PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 14
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 14
Karya Singgih Hadi Mintardja
MAHISA BUNGALAN melihat satu kesempatan terbuka. Ketika Akuwu mengayunkan pedangnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi tanpa memperhitungkan jarak, maka sebenarnya Mahisa Bungalan dapat memanfaatkan kelengahan Akuwu itu. Jika ia menjulurkan pedangnya sambil meloncat maju, maka ia akan dapat mengenai dada Akuwu yang terbuka. Tetapi ketika Mahisa Bungalan melakukannya, maka tiba-tiba saja ia menjadi ragu-ragu. Pedangnya yang sudah terjulur itu pun ternyata tidak menggapai tubuh lawannya.
Namun dalam pada itu, ternyata Akuwu masih sanggup melakukan satu serangan yang berbahaya bagi Mahisa Bungalan. Pedangnya benar-benar terayun mengarah ke dahi lawannya yang ragu-ragu. Mahisa Bungalan terkejut melihat ayunan pedang itu. Dengan tergesa-gesa ia berusaha menangkis ayunan pedang yang dilandasi dengan seluruh kemampuan dan kekuatan itu.
Mahisa Bungalan berhasil menangkis serangan itu dan dahinya tidak benar-benar terbelah. Tetapi pedang yang berkisar itu, ternyata masih juga menyentuh pundak Mahisa Bungalan. Terdengar Mahisa Bungalan mengeluh tertahan. Pundaknya telah terkoyak oleh pedang Akuwu meskipun tidak begitu dalam. Namun darah yang hangat telah meleleh dari lukanya itu.
Yang terdengar adalah suara tertawa Akuwu. Meskipun pedangnya masih saja berputar, namun ia dapat berteriak nyaring, “He anak Singasari yang malang. Kau akan segera terkapar di tanah. Kau mati dalam kesombonganmu, seakan-akan kau akan dapat menjadi pahlawan bagi orang-orang Talang Amba. Tetapi sebelum kau dapat menikmati kesombonganmu, maka kau sudah akan mati karena luka-lukamu”
Mahisa Bungalan menggeram. Luka itu memang terasa pedih. Ketika ia memandang wajah Akuwu yang sedang tertawa itu, tiba-tiba saja jantungnya berdentang. Wajah itu seolah-olah bukan lagi wajah Akuwu di Gagelang. Tetapi wajah itu bagaikan wajah iblis yang garang, yang haus tetes-tetes darah segar dari tubuhnya.
Tiba-tiba saja Mahisa Bungalan melangkah surut. Dadanya terasa bergejolak semakin dahsyat. Tangannya menjadi bergetar oleh kemarahan yang tertahan. “Iblis ini sudah melukai pundakku” geram Mahisa Bungalan.
Sementara itu, Akuwu pun bertempur semakin seru. Ia terasa bahwa kemampuannya memang melampaui kemampuan Mahisa Bungalan sehingga ia selalu dapat mendesaknya dan melukainya. Untuk sesaat Mahisa Bungalan masih berusaha menguasai perasaannya. Meskipun pundaknya terasa pedih, namun ia mencoba untuk melihat satu kepentingan yang besar untuk tetap membiarkan Akuwu di Gagelang itu hidup.
Tetapi untuk melawan Akuwu itu tanpa menyentuhnya, ternyata menjadi sangat sulit bagi Mahisa Bungalan. Apalagi sejak ia terluka. Luka itu kadang-kadang bagaikan menggigit. Apalagi di saat ia menyadari, bahwa darah yang mengalir itu akan dapat menyusutkan tenaganya dengan cepat. Karena itu, maka akhirnya Mahisa Bungalan itu berkata di dalam hatinya, “Aku memang tidak ingin membunuhnya. Tetapi jika dengan demikian aku sendiri yang akan menjadi korban, maka aku merasa berkeberatan”
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, Mahisa Bungalan itu pun mengambil keputusan, “Aku akan bertempur sebagaimana seharusnya aku melayaninya. Jika dengan demikian, orang ini terbunuh, maka hal itu sama sekali tidak aku harapkan”
Dengan keputusan itu, maka Mahisa Bungalan pun telah bertempur semakin garang. Ia bergerak semakin cepat, mengimbangi sikap Akuwu yang semakin kasar.
Meskipun demikian, Akuwu itu masih sempat terkejut ketika ia melihat perubahan sikap Mahisa Bungalan. Ketika kemudian terjadi benturan yang dahsyat, maka terasa tangan Akuwu menjadi pedih.
Luka dipundak Mahisa Bungalan membuatnya agak cemas. Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan pun bertempur dengan tegang. Darah yang meleleh dari luka itu terasa semakin banyak. Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun telah mempergunakan segala kemampuannya. Ketika Akuwu meloncat menusuk ke arah lambungnya, maka Mahisa Bungalan sempat bergeser setapak. Dengan tangkasnya ia menebaskan pedangnya ke arah lambung. Namun Akuwu masih sempat menangkisnya dan memutar pedangnya dan menyerang mendatar.
Mahisa Bungalan meloncat surut. Ketika Akuwu memburunya, maka pedang Mahisa Bungalan terjulur lurus, sehingga langkah Akuwu itupun tertahan. Mahisa Bungalan sudah siap untuk meloncat. Tetapi ternyata ia masih ragu-ragu untuk mengayunkan pedangnya pada saat Akuwu sedang menarik diri.
“Gila” geram Mahisa Bungalan “Apa yang telah menahanku. Mungkin ia terluka. Tetapi ia tidak akan mati”
Justru pada saat Mahisa Bungalan tercenung itulah, maka dengan kecepatan tinggi, pedang Akuwu mematuk lengan Mahisa Bungalan. Demikian cepatnya, sehingga Mahisa Bungalan tidak sempat berbuat apa-apa. Mahisa Bungalan terdorong selangkah. Namun agaknya Akuwu yang sudah tidak dapat berpilir jernih itu ingin memanfaatkan kesempatan itu. Pada saat Mahisa Bungalan merasa betapa pedihnya sengatan pedang Akuwu, maka Akuwu itu telah menyerangnya pula. Pedangnya menyambar mendatar.
Tetapi Mahisa Bungalan telah mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan berikutnya yang sudah diperhitungkan oleh Mahisa Bungalan, sehingga karena itu, maka ia pun dengan tangkasnya telah meloncat menghindar. Namun demikian, luka di lengan Mahisa Bungalan itu telah membuatnya menjadi benar-benar marah. Darah yang telah menitik dari lukanya itu membuatnya bersikap lain.
“Jika aku berusaha untuk selalu berhati-hati agar aku tidak melukainya, maka akulah yang justru akan menjadi korban dalam pertempuran ini” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.
Karena itu, maka setelah lukanya terasa semakin pedih, Mahisa Bungalan tidak lagi berusaha menahan dirinya. Apalagi ketika ia menyadari, bahwa darahnya yang mengalir itu akan dapat mempengaruhi ketahanan tubuhnya. Semakin banyak darah yang meleleh, maka semakin lemahlah ketahanan tubuhnya itu. Luka di pundak dan lengannya itu selain menyakikan tubuhnya juga sangat menyakitkan hatinya.
“Aku tidak akan ragu-ragu lagi” geramnya. Sebenarnyalah bahwa sikap Mahisa Bungalan telah benar-benar berubah. Langkahnya menjadi semakin cepat dan garang. Ia tidak lagi memikirkan apakah Akuwu akan terbunuh atau tidak. Tetapi Mahisa Bungalan tidak mau mati. Ia harus dapat menyelesaikan pertempuran itu sebelum darahnya terperas habis dari luka-lukanya.
Dengan demikian, maka serangan-serangannya pun kemudian telah datang membadai. Ia tidak lagi bertahan dan menghindar, menunggu sampai Akuwu di Gagelang itu kelelahan. Karena dengan demikian, yang terjadi adalah justru kesulitan bagi dirinya sendiri.
Dalam keadaan yang demikian, maka ternyata Akuwu di Gagelang itu telah mengalami kesulitan yang lebih besar. Jika ia semula merasa berbangga bahwa ia berhasil melukai Mahisa Bungalan, maka kemudian Akuwu itu harus menggeram dan mengumpat-umpat. Ternyata sikap keras yang kemudian ditunjukkan oleh Mahisa Bungalan itu telah membuat Akuwu semakin kehilangan perhitungan.
Ketika ujung pedang Mahisa Bungalan kemudian mulai menyentuh tubuhnya, maka Akuwu di Gagelang yang dalam kegelapan nalar itu telah menjadi semakin garang. Tetapi nalarnya pun menjadi semakin kabur, dengan demikian, maka yang dilakukan oleh Akuwu itu kemudian bukan lagi kegarangan ilmu yang tinggi, tetapi sekedar ungkapan kemarahan dan kebingungan yang campur baur dengan keputus-asaan. Sementara itu, lawannya adalah seorang Senapati muda yang telah terluka dan darahnya telah membasahi kulitnya, sehingga karena itu menjadi semakin lama semakin garang pula.
Dalam pada itu, ternyata bahwa Mahisa Bungalan yang mulai terluka, tubuhnya terpengaruh oleh keletihan dan darah yang mengalir telah mempergunakan kemampuannya dalam ilmu pedang sebaik-baiknya. Meskipun kemarahan telah mencengkam jantungnya, tetapi Mahisa Bungalan masih sempat melihat dengan jernih putaran senjata lawannya. Bahkan justru karena luka-lukanya, maka Mahisa Bungalan berusaha, agar ia tidak akan kehabisan tenaga sebelum ia berhasil mengalahkan lawannya.
Dengan demikian, maka semakin lama akhir pertempuran itu pun menjadi semakin dekat. Mahisa Bungalan yang dengan hati-hati beralaskan segenap kemampuannya, berhasil menguasai Akuwu Gagelang yang kehilangan kendali penalarannya itu.
Sementara itu, beberapa orang pemimpin Talang Amba dan para Senapati dari Singasari pun telah berada di padukuhan itu, sementara orang-orang yang datang dalam pakaian petani dan menggabungkan dirinya dengan orang-orang Talang Amba telah menguasai semua orang Gagelang yang menyerah.
Dengan tegang mereka menyaksikan, bagaimana Mahisa Bungalan yang telah terluka berusaha menguasai lawannya. Namun Mahisa Bungalan tidak lagi terikat kepada keinginannya untuk menangkap Akuwu dalam keadaan hidup, apalagi setelah terasa pengaruh dari luka-lukanya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kadang-kadang harus menahan nafasnya. Bahkan pada saat-saat tertentu, Mahisa Pukat hampir tidak dapat mengendalikan diri lagi. Namun setiap kali ia bergeser terlalu maju, Mahisa Murti telah menggamitnya dan kemudian menariknya mundur beberapa langkah. Tetapi darah yang meleleh dari luka-luka di tubuh kakaknya, membuat Mahisa Pukat benar-benar gelisah.
Namun, ternyata kemudian bahwa ujung pedang Mahisa Bungalan telah merhasil menyusup di antara ayunan pedang lawannya. Dengan tusukan lurus, Mahisa Bungalan berhasil menyentuh langsung dada Akuwu di Gagelang.
Akuwu itu menggeram. Selangkah ia meloncat mundur. Dengan sorot mata yang menyala ia mengacukan pedangnya sambil berkata “Kau gila. Kau berani menyentuh tubuhku dengan ujung pedang? He, apakah kau tau apa hukumannya?“
Mahisa Bungalan tidak lagi ingin melayani sikap yang gila itu. Dengan geram ia menjawab “Menyerahlah, atau aku akan membunuhmu”
Tetapi yang terdengar adalah suara Akuwu yang rasa-rasanya sudah berubah disela-sela tertawanya “Kau sudah terluka anak manis. Meskipun kau seorang Senapati dari Singasari. Tetapi ternyata kau tidak mampu lagi melawanku”
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi sekali lagi pedangnya telah menyentuh tubuh Akuwu dipundaknya. Tubuh Akuwu itu terdorong surut. Namun Mahisa Bungalan tidak memberinya kesempatan lagi. Sekali lagi Mahisa Bungalan meloncat dengan pedang terjulur.
Akuwu Gagelang masih berusaha menangkisnya. Tetapi ternyata bahwa ujung pedang Mahisa Bungalan itu sekali lagi mematuk dada, sehingga sekali lagi Akuwu terdorong surut. Luka di dadanya itu membuatnya mengeluh kesakitan. Namun kemudian terdengar ia berteriak “Anak iblis. Aku bunuh kau”
Mahisa Bungalan yang marah karena luka-luka di tubuhnya melihat satu kesempatan. Akuwu yang semakin lemah itu tidak segera sempat memperbaiki kedudukannya dan mempersiapkan pedangnya. Karena itu, maka sekali lagi Mahisa Bungalan mendapat kesempatan. Ia pun segera mengangkat pedangnya untuk menebas ke arah leher lawannya.
Akuwu yang berusaha memperbaiki keadaannya itu tidak sempat berbuat banyak ketika Mahisa Bungalan meloncat mendekat dengan pedang terayun. Jika pedang itu kemudian menebas leher Akuwu, maka Mahisa Buhgalan akan segera mengakhiri pertempuran.
Tetapi sekali lagi, Mahisa Bungalan merasa seakan-akan sesuatu telah menahan tangannya. Pedangnya yang telah terangkat itu telah tertahan oleh satu kekuatan yang tumbuh dari dalam dirinya sendiri. Rasa-rasanya ia tidak dapat mengayunkan pedang itu dan memenggal leher lawannya, meskipun kemarahan yang tiada taranya telah menghentak-hentak di dalam dadanya.
Karena itu, maka pedang yang sudah terangkat itu tidak juga terayun. Mahisa Bungalan justru telah meloncat surut sambil memperhatikan keadaan lawannya. Akuwu Gagelang masih terhuyung-huyung. Luka di dadanya mengalirkan darah yang membasahi tubuhnya.
Tetapi Akuwu itu masih berteriak “Jangan lari anak iblis. Jika kau takut menghadapi Akuwu di Gagelang, maka berlututlah. Aku akan memenggal kepalamu dan semua pemimpin Kabuyutan Talang Amba pun akan mengalami nasib yang sama”
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi sesuatu terasa semakin bergejolak di dalam dadanya. Darah di tubuh Akuwu itu membuatnya menjadi ngeri, meskipun tubuhnya sendiri iuga sudah basah oleh darah. Ketika Akuwu itu dengan terhuyung-huyung melangkah maju, Mahisa Bungalan justru melangkah surut.
Bukan saja Mahisa Bungalan yang menjadi ngeri. Akuwu yang sudah bermandikan darah dan tidak lagi mampu berdiri tegak itu masih juga tertawa sambil berkata “Ayo Senopati muda yang perkasa dari Singasari yang besar. Marilah kita selesaikan pertempuran ini dengan jantan. Tetapi jika kau tidak berani lagi bertempur dalam perang tanding, maka perintahkan prajurit-prajuritmu untuk mengeroyok aku”
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Dipandanginya saja Akuwu yang sudah kehilangan sebagian besar dari kekuatannya karena darahnya yang mengalir dari tubuhnya.
Tetapi Akuwu itu masih berteriak “Ayo, menyerahlah. Jangan ingkar dari kenyataan, bahwa tubuhmu telah merah oleh darah”
Mahisa Bungalan memang tidak dapat ingkar dari kenyataan itu. Tubuhnya memang sudah merah pula oleh darah. Tetapi ia masih memiliki kekuatan dan kemampuannya, meskipun sudah menjadi susut. Tetapi tidak secepat susutnya tenaga Akuwu dari Gagelang itu.
Dalam keadaan yang demikian, maka setiap mata menjadi tidak berkedip karenanya. Kedua orang yang berperang tanding itu sudah sama-sama terluka. Darah telah memerahi tubuh masing-masing dan nampaknya tangan mereka pun telah menjadi gemetar pula. Namun sebagian besar dari mereka pun melihat, bagaimana Mahisa Bungalan menarik tangannya yang sudah hampir terayun menebas leher Akuwu yang sudah tidak berdaya itu.
Dengan demikian, maka mereka dapat menilai apa yang sebenarnya tersirat di hati Mahisa Bungalan. Meskipun kemarahan yang tidak terkatakan telah menghentak jantungnya, tetapi ia bukan pembunuh yang tidak terkendali menghadapi lawannya yang sudah tidak berdaya.
Tetapi sementara itu, adalah di luar kemampuan Mahisa Bungalan untuk menjaga agar ujung pedangnya tidak membahayakan jiwa lawannya. Apalagi setelah ia sendiri terluka. Maka menurut perhitungan Mahisa Bungalan, ia tidak ingin mati karena ia terlalu berhati-hati menghadapi lawannya agar ia tidak melukainya.
Dalam kebimbangan itu Mahisa Bungalan melihat Akuwu yang menjadi semakin lemah itu melangkah maju. Sambil menyeret kakinya Akuwu itu tiba-tiba saja telah bertelekan pada pedangnya.
“Ia benar-benar sudah kehilangan kesadarannya” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya “ia sudah tidak teringat lagi bahwa yang ada ditangannya itu adalah pusakanya. Bukan sebatang tongkat penjalin”
Namun sementara itu, agaknya Akuwu telah benar-benar tidak mampu menahan dirinya sendiri. Ketika ia melangkah semakin mendekati Mahisa Bungalan, maka tiba-tiba saja tubuhnya telah bergetar. Nafasnya menjadi terengah-engah dan matanya menjadi semakin merah.
Akuwu dari Gagelang itu tertegun. Tetapi rasa-rasanya matanya menjadi berkunang-kunang. Ketika ia kemudian benar-benar kehilangan keseimbangannya, maka hampir saja Akuwu itu terjatuh. Namun untunglah, bahwa pengawalnya yang telah menyerah lebih dahulu sempat meloncat mendekatinya dan menangkapnya, sehingga Akuwu itu tidak terbanting jatuh di tanah.
Tetapi ketika pengawalnya itu perlahan-lahan meletakkan tubuh Akuwu itu di tanah, maka tiba-tiba saja Akuwu itu pun mengumpat “Pengecut, pengkhianat. Jangan sentuh aku. Bukankah kau sudah kehilangan sifat kejantananmu dan menyerahkan diri sekedar untuk mendapatkan pengampunan dan tidak mati di peperangan ini?“ usaha untuk meronta dan melepaskan diri “jangan sentuh aku pengkhianat. Tetapi ingat. Kau dapat tetap hidup sekarang ini. Tetapi besok kau akan mendapatkan kematianmu dengan cara yang lebih buruk. Kau akan digantung di alun-alun."
“Mungkin Akuwu. Mungkin hamba akan digantung di alun-alun Singasari. Tetapi dasar penyerahan hamba adalah untuk mengurangi jumlah kematian di peperangan ini meskipun hamba sendiri tidak akan dapat menghindari kematian, bahkan di tiang gantungan sekalipun”
“Tutup mulutmu pengecut. Jangan sentuh aku” teriak Akuwu. Namun iapun kemudian menyeringai sambil berdesah “Oh, sakitnya tubuhku”
Pengawalnya itu masih tetap berusaha untuk menahannya. Tetapi sekali lagi Akuwu meronta dengan tenaganya yang semakin lemah. Tetapi suaranya masih tetap garang “Cepat. Lepaskan aku. Jangan kau kotori tubuhku dengan pengkhianatanmu itu. Biar tubuhku tetap bersih sebagaimana seorang pahlawan yang gugur di peperangan”
Namun tiba-tiba sebuah pertanyaan telah menggetarkan perasaan Akuwu. “Akuwu, jika Akuwu merasa menjadi seorang pahlawan, maka apakah yang sebenarnya Akuwu perjuangkan selama ini?“
Akuwu itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun berdesah “Pertanyaan yang gila” Tetapi tiba-tiba ia berteriak “Kediri memang harus bangkit. Tumapel yang sombong dengan menamakan diri Singasari harus dilenyapkan dan di kembalikan sebagaimana seharusnya. Keturunan perempuan Panawijen itu tidak berhak memerintah Tanah ini”
“Itukah alasan perjuanganmu sehingga kau pasrahkan dirimu untuk menjadi bebanten?“ terdengar pertanyaan itu pula.
“Cukup. Jangan bayangi kematianku dengan pertanyaan-pertanyaan yang gila itu. Aku sudah memperjuangkan hak atas Tanah ini bagi Kediri” teriaknya pula. Namun nafasnyapun kemudian, menjadi terengah-engah.
“Kenapa kau memilih Kediri dari Singasari?” bertanya suara itu pula.
“Gila. Kau gila. Aku adalah keturunan Kediri yang merasa ikut berhak pula atas kekuasaan Kediri atas Tanah ini” jawab Akuwu.
“Tetapi siapakah Pangeran yang telah ikut serta dalam pertempuran ini, tetapi kemudian meninggalkan medan?“ terdengar pertanyaan pula.
Akuwu mencoba memandangi orang-orang yang ada di sekitarnya. Tetapi matanya telah menjadi semakin kabur. Tubuhnya menjadi semakin lemah. Apalagi Akuwu itu masih juga berusaha melepaskan diri dari tangan pengawalnya yang dianggapnya telah berkhianat. Sehingga dengan demikian, maka darahpun bagaikan terperas dari tubuhnya. Dengan demikian Akuwu tidak berhasil melihat dengan jelas, siapakah yang sudah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang gila itu.
Sementara itu, Mahisa Bungalan yang berusaha untuk memancing keterangan Akuwu pada saat-saat yang gawat itu pun akhirnya merasa bahwa ia tidak akan berhasil mendapatkan keterangan apapun juga. Ternyata Akuwu yang sudah sangat lemah itupun menjawab “Kau kira aku mau berkhianat terhadap Pangeran itu”
Mahisa Bungalan tidak bertanya lagi. Tubuhnya sendiri terasa menjadi semakin lemah. Dalam saat yang demikian, Mahisa Bungalan telah memanggil tabib yang mengikuti pasukan Singasari yang telah menyamar sebagaimana orang-orang Talang Amba itu. Katanya “Lihat Akuwu itu. Apakah mungkin untuk diselamatkan jiwanya. Aku memerlukannya”
Tabib itupun bergeser mendekatinya. Namun ketika ia meraba pergelangan tangan Akuwu, maka iapun kemudian dengan serta merta menempelkan telinganya kedada Akuwu itu. Namun tabib itupun kemudian menggeleng. Katanya “Akuwu sudah meninggal”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga ia merasa, bahwa ia telah membunuh Akuwu Gagelang meskipun ia sudah berusaha untuk meng hindari kematian itu. “Bukan maksudku” desis Mahisa Bungalan.
Tetapi tabib itu berkata “Sekarang, lukamu sendiri memerlukan pengobatan. Senopati”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Tubuhnya memang terasa semakin lemah. Luka-lukanya menjadi sangat pedih. Tetapi pertempuran di Kabuyutan Talang Amba itu sudah berakhir. Akuwu yang telah meninggal di dalam pertempuran itupun kemudian telah diserahkan kepada pasukan Gagelang yang semula berpihak kepada orang-orang Talang Amba. Merekalah yang untuk sementara harus menampung semua tugas Akuwu yang terbunuh itu.
Mahisa Bungalan yang lemah itu pun kemudian berkata kepada Senopati yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu “Sebelum Singasari dapat mengambil sikap selanjutnya, kaulah yang bertanggung jawab”
“Apakah Senopati tidak akan singgah ke Gagelang?” bertanya Senopati itu.
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Ada beberapa pertimbangan, apakah sebaiknya ia singgah atau tidak. Dalam pada itu, Senapati Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu pun berkata,
“Sebaiknya Senapati Mahisa Bungalan dan pasukan Singasari yang ada di Talang Amba singgah meskipun untuk waktu yang singkat di Gagelang. Dengan demikian, maka kedudukanku dapat diyakini oleh para pengawal yang sekarang tidak ada di sini. Yang terjadi bukannya sekedar permainan kami. Tetapi benar-beanr satu peristiwa yang telah membuat Gagelang menjadi berantakan”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya kemudian “Baiklah. Tetapi tentu belum hari ini. Aku memerlukan waktu untuk mengobati luka-lukaku dan beristirahat barang sehari”
“Aku akan menunggu” berkata Senapati itu “sehari ini aku akan tinggal di Talang Amba. Sementara itu, kami berharap bahwa besok kami akan dapat kembali bersama pasukan Singasari serta membawa tubuh Akuwu di Gagelang”
Mahisa Bungalan tidak berkeberatan. Ia mengerti, bahwa Senapati di Gagelang itu tidak menginginkan terjadi salah paham dengan pasukan pengawal Gagelang yang tidak ikut pergi ke Talang Amba. Karena itulah, maka ternyata para pengawal di Gagelang itu telah bermalam di Talang Amba. Tetapi bukan berarti bahwa mereka dapat bersitirahat sepenuhnya.
Pada malam hari mereka telah menyelenggarakan mayat para pengawal yang terbunuh di peperangan, sebagaimana orang-orang Talang Amba pun melakukannya pula. Selain itu maka mereka pun telah mengumpulkan pula kawan-kawan mereka yang terluka, untuk mendapat perawatan dan pengobatan seperlunya.
Dalam pada itu Mahisa Bungalan sendiri memerlukan pengobatan atas luka-lukanya yang cukup parah. Meskipun demikian Mahisa Bungalan masih dapat mengatasi keadaannya. Setelah mendapat pengobatan maka Mahisa Bungalan masih dapat memeriksa pasukan Singasari yang ada di medan yang semula mereka telah mengenakan pakaian petani kebanyakan sehingga mereka disangka benar-benar orang Talang Amba.
Orang-orang Gagelang yang telah tertawan masih juga ada yang mengumpat. Kepada kawan yang berada di dekatnya ia berkata “Ternyata tikus-tikus buruk itu adalah prajurit-prajurit Singasari”
“Apakah kau baru tahu sekarang ini?” bertanya kawannya.
Pengawal yang pertama tidak menjawab. Tetapi masih terdengar ia mengumpat kecil.
Demikianlah, maka Talang Amba telah benar-benar menjadi sibuk. Orang-orang Talang Amba tidak henti-hentinya menyalakan perapian untuk memasak, karena mereka yang berada di Talang Amba, apakah mereka kawan atau lawan yang sudah tertawan memerlukan makan dan minum sekadarnya.
Sementara itu, maka telah dilangsungkan pula pertemuan antara para pemimpin Talang Amba yang disaksikan oleh para Senapati dari Gagelang yang berpihak kepada Taalng Amba dan para Senapati. Dengan mantap maka Talang Amba telah menentukan siapakah yang akan menggantikan Buyut Talang Amba yang telah meninggal.
“Aku mohor maaf bahwa pada satu saat aku menjadi kehilangan” berkata Ki Senapati.
“Kita telah melupakannya sekarang” jawab Ki Sanggarana “Yang kita hadapi sekarang adalah kemungkinan-kemungkinan mendatang yang lebih baik bagi Talang Amba”
Ki Sendawa mengangguk-angguk. Namun Ki Sendawa itu merasa bahwa ia telah menebus kesalahan yang dibuatnya sehingga dadanya telah menjadi lapang. Sementara itu, Ki Waruju, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menjadi saksi apa yang telah terjadi di Talang Amba disamping para prajurit Singasari.
“Atas nama orang-orang Talang Amba, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya” berkata Ki Sanggarana.
“Segalanya memang sudah menjadi kewajiban kami,” jawab Mahisa Bungalan. Kemudian, “Akulah yang wajib mengucapkan terima kasih kepada para pengawal Gagelang yang tetap berpegang teguh kepada paugeran seorang prajurit. Tanpa mereka, maka kita tidak akan berhasil memaksa orang-orang Gagelang yang lain menyerah”
“Yang kami lakukan sama sekali tidak berarti” jawab Senapati Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba.
Demikianlah, maka keadaan di Talang Amba pun telah menjadi pasti. Juga Gagelang pun telah tersingkap, bahwa justru Akuwu Gagelang sendirilah yang telah membuat satu permainan yang sama sekali tidak menarik dan telah menjatuhkan korban yang tidak sedikit.
Namun dalam pada itu, maka Singasari harus mengarahkan perhatiannya kepada Kediri. Ada beberapa orang yang perlu mendapat perhatian secara khussus. Agaknya mereka adalah sekelompok pemimpin di Kediri yang tidak mau melihat kenyataan tentang hubungan antara Kediri dan Singasari. Mereka adalah orang-orang yang masih merindukan kebesaran Kediri sebagaimana sebelum dikalahkan oleh Tumapel, tanpa melihat satu kenyataan bahwa yang ada kemudian adalah satu kesatuan antara Kediri dan Singasari.
Demikianlah, saat-saat istirahat yang pendek itu ternyata cukup berarti bagi Mahisa Bungalan, Tubuhnya serasa menjadi segar setelah ia mendapat pengobatan yang baik. Luka-lukanya tidak lagi berdarah. Meskipun ia masih memerlukan beberapa hari untuk menyembunyikan seluruh luka-lukanya, namun luka-lukanya itu tidak menghalanginya untuk menyelenggarakan tugas-tugasnya
Di hari berikutnya, Mahisa Bungalan tatah bersiap bersama pasukan Singasari untuk pergi ke Gagelang, memenuhi permintaan Senepati Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba, agar tidak terjadi salah paham dengan para pengawal yang tidak ikut pergi ke Talang Amba. Jika mereka menganggap bahwa Senopati yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu sebagai pengkhianat, maka persoalannya akan berkisar. Dan pasukan Gagelang itu sekali lagi akan saling bertempur diantara mereka.
Dalam pada itu, maka seluruh pasukan Singasari yang sedang berada di Talang Amba itu ternyata telah mengenakan pakaian keprajuritan mereka. Tidak sebagaimana mereka pakai pada saat mereka membaurkan diri dengan orang-orang Talang Amba.
Karena itu, maka pasukan Singasari yang meninggalkan Talang Amba itu telah berbaris dalam kelengkapan kebesaran sepasukan prajurit Singasari. Mahisa Bungalan dan kedua orang Senopati yang datang-bersamanya ke Talang Amba ikut pula dalam pasukan itu. Mahisa Bungalanlah yang akan memberikan penjelasan tentang keadaan yang telah berkembang di Talang Amba.
Namun dalam pada itu, sekelompok kecil pasukan Singasari telah ditinggalkan di Talang Amba untuk mengawasi para tawanan yang kelak akan dibawa ke Singasari. Para tawanan itu memang tidak akan dibawa ke Gagelang untuk menghindari perasaan yang kurang mapan, karena bagaimanapun juga orang-orang Gagelang akan mempunyai penilaian tersendiri Kepada sanak kanangnya. Para prajurit Singasari itu akan mendapat bantuan dari anak-anak muda Talang Amba dalam tugas mereka mengamati para tawanan. Sementara Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Ki Waruju tinggal pula untuk sementara di Talang Amba.
Demikianlah, maka iring-iringan pasukan Singasari dan Gagelang telah meninggalkan Talang Amba menuju ke Gagelang. Disepanjang perjalanan mereka, orang-orang menyaksikan dengan kagum. Tetapi terbersit juga berbagai pertanyaan di hati mereka. Ketika pasukan itu berangkat, maka yang mereka saksikan hanyalah pasukan Gagelang semata-mata dalam jumlah yang besar. Tetapi kini pasukan Gagelang itu menjadi jauh susut, sementara pasukan Singasari telah ikut pula dalam barisan itu.
Ketika pasukan itu kemudian mendekati Gagelang, maka Mahisa Bungalan menjadi sangat berhati-hati. Diletakkannya pasukan Gagelang diujung pasukan. Namun Mahisa Bungalan telah berpesan kepada Senopati yang memimpin pasukan Gagelang itu, agar tetap berhati-hati.
“Mungkin sudah ada berita yang mendahului kehadiran kita disini” berkata Mahisa Bungalan “mungkin berita itu benar, tetapi mungkin pula tidak. Karena itu kita harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang-mungkin dapat terjadi”
Senopati Gagelang itu menyadari. Pasukan Gagelang memang sudah terbagi, sementara mereka tidak tahu dengan pasti, apakah yang sebenarnya telah dilakukan oleh Akuwu. Sebagian dari para pengawal di Gagelang hanya berpegang kepada Kesetiaan saja Kepada Akuwu tanpa mengetahui persoalan besar yang sedang dihadapi oleh Gagelang dalam hubungannya dengan Kediri dan Singasari.
Tetapi untunglah, bahwa sebelum pasukan Gagelang berangkat. Senopati yang berpihak kepada orang-orang Gagelang itu telah meninggalkan beberapa orang petugas yang terpercaya untuk memberikan penjelasan tentang keadaan yang sebenarnya. Bahkan sebagian dari pengawal yang ditinggalkan itu telah tahu pasti apa yang akan dilakukan oleh Senopati Gagelang dan pasukannya untuk berpihak kepada orang-orang Talang Amba. Karena itulah agaknya, maka ketika Ki Waruju dan Ki Sanggarana keluar dari bilik tahanan mereka, seorang pengawal sama sekali tidak mengambil tindakan apapun juga.
Demikianlah, ketika pasukan Gagelang dan Singasari itu memasuki kota Gagelang, memang timbul ketegangan. Seorang Senopati yang diserahi tugas menjaga pusat kedudukan Pakuwon Gagelang itu ternyata telah bersiap-siap pula menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi. Ia memang sudah mendengar apa yang terjadi di medan. Tetapi Senopati itu masih belum jelas mendengar persoalan yang sebenarnya. Namun demikian kehadiran pasukan Singasari yang kuat itu memang harus mendapat pertimbangan sebaik-baiknya.
Karena itu, maka pasukan yang memasuki Gagelang itu harus berhenti sebelum mereka sampai ke alun-alun. Senopati yang menunggui kota itupun telah minta kepada pasukan yang datang itu untuk memberikan penjelasan.
Karena itulah, maka Mahisa Bungalan telah minta untuk berbicara. Dengan dihadiri oleh Senopati yang memimpin pasukan yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba dan Senopati yang berada di kota Gagelang, maka Mahisa Bungalan pun memberikan penjelasan sesuai dengan kenyataan yang telah terjadi.
“Karena itu, maka aku telah mangambil satu sikap” berkata Mahisa Bungalan “atas nama kekuasaan yang dilimpahkan oleh pemimpin pemerintahan di Singasari. Maka aku telah menunjuk Senopati yang telah mengambil satu sikap yang tepat pada saat Akuwu Gagelang mengalami gangguan batin dalam tugasnya, yang sayang sekali harus ditebus dengan Jiwanya, untuk sementara memerintah Pakuwon ini. Pada saat yang pendek maka pimpinan pemerintahan di Singasari tentu akan segera menentukan langkah-langkah berikutnya“
Ternyata dengan penjelasan Mahisa Bungalan, maka tidak ada pihak yang masih ragu-ragu untuk menerima keadaan itu. Para Senopati dan pimpinan pemerintahan di Pakuwon Gagelang dapat mengerti dan memahami sikap Mahisa Bungalan itu. Meskipun untuk sementara pemerintahan di Gagelang akan merasa terguncang, tetapi lambat laun pemerintahan itu akan segera pulih kembali. Sementara itu Singasari akan dapat memberikan pengarahan dan petunjuk-petunjuk yang diperlukan.
Ternyata bahwa untuk satu dua hari Mahisa Bungalan masih harus berada di Gagelang untuk membantu Senopati yang akan memangku tugas Akuwu Gagelang. Dengan sisa tenaga yang ada, maka Gagelang harus melengkapi dirinya. Bagaimanapun juga Gagelang harus tetap menjaga diri dari kemungkinan-kemungkinan yang buruk yang dapat terjadi. Tidak mustahil bahwa ada pihak lain yang ingin mempergunakan keadaan yang parah itu untuk kepentingan diri sendiri. Bahkan mungkin akan dilakukan tindak kejahatan tanpa menghiraukan keadaan yang sesungguhnya terjadi di Gagelang yang diselubungi suasana prihatin.
Untuk menjaga segala kemungkinan, selagi mahisa Bungalan dan pasukannya masih ada di Gagelang, maka telah dipanggil anak-anak muda yang bersedia menjadi pengawal. Meskipun sebagian besar dari mereka masih belum memiliki bekal yang cukup, namun dengan bekerja keras, maka anak-anak muda itu akan segera dapat mengisi kekosongan, karena pengawal Gagelang yang ada telah jauh menjadi susut.
Sementara itu agaknya langkah lain telah diambil pula. Senopati yang memegang pimpinan untuk sementara di Gagelang telah setuju untuk memilih diantara para pengawal yang tertawan dan tidak menghukumnya dan bahkan mengembalikan mereka pada kedudukannya sebagai pengawal, karena yang telah mereka lakukan di Talang Amba sama sekali bukan karena kesadaran mereka untuk berbuat demikian.
Dalam pada itu. di Talang Amba pun telah terjadi kesibukan tersendiri. Ki Sanggarana yang sudah disetujui oleh beberapa pihak untuk menggantikan kedudukan Ki Buyut telah mengambil langkah langkah yang penting pula. Ki Sendawa yang semula menentangnya dan menginginkan kedudukan itu telah menyadari keadaannya dan bahkan membantu Ki Sanggarana menyelesaikan persoalan yang rumit, justru pada saat-saat Talang Amba memasuki satu masa yang menentukan untuk waktu yang panjang di hari depan.
"Kita harus mampu melupakan segala persoalan yang pernah tumbuh diantara kita” berkata Ki Sanggarana kepada anak-anak muda di Talang Amba. Diantara mereka terdapat anak-anak muda yang semula berpihak kepada Ki Sendawa dan yang lain berpihak kepada Ki Sanggarana. Lalu “Dihadapan kita terbentang tugas yang maha berat. Bukan saja mengatasi kesulitan batiniah yang tumbuh di hati kita masing-masing, tetapi kita harus meyakini, bahwa daerah ini telah menjadi sasaran tindakan yang licik. Kita harus selalu ingat tentang sikap Ki Sarpa Kuning yang ingin membenturkan kekuatan-kekuatan yang ada di Talang Amba ini untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Jika ia berhasil mendapatkan wewenang untuk menebang hutan di lereng bukit, maka ia tentu akan mendapatkan upah yang sangat besar. Sementara itu, dikemudian hari Talang Amba akan menjadi daerah yang kering dan gersang. Sementara banjir yang besar selalu melanda dan menghanyutkan tanah yang mengandung kesuburan di atas daerah Kabuyutan ini. Sehingga dengan demikian kehidupan kita akan menjadi semakin sulit”
Ki Waruju yang mendengar penjelasan itu menyambung “Jika hal seperti itu terjadi di banyak daerah di Singasari. maka seperti yang diharapkan oleh sementara orang yang tidak setuju dengan pemerintahan Singasari, maka daerah Singasari akan mengalami bencana dimasa mendatang”
Anak-anak muda Talang Amba itu mengagguk-angguk. Hutan di lereng bukit itu semakin menarik perhatian mereka justru setelah terjadi persoalan di dalam tubuh mereka sendiri. Hutan itu semula sama sekali tidak mereka hiraukan. Hutan itu ada di lereng bukit tanpa mereka kehendaki. Hutan itu begitu saja sudah ada disana. Bahkan umurnya jauh lebih tua dari umur mereka. Namun tiba tiba hutan itu telah menjadi pusat perhatian.
Demikianlah, justru karena keinginan mereka, untuk melihat hutan itu dari segala sisinya, maka pada hari berikutnya beberapa orang anak muda bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendaki lereng bukit dan memasuki hutan yang hijau lebat. Anak-anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Salah seorang diantara mereka berkata, "Inilah hutan itu”
“Ya” jawab yang lain “hutan yang bukan saja menjadi sasaran ketamakan Ki Sarpa Kuning. Tetapi karena kegagalannya, maka Akuwu di Gagelang telah mengambil alih persoalannya”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Hutan itu memang tidak memiliki hal-hal yang dapat menumbuhkan perhatian secara khusus. Hutan itu adalah satu daerah yang jarang dilalui dan bahkan tersentuh kaki manusia. Sehingga akhirnya hutan itu menjadi pusat perhatian manusia di sekitarnya
“Apa yang dapat kita lakukan dengan hutan ini?” bertanya salah seorang anak muda.
“Kita tak akan berbuat apa-apa” jawab Mahisa Murti “tetapi kita harus menyelamatkannya. Karena dengan demikian kita akan menyelamatkan diri kita sendiri dan keturunan kita”
Anak-anak muda itu memahaminya. Karena itu, tiba-tiba hutan itu menjadi sesuatu yang lain dari tanggapan mereka sebelumnya. Hutan yang hijau yang membentang di lereng bukit itu, rasa-rasanya menjadi sangat cantik. Udara di lembah itu terasa semakin segar. Tanah yang lembab di bawah pepohonan raksasa itu memberikan warna harapan bagi hijaunya sawah dibawah bukit.
Dengan demikian, maka anak-anak muda itupun tidak lagi menganggap hutan itu sebagai daerah yang tidak perlu mendapat perhatian. Jika mereka semula menganggap bahwa hutan itu tidak memberikan apapun juga kepada mereka, selain tempat untuk berburu binatang buas, maka kemudian merekapun merasa diri mereka menjadi akrab dengan hutan itu. Mereka mulai menyadari, bahwa air yang mengalir di kotak-kotak sawah mereka adalah air dari hutan itu. Sehingga dengan demikian, maka hutan itu pulalah yang telah memberikan makan dan minum bagi seisi Kabuyutan Talang Amba.
Dalam pada itu, maka kehidupan di Talang Ambapun telah menjadi wajar kembali. Tidak ada lagi bekas-bekas pertentangan yang telah terjadi diantara mereka. Tidak lagi terdapat bekas-bekas luka karena tingkah laku Ki Sarpa Kuning dan Akuwu dari Gagelang.
Sementara itu di Gugelangpun keadaan telah hampir pulih pula Meskipun masih ada beberapa orang yang ditawan, dan bahkan ada diantara mereka yang harus dibawa ke Singasari, namun persoalannya sudah dapat dimengerti oleh rakat Gagelang. Mereka telah mengetahui duduk persoalannya. Dan merekapun mengerti apa yang sebenarnya terjadi ala Akuwu di Gagelang yang sebelumnya mereka anggap sebagai orang yang paling baik yang mereka kenal.
Mahisa Bungalan yang telah menyelesaikan tugasnya di Talang Amba dan Gagelangpun telah kembali pula ke Singasari dengan membawa laporan yang terperinci tentang segala peristiwa yang telah terjadi. Namun untuk sementara Singasaripun tidak tergesa-gesa menetapkan seorang Akuwu yang baru. Senopati yang untuk sementara melakukan tugas-tugas seorang Akuwu itu akan diamati dengan seksama. Jika ia berhasil melakukannya dengan baik, maka Singasari menganggap bahwa tidak perlu mengangkat orang lain yang baru sama sekali bagi Pakuwon Gagelang.
Namun dalam pada itu, Singasari menganggap perlu untuk mengamati perkembangan Kediri untuk selanjutnya. Ternyata masih ada orang-orang Kediri yang menentang kekuasaan Singasari dan berusaha untuk menumbangkannya.
“Satu hal yang sulit untuk dihapuskan sama sekali” berkata Mahisa Agni pada satu saat ketika ia berbincang dengan Mahisa Bungalan, Witantra dan Mahendra.
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya “Para bangsawan di Kediri masih tetap mengenang masa jaya mereka. Pada suatu saat Kediri adalah satu Kerajaan yang besar. Mereka tentu tetap merasa berhak atas kekuasaan yang turun temurun. Ken Arok yang bergelar Sang Amurwabumi, menurut mereka, adalah orang yang sama sekali tidak berhak menurunkan kekuasaan bagi Tanah ini. Karena itu, usaha untuk melenyapkan Singasari itu masih akan berkepanjangan”
“Tetapi kita tidak berhasil mendapat keterangan tentang seorang Pangeran yang telah berada di Gagelang” berkata Witantra kemudian.
“Tidak seorangpun yang tahu dengan pasti. Pengawal Akuwu yang paling dipercaya itupun tidak mengenal nama yang sebenarnya dari Pangeran yang membayangi kekuasaan Akuwu di Gagelang itu. Di Gagelang Pangeran itu kadang-kadang berujud sebagai seorang juru taman, namun kadang-kadang seorang pengawal yang berpengaruh meskipun tidak memegang pasukan” berkata Mahisa Bungalan.
“Apakah pengawal yang terdekat dari Akuwu itu tidak mengetahuinya bahwa ia seorang pangeran?” bertanya Witantra.
“Nampaknya ia mengetahui. Dalam setiap pemeriksaan, iapun mengakui bahwa ia mengetahui tentang Pangeran itu. Tetapi nama yang dikenalnya tidak diyakininya bahwa nama itu adalah nama Pangeran itu yang sebenarnya. Karena ternyata nama yang disebutkan itu memang tidak ada di dalam urutan nama para Pangeran di Kediri sekarang ini” jawab Mahisa Bungalan.
Witantra mengangguk-angguk. Agaknya yang mengetahui tentang Pangeran itu sepenuhnya hanyalah Akuwu di Gagelang yang telah terbunuh. Bagaimanapun juga Mahisa Bungalan berusaha untuk menangkapnya hidup-hidup adalah sia-sia. Bahkan Mahisa Bungalan sendirilah yang justru hampir tidak dapat meninggalkan arena pertempuran itu
Namun dalam pada itu, maka Singasari pun telah mengambil satu keputusan untuk menelusuri sikap Pangeran dari Kediri yang membahayakan perkembangan Singasari dan Kediri itu sendiri.
“Yang satu dapat diselesaikan, tumbuh pula yang lain” desis Mahisa Bungalan.
“Ya. Banyak alasan yang dapat mendorong para bangsawan di Kediri untuk melakukan hal seperti ini. Tetapi nampaknya yang dilakukan sekarang ini lebih teratur dengan rencana-rencana yang diperhitungkan. Persoalannya benar-benar menyangkut hubungan antara Kediri dan Singasari. Bukan sekedar persoalan pribadi yang disangkutkan kepada persoalan yang pada dasarnya memang ada antara Kediri dan Singasari seperti yang pernah terjadi” berkata Mahisa Agni.
"Karena itu, kitapun harus lebih berhati-hati untuk menanggapi persoalan ini” berkata Witantra “dalam hubungan ini Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus mendapatkan penjelasan, sehingga jika sesuatu harus dihadapinya, mereka sudah bersiap secara jiwani”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia menyadari, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sedang menyelesuri lembah dan lereng pegunungan dalam pengembaraannya, akan dapat terjerumus kedalam persoalan yang rumit tentang gejolak yang terjadi diantara beberapa bangsawan Kediri.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk sementara masih tetap berada di Talang Amba. Bagaimanapun juga, orang-orang Talang Amba menganggap, bahwa persoalan yang serupa masih akan dapat terjadi. Meskipun orang-orang Talang Amba sendiri sudah menyadari betapa pentingnya hutan di lereng pegunungan, serta kesadaran mereka untuk tidak mudah diadu domba, namun orang-orang yang menghendaki lereng gunung itu menjadi gundul, akan dapat mengambil seribu macam cara. Mereka pada akhirnya akan dapat mempergunakan kekerasan.
“Mungkin sekali bahwa sekelompok orang-orang yang garang akan datang menebang pepohonan di hutan itu. Disetujui atau tidak disetujui oleh orang-orang Talang Amba” berkata Ki Sendawa.
“Jika keadaan memaksa, kita dapat memohon bantuan kepada para pemimpin yang sekarang berkuasa di Gagelang” sahut Mahisa Murti.
“Tetapi seperti kita ketahui, Gagelang pun baru membentuk diri” berkata Ki Sanggarana “sekarang Gagelang sedang memanggil anak-anak muda itu menjadi pengawal. Tetapi mereka tentu memerlukan waktu yang lama untuk menempa diri sehingga menjadi seorang pengawal yang sebenarnya”
“Tetapi kekuatan Gagelang sekarang tidak dalam keadaan lumpuh seluruhnya” berkata Mahisa Pukat “dalam keadaan tertentu Gagelang masih akan mampu bertindak. Beberapa orang Senopati dari Singasari masih berada di Gagelang untuk membantu memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda yang menyatakan diri mereka menjadi pengawal. Dengan demikian, maka jika diperlukan sekali, maka Gagelang tentu akan mampu bertindak. Sementara para pengawal yang lama masih pula cukup jumlahnya”
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian “Aku mengerti. Tetapi yang dimaksud oleh paman Sendawa, hendaknya Talang Amba juga mempunyai kekuatan sendiri betapapun kecilnya untuk menjaga agar orang lain tidak dapat berbuat sewenang-wenang. Sebelum kita sempat mendatangkan bantuan dari Gagelang, maka kita akan dapat berbuat sesuatu sambil menunggu. Namun dengan demikian, maka Kabuyutan ini tidak akan dapat dianggap tidak memiliki kekuatan sama sekali”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya “Bagus. Aku mengerti maksud kalian. Bukankah dengan demikian kalian ingin membentuk satu pasukan yang ujud di dalam lingkungan Kabuyutan Talang Amba?“
“Ya. Sementara ini kita menggantungkan diri kepada kerelaan anak-anak muda untuk berbuat sesuatu. Meskipun hal itu telah terbukti banyak manfaatnya, namun alangkah baiknya jika kita memiliki apa yang disebut sepasukan pengawal. Meskipun dengan demikian bukan berarti bahwa kita sama sekali tidak memerlukan lagi kekuatan diluar pasukan pengawal itu. Pasukan pengawal sekedar penggerak utama. Selanjutnya akan tergantung kepada anak-anak muda seluruhnya” sahut Ki Sanggarana.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa bersama Mahisa Pukat, mereka akan diminta untuk memberikan sedikit tuntunan bagi anak-anak muda yang akan disebut dengan pasukan pengawal Kabuyutan itu.
“Tetapi disini ada Ki Waruju” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya, sehingga dengan demikian maka tugasnya akan lebih ringan, karena Ki Waruju tentu akan mampu melakukan lebih banyak hal daripada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Karena itu anak muda“ Ki Sanggarana melanjutkan “kami akan minta kalian berdua untuk tetap tinggal. Setidak-tidaknya untuk beberapa saat lamanya. Kami sangat memerlukan bimbingan kalian untuk membentuk satu pasukan yang akan mampu berbuat sesuatu sebelum kami sempat mohon bantuan ke Gagelang”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun sambil memandang Ki Waruju Mahisa Murti berkata “Ki Sanggarana kami tidak akan berkeberatan. Tetapi disini ada Ki Waruju dan seorang murid Ki Sarpa Kuning yang telah memilih jalan yang benar dalam sisa hidupnya yang masih panjang”
Ki Sanggarana memandang kearah Ki Waruju yang duduk termangu-mangu. Namun katanya kemudian “Sebenarnyalah kami akan memohon kepada Ki Waruju. Tetapi kami tidak akan dapat menyatakannya dengan terbuka sebagaimana kami menyatakan kepada kedua anak muda yang sebaya dengan anak-anak muda yang akan menjadi pasukan pengawal di Kabuyutan Talang Amba. Sebenarnyalah kami merasa sangat segan. Apakah kami berhak untuk memohon kepadanya”
Mahisa Murti tersenyum. Bahkan Ki Waruju pun tersenyum pula sementara Mahisa Pukat melanjutkan. "Bukankah demikian Ki Waruju. Aku berharap bahwa Ki Waruju tidak berkeberatan. Aku dan Mahisa Murti akan membantu sejauh kami lakukan”
Ki Waruju justru tertawa. Katanya “Jadi Mahisa Pukat minta kepadaku atas nama orang-orang Talang Amba?“
“Ya” jawab Mahisa Pukat “Karena orang-orang Talang Amba tidak berani menyatakannya secara langsung”
Ki Waruju masih tertawa. Katanya “Baiklah. Aku tidak berkeberatan. Tetapi aku minta, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat membantuku disini”
“Aku hanya akan mengawani saja disini” jawab Mahisa Pukat sambil tersenyum pula.
“Terima kasih Ki Waruju” sahut Ki Sanggarana “sebenarnyalah aku memang sangat mengharapkan. Mudah-mudahan dengan demikian. Kabuyutan ini bukannya sekedar Kabuyutan yang tidak mempunyai arti sama sekali, karena tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk melindungi diri sendiri”
Ki Waruju menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia melihat kemauan yang menyala di hati orang-orang Talang Amba untuk memiliki satu kemampuan melindungi diri mereka sendiri. Hutan di lereng bukit itu nampaknya menarik perhatian orang-orang tertentu, bukan untuk dipelihara, tetapi untuk dimusnahkan, karena hutan itu ternyata merupakan sumber kesuburan dari lembah di sekitarnya. Bukan saja Kabuyutan Talang Amba yang memiliki daerah di lereng bukit berhutan itu, tetapi untuk daerah yang lebih luas. Beberapa Kabuyutan disekitar Kabuyutan Talang Amba juga menggantungkan air bagi sawah dan pategalannya dari sungai-sungai yang bermata air di lereng pegunungan itu.
Karena itu, maka Ki Waruju itupun kemudian berkata “Kemauan yang kuat yang membayang di wajah-wajah orang-orang Talang Amba memang memberikan kepastian, bahwa kalian akan bersungguh-sungguh. Jika demikian, maka kita akan segera mulai. Aku dan barangkali juga angger Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak akan terlalu lama berada di Kabuyutan ini”
“Kalian akan menunggu sampai hari wisuda” berkata Ki Sendawa.
Tetapi Ki Waruju menjawab “Kapan hari wisuda itu diadakan. Sementara itu, Akuwu di Gagelang yang akan mewisuda itupun masih belum ditentukan”
“Tidak akan menjadi soal” jawab Ki Sendawa “sebab orang yang mendapat wewenang melakukan tugas Akuwu itupun berhak melakukannya atas ijin Singasari. Karena itu. sebaiknya kalian menunggu hari itu. Jika kalian bersedia, hal itu akan berarti satu kenormatan yang tidak terhingga bagi kami. Apalagi jika angger Mahisa Bungalan itu bersedia pula hadir bersama para Senopati prajurit Singasari itu”
“Aku belum dapat mengatakan apa-apa, Ki Sendawa” jawab Ki Waruju “tetapi sebaiknya kita segera saja mulai. Jika hari wisuda itu tidak terlalu lama, maka kami tentu masih ada disini. Tetapi jika hari wisuda itu masih terlalu lama, maka kami tentu saja tidak akan dapat menunggu”
“Baiklah” jawab Ki Sendawa “Yang penting bagi kami, kesediaan Ki Waruju untuk menempa anak-anak kami, sehingga dengan demikian Kabuyutan ini akan mendapat penilaian yang lain dari keadaan masa lampau yang suram itu”
Demikianlah, maka di hari-hari berikutnya, anak-anak muda Talang Amba telah dipersiapkan untuk mendapat tuntutan oiah kanuragan. Mereka menyadari, bahwa hutan di lereng bukit itu adalah sesuatu yang sangat berharga, yang memerlukan pengawalan yang sebaik-baiknya. Kemungkinan masih ada, bahwa ada pihak yang ingin memusnahkannya. Jika perlu bahkan mungkin akan dilakukan dengan kekerasan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun ternyatj kemudian telah bekerja keras pula untuk kepentingan anak-anak muda Talang Amba. Seperti yang dilakukan oleh Ki Waruju, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bekerja keras sebagaimana anak-anak muda talang Amba.
Pada saat yang demikian, maka di Gagelangpun telah dilakukan latihan-latihan yang keras. Anak-anak muda yang memenuhi panggilan pan pemimpin Pakuwon Gagelang untuk menjadi pasukan pengawal telah mengikuti latihan-latihan yang berat. Beberapa orang Senopati dari Singasari telah berada di Gagelang, membantu para Senopati yang masih ada di Gagelang untuk membentuk satu pasukan yang memadai di Gagelang.
Meskipun sebagian dari pasukan Gagelang yang ditangkap telah dibebaskan dan dikembalikan ke kesatuannya, namun Gagelang masih memerlukan pasukan yang lebih kuat untuk menjaga segala kemungkinan yang dapat terjadi. Seperti Talang Amba, maka para pemimpin yang melakukan tugas di Gagelang, merasa perlu untuk menyusun pasukan yang kuat. Tidak mustahil bahwa Pangeran yang semula membayangi kekuasaan Akuwu di Gagelang itu telah mengambil satu sikap yang keras bagi Gagelang.
Anak-anak muda yang menyatakan dirinya menjadi pasukan pengawal di Gagelang telah dibagi dalam kelompok-kelompok yang kecil untuk mendapat latihan yang lebih terperinci. Mereka mendapatkan latihan-latihan perang gelar dan kemampuan secara pribadi. Agar mereka tidak tertinggal oleh perkembangan kemungkinan yang tidak dikehendaki, maka anak-anak muda yang memasuki lingkungan pasukan pengawal itu harus bekerja keras.
Hampir tidak ada kesempatan baei anak-anak muda itu untuk beristirahat. Di siang hari mereka berlatih olah kanuragan dan perang gelar, sedangkan dimalam hari mereka berlatih untuk mempertajam panca indera mereka, terutama indera penglihatan dan pendengaran. Perang dalam kegelapan merupakan acara latihan yanp memerlukan ketekunan dan ketabahan hati. Tetapi ternyata anak-anak muda di Talang Amba bekerja keras pula sebagaimana dilakukan oleh anak-anak muda yang memasuki pasukan pengawal di Gagelang.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menempa anak-anak muda itu dengan cara mereka, Anak-anak muda itu telah mendapat latihan siang dan malam pula. Bahkan kadang-kadang membuat anak-anak muda Talang Amba mengeluh kelelahan. Tetapi oleh tekad yang menyala di dalam hati, maka anak-anak muda itu tidak melangkah surut.
Namun Ki Waruju lah yang memberikan beberapa petunjuk kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa anak-anak muda yang sedang berlatih itu bukan sebagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri.
“Mereka adalah anak-anak muda yang baru mulai” berkata Ki Waruju “Karena itu, cara yang kalian pergunakan agaknya terlalu berat bagi mereka. Cobalah menyesuaikan diri dengan kemungkinan yang ada pada diri anak-anak muda itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akhirnya mengerti juga maksud Ki Waruju. Mereka kemudian menyadari, bahwa anak-anak muda Talang Amba itu belum memiliki kesiapan sebagaimana mereka berdua. Dengan demikian, maka merekapun mulai mencari kemungkinan yang lebih baik bagi anak-anak muda Talang Amba itu.
“Kami ingin meningkatkan kemampuan mereka secepat-cepatnya” berkata Mahisa Murti kepada Ki Waruju. Lalu “Mungkin kami tidak akan dapat terlalu lama tinggal di Kabuyutan ini. Bukankah kami meninggalkan rumah kami untuk satu pengembaraan, agar kami mendapatkan pengalaman yang cukup dihari-hari mendatang. Namun ternyata bahwa cara yang demikian itu kurang menguntungkan bagi anak-anak muda Talang Amba sebagaimana yang Ki Waruju katakan”
“Jangan tergesa-gesa. Jika kalian berada disini, itupun merupakan satu pengalaman yang baik bagi pengembaraan kalian. Kalian akan melihat perkembangan dari sekelompok anak-anak muda yang merasa dirinya bertanggung jawab bagi masa depan. Bukan masa depan mereka sendiri, tetapi masa depan kampung halamannya” jawab Ki Waruju.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya untuk menetap disatu tempat terlalu lama, mereka seakan-akan telah kehilangan waktu. Namun mereka ternyata berniat juga untuk memenuhi permintaan Ki Waruju. Apalagi karena kemudian Ki Waruju sendiri telah ikut pula menangani anak-anak muda Talang Amba sebagaimana pernah disanggupkannya.
Anak-anak muda Talang Amba telah dibagi dalam kelompok-kelompok kecil untuk berlatih siang malam kecuali untuk kepentingan tertentu. Namun mereka justru telah dibagi dalam kesempatan yang berbeda-beda agar waktu mereka tidak seluruhnya dirampas untuk meningkatkan kemampuan mereka. Dengan pembagian waktu yang sebaik-baiknya, seorang anak muda masih sempat pergi ke sawah dan ladangnya untuk membantu memelihara tanaman dan mengatur air.
Dengan tertib Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Ki Waruju telah membagi bukan saja waktu tetapi juga unsur-unsur yang mereka berikan kepada anak-anak muda Talang Amba itu. Ki Waruju telah mendapat bagian untuk memberikan kemampuan kanuragan secara pribadi. Anak-anak muda Talang Amba telah mendapat petunjuk, bagaimana mereka harus membela diri dalam keadaan tertentu dengan atau tidak dengan senjata.
Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapat tugas untuk mengajari anak-anak Talang Amba mempergunakan segala macam senjata. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membagi diri pula dalam tugas mereka. Mahisa Murti mengajari anak-anak muda Talang Amba mempergunakan senjata bertangkai panjang, sementara Mahisa Pukat mengajari anak-anak muda Talang Amba mempergunakan senjata yang lebih pendek.
Jika Mahisa Murti mengajari anak-anak muda itu mempergunakan tombak, trisula bertangkai panjang, canggah dan bahkan senjata lontar, maka Mahisa Pukat mengajari anak-anak muda itu mempergunakan pedang, trisula bertangkai pendek, luwuk, bindi dan sebagainya.
Anak-anak muda Talang Amba dapat memilih, yang manakah yang paling sesuai dengan anak-anak muda itu masing-masing. Namun secara umum mereka harus menguasai segala macam senjata yang dapat mereka ketemukan. Karena itu, maka secara umum mereka bergantian mendapat tuntunan dari Ki Waruju, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun mereka yang condong mempergunakan senjata bertangkai panjang, akan lebih banyak berhubungan dengan Mahisa Murti, sementara yang lebih mantap mempergunakan senjata pendek, akan lebih sering berhubungan dengan Mahisa Pukat.
Dengan demikian, maka ternyata anak-anak muda Talang Amba itupun setingkat demi setingkat telah menjadi semakin mapan dalam olah kanuragan. Meskipun apa yang mereka pelajari itu baru sekedar ilmu yang masih mendasar sekali, namun ilmu itu akan dapat bermanfaat bagi mereka.
“Hutan di lereng bukit itu memerlukan pengawal yang tangguh“ berkata Ki Waruju kepada anak-anak muda itu “pada satu saat mungkin akan datang sekelompok orang yang dengan tanpa menghiraukan kewenangan Buyut di Talang Amba, langsung saja merusak hutan itu, karena mereka merasa memiliki kekuatan. Nah, pada saat yang demikian, maka kalian mendapat tantangan yang harus mampu kalian jawab”
Anak-anak muda Talang Amba itu mengangguk-angguk. Hal itu tidak mustahil terjadi. Pengalaman mereka telah mengatakan, bahwa hutan di lereng bukit itu memang menjadi sasaran sebagaimana telah terjadi di beberapa tempat yang lain.
“Kalian memang dapat memohon perlindungan dari Akuwu di Gagelang, tetapi sebelum perlindungan itu datang, kalian harus melindungi diri kalian sendiri” berkata Ki Waruju lebih lanjut. Lalu “Apalagi kini Gagelang pun baru membentuk dirinya setelah tubuh Pakuwon itu dikoyak-koyak oleh Akuwu Gagelang itu sendiri”
Anak-anak muda Talang Amba menjadi semakin mantap dan merasa bertanggung jawab sepenuhnya. Merekapun mengerti, apa yang telah terjadi di Gagelang. Gagelang memang baru memperkuat dirinya dengan pasukan yang baru dibentuknya.
Yang terjadi di Gagelang memang satu kesibukan yang tinggi. Tetapi berbeda dengan anak-anak muda Talang Amba. Mereka yang menyatakan diri menjadi pengawal di Gagelang, telah menyerahkan segala waktu dan kesempatannya untuk dipersiapkan menjadi pengawal seutuhnya, sehingga dengan demikian mereka mendapat kesempatan untuk menempa diri lebih baik dari anak-anak Talang Amba. Namun demikian, kemajuan anak-anak muda Talang Amba juga tidak mengecewakan.
Dalam pada itu, sebenarnyalah yang dicemaskan oleh orang-orang Gagelang dan orang-orang Talang Amba. Pada saat yang demikian. Pangeran Lembu Sapdata dari Kediri yang merasa terpukul oleh peristiwa di Talang Amba itu, tidak dapat melupakan peristiwa itu begitu saja. Ketika ia melarikan diri dari medan di Talang Amba, rasa-rasanya jantungnya telah terbakar oleh dendam.
Pengkhianatan dari sebagian pengawal di Gagelang terhadap Akuwu dan rencananya, telah membuat Pangeran itu berniat untuk menghancurkan Gagelang dan sekaligus Talang Amba dan hutan di lereng bukit itu. Tetapi Pangeran Lembu Sapdata tidak dapat dengan tergesa-gesa melepaskan dendamnya. Ia memerlukan kekuatan dan sekaligus mengamati apa yang telah terjadi di Gagelang dan Talang Amba.
“Semakin lama mereka akan menjadi semakin kuat” berkata Pangeran Lembu Sapdata kepada beberapa orang saudara-saudaranya yang mempunyai pendirian yang sama “menurut beberapa orang pengamat yang aku perintahkan untuk melihat-lihat perkembangan keadaan di Gagelang dan Talang Amba. Mereka memberikan beberapa keterangan tentang usaha Gagelang untuk memulihkan kekuatannya. Beberapa bagian dari para pengawal yang telah membantu usaha Akuwu di Gagelang, telah ditangkap dan dibawa ke Singasari. Sebagian dari mereka mendapat kesempatan untuk kembali kedalam lingkungan pasukan pengawal. Namun ternyata bahwa kekuatan Gagelang telah jauh susut. Untuk memenuhi kebutuhan, Gagelang telah memanggil anak-anak muda untuk dilatih menjadi pengawal. Tetapi sudah tentu, bahwa mereka membutuhkan waktu untuk menempa anak-anak muda itu sehingga mereka benar-benar menjadi seorang pengawal yang cukup”
“Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu?” bertanya saudara-saudaranya.
“Mumpung kekuatan itu belum pulih kembali” jawab Pangeran Lembu Sapdata.
“Apakah tidak ada kekuatan Singasari yang berada di Gagelang?” bertanya salah seorang saudaranya.
“Tidak ada. Yang ada hanya beberapa orang Senopati Singasari yang membantu para pemimpin pengawal yang tersisa untuk melatih anak-anak muda yang memasuki kesatuan pengawal yang baru dibentuk” jawab Pangeran Lembu Sapdata.
Saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Salah seorang diantara mereka kemudian bertanya “Bagaimana dengan orang-orang Talang Amba?“
“Menurut laporan, nampaknya Talang Ambapun telah bersiap-siap. Tetapi aku tidak mempertimbangkannya dengan sungguh-sungguh. Apa yang dapat dilakukan oleh orang-orang Talang Amba? Jika pasukan Gagelang pada saat menyerang Talang Amba dapat dihalau, ternyata sama sekali bukan karena kemampuan orang-orang Talang Amba. Ketajaman penglihatan para pemimpin Singasari ternyata dapat membuat perhitungan yang tepat, sehingga mereka dapat memperdayakan orang-orang Gagelang. Seolah-olah mereka telah melawan kekuatan Gagelang yang tidak tertembus. Tetapi kemudian dapat aku Ketahui bahwa yang ada di Talang Amba waktu itu adalah prajurit-prajurit Singasari”
Saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Merekapun telah mendengar sebelumnya apa yang telah terjadi di Gagelang. Namun merekapun sependapat, bahwa mereka tidak boleh menunggu pasukan pengawal Gagelang menjadi semakin kuat.
“Kita memang dapat melakukan dengan segera” berkata salah seorang saudaranya “bagi kita yang penting bukan lagi hutan di lereng bukit itu. Tetapi harga diri kami yang tersinggung karena kegagalan itu. Meskipun Singasari tidak akan mudah menelusuri, siapakah yang sebenarnya berada di belakang Akuwu Gagelang waktu itu, namun kegagalan itu rasa-rasanya telah menusuk hati kami”
“Tidak ada yang mengetahui, siapakah sebenarnya aku” berkata Pangeran Lembu Sapdata “kecuali Akuwu di Gagelang yang terbunuh itu. Dengan demikian, maka sepeninggal Akuwu. Aku tidak merasa cemas sama sekali, bahwa orang-orang Singasari akan dapat menelusuri siapakah sebenarnya yang telah mendorong Gagelang melawan kekuatan Singasari”
“Tetapi Singasari akan dapat melakukan satu langkah yang kasar terhadap Kediri” berkata saudaranya yang bertubuh tinggi.
“Kasar bagaimana?” bertanya Pangeran Lembu Sapdata.
“Orang-orang yang mengenalmu di Gagelang dapat dihadapkan kepada semua orang yang dicurigai di Kediri. Bahkan semua Pangeran di Kediri dapat dipanggil untuk dikenali seorang demi seorang”
“Tentu tidak” jawab Lembu Sapdata “itu tidak mungkin dilakukan. Tetapi jika demikian, agaknya akan lebih baik. Saudara-saudara kita yang selama ini tertidur dan tidak menghiraukan lagi hubungan antara Singasari dan Kediri, tentu akan terbangun. Mereka akan merasa, betapa sakitnya menjadi orang yang berada dibawah kekuasaan orang lain”
Saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Pendapat Lembu Sapdata itu memang masuk akal. Agaknya Singasari memang tidak akan berani mengambil langkah yang demikian.
Dalam pada itu Pangeran Lembu Sapdatapun berkata selanjutnya “Namun dalam pada itu, tanpa orang lain, kita akan berjalan terus. Rencana jangka panjang itu harus dilakukan, sehingga pada satu saat, Singasari menjadi lemah, sementara kita disini benar-benar telah terbangun untuk mengambil langkah yang lebih baik, sehingga akhirnya Kediri akan bangkit sebagaimana seharusnya satu negara yang besar”
“Kita harus membuat pertimbangan-pertimbangan yang cermat sebelum kita melangkah. Kegagalan di Talang Amba itu merupakan satu pengalaman yang sangat berarti bagi kita”
Tetapi sementara mereka berbincang tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat mereka lakukan untuk memperlemah Singasari, tiba-tiba saja Pangeran Lembu Sabdata berkata “Tetapi sebenarnya hubungan dengan Gagelang dan Talang Amba telah dipengaruhi oleh persoalan lain”
“Persoalan apa?” bertanya salah seorang diantar Saudara-saudaranya.
“Harga diri” jawab Pangeran Sabdata “rasa-rasanya aku telah dibebani oleh perasaan dendam terhadap orang-orang Talang Amba dan orang-orang Gagelang. Terutama mereka yang telah membuat segala rencana ini menjadi gagal. Jika semua orang Gagelang saat itu patuh kepada Akuwu, maka, aku kira Gagelang akan dapat mengalahkan orang-orang Singasari yang berada diantara orang-orang Talang Amba”
“Kita akan membuat perhitungan. Tetapi kita memang harus membuat perhitungan yang cermat” jawab salah seorang diantara para Pangeran yang sedang berbincang itu.
“Kau benar” jawab Lembu Sabdata “tetapi seperti aku katakan. Talang Amba bukan apa-apa. Karena itu, rasa-rasanya aku ingin kembali ke Talang Amba. Aku ingin menghancurkan hutan itu. Aku ingin mengambil jalan yang lebih dekat untuk memusnakan hutan itu”
“Bagaimana?” bertanya salah seorang saudaranya.
“Jika kita menebangi hutan selama ini, maka persoalannya karena kita tidak ingin menarik perhatian Singasari. Dengan diam-diam kita memusnakan hutan-hutan yang ada di lereng-lereng pegunungan. Namun sebenarnya kita dapat mengambil jalan yang lebih dekat” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
“Apakah kau dapat menyebut cara itu?” bertanya yang lain.
“Kita dapat membakar hutan itu” jawab Pangeran Lembu Sabdata “apalagi dengan dendam yang menyala di hati. Hutan di lereng bukit itu akan musnah menjadi debu”
“Tetapi sekali lagi aku peringatkan” berkata seorang Pangeran yang lain “dengan demikian, maka Singasari akan semakin tertarik dan mungkin Singasari akan berbuat jauh lebih banyak dari yang dilakukannya sekarang”
Pangeran Lembu Sabdata termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Talang Amba memang sudah menjadi daerah pengamatan Singasari. Tetapi Singasari tidak menempatkan pasukannya di Talang Amba dan di Gagelang. Mungkin Singasari merasa bahwa pasukan Gagelang yang disusun demikian kuatnya, sehingga akan dapat mengatasi segala kesulitan yang dapat timbul”
“Apakah itu bukan sekedar gelar ujud lahiriahnya saja?” sahut saudaranya yang bertubuh tinggi “Kau akan dapat terjebak lagi. Anak-anak muda yang dilatih di Gagelang itu sebenarnya adalah prajurit-prajurit Singasari dalam ujud samarannya sebagaimana mereka berada di Talang Amba."
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata menggeleng, jawabnya “Kali ini aku tidak akan terjebak. Aku telah meletakkan beberapa orang kepercayaanku untuk mengamati keadaan di Gagelang. Orang-orangku melihat anak-anak muda itu datang dari beberapa sudut kota Gagelang. Mereka melihat, bagaimana para Senapati di Gagelang mengadakan pendadaran. Dan merekapun melihat kelompok-kelompok itu mulai berlatih. Diantara para pelatih memang terdapat beberapa orang yang dikirim oleh Singasari”
Seorang Pangeran yang bertubuh gemuk berkata “Kita jangan terpancing oleh persoalan-persoalan kecil seperti itu. Dendam dan kebencian harus kita singkirkan, agar dengan demikian rencana kita dalam keseluruhan akan dapat kita laksanakan”
“Tetapi yang akan aku lakukan sejalan dengan rencana itu dalam keseluruhan” jawab. Pangeran Lembu Sabdata “Aku sudah membayangkan satu pembalasan yang menyenangkan. Bukan saja hutan di lereng bukit yang akan menjadi abu, tetapi beberapa padukuhan di Talang Amba. Terutama padukuhan-padukuhan yang telah dipergunakan oleh orang-orang Talang Amba dan orang-orang Singasari menggagalkan rencanaku di Talang Amba itu. Bahkan dengan demikian, maka yang nampak lebih jelas adalah justru unsur balas dendamku kepada orang-orang Talang Amba daripada pembakaran hutan itu sendiri”
Saudara-saudaranyapun kemudian mengangguk-angguk. Agaknya mereka memang tidak akan mungkin menenangkan hati Pangeran Lembu Sabdata. Apalagi nampaknya hatinya tidak sekedar panas dibakar oleh dendamnya. Tetapi ia masih juga memperhitungkan segala macam hubungan dengan rencana besar sebagian para bangsawan di Kediri yang menjadi jemu berada dibawah pemerintahan Singasari.
“Segalanya masih mungkin dilakukan” berkata seorang Pangeran yang rambutnya mulai beruban “tetapi jangan terlalu tergesa-gesa. Perhitungan yang cermat akan dapat banyak menolong kita dari kesulitan-kesulitan yang mungkin terjadi”
“Aku mengerti” jawab Pangeran Lembu Sabdata “Akupun tidak menjadi mata gelap. Tetapi aku masih dapat berpikir dengan tenang meskipun dendamku menyala di dalam dadaku”
“Sukurlah” jawab yang lain “buatlah rencana yang masak. Kita masih akan membicarakannya sekali lagi sebelum kau dapat bertindak. Kami merasa wajib untuk ikut mencampuri rencanamu, karena langkah yang kau ambil akan dapat menyagkut kami semuanya”
“Ya“ sambung Pangeran yang sudah mulai berubah “Kita akan membantu. Tetapi dengan sangat hati-hati”
Pangeran Lembu Sabdata menarik nafas dalam-dalam. Ternyata saudara-saudaranya menjadi semakin berhati-hati. Tetapi ia yakin bahwa saudara-saudaranya tidak akan membiarkannya berbuat sendiri di Talang Amba yang telah menyakiti hatinya sehingga dendam telah menyala di hatinya itu.
Namun bagi Pangeran Lembu Sapdata, Talang Amba memang bukan apa-apa. Ia akan dapat dengan mudah memaksa Talang Amba menyerah dan membiarkannya membuat gunung itu menjadi gundul. Bahkan orang-orang Talang Amba tidak akan mampu mencegahnya membuat Kabuyutan Talang Amba itu sendiri menjadi karang abang.
Perhatian Pangeran Lembu Sapdata lebih banyak ditujukan kepada Gagelang. Namun ia akan dapat bertindak cepat. Menghancurkan Talang Amba sebelum Gagelang sempat berbuat sesuatu. Bahkan kemudian dengan bantuan saudara-saudaranya, maka Gagelang itupun akan dihancurkannya juga, karena Gagelang telah mengkhianatinya.
Yang harus diperhatikan oleh Pangeran Lembu Sapdata itu adalah campur tangan pasukan Singasari dengan cara sebagaimana telah dilakukan di Talang Amba. Karena itu, maka orang-orangnya harus benar-benar mengamati apakah di Talang Amba hadir orang-orang yang pantas dicurigai. Sebenarnyalah tidak ada kekuatan Singasari yang berada di Talang Amba. Namun satu kesalahan bagi Pangeran Lembu Sapdata, bahwa ia tidak memperhitungkan usaha orang-orang Talang Amba untuk menempa diri.
“Latihan-latihan itu diadakan setiap saat. Setiap kali anak-anak muda Talang Amba mempunyai waktu setelah mereka bekerja di sawah” berkata salah seorang yang mengamati Kabuyutan Talang Amba itu.
“Apa yang dapat mereka lakukan. Latihan-latihan yang mereka lakukan tidak akan banyak membawa hasil. Sementara di Gagelang, yang memiliki Senopati-senopati terlatih, masih harus dibantu oleh para Senopati dari Singasari. Apalagi Talang Amba yang tidak mempunyai pelatih yang berbobot” jawab Pangeran Lembu Sapdata.
“Ada dua orang anak muda disana” jawab orang yang mengamati keadaan “merekalah yang memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda Talang Amba itu. Agaknya keduanya juga mempunyai ilmu yang pantas untuk diperhatikan”
“Apakah latihan-latihan orang Talang Amba seberat orang-orang Gagelang?” bertanya Pangeran Lembu Sapdata.
“Ah, tentu tidak Pangeran. Tidak ada seperlimanya. Anak-anak muda Talang Amba hanya melakukannya jika mereka sempat. Setelah mereka bekerja di sawah dan di ladang” jawab orang-orang kepercayaannya.
Pangeran Lembu Sapdata mengangguk-angguk. Katanya “jika demikian, maka perkembangan ilmu orang-orang Talang Amba itu benar-benar tidak berarti. Karena itu, kau dan kawan-kawanmu harus benar-benar mengamati agar Talang Amba tidak disisipi oleh orang-orang Singasari atau orang-orang Gagelang yang mungkin telah memperhitungkan dendam yang mungkin akan membakar Kabuyutan mereka”
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa orang-orang Talang Amba telah bekerja jauh lebih keras dari yang diperkirakan. Sejak Mahisa Murti dan Manisa Pukat memasuki Kabuyutan itu, maka mereka sudah melihat gejolak perasaan orang-orang Talang Amba. Meskipun saat itu telah terjadi benturan diantara mereka sendiri, tetapi orang-orang Talang Amba, terutama anak-anak mudanya telah bersiap-siap menghadapi kekerasan. Mereka telah menyiapkan senjata yang akan dapat mereka pergunakan untuk membela diri. Meskipun senjata itu adalah senjata yang sederhana saja, namun dengan senjata itu seseorang memang akan dapat melumpuhkan lawannya.
Hampir setiap pande besi yang ada di Talang Amba telah membuat senjata. Pedang, tombak dan senjata-senjata lain yang akan dapat berarti bagi anak-anak muda. Meskipun pada saat itu orang-orang Talang Amba termasuk anak-anak mudanya masih belum memiliki ilmu yang berarti dalam mempergunakan senjata. Apalagi senjata-senjata yang sangat sederhana itu.
Namun dengan kehadiran Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan apalagi Ki Waruju, maka anak-anak muda Talang Amba yang telah bertaut kembali setelah mereka terpisah untuk beberapa saat diantara kelompok-kelompok yang berpihak Ki Sendawa dan yang berpihak Ki Sanggarana, menjadi semakin bergairah untuk menempa diri.
Dengan gelora yang menyala di dalam setiap dada, maka anak-anak Talang Amba telah dengan sungguh-sungguh dan tekun menempa diri mereka. Dengan mematuhi segala macam petunjuk dari Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Ki Waruju, maka anak-anak muda Talang Amba itu benar-benar telah maju dengan cepat. Bahkan pada saat-saat mereka berada di sawah, diladang dan dimanapun juga, mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan yang mereka dapatkan.
Ketika mereka berada disungai, maka mereka telah melatih keseimbangan mereka dengan berlari-lari dan berloncatan dari batu ke batu. Di pematang, mereka telah berlari-lari dan meloncati parit-parit. Diladang, mereka melatih kemampuan tangan mereka dengan berayun di dahan-dahan dan menghunjamkan jari-jari tangan mereka yang mengembang kedalam seonggok pasir. Memukuli gundukan tanah dan batang-batang pisang yang sudah waktunya ditebang.
Apalagi jika mereka telah berada di dalam kelompok-kelompok yang siap untuk menerima tuntutan berlatih mempergunakan senjata atau ketangkasan gerak. Maka mereka mempergunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.
Orang-orang yang mendapat tugas mengamati keadaan di Talang Amba melihat juga latihan-latihan yang diselenggarakan oleh orang-orang Talang Amba. Tetapi merekapun berpendapat sebagai mana Pangeran Lembu Sapdata. Apa yang dapat mereka pelajari dalam waktu yang sempit dan cara yang kurang mapan itu?
Sebenarnyalah, betapa kerasnya orang-orang Talang Amba memeras keringat untuk menempa diri, tetapi kemajuan mereka bukanlah satu loncatan panjang yang langsung dapat mengimbangi kemampuan para prajurit di Singasari atau para pengawal di Gagelang. Meskipun anak-anak muda di Talang Amba itu maju setingkat demi setingkat, namun tidak ada satu keajaiban yang dapat membuat mereka tiba-tiba memiliki kemampuan seorang pengawal.
Hal itu agaknya dimengerti juga oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Apalagi Ki Waruju. Tetapi yang dapat mereka lakukan itu adalah yang terbaik dari segala pilihan menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Talang Amba.
Dalam pada itu, Pangeran Lembu Sapdata tidak mau terlambat menghadapi keadaan. Dendamnya telah membakar seisi dadanya. Betapa sakitnya jika Pangeran itu mengenang, bagaimana ia harus melarikan diri dari arena pertempuran. Kemudian seperti binatang buruan ia meninggalkan daerah Gagelang yang diharapkan dapa dikuasainya.
“Aku harus mendapatkan kesempatan untuk menangkap anak muda yang melawan aku dipertempuran itu” berkata Pangeran Lembu Sapdata di dalam hatinya “sekaligus memusnahkan Talang Amba dan hutan di lereng bukit itu. Meskipun kemudian orang Gagelang uan Singasari mengetahui bahwa hutan itu telah dibakar oleh salah seorang Pangeran dari Kediri, tetapi mereka tidak akan segera mengetahui bahwa orang yang dicarinya adalah aku, Pangeran lembu Sapdata. Jika Singasari bertindak kasar terhadap para bangsawan di Kediri, adalah satu kesempatan yang sangat diharapkan”
Demikianlah, maka segala persiapanpun telah dilakukan oleh Pangeran Lembu Sapdata. Sepasukan pengawal Kediri, justru yang terpilih telah disiapkan dengan diam-diam diluar pengamatan para Panglimanya. Namun agaknya perasaaan lain memang sudah mulai menjalar diantara para pemimpin di Kediri. Namun beberapa orang pemimpin masih berusaha menahan diri dan berusaha menghindari benturan yang mungkin dapat terjadi. Apalagi benturan kekerasan yang terbuka. Karena jika demikian, Kediri justru akan mengalami kesulitan yang tidak akan mungkin teratasi.
Beberapa orang berusaha menghembuskan sikap bahwa Kediri telah diperintah oleh Singasari. Meskipun setiap kali Singasari meyakinkan, yang ada adalah satu lingkungan keluarga besar yang hidup bersama. Bukan pihak yang diperintah dan yang memerintah. Dalam suasana yang demikian itulah, maka Pangeran Lembu Sabdata telah melakukan rencananya untuk membalas dendam kepada orang-orang Talang Amba. Dan bahkan jika mungkin kemudian terhadap orang-orang Gagelang.
Tetapi bagaimanapun juga Pangeran Lembu Sabdata harus melakukan rencananya dengan hati-hati. Ia sadar bahwa diantara para pemimpin di Kediri yang melihat wajah muram dari beberapa orang bangsawan dan bahkan mereka yang masih menahan diri, namun yang lain merasakan betapa akrabnya hubungan mereka dengan Singasari, karena Singasari memang bersikap sebagaimana yang mereka katakan. Hidup dalam satu lingkungan keluarga besar yang saling menghormati. Justru karena itu, maka mereka merasa satu dengan Singasari.
Dengan persiapan yang rumit, maka akhirnya Pangeran Lembu Sabdata telah mendapatkan sekelompok orang-orang terpilih. Ia memang tidak memerlukan terlalu banyak orang. Yang sedikit itupun akan mampu menghancurkan sasarannya. Menjadikan Talang Amba neraka dan lereng bukit itu menjadi abu.
Sedemikian cermatnya persiapan itu dilakukan, sehingga sekelompok pengawal yang dipergunakan telah dapat dilepaskan dari tugasnya. Senopati yang memimpin sekelompok pengawal itu membawa pasukannya seolah-olah untuk satu tugas pengamanan karena segerombolan perampok yang ganas sedang mengancam ketenangan hidup sebuah Kabuyutan yang terpencil.
Sementara itu, beberapa orang kepercayaan Pangeran Lembu Sabdata pun telah mengamati Talang Amba dengan cermat. Tidak ada orang asing yang menyusup kedalam Kabuyutan itu. Yang ada hanyalah orang-orang Talang Amba sendiri yang dungu dan pandir, karena mereka merasa diri mereka akan mampu melindungi diri mereka.
Namun betapapun cermatnya orang-orang yang dipasang oleh Pangeran Lembu Sabdata mengamati setiap padukuhan di Talang Amba, namun mereka tidak melihat ketika beberapa anak muda menyusup memasuki padukuhan induk Kabuyutan Talang Amba.
Seorang anak muda itu ternyata telah menyusup masuk kedalam sebuah pedati orang Talang Amba yang sedang membawa hasil bumi ke pasar. Seorang perempuan yang duduk di dalam pedati setelah muatannya dibongkar hampir saja berteriak ketika tiba-tiba saja seseorang telah duduk disampingnya.
“Jangan berteriak“ orang itu mengancam.
Perempuan itu bagaikan membeku. Namun terasa bahwa tubuhnya gemetar. Ketika suaminya kemudian datang, maka orang itu berdesis “Jangan berbuat sesuatu yang akan dapat mencelakakan isterimu. Aku tidak akan berbuat apa-apa jika kau membantuku. Aku akan mengikutimu masuk ke padukuhan induk Talang Amba. Bukankah kau orang Talang Amba? Dari beberapa orang pedagang yang sering berhubungan denganmu, aku mengetahui bahwa kau adalah orang Talang Amba”
“Apa maksudmu sebenarnya?” bertanya pemilik pedati itu “Jika kau hanya ingin pergi ke Talang Amba, maka kau tidak usah memakai cara ini”
Orang yang ada di dalam pedati itu memandanginya dengan tajamnya. Namun kemudian iapun berdesis “Lekas. Jalankan pedatimu. Kita akan bersama-sama pergi ke Talang Amba”
Pemilik pedati itu tidak dapat menolak perintah anak muda yang sudah ada di dalam pedatinya. Ia tidak mau menerima akibat buruk atas isterinya jika ia menolak. “Setelah sampai di Talang Amba, aku akan dapat berbuat sesuatu atasnya” berkata pemilik pedati itu di dalam hatinya.
Demikianlah, akhirnya pedati itupun merayap mendekati padukuhan induk Talang Amba. Disepanjang jalan, anak muda yang berada di dalam pedati itu memang tidak berbuat apa-apa. Ia duduk saja dengan tenang. Namun agaknya anak muda itu sengaja tidak mau dilihat oleh seseorang yang mungkin dijumpai diperjalanannya menuju ke Talang Amba.
Dengan cara itu, maka anak muda itu dapat langsung diantar ke rumah Ki Sanggarana yang untuk sementara melakukan tugas sebagai Buyut di Talang Amba meskipun secara resmi ia belum diwisuda. Bahkan Akuwu Gagelang yang harus mewisudanyapun masih belum ditetapkan. Kehadiran anak muda itu telah menarik perhatian beberapa orang pemimpin Kabuyutan Talang Amba. Namun dihadapan para bebahu di Talang Amba anak muda itu minta, agar kehadirannya dirahasiakan.
“Kau mempergunakan cara yang aneh untuk datang ke Talang Amba ini” bertanya Ki Sanggarana.
“Bukan hanya aku” jawab anak muda itu “ada lima orang yang akan datang dengan cara yang mungkin kalian anggap aneh. Tetapi ketahuilah, bahwa Kabuyutan Talang Amba sekarang telah dilingkari oleh pengawasan yang ketat. Kehadiran orang asing akan sangat menarik perhatian."
“Apa maksudmu” bertanya Ki Sanggarana.
“Sekali lagi aku berpesan. Kehadiranku bersifat rahasia. Juga pemilik pedati itu harus mengerti. Aku akan mengancamnya jika ia mengetahui kehadiranku ini kepada siapapun juga. Kepada anaknya atau kepada tetangganya. Ia akan dapat dihukum mati” berkata anak muda itu.
Pemilik pedati itu menjadi cemas. Tetapi iapun kemudian menjadi ketakutan ketika anak muda itu berkata “Aku adalah petugas sandi dari Singasari”
Ki Sanggarana mengangguk-angguk, ia sadar, bahwa kehadiran petugas sandi dari Singasari dengan cara yang khusus itu tentu berhubungan dengan peristiwa yang baru saja terjadi di Talang Amha. Sebenarnyalah pada saat itu, ketika malam menyelimuti Talang Amba, dua orang petani berjalan dipematang dengan cangkul dipundaknya. Agaknya keduanya baru saja membuka pematang sawahnya untuk mengaliri tanaman padi mudanya dengan air parit yang tidak begitu lancar dimusim kering.
Keduanya sama sekali tidak menghiraukan ketika mereka melihat seseorang melintas di jalan bulak didepan mereka, seolah-olah mereka tidak melihatnya. Namun demikian orang yang melintas itu menjauh, seorang diantara mereka berkata “Aku curiga bahwa orang itu bukan orang Talang Amba yang sedang pergi ke sawah."
Yang lain mengangguk. Katanya “Jika orang itu orang Talang Amba, merekalah yang justru akan mencurigai kita. Karena mereka tidak mengenal kita”
“Seperti yang sudah dilaporkan, Talang Amba mendapat pengamatan dari pihak-pihak tertentu. Peristiwa yang baru saja terjadi, memang bukan peristiwa yang dapat dianggap selesai. Seorang Pangeran yang tidak dapat dikenali dari Kediri yang berhasil melarikan diri itu tentu masih akan membawa persoalan-persoalan berikutnya. Dan agaknya perhitungan itu tidak salah” berkata orang yang pertama.
“Ya. Tetapi merekapun telah belajar dari pengalaman. Mereka tidak mau terjebak lagi oleh kehadiran prajurit-prajurit Singasari, sehingga dengan demikian, mereka kini melakukan pengamatan yang cermat. Orang itu tentu salah seorang dari pengamat-pengamat yang ada disekitar Kabuyutan ini” iawab kawannya.
“Tetapi ternyata mereka masih kurang cermat. Mereka tidak melihat, siapa kita sebenarnya hanya karena kita berjalan di pematang sambil memanggul cangkul”
Tetapi kawannya menyahut “Belum tahu. Mungkin mereka mempunyai cara lain untuk mengamati kita”
Yang seorang mengerutkan keningnya. Tetapi orang yang melintas itu telah menjadi jauh dan hilang dalam keremangan malam. Ketika kedua orang itu telah meloncati parit dan berdiri dijalan bulak yang menyilang, maka merekapun kemudian memutuskan untuk cepat-cepat memasuki Talang Amba. Mereka harus segera berada di padukuhan induk dan langsung menuju ke rumah Ki Sanggarana.
“Jika kita sudah berada di dalam padukuhan itu, kita justru akan dapat dengan diam-diam tanpa merasa cemas menuju ke rumah Ki Sanggarana, karena Talang Amba sendiri sudah tertidur nyenyak” berkata salah seorang dari mereka.
“Tetapi anak-anak mudanya berada di gardu-gardu atau sedang menempa diri” sahut kawannya.
“Kita akan melintasi halaman-halaman dan meloncati dinding yang menyekat halaman-halaman itu” jawab yang lain.
Kawannya mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah, ketika mereka telah memasuki padukuhan induk, maka cangkul yang mereka bahwa itupun telah mereka letakkan di tempat yang tersembunyi. Kemudian seperti yang mereka rencanakan, mereka menyusup kedalam melalui halaman demi halaman.
Sementara itu, dari sudut lain, dua orang merayap mendekati padukuhan induk. Mereka tidak mempergunakan penyamaran apapun juga. Tetapi mereka telah beradu ketajaman pengamatan dengan orang-orang Kepercayaan Pangeran Lembu Sabdata.
Ketika keduanya yakin, bahwa tidak ada orang yang melihatnya, maka keduanya telah meloncat masuk kedalam padukuhan induk itu. Dan seperti dua orang yang berpakaian petani, maka merekapun telah menyusup dari halaman ke halaman menuju ke rumah Ki Sanggarana. Mereka tidak mau dilihat oleh anak-anak muda yang berada di gardu-gardu atau yang sedang berlatih di halaman-halaman yang luas.
Dengan demikian, maka para petugas sandi dari Singasar seluruhnya telah berada di rumah Ki Sanggarana. Dengan demikian, maka merekapun kemudian telah menyampaikan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Kabuyutan itu. Sehingga mereka berlima mendapat tugas untuk memasuki Kabuyutan itu dengan rahasia.
"Agaknya Pangeran yang telah berhasil melepaskan diri dari tangan orang-orang Talang Amba dan orang-orang Singasari itu tidak dapat menerima kenyataan itu dengan ikhlas. Karena itu. Maka persoalan Talang Amba dengan Pangeran itu agaknya masih belum selesai” berkata salah seorang dari petugas sandi dari Singasari itu.
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Waruju, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah di Panggil dan ikut serta menemui kelima orang itupun mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Waruju bertanya "Apakah Ki Sanak berlima, atau salah seorang diantara kalian membawa pertanda petugas sandi dari Singasari?”
Kelima orang itu saling berpandangan. Namun yang tertua diantara merekapun kemudian sambil tersenyum berkata "Ki Sanak ternyata cukup cermat mengamati kehadiran kami. Baiklah, barangkali Ki Sanak dapat mengenali timang ini."
Ki Waruju mengerutkan keningnya ketika orang itu kemudian menunjukkan timangnya yang semula tertutup oleh kain panjangnya. Sambil mengangguk-angguk Ki Waruju berkata “Aku mengenali pertanda itu. Pertanda keprajuritan sebagaimana dipakai oleh para prajurit Singasari”
“Ya. Kami adalah prajurit-prajurit Singasari pula. meskipun dalam tugas sandi” jawab prajurit itu.
Pertanda dan sikap kelima orang itu telah menghilangkan keragu-raguan orang-orang Talang Amba, sehingga pembicaraan diantara merekapun dapat berlangsung semakin mendalam.
“Ki Sanggarana“ berkata salah seorang dari mereka atas pertimbangan-pertimbangan itulah, maka Talang Amba harus mengatur persiapan yang mantap. Tetapi kita tentu tidak akan dapat mengulangi cara yang pernah kita lakukan sebelumnya."
“Maksud Ki Sanak” bertanya Ki Sanggarana.
"Kita tidak akan dapat menyiapkan pasukan Singasari di sekitar tempat ini, sehingga pada saat yang pendek akan dapat digerakkan seperti yang pernah terjadi. Apalagi dalam penyamaran yang dapat membingungkan lawan. Pengalaman Pangeran dari Kediri itu merupakan guru yang baik bagi mereka, sehingga mereka jauh sebelumnya telah menebarkan pengawas-pengawas apakah ada kekuatan lain yang berada di Talang Amba”
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Lalu katanya “Jadi apakah yang sebaiknya kita lakukan?"
“Aku belum dapat mengatakan sekarang Ki Sanak. Aku masih harus melihat lihat keadaan. Mungkin dalam satu dua hari ini. kami menemukan cara yang paling baik untuk menjebak Pangeran yang mendendam itu” jawab petugas sandi itu.
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Memang sulit untuk menentukan sikap dengan tiba-tiba. Mereka harus melihat keadaan dan medan yang akan mereka hadapi. Namun petugas sandi itupun kemudian berkata,
“Tetapi adalah menjadi satu keharusan, bahwa Talang Amba bersiap sebaik-baiknya menghadapi segala kemungkinan. Dan kitapun telah dapat memperhitungkan, bahwa kekuatan yang ada di Talang Amba sendiri tidak akan mungkin dapat mengatasinya. Yang menjadi masalah adalah, bagaimana kita memasukkan bantuan itu ke Talang Amba tanpa diketahui oleh para pengawas. Kali ini kami berlima dapat masuk dengan selamat. Bahkan seandainya mereka mengetahui, mereka tentu akan mengabaikan kehadiran kami. Tetapi jika yang memasuki padukuhan ini sekelompok prajurit, maka sulitlah bagi kita untuk menghindari pengamatan. Dan jika para pengawas itu mengetahui, bahwa di padukuhan ini terdapat prajurit-prajurit Singasari, maka mereka tentu akan membuat perhitungan-perhitungan baru sehingga usaha kami untuk menjebaknya mungkin akan gagal”
“Kami mengerti“ sahut Ki Waruju “dan agaknya kamipun sependapat, bahwa kita akan melihat keadaan. Justru untuk menentukan satu sikap yang tepat”
Demikianlah, para petugas sandi itupun telah berada di Talang Amba untuk menentukan langkah-langkah yang akan dapat menjebak Pangeran yang lepas dari tangan prajurit-prajurit Singasari. Namun dalam pada itu, Ki Waruju pun telah bertanya kepada salah seorang pelugas sandi itu “apakah Singasari mendapat petunjuk bahwa Pangeran itu akan melakukan balas dendam?”
“Ya” jawab petugas sandi itu “petugas-petugas kami yang telah bekerja keras di Kediri setelah peristiwa itu, menemukan petunjuk seperti itu. Ada beberapa pertimbangan yang memperkuat dugaan bahwa Pangeran itu akan mengambil langkah demikian. Bahkan bukan saja terhadap Talang Amba, Tetapi mungkin juga dendam itu tertuju kepada Gagelang. Namun Gagelang akan mampu membuat dirinya menjadi kuat”
Ki Waruju mengangguk-angguk. Tetapi masih ada beberapa hal yang kurang dimengertinya. Karena itu maka iapun kemudian bertanya pula “Apakah dengan demikian berarti bahwa Singasari telah menemukan Pangeran yang telah melakukan pelawanan terhadap Singasari itu dan akan melakukan balas dendam terhadap Talang Amba."
Petugas sandi itu menggeleng. Katanya “Bukan berarti demikian Ki Sanak. Singasari masih belum dapat menemukan Pangeran yang lepas dari tangan kita itu. Tetapi petugas-petugas sandi di Singasari mencium adanya persiapan-persiapan justru dilingkungan para pengawal. Kita tidak menutup mata melihat kemungkinan yang buruk yang terjadi di Kediri. Sudah beberapa rambahan, bangsawan-bangsawan di Kediri melakukan perlawanan. Beberapa kali Singasari harus mengambil kebijaksanaan khusus. Dan kali ini hal itu terulang lagi. Bahkan kali ini beberapa pihak di Kediri benar-benar dengan satu keyakinan berusaha melepaskan diri dari kesatuan yang besar bersama Singasari dan daerah-daerah yang lain, sementara di beberapa saat yang lalu, persoalan agak berbeda. Seorang yang menjadi kecewa telah mengambil satu sikap, seakan-akan ia seorang pahlawan bagi saudara-saudaranya di Kediri”
Ki Waruju mengangguk-angguk. Ia menjadi jelas. Dan iapun menganggap bahwa Singasari memang sangat berhati-hati menghadapi sikap beberapa orang bangsawan di Kediri, karena Singasari merasa dibebani oleh satu kewajiban untuk memelihara satu ikatan persatuan yang besar bagi seluruh wilayah Singasari.
“Karena itu, kita tidak akan dapat mencari Pangeran itu di Kediri dengan cara yang kasar agar kita tidak semakin melukai hati orang-orang Kediri” berkata petugas sandi itu “tetapi kita harus memancingnya keluar dan menangkapnya pada satu peristiwa yang memungkinkan”
Ki Waruju mengangguk-angguk. Katanya “Jadi, Singasari ingin menjebaknya disini? Usaha membalas dendam itu merupakan satu kesempatan yang ditunggu oleh Singasari”
“Tetapi persoalannya adalah, kita mengalami kesulitan untuk memasang perangkap karena kita mempunyai beberapa keterangan tentang pengamatan yang ketat disekitar Talang Amba. Pangeran dari Kediri itu tidak akan melakukan kesalahan yang sama” berkata petugas sandi itu.
Ki Waruju mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti kesulitan para petugas Singasari itu. Jika orang-orang Singasari itu menyusup dengan cara yang sama seperti yang ditempuh oleh kelima petugas sandi itu, maka pada satu saat, para pengawas dari Kediri itu tentu akan dapat melihatnya. Dengan demikian, maka Pangeran itupun akan membuat perhitungan baru sehingga mungkin sekali rencananya akan diurungkan atau ditunda. Satu rencana-rencana lain yang belum dapat diduga.
Sementara itu Singasaripun mempunyai perhitungan, bahwa untuk membantu mempertahankan Talang Amba dari dendam dan sakit hati itu, memerlukan orang yang cukup banyak. Apalagi menurut pendengaran pimpinan petugas sandi atas dasar laporan-laporan dari Kediri, maka sekelompok pengawal terpilih dari Kediri akan terlibat.
Demikianlah, para petugas sandi itu telah mempelajari keadaan Talang Amba sebaik-baiknya. Diamatinya ujung ke ujung padukuhan sampai padukuhan yang paling kecilpun. Namun memang sulit bagi satu pasukan yang cukup kuat untuk memasuki Kabuyutan Talang Amba tanpa diketahui oleh para pengawas.
Para pengawas itu akan dapat saja berada dipadukuhan di Kabuyutan tetangga. Atau mungkin di pategalan dan di hutan-hutan kecil disebelah Talang Amba, sehingga dari arah manapun pasukan itu masuk, maka pengawas itu tentu akan dapat melihatnya. Karena itu, untuk menentukan cara yang akan diambil oleh pasukan Singasari itupun masih belum dapat diketemukan.
Namun dalam pada itu, Ki Waruju yang ikut pula memikirkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, telah berbicara dengan Mahisa Pukat dan Mahisa Murti, apakah yang sebaiknya dilakukan untuk memberikan kemungkinan pasukan Singasari berada di Talang Amba tanpa diketahui oleh para pengawas dari Kediri.
“Kita tidak tahu, pengawas itu berada dimana. Tetapi secara naluriah akupun percaya, bahwa pengawas-pengawas semacam itu memang ada” berkata Ki Waruju.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata “Kita ajak satu atau dua orang Singasari yang ada di Talang Amba itu untuk mengikuti latihan-latihan yang kita adakan”
“Lalu?” bertanya Ki Waruju.
“Mungkin kemungkinan itu akan diketemukannya” berkata Mahisa Murti kemudian “aku sering membawa anak-anak muda itu berlari-lari kelereng bukit. Kadang-kadang memasuki hutan di lereng pegunungan untuk memberikan latihan ketahanan tubuh dan ketrampilan”
“Ya” jawab Ki Waruju “tetapi yang kita perlukan adalah jalan masuk”
Mahisa Murti tiba-tiba saja tersenyum. Katanya “Bagaimana jika kita berangkat dengan sepuluh orang misalnya dan kembali dengan dua belas orang? Jika hal yang demikian dilakukan berkali-kali, maka dalam beberapa hari, kita akan mempunyai sejumlah prajurit Singasari yang siap di Talang Amba”
Ki Waruju berpikir sejenak. Namun iapun kemudian tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya “Aku mengerti. Prajurit-prajurit Singasari itu menunggu di hutan di lereng bukit “
“Ya” jawab Mahisa Murti.
“Bagus” sahut Mahisa Pukat “para pengawas itu jika memang ada, tentu sering melihat kami naik kelereng bukit“
Ki Waruju mengangguk-angguk, la memuji ketangkasan berpikir anak-anak Mahendra itu. Agaknya jalan itu akan dapat ditempuh jika para petugas sandi dari Singasari itu menyetujui. Namun dalam pada itu, Ki Warujupun berkata “Tetapi kau harus menjaga, agar anak-anak muda itu tidak terlalu sering berlari-lari ke hutan di lereng bukit. Sebab jika tiba-tiba saja acara itu menjadi berlipat dari gelombang-gelombang sebelumnya, para pengawas dari Kediri itu tentu akan menjadi curiga pula”
“Baiklah Ki Waruju” berkata Mahisa Murti “kami akan membiasakannya berlari-lari ke lereng bukit itu setiap pagi dan sore. Kita akan mulai besok pagi”
“Apakah biasanya kau juga berbuat demikian?” bertanya Ki Waruju.
“Tidak selalu Ki Waruju” jawab Mahisa Murti “tetapi aku akan mulai acara itu sejak esok. Dan barangkali menarik juga untuk sekali-sekali menempuh jalur jalan yang lain. Kali ini pergi kelereng bukit, tetapi dihari lain pergi ke daerah rawa-rawa yang jarang dilalui orang itu”
Ki Waruju mengangguk-angguk. Bahkan iapun berkata “Dan pada saat yang lain, kau dapat saja berlari-lari menyusuri jalan dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain. Naik ke bukit padas yang gundul itu, sehingga dengan demikian kau akan dapat mengalihkan perhatian para pengawas, karena jika kalian pergi ke bukit gundul itu, kalian benar-benar tidak akan dapat berbuat apa-apa, selain latihan menempuh perjalanan yang terjal, sulit dan cukup jauh”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti maksud Ki Waruju. Karena itu, maka merekapun mengangguk-angguk mengiakan. Demikianlah, maka ketiga orang itupun telah menemui para petugas sandi di rumah Ki Sanggarana itu untuk menyampaikan pikiran mereka tentang kemungkinan yang akan dapat mereka tempuh dalam usaha mereka untuk memasukkan orang-orang Singasari kedalam lingkungan Kabuyutan Talang Amba.
Para petugas sandi yang mendengarkan pendapat itupun mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya “Satu pikiran yang baik. Aku sependapat”
“Tetapi bagaimana mengatur dan mempersiapkan para prajurit Singasari di hutan, atau di rawa-rawa atau ditempat lain yang tersembunyi untuk sedikit demi sedikit bergabung dengan anak-anak muda itu?“
“Kami akan mengatur. Seorang atau dua orang diantara kami akan keluar dari padukuhan ini setelah semua rencana kita susun dengan matang” berkata petugas-petugas sandi itu” Kita akan menentukan hari demi hari dengan arah yang sudah diperhitungkan. Kecuali jika karena satu dan lain hal yang tiba-tiba saja terjadi, sehingga terpaksa membatalkan rencana yang sudah tersusun. Dalam keadaan yang demikian seorang diantara kami akan memberitahukan kepada pasukan yang sudah siap ikut dalam lingkungan anak-anak muda Talang Amba untuk hari dan dari tempat yang sudah ditentukan sebelumnya. Bahkan dalam keadaan yang memaksa, pembatalan dapat saja terjadi tanpa pemberitahuan apapun juga”
Dengan demikian maka para petugas sandi dan para pemimpin dari Talang Amba itu telah menyusun rencana yang paling baik yang akan dapat mereka lakukan.
“Semakin cepat, semakin baik” berkata petugas sandi itu “tetapi tidak tergesa-gesa sehingga dapat menarik perhatian”
Ketika segala rencana itu telah masak, maka anak-anak muda Talang Amba telah mulai dengan rencana itu di keesokan harinya. Pagi-pagi benar sebelum matahari terbit, maka anak-anak muda Talang Amba itu telah berlari-lari memanjat lereng bukit yang terjal. Tidak terlalu cepat, bahkan kadang-kadang mereka merayap mendaki dan kemudian turun lagi. Hal seperti itu memang pernah dilakukan oleh anak-anak muda Talang Amba untuk melatih ketahanan tubuh dan ketrampilan. Sehingga karena itu, maka para pengawaspun telah pernah melihat kegiatan yang demikian.
Karena itu, kegiatan itu tidak terlalu menarik bagi para pengawas. Apalagi anak-anak muda itu telah berputar dan kemudian memasuki daerah rawa-rawa. Para pemimpin di Talang Amba telah membekali anak-anak muda itu dengan obat-obat yang dapat menolong jika salah seorang diantara mereka mengalami kesulitan dengan ular-ular air.
Sementara Ki Waruju, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak akan terganggu oleh jenis ular yang bagaimanapun juga. Bahkan akik dan gelang akar yang ada pada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan dapat membantu untuk mengobati orang-orang yang digigit ular sebagaimana yang dimiliki oleh Ki Waruju.
Di hari itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membawa dua kelompok anak-anak muda di saat yang tidak bersamaan. Sekelompok di pagi hari dan sekelompok yang lain disore hari. Sementara itu, dua orang petugas sandi yang ada di Talang Ambapun telah meninggalkan Kabuyutan itu dengan diam-diam. Mereka harus menyiapkan sepasukan prajurit Singasari di tempat-tempat yang sudah ditentukan di mulai sejak empat hari mendatang.
“Mudah-mudahan tidak terlambat” berkata Ki Sanggarana ketika ia melepas petugas sandi yang meninggalkan Kabuyutan Talang Amba itu.
“Hari-hari itu adalah saat yang paling cepat yang dapat kami tempuh” jawab petugas sandi itu ”tetapi hal itu akan lebih baik daripada kita harus menunggu kesempatan lain”
Demikianlah, masing-masing telah melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Sementara petugas sandi itu menghubungi pimpinan prajurit Singasari dalam rencana mereka menjebak seorang Pangeran Kediri yang telah melakukan perlawanan terhadap Singasari, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melakukan tugasnya pula. Memberikan latihan-latihan seperti yang biasanya dilakukan. Sementara itu, di pagi hari dan di sore hari ia telah membawa anak-anak itu berlari-lari di bukit atau ke daerah berawa-rawa. Mendaki lereng yang terjal dan kemudian menyeberangi daerah berlumpur yang ditumbuhi rerumputan liar dan batang-batang pandan eri.
Sebagaimana sudah diperhitungkan, maka para pengawas yang dikirim oleh Pangeran Lembu Sabdata telah melihat semuanya itu. Mereka melihat anak-anak muda Talang Amba berlatih keras, bahkan kadang-kadang agak berlebih-lebihan. Seorang diantara para pengawas itu tersenyum sambil berkata,
“Orang-orang Talang Amba memang gila. Mereka mengira dengan memaksa diri akan dapat membentuk suatu pasukan yang kuat yang akan dapat melindungi Kabuyutannya dari kemungkinan buruk atas balas dendam orang-orang Kediri”
Kawannya tertawa. Katanya “Mereka mengira, bahwa orang-orang Kediri tidak lebih baik dari orang-orang Gagelang yang dungu."
“Kita masih harus membuat perhitungan jika kita ingin menghancurkan Gagelang, karena kekuatan pokok Gagelang adalah para pengawal yang terlatih baik disamping orang-orang baru yang ditempa siang dan malam” berkata orang yang pertama “tetapi orang-orang Gagelang memang menyatakan dirinya sebagai pengawal. Sedangkan anak-anak Talang Amba hanya mempergunakan waktu luangnya saja, karena mereka harus bekerja di sawah dan di ladang”
Keduanyapun tertawa. Bagi mereka, yang dilakukan oleh anak-anak muda Talang Amba itu adalah satu kesia-siaan belaka. Namun salah seorang diantara keduanya kemudian berkata “Meskipun demikian, latihan-latihan itu tentu ada juga gunanya”
“Tentu” jawab kawannya “mereka akan dapat mempergunakan senjata meskipun baru pada tataran permulaan. Dan usaha mereka untuk meningkatkan daya tahan tubuh mereka dan ketrampilan serta keseimbangan itupun berguna pula. Tetapi tidak akan berarti dibandingkan dengan kemampuan seorang prajurit yang sebenarnya”
Yang lain mengangguk-angguk. Lalu katanya “Namun bagaimanapun juga kita harus mengawasi Kabuyutan itu. Kita tidak akan mengulangi kegagalan yang memalukan itu”
“Hal itu terjadi bukan saja atas kelebihan orang-orang Singasari yang berhasil menyusup. Tetapi juga karena pengkhianatan orang-orang Gagelang” berkata kawannya.
Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian menggeram “Tidak akan terjadi lagi sekarang dan nanti. Kita akan mengawasi semua jalan masuk. Kita tidak akan tertipu lagi dengan cara-cara orang-orang Singasari berpakaian seperti petani“
“Mereka tidak akan dapat lolos “ berkata kawannya “Jika orang Singasari ingin menjebak, maka yang datang tentu tidak hanya sepuluh. Dua puluh orang. Tetapi seratus atau dua ratus. Kita tidak akan terkelabui lagi”
Dengan demikian, maka latihan-latihan anak-anak muda Talang Amba itu tidak lagi sangat menarik perhatian orang-orang Kediri. Mereka menganggap latihan-latihan itu sebagai sesuatu yang dipaksakan. Namun bagaimanapun juga. peningkatan ilmu anak-anak muda Talang Amba tidak akan dapat terjadi dalam waktu dua tiga hari atau bahkan dua pekan.
Sementara itu. Pangeran Lembu Sabdatapun telah selesai dengan persiapannya. Atas bantuan beberapa orang saudaranya maka sepasukan prajurit Kediri telah dapat dikumpulkannya dengan diam-diam. “Kita menunggu laporan dari Talang Amba” berkata Pangeran Sabdata.
Sebenarnyalah laporan dari Talang Amba telah memberikan petunjuk, bahwa Pangeran Lembu Sabdata dapat bergerak kapan saja. Tidak ada prajurit Singasari seorangpun yang berada di daerah Kabuyutan Talang Amba. Tetapi pada saat yang demikian, maka diluar kemampuan pengamatan para pengawas di Kediri, anak-anak muda yang mengadakan latihan ketrampilan telah melakukan satu tugas yang menentukan.
Ketika pagi-pagi hari anak-anak muda itu berlari-lari mendaki tebing, maka lima orang telah menunggu mereka di tempat sepi yang telah ditentukan. Dalam pakaian sebagaimana kebanyakan dipakai oleh anak-anak muda Talang Amba, maka kelima orang itu telah memasuki barisan yang sedang berserakan mendaki tebing. Tanpa diketahui oleh seorangpun diluar barisan itu sendiri, bahwa jumlah anak-anak muda yang ada di dalam barisan itu telah bertambah.
Demikian pula ketika pasukan kecil anak-anak muda Talang Amba itu turun dengan nafas yang tersenggal senggal dan berlari dengan lelah memasuki padukuhan-padukuhan di Kabuyutan, tidak seorangpun yang sempat menjumlah anak-anak muda yang ada di dalam pasukan itu. Hal yang sama telah diulang disore harinya. Di pagi berikutnya dan di hari hari mendatang sebagaimana telah direncanakan.
Namun sementara itu, pasukan Kediri dengan diam-diam dan sangat hati-hati telah mendekati Kabuyutan Talang Amba. Pangeran Lembu Sabdata tidak dapat melupakan seorang anak muda yang telah melawannya. Seorang yang bertempur dengan serunya melawan Akuwu Gagelang dan seorang anak muda yang lain yang memiliki ilmu yang tinggi.
Bagi Pangeran Lembu Sabdata, maka pekerjaannya kali ini merupakan pekerjaan yang tidak terlalu berat, karena ia hanya akan datang dan dengan mudahnya menghancurkan sebuah Kabuyutan untuk melepaskan sakit hatinya. la akan berbicara dengan dua orang anak muda dan seorang laki-laki yang mampu mengimbangi kemampuan Akuwu di Gagelang sebelum mereka juga akan dibinasakan. Ketiga orang itu harus melihat bagaimana Talang Amba dihancurkannya. Kemudian hutan di lereng bukit itupun akan menjadi lautan api sehingga dihari berikutnya lereng bukit itu akan tinggal abu yang hitam berserakan.
Sementara itu laporan dari pengawasnya memberikan isyarat bahwa semua rencana akan dapat dilakukan dengan aman. Tidak ada prajurit-prajurit Singasari atau Gagelang yang ada di Talang Amba yang akan dapat mengganggu pekerjaan para pengawal terpilih dari Kediri yang berhasil dipengaruhi oleh Pangeran lembu Sabdata dan saudara-saudaranya yang memihak sikap yang sama, meskipun kadang-kadang alasannya agak berbeda dan tujuannyapun berbeda pula.
Namun dalam pada itu, yang dilakukan oleh anak-anak muda Talang Ambapun tidak pula ada henti-hentinya. Kadang-kadang mereka berlari-lari ke bukit terjal, ke hutan di lereng bukit atau ke semak-semak di rawa-rawa. Namun setiap mereka kembali, maka jumlah mereka selalu bertambah tanpa diketahui oleh orang lain. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang yang memasuki Talang Amba dengan cara yang aneh itu semakin lama menjadi semakin banyak.
Tetapi jumlah itu tidak dapat bertambah dengan cepat, karena mereka harus menghindari kecurigaan para pengawas yang menurut perhitungan mereka pasti ada di sekitar Kabuyutan Talang Amba.
Sementara itu, ketika pasukan Kediri mulai bergerak, maka Pangeran Lembu Sabdata pun telah memerintahkan untuk mengamati daerah di sekitar Kabuyutan Talang Amba. Mungkin ada sepasukan yang kuat yang ada di daerah di sekitar Kabuyutan itu. Dan perhitungan Pangeran Sabdata pun agaknya mendekati kebenaran. Para pengawasnya harus mengamati hutan di lereng bukit dan daerah yang berawa-rawa.
Namun ketika para pengawas itu mulai memperhatikan daerah itu. Maka pasukan Singasari yang bersembunyi di hutan-hutan dan di rawa-rawa telah terhisap habis memasuki Kabuyutan Talang Amba.
Dalam pada itu, maka para prajurit Singasari yang sudah berada di Talang Amba pun berusaha untuk tidak menarik perhatian. Sebagian besar dari mereka berada di-rumah Ki Sanggarana, di rumah Ki Sendawa dan di banjar-banjar padukuhan. Namun dengan keras mereka berpesan kepada anak-anak muda agar kehadiran mereka tetap dirahasiakan. Bahkan sebagian dari orang-orang Talang Amba sendiri tidak tahu, bahwa ada sepasukan Singasari yang kuat berada di Kabuyutan mereka.
Ternyata anak-anak muda Talang Amba pun telah memegang rahasia itu sebaik-baiknya. Mereka sadar akan arti kehadiran pasukan itu. Singasari benar-benar ingin menjebak Pangeran dari Kediri yang telah menyusup ke Gagelang dan bahkan telah merencanakan penebangan hutan di lereng bukit dengan segala macam cara.
Yang kemudian dilihat oleh para pengawas adalah kesiagaan anak-anak muda Talang Amba. Menurut pengamatan mereka, jumlah anak-anak muda itu tidak berubah. Setiap kali para pengawas melihat anak-anak itu berlari-lari. Berlatih dan bersiaga sepenuhnya menghadapi segala keadaan.
Tetapi yang dilakukan oleh anak-anak muda Talang Amba itu sangat menggelikan bagi para pengawas. Para pengawas itu menganggap anak-anak muda Talang Amba menjadi tamak dan kehilangan penilaian atas diri mereka sendiri.
Sambil tertawa seorang pengawas berkata “Alangkah lucunya. Orang-orang Talang Amba itu menganggap diri mereka sebagai prajurit-prajurit yang akan mampu mempertahankan diri. Setiap malam mereka berada di gardu-gardu. Meronda mengelilingi setiap padukuhan. Sekali-kali berlatih perang di malam hari. Seolah-olah mereka akan mendapat wisuda menjadi prajurit-prajurit terpilih di Singasari”
“Kita akan menghentikan permainan yang memuakkan itu. Bukankah Pangeran Lembu Sabdata telah mulai bergerak?“ sahut kawannya.
"Dalam waktu dua atau tiga hari lagi, mereka sudah akan berada di hutan itu. Mereka akan segera turun dan menghancurkan Kabuyutan ini. Dalam kesempatan yang lebih baik, maka Gagelanglah yang akan dihancurkan. Namun jika kita sudah dapat membakar hutan itu, maka rasa-rasanya kita sudah dapat menyelesaikan sebagian besar dari tugas-tugas kita” berkata orang yang pertama.
Kawannya mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa mereka sudah mulai jemu dengan pekerjaan yang harus mereka lakukan di Talang Amba itu. Demikianlah, maka dihari berikutnya mereka mendapat perintah untuk bersiap-siap sepenuhnya. Pasukan yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Lembu Sabdata benar-benar telah bergerak. Mereka akan berada dihutan di lereng bukit sebelum mereka akan turun menghancurkan Talang Amba.
Namun ternyata bahwa Singasari tidak sekedar menempatkan orang-orang di Talang Amba. Tetapi merekapun mempunyai kelengkapan pula dengan petugas-petugas sandi sebagaimana orang-orang Kediri. Karena itu ketika isyarat dari Kediri telah sampai kepada para petugas di Talang Amba, bahwa pasukan yang dipersiapkan untuk menghancurkan Talang Amba diduga sudah berangkat, maka Talang Ambapun benar-benar telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, maka Singasari sengaja tidak mencegah pasukan itu di Kediri. Karena dengan demikian maka mereka tidak akan dapat melihat langsung di medan, siapakah diantara para Pangeran yang telah menyusun rencana perlawanan terhadap Singasari itu.
Dalam pada itu, kesiagaan di Talang Amba telah diatur sebaik-baiknya. Dengan sengaja Talang Amba tidak memberikah laporan kepada Gagelang, karena dengan demikian maka Pangeran Lembu Sabdata dapat mengurungkan niatnya apabila Gagelang mengirimkan bantuan ke Talang Amba.
Namun dalam pada itu, prajurit Singasari yang ada di Talang Amba telah membaur dengan anak-anak muda. Namun agar jumlah mereka tidak menumbuhkan kecurigaan, maka sebagian besar dari mereka tetap berada di banjar-banjar di rumah Ki Sanggarana dan di rumah Ki Sendawa. Sehingga dengan demikian maka yang nampak bersiaga diluar padukuhan, di jalan-jalan menuju ke padukuhan induk dan di pintu-pintu gerbang adalah anak-anak muda Talang Amba.
Pada saat-saat yang demikian, maka tiba-tiba saja seorang pencari kayu di lereng bukit, telah berlari-lari menuju ke padukuhan induk. Kayu bakar yang sudah di ikat dan tinggal membawanya pulang, telah ditinggalkannya.
“Ada apa Ki Tanu?” bertanya seorang anak muda yang berjaga-jaga di pintu gerbang.
“Aku akan menghadap Ki Sanggarana” jawab orang itu.
“Ya ada apa?“ desak anak muda itu.
Ki Tanu termangu-mangu. Lalu katanya “Ada yang akan aku laporkan”
“Ya, apa?“ desak anak muda itu ”Mungkin aku dapat membantu. Atau mungkin kau ingin langsung bertemu dengan Ki Sanggarana sendiri”
“Ya” jawab orang itu.
“Marilah. Aku akan mengantarmu” berkata anak muda itu.
Dengan demikian, maka anak muda itupun telah membawa Ki Tanu ke rumah Ki Sanggarana. Anak muda itupun yakin, tentu ada sesuatu yang penting. Orang itu adalah orang tua yang sederhana dan tidak mempunyai banyak persoalan di dalam hidupnya. Karena itu, jika ia sudah dengan tergesa-gesa ingin berbicara langsung dengan Ki Sanggarana, maka masalahnya tentu masalah yang sangat menarik perhatiannya.
Dengan nafas terengah-engah maka orang itupun akhirnya berhasil menemui Ki Sanggarana yang untuk sementara telah memangku jabatan Buyut di Talang Amba. Orang itu termasuk salah seorang yang harus disingkirkan menurut keinginan Pangeran Lembu Sabdata.
“Ada ada Ki Tanu?” bertanya Ki Sanggarana.
“Ki Sanggarana” berkata Ki Tanu dengan gelisah “Aku baru saja turun dari bukit”
“Oh, begitu?” sahut Ki Sanggarana.
“Ya Ki Sanggarana“ nafas orang itu masih terengah-engah. Lalu katanya “Ketika aku selesai mencari kayu bakar dipinggir hutan di lereng bukit, maka aku telah melihat sebuah barisan di lereng bukit itu. Untuk beberapa saat, aku memperhatikan barisan itu dari balik pepohonan. Ternyata iring-iringan itu telah memasuki hutan itu pula. Karena itulah, maka aku telah melarikan diri tanpa membawa kayu hasil kerjaku yang sebenarnya sudah aku ikat dan siap aku bawa turun”
Ki Sanggarana mengerutkan keningnya. Dengan sungguh-sungguh ia bertanya “Apakah kau melihat ciri-ciri khusus dari iring-iringan itu?“
“Tidak Ki Sanggarana. Tetapi menurut penglihatanku yang kurang jelas, orang-orang di dalam iring-iringan itu semuanya membawa senjata” jawab Ki Tanu.
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Karena ditempat itu hadir juga Ki Waruju maka iapun kemudian berkata kepadanya “Bagaimana menurut pendapat Ki Waruju?“
Ki Waruju mengangguk-angguk. Katanya “Apakah Ki Sanggarana menghubungkan hal itu dengan kemungkinan kehadiran orang-orang Kediri?“
“Ya” jawab Ki Sanggarana.
“Aku sependapat” jawab Ki Waruju.
Karena itulah, maka Ki Saggaranapun kemudian berkata “Ki Tanu, kami mengucapkan terima kasih atas keteranganmu. Karena itu, sekarang beristirahatlah. Keteranganmu penting sekali bagi kami. Kami akan membicarakannya”
Ki Tanu pun kemudian minta diri. Namun ada semacam kebanggaan di dalam dirinya, bahwa ia telah berbuat sesuatu yang penting bagi Kabuyutannya.
Sementara itu, sepeninggal Ki Tanu, maka Ki Sanggarana pun telah mengumpulkan orang-orang yang dianggapnya penting bagi Kabuyutannya. Disamping Ki Waruju, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka Ki Waruju pun telah mengundang beberapa orang yang sebenarnya adalah Senopati dari Singasari.
Dengan jelas maka keterangan Ki Tanu itupun telah diulanginya. Sehingga dengan demikian, maka setiap orang yang mendengarnya akan memberikan tanggapan yang sama, bahwa yang datang itu adalah pengawal pilihan dari Kediri.
“Mulai hari ini, maka latihan-latihan kebukit itu akan dihentikan” berkata Ki Waruju “Karena hal itu akan sangat berbahaya. Meskipun kita sudah tidak lagi memancing prajurit-prajurit Singasari yang akan memasuki iring-iringan anak muda Talang Amba, namun jika anak-anak muda Talang Amba berpapasan dengan mereka, akibatnya akan dapat menjadi gawat bagi anak anak muda Talang Amba”
“Aku sependapat Ki Waruju. Bahkan kita harus meningkatkan kesiagaan dan pengawasan. Kita harus mengamati semua jalan menuju ke Kabuyutan Talang Amba” sahut Ki Sanggarana.
“Serangan itu dapat datang setiap saat” berkata salah seorang dari prajurit Singasari”
Dengan demikian, maka kesiagaan di Talang Amba pun menjadi semakin meningkat. Namun dengan demikian, maka hubungan Talang Amba dengan Kabuyutan disebelah menyebelah rasa-rasanya menjadi terhambat. Orang-orang Talang Amba memberikan alasan-alasan yang masuk akal, kenapa Talang Amba tidak lagi mengirimkan hasil buminya keluar dan seakan-akan Kabuyutan itu menjadi tertutup.
“Kami tidak dapat berterus terang” berkata Ki Sanggarana “Jika demikian, maka rasa-rasanya kami sudah mengetahui apa yang akan terjadi. Karena itu, pengurangan pengiriman barang-barang keluar dan sebaliknya dilakukan sedikit demi sedikit”
“Ya” jawab Ki Sendawa “kami harus menjaga anggapan orang-orang Kediri, bahwa kami tidak tahu apa-apa sekarang ini. Yang kami lakukan adalah mempersiapkan diri. Latihan-latihan yang keras dan kesiagaan sepenuhnya. Namun jika orang-orang Kediri berpendapat, bahwa semua itu dilakukan oleh anak-anak muda Talang Amba sendiri, maka mereka tentu tidak akan mengurungkan niatnya”
Namun dalam pada itu, dihari berikutnya. Talang Amba telah dikejutkan oleh kehadiran empat orang berkuda yang langsung memasuki Kabuyutan Talang Amba. Di ujung lorong dan depan pintu gerbang, anak-anak muda yang sedang berjaga-jaga menghentikan keempat orang itu. Dengan ragu pemimpin anak-anak muda yang bertugas itupun bertanya. “Siapakah Ki Sanak berempat ini. Nampaknya Ki Sanak bukan orang-orang yang sekedar lewat di Kabuyutan kami”
“Kami ingin bertemu dengan Ki Sanggarana, yang sekarang memangku jabatan Buyut di Talang Amba” jawab salah seorang dari keempat orang itu.
“Untuk apa?” bertanya anak muda yang sedang bertugas.
“Aku akan berbicara dengan Ki Sanggarana. Tidak dengan orang lain” jawab orang itu.
Anak muda yang sedang bertugas itu mengerutkan keningnya. Nampaknya orang itu memang terlalu sombong.
“Cepat. Antarkan kami atau kami akan pergi tanpa kalian” berkata orang berkuda itu.
Anak muda itu benar benar telah tersinggung. Tetapi ia menyadari tugasnya. Karena itu, maka katanya “Kami akan mengantarkan kalian. Sikap kalian mencurigakan”
“Aku tidak peduli. Apakah aku kau anggap mencurigakan atau tidak. Cepat. Bawa kami kepada Ki Sanggarana." orang itu justru membentak.
Tetapi anak muda itu tidak mau merendahkan dirinya untuk dibentak-bentak, karena itu jawabnya “Kaulah yang harus menunggu kesempatan yang akan aku berikan. Bukan kami yang harus tunduk kepada perintahmu”
“Jangan sombong” anak muda orang berkuda itu mengeram “dengan demikian kalian akan dapat menyesal”
“Kami adalah pengawal Kabuyutan ini” jawab anak muda itu tidak kalah lantangnya”
Orang berkuda itu menjadi tegang. Namun kemudian katanya “Baiklah Tetapi bawa aku kepada Ki Sanggarana”
Anak muda itupun kemudian menunjuk beberapa orang kawannya bersama dirinya sendiri untuk mengantarkan keempat orang berkuda itu bukan ke rumah Ki Sanggarana. tetapi ke sebuah rumah lain yang cukup besar tidak jauh dari rumah Ki Sanggarana. Sementara itu, seorang diantara anak-anak muda yang bertugas itu harus memberitahukan Ki Sanggarana dan sekaligus seorang yang lain lagi memberitahukan kepada pemilik rumah itu untuk meminjam rumahnya menerima empat orang tamu berkuda yang belum dikenal.
“Hati-hatilah” bisik anak muda itu ”kita memang harus berahasia dengan orang orang yang tidak kita kenal”
Demikianlah, maka anak muda itupun kemudian memperpanjang waktu dengan membagikan lugas-tugas yang sebenarnya tidak penting kepada kawan-kawannya. Dengan demikian maka ia telah memberi kesempatan kepada Ki Sanggarana untuk pergi ke rumah di sebelah rumahnya itu dan mengatur agar orang orang Singasari yang ada di rumahnya tidak berkeliaran. Sementara itu pemilik rumah itu sendiri tidak menjadi bingung atas kehadiran orang orang tanpa dimengerti persoalannya.
“Apakah kami harus menunggu tiga hari disini“ orang-orang berkuda itu akhirnya tidak sabar lagi.
“Baiklah” jawab anak muda itu “tetapi sebagaimana Ki Sanak mengetahui, kami tidak akan dapat meninggalkan gerbang ini begitu saja”
“Sudahlah” potong salah seorang dari keempat orang berkuda itu “jangan bicara saja”
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian bersama dengan kawan-kawannya yang telah ditunjuknya iapun mengantarkan keempat orang berkuda itu untuk menemui Ki Sanggarana Karena anak-anak muda itu tidak berkuda, maka jarak yang tidak terlalu jauh itu telah mereka tempuh dalam waktu yang cukup menjemukan bagi keempat orang berkuda itu. Apalagi mereka masih harus melintasi bulak kecil untuk mencapai padukuhan induk, di mana Ki Sanggarana tinggal.
Demikianlah, akhirnya keempat orang berkuda itu telah dibawa memasuki sebuah halaman yang cukup luas. Di atas tangga pendapa seseorang telah menunggunya. Orang itu adalah Ki Sanggarana. Di belakangnya berdiri Ki Sendawa dan dua orang bebahu yang lain. melengkapi penerimaan mereka atas ampat orang berkuda yang tidak di kenal itu.
Namun dalam pada itu, baik anak-anak muda yang sedang bertugas, maupun Ki Sanggarana dan para bebahu telah menduga bahwa keempat orang itu tentu merupakan bagian dari orang-orang yang berada di lereng bukit. Sejenak kemudian maka keempat orang itupun telah dipersilahkan duduk di pendapa. Setelah Ki Sanggarana mengucapkan basi-basi bertanya tentang keselamatan tamu-tamunya diperjalanan, maka kemudian ia pun bertanya “Siapakah sebenarnya Ki Sanak berempat ini?“
Orang yang tertua diantara keempat orang itupun kemudian menyahut “Baiklah aku berterus-terang. Aku adalah utusan dari Kediri. Dengar baik-baik, bukan dari Singasari. Aku mendapat perintah untuk mengambil tiga orang pengkhianat yang ada di padukuhan ini. Kemudian dua orang yang telah menghembus-hembuskan nafas permusuhan dengan Kediri”
Ki Sanggarana mengerutkan keningnya. Namun ia memang menjadi berdebar-debar. “Siapakah yang Ki Sanak maksudkan?” bertanya Ki Sanggarana.
“Tiga orang yang di saat-saat terakhir sibuk melatih anak-anak muda Talang Amba. Mereka tentu menyiapkan satu pasukan untuk melawan Kediri. Karena itu, serahkan ketiga orang itu. Kau tentu sudah tahu maksudnya. Kemudian yang dua orang lagi adalah Ki Sanggarana sendiri dan Ki Sendawa” jawab orang itu.
“Ki Sanak” jawab Ki Sanggarana “Yang kini memegang pemerintahan adalah Singasari. Meskipun Kediri masih tetap berwenang untuk mengurus dirinya sendiri, tetapi sejak semula kami berada dibawah pemerintahan Singasari. Karena itu, maka kami akan melakukan segala perintah dari Singasari. Bukan dari Kediri meskipun kami tidak memusuhi Kediri karena kami adalah satu keluarga yang besar yang diatur dengan paugeran-paugeran dibawah pengawasan Singasari”
“Jangan berpegang pada paugeran itu. Dengarlah. Sejak semula kami sudah tidak mau menganut paugeran itu, Kami tidak akan tunduk lagi kepada semua perintah Singasari, karena sebenarnya Kedirilah yang harus memerintah Singasari, sejak Singasari masih disebut Pakuwon Tumapel. Karena itu, jangan menyebut peraturan atau paugeran yang dibuat oleh Singasari karena kami tidak mengakuinya lagi” jawab orang tertua diantara empat orang itu.
“Ki Sanak membingungkan kami. Tetapi baiklah kami menentukan satu sikap. Kami tidak dapat menyerahkan orang-orang kami. Justru orang-orang kami yang terbaik, termasuk aku sendiri” berkata Ki Sanggarana kemudian.
“Ki Sanggarana” berkata orang itu “Jika kau menolak, maka kami akan menentukan langkah berikutnya. Kami memang sudah menduga, bahwa kau menjadi sombong karena kau menganggap bahwa latihan-latihan itu meskipun keras dan tidak mengenal lelah tetapi baru dilakukan dalam waktu terlalu singkat itu tidak cukup untuk melindungi Kabuyutanmu ini”
“Ki Sanak salah mengerti” jawab Ki Sanggarana “kami sama sekali tidak ingin menyombongkan diri. Kami mengerti bahwa apa yang kami lakukan itu tidak berarti apa-apa. Kamipun menyadari sepenuhnya. Tetapi kamipun tidak akan berani melawan kuasa Singasari”
“Kalian hanya tinggal menyerahkan lima orang yang kami kehendaki. Selanjutnya, terserah kepada kalian, apakah kalian akan tetap tunduk kepada Singasari atau bergabung bersama kami” berkata orang dari Kediri itu.
“Maaf Ki Sanak” jawab Ki Sanggarana “lima orang yang kalian sebut adalah orang-orang yang sangat kami perlukan. Aku sendiri adalah orang yang memangku jabatan Buyut di Talang Amba. Sedangkan paman Sendawa adalah orang yang sangat aku perlukan untuk membimbing aku dalam tugas-tugasku. Sementara tiga orang yang kini sedang menempa anak-anak muda Talang Amba itu adalah orang-orang yang aku harapkan akan dapat membentuk satu pasukan yang kuat bagi Talang Amba dihari-hari mendatang”
“Ki Sanggarana” berkata orang itu “Aku tidak menanyakan apakah orang-orang itu diperlukan oleh Talang Amba atau tidak. Aku memerlukan mereka. Dan aku akan membawa mereka”
“Jangan begitu Ki Sanak” jawab Ki Sanggarana “dengan demikian maka kau akan memaksakan kehendakmu terhadap kami, orang-orang Talang Amba”
“Tepat. Kami memerlukan orang-orang itu” geram orang tertua diantara keempat orang itu “Meskipun kalian berkeberatan, namun itu tidak akan berarti apa-apa. Kami akan tetap memaksakan kehendak kami”
“Ki Sanak” berkata Ki Sanggarana “Aku tidak mengerti wewenang apakah yang ada pada Ki Sanak, sehingga Ki Sanak akan memaksakan kehendak itu atas kami”
“Wewenang yang ada pada kami adalah kekuatan kami” jawab orang itu “Jika kau menolak untuk menyerahkan lima orang yang kami kehendaki, maka Talang Amba ini akan menjadi karang abang. Hutan di lereng bukit akan menjadi debu. Sementara itu akhirnya yang lima orang itupun akan kami dapatkan, hidup atau mati”
“Jangan menakut-nakuti Ki Sanak” jawab Ki Sanggarana “Talang Amba bukannya tidak memiliki kekuatan sama sekali. Anak-anak kami telah melakukan latihan tanpa mengenal lelah. Ketrampilan bermain senjata dan sekaligus ketahanan tubuh dan peningkatan kekuatan. Meskipun yang kami lakukan itu masih terhitung belum terlalu lama, tetapi latihan-latihan itu dilakukan dengan tidak mengenal lelah."
“Kau kira berlari-lari di lereng buki dan menyebrangi rawa-rawa itu akan dapat meningkatkan kemampuan kalian lima kali lipat?“ potong orang Kediri itu “Nah, pikirkan baik-baik. Aku masih memberimu kesempatan untuk satu dua saat. Jika kalian memikirkan kepentingan Talang Amba dalam keseluruhan, maka kalian tentu akan menerima tawaran kami. Menyerahkan lima orang yang aku kehendaki. Kemudian kami akan meninggalkan Talang Amba tanpa mengusikmu sama sekali”
Ki Sanggarana menggelengkan kepalanya. Tetapi ia masih tetap dapat menguasi dirinya. Di wajahnya sama sekali tidak nampak gejolak perasaannya.
Namun dalam pada itu, Ki Sendawalah yang berkata “Ki Sanak. Sanggarana adalah ikatan bagi rakyat Talang Amba. Jika ia pergi maka Talang Amba akan kehilangan ikatannya sehingga rakyatnya akan menjadi bercerai-berai. Aku yang pernah mencoba untuk memutuskan ikatan itu. akhirnya akulah yang hampir saja menjadi korban. Untunglah aku menyadari kesalahanku sebelum terlambat. Karena itu, maka sebaiknya Ki Sanak tidak melanjutkan usaha Ki Sanak untuk membawanya pergi. Mungkin aku memang orang yang tidak berarti di Talang Amba. Tetapi bukan Sanggarana dan tiga orang yang sedang menempa anak-anak Talang Amba sekarang ini “
“Kami bukan seorang penjaja yang sedang menawarkan barang-barang dagangan yang akan dapat ditawar” berkata orang Kediri itu “kami datang untuk melakukan tugas kami dengan sebaik-baiknya. Hanya ada dua ke mungkinan Menyerahkan orang-orang yang kami kehendaki, atau Talang Amba akan menjadi abu bersama hutan di lereng bukit”
“Ki Sanak” berkata Ki Sendawa “bukankah sebenarnya yang kedua itulah yang kalian kehendaki? Kalian sudah memperhitungkan, bahwa orang-orang Talang Amba akan mempertahankan orang-orang yang kalian kehendaki. Dengan demikian kalian mempunyai alasan untuk melakukan sebagaimana yang kalian katakan Membakar Talang Amba dan yang lebih penting adalah menghancurkan hutan di lereng bukit itu."
“Gila” geram orang Kediri itu.
Namun dalam pada itu. Ki Sanggaranapun berkata “Ki Sanak. Aku yakin bahwa yang kau lakukan itu sama sekali bukan atas perintah pimpinan kekuasaan di Kediri. Yang kau lakukan justru telah merusakkan citra Kediri itu sendiri. Tetapi kalian memang tidak peduli karena kalian mempunyai arah perjuangan menurut selera kalian sendiri, tanpa menghiraukan hubungan dalam keluarga besar antara Kediri dan Singasari”
Orang tertua yang datang ke Talang Amba itu tiba-tiba tertawa. Katanya “Oh. Orang-orang Kabuyutan yang jauh dari ratu tetapi dekat dengan batu. Apa yang kau ketahui tentang kekuasaan di Kediri? Apa yang kau ketahui tentang hubungan antara Kediri dan Singasari. Apa pula yang kau ketahui tentang citra Kediri itu sendiri? Orang-orang yang dungu. Menyerahlah. Aku hanya memerlukan lima orang”
“Apapun yang kau katakan, bukankah kau menghendaki perselisihan terjadi dan kalian akan dapat melakukan keganasan seperti yang kau katakan? jawab Ki Sendawa Ki Sanak. Kami tidak akan menyerahkan orang-orang terbaik dari Talang Amba. Kami akan mempertahankannya dengan cara yang dapat kami lakukan. Jika Talang Amba harus hancur, biarlah Talang Amba menjadi perlambang tekad dari rakyatnya untuk mempertahankan diri terhadap kekuasaan yang hanya berlandaskan pada kekuatan seperti yang kalian lakukan. Tetapi kehancuran Talang Amba akan membawa akibat yang parah bagi kalian. Karena Singasari dan Kediri akan segera turun tangan. Kalian tidak akan dapat melepaskan diri dari kekuasaan yang sebenarnya ada di Singasari dan Kediri”
Keempat orang itu menjadi tegang. Namun kemudian salah seorang diantara mereka, justru yang paling muda menggeram “jangan menyesal. Kami akan segera datang kembali dengan kekuatan kami untuk memaksakan kehendak kami”
“Kami akan bersiap menunggu kedatangan kalian" jawab Ki Sendawa “sebagaimana kalian lihat, disini ada beberapa orang bebahu dan anak-anak muda yang mewakili tekad seisi Kabuyutan ini. Selebihnya. Gagelang, Singasari dan Kediri akan melakukan tugas mereka sebagaimana seharusnya kelak jika kalian tidak menarik diri dari persoalan ini."
Orang-orang Kediri itu tertawa. Katanya “Kalian adalah sejenis kecoak yang sombong. Baiklah. Tunggu dalam satu dua hari ini. Kami akan datang kembali. Kabuyutan ini akan menjadi lautan api”
“Aku tidak yakin bahwa kalian berani melakukan” jawab Ki Sendawa, biarpun kata-kata itu mengejutkan juga bukan saja bagi orang-orang. Kediri itu, tetapi juga bagi Ki Sanggarana dan orang-orang lain yang mendengarkan. Lalu, “Yang mungkin kalian lakukan adalah sekedar melepaskan kejengkelan kalian atas kegagalan ini dengan membakar hutan atau tingkah laku lainnya yang justru menunjukkan kekecilan jiwa kalian. Tetapi sama sekali bukan bertempur beradu dada dengan anak-anak muda Talang Amba”
“Gila“ orang tertua diantara mereka membentak. Ki Sendawa. "Agaknya kau adalah orang yang pertama-tama akan menjadi korban dari kesombonganmu”
“Aku memang orang sombong dan tidak tahu diri, sebagaimana aku pernah ingin merampas kekuasaan kemenakanku di Talang Amba. Tetapi kemudian aku sadar bahwa aku salah. Namun agaknya kali ini akupun sadar, bahwa aku benar menghadapi sikap kalian” jawab Ki Sendawa.
Orang-orang berkuda itu hampir tidak dapat menahan diri lagi. Tetapi mereka tetap menahan darah mereka yang mendidih. Mereka sadar, bahwa mereka berempat tidak akan dapat berbuat banyak. Namun dengan demikian orang tertua diantara mereka itupun berkata “Aku akan pergi. Tetapi aku berjanji untuk memasuki rumah ini sekali lagi selambat-lambatnya dua hari mendatang. Kalian akan mengenal sikap kami yang sebenarnya. Kami akan membawa tali gantungan dan menggantung kalian di dahan batang pohon di halaman itu”
Orang-orang itu tidak menunggu jawaban. Merekapun segera berdiri dan meninggalkan tempat itu dengan jantung yang membara.
Namun agaknya Ki Sendawa masih belum puas untuk melepaskan mereka begitu saja. Ternyata ketika orang-orang itu sudah berada di punggung kudanya, Ki Sendawa masih berteriak “Kami menunggu kalian selambat-lambatnya dua hari mendatang. Jika kalian benar-benar merasa mempunyai kekuasaan karena kekuatan kalian, maka kalian tentu tidak hanya sekedar membakar hutan untuk membalas sakit hati dan dendam karena kegagalan kalian berturut-turut”
Orang termuda diantara orang-orang Kediri itu hampir saja meloncat dari kudanya. Tetapi orang tertua diantara mereka telah mengantarnya sambil berkata “Kita akan membuktikan apa yang kita katakan”
Sejenak kemudian, maka keempat ekor kuda itupun telah berpacu membawa penunggang-penunggangnya. Hanya dalam sesaat mereka telah hilang dibalik regol halaman.
Sepeninggal orang-orang itu, maka Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun masih bertanya kepada Ki Sendawa “Kenapa paman dengan sengaja membuat hati mereka menjadi panas”
Ki Sendawa mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya “Sebenarnya aku mencemaskan hutan itu. Mungkin mereka tidak berbuat apa-apa atas kita. Tetapi mereka hanya membakar dan menghancurkan hutan di lereng bukit. Karena itu, aku sengaja membakar kemarahannya, agar mereka benar-benar turun dan menyerang Kabuyutan ini. Bukankah memang demikian yang kita kehendaki termasuk orang-orang Singasari yang ada disini?“
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Ternayata dalam keadaan yang panas, pamannya masih sempat membuat perhitungan untuk menghindarkan hutan di lereng bukit itu menjadi sasaran kemarahan orang orang Kediri. Karena itu, maka Ki Sanggaranapun kemudian berkata,
“Jika demikian, kita harus benar-benar bersiap. Kita akan segera memerintahkan setiap anak muda untuk bersikap dengan senjata ditangan. Dalam dua hari ini tidak seorangpun yang kita benarkan meninggalkan Kabuyutan. sementara kita dapal memberikan keterangan kepada tetangga Kabuyutan kita agar mereka tidak terkejut dan terjebak dalam pertengkaran kita dengan orang-orang yang ingin membinasakan hutan diwilayah kita itu” berkata Ki Sendawa kemudian.
Demikianlah maka perintah itupun segera dilaksanakan. Anak-anak muda Talang Amba tiba-tiba lelah hilir mudik dari satu pedukuhan ke padukuhan yang lain. sehingga kesibukanpun nampaknya telah berubah menjadi semacam kebingungan.
“Kita tidak dapat memilih jalan lain” berkata Ki Sanggarana, meskipun dengan demikian berakibat kegelisahan di lingkungan rakyat Talang Amba."
Dalam pada itu, beberapa orang pengawas yang dipasang oleh orang-orang Kediri yang menjadi pengikut Pangeran Lembu Sabdata mengamati keadaan di Talang Amba sambil tersenyum. Mereka melihat anak-anak muda Talang Amba seperti kebingungan. Mereka berjaga-jaga di padukuhan-padukuhan yang terpencar, tetapi dalam waktu yang terhitung singkat mereka telah ditarik kembali ke padukuhan induk. Tetapi beberapa saat kemudian, maka merekapun telah memencar lagi.
“Mereka tidak tahu, bagaimana harus mempertahankan padukuhan mereka,” berkata salah seorang pengamat. “Mereka menjadi bingung dari arah mana kawan-kawan kita akan memasuki Kabuyutan. Sehingga degan demikian, maka anak-anak muda itu seperti kehilangan pegangan. Mereka berjaga-jaga di padukuhan-padukuhan kecil di sekitar padukuhan induk mereka, atau mereka harus berkumpul untuk mempertahankan padukuhan induk”
Kawannya justru tertawa. Katanya “Aku menjadi kasihan kepada mereka. Pemimpin-pemimpin mereka yang sombong sama sekali tidak memperhatikan keadaan yang sebenarnya dari anak-anak muda Talang Amba yang sebenarnya masih belum siap sama sekali menghadapi keadaan ini“
“Kemenangan yang pernah terjadi agaknya membuat mereka mabuk. Mereka tidak dapat lagi melihat kenyataan, bahwa kemenangan di Kabuyutan ini sebenarnya bukan kemenangan mereka. Tetapi kemenangan orang-orang Singasari yang licik itu” berkata orang yang pertama.
“Selambat-lambatnya dua hari lagi, Kabuyutan itu akan menjadi karang abang. Rumah-rumah akan dibakar. Dan anak-anak muda itu akan dibantai tanpa ampun. Mungkin kita akan mendapatkan perempuan boyongan yang dapat kita bawa kembali ke Kediri” sahut kawannya.
“Gila” geram yang lain “Aku sudah beristri. Jika aku mendapatkan gadis boyongan, tentu tidak akan aku bawa kembali ke Kediri“
“Kau bawa kemana“ bertanya kawannya.
“Aku tinggalkan saja ia disini” jawabnya.
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa keras-keras.
“Sst” desis yang lain “jangan menjadi gaduh seperti itu. Ingat, tugas kita adalah tugas rahasia”
Kawannya terdiam. Namun bibirnya masih saja tersenyum-senyum.
Sebenarnyalan pada saat itu, anak-anak muda Talang Amba bagaikan menjadi kebingungan. Bahkan ada beberapa orang yang menyingkir dari padukuhan-padukuhan terpencil. Mereka akan dapat menjadi korban kebinasaan orang-orang yang mengancam akan menghancurkan Talang Amba itu. Sebagian besar dari mereka telah memasuki padukuhan induk Kabuyutan dan tinggal diantara sanak kadang mereka yang berada di induk padukuhan itu.
Tetapi Ki Sanggarana dan para bebahu Kabuyutan itu tidak berusaha untuk menenangkan mereka. Dibiarkannya saja kebingungan itu di Talang Amba. Dalam pada itu, persiapan-persiapan yang sebenarnya telah dilakukan. Ki Sanggarana memang menganjurkan agar para penghuni padukuhan-padukuhan kecil lebih baik meninggalkan padukuhan mereka dan berada di padukuhan induk.
Sementara itu kesan kebingungan dan tingkah laku anak-anak muda yang hilir mudik dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain itu memang disengaja oleh Ki Sanggarana dan para pemimpin Kabuyutan Talang Amba. Dengan demikian maka penempatan para prajurit Singasari ditempai tempat yang memerlukan tidak dapat diamati oleh para pengawas yang tidak berani memasuki Kabuyutan. Mereka hanya mengamati dari tempat yang jauh atau memasuki daerah pategalan diantara padukuhan-padukuhan. Sehingga mereka tidak dapat mengamat dengan cermat apa yang sebenarnya terjadi di padukuhan-padukuhan yang sedang bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan itu.
Dengan keadaan yang nampaknya membingungkan dan kegelisahan yang kurang dapat dikuasai itu, sebenarnyalah bahwa para prajurit Singasari telah menempati tempat-tempat yang paling baik bagi mereka. Tempat yang akan memungkinkan mereka bergerak cepat kearah yang paling memerlukan, sementara itu, anak-anak muda Talang Amba sendiri telah berada di gardu-gardu pengawasan di padukuhan-padukuhan yang terpencar. Namun mereka telah menyiapkan alat-alat isyarat serta tanda-tanda yang sudah saling disetujui.
Demikianlah. Talang Amba telah benar-benar berada dalam kesiagaan penuh. Selain anak-anak muda. maka para prajurit Singasaripun telah siap menghadapi segala kemungkinan. Dalam ujud sebagaimana anak-anak muda Talang Amba. sebagian dari merekapun telah berada di gardu-gardu pula. sedangkan sebagian besar tetap berada di dalam rumah rumah yang ditentukan bagi mereka di padukuhan-padukuhan yang tersebar.
Sementara itu untuk mempercepat gerak anak-anak muda Talang Amba. Maka mereka telah mempersiapkan kuda sebanyak yang ada di Kabuyutan Talang Amba. Dengan kuda-kuda itu. maka anak-anak muda Talang Amba akan dapat digerakkan kearah pasukan lawan yang akan memasuki Kabuyutan Talang Amba.
Namun sekali lagi para pengawas telah mentertawakan anak-anak muda itu. Sebagian dari mereka memang telah mempergunakan kuda-kuda itu sebagai alat penghubung dari satu padukuhan dengan padukuhan yang lain.
“Anak-anak Talang Amba benar-benar melakukan persiapan. Seolah-olah Kabuyutan mereka adalah satu negara besar yang sudah bersiap menghadapi serangan lawannya” berkata salah seorang pengawas.
“Dengan nada tengadah anak-anak muda berkuda hilir-mudik” sahut yang lain “seakan-akan mereka adalah kesatria-ksatria yang sedang memeriksa pasukan segelar sepapan”
Keduanya tertawa. Namun merekapun tidak berkata lebih banyak lagi. Mereka hanya tinggal menunggu kehancuran Kabuyutan Talang Amba. karena merekapun sebenarnya telah menjadi jemu mengawasi Kabuyutan itu untuk waktu yang sudah cukup lama. Meskipun mereka melakukan bersama beberapa orang dan mereka mendapat kesempatan untuk bergantian kembali ke Kediri, namun tugas itu merupakan tugas yang tidak menyenangkan.
Demikianlan. ketika hari pertama telah lewat, maka persiapanpun telah diperkuat. Agaknya orang-orang Kediri yang menjadi pengikut Pangeran yang gagal menguasai Talang Amba dengan memperalat Akuwu Gagelang itu benar benar akan turun pada hari kedua.
Sebenarnyalah, ketika matahari mulai membayang di langit pada hari kedua, sepasukan yang kuat yang berada di hutan di lereng bukit telah bersiap. Katika Pangeran Lembu Sahdata memerintahkan untuk membakar hutan itu, maka seorang pengikutnya yang ditugaskan memasuki Talang Amba sebelumnya telah mencegahnya.
“Kita akan menghancurkannya kemudian. Kita akan mengikat para pemimpin Talang Amba itu pada batang batang pohon di dalam hutan ini dan membakarnya berkata pengikutnya itu. Kita tidak perlu memasuki hutan ini lagi” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
“Tetapi orang-orang Talang Amba telah menghina kami” jawab pengikutnya “ketika kami berada di Talang Amba. mereka mengatakan, bahwa kami tidak akan berani memasuki Talang Amba. Yang dapat kami lakukan hanyalah menyalurkan kemarahan dan dendam kami hanya dengan membakar hutan itu saja”
Pangeran Lembu Sabdata mengerutkan keningnya, sementara pengikutnya itu berkata selanjutnya “kami ingin menunjukkan kepada mereka, apa yang dapat kami lakukan. Karena itu, kami ingin menangkap mereka, mengikat mereka dihutan ini, kemudian membakar mereka hidup-hidup bersama seluruh hutan ini. Mudah-mudahan angin bertiup nanti, sehingga hutan ini akan cepat menjadi abu. Kita akan membakar dari bagian bawah dan api akan menjalar ke lereng yang lebih tinggi. Kami akan memusnakan semua isinya termasuk binatang-binatang liar yang adadi dalamnya”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Dan pengikutnya yang lain yang ikut memasuki Talang Amba sebelumnya menyambung “Para pemimpin di Talang Amba terlalu sombong dan sikapnya sangat menyakitkan hati. Dibakar hidup-hidup itupun masih merupakan hukuman yang terlalu ringan bagimereka. Tetapi itu akan lebih baik daripada mereka dihukum mati sebagaimana kebiasaan kami menghukum mati seorang penjahat dengan juru tuwek”
“Terserahlah kepada kalian” desis Pangeran Lembu Sabdata. Lalu "Agaknya kalian mempunyai pertimbangan tersendiri. Dalam akhir hidupnya, para pemimpin itupun akan melihat, bagaimana hutan mereka akan terbakar habis”
Dengan demikian maka Pangeran Lembu Sabdata telah mengurungkan niatnya untuk membakar hutan itu lebih dahulu. Akhirnya iapun sependapat untuk menangkap para pemimpin Talang Amba yang sombong dan memaksa mereka melihat kehancuran tanah yang mereka pertahankan. Hutan yang hijau itu akan menyala dan mereka akan ikut terbakar di dalamnya.
Tiba-tiba saja Pangeran Lembu Sabdata itu tertawa. Katanya “Pikiran kalian memang sangat menarik”
Demikianlah maka pasukan Pangeran Lembu Sabdata yang untuk beberapa malam berada di hutan itupun telah mulai bergerak. Mereka membagi pasukan mereka menjadi beberapa kelompok.
“Tutup semua jalan keluar” perintah Pangeran Lembu Sabdata “tidak boleh seorangpun dari para pemimpin Talang Amba yang luput dari tangan kita. Mereka semua harus mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka. Kita akan memasuki Talang Amba dari beberapa arah. Menurut perhitunganku, mereka tidak akan mempertahankan padukuhan demi padukuhan. Tetapi mereka akan mempertahankan beberapa padukuhan terpenting saja. Terutama padukuhan induk. Karena itu, maka kita harus dapat mengepung padukuhan induk itu setelah menembus beberapa padukuhan terpenting di sekitarnya”
Atas petunjuk orang-orang yang telah berada di sekitar Talang Amba sejak beberapa saat sebelumnya, maka kelompok-kelompok itupun bergerak menuju kesasaran. Menurut petunjuk para pengawas, maka tiga padukuhan utama sebelum padukuhan induk merupakan padukuhan yang dijaga paling ketat.
“Anak-anak muda Talang Amba bagaikan kebingungan. Seperti gabah sedang ditampi. Agaknya tidak ada petunjuk yang mapan bagi anak-anak muda itu, bagaimana mereka harus mempertahankan padukuhan mereka. Tetapi menurut pengamatan kami, anak-anak muda Talang Amba terbanyak ada di tiga padukuhan yang merupakan padukuhan yang membayangi padukuhan induk dari tiga jurusan” berkata salah seorang dari para pengawas.
Pangeran Lembu Sabdata mempercayai petunjuk itu. Lapun memperhitungkan bahwa anak-anak muda Talang Amba akan bertahan di padukuhan itu, sebelum mereka melepaskan pasukan lawan menuju ke padukuhan induk. Tetapi pangeran Lembu Sabdata telah menentukan satu isyarat bagi pasukannya. Menjelang tengah hari, setiap kelompok harus sudah dapat menyeleaikan tugas masing-masing di padukuhan-padukuhan itu, seterusnya setelah isyarat dibunyikan, maka tengah hari mereka memasuki padukuhan induk dari tiga arah dan seterusnya padukuhan induk itu harus benar-benar dikepung rapat.
“Jika ada kesulitan, maka setiap kelompok harus memberikan laporan, sehingga bagi kelompok yang memiliki kelebihan kekuatan akan mengirimkan bantuan secukupnya” berkata Pangeran Lembu Sabdata.
Tetapi para pemimpin kelompok itupun tertawa. Salah seorang diantara mereka berkata “Apakah kira-kira diantara kita ada yang akan mengalami kesulitan? Jika demikian, maka sebaiknya kelompok yang mengalami kesulitan itu kembali saja ke Kediri, melepaskan pakaian pengawal kita dan ikut masak saja didapur”
Beberapa orang pemimpin pasukan pengawal yang terlibat dalam kegiatan Pangeran Lembu Sabdata dan beberapa orang saudaranya itu tertawa pula. Bahkan Pangeran Lembu Sabdatapun akhirnya tersenyum juga sambil berkata “Siapa tahu. Anak-anak Talang Amba sudah berlatih keras untuk beberapa hari. Mungkin ada keajaiban yang membuat mereka memiliki kekuatan seorang prajurit linuwih”
Yang mendengar gurau Pangeran yang sebelumnya selalu bersungguh-sungguh itupun tertawa pula. Demikianlan, maka sejenak kemudian pasukan itu benar-benar telah menuruni bukit. Mereka meninggalkan hutan yang juga termasuk wilayah Talang Amba. Mereka sama sekali tidak menghiraukan padukuhan-padukuhan kecil yang terpencar. Tetapi mereka langsung menuju ke tiga padukuhan yang cukup besar diseputar padukuhan induk, sekedar dipisahkan oleh bulak-bulak sempit.
Anak-anak muda Talang Amba memang memberikan kesan, bahwa padukuhan itulah yang paling banyak dipertahankan, karena letaknya yang melindungi padukuhan induk Kabuyutaan Talang Amba.
Dalam pada itu, ketika kelompok-kelompok pasukan Pangeran Lembu Sabdata itu mendekati padukuhan-padukuhan di Talang Amba, maka para pengawas diantara anak-anak muda Talang Ambapun segera memberikan laporan. Beberapa orang berkuda meninggalkan padukuhan-padukuhan kecil yang memang tidak akan mereka pertahankan. Tetapi, sebenarnyalah bahwa padukuhan padukuhan itu bukannya padukuhan yang dikosongkan oleh anak-anak muda Talang Amba.
Dengan cerdik anak-anak muda Talang Amba yang telah berbaur dengan prajurit-prajurit Singasari di padukuhan padukuhan kecil itu memang menghindari pasukan Pangeran Lembu Sabdata. Jika pasukan Pangeran Lembu Sabdata menuju ke sebuah padukuhan kecil sekedar untuk lewat, maka anak-anak di padukuhan itu telah berusaha untuk bersembunyi. Sementara itu pasukan Pangeran Lembu Sabdatapun tidak banyak memperhatikan padukuhan itu. Mereka sekedar lewat saja jalan induk yang membelah padukuhan itu menuju ke sasaran.
Apabila ketika kelompok-kelompok pasukan itu melihat beberapa anak muda yang meninggalkan padukuhan itu diatas punggung kuda. Maka merekapun semakin meyakini kebenaran perhitungan mereka, bahwa pasukan Talang Amba bertahan diseputar induk padukuhan. Namun dalam pada itu, demikian pasukan Pangeran Lembu Sabdata itu lewat, maka anak-anak muda Talang Amba dan para prajurit Singasari yang berada di padukuhan-padukuhan kecil itupun segera bersiap-siap.
Beberapa saat kemudian, maka pasukan Pangeran Lembu Sabdata itupun telah mendekati tiga padukuhan induk yang mereka perhitungkan menjadi daerah pertahanan orang-orang Talang Amba. Pasukan Pangeran Lembu Sabdata itu memang tidak menghiraukan mereka menuju ke padukuhan induk menerobos lewat bulak-bulak diluar ketiga padukuhan yang mereka perkirakan menjadi daerah pertahanan orang-orang Talang Amba itu. Pasukan itu memang akan menusuk dan menghancurkan orang-orang Talang Amba yang bertahan di padukuhan-padukuhan itu.
Baru menjelang tengah hari pasukan itu akan bergerak dan mengepung padukuhan induk, sehingga tidak seorangpun yang boleh lolos dari tangan mereka. Sementara itu, disaat pasukan Pangeran Lembu Sabdata itu bertempur di ketiga padukuhan yang menjadi sasaran itu, maka sekelompok kecil dari mereka akan mengamati padukuhan induk, agar tidak ada orang yang berusaha melarikan diri.
Demikianlah, maka pasukan itupun benar-benar telah berada dihadapan padukuhan-padukuhan yang menjadi sasaran. Setiap kelompok akan menghadapi satu padukuhan. Mereka mendapat waktu untuk menghancurkan seisi padukuhan itu dalam waktu setengah hari, sampai saatnya menjelang tengah hari mereka akan mengepung padukuhan induk.
Untuk mempersiapkan sergapan mereka dipadukuhan-padukuhan yang menjadi sasaran, maka kelompok-kelompok pasukan itu kemudian telah mengatur diri. Pasukan-pasukan yang telah disusun dalam kelompok-kelompok itu lalu berpencar, membuat gelar sebelum mereka memasuki padukuhan.
“Membuang-buang waktu saja” desis salah seorang pengawal “seharusnya kita tidak perlu menganggap lawan di padukuhan itu sebagian lawan yang berarti, sehingga sebenarnya kita tidak perlu menyusun gelar. Begitu saja kita memasuki padukuhan itu lewat beberapa arah. Langsung saja kita menghancurkan padukuhan itu dan membakar semua rumah yang ada dan membunuh semua laki-laki yang melawan”
“Pemimpin-pemimpin kita terlalu berhati-hati” jawab kawannya “tetapi itu tidak ada jeleknya. Kita akan menghancurkan padukuhan itu dengan lebih sempurna Dengan gelar kita akan menempuh lawan kita dan menghancurkannya sampai tuntas“
Kawannya mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya sangat segan untuk maju dalam gelar yang sangat mengikat itu. Tetapi para pengawal itu tidak dapat berbuat lain. Pimpinan mereka menghendaki demikian, dan mereka harus melakukannya.
Perlahan-lahan gelar pasukan Lembu Sabdata itupun merayap maju. Pangeran Lembu Sabdata sendiri berada diluar ketiga gelar yang siap untuk menghancurkan padukuhan-padukuhan dihadapan mereka. Dengan demikian Pangeran Lembu Sabdata akan dapat mengatur seluruh pasukan yang dibawanya.
Dalam pada itu, sebenarnyalah anak-anak muda Talang Amba dan para prajurit Singasari telah bersiap di dalam ketiga padukuhan itu. Sementara itu anak-anak muda di padukuhan-padukuhan kecil diluar ketiga padukuhan itu telah mendapat perintah pula untuk bergerak jika pertempuran telah terjadi. Mereka mendapat perintah untuk menghalangi semua unsur yang ada di dalamnya pasukan Pangeran Lembu Sabdata yang akan melarikan diri.
Ketika pasukan Pangeran Lembu Sabdata dalam gelar yang lengkap itu semakin dekat dengan padukuhan-padukuhan yang menjadi sasaran mereka, maka anak-anak muda yang ada dipadukuhan-padukuhan itupun telah mempersiapkan busur dan anak panah. Sebagaimana yang pernah mereka lakukan, maka dalam bentuknya pertama, mereka harus berusaha mengurangi jumlah lawan mereka sebanyak-banyaknya.
Tetapi pasukan Pangeran Lembu Sabdatapun telah mengenal cara itu pula. Karena itu. Maka mereka yang telah berada di paling depan telah bersiap dengan perisai untuk melindungi diri dari ujung anak panah dan lembing.
Sejenak kemudian, maka benturanpun tidak dapat dihindarkan lagi. Ketika aba-aba terdengar dari para Senopati dalam gelar itu. Maka para pengawal dalam pasukan Pangeran Lembu Sabdata pun telah bergerak semakin cepat. Sebagian dari mereka dengan segan ikut pula berlari-lari. Bahkan ada juga yang sempat bergumam,
“Anak-anak Talang Amba memang gila. Mereka dapat memaksa kami berlari-lari seperti ini. Sebaiknya kita memasuki padukuhan itu dari arah yang manapan yang kita kehendaki”
Tetapi kawannya tidak menjawab. Tiba-tiba saja ia terpaksa meloncat menghindar ketika sebuah lembing mengarah kepadanya.
“Satu lontaran yang luar biasa” desis Pengawal yang hampir saja terkena itu “lembing itu melampaui perisai yang melindungi pasukan ini”
“Kita sudah semakin dekat” jawab yang lain.
“Bagaimanapun juga kita harus berhati-hati” berkata kawannya pula "anak-anak Talang Amba pernah belajar bagaimana mereka harus melontarkan senjata-senjata mereka”
Tidak ada jawaban lagi. Semua orang mulai memperhatikan tugas mereka di dalam satu kelompok yang cukup besar yang memencar dalam gelar yang melebar. Namun yang tidak mereka duga sebelumnya, ketika tiba-tiba, saja mereka melihat anak-anak muda Talang Amba telah muncul dari balik dinding dan kemudian bahkan berloncatan keluar.
Sikap anak anak muda Talang Amba itu memang mengejutkan. Menurut perhitungan, maka anak-anak muda Talang Amba itu akan tetap berlindung dibalik dinding batu sambil melontarkan anak panah dan lembing, sehingga dengan demikian mereka berharap untuk dapat mengurangi jumlah lawan sebanyak-banyaknya. Namun bagi pasukan yang berpengalaman, maka mereka telah bersedia dengan pasukan berperisai untuk mengatasinya. Tetapi yang mereka hadapi kemudian justru anak-anak muda Talang Amba itulah yang berloncatan keluar dari balik dinding dengan senjata teracu.
“Aneh” desis salah seorang diantara para penyerang “mungkin juga bahwa anak-anak itu sudah menjadi gila”
Dalam pada itu, Senopati yang memimpin setiap kelompok itupun telah mengambil sikap menghadapi anak-anak muda Talang Amba yang justru keluar dari sarang mereka. Dengan tegas para Senopati itu memerintahkan agar setiap orang di dalam pasukan itu tidak ragu-ragu.
“Lakukanlah tugas kalian dengan tegas dan penuh tanggung jawab“ perintah para Senopati “Jika lawan kalian terbunuh, adalah satu hal yang sangat wajar. Dan kalian memang harus membunuh sebanyak-banyaknya. Sebelum tengah hari tugas kalian disini harus sudah selesai, sebelum kita memasuki padukuhan induk Kabuyutan”
Perintah itu menjalar dari mulut ke mulut, sehingga setiap orangpun kemudian mendengar “Bunuh lawan sebanyak-banyaknya dan hancurkan padukuhan itu sehingga menjadi abu”
Beberapa orang pengawal dan pasukan Pangeran Lembu Sabdata itu. justru menjadi gembira. Setelah mereka mengatasi perasaan terkejut mereka, maka mereka merasa akan mendapat permainan yang mengasyikkan.
“Perburuan yang akan sangat menyenangkan” berkata salah seorang diantara mereka. Lalu katanya kepada kawan disampingnya “Marilah kita bertaruh. Siapa diantara kita yang lebih banyak membantai lawan”
“Tentu aku” jawab kawannya.
“Dua keping uang untuk satu kepala” berkata orang pertama “kita hitung berapa selisihnya. Tetapi kita harus jujur”
“Bagus. Kau harus menjual kerbaumu untuk membayar taruhan ini” jawab kawannya pula.
Demikianlah, maka jarak yang menjadi semakin pendek itupun akhirnya telah dilampaui. Kedua pasukan itupun telah membenturkan diri dengan serunya. Keduanya telah merundukkan senjata masing-masing. Sementara itu sorak yang gemuruh bagaikan membelah langit, Kedua belah pihak telah meneriakkan aba-aba. Peringatan dan ancaman-ancaman. Bahkan ada pula yang telah mengumpat-umpat.
Benturan itu benar-benar mengejutkan para pengikut Pangeran Lembu Sabdata. Ternyata mereka tidak menyangka, bahwa pada benturan pertama itu. Pasukan mereka dalam gelar itu bagaikan membentur benteng yang sangat kuat. Ternyata pada saat terakhir, anak-anak muda Talang Amba yang berloncatan keluar dari padukuhan itupun telah menyusun satu gelar yang dapat mengimbangi welar pasukan Pangeran Lembu Sabdata.
Dengan demikian, maka induk pasukan dari para pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu telah berhadapan dengan induk pasukan anak-anak muda Talang Amba. Sementara itu sayap-sayapnyapun telah berhadapan dengan sayap-sayap pasukan Talang Amba pula. Yang terjadi itu bukan saja satu diantara tiga kelompok pasukan Pangeran Lembu Sabdata. Tetapi ketiga kelompok pasukan Pangeran Lembu Sabdata telah menghadapi keadaan yang serupa.
“Bukan main” geram salah seorang Senopati dari pasukan Pangeran Lembu Sabdata “anak-anak Talang Amba yang berlatih dalam waktu yang singkat itu telah mampu melakukan satu gerak pasukan dengan cepat dan rapi. Bagaimanapun kerasnya mereka melatih diri. Namun agaknya mereka mendapatkan seorang atau lebih pelatih yang memang mumpuni dalam perang gelar”
Demikianlah yang terjadi kemudian adalah satu arena pertempuran yang sengit. Ternyata anak-anak muda Talang Amba bukan kambing hitam yang lemah yang dapat diperlakukan sekehendak hati pasukan lawannya. Para pengikut Pangeran Lembu Sabdata tidak dapat membantai orang-orang Talang Amba sebagaimana mereka kehendaki.
Dua orang pengikut Pangeran Lembu Sabdata yang bertaruh tentang jumlah orang yang dapat mereka bunuh, telah terkejut pula menghadapi lawan-lawannya. Pada saat mereka benar-benar ingin membunuh untuk mendapatkan kemenangan di dalam taruhan, maka keduanya ternyata telah menghadapi dua orang anak muda yang tangguh. Masing-masing menghadapi anak-anak muda yang ternyata memiliki kemampuan yang tinggi dalam mempermainkan senjata mereka.
“Gila” geram pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu. “siapakah yang mengajari kalian dalam ilmu pedang?“
Tiba-tiba saja salah seorang diantara lawan-lawannya itu menjawab “Ki Sanggarana”
“Omong kosong” teriak pengikut Pangeran Lembu Sabdata “suruh Sanggarana maju kehadapanku. Ia sendiri tidak akan mampu menghadapi aku dalam sekejap”
“Tetapi aku adalah muridnya. Guru yang cakap akan dapat membuat muridnya menjadi lebih pandai dari gurunya. Dan agaknya Ki Sanggarana adalah guru yang baik”
“Persetan” geram pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu.
Dengan kemarahan yang menghentak-hentak dadanya, maka pengikut Pangeran Lembu Sabdata itupun berusaha untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran. Namun ternyata lawan yang dihadapinya adalah lawan yang tangguh. Pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu tidak dapat mengalahkannya dalam sekejap seperti yang diduganya. Bahkan dalam benturan senjata. Pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu menjadi semakin heran. Lawannya bukan saja memiliki ilmu pedang yang mapan, yang dapat mengimbangi ilmunya, tetapi juga memiliki kekuatan yang mengejutkan.
Yang terjadi benar-benar diluar perhitungan para pengikut Pangeran Lembu Sabdata. Ternyata orang-orang Talang Amba itu mampu memberikan perlawanan jauh lebih baik dari yang mereka perhitungkan.
Namun dalam pada itu, para pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu telah menemukan beberapa persoalan yang menjadi pertanyaan diantara mereka. Kadang-kadang mereka menemukan lapisan-lapisan yang sangat lemah diantara pertahanan lawan. Namun dalam saat-saaat yang pendek, maka lapisan-lapisan itupun bagaikan bergeser. Ada diantara pasukan lawan yang seakan-akan bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Dan ada diantara lawan yang selalu bertempur berpasangan.
Akhirnya orang-orang yang berada di dalam pasukan Pangeran Lembu Sabdata itupun menemukan jawabnya. Kemampuan anak-anak muda Talang Amba itu tidak tampak. Anak-anak muda Talang Amba itu terdiri dari beberapa tataran. Ada yang ternyata masih baru mulai pada tataran pertama dalam olah kanuragan, namun ada diantara mereka yang memiliki ilmu yang telah mapan.
Hal itu telah menumbuhkan kecurigaan pula pada para pengikut Pangeran Lembu Sabdata. Namun mereka tidak mempunyai kesempatan terlalu banyak. Lawan mereka mengalir dalam jumlah yang cukup besar, melamapaui jumlah mereka. Sementara itu, sebagian dari mereka memiliki kemampuan yang tinggi.
Sebenarnyalah pasukan Talang Amba adalah campuran antara anak-anak muda Talang Amba sendiri dan para prajurit Singasari yang. mengenakan pakaian seperti anak-anak muda Talang Amba. Satu pertempuran sebagaimana pernah pula terjadi saat orang-orang Talang Amba menghadapi para pengawal dari Gagelang. Hal-hal yang dianggap janggal itupun kemudian telah dilaporkan pula kepada Pangeran Lembu Sabdata. Beberapa dugaan telah membuat Pangeran Lembu Sabdata itu marah sekali.
“Jadi kita mendapatkan keterangan yang salah?“ bentak Pangeran Lembu Sabdata.
“Masih dalam penyelidikan Pangeran” jawab seorang pengawalnya “tetapi ada diantara anak-anak Talang Amba yang memiliki kemampuan yang mengagumkan. Mereka berhasil mengimbangi kemampuan orang-orang kita”
“Hanya tiga orang di Talang Amba yang dapat diperhitungkan disamping Ki Sanggarana dan Ki Sendawa. Yang lain adalah tikus-tikus kecil yang tidak akan dapat melawan kalian“ Pangeran Lembu Sabdata hampir berteriak.
“Ya Pangeran“ pengawalnya menjadi cemas melihat sikap Pangeran yang marah itu, sehingga ia tidak memberikan laporan lebih terperinci, karena pengawal itupun sedang menunggu mungkin ada perkembangan keadaan yang menguntungkan bagi pasukan Pangeran Lembu Sabdata itu.
Namun ternyata arena pertempuran itu tidak segera berubah. Pasukan Pangeran Lembu Sabdata tidak segera dapat mendesak lawannya. Jika pasukan itu bersepakat untuk menyelesaikan padukuhan-padukuhan itu sebelum tengah hari, untuk selanjutnya mereka akan memasuki padukuhan induk, maka ternyata kemajuan mereka tidak seperti yang mereka perhitungkan. Bahkan dibeberapa bagian dari medan itu, jumlah anak-anak muda Talang Amba yang terlalu banyak, telah membuat lawan mereka mengalami kesulitan.
Karena itulah, maka Pangeran Lembu Sabdata kemudian menjadi curiga tentang kekuatan lawan. Dengan demikian maka iapun kemudian memanggil pengawalnya dan memerintahkannya untuk melihat langsung perkembangan keadaan.
“Kita tidak boleh terlambat” berkata Pangeran Lembu Sabdata “sebelum matahari sampai di puncak langit kita-harus sudah menyelesaikan pertempuran ini”
Dua orang diantara pengawal khususnya itupun kemudian langsung menuju ke medan, untuk melihat sendiri, apa yang sebenarnya telah terjadi, sehingga pasukannya seakan-akan tidak mampu untuk mendesak maju anak-anak muda Talang Amba.
Sekilas kedua orang itu melihat, bahwa lawan memang terlalu banyak, Anak-anak muda Talang Amba bertempur dalam kelompok-kelompok untuk menghadapi para pengikut Pangeran Lembu Sabdata. Dan ternyata bukan saja anak-anak muda yang telah turun ke medan. Tetapi orang-orang yang lebih tuapun telah ikut pula. Seolah-olah semua laki-laki di Talang Amba telah ikut dalam pertempuran itu.
Untuk beberapa saat kedua pengawal itu mengamati dengan saksama. Namun akhirnya merekapun menemukan kejanggalan seperti yang pernah dilaporkan. Ada sebagian dari pasukan Talang Amba yang memiliki kemampuan yang mencurigakan.
“Aku tidak percaya bahwa orang-orang yang mampu menahan kemajuan pasukan kita itu adalah anak-anak muda Talang Amba” berkata salah seorang dari mereka.
“Jadi, mereka orang-orang mana?” bertanya kawannya.
“Aku jadi curiga pula terhadap kemampuan para pengawas yang ditugaskan oleh Pangeran Lembu Sabdata mengamati daerah ini sebelum ditentukan serangan ini” jawab yang pertama.
“Maksudmu, Talang Amba telah disusupi oleh pasukan Singasari seperti yang pernah terjadi?” bertanya kawannya.
“Ya” jawab yang pertama.
“Dalam jumlah yang besar?” bertanya kawannya pula.
“Ya” jawab yang pertama pula.
Tetapi kawannya menggeleng. Katanya “Pengawas yang ditempatkan didaerah ini tidak hanya satu orang. Tetapi cukup banyak. Jika didaerah ini telah didatangi sepasukan dari Singasari, mereka tentu melihatnya. Mungkin pada saat mereka memasuki padukuhan-padukuhan. Mungkin pada hari-hari yang lain“
Orang yang pertama mengangguk-angguk. Pengawas yang dikirim kedaerah Talang Amba memang cukup banyak. Mereka dapat mengawasi jalan-jalan masuk ke Kabuyutan. Jika satu pasukan memasuki Kabuyutan ini, maka mereka tentu melihatnya. Seandainya pasukan itu dipecah-pecah dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil, maka merekapun akan dapat pula mengetahuinya.
“Sulit bagi pasukan Singasari untuk berada di Kabuyutan Talang Amba tanpa diketahui oleh para pengawas” berkata orang yang pertama itu.
Namun tiba-tiba kawannya bertanya “Bagaimana jika orang-orang Singasari itu memang belum beranjak sejak peristiwa dengan orang-orang Gagelang itu?“
“Tentu tidak” jawab orang pertama “menurut keterangan yang sampai kepada kita, mereka telah meninggalkan Talang Amba. Yang ada di Kabuyutan itu tinggal dua orang anak muda dan seorang yang sudah lebih tua. Hanya itu”
“Tetapi apakah mungkin anak-anak muda Talang Amba memiliki kemampuan yang demikian tinggi hanya dalam waktu penempaan yang pendek, betapapun tinggi ilmu orang yang menempa mereka?”
“Tentu tidak” jawab orang pertama.
“Jadi kesimpulanmu?“ desak kawannya.
Orang yang pertama itu termangu-mangu. Namun menilik pertempuran yang berlangsung dengan dahsyatnya itu, maka iapun berdesis “Memang agaknya ada unsur orang diluar Kabuyutan ini yang ikut dalam pertempuran itu seperti yang pernah terjadi. Tetapi kapan mereka berada di dalam lingkaran Kabuyutan itu”
Kawannya mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya lagi “Jadi apa yang akan kita laporkan kepada Pangeran Lembu Sabdata?“
Orang yang pertama itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Aku tidak sampai hati untuk mengatakan bahwa pasukan dari luar Kabuyutan memang ada diantara anak-anak muda Talang Amba”
“Kenapa tidak sampai,hati?” bertanya kawannya.
“Kau sadar, apa yang akan dilakukan Pangeran Lembu Sabdata dan Senopati yang memimpin pasukan ini terhadap para pengawas? Para pengawas itu tentu akan mendapat hukuman yang sangat berat. Apalagi jika pasukan Pangeran Lembu Sabdata nanti dapat dihancurkan."
“Jadi, apa yang akan kita katakan? Jika kita tidak mengatakan yang sebenarnya, tetapi akhirnya pasukan kita itu pecah, apakah justru bukan kita sendiri yang akan mendapat hukuman?“
“Aku sadar” jawab orang pertama “agaknya kita akan melaporkan saja apa yang kita lihat tanpa memberikan dugaan apapun tentang orang-orang yang ada diantara anak-anak muda Talang Amba. Kita hanya akan mengatakan bahwa diantara anak-anak muda Talang Amba terdapat anak-anak muda yang memiliki ilmu yang dapat mengimbangi orang-orang kita. Siapapun mereka. Mungkin anak-anak muda Talang Amba sendiri yang sudah berlatih dengan keras, sehingga mereka memilikikemampuan yang mengejutkan”
Kawannya mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan kawannya itu. lapun tidak ingin melihat para pengawas mendapat hukuman yang berat karena mereka tidak dapat mengetahui tataran kemampuan lawannya. Bahkan mungkin ada unsur dari luar yang telah memasuki Kabuyutan Talang Amba. Demikianlah merekapun kemudian kembali kepada Pangeran Lembu Sabdata yang dikawal oleh beberapa orang mengamati pertempuran dari jarak yang cukup.
Ketika para pengawal yang mendapat perintah untuk mengamati pertempuran dari dekat itu menemuinya, maka dengan serta merta Pangeran itupun bertanya “Bagaimana menurut pertimbanganmu atas laporan-laporan tentang keadaan medan?”
“Memang ada beberapa masalah yang timbul Pangeran” jawab salah seorang dari mereka “ternyata anak-anak muda Talang Amba sebagian memiliki kemampuan yang mampu mengimbangi pasukan kita. Mungkin mereka adalah anak-anak muda yang telah mendapat tempaan yang berat selama ini. Mungkin Talang Amba telah menunjuk sebagian dari anak mudanya yang memang sudah memiliki sedikit ilmu kanuragan. Kemudian orang-orang yang sudah memiliki dasar itu telah ditempa sehingga mereka menjadi pengawal Kabuyutan yang kuat sekarang ini”
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata membentak “Jangan mengigau. Anak-anak muda Talang Amba tidak akan mungkin mencapai tataran kemampuan pasukan kita. Mungkin mereka memang meningkat, tetapi tentu masih jauh dari tataran pasukan Kediri”
"Tetapi kami memang melihat orang orang yang memiliki ilmu yang tinggi” desis pengawal itu.
“Gila. Ada yang tidak wajar di Talang Amba. Dan ini adalah kesalahan para pengawas” geram Pangeran Lembu Sabdata.
Dalam pada itu. maka dua orang pengawal yang lain telah datang pula berlari-lari kecil dengan nafas terengah-engah. Dengan sertu merta kedua orang itu menghadap Pangeran Lembu Sabdata. Seorang diantaranya berkata sendat “Pangeran. Agaknya memang benar Ada orang Singasari atau Gagelang yang ada diantara anak-anak muda Talang Amba”
Pengawal yang lapor pertama itu menarik nafas dalam-dalam, la sudah berusaha melindungi para pengawas. Tetapi agaknya kawan-kawannya tidak berbuat demikian, sehingga mereka mengatakan terus terang, apa yang telah mereka lihat.
“Jadi menurut pertimbanganmu, yang memiliki ilmu yang mampu mengimbangi ilmu orang-orang kita itu bukan anak muda Talang Amba sendiri?“
“Bukan Pangeran” jawab pengawal itu “Aku yakin bahwa mereka bukan anak-anak muda Talang Amba meski pun menilik pakaian mereka memang demikian”
Pangeran Lembu Sabdata menggeram. Kemarahannya bagaikan membakar jantungnya. Dengan suara bergetar ia berkata “Jadi, apa artinya aku menempatkan para pengawas di sekitar Kabuyutan ini untuk waktu yang cukup lama dengan beaya yang tinggi. Ternyata mereka tidak mampu melakukan tugas mereka mengamati Kabuyutan Talang Amba. Jika benar diantara anak-anak muda dan pengawal Kabuyutan itu orang-orang Singasari atau Gagelang, maka tugas kita akan menjadi berat. Tidak mudah untuk menghancurkan mereka. Apalagi sesuai dengan rencana kita untuk menyelesaikan tugas kita masing-masing disetiap padukuhan sampai sebelum tengah hari”
“Tidak mungkin dapat kita lakukan Pangeran“ pengawal yang melaporkan tentang kehadiran orang-orang dari luar Kabuyutan itu menyambung “pertempuran, dipadukuhan-padukuhan itu ternyata sulit untuk dapat maju meskipun hanya setapak”
Pangeran Lembu Sabdata menjadi tegang. Katanya “Aku masih menunggu-laporan dari dua orang yang melihat keadaan padukuhan yang satu lagi”
Sejenak kemudian, dua orang pengawal telah mendekati mereka pula. Dua orang pengawal yang mengamati pertempuran di padukuhan ketiga.
“Bagaimana pendapatmu?” tanya Pangeran Lembu Sabdata ketika keduanya mendekat.
“Ada kekuatan lain yang membantu orang-orang Talang Amba Pangeran. Kami merasa ragu bahwa kemampuan anak-anak muda Talang Amba dapat maju demikian pesatnya dalam waktu yang dekat” jawab pengawal itu “namun kami belum mendapat bukti, dari manakah orang-orang yang ada diantara orang-orang Talang Amba itu” jawab pengawal itu.
“Bodoh” geram Pangeran Lembu Sabdata “Kenapa kau tidak menyebutkan saja orang Singasari atau orang Gagelang?“
“Bagaimana kami dapat menyebut demikian. Pangeran” jawab pengawal itu “kami tidak melihat perbedaan lahiriah antara orang-orang yang kami anggap memiliki kelebihan itu dengan anak-anak muda Talang Amba sendiri."
“Bagus“ Pangeran Lembu Sabdata hampir berteriak “orang manapun mereka, tetapi ada kekuatan dari luar Talang Amba yang membantu mereka”
Kedua orang itu ragu-ragu. Namun akhirnya mereka mengangguk.
“Nah, bukankah sudah lengkap. Ketiga padukuhan itu sudah diamati. Hasilnya sama. Ada kekuatan lain yang ada di Kabuyutan Talang Amba. Meskipun diantara kalian tidak berani menyebut bahwa mereka berasal dari Singasari atau Gagelang. Tetapi itu bukan soal. Soalnya adalah para pengawas tidak melihat ada kekuatan lain yang memasuki Talang Amba itu” kemarahan Pangeran Lembu Sabdata bagaikan akan meledakkan jantungnya.
Para pengawal yang telah mengamati pertempuran di tiga padukuhan itu tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka memang mengatakan demikian. Mereka melihat kekuatan yang bukan anak-anak Talang Amba sendiri.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja Pangeran Lembu Sabdata itu berteriak “Panggil pemimpin pengawas itu. Ia ada disini sekarang”
Para pengawal itu menjadi termangu-mangu. Pemimpin pengawas itu memang berada di medan itu bersama para pengawas yang lain. Mereka ikut serta di dalam pasukan Pangeran Lembu Sabdata. Ketika pasukan itu mendekati Talang Amba, maka mereka langsung bergabung dengan pasukan itu.
“Cepat” teriak Pangeran itu pula.
Dua orang pengawal telah melangkah meninggalkan sekelompok pengawal yang berada di sekitar Pangeran Lembu Sabdata yang marah. Demikian keduanya melangkah menjauh, maka seorang diantara mereka berkata,
“Pengawas itu memang bodoh. Mereka tidak dapat melihat, kapan orang-orang dari luar itu masuk. Jika hanya satu atau dua. Mungkin sepuluh dua puluh, masih dapat dimengerti. Tetapi kekuatan yang ada di Talang Amba terdiri dari beberapa kelompok yang memencar di semua padukuhan”
Dua orang pengawal itu menyadari, apa yang mungkin dapat terjadi atas pemimpin pengawas itu, karena para pengawas yang berada di sekitar Kabuyutan ini memang sudah menghabiskan banyak beaya. Seolah-olah semua yang mereka minta telah dipenuhi dengan satu harapan, bahwa Pangeran Lembu Sabdata akan dapat memasuki Talang Amba dengan rancak dan membakar rumah-rumah yang dikehendaki. Yang terakhir Pangeran Lembu Sabdata akan membakar hutan di lereng bukit tanpa diganggu oleh siapapun.
Tetapi keinginan Pangeran Lembu Sabdata itu telah pecah ketika diketahuinya, bahwa ada kekuatan lain yang membantu Kabuyutan talang Amba. Demikianlah, maka Kcdua pengawal itu telah mencari pemimpin pengawas yang memang ada di medan. Semula mereka berada dibelakang pasukan para pengikut Pangeran Lembu Sabdata yang bertempur di padukuhan dihadapan mereka. Namun ketika kedua pengawal itu sampai ke belakang medan, mereka tidak segera dapat menemukan pemimpin pengawas itu.
“Agaknya ia telah melibatkan diri” berkata salah seorang dari para pengawal itu.
“Apakah mereka memang mendapat tugas yang demikian?” bertanya kawannya.
“Aku tidak tahu. Menurut pendapatku, kewajiban mereka sudah selesai sampai saatnya Pangeran Lembu Sabdata datang ke Kabuyutan ini, karena mereka hanya bertugas untuk mengawasi. Tetapi apabila mereka dengan suka rela ikut pula di dalam pasukan ini, hal itu memang mungkin sekali terjadi”
Kawannya mengangguk-angguk. Mungkin para pengawas termasuk pemimpinnya itu melihat kesulitan yang terjadi di medan, sehingga mereka terdorong untuk ikut serta membantunya. Karena itu, maka kedua orang pengawal itupun telah mendekati arena pertempuran untuk mencari pemimpin pengawas yang mungkin telah ikut bertempur.
Tetapi mereka tidak segera melihat pemimpin pengawas itu. Meskipun mereka sudah beberapa lama berada di medan, seakan-akan telah menilik semua orang yang bertempur, namun seorangpun dari pengawas tidak diketemukannya.
“Mungkin ia berada di padukuhan yang lain” gumam salah seorang diantara kedua orang pengawal itu.
“Mungkin. Tetapi mungkin mereka telah tidak ada di medan di Kabuyutan Talang Amba ini” jawab yang lain.
“Pergi?” bertanya kawannya.
“Ya. Melarikan diri. Bukan saja untuk menyingkir dari kemungkinan ditangkap oleh orang-orang Talang Amba, tetapi jika mereka tetap berada disini, mereka tentu akan ditangkap oleh Pangeran Lembu Sabdata sendiri. Jika demikian, maka nasib mereka akan jauh lebih buruk daripada mereka ditangkap oleh orang-orang Singasari, jika yang berada di Talang Amba itu prajurit-prajurit Singasari” jawab yang lain.
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya “Kau benar, Jika ia jatuh ketangan Pangeran Lembu Sabdata yang melihat kesulitan di medan kali ini, maka mungkin sekali, umurnya tidak akan sampai malam nanti”
“Tetapi, nasib kita sendiripun menjadi gawat, jika kita tidak dapat menghadapkan para pengawas” desis yang lain.
“Kedudukan kita agak lain. Kita tidak pernah dianggapnya menipu atau berkhianat” berkata kawannya.
Meskipun demikian keduanya menjadi berdebar-debar juga. Mereka bersepakat untuk mencari pengawas itu di kedua padukuhan yang lain, yang juga menjadi ajang pertempuran. Namun di kedua padukuhan itupun mereka tidak menemukan para pengawas. Apalagi pemimpinnya.
“Mereka menyadari kegagalan mereka, sehingga mereka tidak dapat melihat bahwa ada sepasukan prajurit yang memasuki Kabuyutan ini. Karena itu, maka lebih baik bagi mereka untuk melarikan diri saja” berkata salah seorang dari keduanya.
Kawannya mengangguk-angguk. Dengan demikian, setelah mereka yakin tidak akan dapat menemukan para pengawas, maka merekapun segera kembali ke tempat Pangeran Lembu Sabdata memimpin seluruh pasukannya.
Laporan tentang lenyapnya para pengawas itu membuat Pangeran Lembu Sabdata semakin marah. Ia sadar, bahwa para pengawas itu telah mengkhianatinya ketika mereka menyadari bahwa tugas mereka telah gagal.
“Kerahkan semua pasukan cadangan. Kita akan menghancurkan orang-orang Talang Amba sebagaimana kita rencanakan. Sebelum tengah hari, maka padukuhan-padukuhan itu harussudah selesai, sehingga kemudian kita akan dapat pergi ke padukuhan induk.
Demikianlah, maka perintah itupun telah jatuh. Semua pasukan cadangan, dan bahwa para pengawal Pangeran Lembu Sabdata itupun telah dikerahkan ke medan. Bahkan Pangeran Lembu Sabdatapun telah langsung berada di antara pasukannya di salah satu medan di padukuhan-padukuhan di sekitar padukuhan induk Kabuyutan Talang Amba.
Sebenarnyalah pada waktu itu, para pengawas telah melihat kegagalan tugasnya. Dengan jantung yang berdentangan mereka melihat, tiba-tiba saja ada kekuatan yang tidak mereka kenal berada di Talang Amba. Para pengawaspun yakin, bahwa mereka tentu bukannya anak-anak muda Talang Amba sendiri. Sehingga dengan demikian, maka mereka telah mengambil kesimpulan bahwa mereka tidak dapat melaksanakan tugas mereka dengan baik.
Karena itulah, maka para pengawas itu bersepakat untuk melarikan diri saja dari medan. Karena jika mereka jatuh ketangan Pangeran Lembu Sabdata, maka ujung kerisnya tentu akan segera mengakhiri hidup para pengawas itu. Tanpa ampun.
Namun ternyata mereka sekali lagi salah hitung. Ketika mereka meninggalkan padukuhan yang berada dekat dengan padukuhan induk itu, maka di padukuhan kecil yang merupakan pintu keluar dari Kabuyutan Talang Amba, para pengawas itu telah dicegat oleh beberapa orang anak muda.
“Kalian akan pergi kemana Ki Sanak?” bertanya seorang diantara anak-anak muda itu.
“Kami akan meninggalkan neraka ini” jawab salah seorang dari para pengawas itu.
“Siapakah kalian sebenarnya” tanya pemimpin dari anak-anak muda yang menghentikan para pengawas itu.
“Kami adalah orang-orang Kediri. Kami tidak mau diadu dengan orang-orang Talang Amba. Karena itu, maka kamipun merasa lebih baik untuk pergi” jawab salah seorang dari para pengawas.
Tetapi pemimpin dari anak-anak muda itu berkata “Jangan pergi Ki Sanak. Kami persilahkan Ki Sanak tinggal di padukuhan ini sampai pertempuran berakhir. Nanti segalanya akan diselesaikan dengan baik. Karena Ki Sanak adalah bagian dari orang-orang yang menjadi pengikut Pangeran dan Kediri itu, maka untuk sementara Ki Sanak menjadi tawanan kami”
“Aku bukan pengikut Lembu Sabdata“ bentak pengawas itu.
“Siapa? Lembu Sabdata? Jadi Pangeran dari Kediri itu bernama Lembu Sabdata?” tanya seorang diantara anak-anak muda Talang Amba itu.
“Ya. Pangeran Lembu Sabdata. Nah, beri aku jalan keluar” geram salah seorang diantara para pengawas itu.
“Jangan Ki Sanak. Lebih baik Ki Sanak tidak bersikap bermusuhan” jawab pemimpin dari anak-anak muda itu...
Namun dalam pada itu, ternyata Akuwu masih sanggup melakukan satu serangan yang berbahaya bagi Mahisa Bungalan. Pedangnya benar-benar terayun mengarah ke dahi lawannya yang ragu-ragu. Mahisa Bungalan terkejut melihat ayunan pedang itu. Dengan tergesa-gesa ia berusaha menangkis ayunan pedang yang dilandasi dengan seluruh kemampuan dan kekuatan itu.
Mahisa Bungalan berhasil menangkis serangan itu dan dahinya tidak benar-benar terbelah. Tetapi pedang yang berkisar itu, ternyata masih juga menyentuh pundak Mahisa Bungalan. Terdengar Mahisa Bungalan mengeluh tertahan. Pundaknya telah terkoyak oleh pedang Akuwu meskipun tidak begitu dalam. Namun darah yang hangat telah meleleh dari lukanya itu.
Yang terdengar adalah suara tertawa Akuwu. Meskipun pedangnya masih saja berputar, namun ia dapat berteriak nyaring, “He anak Singasari yang malang. Kau akan segera terkapar di tanah. Kau mati dalam kesombonganmu, seakan-akan kau akan dapat menjadi pahlawan bagi orang-orang Talang Amba. Tetapi sebelum kau dapat menikmati kesombonganmu, maka kau sudah akan mati karena luka-lukamu”
Mahisa Bungalan menggeram. Luka itu memang terasa pedih. Ketika ia memandang wajah Akuwu yang sedang tertawa itu, tiba-tiba saja jantungnya berdentang. Wajah itu seolah-olah bukan lagi wajah Akuwu di Gagelang. Tetapi wajah itu bagaikan wajah iblis yang garang, yang haus tetes-tetes darah segar dari tubuhnya.
Tiba-tiba saja Mahisa Bungalan melangkah surut. Dadanya terasa bergejolak semakin dahsyat. Tangannya menjadi bergetar oleh kemarahan yang tertahan. “Iblis ini sudah melukai pundakku” geram Mahisa Bungalan.
Sementara itu, Akuwu pun bertempur semakin seru. Ia terasa bahwa kemampuannya memang melampaui kemampuan Mahisa Bungalan sehingga ia selalu dapat mendesaknya dan melukainya. Untuk sesaat Mahisa Bungalan masih berusaha menguasai perasaannya. Meskipun pundaknya terasa pedih, namun ia mencoba untuk melihat satu kepentingan yang besar untuk tetap membiarkan Akuwu di Gagelang itu hidup.
Tetapi untuk melawan Akuwu itu tanpa menyentuhnya, ternyata menjadi sangat sulit bagi Mahisa Bungalan. Apalagi sejak ia terluka. Luka itu kadang-kadang bagaikan menggigit. Apalagi di saat ia menyadari, bahwa darah yang mengalir itu akan dapat menyusutkan tenaganya dengan cepat. Karena itu, maka akhirnya Mahisa Bungalan itu berkata di dalam hatinya, “Aku memang tidak ingin membunuhnya. Tetapi jika dengan demikian aku sendiri yang akan menjadi korban, maka aku merasa berkeberatan”
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, Mahisa Bungalan itu pun mengambil keputusan, “Aku akan bertempur sebagaimana seharusnya aku melayaninya. Jika dengan demikian, orang ini terbunuh, maka hal itu sama sekali tidak aku harapkan”
Dengan keputusan itu, maka Mahisa Bungalan pun telah bertempur semakin garang. Ia bergerak semakin cepat, mengimbangi sikap Akuwu yang semakin kasar.
Meskipun demikian, Akuwu itu masih sempat terkejut ketika ia melihat perubahan sikap Mahisa Bungalan. Ketika kemudian terjadi benturan yang dahsyat, maka terasa tangan Akuwu menjadi pedih.
Luka dipundak Mahisa Bungalan membuatnya agak cemas. Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan pun bertempur dengan tegang. Darah yang meleleh dari luka itu terasa semakin banyak. Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun telah mempergunakan segala kemampuannya. Ketika Akuwu meloncat menusuk ke arah lambungnya, maka Mahisa Bungalan sempat bergeser setapak. Dengan tangkasnya ia menebaskan pedangnya ke arah lambung. Namun Akuwu masih sempat menangkisnya dan memutar pedangnya dan menyerang mendatar.
Mahisa Bungalan meloncat surut. Ketika Akuwu memburunya, maka pedang Mahisa Bungalan terjulur lurus, sehingga langkah Akuwu itupun tertahan. Mahisa Bungalan sudah siap untuk meloncat. Tetapi ternyata ia masih ragu-ragu untuk mengayunkan pedangnya pada saat Akuwu sedang menarik diri.
“Gila” geram Mahisa Bungalan “Apa yang telah menahanku. Mungkin ia terluka. Tetapi ia tidak akan mati”
Justru pada saat Mahisa Bungalan tercenung itulah, maka dengan kecepatan tinggi, pedang Akuwu mematuk lengan Mahisa Bungalan. Demikian cepatnya, sehingga Mahisa Bungalan tidak sempat berbuat apa-apa. Mahisa Bungalan terdorong selangkah. Namun agaknya Akuwu yang sudah tidak dapat berpilir jernih itu ingin memanfaatkan kesempatan itu. Pada saat Mahisa Bungalan merasa betapa pedihnya sengatan pedang Akuwu, maka Akuwu itu telah menyerangnya pula. Pedangnya menyambar mendatar.
Tetapi Mahisa Bungalan telah mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan berikutnya yang sudah diperhitungkan oleh Mahisa Bungalan, sehingga karena itu, maka ia pun dengan tangkasnya telah meloncat menghindar. Namun demikian, luka di lengan Mahisa Bungalan itu telah membuatnya menjadi benar-benar marah. Darah yang telah menitik dari lukanya itu membuatnya bersikap lain.
“Jika aku berusaha untuk selalu berhati-hati agar aku tidak melukainya, maka akulah yang justru akan menjadi korban dalam pertempuran ini” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.
Karena itu, maka setelah lukanya terasa semakin pedih, Mahisa Bungalan tidak lagi berusaha menahan dirinya. Apalagi ketika ia menyadari, bahwa darahnya yang mengalir itu akan dapat mempengaruhi ketahanan tubuhnya. Semakin banyak darah yang meleleh, maka semakin lemahlah ketahanan tubuhnya itu. Luka di pundak dan lengannya itu selain menyakikan tubuhnya juga sangat menyakitkan hatinya.
“Aku tidak akan ragu-ragu lagi” geramnya. Sebenarnyalah bahwa sikap Mahisa Bungalan telah benar-benar berubah. Langkahnya menjadi semakin cepat dan garang. Ia tidak lagi memikirkan apakah Akuwu akan terbunuh atau tidak. Tetapi Mahisa Bungalan tidak mau mati. Ia harus dapat menyelesaikan pertempuran itu sebelum darahnya terperas habis dari luka-lukanya.
Dengan demikian, maka serangan-serangannya pun kemudian telah datang membadai. Ia tidak lagi bertahan dan menghindar, menunggu sampai Akuwu di Gagelang itu kelelahan. Karena dengan demikian, yang terjadi adalah justru kesulitan bagi dirinya sendiri.
Dalam keadaan yang demikian, maka ternyata Akuwu di Gagelang itu telah mengalami kesulitan yang lebih besar. Jika ia semula merasa berbangga bahwa ia berhasil melukai Mahisa Bungalan, maka kemudian Akuwu itu harus menggeram dan mengumpat-umpat. Ternyata sikap keras yang kemudian ditunjukkan oleh Mahisa Bungalan itu telah membuat Akuwu semakin kehilangan perhitungan.
Ketika ujung pedang Mahisa Bungalan kemudian mulai menyentuh tubuhnya, maka Akuwu di Gagelang yang dalam kegelapan nalar itu telah menjadi semakin garang. Tetapi nalarnya pun menjadi semakin kabur, dengan demikian, maka yang dilakukan oleh Akuwu itu kemudian bukan lagi kegarangan ilmu yang tinggi, tetapi sekedar ungkapan kemarahan dan kebingungan yang campur baur dengan keputus-asaan. Sementara itu, lawannya adalah seorang Senapati muda yang telah terluka dan darahnya telah membasahi kulitnya, sehingga karena itu menjadi semakin lama semakin garang pula.
Dalam pada itu, ternyata bahwa Mahisa Bungalan yang mulai terluka, tubuhnya terpengaruh oleh keletihan dan darah yang mengalir telah mempergunakan kemampuannya dalam ilmu pedang sebaik-baiknya. Meskipun kemarahan telah mencengkam jantungnya, tetapi Mahisa Bungalan masih sempat melihat dengan jernih putaran senjata lawannya. Bahkan justru karena luka-lukanya, maka Mahisa Bungalan berusaha, agar ia tidak akan kehabisan tenaga sebelum ia berhasil mengalahkan lawannya.
Dengan demikian, maka semakin lama akhir pertempuran itu pun menjadi semakin dekat. Mahisa Bungalan yang dengan hati-hati beralaskan segenap kemampuannya, berhasil menguasai Akuwu Gagelang yang kehilangan kendali penalarannya itu.
Sementara itu, beberapa orang pemimpin Talang Amba dan para Senapati dari Singasari pun telah berada di padukuhan itu, sementara orang-orang yang datang dalam pakaian petani dan menggabungkan dirinya dengan orang-orang Talang Amba telah menguasai semua orang Gagelang yang menyerah.
Dengan tegang mereka menyaksikan, bagaimana Mahisa Bungalan yang telah terluka berusaha menguasai lawannya. Namun Mahisa Bungalan tidak lagi terikat kepada keinginannya untuk menangkap Akuwu dalam keadaan hidup, apalagi setelah terasa pengaruh dari luka-lukanya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kadang-kadang harus menahan nafasnya. Bahkan pada saat-saat tertentu, Mahisa Pukat hampir tidak dapat mengendalikan diri lagi. Namun setiap kali ia bergeser terlalu maju, Mahisa Murti telah menggamitnya dan kemudian menariknya mundur beberapa langkah. Tetapi darah yang meleleh dari luka-luka di tubuh kakaknya, membuat Mahisa Pukat benar-benar gelisah.
Namun, ternyata kemudian bahwa ujung pedang Mahisa Bungalan telah merhasil menyusup di antara ayunan pedang lawannya. Dengan tusukan lurus, Mahisa Bungalan berhasil menyentuh langsung dada Akuwu di Gagelang.
Akuwu itu menggeram. Selangkah ia meloncat mundur. Dengan sorot mata yang menyala ia mengacukan pedangnya sambil berkata “Kau gila. Kau berani menyentuh tubuhku dengan ujung pedang? He, apakah kau tau apa hukumannya?“
Mahisa Bungalan tidak lagi ingin melayani sikap yang gila itu. Dengan geram ia menjawab “Menyerahlah, atau aku akan membunuhmu”
Tetapi yang terdengar adalah suara Akuwu yang rasa-rasanya sudah berubah disela-sela tertawanya “Kau sudah terluka anak manis. Meskipun kau seorang Senapati dari Singasari. Tetapi ternyata kau tidak mampu lagi melawanku”
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi sekali lagi pedangnya telah menyentuh tubuh Akuwu dipundaknya. Tubuh Akuwu itu terdorong surut. Namun Mahisa Bungalan tidak memberinya kesempatan lagi. Sekali lagi Mahisa Bungalan meloncat dengan pedang terjulur.
Akuwu Gagelang masih berusaha menangkisnya. Tetapi ternyata bahwa ujung pedang Mahisa Bungalan itu sekali lagi mematuk dada, sehingga sekali lagi Akuwu terdorong surut. Luka di dadanya itu membuatnya mengeluh kesakitan. Namun kemudian terdengar ia berteriak “Anak iblis. Aku bunuh kau”
Mahisa Bungalan yang marah karena luka-luka di tubuhnya melihat satu kesempatan. Akuwu yang semakin lemah itu tidak segera sempat memperbaiki kedudukannya dan mempersiapkan pedangnya. Karena itu, maka sekali lagi Mahisa Bungalan mendapat kesempatan. Ia pun segera mengangkat pedangnya untuk menebas ke arah leher lawannya.
Akuwu yang berusaha memperbaiki keadaannya itu tidak sempat berbuat banyak ketika Mahisa Bungalan meloncat mendekat dengan pedang terayun. Jika pedang itu kemudian menebas leher Akuwu, maka Mahisa Buhgalan akan segera mengakhiri pertempuran.
Tetapi sekali lagi, Mahisa Bungalan merasa seakan-akan sesuatu telah menahan tangannya. Pedangnya yang telah terangkat itu telah tertahan oleh satu kekuatan yang tumbuh dari dalam dirinya sendiri. Rasa-rasanya ia tidak dapat mengayunkan pedang itu dan memenggal leher lawannya, meskipun kemarahan yang tiada taranya telah menghentak-hentak di dalam dadanya.
Karena itu, maka pedang yang sudah terangkat itu tidak juga terayun. Mahisa Bungalan justru telah meloncat surut sambil memperhatikan keadaan lawannya. Akuwu Gagelang masih terhuyung-huyung. Luka di dadanya mengalirkan darah yang membasahi tubuhnya.
Tetapi Akuwu itu masih berteriak “Jangan lari anak iblis. Jika kau takut menghadapi Akuwu di Gagelang, maka berlututlah. Aku akan memenggal kepalamu dan semua pemimpin Kabuyutan Talang Amba pun akan mengalami nasib yang sama”
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi sesuatu terasa semakin bergejolak di dalam dadanya. Darah di tubuh Akuwu itu membuatnya menjadi ngeri, meskipun tubuhnya sendiri iuga sudah basah oleh darah. Ketika Akuwu itu dengan terhuyung-huyung melangkah maju, Mahisa Bungalan justru melangkah surut.
Bukan saja Mahisa Bungalan yang menjadi ngeri. Akuwu yang sudah bermandikan darah dan tidak lagi mampu berdiri tegak itu masih juga tertawa sambil berkata “Ayo Senopati muda yang perkasa dari Singasari yang besar. Marilah kita selesaikan pertempuran ini dengan jantan. Tetapi jika kau tidak berani lagi bertempur dalam perang tanding, maka perintahkan prajurit-prajuritmu untuk mengeroyok aku”
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Dipandanginya saja Akuwu yang sudah kehilangan sebagian besar dari kekuatannya karena darahnya yang mengalir dari tubuhnya.
Tetapi Akuwu itu masih berteriak “Ayo, menyerahlah. Jangan ingkar dari kenyataan, bahwa tubuhmu telah merah oleh darah”
Mahisa Bungalan memang tidak dapat ingkar dari kenyataan itu. Tubuhnya memang sudah merah pula oleh darah. Tetapi ia masih memiliki kekuatan dan kemampuannya, meskipun sudah menjadi susut. Tetapi tidak secepat susutnya tenaga Akuwu dari Gagelang itu.
Dalam keadaan yang demikian, maka setiap mata menjadi tidak berkedip karenanya. Kedua orang yang berperang tanding itu sudah sama-sama terluka. Darah telah memerahi tubuh masing-masing dan nampaknya tangan mereka pun telah menjadi gemetar pula. Namun sebagian besar dari mereka pun melihat, bagaimana Mahisa Bungalan menarik tangannya yang sudah hampir terayun menebas leher Akuwu yang sudah tidak berdaya itu.
Dengan demikian, maka mereka dapat menilai apa yang sebenarnya tersirat di hati Mahisa Bungalan. Meskipun kemarahan yang tidak terkatakan telah menghentak jantungnya, tetapi ia bukan pembunuh yang tidak terkendali menghadapi lawannya yang sudah tidak berdaya.
Tetapi sementara itu, adalah di luar kemampuan Mahisa Bungalan untuk menjaga agar ujung pedangnya tidak membahayakan jiwa lawannya. Apalagi setelah ia sendiri terluka. Maka menurut perhitungan Mahisa Bungalan, ia tidak ingin mati karena ia terlalu berhati-hati menghadapi lawannya agar ia tidak melukainya.
Dalam kebimbangan itu Mahisa Bungalan melihat Akuwu yang menjadi semakin lemah itu melangkah maju. Sambil menyeret kakinya Akuwu itu tiba-tiba saja telah bertelekan pada pedangnya.
“Ia benar-benar sudah kehilangan kesadarannya” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya “ia sudah tidak teringat lagi bahwa yang ada ditangannya itu adalah pusakanya. Bukan sebatang tongkat penjalin”
Namun sementara itu, agaknya Akuwu telah benar-benar tidak mampu menahan dirinya sendiri. Ketika ia melangkah semakin mendekati Mahisa Bungalan, maka tiba-tiba saja tubuhnya telah bergetar. Nafasnya menjadi terengah-engah dan matanya menjadi semakin merah.
Akuwu dari Gagelang itu tertegun. Tetapi rasa-rasanya matanya menjadi berkunang-kunang. Ketika ia kemudian benar-benar kehilangan keseimbangannya, maka hampir saja Akuwu itu terjatuh. Namun untunglah, bahwa pengawalnya yang telah menyerah lebih dahulu sempat meloncat mendekatinya dan menangkapnya, sehingga Akuwu itu tidak terbanting jatuh di tanah.
Tetapi ketika pengawalnya itu perlahan-lahan meletakkan tubuh Akuwu itu di tanah, maka tiba-tiba saja Akuwu itu pun mengumpat “Pengecut, pengkhianat. Jangan sentuh aku. Bukankah kau sudah kehilangan sifat kejantananmu dan menyerahkan diri sekedar untuk mendapatkan pengampunan dan tidak mati di peperangan ini?“ usaha untuk meronta dan melepaskan diri “jangan sentuh aku pengkhianat. Tetapi ingat. Kau dapat tetap hidup sekarang ini. Tetapi besok kau akan mendapatkan kematianmu dengan cara yang lebih buruk. Kau akan digantung di alun-alun."
“Mungkin Akuwu. Mungkin hamba akan digantung di alun-alun Singasari. Tetapi dasar penyerahan hamba adalah untuk mengurangi jumlah kematian di peperangan ini meskipun hamba sendiri tidak akan dapat menghindari kematian, bahkan di tiang gantungan sekalipun”
“Tutup mulutmu pengecut. Jangan sentuh aku” teriak Akuwu. Namun iapun kemudian menyeringai sambil berdesah “Oh, sakitnya tubuhku”
Pengawalnya itu masih tetap berusaha untuk menahannya. Tetapi sekali lagi Akuwu meronta dengan tenaganya yang semakin lemah. Tetapi suaranya masih tetap garang “Cepat. Lepaskan aku. Jangan kau kotori tubuhku dengan pengkhianatanmu itu. Biar tubuhku tetap bersih sebagaimana seorang pahlawan yang gugur di peperangan”
Namun tiba-tiba sebuah pertanyaan telah menggetarkan perasaan Akuwu. “Akuwu, jika Akuwu merasa menjadi seorang pahlawan, maka apakah yang sebenarnya Akuwu perjuangkan selama ini?“
Akuwu itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun berdesah “Pertanyaan yang gila” Tetapi tiba-tiba ia berteriak “Kediri memang harus bangkit. Tumapel yang sombong dengan menamakan diri Singasari harus dilenyapkan dan di kembalikan sebagaimana seharusnya. Keturunan perempuan Panawijen itu tidak berhak memerintah Tanah ini”
“Itukah alasan perjuanganmu sehingga kau pasrahkan dirimu untuk menjadi bebanten?“ terdengar pertanyaan itu pula.
“Cukup. Jangan bayangi kematianku dengan pertanyaan-pertanyaan yang gila itu. Aku sudah memperjuangkan hak atas Tanah ini bagi Kediri” teriaknya pula. Namun nafasnyapun kemudian, menjadi terengah-engah.
“Kenapa kau memilih Kediri dari Singasari?” bertanya suara itu pula.
“Gila. Kau gila. Aku adalah keturunan Kediri yang merasa ikut berhak pula atas kekuasaan Kediri atas Tanah ini” jawab Akuwu.
“Tetapi siapakah Pangeran yang telah ikut serta dalam pertempuran ini, tetapi kemudian meninggalkan medan?“ terdengar pertanyaan pula.
Akuwu mencoba memandangi orang-orang yang ada di sekitarnya. Tetapi matanya telah menjadi semakin kabur. Tubuhnya menjadi semakin lemah. Apalagi Akuwu itu masih juga berusaha melepaskan diri dari tangan pengawalnya yang dianggapnya telah berkhianat. Sehingga dengan demikian, maka darahpun bagaikan terperas dari tubuhnya. Dengan demikian Akuwu tidak berhasil melihat dengan jelas, siapakah yang sudah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang gila itu.
Sementara itu, Mahisa Bungalan yang berusaha untuk memancing keterangan Akuwu pada saat-saat yang gawat itu pun akhirnya merasa bahwa ia tidak akan berhasil mendapatkan keterangan apapun juga. Ternyata Akuwu yang sudah sangat lemah itupun menjawab “Kau kira aku mau berkhianat terhadap Pangeran itu”
Mahisa Bungalan tidak bertanya lagi. Tubuhnya sendiri terasa menjadi semakin lemah. Dalam saat yang demikian, Mahisa Bungalan telah memanggil tabib yang mengikuti pasukan Singasari yang telah menyamar sebagaimana orang-orang Talang Amba itu. Katanya “Lihat Akuwu itu. Apakah mungkin untuk diselamatkan jiwanya. Aku memerlukannya”
Tabib itupun bergeser mendekatinya. Namun ketika ia meraba pergelangan tangan Akuwu, maka iapun kemudian dengan serta merta menempelkan telinganya kedada Akuwu itu. Namun tabib itupun kemudian menggeleng. Katanya “Akuwu sudah meninggal”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga ia merasa, bahwa ia telah membunuh Akuwu Gagelang meskipun ia sudah berusaha untuk meng hindari kematian itu. “Bukan maksudku” desis Mahisa Bungalan.
Tetapi tabib itu berkata “Sekarang, lukamu sendiri memerlukan pengobatan. Senopati”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Tubuhnya memang terasa semakin lemah. Luka-lukanya menjadi sangat pedih. Tetapi pertempuran di Kabuyutan Talang Amba itu sudah berakhir. Akuwu yang telah meninggal di dalam pertempuran itupun kemudian telah diserahkan kepada pasukan Gagelang yang semula berpihak kepada orang-orang Talang Amba. Merekalah yang untuk sementara harus menampung semua tugas Akuwu yang terbunuh itu.
Mahisa Bungalan yang lemah itu pun kemudian berkata kepada Senopati yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu “Sebelum Singasari dapat mengambil sikap selanjutnya, kaulah yang bertanggung jawab”
“Apakah Senopati tidak akan singgah ke Gagelang?” bertanya Senopati itu.
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Ada beberapa pertimbangan, apakah sebaiknya ia singgah atau tidak. Dalam pada itu, Senapati Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu pun berkata,
“Sebaiknya Senapati Mahisa Bungalan dan pasukan Singasari yang ada di Talang Amba singgah meskipun untuk waktu yang singkat di Gagelang. Dengan demikian, maka kedudukanku dapat diyakini oleh para pengawal yang sekarang tidak ada di sini. Yang terjadi bukannya sekedar permainan kami. Tetapi benar-beanr satu peristiwa yang telah membuat Gagelang menjadi berantakan”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya kemudian “Baiklah. Tetapi tentu belum hari ini. Aku memerlukan waktu untuk mengobati luka-lukaku dan beristirahat barang sehari”
“Aku akan menunggu” berkata Senapati itu “sehari ini aku akan tinggal di Talang Amba. Sementara itu, kami berharap bahwa besok kami akan dapat kembali bersama pasukan Singasari serta membawa tubuh Akuwu di Gagelang”
Mahisa Bungalan tidak berkeberatan. Ia mengerti, bahwa Senapati di Gagelang itu tidak menginginkan terjadi salah paham dengan pasukan pengawal Gagelang yang tidak ikut pergi ke Talang Amba. Karena itulah, maka ternyata para pengawal di Gagelang itu telah bermalam di Talang Amba. Tetapi bukan berarti bahwa mereka dapat bersitirahat sepenuhnya.
Pada malam hari mereka telah menyelenggarakan mayat para pengawal yang terbunuh di peperangan, sebagaimana orang-orang Talang Amba pun melakukannya pula. Selain itu maka mereka pun telah mengumpulkan pula kawan-kawan mereka yang terluka, untuk mendapat perawatan dan pengobatan seperlunya.
Dalam pada itu Mahisa Bungalan sendiri memerlukan pengobatan atas luka-lukanya yang cukup parah. Meskipun demikian Mahisa Bungalan masih dapat mengatasi keadaannya. Setelah mendapat pengobatan maka Mahisa Bungalan masih dapat memeriksa pasukan Singasari yang ada di medan yang semula mereka telah mengenakan pakaian petani kebanyakan sehingga mereka disangka benar-benar orang Talang Amba.
Orang-orang Gagelang yang telah tertawan masih juga ada yang mengumpat. Kepada kawan yang berada di dekatnya ia berkata “Ternyata tikus-tikus buruk itu adalah prajurit-prajurit Singasari”
“Apakah kau baru tahu sekarang ini?” bertanya kawannya.
Pengawal yang pertama tidak menjawab. Tetapi masih terdengar ia mengumpat kecil.
Demikianlah, maka Talang Amba telah benar-benar menjadi sibuk. Orang-orang Talang Amba tidak henti-hentinya menyalakan perapian untuk memasak, karena mereka yang berada di Talang Amba, apakah mereka kawan atau lawan yang sudah tertawan memerlukan makan dan minum sekadarnya.
Sementara itu, maka telah dilangsungkan pula pertemuan antara para pemimpin Talang Amba yang disaksikan oleh para Senapati dari Gagelang yang berpihak kepada Taalng Amba dan para Senapati. Dengan mantap maka Talang Amba telah menentukan siapakah yang akan menggantikan Buyut Talang Amba yang telah meninggal.
“Aku mohor maaf bahwa pada satu saat aku menjadi kehilangan” berkata Ki Senapati.
“Kita telah melupakannya sekarang” jawab Ki Sanggarana “Yang kita hadapi sekarang adalah kemungkinan-kemungkinan mendatang yang lebih baik bagi Talang Amba”
Ki Sendawa mengangguk-angguk. Namun Ki Sendawa itu merasa bahwa ia telah menebus kesalahan yang dibuatnya sehingga dadanya telah menjadi lapang. Sementara itu, Ki Waruju, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menjadi saksi apa yang telah terjadi di Talang Amba disamping para prajurit Singasari.
“Atas nama orang-orang Talang Amba, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya” berkata Ki Sanggarana.
“Segalanya memang sudah menjadi kewajiban kami,” jawab Mahisa Bungalan. Kemudian, “Akulah yang wajib mengucapkan terima kasih kepada para pengawal Gagelang yang tetap berpegang teguh kepada paugeran seorang prajurit. Tanpa mereka, maka kita tidak akan berhasil memaksa orang-orang Gagelang yang lain menyerah”
“Yang kami lakukan sama sekali tidak berarti” jawab Senapati Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba.
Demikianlah, maka keadaan di Talang Amba pun telah menjadi pasti. Juga Gagelang pun telah tersingkap, bahwa justru Akuwu Gagelang sendirilah yang telah membuat satu permainan yang sama sekali tidak menarik dan telah menjatuhkan korban yang tidak sedikit.
Namun dalam pada itu, maka Singasari harus mengarahkan perhatiannya kepada Kediri. Ada beberapa orang yang perlu mendapat perhatian secara khussus. Agaknya mereka adalah sekelompok pemimpin di Kediri yang tidak mau melihat kenyataan tentang hubungan antara Kediri dan Singasari. Mereka adalah orang-orang yang masih merindukan kebesaran Kediri sebagaimana sebelum dikalahkan oleh Tumapel, tanpa melihat satu kenyataan bahwa yang ada kemudian adalah satu kesatuan antara Kediri dan Singasari.
Demikianlah, saat-saat istirahat yang pendek itu ternyata cukup berarti bagi Mahisa Bungalan, Tubuhnya serasa menjadi segar setelah ia mendapat pengobatan yang baik. Luka-lukanya tidak lagi berdarah. Meskipun ia masih memerlukan beberapa hari untuk menyembunyikan seluruh luka-lukanya, namun luka-lukanya itu tidak menghalanginya untuk menyelenggarakan tugas-tugasnya
Di hari berikutnya, Mahisa Bungalan tatah bersiap bersama pasukan Singasari untuk pergi ke Gagelang, memenuhi permintaan Senepati Gagelang yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba, agar tidak terjadi salah paham dengan para pengawal yang tidak ikut pergi ke Talang Amba. Jika mereka menganggap bahwa Senopati yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba itu sebagai pengkhianat, maka persoalannya akan berkisar. Dan pasukan Gagelang itu sekali lagi akan saling bertempur diantara mereka.
Dalam pada itu, maka seluruh pasukan Singasari yang sedang berada di Talang Amba itu ternyata telah mengenakan pakaian keprajuritan mereka. Tidak sebagaimana mereka pakai pada saat mereka membaurkan diri dengan orang-orang Talang Amba.
Karena itu, maka pasukan Singasari yang meninggalkan Talang Amba itu telah berbaris dalam kelengkapan kebesaran sepasukan prajurit Singasari. Mahisa Bungalan dan kedua orang Senopati yang datang-bersamanya ke Talang Amba ikut pula dalam pasukan itu. Mahisa Bungalanlah yang akan memberikan penjelasan tentang keadaan yang telah berkembang di Talang Amba.
Namun dalam pada itu, sekelompok kecil pasukan Singasari telah ditinggalkan di Talang Amba untuk mengawasi para tawanan yang kelak akan dibawa ke Singasari. Para tawanan itu memang tidak akan dibawa ke Gagelang untuk menghindari perasaan yang kurang mapan, karena bagaimanapun juga orang-orang Gagelang akan mempunyai penilaian tersendiri Kepada sanak kanangnya. Para prajurit Singasari itu akan mendapat bantuan dari anak-anak muda Talang Amba dalam tugas mereka mengamati para tawanan. Sementara Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Ki Waruju tinggal pula untuk sementara di Talang Amba.
Demikianlah, maka iring-iringan pasukan Singasari dan Gagelang telah meninggalkan Talang Amba menuju ke Gagelang. Disepanjang perjalanan mereka, orang-orang menyaksikan dengan kagum. Tetapi terbersit juga berbagai pertanyaan di hati mereka. Ketika pasukan itu berangkat, maka yang mereka saksikan hanyalah pasukan Gagelang semata-mata dalam jumlah yang besar. Tetapi kini pasukan Gagelang itu menjadi jauh susut, sementara pasukan Singasari telah ikut pula dalam barisan itu.
Ketika pasukan itu kemudian mendekati Gagelang, maka Mahisa Bungalan menjadi sangat berhati-hati. Diletakkannya pasukan Gagelang diujung pasukan. Namun Mahisa Bungalan telah berpesan kepada Senopati yang memimpin pasukan Gagelang itu, agar tetap berhati-hati.
“Mungkin sudah ada berita yang mendahului kehadiran kita disini” berkata Mahisa Bungalan “mungkin berita itu benar, tetapi mungkin pula tidak. Karena itu kita harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang-mungkin dapat terjadi”
Senopati Gagelang itu menyadari. Pasukan Gagelang memang sudah terbagi, sementara mereka tidak tahu dengan pasti, apakah yang sebenarnya telah dilakukan oleh Akuwu. Sebagian dari para pengawal di Gagelang hanya berpegang kepada Kesetiaan saja Kepada Akuwu tanpa mengetahui persoalan besar yang sedang dihadapi oleh Gagelang dalam hubungannya dengan Kediri dan Singasari.
Tetapi untunglah, bahwa sebelum pasukan Gagelang berangkat. Senopati yang berpihak kepada orang-orang Gagelang itu telah meninggalkan beberapa orang petugas yang terpercaya untuk memberikan penjelasan tentang keadaan yang sebenarnya. Bahkan sebagian dari pengawal yang ditinggalkan itu telah tahu pasti apa yang akan dilakukan oleh Senopati Gagelang dan pasukannya untuk berpihak kepada orang-orang Talang Amba. Karena itulah agaknya, maka ketika Ki Waruju dan Ki Sanggarana keluar dari bilik tahanan mereka, seorang pengawal sama sekali tidak mengambil tindakan apapun juga.
Demikianlah, ketika pasukan Gagelang dan Singasari itu memasuki kota Gagelang, memang timbul ketegangan. Seorang Senopati yang diserahi tugas menjaga pusat kedudukan Pakuwon Gagelang itu ternyata telah bersiap-siap pula menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi. Ia memang sudah mendengar apa yang terjadi di medan. Tetapi Senopati itu masih belum jelas mendengar persoalan yang sebenarnya. Namun demikian kehadiran pasukan Singasari yang kuat itu memang harus mendapat pertimbangan sebaik-baiknya.
Karena itu, maka pasukan yang memasuki Gagelang itu harus berhenti sebelum mereka sampai ke alun-alun. Senopati yang menunggui kota itupun telah minta kepada pasukan yang datang itu untuk memberikan penjelasan.
Karena itulah, maka Mahisa Bungalan telah minta untuk berbicara. Dengan dihadiri oleh Senopati yang memimpin pasukan yang berpihak kepada orang-orang Talang Amba dan Senopati yang berada di kota Gagelang, maka Mahisa Bungalan pun memberikan penjelasan sesuai dengan kenyataan yang telah terjadi.
“Karena itu, maka aku telah mangambil satu sikap” berkata Mahisa Bungalan “atas nama kekuasaan yang dilimpahkan oleh pemimpin pemerintahan di Singasari. Maka aku telah menunjuk Senopati yang telah mengambil satu sikap yang tepat pada saat Akuwu Gagelang mengalami gangguan batin dalam tugasnya, yang sayang sekali harus ditebus dengan Jiwanya, untuk sementara memerintah Pakuwon ini. Pada saat yang pendek maka pimpinan pemerintahan di Singasari tentu akan segera menentukan langkah-langkah berikutnya“
Ternyata dengan penjelasan Mahisa Bungalan, maka tidak ada pihak yang masih ragu-ragu untuk menerima keadaan itu. Para Senopati dan pimpinan pemerintahan di Pakuwon Gagelang dapat mengerti dan memahami sikap Mahisa Bungalan itu. Meskipun untuk sementara pemerintahan di Gagelang akan merasa terguncang, tetapi lambat laun pemerintahan itu akan segera pulih kembali. Sementara itu Singasari akan dapat memberikan pengarahan dan petunjuk-petunjuk yang diperlukan.
Ternyata bahwa untuk satu dua hari Mahisa Bungalan masih harus berada di Gagelang untuk membantu Senopati yang akan memangku tugas Akuwu Gagelang. Dengan sisa tenaga yang ada, maka Gagelang harus melengkapi dirinya. Bagaimanapun juga Gagelang harus tetap menjaga diri dari kemungkinan-kemungkinan yang buruk yang dapat terjadi. Tidak mustahil bahwa ada pihak lain yang ingin mempergunakan keadaan yang parah itu untuk kepentingan diri sendiri. Bahkan mungkin akan dilakukan tindak kejahatan tanpa menghiraukan keadaan yang sesungguhnya terjadi di Gagelang yang diselubungi suasana prihatin.
Untuk menjaga segala kemungkinan, selagi mahisa Bungalan dan pasukannya masih ada di Gagelang, maka telah dipanggil anak-anak muda yang bersedia menjadi pengawal. Meskipun sebagian besar dari mereka masih belum memiliki bekal yang cukup, namun dengan bekerja keras, maka anak-anak muda itu akan segera dapat mengisi kekosongan, karena pengawal Gagelang yang ada telah jauh menjadi susut.
Sementara itu agaknya langkah lain telah diambil pula. Senopati yang memegang pimpinan untuk sementara di Gagelang telah setuju untuk memilih diantara para pengawal yang tertawan dan tidak menghukumnya dan bahkan mengembalikan mereka pada kedudukannya sebagai pengawal, karena yang telah mereka lakukan di Talang Amba sama sekali bukan karena kesadaran mereka untuk berbuat demikian.
Dalam pada itu. di Talang Amba pun telah terjadi kesibukan tersendiri. Ki Sanggarana yang sudah disetujui oleh beberapa pihak untuk menggantikan kedudukan Ki Buyut telah mengambil langkah langkah yang penting pula. Ki Sendawa yang semula menentangnya dan menginginkan kedudukan itu telah menyadari keadaannya dan bahkan membantu Ki Sanggarana menyelesaikan persoalan yang rumit, justru pada saat-saat Talang Amba memasuki satu masa yang menentukan untuk waktu yang panjang di hari depan.
"Kita harus mampu melupakan segala persoalan yang pernah tumbuh diantara kita” berkata Ki Sanggarana kepada anak-anak muda di Talang Amba. Diantara mereka terdapat anak-anak muda yang semula berpihak kepada Ki Sendawa dan yang lain berpihak kepada Ki Sanggarana. Lalu “Dihadapan kita terbentang tugas yang maha berat. Bukan saja mengatasi kesulitan batiniah yang tumbuh di hati kita masing-masing, tetapi kita harus meyakini, bahwa daerah ini telah menjadi sasaran tindakan yang licik. Kita harus selalu ingat tentang sikap Ki Sarpa Kuning yang ingin membenturkan kekuatan-kekuatan yang ada di Talang Amba ini untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Jika ia berhasil mendapatkan wewenang untuk menebang hutan di lereng bukit, maka ia tentu akan mendapatkan upah yang sangat besar. Sementara itu, dikemudian hari Talang Amba akan menjadi daerah yang kering dan gersang. Sementara banjir yang besar selalu melanda dan menghanyutkan tanah yang mengandung kesuburan di atas daerah Kabuyutan ini. Sehingga dengan demikian kehidupan kita akan menjadi semakin sulit”
Ki Waruju yang mendengar penjelasan itu menyambung “Jika hal seperti itu terjadi di banyak daerah di Singasari. maka seperti yang diharapkan oleh sementara orang yang tidak setuju dengan pemerintahan Singasari, maka daerah Singasari akan mengalami bencana dimasa mendatang”
Anak-anak muda Talang Amba itu mengagguk-angguk. Hutan di lereng bukit itu semakin menarik perhatian mereka justru setelah terjadi persoalan di dalam tubuh mereka sendiri. Hutan itu semula sama sekali tidak mereka hiraukan. Hutan itu ada di lereng bukit tanpa mereka kehendaki. Hutan itu begitu saja sudah ada disana. Bahkan umurnya jauh lebih tua dari umur mereka. Namun tiba tiba hutan itu telah menjadi pusat perhatian.
Demikianlah, justru karena keinginan mereka, untuk melihat hutan itu dari segala sisinya, maka pada hari berikutnya beberapa orang anak muda bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendaki lereng bukit dan memasuki hutan yang hijau lebat. Anak-anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Salah seorang diantara mereka berkata, "Inilah hutan itu”
“Ya” jawab yang lain “hutan yang bukan saja menjadi sasaran ketamakan Ki Sarpa Kuning. Tetapi karena kegagalannya, maka Akuwu di Gagelang telah mengambil alih persoalannya”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Hutan itu memang tidak memiliki hal-hal yang dapat menumbuhkan perhatian secara khusus. Hutan itu adalah satu daerah yang jarang dilalui dan bahkan tersentuh kaki manusia. Sehingga akhirnya hutan itu menjadi pusat perhatian manusia di sekitarnya
“Apa yang dapat kita lakukan dengan hutan ini?” bertanya salah seorang anak muda.
“Kita tak akan berbuat apa-apa” jawab Mahisa Murti “tetapi kita harus menyelamatkannya. Karena dengan demikian kita akan menyelamatkan diri kita sendiri dan keturunan kita”
Anak-anak muda itu memahaminya. Karena itu, tiba-tiba hutan itu menjadi sesuatu yang lain dari tanggapan mereka sebelumnya. Hutan yang hijau yang membentang di lereng bukit itu, rasa-rasanya menjadi sangat cantik. Udara di lembah itu terasa semakin segar. Tanah yang lembab di bawah pepohonan raksasa itu memberikan warna harapan bagi hijaunya sawah dibawah bukit.
Dengan demikian, maka anak-anak muda itupun tidak lagi menganggap hutan itu sebagai daerah yang tidak perlu mendapat perhatian. Jika mereka semula menganggap bahwa hutan itu tidak memberikan apapun juga kepada mereka, selain tempat untuk berburu binatang buas, maka kemudian merekapun merasa diri mereka menjadi akrab dengan hutan itu. Mereka mulai menyadari, bahwa air yang mengalir di kotak-kotak sawah mereka adalah air dari hutan itu. Sehingga dengan demikian, maka hutan itu pulalah yang telah memberikan makan dan minum bagi seisi Kabuyutan Talang Amba.
Dalam pada itu, maka kehidupan di Talang Ambapun telah menjadi wajar kembali. Tidak ada lagi bekas-bekas pertentangan yang telah terjadi diantara mereka. Tidak lagi terdapat bekas-bekas luka karena tingkah laku Ki Sarpa Kuning dan Akuwu dari Gagelang.
Sementara itu di Gugelangpun keadaan telah hampir pulih pula Meskipun masih ada beberapa orang yang ditawan, dan bahkan ada diantara mereka yang harus dibawa ke Singasari, namun persoalannya sudah dapat dimengerti oleh rakat Gagelang. Mereka telah mengetahui duduk persoalannya. Dan merekapun mengerti apa yang sebenarnya terjadi ala Akuwu di Gagelang yang sebelumnya mereka anggap sebagai orang yang paling baik yang mereka kenal.
Mahisa Bungalan yang telah menyelesaikan tugasnya di Talang Amba dan Gagelangpun telah kembali pula ke Singasari dengan membawa laporan yang terperinci tentang segala peristiwa yang telah terjadi. Namun untuk sementara Singasaripun tidak tergesa-gesa menetapkan seorang Akuwu yang baru. Senopati yang untuk sementara melakukan tugas-tugas seorang Akuwu itu akan diamati dengan seksama. Jika ia berhasil melakukannya dengan baik, maka Singasari menganggap bahwa tidak perlu mengangkat orang lain yang baru sama sekali bagi Pakuwon Gagelang.
Namun dalam pada itu, Singasari menganggap perlu untuk mengamati perkembangan Kediri untuk selanjutnya. Ternyata masih ada orang-orang Kediri yang menentang kekuasaan Singasari dan berusaha untuk menumbangkannya.
“Satu hal yang sulit untuk dihapuskan sama sekali” berkata Mahisa Agni pada satu saat ketika ia berbincang dengan Mahisa Bungalan, Witantra dan Mahendra.
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya “Para bangsawan di Kediri masih tetap mengenang masa jaya mereka. Pada suatu saat Kediri adalah satu Kerajaan yang besar. Mereka tentu tetap merasa berhak atas kekuasaan yang turun temurun. Ken Arok yang bergelar Sang Amurwabumi, menurut mereka, adalah orang yang sama sekali tidak berhak menurunkan kekuasaan bagi Tanah ini. Karena itu, usaha untuk melenyapkan Singasari itu masih akan berkepanjangan”
“Tetapi kita tidak berhasil mendapat keterangan tentang seorang Pangeran yang telah berada di Gagelang” berkata Witantra kemudian.
“Tidak seorangpun yang tahu dengan pasti. Pengawal Akuwu yang paling dipercaya itupun tidak mengenal nama yang sebenarnya dari Pangeran yang membayangi kekuasaan Akuwu di Gagelang itu. Di Gagelang Pangeran itu kadang-kadang berujud sebagai seorang juru taman, namun kadang-kadang seorang pengawal yang berpengaruh meskipun tidak memegang pasukan” berkata Mahisa Bungalan.
“Apakah pengawal yang terdekat dari Akuwu itu tidak mengetahuinya bahwa ia seorang pangeran?” bertanya Witantra.
“Nampaknya ia mengetahui. Dalam setiap pemeriksaan, iapun mengakui bahwa ia mengetahui tentang Pangeran itu. Tetapi nama yang dikenalnya tidak diyakininya bahwa nama itu adalah nama Pangeran itu yang sebenarnya. Karena ternyata nama yang disebutkan itu memang tidak ada di dalam urutan nama para Pangeran di Kediri sekarang ini” jawab Mahisa Bungalan.
Witantra mengangguk-angguk. Agaknya yang mengetahui tentang Pangeran itu sepenuhnya hanyalah Akuwu di Gagelang yang telah terbunuh. Bagaimanapun juga Mahisa Bungalan berusaha untuk menangkapnya hidup-hidup adalah sia-sia. Bahkan Mahisa Bungalan sendirilah yang justru hampir tidak dapat meninggalkan arena pertempuran itu
Namun dalam pada itu, maka Singasari pun telah mengambil satu keputusan untuk menelusuri sikap Pangeran dari Kediri yang membahayakan perkembangan Singasari dan Kediri itu sendiri.
“Yang satu dapat diselesaikan, tumbuh pula yang lain” desis Mahisa Bungalan.
“Ya. Banyak alasan yang dapat mendorong para bangsawan di Kediri untuk melakukan hal seperti ini. Tetapi nampaknya yang dilakukan sekarang ini lebih teratur dengan rencana-rencana yang diperhitungkan. Persoalannya benar-benar menyangkut hubungan antara Kediri dan Singasari. Bukan sekedar persoalan pribadi yang disangkutkan kepada persoalan yang pada dasarnya memang ada antara Kediri dan Singasari seperti yang pernah terjadi” berkata Mahisa Agni.
"Karena itu, kitapun harus lebih berhati-hati untuk menanggapi persoalan ini” berkata Witantra “dalam hubungan ini Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus mendapatkan penjelasan, sehingga jika sesuatu harus dihadapinya, mereka sudah bersiap secara jiwani”
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia menyadari, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sedang menyelesuri lembah dan lereng pegunungan dalam pengembaraannya, akan dapat terjerumus kedalam persoalan yang rumit tentang gejolak yang terjadi diantara beberapa bangsawan Kediri.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk sementara masih tetap berada di Talang Amba. Bagaimanapun juga, orang-orang Talang Amba menganggap, bahwa persoalan yang serupa masih akan dapat terjadi. Meskipun orang-orang Talang Amba sendiri sudah menyadari betapa pentingnya hutan di lereng pegunungan, serta kesadaran mereka untuk tidak mudah diadu domba, namun orang-orang yang menghendaki lereng gunung itu menjadi gundul, akan dapat mengambil seribu macam cara. Mereka pada akhirnya akan dapat mempergunakan kekerasan.
“Mungkin sekali bahwa sekelompok orang-orang yang garang akan datang menebang pepohonan di hutan itu. Disetujui atau tidak disetujui oleh orang-orang Talang Amba” berkata Ki Sendawa.
“Jika keadaan memaksa, kita dapat memohon bantuan kepada para pemimpin yang sekarang berkuasa di Gagelang” sahut Mahisa Murti.
“Tetapi seperti kita ketahui, Gagelang pun baru membentuk diri” berkata Ki Sanggarana “sekarang Gagelang sedang memanggil anak-anak muda itu menjadi pengawal. Tetapi mereka tentu memerlukan waktu yang lama untuk menempa diri sehingga menjadi seorang pengawal yang sebenarnya”
“Tetapi kekuatan Gagelang sekarang tidak dalam keadaan lumpuh seluruhnya” berkata Mahisa Pukat “dalam keadaan tertentu Gagelang masih akan mampu bertindak. Beberapa orang Senopati dari Singasari masih berada di Gagelang untuk membantu memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda yang menyatakan diri mereka menjadi pengawal. Dengan demikian, maka jika diperlukan sekali, maka Gagelang tentu akan mampu bertindak. Sementara para pengawal yang lama masih pula cukup jumlahnya”
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian “Aku mengerti. Tetapi yang dimaksud oleh paman Sendawa, hendaknya Talang Amba juga mempunyai kekuatan sendiri betapapun kecilnya untuk menjaga agar orang lain tidak dapat berbuat sewenang-wenang. Sebelum kita sempat mendatangkan bantuan dari Gagelang, maka kita akan dapat berbuat sesuatu sambil menunggu. Namun dengan demikian, maka Kabuyutan ini tidak akan dapat dianggap tidak memiliki kekuatan sama sekali”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya “Bagus. Aku mengerti maksud kalian. Bukankah dengan demikian kalian ingin membentuk satu pasukan yang ujud di dalam lingkungan Kabuyutan Talang Amba?“
“Ya. Sementara ini kita menggantungkan diri kepada kerelaan anak-anak muda untuk berbuat sesuatu. Meskipun hal itu telah terbukti banyak manfaatnya, namun alangkah baiknya jika kita memiliki apa yang disebut sepasukan pengawal. Meskipun dengan demikian bukan berarti bahwa kita sama sekali tidak memerlukan lagi kekuatan diluar pasukan pengawal itu. Pasukan pengawal sekedar penggerak utama. Selanjutnya akan tergantung kepada anak-anak muda seluruhnya” sahut Ki Sanggarana.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa bersama Mahisa Pukat, mereka akan diminta untuk memberikan sedikit tuntunan bagi anak-anak muda yang akan disebut dengan pasukan pengawal Kabuyutan itu.
“Tetapi disini ada Ki Waruju” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya, sehingga dengan demikian maka tugasnya akan lebih ringan, karena Ki Waruju tentu akan mampu melakukan lebih banyak hal daripada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Karena itu anak muda“ Ki Sanggarana melanjutkan “kami akan minta kalian berdua untuk tetap tinggal. Setidak-tidaknya untuk beberapa saat lamanya. Kami sangat memerlukan bimbingan kalian untuk membentuk satu pasukan yang akan mampu berbuat sesuatu sebelum kami sempat mohon bantuan ke Gagelang”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun sambil memandang Ki Waruju Mahisa Murti berkata “Ki Sanggarana kami tidak akan berkeberatan. Tetapi disini ada Ki Waruju dan seorang murid Ki Sarpa Kuning yang telah memilih jalan yang benar dalam sisa hidupnya yang masih panjang”
Ki Sanggarana memandang kearah Ki Waruju yang duduk termangu-mangu. Namun katanya kemudian “Sebenarnyalah kami akan memohon kepada Ki Waruju. Tetapi kami tidak akan dapat menyatakannya dengan terbuka sebagaimana kami menyatakan kepada kedua anak muda yang sebaya dengan anak-anak muda yang akan menjadi pasukan pengawal di Kabuyutan Talang Amba. Sebenarnyalah kami merasa sangat segan. Apakah kami berhak untuk memohon kepadanya”
Mahisa Murti tersenyum. Bahkan Ki Waruju pun tersenyum pula sementara Mahisa Pukat melanjutkan. "Bukankah demikian Ki Waruju. Aku berharap bahwa Ki Waruju tidak berkeberatan. Aku dan Mahisa Murti akan membantu sejauh kami lakukan”
Ki Waruju justru tertawa. Katanya “Jadi Mahisa Pukat minta kepadaku atas nama orang-orang Talang Amba?“
“Ya” jawab Mahisa Pukat “Karena orang-orang Talang Amba tidak berani menyatakannya secara langsung”
Ki Waruju masih tertawa. Katanya “Baiklah. Aku tidak berkeberatan. Tetapi aku minta, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat membantuku disini”
“Aku hanya akan mengawani saja disini” jawab Mahisa Pukat sambil tersenyum pula.
“Terima kasih Ki Waruju” sahut Ki Sanggarana “sebenarnyalah aku memang sangat mengharapkan. Mudah-mudahan dengan demikian. Kabuyutan ini bukannya sekedar Kabuyutan yang tidak mempunyai arti sama sekali, karena tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk melindungi diri sendiri”
Ki Waruju menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia melihat kemauan yang menyala di hati orang-orang Talang Amba untuk memiliki satu kemampuan melindungi diri mereka sendiri. Hutan di lereng bukit itu nampaknya menarik perhatian orang-orang tertentu, bukan untuk dipelihara, tetapi untuk dimusnahkan, karena hutan itu ternyata merupakan sumber kesuburan dari lembah di sekitarnya. Bukan saja Kabuyutan Talang Amba yang memiliki daerah di lereng bukit berhutan itu, tetapi untuk daerah yang lebih luas. Beberapa Kabuyutan disekitar Kabuyutan Talang Amba juga menggantungkan air bagi sawah dan pategalannya dari sungai-sungai yang bermata air di lereng pegunungan itu.
Karena itu, maka Ki Waruju itupun kemudian berkata “Kemauan yang kuat yang membayang di wajah-wajah orang-orang Talang Amba memang memberikan kepastian, bahwa kalian akan bersungguh-sungguh. Jika demikian, maka kita akan segera mulai. Aku dan barangkali juga angger Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak akan terlalu lama berada di Kabuyutan ini”
“Kalian akan menunggu sampai hari wisuda” berkata Ki Sendawa.
Tetapi Ki Waruju menjawab “Kapan hari wisuda itu diadakan. Sementara itu, Akuwu di Gagelang yang akan mewisuda itupun masih belum ditentukan”
“Tidak akan menjadi soal” jawab Ki Sendawa “sebab orang yang mendapat wewenang melakukan tugas Akuwu itupun berhak melakukannya atas ijin Singasari. Karena itu. sebaiknya kalian menunggu hari itu. Jika kalian bersedia, hal itu akan berarti satu kenormatan yang tidak terhingga bagi kami. Apalagi jika angger Mahisa Bungalan itu bersedia pula hadir bersama para Senopati prajurit Singasari itu”
“Aku belum dapat mengatakan apa-apa, Ki Sendawa” jawab Ki Waruju “tetapi sebaiknya kita segera saja mulai. Jika hari wisuda itu tidak terlalu lama, maka kami tentu masih ada disini. Tetapi jika hari wisuda itu masih terlalu lama, maka kami tentu saja tidak akan dapat menunggu”
“Baiklah” jawab Ki Sendawa “Yang penting bagi kami, kesediaan Ki Waruju untuk menempa anak-anak kami, sehingga dengan demikian Kabuyutan ini akan mendapat penilaian yang lain dari keadaan masa lampau yang suram itu”
Demikianlah, maka di hari-hari berikutnya, anak-anak muda Talang Amba telah dipersiapkan untuk mendapat tuntutan oiah kanuragan. Mereka menyadari, bahwa hutan di lereng bukit itu adalah sesuatu yang sangat berharga, yang memerlukan pengawalan yang sebaik-baiknya. Kemungkinan masih ada, bahwa ada pihak yang ingin memusnahkannya. Jika perlu bahkan mungkin akan dilakukan dengan kekerasan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun ternyatj kemudian telah bekerja keras pula untuk kepentingan anak-anak muda Talang Amba. Seperti yang dilakukan oleh Ki Waruju, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bekerja keras sebagaimana anak-anak muda talang Amba.
Pada saat yang demikian, maka di Gagelangpun telah dilakukan latihan-latihan yang keras. Anak-anak muda yang memenuhi panggilan pan pemimpin Pakuwon Gagelang untuk menjadi pasukan pengawal telah mengikuti latihan-latihan yang berat. Beberapa orang Senopati dari Singasari telah berada di Gagelang, membantu para Senopati yang masih ada di Gagelang untuk membentuk satu pasukan yang memadai di Gagelang.
Meskipun sebagian dari pasukan Gagelang yang ditangkap telah dibebaskan dan dikembalikan ke kesatuannya, namun Gagelang masih memerlukan pasukan yang lebih kuat untuk menjaga segala kemungkinan yang dapat terjadi. Seperti Talang Amba, maka para pemimpin yang melakukan tugas di Gagelang, merasa perlu untuk menyusun pasukan yang kuat. Tidak mustahil bahwa Pangeran yang semula membayangi kekuasaan Akuwu di Gagelang itu telah mengambil satu sikap yang keras bagi Gagelang.
Anak-anak muda yang menyatakan dirinya menjadi pasukan pengawal di Gagelang telah dibagi dalam kelompok-kelompok yang kecil untuk mendapat latihan yang lebih terperinci. Mereka mendapatkan latihan-latihan perang gelar dan kemampuan secara pribadi. Agar mereka tidak tertinggal oleh perkembangan kemungkinan yang tidak dikehendaki, maka anak-anak muda yang memasuki lingkungan pasukan pengawal itu harus bekerja keras.
Hampir tidak ada kesempatan baei anak-anak muda itu untuk beristirahat. Di siang hari mereka berlatih olah kanuragan dan perang gelar, sedangkan dimalam hari mereka berlatih untuk mempertajam panca indera mereka, terutama indera penglihatan dan pendengaran. Perang dalam kegelapan merupakan acara latihan yanp memerlukan ketekunan dan ketabahan hati. Tetapi ternyata anak-anak muda di Talang Amba bekerja keras pula sebagaimana dilakukan oleh anak-anak muda yang memasuki pasukan pengawal di Gagelang.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menempa anak-anak muda itu dengan cara mereka, Anak-anak muda itu telah mendapat latihan siang dan malam pula. Bahkan kadang-kadang membuat anak-anak muda Talang Amba mengeluh kelelahan. Tetapi oleh tekad yang menyala di dalam hati, maka anak-anak muda itu tidak melangkah surut.
Namun Ki Waruju lah yang memberikan beberapa petunjuk kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa anak-anak muda yang sedang berlatih itu bukan sebagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri.
“Mereka adalah anak-anak muda yang baru mulai” berkata Ki Waruju “Karena itu, cara yang kalian pergunakan agaknya terlalu berat bagi mereka. Cobalah menyesuaikan diri dengan kemungkinan yang ada pada diri anak-anak muda itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akhirnya mengerti juga maksud Ki Waruju. Mereka kemudian menyadari, bahwa anak-anak muda Talang Amba itu belum memiliki kesiapan sebagaimana mereka berdua. Dengan demikian, maka merekapun mulai mencari kemungkinan yang lebih baik bagi anak-anak muda Talang Amba itu.
“Kami ingin meningkatkan kemampuan mereka secepat-cepatnya” berkata Mahisa Murti kepada Ki Waruju. Lalu “Mungkin kami tidak akan dapat terlalu lama tinggal di Kabuyutan ini. Bukankah kami meninggalkan rumah kami untuk satu pengembaraan, agar kami mendapatkan pengalaman yang cukup dihari-hari mendatang. Namun ternyata bahwa cara yang demikian itu kurang menguntungkan bagi anak-anak muda Talang Amba sebagaimana yang Ki Waruju katakan”
“Jangan tergesa-gesa. Jika kalian berada disini, itupun merupakan satu pengalaman yang baik bagi pengembaraan kalian. Kalian akan melihat perkembangan dari sekelompok anak-anak muda yang merasa dirinya bertanggung jawab bagi masa depan. Bukan masa depan mereka sendiri, tetapi masa depan kampung halamannya” jawab Ki Waruju.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya untuk menetap disatu tempat terlalu lama, mereka seakan-akan telah kehilangan waktu. Namun mereka ternyata berniat juga untuk memenuhi permintaan Ki Waruju. Apalagi karena kemudian Ki Waruju sendiri telah ikut pula menangani anak-anak muda Talang Amba sebagaimana pernah disanggupkannya.
Anak-anak muda Talang Amba telah dibagi dalam kelompok-kelompok kecil untuk berlatih siang malam kecuali untuk kepentingan tertentu. Namun mereka justru telah dibagi dalam kesempatan yang berbeda-beda agar waktu mereka tidak seluruhnya dirampas untuk meningkatkan kemampuan mereka. Dengan pembagian waktu yang sebaik-baiknya, seorang anak muda masih sempat pergi ke sawah dan ladangnya untuk membantu memelihara tanaman dan mengatur air.
Dengan tertib Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Ki Waruju telah membagi bukan saja waktu tetapi juga unsur-unsur yang mereka berikan kepada anak-anak muda Talang Amba itu. Ki Waruju telah mendapat bagian untuk memberikan kemampuan kanuragan secara pribadi. Anak-anak muda Talang Amba telah mendapat petunjuk, bagaimana mereka harus membela diri dalam keadaan tertentu dengan atau tidak dengan senjata.
Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapat tugas untuk mengajari anak-anak Talang Amba mempergunakan segala macam senjata. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membagi diri pula dalam tugas mereka. Mahisa Murti mengajari anak-anak muda Talang Amba mempergunakan senjata bertangkai panjang, sementara Mahisa Pukat mengajari anak-anak muda Talang Amba mempergunakan senjata yang lebih pendek.
Jika Mahisa Murti mengajari anak-anak muda itu mempergunakan tombak, trisula bertangkai panjang, canggah dan bahkan senjata lontar, maka Mahisa Pukat mengajari anak-anak muda itu mempergunakan pedang, trisula bertangkai pendek, luwuk, bindi dan sebagainya.
Anak-anak muda Talang Amba dapat memilih, yang manakah yang paling sesuai dengan anak-anak muda itu masing-masing. Namun secara umum mereka harus menguasai segala macam senjata yang dapat mereka ketemukan. Karena itu, maka secara umum mereka bergantian mendapat tuntunan dari Ki Waruju, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun mereka yang condong mempergunakan senjata bertangkai panjang, akan lebih banyak berhubungan dengan Mahisa Murti, sementara yang lebih mantap mempergunakan senjata pendek, akan lebih sering berhubungan dengan Mahisa Pukat.
Dengan demikian, maka ternyata anak-anak muda Talang Amba itupun setingkat demi setingkat telah menjadi semakin mapan dalam olah kanuragan. Meskipun apa yang mereka pelajari itu baru sekedar ilmu yang masih mendasar sekali, namun ilmu itu akan dapat bermanfaat bagi mereka.
“Hutan di lereng bukit itu memerlukan pengawal yang tangguh“ berkata Ki Waruju kepada anak-anak muda itu “pada satu saat mungkin akan datang sekelompok orang yang dengan tanpa menghiraukan kewenangan Buyut di Talang Amba, langsung saja merusak hutan itu, karena mereka merasa memiliki kekuatan. Nah, pada saat yang demikian, maka kalian mendapat tantangan yang harus mampu kalian jawab”
Anak-anak muda Talang Amba itu mengangguk-angguk. Hal itu tidak mustahil terjadi. Pengalaman mereka telah mengatakan, bahwa hutan di lereng bukit itu memang menjadi sasaran sebagaimana telah terjadi di beberapa tempat yang lain.
“Kalian memang dapat memohon perlindungan dari Akuwu di Gagelang, tetapi sebelum perlindungan itu datang, kalian harus melindungi diri kalian sendiri” berkata Ki Waruju lebih lanjut. Lalu “Apalagi kini Gagelang pun baru membentuk dirinya setelah tubuh Pakuwon itu dikoyak-koyak oleh Akuwu Gagelang itu sendiri”
Anak-anak muda Talang Amba menjadi semakin mantap dan merasa bertanggung jawab sepenuhnya. Merekapun mengerti, apa yang telah terjadi di Gagelang. Gagelang memang baru memperkuat dirinya dengan pasukan yang baru dibentuknya.
Yang terjadi di Gagelang memang satu kesibukan yang tinggi. Tetapi berbeda dengan anak-anak muda Talang Amba. Mereka yang menyatakan diri menjadi pengawal di Gagelang, telah menyerahkan segala waktu dan kesempatannya untuk dipersiapkan menjadi pengawal seutuhnya, sehingga dengan demikian mereka mendapat kesempatan untuk menempa diri lebih baik dari anak-anak Talang Amba. Namun demikian, kemajuan anak-anak muda Talang Amba juga tidak mengecewakan.
Dalam pada itu, sebenarnyalah yang dicemaskan oleh orang-orang Gagelang dan orang-orang Talang Amba. Pada saat yang demikian. Pangeran Lembu Sapdata dari Kediri yang merasa terpukul oleh peristiwa di Talang Amba itu, tidak dapat melupakan peristiwa itu begitu saja. Ketika ia melarikan diri dari medan di Talang Amba, rasa-rasanya jantungnya telah terbakar oleh dendam.
Pengkhianatan dari sebagian pengawal di Gagelang terhadap Akuwu dan rencananya, telah membuat Pangeran itu berniat untuk menghancurkan Gagelang dan sekaligus Talang Amba dan hutan di lereng bukit itu. Tetapi Pangeran Lembu Sapdata tidak dapat dengan tergesa-gesa melepaskan dendamnya. Ia memerlukan kekuatan dan sekaligus mengamati apa yang telah terjadi di Gagelang dan Talang Amba.
“Semakin lama mereka akan menjadi semakin kuat” berkata Pangeran Lembu Sapdata kepada beberapa orang saudara-saudaranya yang mempunyai pendirian yang sama “menurut beberapa orang pengamat yang aku perintahkan untuk melihat-lihat perkembangan keadaan di Gagelang dan Talang Amba. Mereka memberikan beberapa keterangan tentang usaha Gagelang untuk memulihkan kekuatannya. Beberapa bagian dari para pengawal yang telah membantu usaha Akuwu di Gagelang, telah ditangkap dan dibawa ke Singasari. Sebagian dari mereka mendapat kesempatan untuk kembali kedalam lingkungan pasukan pengawal. Namun ternyata bahwa kekuatan Gagelang telah jauh susut. Untuk memenuhi kebutuhan, Gagelang telah memanggil anak-anak muda untuk dilatih menjadi pengawal. Tetapi sudah tentu, bahwa mereka membutuhkan waktu untuk menempa anak-anak muda itu sehingga mereka benar-benar menjadi seorang pengawal yang cukup”
“Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu?” bertanya saudara-saudaranya.
“Mumpung kekuatan itu belum pulih kembali” jawab Pangeran Lembu Sapdata.
“Apakah tidak ada kekuatan Singasari yang berada di Gagelang?” bertanya salah seorang saudaranya.
“Tidak ada. Yang ada hanya beberapa orang Senopati Singasari yang membantu para pemimpin pengawal yang tersisa untuk melatih anak-anak muda yang memasuki kesatuan pengawal yang baru dibentuk” jawab Pangeran Lembu Sapdata.
Saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Salah seorang diantara mereka kemudian bertanya “Bagaimana dengan orang-orang Talang Amba?“
“Menurut laporan, nampaknya Talang Ambapun telah bersiap-siap. Tetapi aku tidak mempertimbangkannya dengan sungguh-sungguh. Apa yang dapat dilakukan oleh orang-orang Talang Amba? Jika pasukan Gagelang pada saat menyerang Talang Amba dapat dihalau, ternyata sama sekali bukan karena kemampuan orang-orang Talang Amba. Ketajaman penglihatan para pemimpin Singasari ternyata dapat membuat perhitungan yang tepat, sehingga mereka dapat memperdayakan orang-orang Gagelang. Seolah-olah mereka telah melawan kekuatan Gagelang yang tidak tertembus. Tetapi kemudian dapat aku Ketahui bahwa yang ada di Talang Amba waktu itu adalah prajurit-prajurit Singasari”
Saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Merekapun telah mendengar sebelumnya apa yang telah terjadi di Gagelang. Namun merekapun sependapat, bahwa mereka tidak boleh menunggu pasukan pengawal Gagelang menjadi semakin kuat.
“Kita memang dapat melakukan dengan segera” berkata salah seorang saudaranya “bagi kita yang penting bukan lagi hutan di lereng bukit itu. Tetapi harga diri kami yang tersinggung karena kegagalan itu. Meskipun Singasari tidak akan mudah menelusuri, siapakah yang sebenarnya berada di belakang Akuwu Gagelang waktu itu, namun kegagalan itu rasa-rasanya telah menusuk hati kami”
“Tidak ada yang mengetahui, siapakah sebenarnya aku” berkata Pangeran Lembu Sapdata “kecuali Akuwu di Gagelang yang terbunuh itu. Dengan demikian, maka sepeninggal Akuwu. Aku tidak merasa cemas sama sekali, bahwa orang-orang Singasari akan dapat menelusuri siapakah sebenarnya yang telah mendorong Gagelang melawan kekuatan Singasari”
“Tetapi Singasari akan dapat melakukan satu langkah yang kasar terhadap Kediri” berkata saudaranya yang bertubuh tinggi.
“Kasar bagaimana?” bertanya Pangeran Lembu Sapdata.
“Orang-orang yang mengenalmu di Gagelang dapat dihadapkan kepada semua orang yang dicurigai di Kediri. Bahkan semua Pangeran di Kediri dapat dipanggil untuk dikenali seorang demi seorang”
“Tentu tidak” jawab Lembu Sapdata “itu tidak mungkin dilakukan. Tetapi jika demikian, agaknya akan lebih baik. Saudara-saudara kita yang selama ini tertidur dan tidak menghiraukan lagi hubungan antara Singasari dan Kediri, tentu akan terbangun. Mereka akan merasa, betapa sakitnya menjadi orang yang berada dibawah kekuasaan orang lain”
Saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Pendapat Lembu Sapdata itu memang masuk akal. Agaknya Singasari memang tidak akan berani mengambil langkah yang demikian.
Dalam pada itu Pangeran Lembu Sapdatapun berkata selanjutnya “Namun dalam pada itu, tanpa orang lain, kita akan berjalan terus. Rencana jangka panjang itu harus dilakukan, sehingga pada satu saat, Singasari menjadi lemah, sementara kita disini benar-benar telah terbangun untuk mengambil langkah yang lebih baik, sehingga akhirnya Kediri akan bangkit sebagaimana seharusnya satu negara yang besar”
“Kita harus membuat pertimbangan-pertimbangan yang cermat sebelum kita melangkah. Kegagalan di Talang Amba itu merupakan satu pengalaman yang sangat berarti bagi kita”
Tetapi sementara mereka berbincang tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat mereka lakukan untuk memperlemah Singasari, tiba-tiba saja Pangeran Lembu Sabdata berkata “Tetapi sebenarnya hubungan dengan Gagelang dan Talang Amba telah dipengaruhi oleh persoalan lain”
“Persoalan apa?” bertanya salah seorang diantar Saudara-saudaranya.
“Harga diri” jawab Pangeran Sabdata “rasa-rasanya aku telah dibebani oleh perasaan dendam terhadap orang-orang Talang Amba dan orang-orang Gagelang. Terutama mereka yang telah membuat segala rencana ini menjadi gagal. Jika semua orang Gagelang saat itu patuh kepada Akuwu, maka, aku kira Gagelang akan dapat mengalahkan orang-orang Singasari yang berada diantara orang-orang Talang Amba”
“Kita akan membuat perhitungan. Tetapi kita memang harus membuat perhitungan yang cermat” jawab salah seorang diantara para Pangeran yang sedang berbincang itu.
“Kau benar” jawab Lembu Sabdata “tetapi seperti aku katakan. Talang Amba bukan apa-apa. Karena itu, rasa-rasanya aku ingin kembali ke Talang Amba. Aku ingin menghancurkan hutan itu. Aku ingin mengambil jalan yang lebih dekat untuk memusnakan hutan itu”
“Bagaimana?” bertanya salah seorang saudaranya.
“Jika kita menebangi hutan selama ini, maka persoalannya karena kita tidak ingin menarik perhatian Singasari. Dengan diam-diam kita memusnakan hutan-hutan yang ada di lereng-lereng pegunungan. Namun sebenarnya kita dapat mengambil jalan yang lebih dekat” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
“Apakah kau dapat menyebut cara itu?” bertanya yang lain.
“Kita dapat membakar hutan itu” jawab Pangeran Lembu Sabdata “apalagi dengan dendam yang menyala di hati. Hutan di lereng bukit itu akan musnah menjadi debu”
“Tetapi sekali lagi aku peringatkan” berkata seorang Pangeran yang lain “dengan demikian, maka Singasari akan semakin tertarik dan mungkin Singasari akan berbuat jauh lebih banyak dari yang dilakukannya sekarang”
Pangeran Lembu Sabdata termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Talang Amba memang sudah menjadi daerah pengamatan Singasari. Tetapi Singasari tidak menempatkan pasukannya di Talang Amba dan di Gagelang. Mungkin Singasari merasa bahwa pasukan Gagelang yang disusun demikian kuatnya, sehingga akan dapat mengatasi segala kesulitan yang dapat timbul”
“Apakah itu bukan sekedar gelar ujud lahiriahnya saja?” sahut saudaranya yang bertubuh tinggi “Kau akan dapat terjebak lagi. Anak-anak muda yang dilatih di Gagelang itu sebenarnya adalah prajurit-prajurit Singasari dalam ujud samarannya sebagaimana mereka berada di Talang Amba."
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata menggeleng, jawabnya “Kali ini aku tidak akan terjebak. Aku telah meletakkan beberapa orang kepercayaanku untuk mengamati keadaan di Gagelang. Orang-orangku melihat anak-anak muda itu datang dari beberapa sudut kota Gagelang. Mereka melihat, bagaimana para Senapati di Gagelang mengadakan pendadaran. Dan merekapun melihat kelompok-kelompok itu mulai berlatih. Diantara para pelatih memang terdapat beberapa orang yang dikirim oleh Singasari”
Seorang Pangeran yang bertubuh gemuk berkata “Kita jangan terpancing oleh persoalan-persoalan kecil seperti itu. Dendam dan kebencian harus kita singkirkan, agar dengan demikian rencana kita dalam keseluruhan akan dapat kita laksanakan”
“Tetapi yang akan aku lakukan sejalan dengan rencana itu dalam keseluruhan” jawab. Pangeran Lembu Sabdata “Aku sudah membayangkan satu pembalasan yang menyenangkan. Bukan saja hutan di lereng bukit yang akan menjadi abu, tetapi beberapa padukuhan di Talang Amba. Terutama padukuhan-padukuhan yang telah dipergunakan oleh orang-orang Talang Amba dan orang-orang Singasari menggagalkan rencanaku di Talang Amba itu. Bahkan dengan demikian, maka yang nampak lebih jelas adalah justru unsur balas dendamku kepada orang-orang Talang Amba daripada pembakaran hutan itu sendiri”
Saudara-saudaranyapun kemudian mengangguk-angguk. Agaknya mereka memang tidak akan mungkin menenangkan hati Pangeran Lembu Sabdata. Apalagi nampaknya hatinya tidak sekedar panas dibakar oleh dendamnya. Tetapi ia masih juga memperhitungkan segala macam hubungan dengan rencana besar sebagian para bangsawan di Kediri yang menjadi jemu berada dibawah pemerintahan Singasari.
“Segalanya masih mungkin dilakukan” berkata seorang Pangeran yang rambutnya mulai beruban “tetapi jangan terlalu tergesa-gesa. Perhitungan yang cermat akan dapat banyak menolong kita dari kesulitan-kesulitan yang mungkin terjadi”
“Aku mengerti” jawab Pangeran Lembu Sabdata “Akupun tidak menjadi mata gelap. Tetapi aku masih dapat berpikir dengan tenang meskipun dendamku menyala di dalam dadaku”
“Sukurlah” jawab yang lain “buatlah rencana yang masak. Kita masih akan membicarakannya sekali lagi sebelum kau dapat bertindak. Kami merasa wajib untuk ikut mencampuri rencanamu, karena langkah yang kau ambil akan dapat menyagkut kami semuanya”
“Ya“ sambung Pangeran yang sudah mulai berubah “Kita akan membantu. Tetapi dengan sangat hati-hati”
Pangeran Lembu Sabdata menarik nafas dalam-dalam. Ternyata saudara-saudaranya menjadi semakin berhati-hati. Tetapi ia yakin bahwa saudara-saudaranya tidak akan membiarkannya berbuat sendiri di Talang Amba yang telah menyakiti hatinya sehingga dendam telah menyala di hatinya itu.
Namun bagi Pangeran Lembu Sapdata, Talang Amba memang bukan apa-apa. Ia akan dapat dengan mudah memaksa Talang Amba menyerah dan membiarkannya membuat gunung itu menjadi gundul. Bahkan orang-orang Talang Amba tidak akan mampu mencegahnya membuat Kabuyutan Talang Amba itu sendiri menjadi karang abang.
Perhatian Pangeran Lembu Sapdata lebih banyak ditujukan kepada Gagelang. Namun ia akan dapat bertindak cepat. Menghancurkan Talang Amba sebelum Gagelang sempat berbuat sesuatu. Bahkan kemudian dengan bantuan saudara-saudaranya, maka Gagelang itupun akan dihancurkannya juga, karena Gagelang telah mengkhianatinya.
Yang harus diperhatikan oleh Pangeran Lembu Sapdata itu adalah campur tangan pasukan Singasari dengan cara sebagaimana telah dilakukan di Talang Amba. Karena itu, maka orang-orangnya harus benar-benar mengamati apakah di Talang Amba hadir orang-orang yang pantas dicurigai. Sebenarnyalah tidak ada kekuatan Singasari yang berada di Talang Amba. Namun satu kesalahan bagi Pangeran Lembu Sapdata, bahwa ia tidak memperhitungkan usaha orang-orang Talang Amba untuk menempa diri.
“Latihan-latihan itu diadakan setiap saat. Setiap kali anak-anak muda Talang Amba mempunyai waktu setelah mereka bekerja di sawah” berkata salah seorang yang mengamati Kabuyutan Talang Amba itu.
“Apa yang dapat mereka lakukan. Latihan-latihan yang mereka lakukan tidak akan banyak membawa hasil. Sementara di Gagelang, yang memiliki Senopati-senopati terlatih, masih harus dibantu oleh para Senopati dari Singasari. Apalagi Talang Amba yang tidak mempunyai pelatih yang berbobot” jawab Pangeran Lembu Sapdata.
“Ada dua orang anak muda disana” jawab orang yang mengamati keadaan “merekalah yang memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda Talang Amba itu. Agaknya keduanya juga mempunyai ilmu yang pantas untuk diperhatikan”
“Apakah latihan-latihan orang Talang Amba seberat orang-orang Gagelang?” bertanya Pangeran Lembu Sapdata.
“Ah, tentu tidak Pangeran. Tidak ada seperlimanya. Anak-anak muda Talang Amba hanya melakukannya jika mereka sempat. Setelah mereka bekerja di sawah dan di ladang” jawab orang-orang kepercayaannya.
Pangeran Lembu Sapdata mengangguk-angguk. Katanya “jika demikian, maka perkembangan ilmu orang-orang Talang Amba itu benar-benar tidak berarti. Karena itu, kau dan kawan-kawanmu harus benar-benar mengamati agar Talang Amba tidak disisipi oleh orang-orang Singasari atau orang-orang Gagelang yang mungkin telah memperhitungkan dendam yang mungkin akan membakar Kabuyutan mereka”
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa orang-orang Talang Amba telah bekerja jauh lebih keras dari yang diperkirakan. Sejak Mahisa Murti dan Manisa Pukat memasuki Kabuyutan itu, maka mereka sudah melihat gejolak perasaan orang-orang Talang Amba. Meskipun saat itu telah terjadi benturan diantara mereka sendiri, tetapi orang-orang Talang Amba, terutama anak-anak mudanya telah bersiap-siap menghadapi kekerasan. Mereka telah menyiapkan senjata yang akan dapat mereka pergunakan untuk membela diri. Meskipun senjata itu adalah senjata yang sederhana saja, namun dengan senjata itu seseorang memang akan dapat melumpuhkan lawannya.
Hampir setiap pande besi yang ada di Talang Amba telah membuat senjata. Pedang, tombak dan senjata-senjata lain yang akan dapat berarti bagi anak-anak muda. Meskipun pada saat itu orang-orang Talang Amba termasuk anak-anak mudanya masih belum memiliki ilmu yang berarti dalam mempergunakan senjata. Apalagi senjata-senjata yang sangat sederhana itu.
Namun dengan kehadiran Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan apalagi Ki Waruju, maka anak-anak muda Talang Amba yang telah bertaut kembali setelah mereka terpisah untuk beberapa saat diantara kelompok-kelompok yang berpihak Ki Sendawa dan yang berpihak Ki Sanggarana, menjadi semakin bergairah untuk menempa diri.
Dengan gelora yang menyala di dalam setiap dada, maka anak-anak Talang Amba telah dengan sungguh-sungguh dan tekun menempa diri mereka. Dengan mematuhi segala macam petunjuk dari Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Ki Waruju, maka anak-anak muda Talang Amba itu benar-benar telah maju dengan cepat. Bahkan pada saat-saat mereka berada di sawah, diladang dan dimanapun juga, mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan yang mereka dapatkan.
Ketika mereka berada disungai, maka mereka telah melatih keseimbangan mereka dengan berlari-lari dan berloncatan dari batu ke batu. Di pematang, mereka telah berlari-lari dan meloncati parit-parit. Diladang, mereka melatih kemampuan tangan mereka dengan berayun di dahan-dahan dan menghunjamkan jari-jari tangan mereka yang mengembang kedalam seonggok pasir. Memukuli gundukan tanah dan batang-batang pisang yang sudah waktunya ditebang.
Apalagi jika mereka telah berada di dalam kelompok-kelompok yang siap untuk menerima tuntutan berlatih mempergunakan senjata atau ketangkasan gerak. Maka mereka mempergunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.
Orang-orang yang mendapat tugas mengamati keadaan di Talang Amba melihat juga latihan-latihan yang diselenggarakan oleh orang-orang Talang Amba. Tetapi merekapun berpendapat sebagai mana Pangeran Lembu Sapdata. Apa yang dapat mereka pelajari dalam waktu yang sempit dan cara yang kurang mapan itu?
Sebenarnyalah, betapa kerasnya orang-orang Talang Amba memeras keringat untuk menempa diri, tetapi kemajuan mereka bukanlah satu loncatan panjang yang langsung dapat mengimbangi kemampuan para prajurit di Singasari atau para pengawal di Gagelang. Meskipun anak-anak muda di Talang Amba itu maju setingkat demi setingkat, namun tidak ada satu keajaiban yang dapat membuat mereka tiba-tiba memiliki kemampuan seorang pengawal.
Hal itu agaknya dimengerti juga oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Apalagi Ki Waruju. Tetapi yang dapat mereka lakukan itu adalah yang terbaik dari segala pilihan menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Talang Amba.
Dalam pada itu, Pangeran Lembu Sapdata tidak mau terlambat menghadapi keadaan. Dendamnya telah membakar seisi dadanya. Betapa sakitnya jika Pangeran itu mengenang, bagaimana ia harus melarikan diri dari arena pertempuran. Kemudian seperti binatang buruan ia meninggalkan daerah Gagelang yang diharapkan dapa dikuasainya.
“Aku harus mendapatkan kesempatan untuk menangkap anak muda yang melawan aku dipertempuran itu” berkata Pangeran Lembu Sapdata di dalam hatinya “sekaligus memusnahkan Talang Amba dan hutan di lereng bukit itu. Meskipun kemudian orang Gagelang uan Singasari mengetahui bahwa hutan itu telah dibakar oleh salah seorang Pangeran dari Kediri, tetapi mereka tidak akan segera mengetahui bahwa orang yang dicarinya adalah aku, Pangeran lembu Sapdata. Jika Singasari bertindak kasar terhadap para bangsawan di Kediri, adalah satu kesempatan yang sangat diharapkan”
Demikianlah, maka segala persiapanpun telah dilakukan oleh Pangeran Lembu Sapdata. Sepasukan pengawal Kediri, justru yang terpilih telah disiapkan dengan diam-diam diluar pengamatan para Panglimanya. Namun agaknya perasaaan lain memang sudah mulai menjalar diantara para pemimpin di Kediri. Namun beberapa orang pemimpin masih berusaha menahan diri dan berusaha menghindari benturan yang mungkin dapat terjadi. Apalagi benturan kekerasan yang terbuka. Karena jika demikian, Kediri justru akan mengalami kesulitan yang tidak akan mungkin teratasi.
Beberapa orang berusaha menghembuskan sikap bahwa Kediri telah diperintah oleh Singasari. Meskipun setiap kali Singasari meyakinkan, yang ada adalah satu lingkungan keluarga besar yang hidup bersama. Bukan pihak yang diperintah dan yang memerintah. Dalam suasana yang demikian itulah, maka Pangeran Lembu Sabdata telah melakukan rencananya untuk membalas dendam kepada orang-orang Talang Amba. Dan bahkan jika mungkin kemudian terhadap orang-orang Gagelang.
Tetapi bagaimanapun juga Pangeran Lembu Sabdata harus melakukan rencananya dengan hati-hati. Ia sadar bahwa diantara para pemimpin di Kediri yang melihat wajah muram dari beberapa orang bangsawan dan bahkan mereka yang masih menahan diri, namun yang lain merasakan betapa akrabnya hubungan mereka dengan Singasari, karena Singasari memang bersikap sebagaimana yang mereka katakan. Hidup dalam satu lingkungan keluarga besar yang saling menghormati. Justru karena itu, maka mereka merasa satu dengan Singasari.
Dengan persiapan yang rumit, maka akhirnya Pangeran Lembu Sabdata telah mendapatkan sekelompok orang-orang terpilih. Ia memang tidak memerlukan terlalu banyak orang. Yang sedikit itupun akan mampu menghancurkan sasarannya. Menjadikan Talang Amba neraka dan lereng bukit itu menjadi abu.
Sedemikian cermatnya persiapan itu dilakukan, sehingga sekelompok pengawal yang dipergunakan telah dapat dilepaskan dari tugasnya. Senopati yang memimpin sekelompok pengawal itu membawa pasukannya seolah-olah untuk satu tugas pengamanan karena segerombolan perampok yang ganas sedang mengancam ketenangan hidup sebuah Kabuyutan yang terpencil.
Sementara itu, beberapa orang kepercayaan Pangeran Lembu Sabdata pun telah mengamati Talang Amba dengan cermat. Tidak ada orang asing yang menyusup kedalam Kabuyutan itu. Yang ada hanyalah orang-orang Talang Amba sendiri yang dungu dan pandir, karena mereka merasa diri mereka akan mampu melindungi diri mereka.
Namun betapapun cermatnya orang-orang yang dipasang oleh Pangeran Lembu Sabdata mengamati setiap padukuhan di Talang Amba, namun mereka tidak melihat ketika beberapa anak muda menyusup memasuki padukuhan induk Kabuyutan Talang Amba.
Seorang anak muda itu ternyata telah menyusup masuk kedalam sebuah pedati orang Talang Amba yang sedang membawa hasil bumi ke pasar. Seorang perempuan yang duduk di dalam pedati setelah muatannya dibongkar hampir saja berteriak ketika tiba-tiba saja seseorang telah duduk disampingnya.
“Jangan berteriak“ orang itu mengancam.
Perempuan itu bagaikan membeku. Namun terasa bahwa tubuhnya gemetar. Ketika suaminya kemudian datang, maka orang itu berdesis “Jangan berbuat sesuatu yang akan dapat mencelakakan isterimu. Aku tidak akan berbuat apa-apa jika kau membantuku. Aku akan mengikutimu masuk ke padukuhan induk Talang Amba. Bukankah kau orang Talang Amba? Dari beberapa orang pedagang yang sering berhubungan denganmu, aku mengetahui bahwa kau adalah orang Talang Amba”
“Apa maksudmu sebenarnya?” bertanya pemilik pedati itu “Jika kau hanya ingin pergi ke Talang Amba, maka kau tidak usah memakai cara ini”
Orang yang ada di dalam pedati itu memandanginya dengan tajamnya. Namun kemudian iapun berdesis “Lekas. Jalankan pedatimu. Kita akan bersama-sama pergi ke Talang Amba”
Pemilik pedati itu tidak dapat menolak perintah anak muda yang sudah ada di dalam pedatinya. Ia tidak mau menerima akibat buruk atas isterinya jika ia menolak. “Setelah sampai di Talang Amba, aku akan dapat berbuat sesuatu atasnya” berkata pemilik pedati itu di dalam hatinya.
Demikianlah, akhirnya pedati itupun merayap mendekati padukuhan induk Talang Amba. Disepanjang jalan, anak muda yang berada di dalam pedati itu memang tidak berbuat apa-apa. Ia duduk saja dengan tenang. Namun agaknya anak muda itu sengaja tidak mau dilihat oleh seseorang yang mungkin dijumpai diperjalanannya menuju ke Talang Amba.
Dengan cara itu, maka anak muda itu dapat langsung diantar ke rumah Ki Sanggarana yang untuk sementara melakukan tugas sebagai Buyut di Talang Amba meskipun secara resmi ia belum diwisuda. Bahkan Akuwu Gagelang yang harus mewisudanyapun masih belum ditetapkan. Kehadiran anak muda itu telah menarik perhatian beberapa orang pemimpin Kabuyutan Talang Amba. Namun dihadapan para bebahu di Talang Amba anak muda itu minta, agar kehadirannya dirahasiakan.
“Kau mempergunakan cara yang aneh untuk datang ke Talang Amba ini” bertanya Ki Sanggarana.
“Bukan hanya aku” jawab anak muda itu “ada lima orang yang akan datang dengan cara yang mungkin kalian anggap aneh. Tetapi ketahuilah, bahwa Kabuyutan Talang Amba sekarang telah dilingkari oleh pengawasan yang ketat. Kehadiran orang asing akan sangat menarik perhatian."
“Apa maksudmu” bertanya Ki Sanggarana.
“Sekali lagi aku berpesan. Kehadiranku bersifat rahasia. Juga pemilik pedati itu harus mengerti. Aku akan mengancamnya jika ia mengetahui kehadiranku ini kepada siapapun juga. Kepada anaknya atau kepada tetangganya. Ia akan dapat dihukum mati” berkata anak muda itu.
Pemilik pedati itu menjadi cemas. Tetapi iapun kemudian menjadi ketakutan ketika anak muda itu berkata “Aku adalah petugas sandi dari Singasari”
Ki Sanggarana mengangguk-angguk, ia sadar, bahwa kehadiran petugas sandi dari Singasari dengan cara yang khusus itu tentu berhubungan dengan peristiwa yang baru saja terjadi di Talang Amha. Sebenarnyalah pada saat itu, ketika malam menyelimuti Talang Amba, dua orang petani berjalan dipematang dengan cangkul dipundaknya. Agaknya keduanya baru saja membuka pematang sawahnya untuk mengaliri tanaman padi mudanya dengan air parit yang tidak begitu lancar dimusim kering.
Keduanya sama sekali tidak menghiraukan ketika mereka melihat seseorang melintas di jalan bulak didepan mereka, seolah-olah mereka tidak melihatnya. Namun demikian orang yang melintas itu menjauh, seorang diantara mereka berkata “Aku curiga bahwa orang itu bukan orang Talang Amba yang sedang pergi ke sawah."
Yang lain mengangguk. Katanya “Jika orang itu orang Talang Amba, merekalah yang justru akan mencurigai kita. Karena mereka tidak mengenal kita”
“Seperti yang sudah dilaporkan, Talang Amba mendapat pengamatan dari pihak-pihak tertentu. Peristiwa yang baru saja terjadi, memang bukan peristiwa yang dapat dianggap selesai. Seorang Pangeran yang tidak dapat dikenali dari Kediri yang berhasil melarikan diri itu tentu masih akan membawa persoalan-persoalan berikutnya. Dan agaknya perhitungan itu tidak salah” berkata orang yang pertama.
“Ya. Tetapi merekapun telah belajar dari pengalaman. Mereka tidak mau terjebak lagi oleh kehadiran prajurit-prajurit Singasari, sehingga dengan demikian, mereka kini melakukan pengamatan yang cermat. Orang itu tentu salah seorang dari pengamat-pengamat yang ada disekitar Kabuyutan ini” iawab kawannya.
“Tetapi ternyata mereka masih kurang cermat. Mereka tidak melihat, siapa kita sebenarnya hanya karena kita berjalan di pematang sambil memanggul cangkul”
Tetapi kawannya menyahut “Belum tahu. Mungkin mereka mempunyai cara lain untuk mengamati kita”
Yang seorang mengerutkan keningnya. Tetapi orang yang melintas itu telah menjadi jauh dan hilang dalam keremangan malam. Ketika kedua orang itu telah meloncati parit dan berdiri dijalan bulak yang menyilang, maka merekapun kemudian memutuskan untuk cepat-cepat memasuki Talang Amba. Mereka harus segera berada di padukuhan induk dan langsung menuju ke rumah Ki Sanggarana.
“Jika kita sudah berada di dalam padukuhan itu, kita justru akan dapat dengan diam-diam tanpa merasa cemas menuju ke rumah Ki Sanggarana, karena Talang Amba sendiri sudah tertidur nyenyak” berkata salah seorang dari mereka.
“Tetapi anak-anak mudanya berada di gardu-gardu atau sedang menempa diri” sahut kawannya.
“Kita akan melintasi halaman-halaman dan meloncati dinding yang menyekat halaman-halaman itu” jawab yang lain.
Kawannya mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah, ketika mereka telah memasuki padukuhan induk, maka cangkul yang mereka bahwa itupun telah mereka letakkan di tempat yang tersembunyi. Kemudian seperti yang mereka rencanakan, mereka menyusup kedalam melalui halaman demi halaman.
Sementara itu, dari sudut lain, dua orang merayap mendekati padukuhan induk. Mereka tidak mempergunakan penyamaran apapun juga. Tetapi mereka telah beradu ketajaman pengamatan dengan orang-orang Kepercayaan Pangeran Lembu Sabdata.
Ketika keduanya yakin, bahwa tidak ada orang yang melihatnya, maka keduanya telah meloncat masuk kedalam padukuhan induk itu. Dan seperti dua orang yang berpakaian petani, maka merekapun telah menyusup dari halaman ke halaman menuju ke rumah Ki Sanggarana. Mereka tidak mau dilihat oleh anak-anak muda yang berada di gardu-gardu atau yang sedang berlatih di halaman-halaman yang luas.
Dengan demikian, maka para petugas sandi dari Singasar seluruhnya telah berada di rumah Ki Sanggarana. Dengan demikian, maka merekapun kemudian telah menyampaikan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Kabuyutan itu. Sehingga mereka berlima mendapat tugas untuk memasuki Kabuyutan itu dengan rahasia.
"Agaknya Pangeran yang telah berhasil melepaskan diri dari tangan orang-orang Talang Amba dan orang-orang Singasari itu tidak dapat menerima kenyataan itu dengan ikhlas. Karena itu. Maka persoalan Talang Amba dengan Pangeran itu agaknya masih belum selesai” berkata salah seorang dari petugas sandi dari Singasari itu.
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Waruju, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah di Panggil dan ikut serta menemui kelima orang itupun mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Waruju bertanya "Apakah Ki Sanak berlima, atau salah seorang diantara kalian membawa pertanda petugas sandi dari Singasari?”
Kelima orang itu saling berpandangan. Namun yang tertua diantara merekapun kemudian sambil tersenyum berkata "Ki Sanak ternyata cukup cermat mengamati kehadiran kami. Baiklah, barangkali Ki Sanak dapat mengenali timang ini."
Ki Waruju mengerutkan keningnya ketika orang itu kemudian menunjukkan timangnya yang semula tertutup oleh kain panjangnya. Sambil mengangguk-angguk Ki Waruju berkata “Aku mengenali pertanda itu. Pertanda keprajuritan sebagaimana dipakai oleh para prajurit Singasari”
“Ya. Kami adalah prajurit-prajurit Singasari pula. meskipun dalam tugas sandi” jawab prajurit itu.
Pertanda dan sikap kelima orang itu telah menghilangkan keragu-raguan orang-orang Talang Amba, sehingga pembicaraan diantara merekapun dapat berlangsung semakin mendalam.
“Ki Sanggarana“ berkata salah seorang dari mereka atas pertimbangan-pertimbangan itulah, maka Talang Amba harus mengatur persiapan yang mantap. Tetapi kita tentu tidak akan dapat mengulangi cara yang pernah kita lakukan sebelumnya."
“Maksud Ki Sanak” bertanya Ki Sanggarana.
"Kita tidak akan dapat menyiapkan pasukan Singasari di sekitar tempat ini, sehingga pada saat yang pendek akan dapat digerakkan seperti yang pernah terjadi. Apalagi dalam penyamaran yang dapat membingungkan lawan. Pengalaman Pangeran dari Kediri itu merupakan guru yang baik bagi mereka, sehingga mereka jauh sebelumnya telah menebarkan pengawas-pengawas apakah ada kekuatan lain yang berada di Talang Amba”
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Lalu katanya “Jadi apakah yang sebaiknya kita lakukan?"
“Aku belum dapat mengatakan sekarang Ki Sanak. Aku masih harus melihat lihat keadaan. Mungkin dalam satu dua hari ini. kami menemukan cara yang paling baik untuk menjebak Pangeran yang mendendam itu” jawab petugas sandi itu.
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Memang sulit untuk menentukan sikap dengan tiba-tiba. Mereka harus melihat keadaan dan medan yang akan mereka hadapi. Namun petugas sandi itupun kemudian berkata,
“Tetapi adalah menjadi satu keharusan, bahwa Talang Amba bersiap sebaik-baiknya menghadapi segala kemungkinan. Dan kitapun telah dapat memperhitungkan, bahwa kekuatan yang ada di Talang Amba sendiri tidak akan mungkin dapat mengatasinya. Yang menjadi masalah adalah, bagaimana kita memasukkan bantuan itu ke Talang Amba tanpa diketahui oleh para pengawas. Kali ini kami berlima dapat masuk dengan selamat. Bahkan seandainya mereka mengetahui, mereka tentu akan mengabaikan kehadiran kami. Tetapi jika yang memasuki padukuhan ini sekelompok prajurit, maka sulitlah bagi kita untuk menghindari pengamatan. Dan jika para pengawas itu mengetahui, bahwa di padukuhan ini terdapat prajurit-prajurit Singasari, maka mereka tentu akan membuat perhitungan-perhitungan baru sehingga usaha kami untuk menjebaknya mungkin akan gagal”
“Kami mengerti“ sahut Ki Waruju “dan agaknya kamipun sependapat, bahwa kita akan melihat keadaan. Justru untuk menentukan satu sikap yang tepat”
Demikianlah, para petugas sandi itupun telah berada di Talang Amba untuk menentukan langkah-langkah yang akan dapat menjebak Pangeran yang lepas dari tangan prajurit-prajurit Singasari. Namun dalam pada itu, Ki Waruju pun telah bertanya kepada salah seorang pelugas sandi itu “apakah Singasari mendapat petunjuk bahwa Pangeran itu akan melakukan balas dendam?”
“Ya” jawab petugas sandi itu “petugas-petugas kami yang telah bekerja keras di Kediri setelah peristiwa itu, menemukan petunjuk seperti itu. Ada beberapa pertimbangan yang memperkuat dugaan bahwa Pangeran itu akan mengambil langkah demikian. Bahkan bukan saja terhadap Talang Amba, Tetapi mungkin juga dendam itu tertuju kepada Gagelang. Namun Gagelang akan mampu membuat dirinya menjadi kuat”
Ki Waruju mengangguk-angguk. Tetapi masih ada beberapa hal yang kurang dimengertinya. Karena itu maka iapun kemudian bertanya pula “Apakah dengan demikian berarti bahwa Singasari telah menemukan Pangeran yang telah melakukan pelawanan terhadap Singasari itu dan akan melakukan balas dendam terhadap Talang Amba."
Petugas sandi itu menggeleng. Katanya “Bukan berarti demikian Ki Sanak. Singasari masih belum dapat menemukan Pangeran yang lepas dari tangan kita itu. Tetapi petugas-petugas sandi di Singasari mencium adanya persiapan-persiapan justru dilingkungan para pengawal. Kita tidak menutup mata melihat kemungkinan yang buruk yang terjadi di Kediri. Sudah beberapa rambahan, bangsawan-bangsawan di Kediri melakukan perlawanan. Beberapa kali Singasari harus mengambil kebijaksanaan khusus. Dan kali ini hal itu terulang lagi. Bahkan kali ini beberapa pihak di Kediri benar-benar dengan satu keyakinan berusaha melepaskan diri dari kesatuan yang besar bersama Singasari dan daerah-daerah yang lain, sementara di beberapa saat yang lalu, persoalan agak berbeda. Seorang yang menjadi kecewa telah mengambil satu sikap, seakan-akan ia seorang pahlawan bagi saudara-saudaranya di Kediri”
Ki Waruju mengangguk-angguk. Ia menjadi jelas. Dan iapun menganggap bahwa Singasari memang sangat berhati-hati menghadapi sikap beberapa orang bangsawan di Kediri, karena Singasari merasa dibebani oleh satu kewajiban untuk memelihara satu ikatan persatuan yang besar bagi seluruh wilayah Singasari.
“Karena itu, kita tidak akan dapat mencari Pangeran itu di Kediri dengan cara yang kasar agar kita tidak semakin melukai hati orang-orang Kediri” berkata petugas sandi itu “tetapi kita harus memancingnya keluar dan menangkapnya pada satu peristiwa yang memungkinkan”
Ki Waruju mengangguk-angguk. Katanya “Jadi, Singasari ingin menjebaknya disini? Usaha membalas dendam itu merupakan satu kesempatan yang ditunggu oleh Singasari”
“Tetapi persoalannya adalah, kita mengalami kesulitan untuk memasang perangkap karena kita mempunyai beberapa keterangan tentang pengamatan yang ketat disekitar Talang Amba. Pangeran dari Kediri itu tidak akan melakukan kesalahan yang sama” berkata petugas sandi itu.
Ki Waruju mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti kesulitan para petugas Singasari itu. Jika orang-orang Singasari itu menyusup dengan cara yang sama seperti yang ditempuh oleh kelima petugas sandi itu, maka pada satu saat, para pengawas dari Kediri itu tentu akan dapat melihatnya. Dengan demikian, maka Pangeran itupun akan membuat perhitungan baru sehingga mungkin sekali rencananya akan diurungkan atau ditunda. Satu rencana-rencana lain yang belum dapat diduga.
Sementara itu Singasaripun mempunyai perhitungan, bahwa untuk membantu mempertahankan Talang Amba dari dendam dan sakit hati itu, memerlukan orang yang cukup banyak. Apalagi menurut pendengaran pimpinan petugas sandi atas dasar laporan-laporan dari Kediri, maka sekelompok pengawal terpilih dari Kediri akan terlibat.
Demikianlah, para petugas sandi itu telah mempelajari keadaan Talang Amba sebaik-baiknya. Diamatinya ujung ke ujung padukuhan sampai padukuhan yang paling kecilpun. Namun memang sulit bagi satu pasukan yang cukup kuat untuk memasuki Kabuyutan Talang Amba tanpa diketahui oleh para pengawas.
Para pengawas itu akan dapat saja berada dipadukuhan di Kabuyutan tetangga. Atau mungkin di pategalan dan di hutan-hutan kecil disebelah Talang Amba, sehingga dari arah manapun pasukan itu masuk, maka pengawas itu tentu akan dapat melihatnya. Karena itu, untuk menentukan cara yang akan diambil oleh pasukan Singasari itupun masih belum dapat diketemukan.
Namun dalam pada itu, Ki Waruju yang ikut pula memikirkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, telah berbicara dengan Mahisa Pukat dan Mahisa Murti, apakah yang sebaiknya dilakukan untuk memberikan kemungkinan pasukan Singasari berada di Talang Amba tanpa diketahui oleh para pengawas dari Kediri.
“Kita tidak tahu, pengawas itu berada dimana. Tetapi secara naluriah akupun percaya, bahwa pengawas-pengawas semacam itu memang ada” berkata Ki Waruju.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata “Kita ajak satu atau dua orang Singasari yang ada di Talang Amba itu untuk mengikuti latihan-latihan yang kita adakan”
“Lalu?” bertanya Ki Waruju.
“Mungkin kemungkinan itu akan diketemukannya” berkata Mahisa Murti kemudian “aku sering membawa anak-anak muda itu berlari-lari kelereng bukit. Kadang-kadang memasuki hutan di lereng pegunungan untuk memberikan latihan ketahanan tubuh dan ketrampilan”
“Ya” jawab Ki Waruju “tetapi yang kita perlukan adalah jalan masuk”
Mahisa Murti tiba-tiba saja tersenyum. Katanya “Bagaimana jika kita berangkat dengan sepuluh orang misalnya dan kembali dengan dua belas orang? Jika hal yang demikian dilakukan berkali-kali, maka dalam beberapa hari, kita akan mempunyai sejumlah prajurit Singasari yang siap di Talang Amba”
Ki Waruju berpikir sejenak. Namun iapun kemudian tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya “Aku mengerti. Prajurit-prajurit Singasari itu menunggu di hutan di lereng bukit “
“Ya” jawab Mahisa Murti.
“Bagus” sahut Mahisa Pukat “para pengawas itu jika memang ada, tentu sering melihat kami naik kelereng bukit“
Ki Waruju mengangguk-angguk, la memuji ketangkasan berpikir anak-anak Mahendra itu. Agaknya jalan itu akan dapat ditempuh jika para petugas sandi dari Singasari itu menyetujui. Namun dalam pada itu, Ki Warujupun berkata “Tetapi kau harus menjaga, agar anak-anak muda itu tidak terlalu sering berlari-lari ke hutan di lereng bukit. Sebab jika tiba-tiba saja acara itu menjadi berlipat dari gelombang-gelombang sebelumnya, para pengawas dari Kediri itu tentu akan menjadi curiga pula”
“Baiklah Ki Waruju” berkata Mahisa Murti “kami akan membiasakannya berlari-lari ke lereng bukit itu setiap pagi dan sore. Kita akan mulai besok pagi”
“Apakah biasanya kau juga berbuat demikian?” bertanya Ki Waruju.
“Tidak selalu Ki Waruju” jawab Mahisa Murti “tetapi aku akan mulai acara itu sejak esok. Dan barangkali menarik juga untuk sekali-sekali menempuh jalur jalan yang lain. Kali ini pergi kelereng bukit, tetapi dihari lain pergi ke daerah rawa-rawa yang jarang dilalui orang itu”
Ki Waruju mengangguk-angguk. Bahkan iapun berkata “Dan pada saat yang lain, kau dapat saja berlari-lari menyusuri jalan dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain. Naik ke bukit padas yang gundul itu, sehingga dengan demikian kau akan dapat mengalihkan perhatian para pengawas, karena jika kalian pergi ke bukit gundul itu, kalian benar-benar tidak akan dapat berbuat apa-apa, selain latihan menempuh perjalanan yang terjal, sulit dan cukup jauh”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti maksud Ki Waruju. Karena itu, maka merekapun mengangguk-angguk mengiakan. Demikianlah, maka ketiga orang itupun telah menemui para petugas sandi di rumah Ki Sanggarana itu untuk menyampaikan pikiran mereka tentang kemungkinan yang akan dapat mereka tempuh dalam usaha mereka untuk memasukkan orang-orang Singasari kedalam lingkungan Kabuyutan Talang Amba.
Para petugas sandi yang mendengarkan pendapat itupun mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya “Satu pikiran yang baik. Aku sependapat”
“Tetapi bagaimana mengatur dan mempersiapkan para prajurit Singasari di hutan, atau di rawa-rawa atau ditempat lain yang tersembunyi untuk sedikit demi sedikit bergabung dengan anak-anak muda itu?“
“Kami akan mengatur. Seorang atau dua orang diantara kami akan keluar dari padukuhan ini setelah semua rencana kita susun dengan matang” berkata petugas-petugas sandi itu” Kita akan menentukan hari demi hari dengan arah yang sudah diperhitungkan. Kecuali jika karena satu dan lain hal yang tiba-tiba saja terjadi, sehingga terpaksa membatalkan rencana yang sudah tersusun. Dalam keadaan yang demikian seorang diantara kami akan memberitahukan kepada pasukan yang sudah siap ikut dalam lingkungan anak-anak muda Talang Amba untuk hari dan dari tempat yang sudah ditentukan sebelumnya. Bahkan dalam keadaan yang memaksa, pembatalan dapat saja terjadi tanpa pemberitahuan apapun juga”
Dengan demikian maka para petugas sandi dan para pemimpin dari Talang Amba itu telah menyusun rencana yang paling baik yang akan dapat mereka lakukan.
“Semakin cepat, semakin baik” berkata petugas sandi itu “tetapi tidak tergesa-gesa sehingga dapat menarik perhatian”
Ketika segala rencana itu telah masak, maka anak-anak muda Talang Amba telah mulai dengan rencana itu di keesokan harinya. Pagi-pagi benar sebelum matahari terbit, maka anak-anak muda Talang Amba itu telah berlari-lari memanjat lereng bukit yang terjal. Tidak terlalu cepat, bahkan kadang-kadang mereka merayap mendaki dan kemudian turun lagi. Hal seperti itu memang pernah dilakukan oleh anak-anak muda Talang Amba untuk melatih ketahanan tubuh dan ketrampilan. Sehingga karena itu, maka para pengawaspun telah pernah melihat kegiatan yang demikian.
Karena itu, kegiatan itu tidak terlalu menarik bagi para pengawas. Apalagi anak-anak muda itu telah berputar dan kemudian memasuki daerah rawa-rawa. Para pemimpin di Talang Amba telah membekali anak-anak muda itu dengan obat-obat yang dapat menolong jika salah seorang diantara mereka mengalami kesulitan dengan ular-ular air.
Sementara Ki Waruju, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak akan terganggu oleh jenis ular yang bagaimanapun juga. Bahkan akik dan gelang akar yang ada pada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan dapat membantu untuk mengobati orang-orang yang digigit ular sebagaimana yang dimiliki oleh Ki Waruju.
Di hari itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membawa dua kelompok anak-anak muda di saat yang tidak bersamaan. Sekelompok di pagi hari dan sekelompok yang lain disore hari. Sementara itu, dua orang petugas sandi yang ada di Talang Ambapun telah meninggalkan Kabuyutan itu dengan diam-diam. Mereka harus menyiapkan sepasukan prajurit Singasari di tempat-tempat yang sudah ditentukan di mulai sejak empat hari mendatang.
“Mudah-mudahan tidak terlambat” berkata Ki Sanggarana ketika ia melepas petugas sandi yang meninggalkan Kabuyutan Talang Amba itu.
“Hari-hari itu adalah saat yang paling cepat yang dapat kami tempuh” jawab petugas sandi itu ”tetapi hal itu akan lebih baik daripada kita harus menunggu kesempatan lain”
Demikianlah, masing-masing telah melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Sementara petugas sandi itu menghubungi pimpinan prajurit Singasari dalam rencana mereka menjebak seorang Pangeran Kediri yang telah melakukan perlawanan terhadap Singasari, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melakukan tugasnya pula. Memberikan latihan-latihan seperti yang biasanya dilakukan. Sementara itu, di pagi hari dan di sore hari ia telah membawa anak-anak itu berlari-lari di bukit atau ke daerah berawa-rawa. Mendaki lereng yang terjal dan kemudian menyeberangi daerah berlumpur yang ditumbuhi rerumputan liar dan batang-batang pandan eri.
Sebagaimana sudah diperhitungkan, maka para pengawas yang dikirim oleh Pangeran Lembu Sabdata telah melihat semuanya itu. Mereka melihat anak-anak muda Talang Amba berlatih keras, bahkan kadang-kadang agak berlebih-lebihan. Seorang diantara para pengawas itu tersenyum sambil berkata,
“Orang-orang Talang Amba memang gila. Mereka mengira dengan memaksa diri akan dapat membentuk suatu pasukan yang kuat yang akan dapat melindungi Kabuyutannya dari kemungkinan buruk atas balas dendam orang-orang Kediri”
Kawannya tertawa. Katanya “Mereka mengira, bahwa orang-orang Kediri tidak lebih baik dari orang-orang Gagelang yang dungu."
“Kita masih harus membuat perhitungan jika kita ingin menghancurkan Gagelang, karena kekuatan pokok Gagelang adalah para pengawal yang terlatih baik disamping orang-orang baru yang ditempa siang dan malam” berkata orang yang pertama “tetapi orang-orang Gagelang memang menyatakan dirinya sebagai pengawal. Sedangkan anak-anak Talang Amba hanya mempergunakan waktu luangnya saja, karena mereka harus bekerja di sawah dan di ladang”
Keduanyapun tertawa. Bagi mereka, yang dilakukan oleh anak-anak muda Talang Amba itu adalah satu kesia-siaan belaka. Namun salah seorang diantara keduanya kemudian berkata “Meskipun demikian, latihan-latihan itu tentu ada juga gunanya”
“Tentu” jawab kawannya “mereka akan dapat mempergunakan senjata meskipun baru pada tataran permulaan. Dan usaha mereka untuk meningkatkan daya tahan tubuh mereka dan ketrampilan serta keseimbangan itupun berguna pula. Tetapi tidak akan berarti dibandingkan dengan kemampuan seorang prajurit yang sebenarnya”
Yang lain mengangguk-angguk. Lalu katanya “Namun bagaimanapun juga kita harus mengawasi Kabuyutan itu. Kita tidak akan mengulangi kegagalan yang memalukan itu”
“Hal itu terjadi bukan saja atas kelebihan orang-orang Singasari yang berhasil menyusup. Tetapi juga karena pengkhianatan orang-orang Gagelang” berkata kawannya.
Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian menggeram “Tidak akan terjadi lagi sekarang dan nanti. Kita akan mengawasi semua jalan masuk. Kita tidak akan tertipu lagi dengan cara-cara orang-orang Singasari berpakaian seperti petani“
“Mereka tidak akan dapat lolos “ berkata kawannya “Jika orang Singasari ingin menjebak, maka yang datang tentu tidak hanya sepuluh. Dua puluh orang. Tetapi seratus atau dua ratus. Kita tidak akan terkelabui lagi”
Dengan demikian, maka latihan-latihan anak-anak muda Talang Amba itu tidak lagi sangat menarik perhatian orang-orang Kediri. Mereka menganggap latihan-latihan itu sebagai sesuatu yang dipaksakan. Namun bagaimanapun juga. peningkatan ilmu anak-anak muda Talang Amba tidak akan dapat terjadi dalam waktu dua tiga hari atau bahkan dua pekan.
Sementara itu. Pangeran Lembu Sabdatapun telah selesai dengan persiapannya. Atas bantuan beberapa orang saudaranya maka sepasukan prajurit Kediri telah dapat dikumpulkannya dengan diam-diam. “Kita menunggu laporan dari Talang Amba” berkata Pangeran Sabdata.
Sebenarnyalah laporan dari Talang Amba telah memberikan petunjuk, bahwa Pangeran Lembu Sabdata dapat bergerak kapan saja. Tidak ada prajurit Singasari seorangpun yang berada di daerah Kabuyutan Talang Amba. Tetapi pada saat yang demikian, maka diluar kemampuan pengamatan para pengawas di Kediri, anak-anak muda yang mengadakan latihan ketrampilan telah melakukan satu tugas yang menentukan.
Ketika pagi-pagi hari anak-anak muda itu berlari-lari mendaki tebing, maka lima orang telah menunggu mereka di tempat sepi yang telah ditentukan. Dalam pakaian sebagaimana kebanyakan dipakai oleh anak-anak muda Talang Amba, maka kelima orang itu telah memasuki barisan yang sedang berserakan mendaki tebing. Tanpa diketahui oleh seorangpun diluar barisan itu sendiri, bahwa jumlah anak-anak muda yang ada di dalam barisan itu telah bertambah.
Demikian pula ketika pasukan kecil anak-anak muda Talang Amba itu turun dengan nafas yang tersenggal senggal dan berlari dengan lelah memasuki padukuhan-padukuhan di Kabuyutan, tidak seorangpun yang sempat menjumlah anak-anak muda yang ada di dalam pasukan itu. Hal yang sama telah diulang disore harinya. Di pagi berikutnya dan di hari hari mendatang sebagaimana telah direncanakan.
Namun sementara itu, pasukan Kediri dengan diam-diam dan sangat hati-hati telah mendekati Kabuyutan Talang Amba. Pangeran Lembu Sabdata tidak dapat melupakan seorang anak muda yang telah melawannya. Seorang yang bertempur dengan serunya melawan Akuwu Gagelang dan seorang anak muda yang lain yang memiliki ilmu yang tinggi.
Bagi Pangeran Lembu Sabdata, maka pekerjaannya kali ini merupakan pekerjaan yang tidak terlalu berat, karena ia hanya akan datang dan dengan mudahnya menghancurkan sebuah Kabuyutan untuk melepaskan sakit hatinya. la akan berbicara dengan dua orang anak muda dan seorang laki-laki yang mampu mengimbangi kemampuan Akuwu di Gagelang sebelum mereka juga akan dibinasakan. Ketiga orang itu harus melihat bagaimana Talang Amba dihancurkannya. Kemudian hutan di lereng bukit itupun akan menjadi lautan api sehingga dihari berikutnya lereng bukit itu akan tinggal abu yang hitam berserakan.
Sementara itu laporan dari pengawasnya memberikan isyarat bahwa semua rencana akan dapat dilakukan dengan aman. Tidak ada prajurit-prajurit Singasari atau Gagelang yang ada di Talang Amba yang akan dapat mengganggu pekerjaan para pengawal terpilih dari Kediri yang berhasil dipengaruhi oleh Pangeran lembu Sabdata dan saudara-saudaranya yang memihak sikap yang sama, meskipun kadang-kadang alasannya agak berbeda dan tujuannyapun berbeda pula.
Namun dalam pada itu, yang dilakukan oleh anak-anak muda Talang Ambapun tidak pula ada henti-hentinya. Kadang-kadang mereka berlari-lari ke bukit terjal, ke hutan di lereng bukit atau ke semak-semak di rawa-rawa. Namun setiap mereka kembali, maka jumlah mereka selalu bertambah tanpa diketahui oleh orang lain. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang yang memasuki Talang Amba dengan cara yang aneh itu semakin lama menjadi semakin banyak.
Tetapi jumlah itu tidak dapat bertambah dengan cepat, karena mereka harus menghindari kecurigaan para pengawas yang menurut perhitungan mereka pasti ada di sekitar Kabuyutan Talang Amba.
Sementara itu, ketika pasukan Kediri mulai bergerak, maka Pangeran Lembu Sabdata pun telah memerintahkan untuk mengamati daerah di sekitar Kabuyutan Talang Amba. Mungkin ada sepasukan yang kuat yang ada di daerah di sekitar Kabuyutan itu. Dan perhitungan Pangeran Sabdata pun agaknya mendekati kebenaran. Para pengawasnya harus mengamati hutan di lereng bukit dan daerah yang berawa-rawa.
Namun ketika para pengawas itu mulai memperhatikan daerah itu. Maka pasukan Singasari yang bersembunyi di hutan-hutan dan di rawa-rawa telah terhisap habis memasuki Kabuyutan Talang Amba.
Dalam pada itu, maka para prajurit Singasari yang sudah berada di Talang Amba pun berusaha untuk tidak menarik perhatian. Sebagian besar dari mereka berada di-rumah Ki Sanggarana, di rumah Ki Sendawa dan di banjar-banjar padukuhan. Namun dengan keras mereka berpesan kepada anak-anak muda agar kehadiran mereka tetap dirahasiakan. Bahkan sebagian dari orang-orang Talang Amba sendiri tidak tahu, bahwa ada sepasukan Singasari yang kuat berada di Kabuyutan mereka.
Ternyata anak-anak muda Talang Amba pun telah memegang rahasia itu sebaik-baiknya. Mereka sadar akan arti kehadiran pasukan itu. Singasari benar-benar ingin menjebak Pangeran dari Kediri yang telah menyusup ke Gagelang dan bahkan telah merencanakan penebangan hutan di lereng bukit dengan segala macam cara.
Yang kemudian dilihat oleh para pengawas adalah kesiagaan anak-anak muda Talang Amba. Menurut pengamatan mereka, jumlah anak-anak muda itu tidak berubah. Setiap kali para pengawas melihat anak-anak itu berlari-lari. Berlatih dan bersiaga sepenuhnya menghadapi segala keadaan.
Tetapi yang dilakukan oleh anak-anak muda Talang Amba itu sangat menggelikan bagi para pengawas. Para pengawas itu menganggap anak-anak muda Talang Amba menjadi tamak dan kehilangan penilaian atas diri mereka sendiri.
Sambil tertawa seorang pengawas berkata “Alangkah lucunya. Orang-orang Talang Amba itu menganggap diri mereka sebagai prajurit-prajurit yang akan mampu mempertahankan diri. Setiap malam mereka berada di gardu-gardu. Meronda mengelilingi setiap padukuhan. Sekali-kali berlatih perang di malam hari. Seolah-olah mereka akan mendapat wisuda menjadi prajurit-prajurit terpilih di Singasari”
“Kita akan menghentikan permainan yang memuakkan itu. Bukankah Pangeran Lembu Sabdata telah mulai bergerak?“ sahut kawannya.
"Dalam waktu dua atau tiga hari lagi, mereka sudah akan berada di hutan itu. Mereka akan segera turun dan menghancurkan Kabuyutan ini. Dalam kesempatan yang lebih baik, maka Gagelanglah yang akan dihancurkan. Namun jika kita sudah dapat membakar hutan itu, maka rasa-rasanya kita sudah dapat menyelesaikan sebagian besar dari tugas-tugas kita” berkata orang yang pertama.
Kawannya mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa mereka sudah mulai jemu dengan pekerjaan yang harus mereka lakukan di Talang Amba itu. Demikianlah, maka dihari berikutnya mereka mendapat perintah untuk bersiap-siap sepenuhnya. Pasukan yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Lembu Sabdata benar-benar telah bergerak. Mereka akan berada dihutan di lereng bukit sebelum mereka akan turun menghancurkan Talang Amba.
Namun ternyata bahwa Singasari tidak sekedar menempatkan orang-orang di Talang Amba. Tetapi merekapun mempunyai kelengkapan pula dengan petugas-petugas sandi sebagaimana orang-orang Kediri. Karena itu ketika isyarat dari Kediri telah sampai kepada para petugas di Talang Amba, bahwa pasukan yang dipersiapkan untuk menghancurkan Talang Amba diduga sudah berangkat, maka Talang Ambapun benar-benar telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, maka Singasari sengaja tidak mencegah pasukan itu di Kediri. Karena dengan demikian maka mereka tidak akan dapat melihat langsung di medan, siapakah diantara para Pangeran yang telah menyusun rencana perlawanan terhadap Singasari itu.
Dalam pada itu, kesiagaan di Talang Amba telah diatur sebaik-baiknya. Dengan sengaja Talang Amba tidak memberikah laporan kepada Gagelang, karena dengan demikian maka Pangeran Lembu Sabdata dapat mengurungkan niatnya apabila Gagelang mengirimkan bantuan ke Talang Amba.
Namun dalam pada itu, prajurit Singasari yang ada di Talang Amba telah membaur dengan anak-anak muda. Namun agar jumlah mereka tidak menumbuhkan kecurigaan, maka sebagian besar dari mereka tetap berada di banjar-banjar di rumah Ki Sanggarana dan di rumah Ki Sendawa. Sehingga dengan demikian maka yang nampak bersiaga diluar padukuhan, di jalan-jalan menuju ke padukuhan induk dan di pintu-pintu gerbang adalah anak-anak muda Talang Amba.
Pada saat-saat yang demikian, maka tiba-tiba saja seorang pencari kayu di lereng bukit, telah berlari-lari menuju ke padukuhan induk. Kayu bakar yang sudah di ikat dan tinggal membawanya pulang, telah ditinggalkannya.
“Ada apa Ki Tanu?” bertanya seorang anak muda yang berjaga-jaga di pintu gerbang.
“Aku akan menghadap Ki Sanggarana” jawab orang itu.
“Ya ada apa?“ desak anak muda itu.
Ki Tanu termangu-mangu. Lalu katanya “Ada yang akan aku laporkan”
“Ya, apa?“ desak anak muda itu ”Mungkin aku dapat membantu. Atau mungkin kau ingin langsung bertemu dengan Ki Sanggarana sendiri”
“Ya” jawab orang itu.
“Marilah. Aku akan mengantarmu” berkata anak muda itu.
Dengan demikian, maka anak muda itupun telah membawa Ki Tanu ke rumah Ki Sanggarana. Anak muda itupun yakin, tentu ada sesuatu yang penting. Orang itu adalah orang tua yang sederhana dan tidak mempunyai banyak persoalan di dalam hidupnya. Karena itu, jika ia sudah dengan tergesa-gesa ingin berbicara langsung dengan Ki Sanggarana, maka masalahnya tentu masalah yang sangat menarik perhatiannya.
Dengan nafas terengah-engah maka orang itupun akhirnya berhasil menemui Ki Sanggarana yang untuk sementara telah memangku jabatan Buyut di Talang Amba. Orang itu termasuk salah seorang yang harus disingkirkan menurut keinginan Pangeran Lembu Sabdata.
“Ada ada Ki Tanu?” bertanya Ki Sanggarana.
“Ki Sanggarana” berkata Ki Tanu dengan gelisah “Aku baru saja turun dari bukit”
“Oh, begitu?” sahut Ki Sanggarana.
“Ya Ki Sanggarana“ nafas orang itu masih terengah-engah. Lalu katanya “Ketika aku selesai mencari kayu bakar dipinggir hutan di lereng bukit, maka aku telah melihat sebuah barisan di lereng bukit itu. Untuk beberapa saat, aku memperhatikan barisan itu dari balik pepohonan. Ternyata iring-iringan itu telah memasuki hutan itu pula. Karena itulah, maka aku telah melarikan diri tanpa membawa kayu hasil kerjaku yang sebenarnya sudah aku ikat dan siap aku bawa turun”
Ki Sanggarana mengerutkan keningnya. Dengan sungguh-sungguh ia bertanya “Apakah kau melihat ciri-ciri khusus dari iring-iringan itu?“
“Tidak Ki Sanggarana. Tetapi menurut penglihatanku yang kurang jelas, orang-orang di dalam iring-iringan itu semuanya membawa senjata” jawab Ki Tanu.
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Karena ditempat itu hadir juga Ki Waruju maka iapun kemudian berkata kepadanya “Bagaimana menurut pendapat Ki Waruju?“
Ki Waruju mengangguk-angguk. Katanya “Apakah Ki Sanggarana menghubungkan hal itu dengan kemungkinan kehadiran orang-orang Kediri?“
“Ya” jawab Ki Sanggarana.
“Aku sependapat” jawab Ki Waruju.
Karena itulah, maka Ki Saggaranapun kemudian berkata “Ki Tanu, kami mengucapkan terima kasih atas keteranganmu. Karena itu, sekarang beristirahatlah. Keteranganmu penting sekali bagi kami. Kami akan membicarakannya”
Ki Tanu pun kemudian minta diri. Namun ada semacam kebanggaan di dalam dirinya, bahwa ia telah berbuat sesuatu yang penting bagi Kabuyutannya.
Sementara itu, sepeninggal Ki Tanu, maka Ki Sanggarana pun telah mengumpulkan orang-orang yang dianggapnya penting bagi Kabuyutannya. Disamping Ki Waruju, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka Ki Waruju pun telah mengundang beberapa orang yang sebenarnya adalah Senopati dari Singasari.
Dengan jelas maka keterangan Ki Tanu itupun telah diulanginya. Sehingga dengan demikian, maka setiap orang yang mendengarnya akan memberikan tanggapan yang sama, bahwa yang datang itu adalah pengawal pilihan dari Kediri.
“Mulai hari ini, maka latihan-latihan kebukit itu akan dihentikan” berkata Ki Waruju “Karena hal itu akan sangat berbahaya. Meskipun kita sudah tidak lagi memancing prajurit-prajurit Singasari yang akan memasuki iring-iringan anak muda Talang Amba, namun jika anak-anak muda Talang Amba berpapasan dengan mereka, akibatnya akan dapat menjadi gawat bagi anak anak muda Talang Amba”
“Aku sependapat Ki Waruju. Bahkan kita harus meningkatkan kesiagaan dan pengawasan. Kita harus mengamati semua jalan menuju ke Kabuyutan Talang Amba” sahut Ki Sanggarana.
“Serangan itu dapat datang setiap saat” berkata salah seorang dari prajurit Singasari”
Dengan demikian, maka kesiagaan di Talang Amba pun menjadi semakin meningkat. Namun dengan demikian, maka hubungan Talang Amba dengan Kabuyutan disebelah menyebelah rasa-rasanya menjadi terhambat. Orang-orang Talang Amba memberikan alasan-alasan yang masuk akal, kenapa Talang Amba tidak lagi mengirimkan hasil buminya keluar dan seakan-akan Kabuyutan itu menjadi tertutup.
“Kami tidak dapat berterus terang” berkata Ki Sanggarana “Jika demikian, maka rasa-rasanya kami sudah mengetahui apa yang akan terjadi. Karena itu, pengurangan pengiriman barang-barang keluar dan sebaliknya dilakukan sedikit demi sedikit”
“Ya” jawab Ki Sendawa “kami harus menjaga anggapan orang-orang Kediri, bahwa kami tidak tahu apa-apa sekarang ini. Yang kami lakukan adalah mempersiapkan diri. Latihan-latihan yang keras dan kesiagaan sepenuhnya. Namun jika orang-orang Kediri berpendapat, bahwa semua itu dilakukan oleh anak-anak muda Talang Amba sendiri, maka mereka tentu tidak akan mengurungkan niatnya”
Namun dalam pada itu, dihari berikutnya. Talang Amba telah dikejutkan oleh kehadiran empat orang berkuda yang langsung memasuki Kabuyutan Talang Amba. Di ujung lorong dan depan pintu gerbang, anak-anak muda yang sedang berjaga-jaga menghentikan keempat orang itu. Dengan ragu pemimpin anak-anak muda yang bertugas itupun bertanya. “Siapakah Ki Sanak berempat ini. Nampaknya Ki Sanak bukan orang-orang yang sekedar lewat di Kabuyutan kami”
“Kami ingin bertemu dengan Ki Sanggarana, yang sekarang memangku jabatan Buyut di Talang Amba” jawab salah seorang dari keempat orang itu.
“Untuk apa?” bertanya anak muda yang sedang bertugas.
“Aku akan berbicara dengan Ki Sanggarana. Tidak dengan orang lain” jawab orang itu.
Anak muda yang sedang bertugas itu mengerutkan keningnya. Nampaknya orang itu memang terlalu sombong.
“Cepat. Antarkan kami atau kami akan pergi tanpa kalian” berkata orang berkuda itu.
Anak muda itu benar benar telah tersinggung. Tetapi ia menyadari tugasnya. Karena itu, maka katanya “Kami akan mengantarkan kalian. Sikap kalian mencurigakan”
“Aku tidak peduli. Apakah aku kau anggap mencurigakan atau tidak. Cepat. Bawa kami kepada Ki Sanggarana." orang itu justru membentak.
Tetapi anak muda itu tidak mau merendahkan dirinya untuk dibentak-bentak, karena itu jawabnya “Kaulah yang harus menunggu kesempatan yang akan aku berikan. Bukan kami yang harus tunduk kepada perintahmu”
“Jangan sombong” anak muda orang berkuda itu mengeram “dengan demikian kalian akan dapat menyesal”
“Kami adalah pengawal Kabuyutan ini” jawab anak muda itu tidak kalah lantangnya”
Orang berkuda itu menjadi tegang. Namun kemudian katanya “Baiklah Tetapi bawa aku kepada Ki Sanggarana”
Anak muda itupun kemudian menunjuk beberapa orang kawannya bersama dirinya sendiri untuk mengantarkan keempat orang berkuda itu bukan ke rumah Ki Sanggarana. tetapi ke sebuah rumah lain yang cukup besar tidak jauh dari rumah Ki Sanggarana. Sementara itu, seorang diantara anak-anak muda yang bertugas itu harus memberitahukan Ki Sanggarana dan sekaligus seorang yang lain lagi memberitahukan kepada pemilik rumah itu untuk meminjam rumahnya menerima empat orang tamu berkuda yang belum dikenal.
“Hati-hatilah” bisik anak muda itu ”kita memang harus berahasia dengan orang orang yang tidak kita kenal”
Demikianlah, maka anak muda itupun kemudian memperpanjang waktu dengan membagikan lugas-tugas yang sebenarnya tidak penting kepada kawan-kawannya. Dengan demikian maka ia telah memberi kesempatan kepada Ki Sanggarana untuk pergi ke rumah di sebelah rumahnya itu dan mengatur agar orang orang Singasari yang ada di rumahnya tidak berkeliaran. Sementara itu pemilik rumah itu sendiri tidak menjadi bingung atas kehadiran orang orang tanpa dimengerti persoalannya.
“Apakah kami harus menunggu tiga hari disini“ orang-orang berkuda itu akhirnya tidak sabar lagi.
“Baiklah” jawab anak muda itu “tetapi sebagaimana Ki Sanak mengetahui, kami tidak akan dapat meninggalkan gerbang ini begitu saja”
“Sudahlah” potong salah seorang dari keempat orang berkuda itu “jangan bicara saja”
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian bersama dengan kawan-kawannya yang telah ditunjuknya iapun mengantarkan keempat orang berkuda itu untuk menemui Ki Sanggarana Karena anak-anak muda itu tidak berkuda, maka jarak yang tidak terlalu jauh itu telah mereka tempuh dalam waktu yang cukup menjemukan bagi keempat orang berkuda itu. Apalagi mereka masih harus melintasi bulak kecil untuk mencapai padukuhan induk, di mana Ki Sanggarana tinggal.
Demikianlah, akhirnya keempat orang berkuda itu telah dibawa memasuki sebuah halaman yang cukup luas. Di atas tangga pendapa seseorang telah menunggunya. Orang itu adalah Ki Sanggarana. Di belakangnya berdiri Ki Sendawa dan dua orang bebahu yang lain. melengkapi penerimaan mereka atas ampat orang berkuda yang tidak di kenal itu.
Namun dalam pada itu, baik anak-anak muda yang sedang bertugas, maupun Ki Sanggarana dan para bebahu telah menduga bahwa keempat orang itu tentu merupakan bagian dari orang-orang yang berada di lereng bukit. Sejenak kemudian maka keempat orang itupun telah dipersilahkan duduk di pendapa. Setelah Ki Sanggarana mengucapkan basi-basi bertanya tentang keselamatan tamu-tamunya diperjalanan, maka kemudian ia pun bertanya “Siapakah sebenarnya Ki Sanak berempat ini?“
Orang yang tertua diantara keempat orang itupun kemudian menyahut “Baiklah aku berterus-terang. Aku adalah utusan dari Kediri. Dengar baik-baik, bukan dari Singasari. Aku mendapat perintah untuk mengambil tiga orang pengkhianat yang ada di padukuhan ini. Kemudian dua orang yang telah menghembus-hembuskan nafas permusuhan dengan Kediri”
Ki Sanggarana mengerutkan keningnya. Namun ia memang menjadi berdebar-debar. “Siapakah yang Ki Sanak maksudkan?” bertanya Ki Sanggarana.
“Tiga orang yang di saat-saat terakhir sibuk melatih anak-anak muda Talang Amba. Mereka tentu menyiapkan satu pasukan untuk melawan Kediri. Karena itu, serahkan ketiga orang itu. Kau tentu sudah tahu maksudnya. Kemudian yang dua orang lagi adalah Ki Sanggarana sendiri dan Ki Sendawa” jawab orang itu.
“Ki Sanak” jawab Ki Sanggarana “Yang kini memegang pemerintahan adalah Singasari. Meskipun Kediri masih tetap berwenang untuk mengurus dirinya sendiri, tetapi sejak semula kami berada dibawah pemerintahan Singasari. Karena itu, maka kami akan melakukan segala perintah dari Singasari. Bukan dari Kediri meskipun kami tidak memusuhi Kediri karena kami adalah satu keluarga yang besar yang diatur dengan paugeran-paugeran dibawah pengawasan Singasari”
“Jangan berpegang pada paugeran itu. Dengarlah. Sejak semula kami sudah tidak mau menganut paugeran itu, Kami tidak akan tunduk lagi kepada semua perintah Singasari, karena sebenarnya Kedirilah yang harus memerintah Singasari, sejak Singasari masih disebut Pakuwon Tumapel. Karena itu, jangan menyebut peraturan atau paugeran yang dibuat oleh Singasari karena kami tidak mengakuinya lagi” jawab orang tertua diantara empat orang itu.
“Ki Sanak membingungkan kami. Tetapi baiklah kami menentukan satu sikap. Kami tidak dapat menyerahkan orang-orang kami. Justru orang-orang kami yang terbaik, termasuk aku sendiri” berkata Ki Sanggarana kemudian.
“Ki Sanggarana” berkata orang itu “Jika kau menolak, maka kami akan menentukan langkah berikutnya. Kami memang sudah menduga, bahwa kau menjadi sombong karena kau menganggap bahwa latihan-latihan itu meskipun keras dan tidak mengenal lelah tetapi baru dilakukan dalam waktu terlalu singkat itu tidak cukup untuk melindungi Kabuyutanmu ini”
“Ki Sanak salah mengerti” jawab Ki Sanggarana “kami sama sekali tidak ingin menyombongkan diri. Kami mengerti bahwa apa yang kami lakukan itu tidak berarti apa-apa. Kamipun menyadari sepenuhnya. Tetapi kamipun tidak akan berani melawan kuasa Singasari”
“Kalian hanya tinggal menyerahkan lima orang yang kami kehendaki. Selanjutnya, terserah kepada kalian, apakah kalian akan tetap tunduk kepada Singasari atau bergabung bersama kami” berkata orang dari Kediri itu.
“Maaf Ki Sanak” jawab Ki Sanggarana “lima orang yang kalian sebut adalah orang-orang yang sangat kami perlukan. Aku sendiri adalah orang yang memangku jabatan Buyut di Talang Amba. Sedangkan paman Sendawa adalah orang yang sangat aku perlukan untuk membimbing aku dalam tugas-tugasku. Sementara tiga orang yang kini sedang menempa anak-anak muda Talang Amba itu adalah orang-orang yang aku harapkan akan dapat membentuk satu pasukan yang kuat bagi Talang Amba dihari-hari mendatang”
“Ki Sanggarana” berkata orang itu “Aku tidak menanyakan apakah orang-orang itu diperlukan oleh Talang Amba atau tidak. Aku memerlukan mereka. Dan aku akan membawa mereka”
“Jangan begitu Ki Sanak” jawab Ki Sanggarana “dengan demikian maka kau akan memaksakan kehendakmu terhadap kami, orang-orang Talang Amba”
“Tepat. Kami memerlukan orang-orang itu” geram orang tertua diantara keempat orang itu “Meskipun kalian berkeberatan, namun itu tidak akan berarti apa-apa. Kami akan tetap memaksakan kehendak kami”
“Ki Sanak” berkata Ki Sanggarana “Aku tidak mengerti wewenang apakah yang ada pada Ki Sanak, sehingga Ki Sanak akan memaksakan kehendak itu atas kami”
“Wewenang yang ada pada kami adalah kekuatan kami” jawab orang itu “Jika kau menolak untuk menyerahkan lima orang yang kami kehendaki, maka Talang Amba ini akan menjadi karang abang. Hutan di lereng bukit akan menjadi debu. Sementara itu akhirnya yang lima orang itupun akan kami dapatkan, hidup atau mati”
“Jangan menakut-nakuti Ki Sanak” jawab Ki Sanggarana “Talang Amba bukannya tidak memiliki kekuatan sama sekali. Anak-anak kami telah melakukan latihan tanpa mengenal lelah. Ketrampilan bermain senjata dan sekaligus ketahanan tubuh dan peningkatan kekuatan. Meskipun yang kami lakukan itu masih terhitung belum terlalu lama, tetapi latihan-latihan itu dilakukan dengan tidak mengenal lelah."
“Kau kira berlari-lari di lereng buki dan menyebrangi rawa-rawa itu akan dapat meningkatkan kemampuan kalian lima kali lipat?“ potong orang Kediri itu “Nah, pikirkan baik-baik. Aku masih memberimu kesempatan untuk satu dua saat. Jika kalian memikirkan kepentingan Talang Amba dalam keseluruhan, maka kalian tentu akan menerima tawaran kami. Menyerahkan lima orang yang aku kehendaki. Kemudian kami akan meninggalkan Talang Amba tanpa mengusikmu sama sekali”
Ki Sanggarana menggelengkan kepalanya. Tetapi ia masih tetap dapat menguasi dirinya. Di wajahnya sama sekali tidak nampak gejolak perasaannya.
Namun dalam pada itu, Ki Sendawalah yang berkata “Ki Sanak. Sanggarana adalah ikatan bagi rakyat Talang Amba. Jika ia pergi maka Talang Amba akan kehilangan ikatannya sehingga rakyatnya akan menjadi bercerai-berai. Aku yang pernah mencoba untuk memutuskan ikatan itu. akhirnya akulah yang hampir saja menjadi korban. Untunglah aku menyadari kesalahanku sebelum terlambat. Karena itu, maka sebaiknya Ki Sanak tidak melanjutkan usaha Ki Sanak untuk membawanya pergi. Mungkin aku memang orang yang tidak berarti di Talang Amba. Tetapi bukan Sanggarana dan tiga orang yang sedang menempa anak-anak Talang Amba sekarang ini “
“Kami bukan seorang penjaja yang sedang menawarkan barang-barang dagangan yang akan dapat ditawar” berkata orang Kediri itu “kami datang untuk melakukan tugas kami dengan sebaik-baiknya. Hanya ada dua ke mungkinan Menyerahkan orang-orang yang kami kehendaki, atau Talang Amba akan menjadi abu bersama hutan di lereng bukit”
“Ki Sanak” berkata Ki Sendawa “bukankah sebenarnya yang kedua itulah yang kalian kehendaki? Kalian sudah memperhitungkan, bahwa orang-orang Talang Amba akan mempertahankan orang-orang yang kalian kehendaki. Dengan demikian kalian mempunyai alasan untuk melakukan sebagaimana yang kalian katakan Membakar Talang Amba dan yang lebih penting adalah menghancurkan hutan di lereng bukit itu."
“Gila” geram orang Kediri itu.
Namun dalam pada itu. Ki Sanggaranapun berkata “Ki Sanak. Aku yakin bahwa yang kau lakukan itu sama sekali bukan atas perintah pimpinan kekuasaan di Kediri. Yang kau lakukan justru telah merusakkan citra Kediri itu sendiri. Tetapi kalian memang tidak peduli karena kalian mempunyai arah perjuangan menurut selera kalian sendiri, tanpa menghiraukan hubungan dalam keluarga besar antara Kediri dan Singasari”
Orang tertua yang datang ke Talang Amba itu tiba-tiba tertawa. Katanya “Oh. Orang-orang Kabuyutan yang jauh dari ratu tetapi dekat dengan batu. Apa yang kau ketahui tentang kekuasaan di Kediri? Apa yang kau ketahui tentang hubungan antara Kediri dan Singasari. Apa pula yang kau ketahui tentang citra Kediri itu sendiri? Orang-orang yang dungu. Menyerahlah. Aku hanya memerlukan lima orang”
“Apapun yang kau katakan, bukankah kau menghendaki perselisihan terjadi dan kalian akan dapat melakukan keganasan seperti yang kau katakan? jawab Ki Sendawa Ki Sanak. Kami tidak akan menyerahkan orang-orang terbaik dari Talang Amba. Kami akan mempertahankannya dengan cara yang dapat kami lakukan. Jika Talang Amba harus hancur, biarlah Talang Amba menjadi perlambang tekad dari rakyatnya untuk mempertahankan diri terhadap kekuasaan yang hanya berlandaskan pada kekuatan seperti yang kalian lakukan. Tetapi kehancuran Talang Amba akan membawa akibat yang parah bagi kalian. Karena Singasari dan Kediri akan segera turun tangan. Kalian tidak akan dapat melepaskan diri dari kekuasaan yang sebenarnya ada di Singasari dan Kediri”
Keempat orang itu menjadi tegang. Namun kemudian salah seorang diantara mereka, justru yang paling muda menggeram “jangan menyesal. Kami akan segera datang kembali dengan kekuatan kami untuk memaksakan kehendak kami”
“Kami akan bersiap menunggu kedatangan kalian" jawab Ki Sendawa “sebagaimana kalian lihat, disini ada beberapa orang bebahu dan anak-anak muda yang mewakili tekad seisi Kabuyutan ini. Selebihnya. Gagelang, Singasari dan Kediri akan melakukan tugas mereka sebagaimana seharusnya kelak jika kalian tidak menarik diri dari persoalan ini."
Orang-orang Kediri itu tertawa. Katanya “Kalian adalah sejenis kecoak yang sombong. Baiklah. Tunggu dalam satu dua hari ini. Kami akan datang kembali. Kabuyutan ini akan menjadi lautan api”
“Aku tidak yakin bahwa kalian berani melakukan” jawab Ki Sendawa, biarpun kata-kata itu mengejutkan juga bukan saja bagi orang-orang. Kediri itu, tetapi juga bagi Ki Sanggarana dan orang-orang lain yang mendengarkan. Lalu, “Yang mungkin kalian lakukan adalah sekedar melepaskan kejengkelan kalian atas kegagalan ini dengan membakar hutan atau tingkah laku lainnya yang justru menunjukkan kekecilan jiwa kalian. Tetapi sama sekali bukan bertempur beradu dada dengan anak-anak muda Talang Amba”
“Gila“ orang tertua diantara mereka membentak. Ki Sendawa. "Agaknya kau adalah orang yang pertama-tama akan menjadi korban dari kesombonganmu”
“Aku memang orang sombong dan tidak tahu diri, sebagaimana aku pernah ingin merampas kekuasaan kemenakanku di Talang Amba. Tetapi kemudian aku sadar bahwa aku salah. Namun agaknya kali ini akupun sadar, bahwa aku benar menghadapi sikap kalian” jawab Ki Sendawa.
Orang-orang berkuda itu hampir tidak dapat menahan diri lagi. Tetapi mereka tetap menahan darah mereka yang mendidih. Mereka sadar, bahwa mereka berempat tidak akan dapat berbuat banyak. Namun dengan demikian orang tertua diantara mereka itupun berkata “Aku akan pergi. Tetapi aku berjanji untuk memasuki rumah ini sekali lagi selambat-lambatnya dua hari mendatang. Kalian akan mengenal sikap kami yang sebenarnya. Kami akan membawa tali gantungan dan menggantung kalian di dahan batang pohon di halaman itu”
Orang-orang itu tidak menunggu jawaban. Merekapun segera berdiri dan meninggalkan tempat itu dengan jantung yang membara.
Namun agaknya Ki Sendawa masih belum puas untuk melepaskan mereka begitu saja. Ternyata ketika orang-orang itu sudah berada di punggung kudanya, Ki Sendawa masih berteriak “Kami menunggu kalian selambat-lambatnya dua hari mendatang. Jika kalian benar-benar merasa mempunyai kekuasaan karena kekuatan kalian, maka kalian tentu tidak hanya sekedar membakar hutan untuk membalas sakit hati dan dendam karena kegagalan kalian berturut-turut”
Orang termuda diantara orang-orang Kediri itu hampir saja meloncat dari kudanya. Tetapi orang tertua diantara mereka telah mengantarnya sambil berkata “Kita akan membuktikan apa yang kita katakan”
Sejenak kemudian, maka keempat ekor kuda itupun telah berpacu membawa penunggang-penunggangnya. Hanya dalam sesaat mereka telah hilang dibalik regol halaman.
Sepeninggal orang-orang itu, maka Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun masih bertanya kepada Ki Sendawa “Kenapa paman dengan sengaja membuat hati mereka menjadi panas”
Ki Sendawa mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya “Sebenarnya aku mencemaskan hutan itu. Mungkin mereka tidak berbuat apa-apa atas kita. Tetapi mereka hanya membakar dan menghancurkan hutan di lereng bukit. Karena itu, aku sengaja membakar kemarahannya, agar mereka benar-benar turun dan menyerang Kabuyutan ini. Bukankah memang demikian yang kita kehendaki termasuk orang-orang Singasari yang ada disini?“
Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Ternayata dalam keadaan yang panas, pamannya masih sempat membuat perhitungan untuk menghindarkan hutan di lereng bukit itu menjadi sasaran kemarahan orang orang Kediri. Karena itu, maka Ki Sanggaranapun kemudian berkata,
“Jika demikian, kita harus benar-benar bersiap. Kita akan segera memerintahkan setiap anak muda untuk bersikap dengan senjata ditangan. Dalam dua hari ini tidak seorangpun yang kita benarkan meninggalkan Kabuyutan. sementara kita dapal memberikan keterangan kepada tetangga Kabuyutan kita agar mereka tidak terkejut dan terjebak dalam pertengkaran kita dengan orang-orang yang ingin membinasakan hutan diwilayah kita itu” berkata Ki Sendawa kemudian.
Demikianlah maka perintah itupun segera dilaksanakan. Anak-anak muda Talang Amba tiba-tiba lelah hilir mudik dari satu pedukuhan ke padukuhan yang lain. sehingga kesibukanpun nampaknya telah berubah menjadi semacam kebingungan.
“Kita tidak dapat memilih jalan lain” berkata Ki Sanggarana, meskipun dengan demikian berakibat kegelisahan di lingkungan rakyat Talang Amba."
Dalam pada itu, beberapa orang pengawas yang dipasang oleh orang-orang Kediri yang menjadi pengikut Pangeran Lembu Sabdata mengamati keadaan di Talang Amba sambil tersenyum. Mereka melihat anak-anak muda Talang Amba seperti kebingungan. Mereka berjaga-jaga di padukuhan-padukuhan yang terpencar, tetapi dalam waktu yang terhitung singkat mereka telah ditarik kembali ke padukuhan induk. Tetapi beberapa saat kemudian, maka merekapun telah memencar lagi.
“Mereka tidak tahu, bagaimana harus mempertahankan padukuhan mereka,” berkata salah seorang pengamat. “Mereka menjadi bingung dari arah mana kawan-kawan kita akan memasuki Kabuyutan. Sehingga degan demikian, maka anak-anak muda itu seperti kehilangan pegangan. Mereka berjaga-jaga di padukuhan-padukuhan kecil di sekitar padukuhan induk mereka, atau mereka harus berkumpul untuk mempertahankan padukuhan induk”
Kawannya justru tertawa. Katanya “Aku menjadi kasihan kepada mereka. Pemimpin-pemimpin mereka yang sombong sama sekali tidak memperhatikan keadaan yang sebenarnya dari anak-anak muda Talang Amba yang sebenarnya masih belum siap sama sekali menghadapi keadaan ini“
“Kemenangan yang pernah terjadi agaknya membuat mereka mabuk. Mereka tidak dapat lagi melihat kenyataan, bahwa kemenangan di Kabuyutan ini sebenarnya bukan kemenangan mereka. Tetapi kemenangan orang-orang Singasari yang licik itu” berkata orang yang pertama.
“Selambat-lambatnya dua hari lagi, Kabuyutan itu akan menjadi karang abang. Rumah-rumah akan dibakar. Dan anak-anak muda itu akan dibantai tanpa ampun. Mungkin kita akan mendapatkan perempuan boyongan yang dapat kita bawa kembali ke Kediri” sahut kawannya.
“Gila” geram yang lain “Aku sudah beristri. Jika aku mendapatkan gadis boyongan, tentu tidak akan aku bawa kembali ke Kediri“
“Kau bawa kemana“ bertanya kawannya.
“Aku tinggalkan saja ia disini” jawabnya.
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa keras-keras.
“Sst” desis yang lain “jangan menjadi gaduh seperti itu. Ingat, tugas kita adalah tugas rahasia”
Kawannya terdiam. Namun bibirnya masih saja tersenyum-senyum.
Sebenarnyalan pada saat itu, anak-anak muda Talang Amba bagaikan menjadi kebingungan. Bahkan ada beberapa orang yang menyingkir dari padukuhan-padukuhan terpencil. Mereka akan dapat menjadi korban kebinasaan orang-orang yang mengancam akan menghancurkan Talang Amba itu. Sebagian besar dari mereka telah memasuki padukuhan induk Kabuyutan dan tinggal diantara sanak kadang mereka yang berada di induk padukuhan itu.
Tetapi Ki Sanggarana dan para bebahu Kabuyutan itu tidak berusaha untuk menenangkan mereka. Dibiarkannya saja kebingungan itu di Talang Amba. Dalam pada itu, persiapan-persiapan yang sebenarnya telah dilakukan. Ki Sanggarana memang menganjurkan agar para penghuni padukuhan-padukuhan kecil lebih baik meninggalkan padukuhan mereka dan berada di padukuhan induk.
Sementara itu kesan kebingungan dan tingkah laku anak-anak muda yang hilir mudik dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain itu memang disengaja oleh Ki Sanggarana dan para pemimpin Kabuyutan Talang Amba. Dengan demikian maka penempatan para prajurit Singasari ditempai tempat yang memerlukan tidak dapat diamati oleh para pengawas yang tidak berani memasuki Kabuyutan. Mereka hanya mengamati dari tempat yang jauh atau memasuki daerah pategalan diantara padukuhan-padukuhan. Sehingga mereka tidak dapat mengamat dengan cermat apa yang sebenarnya terjadi di padukuhan-padukuhan yang sedang bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan itu.
Dengan keadaan yang nampaknya membingungkan dan kegelisahan yang kurang dapat dikuasai itu, sebenarnyalah bahwa para prajurit Singasari telah menempati tempat-tempat yang paling baik bagi mereka. Tempat yang akan memungkinkan mereka bergerak cepat kearah yang paling memerlukan, sementara itu, anak-anak muda Talang Amba sendiri telah berada di gardu-gardu pengawasan di padukuhan-padukuhan yang terpencar. Namun mereka telah menyiapkan alat-alat isyarat serta tanda-tanda yang sudah saling disetujui.
Demikianlah. Talang Amba telah benar-benar berada dalam kesiagaan penuh. Selain anak-anak muda. maka para prajurit Singasaripun telah siap menghadapi segala kemungkinan. Dalam ujud sebagaimana anak-anak muda Talang Amba. sebagian dari merekapun telah berada di gardu-gardu pula. sedangkan sebagian besar tetap berada di dalam rumah rumah yang ditentukan bagi mereka di padukuhan-padukuhan yang tersebar.
Sementara itu untuk mempercepat gerak anak-anak muda Talang Amba. Maka mereka telah mempersiapkan kuda sebanyak yang ada di Kabuyutan Talang Amba. Dengan kuda-kuda itu. maka anak-anak muda Talang Amba akan dapat digerakkan kearah pasukan lawan yang akan memasuki Kabuyutan Talang Amba.
Namun sekali lagi para pengawas telah mentertawakan anak-anak muda itu. Sebagian dari mereka memang telah mempergunakan kuda-kuda itu sebagai alat penghubung dari satu padukuhan dengan padukuhan yang lain.
“Anak-anak Talang Amba benar-benar melakukan persiapan. Seolah-olah Kabuyutan mereka adalah satu negara besar yang sudah bersiap menghadapi serangan lawannya” berkata salah seorang pengawas.
“Dengan nada tengadah anak-anak muda berkuda hilir-mudik” sahut yang lain “seakan-akan mereka adalah kesatria-ksatria yang sedang memeriksa pasukan segelar sepapan”
Keduanya tertawa. Namun merekapun tidak berkata lebih banyak lagi. Mereka hanya tinggal menunggu kehancuran Kabuyutan Talang Amba. karena merekapun sebenarnya telah menjadi jemu mengawasi Kabuyutan itu untuk waktu yang sudah cukup lama. Meskipun mereka melakukan bersama beberapa orang dan mereka mendapat kesempatan untuk bergantian kembali ke Kediri, namun tugas itu merupakan tugas yang tidak menyenangkan.
Demikianlan. ketika hari pertama telah lewat, maka persiapanpun telah diperkuat. Agaknya orang-orang Kediri yang menjadi pengikut Pangeran yang gagal menguasai Talang Amba dengan memperalat Akuwu Gagelang itu benar benar akan turun pada hari kedua.
Sebenarnyalah, ketika matahari mulai membayang di langit pada hari kedua, sepasukan yang kuat yang berada di hutan di lereng bukit telah bersiap. Katika Pangeran Lembu Sahdata memerintahkan untuk membakar hutan itu, maka seorang pengikutnya yang ditugaskan memasuki Talang Amba sebelumnya telah mencegahnya.
“Kita akan menghancurkannya kemudian. Kita akan mengikat para pemimpin Talang Amba itu pada batang batang pohon di dalam hutan ini dan membakarnya berkata pengikutnya itu. Kita tidak perlu memasuki hutan ini lagi” jawab Pangeran Lembu Sabdata.
“Tetapi orang-orang Talang Amba telah menghina kami” jawab pengikutnya “ketika kami berada di Talang Amba. mereka mengatakan, bahwa kami tidak akan berani memasuki Talang Amba. Yang dapat kami lakukan hanyalah menyalurkan kemarahan dan dendam kami hanya dengan membakar hutan itu saja”
Pangeran Lembu Sabdata mengerutkan keningnya, sementara pengikutnya itu berkata selanjutnya “kami ingin menunjukkan kepada mereka, apa yang dapat kami lakukan. Karena itu, kami ingin menangkap mereka, mengikat mereka dihutan ini, kemudian membakar mereka hidup-hidup bersama seluruh hutan ini. Mudah-mudahan angin bertiup nanti, sehingga hutan ini akan cepat menjadi abu. Kita akan membakar dari bagian bawah dan api akan menjalar ke lereng yang lebih tinggi. Kami akan memusnakan semua isinya termasuk binatang-binatang liar yang adadi dalamnya”
Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Dan pengikutnya yang lain yang ikut memasuki Talang Amba sebelumnya menyambung “Para pemimpin di Talang Amba terlalu sombong dan sikapnya sangat menyakitkan hati. Dibakar hidup-hidup itupun masih merupakan hukuman yang terlalu ringan bagimereka. Tetapi itu akan lebih baik daripada mereka dihukum mati sebagaimana kebiasaan kami menghukum mati seorang penjahat dengan juru tuwek”
“Terserahlah kepada kalian” desis Pangeran Lembu Sabdata. Lalu "Agaknya kalian mempunyai pertimbangan tersendiri. Dalam akhir hidupnya, para pemimpin itupun akan melihat, bagaimana hutan mereka akan terbakar habis”
Dengan demikian maka Pangeran Lembu Sabdata telah mengurungkan niatnya untuk membakar hutan itu lebih dahulu. Akhirnya iapun sependapat untuk menangkap para pemimpin Talang Amba yang sombong dan memaksa mereka melihat kehancuran tanah yang mereka pertahankan. Hutan yang hijau itu akan menyala dan mereka akan ikut terbakar di dalamnya.
Tiba-tiba saja Pangeran Lembu Sabdata itu tertawa. Katanya “Pikiran kalian memang sangat menarik”
Demikianlah maka pasukan Pangeran Lembu Sabdata yang untuk beberapa malam berada di hutan itupun telah mulai bergerak. Mereka membagi pasukan mereka menjadi beberapa kelompok.
“Tutup semua jalan keluar” perintah Pangeran Lembu Sabdata “tidak boleh seorangpun dari para pemimpin Talang Amba yang luput dari tangan kita. Mereka semua harus mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka. Kita akan memasuki Talang Amba dari beberapa arah. Menurut perhitunganku, mereka tidak akan mempertahankan padukuhan demi padukuhan. Tetapi mereka akan mempertahankan beberapa padukuhan terpenting saja. Terutama padukuhan induk. Karena itu, maka kita harus dapat mengepung padukuhan induk itu setelah menembus beberapa padukuhan terpenting di sekitarnya”
Atas petunjuk orang-orang yang telah berada di sekitar Talang Amba sejak beberapa saat sebelumnya, maka kelompok-kelompok itupun bergerak menuju kesasaran. Menurut petunjuk para pengawas, maka tiga padukuhan utama sebelum padukuhan induk merupakan padukuhan yang dijaga paling ketat.
“Anak-anak muda Talang Amba bagaikan kebingungan. Seperti gabah sedang ditampi. Agaknya tidak ada petunjuk yang mapan bagi anak-anak muda itu, bagaimana mereka harus mempertahankan padukuhan mereka. Tetapi menurut pengamatan kami, anak-anak muda Talang Amba terbanyak ada di tiga padukuhan yang merupakan padukuhan yang membayangi padukuhan induk dari tiga jurusan” berkata salah seorang dari para pengawas.
Pangeran Lembu Sabdata mempercayai petunjuk itu. Lapun memperhitungkan bahwa anak-anak muda Talang Amba akan bertahan di padukuhan itu, sebelum mereka melepaskan pasukan lawan menuju ke padukuhan induk. Tetapi pangeran Lembu Sabdata telah menentukan satu isyarat bagi pasukannya. Menjelang tengah hari, setiap kelompok harus sudah dapat menyeleaikan tugas masing-masing di padukuhan-padukuhan itu, seterusnya setelah isyarat dibunyikan, maka tengah hari mereka memasuki padukuhan induk dari tiga arah dan seterusnya padukuhan induk itu harus benar-benar dikepung rapat.
“Jika ada kesulitan, maka setiap kelompok harus memberikan laporan, sehingga bagi kelompok yang memiliki kelebihan kekuatan akan mengirimkan bantuan secukupnya” berkata Pangeran Lembu Sabdata.
Tetapi para pemimpin kelompok itupun tertawa. Salah seorang diantara mereka berkata “Apakah kira-kira diantara kita ada yang akan mengalami kesulitan? Jika demikian, maka sebaiknya kelompok yang mengalami kesulitan itu kembali saja ke Kediri, melepaskan pakaian pengawal kita dan ikut masak saja didapur”
Beberapa orang pemimpin pasukan pengawal yang terlibat dalam kegiatan Pangeran Lembu Sabdata dan beberapa orang saudaranya itu tertawa pula. Bahkan Pangeran Lembu Sabdatapun akhirnya tersenyum juga sambil berkata “Siapa tahu. Anak-anak Talang Amba sudah berlatih keras untuk beberapa hari. Mungkin ada keajaiban yang membuat mereka memiliki kekuatan seorang prajurit linuwih”
Yang mendengar gurau Pangeran yang sebelumnya selalu bersungguh-sungguh itupun tertawa pula. Demikianlan, maka sejenak kemudian pasukan itu benar-benar telah menuruni bukit. Mereka meninggalkan hutan yang juga termasuk wilayah Talang Amba. Mereka sama sekali tidak menghiraukan padukuhan-padukuhan kecil yang terpencar. Tetapi mereka langsung menuju ke tiga padukuhan yang cukup besar diseputar padukuhan induk, sekedar dipisahkan oleh bulak-bulak sempit.
Anak-anak muda Talang Amba memang memberikan kesan, bahwa padukuhan itulah yang paling banyak dipertahankan, karena letaknya yang melindungi padukuhan induk Kabuyutaan Talang Amba.
Dalam pada itu, ketika kelompok-kelompok pasukan Pangeran Lembu Sabdata itu mendekati padukuhan-padukuhan di Talang Amba, maka para pengawas diantara anak-anak muda Talang Ambapun segera memberikan laporan. Beberapa orang berkuda meninggalkan padukuhan-padukuhan kecil yang memang tidak akan mereka pertahankan. Tetapi, sebenarnyalah bahwa padukuhan padukuhan itu bukannya padukuhan yang dikosongkan oleh anak-anak muda Talang Amba.
Dengan cerdik anak-anak muda Talang Amba yang telah berbaur dengan prajurit-prajurit Singasari di padukuhan padukuhan kecil itu memang menghindari pasukan Pangeran Lembu Sabdata. Jika pasukan Pangeran Lembu Sabdata menuju ke sebuah padukuhan kecil sekedar untuk lewat, maka anak-anak di padukuhan itu telah berusaha untuk bersembunyi. Sementara itu pasukan Pangeran Lembu Sabdatapun tidak banyak memperhatikan padukuhan itu. Mereka sekedar lewat saja jalan induk yang membelah padukuhan itu menuju ke sasaran.
Apabila ketika kelompok-kelompok pasukan itu melihat beberapa anak muda yang meninggalkan padukuhan itu diatas punggung kuda. Maka merekapun semakin meyakini kebenaran perhitungan mereka, bahwa pasukan Talang Amba bertahan diseputar induk padukuhan. Namun dalam pada itu, demikian pasukan Pangeran Lembu Sabdata itu lewat, maka anak-anak muda Talang Amba dan para prajurit Singasari yang berada di padukuhan-padukuhan kecil itupun segera bersiap-siap.
Beberapa saat kemudian, maka pasukan Pangeran Lembu Sabdata itupun telah mendekati tiga padukuhan induk yang mereka perhitungkan menjadi daerah pertahanan orang-orang Talang Amba. Pasukan Pangeran Lembu Sabdata itu memang tidak menghiraukan mereka menuju ke padukuhan induk menerobos lewat bulak-bulak diluar ketiga padukuhan yang mereka perkirakan menjadi daerah pertahanan orang-orang Talang Amba itu. Pasukan itu memang akan menusuk dan menghancurkan orang-orang Talang Amba yang bertahan di padukuhan-padukuhan itu.
Baru menjelang tengah hari pasukan itu akan bergerak dan mengepung padukuhan induk, sehingga tidak seorangpun yang boleh lolos dari tangan mereka. Sementara itu, disaat pasukan Pangeran Lembu Sabdata itu bertempur di ketiga padukuhan yang menjadi sasaran itu, maka sekelompok kecil dari mereka akan mengamati padukuhan induk, agar tidak ada orang yang berusaha melarikan diri.
Demikianlah, maka pasukan itupun benar-benar telah berada dihadapan padukuhan-padukuhan yang menjadi sasaran. Setiap kelompok akan menghadapi satu padukuhan. Mereka mendapat waktu untuk menghancurkan seisi padukuhan itu dalam waktu setengah hari, sampai saatnya menjelang tengah hari mereka akan mengepung padukuhan induk.
Untuk mempersiapkan sergapan mereka dipadukuhan-padukuhan yang menjadi sasaran, maka kelompok-kelompok pasukan itu kemudian telah mengatur diri. Pasukan-pasukan yang telah disusun dalam kelompok-kelompok itu lalu berpencar, membuat gelar sebelum mereka memasuki padukuhan.
“Membuang-buang waktu saja” desis salah seorang pengawal “seharusnya kita tidak perlu menganggap lawan di padukuhan itu sebagian lawan yang berarti, sehingga sebenarnya kita tidak perlu menyusun gelar. Begitu saja kita memasuki padukuhan itu lewat beberapa arah. Langsung saja kita menghancurkan padukuhan itu dan membakar semua rumah yang ada dan membunuh semua laki-laki yang melawan”
“Pemimpin-pemimpin kita terlalu berhati-hati” jawab kawannya “tetapi itu tidak ada jeleknya. Kita akan menghancurkan padukuhan itu dengan lebih sempurna Dengan gelar kita akan menempuh lawan kita dan menghancurkannya sampai tuntas“
Kawannya mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya sangat segan untuk maju dalam gelar yang sangat mengikat itu. Tetapi para pengawal itu tidak dapat berbuat lain. Pimpinan mereka menghendaki demikian, dan mereka harus melakukannya.
Perlahan-lahan gelar pasukan Lembu Sabdata itupun merayap maju. Pangeran Lembu Sabdata sendiri berada diluar ketiga gelar yang siap untuk menghancurkan padukuhan-padukuhan dihadapan mereka. Dengan demikian Pangeran Lembu Sabdata akan dapat mengatur seluruh pasukan yang dibawanya.
Dalam pada itu, sebenarnyalah anak-anak muda Talang Amba dan para prajurit Singasari telah bersiap di dalam ketiga padukuhan itu. Sementara itu anak-anak muda di padukuhan-padukuhan kecil diluar ketiga padukuhan itu telah mendapat perintah pula untuk bergerak jika pertempuran telah terjadi. Mereka mendapat perintah untuk menghalangi semua unsur yang ada di dalamnya pasukan Pangeran Lembu Sabdata yang akan melarikan diri.
Ketika pasukan Pangeran Lembu Sabdata dalam gelar yang lengkap itu semakin dekat dengan padukuhan-padukuhan yang menjadi sasaran mereka, maka anak-anak muda yang ada dipadukuhan-padukuhan itupun telah mempersiapkan busur dan anak panah. Sebagaimana yang pernah mereka lakukan, maka dalam bentuknya pertama, mereka harus berusaha mengurangi jumlah lawan mereka sebanyak-banyaknya.
Tetapi pasukan Pangeran Lembu Sabdatapun telah mengenal cara itu pula. Karena itu. Maka mereka yang telah berada di paling depan telah bersiap dengan perisai untuk melindungi diri dari ujung anak panah dan lembing.
Sejenak kemudian, maka benturanpun tidak dapat dihindarkan lagi. Ketika aba-aba terdengar dari para Senopati dalam gelar itu. Maka para pengawal dalam pasukan Pangeran Lembu Sabdata pun telah bergerak semakin cepat. Sebagian dari mereka dengan segan ikut pula berlari-lari. Bahkan ada juga yang sempat bergumam,
“Anak-anak Talang Amba memang gila. Mereka dapat memaksa kami berlari-lari seperti ini. Sebaiknya kita memasuki padukuhan itu dari arah yang manapan yang kita kehendaki”
Tetapi kawannya tidak menjawab. Tiba-tiba saja ia terpaksa meloncat menghindar ketika sebuah lembing mengarah kepadanya.
“Satu lontaran yang luar biasa” desis Pengawal yang hampir saja terkena itu “lembing itu melampaui perisai yang melindungi pasukan ini”
“Kita sudah semakin dekat” jawab yang lain.
“Bagaimanapun juga kita harus berhati-hati” berkata kawannya pula "anak-anak Talang Amba pernah belajar bagaimana mereka harus melontarkan senjata-senjata mereka”
Tidak ada jawaban lagi. Semua orang mulai memperhatikan tugas mereka di dalam satu kelompok yang cukup besar yang memencar dalam gelar yang melebar. Namun yang tidak mereka duga sebelumnya, ketika tiba-tiba, saja mereka melihat anak-anak muda Talang Amba telah muncul dari balik dinding dan kemudian bahkan berloncatan keluar.
Sikap anak anak muda Talang Amba itu memang mengejutkan. Menurut perhitungan, maka anak-anak muda Talang Amba itu akan tetap berlindung dibalik dinding batu sambil melontarkan anak panah dan lembing, sehingga dengan demikian mereka berharap untuk dapat mengurangi jumlah lawan sebanyak-banyaknya. Namun bagi pasukan yang berpengalaman, maka mereka telah bersedia dengan pasukan berperisai untuk mengatasinya. Tetapi yang mereka hadapi kemudian justru anak-anak muda Talang Amba itulah yang berloncatan keluar dari balik dinding dengan senjata teracu.
“Aneh” desis salah seorang diantara para penyerang “mungkin juga bahwa anak-anak itu sudah menjadi gila”
Dalam pada itu, Senopati yang memimpin setiap kelompok itupun telah mengambil sikap menghadapi anak-anak muda Talang Amba yang justru keluar dari sarang mereka. Dengan tegas para Senopati itu memerintahkan agar setiap orang di dalam pasukan itu tidak ragu-ragu.
“Lakukanlah tugas kalian dengan tegas dan penuh tanggung jawab“ perintah para Senopati “Jika lawan kalian terbunuh, adalah satu hal yang sangat wajar. Dan kalian memang harus membunuh sebanyak-banyaknya. Sebelum tengah hari tugas kalian disini harus sudah selesai, sebelum kita memasuki padukuhan induk Kabuyutan”
Perintah itu menjalar dari mulut ke mulut, sehingga setiap orangpun kemudian mendengar “Bunuh lawan sebanyak-banyaknya dan hancurkan padukuhan itu sehingga menjadi abu”
Beberapa orang pengawal dan pasukan Pangeran Lembu Sabdata itu. justru menjadi gembira. Setelah mereka mengatasi perasaan terkejut mereka, maka mereka merasa akan mendapat permainan yang mengasyikkan.
“Perburuan yang akan sangat menyenangkan” berkata salah seorang diantara mereka. Lalu katanya kepada kawan disampingnya “Marilah kita bertaruh. Siapa diantara kita yang lebih banyak membantai lawan”
“Tentu aku” jawab kawannya.
“Dua keping uang untuk satu kepala” berkata orang pertama “kita hitung berapa selisihnya. Tetapi kita harus jujur”
“Bagus. Kau harus menjual kerbaumu untuk membayar taruhan ini” jawab kawannya pula.
Demikianlah, maka jarak yang menjadi semakin pendek itupun akhirnya telah dilampaui. Kedua pasukan itupun telah membenturkan diri dengan serunya. Keduanya telah merundukkan senjata masing-masing. Sementara itu sorak yang gemuruh bagaikan membelah langit, Kedua belah pihak telah meneriakkan aba-aba. Peringatan dan ancaman-ancaman. Bahkan ada pula yang telah mengumpat-umpat.
Benturan itu benar-benar mengejutkan para pengikut Pangeran Lembu Sabdata. Ternyata mereka tidak menyangka, bahwa pada benturan pertama itu. Pasukan mereka dalam gelar itu bagaikan membentur benteng yang sangat kuat. Ternyata pada saat terakhir, anak-anak muda Talang Amba yang berloncatan keluar dari padukuhan itupun telah menyusun satu gelar yang dapat mengimbangi welar pasukan Pangeran Lembu Sabdata.
Dengan demikian, maka induk pasukan dari para pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu telah berhadapan dengan induk pasukan anak-anak muda Talang Amba. Sementara itu sayap-sayapnyapun telah berhadapan dengan sayap-sayap pasukan Talang Amba pula. Yang terjadi itu bukan saja satu diantara tiga kelompok pasukan Pangeran Lembu Sabdata. Tetapi ketiga kelompok pasukan Pangeran Lembu Sabdata telah menghadapi keadaan yang serupa.
“Bukan main” geram salah seorang Senopati dari pasukan Pangeran Lembu Sabdata “anak-anak Talang Amba yang berlatih dalam waktu yang singkat itu telah mampu melakukan satu gerak pasukan dengan cepat dan rapi. Bagaimanapun kerasnya mereka melatih diri. Namun agaknya mereka mendapatkan seorang atau lebih pelatih yang memang mumpuni dalam perang gelar”
Demikianlah yang terjadi kemudian adalah satu arena pertempuran yang sengit. Ternyata anak-anak muda Talang Amba bukan kambing hitam yang lemah yang dapat diperlakukan sekehendak hati pasukan lawannya. Para pengikut Pangeran Lembu Sabdata tidak dapat membantai orang-orang Talang Amba sebagaimana mereka kehendaki.
Dua orang pengikut Pangeran Lembu Sabdata yang bertaruh tentang jumlah orang yang dapat mereka bunuh, telah terkejut pula menghadapi lawan-lawannya. Pada saat mereka benar-benar ingin membunuh untuk mendapatkan kemenangan di dalam taruhan, maka keduanya ternyata telah menghadapi dua orang anak muda yang tangguh. Masing-masing menghadapi anak-anak muda yang ternyata memiliki kemampuan yang tinggi dalam mempermainkan senjata mereka.
“Gila” geram pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu. “siapakah yang mengajari kalian dalam ilmu pedang?“
Tiba-tiba saja salah seorang diantara lawan-lawannya itu menjawab “Ki Sanggarana”
“Omong kosong” teriak pengikut Pangeran Lembu Sabdata “suruh Sanggarana maju kehadapanku. Ia sendiri tidak akan mampu menghadapi aku dalam sekejap”
“Tetapi aku adalah muridnya. Guru yang cakap akan dapat membuat muridnya menjadi lebih pandai dari gurunya. Dan agaknya Ki Sanggarana adalah guru yang baik”
“Persetan” geram pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu.
Dengan kemarahan yang menghentak-hentak dadanya, maka pengikut Pangeran Lembu Sabdata itupun berusaha untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran. Namun ternyata lawan yang dihadapinya adalah lawan yang tangguh. Pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu tidak dapat mengalahkannya dalam sekejap seperti yang diduganya. Bahkan dalam benturan senjata. Pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu menjadi semakin heran. Lawannya bukan saja memiliki ilmu pedang yang mapan, yang dapat mengimbangi ilmunya, tetapi juga memiliki kekuatan yang mengejutkan.
Yang terjadi benar-benar diluar perhitungan para pengikut Pangeran Lembu Sabdata. Ternyata orang-orang Talang Amba itu mampu memberikan perlawanan jauh lebih baik dari yang mereka perhitungkan.
Namun dalam pada itu, para pengikut Pangeran Lembu Sabdata itu telah menemukan beberapa persoalan yang menjadi pertanyaan diantara mereka. Kadang-kadang mereka menemukan lapisan-lapisan yang sangat lemah diantara pertahanan lawan. Namun dalam saat-saaat yang pendek, maka lapisan-lapisan itupun bagaikan bergeser. Ada diantara pasukan lawan yang seakan-akan bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Dan ada diantara lawan yang selalu bertempur berpasangan.
Akhirnya orang-orang yang berada di dalam pasukan Pangeran Lembu Sabdata itupun menemukan jawabnya. Kemampuan anak-anak muda Talang Amba itu tidak tampak. Anak-anak muda Talang Amba itu terdiri dari beberapa tataran. Ada yang ternyata masih baru mulai pada tataran pertama dalam olah kanuragan, namun ada diantara mereka yang memiliki ilmu yang telah mapan.
Hal itu telah menumbuhkan kecurigaan pula pada para pengikut Pangeran Lembu Sabdata. Namun mereka tidak mempunyai kesempatan terlalu banyak. Lawan mereka mengalir dalam jumlah yang cukup besar, melamapaui jumlah mereka. Sementara itu, sebagian dari mereka memiliki kemampuan yang tinggi.
Sebenarnyalah pasukan Talang Amba adalah campuran antara anak-anak muda Talang Amba sendiri dan para prajurit Singasari yang. mengenakan pakaian seperti anak-anak muda Talang Amba. Satu pertempuran sebagaimana pernah pula terjadi saat orang-orang Talang Amba menghadapi para pengawal dari Gagelang. Hal-hal yang dianggap janggal itupun kemudian telah dilaporkan pula kepada Pangeran Lembu Sabdata. Beberapa dugaan telah membuat Pangeran Lembu Sabdata itu marah sekali.
“Jadi kita mendapatkan keterangan yang salah?“ bentak Pangeran Lembu Sabdata.
“Masih dalam penyelidikan Pangeran” jawab seorang pengawalnya “tetapi ada diantara anak-anak Talang Amba yang memiliki kemampuan yang mengagumkan. Mereka berhasil mengimbangi kemampuan orang-orang kita”
“Hanya tiga orang di Talang Amba yang dapat diperhitungkan disamping Ki Sanggarana dan Ki Sendawa. Yang lain adalah tikus-tikus kecil yang tidak akan dapat melawan kalian“ Pangeran Lembu Sabdata hampir berteriak.
“Ya Pangeran“ pengawalnya menjadi cemas melihat sikap Pangeran yang marah itu, sehingga ia tidak memberikan laporan lebih terperinci, karena pengawal itupun sedang menunggu mungkin ada perkembangan keadaan yang menguntungkan bagi pasukan Pangeran Lembu Sabdata itu.
Namun ternyata arena pertempuran itu tidak segera berubah. Pasukan Pangeran Lembu Sabdata tidak segera dapat mendesak lawannya. Jika pasukan itu bersepakat untuk menyelesaikan padukuhan-padukuhan itu sebelum tengah hari, untuk selanjutnya mereka akan memasuki padukuhan induk, maka ternyata kemajuan mereka tidak seperti yang mereka perhitungkan. Bahkan dibeberapa bagian dari medan itu, jumlah anak-anak muda Talang Amba yang terlalu banyak, telah membuat lawan mereka mengalami kesulitan.
Karena itulah, maka Pangeran Lembu Sabdata kemudian menjadi curiga tentang kekuatan lawan. Dengan demikian maka iapun kemudian memanggil pengawalnya dan memerintahkannya untuk melihat langsung perkembangan keadaan.
“Kita tidak boleh terlambat” berkata Pangeran Lembu Sabdata “sebelum matahari sampai di puncak langit kita-harus sudah menyelesaikan pertempuran ini”
Dua orang diantara pengawal khususnya itupun kemudian langsung menuju ke medan, untuk melihat sendiri, apa yang sebenarnya telah terjadi, sehingga pasukannya seakan-akan tidak mampu untuk mendesak maju anak-anak muda Talang Amba.
Sekilas kedua orang itu melihat, bahwa lawan memang terlalu banyak, Anak-anak muda Talang Amba bertempur dalam kelompok-kelompok untuk menghadapi para pengikut Pangeran Lembu Sabdata. Dan ternyata bukan saja anak-anak muda yang telah turun ke medan. Tetapi orang-orang yang lebih tuapun telah ikut pula. Seolah-olah semua laki-laki di Talang Amba telah ikut dalam pertempuran itu.
Untuk beberapa saat kedua pengawal itu mengamati dengan saksama. Namun akhirnya merekapun menemukan kejanggalan seperti yang pernah dilaporkan. Ada sebagian dari pasukan Talang Amba yang memiliki kemampuan yang mencurigakan.
“Aku tidak percaya bahwa orang-orang yang mampu menahan kemajuan pasukan kita itu adalah anak-anak muda Talang Amba” berkata salah seorang dari mereka.
“Jadi, mereka orang-orang mana?” bertanya kawannya.
“Aku jadi curiga pula terhadap kemampuan para pengawas yang ditugaskan oleh Pangeran Lembu Sabdata mengamati daerah ini sebelum ditentukan serangan ini” jawab yang pertama.
“Maksudmu, Talang Amba telah disusupi oleh pasukan Singasari seperti yang pernah terjadi?” bertanya kawannya.
“Ya” jawab yang pertama.
“Dalam jumlah yang besar?” bertanya kawannya pula.
“Ya” jawab yang pertama pula.
Tetapi kawannya menggeleng. Katanya “Pengawas yang ditempatkan didaerah ini tidak hanya satu orang. Tetapi cukup banyak. Jika didaerah ini telah didatangi sepasukan dari Singasari, mereka tentu melihatnya. Mungkin pada saat mereka memasuki padukuhan-padukuhan. Mungkin pada hari-hari yang lain“
Orang yang pertama mengangguk-angguk. Pengawas yang dikirim kedaerah Talang Amba memang cukup banyak. Mereka dapat mengawasi jalan-jalan masuk ke Kabuyutan. Jika satu pasukan memasuki Kabuyutan ini, maka mereka tentu melihatnya. Seandainya pasukan itu dipecah-pecah dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil, maka merekapun akan dapat pula mengetahuinya.
“Sulit bagi pasukan Singasari untuk berada di Kabuyutan Talang Amba tanpa diketahui oleh para pengawas” berkata orang yang pertama itu.
Namun tiba-tiba kawannya bertanya “Bagaimana jika orang-orang Singasari itu memang belum beranjak sejak peristiwa dengan orang-orang Gagelang itu?“
“Tentu tidak” jawab orang pertama “menurut keterangan yang sampai kepada kita, mereka telah meninggalkan Talang Amba. Yang ada di Kabuyutan itu tinggal dua orang anak muda dan seorang yang sudah lebih tua. Hanya itu”
“Tetapi apakah mungkin anak-anak muda Talang Amba memiliki kemampuan yang demikian tinggi hanya dalam waktu penempaan yang pendek, betapapun tinggi ilmu orang yang menempa mereka?”
“Tentu tidak” jawab orang pertama.
“Jadi kesimpulanmu?“ desak kawannya.
Orang yang pertama itu termangu-mangu. Namun menilik pertempuran yang berlangsung dengan dahsyatnya itu, maka iapun berdesis “Memang agaknya ada unsur orang diluar Kabuyutan ini yang ikut dalam pertempuran itu seperti yang pernah terjadi. Tetapi kapan mereka berada di dalam lingkaran Kabuyutan itu”
Kawannya mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya lagi “Jadi apa yang akan kita laporkan kepada Pangeran Lembu Sabdata?“
Orang yang pertama itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Aku tidak sampai hati untuk mengatakan bahwa pasukan dari luar Kabuyutan memang ada diantara anak-anak muda Talang Amba”
“Kenapa tidak sampai,hati?” bertanya kawannya.
“Kau sadar, apa yang akan dilakukan Pangeran Lembu Sabdata dan Senopati yang memimpin pasukan ini terhadap para pengawas? Para pengawas itu tentu akan mendapat hukuman yang sangat berat. Apalagi jika pasukan Pangeran Lembu Sabdata nanti dapat dihancurkan."
“Jadi, apa yang akan kita katakan? Jika kita tidak mengatakan yang sebenarnya, tetapi akhirnya pasukan kita itu pecah, apakah justru bukan kita sendiri yang akan mendapat hukuman?“
“Aku sadar” jawab orang pertama “agaknya kita akan melaporkan saja apa yang kita lihat tanpa memberikan dugaan apapun tentang orang-orang yang ada diantara anak-anak muda Talang Amba. Kita hanya akan mengatakan bahwa diantara anak-anak muda Talang Amba terdapat anak-anak muda yang memiliki ilmu yang dapat mengimbangi orang-orang kita. Siapapun mereka. Mungkin anak-anak muda Talang Amba sendiri yang sudah berlatih dengan keras, sehingga mereka memilikikemampuan yang mengejutkan”
Kawannya mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan kawannya itu. lapun tidak ingin melihat para pengawas mendapat hukuman yang berat karena mereka tidak dapat mengetahui tataran kemampuan lawannya. Bahkan mungkin ada unsur dari luar yang telah memasuki Kabuyutan Talang Amba. Demikianlah merekapun kemudian kembali kepada Pangeran Lembu Sabdata yang dikawal oleh beberapa orang mengamati pertempuran dari jarak yang cukup.
Ketika para pengawal yang mendapat perintah untuk mengamati pertempuran dari dekat itu menemuinya, maka dengan serta merta Pangeran itupun bertanya “Bagaimana menurut pertimbanganmu atas laporan-laporan tentang keadaan medan?”
“Memang ada beberapa masalah yang timbul Pangeran” jawab salah seorang dari mereka “ternyata anak-anak muda Talang Amba sebagian memiliki kemampuan yang mampu mengimbangi pasukan kita. Mungkin mereka adalah anak-anak muda yang telah mendapat tempaan yang berat selama ini. Mungkin Talang Amba telah menunjuk sebagian dari anak mudanya yang memang sudah memiliki sedikit ilmu kanuragan. Kemudian orang-orang yang sudah memiliki dasar itu telah ditempa sehingga mereka menjadi pengawal Kabuyutan yang kuat sekarang ini”
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata membentak “Jangan mengigau. Anak-anak muda Talang Amba tidak akan mungkin mencapai tataran kemampuan pasukan kita. Mungkin mereka memang meningkat, tetapi tentu masih jauh dari tataran pasukan Kediri”
"Tetapi kami memang melihat orang orang yang memiliki ilmu yang tinggi” desis pengawal itu.
“Gila. Ada yang tidak wajar di Talang Amba. Dan ini adalah kesalahan para pengawas” geram Pangeran Lembu Sabdata.
Dalam pada itu. maka dua orang pengawal yang lain telah datang pula berlari-lari kecil dengan nafas terengah-engah. Dengan sertu merta kedua orang itu menghadap Pangeran Lembu Sabdata. Seorang diantaranya berkata sendat “Pangeran. Agaknya memang benar Ada orang Singasari atau Gagelang yang ada diantara anak-anak muda Talang Amba”
Pengawal yang lapor pertama itu menarik nafas dalam-dalam, la sudah berusaha melindungi para pengawas. Tetapi agaknya kawan-kawannya tidak berbuat demikian, sehingga mereka mengatakan terus terang, apa yang telah mereka lihat.
“Jadi menurut pertimbanganmu, yang memiliki ilmu yang mampu mengimbangi ilmu orang-orang kita itu bukan anak muda Talang Amba sendiri?“
“Bukan Pangeran” jawab pengawal itu “Aku yakin bahwa mereka bukan anak-anak muda Talang Amba meski pun menilik pakaian mereka memang demikian”
Pangeran Lembu Sabdata menggeram. Kemarahannya bagaikan membakar jantungnya. Dengan suara bergetar ia berkata “Jadi, apa artinya aku menempatkan para pengawas di sekitar Kabuyutan ini untuk waktu yang cukup lama dengan beaya yang tinggi. Ternyata mereka tidak mampu melakukan tugas mereka mengamati Kabuyutan Talang Amba. Jika benar diantara anak-anak muda dan pengawal Kabuyutan itu orang-orang Singasari atau Gagelang, maka tugas kita akan menjadi berat. Tidak mudah untuk menghancurkan mereka. Apalagi sesuai dengan rencana kita untuk menyelesaikan tugas kita masing-masing disetiap padukuhan sampai sebelum tengah hari”
“Tidak mungkin dapat kita lakukan Pangeran“ pengawal yang melaporkan tentang kehadiran orang-orang dari luar Kabuyutan itu menyambung “pertempuran, dipadukuhan-padukuhan itu ternyata sulit untuk dapat maju meskipun hanya setapak”
Pangeran Lembu Sabdata menjadi tegang. Katanya “Aku masih menunggu-laporan dari dua orang yang melihat keadaan padukuhan yang satu lagi”
Sejenak kemudian, dua orang pengawal telah mendekati mereka pula. Dua orang pengawal yang mengamati pertempuran di padukuhan ketiga.
“Bagaimana pendapatmu?” tanya Pangeran Lembu Sabdata ketika keduanya mendekat.
“Ada kekuatan lain yang membantu orang-orang Talang Amba Pangeran. Kami merasa ragu bahwa kemampuan anak-anak muda Talang Amba dapat maju demikian pesatnya dalam waktu yang dekat” jawab pengawal itu “namun kami belum mendapat bukti, dari manakah orang-orang yang ada diantara orang-orang Talang Amba itu” jawab pengawal itu.
“Bodoh” geram Pangeran Lembu Sabdata “Kenapa kau tidak menyebutkan saja orang Singasari atau orang Gagelang?“
“Bagaimana kami dapat menyebut demikian. Pangeran” jawab pengawal itu “kami tidak melihat perbedaan lahiriah antara orang-orang yang kami anggap memiliki kelebihan itu dengan anak-anak muda Talang Amba sendiri."
“Bagus“ Pangeran Lembu Sabdata hampir berteriak “orang manapun mereka, tetapi ada kekuatan dari luar Talang Amba yang membantu mereka”
Kedua orang itu ragu-ragu. Namun akhirnya mereka mengangguk.
“Nah, bukankah sudah lengkap. Ketiga padukuhan itu sudah diamati. Hasilnya sama. Ada kekuatan lain yang ada di Kabuyutan Talang Amba. Meskipun diantara kalian tidak berani menyebut bahwa mereka berasal dari Singasari atau Gagelang. Tetapi itu bukan soal. Soalnya adalah para pengawas tidak melihat ada kekuatan lain yang memasuki Talang Amba itu” kemarahan Pangeran Lembu Sabdata bagaikan akan meledakkan jantungnya.
Para pengawal yang telah mengamati pertempuran di tiga padukuhan itu tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka memang mengatakan demikian. Mereka melihat kekuatan yang bukan anak-anak Talang Amba sendiri.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja Pangeran Lembu Sabdata itu berteriak “Panggil pemimpin pengawas itu. Ia ada disini sekarang”
Para pengawal itu menjadi termangu-mangu. Pemimpin pengawas itu memang berada di medan itu bersama para pengawas yang lain. Mereka ikut serta di dalam pasukan Pangeran Lembu Sabdata. Ketika pasukan itu mendekati Talang Amba, maka mereka langsung bergabung dengan pasukan itu.
“Cepat” teriak Pangeran itu pula.
Dua orang pengawal telah melangkah meninggalkan sekelompok pengawal yang berada di sekitar Pangeran Lembu Sabdata yang marah. Demikian keduanya melangkah menjauh, maka seorang diantara mereka berkata,
“Pengawas itu memang bodoh. Mereka tidak dapat melihat, kapan orang-orang dari luar itu masuk. Jika hanya satu atau dua. Mungkin sepuluh dua puluh, masih dapat dimengerti. Tetapi kekuatan yang ada di Talang Amba terdiri dari beberapa kelompok yang memencar di semua padukuhan”
Dua orang pengawal itu menyadari, apa yang mungkin dapat terjadi atas pemimpin pengawas itu, karena para pengawas yang berada di sekitar Kabuyutan ini memang sudah menghabiskan banyak beaya. Seolah-olah semua yang mereka minta telah dipenuhi dengan satu harapan, bahwa Pangeran Lembu Sabdata akan dapat memasuki Talang Amba dengan rancak dan membakar rumah-rumah yang dikehendaki. Yang terakhir Pangeran Lembu Sabdata akan membakar hutan di lereng bukit tanpa diganggu oleh siapapun.
Tetapi keinginan Pangeran Lembu Sabdata itu telah pecah ketika diketahuinya, bahwa ada kekuatan lain yang membantu Kabuyutan talang Amba. Demikianlah, maka Kcdua pengawal itu telah mencari pemimpin pengawas yang memang ada di medan. Semula mereka berada dibelakang pasukan para pengikut Pangeran Lembu Sabdata yang bertempur di padukuhan dihadapan mereka. Namun ketika kedua pengawal itu sampai ke belakang medan, mereka tidak segera dapat menemukan pemimpin pengawas itu.
“Agaknya ia telah melibatkan diri” berkata salah seorang dari para pengawal itu.
“Apakah mereka memang mendapat tugas yang demikian?” bertanya kawannya.
“Aku tidak tahu. Menurut pendapatku, kewajiban mereka sudah selesai sampai saatnya Pangeran Lembu Sabdata datang ke Kabuyutan ini, karena mereka hanya bertugas untuk mengawasi. Tetapi apabila mereka dengan suka rela ikut pula di dalam pasukan ini, hal itu memang mungkin sekali terjadi”
Kawannya mengangguk-angguk. Mungkin para pengawas termasuk pemimpinnya itu melihat kesulitan yang terjadi di medan, sehingga mereka terdorong untuk ikut serta membantunya. Karena itu, maka kedua orang pengawal itupun telah mendekati arena pertempuran untuk mencari pemimpin pengawas yang mungkin telah ikut bertempur.
Tetapi mereka tidak segera melihat pemimpin pengawas itu. Meskipun mereka sudah beberapa lama berada di medan, seakan-akan telah menilik semua orang yang bertempur, namun seorangpun dari pengawas tidak diketemukannya.
“Mungkin ia berada di padukuhan yang lain” gumam salah seorang diantara kedua orang pengawal itu.
“Mungkin. Tetapi mungkin mereka telah tidak ada di medan di Kabuyutan Talang Amba ini” jawab yang lain.
“Pergi?” bertanya kawannya.
“Ya. Melarikan diri. Bukan saja untuk menyingkir dari kemungkinan ditangkap oleh orang-orang Talang Amba, tetapi jika mereka tetap berada disini, mereka tentu akan ditangkap oleh Pangeran Lembu Sabdata sendiri. Jika demikian, maka nasib mereka akan jauh lebih buruk daripada mereka ditangkap oleh orang-orang Singasari, jika yang berada di Talang Amba itu prajurit-prajurit Singasari” jawab yang lain.
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya “Kau benar, Jika ia jatuh ketangan Pangeran Lembu Sabdata yang melihat kesulitan di medan kali ini, maka mungkin sekali, umurnya tidak akan sampai malam nanti”
“Tetapi, nasib kita sendiripun menjadi gawat, jika kita tidak dapat menghadapkan para pengawas” desis yang lain.
“Kedudukan kita agak lain. Kita tidak pernah dianggapnya menipu atau berkhianat” berkata kawannya.
Meskipun demikian keduanya menjadi berdebar-debar juga. Mereka bersepakat untuk mencari pengawas itu di kedua padukuhan yang lain, yang juga menjadi ajang pertempuran. Namun di kedua padukuhan itupun mereka tidak menemukan para pengawas. Apalagi pemimpinnya.
“Mereka menyadari kegagalan mereka, sehingga mereka tidak dapat melihat bahwa ada sepasukan prajurit yang memasuki Kabuyutan ini. Karena itu, maka lebih baik bagi mereka untuk melarikan diri saja” berkata salah seorang dari keduanya.
Kawannya mengangguk-angguk. Dengan demikian, setelah mereka yakin tidak akan dapat menemukan para pengawas, maka merekapun segera kembali ke tempat Pangeran Lembu Sabdata memimpin seluruh pasukannya.
Laporan tentang lenyapnya para pengawas itu membuat Pangeran Lembu Sabdata semakin marah. Ia sadar, bahwa para pengawas itu telah mengkhianatinya ketika mereka menyadari bahwa tugas mereka telah gagal.
“Kerahkan semua pasukan cadangan. Kita akan menghancurkan orang-orang Talang Amba sebagaimana kita rencanakan. Sebelum tengah hari, maka padukuhan-padukuhan itu harussudah selesai, sehingga kemudian kita akan dapat pergi ke padukuhan induk.
Demikianlah, maka perintah itupun telah jatuh. Semua pasukan cadangan, dan bahwa para pengawal Pangeran Lembu Sabdata itupun telah dikerahkan ke medan. Bahkan Pangeran Lembu Sabdatapun telah langsung berada di antara pasukannya di salah satu medan di padukuhan-padukuhan di sekitar padukuhan induk Kabuyutan Talang Amba.
Sebenarnyalah pada waktu itu, para pengawas telah melihat kegagalan tugasnya. Dengan jantung yang berdentangan mereka melihat, tiba-tiba saja ada kekuatan yang tidak mereka kenal berada di Talang Amba. Para pengawaspun yakin, bahwa mereka tentu bukannya anak-anak muda Talang Amba sendiri. Sehingga dengan demikian, maka mereka telah mengambil kesimpulan bahwa mereka tidak dapat melaksanakan tugas mereka dengan baik.
Karena itulah, maka para pengawas itu bersepakat untuk melarikan diri saja dari medan. Karena jika mereka jatuh ketangan Pangeran Lembu Sabdata, maka ujung kerisnya tentu akan segera mengakhiri hidup para pengawas itu. Tanpa ampun.
Namun ternyata mereka sekali lagi salah hitung. Ketika mereka meninggalkan padukuhan yang berada dekat dengan padukuhan induk itu, maka di padukuhan kecil yang merupakan pintu keluar dari Kabuyutan Talang Amba, para pengawas itu telah dicegat oleh beberapa orang anak muda.
“Kalian akan pergi kemana Ki Sanak?” bertanya seorang diantara anak-anak muda itu.
“Kami akan meninggalkan neraka ini” jawab salah seorang dari para pengawas itu.
“Siapakah kalian sebenarnya” tanya pemimpin dari anak-anak muda yang menghentikan para pengawas itu.
“Kami adalah orang-orang Kediri. Kami tidak mau diadu dengan orang-orang Talang Amba. Karena itu, maka kamipun merasa lebih baik untuk pergi” jawab salah seorang dari para pengawas.
Tetapi pemimpin dari anak-anak muda itu berkata “Jangan pergi Ki Sanak. Kami persilahkan Ki Sanak tinggal di padukuhan ini sampai pertempuran berakhir. Nanti segalanya akan diselesaikan dengan baik. Karena Ki Sanak adalah bagian dari orang-orang yang menjadi pengikut Pangeran dan Kediri itu, maka untuk sementara Ki Sanak menjadi tawanan kami”
“Aku bukan pengikut Lembu Sabdata“ bentak pengawas itu.
“Siapa? Lembu Sabdata? Jadi Pangeran dari Kediri itu bernama Lembu Sabdata?” tanya seorang diantara anak-anak muda Talang Amba itu.
“Ya. Pangeran Lembu Sabdata. Nah, beri aku jalan keluar” geram salah seorang diantara para pengawas itu.
“Jangan Ki Sanak. Lebih baik Ki Sanak tidak bersikap bermusuhan” jawab pemimpin dari anak-anak muda itu...