Pendekar Sadis Jilid 42 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sadis Jilid 42
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SEPERTI sudah kita ketahui, dengan perasaan marah, Pendekar Lembah Naga sekeluarga dan kakek nenek yang mewakili Cin-ling-pai meninggalkan pertemuan rapat para pendekar di ruangan tamu Kun-lun-pai.

“Kita harus dapat bertemu dengan Thian Sin. Ingin aku bicara dengan dia dan sekali ini dia harus mendengarkan kata-kataku!” kata Pendekar Lembah Naga dengan muka agak merah.

Dia sudah membela nama Thian Sin sebagai Pendekar Sadis, bukan hanya karena Thian Sin adalah anak angkatnya, akan tetapi juga karena menjaga nama baik Cin-ling-pai dan Lembah Naga, dan juga karena pada hakekatnya, dia tidak menganggap Thian Sin jahat, hanya terlalu kejam terhadap musuh-musuhnya.

“Kurasa dia tidak akan jauh dari tempat ini, ayah,” kata Han Tiong. “Aku mengenal betul watak Sin-te, dia tidak akan melarikan diri kalau tidak didesak.”

Ucapan Han Tiong ini terbukti ketika mereka tiba di lereng dekat puncak dan mencapai hutan pertama. Tiba-tiba dia melihat munculnya Thian Sin dan Kim Hong dari dalam hutan itu dan melihat keduanya sengaja menyongsong mereka.

Begitu berhadapan, Cia Sin Liong langsung memandang anak angkatnya itu dan berkata dengan suara lantang mengandung teguran, “Thian Sin, bagus sekali perbuatanmu, ya? Begitukah engkau membalas budi kepada Cin-ling-pai dan Lembah Naga, menyeret nama mereka ke pecomberan dan menjadi bahan celaan dunia kang-ouw?”

Mendengar suara ayah angkatnya yang biasanya halus penuh kasih sayang kepadanya itu kini terdengar penuh kemarahan dan juga kekecewaan dan kesedihan, hati Thian Sin seperti ditusuk-tusuk rasanya dan dia pun segera menjatuhkan diri berlutut di depan ayah angkatnya itu kemudian tak dapat ditahannya lagi dia pun menangis!

Selama mengenal Thian Sin, sekarang untuk kedua kalinya Kim Hong melihat kekasihnya menangis sedemikian sedihnya. Kim Hong merasa terharu dan kasihan sekali, maka dia pun lalu ikut berlutut.

“Locianpwe, urusan di Kun-lun-pai adalah urusan saya, maka sayalah yang bertanggung jawab. Thian Sin tak bersalah, melainkan hanya ikut menemani saya, oleh karena itu, jika locianpwe hendak marah, maka sayalah orangnya yang harus dimarahi, bukan dia,” kata Kim Hong sambil menundukkan mukanya, sedangkan Thian Sin di sebelahnya masih saja menitikkan air mata.

“Lam-sin!” kembali terdengar Cia Sin Liong berkata, suaranya berwibawa sekali. “Engkau adalah datuk golongan sesat di selatan, apakah engkau hendak menyeret anak angkatku untuk mengikutimu masuk ke dalam dunia hitam dan melakukan perbuatan sesat?”

“Locianpwe, semenjak saya bertemu dengan Thian Sin, Lam-sin telah kubunuh dan saya sudah membubarkan semua pengikut, saya sudah menanggalkan semua kedudukan dan julukan, saya sudah meninggalkan dunia sesat dan sayalah yang ikut bersama Thian Sin, bukan dia yang ikut saya. Saya membantunya menghadapi datuk-datuk sesat lainnya, ada pun ketika dia membantu saya menghadapi supek saya, hal itu adalah urusan pribadi saya, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai atau orang lain. Karena itu, harap locianpwe jangan persalahkan Thian Sin, sayalah yang bersalah.”

“Ayah, saya mengaku salah, saya telah mencemarkan nama baik Lembah Naga dengan perbuatan saya. Oleh karena itu, terserah kepada ayah, hendak menjatuhkan hukuman apa pun juga, akan saya terima dengan hati rela.”

“Tidak boleh!” Kim Hong berteriak. “Kalau locianpwe menjatuhkan hukuman kepadanya, maka harus menghukum saya juga. Mau membunuh kami berdua, silakan, kami rela mati berdua untuk menebus dosa kalau memang locianpwe menghendaki demikian!” Ucapan Kim Hong ini mengharukan hati Bhe Bi Cu dan juga Cia Giok Keng yang lantas berkata dengan suara serak dan mata merah.

“Sin Liong, kau ampunkanlah anakmu! Cucuku Ceng Thian Sin itu…”

Memang pada lubuk hatinya, sedikit pun tak ada niat untuk menghukum anak angkatnya itu, akan tetapi Sin Liong berpikir bahwa sangatlah perlu untuk menegur Thian Sin pada saat seperti itu.

“Thian Sin, kenapa hatimu demikian kejamnya, demikian keji dan sadis engkau menyiksa orang-orang yang menjadi musuhmu? Jawablah dan jelaskan pada kami, kenapa engkau menjadi demikian kejam melebihi iblis sendiri?”

“Saya mengakui semua itu, Ayah. Saya hampir gila oleh dendam, sehingga saya lupa diri, ingin memuaskan rasa dendam dan sakit hati itu dengan menyiksa musuh-musuh saya. Saya… terus terang saja, ayah… saya merasa… senang dan nikmat bukan main dalam pemuasan dendam dan sakit hati itu dengan menyiksa mereka dan… dan pada waktu itu saya lupa segala-galanya, yang teringat hanya ingin menyiksa orang yang dahulu pernah menyiksa hati saya…”

Semua orang yang mendengar kata-kata ini bergidik, tidak hanya karena membayangkan kesadisan Thian Sin saat menyiksa musuh-musuhnya seperti yang pernah mereka dengar dibicarakan orang dengan ketakutan, melainkan terutama sekali melihat kenyataan akan adanya sifat sadis dalam diri mereka masing-masing.

Memang, bila mana kita mau membuka mata mengenal diri sendiri, di dalam batin kita terdapat sifat sadis itu. Kita akan merasa senang sekali melihat orang yang kita anggap jahat menerima siksaan! Kita akan merasa puas apa bila mendengar musuh atau orang yang kita benci menderita mala petaka dan kesengsaraan.

Kita ini masing-masing mempunyai watak pendendam, pemarah, selalu ingin membalas kepada siapa saja yang membuat hati kita tidak senang, baik yang mengganggu kita itu manusia mau pun setan. Setidaknya, kita akan mengumpat cacinya, dan mengutuknya, dan tentu saja kita akan merasa senang dan puas jika melihat dia tersiksa seperti yang digambarkan oleh benak kita yang penuh dengan kebencian dan racun dendam.

Siapakah yang dapat menyangkal bahwa terdapat persamaan dalam batin kita dengan watak Pendekar Sadis yang senang menyiksa orang-orang yang dibencinya? Andai kata kita diberi kekuatan seperti dia, diberi kekuasaan seperti dia, bukan tidak mungkin kita pun suka menyiksa musuh-musuh yang kita benci.

Pengenalan diri sendiri ini dapat kita lakukan dengan jelas apa bila kita melihat sesuatu, baik melalui bacaan mau pun tontonan, yang sifatnya membalas dendam. Kita membenci tokoh yang kita anggap jahat dan kita bersorak penuh kepuasan ketika kita melihat ‘Si Jahat’ itu tertimpa malapetaka dan tersiksa. Namun, betapa sukarnya untuk mengenal diri sendiri!


“Thian Sin, aku mengerti perasaan itu. Akan tetapi, lupakah engkau dengan ajaran yang pernah kau terima dari pamanmu Hong San Hwesio dan dariku sendiri selama ini? Lalu apakah artinya semua latihan yang kuberikan untuk bersemedhi dan mengenal sifat-sifat buruk diri sendiri? Orang yang melakukan perbuatan kejam dinamakan penjahat, lalu apa artinya orang dianggap pendekar kalau hatinya pun kejam terhadap orang lain? Apakah bedanya antara penjahat kejam dan pendekar kejam? Mungkin saja si penjahat berbuat kejam untuk keuntungan harta atau pemuasan hatinya, akan tetapi bila seorang pendekar berbuat kejam terhadap penjahat, tentu juga demi untuk memuaskan hatinya yang penuh dendam. Jadi pada hakekatnya sama saja, yaitu untuk menyenangkan atau memuaskan diri sendiri. Hati yang kejam itu didasarkan oleh kebencian, dan apa pun yang dilakukan seseorang, baik dia dinamakan pendekar mau pun penjahat, bila mana didasari dengan kebencian, maka perbuatannya itu adalah jahat! Seorang pendekar menentang kejahatan, akan tetapi bukan berdasarkan kebencian terhadap sesama manusia, walau pun manusia itu dinamakan penjahat sekali pun. Seorang pendekar menentang kejahatan, karena ingin menyelamatkan orang yang dapat menjadi korban kejahatan, karena ingin menyadarkan orang yang melakukan kejahatan, karena hendak menenteramkan kehidupan manusia di dunia, karena ingin menegakkan kebenaran dan keadilan. Semua itu bebas dari landasan hati yang diracuni kebencian. Akan tetapi, apa yang kau lakukan itu semata-mata adalah karena hatimu penuh dengan dendam sakit hati dan kebencian. Lalu apa bedanya semua kesadisanmu itu dengan perbuatan para penjahat di dunia ini?”

Cia Sin Liong berhenti bicara dan Thian Sin makin menundukkan kepalanya. Walau pun kadang-kadang dia menyadari akan hal itu, akan tetapi baru sekali inilah hal itu seperti ditusukkan ke dalam perasaannya, membuat matanya terbuka dan dapat melihat dengan jelas akan semua kesalahan yang pernah dilakukannya selama ini. Memang dia sudah menjadi buta oleh dendam dan kebencian.

“Saya mengaku salah…,” katanya lirih.

“Pengakuan salah tanpa penghayatan di dalam hidup tidak akan ada artinya sama sekali! Penyesalan di mulut dan di hati tidak ada gunanya. Yang penting adalah membuka mata, melihat bahwa setiap kita melakukan sesuatu yang jahat dalam arti kata merugikan orang lain lahir mau pun batin, maka pada saat itu kita tidak memiliki kewaspadaan, kesadaran kita menjadi buta oleh nafsu. Oleh karena itu, kita harus waspada setiap waktu, terutama sekali waspada terhadap diri sendiri lahir mau pun batin. Hanya dengan kewaspadaan dan kesadaran terhadap diri sendiri lahir batin sajalah kita tidak akan bertindak membabi-buta menurutkan nafsu-nafsu kita. Kebencian terhadap orang lain merupakan pangkal segala permusuhan dan kekacauan di dunia. Kita harus dapat menghalau kebencian ini jauh-jauh dari batin kita, baik terhadap orang yang kita anggap jahat mau pun tidak. Selama masih ada kebencian di dalam batin, bukan kebencian terhadap seseorang tertentu, melainkan kebencian kepada siapa pun juga, maka tak mungkin dia bisa menjadi seorang pendekar dalam arti yang seluas-luasnya!”

Thian Sin dan Kim Hong mengangguk-angguk, diam-diam merasa betapa tidak mudahnya untuk menjadi seorang manusia yang pantas dinamakan pendekar.

“Kalian orang-orang muda perlu sekali memperhatikan apa yang telah dikatakan oleh Sin Liong,” kata Kakek Yap Kun Liong dengan suara halus dan tenang. “Memang demikianlah sesungguhnya, selama masih ada kebencian di dalam batin, tak mungkin orang itu dapat mengenal cinta kasih. Dan seorang pendekar adalah orang yang penuh cinta kasih, yang hanya satu keinginannya, yaitu membangun, bukannya merusak. Memang mungkin saja orang harus membongkar terlebih dulu untuk membangun, namun bukan berarti merusak. Mungkin seorang pendekar harus bertindak keras terhadap seorang sesat, namun bukan berarti keras karena didasari oleh kebencian atau hendak merusak, melainkan keras yang sifatnya membongkar untuk kemudian dibangun. Atau yang sifatnya mendidik, menuntun agar yang menyeleweng kembali ke jalan benar.”

“Terima kasih atas semua petuah dan peringatan dari ayah dan kakek yang amat berguna itu,” kata Thian Sin.

“Terima kasih kepada locianpwe yang mulia,” kata pula Kim Hong.

Hati wanita ini betul-betul tergetar dan membuatnya tunduk benar terhadap para pendekar sakti ini dan dara ini pun dapat melihat betapa dahulu dia telah melakukan penyelewengan besar sekali.

“Saya mohon petunjuk kepada ayah, apa yang harus saya lakukan selanjutnya? Apakah saya harus menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai untuk diadili? Kalau memang demikian halnya, maka lebih baik ayah membunuh saya sekarang juga, karena saya tidak merasa bersalah terhadap Kun-lun-pai. Mereka itu hanya ingin membalas dendam karena sangat benci kepada saya.”

Cia Sin Liong mengangguk-angguk. “Memang tidak sepatutnya kalau kalian menyerahkan diri begitu saja. Kalau kalian mau, marilah ikut bersama kami ke Lembah Naga. Kakakmu akan merayakan pernikahannya dan kalian seharusnya hadir pula. Sudah terlampau lama engkau pergi meninggalkan rumah, Thian Sin. Sekarang pulanglah dan kami akan merasa berbahagia sekali.”

“Betul, cucuku. Di samping itu, aku pun ingin melihat engkau menikah sebelum aku mati,” kata Nenek Cia Giok Keng. “Dan aku pun senang sekali dengan pilihanmu. Nona Toan ini memang cocok untuk menjadi jodohmu.”

Dengan hati terharu Thian Sin menghaturkan terima kasih kepada neneknya itu, kemudian dia segera bertanya kepada ayahnya, “Ayah, kapankah Tiong-ko hendak melangsungkan pernikahannya?”

“Kami telah memperhitungkan, nanti pada tanggal sepuluh bulan delapan, jadi kurang tiga bulan lagi,” jawab Cia Sin Liong.

“Kalau begitu, biarlah pada waktunya kami akan datang ke Lembah Naga, ayah. Kini kami hendak pergi ke suatu tempat yang akan kami jadikan tempat tinggal kami…”

“Di manakah itu, Sin-te? Di mana kalian hendak tinggal?” Han Tiong bertanya, dan hatinya merasa kecewa mendengar adiknya itu tidak akan tinggal bersama mereka di Lembah Naga.

“Di Pulau Teratai Merah, Tiong-ko,” mendadak Kim Hong yang menjawab. “Kami berdua telah bersepakat untuk tinggal di bekas tempat tinggal mendiang ayah dan ibu ketika ayah menjadi buronan. Kami masih mempunyai rumah di sana.”

“Tapi… tapi kapankah kalian akan menikah?” Nenek Cia Giok Keng bertanya. “Bukankah akan baik sekali jika engkau menikahkan kedua puteramu itu secara berbareng saja, Sin Liong?”

“Terserah kepada Thian Sin dan tunangannya,” jawab pendekar itu yang secara bijaksana sekali menyerahkan urusan perjodohan orang-orang muda itu kepada mereka sendiri yang berkepentingan.

“Bagaimana, Thian Sin, cucuku?” tanya nenek itu kepada Thian Sin.

Thian Sin dan Kim Hong saling pandang, kemudian keduanya menundukkan muka yang tiba-tiba saja menjadi merah. Sungguh mengherankan hati mereka sendiri kenapa setelah keluarga yang mereka hormati ini berbicara tentang perjodohan mereka, mereka menjadi tersipu-sipu malu.

“Maaf, nenek, kami masih belum berpikir mengenai pernikahan,” akhirnya Thian Sin yang menjawab.

Nenek Cia Giok Keng hanya mampu menghela napas panjang. Dia pun mengerti bahwa urusan pernikahan merupakan urusan kedua orang itu sendiri dan mencampurinya hanya akan mendatangkan kekacauan belaka. Dahulu hal ini sudah pernah dialaminya sendiri, maka dengan bijaksana dia pun diam saja, tidak membantah lagi.

Akhirnya mereka pun berpisah. Sambil berlutut, Thian Sin berkata kepada mereka semua, “Harap ayah dan ibu, juga Tiong-ko, kakek dan nenek yang saya hormati dan saya cinta, suka menjadi saksi. Mulai saat ini, Pendekar Sadis hanya tinggal sebutannya saja, namun kekejaman dan kesadisan akan saya enyahkan jauh-jauh dari dalam batin saya. Semoga saya selalu akan sadar dan dengan kerja sama dan bantuan Kim Hong, mudah-mudahan saya tidak akan melanggar janji saya ini. Saya akan mengikuti jejak ayah sekalian, untuk menjadi pendekar dalam arti yang sesungguhnya!”

Setelah berpamit dalam suasana mengharukan, terutama sekali Han Tiong yang merasa berat untuk berpisah dari adiknya, akhirnya Thian Sin dan Kim Hong berpisah dari mereka dan kedua orang muda ini melakukan perjalanan ke selatan untuk pergi ke Pulau Teratai Merah.

Di sepanjang perjalanan mereka selalu menghindarkan diri dari bentrokan-bentrokan, dan mengambil jalan yang sunyi untuk melakukan perjalanan cepat. Kim Hong merasa girang sekali bahwa kekasihnya suka memenuhi keinginannya untuk kembali ke pulau kosong itu dan sebagai rasa terima kasihnya, sikapnya menjadi makin mesra terhadap Thian Sin.

********************

Apa bila orang berdiri di pantai muara Sungai Huai yang menuangkan airnya ke dalam Lautan Kuning, maka akan nampaklah banyak sekali pulau-pulau kecil. Sebagian besar dari pulau-pulau ini merupakan pulau-pulau karang yang kering-kerontang, akan tetapi ada pula beberapa buah di antaranya yang nampak kehijauan karena pulau itu mengandung tanah sehingga tetumbuhan dapat hidup di situ.

Pulau Teratai Merah adalah salah satu di antara pulau-pulau itu yang letaknya agak jauh dan tidak dapat dilihat dari pantai muara Sungai Huai itu, kecuali bila lautan sedang amat tenangnya dan cuaca sedang cerah. Pulau Teratai Merah adalah sebuah pulau kecil saja, akan tetapi mempunyai tanah yang subur sehingga dapat ditanami.

Sebelum Toan Su Ong dan isterinya, yaitu Ouwyang Ci tinggal di pulau itu, pulau itu tidak pernah ditinggali manusia, kecuali hanya menjadi tempat persinggahan para nelayan saja. Tentu saja orang enggan tinggal di sana, karena letaknya yang jauh dari pantai daratan, juga jauh dari tetangga manusia lain, dan pula, lautan di sekitar pulau itu terkenal sangat buas dan banyak dihuni ikan-ikan hiu yang ganas pula. Karena banyaknya hiu inilah maka daerah kepulauan itu bukan merupakan daerah nelayan yang baik.

Pangeran Toan Su Ong tentu saja berbeda dengan para pelayan itu. Dia adalah seorang buronan yang memang mencari tempat persembunyian yang baik dan pulau kosong itu sangat tepat untuknya. Tempatnya terpencil, sukar dikunjungi, bahkan tidak aman karena pulau-pulau itu sering dijadikan tempat persembunyian para bajak laut. Toan Su Ong dan isterinya yang berkepandaian tinggi itu tentu saja tidak takut terhadap para bajak laut. Dan mereka dapat bercocok tanam di tempat itu, bahkan akhirnya mereka dapat membangun sebuah rumah yang cukup besar di pulau kosong itu.

Thian Sin ikut dengan Kim Hong menuju ke pulau itu. Mereka berperahu, sebuah perahu layar kecil yang mereka beli di pantai daratan. Pendekar muda itu mendapat kenyataan bahwa di samping bermacam-macam ilmu kepandaiannya, ternyata Kim Hong pandai pula mengemudikan perahu layar.

Dengan keahliannya yang mengagumkan, gadis ini mengemudikan perahu yang layarnya menggembung ditiup angin itu, meluncur dengan lincah di permukaan air lautan, amat laju menembus gelombang-gelombang kecil yang membuat perahu itu naik turun sehingga terasa mengerikan bagi Thian Sin yang tidak bisa berperahu. Akan tetapi dia ingin belajar dan biar pun pada jam-jam pertama dia merasa pening kepala, akhirnya dia dapat juga membantu Kim Hong mengemudikan perahu.

Berlayar dari pantai daratan menuju ke Pulau Teratai Merah itu memakan waktu setengah hari, itu pun kalau lautan sedang tenang dan arah angin baik. Menurut keterangan Kim Hong, kalau kurang angin maka pelayaran akan memakan waktu lebih lama, kadang kala sehari. Akan tetapi ketika mereka tiba di pulau ini, mereka melihat sebuah perahu besar telah berlabuh di situ! Kim Hong mengerutkan alisnya dan berkata,

“Ahh, baru beberapa tahun saja kutinggalkan tempat ini, sekarang sudah ada yang berani menempatinya! Biasanya hanya para bajak laut saja yang singgah di pulau-pulau kosong. Aku khawatir kalau-kalau mereka merusak bangunan rumah kami!”

Thian Sin bergidik ketika melihat betapa perahu mereka itu dikelilingi ikan-ikan hiu besar. Nampak sirip mereka mcluncur di permukaan air di sekitar perahu. Dia pernah mendengar cerita tentang ikan-ikan hiu itu, yang dianggap sebagai harimaunya lautan.

“Hiu di sini ganas sekali, berani menyerang perahu!” kata Kim Hong. “Akan tetapi jangan khawatir, mereka tidak akan berani mengganggu kita.” Berkata demikian, Kim Hong lantas menabur-naburkan bubuk kuning di sekeliling perahunya.

Dan benar saja, tidak lama kemudian sirip-sirip ikan hiu itu menjauh dan akhirnya lenyap. Bubuk kuning itu adalah semacam obat yang merupakan racun yang menakutkan bagi ikan-ikan hiu itu, ciptaan mendiang Pangeran Toan Su Ong. Selamatlah mereka mendarat di pulau itu, dan Kim Hong sengaja melakukan pendaratan dari samping, agak jauh dari perahu hitam besar karena dia hendak menyelidiki secara diam-diam siapa orangnya yang kini berada di pulau itu.

Setelah menyembunyikan perahunya di balik semak-semak, Kim Hong segera mengajak Thian Sin pergi ke sebuah pohon tua di pantai pulau itu, lalu gadis itu mendorong sebuah batu besar di belakang pohon. Terbukalah sebuah lubang yang tertutup semak-semak dan batu besar tadi, lantas dia mengajak memasuki lubang yang ternyata merupakan sebuah terowongan gelap.

Batu besar itu mereka geser lagi dari bawah sehingga menutupi lubang yang diperkuat oleh besi-besi itu, tanda bahwa terowongan itu adalah buatan manusia. Dan memanglah, selama berada di pulau ini, Toan Su Ong sudah memasang banyak jalan rahasia yang dipersiapkannya kalau-kalau dia dikejar sampai ke situ oleh pasukan pemerintah.

Setelah mereka melalui terowongan dengan jalan berindap-indap sampai seperempat jam lamanya, melalui jalan terowongan berliku-liku dan naik turun, akhirnya mereka keluar dari terowongan dan telah berada di belakang sebuah bangunan. Inilah bangunan rumah yang didirikan oleh Toan Su Ong di pulau itu, sebuah rumah yang cukup besar dan kuat. Jalan rahasia yang mereka lalui tadi berakhir di taman rumah itu, pintunya juga merupakan pintu besi rahasia yang gelap dan tertutup batu besar pula.

Hari telah menjelang sore ketika Kim Hong dan Thian Sin keluar dari dalam goa kecil dan gadis itu mengerutkan alisnya ketika melihat betapa rumah gedung milik keluarganya itu sudah banyak dirusak orang. Temboknya dibobol di sana-sini, dan taman itu pun sudah rusak tak terawat dan nampak ada bekas-bekas galian di beberapa tempat, seakan-akan tempat itu menjadi tempat orang mencari-cari sesuatu dengan membongkar dinding dan menggali taman. Dan dia pun mengajak Thian Sin menyelinap dan menyelidik.

Nampak ada belasan orang sedang beristirahat di samping rumah. Agaknya mereka itu sudah bekerja berat siang tadi. Ada yang membawa cangkul, ada pula yang membawa alat-alat untuk membongkar dinding. Mereka mengobrol sambil minum arak, dan melihat sikap mereka itu, Kim Hong mengerti bahwa mereka adalah bajak-bajak laut yang kasar dan ganas. Akan tetapi dia memberi isyarat kepada Thian Sin agar mengikutinya untuk menyelinap masuk melalui jendela samping yang terbuka.

Bagaikan dua ekor burung mereka meloncat ke dalam ruangan besar di sebelah dalam bangunan itu di mana terdapat beberapa orang yang tengah bercakap-cakap menghadapi daging panggang dan arak di atas meja. Lidah selatan mereka terdengar lucu bagi Thian Sin, membuat dia agak sukar menangkap pembicaraan mereka. Akan tetapi agaknya Kim Hong telah biasa dengan dialek selatan ini, dan gadis ini mendengarkan penuh perhatian, mendekati pintu yang menembus ke ruangan itu.

Karena tidak dapat mengerti dengan baik, Thian Sin mengintai dan memperhatikan orang-orangnya. Ada lima orang sedang duduk mengelilingi meja, dan yang membuat mereka terheran-heran adalah kenyataan bahwa seorang di antara mereka berpakaian sebagai seorang tosu.

Tubuh tosu ini kurus dan agak bongkok, mukanya pucat dan meruncing bagaikan muka tikus. Empat orang lainnya bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar, cara duduknya juga nongkrong seperti cara duduk orang-orang yang biasa hidup di alam liar dan tak mengenal tata cara kesopanan. Mereka kelihatan kuat dan ganas, wajah mereka membayangkan kekerasan serta kekejaman. Akan tetapi Kim Hong lebih memperhatikan percakapan itu sendiri.

“Kita sudah membuang-buang waktu satu minggu lamanya di sini!” Terdengar seorang di antara empat orang kasar itu mengomel dengan mulut dijejali daging setengah matang.

“Kalau kita mencari rejeki di lautan, mungkin sudah ada satu dua kapal yang dapat kita serbu!” kata orang ke dua.

“Pangeran itu tentu telah membawa pusakanya ikut bersamanya ke neraka, jika memang dia pernah mempunyai pusaka itu!” kata orang ke tiga.

“Hei, Tikus Laut,” kata orang ke empat kepada tosu bermuka tikus yang ternyata berjuluk Tikus Laut itu, “agaknya sesudah menjadi tosu engkau kehilangan ketajaman hidungmu sehingga salah duga! Awas kau kalau mempermainkan kami!”

Si Tosu itu meludah karena ada pecahan tulang yang tergigit olehnya, lalu dia mengomel, “Kalian ini seperti bukan sahabat-sahabat baikku saja, seperti belum pernah mendengar akan kelihaianku dalam menyelidiki saja. Sejak dahulu aku tahu bahwa isteri pangeran itu berhasil menguasai pusaka peninggalan Menteri The Hoo dan pasti disimpannya di sini.”

“Tapi kau sendiri bilang bahwa puteri mereka telah menjadi orang yang lihai sekali…”

“Jangan khawatir, dia bersama Pendekar Sadis sedang dikejar-kejar, dan tentu para tosu Kun-lun-pai tak akan mau melepaskan mereka setelah kena kubakar sampai kemarahan mereka berkobar-kobar. Ha-ha-ha!” kata tosu itu.

“Tikus Laut, sungguh mengherankan sekali kenapa engkau memusuhi mereka. Bukankah engkau telah menjadi orang suci?” ejek seorang di antara bajak-bajak itu.

“Apa bila mereka tidak muncul mungkin aku terlanjur menjadi orang suci, lalu dengan ilmu yang kudapat dari Jit Goat Tosu, maka aku bisa menjagoi dan menjadi tokoh Kun-lun-pai. Akan tetapi mereka muncul sehingga dendamku terhadap Pangeran Toan Su Ong yang tadinya sudah hampir terlupa menjadi bangkit kembali. Dan teringat akan pusaka Menteri The Hoo… selagi mereka sedang dikejar-kejar, dan dengan alasan mencari mereka, aku lalu mengajak kalian bersama-sama mencari pusaka. Ehh, kiranya kalian masih ragu-ragu dan kurang percaya padaku…”

Di dalam tempat pengintaiannya, Kim Hong saling bertukar pandang dengan Thian Sin. Kini mereka teringat. Tosu ini adalah seorang di antara para tosu pimpinan di Kun-lun-pai, biar pun tadinya mereka kurang memperhatikan karena agaknya kedudukan tosu ini tidak menonjol. Akan tetapi, punggung yang bongkok itu tiada keduanya di antara para tosu Kun-lun-pai.

Pada saat itu terdengar bentakan keras dari arah belakang mereka. “Heii, siapa kalian?! Awas, ada mata-mata mengintai!”

Thian Sin dan Kim Hong menengok dan ternyata ada dua orang di antara para anak bajak laut yang kebetulan lewat dan melihat mereka dari belakang.

“Mereka ini patut dihajar!” kata Kim Hong sambil melangkah masuk ke dalam ruangan di mana lima orang itu sedang bercakap-cakap.

Lima orang itu pun terkejut mendengar teriakan anak buah mereka dan semuanya telah berloncatan sambil mencabut senjata mereka. Akan tetapi ketika empat orang pimpinan bajak itu melihat bahwa yang muncul hanyalah seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang kelihatan lemah, mereka lalu menyeringai dengan hati lega dan seorang di antara mereka berkata sambil tertawa,

“Ha-ha-ha, kiranya dua orang yang sedang berpacaran tersesat memasuki pulau!”

“Wah, gadis itu manis sekali. Sudah seminggu lebih aku tak mencium bau keringat wanita, ha-ha-ha, biarlah gadis itu untukku saja!”

“Enak saja kau bicara, apa kau kira aku pun tidak membutuhkannya?”

Akan tetapi, kalau empat orang kepala bajak itu bicara dengan cara jorok dan kurang ajar terhadap Kim Hong, sebaliknya tosu bongkok yang berjuluk Tikus Laut itu memandang dengan wajah pucat dan mata terbelalak.

“Celaka…!” katanya, suaranya terdengar gemetar. “Inilah mereka… Pendekar Sadis dan Lam-sin…!”

Para bajak laut itu hampir setiap saat berada di lautan, maka tentu saja mereka tak begitu mengenal nama Pendekar Sadis mau pun Lam-sin yang merupakan tokoh-tokoh daratan, sehingga mereka tidak begitu gentar menghadapi dua orang muda ini, walau pun mereka sudah mendengar dari Tikus Laut akan kelihaian mereka. Kini, belasan orang anak buah yang tadinya berada di luar sudah berserabutan masuk dengan senjata di tangan. Melihat ini, Si Kumis Lebat, seorang di antara empat pimpinan perampok yang menjadi kepala mereka, tertawa.

“Ha-ha-ha, kepung dan tangkap mereka! Boleh bunuh yang laki-laki, akan tetapi tangkap yang perempuan untukku, ha-ha-ha!”

Dia sendiri segera menyimpan kembali goloknya lalu maju dengan tangan kosong hendak menangkap Kim Hong, sedangkan tiga orang yang lainnya memimpin anak buah mereka mengurung, dibantu pula oleh tosu bongkok yang juga sudah mencabut keluar sebatang pedangnya.

Melihat wajah kekasihnya, Thian Sin segera maklum bahwa nyawa orang-orang ini tidak akan bisa tertolong lagi, dan terbayanglah kembali wajah orang-orang yang dihormatinya, terutama wajah ayah angkatnya dan kakaknya.

“Kim Hong… jangan bunuh orang… jangan kita ulangi kembali, kita robohkan saja tanpa membunuhnya.”

Kim Hong mengerling kepada kekasihnya lantas tersenyum, senyum yang mengandung ketenangan sehingga hati Thian Sin menjadi amat lega. “Jangan khawatir, terutama sekali Si Muka Tikus itu harus dapat kutangkap dalam keadaan hidup-hidup untuk menceritakan semua latar belakang ini!”

Mereka tidak mempunyai banyak kesempatan untuk bicara lagi karena pihak lawan sudah menyerbu. Si Kumis Tebal bersama tiga orang lain dengan muka menyeringai langsung mengepung dan menubruk untuk menangkap Kim Hong. Mereka bagai sedang berlomba dalam menangkap atau menyentuh tubuh gadis cantik itu.

Sedangkan yang lain-lain, yaitu tiga orang pimpinan bajak, Si Tosu, serta dua belas orang lain dengan senjata terhunus sudah mengepung dan mengeroyok Thian Sin, seolah-olah mereka hendak menghancur lumatkan tubuh pemuda ini! Akan tetapi, begitu kedua orang muda itu menggerakkan tubuh mereka, maka terdengarlah teriakan-teriakan berturut-turut disusul robohnya para pengeroyok itu!

Mula-mula, menghadapi empat orang pengeroyoknya yang seolah-olah berlomba hendak memeluknya itu, Kim Hong yang merasa amat muak dan marah itu telah menggerakkan tubuhnya mengelak dari serbuan mereka, menyelinap di antara banyak lengan dengan tangan terbuka seperti cakar harimau hendak menerkam domba itu. Kemudian, sesudah terlepas dari serbuan mereka dan melihat mereka dengan lebih garang lagi membalik dan hendak menerjangnya, wanita ini sudah menggerakkan kepalanya. Kuncir rambutnya itu terlepas dari sanggulnya, seperti seekor ular cobra hitam yang terlepas dari kurungan dan menyambar-nyambar ganas.

Akibatnya, empat orang anak buah bajak terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali karena ujung rambut itu telah menotok jalan darah membuat mereka lumpuh dan pingsan! Sekarang tinggal kepala bajak yang berkumis tebal melintang di bawah hidung itu yang terbelalak keheranan sesudah melihat betapa empat orang anak buahnya tiba-tiba roboh berpelantingan dan tidak mampu bangkit kembali.

Dia sendiri tidak tahu bagaimana hal itu dapat terjadi, akan tetapi dia semakin silau oleh kecantikan Kim Hong yang kini makin menyolok sesudah sanggul rambutnya terlepas itu. Kecantikan ini membuat si kepala bajak menjadi semakin ganas dan otaknya menjadi keruh, dia menggereng kemudian menubruk lagi, kedua lengannya dibuka dan dia pun menerkam ke arah Kim Hong. Gadis ini kembali menggerakkan kepalanya, rambutnya menyambar ke depan.

“Dukk!”

Tubuh tinggi besar itu menjadi kaku dan dua kali kaki Kim Hong bergerak.

“Krekk…! Krekk…!”

Orang tinggi besar itu menjerit roboh, mengaduh-aduh dan menggunakan kedua tangan untuk memegangi kedua kakinya yang patah tulang di bagian pergelangan kaki.

Sementara itu, dengan mudah Thian Sin juga sudah merobohkan lima enam orang tanpa membuat mereka menderita luka berat. Dia hanya membagi-bagikan tamparan, membuat lawan roboh dengan kepala pening, atau kaki tangan salah urat, atau menotoknya hingga lawan roboh tak mampu berkutik karena lumpuh.

Apa lagi setelah Kim Hong menyerbu membantunya, mereka dengan mudah merobohkan semua pengeroyok kecuali si Tikus Laut ini sungguh-sungguh hebat luar biasa! Gerakan-gerakan Tikus Laut ini mengingatkan mereka pada kepandaian mendiang Jit Goat Tosu! Gerakan-gerakan aneh membuat Thian Sin dan Kim Hong berhati-hati sekali.

Akan tetapi ketika Thian Sin mempergunakan Thi-khi I-beng, tosu itu tak mampu menarik kembali tangannya yang menempel di tengkuk Thian Sin, lantas tenaga sinkang-nya yang tidak sekuat dua orang muda itu tersedot, membuat dia berteriak-teriak bagai seekor babi disembelih!

Ketika Thian Sin melepaskan tenaga sedotan Thi-khi I-beng, tosu itu jatuh terkulai dengan tubuh lemas. Dia bagaikan sebuah balon kempes. Akan tetapi mengingat kehebatan ilmu silatnya tadi, Kim Hong lalu menotoknya, membuat dia tidak berkutik lagi.

“Tosu palsu! Hayo ceritakan apa hubunganmu dengan Jit Goat Tosu dan kenapa engkau memusuhi kami, juga apa yang kau lakukan di Kun-lun-pai sehingga engkau membakar hati para pimpinan Kun-lun-pai!” Kim Hong membentak dengan suara nyaring sekali.

Thian Sin hanya berpura-pura tidak mengerti mengapa gadis itu membentak sedemikian nyaringnya. Tentu saja dia tahu bahwa seperti juga dia, kekasihnya itu tentu sudah pula melihat adanya bayangan beberapa orang tosu berkelebatan di sebelah luar rumah. Dan seperti juga dia, tentu kekasihnya itu sudah mengenali bahwa tosu itu adalah tosu-tosu Kun-lun-pai dan beberapa orang lain, dan di antara mereka juga tampak adanya Kui Yang Tosu!

“Lam-sin datuk sesat! Pinto sudah kalah, kalau engkau mau bunuh, bunuhlah. Siapa takut mati?”

“Totiang,” kata Thian Sin sambil mengedipkan matanya kepada kekasihnya dan suaranya juga lantang. “kami mengenalmu sebagai salah seorang di antara para tosu Kun-lun-pai, lalu bagaimana engkau dapat bersekutu dengan gerombolan bajak laut dan mencari-cari pusaka peninggalan Menteri The Hoo yang dimiliki oleh keluarga Pangeran Toan Su Ong? Lebih baik engkau mengaku terus terang, totiang. Kami tidak akan membunuhmu asalkan engkau mengaku.”

“Pendekar Sadis! Biar engkau tukang menyiksa orang, jangan kira pinto takut kepadamu!” Tosu bermuka tikus itu berteriak marah.

Thian Sin kembali memberi isyarat dengan pandangan matanya kepada Kim Hong, lalu dia pun mengangkat tubuh tosu itu dengan menarik leher bajunya.

“Begitukah? Mari kita sama lihat, apakah Tikus Laut ini berani melawan hiu atau macan laut!” Dia lalu membawa tubuh tosu itu melangkah lebar keluar dari rumah itu diikuti oleh Kim Hong.

Mereka berdua terus saja berjalan, pura-pura tak melihat adanya beberapa pasang mata yang selalu mengikuti gerak-gerik mereka dari tempat persembunyian, kemudian pemilik beberapa pasang mata ini pun membayangi mereka menuju ke pantai pulau. Kim Hong yang menjadi penunjuk jalan dan tanpa bicara kedua orang ini sudah tahu akan isi hati masing-masing.

Mereka membawa Si Muka Tikus itu ke perahu besar yang berlabuh di sana dan ketika mereka menaiki perahu itu kosong sama sekali. Ternyata beberapa orang bajak yang tadi berjaga di situ sudah turut pula menyerbu ketika mereka mendengar teriakan-teriakan dari atas pulau.

Tosu itu masih diam saja, akan tetapi Thian Sin yang mencengkeram leher baju tosu itu bisa merasakan ketika lengannya menempel di dadanya betapa jantung tosu itu berdebar kencang. Dia tersenyum. Inilah yang dikehendakinya. Membuat takut tosu itu.

Sejenak timbul perasaan senang di dalam hatinya, nafsu untuk menyiksa dan membunuh orang ini yang dia tahu memusuhi Kim Hong. Akan tetapi, wajah kakaknya terbayang di depan mata sehingga membuatnya tersadar dan nafsu sadis itu pun lenyap seperti ditiup angin.

Setelah tiba di atas perahu besar, Thian Sin kemudian melepaskan sabuknya yang juga merupakan salah satu di antara senjatanya, mengikatkan ujung sabuknya pada pinggang tosu itu.

“Kau lihat itu, kenalkah engkau apa itu?” tanyanya sambil menunjuk ke arah sirip ikan-ikan hiu yang berseliweran di sekitar perahu. Wajah tosu itu menjadi semakin pucat.

“Apa… apa yang hendak kau lakukan…?” tanyanya, suaranya masih angkuh akan tetapi sudah agak gemetar.

Thian Sin tersenyum memandang kepada Kim Hong, “Ha-ha-ha, Kim Hong, dia tanya apa yang hendak kita lakukan! Ha-ha-ha!”

Gadis itu pun tertawa dan menjawab dengan suara yang amat nyaring, “Kita hanya ingin melihat bagaimana ramainya tikus laut berhadapan dengan macan laut.”

Dan Thian Sin mulai menurunkan tubuh orang yang telah diikat pinggangnya itu ke pinggir perahu besar. Karena tadi dia sudah membebaskan totokannya, maka tosu itu dapat pula meronta-ronta.

“Jangan… jangan…!” teriaknya akan tetapi tubuhnya sudah terjatuh ke air.

“Byuuurrr…!”

Jatuhnya tubuh tosu itu membuat ikan-ikan hiu terkejut lantas berenang menjauh, akan tetapi ketika mereka melihat gerakan-gerakan di permukaan air karena Si Tikus Laut itu menahan tubuhnya agar tidak tenggelam, beberapa ekor hiu telah cepat berenang datang. Melihat sirip dua ekor ikan hiu dari depan, tosu itu terbelalak.

Thian Sin yang memegang ujung sabuk itu, sengaja mengendurkan sabuk, seakan-akan tidak peduli, akan tetapi sesungguhnya dia sudah bersiap untuk menarik sabuk itu kalau memang benar-benar keadaan tosu itu terancam. Akan tetapi, tosu yang berjuluk Si Tikus Laut itu tiba-tiba saja menggerakkan tubuh menyelam ketika dua ekor ikan hiu itu sudah mendekat dan begitu kedua tangannya menyambar, dia sudah mendorong dua ekor ikan itu dari bawah.

Dua ekor binatang buas yang kena dihantam belakang kepalanya itu meronta, akan tetapi agaknya kesakitan dan juga terkejut karena mereka segera berenang menjauhi. Thian Sin memandang kagum, melihat betapa lawannya itu tidak percuma mempunyai julukan Tikus Laut karena ternyata memang mempunya keahlian bermain di dalam air sehingga dengan satu serangan saja mampu mengusir dua ekor ikan hiu ganas!

Akan tetapi daerah lautan sekitar Pulau Teratai Merah itu memang menjadi kedung ikan hiu. Begitu dua ekor yang kena dihantam itu melarikan diri, muncul enam ekor hiu yang lebih besar dan datang dari segala penjuru!

Melihat ini, tosu yang sudah muncul ke permukaan air itu menjadi ketakutan. Sirip-sirip ikan itu meluncur dari sana-sini, dari kanan kiri dan depan dan melihat sirip-sirip itu saja dapat diketahui bahwa beberapa ekor di antaranya adalah hiu-hiu yang besarnya sama dengan kerbau!

“Tolong…! Tarik aku… tolong…!” teriaknya tanpa malu-malu lagi karena takutnya.

“Asal engkau mengaku terus terang!” kata Thian Sin mempermainkan.

Hiu-hiu itu makin mendekat dan kini mereka berputaran di sekeliling perahu, dalam jarak kurang lebih hanya tiga meter dari tempat tosu itu terapung.

“Tolonggg…!”

“Katakan dulu engkau mau mengaku terus-terang!” kata Kim Hong dengan nyaring.

Tosu itu tidak mau menjawab, agaknya masih merasa enggan untuk berkata terus-terang mengakui perbuatannya. Sementara itu, hiu pertama sudah datang menyerang dengan cepat. Tosu itu mengelak dan menggunakan kakinya menendang dari samping, membuat ikan itu terlempar.

“Bagus! Tikus Laut memang lumayan juga!” Thian Sin memuji sambil tertawa.

Akan tetapi dua ekor hiu datang lagi menyerang dari kanan dan kiri. Tosu itu mengelak ke kanan dan menghantam hiu yang berada di kanan, akan tetapi pada saat itu hiu ke tiga menyambar.

“Celaka…! Tolong… aku akan mengaku…!”
Pada saat hiu itu sudah hampir mencaplok pundak si tosu. Thian Sin lalu menarik dengan sentakan keras sehingga tubuh tosu itu terhindar dari moncong ikan. Dia telah merasakan angin sambaran ikan hiu itu yang mengejar sambil meloncat ke permukaan air dan sudah mencium bau amis. Tubuh tosu itu gemetaran ketika dia dilempar ke atas dek perahu oleh Thian Sin, tetapi pemuda ini masih belum melepaskan ikatan sabuk pada pinggangnya.

“Nah, ceritakanlah semuanya!” katanya.

“Sekali ini tidak mau mengaku, maka kau akan kami lemparkan ke bawah agar menjadi rebutan ikan!” Kim Hong juga mengancam.

Tosu itu masih gemetaran dan menarik napas panjang. “Baikiah… baiklah…! Tanyakan apa yang kalian ingin ketahui…”

“Engkau ini seorang tosu Kun-lun-pai kenapa berjuluk Tikus Lautan dan berkawan dengan para bajak laut?” Kim Hong mulai dengan pertanyaannya.

“Dahulunya aku seorang bajak laut, lalu aku bosan akan kehidupan bajak dan aku tertarik akan soal-soal kebatinan, terutama Agama To, maka aku segera pergi ke Kun-lun-pai dan berhasil diterima sebagai tosu. Memang tadinya aku ingin bertobat, akan tetapi ternyata gagal…”

“Apa hubunganmu dengan mendiang Jit Goat Tosu? Hayo terangkan semuanya!” bentak Kim Hong lagi.

“Aku mendapat tugas melayaninya selama dia di Kun-lun-pai dan karena jasa-jasaku itu dia mulai mengajarkan satu dua macam ilmu pukulan kepadaku, tapi sialan… kalian lalu muncul dan akhirnya dia meninggal…”

“Jadi itukah sebabnya maka engkau memusuhi kami?” tanya Thian Sin.

“Kalian merusak rencanaku, siapa tidak akan membenci kalian!”

“Dan apa yang kau lakukan untuk membakar hati para pimpinan Kun-lun-pai?” desak lagi Thian Sin.

“Kukatakan kepada mereka bahwa sebelum meninggal, sering kali Jit Goat Tosu bercerita kepadaku mengenai kejahatan sute-nya sehingga kematiannya karena serbuan kalian itu menimbulkan penasaran besar, lantas kuhasut mereka untuk menuntut balas mengingat akan kebaikan Jit Goat Tosu yang sudah menurunkan pula beberapa macam ilmu kepada pimpinan Kun-lun-pai…”

“Hemmm, dan apa artinya kedatanganmu ke pulau keluargaku bersama para bajak ini?” tanya Kim Hong.

“Setelah berhasil memanaskan hati para pimpinan Kun-lun-pai sehingga mengejar-ngejar kalian, aku lalu pergi ke sini mengumpulkan bekas rekan-rekanku. Sudah semenjak dulu ketika aku menjadi bajak laut, aku tahu akan ditemukannya pusaka oleh ayah dan ibumu, dan aku sudah beberapa kali berusaha untuk merampasnya, akan tetapi selalu gagal… ahhh, ayah bundamu terlalu lihai, dan juga kegagalan-kegagalan itu, bahkan yang terakhir hampir merenggut nyawaku, yang membuat aku kecewa lalu menjadi tosu. Siapa sangka, aku bertemu dengan suheng ayahmu, maka aku mengambil hatinya dengan niat hendak mempelajari ilmu-ilmunya untuk merajai Kun-lun-pai dan kemudian hendak kucari pusaka peninggalan Menteri The Hoo. Akan tetapi kematian Jit Goat Tosu sudah menggagalkan semuanya…”

“Ahhh, kiranya engkau pernah gagal membajak mendiang ayahku maka engkau menaruh dendam kepadaku? Bagus sekali!” Kim Hong menghampiri dengan sikap mengancam.

“Cukup Kim Hong. Kita sudah berjanji akan membebaskannya. Nah, muka Tikus Lautan, engkau boleh pergi sekarang!” kata Thian Sin sambil memberi isyarat dengan pandangan matanya kepada Kim Hong.

“Terima kasih… terima kasih…!” kata tosu itu yang sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dia akan terbebas dari kematian mengerikan di tangan Pendekar Sadis! Sebab itu, seperti seekor tikus yang baru saja disiram air, dengan pakaian basah kuyup tosu itu lalu bangkit dan hendak lari dari perahu itu, akan tetapi tiba-tiba wajahnya menjadi pucat sekali dan dia menjatuhkan dirinya berlutut.

“Suhu… tolonglah teecu… hampir saja teecu dibunuh oleh Pendekar Sadis yang sudah menyiksa teecu…,” katanya dengan suara gemetar.

Thian Sin dan Kim Hong membalikkan tubuh mereka, lalu pura-pura bersikap kaget dan heran melihat munculnya Kui Yang Tosu serta lima orang tosu Kun-lun-pai lainnya, juga nampak Liang Sim Cinjin pertapa Kang-lam itu, dengan dua orang Bu-tong-pai wakil dari Thian Heng Losu, juga nampak Lo Pa San, pendekar dari Po-hai itu dan beberapa orang lain yang pernah hadir dalam pertemuan para pendekar di Kun-lun-san!

Melihat mereka itu, yang memang sudah diketahuinya sejak tadi oleh Thian Sin dan Kim Hong, dua orang muda ini lalu meloncat meninggalkan perahu dan berdiri berdampingan di pantai, siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka merasa lebih aman bila berada di atas pulau dari pada di atas perahu, apa lagi dengan adanya ahli-ahli silat dalam air seperti Tikus Laut yang lihai itu. Thian Sin sendiri cukup mengerti bahwa melawan Tikus Laut seorang saja, kalau bertanding di air, mungkin sekali dia akan celaka. Dan berada di atas perahu berbahaya sekali, siapa tahu mereka akan menggulingkan perahu!

Akan tetapi, para tosu Kun-lun-pai dan teman-temannya itu agaknya tidak menghiraukan mereka dan Kui Yang Tosu kini melangkah maju mendekati Si Tikus Laut. Wajah kakek yang merupakan tokoh ke dua dari Kun-lun-pai ini masih nampak berkilat-kilat penuh api kemarahan. Suaranya juga masih halus ketika dia bertanya kepada Muka Tikus Laut itu,

“Bagaimana engkau bisa berada di tempat ini?”

“Suhu, teecu pernah mendengar tentang pulau ini dan teecu ingin membantu suhu untuk menyelidiki Pendekar Sadis dan Lam-sin yang teecu duga tentu melarikan diri ke sini. Dan benar saja… akan tetapi teecu ketahuan kemudian ditangkap dan disiksa, nyaris dibunuh secara keji, dijadikan umpan ikan-ikan hiu…”

“Dan siapakah bajak-bajak laut itu dan milik siapa pula perahu ini?” Suara Kui Yang Tosu makin lantang dan pendang matanya semakin berapi-api. Akan tetapi agaknya tosu bekas bajak itu tidak sadar akan tanda-tanda ini atau memang dia sudah terlanjur melangkah dan tidak mungkin mundur kembali.

“Bajak-bajak itu adalah kaki tangan Pendekar Sadis…”

Akan tetapi tosu itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dengan langkah lebar Kui Yang Tosu menghampirinya, mukanya merah dan matanya melotot, dadanya naik turun menahan kemarahan.

“Penipu! Pembohong! Pengkhianat kau manusia busuk!” Dan kaki wakil ketua Kun-lun-pai itu bergerak menendang.

“Desss…!”

Tubuh tosu bermuka tikus itu terlempar keluar dari perahu itu, jatuh ke dalam air! Ketika semua orang memandang, wajah mereka langsung berubah dan mata mereka terbelalak melihat puluhan ekor ikan hiu menyerbu ke arah tubuh yang baru saja terjatuh ke air itu. Terdengar jeritan-jeritan mengerikan yang lantas berhenti tiba-tiba ketika tubuh itu terseret ke bawah permukaan air. Air bergelombang dan mulai berubah warnanya menjadi merah di tempat di mana tosu tadi jatuh.

“Siancai…!” Kui Yang Tosu memejamkan sepasang matanya, alisnya berkerut dan kedua tangannya dirangkap ke depan dada.

Sampai lama dia tidak bergerak, wajahnya berkerut-kerut dan akhirnya, setelah beberapa kali dia menarik napas panjang, dia pun membuka matanya, lalu dengan tubuh kelihatan lemas dan lesu dia menuruni perahu itu untuk menghampiri Thian Sin dan Kim Hong yang masih berdiri melihat semua itu dengan sikap tenang waspada.

Kui Yang Tosu menjura kepada mereka. Suaranya terdengar sangat lirih, “Ceng-taihiap, Toan-lihiap, maafkan pinto yang tak dapat mengendalikan perasaan…”

Thian Sin dan Kim Hong cepat membalas penghormatan itu dan Thian Sin berkata, “Saya sudah sering kali mengalami perasaan itu, locianpwe, membuat mata gelap dan kemudian menimbulkan tindakan pembalasan sehingga membuat saya dinamakan Pendekar Sadis. Saya mengerti dan locianpwe tak bersalah, sebagai manusia biasa wajarlah jika kadang-kadang dikuasai oleh amarah.”

Kui Yang Tosu kembali menarik napas panjang penuh penyesalan. Betapa karena rasa amarahnya dia tadi sudah membunuh Si Tikus, bahkan dengan cara yang mengerikan, tanpa disengaja dia memberikan tosu itu kepada ikan-ikan hiu!

“Tidak, pinto kira bahwa dia yang telah kami percaya itu akan melakukan fitnah seperti itu demi kepentingan dirinya dan pemuasan nafsunya,” kata pula Kui Yang Tosu.

Thian Sin tersenyum dan mengangguk, “Locianpwe, saya sendiri pun pernah mengalami penipuan seperti itu dan menjadi korban fitnah sehingga melakukan hal yang amat buruk. Tentu locianpwe masih ingat dengan kematian Pangeran Toan Ong? Nah, ketika itu pun saya mendengar fitnah orang yang saya percaya.”

Kui Yang Tosu mengangguk-angguk. “Siancai…! Betapa lemahnya kita manusia ini. Kita perlu banyak belajar, Ceng-taihiap…”

“Benar, locianpwe, kita harus tetap belajar selama masih hidup.”

“Maafkan pinto, sekarang Kun-lun-pai baru mengerti dan mulai saat ini juga kami tidak lagi memusuhimu, taihiap.”

“Terima kasih, locianpwe, dan saya pun akan belajar supaya tidak mudah membiarkan diri dikuasai nafsu dendam dan kekejaman terhadap musuh.”

Kui Yang Tosu lalu berpamit kepada Thian Sin dan Kim Hong, kembali ke tempat di mana perahu mereka tersembunyi, diikuti oleh para pendekar lain yang juga berpamit dengan sikap bersahabat. Thian Sin dan Kim Hong memandang kepada mereka sampai perahu mereka tidak nampak lagi dan tiba-tiba Kim Hong merangkul Thian Sin dengan hati penuh kegirangan dan kebahagiaan.

Thian Sin maklum apa yang sedang dirasakan oleh kekasihnya sebab dia pun merasakan sesuatu kebahagiaan besar menyelubungi hatinya, maka dia pun tidak berkata apa-apa kecuali balas merangkul gadis itu. Sampai lama mereka saling rangkul, sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata. Kata-kata tidak ada artinya lagi dalam keadaan seperti saat itu. Mereka merasa seolah-olah ada batu besar yang selama ini menindih hati mereka berdua telah terangkat dan mereka merasakan suatu kebebasan yang sangat nikmat dalam hati mereka. Bagi Thian Sin terutama sekali, dia pun teringat kembali akan semua kata-kata kakaknya.

Kekerasan hanya akan mengakibatkan kekerasan pula. Akibat tak akan pernah terlepas dari pada sebab, akibat hanyalah lanjutan dari pada sebab. Dan sebab ialah cara dalam tindakan kita sendiri. Cara yang buruk takkan mungkin mendatangkan akibat yang baik, seperti juga benih buruk takkan mungkin menumbuhkan pohon yang baik. Tak mungkin mengharapkan bunga indah tumbuh menjadi buah lewat benih tanaman beracun. Siapa menanam, dia sendiri yang akan memetik buah dari pada hasil tanamannya.

Sayang seribu kali sayang, kita hanya selalu mengingat akan panen buah lezat saja, tak pernah kita memperhatikan penanamannya yang betul dan pemeliharaannya yang betul. Mata kita selalu tertuju jauh ke depan, kepada tujuan-tujuan dan harapan-harapan baik dan menyenangkan untuk kita, sama sekali tidak mau melihat perbuatan-perbuatan kita setiap saat. Sekarang inilah yang menjadi pohon penghasil buah pada masa mendatang. Bukan buahnya yang penting, melainkan pohonnya, pemeliharaan pohonnya. Buah yang baik, hanyalah menjadi lanjutan dari pohon yang baik. Kita selalu mau enaknya saja.

Thian Sin dan Kim Hong lantas melakukan pemeriksaan ke seluruh bagian pulau itu dan mulailah mereka membangun kembali rumah yang banyak rusak itu. Untuk pekerjaan ini mereka mendatangkan pembantu-pembantu bayaran dan dalam waktu beberapa bulan saja Pulau Teratai Merah kembali menjadi sebuah pulau kecil yang indah.

Mereka berdua menghadiri perayaan pernikahan dari Cia Kong Liang di Cin-ling-pai dan bertemu dengan keluarga Cin-ling-pai serta Lembah Naga, juga bertemu dengan semua sahabat dan kenalan. Kemudian, tidak lama sesudah itu, Thian Sin dan Kim Hong juga menghadiri upacara perayaan pernikahan antara Cia Han Tiong dan Ciu Lian Hong yang diadakan secara sederhana di Lembah Naga.

Di tempat ini, Thian Sin dan Kim Hong tinggal sampai satu bulan lebih. Kim Hong sudah diterima sebagai keluarga oleh keluarga di Lembah Naga. Akan tetapi kalau Cia Sin Liong dan isterinya menyinggung tentang pernikahan antara mereka, Thian Sin dan Kim Hong hanya saling pandang dan tersenyum.

“Ayah dan ibu, harap maafkan… akan tetapi sejak pertemuan pertama kami telah saling bersepakat untuk tidak mengikat diri masing-masing dengan pernikahan. Tapi betapa pun juga, kami saling mencinta…”

Mendengar ucapan itu, Cia Sin Liong dengan isterinya hanya saling pandang, kemudian menggeleng-geleng kepala mereka. Orang-orang muda memang makin lama makin aneh. Dunia telah berubah, atau lebih tepat lagi, manusia telah makin berubah.

Kerinduan akan kebebasan membuat orang-orang muda makin lama semakin cenderung meninggalkan ikatan-ikatan serta hukum-hukum yang mungkin mereka anggap sebagai penghalang dari pada kebebasan yang mereka dambakan. Mereka itu, orang-orang muda itu, sama sekali tidak tahu bahwa kebebasan adalah urusan batin, bukan hanya sekedar soal-soal lahir saja. Orang yang bebas hatinya takkan merasa terganggu walau pun diikat oleh seribu macam hukum. Sebaliknya, walau pun meninggalkan semua hukum, orang akan tetap terbelenggu batinnya dan sama sekali tidak bebas.

Sampai di sini pengarang mengakhiri cerita ini dengan harapan semoga cerita ini selain dapat menghibur hati pembaca, juga mengandung manfaat sekedarnya bagi perjuangan kita mendayung biduk masing-masing dalam menempuh gelombang-gelombang di lautan kehidupan yang luas ini.

Marilah kita melihat kenyataan bahwa biar pun tidak semua dapat disebut sadis, karena kekejaman turun temurun telah mengalir dalam diri kita, telah mendarah daging, tapi kita ini sadis! Kita ingin melihat orang-orang yang kita benci menderita kesengsaraan yang hebat! Kita akan senang melihat orang yang kita benci tersiksa. Benar atau tidakkah demikian? Hanya kita masing-masing yang dapat menjawab dengan menjenguk ke dalam batin sendiri!

TAMAT
Selanjutnya seri ke 6

Pendekar Sadis Jilid 42

Pendekar Sadis Jilid 42
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SEPERTI sudah kita ketahui, dengan perasaan marah, Pendekar Lembah Naga sekeluarga dan kakek nenek yang mewakili Cin-ling-pai meninggalkan pertemuan rapat para pendekar di ruangan tamu Kun-lun-pai.

“Kita harus dapat bertemu dengan Thian Sin. Ingin aku bicara dengan dia dan sekali ini dia harus mendengarkan kata-kataku!” kata Pendekar Lembah Naga dengan muka agak merah.

Dia sudah membela nama Thian Sin sebagai Pendekar Sadis, bukan hanya karena Thian Sin adalah anak angkatnya, akan tetapi juga karena menjaga nama baik Cin-ling-pai dan Lembah Naga, dan juga karena pada hakekatnya, dia tidak menganggap Thian Sin jahat, hanya terlalu kejam terhadap musuh-musuhnya.

“Kurasa dia tidak akan jauh dari tempat ini, ayah,” kata Han Tiong. “Aku mengenal betul watak Sin-te, dia tidak akan melarikan diri kalau tidak didesak.”

Ucapan Han Tiong ini terbukti ketika mereka tiba di lereng dekat puncak dan mencapai hutan pertama. Tiba-tiba dia melihat munculnya Thian Sin dan Kim Hong dari dalam hutan itu dan melihat keduanya sengaja menyongsong mereka.

Begitu berhadapan, Cia Sin Liong langsung memandang anak angkatnya itu dan berkata dengan suara lantang mengandung teguran, “Thian Sin, bagus sekali perbuatanmu, ya? Begitukah engkau membalas budi kepada Cin-ling-pai dan Lembah Naga, menyeret nama mereka ke pecomberan dan menjadi bahan celaan dunia kang-ouw?”

Mendengar suara ayah angkatnya yang biasanya halus penuh kasih sayang kepadanya itu kini terdengar penuh kemarahan dan juga kekecewaan dan kesedihan, hati Thian Sin seperti ditusuk-tusuk rasanya dan dia pun segera menjatuhkan diri berlutut di depan ayah angkatnya itu kemudian tak dapat ditahannya lagi dia pun menangis!

Selama mengenal Thian Sin, sekarang untuk kedua kalinya Kim Hong melihat kekasihnya menangis sedemikian sedihnya. Kim Hong merasa terharu dan kasihan sekali, maka dia pun lalu ikut berlutut.

“Locianpwe, urusan di Kun-lun-pai adalah urusan saya, maka sayalah yang bertanggung jawab. Thian Sin tak bersalah, melainkan hanya ikut menemani saya, oleh karena itu, jika locianpwe hendak marah, maka sayalah orangnya yang harus dimarahi, bukan dia,” kata Kim Hong sambil menundukkan mukanya, sedangkan Thian Sin di sebelahnya masih saja menitikkan air mata.

“Lam-sin!” kembali terdengar Cia Sin Liong berkata, suaranya berwibawa sekali. “Engkau adalah datuk golongan sesat di selatan, apakah engkau hendak menyeret anak angkatku untuk mengikutimu masuk ke dalam dunia hitam dan melakukan perbuatan sesat?”

“Locianpwe, semenjak saya bertemu dengan Thian Sin, Lam-sin telah kubunuh dan saya sudah membubarkan semua pengikut, saya sudah menanggalkan semua kedudukan dan julukan, saya sudah meninggalkan dunia sesat dan sayalah yang ikut bersama Thian Sin, bukan dia yang ikut saya. Saya membantunya menghadapi datuk-datuk sesat lainnya, ada pun ketika dia membantu saya menghadapi supek saya, hal itu adalah urusan pribadi saya, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai atau orang lain. Karena itu, harap locianpwe jangan persalahkan Thian Sin, sayalah yang bersalah.”

“Ayah, saya mengaku salah, saya telah mencemarkan nama baik Lembah Naga dengan perbuatan saya. Oleh karena itu, terserah kepada ayah, hendak menjatuhkan hukuman apa pun juga, akan saya terima dengan hati rela.”

“Tidak boleh!” Kim Hong berteriak. “Kalau locianpwe menjatuhkan hukuman kepadanya, maka harus menghukum saya juga. Mau membunuh kami berdua, silakan, kami rela mati berdua untuk menebus dosa kalau memang locianpwe menghendaki demikian!” Ucapan Kim Hong ini mengharukan hati Bhe Bi Cu dan juga Cia Giok Keng yang lantas berkata dengan suara serak dan mata merah.

“Sin Liong, kau ampunkanlah anakmu! Cucuku Ceng Thian Sin itu…”

Memang pada lubuk hatinya, sedikit pun tak ada niat untuk menghukum anak angkatnya itu, akan tetapi Sin Liong berpikir bahwa sangatlah perlu untuk menegur Thian Sin pada saat seperti itu.

“Thian Sin, kenapa hatimu demikian kejamnya, demikian keji dan sadis engkau menyiksa orang-orang yang menjadi musuhmu? Jawablah dan jelaskan pada kami, kenapa engkau menjadi demikian kejam melebihi iblis sendiri?”

“Saya mengakui semua itu, Ayah. Saya hampir gila oleh dendam, sehingga saya lupa diri, ingin memuaskan rasa dendam dan sakit hati itu dengan menyiksa musuh-musuh saya. Saya… terus terang saja, ayah… saya merasa… senang dan nikmat bukan main dalam pemuasan dendam dan sakit hati itu dengan menyiksa mereka dan… dan pada waktu itu saya lupa segala-galanya, yang teringat hanya ingin menyiksa orang yang dahulu pernah menyiksa hati saya…”

Semua orang yang mendengar kata-kata ini bergidik, tidak hanya karena membayangkan kesadisan Thian Sin saat menyiksa musuh-musuhnya seperti yang pernah mereka dengar dibicarakan orang dengan ketakutan, melainkan terutama sekali melihat kenyataan akan adanya sifat sadis dalam diri mereka masing-masing.

Memang, bila mana kita mau membuka mata mengenal diri sendiri, di dalam batin kita terdapat sifat sadis itu. Kita akan merasa senang sekali melihat orang yang kita anggap jahat menerima siksaan! Kita akan merasa puas apa bila mendengar musuh atau orang yang kita benci menderita mala petaka dan kesengsaraan.

Kita ini masing-masing mempunyai watak pendendam, pemarah, selalu ingin membalas kepada siapa saja yang membuat hati kita tidak senang, baik yang mengganggu kita itu manusia mau pun setan. Setidaknya, kita akan mengumpat cacinya, dan mengutuknya, dan tentu saja kita akan merasa senang dan puas jika melihat dia tersiksa seperti yang digambarkan oleh benak kita yang penuh dengan kebencian dan racun dendam.

Siapakah yang dapat menyangkal bahwa terdapat persamaan dalam batin kita dengan watak Pendekar Sadis yang senang menyiksa orang-orang yang dibencinya? Andai kata kita diberi kekuatan seperti dia, diberi kekuasaan seperti dia, bukan tidak mungkin kita pun suka menyiksa musuh-musuh yang kita benci.

Pengenalan diri sendiri ini dapat kita lakukan dengan jelas apa bila kita melihat sesuatu, baik melalui bacaan mau pun tontonan, yang sifatnya membalas dendam. Kita membenci tokoh yang kita anggap jahat dan kita bersorak penuh kepuasan ketika kita melihat ‘Si Jahat’ itu tertimpa malapetaka dan tersiksa. Namun, betapa sukarnya untuk mengenal diri sendiri!


“Thian Sin, aku mengerti perasaan itu. Akan tetapi, lupakah engkau dengan ajaran yang pernah kau terima dari pamanmu Hong San Hwesio dan dariku sendiri selama ini? Lalu apakah artinya semua latihan yang kuberikan untuk bersemedhi dan mengenal sifat-sifat buruk diri sendiri? Orang yang melakukan perbuatan kejam dinamakan penjahat, lalu apa artinya orang dianggap pendekar kalau hatinya pun kejam terhadap orang lain? Apakah bedanya antara penjahat kejam dan pendekar kejam? Mungkin saja si penjahat berbuat kejam untuk keuntungan harta atau pemuasan hatinya, akan tetapi bila seorang pendekar berbuat kejam terhadap penjahat, tentu juga demi untuk memuaskan hatinya yang penuh dendam. Jadi pada hakekatnya sama saja, yaitu untuk menyenangkan atau memuaskan diri sendiri. Hati yang kejam itu didasarkan oleh kebencian, dan apa pun yang dilakukan seseorang, baik dia dinamakan pendekar mau pun penjahat, bila mana didasari dengan kebencian, maka perbuatannya itu adalah jahat! Seorang pendekar menentang kejahatan, akan tetapi bukan berdasarkan kebencian terhadap sesama manusia, walau pun manusia itu dinamakan penjahat sekali pun. Seorang pendekar menentang kejahatan, karena ingin menyelamatkan orang yang dapat menjadi korban kejahatan, karena ingin menyadarkan orang yang melakukan kejahatan, karena hendak menenteramkan kehidupan manusia di dunia, karena ingin menegakkan kebenaran dan keadilan. Semua itu bebas dari landasan hati yang diracuni kebencian. Akan tetapi, apa yang kau lakukan itu semata-mata adalah karena hatimu penuh dengan dendam sakit hati dan kebencian. Lalu apa bedanya semua kesadisanmu itu dengan perbuatan para penjahat di dunia ini?”

Cia Sin Liong berhenti bicara dan Thian Sin makin menundukkan kepalanya. Walau pun kadang-kadang dia menyadari akan hal itu, akan tetapi baru sekali inilah hal itu seperti ditusukkan ke dalam perasaannya, membuat matanya terbuka dan dapat melihat dengan jelas akan semua kesalahan yang pernah dilakukannya selama ini. Memang dia sudah menjadi buta oleh dendam dan kebencian.

“Saya mengaku salah…,” katanya lirih.

“Pengakuan salah tanpa penghayatan di dalam hidup tidak akan ada artinya sama sekali! Penyesalan di mulut dan di hati tidak ada gunanya. Yang penting adalah membuka mata, melihat bahwa setiap kita melakukan sesuatu yang jahat dalam arti kata merugikan orang lain lahir mau pun batin, maka pada saat itu kita tidak memiliki kewaspadaan, kesadaran kita menjadi buta oleh nafsu. Oleh karena itu, kita harus waspada setiap waktu, terutama sekali waspada terhadap diri sendiri lahir mau pun batin. Hanya dengan kewaspadaan dan kesadaran terhadap diri sendiri lahir batin sajalah kita tidak akan bertindak membabi-buta menurutkan nafsu-nafsu kita. Kebencian terhadap orang lain merupakan pangkal segala permusuhan dan kekacauan di dunia. Kita harus dapat menghalau kebencian ini jauh-jauh dari batin kita, baik terhadap orang yang kita anggap jahat mau pun tidak. Selama masih ada kebencian di dalam batin, bukan kebencian terhadap seseorang tertentu, melainkan kebencian kepada siapa pun juga, maka tak mungkin dia bisa menjadi seorang pendekar dalam arti yang seluas-luasnya!”

Thian Sin dan Kim Hong mengangguk-angguk, diam-diam merasa betapa tidak mudahnya untuk menjadi seorang manusia yang pantas dinamakan pendekar.

“Kalian orang-orang muda perlu sekali memperhatikan apa yang telah dikatakan oleh Sin Liong,” kata Kakek Yap Kun Liong dengan suara halus dan tenang. “Memang demikianlah sesungguhnya, selama masih ada kebencian di dalam batin, tak mungkin orang itu dapat mengenal cinta kasih. Dan seorang pendekar adalah orang yang penuh cinta kasih, yang hanya satu keinginannya, yaitu membangun, bukannya merusak. Memang mungkin saja orang harus membongkar terlebih dulu untuk membangun, namun bukan berarti merusak. Mungkin seorang pendekar harus bertindak keras terhadap seorang sesat, namun bukan berarti keras karena didasari oleh kebencian atau hendak merusak, melainkan keras yang sifatnya membongkar untuk kemudian dibangun. Atau yang sifatnya mendidik, menuntun agar yang menyeleweng kembali ke jalan benar.”

“Terima kasih atas semua petuah dan peringatan dari ayah dan kakek yang amat berguna itu,” kata Thian Sin.

“Terima kasih kepada locianpwe yang mulia,” kata pula Kim Hong.

Hati wanita ini betul-betul tergetar dan membuatnya tunduk benar terhadap para pendekar sakti ini dan dara ini pun dapat melihat betapa dahulu dia telah melakukan penyelewengan besar sekali.

“Saya mohon petunjuk kepada ayah, apa yang harus saya lakukan selanjutnya? Apakah saya harus menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai untuk diadili? Kalau memang demikian halnya, maka lebih baik ayah membunuh saya sekarang juga, karena saya tidak merasa bersalah terhadap Kun-lun-pai. Mereka itu hanya ingin membalas dendam karena sangat benci kepada saya.”

Cia Sin Liong mengangguk-angguk. “Memang tidak sepatutnya kalau kalian menyerahkan diri begitu saja. Kalau kalian mau, marilah ikut bersama kami ke Lembah Naga. Kakakmu akan merayakan pernikahannya dan kalian seharusnya hadir pula. Sudah terlampau lama engkau pergi meninggalkan rumah, Thian Sin. Sekarang pulanglah dan kami akan merasa berbahagia sekali.”

“Betul, cucuku. Di samping itu, aku pun ingin melihat engkau menikah sebelum aku mati,” kata Nenek Cia Giok Keng. “Dan aku pun senang sekali dengan pilihanmu. Nona Toan ini memang cocok untuk menjadi jodohmu.”

Dengan hati terharu Thian Sin menghaturkan terima kasih kepada neneknya itu, kemudian dia segera bertanya kepada ayahnya, “Ayah, kapankah Tiong-ko hendak melangsungkan pernikahannya?”

“Kami telah memperhitungkan, nanti pada tanggal sepuluh bulan delapan, jadi kurang tiga bulan lagi,” jawab Cia Sin Liong.

“Kalau begitu, biarlah pada waktunya kami akan datang ke Lembah Naga, ayah. Kini kami hendak pergi ke suatu tempat yang akan kami jadikan tempat tinggal kami…”

“Di manakah itu, Sin-te? Di mana kalian hendak tinggal?” Han Tiong bertanya, dan hatinya merasa kecewa mendengar adiknya itu tidak akan tinggal bersama mereka di Lembah Naga.

“Di Pulau Teratai Merah, Tiong-ko,” mendadak Kim Hong yang menjawab. “Kami berdua telah bersepakat untuk tinggal di bekas tempat tinggal mendiang ayah dan ibu ketika ayah menjadi buronan. Kami masih mempunyai rumah di sana.”

“Tapi… tapi kapankah kalian akan menikah?” Nenek Cia Giok Keng bertanya. “Bukankah akan baik sekali jika engkau menikahkan kedua puteramu itu secara berbareng saja, Sin Liong?”

“Terserah kepada Thian Sin dan tunangannya,” jawab pendekar itu yang secara bijaksana sekali menyerahkan urusan perjodohan orang-orang muda itu kepada mereka sendiri yang berkepentingan.

“Bagaimana, Thian Sin, cucuku?” tanya nenek itu kepada Thian Sin.

Thian Sin dan Kim Hong saling pandang, kemudian keduanya menundukkan muka yang tiba-tiba saja menjadi merah. Sungguh mengherankan hati mereka sendiri kenapa setelah keluarga yang mereka hormati ini berbicara tentang perjodohan mereka, mereka menjadi tersipu-sipu malu.

“Maaf, nenek, kami masih belum berpikir mengenai pernikahan,” akhirnya Thian Sin yang menjawab.

Nenek Cia Giok Keng hanya mampu menghela napas panjang. Dia pun mengerti bahwa urusan pernikahan merupakan urusan kedua orang itu sendiri dan mencampurinya hanya akan mendatangkan kekacauan belaka. Dahulu hal ini sudah pernah dialaminya sendiri, maka dengan bijaksana dia pun diam saja, tidak membantah lagi.

Akhirnya mereka pun berpisah. Sambil berlutut, Thian Sin berkata kepada mereka semua, “Harap ayah dan ibu, juga Tiong-ko, kakek dan nenek yang saya hormati dan saya cinta, suka menjadi saksi. Mulai saat ini, Pendekar Sadis hanya tinggal sebutannya saja, namun kekejaman dan kesadisan akan saya enyahkan jauh-jauh dari dalam batin saya. Semoga saya selalu akan sadar dan dengan kerja sama dan bantuan Kim Hong, mudah-mudahan saya tidak akan melanggar janji saya ini. Saya akan mengikuti jejak ayah sekalian, untuk menjadi pendekar dalam arti yang sesungguhnya!”

Setelah berpamit dalam suasana mengharukan, terutama sekali Han Tiong yang merasa berat untuk berpisah dari adiknya, akhirnya Thian Sin dan Kim Hong berpisah dari mereka dan kedua orang muda ini melakukan perjalanan ke selatan untuk pergi ke Pulau Teratai Merah.

Di sepanjang perjalanan mereka selalu menghindarkan diri dari bentrokan-bentrokan, dan mengambil jalan yang sunyi untuk melakukan perjalanan cepat. Kim Hong merasa girang sekali bahwa kekasihnya suka memenuhi keinginannya untuk kembali ke pulau kosong itu dan sebagai rasa terima kasihnya, sikapnya menjadi makin mesra terhadap Thian Sin.

********************

Apa bila orang berdiri di pantai muara Sungai Huai yang menuangkan airnya ke dalam Lautan Kuning, maka akan nampaklah banyak sekali pulau-pulau kecil. Sebagian besar dari pulau-pulau ini merupakan pulau-pulau karang yang kering-kerontang, akan tetapi ada pula beberapa buah di antaranya yang nampak kehijauan karena pulau itu mengandung tanah sehingga tetumbuhan dapat hidup di situ.

Pulau Teratai Merah adalah salah satu di antara pulau-pulau itu yang letaknya agak jauh dan tidak dapat dilihat dari pantai muara Sungai Huai itu, kecuali bila lautan sedang amat tenangnya dan cuaca sedang cerah. Pulau Teratai Merah adalah sebuah pulau kecil saja, akan tetapi mempunyai tanah yang subur sehingga dapat ditanami.

Sebelum Toan Su Ong dan isterinya, yaitu Ouwyang Ci tinggal di pulau itu, pulau itu tidak pernah ditinggali manusia, kecuali hanya menjadi tempat persinggahan para nelayan saja. Tentu saja orang enggan tinggal di sana, karena letaknya yang jauh dari pantai daratan, juga jauh dari tetangga manusia lain, dan pula, lautan di sekitar pulau itu terkenal sangat buas dan banyak dihuni ikan-ikan hiu yang ganas pula. Karena banyaknya hiu inilah maka daerah kepulauan itu bukan merupakan daerah nelayan yang baik.

Pangeran Toan Su Ong tentu saja berbeda dengan para pelayan itu. Dia adalah seorang buronan yang memang mencari tempat persembunyian yang baik dan pulau kosong itu sangat tepat untuknya. Tempatnya terpencil, sukar dikunjungi, bahkan tidak aman karena pulau-pulau itu sering dijadikan tempat persembunyian para bajak laut. Toan Su Ong dan isterinya yang berkepandaian tinggi itu tentu saja tidak takut terhadap para bajak laut. Dan mereka dapat bercocok tanam di tempat itu, bahkan akhirnya mereka dapat membangun sebuah rumah yang cukup besar di pulau kosong itu.

Thian Sin ikut dengan Kim Hong menuju ke pulau itu. Mereka berperahu, sebuah perahu layar kecil yang mereka beli di pantai daratan. Pendekar muda itu mendapat kenyataan bahwa di samping bermacam-macam ilmu kepandaiannya, ternyata Kim Hong pandai pula mengemudikan perahu layar.

Dengan keahliannya yang mengagumkan, gadis ini mengemudikan perahu yang layarnya menggembung ditiup angin itu, meluncur dengan lincah di permukaan air lautan, amat laju menembus gelombang-gelombang kecil yang membuat perahu itu naik turun sehingga terasa mengerikan bagi Thian Sin yang tidak bisa berperahu. Akan tetapi dia ingin belajar dan biar pun pada jam-jam pertama dia merasa pening kepala, akhirnya dia dapat juga membantu Kim Hong mengemudikan perahu.

Berlayar dari pantai daratan menuju ke Pulau Teratai Merah itu memakan waktu setengah hari, itu pun kalau lautan sedang tenang dan arah angin baik. Menurut keterangan Kim Hong, kalau kurang angin maka pelayaran akan memakan waktu lebih lama, kadang kala sehari. Akan tetapi ketika mereka tiba di pulau ini, mereka melihat sebuah perahu besar telah berlabuh di situ! Kim Hong mengerutkan alisnya dan berkata,

“Ahh, baru beberapa tahun saja kutinggalkan tempat ini, sekarang sudah ada yang berani menempatinya! Biasanya hanya para bajak laut saja yang singgah di pulau-pulau kosong. Aku khawatir kalau-kalau mereka merusak bangunan rumah kami!”

Thian Sin bergidik ketika melihat betapa perahu mereka itu dikelilingi ikan-ikan hiu besar. Nampak sirip mereka mcluncur di permukaan air di sekitar perahu. Dia pernah mendengar cerita tentang ikan-ikan hiu itu, yang dianggap sebagai harimaunya lautan.

“Hiu di sini ganas sekali, berani menyerang perahu!” kata Kim Hong. “Akan tetapi jangan khawatir, mereka tidak akan berani mengganggu kita.” Berkata demikian, Kim Hong lantas menabur-naburkan bubuk kuning di sekeliling perahunya.

Dan benar saja, tidak lama kemudian sirip-sirip ikan hiu itu menjauh dan akhirnya lenyap. Bubuk kuning itu adalah semacam obat yang merupakan racun yang menakutkan bagi ikan-ikan hiu itu, ciptaan mendiang Pangeran Toan Su Ong. Selamatlah mereka mendarat di pulau itu, dan Kim Hong sengaja melakukan pendaratan dari samping, agak jauh dari perahu hitam besar karena dia hendak menyelidiki secara diam-diam siapa orangnya yang kini berada di pulau itu.

Setelah menyembunyikan perahunya di balik semak-semak, Kim Hong segera mengajak Thian Sin pergi ke sebuah pohon tua di pantai pulau itu, lalu gadis itu mendorong sebuah batu besar di belakang pohon. Terbukalah sebuah lubang yang tertutup semak-semak dan batu besar tadi, lantas dia mengajak memasuki lubang yang ternyata merupakan sebuah terowongan gelap.

Batu besar itu mereka geser lagi dari bawah sehingga menutupi lubang yang diperkuat oleh besi-besi itu, tanda bahwa terowongan itu adalah buatan manusia. Dan memanglah, selama berada di pulau ini, Toan Su Ong sudah memasang banyak jalan rahasia yang dipersiapkannya kalau-kalau dia dikejar sampai ke situ oleh pasukan pemerintah.

Setelah mereka melalui terowongan dengan jalan berindap-indap sampai seperempat jam lamanya, melalui jalan terowongan berliku-liku dan naik turun, akhirnya mereka keluar dari terowongan dan telah berada di belakang sebuah bangunan. Inilah bangunan rumah yang didirikan oleh Toan Su Ong di pulau itu, sebuah rumah yang cukup besar dan kuat. Jalan rahasia yang mereka lalui tadi berakhir di taman rumah itu, pintunya juga merupakan pintu besi rahasia yang gelap dan tertutup batu besar pula.

Hari telah menjelang sore ketika Kim Hong dan Thian Sin keluar dari dalam goa kecil dan gadis itu mengerutkan alisnya ketika melihat betapa rumah gedung milik keluarganya itu sudah banyak dirusak orang. Temboknya dibobol di sana-sini, dan taman itu pun sudah rusak tak terawat dan nampak ada bekas-bekas galian di beberapa tempat, seakan-akan tempat itu menjadi tempat orang mencari-cari sesuatu dengan membongkar dinding dan menggali taman. Dan dia pun mengajak Thian Sin menyelinap dan menyelidik.

Nampak ada belasan orang sedang beristirahat di samping rumah. Agaknya mereka itu sudah bekerja berat siang tadi. Ada yang membawa cangkul, ada pula yang membawa alat-alat untuk membongkar dinding. Mereka mengobrol sambil minum arak, dan melihat sikap mereka itu, Kim Hong mengerti bahwa mereka adalah bajak-bajak laut yang kasar dan ganas. Akan tetapi dia memberi isyarat kepada Thian Sin agar mengikutinya untuk menyelinap masuk melalui jendela samping yang terbuka.

Bagaikan dua ekor burung mereka meloncat ke dalam ruangan besar di sebelah dalam bangunan itu di mana terdapat beberapa orang yang tengah bercakap-cakap menghadapi daging panggang dan arak di atas meja. Lidah selatan mereka terdengar lucu bagi Thian Sin, membuat dia agak sukar menangkap pembicaraan mereka. Akan tetapi agaknya Kim Hong telah biasa dengan dialek selatan ini, dan gadis ini mendengarkan penuh perhatian, mendekati pintu yang menembus ke ruangan itu.

Karena tidak dapat mengerti dengan baik, Thian Sin mengintai dan memperhatikan orang-orangnya. Ada lima orang sedang duduk mengelilingi meja, dan yang membuat mereka terheran-heran adalah kenyataan bahwa seorang di antara mereka berpakaian sebagai seorang tosu.

Tubuh tosu ini kurus dan agak bongkok, mukanya pucat dan meruncing bagaikan muka tikus. Empat orang lainnya bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar, cara duduknya juga nongkrong seperti cara duduk orang-orang yang biasa hidup di alam liar dan tak mengenal tata cara kesopanan. Mereka kelihatan kuat dan ganas, wajah mereka membayangkan kekerasan serta kekejaman. Akan tetapi Kim Hong lebih memperhatikan percakapan itu sendiri.

“Kita sudah membuang-buang waktu satu minggu lamanya di sini!” Terdengar seorang di antara empat orang kasar itu mengomel dengan mulut dijejali daging setengah matang.

“Kalau kita mencari rejeki di lautan, mungkin sudah ada satu dua kapal yang dapat kita serbu!” kata orang ke dua.

“Pangeran itu tentu telah membawa pusakanya ikut bersamanya ke neraka, jika memang dia pernah mempunyai pusaka itu!” kata orang ke tiga.

“Hei, Tikus Laut,” kata orang ke empat kepada tosu bermuka tikus yang ternyata berjuluk Tikus Laut itu, “agaknya sesudah menjadi tosu engkau kehilangan ketajaman hidungmu sehingga salah duga! Awas kau kalau mempermainkan kami!”

Si Tosu itu meludah karena ada pecahan tulang yang tergigit olehnya, lalu dia mengomel, “Kalian ini seperti bukan sahabat-sahabat baikku saja, seperti belum pernah mendengar akan kelihaianku dalam menyelidiki saja. Sejak dahulu aku tahu bahwa isteri pangeran itu berhasil menguasai pusaka peninggalan Menteri The Hoo dan pasti disimpannya di sini.”

“Tapi kau sendiri bilang bahwa puteri mereka telah menjadi orang yang lihai sekali…”

“Jangan khawatir, dia bersama Pendekar Sadis sedang dikejar-kejar, dan tentu para tosu Kun-lun-pai tak akan mau melepaskan mereka setelah kena kubakar sampai kemarahan mereka berkobar-kobar. Ha-ha-ha!” kata tosu itu.

“Tikus Laut, sungguh mengherankan sekali kenapa engkau memusuhi mereka. Bukankah engkau telah menjadi orang suci?” ejek seorang di antara bajak-bajak itu.

“Apa bila mereka tidak muncul mungkin aku terlanjur menjadi orang suci, lalu dengan ilmu yang kudapat dari Jit Goat Tosu, maka aku bisa menjagoi dan menjadi tokoh Kun-lun-pai. Akan tetapi mereka muncul sehingga dendamku terhadap Pangeran Toan Su Ong yang tadinya sudah hampir terlupa menjadi bangkit kembali. Dan teringat akan pusaka Menteri The Hoo… selagi mereka sedang dikejar-kejar, dan dengan alasan mencari mereka, aku lalu mengajak kalian bersama-sama mencari pusaka. Ehh, kiranya kalian masih ragu-ragu dan kurang percaya padaku…”

Di dalam tempat pengintaiannya, Kim Hong saling bertukar pandang dengan Thian Sin. Kini mereka teringat. Tosu ini adalah seorang di antara para tosu pimpinan di Kun-lun-pai, biar pun tadinya mereka kurang memperhatikan karena agaknya kedudukan tosu ini tidak menonjol. Akan tetapi, punggung yang bongkok itu tiada keduanya di antara para tosu Kun-lun-pai.

Pada saat itu terdengar bentakan keras dari arah belakang mereka. “Heii, siapa kalian?! Awas, ada mata-mata mengintai!”

Thian Sin dan Kim Hong menengok dan ternyata ada dua orang di antara para anak bajak laut yang kebetulan lewat dan melihat mereka dari belakang.

“Mereka ini patut dihajar!” kata Kim Hong sambil melangkah masuk ke dalam ruangan di mana lima orang itu sedang bercakap-cakap.

Lima orang itu pun terkejut mendengar teriakan anak buah mereka dan semuanya telah berloncatan sambil mencabut senjata mereka. Akan tetapi ketika empat orang pimpinan bajak itu melihat bahwa yang muncul hanyalah seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang kelihatan lemah, mereka lalu menyeringai dengan hati lega dan seorang di antara mereka berkata sambil tertawa,

“Ha-ha-ha, kiranya dua orang yang sedang berpacaran tersesat memasuki pulau!”

“Wah, gadis itu manis sekali. Sudah seminggu lebih aku tak mencium bau keringat wanita, ha-ha-ha, biarlah gadis itu untukku saja!”

“Enak saja kau bicara, apa kau kira aku pun tidak membutuhkannya?”

Akan tetapi, kalau empat orang kepala bajak itu bicara dengan cara jorok dan kurang ajar terhadap Kim Hong, sebaliknya tosu bongkok yang berjuluk Tikus Laut itu memandang dengan wajah pucat dan mata terbelalak.

“Celaka…!” katanya, suaranya terdengar gemetar. “Inilah mereka… Pendekar Sadis dan Lam-sin…!”

Para bajak laut itu hampir setiap saat berada di lautan, maka tentu saja mereka tak begitu mengenal nama Pendekar Sadis mau pun Lam-sin yang merupakan tokoh-tokoh daratan, sehingga mereka tidak begitu gentar menghadapi dua orang muda ini, walau pun mereka sudah mendengar dari Tikus Laut akan kelihaian mereka. Kini, belasan orang anak buah yang tadinya berada di luar sudah berserabutan masuk dengan senjata di tangan. Melihat ini, Si Kumis Lebat, seorang di antara empat pimpinan perampok yang menjadi kepala mereka, tertawa.

“Ha-ha-ha, kepung dan tangkap mereka! Boleh bunuh yang laki-laki, akan tetapi tangkap yang perempuan untukku, ha-ha-ha!”

Dia sendiri segera menyimpan kembali goloknya lalu maju dengan tangan kosong hendak menangkap Kim Hong, sedangkan tiga orang yang lainnya memimpin anak buah mereka mengurung, dibantu pula oleh tosu bongkok yang juga sudah mencabut keluar sebatang pedangnya.

Melihat wajah kekasihnya, Thian Sin segera maklum bahwa nyawa orang-orang ini tidak akan bisa tertolong lagi, dan terbayanglah kembali wajah orang-orang yang dihormatinya, terutama wajah ayah angkatnya dan kakaknya.

“Kim Hong… jangan bunuh orang… jangan kita ulangi kembali, kita robohkan saja tanpa membunuhnya.”

Kim Hong mengerling kepada kekasihnya lantas tersenyum, senyum yang mengandung ketenangan sehingga hati Thian Sin menjadi amat lega. “Jangan khawatir, terutama sekali Si Muka Tikus itu harus dapat kutangkap dalam keadaan hidup-hidup untuk menceritakan semua latar belakang ini!”

Mereka tidak mempunyai banyak kesempatan untuk bicara lagi karena pihak lawan sudah menyerbu. Si Kumis Tebal bersama tiga orang lain dengan muka menyeringai langsung mengepung dan menubruk untuk menangkap Kim Hong. Mereka bagai sedang berlomba dalam menangkap atau menyentuh tubuh gadis cantik itu.

Sedangkan yang lain-lain, yaitu tiga orang pimpinan bajak, Si Tosu, serta dua belas orang lain dengan senjata terhunus sudah mengepung dan mengeroyok Thian Sin, seolah-olah mereka hendak menghancur lumatkan tubuh pemuda ini! Akan tetapi, begitu kedua orang muda itu menggerakkan tubuh mereka, maka terdengarlah teriakan-teriakan berturut-turut disusul robohnya para pengeroyok itu!

Mula-mula, menghadapi empat orang pengeroyoknya yang seolah-olah berlomba hendak memeluknya itu, Kim Hong yang merasa amat muak dan marah itu telah menggerakkan tubuhnya mengelak dari serbuan mereka, menyelinap di antara banyak lengan dengan tangan terbuka seperti cakar harimau hendak menerkam domba itu. Kemudian, sesudah terlepas dari serbuan mereka dan melihat mereka dengan lebih garang lagi membalik dan hendak menerjangnya, wanita ini sudah menggerakkan kepalanya. Kuncir rambutnya itu terlepas dari sanggulnya, seperti seekor ular cobra hitam yang terlepas dari kurungan dan menyambar-nyambar ganas.

Akibatnya, empat orang anak buah bajak terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali karena ujung rambut itu telah menotok jalan darah membuat mereka lumpuh dan pingsan! Sekarang tinggal kepala bajak yang berkumis tebal melintang di bawah hidung itu yang terbelalak keheranan sesudah melihat betapa empat orang anak buahnya tiba-tiba roboh berpelantingan dan tidak mampu bangkit kembali.

Dia sendiri tidak tahu bagaimana hal itu dapat terjadi, akan tetapi dia semakin silau oleh kecantikan Kim Hong yang kini makin menyolok sesudah sanggul rambutnya terlepas itu. Kecantikan ini membuat si kepala bajak menjadi semakin ganas dan otaknya menjadi keruh, dia menggereng kemudian menubruk lagi, kedua lengannya dibuka dan dia pun menerkam ke arah Kim Hong. Gadis ini kembali menggerakkan kepalanya, rambutnya menyambar ke depan.

“Dukk!”

Tubuh tinggi besar itu menjadi kaku dan dua kali kaki Kim Hong bergerak.

“Krekk…! Krekk…!”

Orang tinggi besar itu menjerit roboh, mengaduh-aduh dan menggunakan kedua tangan untuk memegangi kedua kakinya yang patah tulang di bagian pergelangan kaki.

Sementara itu, dengan mudah Thian Sin juga sudah merobohkan lima enam orang tanpa membuat mereka menderita luka berat. Dia hanya membagi-bagikan tamparan, membuat lawan roboh dengan kepala pening, atau kaki tangan salah urat, atau menotoknya hingga lawan roboh tak mampu berkutik karena lumpuh.

Apa lagi setelah Kim Hong menyerbu membantunya, mereka dengan mudah merobohkan semua pengeroyok kecuali si Tikus Laut ini sungguh-sungguh hebat luar biasa! Gerakan-gerakan Tikus Laut ini mengingatkan mereka pada kepandaian mendiang Jit Goat Tosu! Gerakan-gerakan aneh membuat Thian Sin dan Kim Hong berhati-hati sekali.

Akan tetapi ketika Thian Sin mempergunakan Thi-khi I-beng, tosu itu tak mampu menarik kembali tangannya yang menempel di tengkuk Thian Sin, lantas tenaga sinkang-nya yang tidak sekuat dua orang muda itu tersedot, membuat dia berteriak-teriak bagai seekor babi disembelih!

Ketika Thian Sin melepaskan tenaga sedotan Thi-khi I-beng, tosu itu jatuh terkulai dengan tubuh lemas. Dia bagaikan sebuah balon kempes. Akan tetapi mengingat kehebatan ilmu silatnya tadi, Kim Hong lalu menotoknya, membuat dia tidak berkutik lagi.

“Tosu palsu! Hayo ceritakan apa hubunganmu dengan Jit Goat Tosu dan kenapa engkau memusuhi kami, juga apa yang kau lakukan di Kun-lun-pai sehingga engkau membakar hati para pimpinan Kun-lun-pai!” Kim Hong membentak dengan suara nyaring sekali.

Thian Sin hanya berpura-pura tidak mengerti mengapa gadis itu membentak sedemikian nyaringnya. Tentu saja dia tahu bahwa seperti juga dia, kekasihnya itu tentu sudah pula melihat adanya bayangan beberapa orang tosu berkelebatan di sebelah luar rumah. Dan seperti juga dia, tentu kekasihnya itu sudah mengenali bahwa tosu itu adalah tosu-tosu Kun-lun-pai dan beberapa orang lain, dan di antara mereka juga tampak adanya Kui Yang Tosu!

“Lam-sin datuk sesat! Pinto sudah kalah, kalau engkau mau bunuh, bunuhlah. Siapa takut mati?”

“Totiang,” kata Thian Sin sambil mengedipkan matanya kepada kekasihnya dan suaranya juga lantang. “kami mengenalmu sebagai salah seorang di antara para tosu Kun-lun-pai, lalu bagaimana engkau dapat bersekutu dengan gerombolan bajak laut dan mencari-cari pusaka peninggalan Menteri The Hoo yang dimiliki oleh keluarga Pangeran Toan Su Ong? Lebih baik engkau mengaku terus terang, totiang. Kami tidak akan membunuhmu asalkan engkau mengaku.”

“Pendekar Sadis! Biar engkau tukang menyiksa orang, jangan kira pinto takut kepadamu!” Tosu bermuka tikus itu berteriak marah.

Thian Sin kembali memberi isyarat dengan pandangan matanya kepada Kim Hong, lalu dia pun mengangkat tubuh tosu itu dengan menarik leher bajunya.

“Begitukah? Mari kita sama lihat, apakah Tikus Laut ini berani melawan hiu atau macan laut!” Dia lalu membawa tubuh tosu itu melangkah lebar keluar dari rumah itu diikuti oleh Kim Hong.

Mereka berdua terus saja berjalan, pura-pura tak melihat adanya beberapa pasang mata yang selalu mengikuti gerak-gerik mereka dari tempat persembunyian, kemudian pemilik beberapa pasang mata ini pun membayangi mereka menuju ke pantai pulau. Kim Hong yang menjadi penunjuk jalan dan tanpa bicara kedua orang ini sudah tahu akan isi hati masing-masing.

Mereka membawa Si Muka Tikus itu ke perahu besar yang berlabuh di sana dan ketika mereka menaiki perahu itu kosong sama sekali. Ternyata beberapa orang bajak yang tadi berjaga di situ sudah turut pula menyerbu ketika mereka mendengar teriakan-teriakan dari atas pulau.

Tosu itu masih diam saja, akan tetapi Thian Sin yang mencengkeram leher baju tosu itu bisa merasakan ketika lengannya menempel di dadanya betapa jantung tosu itu berdebar kencang. Dia tersenyum. Inilah yang dikehendakinya. Membuat takut tosu itu.

Sejenak timbul perasaan senang di dalam hatinya, nafsu untuk menyiksa dan membunuh orang ini yang dia tahu memusuhi Kim Hong. Akan tetapi, wajah kakaknya terbayang di depan mata sehingga membuatnya tersadar dan nafsu sadis itu pun lenyap seperti ditiup angin.

Setelah tiba di atas perahu besar, Thian Sin kemudian melepaskan sabuknya yang juga merupakan salah satu di antara senjatanya, mengikatkan ujung sabuknya pada pinggang tosu itu.

“Kau lihat itu, kenalkah engkau apa itu?” tanyanya sambil menunjuk ke arah sirip ikan-ikan hiu yang berseliweran di sekitar perahu. Wajah tosu itu menjadi semakin pucat.

“Apa… apa yang hendak kau lakukan…?” tanyanya, suaranya masih angkuh akan tetapi sudah agak gemetar.

Thian Sin tersenyum memandang kepada Kim Hong, “Ha-ha-ha, Kim Hong, dia tanya apa yang hendak kita lakukan! Ha-ha-ha!”

Gadis itu pun tertawa dan menjawab dengan suara yang amat nyaring, “Kita hanya ingin melihat bagaimana ramainya tikus laut berhadapan dengan macan laut.”

Dan Thian Sin mulai menurunkan tubuh orang yang telah diikat pinggangnya itu ke pinggir perahu besar. Karena tadi dia sudah membebaskan totokannya, maka tosu itu dapat pula meronta-ronta.

“Jangan… jangan…!” teriaknya akan tetapi tubuhnya sudah terjatuh ke air.

“Byuuurrr…!”

Jatuhnya tubuh tosu itu membuat ikan-ikan hiu terkejut lantas berenang menjauh, akan tetapi ketika mereka melihat gerakan-gerakan di permukaan air karena Si Tikus Laut itu menahan tubuhnya agar tidak tenggelam, beberapa ekor hiu telah cepat berenang datang. Melihat sirip dua ekor ikan hiu dari depan, tosu itu terbelalak.

Thian Sin yang memegang ujung sabuk itu, sengaja mengendurkan sabuk, seakan-akan tidak peduli, akan tetapi sesungguhnya dia sudah bersiap untuk menarik sabuk itu kalau memang benar-benar keadaan tosu itu terancam. Akan tetapi, tosu yang berjuluk Si Tikus Laut itu tiba-tiba saja menggerakkan tubuh menyelam ketika dua ekor ikan hiu itu sudah mendekat dan begitu kedua tangannya menyambar, dia sudah mendorong dua ekor ikan itu dari bawah.

Dua ekor binatang buas yang kena dihantam belakang kepalanya itu meronta, akan tetapi agaknya kesakitan dan juga terkejut karena mereka segera berenang menjauhi. Thian Sin memandang kagum, melihat betapa lawannya itu tidak percuma mempunyai julukan Tikus Laut karena ternyata memang mempunya keahlian bermain di dalam air sehingga dengan satu serangan saja mampu mengusir dua ekor ikan hiu ganas!

Akan tetapi daerah lautan sekitar Pulau Teratai Merah itu memang menjadi kedung ikan hiu. Begitu dua ekor yang kena dihantam itu melarikan diri, muncul enam ekor hiu yang lebih besar dan datang dari segala penjuru!

Melihat ini, tosu yang sudah muncul ke permukaan air itu menjadi ketakutan. Sirip-sirip ikan itu meluncur dari sana-sini, dari kanan kiri dan depan dan melihat sirip-sirip itu saja dapat diketahui bahwa beberapa ekor di antaranya adalah hiu-hiu yang besarnya sama dengan kerbau!

“Tolong…! Tarik aku… tolong…!” teriaknya tanpa malu-malu lagi karena takutnya.

“Asal engkau mengaku terus terang!” kata Thian Sin mempermainkan.

Hiu-hiu itu makin mendekat dan kini mereka berputaran di sekeliling perahu, dalam jarak kurang lebih hanya tiga meter dari tempat tosu itu terapung.

“Tolonggg…!”

“Katakan dulu engkau mau mengaku terus-terang!” kata Kim Hong dengan nyaring.

Tosu itu tidak mau menjawab, agaknya masih merasa enggan untuk berkata terus-terang mengakui perbuatannya. Sementara itu, hiu pertama sudah datang menyerang dengan cepat. Tosu itu mengelak dan menggunakan kakinya menendang dari samping, membuat ikan itu terlempar.

“Bagus! Tikus Laut memang lumayan juga!” Thian Sin memuji sambil tertawa.

Akan tetapi dua ekor hiu datang lagi menyerang dari kanan dan kiri. Tosu itu mengelak ke kanan dan menghantam hiu yang berada di kanan, akan tetapi pada saat itu hiu ke tiga menyambar.

“Celaka…! Tolong… aku akan mengaku…!”
Pada saat hiu itu sudah hampir mencaplok pundak si tosu. Thian Sin lalu menarik dengan sentakan keras sehingga tubuh tosu itu terhindar dari moncong ikan. Dia telah merasakan angin sambaran ikan hiu itu yang mengejar sambil meloncat ke permukaan air dan sudah mencium bau amis. Tubuh tosu itu gemetaran ketika dia dilempar ke atas dek perahu oleh Thian Sin, tetapi pemuda ini masih belum melepaskan ikatan sabuk pada pinggangnya.

“Nah, ceritakanlah semuanya!” katanya.

“Sekali ini tidak mau mengaku, maka kau akan kami lemparkan ke bawah agar menjadi rebutan ikan!” Kim Hong juga mengancam.

Tosu itu masih gemetaran dan menarik napas panjang. “Baikiah… baiklah…! Tanyakan apa yang kalian ingin ketahui…”

“Engkau ini seorang tosu Kun-lun-pai kenapa berjuluk Tikus Lautan dan berkawan dengan para bajak laut?” Kim Hong mulai dengan pertanyaannya.

“Dahulunya aku seorang bajak laut, lalu aku bosan akan kehidupan bajak dan aku tertarik akan soal-soal kebatinan, terutama Agama To, maka aku segera pergi ke Kun-lun-pai dan berhasil diterima sebagai tosu. Memang tadinya aku ingin bertobat, akan tetapi ternyata gagal…”

“Apa hubunganmu dengan mendiang Jit Goat Tosu? Hayo terangkan semuanya!” bentak Kim Hong lagi.

“Aku mendapat tugas melayaninya selama dia di Kun-lun-pai dan karena jasa-jasaku itu dia mulai mengajarkan satu dua macam ilmu pukulan kepadaku, tapi sialan… kalian lalu muncul dan akhirnya dia meninggal…”

“Jadi itukah sebabnya maka engkau memusuhi kami?” tanya Thian Sin.

“Kalian merusak rencanaku, siapa tidak akan membenci kalian!”

“Dan apa yang kau lakukan untuk membakar hati para pimpinan Kun-lun-pai?” desak lagi Thian Sin.

“Kukatakan kepada mereka bahwa sebelum meninggal, sering kali Jit Goat Tosu bercerita kepadaku mengenai kejahatan sute-nya sehingga kematiannya karena serbuan kalian itu menimbulkan penasaran besar, lantas kuhasut mereka untuk menuntut balas mengingat akan kebaikan Jit Goat Tosu yang sudah menurunkan pula beberapa macam ilmu kepada pimpinan Kun-lun-pai…”

“Hemmm, dan apa artinya kedatanganmu ke pulau keluargaku bersama para bajak ini?” tanya Kim Hong.

“Setelah berhasil memanaskan hati para pimpinan Kun-lun-pai sehingga mengejar-ngejar kalian, aku lalu pergi ke sini mengumpulkan bekas rekan-rekanku. Sudah semenjak dulu ketika aku menjadi bajak laut, aku tahu akan ditemukannya pusaka oleh ayah dan ibumu, dan aku sudah beberapa kali berusaha untuk merampasnya, akan tetapi selalu gagal… ahhh, ayah bundamu terlalu lihai, dan juga kegagalan-kegagalan itu, bahkan yang terakhir hampir merenggut nyawaku, yang membuat aku kecewa lalu menjadi tosu. Siapa sangka, aku bertemu dengan suheng ayahmu, maka aku mengambil hatinya dengan niat hendak mempelajari ilmu-ilmunya untuk merajai Kun-lun-pai dan kemudian hendak kucari pusaka peninggalan Menteri The Hoo. Akan tetapi kematian Jit Goat Tosu sudah menggagalkan semuanya…”

“Ahhh, kiranya engkau pernah gagal membajak mendiang ayahku maka engkau menaruh dendam kepadaku? Bagus sekali!” Kim Hong menghampiri dengan sikap mengancam.

“Cukup Kim Hong. Kita sudah berjanji akan membebaskannya. Nah, muka Tikus Lautan, engkau boleh pergi sekarang!” kata Thian Sin sambil memberi isyarat dengan pandangan matanya kepada Kim Hong.

“Terima kasih… terima kasih…!” kata tosu itu yang sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dia akan terbebas dari kematian mengerikan di tangan Pendekar Sadis! Sebab itu, seperti seekor tikus yang baru saja disiram air, dengan pakaian basah kuyup tosu itu lalu bangkit dan hendak lari dari perahu itu, akan tetapi tiba-tiba wajahnya menjadi pucat sekali dan dia menjatuhkan dirinya berlutut.

“Suhu… tolonglah teecu… hampir saja teecu dibunuh oleh Pendekar Sadis yang sudah menyiksa teecu…,” katanya dengan suara gemetar.

Thian Sin dan Kim Hong membalikkan tubuh mereka, lalu pura-pura bersikap kaget dan heran melihat munculnya Kui Yang Tosu serta lima orang tosu Kun-lun-pai lainnya, juga nampak Liang Sim Cinjin pertapa Kang-lam itu, dengan dua orang Bu-tong-pai wakil dari Thian Heng Losu, juga nampak Lo Pa San, pendekar dari Po-hai itu dan beberapa orang lain yang pernah hadir dalam pertemuan para pendekar di Kun-lun-san!

Melihat mereka itu, yang memang sudah diketahuinya sejak tadi oleh Thian Sin dan Kim Hong, dua orang muda ini lalu meloncat meninggalkan perahu dan berdiri berdampingan di pantai, siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka merasa lebih aman bila berada di atas pulau dari pada di atas perahu, apa lagi dengan adanya ahli-ahli silat dalam air seperti Tikus Laut yang lihai itu. Thian Sin sendiri cukup mengerti bahwa melawan Tikus Laut seorang saja, kalau bertanding di air, mungkin sekali dia akan celaka. Dan berada di atas perahu berbahaya sekali, siapa tahu mereka akan menggulingkan perahu!

Akan tetapi, para tosu Kun-lun-pai dan teman-temannya itu agaknya tidak menghiraukan mereka dan Kui Yang Tosu kini melangkah maju mendekati Si Tikus Laut. Wajah kakek yang merupakan tokoh ke dua dari Kun-lun-pai ini masih nampak berkilat-kilat penuh api kemarahan. Suaranya juga masih halus ketika dia bertanya kepada Muka Tikus Laut itu,

“Bagaimana engkau bisa berada di tempat ini?”

“Suhu, teecu pernah mendengar tentang pulau ini dan teecu ingin membantu suhu untuk menyelidiki Pendekar Sadis dan Lam-sin yang teecu duga tentu melarikan diri ke sini. Dan benar saja… akan tetapi teecu ketahuan kemudian ditangkap dan disiksa, nyaris dibunuh secara keji, dijadikan umpan ikan-ikan hiu…”

“Dan siapakah bajak-bajak laut itu dan milik siapa pula perahu ini?” Suara Kui Yang Tosu makin lantang dan pendang matanya semakin berapi-api. Akan tetapi agaknya tosu bekas bajak itu tidak sadar akan tanda-tanda ini atau memang dia sudah terlanjur melangkah dan tidak mungkin mundur kembali.

“Bajak-bajak itu adalah kaki tangan Pendekar Sadis…”

Akan tetapi tosu itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dengan langkah lebar Kui Yang Tosu menghampirinya, mukanya merah dan matanya melotot, dadanya naik turun menahan kemarahan.

“Penipu! Pembohong! Pengkhianat kau manusia busuk!” Dan kaki wakil ketua Kun-lun-pai itu bergerak menendang.

“Desss…!”

Tubuh tosu bermuka tikus itu terlempar keluar dari perahu itu, jatuh ke dalam air! Ketika semua orang memandang, wajah mereka langsung berubah dan mata mereka terbelalak melihat puluhan ekor ikan hiu menyerbu ke arah tubuh yang baru saja terjatuh ke air itu. Terdengar jeritan-jeritan mengerikan yang lantas berhenti tiba-tiba ketika tubuh itu terseret ke bawah permukaan air. Air bergelombang dan mulai berubah warnanya menjadi merah di tempat di mana tosu tadi jatuh.

“Siancai…!” Kui Yang Tosu memejamkan sepasang matanya, alisnya berkerut dan kedua tangannya dirangkap ke depan dada.

Sampai lama dia tidak bergerak, wajahnya berkerut-kerut dan akhirnya, setelah beberapa kali dia menarik napas panjang, dia pun membuka matanya, lalu dengan tubuh kelihatan lemas dan lesu dia menuruni perahu itu untuk menghampiri Thian Sin dan Kim Hong yang masih berdiri melihat semua itu dengan sikap tenang waspada.

Kui Yang Tosu menjura kepada mereka. Suaranya terdengar sangat lirih, “Ceng-taihiap, Toan-lihiap, maafkan pinto yang tak dapat mengendalikan perasaan…”

Thian Sin dan Kim Hong cepat membalas penghormatan itu dan Thian Sin berkata, “Saya sudah sering kali mengalami perasaan itu, locianpwe, membuat mata gelap dan kemudian menimbulkan tindakan pembalasan sehingga membuat saya dinamakan Pendekar Sadis. Saya mengerti dan locianpwe tak bersalah, sebagai manusia biasa wajarlah jika kadang-kadang dikuasai oleh amarah.”

Kui Yang Tosu kembali menarik napas panjang penuh penyesalan. Betapa karena rasa amarahnya dia tadi sudah membunuh Si Tikus, bahkan dengan cara yang mengerikan, tanpa disengaja dia memberikan tosu itu kepada ikan-ikan hiu!

“Tidak, pinto kira bahwa dia yang telah kami percaya itu akan melakukan fitnah seperti itu demi kepentingan dirinya dan pemuasan nafsunya,” kata pula Kui Yang Tosu.

Thian Sin tersenyum dan mengangguk, “Locianpwe, saya sendiri pun pernah mengalami penipuan seperti itu dan menjadi korban fitnah sehingga melakukan hal yang amat buruk. Tentu locianpwe masih ingat dengan kematian Pangeran Toan Ong? Nah, ketika itu pun saya mendengar fitnah orang yang saya percaya.”

Kui Yang Tosu mengangguk-angguk. “Siancai…! Betapa lemahnya kita manusia ini. Kita perlu banyak belajar, Ceng-taihiap…”

“Benar, locianpwe, kita harus tetap belajar selama masih hidup.”

“Maafkan pinto, sekarang Kun-lun-pai baru mengerti dan mulai saat ini juga kami tidak lagi memusuhimu, taihiap.”

“Terima kasih, locianpwe, dan saya pun akan belajar supaya tidak mudah membiarkan diri dikuasai nafsu dendam dan kekejaman terhadap musuh.”

Kui Yang Tosu lalu berpamit kepada Thian Sin dan Kim Hong, kembali ke tempat di mana perahu mereka tersembunyi, diikuti oleh para pendekar lain yang juga berpamit dengan sikap bersahabat. Thian Sin dan Kim Hong memandang kepada mereka sampai perahu mereka tidak nampak lagi dan tiba-tiba Kim Hong merangkul Thian Sin dengan hati penuh kegirangan dan kebahagiaan.

Thian Sin maklum apa yang sedang dirasakan oleh kekasihnya sebab dia pun merasakan sesuatu kebahagiaan besar menyelubungi hatinya, maka dia pun tidak berkata apa-apa kecuali balas merangkul gadis itu. Sampai lama mereka saling rangkul, sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata. Kata-kata tidak ada artinya lagi dalam keadaan seperti saat itu. Mereka merasa seolah-olah ada batu besar yang selama ini menindih hati mereka berdua telah terangkat dan mereka merasakan suatu kebebasan yang sangat nikmat dalam hati mereka. Bagi Thian Sin terutama sekali, dia pun teringat kembali akan semua kata-kata kakaknya.

Kekerasan hanya akan mengakibatkan kekerasan pula. Akibat tak akan pernah terlepas dari pada sebab, akibat hanyalah lanjutan dari pada sebab. Dan sebab ialah cara dalam tindakan kita sendiri. Cara yang buruk takkan mungkin mendatangkan akibat yang baik, seperti juga benih buruk takkan mungkin menumbuhkan pohon yang baik. Tak mungkin mengharapkan bunga indah tumbuh menjadi buah lewat benih tanaman beracun. Siapa menanam, dia sendiri yang akan memetik buah dari pada hasil tanamannya.

Sayang seribu kali sayang, kita hanya selalu mengingat akan panen buah lezat saja, tak pernah kita memperhatikan penanamannya yang betul dan pemeliharaannya yang betul. Mata kita selalu tertuju jauh ke depan, kepada tujuan-tujuan dan harapan-harapan baik dan menyenangkan untuk kita, sama sekali tidak mau melihat perbuatan-perbuatan kita setiap saat. Sekarang inilah yang menjadi pohon penghasil buah pada masa mendatang. Bukan buahnya yang penting, melainkan pohonnya, pemeliharaan pohonnya. Buah yang baik, hanyalah menjadi lanjutan dari pohon yang baik. Kita selalu mau enaknya saja.

Thian Sin dan Kim Hong lantas melakukan pemeriksaan ke seluruh bagian pulau itu dan mulailah mereka membangun kembali rumah yang banyak rusak itu. Untuk pekerjaan ini mereka mendatangkan pembantu-pembantu bayaran dan dalam waktu beberapa bulan saja Pulau Teratai Merah kembali menjadi sebuah pulau kecil yang indah.

Mereka berdua menghadiri perayaan pernikahan dari Cia Kong Liang di Cin-ling-pai dan bertemu dengan keluarga Cin-ling-pai serta Lembah Naga, juga bertemu dengan semua sahabat dan kenalan. Kemudian, tidak lama sesudah itu, Thian Sin dan Kim Hong juga menghadiri upacara perayaan pernikahan antara Cia Han Tiong dan Ciu Lian Hong yang diadakan secara sederhana di Lembah Naga.

Di tempat ini, Thian Sin dan Kim Hong tinggal sampai satu bulan lebih. Kim Hong sudah diterima sebagai keluarga oleh keluarga di Lembah Naga. Akan tetapi kalau Cia Sin Liong dan isterinya menyinggung tentang pernikahan antara mereka, Thian Sin dan Kim Hong hanya saling pandang dan tersenyum.

“Ayah dan ibu, harap maafkan… akan tetapi sejak pertemuan pertama kami telah saling bersepakat untuk tidak mengikat diri masing-masing dengan pernikahan. Tapi betapa pun juga, kami saling mencinta…”

Mendengar ucapan itu, Cia Sin Liong dengan isterinya hanya saling pandang, kemudian menggeleng-geleng kepala mereka. Orang-orang muda memang makin lama makin aneh. Dunia telah berubah, atau lebih tepat lagi, manusia telah makin berubah.

Kerinduan akan kebebasan membuat orang-orang muda makin lama semakin cenderung meninggalkan ikatan-ikatan serta hukum-hukum yang mungkin mereka anggap sebagai penghalang dari pada kebebasan yang mereka dambakan. Mereka itu, orang-orang muda itu, sama sekali tidak tahu bahwa kebebasan adalah urusan batin, bukan hanya sekedar soal-soal lahir saja. Orang yang bebas hatinya takkan merasa terganggu walau pun diikat oleh seribu macam hukum. Sebaliknya, walau pun meninggalkan semua hukum, orang akan tetap terbelenggu batinnya dan sama sekali tidak bebas.

Sampai di sini pengarang mengakhiri cerita ini dengan harapan semoga cerita ini selain dapat menghibur hati pembaca, juga mengandung manfaat sekedarnya bagi perjuangan kita mendayung biduk masing-masing dalam menempuh gelombang-gelombang di lautan kehidupan yang luas ini.

Marilah kita melihat kenyataan bahwa biar pun tidak semua dapat disebut sadis, karena kekejaman turun temurun telah mengalir dalam diri kita, telah mendarah daging, tapi kita ini sadis! Kita ingin melihat orang-orang yang kita benci menderita kesengsaraan yang hebat! Kita akan senang melihat orang yang kita benci tersiksa. Benar atau tidakkah demikian? Hanya kita masing-masing yang dapat menjawab dengan menjenguk ke dalam batin sendiri!

TAMAT
Selanjutnya seri ke 6