Pendekar Sadis Jilid 40 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sadis Jilid 40
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Kui Yang Tosu menceritakan kepada belasan orang tamunya itu dalam suasana ramah tamah karena pertemuan yang resmi belum dilakukan, tentang peristiwa yang terjadi di situ ketika Pendekar Sadis dan gadis lihai itu datang sehingga mengakibatkan kematian Jit Goat Tosu yang telah menjadi saudara yang dihormati dari para pimpinan Kun-lun-pai. Sebagai seorang yang gagah dan jujur, Kui Yang Tosu tidak menyembunyikan sesuatu, lalu menceritakan pula alasan-alasan dua orang itu datang ke Kun-lun-pai dan hubungan antara Toan Kim Hong dan Jit Goat Tosu. Mereka juga menceritakan hendak menangkap mereka namun gagal.

“Kami hendak menahan mereka, minta pertanggungan jawab mereka dan pertimbangan rapat para pendekar, namun Pendekar Sadis dan nona itu mengamuk dan melarikan diri. Ilmu kepandaian mereka memang tinggi sekali, sementara kami pun tak mempunyai niat untuk membunuh, melainkan hendak menahan mereka, namun kami gagal. Oleh karena itu kami mengundang para orang gagah untuk dimintai pertimbangan.”

Suasana menjadi sunyi sesudah semua orang mendengar penuturan itu, dan diam-diam mereka semua merasa terkejut dan kagum bukan main. Pada masa itu kiranya sulit dicari orang yang akan mampu membebaskan diri dari kepungan orang-orang Kun-lun-pai! Dari kenyataan itu saja sudah dapat diukur betapa lihainya Pendekar Sadis serta kawannya, wanita muda itu.

“Sungguh aku belum mengerti benar, Toyu,” terdengar Lo Pa San berkata. Pendekar ini orangnya jujur, ramah dan adil, juga sangat sederhana sehingga bicara dengan pimpinan Kun-lun-pai sekali pun dia hanya menyebut toyu yang berarti ‘sahabat’ saja. “Menurut penuturanmu tadi, Pendekar Sadis hanya menemani atau membantu nona bernama Toan Kim Hong datang mencari supek-nya sendiri. Apa yang terjadi antara mereka itu, sampai yang berakibat kematian Jit Goat Tosu yang membunuh diri, kiraku merupakan urusan pribadi di dalam kekeluargaan mereka. Kiranya sama sekali bukan menjadi hak kita untuk ikut mencampuri.”

Beberapa orang gagah yang berada di situ mengangguk membenarkan. Rata-rata mereka itu adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, tidak mau sembrono dan tidak mau berpihak terhadap siapa pun juga, kecuali berpihak pada kebenaran dan keadilan.

“Siancai… apa yang dikatakan oleh Lo-enghiong tadi memang tak keliru. Kami pun bukan golongan yang suka usil dan senang mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi Jit Goat Tosu bukanlah orang lain lagi, melainkan saudara tua kami. Dan seperti yang sudah pinto ceritakan tadi, nona itu tadi adalah seorang murid durhaka yang tidak mau menghormati bendera pusaka perguruan sendiri, tidak tahu pula bahwa Jit Goat Tosu sudah mengalah karena kalau dia menghendaki, dua orang muda itu takkan mungkin mampu mengalahkan dia. Tetapi mereka mendesak terus sehingga dia mengalah dan membunuh diri. Peristiwa kejam ini terjadi di Kun-lun-pai. Sedangkan andai kata hal itu menimpa diri orang lain di luar Kun-lun-pai sekali pun, maka sebagai pendekar-pendekar kita haruslah turun tangan mengadilinya. Apa lagi hal itu menimpa saudara tua kami, terjadi di Kun-lun-pai pula, dan yang terutama sekali, dilakukan oleh Pendekar Sadis yang sudah mencemarkan sebutan pendekar itu. Karena itu, pinto kira sudah selayaknya kalau hal ini dibahas secara teliti di dalam rapat besok di antara para pendekar.”

Karena alasan yang dikemukakan oleh Kui Yang Tosu itu memang pantas, semua orang mengangguk dan memang kebanyakan di antara mereka merasa tak senang mendengar sepak terjang Pendekar Sadis yang terlalu kejam di dalam menangani musuh-musuhnya, biar pun yang diberantasnya itu adalah tokoh-tokoh sesat. Terutama sekali pembunuhan Pendekar Sadis terhadap Toan Ong sungguh membuat mereka merasa penasaran sekali.

Keadaan menjadi berisik ketika mereka membicarakan semua perbuatan Pendekar Sadis yang sangat kejam ketika membunuh musuh-musuhnya dan bagaimana pun juga, mereka semua merasa kagum dan jeri ketika mendengar bahwa Pendekar Sadis sudah berhasil membunuh See-thian-ong, Pak-san-kui, dan melenyapkan Lam-sin. Bahkan berita tentang Pendekar Sadis menyerbu Tung-hai-sian sudah ramai mereka bicarakan pula.

“Cin-ling-pai harus bertanggung jawab. Bukankah Pendekar Sadis itu adalah sanaknya? Tung-hai-sian bisa terluput dari perbuatannya karena berbesan dengan Cin-ling-pai,” kata seseorang.

“Pendekar Lembah Naga adalah ayah angkatnya, maka dialah yang harus bertanggung jawab paling besar,” kata yang lain.

“Harap para saudara bersabar karena pinto juga sudah mengundang mereka. Pinto kira, besok mereka akan dapat hadir semua dan kita minta saja pendapat serta pertimbangan mereka. Jiwa pendekar menuntut keadilan dan harus menghukum siapa saja yang salah, biar pun keluarga sendiri tidak semestinya jika dilindungi sehingga kejahatannya semakin merajalela,” kata Kui Yang Tosu, ada pun Kui Im Tosu hanya mendengarkan saja sambil menundukkan mukanya. Ketua Kun-lun-pai ini memang tidak suka banyak bicara.

Tiba-tiba saja terdengar suara lantang, “Harap cu-wi jangan khawatir. Mengenai semua perbuatan Pendekar Sadis, akulah yang bertanggung jawab sepenuhnya!”

Semua orang menoleh dan mereka melihat masuknya seorang pemuda yang berpakaian sederhana akan tetapi sikapnya sangat gagah perkasa. Karena Han Tiong memang tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw, maka tidak ada yang mengenal pemuda ini dan semua orang bangkit berdiri, memandang dengan heran akan tetapi juga membalas penghormatan pemuda yang sudah menjura ke arah mereka dengan sikap hormat itu.

“Para pimpinan Kun-lun-pai dan para locianpwe yang berada di sini, kedatangan saya ini untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatan yang dilakukan oleh Pendekar Sadis. Cin-ling-pai dan Lembah Naga tidak ada urusannya dengan dia sehingga tak seharusnya bertanggung jawab, melainkan saya seoranglah.”

Kui Yang Tosu telah melangkah maju dan memandang kepada pemuda gagah itu dengan pandang mata penuh selidik. “Siapakah sicu yang muda ini?” tanyanya.

Han Tiong memandang pada tosu itu dan menduga bahwa tentu dia sedang berhadapan dengan ketua Kun-lun-pai. “Apakah totiang ketua Kun-lun-pai?”

“Pinto adalah Kui Yang Tosu, wakil ketua Kun-lun-pai. Siapakah engkau, orang muda?”

“Saya adalah kakak dari Pendekar Sadis, nama saya Cia Han Tiong,” jawab Han Tiong sederhana.

“Cia…? Adakah hubunganmu dengan Cia Sin Liong Taihiap, Pendekar Lembah Naga?”

“Dia adalah ayah saya.”

Kui Yang Tosu, juga semua orang gagah yang berada di situ terkejut bukan main. Kiranya pemuda sederhana yang bersikap gagah perkasa ini adalah putera dari Pendekar Lembah Naga! Maka mengertilah sekarang Kui Yang Tosu mengapa pemuda ini memperkenalkan diri sebagai kakak dari Pendekar Sadis, dan dia mengerutkan alisnya.

“Hemm, selamat datang, Cia taihiap. Mari silakan duduk.”

“Terima kasih, totiang. Kedatangan saya ini bukan untuk menghadiri rapat para pendekar, melainkan, seperti saya katakan tadi, untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatan Pendekar Sadis, adik saya. Hanya saya seoranglah yang menjadi penanggung jawabnya, bukan Cin-ling-pai mau pun Lembah Naga.”

Makin dalam kerut di antara alis Kui Yang Tosu. “Orang muda, apa yang kau maksudkan dengan pertanggungan jawab itu?”

“Apa pun yang totiang kehendaki! Jika adik saya dianggap bersalah dan hendak dihukum, nah, hukumlah saya! Saya yang mewakilinya menerima hukuman, kalau memang sudah sepantasnya dia dihukum. Akan tetapi saya merasa yakin bahwa para locianpwe yang gagah perkasa tentu akan memiliki kebijaksanaan dan pertimbangan seadil-adilnya. Saya sudah mendengar akan semua yang dilakukan adik saya, mendengar dengan jelas. Saya datang bukan untuk membelanya, juga bukan melindunginya, tapi untuk menebus semua kesalahannya, kalau memang ada perbuatannya yang dianggap bersalah.”

“Pendekar Sadis bertindak sangat kejam, perbuatan itu sudah mencemarkan nama para pendekar! Dia memang menentang penjahat, namun tindakannya luar biasa kejamnya!” kata Kui Im Tosu yang sejak tadi diam saja. “Cia-taihiap, apakah hal itu tidak kau anggap bersalah?”

“Maaf, totiang. Salah atau tidak itu tergantung orang yang menilainya. Akan tetapi saya tahu benar mengapa adik saya itu bertindak demikian kejam terhadap musuh-musuhnya yang dibasminya. Dia menderita dendam sakit yang sangat mendalam, dan karena dia lemah, maka dia memberi kesempatan kepada nafsunya untuk membalas dendam, untuk menyiksa dan memuaskan sakit hatinya.”

“Ha-ha-ha, bagaimana jawabanmu terhadap perbuatannya membunuh Toan Ong?” kata seorang di antara Shan-tung Sam-lo-eng.

Han Tiong memandang kepada pembicara kemudian menjawab, “Hal itu pun sudah saya bicarakan dengan adik saya. Dia melakukan hal itu karena fitnahan orang lain, maka dia menganggap Toan Ong adalah seorang manusia jahat sehingga dibunuhnya. Setelah dia menyadari kekeliruannya itu, dia pun langsung menghukum orang yang melakukan fitnah. Pembunuhan itu hanya merupakan hasil fitnah, bukan berarti adik saya memang sengaja membunuh orang baik-baik.”

“Hemm, kalau menurut pendapatmu, apa Pendekar Sadis itu patut dibebaskan dan tidak dianggap bersalah? Begitukah?” Hui-to-sian Lo Pa San ikut bertanya, suaranya lantang.

“Sama sekali bukan demikian maksud saya, locianpwe. Sudah saya katakan bahwa saya bukan membelanya atau melindunginya, melainkan mewakilinya menerima hukuman jika memang dianggap bersalah.”

“Omitohud…! Cia-taihiap yang begini muda sudah memiliki kasih sayang yang luar biasa sekali terhadap adiknya, adik angkatnya lagi. Begitu mendalam, sungguh mengagumkan!” Hwa Siong Hwesio tokoh Siauw-lim-pai itu berkata.

“Akan tetapi, mana boleh menghukum orang lain sedangkan yang berdosa malah bebas? Apa gunanya itu? Si jahat harus dihukum biar lenyap dari dunia ini atau supaya bertobat sehingga kejahatannya tidak terulang kembali!” kata Thian Heng Losu ketua Bu-tong-pai. “Cia-taihiap, andai kata pun kami menghukummu sebagai orang yang mewakili Pendekar Sadis, apa artinya itu? Dia akan tetap saja menyebar kekejaman di dunia ini!”

“Tidak, locianpwe. Kalau dia mendengar bahwa saya dihukum karena perbuatannya tentu dia akan insyaf dan sadar, dan tidak akan mengulangi perbuatan-perbuatannya yang para locianpwe anggap tidak selayaknya.”

“Bagaimana kalau kita memutuskan bahwa Pendekar Sadis harus dilenyapkan atau harus dijatuhi hukuman mati?” Lo Pa San yang juga amat kagum kepada pemuda ini bertanya, memancing.

“Saya sudah bertekad untuk mewakili adik saya menjalani hukuman apa saja, kalau perlu saya tidak akan menolak untuk dihukum mati, jika memang hukuman itu dapat menebus kesalahannya dan cu-wi locianpwe tidak akan mengganggu dia, Cin-ling-pai atau Lembah Naga!”

Bukan main hebatnya jawaban tegas ini, membuat semua tokoh itu sejenak terbisu dan memandang kepada Han Tiong dengan heran sekali. Biasanya, jika seseorang mencinta adiknya, tentu adik itu akan dibelanya serta dilindunginya, kalau perlu membantu adiknya menentang semua orang yang hendak mengganggu adiknya, namun bukan mewakilinya menerima hukuman seperti yang akan dilakukan oleh putera Pendekar Lembah Naga ini.

“Tiong-ko, engkau tidak boleh mewakili hukumanku!”

Teriakan ini mengejutkan semua orang, dan tahu-tahu mereka melihat seorang pemuda gagah berdiri di ambang pintu ruangan itu, dan di belakangnya berdiri pula seorang gadis cantik yang bersikap angker.

Han Tiong terkejut melihat munculnya Thian Sin beserta Kim Hong, akan tetapi wajahnya juga segera berseri gembira karena dia menduga bahwa tentu Thian Sin dan Kim Hong sudah sadar lantas datang menyerahkan diri untuk jawabkan perbuatan mereka. Maka dia pun berseru dengan girang sekali,

“Ahh, Sin-te dan Adik Hong, bagus sekali kalian datang. Jangan khawatir, para locianpwe ini adalah orang-orang bijaksana!”

“Tidak, Tiong-ko! Aku tetap tidak merasa bersalah dan terserah mereka itu mau apa! Akan tetapi, hendaknya para pendekar yang mengaku perkasa dan semua orang yang hadir di sini mendengar baik-baik bahwa seluruh perbuatan Pendekar Sadis dan Toan Kim Hong menjadi tanggung jawab kami berdua sendiri. Kakakku Cia Han Tiong sama sekali tidak tahu apa-apa dan karenanya tidak boleh hukuman untuk kami dijatuhkan kepadanya atau kepada Cin-ling-pai atau Lembah Naga. Kami berdua sendirilah yang bertanggung jawab. Akan tetapi kami tidak merasa bersalah, dan siapa yang hendak menghukum kami, boleh saja maju dan coba-coba!” Pendekar Sadis berdiri dengan gagah perkasa dan sikapnya menantang sekali.

Juga Kim Hong berdiri sambil tersenyum mengejek kepada semua orang yang berada di ruangan tamu yang luas itu. Karena Kun-lun-pai sedang menyambut tamu-tamu agung, maka pintu gerbang dibuka dan tidak diadakan penjagaan seperti biasa sehingga mereka berdua, seperti juga Han Tiong tadi, dapat masuk ke tempat itu dengan mudah.

Melihat lagak Pendekar Sadis yang menantang dan merasa tidak bersalah itu, para tamu menjadi sangat marah. Pendekar budiman dari Po-hai, yaitu Lo Pa San, lalu mengerutkan alisnya. Pendekar Sadis itu dianggapnya tidak tahu aturan dan berani bersikap demikian memandang rendah kepada orang-orang kang-ouw yang tingkatnya tinggi dan sudah tua pula.

“Pendekar Sadis, di samping kejam kiranya engkau juga sombong bukan main!” teriaknya sambil mencabut keluar sebatang golok tipis dari ikat pinggangnya dan dia pun langsung melompat ke depan. “Sudah lama aku mendengar nama Pendekar Sadis yang menodai nama baik para pendekar dengan perbuatannya yang amat kejam. Sekarang engkau tak mau mengaku salah malah menantang siapa pun yang hendak menangkapmu? Nah, aku, Hui-to-sian Lo Pa San yang hendak menangkapmu!”

Thian Sin tersenyum mengejek. “Menangkap dengan senjata yang terhunus? Locianpwe, engkau ini memaki orang kejam, akan tetapi engkau sendiri, begitu berhadapan denganku segera mencabut golok, lalu apakah namanya sikap seperti ini? Apakah ini yang disebut manis budi dan lunak tidak kejam?”

Wajah Lo Pa San menjadi merah, maka tahulah dia bahwa kini dia menghadapi seorang pemuda yang pandai bicara pula. Tentu saja dia merasa malu. Kalau tadi mencabut golok adalah karena dia sendiri telah mendengar akan kelihaian Pendekar Sadis dan dia adalah seorang ahli bermain golok sehingga mendapat julukan Dewa Golok Terbang. Akan tetapi ejekan halus Thian Sin itu tentu saja membuat dia menjadi serba salah sehingga dia pun segera menyimpan kembali goloknya.

“Orang muda, kau kira aku tidak berani menghadapimu dengan tangan kosong? Kalau tadi aku mengeluarkan golok, adalah karena aku mengira bahwa engkau pun akan memegang senjata.”

Thian Sin tersenyum lebar, “Ingat, locianpwe, apa bila sampai terjadi bentrok antara kita, maka penyerangnya adalah engkau, bukan aku. Bagaimana aku tiba-tiba saja mencabut senjata? Tidak, engkaulah pencari gara-gara kalau sampai kita berkelahi, bukan aku.”

“Sombong! Lihat serangan!”

Lo Pa San adalah seorang pendekar yang telah mempunyai tingkat kepandaian tinggi dan bukan sembarang pendekar. Ia amat jarang keluar dari rumah untuk mencampuri perkara yang remeh-remeh. Akan tetapi pada waktu pantai Po-hai pernah dibikin tidak aman oleh merajalelanya bajak-bajak yang datang dari Korea mau pun Jepang, pendekar inilah yang dengan gagah berani memimpin para pendekar muda untuk menentang dan mengadakan pembersihan, dan dia baru berhenti berjuang sesudah para bajak laut ganas itu terbasmi semua dan sisanya melarikan diri ke lautan.

Namanya menjadi terkenal sekali, terutama ilmu goloknya yang membuat dia memperoleh julukan yang sangat menyeramkan itu, yaitu Dewa Golok Terbang. Selain ilmu goloknya yang sangat terkenal, tentu saja pendekar ini juga memiliki ilmu silat tangan kosong yang tangguh dan memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat. Begitu menyerang, dua tangannya yang jari-jarinya terbuka itu mengirim serangan cengkeraman bertubi-tubi bagaikan cakar garuda.

Memang kakek berusia lima puluh tahun lebih itu mainkan ilmu silat tangan kosong yang amat hebat, yaitu yang disebut Sin-tiauw-kun (Silat Rajawali Sakti) yang telah mengalami banyak perubahan karena dikombinasikan dengan ilmu gulat Mongol sehingga di samping mencengkeram dengan kuat, juga jari-jari tangan itu dapat menangkap dan sekali lawan tertangkap dengan Ilmu Sin-tiauw-kun yang mengandung ilmu gulat Mongol itu, sukarlah lawan untuk melepaskan diri lagi. Agaknya Dewa Golok Terbang ini benar-benar hendak menangkap Thian Sin seperti yang dikatakannya tadi.

Namun Thian Sin menyambut serangan-serangannya dengan sikap tenang saja. Pemuda ini memang mempunyai sebatang pedang, yaitu Gin-hwa-kiam pemberian neneknya, juga ikat pinggangnya merupakan senjata sabuk seperti yang dahulu pernah dipelajarinya dari neneknya. Akan tetapi dia memiliki ilmu silat tangan kosong yang amat hebat dan banyak macamnya, maka tanpa bantuan senjata sekali pun dia sudah merupakan seorang lawan yang amat tangguh.

Menghadapi serangan dengan ilmu Sin-tiauw-kun itu, Thian Sin segera mainkan Thai-kek Sin-kun yang daya tahannya amat kokoh dan kuat sehingga selama beberapa belas jurus lawannya sama sekali tidak mampu mendesaknya dan semua cengkeraman lawan dapat ditangkis atau dielakkannya dengan mudah sekali.

Melihat ini, Hui-to-sian terkejut dan juga marah sekali. Dia mengeluarkan gerengan keras dan kini serangannya ditambah lagi dengan tendangan-tendangan kakinya yang dilakukan secara beruntun dan berantai. Gerakan pendekar ini cepat bukan kepalang, kedua tangan mencengkeram bertubi-tubi dan kedua kaki menendang bergantian, dan setiap serangan mengandung tenaga sinkang yang amat kuat!

Diam-diam Thian Sin juga terkejut dan memuji. Pendekar ini betul-betul tangguh sehingga tak boleh dipandang ringan. Kalau saja dia melanjutkan perlawanannya dengan Thai-kek Sin-kun, tentu dia akan terus terdesak tanpa mampu membalas. Gerakan lawannya aneh dan cepat sehingga dia harus mencurahkan seluruh perhatian dan gerakan ilmu silatnya hanya untuk bertahan dan untuk melindungi dirinya saja. Karena itu, pada saat lawannya menghujani tendangan, dia lalu menggunakan tangannya untuk menangkap kaki lawan.

Melihat ini, Hui-to-sian cepat menarik kembali kakinya dan melihat betapa lawan muda itu membiarkan bagian atas tubuhnya terbuka, secepat kilat tangan kirinya mencengkeram dan tahu-tahu pundak Thian Sin kena dicengkeramnya.

“Plakkk!”

Thian Sin menangkis sambil mengerahkan Thi-khi I-beng, akan tetapi ternyata tusukan dengan kedua jari tangan kanan itu dilakukan dengan tenaga kasar biasa saja dan kakek itu pun sudah meloncat ke belakang setelah tangan kirinya terlepas dari sedotan pundak. Wajahnya agak pucat dan dia memandang dengan mata bersinar-sinar.

“Celaka, ilmu pusaka Cin-ling-pai dipergunakan orang untuk menentang para pendekar!” katanya dan dia pun sudah menyerang lagi dengan hebatnya.

Mendengar ucapan lawan, Thian Sin tidak mau menggunakan Thi-khi I-beng lagi, bahkan dia merasa malu untuk menggunakan ilmu dari Cin-ling-pai. Sekali ini, dia langsung saja mengeluarkan ilmu yang dipelajarinya dari peninggalan ayah kandungnya, yaitu Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan belas jurus, namun merupakan ilmu silat yang mukjijat itu.

“Haiiiiitt…!” Dia mulai membalas dengan menggunakan jurus dari ilmu silat ayahnya.

Hui-to-sian kaget bukan kepalang ketika tiba-tiba saja angin menyambar dahsyat dan dia melihat lawannya itu menyerangnya dari bawah. Untuk mengelak dari serangan sehebat itu tidaklah mungkin lagi, maka dia pun menanti serangan, mengerahkan tenaganya dan menangkis dengan kedua tangannya ketika dua langan pemuda yang mendorong itu telah tiba mendekat.

“Desss…!”
Dua tangan itu bertemu dan akibatnya, tubuh Hui-to-sian segera terlempar dan terdorong ke belakang sampai tujuh langkah dan hampir saja dia terjengkang kalau saja dia tidak cepat membuka kedua kakinya sambil mengerahkan tenaga sinkang pada kedua kakinya yang dipentang lalu memasang kuda-kuda. Akan tetapi tubuhnya sudah terguncang hebat hingga keringat dingin membasahi lehernya. Untung bahwa dia tidak terluka, akan tetapi maklumlah pendekar ini bahwa dia telah kalah!

Semua pendekar yang berada di situ juga maklum akan hal ini, maka kini Liang Sim Cinjin segera bangkit dari tempat duduknya dan melangkah ke depan. “Siancai…! Kiranya nama besar Pendekar Sadis bukanlah nama kosong belaka. Biarlah aku yang tua ini mencoba kelihaiannya!”

Sambil berkata demikian, kakek ini sudah menanggalkan capingnya, yaitu topi berbentuk bundar yang terbuat dari pada bambu akan tetapi sesungguhnya di balik anyaman bambu itu tersembunyi baja-baja runcing yang membuat topi itu di samping dapat dipergunakan sebagai pelindung kepala dari panas dan hujan, juga dapat dipakai sebagai senjata yang sangat berbahaya.

Akan tetapi sebelum Thian Sin melayani lawan baru ini, mendadak Kim Hong melangkah maju dan gadis ini berkata, “Bukankah yang maju ini adalah Locianpwe Liang Sim Cinjin yang terkenal sebagai bun-bu-coan-jai dan memiliki kepandaian yang sangat tinggi, baik dalam ilmu silat mau pun ilmu surat itu? Nah, bagus sekali kalau begitu, tentu seorang sasterawan mengerti tentang kepantasan dan keadilan. Apakah kalian ini orang-orang tua yang katanya gagah perkasa hendak melakukan pengeroyokan?”

Liang Sim Cinjin adalah seorang tokoh besar yang sudah bertahun-tahun selalu bertapa di atas gunung di daerah Kang-lam. Dia hanya mendengar saja nama Pendekar Sadis, dan kalau dia sekarang maju hanya karena dia merasa tidak enak terhadap Kun-lun-pai sebagai tuan rumah. Sebagai seorang tamu yang melihat tuan rumah kedatangan musuh, apa lagi Pendekar Sadis yang dianggap menyeleweng dan menodai nama para pendekar.

Melihat betapa Lo Pa San yang menjadi sahabatnya telah kalah oleh Pendekar Sadis, dia segera maju, bukan hanya terdorong karena merasa tidak enak apa bila diam saja, akan tetapi juga timbul gairahnya sebagai seorang ahli silat tinggi untuk mencoba kepandaian orang muda itu.

Sebab itu, melihat gadis teman Pendekar Sadis itu yang maju dan menyerangnya dengan kata-kata, kakek yang usianya sudah enam puluh lima tahun ini menjadi terperanjat dan bingung juga. Maklumlah, meski pun dia seorang Pendekar, akan tetapi dia juga seorang sasterawan, maka menghadapi wanita tentu saja dia merasa kikuk.

“Eh, nona… siapa yang mengeroyok! Biar pun aku orang tua yang bodoh, selama hidupku aku belum pernah melakukan pengeroyokan. Bukankah aku maju seorang diri saja untuk melawannya?” katanya membantah.

“Majunya memang seorang diri, namun kalau Thian Sin dilawan dengan cara bergiliran, bukankah itu sama saja dengan pengeroyokan? Mana dia kuat menghadapi lawan begini banyak yang maju satu demi satu? Tenaga manusia ada batasnya. Apa artinya locianpwe menang bila menangnya itu karena dia telah kelelahan akibat melawan orang-orang yang pertama maju lebih dulu?”

Liang Sim Cinjin tidak mempunyai kebencian atau permusuhan pribadi dengan Pendekar Sadis, dan kekejaman-kekejaman Pendekar Sadis hanya dia ketahui dari berita saja. Kini setelah melihat sikap dan wajah pemuda itu, hatinya sama sekali tidak mengandung rasa kebencian karena sikap Thian Sin cukup sopan dan jujur, bukan sombong, dan wajahnya juga patut menjadi seorang pendekar muda yang gagah perkasa. Maka, ketika mendapat teguran seperti itu, wajahnya menjadi merah, dan dia merasa serba salah.

“Kalau begitu, biarlah dia mengaso dulu… aku juga tidak mau memperoleh kemenangan karena kelelahan lawan…”

Kim Hong tersenyum. “Tak perlu sungkan-sungkan, locianpwe. Saya kira locianpwe tidak memiliki permusuhan pribadi dengan Pendekar Sadis, melainkan karena sebagai tamu di Kun-lun-pai maka locianpwe ingin melakukan kewajiban sebagai seorang tamu sekaligus sahabat baik Kun-lun-pai untuk melawannya, bukan? Locianpwe juga sudah menganggap bahwa peristiwa di Kun-lun-pai yang menyebabkan kematian Jit Goat Tosu itu disebabkan oleh kesalahan Pendekar Sadis, maka untuk itu pula kini locianpwe hendak melawannya, bukan?”

Tentu saja kakek itu merasa enak dituntun seperti itu, dicarikan alasan yang demikian tepat dan kuat, maka dia pun mengangguk dan berkata, “Benar… benar sekali, nona.”

Dia tidak tahu bahwa dia dituntun ke dalam perangkap oleh gadis yang pandai itu. Setelah kakek itu menjawab demikian, Kim Hong tertawa, menutupi mulut dengan tangan kirinya.

“Nah, ketahuilah, locianpwe, orang yang bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi di Kun-lun-pai itu adalah aku! Jit Goat Tosu adalah supek-ku, tapi juga musuhku dan karena akulah maka supek membunuh diri. Pendekar Sadis hanya menemaniku saja memasuki Kun-lun-pai. Oleh karena itu, kalau engkau hendak maju, bukan Pendekar Sadis lawanmu melainkan aku! Nah, kini aku sudah siap, locianpwe, majulah dan mari kita bermain-main sebentar!”

Tentu saja Liang Sim Cinjin menjadi terkejut sekali. Dia memang sudah tahu akan hal itu, akan tetapi sama sekali tak pernah dibayangkannya bahwa dia harus bertanding melawan gadis muda ini. Kalau dia tahu bahwa dia harus melayani gadis ini, tentu dia akan berpikir dua kali untuk maju. Bukan takut kalah, melainkan baru maju saja sudah harus malu.

Masa seorang tokoh besar seperti dia, seorang kakek yang menduduki tempat tinggi di dunia kaum pendekar, kini harus menandingi seorang gadis remaja? Dia tidak tahu sama sekali bahwa yang sedang dihadapinya itu bukanlah sembarang gadis remaja, melainkan orang yang dulu pernah menjadi Lam-sin dan yang sudah menggegerkan dunia persilatan dengan sepak terjangnya sebagai datuk kaum sesat di dunia selatan!

“Kecuali kalau locianpwe merasa takut untuk melawanku, boleh saja locianpwe mundur, biar diganti oleh siapa saja yang lebih berani!”

Kim Hong memang pintar sekali. Setelah memojokkan kakek itu sehingga kakek itu tidak mungkin memaksa Thian Sin untuk melawannya, kini dia memaksa pula kakek itu supaya tidak mundur kembali. Gadis ini tak ingin melihat Thian Sin seorang diri saja menghadapi mereka semua itu, bila mana sampai terjadi perkelahian satu lawan satu secara bergiliran. Bagaimana pun juga, dialah yang menyebabkan Thian Sin kini harus dihadapi oleh para pendekar untuk diadili!

“Nona muda, agaknya kesombonganmu tidak kalah oleh Pendekar Sadis. Kalau aku tidak mau melayanimu, tentu semua orang akan mentertawakan dan menganggap bahwa aku benar-benar takut. Nah, majulah dan ingin kulihat apakah benar penuturan para pimpinan Kun-lun-pai bahwa engkau pun memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai.”

“Locianpwe ingat bahwa kami datang bukan untuk mencari permusuhan, melainkan kalian semua di sinilah yang sengaja mengajak berkelahi. Kalau locianpwe beserta semua orang di sini tidak menantang, kami pun akan pergi dengan aman. Kalau sebaliknya locianpwe mengajak mengadu ilmu, majulah dan tidak perlu sungkan-sungkan lagi, aku sudah siap!”

Bocah ini sungguh takabur, pikir Liang Sim Cinjin, akan tetapi pandai bicara dan sikapnya seolah-olah orang yang mempunyai kedudukan tinggi menghadapi lawan yang seimbang atau tidak lebih tinggi dari pada tingkatnya. Pantasnya bukan sikap seorang gadis remaja, melainkan seorang locianpwe. Dia tidak tahu bahwa sikap itu adalah sikap Lam-sin, datuk kaum sesat bagian selatan!

“Nona muda, jagalah seranganku ini!” bentaknya halus.

Dia pun mulai melangkahkan kakinya maju dan mengirim pukulan dengan telapak tangan kiri, menampar ke arah pundak. Pukulan yang kelihatannya sederhana dan sembarangan saja, akan tetapi begitu tangan itu bergerak, terdengar suara bercuitan yang nyaring dan tentu saja Kim Hong langsung mengenali ilmu pukulan ampuh yang mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Maka dia pun cepat mengelak.

Akan tetapi gerakan kakek itu ternyata amat cepat dan otomatis karena begitu dielakkan pukulan pertama itu, Kim Hong merasakan adanya sambaran angin keras sekali dari arah kirinya dan ternyata kakek itu sudah menggerakkan topi capingnya yang bundar itu. Angin berdesir diikuti suara berdesing ketika caping itu menyambar ke arah leher Kim Hong.

Kembali Kim Hong mengelak, mempergunakan ginkang-nya yang memang amat istimewa itu sehingga sekali tubuhnya berkelebat, sambaran caping itu pun tidak mengenai sasaran dan kini Kim Hong cepat pula membalas dengan tamparan jari tangannya.

“Plak-plak-plak!”

Tiga kali berturut-turut dia menampar dan tiga kali pula kakek itu berhasil menangkis. Liang Sim Cinjin terkejut ketika merasa betapa tangan lawan itu lunak sekali, akan tetapi kelunakan yang membuat tenaga sinkang-nya sendiri seakan-akan besi bertemu dengan kapas, tenaganya seperti tenggelam dan tak menimbulkan bekas apa-apa.

Maka tahulah dia bahwa lawannya itu pandai mempergunakan Ilmu Bian-kun, semacam ilmu silat yang menggunakan tenaga lemas yang dinamakan Tangan Kapas, tapi sebenarnya merupakan sinkang tingkat tinggi yang selain dapat digunakan untuk melawan sinkang yang sifatnya keras, juga bahkan berani dipakai untuk menyambut senjata lawan.

Maka kakek ini berlaku hati-hati, akan tetapi dia pun cepat mengirim serangan bertubi-tubi dengan tangan kirinya, dengan capingnya, juga dengan sepasang kakinya yang mengirim tendangan-tendangan berantai. Kakek ini amat terkenal dengan langkah-langkah Cap-sha Seng-pouw (Tiga Belas Bintang) dan ke mana pun lawan menyerang tubuhnya, maka dia cepat menghindarkan diri dengan menggunakan langkah-langkah ajaib itu.

Dan hebatnya, dengan langkah-langkah itu bukan hanya dia pandai menghindarkan serangan, malah juga dapat langsung dan secara kontan keras membalas setiap serangan lawan hanya dengan langkah-langkah ajaib itu.
Selanjutnya,

Pendekar Sadis Jilid 40

Pendekar Sadis Jilid 40
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Kui Yang Tosu menceritakan kepada belasan orang tamunya itu dalam suasana ramah tamah karena pertemuan yang resmi belum dilakukan, tentang peristiwa yang terjadi di situ ketika Pendekar Sadis dan gadis lihai itu datang sehingga mengakibatkan kematian Jit Goat Tosu yang telah menjadi saudara yang dihormati dari para pimpinan Kun-lun-pai. Sebagai seorang yang gagah dan jujur, Kui Yang Tosu tidak menyembunyikan sesuatu, lalu menceritakan pula alasan-alasan dua orang itu datang ke Kun-lun-pai dan hubungan antara Toan Kim Hong dan Jit Goat Tosu. Mereka juga menceritakan hendak menangkap mereka namun gagal.

“Kami hendak menahan mereka, minta pertanggungan jawab mereka dan pertimbangan rapat para pendekar, namun Pendekar Sadis dan nona itu mengamuk dan melarikan diri. Ilmu kepandaian mereka memang tinggi sekali, sementara kami pun tak mempunyai niat untuk membunuh, melainkan hendak menahan mereka, namun kami gagal. Oleh karena itu kami mengundang para orang gagah untuk dimintai pertimbangan.”

Suasana menjadi sunyi sesudah semua orang mendengar penuturan itu, dan diam-diam mereka semua merasa terkejut dan kagum bukan main. Pada masa itu kiranya sulit dicari orang yang akan mampu membebaskan diri dari kepungan orang-orang Kun-lun-pai! Dari kenyataan itu saja sudah dapat diukur betapa lihainya Pendekar Sadis serta kawannya, wanita muda itu.

“Sungguh aku belum mengerti benar, Toyu,” terdengar Lo Pa San berkata. Pendekar ini orangnya jujur, ramah dan adil, juga sangat sederhana sehingga bicara dengan pimpinan Kun-lun-pai sekali pun dia hanya menyebut toyu yang berarti ‘sahabat’ saja. “Menurut penuturanmu tadi, Pendekar Sadis hanya menemani atau membantu nona bernama Toan Kim Hong datang mencari supek-nya sendiri. Apa yang terjadi antara mereka itu, sampai yang berakibat kematian Jit Goat Tosu yang membunuh diri, kiraku merupakan urusan pribadi di dalam kekeluargaan mereka. Kiranya sama sekali bukan menjadi hak kita untuk ikut mencampuri.”

Beberapa orang gagah yang berada di situ mengangguk membenarkan. Rata-rata mereka itu adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, tidak mau sembrono dan tidak mau berpihak terhadap siapa pun juga, kecuali berpihak pada kebenaran dan keadilan.

“Siancai… apa yang dikatakan oleh Lo-enghiong tadi memang tak keliru. Kami pun bukan golongan yang suka usil dan senang mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi Jit Goat Tosu bukanlah orang lain lagi, melainkan saudara tua kami. Dan seperti yang sudah pinto ceritakan tadi, nona itu tadi adalah seorang murid durhaka yang tidak mau menghormati bendera pusaka perguruan sendiri, tidak tahu pula bahwa Jit Goat Tosu sudah mengalah karena kalau dia menghendaki, dua orang muda itu takkan mungkin mampu mengalahkan dia. Tetapi mereka mendesak terus sehingga dia mengalah dan membunuh diri. Peristiwa kejam ini terjadi di Kun-lun-pai. Sedangkan andai kata hal itu menimpa diri orang lain di luar Kun-lun-pai sekali pun, maka sebagai pendekar-pendekar kita haruslah turun tangan mengadilinya. Apa lagi hal itu menimpa saudara tua kami, terjadi di Kun-lun-pai pula, dan yang terutama sekali, dilakukan oleh Pendekar Sadis yang sudah mencemarkan sebutan pendekar itu. Karena itu, pinto kira sudah selayaknya kalau hal ini dibahas secara teliti di dalam rapat besok di antara para pendekar.”

Karena alasan yang dikemukakan oleh Kui Yang Tosu itu memang pantas, semua orang mengangguk dan memang kebanyakan di antara mereka merasa tak senang mendengar sepak terjang Pendekar Sadis yang terlalu kejam di dalam menangani musuh-musuhnya, biar pun yang diberantasnya itu adalah tokoh-tokoh sesat. Terutama sekali pembunuhan Pendekar Sadis terhadap Toan Ong sungguh membuat mereka merasa penasaran sekali.

Keadaan menjadi berisik ketika mereka membicarakan semua perbuatan Pendekar Sadis yang sangat kejam ketika membunuh musuh-musuhnya dan bagaimana pun juga, mereka semua merasa kagum dan jeri ketika mendengar bahwa Pendekar Sadis sudah berhasil membunuh See-thian-ong, Pak-san-kui, dan melenyapkan Lam-sin. Bahkan berita tentang Pendekar Sadis menyerbu Tung-hai-sian sudah ramai mereka bicarakan pula.

“Cin-ling-pai harus bertanggung jawab. Bukankah Pendekar Sadis itu adalah sanaknya? Tung-hai-sian bisa terluput dari perbuatannya karena berbesan dengan Cin-ling-pai,” kata seseorang.

“Pendekar Lembah Naga adalah ayah angkatnya, maka dialah yang harus bertanggung jawab paling besar,” kata yang lain.

“Harap para saudara bersabar karena pinto juga sudah mengundang mereka. Pinto kira, besok mereka akan dapat hadir semua dan kita minta saja pendapat serta pertimbangan mereka. Jiwa pendekar menuntut keadilan dan harus menghukum siapa saja yang salah, biar pun keluarga sendiri tidak semestinya jika dilindungi sehingga kejahatannya semakin merajalela,” kata Kui Yang Tosu, ada pun Kui Im Tosu hanya mendengarkan saja sambil menundukkan mukanya. Ketua Kun-lun-pai ini memang tidak suka banyak bicara.

Tiba-tiba saja terdengar suara lantang, “Harap cu-wi jangan khawatir. Mengenai semua perbuatan Pendekar Sadis, akulah yang bertanggung jawab sepenuhnya!”

Semua orang menoleh dan mereka melihat masuknya seorang pemuda yang berpakaian sederhana akan tetapi sikapnya sangat gagah perkasa. Karena Han Tiong memang tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw, maka tidak ada yang mengenal pemuda ini dan semua orang bangkit berdiri, memandang dengan heran akan tetapi juga membalas penghormatan pemuda yang sudah menjura ke arah mereka dengan sikap hormat itu.

“Para pimpinan Kun-lun-pai dan para locianpwe yang berada di sini, kedatangan saya ini untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatan yang dilakukan oleh Pendekar Sadis. Cin-ling-pai dan Lembah Naga tidak ada urusannya dengan dia sehingga tak seharusnya bertanggung jawab, melainkan saya seoranglah.”

Kui Yang Tosu telah melangkah maju dan memandang kepada pemuda gagah itu dengan pandang mata penuh selidik. “Siapakah sicu yang muda ini?” tanyanya.

Han Tiong memandang pada tosu itu dan menduga bahwa tentu dia sedang berhadapan dengan ketua Kun-lun-pai. “Apakah totiang ketua Kun-lun-pai?”

“Pinto adalah Kui Yang Tosu, wakil ketua Kun-lun-pai. Siapakah engkau, orang muda?”

“Saya adalah kakak dari Pendekar Sadis, nama saya Cia Han Tiong,” jawab Han Tiong sederhana.

“Cia…? Adakah hubunganmu dengan Cia Sin Liong Taihiap, Pendekar Lembah Naga?”

“Dia adalah ayah saya.”

Kui Yang Tosu, juga semua orang gagah yang berada di situ terkejut bukan main. Kiranya pemuda sederhana yang bersikap gagah perkasa ini adalah putera dari Pendekar Lembah Naga! Maka mengertilah sekarang Kui Yang Tosu mengapa pemuda ini memperkenalkan diri sebagai kakak dari Pendekar Sadis, dan dia mengerutkan alisnya.

“Hemm, selamat datang, Cia taihiap. Mari silakan duduk.”

“Terima kasih, totiang. Kedatangan saya ini bukan untuk menghadiri rapat para pendekar, melainkan, seperti saya katakan tadi, untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatan Pendekar Sadis, adik saya. Hanya saya seoranglah yang menjadi penanggung jawabnya, bukan Cin-ling-pai mau pun Lembah Naga.”

Makin dalam kerut di antara alis Kui Yang Tosu. “Orang muda, apa yang kau maksudkan dengan pertanggungan jawab itu?”

“Apa pun yang totiang kehendaki! Jika adik saya dianggap bersalah dan hendak dihukum, nah, hukumlah saya! Saya yang mewakilinya menerima hukuman, kalau memang sudah sepantasnya dia dihukum. Akan tetapi saya merasa yakin bahwa para locianpwe yang gagah perkasa tentu akan memiliki kebijaksanaan dan pertimbangan seadil-adilnya. Saya sudah mendengar akan semua yang dilakukan adik saya, mendengar dengan jelas. Saya datang bukan untuk membelanya, juga bukan melindunginya, tapi untuk menebus semua kesalahannya, kalau memang ada perbuatannya yang dianggap bersalah.”

“Pendekar Sadis bertindak sangat kejam, perbuatan itu sudah mencemarkan nama para pendekar! Dia memang menentang penjahat, namun tindakannya luar biasa kejamnya!” kata Kui Im Tosu yang sejak tadi diam saja. “Cia-taihiap, apakah hal itu tidak kau anggap bersalah?”

“Maaf, totiang. Salah atau tidak itu tergantung orang yang menilainya. Akan tetapi saya tahu benar mengapa adik saya itu bertindak demikian kejam terhadap musuh-musuhnya yang dibasminya. Dia menderita dendam sakit yang sangat mendalam, dan karena dia lemah, maka dia memberi kesempatan kepada nafsunya untuk membalas dendam, untuk menyiksa dan memuaskan sakit hatinya.”

“Ha-ha-ha, bagaimana jawabanmu terhadap perbuatannya membunuh Toan Ong?” kata seorang di antara Shan-tung Sam-lo-eng.

Han Tiong memandang kepada pembicara kemudian menjawab, “Hal itu pun sudah saya bicarakan dengan adik saya. Dia melakukan hal itu karena fitnahan orang lain, maka dia menganggap Toan Ong adalah seorang manusia jahat sehingga dibunuhnya. Setelah dia menyadari kekeliruannya itu, dia pun langsung menghukum orang yang melakukan fitnah. Pembunuhan itu hanya merupakan hasil fitnah, bukan berarti adik saya memang sengaja membunuh orang baik-baik.”

“Hemm, kalau menurut pendapatmu, apa Pendekar Sadis itu patut dibebaskan dan tidak dianggap bersalah? Begitukah?” Hui-to-sian Lo Pa San ikut bertanya, suaranya lantang.

“Sama sekali bukan demikian maksud saya, locianpwe. Sudah saya katakan bahwa saya bukan membelanya atau melindunginya, melainkan mewakilinya menerima hukuman jika memang dianggap bersalah.”

“Omitohud…! Cia-taihiap yang begini muda sudah memiliki kasih sayang yang luar biasa sekali terhadap adiknya, adik angkatnya lagi. Begitu mendalam, sungguh mengagumkan!” Hwa Siong Hwesio tokoh Siauw-lim-pai itu berkata.

“Akan tetapi, mana boleh menghukum orang lain sedangkan yang berdosa malah bebas? Apa gunanya itu? Si jahat harus dihukum biar lenyap dari dunia ini atau supaya bertobat sehingga kejahatannya tidak terulang kembali!” kata Thian Heng Losu ketua Bu-tong-pai. “Cia-taihiap, andai kata pun kami menghukummu sebagai orang yang mewakili Pendekar Sadis, apa artinya itu? Dia akan tetap saja menyebar kekejaman di dunia ini!”

“Tidak, locianpwe. Kalau dia mendengar bahwa saya dihukum karena perbuatannya tentu dia akan insyaf dan sadar, dan tidak akan mengulangi perbuatan-perbuatannya yang para locianpwe anggap tidak selayaknya.”

“Bagaimana kalau kita memutuskan bahwa Pendekar Sadis harus dilenyapkan atau harus dijatuhi hukuman mati?” Lo Pa San yang juga amat kagum kepada pemuda ini bertanya, memancing.

“Saya sudah bertekad untuk mewakili adik saya menjalani hukuman apa saja, kalau perlu saya tidak akan menolak untuk dihukum mati, jika memang hukuman itu dapat menebus kesalahannya dan cu-wi locianpwe tidak akan mengganggu dia, Cin-ling-pai atau Lembah Naga!”

Bukan main hebatnya jawaban tegas ini, membuat semua tokoh itu sejenak terbisu dan memandang kepada Han Tiong dengan heran sekali. Biasanya, jika seseorang mencinta adiknya, tentu adik itu akan dibelanya serta dilindunginya, kalau perlu membantu adiknya menentang semua orang yang hendak mengganggu adiknya, namun bukan mewakilinya menerima hukuman seperti yang akan dilakukan oleh putera Pendekar Lembah Naga ini.

“Tiong-ko, engkau tidak boleh mewakili hukumanku!”

Teriakan ini mengejutkan semua orang, dan tahu-tahu mereka melihat seorang pemuda gagah berdiri di ambang pintu ruangan itu, dan di belakangnya berdiri pula seorang gadis cantik yang bersikap angker.

Han Tiong terkejut melihat munculnya Thian Sin beserta Kim Hong, akan tetapi wajahnya juga segera berseri gembira karena dia menduga bahwa tentu Thian Sin dan Kim Hong sudah sadar lantas datang menyerahkan diri untuk jawabkan perbuatan mereka. Maka dia pun berseru dengan girang sekali,

“Ahh, Sin-te dan Adik Hong, bagus sekali kalian datang. Jangan khawatir, para locianpwe ini adalah orang-orang bijaksana!”

“Tidak, Tiong-ko! Aku tetap tidak merasa bersalah dan terserah mereka itu mau apa! Akan tetapi, hendaknya para pendekar yang mengaku perkasa dan semua orang yang hadir di sini mendengar baik-baik bahwa seluruh perbuatan Pendekar Sadis dan Toan Kim Hong menjadi tanggung jawab kami berdua sendiri. Kakakku Cia Han Tiong sama sekali tidak tahu apa-apa dan karenanya tidak boleh hukuman untuk kami dijatuhkan kepadanya atau kepada Cin-ling-pai atau Lembah Naga. Kami berdua sendirilah yang bertanggung jawab. Akan tetapi kami tidak merasa bersalah, dan siapa yang hendak menghukum kami, boleh saja maju dan coba-coba!” Pendekar Sadis berdiri dengan gagah perkasa dan sikapnya menantang sekali.

Juga Kim Hong berdiri sambil tersenyum mengejek kepada semua orang yang berada di ruangan tamu yang luas itu. Karena Kun-lun-pai sedang menyambut tamu-tamu agung, maka pintu gerbang dibuka dan tidak diadakan penjagaan seperti biasa sehingga mereka berdua, seperti juga Han Tiong tadi, dapat masuk ke tempat itu dengan mudah.

Melihat lagak Pendekar Sadis yang menantang dan merasa tidak bersalah itu, para tamu menjadi sangat marah. Pendekar budiman dari Po-hai, yaitu Lo Pa San, lalu mengerutkan alisnya. Pendekar Sadis itu dianggapnya tidak tahu aturan dan berani bersikap demikian memandang rendah kepada orang-orang kang-ouw yang tingkatnya tinggi dan sudah tua pula.

“Pendekar Sadis, di samping kejam kiranya engkau juga sombong bukan main!” teriaknya sambil mencabut keluar sebatang golok tipis dari ikat pinggangnya dan dia pun langsung melompat ke depan. “Sudah lama aku mendengar nama Pendekar Sadis yang menodai nama baik para pendekar dengan perbuatannya yang amat kejam. Sekarang engkau tak mau mengaku salah malah menantang siapa pun yang hendak menangkapmu? Nah, aku, Hui-to-sian Lo Pa San yang hendak menangkapmu!”

Thian Sin tersenyum mengejek. “Menangkap dengan senjata yang terhunus? Locianpwe, engkau ini memaki orang kejam, akan tetapi engkau sendiri, begitu berhadapan denganku segera mencabut golok, lalu apakah namanya sikap seperti ini? Apakah ini yang disebut manis budi dan lunak tidak kejam?”

Wajah Lo Pa San menjadi merah, maka tahulah dia bahwa kini dia menghadapi seorang pemuda yang pandai bicara pula. Tentu saja dia merasa malu. Kalau tadi mencabut golok adalah karena dia sendiri telah mendengar akan kelihaian Pendekar Sadis dan dia adalah seorang ahli bermain golok sehingga mendapat julukan Dewa Golok Terbang. Akan tetapi ejekan halus Thian Sin itu tentu saja membuat dia menjadi serba salah sehingga dia pun segera menyimpan kembali goloknya.

“Orang muda, kau kira aku tidak berani menghadapimu dengan tangan kosong? Kalau tadi aku mengeluarkan golok, adalah karena aku mengira bahwa engkau pun akan memegang senjata.”

Thian Sin tersenyum lebar, “Ingat, locianpwe, apa bila sampai terjadi bentrok antara kita, maka penyerangnya adalah engkau, bukan aku. Bagaimana aku tiba-tiba saja mencabut senjata? Tidak, engkaulah pencari gara-gara kalau sampai kita berkelahi, bukan aku.”

“Sombong! Lihat serangan!”

Lo Pa San adalah seorang pendekar yang telah mempunyai tingkat kepandaian tinggi dan bukan sembarang pendekar. Ia amat jarang keluar dari rumah untuk mencampuri perkara yang remeh-remeh. Akan tetapi pada waktu pantai Po-hai pernah dibikin tidak aman oleh merajalelanya bajak-bajak yang datang dari Korea mau pun Jepang, pendekar inilah yang dengan gagah berani memimpin para pendekar muda untuk menentang dan mengadakan pembersihan, dan dia baru berhenti berjuang sesudah para bajak laut ganas itu terbasmi semua dan sisanya melarikan diri ke lautan.

Namanya menjadi terkenal sekali, terutama ilmu goloknya yang membuat dia memperoleh julukan yang sangat menyeramkan itu, yaitu Dewa Golok Terbang. Selain ilmu goloknya yang sangat terkenal, tentu saja pendekar ini juga memiliki ilmu silat tangan kosong yang tangguh dan memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat. Begitu menyerang, dua tangannya yang jari-jarinya terbuka itu mengirim serangan cengkeraman bertubi-tubi bagaikan cakar garuda.

Memang kakek berusia lima puluh tahun lebih itu mainkan ilmu silat tangan kosong yang amat hebat, yaitu yang disebut Sin-tiauw-kun (Silat Rajawali Sakti) yang telah mengalami banyak perubahan karena dikombinasikan dengan ilmu gulat Mongol sehingga di samping mencengkeram dengan kuat, juga jari-jari tangan itu dapat menangkap dan sekali lawan tertangkap dengan Ilmu Sin-tiauw-kun yang mengandung ilmu gulat Mongol itu, sukarlah lawan untuk melepaskan diri lagi. Agaknya Dewa Golok Terbang ini benar-benar hendak menangkap Thian Sin seperti yang dikatakannya tadi.

Namun Thian Sin menyambut serangan-serangannya dengan sikap tenang saja. Pemuda ini memang mempunyai sebatang pedang, yaitu Gin-hwa-kiam pemberian neneknya, juga ikat pinggangnya merupakan senjata sabuk seperti yang dahulu pernah dipelajarinya dari neneknya. Akan tetapi dia memiliki ilmu silat tangan kosong yang amat hebat dan banyak macamnya, maka tanpa bantuan senjata sekali pun dia sudah merupakan seorang lawan yang amat tangguh.

Menghadapi serangan dengan ilmu Sin-tiauw-kun itu, Thian Sin segera mainkan Thai-kek Sin-kun yang daya tahannya amat kokoh dan kuat sehingga selama beberapa belas jurus lawannya sama sekali tidak mampu mendesaknya dan semua cengkeraman lawan dapat ditangkis atau dielakkannya dengan mudah sekali.

Melihat ini, Hui-to-sian terkejut dan juga marah sekali. Dia mengeluarkan gerengan keras dan kini serangannya ditambah lagi dengan tendangan-tendangan kakinya yang dilakukan secara beruntun dan berantai. Gerakan pendekar ini cepat bukan kepalang, kedua tangan mencengkeram bertubi-tubi dan kedua kaki menendang bergantian, dan setiap serangan mengandung tenaga sinkang yang amat kuat!

Diam-diam Thian Sin juga terkejut dan memuji. Pendekar ini betul-betul tangguh sehingga tak boleh dipandang ringan. Kalau saja dia melanjutkan perlawanannya dengan Thai-kek Sin-kun, tentu dia akan terus terdesak tanpa mampu membalas. Gerakan lawannya aneh dan cepat sehingga dia harus mencurahkan seluruh perhatian dan gerakan ilmu silatnya hanya untuk bertahan dan untuk melindungi dirinya saja. Karena itu, pada saat lawannya menghujani tendangan, dia lalu menggunakan tangannya untuk menangkap kaki lawan.

Melihat ini, Hui-to-sian cepat menarik kembali kakinya dan melihat betapa lawan muda itu membiarkan bagian atas tubuhnya terbuka, secepat kilat tangan kirinya mencengkeram dan tahu-tahu pundak Thian Sin kena dicengkeramnya.

“Plakkk!”

Thian Sin menangkis sambil mengerahkan Thi-khi I-beng, akan tetapi ternyata tusukan dengan kedua jari tangan kanan itu dilakukan dengan tenaga kasar biasa saja dan kakek itu pun sudah meloncat ke belakang setelah tangan kirinya terlepas dari sedotan pundak. Wajahnya agak pucat dan dia memandang dengan mata bersinar-sinar.

“Celaka, ilmu pusaka Cin-ling-pai dipergunakan orang untuk menentang para pendekar!” katanya dan dia pun sudah menyerang lagi dengan hebatnya.

Mendengar ucapan lawan, Thian Sin tidak mau menggunakan Thi-khi I-beng lagi, bahkan dia merasa malu untuk menggunakan ilmu dari Cin-ling-pai. Sekali ini, dia langsung saja mengeluarkan ilmu yang dipelajarinya dari peninggalan ayah kandungnya, yaitu Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan belas jurus, namun merupakan ilmu silat yang mukjijat itu.

“Haiiiiitt…!” Dia mulai membalas dengan menggunakan jurus dari ilmu silat ayahnya.

Hui-to-sian kaget bukan kepalang ketika tiba-tiba saja angin menyambar dahsyat dan dia melihat lawannya itu menyerangnya dari bawah. Untuk mengelak dari serangan sehebat itu tidaklah mungkin lagi, maka dia pun menanti serangan, mengerahkan tenaganya dan menangkis dengan kedua tangannya ketika dua langan pemuda yang mendorong itu telah tiba mendekat.

“Desss…!”
Dua tangan itu bertemu dan akibatnya, tubuh Hui-to-sian segera terlempar dan terdorong ke belakang sampai tujuh langkah dan hampir saja dia terjengkang kalau saja dia tidak cepat membuka kedua kakinya sambil mengerahkan tenaga sinkang pada kedua kakinya yang dipentang lalu memasang kuda-kuda. Akan tetapi tubuhnya sudah terguncang hebat hingga keringat dingin membasahi lehernya. Untung bahwa dia tidak terluka, akan tetapi maklumlah pendekar ini bahwa dia telah kalah!

Semua pendekar yang berada di situ juga maklum akan hal ini, maka kini Liang Sim Cinjin segera bangkit dari tempat duduknya dan melangkah ke depan. “Siancai…! Kiranya nama besar Pendekar Sadis bukanlah nama kosong belaka. Biarlah aku yang tua ini mencoba kelihaiannya!”

Sambil berkata demikian, kakek ini sudah menanggalkan capingnya, yaitu topi berbentuk bundar yang terbuat dari pada bambu akan tetapi sesungguhnya di balik anyaman bambu itu tersembunyi baja-baja runcing yang membuat topi itu di samping dapat dipergunakan sebagai pelindung kepala dari panas dan hujan, juga dapat dipakai sebagai senjata yang sangat berbahaya.

Akan tetapi sebelum Thian Sin melayani lawan baru ini, mendadak Kim Hong melangkah maju dan gadis ini berkata, “Bukankah yang maju ini adalah Locianpwe Liang Sim Cinjin yang terkenal sebagai bun-bu-coan-jai dan memiliki kepandaian yang sangat tinggi, baik dalam ilmu silat mau pun ilmu surat itu? Nah, bagus sekali kalau begitu, tentu seorang sasterawan mengerti tentang kepantasan dan keadilan. Apakah kalian ini orang-orang tua yang katanya gagah perkasa hendak melakukan pengeroyokan?”

Liang Sim Cinjin adalah seorang tokoh besar yang sudah bertahun-tahun selalu bertapa di atas gunung di daerah Kang-lam. Dia hanya mendengar saja nama Pendekar Sadis, dan kalau dia sekarang maju hanya karena dia merasa tidak enak terhadap Kun-lun-pai sebagai tuan rumah. Sebagai seorang tamu yang melihat tuan rumah kedatangan musuh, apa lagi Pendekar Sadis yang dianggap menyeleweng dan menodai nama para pendekar.

Melihat betapa Lo Pa San yang menjadi sahabatnya telah kalah oleh Pendekar Sadis, dia segera maju, bukan hanya terdorong karena merasa tidak enak apa bila diam saja, akan tetapi juga timbul gairahnya sebagai seorang ahli silat tinggi untuk mencoba kepandaian orang muda itu.

Sebab itu, melihat gadis teman Pendekar Sadis itu yang maju dan menyerangnya dengan kata-kata, kakek yang usianya sudah enam puluh lima tahun ini menjadi terperanjat dan bingung juga. Maklumlah, meski pun dia seorang Pendekar, akan tetapi dia juga seorang sasterawan, maka menghadapi wanita tentu saja dia merasa kikuk.

“Eh, nona… siapa yang mengeroyok! Biar pun aku orang tua yang bodoh, selama hidupku aku belum pernah melakukan pengeroyokan. Bukankah aku maju seorang diri saja untuk melawannya?” katanya membantah.

“Majunya memang seorang diri, namun kalau Thian Sin dilawan dengan cara bergiliran, bukankah itu sama saja dengan pengeroyokan? Mana dia kuat menghadapi lawan begini banyak yang maju satu demi satu? Tenaga manusia ada batasnya. Apa artinya locianpwe menang bila menangnya itu karena dia telah kelelahan akibat melawan orang-orang yang pertama maju lebih dulu?”

Liang Sim Cinjin tidak mempunyai kebencian atau permusuhan pribadi dengan Pendekar Sadis, dan kekejaman-kekejaman Pendekar Sadis hanya dia ketahui dari berita saja. Kini setelah melihat sikap dan wajah pemuda itu, hatinya sama sekali tidak mengandung rasa kebencian karena sikap Thian Sin cukup sopan dan jujur, bukan sombong, dan wajahnya juga patut menjadi seorang pendekar muda yang gagah perkasa. Maka, ketika mendapat teguran seperti itu, wajahnya menjadi merah, dan dia merasa serba salah.

“Kalau begitu, biarlah dia mengaso dulu… aku juga tidak mau memperoleh kemenangan karena kelelahan lawan…”

Kim Hong tersenyum. “Tak perlu sungkan-sungkan, locianpwe. Saya kira locianpwe tidak memiliki permusuhan pribadi dengan Pendekar Sadis, melainkan karena sebagai tamu di Kun-lun-pai maka locianpwe ingin melakukan kewajiban sebagai seorang tamu sekaligus sahabat baik Kun-lun-pai untuk melawannya, bukan? Locianpwe juga sudah menganggap bahwa peristiwa di Kun-lun-pai yang menyebabkan kematian Jit Goat Tosu itu disebabkan oleh kesalahan Pendekar Sadis, maka untuk itu pula kini locianpwe hendak melawannya, bukan?”

Tentu saja kakek itu merasa enak dituntun seperti itu, dicarikan alasan yang demikian tepat dan kuat, maka dia pun mengangguk dan berkata, “Benar… benar sekali, nona.”

Dia tidak tahu bahwa dia dituntun ke dalam perangkap oleh gadis yang pandai itu. Setelah kakek itu menjawab demikian, Kim Hong tertawa, menutupi mulut dengan tangan kirinya.

“Nah, ketahuilah, locianpwe, orang yang bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi di Kun-lun-pai itu adalah aku! Jit Goat Tosu adalah supek-ku, tapi juga musuhku dan karena akulah maka supek membunuh diri. Pendekar Sadis hanya menemaniku saja memasuki Kun-lun-pai. Oleh karena itu, kalau engkau hendak maju, bukan Pendekar Sadis lawanmu melainkan aku! Nah, kini aku sudah siap, locianpwe, majulah dan mari kita bermain-main sebentar!”

Tentu saja Liang Sim Cinjin menjadi terkejut sekali. Dia memang sudah tahu akan hal itu, akan tetapi sama sekali tak pernah dibayangkannya bahwa dia harus bertanding melawan gadis muda ini. Kalau dia tahu bahwa dia harus melayani gadis ini, tentu dia akan berpikir dua kali untuk maju. Bukan takut kalah, melainkan baru maju saja sudah harus malu.

Masa seorang tokoh besar seperti dia, seorang kakek yang menduduki tempat tinggi di dunia kaum pendekar, kini harus menandingi seorang gadis remaja? Dia tidak tahu sama sekali bahwa yang sedang dihadapinya itu bukanlah sembarang gadis remaja, melainkan orang yang dulu pernah menjadi Lam-sin dan yang sudah menggegerkan dunia persilatan dengan sepak terjangnya sebagai datuk kaum sesat di dunia selatan!

“Kecuali kalau locianpwe merasa takut untuk melawanku, boleh saja locianpwe mundur, biar diganti oleh siapa saja yang lebih berani!”

Kim Hong memang pintar sekali. Setelah memojokkan kakek itu sehingga kakek itu tidak mungkin memaksa Thian Sin untuk melawannya, kini dia memaksa pula kakek itu supaya tidak mundur kembali. Gadis ini tak ingin melihat Thian Sin seorang diri saja menghadapi mereka semua itu, bila mana sampai terjadi perkelahian satu lawan satu secara bergiliran. Bagaimana pun juga, dialah yang menyebabkan Thian Sin kini harus dihadapi oleh para pendekar untuk diadili!

“Nona muda, agaknya kesombonganmu tidak kalah oleh Pendekar Sadis. Kalau aku tidak mau melayanimu, tentu semua orang akan mentertawakan dan menganggap bahwa aku benar-benar takut. Nah, majulah dan ingin kulihat apakah benar penuturan para pimpinan Kun-lun-pai bahwa engkau pun memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai.”

“Locianpwe ingat bahwa kami datang bukan untuk mencari permusuhan, melainkan kalian semua di sinilah yang sengaja mengajak berkelahi. Kalau locianpwe beserta semua orang di sini tidak menantang, kami pun akan pergi dengan aman. Kalau sebaliknya locianpwe mengajak mengadu ilmu, majulah dan tidak perlu sungkan-sungkan lagi, aku sudah siap!”

Bocah ini sungguh takabur, pikir Liang Sim Cinjin, akan tetapi pandai bicara dan sikapnya seolah-olah orang yang mempunyai kedudukan tinggi menghadapi lawan yang seimbang atau tidak lebih tinggi dari pada tingkatnya. Pantasnya bukan sikap seorang gadis remaja, melainkan seorang locianpwe. Dia tidak tahu bahwa sikap itu adalah sikap Lam-sin, datuk kaum sesat bagian selatan!

“Nona muda, jagalah seranganku ini!” bentaknya halus.

Dia pun mulai melangkahkan kakinya maju dan mengirim pukulan dengan telapak tangan kiri, menampar ke arah pundak. Pukulan yang kelihatannya sederhana dan sembarangan saja, akan tetapi begitu tangan itu bergerak, terdengar suara bercuitan yang nyaring dan tentu saja Kim Hong langsung mengenali ilmu pukulan ampuh yang mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Maka dia pun cepat mengelak.

Akan tetapi gerakan kakek itu ternyata amat cepat dan otomatis karena begitu dielakkan pukulan pertama itu, Kim Hong merasakan adanya sambaran angin keras sekali dari arah kirinya dan ternyata kakek itu sudah menggerakkan topi capingnya yang bundar itu. Angin berdesir diikuti suara berdesing ketika caping itu menyambar ke arah leher Kim Hong.

Kembali Kim Hong mengelak, mempergunakan ginkang-nya yang memang amat istimewa itu sehingga sekali tubuhnya berkelebat, sambaran caping itu pun tidak mengenai sasaran dan kini Kim Hong cepat pula membalas dengan tamparan jari tangannya.

“Plak-plak-plak!”

Tiga kali berturut-turut dia menampar dan tiga kali pula kakek itu berhasil menangkis. Liang Sim Cinjin terkejut ketika merasa betapa tangan lawan itu lunak sekali, akan tetapi kelunakan yang membuat tenaga sinkang-nya sendiri seakan-akan besi bertemu dengan kapas, tenaganya seperti tenggelam dan tak menimbulkan bekas apa-apa.

Maka tahulah dia bahwa lawannya itu pandai mempergunakan Ilmu Bian-kun, semacam ilmu silat yang menggunakan tenaga lemas yang dinamakan Tangan Kapas, tapi sebenarnya merupakan sinkang tingkat tinggi yang selain dapat digunakan untuk melawan sinkang yang sifatnya keras, juga bahkan berani dipakai untuk menyambut senjata lawan.

Maka kakek ini berlaku hati-hati, akan tetapi dia pun cepat mengirim serangan bertubi-tubi dengan tangan kirinya, dengan capingnya, juga dengan sepasang kakinya yang mengirim tendangan-tendangan berantai. Kakek ini amat terkenal dengan langkah-langkah Cap-sha Seng-pouw (Tiga Belas Bintang) dan ke mana pun lawan menyerang tubuhnya, maka dia cepat menghindarkan diri dengan menggunakan langkah-langkah ajaib itu.

Dan hebatnya, dengan langkah-langkah itu bukan hanya dia pandai menghindarkan serangan, malah juga dapat langsung dan secara kontan keras membalas setiap serangan lawan hanya dengan langkah-langkah ajaib itu.
Selanjutnya,