Pendekar Sadis Jilid 39 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sadis Jilid 39
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
GADIS itu memang manis budi, bukan sekedar manis wajahnya. Dan dari gerak-geriknya, ucapannya, senyumnya, pandang matanya, terasa benar oleh Han Tiong bahwa memang gadis itu amat mencintanya! Ahh, betapa berbahagia hidupnya, kalau saja Thian Sin juga berada di situ!

Kurang lebih dua bulan kemudian, salah seorang di antara pemuda dusun itu pulang dan membawa kabar mengenai munculnya seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Sadis! Mendengar berita tentang sepak terjang pendekar itu yang telah membunuh tokoh-tokoh pengemis Hwa-i Kai-pang, seketika tahulah Han Tiong bahwa yang disohorkan sebagai Pendekar Sadis itu pastilah Thian Sin orangnya!

“Belum tentu dia, Tiong-ji,” kata ibunya dengan khawatir melihat kegelisahan puteranya.

“Siapa lagi, ibu, kalau bukan Sin-te? Sudah pasti dia orangnya dan aku akan mencarinya dan akan mencegahnya terseret lebih jauh ke dalam kekejaman yang terdorong oleh sakit hatinya.”

Ayah bundanya, dan juga tunangannya, tidak dapat menahan pemuda itu untuk pergi lagi mencari adik angkatnya yang diduganya telah menjadi seorang tokoh kejam yang dijuluki Pendekar Sadis. Ibunya hendak berkeras menahan, akan tetapi Cia Sin Liong mencegah isterinya, dan membiarkan pemuda itu pergi tetapi memberi waktu enam bulan. Sesudah pemuda itu pergi, barulah Sin Liong berkata kepada isterinya dan calon mantunya yang menangis dan saling rangkul itu.

“Sudahlah, tidak perlu ditangisi. Han Tiong adalah seorang laki-laki sejati yang mencinta adiknya dan watak seperti itu sangat baik. Kalian sepatutnya berbangga akan dia. Andai kata kita larang, dia tentu akan menjadi berduka. Biarlah dia berhasil menemui Thian Sin lebih dahulu, agar hatinya tenteram dan pernikahan dapat dilangsungkan dalam keadaan gembira.”

Akan tetapi, baru satu bulan kemudian, Cia Sin Liong terkejut menerima surat undangan dari Kun-lun-pai yang mengundangnya untuk menghadiri pertemuan para tokoh pendekar untuk membicarakan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan meminta pertanggungan jawab keluarga pendekar itu yang telah berani mengacau di Kun-lun-pai dan membunuh saudara tua dari para ketua Kun-lun-pai.

Tentu saja Cia Sin Liong merasa terkejut bukan main dan setelah memesan kepada calon mantunya untuk tinggal di Istana Lembah Naga, dia bersama isterinya segera berangkat karena isterinya berkeras hendak ikut karena merasa khawatir akan keadaan Han Tiong yang belum ada beritanya.

Sementara itu, di dalam perjalanannya sambil mencari keterangan, Han Tiong mendengar sepak terjang yang hebat dari Pendekar Sadis. Betapa pendekar itu membunuh seorang pangeran di kota raja, membunuh pula Tok-ciang Sianjin serta mengacau Pek-lian-kauw. Yang lebih mengejutkan hatinya adalah saat dia mendengar betapa Pendekar Sadis yang kini sudah dikenal orang sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw itu sudah membasmi See-thian-ong dan anak buahnya, juga telah mengamuk dan membinasakan Pak-san-kui beserta murid-muridnya!

Tentu saja Han Tiong merasa terkejut bukan kepalang. Bagaimana adik angkatnya dapat menjadi selihai itu, mengalahkan dan membunuh para datuk? Juga cara-cara kejam yang digunakan oleh Pendekar Sadis membuat hatinya berduka sekali. Dia lalu mempercepat perjalanannya agar dapat segera bertemu dengan adiknya.

Saat dia mendengar tentang sepak terjang Pendekar Sadis di Kun-lun-pai yang beritanya cepat tersiar di seluruh kang-ouw itu, dia menjadi semakin terkejut kemudian cepat pergi menyusul adiknya ke barat.

Kali ini demikian tekunnya Han Tiong menyelusuri jejak adik angkatnya dan karena nama Pendekar Sadis sedang menjadi buah bibir semua orang kang-ouw, lebih mudah baginya kini mencari adiknya sebagai pendekar itu dari pada ketika dia mencari sebagai Thian Sin yang tidak dikenal orang.

Maka, tidak mengherankanlah kalau berkat ketekunannya ini pada suatu pagi dia berhasil berhadapan dengan Thian Sin dan Toan Kim Hong! Ketika itu, Thian Sin dan Kim Hong sedang menuruni sebuah bukit sambil bergandengan tangan. Dua sejoli ini telah dua hari tinggal di puncak bukit itu, puncak yang sangat indah di mana terdapat hutan yang kaya akan binatang buruan dan pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan.

Mereka berdua tinggal di puncak bukit itu, laksana sepasang pengantin baru yang setiap waktu bermesraan dan berkasih sayang, bermain cinta sepuas-puasnya tanpa ada orang lain yang mengganggu mereka. Dan pada pagi hari itu mereka menuruni puncak sambil bergandengan tangan. Setelah menuruni puncak, barulah menjadi persoalan dalam pikiran mereka ke mana akan pergi.

“Ehh, ke manakah kita menuju sekarang…?” tanya Kim Hong.

Thian Sin merangkul leher kekasihnya dan sambil berangkulan mereka pun berjalan terus perlahan-lahan. “Kekasihku, aku sudah mempunyai rencana untuk itu, untuk masa depan kita.”

Kim Hong juga tertawa. “Aku pun sudah mempunyai rencana yang baik sekali.”

“Bagus!” kata Thian Sin. “Kita berdua sudah mempunyai rencana, khawatir apa lagi?”

“Tetapi…,” kata Kim Hong. “Bagaimana kalau rencana kita berbeda dan saling bertolak belakang?”

“Ahh, mana bisa? Kita kan sudah sepaham, senasib sependeritaan, dan kita juga saling mencinta, bukan?” kata Thian Sin.

“Benar, Thian Sin. Untuk membuktikan cintamu kepadaku, engkau tentu akan menyetujui rencanaku.”

“Dan kalau memang benar cinta padaku seperti aku cinta padamu, Kim Hong, kau tentu tidak akan menentang rencanaku untuk hari depan kita yang amat baik.”

Kim Hong melepaskan diri dari rangkulan dan mundur beberapa langkah, lalu menatap pemuda itu dengan alis berkerut. “Nah, nah, hal ini perlu dibereskan sekarang juga. Coba katakan bagaimana rencanamu, baru aku akan menceritakan rencanaku.”

“Rencanaku bagus sekali. Mulai sekarang kita memerlukan tempat untuk hidup tenteram, Kim Hong. Setelah kita terlibat dalam pertengkaran dengan Kun-lun-pai, aku merasa tidak enak sekali dan kita pun perlu beristirahat di tempat yang aman. Dan satu-satunya tempat yang aman bagiku adalah Lembah Naga. Kita pergi ke Lembah Naga…”

“Apa? Ke tempat tinggal Pendekar Lembah Naga?” Kim Hong bertanya dan nampak amat terkejut, matanya terbelalak memandang kekasihnya itu.

“Kenapa tidak? Pendekar Lembah Naga adalah ayah angkatku, dan Cia Han Tiong, putera tunggal mereka adalah kakak angkatku yang amat kuhormati dan kucinta. Engkau akan merasa seperti berada di rumah sendiri, antara keluarga sendiri. Mereka adalah keluarga yang terhormat, keluarga gagah perkasa dan budiman…”

“Tidak! Aku tidak akan ke sana!” Kim Hong berseru marah, teringat betapa ketika masih menjadi Lam-sin, dia pernah ditolak untuk berkenalan dengan keluarga itu. “Dan di sana aku harus bertemu dengan Ciu Lian Hong, gadis yang kau cinta itu?”

“Ah, mengapa engkau berkata demikian? Yang kucinta adalah engkau, dan dara itu telah menjadi jodoh kakak angkatku, mungkin sekarang sudah menjadi isterinya. Percayalah, Kim Hong. Keluarga Cia akan menerimamu dengan manis budi kalau mereka mendengar bahwa engkau adalah kekasihku, tunanganku. Dan kita sekalian minta doa restu mereka untuk dapat berjodoh…”

“Apa? Maksudmu menjadi suami isteri?”

“Habis, apa lagi? Bukankah kita telah menjadi suami isteri? Tinggal pengesahannya saja, tinggal upacara pernikahannya saja.”

“Tidak! Urusan pernikahan adalah urusan kelak. Kalau kita memang menganggap perlu, kita menikah, kalau tidak ya tidak.”

“Apa… apa maksudmu?”

“Lupakah engkau, Thian Sin, ketika pertama kali kita bertemu, sudah kunyatakan bahwa aku menyerahkan diri bukan untuk menjadi isterimu, namun untuk memenuhi sumpahku kepada ibuku? Kalau kemudian kita saling jatuh cinta, itu merupakan urusan kita berdua. Sedangkan pernikahan, secara umum berarti hanya pengakuan saling mencinta kita itu kepada umum. Kalau kita tidak membutuhkan umum itu? Asal kita saling mencinta, apa hubungannya dengan umum, apakah cinta kita itu disahkan, dirayakan atau tidak? Yang penting bukan pernikahan itu, melainkan tempat kita hidup selanjutnya. Aku tidak mau di Lembah Naga.”

Thian Sin merasa penasaran. “Habis, kalau menurut rencanamu, ke manakah kita harus mengasingkan diri?”

“Ada suatu tempat yang paling baik, yaitu di Pulau Teratai Merah!”

“Hemmm, tempat ayah dan ibumu mengasingkan diri berdua sampai mati itu?”

“Ya, apa salahnya? Tempat itu cukup indah, tanahnya subur, dan kita dapat berhubungan dengan dunia luar melalui laut, hanya berlayar selama setengah hari. Di sana aman, kita tak akan terganggu…”

“Dan begitu amannya sampai ayah bundamu cekcok dan saling bunuh?”

“Thian Sin! Kalau engkau tidak mau pun tidak mengapa, tidak perlu engkau mencela ayah bundaku, keparat!”

“Ehh, engkau memaki?”

“Ya, memang aku memaki karena engkau memualkan perut, menggemaskan. Habis, kau mau apa?”

“Engkau makin kurang ajar, Kim Hong!”

“Ehh, kurang ajar? Kau kira aku takut padamu? Kau kira aku ini apamu, harus selalu taat kepadamu, ya?” Sesudah berkata demikian, Kim Hong segera meloncat ke depan sambil menampar dengan amat kerasnya. Thian Sin menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

“Plakk!”

Tangkisan yang tidak disangka oleh Kim Hong itu membuat lengan dara itu terasa nyeri sehingga dia pun menjadi semakin marah. Dengan mata berlinang dia cepat menyerang kalang kabut, menyerang dengan sungguh-sungguh, terdorong oleh hati yang marah.

Thian Sin terpaksa melayani karena dia pun sudah marah. Dua orang muda itu kini saling serang dengan ganas dan seru, lupa bahwa baru beberapa jam yang lalu mereka berdua saling mencumbu rayu dan saling menumpahkan rasa sayang masing-masing dengan hati penuh kemesraan!

Tingkat kepandaian dua orang muda ini memang seimbang, sehingga andai kata mereka berdua itu saling serang untuk saling membunuh juga, agaknya Thian Sin hanya dapat menang setelah lewat waktu yang cukup lama. Apa lagi kini mereka saling serang hanya karena terdorong rasa marah, maka perkelahian itu sangat seru dan agaknya keduanya tidak mau saling mengalah.

Debu mengepul di sekeliling mereka dan kedua lengan mereka sudah terasa nyeri serta matang biru karena mereka saling tangkis dengan pengerahan sinkang sekuatnya, walau pun mereka tidak memiliki niat untuk saling bunuh. Keunggulan Thian Sin dalam tenaga sinkang diimbangi dengan keunggulan serangan Kim Hong yang dibantu oleh rambutnya yang sangat lihai itu. Beberapa kali Thian Sin sempat terdesak oleh totokan-totokan yang dilakukan dengan kuncir rambut itu.

Sudah lebih dari lima puluh jurus mereka berkelahi dan keduanya menjadi semakin marah karena tidak mau saling mengalah, juga menganggap bahwa masing-masing sudah saling membenci. Tiba-tiba saja berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu ada seorang pemuda terjun ke dalam medan perkelahian itu sambil membentak nyaring,

“Perempuan kejam, jangan ganggu adikku!”

Orang ini bukan lain adalah Cia Han Tiong! Dia telah menemukan jejak adiknya dan cepat melakukan pengejaran, lantas di tengah jalan dia melihat betapa Thian Sin sedang saling serang dengan seorang wanita yang lihainya bukan kepalang. Dia melihat betapa adiknya itu nampak sangat sibuk dan sedang terdesak menghadapi totokan-totokan kuncir rambut yang amat berbahaya.

Karena gerakan wanita itu sangat cepat dan rambutnya merupakan bayangan hitam yang menyambar-nyambar, maka Han Tiong tidak dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas, hanya menyangka bahwa tentu wanita itu seorang wanita iblis jahat maka menggunakan senjata yang demikian aneh dan mengerikan. Begitu dia terjun ke dalam pertempuran, dia sudah mengulur tangan hendak mencengkeram bayangan hitam rambut itu!

Kim Hong terkejut bukan main. Rambutnya hampir kena dicengkeram pendatang baru ini, maka dia mengelak ke samping sambil menggerakkan kepala menarik kembali kuncirnya, dan kakinya menendang dengan gerakan kilat ke arah pusar orang yang baru datang itu. Han Tiong terkejut, tak mengira bahwa gerakan wanita itu sedemikian cepatnya, maka dia pun menangkis dengan lengan kanannya.

“Dukkk!”

Akibatnya, tubuh Han Tiong tergetar akan tetapi kaki yang menendang itu pun terpental. Han Tiong makin kaget karena sekarang dia dapat melihat bahwa wanita itu sama sekali bukan merupakan seorang wanita iblis yang mengerikan, melainkan seorang dara muda yang amat cantik jelita dan manis, akan tetapi yang nampak marah bukan main.

Juga Kim Hong mengenal Han Tiong putera Pendekar Lembah Naga yang dahulu pernah dilihatnya ketika dia masih menjadi Lam-sin itu. Han Tiong yang mengira bahwa wanita itu adalah musuh adik angkatnya, dan tahu bahwa wanita cantik itu lihai sekali, sudah maju menyerang lagi.

“Dukkk!”

Serangannya ditangkis oleh Thian Sin yang sudah meloncat maju ke depan.

“Tiong-ko, tahan, jangan serang, dia adalah teman sendiri!”

Han Tiong kaget, lalu menjura ke arah wanita itu. “Harap maafkan saya.”

Kemudian dua orang pemuda itu saling pandang. Sampai lama mereka hanya saling tatap dan seperti didorong oleh sesuatu yang amat kuat, keduanya lalu saling tubruk dan saling rangkul.

“Sin-te…!”

“Tiong-ko…!”

Sampai lama mereka berangkulan seperti itu dan ketika mereka saling melepaskan, mata kedua orang pemuda ini sudah menjadi basah. Mereka saling pandang dengan senyuman sambil saling berpegangan tangan, namun mata mereka basah. Baru terasa oleh mereka betapa di antara mereka terdapat getaran kasih sayang yang amat besar.

“Sin-te, mengapa kau meninggalkan kami begitu lama tanpa berita?” Han Tiong menegur dengan suara mengandung penyesalan.

Thian Sin menunduk, merasa sangat bersalah. Setelah berhadapan dengan kakaknya ini, lenyaplah semua keangkuhannya, dan dia selalu merasa kecil, selalu merasa betapa dia harus mentaati kakaknya ini.

“Maafkan Tiong-ko, aku… aku harus melaksanakan urusan pribadiku… yang berhubungan dengan mendiang ayah…”

“Hemmm, membalas dendam, ya? Melepas dendam hati sepuasnya dengan menghukum musuh-musuh secara keji sekali sehingga engkau dijuluki orang Pendekar Sadis?”

“Tiong-ko, bukan keinginanku agar berjuluk demikian. Aku memang menghukum mereka, membunuh mereka yang kuanggap jahat, untuk memuaskan dendam hatiku yang sudah bertumpuk-tumpuk. Aku membunuh mereka semua yang sudah menyebabkan kematian ayah bundaku. Salahkah itu, Tiong-ko?”

Kim Hong mendengarkan dengan hati penuh keheranan. Suara kekasihnya itu kini seperti anak kecil yang minta dikasihani!

“Sin-te, aku tidak menyalahkan kalau engkau mengandung sakit hati bila mengingat akan kematian orang tuamu, dan memang sudah menjadi tugasmu sebagai seorang pendekar untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran serta keadilan. Akan tetapi, apa bila engkau melakukan semua penentangan itu dengan hati penuh kebencian dan melakukan kekejaman, lalu apa bedanya dengan mereka? Kebenaran yang dibela dengan kekejaman bukanlah kebenaran lagi, adikku, tetapi menjadi kejahatan pula! Tujuan tidak menentukan, akan tetapi kenyataannya terletak pada pelaksanaan. Kalau pelaksanaannya buruk, maka tujuannya pun tidak dapat dinamakan baik. Jika caranya kotor, maka tujuannya pun tentu tidak bersih. Tak mungkin tujuan bersih dicapai dengan melalui cara yang kotor. Seorang pendekar yang kejam bukanlah pendekar lagi namanya, melainkan seorang penjahat.”

Hening sejenak, dan akhirnya, dengan lemah Thian Sin mencoba untuk membela diri.

“Kalau begitu, apakah aku harus mengampuni mereka semua itu, Tiong-ko?”

“Apa salahnya mengampuni orang yang dahulu pernah melakukan penyelewengan dalam hidupnya apa bila dia itu memang hendak kembali ke jalan benar dan sudah insyaf akan penyelewengannya? Adikku yang baik, bukalah mata dan lihatlah kenyataan di dunia ini. Siapakah yang selama hidupnya tak pernah melakukan penyelewengan yang dinamakan kesalahan atau dosa? Penyelewengan dalam hidup sama dengan sakit, walau pun bukan badannya yang sakit, melainkan batinnya. Setiap orang tentu pernah dilanda penyakit ini, baik badan mau pun batinnya. Kalau ada orang yang melakukan penyelewengan, berarti dia itu baru sakit, apakah kita harus membunuhnya saja, menyiksanya untuk memuaskan hati kita? Bukankah sepatutnya kalau kita mengulurkan tangan membantunya keluar dari jurang kesesatannya, membantunya sembuh dari penyakitnya? Ingatlah, orang yang sakit itu sewaktu-waktu dapat sembuh. Orang yang tadinya menyeleweng dan dianggap jahat tak selamanya begitu, sekali waktu dapat saja dia menjadi orang baik atau orang waras. Sebaliknya, yang sedang dalam keadaan sehat jangan sekali-kali memandang rendah terhadap orang yang sedang sakit, karena yang sehat itu sewaktu-waktu dapat saja jatuh sakit atau menyeleweng.” Kim Hong ikut mendengarkan dan hatinya tersentuh. Dia pun merasa bahwa dia pernah menyeleweng, bahkan lebih dari penyelewengan biasa. Dulu dia pernah menjadi Lam-sin, menjadi datuk kaum sesat di dunia selatan, bahkan sempat membentuk Bu-tek Kai-pang yang menjagoi seluruh dunia selatan. Juga pernah membiarkan anak buahnya melakukan kesewenang-wenangan mengandalkan kepandaian, pernah melakukan kejahatan apa pun juga.

Tapi semenjak dia bertemu dengan Thian Sin, semenjak dia menanggalkan samarannya sebagai Lam-sin, dia seakan-akan hidup di dunia lain. Dia pun ingin menjadi orang sehat, bahkan lebih dari itu, dia ingin menjadi pendekar! Maka semua kata-kata pemuda putera Pendekar Lembah Naga itu meresap benar ke dalam sanubarinya. Dia sendiri pun bukan keturunan penjahat! Ayahnya adalah seorang pangeran, ada pun ibunya adalah seorang pendekar wanita!

“Ahhh, Tiong-ko, betapa selama ini aku merindukan semua kata-kata dan nasehatmu …” Akhirnya terdengar Thian Sin mengeluh. “Akan tetapi apa hendak dikata, semua itu sudah kulakukan, Tiong-ko, terdorong oleh rasa sakit hatiku yang bertumpuk-tumpuk. Semuanya sudah terlewat, lalu apa yang dapat kulakukan?”

“Yang sudah-sudah memang tak mungkin diperbaiki kembali, Sin-te. Akan tetapi aku pun mendengar bahwa akhir-akhir ini engkau juga sudah menyerbu ke Kun-lun-pai. Benarkah berita yang kudengar itu? Bahwa engkau sudah membunuh seorang tokoh Kun-lun-pai yang sudah tua dan sedang bertapa?”

Thian Sin lebih dulu melirik ke arah Kim Hong. Melihat dara itu diam mendengarkan, dia pun mengangguk. “Ahh, Sin-te… Sin-te…! Engkau ini pendekar macam apa? Apakah engkau tidak tahu pula bahwa Kun-lun-pai adalah perguruan dan perkumpulan silat para pendekar yang terkenal di dunia kang-ouw? Yang menyerbu Kun-lun-pai, pantasnya hanya para penjahat! Bagaimana engkau sampai bisa memusuhi Kun-lun-pai, Sin-te? Apa kau tahu, kini Kun-lun-pai hendak mengadakan pertemuan para pendekar untuk menuntut pertanggungan jawab dan mau tak mau, ayah kita tentu akan terbawa-bawa. Sin-te, seorang pendekar harus berani bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Dan aku ingin agar engkau sebagai adikku yang tercinta, juga mau mempertanggung jawabkan perbuatanmu terhadap Kun-lun-pai!”

“Maksudmu bagaimana, Tiong-ko?”

“Mari kau ikut bersamaku menghadap para pimpinan Kun-lun-pai dan pertemuan antara para pendekar itu, untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu.”

“Ahh, hal itu tidak mungkin, Tiong-ko. Aku tidak mungkin menghadap mereka!” Thian Sin menolak dengan suara terkejut sekali. Menghadap para pimpinan Kun-lun-pai sama saja dengan mencari mati!

“Engkau harus, Sin-te! Dan aku akan menanggungmu, aku akan membelamu, kalau perlu aku akan membelamu dengan taruhan nyawaku. Akan tetapi, mati atau hidup, kita harus tetap bersikap sebagai seorang pendekar yang berani bertanggung jawab terhadap semua perbuatannya!”

“Tidak, Tiong-ko, aku tidak mau…”

Han Tiong maju satu langkah. “Sin-te, mungkin ilmu kepandaianmu telah jauh melampaui tingkatku, akan tetapi sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang pendekar, terutama sekali sebagai kakakmu yang mencintamu, untuk menyadarkanmu dan kalau perlu aku akan memaksamu untuk pergi bersamaku menghadap ke Kun-lun-pai.”

Thian Sin memandang kakaknya dengan muka berubah dan mata terbelalak.

“Maksud… maksudmu…?”

“Kalau engkau tidak mau ikut secara suka rela, maka aku akan menggunakan kekerasan, menawanmu dan membawamu menghadap dalam pertemuan para pendekar itu, atau… biarlah aku tewas dalam tanganmu demi membawamu ke jalan yang benar, adikku!”

“Tidak, Tiong-ko… engkau tidak mungkin…”

Akan tetapi Han Tiong telah menerjang maju untuk menotok jalan darah di kedua pundak adiknya dan karena dia tahu betul akan kelihaian adiknya itu, maka begitu menyerang dia sudah menggunakan ilmu andalannya, yaitu It-sin-ci, ilmu menotok yang mempergunakan satu jari.

Ilmu ini hebat bukan main dan jarang ada lawan yang sanggup menghindarkan diri dari serangan It-sin-ci. Akan tetapi pada waktu itu, tingkat kepandaian Thian Sin sudah amat tinggi, tidak kalah lihainya bila dibandingkan dengan kakak angkatnya, maka dengan tidak begitu sukar dia berhasil menangkis totokan-totokan itu sambil meloncat ke belakang.

“Tidak, Tiong-ko, jangan…!”

Akan tetapi Han Tiong terus mendesak dan Thian Sin yang tidak mau melawan kakaknya hanya mengelak atau menangkis sambil mundur terus. Melihat ini, tiba-tiba saja Kim Hong meloncat ke depan dan dia menangkis totokan berikutnya sambil membentak,

“Tahan dulu!”

“Dukk!”

Kembali Han Tiong mengadu tenaga dengan Kim Hong, namun sekali ini Kim Hong yang menangkis dan kembali keduanya merasa tergetar oleh kekuatan lawan.

“Nona, urusan kami adalah urusan kakak dan adik, tidak perlu dicampuri oleh orang luar!”

“Cia Han Tiong taihiap, aku bukanlah orang luar! Bahkan di dalam urusan Kun-lun-pai ini, akulah yang menyerbu ke sana, dan akulah yang memusuhi pertapa itu. Thian Sin hanya kumintai bantuan saja, jadi akulah pula yang bertanggung jawab, bukan dia!”

Mendengar ucapan ini, tentu saja Han Tiong menjadi terkejut lantas memandang kepada adik angkatnya dengan penuh perhatian dan alis berkerut ketika dia bertanya, “Sin-te, apa artinya ini? Siapakah nona ini?”

“Dia… dia adalah tunanganku, Tiong-ko…”

“Ahh…!” Seketika wajah Han Tiong berseri gembira.

Dia cepat menoleh dan memandang kepada Kim Hong penuh perhatian. Makin giranglah hatinya ketika dia mendapat kenyataan betapa nona itu memang sungguh sangat cantik sesudah kini dia memandang dengan jelas, cantik jelita tidak kalah dibandingkan dengan Lian Hong!

“Begitukah? Kionghi, Sin-te, kionghi…! Ah, sungguh aku girang sekali… dan suara nona… seperti… pernah aku mendengarnya!”

Kim Hong tersenyum sehingga tampak semakin manis. “Memang sebelumnya kita pernah saling bertemu, taihiap.”

Thian Sin hendak memberi isyarat agar kekasihnya jangan memperkenalkan dirinya. Akan tetapi Kim Hong yang masih mendongkol karena pertengkarannya dengan Thian Sin tadi, melanjutkan,

“Mungkin taihiap teringat kalau kukatakan bahwa tunangan taihiap, Nona Ciu Lian Hong, dulu pernah menjadi muridku…”

Han Tiong terkejut dan terbelalak heran memandang wajah nona itu. Kini dia pun teringat! Memang, suara nona ini sama benar dengan suara nenek datuk kaum sesat di selatan itu, yaitu Nenek Lam-sin yang lihai! Tentu saja dia tidak percaya dan berkata,

“Tapi… tapi… Hong-moi ditolong dan menjadi murid Nenek Lam-sin…” “Sejak bertemu dengan adikmu, taihiap, nenek Lam-sin sudah tak ada lagi di permukaan bumi ini, yang ada hanyalah aku, Toan Kim Hong.”

Han Tiong masih belum yakin benar maka dia cepat menoleh kepada adiknya, diguncang-guncangnya. “Apa artinya ini, Sin-te? Apa artinya ini?”

Thian Sin memegang tangan kakaknya, “Tiong-ko, janganlah kau serang aku lagi, sampai mati pun aku tidak mungkin mau melawanmu. Marilah kita bicara baik-baik dan dengarkan ceritaku. Yang menjadi Nenek Lam-sin itu adalah nona ini, Toan Kim Hong dan dia telah menjadi kekasihku, tunanganku, isteriku…”

Pemuda itu menarik tangan kakaknya, diajak duduk di atas padang rumput tak jauh dari tempat itu, diikuti oleh Kim Hong yang tersenyum melihat betapa Han Tiong kini menurut saja ditarik adiknya, tidak lagi marah-marah seperti tadi.

Dengan panjang lebar Thian Sin kemudian menceritakan segala pengalamannya, tanpa ada yang dirahasiakan kepada kakak angkatnya itu. Betapa dia pernah gagal membalas kepada See-thian-ong dan betapa dia kemudian mempelajari ilmu-ilmu peninggalkan ayah kandungnya di Himalaya.

Diceritakannya, ketika dia membalas dendam kepada semua musuh-musuh orang tuanya dan juga musuh-musuh yang telah membuat keluarga Ciu terbinasa, betapa dia bertemu dengan Lam-sin yang kemudian menjadi Kim Hong dan menjadi isterinya. Dengan dibantu oleh wanita itu dia lalu berhasil membunuh See-thian-ong dan Pak-san-kui berikut semua muridnya.

“Memang dalam dendam dan sakit hatiku, aku berlaku kejam terhadap mereka, Tiong-ko. Juga para penjahat yang bertemu denganku, kubasmi secara kejam. Aku sakit hati sekali terhadap mereka, sakit hati sejak orang tuaku terbunuh, sampai ketika keluarga Ciu juga terbasmi. Diam-diam aku telah bersumpah untuk membasmi semua penjahat di dunia ini!”

Han Tiong mendengarkan dengan penuh perhatian dan kadang-kadang menahan napas waktu adiknya menceritakan cara adiknya itu menyiksa dan membunuh para penjahat dan musuh besar itu. Lalu dia berkata, “Akan tetapi, engkau telah membunuh Pangeran Toan Ong yang terkenal budiman…”

“Itu merupakan kesalahanku mudah terbujuk fitnah seorang wanita jahat,” katanya.

Kemudian dia pun terang-terangan menceritakan tentang pertemuannya dengan Kim Lan. Betapa dia dibohongi Kim Lan sehingga membunuh Toan Ong. Kemudian betapa setelah tahu akan rahasia Kim Lan dia lalu merusak wajah wanita itu. Kakak angkatnya bergidik mendengar semua penuturan yang diceritakan secara terang-terangan itu.

“Nona Toan, tadi engkau mengatakan bahwa urusan di Kun-lun-pai itu adalah urusanmu. Sebenarnya, bagaimanakah hal itu terjadi dan mengapa engkau sampai bentrok dengan Kun-lun-pai?”

“Begini, taihiap…”

“Nanti dulu, nona. Kalau engkau bakal menjadi isteri adikku, kenapa engkau menyebutku taihiap segala? Membuat hatiku menjadi tidak enak saja.”

“Baiklah… Tiong-ko,” Kim Hong berkata sambil tersenyum manis, meniru panggilan Thian Sin terhadap Han Tiong.

Han Tiong tersenyum gembira. “Nah, begitu lebih baik bukan, Sin-te? Dan kelak apa bila kalian telah punya anak, boleh sebut toa-pek (uwak) padaku!” Mereka bertiga tertawa lagi dengan gembira.

Akan tetapi tidak lama kemudian Kim Hong lalu menceritakan tentang riwayatnya, tentang kematian ayahnya, seorang pangeran yang dianggap buronan oleh kaisar sehingga terus dikejar-kejar sampai akhirnya hidup sengsara dan mati sebagai buronan. Diceritakannya kenapa dia menaruh dendam kepada supek-nya, yaitu Gouw Gwat Leng yang kemudian menjadi Jit Goat Tosu dan bertapa di Kun-lun-pai, betapa dia dibantu oleh Thian Sin lalu mendatangi Kun-lun-pai, dengan baik-baik minta menghadap ketua Kun-lun-pai dan minta bertemu dengan Jit Goat Tosu tanpa melibatkan Kun-lun-pai sama sekali.

Kemudian tentang pertemuannya dengan supek-nya yang sangat lihai sehingga terpaksa mereka berdua pun akan kalah kalau saja supek-nya itu tidak mengalah, bahkan akhirnya supek-nya itu membunuh diri untuk menebus penyesalannya tentang kesengsaraan hidup sute-nya, yaitu Pangeran Toan Su Ong.

“Urusan antara keluargaku dan supek Gouw Gwat Leng adalah urusan pribadi dan kami sama sekali tidak menyangkutkan Kun-lun-pai. Akan tetapi sungguh para tosu Kun-lun-pai itu tidak tahu diri. Supek mati karena membunuh diri, karena dia merasa menyesal dan baru sesudah dia membunuh diri aku melihat kenyataan bahwa sebenarnya supek sangat mencinta mendiang ayahku. Kematian supek-ku sungguh sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai, akan tetapi para tosu itu dengan membabi buta mengeroyok kami, bahkan kini melaporkan kami kepada tokoh-tokoh kang-ouw!” Kim Hong mengepal tinjunya. Gadis ini dengan terus terang menceritakan semua riwayatnya.

Mendengar cerita nona itu, Han Tiong menarik napas panjang. Dia merasa kagum sekali terhadap kakek yang bernama Couw Gwat Leng atau Jit Coat Tosu itu. “Beliau seorang bijaksana, sayang sebelumnya kalian tidak tahu tentang hal itu sehingga terpaksa nyawa seorang yang begitu bijaksana harus dikorbankan secara sia-sia. Tahukah kalian kenapa beliau membunuh diri? Bukan hanya karena penyesalannya, melainkan untuk mencegah kalian berdua, karena kalau sampai beliau mati di tanganmu, maka hal itu akan membuat engkau seorang murid durhaka dan selamanya engkau akan menyesali perbuatanmu itu. Di atas dunia ini, tidak semua perkara akan dapat diatasi dengan kekerasan. Ilmu silat hanya patut dipergunakan mencegah terjadinya kejahatan melindungi diri sendiri dan juga orang-orang lain yang terancam bahaya. Akan tetapi, kalau ilmu silat dipergunakan untuk melampiaskan dendam, maka itu menjadi ilmu terkutuk, menjadi ilmu hitam.”

Dua orang itu mendengarkan sambil tertunduk. Berhadapan dengan kakaknya, Thian Sin merasa kehilangan semua semangat perlawanannya, membuat dia seperti mati kutu. Hal ini adalah karena perasaan cinta kasih dan hormat yang amat besar, membuat dia tidak mungkin dapat menentang atau membantah. Bukan karena takut, melainkan karena cinta dan juga apa pun yang keluar dari mulut kakaknya itu terasa olehnya amat tepat dan tidak mungkin dapat dibantah kebenarannya lagi.

Keadaan menjadi serius lagi sesudah Han Tiong bicara dengan sungguh-sungguh. Dalam menghadapi keadaan ini, di mana dia merasa dirinya tenggelam tak berdaya dan bahkan Kim Hong yang agaknya berwatak pemberontak itu pun terdiam, Thian Sin merasa tidak enak sekali dan dia pun mencoba untuk memecahkan suasana itu dengan berkelakar.

“Aduh, Tiong-ko, lama tidak bertemu denganmu, sekali berjumpa, engkau agaknya seperti telah menjadi seorang pendeta! Kuliahmu penuh dengan hal-hal batiniah belaka!”

Han Tiong tersenyum, akan tetapi jawabannya tetap saja serius, “Sin-te, mana mungkin kita mengabaikan soal-soal batiniah? Hidup ini bukan hanya lahirlah belaka, bukan? Lahir dan batin haruslah serasi, maju bersama-sama, karena kalau tidak demikian, kita tentu akan terjeblos ke dalam lembah sengsara. Batin yang waspada membuat orang menjadi bijaksana, Sin-te.”

“Semua ucapanmu memang benar, Tiong-ko. Akan tetapi aku ingin mendengar tentang segi lain dari hidupmu semenjak kita berpisah. Bagaimana keadaan ayah dan ibu? Dan bagaimana dengan keadaan Lian Hong?”

Kini ringan saja lidah Thian Sin menyebut nama ini, tanpa ada rasa berat sedikit pun di hatinya, tanda bahwa dia memang sama sekali sudah tidak mengharapkan gadis itu, dan hal ini pun amat terasa oleh Han Tiong yang menjadi lega. Dia tahu bahwa adiknya telah mendapatkan seorang pengganti, seorang gadis yang harus diakuinya dalam segala hal tidak kalah dibandingkan dengan Lian Hong. Bahkan lebih cantik dan dalam hal ilmu silat jauh lebih lihai.

“Ayah dan ibu baik-baik saja, biar pun mereka juga amat mengharapkan kedatanganmu, Sin-te. Dan Adik Lian Hong juga baik-baik saja, sekarang sudah tinggal di Lembah Naga bersama kami. Engkau tahu, Sin-te, di mana aku menemukan Hong-moi? Di sarang datuk sesat Lam-sin, bahkan sempat menjadi murid datuk itu yang ternyata juga telah menolong dia ketika terjadi keributan itu.” Han Tiong tersenyum dan memandang kepada Kim Hong yang hanya tersenyum saja.

Tentu saja Thian Sin sudah tahu tentang hal itu dari Kim Hong. Dia hanya mengangguk-angguk dan berkata, “Syukurlah kalau dia telah berada di Lembah Naga. Bukankah kalian sudah menikah sekarang, Tiong-ko?”

Han Tiong menggelengkan kepala lalu memandang kepada adiknya. “Aku selalu mengulur waktu untuk itu, Sin-te. Aku tidak mau menikah sebelum engkau pulang…”

“Ehh, kenapa begitu?” Thian Sin bertanya kaget.
Han Tiong mengerling kepada Kim Hong, kemudian berkata, “Tadinya aku selalu meragu, adikku… mana mungkin aku bisa hidup bersenang-senang sendiri saja sementara engkau masih belum kuketahui keadaanmu? Akan tetapi sekarang, ahh, sekarang lain lagi. Tapi sudahlah, ada hal lain yang lebih penting dan perlu kubicarakan denganmu, Sin-te, juga denganmu, Nona Toan.”

“Hal penting apakah, Tiong-ko?” jawab kedua orang itu hampir berbarengan dan mereka berdua memandang kepada Han Tiong dengan penuh perhatian.

“Bukan lain tentang pertanggungan jawab, adik-adikku. Tanggung jawab akan perbuatan diri sendiri merupakan syarat mutlak bagi seorang pendekar. Oleh karena itu, aku minta kepadamu, Sin-te, agar engkau suka mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu di Kun-lun-pai dan menyerahkan diri!”

“Tiong-ko…!” Thian Sin memandang dengan mata terbelalak.

“Tiong-ko, tadi sudah kukatakan bahwa urusan Kun-lun-pai adalah urusanku sendiri!” Kim Hong membantah. “Thian Sin tidak bertanggung jawab, aku yang bertanggung jawab!”

Han Tiong menggeleng kepala dan menghela napas. “Adik Kim Hong, biar pun aku tahu bahwa ilmu silatmu sangat hebat, akan tetapi agaknya namamu tidaklah sedahsyat nama julukan Sin-te sebagai Pendekar Sadis sehingga fihak Kun-lun-pai menekankan Pendekar Sadis dalam peristiwa di Kun-lun-pai itu sebagai pelaku utamanya. Lagi pula, jelas bahwa Sin-te turut pula turun tangan maka dia tidak mungkin dapat lepas dari tanggung jawab. Selain itu, sesudah kalian berdua menjadi calon jodoh, bukankah berarti tanggung jawab yang seorang juga menjadi tanggung jawab yang lain? Maka, kuminta, marilah kita pergi ke Kun-lun-pai, biarlah aku yang akan mengantar kalian. Kun-lun-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang tentu akan bersikap bijaksana.”

Thian Sin menggelengkan kepalanya lalu memegang lengan kakaknya. “Tiong-ko, engkau tidak tahu. Mereka itu memusuhi aku, memusuhi kami. Mereka itu membenciku! Ketika kami berada di Kun-lun-pai, kami sudah menjelaskan bahwa kami tidak memusuhi pihak Kun-lun-pai, bahkan ketika mereka itu mengeroyok dan hendak menangkap kami, kami sengaja mengalah dan tidak membunuh seorang pun. Kami melarikan diri. Mana mungkin sekarang kami harus menyerahkan diri begitu saja padahal kami tidak bersalah terhadap mereka?”

Han Tiong membalas pegangan adiknya itu. “Adikku, sudah kukatakan bahwa Kun-lun-pai bukanlah perkumpulan jahat, melainkan perkumpulan para pendekar dan dijunjung tinggi oleh para pendekar di seluruh dunia persilatan. Kalian sudah menyebabkan kematian Jit Goat Tosu yang dianggap sebagai saudara sendiri oleh para pimpinan Kun-lun-pai, dan kematian itu terjadi di Kun-lun-pai, dan kini engkau masih mengatakan bahwa Kun-lun-pai tak ada sangkut-pautnya sama sekali? Biar pun begitu, Kun-lun-pai tidak mau membalas dendam begitu saja terhadapmu, Sin-te, melainkan mau minta pertimbangan dan keadilan dalam pertemuan para pendekar. Mereka ini hendak menangkap kalian untuk dimintakan pengadilan, sama sekali bukan untuk membalas dendam dan mencelakai kalian. Tahukah engkau bahwa menurut kabar yang kudapatkan di jalan, pihak Kun-lun-pai bahkan akan minta pertanggungan jawab Cin-ling-pai dan ayah kita di Lembah Naga? Nah, sebagai seorang gagah, marilah kuantar engkau menghadap ke Kun-lun-pai, menyerahkan diri dan menghadapi pengadilan dengan gagah pula. Percayalah, kalau nanti terjadi ketidak adilan, aku yang akan membelamu, kalau perlu dengan taruhan nyawaku!”

Thian Sin menjadi ragu-ragu kemudian menoleh kepada Kim Hong. Akan tetapi Kim Hong mengerutkan alisnya dan gadis itu lalu menggeleng kepala. “Aku tidak akan menyerahkan diri kepada tosu-tosu bau itu!”

Thian Sin juga membayangkan betapa akan malunya untuk menyerahkan diri, dan tentu para tosu yang merasa sakit hati itu akan berdaya sedapat mungkin untuk bisa membalas dendam. Pula, dia tidak mau kalau sampai perbuatannya harus dipertanggung jawabkan oleh semua keluarga Cin-ling-pai, apa lagi ayah angkatnya juga harus turut bertanggung jawab.

“Tiong-ko, ahh, Tiong-ko, mengapa begitu? Mengapa seakan-akan engkau malah hendak membantu mereka yang hendak menangkap kami?” Dia mengeluh sambil menatap pada kakaknya dengan sinar mata sedih.

Han Tiong mengerutkan alisnya. “Adikku, ke manakah perginya kegagahanmu? Lupakah engkau bahwa seorang pendekar adalah pembela kebenaran, bahwa kematian pun bukan apa-apa, asal mati dalam kebenaran? Aku bukan hendak membantu mereka yang ingin menangkapmu, adikku, melainkan membantumu kembali ke jalan lurus seorang pendekar. Marilah kuantar engkau. Biarlah kalau Adik Kim Hong tidak mau pergi, sudah sepatutnya kalau engkau yang mempertanggung jawabkan pula perbuatan calon isterimu.”

Kembali Thian Sin menjadi ragu-ragu. Apa bila menurutkan kata kesadarannya, apa yang dikatakan oleh kakaknya itu memang benar. Kalau dia mempertanggung jawabkan semua perbuatannya, apa pun akibatnya, maka urusan akan menjadi selesai dan selanjutnya dia tak akan merasa dikejar-kejar dan dimusuhi orang lagi. Akan tetapi pada saat dia melihat wajah Kim Hong yang cemberut, dia pun maklum bahwa apa bila dia menuruti kata-kata kakaknya, maka Kim Hong akan menentang dan marah sekali dan bukan tidak mungkin hubungan antara mereka akan putus sampai di situ saja.

“Tiong-ko, kau makilah aku, pukullah aku, suruh melakukan apa saja, akan tetapi jangan menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai!” akhirnya Thian Sin berkata.

Han Tiong bangkit berdiri. Mukanya berubah menjadi merah, alisnya berdiri dan matanya terbelalak. “Sin-te! Masih demikian lemahkah engkau? Telah kupikirkan masak-masak dan satu-satunya jalan bagimu agar dapat kembali ke jalan lurus dan membersihkan namamu, hanyalah menyerahkan dan membiarkan dirimu diadili!”

Akan tetapi Thian Sin sudah mengambil keputusan bulat. Dia menggelengkan kepala dan wajahnya menjadi agak pucat. Sakit sekali hatinya bahwa dia terpaksa harus menentang kehendak kakaknya yang sangat disayanginya, dan yang baru saja dijumpainya kembali setelah lama sekali berpisah itu.

“Tidak, Tiong-ko. Aku tak akan mau menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai. Maafkan aku, Tiong-ko, akan tetapi sungguh aku tidak bisa menyerahkan diri kepada mereka.”

“Sin-te, apakah engkau sudah menjadi seorang penakut? Apa engkau takut menghadapi hukuman? Takut mati?”

Thian Sin menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku hanya tidak mau diperlakukan tak adil. Aku tidak merasa bersalah, maka tidak mungkin aku menyerahkan diri seperti orang yang bersalah.”

“Akan tetapi, engkau akan diadili!”

“Hemm, pengadilan terhadap Pendekar Sadis yang dibenci sudah bisa dibayangkan lebih dulu akan bagaimana jadinya.”

“Sin-te, sekali lagi, demi membersihkan nama Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang terlibat namanya olehmu, mari ikut aku ke Kun-lun-pai.”

“Sekali lagi, tidak, Tiong-ko, dan maafkan aku.”

“Kalau aku menggunakan kekerasan terhadapmu?”

Thian Sin tersenyum. “Terserah, engkau tahu aku tidak akan melawanmu, aku tidak akan sanggup mengangkat tangan terhadapmu. Akan tetapi engkau harus tahu benar bahwa engkau tidak akan dapat membawaku dan memaksaku ke Kun-lun-pai selama aku masih bernyawa. Engkau harus membunuh aku terlebih dahulu sebelum dapat memaksa pergi, Tiong-ko. Ahh, Tiong-ko, mengapa kita harus begini?” Dan tiba-tiba Thian Sin menubruk, merangkul dan menangis!

Kim Hong memandang dengan wajah pucat dan bengong. Tak pernah dapat disangkanya bahwa kekasihnya, Pendekar Sadis yang demikian gagah perkasa, berani mati, dan keras hati itu sekarang semua kekerasannya seakan-akan mencair dan menjadi lembek, lunak dan lemah sekali! Han Tiong sendiri merangkul adiknya dan menengadah, mukanya pucat sekali.

“Kau pun pasti tahu bahwa tak mungkin aku dapat melakukan kekerasan terhadap dirimu, adikku,” katanya dengan suara serak penuh keharuan. “Akan tetapi engkau pun pasti tahu bahwa tak mungkin aku membiarkan saja namamu berlepotan noda dan membawa pula nama Lembah Naga menjadi tercemar. Apabila memang engkau berkeras tidak mau ikut bersamaku ke Kun-lun-pai, nah, selamat tinggal, adikku. Semoga Thian memberkahimu dan engkau dapat hidup bahagia bersama isterimu. Selamat tinggal, adikku, biar aku saja yang akan menebus segalanya, selamat tinggal!”

Sesudah berkata demikian, pemuda itu lalu pergi meninggalkan Thian Sin dan Kim Hong yang memandang dengan muka pucat sampai akhirnya bayangan Han Tiong lenyap dari pandang mata mereka.

Thian Sin menjatuhkan dirinya duduk di atas rumput dan menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya. Kesedihan yang teramat besar mencekam hatinya. Dia merasa berduka sekali bahwa perjumpaannya dengan kakaknya yang tersayang, terpaksa harus berakhir seperti itu.

Kakaknya yang selama ini amat merindukannya, mencintanya, bahkan tak mau menikah sebelum bertemu dengannya! Dia tahu bahwa kakaknya itu terus menunggunya, bahkan dia tahu pula bahwa kakaknya itu akan mau mengalah untuk mundur dan membiarkan Lian Hong menikah dengan dia! Dia tahu benar akan semua isi hati dan watak kakaknya, tahu akan kasih sayang kakaknya itu terhadap dirinya yang amat mendalam.

Kim Hong hanya memandang saja, membiarkan kekasihnya terbenam dalam lamunannya sendiri. Ia pun dapat mengerti akan kesedihan Thian Sin. Setelah agak lama, barulah Kim Hong mendekati kekasihnya lalu duduk di dekatnya di atas rumput, memegang tangannya tanpa bicara.

Thian Sin yang merasa tangannya dipegang dan digenggam kekasihnya, lalu mengangkat muka dan menurunkan tangannya. Mukanya pucat sekali dan matanya agak kemerahan, pipinya masih basah oleh air mata. Mereka saling pandang sejenak, kemudian Kim Hong mengangguk perlahan dan berkata lirih,

“Engkau benar, Thian Sin. Memang kakakmu itu yang terlalu lemah, mau saja mengalah terhadap orang lain. Terhadap pihak mana pun juga, jika mau menang sendiri dan terlalu mendesak, harus kita tandingi, bukannya mengalah dan membiarkan diri dihina.”

Thian Sin memandang wajah kekasihnya lalu menarik napas panjang. “Engkau tidak tahu, Kim Hong. Engkau belum mengenal Tiong-ko. Dia sama sekali bukan orang lemah, bukan mengalah begitu saja, dan sama sekali tidak takut. Akan tetapi Tiong-ko selalu bertindak demi kebenaran, dan untuk membela kebenaran ini, dia tidak pernah segan-segan untuk mengorbankan dirinya sendiri. Dia seorang manusia yang gagah perkasa lahir batin, yang berhati tulus dan cintanya amat tulus. Aku khawatir sekali…”

“Khawatir apa, Thian Sin?”

“Aku tidak dapat menduga apa yang akan dilakukannya di Kun-lun-pai. Aku hanya merasa tidak enak sekali. Apa kata-katanya yang terakhir tadi? Selamat tinggal, akulah yang akan menebus segalanya. Nah, itulah yang membuat hatiku merasa gelisah sekali.”

Kim Hong mengerutkan alisnya. “Lalu, apa yang akan dilakukannya?”

“Kita harus membayangi dia, Kim Hong. Aku harus melihat apa yang akan dilakukan oleh Tiong-ko. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan dirinya, karena aku, maka selama hidupku aku akan menderita penyesalan batin yang lebih hebat dari pada kematian. Marilah kita bayangi dia dan lihat apa yang akan dilakukannya.”

Kim Hong hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keduanya segera bangkit, kemudian berlari cepat mengejar Han Tiong, menuju ke Kun-lun-san.

********************

Para tokoh kang-ouw telah mulai berdatangan di Kun-lun-pai. Undangan dari sebuah partai persilatan seperti Kun-lun-pai tentu saja merupakan peristiwa besar hingga memperoleh perhatian dari mereka yang diundang, apa lagi di dalam undangan itu Kun-lun-pai dengan terus terang menyatakan bahwa pertemuan antara para tokoh pendekar itu dimaksudkan untuk membicarakan tentang sepak terjang Pendekar Sadis yang namanya sudah sangat menggemparkan seluruh dunia persilatan itu.

Satu hari sebelum hari yang ditetapkan, di Kun-lun-pai sudah hadir belasan orang tokoh pendekar dari berbagai aliran. Kui Im Tosu, ketua Kun-lun-pai, didampingi oleh sute-nya yang menjadi wakilnya, yaitu Kui Yang Tosu, telah menyambut dan menemani para tamu yang datang awal itu di ruangan tamu yang luas itu.

Di antara belasan orang tamu yang sudah datang itu terdapat pula tiga orang Shan-tung Sam-lo-eng (Tiga Pendekar Tua dari Shan-tung) serta Hwa Siong Hwesio, tokoh hwesio Siauw-lim-pai. Mereka ini bersama dengan Kui Yang Tosu pernah menemui Pendekar Sadis untuk menegur pendekar itu karena telah membunuh Toan-ong-ya di kota raja.

Di samping empat orang pendekar itu, telah hadir pula beberapa orang yang benar-benar merupakan pendekar yang sangat dihormati serta disegani orang, antara lain Lo Pa San yang berjuluk Hui-to-sian (Dewa Golok Terbang), seorang pendekar yang terkenal gagah perkasa bertubuh tinggi besar dan bermuka merah. Pendekar ini terkenal sekali di daerah pantai Lautan Po-hai.

Thian Heng Losu, kakek tinggi kurus bertongkat bambu kuning berusia enam puluh tahun lebih, ketua Bu-tong-pai yang berkenan datang sendiri karena selain dia ingin mendengar tentang Pendekar Sadis, juga ketua Bu-tong-pai ini ingin bertemu dengan para pendekar.

Juga hadir pula Liang Sim Cianjin, yaitu seorang pendekar yang terkenal sebagai seorang bun-bu-coan-jai (ahli silat dan surat) berusia enam puluh lima tahun. Pakaian pertapa ini seperti petani, bercaping lebar dan sikapnya halus, tubuhnya kecil kurus sama sekali tidak membayangkan bahwa dia memiliki kepandaian yang tinggi.

Kehadiran ketua Bu-tong-pai, juga dari perkumpulan-perkumpulan besar semacam Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Thai-san-pai dan lain-lain tentu saja membawa beberapa orang anak murid yang kini berkumpul di lain bagian karena kini kedua orang ketua Kun-lun-pai itu sedang menyambut para tamu yang sejajar atau setingkat dengan mereka berdua. Maka keadaan dalam kamar tamu yang cukup luas itu sangat meriah, akan tetapi pembicaraan terjadi dengan serius.
Selanjutnya,

Pendekar Sadis Jilid 39

Pendekar Sadis Jilid 39
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
GADIS itu memang manis budi, bukan sekedar manis wajahnya. Dan dari gerak-geriknya, ucapannya, senyumnya, pandang matanya, terasa benar oleh Han Tiong bahwa memang gadis itu amat mencintanya! Ahh, betapa berbahagia hidupnya, kalau saja Thian Sin juga berada di situ!

Kurang lebih dua bulan kemudian, salah seorang di antara pemuda dusun itu pulang dan membawa kabar mengenai munculnya seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Sadis! Mendengar berita tentang sepak terjang pendekar itu yang telah membunuh tokoh-tokoh pengemis Hwa-i Kai-pang, seketika tahulah Han Tiong bahwa yang disohorkan sebagai Pendekar Sadis itu pastilah Thian Sin orangnya!

“Belum tentu dia, Tiong-ji,” kata ibunya dengan khawatir melihat kegelisahan puteranya.

“Siapa lagi, ibu, kalau bukan Sin-te? Sudah pasti dia orangnya dan aku akan mencarinya dan akan mencegahnya terseret lebih jauh ke dalam kekejaman yang terdorong oleh sakit hatinya.”

Ayah bundanya, dan juga tunangannya, tidak dapat menahan pemuda itu untuk pergi lagi mencari adik angkatnya yang diduganya telah menjadi seorang tokoh kejam yang dijuluki Pendekar Sadis. Ibunya hendak berkeras menahan, akan tetapi Cia Sin Liong mencegah isterinya, dan membiarkan pemuda itu pergi tetapi memberi waktu enam bulan. Sesudah pemuda itu pergi, barulah Sin Liong berkata kepada isterinya dan calon mantunya yang menangis dan saling rangkul itu.

“Sudahlah, tidak perlu ditangisi. Han Tiong adalah seorang laki-laki sejati yang mencinta adiknya dan watak seperti itu sangat baik. Kalian sepatutnya berbangga akan dia. Andai kata kita larang, dia tentu akan menjadi berduka. Biarlah dia berhasil menemui Thian Sin lebih dahulu, agar hatinya tenteram dan pernikahan dapat dilangsungkan dalam keadaan gembira.”

Akan tetapi, baru satu bulan kemudian, Cia Sin Liong terkejut menerima surat undangan dari Kun-lun-pai yang mengundangnya untuk menghadiri pertemuan para tokoh pendekar untuk membicarakan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan meminta pertanggungan jawab keluarga pendekar itu yang telah berani mengacau di Kun-lun-pai dan membunuh saudara tua dari para ketua Kun-lun-pai.

Tentu saja Cia Sin Liong merasa terkejut bukan main dan setelah memesan kepada calon mantunya untuk tinggal di Istana Lembah Naga, dia bersama isterinya segera berangkat karena isterinya berkeras hendak ikut karena merasa khawatir akan keadaan Han Tiong yang belum ada beritanya.

Sementara itu, di dalam perjalanannya sambil mencari keterangan, Han Tiong mendengar sepak terjang yang hebat dari Pendekar Sadis. Betapa pendekar itu membunuh seorang pangeran di kota raja, membunuh pula Tok-ciang Sianjin serta mengacau Pek-lian-kauw. Yang lebih mengejutkan hatinya adalah saat dia mendengar betapa Pendekar Sadis yang kini sudah dikenal orang sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw itu sudah membasmi See-thian-ong dan anak buahnya, juga telah mengamuk dan membinasakan Pak-san-kui beserta murid-muridnya!

Tentu saja Han Tiong merasa terkejut bukan kepalang. Bagaimana adik angkatnya dapat menjadi selihai itu, mengalahkan dan membunuh para datuk? Juga cara-cara kejam yang digunakan oleh Pendekar Sadis membuat hatinya berduka sekali. Dia lalu mempercepat perjalanannya agar dapat segera bertemu dengan adiknya.

Saat dia mendengar tentang sepak terjang Pendekar Sadis di Kun-lun-pai yang beritanya cepat tersiar di seluruh kang-ouw itu, dia menjadi semakin terkejut kemudian cepat pergi menyusul adiknya ke barat.

Kali ini demikian tekunnya Han Tiong menyelusuri jejak adik angkatnya dan karena nama Pendekar Sadis sedang menjadi buah bibir semua orang kang-ouw, lebih mudah baginya kini mencari adiknya sebagai pendekar itu dari pada ketika dia mencari sebagai Thian Sin yang tidak dikenal orang.

Maka, tidak mengherankanlah kalau berkat ketekunannya ini pada suatu pagi dia berhasil berhadapan dengan Thian Sin dan Toan Kim Hong! Ketika itu, Thian Sin dan Kim Hong sedang menuruni sebuah bukit sambil bergandengan tangan. Dua sejoli ini telah dua hari tinggal di puncak bukit itu, puncak yang sangat indah di mana terdapat hutan yang kaya akan binatang buruan dan pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan.

Mereka berdua tinggal di puncak bukit itu, laksana sepasang pengantin baru yang setiap waktu bermesraan dan berkasih sayang, bermain cinta sepuas-puasnya tanpa ada orang lain yang mengganggu mereka. Dan pada pagi hari itu mereka menuruni puncak sambil bergandengan tangan. Setelah menuruni puncak, barulah menjadi persoalan dalam pikiran mereka ke mana akan pergi.

“Ehh, ke manakah kita menuju sekarang…?” tanya Kim Hong.

Thian Sin merangkul leher kekasihnya dan sambil berangkulan mereka pun berjalan terus perlahan-lahan. “Kekasihku, aku sudah mempunyai rencana untuk itu, untuk masa depan kita.”

Kim Hong juga tertawa. “Aku pun sudah mempunyai rencana yang baik sekali.”

“Bagus!” kata Thian Sin. “Kita berdua sudah mempunyai rencana, khawatir apa lagi?”

“Tetapi…,” kata Kim Hong. “Bagaimana kalau rencana kita berbeda dan saling bertolak belakang?”

“Ahh, mana bisa? Kita kan sudah sepaham, senasib sependeritaan, dan kita juga saling mencinta, bukan?” kata Thian Sin.

“Benar, Thian Sin. Untuk membuktikan cintamu kepadaku, engkau tentu akan menyetujui rencanaku.”

“Dan kalau memang benar cinta padaku seperti aku cinta padamu, Kim Hong, kau tentu tidak akan menentang rencanaku untuk hari depan kita yang amat baik.”

Kim Hong melepaskan diri dari rangkulan dan mundur beberapa langkah, lalu menatap pemuda itu dengan alis berkerut. “Nah, nah, hal ini perlu dibereskan sekarang juga. Coba katakan bagaimana rencanamu, baru aku akan menceritakan rencanaku.”

“Rencanaku bagus sekali. Mulai sekarang kita memerlukan tempat untuk hidup tenteram, Kim Hong. Setelah kita terlibat dalam pertengkaran dengan Kun-lun-pai, aku merasa tidak enak sekali dan kita pun perlu beristirahat di tempat yang aman. Dan satu-satunya tempat yang aman bagiku adalah Lembah Naga. Kita pergi ke Lembah Naga…”

“Apa? Ke tempat tinggal Pendekar Lembah Naga?” Kim Hong bertanya dan nampak amat terkejut, matanya terbelalak memandang kekasihnya itu.

“Kenapa tidak? Pendekar Lembah Naga adalah ayah angkatku, dan Cia Han Tiong, putera tunggal mereka adalah kakak angkatku yang amat kuhormati dan kucinta. Engkau akan merasa seperti berada di rumah sendiri, antara keluarga sendiri. Mereka adalah keluarga yang terhormat, keluarga gagah perkasa dan budiman…”

“Tidak! Aku tidak akan ke sana!” Kim Hong berseru marah, teringat betapa ketika masih menjadi Lam-sin, dia pernah ditolak untuk berkenalan dengan keluarga itu. “Dan di sana aku harus bertemu dengan Ciu Lian Hong, gadis yang kau cinta itu?”

“Ah, mengapa engkau berkata demikian? Yang kucinta adalah engkau, dan dara itu telah menjadi jodoh kakak angkatku, mungkin sekarang sudah menjadi isterinya. Percayalah, Kim Hong. Keluarga Cia akan menerimamu dengan manis budi kalau mereka mendengar bahwa engkau adalah kekasihku, tunanganku. Dan kita sekalian minta doa restu mereka untuk dapat berjodoh…”

“Apa? Maksudmu menjadi suami isteri?”

“Habis, apa lagi? Bukankah kita telah menjadi suami isteri? Tinggal pengesahannya saja, tinggal upacara pernikahannya saja.”

“Tidak! Urusan pernikahan adalah urusan kelak. Kalau kita memang menganggap perlu, kita menikah, kalau tidak ya tidak.”

“Apa… apa maksudmu?”

“Lupakah engkau, Thian Sin, ketika pertama kali kita bertemu, sudah kunyatakan bahwa aku menyerahkan diri bukan untuk menjadi isterimu, namun untuk memenuhi sumpahku kepada ibuku? Kalau kemudian kita saling jatuh cinta, itu merupakan urusan kita berdua. Sedangkan pernikahan, secara umum berarti hanya pengakuan saling mencinta kita itu kepada umum. Kalau kita tidak membutuhkan umum itu? Asal kita saling mencinta, apa hubungannya dengan umum, apakah cinta kita itu disahkan, dirayakan atau tidak? Yang penting bukan pernikahan itu, melainkan tempat kita hidup selanjutnya. Aku tidak mau di Lembah Naga.”

Thian Sin merasa penasaran. “Habis, kalau menurut rencanamu, ke manakah kita harus mengasingkan diri?”

“Ada suatu tempat yang paling baik, yaitu di Pulau Teratai Merah!”

“Hemmm, tempat ayah dan ibumu mengasingkan diri berdua sampai mati itu?”

“Ya, apa salahnya? Tempat itu cukup indah, tanahnya subur, dan kita dapat berhubungan dengan dunia luar melalui laut, hanya berlayar selama setengah hari. Di sana aman, kita tak akan terganggu…”

“Dan begitu amannya sampai ayah bundamu cekcok dan saling bunuh?”

“Thian Sin! Kalau engkau tidak mau pun tidak mengapa, tidak perlu engkau mencela ayah bundaku, keparat!”

“Ehh, engkau memaki?”

“Ya, memang aku memaki karena engkau memualkan perut, menggemaskan. Habis, kau mau apa?”

“Engkau makin kurang ajar, Kim Hong!”

“Ehh, kurang ajar? Kau kira aku takut padamu? Kau kira aku ini apamu, harus selalu taat kepadamu, ya?” Sesudah berkata demikian, Kim Hong segera meloncat ke depan sambil menampar dengan amat kerasnya. Thian Sin menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

“Plakk!”

Tangkisan yang tidak disangka oleh Kim Hong itu membuat lengan dara itu terasa nyeri sehingga dia pun menjadi semakin marah. Dengan mata berlinang dia cepat menyerang kalang kabut, menyerang dengan sungguh-sungguh, terdorong oleh hati yang marah.

Thian Sin terpaksa melayani karena dia pun sudah marah. Dua orang muda itu kini saling serang dengan ganas dan seru, lupa bahwa baru beberapa jam yang lalu mereka berdua saling mencumbu rayu dan saling menumpahkan rasa sayang masing-masing dengan hati penuh kemesraan!

Tingkat kepandaian dua orang muda ini memang seimbang, sehingga andai kata mereka berdua itu saling serang untuk saling membunuh juga, agaknya Thian Sin hanya dapat menang setelah lewat waktu yang cukup lama. Apa lagi kini mereka saling serang hanya karena terdorong rasa marah, maka perkelahian itu sangat seru dan agaknya keduanya tidak mau saling mengalah.

Debu mengepul di sekeliling mereka dan kedua lengan mereka sudah terasa nyeri serta matang biru karena mereka saling tangkis dengan pengerahan sinkang sekuatnya, walau pun mereka tidak memiliki niat untuk saling bunuh. Keunggulan Thian Sin dalam tenaga sinkang diimbangi dengan keunggulan serangan Kim Hong yang dibantu oleh rambutnya yang sangat lihai itu. Beberapa kali Thian Sin sempat terdesak oleh totokan-totokan yang dilakukan dengan kuncir rambut itu.

Sudah lebih dari lima puluh jurus mereka berkelahi dan keduanya menjadi semakin marah karena tidak mau saling mengalah, juga menganggap bahwa masing-masing sudah saling membenci. Tiba-tiba saja berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu ada seorang pemuda terjun ke dalam medan perkelahian itu sambil membentak nyaring,

“Perempuan kejam, jangan ganggu adikku!”

Orang ini bukan lain adalah Cia Han Tiong! Dia telah menemukan jejak adiknya dan cepat melakukan pengejaran, lantas di tengah jalan dia melihat betapa Thian Sin sedang saling serang dengan seorang wanita yang lihainya bukan kepalang. Dia melihat betapa adiknya itu nampak sangat sibuk dan sedang terdesak menghadapi totokan-totokan kuncir rambut yang amat berbahaya.

Karena gerakan wanita itu sangat cepat dan rambutnya merupakan bayangan hitam yang menyambar-nyambar, maka Han Tiong tidak dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas, hanya menyangka bahwa tentu wanita itu seorang wanita iblis jahat maka menggunakan senjata yang demikian aneh dan mengerikan. Begitu dia terjun ke dalam pertempuran, dia sudah mengulur tangan hendak mencengkeram bayangan hitam rambut itu!

Kim Hong terkejut bukan main. Rambutnya hampir kena dicengkeram pendatang baru ini, maka dia mengelak ke samping sambil menggerakkan kepala menarik kembali kuncirnya, dan kakinya menendang dengan gerakan kilat ke arah pusar orang yang baru datang itu. Han Tiong terkejut, tak mengira bahwa gerakan wanita itu sedemikian cepatnya, maka dia pun menangkis dengan lengan kanannya.

“Dukkk!”

Akibatnya, tubuh Han Tiong tergetar akan tetapi kaki yang menendang itu pun terpental. Han Tiong makin kaget karena sekarang dia dapat melihat bahwa wanita itu sama sekali bukan merupakan seorang wanita iblis yang mengerikan, melainkan seorang dara muda yang amat cantik jelita dan manis, akan tetapi yang nampak marah bukan main.

Juga Kim Hong mengenal Han Tiong putera Pendekar Lembah Naga yang dahulu pernah dilihatnya ketika dia masih menjadi Lam-sin itu. Han Tiong yang mengira bahwa wanita itu adalah musuh adik angkatnya, dan tahu bahwa wanita cantik itu lihai sekali, sudah maju menyerang lagi.

“Dukkk!”

Serangannya ditangkis oleh Thian Sin yang sudah meloncat maju ke depan.

“Tiong-ko, tahan, jangan serang, dia adalah teman sendiri!”

Han Tiong kaget, lalu menjura ke arah wanita itu. “Harap maafkan saya.”

Kemudian dua orang pemuda itu saling pandang. Sampai lama mereka hanya saling tatap dan seperti didorong oleh sesuatu yang amat kuat, keduanya lalu saling tubruk dan saling rangkul.

“Sin-te…!”

“Tiong-ko…!”

Sampai lama mereka berangkulan seperti itu dan ketika mereka saling melepaskan, mata kedua orang pemuda ini sudah menjadi basah. Mereka saling pandang dengan senyuman sambil saling berpegangan tangan, namun mata mereka basah. Baru terasa oleh mereka betapa di antara mereka terdapat getaran kasih sayang yang amat besar.

“Sin-te, mengapa kau meninggalkan kami begitu lama tanpa berita?” Han Tiong menegur dengan suara mengandung penyesalan.

Thian Sin menunduk, merasa sangat bersalah. Setelah berhadapan dengan kakaknya ini, lenyaplah semua keangkuhannya, dan dia selalu merasa kecil, selalu merasa betapa dia harus mentaati kakaknya ini.

“Maafkan Tiong-ko, aku… aku harus melaksanakan urusan pribadiku… yang berhubungan dengan mendiang ayah…”

“Hemmm, membalas dendam, ya? Melepas dendam hati sepuasnya dengan menghukum musuh-musuh secara keji sekali sehingga engkau dijuluki orang Pendekar Sadis?”

“Tiong-ko, bukan keinginanku agar berjuluk demikian. Aku memang menghukum mereka, membunuh mereka yang kuanggap jahat, untuk memuaskan dendam hatiku yang sudah bertumpuk-tumpuk. Aku membunuh mereka semua yang sudah menyebabkan kematian ayah bundaku. Salahkah itu, Tiong-ko?”

Kim Hong mendengarkan dengan hati penuh keheranan. Suara kekasihnya itu kini seperti anak kecil yang minta dikasihani!

“Sin-te, aku tidak menyalahkan kalau engkau mengandung sakit hati bila mengingat akan kematian orang tuamu, dan memang sudah menjadi tugasmu sebagai seorang pendekar untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran serta keadilan. Akan tetapi, apa bila engkau melakukan semua penentangan itu dengan hati penuh kebencian dan melakukan kekejaman, lalu apa bedanya dengan mereka? Kebenaran yang dibela dengan kekejaman bukanlah kebenaran lagi, adikku, tetapi menjadi kejahatan pula! Tujuan tidak menentukan, akan tetapi kenyataannya terletak pada pelaksanaan. Kalau pelaksanaannya buruk, maka tujuannya pun tidak dapat dinamakan baik. Jika caranya kotor, maka tujuannya pun tentu tidak bersih. Tak mungkin tujuan bersih dicapai dengan melalui cara yang kotor. Seorang pendekar yang kejam bukanlah pendekar lagi namanya, melainkan seorang penjahat.”

Hening sejenak, dan akhirnya, dengan lemah Thian Sin mencoba untuk membela diri.

“Kalau begitu, apakah aku harus mengampuni mereka semua itu, Tiong-ko?”

“Apa salahnya mengampuni orang yang dahulu pernah melakukan penyelewengan dalam hidupnya apa bila dia itu memang hendak kembali ke jalan benar dan sudah insyaf akan penyelewengannya? Adikku yang baik, bukalah mata dan lihatlah kenyataan di dunia ini. Siapakah yang selama hidupnya tak pernah melakukan penyelewengan yang dinamakan kesalahan atau dosa? Penyelewengan dalam hidup sama dengan sakit, walau pun bukan badannya yang sakit, melainkan batinnya. Setiap orang tentu pernah dilanda penyakit ini, baik badan mau pun batinnya. Kalau ada orang yang melakukan penyelewengan, berarti dia itu baru sakit, apakah kita harus membunuhnya saja, menyiksanya untuk memuaskan hati kita? Bukankah sepatutnya kalau kita mengulurkan tangan membantunya keluar dari jurang kesesatannya, membantunya sembuh dari penyakitnya? Ingatlah, orang yang sakit itu sewaktu-waktu dapat sembuh. Orang yang tadinya menyeleweng dan dianggap jahat tak selamanya begitu, sekali waktu dapat saja dia menjadi orang baik atau orang waras. Sebaliknya, yang sedang dalam keadaan sehat jangan sekali-kali memandang rendah terhadap orang yang sedang sakit, karena yang sehat itu sewaktu-waktu dapat saja jatuh sakit atau menyeleweng.” Kim Hong ikut mendengarkan dan hatinya tersentuh. Dia pun merasa bahwa dia pernah menyeleweng, bahkan lebih dari penyelewengan biasa. Dulu dia pernah menjadi Lam-sin, menjadi datuk kaum sesat di dunia selatan, bahkan sempat membentuk Bu-tek Kai-pang yang menjagoi seluruh dunia selatan. Juga pernah membiarkan anak buahnya melakukan kesewenang-wenangan mengandalkan kepandaian, pernah melakukan kejahatan apa pun juga.

Tapi semenjak dia bertemu dengan Thian Sin, semenjak dia menanggalkan samarannya sebagai Lam-sin, dia seakan-akan hidup di dunia lain. Dia pun ingin menjadi orang sehat, bahkan lebih dari itu, dia ingin menjadi pendekar! Maka semua kata-kata pemuda putera Pendekar Lembah Naga itu meresap benar ke dalam sanubarinya. Dia sendiri pun bukan keturunan penjahat! Ayahnya adalah seorang pangeran, ada pun ibunya adalah seorang pendekar wanita!

“Ahhh, Tiong-ko, betapa selama ini aku merindukan semua kata-kata dan nasehatmu …” Akhirnya terdengar Thian Sin mengeluh. “Akan tetapi apa hendak dikata, semua itu sudah kulakukan, Tiong-ko, terdorong oleh rasa sakit hatiku yang bertumpuk-tumpuk. Semuanya sudah terlewat, lalu apa yang dapat kulakukan?”

“Yang sudah-sudah memang tak mungkin diperbaiki kembali, Sin-te. Akan tetapi aku pun mendengar bahwa akhir-akhir ini engkau juga sudah menyerbu ke Kun-lun-pai. Benarkah berita yang kudengar itu? Bahwa engkau sudah membunuh seorang tokoh Kun-lun-pai yang sudah tua dan sedang bertapa?”

Thian Sin lebih dulu melirik ke arah Kim Hong. Melihat dara itu diam mendengarkan, dia pun mengangguk. “Ahh, Sin-te… Sin-te…! Engkau ini pendekar macam apa? Apakah engkau tidak tahu pula bahwa Kun-lun-pai adalah perguruan dan perkumpulan silat para pendekar yang terkenal di dunia kang-ouw? Yang menyerbu Kun-lun-pai, pantasnya hanya para penjahat! Bagaimana engkau sampai bisa memusuhi Kun-lun-pai, Sin-te? Apa kau tahu, kini Kun-lun-pai hendak mengadakan pertemuan para pendekar untuk menuntut pertanggungan jawab dan mau tak mau, ayah kita tentu akan terbawa-bawa. Sin-te, seorang pendekar harus berani bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Dan aku ingin agar engkau sebagai adikku yang tercinta, juga mau mempertanggung jawabkan perbuatanmu terhadap Kun-lun-pai!”

“Maksudmu bagaimana, Tiong-ko?”

“Mari kau ikut bersamaku menghadap para pimpinan Kun-lun-pai dan pertemuan antara para pendekar itu, untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu.”

“Ahh, hal itu tidak mungkin, Tiong-ko. Aku tidak mungkin menghadap mereka!” Thian Sin menolak dengan suara terkejut sekali. Menghadap para pimpinan Kun-lun-pai sama saja dengan mencari mati!

“Engkau harus, Sin-te! Dan aku akan menanggungmu, aku akan membelamu, kalau perlu aku akan membelamu dengan taruhan nyawaku. Akan tetapi, mati atau hidup, kita harus tetap bersikap sebagai seorang pendekar yang berani bertanggung jawab terhadap semua perbuatannya!”

“Tidak, Tiong-ko, aku tidak mau…”

Han Tiong maju satu langkah. “Sin-te, mungkin ilmu kepandaianmu telah jauh melampaui tingkatku, akan tetapi sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang pendekar, terutama sekali sebagai kakakmu yang mencintamu, untuk menyadarkanmu dan kalau perlu aku akan memaksamu untuk pergi bersamaku menghadap ke Kun-lun-pai.”

Thian Sin memandang kakaknya dengan muka berubah dan mata terbelalak.

“Maksud… maksudmu…?”

“Kalau engkau tidak mau ikut secara suka rela, maka aku akan menggunakan kekerasan, menawanmu dan membawamu menghadap dalam pertemuan para pendekar itu, atau… biarlah aku tewas dalam tanganmu demi membawamu ke jalan yang benar, adikku!”

“Tidak, Tiong-ko… engkau tidak mungkin…”

Akan tetapi Han Tiong telah menerjang maju untuk menotok jalan darah di kedua pundak adiknya dan karena dia tahu betul akan kelihaian adiknya itu, maka begitu menyerang dia sudah menggunakan ilmu andalannya, yaitu It-sin-ci, ilmu menotok yang mempergunakan satu jari.

Ilmu ini hebat bukan main dan jarang ada lawan yang sanggup menghindarkan diri dari serangan It-sin-ci. Akan tetapi pada waktu itu, tingkat kepandaian Thian Sin sudah amat tinggi, tidak kalah lihainya bila dibandingkan dengan kakak angkatnya, maka dengan tidak begitu sukar dia berhasil menangkis totokan-totokan itu sambil meloncat ke belakang.

“Tidak, Tiong-ko, jangan…!”

Akan tetapi Han Tiong terus mendesak dan Thian Sin yang tidak mau melawan kakaknya hanya mengelak atau menangkis sambil mundur terus. Melihat ini, tiba-tiba saja Kim Hong meloncat ke depan dan dia menangkis totokan berikutnya sambil membentak,

“Tahan dulu!”

“Dukk!”

Kembali Han Tiong mengadu tenaga dengan Kim Hong, namun sekali ini Kim Hong yang menangkis dan kembali keduanya merasa tergetar oleh kekuatan lawan.

“Nona, urusan kami adalah urusan kakak dan adik, tidak perlu dicampuri oleh orang luar!”

“Cia Han Tiong taihiap, aku bukanlah orang luar! Bahkan di dalam urusan Kun-lun-pai ini, akulah yang menyerbu ke sana, dan akulah yang memusuhi pertapa itu. Thian Sin hanya kumintai bantuan saja, jadi akulah pula yang bertanggung jawab, bukan dia!”

Mendengar ucapan ini, tentu saja Han Tiong menjadi terkejut lantas memandang kepada adik angkatnya dengan penuh perhatian dan alis berkerut ketika dia bertanya, “Sin-te, apa artinya ini? Siapakah nona ini?”

“Dia… dia adalah tunanganku, Tiong-ko…”

“Ahh…!” Seketika wajah Han Tiong berseri gembira.

Dia cepat menoleh dan memandang kepada Kim Hong penuh perhatian. Makin giranglah hatinya ketika dia mendapat kenyataan betapa nona itu memang sungguh sangat cantik sesudah kini dia memandang dengan jelas, cantik jelita tidak kalah dibandingkan dengan Lian Hong!

“Begitukah? Kionghi, Sin-te, kionghi…! Ah, sungguh aku girang sekali… dan suara nona… seperti… pernah aku mendengarnya!”

Kim Hong tersenyum sehingga tampak semakin manis. “Memang sebelumnya kita pernah saling bertemu, taihiap.”

Thian Sin hendak memberi isyarat agar kekasihnya jangan memperkenalkan dirinya. Akan tetapi Kim Hong yang masih mendongkol karena pertengkarannya dengan Thian Sin tadi, melanjutkan,

“Mungkin taihiap teringat kalau kukatakan bahwa tunangan taihiap, Nona Ciu Lian Hong, dulu pernah menjadi muridku…”

Han Tiong terkejut dan terbelalak heran memandang wajah nona itu. Kini dia pun teringat! Memang, suara nona ini sama benar dengan suara nenek datuk kaum sesat di selatan itu, yaitu Nenek Lam-sin yang lihai! Tentu saja dia tidak percaya dan berkata,

“Tapi… tapi… Hong-moi ditolong dan menjadi murid Nenek Lam-sin…” “Sejak bertemu dengan adikmu, taihiap, nenek Lam-sin sudah tak ada lagi di permukaan bumi ini, yang ada hanyalah aku, Toan Kim Hong.”

Han Tiong masih belum yakin benar maka dia cepat menoleh kepada adiknya, diguncang-guncangnya. “Apa artinya ini, Sin-te? Apa artinya ini?”

Thian Sin memegang tangan kakaknya, “Tiong-ko, janganlah kau serang aku lagi, sampai mati pun aku tidak mungkin mau melawanmu. Marilah kita bicara baik-baik dan dengarkan ceritaku. Yang menjadi Nenek Lam-sin itu adalah nona ini, Toan Kim Hong dan dia telah menjadi kekasihku, tunanganku, isteriku…”

Pemuda itu menarik tangan kakaknya, diajak duduk di atas padang rumput tak jauh dari tempat itu, diikuti oleh Kim Hong yang tersenyum melihat betapa Han Tiong kini menurut saja ditarik adiknya, tidak lagi marah-marah seperti tadi.

Dengan panjang lebar Thian Sin kemudian menceritakan segala pengalamannya, tanpa ada yang dirahasiakan kepada kakak angkatnya itu. Betapa dia pernah gagal membalas kepada See-thian-ong dan betapa dia kemudian mempelajari ilmu-ilmu peninggalkan ayah kandungnya di Himalaya.

Diceritakannya, ketika dia membalas dendam kepada semua musuh-musuh orang tuanya dan juga musuh-musuh yang telah membuat keluarga Ciu terbinasa, betapa dia bertemu dengan Lam-sin yang kemudian menjadi Kim Hong dan menjadi isterinya. Dengan dibantu oleh wanita itu dia lalu berhasil membunuh See-thian-ong dan Pak-san-kui berikut semua muridnya.

“Memang dalam dendam dan sakit hatiku, aku berlaku kejam terhadap mereka, Tiong-ko. Juga para penjahat yang bertemu denganku, kubasmi secara kejam. Aku sakit hati sekali terhadap mereka, sakit hati sejak orang tuaku terbunuh, sampai ketika keluarga Ciu juga terbasmi. Diam-diam aku telah bersumpah untuk membasmi semua penjahat di dunia ini!”

Han Tiong mendengarkan dengan penuh perhatian dan kadang-kadang menahan napas waktu adiknya menceritakan cara adiknya itu menyiksa dan membunuh para penjahat dan musuh besar itu. Lalu dia berkata, “Akan tetapi, engkau telah membunuh Pangeran Toan Ong yang terkenal budiman…”

“Itu merupakan kesalahanku mudah terbujuk fitnah seorang wanita jahat,” katanya.

Kemudian dia pun terang-terangan menceritakan tentang pertemuannya dengan Kim Lan. Betapa dia dibohongi Kim Lan sehingga membunuh Toan Ong. Kemudian betapa setelah tahu akan rahasia Kim Lan dia lalu merusak wajah wanita itu. Kakak angkatnya bergidik mendengar semua penuturan yang diceritakan secara terang-terangan itu.

“Nona Toan, tadi engkau mengatakan bahwa urusan di Kun-lun-pai itu adalah urusanmu. Sebenarnya, bagaimanakah hal itu terjadi dan mengapa engkau sampai bentrok dengan Kun-lun-pai?”

“Begini, taihiap…”

“Nanti dulu, nona. Kalau engkau bakal menjadi isteri adikku, kenapa engkau menyebutku taihiap segala? Membuat hatiku menjadi tidak enak saja.”

“Baiklah… Tiong-ko,” Kim Hong berkata sambil tersenyum manis, meniru panggilan Thian Sin terhadap Han Tiong.

Han Tiong tersenyum gembira. “Nah, begitu lebih baik bukan, Sin-te? Dan kelak apa bila kalian telah punya anak, boleh sebut toa-pek (uwak) padaku!” Mereka bertiga tertawa lagi dengan gembira.

Akan tetapi tidak lama kemudian Kim Hong lalu menceritakan tentang riwayatnya, tentang kematian ayahnya, seorang pangeran yang dianggap buronan oleh kaisar sehingga terus dikejar-kejar sampai akhirnya hidup sengsara dan mati sebagai buronan. Diceritakannya kenapa dia menaruh dendam kepada supek-nya, yaitu Gouw Gwat Leng yang kemudian menjadi Jit Goat Tosu dan bertapa di Kun-lun-pai, betapa dia dibantu oleh Thian Sin lalu mendatangi Kun-lun-pai, dengan baik-baik minta menghadap ketua Kun-lun-pai dan minta bertemu dengan Jit Goat Tosu tanpa melibatkan Kun-lun-pai sama sekali.

Kemudian tentang pertemuannya dengan supek-nya yang sangat lihai sehingga terpaksa mereka berdua pun akan kalah kalau saja supek-nya itu tidak mengalah, bahkan akhirnya supek-nya itu membunuh diri untuk menebus penyesalannya tentang kesengsaraan hidup sute-nya, yaitu Pangeran Toan Su Ong.

“Urusan antara keluargaku dan supek Gouw Gwat Leng adalah urusan pribadi dan kami sama sekali tidak menyangkutkan Kun-lun-pai. Akan tetapi sungguh para tosu Kun-lun-pai itu tidak tahu diri. Supek mati karena membunuh diri, karena dia merasa menyesal dan baru sesudah dia membunuh diri aku melihat kenyataan bahwa sebenarnya supek sangat mencinta mendiang ayahku. Kematian supek-ku sungguh sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai, akan tetapi para tosu itu dengan membabi buta mengeroyok kami, bahkan kini melaporkan kami kepada tokoh-tokoh kang-ouw!” Kim Hong mengepal tinjunya. Gadis ini dengan terus terang menceritakan semua riwayatnya.

Mendengar cerita nona itu, Han Tiong menarik napas panjang. Dia merasa kagum sekali terhadap kakek yang bernama Couw Gwat Leng atau Jit Coat Tosu itu. “Beliau seorang bijaksana, sayang sebelumnya kalian tidak tahu tentang hal itu sehingga terpaksa nyawa seorang yang begitu bijaksana harus dikorbankan secara sia-sia. Tahukah kalian kenapa beliau membunuh diri? Bukan hanya karena penyesalannya, melainkan untuk mencegah kalian berdua, karena kalau sampai beliau mati di tanganmu, maka hal itu akan membuat engkau seorang murid durhaka dan selamanya engkau akan menyesali perbuatanmu itu. Di atas dunia ini, tidak semua perkara akan dapat diatasi dengan kekerasan. Ilmu silat hanya patut dipergunakan mencegah terjadinya kejahatan melindungi diri sendiri dan juga orang-orang lain yang terancam bahaya. Akan tetapi, kalau ilmu silat dipergunakan untuk melampiaskan dendam, maka itu menjadi ilmu terkutuk, menjadi ilmu hitam.”

Dua orang itu mendengarkan sambil tertunduk. Berhadapan dengan kakaknya, Thian Sin merasa kehilangan semua semangat perlawanannya, membuat dia seperti mati kutu. Hal ini adalah karena perasaan cinta kasih dan hormat yang amat besar, membuat dia tidak mungkin dapat menentang atau membantah. Bukan karena takut, melainkan karena cinta dan juga apa pun yang keluar dari mulut kakaknya itu terasa olehnya amat tepat dan tidak mungkin dapat dibantah kebenarannya lagi.

Keadaan menjadi serius lagi sesudah Han Tiong bicara dengan sungguh-sungguh. Dalam menghadapi keadaan ini, di mana dia merasa dirinya tenggelam tak berdaya dan bahkan Kim Hong yang agaknya berwatak pemberontak itu pun terdiam, Thian Sin merasa tidak enak sekali dan dia pun mencoba untuk memecahkan suasana itu dengan berkelakar.

“Aduh, Tiong-ko, lama tidak bertemu denganmu, sekali berjumpa, engkau agaknya seperti telah menjadi seorang pendeta! Kuliahmu penuh dengan hal-hal batiniah belaka!”

Han Tiong tersenyum, akan tetapi jawabannya tetap saja serius, “Sin-te, mana mungkin kita mengabaikan soal-soal batiniah? Hidup ini bukan hanya lahirlah belaka, bukan? Lahir dan batin haruslah serasi, maju bersama-sama, karena kalau tidak demikian, kita tentu akan terjeblos ke dalam lembah sengsara. Batin yang waspada membuat orang menjadi bijaksana, Sin-te.”

“Semua ucapanmu memang benar, Tiong-ko. Akan tetapi aku ingin mendengar tentang segi lain dari hidupmu semenjak kita berpisah. Bagaimana keadaan ayah dan ibu? Dan bagaimana dengan keadaan Lian Hong?”

Kini ringan saja lidah Thian Sin menyebut nama ini, tanpa ada rasa berat sedikit pun di hatinya, tanda bahwa dia memang sama sekali sudah tidak mengharapkan gadis itu, dan hal ini pun amat terasa oleh Han Tiong yang menjadi lega. Dia tahu bahwa adiknya telah mendapatkan seorang pengganti, seorang gadis yang harus diakuinya dalam segala hal tidak kalah dibandingkan dengan Lian Hong. Bahkan lebih cantik dan dalam hal ilmu silat jauh lebih lihai.

“Ayah dan ibu baik-baik saja, biar pun mereka juga amat mengharapkan kedatanganmu, Sin-te. Dan Adik Lian Hong juga baik-baik saja, sekarang sudah tinggal di Lembah Naga bersama kami. Engkau tahu, Sin-te, di mana aku menemukan Hong-moi? Di sarang datuk sesat Lam-sin, bahkan sempat menjadi murid datuk itu yang ternyata juga telah menolong dia ketika terjadi keributan itu.” Han Tiong tersenyum dan memandang kepada Kim Hong yang hanya tersenyum saja.

Tentu saja Thian Sin sudah tahu tentang hal itu dari Kim Hong. Dia hanya mengangguk-angguk dan berkata, “Syukurlah kalau dia telah berada di Lembah Naga. Bukankah kalian sudah menikah sekarang, Tiong-ko?”

Han Tiong menggelengkan kepala lalu memandang kepada adiknya. “Aku selalu mengulur waktu untuk itu, Sin-te. Aku tidak mau menikah sebelum engkau pulang…”

“Ehh, kenapa begitu?” Thian Sin bertanya kaget.
Han Tiong mengerling kepada Kim Hong, kemudian berkata, “Tadinya aku selalu meragu, adikku… mana mungkin aku bisa hidup bersenang-senang sendiri saja sementara engkau masih belum kuketahui keadaanmu? Akan tetapi sekarang, ahh, sekarang lain lagi. Tapi sudahlah, ada hal lain yang lebih penting dan perlu kubicarakan denganmu, Sin-te, juga denganmu, Nona Toan.”

“Hal penting apakah, Tiong-ko?” jawab kedua orang itu hampir berbarengan dan mereka berdua memandang kepada Han Tiong dengan penuh perhatian.

“Bukan lain tentang pertanggungan jawab, adik-adikku. Tanggung jawab akan perbuatan diri sendiri merupakan syarat mutlak bagi seorang pendekar. Oleh karena itu, aku minta kepadamu, Sin-te, agar engkau suka mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu di Kun-lun-pai dan menyerahkan diri!”

“Tiong-ko…!” Thian Sin memandang dengan mata terbelalak.

“Tiong-ko, tadi sudah kukatakan bahwa urusan Kun-lun-pai adalah urusanku sendiri!” Kim Hong membantah. “Thian Sin tidak bertanggung jawab, aku yang bertanggung jawab!”

Han Tiong menggeleng kepala dan menghela napas. “Adik Kim Hong, biar pun aku tahu bahwa ilmu silatmu sangat hebat, akan tetapi agaknya namamu tidaklah sedahsyat nama julukan Sin-te sebagai Pendekar Sadis sehingga fihak Kun-lun-pai menekankan Pendekar Sadis dalam peristiwa di Kun-lun-pai itu sebagai pelaku utamanya. Lagi pula, jelas bahwa Sin-te turut pula turun tangan maka dia tidak mungkin dapat lepas dari tanggung jawab. Selain itu, sesudah kalian berdua menjadi calon jodoh, bukankah berarti tanggung jawab yang seorang juga menjadi tanggung jawab yang lain? Maka, kuminta, marilah kita pergi ke Kun-lun-pai, biarlah aku yang akan mengantar kalian. Kun-lun-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang tentu akan bersikap bijaksana.”

Thian Sin menggelengkan kepalanya lalu memegang lengan kakaknya. “Tiong-ko, engkau tidak tahu. Mereka itu memusuhi aku, memusuhi kami. Mereka itu membenciku! Ketika kami berada di Kun-lun-pai, kami sudah menjelaskan bahwa kami tidak memusuhi pihak Kun-lun-pai, bahkan ketika mereka itu mengeroyok dan hendak menangkap kami, kami sengaja mengalah dan tidak membunuh seorang pun. Kami melarikan diri. Mana mungkin sekarang kami harus menyerahkan diri begitu saja padahal kami tidak bersalah terhadap mereka?”

Han Tiong membalas pegangan adiknya itu. “Adikku, sudah kukatakan bahwa Kun-lun-pai bukanlah perkumpulan jahat, melainkan perkumpulan para pendekar dan dijunjung tinggi oleh para pendekar di seluruh dunia persilatan. Kalian sudah menyebabkan kematian Jit Goat Tosu yang dianggap sebagai saudara sendiri oleh para pimpinan Kun-lun-pai, dan kematian itu terjadi di Kun-lun-pai, dan kini engkau masih mengatakan bahwa Kun-lun-pai tak ada sangkut-pautnya sama sekali? Biar pun begitu, Kun-lun-pai tidak mau membalas dendam begitu saja terhadapmu, Sin-te, melainkan mau minta pertimbangan dan keadilan dalam pertemuan para pendekar. Mereka ini hendak menangkap kalian untuk dimintakan pengadilan, sama sekali bukan untuk membalas dendam dan mencelakai kalian. Tahukah engkau bahwa menurut kabar yang kudapatkan di jalan, pihak Kun-lun-pai bahkan akan minta pertanggungan jawab Cin-ling-pai dan ayah kita di Lembah Naga? Nah, sebagai seorang gagah, marilah kuantar engkau menghadap ke Kun-lun-pai, menyerahkan diri dan menghadapi pengadilan dengan gagah pula. Percayalah, kalau nanti terjadi ketidak adilan, aku yang akan membelamu, kalau perlu dengan taruhan nyawaku!”

Thian Sin menjadi ragu-ragu kemudian menoleh kepada Kim Hong. Akan tetapi Kim Hong mengerutkan alisnya dan gadis itu lalu menggeleng kepala. “Aku tidak akan menyerahkan diri kepada tosu-tosu bau itu!”

Thian Sin juga membayangkan betapa akan malunya untuk menyerahkan diri, dan tentu para tosu yang merasa sakit hati itu akan berdaya sedapat mungkin untuk bisa membalas dendam. Pula, dia tidak mau kalau sampai perbuatannya harus dipertanggung jawabkan oleh semua keluarga Cin-ling-pai, apa lagi ayah angkatnya juga harus turut bertanggung jawab.

“Tiong-ko, ahh, Tiong-ko, mengapa begitu? Mengapa seakan-akan engkau malah hendak membantu mereka yang hendak menangkap kami?” Dia mengeluh sambil menatap pada kakaknya dengan sinar mata sedih.

Han Tiong mengerutkan alisnya. “Adikku, ke manakah perginya kegagahanmu? Lupakah engkau bahwa seorang pendekar adalah pembela kebenaran, bahwa kematian pun bukan apa-apa, asal mati dalam kebenaran? Aku bukan hendak membantu mereka yang ingin menangkapmu, adikku, melainkan membantumu kembali ke jalan lurus seorang pendekar. Marilah kuantar engkau. Biarlah kalau Adik Kim Hong tidak mau pergi, sudah sepatutnya kalau engkau yang mempertanggung jawabkan pula perbuatan calon isterimu.”

Kembali Thian Sin menjadi ragu-ragu. Apa bila menurutkan kata kesadarannya, apa yang dikatakan oleh kakaknya itu memang benar. Kalau dia mempertanggung jawabkan semua perbuatannya, apa pun akibatnya, maka urusan akan menjadi selesai dan selanjutnya dia tak akan merasa dikejar-kejar dan dimusuhi orang lagi. Akan tetapi pada saat dia melihat wajah Kim Hong yang cemberut, dia pun maklum bahwa apa bila dia menuruti kata-kata kakaknya, maka Kim Hong akan menentang dan marah sekali dan bukan tidak mungkin hubungan antara mereka akan putus sampai di situ saja.

“Tiong-ko, kau makilah aku, pukullah aku, suruh melakukan apa saja, akan tetapi jangan menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai!” akhirnya Thian Sin berkata.

Han Tiong bangkit berdiri. Mukanya berubah menjadi merah, alisnya berdiri dan matanya terbelalak. “Sin-te! Masih demikian lemahkah engkau? Telah kupikirkan masak-masak dan satu-satunya jalan bagimu agar dapat kembali ke jalan lurus dan membersihkan namamu, hanyalah menyerahkan dan membiarkan dirimu diadili!”

Akan tetapi Thian Sin sudah mengambil keputusan bulat. Dia menggelengkan kepala dan wajahnya menjadi agak pucat. Sakit sekali hatinya bahwa dia terpaksa harus menentang kehendak kakaknya yang sangat disayanginya, dan yang baru saja dijumpainya kembali setelah lama sekali berpisah itu.

“Tidak, Tiong-ko. Aku tak akan mau menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai. Maafkan aku, Tiong-ko, akan tetapi sungguh aku tidak bisa menyerahkan diri kepada mereka.”

“Sin-te, apakah engkau sudah menjadi seorang penakut? Apa engkau takut menghadapi hukuman? Takut mati?”

Thian Sin menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku hanya tidak mau diperlakukan tak adil. Aku tidak merasa bersalah, maka tidak mungkin aku menyerahkan diri seperti orang yang bersalah.”

“Akan tetapi, engkau akan diadili!”

“Hemm, pengadilan terhadap Pendekar Sadis yang dibenci sudah bisa dibayangkan lebih dulu akan bagaimana jadinya.”

“Sin-te, sekali lagi, demi membersihkan nama Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang terlibat namanya olehmu, mari ikut aku ke Kun-lun-pai.”

“Sekali lagi, tidak, Tiong-ko, dan maafkan aku.”

“Kalau aku menggunakan kekerasan terhadapmu?”

Thian Sin tersenyum. “Terserah, engkau tahu aku tidak akan melawanmu, aku tidak akan sanggup mengangkat tangan terhadapmu. Akan tetapi engkau harus tahu benar bahwa engkau tidak akan dapat membawaku dan memaksaku ke Kun-lun-pai selama aku masih bernyawa. Engkau harus membunuh aku terlebih dahulu sebelum dapat memaksa pergi, Tiong-ko. Ahh, Tiong-ko, mengapa kita harus begini?” Dan tiba-tiba Thian Sin menubruk, merangkul dan menangis!

Kim Hong memandang dengan wajah pucat dan bengong. Tak pernah dapat disangkanya bahwa kekasihnya, Pendekar Sadis yang demikian gagah perkasa, berani mati, dan keras hati itu sekarang semua kekerasannya seakan-akan mencair dan menjadi lembek, lunak dan lemah sekali! Han Tiong sendiri merangkul adiknya dan menengadah, mukanya pucat sekali.

“Kau pun pasti tahu bahwa tak mungkin aku dapat melakukan kekerasan terhadap dirimu, adikku,” katanya dengan suara serak penuh keharuan. “Akan tetapi engkau pun pasti tahu bahwa tak mungkin aku membiarkan saja namamu berlepotan noda dan membawa pula nama Lembah Naga menjadi tercemar. Apabila memang engkau berkeras tidak mau ikut bersamaku ke Kun-lun-pai, nah, selamat tinggal, adikku. Semoga Thian memberkahimu dan engkau dapat hidup bahagia bersama isterimu. Selamat tinggal, adikku, biar aku saja yang akan menebus segalanya, selamat tinggal!”

Sesudah berkata demikian, pemuda itu lalu pergi meninggalkan Thian Sin dan Kim Hong yang memandang dengan muka pucat sampai akhirnya bayangan Han Tiong lenyap dari pandang mata mereka.

Thian Sin menjatuhkan dirinya duduk di atas rumput dan menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya. Kesedihan yang teramat besar mencekam hatinya. Dia merasa berduka sekali bahwa perjumpaannya dengan kakaknya yang tersayang, terpaksa harus berakhir seperti itu.

Kakaknya yang selama ini amat merindukannya, mencintanya, bahkan tak mau menikah sebelum bertemu dengannya! Dia tahu bahwa kakaknya itu terus menunggunya, bahkan dia tahu pula bahwa kakaknya itu akan mau mengalah untuk mundur dan membiarkan Lian Hong menikah dengan dia! Dia tahu benar akan semua isi hati dan watak kakaknya, tahu akan kasih sayang kakaknya itu terhadap dirinya yang amat mendalam.

Kim Hong hanya memandang saja, membiarkan kekasihnya terbenam dalam lamunannya sendiri. Ia pun dapat mengerti akan kesedihan Thian Sin. Setelah agak lama, barulah Kim Hong mendekati kekasihnya lalu duduk di dekatnya di atas rumput, memegang tangannya tanpa bicara.

Thian Sin yang merasa tangannya dipegang dan digenggam kekasihnya, lalu mengangkat muka dan menurunkan tangannya. Mukanya pucat sekali dan matanya agak kemerahan, pipinya masih basah oleh air mata. Mereka saling pandang sejenak, kemudian Kim Hong mengangguk perlahan dan berkata lirih,

“Engkau benar, Thian Sin. Memang kakakmu itu yang terlalu lemah, mau saja mengalah terhadap orang lain. Terhadap pihak mana pun juga, jika mau menang sendiri dan terlalu mendesak, harus kita tandingi, bukannya mengalah dan membiarkan diri dihina.”

Thian Sin memandang wajah kekasihnya lalu menarik napas panjang. “Engkau tidak tahu, Kim Hong. Engkau belum mengenal Tiong-ko. Dia sama sekali bukan orang lemah, bukan mengalah begitu saja, dan sama sekali tidak takut. Akan tetapi Tiong-ko selalu bertindak demi kebenaran, dan untuk membela kebenaran ini, dia tidak pernah segan-segan untuk mengorbankan dirinya sendiri. Dia seorang manusia yang gagah perkasa lahir batin, yang berhati tulus dan cintanya amat tulus. Aku khawatir sekali…”

“Khawatir apa, Thian Sin?”

“Aku tidak dapat menduga apa yang akan dilakukannya di Kun-lun-pai. Aku hanya merasa tidak enak sekali. Apa kata-katanya yang terakhir tadi? Selamat tinggal, akulah yang akan menebus segalanya. Nah, itulah yang membuat hatiku merasa gelisah sekali.”

Kim Hong mengerutkan alisnya. “Lalu, apa yang akan dilakukannya?”

“Kita harus membayangi dia, Kim Hong. Aku harus melihat apa yang akan dilakukan oleh Tiong-ko. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan dirinya, karena aku, maka selama hidupku aku akan menderita penyesalan batin yang lebih hebat dari pada kematian. Marilah kita bayangi dia dan lihat apa yang akan dilakukannya.”

Kim Hong hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keduanya segera bangkit, kemudian berlari cepat mengejar Han Tiong, menuju ke Kun-lun-san.

********************

Para tokoh kang-ouw telah mulai berdatangan di Kun-lun-pai. Undangan dari sebuah partai persilatan seperti Kun-lun-pai tentu saja merupakan peristiwa besar hingga memperoleh perhatian dari mereka yang diundang, apa lagi di dalam undangan itu Kun-lun-pai dengan terus terang menyatakan bahwa pertemuan antara para tokoh pendekar itu dimaksudkan untuk membicarakan tentang sepak terjang Pendekar Sadis yang namanya sudah sangat menggemparkan seluruh dunia persilatan itu.

Satu hari sebelum hari yang ditetapkan, di Kun-lun-pai sudah hadir belasan orang tokoh pendekar dari berbagai aliran. Kui Im Tosu, ketua Kun-lun-pai, didampingi oleh sute-nya yang menjadi wakilnya, yaitu Kui Yang Tosu, telah menyambut dan menemani para tamu yang datang awal itu di ruangan tamu yang luas itu.

Di antara belasan orang tamu yang sudah datang itu terdapat pula tiga orang Shan-tung Sam-lo-eng (Tiga Pendekar Tua dari Shan-tung) serta Hwa Siong Hwesio, tokoh hwesio Siauw-lim-pai. Mereka ini bersama dengan Kui Yang Tosu pernah menemui Pendekar Sadis untuk menegur pendekar itu karena telah membunuh Toan-ong-ya di kota raja.

Di samping empat orang pendekar itu, telah hadir pula beberapa orang yang benar-benar merupakan pendekar yang sangat dihormati serta disegani orang, antara lain Lo Pa San yang berjuluk Hui-to-sian (Dewa Golok Terbang), seorang pendekar yang terkenal gagah perkasa bertubuh tinggi besar dan bermuka merah. Pendekar ini terkenal sekali di daerah pantai Lautan Po-hai.

Thian Heng Losu, kakek tinggi kurus bertongkat bambu kuning berusia enam puluh tahun lebih, ketua Bu-tong-pai yang berkenan datang sendiri karena selain dia ingin mendengar tentang Pendekar Sadis, juga ketua Bu-tong-pai ini ingin bertemu dengan para pendekar.

Juga hadir pula Liang Sim Cianjin, yaitu seorang pendekar yang terkenal sebagai seorang bun-bu-coan-jai (ahli silat dan surat) berusia enam puluh lima tahun. Pakaian pertapa ini seperti petani, bercaping lebar dan sikapnya halus, tubuhnya kecil kurus sama sekali tidak membayangkan bahwa dia memiliki kepandaian yang tinggi.

Kehadiran ketua Bu-tong-pai, juga dari perkumpulan-perkumpulan besar semacam Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Thai-san-pai dan lain-lain tentu saja membawa beberapa orang anak murid yang kini berkumpul di lain bagian karena kini kedua orang ketua Kun-lun-pai itu sedang menyambut para tamu yang sejajar atau setingkat dengan mereka berdua. Maka keadaan dalam kamar tamu yang cukup luas itu sangat meriah, akan tetapi pembicaraan terjadi dengan serius.
Selanjutnya,