulit dicari bandingnya.”
“Kau anggap aku tidak dapat mengimbangi kemampuannya?” geram Pengeran Singa Narpada.
“Tidak, Pangeran. Tetapi Pangeran Kuda Permati mempunyai kelebihan dari Pangeran Singa Narpada,” jawab perwira itu.
“Persetan. Apalagi kelebihannya?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Kelicikannya,” jawab Perwira itu.
“Gila,” sahut Pangeran Singa Narpada, “Aku bukan anak-anak yang dapat dikelabuinya.”
Perwira itu tidak menjawab lagi. Tetapi diikutinya Pangeran Singa Narpada yang memasuki ruang tengah yang kosong. Namun tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. Ia melihat bayang-bayang didalam sebuah bilik salah satu dari tiga bilik di ruang dalam. Justru bilik yang paling tengah.
“Aku melihat ada seseorang disenthong tengah,” berkata Pangeran Singa Narpada.
Para Pengawalnya-pun menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya serentak mereka mengacukan senjata mereka ketika mereka melihat seseorang membuka tirai pintu bilik itu dan melangkah keluar. Seseorang yang tidak bersenjata sama sekali.
“Marilah Pangeran. Silahlan masuk ke senthong tengah,” orang itu mempersilahkan.
Pangeran Singa Narpada ragu-ragu, sementara perwira pengawalnya berdiri lekat di sisinya sambil berbisik, “jangan.”
Tetapi orang itu menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Pangeran akan melihat akhir dari semua pembantaian yang telah terjadi.”
“Apa yang terjadi?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
Orang itu membuka tirai itu selebar-lebarnya. Ada tiga orang lainnya didalam bilik itu. Mereka semuanya telah melangkah keluar tanpa memegang senjata apa-pun juga.
Beberapa orang pengawal telah berdiri di belakang keempat orang itu dengan senjata teracu, sementara Pangeran Singa Narpada dengan beberapa pengawalnya yang lain telah mendekati pintu.
“Lihat, apa yang ada didalam,” perintah Pangeran Singa Narpada.
Seorang diantara pengawalnya-pun telah melangkah dengan hati-hati. Dengan senjata teracu pengawal itu melangkah memasuki senthong tengah itu dengan sangat berhati-hati. Namun ketika tubuhnya hilang ditelan pintu, maka ia-pun telah berdiri tegak dengan tegang. Bahkan kemudian ia-pun melangkah keluar dengan wajah gelisah.
Pangeran Singa Narpada heran melihat sikap pengawalnya itu. Tanpa mengatakan sesuatu ia-pun telah melangkah ke pintu. Beberapa saat itu termangu-mangu. Namun ia-pun telah melangkah masuk. Ketika dilihatnya pembaringan yang ada didalam bilik itu, maka Pangeran Singa Narpada-pun terkejut bukan buatan. Ia melihat dua sosok mayat yang terbaring berjajar dengan darah yang sudah membeku.
“Adimas Kuda Permati,” desis Pangeran Singa Narpada, “Diajeng Purnadewi.”
Sesaat Pangeran Singa Narpada berdiri tegak mematung. Namun dalam pada itu, seorang perwira pengikut Pangeran Kuda Permati mendekatinya sambil berkata, “Sebagaimana Pangeran lihat, keduanya telah meninggal.”
Suasana menjadi hening. Para pengawal Pangeran Singa Narpada sama sekali tidak mencegah ketika salah seorang pengawal Pangeran Kuda Permati itu masuk kedalam bilik itu dan berbicara kepada Pangeran Singa Narpada.
Dengan wajah yang tegang Pangeran Singa Narpada bertanya, “Apa yang telah terjadi. Siapkah yang telah membunuh mereka berdua?”
Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Pangeran. Kami mohon maaf, bahwa hal ini terjadi tanpa dapat dicegah oleh seorang-pun. Ternyata bahwa puteri Purnadewi telah mengambil satu langkah yang sama sekali tidak terduga. Puteri Purnadewi telah membunuh Pangeran Kuda Permati, namun kemudian puteri Purnadewi telah membunuh dirinya sendiri. Namun sebelumnya puteri Purnadewi sempat memanggil aku yang bertugas di serambi rumah ini dan menyaksikan saat terakhir puteri Purnadewi.”
Wajah Pangeran Singa Narpada menjadi semakin tegang. Dengan nada sendat ia bertanya, “Kenapa Purnadewi berbuat demikian?”
“Puteri telah berpesan kepadaku pada saat terakhir agar aku menyampaikan pesan ini kepada seseorang yang akan dapat menyampaikan kepada Pangeran Singa Narpada. Ternyata bahwa aku telah bertemu sendiri dengan Pangeran, sehingga aku akan dapat menyampaikan pesan ini langsung.”
“Bagaimana bunyi pesan itu?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Puteri berusaha untuk menjelaskan semua masalah kepada Pangeran Kuda Permati. Tetapi usaha itu sia-sia. Karena puteri sendiri kemudian yakin akan kebenaran sikap Pangeran Singa Narpada, maka ia telah mengambil satu keputusan. Bukan karena tekanan paksaan Pangeran Singa Narpada, tetapi karena keyakinan puteri sendiri. Karena itulah, maka akhirnya puteri telah mengambil langkah demikian.”
Pangeran Singa Narpada tercenung sejenak. Pesan itu benar-benar telah mengguncang perasaannya. Karena itu, maka untuk beberapa saat ia tidak dapat mengucapkan kata-kata.
Sementara itu, perwira itu-pun berkata, “Pangeran, sebenarnyalah puteri Purnadewi sangat mencintai Pangeran Kuda Permati. Puteri telah menghunjamkan keris pusaka Pangeran Kuda Permati sambil menangisinya. Namun kemudian puteri telah melakukannya pula atas dirinya sendiri. Agaknya puteri benar-benar telah menemukan satu keyakinan, bahwa perjuangan Pangeran Kuda Permati sekedar menimbulkan malapetaka dan tidak akan menghasilkan apa-apa. Tetapi karena usahanya untuk meyakinkan Pangeran Kuda Permati tidak berhasil, maka puteri telah mengambil jalan sendiri. Ia telah mengorbankan suaminya dan dirinya sendiri bagi satu keyakinan yang kemudian dipegangnya sebagai satu kebenaran...”
Tetapi kelima orang petani itu telah mempergunakan cara yang aneh untuk membantu ketiga orang yang mengawal Purnadewi itu. Namun apa-pun yang akan mereka hadapi kemudian, tetapi mereka sudah terlepas dari tingkah laku sepuluh orang yang sangat menyakiti hati itu. Sebenarnyalah bahwa orang-orang yang mencegat perjalanan Purnadewi itu tidak dapat bertahan terlalu lama.
Orang yang bertempur menghadapi para petani itu-pun segera kehilangan kesempatan untuk memenangkan pertempuran. Seorang demi seorang mereka telah dilumpuhkan. Meskipun para petani itu tidak ingin membunuh lawannya, tetapi diluar kehendaknya ternyata bahwa ada di antara lawan mereka yang tertusuk senjata sampai ke pusat jantung.
Agak berbeda dengan para petani itu, maka ketiga orang pengawal Purnadewi sama sekali tidak mempertimbangkan untuk mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya. Mereka bertempur sebagaimana mereka bertempur. Karena itu, maka ketika senjatanya menusuk sampai ke pusat dada lawannya, maka mereka sama sekali tidak terlalu banyak menaruh perhatian.
Ternyata bahwa dua ujung tombak dan sebilah pedang yang berada di tangan ketiga orang pengawal Purnadewi itu telah mematuk tubuh lawannya dan menghilangkan nyawanya. Bahkan seorang di antara mereka telah membunuh dua orang berturut-turut.
Karena itu, maka dalam waktu yang dekat, sepuluh orang yang mencegat perjalanan Purnadewi dan ketiga orang perwira yang dilepaskannya itu telah dilumpuhkan, sehingga mereka tidak lagi berdaya untuk berbuat apa-pun juga.
Namun ketiga orang pengawal Purnadewi itu benar-benar menjadi heran. Kelima orang petani yang telah mengalahkan Purnadewi dan para pengawalnya. Demikian lawan-lawan mereka, mereka kalahkan, maka mereka-pun begitu saja melangkah meninggalkan tempat itu. Para pengawal Purnadewi tidak menahannya. Dibiarkannya saja kelima orang itu pergi memasuki pategalan.
Baru sejenak kemudian, maka Purnadewi dapat menjadi tenang. Jantungnya menjadi lebih teratur dan nafasnya tidak lagi terasa memburu lewat kerongkongannya. Karena itu, maka ia-pun mulai dapat menilai apa yang telah terjadi. Ketika ketiga orang perwira yang mengawalnya itu sudah membenahi diri, maka Purnadewi itu-pun bertanya, “Siapakah orang-orang yang telah menolong kita itu?”
Para pengawalnya menggelengkan kepalanya. Salah seorang diantaranya menjawab, “Orang itu asing bagi kami. Entahlah jika mereka mengenakan pakaian yang lain dan di siang hari pula. Agaknya mereka bukan petani-petani biasa yang kebetulan melihat peristiwa ini.”
Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian ia telah melihat sendiri, betapa pertentangan dan peperangan telah merusak kesadaran manusia tentang baik dan buruk. Orang-orang yang menghentikannya itu sama sekali tidak lagi menghormati peradaban dan hubungan diantara sesamanya.
“Bagaimana-pun juga, kita merasa bersyukur,” berkata Purnadewi, “Aku telah terlepas dari petaka yang sangat mengerikan. Aku benar-benar merasa ketakutan dan putus asa.”
“Baiklah puteri,” berkata salah seorang diantara ketiga perwira yang mengawalnya, “Marilah kita melanjutkan perjalanan. Jika di sini kita bertemu dengan sekelompok prajurit yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati, maka agaknya kita telah menempuh jalan yang benar.”
Dengan demikian, maka keempat orang itu-pun telah meneruskan perjalanan. Sementara itu dari balik semak-semak kelima orang yang mengenakan pakaian petani memperhatikan perjalanan itu.
“Untunglah bahwa kita selalu mengawasinya,” berkata Pangeran Singa Narpada yang mengenakan pakaian petani itu pula.
“Ya Pangeran,” jawab Panji Sempana Murti yang ikut bersama Pangeran Singa Narpada, “Jika kita percayakan puteri itu bersama ketiga orang yang mengawalnya, maka ia sudah mengalami bencana yang paling dahsyat.”
“Kita ikut bertanggung jawab bahwa Purnadewi harus sampai kepada suaminya,” berkata Pangeran Singa Narpada.
Panji Sempana Murti mengangguk-angguk. Ia-pun sependapat bahwa puteri Purnadewi harus sampai kepada Pangeran Kuda Permati untuk dapat diharapkan bahwa perjalanannya akan membawa hasil.
“Marilah,” Tiba-tiba terdengar suara Pangeran Singa Narpada yang selalu berkepentingan bahwa Purnadewi harus sampai kepada suaminya, maka ia-pun berkepentingan untuk menyelamatkan Purnadewi karena ia adalah saudara sepupunya, “Tugas kita belum selesai. Kita harus yakin, bahwa usaha ini akan berhasil. Baru jika Purnadewi bertemu dengan suaminya, maka ia akan dapat menyampaikan segala pesan kita dalam ujud yang sudah berbeda menurut tanggapan Purnadewi sendiri. Peristiwa yang baru saja terjadi akan menguatkan sikapnya, bahwa peperangan ini hanya akan menghasilkan bencana saja.”
Panji Sempana Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun mereka-pun telah meneruskan perjalanan mereka membayangi perjalanan puteri Purnadewi dengan ketiga orang perwira yang telah dibebaskannya.
Perjalanan itu memang perjalanan yang berat. Apalagi bagi Purnadewi. Tetapi ternyata ketiga orang perwira yang merasa dirinya diselamatkan itu telah membantunya sejauh dapat mereka lakukan. Ketika Purnadewi menjadi sangat letih, maka ketiganya bergantian telah menolongnya dengan memapahnya.
“Kita beristirahat sebentar,” berkata Purnadewi, “Aku tidak kuat lagi meneruskan perjalanan. Kakiku telah terluka oleh goresan-goresan batu-batu yang runcing."
Ketiga orang perwira itu tidak dapat memaksanya. Mereka-pun kemudian memberikan kesempatan kepada Purnadewi untuk beristirahat, berbaring diatas sebuah batu yang besar. Sementara itu, ketiga orang perwira itu menungguinya dengan setia. Bahkan karena kakinya yang terasa bagaikan terbakar, Purnadewi telah berpindah, duduk dan merendam kakinya di dalam sebuah parit yang tidak begitu besar, namun airnya yang bening rasa-rasanya bagaikan menghisap perasaan sakit dan letihnya meskipun mula-mula kaki itu terasa sangat pedih ketika menyentuh air.
Dari kejauhan Pangeran Singa Narpada menyaksikan adik sepupunya yang kelelahan. Ia merasa kasihan. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali dengan sabar menunggunya. Namun ternyata Purnadewi mempunyai kemauan yang keras. Sejenak kemudian, ketika kakinya sudah merasa dingin, ia-pun telah bangkit sambil berkata, “Kita meneruskan perjalanan.”
“Bagaimana dengan kaki puteri?” bertanya salah seorang diantara para perwira.
“Tidak apa-apa. Kakiku sudah terasa baik,” jawab Purnadewi.
Namun demikian mereka mulai berjalan, maka kaki Purnadewi yang tersentuh runcingnya bebatuan telah kembali merasa sakit.
“Puteri,” berkata salah seorang perwira, “Jika puteri berkenan, apakah kami dapat menyediakan sebuah terompah. Mungkin dengan cumpring bambu atau dengan apa-pun juga. Bahkan dapat juga dengan mempergunakan sobekan kain panjang untuk dibalutkan ke kaki puteri.”
Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Terima kasih. Aku akan mencoba untuk berjalan tanpa alas.”
Namun kaki Purnadewi tidak memenuhi gejolak tekadnya untuk berjalan terus tanpa alas. Karena itu, maka ia terpaksa tidak menolak ketika seorang diantara para perwira itu telah mengoyak kain penjangnya dan kemudian membalut kaki Purnadewi dengan sobekan kain panjangnya itu. Dengan demikian, maka kaki Purnadewi menjadi agak terlindung, sehingga meskipun terasa sakit, tetapi ia kemudian dapat melanjutkan perjalanannya.
Pangeran Singa Narpada melihat keadaan adik sepupunya itu. Ia memang menjadi sangat kasihan. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak dapat menolong lebih banyak lagi selain membebaskannya dari tangan orang-orang yang menjadi liar karena pengaruh peperangan yang tidak berkesudahan.
Betapa-pun lambatnya, namun Purnadewi itu berjalan juga ke arah yang diduganya menjadi tempat tinggal dan landasan sementara dari pasukan Pangeran Kuda Permati. Beberapa saat kemudian, maka sekali lagi keempat orang itu dikejutkan oleh kedatangan beberapa orang yang berloncatan dari balik semak-semak. Menilik sikap dan pakaian mereka, maka keempat orang itu-pun segera mengetahui bahwa mereka adalah para pengikut Pangeran Kuda Permati sebagaimana yang mereka jumpai beberapa saat yang lalu.
Purnadewi yang telah mengalami perlakuan yang sangat menyakitkan hati, sekali lagi menjadi ketakutan. Mungkin orang-orang itu-pun akan bersikap sebagaimana sikap kawan-kawannya yang terdahulu. Jika disini tidak ada seorang-pun yang menolong sebagaimana terjadi beberapa saat yang lalu, akibatnya akan sangat parah baginya dan tentu juga ketiga orang yang mengawalnya itu.
Ternyata bahwa sikap orang-orang itu tidak kalah garangnya. Mereka mengepung keempat orang yang telah mereka hentikan itu. Sementara itu sebagaimana telah dilakukan, maka ketiga orang perwira yang mengawal Purnadewi itu-pun telah berpencar diseputar Purnadewi yang ketakutan pula.
“Siapakah kalian,” geram pemimpin dari orang-orang yang menghentikannya itu.
Perwira yang mengawal Purnadewi itu tidak ingin berputar-putar lagi. Dengan tegas ia-pun menjawab, “Aku mengawal puteri Purnadewi, isteri Pangeran Kuda Permati.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Ya. Puteri inilah yang akan aku antar menghadap Pangeran Kuda Permati.”
Suasana menjadi tegang. Tetapi orang yang menghentikan itu tidak segera percaya. Dalam keremangan malam mereka mencoba memperhatikan puteri itu dengan saksama. Namun seorang diantara mereka yang menghentikan itu berkata, “Apakah masuk akal bahwa puteri Purnadewi akan berada di sini di malam buta ini? Bukankah puteri berada di landasan utama.”
“Apakah kau belum mendengar berita tentang jatuhnya landasan Utama itu ke tangan para penjilat di Kediri,” sahut salah seorang perwira yang mengantar puteri itu.
“Mustahil,” jawab orang yang menghentikan perjalanan itu, “Tempat itu tidak akan diketahui oleh pasukan Singa Narpada.”
“Tetapi akhirnya diketahuinya juga,” jawab perwira itu, “Dan puteri ini sudah tertawan. Untunglah bahwa diantara mereka yang berkhianat dan menjadi penjilat itu masih terdapat orang-orang yang menyadari kebesaran diri, sehingga orang itu telah berusaha untuk membebaskan kami.”
Orang-orang yang menghentikannya itu masih ragu-ragu. Bahkan seorang diantara mereka bertanya, “Jika demikian, maka bukti apakah yang dapat kau berikan kepada kami?”
“Bukti,” ulang salah seorang perwira itu, “bukti apakah yang kalian kehendaki. Bukti itu adalah puteri itu sendiri. Lihatlah dengan saksama. Bukankah perempuan ini adalah puteri Purnadewi. Bukti apa lagi yang kalian kehendaki?”
“Aku belum pernah bertemu secara pribadi dengan puteri Purnadewi. Karena itu, bagaimana aku dapat mempercayai bahwa puteri ini adalah Purnadewi,” berkata orang yang menghentikannya itu.
“Bawa kami menghadap. Jika kami sudah menghadap Pangeran Kuda Permati, maka kalian akan tahu, apakah benar puteri ini adalah Purnadewi,” berkata perwira yang mengawalnya.
Ternyata ketegangan telah terjadi lagi. Orang-orang yang menghentikan keempat orang itu tidak juga dapat mempercayainya sebagaimana yang terdahulu. Bahkan pemimpinnya berkata, “Apakah kalian orang-orang yang diselusupkan oleh orang-orang Kediri yang menjadi penjilat itu untuk membujuk Pangeran Kuda Permati atau untuk melakukan satu tindakan yang licik atau perbuatan-perbuatan lain.”
“Tidak,” Seorang perwira yang tidak sabar lagi membentak, “Kami ingin menyerahkan puteri Purnadewi.”
Suasana-pun menjadi tegang. Sebagaimana pernah terjadi sebelumnya. Orang-orang yang menghentikan keempat orang itu nampaknya menjadi sangat ragu-ragu. Jika benar puteri Purnadewi telah ditangkap oleh orang-orang Kediri, apakah mungkin ia dapat meloloskan diri bersama tiga orang perwira yang juga telah tertangkap.
Ketegangan itu-pun semakin lama menjadi semakin menyakitkan jantung Purnadewi sendiri. Hampir saja ia menjerit meledakkan himpitan perasaan yang tidak tertahankan. Namun ia masih berusaha untuk bertahan. Di belakang semak-semak lima orang yang berpakaian petani masih mengamatinya. Dua diantara mereka adalah Pangeran Singa Narpada sendiri dan Panji Sempana Murti. Dua orang yang memiliki ilmu yang sulit dicari bandingnya. Namun dalam puncak ketegangan itu, tiba-tiba terdengar suara seseorang. Salah seorang diantara mereka yang menghentikan keempat orang itu.
“Kakang. Engkaukah itu?” desis seseorang sambil melangkah maju mendekati salah seorang dari ketiga orang yang mengawal puteri Purnadewi itu.
Orang yang dipanggil itu termangu-mangu. Namun ketika orang yang menyebutnya itu melangkah mendekat, maka wajahnya-pun menjadi cerah. Dengan lantang ia berkata, “Kau Tembi?”
“Ya kakang. Jadi orang-orang ini kawan-kawan kakang?” berkata orang yang disebut Tembi.
“Ya. Keduanya juga perwira dari pasukan Pangeran Kuda Permati, sedangkan puteri ini benar-benar puteri Purnadewi.”
Orang yang disebut Tembi itu-pun kemudian menghadap kepada orang yang memimpin kelompok kecil yang menghentikan perjalanan keempat orang itu sambil berkata, “Seorang diantara para perwira itu adalah kakakku.”
“Kau yakin?” bertanya pemimpin kelompok itu.
“Aku yakin. Ia memang kakakku yang tertangkap oleh pasukan Kediri. Aku yakin,” jawab Tembi.
Pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Namun kemudian ia-pun berkata, “Jika kau yakin, maka biarlah kita membawa mereka melalui tahap-tahap yang seharusnya. Jika benar puteri itu Purnadewi, isteri Pangeran Kuda Permati, maka biarlah ia dibawa menghadap.”
“Ya. Puteri itu adalah puteri Purnadewi,” jawab seorang diantara pengawalnya. Lalu, “Namun bagaimana-pun juga kami tidak akan melepaskannya. Jika puteri itu dibawa menghadap, maka kami baru melepaskannya setelah kami yakin, bahwa puteri itu benar-benar akan bertemu dengan Pangeran Kuda Permati.”
“Percayalah kepadaku,” berkata pemimpin kelompok itu, “Marilah. Kita akan mulai dengan tahap demi tahap. Tidak mudah bagi seseorang untuk menghadapi Pangeran Kuda Permati.”
“Tetapi kaki puteri itu sakit. Apakah Pangeran Kuda Permati masih jauh?” bertanya salah seorang pengawalnya.
“Pangeran Kuda Permati tidak berada di daerah ini,” jawab pemimpin kelompok ini, “Tetapi jangan cemas. Jika kalian benar, maka pada saatnya puteri itu tentu akan bertemu dengan Pangeran Kuda Permati.”
Ketiga orang pengawal itu tidak menjawab. Namun dalam pada itu pemimpin kelompok itu-pun berkata, “Marilah ikut aku. Kalian dapat membantu puteri itu berjalan.”
Para perwira itu tidak dapat berbuat lain. Seorang diantara orang-orang yang mencegatnya itu adalah adik dari seorang diantara ketiga perwira yang mengawal puteri Purnadewi, sehingga-pengenalan itu ternyata sangat berarti bagi keempat orang yang mencari Pangeran Kuda Permati itu. Meskipun demikian, kelima orang dalam pakaian petani itu masih belum melepaskan mereka. Dengan sangat hati-hati mereka mengikuti dari kejauhan.
Perlahan-lahan karena keadaan kaki puteri Purnadewi, keempat orang diikuti oleh orang-orang yang menghentikannya itu merayap maju, sehingga akhirnya mereka memasuki sebuah padukuhan. Namun agaknya penjagaan di padukuhan itu cukup ketat, sehingga akan sangat sulit bagi Pangeran Singa Narpada untuk dapat memasukinya.
Namun dengan demikian, maka Pangeran Singa Narpada menjadi yakin, bahwa puteri Purnadewi tentu akan sampai kepada suaminya, karena di dalam padukuhan yang dijaga ketat itu tentu ada satu atau dua orang perwira yang akan dapat menghubungkan Purnadewi dengan Pangeran Kuda Permati.
Dengan nada dalam Pangeran Singa Narpada itu-pun kemudian bertanya kepada Panji Sempana Murti, “Bagaimana pendapatmu tentang kemungkinan yang dapat terjadi atas Purnadewi?”
“Aku kira perjalanannya selanjutnya telah aman,” jawab Panji Sempana Murti.
“Aku sependapat,” berkata Pangeran Singa Narpada selanjutnya, “Karena itu, maka tugas kita mengantar Purnadewi sudah selesai. Semoga ia dapat bertemu dengan suaminya dan berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Kediri.”
Panji Sempana Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tugas puteri Purnadewi adalah tugas yang besar. Jika ia berhasil, maka ia akan dapat menyelesaikan tugas yang tidak dapat kita selesaikan dengan kekuatan prajurit.”
“Ya. Purnadewi benar-benar mengemban tugas yang sangat besar. Mudah-mudahan hatinya mantap dan tidak terpengaruh oleh sikap suaminya,” desis Pangeran Singa Narpada. Lalu, “Tetapi jika Purnadewi gagal, maka Kediri benar-benar akan dibakar oleh pembantaian yang tidak ada batasnya. Kedua belah pihak akan menjadi liar dan buas. Sehingga orang-orang yang tidak bersalah akan menjadi korban pembantaian yang sangat keji. Aku merasa, bahwa aku bukan seorang yang berhati lembut sebagaimana kau dan seluruh pasukan kita. Keadaan akan semakin kalut jika Singasari ikut mencampuri persoalan ini dengan kekuatan prajurit pula.”
Dengan demikian, maka kedua orang itu berpendapat, bahwa mereka tidak merasa perlu lagi untuk mengikuti Purnadewi lebih jauh. Kecuali menurut pendapat mereka sudah tidak ada gunanya lagi, maka perjalanan yang demikian tentu akan menjadi sangat berbahaya, karena beberapa ratus tonggak lagi, mereka benar-benar akan berada di daerah yang untuk saat itu dikuasai oleh Pangeran Kuda Permati.
“Perjalanan kita cukup sampai di sini,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Marilah. Kita akan kembali ke Kota Raja. Besok kita akan kembali kepada pasukan kita masing-masing yang bertugas di sisi Utara, meskipun barangkali ada tugas lain yang harus kita lakukan.”
Dengan demikian, maka Pangeran Singa Narpada, Panji Sempana Murti dan pengawal-pengawalnya telah meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Kota Raja. Ternyata bahwa mereka telah berhasil mengirimkan Purnadewi kepada suaminya dengan cara yang agak berbelit-belit. Tetapi jika benar Purnadewi dapat bertemu dengan suaminya, maka akan mungkin timbul satu perubahan suasana di Kediri.
Sementara itu, sekelompok prajurit Kediri yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati telah membawa puteri Purnadewi ke sebuah padukuhan terpencil. Padukuhan yang kecil, yang terletak di tempat yang tidak terlalu mudah untuk dijangkau. Tetapi di padukuhan itu terdapat sebuah sumber air yang besar, yang mampu membuat tanah di sekitar padukuhan itu menjadi hijau. Meskipun demikian, selingkar bukit bukit gersang seakan-akan telah membatasi padukuhan itu dari hubungan dengan padukuhan padukuhan yang lain.
Semula padukuhan itu sepi. Penduduknya sangat sedikit. Namun tiba-tiba padukuhan itu menjadi ramai, ketika sepasukan Pangeran Kuda Permati berada di padukuhan itu, karena mereka menganggap bahwa tempat itu adalah tempat yang sangat baik untuk mereka pergunakan sementara, sebelum pasukan itu meneruskan pengembaraan mereka mengelilingi Kota Raja. Menyerang dan menghilang. Namun para perwiranya tidak dapat mencegah akibat-akibat buruk dari cara hidup yang demikian bagi orang-orang yang tidak mempunyai pegangan yang kuat itu.
Ketika Purnadewi memasuki padukuhan itu, ia berpengharapan untuk dapat segera bertemu dengan Pangeran Kuda Permati. Namun ternyata bahwa ia-pun menjadi sangat kecewa. Pangeran Kuda Permati tidak berada di tempat itu.
“Dimana kakangmas Kuda Permati?” bertanya Purnadewi kepada pemimpin kelompok yang menghentikan perjalanannya itu.
“Aku tidak tahu puteri,” jawab pemimpin kelompok itu, “Tetapi di padukuhan ini ada beberapa orang perwira yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari aku. Mungkin mereka akan dapat menunjukkan jalan yang paling baik puteri.”
Purnadewi tidak tergesa-gesa minta diantarkan kepada suaminya. Jika ia berniat demikian, maka akan mungkin dapat menimbulkan persoalan lain. Demikianlah, kedatangan Purnadewi telah menimbulkan sedikit keributan di padukuhan kecil itu. Untunglah bahwa persoalannya segera dapat dijernihkan. Dan bahkan akhirnya para perwira di padukuhan itu percaya bahwa puteri itu adalah Purnadewi.
Bahkan ada diantara mereka yang mengenali ketiga orang pengawal itu sebagai perwira yang memiliki kedudukan yang baik karena kemampuan ilmu mereka di dalam pasukan Pangeran Kuda Permati. Namun dalam satu sergapan yang tiba-tiba mereka telah dapat tertangkap oleh pasukan Pangeran Singa Narpada. Dan bahkan ada di antara mereka yang mengenal puteri Purnadewi itu sendiri. Tetapi Purnadewi menjadi kecewa. Pangeran Kuda Permati tidak ada di padukuhan itu.
“Kakiku sudah tidak dapat aku pergunakan untuk berjalan lagi,” berkata Purnadewi dengan wajah yang sayu.
“Puteri dapat beristirahat di sini sehari atau lebih,” berkata seorang perwira yang bertanggung jawab terhadap pasukan yang ada di daerah itu, “pada saatnya kaki puteri telah sembuh, maka kita akan berangkat.”
“Apakah kau tidak dapat melaporkan kepada kakangmas Kuda Permati, bahwa aku berada di sini?” bertanya puteri Purnadewi.
“Tentu puteri,” jawab perwira itu, “Tetapi aku tidak dapat mengatakan, keputusan apa yang akan diambil oleh Pangeran Kuda Permati. Mungkin Pangeran akan menjemput puteri, tetapi mungkin Pangeran akan memerintahkan kepada puteri untuk menyusul Pangeran di tempat yang lain.”
“Kenapa begitu?” bertanya Purnadewi, “apakah kakangmas Kuda Permati sudah tidak menghiraukan aku lagi?”
“Mungkin bukan begitu puteri,” jawab perwira itu, “Tetapi kehadiran puteri mungkin akan dapat menimbulkan persoalan tesendiri. Jika Pangeran Kuda Permati datang ke tempat ini, apakah terjamin bahwa Pangeran akan selamat dari sergapan orang-orang Kediri yang menjadi penjilat dari orang-orang Singasari?”
“Jadi apakah kehadiranku ini tidak akan berarti apa-apa bagi kakangmas Kuda Permati?” bertanya Purnadewi.
“Bukan begitu, “Jawab perwira itu, “Tetapi aku harap puteri menyadari, bahwa perjalanan puteri dapat saja diikuti oleh orang-orang Kediri. Diluar tahu puteri, aku telah memerintahkan untuk meneliti dengan saksama daerah di sekitar bukit-bukit yang melingkari padukuhan ini. Mungkin ada sekelompok prajurit Kediri yang mengikuti perjalanan puteri.”
Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, perwira itu membiarkannya merenung. Sebenarnyalah, bahwa perwira itu telah memerintahkan untuk melihat sekeliling padukuhan itu. Di celah-celah bukit, dibalik semak-semak dan di tempat-tempat yang dapat dipergunakan untuk bersembunyi.
Namun mereka tidak menemukan seorang-pun yang mengamati perjalanan Purnadewi dengan ketiga orang pengawalnya, sementara Pangeran Singa Narpada, Panji Sempana Murti dan kawan-kawannya telah kembali ke Kota Raja. Mereka-pun telah memperhatikan bahwa jika mereka mengikuti perjalanan Purnadewi untuk selanjutnya, maka mereka akan dapat terperosok kedalam bahaya.
Karena para pengikut Pangeran Kuda Permati yang berada di padukuhan itu tidak menemukan tanda-tanda apa-pun, serta atas dasar laporan mereka yang membawa keempat orang ke padukuhan itu, maka perwira itu menganggap bahwa kedatangan Purnadewi tidak membawa kemungkinan diketahuinya persembunyian mereka. Tetapi ternyata bahwa Pangeran Kuda Permati masih harus dihubungi.
Ketika kemudian malam berakhir dengan terkoyaknya kegelapan oleh sinar matahari pagi, maka Purnadewi dan para pengawalnya telah beristirahat di padukuhan itu. Purnadewi tidak lagi merendam kakinya didalam air. Tetapi seorang yang mengerti serba sedikit tentang obat-obatan telah mengobati kaki Purnadewi dengan sejenis dedaunan, butir-butir nasi yang dilembutkan dengan sedikit garam, diusapkan dari lutut sampai ke telapak kakinya.
Terasa kaki Purnadewi menjadi dingin. Sama sekali tidak terasa pedih sebagaimana jika kakinya direndam didalam air. Meskipun kemudian kaki yang panas itu terasa dingin, tetapi luka-lukanya terasa pedih bukan main. Jenis dedaunan, butir-butir nasi dan sedikit garam itu membuat kaki Purnadewi bagaikan direndam tidak saja didalam air di parit yang bening, tetapi seolah-olah direndam didalam air yang tersimpan sewindu lamanya. Dingin tanpa rasa pedih. Panas, letih dan sakit yang bagaikan menggigit telah hilang dihisap oleh obat-obatan itu.
Namun demikian kegelisahan Purnadewi masih belum dapat dihapus dengan obat apa-pun juga, sebelum ia berhasil bertemu dengan Pangeran Kuda Permati. Rasa-rasanya ia tidak lagi dapat mempercayai siapa-pun juga, termasuk orang-orang yang berada didalam padukuhan. Yang paling mungkin untuk bertindak jujur terhadapnya hanyalah ketiga orang yang telah dibebaskannya. Sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur lebih dahulu oleh Pangeran Singa Narpada dan Panji Sempana Murti dengan persetujuan, pimpinan petugas sandi dari Kediri.
Namun Purnadewi tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat menunggu, sampai saatnya Pangeran Kuda Permati memberikan kabar kepadanya. Apakah ia harus datang menghadap, atau Pangeran itu datang menjemputnya. Namun bagaimana-pun juga, masa istirahat itu telah membuat badan Purnadewi menjadi segar.
Demikian pula ketiga perwira yang menyertainya. Makanan dan minuman yang dihidangkan kepada mereka, kesempatan untuk berbaring dan minum obat-obatan membuat mereka melupakan perasaan letih yang dialaminya dalam perjalanan itu.
Namun betapa kecewa puteri Purnadewi ketika di tengah hari ia bertanya tentang suaminya, perwira yang bertanggungjawab atas padukuhan itu memberikan keterangan, bahwa mereka belum berhasil membuat hubungan dengan Pangeran Kuda Permati. Demikian pula ketika matahari telah turun dan hampir tenggelam di bawah cakrawala. Perwira itu telah menemui Purnadewi sebelum Purnadewi mencarinya.
“Puteri, sampai saat ini utusan kami masih belum berhasil membuat hubungan dengan Pangeran Kuda Permati,” berkata perwira itu, “Sebagaimana puteri mengetahui, maka Pangeran Kuda Permati adalah orang yang sangat penting bagi Kediri. Tentu banyak orang yang ingin menemukannya. Mungkin diantara mereka adalah pengkhianat-pengkhianat, sehingga karena itu, maka Pangeran Kuda Permati harus benar-benar berada di tempat yang paling aman. Dan itu berarti bahwa tempat tinggalnya yang selalu bergerak itu tidak dengan mudah diketemukan siapa-pun juga.”
“Tetapi aku adalah isterinya,” berkata puteri Purnadewi.
“Kami mengetahuinya,” jawab perwira itu, “Karena itu betapa-pun sulitnya, kami berusaha untuk menemukannya. Tetapi Pangeran Kuda Permati sendiri tentu tidak mengetahui bahwa puteri sedang mencarinya. Bahkan mungkin Pangeran Kuda Permati masih belum mengetahui jika landasan utamanya telah berhasil diketemukan oleh orang-orang Kediri dengan petunjuk para pengkhianat.”
Puteri Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak dapat memaksa orang-orang itu dengan cepat dapat menemukan Pangeran Kuda Permati. Puteri Purnadewi-pun menyadari bahwa tempat tinggal Pangeran Kuda Permati tentu merupakan rahasia yang harus dipegang teguh oleh para pengikutnya yang setia.
“Mudah-mudahan malam nanti kita dapat membuat hubungan" berkata perwira itu. "Agaknya petugas kita telah mendekati kemungkinan itu.”
“Mudah-mudahan,” berkata Purnadewi, “Aku sudah terlalu lama mengalami tekanan batin yang hampir tidak teratasi.”
Dalam pada itu, beberapa orang petugas telah bekerja keras sesuai dengan kemampuan mereka dan pengenalan mereka atas medan, untuk menemukan Pangeran Kuda Permati. Dengan pengalaman dan ketekunan, maka akhirnya mereka-pun telah dapat membuat hubungan sebelum waktu yang telah ditentukan sebagaimana kebiasaan Pangeran Kuda Permati.
Hubungan itu telah membuat Pangeran Kuda Permati terkejut. Namun dengan demikian, maka petugas itu telah mendapat kesempatan untuk menghadapnya. Kesempatan yang jarang sekali didapatkan oleh para pengikut Pangeran Kuda Permati itu. Dengan penuh kesungguhan, petugas itu menceriterakan apa yang telah terjadi dengan puteri Purnadewi sesuai dengan keterangan yang diterimanya. Perjalanan yang panjang dan keadaan wadagnya yang memelas.
Wajah Pangeran Kuda Permati menjadi merah. Ia memang sudah mendapat laporan tentang landasan utamanya yang telah diketahui oleh Pangeran Singa Narpada. Ia-pun telah mendapat laporan bahwa isterinya telah tertangkap. Namun ternyata menurut laporan yang diterima kemudian, atas bantuan beberapa orang petugas sandinya di Kediri, isterinya berhasil lolos dari tangan orang-orang Kediri. Tetapi Pangeran Kuda Permati tidak begitu saja menerima keadaan itu. Bukan karena ia curiga terhadap isterinya. Tetapi ia curiga terhadap kelicikan orang-orang Kediri.
“Mungkin perjalanan Purnadewi diawasi,” berkata Pangeran Kuda Permati.
“Perwira yang bertanggung jawab atas daerah kedudukan kami telah mencurigai kemungkinan itu pula, sehingga ia-pun telah mengamankan daerah di sekitar kedudukan kami. Ternyata tidak seorang-pun yang diketemukannya,” jawab petugas itu.
Pangeran Kuda Permati mengangguk-angguk. Tetapi ia adalah seorang yang sangat cermat menghadapi keadaan, karena menurut pendapatnya orang-orang Kediri yang tidak berpihak kepadanya adalah orang-orang yang sangat licik dan pengecut.
Karena itu, maka Pangeran Kuda Permati sendiri telah mengatur perjalanan Purnadewi. Ia telah memberikan pesan kepada petugas itu untuk membawa Purnadewi ke satu tempat. Baru kemudian ia akan dijemput oleh orang-orang kepercayaan terdekat dari Pangeran Kuda Permati.
“Katakan kepada Purnadewi. Bukan berarti aku tidak memperhatikannya. Tetapi segala sesuatunya akan aku selesaikan tanpa menimbulkan akibat yang tidak kita inginkan.”
Demikianlah, maka petugas itu-pun segera kembali ke padukuhan yang menjadi tempat kedudukan pasukannya untuk sementara. Segala sesuatunya-pun telah dilaporkannya kepada pimpinannya, sehingga perwira yang bertanggung jawab atas padukuhan itu-pun mengatur segala suatunya sesuai dengan kehendak Pangeran Kuda Permati.
Dengan hati-hati, maka di hari berikutnya Purnadewi-pun telah disiapkan. Dengan sebuah pedati, maka puteri Purnadewi akan dibawa ke satu tempat yang telah ditentukan. Dengan cermat pula pemimpin pasukan di padukuhan itu telah mempersiapkan pengawalan.
Iring-iringan itu akan meninggalkan padukuhan menjelang senja, sehingga perjalanan mereka akan ditempuh pada malam hari. Perjalanan yang paling baik menurut perhitungan Pangeran Kuda Permati. Sementara jalan yang ditentukan-pun merupakan jalan yang jarang sekali dilalui oleh pasukan peronda dari Kediri.
“Mereka tidak akan berani melalui daerah ini jika tidak membawa pasukan segelar sepapan,” berkata perwira yang memimpin pasukan itu.
Purnadewi yang berjalan didalam satu iring-iringan yang besar itu-pun merasa lebih tenang. Apalagi ia tidak berjalan sebagaimana yang dilakukan sebelumnya, tetapi dalam perjalanan itu ia berada didalam sebuah pedati. Meskipun kadang-kadang ia turun dari pedati dan benar-benar berjalan untuk mengurangi kejemuannya duduk di dalam pedati, tetapi ia tidak mengalami kelelahan yang sangat seperti yang telah dijalaninya.
Meskipun demikian, di dalam iring-ringan yang besar itu, Purnadewi telah menyaksikan satu dua peristiwa yang membuat jantungnya semakin pedih. Ketika iring-iringan itu melewati sebuah jalan di pinggir sebuah padukuhan di malam hari dan mereka menjumpai dua orang anak muda yang sedang meronda dan bersikap mencurigai iring-iringan itu, maka tanpa ragu-ragu kedua orang anak muda itu telah dibinasakan untuk menghilangkan jejak.
“Menyedihkan sekali,” berkata Purnadewi didalam hatinya. Sementara itu, Purnadewi masih mencemaskan nasib beberapa orang lainnya yang mungkin akan dijumpainya diperjalanan, meskipun ada juga orang yang terlepas dari maut waktu mereka melihat iring-iringan itu lewat, karena agaknya orang itu tidak menaruh banyak perhatian atau tidak tahu menahu tentang iring-iringan yang lewat itu.
Namun sebenarnyalah Pangeran Kuda Permati telah memasang satu jaringan kekuatan yang mengamati perjalanan itu tanpa diketahui oleh siapa-pun juga. Sasarannya adalah, kemungkinan orang-orang Kediri yang setia terhadap Pangeran Singa Narpada mengikuti perjalanan Purnadewi yang sengaja dilepaskannya. Tetapi pasukan terpilih Pangeran Kuda Permati itu juga tidak menemukan seorang-pun yang pantas mereka curigai.
Dengan demikian, maka kepercayaan Pangeran Kuda Permati yang mengamati perjalanan itu berkesimpulan, bahwa Memang tidak ada orang-orang Kediri yang mengikuti perjalanan Purnadewi untuk mengetahui tempat Pengeran Kuda Permati tinggal. Karena itulah, maka Purnadewi telah sampai di tempat yang dituju tanpa hambatan apa-pun juga. Ia sampai ke sebuah padukuhan yang memang sudah disiapkan untuk menerimanya.
Namun padukuhan itu bukan tempat tinggal Pangeran Kuda Permati. Karena itu, maka Purnadewi masih harus menempuh perjalanan lagi, perjalanannya yang terakhir untuk sampai kepada suaminya, Pengeran Kuda Permati. Purnadewi beristirahat di padukuhan itu selama siang hari. Ia mendapat kesempatan untuk melepaskan lelahnya, meskipun ia tidak menjadi terlalu lelah sebagaimana perjalanannya yang pertama.
Tetapi hari itu, Purnadewi sempat berbaring sejenak untuk mendapatkan kesegarannya kembali. Ia sempat mulai memperhatikan dirinya sebelum ia bertemu dengan suaminya. Kakinya tidak lagi terasa bengkak, meskipun masih juga agak terasa sakit. Tetapi sudah hampir dapat dilupakannya.
Ketika malam turun, maka mereka-pun telah bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi Purnadewi akan mengalami pengawalan dengan orang yang berbeda. Orang yang akan mengawalnya kemudian adalah orang-orang yang dikirim langsung oleh Pangeran Kuda Permati.
Menjelang keberangkatan mereka, Purnadewi sudah sempat untuk mandi dan membenahi pakaiannya dengan pakaian yang didapatkannya dari orang-orang padukuhan itu. Dengan demikian, maka tubuh Purnadewi-pun rasa-rasanya menjadi bersih dan segar. Tidak lagi dibayangi oleh debu dan keringat, serta bau yang tidak sedap.
Ketika malam turun, maka Purnadewi-pun telah melanjutkan perjalanan mereka. Namun ada satu perintah yang kurang disenanginya. Ketiga orang perwira yang mengawalnya tidak boleh melanjutkan perjalanan. Mereka harus tinggal bersama para pengikutnya yang lain di padukuhan itu untuk menerima tugas-tugas mereka yang akan datang.
“Pengawalnya puteri Purnadewi sepenuhnya ada di tangan kami,” berkata pemimpin pengawal yang menjemput Purnadewi atas perintah langsung dari Pangeran Kuda Permati.
“Tetapi mereka telah menunjukkan kesetiaan mereka,” berkata Purnadewi, “Tanpa mereka, aku telah menjadi lumut di perjalanan.”
Tetapi pemimpin pengawal itu-pun berkeras. Katanya, “Atas perintah Pangeran Kuda Permati sendiri. Pangeran menghargai dan sangat berterima kasih kepada mereka bertiga. Tetapi mereka tidak perlu ikut bersama puteri untuk menghadap. Kepada mereka akan diberikan tugas-tugas yang lain, yang sesuai dengan kedudukan mereka sebagai perwira didalam pasukan Pangeran Kuda Permati.”
Ketiga orang yang telah mengawal puteri Purnadewi dari Kota Raja itu tidak dapat memaksa. Mereka mengenal sifat dan watak Pangeran Kuda Permati apabila telah menjatuhkan perintah. Karena itu, maka mereka-pun telah berhenti sampai di padukuhan itu dan tidak melanjutkan perjalanan mereka mengikuti Purnadewi yang telah mendapatkan pengawalan yang khusus.
Perjalanan Purnadewi untuk selanjutnya merupakan perjalanan yang tidak terlalu sulit. Baginya tetap disediakan sebuah pedati. Namun demikian, ada juga perasaan kecewa, bahwa ia tidak diperkenankan membawa ketiga orang yang telah memberikan jasa kepadanya di sepanjang perjalanan dari Kota Raja. Bahkan yang telah dengan tanpa gentar siap mempertaruhkan nyawa mereka. Tetapi seperti ketiga orang perwira itu, maka Purnadewi-pun tidak dapat memaksa. Ia harus tunduk kepada perintah Pangeran Kuda Permati.
Namun perjalanan mereka di malam hari itu ternyata merupakan perjalanan yang cukup panjang. Mereka melintasi bulak-bulak panjang dan jalan-jalan setapak. Dengan demikian, maka perjalanan pedati yang diperuntukkan bagi Puteri Purnadewi-pun kadang-kadang mengalami kesulitan, sehingga Purnadewi lebih senang turun dari pedati itu dan berjalan kaki bersama dengan para pengawalnya.
Ketika langit mulai dibayangi oleh warna-warna merah, maka barulah mereka mendekati sebuah padukuhan kecil yang berada diantara bulak-bulak yang panjang, di pinggir sebatang sungai yang bertebing curam.
Sebagai seorang isteri prajurit yang melakukan pengembaraan, maka Purnadewi dapat memperhitungkan kemungkinan yang ada pada padukuhan itu. Padukuhan itu merupakan padukuhan yang terpencil, yang dapat melihat ke arah yang jauh, sementara apabila datang bahaya, maka mereka akan turun ke sungai dan mencari jalan untuk menghindarkan diri. Purnadewi-pun kemudian diberitahu oleh pemimpin pengawalnya, bahwa Pangeran Kuda Permati berada di padukuhan itu.
“Mudah-mudahan belum ada persoalan yang memaksa Pangeran meninggalkan tempat itu,” berkata pemimpin pengawal itu, “Namun seandainya demikian, maka aku akan segera mendapat keterangan kemana arah kepergian Pangeran Kuda Permati.”
Puteri Purnadewi menjadi berdebar-debar. Jika Pangeran Kuda Permati karena sesuatu hal harus meninggalkan tempat itu, maka ia harus mencarinya lagi. Mungkin semalam, tetapi mungkin lebih dari itu, sehingga pertemuannya akan menjadi semakin tertunda-tunda, sementara persoalan didalam dirinya terasa menjadi semakin mendesak.
Tetapi ketika iring-iringan itu memasuki padukuhan dan dilihatnya para pengawal masih berkeliaran, maka Purnadewi dapat menduga bahwa Pangeran Kuda Permati tentu masih berada di padukuhan itu.
Sebenarnyalah, maka Purnadewi-pun telah dibawa ke sebuah rumah kecil di ujung padukuhan, namun berhalaman cukup luas. Puteri itu melihat penjagaan yang kuat di halaman rumah itu, dan bahkan beberapa orang berada di luar dinding halaman, sehingga dengan demikian, maka Purnadewi-pun menduga bahwa di rumah itulah Pangeran Kuda Permati tinggal.
Purnadewi yang sudah turun dari pedati telah memasuki regol halaman rumah itu. Perlahan-lahan ia melintas menuju ke pendapa yang sederhana dan kecil, sebagaimana bagian dari keseluruhan rumah yang hanya kecil pula.
“Marilah puteri,” pemimpin pengawalnya mempersilahkan.
Purnadewi-pun naik ke pendapa dengan jantung yang berdebaran. Sementara itu, pemimpin pengawal itu berkata, “Silahkan masuk. Puteri dapat beristirahat di rumah ini sebagaimana puteri berada di rumah sendiri. Rumah ini memang disediakana untuk puteri.”
Jantung Purnadewi berdentang semakin cepat. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Tetapi dimana kakangmas Kuda Permati?”
“Pangeran Kuda Permati ada di padukuhan ini pula. Seorang diantara kami sudah memberitahukan kepada Pangeran, bahwa puteri telah tiba. Kami mohon maaf, bahwa puteri harus menempuh jalan yang berliku-liku. Tetapi kami mohon puteri dapat mengerti keadaan Pangeran Kuda Permati dan kelicikan petugas sandi Pangeran Singa Narpada dan orang-orang Singasari."
Puteri Purnadewi mengangguk kecil. Betapa-pun ia merasa kecewa, tetapi ia berusaha untuk mengerti. Apalagi menurut pemimpin pengawalnya itu, Pangeran Kuda Permati ada di padukuhan itu. Dalam pada itu, maka Purnadewi justru telah mengisi waktunya dengan membersihkan dirinya. Mandi di pakiwan agar tubuhnya menjadi segar. Kemudian minum minuman panas yang dihidangkan serta beberapa potong makanan.
Baru kemudian, ketika matahari terbit, sekelompok pengawal terpilih telah memasuki halaman rumah itu. Purnadewi yang duduk di pendapa menjadi berdebar-debar. Dengan serta merta ia-pun telah berdiri dan sebenarnyalah ia melihat diantara iring-iringan yang datang itu adalah Pangeran Kuda Permati.
Dengan serta merta, maka puteri Purnadewi-pun telah menghambur menyongsong Pangeran Kuda Permati. Sebagaimana puteri Purnadewi, maka Pangeran Kuda Permati-pun telah ditekan oleh kerinduan yang tajam. Sambil menangis puteri Purnadewi memeluk suaminya.
Sementara itu Pangeran Kuda Permati-pun berdesis, “Sudahlah Diajeng. Kita sudah dipertemukan dalam keadaan selamat. Untuk selanjutnya, aku tidak akan meninggalkanmu lagi.”
“Kakangmas,” tangis Purnadewi, “Aku takut.”
“Aku mengerti Diajeng,” jawab Kuda Permati, “Aku sudah mendapat laporan semua peristiwa tentang dirimu. Bahkan sampai saat-saat kau mendapat kesempatan untuk lolos, karena ada beberapa petugas sandi yang dapat melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk membebaskanmu. Tetapi ternyata bahwa yang terjadi itu sangat meragukan aku, karena dalam jaringan petugas sandi kami yang berada di Kediri, terdapat perbedaan pengertian tentang orang-orang yang dimaksud. Tidak ada petugas sandi yang akan dapat membebaskanmu dan tiga orang perwira, kecuali diantara orang-orang Kediri yang menjadi penjilat itu terdapat orang-orang yang atas kesadaran sendiri telah berjuang bagi tegaknya Kediri.”
“Oh,” Purnadewi termangu-mangu, “aku kurang mengerti kakangmas.”
“Ya. Kau tentu tidak dapat membedakannya,” jawab Pangeran Kuda Permati, “Karena itu jangan pikirkan. Biarlah kami yang memikirkannya. Tetapi yang jelas, bahwa tidak ada petugas sandi yang mengikutimu untuk menemukan tempat kedudukanku yang sekarang.”
“Ya kakangmas,” jawab Purnadewi.
“Marilah,”Ajak Pangeran Kuda Permati, “Kita duduk di pendapa.”
Keduanya-pun kemudian naik ke pendapa. Beberapa orang pengawalnya-pun telah menyebar. Dalam pada itu, dengan singkat Pangeran Kuda Permati memberitahukan kepada Purnadewi alasan-alasan apakah yang mendorongnya untuk tidak segera menemuinya. Dengan penuh pengertian Purnadewi-pun mengangguk-angguk mengiakan.
“Teka-teki yang belum terpecahkan Diajeng,” berkata Pangeran Kuda Permati, “Siapakah yang telah melepaskan Diajeng dan ketiga orang perwira yang kemudian mengawal Diajeng sampai ke tempat yang memungkinkan Diajeng berhubungan dengan orang-orangku.”
Purnadewi sama sekali tidak menjawab. Namun terlintas didalam ingatannya, sepuluh orang pengikut suaminya telah dengan kasar dan berani menghinanya. Mereka tidak percaya bahwa ia adalah Purnadewi, dan bahkan mereka berani merencanakan untuk melakukan sesuatu yang paling terkutuk. Kemudian kehadiran lima orang petani yang telah menolongnya dan membebaskannya dari kesepuluh orang itu. Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Memang ada sesuatu yang dirahasiakannya terhadap suaminya.
Hari itu, kedudanya sama sekali tidak membicarakan tentang persoalan yang menyangkut perjuangan Pangeran Kuda Permati. Purnadewi-pun sama sekali tidak menyinggung kelima orang petani yang telah menolongnya, dan para pengikut suaminya yang telah kehilangan alas peradabannya. Hari itu baik Purnadewi mau-pun Pangeran Kuda Permati menempatkan dirinya sebagaimana dua orang suami isteri yang sudah lama tidak bertemu dengan mengungkapkan pengalaman-pengalaman batin yang kadang-kadang terasa aneh.
Namun Pangeran Kuda Permati adalah seorang pemimpin yang bertanggung jawab atas satu tugas yang baginya merupakan tugas yang besar, yang menyangkut masa depan Kediri. Karena itu, maka ia tidak dapat melepaskan diri terlalu lama dari tugas-tugasnya. Sehari ia berada di rumah itu bersama Purnadewi. Namun di hari berikutnya, tugas-tugasnya sudah membayanginya.
Tetapi Purnadewi-pun menyadari kedudukannya. Karena itu, maka ia tidak menghalanginya. Purnadewi sama sekali tidak menunjukkan sikap yang lain dari sikapnya ketika ia akan ditinggalkan oleh Pangeran Kuda Permati di landasan utama dari perjuangannya yang telah berhasil diketemukan oleh Pangeran Singa Narpada.
Karena itu, maka Pangeran Kuda Permati sama sekali tidak ragu-ragu lagi, bahwa tidak ada petugas lawan yang membayangi isterinya sebagai satu cara menemukan landasannya, meskipun untuk sementara. Ternyata bahwa Pangeran Kuda Permati masih melanjutkan perjuangannya yang disangkanya akan mendatangkan satu masa kebesaran bagi Kediri sebagaimana masa-masa yang telah lampau.
Namun dalam pada itu, Purnadewi yang telah melihat sendiri cacat-cacat dari perjuangan suaminya, pengertian yang lain serta wawasan yang lebih luas, telah mempunyai satu sikap yang mapan. Dalam waktu yang dekat, maka ia-pun sempat memperhatikan dan mengamati apa yang dilakukan oleh para pengikut suaminya.
Ternyata apa yang tidak pernah diperhatikannya sebelumnya, kini dapat dilihatnya. Para pengikut suaminya bukanlah pejuang-pejuang yang murni, yang telah mengorbankan segala-galanya bagi Kediri. Tetapi mereka ternyata telah dihinggapi oleh godaan-godaan nafsu yang hitam. Ketamakan akan harta benda, akan kekuasaan dan dengki serta iri. Pelanggaran atas paugeran hubungan antara manusia sebagaimana yang selalu mereka hormati sebelumnya serta penghinaan atas martabat perempuan yang tidak berdaya. Karena itu, maka semua rencananya justru telah menjadi semakin bulat. Ia bertekad untuk bertemu dan berbicara kepada suaminya.
Namun pada hari-hari pertama, Purnadewi masih tetap merupakan isteri yang mampu menempatkan diri dalam perjuangan Pangeran Kuda Permati. Ketika Pangeran Kuda Permati di hari berikutnya lagi kembali dengan hulu pedang yang bernoda darah, sebagaimana sering dilihatnya, sementara Pangeran itu sedang mencuci tangannya, Purnadewi sama sekali tidak mempertanyakannya.
Namun sebenarnyalah Pangeran Kuda Permati masih belum dapat memecahkan teka-teki, bagaimana mungkin Purnadewi dapat melepaskan diri bersama ketiga orang perwira yang telah tertangkap oleh pasukaan Pangeran Singa Narpada. Satu hal yang sulit dimengerti, bahwa hal itu dapat terjadi.
Hari demi hari berjalan sebagaimana kwajarannya. Namun bagi Pangeran Kuda Permati dan bagi Purnadewi, ternyata telah terjadi gejolak perasaan yang semakin lama semakin sulit untuk tetap di pertahankan mengendap didalam dada mereka. Karena itulah, maka pada satu sore, setelah Pangeran Kuda Permati membersihkan dirinya, ia telah menemui Purnadewi di ruang dalam rumah yang tidak begitu besar itu.
“Diajeng. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” berkata Pangeran Kuda Permati.
Purnadewi menjadi berdebar-debar. Tetapi ia memang menunggu saat yang demikian. Purnadewi memang ingin mendapat kesempatan untuk berbicara dengan Pangeran Kuda Permati. Sejenak Purnadewi berusaha untuk menguasai perasaannya. Kemudian dengan tenang ia-pun duduk berhadapan dengan Pangeran Kuda Permati. Demikian cermatnya Purnadewi menguasai dirinya, maka Pangeran Kuda Permati telah menjadi ragu-ragu.
Tetapi akhirnya Pangeran Kuda Permati itu-pun berkata, “Diajeng. Ada sesuatu yang ingin aku beritahukan kepadamu. Aku telah berbicara langsung dengan ketiga orang perwira yang mengawalmu sampai ke tempat yang telah aku tentukan untuk mengirimkan pasukan menjemputmu.”
Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Syukurlah. Dengan demikian kakangmas akan mendapat gambaran perjalanan yang telah aku tempuh untuk menemukan kakangmas.”
“Ya Diajeng. Aku tahu, bahwa kau telah menempuh satu perjalanan yang sangat berat bersama ketiga orang perwira itu. Ketiga perwira itu ternyata merupakan tiga orang pewira yang sangat setia. Yang bersedia mempertaruhkan nyawanya bagi keselamatanmu,” berkata Pangeran Kuda Permati.
“Ya,” jawab Purnadewi, “Mereka berbuat apa saja bagi keselamatanku.”
“Juga ketika kau bertemu dengan sepuluh orang pengikutku yang tidak percaya, bahwa kau adalah puteri Purnadewi, isteri Pangeran Kuda Permati.”
Sesuatu berdesir di hati Purnadewi. Tetapi dengan cepat ia berhasil menguasainya. Sambil mengaguk-angguk ia menjawab, “Benar kakangmas. Ketiga orang itu telah mempertaruhkan nyawanya. Karena itu, aku pernah minta kepada pemimpin pengawal agar ketiganya diperkenankan untuk ikut bersamaku.”
“Sayang sekali,” berkata Pangeran Kuda Permati, “permintaanmu itu tidak diijinkannya.”
Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Agaknya waktunya memang sudah tiba untuk mengatakan sesuatu kepada Pangeran Kuda Permati. Namun demikian Purnadewi masih menunggu waktu yang paling tepat untuk memulainya.
“Diajeng. Katakan, apakah yang dikehendaki oleh orang-orang Kediri yang telah membebaskanmu dan mengantarmu kepadaku? Semula aku mengira bahwa mereka ingin mengikutimu dan menemukan tempat persembunyianku. Tetapi aku salah. Tidak seorang-pun yang mengikutimu untuk seterusnya. Ketika mereka yakin bahwa kau selamat menembus daerah perbatasan, maka mereka telah meninggalkanmu.”
Purnadewi mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Memang ada sesuatu yang aneh. Lima orang petani yang muncul membantu kami, kemudian menghilang begitu saja tanpa memberikan pesan apa-pun juga.”
Pangeran Kuda Permati itu-pun kemudian berjalan mondar-mandir didalam ruangan itu. Katanya, “Memang sulit untuk menjawab teka-teki itu. Apalagi aku tidak melihat sendiri apa yang terjadi. Tetapi yang dapat aku lakukan adalah mengurai peristiwa itu dan mengambil satu kesimpulan. Memang kesimpulan itu dapat salah, tetapi juga dapat benar.”
Wajah Purnadewi menjadi tegang. Tetapi ia-pun kemudian mendengarkan suaminya berkata, “Diajeng Purnadewi. Dengar, kelima orang itu adalah orang-orang Kediri yang menjadi penjilat kaki orang-orang Singasari. Orang-orang Kediri yang demikian pulalah yang telah membebaskanmu. Sama sekali bukan orang-orangku. Meskipun ada satu dua petugas sandi kita yang berada diantara orang-orang Kediri yang sedang terbius oleh ketamakan itu, tetapi mereka tidak akan mampu membebaskanmu dan apalagi membebaskan ketiga orang perwira itu.”
“Jadi menurut kakangmas?” bertanya Purnadewi.
“Kau dan ketiga orang perwira itu memang sengaja telah dilepaskan oleh orang-orang Kediri. Ketiga orang itu diperlukan untuk mengawalmu sampai saatnya kau bertemu dengan pasukanku yang sebenarnya. Sebelum mereka yakin bahwa kau akan selamat sampai kepadaku, maka lima orang dengan ilmu sependapat…?” bertanya Pangeran Kuda Permati.
“Sependapat tentang apa?” bertanya Purnadewi.
“Bahkan kehadiranmu disini justru sudah diatur oleh orang-orang Kediri. Dan agaknya orang-orang Kediri yang membiarkan dirinya diperbudak oleh orang-orang Singasari itu berhasil,” jawab Pangeran Kuda Permati.
“Oh,” wajah Purnadewi menjadi tegang, “Jika demikian apakah kakangmas menjadi kecewa dan menyesal, bahwa aku telah berada disini?”
Pengeran Kuda Permati menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “jangan salah mengerti. Aku sama sekali tidak menyesal bahwa kau telah kembali kepadaku. Tetapi yang harus aku perhatikan adalah caramu untuk kembali.”
“Siapa-pun yang menolongku untuk kembali,” berkata Purnadewi, “Apakah ada bedanya?”
“Tentu Diajeng,” wajah Pangeran Kuda Permati menjadi buram, “yang paling baik bagiku adalah bahwa kau tidak tertangkap oleh Pengeran Singa Narpada, sehingga tidak menumbuhkan masalah seperti sekarang ini.”
“Masalah apa?” bertanya Purnadewi.
Pengeran Kuda Permati termangu-mangu sejenak. Namun nampaknya Pangeran Kuda Permati telah menghentakkan perasaannya untuk mendapatkan kekuatan jiwani. Katanya kemudian dengan suara yang menghentak-hentak.
Wajah Purnadewi benar-benar menjadi tegang. Tetapi dibiarkannya Pangeran Kuda Permati berkata selanjutnya, “Dengan demikian, maka mereka tidak mempergunakan untuk menemukan tempatku sekarang ini. Tetapi bukan berarti bahwa kau telah dilepaskan begitu saja bersama dengan ketiga orang perwiraku yang setia itu. Tetapi nampaknya ketiga orang itu benar-benar tidak mengerti apa yang mereka hadapi sebenarnya. Tetapi, aku kira kau berbeda dengan mereka.”
Namun dalam pada itu Pangeran Kuda Permati-pun melanjutkan, “Tetapi Diajeng. Memang ada satu teka-teki yang sulit untuk dijawab dalam perjalananmu. Ketika kau bertemu dengan sepuluh orang yang tidak percaya bahwa kau adalah isteriku, maka kau telah mendapat pertolongan dari lima orang dalam pakaian petani. Lima orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Nah, apa katamu tentang para petani itu?”
Pengeran Kuda Permati berhenti sejenak. Dipandanginya wajah isterinya yang tegang. Memang ada sesuatu yang rasa-rasanya menahan kata-katanya. Tetapi ternyata Senapati tertinggi dari satu kelompok yang besar, yang mewakili salah satu sikap orang-orang Kediri itu berkata, “Diajeng. Sebaiknya kita saling berterus terang. Pesan apakah yang sampaikan kepadaku dari kakangmas Pangeran Singa Narpada?”
Wajah puteri Purnadewi itu menjadi semakin tegang. Ia tidak akan dapat ingkar lagi. Ternyata ketajaman penggraita Pangeran Kuda Permati berhasil melihat apa yang sebenarnya telah terjadi dengan dirinya. Tetapi Purnadewi memang sudah bersiap untuk mengatakannya. Ia tidak akan menyimpan rahasia itu untuk seterusnya. Ia datang menemui suaminya, dengan tujuan tertentu. Bukan saja pesan Pangeran Singa Narpada, tetapi ketika ia telah melihat dan menghayati sendiri peperangan yang membakar Kediri, maka ia-pun ingin menyampaikan isi hatinya sendiri. Namun untuk sesaat Purnadewi masih tetap berdiam diri. Memang masih terasa keragu-raguan mengekangnya. Namun ia berusaha untuk mengatasinya jika saatnya tiba.
Sementara itu Pangeran Kuda Permati telah mendesaknya pula, “Katakan Diajeng. Jangan ragu-ragu. Bukankah pesan itu dapat diterima dan dapat pula tidak diterima? Karena itu, kau tidak usah merasa terlalu bersalah untuk menyampaikan pesan itu.”
Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Baiklah kakangmas. Memang ada pesan dari kakangmas Singa Narpada yang ingin aku sampaikan kepada kakangmas. Sebenarnyalah aku memang dikirim oleh kakangmas Singa Narpada sebagaimana dugaan kakangmas.”
Pangeran Kuda Permati mengangguk-angguk. Katanya, “Kakangmas Singa Narpada memang seorang yang sangat cerdik. Ia mempunyai seribu cara didalam peperangan. Ia dapat sekejam serigala lapar menghadapi mangsanya, tetapi ia dapat mempergunakan cara selembut cara yang dipergunakannya sekarang.”
“Ya,” jawab Purnadewi, “pasukan kakangmas Singa Narpada di medan perang membantai lawannya tanpa ampun, sebagaimana prajurit-prajuritnya dibantai oleh lawan-lawannya.”
Pangeran Kuda Permati mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Itulah gambaran dari peperangan.”
“Aku sudah melihatnya sendiri kakangmas,” berkata Purnadewi, “Ketika landasan Utama kakangmas Kuda Permati pecah oleh serangan pasukan kakangmas Singa Narpada, aku melihat kekejaman dari peperangan itu sendiri. Seandainya aku bukan adik sepupu kakangmas Singa Narpada, mungkin nasibku sudah lain.”
“Tidak,” jawab Kuda Permati, “Bukan karena kau adik sepupunya. Meskipun kau adik sepupunya, tetapi jika kau tidak akan dapat dipergunakan, maka kau tentu sudah menjadi korbannya pula.”
Purnadewi merenung sejenak. Lalu jawabnya, “Mungkin juga kakangmas. Mungkin pada saat itu, kakangmas Singa Narpada menemukan satu cara unatuk mempergunakan aku menyampaikan pesan kepada kakangmas Kuda Permati.”
“Dan ternyata ia telah melakukannya,” berkata Pangeran Kuda Permati.
“Ya. Aku telah mendapat pesan itu,” berkata Purnadewi kemudian.
“Karena itu, katakanlah,” desak Pangeran Kuda Permati.
Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian. “Kakangmas. Sebagaimana kakangmas dapat menebak, bahwa aku memang telah dikirim untuk menyampaikan satu pesan, agaknya kakangmas juga dapat menebak pesan apakah yang aku bawa itu.”
“Mungkin aku dapat menduganya Diajeng,” jawab Pangeran Kuda Permati, “Mungkin kakangmas Singa Narpada mengira bahwa kau adalah orang yang paling berpengaruh atasku, sehingga ia berpesan, agar aku menyerah saja.”
“Hampir tepat kakangmas,” jawab puteri Purnadewi, “Kakangmas Singa Narpada memang menginginkan kakangmas menghentikan peperangan.”
“Dan bukankah kau sudah tahu jawabnya?” bertanya Pangeran Kuda Permati. “Kau sudah mengenal aku dengan baik. Kau-pun mengerti landasan perjuanganku, sehingga kau tentu dapat mengerti pula tanggapanku atas tawaran kakangmas Singa Narpada itu.”
“Aku mengerti kakangmas. Kakangmas tidak akan mau mendengarkannya. Kakangmas tentu menanggapi permintaan kakangmas Singa Narpada itu sebagai satu lelucon saja. Kita telah terjerumus kedalam satu peperangan yang dapat disebut perang yang besar dan meliputi daerah yang luas. Karena pesan yang demikian sederhana ini tidak akan berpengaruh sama sekali,” jawab Purnadewi.
Pangeran Kuda Permati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau benar Diajeng. Pesan itu tidak ada harganya sama sekali bagiku. Dengan demikian aku pantas mengucapkan terima kasih kepada kakangmas Singa Narpada yang telah mengirimkan kau kembali kepadaku. Sementara itu, kita dapat mengabaikan pesan-pesannya yang tidak berarti sama sekali. Sebenarnya kakangmas Singa Narpada sudah harus dapat memperhitungkan bahwa pesannya tidak akan memberikan kesan apa-pun kepadaku meskipun yang menyampaikan isteriku sendiri.”
“Ya kakangmas,” jawab Purnadewi, “Tetapi agaknya kakangmas Singa Narpada memang sudah menduganya. Karena itu tidak begitu mengharap bahwa pesannya akan berpengaruh. Ia justru lebih banyak berbuat dengan pasukannya. Ia telah memanggil lagi anak-anak muda yang dipersiapkan oleh Panji Sempana Murti untuk menjadi prajurit dengan latihan-latihan khusus.”
“Persetan,” geram Kuda Permati, “Meskipun kakangmas Singa Narpada memanggil semua laki-laki penjilat di seluruh Kediri, tetapi ia tidak akan dapat mencegah usaha kita untuk membebaskan Kediri dari tangan orang-orang Singasari yang tamak.”
“Tetapi apakah kakangmas Kuda Permati tidak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi?” bertanya puteri Purnadewi kemudian.
“Kemungkinan yang mana?” Pangeran Kuda Permati justru ganti bertanya.
“Kakangmas,” desis Purnadewi, “Semakin lama pertempuran ini berlangsung, maka korban-pun akan menjadi semakin banyak.”
Pertanyaan yang tidak diduga-duga oleh puteri Purnadewi itu telah membuat jantung Pangeran Kuda Permati bagaikan berhenti berdetak. Ia sama sekali tidak mengira bahwa akhirnya Purnadewi sampai pada pendapat yang demikian. Karena itu, maka dengan wajah yang kemerah-merahan Pangeran Kuda Permati menjawab dengan suara yang bergetar,
“Diajeng. Sungguh betapa dungunya aku di hadapan Pangeran Singa Narpada. Aku mengira bahwa aku akan mendapatkan kemenangan didalam perang yang aneh ini. Aku kira, aku akan dapat menyampaikan pernyataan terima kasih kepada kakangmas Singa Narpada karena ia sudah mengirimkan kau kepadaku dengan sikap yang bodoh. Aku kira kakangmas Singa Narpada hanya sekedar mengirimkan pesan kepadamu karena kau dianggap berpengaruh kepadaku. Ketika kau menyampaikan pesan itu, maka kau merasa bahwa aku telah mencapai satu kemenangan. Betapa bodohnya kakangmas Singa Narpada yang telah melepaskanmu dan mendorongmu kembali kepadaku dengan cerdik bersama tiga orang perwira yang diperlukannya untuk mengawalmu di perjalanan, hanya sekedar untuk menyampaikan pesan itu. Aku kira bahwa kakangmas Singa Narpada demikian yakin akan pengaruhmu atas diriku, sehingga pesanmu akan dapat aku terima, setidak-tidaknya aku pikirkan. Tetapi aku sama sekali tidak menghiraukannya. Dan aku menganggap bahwa perang telah selesai dan aku mendapatkan kemenangan mutlak.”
Pangeran Kuda Permati berhenti sejenak, lalu, “Tetapi ternyata tidak. Pesan kakangmas Singa Narpada bukan pesan yang diharapkan akan aku dengarkan. Tetapi ia telah membentukmu menjadi seorang yang lain. Kau bukan sekedar membawa pesan. Tetapi kakangmas Singa Narpada sudah berhasil merubah sikapmu. Secara jiwani kakangmas Singa Narpada telah menjadikan kau orang lain. Dan kau yang lain itulah yang akan mempengaruhi aku. Bukan sekedar pesan orang yang mengirimkan kau kemari.”
Wajah puteri Purnadewi memang menjadi tegang. Tetapi seakan-akan ia sudah siap menghadapi kemungkinan itu. Pengalamannya yang pendek pada saat terakhir, sejak ia diambil oleh Pangeran Singa Narpada dari alas utama perjuangan Pangeran Kuda Permati sampai ia kembali kepada suaminya, telah menempa jiwanya, sehingga ia sudah siap menghadapi persoalan-persoalan yang akan timbul kemudian. Sebenarnyalah puteri Purnadewi secara jiwani telah berubah. Karena itu, maka jawabnya,
“Kakangmas. Aku mohon maaf. Tetapi perkenankanlah aku menyampaikan satu pendapat yang barangkali ada gunanya kakangmas dengarkan.”
“Tidak ada gunanya Diajeng,” jawab Pangeran Kuda Permati, “Jika kau sekarang sudah berubah, maka kau harus menyadari, bahwa aku adalah Kuda Permati yang dahulu. Kuda Permati yang tidak akan pernah berubah.”
“Justru karena itu kakangmas,” berkata puteri Purnadewi, “Justru karena kakangmas adalah seorang kesatria. Seorang yang lebih mementingkan kepentingan rakyat banyak daripada kepentingan diri sendiri.”
Wajah Pangeran Kuda Permati menjadi semakin tegang, sementara Purnadewi berkata lebih lanjut, “Kakangmas, dengan demikian, maka aku mengharap bahwa kakang mas Kuda Permati untuk selanjutnya tetap memperhatikan keadaan rakyat kecil yang tidak banyak tahu menahu tentang peperangan ini.”
“Cukup Diajeng,” potong Pangeran Kuda Permati, “Kau tidak usah mengajari aku tentang apa-pun juga. Aku mempunyai sikap yang matang, sehingga aku akan dapat mengetrapkannya sesuai dengan kepentingan yang tentu sudah aku pertimbangkan masak-masak.”
Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan nada lembut ia berkata, “jadi kakangmas tidak mau lagi mendengarkan kata-kataku.”
“Aku sudah dapat membaca, apa yang akan kau katakan,” jawab Pangeran Kuda Permati.
“Mungkin kakangmas, tetapi jika aku yang mengucapkannya, maka kesannya akan dapat berbeda, karena aku melihat sendiri apa yang terjadi, dan bahwa aku-pun mengalami perlakuan yang sangat pahit sebagai akibat peperangan. Namun ternyata bahwa berpuluh-puluh, beratus ratus bahkan beribu-ribu orang yang mengalami keadaan lebih parah dari yang aku alami akibat dari peperangan ini. Apakah kita, orang-orang yang kebetulan berperanan didalam kemungkinan-kemungkinan terjadinya satu perubahan tidak merasa perlu untuk menghiraukannya,” berkata Purnadewi.
“Kenapa hal itu tidak kau sampaikan kepada kakang-mas Singa Narpada agar ia menghentikan pembantaian yang dilakukannya tanpa ampun?” bertanya Pangeran Kuda Permati.
“Aku sudah menyampaikan kepadanya. Tetapi pasukan kakangmas Singa Narpada-pun mengalami pembantaian tanpa ampun,” jawab Purnadewi, “Tetapi itu tidak terlalu menyakitkan hati. Yang lebih parah adalah pembantaian terhadap orang-orang yang tidak tahu menahu sama sekali tentang pertempuran ini. Orang yang tidak tahu akan cita-cita kakangmas Kuda Permati yang ingin membebaskan diri dari kesatuan Singasari dan berdiri sendiri bahkan kemudian menguasai Singasari dan tidak pula mengerti, tugas kakangmas Singa Narpada untuk mempertahankan kedudukan Kediri seperti sekarang ini.”
“Diajeng,” potong Pangeran Kuda Permati, “istilah yang kau pergunakan-pun telah berbeda. Inilah puteri Purnadewi yang sekarang, setelah ditangkap oleh Pangeran Singa Narpada dan kemudian dilepaskannya lagi?”
Wajah Purnadewi menjadi semakin tegang. Dipandanginya wajah suaminya dengan tajamnya. Kemudian dengan nada ragu ia bertanya, “Apa yang berubah kakangmas.”
“Sejak kapan kau menyebut negeri ini sebagai bagian dari Kesatuan Singasari yang besar?” bertanya Pangeran Kuda Permati, “Tentu kakangmas Singa Narpada yang mengajarimu. Yang mengatakan, bahwa Kediri merupakan satu bagian dari kesatuan Singasari itu, yang mempunyai wewenang mengurus dirinya sendiri. Sehingga dengan demikian, maka Kediri merupakan anggauta dari sebuah keluarga besar yang duduk dalam tataran yang sama, yang diembani oleh Sri Maharaja di Singasari yang Besar, Yang Bijaksana, Yang penuh Kasih Sayang terhadap rakyatnya, dan sebutan-sebutan apalagi yang dapat diucapkan untuk menjilat kaki orang-orang Singasari.”
“Kakangmas,” potong Purnadewi dengan suara melengking, “Kakangmas melihat persoalan ini dari satu sisi, sebagaimana yang pernah aku lihat dahulu. Tetapi kemudian aku sempat melihat dari sisi yang lain, yang dapat aku jadikan bahan perbandingan antara kedua sisi penglihatanku itu.”
“Begitukah menurut kakangmas Singa Narpada?” bertanya Pangeran Kuda Permati dengan suara yang berat.
“Kakangmas Singa Narpada tidak mengatakan demikian, kakangmas,” jawab puteri Purnadewi, “Kakangmas Singa Narpada hanya memberi kesempatan kepadaku untuk melihat sisi yang lain yang belum pernah aku lihat.”
“Tetapi sebelumnya kau tidak pernah mengatakan tentang satu Kesatuan dari Singasari yang besar, yang didalamnya terkandung Kediri dan daerah-daerah lainnya di wilayah yang sekarang disebut Singasari. Coba kau lihat, jika kita menyetujui istilah itu, maka Kediri merupakan bagian kecil dari yang disebut Singasari sebagai beberapa Pakuwon yang dahulu merupakan daerah Kediri. Wewenang dan haknya tidak lebih dari satu kerajaan yang berada dibawah pengaruh kekuatan Maharaja di Singasari, apa-pun yang dikatakan oleh orang-orang Singasari untuk sekedar menyenangkan hatiku, hatimu dan hati orang-orang Kediri yang lemah,” jawab Pangeran Kuda Permati.
Purnadewi memandang Pangeran Kuda Permati dengan tajamnya. Ia tidak menunduk sebagai dilakukannya pada saat-saat lampau jika Pangeran Kuda Permati bersikap agak keras kepadanya. Tetapi saat itu Purnadewi justru berkata, “Kakangmas. Marilah kita berpikir bening. Jangan tenggelam kedalam arus perasaan yang tidak berujung pangkal. Biasanya seorang perempuanlah yang tidak mampu mempergunakan nalarnya. Tetapi sekarang, ternyata sikapku benar-benar dipengaruhi oleh nalar dalam keseimbangannya dengan perasaan.”
“Omong kosong,” teriak Pangeran Kuda Permati, “omong kosong. He, begitukah kakangmas Singa Narpada mengajarimu, atau kau sudah tidak waras lagi sekarang?”
Purnadewi menarik nafas dalam-dalam. Ia mengenal suaminya dengan baik, sehingga ia tahu, bahwa suaminya telah menjadi benar-benar marah. Tetapi pengalamannya telah menempanya, sehingga Purnadewi tidak menjadi gemetar karenanya.
“Diajeng,” berkata Pangeran Kuda Permati dengan suara geram, “Sebaiknya kau tidak usah ikut berbicara tentang sikapku menghadapi Singasari. Apa-pun yang aku lakukan, biarlah aku lakukan. Pada saatnya kau akan ikut menikmati hasil dari perjuanganku.”
“Ampun kakangmas,” jawab Purnadewi, “Aku tidak akan dapat berdiam diri menghadapi keadaan yang semakin parah ini.”
“Apa pedulimu,” bentak Pangeran Kuda Permati.
“Kakangmas,” berkata Purnadewi kemudian, “Setiap hari kematian akan bertambah-tambah, sementara aku sama sekali tidak berbuat apa-apa bagi Kediri yang sama-sama kita cintai ini. Tetapi cintaku kepada Kediri bukannya beralaskan kepada kepentingan diriku pribadi. Kepada kepuasan diri atau cita-cita pribadi, tetapi aku mencintai Kediri sebagai satu kenyataan yang aku hadapi di setiap hari. Kematian, tangis, dan kepahitan hidup yang menyayat tanpa ada henti-hentinya.”
“Itu adalah korban dari sebuah perjuangan,” teriak Pangeran Kuda Permati, “Semakin besar cita-cita perjuangan, maka pengorbanan-pun akan menjadi semakin besar.”
“Perjuangan apa?” bertanya Purnadewi, “perjuangan bagi kepentingan siapa? Mereka yang menjadi korban sama sekali tidak merasa bahwa mereka sedang berjuang untuk satu cita-cita. Mereka sama sekali tidak mengerti, untuk apa sebenarnya perang itu terjadi.”
“Cukup,” bentak Pangeran Kuda Permati, “Aku tidak akan mendengarkan kata-katamu. Biarlah kau tetap berada disini atau jika kau ingin kembali kepada kakangmas Singa Narpada. Tetapi kau jangan menjadi racun bagiku. Selama ini kau merupakan satu dorongan yang tidak ternilai bagi perjuanganku. Aku menjadi semakin bergairah dalam perjuangan ini karena doronganmu. Namun kini kau sudah berubah. Meskipun demikian aku tidak akan bergeser sama sekali dari arah yang telah aku yakini.”
Purnadewi masih akan menjawab, tetapi Pangeran Kuda Permati telah berkata, “Kau mendapat kesempatan untuk merenungi kata-kataku. Pada saatnya aku akan bertanya kepadamu, apakah kau masih mengerti arti dari perjuangan ini, atau sebaliknya.”
Purnadewi sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menjawab. Pangeran Kuda Permati tidak menunggunya. Dengan wajah yang garang dan jantung yang berdegup semakin cepat, Pangeran Kuda Permati meninggalkan rumah itu. Beberapa orang yang memang ditempatkan sebagai pengawal Purnadewi itu termangu-mangu. Mereka tidak tahu pasti, apa yang terjadi. Tetapi mereka mendengar perselisihan yang telah terjadi antara Pangeran Kuda Permati dengan isterinya. Satu peristiwa yang jarang sekali terjadi.
Apalagi ketika Pangeran Kuda Permati pada saat meninggalkan rumah itu berpesan kepada pemimpin pengawal khusus yang menjaga rumah itu, “Hati-hati. Amati. Jangan ada orang yang berhubungan dengan Purnadewi dan apalagi Purnadewi jangan sampai meninggalkan halaman rumah ini. Kalian bertanggungjawab jika terjadi sesuatu atasnya.”
Pemimpin pengawal itu tidak sempat menjawab. Ia tidak tahu maksud Pangeran Kuda Permati. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali melakukan perintah itu.
“Tidak boleh ada orang yang berhubungan dengan puteri dan puteri-pun tidak boleh keluar dari halaman ini,” pemimpin pengawal itu memberikan perintah pula kepada para pengawal yang lain.
Berbagai pertanyaan telah timbul diantara para pengawal tentang puteri Purnadewi. Perselisihan yang terjadi dengan Pangeran Kuda Permati apalagi tidak jelas persoalannya bagi mereka, telah membuat mereka bertanya-tanya.
Dalam pada itu, sepeninggal Pangeran Kuda Permati, maka Purnadewi-pun telah berlari masuk kedalam biliknya. Dijatuhkannya dirinya tertelungkup di pembaringannya. Rasa-rasanya tugas yang diembannya telah gagal sama sekali. Ia tidak mendapat cukup kesempatan untuk menjelaskan. Apalagi meyakinkan Pangeran Kuda Permati.
Namun puteri Purnadewi-pun mengerti sepenuhnya sifat dan watak Pangeran Kuda Permati. Apalagi perjuangannya itu-pun telah dirintisnya untuk waktu yang lama. Ia tidak tiba-tiba saja mengumpulkan para prajurit dan mengajak mereka untuk berontak. Tetapi Pangeran Kuda Permati telah menempuh jalan yang agak panjang. Ia telah menempa secara jiwani beberapa orang pemimpin prajurit untuk bersamanya melakukan perlawanan terhadap Singasari. Karena itulah, maka dalam keadaan yang bagaimana-pun juga, para pengikut Pangeran Kuda Permati pada umumnya adalah orang-orang setia, yakin akan kebenaran perjuangannya dan berani.
Meskipun demikian dalam perkembangan selanjutnya telah timbul akibat-akibat buruk yang mempengaruhi sikap jiwani yang sekuat baja itu. Kegersangan, kesendirian tanpa anak dan isteri, kekejaman dan perjalanan yang seakan-akan tidak pernah berakhir. Bahkan kadang-kadang haus dan lapar serta pengalaman-pengalaman yang lain, telah menggeser sikap mereka dari sikap seorang pejuang menjadi orang-orang yang ganas dan garang. Bahkan tujuan perjuangan mereka semakin lama menjadi semakin kabur dibayangi oleh sifat-sifat yang justru bertentangan dengan dasar perjuangan mereka sendiri.
Apa yang dilihat dan dialami oleh puteri Purnadewi sama sekali tidak mencerminkan satu pengalaman yang mengharukan tentang seorang pahlawan yang berjuang, tetapi rasa-rasanya yang dialaminya tidak lebih dari berada diantara segerombolan penyamun dan perampok. Yang merampas milik orang lain, membunuh dan bahkan berbuat kasar yang lain yang jauh lebih rendah dari martabat yang seharusnya bagi seorang pejuang.
“Tetapi masih ada kesempatan,” berkata Purnadewi kepada dirinya sendiri. “Ia harus berbuat dengan sabar. Bukankah pada suatu saat Pangeran Kuda Permati akan datang lagi kepadanya?”
Sebagaimana kerasnya sikap Pangeran Kuda Permati, maka Purnadewi-pun harus sadar, bahwa ia tidak boleh berputus asa. Betapa kerasnya batu karang, tetapi titik-titik air akan dapat melubanginya. Dengan demikian, maka Purnadewi-pun masih berpengharapan. Ia tidak boleh dengan cepat menjadi putus asa.
Sementara itu Pangeran Kuda Permati telah berada kembali diantara para Senopatinya. Kemarahannya kepada isterinya, masih nampak terkesan di wajahnya. Bahkan kemudian Pangeran Kuda Permati telah memerintahkan para Senopatinya untuk meningkatkan pengawasan.
“Sikap kita tidak boleh mengendor,” berkata Pangeran Kuda Permati, “Dalam beberapa waktu yang tidak terlalu lama, aku akan menyerang Kota Raja dari beberapa penjuru. Aku ingin mengatakan kepada kakangmas Singa Narpada, bahwa usahanya dengan mempengaruhi Purnadewi sama sekali tidak berarti apa-apa.”
Para Senopati itu-pun kemudian mendapat gambaran, apa yang sebenarnya telah terjadi. Pemimpin pengawal di rumah yang didiami oleh Purnadewi-pun kemudian mengerti juga, bagaimana sikap Purnadewi itu kemudian, sehingga Pangeran Kuda Permati telah mengambil sikap yang tegas terhadapnya, meskipun ia adalah isterinya.
Dengan demikian, maka para pengawal di rumah yang didiami oleh Purnadewi itu-pun berusaha dengan sungguh-sungguh untuk dapat melakukan tugas mereka dengan sebaik-baiknya, karena sedikit saja kesalahan yang mereka lakukan, mungkin akan dapat menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki. Bukan saja atas mereka, tetapi atas lingkungan yang lebih luas.
Ternyata bahwa Purnadewi-pun menyadari sikap suaminya. Ia melihat para pengawal yang hilir mudik dihalaman. Siang dan malam. Tidak seorang-pun yang pernah memasuki halaman rumah itu kecuali para pembantu yang telah mendapat kepercayaan untuk melayani Purnadewi di rumah itu. Juru patehan, juru taman, juru madaran, juru panebah dan beberapa orang tertentu lainnya.
Namun Purnadewi tidak berputus-asa. Ia masih menunggu kesempatan. Ia yakin bahwa pada satu saat, suaminya tentu masih akan datang mengunjunginya. Ia tidak akan menjadi jemu untuk mengatakan, bahwa saatnya pembantaian harus dihentikan.
Tetapi sebelum Pangeran Kuda Permati datang kerumah itu, maka telah terjadi sesuatu yang mengejutkan bagi Puteri Purnadewi. Di tengah malam buta ia telah dibangunkan oleh para pengawal. Dengan tergesa-gesa pemimpin pengawal itu berkata, “Puteri, mohon maaf. Malam ini juga puteri diminta untuk meninggalkan tempat ini.”
“Kenapa?” bertanya puteri Purnadewi.
“Orang-orang Kediri yang menjadi penjilat itu agaknya dapat mencium kegiatan kami dan oleh para pengkhianat mereka agaknya telah mendapat petunjuk tentang padukuhan ini,” jawab pemimpin pengawal itu.
Purnadewi tidak dapat membantah. Jika demikian, maka ia memang harus pergi. Ia tidak mau tertangkap lagi sebelum ia sempat berbicara lebih panjang dengan suaminya. Karena itu, maka Purnadewi-pun segera berbenah diri. Namun ia masih sempat bertanya, “Dimana kakangmas Kuda Permati sekarang?”
“Di bagian lain dari pertahanan kita telah terjadi pertempuran sejak lewat senja. Pangeran Kuda Permati memimpin sendiri para prajurit untuk melawan pasukan yang besar dari Kediri. Yang agaknya tidak lagi berpegang pada paugeran perang yang hanya dapat terjadi di siang hari. Tetapi mereka dengan sengaja menyerang, mungkin mereka bermaksud menyergap kita,” berkata pemimpin pengawal itu, “Tetapi usaha mereka tentu akan sia-sia.”
“Jadi kemana aku harus pergi?” bertanya Purnadewi.
“Pangeran Kuda Permati telah memberikan perintah terperinci. Kita akan menuju ke sebuah padukuhan yang sudah ditentukan oleh Pangeran Kuda Permati,” jawab pemimpin pengawal itu.
Namun puteri Purnadewi menjadi berdebar-debar pula. Mungkin orang-orang Kediri berhasil menemukan tempat itu, karena ada diantara mereka yang sempat mengikutinya dan melihat arah kepergiannya.
“Tetapi tidak,” Katanya, “Segala pihak waktu itu telah meyakinkan, bahwa tidak ada seorang-pun yang mengikuti perjalananku. Memang masuk akal bahwa kelima orang petani itu adalah orang-orang kakangmas Pangeran Singa Narpada yang mendapat tugas untuk menyelamatkan perjalananku, sampai mereka yakin aku akan dapat sampai kepada kakangmas Kuda Permati karena mereka-pun berkepentingan sekali dengan perjalananku. Tetapi setelah itu, tidak ada orang lain yang akan dapat menembus jebakan kakangmas Kuda Permati.”
Demikianlah, di malam yang gelap Purnadewi dikawal oleh sekelompok prajurit pilihan telah menyusuri jalan-jalan kecil berpindah dari satu padukuhan ke padukuhan yang telah di tentukan. Perjalanan di malam hari melewati jalan-jalan yang sempit bukan satu perjalanan yang mudah, sebagaimana ia meninggalkan Kota Raja.
Beberapa orang pengawal berjalan di depannya, selebihnya berjalan di belakangnya. Dua orang diantara mereka telah mendahului untuk mengamati apakah jalan yang akan mereka lalui aman, karena dalam keadaan yang rumit itu, disetiap tempat akan dapat mereka temui kawan dan mungkin juga lawan.
Namun ternyata bahwa beberapa puluh langkah dari sebuah padukuhan yang nampak di hadapan mereka, meskipun jalan yang mereka lalui tidak akan menembus padukuhan itu, terdapat sesuatu yang mencurigakan. Dua orang yang berjalan mendahului kelompok itu telah memberikan laporan tentang sesuatu yang mencurigakan, sepasukan yang cukup kuat.
“Jika demikian, kita turun ke sungai,” berkata pemimpin pengawal itu.
Kedua orang itu sependapat. Mereka harus menghindar, karena menurut pengamatan mereka, jumlah pasukan itu jauh lebih kuat dari pada pengawal. Purnadewi sama sekali tidak mengeluh ketika mereka harus menuruni tebing sungai yang sulit. Bagaimana-pun juga jiwanya sudah ditempa untuk mengalami satu peristiwa yang betapa-pun beratnya. Meskipun demikian Purnadewi mengalami sedikit kesulitan, sehingga dua orang pengawal terpaksa menolongnya. Belum lagi mereka menyusuri tepian sungai sampai seratus langkah, maka mereka telah mendapat perintah untuk berhenti.
“Cepat, melekat ke tebing,” perintah itu menjalar dari mulut kemulut.
Dengan cepat, para pengawal itu-pun telah melekat ke tebing. Yang sempat mencari perlindungan pada pohon-pohon perdu telah berusaha untuk membayangi dirinya dengan rimbunnya daun perdu yang tumbuh di lereng itu.
Dalam pada itu, puteri Purnadewi-pun telah berjongkok pula dibawah sebuah semak-semak, dibayangi oleh seorang pengawal di belakangnya. Untuk beberapa saat orang-orang itu berusaha untuk tidak menarik perhatian dengan berdiam diri bagaikan membeku.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, sebuah iring-iringan telah lewat diatas tebing. Sepasukan prajurit Kediri yang jumlahnya jauh lebih banyak dari para pengawal Purnadewi, sehingga jika para pengawal itu berusaha untuk bertemu dalam kancah pertempuran, maka mereka tidak akan dapat menang. Karena itu, maka para pengawal lebih baik berusaha untuk menghindar. Kecuali jika mereka bertemu dan dalam keadaan memaksa, maka mereka memang harus berusaha melindungi puteri Purnadewi dengan mempertaruhkan nyawa mereka.
Tetapi agaknya para prajurit Kediri itu tidak melihat bahwa ada sekelompok pasukan di tepian. Karena itu, maka mereka-pun hanya berjalan saja beriringan didalam gelapnya malam tanpa berpaling. Tidak seorang-pun diantara mereka yang membawa obor. Mungkin mereka-pun berusaha untuk tidak bertemu dengan pasukan Pangeran Kuda Permati yang lebih besar, karena jumlah mereka sebenarnya juga tidak terlalu banyak.
Beberapa saat kemudian, maka orang terakhir dari iring-iringan itu-pun telah lewat. Meskipun demikian, para pengawal yang baru berada di tepian itu masih menunggu untuk sesaat. Baru setelah keadaan menjadi sepi, dan tidak lagi terdengar langkah orang dan desir dedaunan, maka pemimpin pengawal itu-pun memberi isyarat kepada dua orang pengamatnya untuk melihat keadaan.
Kedua orang itu-pun kemudian merangkak naik keatas tebing. Tenyata iring-iringan itu sudah menjadi semakin jauh. Mereka telah lenyap dalam gelapnya malam, sehingga mereka sama sekali sudah tidak nampak lagi. Karena itu, maka kedua orang itu-pun kemudian kembali memberikan laporan kepada pemimpin pengawal itu.
“Baiklah,” berkata pemimpin pengawal itu, “Kita akan meneruskan perjalanan.”
Sejenak kemudian, maka Purnadewi-pun telah dipersilahkan untuk meneruskan perjalanan. Tetapi berjalan di tepian ternyata jauh lebih sulit daripada berjalan diatas tebing. Dalam kelokan-kelokan sungai kadang-kadang mereka temukan sebuah kedung yang mungkin masih menyimpan buaya didalamnya. Karena itulah, maka sejenak kemudian mereka telah memanjat tebing. Beberapa orang pengawal-pun kemudian membantu Purnadewi merangkak memanjat tebing yang curam.
Purnadewi masih juga tidak mengeluh. Ia berjalan dalam keletihan. Kakinya mulai merasa sakit, sebagaimana pernah dirasakannya pada saat ia meninggalkan Kota Raja bersama tiga orang perwira yang mengawalnya dengan setia.
Meskipun Purnadewi tidak mengeluh sama sekali, tetapi pemimpin pengawal itu kemudian mengerti bahwa kaki Purnadewi telah terluka. Karena itu, maka pemimpin pengawal itu-pun kemudian bertanya kepada para pengawalnya, “Siapa yang mempergunakan terompah?”
Namun ternyata tidak seorang-pun yang memakai terompah diantara para pengawalnya, sehingga akhirnya, ternyata pemimpin pengawal itu berpikir seperti para perwira yang mengawalnya dari Kota Raja. Dengan sesosok kain panjang salah seorang pengawal, maka kaki Purnadewi telah dilindungi dari kemungkinan yang lebih parah lagi.
Demikianlah, maka mereka-pun telah melanjutkan perjalanan. Ketika mereka mendekati sebuah pedukuhan, maka sekali lagi telah terjadi sesuatu yang mencurigakan. Namun ketika dua orang pengamat itu menyelidiki keadaan, maka mereka menemukan padukuhan itu baru saja menjadi ajang pertempuran antara para prajurit Kediri dengan para pengkikut Pangeran Kuda Permati.
Nampaknya sepasukan Pangeran Kuda Permati yang kuat telah menemukan sepasukan prajurit Kediri yang sedang memasuki daerah pengaruh mereka. Pertempuran tidak dapat dihindarkan. Namun para prajurit Kediri yang jumlahnya lebih kecil itu harus melarikan diri dalam keadaan yang pahit.
Ketika Purnadewi dan para pengawalnya memasuki padukuhan itu, mereka masih menemukan para pengikut Pangeran Kuda Permati menikmati kemenangannya. Sementara itu, sepasukan Kediri yang mereka jumpai di tebing sungai, adalah sebagian dari pasukan yang melarikan diri dari tangan para pengikut Pangeran Kuda Permati di padukuhan itu.
Ternyata sikap pemimpin pasukan para pengikut Pangeran Kuda Permati itu sangat menyakitkan hati. Hampir saja terjadi salah paham sebagaimana pernah terjadi dengan para pengikut Pangeran Kuda Permati, sehingga terpaksa hadir kelima orang dalam pakaian petani untuk menolongnya. Tetapi akhirnya salah paham itu dapat diatasi. Tetapi pemimpin pengawal itu harus membawa Purnadewi melanjutkan perjalanan.
“Aku tidak yakin bahwa perempuan itu benar puteri Purnadewi isteri Pangeran Kuda Permati,” berkata pemimpin pasukan pengikut Pangeran Kuda Permati di padukuhan itu.
“Tetapi ciri-ciri para pengawal serta pengenalan mereka atas kata-kata sandi menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari kita,” berkata salah seorang perwiranya.
“Mungkin. Tetapi mereka tidak boleh mengganggu tugas-tugas kita disini. Karena itu, biar saja mereka pergi ke tempat yang sudah ditunjuk bagi mereka,” jawab pemimpin pasukan di padukuhan itu.
Dengan demikian, maka Purnadewi-pun telah meninggalkan padukuhan itu dengan selapis lagi pengalaman yang penting baginya. Purnadewi melihat sendiri korban yang silang melintang di padukuhan yang baru saja ditinggalkan. Sebagian besar diantara korban itu adalah prajurit Kediri yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Mereka yang tidak sempat melarikan diri ternyata harus mengalami nasib yang paling pahit. Tidak ada lagi kesempatan untuk dapat hidup bagi mereka.
Dengan demikian, maka Purnadewi-pun menjadi semakin yakin, bahwa perang harus dihentikan. Pangeran Kuda Permati harus menyadari, bahwa perjuangan yang diyakininya akan membawa keberuntungan bagi rakyat Kediri itu ternyata hanya membawa korban tanpa hitungan.
“Tidak mungkin jika kakangmas menuntut Sri Baginda di Kediri-lah yang harus menghentikan perlawanan dan kemudian menyerahkan segala sesuatunya kepada kakangmas Pangeran Kuda Permati,” berkata Purnadewi didalam hatinya.
Sementara itu ia-pun menjadi semakin yakin bahwa perjuangan Pangeran Kuda Permati sebagian terbesar hanyalah didorong oleh gejolak perasaannya saja, “Ia tidak melandasi perjuangannya dengan perhitungan yang mapan dan dengan sikap yang dewasa. Ternyata sebelum kakangmas Kuda Permati mendapatkan kemenangan yang berarti, kakangmas Kuda Permati sudah tidak mampu lagi menguasai sifat dan watak para pengikutnya, sehingga tingkah laku para pengikutnya sudah keluar dari jejer seorang kesatria.”
Karena itu, maka tekadnya menjadi semakin bulat untuk berbuat sesuatu agar perang itu-pun segera berhenti. Pembantaian akan berhenti pula, sehingga rakyat Kediri tidak lagi akan saling berhubungan.
“Jika Kediri menjadi semakin ringkih, maka tidak mustahil bahwa akhirnya Kediri memang tidak akan mampu menjaga dirinya sendiri, sehingga akan menjadi alasan yang kuat bagi Singasari untuk datang dan memegang segala kendali di Kediri. Dengan demikian hubungan Singasari dan Kediri akan berubah. Tidak lagi satu lingkungan keluarga besar yang satu, tetapi Singasari akan menguasai Kediri. Dengan seribu macam alasan,” berkata Purnadewi selanjutnya.
Dalam pada itu, maka puteri itu-pun telah melanjutkan perjalanan mereka. Dengan kesan tersendiri Purnadewi meninggalkan padukuhan yang mengerikan, yang berubah menjadi neraka yang hampir saja membakar dirinya pula. Untunglah bahwa Yang Maha Agung masih melindunginya dan memberinya kesempatan untuk meninggalkan tempat itu.
Seperti perjalanan yang ditempuhnya terdahulu, maka perjalanan berikutnya-pun merupakan perjalanan yang sulit. Namun Purnadewi berjalan dengan hati yang teguh meskipun tubuhnya menjadi semakin lemah. Namun akhirnya Purnadewi sampai juga ke sebuah padukuhan yang telah ditunjuk oleh Pangeran Kuda Permati.
Tetapi seperti pesan Pangeran Kuda Permati, padukuhan itu hanya dipergunakan untuk sehari saja. Malam berikutnya mereka harus melanjutkan perjalanan ke sebuah padukuhan lain yang akan menjadi tempat tinggal sementara Pangeran Kuda Permati dan Purnadewi. Dari tempat itu Pangeran Kuda Permati akan mengendalikan pasukannya untuk beberapa waktu, sehingga pada saat tertentu berikutnya mereka akan mencari tempat yang lain yang lebih aman.
“Sampai kapan keadaan seperti ini berlaku bagi orang-orang Kediri?” bertanya Purnadewi didalam hatinya.
Ketika matahari terbit, maka Purnadewi-pun dipersilahkan untuk membersihkan dirinya dengan air panas. Sehari ia akan mendapat kesempatan untuk beristirahat di sebuah padukuhan. Padukuhan yang telah dijaga dengan baik oleh sepasukan pengikut Pangeran Kuda Permati. Namun sikap para pengawal di padukuhan itu terhadap para pengawal yang mengawal Purnadewi agaknya juga kurang baik. Mereka menganggap bahwa para pengawal Purnadewi bukan prajurit yang tangguh tanggon di peperangan. Tetapi mereka adalah pengawal-pengawal yang hanya pantas untuk mengantarkan seorang perempuan yang pergi mengungsi.
Sikap itu sangat menyakitkan hati. Demikian tersinggung pemimpin pengawal puteri Purnadewi itu, sehingga dengan nada kasar ia berkata, “Marilah kita buktikan. Aku adalah pemimpin pasukan khusus yang mendapat tugas untuk mengawal Puteri Purnadewi. Jika kalian menganggap kami terlalu tidak berarti, maka marilah, kita akan saling menjajagi. Siapakah yang lebih baik diantara kita. Kalian atau kami. Karena itu, maka tunjukkan seorang wakil dari antara kalian yang paling baik untuk berhadapan dengan aku di arena perang tanding. Aku menurut saja pilihan kalian. Sampai mati atau tidak.”
Tantangan itu-pun terlalu menyakitkan hati. Pemimpin pasukan yang ada di padukuhan itu-pun kemudian menjawab dengan lantang, “Aku akan memasuki arena. Bersiaplah. Arena akan siap dalam sekejap.”
Namun demikian pemimpin pengawal itu sama sekali tidak memberitahukan hal itu kepada Purnadewi. Ia-pun berpesan kepada para pengawal yang bertugas berada di halaman rumah yang dipergunakan untuk beristirahat, agar hal itu tidak diketahuinya. Sebenarnyalah arena-pun siap dalam sekejap. Para pengikut Pangeran Kuda Permati dari kedua belah pihak telah berkumpul diseputar arena.
“Kau harus menebus kesombonganmu dengan nyawamu,” teriak pemimpin pasukan yang berada di padukuhan itu.
Pemimpin pengawal puteri Purnadewi sama sekali tidak menyahut. Sejanak kemudian kedua orang pemimpin pasukan yang sama-sama menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati itu-pun telah bersiap. Diseputar arena berkumpul para anggauta pasukan masing-masing. Jumlah mereka yang ada di padukuhan itu memang lebih banyak dari jumlah para pengawal Puteri Purnadewi. Tetapi para pengawal Purnadewi sama sekali tidak merasa gentar jika akibat dari perang tanding itu akan semakin meluas.
Pemimpin pasukan yang ada di padukuhan itu agaknya tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dengan kemarahan yang membakar jantungnya, karena tantangan itu, maka ia-pun telah mendahului meloncat menyerang. Tetapi serangan yang pertama itu tidak menyentuh sasarannya. Pemimpin pengawal puteri Purnadewipun sempat mengelak dengan loncatan kecil. Tetapi lawannya tidak melepaskannya. Dengan serta merta, maka serangan berikutnya-pun telah memburunya.
Meskipun demikian serangan itu sama sekali tidak berhasil mengenai sasarannya, sehingga akhirnya pengawal Puteri Purnadewi itu harus berusaha untuk menyerang kembali. Ia tidak mau sekedar menjadi sasaran serangan dan harus berloncatan menghindar terus-menerus. Dengan demikian, maka pertempuran itu-pun menjadi semakin sengit. Keduanya saling menyerang dan menghindar. Sekali-sekali kekuatan mereka berbenturan meskipun tidak dalam kekuatan sepenuhnya.
Namun lambat laun, mereka semakin memanjatkan ilmunya. Ketika pertempuran itu menjadi semakin cepat dan keras, maka keduanya-pun mulai merambah pada puncak ilmu mereka. Ternyata pengawal Purnadewi itu bukannya prajurit sebagaimana disangka oleh para pengawal di padukuhan itu. Mereka bukan sekedar untuk menakut-nakuti perampok-perampok kecil dalam pengawalnya atas puteri Purnadewi. Sebenarnyalah mereka adalah pasukan pilihan yang ditunjuk oleh Pangeran Kuda Permati untuk mengawal isterinya.
Karena itu, maka pemimpin pasukan pengawal yang diambil dari pasukan khusus itu, merupakan seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, melampaui pemimpin pengawal yang berada di padukuhan itu. Dengan demikian, maka dalam pertempuran yang berlangsung semakin cepat, mulai nampak kelebihan pemimpin pengawal puteri Purnadewi itu.
Perasaan tersinggung yang menyentuh jantungnya telah membuatnya ingin membuktikan, bahwa ia dan pasukannya justru memiliki kemampuan lebih baik dari para pengawal yang ada di padukuhan itu. Mereka berhasil menguasai daerah yang memang tidak dipertahankan oleh satu kekuatan prajurit. Mereka berada di padukuhan itu, begitu saja tanpa mengalami perlawanan.
Karena itu, maka para pengawal di padukuhan itu agak kurang menyadari kemampuan diri dibanding dengan kesatuan-kesatuan yang lain dari para pengikut Pangeran Kuda Permati. Meskipun sebagian dari mereka mula-mula adalah prajurit Kediri tetapi sebagian yang lain adalah anak-anak muda yang dapat dibujuk untuk ikut dalam pasukan mereka tanpa mengerti dan mengenal arti perjuangan yang sesungguhnya yang dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati.
Sementara itu meskipun pemimpin pasukan yang ada di padukuhan itu juga seorang prajurit, tetapi ia bukan dari pasukan khusus yang mendapat latihan mirunggan untuk melakukan tugasnya. Demikianlah pertempuran antara kedua orang pemimpin pasukan itu berlangsung semakin keras. Keduanya saling menyerang, saling menghindar dan saling menunjukkan ilmu kanuragan yang mereka kuasai masing-masing.
Namun dalam pertempuran yang semakin cepat, maka pemimpin pengawal puteri Purnadewi mulai berhasil menyentuh lawannya dengan serangan-serangannya. Ketika tangannya mengenai lambung, maka lawannya menyeringai menahan mual perutnya. Lawannya itu meloncat mundur. Tetapi pemimpin pengawal itu tidak ingin melepaskannya. Ia ingin segera menyelesaikan dan membuatnya jera. Pengawal itu tidak ingin apa yang dilakukan itu diketahui oleh puteri Purnadewi.
Karena itu, maka ia-pun telah memburunya. Dengan satu lontaran kaki menyamping dan tubuh yang miring, maka pemimpin pengawal itu berhasil mengenai lawannya sekali lagi, sehingga ia telah terhuyung-huyung. Namun sekali lagi pemimpin pengawal itu memanfaatkan keadaan. Sekali lagi meloncat maju menyerang. Dengan tangannya langsung mengenai dadanya. Pemimpin pengawal di padukuhan itu terlempar selangkah surut. Namun ternyata bahwa ia tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangnnya. Karena itu, maka sejenak kemudian, ia-pun telah terjatuh di tanah.
Suasana di sekitar arena itu-pun menjadi goyah. Para pengikut Pangeran Kuda Permati dari kedua belah pihak mulai bergerak saling mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang lebih luas dari sekedar perang tanding. Namun pemimpin pasukan di padukuhan itu, ternyata masih belum sampai pada akhir perlawanannya. Tiba-tiba saja ia telah menarik pedangnya. Sambil bangkit dan berdiri tegak ia mengacungkan pedangnya sambil menggeram,
“Kita akan bertempur sampai mati.”
Pemimpin pengawal puteri Purnadewi itu termangu-mangu. Namun lawannya sudah mengacungkan pedangnya. Sudah tidak ada pilihan lagi baginya. Sejak semula ia memang sudah berkata, apakah perang tanding itu akan berlangsung sampai salah seorang diantara mereka mati atau tidak.
Karena itu, maka pemimpin pengawal puteri Purnadewi itu-pun telah menarik senjatanya pula. Juga pedang. Tetapi agak berbeda dengan pedang yang lain yang terbiasa dipergunakan. Pedang pemimpin pengawal itu adalah pedang yang lurus dan tajam dikedua sisinya. Dengan demikian, maka kedua orang pemimpin itu telah berhadapan dengan senjata di tangan. Kemarahan yang membakar jantung mereka telah membuat sorot mata mereka menjadi berapi-api.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itu telah mulai mengacukan senjata mereka. Beberapa langkah mereka bergeser. Namun yang kemudian dengan tiba-tiba pemimpin pasukan yang ada di padukuhan itu-pun telah meloncat menyerang dengan pedangnya langsung mengarah dada.
Lawannya-pun segera menangkis serangan itu dengan pedang lurusnya. Sambil memutar pedangnya, maka pemimpin pengawal puteri Purnadewi itu bergeser setengah langkah. Dengan cepat, maka ia-pun menarik pedangnya dan mengayunkan mendatar menebas leher.
Dengan tangkasnya lawannya menyilangkan pedangnya. Ketika benturan kemudian terjadi, maka bunga api-pun telah memercik ke udara. Namun dengan cepat pemimpin pengawal itu memutar pedangnya dan sekali lagi pedang itu mematuk dada. Tetapi ternyata pemimpin pasukan yang ada di padukuhan itu-pun memiliki ilmu pedang yang memadai. Karena itu, maka perang tanding dengan pedang itu-pun berlangsung semakin lama semakin cepat. Keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan mereka bermain pedang.
Mereka yang berdiri diseputar arena itu-pun menjadi berdebar-debar. Masing-masing berharap bahwa pemimpinnyalah yang akan menang. Dengan demikian, maka mereka akan membuktikan bahwa pasukannya adalah pasukan yang lebih baik dari pasukan yang lain.
Namun kemudian, sebagaimana yang pernah terjadi, pemimpin pasukan pengawal puteri Purnadewi itu-pun mulai nampak menguasai arena. Pedangnya berputar lebih cepat dan sekali-sekali berhasil menyusup diantara putaran pedang lawannya meskipun belum menyentuh tubuh lawannya. Tetapi sekali-sekali keadaan lawannya menjadi sangat berbahaya, sehingga setiap kali ia harus berloncatan surut. Meskipun demikian pertempuran berpedang itu berlangsung semakin seru. Keduanya menunjukkan kemampuan mereka mengusai ilmunya.
Mereka yang berada di sekitar arena itu, menyaksikan dengan ketegangan yang setiap kejap semakin meningkat. Apalagi pasukan yang berada di padukuhan itu. Mereka mulai melihat pemimpinnya benar-benar mulai terdesak. Ujung pedang pemimpin pasukan pengawal puteri Purnadewi itu rasa-rasanya berterbangan semakin dekat tubuhnya.
Sebenarnyalah, ketika pertempuran itu berlangsung semakin cepat, maka tiba-tiba saja terdengar desah tertahan. Pemimpin pasukan di padukuhan itu-pun meloncat surut dengan loncatan panjang sambil menyilangkan pedangnya di depan dada. Lawannya termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak memburunya.
Sejenak kemudian ia-pun melihat bahwa pemimpin pasukan di padukuhan itu, ternyata tidak mampu lagi menghindari setiap serangan, sehingga lengan kirinya telah terluka tersayat oleh ujung pedang lawannya. Orang itu mengumpat. Tetapi satu kenyataan, darah telah menitik dari lukanya.
Pemimpin pasukan pengawal itu-pun berdiri termangu-mangu. Namun dengan suara datar ia berkata, “Kau sudah terluka. Kita sudah membuktikan, siapa yang lebih baik diantara kita.”
“Tidak,” pemimpin pasukan itu-pun menjawab hampir berteriak, “Kita buktikan, siapakah yang akan mati di arena ini.”
“Kau sudah terluka,” berkata pemimpin pengawal.
“Hanya satu kelengahan kecil. Tetapi kemampuan ilmuku tentu lebih tinggi dari ilmumu, sehingga kau akan mati karenanya,” jawab pemimpin pasukan di padukuhan itu.
Sejenak pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian ia-pun berkata, “Aku sudah berusaha untuk mencari jalan yang paling baik. Aku sebenarnya hanya ingin menghapus kesan bahwa pasukanku adalah pasukan yang hanya pantas untuk mengungsi. Tetapi jika kau menjadi gila dengan ketamakanmu, maka aku tidak berkeberatan.”
“Persetan,” geram pemimpin pasukan itu, “Kau kira bahwa dengan luka ini kau sudah dapat menepuk dada.”
“Apa-pun yang kau katakan. Tetapi aku sudah mengatakan apa yang tersirat didalam hatiku. Tetapi aku tidak akan ingkar untuk memenuhi keinginanmu, karena aku adalah seorang prajurit,” jawab pemimpin pengawal itu.
Dengan demikian, maka kedua orang itu-pun sudah berhadapan kembali di arena. Wajah mereka menjadi semakin tegang, dan pada sorot mata mereka nampak bahwa mereka tidak lagi mempunyai pilihan lain kecuali saling membunuh. Namun dengan demikian, maka para pengikut dari kedua pemimpin itu-pun tanpa perintah telah saling mempersiapkan diri. Rasa-rasanya mereka dihadapkan pada satu kemungkinan untuk juga saling membunuh.
Sejenak kemudian, maka pertempuran itu-pun telah berlangsung lagi. Semakin lama semakin cepat. Namun beberapa saat kemudian keseimbangan dari pertempuran itu-pun telah terulang lagi. Apabila ketika darah mengalir semakin banyak dari luka di lengannya. Tetapi pemimpin pasukan di padukuhan itu agaknya tidak mau melihat kenyataan itu. Ia masih tetap bertempur dengan garangnya. Namun setiap ia mengerahkan tenaganya, maka darah bagaikan terperas dari luka itu.
Para pengawal yang berada di sekitar arena itu-pun menjadi berdebar-debar. Kedua belah pihak benar-benar telah mempersiapkan diri. Dengan demikian maka pertempuran itu akan dapat menjadi luas.
Sementara itu kedua orang pemimpin itu masih bertempur terus. Namun agaknya pemimpin pengawal itu memang memiliki kelebihan. Ketika keduanya membenturkan senjata mereka, maka terasa tangan pemimpin pasukan di padukuhan itu menjadi pedih,. Ketika pemimpin pengawal itu memutar pedangnya, maka hampir saja pedang pemimpin pasukan di padukuhan itu terlepas. Namun untunglah bahwa ia masih sempat mempertahankan senjatanya, meskipun ia harus meloncat surut.
Tetapi lawannya tidak melepaskannya. Justru pada saat pemimpin pasukan itu memperbaiki keadaannya, pemimpin pengawal itu telah meloncat menyerangnya. Ujung pedangnya bagaikan meluncur mematuk ke arah jantung. Pemimpin pasukan itu terkejut. Denyut jantungnya terasa bagaikan berhenti. Namun ia masih berusaha untuk mengelak. Dengan keseimbangan yang kurang mapan ia telah bergeser. Namun pedang itu rasa-rasanya terus memburunya, sehingga akhirnya pemimpin pasukan itu tidak lagi mampu bertahan pada keseimbangannya, sehingga ia-pun telah terguling.
Namun pemimpin pasukan di padukuhan itu merasa bahwa justru karena itu, ia telah terlepas dari ujung pedang lawannya. Dengan serta merta, maka ia-pun berusaha untuk melenting berdiri. Tetapi ketika tubuhnya mulai bergerak, terasa tajam ujung pedang lawannya menyentuh lambungnya. Dengan suara datar pemimpin pengawal itu berkata, “jangan bergerak.”
Pemimpin pasukan itu terkejut. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Jika ia bergerak, maka ujung pedang lawannya itu akan dapat menusuk menembus keperutnya. Karena itu, maka ia tetap berada di tempatnya. Berbaring di tengah meskipun ia masih tetap menggenggam pedang.
“Apa yang kau kehendaki sekarang?” bertanya pemimpin pengawal itu.
Lawannya termangu-mangu. Ketika ia memandang kepada pasukannya di sekitar arena, maka pandangan matanya itu bagaikan aba-aba. Karena itu, maka pasukannya-pun tiba-tiba saja telah bergerak.
Namun pada saat yang bersmaan, para pengawal yang meskipun jumlahnya lebih sedikit, tetapi mereka adalah prajurit yang terlatih untuk menghadapi berbagai keadaan dalam keadaan yang khusus, sehingga karena itu, maka mereka-pun telah bersiap pula.
Pada saat yang tegang itu, pemimpin pengawal yang telah meletakkan ujung pedang di lambung lawannya itu-pun berkata, “Apa yang akan kalian lakukan? Kalian akan bertempur melawan kekuatan kita sendiri? Jika aku menantang perang tanding, maka aku berharap bahwa kita akan melihat satu kenyataan tanpa mengorbankan terlalu banyak orang. Sekarang kita sudah melihat kenyataan itu. Apakah masih kurang, sehingga setiap orang harus bertempur untuk membuktikan yang manakah diantara kita yang lebih baik. Aku tidak akan menantang perang tanding jika kalian tidak merendahkan martabat keprajuritan kami, seolah-olah kami bukannya prajurit yang pantas berada di peperangan, selain sekedar untuk mengatur para pengungsi. Nah, sekarang sudah ternyata bahwa kemampuan kami sama sekali tidak berada dibawah kemampuan kalian. Demikian pula setiap orang didalam pasukan kami. Kami memang mengantarkan seorang yang menyingkir dari kekalutan pertempuran. Tetapi yang seorang itu adalah isteri Pangeran Kuda Permati. Kalian tentu mengetahuinya, sehingga kalian akan dapat menilai, bahwa tugas kami bukannya tugas yang ringan sebagaimana kalian sebut bahkan dengan istilah-istilah yang mengejek.”
Orang-orang yang mendengar kata-kata itu menjadi tercenung bagaikan membeku. Sementara pemimpin pengawal itu meneruskan,
“Tidak ada gunanya perang tanding sampai mati. Aku tidak merasa perlu membunuhnya, karena orang ini-pun mempunyai tugas yang penting pula didalam pasukan Pangeran Kuda Permati. Aku akan melepaskannya. Tetapi jika ia masih mengganggu tugasku, maka jika hal ini diketahui oleh Pangeran Kuda Permati, maka kalian akan tahu sendiri akibatnya. Kalian tentu pernah mendengar, tujuh orang digantung bersama-sama oleh Pangeran Kuda Permati karena atas kebodohan mereka, satu rancangan serangan yang matang telah gagal. Dan sekarang, jika kalian mengganggu tugas kami, berarti mengganggu keselamatan isteri Pangerah Kuda Permati, maka bukan hanya para perwira sajalah yang akan digantung. Tetapi kalian semuanya.”
Pasukan yang ada di padukuhan itu, yang telah mulai terpengaruh oleh kata-kata pemimpin pengawal itu-pun mulai berpikir sementara pemimpinnya masih tetap terbaring dengan ujung pedang melekat di lambungnya. Untuk beberapa saat suasana menjadi hening namun tegang. Pemimpin pengawal itu-pun masih tetap mengancam pemimpin pasukan yang masih juga terbaring di tanah.
Pemimpin pengawal yang mengancam dengan pedangnya itu menunggu sejenak. Namun kemudian ia-pun menarik pedangnya dan melangkah menjauh sambil berkata, “Aku anggap bahwa perang tanding ini sudah selesai. Semua orang tahu, bahwa aku tidak kalah. Demikian pula orang-orangku. Mereka adalah prajurit-prajurit dari pasukan khusus yang mendapat kepercayaan untuk mengawal puteri Purnadewi. Karena itu, jangan sekali-kali menghina kami lagi.”
Wajah pemimpin pasukan yang kalah itu-pun menjadi tegang. Tetapi pemimpin pengawal itu benar-benar telah meninggalkannya. Beberapa langkah kemudian, maka pemimpin pengawal itu-pun berkata kepada orang-orangnya, “Kita tinggalkan arena ini. Kita kembali kepada tugas kita.”
Tidak seorang-pun yang menyahut. Tetapi orang-orangnya-pun kemudian bergerak meninggalkan arena itu menuju ke tempat yang diperuntukkan bagi mereka. Pemimpin pengawal itu langsung menuju ke sebuah rumah yang disediakan bagi Purnadewi. Rumah yang nampaknya tenang saja. Purnadewi memang tidak tahu apa yang telah terjadi dengan para pengawalnya. Karena itu, maka ia sama sekali tidak bertanya apa-pun juga tentang pasukan yang ada di padukuhan itu.
Sebenarnyalah Purnadewi tidak akan tetap tinggal di padukuhan itu. Menurut perintah Pangeran Kuda Permati, maka pada malam hari kemudian ia harus pergi bersama para pengawalnya ke sebuah padukuhan yang lain, yang telah ditunjuk pula oleh Pangeran Kuda Permati. Padukuhan yang lebih tenang dan aman dari padukuhan itu, dilihat dari kemungkinan direbut atau diserang oleh pasukan Kediri.
Dalam pada itu, pemimpin pengawal yang ditinggalkan dalam keadaan terluka itu mengumpat-umpat. Tetapi ia tidak dapat memerintahkan orang-orangnya untuk bertempur melawan pengawal Purnadewi. Jika ada satu saja diantara para pengawal itu yang hidup dan sempat melarikan diri dan dengan selamat bertemu dengan Pangeran Kuda Permati, maka seperti yang dikatakan oleh pemimpin pengawal itu, maka semua orang dalam pasukannya akan dapat digantung tanpa ampun.
Karena itu, maka ia harus melihat satu kenyataan. Pemimpin pengawal yang sebelumnya disebut sebagai pengiring orang-orang yang mengungsi itu telah mengalahkannya. Tubuhnya telah terluka dan ia memang kalah. Orang-orang didalam pasukan itu-pun kemudian menyadari, bahwa para pengawal puteri Purnadewi itu justru orang-orang terpilih yang dianggap akan dapat melindunginya.
Dalam pada itu, maka para pengawal puteri Purnadewi itu-pun telah bersiap-siap pula. Jika malam turun, maka mereka akan meninggalkan tempat itu untuk meneruskan perjalanan mereka. Beberapa orang diantara para pengawal itu ternyata mulai merasa jemu dengan tugasnya. Mereka lebih senang dengan tugas-tugas yang lain di medan. Kecuali tidak menjemukan, anggapan orang terhadap mereka-pun akan berubah. Mereka jika dikirim kemedan, tidak akan ada lagi orang yang menganggap mereka tidak lebih dari sekelompok pengawal orang-orang yang sedang mengungsi itu.
Tetapi sebagaimana mereka merasa bahwa mereka masih juga seorang prajurit, maka mereka tidak akan dapat memilih tugas. Apa-pun perintah yang diberikan kepada mereka, maka mereka harus melakukannya. Senang atau tidak senang. Demikianlah ketika malam turun, maka pemimpin pengawal itu-pun telah mempersiapkan diri. Pasukannya-pun telah dipersiapkan pula untuk meneruskan perjalanan.
Diperintahkannya salah seorang dari para perwira yang ada didalam pasukan pengawal itu untuk bertemu dengan pemimpin pengawal yang terluka itu, atau orang yang ditunjuk mewakilinya, untuk menyatakan bahwa mereka akan melanjutkan perjalanan. Tanggapan pasukan yang ada di padukuhan itu memang berubah. Mereka tidak lagi menganggap bahwa pasukan pengawal itu tidak lebih dari sepasukan prajurit yang tidak berarti lagi di peperangan dan memberi tugas kepada mereka sekedar mengantar orang yang sedang mengungsi.
Namun akhirnya pasukan di padukuhan itu-pun menyadari, bahwa Pangeran Kuda Permati tentu akan menunjuk pasukan yang paling baik untuk mengawal isterinya. Sebagaimana terbukti, bahwa pemimpin pengawal itu memiliki kelebihan dari pemimpin pasukan Pangeran Kuda Permati yang ada di padukuhan itu.
Demikianlah, maka ketika pasukan pengawal itu kemudian siap berangkat mengantar puteri Purnadewi melanjutkan perjalanan, maka pemimpin pengawal itu sempat memberitahukan, bahwa pasukan Pangeran Singa Narpada dan Panji Sempana Murti dari perbatasan Utara telah berada di mana-mana pula.
Sejenak kemudian, maka pasukan pengawal itu-pun bersiap. Pemimpin pengawal itu-pun kemudian mempersilahkan puteri untuk melanjutkan perjalanan bersama para pengawal. Mereka menuju kesatu tempat yang dirahasiakan, kecuali para pengawal itu sendirilah yang mengetahuinya. Karena itu, maka para pengawal itu-pun tidak mengatakan, kemana mereka akan membawa puteri Purnadewi itu.
Maka perjalanan yang sangat melelahkan telah dimulai lagi. Tetapi ternyata beberapa orang diantara para pengawal itu-pun telah sempat membawa sebuah bambu. Dengan dua batang bambu yang panjang, maka amben itu akan dapat dijadikan sebuah tandu yang sederhana. Dalam keadaan yang memaksa, maka Puteri Purnadewi akan dapat dipersilahkan untuk duduk diatas tandu itu.
Namun agaknya Purnadewi tidak senang dengan tandu itu. Ia lebih senang berjalan kaki, meskipun terasa sakit. Tetapi istirahat yang sehari serta kesempatan untuk merendam kakinya di air hangat serta mengolesnya dengan sejenis param yang dibuat khusus untuk memulihkan kelelahan, Purnadewi telah siap menempuh perjalanan pengikutnya.
Sementara itu pertempuran besar-besaran antara pasukan Pangeran Kuda Permati dan pasukan Kediri telah terjadi. Pangeran Kuda Permati sengaja telah menyerang kedudukan Kediri di perbatasan sebelah Barat. Pasukan yang tidak segarang di perbatasan Utara. Tetapi perhitungan Pangeran Kuda Permati tidak seluruhnya benar. Sri Baginda telah memerintahkan semua pasukan Kediri bersiaga menghadapi segala kemungkinan.
Namun demikian menurut pengamatan para perwira petugas sandi Pangeran Kuda Permati, pasukan di sebelah Barat memang agak lemah. Dengan demikian, maka usaha untuk menghancurkan pasukan Kediri itu mempunyai kemungkinan yang cukup besar.
Dengan pasukan berkuda, Pangeran Kuda Permati telah mengelabui pemusatan pasukan Kediri. Pasukan Pangeran Kuda Permati telah menyerang sebuah padukuhan yang tidak terlalu kuat dijaga oleh pasukan Kediri. Ketika isyarat dibunyikan untuk memanggil pasukan yang lebih kuat, maka sebagian pasukan Pangeran Kuda Permati telah meninggalkan padukuhan itu untuk menyerang padukuhan yang lain. Dengan pasukan berkuda Pangeran Kuda Permati dapat bergerak dengan cepat mendahului gerak pasukan Kediri.
Tetapi isyarat yang menjalar kesegenap penjuru itu, akhirnya terdengar juga oleh para petugas sandi Kediri yang bertugas bagi Pangeran Singa Narpada. Sesuai dengan kedudukan Pangeran Singa Narpada, maka Pangeran Singa Narpada-pun telah mengerahkan pasukannya. Sementara itu, daerah perbatasan disisi Utara sepenuhnya berada di bawah pengawasan Panji Sempana Murti.
Dengan sikap yang hati-hati, Panji Sempana Murti telah menarik pasukannya, sebagian ke daerah perbatasan Utara yang berhadapan dengan sisi sebelah Barat, sementara Pangeran Singa Narpada dengan pasukan berkudanya langsung memasuki daerah Barat itu sendiri. Dengan demikian, di perbatasan sebelah Barat itu telah terjadi pertempuran yang besar. Pertempuran yang melibatkan pasukan dalam jumlah yang banyak dari kedua belah pihak.
Namun ternyata bahwa pertempuran itu tidak terjadi pada satu garis yang panjang membujur dalam ujud gelar. Tetapi kedua belah pihak itu saling menyusup dan bertempur kapan dan dimana saja mereka bertemu. Karena itu, maka pertempuran-pun terjadi dipadukuhan-padukuhan yang terpisah-pisah. Bahkan kadang-kadang dua pihak pasukan bertemu di sebuah simpang empat. Mungkin kekuatan mereka seimbang, tetapi mungkin tidak.
Dengan demikian, maka perbatasan sebelah Barat itu telah berubah menjadi neraka. Baik pasukan Pangeran Kuda Permati mau-pun pasukan Kediri yang memang bertugas di perbatasan sebelah Barat, serta pasukan Pangeran Singa Narpada telah terlibat dalam pertempuran yang baur.
Karena itu, maka tidak seperti biasanya, Pangeran Kuda Permati sendiri telah berada di medan dengan sepasukan pengawal yang sangat kuat. Pangeran Kuda Permati sendiri mengendalikan langsung pertempuran yang kisruh itu. Namun demikian, dari pusat pengendalian pasukannya, Pangeran Kuda Permati telah mengikuti pertempuran yang terjadi di beberapa tempat dengan saksama. Setiap kali beberapa orang penghubung telah datang untuk memberikan laporan tentang pertempuran yang tersebar itu.
Di pihak lain, pasukan Kediri di daerah perbatasan sebelah Barat itu-pun telah menyebar pula. Mereka berusaha untuk mengimbangi pasukan Pangeran Kuda Permati. Namun agaknya Panglima pasukan Kediri di perbatasan sebelah Barat itu kurang menguasai cara-cara yang selalu ditempuh oleh Pangeran Kuda Permati, sehingga pasukannya mengalami kesulitan. Kadang-kadang sepasukan prajurit Kediri telah terjebak, sehingga mereka harus melarikan diri bercerai berai. Dengan susah payah mereka berusaha untuk berkumpul kembali dan menyusun kekuatan untuk melakukan pertempuran lebih lanjut.
Namun kemudian di daerah yang kisruh itu telah hadir sekelompok pasukan berkuda yang kuat. Atas beberapa petunjuk, maka Pangeran Singa Narpada berhasil menemukan pusat pengendalian pasukan Kediri di perbatasan sebelah Barat. Dengan demikian, maka dengan sepengetahuan Panglima pasukan Kediri, Pangeran Singa Narpada dengan pasukannya yang bagaikan sekelompok burung yang berterbangan kesegala penjuru, telah memasuki arena pertempuran yang garang itu.
Dengan hadirnya pasukan berkuda Pengeran Singa Narpada yang kuat dan mampu bergerak dengan cepat, maka kedudukan pasukan Kediri-pun kemudian menjadi lebih baik. Dengan demikian, maka pertempuran itu-pun menjadi semakin seru. Seakan-akan tidak lagi dapat dikenal batas antara kedua kekuatan yang berbaur dalam pertempuran yang kisruh.
Pasukan Pangeran Kuda Permati yang semula berhasil mengejutkan dan membuat pasukan Kediri di perbatasan sebelah Barat menjadi bingung dan sebagian pecah bercerai berai, kemudian harus membuat pemusatan-pemusatan kekuatan untuk menghadapi pasukan lawan. Selain pasukan Kediri di perbatasan Barat yang masih terdapat disela-sela pasukan Pangeran Kuda Permati, maka pasukan berkuda Pangeran Singa Narpada yang dengan garangnya menjelajahi medan. Yang berada di jalur jalannya telah disapu bersih tanpa ampun, sebagaimana pasukan Pangeran Kuda Permati memperlakukan lawan-lawan mereka sebelumnya.
Dengan demikian, maka pertempuran di perbatasan sebelah Barat itu benar-benar merupakan pertempuran yang sangat dahsyat, sehingga Pangeran Kuda Permati sama sekali tidak mau meninggalkan pasukannya barang sekejap. Di tempat yang dirahasiakan ia mengatur pasukannya dengan perintah-perintah dan petunjuk-petunjuk.
Memang agak berbeda dengan Pangeran Singa Narpada. Pangeran Singa Narpada itu langsung berada diantara pasukannya yang paling depan. Sebelum Pangeran Singa Narpada memasuki arena, dengan menyesal ia berkata kepada Panji Sempana Murti, “Agaknya aku gagal mempergunakan Purnadewi untuk membujuk adimas Pangeran Kuda Permati. Karena itu, maka aku harus menempuh cara terakhir.”
“Tetapi masih ada kemungkinan Pangeran,” jawab Panji Sempana Murti, “Meskipun demikian kita harus menghadapi gerak Pangeran Kuda Permati sekarang ini dengan cara Pangeran Kuda Permati pula.”
“Berjaga-jagalah di perbatasan Utara dengan sebaik-baiknya, aku akan berada di daerah pertempuran sebelah Barat,” berkata Pangeran Singa Narpada.
Dengan demikian, sepeninggal Pangeran Singa Narpada, maka Panji Sempana Murti telah bersiap sepenuhnya. Ia sadar, bahwa terjadi satu kemungkinan pasukan Pangeran Kuda Permati yang terdesak di sebelah Barat akan bergeser ke Utara. Atau sebaliknya pasukan Kediri di sebelah Barat memerlukan bantuan seperlunya.
Dengan demikian, maka yang dipersiapkan oleh Panji Sempana Murti bukan saja prajurit-prajurit Kediri. Tetapi pasukan yang terdiri dari anak-anak muda di setiap padukuhan sebagaimana dipersiapkan. Anak-anak muda yang tergolong dalam tataran pertama dan kedua, benar-benar telah bersiap untuk bertempur bersama para prajurit Kediri yang sebenarnya jumlahnya tidak terlalu banyak. Namun dengan cara yang ditempuh oleh Panji Sempana Murti, maka kekuatan pasukan Kediri di perbatasan di sebelah Utara itu cukup memadai.
Dalam pada itu, pasukan di Kediri di sebelah Selatan-pun telah bersiap-siap pula menghadapi segala kemungkinan. Karena di sisi Selatan itu tidak ditempuh cara sebagaimana dipergunakan oleh Panji Sempana Murti, maka pimpinan prajurit Kediri di sebelah Selatan telah menarik sebagian besar pasukannya untuk berada di ujung daerah pengawasannya menghadapi kekuatan Pangeran Kuda Permati di sebelah Barat. Namun agaknya dengan demikian, maka di beberapa tempat terdapat kekosongan kekuatan, sehingga merupakan noda-noda kelemahan kekuatan prajurit Kediri di sebelah Selatan.
Namun agaknya pimpinan prajurit Kediri di sebelah Selatan menyadarinya, sehingga karena itu, maka ia-pun telah mempersiapkan pasukan berkuda sebanyak dapat dihimpunnya untuk dapat mencapai tempat-tempat yang terasa lemah. Bahkan atas laporan dari segala pihak, maka di Kota Raja-pun telah disiapkan pula kekuatan pasukan berkuda yang dapat bergerak kesegala penjuru di samping pasukan Pangeran Singa Narpada yang memang mempunyai tugas untuk menghadapi pasukan Pangeran Kuda Permati.
Dalam pada itu, maka pertempuran di daerah perbatasan sebelah Barat benar-benar merupakan pertempuran yang menggetarkan, sehingga bagi rakyat di daerah itu, maka daerah mereka seakan-akan telah berubah menjadi neraka. Bahkan tidak sedikit rakyat yang tidak tahu menahu telah menjadi korban. Setiap kecurigaan yang betapa-pun kecilnya telah memungkinkan untuk menghilangkan nyawa seseorang.
Demikianlah, maka meskipun tidak melihat sendiri secara langsung, ternyata Purnadewi-pun dapat mendengar tentang peristiwa itu dari tempat tinggalnya yang terbaru. Para pengawalnya memang mencoba untuk tidak menyampaikan apa-pun juga kepada puteri Purnadewi. Namun percakapan diantara mereka, sikap mereka dan kesiagaan mereka menunjukkan kepada Purnadewi bahwa keadaan semakin lama menjadi semakin gawat. Korban semakin banyak berjatuhan dan bahkan tanpa sebab. Kematian yang benar-benar sia-sia dari rakyat Kediri.
Dalam pada itu, kehadiran Pasukan Pangeran Singa Narpada dan gerak pasukan berkudanya yang cepat yang mampu mengimbangi kecepatan gerak Pangeran Kuda Permati telah menyebabkan pasukan Pangeran Kuda Permati menjadi kehilangan banyak ruang geraknya. Beberapa kesatuannya telah terdorong untuk bergeser menjauh. Jika semula mereka banyak berhasil menghancurkan kelompok-kelompok kecil pasukan Kediri, akhirnya merekalah yang lebih banyak melepaskan korban dalam pertempuran yang mengerikan itu.
Dengan hati yang pedih Purnadewi mengikuti perkembangan keadaan itu. Meskipun ia tidak beranjak dari rumah yang ditinggalinya sebagaimana dikehendaki oleh Pangeran Kuda Permati, namun ternyata bahwa mata hatinya telah menyaksikan apa yang telah terjadi. Perang yang dahsyat dan seakan-akan tidak berkesudahan. Padukuhan-padukuhan yang bagaikan berubah menjadi neraka. Mayat terbujur lintang di bunuh oleh orang. Darah yang mengalir dari luka-luka yang menganga telah menyiram bumi Kediri. Darah putera-puteranya yang berdiri berseberangan pada pihak-pihak yang saling bermusuhan.
Purnadewi yang berada didalam biliknya telah berbaring menelungkup sambil menangis. Seperti seorang ibu yang melihat anak-anaknya saling berkelahi dan bahkan saling berbunuhan.
“Pembantaian ini harus dihentikan,” desis puteri Purnadewi disela-sela isak tangisnya.
Tetapi Purnadewi tidak tahu, kepada siapa ia harus mengdukan pedih hatinya. Ia tidak akan dapat mengatakan kepada suaminya, karena sikap suaminya yang keras menghadapi Singasari.
Sementara itu pertempuran masih berlangsung dengan dahsyatnya. Pasukan Pangeran Singa Narpada yang menyusuri medan bagaikan arus angin prahara yang bertiup menyapu segala hambatan yang ditemuinya. Tidak ada yang dapat menahannya. Kekuatan yang besar yang terpecah menjadi tiga itu menjalajahi medan seperti sebuah trisula. Sebuah tombak yang bermata tiga. Menusuk dan kemudian menghancurkan sama sekali.
Dengan demikian, maka pasukan Pangeran Kuda Permati-pun telah bergeser mundur. Mereka mulai meninggalkan arena yang telah dibakar oleh kekerasan tanpa ampun. Pasukan Pangeran Kuda Permati mulai mengambil tempat yang terlindung dan tidak terlalu mudah dicapai oleh pasukan berkuda Pangeran Singa Narpada, serta mempunyai jalur yang mudah untuk menyingkir.
“Kakangmas Singa Narpada memang gila,” geram Pangeram Kuda Permati, “ia benar-benar melakukan sebagaimana dikatakannya.”
Tetapi Pangeran Kuda Permati sama sekali tidak mau melihat, apa yang telah dilakukan oleh para pengikutnya. Meskipun ia tahu pasti, bahwa dalam perang yang dahsyat itu kedua belah pihak telah kehilangan nalar serta terlepas dari segala macam paugeran perang bagi para kesatria.
Perlahan-lahan pertempuran-pun mereda. Para pengikut Pangeran Kuda Permati telah melepaskan daerah-daeran yang untuk sementara telah didudukinya dan mengumpulkan kekuatannya pada tempat-tempat yang dapat dipergunakan untuk menjadi landasan perjuangannya selanjutnya.
Betapa-pun banyak korban yang dilepaskan, dan berapa-pun banyaknya lawan yang telah terbunuh sama sekali tidak meredakan niatnya dan melepaskan usahanya merebut kedudukan di Kediri. Baginya tidak ada jalan lain kecuali menguasai pemerintahan di Kediri, sehingga kemudian ia akan dapat menentukan sikap terhadap Singasari.
“Tidak ada orang lain yang akan berani melakukannya,” berkata Pangeran Kuda Permati, “Kakangmas Singa Narpada adalah hantu di medan perang. Tetapi ia tidak berani berbuat apa-apa terhadap Singasari.”
Pangeran Kuda Permati tidak mau tahu, bahwa keyakinannya tentang kedudukan Kediri terhadap Singasari berbeda dengan sikap dan pandangan Pangeran Singa Narpada, sehingga karena itu, maka orang-orang yang tidak sejalan dengan pikirannya dianggapnya sebagai pengkhianat.
Pangeran Singa Narpada yang telah berhasil menguasai sebagian besar medan di perbatasan sebelah Barat itu-pun kemudian telah menghentikan geraknya. Tetapi ia masih tetap berada di daerah pertempuran itu. Yang kemudian bergerak adalah pasukan Kediri yang memang bertugas di daerah perbatasan sebelah Barat. Meskipun prajurit Kediri itu tidak segarang pasukan Pangeran Singa Narpada, tetapi pengaruh medan yang ganas itu telah membentuk setiap prajurit menjadi prajurit yang keras.
Dalam pada itu, Pangeran Kuda Permati dengan darah yang mendidih telah mempersiapkan pasukannya untuk gerakannya selanjutnya. Ia tidak mau memberikan kesempatan para prajurit Kediri untuk bernafas. Karena itu, maka ia-pun telah menyebarkan petugas sandinya untuk melihat daerah kelemahan prajurit Kediri itu. Bukan hanya di sisi Barat, tetapi juga di sisi Selatan dan Timur.
Yang kemudian dilihat oleh para petugas sandi adalah beberapa daerah yang kosong di sisi Selatan, karena sebagian besar prajurit Kediri di daerah Selatan telah berkumpul di baris yang berhadapan langsung dengan arena pertempuran yang dahsyat itu untuk membendung kemungkinan pasukan Pangeran Kuda Permati menembus ke Selatan.
Namun pasukan Pangeran Kuda Permati tidak akan dengan bodoh melalui pagar pasukan berjari-jari tombak. Pasukan Pangeran Kuda Permati akan dapat memasuki daerah lawan melewati lingkaran yang paling jauh sekali-pun untuk menghindari kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi dengan pasukannya.
Laporan itu ternyata telah menarik perhatian. Justru karena itu, maka Pangeran Kuda Permati menganggap bahwa pasukannya harus bergerak dengan cepat. Tetapi Pangeran Kuda Permati yang baru saja merasa kelelahan menghadapi Pasukan Pangeran Singa Narpada, telah memerlukan beristirahat barang satu dua hari sebelum ia memasuki satu arena yang tentu tidak akan kalah dahsyatnya.
Dalam kesempatan itu Pangeran Kuda Permati ingin berbicara dengan isterinya. Ia ingin meyakinkan, bahwa tidak ada perjuangan yang lebih mulia dari perjuangan yang sedang ditempuhnya, meskipun harus melepaskan banyak sekali korban. Dengan dikawal oleh beberapa orang prajuritnya yang terbaik, Pangeran Kuda Permati telah berpacu ke sebuah padukuhan yang ditentukannya sendiri bagi isterinya.
Pangeran Kuda Permati dengan para pengawalnya mengenal betul jalan yang harus mereka lalui. Mereka mengenal padukuhan-padukuhan yang dapat mereka lewati tanpa hambatan. Dan mereka-pun tahu benar, bahwa mereka tidak akan bertemu dengan pasukan Kediri disepanjang jalan-jalan yang akan mereka lalui. Demikianlah, dengan selamat Pangeran Kuda Permati sampai ke sebuah padukuhan yang telah ditentukannya bagi tempat isterinya.
Puteri Purnadewi menerima Pangeran Kuda Permati dengan penuh harapan. Sebagaimana Pangeran Kuda Permati ingin meyakinkan isterinya tentang perjuangan yang sedang dilakukannya, maka puteri Purnadewi pun berpengharapan bahwa ia akan dapat menghentikan pertempuran yang membakar Kediri dan menuntut kematian yang tidak terhitung jumlahnya. Ketika lewat makan malam, maka Pangeran Kuda Permati lah yang mulai berbicara tentang perjuangannya yang masih akan berkelanjutan.
“Mungkin pertempuran-pertempuran masih akan membakar Kediri,” berkata Pangeran Kuda Permati, “Aku minta kau mengerti. Kau harus menerima keadaanmu seperti sekarang ini sebagai satu pengorbanan yang akan memberikan arti yang sangat besar bagi Kediri.”
“Aku tidak pernah menyesali pengorbanan yang pernah aku berikan,” berkata Purnadewi, “pengorbananku tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan pengorbanan yang sudah jatuh di seluruh Kediri.”
“Ya,” sahut Pangeran Kuda Permati, “Karena itu pengorbanan yang sudah jatuh itu jangan menjadi pengorbanan yang sia-sia. Pengorbanan mereka harus kita hargai, sehingga akhirnya cita-cita kita, cita-cita mereka yang telah berkorban itu akan dapat kita ujudkan.”
Tetapi puteri Purnadewi menggeleng. Katanya, “Kakangmas terlampau dalam terbenam kedalam sebuah mimpi yang indah. Hanya indah bagi kakangmas sendiri. Tetapi bagi orang lain mimpi itu merupakan bencana yang tidak ada taranya.”
“Diajeng,” berkata Pangeran Kuda Permati, “pada saat seperti ini aku memerlukan dukungan jiwani, terutama dari kau. Tetapi agaknya kau justru memperlemah hasrat dan tekadku untuk berjuang terus justru pada saat aku mengalami kelelahan jiwa.”
“Kakangmas,” jawab Purnadewi, “Aku hanya ingin meyakinkan kakangmas, bahwa apa yang kakangmas lakukan sekarang ini adalah satu kesia-siaan. Yang terjadi hanyalah pembantaian disegala tempat. Tetapi cita-cita kita, cita-cita kakangmas merupakan cita-cita yang tidak akan mungkin terjangkau, betapa-pun besarnya korban yang akan jatuh. Pertempuran di sisi Barat daerah perbatasan membuktikan bahwa kakangmas tidak akan dapat menembus kekuatan pasukan yang setia kepada Sri Baginda.”
“Cukup,” Tiba-tiba saja Pangeran Kuda Permati berteriak, “Jika kau benar-benar telah kehilangan tekad perjuanganmu, terserah. Aku akan meneruskan perjuangan ini sampai batas yang tidak tertentu.”
Ketika Purnadewi akan menjawab, Pangeran Kuda Permati telah menutup pembicaraan. Katanya, “jangan berbicara lagi tentang perjuanganku. Kau akan membuat aku menjadi gila.”
Puteri Purnadewi termangu-mangu. Namun Pangeran Kuda Permati benar-benar tidak ingin berbicara lagi tentang perjuangannya. Dengan demikian, maka puteri Purnadewi-pun menjadi sangat berprihatin. Ia tidak lagi dapat berharap bahwa pertempuran yang menelan banyak sekali korban itu dihentikan.
“Hanya kakangmas Kuda Permati yang dapat melakukannya,” desis puteri Purnadewi itu bagi dirinya sendiri, “Atau, jika kakangmas Kuda Permati tidak lagi dapat mengendalikan pasukannya dengan perintah-perintahnya.”
Didalam biliknya puteri Purnadewi menelungkupkan wajahnya dalam dekapan kedua telapak tangannya, sementara Pangeran Kuda Permati masih berbicara dengan para perwiranya. Dalam tekanan jiwani yang semakin menghimpit, maka puteri Purnadewi berusaha untuk menemukan satu penyelesaian yang akan mengakhiri segala bencana yang terjadi di Kediri.
Bukan saja bahwa ia sudah terpengaruh oleh saudara sepupunya, Pangeran Singa Narpada, tetapi apa yang telah dilihatnya dan didengarnya tentang peperangan telah memaksanya mengambil satu sikap. Ternyata bahwa puteri Purnadewi tidak melihat satu cara apa-pun yang dapat menyelesaikan perang yang membakar Kediri itu selain sumber api itulah yang dipadamkannya.
“Betapa-pun pedihnya,” berkata puteri itu kepada diri sendiri.
Dengan demikian, maka puteri Purnadewi-pun telah bangkit dari pembaringannya. Ia menghentakkan tangannya untuk mendapatkan satu kekuatan yang dapat mendukungnya melaksanakan rencananya. Purnadewi itu-pun kemudian membenahi dirinya. Wajahnya yang basah telah dikeringkannya. Sikapnya dan kata-katanya telah disusunnya, sehingga tidak memberikan kesan betapa dadanya dihimpit oleh ketegangan yang memuncak.
Lewat tengah malam, Pangeran Kuda Permati telah selesai berbicara dengan para perwiranya. Bukan satu kebiasaan bagi Pangeran Kuda Permati, namun saat itu badannya terasa sangat letih. Karena itu, maka katanya kemudian kepada para perwira kepercayaannya,
“Aku akan beristirahat. Bicarakan diantara kalian, yang mana yang akan kita lakukan lebih dahulu.”
“Baik Pangeran,” jawab salah seorang diantara para perwira itu.
“Daerah di sisi Selatan itu harus kita hancurkan,” berkata Pangeran Kuda Permati, “Justru pada saat di beberapa tempat terdapat kekosongan. Kita tidak akan melibatkan diri dengan pasukan Kediri yang kuat, apalagi pasukan kakangmas Singa Narpada yang tentu akan datang ke arena. Kita akan segera menarik diri dan meninggalkan korban yang sebanyak-banyaknya diantara lawan dan sedikit-dikitnya diantara kita.”
“Baik Pangeran,” jawab perwiranya itu, “Bagian-bagian yang lebih terperinci akan kita bicarakan.”
Pangeran Kuda Permati-pun kemudian meninggalkan para perwiranya untuk beristirahat. Keputusan Pangeran Kuda Permati untuk menghancurkan sisi Selatan yang didengar pula oleh Purnadewi bukan saja dari pembicaraan yang kurang jelas diantara Pangeran Kuda Permati dengan para perwiranya, namun juga dari keterangan Pangeran Kuda Permati sendiri, telah menguatkan niat Purnadewi untuk bertindak. Karena menurut gambarannya, pertempuran itu benar-benar akan berubah menjadi arena pembantaian yang tidak terkendali. Sementara itu, puteri Purnadewi masih berusaha dengan perasaan putus asa untuk memperingatkan suaminya. Namun semuanya itu adalah sia-sia belaka.
“Jika itu sudah menjadi tekad kakangmas, apa boleh buat,” berkata Purnadewi.
“Sudahlah Diajeng,” sahut suaminya, “jangan kau pikirkan lagi peperangan yang sedang membakar Kediri sekarang pada saatnya, perang ini akan selesai, dan rencana kita akan terwujud.”
Puteri Purnadewi tidak menyahut. Sementara itu Pangeran Kuda Permati yang lelah telah membaringkan dirinya untuk beristirahat.
Diluar beberapa orang perwira masih berbicara diantara mereka. Suara mereka perlahan-lahan karena pembicaraan mereka merupakan pembicaraan rahasia. Keputusan mereka harus mereka sampaikan besok kepada Pangeran Kuda Permati. Baru jika Pangeran itu menyetujui, para perwira akan melakukan rencana yang mereka putuskan itu.
“Tidak ada yang boleh lepas dari tangan kita,” berkata salah seorang perwira itu, “Di sisi Barat kita sudah melepaskan banyak sekali korban. Karena itu, besok kita akan menuntut balas. Prajurit Kediri yang kita jumpai akan menjadi mayat meskipun mereka sudah menyerah.”
Setelah berbicara cukup lama, maka akhirnya para perwira itu-pun mengakhiri pembicaraan mereka. Sejenak kemudian, maka pendapa rumah yang dipergunakan oleh puteri Purnadewi itu-pun menjadi sepi. Para perwira itu kemudian telah memasuki bilik yang disediakan bagi mereka. Ada yang memang disediakan tempat di gandok rumah itu juga. Tetapi ada pula yang tinggal di rumah sebelah.
Dengan demikian, maka menjelang dini hari, rumah itu telah benar-benar menjadi sepi. Yang kemudian masih berjaga-jaga hanyalah para peronda yang bertugas mengamati rumah itu. Sekelompok pengawal yang kuat dan terpilih berada di sekitar rumah itu dalam lapis-lapis yang rapat. Sebagian diantara mereka berjaga-jaga diluar dinding halaman, sementara sekelompok yang lain berada didalam halaman. Bahkan dua orang diantara mereka berganti-ganti bertugas didalam seketheng sebelah menyebelah. Dengan demikian, maka rumah itu benar-benar telah terjaga sangat rapat. Tidak ada seekor lalat-pun yang dapat memasuki rumah itu tanpa setahu para petugas.
Dalam pada itu, menjelang dini hari, Pangeran Kuda Permati-pun telah tertidur lelap. Ia sama sekali tidak berprasangka apa-pun juga, karena ia tahu, betapa kuatnya penjagaan di sekitar rumah itu.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa petugas sandi dari Kediri telah berhasil mencium tempat yang menjadi landasan perjuangan Pangeran Kuda Permati untuk sementara itu. Justru pada saat Pangeran Kuda Permati menemui isterinya, maka ketajaman hidung para petugas sandi segera menciumnya.
Ternyata bahwa pengawal terdekat Pangeran Kuda Permati telah dengan tidak sengaja melakukan satu kesalahan. Ia telah minta diri kepada seseorang untuk meninggalkan padukuhan tempat ia tinggal. Namun orang itu telah menyampaikan rencana kepergiannya kepada seorang petugas sandi dari Kediri yang berada di padukuhan itu.
Dengan cepat petugas sandi itu menghubungkan tugas dan kedudukan orang itu dengan rencana kepergiannya, sehingga petugas sandi itu mengambil satu kesimpulan, pengawal itu harus mengawal Pangeran Kuda Permati meninggalkan padukuhan itu untuk pergi ke suatu tempat. Dengan cermat petugas sandi itu mengikuti perkembangan berikutnya. Namun seorang kawannya telah mempersiapkan beberapa orang yang akan mengikuti kepergian pengawal itu, dengan atau tidak dengan Pangeran Kuda Permati.
Ternyata bahwa dugaan petugas sandi itu benar. Pengawal itu meninggalkan padukuhannya bukan karena tugas lain, tetapi adalah tugas yang sangat besar dan rahasia, mengawal Pangeran Kuda Permati yang ingin beristirahat barang dua tiga hari sebelum penyerbuannya ke sisi Selatan. Sementara itu Pangeran Kuda Permati tetap memerintahkan untuk mengadakan gerakan di bagian Barat itu untuk memberikan kesan, bahwa pasukan Pangeran Kuda Permati masih tetap memusatkan gerakannya di sisi Barat dan tidak menimbulkan perhitungan lain, sehingga kekosongan dibeberapa bagian di sisi Selatan itu terisi.
Dengan demikian, maka kepergian Pangeran Kuda Permati dari padukuhan yang dipergunakannya sebagai tempat mengatur dan mengendalikan pasukannya itu berada di bawah pengamatan sekelompok petugas sandi dari Kediri, yang berbaur dengan penduduk di padukuhan itu. Para petugas sandi itu ternyata mempunyai tugas yang sangat berat. Mereka harus membuat perhitungan-perhitungan yang cermat.
Selama itu pasukan Kediri tidak dapat menyergap tempat persembunyian Pangeran Kuda Permati, karena tempat itu mendapat penjagaan yang berlapis-lapis, sehingga setiap usaha untuk menyerang tempat itu akan sia-sia. Jauh sebelum pasukan Kediri sampai ketujuan, maka Pangeran Kuda Permati tentu sudah tidak ada di tempatnya. Karena itu, maka para petugas sandi, meskipun disaat terakhir berhasil menyusup dan berada di padukuhan itu, tidak mengisyaratkan pasukan Kediri untuk menyerang.
Pasukan sandi itu berpengharapan, bahwa dengan kepergian Pangeran Kuda Permati, maka mereka akan dapat menemukan kelemahan-kelemahan pengawalannya. Adalah tidak mungkin untuk menyergap Pangeran Kuda Permati di perjalanan. Tidak ada kesempatan untuk melakukannya, karena hubungan yang memerlukan waktu dengan pasukan Kediri di sisi Barat serta pasukan Pangeran Singa Narpada.
Karena itu, dengan sangat berhati-hati sekelompok dalam pakaian yang diusahakan mirip dengan para pengawal iringan Pangeran Kuda Permati itu, yang pada dasarnya semula adalah memang pakaian prajurit Kediri, tetapi yang dalam keadaan berikutnya justru telah berubah dan tidak teratur lagi, telah mengikuti perjalanan pasukan Pangeran Kuda Permati. Dua orang ahli mengikuti jejak telah ikut bersama mereka. Meskipun malam gelap, tetapi mengikuti jejak itu dapat mengenali jejak iring-iringan berkuda yang masih belum terlalu lama.
Memang iring-iringan itu akan mungkin sekali terjebak kedalam satu bahaya. Tetapi ketika mereka dihentikan oleh sekelompok peronda di sebuah padukuhan yang menurut perhitungan para petugas sandi yang ada didalam iring-iringan itu termasuk daerah pengaruh yang kuat dari Pangeran Kuda Permati, maka salah seorang diantara mereka menjawab, “Kami mengikuti dan mengadakan pengamatan demi keselamatan Pangeran Kuda Permati.”
“Apa yang kalian lakukan?” bertanya peronda itu.
“Kami adalah pengawal-pengawal yang memang mendapat tugas untuk mengikuti perjalanan Pangeran dalam jarak tertentu, agar dengan demikian kami dapat mengamati kemungkinan jika ada bahaya di belakang perjalanan Pangeran.”
Kata-kata itu diucapkan dengan tanpa ragu-ragu. Demikian pula sikap sekelompok orang berkuda itu dalam pakaian yang mereka kenali sebagaimana pakaian para pengawal Pangeran Kuda Permati. Namun dalam gerak mereka selanjutnya, maka mereka harus menjadi sangat berhati-hati. Mereka harus mengenali setiap regol padukuhan sebelum mereka memasukinya. Dengan demikian, maka perjalanan mereka menjadi sangat lamban.
“Perjalanan yang sulit,” berkata ahli pengamat jejak. Lalu, “Kita tidak boleh bergerak dalam iring-iringan begini. Beri aku kesempatan untuk mengikuti perjalanan ini. Aku akan melaporkan hasilnya.”
“Apakah keselamatan dapat dijamin?” bertanya pemimpin dari sekelompok prajurit Kediri itu.
“Aku minta menempuh pengamatan ini bersama petugas sandi saja. Kalian kami harap berada di tempat yang tersembunyi. Aku akan datang lagi untuk memberikan laporan.”
Pemimpin kelompok itu menjadi ragu-ragu. Tetapi ia dapat mengerti pendapat pengamat jejak itu. Dengan kelompok yang kecil, maka tugas mereka akan menjadi lebih cepat diselesaikan. Tetapi sudah tentu dengan kemungkinan yang sangat berbahaya bagi yang melaksanakan.
Tetapi pengamat jejak itu berkata pula, “Kami bertanggung jawab atas keselamatan kami sendiri.”
Dengan demikian, maka pemimpin kelompok kecil itu tidak berkeberatan. Dua orang pengamat jejak dan seorang petugas sandi akan melanjutkan pelacakan mereka atas iring-iringan Pangeran Kuda Permati.
“Kami harus dapat menyelesaikan malam ini,” berkata pengamat jejak itu, “Jika tidak, maka akan sulit bagiku untuk mengikuti jejaknya besok malam. Mungkin sudah terhapus oleh langkah-langkah kaki orang di siang hari. Mungkin oleh jejak-jejak lain pula.”
“Sebenarnya tidak begitu,” berkata pemimpin pasukan Kediri itu, “Jalan ini tentu menjadi sangat sepi. Tidak akan ada orang yang lewat di jalan-jalan ini.”
“Tentu ada,” jawab pengamat jejak itu, “Apalagi di padukuhan-padukuhan. Meskipun suasananya tetap gawat, tetapi tentu ada orang yang melintasi jalan dari rumah ke rumah tetangganya untuk keperluan-keperluan yang tidak dapat ditunda.”
“Terserahlah,” berkata pemimpin itu kemudian, “Kami akan berada di hutan itu. Kami menunggu laporanmu.”
“Kami akan berada di hutan itu selambat-lambatnya saat matahari terbit. Jika sampai sepenggalah kami tidak datang, maka berarti kami menemui kegagalan. Lebih baik kalian meninggalkan tempat itu. Siapa tahu, bahwa mulut kami tidak akan dapat menahan rahasia kehadiran kalian jika kami tertangkap dan diperas untuk berbicara,” jawab pengamat jejak itu.
Dengan demikian, maka pengamat jejak itu-pun kemudian telah melanjutkan tugasnya, bertiga dengan seorang petugas sandi yang menguasai daerah yang sedang mereka jelajahi.
Sementara itu, sekelompok prajurit Kediri itu-pun kemudian telah pergi ke sebuah hutan yang tidak terlalu lebat. Mereka akan berada di hutan itu menunggu petugas-petugas yang sedang melanjutkan usaha pelacakan. Mereka sadar, bahwa mereka mungkin akan berada di hutan itu untuk sisa malam itu dan sehari kemudian. Tetapi sebagai prajurit mereka telah mengalami latihan khusus menempuh perjalanan, di hutan untuk beberapa hari tanpa bekal sebutir nasi-pun. Mereka dapat juga hidup dari tetumbuhan dan binatang yang ada di dalam hutan itu.
Ada-pun dua orang pengamat jejak dan seorang petugas sandi telah melakukan tugas mereka sebaik-baiknya. Ternyata perjalanan mereka justru menjadi lebih cepat. Mereka tidak terlalu terikat kepada sebuah kelompok yang besar, sehingga mereka lebih mudah untuk menyusup diantara semak-semak, memasuki padukuhan dengan memanjat dinding kemudian menelusuri kelanjutan jejaknya di jalan di seberang padukuhan.
Cara yang ditempuh oleh kedua pengamat jejak dan seorang petugas sandi itu ternyata membawa hasil. Kedua pengamat dan petugas sandi itu akhirnya sampai ke sebuah padukuhan yang dijaga dengan sangat ketat, sehingga sulit bagi mereka bertiga untuk dapat mendekat.
Tetapi mereka bertiga adalah petugas-petugas yang terlatih baik, sehingga dengan sangat hati-hati mereka berhasil mendekati dinding padukuhan. Mereka menyadari bahwa mereka sedang melakukan satu tugas yang sangat berbahaya dengan memasuki padukuhan itu.
Seorang demi seorang mereka memanjat dinding dan masuk kedalamnya. Barulah mereka menyadari, bahwa mereka berada di sebuah padukuhan yang dijaga dengan sangat ketat, sehingga mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa di padukuhan itu.
Karena itu, maka ketiga orang itu-pun justru telah meloncat kembali keluar padukuhan. Kedua pengamat jejak itu kemudian bersama petugas sandi itu telah mengamati jalur jalan yang keluar dari padukuhan itu. Tidak ada jejak yang keluar dari padukuhan itu, sehingga ketiga orang itu mengambil kesimpulan bahwa iring-iringan Pangeran Kuda Permati yang memasuki padukuhan itu tidak lagi keluar. Dengan demikian, maka para pengamat dan petugas sandi itu berkesimpulan bahwa Pangeran Kuda Permati berada di padukuhan itu.
Kesimpulan itulah yang kemudian dilaporkan kepada pemimpin kelompok yang membawa beberapa orang prajurit Kediri dan untuk beberapa saat lamanya bersembunyi di hutan. Mereka tidak dapat keluar dari hutan itu di siang hari, karena kekuatan mereka yang kurang memadai. Jika mereka bertemu dengan para pengikut Pangeran Kuda Permati, maka mereka akan menemui kesulitan. Tetapi meskipun demikian, mereka telah mengirimkan dua orang petugas untuk melaporkan hasil penyelidikan para pengamat dan petugas sandinya.
Akhirnya jatuh keputusan, bahwa padukuhan itu akan disergap menjelang dini hari di malam berikutnya, di malam Pangeran Kuda Permati terbaring tidur di samping isterinya setelah mereka berbincang dengan para perwiranya, sementara para perwira itu-pun telah kembali kedalam bilik masing-masing. Pangeran Kuda Permati sendiri menganggap bahwa penjagaan di padukuhan itu cukup kuat, sementara padukuhan itu cukup jauh dari kesatuan-kesatuan Kediri.
Penjagaan di padukuhan itu memang tidak sekuat penjagaan pada padukuhan yang dipergunakan oleh Pangeran Kuda Permati sebagai pusat kendali bagi pasukannya. Meskipun demikian, maka di padukuhan itu terdapat sepasukan pengawal terpilih yang akan melindungi Pangeran Kuda Permati dan isterinya Purnadewi.
Sementara itu Pangeran Singa Narpada telah mempersiapkan sebuah pasukan yang kuat, yang berdasarkan laporan para pengamat jejak dan petugas sandi tidak akan mengalami kegagalan jika mereka menyergap padukuhan tempat Pangeran Kuda Permati beristirahat.
Dengan cermat Pangeran Singa Narpada membagi pasukannya. Agar perjalanan mereka tidak segera diketahui, apalagi sempat dilaporkan kepada Pangeran Kuda Permati, maka perjalanan pasukannya harus sangat berhati-hati dan menempuh garis perjalanan yang diperhitungkan dengan cermat.
Ketika hari menjadi gelap, maka pasukan itu-pun telah bersiap. Petugas sandi yang telah berhasil menemukan padukuhan tempat tinggal Pangeran Kuda Permati itu masih sempat memberikan laporan yang lebih terperinci, sehingga pada saat terakhir, Pangeran Singa Narpada masih dapat memberikan petunjuk-petunjuk yang lebih cermat kepada para perwiranya.
Sejenak kemudian, maka pasukan Pangeran Singa Narpada-pun telah berangkat. Tetapi pasukan itu telah dibagi dalam kelompok-kelompok yang kecil, yang akan mendekati sasaran dari beberapa arah. Dengan isyarat tertentu, maka pasukan itu pada saatnya akan menerobos memasuki padukuhan itu, dekat menjelang pagi hari.
Dengan perhitungan yang cermat serta kesungguhan para perwiranya melakukan segala perintah Pangeran Singa Narpada, maka pasukan yang kuat itu pada waktu yang ditentukan telah berada di sekitar sasaran. Mereka tinggal menunggu langit menjadi merah dan isyarat untuk menyerang sebagaimana ditentukan oleh Pangeran Singa Narpada.
Namun pada saat-saat yang demikian itu ketegangan bagaikan mencekam setiap jantung. Rasa-rasanya waktu berjalan terlalu lambat. Rasa-rasanya para prajurit Kediri itu tidak sabar lagi menunggu langit dibayangi oleh cahaya pagi. Tetapi betapa-pun lambatnya, akhirnya waktu yang ditentukan itu tiba juga. Bayangan warna merah di langit menjadi semakin jelas, sementara koko ayam jantan berangsur menurun.
Waktu itulah yang ditunggu-tunggu oleh seluruh prajurit Kediri yang kuat. Karena saat yang demikian itu sudah ditentukan, merupakan saat yang paling tepat untuk menyerang dengan tiba-tiba. Yang mereka tunggu kemudian adalah perintah untuk menyerang. Demikian mereka mendengar desing panah sendaren, maka mereka dengan serentak memasuki padukuhan itu. Tentu bukan satu tugas yang ringan. Mereka tidak dapat memasuki padukuan itu sebagaimana mereka memasuki halaman rumah mereka sendiri.
Di belakang regol dan dibalik dinding halaman itu, berjejal pasukan lawan menunggu kedatangan mereka dengan ujung tombak. Seandainya mereka belum menyadari kehadiran pasukan Pangeran Singa Narpada, maka dengan satu teriakan perintah, maka mereka-pun akan bersiap menyambut kedatangan pasukan Kediri itu.
“Satu diantara dua,” gumam seorang diantara para prajurit itu, karena ia menyadari, betapa sulitnya untuk menyelamatkan jiwanya dalam pertempuran yang dahsyat sebagaimana pernah dialaminya.
Akhirnya saat yang mereka tunggu dengan hati yang tegang itu-pun datang. Pada saat langit menjadi semakin cerah, terdengar lengking panah sendaren yang terlontar ke udara seakan-akan menusuk langit.
Tiga anak panah sendaren terbang diatas padukuhan yang masih sepi itu. Para pengawal di padukuhan itu sebagian besar masih berada didalam barak masing-masing. Beberapa orang memang sudah terbangun sementara para petugas berjaga-jaga dengan patuh.
Namun sesaat sebelumnya kesibukan yang luar biasa telah terjadi di rumah yang dipergunakan oleh Pangeran Kuda Permati. Beberapa orang berlari-lari menghubungi orang lain, sehingga kesibukan itu telah menarik perhatian para pengawal di seluruh padukuhan itu.
Pada saat semua perhatian tertuju ke rumah itu, maka panah sendaren itu telah mengejutkan seisi padukuhan. Dengan serta merta, maka para pengawal di padukuhan itu-pun telah berlari-lari untuk menyambar senjata mereka. Dengan cepat mereka bersiap menghadapi segala kemungkinan, karena mereka menyadari, bahwa isyarat itu tentu isyarat pasukan Kediri. Apa-pun yang mereka maksudkan, maka seisi padukuhan itu harus bersiap-siap.
Dalam pada itu, di serambi rumah yang dipergunakan Pangeran Kuda Permati dan puteri Purnadewi, dua orang perwira sedang berbantah untuk mempertahankan sikap masing-masing. Seorang diantaranya berniat untuk melawan pasukan Kediri sampai orang yang terakhir, namun yang lain berpendirian, tidak ada gunanya lagi untuk bertempur.
“Tetapi kita tidak ingin mati seperti seekor cengkerik dimuka lubangnya tanpa berbuat apa-apa,” jawab yang lain.
Tetapi nampaknya perwira yang seorang lagi tidak sependapat. Dengan lantang ia berkata, “Kita akan saling membantai. Jumlah lawan banyak sekali. Bukankah dengan demikian, maka yang akan terjadi adalah kematian yang tidak berarti. Jika kita tidak bertempur, maka sikap orang-orang Kediri-pun akan berbeda.”
“Tidak,” perwira yang lain berteriak. Bahkan kemudian ia-pun telah berkata kepada para perwira yang lain yang ada di serambi itu, “Siapa yang merasa dirinya kelinci kecil, menyerahlah. Tetapi siapa yang merasa dirinya serigala, matilah dengan jantan,” perwira itu berhenti sejenak, lalu, “Marilah, siapa ikut bersama aku.”
Perwira itu segera menarik pedangnya dan berlari-lari kecil turun ke halaman. Sementara itu pasukan Kediri telah mulai bergerak mendekat, sedangkan para pengikut Pangeran Kuda Permati telah menutup semua pintu gerbang di dinding padukuhan yang tidak begitu besar itu. Ternyata bahwa para pengikut Pangeran Kuda Permati condong untuk memberikan perlawanan. Mereka memang tidak ingin menyerah dan menjadi tawanan.
Karena itu, maka sebagian diantara mereka telah bersiap di belakang pintu gerbang yang tertutup. Sebagian yang lain memanjat pepohonan dan tangan yang tersandar didinding dengan anak panah yang siap pada busurnya. Sedangkan yang lain menebar disegala sudut untuk menghadapi segala kemungkinan. Perwira yang berpendirian lain, masih berdiri diserambi. Rasa-rasanya jantungnya berdentang semakin keras. Ada kebimbangan yang bergejolak didalam dirinya.
Ternyata ada tiga orang yang kemudian mendekatinya. Seorang diantaranya berkata, “perlawanan kali ini memang tidak ada artinya lagi. Selama ini perasaan kita telah tertutup oleh suasana yang keras dan bayangan kematian demi kematian. Justru pada saat terakhir hati kita mulai terbuka.”
“Tetapi sudah terlambat,” sahut yang lain, “Sebentar lagi kita memang akan dibantai di halaman rumah ini.”
“Aku memang akan mati. Tetapi aku tidak ingin menambah kotor tanganku dengan darah sesama. Aku sudah terlalu banyak membunuh,” berkata perwira itu.
Sementara itu, seorang yang lain berkata, “Aku sendiri tidak mengerti, apa yang terjadi didalam diri ini. Tiba-tiba saja aku merasa bahwa aku-pun sudah terlalu banyak membunuh.”
“Aku sudah siap untuk mati,” berkata yang lain pula, “Kematian yang mungkin tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Tetapi aku akan menerimanya dengan dada tengadah.”
Empat orang perwira itu-pun kemudian berdiri sejenak memandang halaman rumah yang dilapisi oleh para pengikut Pangeran Kuda Permati dalam beberapa baris pertahanan. Mereka sudah membayangkan bahwa di halaman itu akan terjadi pertumpahan darah yang sangat mengerikan. Baru setelah pertahanan itu patah, maka prajurit-prajurit Kediri akan datang kepada mereka berempat dan membunuh mereka sekaligus.
Namun keempat orang itu tidak berada di serambi, mereka-pun kemudian memasuki rumah itu dan pintu-pun kemudian ditutup meskipun tidak terlalu rapat, untuk memberikan kesan bahwa pintu itu tidak diselarak. Pada saat yang demikian, maka pasukan Kediri telah menjadi semakin dekat. Mereka melihat pintu-pintu regol yang kemudian tertutup. Kemudian mereka-pun melihat ujung-ujung tombak yang mulai menciut diatas dinding diseputar padukuhan itu.
Karena itu, maka para prajurit Kediri itu-pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Mereka menyadari bahwa pertempuran yang keras dan kasar akan segera terjadi, sebagian pernah mereka alami di sisi Utara dan Barat dari Kota Raja.
Pangeran Singa Narpada sendirilah yang memimpin pengepungan dengan harapan, bahwa pasukannya saat itu akan dapat menangkap Pangeran Kuda Permati hidup atau mati. Para prajurit Kediri dibawah pimpinan Pangeran Singa Narpada itu-pun ternyata memiliki sikap dan watak sebagaimana Pangeran Singa Narpada sendiri. Ujung-ujung tombak yang memagari dinding padukuhan itu telah membuat darah mereka justru semakin mendidih.
Demikianlah, maka ketika para prajurit Kediri itu sudah siap di depan dinding, maka sekali lagi terdengar desing panah sendaren. Pangeran Singa Narpada telah memerintahkan melepaskan anak panah sendaren untuk yang kedua kalinya. Isyarat setiap prajurit bersiap untuk menyerang.
Ketegangan menjadi semakin memuncak. Para pengikut Pangeran Kuda Permati-pun mengerti, bahwa isyarat kedua bagi para prajurit Kediri adalah perintah untuk bersiap menyerang, sedangkan isyarat berikutnya, maka gelombang pasukan Kediri itu akan mulai melanda dinding padukuhan itu.
Para pengikut Pangeran Kuda Permati-pun melihat pasukan Kediri dengan hati yang berdebar-debar. Dari atas dinding mereka melihat pasukan yang mengepung padukuhan itu tidak terhitung jumlahnya. Sementara itu sebagian dari mereka tengah mengawasi kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi, seandainya ada juga pasukan Pangeran Kuda Permati yang ada di padukuhan sebelah menyebelah.
Sejenak kemudian, maka saat yang paling menegangkan itu telah dipecahkan oleh isyarat ketiga. Sekali lagi, panah sendaren telah berdesing di udara. Suaranya bagaikan siulan maut yang mengumandang dari sudut sampai ke sudut padukuhan itu. Sebenarnyalah, bahwa isyarat ketiga itu adalah perintah untuk langsung menyerang pasukan Pangeran Kuda Permati yang ada di padukuhan itu.
Sementara itu, memang ada sebagian yang tidak terlalu besar, pengawal Pengeran Kuda Permati yang ada di padukuhan sebelah menyebelah. Mereka ternyata terkejut melihat serangkaian yang tiba-tiba saja telah melanda padukuhan yang justru dipergunakan untuk beristirahat Pangeran Kuda Permati dan isterinya, Purnadewi.
Karena itu, pengawal yang tidak terlalu banyak yang berada di padukuhan sebelah menyebelah, yang tugas pokok mereka adalah sebagai pengamat, telah bersiap untuk segera melibatkan diri kedalam pertempuran yang sebentar lagi akan terjadi.
“Kita tentu akan mendapat hukuman dari Pangeran Kuda Permati,” berkata salah seorang perwira yang memimpin pasukan itu.
“Kita memang lengah. Kita menganggap daerah ini terlalu aman, sehingga kita mengendor. Pada saat yang demikian mereka telah datang dan langsung mengepung padukuhan itu. Agaknya ada seorang pengkhianat yang telah memberitahukan tempat tinggal Pangeran Kuda Permati,” berkata perwira yang lain, “Tanpa seorang pengkhianat, maka mereka tidak akan dapat menemukan padukuhan tempat tinggal Pangeran Kuda Permati.”
Para perwira itu tidak sempat untuk mengurai persoalan yang mereka hadapi lebih lama lagi. Pasukan Kediri yang dipimpin langsung oleh Pangeran Singa Narpada benar-benar telah menggempur pintu gerbang padukuhan yang telah menjadi tempat beristirahat Pangeran Kuda Permati dan Purnadewi.
Karena itu, maka para pengikut Pangeran Kuda Permati di padukuhan-padukuhan yang lain tidak menunggu lebih lama lagi. Tidak ada perintah yang memanggil mereka. Namun ketika sekelompok para pengikut Pangeran Kuda Permati keluar dari sebuah padukuhan, maka kelompok yang lain telah muncul dari padukuhan yang lain pula.
Namun Pangeran Singa Narpada sudah memperhitungkannya. Karena itu, maka pasukan yang tersedia untuk itu-pun segera memisahkan diri. Mereka tidak ikut menyerang para pengikut Pangeran Kuda Permati di padukuhan di depan mereka, tetapi mereka akan menghadapi langsung pasukan lawan yang datang dari arah yang lain.
Dengan demikian, maka pertempuran diluar padukuhan itu ternyata telah terjadi lebih dahulu dari pertempuran didalam padukuhan itu sendiri. Namun dalam waktu yang pendek, maka pasukan Pangeran Singa Narpada telah mulai menggempur pintu-pintu gerbang di ampat jurusan.
Sementara itu, dari atas dinding di sebelah menyebelah pintu gerbang itu, para pengikut Pangeran Kuda Permati telah menyerang mereka dengan melontarkan anak-anak panah yang meluncur bagaikan hujan.
Tetapi hal seperti itu sudah diperhitungkan oleh para perwira pasukan Pangeran Singa Narpada. Karena itu, maka ketika anak panah itu menghujani mereka, mereka-pun telah melindungi diri mereka dengan perisai-perisai yang sudah mereka persiapkan lebih dahulu.
Dengan demikian, maka tidak ada lagi yang dapat menahan arus pasukan Pangeran Singa Narpada. Pintu gerbang padukuhan yang tidak terlalu kuat itu-pun dengan cepat dapat dipecahkan, sehingga pasukan Pangeran Singa Narpada-pun telah menghambur memasuki padukuhan itu.
Meskipun didalam pintu gerbang itu telah menunggu pasukan Pangeran Kuda Permati, namun agaknya arus yang kuat, bagaikan banjir bandang yang telah berhasil memecahkan bendungan itu tidak dapat ditahan sama sekali. Arus itu mendesak meluap memasuki jalan-jalan dan halaman-halaman didalam padukuhan.
Dengan demikian, maka pertempuran-pun segera telah menebar di seluruh padukuhan. Sementara itu, sebagian dari pasukan Kediri yang tidak sabar menunggu kesempatan memasuki padukuhan lewat pintu gerbang, telah memanjat dinding dan berloncatan masuk. Karena itulah, maka pertempuran telah terjadi disegala sudut. Bagaikan luapan air yang mengalir kesegala penjuru.
Namun pasukan Kediri memang lebih banyak. Ketika semua kekuatan yang ada di padukuhan itu telah dikerahkan, maka masih ada sebagian dari pasukan Kediri yang belum sempat memasuki pintu gerbang. Karena itu, maka pertempuran yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang berat sebelah. Pasukan Kediri benar-benar bagaikan banjir bandang yang tidak tertahankan.
Meskipun demikian, namun para pengikut Pangeran Kuda Permati telah bertempur dengan gagah berani. Justru karena mereka merasa bahwa mereka tidak akan mampu mengimbangi kekuatan lawan, maka dengan putus asa mereka telah bertempur tanpa pengendalian diri sama sekali. Sebenarnyalah seperti yang sudah diduga. Kematian dan kematian yang tidak terelakkan sudah terjadi di padukuhan itu. Bukan saja para pengikut Pangeran Kuda Permati, tetapi juga para prajurit Kediri.
Sementara itu, Pangeran Singa Narpada sendiri telah mengamuk bagaikan seekor singa yang terluka. Menurut pengertiannya, kepergian Purnadewi menemui suaminya, tidak akan ada gunanya sama sekali. Bahkan Pangeran Kuda Permati justru telah menjadi semakin ganas dengan serangan-serangannya di sisi Barat perbatasan Kota Raja Kediri. Karena itu, maka agaknya tidak ada lagi jalan lain daripada menghancurkan sama sekali kekuatan Pangeran Kuda Permati.
Meskipun Pangeran Singa Narpada menyadari, bahwa yang ada di padukuhan itu sebenarnya bukan pasukan induk Pangeran Kuda Permati, tetapi sepasukan pengawal yang kuat yang melindungi Pangeran Kuda Permati dan isterinya, puteri Purnadewi.
“Jika aku dapat menangkap hidup atau mati Pangeran Kuda Permati, maka semuanya tentu akan berubah. Tanpa Pangeran Kuda Permati, maka tidak akan ada lagi sandaran perjuangan para pengikutnya, sehingga kekuatan mereka akan dengan mudah dipatahkan,” berkata Pangeran Singa Narpada didalam hatinya.
Dengan demikian, maka Pangeran Singa Narpada-pun tidak lagi mengekang pasukannya. Ia sudah berusaha dengan segala cara untuk menyelesaikan perang itu dengan korban yang sekecil-kecilnya. Tetapi usahanya itu agaknya sia-sia saja.
Ternyata bahwa Pangeran Singa Narpada adalah seorang Senapati yang memiliki kemampuan yang jarang ada duanya. Tanpa dapat ditahan lagi, maka Pangeran Singa Narpada telah bergerak menuju ke rumah yang telah diisyaratkan oleh pasukan sandinya. Meskipun tidak pasti, tetapi menurut perhitungan, rumah yang paling kuat mendapatkan penjagaan tentu rumah yang dipergunakan oleh Pangeran Kuda Permati.
Para pengawalnyalah yang dengan susah payah harus menyesuaikan diri. Mereka-pun harus berusaha dengan segenap kemampuan untuk ikut menusuk memasuki daerah pertahanan yang berlapis-lapis dari pasukan Pangeran Kuda Permati. Namun pasukan yang berlapis itu tidak mampu membendung arus prahara yang melanda mereka. Kekuatan Pangeran Singa Narpada dan kekuatannya benar-benar tidak tertahankan.
Betapa-pun para pengikut Pangeran Kuda Permati berusaha namun akhirnya mereka-pun telah dibabat bagaikan batang ilalang, sehingga akhirnya Pangerah Singa Narpada-pun berhasil mencapai tangga rumah yang diperkirakan menjadi tempat tinggal Pangeran Kuda Permati.
Dengan senjata teracu, maka Pangeran Singa Narpada itu-pun kemudian telah berusaha untuk memasuki pringgitan rumah itu. Perlahan-lahan dengan tangan kirinya Pangeran Singa Narpada mendorong pintu yang tidak diselarak itu. Namun ketika pintu terbuka, ia tidak melihat seorang-pun didalam ruangan itu.
Beberapa orang pengawalnya telah menyusulnya. Seorang perwira yang mengenal benar-benar watak Pangeran Singa Narpada memperingatkan, “berhati-hatilah Pangeran. Pangeran tentu tahu, bahwa Pangeran Kuda Permati seorang yang memiliki kemampuan yang sulit dicari bandingnya.”
“Kau anggap aku tidak dapat mengimbangi kemampuannya?” geram Pengeran Singa Narpada.
“Tidak, Pangeran. Tetapi Pangeran Kuda Permati mempunyai kelebihan dari Pangeran Singa Narpada,” jawab perwira itu.
“Persetan. Apalagi kelebihannya?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Kelicikannya,” jawab Perwira itu.
“Gila,” sahut Pangeran Singa Narpada, “Aku bukan anak-anak yang dapat dikelabuinya.”
Perwira itu tidak menjawab lagi. Tetapi diikutinya Pangeran Singa Narpada yang memasuki ruang tengah yang kosong. Namun tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. Ia melihat bayang-bayang didalam sebuah bilik salah satu dari tiga bilik di ruang dalam. Justru bilik yang paling tengah.
“Aku melihat ada seseorang disenthong tengah,” berkata Pangeran Singa Narpada.
Para Pengawalnya-pun menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya serentak mereka mengacukan senjata mereka ketika mereka melihat seseorang membuka tirai pintu bilik itu dan melangkah keluar. Seseorang yang tidak bersenjata sama sekali.
“Marilah Pangeran. Silahlan masuk ke senthong tengah,” orang itu mempersilahkan.
Pangeran Singa Narpada ragu-ragu, sementara perwira pengawalnya berdiri lekat di sisinya sambil berbisik, “jangan.”
Tetapi orang itu menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Pangeran akan melihat akhir dari semua pembantaian yang telah terjadi.”
“Apa yang terjadi?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
Orang itu membuka tirai itu selebar-lebarnya. Ada tiga orang lainnya didalam bilik itu. Mereka semuanya telah melangkah keluar tanpa memegang senjata apa-pun juga.
Beberapa orang pengawal telah berdiri di belakang keempat orang itu dengan senjata teracu, sementara Pangeran Singa Narpada dengan beberapa pengawalnya yang lain telah mendekati pintu.
“Lihat, apa yang ada didalam,” perintah Pangeran Singa Narpada.
Seorang diantara pengawalnya-pun telah melangkah dengan hati-hati. Dengan senjata teracu pengawal itu melangkah memasuki senthong tengah itu dengan sangat berhati-hati. Namun ketika tubuhnya hilang ditelan pintu, maka ia-pun telah berdiri tegak dengan tegang. Bahkan kemudian ia-pun melangkah keluar dengan wajah gelisah.
Pangeran Singa Narpada heran melihat sikap pengawalnya itu. Tanpa mengatakan sesuatu ia-pun telah melangkah ke pintu. Beberapa saat itu termangu-mangu. Namun ia-pun telah melangkah masuk. Ketika dilihatnya pembaringan yang ada didalam bilik itu, maka Pangeran Singa Narpada-pun terkejut bukan buatan. Ia melihat dua sosok mayat yang terbaring berjajar dengan darah yang sudah membeku.
“Adimas Kuda Permati,” desis Pangeran Singa Narpada, “Diajeng Purnadewi.”
Sesaat Pangeran Singa Narpada berdiri tegak mematung. Namun dalam pada itu, seorang perwira pengikut Pangeran Kuda Permati mendekatinya sambil berkata, “Sebagaimana Pangeran lihat, keduanya telah meninggal.”
Suasana menjadi hening. Para pengawal Pangeran Singa Narpada sama sekali tidak mencegah ketika salah seorang pengawal Pangeran Kuda Permati itu masuk kedalam bilik itu dan berbicara kepada Pangeran Singa Narpada.
Dengan wajah yang tegang Pangeran Singa Narpada bertanya, “Apa yang telah terjadi. Siapkah yang telah membunuh mereka berdua?”
Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Pangeran. Kami mohon maaf, bahwa hal ini terjadi tanpa dapat dicegah oleh seorang-pun. Ternyata bahwa puteri Purnadewi telah mengambil satu langkah yang sama sekali tidak terduga. Puteri Purnadewi telah membunuh Pangeran Kuda Permati, namun kemudian puteri Purnadewi telah membunuh dirinya sendiri. Namun sebelumnya puteri Purnadewi sempat memanggil aku yang bertugas di serambi rumah ini dan menyaksikan saat terakhir puteri Purnadewi.”
Wajah Pangeran Singa Narpada menjadi semakin tegang. Dengan nada sendat ia bertanya, “Kenapa Purnadewi berbuat demikian?”
“Puteri telah berpesan kepadaku pada saat terakhir agar aku menyampaikan pesan ini kepada seseorang yang akan dapat menyampaikan kepada Pangeran Singa Narpada. Ternyata bahwa aku telah bertemu sendiri dengan Pangeran, sehingga aku akan dapat menyampaikan pesan ini langsung.”
“Bagaimana bunyi pesan itu?” bertanya Pangeran Singa Narpada.
“Puteri berusaha untuk menjelaskan semua masalah kepada Pangeran Kuda Permati. Tetapi usaha itu sia-sia. Karena puteri sendiri kemudian yakin akan kebenaran sikap Pangeran Singa Narpada, maka ia telah mengambil satu keputusan. Bukan karena tekanan paksaan Pangeran Singa Narpada, tetapi karena keyakinan puteri sendiri. Karena itulah, maka akhirnya puteri telah mengambil langkah demikian.”
Pangeran Singa Narpada tercenung sejenak. Pesan itu benar-benar telah mengguncang perasaannya. Karena itu, maka untuk beberapa saat ia tidak dapat mengucapkan kata-kata.
Sementara itu, perwira itu-pun berkata, “Pangeran, sebenarnyalah puteri Purnadewi sangat mencintai Pangeran Kuda Permati. Puteri telah menghunjamkan keris pusaka Pangeran Kuda Permati sambil menangisinya. Namun kemudian puteri telah melakukannya pula atas dirinya sendiri. Agaknya puteri benar-benar telah menemukan satu keyakinan, bahwa perjuangan Pangeran Kuda Permati sekedar menimbulkan malapetaka dan tidak akan menghasilkan apa-apa. Tetapi karena usahanya untuk meyakinkan Pangeran Kuda Permati tidak berhasil, maka puteri telah mengambil jalan sendiri. Ia telah mengorbankan suaminya dan dirinya sendiri bagi satu keyakinan yang kemudian dipegangnya sebagai satu kebenaran...”