PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 13
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 13
Karya Singgih Hadi Mintardja
KETIKA Mahendra mendengarkan keterangan anaknya maka hatinya menjadi berdebar-debar. Karena rencana orang-orang Kediri itu sudah menyusup di antara para pemimpin pemerintahan yang seharusnya menjadi jalur kekuasaan Singasari.
“Baiklah” berkata Mahendra, “Aku akan menyertai menemui kakakmu Mahisa Bungalan. Ia akan berbicara dengan pamannya Mahisa Agni dan Witantra. Mudah-mudahan mereka dapat memecahkan persoalannya. Mereka harus mendapat bukti keingkaran Akuwu itu”
“Ya ayah” jawab Mahisa Murti, “Yang penting, Singasari harus meyakini bahwa Akuwu Gagelang telah melakukan satu kesalahan”
Mahendra pun mengangguk-angguk. Ia berpendapat bahwa Singasari tidak akan dapat begitu saja mengirimkan sepasukan yang akan dapat menangkap Akuwu Gagelang. Dengan demikian, maka Akuwu itu akan dapat ingkar dan Singasari akan menemui kesulitan untuk membuktikannya.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun kemudian telah menemui Mahisa Bungalan serta sekaligus menghadap paman mereka, Mahisa Agni dan Witantra.
Keterangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, memang sangat menarik perhatian. Mahisa Bungalan telah berusaha untuk mendapat keterangan sejauh-jauh diketahui oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dalam pada itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menjelaskan segala sesuatunya yang mereka mengerti. Baik tentang Talang Amba, maupun tentang Gagelang.
“Kau yakin bahwa yang kau ketahui itu adalah keadaan yang sebenarnya?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Maksud kakang, apakah Ki Sendawa tidak mengelabui kami berdua?” Mahisa Murti ganti bertanya.
“Ya. Menilik keteranganmu, maka Ki Sendawa memang seorang yang cerdik. Bahkan licik” sahut Mahisa Bungalan.
“Tetapi ia sudah menemukan dirinya. Aku percaya bahwa ia benar-benar menyesal. Ketika hatinya tersentuh oleh sikap kemanakannya perempuan, isteri Ki Sendawa, maka hatinya itu menjadi luluh. Apalagi kenyataan yang dihadapinya tentang pribadi Ki Sanggarana telah membuatnya bercermin tentang pribadinya sendiri” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Singasari memang harus mengambil langkah-langkah. Ketika Singasari memberikan peringatan kepada Gagelang tentang kemungkinan yang dapat terjadi di Talang Amba berdasarkan keterangan Ki Waruju. Seakan-akan Ki Sanggarana telah melangkahi kuasa Akuwu Gagelang. Dengan demikian, maka langkah yang akan diambil kemudian harus dipertimbangkan sebaik-baiknya. Akuwu di Gagelang akan dapat mencari jalan apapun untuk menutupi kesalahannya. Bahkan memutar balikkan keadaan. Tanpa bukti-bukti yang meyakinkan, maka tidak akan dapat diambil tindakan yang seharusnya bagi Akuwu di Gagelang itu”
“Jadi, apa yang sebaiknya kami lakukan kakang?” bertanya Mahisa Pukat, “apakah Singasari akan dapat mengambil tindakan langsung hanya berdasarkan laporan saja, atau Singasari harus membuktikannya lebih dahulu”
“Setiap laporan tentu akan diperhatikan” jawab Mahisa Bungalan, “tetapi laporan saja, agaknya masih belum cukup, karena setiap orang akan dapat membuat laporan palsu tentang satu persoalan yang dihadapi”
“Jadi, apakah dalam hal ini Singasari akan dapat menyelidikinya” desak Mahisa Pukat.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sikap Mahisa Pukat memang agak lain dari Mahisa Murti. Namun terhadap Mahisa Pukat, maka Mahisa Bungalan pun harus bersikap lebih berterus terang. Karena itu, maka jawabnya,
“Baiklah Mahisa Pukat. Aku sendiri akan berada di Talang Amba. Aku akan melihat apa yang telah terjadi. Mungkin aku akan berada di Talang Amba bersama dua atau tiga orang yang memiliki pengetahuan khusus tentang tugas-tugas sandi. Mereka akan membantu aku meyakinkan pendapat tentang Akuwu di Gagelang. Baru kemudian, kami akan dapat mengambil langkah-langkah tertentu”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya ia pun berkata, “Keadaan sudah begitu mendesak. Dan kita baru akan mulai lagi dengan satu penyelidikan. Jika demikian, lalu kapan kita akan mengambil sikap”
“Mahisa Pukat” berkata Mahisa Bungalan, “seandainya Akuwu mulai dengan penebangan hutan itu, maka kita masih belum terlambat. Sehari atau dua hari, hutan itu masih belum akan berkurang. Sementara itu, kita sudah mendapatkan bukti yang cukup untuk mengambil langkah-langkah”
“Mungkin kakang” jawab Mahisa Pukat, “tetapi anak-anak muda Talang Amba tentu sudah mengambil satu kesimpulan tentang Ki Sendawa. Jika mereka kemudian mengambil tindakan sendiri atas Ki Sendawa, maka keadaan akan menjadi gawat. Selain Ki Sendawa akan mengalami nasib buruk, maka Akuwu di Gagelang akan dapat menuduh orang-orang Talang Amba telah memberontak”
“Mahisa Pukat” berkata Mahisa Bungalan, “Jika aku sudah berada di Talang Amba atas nama pimpinan prajurit di Singasari yang mengemban tugas, maka sikap mereka tentu akan berbeda”
“Kakang akan datang sebagai seorang Senopati?” bertanya Mahisa Murti.
“Tentu tidak” jawab Mahisa Bungalan, “tetapi beberapa orang tertentu akan dapat mengetahuinya, seperti yang kau katakan, bahwa beberapa orang anak muda kau percaya untuk mengetahui sikap sebenarnya dari Ki Sendawa”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah kakang. Jika kakang dapat berbuat demikian, maka agaknya kami pun tidak berkeberatan”
Namun dalam pada itu, agaknya Mahisa Pukat masih belum puas. Lalu katanya, “Tetapi apakah yang dapat kita lakukan, seandainya kehadiran kakang kemudian dapat ditangkap oleh petugas sandi Akuwu, sehingga ia mengambil satu langkah tertentu?”
“Tergantung kepada kelembutan kita” jawab Mahisa Bungalan, “Namun jika terjadi demikian, seperti Akuwu di Gagelang, maka kita pun akan mengambil langkah tertentu yang akan kita putuskan kemudian”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi kesediaan kakaknya untuk hadir di Talang Amba telah membuatnya agak tenang. Anak-anak muda Talang Amba akan dapat melihat satu perkembangan keadaan yang paling baik bagi Talang Amba.
“Jika demikian” berkata Mahisa Bungalan kemudian, “besok aku akan membenahi rencana ini dan mengajukannya kepada pimpinan tertinggi apakah rencanaku itu baik atau masih harus disempurnakan. Kemudian dengan restunya, aku akan berangkat ke Talang Amba”
“Jika kau dapat berangkat dalam dua hari ini, kami akan menunggumu” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Bungalan merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku kira aku akan dapat berangkat dalam dua hari ini. Biarlah Panglima menyampaikan laporan ini kepada Sri Maharaja”
“Baiklah” sahut Mahisa Murti jika demikian, aku akan menunggu. Kita akan berangkat bersama-sama”
“Tetapi kita tidak bersama-sama memasuki Talang Amba” jawab Mahisa Bungalan.
“Ya. Mungkin aku dan Mahisa Pukat akan berada dalam kelompok yang terpisah. Biarlah Ki Sendawa mengatur, dimana kita masing-masing akan tinggal” jawab Mahisa Murti.
Demikianlah, maka Mahisa Bungalan pun telah meneruskan laporan itu kepada Panglimanya, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah banyak mendapat petunjuk dari ayahnya dan kedua pamannya, Mahisa Agni dan Witantra.
“Kau berdua harus menyelesaikan lebih dahulu persoalan yang terjadi di Talang Amba” berkata Mahisa Agni, “baru kemudian kau dapat menelusuri persoalan Ki Sarpa Kuning yang terbunuh. Tetapi untuk mengatasi persoalan itu, mungkin kau masih juga memerlukan kakakmu atau bahkan orang-orang tua ini”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka memang harus menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi di Talang Amba. Hubungan antara Ki Sendawa dan Ki Sanggarana harus dipulihkan sebagaimana hubungan antara paman dan kemanakannya. Talang Amba harus pulih menjadi satu daerah yang tenang dan tidak boleh terancam oleh arus air yang tidak tertahan di lereng perbukitan.
Demikianlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menunggu dua malam di Singasari. Di pagi buta menjelang hari ketiga, maka sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan rumah Mahendra. Mahisa Bungalan dan dua orang kawannya ternyata telah bermalam di rumah itu pula, agar pagi-pagi benar sebelum matahari terbit, mereka sudah dapat berangkat.
Seperti ketika berangkat, maka ketika iring-iringan itu kembali ke Talang Amba, mereka pun telah bermalam di perjalanan. Baru di hari berikutnya mereka mendekati Talang Amba. Namun pada hari itu mereka masih belum memasuki Kabuyutan itu. Baru ketika malam sudah turun, iring-iringan kecil itu dengan hati-hati mendekati regol Kabuyutan.
Seperti yang direncanakan maka mereka tidak bersama-sama memasuki Kabuyutan Talang Amba. Tetapi mereka telah membagi diri. Mahisa. Murti bersama dua orang kawan Mahisa Bungalan, sementara Mahisa Pukat bersama kakaknya langsung menuju ke rumah Ki Sendawa. Namun meskipun mereka menempuh jalan yang berbeda, tetapi akhirnya mereka pun telah berkumpul pula di rumah Ki Sendawa.
“Aku hampir gila menunggu kedatangan kalian” desis Ki Sendawa.
“Bukankah selama ini tidak ada apa-apa yang terjadi?” bertanya Mahisa Murti.
“Dalam satu dua pekan ini, Akuwu sudah akan mulai menebang hutan di lereng bukit” jawab Ki Sendawa.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Segalanya akan kami serahkan kepada kakang Mahisa Bungalan”
Kepada Ki Sendawa, Mahisa Murti berterus terang, siapakah orang yang datang bersamanya. Orang itu adalah kakaknya yang menjadi seorang Senopati di Singasari. Sedang dua orang yang lain adalah dua orang petugas sandi dari Singasari pula.
Ki Sendawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itulah sebabnya, bahwa kalian memiliki kemampuan yang mengagumkan. Ternyata kalian adalah keluarga seorang Senopati dari Singasari."
“Satu kebetulan saja Ki Sendawa” jawab Mahisa Murti, “namun yang penting, apakah yang akan kita lakukan kemudian”
Demikianlah, Mahisa Bungalan dan kedua orang petugas sandi dari Singasari itu diperkenalkan dengan Ki Sendawa. Orang yang terpaksa menerima tugas memangku jabatan Buyut di Kabuyutan Talang Amba.
Tetapi malam itu Mahisa Bungalan mendapat kesempatan untuk beristirahat. Mereka masih belum berbuat banyak selain mendengarkan beberapa keterangan Ki Sendawa melengkapi keterangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Baru di hari berikutnya, Ki Sendawa memanggil beberapa orang anak-anak muda yang mempunyai pengaruh atas kawan-kawannya untuk datang ke rumah Ki Sendawa. Dari wajah-wajah mereka nampak betapa kegelisahan benar-benar telah mencengkam mereka.
“Atas kepercayaanku kepada kalian, maka kalian akan aku perkenalkan dengan tiga orang tamu yang datang ke Kabuyutan Talang Amba” berkata Ki Sendawa yang kemudian memperkenalkan Mahisa Bungalan kepada mereka.
Anak-anak muda yang mendapat kepercayaan dari Ki Sendawa itu termangu-mangu. Mereka tidak langsung dapat mempercayai keterangan itu. Baru ketika Mahisa Bungalan mendapat kesempatan untuk berbicara kepada mereka, kepercayaan mereka pun mulai tumbuh. Apalagi ketika Mahisa Bungalan menunjukkan ciri keprajuritannya dengan menunjukkan sebentuk cincin Senopati dan timang ikat pinggangnya, yang semula tertutup oleh pangkal kain panjangnya.
“Aku berharap bahwa kali ini, kalian tidak menaruh kecurigaan lagi” berkata Ki Sendawa, “persoalannya telah sampai kepada Sri Maharaja di Singasari. Namun sekali lagi aku minta, bahwa kalian harus dapat memegang rahasia ini. Sementara kita berusaha untuk mencari penyelesaian yang sebaik-baiknya bagi Talang Amba, dan bagi Sanggarana serta Ki Waruju”
Anak-anak muda Talang Amba itu pun mengangguk-angguk. Mereka yang masih meragukan kejujuran Ki Sendawa menjadi semakin mempercayainya. Meskipun Ki Sendawa pernah melakukan kesalahan yang berakibat panjang, tetapi akhirnya ia berusaha untuk memperbaiki kesalahannya itu.
Dalam pada itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian berkata, “Aku memerlukan bantuan kalian. Biarlah Akuwu mulai melakukan apa yang ingin dilakukan. Kami memerlukan bukti keterlibatan Akuwu di Gagelang atas usaha beberapa pihak Kediri untuk melawan Singasari dengan cara yang sangat licik. Baru kemudian Singasari akan dapat mengambil langkah-langkah terhadap Akuwu di Gagelang. Agaknya Akuwu di Gagelang termasuk salah satu orang yang mempunyai jalur lurus dengan para pemimpin di Kediri. Karena kedudukannya tentu agak lain dengan kedudukan Ki Sapa Kuning”
Anak-anak muda Talang Amba itu pun mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Bungalan itu pun melanjutkan, “Karena itu, kalian pun harus menyadari bahwa kalian harus selalu berhati-hati menghadapi persoalan yang mungkin akan timbul”
“Apakah mungkin akan terjadi kekerasan atas Pakuwon Gagelang?” bertanya anak-anak muda itu.
“Kemungkinan itu memang ada” jawab Mahisa Bungalan karena itu, kita harus bersiap-siap sebaik-baiknya. Mungkin kalian belum pernah mendapat bimbingan yang baik untuk melakukan pertempuran yang sebenarnya jika hal itu terpaksa terjadi. Tetapi karena Talang Amba ini berada di daerah kekuasaan Singasari, maka Singasari tentu akan berusaha melindunginya. Meskipun demikian, kalian harus selalu besiap-siap. Setidak-tidaknya kalian harus berusaha untuk melindungi diri sendiri”
“Hal ini pernah mereka lakukan” berkata Ki Sendawa, “ketika pertentangan terjadi di Kabuyutan Talang Amba, anak-anak muda dari kedua belah pihak yang bertentangan telah bersiap-siap dengan menyiapkan senjata. Karena itu, maka pada saat ini, senjata-senjata itu jika diperlukan tentu masih ada. Tetapi sebenarnyalah, bahwa kemampuan kami disini tidak akan dapat diperbandingkan dengan kemampuan para pengawal di Gagelang. Meskipun demikian, jika diperlukan, kami akan berbuat apa saja bagi kepentingan kampung halaman kita ini”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Jawabnya, “Terima kasih Ki Sendawa. Tetapi sebaiknya kita membuat perhitungan yang sebaik-baiknya. Menghadapi pengawal Pakuwon Gagelang yang bobot kemampuannya tidak ubahnya dengan prajurit Singasari. kita memang harus berhati-hati. Meskipun aku belum melihat langsung, tetapi menurut penilaianku, anak-anak muda di Talang Amba masih belum memiliki bekal yang memadai jika mereka harus berhadapan dalam perang terbuka melawan para pengawal. Namun bukan berarti bahwa anak-anak muda di Talang Amba sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Jika diantara anak-anak muda itu terdapat kekuatan yang memiliki kemampuan seimbang dengan para pengawal, maka keadaan mereka akan ikut menentukan”
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga, mereka tentu tidak akan tinggal diam. Seandainya mereka tidak dapat membantu langsung di medan, maka apa yang dapat mereka lakukan, akan mereka lakukan. Mungkin mereka akan dapat ikut menentukan akhir dari keadaan yang parah itu sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Bungalan.
Demikianlah, anak-anak muda di Talang Amba itu berusaha menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan. Mereka merasa wajib untuk berbuat sesuatu. Karena itulah, maka atas kehendak mereka sendiri, maka anak-anak muda itu telah mengadakan persiapan-persiapan tertentu. Di malam hari mereka berada di gardu-gardu, sedangkan di siang hari mereka banyak berkumpul di saat-saat mereka tidak bekerja di sawah.
Sementara itu, Akuwu di Gagelang pun telah mempersiapkan sekelompok orang yang akan menebang hutan di lereng bukit. Beberapa orang pengawalnya yang terpercaya telah mempersiapkan segala-galanya. Beberapa kali kepercayaan Akuwu telah menghubungi Ki Sendawa yang berpura-pura menerima keputusan Akuwu, bahkan ia berjanji untuk membantu sepenuhnya.
“Tetapi kedudukan hamba dapat diselamatkan” mohon Ki Sendawa.
“Jangan takut” jawab Akuwu, “Aku pun telah memberitahukan kepada Sanggarana dan Waruju, bahwa mereka tidak mempunyai kemungkinan apapun lagi di Talang Amba."
Wajah Ki Sendawa menjadi tegang. Jika demikian akan dapat timbul salah paham dengan Ki Sanggarana. “Tetapi aku akan dapat menjelaskannya kemudian. Aku mempunyai banyak saksi” berkata Ki Sendawa kepada diri sendiri.
Namun dalam pada itu, langkah-langkah yang diambil Akuwu itu telah menumbuhkan persoalan dilingkungan Pakuwon Gagelang. Senopati yang pernah diperintahkan memanggil dan kemudian menangkap Ki Sanggarana merasa heran atas sikap Akuwu. Ia bukan termasuk pengawal kepercayaan Akuwu yang mengetahui segala seluk beluk niat Akuwu, karena ia adalah Senopati yang berkedudukan pada jenjang di bawah. Apalagi ketika Senopati itu kemudian mengetahui, bahwa Akuwu telah mempersiapkan beberapa orang untuk menebang hutan di lereng bukit. Satu hal yang pernah akan dilakukan oleh Ki Sarpa Kuning di saat-saat pertentangan di Talang Amba sedang memuncak.
Tetapi Senopati itu tidak mempunyai tempat untuk bertanya karena ia menjadi curiga kepada beberapa orang Senopati yang lain, yang mempunyai kedudukan lebih dekat dengan Akuwu. Dengan demikian maka Senopati itu lebih banyak bertanya kepada diri sendiri dan sejauh-jauh dapat dilakukan ia telah berbicara dengan seorang kawannya yang dapat dipercayanya.
“Sikap Akuwu memang aneh” berkata kawannya, “Aku mendengar semua persoalan yang terjadi”
“Akulah yang memanggil Ki Sanggarana dan Ki Waruju. Mereka dipersalahkan telah melampaui kuasa Akuwu dan melaporkan langsung persoalan Talang Amba ke Singasari” berkata Senopati itu. Lalu, “sehingga dengan demikian, maka kedua orang itu sudah ditahan”
“Dengan demikian maka ada kesempatan lagi bagi Ki Sendawa untuk memegang jabatan yang semula diperebutkan itu” berkata kawannya, “dan yang menarik, perjanjian yang dibuat oleh Ki Sendawa dengan Sarpa Kuning itu kini dilanjutkan lagi”
“Aneh” desis Senopati itu, “nampaknya persoalannya memang menarik”
“Rasa-rasanya ada keinginan untuk mengetahui, apa yang sebenarnya terjadi di Kabuyutan itu” berkata kawannya.
“Keinginan itu memang menggelitik hati jawab Senopati itu, “tetapi untuk melakukan satu pengamatan, akibatnya akan dapat mencekik leher sendiri”
Kawannya mengangguk-angguk. Meskipun demikian ia menjawab, “Aku tidak akan melakukan satu pengamatan khusus. Tetapi untuk mendengarkan keterangan tentang Talang Amba akan sangat menarik hati”
Senopati itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Baiklah kita menunggu, apa yang akan terjadi”
Kawannya tidak mempersoalkannya lagi. Tetapi ada semacam panggilan untuk melihat lebih dekat lagi peristiwa-peristiwa yang terjadi di Talang Amba. Dengan demikian, maka atas kehendak mereka sendiri, kedua orang Senopati itu telah memperhatikan keadaan dengan seksama. Kecurigaan mereka pun meningkat ketika mereka melihat persiapan-persiapan untuk menebang hutan di lereng bukit itu.
Namun dalam pada itu, betapa orang-orang Talang Amba berusaha untuk merahasiakan semua persoalan yang berkembang, namun ternyata mereka memang bukan orang-orang yang memiliki pengalaman yang luas sebagaimana para pengawal di Pakuwon Gagelang. Pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan dengan rahasia itu, ternyata ada juga yang tidak tertahankan dalam kerahasiannya.
Satu dua orang yang mendengar rahasia itu ternyata tidak berhasil menahan diri untuk tidak mengatakan kepada orang-orang terdekat. Setiap kali seseorang mengatakan sesuatu yang bersifat rahasia itu, mereka selalu berpesan agar hal itu tidak disampaikan kepada orang lain. Namun dengan pesan yang demikian itu, rahasia itu pun semakin lama menjadi semakin tersebar. Akhirnya orang-orang yang tidak berkepentingan pun mendengar bahwa Ki Sendawa telah menyiapkan rencana tertentu untuk menjebak Akuwu.
Hal itu merupakan satu hal yang sangat menarik bagi orang diluar lingkungan Kabuyutan Talang Amba. Ketika seseorang berbicara tentang hal itu di sebuah kedai di sudut pasar, maka seseorang yang lain telah mendengarkannya dengan seksama. Seorang yang nampaknya tidak berarti apa-apa. Seorang yang tidak lebih dari petani kebanyakan yang sedang beristirahat di kedai itu setelah menjual hasil sawahnya.
“Aku sudah mendengarnya” berkata pemilik kedai itu tanpa curiga, “tetapi hal ini tidak boleh dikatakan kepada orang lain”
“Ya. Aku juga tidak pernah mengatakan kepada orang lain” sahut orang yang sedang berada dalam kedai itu, “Aku hanya mengatakan kepadamu. Tetapi ternyata, bahwa agaknya kau telah mendengarnya pula”
Orang yang duduk di kedai itu dan seolah-olah sama sekali tidak memperhatikan pembicaraan mereka, ternyata berusaha untuk mendengarnya sampai ke persoalan yang terkecil. Namun apa yang dipercakapkan oleh orang itu dengan pemilik kedai itu pun masih belum terlalu jelas. Tetapi yang menarik perhatian adalah, bahwa Ki Sendawa sebenarnya tidak benar-benar menerima tawaran Akuwu. karena ia benar-benar ingin menebus kesalahannya.
Ketika orang yang memakai pakaian petani itu kemudian meninggalkan kedai itu, dengan tergesa-gesa iapun menuju ke sebuah rumah terpencil di pategalan. Tidak banyak yang dipersoalkan dengan orang yang tinggal di rumah itu. Diberinya pemilik rumah itu sekeping uang. Kemudian orang itu pun mengganti bajunya dan mengambil kudanya di halaman belakang rumah terpencil itu.
Malam itu juga, dua orang Senopati telah bertemu. Dengan sungguh-sungguh Senopati yang telah memanggil ki Sanggarana dan Ki Waruju itu pun berkata, “Aku mendengar sesuatu yang sangat menarik”
“Tentang apa?” bertanya kawannya yang dipercayainya Senopati itu pun kemudian menceriterakan apa yang telah didengarnya. Bahwa sebenarnya ada yang tersembunyi di Talang Amba.
“Menarik sekali” jawab kawannya, “tetapi kita tidak akan dapat langsung hubungan dengan Ki Sendawa”
“Ya. Tetapi hal ini tentu akan segera didengar pula oleh Akuwu. Ia akan dapat melakukan tindakan yang mengejutkan” berkata Senopati itu.
“Bagaimana dengan dua orang anak muda yang disebut-sebut oleh orang di kedai itu menurut pendengaranmu?” bertanya kawannya, “apakah keduanya mungkin dapat dihubungi?”
Senopati itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku akan mencoba berhubungan dengan Ki Sanggarana. Mungkin aku akan mendapat bahan yang dapat aku pergunakan untuk menilai persoalan ini lebih dalam lagi”
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Kita akan terlibat terlalu dalam. Tetapi apa boleh buat. Rasa-rasanya memang ingin mengetahui, apa yang sebenarnya sedang berkembang di Tanah ini”
Namun tiba-tiba Senopati itu berdesis, “Kau adalah seorang Senopati seperti aku. Meskipun kita berada di jenjang yang rendah. Namun rasa-rasanya kita mempunyai tanggung jawab atas segala peristiwa yang terjadi di Pakuwon ini. He, apakah kau menaruh perhatian terhadap juru taman yang seorang itu?”
“Ya. Pengaruhnya terlalu besar untuk seorang juru taman. Ia sering berada di serambi bersama Akuwu” jawab kawannya.
“Aku pernah melihat ia berada dalam sekelompok peronda dengan mengenakan pakaian seorang pengawal. Tetapi aku tidak tahu, apakah ada hubungannya dengan persoalan Talang Amba” berkata Senopati itu.
“Jika ia mengenakan pakaian pengawal, apakah pimpinan pengawal yang membawanya tidak menanyakan tentang dirinya” berkata kawannya.
“Jika Senopati yang memimpinnya tahu kedudukannya yang sebenarnya?” jawab Senopati itu.
Kawannya mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “He, bukankah kita semula membicarakan tentang dua orang anak muda itu”
“Sudah aku katakan, aku akan mencari kesempatan untuk bertemu dengan Ki Sanggarana” berkata Senopati itu.
Namun kata-katanya itu benar-benar dilakukannya. Senopati itu telah berusaha untuk dapat bertemu dengan Ki Sanggarana dan Ki Waruju. Dengan diam-diam pada satu malam Senopati itu berhasil mendekati ruang tahanan tanpa dilihat oleh orang yang menjaganya. Karena penjaga itu menganggap bahwa tidak akan ada persoalan dengan kedua orang tahanannya yang nampaknya sangat jinak itu.
Waktu yang tidak terlalu lama itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Senopati itu. Melalui lubang udara yang bersekat balok-balok kayu. ia mengemukakan pendengarannya tentang sikap Ki Sendawa. Bahkan kemudian rencana Ki Sendawa untuk menjebak Akuwu agar kesalahan Akuwu terbukti dihadapan kekuasaan Singasari.
“Tetapi Akuwu pernah mengatakan, bahwa paman Sendawa benar-benar telah menerima jabatan itu” berkata Ki Sanggarana.
"Menilik sikapnya yang dapat dilihat dengan mata wadag memang demikian. Tetapi ia telah bekerja bersama dengan dua orang anak muda yang berada di Talang Amba untuk dapat membuktikan bahwa Akuwu bersalah. Bagaimana menurut pendapatmu?” bertanya Senopati itu.
Ki Sanggarana termangu-mangu. Namun Ki Waruju lah yang menjawab, “kami tidak melihat apa yang terjadi di Talang Amba. Adalah sulit sekali bagi kami untuk memberikan jawaban yang tepat. Bahkan mungkin kami akan mempunyai tanggapan yang salah.
Senopati itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Ki Waruju. Tetapi aku memerlukan satu pegangan untuk melangkah. Sebagai seorang Senopati aku ikut bertanggung jawab atas masa depan Pakuwon Gagelang dan juga termasuk Kabuyutan Talang Amba”
Ki Waruju menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mempunyai kepercayaan yang cukup kepada Senopati itu. Ki Waruju merasakan sikap Senopati itu di saat ia akan ditangkap dan dimasukkan ke dalam tahanan, sebagai satu sikap yang jujur. Karena itu, maka Ki Waruju pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Aku tidak tahu, apakah sikapku ini benar. Tetapi aku mempercayai Ki Sanak. Karena itu, Ki Sanak memang dapat mencoba menghubungi kedua anak muda itu”
“Apakah keduanya akan mempercayai aku?” bertanya Senopati itu.
“Aku tidak tahu, tetapi jika aku berkesempatan menemui mereka, maka aku akan dapat menjelaskan persoalannya” berkata Ki Waruju.
“Bagaimana mungkin kau dapat menemui mereka” berkata Senopati itu, “Kau berada di dalam tahanan ini”
“Ki Sanak” berkata Ki Waruju, “Jika Ki Sanak dapat menyediakan seekor kuda, maka aku akan dapat menemuinya”
“Seekor kuda?” bertanya Senopati itu.
“Ya” jawab Ki Waruju, “sebutkan dimana kuda itu dapat kau sediakan. Aku akan pergi ke Talang Amba dan kemudian kembali lagi memasuki bilik ini”
“Kau mengigau” geram Senopati itu.
“Percayalah. Aku sudah memeriksa ruangan ini. Tidak ada yang sulit bagiku. Bahkan seandainya aku ingin keluar sekarang juga aku dapat melakukannya. Tetapi bukankah dengan demikian Talang Amba lah yang akan mengalami kesulitan” berkata Ki Waruju.
Senopati itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia berkata Baiklah. “Aku akan menyediakan kuda untukmu. Aku akan menyiapkannya di luar lingkungan istana ini. Aku berada di sudut alun-alun”
“Bukankah masih ada waktu jika sekarang aku pergi ke Talang Amba dan kembali lagi sebelum fajar?” bertanya Ki Waruju.
“Jika tidak ada halangan, maka hal itu akan dapat kau lakukan” jawab Senopati itu.
“Baiklah. Siapkan kuda itu. Aku akan pergi ke sudut alun-alun” berkata Ki Waruju kemudian.
Senopati itu masih saja termangu-mangu. Namun ia pun kemudian dengan hati-hati meninggalkan tempat itu. Sepeninggal Senopati itu, maka Ki Sanggarana bertanya dengan nada bimbang, “Bagaimana mungkin Ki Waruju akan pergi ke Talang Amba sekarang ini?”
“Aku akan keluar dari tempat ini. Setelah aku kembali dari Talang Amba, aku akan kembali lagi memasuki ruangan ini. Dengan demikian tidak seorang pun mengetahui, apa yang telah aku lakukan” jawab Ki Waruju.
“Tetapi bagaimana Ki Waruju akan keluar? Apakah Ki Waruju akan memecahkan pintu?” bertanya Ki Sanggarana.
“Tentu tidak. Dengan demikian, maka kepergianku akan segera diketahui” jawab Ki Waruju.
“Jadi, apa yang akan kau lakukan?” Ki Sanggarana menjadi semakin heran.
Ki Waruju pun menengadahkan wajahnya. Sambil memandang atap bilik itu, ia berkata, “Aku akan keluar dari ruangan ini melalui atap”
“Melalui atap?” Ki Sanggarana menjadi heran.
“Mudah-mudahan aku berhasil” jawab Ki Waruju.
Ki Sanggarana tidak bertanya lagi. Tetapi Ki Waruju lah yang kemudian mulai bersiap-siap. Namun demikian ia masih berpesan, “Kau dapat membentangkan kain panjang di atas segulung tikar. Jika penjaga itu menengok ke dalam lewat lubang angin itu, maka ia akan melihat aku seakan-akan sedang tidur. Katakan bahwa aku merasa kurang sehat”
Ki Sanggarana mengangguk. Namun ia masih dicengkam oleh kegelisahan, bagaimana Ki Waruju akan keluar dari ruang itu. Namun sejenak kemudian, setelah minta diri, maka Ki Waruju itu benar-benar telah melakukan sesuatu yang bagi Ki Sanggarana terasa mentakjubkan. Dengan seolah-olah tanpa bobot, Ki Waruju melenting menggapai atap. Kemudian dengan tangkasnya ia menyibakkan ijuk yang rapat dan menyingkirkan beberapa batang rusuk-rusuk atap itu dengan tanpa bunyi sama sekali. Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih bertanya kepada diri sendiri, bagaimana Ki Waruju itu nanti meloncat turun dari atas atap yang cukup tinggi.
“Tetapi sebagaimana ia dapat meloncat menggapai atap itu, maka ia akan dapat dengan mudah meloncat-loncat turun” berkata Ki Sanggarana di dalam hatinya.
Sebenarnyalah, maka bagi Ki Waruju, sama sekali tidak ada kesulitan untuk meloncat turun dari atas atap tanpa diketahui oleh para pengawal. Seperti seekor kucing ia meloncat turun. Kemudian mengendap dan hilang di dalam kegelapan. Sejenak kemudian, Ki Waruju itu sudah meloncati dinding istana Akuwu di Gagelang. Dan dalam sesaat kemudian, ia sudah berada di sudut alun-alun.
Ternyata bahwa Ki Waruju telah datang lebih dahulu dari Senopati yang menyanggupinya untuk membawakan seekor kuda. Tetapi ia tidak menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian ia melihat dua orang berkuda mendatanginya dengan membawa seekor kuda yang tidak berpenunggang.
Senopati itu merasa heran, bahwa justru Ki Waruju telah menunggunya. Karena itu dengan serta merta ia bertanya, “Bagaimana kau dapat datang ke tempat ini begitu cepat?”
“Ki Waruju tersenyum. Katanya, “Aku takut terlambat. Karena itu aku agak tergesa-gesa”
“Ki Sanak” berkata Senopati itu, “Aku sudah membawa seekor kuda. Tetapi rasa-rasanya kami berdua ingin mengikuti Ki Sanak pergi ke Talang Amba. Mungkin ada hal-hal yang dapat langsung kita bicarakan dengan orang-orang Talang Amba. Bahkan mungkin dengan Ki Sendawa sendiri”
Ki Waruju mengangguk-angguk. Ternyata ia tidak berkeberatan. Justru dengan demikian, maka persoalannya akan lebih cepat terpecahkan. Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu pun telah berpacu menuju ke Talang Amba. Mereka harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya. Besok sebelum matahari terbit, mereka harus sudah berada di Kabuyutan lagi.
“Kuda-kuda ini akan terlalu letih” desis Senopati itu.
“Ya. Untuk berlari kencang semalam suntuk, agaknya kuda-kuda ini akan kehabisan tenaga” jawab Ki Waruju. Tetapi kemudian, “Mungkin nanti kita akan dapat menukarkan kuda ini di Talang Amba."
Demikianlah maka mereka bertiga telah berpacu sekencang-kencangnya. Waktu mereka memang tidak terlalu banyak. Kedatangan mereka di Talang Amba memang sangat mengejutkan. Ki Waruju telah membawa kedua orang Senopati itu langsung menuju ke banjar.
Dalam waktu yang singkat, maka pertemuan dengan Ki Sendawa pun telah dapat diatur. Bahkan hadir pula dalam pertemuan itu Mahisa Bungalan dan kedua orang kawannya. Dengan singkat, maka persoalan tentang sikap Akuwu Gagelang itu pun telah dibicarakan. Namun dalam hubungan sikap Ki Sendawa, maka harus diperhitungkan, bahwa mungkin sekali Akuwu akan dapat mendengarnya.
“Ya” berkata salah seorang kawan Mahisa Bungalan, “persoalan yang seharusnya dianggap sebagai rahasia ini sudah bukan rahasia lagi. Hampir setiap orang telah membicarakannya, meskipun selalu dengan pesan, agar lawan bicaranya tidak mengatakannya kepada siapapun juga. Tetapi semua orang di Talang Amba ini rasa-rasanya memang sudah mendengar”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Dengan demikian kita harus segera mengambil sikap. Mungkin Akuwu juga sudah mendengarnya”
“Itulah yang aku cemaskan” berkata Senopati itu, “bahkan aku pun telah mendengarnya pula”
Ki Sendawa menjadi gelisah. Tetapi iapun menyadari, bahwa anak-anak Talang Amba memang bukan prajurit atau pengawal yang dapat menyimpan rahasia sebagaimana seharusnya. Namun Ki Sendawa tidak dapat sekedar untuk mengerti saja. Tetapi harus ada satu cara Untuk mengatasinya.
Mahisa Bungalan dan kedua kawannya pun menjadi cemas. Bahkan Mahisa Bungalan kemudian berkata, “Kita tidak akan sempat pergi ke Singasari untuk memanggil sekelompok prajurit”
“Kita akan mempersiapkan anak-anak muda Talang Amba jika Akuwu akan mengambil satu tindakan” berkata Mahisa Pukat.
“Tidak semudah itu Mahisa Pukat” jawab Mahisa Bungalan, “Yang dihadapi adalah Pakuwon Gagelang. Pakuwon yang memiliki pengawal yang kuat”
Tetapi Senopati yang mengikuti Ki Waruju itu berkata, “Ki Sanak. Aku adalah salah seorang Senopati di Gagelang itu. Meskipun aku berada di jenjang yang di bawah, tetapi aku ikut bertanggung jawab terhadap keadaan Pakuwon Gagelang. Menilik keterangan dari beberapa pihak, maka aku dapat mengambil satu kesimpulan bahwa Sang Akuwu telah melakukan satu kesalahan. Nampaknya Sang Akuwu telah berhubungan dengan satu kekuatan yang tidak sah di Kediri untuk melakukan satu pemberontakan terhadap Singasari”
“Lalu, apa yang dapat Ki Sanak lakukan?” bertanya Ki Waruju.
“Malam ini aku harus menentukan sikap. Besok pagi-pagi aku akan dapat berhubungan dengan beberapa pihak di Gagelang. Mungkin satu dua orang yang dapat aku percaya telah mencium pula persoalan yang sedang kita bicarakan ini meskipun belum sejauh yang aku lakukan” berkata Senopati itu.
“Tetapi kemungkinan yang kita cemaskan itu dapat terjadi. Besok Akuwu memerintahkan pasukannya untuk menduduki Talang Amba dan menangkap Ki Sendawa. Kemudian meletakkan orang yang asing sama sekali untuk menjabat Buyut di Talang Amba” berkata Mahisa Murti.
“Aku minta kalian mempersiapkan anak-anak muda Talang Amba sejauh dapat kalian lakukan” berkata Senopati itu, aku akan membantu kalian. Betapapun kecilnya, aku mempunyai kekuatan di Gagelang. Sementara aku dapat berhubungan dengan beberapa orang Senopati yang aku percaya sebagaimana sudah aku katakan. Kalian tidak akan sempat lagi pergi ke Singasari untuk memohon bantuan. Karena dengan demikian kalian akan memerlukan waktu sekitar tiga atau empat hari”
Ki Sendawa menjadi tegang. Ia tahu pasti, bahwa anak-anak muda Talang Amba tidak akan dapat berbuat banyak. Namun kesediaan Senopati itu untuk membantunya sedikit memberikan harapan kepadanya, meskipun masih ada juga semacam keragu-raguan.
Tetapi agaknya memang tidak ada jalan lain. Karena itu. maka katanya, “Bagaimana pertimbangan kalian tentang hal ini. Bagiku sudah tidak ada pilihan lagi. Aku akan bertahan seandainya Akuwu benar-benar akan menduduki Talang Amba. Jika terjadi sesuatu, maka biarlah aku mengalami akibat dari tingkah lakuku sendiri. Aku telah bermain api Dan sekarang, api itu akan membakar diriku sendiri. Namun yang aku pertimbangkan adalah anak-anak muda Talang Amba. Apakah dengan demikian, anak-anak muda tidak akan menjadi korban”
“Mungkin kita memang memerlukan pengorbanan” Senopati itulah yang menjawab. Tetapi aku memang memerlukan kawan untuk berbuat sesuatu demi keselamatan Pakuwon Gagelang. Karena jika tidak ada usaha penyelematan, maka pada suatu saat, kekuasaan Singasari tentu akan menggulung Pakuwon Gagelang. Apalagi disini sudah ada seorang Senopati yang dengan mata kepala sendiri telah menyaksikan apa yang terjadi disini. Penangkapan Ki Sanggarana dan Ki Waruju merupakan satu bukti, bahwa Akuwu di Gagelang sudah menyimpang dari paugeran seorang Akuwu, Ia sudah mengambil satu kebijaksanaan yang tidak sewajarnya, dengan menuduh Ki Sanggarana dan Ki Waruju seolah-olah telah bersalah”
“Baiklah” berkata Mahisa Bungalan, “Kita memang tidak mempunyai kesempatan lagi. Kedua kawanku telah mengetahui bahwa rahasia yang seharusnya tersimpan rapat itu telah didengar oleh orang banyak. Dan bahkan oleh petugas-petugas yang dipasang oleh Akuwu di Gagelang. Karena itu, maka kita memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Jika Senopati akan berbuat sesuatu bagi. kepentingan Gagelang, maka aku akan berterima kasih. Hal itu akan menjadi laporan, bahwa Gagelang masih juga ada orang yang bersikap sebagaimana seharusnya terhadap Singasari dan Kediri”
“Baiklah” jawab Senopati dari Gagelang itu, “Jika demikian aku minta diri. Aku harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya”
“Aku juga akan kembali ke Gagelang” berkata Ki Waruju, “nampaknya kita memang harus menyusun kekuatan. Karena itu. maka aku dan Ki Sanggarana pun harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Mudah-mudahan Akuwu masih tetap memandang Ki Sanggarana dan Ki Waruju saling bermusuhan, sehingga setiap tindakan yang akan dikenakan kepada Ki Sendawa tidak juga dikenakan kepada Ki Sanggarana”
“Kita harus berbuat sebaik-baiknya dalam keadaan seperti ini. Agaknya Akuwu tidak akan menebang hutan itu lebih dahulu. Tetapi ia tentu akan membereskan Kabuyutan Talang Amba ini lebih dahulu” berkata Ki Sendawa.
“Baiklah. Kita akan menentukan tugas kita masing-masing” jawab Senopati itu.
“Kita harus pasti” berkata Mahisa Bungalan, “Ki Sendawa akan menyiapkan anak-anak muda dan Senopati akan menyiapkan pasukan seberapa pun dapat dikumpulkan di Gagelang yang akan dapat membantu kita. Termasuk menyelamatkan Gagelang itu sendiri”
Kedua Senopati dari Gagelang itu mengangguk-angguk. Tetapi mereka sudah mendapat kepastian di dalam hati, bahwa sebenarnyalah Akuwu telah menyimpang dari tugas-tugas yang dibebankan kepadanya sebagai seorang Akuwu yang berada di bawah perintah Singasari.
Demikianlah, maka Senopati itu pun kemudian menjawab, “Ada dua kemungkinan yang dapat aku lakukan, jika aku mendapat perintah untuk menyertai pasukan Akuwu memasuki Kabuyutan ini, maka aku akan datang bersama pasukan itu. Tetapi disini aku dan orang-orang yang sejalan dengan pikiranku akan membawa ciri-ciri yang akan dapat dikenali. Para pemimpin kelompok akan mempergunakan sampur berwarna kuning. Sementara itu, apabila harus terjadi pertempuran, maka, semua orang yang berpihak kepada Talang Amba akan mempergunakan ciri seperti itu juga yang sudah mereka bawa sejak mereka berangkat dari Gagelang. Tetapi jika aku dan beberapa orang yang sejalan dengan jalan pikiranku tidak mendapat perintah untuk mengikuti pasukan Akuwu, maka kami akan berangkat sendiri melalui jalan memintas di tengah-tengah hutan kami, kami masih akan dapat mendahului pasukan yang akan menuju ke Talang Amba melalui jalan yang biasa kita tempuh. Tetapi jika ada sebagian dari kami yang mendapat perintah dan sebagian lagi tidak, maka akan berlaku kedua cara yang sudah aku sebutkan. Diantara kami yang berada di dalam pasukan Akuwu akan mempergunakan ciri-ciri seperti yang aku katakan, sementara yang lain akan menyusul lewat hutan perdu”
“Terima kasih” jawab Ki Sendawa, “kami sudah mengetahui dengan pasti, apa yang akan kalian lakukan. Kami akan mempersiapkan diri sejauh dapat kami lakukan. Namun mudah-mudahan kita mendapat cara pemecahan yang lain, yang tidak harus memberikan korhan terlalu banyak."
Dalam pada itu, sejenak kemudian, maka Senopati berdua dari Gagelang itu pun segera minta diri. Ki Waruju masih akan pergi bersama mereka, karena ia masih berusaha untuk tetap dianggap tawanan yang tidak memerlukan perhatian khusus.
Namun kepada kedua Senopati Gagelang ia sudah berpesan, agar bagi dirinya dan Ki Sanggarana dapat disediakan dua ekor kuda di tempat yang sudah ditentukan, agar pada saat yang tepat, kuda itu dapat dipergunakan.
Sejenak kemudian, maka kedua Senopati itu pun telah meninggalkan Talang Amba bersama Ki Waruju, setelah mereka menukarkan kuda-kuda mereka. Mereka berpacu menembus gelapnya malam. Sebelum fajar mereka harus sudah berada di Pakuwon Gagelang. Apalagi Ki Waruju. Ia sudah harus berada di dalam biliknya lagi sebelum para penjaga mengetahui, bahwa ia telah keluar dari biliknya dan pergi ke Talang Amba.
Ternyata baru mereka telah mempergunakan waktu sebaik-baiknya. Mereka datang tepat pada saat langit menjadi kemerah-merahan. Dengan tergesa-gesa Ki Waruju pun segera kembali ke halaman istana Akuwu setelah menyerahkan kudanya kepada kedua Senopati yang datang bersamanya itu. Seperti saat ia keluar, maka iapun telah memasuki halaman dengan diam-diam. Dengan tangkasnya ia meloncat dinding halaman dan merayap mendekati bilik tahanannya, iapun telah meloncat pula di atas genting. Tubuhnya seakan-akan tidak mempunyai bobot sehingga atap ijuk itu tidak rusak dibebaninya.
Sejenak kemudian Ki Waruju sudah berada di dalam bilik. Ia masih sempat membenahi atap ijuk yang disibakkannya. Kemudian meloncat turun di sebelah Ki Sanggarana yang masih tetap tidak dapat tertidur semalam suntuk.
“Kau tidak tertidur semalaman?” bertanya Ki Waruju.
“Aku tidak dapat tertidur sekejap pun. Hatiku pun menjadi sangat gelisah” jawab Ki Sanggarana.
“Baiklah. Sekarang masih ada waktu. Silahkan tidur barang sekejap. Aku pun akan tidur juga sampai matahari terbit” berkata Ki Waruju.
Keduanya pun kemudian berbaring. Tetapi keduanya sudah tidak berminat untuk tidur barang sekejap, karena jantung mereka yang berdegupan oleh kegelisahan yang tidak dapat disembunyikan. Bahkan keduanya pun kemudian telah berbincang tentang hasil kunjungan Ki Waruju ke Talang Amba.
“Jadi Senopati itu benar-benar akan membantu kita?” bertanya Ki Sanggarana.
“Ya. Dan aku mempercayainya. Nampaknya ia bersungguh-sungguh dan jujur. Senopati itu tidak ingin melihat Pakuwon Gagelang menjadi sarang pengkhianatan terhadap Singasari” jawab Ki Waruju.
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Ternyata aku sudah bersalah terhadap paman Sendawa. Aku telah menganggapnya tidak setia kepada janjinya yang diucapkannya di banjar. Namun ternyata bahwa paman Sendawa telah benar-benar menemukan pribadinya sebagai putera Talang Amba”
“Ya” jawab Ki Waruju, “namun demikian, kita memang sedang berprihatin. Jika kesediaan kedua Senopati Gagelang itu gagal karena sebab apapun juga, maka anak-anak muda Talang Amba akan menjadi banten. Korban akan jatuh. Kemampuan anak-anak muda Talang Amba tidak akan dapat mengimbangi kemampuan para pengawal Gagelang, sementara itu jumlahnya pun tentu tidak akan dapat memadai”
“Sayang” berkata Ki Sanggarana, “dalam keadaan yang demikian, aku tidak dapat berbuat apa-apa”
“Kenapa tidak?” bertanya Ki Waruju, “Jika benar hal itu akan terjadi, maka kita akan keluar dari tempat ini. Kita akan pergi ke Talang Amba sebagaimana aku lakukan”
“Aku tidak akan dapat meloncat seperti Ki Waruju” desis Ki Sanggarana.
Jika Waruju mengerutkan keningnya. Kemudian setelah mengamati ruangan itu ia berkata, “Jika kita ingin keluar dari ruangan ini, kita tidak harus meloncat melalui atap. Dinding ruangan ini juga tidak terlalu kuat. Papan di sudut ruang itu dengan mudah akan dapat di pecahkan. Gapit dan tali-talinya tidak terlalu kuat”
Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Mungkin sekali hal itu akan dapat dilakukan oleh Ki Waruju. Tetapi ia sendiri tentu tidak akan dapat melakukannya.
Dalam pada itu, ternyata di Talang Amba, anak-anak muda telah menjadi sibuk. Bahkan bukan saja anak-anak muda tetapi setiap laki-laki yang belum terlalu tua merasa terpanggil untuk ikut serta mempersiapkan diri.
Ternyata Ki Sendawa berhasil mendapat kepercayaan orang-orang Talang Amba dalam kedudukannya yang sementara itu. karena anak-anak muda sempat menjelaskan, apa yang sebenarnya dilakukan oleh Ki Sendawa.
“Tetapi bagaimana dengan Ki Sanggarana” bertanya seorang anak muda, “jika kita melawan Gagelang, apakah itu bukan berarti nasib buruk bagi Ki Sanggarana”
“Kita serahkan hal itu kepada Ki Waruju” berkata Ki Sendawa, “Mudah-mudahan ia dapat mengatur sehingga Ki Sanggarana tidak mengalami sesuatu. Bahkan mungkin Senapati yang berjanji berpihak kepada kita itu pun akan dapat melindunginya. Namun lebih daripada itu. Akuwu menganggap bahwa aku dan Ki Sanggarana masih tetap bermusuhan. Sehingga karena itu, maka Akuwu tidak akan mengambil tindakan terhadap Ke Sanggarana”
Namun nampaknya Mahisa Bungalan meragukannya. "Mungkin Akuwu mendengar semua persoalannya. Juga hubungan antara Ki Sendawa dan Ki Sanggarana. Karena itu, Mahisa Bungalan lebih mempercayakan keselamatan Ki Sanggarana kepada Ki Waruju. Namun bagaimanapun juga, kita masih tetap mempunyai harapan bahwa Ki Sanggarana akan selamat” berkata Mahisa Bungalan.
Demikianlah, semua laki-laki yang masih merasa dirinya mampu membawa senjata di Talang Amba telah bersiap. Meskipun mereka tidak terbiasa bermain dengan senjata, tetapi mereka bertekad melawan tingkah laku Akuwu di Gagelang yang tidak wajar.
Sementara itu, Mahisa Bungalan dan kedua kawannya yang datang dari Singasari bersama Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan seorang murid Ki Sarpa Kuning yang telah menentukan jalan hidupnya sendiri itu telah berada diantara orang-orang Talang Amba meskipun mereka menyadari, bahwa jumlah mereka memang terlalu sedikit.
Namun Mahisa Bungalan mempunyai satu rencana yang mungkin akan dapat menahan tindakan Akuwu di Gagelang. Dengan menunjuk kedudukannya sebagai seorang Senopati yang mendapat tugas dari Panglima di Singasari berarti bahwa ia adalah ujud dari kuasa Singasari itu sendiri.
Sebenarnyalah bahwa rahasia yang tidak berhasil disembunyikan oleh orang-orang Talang Amba itu telah didengar oleh Akuwu di Gagelang. Sebuah laporan mengatakan, bahwa menurut pendengarannya. Ki Sendawa tidak bersungguh-sungguh bekerja bersama dengan Akuwu. Namun dengan demikian. Akuwu di Gagelang pun melihat hubungan antara Ki Sendawa dan Ki Sanggarana meskipun keduanya terpisah. Agaknya Ki Sendawa benar-benar telah berubah sejak ia menyatakan niatnya untuk memperbaiki kesalahannya di banjar Kabuyutan Talang Amba.
Rahasia itu benar-benar telah membuat Akuwu di Gagelang marah sekali. Ia merasa ditipu oleh Ki Sendawa. Dengan demikian maka Akuwu merasa wajib untuk menghukum Ki Sendawa. Tetapi Akuwu ternyata bukan orang yang dikuasai oleh perasaannya. Ia tidak dengan tergesa-gesa memerintahkan pasukannya pergi ke Talang Amba. Namun ia masih sempat untuk mengirimkan petugas sandinya untuk mengamati keadaan.
Baru ketika petugas sandi itu melaporkan, bahwa orang-orang Talang Amba telah bersiap-siap, maka iapun berkata, “Agaknya waktunya memang sudah datang. Ki Sendawa ternyata orang yang sangat dungu. Ia tidak mau menerima kedudukan yang pantas baginya sebagaimana pernah diinginkannya. Ia lebih suka menjadi seorang yang harus diburu dan mendapat hukuman yang paling berat”
“Lalu. bagaimana dengan Sanggarana dan kawannya?” bertanya salah seorang kepercayaannya.
“Mereka sudah berada di dalam tahanan. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Perhatian kita lebih banyak harus tertuju kepada Sendawa yang bodoh itu. Ia mengira bahwa ia akan dapat melawan kekuasaan Gagelang” jawab Akuwu.
“Tetapi bagaimana dengan kuasa Singasari?” bertanya kepercayaannya.
“Kau juga bodoh” jawab Pangeran yang menjadi juru taman di Gagelang itu, “Kita akan dapat membuat sepuluh ribu macam alasan yang dapat kita laporkan ke Singasari”
Senapati kepercayaan Akuwu itu pun mengangguk-angguk, tetapi ia tidak bertanya lagi. Dalam pada itu, maka Akuwu pun segera memerintahkan mempersiapkan para pengawal. Katanya kemudian "Seberapa jumlah laki-laki di Talang Amba. Jika mereka benar-benar akan melawan, maka mereka akan mengalami nasib yang sangat buruk. Tetapi perlawanan itu rasa-rasanya akan berakibat baik terhadap rencanaku, karena di Talang Amba akan dapat aku letakkan Buyut yang manapun juga, sehingga rencana kita untuk menjadikan bukit-bukit itu gundul tidak akan terhalang sama sekali."
Demikianlah, baru di hari berikutnya Gagelang mempersiapkan sebuah pasukan yang kuat untuk dibawa ke Talang Amba. Dengan pasukan yang kuat, Akuwu di Gagelang benar-benar akan menghukum Ki Sendawa. Talang Amba harus benar-benar merasa dirinya terlalu kecil menghadapi Gagelang, sehingga langkah yang diambil oleh Ki Sendawa benar-benar satu langkah untuk menghancurkan diri sendiri.
Dengan cerdik Akuwu memberikan alasan yang mapan kepada para Senapatinya. Senapati yang tidak mengikuti tingkah laku Akuwu dengan cermat. Mereka hanya percaya bahwa Talang Amba telah meninggalkan ketentuan yang berlaku atas sebuah Kabuyutan.
"Pergolakan yang terjadi di Talang Amba telah meluas. Meskipun salah satu pihak yang berselisih itu sudah aku tahan disini. tetapi ternyata keadaannya masih tetap kacau. Bahkan cenderung untuk tidak lagi mengakui kekuasaan Gagelang yang dilimpahkan oleh Maharaja di Singasari” berkata Akuwu Gagelang kepada para Senapati yang berkumpul sebelum mereka berangkat ke Talang Amba. Lalu katanya lebih lanjut, “Bahkan kini Talang Amba telah bersiap-siap untuk menentang kekuasaanku dengan kekerasan, karena Talang Amba telah bersiap untuk mempergunakan kekerasan”
Tidak ada yang membantah. Kenyataan itu memang benar. Hampir setiap Senapati telah mendapat laporan tentang persiapan yang dilakukan oleh orang-orang Talang Amba. Tetapi sebagian besar dari mereka tidak tahu, bahwa antara Ki Sendawa dan Akuwu di Gagelang telah pernah dicapai satu kesepakatan bahwa Ki Sendawa akan diangkat menjadi Buyut di Talang Amba dengan memberikan keleluasaan kepada orang-orang yang akan menebangi hutan di lereng perbukitan.
Namun dalam pada itu. dua diantara para Senapati yang akan ikut dalam pasukan Akuwu itu adalah Senapati yang mempunyai sikap sendiri. Bahkan keduanya telah berhasil mengembangkan sikapnya kepada beberapa orang Senapati yang mereka percayai dan memiliki kecerdasan berpikir sehingga dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang hidup menghadapi persoalan Talang Amba. Dengan demikian, maka ada beberapa orang Senapati yang akan pergi ke Talang Amba dengan ciri-ciri yang sudah disepakati.
Namun dalam pada itu. Senapati yang telah berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu telah sempat memberitahukan kepada Ki Waruju, dimana mereka meletakkan kuda yang akan dapat dipakai oleh mereka berdua. Karena setelah Akuwu berangkat dengan pasukannya, maka Ki Sanggarana dan Ki Waruju pun akan berangkat pula ke Talang Amba. Namun seperti yang dipesankan oleh Senapati yang berpihak kepada Talang Amba itu, agar Ki Sendawa dan Ki Waruju mengambil jalan pintas, sehingga mereka akan dapat lebih dahulu sampai ke Talang Amba. Apalagi pasukan Gagelang yang kuat itu tidak seluruhnya berkuda, sehingga perjalanan mereka tentu jauh lebih lamban.
Dengan isyarat dan tanda-tanda kebesaran, pasukan Gagelang itu pun kemudian telah berangkat di bawah pimpinan Akuwu sendiri. Dengan pasukan yang kuat, maka Talang Amba tidak akan mampu bertahan untuk waktu seperempat hari. Kecuali jika anak-anak muda Talang Amba memang ingin membunuh diri mereka sendiri sampai orang yang terakhir.
Ki Waruju dan Ki Sanggarana yang ditahan di salah satu bilik di bagian belakang istana Akuwu itu pun mendengar suara sangkala di alun-alun. Dengan demikian, maka mereka pun mengetahui bahwa pasukan Akuwu benar-benar sudah berangkat.
“Apakah kita akan keluar sekarang?” bertanya Ki Waruju.
Ki Sanggarana masih juga ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Terserahlah kepada Ki Waruju. Aku hanya dapat mengikut saja apa yang Ki Waruju lakukan."
Ki Waruju menarik nafas dalam-dalam. Dari lubang udara ia tidak melihat apapun juga kecuali pepohonan yang bergoyang ditiup angin. Namun nampaknya Ki Waruju masih akan menunggu sejenak. Biarlah pasukan Akuwu itu sampai ke pinggir batas kota Gagelang. Baru kemudian Ki Waruju akan keluar dari halaman istana itu dan mengambil kuda yang sudah disediakan oleh Senapati yang telah mendahuluinya mengikuti pasukan Akuwu pergi ke Talang Amba.
Dalam pada itu, maka pasukan Akuwu pun berjalan menyusuri jalan raya dengan tanda-tanda kebesaran. Satu pasukan yang kuat, seolah-olah Gagelang memang sedang berperang melawan kekuatan yang sangat besar. Tidak seorang pun menyangka bahwa Gagelang hanya sekedar ingin menghukum seorang di Kabuyutan Talang Amba yang tidak mau mematuhi perintahnya. Tetapi perintah yang menyimpang dari paugeran dan kebenaran menurut tugas dan kewajiban Akuwu terhadap Singasari.
Ketika pasukan Akuwu sampai di batas kota, maka sebenarnyalah bahwa Ki Waruju tengah berusaha untuk membuka dinding di sudut biliknya. Ternyata dinding itu memang bukan dinding yang cukup kuat untuk mencegah rencana Ki Waruju keluar dari dalamnya. Dengan mengerahkan tenaga cadangannya, maka dinding bilik itu telah didorongnya perlahan-lahan, sehingga dinding itu pun telah terbuka.
“Keluarlah” desis Ki Waruju ketika ia melihat Ki Sanggarana agak ragu-ragu.
Namun akhirnya Ki Sanggarana itu pun keluar juga disusul oleh Ki Waruju. Tetapi demikian mereka berdiri diluar, maka keduanya terkejut melihat seorang pengawal yang mengawasi mereka dari kejauhan. Seorang pengawal yang membawa tombak telanjang.
“KI Waruju” desis Ki Sanggarana.
Ki Waruju menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya aku tidak ingin membunuh disini. Tetapi jika terpaksa, apa boleh buat”
Sanggarana menjadi tegang. Apa yang dapat mereka lakukan berdua di halaman istana Akuwu yang tentu dijaga oleh sekelompok pasukan yang kuat meskipun Akuwu sendiri sedang tidak berada di istana. Namun dalam pada itu, Ki Sanggarana pun kemudian menyadari, bahwa ia sedang mengemban satu tugas yang penting. Apapun yang terjadi, ia tidak boleh mengingkarinya.
Tetapi, kedua orang itu menjadi heran Pengawal itu ternyata tidak berbuat apa-apa. Ketika pengawal itu melihat kedua orang tawanan itu keluar dari biliknya, maka ia justru memberi isyarat dengan kepalanya, agar keduanya pergi ke arah yang ditunjukkannya.
Untuk sesaat Ki Waruju dan Ki Sanggarana masih ragu-ragu. Namun akhirnya Ki Waruju berkata "Mungkin pengawal itu termasuk pengawal yang berada di bawah pimpinan Senopati yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu”
Dengan demikian maka keduanya tidak berpikir lebih panjang lagi. Keduanya pun dengan tergesa-gesa telah pergi ke arah yang diisyaratkan oleh pengawal yang melihatnya. Demikianlah, akhirnya keduanya memang berhasil meloncat keluar dari halaman istana Akuwu. Dengan tergesa-gesa dan berlari-lari kecil keduanya telah pergi ke tempat yang sudah diberitahukan kepada mereka oleh Senopati yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu.
Ternyata Senapati itu tidak berbohong. Di sebuah rumah yang ditentukan, dua ekor kuda sudah disiapkan. Dengan demikian maka kedua orang itu pun dengan cepat telah meninggalkan Gagelang menuju ke Talang Amba lewat jalan memintas.
Dalam pada itu, pasukan Gagelang pun telah semakin jauh dari istana Akuwu mendekati Kabuyutan Talang Amba. Tetapi karena sebagian besar pengawal Gagelang yang kuat itu hanya berjalan kaki. maka perjalanan itu pun menjadi tidak terlalu cepat.
Sementara itu, Ki Waruju dan Ki Sanggarana berpacu dengan kuda mereka justru mengambil jalan memintas. Karena itu, maka seperti yang diperhitungkan, maka keduanya itu lebih dahulu sampai di Talang Amba dari pasukan Gagelang yang kuat. Kedatangan Ki Sanggarana dan Ki Waruju telah disambut oleh Ki Sendawa dan Mahisa Bungalan. Merekapun langsung membicarakan, langkah-langkah yang akan dapat mereka lakukan menghadapi pasukan Gagelang yang kuat.
“Kita harus menahan mereka dalam jarak tertentu” berkata Mahisa Bungalan.
Ki Waruju mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat Ngger. Agaknya senjata jarak jauh akan sangat bermanfaat, justru anak-anak muda Talang Amba tidak memiliki kemampuan mempermainkan senjata”
“Tetapi apakah hal itu tidak akan membuat pasukan Gagelang menjadi marah dan garang? Apalagi jika diantara mereka kemudian jatuh korban lebih dahulu. Mereka tentu akan membalas setiap nyawa dengan sepuluh kali lipat” potong Ki Sanggarana.
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Hal itu memang mungkin terjadi. Tetapi jika kedua pasukan itu langsung berbenturan, maka korban di pihak Talang Amba pun tentu tidak akan terhitung jumlahnya. Namun agaknya tidak ada jalan lain untuk menghadapi pasukan Gagelang jika orang-orang Talang Amba ingin mempertahankan kampung halamannya dari perangkap orang-orang yang telah menantang kekuasaan Singasari.
Karena itu. maka akhirnya Mahisa Bungalan berkata, “Segala usaha memang dapat ditempuh. Aku tetap berpendirian, bahwa sebaiknya anak-anak muda Talang Amba memanfaatkan senjata jarak jauh. Mereka akan mempergunakan anak panah dan kemudian lembing-lembing dengan bedor besi seperti yang akan mereka pergunakan sebagai tombak. Namun menurut pendapatku jumlahnya cukup banyak, seandainya lembing-lembing itu dipergunakan untuk melakukan serangan berjarak. Sementara itu, sebelum segalanya terjadi, aku akan berusaha untuk mencegah pertempuran itu sambil melihat, apa benar diantara pasukan Akuwu ada yang mempergunakan isyarat seperti yang dikatakan oleh Senapati yang pernah datang ke Talang Amba bersama Ki Waruju”
“Apa yang akan kau lakukan Ngger?” bertanya Ki Waruju.
“Aku akan mempergunakan pakaian kebesaranku sebagai seorang Senapati dari Singasari bersama kedua orang kawanku. Aku ingin mencegah Sang Akuwu bertindak terlalu jauh. Jika ia memaksa, berarti bahwa ia benar-benar telah melawan Singasari karena aku adalah petugas yang sah dari Singasari”
Ki Waruju mengangguk-angguk. Katanya, “Terserah kepada Angger Mahisa Bungalan.
“Tetapi sementara itu, senjata berjarak itu harus sudah siap. Jika usahaku gagal, aku akan mundur dan memasuki pertahanan Talang Amba yang akan kita bangun di padukuhan ujung itu” berkata Mahisa Bungalan.
“Baiklah, Pasukan Akuwu kini tentu sudah menjadi semakin dekat. Karena itu. kita harus segera bersiap” berkata Ki Sendawa kemudian.
Demikianlah, maka anak-anak muda dan bahkan hampir semua laki-laki di Talang Amba telah bersiap di beberapa buah padukuhan yang terdekat dengan jalur jalan yang akan dilalui pasukan Gagelang menurut perhitungan mereka. Sementara itu, Mahisa Bungalan dan kedua orang kawannya telah mengenakan pakaian kebesaran mereka sebagai Senapati dari Singasari. Sementara itu, maka beberapa orang lainnya pun telah disebar untuk memimpin kelompok-kelompok orang-orang Talang Amba yang bersikap di beberapa padukuhan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada di padukuhan yang langsung dibelah oleh jalan dari Gagelang yang menurut perhitungan akan dilalui oleh pasukan Akuwu. Sementara itu, Ki Sendawa dan Ki Sanggarana berada di padukuhan sebelah kanan, sedangkan Ki Waruju dan salah seorang murid Ki Sarpa Kuning berada di sebelah kiri. Jika pasukan Akuwu itu memang harus dilawannya, maka orang-orang Talang Amba yang ada di padukuhan sebelah menyebelah itu akan menyerang pasukan lawan dari arah lambung, dengan perhitungan, maka lontaran anak panah yang terlepas dari busurnya, akan dapat mencapai sasaran.
Dalam pada itu, jika Mahisa Bungalan gagal menahan pasukan Akuwu dari Gagelang itu, maka ia akan memasuki pertahanan yang berada di tengah, bergabung dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Demikianlah, maka Mahisa Bungalan pun telah bersiap di atas panggung kuda bersama dua orang Senapati yang lain untuk menyongsong pasukan Akuwu demikian mereka melihat pasukan itu dari kejauhan.
Ternyata Mahisa Bungalan tidak perlu menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian, maka mereka pun telah melihat sebuah iring-iringan di seberang bulak panjang dihadapan mereka. Seorang pengamat yang memanjat sebatang pohon segera memberikan isyarat, bahwa pasukan itu memang sudah datang.
Mahisa Bungalan dan kedua Senapati pembantunya itu pun kemudian telah memacu kudanya menyongsong iring-iringan yang datang itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Jika Akuwu Gagelang sudah kehilangan nalarnya sama sekali, maka ia dan pasukannya akan dapat menangkap Mahisa Bungalan.
Dalam pada itu, pasukan yang dipimpin langsung oleh Akuwu Gagelang yang dibayangi oleh seorang Pangeran dari Kediri dalam pakaian seorang pengawal itu pun telah mendekati sasaran. Namun Akuwu Gagelang menjadi berdebar-debar ketika di hadapannya muncul tiga orang dalam pakaian kebesaran Senapati dari Singasari.
“Siapakah mereka?” bertanya Akuwu Gagelang. Wajah-wajah pun menjadi tegang. Sementara Mahisa Bungalan menjadi semakin dekat.
“Kita jangan terpengaruh oleh penglihatan kita tanpa penalaran” berkata seorang pengawal yang sebenarnya adalah seorang Pangeran dari Kediri yang dalam keadaan sehari-hari bertugas sebagai juru taman di istana Akuwu Gagelang.
Akuwu Gagelang itu pun mengangguk-angguk. Namun pakaian kebesaran Senapati dari Singasari itu benar-benar telah membuatnya menjadi berdebar-debar.
Mahisa Bungalan dan dua orang Senapati dari Singasari itu pun semakin lama menjadi semakin dekat. Bahkan kemudian, Mahisa Bungalan itu pun langsung menuju ke hadapan Akuwu Gagelang yang juga berada di punggung kuda. Namun segala macam pertanda kebesaran yang dibawa oleh pasukan Akuwu itu telah menunjukkan, bahwa orang berkuda di paling depan, diapit oleh dua orang pengawal itu adalah Akuwu dari Gagelang yang memimpin langsung pasukannya yang akan menghukum Kabuyutan Talang Amba yang sudah menentang kehendak Akuwu, bahwa berniat untuk menjebak Akuwu dengan sikap pura-pura Ki Sendawa.
Beberapa langkah dihadapan iring-iringan pasukan dari Gagelang itu. Mahisa Bungalan berhenti. Dengan isyarat pula ia telah menghentikan iring-iringan pasukan Akuwu Gagelang. Ketika pasukan Akuwu itu pun berhenti beberapa langkah dihadapan Mahisa Bungalan. maka Mahisa Bungalan itu pun kemudian mengangguk hormat sambil bertanya, “Apakah aku berhadapan dengan Akuwu di Gagelang?”
Akuwu di Gagelang itu pun mengangguk pula sambil menjawab, “Ya Ki Sanak. Kau berhadapan dengan Akuwu di Gagelang”
“Terima kasih” jawab Mahisa Bungalan. Lalu katanya, “Aku sudah mendengar laporan tentang segala peristiwa yang terjadi di Gagelang, termasuk Talang Amba. Karena itu. maka aku datang untuk melihat langsung kebenaran laporan itu”
Akuwu Gagelang mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia bertanya, “Laporan yang sampai ke Singasari itu, apakah laporan resmi dari Gagelang? Sebab hanya Akuwu di Gagelang sajalah yang wajib memberikan laporan dan dipercaya oleh Singasari”
“Apakah Gagelang pernah memberikan laporan tentang peristiwa yang terjadi di Talang Amba?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Laporan itu akan Kami berikan jika persoalannya sudah selesai. Seperti yang Ki Sanak lihat, aku sedang berusaha menyelesaikan persoalan yang terjadi di Talang Amba” jawab Akuwu di Gagelang.
“Kau telah mengerahkan pasukan segelar sepapan. Tindakan ini adalah tindakan yang berat. Tindakan semacam ini seharusnya sudah diketahui oleh Singasari lewat laporan yang diberikan oleh Akuwu, karena tindakan ini akan menyangkut pertumpahan darah” berkata Mahisa Bungalan.
“Aku akan menghukum mereka yang telah bersalah. Mereka yang tidak mengakui kuasa Singasari yang dilaksanakan oleh Akuwu di Gagelang” jawab Akuwu.
“Tetapi ketahuilah Sang Akuwu, bahwa laporan yang sampai ke Singasari berbeda dari yang Akuwu katakan. Laporan yang kami terima dari petugas-petugas sandi kami” berkata Mahisa Bungalan, “nampaknya ada sesuatu yang sengaja Akuwu sembunyikan dalam peristiwa ini”
“Ki Sanak” berkata Akuwu, “Aku adalah Akuwu yang mendapat limpahan kuasa sepenuhnya dari Singasari untuk memerintah di Pakuwon Gagelang. Karena itu. jangan mencampuri persoalan kami dengan Talang Amba. Pada saatnya kami akan memberikan laporan selengkapnya. Langsung kepada Sri Maharaja, karena aku hanya bertanggung jawab kepada Sri Maharaja”
“Sebagai Senapati, maka aku pun mendapat limpahan kuasa dari Sri Maharaja. Aku bertugas untuk membantu penyelesaian persoalan yang terjadi di Gagelang” berkata Mahisa Bungalan kemudian.
Akuwu di Gagelang mengerutkan keningnya. Sementara itu pengawal yang mendampinginya berkata, “Akuwu harus bersikap tegas”
Akuwu itu menjadi semakin tegang. Bagaimanapun juga sikap Mahisa Bungalan itu telah mempengaruhinya. Namun pengawal yang sebenarnya adalah seorang Pangeran dari Kediri itu mempunyai pengaruh yang terlalu besar pada dirinya, sehingga karena itu, maka ia sama sekali tidak dapat melepaskan dirinya.
“Jawablah” desis Pangeran itu.
Akuwu memandang Mahisa Bungalan dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Ki Sanak. Aku tahu bahwa Ki Sanak adalah seorang Senapati menurut ujud wadag yang dapat aku lihat. Tetapi sebaiknya Ki Sanak tidak mengganggu tugasku. Biarlah aku menyelesaikan tugasku dengan sebaik-baiknya agar aku tidak dianggap bersalah oleh pemimpin pemerintahan di Singasari”
“Marilah kita berusaha menyelesaikan persoalan ini dengan sebaik-baiknya” berkata Mahisa Bungalan, “tidak harus dengan pertumpahan darah yang akan melihat persoalan ini dari sudut yang benar dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat kita tempuh. Aku akan membantu. Tetapi Akuwu harus mencegah pertumpahan darah yang mungkin dapat terjadi pada hari ini”
“Aku mengerti maksud Ki Sanak. Tetapi itu tidak adil. Yang bersalah harus dihukum” jawab Akuwu.
“Kita harus menemukan siapa yang bersalah itu” berkata Mahisa Bungalan kemudian.
Wajah Akuwu menjadi bertambah tegang. Bahkan seolah-olah Mahisa Bungalan akan langsung menganggap bahwa ialah yang telah bersalah. Karena itu, maka katanya kemudian, “Sudahlah. Tidak ada gunanya kau mencampuri persoalan kami”
“Aku adalah seorang Senapati yang bertugas. Karena itu, maka aku akan mempergunakan segala wewenang yang ada padaku untuk mencegah pertumpahan darah ini”
“Aku peringatkan agar Ki Sanak menepi. Jika Ki Sanak masih tetap ingin mengganggu tugasku, maka akan dapat bersikap tegas demi kedudukanku dan kuasa yang diberikan oleh Sri Maharaja di Singasari” jawab Akuwu di Gagelang.
Wajah Mahisa Bungalan terasa menjadi panas. Tetapi ia masih menyadari kedudukannya. Karena itu, maka katanya, “Jadi Akuwu menolak kehadiran kami dalam tugas ini?”
“Maaf Ki Sanak. Aku berkeberatan” jawab Akuwu.
“Jika demikian, Akuwu telah menolak perintah yang aku emban. Akuwu akan memaksakan pertumpahan darah terjadi di Gagelang. Mungkin Akuwu akan dapat memberikan laporan yang lain kepada para pemimpin di Singasari. Tetapi tanpa kehadiranku. Sekarang aku disini. Laporan Akuwu akan dinilai dan diperbandingkan dengan laporanku” geram Mahisa Bungalan.
Namun tiba-tiba Pangeran dari Kediri yang melihat hati Akuwu menjadi goyah dan terguncang-guncang telah berkata, “Laporan itu tidak akan pernah dapat kau buat”
Kata-kata pengawal itu membuat darah Mahisa Bungalan bagaikan mendidih, ia mengerti makna dari kata-kata itu. Karena itu maka katanya, “Akuwu di Gagelang. Apakah kata-kata yang diucapkan oleh pengawalmu itu juga kata-kata yang akan kau ucapkan”
Jantung Akuwu di Gagelang menjadi berdebar-debar. Sekilas dipandanginya wajah Pangeran yang berpakaian sebagai seorang pengawal itu. Lalu, katanya dengan ragu, “Ya Ki Sanak. Aku memang sudah berketetapan hati”
Jawaban itu terasa bagaikan bara api yang menyentuh telinga Mahisa Bungalan. Karena itu, maka katanya, “Jika demikian, aku akan berada diantara orang-orang Talang Amba. Kita akan melihat kelak, siapakah yang tidak akan dapat membuat laporan. Aku atau Akuwu di Gagelang. Meskipun menurut gelar kewadagan, pasukan Talang Amba bukan tandingan dari pasukan Gagelang, tetapi kita akan melihat, apakah Talang Amba akan mendapat perlindungan dari Sang Maha Kuasa”
Mahisa Bungalan tidak menunggu jawaban lagi. Iapun segera menarik kekang kudanya dan memberi isyarat kepada kedua orang Senapatinya untuk kembali ke Talang Amba.
Akuwu tidak mencegahnya atau memberikan perintah untuk mengejarnya. Dibiarkannya Mahisa Bungalan bergabung dengan orang-orang Talang Amba yang menurut perhitungannya tidak akan dapat bertahan terlalu lama. Dalam sekejap Talang Amba tentu sudah akan disapu bersih.
Sementara itu Pangeran dari Kediri itu berkata, “Ketiga orang Senapati dari Singasari itu harus terbunuh dalam pertempuran ini, sehingga mereka tidak akan dapat memberikan laporan apapun juga. Sementara itu, kita harus menyusun satu ceritera tentang peristiwa yang terjadi sekarang ini. Sendawa , dan para pemimpin di Talang Amba harus mati juga dalam peperangan ini”
Akuwu di Gagelang mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah, ketika Mahisa Bungalan telah mendekati regol padukuhan yang berada dihadapan pasukan Gagelang, maka Akuwu pun telah memberikan isyarat kepada pasukannya untuk bersiap-siap. Katanya, “Agaknya Talang Amba benar-benar akan melawan”
Keterangan itu pun kemudian menjalar dari seorang Senapati kepada Senapati yang lain, sehingga Gagelang benar-benar telah mempersiapkan diri untuk berperang. Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang meninggalkan pasukan Gagelang itu pun bertanya kepada kedua kawannya, “Apakah kalian melihat isyarat seperti yang dikatakan oleh Senapati Gagelang yang datang ke Talang Amba bersama Ki Waruju itu?”
“Ya, aku melihat seorang Senapati memakai ciri seperti yang pernah dikatakan” jawab seorang kawannya.
“Bagus” berkata Mahisa Bungalan, “setidak-tidaknya kita mempunyai kawan untuk memecahkan pemusatan kekuatan pasukan Gagelang, sehingga mereka tidak semata-mata membantai anak-anak muda Talang Amba saja."
Namun demikian, Mahisa Bungalan dan kedua Senapati itu masih meragukan jumlah pasukan Gagelang yang akan dapat membantu orang-orang Talang Amba. Jika jumlah mereka terlalu sedikit, maka akibatnya pun akan dapat menjadi parah.
“Tetapi orang-orang Talang Amba sudah bertekad bulat untuk melawan” berkata Mahisa Bungalan kemudian. Lalu, “Dengan demikian, maka kita pun akan membantu mereka dengan sepenuh kemampuan yang ada pada kita. Mungkin Akuwu memerlukan lawan yang mapan. Selebihnya, pengawal yang dengan berani mencampuri pembicaraanku dengan Akuwu di Gagelang itu juga memerlukan perhatian tersendiri”
“Ya jawab kawannya agaknya orang itu mempunyai pengaruh yang besar kepada Akuwu jauh melampaui ujudnya sebagai seorang pengawal”
“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus berhati-hati” berkata Mahisa Bungalan, “Aku yakin, mereka memiliki kemampuan melampaui para pengawal Gagelang. Tetapi ia akan bertempur diantara anak-anak muda yang kurang memiliki pengalaman dan kemampuan”
“Tugas kita memang sangat berat” jawab kawannya yang lain.
“Nampaknya memang demikian. Tetapi kita masih berpengharapan bahwa Ki Waruju akan dapat memanfaatkan kemampuannya untuk mengurangi korban diantara anak-anak Talang Amba” desis Mahisa Bungalan”
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan pun segera memasuki padukuhan yang akan menjadi sasaran pertama pasukan Akuwu Gagelang, karena padukuhan itu berada di jalan-jalan yang dilalui oleh pasukan Akuwu. Meskipun agaknya Akuwu akan menuju ke padukuhan induk kabuyutan Talang Amba, tetapi atas beberapa petunjuk, kekuatan Talang Amba tidak diletakkan di padukuhan induk, tetapi di padukuhan pertama yang akan dilalui oleh pasukan Akuwu.
Dari kejauhan Akuwu sudah melihat padukuhan itu. Agaknya iapun sudah menduga, bahwa pasukan Talang Amba berada di padukuhan di hadapannya itu. Tidak di padukuhan induk. Karena itu, maka Akuwu pun mulai memperlambat pasukannya. Akuwu pun kemudian memberikan isyarat, agar pasukannya menjadi berhati-hati. Semua orang di dalam pasukan itu harus bersiap.
Dalam pada itu, pasukan Talang Amba pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Mereka ternyata menjadi berdebar-debar juga. Mereka bukan orang-orang yang mempunyai pengalaman berperang. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Ternyata pertentangan antara Ki Sanggarana dan Ki Sendawa ada juga manfaatnya”
“Apa?” bertanya kawannya.
“Kita sudah mempersiapkan senjata dan serba sedikit kita sudah memperkenalkan diri bagaimana kita harus menggenggam pedang, atau memegangi landean atau tombak” jawab orang yang pertama-tama itu.
“Ya” jawab kawannya. “Kita telah mempersiapkan busur dan anak panah yang anti akan kita pergunakan”
Kawannya mengangguk-angguk. Namun, debar jantungnya menjadi kian cepat ketika mereka melihat pasukan Akuwu menjadi semakin dekat dan kemudian berhenti beberapa puluh langkah dari pasukan Talang Amba
Ternyata Akuwu cukup berhati-hati. Pasukannya tidak langsung memasuki padukuhan. Tetapi pasukan itu telah menebar. Mereka akan memasuki padukuhan dalam gelar. Mereka tidak menyusuri jalan dan memasuki regol berurutan memanjang. Tetapi mereka akan memasuki padukuhan itu dalam tebaran yang memanjang dari ujung sampai ke ujung padukuhan. Mereka akan memasuki padukuhan dengan meloncati dinding-dinding pagar dan melintas di sepanjang kebun dan halaman.
“Jika mereka menemui lawan di padukuhan ini, maka mereka akan bertempur dan menghancurkan lawan mereka. Kemudian mendesak lawannya dalam jajaran yang rapat dan tidak seorang pun akan dapat terlepas dari jaring mereka” berkata Mahisa Bungalan kepada kawan-kawannya dan kepada kedua adiknya.
“Mudah-mudahan orang-orang Talang Amba di padukuhan-padukuhan sebelah juga sudah siap. Mereka akan menyerang dari lambung dengan senjata jarak jauh pula” desis Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah Ki Sanggarana benar-benar menjadi cemas. Ia sudah membayangkan bahwa korban akan berserakan di pematang, halaman dan kebun padukuhan-padukuhan di Talang Amba. Anak-anak muda akan menjadi sasaran kemarahan para pengawal yang akan mendapat serangan lebih dahulu dengan anak panah dan lembing-lembing. Satu saja diantara mereka menjadi korban, maka mereka akan menuntut sepuluh orang sebagai gantinya.
Namun Ki Sanggarana masih berharap bahwa Senapati Gagelang yang tidak senang melihat sikap Akuwu itu akan menepati janji. Tetapi seperti yang diragukan oleh setiap pemimpin dari Talang Amba, seberapa jumlah mereka yang bersedia berpihak kepada Talang Amba. Apalagi jika mereka sudah berada di dalam pasukan segelar sepapan seperti itu. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Tidak ada jalan lagi untuk kembali, sehingga oleh karena itu, maka orang-orang Talang Amba harus benar-benar siap untuk berperang.
Demikianlah, pasukan Gagelang dalam tebaran yang memanjang merayap semakin mendekati padukuhan. Setiap jantung pun kemudian berdetak semakin cepat. Orang-orang Talang Amba benar-benar menjadi berdebar-debar. Sedangkan bagi orang-orang yang berada di dalam pasukan Akuwu di Gagelang. Mereka rasa-rasanya tidak sedang bertugas dalam gelar perang. Mereka seolah-olah sedang beramai-ramai berburu seekor kijang di padang rumput di satu pagi yang cerah.
Ketika pasukan itu kemudian menjadi semakin dekat, maka Mahisa Bungalan pun telah memberikan isyarat untuk bersiap sepenuhnya. Dalam ketegangan itu, tiba-tiba sebuah panah sendaren telah meluncur ke udara ke arah padukuhan yang menjadi sasaran pasukan Gagelang, disusul oleh panah sendaren yang lain ke arah padukuhan di sebelah yang lain pula.
Panah-panah sendaren itu adalah perintah kepada orang-orang Talang Amba yang berada di padukuhan sebelah menyebelah untuk mulai menahan gerak maju pasukan Gagelang dari arah lambung. Dengan demikian, maka sejenak kemudian, sebenarnyalah, orang-orang Talang Amba di padukuhan sebelah menyebelah itu telah bersikap dengan anak panah mereka.
Ki Sendawa dan Ki Sanggarana yang berada di Padukuhan sebelah kanan tidak dapat berbuat lain. Betapapun mereka mencemaskan nasib orang-orang Talang Amba, namun mereka menyadari bahwa yang mereka hadapi bukannya Akuwu yang patuh terhadap kewajibannya dan bertanggung jawab kepada Sri Maharaja di Singasari, namun justru sebaliknya. Akuwu di Gagelang telah berhubungan dengan seseorang yang justru berniat untuk melawan Singasari.
Karena itu, maka orang-orang Talang Amba telah bertekad untuk melawan meskipun mereka menyadari, bahwa mereka tidak memiliki bekal yang cukup. Namun kesediaan beberapa orang Senapati dari Gagelang sendiri untuk berpihak kepada mereka, serta kehadiran Mahisa Bungalan dan dua orang Senapati lainnya dari Singasari telah membuat tekad orang-orang Talang Amba menjadi semakin mantap.
Merekapun telah menyadari, seandainya mereka tidak melawan sekalipun, nasib mereka tentu akan menjadi sangat buruk, karena Akuwu di Gagelang nampaknya mengerti, bahwa sebenarnya orang-orang Talang Amba tidak akan dapat tunduk kepada perintahnya yang menyalahi kesetiaannya sebagai seorang Akuwu.
Dalam pada itu, maka panah-panah sendaren itu pun telah memperingatkan pasukan Akuwu di Gagelang, bahwa isyarat itu tentu mengandung makna. Sebenarnyalah, bahwa sejenak kemudian, panah sendaren yang kedua pun telah meluncur di udara. Langsung disusul dengan serangan orang-orang Talang Amba ke arah lambung pasukan Akuwu Gagelang yang bergerak maju dengan anak panah pula.
Para pengawal dari Gagelang itu tidak terkejut. Meskipun mereka harus berusaha untuk melindungi diri mereka dengan perisai atau senjata yang ada pada mereka, namun serangan itu benar-benar merupakan perintah untuk bertindak. Tanpa menunggu lebih lama lagi, atas isyarat dari Akuwu Gagelang, perintah pun segera dijatuhkan.
Senapati yang berkuda di sebelah Akuwu telah meneriakkan perintah untuk langsung menyerang dan memecah pasukan Gagelang ke arah tiga sasaran. Induk pasukan Gagelang akan menyerang pasukan yang ada dihadapan mereka, sedang ujung-ujung pasukan itu akan berbelok arah menghadapi padukuhan-padukuhan di sebelah menyebelah. Sementara itu, orang-orang Talang Amba yang merasa diri mereka tidak memiliki bekal kemampuan sebagaimana para pengawal dari Gagelang, telah melontarkan anak-panah sebanyak dapat mereka lakukan.
Ternyata bahwa hujan anak panah itu mempunyai pengaruh juga atas pasukan Gagelang. Langkah mereka menjadi tersendat-sendat. Bahkan, betapapun juga, anak-panah orang-orang Talang Amba itu juga berujung runcing dan mampu menembus kulit para pengawal dari Gagelang. Karena itu, satu dua orang pengawal dari Gagelang yang lengah telah terpatuk oleh ujung anak panah orang-orang Talang Amba.
Namun ternyata bahwa darah yang telah menitik, membuat orang-orang Gagelang benar-benar menjadi marah. Akuwu dan pengawal pengapitnya, yang salah seorang di antaranya adalah Pangeran dari Kediri itu, telah menjadi marah pula karenanya.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, Akuwu pun telah memberikan isyarat, agar para pengawal dari Gagelang, bertindak lebih cepat lagi. Tidak ada pertimbangan apapun lagi yang akan dapat menolong orang-orang Talang Amba dari malapetaka. Perintah Akuwu menjadi tegas. Hancurkan orang-orang yang tetap melawan. Sementara mereka yang menyerah masih dapat dipertimbangkan meskipun mereka tidak akan luput dari hukuman.
Karena itulah, maka para pengawal dari Gagelang itu bergerak lebih cepat. Mereka yang berada dalam kelompok pengawal yang mempergunakan perisai telah bergeser di paling depan. Sementara yang lain berusaha untuk berlindung di belakang pasukan yang mempergunakan perisai itu.
Tetapi orang-orang Talang Amba telah berusaha menyusupkan anak panah mereka ke sela-sela perisai yang melindungi pasukan Gagelang, sementara yang lain telah dilontarkan melampaui perisai yang merapat di depan pasukan yang bergerak maju itu.
Kemarahan orang-orang Gagelang menjadi semakin memuncak. Sambil berteriak nyaring, maka pasukan itu justru telah meluncur semakin cepat tanpa menghiraukan hujan anak panah yang menjadi semakin lebat.
Namun dalam pada itu, ketika pasukan Gagelang itu menjadi semakin dekat dengan sasaran, tiba-tiba saja telah terjadi sesuatu yang sangat mengejutkan mereka dan sangat mengejutkan Akuwu serta kedua Senapati pengapitnya. Dari antara pasukan Gagelang itu telah terdengar satu teriakan nyaring mengatasi segala macam suara yang terdapat di medan. Kemudian disusul dengan teriakan-teriakan yang lain merayap diantara para pengawal dari Gagelang terutama mereka yang berada di bagian belakang.
Sejenak kemudian, seolah-olah pasukan Gagelang itu telah terbelah. Bagian yang berada di belakang dari pasukan Gagelang itu telah memisahkan diri. Mereka dengan cepat telah mengambil jarak. Perubahan susunan pasukan Gagelang itu membuat orang-orang Talang Amba menjadi berdebar-debar. Mahisa Bungalan dan kedua kawannya menyaksikan perubahan itu dengan jantung yang bergejolak.
“Ternyata di Gagelang masih juga ada orang yang mempunyai penglihatan bening atas tingkah laku Akuwunya” desis Mahisa Bungalan.
Kedua kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti bergumam, “Senapati itu telah memenuhi janjinya”
Dalam pada itu, seperti yang telah dijanjikan, maka para pengawal dari Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu pun telah mengenakan ciri-ciri yang sudah disepakati. Namun diantara mereka yang tidak memiliki pertanda yang telah ditetapkan, telah mempergunakan janur kuning. Ternyata mereka telah membawa janur kuning yang tersembunyi. Baru setelah isyarat itu diberikan, mereka telah mengenakan pertanda itu di tempat yang jelas pada tubuh mereka. Ada yang dipergunakan sebagai kalung di leher. Tetapi ada juga yang dikenakan dilengan atau dililitkan pada dahi mereka, atau pada kedua pergelangan tangan mereka.
Dalam pada itu, Akuwu yang sangat terkejut telah tertegun di tempatnya, sementara pasukannya yang bergerak langsung ke padukuhan yang berada dihadapan telah terhenti pula. “Lihat, apa yang telah terjadi” perintah Akuwu.
Pangeran yang dalam wujudnya sebagai pengawal itu menggeram, la mengulangi perintah Akuwu itu kepada pengawal pengapit yang lain, “Cepat. Beri aku laporan segera”
Pengawal itu pun kemudian bergeser dari tempatnya, ia pun segera menyusup diantara pasukan Gagelang dengan membawa dua orang pengawal yang lain. Ketika ia berada di batas pasukan yang menyibak itu, maka iapun bertanya kepada seorang pemimpin kelompok yang sedang kebingungan, “Apa yang sudah terjadi?”
“Aku kurang mengerti. Tetapi Senapati itu telah membawa pasukannya memisahkan diri. Juga ada beberapa kelompok pasukan di kedua sayap itu yang memisahkan diri pula”
Pengawal itu menggeram. Kemudian iapun berdiri diantara para pengawal yang termangu-mangu itu sambil menghadap ke arah pasukan yang telah memisahkan diri itu. Dengan nada tinggi ia berteriak nyaring, “He, apakah maksud kalian dengan sikap yang kalian ambil tanpa ada perintah itu?”
Senapati yang memimpin pasukan yang memisahkan diri itu pun kemudian berdiri di depan pasukannya sambil menjawab, “kami mempunyai sikap sendiri”
“Ya. Katakan, sikap yang manakah yang telah kalian ambil itu?” bertanya Pengawal Pengapit itu.
Senapati itu termenung sejenak Ketika ia menebarkan pandangannya, maka dilihatnya seakan-akan pertempuran di depan padukuhan-padukuhan itu pun telah terhenti. Orang-orang Talang Amba tidak lagi meluncurkan anak panah ke arah orang-orang Gagelang yang tertegun dan bahkan justru berpaling. Namun peristiwa yang mengejutkan itu telah merampas semua perhatian kedua belah pihak.
Namun sejenak kemudian, maka iapun berkata, “Jelaskan sikapku kepada Akuwu. Aku tidak suka kepada langkah-langkah yang diambilnya”
"Tetapi kau adalah prajurit. Kau harus tunduk kepada semua perintah yang diberikan kepadamu” berkata pengawal itu.
“Aku memang seorang prajurit. Tetapi Akuwu tidak berhak memerintahkan aku untuk memberontak terhadap Singasari” jawab Senapati itu, “aku tahu. bahwa langkah Akuwu sekarang ini adalah ungkapan dari sikap perlawanannya terhadap Singasari meskipun seolah-olah ia masih tetap merupakan seorang Akuwu yang setia. Tetapi setiap orang di Gagelang kini mengetahui, siapakah sebenarnya Akuwu yang selama ini mereka sembah. Langkah-langkah yang diambil di Talang Amba telah menunjukkan, siapa sebenarnya Akuwu di Gagelang dan bagaimana sikapnya terhadap Singasari dan terhadap Kediri."
“Omong kosong” teriak pengawal itu kau jangan memutar balikkan kenyataan. Kalau yang sekarang memberontak melawan kekuasaan yang sah berdasarkan atas limpahan kekuasaan Sri Maharaja di Singasari. Karena itu, sebelum semuanya terlanjur, menyerahlah”
“Aku sudah mengambil keputusan. Aku takut melawan kekuasaan Singasari. Karena itu lebih baik aku melawan kekuasaan Gagelang saja” jawab Senapati itu
“Jumlah pasukan yang dapat kau racuni tidak seimbang dengan mereka yang masih tetap setia kepada Akuwu. Coba katakan, apa yang dapat kau lakukan?” bertanya pengawal itu.
“Apapun yang terjadi, kami sudah menentukan sikap. Kami tidak akan memberontak melawan Singasari. Karena kami adalah prajurit, maka kemungkinan yang paling pahit pun telah kami perhitungkan. Dan kami adalah pasukan yang setia sampai di ambang maut sekalipun” jawab Senapati itu.
“Omong kosong” geram Pengawal yang marah itu, “Kau telah merusak segala rencana. Tetapi jika kau tetap pada pendirianmu, maka hal itu tidak akan terlalu banyak mengganggu. Jumlah kalian terlalu sedikit. Karena itu. maka orang-orang Talang Amba justru akan mengalami nasib yang lebih buruk lagi, karena dengan demikian maka penumpasan terhadap mereka pun akan dipercepat, karena pasukan Gagelang masih harus melawan orang-orangnya sendiri yang berkhianat”
“Terserah apa yang akan kalian lakukan” jawab Senapati itu, “tetapi kami sudah siap. Mati adalah akibat wajar dari seorang prajurit yang memeluk keyakinan kebenaran. Karena itu, silahkan, mengambil satu langkah menghadapi sikap kami. Sementara itu jumlah kami yang sedikit, akan bergabung dengan orang-orang Talang Amba”
Pengawal itu menggeram. Kemarahan memancar di wajahnya. Senapati itu benar-benar telah mengganggu semua rencana yang sudah disusun sebaik-baiknya. Termasuk usaha mereka untuk melenyapkan semua bekas tindakan Akuwu yang bertentangan dengan keinginan Singasari termasuk melenyapkan tiga orang Senapati Singasari yang ada di Talang Amba.
Karena itu maka tidak ada jalan lain kecuali menghancurkan orang-orang Talang Amba sekaligus para pengawal yang telah melawan kehendak Akuwu Di Gagelang itu. Mereka tidak boleh menjadi sumber keterangan yang akan dapat membuka rahasia Akuwu di Gagelang itu kepada pimpinan di Singasari sampai saatnya beberapa Pangeran di Kediri menganggap saatnya telah tiba.
Karena itu, maka sejenak kemudian iapun berteriak, “Baiklah Senapati yang dungu. Kalian memang harus dibinasakan sempai orang yang terakhir”
Dengan jantung yang berdebaran. kemarahan yang menghentak di dadanya, maka pengawal itu pun segera kembali kepada Akuwu di Gagelang yang menunggunya dengan hampir tidak sabar. Demikian Akuwu mendengar laporan, maka dengan gigi yang gemeretak Akuwu memerintahkan agar pasukannya segera bergerak menghancurkan orang-orang Talang Amba dan pasukan Gagelang yang telah melawan.
“Jumlah mereka tidak terlalu banyak” berkata pengawal yang telah melihat pasukan yang memisahkan diri itu.
“Cepat, hancurkan saja mereka” perintah Akuwu, “kita tidak boleh terlalu baik hati kepada orang-orang yang telah memberontak. Orang-orang yang telah menodai perjuangan Pakuwon Gagelang untuk mencapai satu cita-cita yang sejalan dengan perintah dari Singasari.
Demikianlah maka perintah itu pun segera mengumandangkan. Pasukan Gagelang pun segera bersiap menghadapi dua jenis lawan. Orang-orang Gagelang yang tidak memiliki kemampuan bertempur sama sekali dan sekelompok pasukan Gagelang sendiri.
Dalam pada itu, beberapa orang Senapati yang menyatakan diri melawan niat Akuwu yang bertentangan dengan tugas-tugasnya yang sebenarnya itu menyadari, bahwa jumlah mereka dibanding dengan pasukan Gagelang seluruhnya memang terlalu kecil. Tetapi mereka berharap bahwa orang-orang Talang Amba yang jumlahnya cukup banyak, akan dapat menarik perhatian sebagian pasukan Gagelang. sementara itu kekuatan para Senapati yang tidak terlalu banyak itu mendapat kesempatan untuk merubah keseimbangan.
Namun para Senapati itu masih juga memikirkan nasib orang-orang Gagelang. Jika para pengawal itu harus menebus langkah mereka dengan kematian. Bagi mereka tidak lagi menjadi persoalan. Tetapi jika orang-orang Talang Amba itu benar-benar akan dibinasakan, maka nasib mereka memang kurang baik.
Dalam pada itu, maka pasukan Gagelang yang setia kepada Akuwu pun segan mulai bergerak. Mereka masih tetap menuju ketiga sasaran. Namun sebagian dari mereka harus berkisar untuk menghadapi pasukan Gagelang yang telah memisahkan diri. Lawan mereka bukan sekedar anak-anak Talang Amba yang tidak tahu apa-apa. Tetapi lawan mereka adalah para pengawal yang memiliki kemampuan seperti pasukan Gagelang yang lain.
Sementara itu, orang-orang Talang Amba yang menyadari, bahwa pasukan Gagelang telah kembali bergerak ke arah mereka, maka mereka pun telah mempersiapkan anak panah dan busur mereka kembali. Mereka harus menghambat gerak pasukan Gagelang dan bahkan mengurangi jumlah mereka.
Namun para pengawal Gagelang yang sudah terlatih dan berpengalaman itu pun dengan cerdik telah melindungi diri mereka, meskipun ada juga anak panah orang Talang Amba yang menyayat kulit satu dua orang pengawal dari Gagelang.
Pertempuran justru lebih dahulu telah terjadi antara pasukan Gagelang yang saling memisahkan diri itu. Pertempuran yang berkobar dengan dahsyatnya, karena keduanya memiliki kemampuan yang seimbang. Agaknya pasukan Gagelang yang setia kepada Akuwu tidak ingin bertempur terlalu lama. Ternyata mereka telah menyediakan kekuatan yang hampir berlipat untuk menghadapi kawan-kawan mereka yang mereka anggap memberontak, sementara untuk menghadapi orang-orang Talang Amba. pasukan Gagelang sama sekali tidak mencemaskannya.
Namun dalam pada itu, hujan anak panah pun masih belum juga berkurang. Dengan perisai dan senjata yang ada pada pasukan Gagelang mereka merayap maju mendekati tiga padukuhan yang dipergunakan oleh orang-orang Talang Amba untuk membangunkan pertahanan.
Tetapi agaknya sesuatu telah terjadi di padukuhan yang berada di hadapan pasukan induk pengawal dari Gagelang diluar pangetahuan orang-orang Gagelang. Ketika Mahisa Bungalan sedang mengamati gerak orang-orang Gagelang dengan tegang, maka seseorang telah datang kepadanya.
“Ki Sanak, ada orang yang mencari Ki Sanak Mahisa Bungalan” berkata orang itu.
“Siapa?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Kami tidak tahu. Tetapi orang itu telah dibawa kemari karena kawan-kawan yang ada di ujung lorong menjadi curiga” jawab orang itu.
Mahisa Bungalan pun kemudian menyerahkan pengamatan orang-orang Gagelang kepada kedua kawannya, sementara ia harus menemui seseorang yang sedang mencarinya. Dengan hati yang berdebar-debar Mahisa Bungalan dengan tergesa-gesa telah pergi ke sebuah rumah kecil di pinggir jalan. Agaknya orang yang dicurigai itu telah dibawa ke rumah itu.
“Apakah orang itu ada disini?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Ya. Orang itu ada di dalam rumah itu” jawab orang yang memanggil Mahisa Bungalan.
Dengan langkah-langkah panjang Mahisa Bungalan memasuki rumah itu. Ia tidak ingin terlalu lama meninggalkan orang-orang Talang Amba yang sudah mulai melontarkan anak panah mereka kembali, ketika pasukan Gagelang sudah mulai bergerak. Jika ia terlalu lama, maka ia tidak akan dapat menyaksikan benturan yang terjadi. Mungkin orang-orang Talang Amba akan segera menjadi kacau dan kehilangan kesempatan untuk melawan jika tidak ada orang yang akan dapat mendorong tekad mereka, meskipun sejak sebelumnya niat mereka sudah bulat. Tetapi suasana medan dibenturan pertama, memang akan sangat berpengaruh.
Untunglah bahwa beberapa kelompok pasukan Gagelang sendiri menyadari, bahwa yang dilakukan oleh Akuwu mereka adalah langkah yang sesat, sehingga mereka telah mengambil satu sikap yang benar. Dengan demikian, maka kelompok-kelompok itu akan sangat berarti bagi orang-orang Talang Amba. Meskipun demikian, Mahisa Bungalan masih tetap mencemaskan nasib orang-orang Talang Amba itu.
“Waktuku hanya sedikit sekali” desis Mahisa Bungalan.
Orang yang mengantarkannya tidak menjawab. Sementara itu beberapa orang yang mengawal orang yang tidak dikenal itu telah menyibak ketika mereka melihat Mahisa Bungalan memasuki pintu. Namun demikian Mahisa Bungalan masuk ke ruang dalam, maka tiba-tiba saja jantungnya telah bergetar. Hampir diluar sadarnya ia berdesis, “Kau. Apa kerjamu disini?”
Orang itu tersenyum. Katanya, “Ada masanya untuk berceritera panjang. Tetapi bukankah sekarang waktumu sudah hampir habis”
“Ya” jawab Mahisa Bungalan.
“Baiklah. Tetapi secara singkat aku dapat mengatakan, bahwa sejak kepergianmu dari Singasari, maka perintah telah jatuh atas beberapa pertimbangan untuk mengirimkan aku kemari, tanpa menunggu lagi. Beberapa keterangan telah didapat sejak sebelumnya. sehingga kedatangan kedua adikmu itu menjadi semakin meyakinkan. Karena itu aku memang sudah berada di sekitar tempat ini." berkata orang itu.
“Bagus” jawab Mahisa Bungalan, “cepat, lakukan yang paling baik menurut pertimbanganmu”
“Aku akan membawanya kemari. Mereka tidak dalam ujud yang resmi sebagaimana kami perhitungkan sebelumnya” jawab orang itu.
“Cepat. Sebentar lagi benturan itu akan terjadi. Tetapi benturan itu tidak hanya terjadi di satu tempat. Tetapi di tiga tempat. Pergilah ketiga tempat. Dua orang kawan kita akan mengantarkan kelompok-kelompok itu”
Mahisa Bungalan tidak menunggu jawaban. Iapun segera berlari keluar rumah itu menuju ke garis pertahanan. Sementara itu pasukan Gagelang sudah menjadi semakin dekat. Tetapi hujan anak panah memang dapat menghambat laju mereka. Ketika ia sampai kepada kedua kawannya, mereka sudah menjadi tegang karena sebentar lagi, benturan itu tentu sudah akan terjadi.
Tetapi sementara itu, pertempuran antara pasukan Gagelang yang berdiri berhadapan itu menjadi semakin sengit. Agaknya para Senapati yang menentang kebijaksanaan Akuwu Gagelang telah bertempur dengan tekad yang menyala, sehingga mereka justru mulai mendesak lawan mereka yang jumlahnya seimbang. Karena itu, maka para Senapati dari pasukan Gagelang yang berpihak kepada Akuwu telah mengambil keputusan untuk menambah jumlah pasukan yang harus menghadapi kawan mereka sendiri.
“Jangan tanggung-tanggung” perintah Senapati yang beradu pada jenjang pertama, “hancurkan saja para pengkhianat itu dengan kekuatan yang cukup meyakinkan. Biarkan saja orang-orang Talang Amba. Mereka akan mati ketakutan jika mereka melihat para pengkhianat itu kita bantai di medan ini”
Perintah itu tidak perlu diulang. Beberapa orang Senapati segera menempatkan diri. Akhirnya, sekelompok pasukan telah memutar arah dan bergabung dengan mereka yang bertempur melawan para pengawal Gagelang yang memisahkan diri. Tetapi ternyata tidak terlalu mudah untuk membinasakan mereka. Para pengawal yang telah membulatkan tekad untuk menentang Akuwu itu, sama sekali tidak mengenal gentar. Seakan-akan mereka benar-benar telah pasrah, nasib apa yang akan menimpa diri mereka. Bahkan sampai kemungkinan yang paling pahit sekalipun.
Sementara itu, Mahisa Bungalan pun segera memberitahukan kepada kedua kawannya apa yang terjadi. Karena itulah, maka mereka bertiga pun segera berlari-lari kecil menuju ke rumah kecil itu. Segalanya segera diatur bersama orang-orang Talang Amba sendiri yang ada di rumah itu. yang semula mengawasi orang yang mencari Mahisa Bungalan. Dengan tergesa-gesa mereka pun telah meninggalkan rumah itu pula, karena waktu mereka memang tinggal beberapa saat saja.
Namun ternyata mereka sempat melakukan tugas itu sebaik-baiknya. Agaknya persiapan mereka dapat mendahului sergapan pasukan Gagelang yang menjadi semakin dekat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang kurang mengetahui persoalannya menjadi bertanya-tanya di dalam hati. Namun ia percaya bahwa kakaknya tentu akan mengambil satu sikap yang paling baik bagi Talang Amba pada saat yang gawat itu.
Karena itu. maka yang dilakukannya bersama orang-orang Talang Amba adalah menghambat pasukan Gagelang yang maju mendekati mereka. Namun dengan pengalaman yang matang, akhirnya pasukan Gagelang itu pun menjadi semakin dekat. Bahkan kemudian mereka berhasil menggapai orang-orang Talang Amba dengan lontaran-lontaran pisau belati untuk mengurangi tekanan anak panah mereka.
Lemparan-lemparan pisau belati itu benar-benar berpengaruh. Ketika salah seorang anak muda Talang Amba tersentuh pisau belati dan mengoyak pundaknya, maka kawan-kawannya menjadi sangat berhati-hati. Anak-anak Talang Amba mulai mencari perlindungan agar mereka tidak tergores oleh pisau yang dilontarkan dengan kerasnya oleh tangan-tangan yang terlatih.
Ternyata bukan hanya seorang dua orang Talang Amba sajalah yang telah terkena pisau belati. Semakin lama, pisau-pisau itu menuntut korban semakin banyak. Karena itu, maka lontaran-lontaran anak panah pun menjadi semakin jarang, karena orang-orang Talang Amba tidak lagi dapat melontarkannya dengan leluasa.
Pada saat yang demikian maka pasukan Gagelang pun telah maju semakin cepat. Beberapa langkah lagi, mereka akan mencapai dinding padukuhan dihadapan mereka. Tiga padukuhan yang menjadi sasaran utama orang-orang Gagelang. Dengan wajah yang menyala oleh kemarahan yang bergejolak di dalam hati, maka para pengawal dari Gagelang itu sudah berniat untuk membinasakan semua orang Talang Amba yang telah melawan. Apalagi beberapa orang diantara orang-orang Gagelang itu sudah terluka.
Dalam keadaan yang demikian, bukan saja orang-orang Talang Amba menjadi tegang. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi tegang pula. Dengan pedang di tangan kedua anak muda itu sudah siap menyongsong para pengawal dari Gagelang yang sudah siap meloncati dinding.
Namun dalam pada itu, ketika jantung orang-orang Talang Amba serasa akan meledak oleh ketegangan, maka tiba-tiba saja diantara mereka telah menyusup beberapa orang. Beberapa orang yang tidak mereka kenal. Mereka menyusup diantara orang-orang Talang Amba sambil berdesis, “Jangan cemas. Aku ada diantara kalian”
Orang-orang Talang Amba itu menjadi bingung. Menilik pakaiannya orang-orang itu tidak ubahnya seperti petani biasa. Namun nampaknya wajah-wajah mereka memancarkan kepercayaan kepada diri sendiri yang jauh lebih mantap dari para petani di Talang Amba sendiri. Bahkan cara mereka memegang senjata pun seakan-akan sama sekali tidak ada kecanggungan lagi.
Orang-orang yang belum dikenal itu telah menyusup diantara orang-orang Talang Amba dari ujung sampai ke ujung. Mereka menebar sepanjang pertahanan orang-orang Talang Amba sendiri di tiga padukuhan. Sementara itu Mahisa Bungalan pun telah berada pula di tempatnya, sementara kedua kawannya ternyata telah terbagi ke dalam dua padukuhan di sebelah menyebelah.
“Siapa mereka?”bertanya Mahisa Murti
“Tidak ada kesempatan untuk berceritera, “Lihat, orang-orang Gagelang telah mulai melompat. Yang di regol berusaha memecahkan regol” tiba-tiba terdengar suara Mahisa Bungalan lantang, “letakkan busur kalian. Hadapi orang-orang Gagelang dengan senjata dalam genggaman”
Perintah itu pun telah mengumandang. Beberapa orang pimpinan kelompok orang-orang Gagelang telah meneriakkan aba-aba itu pula, tepat pada saat orang-orang Gagelang berloncataan.
Tetapi adalah sangat mengejutkan. Yang menyambut mereka pertama-tama bukannya orang Talang Amba. Tetapi orang-orang yang baru datang dan menyusup dalam garis pertahanan mereka. Dengan tangkas orang-orang yang juga dalam pakaian seperti kebanyakan orang-orang Talang Amba itu menahan gerak orang-orang Gagelang.
Orang-orang Gagelang sama sekali tidak menduga, bahwa mereka akan dihadapi oleh lawan diluar dugaan mereka. Ketika mereka dengan dada tengah mengayunkan pedang tanpa berprasangka apapun, ternyata pedang mereka telah membentur senjata lawan yang menggetarkan. Ada diantara orang-orang Gagelang yang dalam benturan pertama telah kehilangan senjata mereka. Dalam benturan kekuatan yang dahsyat, maka orang-orang Gagelang yang menganggap bahwa orang-orang Talang Amba itu bukan lawan yang seimbang, benar-benar telah terkejut.
Untunglah bahwa kawan-kawan mereka yang berhasil mempertahankan senjata mereka sempat memperbaiki keadaan. Mereka segera menyadari, bahwa mereka berhadapan dengan lawan yang berbahaya. Dengan demikian, maka orang-orang Gagelang itu mulai mengamati lawan mereka. Namun nampak dalam ujud lahiriah, lawan-lawan mereka adalah memang petani-petani dari Talang Amba.
Dalam keheranan, maka orang-orang Gagelang tidak mau lagi membuat kesalahan. Mereka segera bertempur dengan sungguh-sungguh, Mereka tidak dapat lagi menganggap bahwa orang-orang Talang Amba sebagai anak bawang dalam permainan kejar-kejaran di terangnya bulan purnama. Orang-orang Talang Amba sendiri pun untuk sesaat menjadi bingung. Tetapi mereka harus segera terbangun pula, karena orang-orang Gagelang pun segera mengayunkan senjata mereka dengan sepenuh kekuatan dan kemampuan.
Namun dalam pada itu, pertempuran yang seru pun segera berkobar. Orang-orang Talang Amba telah bertahan dengan sebaik-baiknya. Sikap orang Gagelang merasa, bahwa mereka telah terjebak ke dalam satu anggapan yang salah, bahwa lawan mereka sama sekali tidak berdaya menghadapi mereka. Namun ternyata bahwa yang mereka jumpai adalah orang-orang yang dengan tangkas dan trampil mempermainkan senjata. Bahkan berbagai macam senjata.
Dengan demikian, maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Orang-orang Talang Amba sendiri, yang melihat bahwa diantara mereka terdapat orang-orang yang memiliki kemampuan yang seimbang dengan para pengawal dari Gagelang, menjadi semakin mantap. Apalagi jumlah mereka pun menjadi semakin banyak karena kedatangan orang-orang yang kurang mereka kenal, namun yang tiba-tiba saja telah bertempur bersama mereka.
Sementara itu, di seberang, pasukan Gagelang yang setia kepada Akuwu pun masih bertempur dengan dahsyatnya pula. Ternyata pasukan yang menentang Akuwu benar-benar tidak mudah mereka tundukkan. Mereka bertempur dengan keyakinan yang teguh, bahwa Akuwu lelah melakukan satu kesalahan. Menentang tugas yang seharusnya dilakukan atas nama Singasari.
Dengan demikian maka pertempuran antara dua belahan pasukan Gagelang itu menjadi semakin seru. Keduanya memiliki dasar kemampuan yang sama dan persenjataan yang hampir serupa pula Namun jumlah pasukan yang setia kepada Akuwu ternyata menjadi lebih banyak, sehingga karena itu, maka pasukan yang melawannya menjadi agak mulai terdesak karenanya.
Tetapi di bagian lain, yang tidak terduga-duga itu sudah terjadi. Orang-orang Talang Amba dan orang-orang yang tidak mereka kenal tetapi langsung berada di dalam pasukan mereka telah mampu bertahan atas serangan orang-orang Gagelang yang semula menganggap tugas mereka itu bukan tugas yang berai. Bahkan di padukuhan yang merupakan pertahanan induk orang-orang Talang Amba, telah terjadi satu hal yang sangat menyakitkan hati orang-orang Gagelang.
Akuwu yang berada di ujung pasukannya telah bertemu dengan Mahisa Bungalan, yang berada di belakang regol padukuhan. Ketika regol yang tertutup itu dipecahkan oleh pasukan Gagelang, maka Mahisa Bungalan sudah menduga bahwa Akuwu akan memasuki padukuhan itu lewat regol yang sudah pecah itu. Karena itu, ketika orang-orang yang menyusup diantara orang-orang Gagelang itu menahan sergapan orang-orang Gagelang, maka Mahisa Bungalan telah menunggu Akuwu di belakang regol yang pecah.
Demikian Akuwu dan pengapitnya memasuki regol padukuhan. maka Mahisa Bungalan dalam pakaian kebesaran seorang Senopati berdiri tegak menghadapinya, sementara pertempuran pun berkobar semakin seru.
“Kita bertemu sekarang di medan Akuwu” berkata Mahisa Bungalan.
Akuwu menggeram. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bersiap menghadapi kedua pengawal pengapit Akuwu yang seorang diantara mereka adalah seorang Pangeran dari Kediri yang menyelubungi dirinya dengan pakaian seorang pengawal biasa dari Gagelang. “Bagus” berkata Akuwu, “kau memang harus dibunuh”
“Tetapi aku masih berusaha untuk memperingatkanmu Akuwu. Atas nama perintah yang aku bawa dari kekuasaan Singasari, maka menyerahlah. Aku sudah tahu, apa yang sebenarnya terjadi di Talang Amba sekarang ini. Kau ingin memaksakan satu keadaan yang akan dapat membantumu, membuat Talang Amba sebagai sumber hasil bumi serta daerah-daerah subur di sekitarnya menjadi tandus, kering dan gersang. Daerah yang akan mengalami malapetaka di setiap tahun karena banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau” berkata Mahisa Bungalan.
“Omong kosong” geram Akuwu, “kau jangan mengada-ada. Kaulah yang harus ditangkap dan bahkan dihukum gantung, karena kaulah yang agaknya telah menghasut orang-orang Talang Amba untuk memberontak."
“Jangan mengada-ada Akuwu” jawab Mahisa Bungalan, “memang disini pernah terjadi perebutan diantara keluarga Ki Buyut yang telah meninggal. Namun hal itu telah dapat mereka atasi sendiri. Ki Sendawa telah menemukan kepribadiannya yang telah hilang karena diracuni oleh Ki Sarpa Kuning. Tetapi ketika itu Ki Sanggarana justru telah kau tangkap. Kau berharap bahwa Ki Sendawa akan dapat kau bujuk sebagaimana Sarpa Kuning membujuknya untuk menjadi Buyut di Talang Amba dengan imbalan yang sama sebagaimana dituntut oleh Ki Sarpa Kuning”
“Tutup mulutmu” bentak Akuwu, “di Gagelang kau jangan mengigau seperti orang kesurupan”
“Tidak Akuwu. Dengar, sekarang Ki Sanggarana dan Ki Waruju itu pun sudah berada di Talang Amba ini pula. Mereka berada di padukuhan sebelah menyebelah. Mereka akan dapat menjadi saksi yang baik atas apa yang telah kau lakukan” berkata Mahisa Bungalan.
Tetapi Akuwu justru tertawa. Katanya, “Kau jangan mengigau. Sanggarana dan orang yang bernama Waruju itu berada di bilik tahanan di Gagelang”
“Kau salah Akuwu. Keduanya tidak menemui kesulitan untuk keluar dari bilik itu. Ki Waruju telah pernah datang ke, Kabuyutan ini sebelumnya meskipun ia seorang tahanan. Baginya dinding-dinding bilik tahanan itu tidak berarti apa-apa."
“Omong kosong” bentak Akuwu.
Mahisa Bungalan lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Kau agaknya telah salah menilai orang-orang Talang Amba Akuwu. Lihat, selain Ki Waruju dan Ki Sanggarana, orang-orang Talang Amba pun sama sekali tidak gentar melihat pasukanmu yang datang dengan segelar sepapan. Apa artinya pasukan pengawal Gagelang menghadapi orang-orang Talang Amba yang benar-benar sudah siap seperti sekarang ini? Apa kau kira orang-orang Talang Amba tidak mampu bermain-main dengan senjata. Jika mereka semula melontarkan anak panah dengan sikap yang nampaknya gelisah, sebenarnyalah orang-orang Talang Amba memang ingin bermain-main dengan para pengawal dari Gagelang”
Wajah Akuwu menjadi tegang. Namun diluar sadarnya, iapun telah memperhatikan pertempuran yang terjadi di sekitarnya. Ternyata Akuwu memang harus melihat kenyataan, bahwa orang-orang yang disangkanya orang-orang Talang Amba karena mereka pun berpakaian seperti orang-orang Talang Amba, telah memberikan perlawanan yang seimbang. Bahkan karena jumlah mereka yang cukup banyak, agaknya orang-orang Talang Amba itu akan mampu bertahan dan bahkan mendesak lawannya.
Dalam pada itu, terdengar Mahisa Bungalan berkata, “Nah, bukankah kau menghadapi satu kenyataan yang lain sekali dengan gambaranmu sebelumnya?”
Demikianlah, ternyata orang-orang Gagelang telah menjumpai satu keadaan yang sama sekali tidak mereka duga sebelumnya. Di satu pihak, sebagian dari pasukan Gagelang telah terpecah. Beberapa orang Senapati telah berkhianat, karena mereka tidak mau mendukung niat Akuwu yang justru bertentangan dengan tugas yang seharusnya dipikulnya. Sementara dipihak lain, pasukan Gagelang telah membentur kekuatan Talang Amba yang jauh lebih besar dari dugaan mereka.
Orang-orang Talang Amba itu bukan saja berhasil menahan serangan orang-orang Gagelang, tetapi mereka justru berhasil mendesaknya kembali keluar dari padukuhan-padukuhan yang mereka jadikan sasaran. Akuwu Gagelang benar-benar menjadi marah melihat keadaan itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Lawannya, Senapati dari Singasari yang bernama Mahisa Bungalan itu ternyata memang seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, maka Akuwu harus mengerahkan segenap ilmunya untuk menghadapi Senapati muda itu, sementara pasukannya telah mengalami satu kesulitan yang sulit untuk diatasi.
“Gila” geram Akuwu, “ternyata para petugas sandi Gagelang tidak lebih dari monyet-monyet dungu yang tidak mampu menilai keadaan”
Sebenarnyalah pasukan Gagelang memang mengalami kesulitan. Namun dalam pada itu, pasukan Gagelang yang bertugas menghadapi kawan-kawan mereka yang dianggap berkhianat itu mampu mendesak mereka. Betapapun pasukan Gagelang yang melawan kehendak Akuwu itu bertahan, namun jumlah mereka memang lebih kecil dari pasukan yang ditugaskan untuk menumpas mereka.
Dalam keadaan yang demikian, Senapati yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu pun sempat mencemaskan nasib orang-orang Talang Amba. Bahkan Senapati itu menjadi agak menyesal. Karena sikapnya, maka Talang Amba telah berani mengambil langkah kekerasan. Ternyata kekuatan gabungan antara pasukannya dan orang-orang Talang Amba akan sulit untuk mengimbangi kekuatan Gagelang.
“Jika pasukanku berhasil disapu bersih oleh pasukan Gagelang yang dungu itu, maka Talang Amba pun akan mengalami nasib yang sama” berkata Senapati itu di dalam hatinya.
Namun dengan demikian, pasukannya masih tetap bertahan. Meskipun mereka terus terdesak, namun Senapati itu masih menunggu berita tentang Talang Amba. “Jika perlu, maka pasukan ini akan berbuat jauh lebih banyak meskipun akibatnya akan sangat parah” berkata Senapati itu di dalam hatinya.
Namun nampaknya para pengawal yang memisahkan diri itu sama sekali tidak menjadi terlalu cemas akan nasib mereka sendiri, tetapi mereka lebih banyak mencemaskan nasib orang-orang Talang Amba. Jika Akuwu benar-benar kehilangan pengamatan diri, maka orang-orang Talang Amba itu tentu akan dibantainya tanpa ampun.
Namun para pengawal dari Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu tidak mengetahui, bahwa telah hadir sekelompok orang yang tidak diketahui dan langsung berbaur dengan orang-orang Talang Amba itu. Karena itu, ketika beberapa orang diantara para pangawal Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu melihat pasukan Gagelang yang memasuki padukuhan masih saja bertempur pada batas padukuhan, dan bahkan sebagian dari mereka masih saja berada diluar dinding, maka mereka menjadi heran.
“Apa yang telah terjadi di Talang Amba?” bertanya para pengawal itu.
Sebenarnyalah, orang-orang Talang Amba bersama dengan orang-orang yang kurang mereka kenal itu telah berhasil mendesak pasukan Gagelang. Tetapi agaknya orang-orang Gagelang itu memang memiliki tempat yang lebih lapang untuk menghadapi lawan yang mengejutkan. Karena itu, maka sebagian dari mereka memang tidak ingin memasuki padukuhan-padukuhan yang mereka duga semula tidak menyimpan kemampuan yang mengejutkan.
Karena itu, maka orang-orang Gagelang itu justru telah keluar lagi dari padukuhan-padukuhan. Mereka ingin melihat lawan mereka lebih jelas dan mereka pun ingin bertempur di tempat yang terbuka. Karena itu, maka pertempuran pun telah bergeser pula. Orang-orang Talang Amba telah mendesak orang-orang Gagelang keluar dari padukuhan-padukuhan. Bahkan Akuwu pun telah bertempur sambil bergeser surut.
“Kita bertempur di tempat yang lapang” berkata Akuwu kepada Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi iapun mendesak Akuwu keluar regol dan kemudian bertempur di jalan yang mulai memasuki daerah persawahan, sementara para pengawal Gagelang dan orang-orang Talang Amba telah bertempur di sawah-sawah yang nampaknya hijau subur. Tetapi oleh kaki para pengawal yang sedang bertempur itu, maka tanaman pun telah menjadi berserakan.
Keadaan itu benar-benar berpengaruh atas medan pertempuran antara kedua kelompok pengawal Gagelang yang berbeda pendiriannya itu. Ketika mereka melihat pasukan Gagelang telah terdesak keluar, maka telah tumbuh harapan di hati para pengawal yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba, bahwa Talang Amba akan dapat diselamatkan dari ketamakan Akuwu di Gagelang. Namun demikian, mereka sendiri telah terdesak semakin jauh. Beberapa orang di kedua belah pihak telah jatuh menjadi korban.
Wajah Akuwu menjadi tegang. Tetapi ia memang menghadapi kenyataan itu. Orang-orang yang disangkanya orang-orang Talang Amba itu mampu mengimbangi kemampuan para pengawal dari Gagelang. Bahkan kemudian Akuwu itu melihat, bahwa orang-orangnya yang telah berloncatan masuk ke dalam dinding padukuhan telah tertahan dan bahkan perlahan-lahan mereka telah terdesak kembali oleh kekuatan yang tersembunyi di belakang dinding padukuhan itu.
Wajah Akuwu menjadi sangat tegang. Seakan-akan ia telah menghadapi satu mimpi yang sangat buruk tentang pasukannya. Orang-orang Talang Amba yang disangkanya tidak lebih dari petani-petani yang dungu tetapi sombong itu, ternyata memiliki kemampuan yang mengagumkan.
Para pengawal dari Gagelang sendiri pun menjadi heran. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apapun juga. Orang-orang Talang Amba itu menyerang mereka dengan garangnya. Senjata mereka teracu dan terayun-ayun menggetarkan jantung para pengawal Gagelang yang mendapat tempaan dan mempunyai pengalaman yang sangat luas.
Namun bagaimanapun juga, Akuwu di Gagelang itu telah mengambil satu keputusan untuk menghancurkan orang-orang Talang Amba. Itulah sebabnya, maka Akuwu itu pun justru telah menggeram penuh kemarahan. Dengan serta merta, maka Akuwu itu pun telah menyerang Mahisa Bungalan sambil menggeram, “Kubunuh kau lebih dahulu. Kemudian aku pun akan ikut membantai orang-orang Talang Amba yang dungu ini”
Tetapi Mahisa Bungalan telah bersiap. Karena itu, maka dengan tangkasnya ia bergeser menghindari serangan Akuwu itu. Namun kemarahan Akuwu sudah tidak tertahankan lagi. la tidak membiarkan Mahisa Bungalan terlepas. Dengan kecepatan yang tinggi, Akuwu telah meloncat memburunya. Namun Mahisa Bungalan benar-benar telah siap. Dengan loncatan panjang ia menghindari.
Namun demikian kakinya menyentuh tanah, maka Mahisa Bungalan lah yang kemudian meloncat menyerang sambil menjulurkan pedangnya. Akuwu lah yang kemudian terkejut. Ternyata orang yang mengenakan pakaian seorang Senapati Singasari itu memiliki kemampuan bergerak yang sangat tinggi pula.
Sementara Akuwu mulai terlibat ke dalam pertempuran, maka dua orang pengawal yang menyertainya telah bersiap pula. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bersiap menerima keduanya dalam pertempuran itu pula. Mahisa Murti lah yang kebetulan mendapat lawan seorang pengawal yang sebenarnya adalah seorang Pangeran dari Kediri. Keduanya segera telah terlibat ke dalam satu pertempuran yang cepat dan keras.
Namun Mahisa Murti yang memiliki pengalaman yang cukup luas itu pun menjadi gentar karenanya ketika ia dilibat dalam pertempuran yang cepat dan keras. Mahisa Pukat lah yang bertempur melawan pengapit Akuwu yang lain. Pengawal ini tidak terlalu banyak memiliki kelebihan. Karena itu, sejak benturan yang pertama, terasa oleh Mahisa Pukat, bahwa ia tidak akan terlalu banyak mengalami kesulitan.
Dalam pada itu, di padukuhan-padukuhan yang lain pun telah terjadi peristiwa yang serupa. Ketika Senapati, kawan Mahisa Bungalan datang bersama orang-orang yang tidak dikenal oleh orang-orang Talang Amba. Namun langsung menyusup diantara mereka, maka orang-orang Talang Amba itu tidak sempat bertanya terlalu banyak. Lawan mereka telah mulai meloncati dinding padukuhan seperti yang terjadi di pasukan induk orang-orang Talang Amba.
Namun demikian orang-orang itu meloncat masuk, maka mereka telah diterima dengan senjata telanjang oleh orang-orang yang datang dan langsung berada diantara orang-orang Talang Amba itu, sehingga pasukan Gagelang menjadi sangat terkejut karenanya.
Ketika Ki Waruju bertanya kepada orang yang mengenakan pakaian Senapati dan datang bersama Mahisa Bungalan di padukuhan Talang Amba itu, maka Senapati itu pun menjawab, “Ceritanya agak panjang Ki Waruju. Kita harus mengusir orang-orang Gagelang itu dahulu. Baru kita akan berbicara tentang diri kita”
Ki Waruju tidak bertanya lagi. Bersama seorang murid Ki Sarpa Kuning itu pun terjun ke arena pertempuran yang menjadi semakin seru. Orang-orang Gagelang yang tidak menduga akan mengalami benturan yang sangat keras itu, menjadi bukan saja heran, tetapi cemas.
Di padukuhan yang lain, Ki Sanggarana dan Ki Sendawa pun tidak sempat berbincang terlalu banyak. Namun mereka pun harus segera turun ke arena. Namun oleh orang-orang yang dibawa Senapati kawan Mahisa Bungalan, orang-orang Gagelang telah tertahan. Dan bahkan perlahan-lahan mulai terdesak keluar dari padukuhan itu.
Dalam pada itu, orang-orang Talang Amba sendiri, menjadi semakin berbesar hati. Mereka menjadi semakin berani. Diantara orang-orang yang berilmu perang, maka orang-orang Talang Amba itu pun merasa, seakan-akan mereka pun memiliki kemampuan seperti orang-orang yang datang membantu mereka itu.
Sebenarnyalah orang-orang Gagelang akhirnya tidak mampu lagi bertahan terhadap orang-orang Talang Amba yang bertempur diantara orang-orang yang tidak mereka kenal. Meskipun orang-orang Talang Amba sendiri tidak memiliki ilmu perang yang memadai, namun mereka dapat bertempur berpasangan atau bahkan bersama orang-orang yang memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi orang-orang Gagelang itu.
Namun setiap kali terdengar orang-orang Talang Amba dan orang-orang yang tidak dikenal yang berpihak kepada mereka bersorak, maka para pengawal dari Gagelang menggeretakkan giginya oleh kemarahan yang memuncak.
Dalam pada itu, para pengawal yang bertempur di padukuhan sebelah menyebelah dari pasukan induk yang bertempur dengan serunya, semakin lama telah semakin berhasil mendesak lawan mereka. Semakin lama justru menjadi semakin jauh dari padukuhan ke tengah-tengah persawahan yang luas.
Tetapi beberapa orang yang ada di padukuhan Talang Amba berhasil mendesak lawannya itu telah melihat, bahwa pasukan Gagelang yang berpihak kepada mereka justru telah terdesak. Bahkan keadaan mereka semakin lama menjadi semakin gawat, karena lawan mereka jumlahnya lebih banyak sementara kemampuan mereka seimbang.
Karena itu, maka dengan isyarat. Senapati, kawan Mahisa Bungalan telah memberikan perintah, agar sebagian kecil dari mereka yang datang menyusup diantara orang-orang Talang Amba itu dapat memisahkan diri, membantu orang-orang Gagelang yang mengalami kesulitan.
“Ingat, mereka memakai tanda-tanda di tubuh mereka. Janur kuning atau warna kuning lainnya” berkata Senapati itu.
Sejenak kemudian, maka dengan pemisahan yang rapi, dilandasi dengan pengalaman yang mapan, maka pasukan Talang Amba itu telah terbagi. Sebagian kecil dari mereka segera memisahkan diri dari medan, langsung berlari lari menuju ke medan pertempuran antara kedua belahan pasukan Gagelang yang sedang bertempur itu.
Sikap orang-orang Talang Amba benar-benar mengherankan bagi orang-orang Gagelang. Sikap itu bukan sikap orang-orang padukuhan yang tidak biasa berlatih olah peperangan. Tetapi sikap itu adalah sikap satu pasukan yang telah terlatih dengan matang.
Kehadiran orang-orang yang mengenakan pakaian petani biasa mendekati arena pertempuran antara kedua pasukan orang Gagelang itu benar-benar mendebarkan. Orang-orang yang bertempur terpisah itu tidak melihat bagaimana orang-orang yang disangka orang Talang Amba itu bertempur. Merekapun tidak melihat bagaimana mereka memisahkan diri dengan tertib dan bagaimana mereka mampu mengimbangi kemampuan orang-orang Gagelang.
Karena kehadiran mereka, justru membuat orang Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba menjadi berdebar-debar, sementara orang-orang Gagelang yang setia kepada Akuwu tidak terlalu banyak menaruh perhatian alas kedatangan mereka yang jumlahnya tidak terlalu banyak meskipun dari padukuhan yang sebelah lain juga terjadi hal yang serupa.
Tetapi adalah satu kenyataan bahwa orang-orang Talang Amba di padukuhan itu berhasil mengusir orang-orang Gagelang berkata orang-orang Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba.
Sementara itu, maka orang-orang yang disangka orang-orang Talang Amba itu sudah menjadi semakin dekat. Sementara pertempuran antara orang-orang Gagelang itu pun menjadi semakin sengit. Orang-orang yang setia kepada Akuwu telah mendesak lawannya semakin jauh dan korban pun menjadi semakin banyak berjatuhan. Namun orang-orang Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu sama sekali tidak berniat meninggalkan medan. Jika demikian, maka yang akan mengalami nasib yang sangat buruk adalah orang-orang Talang Amba sendiri.
Namun sejenak kemudian, orang-orang Gagelang dari kedua belah pihak yang bertempur itu terkejut bukan buatan. Ketika orang-orang yang disangka orang-orang Talang Amba itu mencapai medan, maka mereka langsung menunjukkan, bahwa kemampuan mereka tidak berada di bawah kemampuan pasukan pengawal Gagelang yang manapun juga. Karena itu, maka kehadiran mereka, benar-benar telah merubah keseimbangan antara kedua pasukan Gagelang yang bertempur itu.
“Ternyata mereka adalah anak-anak iblis” geram orang-orang Gagelang.
Sebenarnyalah orang-orang yang mengenakan pakaian petani sebagaimana orang-orang Talang Amba itu telah menunjukkan kemampuan mereka yang menggetarkan. Orang-orang Gagelang yang harus menghadapi mereka, benar-benar tidak dapat mengerti, bagaimana mungkin orang-orang Talang Amba memiliki ilmu pedang yang cukup dan kuat. Dalam benturan-benturan yang terjadi maka ternyata bahwa orang-orang yang mengenakan pakaian petani itu mampu mengimbangi kemampuan orang-orang Gagelang.
Karena itu maka diluar sadar, maka orang-orang Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu telah bersorak ketika pada benturan pertama, orang-orang yang disangkanya orang Talang Amba itu mampu mendesak orang-orang Gagelang.
“Gila. Apa yang sebenarnya terjadi?” bertanya Senapati yang memimpin orang-orang Gagelang yang setia kepada Akuwu itu, “Bukankah mereka orang-orang Talang Amba yang tidak berarti apa-apa bagi kalian. Kenapa kalian tiba-tiba saja telah terdesak?”
Para pengawal tidak menjawab. Mereka mencoba mengerahkan kemampuan mereka. Mereka berusaha untuk tetap menganggap orang-orang yang datang itu adalah orang-orang yang tidak berarti apa-apa bagi mereka, sehingga dengan demikian, maka mereka akan dengan mudah dapat dihancurkan. Tetapi kenyataannya tetap berbeda dari yang mereka kehendaki. Ketika orang-orang Gagelang itu memaksa diri untuk mendesak, maka korban pun mulai jatuh diantara mereka.
Para pengawal dari Gagelang itu mengumpat-umpat. Tetapi kawan mereka yang telah terbaring di tanah merupakan satu kenyataan, bahwa lawan mereka memang memiliki kemampuan yang mampu mengimbangi kemampuan mereka. Demikianlah, maka pertempuran itu pun telah menjadi semakin sengit. Ternyata bahwa orang-orang Gagelang yang setia kepada Akuwu tidak dapat mengingkari satu kenyataan. Orang-orang yang mereka sangka orang-orang Talang Amba itu memiliki ilmu yang dapat mengimbangi ilmu para pengawal.
“Satu keajaiban” desis seorang Senapati Gagelang., “Tetapi adalah satu kenyataan, bahwa orang-orang Talang Amba itu benar-benar mampu mendesak para pengawal di Gagelang”
“Hampir tidak mungkin” berkata Senapati itu "pengawal Gagelang memiliki masa latihan yang berat. Sedangkan orang-orang Talang Amba tidak lebih dari petani-petani yang setiap harinya memegang cangkul dan bekerja di sawah."
Namun pertempuran itu masih berlangsung dengan sengitnya. Orang-orang yang disangka orang-orang Talang Amba itu telah merampas sebagian perhatian dari para pengawal dari Gagelang yang setia kepada Akuwu. Sementara itu, para pengawal yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba pun tidak kalah herannya menghadapi kenyataan itu. Orang-orang dalam pakaian petani yang sederhana itu bertempur dengan tangkasnya Bukan saja cara mereka mempermainkan senjata, tetapi cara mereka menyerang dalam kesatuan yang utuh dan mapan
Tetapi para pengawal yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu tidak berpikir lebih rumit lagi. Mereka masih harus menghadapi lawan yang memiliki kemampuan yang seimbang dengan mereka. Dengan demikian maka pertempuran diantara orang-orang Gagelang itu telah berubah keseimbangannya karena kehadiran orang-orang yang mereka sangka orang-orang Talang Amba. Sebagian dari orang-orang Gagelang yang setia kepada Akuwu itu telah bertempur menghadapi mereka, sementara yang lain masih tetap menghadapi pecahan dari pasukan Gagelang sendiri.
Dalam pada itu, di induk pasukan Akuwu Gagelang masih bertempur menghadapi Mahisa Bungalan. Ternyata Senapati muda dari Singasari itu memiliki bekal ilmu yang tinggi, Akuwu yang merasa dirinya orang terkuat di Gagelang, dan bahkan Akuwu Gagelang yang merasa dirinya tidak kalah dengan Senapati Singasari yang manapun juga. harus mengakui, bahwa ia benar-benar telah dihadapi oleh salah seorang dari Senapati di Singasari itu.
Sementara di bagian lain. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bertempur dengan lawannya masing-masing. Dengan demikian, maka pertempuran yang menebar sampai ke padukuhan sebelah menyebelah itu berlangsung semakin sengit. Kekuatan orang-orang Talang Amba benar-benar tidak masuk di akal orang-orang Gagelang. Namun bagi mereka hal itu adalah satu kenyataan.
Satu demi satu korban pun berjatuhan di kedua belah pihak. Namun ternyata bahwa orang-orang Gagelang telah menjadi semakin terdesak. Orang-orang Gagelang yang sama sekali tidak menduga bahwa mereka akan menghadapi lawan yang tangguh, benar-benar telah merasa terpukul. Demikian pula Pangeran dari Kediri yang ada diantara orang-orang Gagelang. Iapun sama sekali tidak menduga, bahwa hal yang tidak masuk akal itu akan terjadi.
Namun justru karena itu, Akuwu Gagelang memang tidak mempunyai pilihan lain. Jika ia tidak berhasil memenangkan pertempuran itu, maka hal itu berarti bahwa ia akan jatuh ke tangan Senapati dari Singasari. Ia akan dapat berbicara tentang keadaan di Talang Amba dan rencana untuk menebang hutan di lereng Gunung, sebagaimana sebelumnya pernah direncanakan oleh Ki Sarpa Kuning. Karena itu, maka Akuwu itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali bertempur dengan sepenuh kekuatan yang ada pada pasukannya, la harus dapat menghancurkan lawannya dan membunuh para Senapati dari Singasari itu.
Dengan demikian, maka Akuwu sendiri telah berusaha untuk bertempur dengan segenap kemampuannya. Dengan seluruh ilmu yang ada di dalam dirinya. Kemampuannya bertempur dan ilmu pedangnya yang nggegirisi merupakan kekuatan utamanya untuk menghadapi Mahisa Bungalan. Namun kekuatan cadangan yang ada di dalam diri Akuwu itu pun merupakan kekuatan yang menggetarkan.
Namun Mahisa Bungalan adalah seorang Senapati muda yang tangguh tanggon. Senapati muda yang memiliki bekal yang kuat untuk menghadapi Akuwu dari Gagelang. Senopati yang di masa sebelumnya telah menempa diri sebagai pengembara yang menyadap pengalaman yang tidak ada taranya.
Karena itulah, maka Akuwu tidak segera dapat menguasai lawannya. Mahisa Bungalan dalam beberapa hal justru menunjukkan kelebihannya. Mahisa Bungalan mempunyai daya tahan diluar nalar Akuwu Gagelang. Meskipun Akuwu memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan namun ternyata bahwa Mahisa Bungalan masih mampu mengimbanginya. Meskipun Mahisa Bungalan tidak terlalu banyak bergerak sebagaimana dilakukan oleh Akuwu yang tangkas trengginas itu, namun setiap kali kaki Mahisa Bungalan bergeser, ia sudah siap menghadapi serangan Akuwu Gagelang yang bagaimanapun juga cepatnya.
Namun yang nampak paling sulit diantara pasukan Gagelang adalah pasukan Gagelang yang setia kepada Akuwu yang harus menghadapi kawan-kawan mereka sendiri. Jika semula mereka berhasil mendesak dan bahkan siap untuk menguasai lawannya, namun ternyata mereka teluh mengalami satu kesulitan yang tidak akan dapat mereka atasi. Korban diantara mereka pun semakin lama menjadi semakin banyak. Bukan saja karena kawan-kawan mereka sendiri, namun juga karena orang-orang dalam pakaian petani yang sederhana yang mereka sangka orang-orang Talang Amba.
Tetapi, agaknya bukan saja pasukan Gagelang yang menghadapi kawan-kawan mereka sendiri itulah yang mengalami kesulitan. Semua pasukan Gagelang di arena pertempuran itu mengalami kesulitan. Orang-orang Talang Amba sendiri yang merasa mempunyai kawan yang bukan saja mampu mengimbangi kemampuan lawan, namun juga dapat melindungi mereka, menjadi semakin berani. Ada juga satu dua diantara mereka yang terluka. Tetapi kawan-kawannya tidak menjadi gentar, karena mereka melihat keadaan lawan yang jauh lebih parah dari keadaan orang-orang Talang Amba.
Namun demikian, kadang-kadang orang-orang Talang Amba memang dapat menjadi sasaran orang-orang Gagelang yang ingin menumpahkan kemarahan mereka. Tetapi orang-orang Gagelang tidak mampu memiliki diantara lawan-lawannya, karena ujud lahiriahnya tidak jauh berbeda.
Demikianlah, di semua arena, orang-orang Gagelang telah terdesak. Mereka bergeser semakin jauh dari padukuhan. Bahkan mereka pun menjadi semakin gelisah, ketika mereka melihat kawan-kawan mereka yang terpisah, yang harus berhadapan dengan pecahan pasukan Gagelang sendiri, juga mengalami kesulitan setelah beberapa kelompok orang-orang yang disangka orang-orang Talang Amba itu datang membantu.
Karena itulah, maka pasukan Gagelang yang setia kepada Akuwu dan yang harus menghadapi pecahan pasukannya sendiri serta orang-orang yang mereka sangka orang-orang Talang Amba itu akhirnya tidak berpengharapan lagi. Mereka tidak lagi mempunyai harapan untuk dapat melepaskan diri dari keadaan yang paling pahit dari seorang prajurit.
“Orang-orang Talang Amba benar-benar memiliki kemampuan diluar dugaan” berkata Senapati yang memimpin pasukan Gagelang yang setia. Bahkan iapun tidak dapat mengingkari satu kenyataan, bahwa orang-orang yang disangkanya orang-orang Talang Amba itu memiliki kelebihan dari pasukannya. Secara pribadi, orang-orang dalam pakaian petani itu mempunyai kemampuan yang lebih baik dari orang-orangnya.
“Seandainya mereka terhimpun dalam satu pasukan yang tertib maka kekuatan orang-orang Talang Amba benar-benar nggegirisi” gumam Senapati itu.
Meskipun demikian, sebagai seorang prajurit Senapati itu bertempur terus. Ia tidak akan meninggalkan kewajibannya. Apapun yang terjadi. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja salah seorang diantara para petani itu telah berteriak, “He, orang-orang Gagelang. Masih ada satu kesempatan bagi kalian. Menyerah”
Darah Senapati yang memimpin orang-orang Gagelang itu justru bagaikan mendidih. Bagaimana mungkin pasukan Pakuwon Gagelang harus menyerah kepada pasukan Kabuyutan Talang Amba yang kecil dan lemah.. Tetapi aku menghadapi kenyataan yang lain berkata Senapati itu namun demikian, ia sama sekali tidak bermimpi untuk menyerah kepada orang-orang Talang Amba. Jika terjadi demikian, maka para pengawal Gagelang itu tentu akan menjadi pangewan-pengewan. Pengawal dari sebuah Pakuwon yang selama ini dibanggakan harus menyerah kepada petani-petani yang tidak terbiasa mempergunakan senjata.
Karena itu, maka Senapati itu pun justru bertempur semakin sengit. Dikerahkannya segenap kemampuannya untuk melawan orang-orang yang mengenakan pakaian petani yang sederhana itu bersama dengan pasukannya. Namun dalam pada itu, sesuatu telah terjadi Senapati itu terkejut ketika ia dapat mengenali salah seorang dari para petani yang dihadapinya. Seorang yang pernah dikenalnya. Bukan sebagai petani di Talang Amba, tetapi sebagaimana dirinya sendiri, seorang prajurit. Bukan dari Gagelang, tetapi dari Singasari.
Untuk sesaat Senapati itu berusaha mengenali dengan sebaik-baiknya. Namun akhirnya ia memastikan bahwa orang itu adalah orang yang dikenalnya dengan baik. Karena itu, maka dengan ragu-ragu ia menyapa, “Apakah aku berhadapan dengan orang-orang Talang Amba?”
Hampir berbareng beberapa orang berkata, “Ya. Karena itu menyerahlah”
Senapati itu meloncat menghindar ketika ujung sebuah tombak menggapainya. Namun ia masih sempat berkata, “Sinduwata. Engkaukah itu?”
Orang yang dapat dikenali oleh Senapati itu tersenyum. Katanya, “Ketika aku melihatmu di medan, aku dengan sengaja mendekatimu. Aku memang Sinduwata”
“Jika demikian, kau bukan orang Talang Amba” berkata Senapati itu.
“Aku memang orang Talang Amba meskipun aku sudah lama meninggalkan padukuhanku” jawab orang yang dikenalinya itu.
“Bohong” desis Senapati itu.
“Ya. Aku memang berbohong. Jika demikian kau kenal aku. Dan kau pun tentu mengetahui apa yang telah terjadi seluruhnya di Talang Amba ini” jawab orang yang disebut Sinduwata.
Senapati itu meloncat surut. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berteriak nyaring, “apakah aku berhadapan dengan pasukan dari Singasari?”
Orang-orang dalam pakaian petani itu termangu-mangu. Sementara itu Sinduwata pun menyahut, “Menyerahlah. Kau tidak mempunyai pilihan lain. Aku menaruh hormat kepada kawan-kawanmu yang dapat melihat kenyataan dan kemudian berpihak kepada orang-orang Talang Amba”
“Mereka telah berkhianat” jawab Senapati itu.
“Renungkan. Mereka atau kau yang telah berkhianat, termasuk Akuwu dari Gagelang itu sendiri” berkata Sinduwata.
Senapati itu termangu-mangu. Namun dalam keadaan yang demikian tiba-tiba sebuah lembing telah meluncur ke dadanya. Senapati itu terkejut. Tetapi ia sudah tidak sempat lagi mengelak. Satu-satunya cara yang dapat dilakukannya adalah menangkis lontaran lembing itu dengan pedangnya. Tetapi satu kemungkinan yang sangat buruk dapat terjadi. Jika ia salah hitung sekejap saja, maka ujung lembing itu akan sempat mematuk dadanya. Namun yang terjadi adalah lain, Sinduwata masih sempat meloncat menyambar lembing itu dengan pedangnya, sehingga lembing itu meluncur ke arah samping.
Senapati itu terkejut. Namun ia masih sempat bertanya, “Kenapa kau selamatkan nyawaku?”
“Aku ingin kau menyerah” jawab orang yang disebut Sinduwata.
“Aku tidak akan menyerah kepada orang-orang Talang Amba” jawab Senapati itu, “barangkali kematian adalah jalan yang lebih pantas bagi seorang prajurit daripada menyerah kepada orang-orang Talang Amba. Kami adalah pengawal sebuah Pakuwon yang selama ini berbangga atas kekuatannya. Apakah pantas jika kami harus menyerah kepada orang-orang Kabuyutan yang lebih banyak bekerja di sawah daripada berolah senjata”
“Kau mengenal aku?” bertanya Sinduwata.
“Ya. Kau adalah seorang prajurit Singasari” jawab Senapati itu.
“Dan kau mempunyai ketajaman penglihatan atas lawan yang Kau hadapi?” bertanya Sinduwata pula.
“Sudah aku sebut tadi, apakah kalian prajurit dari Singasari?” Senapati itulah yang bertanya.
“Ya” jawab Sinduwata, “kami adalah prajurit-prajurit Singasari yang ingin mengetahui apakah yang telah terjadi sebenarnya di Talang Amba”
“Apakah orang yang mengenakan pakaian Senapati Singasari yang tiga orang itu benar-benar prajurit Singasari?” bertanya Senapati itu.
“Ya” jawab Sinduwata, “Mereka adalah Senapati-senapati prajurit Singasari. Nah, sekarang kau akan dapat memilih. Kau akan berpihak kepada Singasari atau kau akan tetap berkhianat seperti yang dilakukan oleh Akuwu di Gagelang”
Senapati itu termangu-mangu. Sementara itu Sinduwata mendesaknya, “cepat. Ambil keputusan. Menyerah atau seluruh pasukanmu akan aku hancurkan
Senapati itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Tetapi yang ternyata dihadapinya adalah bukan orang-orang Talang Amba. Karena itu, maka ia masih juga mempertimbangkan, apakah ia akan menyerah. Jika benar yang dihadapinya adalah prajurit Singasari, maka bukannya sesuatu yang hina jika ia menyerah kepada mereka.
Namun Senapati itu tidak mempunyai waktu terlalu lama. Pertempuran yang terjadi di sekitarnya menjadi semakin sengit. Pasukan Gagelang terdesak semakin parah, sementara pecahan pasukan Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba menjadi semakin garang, karena mereka mendapat kesempatan untuk menekan lawannya yang semula hampir saja membinasakan mereka. Dalam keadaan yang demikian, maka Senapati yang memimpin pasukan Gagelang itu tidak mempunyai pilihan lain. Tiba-tiba saja ia meneriakkan aba-aba untuk meletakkan senjata.
“Kita berhadapan dengan prajurit-prajurit Singasari yang menyamar” teriak Senapati itu, “Karena itu, mereka sebenarnya membawa kuasa Sri Maharaja di Singasari sebagaimana dikatakan oleh tiga orang Senapati dari Singasari itu."
Teriakan itu semula memang agak meragukan. Namun sekali lagi Senapati itu meyakinkan, “Tidak ada pasukan yang memiliki kemampuan tempur sebagaimana yang kita hadapi. Mereka bukan orang-orang Talang Amba. Tetapi mereka adalah prajurit-prajurit Singasari. Dengan demikian kita akan menyerah kepada Singasari. Tidak kepada Talang Amba”
Para pengawal di Gagelang itu mulai berpikir tentang orang-orang yang mereka hadapi. Mereka memang sudah diragukan sejak benturan senjata terjadi diantara mereka terhadap orang-orang dalam pakaian petani sebagaimana orang-orang Talang Amba.
Namun dalam pada itu, orang-orang Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba masih saja bertempur dengan serunya, sehingga sekelompok orang-orang dalam pakaian petani telah mendapat perintah dari Sinduwata untuk membuat hubungan dengan mereka dan memerintahkan menghentikan pertempuran karena pasukan Gagelang yang setia kepada Akuwu telah menyerah.
“Atas nama kuasa Sri Maharaja Singasari” Sinduwata menegaskan.
Ternyata Senapati yang memimpin pasukan Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu pun kemudian dapat mengerti atas penjelasan yang diberikan oleh orang-orang yang mengenakan pakaian petani yang sederhana itu. Karena sebenarnyalah mereka memiliki terlalu banyak kelebihan dari para petani kebanyakan.
“Jadi kalian adalah prajurit-prajurit Singasari?” bertanya Senapati yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba.
“Ya” jawab prajurit Singasari itu, “keadaan ini telah diperhitungkan oleh para pemimpin keprajuritan di Singasari, sehingga mereka memutuskan untuk mengutus beberapa Senapati dan prajurit secukupnya untuk membayangi Kabuyutan Talang Amba. Ternyata kami diperlukan disini”
Dengan demikian maka pasukan Gagelang yang terpisah dan yang semula harus menghadapi pecahan dari pasukan itu sendiri adalah pasukan yang pertama kali menyerah. Mereka telah meletakkan senjata mereka dan menghentikan perlawanan. Pertempuran antara pengawal Gagelang yang terbelah itu telah terhenti. Pasukan pengawal yang semula setia kepada Akuwu itu pun telah menyerah. Sementara senjata mereka di kumpulkan maka Sinduwata telah memberikan beberapa penjelasan kepada pasukan Gagelang itu.
Dengan demikian, jelas bagi kalian, bahwa Akuwu Gagelang yang telah melawan kekuasaan Singasari. la mempergunakan kesempatan yang timbul saat-saat di Gagelang terjadi perebutan kekuasaan antara paman dan kemanakan. Namun yang diakhiri dengan sikap yang terpuji dari kedua belah pihak. Bahkan Talang Amba telah berhasil membunuh orang yang telah meracuni Ki Sendawa, karena ia menginginkan imbalan yang terlalu mahal. Hutan di lereng pegunungan.
Sementara itu, sepeninggal Ki Sarpa Kuning, maka Akuwu telah mengambil alih tugasnya. Dengan memberikan keterangan yang sesat kepada orang-orangnya, maka Akuwu berhasil membawa mereka untuk memerangi orang-orang Talang Amba. Namun untunglah bahwa kesiagaan para prajurit Singasari telah berhasil mengatasi keadaan.
Dalam pada itu, Akuwu di Gagelang masih bertempur dengan serunya. Ketika ia mengetahui, bahwa pertempuran antara pasukannya yang terbelah itu sudah selesai, dan bahkan pasukan yang setia kepadanyalah yang harus menyerah, maka Akuwu itu mengumpat dengan kasarnya. Sementara itu, kedua orang pengawal pangapitnya telah bertempur pula semakin garang, betapapun hati mereka menjadi gelisah.
Kekalahan pasukan yang setia kepada Akuwu itu berpengaruh atas ketahanan jiwani pasukannya yang tersebar di padukuhan-padukuhan sebelah menyebelah. Dengan demikian, maka mereka pun segera merasa kecil menghadapi orang-orang Talang Amba.
Namun Senapati yang memimpin mereka masih sempat menyalakan api di dalam dada para pengawalnya, “Kekalahan mereka bukan oleh orang-orang Talang Amba. Tetapi para pengawal yang telah berkhianat itu telah bertempur dengan gila. Mereka berhasil mempengaruhi lebih banyak lagi pengawal-pengawal yang hatinya sempit sesempit otak mereka. Karena itu, kita harus dengan cepat menghancurkan orang-orang Talang Amba. Kemudian kita akan menghancurkan pengkhianat-pengkhianat itu. Hukuman bagi mereka akan jauh lebih berat dari hukuman atas orang-orang Talang Amba sendiri. Para Senapati yang berkhianat itu akan dihukum picis di alun-alun Gagelang”
Teriakan itu sempat membangkitkan nyala sekejap di hati para pengawal. Namun kemudian kembali mereka menghadapi satu kenyataan. Orang-orang Talang Amba telah bertempur dengan kemampuan yang sangat tinggi. Namun sekali-sekali, para pengawal itu berkesempatan untuk bertemu dengan orang-orang Talang Amba yang sebenarnya. Namun setiap kali pedang mereka siap menebas leher, tiba-tiba saja datang orang yang lain. Juga dalam pakaian petani yang sederhana seperti orang yang sedang dihadapinya. Namun orang yang datang kemudian itu ternyata memiliki ilmu yang jauh lebih baik dari orang-orang yang hampir saja diselesaikannya. Bahkan lebih baik dari dirinya sendiri
Meskipun demikian, ada juga orang-orang Talang Amba yang terpaksa menjadi korban. Betapapun juga mereka berada diantara orang-orang berilmu, namun sekali-sekali ada juga pedang yang menyusup diantara mereka dan mematuk korbannya. Namun sebenarnyalah bahwa orang-orang Gagelang sudah tidak mempunyai harapan lagi. Tetapi karena Akuwu di Gagelang masih juga bertempur, maka mereka pun berusaha untuk tetap mempertahankan dirinya.
Dalam pada itu, Akuwu masih bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Ia memang tidak mempunyai kesempatan lagi. Segala perbuatannya sudah diketahui dan dimengerti oleh para Senapati di Singasari. Karena itu, apapun yang dilakukannya kemudian, ia tentu akan diharapkan pada suatu pengadilan.
“Aku akan dihukum” berkata Akuwu di dalam hatinya, “mungkin hukuman gantung karena pengkhianatan ini. Agaknya lebih baik bagiku untuk mati di medan perang ini daripada mati sebagai tontonan orang-orang Singasari”
Karena itu, maka Akuwu Gagelang itu justru bertempur semakin garang. Ia tidak menghiraukan apa yang terjadi di sekitarnya. Ia tidak mau melihat, bahwa orang-orangnya mengalami kesulitan. Semakin lama, maka korban pun semakin banyak berjatuhan.
Tetapi pendirian Akuwu sudah jelas. Lebih baik mati daripada menjadi pangewan-pangewan. Dan pendirian itu pun agaknya terdapat pula diantara para Senapati dan pengawalnya. Apalagi mereka yang mengikuti Akuwu dengan sadar, dan tahu dengan pasti apa yang telah terjadi di Talang Amba.
Namun sebenarnyalah bahwa Akuwu pun masih mempunyai harapan untuk mati bersama lawannya. Akuwu terlalu yakin akan dirinya sendiri dan kemampuan ilmunya. Karena itu, maka iapun bertempur semakin dahsyat. Senjatanya terayun-ayun menggetarkan. Bahkan kilatan cahaya yang terpantul dari helai pedangnya, bagaikan gumpalan awan yang bercahaya mengitari tubuhnya.
Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar juga melihat kemampuan ilmu pedang lawannya. Namun sebagai seorang Senapati yang memiliki pengalaman pengembaraan yang luas. maka iapun masih sempat juga melihat lubang-lubang kecil diantara gumpalan awan yang menyilaukan itu. Dengan kemampuannya bergerak secepat sikatan menyambar bilahan, maka Mahisa Bungalan itu sekali-sekali justru telah menjulurkan pedangnya. Menyusup diantara gumpalan awan putaran pedang lawannya. Tetapi Akuwu pun cukup tangkas, sehingga dengan demikian maka pertempuran antara Mahisa Bungalan dan Akuwu Gagelang itu pun berlangsung dengan dahsyatnya.
Namun dalam pada itu, dalam hiruk pikuk pertempuran, maka Mahisa Murti telah berusaha dengan segenap kemampuannya untuk menguasai lawannya. Tetapi adalah diluar dugaan, bahwa pengawal itu telah berusaha bertempur tidak saja seorang melawan seorang, tetapi justru berusaha menyusup dalam kesibukan benturan senjata diantara para pengawal Gagelang dan orang-orang Talang Amba.
Mahisa Murti semula tidak mengerti maksud lawannya. Namun ketika tiba-tiba saja, lawannya bergeser menjauh, barulah Mahisa Murti sadar, bahwa tentu ada maksud tertentu yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Mahisa Murti terkejut ketika tiba-tiba saja pengawal itu telah bergeser di belakang seorang pengawal Gagelang. Bahkan yang mengejutkan Mahisa Murti, dengan serta merta, pengawal Akuwu yang bertempur melawannya itu telah mendorong pengawal Gagelang yang lain ke arah Mahisa Murti.
Pada saat pedang Mahisa Murti terjulur, pengawal yang didorong oleh Mahisa Murti itu hampir saja membenturnya tanpa dapat mempergunakan senjatanya. Seandainya Mahisa Murti bergeser setapak, kemudian menebaskan pedangnya, maka pedang itu akan dapat memenggal leher pengawal itu. Tetapi rasa-rasanya sesuatu telah menahannya, sehingga karena itu, Mahisa Murti hanya bergeser selangkah dan memukul tengkuk orang itu justru dengan tangkai pedangnya. Orang itu memang jatuh terjerembab. Tetapi orang itu tidak mati, meskipun ia menjadi pingsan.
Ternyata sesaat itu dapat dipergunakan oleh lawan Mahisa Murti sebaik-baiknya. Lawannya itu adalah seorang pengawal pengapit Akuwu Gagelang, namun yang sebenarnya adalah seorang Pangeran dari Kediri. Dengan tangkasnya, maka orang itu pun telah menyusup diantara ayunan senjata di medan pertempuran. Semakin lama semakin jauh dari Mahisa Murti, sehingga akhirnya lawannya itu telah hilang ditelan oleh hiruk pikuknya pertempuran itu sendiri.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia pun melihat, bahwa para pengawal Gagelang tidak akan dapat bertahan terlalu lama. Namun bahwa ia telah kehilangan lawannya, maka Mahisa Murti pun menjadi marah. Tetapi ia tidak ingin menumpahkan kemarahannya kepada orang-orang Gagelang yang sudah kehilangan kesempatan. Sebentar lagi mereka akan disapu dari medan jika mereka tidak mau menyerah.
Dengan geram, Mahisa Murti pun kembali ke arena yang dipergunakannya semula. Sementara itu ia masih melihat Mahisa Pukat bertempur dengan serunya, sebagaimana juga Mahisa Bungalan yang bertempur melawan Akuwu dari Gagelang. Untuk sesaat Mahisa Murti hanya berdiam diri. Namun iapun kemudian membantu pula orang-orang Talang Amba melawan para pengawal dari Gagelang yang sudah kehilangan gairah perjuangannya. Hanya karena Akuwu masih bertempur sajalah, mereka juga masih bertempur. Namun diantara mereka ada juga Senapati yang memang memilih mati di medan perang daripada menyerahkan diri kepada orang-orang Talang Amba atau orang Singasari.
Di padukuhan sebelah, Ki Sanggarana dan Ki Sendawa bertempur diantara orang-orang Talang Amba dan orang-orang yang belum dikenalnya yang datang bersama Senapati Singasari yang berada di Talang Amba bersama Mahisa Bungalan. Keduanya masih belum sempat mendapatkan penjelasan tentang orang-orang yang telah melibatkan dirinya bersama orang-orang Talang Amba melawan pasukan Gagelang dan yang ternyata memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi, bahkan melampaui para pengawal dari Gagelang. Dalam benturan-benturan kekerasan, selanjutnya, maka pasukan Gagelang telah menjadi semakin terdesak.
Ketika orang-orang Gagelang itu kemudian mengetahui, bahwa kawan-kawannya yang bertempur terpisah melawan pecahan dari pasukan Gagelang sendiri telah menyerah, maka pasukan Gagelang itu pun menjadi semakin kehilangan gairahnya. Bahkan beberapa orang tidak lagi ingin melawan ketika pasukan mereka menjadi semakin terdesak. Mereka lebih baik memilih bergeser surut menjauhi lawan yang serasa menjadi semakin garang.
Akhirnya Senapati Singasari yang berada di pasukan itu telah berteriak, “Kawan-kawanmu telah menyerah dan kehilangan kemampuan untuk melawan. Karena itu, menyerahlah sebelum terjadi malapetaka yang lebih besar bagi orang-orang Gagelang”
Tidak ada jawaban. Seorang Senapati Gagelang yang memimpin pasukan di arena itu menjadi ragu-ragu. Tetapi ia tidak akan mempunyai kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Bahkan semakin lama keadaannya akan menjadi semakin parah, karena jumlah mereka akan semakin susut.
Sementara itu, di padukuhan yang lain, Ki Waruju pun tidak terlalu banyak berbuat karena orang-orang yang telah membantu pasukan yang sebenarnya tidak memiliki kemampuan yang pantas untuk melawan Gagelang. Tetapi kehadiran orang-orang yang tidak dikenal dan berpihak kepada Talang Amba itu ternyata telah menentukan segala-galanya. Sehingga dengan demikian, Ki Waruju tidak merasa perlu mengerahkan segenap kemampuannya untuk membinasakan lawan-lawannya secepatnya dan sebanyak-banyaknya sebagaimana diperkirakan sebelumnya seandainya ia harus bertempur hanya dengan orang-orang Talang Amba saja.
Sementara itu, seperti di padukuhan yang lain, maka Senapati Singasari yang ada di padukuhan itu pun telah meminta agar pasukan Gagelang menyerah. Tetapi seperti kawannya juga di padukuhan sebelah. Senapati Gagelang itu pun ragu-ragu juga. Namun dalam keragu-raguan itu terdengar Ki Waruju berkata,
“Ki Sanak, Senapati dari Gagelang. Kau tidak akan berbuat apapun juga sekarang ini. Keadaan para pengawal Gagelang sudah semakin parah. Agaknya kalian tidak sempat memperhitungkan apa yang akan kalian hadapi disini. Sebenarnya kalian dapat mengukur kemampuan orang-orang Talang Amba dengan apa yang dapat aku lakukan. Dengan mudah aku dapat keluar dari bilik tahanan. Bahkan tidak hanya hari ini. tetapi selama beberapa hari aku berada di Gagelang. Aku sudah berulang balik kembali ke Talang Amba tanpa kalian ketahui. Nah. sekarang kalian berhadapan langsung dengan orang-orang Talang Amba yang lain, yang mungkin memiliki kelebihan dari aku sendiri”
Senapati itu menjadi semakin ragu. Sementara Senapati dari Singasari itu pun berkata, “Menyerahlah. Aku akan menjamin bahwa kalian akan diperlakukan dengan baik oleh para prajurit Singasari kelak, karena mau tidak mau kalian akan dihadapkan kepada kekuasaan Singasari. Tetapi itu lebih baik daripada kalian akan menjadi tawanan orang-orang Talang Amba dan mendapat hukuman langsung dari mereka. Mungkin kalian akan menjadi pangewan-ewan disini. Tetapi hal itu tidak akan terjadi di Singasari. karena Sri Maharaja di Singasari tentu mengetahui, siapakah yang sebenarnya telah bersalah sekarang ini”
Senapati itu manjadi semakin ragu. Namun ia benar-benar tidak dapat mengingkari kenyataan yang terjadi. Pasukannya benar-benar mengalami kesulitan. Karena itu akhirnya Senapati itu telah mengambil satu keputusan tanpa menghiraukan pasukan Gagelang yang berada di induk pasukan. Apalagi setelah ia mengetahui, bahwa kawan-kawannya yang bertempur melawan belahan pasukan Gagelang sendiri juga telah menyerah.
Sejenak kemudian, maka Senapati itu pun telah meletakkan senjatanya sambil mengisyaratkan bahwa ia telah menyerah. Bahkan kemudian iapun telah memberikan aba-aba untuk meletakkan senjata kepada seluruh pasukannya. Ada beberapa orang yang terkejut mendengar perintah itu. Namun sebagian besar dari mereka dengan serta merta telah melangkah surut sambil meletakkan senjata mereka.
Dalam pada itu. Senapati dari Singasari itu pun kemudian telah memberikan aba-aba juga kepada orang-orang Talang Amba dan orang-orang yang telah membantu mereka, untuk tidak mengambil langkah-langkah sendiri menghadapi pasukan yang telah menyerah itu.
Dengan demikian, maka pertempuran di padukuhan itu pun segera berhenti. Orang-orang Talang Amba telah mengumpulkan senjata lawan-lawan mereka, yang menyerah. Dalam pada itu, di padukuhan yang lain, orang-orang Gagelang telah jauh terdesak. Sehingga akhirnya, mereka pun tidak dapat berbuat lain. Dengan demikian, maka mereka pun telah berbuat sebagaimana dilakukan oleh kawan-kawan mereka. Menyerah.
Hanya di induk pasukan sajalah pertempuran masih berlangsung. Akuwu Gagelang bertempur dengan tangkasnya melawan Mahisa Bungalan. Sementara itu. Mahisa Murti tiba-tiba saja sudah termangu-mangu berdiri memperhatikan pertempuran itu. Mahisa Bungalan yang melihat Mahisa Murti termangu-mangu hampir diluar sadarnya telah bertanya, “Dimana lawanmu?”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya sebagaimana adanya, “Melarikan diri. Ia menghilang di dalam hiruk-pikuk pertempuran. Aku tidak dapat mengejarnya dan kehilangan orang itu”
“Siapa lawanmu he? Seorang dari pengawalku?” tiba-tiba saja Akuwu itu bertanya.
“Ya” jawab Mahisa Murti, lalu, “seorang yang lain masih bertempur melawan Mahisa Pukat”
Diluar sadar, Akuwu Gagelang itu telah melihat ke arah yang ditunjuk oleh Mahisa Murti. Ia melihat seorang pengawalnya masih bertempur. Karena itu, maka iapun. segera menyadari bahwa yang melarikan diri adalah Pangeran dari Kediri itu.
“Licik, pengecut” Akuwu itu menggeram. Namun ia tidak menarik diri dari keputusannya. Lebih baik mati di pertempuran dari pada harus menjadi seorang tawanan yang pada saatnya juga akan digantung di alun-alun. Tetapi Akuwu itu tidak mau mati sendiri. Ia sadar, bahwa yang dilakukan selama ini adalah atas dasar pertimbangan, pendapat dan bahkan sebagian adalah karena bujukan Pangeran dari Kediri itu.
Karena itu, maka sambil memutar pedangnya dan menyerang, maka ia berteriak, “Ketahuilah orang-orang Singasari yang dungu. Orang yang melarikan diri itu bukannya seorang pengawal dari Gagelang. Bukan pula seorang juru taman atau hamba apapun juga di Gagelang. Ia adalah seorang Pangeran dari Kediri. Ia adalah orang yang paling berkepentingan dengan hutan di lereng bukit”
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak sempat berbuat apapun juga, karena Akuwu itu masih saja menyerangnya dengan garang. Namun sejenak kemudian, Mahisa Bungalan mendapat kesempatan untuk berbicara, “Akuwu. Jika demikian, maka kau tidak terlalu berkepentingan dengan pertempuran ini. Sebaiknya kau menghentikan perang yang tidak akan berarti apa-apa bagimu dan bagi Gagelang. Orang yang paling bernafsu untuk menguasai Talang Amba justru karena hutan di lereng gunung itu, sekarang telah pergi”
“Aku tidak peduli. Apakah orang itu sudah pergi atau mati. Tetapi aku tidak ingin menjadi tawanan yang pada saatnya juga akan dihukum mati”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Akuwu itu benar-benar telah kehilangan nalarnya. Ia tidak, lagi mau berpikir. Kegagalan yang dihadapinya membuatnya mata gelap dan bahkan seperti orang yang gila. Karena itu, maka sejenak kemudian Akuwu itu pun kembali mengerahkan kemampuannya untuk membunuh Mahisa Bungalan yang untuk sejenak lebih banyak melindungi dirinya, sementara ia masih berusaha untuk memaksa Akuwu menyerah.
Tetapi Akuwu Gagelang benar-benar sudah tidak mau berpikir lagi selain dibakar oleh satu niat, membunuh atau jika tidak berhasil biarlah ia dibunuh. Namun dalam pada itu, ternyata Mahisa Bungalan sempat berkata kepada orang-orang yang ada di sekitarnya sambil berloncatan menghindari serangan Akuwu, “He, apakah kalian mendengar yang dikatakan oleh Akuwu”
Mahisa Bungalan tidak sempat berbicara lebih banyak. Serangan Akuwu Gagelang melibatnya semakin dahsyat. Senjata Akuwu itu berputaran bagaikan gumpalan awan di seputarnya. Jika gumpalan awan itu menyentuhnya, maka tubuhnya tentu akan terkoyak.
Namun dalam pada itu, ternyata Mahisa Murti cukup cerdas menangkap perkembangan keadaan. Ia mengerti maksud Mahisa Bungalan. Karena itu. maka katanya kemudian kepada orang-orang yang sedang bertempur di sekitarnya, “He. orang-orang Gagelang. Apakah kalian tidak dapat melihat kenyataan di sekitarmu. Lihat, perlawan di kedua sayap pasukanmu sudah dapat dipatahkan. Sementara itu, kawan-kawan kalian yang menyadari apa yang sebenarnya terjadi, telah berhasil menguasai lawannya. Sekarang lihat lah kepada dirimu sendiri Apa yang sedang terjadi dan untuk apa sebenarnya kalian berperang? Kalian tidak akan dapat memenangkan perang ini. Itu sudah pasti. Sebentar lagi orang-orang Talang Amba yang sudah berhasil mengalahkan lawan-lawannya itu akan segera berkumpul kemari. Apakah yang dapat kalian lakukan”
Mahisa Murti menunggu sejenak. Agaknya orang-orang Gagelang yang mendengar suaranya mulai berpikir. Namun Akuwu lah yang berteriak, “Persetan dengan igauanmu. Aku akan membunuh kalian semua”
“Kau mulai bermimpi Akuwu” sahut Mahisa Murti bukankah kau sendiri yang mengatakan, bahwa Pangeran dari Kediri itu sudah melarikan diri dari medan. Sementara itu, kalian yang hanya sekedar menjadi alatnya, masih juga ingin mempertaruhkan nyawa?”
Orang-orang Gagelang memang mulai berpikir Sementara itu keadaan mereka menjadi semakin rapuh. Orang-orang Talang Amba benar-benar sudah menguasai keadaan, sehingga ruang bergerak bagi mereka menjadi semakin sempit. Bahkan orang-orang Talang Amba kemudian bukan saja mendesak orang-orang Gagelang, tetapi mereka mulai mengepung orang-orang Gagelang. Dalam pada itu orang-orang, Gagelang memang mulai menjadi kehilangan ruang gerak. Bahkan semakin lama mereka pun menjadi semakin tertekan.
“Sekali lagi, aku peringatkan” berkata Mahisa Murti, “menyerahlah”
Tekanan orang-orang Talang Amba yang mengepung orang-orang Gagelang telah mempersempit kepungan mereka. Semakin lama semakin sempit. Namun dalam pada itu. Akuwu Gagelang masih saja bertempur tanpa menghiraukan orang-orangnya lagi. Bahkan apapun yang akan mereka lakukan. Akuwu tidak peduli lagi.
Akhirnya orang-orang Gagelang itu pun menyadari, bahwa mereka tidak dapat lagi bertumpu kepada perintah-perintah Akuwu. Bahkan mereka pun kemudian mengerti, apa yang sebenarnya terjadi pada pemimpin mereka. Karena itu, ketika tekanan Mahisa Pukat atas pengawal pengapit Akuwu yang masih juga bertempur dengan sengitnya menjadi semakin berat, maka pengawal itu mulai berpikir untuk mengambil sikap lain. Apalagi ketika kemudian dari tubuhnya lelah menitik darah ketika senjata Mahisa Pukat mengenainya.
“Kau dengar tentang kawanmu yang sebenarnya adalah Pangeran yang melarikan diri itu?” bertanya Mahisa Pukat
Pengawal itu tidak menjawab. Tetapi iapun mengetahui bahwa pengawal yang seorang itu adalah seorang Pangeran dari Kediri, meskipun hanya orang-orang tertentu sajalah yang mengetahuinya. Karena itu, maka iapun kemudian menganggap bahwa pertempuran untuk seterusnya tidak akan banyak bermanfaat bagi Gagelang. Jika Akuwu masih bertempur terus, adalah karena ia melihat tidak ada kesempatan lagi untuk tetap hidup. Menyerah atau mati di peperangan, tidak ada bedanya baginya. Bahkan mati di peperangan agaknya lebih baik bagi Akuwu yang memang seorang prajurit.
Tetapi pengawal itu masih melihat satu kemungkinan untuk hidup meskipun ia akan mengalami hukuman dari Singasari. Tetapi kesalahannya tidak akan seberat kesalahan yang disandang oleh Akuwu di Gagelang. Karena itulah, maka akhirnya pengawal yang menjadi kepercayaan Akuwu dan bahkan memerintah para Senapati itu pun akhirnya telah memilih jalan yang lain dari yang ditempuh oleh Akuwu. Ketika Mahisa Pukat mendesaknya, maka tiba-tiba saja pengawal itu melontarkan senjatanya sambil berkata, “Aku menyerah”
Mahisa Pukat tertegun. Namun kemudian senjata teracu ke dada lawannya sambil berkata, “Perintahkan pasukan Gagelang menyerah”
“Itu wewenang para Senapati” jawab pengawal itu, “aku adalah sekedar pengawal Akuwu”
“Aku tahu, kau mempunyai pengaruh atas para Senapati” desak Mahisa Pukat.
Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Sementara Mahisa Pukat masih berdiri di hadapannya dengan pedang teracu. Tetapi pengawal itu masih tetap ragu-ragu. Katanya, “Mereka mendapat perintah langsung dari Akuwu aku hanya menjadi perantara saja”
“Terserahlah. Jika kau ingin melihat para pengawal Gagelang menjadi banten, sementara kau sudah berhasil menyelematkan diri” berkata Mahisa Pukat Lalu, “Jika demikian, maka aku akan memerintahkan mengikatmu sementara aku akan membunuh sebanyak banyaknya”
Wajah Senopati itu menjadi tegang. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan mencoba mempergunakan pengaruhku untuk memerintahkan mereka menyerah. Tetapi jika suaraku lenyap tanpa pengaruh apapun juga, itu bukan salahku”
“Cobalah” berkata Mahisa Pukat.
Pengawal itu termangu-mangu. Namun akhirnya iapun meneriakkan aba-aba untuk menyerah. Katanya, “Tidak ada peluang lagi bagi kita. Menyerahlah. Dengan demikian maka jumlah korban dapat dikurangi”
Namun yang terdengar adalah jawaban Akuwu, “Pengecut. Jika kau akan menjilat kaki orang Singasari atau orang-orang Talang Amba lakukanlah sendiri”
Wajah pengawal itu menegang. Tetapi hampir diluar sadarnya ia menyahut, “Tidak ada harapan lagi Akuwu”
“Aku akan membunuh semua orang Talang Amba dan Singasari” teriak Akuwu.
“Tetapi jangan mengorbankan para pengawal lebih banyak lagi. Pertempuran selanjutnya akan sia-sia” jawab pengawal itu.
“Bagiku tidak ada bedanya” geram Akuwu, “apapun yang akan terjadi, aku akan mati. Aku lebih baik mati di peperangan daripada di tiang gantungan menjadi tontonan”
“Sikap Akuwu berbeda dengan sikapku” jawab pengawal itu.
Sementara itu. ia masih menyaksikan Akuwu bertempur terus melawan Mahisa Bungalan, meskipun untuk sesaat Mahisa Bungalan lebih banyak melayani Akuwu yang diharapkan akan menyerah itu. Lalu pengawal itu melanjutkan Akuwu. meskipun pada satu saat nanti aku akan digantung dan bahkan menjadi tontonan sekalipun, aku tidak berkeberatan. Tetapi jika dengan demikian beberapa nyawa pengawal yang lain dapat diselamatkan dalam pertempuran ini”
“Omong kosong” teriak Akuwu, “Singasari akan menghukum kita semuanya. Semua pengawal Gagelang akan digantung. Bahkan pengawal yang tidak tahu menahu apa yang sedang mereka lakukan”
“Tetapi setidak-tidaknya kita mengurangi rasa permusuhan. Dan korban-korban dipihak Talang Amba dapat dicegah untuk selanjutnya” jawab pengawal itu.
“Pengecut cengeng” teriak Akuwu yang marah, “kau pun pantas untuk dibunuh”
Pengawal itu tidak menjawab lagi. Sementara itu Akuwu itu pun justru bertempur lebih garang lagi. Namun dalam pada itu, ternyata seorang Senopati dari Gagelang yang mendengar percakapan antara Akuwu dan pengawal khususnya itu dapat mengambil sikap sendiri, ia pun tiba-tiba saja telah memerintahkan para pengawal di dalam kelompoknya untuk menyerah.
“Tidak ada kemungkinan lain” teriak Senopati itu. Karena itulah maka para pengawalnya pun telah bergeser surut serta menundukkan senjata mereka. Sementara orang-orang yang dalam pakaian petani sebagaimana orang-orang Talang Amba itu pun telah berusaha menguasai diri pula.
“Kami menyerah” teriak Senopati itu Ketika Senopati itu meletakkan senjatanya, maka para pengawal yang lain di bawah perintahnya telah menyerah pula.
Ternyata sikap itu telah diikuti oleh beberapa orang Senopati yang lain, sehingga akhirnya pasukan Gagelang yang berada di induk pasukan itu pun lelah menyerah pula.
Dalam pada itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian berkata kepada Akuwu, “Dengar dan lihat. Akuwu yang perkasa. Semua pasukanmu telah menyerah. Apakah kau masih akan bertempur seorang diri melawan seluruh pasukan Talang Amba?”
“Persetan” geram Akuwu, “aku akan membunuh semua orang yang menentang kekuasaanku, atau aku akan mati untuk mempertahankan kekuasaanku”
“Kau sudah kehilangan penalaranmu” sahut Mahisa Bungalan.
“Jika kau takut, pergi dari medan. Aku akan mengampunimu” teriak Akuwu.
Mahisa Bungalan sudah tidak melihat kemungkinan lagi untuk memaksa Akuwu menyerah, Akuwu sudah benar-benar tidak dapat lagi berpikir tentang dirinya dan pasukannya. Bahkan Akuwu sudah cenderung untuk membunuh diri di peperangan itu. Karena itu. maka Mahisa Bungalan pun kemudian memutuskun untuk menghadapi Akuwu itu. Ia tidak akan memerintahkan orang-orangnya untuk bersama sama dan beramai-ramai menangkap atau membunuh Akuwu di Gagelang. Tetapi dalam keadaan yang demikian maka Mahisa Bungalan pun telah memutuskan untuk menghadapinya sendiri. sebagaimana dalam perang tanding.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan itu pun kemudian berkata, “Akuwu. Jika kau memang memilih arena pertempuran ini sebagai gelanggang untuk menentukan nasibmu, maka baiklah aku akan memberimu kesempatan. Marilah kita berhadapan sebagai prajurit. Jika kau bertempur seorang diri. Maka aku pun akan melawanmu seorang, meskipun aku berhak memerintahkan orang orangku untuk beramai-ramai menangkapmu seperti menangkap seorang perampok”
“Gila. Aku adalah Akuwu yang mulia di Gagelang” jawab Akuwu.
“Tetapi sikap dan tingkah lakumu tidak mencerminkan kedudukanmu itu” jawab Mahisa Bungalan.
Wajah Akuwu di Gagelang itu menjadi merah. Kemarahan dan perasaan yang bercampur baur telah membuat dadanya bagaikan mendidih. Dengan suara bergetar oleh gejolak perasaannya, Akuwu itu menjawab, “Kau adalah orang yang paling sombong yang pernah aku lihat. Karena itu, maka kau akan mengalami kematian yang paling pahit dari semua orang yang pernah menempatkan diri sebagai lawanku”
Tetapi Mahisa Bungalan telah benar-benar bersiap menghadapi Akuwu yang seakan-akan telah menjadi putus asa dan berusaha untuk membunuh diri dengan caranya itu. Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka pertempuran antara kedua orang itu pun menjadi semakin dahsyat. Akuwu yang memiliki ilmu yang tinggi dan gejolak perasaan yang menghentak-hentak itu, lelah menyerang Mahisa Bungalan dengan sengitnya. Senjatanya yang berputaran bagaikan gumpalan kabut putih melanda Mahisa Bungalan bagai amuk angin pusaran.
Tetapi, Mahisa Bungalan pun memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi ilmu Akuwu di Gagelang. Justru karena hatinya yang tidak menjadi kabur oleh kemurahan dan perasaan yang baur, maka ia masih dapat berpikir secara bening. Karena itulah, maka perhitungannya masih jauh lebih mapan dari Akuwu yang bagaikan menjadi gila.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdegupan. Ia melihat kegarangan Akuwu di Gagelang dengan ketegangan yang mencengkam.
Sementara itu, setelah menyelesaikan persoalan para pengawal yang menyerah, serta menyerahkannya kepada beberapa orang prajurit Singasari yang ada diantara orang-orang Talang Amba. Maka Ki Waruju, murid Ki Sarpa Kuning, Ki Sendawa dan Ki Sanggarana, serta beberapa orang yang lain, telah berada di induk pasukan Perang tanding antara Akuwu di Gagelang serta Mahisa Bungalan itu benar-benar telah menarik perhatian. Agaknya Mahisa Bungalan telah menempatkan dirinya pada keadaan yang sangat berbahaya itu untuk memenuhi tuntutan sikap jantannya menghadapi Akuwu yang kehilangan akal itu.
Dengan demikian, maka pertempuran itu menjadi semakin cepat. Serangan-serangan Akuwu yang sangat berbahaya datang membadai. Sementara Mahisa Bungalan pun telah bertahan dengan cermatnya. Bahkan kemudian serangan-serangan balasannya pun telah menghentak dan mengejutkan Akuwu yang marah itu.
Sambaran-sambaran senjata Akuwu berdesing di seputar tubuh Mahisa Bungalan yang berloncatan menghindar dan dengan senjatanya menangkis mengimbangi kecepatan serangan Akuwu. Namun sekali-kali ujung pedang Mahisa Bungalan justru berhasil mematuk disela-sela gumpalan putih putaran pedang Akuwu di Gagelang itu.
Sementara itu, beberapa orang Singasari tengah sibuk mengurus orang-orang yang menyerah. Mereka memperlakukan orang-orang dengan baik, karena mereka mengerti, bahwa kesalahan utama terletak pada sikap Akuwu di Gagelang. Karena itu, maka Akuwu di Gagelang lah yang harus memikul tanggung jawab yang paling berat.
Tetapi justru oleh kesadaran yang demikian, maka Akuwu di Gagelang telah memilih jalan memintas. Apapun yang dilakukannya, menurut pendapatnya, akhirnya ia akan mati juga. Sehingga karena itu, maka ia memilih jalan terdekat dan yang menurut anggapannya paling terhormat bagi seorang prajurit. Mati di medan perang.
Namun Mahisa Bungalan yang masih tetap berpikir jernih itu masih juga berusaha untuk dapat menundukkan Akuwu tanpa membunuhnya. Dengan demikian, Singasari akan mendapat jalur yang lebih dekat pula untuk mengusut, siapakah orang-orang di Kediri yang telah melakukan perbuatan yang akan sangat merugikan Singasari. Bahkan akan sangat membahayakan tata kehidupan rakyat padesan. Dengan cara yang sangat kasar beberapa orang di Kediri itu ingin membuat Singasari menjadi lemah.
Tetapi langkah-langkah yang mereka ambil sama sekali tidak menghiraukan tata kehidupan rakyat dan mempertimbangkan masa-masa yang terbentang dihadapan mereka untuk waktu yang panjang. Tetapi Mahisa Bungalan tidak banyak mendapat kesempatan. Serangan-serangan Akuwu melandanya bagaikan debur ombak menghantam batu karang. Berurutan tidak henti-hentinya.
Justru karena usahanya untuk mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya, maka Mahisa Bungalan pun seakan-akan telah terdesak. Meskipun serangannya yang berbahaya kadang-kadang berhasil menyusup pertahanan dan putaran pedang Akuwu, namun serangan-serangan itu bukannya serangan-serangan yang dapat membunuhnya. Tetapi berbeda dengan sikap itu, Akuwu benar-benar ingin membinasakan lawannya. Setidak-tidaknya mereka berdua harus mati bersama-sama.
Karena itu, maka serangan-serangan Akuwu lah yang kemudian seakan-akan menguasai arena, sehingga Mahisa Bungalan lebih banyak bergeser, menghindar dan menangkis serangan lawannya. Ia masih berharap, bahwa pada satu saat Akuwu menjadi kelelahan dan perlawanannya akan berhenti dengan sendirinya.
Tetapi perhitungan Mahisa Bungalan itu ternyata keliru. Akuwu di Gagelang itu tidak segera kehilangan kemampuannya melawan. Bahkan seakan-akan semakin lama ia menjadi semakin garang. Meskipun tubuhnya telah dipenuhi oleh keringat yang bagaikan terperas dari kulitnya, namun ia masih tetap bertempur sebagaimana mula-mula ia turun ke medan. Bahkan oleh gejolak perasaannya, Akuwu itu pun menjadi semakin garang.
Mahisa Bungalan sekali-sekali benar-benar terdesak. Tetapi ia masih berusaha untuk menundukkan lawannya tanpa membunuhnya. Namun Mahisa Bungalan lah yang kemudian justru mengalami kesulitan. Ilmu Akuwu itu terlalu tinggi untuk dapat dikuasainya. Bahkan justru karena itu, maka Mahisa Bungalan yang lebih banyak menghindar dan menangkis itu, pada satu kali telah membuat satu kesalahan.
Pada saat yang gawat, Mahisa Bungalan masih berusaha untuk menghindari ujung pedang Akuwu yang menusuk ke arah jantungnya. Ketika pedang itu tidak menyentuh sasaran, maka pedang itu telah berputar dan menyambar mendatar. Mahisa Bungalan masih sempat meloncat surut. Namun Akuwu yang marah itu memburunya, sementara pedangnya terangkat tinggi-tinggi sebelum terayun ke arah dahi Mahisa, Bungalan...
“Baiklah” berkata Mahendra, “Aku akan menyertai menemui kakakmu Mahisa Bungalan. Ia akan berbicara dengan pamannya Mahisa Agni dan Witantra. Mudah-mudahan mereka dapat memecahkan persoalannya. Mereka harus mendapat bukti keingkaran Akuwu itu”
“Ya ayah” jawab Mahisa Murti, “Yang penting, Singasari harus meyakini bahwa Akuwu Gagelang telah melakukan satu kesalahan”
Mahendra pun mengangguk-angguk. Ia berpendapat bahwa Singasari tidak akan dapat begitu saja mengirimkan sepasukan yang akan dapat menangkap Akuwu Gagelang. Dengan demikian, maka Akuwu itu akan dapat ingkar dan Singasari akan menemui kesulitan untuk membuktikannya.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun kemudian telah menemui Mahisa Bungalan serta sekaligus menghadap paman mereka, Mahisa Agni dan Witantra.
Keterangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, memang sangat menarik perhatian. Mahisa Bungalan telah berusaha untuk mendapat keterangan sejauh-jauh diketahui oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dalam pada itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menjelaskan segala sesuatunya yang mereka mengerti. Baik tentang Talang Amba, maupun tentang Gagelang.
“Kau yakin bahwa yang kau ketahui itu adalah keadaan yang sebenarnya?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Maksud kakang, apakah Ki Sendawa tidak mengelabui kami berdua?” Mahisa Murti ganti bertanya.
“Ya. Menilik keteranganmu, maka Ki Sendawa memang seorang yang cerdik. Bahkan licik” sahut Mahisa Bungalan.
“Tetapi ia sudah menemukan dirinya. Aku percaya bahwa ia benar-benar menyesal. Ketika hatinya tersentuh oleh sikap kemanakannya perempuan, isteri Ki Sendawa, maka hatinya itu menjadi luluh. Apalagi kenyataan yang dihadapinya tentang pribadi Ki Sanggarana telah membuatnya bercermin tentang pribadinya sendiri” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Singasari memang harus mengambil langkah-langkah. Ketika Singasari memberikan peringatan kepada Gagelang tentang kemungkinan yang dapat terjadi di Talang Amba berdasarkan keterangan Ki Waruju. Seakan-akan Ki Sanggarana telah melangkahi kuasa Akuwu Gagelang. Dengan demikian, maka langkah yang akan diambil kemudian harus dipertimbangkan sebaik-baiknya. Akuwu di Gagelang akan dapat mencari jalan apapun untuk menutupi kesalahannya. Bahkan memutar balikkan keadaan. Tanpa bukti-bukti yang meyakinkan, maka tidak akan dapat diambil tindakan yang seharusnya bagi Akuwu di Gagelang itu”
“Jadi, apa yang sebaiknya kami lakukan kakang?” bertanya Mahisa Pukat, “apakah Singasari akan dapat mengambil tindakan langsung hanya berdasarkan laporan saja, atau Singasari harus membuktikannya lebih dahulu”
“Setiap laporan tentu akan diperhatikan” jawab Mahisa Bungalan, “tetapi laporan saja, agaknya masih belum cukup, karena setiap orang akan dapat membuat laporan palsu tentang satu persoalan yang dihadapi”
“Jadi, apakah dalam hal ini Singasari akan dapat menyelidikinya” desak Mahisa Pukat.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sikap Mahisa Pukat memang agak lain dari Mahisa Murti. Namun terhadap Mahisa Pukat, maka Mahisa Bungalan pun harus bersikap lebih berterus terang. Karena itu, maka jawabnya,
“Baiklah Mahisa Pukat. Aku sendiri akan berada di Talang Amba. Aku akan melihat apa yang telah terjadi. Mungkin aku akan berada di Talang Amba bersama dua atau tiga orang yang memiliki pengetahuan khusus tentang tugas-tugas sandi. Mereka akan membantu aku meyakinkan pendapat tentang Akuwu di Gagelang. Baru kemudian, kami akan dapat mengambil langkah-langkah tertentu”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya ia pun berkata, “Keadaan sudah begitu mendesak. Dan kita baru akan mulai lagi dengan satu penyelidikan. Jika demikian, lalu kapan kita akan mengambil sikap”
“Mahisa Pukat” berkata Mahisa Bungalan, “seandainya Akuwu mulai dengan penebangan hutan itu, maka kita masih belum terlambat. Sehari atau dua hari, hutan itu masih belum akan berkurang. Sementara itu, kita sudah mendapatkan bukti yang cukup untuk mengambil langkah-langkah”
“Mungkin kakang” jawab Mahisa Pukat, “tetapi anak-anak muda Talang Amba tentu sudah mengambil satu kesimpulan tentang Ki Sendawa. Jika mereka kemudian mengambil tindakan sendiri atas Ki Sendawa, maka keadaan akan menjadi gawat. Selain Ki Sendawa akan mengalami nasib buruk, maka Akuwu di Gagelang akan dapat menuduh orang-orang Talang Amba telah memberontak”
“Mahisa Pukat” berkata Mahisa Bungalan, “Jika aku sudah berada di Talang Amba atas nama pimpinan prajurit di Singasari yang mengemban tugas, maka sikap mereka tentu akan berbeda”
“Kakang akan datang sebagai seorang Senopati?” bertanya Mahisa Murti.
“Tentu tidak” jawab Mahisa Bungalan, “tetapi beberapa orang tertentu akan dapat mengetahuinya, seperti yang kau katakan, bahwa beberapa orang anak muda kau percaya untuk mengetahui sikap sebenarnya dari Ki Sendawa”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah kakang. Jika kakang dapat berbuat demikian, maka agaknya kami pun tidak berkeberatan”
Namun dalam pada itu, agaknya Mahisa Pukat masih belum puas. Lalu katanya, “Tetapi apakah yang dapat kita lakukan, seandainya kehadiran kakang kemudian dapat ditangkap oleh petugas sandi Akuwu, sehingga ia mengambil satu langkah tertentu?”
“Tergantung kepada kelembutan kita” jawab Mahisa Bungalan, “Namun jika terjadi demikian, seperti Akuwu di Gagelang, maka kita pun akan mengambil langkah tertentu yang akan kita putuskan kemudian”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi kesediaan kakaknya untuk hadir di Talang Amba telah membuatnya agak tenang. Anak-anak muda Talang Amba akan dapat melihat satu perkembangan keadaan yang paling baik bagi Talang Amba.
“Jika demikian” berkata Mahisa Bungalan kemudian, “besok aku akan membenahi rencana ini dan mengajukannya kepada pimpinan tertinggi apakah rencanaku itu baik atau masih harus disempurnakan. Kemudian dengan restunya, aku akan berangkat ke Talang Amba”
“Jika kau dapat berangkat dalam dua hari ini, kami akan menunggumu” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Bungalan merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku kira aku akan dapat berangkat dalam dua hari ini. Biarlah Panglima menyampaikan laporan ini kepada Sri Maharaja”
“Baiklah” sahut Mahisa Murti jika demikian, aku akan menunggu. Kita akan berangkat bersama-sama”
“Tetapi kita tidak bersama-sama memasuki Talang Amba” jawab Mahisa Bungalan.
“Ya. Mungkin aku dan Mahisa Pukat akan berada dalam kelompok yang terpisah. Biarlah Ki Sendawa mengatur, dimana kita masing-masing akan tinggal” jawab Mahisa Murti.
Demikianlah, maka Mahisa Bungalan pun telah meneruskan laporan itu kepada Panglimanya, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah banyak mendapat petunjuk dari ayahnya dan kedua pamannya, Mahisa Agni dan Witantra.
“Kau berdua harus menyelesaikan lebih dahulu persoalan yang terjadi di Talang Amba” berkata Mahisa Agni, “baru kemudian kau dapat menelusuri persoalan Ki Sarpa Kuning yang terbunuh. Tetapi untuk mengatasi persoalan itu, mungkin kau masih juga memerlukan kakakmu atau bahkan orang-orang tua ini”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka memang harus menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi di Talang Amba. Hubungan antara Ki Sendawa dan Ki Sanggarana harus dipulihkan sebagaimana hubungan antara paman dan kemanakannya. Talang Amba harus pulih menjadi satu daerah yang tenang dan tidak boleh terancam oleh arus air yang tidak tertahan di lereng perbukitan.
Demikianlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menunggu dua malam di Singasari. Di pagi buta menjelang hari ketiga, maka sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan rumah Mahendra. Mahisa Bungalan dan dua orang kawannya ternyata telah bermalam di rumah itu pula, agar pagi-pagi benar sebelum matahari terbit, mereka sudah dapat berangkat.
Seperti ketika berangkat, maka ketika iring-iringan itu kembali ke Talang Amba, mereka pun telah bermalam di perjalanan. Baru di hari berikutnya mereka mendekati Talang Amba. Namun pada hari itu mereka masih belum memasuki Kabuyutan itu. Baru ketika malam sudah turun, iring-iringan kecil itu dengan hati-hati mendekati regol Kabuyutan.
Seperti yang direncanakan maka mereka tidak bersama-sama memasuki Kabuyutan Talang Amba. Tetapi mereka telah membagi diri. Mahisa. Murti bersama dua orang kawan Mahisa Bungalan, sementara Mahisa Pukat bersama kakaknya langsung menuju ke rumah Ki Sendawa. Namun meskipun mereka menempuh jalan yang berbeda, tetapi akhirnya mereka pun telah berkumpul pula di rumah Ki Sendawa.
“Aku hampir gila menunggu kedatangan kalian” desis Ki Sendawa.
“Bukankah selama ini tidak ada apa-apa yang terjadi?” bertanya Mahisa Murti.
“Dalam satu dua pekan ini, Akuwu sudah akan mulai menebang hutan di lereng bukit” jawab Ki Sendawa.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Segalanya akan kami serahkan kepada kakang Mahisa Bungalan”
Kepada Ki Sendawa, Mahisa Murti berterus terang, siapakah orang yang datang bersamanya. Orang itu adalah kakaknya yang menjadi seorang Senopati di Singasari. Sedang dua orang yang lain adalah dua orang petugas sandi dari Singasari pula.
Ki Sendawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itulah sebabnya, bahwa kalian memiliki kemampuan yang mengagumkan. Ternyata kalian adalah keluarga seorang Senopati dari Singasari."
“Satu kebetulan saja Ki Sendawa” jawab Mahisa Murti, “namun yang penting, apakah yang akan kita lakukan kemudian”
Demikianlah, Mahisa Bungalan dan kedua orang petugas sandi dari Singasari itu diperkenalkan dengan Ki Sendawa. Orang yang terpaksa menerima tugas memangku jabatan Buyut di Kabuyutan Talang Amba.
Tetapi malam itu Mahisa Bungalan mendapat kesempatan untuk beristirahat. Mereka masih belum berbuat banyak selain mendengarkan beberapa keterangan Ki Sendawa melengkapi keterangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Baru di hari berikutnya, Ki Sendawa memanggil beberapa orang anak-anak muda yang mempunyai pengaruh atas kawan-kawannya untuk datang ke rumah Ki Sendawa. Dari wajah-wajah mereka nampak betapa kegelisahan benar-benar telah mencengkam mereka.
“Atas kepercayaanku kepada kalian, maka kalian akan aku perkenalkan dengan tiga orang tamu yang datang ke Kabuyutan Talang Amba” berkata Ki Sendawa yang kemudian memperkenalkan Mahisa Bungalan kepada mereka.
Anak-anak muda yang mendapat kepercayaan dari Ki Sendawa itu termangu-mangu. Mereka tidak langsung dapat mempercayai keterangan itu. Baru ketika Mahisa Bungalan mendapat kesempatan untuk berbicara kepada mereka, kepercayaan mereka pun mulai tumbuh. Apalagi ketika Mahisa Bungalan menunjukkan ciri keprajuritannya dengan menunjukkan sebentuk cincin Senopati dan timang ikat pinggangnya, yang semula tertutup oleh pangkal kain panjangnya.
“Aku berharap bahwa kali ini, kalian tidak menaruh kecurigaan lagi” berkata Ki Sendawa, “persoalannya telah sampai kepada Sri Maharaja di Singasari. Namun sekali lagi aku minta, bahwa kalian harus dapat memegang rahasia ini. Sementara kita berusaha untuk mencari penyelesaian yang sebaik-baiknya bagi Talang Amba, dan bagi Sanggarana serta Ki Waruju”
Anak-anak muda Talang Amba itu pun mengangguk-angguk. Mereka yang masih meragukan kejujuran Ki Sendawa menjadi semakin mempercayainya. Meskipun Ki Sendawa pernah melakukan kesalahan yang berakibat panjang, tetapi akhirnya ia berusaha untuk memperbaiki kesalahannya itu.
Dalam pada itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian berkata, “Aku memerlukan bantuan kalian. Biarlah Akuwu mulai melakukan apa yang ingin dilakukan. Kami memerlukan bukti keterlibatan Akuwu di Gagelang atas usaha beberapa pihak Kediri untuk melawan Singasari dengan cara yang sangat licik. Baru kemudian Singasari akan dapat mengambil langkah-langkah terhadap Akuwu di Gagelang. Agaknya Akuwu di Gagelang termasuk salah satu orang yang mempunyai jalur lurus dengan para pemimpin di Kediri. Karena kedudukannya tentu agak lain dengan kedudukan Ki Sapa Kuning”
Anak-anak muda Talang Amba itu pun mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Bungalan itu pun melanjutkan, “Karena itu, kalian pun harus menyadari bahwa kalian harus selalu berhati-hati menghadapi persoalan yang mungkin akan timbul”
“Apakah mungkin akan terjadi kekerasan atas Pakuwon Gagelang?” bertanya anak-anak muda itu.
“Kemungkinan itu memang ada” jawab Mahisa Bungalan karena itu, kita harus bersiap-siap sebaik-baiknya. Mungkin kalian belum pernah mendapat bimbingan yang baik untuk melakukan pertempuran yang sebenarnya jika hal itu terpaksa terjadi. Tetapi karena Talang Amba ini berada di daerah kekuasaan Singasari, maka Singasari tentu akan berusaha melindunginya. Meskipun demikian, kalian harus selalu besiap-siap. Setidak-tidaknya kalian harus berusaha untuk melindungi diri sendiri”
“Hal ini pernah mereka lakukan” berkata Ki Sendawa, “ketika pertentangan terjadi di Kabuyutan Talang Amba, anak-anak muda dari kedua belah pihak yang bertentangan telah bersiap-siap dengan menyiapkan senjata. Karena itu, maka pada saat ini, senjata-senjata itu jika diperlukan tentu masih ada. Tetapi sebenarnyalah, bahwa kemampuan kami disini tidak akan dapat diperbandingkan dengan kemampuan para pengawal di Gagelang. Meskipun demikian, jika diperlukan, kami akan berbuat apa saja bagi kepentingan kampung halaman kita ini”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Jawabnya, “Terima kasih Ki Sendawa. Tetapi sebaiknya kita membuat perhitungan yang sebaik-baiknya. Menghadapi pengawal Pakuwon Gagelang yang bobot kemampuannya tidak ubahnya dengan prajurit Singasari. kita memang harus berhati-hati. Meskipun aku belum melihat langsung, tetapi menurut penilaianku, anak-anak muda di Talang Amba masih belum memiliki bekal yang memadai jika mereka harus berhadapan dalam perang terbuka melawan para pengawal. Namun bukan berarti bahwa anak-anak muda di Talang Amba sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Jika diantara anak-anak muda itu terdapat kekuatan yang memiliki kemampuan seimbang dengan para pengawal, maka keadaan mereka akan ikut menentukan”
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga, mereka tentu tidak akan tinggal diam. Seandainya mereka tidak dapat membantu langsung di medan, maka apa yang dapat mereka lakukan, akan mereka lakukan. Mungkin mereka akan dapat ikut menentukan akhir dari keadaan yang parah itu sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Bungalan.
Demikianlah, anak-anak muda di Talang Amba itu berusaha menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan. Mereka merasa wajib untuk berbuat sesuatu. Karena itulah, maka atas kehendak mereka sendiri, maka anak-anak muda itu telah mengadakan persiapan-persiapan tertentu. Di malam hari mereka berada di gardu-gardu, sedangkan di siang hari mereka banyak berkumpul di saat-saat mereka tidak bekerja di sawah.
Sementara itu, Akuwu di Gagelang pun telah mempersiapkan sekelompok orang yang akan menebang hutan di lereng bukit. Beberapa orang pengawalnya yang terpercaya telah mempersiapkan segala-galanya. Beberapa kali kepercayaan Akuwu telah menghubungi Ki Sendawa yang berpura-pura menerima keputusan Akuwu, bahkan ia berjanji untuk membantu sepenuhnya.
“Tetapi kedudukan hamba dapat diselamatkan” mohon Ki Sendawa.
“Jangan takut” jawab Akuwu, “Aku pun telah memberitahukan kepada Sanggarana dan Waruju, bahwa mereka tidak mempunyai kemungkinan apapun lagi di Talang Amba."
Wajah Ki Sendawa menjadi tegang. Jika demikian akan dapat timbul salah paham dengan Ki Sanggarana. “Tetapi aku akan dapat menjelaskannya kemudian. Aku mempunyai banyak saksi” berkata Ki Sendawa kepada diri sendiri.
Namun dalam pada itu, langkah-langkah yang diambil Akuwu itu telah menumbuhkan persoalan dilingkungan Pakuwon Gagelang. Senopati yang pernah diperintahkan memanggil dan kemudian menangkap Ki Sanggarana merasa heran atas sikap Akuwu. Ia bukan termasuk pengawal kepercayaan Akuwu yang mengetahui segala seluk beluk niat Akuwu, karena ia adalah Senopati yang berkedudukan pada jenjang di bawah. Apalagi ketika Senopati itu kemudian mengetahui, bahwa Akuwu telah mempersiapkan beberapa orang untuk menebang hutan di lereng bukit. Satu hal yang pernah akan dilakukan oleh Ki Sarpa Kuning di saat-saat pertentangan di Talang Amba sedang memuncak.
Tetapi Senopati itu tidak mempunyai tempat untuk bertanya karena ia menjadi curiga kepada beberapa orang Senopati yang lain, yang mempunyai kedudukan lebih dekat dengan Akuwu. Dengan demikian maka Senopati itu lebih banyak bertanya kepada diri sendiri dan sejauh-jauh dapat dilakukan ia telah berbicara dengan seorang kawannya yang dapat dipercayanya.
“Sikap Akuwu memang aneh” berkata kawannya, “Aku mendengar semua persoalan yang terjadi”
“Akulah yang memanggil Ki Sanggarana dan Ki Waruju. Mereka dipersalahkan telah melampaui kuasa Akuwu dan melaporkan langsung persoalan Talang Amba ke Singasari” berkata Senopati itu. Lalu, “sehingga dengan demikian, maka kedua orang itu sudah ditahan”
“Dengan demikian maka ada kesempatan lagi bagi Ki Sendawa untuk memegang jabatan yang semula diperebutkan itu” berkata kawannya, “dan yang menarik, perjanjian yang dibuat oleh Ki Sendawa dengan Sarpa Kuning itu kini dilanjutkan lagi”
“Aneh” desis Senopati itu, “nampaknya persoalannya memang menarik”
“Rasa-rasanya ada keinginan untuk mengetahui, apa yang sebenarnya terjadi di Kabuyutan itu” berkata kawannya.
“Keinginan itu memang menggelitik hati jawab Senopati itu, “tetapi untuk melakukan satu pengamatan, akibatnya akan dapat mencekik leher sendiri”
Kawannya mengangguk-angguk. Meskipun demikian ia menjawab, “Aku tidak akan melakukan satu pengamatan khusus. Tetapi untuk mendengarkan keterangan tentang Talang Amba akan sangat menarik hati”
Senopati itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Baiklah kita menunggu, apa yang akan terjadi”
Kawannya tidak mempersoalkannya lagi. Tetapi ada semacam panggilan untuk melihat lebih dekat lagi peristiwa-peristiwa yang terjadi di Talang Amba. Dengan demikian, maka atas kehendak mereka sendiri, kedua orang Senopati itu telah memperhatikan keadaan dengan seksama. Kecurigaan mereka pun meningkat ketika mereka melihat persiapan-persiapan untuk menebang hutan di lereng bukit itu.
Namun dalam pada itu, betapa orang-orang Talang Amba berusaha untuk merahasiakan semua persoalan yang berkembang, namun ternyata mereka memang bukan orang-orang yang memiliki pengalaman yang luas sebagaimana para pengawal di Pakuwon Gagelang. Pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan dengan rahasia itu, ternyata ada juga yang tidak tertahankan dalam kerahasiannya.
Satu dua orang yang mendengar rahasia itu ternyata tidak berhasil menahan diri untuk tidak mengatakan kepada orang-orang terdekat. Setiap kali seseorang mengatakan sesuatu yang bersifat rahasia itu, mereka selalu berpesan agar hal itu tidak disampaikan kepada orang lain. Namun dengan pesan yang demikian itu, rahasia itu pun semakin lama menjadi semakin tersebar. Akhirnya orang-orang yang tidak berkepentingan pun mendengar bahwa Ki Sendawa telah menyiapkan rencana tertentu untuk menjebak Akuwu.
Hal itu merupakan satu hal yang sangat menarik bagi orang diluar lingkungan Kabuyutan Talang Amba. Ketika seseorang berbicara tentang hal itu di sebuah kedai di sudut pasar, maka seseorang yang lain telah mendengarkannya dengan seksama. Seorang yang nampaknya tidak berarti apa-apa. Seorang yang tidak lebih dari petani kebanyakan yang sedang beristirahat di kedai itu setelah menjual hasil sawahnya.
“Aku sudah mendengarnya” berkata pemilik kedai itu tanpa curiga, “tetapi hal ini tidak boleh dikatakan kepada orang lain”
“Ya. Aku juga tidak pernah mengatakan kepada orang lain” sahut orang yang sedang berada dalam kedai itu, “Aku hanya mengatakan kepadamu. Tetapi ternyata, bahwa agaknya kau telah mendengarnya pula”
Orang yang duduk di kedai itu dan seolah-olah sama sekali tidak memperhatikan pembicaraan mereka, ternyata berusaha untuk mendengarnya sampai ke persoalan yang terkecil. Namun apa yang dipercakapkan oleh orang itu dengan pemilik kedai itu pun masih belum terlalu jelas. Tetapi yang menarik perhatian adalah, bahwa Ki Sendawa sebenarnya tidak benar-benar menerima tawaran Akuwu. karena ia benar-benar ingin menebus kesalahannya.
Ketika orang yang memakai pakaian petani itu kemudian meninggalkan kedai itu, dengan tergesa-gesa iapun menuju ke sebuah rumah terpencil di pategalan. Tidak banyak yang dipersoalkan dengan orang yang tinggal di rumah itu. Diberinya pemilik rumah itu sekeping uang. Kemudian orang itu pun mengganti bajunya dan mengambil kudanya di halaman belakang rumah terpencil itu.
Malam itu juga, dua orang Senopati telah bertemu. Dengan sungguh-sungguh Senopati yang telah memanggil ki Sanggarana dan Ki Waruju itu pun berkata, “Aku mendengar sesuatu yang sangat menarik”
“Tentang apa?” bertanya kawannya yang dipercayainya Senopati itu pun kemudian menceriterakan apa yang telah didengarnya. Bahwa sebenarnya ada yang tersembunyi di Talang Amba.
“Menarik sekali” jawab kawannya, “tetapi kita tidak akan dapat langsung hubungan dengan Ki Sendawa”
“Ya. Tetapi hal ini tentu akan segera didengar pula oleh Akuwu. Ia akan dapat melakukan tindakan yang mengejutkan” berkata Senopati itu.
“Bagaimana dengan dua orang anak muda yang disebut-sebut oleh orang di kedai itu menurut pendengaranmu?” bertanya kawannya, “apakah keduanya mungkin dapat dihubungi?”
Senopati itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku akan mencoba berhubungan dengan Ki Sanggarana. Mungkin aku akan mendapat bahan yang dapat aku pergunakan untuk menilai persoalan ini lebih dalam lagi”
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Kita akan terlibat terlalu dalam. Tetapi apa boleh buat. Rasa-rasanya memang ingin mengetahui, apa yang sebenarnya sedang berkembang di Tanah ini”
Namun tiba-tiba Senopati itu berdesis, “Kau adalah seorang Senopati seperti aku. Meskipun kita berada di jenjang yang rendah. Namun rasa-rasanya kita mempunyai tanggung jawab atas segala peristiwa yang terjadi di Pakuwon ini. He, apakah kau menaruh perhatian terhadap juru taman yang seorang itu?”
“Ya. Pengaruhnya terlalu besar untuk seorang juru taman. Ia sering berada di serambi bersama Akuwu” jawab kawannya.
“Aku pernah melihat ia berada dalam sekelompok peronda dengan mengenakan pakaian seorang pengawal. Tetapi aku tidak tahu, apakah ada hubungannya dengan persoalan Talang Amba” berkata Senopati itu.
“Jika ia mengenakan pakaian pengawal, apakah pimpinan pengawal yang membawanya tidak menanyakan tentang dirinya” berkata kawannya.
“Jika Senopati yang memimpinnya tahu kedudukannya yang sebenarnya?” jawab Senopati itu.
Kawannya mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “He, bukankah kita semula membicarakan tentang dua orang anak muda itu”
“Sudah aku katakan, aku akan mencari kesempatan untuk bertemu dengan Ki Sanggarana” berkata Senopati itu.
Namun kata-katanya itu benar-benar dilakukannya. Senopati itu telah berusaha untuk dapat bertemu dengan Ki Sanggarana dan Ki Waruju. Dengan diam-diam pada satu malam Senopati itu berhasil mendekati ruang tahanan tanpa dilihat oleh orang yang menjaganya. Karena penjaga itu menganggap bahwa tidak akan ada persoalan dengan kedua orang tahanannya yang nampaknya sangat jinak itu.
Waktu yang tidak terlalu lama itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Senopati itu. Melalui lubang udara yang bersekat balok-balok kayu. ia mengemukakan pendengarannya tentang sikap Ki Sendawa. Bahkan kemudian rencana Ki Sendawa untuk menjebak Akuwu agar kesalahan Akuwu terbukti dihadapan kekuasaan Singasari.
“Tetapi Akuwu pernah mengatakan, bahwa paman Sendawa benar-benar telah menerima jabatan itu” berkata Ki Sanggarana.
"Menilik sikapnya yang dapat dilihat dengan mata wadag memang demikian. Tetapi ia telah bekerja bersama dengan dua orang anak muda yang berada di Talang Amba untuk dapat membuktikan bahwa Akuwu bersalah. Bagaimana menurut pendapatmu?” bertanya Senopati itu.
Ki Sanggarana termangu-mangu. Namun Ki Waruju lah yang menjawab, “kami tidak melihat apa yang terjadi di Talang Amba. Adalah sulit sekali bagi kami untuk memberikan jawaban yang tepat. Bahkan mungkin kami akan mempunyai tanggapan yang salah.
Senopati itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Ki Waruju. Tetapi aku memerlukan satu pegangan untuk melangkah. Sebagai seorang Senopati aku ikut bertanggung jawab atas masa depan Pakuwon Gagelang dan juga termasuk Kabuyutan Talang Amba”
Ki Waruju menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mempunyai kepercayaan yang cukup kepada Senopati itu. Ki Waruju merasakan sikap Senopati itu di saat ia akan ditangkap dan dimasukkan ke dalam tahanan, sebagai satu sikap yang jujur. Karena itu, maka Ki Waruju pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Aku tidak tahu, apakah sikapku ini benar. Tetapi aku mempercayai Ki Sanak. Karena itu, Ki Sanak memang dapat mencoba menghubungi kedua anak muda itu”
“Apakah keduanya akan mempercayai aku?” bertanya Senopati itu.
“Aku tidak tahu, tetapi jika aku berkesempatan menemui mereka, maka aku akan dapat menjelaskan persoalannya” berkata Ki Waruju.
“Bagaimana mungkin kau dapat menemui mereka” berkata Senopati itu, “Kau berada di dalam tahanan ini”
“Ki Sanak” berkata Ki Waruju, “Jika Ki Sanak dapat menyediakan seekor kuda, maka aku akan dapat menemuinya”
“Seekor kuda?” bertanya Senopati itu.
“Ya” jawab Ki Waruju, “sebutkan dimana kuda itu dapat kau sediakan. Aku akan pergi ke Talang Amba dan kemudian kembali lagi memasuki bilik ini”
“Kau mengigau” geram Senopati itu.
“Percayalah. Aku sudah memeriksa ruangan ini. Tidak ada yang sulit bagiku. Bahkan seandainya aku ingin keluar sekarang juga aku dapat melakukannya. Tetapi bukankah dengan demikian Talang Amba lah yang akan mengalami kesulitan” berkata Ki Waruju.
Senopati itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia berkata Baiklah. “Aku akan menyediakan kuda untukmu. Aku akan menyiapkannya di luar lingkungan istana ini. Aku berada di sudut alun-alun”
“Bukankah masih ada waktu jika sekarang aku pergi ke Talang Amba dan kembali lagi sebelum fajar?” bertanya Ki Waruju.
“Jika tidak ada halangan, maka hal itu akan dapat kau lakukan” jawab Senopati itu.
“Baiklah. Siapkan kuda itu. Aku akan pergi ke sudut alun-alun” berkata Ki Waruju kemudian.
Senopati itu masih saja termangu-mangu. Namun ia pun kemudian dengan hati-hati meninggalkan tempat itu. Sepeninggal Senopati itu, maka Ki Sanggarana bertanya dengan nada bimbang, “Bagaimana mungkin Ki Waruju akan pergi ke Talang Amba sekarang ini?”
“Aku akan keluar dari tempat ini. Setelah aku kembali dari Talang Amba, aku akan kembali lagi memasuki ruangan ini. Dengan demikian tidak seorang pun mengetahui, apa yang telah aku lakukan” jawab Ki Waruju.
“Tetapi bagaimana Ki Waruju akan keluar? Apakah Ki Waruju akan memecahkan pintu?” bertanya Ki Sanggarana.
“Tentu tidak. Dengan demikian, maka kepergianku akan segera diketahui” jawab Ki Waruju.
“Jadi, apa yang akan kau lakukan?” Ki Sanggarana menjadi semakin heran.
Ki Waruju pun menengadahkan wajahnya. Sambil memandang atap bilik itu, ia berkata, “Aku akan keluar dari ruangan ini melalui atap”
“Melalui atap?” Ki Sanggarana menjadi heran.
“Mudah-mudahan aku berhasil” jawab Ki Waruju.
Ki Sanggarana tidak bertanya lagi. Tetapi Ki Waruju lah yang kemudian mulai bersiap-siap. Namun demikian ia masih berpesan, “Kau dapat membentangkan kain panjang di atas segulung tikar. Jika penjaga itu menengok ke dalam lewat lubang angin itu, maka ia akan melihat aku seakan-akan sedang tidur. Katakan bahwa aku merasa kurang sehat”
Ki Sanggarana mengangguk. Namun ia masih dicengkam oleh kegelisahan, bagaimana Ki Waruju akan keluar dari ruang itu. Namun sejenak kemudian, setelah minta diri, maka Ki Waruju itu benar-benar telah melakukan sesuatu yang bagi Ki Sanggarana terasa mentakjubkan. Dengan seolah-olah tanpa bobot, Ki Waruju melenting menggapai atap. Kemudian dengan tangkasnya ia menyibakkan ijuk yang rapat dan menyingkirkan beberapa batang rusuk-rusuk atap itu dengan tanpa bunyi sama sekali. Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih bertanya kepada diri sendiri, bagaimana Ki Waruju itu nanti meloncat turun dari atas atap yang cukup tinggi.
“Tetapi sebagaimana ia dapat meloncat menggapai atap itu, maka ia akan dapat dengan mudah meloncat-loncat turun” berkata Ki Sanggarana di dalam hatinya.
Sebenarnyalah, maka bagi Ki Waruju, sama sekali tidak ada kesulitan untuk meloncat turun dari atas atap tanpa diketahui oleh para pengawal. Seperti seekor kucing ia meloncat turun. Kemudian mengendap dan hilang di dalam kegelapan. Sejenak kemudian, Ki Waruju itu sudah meloncati dinding istana Akuwu di Gagelang. Dan dalam sesaat kemudian, ia sudah berada di sudut alun-alun.
Ternyata bahwa Ki Waruju telah datang lebih dahulu dari Senopati yang menyanggupinya untuk membawakan seekor kuda. Tetapi ia tidak menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian ia melihat dua orang berkuda mendatanginya dengan membawa seekor kuda yang tidak berpenunggang.
Senopati itu merasa heran, bahwa justru Ki Waruju telah menunggunya. Karena itu dengan serta merta ia bertanya, “Bagaimana kau dapat datang ke tempat ini begitu cepat?”
“Ki Waruju tersenyum. Katanya, “Aku takut terlambat. Karena itu aku agak tergesa-gesa”
“Ki Sanak” berkata Senopati itu, “Aku sudah membawa seekor kuda. Tetapi rasa-rasanya kami berdua ingin mengikuti Ki Sanak pergi ke Talang Amba. Mungkin ada hal-hal yang dapat langsung kita bicarakan dengan orang-orang Talang Amba. Bahkan mungkin dengan Ki Sendawa sendiri”
Ki Waruju mengangguk-angguk. Ternyata ia tidak berkeberatan. Justru dengan demikian, maka persoalannya akan lebih cepat terpecahkan. Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu pun telah berpacu menuju ke Talang Amba. Mereka harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya. Besok sebelum matahari terbit, mereka harus sudah berada di Kabuyutan lagi.
“Kuda-kuda ini akan terlalu letih” desis Senopati itu.
“Ya. Untuk berlari kencang semalam suntuk, agaknya kuda-kuda ini akan kehabisan tenaga” jawab Ki Waruju. Tetapi kemudian, “Mungkin nanti kita akan dapat menukarkan kuda ini di Talang Amba."
Demikianlah maka mereka bertiga telah berpacu sekencang-kencangnya. Waktu mereka memang tidak terlalu banyak. Kedatangan mereka di Talang Amba memang sangat mengejutkan. Ki Waruju telah membawa kedua orang Senopati itu langsung menuju ke banjar.
Dalam waktu yang singkat, maka pertemuan dengan Ki Sendawa pun telah dapat diatur. Bahkan hadir pula dalam pertemuan itu Mahisa Bungalan dan kedua orang kawannya. Dengan singkat, maka persoalan tentang sikap Akuwu Gagelang itu pun telah dibicarakan. Namun dalam hubungan sikap Ki Sendawa, maka harus diperhitungkan, bahwa mungkin sekali Akuwu akan dapat mendengarnya.
“Ya” berkata salah seorang kawan Mahisa Bungalan, “persoalan yang seharusnya dianggap sebagai rahasia ini sudah bukan rahasia lagi. Hampir setiap orang telah membicarakannya, meskipun selalu dengan pesan, agar lawan bicaranya tidak mengatakannya kepada siapapun juga. Tetapi semua orang di Talang Amba ini rasa-rasanya memang sudah mendengar”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Dengan demikian kita harus segera mengambil sikap. Mungkin Akuwu juga sudah mendengarnya”
“Itulah yang aku cemaskan” berkata Senopati itu, “bahkan aku pun telah mendengarnya pula”
Ki Sendawa menjadi gelisah. Tetapi iapun menyadari, bahwa anak-anak Talang Amba memang bukan prajurit atau pengawal yang dapat menyimpan rahasia sebagaimana seharusnya. Namun Ki Sendawa tidak dapat sekedar untuk mengerti saja. Tetapi harus ada satu cara Untuk mengatasinya.
Mahisa Bungalan dan kedua kawannya pun menjadi cemas. Bahkan Mahisa Bungalan kemudian berkata, “Kita tidak akan sempat pergi ke Singasari untuk memanggil sekelompok prajurit”
“Kita akan mempersiapkan anak-anak muda Talang Amba jika Akuwu akan mengambil satu tindakan” berkata Mahisa Pukat.
“Tidak semudah itu Mahisa Pukat” jawab Mahisa Bungalan, “Yang dihadapi adalah Pakuwon Gagelang. Pakuwon yang memiliki pengawal yang kuat”
Tetapi Senopati yang mengikuti Ki Waruju itu berkata, “Ki Sanak. Aku adalah salah seorang Senopati di Gagelang itu. Meskipun aku berada di jenjang yang di bawah, tetapi aku ikut bertanggung jawab terhadap keadaan Pakuwon Gagelang. Menilik keterangan dari beberapa pihak, maka aku dapat mengambil satu kesimpulan bahwa Sang Akuwu telah melakukan satu kesalahan. Nampaknya Sang Akuwu telah berhubungan dengan satu kekuatan yang tidak sah di Kediri untuk melakukan satu pemberontakan terhadap Singasari”
“Lalu, apa yang dapat Ki Sanak lakukan?” bertanya Ki Waruju.
“Malam ini aku harus menentukan sikap. Besok pagi-pagi aku akan dapat berhubungan dengan beberapa pihak di Gagelang. Mungkin satu dua orang yang dapat aku percaya telah mencium pula persoalan yang sedang kita bicarakan ini meskipun belum sejauh yang aku lakukan” berkata Senopati itu.
“Tetapi kemungkinan yang kita cemaskan itu dapat terjadi. Besok Akuwu memerintahkan pasukannya untuk menduduki Talang Amba dan menangkap Ki Sendawa. Kemudian meletakkan orang yang asing sama sekali untuk menjabat Buyut di Talang Amba” berkata Mahisa Murti.
“Aku minta kalian mempersiapkan anak-anak muda Talang Amba sejauh dapat kalian lakukan” berkata Senopati itu, aku akan membantu kalian. Betapapun kecilnya, aku mempunyai kekuatan di Gagelang. Sementara aku dapat berhubungan dengan beberapa orang Senopati yang aku percaya sebagaimana sudah aku katakan. Kalian tidak akan sempat lagi pergi ke Singasari untuk memohon bantuan. Karena dengan demikian kalian akan memerlukan waktu sekitar tiga atau empat hari”
Ki Sendawa menjadi tegang. Ia tahu pasti, bahwa anak-anak muda Talang Amba tidak akan dapat berbuat banyak. Namun kesediaan Senopati itu untuk membantunya sedikit memberikan harapan kepadanya, meskipun masih ada juga semacam keragu-raguan.
Tetapi agaknya memang tidak ada jalan lain. Karena itu. maka katanya, “Bagaimana pertimbangan kalian tentang hal ini. Bagiku sudah tidak ada pilihan lagi. Aku akan bertahan seandainya Akuwu benar-benar akan menduduki Talang Amba. Jika terjadi sesuatu, maka biarlah aku mengalami akibat dari tingkah lakuku sendiri. Aku telah bermain api Dan sekarang, api itu akan membakar diriku sendiri. Namun yang aku pertimbangkan adalah anak-anak muda Talang Amba. Apakah dengan demikian, anak-anak muda tidak akan menjadi korban”
“Mungkin kita memang memerlukan pengorbanan” Senopati itulah yang menjawab. Tetapi aku memang memerlukan kawan untuk berbuat sesuatu demi keselamatan Pakuwon Gagelang. Karena jika tidak ada usaha penyelematan, maka pada suatu saat, kekuasaan Singasari tentu akan menggulung Pakuwon Gagelang. Apalagi disini sudah ada seorang Senopati yang dengan mata kepala sendiri telah menyaksikan apa yang terjadi disini. Penangkapan Ki Sanggarana dan Ki Waruju merupakan satu bukti, bahwa Akuwu di Gagelang sudah menyimpang dari paugeran seorang Akuwu, Ia sudah mengambil satu kebijaksanaan yang tidak sewajarnya, dengan menuduh Ki Sanggarana dan Ki Waruju seolah-olah telah bersalah”
“Baiklah” berkata Mahisa Bungalan, “Kita memang tidak mempunyai kesempatan lagi. Kedua kawanku telah mengetahui bahwa rahasia yang seharusnya tersimpan rapat itu telah didengar oleh orang banyak. Dan bahkan oleh petugas-petugas yang dipasang oleh Akuwu di Gagelang. Karena itu, maka kita memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Jika Senopati akan berbuat sesuatu bagi. kepentingan Gagelang, maka aku akan berterima kasih. Hal itu akan menjadi laporan, bahwa Gagelang masih juga ada orang yang bersikap sebagaimana seharusnya terhadap Singasari dan Kediri”
“Baiklah” jawab Senopati dari Gagelang itu, “Jika demikian aku minta diri. Aku harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya”
“Aku juga akan kembali ke Gagelang” berkata Ki Waruju, “nampaknya kita memang harus menyusun kekuatan. Karena itu. maka aku dan Ki Sanggarana pun harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Mudah-mudahan Akuwu masih tetap memandang Ki Sanggarana dan Ki Waruju saling bermusuhan, sehingga setiap tindakan yang akan dikenakan kepada Ki Sendawa tidak juga dikenakan kepada Ki Sanggarana”
“Kita harus berbuat sebaik-baiknya dalam keadaan seperti ini. Agaknya Akuwu tidak akan menebang hutan itu lebih dahulu. Tetapi ia tentu akan membereskan Kabuyutan Talang Amba ini lebih dahulu” berkata Ki Sendawa.
“Baiklah. Kita akan menentukan tugas kita masing-masing” jawab Senopati itu.
“Kita harus pasti” berkata Mahisa Bungalan, “Ki Sendawa akan menyiapkan anak-anak muda dan Senopati akan menyiapkan pasukan seberapa pun dapat dikumpulkan di Gagelang yang akan dapat membantu kita. Termasuk menyelamatkan Gagelang itu sendiri”
Kedua Senopati dari Gagelang itu mengangguk-angguk. Tetapi mereka sudah mendapat kepastian di dalam hati, bahwa sebenarnyalah Akuwu telah menyimpang dari tugas-tugas yang dibebankan kepadanya sebagai seorang Akuwu yang berada di bawah perintah Singasari.
Demikianlah, maka Senopati itu pun kemudian menjawab, “Ada dua kemungkinan yang dapat aku lakukan, jika aku mendapat perintah untuk menyertai pasukan Akuwu memasuki Kabuyutan ini, maka aku akan datang bersama pasukan itu. Tetapi disini aku dan orang-orang yang sejalan dengan pikiranku akan membawa ciri-ciri yang akan dapat dikenali. Para pemimpin kelompok akan mempergunakan sampur berwarna kuning. Sementara itu, apabila harus terjadi pertempuran, maka, semua orang yang berpihak kepada Talang Amba akan mempergunakan ciri seperti itu juga yang sudah mereka bawa sejak mereka berangkat dari Gagelang. Tetapi jika aku dan beberapa orang yang sejalan dengan jalan pikiranku tidak mendapat perintah untuk mengikuti pasukan Akuwu, maka kami akan berangkat sendiri melalui jalan memintas di tengah-tengah hutan kami, kami masih akan dapat mendahului pasukan yang akan menuju ke Talang Amba melalui jalan yang biasa kita tempuh. Tetapi jika ada sebagian dari kami yang mendapat perintah dan sebagian lagi tidak, maka akan berlaku kedua cara yang sudah aku sebutkan. Diantara kami yang berada di dalam pasukan Akuwu akan mempergunakan ciri-ciri seperti yang aku katakan, sementara yang lain akan menyusul lewat hutan perdu”
“Terima kasih” jawab Ki Sendawa, “kami sudah mengetahui dengan pasti, apa yang akan kalian lakukan. Kami akan mempersiapkan diri sejauh dapat kami lakukan. Namun mudah-mudahan kita mendapat cara pemecahan yang lain, yang tidak harus memberikan korhan terlalu banyak."
Dalam pada itu, sejenak kemudian, maka Senopati berdua dari Gagelang itu pun segera minta diri. Ki Waruju masih akan pergi bersama mereka, karena ia masih berusaha untuk tetap dianggap tawanan yang tidak memerlukan perhatian khusus.
Namun kepada kedua Senopati Gagelang ia sudah berpesan, agar bagi dirinya dan Ki Sanggarana dapat disediakan dua ekor kuda di tempat yang sudah ditentukan, agar pada saat yang tepat, kuda itu dapat dipergunakan.
Sejenak kemudian, maka kedua Senopati itu pun telah meninggalkan Talang Amba bersama Ki Waruju, setelah mereka menukarkan kuda-kuda mereka. Mereka berpacu menembus gelapnya malam. Sebelum fajar mereka harus sudah berada di Pakuwon Gagelang. Apalagi Ki Waruju. Ia sudah harus berada di dalam biliknya lagi sebelum para penjaga mengetahui, bahwa ia telah keluar dari biliknya dan pergi ke Talang Amba.
Ternyata baru mereka telah mempergunakan waktu sebaik-baiknya. Mereka datang tepat pada saat langit menjadi kemerah-merahan. Dengan tergesa-gesa Ki Waruju pun segera kembali ke halaman istana Akuwu setelah menyerahkan kudanya kepada kedua Senopati yang datang bersamanya itu. Seperti saat ia keluar, maka iapun telah memasuki halaman dengan diam-diam. Dengan tangkasnya ia meloncat dinding halaman dan merayap mendekati bilik tahanannya, iapun telah meloncat pula di atas genting. Tubuhnya seakan-akan tidak mempunyai bobot sehingga atap ijuk itu tidak rusak dibebaninya.
Sejenak kemudian Ki Waruju sudah berada di dalam bilik. Ia masih sempat membenahi atap ijuk yang disibakkannya. Kemudian meloncat turun di sebelah Ki Sanggarana yang masih tetap tidak dapat tertidur semalam suntuk.
“Kau tidak tertidur semalaman?” bertanya Ki Waruju.
“Aku tidak dapat tertidur sekejap pun. Hatiku pun menjadi sangat gelisah” jawab Ki Sanggarana.
“Baiklah. Sekarang masih ada waktu. Silahkan tidur barang sekejap. Aku pun akan tidur juga sampai matahari terbit” berkata Ki Waruju.
Keduanya pun kemudian berbaring. Tetapi keduanya sudah tidak berminat untuk tidur barang sekejap, karena jantung mereka yang berdegupan oleh kegelisahan yang tidak dapat disembunyikan. Bahkan keduanya pun kemudian telah berbincang tentang hasil kunjungan Ki Waruju ke Talang Amba.
“Jadi Senopati itu benar-benar akan membantu kita?” bertanya Ki Sanggarana.
“Ya. Dan aku mempercayainya. Nampaknya ia bersungguh-sungguh dan jujur. Senopati itu tidak ingin melihat Pakuwon Gagelang menjadi sarang pengkhianatan terhadap Singasari” jawab Ki Waruju.
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Ternyata aku sudah bersalah terhadap paman Sendawa. Aku telah menganggapnya tidak setia kepada janjinya yang diucapkannya di banjar. Namun ternyata bahwa paman Sendawa telah benar-benar menemukan pribadinya sebagai putera Talang Amba”
“Ya” jawab Ki Waruju, “namun demikian, kita memang sedang berprihatin. Jika kesediaan kedua Senopati Gagelang itu gagal karena sebab apapun juga, maka anak-anak muda Talang Amba akan menjadi banten. Korban akan jatuh. Kemampuan anak-anak muda Talang Amba tidak akan dapat mengimbangi kemampuan para pengawal Gagelang, sementara itu jumlahnya pun tentu tidak akan dapat memadai”
“Sayang” berkata Ki Sanggarana, “dalam keadaan yang demikian, aku tidak dapat berbuat apa-apa”
“Kenapa tidak?” bertanya Ki Waruju, “Jika benar hal itu akan terjadi, maka kita akan keluar dari tempat ini. Kita akan pergi ke Talang Amba sebagaimana aku lakukan”
“Aku tidak akan dapat meloncat seperti Ki Waruju” desis Ki Sanggarana.
Jika Waruju mengerutkan keningnya. Kemudian setelah mengamati ruangan itu ia berkata, “Jika kita ingin keluar dari ruangan ini, kita tidak harus meloncat melalui atap. Dinding ruangan ini juga tidak terlalu kuat. Papan di sudut ruang itu dengan mudah akan dapat di pecahkan. Gapit dan tali-talinya tidak terlalu kuat”
Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Mungkin sekali hal itu akan dapat dilakukan oleh Ki Waruju. Tetapi ia sendiri tentu tidak akan dapat melakukannya.
Dalam pada itu, ternyata di Talang Amba, anak-anak muda telah menjadi sibuk. Bahkan bukan saja anak-anak muda tetapi setiap laki-laki yang belum terlalu tua merasa terpanggil untuk ikut serta mempersiapkan diri.
Ternyata Ki Sendawa berhasil mendapat kepercayaan orang-orang Talang Amba dalam kedudukannya yang sementara itu. karena anak-anak muda sempat menjelaskan, apa yang sebenarnya dilakukan oleh Ki Sendawa.
“Tetapi bagaimana dengan Ki Sanggarana” bertanya seorang anak muda, “jika kita melawan Gagelang, apakah itu bukan berarti nasib buruk bagi Ki Sanggarana”
“Kita serahkan hal itu kepada Ki Waruju” berkata Ki Sendawa, “Mudah-mudahan ia dapat mengatur sehingga Ki Sanggarana tidak mengalami sesuatu. Bahkan mungkin Senapati yang berjanji berpihak kepada kita itu pun akan dapat melindunginya. Namun lebih daripada itu. Akuwu menganggap bahwa aku dan Ki Sanggarana masih tetap bermusuhan. Sehingga karena itu, maka Akuwu tidak akan mengambil tindakan terhadap Ke Sanggarana”
Namun nampaknya Mahisa Bungalan meragukannya. "Mungkin Akuwu mendengar semua persoalannya. Juga hubungan antara Ki Sendawa dan Ki Sanggarana. Karena itu, Mahisa Bungalan lebih mempercayakan keselamatan Ki Sanggarana kepada Ki Waruju. Namun bagaimanapun juga, kita masih tetap mempunyai harapan bahwa Ki Sanggarana akan selamat” berkata Mahisa Bungalan.
Demikianlah, semua laki-laki yang masih merasa dirinya mampu membawa senjata di Talang Amba telah bersiap. Meskipun mereka tidak terbiasa bermain dengan senjata, tetapi mereka bertekad melawan tingkah laku Akuwu di Gagelang yang tidak wajar.
Sementara itu, Mahisa Bungalan dan kedua kawannya yang datang dari Singasari bersama Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan seorang murid Ki Sarpa Kuning yang telah menentukan jalan hidupnya sendiri itu telah berada diantara orang-orang Talang Amba meskipun mereka menyadari, bahwa jumlah mereka memang terlalu sedikit.
Namun Mahisa Bungalan mempunyai satu rencana yang mungkin akan dapat menahan tindakan Akuwu di Gagelang. Dengan menunjuk kedudukannya sebagai seorang Senopati yang mendapat tugas dari Panglima di Singasari berarti bahwa ia adalah ujud dari kuasa Singasari itu sendiri.
Sebenarnyalah bahwa rahasia yang tidak berhasil disembunyikan oleh orang-orang Talang Amba itu telah didengar oleh Akuwu di Gagelang. Sebuah laporan mengatakan, bahwa menurut pendengarannya. Ki Sendawa tidak bersungguh-sungguh bekerja bersama dengan Akuwu. Namun dengan demikian. Akuwu di Gagelang pun melihat hubungan antara Ki Sendawa dan Ki Sanggarana meskipun keduanya terpisah. Agaknya Ki Sendawa benar-benar telah berubah sejak ia menyatakan niatnya untuk memperbaiki kesalahannya di banjar Kabuyutan Talang Amba.
Rahasia itu benar-benar telah membuat Akuwu di Gagelang marah sekali. Ia merasa ditipu oleh Ki Sendawa. Dengan demikian maka Akuwu merasa wajib untuk menghukum Ki Sendawa. Tetapi Akuwu ternyata bukan orang yang dikuasai oleh perasaannya. Ia tidak dengan tergesa-gesa memerintahkan pasukannya pergi ke Talang Amba. Namun ia masih sempat untuk mengirimkan petugas sandinya untuk mengamati keadaan.
Baru ketika petugas sandi itu melaporkan, bahwa orang-orang Talang Amba telah bersiap-siap, maka iapun berkata, “Agaknya waktunya memang sudah datang. Ki Sendawa ternyata orang yang sangat dungu. Ia tidak mau menerima kedudukan yang pantas baginya sebagaimana pernah diinginkannya. Ia lebih suka menjadi seorang yang harus diburu dan mendapat hukuman yang paling berat”
“Lalu. bagaimana dengan Sanggarana dan kawannya?” bertanya salah seorang kepercayaannya.
“Mereka sudah berada di dalam tahanan. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Perhatian kita lebih banyak harus tertuju kepada Sendawa yang bodoh itu. Ia mengira bahwa ia akan dapat melawan kekuasaan Gagelang” jawab Akuwu.
“Tetapi bagaimana dengan kuasa Singasari?” bertanya kepercayaannya.
“Kau juga bodoh” jawab Pangeran yang menjadi juru taman di Gagelang itu, “Kita akan dapat membuat sepuluh ribu macam alasan yang dapat kita laporkan ke Singasari”
Senapati kepercayaan Akuwu itu pun mengangguk-angguk, tetapi ia tidak bertanya lagi. Dalam pada itu, maka Akuwu pun segera memerintahkan mempersiapkan para pengawal. Katanya kemudian "Seberapa jumlah laki-laki di Talang Amba. Jika mereka benar-benar akan melawan, maka mereka akan mengalami nasib yang sangat buruk. Tetapi perlawanan itu rasa-rasanya akan berakibat baik terhadap rencanaku, karena di Talang Amba akan dapat aku letakkan Buyut yang manapun juga, sehingga rencana kita untuk menjadikan bukit-bukit itu gundul tidak akan terhalang sama sekali."
Demikianlah, baru di hari berikutnya Gagelang mempersiapkan sebuah pasukan yang kuat untuk dibawa ke Talang Amba. Dengan pasukan yang kuat, Akuwu di Gagelang benar-benar akan menghukum Ki Sendawa. Talang Amba harus benar-benar merasa dirinya terlalu kecil menghadapi Gagelang, sehingga langkah yang diambil oleh Ki Sendawa benar-benar satu langkah untuk menghancurkan diri sendiri.
Dengan cerdik Akuwu memberikan alasan yang mapan kepada para Senapatinya. Senapati yang tidak mengikuti tingkah laku Akuwu dengan cermat. Mereka hanya percaya bahwa Talang Amba telah meninggalkan ketentuan yang berlaku atas sebuah Kabuyutan.
"Pergolakan yang terjadi di Talang Amba telah meluas. Meskipun salah satu pihak yang berselisih itu sudah aku tahan disini. tetapi ternyata keadaannya masih tetap kacau. Bahkan cenderung untuk tidak lagi mengakui kekuasaan Gagelang yang dilimpahkan oleh Maharaja di Singasari” berkata Akuwu Gagelang kepada para Senapati yang berkumpul sebelum mereka berangkat ke Talang Amba. Lalu katanya lebih lanjut, “Bahkan kini Talang Amba telah bersiap-siap untuk menentang kekuasaanku dengan kekerasan, karena Talang Amba telah bersiap untuk mempergunakan kekerasan”
Tidak ada yang membantah. Kenyataan itu memang benar. Hampir setiap Senapati telah mendapat laporan tentang persiapan yang dilakukan oleh orang-orang Talang Amba. Tetapi sebagian besar dari mereka tidak tahu, bahwa antara Ki Sendawa dan Akuwu di Gagelang telah pernah dicapai satu kesepakatan bahwa Ki Sendawa akan diangkat menjadi Buyut di Talang Amba dengan memberikan keleluasaan kepada orang-orang yang akan menebangi hutan di lereng perbukitan.
Namun dalam pada itu. dua diantara para Senapati yang akan ikut dalam pasukan Akuwu itu adalah Senapati yang mempunyai sikap sendiri. Bahkan keduanya telah berhasil mengembangkan sikapnya kepada beberapa orang Senapati yang mereka percayai dan memiliki kecerdasan berpikir sehingga dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang hidup menghadapi persoalan Talang Amba. Dengan demikian, maka ada beberapa orang Senapati yang akan pergi ke Talang Amba dengan ciri-ciri yang sudah disepakati.
Namun dalam pada itu. Senapati yang telah berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu telah sempat memberitahukan kepada Ki Waruju, dimana mereka meletakkan kuda yang akan dapat dipakai oleh mereka berdua. Karena setelah Akuwu berangkat dengan pasukannya, maka Ki Sanggarana dan Ki Waruju pun akan berangkat pula ke Talang Amba. Namun seperti yang dipesankan oleh Senapati yang berpihak kepada Talang Amba itu, agar Ki Sendawa dan Ki Waruju mengambil jalan pintas, sehingga mereka akan dapat lebih dahulu sampai ke Talang Amba. Apalagi pasukan Gagelang yang kuat itu tidak seluruhnya berkuda, sehingga perjalanan mereka tentu jauh lebih lamban.
Dengan isyarat dan tanda-tanda kebesaran, pasukan Gagelang itu pun kemudian telah berangkat di bawah pimpinan Akuwu sendiri. Dengan pasukan yang kuat, maka Talang Amba tidak akan mampu bertahan untuk waktu seperempat hari. Kecuali jika anak-anak muda Talang Amba memang ingin membunuh diri mereka sendiri sampai orang yang terakhir.
Ki Waruju dan Ki Sanggarana yang ditahan di salah satu bilik di bagian belakang istana Akuwu itu pun mendengar suara sangkala di alun-alun. Dengan demikian, maka mereka pun mengetahui bahwa pasukan Akuwu benar-benar sudah berangkat.
“Apakah kita akan keluar sekarang?” bertanya Ki Waruju.
Ki Sanggarana masih juga ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Terserahlah kepada Ki Waruju. Aku hanya dapat mengikut saja apa yang Ki Waruju lakukan."
Ki Waruju menarik nafas dalam-dalam. Dari lubang udara ia tidak melihat apapun juga kecuali pepohonan yang bergoyang ditiup angin. Namun nampaknya Ki Waruju masih akan menunggu sejenak. Biarlah pasukan Akuwu itu sampai ke pinggir batas kota Gagelang. Baru kemudian Ki Waruju akan keluar dari halaman istana itu dan mengambil kuda yang sudah disediakan oleh Senapati yang telah mendahuluinya mengikuti pasukan Akuwu pergi ke Talang Amba.
Dalam pada itu, maka pasukan Akuwu pun berjalan menyusuri jalan raya dengan tanda-tanda kebesaran. Satu pasukan yang kuat, seolah-olah Gagelang memang sedang berperang melawan kekuatan yang sangat besar. Tidak seorang pun menyangka bahwa Gagelang hanya sekedar ingin menghukum seorang di Kabuyutan Talang Amba yang tidak mau mematuhi perintahnya. Tetapi perintah yang menyimpang dari paugeran dan kebenaran menurut tugas dan kewajiban Akuwu terhadap Singasari.
Ketika pasukan Akuwu sampai di batas kota, maka sebenarnyalah bahwa Ki Waruju tengah berusaha untuk membuka dinding di sudut biliknya. Ternyata dinding itu memang bukan dinding yang cukup kuat untuk mencegah rencana Ki Waruju keluar dari dalamnya. Dengan mengerahkan tenaga cadangannya, maka dinding bilik itu telah didorongnya perlahan-lahan, sehingga dinding itu pun telah terbuka.
“Keluarlah” desis Ki Waruju ketika ia melihat Ki Sanggarana agak ragu-ragu.
Namun akhirnya Ki Sanggarana itu pun keluar juga disusul oleh Ki Waruju. Tetapi demikian mereka berdiri diluar, maka keduanya terkejut melihat seorang pengawal yang mengawasi mereka dari kejauhan. Seorang pengawal yang membawa tombak telanjang.
“KI Waruju” desis Ki Sanggarana.
Ki Waruju menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya aku tidak ingin membunuh disini. Tetapi jika terpaksa, apa boleh buat”
Sanggarana menjadi tegang. Apa yang dapat mereka lakukan berdua di halaman istana Akuwu yang tentu dijaga oleh sekelompok pasukan yang kuat meskipun Akuwu sendiri sedang tidak berada di istana. Namun dalam pada itu, Ki Sanggarana pun kemudian menyadari, bahwa ia sedang mengemban satu tugas yang penting. Apapun yang terjadi, ia tidak boleh mengingkarinya.
Tetapi, kedua orang itu menjadi heran Pengawal itu ternyata tidak berbuat apa-apa. Ketika pengawal itu melihat kedua orang tawanan itu keluar dari biliknya, maka ia justru memberi isyarat dengan kepalanya, agar keduanya pergi ke arah yang ditunjukkannya.
Untuk sesaat Ki Waruju dan Ki Sanggarana masih ragu-ragu. Namun akhirnya Ki Waruju berkata "Mungkin pengawal itu termasuk pengawal yang berada di bawah pimpinan Senopati yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu”
Dengan demikian maka keduanya tidak berpikir lebih panjang lagi. Keduanya pun dengan tergesa-gesa telah pergi ke arah yang diisyaratkan oleh pengawal yang melihatnya. Demikianlah, akhirnya keduanya memang berhasil meloncat keluar dari halaman istana Akuwu. Dengan tergesa-gesa dan berlari-lari kecil keduanya telah pergi ke tempat yang sudah diberitahukan kepada mereka oleh Senopati yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu.
Ternyata Senapati itu tidak berbohong. Di sebuah rumah yang ditentukan, dua ekor kuda sudah disiapkan. Dengan demikian maka kedua orang itu pun dengan cepat telah meninggalkan Gagelang menuju ke Talang Amba lewat jalan memintas.
Dalam pada itu, pasukan Gagelang pun telah semakin jauh dari istana Akuwu mendekati Kabuyutan Talang Amba. Tetapi karena sebagian besar pengawal Gagelang yang kuat itu hanya berjalan kaki. maka perjalanan itu pun menjadi tidak terlalu cepat.
Sementara itu, Ki Waruju dan Ki Sanggarana berpacu dengan kuda mereka justru mengambil jalan memintas. Karena itu, maka seperti yang diperhitungkan, maka keduanya itu lebih dahulu sampai di Talang Amba dari pasukan Gagelang yang kuat. Kedatangan Ki Sanggarana dan Ki Waruju telah disambut oleh Ki Sendawa dan Mahisa Bungalan. Merekapun langsung membicarakan, langkah-langkah yang akan dapat mereka lakukan menghadapi pasukan Gagelang yang kuat.
“Kita harus menahan mereka dalam jarak tertentu” berkata Mahisa Bungalan.
Ki Waruju mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat Ngger. Agaknya senjata jarak jauh akan sangat bermanfaat, justru anak-anak muda Talang Amba tidak memiliki kemampuan mempermainkan senjata”
“Tetapi apakah hal itu tidak akan membuat pasukan Gagelang menjadi marah dan garang? Apalagi jika diantara mereka kemudian jatuh korban lebih dahulu. Mereka tentu akan membalas setiap nyawa dengan sepuluh kali lipat” potong Ki Sanggarana.
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Hal itu memang mungkin terjadi. Tetapi jika kedua pasukan itu langsung berbenturan, maka korban di pihak Talang Amba pun tentu tidak akan terhitung jumlahnya. Namun agaknya tidak ada jalan lain untuk menghadapi pasukan Gagelang jika orang-orang Talang Amba ingin mempertahankan kampung halamannya dari perangkap orang-orang yang telah menantang kekuasaan Singasari.
Karena itu. maka akhirnya Mahisa Bungalan berkata, “Segala usaha memang dapat ditempuh. Aku tetap berpendirian, bahwa sebaiknya anak-anak muda Talang Amba memanfaatkan senjata jarak jauh. Mereka akan mempergunakan anak panah dan kemudian lembing-lembing dengan bedor besi seperti yang akan mereka pergunakan sebagai tombak. Namun menurut pendapatku jumlahnya cukup banyak, seandainya lembing-lembing itu dipergunakan untuk melakukan serangan berjarak. Sementara itu, sebelum segalanya terjadi, aku akan berusaha untuk mencegah pertempuran itu sambil melihat, apa benar diantara pasukan Akuwu ada yang mempergunakan isyarat seperti yang dikatakan oleh Senapati yang pernah datang ke Talang Amba bersama Ki Waruju”
“Apa yang akan kau lakukan Ngger?” bertanya Ki Waruju.
“Aku akan mempergunakan pakaian kebesaranku sebagai seorang Senapati dari Singasari bersama kedua orang kawanku. Aku ingin mencegah Sang Akuwu bertindak terlalu jauh. Jika ia memaksa, berarti bahwa ia benar-benar telah melawan Singasari karena aku adalah petugas yang sah dari Singasari”
Ki Waruju mengangguk-angguk. Katanya, “Terserah kepada Angger Mahisa Bungalan.
“Tetapi sementara itu, senjata berjarak itu harus sudah siap. Jika usahaku gagal, aku akan mundur dan memasuki pertahanan Talang Amba yang akan kita bangun di padukuhan ujung itu” berkata Mahisa Bungalan.
“Baiklah, Pasukan Akuwu kini tentu sudah menjadi semakin dekat. Karena itu. kita harus segera bersiap” berkata Ki Sendawa kemudian.
Demikianlah, maka anak-anak muda dan bahkan hampir semua laki-laki di Talang Amba telah bersiap di beberapa buah padukuhan yang terdekat dengan jalur jalan yang akan dilalui pasukan Gagelang menurut perhitungan mereka. Sementara itu, Mahisa Bungalan dan kedua orang kawannya telah mengenakan pakaian kebesaran mereka sebagai Senapati dari Singasari. Sementara itu, maka beberapa orang lainnya pun telah disebar untuk memimpin kelompok-kelompok orang-orang Talang Amba yang bersikap di beberapa padukuhan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada di padukuhan yang langsung dibelah oleh jalan dari Gagelang yang menurut perhitungan akan dilalui oleh pasukan Akuwu. Sementara itu, Ki Sendawa dan Ki Sanggarana berada di padukuhan sebelah kanan, sedangkan Ki Waruju dan salah seorang murid Ki Sarpa Kuning berada di sebelah kiri. Jika pasukan Akuwu itu memang harus dilawannya, maka orang-orang Talang Amba yang ada di padukuhan sebelah menyebelah itu akan menyerang pasukan lawan dari arah lambung, dengan perhitungan, maka lontaran anak panah yang terlepas dari busurnya, akan dapat mencapai sasaran.
Dalam pada itu, jika Mahisa Bungalan gagal menahan pasukan Akuwu dari Gagelang itu, maka ia akan memasuki pertahanan yang berada di tengah, bergabung dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Demikianlah, maka Mahisa Bungalan pun telah bersiap di atas panggung kuda bersama dua orang Senapati yang lain untuk menyongsong pasukan Akuwu demikian mereka melihat pasukan itu dari kejauhan.
Ternyata Mahisa Bungalan tidak perlu menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian, maka mereka pun telah melihat sebuah iring-iringan di seberang bulak panjang dihadapan mereka. Seorang pengamat yang memanjat sebatang pohon segera memberikan isyarat, bahwa pasukan itu memang sudah datang.
Mahisa Bungalan dan kedua Senapati pembantunya itu pun kemudian telah memacu kudanya menyongsong iring-iringan yang datang itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Jika Akuwu Gagelang sudah kehilangan nalarnya sama sekali, maka ia dan pasukannya akan dapat menangkap Mahisa Bungalan.
Dalam pada itu, pasukan yang dipimpin langsung oleh Akuwu Gagelang yang dibayangi oleh seorang Pangeran dari Kediri dalam pakaian seorang pengawal itu pun telah mendekati sasaran. Namun Akuwu Gagelang menjadi berdebar-debar ketika di hadapannya muncul tiga orang dalam pakaian kebesaran Senapati dari Singasari.
“Siapakah mereka?” bertanya Akuwu Gagelang. Wajah-wajah pun menjadi tegang. Sementara Mahisa Bungalan menjadi semakin dekat.
“Kita jangan terpengaruh oleh penglihatan kita tanpa penalaran” berkata seorang pengawal yang sebenarnya adalah seorang Pangeran dari Kediri yang dalam keadaan sehari-hari bertugas sebagai juru taman di istana Akuwu Gagelang.
Akuwu Gagelang itu pun mengangguk-angguk. Namun pakaian kebesaran Senapati dari Singasari itu benar-benar telah membuatnya menjadi berdebar-debar.
Mahisa Bungalan dan dua orang Senapati dari Singasari itu pun semakin lama menjadi semakin dekat. Bahkan kemudian, Mahisa Bungalan itu pun langsung menuju ke hadapan Akuwu Gagelang yang juga berada di punggung kuda. Namun segala macam pertanda kebesaran yang dibawa oleh pasukan Akuwu itu telah menunjukkan, bahwa orang berkuda di paling depan, diapit oleh dua orang pengawal itu adalah Akuwu dari Gagelang yang memimpin langsung pasukannya yang akan menghukum Kabuyutan Talang Amba yang sudah menentang kehendak Akuwu, bahwa berniat untuk menjebak Akuwu dengan sikap pura-pura Ki Sendawa.
Beberapa langkah dihadapan iring-iringan pasukan dari Gagelang itu. Mahisa Bungalan berhenti. Dengan isyarat pula ia telah menghentikan iring-iringan pasukan Akuwu Gagelang. Ketika pasukan Akuwu itu pun berhenti beberapa langkah dihadapan Mahisa Bungalan. maka Mahisa Bungalan itu pun kemudian mengangguk hormat sambil bertanya, “Apakah aku berhadapan dengan Akuwu di Gagelang?”
Akuwu di Gagelang itu pun mengangguk pula sambil menjawab, “Ya Ki Sanak. Kau berhadapan dengan Akuwu di Gagelang”
“Terima kasih” jawab Mahisa Bungalan. Lalu katanya, “Aku sudah mendengar laporan tentang segala peristiwa yang terjadi di Gagelang, termasuk Talang Amba. Karena itu. maka aku datang untuk melihat langsung kebenaran laporan itu”
Akuwu Gagelang mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia bertanya, “Laporan yang sampai ke Singasari itu, apakah laporan resmi dari Gagelang? Sebab hanya Akuwu di Gagelang sajalah yang wajib memberikan laporan dan dipercaya oleh Singasari”
“Apakah Gagelang pernah memberikan laporan tentang peristiwa yang terjadi di Talang Amba?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Laporan itu akan Kami berikan jika persoalannya sudah selesai. Seperti yang Ki Sanak lihat, aku sedang berusaha menyelesaikan persoalan yang terjadi di Talang Amba” jawab Akuwu di Gagelang.
“Kau telah mengerahkan pasukan segelar sepapan. Tindakan ini adalah tindakan yang berat. Tindakan semacam ini seharusnya sudah diketahui oleh Singasari lewat laporan yang diberikan oleh Akuwu, karena tindakan ini akan menyangkut pertumpahan darah” berkata Mahisa Bungalan.
“Aku akan menghukum mereka yang telah bersalah. Mereka yang tidak mengakui kuasa Singasari yang dilaksanakan oleh Akuwu di Gagelang” jawab Akuwu.
“Tetapi ketahuilah Sang Akuwu, bahwa laporan yang sampai ke Singasari berbeda dari yang Akuwu katakan. Laporan yang kami terima dari petugas-petugas sandi kami” berkata Mahisa Bungalan, “nampaknya ada sesuatu yang sengaja Akuwu sembunyikan dalam peristiwa ini”
“Ki Sanak” berkata Akuwu, “Aku adalah Akuwu yang mendapat limpahan kuasa sepenuhnya dari Singasari untuk memerintah di Pakuwon Gagelang. Karena itu. jangan mencampuri persoalan kami dengan Talang Amba. Pada saatnya kami akan memberikan laporan selengkapnya. Langsung kepada Sri Maharaja, karena aku hanya bertanggung jawab kepada Sri Maharaja”
“Sebagai Senapati, maka aku pun mendapat limpahan kuasa dari Sri Maharaja. Aku bertugas untuk membantu penyelesaian persoalan yang terjadi di Gagelang” berkata Mahisa Bungalan kemudian.
Akuwu di Gagelang mengerutkan keningnya. Sementara itu pengawal yang mendampinginya berkata, “Akuwu harus bersikap tegas”
Akuwu itu menjadi semakin tegang. Bagaimanapun juga sikap Mahisa Bungalan itu telah mempengaruhinya. Namun pengawal yang sebenarnya adalah seorang Pangeran dari Kediri itu mempunyai pengaruh yang terlalu besar pada dirinya, sehingga karena itu, maka ia sama sekali tidak dapat melepaskan dirinya.
“Jawablah” desis Pangeran itu.
Akuwu memandang Mahisa Bungalan dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Ki Sanak. Aku tahu bahwa Ki Sanak adalah seorang Senapati menurut ujud wadag yang dapat aku lihat. Tetapi sebaiknya Ki Sanak tidak mengganggu tugasku. Biarlah aku menyelesaikan tugasku dengan sebaik-baiknya agar aku tidak dianggap bersalah oleh pemimpin pemerintahan di Singasari”
“Marilah kita berusaha menyelesaikan persoalan ini dengan sebaik-baiknya” berkata Mahisa Bungalan, “tidak harus dengan pertumpahan darah yang akan melihat persoalan ini dari sudut yang benar dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat kita tempuh. Aku akan membantu. Tetapi Akuwu harus mencegah pertumpahan darah yang mungkin dapat terjadi pada hari ini”
“Aku mengerti maksud Ki Sanak. Tetapi itu tidak adil. Yang bersalah harus dihukum” jawab Akuwu.
“Kita harus menemukan siapa yang bersalah itu” berkata Mahisa Bungalan kemudian.
Wajah Akuwu menjadi bertambah tegang. Bahkan seolah-olah Mahisa Bungalan akan langsung menganggap bahwa ialah yang telah bersalah. Karena itu, maka katanya kemudian, “Sudahlah. Tidak ada gunanya kau mencampuri persoalan kami”
“Aku adalah seorang Senapati yang bertugas. Karena itu, maka aku akan mempergunakan segala wewenang yang ada padaku untuk mencegah pertumpahan darah ini”
“Aku peringatkan agar Ki Sanak menepi. Jika Ki Sanak masih tetap ingin mengganggu tugasku, maka akan dapat bersikap tegas demi kedudukanku dan kuasa yang diberikan oleh Sri Maharaja di Singasari” jawab Akuwu di Gagelang.
Wajah Mahisa Bungalan terasa menjadi panas. Tetapi ia masih menyadari kedudukannya. Karena itu, maka katanya, “Jadi Akuwu menolak kehadiran kami dalam tugas ini?”
“Maaf Ki Sanak. Aku berkeberatan” jawab Akuwu.
“Jika demikian, Akuwu telah menolak perintah yang aku emban. Akuwu akan memaksakan pertumpahan darah terjadi di Gagelang. Mungkin Akuwu akan dapat memberikan laporan yang lain kepada para pemimpin di Singasari. Tetapi tanpa kehadiranku. Sekarang aku disini. Laporan Akuwu akan dinilai dan diperbandingkan dengan laporanku” geram Mahisa Bungalan.
Namun tiba-tiba Pangeran dari Kediri yang melihat hati Akuwu menjadi goyah dan terguncang-guncang telah berkata, “Laporan itu tidak akan pernah dapat kau buat”
Kata-kata pengawal itu membuat darah Mahisa Bungalan bagaikan mendidih, ia mengerti makna dari kata-kata itu. Karena itu maka katanya, “Akuwu di Gagelang. Apakah kata-kata yang diucapkan oleh pengawalmu itu juga kata-kata yang akan kau ucapkan”
Jantung Akuwu di Gagelang menjadi berdebar-debar. Sekilas dipandanginya wajah Pangeran yang berpakaian sebagai seorang pengawal itu. Lalu, katanya dengan ragu, “Ya Ki Sanak. Aku memang sudah berketetapan hati”
Jawaban itu terasa bagaikan bara api yang menyentuh telinga Mahisa Bungalan. Karena itu, maka katanya, “Jika demikian, aku akan berada diantara orang-orang Talang Amba. Kita akan melihat kelak, siapakah yang tidak akan dapat membuat laporan. Aku atau Akuwu di Gagelang. Meskipun menurut gelar kewadagan, pasukan Talang Amba bukan tandingan dari pasukan Gagelang, tetapi kita akan melihat, apakah Talang Amba akan mendapat perlindungan dari Sang Maha Kuasa”
Mahisa Bungalan tidak menunggu jawaban lagi. Iapun segera menarik kekang kudanya dan memberi isyarat kepada kedua orang Senapatinya untuk kembali ke Talang Amba.
Akuwu tidak mencegahnya atau memberikan perintah untuk mengejarnya. Dibiarkannya Mahisa Bungalan bergabung dengan orang-orang Talang Amba yang menurut perhitungannya tidak akan dapat bertahan terlalu lama. Dalam sekejap Talang Amba tentu sudah akan disapu bersih.
Sementara itu Pangeran dari Kediri itu berkata, “Ketiga orang Senapati dari Singasari itu harus terbunuh dalam pertempuran ini, sehingga mereka tidak akan dapat memberikan laporan apapun juga. Sementara itu, kita harus menyusun satu ceritera tentang peristiwa yang terjadi sekarang ini. Sendawa , dan para pemimpin di Talang Amba harus mati juga dalam peperangan ini”
Akuwu di Gagelang mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah, ketika Mahisa Bungalan telah mendekati regol padukuhan yang berada dihadapan pasukan Gagelang, maka Akuwu pun telah memberikan isyarat kepada pasukannya untuk bersiap-siap. Katanya, “Agaknya Talang Amba benar-benar akan melawan”
Keterangan itu pun kemudian menjalar dari seorang Senapati kepada Senapati yang lain, sehingga Gagelang benar-benar telah mempersiapkan diri untuk berperang. Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang meninggalkan pasukan Gagelang itu pun bertanya kepada kedua kawannya, “Apakah kalian melihat isyarat seperti yang dikatakan oleh Senapati Gagelang yang datang ke Talang Amba bersama Ki Waruju itu?”
“Ya, aku melihat seorang Senapati memakai ciri seperti yang pernah dikatakan” jawab seorang kawannya.
“Bagus” berkata Mahisa Bungalan, “setidak-tidaknya kita mempunyai kawan untuk memecahkan pemusatan kekuatan pasukan Gagelang, sehingga mereka tidak semata-mata membantai anak-anak muda Talang Amba saja."
Namun demikian, Mahisa Bungalan dan kedua Senapati itu masih meragukan jumlah pasukan Gagelang yang akan dapat membantu orang-orang Talang Amba. Jika jumlah mereka terlalu sedikit, maka akibatnya pun akan dapat menjadi parah.
“Tetapi orang-orang Talang Amba sudah bertekad bulat untuk melawan” berkata Mahisa Bungalan kemudian. Lalu, “Dengan demikian, maka kita pun akan membantu mereka dengan sepenuh kemampuan yang ada pada kita. Mungkin Akuwu memerlukan lawan yang mapan. Selebihnya, pengawal yang dengan berani mencampuri pembicaraanku dengan Akuwu di Gagelang itu juga memerlukan perhatian tersendiri”
“Ya jawab kawannya agaknya orang itu mempunyai pengaruh yang besar kepada Akuwu jauh melampaui ujudnya sebagai seorang pengawal”
“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus berhati-hati” berkata Mahisa Bungalan, “Aku yakin, mereka memiliki kemampuan melampaui para pengawal Gagelang. Tetapi ia akan bertempur diantara anak-anak muda yang kurang memiliki pengalaman dan kemampuan”
“Tugas kita memang sangat berat” jawab kawannya yang lain.
“Nampaknya memang demikian. Tetapi kita masih berpengharapan bahwa Ki Waruju akan dapat memanfaatkan kemampuannya untuk mengurangi korban diantara anak-anak Talang Amba” desis Mahisa Bungalan”
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan pun segera memasuki padukuhan yang akan menjadi sasaran pertama pasukan Akuwu Gagelang, karena padukuhan itu berada di jalan-jalan yang dilalui oleh pasukan Akuwu. Meskipun agaknya Akuwu akan menuju ke padukuhan induk kabuyutan Talang Amba, tetapi atas beberapa petunjuk, kekuatan Talang Amba tidak diletakkan di padukuhan induk, tetapi di padukuhan pertama yang akan dilalui oleh pasukan Akuwu.
Dari kejauhan Akuwu sudah melihat padukuhan itu. Agaknya iapun sudah menduga, bahwa pasukan Talang Amba berada di padukuhan di hadapannya itu. Tidak di padukuhan induk. Karena itu, maka Akuwu pun mulai memperlambat pasukannya. Akuwu pun kemudian memberikan isyarat, agar pasukannya menjadi berhati-hati. Semua orang di dalam pasukan itu harus bersiap.
Dalam pada itu, pasukan Talang Amba pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Mereka ternyata menjadi berdebar-debar juga. Mereka bukan orang-orang yang mempunyai pengalaman berperang. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Ternyata pertentangan antara Ki Sanggarana dan Ki Sendawa ada juga manfaatnya”
“Apa?” bertanya kawannya.
“Kita sudah mempersiapkan senjata dan serba sedikit kita sudah memperkenalkan diri bagaimana kita harus menggenggam pedang, atau memegangi landean atau tombak” jawab orang yang pertama-tama itu.
“Ya” jawab kawannya. “Kita telah mempersiapkan busur dan anak panah yang anti akan kita pergunakan”
Kawannya mengangguk-angguk. Namun, debar jantungnya menjadi kian cepat ketika mereka melihat pasukan Akuwu menjadi semakin dekat dan kemudian berhenti beberapa puluh langkah dari pasukan Talang Amba
Ternyata Akuwu cukup berhati-hati. Pasukannya tidak langsung memasuki padukuhan. Tetapi pasukan itu telah menebar. Mereka akan memasuki padukuhan dalam gelar. Mereka tidak menyusuri jalan dan memasuki regol berurutan memanjang. Tetapi mereka akan memasuki padukuhan itu dalam tebaran yang memanjang dari ujung sampai ke ujung padukuhan. Mereka akan memasuki padukuhan dengan meloncati dinding-dinding pagar dan melintas di sepanjang kebun dan halaman.
“Jika mereka menemui lawan di padukuhan ini, maka mereka akan bertempur dan menghancurkan lawan mereka. Kemudian mendesak lawannya dalam jajaran yang rapat dan tidak seorang pun akan dapat terlepas dari jaring mereka” berkata Mahisa Bungalan kepada kawan-kawannya dan kepada kedua adiknya.
“Mudah-mudahan orang-orang Talang Amba di padukuhan-padukuhan sebelah juga sudah siap. Mereka akan menyerang dari lambung dengan senjata jarak jauh pula” desis Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah Ki Sanggarana benar-benar menjadi cemas. Ia sudah membayangkan bahwa korban akan berserakan di pematang, halaman dan kebun padukuhan-padukuhan di Talang Amba. Anak-anak muda akan menjadi sasaran kemarahan para pengawal yang akan mendapat serangan lebih dahulu dengan anak panah dan lembing-lembing. Satu saja diantara mereka menjadi korban, maka mereka akan menuntut sepuluh orang sebagai gantinya.
Namun Ki Sanggarana masih berharap bahwa Senapati Gagelang yang tidak senang melihat sikap Akuwu itu akan menepati janji. Tetapi seperti yang diragukan oleh setiap pemimpin dari Talang Amba, seberapa jumlah mereka yang bersedia berpihak kepada Talang Amba. Apalagi jika mereka sudah berada di dalam pasukan segelar sepapan seperti itu. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Tidak ada jalan lagi untuk kembali, sehingga oleh karena itu, maka orang-orang Talang Amba harus benar-benar siap untuk berperang.
Demikianlah, pasukan Gagelang dalam tebaran yang memanjang merayap semakin mendekati padukuhan. Setiap jantung pun kemudian berdetak semakin cepat. Orang-orang Talang Amba benar-benar menjadi berdebar-debar. Sedangkan bagi orang-orang yang berada di dalam pasukan Akuwu di Gagelang. Mereka rasa-rasanya tidak sedang bertugas dalam gelar perang. Mereka seolah-olah sedang beramai-ramai berburu seekor kijang di padang rumput di satu pagi yang cerah.
Ketika pasukan itu kemudian menjadi semakin dekat, maka Mahisa Bungalan pun telah memberikan isyarat untuk bersiap sepenuhnya. Dalam ketegangan itu, tiba-tiba sebuah panah sendaren telah meluncur ke udara ke arah padukuhan yang menjadi sasaran pasukan Gagelang, disusul oleh panah sendaren yang lain ke arah padukuhan di sebelah yang lain pula.
Panah-panah sendaren itu adalah perintah kepada orang-orang Talang Amba yang berada di padukuhan sebelah menyebelah untuk mulai menahan gerak maju pasukan Gagelang dari arah lambung. Dengan demikian, maka sejenak kemudian, sebenarnyalah, orang-orang Talang Amba di padukuhan sebelah menyebelah itu telah bersikap dengan anak panah mereka.
Ki Sendawa dan Ki Sanggarana yang berada di Padukuhan sebelah kanan tidak dapat berbuat lain. Betapapun mereka mencemaskan nasib orang-orang Talang Amba, namun mereka menyadari bahwa yang mereka hadapi bukannya Akuwu yang patuh terhadap kewajibannya dan bertanggung jawab kepada Sri Maharaja di Singasari, namun justru sebaliknya. Akuwu di Gagelang telah berhubungan dengan seseorang yang justru berniat untuk melawan Singasari.
Karena itu, maka orang-orang Talang Amba telah bertekad untuk melawan meskipun mereka menyadari, bahwa mereka tidak memiliki bekal yang cukup. Namun kesediaan beberapa orang Senapati dari Gagelang sendiri untuk berpihak kepada mereka, serta kehadiran Mahisa Bungalan dan dua orang Senapati lainnya dari Singasari telah membuat tekad orang-orang Talang Amba menjadi semakin mantap.
Merekapun telah menyadari, seandainya mereka tidak melawan sekalipun, nasib mereka tentu akan menjadi sangat buruk, karena Akuwu di Gagelang nampaknya mengerti, bahwa sebenarnya orang-orang Talang Amba tidak akan dapat tunduk kepada perintahnya yang menyalahi kesetiaannya sebagai seorang Akuwu.
Dalam pada itu, maka panah-panah sendaren itu pun telah memperingatkan pasukan Akuwu di Gagelang, bahwa isyarat itu tentu mengandung makna. Sebenarnyalah, bahwa sejenak kemudian, panah sendaren yang kedua pun telah meluncur di udara. Langsung disusul dengan serangan orang-orang Talang Amba ke arah lambung pasukan Akuwu Gagelang yang bergerak maju dengan anak panah pula.
Para pengawal dari Gagelang itu tidak terkejut. Meskipun mereka harus berusaha untuk melindungi diri mereka dengan perisai atau senjata yang ada pada mereka, namun serangan itu benar-benar merupakan perintah untuk bertindak. Tanpa menunggu lebih lama lagi, atas isyarat dari Akuwu Gagelang, perintah pun segera dijatuhkan.
Senapati yang berkuda di sebelah Akuwu telah meneriakkan perintah untuk langsung menyerang dan memecah pasukan Gagelang ke arah tiga sasaran. Induk pasukan Gagelang akan menyerang pasukan yang ada dihadapan mereka, sedang ujung-ujung pasukan itu akan berbelok arah menghadapi padukuhan-padukuhan di sebelah menyebelah. Sementara itu, orang-orang Talang Amba yang merasa diri mereka tidak memiliki bekal kemampuan sebagaimana para pengawal dari Gagelang, telah melontarkan anak-panah sebanyak dapat mereka lakukan.
Ternyata bahwa hujan anak panah itu mempunyai pengaruh juga atas pasukan Gagelang. Langkah mereka menjadi tersendat-sendat. Bahkan, betapapun juga, anak-panah orang-orang Talang Amba itu juga berujung runcing dan mampu menembus kulit para pengawal dari Gagelang. Karena itu, satu dua orang pengawal dari Gagelang yang lengah telah terpatuk oleh ujung anak panah orang-orang Talang Amba.
Namun ternyata bahwa darah yang telah menitik, membuat orang-orang Gagelang benar-benar menjadi marah. Akuwu dan pengawal pengapitnya, yang salah seorang di antaranya adalah Pangeran dari Kediri itu, telah menjadi marah pula karenanya.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, Akuwu pun telah memberikan isyarat, agar para pengawal dari Gagelang, bertindak lebih cepat lagi. Tidak ada pertimbangan apapun lagi yang akan dapat menolong orang-orang Talang Amba dari malapetaka. Perintah Akuwu menjadi tegas. Hancurkan orang-orang yang tetap melawan. Sementara mereka yang menyerah masih dapat dipertimbangkan meskipun mereka tidak akan luput dari hukuman.
Karena itulah, maka para pengawal dari Gagelang itu bergerak lebih cepat. Mereka yang berada dalam kelompok pengawal yang mempergunakan perisai telah bergeser di paling depan. Sementara yang lain berusaha untuk berlindung di belakang pasukan yang mempergunakan perisai itu.
Tetapi orang-orang Talang Amba telah berusaha menyusupkan anak panah mereka ke sela-sela perisai yang melindungi pasukan Gagelang, sementara yang lain telah dilontarkan melampaui perisai yang merapat di depan pasukan yang bergerak maju itu.
Kemarahan orang-orang Gagelang menjadi semakin memuncak. Sambil berteriak nyaring, maka pasukan itu justru telah meluncur semakin cepat tanpa menghiraukan hujan anak panah yang menjadi semakin lebat.
Namun dalam pada itu, ketika pasukan Gagelang itu menjadi semakin dekat dengan sasaran, tiba-tiba saja telah terjadi sesuatu yang sangat mengejutkan mereka dan sangat mengejutkan Akuwu serta kedua Senapati pengapitnya. Dari antara pasukan Gagelang itu telah terdengar satu teriakan nyaring mengatasi segala macam suara yang terdapat di medan. Kemudian disusul dengan teriakan-teriakan yang lain merayap diantara para pengawal dari Gagelang terutama mereka yang berada di bagian belakang.
Sejenak kemudian, seolah-olah pasukan Gagelang itu telah terbelah. Bagian yang berada di belakang dari pasukan Gagelang itu telah memisahkan diri. Mereka dengan cepat telah mengambil jarak. Perubahan susunan pasukan Gagelang itu membuat orang-orang Talang Amba menjadi berdebar-debar. Mahisa Bungalan dan kedua kawannya menyaksikan perubahan itu dengan jantung yang bergejolak.
“Ternyata di Gagelang masih juga ada orang yang mempunyai penglihatan bening atas tingkah laku Akuwunya” desis Mahisa Bungalan.
Kedua kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti bergumam, “Senapati itu telah memenuhi janjinya”
Dalam pada itu, seperti yang telah dijanjikan, maka para pengawal dari Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu pun telah mengenakan ciri-ciri yang sudah disepakati. Namun diantara mereka yang tidak memiliki pertanda yang telah ditetapkan, telah mempergunakan janur kuning. Ternyata mereka telah membawa janur kuning yang tersembunyi. Baru setelah isyarat itu diberikan, mereka telah mengenakan pertanda itu di tempat yang jelas pada tubuh mereka. Ada yang dipergunakan sebagai kalung di leher. Tetapi ada juga yang dikenakan dilengan atau dililitkan pada dahi mereka, atau pada kedua pergelangan tangan mereka.
Dalam pada itu, Akuwu yang sangat terkejut telah tertegun di tempatnya, sementara pasukannya yang bergerak langsung ke padukuhan yang berada dihadapan telah terhenti pula. “Lihat, apa yang telah terjadi” perintah Akuwu.
Pangeran yang dalam wujudnya sebagai pengawal itu menggeram, la mengulangi perintah Akuwu itu kepada pengawal pengapit yang lain, “Cepat. Beri aku laporan segera”
Pengawal itu pun kemudian bergeser dari tempatnya, ia pun segera menyusup diantara pasukan Gagelang dengan membawa dua orang pengawal yang lain. Ketika ia berada di batas pasukan yang menyibak itu, maka iapun bertanya kepada seorang pemimpin kelompok yang sedang kebingungan, “Apa yang sudah terjadi?”
“Aku kurang mengerti. Tetapi Senapati itu telah membawa pasukannya memisahkan diri. Juga ada beberapa kelompok pasukan di kedua sayap itu yang memisahkan diri pula”
Pengawal itu menggeram. Kemudian iapun berdiri diantara para pengawal yang termangu-mangu itu sambil menghadap ke arah pasukan yang telah memisahkan diri itu. Dengan nada tinggi ia berteriak nyaring, “He, apakah maksud kalian dengan sikap yang kalian ambil tanpa ada perintah itu?”
Senapati yang memimpin pasukan yang memisahkan diri itu pun kemudian berdiri di depan pasukannya sambil menjawab, “kami mempunyai sikap sendiri”
“Ya. Katakan, sikap yang manakah yang telah kalian ambil itu?” bertanya Pengawal Pengapit itu.
Senapati itu termenung sejenak Ketika ia menebarkan pandangannya, maka dilihatnya seakan-akan pertempuran di depan padukuhan-padukuhan itu pun telah terhenti. Orang-orang Talang Amba tidak lagi meluncurkan anak panah ke arah orang-orang Gagelang yang tertegun dan bahkan justru berpaling. Namun peristiwa yang mengejutkan itu telah merampas semua perhatian kedua belah pihak.
Namun sejenak kemudian, maka iapun berkata, “Jelaskan sikapku kepada Akuwu. Aku tidak suka kepada langkah-langkah yang diambilnya”
"Tetapi kau adalah prajurit. Kau harus tunduk kepada semua perintah yang diberikan kepadamu” berkata pengawal itu.
“Aku memang seorang prajurit. Tetapi Akuwu tidak berhak memerintahkan aku untuk memberontak terhadap Singasari” jawab Senapati itu, “aku tahu. bahwa langkah Akuwu sekarang ini adalah ungkapan dari sikap perlawanannya terhadap Singasari meskipun seolah-olah ia masih tetap merupakan seorang Akuwu yang setia. Tetapi setiap orang di Gagelang kini mengetahui, siapakah sebenarnya Akuwu yang selama ini mereka sembah. Langkah-langkah yang diambil di Talang Amba telah menunjukkan, siapa sebenarnya Akuwu di Gagelang dan bagaimana sikapnya terhadap Singasari dan terhadap Kediri."
“Omong kosong” teriak pengawal itu kau jangan memutar balikkan kenyataan. Kalau yang sekarang memberontak melawan kekuasaan yang sah berdasarkan atas limpahan kekuasaan Sri Maharaja di Singasari. Karena itu, sebelum semuanya terlanjur, menyerahlah”
“Aku sudah mengambil keputusan. Aku takut melawan kekuasaan Singasari. Karena itu lebih baik aku melawan kekuasaan Gagelang saja” jawab Senapati itu
“Jumlah pasukan yang dapat kau racuni tidak seimbang dengan mereka yang masih tetap setia kepada Akuwu. Coba katakan, apa yang dapat kau lakukan?” bertanya pengawal itu.
“Apapun yang terjadi, kami sudah menentukan sikap. Kami tidak akan memberontak melawan Singasari. Karena kami adalah prajurit, maka kemungkinan yang paling pahit pun telah kami perhitungkan. Dan kami adalah pasukan yang setia sampai di ambang maut sekalipun” jawab Senapati itu.
“Omong kosong” geram Pengawal yang marah itu, “Kau telah merusak segala rencana. Tetapi jika kau tetap pada pendirianmu, maka hal itu tidak akan terlalu banyak mengganggu. Jumlah kalian terlalu sedikit. Karena itu. maka orang-orang Talang Amba justru akan mengalami nasib yang lebih buruk lagi, karena dengan demikian maka penumpasan terhadap mereka pun akan dipercepat, karena pasukan Gagelang masih harus melawan orang-orangnya sendiri yang berkhianat”
“Terserah apa yang akan kalian lakukan” jawab Senapati itu, “tetapi kami sudah siap. Mati adalah akibat wajar dari seorang prajurit yang memeluk keyakinan kebenaran. Karena itu, silahkan, mengambil satu langkah menghadapi sikap kami. Sementara itu jumlah kami yang sedikit, akan bergabung dengan orang-orang Talang Amba”
Pengawal itu menggeram. Kemarahan memancar di wajahnya. Senapati itu benar-benar telah mengganggu semua rencana yang sudah disusun sebaik-baiknya. Termasuk usaha mereka untuk melenyapkan semua bekas tindakan Akuwu yang bertentangan dengan keinginan Singasari termasuk melenyapkan tiga orang Senapati Singasari yang ada di Talang Amba.
Karena itu maka tidak ada jalan lain kecuali menghancurkan orang-orang Talang Amba sekaligus para pengawal yang telah melawan kehendak Akuwu Di Gagelang itu. Mereka tidak boleh menjadi sumber keterangan yang akan dapat membuka rahasia Akuwu di Gagelang itu kepada pimpinan di Singasari sampai saatnya beberapa Pangeran di Kediri menganggap saatnya telah tiba.
Karena itu, maka sejenak kemudian iapun berteriak, “Baiklah Senapati yang dungu. Kalian memang harus dibinasakan sempai orang yang terakhir”
Dengan jantung yang berdebaran. kemarahan yang menghentak di dadanya, maka pengawal itu pun segera kembali kepada Akuwu di Gagelang yang menunggunya dengan hampir tidak sabar. Demikian Akuwu mendengar laporan, maka dengan gigi yang gemeretak Akuwu memerintahkan agar pasukannya segera bergerak menghancurkan orang-orang Talang Amba dan pasukan Gagelang yang telah melawan.
“Jumlah mereka tidak terlalu banyak” berkata pengawal yang telah melihat pasukan yang memisahkan diri itu.
“Cepat, hancurkan saja mereka” perintah Akuwu, “kita tidak boleh terlalu baik hati kepada orang-orang yang telah memberontak. Orang-orang yang telah menodai perjuangan Pakuwon Gagelang untuk mencapai satu cita-cita yang sejalan dengan perintah dari Singasari.
Demikianlah maka perintah itu pun segera mengumandangkan. Pasukan Gagelang pun segera bersiap menghadapi dua jenis lawan. Orang-orang Gagelang yang tidak memiliki kemampuan bertempur sama sekali dan sekelompok pasukan Gagelang sendiri.
Dalam pada itu, beberapa orang Senapati yang menyatakan diri melawan niat Akuwu yang bertentangan dengan tugas-tugasnya yang sebenarnya itu menyadari, bahwa jumlah mereka dibanding dengan pasukan Gagelang seluruhnya memang terlalu kecil. Tetapi mereka berharap bahwa orang-orang Talang Amba yang jumlahnya cukup banyak, akan dapat menarik perhatian sebagian pasukan Gagelang. sementara itu kekuatan para Senapati yang tidak terlalu banyak itu mendapat kesempatan untuk merubah keseimbangan.
Namun para Senapati itu masih juga memikirkan nasib orang-orang Gagelang. Jika para pengawal itu harus menebus langkah mereka dengan kematian. Bagi mereka tidak lagi menjadi persoalan. Tetapi jika orang-orang Talang Amba itu benar-benar akan dibinasakan, maka nasib mereka memang kurang baik.
Dalam pada itu, maka pasukan Gagelang yang setia kepada Akuwu pun segan mulai bergerak. Mereka masih tetap menuju ketiga sasaran. Namun sebagian dari mereka harus berkisar untuk menghadapi pasukan Gagelang yang telah memisahkan diri. Lawan mereka bukan sekedar anak-anak Talang Amba yang tidak tahu apa-apa. Tetapi lawan mereka adalah para pengawal yang memiliki kemampuan seperti pasukan Gagelang yang lain.
Sementara itu, orang-orang Talang Amba yang menyadari, bahwa pasukan Gagelang telah kembali bergerak ke arah mereka, maka mereka pun telah mempersiapkan anak panah dan busur mereka kembali. Mereka harus menghambat gerak pasukan Gagelang dan bahkan mengurangi jumlah mereka.
Namun para pengawal Gagelang yang sudah terlatih dan berpengalaman itu pun dengan cerdik telah melindungi diri mereka, meskipun ada juga anak panah orang Talang Amba yang menyayat kulit satu dua orang pengawal dari Gagelang.
Pertempuran justru lebih dahulu telah terjadi antara pasukan Gagelang yang saling memisahkan diri itu. Pertempuran yang berkobar dengan dahsyatnya, karena keduanya memiliki kemampuan yang seimbang. Agaknya pasukan Gagelang yang setia kepada Akuwu tidak ingin bertempur terlalu lama. Ternyata mereka telah menyediakan kekuatan yang hampir berlipat untuk menghadapi kawan-kawan mereka yang mereka anggap memberontak, sementara untuk menghadapi orang-orang Talang Amba. pasukan Gagelang sama sekali tidak mencemaskannya.
Namun dalam pada itu, hujan anak panah pun masih belum juga berkurang. Dengan perisai dan senjata yang ada pada pasukan Gagelang mereka merayap maju mendekati tiga padukuhan yang dipergunakan oleh orang-orang Talang Amba untuk membangunkan pertahanan.
Tetapi agaknya sesuatu telah terjadi di padukuhan yang berada di hadapan pasukan induk pengawal dari Gagelang diluar pangetahuan orang-orang Gagelang. Ketika Mahisa Bungalan sedang mengamati gerak orang-orang Gagelang dengan tegang, maka seseorang telah datang kepadanya.
“Ki Sanak, ada orang yang mencari Ki Sanak Mahisa Bungalan” berkata orang itu.
“Siapa?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Kami tidak tahu. Tetapi orang itu telah dibawa kemari karena kawan-kawan yang ada di ujung lorong menjadi curiga” jawab orang itu.
Mahisa Bungalan pun kemudian menyerahkan pengamatan orang-orang Gagelang kepada kedua kawannya, sementara ia harus menemui seseorang yang sedang mencarinya. Dengan hati yang berdebar-debar Mahisa Bungalan dengan tergesa-gesa telah pergi ke sebuah rumah kecil di pinggir jalan. Agaknya orang yang dicurigai itu telah dibawa ke rumah itu.
“Apakah orang itu ada disini?” bertanya Mahisa Bungalan.
“Ya. Orang itu ada di dalam rumah itu” jawab orang yang memanggil Mahisa Bungalan.
Dengan langkah-langkah panjang Mahisa Bungalan memasuki rumah itu. Ia tidak ingin terlalu lama meninggalkan orang-orang Talang Amba yang sudah mulai melontarkan anak panah mereka kembali, ketika pasukan Gagelang sudah mulai bergerak. Jika ia terlalu lama, maka ia tidak akan dapat menyaksikan benturan yang terjadi. Mungkin orang-orang Talang Amba akan segera menjadi kacau dan kehilangan kesempatan untuk melawan jika tidak ada orang yang akan dapat mendorong tekad mereka, meskipun sejak sebelumnya niat mereka sudah bulat. Tetapi suasana medan dibenturan pertama, memang akan sangat berpengaruh.
Untunglah bahwa beberapa kelompok pasukan Gagelang sendiri menyadari, bahwa yang dilakukan oleh Akuwu mereka adalah langkah yang sesat, sehingga mereka telah mengambil satu sikap yang benar. Dengan demikian, maka kelompok-kelompok itu akan sangat berarti bagi orang-orang Talang Amba. Meskipun demikian, Mahisa Bungalan masih tetap mencemaskan nasib orang-orang Talang Amba itu.
“Waktuku hanya sedikit sekali” desis Mahisa Bungalan.
Orang yang mengantarkannya tidak menjawab. Sementara itu beberapa orang yang mengawal orang yang tidak dikenal itu telah menyibak ketika mereka melihat Mahisa Bungalan memasuki pintu. Namun demikian Mahisa Bungalan masuk ke ruang dalam, maka tiba-tiba saja jantungnya telah bergetar. Hampir diluar sadarnya ia berdesis, “Kau. Apa kerjamu disini?”
Orang itu tersenyum. Katanya, “Ada masanya untuk berceritera panjang. Tetapi bukankah sekarang waktumu sudah hampir habis”
“Ya” jawab Mahisa Bungalan.
“Baiklah. Tetapi secara singkat aku dapat mengatakan, bahwa sejak kepergianmu dari Singasari, maka perintah telah jatuh atas beberapa pertimbangan untuk mengirimkan aku kemari, tanpa menunggu lagi. Beberapa keterangan telah didapat sejak sebelumnya. sehingga kedatangan kedua adikmu itu menjadi semakin meyakinkan. Karena itu aku memang sudah berada di sekitar tempat ini." berkata orang itu.
“Bagus” jawab Mahisa Bungalan, “cepat, lakukan yang paling baik menurut pertimbanganmu”
“Aku akan membawanya kemari. Mereka tidak dalam ujud yang resmi sebagaimana kami perhitungkan sebelumnya” jawab orang itu.
“Cepat. Sebentar lagi benturan itu akan terjadi. Tetapi benturan itu tidak hanya terjadi di satu tempat. Tetapi di tiga tempat. Pergilah ketiga tempat. Dua orang kawan kita akan mengantarkan kelompok-kelompok itu”
Mahisa Bungalan tidak menunggu jawaban. Iapun segera berlari keluar rumah itu menuju ke garis pertahanan. Sementara itu pasukan Gagelang sudah menjadi semakin dekat. Tetapi hujan anak panah memang dapat menghambat laju mereka. Ketika ia sampai kepada kedua kawannya, mereka sudah menjadi tegang karena sebentar lagi, benturan itu tentu sudah akan terjadi.
Tetapi sementara itu, pertempuran antara pasukan Gagelang yang berdiri berhadapan itu menjadi semakin sengit. Agaknya para Senapati yang menentang kebijaksanaan Akuwu Gagelang telah bertempur dengan tekad yang menyala, sehingga mereka justru mulai mendesak lawan mereka yang jumlahnya seimbang. Karena itu, maka para Senapati dari pasukan Gagelang yang berpihak kepada Akuwu telah mengambil keputusan untuk menambah jumlah pasukan yang harus menghadapi kawan mereka sendiri.
“Jangan tanggung-tanggung” perintah Senapati yang beradu pada jenjang pertama, “hancurkan saja para pengkhianat itu dengan kekuatan yang cukup meyakinkan. Biarkan saja orang-orang Talang Amba. Mereka akan mati ketakutan jika mereka melihat para pengkhianat itu kita bantai di medan ini”
Perintah itu tidak perlu diulang. Beberapa orang Senapati segera menempatkan diri. Akhirnya, sekelompok pasukan telah memutar arah dan bergabung dengan mereka yang bertempur melawan para pengawal Gagelang yang memisahkan diri. Tetapi ternyata tidak terlalu mudah untuk membinasakan mereka. Para pengawal yang telah membulatkan tekad untuk menentang Akuwu itu, sama sekali tidak mengenal gentar. Seakan-akan mereka benar-benar telah pasrah, nasib apa yang akan menimpa diri mereka. Bahkan sampai kemungkinan yang paling pahit sekalipun.
Sementara itu, Mahisa Bungalan pun segera memberitahukan kepada kedua kawannya apa yang terjadi. Karena itulah, maka mereka bertiga pun segera berlari-lari kecil menuju ke rumah kecil itu. Segalanya segera diatur bersama orang-orang Talang Amba sendiri yang ada di rumah itu. yang semula mengawasi orang yang mencari Mahisa Bungalan. Dengan tergesa-gesa mereka pun telah meninggalkan rumah itu pula, karena waktu mereka memang tinggal beberapa saat saja.
Namun ternyata mereka sempat melakukan tugas itu sebaik-baiknya. Agaknya persiapan mereka dapat mendahului sergapan pasukan Gagelang yang menjadi semakin dekat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang kurang mengetahui persoalannya menjadi bertanya-tanya di dalam hati. Namun ia percaya bahwa kakaknya tentu akan mengambil satu sikap yang paling baik bagi Talang Amba pada saat yang gawat itu.
Karena itu. maka yang dilakukannya bersama orang-orang Talang Amba adalah menghambat pasukan Gagelang yang maju mendekati mereka. Namun dengan pengalaman yang matang, akhirnya pasukan Gagelang itu pun menjadi semakin dekat. Bahkan kemudian mereka berhasil menggapai orang-orang Talang Amba dengan lontaran-lontaran pisau belati untuk mengurangi tekanan anak panah mereka.
Lemparan-lemparan pisau belati itu benar-benar berpengaruh. Ketika salah seorang anak muda Talang Amba tersentuh pisau belati dan mengoyak pundaknya, maka kawan-kawannya menjadi sangat berhati-hati. Anak-anak Talang Amba mulai mencari perlindungan agar mereka tidak tergores oleh pisau yang dilontarkan dengan kerasnya oleh tangan-tangan yang terlatih.
Ternyata bukan hanya seorang dua orang Talang Amba sajalah yang telah terkena pisau belati. Semakin lama, pisau-pisau itu menuntut korban semakin banyak. Karena itu, maka lontaran-lontaran anak panah pun menjadi semakin jarang, karena orang-orang Talang Amba tidak lagi dapat melontarkannya dengan leluasa.
Pada saat yang demikian maka pasukan Gagelang pun telah maju semakin cepat. Beberapa langkah lagi, mereka akan mencapai dinding padukuhan dihadapan mereka. Tiga padukuhan yang menjadi sasaran utama orang-orang Gagelang. Dengan wajah yang menyala oleh kemarahan yang bergejolak di dalam hati, maka para pengawal dari Gagelang itu sudah berniat untuk membinasakan semua orang Talang Amba yang telah melawan. Apalagi beberapa orang diantara orang-orang Gagelang itu sudah terluka.
Dalam keadaan yang demikian, bukan saja orang-orang Talang Amba menjadi tegang. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi tegang pula. Dengan pedang di tangan kedua anak muda itu sudah siap menyongsong para pengawal dari Gagelang yang sudah siap meloncati dinding.
Namun dalam pada itu, ketika jantung orang-orang Talang Amba serasa akan meledak oleh ketegangan, maka tiba-tiba saja diantara mereka telah menyusup beberapa orang. Beberapa orang yang tidak mereka kenal. Mereka menyusup diantara orang-orang Talang Amba sambil berdesis, “Jangan cemas. Aku ada diantara kalian”
Orang-orang Talang Amba itu menjadi bingung. Menilik pakaiannya orang-orang itu tidak ubahnya seperti petani biasa. Namun nampaknya wajah-wajah mereka memancarkan kepercayaan kepada diri sendiri yang jauh lebih mantap dari para petani di Talang Amba sendiri. Bahkan cara mereka memegang senjata pun seakan-akan sama sekali tidak ada kecanggungan lagi.
Orang-orang yang belum dikenal itu telah menyusup diantara orang-orang Talang Amba dari ujung sampai ke ujung. Mereka menebar sepanjang pertahanan orang-orang Talang Amba sendiri di tiga padukuhan. Sementara itu Mahisa Bungalan pun telah berada pula di tempatnya, sementara kedua kawannya ternyata telah terbagi ke dalam dua padukuhan di sebelah menyebelah.
“Siapa mereka?”bertanya Mahisa Murti
“Tidak ada kesempatan untuk berceritera, “Lihat, orang-orang Gagelang telah mulai melompat. Yang di regol berusaha memecahkan regol” tiba-tiba terdengar suara Mahisa Bungalan lantang, “letakkan busur kalian. Hadapi orang-orang Gagelang dengan senjata dalam genggaman”
Perintah itu pun telah mengumandang. Beberapa orang pimpinan kelompok orang-orang Gagelang telah meneriakkan aba-aba itu pula, tepat pada saat orang-orang Gagelang berloncataan.
Tetapi adalah sangat mengejutkan. Yang menyambut mereka pertama-tama bukannya orang Talang Amba. Tetapi orang-orang yang baru datang dan menyusup dalam garis pertahanan mereka. Dengan tangkas orang-orang yang juga dalam pakaian seperti kebanyakan orang-orang Talang Amba itu menahan gerak orang-orang Gagelang.
Orang-orang Gagelang sama sekali tidak menduga, bahwa mereka akan dihadapi oleh lawan diluar dugaan mereka. Ketika mereka dengan dada tengah mengayunkan pedang tanpa berprasangka apapun, ternyata pedang mereka telah membentur senjata lawan yang menggetarkan. Ada diantara orang-orang Gagelang yang dalam benturan pertama telah kehilangan senjata mereka. Dalam benturan kekuatan yang dahsyat, maka orang-orang Gagelang yang menganggap bahwa orang-orang Talang Amba itu bukan lawan yang seimbang, benar-benar telah terkejut.
Untunglah bahwa kawan-kawan mereka yang berhasil mempertahankan senjata mereka sempat memperbaiki keadaan. Mereka segera menyadari, bahwa mereka berhadapan dengan lawan yang berbahaya. Dengan demikian, maka orang-orang Gagelang itu mulai mengamati lawan mereka. Namun nampak dalam ujud lahiriah, lawan-lawan mereka adalah memang petani-petani dari Talang Amba.
Dalam keheranan, maka orang-orang Gagelang tidak mau lagi membuat kesalahan. Mereka segera bertempur dengan sungguh-sungguh, Mereka tidak dapat lagi menganggap bahwa orang-orang Talang Amba sebagai anak bawang dalam permainan kejar-kejaran di terangnya bulan purnama. Orang-orang Talang Amba sendiri pun untuk sesaat menjadi bingung. Tetapi mereka harus segera terbangun pula, karena orang-orang Gagelang pun segera mengayunkan senjata mereka dengan sepenuh kekuatan dan kemampuan.
Namun dalam pada itu, pertempuran yang seru pun segera berkobar. Orang-orang Talang Amba telah bertahan dengan sebaik-baiknya. Sikap orang Gagelang merasa, bahwa mereka telah terjebak ke dalam satu anggapan yang salah, bahwa lawan mereka sama sekali tidak berdaya menghadapi mereka. Namun ternyata bahwa yang mereka jumpai adalah orang-orang yang dengan tangkas dan trampil mempermainkan senjata. Bahkan berbagai macam senjata.
Dengan demikian, maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Orang-orang Talang Amba sendiri, yang melihat bahwa diantara mereka terdapat orang-orang yang memiliki kemampuan yang seimbang dengan para pengawal dari Gagelang, menjadi semakin mantap. Apalagi jumlah mereka pun menjadi semakin banyak karena kedatangan orang-orang yang kurang mereka kenal, namun yang tiba-tiba saja telah bertempur bersama mereka.
Sementara itu, di seberang, pasukan Gagelang yang setia kepada Akuwu pun masih bertempur dengan dahsyatnya pula. Ternyata pasukan yang menentang Akuwu benar-benar tidak mudah mereka tundukkan. Mereka bertempur dengan keyakinan yang teguh, bahwa Akuwu lelah melakukan satu kesalahan. Menentang tugas yang seharusnya dilakukan atas nama Singasari.
Dengan demikian maka pertempuran antara dua belahan pasukan Gagelang itu menjadi semakin seru. Keduanya memiliki dasar kemampuan yang sama dan persenjataan yang hampir serupa pula Namun jumlah pasukan yang setia kepada Akuwu ternyata menjadi lebih banyak, sehingga karena itu, maka pasukan yang melawannya menjadi agak mulai terdesak karenanya.
Tetapi di bagian lain, yang tidak terduga-duga itu sudah terjadi. Orang-orang Talang Amba dan orang-orang yang tidak mereka kenal tetapi langsung berada di dalam pasukan mereka telah mampu bertahan atas serangan orang-orang Gagelang yang semula menganggap tugas mereka itu bukan tugas yang berai. Bahkan di padukuhan yang merupakan pertahanan induk orang-orang Talang Amba, telah terjadi satu hal yang sangat menyakitkan hati orang-orang Gagelang.
Akuwu yang berada di ujung pasukannya telah bertemu dengan Mahisa Bungalan, yang berada di belakang regol padukuhan. Ketika regol yang tertutup itu dipecahkan oleh pasukan Gagelang, maka Mahisa Bungalan sudah menduga bahwa Akuwu akan memasuki padukuhan itu lewat regol yang sudah pecah itu. Karena itu, ketika orang-orang yang menyusup diantara orang-orang Gagelang itu menahan sergapan orang-orang Gagelang, maka Mahisa Bungalan telah menunggu Akuwu di belakang regol yang pecah.
Demikian Akuwu dan pengapitnya memasuki regol padukuhan. maka Mahisa Bungalan dalam pakaian kebesaran seorang Senopati berdiri tegak menghadapinya, sementara pertempuran pun berkobar semakin seru.
“Kita bertemu sekarang di medan Akuwu” berkata Mahisa Bungalan.
Akuwu menggeram. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bersiap menghadapi kedua pengawal pengapit Akuwu yang seorang diantara mereka adalah seorang Pangeran dari Kediri yang menyelubungi dirinya dengan pakaian seorang pengawal biasa dari Gagelang. “Bagus” berkata Akuwu, “kau memang harus dibunuh”
“Tetapi aku masih berusaha untuk memperingatkanmu Akuwu. Atas nama perintah yang aku bawa dari kekuasaan Singasari, maka menyerahlah. Aku sudah tahu, apa yang sebenarnya terjadi di Talang Amba sekarang ini. Kau ingin memaksakan satu keadaan yang akan dapat membantumu, membuat Talang Amba sebagai sumber hasil bumi serta daerah-daerah subur di sekitarnya menjadi tandus, kering dan gersang. Daerah yang akan mengalami malapetaka di setiap tahun karena banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau” berkata Mahisa Bungalan.
“Omong kosong” geram Akuwu, “kau jangan mengada-ada. Kaulah yang harus ditangkap dan bahkan dihukum gantung, karena kaulah yang agaknya telah menghasut orang-orang Talang Amba untuk memberontak."
“Jangan mengada-ada Akuwu” jawab Mahisa Bungalan, “memang disini pernah terjadi perebutan diantara keluarga Ki Buyut yang telah meninggal. Namun hal itu telah dapat mereka atasi sendiri. Ki Sendawa telah menemukan kepribadiannya yang telah hilang karena diracuni oleh Ki Sarpa Kuning. Tetapi ketika itu Ki Sanggarana justru telah kau tangkap. Kau berharap bahwa Ki Sendawa akan dapat kau bujuk sebagaimana Sarpa Kuning membujuknya untuk menjadi Buyut di Talang Amba dengan imbalan yang sama sebagaimana dituntut oleh Ki Sarpa Kuning”
“Tutup mulutmu” bentak Akuwu, “di Gagelang kau jangan mengigau seperti orang kesurupan”
“Tidak Akuwu. Dengar, sekarang Ki Sanggarana dan Ki Waruju itu pun sudah berada di Talang Amba ini pula. Mereka berada di padukuhan sebelah menyebelah. Mereka akan dapat menjadi saksi yang baik atas apa yang telah kau lakukan” berkata Mahisa Bungalan.
Tetapi Akuwu justru tertawa. Katanya, “Kau jangan mengigau. Sanggarana dan orang yang bernama Waruju itu berada di bilik tahanan di Gagelang”
“Kau salah Akuwu. Keduanya tidak menemui kesulitan untuk keluar dari bilik itu. Ki Waruju telah pernah datang ke, Kabuyutan ini sebelumnya meskipun ia seorang tahanan. Baginya dinding-dinding bilik tahanan itu tidak berarti apa-apa."
“Omong kosong” bentak Akuwu.
Mahisa Bungalan lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Kau agaknya telah salah menilai orang-orang Talang Amba Akuwu. Lihat, selain Ki Waruju dan Ki Sanggarana, orang-orang Talang Amba pun sama sekali tidak gentar melihat pasukanmu yang datang dengan segelar sepapan. Apa artinya pasukan pengawal Gagelang menghadapi orang-orang Talang Amba yang benar-benar sudah siap seperti sekarang ini? Apa kau kira orang-orang Talang Amba tidak mampu bermain-main dengan senjata. Jika mereka semula melontarkan anak panah dengan sikap yang nampaknya gelisah, sebenarnyalah orang-orang Talang Amba memang ingin bermain-main dengan para pengawal dari Gagelang”
Wajah Akuwu menjadi tegang. Namun diluar sadarnya, iapun telah memperhatikan pertempuran yang terjadi di sekitarnya. Ternyata Akuwu memang harus melihat kenyataan, bahwa orang-orang yang disangkanya orang-orang Talang Amba karena mereka pun berpakaian seperti orang-orang Talang Amba, telah memberikan perlawanan yang seimbang. Bahkan karena jumlah mereka yang cukup banyak, agaknya orang-orang Talang Amba itu akan mampu bertahan dan bahkan mendesak lawannya.
Dalam pada itu, terdengar Mahisa Bungalan berkata, “Nah, bukankah kau menghadapi satu kenyataan yang lain sekali dengan gambaranmu sebelumnya?”
Demikianlah, ternyata orang-orang Gagelang telah menjumpai satu keadaan yang sama sekali tidak mereka duga sebelumnya. Di satu pihak, sebagian dari pasukan Gagelang telah terpecah. Beberapa orang Senapati telah berkhianat, karena mereka tidak mau mendukung niat Akuwu yang justru bertentangan dengan tugas yang seharusnya dipikulnya. Sementara dipihak lain, pasukan Gagelang telah membentur kekuatan Talang Amba yang jauh lebih besar dari dugaan mereka.
Orang-orang Talang Amba itu bukan saja berhasil menahan serangan orang-orang Gagelang, tetapi mereka justru berhasil mendesaknya kembali keluar dari padukuhan-padukuhan yang mereka jadikan sasaran. Akuwu Gagelang benar-benar menjadi marah melihat keadaan itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Lawannya, Senapati dari Singasari yang bernama Mahisa Bungalan itu ternyata memang seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, maka Akuwu harus mengerahkan segenap ilmunya untuk menghadapi Senapati muda itu, sementara pasukannya telah mengalami satu kesulitan yang sulit untuk diatasi.
“Gila” geram Akuwu, “ternyata para petugas sandi Gagelang tidak lebih dari monyet-monyet dungu yang tidak mampu menilai keadaan”
Sebenarnyalah pasukan Gagelang memang mengalami kesulitan. Namun dalam pada itu, pasukan Gagelang yang bertugas menghadapi kawan-kawan mereka yang dianggap berkhianat itu mampu mendesak mereka. Betapapun pasukan Gagelang yang melawan kehendak Akuwu itu bertahan, namun jumlah mereka memang lebih kecil dari pasukan yang ditugaskan untuk menumpas mereka.
Dalam keadaan yang demikian, Senapati yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu pun sempat mencemaskan nasib orang-orang Talang Amba. Bahkan Senapati itu menjadi agak menyesal. Karena sikapnya, maka Talang Amba telah berani mengambil langkah kekerasan. Ternyata kekuatan gabungan antara pasukannya dan orang-orang Talang Amba akan sulit untuk mengimbangi kekuatan Gagelang.
“Jika pasukanku berhasil disapu bersih oleh pasukan Gagelang yang dungu itu, maka Talang Amba pun akan mengalami nasib yang sama” berkata Senapati itu di dalam hatinya.
Namun dengan demikian, pasukannya masih tetap bertahan. Meskipun mereka terus terdesak, namun Senapati itu masih menunggu berita tentang Talang Amba. “Jika perlu, maka pasukan ini akan berbuat jauh lebih banyak meskipun akibatnya akan sangat parah” berkata Senapati itu di dalam hatinya.
Namun nampaknya para pengawal yang memisahkan diri itu sama sekali tidak menjadi terlalu cemas akan nasib mereka sendiri, tetapi mereka lebih banyak mencemaskan nasib orang-orang Talang Amba. Jika Akuwu benar-benar kehilangan pengamatan diri, maka orang-orang Talang Amba itu tentu akan dibantainya tanpa ampun.
Namun para pengawal dari Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu tidak mengetahui, bahwa telah hadir sekelompok orang yang tidak diketahui dan langsung berbaur dengan orang-orang Talang Amba itu. Karena itu, ketika beberapa orang diantara para pangawal Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu melihat pasukan Gagelang yang memasuki padukuhan masih saja bertempur pada batas padukuhan, dan bahkan sebagian dari mereka masih saja berada diluar dinding, maka mereka menjadi heran.
“Apa yang telah terjadi di Talang Amba?” bertanya para pengawal itu.
Sebenarnyalah, orang-orang Talang Amba bersama dengan orang-orang yang kurang mereka kenal itu telah berhasil mendesak pasukan Gagelang. Tetapi agaknya orang-orang Gagelang itu memang memiliki tempat yang lebih lapang untuk menghadapi lawan yang mengejutkan. Karena itu, maka sebagian dari mereka memang tidak ingin memasuki padukuhan-padukuhan yang mereka duga semula tidak menyimpan kemampuan yang mengejutkan.
Karena itu, maka orang-orang Gagelang itu justru telah keluar lagi dari padukuhan-padukuhan. Mereka ingin melihat lawan mereka lebih jelas dan mereka pun ingin bertempur di tempat yang terbuka. Karena itu, maka pertempuran pun telah bergeser pula. Orang-orang Talang Amba telah mendesak orang-orang Gagelang keluar dari padukuhan-padukuhan. Bahkan Akuwu pun telah bertempur sambil bergeser surut.
“Kita bertempur di tempat yang lapang” berkata Akuwu kepada Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi iapun mendesak Akuwu keluar regol dan kemudian bertempur di jalan yang mulai memasuki daerah persawahan, sementara para pengawal Gagelang dan orang-orang Talang Amba telah bertempur di sawah-sawah yang nampaknya hijau subur. Tetapi oleh kaki para pengawal yang sedang bertempur itu, maka tanaman pun telah menjadi berserakan.
Keadaan itu benar-benar berpengaruh atas medan pertempuran antara kedua kelompok pengawal Gagelang yang berbeda pendiriannya itu. Ketika mereka melihat pasukan Gagelang telah terdesak keluar, maka telah tumbuh harapan di hati para pengawal yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba, bahwa Talang Amba akan dapat diselamatkan dari ketamakan Akuwu di Gagelang. Namun demikian, mereka sendiri telah terdesak semakin jauh. Beberapa orang di kedua belah pihak telah jatuh menjadi korban.
Wajah Akuwu menjadi tegang. Tetapi ia memang menghadapi kenyataan itu. Orang-orang yang disangkanya orang-orang Talang Amba itu mampu mengimbangi kemampuan para pengawal dari Gagelang. Bahkan kemudian Akuwu itu melihat, bahwa orang-orangnya yang telah berloncatan masuk ke dalam dinding padukuhan telah tertahan dan bahkan perlahan-lahan mereka telah terdesak kembali oleh kekuatan yang tersembunyi di belakang dinding padukuhan itu.
Wajah Akuwu menjadi sangat tegang. Seakan-akan ia telah menghadapi satu mimpi yang sangat buruk tentang pasukannya. Orang-orang Talang Amba yang disangkanya tidak lebih dari petani-petani yang dungu tetapi sombong itu, ternyata memiliki kemampuan yang mengagumkan.
Para pengawal dari Gagelang sendiri pun menjadi heran. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apapun juga. Orang-orang Talang Amba itu menyerang mereka dengan garangnya. Senjata mereka teracu dan terayun-ayun menggetarkan jantung para pengawal Gagelang yang mendapat tempaan dan mempunyai pengalaman yang sangat luas.
Namun bagaimanapun juga, Akuwu di Gagelang itu telah mengambil satu keputusan untuk menghancurkan orang-orang Talang Amba. Itulah sebabnya, maka Akuwu itu pun justru telah menggeram penuh kemarahan. Dengan serta merta, maka Akuwu itu pun telah menyerang Mahisa Bungalan sambil menggeram, “Kubunuh kau lebih dahulu. Kemudian aku pun akan ikut membantai orang-orang Talang Amba yang dungu ini”
Tetapi Mahisa Bungalan telah bersiap. Karena itu, maka dengan tangkasnya ia bergeser menghindari serangan Akuwu itu. Namun kemarahan Akuwu sudah tidak tertahankan lagi. la tidak membiarkan Mahisa Bungalan terlepas. Dengan kecepatan yang tinggi, Akuwu telah meloncat memburunya. Namun Mahisa Bungalan benar-benar telah siap. Dengan loncatan panjang ia menghindari.
Namun demikian kakinya menyentuh tanah, maka Mahisa Bungalan lah yang kemudian meloncat menyerang sambil menjulurkan pedangnya. Akuwu lah yang kemudian terkejut. Ternyata orang yang mengenakan pakaian seorang Senapati Singasari itu memiliki kemampuan bergerak yang sangat tinggi pula.
Sementara Akuwu mulai terlibat ke dalam pertempuran, maka dua orang pengawal yang menyertainya telah bersiap pula. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bersiap menerima keduanya dalam pertempuran itu pula. Mahisa Murti lah yang kebetulan mendapat lawan seorang pengawal yang sebenarnya adalah seorang Pangeran dari Kediri. Keduanya segera telah terlibat ke dalam satu pertempuran yang cepat dan keras.
Namun Mahisa Murti yang memiliki pengalaman yang cukup luas itu pun menjadi gentar karenanya ketika ia dilibat dalam pertempuran yang cepat dan keras. Mahisa Pukat lah yang bertempur melawan pengapit Akuwu yang lain. Pengawal ini tidak terlalu banyak memiliki kelebihan. Karena itu, sejak benturan yang pertama, terasa oleh Mahisa Pukat, bahwa ia tidak akan terlalu banyak mengalami kesulitan.
Dalam pada itu, di padukuhan-padukuhan yang lain pun telah terjadi peristiwa yang serupa. Ketika Senapati, kawan Mahisa Bungalan datang bersama orang-orang yang tidak dikenal oleh orang-orang Talang Amba. Namun langsung menyusup diantara mereka, maka orang-orang Talang Amba itu tidak sempat bertanya terlalu banyak. Lawan mereka telah mulai meloncati dinding padukuhan seperti yang terjadi di pasukan induk orang-orang Talang Amba.
Namun demikian orang-orang itu meloncat masuk, maka mereka telah diterima dengan senjata telanjang oleh orang-orang yang datang dan langsung berada diantara orang-orang Talang Amba itu, sehingga pasukan Gagelang menjadi sangat terkejut karenanya.
Ketika Ki Waruju bertanya kepada orang yang mengenakan pakaian Senapati dan datang bersama Mahisa Bungalan di padukuhan Talang Amba itu, maka Senapati itu pun menjawab, “Ceritanya agak panjang Ki Waruju. Kita harus mengusir orang-orang Gagelang itu dahulu. Baru kita akan berbicara tentang diri kita”
Ki Waruju tidak bertanya lagi. Bersama seorang murid Ki Sarpa Kuning itu pun terjun ke arena pertempuran yang menjadi semakin seru. Orang-orang Gagelang yang tidak menduga akan mengalami benturan yang sangat keras itu, menjadi bukan saja heran, tetapi cemas.
Di padukuhan yang lain, Ki Sanggarana dan Ki Sendawa pun tidak sempat berbincang terlalu banyak. Namun mereka pun harus segera turun ke arena. Namun oleh orang-orang yang dibawa Senapati kawan Mahisa Bungalan, orang-orang Gagelang telah tertahan. Dan bahkan perlahan-lahan mulai terdesak keluar dari padukuhan itu.
Dalam pada itu, orang-orang Talang Amba sendiri, menjadi semakin berbesar hati. Mereka menjadi semakin berani. Diantara orang-orang yang berilmu perang, maka orang-orang Talang Amba itu pun merasa, seakan-akan mereka pun memiliki kemampuan seperti orang-orang yang datang membantu mereka itu.
Sebenarnyalah orang-orang Gagelang akhirnya tidak mampu lagi bertahan terhadap orang-orang Talang Amba yang bertempur diantara orang-orang yang tidak mereka kenal. Meskipun orang-orang Talang Amba sendiri tidak memiliki ilmu perang yang memadai, namun mereka dapat bertempur berpasangan atau bahkan bersama orang-orang yang memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi orang-orang Gagelang itu.
Namun setiap kali terdengar orang-orang Talang Amba dan orang-orang yang tidak dikenal yang berpihak kepada mereka bersorak, maka para pengawal dari Gagelang menggeretakkan giginya oleh kemarahan yang memuncak.
Dalam pada itu, para pengawal yang bertempur di padukuhan sebelah menyebelah dari pasukan induk yang bertempur dengan serunya, semakin lama telah semakin berhasil mendesak lawan mereka. Semakin lama justru menjadi semakin jauh dari padukuhan ke tengah-tengah persawahan yang luas.
Tetapi beberapa orang yang ada di padukuhan Talang Amba berhasil mendesak lawannya itu telah melihat, bahwa pasukan Gagelang yang berpihak kepada mereka justru telah terdesak. Bahkan keadaan mereka semakin lama menjadi semakin gawat, karena lawan mereka jumlahnya lebih banyak sementara kemampuan mereka seimbang.
Karena itu, maka dengan isyarat. Senapati, kawan Mahisa Bungalan telah memberikan perintah, agar sebagian kecil dari mereka yang datang menyusup diantara orang-orang Talang Amba itu dapat memisahkan diri, membantu orang-orang Gagelang yang mengalami kesulitan.
“Ingat, mereka memakai tanda-tanda di tubuh mereka. Janur kuning atau warna kuning lainnya” berkata Senapati itu.
Sejenak kemudian, maka dengan pemisahan yang rapi, dilandasi dengan pengalaman yang mapan, maka pasukan Talang Amba itu telah terbagi. Sebagian kecil dari mereka segera memisahkan diri dari medan, langsung berlari lari menuju ke medan pertempuran antara kedua belahan pasukan Gagelang yang sedang bertempur itu.
Sikap orang-orang Talang Amba benar-benar mengherankan bagi orang-orang Gagelang. Sikap itu bukan sikap orang-orang padukuhan yang tidak biasa berlatih olah peperangan. Tetapi sikap itu adalah sikap satu pasukan yang telah terlatih dengan matang.
Kehadiran orang-orang yang mengenakan pakaian petani biasa mendekati arena pertempuran antara kedua pasukan orang Gagelang itu benar-benar mendebarkan. Orang-orang yang bertempur terpisah itu tidak melihat bagaimana orang-orang yang disangka orang Talang Amba itu bertempur. Merekapun tidak melihat bagaimana mereka memisahkan diri dengan tertib dan bagaimana mereka mampu mengimbangi kemampuan orang-orang Gagelang.
Karena kehadiran mereka, justru membuat orang Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba menjadi berdebar-debar, sementara orang-orang Gagelang yang setia kepada Akuwu tidak terlalu banyak menaruh perhatian alas kedatangan mereka yang jumlahnya tidak terlalu banyak meskipun dari padukuhan yang sebelah lain juga terjadi hal yang serupa.
Tetapi adalah satu kenyataan bahwa orang-orang Talang Amba di padukuhan itu berhasil mengusir orang-orang Gagelang berkata orang-orang Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba.
Sementara itu, maka orang-orang yang disangka orang-orang Talang Amba itu sudah menjadi semakin dekat. Sementara pertempuran antara orang-orang Gagelang itu pun menjadi semakin sengit. Orang-orang yang setia kepada Akuwu telah mendesak lawannya semakin jauh dan korban pun menjadi semakin banyak berjatuhan. Namun orang-orang Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu sama sekali tidak berniat meninggalkan medan. Jika demikian, maka yang akan mengalami nasib yang sangat buruk adalah orang-orang Talang Amba sendiri.
Namun sejenak kemudian, orang-orang Gagelang dari kedua belah pihak yang bertempur itu terkejut bukan buatan. Ketika orang-orang yang disangka orang-orang Talang Amba itu mencapai medan, maka mereka langsung menunjukkan, bahwa kemampuan mereka tidak berada di bawah kemampuan pasukan pengawal Gagelang yang manapun juga. Karena itu, maka kehadiran mereka, benar-benar telah merubah keseimbangan antara kedua pasukan Gagelang yang bertempur itu.
“Ternyata mereka adalah anak-anak iblis” geram orang-orang Gagelang.
Sebenarnyalah orang-orang yang mengenakan pakaian petani sebagaimana orang-orang Talang Amba itu telah menunjukkan kemampuan mereka yang menggetarkan. Orang-orang Gagelang yang harus menghadapi mereka, benar-benar tidak dapat mengerti, bagaimana mungkin orang-orang Talang Amba memiliki ilmu pedang yang cukup dan kuat. Dalam benturan-benturan yang terjadi maka ternyata bahwa orang-orang yang mengenakan pakaian petani itu mampu mengimbangi kemampuan orang-orang Gagelang.
Karena itu maka diluar sadar, maka orang-orang Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu telah bersorak ketika pada benturan pertama, orang-orang yang disangkanya orang Talang Amba itu mampu mendesak orang-orang Gagelang.
“Gila. Apa yang sebenarnya terjadi?” bertanya Senapati yang memimpin orang-orang Gagelang yang setia kepada Akuwu itu, “Bukankah mereka orang-orang Talang Amba yang tidak berarti apa-apa bagi kalian. Kenapa kalian tiba-tiba saja telah terdesak?”
Para pengawal tidak menjawab. Mereka mencoba mengerahkan kemampuan mereka. Mereka berusaha untuk tetap menganggap orang-orang yang datang itu adalah orang-orang yang tidak berarti apa-apa bagi mereka, sehingga dengan demikian, maka mereka akan dengan mudah dapat dihancurkan. Tetapi kenyataannya tetap berbeda dari yang mereka kehendaki. Ketika orang-orang Gagelang itu memaksa diri untuk mendesak, maka korban pun mulai jatuh diantara mereka.
Para pengawal dari Gagelang itu mengumpat-umpat. Tetapi kawan mereka yang telah terbaring di tanah merupakan satu kenyataan, bahwa lawan mereka memang memiliki kemampuan yang mampu mengimbangi kemampuan mereka. Demikianlah, maka pertempuran itu pun telah menjadi semakin sengit. Ternyata bahwa orang-orang Gagelang yang setia kepada Akuwu tidak dapat mengingkari satu kenyataan. Orang-orang yang mereka sangka orang-orang Talang Amba itu memiliki ilmu yang dapat mengimbangi ilmu para pengawal.
“Satu keajaiban” desis seorang Senapati Gagelang., “Tetapi adalah satu kenyataan, bahwa orang-orang Talang Amba itu benar-benar mampu mendesak para pengawal di Gagelang”
“Hampir tidak mungkin” berkata Senapati itu "pengawal Gagelang memiliki masa latihan yang berat. Sedangkan orang-orang Talang Amba tidak lebih dari petani-petani yang setiap harinya memegang cangkul dan bekerja di sawah."
Namun pertempuran itu masih berlangsung dengan sengitnya. Orang-orang yang disangka orang-orang Talang Amba itu telah merampas sebagian perhatian dari para pengawal dari Gagelang yang setia kepada Akuwu. Sementara itu, para pengawal yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba pun tidak kalah herannya menghadapi kenyataan itu. Orang-orang dalam pakaian petani yang sederhana itu bertempur dengan tangkasnya Bukan saja cara mereka mempermainkan senjata, tetapi cara mereka menyerang dalam kesatuan yang utuh dan mapan
Tetapi para pengawal yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu tidak berpikir lebih rumit lagi. Mereka masih harus menghadapi lawan yang memiliki kemampuan yang seimbang dengan mereka. Dengan demikian maka pertempuran diantara orang-orang Gagelang itu telah berubah keseimbangannya karena kehadiran orang-orang yang mereka sangka orang-orang Talang Amba. Sebagian dari orang-orang Gagelang yang setia kepada Akuwu itu telah bertempur menghadapi mereka, sementara yang lain masih tetap menghadapi pecahan dari pasukan Gagelang sendiri.
Dalam pada itu, di induk pasukan Akuwu Gagelang masih bertempur menghadapi Mahisa Bungalan. Ternyata Senapati muda dari Singasari itu memiliki bekal ilmu yang tinggi, Akuwu yang merasa dirinya orang terkuat di Gagelang, dan bahkan Akuwu Gagelang yang merasa dirinya tidak kalah dengan Senapati Singasari yang manapun juga. harus mengakui, bahwa ia benar-benar telah dihadapi oleh salah seorang dari Senapati di Singasari itu.
Sementara di bagian lain. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bertempur dengan lawannya masing-masing. Dengan demikian, maka pertempuran yang menebar sampai ke padukuhan sebelah menyebelah itu berlangsung semakin sengit. Kekuatan orang-orang Talang Amba benar-benar tidak masuk di akal orang-orang Gagelang. Namun bagi mereka hal itu adalah satu kenyataan.
Satu demi satu korban pun berjatuhan di kedua belah pihak. Namun ternyata bahwa orang-orang Gagelang telah menjadi semakin terdesak. Orang-orang Gagelang yang sama sekali tidak menduga bahwa mereka akan menghadapi lawan yang tangguh, benar-benar telah merasa terpukul. Demikian pula Pangeran dari Kediri yang ada diantara orang-orang Gagelang. Iapun sama sekali tidak menduga, bahwa hal yang tidak masuk akal itu akan terjadi.
Namun justru karena itu, Akuwu Gagelang memang tidak mempunyai pilihan lain. Jika ia tidak berhasil memenangkan pertempuran itu, maka hal itu berarti bahwa ia akan jatuh ke tangan Senapati dari Singasari. Ia akan dapat berbicara tentang keadaan di Talang Amba dan rencana untuk menebang hutan di lereng Gunung, sebagaimana sebelumnya pernah direncanakan oleh Ki Sarpa Kuning. Karena itu, maka Akuwu itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali bertempur dengan sepenuh kekuatan yang ada pada pasukannya, la harus dapat menghancurkan lawannya dan membunuh para Senapati dari Singasari itu.
Dengan demikian, maka Akuwu sendiri telah berusaha untuk bertempur dengan segenap kemampuannya. Dengan seluruh ilmu yang ada di dalam dirinya. Kemampuannya bertempur dan ilmu pedangnya yang nggegirisi merupakan kekuatan utamanya untuk menghadapi Mahisa Bungalan. Namun kekuatan cadangan yang ada di dalam diri Akuwu itu pun merupakan kekuatan yang menggetarkan.
Namun Mahisa Bungalan adalah seorang Senapati muda yang tangguh tanggon. Senapati muda yang memiliki bekal yang kuat untuk menghadapi Akuwu dari Gagelang. Senopati yang di masa sebelumnya telah menempa diri sebagai pengembara yang menyadap pengalaman yang tidak ada taranya.
Karena itulah, maka Akuwu tidak segera dapat menguasai lawannya. Mahisa Bungalan dalam beberapa hal justru menunjukkan kelebihannya. Mahisa Bungalan mempunyai daya tahan diluar nalar Akuwu Gagelang. Meskipun Akuwu memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan namun ternyata bahwa Mahisa Bungalan masih mampu mengimbanginya. Meskipun Mahisa Bungalan tidak terlalu banyak bergerak sebagaimana dilakukan oleh Akuwu yang tangkas trengginas itu, namun setiap kali kaki Mahisa Bungalan bergeser, ia sudah siap menghadapi serangan Akuwu Gagelang yang bagaimanapun juga cepatnya.
Namun yang nampak paling sulit diantara pasukan Gagelang adalah pasukan Gagelang yang setia kepada Akuwu yang harus menghadapi kawan-kawan mereka sendiri. Jika semula mereka berhasil mendesak dan bahkan siap untuk menguasai lawannya, namun ternyata mereka teluh mengalami satu kesulitan yang tidak akan dapat mereka atasi. Korban diantara mereka pun semakin lama menjadi semakin banyak. Bukan saja karena kawan-kawan mereka sendiri, namun juga karena orang-orang dalam pakaian petani yang sederhana yang mereka sangka orang-orang Talang Amba.
Tetapi, agaknya bukan saja pasukan Gagelang yang menghadapi kawan-kawan mereka sendiri itulah yang mengalami kesulitan. Semua pasukan Gagelang di arena pertempuran itu mengalami kesulitan. Orang-orang Talang Amba sendiri yang merasa mempunyai kawan yang bukan saja mampu mengimbangi kemampuan lawan, namun juga dapat melindungi mereka, menjadi semakin berani. Ada juga satu dua diantara mereka yang terluka. Tetapi kawan-kawannya tidak menjadi gentar, karena mereka melihat keadaan lawan yang jauh lebih parah dari keadaan orang-orang Talang Amba.
Namun demikian, kadang-kadang orang-orang Talang Amba memang dapat menjadi sasaran orang-orang Gagelang yang ingin menumpahkan kemarahan mereka. Tetapi orang-orang Gagelang tidak mampu memiliki diantara lawan-lawannya, karena ujud lahiriahnya tidak jauh berbeda.
Demikianlah, di semua arena, orang-orang Gagelang telah terdesak. Mereka bergeser semakin jauh dari padukuhan. Bahkan mereka pun menjadi semakin gelisah, ketika mereka melihat kawan-kawan mereka yang terpisah, yang harus berhadapan dengan pecahan pasukan Gagelang sendiri, juga mengalami kesulitan setelah beberapa kelompok orang-orang yang disangka orang-orang Talang Amba itu datang membantu.
Karena itulah, maka pasukan Gagelang yang setia kepada Akuwu dan yang harus menghadapi pecahan pasukannya sendiri serta orang-orang yang mereka sangka orang-orang Talang Amba itu akhirnya tidak berpengharapan lagi. Mereka tidak lagi mempunyai harapan untuk dapat melepaskan diri dari keadaan yang paling pahit dari seorang prajurit.
“Orang-orang Talang Amba benar-benar memiliki kemampuan diluar dugaan” berkata Senapati yang memimpin pasukan Gagelang yang setia. Bahkan iapun tidak dapat mengingkari satu kenyataan, bahwa orang-orang yang disangkanya orang-orang Talang Amba itu memiliki kelebihan dari pasukannya. Secara pribadi, orang-orang dalam pakaian petani itu mempunyai kemampuan yang lebih baik dari orang-orangnya.
“Seandainya mereka terhimpun dalam satu pasukan yang tertib maka kekuatan orang-orang Talang Amba benar-benar nggegirisi” gumam Senapati itu.
Meskipun demikian, sebagai seorang prajurit Senapati itu bertempur terus. Ia tidak akan meninggalkan kewajibannya. Apapun yang terjadi. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja salah seorang diantara para petani itu telah berteriak, “He, orang-orang Gagelang. Masih ada satu kesempatan bagi kalian. Menyerah”
Darah Senapati yang memimpin orang-orang Gagelang itu justru bagaikan mendidih. Bagaimana mungkin pasukan Pakuwon Gagelang harus menyerah kepada pasukan Kabuyutan Talang Amba yang kecil dan lemah.. Tetapi aku menghadapi kenyataan yang lain berkata Senapati itu namun demikian, ia sama sekali tidak bermimpi untuk menyerah kepada orang-orang Talang Amba. Jika terjadi demikian, maka para pengawal Gagelang itu tentu akan menjadi pangewan-pengewan. Pengawal dari sebuah Pakuwon yang selama ini dibanggakan harus menyerah kepada petani-petani yang tidak terbiasa mempergunakan senjata.
Karena itu, maka Senapati itu pun justru bertempur semakin sengit. Dikerahkannya segenap kemampuannya untuk melawan orang-orang yang mengenakan pakaian petani yang sederhana itu bersama dengan pasukannya. Namun dalam pada itu, sesuatu telah terjadi Senapati itu terkejut ketika ia dapat mengenali salah seorang dari para petani yang dihadapinya. Seorang yang pernah dikenalnya. Bukan sebagai petani di Talang Amba, tetapi sebagaimana dirinya sendiri, seorang prajurit. Bukan dari Gagelang, tetapi dari Singasari.
Untuk sesaat Senapati itu berusaha mengenali dengan sebaik-baiknya. Namun akhirnya ia memastikan bahwa orang itu adalah orang yang dikenalnya dengan baik. Karena itu, maka dengan ragu-ragu ia menyapa, “Apakah aku berhadapan dengan orang-orang Talang Amba?”
Hampir berbareng beberapa orang berkata, “Ya. Karena itu menyerahlah”
Senapati itu meloncat menghindar ketika ujung sebuah tombak menggapainya. Namun ia masih sempat berkata, “Sinduwata. Engkaukah itu?”
Orang yang dapat dikenali oleh Senapati itu tersenyum. Katanya, “Ketika aku melihatmu di medan, aku dengan sengaja mendekatimu. Aku memang Sinduwata”
“Jika demikian, kau bukan orang Talang Amba” berkata Senapati itu.
“Aku memang orang Talang Amba meskipun aku sudah lama meninggalkan padukuhanku” jawab orang yang dikenalinya itu.
“Bohong” desis Senapati itu.
“Ya. Aku memang berbohong. Jika demikian kau kenal aku. Dan kau pun tentu mengetahui apa yang telah terjadi seluruhnya di Talang Amba ini” jawab orang yang disebut Sinduwata.
Senapati itu meloncat surut. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berteriak nyaring, “apakah aku berhadapan dengan pasukan dari Singasari?”
Orang-orang dalam pakaian petani itu termangu-mangu. Sementara itu Sinduwata pun menyahut, “Menyerahlah. Kau tidak mempunyai pilihan lain. Aku menaruh hormat kepada kawan-kawanmu yang dapat melihat kenyataan dan kemudian berpihak kepada orang-orang Talang Amba”
“Mereka telah berkhianat” jawab Senapati itu.
“Renungkan. Mereka atau kau yang telah berkhianat, termasuk Akuwu dari Gagelang itu sendiri” berkata Sinduwata.
Senapati itu termangu-mangu. Namun dalam keadaan yang demikian tiba-tiba sebuah lembing telah meluncur ke dadanya. Senapati itu terkejut. Tetapi ia sudah tidak sempat lagi mengelak. Satu-satunya cara yang dapat dilakukannya adalah menangkis lontaran lembing itu dengan pedangnya. Tetapi satu kemungkinan yang sangat buruk dapat terjadi. Jika ia salah hitung sekejap saja, maka ujung lembing itu akan sempat mematuk dadanya. Namun yang terjadi adalah lain, Sinduwata masih sempat meloncat menyambar lembing itu dengan pedangnya, sehingga lembing itu meluncur ke arah samping.
Senapati itu terkejut. Namun ia masih sempat bertanya, “Kenapa kau selamatkan nyawaku?”
“Aku ingin kau menyerah” jawab orang yang disebut Sinduwata.
“Aku tidak akan menyerah kepada orang-orang Talang Amba” jawab Senapati itu, “barangkali kematian adalah jalan yang lebih pantas bagi seorang prajurit daripada menyerah kepada orang-orang Talang Amba. Kami adalah pengawal sebuah Pakuwon yang selama ini berbangga atas kekuatannya. Apakah pantas jika kami harus menyerah kepada orang-orang Kabuyutan yang lebih banyak bekerja di sawah daripada berolah senjata”
“Kau mengenal aku?” bertanya Sinduwata.
“Ya. Kau adalah seorang prajurit Singasari” jawab Senapati itu.
“Dan kau mempunyai ketajaman penglihatan atas lawan yang Kau hadapi?” bertanya Sinduwata pula.
“Sudah aku sebut tadi, apakah kalian prajurit dari Singasari?” Senapati itulah yang bertanya.
“Ya” jawab Sinduwata, “kami adalah prajurit-prajurit Singasari yang ingin mengetahui apakah yang telah terjadi sebenarnya di Talang Amba”
“Apakah orang yang mengenakan pakaian Senapati Singasari yang tiga orang itu benar-benar prajurit Singasari?” bertanya Senapati itu.
“Ya” jawab Sinduwata, “Mereka adalah Senapati-senapati prajurit Singasari. Nah, sekarang kau akan dapat memilih. Kau akan berpihak kepada Singasari atau kau akan tetap berkhianat seperti yang dilakukan oleh Akuwu di Gagelang”
Senapati itu termangu-mangu. Sementara itu Sinduwata mendesaknya, “cepat. Ambil keputusan. Menyerah atau seluruh pasukanmu akan aku hancurkan
Senapati itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Tetapi yang ternyata dihadapinya adalah bukan orang-orang Talang Amba. Karena itu, maka ia masih juga mempertimbangkan, apakah ia akan menyerah. Jika benar yang dihadapinya adalah prajurit Singasari, maka bukannya sesuatu yang hina jika ia menyerah kepada mereka.
Namun Senapati itu tidak mempunyai waktu terlalu lama. Pertempuran yang terjadi di sekitarnya menjadi semakin sengit. Pasukan Gagelang terdesak semakin parah, sementara pecahan pasukan Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba menjadi semakin garang, karena mereka mendapat kesempatan untuk menekan lawannya yang semula hampir saja membinasakan mereka. Dalam keadaan yang demikian, maka Senapati yang memimpin pasukan Gagelang itu tidak mempunyai pilihan lain. Tiba-tiba saja ia meneriakkan aba-aba untuk meletakkan senjata.
“Kita berhadapan dengan prajurit-prajurit Singasari yang menyamar” teriak Senapati itu, “Karena itu, mereka sebenarnya membawa kuasa Sri Maharaja di Singasari sebagaimana dikatakan oleh tiga orang Senapati dari Singasari itu."
Teriakan itu semula memang agak meragukan. Namun sekali lagi Senapati itu meyakinkan, “Tidak ada pasukan yang memiliki kemampuan tempur sebagaimana yang kita hadapi. Mereka bukan orang-orang Talang Amba. Tetapi mereka adalah prajurit-prajurit Singasari. Dengan demikian kita akan menyerah kepada Singasari. Tidak kepada Talang Amba”
Para pengawal di Gagelang itu mulai berpikir tentang orang-orang yang mereka hadapi. Mereka memang sudah diragukan sejak benturan senjata terjadi diantara mereka terhadap orang-orang dalam pakaian petani sebagaimana orang-orang Talang Amba.
Namun dalam pada itu, orang-orang Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba masih saja bertempur dengan serunya, sehingga sekelompok orang-orang dalam pakaian petani telah mendapat perintah dari Sinduwata untuk membuat hubungan dengan mereka dan memerintahkan menghentikan pertempuran karena pasukan Gagelang yang setia kepada Akuwu telah menyerah.
“Atas nama kuasa Sri Maharaja Singasari” Sinduwata menegaskan.
Ternyata Senapati yang memimpin pasukan Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu pun kemudian dapat mengerti atas penjelasan yang diberikan oleh orang-orang yang mengenakan pakaian petani yang sederhana itu. Karena sebenarnyalah mereka memiliki terlalu banyak kelebihan dari para petani kebanyakan.
“Jadi kalian adalah prajurit-prajurit Singasari?” bertanya Senapati yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba.
“Ya” jawab prajurit Singasari itu, “keadaan ini telah diperhitungkan oleh para pemimpin keprajuritan di Singasari, sehingga mereka memutuskan untuk mengutus beberapa Senapati dan prajurit secukupnya untuk membayangi Kabuyutan Talang Amba. Ternyata kami diperlukan disini”
Dengan demikian maka pasukan Gagelang yang terpisah dan yang semula harus menghadapi pecahan dari pasukan itu sendiri adalah pasukan yang pertama kali menyerah. Mereka telah meletakkan senjata mereka dan menghentikan perlawanan. Pertempuran antara pengawal Gagelang yang terbelah itu telah terhenti. Pasukan pengawal yang semula setia kepada Akuwu itu pun telah menyerah. Sementara senjata mereka di kumpulkan maka Sinduwata telah memberikan beberapa penjelasan kepada pasukan Gagelang itu.
Dengan demikian, jelas bagi kalian, bahwa Akuwu Gagelang yang telah melawan kekuasaan Singasari. la mempergunakan kesempatan yang timbul saat-saat di Gagelang terjadi perebutan kekuasaan antara paman dan kemanakan. Namun yang diakhiri dengan sikap yang terpuji dari kedua belah pihak. Bahkan Talang Amba telah berhasil membunuh orang yang telah meracuni Ki Sendawa, karena ia menginginkan imbalan yang terlalu mahal. Hutan di lereng pegunungan.
Sementara itu, sepeninggal Ki Sarpa Kuning, maka Akuwu telah mengambil alih tugasnya. Dengan memberikan keterangan yang sesat kepada orang-orangnya, maka Akuwu berhasil membawa mereka untuk memerangi orang-orang Talang Amba. Namun untunglah bahwa kesiagaan para prajurit Singasari telah berhasil mengatasi keadaan.
Dalam pada itu, Akuwu di Gagelang masih bertempur dengan serunya. Ketika ia mengetahui, bahwa pertempuran antara pasukannya yang terbelah itu sudah selesai, dan bahkan pasukan yang setia kepadanyalah yang harus menyerah, maka Akuwu itu mengumpat dengan kasarnya. Sementara itu, kedua orang pengawal pangapitnya telah bertempur pula semakin garang, betapapun hati mereka menjadi gelisah.
Kekalahan pasukan yang setia kepada Akuwu itu berpengaruh atas ketahanan jiwani pasukannya yang tersebar di padukuhan-padukuhan sebelah menyebelah. Dengan demikian, maka mereka pun segera merasa kecil menghadapi orang-orang Talang Amba.
Namun Senapati yang memimpin mereka masih sempat menyalakan api di dalam dada para pengawalnya, “Kekalahan mereka bukan oleh orang-orang Talang Amba. Tetapi para pengawal yang telah berkhianat itu telah bertempur dengan gila. Mereka berhasil mempengaruhi lebih banyak lagi pengawal-pengawal yang hatinya sempit sesempit otak mereka. Karena itu, kita harus dengan cepat menghancurkan orang-orang Talang Amba. Kemudian kita akan menghancurkan pengkhianat-pengkhianat itu. Hukuman bagi mereka akan jauh lebih berat dari hukuman atas orang-orang Talang Amba sendiri. Para Senapati yang berkhianat itu akan dihukum picis di alun-alun Gagelang”
Teriakan itu sempat membangkitkan nyala sekejap di hati para pengawal. Namun kemudian kembali mereka menghadapi satu kenyataan. Orang-orang Talang Amba telah bertempur dengan kemampuan yang sangat tinggi. Namun sekali-sekali, para pengawal itu berkesempatan untuk bertemu dengan orang-orang Talang Amba yang sebenarnya. Namun setiap kali pedang mereka siap menebas leher, tiba-tiba saja datang orang yang lain. Juga dalam pakaian petani yang sederhana seperti orang yang sedang dihadapinya. Namun orang yang datang kemudian itu ternyata memiliki ilmu yang jauh lebih baik dari orang-orang yang hampir saja diselesaikannya. Bahkan lebih baik dari dirinya sendiri
Meskipun demikian, ada juga orang-orang Talang Amba yang terpaksa menjadi korban. Betapapun juga mereka berada diantara orang-orang berilmu, namun sekali-sekali ada juga pedang yang menyusup diantara mereka dan mematuk korbannya. Namun sebenarnyalah bahwa orang-orang Gagelang sudah tidak mempunyai harapan lagi. Tetapi karena Akuwu di Gagelang masih juga bertempur, maka mereka pun berusaha untuk tetap mempertahankan dirinya.
Dalam pada itu, Akuwu masih bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Ia memang tidak mempunyai kesempatan lagi. Segala perbuatannya sudah diketahui dan dimengerti oleh para Senapati di Singasari. Karena itu, apapun yang dilakukannya kemudian, ia tentu akan diharapkan pada suatu pengadilan.
“Aku akan dihukum” berkata Akuwu di dalam hatinya, “mungkin hukuman gantung karena pengkhianatan ini. Agaknya lebih baik bagiku untuk mati di medan perang ini daripada mati sebagai tontonan orang-orang Singasari”
Karena itu, maka Akuwu Gagelang itu justru bertempur semakin garang. Ia tidak menghiraukan apa yang terjadi di sekitarnya. Ia tidak mau melihat, bahwa orang-orangnya mengalami kesulitan. Semakin lama, maka korban pun semakin banyak berjatuhan.
Tetapi pendirian Akuwu sudah jelas. Lebih baik mati daripada menjadi pangewan-pangewan. Dan pendirian itu pun agaknya terdapat pula diantara para Senapati dan pengawalnya. Apalagi mereka yang mengikuti Akuwu dengan sadar, dan tahu dengan pasti apa yang telah terjadi di Talang Amba.
Namun sebenarnyalah bahwa Akuwu pun masih mempunyai harapan untuk mati bersama lawannya. Akuwu terlalu yakin akan dirinya sendiri dan kemampuan ilmunya. Karena itu, maka iapun bertempur semakin dahsyat. Senjatanya terayun-ayun menggetarkan. Bahkan kilatan cahaya yang terpantul dari helai pedangnya, bagaikan gumpalan awan yang bercahaya mengitari tubuhnya.
Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar juga melihat kemampuan ilmu pedang lawannya. Namun sebagai seorang Senapati yang memiliki pengalaman pengembaraan yang luas. maka iapun masih sempat juga melihat lubang-lubang kecil diantara gumpalan awan yang menyilaukan itu. Dengan kemampuannya bergerak secepat sikatan menyambar bilahan, maka Mahisa Bungalan itu sekali-sekali justru telah menjulurkan pedangnya. Menyusup diantara gumpalan awan putaran pedang lawannya. Tetapi Akuwu pun cukup tangkas, sehingga dengan demikian maka pertempuran antara Mahisa Bungalan dan Akuwu Gagelang itu pun berlangsung dengan dahsyatnya.
Namun dalam pada itu, dalam hiruk pikuk pertempuran, maka Mahisa Murti telah berusaha dengan segenap kemampuannya untuk menguasai lawannya. Tetapi adalah diluar dugaan, bahwa pengawal itu telah berusaha bertempur tidak saja seorang melawan seorang, tetapi justru berusaha menyusup dalam kesibukan benturan senjata diantara para pengawal Gagelang dan orang-orang Talang Amba.
Mahisa Murti semula tidak mengerti maksud lawannya. Namun ketika tiba-tiba saja, lawannya bergeser menjauh, barulah Mahisa Murti sadar, bahwa tentu ada maksud tertentu yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Mahisa Murti terkejut ketika tiba-tiba saja pengawal itu telah bergeser di belakang seorang pengawal Gagelang. Bahkan yang mengejutkan Mahisa Murti, dengan serta merta, pengawal Akuwu yang bertempur melawannya itu telah mendorong pengawal Gagelang yang lain ke arah Mahisa Murti.
Pada saat pedang Mahisa Murti terjulur, pengawal yang didorong oleh Mahisa Murti itu hampir saja membenturnya tanpa dapat mempergunakan senjatanya. Seandainya Mahisa Murti bergeser setapak, kemudian menebaskan pedangnya, maka pedang itu akan dapat memenggal leher pengawal itu. Tetapi rasa-rasanya sesuatu telah menahannya, sehingga karena itu, Mahisa Murti hanya bergeser selangkah dan memukul tengkuk orang itu justru dengan tangkai pedangnya. Orang itu memang jatuh terjerembab. Tetapi orang itu tidak mati, meskipun ia menjadi pingsan.
Ternyata sesaat itu dapat dipergunakan oleh lawan Mahisa Murti sebaik-baiknya. Lawannya itu adalah seorang pengawal pengapit Akuwu Gagelang, namun yang sebenarnya adalah seorang Pangeran dari Kediri. Dengan tangkasnya, maka orang itu pun telah menyusup diantara ayunan senjata di medan pertempuran. Semakin lama semakin jauh dari Mahisa Murti, sehingga akhirnya lawannya itu telah hilang ditelan oleh hiruk pikuknya pertempuran itu sendiri.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia pun melihat, bahwa para pengawal Gagelang tidak akan dapat bertahan terlalu lama. Namun bahwa ia telah kehilangan lawannya, maka Mahisa Murti pun menjadi marah. Tetapi ia tidak ingin menumpahkan kemarahannya kepada orang-orang Gagelang yang sudah kehilangan kesempatan. Sebentar lagi mereka akan disapu dari medan jika mereka tidak mau menyerah.
Dengan geram, Mahisa Murti pun kembali ke arena yang dipergunakannya semula. Sementara itu ia masih melihat Mahisa Pukat bertempur dengan serunya, sebagaimana juga Mahisa Bungalan yang bertempur melawan Akuwu dari Gagelang. Untuk sesaat Mahisa Murti hanya berdiam diri. Namun iapun kemudian membantu pula orang-orang Talang Amba melawan para pengawal dari Gagelang yang sudah kehilangan gairah perjuangannya. Hanya karena Akuwu masih bertempur sajalah, mereka juga masih bertempur. Namun diantara mereka ada juga Senapati yang memang memilih mati di medan perang daripada menyerahkan diri kepada orang-orang Talang Amba atau orang Singasari.
Di padukuhan sebelah, Ki Sanggarana dan Ki Sendawa bertempur diantara orang-orang Talang Amba dan orang-orang yang belum dikenalnya yang datang bersama Senapati Singasari yang berada di Talang Amba bersama Mahisa Bungalan. Keduanya masih belum sempat mendapatkan penjelasan tentang orang-orang yang telah melibatkan dirinya bersama orang-orang Talang Amba melawan pasukan Gagelang dan yang ternyata memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi, bahkan melampaui para pengawal dari Gagelang. Dalam benturan-benturan kekerasan, selanjutnya, maka pasukan Gagelang telah menjadi semakin terdesak.
Ketika orang-orang Gagelang itu kemudian mengetahui, bahwa kawan-kawannya yang bertempur terpisah melawan pecahan dari pasukan Gagelang sendiri telah menyerah, maka pasukan Gagelang itu pun menjadi semakin kehilangan gairahnya. Bahkan beberapa orang tidak lagi ingin melawan ketika pasukan mereka menjadi semakin terdesak. Mereka lebih baik memilih bergeser surut menjauhi lawan yang serasa menjadi semakin garang.
Akhirnya Senapati Singasari yang berada di pasukan itu telah berteriak, “Kawan-kawanmu telah menyerah dan kehilangan kemampuan untuk melawan. Karena itu, menyerahlah sebelum terjadi malapetaka yang lebih besar bagi orang-orang Gagelang”
Tidak ada jawaban. Seorang Senapati Gagelang yang memimpin pasukan di arena itu menjadi ragu-ragu. Tetapi ia tidak akan mempunyai kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Bahkan semakin lama keadaannya akan menjadi semakin parah, karena jumlah mereka akan semakin susut.
Sementara itu, di padukuhan yang lain, Ki Waruju pun tidak terlalu banyak berbuat karena orang-orang yang telah membantu pasukan yang sebenarnya tidak memiliki kemampuan yang pantas untuk melawan Gagelang. Tetapi kehadiran orang-orang yang tidak dikenal dan berpihak kepada Talang Amba itu ternyata telah menentukan segala-galanya. Sehingga dengan demikian, Ki Waruju tidak merasa perlu mengerahkan segenap kemampuannya untuk membinasakan lawan-lawannya secepatnya dan sebanyak-banyaknya sebagaimana diperkirakan sebelumnya seandainya ia harus bertempur hanya dengan orang-orang Talang Amba saja.
Sementara itu, seperti di padukuhan yang lain, maka Senapati Singasari yang ada di padukuhan itu pun telah meminta agar pasukan Gagelang menyerah. Tetapi seperti kawannya juga di padukuhan sebelah. Senapati Gagelang itu pun ragu-ragu juga. Namun dalam keragu-raguan itu terdengar Ki Waruju berkata,
“Ki Sanak, Senapati dari Gagelang. Kau tidak akan berbuat apapun juga sekarang ini. Keadaan para pengawal Gagelang sudah semakin parah. Agaknya kalian tidak sempat memperhitungkan apa yang akan kalian hadapi disini. Sebenarnya kalian dapat mengukur kemampuan orang-orang Talang Amba dengan apa yang dapat aku lakukan. Dengan mudah aku dapat keluar dari bilik tahanan. Bahkan tidak hanya hari ini. tetapi selama beberapa hari aku berada di Gagelang. Aku sudah berulang balik kembali ke Talang Amba tanpa kalian ketahui. Nah. sekarang kalian berhadapan langsung dengan orang-orang Talang Amba yang lain, yang mungkin memiliki kelebihan dari aku sendiri”
Senapati itu menjadi semakin ragu. Sementara Senapati dari Singasari itu pun berkata, “Menyerahlah. Aku akan menjamin bahwa kalian akan diperlakukan dengan baik oleh para prajurit Singasari kelak, karena mau tidak mau kalian akan dihadapkan kepada kekuasaan Singasari. Tetapi itu lebih baik daripada kalian akan menjadi tawanan orang-orang Talang Amba dan mendapat hukuman langsung dari mereka. Mungkin kalian akan menjadi pangewan-ewan disini. Tetapi hal itu tidak akan terjadi di Singasari. karena Sri Maharaja di Singasari tentu mengetahui, siapakah yang sebenarnya telah bersalah sekarang ini”
Senapati itu manjadi semakin ragu. Namun ia benar-benar tidak dapat mengingkari kenyataan yang terjadi. Pasukannya benar-benar mengalami kesulitan. Karena itu akhirnya Senapati itu telah mengambil satu keputusan tanpa menghiraukan pasukan Gagelang yang berada di induk pasukan. Apalagi setelah ia mengetahui, bahwa kawan-kawannya yang bertempur melawan belahan pasukan Gagelang sendiri juga telah menyerah.
Sejenak kemudian, maka Senapati itu pun telah meletakkan senjatanya sambil mengisyaratkan bahwa ia telah menyerah. Bahkan kemudian iapun telah memberikan aba-aba untuk meletakkan senjata kepada seluruh pasukannya. Ada beberapa orang yang terkejut mendengar perintah itu. Namun sebagian besar dari mereka dengan serta merta telah melangkah surut sambil meletakkan senjata mereka.
Dalam pada itu. Senapati dari Singasari itu pun kemudian telah memberikan aba-aba juga kepada orang-orang Talang Amba dan orang-orang yang telah membantu mereka, untuk tidak mengambil langkah-langkah sendiri menghadapi pasukan yang telah menyerah itu.
Dengan demikian, maka pertempuran di padukuhan itu pun segera berhenti. Orang-orang Talang Amba telah mengumpulkan senjata lawan-lawan mereka, yang menyerah. Dalam pada itu, di padukuhan yang lain, orang-orang Gagelang telah jauh terdesak. Sehingga akhirnya, mereka pun tidak dapat berbuat lain. Dengan demikian, maka mereka pun telah berbuat sebagaimana dilakukan oleh kawan-kawan mereka. Menyerah.
Hanya di induk pasukan sajalah pertempuran masih berlangsung. Akuwu Gagelang bertempur dengan tangkasnya melawan Mahisa Bungalan. Sementara itu. Mahisa Murti tiba-tiba saja sudah termangu-mangu berdiri memperhatikan pertempuran itu. Mahisa Bungalan yang melihat Mahisa Murti termangu-mangu hampir diluar sadarnya telah bertanya, “Dimana lawanmu?”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya sebagaimana adanya, “Melarikan diri. Ia menghilang di dalam hiruk-pikuk pertempuran. Aku tidak dapat mengejarnya dan kehilangan orang itu”
“Siapa lawanmu he? Seorang dari pengawalku?” tiba-tiba saja Akuwu itu bertanya.
“Ya” jawab Mahisa Murti, lalu, “seorang yang lain masih bertempur melawan Mahisa Pukat”
Diluar sadar, Akuwu Gagelang itu telah melihat ke arah yang ditunjuk oleh Mahisa Murti. Ia melihat seorang pengawalnya masih bertempur. Karena itu, maka iapun. segera menyadari bahwa yang melarikan diri adalah Pangeran dari Kediri itu.
“Licik, pengecut” Akuwu itu menggeram. Namun ia tidak menarik diri dari keputusannya. Lebih baik mati di pertempuran dari pada harus menjadi seorang tawanan yang pada saatnya juga akan digantung di alun-alun. Tetapi Akuwu itu tidak mau mati sendiri. Ia sadar, bahwa yang dilakukan selama ini adalah atas dasar pertimbangan, pendapat dan bahkan sebagian adalah karena bujukan Pangeran dari Kediri itu.
Karena itu, maka sambil memutar pedangnya dan menyerang, maka ia berteriak, “Ketahuilah orang-orang Singasari yang dungu. Orang yang melarikan diri itu bukannya seorang pengawal dari Gagelang. Bukan pula seorang juru taman atau hamba apapun juga di Gagelang. Ia adalah seorang Pangeran dari Kediri. Ia adalah orang yang paling berkepentingan dengan hutan di lereng bukit”
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak sempat berbuat apapun juga, karena Akuwu itu masih saja menyerangnya dengan garang. Namun sejenak kemudian, Mahisa Bungalan mendapat kesempatan untuk berbicara, “Akuwu. Jika demikian, maka kau tidak terlalu berkepentingan dengan pertempuran ini. Sebaiknya kau menghentikan perang yang tidak akan berarti apa-apa bagimu dan bagi Gagelang. Orang yang paling bernafsu untuk menguasai Talang Amba justru karena hutan di lereng gunung itu, sekarang telah pergi”
“Aku tidak peduli. Apakah orang itu sudah pergi atau mati. Tetapi aku tidak ingin menjadi tawanan yang pada saatnya juga akan dihukum mati”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Akuwu itu benar-benar telah kehilangan nalarnya. Ia tidak, lagi mau berpikir. Kegagalan yang dihadapinya membuatnya mata gelap dan bahkan seperti orang yang gila. Karena itu, maka sejenak kemudian Akuwu itu pun kembali mengerahkan kemampuannya untuk membunuh Mahisa Bungalan yang untuk sejenak lebih banyak melindungi dirinya, sementara ia masih berusaha untuk memaksa Akuwu menyerah.
Tetapi Akuwu Gagelang benar-benar sudah tidak mau berpikir lagi selain dibakar oleh satu niat, membunuh atau jika tidak berhasil biarlah ia dibunuh. Namun dalam pada itu, ternyata Mahisa Bungalan sempat berkata kepada orang-orang yang ada di sekitarnya sambil berloncatan menghindari serangan Akuwu, “He, apakah kalian mendengar yang dikatakan oleh Akuwu”
Mahisa Bungalan tidak sempat berbicara lebih banyak. Serangan Akuwu Gagelang melibatnya semakin dahsyat. Senjata Akuwu itu berputaran bagaikan gumpalan awan di seputarnya. Jika gumpalan awan itu menyentuhnya, maka tubuhnya tentu akan terkoyak.
Namun dalam pada itu, ternyata Mahisa Murti cukup cerdas menangkap perkembangan keadaan. Ia mengerti maksud Mahisa Bungalan. Karena itu. maka katanya kemudian kepada orang-orang yang sedang bertempur di sekitarnya, “He. orang-orang Gagelang. Apakah kalian tidak dapat melihat kenyataan di sekitarmu. Lihat, perlawan di kedua sayap pasukanmu sudah dapat dipatahkan. Sementara itu, kawan-kawan kalian yang menyadari apa yang sebenarnya terjadi, telah berhasil menguasai lawannya. Sekarang lihat lah kepada dirimu sendiri Apa yang sedang terjadi dan untuk apa sebenarnya kalian berperang? Kalian tidak akan dapat memenangkan perang ini. Itu sudah pasti. Sebentar lagi orang-orang Talang Amba yang sudah berhasil mengalahkan lawan-lawannya itu akan segera berkumpul kemari. Apakah yang dapat kalian lakukan”
Mahisa Murti menunggu sejenak. Agaknya orang-orang Gagelang yang mendengar suaranya mulai berpikir. Namun Akuwu lah yang berteriak, “Persetan dengan igauanmu. Aku akan membunuh kalian semua”
“Kau mulai bermimpi Akuwu” sahut Mahisa Murti bukankah kau sendiri yang mengatakan, bahwa Pangeran dari Kediri itu sudah melarikan diri dari medan. Sementara itu, kalian yang hanya sekedar menjadi alatnya, masih juga ingin mempertaruhkan nyawa?”
Orang-orang Gagelang memang mulai berpikir Sementara itu keadaan mereka menjadi semakin rapuh. Orang-orang Talang Amba benar-benar sudah menguasai keadaan, sehingga ruang bergerak bagi mereka menjadi semakin sempit. Bahkan orang-orang Talang Amba kemudian bukan saja mendesak orang-orang Gagelang, tetapi mereka mulai mengepung orang-orang Gagelang. Dalam pada itu orang-orang, Gagelang memang mulai menjadi kehilangan ruang gerak. Bahkan semakin lama mereka pun menjadi semakin tertekan.
“Sekali lagi, aku peringatkan” berkata Mahisa Murti, “menyerahlah”
Tekanan orang-orang Talang Amba yang mengepung orang-orang Gagelang telah mempersempit kepungan mereka. Semakin lama semakin sempit. Namun dalam pada itu. Akuwu Gagelang masih saja bertempur tanpa menghiraukan orang-orangnya lagi. Bahkan apapun yang akan mereka lakukan. Akuwu tidak peduli lagi.
Akhirnya orang-orang Gagelang itu pun menyadari, bahwa mereka tidak dapat lagi bertumpu kepada perintah-perintah Akuwu. Bahkan mereka pun kemudian mengerti, apa yang sebenarnya terjadi pada pemimpin mereka. Karena itu, ketika tekanan Mahisa Pukat atas pengawal pengapit Akuwu yang masih juga bertempur dengan sengitnya menjadi semakin berat, maka pengawal itu mulai berpikir untuk mengambil sikap lain. Apalagi ketika kemudian dari tubuhnya lelah menitik darah ketika senjata Mahisa Pukat mengenainya.
“Kau dengar tentang kawanmu yang sebenarnya adalah Pangeran yang melarikan diri itu?” bertanya Mahisa Pukat
Pengawal itu tidak menjawab. Tetapi iapun mengetahui bahwa pengawal yang seorang itu adalah seorang Pangeran dari Kediri, meskipun hanya orang-orang tertentu sajalah yang mengetahuinya. Karena itu, maka iapun kemudian menganggap bahwa pertempuran untuk seterusnya tidak akan banyak bermanfaat bagi Gagelang. Jika Akuwu masih bertempur terus, adalah karena ia melihat tidak ada kesempatan lagi untuk tetap hidup. Menyerah atau mati di peperangan, tidak ada bedanya baginya. Bahkan mati di peperangan agaknya lebih baik bagi Akuwu yang memang seorang prajurit.
Tetapi pengawal itu masih melihat satu kemungkinan untuk hidup meskipun ia akan mengalami hukuman dari Singasari. Tetapi kesalahannya tidak akan seberat kesalahan yang disandang oleh Akuwu di Gagelang. Karena itulah, maka akhirnya pengawal yang menjadi kepercayaan Akuwu dan bahkan memerintah para Senapati itu pun akhirnya telah memilih jalan yang lain dari yang ditempuh oleh Akuwu. Ketika Mahisa Pukat mendesaknya, maka tiba-tiba saja pengawal itu melontarkan senjatanya sambil berkata, “Aku menyerah”
Mahisa Pukat tertegun. Namun kemudian senjata teracu ke dada lawannya sambil berkata, “Perintahkan pasukan Gagelang menyerah”
“Itu wewenang para Senapati” jawab pengawal itu, “aku adalah sekedar pengawal Akuwu”
“Aku tahu, kau mempunyai pengaruh atas para Senapati” desak Mahisa Pukat.
Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Sementara Mahisa Pukat masih berdiri di hadapannya dengan pedang teracu. Tetapi pengawal itu masih tetap ragu-ragu. Katanya, “Mereka mendapat perintah langsung dari Akuwu aku hanya menjadi perantara saja”
“Terserahlah. Jika kau ingin melihat para pengawal Gagelang menjadi banten, sementara kau sudah berhasil menyelematkan diri” berkata Mahisa Pukat Lalu, “Jika demikian, maka aku akan memerintahkan mengikatmu sementara aku akan membunuh sebanyak banyaknya”
Wajah Senopati itu menjadi tegang. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan mencoba mempergunakan pengaruhku untuk memerintahkan mereka menyerah. Tetapi jika suaraku lenyap tanpa pengaruh apapun juga, itu bukan salahku”
“Cobalah” berkata Mahisa Pukat.
Pengawal itu termangu-mangu. Namun akhirnya iapun meneriakkan aba-aba untuk menyerah. Katanya, “Tidak ada peluang lagi bagi kita. Menyerahlah. Dengan demikian maka jumlah korban dapat dikurangi”
Namun yang terdengar adalah jawaban Akuwu, “Pengecut. Jika kau akan menjilat kaki orang Singasari atau orang-orang Talang Amba lakukanlah sendiri”
Wajah pengawal itu menegang. Tetapi hampir diluar sadarnya ia menyahut, “Tidak ada harapan lagi Akuwu”
“Aku akan membunuh semua orang Talang Amba dan Singasari” teriak Akuwu.
“Tetapi jangan mengorbankan para pengawal lebih banyak lagi. Pertempuran selanjutnya akan sia-sia” jawab pengawal itu.
“Bagiku tidak ada bedanya” geram Akuwu, “apapun yang akan terjadi, aku akan mati. Aku lebih baik mati di peperangan daripada di tiang gantungan menjadi tontonan”
“Sikap Akuwu berbeda dengan sikapku” jawab pengawal itu.
Sementara itu. ia masih menyaksikan Akuwu bertempur terus melawan Mahisa Bungalan, meskipun untuk sesaat Mahisa Bungalan lebih banyak melayani Akuwu yang diharapkan akan menyerah itu. Lalu pengawal itu melanjutkan Akuwu. meskipun pada satu saat nanti aku akan digantung dan bahkan menjadi tontonan sekalipun, aku tidak berkeberatan. Tetapi jika dengan demikian beberapa nyawa pengawal yang lain dapat diselamatkan dalam pertempuran ini”
“Omong kosong” teriak Akuwu, “Singasari akan menghukum kita semuanya. Semua pengawal Gagelang akan digantung. Bahkan pengawal yang tidak tahu menahu apa yang sedang mereka lakukan”
“Tetapi setidak-tidaknya kita mengurangi rasa permusuhan. Dan korban-korban dipihak Talang Amba dapat dicegah untuk selanjutnya” jawab pengawal itu.
“Pengecut cengeng” teriak Akuwu yang marah, “kau pun pantas untuk dibunuh”
Pengawal itu tidak menjawab lagi. Sementara itu Akuwu itu pun justru bertempur lebih garang lagi. Namun dalam pada itu, ternyata seorang Senopati dari Gagelang yang mendengar percakapan antara Akuwu dan pengawal khususnya itu dapat mengambil sikap sendiri, ia pun tiba-tiba saja telah memerintahkan para pengawal di dalam kelompoknya untuk menyerah.
“Tidak ada kemungkinan lain” teriak Senopati itu. Karena itulah maka para pengawalnya pun telah bergeser surut serta menundukkan senjata mereka. Sementara orang-orang yang dalam pakaian petani sebagaimana orang-orang Talang Amba itu pun telah berusaha menguasai diri pula.
“Kami menyerah” teriak Senopati itu Ketika Senopati itu meletakkan senjatanya, maka para pengawal yang lain di bawah perintahnya telah menyerah pula.
Ternyata sikap itu telah diikuti oleh beberapa orang Senopati yang lain, sehingga akhirnya pasukan Gagelang yang berada di induk pasukan itu pun lelah menyerah pula.
Dalam pada itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian berkata kepada Akuwu, “Dengar dan lihat. Akuwu yang perkasa. Semua pasukanmu telah menyerah. Apakah kau masih akan bertempur seorang diri melawan seluruh pasukan Talang Amba?”
“Persetan” geram Akuwu, “aku akan membunuh semua orang yang menentang kekuasaanku, atau aku akan mati untuk mempertahankan kekuasaanku”
“Kau sudah kehilangan penalaranmu” sahut Mahisa Bungalan.
“Jika kau takut, pergi dari medan. Aku akan mengampunimu” teriak Akuwu.
Mahisa Bungalan sudah tidak melihat kemungkinan lagi untuk memaksa Akuwu menyerah, Akuwu sudah benar-benar tidak dapat lagi berpikir tentang dirinya dan pasukannya. Bahkan Akuwu sudah cenderung untuk membunuh diri di peperangan itu. Karena itu. maka Mahisa Bungalan pun kemudian memutuskun untuk menghadapi Akuwu itu. Ia tidak akan memerintahkan orang-orangnya untuk bersama sama dan beramai-ramai menangkap atau membunuh Akuwu di Gagelang. Tetapi dalam keadaan yang demikian maka Mahisa Bungalan pun telah memutuskan untuk menghadapinya sendiri. sebagaimana dalam perang tanding.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan itu pun kemudian berkata, “Akuwu. Jika kau memang memilih arena pertempuran ini sebagai gelanggang untuk menentukan nasibmu, maka baiklah aku akan memberimu kesempatan. Marilah kita berhadapan sebagai prajurit. Jika kau bertempur seorang diri. Maka aku pun akan melawanmu seorang, meskipun aku berhak memerintahkan orang orangku untuk beramai-ramai menangkapmu seperti menangkap seorang perampok”
“Gila. Aku adalah Akuwu yang mulia di Gagelang” jawab Akuwu.
“Tetapi sikap dan tingkah lakumu tidak mencerminkan kedudukanmu itu” jawab Mahisa Bungalan.
Wajah Akuwu di Gagelang itu menjadi merah. Kemarahan dan perasaan yang bercampur baur telah membuat dadanya bagaikan mendidih. Dengan suara bergetar oleh gejolak perasaannya, Akuwu itu menjawab, “Kau adalah orang yang paling sombong yang pernah aku lihat. Karena itu, maka kau akan mengalami kematian yang paling pahit dari semua orang yang pernah menempatkan diri sebagai lawanku”
Tetapi Mahisa Bungalan telah benar-benar bersiap menghadapi Akuwu yang seakan-akan telah menjadi putus asa dan berusaha untuk membunuh diri dengan caranya itu. Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka pertempuran antara kedua orang itu pun menjadi semakin dahsyat. Akuwu yang memiliki ilmu yang tinggi dan gejolak perasaan yang menghentak-hentak itu, lelah menyerang Mahisa Bungalan dengan sengitnya. Senjatanya yang berputaran bagaikan gumpalan kabut putih melanda Mahisa Bungalan bagai amuk angin pusaran.
Tetapi, Mahisa Bungalan pun memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi ilmu Akuwu di Gagelang. Justru karena hatinya yang tidak menjadi kabur oleh kemurahan dan perasaan yang baur, maka ia masih dapat berpikir secara bening. Karena itulah, maka perhitungannya masih jauh lebih mapan dari Akuwu yang bagaikan menjadi gila.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdegupan. Ia melihat kegarangan Akuwu di Gagelang dengan ketegangan yang mencengkam.
Sementara itu, setelah menyelesaikan persoalan para pengawal yang menyerah, serta menyerahkannya kepada beberapa orang prajurit Singasari yang ada diantara orang-orang Talang Amba. Maka Ki Waruju, murid Ki Sarpa Kuning, Ki Sendawa dan Ki Sanggarana, serta beberapa orang yang lain, telah berada di induk pasukan Perang tanding antara Akuwu di Gagelang serta Mahisa Bungalan itu benar-benar telah menarik perhatian. Agaknya Mahisa Bungalan telah menempatkan dirinya pada keadaan yang sangat berbahaya itu untuk memenuhi tuntutan sikap jantannya menghadapi Akuwu yang kehilangan akal itu.
Dengan demikian, maka pertempuran itu menjadi semakin cepat. Serangan-serangan Akuwu yang sangat berbahaya datang membadai. Sementara Mahisa Bungalan pun telah bertahan dengan cermatnya. Bahkan kemudian serangan-serangan balasannya pun telah menghentak dan mengejutkan Akuwu yang marah itu.
Sambaran-sambaran senjata Akuwu berdesing di seputar tubuh Mahisa Bungalan yang berloncatan menghindar dan dengan senjatanya menangkis mengimbangi kecepatan serangan Akuwu. Namun sekali-kali ujung pedang Mahisa Bungalan justru berhasil mematuk disela-sela gumpalan putih putaran pedang Akuwu di Gagelang itu.
Sementara itu, beberapa orang Singasari tengah sibuk mengurus orang-orang yang menyerah. Mereka memperlakukan orang-orang dengan baik, karena mereka mengerti, bahwa kesalahan utama terletak pada sikap Akuwu di Gagelang. Karena itu, maka Akuwu di Gagelang lah yang harus memikul tanggung jawab yang paling berat.
Tetapi justru oleh kesadaran yang demikian, maka Akuwu di Gagelang telah memilih jalan memintas. Apapun yang dilakukannya, menurut pendapatnya, akhirnya ia akan mati juga. Sehingga karena itu, maka ia memilih jalan terdekat dan yang menurut anggapannya paling terhormat bagi seorang prajurit. Mati di medan perang.
Namun Mahisa Bungalan yang masih tetap berpikir jernih itu masih juga berusaha untuk dapat menundukkan Akuwu tanpa membunuhnya. Dengan demikian, Singasari akan mendapat jalur yang lebih dekat pula untuk mengusut, siapakah orang-orang di Kediri yang telah melakukan perbuatan yang akan sangat merugikan Singasari. Bahkan akan sangat membahayakan tata kehidupan rakyat padesan. Dengan cara yang sangat kasar beberapa orang di Kediri itu ingin membuat Singasari menjadi lemah.
Tetapi langkah-langkah yang mereka ambil sama sekali tidak menghiraukan tata kehidupan rakyat dan mempertimbangkan masa-masa yang terbentang dihadapan mereka untuk waktu yang panjang. Tetapi Mahisa Bungalan tidak banyak mendapat kesempatan. Serangan-serangan Akuwu melandanya bagaikan debur ombak menghantam batu karang. Berurutan tidak henti-hentinya.
Justru karena usahanya untuk mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya, maka Mahisa Bungalan pun seakan-akan telah terdesak. Meskipun serangannya yang berbahaya kadang-kadang berhasil menyusup pertahanan dan putaran pedang Akuwu, namun serangan-serangan itu bukannya serangan-serangan yang dapat membunuhnya. Tetapi berbeda dengan sikap itu, Akuwu benar-benar ingin membinasakan lawannya. Setidak-tidaknya mereka berdua harus mati bersama-sama.
Karena itu, maka serangan-serangan Akuwu lah yang kemudian seakan-akan menguasai arena, sehingga Mahisa Bungalan lebih banyak bergeser, menghindar dan menangkis serangan lawannya. Ia masih berharap, bahwa pada satu saat Akuwu menjadi kelelahan dan perlawanannya akan berhenti dengan sendirinya.
Tetapi perhitungan Mahisa Bungalan itu ternyata keliru. Akuwu di Gagelang itu tidak segera kehilangan kemampuannya melawan. Bahkan seakan-akan semakin lama ia menjadi semakin garang. Meskipun tubuhnya telah dipenuhi oleh keringat yang bagaikan terperas dari kulitnya, namun ia masih tetap bertempur sebagaimana mula-mula ia turun ke medan. Bahkan oleh gejolak perasaannya, Akuwu itu pun menjadi semakin garang.
Mahisa Bungalan sekali-sekali benar-benar terdesak. Tetapi ia masih berusaha untuk menundukkan lawannya tanpa membunuhnya. Namun Mahisa Bungalan lah yang kemudian justru mengalami kesulitan. Ilmu Akuwu itu terlalu tinggi untuk dapat dikuasainya. Bahkan justru karena itu, maka Mahisa Bungalan yang lebih banyak menghindar dan menangkis itu, pada satu kali telah membuat satu kesalahan.
Pada saat yang gawat, Mahisa Bungalan masih berusaha untuk menghindari ujung pedang Akuwu yang menusuk ke arah jantungnya. Ketika pedang itu tidak menyentuh sasaran, maka pedang itu telah berputar dan menyambar mendatar. Mahisa Bungalan masih sempat meloncat surut. Namun Akuwu yang marah itu memburunya, sementara pedangnya terangkat tinggi-tinggi sebelum terayun ke arah dahi Mahisa, Bungalan...