Pendekar Sadis Jilid 41 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sadis Jilid 41
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Kim Hong menjadi repot juga sesudah lawannya mempergunakan langkah-langkah ajaib, terutama sekali dengan adanya serangan-serangan hebat dengan senjata caping. Belum pernah dia menghadapi senjata seperti itu, yang kadang-kadang dapat berputar demikian cepatnya sehingga mengeluarkan suara mengiang-ngiang dan berdesing-desing, dan juga harus diakuinya bahwa langkah-langkah ajaib kakek itu benar-benar luar biasa sekali.

Bahkan keunggulannya dalam hal ginkang tidak banyak menolong. Gerakannya memang lebih cepat, akan tetapi dengan langkah-langkah aneh, tahu-tahu kakek itu sudah berada di belakangnya dan sudah menghujaninya dengan serangan-serangan dahsyat!

Beberapa kali hampir saja dia menjadi korban serangan mendadak yang datangnya tidak tersangka-sangka itu. Biar pun dia telah membalas dengan serangan-serangan dahsyat juga, namun tetap saja perpaduan antara senjata caping dengan langkah-langkah ajaib itu membuatnya benar-benar kewalahan.

“Srattttt…!”

Tiba-tiba saja nampaklah sepasang sinar hitam berkelebat dan ternyata Kim Hong sudah mencabut keluar Hok-mo Siang-kiam, sepasang pedang hitamnya. Dua batang pedang hitam itu segera digerakkan dengan kecepatan kilat, lenyap bentuk pedangnya dan yang nampak hanyalah gulungan sinar hitam yang menyambar-nyambar seperti kilat, yang satu menahan gerakan caping setiap kali menyambar ke arahnya dan yang ke dua membalas dengan serangan balasan yang dahsyat pula.

Akan tetapi tentu saja Kim Hong juga menjaga perasaan Thian Sin, maka dia tidak mau kalau sampai pedangnya melukai apa lagi membunuh lawan. Oleh karena itu, begitu dia sudah berhasil memecahkan desakan lawan dan kini berbalik dia mendesak dengan ilmu Pedang Hok-mo Kiam-sut yang lihai, tiba-tiba dia melihat bayangan caping menyambar ke arah kepalanya. Dia tidak menangkis, melainkan cepat menundukkan kepala dan gerakan kepalanya yang mengelak ini dilakukan dengan keras-keras.

Lawannya hanya mengira bahwa gadis itu mengelak dengan menggerakkan kepala, tidak tahu bahwa dengan gerakan kepala itu, tiba-tiba saja sanggul rambut Kim Hong terlepas, lantas gumpalan rambut itu mengirim totokan ke arah pergelangan tangan lawan!

“Tukkk!”

“Ahhhhh…!” Liang Sim Cinjin sama sekali tidak pernah menduga akan serangan hebat ini dan tahu-tahu pergelangan tangannya telah tertotok, membuat jari-jemari tangannya yang memegang caping menjadi lumpuh dan tentu saja caping itu terlepas dari pegangannya.

Saat dia hendak menyambar caping itu dengan tangan, dua sinar pedang menghalanginya. Terpaksa dia meloncat mundur hingga caping itu menggelinding di atas tanah. Kakek itu menarik napas panjang dan berkata,

“Sungguh luar biasa sekali kepandaian nona. Aku yang sudah tua dan tidak berguna ini mengakui keunggulanmu!”

Kim Hong menyimpan sepasang pedangnya lalu menjura sambil tersenyum. “Terima kasih locianpwe telah mengalah, dan aku pun tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga kecuali orang-orang yang berbuat jahat. Aku tak berani mengangkat diri sebagai pendekar, akan tetapi saat ini tidak ada sedikit pun niat jahat dalam hatiku.” Dan dia pun mundur.

Thian Sin meloncat maju ke depan. “Kuharap cu-wi sekalian dapat menginsyafi keadaan kami berdua. Kami tidak sengaja memusuhi Kun-lun-pai, dan tentang sikap kami terhadap para penjahat, hal itu tak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Akan tetapi kami telah datang ke sini untuk mempertanggung jawabkan semuanya, bukan untuk membiarkan diri ditangkap karena kami tidak merasa bersalah. Maka, jika masih ada yang penasaran dan hendak memberi hukuman kepadaku, silakan maju, selagi aku berada di sini!” Kata-kata ini cukup keras.

Wajah kedua orang pemimpin Kun-lun-pai sudah berubah merah karena penasaran dan marah melihat betapa dua orang di antara tamu-tamu mereka sudah dikalahkan oleh dua orang muda pengacau itu. Kesalahan-kesalahan lama dari Pendekar Sadis belum diadili, tapi kini telah dibuatnya kesalahan-kesalahan baru dengan menandingi dan mengalahkan dua orang tamu terhormat dari Kun-lun-pai yang berarti sudah menghina Kun-lun-pai pula!

Mereka sudah bangkit dan hendak maju, akan tetapi pada saat itu pula Han Tiong sudah meloncat ke depan. Wajah pemuda ini agak pucat ketika dia menghadapi Thian Sin.

“Bagus sekali, Ceng Thian Sin! Engkau memang gagah perkasa! Nah, coba sekarang kau perlihatkan bagaimana caranya engkau akan membunuh aku!” Setelah berkata demikian, Han Tiong sudah maju menyerang dengan totokan It-sin-ci (Totokan Satu Jari), tujuh kali berturut-turut.

“Tiong-ko… jangan…!” Thian Sin mengelak ke sana-sini dan karena dia tak mau melawan, tentu dia akan terkena totokan-totokan maut itu jika saja Kim Hong tidak tiba-tiba menarik lengannya dari belakang.

“Tiong-ko… jangan mengangkat tangan terhadap diriku…,” Thian Sin meratap, suaranya terdengar penuh kepiluan.

“Agaknya hanya kalau aku menyerahkan nyawaku kepadamu maka engkau akan puas!” kata Han Tiong dan dia sudah menerjang lagi.

“Dukkk…!” Kim Hong yang menangkis.

“Bagus, kalian berdua boleh maju dan membunuhku, lebih baik begitu!” kata Han Tiong kepada kedua orang itu. Keadaan menjadi tegang sekali dan saat itu digunakan oleh Kui Yang Tosu untuk berseru dengan lantang.

“Saudara-saudara sekalian, ketahuilah bahwa Nona Toan Kim Hong ini bukan lain adalah Lam-sin, datuk kaum sesat dari dunia selatan itu! Nah, kalau sahabatnya adalah Lam-sin, mudah kita ketahui manusia macam apa adanya Pendekar Sadis.”

Sebelum Thian Sin menjawab, Kim Hong sudah mendahuluinya, bukan jawaban langsung kepada Kui Yang Tosu, melainkan ditujukan kepada semua orang yang hadir di tempat itu, suaranya lantang, sikapnya menantang,

“Benar sekali! Memang aku pernah menjadi Lam-sin! Akan tetapi, kini Lam-sin telah tidak ada, yang ada hanyalah Toan Kim Hong! Semenjak aku bertemu dengan Pendekar Sadis, Lam-sin sudah kuenyahkan dan Bu-tek Kai-pang telah kububarkan. Pendekar Sadis yang telah membuat aku sadar dan meninggalkan dunia hitam!”

Thian Sin yang melihat kakaknya sudah maju, kini tidak mau banyak ribut lagi. Dia cepat menarik tangan Kim Hong sambil berkata, “Sudahlah, Kim Hong. Marilah kita tinggalkan orang-orang yang baik-baik ini, kita orang-orang yang jahat tentu saja tidak ada harganya untuk berbincang-bincang dengan orang-orang yang baik-baik dan bersih ini. Tiong-ko, maafkan aku, sungguh tak kukira akan begini jadinya di antara kita. Maafkan, Tiong-ko…” Suaranya mengadung isak dan dia sudah menarik tangan Kim Hong, langsung diajaknya pergi dengan cepat dari tempat itu.

Kui Yang Tosu yang sudah marah itu lalu berseru, “Kejar mereka!”

“Tahan…!” Tiba-tiba saja Han Tiong berteriak dan dia pun sudah melompat ke depan dan menghadang Kui Yang Tosu dan yang lain-lain. Semua orang memandang kepadanya dan Kui Yang Tosu mengerutkan alisnya.

“Cia-taihiap, apakah sekarang engkau berbalik hendak melindunginya?”

Han Tiong menggelengkan kepalanya. “Tidak, akan tetapi lupakah totiang bahwa totiang mengundang kami untuk rapat besok pagi di mana akan dibicarakan mengenai Pendekar Sadis? Mereka yang berkepentingan belum lagi datang, rapat belum diadakan, keputusan belum diambil, apakah sekarang totiang sudah hendak melakukan tindakan tanpa adanya keputusan rapat terlebih dahulu? Apakah totiang atau Kun-lun-pai hendak membelakangi Cin-ling-pai dan Lembah Naga?”

Semua orang menjadi terkejut dan Kui Im Tosu berseru, “Siancai… siancai… siancai…! Sute, kesabaran harus diutamakan, hati boleh saja panas akan tetapi kepala harus dingin. Ucapan Cia-taihiap memang tepat. Kita harus menanti sampai rapat besok.”

Kui Yang Tosu merangkap kedua tangan di depan dada sambil berkata, “Siancai… pinto mohon maaf…

Sambil menanti datangnya esok hari, Han Tiong menyendiri di dalam markas Kun-lun-pai itu. Dia merasa berduka sekali dan juga bingung memikirkan Thian Sin. Dia membutuhkan nasehat orang-orang tua, maka dia mengharapkan kedatangan ayahnya dan juga ketua Cin-ling-pai. Dia sendiri kini tak mungkin lagi dapat mempertanggung jawabkan perbuatan Thian Sin setelah adiknya itu datang sendiri tadi.

********************

Pada keesokan harinya, makin banyak pendekar yang datang untuk memenuhi undangan Kun-lun-pai sehingga ruangan tamu itu dipenuhi oleh kurang lebih lima puluh orang tokoh utama dunia persilatan golongan bersih atau para pendekar. Kedatangan Cia Sin Liong bersama isterinya disambut dengan hormat oleh para pendekar, dan tentu saja Han Tiong girang sekali melihat kedatangan ayah ibunya. Segera dia menghadap dan menceritakan semua yang telah dialaminya dalam pertemuannya dengan adiknya itu.

Mendengar penuturan puteranya itu, Cia Sin Liong menarik napas panjang berkali-kali. Ia teringat kepada kakak angkatnya, Pangeran Ceng Han Houw sehingga beberapa kali dia bertukar pandang dengan isterinya ketika mendengar cerita putera mereka. Kemudian dia berkata,

“Ahh, dia mewarisi jiwa pemberontak dan pendendam seperti ayah kandungnya. Agaknya sifat itu terpendam dalam-dalam pada sanubarinya sehingga gemblengan pamannya Hong San Hwesio dan pendidikan dariku kepadanya hanya menutupi sementara saja.”

Isteri Pendekar Lembah Naga, yaitu Bhe Bi Cu tertarik sekali mendengar tentang wanita yang menjadi kekasih dan calon isteri Thian Sin. “Lam-sin? Aihhh, bagaimana bisa Thian Sin memperoleh jodoh seorang datuk kaum sesat?”

“Akan tetapi menurut penuturan Tiong-ji, Lam-sin sudah berubah menjadi seorang gadis, Toan Kim Hong keturunan seorang pangeran yang ilmunya lihai bukan main. Asalkan dia betul-betul sudah sadar dan telah mengubah jalan hidupnya, maka tak ada halangannya,” kata Cia Sin Liong.

“Bukan main!” kata pula Bhe Bi Cu. “Siapa kira bahwa nenek yang telah menyelamatkan Lian Hong dan kemudian menjadi gurunya itu, yang terkenal sebagai datuk kaum sesat yang menyeramkan, ternyata adalah penyamaran seorang gadis muda!”

“Dan gadis itu telah memiliki kepandaian tinggi, sungguh merupakan pasangan yang amat cocok bagi Thian Sin.” kata suaminya.

Han Tiong mengerutkan alisnya, “Ayah dan ibu, memang kulihat bahwa mereka itu saling mencinta, sama keras hatinya dan Nona Toan itu pun cantik jelita. Agaknya segalanya memang tidak mengecewakan apa bila dia menjadi jodoh Sin-te, hanya saja… ahh, kalau mereka menjadi suami isteri lalu keduanya kembali lagi ke jalan sesat, tentu akan sukar sekali untuk mengatasi mereka bila mereka bergabung. Ilmu kepandaian Sin-te telah maju pesat sekali, ayah, dia sudah mewarisi ilmu peninggalan ayah kandungnya, dan agaknya tingkat kepandaian calon isterinya itu pun tidak kalah olehnya. Pasangan itu akan menjadi pasangan yang mungkin sulit dicari bandingnya, seperti pasangan ketua Cin-ling-pai saja.”

Selagi pemuda itu bercakap-cakap dengan ayah bundanya, datanglah seorang kakek dan seorang nenek yang disambut dengan penuh penghormatan. Usia kakek itu sudah hampir delapan puluh tahun dan nenek itu pun sebaya dengannya, akan tetapi mereka berdua masih nampak sehat dan masih nampak bekas-bekas ketampanan dan kecantikan wajah mereka. Kakek itu bukan lain adalah Yap Kun Liong dan nenek itu adalah Cia Giok Keng, suami isteri yang melalui masa tuanya di tempat sunyi dan damai, yaitu di puncak Gunung Bwe-hoa-san.

Sesudah mereka disambut girang dengan hormat oleh pihak Kun-lun-pai dan para tamu, dan disambut girang oleh Cia Sin Liong sekeluarga, baru kakek dan nenek itu mempunyai kesempatan untuk mengadakan pertemuan sendiri bersama Cia Sin Liong sekeluarga.

“Paman dan bibi, mengapa ayah tidak dapat datang?” Sin Liong bertanya kepada kedua orang kakek dan nenek itu.

Tadinya Sin Liong mengira bahwa tentu ketua Cin-ling-pai, yaitu ayahnya, Cia Bun Houw, akan datang sendiri. Akan tetapi ternyata kini diwakilkan kepada nenek itu yang menjadi kakak dari ayahnya, bersama kakek yang menjadi suami ke dua dari nenek itu setelah dia kematian suaminya yang pertama.

“Pertama, ada terjadi sesuatu yang tak enak sehingga ayahmu tidak datang sendiri untuk bicara tentang Ceng Thian Sin. Dan kedua kalinya, Thian Sin adalah anak Ciauw Si, jadi dia itu adalah cucuku sendiri, maka menurut ayahmu, lebih tepat kalau aku yang datang,” demikian jawab Nenek Cia Giok Keng. “Dan memang kami anggap pendapat ayahmu itu benar. Aku yakin akan dapat bicara kepada Thian Sin kalau sudah bertemu dengan dia. Ahh, anak itu nakal sekali!”

“Telah terjadi hal apakah yang membuat tak enak?” Han Tiong bertanya sambil menatap kepada kakek dan nenek itu penuh kekhawatiran karena tentu telah terjadi sesuatu yang menyangkut diri Thian Sin sehingga kakeknya, ketua Cin-ling-pai tidak mau datang sendiri untuk bicara tentang adik angkatnya itu.

Yap Kun Liong menarik napas panjang. “Mungkin kalian dari Lembah Naga belum pernah mendengar bahwa Cia Kong Liang sudah melangsungkan pertunangan atau ikatan jodoh dengan puteri tunggal dari Tung-hai-sian…”

“Ahh, sungguh memalukan…!” Cia Giok Keng menyambung dan menghela napas. Tentu saja dia merasa menyesal bahwa keponakannya itu, putera tunggal dari adiknya, Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai, berjodoh dengan puteri seorang datuk sesat pula!

Akan tetapi Han Tiong kelihatan tenang-tenang saja, bahkan dia lalu tersenyum. Dia tidak merasa heran karena dia sudah melihat tanda-tanda bahwa pamannya itu menaruh hati terhadap Nona Bin Biauw, puteri dari Tung-hai-sian Bin Mo To yang memang cantik dan mempunyai kepandaian lumayan itu. Dan hatinya terasa nyaman kalau dia teringat bahwa adik angkatnya, Thian Sin, juga bertunangan dengan seorang datuk sesat!

Benar pula kata ayahnya, biar pun tadinya menjadi orang sesat, asalkan telah insyaf dan sadar, kembali ke jalan benar, apa salahnya? Dan dia pun melihat bahwa Kim Hong tidak bersikap jahat. Sebaliknya malah. Bukankah bekas datuk Lam-sin itu bahkan membantu adik angkatnya untuk menghadapi datuk-datuk lainnya seperti See-thian-ong, Pak-san-kui dan lain-lain?

“Aku telah melihat nona puteri Tung-hai-sian itu, dan dia memang cantik, berwatak gagah dan tinggi pula ilmu silatnya. Memang dia cocok sekali apa bila menjadi jodoh Paman Cia Kong Liang,” katanya dan ayahnya memandang kepadanya, lalu tersenyum.

Pendekar Lembah Naga ini mengenal betul watak puteranya dan diam-diam dia merasa bangga karena puteranya itu memiliki watak yang jauh lebih bijaksana dari pada wataknya ketika dia seusia puteranya. Dia tahu pula alangkah mendalam kasih sayang puteranya terhadap Thian Sin, maka dia mengerti apa yang menyebabkan puteranya nampak lega mendengar bahwa Cia Kong Liang bertunangan dengan puteri seorang datuk kaum sesat!

“Akan tetapi, sikap Tung-hai-sian Bin Mo To memang patut dipuji. Di dalam kesempatan merayakan ikatan jodoh itu, dia mengumumkan bahwa dia sudah mencuci tangan dan keluar dari kalangan hitam, bahkan dia sudah membuang julukannya, yaitu Tung-hai-sian, dan hanya menjadi seorang saudagar biasa bernama Bin Mo To.”

Kemudian Yap Kun Liong menceritakan, seperti yang didengarnya dari adik iparnya itu, betapa dalam pesta itu muncul Thian Sin dan Kim Hong yang menantang Bin Mo To.

“Ahh, agaknya Sin-te memang hendak memusuhi semua datuk golongan sesat,” kata Han Tiong.

“Agaknya demikian, akan tetapi sikap Bin Mo To memang bagus sekali. Dia mematahkan pedang samurainya dan menolak tantangan Thian Sin.”

“Bagus!” Cia Sin Liong berseru. “Sikap itu tentu merupakan tamparan bagi Thian Sin.”

“Mereka mengejek Bin Mo To dan mula-mula Cia Kong Liang maju, ditandingi oleh Toan Kim Hong dan Kong Liang dikalahkah gadis itu…”

“Tentu saja!” kata Cia Sin Liong lagi memotong kata-kata pamannya. “Lam-sin itu memiliki kepandaian hebat, tidak aneh kalau Kong Liang kalah olehnya.”

“Kemudian, ayah ibumu maju dan ibumu memaki-maki Thian Sin yang minta ampun lalu mengajak pergi Kim Hong. Nah, itulah peristiwa yang terjadi di dalam pesta pertunangan itu, dan itu pula sebabnya mengapa ayahmu tidak mau datang menghadiri rapat untuk membicarakan urusan Thian Sin.” Yap Kun Liong mengakhiri ceritanya yang didengarkan oleh keluarga Cia bertiga itu.

Mereka terus bercakap-cakap dan saling menuturkan keadaan mereka selama mereka tak berjumpa hingga akhirnya terdengar pengumuman dari pihak tuan rumah bahwa rapat para pendekar dimulai di ruangan tamu yang luas. Semua tamu sudah bersiap.

********************

Agaknya, karena urusan yang hendak dibicarakan menyangkut diri Pendekar Sadis yang masih merupakan keluarga Cin-ling-pai dan Lembah Naga, maka pendekar tua Yap Kun Liong bersama isterinya dan keluarga Lembah Naga mendapat tempat duduk kehormatan, di dekat tempat pihak tuan rumah, yaitu kedua ketua Kun-lun-pai, Kui Im Tosu dan Kui Yang Tosu.

Setelah mengucapkan selamat datang dan berterima kasih, Kui Yang Tosu yang mewakili pihak tuan rumah lalu langsung membicarakan pokok persoalan. Diceritakannya tentang berita-berita tentang sepak terjang Pendekar Sadis, tentang cara-cara pembunuhan yang amat kejam ketika pendekar itu membasmi penjahat-penjahat, tentang pembunuhan yang dilakukannya terhadap Toan Ong, dan terutama sekali tentang perbuatan Pendekar Sadis dan Lam-sin atau Toan Kim Hong yang mendatangi Kun-lun-pai dan yang menyebabkan kematian Jit Goat Tosu.

Dari cara menceritakannya saja sudah dapat dirasakan oleh semua orang betapa tosu ini merasa amat marah dan sakit hati terhadap Pendekar Sadis, dan ceritanya mengandung harapan agar rapat itu mengutuk dan menghukum Pendekar Sadis. Dan sebagai penutup penuturannya yang makan waktu satu jam lebih itu, Kui Yang Tosu berkata,

“Oleh karena itulah kami dari Kun-lun-pai, hari ini mengundang cu-wi untuk berkumpul dan membicarakan urusan Pendekar Sadis, mengambil keputusan apa yang sepantasnya kita lakukan atas perbuatan sewenang-wenang darinya itu. Dan mengingat bahwa Pendekar Sadis adalah Ceng Thian Sin, yaitu putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang sudah menjadi putera angkat Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong Taihiap, juga masih ada hubungan keluarga dengan Cin-ling-pai, maka kami sengaja mengundang saudara-saudara dari Cin-ling-pai dan juga dari Lembah Naga untuk kami mintakan pertanggungan jawabnya dan pertimbangannya.” Tosu itu lalu memberi hormat kepada semua tamu dan duduk kembali di samping suheng-nya, Kui Im Tosu.

Suasana menjadi berisik ketika tosu itu menghentikan pidatonya dan semua tamu saling bicara sendiri. Meski pun mereka berbicara perlahan-lahan setengah berbisik, akan tetapi karena yang bicara itu banyak orang, maka suasana menjadi berisik sekali, seperti dalam pasar saja. Hanya keluarga Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang nampak duduk dengan tenang dan diam-diam saja, agaknya masih menunggu keadaan dan tidak merasa perlu untuk banyak bicara.

Tiba-tiba seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam bangkit dari tempat duduknya dan dengan suara lantang dia segera berkata, “Pendekar Sadis harus dibasmi! Dosanya telah bertumpuk-tumpuk!”

Tentu saja semua orang memandang kepada si tinggi besar muka hitam ini dan dia pun mengangkat dada, wajahnya nampak bangga. Memang, dalam suatu pertemuan, di mana terdapat banyak orang, kita selalu mempunyai kecondongan hati untuk menonjolkan diri dengan cara apa pun juga.

Si tinggi besar bermuka hitam ini adalah seorang pendekar ahli gwakang (tenaga luar), memiliki otot-otot yang kuat dan tenaganya seperti seekor gajah, julukannya juga Ban-kin Hek-jio (Gajah Hitam Selaksa Kati) bernama Ciong Sam. Namanya terkenal di daerah Hok-kian dan mahir ilmu silat campuran antara ilmu silat Siauw-lim-pai dan ilmu silat dari Kang-lam.

Bisa hadir di antara para tokoh pendekar besar itu, Si Gajah Hitam ini tentu saja merasa dirinya menjadi besar dan dia pun yang pertama kali berteriak mengutuk Pendekar Sadis itu. Bukan sekali-kali karena dia memang membenci Pendekar Sadis, namun sepenuhnya terdorong untuk menonjolkan diri itu saja! Dan banggalah hatinya pada saat semua orang memperhatikan dirinya.

Betapa pun juga, ucapannya itu memancing persetujuan banyak pendekar yang hadir di situ. Banyak di antara mereka yang lantas berseru mengutuk Pendekar Sadis, setidaknya menyatakan ketidak senangan hati mereka. Maka keadaan menjadi berisik sekali.

“Pendekar yang bersahabat dengan datuk seperti Lam-sin bukan pendekar lagi, melainkan penjahat! Harus diberantas!”

“Mari kita datangi mereka berdua dan menumpas mereka!”

“Bunuh Pendekar Sadis dan Lam-sin!”

“Pendekar Sadis memalukan kita sebagai pendekar-pendekar!”

Teriakan-teriakan semacam itu terdengar di sana-sini. Kui Im Tosu yang melihat ini lalu memandang ke arah tamu kehormatan di sebelahnya, yakni lima orang dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga. Ketua pertama dari Kun-lun-pai ini merasa tidak enak sekali sehingga cepat bangkit berdiri, lantas mengangkat kedua tangannya ke atas dan suara berisik para tamu perlahan-lahan menjadi berhenti dan keadaan menjadi tenang kembali.

“Cu-wi yang terhormat harap suka tenang dan sebaiknya dalam urusan yang menyangkut diri Pendekar Sadis ini, lebih dahulu kita mendengarkan pendapat dan pertimbangan dari para pendekar Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang terhormat.”

Sesudah berkata demikian, Kui Im Tosu yang biasanya tidak banyak bicara itu lalu duduk kembali. Mendengar ucapan ini, Cia Sin Liong lalu berbisik kepada Yap Kun Liong.

“Paman, kalau Paman mempunyai pendapat sesuatu, silakan.”

“Bukan aku, Sin Liong, melainkan engkaulah sebagai ayah angkatnya yang paling tepat untuk bicara.”

“Benar, Sin Liong, engkaulah yang harus menyatakan pendapatmu,” sambung Cia Giok Keng kepada keponakannya itu.

Sementara itu, melihat para tamu terhormat itu saling berbisik, Kui Yang Tosu lalu bangkit dan berkata dengan suara lantang, “Harap para pendekar yang terhormat dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga suka menyatakan pertimbangan mereka mengenai urusan Pendekar Sadis! Silakan!”

Semua orang kini memandang ke arah rombongan tamu kehormatan itu. Dan melihat Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga bangkit dari tempat duduknya, semua mata diarahkan kepadanya sambil menunggu apa yang akan dikatakan oleh pendekar besar yang menjadi ayah angkat dari Pendekar Sadis.

Suara Pendekar Lembah Naga terdengar tenang akan tetapi cukup lantang dan suara itu mengandung gema yang menggetar karena kekuatan khikang yang mendorong suara itu seolah-olah keluar dari dalam perutnya.

“Para locianpwe dan para saudara yang gagah perkasa dan budiman! Tak perlu disangkal lagi, Ceng Thian Sin putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kini disebut orang Pendekar Sadis itu memang adalah anak angkat saya dan sejak kecil telah berada dalam perawatan dan pendidikan saya. Maka sudah sepatutnya kalau sebagai ayah angkatnya saya dimintai pendapat dan pertimbangan saya. Kami dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga datang memenuhi undangan Kun-lun-pai untuk memberi pendapat, pertimbangan dan juga tanggung jawab. Kami bukan bermaksud hendak membela anak angkat kami, melainkan ingin mengajak anda sekalian yang budiman untuk bicara dengan hati terbuka dan dengan kejujuran.”

Semua orang menjadi makin tegang. Ucapan Pendekar Lembah Naga barusan sungguh mantap serta mengandung wibawa yang kuat. Kui Yang Tosu sebagai wakil pembicara Kun-lun-pai dapat merasakan juga kekuatan ini, maka dia pun berkata untuk menyelingi ucapan Pendekar Lembah Naga yang berhenti sejenak itu.

“Siancai! Kata-kata Cia-taihiap dari Lembah Naga memang amat mengagumkan dan patut untuk diperhatikan. Silakan taihiap melanjutkan.”

“Cu-wi adalah pendekar-pendekar penentang kejahatan. Dan cu-wi semua tentu tahu pula bahwa di dunia ini banyak terdapat penjahat-penjahat yang dinamakan sebagai golongan hitam, di mana terdapat para tokoh dan datuknya. Akan tetapi, mengapa baru sekarang cu-wi berkumpul dan serentak bangkit ingin menentang dan membasmi Pendekar Sadis? Mengapa sebelum ini, bahkan sampai sekarang pun, cu-wi tidak pernah menentang para tokoh dan datuk kaum sesat? Kenapa justru Pendekar Sadis yang hendak cu-wi tentang? Marilah kita bicarakan dengan hati terbuka dan jujur, lalu suka memberi jawaban kepada saya. Mengapa cu-wi memusuhi Pendekar Sadis?”

Sejenak semua tamu hanya bisa saling pandang dan tidak mampu menjawab, akan tetapi kembali mereka didahului oleh Ban-kin Hek-jio yang segera berteriak, “Karena Pendekar Sadis sangat kejam dalam menyiksa musuh-musuhnya sehingga sudah merugikan nama baik para pendekar! Itulah sebab yang utama!”

Teriakan ini disusul pula oleh teriakan-teriakan lain. “Karena dia membunuh Toan-ong-ya yang menjadi sahabat baik para pendekar!”

“Karena dia bersekutu dengan Lam-sin!”

“Karena dia mengacau Kun-lun-pai dan menentang para pendekar!”

Cia Sin Liong mendengarkan dengan sangat teliti dan dia memperoleh kenyataan bahwa jawaban-jawaban yang bersimpang siur itu hanya berkisar sekitar tiga pokok ini. Maka dia pun mengangkat tangan untuk meredakan suasana, kemudian melanjutkan kata-katanya, suaranya lantang dan mantap.

“Menurut pendengaran saya tadi, hanya ada tiga sebab yang membuat cu-wi mengambil keputusan untuk menentang dan membasmi atau membunuhnya. Marilah kita bahas satu demi satu sebab itu. Dan jangan mengira bahwa saya hendak membela atau melindungi anak angkat saya itu, sama sekali tidak. Hanya kita yang mengaku pendekar-pendekar harus dapat membuka mata melihat kenyataan dan tidak bertindak menurutkan nafsu hati belaka. Pertama ingin saya singgung tentang hubungan Pendekar Sadis dengan Lam-sin. Mengapa cu-wi menganggapnya sebagai dosa?”

Orang yang tadi berteriak-teriak menyinggung hubungan Pendekar Sadis dengan Lam-sin, tidak ada yang berani membuka mulut. Agaknya mereka gentar terhadap pendekar yang suaranya mengandung getaran penuh wibawa itu, atau memang mereka tidak sanggup menjawab. Melihat ini, Kui Yang Tosu, cepat menjawab dengan suara lantang pula.

“Lam-sin adalah satu di antara datuk-datuk kaum sesat dan orang yang bersekutu dengan seorang datuk sesat tentu bukan orang baik-baik!”

Cia Sin Liong menahan senyumnya mendengar ini, lantas dia memandang ke arah para tamu. “Cu-wi yang mulia, benarkah memang demikian alasannya maka cu-wi mengutuk persekutuan antara Pendekar Sadis dan Lam-sin?”

“Benar! Benar!” Banyak orang yang tadinya mengajukan alasan itu cepat berteriak untuk membenarkan jawaban wakil ketua Kun-lun-pai.

“Baiklah, mari kita perbincangkan soal ini. Kita semua tahu bahwa bukan Pendekar Sadis yang ikut dengan Lam-sin, namun sebaliknya, Lam-sin yang ikut dengan Pendekar Sadis. Kalau seorang pendekar mengikuti jejak seorang datuk sesat kemudian membantu datuk itu melakukan kejahatan, jelas bahwa dia telah menyeleweng dari jalan kebenaran. Akan tetapi, apabila seorang datuk meninggalkan kedudukannya, meninggalkan kejahatannya dan mengikuti jejak seorang pendekar, apakah hal itu salah? Lam-sin telah meninggalkan kedudukan dan namanya, juga membubarkan perkumpulan Bu-tek Kai-pang, dan dia ikut bersama Pendekar Sadis bukan sebagai Lam-sin lagi melainkan sebagai Nona Toan Kim Hong puteri dari mendiang Pangeran Toan Su Ong yang terkenal sebagai pendekar sakti yang memberontak terhadap kelaliman kaisar. Ia malah membantu Pendekar Sadis untuk membasmi datuk-datuk jahat seperti See-thian-ong dan Pak-san-kui! Cu-wi yang terkenal sebagai pendekar-pendekar budiman, pernahkah mencoba untuk menantang datuk-datuk itu? Dan siapa di antara cu-wi yang merasa bahwa semenjak dilahirkan sampai sekarang belum pernah melakukan penyelewengan? Kalau Lam-sin yang pernah menjadi datuk itu telah berbalik karena insyaf dan kini menjadi penentang kejahatan, bukankah hal itu baik sekali? Tung-hai-sian datuk sesat dari timur juga sudah menanggalkan kedudukan serta julukannya, meninggalkan kejahatan dan bahkan kini berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, apakah hal itu tidak patut disambut dengan syukur?”

Pendekar Lembah Naga berbicara dengan semangat berapi-api, bukan hanya karena dia ingin membela anak angkatnya, melainkan karena dia melihat kemunafikan yang banyak mencengkeram hati mereka yang menyebut dirinya pendekar dan orang-orang baik.

“Siancai…! Cia-taihiap terlalu bernafsu karena hendak membela putera angkatnya!”

“Maaf, totiang. Bukan membela, melainkan saya menyatakan hal yang sebenarnya. Saya sendiri tidak setuju dengan cara-cara kejam yang dilakukan oleh Ceng Thian Sin dan saya akan menegurnya, bahkan akan memaksanya berjanji bahwa dia tidak akan melakukan hal itu lagi. Akan tetapi kekejamannya terhadap para penjahat yang dimusuhinya itu pun ada sebabnya. Sebabnya adalah dendam dan sakit hati. Sejak kecil, dia kehilangan ayah bundanya yang mati dikeroyok dan di antara pengeroyoknya terdapat banyak orang-orang dari golongan sesat. Kemudian, secara berturut-turut dia mengalami gangguan-gangguan dari orang jahat sehingga dendamnya makin bertumpuk dan akhirnya, setelah dia berhasil mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi, dendam itu meledak dalam keganasan-keganasan terhadap musuh-musuhnya. Nah, sekarang mari kita perbincangkan alasan ke dua yang cu-wi ajukan tadi. Yaitu tentang Pendekar Sadis membunuh Toan-ong-ya yang merupakan sahabat baik para pendekar. Bukankah di antara cu-wi banyak yang merasa penasaran bahwa Pendekar Sadis telah membunuh pangeran itu?”

Banyak suara menyatakan betul demikian.

“Dan, cu-wi tidak tahu apa sebabnya? Apakah tidak ada yang menceritakan kepada cu-wi mengapa dia membunuh pangeran itu, Pangeran Toan Ong yang masih terhitung paman sendiri dari Nona Toan Kim Hong yang pernah menjadi Lam-sin? Mengapa nona itu tidak sakit hati atas terbunuhnya pamannya, ada pun cu-wi yang bukan apa-apa justru merasa sakit hati?”

“Karena Lam-sin memang jahat dan durhaka!” terdengar jawaban orang.

“Toan Ong adalah seorang yang sangat berbudi terhadap para pendekar, kenyataan ini siapa dapat menyangkalnya?” kata yang lain.

Sin Liong hanya tersenyum tenang menghadapi serangan kata-kata ini. “Tidak ada yang menyangkal bahwa Toan Ong adalah seorang yang berbudi baik terhadap para pendekar sehingga tidaklah aneh jika kematiannya mendatangkan kedukaan dan penyesalan. Akan tetapi saya kira tidak tepat jika Lam-sin tidak sakit hati atas peristiwa itu akibat dia masih jahat dan durhaka. Sama sekali tidak demikian. Melainkan karena dia amat bijaksana dan menyadari sebab kematian pamannya itu, suatu sebab yang agaknya tidak mau diterima oleh para pendekar yang budiman. Pendekar Sadis membunuh Toan Ong bukan sebagai orang yang membunuh seorang yang baik, namun dia membunuhnya karena dia mengira bahwa Toan Ong ialah seorang laki-laki yang jahat, keji dan semua pikiran ini disebabkan oleh fitnah yang dilakukan oleh seorang wanita. Saya kira, di antara para locianpwe yang hadir di sini sudah tahu akan hal itu, bahkan telah melihat sendiri betapa Pendekar Sadis, sesudah menyadari bahwa dia kena diakali oleh fitnah wanita itu, lalu memberi hukuman terhadap wanita itu dengan sadis sekali. Bukankah demikian adanya, Kui Yang Totiang?” Kini Sin Liong menatap ke arah wakil ketua Kun-lun-pai dengan sinar mata tajam penuh selidik.

Kui Yang Tosu juga menatap kepadanya dan wajah tosu itu berubah merah, akan tetapi dengan lantang dia berkata, mengakui, “Memang tidak salah, demikianlah kenyataannya. Akan tetapi apakah kalau Pendekar Sadis sudah menghukum wanita yang menjatuhkan fitnah itu, pembunuhan yang dilakukannya terhadap Pangeran Toan lalu habis begitu saja dan boleh dimaafkan?”

“Ingat, totiang. Saya datang bukanlah sebagai pembela Pendekar Sadis, melainkan hanya mengemukakan semua kenyataan yang patut untuk kita pertimbangan. Saya hanya ingin agar cu-wi semua tahu bahwa Pendekar Sadis membunuh Toan Ong karena menganggap dan yakin bahwa pangeran itu adalah seorang penjahat yang harus dibasminya. Memang dia ceroboh dalam hal itu, kurang teliti sehingga mudah dibohongi dan ditipu wanita jahat itu. Dan tentu saya sendiri akan menegurnya agar lain hari dia tidak seceroboh itu. Akan tetapi, perbuatannya itu sama sekali bukan jahat, bahkan pada waktu itu dia menentang kejahatan pangeran itu yang dipercayanya sebagai orang jahat. Sekarang tentang alasan ke tiga.”

“Siancai…! Cia-taihiap memang pandai sekali. Coba, pinto ingin mendengar pembelaan bagaimana yang akan taihiap ajukan untuk perbuatannya di Kun-lun-pai!” kata Kui Yang Tosu yang merasa agak mendongkol karena semua kata-kata pendekar sakti itu bahkan benar-benar mengangkat Pendekar Sadis dan memperlemah kesalahannya.

“Sebelum kita mempertimbangkan urusan Pendekar Sadis dengan Kun-lun-pai, baiknya kita mendengar lebih dulu persoalannya. Mungkin cu-wi sekalian sudah mendengar akan peristiwa itu, akan tetapi supaya lebih jelas dan tidak simpang-siur dan terkena hasutan cerita-cerita yang tidak betul, maka biarlah anak kami Cia Han Tiong akan menceritakan peristiwa yang terjadi itu seperti yang didengarnya sendiri dari mereka berdua. Han Tiong, kau ceritakanlah!”

Han Tiong bangkit berdiri sementara Pendekar Lembah Naga duduk kembali. Pemuda ini lebih tinggi sedikit dari pada ayahnya, sikapnya juga sangat tenang seperti ayahnya dan sepasang matanya tajam sekali namun penuh dengan kelembutan. Biar pun dibandingkan dengan ayahnya dia masih kalah wibawa, akan tetapi dia tidak kalah gagahnya. Sesudah menjura kepada para tamu, pemuda ini pun dengan lantang mulai bercerita.

Mula-mula dia menceritakan riwayat Toan Su Ong yang menjadi buruan akibat tak berani melawan suheng-nya yang bernama Gouw Gwat Leng karena suheng-nya itu memegang bendera pusaka perguruan yang berarti bahwa suheng-nya telah menjadi pengganti suhu mereka. Kemudian tentang kematian Toan Su Ong dan isterinya di sebuah pulau kosong, dan meninggalkan Toan Kim Hong yang akhirnya menjadi Lam-sin untuk beberapa tahun lamanya, sampai akhirnya gadis itu bertemu dengan Pendekar Sadis dan meninggalkan dunia sesat.

“Toan Kim Hong mencari supek-nya yang dianggap sebagai penyebab ayahnya menderita hidup sengsara selamanya sebagai seorang buruan. Akhirnya dia pun mendengar bahwa supek-nya telah menjadi Jit Goat Tosu dan bertapa di daerah Kun-lun-pai. Ia lalu mengajak Pendekar Sadis untuk mendatangi Jit Goat Tosu. Jadi, di dalam hal ini, Pendekar Sadis hanya menemani saja Nona Toan itu yang hendak menuntut balas terhadap supek-nya sendiri atas kesengsaraan mendiang ayahnya. Mereka lalu minta dengan hormat kepada pimpinan Kun-lun-pai supaya diperbolehkan bertemu dengan Jit Goat Tosu untuk urusan pribadi, urusan antara keluarga perguruan mereka sendiri. Akan tetapi oleh Kun-lun-pai nona itu diuji dan akhirnya lulus sehingga diperbolehkan bertemu, diantar oleh Pendekar Sadis. Mereka berdua pun kemudian bertemu dengan Jit Goat Tosu. Jit Goat Tosu lalu bertempur melawan mereka namun mereka berdua tidak mampu mengalahkannya. Akan tetapi, karena memang merasa menyesal sudah membuat sengsara sute-nya yang amat dicintanya, Jit Goat Tosu mengalah, bahkan lalu membunuh dirinya sendiri sampai tewas! Nah, itulah yang terjadi. Kun-lun-pai marah dan hendak menangkap mereka, lalu mereka melarikan diri dari kepungan tanpa membunuh seorang pun anggota Kun-lun-pai. Nah, demikianlah cerita yang saya dengar dari penuturan Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong.” Han Tiong lalu duduk kembali ke atas kursinya.

Cia Sin Liong kembali bangkit berdiri. “Benarkah peristiwanya terjadi demikian, totiang?” tanyanya kepada Kui Yang Tosu.

“Siancai… tidak ada yang mau berbohong dan memang benar demikianlah. Akan tetapi peristiwa itu terjadi di wilayah kami, bukankah itu berarti bahwa mereka sudah melanggar wilayah kami, ada pun pelanggaran itu sudah merupakan kejahatan dan tidak memandang kepada Kun-lun-pai?”

“Maaf, totiang,” jawab Sin Liong. “Bukankah mereka berdua tidak masuk seperti pencuri, melainkan dengan berterang, bahkan telah minta persetujuan Kun-lun-pai untuk menemui Jit Goat Tosu?”

“Memang benar. Akan tetapi mereka berdua mendesak Jit Goat Tosu sehingga saudara tua kami itu melakukan bunuh diri! Nona itu adalah seorang murid yang murtad dan jahat, telah memaksa supek-nya sendiri membunuh diri, tidak mengindahkan atau menghormati bendera pusakanya sendiri. Dan Pendekar Sadis membantunya mendesak Jit Goat Tosu. Bukankah itu jahat sekali dan perlu dihukum?”

“Setiap orang memang memiliki pendapat masing-masing mengenai benar atau salahnya orang lain. Akan tetapi jelaslah bahwa urusan antara Nona Toan Kim Hong dan supek-nya adalah urusan dalam suatu perguruan dan kita semua tak berhak untuk mencampurinya! Jit Goat Tosu tewas karena kehendak dirinya sendiri, bukan dibunuh. Bahkan andai kata sampai mati di tangan murid keponakannya sekali pun, hal itu merupakan urusan dalam perguruan mereka sendiri.”

Kui Im Tosu kini bangkit berdiri dan dengan suaranya yang halus dia berkata, “Kami dari Kun-lun-pai mengumpulkan cu-wi sekalian memang untuk diajak bertukar pikiran tentang hal ini. Jadi sekarang menurut pendapat Cia-taihiap sebagai ayah angkat Pendekar Sadis, bagaimana sikap yang harus kita ambil terhadapnya?”

Sikap Sin Liong tetap tenang dan tegas. “Terserah kepada siapa pun mau bertindak apa pun terhadap Pendekar Sadis. Akan tetapi jika dengan alasan-alasan yang tadi telah kita bicarakan, jelas bahwa apa bila sampai terjadi bentrokan, maka Pendekar Sadis berada di pihak yang diserang lebih dulu. Dia tidak pernah mengganggu cu-wi, akan tetapi sekarang cu-wi hendak mengganggunya. Saya mengerti bahwa kematian Jit Goat Tosu membuat Kun-lun-pai merasa berduka dan juga malu. Sebab itu jika Kun-lun-pai hendak bertindak sendiri terhadap Pendekar Sadis, silakan. Hanya satu hal yang hendak kami kemukakan bahwa kami dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga akan segera mencarinya kemudian akan menasehatinya agar dia mengubah semua sikap yang kejam terhadap para penjahat, biar pun sudah sepatutnya kalau sebagai pendekar dia menentang kejahatan. Dan sebaliknya cu-wi tidak mempunyai alasan yang kuat. Cu-wi tidak pernah menentang para datuk, tapi Pendekar Sadis malah membasmi para datuk. Akan tetapi kini cu-wi hendak menentang dia dengan alasan-alasan yang sangat lemah. Silakan dan kami rasa sudah cukup kami bicara!”

Sesudah berkata demikian, Cia Sin Liong berpamit dan pergi meninggalkan Kun-lun-pai bersama Bhe Bi Cu, Cia Han Tiong, Yap Kun Liong, serta Cia Giok Keng. Tidak ada seorang pun di antara para pendekar yang berani membantah atau mencegahnya.

Pihak Kun-lun-pai maklum bahwa Pendekar Lembah Naga itu diam-diam merasa marah. Pertemuan itu dilanjutkan tanpa adanya wakil dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga, akan tetapi mereka tidak dapat mengambil keputusan bulat sesudah terpengaruh oleh semua kata-kata Pendekar Lembah Naga tadi.

Dan akhirnya hanya tinggal kemengkalan hati terhadap Pendekar Sadis yang ada, tanpa ada keputusan untuk bersama-sama menentangnya. Bagaimana pun juga mereka sangat maklum akan kelihaiannya, apa lagi dengan adanya Lam-sin di sampingnya, siapa berani mencoba-coba dan main-main dengan mereka berdua? Belum lagi kalau diingat bahwa menentang Pendekar Sadis mungkin saja akan turut melibatkan Cin-ling-pai dan Lembah Naga, apa lagi setelah Pendekar Lembah Naga menyatakan pendapatnya seperti itu dan bahkan sudah menyatakan akan mencari kemudian menasehati Pendekar Sadis supaya menghentikan sikapnya yang sadis dan kejam itu.

Maka akhirnya rapat itu hanya memutuskan untuk melihat bagaimana perkembangannya saja, apakah Pendekar Sadis betul-betul akan berubah menjadi pendekar yang tidak lagi bersikap kejam, tidak lagi melakukan penyiksaan di luar batas peri kemanusiaan seperti yang sudah-sudah.

Tentu saja di antara para pendekar itu ada kekecualiannya. Ada yang diam-diam merasa penasaran dan diam-diam mereka itu mengambil keputusan untuk sewaktu-waktu, kalau ada kesempatan, menghadapi Pendekar Sadis dan menentangnya, ingin melihat sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian Pendekar Sadis yang disohorkan itu.

********************

“Sudahlah Thian Sin, kenapa engkau membiarkan diri terbenam dalam kedukaan? Kalau engkau masih merasa penasaran, mengapa tidak sekarang saja kita mendatangi tempat pertemuan itu, tak peduli apa jadinya nanti?” kata Kim Hong melihat kekasihnya itu duduk di atas batu sambil bertopang dagu, wajahnya nampak berduka dan pucat, sinar matanya layu dan muram.

Mereka tidak lari jauh dari Kun-lun-pai, melainkan duduk di kaki pegunungan itu sesudah semalaman mereka bermalam di dalam hutan, melihat para tamu yang berdatangan ke puncak Kun-lun-pai, termasuk juga Kakek Yap Kun Liong bersama Nenek Cia Giok Keng, kemudian Cia Sin Liong bersama isterinya. Saat melihat neneknya, hampir saja Thian Sin keluar dari persembunyiannya, akan tetapi dia menahan diri dan ketika dia melihat ayah angkatnya lewat, tak tertahankan lagi dua tetes air mata membasahi pipinya.

Pagi ini dia termenung dan bertopang dagu, bahkan sejak semalam tadi, semalam suntuk dia tidak tidur, membuat Kim Hong menjadi khawatir sekali akan keadaan kekasihnya itu.

Thian Sin menarik napas panjang. “Bagaimana aku tidak akan berduka, Kim Hong? Sejak aku kecil, aku selalu dirundung kemalangan dan ditimbun kedukaan. Ayah bunda dibunuh orang, dan ketika menjelang dewasa, banyak sekali peristiwa yang menyakiti hatiku, yang disebabkan oleh orang-orang jahat. Aku menimbun dendam dalam hati, dan setelah aku berhasil melampiaskan dendam, kembali aku menjadi serba salah, bahkan sekarang aku menyeret Cin-ling-pai dan Lembah Naga! Mereka akan dicela orang karena perbuatanku! Ah, kenapa aku selalu bernasib malang, bahkan membawa kemalangan bagi orang lain?” Pemuda itu menutupi mukanya dengan kedua tangan dan berulang-ulang menarik napas panjang.

Kim Hong merasa terharu, mendekati dan merangkul pemuda itu. “Jangan berduka, Thian Sin. Ada aku di sini yang mencintamu dan akan membelamu sepenuh hatiku!”

Thian Sin balas merangkul. Cinta kasihnya terhadap gadis ini makin mendalam. Di dunia ini hanya Kim Hong seoranglah yang membela dan tidak menyalahkannya. Bahkan kakak angkat yang dicintanya, Cia Han Tiong, kini ikut menyalahkan dia! Hanya Kim Hong yang tidak menyalahkan, yang masih terus membela dan mencintanya. Hanya Kim Hong yang menghibur kemurungan hatinya. Diciumnya gadis itu dengan hati terharu.

“Kalau tidak ada engkau, Kim Hong, entah apa jadinya denganku, entah apa yang akan kulakukan dalam menghadapi semua ini. Rasanya aku ingin mengamuki Kun-lun-pai dan menentang semua orang yang membenciku!”

Sekali waktu, kemurungan pasti hinggap di dalam perasaan hati kita. Sejak jaman dahulu sampai sekarang, agaknya di dunia ini tidak ada manusia yang dapat bebas dari pada kemurungan atau kedukaan atau kekecewaan hati. Selalu saja ada persoalan-persoalan yang mendatangkan kedukaan, kekecewaan dan kesengsaraan, dan kalau sudah datang perasaan duka ini, kita pun merasa sengsara, kita merasa prihatin, kita menderita batin, seolah-olah hati kita berdarah.

Dan tak jarang kita kemudian melarikan diri dari semua derita ini, menghibur diri dengan bermacam kesenangan, atau melarikan diri sama sekali dengan jalan bunuh diri. Atau pun membunuh diri secara batiniah, yaitu dengan jalan bertapa dan meninggalkan semua keramaian dunia yang sama saja artinya dengan hidup akan tetapi sudah mati. Semua ini hanyalah bentuk-bentuk pelarian belaka.

Kekecewaan, kemurungan dan kedukaan timbul akibat batin menginginkan yang lain dari pada kenyataan, batin selalu ingin senang sehingga jika kesenangan yang diinginkan itu tidak terjadi, hati menjadi kecewa dan berduka. Kita tidak tahu bahwa justru KEINGINAN UNTUK SENANG inilah pencipta kekecewaan dan kedukaan.

Kita menginginkan agar hidup ini manis selalu adanya. Kita membutakan mata terhadap kenyataan bahwa sekali ada manis, sudah pasti ada pula pahit, getir, masam, asin dan sebagainya lagi. Itulah romantika hidup. Manis, pahit, getir, masam dan sebagainya, itu merupakan suatu kumpulan yang tidak terpisahkan dan yang membentuk apa yang kita namakan kehidupan ini. Karena kita selalu menginginkan yang manis, maka yang pahit dan getir terasa tidak enak, mengecewakan dan menyiksa. Padahal, belum tentu yang manis itu selalu bermanfaat, dan belum tentu kalau yang pahit itu tidak berguna!

Di dalam setiap kenyataan, baik itu diterima sebagai manis atau pahit, pasti tersembunyi sesuatu, suatu rahasia yang maha ajaib, dan yang hanya akan terlihat oleh dia yang tidak terpengaruh oleh rasanya, baik manis mau pun pahit, yang melihat kenyataan sebagai apa adanya, tanpa menilainya sebagai baik atau buruk, manis atau pahit.

Bukankah yang rasanya manis-manis itu sering kali bahkan mengganggu kesehatan dan sebaliknya yang pahit-pahit itu biasanya malah baik bagi kesehatan? Namun, bagaimana juga, kita selalu mengejar-ngejar yang manis-manis!


Seseorang yang kita cinta merupakan hiburan yang amat kuat di kala kita dirundung duka nestapa. Hal ini terasa benar oleh Thian Sin. Sekiranya tidak ada Kim Hong di dekatnya, entah apa yang akan dilakukannya. Mungkin saja dia akan menjadi nekad dan melakukan hal-hal yang lebih mengerikan lagi.

“Sekarang apakah kehendakmu, Thian Sin? Apakah demi Cin-ling-pai dan Lembah Naga, engkau hendak menyerahkan dirimu kepada para tosu Kun-lun-pai?” Kim Hong bertanya untuk mengetahui isi kekasihnya.

Thian Sin mengepal tinju. “Tidak! Sampai mati pun aku tidak akan sudi menyerahkan diri kepada para tosu Kun-lun-pai. Boleh saja mereka menyebut diri mereka sebagai partai besar, gudang pendekar-pendekar budiman, akan tetapi jelas sekali bahwa sikap mereka terhadap kita didasarkan atas dendam karena kita telah dianggap menyebabkan kematian Jit Goat Tosu.”

“Benar, memang tak semestinya kita menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai sebab kita tak bersalah apa-apa terhadap mereka. Dan jangan kau kira mereka itu hanya mendendam karena kematian supek-ku saja, melainkan ada hal yang lebih dari itu bagi mereka.”

Thian Sin mengangkat muka memandang wajah kekasihnya dengan heran. “Ada hal apa lagi kecuali kematian supek-mu itu?”

“Kehormatan mereka! Kita mencari dan menyerang supek di dalam wilayah Kun-lun-pai, dan mereka merasa malu, seolah-olah mereka tidak mampu melindungi orang yang telah menjadi saudara mereka dan telah berada di antara mereka. Di samping itu, juga kurasa mereka merasa sayang sekali telah kehilangan sumber ilmu-ilmu silat yang tinggi.”

“Maksudmu?”

“Lupakah engkau betapa lihainya supek? Bahkan kita berdua bergabung pun tak mampu mengalahkan dia! Padahal dia sudah nampak begitu tua dan lemah, telah bertahun-tahun bertapa dan kurang makan. Bayangkan saja alangkah hebatnya ilmu kepandaian supek sehingga tidaklah mengherankan kalau mendiang ayahku takut kepadanya. Dan agaknya para tosu itu mengincar ilmu-ilmu dari supek yang mereka warisi. Kurasa itulah sebabnya mengapa para tosu itu mengejar-ngejarmu, mengejar-ngejar kita!”

Thian Sin mengangguk-angguk. “Mungkin benar sekali pendapatmu itu. Maka, bagaimana pun juga, aku tak akan mau menyerahkan diri kepada mereka dan kalau mereka bersama orang-orang yang menyebut diri mereka pendekar-pendekar itu masih mengejarku, maka mereka akan kuhadapi sebagai orang-orang jahat yang hendak mengganggu diriku. Akan tetapi…” Dia tidak melanjutkan kata-katanya dan wajahnya nampak muram.

Kim Hong maklum kata-kata apa yang tak terucapkan itu, maka ia pun mendesak dengan terus terang, “Bagaimana bila Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang datang menghadapimu, Thian Sin?”

Pemuda itu menarik napas panjang, wajahnya sedikit pucat. “Itulah… aku tidak mungkin berani melawan mereka. Mereka bukanlah orang-orang sombong seperti tosu-tosu dari Kun-lun-pai dan orang-orang yang menamakan diri pendekar-pendekar itu. Mereka adalah pendekar-pendekar sejati. Engkau sudah mendengar sendiri kata-kata Tiong-ko. Mereka adalah orang-orang benar yang patut kuhormati dan kutaati. Tidak, aku tidak akan berani menentang mereka. Aku akan menyerahkan diri kepada mereka, asalkan bukan untuk dibawa kepada orang-orang Kun-lun-pai untuk dipersalahkan.”

“Kalau begitu, sebaiknya kalau kita menemui mereka sekarang juga. Nanti setelah selesai pertemuan di puncak itu, tentu mereka akan turun gunung. Nah, itulah saatnya bagi kita untuk menemui mereka.”

“Ahhh…!”Wajah pemuda itu nampak gemetar. Ngeri dia membayangkan untuk berhadapan dengan ayah dan ibu angkatnya, juga dengan neneknya yang galak dan kakeknya yang berwatak lembut itu. Apa lagi masih ada kakaknya pula!

“Thian Sin, di mana kegagahanmu? Tidak baik jika rasa keragu-raguan itu dipendam dan dibawa pergi ke mana-mana. Seorang gagah harus berani menghadapi kenyataan, betapa pun pahitnya kenyataan itu. Jika bisa dibereskan sekarang juga, mengapa mengulur-ulur waktu dan sementara itu membawa-bawa kekhawatiran di dalam hati? Kita temui mereka sekarang juga pada saat mereka turun gunung dan kita lihat bagaimana pendapat mereka tentang dirimu. Jangan khawatir, aku selalu berada di sampingmu dan kalau perlu… andai kata engkau harus mati oleh mereka, aku pun harus mati di tangan mereka!”

“Kim Hong…!” Thian Sin menjadi terharu sekali dan dia pun merangkul.

Mereka berangkulan, berciuman dan mata mereka menjadi basah, bukan hanya oleh rasa keharuan dan kedukaan membayangkan kemungkinan itu, akan tetapi juga rasa bahagia di dalamnya, bahwa mereka itu saling mencinta sedemikian dalamnya sehingga tidak lagi ragu-ragu untuk kalau perlu mengorbankan nyawa demi kekasihnya.

Tidak lama kemudian mereka melihat lima orang pertama yang turun dari puncak di mana terdapat markas Kun-lun-pai, dan dapat dibayangkan betapa kaget serta tegang rasa hati Thian Sin dan Kim Hong pada saat melihat bahwa mereka itu adalah orang-orang yang semenjak tadi mereka tunggu-tunggu, yaitu Kakek Yap Kun Liong, Nenek Cia Giok Keng, Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong beserta isterinya, dan juga puteranya!

Melihat wajah kekasihnya menjadi pucat, Kim Hong memegang tangannya dan berkata halus, “Marilah, Thian Sin. Mari kita menyambut dan menghadap mereka!” Dia pun lantas menarik pemuda itu keluar dari dalam hutan di mana mereka bersembunyi dan langsung mereka berdua menyongsong kedatangan lima orang itu.

********************

Selanjutnya,

Pendekar Sadis Jilid 41

Pendekar Sadis Jilid 41
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Kim Hong menjadi repot juga sesudah lawannya mempergunakan langkah-langkah ajaib, terutama sekali dengan adanya serangan-serangan hebat dengan senjata caping. Belum pernah dia menghadapi senjata seperti itu, yang kadang-kadang dapat berputar demikian cepatnya sehingga mengeluarkan suara mengiang-ngiang dan berdesing-desing, dan juga harus diakuinya bahwa langkah-langkah ajaib kakek itu benar-benar luar biasa sekali.

Bahkan keunggulannya dalam hal ginkang tidak banyak menolong. Gerakannya memang lebih cepat, akan tetapi dengan langkah-langkah aneh, tahu-tahu kakek itu sudah berada di belakangnya dan sudah menghujaninya dengan serangan-serangan dahsyat!

Beberapa kali hampir saja dia menjadi korban serangan mendadak yang datangnya tidak tersangka-sangka itu. Biar pun dia telah membalas dengan serangan-serangan dahsyat juga, namun tetap saja perpaduan antara senjata caping dengan langkah-langkah ajaib itu membuatnya benar-benar kewalahan.

“Srattttt…!”

Tiba-tiba saja nampaklah sepasang sinar hitam berkelebat dan ternyata Kim Hong sudah mencabut keluar Hok-mo Siang-kiam, sepasang pedang hitamnya. Dua batang pedang hitam itu segera digerakkan dengan kecepatan kilat, lenyap bentuk pedangnya dan yang nampak hanyalah gulungan sinar hitam yang menyambar-nyambar seperti kilat, yang satu menahan gerakan caping setiap kali menyambar ke arahnya dan yang ke dua membalas dengan serangan balasan yang dahsyat pula.

Akan tetapi tentu saja Kim Hong juga menjaga perasaan Thian Sin, maka dia tidak mau kalau sampai pedangnya melukai apa lagi membunuh lawan. Oleh karena itu, begitu dia sudah berhasil memecahkan desakan lawan dan kini berbalik dia mendesak dengan ilmu Pedang Hok-mo Kiam-sut yang lihai, tiba-tiba dia melihat bayangan caping menyambar ke arah kepalanya. Dia tidak menangkis, melainkan cepat menundukkan kepala dan gerakan kepalanya yang mengelak ini dilakukan dengan keras-keras.

Lawannya hanya mengira bahwa gadis itu mengelak dengan menggerakkan kepala, tidak tahu bahwa dengan gerakan kepala itu, tiba-tiba saja sanggul rambut Kim Hong terlepas, lantas gumpalan rambut itu mengirim totokan ke arah pergelangan tangan lawan!

“Tukkk!”

“Ahhhhh…!” Liang Sim Cinjin sama sekali tidak pernah menduga akan serangan hebat ini dan tahu-tahu pergelangan tangannya telah tertotok, membuat jari-jemari tangannya yang memegang caping menjadi lumpuh dan tentu saja caping itu terlepas dari pegangannya.

Saat dia hendak menyambar caping itu dengan tangan, dua sinar pedang menghalanginya. Terpaksa dia meloncat mundur hingga caping itu menggelinding di atas tanah. Kakek itu menarik napas panjang dan berkata,

“Sungguh luar biasa sekali kepandaian nona. Aku yang sudah tua dan tidak berguna ini mengakui keunggulanmu!”

Kim Hong menyimpan sepasang pedangnya lalu menjura sambil tersenyum. “Terima kasih locianpwe telah mengalah, dan aku pun tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga kecuali orang-orang yang berbuat jahat. Aku tak berani mengangkat diri sebagai pendekar, akan tetapi saat ini tidak ada sedikit pun niat jahat dalam hatiku.” Dan dia pun mundur.

Thian Sin meloncat maju ke depan. “Kuharap cu-wi sekalian dapat menginsyafi keadaan kami berdua. Kami tidak sengaja memusuhi Kun-lun-pai, dan tentang sikap kami terhadap para penjahat, hal itu tak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Akan tetapi kami telah datang ke sini untuk mempertanggung jawabkan semuanya, bukan untuk membiarkan diri ditangkap karena kami tidak merasa bersalah. Maka, jika masih ada yang penasaran dan hendak memberi hukuman kepadaku, silakan maju, selagi aku berada di sini!” Kata-kata ini cukup keras.

Wajah kedua orang pemimpin Kun-lun-pai sudah berubah merah karena penasaran dan marah melihat betapa dua orang di antara tamu-tamu mereka sudah dikalahkan oleh dua orang muda pengacau itu. Kesalahan-kesalahan lama dari Pendekar Sadis belum diadili, tapi kini telah dibuatnya kesalahan-kesalahan baru dengan menandingi dan mengalahkan dua orang tamu terhormat dari Kun-lun-pai yang berarti sudah menghina Kun-lun-pai pula!

Mereka sudah bangkit dan hendak maju, akan tetapi pada saat itu pula Han Tiong sudah meloncat ke depan. Wajah pemuda ini agak pucat ketika dia menghadapi Thian Sin.

“Bagus sekali, Ceng Thian Sin! Engkau memang gagah perkasa! Nah, coba sekarang kau perlihatkan bagaimana caranya engkau akan membunuh aku!” Setelah berkata demikian, Han Tiong sudah maju menyerang dengan totokan It-sin-ci (Totokan Satu Jari), tujuh kali berturut-turut.

“Tiong-ko… jangan…!” Thian Sin mengelak ke sana-sini dan karena dia tak mau melawan, tentu dia akan terkena totokan-totokan maut itu jika saja Kim Hong tidak tiba-tiba menarik lengannya dari belakang.

“Tiong-ko… jangan mengangkat tangan terhadap diriku…,” Thian Sin meratap, suaranya terdengar penuh kepiluan.

“Agaknya hanya kalau aku menyerahkan nyawaku kepadamu maka engkau akan puas!” kata Han Tiong dan dia sudah menerjang lagi.

“Dukkk…!” Kim Hong yang menangkis.

“Bagus, kalian berdua boleh maju dan membunuhku, lebih baik begitu!” kata Han Tiong kepada kedua orang itu. Keadaan menjadi tegang sekali dan saat itu digunakan oleh Kui Yang Tosu untuk berseru dengan lantang.

“Saudara-saudara sekalian, ketahuilah bahwa Nona Toan Kim Hong ini bukan lain adalah Lam-sin, datuk kaum sesat dari dunia selatan itu! Nah, kalau sahabatnya adalah Lam-sin, mudah kita ketahui manusia macam apa adanya Pendekar Sadis.”

Sebelum Thian Sin menjawab, Kim Hong sudah mendahuluinya, bukan jawaban langsung kepada Kui Yang Tosu, melainkan ditujukan kepada semua orang yang hadir di tempat itu, suaranya lantang, sikapnya menantang,

“Benar sekali! Memang aku pernah menjadi Lam-sin! Akan tetapi, kini Lam-sin telah tidak ada, yang ada hanyalah Toan Kim Hong! Semenjak aku bertemu dengan Pendekar Sadis, Lam-sin sudah kuenyahkan dan Bu-tek Kai-pang telah kububarkan. Pendekar Sadis yang telah membuat aku sadar dan meninggalkan dunia hitam!”

Thian Sin yang melihat kakaknya sudah maju, kini tidak mau banyak ribut lagi. Dia cepat menarik tangan Kim Hong sambil berkata, “Sudahlah, Kim Hong. Marilah kita tinggalkan orang-orang yang baik-baik ini, kita orang-orang yang jahat tentu saja tidak ada harganya untuk berbincang-bincang dengan orang-orang yang baik-baik dan bersih ini. Tiong-ko, maafkan aku, sungguh tak kukira akan begini jadinya di antara kita. Maafkan, Tiong-ko…” Suaranya mengadung isak dan dia sudah menarik tangan Kim Hong, langsung diajaknya pergi dengan cepat dari tempat itu.

Kui Yang Tosu yang sudah marah itu lalu berseru, “Kejar mereka!”

“Tahan…!” Tiba-tiba saja Han Tiong berteriak dan dia pun sudah melompat ke depan dan menghadang Kui Yang Tosu dan yang lain-lain. Semua orang memandang kepadanya dan Kui Yang Tosu mengerutkan alisnya.

“Cia-taihiap, apakah sekarang engkau berbalik hendak melindunginya?”

Han Tiong menggelengkan kepalanya. “Tidak, akan tetapi lupakah totiang bahwa totiang mengundang kami untuk rapat besok pagi di mana akan dibicarakan mengenai Pendekar Sadis? Mereka yang berkepentingan belum lagi datang, rapat belum diadakan, keputusan belum diambil, apakah sekarang totiang sudah hendak melakukan tindakan tanpa adanya keputusan rapat terlebih dahulu? Apakah totiang atau Kun-lun-pai hendak membelakangi Cin-ling-pai dan Lembah Naga?”

Semua orang menjadi terkejut dan Kui Im Tosu berseru, “Siancai… siancai… siancai…! Sute, kesabaran harus diutamakan, hati boleh saja panas akan tetapi kepala harus dingin. Ucapan Cia-taihiap memang tepat. Kita harus menanti sampai rapat besok.”

Kui Yang Tosu merangkap kedua tangan di depan dada sambil berkata, “Siancai… pinto mohon maaf…

Sambil menanti datangnya esok hari, Han Tiong menyendiri di dalam markas Kun-lun-pai itu. Dia merasa berduka sekali dan juga bingung memikirkan Thian Sin. Dia membutuhkan nasehat orang-orang tua, maka dia mengharapkan kedatangan ayahnya dan juga ketua Cin-ling-pai. Dia sendiri kini tak mungkin lagi dapat mempertanggung jawabkan perbuatan Thian Sin setelah adiknya itu datang sendiri tadi.

********************

Pada keesokan harinya, makin banyak pendekar yang datang untuk memenuhi undangan Kun-lun-pai sehingga ruangan tamu itu dipenuhi oleh kurang lebih lima puluh orang tokoh utama dunia persilatan golongan bersih atau para pendekar. Kedatangan Cia Sin Liong bersama isterinya disambut dengan hormat oleh para pendekar, dan tentu saja Han Tiong girang sekali melihat kedatangan ayah ibunya. Segera dia menghadap dan menceritakan semua yang telah dialaminya dalam pertemuannya dengan adiknya itu.

Mendengar penuturan puteranya itu, Cia Sin Liong menarik napas panjang berkali-kali. Ia teringat kepada kakak angkatnya, Pangeran Ceng Han Houw sehingga beberapa kali dia bertukar pandang dengan isterinya ketika mendengar cerita putera mereka. Kemudian dia berkata,

“Ahh, dia mewarisi jiwa pemberontak dan pendendam seperti ayah kandungnya. Agaknya sifat itu terpendam dalam-dalam pada sanubarinya sehingga gemblengan pamannya Hong San Hwesio dan pendidikan dariku kepadanya hanya menutupi sementara saja.”

Isteri Pendekar Lembah Naga, yaitu Bhe Bi Cu tertarik sekali mendengar tentang wanita yang menjadi kekasih dan calon isteri Thian Sin. “Lam-sin? Aihhh, bagaimana bisa Thian Sin memperoleh jodoh seorang datuk kaum sesat?”

“Akan tetapi menurut penuturan Tiong-ji, Lam-sin sudah berubah menjadi seorang gadis, Toan Kim Hong keturunan seorang pangeran yang ilmunya lihai bukan main. Asalkan dia betul-betul sudah sadar dan telah mengubah jalan hidupnya, maka tak ada halangannya,” kata Cia Sin Liong.

“Bukan main!” kata pula Bhe Bi Cu. “Siapa kira bahwa nenek yang telah menyelamatkan Lian Hong dan kemudian menjadi gurunya itu, yang terkenal sebagai datuk kaum sesat yang menyeramkan, ternyata adalah penyamaran seorang gadis muda!”

“Dan gadis itu telah memiliki kepandaian tinggi, sungguh merupakan pasangan yang amat cocok bagi Thian Sin.” kata suaminya.

Han Tiong mengerutkan alisnya, “Ayah dan ibu, memang kulihat bahwa mereka itu saling mencinta, sama keras hatinya dan Nona Toan itu pun cantik jelita. Agaknya segalanya memang tidak mengecewakan apa bila dia menjadi jodoh Sin-te, hanya saja… ahh, kalau mereka menjadi suami isteri lalu keduanya kembali lagi ke jalan sesat, tentu akan sukar sekali untuk mengatasi mereka bila mereka bergabung. Ilmu kepandaian Sin-te telah maju pesat sekali, ayah, dia sudah mewarisi ilmu peninggalan ayah kandungnya, dan agaknya tingkat kepandaian calon isterinya itu pun tidak kalah olehnya. Pasangan itu akan menjadi pasangan yang mungkin sulit dicari bandingnya, seperti pasangan ketua Cin-ling-pai saja.”

Selagi pemuda itu bercakap-cakap dengan ayah bundanya, datanglah seorang kakek dan seorang nenek yang disambut dengan penuh penghormatan. Usia kakek itu sudah hampir delapan puluh tahun dan nenek itu pun sebaya dengannya, akan tetapi mereka berdua masih nampak sehat dan masih nampak bekas-bekas ketampanan dan kecantikan wajah mereka. Kakek itu bukan lain adalah Yap Kun Liong dan nenek itu adalah Cia Giok Keng, suami isteri yang melalui masa tuanya di tempat sunyi dan damai, yaitu di puncak Gunung Bwe-hoa-san.

Sesudah mereka disambut girang dengan hormat oleh pihak Kun-lun-pai dan para tamu, dan disambut girang oleh Cia Sin Liong sekeluarga, baru kakek dan nenek itu mempunyai kesempatan untuk mengadakan pertemuan sendiri bersama Cia Sin Liong sekeluarga.

“Paman dan bibi, mengapa ayah tidak dapat datang?” Sin Liong bertanya kepada kedua orang kakek dan nenek itu.

Tadinya Sin Liong mengira bahwa tentu ketua Cin-ling-pai, yaitu ayahnya, Cia Bun Houw, akan datang sendiri. Akan tetapi ternyata kini diwakilkan kepada nenek itu yang menjadi kakak dari ayahnya, bersama kakek yang menjadi suami ke dua dari nenek itu setelah dia kematian suaminya yang pertama.

“Pertama, ada terjadi sesuatu yang tak enak sehingga ayahmu tidak datang sendiri untuk bicara tentang Ceng Thian Sin. Dan kedua kalinya, Thian Sin adalah anak Ciauw Si, jadi dia itu adalah cucuku sendiri, maka menurut ayahmu, lebih tepat kalau aku yang datang,” demikian jawab Nenek Cia Giok Keng. “Dan memang kami anggap pendapat ayahmu itu benar. Aku yakin akan dapat bicara kepada Thian Sin kalau sudah bertemu dengan dia. Ahh, anak itu nakal sekali!”

“Telah terjadi hal apakah yang membuat tak enak?” Han Tiong bertanya sambil menatap kepada kakek dan nenek itu penuh kekhawatiran karena tentu telah terjadi sesuatu yang menyangkut diri Thian Sin sehingga kakeknya, ketua Cin-ling-pai tidak mau datang sendiri untuk bicara tentang adik angkatnya itu.

Yap Kun Liong menarik napas panjang. “Mungkin kalian dari Lembah Naga belum pernah mendengar bahwa Cia Kong Liang sudah melangsungkan pertunangan atau ikatan jodoh dengan puteri tunggal dari Tung-hai-sian…”

“Ahh, sungguh memalukan…!” Cia Giok Keng menyambung dan menghela napas. Tentu saja dia merasa menyesal bahwa keponakannya itu, putera tunggal dari adiknya, Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai, berjodoh dengan puteri seorang datuk sesat pula!

Akan tetapi Han Tiong kelihatan tenang-tenang saja, bahkan dia lalu tersenyum. Dia tidak merasa heran karena dia sudah melihat tanda-tanda bahwa pamannya itu menaruh hati terhadap Nona Bin Biauw, puteri dari Tung-hai-sian Bin Mo To yang memang cantik dan mempunyai kepandaian lumayan itu. Dan hatinya terasa nyaman kalau dia teringat bahwa adik angkatnya, Thian Sin, juga bertunangan dengan seorang datuk sesat!

Benar pula kata ayahnya, biar pun tadinya menjadi orang sesat, asalkan telah insyaf dan sadar, kembali ke jalan benar, apa salahnya? Dan dia pun melihat bahwa Kim Hong tidak bersikap jahat. Sebaliknya malah. Bukankah bekas datuk Lam-sin itu bahkan membantu adik angkatnya untuk menghadapi datuk-datuk lainnya seperti See-thian-ong, Pak-san-kui dan lain-lain?

“Aku telah melihat nona puteri Tung-hai-sian itu, dan dia memang cantik, berwatak gagah dan tinggi pula ilmu silatnya. Memang dia cocok sekali apa bila menjadi jodoh Paman Cia Kong Liang,” katanya dan ayahnya memandang kepadanya, lalu tersenyum.

Pendekar Lembah Naga ini mengenal betul watak puteranya dan diam-diam dia merasa bangga karena puteranya itu memiliki watak yang jauh lebih bijaksana dari pada wataknya ketika dia seusia puteranya. Dia tahu pula alangkah mendalam kasih sayang puteranya terhadap Thian Sin, maka dia mengerti apa yang menyebabkan puteranya nampak lega mendengar bahwa Cia Kong Liang bertunangan dengan puteri seorang datuk kaum sesat!

“Akan tetapi, sikap Tung-hai-sian Bin Mo To memang patut dipuji. Di dalam kesempatan merayakan ikatan jodoh itu, dia mengumumkan bahwa dia sudah mencuci tangan dan keluar dari kalangan hitam, bahkan dia sudah membuang julukannya, yaitu Tung-hai-sian, dan hanya menjadi seorang saudagar biasa bernama Bin Mo To.”

Kemudian Yap Kun Liong menceritakan, seperti yang didengarnya dari adik iparnya itu, betapa dalam pesta itu muncul Thian Sin dan Kim Hong yang menantang Bin Mo To.

“Ahh, agaknya Sin-te memang hendak memusuhi semua datuk golongan sesat,” kata Han Tiong.

“Agaknya demikian, akan tetapi sikap Bin Mo To memang bagus sekali. Dia mematahkan pedang samurainya dan menolak tantangan Thian Sin.”

“Bagus!” Cia Sin Liong berseru. “Sikap itu tentu merupakan tamparan bagi Thian Sin.”

“Mereka mengejek Bin Mo To dan mula-mula Cia Kong Liang maju, ditandingi oleh Toan Kim Hong dan Kong Liang dikalahkah gadis itu…”

“Tentu saja!” kata Cia Sin Liong lagi memotong kata-kata pamannya. “Lam-sin itu memiliki kepandaian hebat, tidak aneh kalau Kong Liang kalah olehnya.”

“Kemudian, ayah ibumu maju dan ibumu memaki-maki Thian Sin yang minta ampun lalu mengajak pergi Kim Hong. Nah, itulah peristiwa yang terjadi di dalam pesta pertunangan itu, dan itu pula sebabnya mengapa ayahmu tidak mau datang menghadiri rapat untuk membicarakan urusan Thian Sin.” Yap Kun Liong mengakhiri ceritanya yang didengarkan oleh keluarga Cia bertiga itu.

Mereka terus bercakap-cakap dan saling menuturkan keadaan mereka selama mereka tak berjumpa hingga akhirnya terdengar pengumuman dari pihak tuan rumah bahwa rapat para pendekar dimulai di ruangan tamu yang luas. Semua tamu sudah bersiap.

********************

Agaknya, karena urusan yang hendak dibicarakan menyangkut diri Pendekar Sadis yang masih merupakan keluarga Cin-ling-pai dan Lembah Naga, maka pendekar tua Yap Kun Liong bersama isterinya dan keluarga Lembah Naga mendapat tempat duduk kehormatan, di dekat tempat pihak tuan rumah, yaitu kedua ketua Kun-lun-pai, Kui Im Tosu dan Kui Yang Tosu.

Setelah mengucapkan selamat datang dan berterima kasih, Kui Yang Tosu yang mewakili pihak tuan rumah lalu langsung membicarakan pokok persoalan. Diceritakannya tentang berita-berita tentang sepak terjang Pendekar Sadis, tentang cara-cara pembunuhan yang amat kejam ketika pendekar itu membasmi penjahat-penjahat, tentang pembunuhan yang dilakukannya terhadap Toan Ong, dan terutama sekali tentang perbuatan Pendekar Sadis dan Lam-sin atau Toan Kim Hong yang mendatangi Kun-lun-pai dan yang menyebabkan kematian Jit Goat Tosu.

Dari cara menceritakannya saja sudah dapat dirasakan oleh semua orang betapa tosu ini merasa amat marah dan sakit hati terhadap Pendekar Sadis, dan ceritanya mengandung harapan agar rapat itu mengutuk dan menghukum Pendekar Sadis. Dan sebagai penutup penuturannya yang makan waktu satu jam lebih itu, Kui Yang Tosu berkata,

“Oleh karena itulah kami dari Kun-lun-pai, hari ini mengundang cu-wi untuk berkumpul dan membicarakan urusan Pendekar Sadis, mengambil keputusan apa yang sepantasnya kita lakukan atas perbuatan sewenang-wenang darinya itu. Dan mengingat bahwa Pendekar Sadis adalah Ceng Thian Sin, yaitu putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang sudah menjadi putera angkat Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong Taihiap, juga masih ada hubungan keluarga dengan Cin-ling-pai, maka kami sengaja mengundang saudara-saudara dari Cin-ling-pai dan juga dari Lembah Naga untuk kami mintakan pertanggungan jawabnya dan pertimbangannya.” Tosu itu lalu memberi hormat kepada semua tamu dan duduk kembali di samping suheng-nya, Kui Im Tosu.

Suasana menjadi berisik ketika tosu itu menghentikan pidatonya dan semua tamu saling bicara sendiri. Meski pun mereka berbicara perlahan-lahan setengah berbisik, akan tetapi karena yang bicara itu banyak orang, maka suasana menjadi berisik sekali, seperti dalam pasar saja. Hanya keluarga Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang nampak duduk dengan tenang dan diam-diam saja, agaknya masih menunggu keadaan dan tidak merasa perlu untuk banyak bicara.

Tiba-tiba seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam bangkit dari tempat duduknya dan dengan suara lantang dia segera berkata, “Pendekar Sadis harus dibasmi! Dosanya telah bertumpuk-tumpuk!”

Tentu saja semua orang memandang kepada si tinggi besar muka hitam ini dan dia pun mengangkat dada, wajahnya nampak bangga. Memang, dalam suatu pertemuan, di mana terdapat banyak orang, kita selalu mempunyai kecondongan hati untuk menonjolkan diri dengan cara apa pun juga.

Si tinggi besar bermuka hitam ini adalah seorang pendekar ahli gwakang (tenaga luar), memiliki otot-otot yang kuat dan tenaganya seperti seekor gajah, julukannya juga Ban-kin Hek-jio (Gajah Hitam Selaksa Kati) bernama Ciong Sam. Namanya terkenal di daerah Hok-kian dan mahir ilmu silat campuran antara ilmu silat Siauw-lim-pai dan ilmu silat dari Kang-lam.

Bisa hadir di antara para tokoh pendekar besar itu, Si Gajah Hitam ini tentu saja merasa dirinya menjadi besar dan dia pun yang pertama kali berteriak mengutuk Pendekar Sadis itu. Bukan sekali-kali karena dia memang membenci Pendekar Sadis, namun sepenuhnya terdorong untuk menonjolkan diri itu saja! Dan banggalah hatinya pada saat semua orang memperhatikan dirinya.

Betapa pun juga, ucapannya itu memancing persetujuan banyak pendekar yang hadir di situ. Banyak di antara mereka yang lantas berseru mengutuk Pendekar Sadis, setidaknya menyatakan ketidak senangan hati mereka. Maka keadaan menjadi berisik sekali.

“Pendekar yang bersahabat dengan datuk seperti Lam-sin bukan pendekar lagi, melainkan penjahat! Harus diberantas!”

“Mari kita datangi mereka berdua dan menumpas mereka!”

“Bunuh Pendekar Sadis dan Lam-sin!”

“Pendekar Sadis memalukan kita sebagai pendekar-pendekar!”

Teriakan-teriakan semacam itu terdengar di sana-sini. Kui Im Tosu yang melihat ini lalu memandang ke arah tamu kehormatan di sebelahnya, yakni lima orang dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga. Ketua pertama dari Kun-lun-pai ini merasa tidak enak sekali sehingga cepat bangkit berdiri, lantas mengangkat kedua tangannya ke atas dan suara berisik para tamu perlahan-lahan menjadi berhenti dan keadaan menjadi tenang kembali.

“Cu-wi yang terhormat harap suka tenang dan sebaiknya dalam urusan yang menyangkut diri Pendekar Sadis ini, lebih dahulu kita mendengarkan pendapat dan pertimbangan dari para pendekar Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang terhormat.”

Sesudah berkata demikian, Kui Im Tosu yang biasanya tidak banyak bicara itu lalu duduk kembali. Mendengar ucapan ini, Cia Sin Liong lalu berbisik kepada Yap Kun Liong.

“Paman, kalau Paman mempunyai pendapat sesuatu, silakan.”

“Bukan aku, Sin Liong, melainkan engkaulah sebagai ayah angkatnya yang paling tepat untuk bicara.”

“Benar, Sin Liong, engkaulah yang harus menyatakan pendapatmu,” sambung Cia Giok Keng kepada keponakannya itu.

Sementara itu, melihat para tamu terhormat itu saling berbisik, Kui Yang Tosu lalu bangkit dan berkata dengan suara lantang, “Harap para pendekar yang terhormat dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga suka menyatakan pertimbangan mereka mengenai urusan Pendekar Sadis! Silakan!”

Semua orang kini memandang ke arah rombongan tamu kehormatan itu. Dan melihat Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga bangkit dari tempat duduknya, semua mata diarahkan kepadanya sambil menunggu apa yang akan dikatakan oleh pendekar besar yang menjadi ayah angkat dari Pendekar Sadis.

Suara Pendekar Lembah Naga terdengar tenang akan tetapi cukup lantang dan suara itu mengandung gema yang menggetar karena kekuatan khikang yang mendorong suara itu seolah-olah keluar dari dalam perutnya.

“Para locianpwe dan para saudara yang gagah perkasa dan budiman! Tak perlu disangkal lagi, Ceng Thian Sin putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kini disebut orang Pendekar Sadis itu memang adalah anak angkat saya dan sejak kecil telah berada dalam perawatan dan pendidikan saya. Maka sudah sepatutnya kalau sebagai ayah angkatnya saya dimintai pendapat dan pertimbangan saya. Kami dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga datang memenuhi undangan Kun-lun-pai untuk memberi pendapat, pertimbangan dan juga tanggung jawab. Kami bukan bermaksud hendak membela anak angkat kami, melainkan ingin mengajak anda sekalian yang budiman untuk bicara dengan hati terbuka dan dengan kejujuran.”

Semua orang menjadi makin tegang. Ucapan Pendekar Lembah Naga barusan sungguh mantap serta mengandung wibawa yang kuat. Kui Yang Tosu sebagai wakil pembicara Kun-lun-pai dapat merasakan juga kekuatan ini, maka dia pun berkata untuk menyelingi ucapan Pendekar Lembah Naga yang berhenti sejenak itu.

“Siancai! Kata-kata Cia-taihiap dari Lembah Naga memang amat mengagumkan dan patut untuk diperhatikan. Silakan taihiap melanjutkan.”

“Cu-wi adalah pendekar-pendekar penentang kejahatan. Dan cu-wi semua tentu tahu pula bahwa di dunia ini banyak terdapat penjahat-penjahat yang dinamakan sebagai golongan hitam, di mana terdapat para tokoh dan datuknya. Akan tetapi, mengapa baru sekarang cu-wi berkumpul dan serentak bangkit ingin menentang dan membasmi Pendekar Sadis? Mengapa sebelum ini, bahkan sampai sekarang pun, cu-wi tidak pernah menentang para tokoh dan datuk kaum sesat? Kenapa justru Pendekar Sadis yang hendak cu-wi tentang? Marilah kita bicarakan dengan hati terbuka dan jujur, lalu suka memberi jawaban kepada saya. Mengapa cu-wi memusuhi Pendekar Sadis?”

Sejenak semua tamu hanya bisa saling pandang dan tidak mampu menjawab, akan tetapi kembali mereka didahului oleh Ban-kin Hek-jio yang segera berteriak, “Karena Pendekar Sadis sangat kejam dalam menyiksa musuh-musuhnya sehingga sudah merugikan nama baik para pendekar! Itulah sebab yang utama!”

Teriakan ini disusul pula oleh teriakan-teriakan lain. “Karena dia membunuh Toan-ong-ya yang menjadi sahabat baik para pendekar!”

“Karena dia bersekutu dengan Lam-sin!”

“Karena dia mengacau Kun-lun-pai dan menentang para pendekar!”

Cia Sin Liong mendengarkan dengan sangat teliti dan dia memperoleh kenyataan bahwa jawaban-jawaban yang bersimpang siur itu hanya berkisar sekitar tiga pokok ini. Maka dia pun mengangkat tangan untuk meredakan suasana, kemudian melanjutkan kata-katanya, suaranya lantang dan mantap.

“Menurut pendengaran saya tadi, hanya ada tiga sebab yang membuat cu-wi mengambil keputusan untuk menentang dan membasmi atau membunuhnya. Marilah kita bahas satu demi satu sebab itu. Dan jangan mengira bahwa saya hendak membela atau melindungi anak angkat saya itu, sama sekali tidak. Hanya kita yang mengaku pendekar-pendekar harus dapat membuka mata melihat kenyataan dan tidak bertindak menurutkan nafsu hati belaka. Pertama ingin saya singgung tentang hubungan Pendekar Sadis dengan Lam-sin. Mengapa cu-wi menganggapnya sebagai dosa?”

Orang yang tadi berteriak-teriak menyinggung hubungan Pendekar Sadis dengan Lam-sin, tidak ada yang berani membuka mulut. Agaknya mereka gentar terhadap pendekar yang suaranya mengandung getaran penuh wibawa itu, atau memang mereka tidak sanggup menjawab. Melihat ini, Kui Yang Tosu, cepat menjawab dengan suara lantang pula.

“Lam-sin adalah satu di antara datuk-datuk kaum sesat dan orang yang bersekutu dengan seorang datuk sesat tentu bukan orang baik-baik!”

Cia Sin Liong menahan senyumnya mendengar ini, lantas dia memandang ke arah para tamu. “Cu-wi yang mulia, benarkah memang demikian alasannya maka cu-wi mengutuk persekutuan antara Pendekar Sadis dan Lam-sin?”

“Benar! Benar!” Banyak orang yang tadinya mengajukan alasan itu cepat berteriak untuk membenarkan jawaban wakil ketua Kun-lun-pai.

“Baiklah, mari kita perbincangkan soal ini. Kita semua tahu bahwa bukan Pendekar Sadis yang ikut dengan Lam-sin, namun sebaliknya, Lam-sin yang ikut dengan Pendekar Sadis. Kalau seorang pendekar mengikuti jejak seorang datuk sesat kemudian membantu datuk itu melakukan kejahatan, jelas bahwa dia telah menyeleweng dari jalan kebenaran. Akan tetapi, apabila seorang datuk meninggalkan kedudukannya, meninggalkan kejahatannya dan mengikuti jejak seorang pendekar, apakah hal itu salah? Lam-sin telah meninggalkan kedudukan dan namanya, juga membubarkan perkumpulan Bu-tek Kai-pang, dan dia ikut bersama Pendekar Sadis bukan sebagai Lam-sin lagi melainkan sebagai Nona Toan Kim Hong puteri dari mendiang Pangeran Toan Su Ong yang terkenal sebagai pendekar sakti yang memberontak terhadap kelaliman kaisar. Ia malah membantu Pendekar Sadis untuk membasmi datuk-datuk jahat seperti See-thian-ong dan Pak-san-kui! Cu-wi yang terkenal sebagai pendekar-pendekar budiman, pernahkah mencoba untuk menantang datuk-datuk itu? Dan siapa di antara cu-wi yang merasa bahwa semenjak dilahirkan sampai sekarang belum pernah melakukan penyelewengan? Kalau Lam-sin yang pernah menjadi datuk itu telah berbalik karena insyaf dan kini menjadi penentang kejahatan, bukankah hal itu baik sekali? Tung-hai-sian datuk sesat dari timur juga sudah menanggalkan kedudukan serta julukannya, meninggalkan kejahatan dan bahkan kini berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, apakah hal itu tidak patut disambut dengan syukur?”

Pendekar Lembah Naga berbicara dengan semangat berapi-api, bukan hanya karena dia ingin membela anak angkatnya, melainkan karena dia melihat kemunafikan yang banyak mencengkeram hati mereka yang menyebut dirinya pendekar dan orang-orang baik.

“Siancai…! Cia-taihiap terlalu bernafsu karena hendak membela putera angkatnya!”

“Maaf, totiang. Bukan membela, melainkan saya menyatakan hal yang sebenarnya. Saya sendiri tidak setuju dengan cara-cara kejam yang dilakukan oleh Ceng Thian Sin dan saya akan menegurnya, bahkan akan memaksanya berjanji bahwa dia tidak akan melakukan hal itu lagi. Akan tetapi kekejamannya terhadap para penjahat yang dimusuhinya itu pun ada sebabnya. Sebabnya adalah dendam dan sakit hati. Sejak kecil, dia kehilangan ayah bundanya yang mati dikeroyok dan di antara pengeroyoknya terdapat banyak orang-orang dari golongan sesat. Kemudian, secara berturut-turut dia mengalami gangguan-gangguan dari orang jahat sehingga dendamnya makin bertumpuk dan akhirnya, setelah dia berhasil mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi, dendam itu meledak dalam keganasan-keganasan terhadap musuh-musuhnya. Nah, sekarang mari kita perbincangkan alasan ke dua yang cu-wi ajukan tadi. Yaitu tentang Pendekar Sadis membunuh Toan-ong-ya yang merupakan sahabat baik para pendekar. Bukankah di antara cu-wi banyak yang merasa penasaran bahwa Pendekar Sadis telah membunuh pangeran itu?”

Banyak suara menyatakan betul demikian.

“Dan, cu-wi tidak tahu apa sebabnya? Apakah tidak ada yang menceritakan kepada cu-wi mengapa dia membunuh pangeran itu, Pangeran Toan Ong yang masih terhitung paman sendiri dari Nona Toan Kim Hong yang pernah menjadi Lam-sin? Mengapa nona itu tidak sakit hati atas terbunuhnya pamannya, ada pun cu-wi yang bukan apa-apa justru merasa sakit hati?”

“Karena Lam-sin memang jahat dan durhaka!” terdengar jawaban orang.

“Toan Ong adalah seorang yang sangat berbudi terhadap para pendekar, kenyataan ini siapa dapat menyangkalnya?” kata yang lain.

Sin Liong hanya tersenyum tenang menghadapi serangan kata-kata ini. “Tidak ada yang menyangkal bahwa Toan Ong adalah seorang yang berbudi baik terhadap para pendekar sehingga tidaklah aneh jika kematiannya mendatangkan kedukaan dan penyesalan. Akan tetapi saya kira tidak tepat jika Lam-sin tidak sakit hati atas peristiwa itu akibat dia masih jahat dan durhaka. Sama sekali tidak demikian. Melainkan karena dia amat bijaksana dan menyadari sebab kematian pamannya itu, suatu sebab yang agaknya tidak mau diterima oleh para pendekar yang budiman. Pendekar Sadis membunuh Toan Ong bukan sebagai orang yang membunuh seorang yang baik, namun dia membunuhnya karena dia mengira bahwa Toan Ong ialah seorang laki-laki yang jahat, keji dan semua pikiran ini disebabkan oleh fitnah yang dilakukan oleh seorang wanita. Saya kira, di antara para locianpwe yang hadir di sini sudah tahu akan hal itu, bahkan telah melihat sendiri betapa Pendekar Sadis, sesudah menyadari bahwa dia kena diakali oleh fitnah wanita itu, lalu memberi hukuman terhadap wanita itu dengan sadis sekali. Bukankah demikian adanya, Kui Yang Totiang?” Kini Sin Liong menatap ke arah wakil ketua Kun-lun-pai dengan sinar mata tajam penuh selidik.

Kui Yang Tosu juga menatap kepadanya dan wajah tosu itu berubah merah, akan tetapi dengan lantang dia berkata, mengakui, “Memang tidak salah, demikianlah kenyataannya. Akan tetapi apakah kalau Pendekar Sadis sudah menghukum wanita yang menjatuhkan fitnah itu, pembunuhan yang dilakukannya terhadap Pangeran Toan lalu habis begitu saja dan boleh dimaafkan?”

“Ingat, totiang. Saya datang bukanlah sebagai pembela Pendekar Sadis, melainkan hanya mengemukakan semua kenyataan yang patut untuk kita pertimbangan. Saya hanya ingin agar cu-wi semua tahu bahwa Pendekar Sadis membunuh Toan Ong karena menganggap dan yakin bahwa pangeran itu adalah seorang penjahat yang harus dibasminya. Memang dia ceroboh dalam hal itu, kurang teliti sehingga mudah dibohongi dan ditipu wanita jahat itu. Dan tentu saya sendiri akan menegurnya agar lain hari dia tidak seceroboh itu. Akan tetapi, perbuatannya itu sama sekali bukan jahat, bahkan pada waktu itu dia menentang kejahatan pangeran itu yang dipercayanya sebagai orang jahat. Sekarang tentang alasan ke tiga.”

“Siancai…! Cia-taihiap memang pandai sekali. Coba, pinto ingin mendengar pembelaan bagaimana yang akan taihiap ajukan untuk perbuatannya di Kun-lun-pai!” kata Kui Yang Tosu yang merasa agak mendongkol karena semua kata-kata pendekar sakti itu bahkan benar-benar mengangkat Pendekar Sadis dan memperlemah kesalahannya.

“Sebelum kita mempertimbangkan urusan Pendekar Sadis dengan Kun-lun-pai, baiknya kita mendengar lebih dulu persoalannya. Mungkin cu-wi sekalian sudah mendengar akan peristiwa itu, akan tetapi supaya lebih jelas dan tidak simpang-siur dan terkena hasutan cerita-cerita yang tidak betul, maka biarlah anak kami Cia Han Tiong akan menceritakan peristiwa yang terjadi itu seperti yang didengarnya sendiri dari mereka berdua. Han Tiong, kau ceritakanlah!”

Han Tiong bangkit berdiri sementara Pendekar Lembah Naga duduk kembali. Pemuda ini lebih tinggi sedikit dari pada ayahnya, sikapnya juga sangat tenang seperti ayahnya dan sepasang matanya tajam sekali namun penuh dengan kelembutan. Biar pun dibandingkan dengan ayahnya dia masih kalah wibawa, akan tetapi dia tidak kalah gagahnya. Sesudah menjura kepada para tamu, pemuda ini pun dengan lantang mulai bercerita.

Mula-mula dia menceritakan riwayat Toan Su Ong yang menjadi buruan akibat tak berani melawan suheng-nya yang bernama Gouw Gwat Leng karena suheng-nya itu memegang bendera pusaka perguruan yang berarti bahwa suheng-nya telah menjadi pengganti suhu mereka. Kemudian tentang kematian Toan Su Ong dan isterinya di sebuah pulau kosong, dan meninggalkan Toan Kim Hong yang akhirnya menjadi Lam-sin untuk beberapa tahun lamanya, sampai akhirnya gadis itu bertemu dengan Pendekar Sadis dan meninggalkan dunia sesat.

“Toan Kim Hong mencari supek-nya yang dianggap sebagai penyebab ayahnya menderita hidup sengsara selamanya sebagai seorang buruan. Akhirnya dia pun mendengar bahwa supek-nya telah menjadi Jit Goat Tosu dan bertapa di daerah Kun-lun-pai. Ia lalu mengajak Pendekar Sadis untuk mendatangi Jit Goat Tosu. Jadi, di dalam hal ini, Pendekar Sadis hanya menemani saja Nona Toan itu yang hendak menuntut balas terhadap supek-nya sendiri atas kesengsaraan mendiang ayahnya. Mereka lalu minta dengan hormat kepada pimpinan Kun-lun-pai supaya diperbolehkan bertemu dengan Jit Goat Tosu untuk urusan pribadi, urusan antara keluarga perguruan mereka sendiri. Akan tetapi oleh Kun-lun-pai nona itu diuji dan akhirnya lulus sehingga diperbolehkan bertemu, diantar oleh Pendekar Sadis. Mereka berdua pun kemudian bertemu dengan Jit Goat Tosu. Jit Goat Tosu lalu bertempur melawan mereka namun mereka berdua tidak mampu mengalahkannya. Akan tetapi, karena memang merasa menyesal sudah membuat sengsara sute-nya yang amat dicintanya, Jit Goat Tosu mengalah, bahkan lalu membunuh dirinya sendiri sampai tewas! Nah, itulah yang terjadi. Kun-lun-pai marah dan hendak menangkap mereka, lalu mereka melarikan diri dari kepungan tanpa membunuh seorang pun anggota Kun-lun-pai. Nah, demikianlah cerita yang saya dengar dari penuturan Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong.” Han Tiong lalu duduk kembali ke atas kursinya.

Cia Sin Liong kembali bangkit berdiri. “Benarkah peristiwanya terjadi demikian, totiang?” tanyanya kepada Kui Yang Tosu.

“Siancai… tidak ada yang mau berbohong dan memang benar demikianlah. Akan tetapi peristiwa itu terjadi di wilayah kami, bukankah itu berarti bahwa mereka sudah melanggar wilayah kami, ada pun pelanggaran itu sudah merupakan kejahatan dan tidak memandang kepada Kun-lun-pai?”

“Maaf, totiang,” jawab Sin Liong. “Bukankah mereka berdua tidak masuk seperti pencuri, melainkan dengan berterang, bahkan telah minta persetujuan Kun-lun-pai untuk menemui Jit Goat Tosu?”

“Memang benar. Akan tetapi mereka berdua mendesak Jit Goat Tosu sehingga saudara tua kami itu melakukan bunuh diri! Nona itu adalah seorang murid yang murtad dan jahat, telah memaksa supek-nya sendiri membunuh diri, tidak mengindahkan atau menghormati bendera pusakanya sendiri. Dan Pendekar Sadis membantunya mendesak Jit Goat Tosu. Bukankah itu jahat sekali dan perlu dihukum?”

“Setiap orang memang memiliki pendapat masing-masing mengenai benar atau salahnya orang lain. Akan tetapi jelaslah bahwa urusan antara Nona Toan Kim Hong dan supek-nya adalah urusan dalam suatu perguruan dan kita semua tak berhak untuk mencampurinya! Jit Goat Tosu tewas karena kehendak dirinya sendiri, bukan dibunuh. Bahkan andai kata sampai mati di tangan murid keponakannya sekali pun, hal itu merupakan urusan dalam perguruan mereka sendiri.”

Kui Im Tosu kini bangkit berdiri dan dengan suaranya yang halus dia berkata, “Kami dari Kun-lun-pai mengumpulkan cu-wi sekalian memang untuk diajak bertukar pikiran tentang hal ini. Jadi sekarang menurut pendapat Cia-taihiap sebagai ayah angkat Pendekar Sadis, bagaimana sikap yang harus kita ambil terhadapnya?”

Sikap Sin Liong tetap tenang dan tegas. “Terserah kepada siapa pun mau bertindak apa pun terhadap Pendekar Sadis. Akan tetapi jika dengan alasan-alasan yang tadi telah kita bicarakan, jelas bahwa apa bila sampai terjadi bentrokan, maka Pendekar Sadis berada di pihak yang diserang lebih dulu. Dia tidak pernah mengganggu cu-wi, akan tetapi sekarang cu-wi hendak mengganggunya. Saya mengerti bahwa kematian Jit Goat Tosu membuat Kun-lun-pai merasa berduka dan juga malu. Sebab itu jika Kun-lun-pai hendak bertindak sendiri terhadap Pendekar Sadis, silakan. Hanya satu hal yang hendak kami kemukakan bahwa kami dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga akan segera mencarinya kemudian akan menasehatinya agar dia mengubah semua sikap yang kejam terhadap para penjahat, biar pun sudah sepatutnya kalau sebagai pendekar dia menentang kejahatan. Dan sebaliknya cu-wi tidak mempunyai alasan yang kuat. Cu-wi tidak pernah menentang para datuk, tapi Pendekar Sadis malah membasmi para datuk. Akan tetapi kini cu-wi hendak menentang dia dengan alasan-alasan yang sangat lemah. Silakan dan kami rasa sudah cukup kami bicara!”

Sesudah berkata demikian, Cia Sin Liong berpamit dan pergi meninggalkan Kun-lun-pai bersama Bhe Bi Cu, Cia Han Tiong, Yap Kun Liong, serta Cia Giok Keng. Tidak ada seorang pun di antara para pendekar yang berani membantah atau mencegahnya.

Pihak Kun-lun-pai maklum bahwa Pendekar Lembah Naga itu diam-diam merasa marah. Pertemuan itu dilanjutkan tanpa adanya wakil dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga, akan tetapi mereka tidak dapat mengambil keputusan bulat sesudah terpengaruh oleh semua kata-kata Pendekar Lembah Naga tadi.

Dan akhirnya hanya tinggal kemengkalan hati terhadap Pendekar Sadis yang ada, tanpa ada keputusan untuk bersama-sama menentangnya. Bagaimana pun juga mereka sangat maklum akan kelihaiannya, apa lagi dengan adanya Lam-sin di sampingnya, siapa berani mencoba-coba dan main-main dengan mereka berdua? Belum lagi kalau diingat bahwa menentang Pendekar Sadis mungkin saja akan turut melibatkan Cin-ling-pai dan Lembah Naga, apa lagi setelah Pendekar Lembah Naga menyatakan pendapatnya seperti itu dan bahkan sudah menyatakan akan mencari kemudian menasehati Pendekar Sadis supaya menghentikan sikapnya yang sadis dan kejam itu.

Maka akhirnya rapat itu hanya memutuskan untuk melihat bagaimana perkembangannya saja, apakah Pendekar Sadis betul-betul akan berubah menjadi pendekar yang tidak lagi bersikap kejam, tidak lagi melakukan penyiksaan di luar batas peri kemanusiaan seperti yang sudah-sudah.

Tentu saja di antara para pendekar itu ada kekecualiannya. Ada yang diam-diam merasa penasaran dan diam-diam mereka itu mengambil keputusan untuk sewaktu-waktu, kalau ada kesempatan, menghadapi Pendekar Sadis dan menentangnya, ingin melihat sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian Pendekar Sadis yang disohorkan itu.

********************

“Sudahlah Thian Sin, kenapa engkau membiarkan diri terbenam dalam kedukaan? Kalau engkau masih merasa penasaran, mengapa tidak sekarang saja kita mendatangi tempat pertemuan itu, tak peduli apa jadinya nanti?” kata Kim Hong melihat kekasihnya itu duduk di atas batu sambil bertopang dagu, wajahnya nampak berduka dan pucat, sinar matanya layu dan muram.

Mereka tidak lari jauh dari Kun-lun-pai, melainkan duduk di kaki pegunungan itu sesudah semalaman mereka bermalam di dalam hutan, melihat para tamu yang berdatangan ke puncak Kun-lun-pai, termasuk juga Kakek Yap Kun Liong bersama Nenek Cia Giok Keng, kemudian Cia Sin Liong bersama isterinya. Saat melihat neneknya, hampir saja Thian Sin keluar dari persembunyiannya, akan tetapi dia menahan diri dan ketika dia melihat ayah angkatnya lewat, tak tertahankan lagi dua tetes air mata membasahi pipinya.

Pagi ini dia termenung dan bertopang dagu, bahkan sejak semalam tadi, semalam suntuk dia tidak tidur, membuat Kim Hong menjadi khawatir sekali akan keadaan kekasihnya itu.

Thian Sin menarik napas panjang. “Bagaimana aku tidak akan berduka, Kim Hong? Sejak aku kecil, aku selalu dirundung kemalangan dan ditimbun kedukaan. Ayah bunda dibunuh orang, dan ketika menjelang dewasa, banyak sekali peristiwa yang menyakiti hatiku, yang disebabkan oleh orang-orang jahat. Aku menimbun dendam dalam hati, dan setelah aku berhasil melampiaskan dendam, kembali aku menjadi serba salah, bahkan sekarang aku menyeret Cin-ling-pai dan Lembah Naga! Mereka akan dicela orang karena perbuatanku! Ah, kenapa aku selalu bernasib malang, bahkan membawa kemalangan bagi orang lain?” Pemuda itu menutupi mukanya dengan kedua tangan dan berulang-ulang menarik napas panjang.

Kim Hong merasa terharu, mendekati dan merangkul pemuda itu. “Jangan berduka, Thian Sin. Ada aku di sini yang mencintamu dan akan membelamu sepenuh hatiku!”

Thian Sin balas merangkul. Cinta kasihnya terhadap gadis ini makin mendalam. Di dunia ini hanya Kim Hong seoranglah yang membela dan tidak menyalahkannya. Bahkan kakak angkat yang dicintanya, Cia Han Tiong, kini ikut menyalahkan dia! Hanya Kim Hong yang tidak menyalahkan, yang masih terus membela dan mencintanya. Hanya Kim Hong yang menghibur kemurungan hatinya. Diciumnya gadis itu dengan hati terharu.

“Kalau tidak ada engkau, Kim Hong, entah apa jadinya denganku, entah apa yang akan kulakukan dalam menghadapi semua ini. Rasanya aku ingin mengamuki Kun-lun-pai dan menentang semua orang yang membenciku!”

Sekali waktu, kemurungan pasti hinggap di dalam perasaan hati kita. Sejak jaman dahulu sampai sekarang, agaknya di dunia ini tidak ada manusia yang dapat bebas dari pada kemurungan atau kedukaan atau kekecewaan hati. Selalu saja ada persoalan-persoalan yang mendatangkan kedukaan, kekecewaan dan kesengsaraan, dan kalau sudah datang perasaan duka ini, kita pun merasa sengsara, kita merasa prihatin, kita menderita batin, seolah-olah hati kita berdarah.

Dan tak jarang kita kemudian melarikan diri dari semua derita ini, menghibur diri dengan bermacam kesenangan, atau melarikan diri sama sekali dengan jalan bunuh diri. Atau pun membunuh diri secara batiniah, yaitu dengan jalan bertapa dan meninggalkan semua keramaian dunia yang sama saja artinya dengan hidup akan tetapi sudah mati. Semua ini hanyalah bentuk-bentuk pelarian belaka.

Kekecewaan, kemurungan dan kedukaan timbul akibat batin menginginkan yang lain dari pada kenyataan, batin selalu ingin senang sehingga jika kesenangan yang diinginkan itu tidak terjadi, hati menjadi kecewa dan berduka. Kita tidak tahu bahwa justru KEINGINAN UNTUK SENANG inilah pencipta kekecewaan dan kedukaan.

Kita menginginkan agar hidup ini manis selalu adanya. Kita membutakan mata terhadap kenyataan bahwa sekali ada manis, sudah pasti ada pula pahit, getir, masam, asin dan sebagainya lagi. Itulah romantika hidup. Manis, pahit, getir, masam dan sebagainya, itu merupakan suatu kumpulan yang tidak terpisahkan dan yang membentuk apa yang kita namakan kehidupan ini. Karena kita selalu menginginkan yang manis, maka yang pahit dan getir terasa tidak enak, mengecewakan dan menyiksa. Padahal, belum tentu yang manis itu selalu bermanfaat, dan belum tentu kalau yang pahit itu tidak berguna!

Di dalam setiap kenyataan, baik itu diterima sebagai manis atau pahit, pasti tersembunyi sesuatu, suatu rahasia yang maha ajaib, dan yang hanya akan terlihat oleh dia yang tidak terpengaruh oleh rasanya, baik manis mau pun pahit, yang melihat kenyataan sebagai apa adanya, tanpa menilainya sebagai baik atau buruk, manis atau pahit.

Bukankah yang rasanya manis-manis itu sering kali bahkan mengganggu kesehatan dan sebaliknya yang pahit-pahit itu biasanya malah baik bagi kesehatan? Namun, bagaimana juga, kita selalu mengejar-ngejar yang manis-manis!


Seseorang yang kita cinta merupakan hiburan yang amat kuat di kala kita dirundung duka nestapa. Hal ini terasa benar oleh Thian Sin. Sekiranya tidak ada Kim Hong di dekatnya, entah apa yang akan dilakukannya. Mungkin saja dia akan menjadi nekad dan melakukan hal-hal yang lebih mengerikan lagi.

“Sekarang apakah kehendakmu, Thian Sin? Apakah demi Cin-ling-pai dan Lembah Naga, engkau hendak menyerahkan dirimu kepada para tosu Kun-lun-pai?” Kim Hong bertanya untuk mengetahui isi kekasihnya.

Thian Sin mengepal tinju. “Tidak! Sampai mati pun aku tidak akan sudi menyerahkan diri kepada para tosu Kun-lun-pai. Boleh saja mereka menyebut diri mereka sebagai partai besar, gudang pendekar-pendekar budiman, akan tetapi jelas sekali bahwa sikap mereka terhadap kita didasarkan atas dendam karena kita telah dianggap menyebabkan kematian Jit Goat Tosu.”

“Benar, memang tak semestinya kita menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai sebab kita tak bersalah apa-apa terhadap mereka. Dan jangan kau kira mereka itu hanya mendendam karena kematian supek-ku saja, melainkan ada hal yang lebih dari itu bagi mereka.”

Thian Sin mengangkat muka memandang wajah kekasihnya dengan heran. “Ada hal apa lagi kecuali kematian supek-mu itu?”

“Kehormatan mereka! Kita mencari dan menyerang supek di dalam wilayah Kun-lun-pai, dan mereka merasa malu, seolah-olah mereka tidak mampu melindungi orang yang telah menjadi saudara mereka dan telah berada di antara mereka. Di samping itu, juga kurasa mereka merasa sayang sekali telah kehilangan sumber ilmu-ilmu silat yang tinggi.”

“Maksudmu?”

“Lupakah engkau betapa lihainya supek? Bahkan kita berdua bergabung pun tak mampu mengalahkan dia! Padahal dia sudah nampak begitu tua dan lemah, telah bertahun-tahun bertapa dan kurang makan. Bayangkan saja alangkah hebatnya ilmu kepandaian supek sehingga tidaklah mengherankan kalau mendiang ayahku takut kepadanya. Dan agaknya para tosu itu mengincar ilmu-ilmu dari supek yang mereka warisi. Kurasa itulah sebabnya mengapa para tosu itu mengejar-ngejarmu, mengejar-ngejar kita!”

Thian Sin mengangguk-angguk. “Mungkin benar sekali pendapatmu itu. Maka, bagaimana pun juga, aku tak akan mau menyerahkan diri kepada mereka dan kalau mereka bersama orang-orang yang menyebut diri mereka pendekar-pendekar itu masih mengejarku, maka mereka akan kuhadapi sebagai orang-orang jahat yang hendak mengganggu diriku. Akan tetapi…” Dia tidak melanjutkan kata-katanya dan wajahnya nampak muram.

Kim Hong maklum kata-kata apa yang tak terucapkan itu, maka ia pun mendesak dengan terus terang, “Bagaimana bila Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang datang menghadapimu, Thian Sin?”

Pemuda itu menarik napas panjang, wajahnya sedikit pucat. “Itulah… aku tidak mungkin berani melawan mereka. Mereka bukanlah orang-orang sombong seperti tosu-tosu dari Kun-lun-pai dan orang-orang yang menamakan diri pendekar-pendekar itu. Mereka adalah pendekar-pendekar sejati. Engkau sudah mendengar sendiri kata-kata Tiong-ko. Mereka adalah orang-orang benar yang patut kuhormati dan kutaati. Tidak, aku tidak akan berani menentang mereka. Aku akan menyerahkan diri kepada mereka, asalkan bukan untuk dibawa kepada orang-orang Kun-lun-pai untuk dipersalahkan.”

“Kalau begitu, sebaiknya kalau kita menemui mereka sekarang juga. Nanti setelah selesai pertemuan di puncak itu, tentu mereka akan turun gunung. Nah, itulah saatnya bagi kita untuk menemui mereka.”

“Ahhh…!”Wajah pemuda itu nampak gemetar. Ngeri dia membayangkan untuk berhadapan dengan ayah dan ibu angkatnya, juga dengan neneknya yang galak dan kakeknya yang berwatak lembut itu. Apa lagi masih ada kakaknya pula!

“Thian Sin, di mana kegagahanmu? Tidak baik jika rasa keragu-raguan itu dipendam dan dibawa pergi ke mana-mana. Seorang gagah harus berani menghadapi kenyataan, betapa pun pahitnya kenyataan itu. Jika bisa dibereskan sekarang juga, mengapa mengulur-ulur waktu dan sementara itu membawa-bawa kekhawatiran di dalam hati? Kita temui mereka sekarang juga pada saat mereka turun gunung dan kita lihat bagaimana pendapat mereka tentang dirimu. Jangan khawatir, aku selalu berada di sampingmu dan kalau perlu… andai kata engkau harus mati oleh mereka, aku pun harus mati di tangan mereka!”

“Kim Hong…!” Thian Sin menjadi terharu sekali dan dia pun merangkul.

Mereka berangkulan, berciuman dan mata mereka menjadi basah, bukan hanya oleh rasa keharuan dan kedukaan membayangkan kemungkinan itu, akan tetapi juga rasa bahagia di dalamnya, bahwa mereka itu saling mencinta sedemikian dalamnya sehingga tidak lagi ragu-ragu untuk kalau perlu mengorbankan nyawa demi kekasihnya.

Tidak lama kemudian mereka melihat lima orang pertama yang turun dari puncak di mana terdapat markas Kun-lun-pai, dan dapat dibayangkan betapa kaget serta tegang rasa hati Thian Sin dan Kim Hong pada saat melihat bahwa mereka itu adalah orang-orang yang semenjak tadi mereka tunggu-tunggu, yaitu Kakek Yap Kun Liong, Nenek Cia Giok Keng, Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong beserta isterinya, dan juga puteranya!

Melihat wajah kekasihnya menjadi pucat, Kim Hong memegang tangannya dan berkata halus, “Marilah, Thian Sin. Mari kita menyambut dan menghadap mereka!” Dia pun lantas menarik pemuda itu keluar dari dalam hutan di mana mereka bersembunyi dan langsung mereka berdua menyongsong kedatangan lima orang itu.

********************

Selanjutnya,