Hijaunya-lembah-hijaunya-lereng-pegunungan Jilid 22

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 22 karya Singgih Hadi Mintarjda
Sonny Ogawa
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 22
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

PANGERAN Singa Narpada mengangguk-angguk. Beberapa langkah ia bergeser. Ia melihat luka di dada Pangeran Kuda Permati dan juga di dada puteri Purnadewi. “Kenapa kau tidak mencegah puteri membunuh diri?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Aku tidak sempat melakukannya. Demikian puteri mengakhiri pesannya, maka ia-pun dengan serta merta telah menusuk ke arah jantungnya sendiri. Aku memang berusaha. Tetapi ketika aku melompat untuk menggapai keris itu, ternyata aku telah terlambat. Keris itu telah menyentuh jantung puteri Purnadewi. Aku hanya sempat menangkap ketika puteri akan jatuh dan kemudian membaringkannya di pembaringan disisi Pangeran Kuda Permati. Agaknya puteri telah menusuk Pangeran Kuda Permati disaat sedang tidur lelap, sehingga ia hanya bergeser sedikit saja dari letak tidurnya semula,” berkata perwira itu.

“Luar biasa,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Keyakinan itu benar-benar telah mencengkam jantung Diajeng Purnadewi, sehingga ia dapat melakukan semua itu. Kayakinannya telah memberikan kepadanya kekuatan yang luar biasa, sehingga ia dapat menentukan satu sikap yang sulit dapat dimengerti.”

“Ya Pangeran. Tetapi semua itu telah terjadi,” jawab perwira itu, “Namun demikian, ternyata bahwa di padukuhan ini masih terjadi pembantaian yang sama sekali tidak terkendali. Meskipun puteri Purnadewi telah mengorbankan dirinya namun hasilnya agaknya sia-sia.”

“Tidak,” jawab Pangeran Singa Narpada, “hasilnya tentu bukan kesia-siaan. Mungkin saat ini belum. Tetapi pembantaian kali ini adalah pembantaian yang mudah-mudahan yang terakhir kalinya.”

Pengawal Pangeran Kuda Permati itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Pangeran Singa Narpada adalah seorang Senapati dengan dalam keadaan yang panas, jantungnya masih tetap dingin. Ia masih mampu berpikir dengan baik dan menilai keadaan dengan pertimbangan yang tenang.

Dalam pada itu pengawal Pangeran Kuda Permati itu berkata, “Aku sudah berusaha untuk mencegah pertempuran yang terjadi sepeninggal Pangeran Kuda Permati dan puteri Purnadewi. Namun beberapa orang perwira yang tidak mau mempergunakan nalarnya tidak menghiraukan keadaan yang kami hadapi. Selain Pangeran Kuda Permati sudah meninggal, maka keadaan pasukan kami di padukuhan ini sama sekali tidak berimbang dengan pasukan Kediri. Jika kami menyampaikan sebagaimana adanya tentang Pangeran Kuda Permati dan puteri Purnadewi, mungkin sikap Kediri-pun akan berbeda. Mereka tidak asal saja membantai kami yang tidak lagi mempunyai sandaran sepeninggal Pangeran Kuda Permati.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Ia percaya kepada pengawal itu tentang semua yang dikatakannya. Ternyata bahwa puteri Purnadewi telah mengorbankan bukan saja suaminya, tetapi juga dirinya sendiri. Ia telah mengorbankan orang yang dicintainya, sehingga hidupnya sendiri menjadi tidak berarti sama sekali.

Sejenak Pangeran Singa Narpada merenungi kedua sosok tubuh yang telah membeku itu. Bagaimanapun juga ia menaruh hormat yang sebesar-besarnya kepada puteri Purnadewi. Namun ia tidak sampai hati memisahkan kedua tubuh yang terbaring diam itu, karena bagi Kediri keduanya mempunyai kedudukan yang berbeda. Yang seorang bagi Kediri merupakan seorang pengkhianat, sedangkan seorang yang lain adalah seorang pahlawan. Namun keduanya adalah sepasang suami isteri yang saling mencintai. Karena itu, akhirnya Pangeran Singa Narpada mengambil kesimpulan, agar keduanya biar saja tetap berbaring berdampingan.

Sementara itu, maka Pangeran Singa Narpada berkata kepada salah seorang pengawalnya, “perintahkan beberapa orang mengawal kedua sosok tubuh itu. Jangan diganggu. Sementara aku akan melihat apa yang terjadi di medan perang.”

Beberapa pengawal Pangeran Singa Narpada-pun kemudian berada di dalam dan diluar bilik itu. Sementara yang lain mengawal Pangeran Singa Narpada keluar dari rumah itu.

Demikian Pangeran Singa Narpada berada di halaman, maka suasananya telah berubah sama sekali. Ia tidak melihat dengan kepala tunduk sosok-sosok mayat yang terbaring diam. Namun di halaman Pangeran Singa Narpada merasakan betapa panasnya suasana. Yang terdengar adalah sorak gemuruh dan teriakan-teriakan kesakitan. Umpatan kasar dan caci maki yang kotor. Sementara itu senjata masih saja berdentangan saling beradu.

Namun sementara itu, Pangeran Singa Narpada telah melihat mayat yang terbujur lintang di halaman. Sebagian besar dari sosok-sosok mayat itu adalah mayat para pengikut Pangeran Kuda Permati.

“Jika dibiarkan saja pertempuran ini, akan berarti para pengikut Pangeran Kuda Permati akan dibabat habis oleh prajurit Kediri yang marah.”

Sejenak Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun kemudian ia-pun telah memerintahkan kepada seorang prajurit yang bertugas untuk memberikan isyarat, agar dilontarkan ke udara anak panah sendaren untuk mengisyaratkan, agar lawan diberi kesempatan menyaksikan semua bagian dari medan pertempuran itu.

Sejenak kemudian, maka beberapa anak panah sendaren telah berterbangan di udara. Bagi yang mengenal isyarat-isyarat sandi, maka mereka-pun segera mengetahui, bahwa bunyi isyarat itu adalah, “beri kesempatan yang menyerah.”

Seorang perwira mengumpat sambil berkata, “Gila, Siapakah yang telah dengan lemah hati memerintahkan pertempuran ini dihentikan? Mungkin isyarat itu dilontarkan tanpa setahu Pangeran Singa Narpada.”

“Tidak seorang-pun yang akan berani melontarkan isyarat yang berisi perintah diluar pengetahuan Pangeran Singa Narpada. Orang yang demikian tentu akan mengalami nasib yang buruk,” jawab yang lain.

“Jadi kita harus melepaskan kesempatan ini. Pada satu saat aku memang ingin melihat mayat bertebaran membujur lintang, seperti membabat batang ilalang,” berkata yang pertama.

Keduanya terdiam, ternyata banyak Senapati yang agaknya mempunyai keberatan atas isyarat itu. Baru ketika isyarat itu dilontarkan untuk kedua kalinya, maka para perwira itu mempercayainya bahwa mereka harus memberi kesempatan kepada lawan menyerah.

Tidak seorang-pun diantara para perwira Pangeran Singa Narpada yang berani menentang perintah, bagaimanapun perintah itu tidak sesuai dengan kemarahan yang bergolak didalam jantung mereka, namun mereka harus melaksanakan perintah itu. Memberi kesempatan lawan mereka untuk menyerah. Karena itu, maka beberapa orang perwira yang memimpin kelompok-kelompok pasukan telah meneriakkan perintah kepada lawan, agar mereka menyerah.

Memang tidak mudah untuk memaksa lawan yang putus asa itu menyerah. Para pengikut Pangeran Kuda Permati yang kehilangan nalar itu justru telah bertempur seperti orang yang kesurupan. Seperti orang yang tidak mempunyai perasaan lagi justru karena putus asa.

Meskipun demikian ada juga diantara mereka yang masih sempat berpikir. Bahwa tidak akan ada gunanya untuk bertempur terus, sebagaimana mereka menyadari bahwa tidak akan ada gunanya untuk membunuh diri. Dengan demikian ketika lawan mereka meneriakkan perintah untuk menyerah, maka mereka-pun telah melemparkan senjata-senjata mereka.

Dengan demikian, maka pertempuran-pun semakin berat sebelah. Namun bagi para perwira pasukan Pangeran Singa Narpada yang keras, menghadapi para pengikut Pangeran Kuda Permati yang tidak mau menyerah, agaknya benar-benar satu sikap yang keras pula. Meskipun demikian, setiap kali para perwira dari pasukan Pangeran Singa Narpada masih memberi kesempatan kepada lawan-lawan mereka untuk menyerah.

Bagaimanapun juga bergeloranya api didalam dada para pengikut Pangeran Kuda Permati, namun akhirnya mereka tidak dapat kenyataan bahwa mereka tidak dapat berbuat lain, kecuali mereka yang memang sengaja ingin membunuh diri. Apalagi mereka yang sudah mengerti apa yang sebenarnya terjadi atas Pangeran Kuda Permati.

Demikianlah, akhirnya pertempuran itu-pun berhenti juga. Masih ada sebagian dari para pengikut Pangeran Kuda Permati yang ditangkap hidup-hidup. Meskipun ada juga diantara para prajurit Kediri yang ingin mereka tertumpas habis, namun mereka harus menghormati paugeran kastria. Mereka tidak memperlakukan lawan yang sudah menyerah dengan cara yang sama dengan menghadapi mereka yang tetap pada pendiriannya, melawan pasukan Kediri.

Pangeran Singa Narpada memandangi mereka yang menyerah itu dengan sorot mata yang bagaikan menyala. Tangan mereka yang menyerah itu-pun tentu telah bernoda darah orang-orang Kediri. Mungkin prajurit Kediri, tetapi mungkin orang-orang lemah yang tidak berdaya. Tetapi Pangeran Singa Narpada masih tetap menyadari kedudukannya. Karena itu, maka ia-pun telah memerintahkan agar para tawanan diperlakukan sebagaimana seorang tawanan.

Ketika pertempuran di padukuhan itu akhirnya selesai juga, maka bekasnya benar-benar telah mendirikan bulu tengkuk. Mayat bergelimpangan terbujur lintang di halaman-halaman, di kebun-kebun dan bahkan benar di jalan-jalan padukuhan. Benar-benar pertempuran yang mengerikan.

Dengan demikian, maka tugas para prajurit Kediri-pun adalah mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan terbunuh di peperangan itu, sementara para tawanan dengan mendapat pengawalan yang kuat, harus mengumpulkan kawan-kawan mereka pula.

Untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan, maka kedua pihak telah mengumpulkan kawan-kawan mereka, terutama yang terluka, di tempat yang berbeda. Dengan demikian, maka pekerjaan yang berat-pun telah menunggu. Mengubur mayat yang jumlahnya bagaikan tidak terhitung dan mereka-pun harus merawat kawan-kawan mereka yang terluka dari kedua belah pihak.

Namun sementara itu, Pangeran Singa Narpada telah mengirimkan beberapa orang penghubung untuk mencapai Kediri dan melaporkan apa yang telah terjadi. Sementara itu, Pangeran Singa Narpada dengan sengaja, telah membiarkan beberapa orang lawan yang melarikan diri dari padukuhan itu.

Pangeran Singa Narpada berharap, bahwa orang-orang yang melarikan diri itu justru akan menyebarkan berita kematian Pangeran Kuda Permati diantara kawan-kawan, sehingga akhirnya berita kematian itu akan didengar oleh semua pengikut Pangeran Kuda Permati.

Para penghubung itu dengan hati-hati berpacu meninggalkan padukuhan justru menjelang senja menuju ke Kota Raja. Mereka berharap bahwa perjalanan di malam hari akan dapat memberikan, sedikit perlindungan bagi mereka, karena jika mereka bertumpu dengan kesatuan para pegikut Pangeran Kuda Permati, maka mereka tidak akan pernah sampai ke Kota Raja.

Dengan bekal pengalaman dan pengenalan mereka atas daerah yang mereka lalui, maka para penghubung itu akhirnya sampai juga ke Kota Raja. Mereka tidak membuang waktu lebih lama lagi. Karena itu, maka mereka-pun malam itu juga telah menghadap Panglima prajurit Kediri. Laporan itu memang sangat mengejutkan. Namun laporan, itu merupakan satu peristiwa yang sangat penting. Meskipun demikian Panglima pasukan Kediri masih harus menunggu keesokan harinya untuk menghadap Sri Baginda.

Ketika berita itu disampaikan kepada Sri Baginda, maka wajah Sri Baginda menjadi tegang. Namun kemudian wajah itu tertunduk dalam-dalam. Untuk beberapa saat Sri Baginda tidak mengatakan sesuatu. Bagaimanapun juga Pangeran Kuda Permati adalah keluarga sendiri. Sementara itu Sri Baginda menjadi sangat terharu mendengar sikap, puteri Purnadewi. Betapa-pun pedihnya, tetapi ia telah melakukannya. Membunuh suaminya yang sangat dicintainya, karena ia telah menemukan satu keyakinan tentang usaha penyelamatan Kediri.

Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Tidak seorang-pun yang mendahului Sri Baginda berkata sesuatu. Dengan demikian, maka untuk sejenak, ruangan itu menjadi sepi hening. Namun terasa disetiap hati, sentuhan oleh peristiwa yang telah terjadi.

Baru kemudian Sri Baginda berkata, “Aku tidak mengira betapa tingginya kesetiaan Purnadewi terhadap Kediri. Ia mencintai Kediri melampaui segalanya. Suaminya yang sangat dicintainya telah dikorbankannya.”

“Dan dirinya sendiri,” desis salah seorang Senapati.

“Tidak,” berkata Sri Baginda, “ia tidak mengorbankan diri bagi Kediri. Tetapi tanpa suaminya ia merasa bahwa hidupnya tidak akan berarti lagi.”

Senapati itu menunduk dalam-dalam. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi.

Sejenak kemudian, maka Sri Baginda itu-pun berkata, “Siapkan prajurit segelar sepapan. Jika terjadi sesuatu diperjalanan, jangan mengecewakan. Ambil tubuh Pangeran suami isteri itu atas namaku. Bawa tunggul kebesaran kerajaan, sebagai pertanda bahwa kepergian kalian atas perintahku pribadi.”

Panglima prajurit Kediri itu-pun mengangguk. Ia mengerti perasaan yang bergejolak di dalam hati Sri Baginda. Namun ia tidak mengatakan sesuatu. Demikianlah, maka Sri Baginda-pun segera memerintahkan Panglima prajurit untuk bersiap dan berangkat, agar pasukan itu tidak terlambat, bahwa tubuh kedua suami isteri itu sudah dimakamkan.

Panglima pasukan Kediri itu tidak menunda waktu lagi. Ia-pun segera mengerahkan semua pasukan berkuda yang ada di dalam Kota Raja. Namun demikian, Panglima itu tetap berhati-hati. Pasukan yang tersisa seluruhnya telah disiagakan jika terjadi sesuatu. Mungkin para pengikut Pangeran Kuda Permati justru menjadi putus asa dan mengamuk tanpa menghiraukan apa-pun lagi.

Karena itu, setiap barak prajurit di Kediri telah bersiaga sepenuhnya, sementara semua pasukan berkuda dari beberapa barak dan kesatuan telah diperintahkan untuk berkumpul di alun-alun segera.

Ternyata prajurit Kediri masih mampu bergerak cepat. Dengan segera sepasukan prajurit berkuda yang besar dan kuat telah siap di alun-alun, lengkap dengan pertanda dan umbul-umbul kerajaan. Mereka-pun membawa rontek, panji-panji dan klebet kebesaran pasukan mereka masing-masing.

Panglima prajurit Kediri itu-pun telah memimpin sendiri pasukan itu dengan penunjuk jalan penghubung yang telah menyampaikan laporan tentang kematian Pangeran Kuda Permati dan isterinya. Beberapa saat kemudian, maka pasukan yang besar dengan segala macam pertanda kebesaran itu-pun telah berderap di jalan-jalan menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh para penghubung.

Iring-iringan pasukan itu ternyata telah mengejutkan orang-orang yang menyaksikan. Mereka belum pernah melihat iring-iringan sekuat itu. Apalagi dengan pertanda utusan Sri Baginda dan tanda-tanda kebesaran di setiap kelompok pasukan.

Sementara itu, prajurit yang tersisa dan ditinggalkan di Kota Raja-pun telah bersiap-siap sepenuhnya. Kekuatan mereka tidak begitu besar lagi. Jika terjadi sesuatu, maka mereka harus mampu mengatasi dengan kekuatan yang ada. Namun demikian, Senapati yang mewakili Panglima yang sedang memimpin sendiri pasukan yang menjemput sosok tubuh Pangeran Kuda Permati suami isteri itu, telah menghubungi para pemimpin pasukan di perbatasan. Jika diperlukan, maka pasukan di perbatasan itu akan ditarik masuk ke dalam Kota Raja.

Dalam pada itu, maka iring-iringan pasukan berkuda itu-pun berpacu dengan cepat melintasi bulak-bulak panjang dana padukuhan-padukuhan. Tidak seorang-pun yang berani mengganggu pasukan itu. Bahkan pasukan Pangeran Kuda Permati yang mengetahui pasukan yang besar itu lewat, telah menyibak dan bahkan bersembunyi. Mereka tidak akan berani mengambil akibat yang pahit jika mereka berani mengganggu pasukan itu. Pasukan yang sangat besar dan kuat, yang belum pernah dilihat oleh para pengikut Pangeran Kuda Permati.

Namun sementara itu, beberapa orang pengikut Pangeran Kuda Permati memang sudah berhasil melarikan diri. Mereka berusaha untuk dapat bergabung dengan pasukan-pasukan yang berada di padukuhan yang bertebaran. Tetapi mereka ternyata telah membawa berita yang sangat mengejutkan bagi para pengikut Pangeran Kuda Permati. Mereka yang melarikan diri, pada umumnya sudah mengetahui, setidak-tidaknya mendengar dari kawan-kawan mereka, bahwa Pangeran Kuda Permati telah terbunuh bersama istrinya puteri Purnadewi. Berita itu ikut tersebar ke lingkungan para pengikut Pangeran Kuda Permati.

“Bohong,” teriak seorang perwira yang memimpin sekelompok pasukan di sebuah padukuhan.

“Aku berkata sebenarnya,” jawab pengikut yang melarikan diri itu.

Perwira itu terpaksa memikirkannya. Namun ia kemudian berkata, “Aku tidak dapat dengan tergesa-gesa mempercayaimu. Aku harus membuat hubungan dengan beberapa orang kawan.”

“Padukuhan itu sudah direbut oleh pasukan Pangeran Singa Narpada,” berkata pengikut Pangeran Kuda Permati yang melarikan diri itu.

“Pengecut. Kenapa Pangeran Singa Narpada tidak berani menghadapi pasukan induk kita?” bertanya perwira itu.

Pengikut Pangeran Kuda Permati yang sempat melarikan diri itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Tetapi apa yang dapat dilakukan oleh pasukan induk ini kemudian. Pangeran Kuda Permati sudah terbunuh. Dan apakah kekuatan pasukan induk ini masih tetap sebagaimana kita duga sebagaimana semula? Sebagian diantara kekuatan induk ini, justru kekuatan yang paling terpercaya yang justru sedang mengawal Pangeran Kuda Permati telah dimusnahkan oleh pasukan Pangeran Singa Narpada? Sementara itu, kekuatan Kediri jika dikerahkan dan mendapatkan sasaran yang benar, tidak akan dapat kita lawan.”

“Omong kosong,” bentak perwira itu, “aku tidak akan mengambil kesimpulan dengan tergesa-gesa. Apalagi mengorbankan diri untuk digantung di alun-alun.”

Pengikut Pangeran Kuda Permati yang melarikan diri itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Memang sebaiknya kita mencari hubungan untuk mendapatkan keterangan yang pasti.”

Dengan demikian, maka perwira itu telah memanggil beberapa orang pembantunya. Mereka mulai berbincang tentang berita yang dibawa oleh salah seorang diantara mereka yang sempat melarikan diri dari pertempuran di padukuhan itu. Ternyata bahwa semuanya berpendirian, bahwa mereka harus mendapatkan satu kepastian tentang kebenaran berita itu.

Karena itu, maka mereka-pun telah menugaskan beberapa orang dalam tugas sandi untuk mencari berita dan juga untuk mengetahui tempat dan gerak pasukan Kediri. Dengan hati-hati mereka-pun telah berusaha melakukan tugas mereka sebaik-baiknya. Tugas yang tidak akan dapat mereka selesaikan dalam waktu satu hari saja. Namun akhirnya mereka-pun mendapat keterangan bahwa sepasukan Kediri yang kuat telah ke sebuah padukuhan tempat Pangeran Kuda Permati dan isterinya puteri Purnadewi terbunuh.

Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan untuk mendekat. Nampaknya penjagaan yang dilakukan oleh pasukan yang menduduki padukuhan itu benar-benar ketat. Namun dari orang-orang yang menyaksikan, petugas itu mendapat gambaran tentang pasukan berkuda yang menuju ke padukuhan itu.

“Satu pasukan yang sangat kuat,” berkata orang-orang yang menyaksikan.

Para petugas sandi itu dapat membayangkan sebagaimana diceriterakan oleh orang-orang yang melihatnya. Umbul-umbul rontek dan klebet dari setiap kesatuan, serta tanda kebesaran dari pasukan Kediri dengan umbul-umbul kerajaan.

“Satu pameran kekuatan yang belum pernah terjadi,” berkata petugas sandi itu, “Bergabung dengan pasukan Singa Narpada, maka kekuatan itu akan benar-benar merupakan kekuatan yang tidak terpatahkan.”

Sementara itu, pasukan berkuda Kediri itu telah memasuki padukuhan yang telah diduduki oleh Pangeran Singa Narpada itu, dengan membawa perintah Sri Baginda, bahwa kedua tubuh Pangeran Kuda Permati dan putri Purnadewi harus dibawa kembali ke Istana Kediri.

Pangeran Singa Narpada yang sudah menguasai padukuhan itu sama sekali tidak berkeberatan. Bahkan sebenarnyalah didalam hati, Pangeran Singa Narpada juga merasa kehilangan, karena keduanya masih keluarga sendiri. Apalagi cara keduanya meninggal. Terutama hormat Pangeran Singa Narpada yang terbesar ditujukan kepada puteri Purnadewi.

Nampaknya Pengeran Singa Narpada juga tidak ingin menduduki tempat itu terlalu lama. Pasukannya juga ingin kembali bersama pasukan berkuda itu. Namun karena diantara mereka adalah orang-orang yang terluka, baik para prajurit Pangeran Singa Narpada sendiri, mau-pun para pengikut Pangeran Kuda Permati, maka perjalanan mereka-pun akan menjadi sangat lambat, karena mereka akan membawa beberapa buah pedati.

Karena itu, maka pasukan berkuda itu-pun telah dibagi. Sebagian dari mereka akan mendahului dengan membawa tubuh Pangeran Kuda Permati dan puteri Purnadewi. Sedangkan sebagian kecil diantara mereka akan kembali bersama pasukan Pangeran Singa Narpada membawa mereka yang terluka, yang terbunuh di peperangan telah dikubur di padukuhan yang telah mereka duduki itu untuk sementara.

Kepergian pasukan Pangeran Singa Narpada itu juga memberi kesempatan, agar berita tentang kematian dan sebab-sebab kematiannya lebih cepat tersebar. Sebenarnyalah, sepeninggal pasukan Pangeran Singa Narpada, maka beberapa orang petugas yang dikirim oleh para perwira dari pasukan yang berpijak kepada Pangeran Kuda Permati telah datang ke padukuhan itu untuk mendapatkan keterangan yang dapat memastikan kematian Pangeran Kuda Permati dan sebab-sebabnya.

Ternyata berita tentang kematian dan sebab-sebab kematian Pangeran Kuda Permati telah menimbulkan berbagai tanggapan dikalangan pasukan Pangeran Kuda Permati sendiri. Namun sebagian dari mereka merasa, bahwa mereka telah kehilangan sandaran untuk meneruskan peperangan. Mereka tidak tahu lagi apa yang sebaiknya mereka lakukan. Karena itu sebagian dari mereka telah mengambil sikap menunggu perkembangan keadaan dengan hati yang patah.

Sementara itu, di Kediri telah dilakukan satu upacara yang wajar bagi seorang Pangeran dan isterinya yang meninggal. Mayat keduanya diselenggarakan sebagaimana seharusnya. Sementara itu, Pangeran Lembu Sabdata yang diberitahukan tentang kematian Pangeran Kuda Permati, telah terkejut bukan buatan. Rasa-rasanya hidupnya diguncangkan oleh satu putaran badai yang menggulung segala masa disaat lalu dan yang bakal datang. Kematian Pangeran Kuda Permati telah merampas segala harapannya, sehingga Lembu Sabdata-pun merasa seakan-akan ia-pun telah ikut terbunuh pula.

Pangeran yang garang itu tiba-tiba saja telah menangis seperti kanak-kanak. Menangisi dua sosok mayat yang terbujur diam, sebelum diselenggarakan upacara sebagaimana seharusnya. Namun demikian Sri Baginda masih memerintahkan Pangeran Lembu Sabdata untuk tetap ditahan setelah ia mendapat kesempatan melihat kedua orang suami isteri yang telah menjadi sosok tubuh yang membeku.

Ada beberapa pertimbangan yang mendorong Sri Baginda untuk tetap memperlakukannya seperti itu. Jika Pangeran Lembu Sabdata kemudian dibebaskan, maka mungkin ia akan dapat mengambil alih pimpinan yang ditinggalkan oleh Pangeran Kuda Permati. Bahkan mungkin Pangeran itu akan dapat berbuat jauh lebih kasar dari Pangeran Kuda Permati sendiri. Karena itu, untuk menjaga segala kemungkinan, maka untuk sementara Pangeran Lembu Sabdata masih harus dibatasi kebebasannya.

Namun sebenarnyalah kebencian Pangeran Lembu Sabdata kepada Pangeran Singa Narpada menjadi semakin memuncak. Ketika ia mendapat kesempatan untuk melihat Pangeran Singa Narpada yang telah datang pula ke Kediri dengan membawa orang-orang yang sakit, maka dengan kasar Pangeran Lembu Sabdata telah memakinya.

Pangeran Singa Narpada memandanginya dengan tajamnya. Namun kemudian Pangeran Singa Narpada itu berkata, “bersikaplah sebagai seorang Pangeran yang baik. Meskipun kau berada didalam pembatasan kebebasanmu, namun kau tetap seorang kesatria. Jangan melakukan satu tindakan yang dapat mencemarkan namamu lebih parah lagi. Bahwa kau sudah melawan Sri Baginda itu, namamu sudah dapat disebut pengkhianat. Apalagi jika bertindak laku kasar.”

“Persetan,” geram Pangeran lembu Sabdata, “Aku tantang kau berperang tanding. Kau telah membunuh Pangeran Kuda Permati dengan curang.”

“Aku tidak membunuhnya. Mungkin kau sudah mendengar berita kematiannya, “jawab Pangeran Singa Narpada.

“Omong kosong,” geram Pangeran Lembu Sabdata, “Kau bunuh Pangeran Kuda Permati dan puteri Purnadewi. Kemudian kau membuat ceritera yang tidak masuk akal itu.”

“Bukan aku yang membuat ceritera,” jawab Pangeran Singa Narpada yang berusaha untuk menahan diri, “Justru aku mendapat ceritera itu dari para pengawal setianya yang langsung dapat berbicara dengan Purnadewi pada saat-saat ia berada di ambang kematiannya.”

“Kami bukan orang-orang dungu yang dapat kau kelabui dengan ceritera-ceritera cengeng itu,” bentak Pangeran Lembu Sabdata, “Karena itu, aku tantang kau berperang tanding dengan sikap seorang kesatria, seandainya kelak aku dihukum mati, maka aku sudah dapat membunuhmu digelanggang perang tanding yang jujur.”

“Adimas Lembu Sabdata,” jawab Pangeran Singa Narpada dengan suara gemetar karena menahan gejolak perasaannya, “Kau jangan bersikap seperti orang linglung. Kau tahu siapa aku, dan aku-pun tahu siapa kau. Kau tahu tingkat kemampuanku dan aku tahu tingkat kemampuanmu. Jangan berkata begitu. Seandainya kita memasuki perang tanding, maka hal itu tidak akan berarti apa-apa. Tetapi seandainya aku menolak perang tanding, itu-pun tidak berarti apa-apa pula. Karena setiap orang mengetahui tingkat kemampuan kita masing-masing.”

“Pengecut,” teriak Pangeran Lembu Sabdata, “Kau tidak berani menerima tantanganku?”

“Sudahlah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Tenanglah. Aku tidak mau kau jadikan alat untuk membunuh diri.”

Pangeran Lembu Sabdata merasa benar-benar terhina. Karena itu, maka ia-pun berteriak lebih keras lagi, “Kau jangan terlalu sombong pengecut. Kita lihat, siapakah diantara kita yang memiliki ilmu lebih tinggi.”

Tetapi Pangeran Singa Narpada tidak menanggapinya. Ia sadar sepenuhnya, bahwa Pangeran itu bukan lawannya. Mungkin ia akan berpikir dan bahkan menerima tantangan itu jika Pangeran Kuda Permati yang mengucapkannya, Tetapi jika ia menerima tantangan Pangeran Lembu Sabdata, maka beberapa orang Senopati justru akan mempersalahkannya. karena Pangeran Lembu Sabdata bukannya lawannya yang seimbang didalam olah kanuragan.

Karena itu, maka ditinggalkannya Pangeran Lembu Sabdata didalam biliknya. Masih terdengar Pangeran yang marah, kecewa, bingung dan perbagai perasaan bercampur baur itu memakinya dengan kasar. Bahkan kemudian kata-katanya tidak lagi merupakan kata-kata pilihan seorang Pangeran.

“Pangeran Lembu Sabdata memerlukan perhatian yang sangat khusus,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Aku cemas jika ia justru terganggu ingatannya.”

Sebenarnyalah kematian Pangeran Kuda Permati telah membuat Pangeran Lembu Sabdata terguncang. Apalagi berita yang mengatakan bahwa yang membunuh Pangeran Kuda Permati adalah isterinya Purnadewi. Dengan segenap kekuatan nalarnya ia berusaha untuk menolak bahwa berita itu tidak benar. Didalam angan-angannya ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri, bahwa berita itu tidak benar. Kematian Pangeran Kuda Permati adalah semata-mata karena kelicikan Pangeran Singa Narpada, sehingga dengan demikian, maka Pangeran Lembu Sabdata justru telah kehilangan kepercayaannya kepada kenyataan yang terjadi. Kenyataan baginya kemudian adalah apa yang terjadi didalam angan-angannya.

Karena itulah, maka kenyataan bagi Pangeran Lembu Sabdata adalah berbeda dengan kenyataan yang dialami oleh orang-orang lain. Dengan demikian, maka seperti yang dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada, bahwa Pangeran Lembu Sabdata memerlukan perhatian tersendiri, karena sifat dan tingkah lakunya kemudian telah berubah. Ia memandang segala sesuatu atas dasar keyakinan kebenarannya yang berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi.

Peristiwa-peristiwa itu memang membuat Sri Baginda menjadi semakin berprihatin. Sementara itu, masih belum ada tanda-tanda bahwa dengan kematian Pangeran Kuda Permati, maka permusuhan akan mereda.

Namun Pangeran Singa Narpada, Senapati yang keras dan bersikap tegas tanpa ragu-ragu itu benar-benar telah mengalami kejenuhan, dengan saling berbunuhan. Karena itu, maka ia-pun telah mengusulkan kepada Sri Baginda, agar Sri Baginda membuat maklumat untuk memerintahkan semua pengikut Pangeran Kuda Permati untuk menyerah. Barang siapa yang menyerah akan dipertimbangkan pengampunan dan pengurangan hukuman. Tetapi siapa yang berkeras untuk melanjutkan pemberontakan akan ditindas dengan sikap yang lebih keras lagi.

Ternyata Sri Baginda menerima usul Pangeran Singa Narpada. Diperintahkannya untuk membuat pengumuman bagi semua orang yang telah tersesat kedalam lingkungan Pangeran Kuda Permati. Pahkan Sri Baginda-pun tanpa ragu-ragu memberikan batasan waktu untuk dua bulan. Jika dalam waktu yang ditetapkan masih ada orang atau sekelompok orang yang tidak bersedia menyerah, maka persoalannya kemudian adalah persoalan Pangeran Singa Narpada.

Ternyata bahwa pengumuman itu membawa banyak sekali pengaruh kepada para pengikut Pangeran Kuda Permati. Perintah yang disebarkan keseluruh wilayah Kediri itu telah menyentuh hati para pengikut Pangeran Kuda Permati yang masih sempat mempergunakan nalarnya. Karena itulah, maka berurutan, beberapa kelompok dari mereka telah mendatangi kesatuan-kesatuan prajurit Kediri untuk menyerahkan diri.

Namun demikian masih juga ada orang yang mengeraskan hatinya, untuk tetap dalam sikapnya. Mereka justru telah berusaha untuk menghalang-halangi kawan-kawan mereka yang ingin menyerahkan diri. Bahkan kadang-kadang dengan kekerasan. Karena itu, maka ada sekelompok pengikut Pangeran Kuda Permati yang merasa dirinya terlalu lemah, berusaha untuk justru minta perlindungan kepada para prajurit terhadap ancaman kawan-kawan mereka sendiri sebelum mereka menyerah.

Terhadap kelompok-kelompok yang demikian, maka para prajurit Kediri telah mendapat perintah untuk menjemput mereka dan melindungi mereka dari ancaman kawan-kawan mereka yang tidak ingin melihat Kediri menjadi tenang. Dengan demikian, maka dalam waktu yang ditentukan, sebagian dari para pengikut Pangeran Kuda Permati sudah berada di Kediri, didalam pengawasan para prajurit. Sehingga usaha Pangeran Singa Narpada dan pengorbanan puteri Purnadewi dengan kematian suaminya yang dicintainya tidak sia-sia. Bahkan kemudian puteri Purnadewi yang merasa tidak ada lagi gunanya untuk hidup tanpa suaminya telah membunuh diri pula.

“Purnadewi telah menyelamatkan beribu jiwa orang Kediri dari kedua belah pihak,” berkata Sri Baginda kepada Pangeran Singa Narpada, “Karena itu, pantas baginya untuk mendapat penghormatan yang setinggi-tingginya.”

Pengorbanan itu memang diakui oleh semua unsur yang ada di Kediri. Bahkan para pengikut Pangeran Kuda Permati sendiri kemudian melihat bahwa dengan demikian kematian-kematian dapat sangat dibatasi. Meskipun demikian, ternyata bahwa keadaan masih belum tenang seluruhnya. Ternyata sampai pada batas waktu yang ditentukan, masih ada kelompok-kelompok pengikut Pangeran Kuda Permati yang tetap pada pendiriannya. Bahkan mereka menjadi kehilangan pegangan dan liar. Sehingga dengan demikian mereka justru menjadi gerombolan-gerombolan yang sangat berbahaya.

Karena itulah, maka setelah batas waktunya lewat, maka menyusul perintah berikutnya dari Sri Baginda di Kediri kepada semua Senapati. Bahwa mereka harus bertindak tegas terhadap sisa-sisa pengikut Pangeran Kuda Permati. Rakyat Kediri yang menjadi ketakutan terhadap gerombolan-gerombolan liar yang menjadi buas itu memerlukan perlindungan. Dengan demikian, maka pertempuran-pertempuran-pun telah mulai menjalar lagi dibeberapa padukuhan. Tetapi suasananya sudah jauh berbeda dengan sebelumnya.

Yang terjadi kemudian, bukan lagi pertempuran-pertempuran yang sengit dari dua kekuatan yang seimbang, atau hampir seimbang, tetapi yang terjadi kemudian adalah bahwa pasukan Kediri sedang memburu kelompok-kelompok perlawanan yang keras kepala, putus asa dan bahkan sebagai laku untuk membunuh diri.

Namun dengan demikian, akibatnya bagi rakyat tidak jauh berbeda. Kelompok-kelompok yang putus asa itu menjadi liar dan buas. Mereka ternyata membunuh bukan saja prajurit-prajurit, tetapi juga rakyat yang sama sekali tidak bersalah. Justru kelompok-kelompok kecil itu sangat merugikan rakyat Kediri. Meskipun mereka juga orang-orang Kediri tetapi dengan putus asa mereka menganggap bahwa semua orang Kediri justru telah memusuhinya.

Dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada mempunyai tugas yang tidak susut beratnya. Ia harus menggerakkan pasukannya dengan cepat dari satu tempat ke lain tempat. Namun akhirnya Pangeran Singa Narpada telah mempelajari apa yang terjadi di daerah perbatasan sebelah Utara. Di daerah yang dipimpin oleh Panji Sempana Murti. Karena itulah, maka Pangeran Singa Narpada telah menganjurkan rakyat Kediri untuk menyusun kekuatan disetiap padukuhan.

Dengan demikian, maka Pangeran Singa Narpada telah memberikan tugas kepada para Senapati di daerah perbatasan untuk menyusun kekuatan sebagaimana dilakukan oleh Panji Sempana Murti. Prajurit Kediri akan selalu membantu mereka. Pasukan Pangeran Singa Narpada dan prajurit Kediri yang bertugas di daerah perbatasan akan selalu berusaha untuk berada disegala tempat yang membutuhkan. Karena itu, kecuali pasukan Pangeran Singa Narpada, maka disetiap daerah perbatasan telah disusun pula pasukan berkuda yang kuat. Para Senapati telah mempergunakan cara sebagaimana dilakukan oleh pasukan Pangeran Kuda Permati dan pasukan yang dipimpin oleh Panji Sempana Murti.

Mereka mempergunakan kuda yang ada di daerah mereka masing-masing. Namun rakyat Kediri ternyata lebih ikhlas memberikan kudanya kepada para prajurit Kediri daripada para Pengikut Pangeran Kuda Permati, karena kemungkinan untuk dikembalikan jika kuda itu berada di tangan prajurit Kediri adalah jauh lebih besar daripada jika kuda itu diambil oleh para pengikut Pangeran Kuda Permati. Selain itu, maka kuda yang dapat dirampas dari pasukan Pangeran Kuda Permati yang menyerah-pun cukup banyak, meskipun kuda itu juga berasal dari Rakyat Kediri sendiri.

Demikian usaha yang dilakukan sebagaimana dilakukan di daerah perbatasan Utara, maka gerak pasukan Pangeran Kuda Permati yang tersisa dan terkoyak-koyak itu menjadi semakin terbatas. Dengan demikian, maka usaha Pangeran Singa Narpada semakin terasa tidak sia-sia. Senapati yang keras dan bertindak dengan tegas itu telah berusaha untuk mengurangi jumlah kematian akibat pertentangan diantara orang-orang Kediri sendiri.

Nampaknya usaha Pangeran Singa Narpada untuk mengurangi korban masih dilakukan. Sekali lagi ia memohon kepada Sri Baginda untuk memanggil mereka yang sesat itu agar mencari jalan kembali, dengan janji pengurangan hukuman bagi mereka yang memenuhi panggilan itu. Tetapi bagi mereka yang menolak pada kesempatan terakhir itu, maka Pangeran Singa Narpada dan para Senapati di semua daerah perbatasan dan daerah kekuasaan Kediri, akan menyapu mereka tanpa ampun.

Panglima itu-pun ternyata masih ada gunanya. Beberapa kelompok diantara mereka ternyata telah menyerah, sehingga dengan demikian, maka usaha itu telah berhasil mengurangi lagi korban yang akan jatuh di peperangan. Tetapi sesudah panggilan itu lewat waktunya, maka Pangeran Singa Narpada dan para Senapati benar-benar telah melakukan sebagaimana dikatakan sebelumnya. Sisa-sisa pasukan Pangeran Kuda Permati telah disapu disegala medan.

Namun dalam pada itu, ketika pasukan Kediri bergerak disemua medan dan menghancurkan sisa-sisa pasukan yang memberontak itu, maka di Singasari telah timbul pula akibatnya. Pasukan yang dikejar-kejar di Kediri itu sebagian telah menyusup ke daerah Singasari. Sementara itu pada dasarnya memang sudah ada, alas bagi mereka untuk bergerak. Ada beberapa kelompok yang dapat mereka jadikan landasan gerak selama mereka berada di Singasari.

Mereka adalah kelompok-kelompok yang pada gerakan Pangeran Kuda Permati mulai, telah menyusup di daerah Singasari. Mereka adalah kelompok-kelompok yang mendapat tugas untuk menebangi hutan yang menghadap ke daerah-daerah yang merupakan lumbung makanan bagi Singasari dan juga Kediri. Karena itu, maka yang kemudian terasa adalah justru pergolakan yang terjadi di daerah Singasari.

Dalam pada itu, para petugas sandi baik dari Kediri mau-pun dari Singasari yang berada di Kediri telah memberikan isyarat. Kelompok-kelompok yang kehilangan pegangan dan putus asa itu tidak mendapat tempat lagi di Kediri, sehingga mereka telah menyusup keluar daerah kuasa Kediri, dalam lingkungan kesatuan Singasari. Dengan demikian, maka pasukan Singasari yang berada di perbatasan-pun telah siap untuk bergerak. Tetapi ternyata bahwa tugas mereka tidak semudah yang mereka duga.

Pasukan yang tersisa dari para pengikut Pangeran Kuda Permati itu tidak melintasi perbatasan lewat jalan yang seharusnya dilalui. Mereka telah memilih jalan yang lain, jalan yang sesuai dengan keadaan mereka. Menyusup diantara hutan-hutan yang lebat, melintasi daerah yang berawa-rawa dan jalan-jalan memintas lainnya yang biasanya sulit untuk dilalui.

Dengan susah payah mereka mencari hubungan dengan orang-orang yang pernah bekerja sama dengan mereka. Padepokan-padepokan dan kelompok-kelompok yang untuk beberapa saat harus menghentikan kegiatan mereka karena sikap para prajurit Singasari yang tegas dan Pakuwon-pakuwon yang setia yang dengan sungguh-sungguh berusaha ikut mencegahnya.

“Sementara itu, di Kediri sendiri, keadaan semakin bertambah baik. Kelompok-kelompok kecil yang tidak berarti telah dihancurkan sama sekali. Bukan saja oleh pasukan Pangeran Singa Narpada dan para Senapati di daerah perbatasan, tetapi anak-anak muda dipadukuhan-padukuhan yang bangkit bersama para prajurit telah membantu mempercepat penyelesaian.

Meskipun masih ada juga, kelompok-kelompok yang berhasil mengacaukan satu dua padukuhan, tetapi dengan isyarat yang sambung bersambung, maka biasanya pasukan berkuda yang disiapkan oleh para Senapati di daerah perbatasan akan dapat mengatasi. Seandainya kelompok-kelompok itu sempat meninggalkan padukuhan yang menjadi sasaran pengacauannya, namun kemudian mereka tidak akan luput dari tangan pasukan berkuda yang mampu bergerak cepat, karena kemampuan kelompok itu pergi, maka mereka akan dikejar oleh suara kentongan di segala penjuru.

Karena itulah, maka hampir semua kelompok yang tersisa telah berusaha untuk keluar dari daerah Kediri. Tetapi karena kebencian mereka terutama tertuju kepada Singasari, maka mereka-pun berusaha untuk dapat menyusup memasuki wilayah Singasari atau Pakuwon-pakuwon yang setia kepada Singasari untuk melepaskan dendam mereka.

Sikap mereka yang demikian itulah yang ternyata kemudian memang menyulitkan Singasari. Pada saat yang demikian, maka dengan tergesa-gesa Mahisa Pukat dan Mahisa Murti telah dikirim dengan membawa pesan dari pemimpin petugas sandi di Kediri, bahwa Singasari harus bersiap menghadapi akibat yang demikian.

Mahisa Bungalan dan sekelompok pasukan memang sudah berada di perbatasan. Namun persoalan kemudian yang timbul bukan persoalan pasukan di perbatasan. Tetapi sebenarnyalah di samping perintah yang cepat untuk memberikan keterangan terperinci tentang gerak sisa pasukan Kediri, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga mendapat perintah untuk menyampaikan laporan tentang akhir yang pahit dari kehidupan Pangeran Kuda Permati suami istri.

Berita itu diterima di Singasari sebagaimana diterima oleh Sri Baginda di Kediri. Betapa kagumnya para pemimpin di Singasari terhadap puteri Purnadewi yang telah mengorbankan nilai hidupnya yang paling tinggi, yaitu cintanya, bagi keselamatan beribu jiwa orang-orang Kediri. Namun di samping kekaguman itu, maka di Singasari-pun telah dikeluarkan perintah untuk bertindak tegas terhadap orang-orang Kediri yang menyusup ke Singasari dengan sikap yang garang karena dendam dan kebencian.

Mahisa Bungalanlah yang mendapat perintah untuk melakukannya. Ia harus mengambil langkah-langkah sesuai dengan langkah-langkah yang diambil oleh Kediri sendiri. Jika tidak, maka Singasari justru akan menjadi tempat bersembunyi yang sejuk bagi sisa-sisa pengikut Pangeran Kuda Permati.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja bertugas hilir mudik antara Kediri dan Singasari. Namun dalam keadaan terakhir, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lebih sering berada di Singasari. Bahkan sekali-sekali ia ikut bersama Mahisa Bungalan untuk mengadakan pengamatan di daerah-daerah yang dilaporkan menjadi jalur jalan pelarian dari Kediri.

Sementara itu, maka memang mulai terdengar lagi berita tentang penebangan hutan. Bahkan pada suatu ketika, kerusakan hutan di lereng gunung yang langsung menghadap ke Kota Raja sudah meningkat menjadi parah.

Mahisa Bungalan berusaha untuk menindas gerakan itu dengan hati-hati. Namun ternyata bahwa Mahisa Bungalan telah dipaksa oleh keadaan untuk bertindak lebih tegas lagi, sebagaimana dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada. Jantung Mahisa Bungalan tidak lagi dapat disabarkan ketika orang-orang yang berkeliaran itu tidak saja menebangi hutan, tetapi ternyata mereka telah mulai membakar hutan.

Karena itu, maka perintah terakhir-pun telah dijatuhkan. Tidak ada ampun lagi bagi mereka yang telah mengacaukan ketenangan hidup di Singasari. Terlebih-lebih lagi, mereka itu telah merusakkan citra masa depan dengan cara yang paling keji. Karena itulah, maka Mahisa Bungalan telah memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan sisa-sisa pengikut Pangeran Kuda Permati itu di daerah Singasari.

Namun dalam pada itu, maka Singasari-pun harus mengerahkan pasukannya untuk membantu memadamkan kebakaran di hutan di lereng sebuah bukit Sepasukan prajurit itu harus memisahkan daerah yang terbakar dengan daerah yang masih belum dijamah oleh api.

Dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mahisa Bungalan telah mendapat gambaran, apa yang terjadi di Kediri. Karena itu agar prajurit Singasari tidak dianggap terlalu lemah dan tidak mempunyai kekuatan, maka Mahisa Bungalan-pun telah melakukan langkah-langkah yang paling baik menurut pertimbangannya. Sementara sebagian dari para prajurit berjuang untuk menguasai api, maka yang lain-pun telah melakukan langkah-langkah yang paling baik bagi Mahisa Bungalan dalam menghadapi orang-orang Kediri yang melarikan diri ke Singasari itu.

Ternyata sebagaimana dilaporkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka Mahisa Bungalan-pun sependapat dengan langkah-langkah yang diambil oleh Panji Sempana Murti di Kediri. Orang-orang yang melarikan diri ke Singasari itu menghadapi perlawanan yang sama, sementara Mahisa Bungalan telah mengerahkan prajuritnya sebagaimana dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada.

Namun dalam pada itu, sepasukan prajurit masih berjuang untuk dapat menguasai api. Dengan susah payah mereka berhasil memisahkan hutan yang terbakar itu dengan bagian yang masih belum tersentuh api. Meskipun dengan demikian mereka harus mengorbankan beberapa patok tanaman di hutan itu. Namun ternyata mereka tidak sempat menebangi pohon-pohon raksasa, sehingga karena itu, maka kadang-kadang garis pemisah itu harus berbelok apabila membentur pohon raksasa yang tidak mungkin ditebang dalam waktu dekat.

Dengan bekerja keras, maka akhirnya para prajurit itu dapat membatasi daerah yang menjadi mangsa api. Meskipun para prajurit itu tidak mampu menahan hutan yang tertelan oleh nyala api itu, tetapi api itu tidak lagi menjalar keluar dari daerah yang terkurung oleh garis pemisah yang dibuat oleh para prajurit.

Sementara itu, maka orang-orang Kediri yang menyusup ke Singasari-pun menjadi semakin kehabisan ruang gerak. Mereka terdesak masuk kedalam hutan-hutan yang lebat dan jauh dari padukuhan untuk menghindarkan diri dari kejaran orang-orang Singasari. Sementara itu seperti di Kediri, maka di padukuhan-padukuhan anak-anak muda telah bangkit dan dengan berani melawan mereka meskipun setiap kali anak-anak muda di padukuhan-padukuhan itu masih harus membunyikan kentongan untuk memanggil para prajurit dari pasukan berkuda untuk segera datang membantu mereka. Dengan demikian, maka pada suatu saat, orang-orang Kediri itu telah benar-benar merasa terjepit.

Namun dengan demikian, maka mereka-pun telah kehilangan tujuan mereka. Yang mereka lakukan kemudian adalah sekedar mempertahankan hidup. Kadang-kadang mereka menyamun dan merampok. Tetapi usaha itu-pun semakin lama menjadi semakin sulit dilakukan karena tekanan pasukan Mahisa Bungalan. Maka akhirnya tidak ada jalan lain bagi mereka daripada menyerahkan diri.

Karena itulah, maka baik di Singasari, mau-pun di Kediri, suasana berangsur menjadi tenang. Beberapa kelompok kecil yang masih tertinggal tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyerahkan diri. Apa-pun yang akan mereka alami, maka mereka akhirnya harus memilih langkah itulah yang dapat mereka ambil satu-satunya. Dengan demikian, maka yang dapat di atas di Singasari bukan saja orang-orang yang melarikan dari Kediri, tetapi juga alas-alas tempat berpijak dari orang-orang Kediri itu, yang memang sejak semula berada di Singasari sendiri.

Namun demikian, bukan berarti bahwa segala sesuatunya telah selesai. Orang-orang Singasari kemudian masih selalu sibuk dengan hutan-hutan mereka. Baik yang ditebangi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dan apalagi yang telah dibakar, sehingga sebagian dari hutan yang subur itu telah menjadi sebuah padang yang merah gersang. Namun demikian, api itu tidak dapat membuat tanah itu menjadi cengkar. Karena jika sekali saja hujan menitik, maka tumbuh-tumbuhan-pun akan tumbuh pula dipadang yang merah dan gersang itu.

Ketika musim hujan kemudian tiba, maka para prajurit Singasari mempunyai kesibukan baru. Bersama rakyat dibawah lereng bukit, mereka telah berusaha untuk menanam pepohonan di hutan-hutan yang telah ditebangi serta yang telah dimakan oleh api. Sehingga dengan demikian, maka lereng-lereng yang gersang itu kemudian mulai nampak hijau subur lagi. Meskipun pepohonan yang ada kemudian masih baru tumbuh, namun hijaunya seminya dedaunan memberikan warna harapan bagi masa depan.

Namun dalam pada itu, sebenarnyalah Kediri masih belum tenang benar meskipun tidak nampak pada wujud lahiriahnya. Namun demikian, beberapa orang bangsawan justru mulai merenungi perjuangan Pangeran Kuda Permati. Jika semula seakan-akan mereka tidak sempat untuk memikirkannya, namun kemudian ketika Kediri menjadi tenang, maka waktu-pun terasa semakin lapang untuk melihat Kediri dalam hubungannya dengan Pakuwon dan Singasari sendiri.

Ketika seorang Pangeran sempat datang ke sebuah ruang tempat membatasi gerak Pangeran Lembu Sabdata, maka Pangeran itu mendengar dalam ketidak sadarannya Pangeran Lembu Sabdata telah mengigau tentang cita-cita perjuangan Pangeran Kuda Permati.

“Cita-cita itu memang menarik,” berkata Pangeran itu, “Tetapi cara yang diambil oleh Kakangmas Kuda Permati ternyata keliru.”

Namun dalam pada itu, Pangeran yang menganggap langkah-langkah Pangeran Kuda Permati itu keliru, telah merenungkan cara-cara yang lebih tepat untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian, maka keinginan Kediri untuk memisahkan diri atau bahkan sebaliknya menguasai Singasari tidak dapat dipadamkan sejalan dengan padamnya pemberontakan Pangeran Kuda Permati. Namun para Pangeran di Kediri tidak ingin melakukan kesalahan sebagaimana dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati yang jusru telah membakar Kediri dan mengorbankan putera-putera terbaiknya.

“Cara yang ditempuh harus cara yang lebih baik dengan persiapan yang lebih masak,” berkata seorang Pangeran, “Karena itu, maka selagi Sri Baginda di Kediri masih memegang pemerintahan, maka sulit bagi Kediri untuk dapat berbuat sesuatu.”

Beberapa orang pemimpin Kediri menganggap bahwa persatuan dibawah Singasari sebenarnya dapat terjadi sebaliknya. Persatuan dibawah pimpinan Kediri. Tanpa mengorbankan usaha mempersatukan daerah yang sangat luas dalam satu panji-panji. Namun Kedirilah yang seharusnya memegang panji-panji kekuasaan. Tetapi semuanya masih harus disimpan didalam hati. Para pemimpin itu sadar, bahwa mereka masih harus menunggu satu tataran keturunan lagi untuk dapat bertindak sesuai dengan mimpi yang mengasyikkan itu.

Namun sebaliknya, Singasari yang melihat kesungguhan para pemimpin Kediri melawan pemberontakan Pangeran Kuda Permati merasa bahwa para pemimpin di Kediri benar-benar menempatkan diri pada tata hubungan yang sudah ada antara Kediri dan Singasari. Karena itu, maka Singasari telah menaruh kepercayaan yang semakin besar kepada Kediri.

Bersamaan dengan kepercayaan yang semakin tebal itu, maka pepohonan di lereng-lereng pegunungan-pun tumbuh dengan suburnya. Hutan-hutan yang semula kehilangan kelebatannya, telah menjadi lebat kembali. Seribu macam pepohonan telah membuat hutan-hutan menjadi hijau dan lembah-lembah-pun nampak semakin subur bagaikan dibentangi selembar permadani yang hijau tebal menyelubungi lembah dan lereng pegunungan.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun telah melakukan satu tugas yang penting. Dalam keadaan yang paling sulit dalam hubungan antara Singasari dan Kediri, maka kedua anak muda itu telah ikut serta menunaikan tugas-tugas yang berbahaya. Dalam keadaan yang semakin tenang, maka keduanya telah menjadi lebih banyak berada kembali di rumahnya.

Namun satu hal yang masih tetap mengganggu perasaan mereka, adalah masa-masa permulaan dari petualangan mereka. Namun mereka selalu teringat pula pesan ayahnya dan juga kakaknya, agar mereka tidak terlalu cepat menyangkutkan nama-nama mereka dengan nama-nama seorang gadis.

Tetapi sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bukannya menghentikan sama sekali kegiatan mereka hilir mudik antara Singasari dan Kediri. Sekali-sekali ia masih juga berada di Kediri, di sebuah kedai nasi dan bahkan masih juga membantu Pugutrawe menyelenggarakan kedai itu.

Namun adalah berita yang sulit untuk mendapat tempat dalam pembicaraan-pembicaraan resmi, bahwa pada saat yang demikian ternyata ada benih-benih yang pada suatu saat akan dapat tumbuh menjadi pohon raksasa yang akarnya menghunjam jauh kedalam tanah dan mencengkeram tanpa dapat dilepaskan lagi.

“Kakang Mahisa Bungalan,” berkata Mahisa Murti pada suatu saat, “para petugas sandi di Kediri masih tetap mencemaskan keadaan.”

“Kami dapat mengerti,” jawab Mahisa Bungalan, “Tentu sisa-sisa sikap para pengikut Pangeran Kuda Permati tidak dapat dihapuskan dalam waktu satu dua hari.”

“Bukan kakang,” potong Mahisa Pukat, “bukan sisa-sisa sikap Pangeran Kuda Permati, tetapi justru semacam satu keyakinan yang baru tumbuh. Mereka sama sekali tidak menghendaki peristiwa yang baru saja terjadi itu terulang. Satu peristiwa pahit yang telah hampir saja melumpuhkan Kediri. Pada umumnya para pemimpin di Kediri telah memuji sepak Pangeran Singa Narpada, yang meskipun seorang yang keras hati, namun dengan tidak jemu-jemunya berusaha untuk mengurangi korban sejauh dapat dilakukan. Bahkan usahanya untuk mempertemukan puteri Purnadewi dengan Pangeran Kuda Permati merupakan landasan yang paling tepat untuk menghentikan perang yang tiada berkeputusan. Kemudian pengorbanan puteri Purnadewi adalah pengorbanan yang tidak ada taranya.”

“Jadi apa yang mereka lakukan?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Lebih berbahaya dari sekedar menebangi pepohonan. Meskipun juga satu rencana jangka yang panjang,” jawab Mahisa Murti.

“Ya, apa?” desak Mahisa Bungalan.

“Mereka menanamkan pengertian, bahwa sebenarnya Kediri mempunyai kedudukan yang lebih penting dari Singasari,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian sambil tersenyum, “jangan dirisaukan. Kesadaran itu tidak akan dapat mempangaruhi para pemimpin Kediri yang sudah meyakini, bahwa hubungaan antara Kediri, Singasari dan keluarga yang lain adalah hubungan yang serasi.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat memberikan bukti-bukti yang dapat meyakinkan Mahisa Bungalan. Tetapi ia berusaha untuk memperingatkan para pemimpin di Singasari lewat Mahisa Bungalan, agar mereka tidak menjadi lengah.

“Jangan cemas,” ulang Mahisa Bungalan, “Meskipun demikian peringatan ini akan kami perhatikan. Kami akan selalu menunggu keterangan-keterangan yang dapat memberikan petunjuk tentang pergolakan yang terjadi di Kediri.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada datar Mahisa Murti berkata, “Kami akan mencoba. Tetapi keterangan yang akan dapat kami berikan tergantung sekali kepada kegiatan kawan-kawan kita yang ada di Kediri. Tetapi kita dapat yakin, bahwa mereka akan bekerja sebaik-baiknya. Bukan untuk mencari kesalahan-kesalahan, tetapi untuk kepentingan bersama. Karena persoalan hubungan antara Kediri dan Singasari akan menyangkut kelestarian hidup Singasari sebagai satu kesatuan yang besar yang meliputi daerah yang sangat luas.”

Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, “Kalian benar. Karena itu, maka setiap keterangan akan kami hargai. Namun aku ingin memperingatkan kepada kalian, bahwa kalian jangan terlalu dicengkam oleh kegiatan-kegiatan yang masih belum menunjukkan arah yang pasti.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Baru kemudian Mahisa Pukat menjawab, “Baiklah kakang. Tetapi kamipun tidak akan dapat terlalu mengabaikan keadaan di Kediri.”

Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasakan bahwa orang-orang dan terutama para pemimpin di Singasari terlalu percaya bahwa Kediri benar-benar telah dapat diamankan. Bukan saja dari unsur gerak kewadagannya, tetapi juga unsur kejiwaannya. Sehingga dengan demikian, maka Singasari yang mengikuti pergolakan di Kediri itu menganggap bahwa pemimpin-pemimpin di Kediri telah menunjukkan satu sikap yang dapat diandalkan untuk menanggulangi pikiran-pikiran lain yang tumbuh di Kediri.

Namun Singasari melupakan satu hal yang sebenarnya sangat penting. Sri Baginda sendiri sebenarnya selalu dibayangi oleh keragu-raguan, apakah yang sebaiknya dilakukan. Ia tidak segera menghambat gerakan Pangeran Kuda Permati, sehingga gerakkan itu sempat menjadi besar dan sulit untuk diselesaikan. Bahkan Sri Baginda merasa sangat kecewa ketika Pangeran Singa Narpada menangkap Pangeran Lembu Sabdata, sehingga justru telah mengambil satu kebijaksanaan yang aneh. Keduanya telah dimasukkan kedalam tahanan.

Baru ketika api peperangan tidak dapat dipadamkan, Pengeran Singa Narpada telah diberi kesempatan untuk bertindak. Meskipun agak terlambat, namun akhirnya dengan bantuan dan pengorbanan yang tiada taranya dari puteri Purnadewi, api peperangan dapat dipadamkan.

Tetapi keraguan-raguan Sri Baginda itu merupakan satu hal yang sangat gawat bagi perkembangan Kediri selanjutnya. Langkah-langkah yang kemudian diambil sama sekali tidak menunjukkan satu kepastian sikap menghadapi Singasari. Sehingga nampak satu kecenderungan bahwa sebenarnya Sri Baginda juga melihat satu sisi yang lain dari hubungan antara Kediri dan Singasari.

Namun demikian, Sri Baginda masih tetap memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Sebagai seorang Raja, maka Sri Baginda harus memperhatikan keadaan rakyatnya dalam keseluruhan segi kehidupan mereka. Karena itu, maka untuk sementara, Sri Baginda di Kediri tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa didalam hubungan antara Kediri dan Singasari terdapat persoalan.

Namun tidak mudah untuk melihat batin seseorang. Tidak ada orang yang tahu, apa yang tersimpan di hati Sri Baginda di Kediri. Pada saat-saat menjelang tidur, Sri Baginda selalu merenungi persoalan yang hidup didalam lingkungannya. Juga persoalan yang hidup didalam dirinya.

Tetapi Sri Baginda mencoba untuk berlaku bijaksana, sehingga ia hanya dapat berkata didalam hatinya, “Aku akan menyerahkan segala sesuatunya kepada penggantiku kelak. Apakah ia akan tetap menerima kenyataan Kediri seperti sekarang, atau ia mempunyai pilihan lain.”

Karena itu, bagi Sri Baginda, persoalan hubungan antara Kediri dan Singasari telah ditundanya untuk satu keturunan. Sementara itu putera Sri Baginda mulai tumbuh menjadi seorang anak yang mempunyai kelebihan dari anak-anak yang lain. Dalam masa anak-anaknya putera Sri Baginda di Kediri telah menunjukkan bahwa ia akan dapat menjadi seorang yang melampaui tataran orang kebanyakan.

Sementara itu, semakin lama keadaan baik di Kediri mau-pun di Singasari dalam ujud lahiriahnya, menjadi semakin tenang. Tidak ada lagi pertempuran-pertempuran yang merenggut berpuluh jiwa. Tidak ada lagi kekerasan yang membakar hubungan antara manusia. Meskipun seka-li-sekali masih juga terdengar suara titir yang memberitahukan peristiwa yang dapat menimbulkan kematian dan bencana, sebagaimana terjadinya perampokan dan kekerasan yang lain, namun peristiwa yang demikian jarang sekali terjadi. Para prajurit di Kediri mau-pun di Singasari serta daerah-daerah yang lain akan dengan cepat mengatasinya. Sehingga dengan demikian, maka menurut ujud lahiriahnya, Singasari dan keluarga besarnya telah menjadi tenang.

Dalam keadaan yang demikian, maka Mahisa Bungalan sempat memperhatikan keadaan dua adiknya. Karena itu pada saat ia mendapat kesempatan untuk pulang dan kebetulan sekali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ada di rumah, maka Mahisa Bungalan telah minta waktu kepada ayahnya untuk dapat berbicara dengan kedua adiknya itu di hadapan ayahnya.

“Apa yang penting untuk dibicarakan secara khusus Mahisa Bungalan?” bertanya Mahendra.

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Ayah. Aku tidak berkeberatan memberikan kesempatan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk bertualang, untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman didalam kehidupannya sebagai bekal dimasa mendatang. Tetapi keduanya harus memperhatikan keadaan yang berkembang di sekitar kita sekarang. Setiap orang menjadi semakin tinggi tingkat ilmunya. Memang dalam bertualang, keduanya akan mendapat pengalaman yang dapat memberikan arti kepada ilmu dasar mereka untuk berkembang. Tetapi pada mulanya apa yang mereka kuasai adalah masih pada tataran yang belum menodai.”

Mahendra mengangguk-angguk. Ia mulai mengerti maksud anaknya. Ternyata bahwa Mahisa Bungalan juga masih tetap memperhatikan keadaan adiknya meskipun ia sendiri selalu terlibat kedalam tugas-tugas yang sangat berat. Karena itu, maka Mahendra-pun berkata, “Jadi, kau bermaksud untuk menahan kedua adikmu agar tetap tinggal di rumah. Setidak-tidaknya untuk sementara, agar dengan demikian, maka mereka mendapat kesempatan melengkapi bekal mereka?”

“Ya,” jawab Mahisa Bungalan, “aku menjadi cemas bahwa dasar ilmu dari perguruan yang tersalur kepada kita akan menjadi semakin berkurang. Bukankah kita mengenal paman Witantra yang seakan-akan tidak ada tandingnya di samping paman Mahisa Agni. Keduanya sudah terlalu tua. Sementara itu ayah juga sudah menjadi semakin tua pula. Tetapi mungkin kemampuan yang ayah miliki masih tersimpan sebagian besar didalam diri ayah sendiri. Karena itu, maka apakah sekiranya ayah tidak berniat untuk menuangkan ilmu yang ada di dalam diri ayah itu kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sampai tuntas. Mereka akan dapat menjadi pewaris ilmu ini dengan sepenuhnya. Akan lebih mantap kiranya, jika kami yang muda-muda ini juga mampu menguasai dengan sempurna ilmu Bajra Geni atau jika paman Mahisa Agni tidak berkeberatan, ilmu yang pada akhirnya akan mampu melontarkan kekuatan aji Gundala Sasra. Dalam petualangannya kelak, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan dapat lebih banyak memberikan arti kepada kehidupan di sekelilingnya.”

Mahendra mengangguk-angguk pula. Sebenarnya ia sependapat dengan Mahisa Bungalan. Jika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sempat menyadap ilmu puncak dari saluran ilmu mereka, maka cabang ilmu mereka-pun semakin lama akan menjadi semakin susut, sehingga akhirnya, akan merupakan cabang ilmu yang tidak bernilai dibandingkan dengan cabang ilmu yang lain.

Karena itu, maka Mahendra-pun kemudian berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Anak-anak. Kalian mendengar keterangan kakakmu yang tentu sudah kalian mengerti maksudnya? Karena itu akan memerlukan pendapatmu apakah kalian setuju dengan kakakmu Mahisa Bungalan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Namun rasa-rasanya mereka masih senang menempuh perjalanan hilir mudik dari Kediri ke Singasari dengan membawa persoalan-persoalan yang kadang-kadang nampaknya tidak berarti, tetapi ternyata harus mendapat perhatian yang cukup besar. Apalagi hubungannya dengan orang-orang Singasari dalam tugas sandi di Kediri menjadi semakin rapat, sehingga rasa-rasanya mereka tidak akan dapat meninggalkan kawan-kawan mereka itu.

Karena kedua adiknya tidak segera menjawab, maka Mahisa Bungalan kemudian berkata, “Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mungkin kau merasa bahwa kau terpanggil untuk melakukan tugasmu sekarang, sehingga kau menyenanginya. Tetapi kau harus memikirkan masa depan yang panjang bagi tugas-tugas yang lebih besar. Selebihnya siapakah yang akan mewarisi kemampuan yang tersimpan didalam cabang ilmu pada jalur keluarga kita?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun akhirnya Mahisa Murti-pun berkata, “Banyak yang harus kami pertimbangkan kakang. Tetapi yang paling menyentuh hati kami adalah pertanyaan kakang. Siapakah yang akan mewarisi ilmu keluarga kita seutuhnya, karena satu kenyataan bahwa kami berdua sekarang memang bukan apa-apa.”

“Jadi, apakah kalian sudah dapat mengambil satu kepastian sikap?” bertanya Mahisa Bungalan.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun Mahisa Pukatlah yang menjawab, “Kakang. Dengan demikian, maka rasa-rasanya memang ada kewajiban bagiku untuk melanggengkan cabang ilmu keluarga kita, dan bahkan mungkin juga ilmu yang tersimpan didalam diri paman Witantra dan paman Mahisa Agni. Paman Witantra mempunyai jalur ilmu yang sama dengan ayah, tetapi paman Mahisa Agni agaknya mempunyai sumber ilmu yang berbeda. Jika sampai saat ini ilmu yang kami pelajari masih jauh dari pada utuh, maka baiklah, kami akan bersedia untuk melakukannya.”

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnya ilmu dasarnya memang sudah kalian kuasai. Tetapi kalian harus membuka kemungkinan untuk mengembangkannya dengan laku yang berat. Itulah yang harus kalian lakukan kemudian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk pula. Dengan nada datar Mahisa Murti berkata, “Tetapi kami harus minta diri kepada kawan-kawan kami di Kediri.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat dengan begitu saja meninggalkan tugasnya. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun harus melaporkan kepada perwira yang telah memberikan kepadanya pertanda bagi petugas sandi di Kediri, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat berhubungan dengan seorang pemilik kedai bernama Pugutrawe dan kemudian bekerja bersamanya dengan bantuan beberapa orang dan terutama bantuan Ki Waruju meskipun ia tidak termasuk dalam lingkungan para petugas sandi, tetapi ia cukup banyak memberikan pertolongan bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di dalam tugas-tugasnya.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan-pun kemudian berkata. “Aku tidak berkeberatan jika kalian memang ingin minta diri kepada orang-orang yang telah bekerja bersamamu dalam tugas sandimu. Tetapi setelah itu, kau harus kembali kepada ayah dan mulai dengan menempa diri lebih baik lagi bagi kepentingan di masa depan. Bukankan kau menyadari, bahwa dalam keadaan yang kemelut, yang menurut keterangan kalian sendiri, Kediri justru bergerak lebih jauh dari sekedar menebangi pepohonan, karena beberapa orang pemimpin mereka justru telah menyebarkan keyakinan yang meracuni hubungan Kediri dan Singasari, maka setiap orang memerlukan bekal untuk menghadapi masa yang mungkin akan diliputi oleh pertentangan di Kemudian hari?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Pukat-pun berkata, “Baiklah Kakang. Aku mengerti sepenuhnya bahwa kami harus berusaha untuk tidak ditinggalkan oleh kemajuan ilmu disekeliling kami. Karena itu, maka kami akan dengan segera berada kembali di rumah untuk berbuat sebaik-baiknya, agar ilmu kami dapat meningkat.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk pula. Katanya, “Baiklah. Jika kalian kembali, segala sesuatunya terserah kepada ayah. Ayah dapat menempa kalian tanpa bantuan orang lain, tetapi ayah juga dapat minta bantuan paman Witantra dan paman Mahisa Agni sebagaimana dilakukan atas aku dahulu. Tetapi ternyata banwa aku tidak dapat menekuni keinginan ayah untuk menjadi seorang yang berilmu tingi. Karena itu, selagi masih ada kesempatan bagi kalian, maka kalian dapat mempergunakan sebaik-baiknya.”

Mahisa Murti memandang ayahnya sekilas. Kemudian katanya, “Bagaimana dengan keputusan ayah? apakah kami boleh pergi lebih dahulu ke Kediri sebagaimana dikatakan oleh kakang Mahisa Bungalan.”

“Aku sependapat dengan kakakmu,” jawab Mahendra, “Tetapi berhati-hatilah. Kalian harus dapat menjelaskan dengan meyakinkan bahwa kalian tidak menarik diri. Tetapi kalian ingin memperlengkap bekal kalian untuk melakukan tugas tugas kalian kelak. Dengan demikian, maka kalian tidak akan mengalami banyak hambatan.”

“Baiklah ayah,” berkata Mahisa Murti, “Kami akan segera berangkat dalam waktu dekat. Jika hari ini kami selesai berbenah diri, maka besok pagi-pagi benar kami akan berangkat ke Kediri, menemui kawan-kawan yang berada di Kediri.”

“Pergilah,” berkata Mahendra, “Sementara itu aku sempat berbicara dengan paman-pamanmu Witantra dan Mahisa Agni. Dalam usia mereka yang semakin tua, apakah mereka masih sanggup untuk bekerja keras, menempa kalian, sehingga kalian memiliki kemampuan yang pantas bagi tugas-tugas kalian kelak.”

Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun telah memutuskan untuk segera pergi ke Kediri, agar mereka segera dapat mulai dengan satu tugas baru yang tidak kalah beratnya dari tugas yang pernah diembannya sebelumnya meskipun tugas-tugas mendatang lebih condong kepada tugas-tugas untuk kepentingan pribadi. Tetapi hasilnya kelak akan dapat dipergunakannya sebagai bekal pengabdiannya kepada Singasari.

Demikianlah, seperti yang dikatakannya, maka di keesokan harinya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah siap untuk berangkat. Di halaman, ayahnya mengantarkannya sampai ke regol, sementara Mahisa Bungalan telah tidak ada lagi di rumah itu karena ia sudah kembali semalam ke baraknya.

“Hati-hatilah,” berkata Mahendra, “jangan terjerat justru pada saat kau ingin menyatakan diri untuk sementara meninggalkan tugas-tugas sandi itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun dengan tulus menyatakan kesanggupan mereka untuk selalu mengingat segala pesan ayahnya. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu-pun telah meninggalkan rumahnya menuju ke Kediri. Dengan demikian, maka keduanya telah menempuh jarak yang cukup jauh. Namun jarak itu sudah ditempuhnya berulang kali, selama mereka melakukan tugas sandi mereka.

Sementara itu, di sebuah padepokan yang terpencil jauh dari pusat-pusat keramaian, seorang pertapa duduk terpekur merenungi ujung tongkatnya yang terbuat dari emas, berukir kepala seekor kuda. Sekali-sekali pertapa yang duduk sendiri diatas sebuah batu hitam di halaman samping padepokannya itu tanpa ada seorang cantrik-pun yang menemaninya, karena pertapa itu memang ingin duduk sendiri.

Namun kemudian ia jemu pada kesendiriannya, dan dipanggilnya seorang putut yang peling dekat dengan dirinya. Tetapi Putut itu hanya dapat duduk sambil menunduk. Ia tidak berani berbicara mendahului pertapa yang nampaknya sedang berduka itu.

Namun akhirnya pertapa itulah yang bertanya kepada Putut itu, “Apakah pekerjaanmu sudah selesai?”

Putut itu mengangguk hormat sambil menjawab, “Masih ada yang belum selesai guru. Tetapi tidak terlalu penting.”

“Apa?” bertanya pertapa itu.

“Kami, para cantrik sedang memperbaiki sanggar. Tetapi sebagian terbesar dari pekerjaan yang penting telah kami selesaikan, sehingga aku rasa, aku tidak perlu selalu menungguinya.”

Pertapa itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Bagaimana pendapatmu tentang persoalan yang tadi malam aku katakan kepadamu?”

Putut itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya, “Maksud guru, persoalan yang menyangkut Pangeran Lembu Sabdata?”

“Ya,” jawab pertapa itu.

Putut itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Menurut pengamatanku, jarak antara Pangeran Kuda Permati dan Pangeran Lembu Sabdata terlalu jauh, sehingga apabila guru berniat menempatkan Pangeran Lembu Sabdata didalam tugas-tugas Pangeran Kuda Permati, maka masih diperlukan waktu yang sangat lama.”

“Kita tidak tergesa-gesa. Jika perlu kita akan menunggu satu atau dua keturunan lagi. Itu lebih baik daripada kita untuk sepanjang abad membiarkan keadaan seperti sekarang ini.”

“Perjuangan Pangeran Kuda Permati ternyata gagal guru,” berkata Putut itu.

“Kegagalannya justru terjadi sangat menyedihkan. Aku sebenarnya berharap, bahwa Pangeran Kuda Permati akan mendapat kesempatan bertemu dalam peperangan atau dimana saja, bahkan dalam perang tanding sekali-pun di hadapan saksi-saksi. Aku yakin, bahwa Pangeran Kuda Permati akan dapat mengalahkan Pangeran Singa Narpada betapa-pun juga garangnya Pangeran yang keras kepala dan keras hati itu.”

“Aku sependapat guru,” jawab Putut itu.

“Tetapi kematian Pangeran Kuda Permati adalah kematian yang paling pahit dari seorang prajurit. Ia dibunuh oleh isterinya sendiri yang menjadi jemu melihat tingkah laku suaminya,” berkata pertapa itu.

“Tetapi untuk membentuk Pangeran Lembu Sabdata diperlukan jalan yang sangat panjang. Ia sekarang masih berada didalam tahanan di Kediri serta diawasi dengan ketat, apalagi sekarang Pangeran Lembu Sabdata dikabarkan menderita gangguan syarafnya,” berkata Putut itu.

“Penyakitnya bukan soal bagiku. Aku akan mengobatinya. Sementara sudah aku katakan, bahwa kita tidak terikat akan waktu. Meskipun aku memerlukan waktu yang lama, tetapi akhirnya waktu itu akan datang juga.”

“Tetapi Pangeran Lembu Sabdata tidak dalam keadaan bebas sekarang guru,” berkata Putut itu.

Pertapa itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Apakah pada satu saat ia tidak akan dibebaskannya?”

“Jika penyakitnya belum sembuh, maka aku kira ia masih akan tetap dalam satu pembatasan. Bukan hanya karena ia terlibat dalam gerakan Pangeran Kuda Permati. Tetapi juga karena penyakitnya itu.”

“Ketahuilah,” berkata pertapa itu kepada Pututnya, “Aku sama sekali tidak dapat menerima akhir dari perjuangan Pangeran Kuda Permati. Aku harus berbuat sesuatu. Karena itu, maka aku akan mengambil Pangeran Lembu Sabdata. Ia akan tinggal di padepokan ini. Aku akan menempanya dalam ilmu dan olah kanuragan, sehingga akhirnya ia memiliki kemampuan seperti Pangeran Kuda Permati. Baru kemudian aku akan melepasnya, sementara itu bukankah para pemimpin di Kediri sendiri masih juga selalu dibayangi oleh keragu-raguan sikap sebagaimana Sri Baginda sendiri? Nah, pada suatu saat maka pemberontakan seperti yang dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati akan terjadi lagi. Jauh lebih dahsyat, sementara Pangeran Singa Narpada sudah tidak mampu lagi berbuat apa-apa, karena ia akan menjadi semakin tua, dan kekuatannya akan menjadi aus dimakan umurnya.”

Putut itu tidak menjawab. Tetapi agaknya gurunya telah membuat perhitungan yang mantap untuk mulai dengan langkah-langkah barunya sepeninggal Pangeran Kuda Permati, murid kesayangannya. Apalagi kematian Pangeran Kuda Permati bagi pertapa itu adalah kematian yang sangat menyakitkan. Lebih baik Pangeran Kuda Permati mati dipeperangan daripada mati di pembaringan.

Namun demikian Putut itu-pun mengulang lagi, “Tetapi guru. Pangeran Lembu Sabdata ada didalam tahanan yang dijaga sangat ketat atas perintah Pangeran Singa Narpada.”

Pertapa itu tersenyum. Katanya, “Apa katamu jika aku memerintahkan kepadamu untuk mengambil Pangeran Lembu Sabdata?”

Putut itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika aku mendapat perintah itu guru, maka aku akan menjalankannya dengan penuh tanggung jawab, apa-pun yang akan terjadi.”

Pertapa itu mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Kau adalah muridku yang dapat aku banggakan. Sebenarnya aku dapat menjadikan kau pengganti Pangeran Kuda Permati didalam olah kanuragan. Tetapi untuk memimpin perlawanan ini aku memang merasa perlu bekerja bersama dengan pihak istana atau keluarganya. Dengan seorang Pangeran, maka segalanya akan berjalan lebih lancar dan para pengikut-pun akan menjadi tidak ragu-ragu, bahwa trah istana telah melibatkan diri pula.”

Putut itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengerti sepenuhnya. Seandainya ia menjadi semakin matang didalam ilmu, namun ia tidak akan dapat berjuang untuk menggantikan kedudukan Pangeran Kuda Permati. Hanya orang yang memiliki darah bangsawan sajalah yang akan dipercaya untuk memegang pimpinan dan kelak menjadi Raja didalam satu negara Kediri yang menguasai semua daerah yang sekarang dipersatukan oleh Singasari. Karena itu, maka yang akan dapat menggantikan kedudukan Pangeran Kuda Permati, sehingga akan mendapat pengikut yang meyakinkan adalah keluarga istana Kediri sendiri.

Dengan demikian, maka Putut itu-pun berkata, “Guru. Sebenarnyalah hanya keluarga bangsawan sajalah yang akan dapat menerima wahyu keraton. Karena itu, maka aku kira, apa yang guru maksudkan dengan mengambil Pangeran Lembu Sabdata adalah jalan yang paling tepat. Namun jika usaha mengambil itu gagal oleh Pangeran Singa Narpada, maka baik yang mengambil mau-pun yang diambil tentu tidak akan ada ampun lagi. Pangeran Singa Narpada tidak akan memberikan kemungkinan lagi bahwa pada suatu saat usahaku berhasil.”

“Hukuman mati?” bertanya pertapa itu.

“Ya, guru,” jawab Putut itu. Tetapi katanya kemudian, “Namun demikian, apa-pun yang mungkin terjadi akan aku lakukan jika guru memerintahkan aku untuk mengambil Pangeran Lembu Sabdata di bilik tahanannya.”

Pertapa itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Apakah kau sudah mengetahui dimana Pangeran Lembu Sabdata ditahan, dan apakah kau dapat mengira-irakan kekuatan yang menjaganya?”

“Belum guru. Tetapi sudah barang tentu, untuk membebaskan Pangeran Lembu Sabdata, maka hal itu harus diketahui lebih dahulu.”

Pertapa itu tersenyum. Lalu katanya, “Aku percaya padamu. Aku percaya kepada keberanianmu dan kesetiaanmu. Namun untuk tugas ini aku tidak sampai hati menyerahkannya kepadamu.”

“Kenapa guru? Apakah guru tidak yakin akan kemampuanku?” bertanya Putut itu.

“Jika aku memaksamu pergi, maka akan sama artinya dangan aku telah membunuhmu,” berkata pertapa itu, “Aku mengerti betapa kuatnya penjagaan di Kediri khususnya pada tempat Pangeran Lembu Sabdata itu disimpan. Karena itu, pekerjaan ini hanya pantas aku lakukan sendiri. Mungkin aku akan membawamu untuk membantuku. Tetapi bukan kau sendiri.”

Putut itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Terima kasih guru. Tetapi aku akan tetap menerima tugas apa-pun juga meskipun kemungkinan maut itu membahayangiku.”

“Aku percaya kepadamu. Tetapi tugas ini bukan tugas anak-anak,” jawab pertapa itu. Lalu, “Siapkan sanggar. Aku akan berada dalam sanggar sebelum aku mengambil keputusan pergi ke Kediri.”

Putut itu mengangguk hormat. Kemudian katanya, “Apakah aku harus melakukannya sekarang guru.”

“Ya. Bersihkan dirimu sesudah itu, dan ikut dalam dunia hening, agar usahaku berhasil,” berkata pertapa itu.

Sejanak kemudian Putut itu-pun telah meninggalkan pertapa itu. Ia pergi kepada para cantrik yang sedang memperbaiki sanggar. Namun seperti yang dikatakannya, bahwa pekerjaan itu memang sudah hampir selesai. Sehingga karena itu, maka pekerjaan itu sudah dapat dihentikannya. Diberitahukannya kepada para cantrik, bahwa guru mereka akan berada dalam sanggar untuk melakukan semedi. Bukan untuk memberikan latihan-latihan olah kanuragan.

“Beristirahatlah,” berkata Putut itu, “pekerjaan kalian agaknya memang sudah selesai.”

Para cantrik-pun kemudian telah meninggalkan pekerjaan mereka membersihkan dan memperbaiki sanggar itu, karena sanggar itu akan dipergunakan oleh guru mereka. Putut itu-pun kemudian telah pergi ke pakiwan untuk membersihkan dirinya, karena ia akan ikut bersama gurunya memasuki sanggar dan melakukan semedi.

Demikianlah, maka pertama itu telah mengambil satu keputusan didalam samadinya untuk melepaskan dan membawa Pangeran Lembu Sabdata ke padepokan itu. Pangeran Lembu Sabdata harus menjadi lambang perjuangan orang-orang Kediri sebagaimana dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati. Bahkan pertapa itu akan berusaha untuk mempengaruhi sikap Sri Baginda yang masih selalu diombang-ambingkan oleh keragu-raguan itu.

Jika hal itu berhasil dilakukan, dan Sri Baginda sendiri dapat menentukan sikapnya melawan Singasari, maka sebenarnya Kediri akan mampu melaksanakannya. Bahkan mungkin Singasari akan banyak kehilangan dukungan dari Pakuwon-pakuwon yang akan berpihak kepada Kediri atau usaha mereka untuk membebaskan dari pengaruh Singasari.

Tengah malam, maka pertapa bersama muridnya yang paling dekat dengan dirinya itu telah menyelesaikan semadinya. Mereka keluar dari sanggar setelah semua orang tertidur nyenyak.

“Ya guru,” jawab Pututnya, “lalu, apakah guru juga akan beristirahat.”

“Ya. Sebentar lagi,” jawab gurunya.

Putut itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia-pun telah pergi kedalam biliknya, sementara gurunya telah pergi ke samping padepokannya dan duduk diatas sebuah batu hitam sebagaimana sering dilakukannya.

Sepi malam terasa meresap sampai kepusat jantung. Pertapa yang duduk diatas sebuah batu seorang diri itu memandang ke dalam kegelapan. Seolah-olah ia ingin melihat apa yang terdapat dibalik kegelapan itu.

Pertapa itu tidak dapat mengingkari penglihatan hatinya terhadap persoalan yang akan dilakukannya. Sebagaimana ia memandang malam itu, maka persoalan yang dihadapinya-pun terlalu gelap baginya. Ia memang mungkin dapat mengambil Pangeran Lembu Sabdata. Namun apakah Pangeran itu akan dapat memenuhi keinginannya.

“Tetapi aku harus berusaha,” berkata pertapa itu di dalam hatinya. Apa-pun yang akan terjadi, namun pertapa itu merasa harus berbuat sesuatu sebagaimana diputuskan didalam samadinya. Bahwa ia akan mengambil Pangeran Lembu Sabdata.

Meskipun dalam keheningan dunianya ia tidak menemukan jawaban yang terang, namun ia telah menemukan satu tekad untuk melakukannya. Pertapa itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu dikejauhan mulai terdengar suara ayam jantan yang berkokok bagaikan saling bersahutan.

Pertapa itu-pun kemudian berdiri dan meninggalkan batu yang sering menjadi tempat baginya untuk menyendiri itu. Pada sisa malam ia memasuki biliknya. Namun ia tidak dapat melepaskan diri dari gejolak perasaannya. Karena itu, meskipun kemudian pertapa itu berbaring dipembaringannya, namun matanya sama sekali tidak terpejam.

Demikianlah, maka sejak hari itu, maka pertapa beserta seorang Pututnya yang terdekat telah menyiapkan diri lahir dan batin untuk mengadakan perjalanan ke Kediri dan mengambil Pangeran Lembu Sabdata. Mereka masih harus menyelidiki dimana Pangeran itu ditahan dan mereka masih harus mengetahui sampai seberapa jauh ketatnya penjagaan.

“Selama ketatnya penjagaan hanya sekedar ketatnya penjagaan kewadagan, maka aku akan dengan mudah menembusnya dan membawa Pangeran itu ke padepokan ini,” berkata pertapa itu kepada Pututnya.

Pututnya itu-pun mengangguk hormat. Ia mengerti maksud pertapa itu. Bahwa ia akan dapat mempergunakan ilmunya untuk menyesatkan atau bahkan untuk menghapuskan sama sekali pengamatan orang-orang Kediri terhadap kehadirannya. Yang penting baginya hanyalah menentukan saja, kapan ia akan pergi ke Kediri dan melakukan niatnya itu. Akhirnya, pertapa itu-pun mengambil keputusan bahwa di hari terakhir pekan itu mereka akan berangkat ke Kediri untuk melaksanakan maksudnya.

Pada hari yang ditentukan, maka pertapa itu telah memanggil murid-muridnya yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Tetapi pertapa itu tidak berkata sebenarnya apa yang akan dilakukannya. Ia hanya mengatakan, bahwa untuk beberapa waktu ia akan meninggalkan padepokan itu bersama Putut yang dianggap paling tua diantara murid-muridnya itu.

“Kapan guru akan datang kembali?” bertanya seorang cantrik.

“Aku tidak dapat mengatakannya, “jawab pertapa itu, “Tetapi tidak akan lebih dari sepuluh hari.”

“Sepuluh hari,” ulang seorang cantrik, “begitu lama?”

Pertapa itu berpaling. Dipandanginya cantrik itu sejenak. Lalu jawabnya sambil tersenyum, “Hanya sepuluh hari. Terlalu pendek untuk satu tugas tertentu.”

Cantrik itu-pun menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh.

Dalam pada itu, maka pertapa itu-pun telah menunjuk salah seorang muridnya yang tertua diantara mereka yang ditinggalkannya untuk bertanggung jawab atas padepokan itu selama ditinggalkannya bersama muridnya yang tertua.

“Mudah-mudahan tidak ada persoalan yang gawat terjadi selama guru tidak di padepokan,” berkata muridnya itu.

“Kalian sudah cukup dewasa, sehingga sudah saatnya bagi kalian untuk belajar bertanggung jawab, karena pada satu saat, gurumu ini akan pergi untuk tidak kembali,” berkata gurunya kemudian.

Para cantriknya tidak bertanya lagi. Mereka menyadari tentu ada satu tugas yang sangat penting yang akan dilakukan oleh guru mereka, karena mereka menyadari, guru mereka itu jarang sekali keluar dari gerbang padepokan jika tidak ada sesuatu yang sangat penting. Apalagi menurut pengamatan mereka dalam beberapa hari terakhir, gurunya nampak murung dan lebih senang duduk seorang diri.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, pertapa itu-pun telah minta diri untuk berangkat menuju ke tempat yang tidak diberitahukannya pula kepada murid-muridnya yang ditinggalkannya. Namun demikian mereka lepas dari padepokannya, maka mereka-pun tidak membuang waktu. Mereka langsung dengan cepat menuju ke Kota Raja Kediri.

“Waktu kita tidak terlalu lama,” berkata Putut itu.

Tetapi pertapa itu tersenyum. Katanya, “Kita tidak terikat kepada yang sepuluh hari itu. Aku hanya menyebut angka asal saja. Mungkin kita memang memerlukan waktu yang lebih lama.”

Putut itu menarik nafas dalam-dalam. Namun baginya sepuluh hari adalah waktu yang sangat sempit. Mereka masih belum tahu keadaan Pangeran Lembu Sabdata yang sesungguhnya. Sehingga karena itu, mereka masih harus mempelajarinya sebelum berbuat sesuatu.

Demikianlah, maka kedua orang itu-pun berusaha untuk dapat mencapai Kediri secepat-cepatnya. Tetapi keduanya sengaja tidak mempergunakan kuda, agar mereka dapat bergerak lebih bebas selama mereka di Kediri tanpa terganggu oleh persoalan kudanya.

Sebenarnyalah bahwa jarak bukan merupakan persoalan bagi kedua orang itu. Seandainya mereka harus berjalan dari ujung sampai keujung tanah ini-pun akan mereka lakukan dengan tanpa merasa letih sama sekali. Karena itu, jarak antara padepokan mereka sampai ke Kota Raja, bukanlah sesuatu yang pantas mereka persoalkan.

Demikianlah, maka keduanya berjalan dengan cepat menuju ke Kota Raja. Tetapi bagaimanapun juga, jarak yang memisahkan antara padepokan mereka dan Kota Raja memerlukan waktu untuk melintasinya. Karena itu, maka perjalanan mereka-pun telah melampaui waktu demi waktu.

Saat-saat matahari sampai kepuncak, keduanya sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan ketika matahari mulai condong ke Barat dan turun mendekati punggung bukit. Keduanya masih tetap berjalan dengan langkah yang tetap, seolah-olah mereka baru menempuh perjalanan beberapa puluh tonggak saja.

Dibawah teriknya matahari yang sudah mulai merendah, pertapa itu berkata kepada Putut yang menyertainya, “Aku mempunyai seorang sahabat di Kota Raja. Mudah-mudahan ia masih tinggal di tempatnya. Meskipun aku sudah cukup lama tidak memasuki Kota Raja, tetapi belum setahun yang lalu, sahabatku itu pernah berkunjung ke padepokan kita.”

“Yang mana yang guru maksudkan?” bertanya Putut itu.

“Umurnya sebaya dengan aku. Tetapi tubuhnya nampak lebih kuat dan kekar, meskipun itu belum menentukan bahwa ia memiliki kelebihan dari aku. Bukan maksudku untuk menyombongkan diri, tetapi agar kau mendapat gambaran yang benar tentang orang itu. Orang yang bertubuh tegap, tinggi dan kekar itu memang seorang yang kuat. Tetapi ilmunya tidak cukup tinggi. Karena itu, ia tidak banyak berbicara dalam dunia kanuragan. Yang dilakukan adalah, menggarap sawahnya yang cukup luas serta memelihara ternaknya yang cukup banyak.”

“Apakah ia orang kaya?” bertanya Putut itu.

“Ya. Ia adalah seorang yang kaya meskipun tidak terlalu kaya. Tetapi penghasilannya melampaui kebutuhannya, sehingga ia mempunyai kesempatan untuk memperluas tanahnya dan memperbanyak binatang pemeliharaannya,” jawab pertapa itu.

Muridnya mengagguk-angguk. Lupa-lupa ingat ia memang pernah mengenal orang itu. Namun kemudian muridnya itu-pun bertanya, “Apakah maksud guru, kita akan singgah ke rumah sahabat guru itu?”

Pertapa itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang ingin pergi ke rumahnya. Kecuali orang itu memiliki pengaruh yang cukup bagi orang-orang di sekitarnya, maka rumahnya-pun cukup luas untuk memberi tempat kepada kita bermalam selama kita berada di Kediri. Namun sudah barang tentu, bahwa kita tidak akan dapat mengatakan kepadanya, keperluan kita yang sebenarnya berada di Kediri.”

“Jadi, bagaimanakah dengan Pangeran Lembu Sabdata setelah berhasil kita bebaskan,” bertanya muridnya.

“Kita tidak akan membawanya ke rumah sahabatku itu,” jawab pertapa itu.

Muridnya mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud gurunya. Karena itu, maka ia-pun tidak bertanya lagi. Namun dalam pada itu, gurunyalah yang berbicara lebih lanjut tentang sahabatnya itu, “Mudah-mudahan sahabatku itu tidak melibatkan diri dalam pertentangan yang baru saja berakhir dan apalagi berpihak kepada Pangeran Singa Narpada.”

Muridnya mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya ia justru bertanya, “Bagaimanakah jika ternyata sahabat guru itu berpihak kepada Pangeran Singa Narpada, atau setidak-tidaknya menentang usaha Pangeran Kuda Permati dan Pangeran Lembu Sabdata?”

“Bukankah kita tidak mengatakan niat kita yang sebenarnya?” sahut gurunya. Lalu, “Karena itu, maka kita harus berhati-hati. Kita jangan terjebak kedalam satu keadaan yang dapat menggagalkan usaha kita justru dari hal-hal yang kecil dan kurang berarti.”

Muridnya mengangguk-angguk. Namun ia-pun sadar, bahwa mereka harus merahasiakan tujuan mereka untuk berada di Kediri. Sementara itu gurunya berkata, “Aku dapat mencari alasan kenapa aku datang ke Kediri.”

Muridnya berpaling ke arah pertapa yang berjalan sambil menatap jalan di hadapannya tanpa berpaling sama sekali. Sementara itu muridnya berkata, “Aku mengerti guru.”

“Ya. Aku memang selalu percaya kepadamu. Karena itu, kau aku bawa bersamaku ke Kediri. Aku yakin bahwa kau akan dapat membantuku. Bukan sebaliknya mempersulit tugasku untuk mengambil Pangeran Lembu Sabdata,” berkata pertapa itu.

Putut itu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa tugas yang akan dilakukan oleh gurunya bukan tugas yang ringan. Mengambil Pangeran Lembu Sabdata dari bilik yang mengurungnya, yang tentu dijaga dengan rapat sekali oleh para prajurit Kediri.

Betapa panjangnya perjalanan mereka, namun keduanya semakin lama menjadi semakin dekat pula dengan Kota Raja. Ketika matahari turun, mereka memang belum memasuki pintu gerbang Kota Raja, bahwa mereka masih berada ditepi sebuah hutan kecil yang tidak terlalu lebat, namun yang justru menjadi daerah perburuan bagi para keluarga Istana dalam saat-saat yang tenang.

Namun selama Kediri bergolak daerah itu seakan-akan menjadi jarang sekali disentuh kaki. Jarang sekali terdengar derap kaki kuda para bangsawan yang berburu bersama para hambanya. Justru karena itu, maka binatang di hutan itu-pun merasakan hidup mereka menjadi agak tenang.

“Kita akan meneruskan perjalanan,” berkata pertapa itu, “Dan kita akan berhenti pada jarak yang memungkinkan, besok pagi-pagi benar kita memasuki pintu gerbang.”

Muridnya mengangguk kecil sambil menjawab, “Terserah saja kepada guru. Aku akan melakukan apa yang dilakukan oleh guru.”

Ketika mereka sampai di sebuah padukuhan kecil di seberang padang ilalang yang membatasinya dengan hutan kecil itu, matahari telah jauh tenggelam, sehingga di gardu regol padukuhan obor telah dinyalakan. Namun demikian belum seorang-pun yang berada di gardu dalam tugas ronda.

Tatapi pertapa itu tidak mau bermalam di padukuhan. Mereka melintasi padukuhan itu dan justru berhenti di sebuah pategalan yang agak luas. Pategalan kering yang ditumbuhi beberapa jenis pepohonan dan tanaman padi gaga.

“Kita bermalam disini,” berkata pertapa itu.

Muridnya mengikutinya memasuki pategalan itu dan menemukan sebuah tempat yang paling baik untuk bermalam. Pertapa itu-pun kemudian duduk bersandar sebatang pohon sambil menyusut tubuhnya yang basah oleh keringat.

“Apakah didalam impesmu masih ada air?” bertanya pertapa itu.

Putut itu-pun kemudian menyerahkan impesnya yang ternyata masih berisi air yang cukup untuk melepaskan haus mereka berdua. Namun keduanya sama sekali tidak membawa bekal lain. Tetapi pertapa dan pututnya itu sudah terbiasa untuk tidak makan sehari penuh. Mereka sudah makan beberapa potong ketela pohon pada saat mereka berangkat, sehingga karena itu, mereka tidak memerlukannya lagi untuk sehari itu.

Malam itu mereka tertidur dengan nyenyaknya, meskipun tanpa berjanji mereka telah berbagai waktu. Pertapa itu tertidur sampai lewat sedikit tengah malam. Kemudian ketika ia terbangun, maka Pututnyalah yang tidur sampai menjelang dini hari.

Seperti yang mereka rencanakan, maka pagi-pagi benar mereka telah memasuki pintu gerbang Kota Raja. Dengan ingatannya yang tajam, maka pertapa itu telah menyusuri jalan yang langsung menuju ke rumah sahabatnya itu. Tentu saja kedatangan mereka telah mengejutkan pemilik rumah itu. Seorang yang bertubuh tinggi, kekar dan kuat.

“Ajar Bomantara,” sapa pemilik rumah itu.

Pertapa yang dipanggil Ajar Bomantara itu tersenyum. Katanya, “Itu bukan namaku. Tetapi baiklah, mungkin kau hanya ingat panggilan itu.”

“O, jadi aku salah menyebut namamu?” bertanya orang itu.

“Bukan salah. Itu memang panggilan bagiku sejak aku muda,” jawab pertapa itu.

“Marilah, silahkan masuk,” orang yang bertubuh tinggi kekar itu mempersilahkan.

Ketika Ki Ajar sudah duduk di sebuah amben bambu, maka ia-pun kemudian bertanya, “Bukankah aku masih mengenal rumahmu Ki Sadmaya. Aku sudah cemas bahwa kau tidak lagi tinggal di rumah ini, sehingga aku akan menjadi kebingungan untuk mencarimu.”

“Ah, jika aku pindah dari tempat ini, lalu aku akan tinggal dimana?” sahut Ki Sadmaya.

“Bukankah Ki Sadmaya mempunyai tanah yang luas dan rumah yang berceceran di seluruh tlatah Kediri,” Ki Ajar itu berkelakar.

Ki Sadmaya tertawa. Lalu katanya, “Kau masih juga senang bergurau sampai rambutmu menjadi putih seperti kapuk. He, bukankah kau dan seisi padepokanmu selamat?”

“Semuanya baik-baik saja Ki Sadmaya, sebagaimana keadaan disini bukan?” bertanya Ki Ajar.

“Sebagaimana kau lihat. Aku masih tetap seperti dahulu. Sehat, dan semuanya berjalan lancar. Anak isteriku juga sehat. Kebo sapiku juga menjadi baranahan anak beranak,” Ki Sadmaya itu-pun kemudian tertawa.

Ki Ajar-pun tertawa pula. Sementara muridnya dalam sekilas itu-pun telah teringat kembali, bahwa orang yang bernama Ki Sadmaya itu memang pernah mengunjungi padepokannya. Bukan hanya satu kali. Tetapi seperti yang dikatakan gurunya, yang terakhir kali adalah sekitar setahun yang lalu.

Demikianlah, maka pembicaraan selanjutnya dengan cepat telah berjalan semakin lancar, sehingga pada suatu saat Ki Sadmaya itu bertanya, “Siapakah yang datang bersamamu itu?”

Ki Ajar berpaling kepada Pututnya. Lalu katanya, “salah seorang cantrikku.”

Ki Sadmaya itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku tentu sudah pernah melihat sebelumnya.”

“Ya. Ia sudah lama berada di padepokanku. Ketika kau datang ke padepokan, ia sudah berada di padepokan itu pula.” Berkata Ki Ajar.

Ki Sadmaya mengangguk-angguk. Sambil memandang Putut itu ia bertanya, “Siapakah namamu anak muda.”

Putut yang duduk tepekur itu mengangkat wajahnya. Jawabnya, “Namaku Panjer, Ki Sadmaya. Putut Panjer.”

“O,” Ki Sadmaya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang pernah mendengar namamu ketika aku berkunjung ke padepokanmu. Tetapi mata tua ini agaknya sudah menjadi kabur, sehingga aku tidak dapat dengan segera mengenalmu. Tetapi ketika aku mendengar namamu, maka aku segera teringat.”

“Aku waktu itu sudah ikut melayani Ki Sadmaya ketika datang berkunjung ke padepokan kira-kira setahun yang lalu. Bahkan sejak kunjungan yang sebelumnya.”

Ki Sadmaya itu mengangguk-angguk. Kemudian ia-pun kembali bertanya kepada Ki Ajar, “Apakah kedatangan Ki Ajar mempunyai kepentingan yang sangat mendesak?”

Ki Ajar itu tertawa kecil. Katanya, “Tidak Ki Sadmaya. Aku tidak mempunyai kepentingan apa-pun juga. Aku hanya ingin melihat keadaan Kota Raja yang sudah lama sekali tidak aku lihat. Selebihnya, aku akan sempat menengok keselamatan Ki Sadmaya dengan keluarga.”

“Sukurlah jika kau tidak mempunyai kepentingan yang mendesak, sehingga kau akan mempunyai banyak kesempatan untuk melihat-lihat keadaan Kota Raja setelah perang berakhir,” berkata Ki Sadmaya.

Ki Ajar mengangguk-angguk kecil. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Bagaimana keadaan setelah perang berakhir?”

“Keadaan sekarang sudah menjadi tenang,” berkata Ki Sadmaya, “Agaknya tidak ada lagi yang berani menentang kekuasaan Pengeran Singa Narpada.”

“Pangeran Singa Narpada?” ulang Ki Ajar, “Apakah Pangeran Singa Narpada itu nama Sri Baginda di Kediri.”

“Ah, tentu bukan,” Ki Sadmaya tertawa, “Kau benar-benar orang padepokan yang jauh ratu tetapi dekat batu. Kau tidak mengenal orang-orang penting yang terlibat dalam perang yang dahsyat kemarin?”

Ki Ajar menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku memang tidak mengenal orang-orang penting di Kediri. Mungkin dengan tinggal beberapa hari disini, pengetahuanku akan dapat bertambah. He, siapakah Pangeran Singa Narpada?”

Tetapi Ki Sadmaya belum sempat menjawab, ketika pembantunya menghidangkan makanan dan minuman bagi tamu-tamunya. “Nah, marilah,” berkata Ki Sadmaya, “wedang jahe hangat dengan gula kelapa. Jadah, jenang alot dan trasikan.”

Ki Ajar tersenyum sambil menyahut, “Terima kasih. Agaknya hidangan itu akan dapat menghangatkan tubuhnya setelah semalaman aku kedinginan.”

“Semalam Ki Ajar ada dimana? Pagi-pagi sekali Ki Ajar sudah berada di Kota Raja? Atau barangkali Ki Ajar sudah berada di Kota Raja sejak kemarin?”

“Aku adalah orang padepokan Ki Sadmaya,” jawab Ki Ajar, “Dimana-pun bagi kami tidak ada bedanya. Kami semalaman bermalam di perjalanan.”

“Di banjar padukuhan?” bertanya Ki Sadmaya.

Ki Ajar menggeleng. Jawabnya, “Tidak Ki Sadmaya. Kami berdua bermalam di pategalan. Tetapi bagi kami bukan sesuatu yang menyulitkan keadaan kami. Kami dapat tidur dimana saja.”

Ki Sadmaya mengangguk-angguk. Lalu, “Baiklah. Sekarang silahkan makan dan minum hidangan kami.”

Ki Ajar dan Putut yang mengikutnya itu-pun kemudian meneguk minuman hangat yang dihidangkan. Bagaimanapun juga terasa juga nikmatnya setelah mereka menempuh perjalanan yang cukup jauh tanpa bekal makanan apa-pun juga dan sekedar minum air yang mereka bawa dengan sebuah impes.

Karena itu, maka mereka-pun kemudian sibuk dengan makanan dan minuman yang dihidangkan. Namun demikian Ki Ajar menjadi agak kecewa, karena pembicaraan yang terputus. Ia sudah hampir sampai pada satu keterangan yang diharapkannya.

“Tetapi aku tidak tergesa-gesa,” berkata Ki Ajar didalam hati, “Aku tidak boleh membiarkan perasaanku bergejolak, sehingga aku justru akan menarik perhatiannya.”

Karena itu, maka sikap Ki Ajar-pun telah dipertahankan sebagaimana dikatakannya. Ia sama sekali tidak mempunyai keperluan apa-pun juga di Kota Raja selain sekedar untuk melihat-lihat.

Namun Ki Ajar itu yakin, bahwa sebagai seorang yang memiliki sawah cukup luas dan ternak yang cukup banyak, Ki Sadmaya agaknya mempunyai banyak hubungan dengan orang-orang yang termasuk orang-orang yang penting. Menilik keadaan rumah dan halamannya, perabot-perabotnya, maka Ki Sadmaya memang seorang yang cukup kaya. Dan biasanya orang-orang kaya meskipun bukan pemimpin pemerintahan atau Senapati perang, namun ia akan mempunyai pengaruh yang cukup besar di lingkungannya.

Karena itu, maka Ki Ajar merasa bahwa ia telah berada di tempat yang benar. Bahkan seandainya ia tidak dapat memanfaatkan kedudukan dan pengaruh Ki Sadmaya yang kaya, maka kesemuanya tinggal di Kota Raja itu-pun telah memberikan banyak keuntungan baginya.

Sementara itu Ki Sadmaya sama sekali tidak memikirkan kepentingan yang justru dapat mempengaruhi peredaran sejarah Kediri jika usaha Ki Ajar itu berhasil. Karena itu, maka dengan tanpa berprasangka sama sekali, ia memberikan tempat kepada Ki Ajar, yang baginya adalah seorang pertapa.

Bagi Ki Sadmaya, pertapa yang disebutkan dengan Ki Ajar Bomantara itu tidak berbuat lebih banyak dari menekuni persoalan ajaran-ajaran tentang hidup dan kehidupan dalam hubungan dengan masa langgeng. Namun Ki Sadmaya juga mengetahui pada saat-saat ia berada di padepokan, bahwa para cantrik di padepokan itu juga sedikit mempelajari olah kanuragan yang akan dapat mereka pergunakan untuk menolong yang lemah dan melindungi orang-orang yang dibayangi oleh tindak kejahatan.

Karena itu, maka Ki Sadmaya sama sekali tidak menduga, bahwa kehadiran Ki Ajar itu ada hubungannya dengan kematian Pangeran Kuda Permati dan keadaan Pangeran Lembu Sabdata yang berada didalam kurungan. Dengan demikian, maka Ki Sadmaya sama sekali tidak berkeberatan untuk menerima Ki Ajar dan Putut Panjer sebagaimana ia diterima di padepokan mereka.

Sejak hari itu, maka Ki Ajar dan Putut Panjer berada di rumah Ki Sadmaya. Mereka berada di Pondok kanan. Dengan senang hati seluruh keluarga Ki Sadmaya memperlakukan Ki Ajar dan Putut Panjer sebagaimana keluarga mereka sendiri.

“Tinggallah disini sampai kapan kalian menghendaki,” berkata Ki Sadmaya, “rumahku terlalu besar untuk keluargaku,” berkata Ki Sadmaya, “rumahku terlalu besar untuk keluargaku yang kecil. Karena itu, seandainya kalian akan tinggal di rumahku untuk seterusnya-pun aku tidak berkeberatan sama sekali.”

“Terimakasih Ki Sadmaya,” jawab Ki Ajar, “Aku akan memanfaatkan kebaikan hati Ki Sadmaya. Mungkin aku akan berada di rumah ini untuk waktu yang lama, karena aku ingin mendapatkan pengalaman hidup di Kota Raja. Selama ini aku selalu berada di padepokan kecil yang terpencil dan sepi.”

“Silahkan,” sahut Ki Sadmaya, “Seandainya Ki Ajar memerlukan sesuatu, katakan saja. Mungkin aku dapat menolong. Seandainya Ki Ajar ingin seorang pengantar untuk melihat-lihat keadaan Kota Raja, seorang kemamanakanku yang tinggal bersamaku disini menjadi penunjuk.”

“Ki Sadmaya terlalu baik,” berkata Ki Ajar, “Bukan maksudku untuk terlalu merepotkan Ki Sadmaya dan keluarga.”

Ki Sadmaya tertawa. Katanya, “Aku tidak berbuat apa-apa.”

Ki Ajar-pun kemudian tertawa pula. Katanya, “Mungkin yang akan aku perlukan jauh lebih banyak dari yang Ki Sadmaya duga sebelumnya.”

Ki Sadmaya justru tertawa. Katanya, “Apakah yang Ki Ajar perlukan. Tetapi jika aku tidak mampu mengadakannya, maka aku-pun akan mengatakannya.”

Demikianlah, maka untuk beberapa lamanya Ki Ajar dan Putut Penjer telah menjadi bagian dari keluarga Ki Sadmaya. Dengan demikian kehadiran mereka di Kediri seakan-akan telah mendapatkan alas tempat berpijak yang mapan, sehingga mereka tidak perlu dengan susah payah memikirkannya.

Dalam kesempatan itulah, maka Ki Ajar dan Putut Panjer berusaha untuk mendapakan keterangan tentang keadaan Pangeraan Lembu Sabdata yang sedang dikurung dan dikawal kuat sekali oleh prajurit-prjurit pilihan dari Kediri. Namun dalam pada itu, pada saat yang ditunggu, ternyata Ki Ajar dan Putut Sadmaya sempat juga berbincang dengan Ki Sadmaya tentang keadaan Kediri yang pada saat itu datang ke rumah itu telah terputus.

Dengan pendahuluan yang berputar-putar akhirnya Ki Ajar sampai pada satu pertanyaan, “Apakah kematian Pangeran Kuda Permati benar-benar membawa ketenangan di Kediri?”

“Agaknya memang demikian, setidak-tidaknya untuk sementara,” jawab Ki Sadmaya.

“Dan bagaimana dengan para pendukungnya?” bertanya Ki Ajar pula.

“Agaknya Ki Ajar tertarik juga dengan berita-berita tentang pertentangan yang terjadi di lingkungan istana Kediri?” desis Ki Sadmaya.

“Sebagai rakyat Kediri, maka berita itu memang sangat menarik. Berita yang kami dengar tidak jelas pada saat kami berada di padepokan. Kami seakan-akan hanya mendengar gemanya. Dengan demikian, maka bunyinya tidak lagi sejelas suara aslinya,” berkata Ki Ajar.

Ki Sadmaya tersenyum. Katanya, “Kematian Pangeran Kuda Permati pengaruhnya memang besar sekali. Para pengikutnya sedikit demi sedikit telah menyerah, sehingga akhirnya hampir semua pengikutnya telah menyerah pula. Sekarang kekuasaan seakan-akan berada di tangan Pangeran Singa Narpada yang telah berhasil menumpas pemberontakan Pangeran Kuda Permati, meskipun keberhasilannya terutama karena langkah yang diambil oleh isteri Pengeran Kuda Permati sendiri.”

Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya, “Nama yang memang dapat mendirikan bulu roma. Pangeran Singa Narpada. Aku kira nama itu adalah nama Sri Baginda dimasa mudanya atau sebutan lain bagi Sri Baginda, yang belum pernah aku dengar sebelumnya karena nama itu dihubungkan dengan kekuatan di Kediri.”

Ki Sadmaya tersenyum. Katanya, “Nama itu adalah nama seorang Pangeran.”

Ki Ajar itu mengangguk-angguk. Seakan-akan diluar sadarnya ia bertanya, “Apakah tidak ada diantara para Pangeran yang lain yang terlibat kedalam pemberontakan itu?”

Ki Sadmaya mengerutkan keningnya. Katanya, “Memang ada. Dan itu bukan rahasia lagi. Adiknya, Pangeran Lembu Sabdata kini berada didalam tahanan.”

“Oh,” Ki Ajar masih mengguk-angguk, “jadi ada juga keluarga istana yang lain yang terlibat?”

Ki Sadmaya sama sekali tidak berprasangka. Apalagi yang dikatakannya itu adalah satu peristiwa yang sudah diketahui oleh hampir semua orang Kediri. Karena itu, maka dengan serta merta ia berkata, “Pangeran Lembu Sabdata telah bergerak cukup jauh. Sebelum Pangeran Kuda Permati dengan terang-terangan mengangkat senjata, maka yang bergerak adalah Pangeran Lembu Sabdata meskipun tidak langsung mengganggu Kota Raja dan sekitarnya, karena Pangeran Lembu Sabdata lebih banyak bergerak di Pakuwon yang berhadapan langsung dengan Singasari. He, apakah kau tidak pernah mendengar bahwa ada satu gerakan yang telah membuat hutan-hutan menjadi gundul terutama di lereng-lerang pegunungan di daerah-daerah yang subur, yang dapat menjadi lumbung makanan bagi Singasari? Tanah-tanah perdikan dan Pakuwon-pakuwon di sekitar Singasari telah menjadi sasaran. Tetapi pada suatu saat Pangeran Lembu Sabdata telah tertangkap oleh kekuatan yang dipasang oleh Singasari. Atas permintaan Pangeran Singa Narpada, maka Pangeran Lembu Sabdata dibawa ke Kidiri. Pada saat itulah, maka kedok Pangeran Kuda Permati mulai terbuka.”

“Oh,” Ki Ajar mengangguk-angguk. Seolah-olah ia memang belum pernah mendengar berita tentang pergolakan itu.

Sementara itu Ki Sadmaya-pun berkata seterusnya, “Nah, sampai sekarang Pangeran Lembu Sabdata itu masih berada didalam tahanan.”

Ki Ajar mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak dapat langsung bernyata tentang sesuatu yang lebih mendalam lagi. Yang dapat dikatakan kemudian adalah, “sampai kapan Pangeran Lembu Sabdata itu akan ditahan?”

Ki Sadmaya mengangkat pundaknya. Katanya, “Tidak seorang-pun yang dapat mengatakan. Mungkin sebentar lagi ia sudah dibebaskan. Tetapi mungkin ia akan ditahan sampai waktu yang tidak terbatas.”

Ki Ajar mengerutkan keningnya. Ia ingin mendengar apakah Pangeran itu memang terganggu kesadarannya.

Ternyata Ki Sadmaya itu memang mengatakan, “Ki Ajar. Ada sesuatu yang perlu kau ketahui tentang Pangeran itu. Pangeran yang masih muda itu ternyata sedang terganggu kesadarannya.”

“Oh, apakah gangguan itu disebabkan karena keadaannya selama ia berada didalam tahanan? Mungkin perlakuan yang tidak sewajarnya atau hal-hal lain?” bertanya Ki Ajar.

“Sebenarnya Sri Baginda sangat menyayanginya. Tetapi Sri Baginda tidak dapat berbuat sesuatu karena adiknya itu terbukti telah terlibat dalam satu pemberontakan bersama Pangeran Kuda Permati,“ jawab Ki Sadmaya, “Tetapi yang membuat kesadarannya itu terganggu adalah pada saat-saat ia mendengar berita kematian Pangeran Kuda Permati dan sebab kematiannya.”

Ki Ajar mengerutkan keningnya. Sementara itu tanpa diminta lagi Ki Sadmaya siudah menceriterakan sebab kematian Pangeran Kuda Permati yang telah sangat mengejutkan dan kemudian mengguncang perasaan Pangeran Lembu Sabdata.

“Kasihan,” berkata Ki Ajar. Namun tiba-tiba ia berdesis, “Ki Sadmaya. Bukan maksudku untuk menyombongkan diriku. Mungkin aku memang seorang padepokan yang dungu. Tetapi ada sesuatu yang mungkin dapat aku lakukan. Aku adalah seorang pertapa yang selama ini berusaha untuk menemukan cara menolong sesama dengan cara-cara yang khusus. Karena itu, apabila tidak melanggar paugeran, apakah aku diperkenankan berusaha mengobati Pangeran Lembu Sabdata? Meskipun ia harus tetap berada didalam kurungan, namun alangkah baiknya, jika ia dapat disembuhkan dari sakit ingatannya itu.”

“Apakah kau dapat mengobati orang yang sakit ingatan?” bertanya Ki Sadmaya.

“Aku sudah berusaha untuk mempelajari berbagai jenis obat-obatan,” berkata Ki Ajar, “Tetapi yang dapat aku lakukan adalah atas orang-orang padukuhan kecil dan bodoh dan sederhana. Aku tidak dapat mengatakan, apakah aku juga dapat mengobati seorang Pangeran.”

Ki Sadmaya mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah ada bedanya?”

“Tentu ada,” jawab Ki Ajar, “orang-orang yang bodoh dan sederhana dengan mudah dapat berada dibawah pengaruh kekuatan jiwani yang ada didalam diriku. Tetapi apakah orang-orang yang berkepribadian kuat dan pandai sebagaimana seorang Pangeran akan dapat aku perlakukan seperti itu.”

Ki Sadmaya mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Sekarang Pangeran Lembu Sabdata dalam keadaan dibawah pengawasan. Betapa-pun besar kesalahannya, ia memang perlu mendapat pertolongan jiwanya yang terganggu. Tetapi aku tidak tahu. apakah Pangeran Singa Narpada akan membenarkan.”

“Tetapi bukankah Pangeran Lembu Sabdata adalah adik Sri Baginda yang disayanginya? Mungkin Pangeran Singa Narpada tidak akan sependapat. Tetapi jika hal itu diperintahkan oleh Sri Baginda, apakah mungkin Pangeran Singa Narpada menentangnya?” bertanya Ki Ajar.

Ki Sadmaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak tahu. Aku tidak banyak mengetahui seluk beluk istana.”

Ki Ajar mengangguk-angguk. Namun dengan demikian ia sudah memasuki satu langkah untuk dapat menuju ke sasarannya Tetapi ia harus menahan diri untuk melangkah lebih berhati-hati. Katanya kemudian, “Ki Sadmaya. Bagiku keadaan Pangeran Lembu Sabdata itu sangat menarik untuk mendapat perhatian.”

Ki Sadmaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia-pun kemudian berkata, “Memang kita dapat menaruh belas kasihan. Tetapi apa yang dapat kita lakukan?”

Ki Ajar mengangguk-angguk. Namun ia berkata, “Ki Sadmaya. Apakah Ki Sadmaya tidak dapat berusaha, lewat kawan-kawan Ki Sadmaya atau siapa-pun juga untuk dapat sampai pada satu kemungkinan mengobati Pangeran yang sakit itu? Tetapi dengan satu pengertian, bahwa aku sendiri tidak pasti bahwa aku akan dapat menyembuhkannya. Semuanya itu hanyalah satu usaha saja.”

Ki Sadmaya mengerutkan keningnya. Katanya, “Ki Ajar adalah seorang pertapa. Mungkin Ki Ajar memang memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Karena itu, jika ada jalan, maka Ki Ajar dapat mencobanya.”

“Aku sama sekali tidak akan berkeberatan. Adalah menjadi kewajiban kita untuk berusaha menolong sesama. Tetapi sekali lagi dengan keterangan, bahwa yang aku lakukan hanyalah satu usaha. Aku sama sekali tidak dapat memastikan bahwa usaha itu akan berhasil,” jawab Ki Ajar.

Ki Sadmaya mengangguk-angguk. Namun telah tumbuh didalam hatinya persoalan tentang Pangeran Lembu Sabdata yang sakit itu. Ia sudah lama mengetahui bahwa Pangeran Lembu Sabdata itu sakit. Tetapi sebelumnya ia tidak pernah menularkannya. Namun ketika ia berbicara dengan Ki Ajar tentang Pangeran itu, maka ia-pun telah sependapat, bahwa ada juga baiknya berusaha untuk mengobatinya. Ia sudah cukup menderita didalam tahanan. Apalagi jika harus menderita penyakit ingatan yang kadang-kadang membuatnya benar-benar lupa dan menyakiti dirinya sendiri tanpa disengaja.

Karena itu, maka Ki Sadmaya-pun kemudian berkata, “Ki Ajar. Akau akan mencoba untuk berhubungan dengan orang-orang yang aku kenal. Mungkin diantara mereka ada yang dapat menghubungkan kita dengan lingkungan istana yang kemudian dapat menjadi jembatan untuk sampai kepada usaha pengobatan Pangeran Lembu Sabdata.”

Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya, “Aku menghargai usaha Ki Sadmaya. Mudah-mudahana berhasil, karena rasa-rasanya aku akan dibebani oleh kewajiban untuk menolong sesama, meskipun berulang kali aku katakan, hanya sekedar usaha.”

“Baiklah Ki Ajar. Namun dengan demikian, maka Ki Ajar akan berada di rumah ini untuk waktu yang lebih lama.” berkata Ki Sadmaya.

“Jika Ki Sadmaya tidak berkeberatan, maka aku-pun akan menunggu,” sahut Ki Ajar.

“Tentu tidak,” jawab Ki Sadmaya, “Namun demikian, aku masih harus berhati-hati. Mudah-muahan usaha itu tidak menyudutkan aku dalam kesulitan.”

“Kenapa?” bertanya Ki Ajar.

“Mudah-mudahan dengan demikian aku tidak dianggap terlibat dalam pemberontakan yang dilakukan oleh Pangeran Lembu Sabdata dan Pangeran Kuda Permati.”

Ki Ajar mengangguk-angguk. Namun katanya, “Ki Sadmaya memang harus berhati-hati. Dengan demikian Ki Sadmaya harus dapat meyakinkan, bahwa yang kita lakukan semata-mata karena kemanusiaan. Tentu Ki Sadmaya tahu bahwa orang-orang seperti aku ini tidak akan mempunyai pamrih apa-pun juga, selain usaha mendekatkan diri kepada sumber hidupnya.”

Ki Sadmaya sama sekali tidak menolak keterangan itu. Bagi Ki Sadmaya sahabaatnya itu memang benar-benar seorang pertapa yang hidupnya sebagian besar diserahkan untuk kepentingan kemanusiaan.

Dengan demikian, maka Ki Ajar-pun telah menyatakan kesediaannya untuk tinggal di Kediri lebih lama lagi. Sementara itu Ki Sadmaya akan berusaha menghubungi orang-orang yang dikenalnya yang memungkinkannya untuk dapat berhubungan dengan orang yang berwenang mengijinkan pengobatan bagi Pangeran Lembu Sabdata.

Namun dalam pada itu, didalam biliknya Ki Ajar berkata kepada muridnya, “Mudah-mudahan usaha Ki Sadmaya berhasil. Setidak-tidaknya aku hanya memerlukan keterangan, dimana sebenarnya Pangeran Lembu Sabdata itu ditahan. Seandainya tidak ada ijin untuk mengobatinya, aku tidak peduli.”

“Kemudian guru akan terlibat kedalam satu pekerjaan yang amat rumit dan berbahaya,” berkata Putut itu.

“Aku menyadarinya. Tetapi aku akan melakukannya dengan baik. Aku akan gunakan kemampuanku dan kemampuanmu, sehingga kita akan dapat mengambil Pangeran Lembu Sabdata,” berkata Ki Ajar.

“Tetapi, guru,” bertanya Putut itu, “Seandainya guru justru diperkenankan mengobatinya, apakah guru akan dapat mengambilnya? Jika demikian bukankah guru justru akan dicurigai dan Pangeran Singa Narpada akan mencarinya di padepokan kita?”

“Semuanya akan diatur sebaik-baiknya,” berkata Ki Ajar, “Jika aku dapat mengobatinya dan menyembuhkannya, maka aku akan membiarkannya tinggal untuk satu dua bulan. Baru kemudian kita akan mengambilnya dan memberikan kesan bahwa Pangeran Lembu Sabdata telah melarikan diri.”

Putut itu mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa gurunya akan dapat melakukan semua rencananya dengan cermat. Namun yang dilakukan oleh Ki Sadmaya bukannya usaha yang mudah. Ternyata ia harus menempuh jalan yang berbelit-belit untuk sampai pada seseorang yang mempunyai hubungan dengan keadaan Pangeran Lembu Sabdata.

Tetapi adalah seolah-olah diluar kehendaknya sendiri, bahwa Ki Sadmaya telah bekerja dengan tekun dan bersungguh-sungguh untuk mencari hubungan dengan orang-orang yang bertanggung jawab atas bilik tahanan Pangeran Lembu Sabdata. Rasa-rasanya ia benar-benar didorong oleh perasaan kemanusiaannya, bahwa Pangeran Lembu Sabdata memang harus mendapat pengobatan.

Ternyata bahwa usaha Ki Sadmaya tidak sia-sia. Lewat orang-orang yang dikenalnya, maka akhirnya ia berhasil menghubungi seorang Senapati dari pasukan Pangeran Singa Narpada.

“Bukan dengan alasan apa-pun juga, tetapi sekedar alasan kemanusiaan,” berkata Ki Sadmaya kepada Senapati itu.

“Aku mengerti,” jawab Senapati itu, “Keadaan Pangeran Lembu Sabdata memang sangat memelas. Bahkan pada satu saat ketika Sri Baginda berkesempatan untuk melihatnya, maka nampak hatinya benar-benar tertusuk oleh keadaan adiknya itu. Tetapi sebagai seorang Raja yang harus berdiri diatas segala hubungan dan lingkungan, maka Sri Baginda tidak dapat berbuat apa-apa.”

“Tetapi,” berkata Ki Sadmaya, “Apakah kira-kira Baginda berkeberatan, jika Pangeran Lembu Sabdata itu diobati. Tidak untuk dilepaskan.”

Senapati itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu ia bergumam, “apakah justru tidak lebih baik ia berada dalam keadaannya? Bukankah dengan demikian ia tidak menyadari bahwa dirinya berada dalam tahanan? Tetapi jika ia disembuhkan, maka ia akan merasakan kepedihan sebagai seorang tawanan.”

Ki Sadmaya termangu-mangu sejenak. Ada juga kebenarannya pendapat Senapati itu. Tetapi bukankan dengan demikian hidup Pangeran Lembu Sabdata tidak berarti sama sekali, karena hidup tanpa kesadaran adalah sama artinya dengan kehilangan tataran martabatnya. Hampir kepada diri sendiri Ki Sadmaya bergumam, “Apakah Pangeran Singa Narpada pernah menyatakan pendapatnya tentang Pangeran Lembu Sabdata?”

Senapati itu memandang Ki Sadmaya dengan tajamnya. Kemudian katanya, “Sebagai seorang yang berjiwa besar seperti Pangeran Singa Narpada, maka sudah barang tentu ia berpendapat bahwa sebaiknya Pangeran Lembu Sabdata itu tidak mengalami goncangan jiwani. Tegasnya Pangeran Singa Narpada akan bergembira sekali jika Pangeran Lembu Sabdata itu dapat disembuhkan. Bukan saja dari gangguan ingatannya, tetapi juga dari racun yang telah merasuk kedalam dirinya yang ditusukkan lewat keyakinan Pangeran Kuda Permati.”

Ki Sadmaya mengangguk-angguk. Katanya, “Jika Pangeran Lembu Sabdata menemukan kembali kesadarannya, maka usaha untuk menyadarkannya bahwa sikap dan keyakinan Pangeran Kuda Permati itu salah, akan lebih mudah dilakukannya.”

Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi nampaknya kau menaruh perhatian yang besar sekali terhadap Pangeran Lembu Sabdata.”

“Secara kebetulan di rumahku ada seorang pertapa yang singgah. Seorang sahabatku yang menetap di sebuah padepokan untuk mesu diri menangkap suara heningnya ketenteraman suasana dalam hubungannya dengan sumber hidupnya,” berkata Ki Sadmaya, “Ketika pertapa itu mendengar kabar bahwa Pangeran Sabdata terganggu jiwanya, maka ia-pun merasa terpanggil untuk berusaha mengobatinya, meskipun ia sudah mengatakan, bahwa yang dilakukannya adalah sekedar usaha. Mungkin usaha itu tidak berhasil, karena ia merasa tidak lebih dari orang kebanyakan seperti kita pula. Namun pertapa itu sama sekali tidak tahu menahu sangkut pautnya antara Pangeran Lembu Sabdata dengan Pangeran Kuda Permati dan Pangeran Singa Narpada. Karena menurut jalan hidupnya yang ditempuhnya ia kurang memperhatikan gejolak seperti yang pernah terjadi di Kediri pada saat-saat terakhir.”

Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku akan mencoba mencari keterangan, mudah-mudahan aku dapat membantu pertapa itu. Karena menurut keyakinanku, tidak ada pihak yang berkeberatan jika Pangeran Lembu Sabdata mendapat pengobatan. Pangeran Singa Narpada tidak dan Sri Baginda-pun tidak. Tetapi untuk itu memang diperlukan ijin resmi dari Sri Baginda. Pangeran Lembu Sabdata adalah seorang tawanan, namun ia juga salah seorang keluarga Raja.”

Ki Sadmaya mengangguk-angguk. Katanya, “Kami menunggu hasilnya. Aku sudah minta pertapa itu untuk tidak tergesa-gesa meninggalkan rumahku. Tetapi aku tidak tahu, sampai kapan ia dapat meninggalkan padepokannya.”

“Aku akan berusaha dapat memberikan keterangan secepatnya,” berkat Senapati itu.

Dengan demikian, maka keterangan Ki Sadmaya akan kesediaan Senapati itu, telah membuat Ki Ajar semakin mantap. Ia berharap bahwa ia benar-benar akan mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Pangeran Lembu Sabdata. Setidak-tidaknya mengetahui dimana Pangeran itu disimpan.

Sebenarnyalah Senapati yang telah berhasil dihubungi Ki Sadmaya itu-pun berusaha untuk mendapat kesempatan berbicara langsung dengan Pangeran Singa Narpada. Menurut pendapatnya Pangeran Singa Narpada akan dapat menyampaikannya kepada Sri Baginda di Kediri.

Tetapi kesempatan untuk berbicara dengan Pangeran Singa Narpada tentang Pangeran Lembu Sabdata itu tidak didapatkannya dengan mudah. Pada saat-saat terakhir, Pangeran Singa Narpada masih juga sibuk untuk membenahi lingkungan keprajuritan Kediri yang telah dikoyak-koyak oleh Pangeran Kuda Permati.

Dengan sangat hati-hati dan cermat. Pangeran Singa Narpada harus memilih, siapakah diantara para prajurit yang terlibat dalam usaha Pangeran Kuda Permati yang masih mungkin dikembalikan kedalam lingkungan keprajuritan. Sementara itu siapa pula yang harus di bina dengan penuh kesungguhan dan yang manakah yang tidak ada harapan lagi untuk dapat diangkat kembali dari dalam lumpur pelanggaran paugeran kesatria Kediri menurut pertimbangan yang wajar.

Untuk kepentingan itu Pangeran Singa Narpada harus menyusun sekelompok perwira yang benar-benar dapat dipercaya untuk menilai para prajurit yang dianggap bersalah. Termasuk para panglima di daerah perbatasan di ampat penjuru. Namun Senapati itu tidak berputus-asa sebagaimana selalu dikatakannya kepada Ki Sadmaya.

“Tahanlah agar pertapa itu tetap tinggal di tempatmu untuk beberapa hari lagi,” berkata Senapati itu.

“Tetapi sampai kapan,” bertanya Ki Sadmaya, ”usaha itu adalah sekedar karena rasa kasihan. Karena itu, sudah tentu aku tidak akan dapat mengikatnya terlalu lama.”

“Aku akan berusaha,” jawab Senapati itu. Namun katanya kemudian, “Bukankah usahamu dan usahaku ini juga hanya karena rasa kasihan? Bukankah aku dan Ki Sadmaya tidak mempunyai pamrih lain?”

“Ya. Ya. Aku mengerti,” jawab Ki Sadmaya.

Namun ternyata bahwa usaha Senapati itu tidak sia-sia. Pada satu saat kesempatan itu ternyata didapatkannya juga. Justru pada saat Pangeran Singa Narpada yang sedang melakukan pengamatan terhadap para prajurit di lingkungan Kota Raja Kediri tiba-tiba saja ingin menengok Pangeran Lembu Sabdata didalam bilik tahanannya.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam ketika ia berdiri dimuka pintu bilik yang kemudian dibuka. Di lihatnya Pangeran Lembu Sabdata sudah berubah sama sekali. Ketika pintu berderit, maka Pangeran Lembu Sabdata itu memang berpaling. Tetapi kemudian Pangeran itu tidak mengacuhkannya lagi. Seolah-olah tidak ada seorang-pun yang berdiri dimuka pintu.

Pangeran Singa Narpada melangkah dengan hati-hati memasuki bilik itu. Ia tidak ingin mengejutkan Pangeran Lembu Sabdata, karena dengan demikian mungkin Pangeran yang sedang sakit itu akan menjadi garang.

“Adimas Pengeran,” desis Pangeran Singa Narpada.

Pangeran Lembu Sabdata berpaling sekilas? Namun kemudian ia kembali kepada sikapnya semula. Duduk disudut bilik yang khusus, yang terbuat dari batang-batang kayu yang dijalin rapat kecuali dibeberapa bagian untuk memberikan cahaya dan angin kedalam bilik itu yang dianyam agak jarang namun terikat kuat-kuat dengan tali ijuk.

Pangeran Singa Narpada merenungi keadaan Pengeran Lembu Sabdata itu dengan sentuhan di hatinya. Namun ia juga menyesali sikap keras hati dan keras kepala Pangeran yang masih terhitung muda itu, sehingga ia mengalami goncangan jiwa yang tidak teratasi.

Pangeran Lembu Sabdata itu tidak lagi menyadari, bagaimana ia berpakaian. Makan dan minumnya sama sekali tidak teratur meskipun ia mendapat pelayanan yang cukup baik. Rambutnya yang panjang terurai kumal yang tidak dikenakannya dikepalanya.

“Adimas,” desis Pangeran Singa Narpada.

Wajah Pangeran Lembu Sabdata menjadi tegang. Dipandanginya Pangeran Singa Narpada dengan sorot mata yang mulai menyala. Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak ingin terlibat kedalam kesulitan dengan seseorang yang terganggu jiwanya. Karena itu, maka ia-pun kemudian melangkah keluar pintu sambil bergumam, “Sungguh akhir yang sangat pahit.”

Senapati yang berhubungan dengan Ki Sadmaya tiba-tiba saja seperti mendapat jalan untuk menyampaikan maksudnya. Bahkan hampir diluar sadarnya ia menyahut, “Bukan Pangeran. Masih ada jalan keluar jika Pangeran tidak berkeberatan.”

Pangeran Singa Narpada tertarik kepada kata-kata Senapati itu. Dengan kerut di kening Pangeran Singa Narpada bertanya, “Apa maksudmu?”

Senapati itu menjadi berdebar-debar. Sejenak ia memperhatikan seorang pengawal menutup bilik itu. Sementara itu Pangeran Singa Narpada menunggu jawaban dari mulutnya. Senapati itu-pun kemudian menceriterakan tentang seorang pertapa yang kebetulan berada di rumah seorang kenalannya. Pertapa itu bersedia mengobati Pangeran Lembu Sabdata yang sakit.

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Apakah ia sengaja datang untuk mengobati Pangeran Lembu Sabdata?”

Senapati itu merasa bahwa ia harus berhati-hati. Pangeran Singa Narpada tentu tidak akan dengan mudah percaya kepada orang-orang yang belum dikenalnya. Juga kepada pertapa itu. Jika pertapa itu sengaja datang untuk mengobati Pangeran Lembu Sabdata, apakah ia mempunyai sesuatu pamrih yang terselubung?

Karena itu, maka Senapati itu-pun kemudian berkata, “Pangeran. Pertapa itu sama sekali tidak mengetahui apa yang pernah terjadi di Kota Raja ini. Ia datang sekedar menengok sahabatnya, Ki Sadmaya. Baru ketika ia berada di rumah Ki Sadmaya ia mendengar segala sesuatu yang pernah terjadi, termasuk Pengeran Lembu Sabdata yang ditahan karena terlibat kedalam pemberontakan Pangeran Kuda Permati. Namun pertapa itu menaruh belas kasihan bahwa Pangeran Lembu Sabdata telah mengalami kegoncangan jiwa. Jika segala pihak tidak berkeberatan, maka pertapa itu akan berusaha untuk mengobatinya, meskipun ia tidak menyanggupkan bahwa ia pasti akan benar-benar dapat menyembuhkannya.”

Pengeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia memandangi Senapati itu dengan tajamnya. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah Ki Sadmaya yang mengusahakannya. Bukankah kau menyebut-nyebut bahwa pertapa itu ada di rumah kawanmu yang bernama Ki Sadmaya?”

“Menurut pendapatku, Ki Sadmaya-pun tidak bersangkut paut dengan peristiwa yang baru terjadi. Ia bukan seseorang yang berkepentingan dengan pertempuran yang telah membakar Kediri selama ini. Ki Sadmaya-pun sekedar merasa belas kasihan ketika ia mendengar bahwa seorang Pangeran yang bersalah dan disimpan didalam kurungan telah mengalami kegoncangan jiwa,” berkata Senapati itu.

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku ingin bertemu dengan orang yang bernama Ki Sadmaya itu.”

“Baiklah Pangeran,” jawab Senapati itu, “Aku akan membawa orang itu menghadap.”

Namun dengan demikian, maka Senapati itu-pun merasa bahwa tanggung jawabnya justru berkurang. Jika orang itu sudah bertemu langsung dengan Pangeran Singa Narpada, maka persoalannya akan langsung diketahui oleh Pangeran itu, sehingga jika terjadi sesuatu, kesalahannya tidak seluruhnya akan ditimpakan kepadanya. Demikianlah, sebagaimana diperintahkan oleh Pangeran Singa Narpada, maka Senapati itu telah membawa Ki Sadmaya menghadap.

Dengan teliti Pangeran Singa Narpada bertanya tentang diri Ki Sadmaya sendiri, sikapnya dan kesetiaannya kepada Kediri, serta kemungkinan hubungan yang ada antara Ki Sadmaya dengan peristiwa yang baru saja terjadi.

“Aku sama sekali tidak terlibat kedalam pertentangan yang baru saja terjadi Pangeran,” jawab Ki Sadmaya, “Bahkan aku pernah mengalami kesulitan karena tiga ekor kudaku telah diambil oleh orang-orang yang menyebut dirinya pejuang-pejuang dibawah pimpinan Pangeran Kuda Permati.”

Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Katanya, “Kudamu diambil oleh para pengikut Pangeran Kuda Permati, atau kau memang menyerahkan kudamu kepada mereka?”

“Mereka yang mengambil kuda-kudaku Pangeran,” jawab Ki Sadmaya, “Tetapi aku tidak berani melawan kehendak mereka. Aku harus menyerahkannya jika aku masih ingin hidup.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Siapa yang mengatakan kepadamu, bahwa Pangeran Lembu Sabdata adalah seorang Pangeran yang terlibat kedalam pemberontakan Pangeran Kuda Permati dan kemudian mengalami sakit ingatan.”

Ki Sadmaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Bukankah banyak orang-orang yang mengatakannya tentang keadaan Pangeran Lembu Sabdata? Kebanyakan diantara orang-orang itu sama sekali tidak berkeberatan jika Pangeran Lembu Sabdata dibatasi ruang geraknya karena ia jelas melakukan kesalahan. Tetapi bahwa kesadarannya telah terganggu itulah yang menumbuhkan belas kasihan, karena dengan demikian, maka keadaannya tentu akan menjadi cepat sekali rusak. Baik tubuhnya mau-pun jiwanya. Namun demikian segala sesuatunya terserah kepada Pangeran. Sementara itu sahabatku, pertapa itu-pun berkata bahwa ia hanya dapat berusaha, mungkin berhasil, tetapi mungkin juga tidak.”

Pangeran Singa Narpada melihat kejujuran disorot mata Ki Sadmaya. Karena itu, maka katanya, “Aku tidak berkeberatan Ki Sadmaya. Tetapi bagaimana dengan sahabatmu itu? Apakah padanya tidak ada niat tersembunyi?”

“Manurut pendapatku, tentu tidak Pangeran. Ia baru mendengar peristiwa yang terjadi di Kota Raja setelah ia berada di rumah,” berkata Ki Sadmaya.

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi segala sesuatunya tergantung kepada Sri Baginda. Pangeran Lembu Sabdata adalah seseorang yang pernah melakukan kesalahan terhadap Raja. Dan secara kebetulan ia adalah adik Raja itu pula. Karena itu, maka keputusan terakhir ada di tangan Sri Baginda.”

Ki Sadmaya mengangguk-angguk. Tetapi ia boleh berpengharapan bahwa Ki Ajar yang tinggal di rumahnya itu akan mendapat kesempatan untuk mengobati Pangeran Lembu Sabdata. Meskipun ia tidak mempunyai hubungan apa-pun juga dengan Pangeran itu, tetapi tidak ada salahnya, jika Pangeran itu mendapat pertolongan atas dasar kemanusiaan semata-mata.

Dengan demikian, maka kepada Ki Ajar. Ki Sadmaya mempersilahkan untuk menunggu perintah lebih lanjut dari Pangeran Singa Narpada, setelah Pangeran Singa Narpada mendapat ijin dari Sri Baginda.

Dalam pada itu, maka Ki Ajar itu-pun dengan sabar menunggu perintah dari Pangeran Singa Narpada. Namun dalam pada itu, ia sudah tahu lebih banyak tentang keadaan Pangeran Lembu Sabdata. Bahkan lewat Ki Sadmaya yang mendengar dari Senapati pengawal Pangeran Singa Narpada, Ki Ajar sudah dapat membayangkan, dimana Pangeran Lembu Sabdata itu disimpan. Namun akan lebih baik baginya, jika benar Pangeran Singa Narpada memerintahkan kepadanya atas ijin Sri Baginda untuk mengobati sakit Pangeran Lembu Sabdata itu.

Namun dengan demikian, maka Ki Ajar itu-pun telah berkata kepada Pututnya dalam kesempatan tersendiri, “jalan kita sudah menjadi semakin lapang. Mudah-mudahan kita akan berhasil, sehingga dengan demikian kita akan dapat berbuat sesuatu bagi masa depan. Mungkin Pangeran Lembu Sabdata tidak akan dapat berbuat sesuatu dalam waktu dekat. Tetapi satu permulaan memang diperlukan untuk mencapai kelanjutannya dimasa datang.”

Sementara itu, Pangeran Singa Narpada telah menyampaikan persoalan itu kepada Sri Baginda. Sebagaimana diinginkan oleh beberapa orang, bahwa sebaiknya Pangeran Lembu Sabdata disembuhkan dari sakitnya yang akan dapat menghancurkan wadag dan jiwanya itu selama ia berada dalam tahanan.

“Tetapi apakah hal itu akan menguntungkannya?” bertanya Sri Baginda. Lalu, “Sesudah adimas Lembu Sabdata sembuh, apakah ia akan mendapat kebebasannya?”

Pangeran Singa Narpada menjadi bingung mendapatkan pertanyaan justru dari Sri Baginda. Karena itu, maka jawabnya, “Segala sesuatu terserah kepada Sri Baginda.”

“Tetapi kau mempunyai hak untuk memberikan pertimbangan,” sahut Sri Baginda, “Kau dapat memberikan beberapa alasan sikap yang mana-pun yang akan kau ambil.”

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Bagi hamba Sri Baginda, seandainya Pangeran Lembu Sabdata benar dapat disembuhkan, maka untuk sementara Sri Baginda sebaiknya melihat perkembangan jiwanya. Perubahan penalarannya terhadap keadaan yang dihadapinya. Baru kemudian Sri Baginda dapat menentukan sikap atas Pangeran Lembu Sabdata.”

Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Ternyata di dalam hati Sri Baginda telah bergejolak keragu-raguan. Bahkan kemudian katanya, “Jika adimas Lembu Sabdata harus mengalami perlakuan seperti sekarang, apakah artinya kesembuhannya?”

“Dengan demikian Pangeran Lembu Sabdata akan dapat mengatur diri dengan nalarnya. Mungkin pada suatu saat memang diketemukan satu sikap yang memungkinkannya untuk keluar dari biliknya. Tetapi jika ia masih dalam keadaan seperti sekarang, maka wadag dan jiwanya tentu akan bertambah parah,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Sri Baginda mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, maka terserah kepadamu.”

Pangeran Singa Narpada justru menjadi gelisah. Seakan-akan semua tanggung jawab telah dibebankan kepadanya apa-pun yang terjadi. Sri Baginda seakan-akan tidak ada minat lagi untuk mengambil satu sikap bagi mereka yang terlibat dalam pemberontakan Pangeran Kuda Permati.

“Baginda telah dicengkam oleh kebimbangan lagi,” berkata Pangeran Singa Narpada di dalam hatinya.

Bahkan ketika Sri Baginda memandanginya dengan sorot mata yang redup, maka seolah-olah Sri Baginda itu berkata kepadanya, “Kaulah yang telah menjerumuskannya ke dalam keadaan seperti itu.”

Jantung Pangeran Singa Narpada bergejolak. Bukan keinginannya untuk menyulitkan keadaan Pangeran Lembu Sabdata pada saat itu. Ia tengah melakukan satu tugas bagi kepentingan Kediri. Bahkan ia-pun telah mengalami satu perlakuan yang pahit justru pada saat ia melakukan tugasnya.

Namun akhirnya Sri Baginda itu-pun berkata, “Lakukanlah yang paling baik menurut pertimbanganmu.”

“Hamba akan melakukannya atas perintah Sri Baginda,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Sri Baginda memandang Pangeran Singa Narpada sejenak. Sebenarnyalah Sri Baginda mengetahui dengan pasti, kesetiaan Pangeran Singa Narpada, meskipun kadang-kadang Pangeran itu telah melakukan tindakan yang bagi Sri Baginda terlampau keras, apalagi terhadap keluarga sendiri. Tetapi Sri Baginda menyadari, bahwa yang dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada itu semata-mata bagi kepentingan Kediri menurut keyakinan Pangeran Singa Narpada yang bertentangan dengan keyakinan Pangeran Kuda Permati.

Baru sejenak kemudian Sri Baginda itu mengangguk sambil berkata, “Baiklah, lakukanlah atas perintahku. Usahakan kesembuhan Pangeran Lembu Sabdata. Kemudian segala sesuatunya akan ditinjau kembali.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk hormat. Katanya, “Hamba akan melakukannya Baginda.”

Dengap demikian, maka Pangeran Singa Narpada merasa mendapat beban jiwani. Meskipun Sri Baginda telah menjatuhkan perintah, namun perintah itu seakan-akan tidak lepas atas dorongan keyakinannya.

“Aku akan bertanggung jawab,” geram Pangeran Singa Narpada sebagaimana sering dilakukannya. Justru sikap Sri Baginda telah mendorongnya untuk berbuat sesuatu.

Dengan demikian, maka Pangeran Singa Narpada itu-pun telah menghubungi Ki Sadmaya untuk memberi kesempatan kepada pertapa yang berada di rumahnya mengobati Pangeran Lembu Sabdata yang sedang sakit didalam bilik tahanannya.

Perintah itu telah diterima oleh Ki Ajar dengan tarikan nafas panjang. Kepada Pututnya ia berkata tanpa didengar oleh orang lain, “Akhirnya kesempatan itu aku dapatkan juga.”

Pututnya itu-pun mengangguk kecil. Namun terbayang di angan-angannya satu tugas yang sangat berat terbentang di hadapannya. Demikianlah, bersama dengan Ki Sadmaya, Ki Ajar dan muridnya telah menghadap Pangeran Singa Narpada. Dengan sikap seorang pertapa, maka Ki Ajar dapat meyakinkan Pangeran Singa Narpada, bahwa ia tidak mempunyai pamrih apa-pun juga, selain sekedar menolong berdasarkan kemanusiaan.

Kepada Ki Ajar Pangeran Singa Narpada itu-pun berkata, “Kau dapat melihat Pangeran Limbu Sabdata itu didalam biliknya.”

“Terima kasih Pangeran,” jawab Ki Ajar, “Aku hanya sekedar akan mencoba. Mudah-mudahan berhasil. Aku sendiri memang tidak yakin bahwa aku akan dapat mengobatinya, karena yang biasa aku lakukan adalah pertolongan bagi orang-orang yang bodoh dan berjiwa kerdil. Terhadap mereka aku dengan mudah dapat mengatasi getaran jiwa mereka dan mempengaruhinya. Tetapi aku tidak tahu, apakah aku dapat berbuat demikian atas Pangeran Lembu Sabdata yang keras hati dan sudah barang tentu berkepribadian kuat pula.”

“Cobalah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Tidak ada orang yang akan menyalahkanmu jika kau gagal mengobatinya.”

Ki Ajar itu mengangguk-angguk. Namun yang terasa mempunyai kepribadian yang sangat kuat mula-mula bukannya Pangeran Lembu Sabdata, tetapi adalah Pangeran Singa Narpada.

“Pangeran ini memang luar biasa,” berkata Ki Ajar didalam hatinya, “jika ia mendapat kesempatan berhadapan dengan Pangeran Kuda Permati secara pribadi, agaknya Pangeran Kuda Permati akan mendapat lawan yang tangguh. Bahkan agaknya Pangeran Singa Narpada memang lebih besar dari Pangeran Kuda Permati meskipun dalam lapis-lapis yang sangat tipis, sehingga dalam kesempatan demikian, masih ada harapan bagi Pangeran Kuda Permati, meskipun dalam perbandingan yang lebih kecil.”

Dengan hati-hati hal itu disampaikannya kepada muridnya yang dengan setia mengikuti segala petunjuk dan perintahnya. Ki Ajar bermaksud menunjukkan kepada muridnya sikap seseorang yang berpijak pada satu kepribadian yang kuat lepas dari ungkapan-ungkapan yang nampak dalam tingkah lakunya.

Sementara itu, diantar oleh Senapati kawan Ki Sadmaya yang menghubungkan keinginan Ki Ajar itu dengan Pangeran Singa Narpada mereka pergi ke bilik tempat Pangeran Lembu Sabdata ditahan. Demikian mereka sampai ke bilik tahanan Pangeran Lembu Sabdata, maka kesan yang pertama-tama diterima oleh Ki Ajar adalah kegoncangan jiwani yang tidak terkendali. Ruangan tempat Pangeran Lembu Sabdata itu ditahan terasa pengab dan berserakkan. Kotor dan bertebaran dengan benda-benda yang tidak berarti.

“Apakah ruang ini selalu dalam keadaan yang demikian?” bertanya Ki Ajar kepada Senapati itu.

Senapati itu mengangguk. Katanya, “Sudah diusahakan untuk membersihkan ruangan itu. Menggantikan benda-benda yang tidak dapat dipakai lagi, termasuk pembaringan dan geledeg kecil itu. Tetapi dalam waktu satu hari, semuanya sudah rusak lagi. Makan dan minum yang disediakan, memang sering dimakan dengan lahap sebagaimana seharusnya, tetapi kadang-kadang makanan dan minuman itu hanya disebar di seluruh ruangan.”

Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mengira bahwa keadaan Pangeran Lembu Sabdata ternyata sudah sangat parah. Namun demikian, sebagai seseorang yang telah mesu diri didalam sebuah padepokan untuk waktu yang lama, yang mempelajari berbagai ilmu dari yang kasar sampai yang paling lembut, maka Ki Ajar memang bertekad untuk berusaha mengobatinya.

Pada pertemuan yang pertama dengan Pangeran Lembu Sabdata, sama sekali belum tersentuh hubungan lahir mau-pun batin antara Pangeran yang sedang sakit itu dengan Ki Ajar yang ingin mengobatinya. Namun Ki Ajar memang tidak tergesa-gesa. Untuk beberapa hari ia memang hanya akan melihat keadaan dan tingkah laku Pangeran Lembu Sabdata sampai pada saatnya ia akan menentukan apa yang harus dilakukannya.

“Terserah kepadamu Ki Ajar,” berkata Pangeran Singa Narpada pada suatu saat, “Kau mendapat ijin untuk berada di daerah dan didalam ruang tahanan Pangeran Lembu Sabdata bagi usahamu untuk mengobatinya.”

“Terima kasih Pangeran,” sahut Ki Ajar, “Keadaannya sudah agak parah. Tetapi aku akan berusaha dengan cara apa-pun yang aku kenal.”

Ternyata kesempatan yang terbuka itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki Ajar. Ia tidak saja mempelajari keadaan Pangeran Lembu Sabdata, tetapi Ki Ajar dan muridnya juga mempelajari keadaan ruang dan lingkungan tahanan Pangeran Lembu Sabdata itu. Sehingga dengan demikian, maka Ki Ajar itu akan dapat menyusun rencananya dengan sebaik-baiknya. Jika pada saatnya ia harus mengambil Pangeran itu, maka ia tidak akan terlalu banyak mengalami kesulitan.

Diperintahkannya kepada muridnya untuk mengenali dengan sebaik-baiknya setiap lekuk dari lingkungan ruang tahanan Pangeran Lembu Sabdata itu. Murid Ki Ajar itu-pun telah melakukan sebaik-baiknya sebagaimana diperintahkan oleh gurunya. Ia telah mengenali semua tempat. Semua liku-liku lingkungan itu tanpa menarik perhatian siapa-pun juga.

Pada hari-hari berikutnya, Ki Ajar mulai mencoba menyentuh perasaan Pangeran Lembu Sabdata yang seakan-akan telah tertutup. Ia mulai berdiri di luar bilik Pangeran Lembu Sabdata, pada batang-batang kayu yang dipasang lebih jarang untuk memungkinkan cahaya dan angin masuk kedalam ruangan.

Sekali-sekali Pangeran Lembu Sabdata telah melihatnya. Namun seperti biasanya, ia tidak mengacuhkan apa-pun di sekitarnya. Bukan saja benda-benda, tetapi juga orang-orang yang mencoba menghubunginya. Bahkan benda-benda yang ada didalam biliknya telah dirusaknya. Tetapi Ki Ajar melakukannya dengan sabar. Sehari, dua hari. Sedangkan di hari-hari berikutnya, maka ia-pun mulai minta agar pintu bilik itu dibuka.

“Aku akan mulai memperkenalkan diriku,” berkata Ki Ajar kepada petugas yang menjaga Pangeran Lembu Sabdata.

Petugas itu-pun mengerti, bahwa yang dilakukan Ki Ajar itu adalah atas ijin Pangeran Singa Narpada. Tetapi penjaga itu meragukan, apakah usaha orang tua itu akan berhasil.

Pada hari pertama Ki Ajar memasuki bilik itu, maka ia berusaha untuk menarik perhatian Pangeran Lembu Sabdata. Dengan berjalan mengelilingi bilik itu, maka Ki Ajar berusaha untuk menjajagi sentuhan yang masih dapat mengenai perasaan Pangeran Lembu Sabdata yang seakan-akan telah tertutup rapat. Ternyata Pangeran Lembu Sabdata masih tetap dalam sikapnya. Ia seakan-akan tidak menghiraukan apa-pun juga meskipun seseorang berada didalam biliknya.

Namun Ki Ajar adalah orang yang memiliki ilmu dan kemampuan yang tinggi, bukan saja dalam olah kanuraga. Tetapi juga dalam olah kajiwan dan pengetahuan tentang pengobatan. Namun sakit yang diderita oleh Pangeran Lembu Sabdata bukan sakit kewadagan. Tetapi goncangan jiwani yang luar biasa telah membuatnya kehilangan kesadarannya. Karena itu, maka pengobatan yang dilakukan oleh Ki Ajar-pun harus melalui hubungan jiwani di samping obat-obat yang dapat memperkuat daya tahan tubuh Pangeran Lembu Sabdata.

Demikianlah, sejak saat itu, Ki Ajar benar-benar telah melakukan pengobatan terhadap Pangeran itu. Ia mulai berhasil menyentuh perasaannya dan mendapat perhatiannya. Kemudian dengan kekuatan jiwanya Ki Ajar mulai mempengaruhi pribadi Pangeran Lembu Sabdata meskipun keduanya belum berhasil berbicara yang satu dengan yang lain. Getaran-getaran kekuatan jiwa Ki Ajar seakan-akan telah terpancar dari dalam dirinya dan mempengaruhi getar jiwa Pangeran Lembu Sabdata yang terganggu itu.

Dengan demikian, maka perlahan-lahan Ki Ajar sedikit demi sedikit mempengaruhi jiwa Pengeran Lembu Sabdata, yang lambat laun, keduanya mulai dapat saling berhubungan meskipun masih dalam tataran yang kacau. Pangeran Lembu Sabdata mulai tertarik melihat kehadiran Ki Ajar meskipun keduanya belum dapat berhubungan dengan pembicaraan apa-pun juga.

Dengan telaten Ki Ajar menghadapi Pangeran yang sakit itu dibantu oleh muridnya. Meskipun masih belum dalam tataran yang tinggi, namun Putut itu mampu juga membantu Ki Ajar berhubungan dengan getar pribadinya untuk mempengaruhi pribadi Pangeran Lembu Sabdata yang seolah-olah hilang dari dirinya. Sekali-sekali Pangeran Singa Narpada memerlukan melihat perkembangan keadaan Pangeran Lembu Sabdata. Namun pada beberapa pekan kemudian, ia masih belum melihat kemajuan keadaan Pangeran Lembu Sabdata itu.

“Tetapi aku sudah berhasil berhubungan,” berkata Ki Ajar.

Pangeran Singa Narpada hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi menurut penglihatannya, Pangeran Lembu Sabdata masih belum berubah sama sekali.

“Kita harus telaten,” berkata Ki Ajar.

Namun Pangeran Singa Narpada tidak dapat memaksakan keinginannya untuk mempercepat pengobatan yang dilakukan oleh pertapa tua itu. Apalagi pertapa itu sudah mengatakan, bahwa ia hanya sekedar mencoba. Jika ia gagal, maka tidak ada orang yang akan menyalahkannya.

Tetapi Ki Ajar sendiri ternyata kemudian mempunyai keyakinan bahwa ia tidak akan gagal. Perlahan-lahan tetapi pasti, ia mulai dapat meraba secara jiwani keadaan Pangeran Lembu Sabdata. Goncangan-goncangan yang telah membuatnya kehilangan kesadaran telah ditelusurinya dan kemudian pada saatnya, Pangeran Lembu Sabdata itu terkejut melihat seseorang berada didalam biliknya. Ia mulai dapat memusatkan perhatiannya dari untuk pertama kalinya Pangeran itu bertanya kepada Ki Ajar, “Siapa kau?”

Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Pangeran Lembu Sabdata memang belum dapat dikuasai sepenuhnya. Tetapi pertanyaan itu merupakan kepastian hubungan antara Ki Ajar dengan Pangeran Lembu Sabdata itu. Sejak itu, maka hubungan diantara keduanya-pun berjalan semakin rancak. Meskipun kadang-kadang masih terjadi benturan-benturan kecil. Namun beberapa hari kemudian, maka keduanya mulai dapat bercakap-cakap dalam pengertian yang masih simpang siur.

Tetapi Ki Ajar adalah orang yang benar-benar berilmu tinggi. Dengan kekuatan pancaran pribadinya, maka perlahan-lahan ia berhasil menguasai Pangeran Lembu Sabdata. Apalagi ketika kemudian Pangeran Lembu Sabdata sekali-sekali bersedia minum obat yang sudah dipersiapkan.

Kepada muridnya Ki Ajar berkata, “Aku yakin bahwa aku akan dapat mengobatinya dan menguasainya. Jika ia mulai menyadari apa yang terjadi, maka aku akan dapat membisikkan di telinganya apa yang seharusnya dilakukannya. Tetapi sudah tentu aku belum akan dapat berbicara tentang niatku dalam keseluruhan.”

Putut itu-pun mengangguk-angguk. Ia yakin bahwa gurunya akan dapat menyelesaikan semua rencananya dengan baik. Demikianlah dari hari ke hari, Ki Ajar berupaya dengan segenap kemampuannya untuk mengobati Pangeran Lembu Sabdata. Dan dari hari ke hari pula terdapat kemajuan betapa lambatnya atas kesehatan Pangeran Lembu Sabdata.

Ketika pada suatu saat Pangeran Singa Narpada datang untuk menengok keadaan Pangeran Lembu Sabdata, maka ia sudah mulai melihat perubahan. Bilik Pangeran itu tidak lagi nampak kotor sekali. Dan Pangeran Lembu Sabdata sudah mulai mengenali pakaiannya kembali. Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Kepada Ki Ajar yang kebetulan juga berada di tempat itu pula, Pangeran Singa Narpada berkata,

“Terima kasih atas jerih payah Ki Ajar. Nampaknya usaha Ki Ajar itu mulai nampak hasilnya. Meskipun jika Pangeran Lembu Sabdata itu sembuh, justru akan membuat aku lebih pening lagi menghadapinya, tetapi dengan demikian aku tidak lagi berhadapan dengan orang yang sakit ingatan.”

Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia harus memperhitungkan sikap Pangeran Singa Narpada. Agaknya Pangeran Singa Narpada adalah seorang Senapati yang mempunyai penggraita yang sangat tajam, sehingga seakan-akan ia mampu membuat perhitungan-perhitungan yang tepat bagi keadaan yang bakal terjadi. Namun Pangeran Singa Narpada tetap berpendirian, bahwa sebaiknya Pangeran Lembu Sabdata dapat disembuhkan. Karena dengan demikian, keadaan Pangeran Lembu Sabdata tidak lagi menggelitik perasaannya.

Beberapa hari kemudian, maka Pangeran Lembu Sabdata mulai dapat diajak berbicara. Ia mulai mengerti urutan kata-kata dan kalimat-kalimat dengan wajar. Namun dengan demikian, maka seperti di ramalkan oleh Pangeran Singa Narpada, maka Pangeran Lembu Sabdata mulai dipengaruhi oleh endapan-endapaan perasaannya dengan meninggalnya Pangeran Kuda Permati. Sejalan dengan tumbuhnya kesadarannya yang maju perlahan-lahan, maka endapan-endapan itu-pun mulai bermunculan pula kepermukaan.

Ki Ajar memang sudah siap menghadapi keadaan yang demikian. Karena itu, maka ia-pun mulai berusaha untuk mengatasinya. Dengan pengaruh getaran pribadinya yang kuat, serta kemampuan penguasaannya atas Pangeran Lembu Sabdata secara jiwani, maka Ki Ajar dapat dengan cermat membatasi akibat-akibat yang tidak dikehendaki justru karena perkembangan penyembuhannya.

Namun perkembangan keadaan Pangeran Lembu Sabdata telah menimbulkan tanggapan baik dari berbagai pihak. Bahkan ketika Sri Baginda mendengar keadaan Pangeran Lembu Sabdata, maka Sri Baginda-pun telah berkenan untuk menengoknya. Ternyata Pangeran Lembu Sabdata sudah dapat mengenali Sri Baginda dan menyambutnya kedatangannya sebagaimana seharusnya.

“Sukurlah,” berkata Sri Baginda, “Kau menjadi berangsur baik.”

Pengeran Lembu Sabdata yang sudah menyadari tentang keadaannya, dan bahwa ia sudah terganggu jiwanya untuk beberapa saat lamanya, hanya menundukkan kepalanya saja.

“Mudah-mudahan keadaan menjadi lekas pulih kembali,” berkata Sri Baginda.

“Hamba monon restu Sri Baginda,” jawab Pangeran Lembu Sabdata.

Dengan angan-angan yang berkembang didalam dirinya Sri Baginda kemudian meninggalkan kurungan Pangeran Lembu Sabdata. Namun seperti yang pernah dikatakannya, ia justru mulai memikirkan, bahwa Pangeran Lembu Sabdata akan menjadi sadar bahwa ia telah mengalami perlakuan yang sangat menekan, karena ia telah dikurung untuk waktu yang tidak ditentukan, sehingga seakan-akan Pangeran yang masih terhitung muda itu telah kehilangan masa depannya sama sekali.

Tetapi melihat ujud lahiriahnya, keadaannya menjadi jauh lebih baik. Pakaiannya menjadi semakin teratur, dan biliknya menjadi semakin bersih. Sementara itu, Pangeran Lembu Sabdata mulai makan dengan wajar dan teratur, karena setiap saat Ki Ajar membisikkan di telinganya, “Keadaan jasmani Pangeran harus baik sebelum Pangeran mempunyai rencana-rencana lain yang lebih baik daripada tinggal di bilik yang sempit ini.”

“Apa yang dapat aku lakukan?” bertanya Pangeran Lembu Sabdata.

“Mungkin Pangeran memang harus berada didalam bilik ini untuk waktu yang lama. Tetapi keadaan wadag Pangeran harus tetap baik,” jawab Ki Ajar.

Pangeran Lembu Sabdata menarik nafas dalam-dalam. Tetapi untuk berada dalam kurungan itu tanpa batas waktu, rasa-rasanya memang sangat menjemukan. Pada saat ia sakit ingatan, maka ia sama sekali tidak merasakan kejemuan sama sekali. Ia berada di tempatnya tanpa kesadaran sama sekali. Namun dalam keadaan yang demikian, maka ia akan dapat benbuat sesuatu dibawah batas peradaban.

Karena itu, bagaimanapun juga, Pangeran Lembu Sabdata akhirnya memang memilih untuk tetap dalam kesadarannya. Pilihan itu telah membatu mempercepat kesembuhannya. Bahkan kemudian Pangeran Lembu Sabdata itu-pun telah berusaha dengan sekuat tenaganya, sesuai dengan petunjuk Ki Ajar untuk segera sampai pada kesembuhan yang sebenarnya.

Ki Ajar memang belum pernah mengatakan niatnya dalam keseluruhan. Ia baru berusaha untuk membuat Pangeran Lembu Sabdata menemukan kembali dirinya yang seakan-akan telah hilang. Pada tataran pertama, hanya itulah yang ingin diketemukana oleh Ki Ajar. Baru kelak, sebagaimana dikatakannya kepada muridnya. Ki Ajar akan datang lagi untuk mengambilnya.

Kesembuhan yang semakin mantap itu membuat orang-orang yang berkepentingan dengan Pangeran Lembu Sabdata di Kediri merasa berterima kasih kepada pertapa tua itu. Dengan demikian, maka pelayanan atasnya menjadi semakin mudah dilakukan. Dari para petugas yang membersihkan biliknya sampai kepada Pangeran Singa Narpada, merasa bahwa dengan kesembuhan itu, mereka akan menjadi lebih mudah berhubungan.

Namun Pangeran Singa Narpada sadar, bahwa dengan kesembuhan itu, maka Pangeran Lembu Sabdata akan menjadi beban yang semakin berat baginya, karena sikap Pangeran Lembu Sabdata yang tentu akan kembali kepada sikapnya semula.

Demikianlah, pada satu saat, Ki Ajar telah menghadap Pangeran Singa Narpada bersama Ki Sadmaya untuk melaporkan bahwa menurut penilaian Ki Ajar, Pangeran Lembu Sabdata telah menjadi sembuh. Ia sudah menyadari dirinya sepenuhnya dan telah menemukan pribadinya kembali secara utuh.

“Terima kasih Ki Ajar,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Sudah sepantasnya kami menyatakan perasaan terima kasih kami bukan sekedar dengan ucapan-ucapan. Mungkin Ki Ajar mempunyai kebutuhan yang barangkali kami akan dapat memenuhinya.”

“Ah,” sahut Ki Ajar, “Tidak ada kebutuhan apa-pun juga bagi orang seperti aku Pangeran. Aku hidup dalam serba kecukupan di padepokan. Kami di padepokan menanam segala kebutuhan makan kami. Dan kami di padepokan dapat menenun sendiri untuk kebutuhan pakaian kami. Karena itu, maka kami tidak lagi mempunyai kebutuhan apa-pun lagi. Semua kebutuhan kami telah terpenuhi.”

“Aku percaya Ki Ajar. Tetapi sebagai manusia yang hidup dalam pergaulan sesama, maka tentu mempunyai kebutuhan yang justru menjadi ciri kehidupan kita.”

“Terima kasih Pangeran,” jawab Ki Ajar, “hamba tidak memerlukan apa-apa. Namun jika Pangeran mempunyai rasa belas kasihan kepada kami, maka yang kami perlukan adalah berbagai macam benih yang akan dapat kami tanam di kebun-kebun kami.”

Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian, “Sungguh satu hal yang sangat menggetarkan hati. Baiklah Ki Ajar. Aku akan menghadap Sri Baginda dan menyampaikan permintaan Ki Ajar. Tetapi seandainya Sri Baginda berkenan memberikan berbagai macam benih, maka tentu akan diberikan bersama pedatinya sekaligus dan sapi-sapi penariknya. Ki Ajar pernah memelihara lembu?”

Ki Ajar itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Di padepokan kami memang terdapat beberapa ekor lembu yang dapat membantu kami dalam kerja kami di sawah.”

“Baiklah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Aku akan menghadap Sri Baginda. Jika Sri Baginda berkenan, maka aku akan membawamu menghadap pada suatu saat.”

“Terima kasih Pangeran. Kesempatan menghadap Sri Baginda adalah kesempatan yang sangat berarti bagiku,” berkata Ki Ajar.

Namun ternyata bahwa kesempatan itu didapatkannya. Sri Baginda memang merasa kagum, bahwa Ki Ajar itu berhasil menyembuhkan Pangeran Lembu Sabdata, sehingga pulih seperti sedia kala. Bahkan Pangeran Lembu Sabdata mampu mengingat apa yang pernah terjadi sebelum ia mengalami goncangan dengan kematian Pangeran Kuda Permati.

Dengan rendah hati Ki Ajar yang kemudian menghadap Sri Baginda bersama Ki Sadmaya dan Senapati yang menghubungkannya dengan Pangeran Singa Narpada, menyerahkan Pangeran Lembu Sabdata kepada Sri Baginda.

“Mudah-mudahan penyakitnya tidak menjadi kambuh lagi,” berkata pertapa tua itu, “Namun keinginan Pangeran Lembu Sabdata sendiri untuk tetap menyadari keadaan dirinya dan berpegang kepada kepribadiannya akan membantu menjauhkan kemungkinan untuk kambuh lagi.”

Sri Baginda mengangguk-angguk. Katanya, “Pangeran Singa Narpada telah mengatakan kepadanya, apa yang dibutuhkan oleh padepokan. Aku setuju dengan pendapatnya, bahwa kau akan membawa sebuah pedati yang penuh dengan benih-benih yang akan dapat kau tanam di padepokanmu. Selain benih-benih itu, maka pedati itu mungkin akan sangat berarti bagi padepokanmu.”

“Hamba Sri Baginda,” jawab Ki Ajar sambil menunduk dalam-dalam, “Adalah kurnia yang tiada taranya. Hamba dan para cantrik akan menerima dengan ucapan terima kasih yang tidak terhingga.”

Demikianlah, maka Sri Baginda di Kediri telah memerintahkan Pangeran Singa Narpada untuk menyediakan sebagai mana di kehendakinya. Seperti biji-bijian yang akan menjadi benih yang dapat ditanam dikebun padepokannya dan mungkin di pategalan.

Berulang kali Ki Ajar mengucapkan terima kasih. Demikian pula ketika ia sudah berada dirumah sahabatnya, Ki Sadmaya. Ternyata aku mendapat kurnia yang besar sekali,” berkata Ki Ajar.

Ki Sadmaya tersenyum. Katanya, “Tetapi pengobatan yang kau berikan benar-benar tidak dapat dinilai dengan apa-pun juga. Jauh lebih besar dari sepedati emas sekali-pun. Karena kau telah membantu Pangeran Lembu Sabdata menemukan dirinya kembali. Aku memang tidak banyak berkepentingan selain perasaan belas kasihan semata-mata karena aku memang belum pernah berhubungan dengan Pangeran itu. Namun kesembuhannya membuat aku ikut bergembira.”

“Yang aku lakukan tidak lebih dari kewajiban semata-mata. Bukankah kita berkewajiban menolong sesama apabila kita mampu melakukannya?” bertanya Ki Ajar.

“Dan yang diberikan kepadamu itu sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Sri Baginda. Tidak lebih dari sebutir debu di antara banyaknya pasir di pesisir. Hanya sebuah pedati yang berisi biji-bijian untuk benih,” berkata Ki Sadmaya.

“Tetapi yang bagi kami, seisi padepokan, pedati dan isinya itu akan sangat berharga sekali,” jawab Ki Ajar.

“Pergunakan sebaik-baiknya. Tangkar-tumangkar. Mudah-mudahan akan memenuhi seluruh pategalanmu,” berkata Ki Sadmaya sambil tersenyum.

Dengan demikian, maka ketika tiba saatnya, setelah minta diri kepada semua pihak termasuk Pangeran Lembu Sabdata sendiri, maka Ki Ajar-pun meninggalkan Kota Raja. Sementara itu, Pangeran Lembu Sabdata-pun telah mengucapkan terima kasih yang tidak ada taranya kepada Ki Ajar.

Namun yang kemudian tidak disadari oleh Pangeran Lembu Sabdata, bahwa didalam penyembuhan itu, getaran-gertaran pribadi Ki Ajar telah mencengkam pribadi Pangeran Lembu Sabdata yang telah diketemukannya kembali. Pengaruh Ki Ajar tanpa terasa benar-benar telah menguasai pribadi Pangeran Lembu Sabdata, sehingga Pangeran itu merasa, bahwa hidupnya seakan-akan tergantung kepada Ki Ajar yang telah menyembuhkannya.

Perasaan berhutang budi benar-benar telah berkembang menjadi perasaan tunduk siap melakukan segala perintahnya. Dan sebenarnyalah pribadi Pangeran Lembu Sabdata yang telah ditemukannya kembali itu sudah diwarnai oleh pengaruh kekuatan pribadi Ki Ajar yang ingin pada suatu saat mengambilnya dari kurungannya.

Selain Pangeran Lembu Sabdata tidak menyadarinya, maka hal itu sama sekali tidak nampak oleh siapa-pun. Tidak seorang-pun yang mengetahui apa yang telah terjadi didalam diri Pangeran Lembu Sabdata selain kesembuhan. Beberapa pihak telah menyatakan perasaan sukurnya, bahwa Pangeran Lembu Sabdata benar-benar telah sembuh, termasuk Pengeran Singa Narpada sendiri, meskipun ia sadar, bahwa ia akan lebih banyak mengalami kesulitan menghadapi Pangeran yang sudah menjadi sembuh itu.

Tetapi ternyata dugaan Pangeran Singa Narpada itu menilik gelar kewadagannya, justru tidak terjadi. Setelah Pangeran Lembu Sabdata itu sembuh, maka ia tidak terlalu banyak membuat orang lain kebingungan. Ia menerima apa yang ada baginya. Dan ia tidak pernah berusaha untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keharusan yang diterapkan kepadanya. Pangeran Lembu Sabdata itu menjadi tunduk kepada segala perintah dan melakukan segala kewajibannya sebaik-baiknya.

Justru karena itu, maka betapa-pun kerasnya hati Pangeran Singa Narpada kepada orang-orang yang menentang kuasa Sri Baginda, akhirnya menjadi luluh juga. Apalagi Pangeran Lembu Sabdata adalah masih kadang sendiri. Seorang Pangeran yang sebenarnya sangat dikasihi oleh Sri Baginda sendiri, meskipun ternyata telah menentangnya dengan mati-matian, sehingga telah jatuh korban yang tidak terhitung banyaknya. Namun kemudian sikap Pangeran Lembu Sabdata dibawah pengaruh sikap Pangeran Kuda Permati yang telah terbunuh itu sempat menumbuhkan kebingungan di hati Baginda.

Kebingungan itulah yang membuat segalanya justru berlarut. Bahwa ia berusaha untuk mengekang Pangeran Singa Narpada, telah memberikan kesempatan kepada Pangeran Kuda Permati untuk memperluas jaringan mautnya. Sehingga pada saat Pangeran Singa Narpada mendapat kesempatan untuk bertindak, jaringan itu telah menjerat seluruh Kota Raja dan sekitarnya.

Untunglah bahwa Panji Sempana Murti telah bertindak sesuai dengan cara yang ditempuh oleh Pangeran Singa Narpada, sehingga kekuatan Pangeran Kuda Permati sebagian telah terkekang di perbatasan Utara.

Namun dalam pada itu, sisa-sisa kegarangan dan keras hati tidak lagi nampak pada Pangeran Lembu Sabdata setelah ia sembuh. Ia tidak lebih dari tahanan-tahanan yang lain dalam sikap dan perbuatan. Namun justru karena ia seorang Pangeran, maka pelayanan atas dirinya agak lebih baik dari pelayanan terhadap tahanan-tahanan yang lain. Tetapi dibalik sikap dan ujud kewadagannya, maka tersimpan satu rencana yang rumit yang telah disusun oleh Ki Ajar yang berada di tempat yang jauh dari Kota Raja.

Sementara itu, Ki Ajar yang telah kembali kepadepokannya, merasa bahwa sebagian usahanya telah berhasil. Jauh lebih mudah dari yang diduga semula. Selain Ki Ajar itu sudah dapat berhubungan dengan Pangeran Lembu Sabdata dan mengikat pribadinya, maka ia-pun telah mengenali lingkungan tahanan itu dengan sebaik-baiknya, sehingga pada suatu saat, ia akan dapat melakukan rencananya dengan sebaik-baiknya. Mengambil Pangeran Lembu Sabdata.

Namun dalam pada itu, sebelum Ki Ajar melakukan rencananya, ia masih sempat memanfaatkan hadiah yang diterimanya dari Sri Baginda. Sepedati biji-bijian yang dapat dijadikan benih untuk ditanam di kebun pategalan. Jenis tanaman yang dapat tangkar-tumangkar menjadi berlipat banyaknya, yang pada saatnya akan dapat ditanam di pategalan yang luas. Biji-bijian yang dibawa itu adalah jenis tanaman yang sangat bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Sementara itu, pedati dengan sepasang lembu itu-pun ternyata menjadi sangat bermanfaat pula bagi padepokannya.

Dalam pada itu, Ki Ajar ternyata mampu mengendalikan diri untuk tidak berbuat dengan tergesa-gesa. Ia tidak dengan segera berusaha mengambil Pangeran Lembu Sabdata. Tetapi ia menunggu sampat saatnya orang-orang Kediri tidak akan menuduhnya menjadi sebab hilangnya Pangeran Lembu Sabdata.

Sementara itu Pangeran Lembu Sabdata sendiri memang tidak menunjukkan sesuatu yang menarik. Justru ia nampak menjadi semakin jinak. Dan bahkan seakan-akan ia sama sekali sudah tidak mempunyai niat apa-pun juga.

Dengan sikapnya itu, maka para penjaganya justru menjadi iba. Pangeran yang masih muda dan garang itu seakan-akan telah kehilangan gairah hidupnya. Ia sudah pasrah apa yang akan terjadi atas dirinya. Yang dilakukannya sehari-hari adalah merenungi keadaannya. Sekali-sekali berbicara dengan para penjaganya dengan ramah.

Namun Pangeran Lembu Sabdata tidak pernah lagi menolak pelayanan yang diberikan kepadanya. Ia selalu makan dengan lahapnya makanan yang diberikan kepadanya. Demikian malam turun, maka ia-pun segera naik kepembaringannya dan sejenak kemudian Pangeran itu-pun telah tertidur dengan nyenyaknya.

Dengan demikian, maka para penjaganya itu menduga, bahwa Pangeran yang masih muda itu benar-benar sudah tidak lagi mempunyai satu keinginan-pun. Ia sudah pasrah dengan bulat untuk menjalan hukuman sampai kapan-pun.

Sebenarnyalah, bahwa kesan yang demikian itulah yang dikehendaki oleh Ki Ajar, agar dengan demikian, maka orang-orang yang mengawasinya akan menjadi lengah dan kehilangan kewaspadaan. Bahkan Pangeran Singa Narpada sendiri, setelah melihat keadaan dan perkembangan Pangeran Lembu Sabdata merasakan betapa Pangeran itu telah kehilangan gairah hidupnya sama sekali.

“Tetapi dengan demikian, ia akan menemukan ketenangan didalam pasrahnya,” berkata Pangeran Singa Narpada kepada Sri Baginda, ketika Sri Baginda menanyakan kepadanya tentang perkembangan keadaan Pangeran Lembu Sabdata.

Namun sementara itu. Sri Baginda itu-pun bertanya, “Tetapi apakah tidak ada kemungkinan, bahwa pada suatu saat Lembu Sabdata itu dibebaskan dari kurungannya?”

“Tentu Sri Baginda,” jawab Pangeran Singa Narpada, “Hal itu dapat dilakukan kapan saja atas perintah Sri Baginda. Namun kita harus yakin, bahwa pembebasan itu akan dapat memberikan keuntungan bagi jalan hidup Pangeran Lembu Sabdata, sehingga ia tidak mengalami kesesatan lagi seperti yang pernah terjadi.”

Sri Baginda hanya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dalam keadaan yang demikian, ia tidak dapat berbuat menurut kehendaknya sendiri. Setelah Pangeran Kuda Permati terbunuh, dan perlawanannya dapat dipadamkan, maka semua mata seakan-akan telah di arahkan kepada Pangeran Singa Narpada.

Meskipun demikian, bukan berarti bahwa Pangeran Singa Narpada tidak memikirkan kemungkinan seperti itu. Tetapi Pangeran Singa Narpada menunggu sampai keadaan benar-benar mereda. Meskipun perang sudah selesai, tetapi masih saja ada orang yang saling berbincang dan menyangsikan sikap Pangeran Singa Narpada. Beberapa orang yang sejak semula telah jatuh dibawah pengaruh Pangeran Kuda Permati masih menganggap bahwa langkah pilihan Pangeran Kuda Permati adalah pilihan yang paling tepat bagi Pangeran Kuda Permati.

“Orang-orang yang demikian memerlukan waktu untuk menerima satu keyakinan baru yang benar,” berkata Pangeran Singa Narpada kepada Sri Baginda, “Karena itu, jika datang seseorang kepadanya untuk membakar lagi gejolak didalam dadanya, maka api itu tentu akan menyala. Kesulitan akan terjadi lagi.”

Sri Baginda tidak segera menjawab. Namun setiap kali terasa jantungnya berdebar semakin cepat. Meskipun demikian, Sri Baginda tidak dapat mengambil sikap yang pasti dan meyakinkan dirinya sendiri.

Sementara itu, di padepokan, Ki Ajar sudah mulai dengan rencana-rencananya. Ia tidak mau api sudah menjadi padam sama sekali. Meskipun ia tidak ingin membakar Kediri seperti membakar daun kelapa kering, yang cepat menyala, namun dengan segera akan cepat pula padam. Namun ia ingin berbuat lebih baik dari yang pernah terjadi atas Pangeran Kuda Permati.

Karena itu, maka semua langkah harus diperhatikan dengan cermat. Jika ia tergelincir, maka akan terulang kembalilah kepahitan yang pernah dialami oleh Pangeran Kuda Permati.

Langkah yang pertama yang akan diambil oleh pertapa itu adalah mengambil Pangeran Lembu Sabdata. Menempanya, sehingga Pangeran itu menjadi seorang yang pilih tanding, kemudian melepaskannya di medan untuk mencapai satu tujuan yang tidak akan pernah padam dari hati pertapa itu dan orang-orang Kediri sejati. Dengan demikian, maka pertapa itu-pun telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya bersama muridnya yang dianggapnya paling baik, yang sudah memiliki sebagian besar dari ilmu Ki Ajar itu sendiri.

“Kita akan mulai. Menurut perhitungan waktunya sudah cukup lama. Orang-orang Kediri tentu sudah melupakan apa yang pernah terjadi atas Pangeran Lembu Sabdata itu. Sehingga mereka tidak akan terlalu banyak memperhatikannya lagi. Namun mereka akan terkejut, bahwa pada suatu saat, bilik itu menjadi kosong dan Pangeran Lembu Sabdata tidak akan pernah mereka tangkap kembali,” berkata Ki Ajar.

“Tetapi jika terjadi satu dugaan, bahwa hilangnya Pangeran Lembu Sabdata ada hubungannya dengan kita, karena Pangeran Singa Narpada itu memiliki ketajaman pengamatan batin, serta berusaha untuk melacak sampai ke padepokan ini lewat Ki Sadmaya, apakah yang dapat kita lakukan?” bertanya Putut itu.

“Kita tidak akan membawa Pangeran Lembu Sabdata ke padepokan ini. Kita akan membuat satu pemukiman terpisah yang akan menjadi perapian yang akan membakar Pangeran Lembu Sabdata sebelum ia turun kemedan yang sebenarnya Ia akan mengalami tempaan yang kuat lahir dan batinnya.” berkata Ki Ajar.

“Salah satu jalan yang akan ditempuh,” berkata Ki Ajar, “Tetapi ia harus memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh Pangeran Kuda Permati.”

Pututnya yang setia itu mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, “Apakah Pangeran Lembu Sabdata kelak akan mempergunakan cara sebagaimana dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati.”

“Memiliki apa guru?” bertanya Putut itu.

Ki Ajar itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia berkata, “Kau adalah satu-satunya orang yang dapat mengetahuinya. Karena itu, maka aku minta bahwa kau bertanggung jawab atas apa yang kau ketahui.”

Putut itu tidak menjawab. Tetapi ia justru menundukkan kepalanya. Ia tahu apa arti pesan gurunya itu. Dengan nada datar gurunya itu-pun kemudian berkata,

“Ada sesuatu yang diabaikan oleh Pangeran Kuda Permati. Sebenarnya bukan salah Pangeran Kuda Permati saja. Aku-pun waktu itu tidak bertindak dengan pasti. Aku masih berharap bahwa sikap ragu-ragu Sri Baginda akan menguntungkan Pangeran Kuda Permati. Namun ternyata dugaan itu salah sekali. Ternyata Sri Baginda telah menjatuhkan perintah kepada Pengeran Singa Narpada untuk menumpas habis pasukan Pangeran Kuda Permati. Bahkan cara yang licik telah ditempuhnya. Ia melepaskan puteri Pumadewi, isteri Pangeran Kuda Permati untuk membunuhnya meskipun ia juga harus membunuh diri.”

Putut itu mengangguk-angguk kecil, sementara gurunya berkata selanjutnya, “Waktu itu aku tidak dengan pasti minta agar Pangeran Kuda Permati sebelum melangkah, lebih dahulu mengambil pertanda kebesaran Raja-raja Kediri. Tanda kebesaran itu bukan sekedar memberikan kemegahan, tetapi lebih daripada itu, karena didalamnya tersimpan wahyu keraton. Siapa yang menyimpannya, maka ia akan kuat menjadi Raja di Kediri. Waktu itu, aku tidak sependapat bahwa Pangeran Kuda Permati benar-benar akan merebut tahta. Ia hanya akan mengangkat derajat Kediri, sementara Sri Baginda masih tetap diatas tahta. Karena itu, maka tanda kebesaran itu tidak diperlukan. Namun ternyata perjuangan Pangeran Kuda Permati gagal. Sementara Sri Baginda benar-benar telah menjatuhkan perintah untuk menghancurkan Pangeran Kuda Permati.”

Putut itu mengangguk-angguk. Katanya, “jadi menurut guru, kita tidak perlu lagi menghormat Sri Baginda agar tahta Kediri tetap di tangannya.”

“Apa boleh buat,” berkata Ki Ajar, “Kita akan merenggut benda itu, dan kemudian menurunkan Pengeran Lembu Sabdata yang juga salah seorang keluarga istana yang tentu akan kuat mewarisi tahta dengan kekuatan tanda kebesaran itu.”

Namun Putut itu kemudian bertanya, “Apakah ujud tanda kebesaran itu, senjata?”

Gurunya menggeleng. Katanya, “Bukan. Bukan berupa senjata yang bertuah. Tetapi ujud dari tanda kebesaran yang sekaligus menyimpan wahyu keraton itu berupa sebuah Mahkota.”

“Mahkota?” bertanya putut itu.

“Ya, Mahkota yang jarang sekali keluar dari Gedung Perbendaharaan. Karena benda itu, selain mempunyai tuah yang sangat tinggi nilainya, harga benda itu sendiri-pun tentu sangat mahal karena terbuat daripada emas dan tertahtakan permata yang tidak terhitung banyaknya. Intan dan berlian,” berkata Ki Ajar.

Putut itu menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya ia berdesis, “Jadi benda itu harus diambil?”

Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya dengan nada dalam, “Ya. Apa boleh buat. Justru karena Sri Baginda tidak mau berpihak kepada Pangeran Kuda Permati atau cita-citanya yang akan tetap hidup di dada orang-orang Kediri yang sejati.”

Muridnya mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa tugas yang akan dilakukannya adalah tugas yang sangat berat. Mengambil Pangeran Lembu Sabdata. Kemudian mengambil pusaka Mahkota yang tersimpan di dalam Gedung perbendaharaan yang dijaga kuat. Tetapi hal itu sudah menjadi tekad gurunya, sehingga Putut itu hanya akan dapat melakukannya apapun yang mungkin dapat terjadi dengan dirinya.

Demikianlah, maka segala persiapannya telah dilakukan. Sekali lagi Ki Ajar minta diri kepada para cantrik yang akan menunggui padepokan.

“Berapa lama Guru akan pergi?” bertanya salah seorang cantriknya.

“Tidak lebih dari sepuluh hari,” jawab pertapa itu.

“Sepuluh hari?“ ulang cantriknya.

“Sepuluh hari menurut hitunganku,” jawab Ki Ajar sambil tersenyum.

“Ah. Tentu seperti pada saat guru pergi beberapa saat yang lampau. Guru juga mengatakan hanya sepuluh hari. Tetapi ternyata sampai berlipat tiga,” jawab cantriknya...

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.