Pendekar Sadis Jilid 38 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sadis Jilid 38
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Kim Hong tersenyum dan hatinya girang. Tosu Kun-lun-pai ternyata bukanlah orang-orang yang suka mempergunakan kekerasan, walau pun murid-murid mereka di dunia kang-ouw terkenal gagah perkasa dan gigih menentang kejahatan.

“Baik, totiang. Nah kau halangilah aku!”

Tiba-tiba Kim Hong berkelebat lari ke sebelah kiri tosu itu, akan tetapi tosu itu pun sudah meloncat ke sana sehingga jalan bagi Kim Hong terhalang. Nona itu meloncat tinggi ke atas, berjungkir balik sampai tiga kali sehingga dia mencapai langit-langit, akan tetapi tosu itu pun mengeluarkan seruan keras lantas tubuhnya juga sudah mencelat ke atas untuk menghadang di atas!

Kim Hong turun kembali, diikuti oleh tosu itu dan selanjutnya dua orang itu seperti sedang bermain kejar-kejaran seperti anak kecil. Tubuh mereka tak nampak lagi saking cepatnya gerakan mereka. Yang nampak hanyalah bayangan yang berkelebatan dan memang tosu yang seorang ini mempunyai gerakan cepat bukan main. Akan tetapi, kali ini dia bertemu dengan gadis yang pernah menjadi Lam-sin, yang terkenal sekali dengan kepandaiannya yang hebat-hebat, di antaranya adalah kecepatan gerakannya.

Demikianlah, setelah mengajak tosu itu berkelebatan dengan amat cepatnya di mana tosu itu selalu dapat memotong jalan masuk, tiba-tiba Kim Hong mengerahkan seluruh tenaga ginkang-nya lalu tubuhnya berpusingan cepat laksana gasing!

Tentu saja tosu itu terkejut sekali dan tidak tahu harus berbuat apa. Untuk turut berpusing seperti itu, dia tidak mampu dan tiba-tiba saja tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu dara itu sudah melesat di sampingnya tanpa dia mampu mencegahnya, saking cepatnya gerakan itu. Tahulah tosu itu bahwa kalau tadi-tadi nona itu mengerahkan seluruh tenaga ginkang-nya, dia tidak akan mampu mencegahnya.

“Hebat, hebat… pinto mengaku kalah!” katanya sambil tertawa dan menghapus peluhnya.

Tosu yang matanya sipit tadi kembali menjura. “Nona telah menunjukkan ketinggian ilmu silat, kekuatan sinkang serta ketinggian ginkang. Nona adalah seorang tamu yang sudah sepatutnya minta berjumpa dengan wakil ketua kami. Akan tetapi, orang muda itu tidak boleh masuk. Dia hanya teman nona, dan dia tidak melalui ujian masuk.”

“Totiang bersikap kurang adil sekali.”

Dua orang tosu itu saling pandang kemudian yang bermata sipit kembali menghadapi Kim Hong. “Siancai…! Jika ada kesalahan kami, harap kau tunjukkan, nona. Sikap kami yang manakah yang kurang adil menurut pendepatmu?”

“Setiap orang memiliki peraturan masing-masing. Kun-lun-pai memiliki peraturan bahwa siapa hendak menghadap ketuanya harus melalui ujian barisan murid-murid Kun-lun-pai. Aku menghormati peraturan tuan rumah dan telah memenuhi syarat. Sebaliknya, sebagai tamu aku juga memiliki peraturan, peraturan kepantasan yang kiranya dapat dimengerti oleh para tokoh Kun-lun-pai. Aku adalah seorang wanita muda, dan menurut patut, kalau aku menghadap seorang laki-laki, aku harus membawa teman. Karena itulah maka untuk menghadap ketua Kun-lun-pai aku membawa temanku, apakah telah dianggap tepat oleh ketua Kun-lun-pai untuk menerima tamu wanita muda berdua saja tanpa ada orang lain?”

Wajah kedua orang tosu itu menjadi merah dan mereka merasa bingung, saling pandang karena mereka menganggap alasan nona ini cukup kuat. Memang, dari sudut kesusilaan, sangatlah tidak pantas kalau menolak orang yang menemani nona ini menghadap ketua Kun-lun-pai, dan amatlah memalukan dan mendatangkan dugaan yang bukan-bukan jika ketua atau wakil ketua Kun-lun-pai menerima kunjungan seorang wanita muda cantik jelita yang bukan murid dan bukan keluarga secara sendiri saja!

Akan tetapi, tosu berjenggot panjang yang ramah itu cerdik. Tiba-tiba dia bertanya, “Nona, apamukah orang muda yang hendak mengantarmu menjumpai wakil ketua kami?”

“Dia adalah kekasihku, tunanganku!” Kim Hong berkata dengan lantang dan terus terang sehingga Thian Sin sendiri menjadi terkejut dan mukanya berubah merah. Akan tetapi dia pun lantas bisa menangkap bahwa memang jawaban terus terang itulah yang paling tepat, karena jika bukan saudara dan bukan tunangan, melakukan perjalanan berdua saja tentu sudah melanggar kepantasan pula!

Selagi dua orang tosu itu termangu-mangu, tiba-tiba terdengar suara dari balik daun pintu di sebelah dalam, suara yang sangat halus dan ramah, “Siancai… seorang muda yang penuh semangat! Persilakan Nona Toan dan temannya masuk…!”

Kedua orang tosu itu nampak lega, lalu menjura ke arah Kim Hong dan Thian Sin. “Wakil ketua kami, Kui Yang Tosu, mengundang ji-wi untuk datang menghadap. Silakan!”

Mereka lantas membuka daun pintu yang besar itu. Kim Hong dan Thian Sin membalas penghormatan mereka, kemudian melangkah melewati ambang pintu memasuki sebuah ruangan lain yang terang. Ternyata kamar itu adalah sebuah kamar buku karena di sudut berdiri rak penuh dengan buku-buku tua, dan juga merangkap kamar tamu karena di situ terdapat meja kursi dan di atas dipan berkasur duduk bersila seorang tosu yang wajahnya ramah dan tosu itu duduk sambil tersenyum gembira, memandang kepada mereka.

Thian Sin dan Kim Hong juga mengangkat muka, lalu memandang kepada tosu tua yang duduk bersila di atas dipan itu. Seorang tosu yang usianya mendekati tujuh puluh tahun, tinggi kurus, wajahnya dihias senyum gembira dan sepasang matanya membayangkan keramahan dan kehalusan budi.

Di sudut ruangan duduk pula tiga orang tosu lain yang usianya lebih muda, kurang lebih enam puluh tahun, dan sikap mereka diam menanti, tanda bahwa mereka ini kalah tinggi tingkatnya dengan tosu tua itu. Diam-diam Thian Sin merasa seperti pernah mengenal tosu-tua itu, akan tetapi dia sudah lupa lagi di mana.

Dan memanglah, dia pernah melihat tosu itu yang bukan lain adalah Kui Yang Tosu, tokoh Kun-lun-pai yang pernah datang mencarinya bersama tokoh-tokoh pendekar lain ketika dia membunuh Pangeran Toan Ong! Dan tiga orang tokoh lain itu adalah sute-sute-nya, para pembantunya sehingga tentu saja tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada dua orang murid kepala tadi.

Sementara itu, pada saat dia memandang kepada wajah Thian Sin dan bertemu pandang dengan sepasang mata pemuda yang mencorong tajam itu, jantung tosu itu terguncang dan senyumnya lenyap seketika, alisnya yang putih berkerut dan sekali meloncat dia pun sudah bangkit berdiri menghadapi dua orang muda itu.

“Pendekar Sadis!” teriaknya mengejutkan tiga orang sute-nya yang juga segera bangkit ketika mendengar sebutan ini.

“Pendekar Sadis! Kiranya engkau berhasil menyelundup ke sini? Apakah kini engkau juga mulai dan hendak menyebar maut di Kun-lun-pai?”

Ketika Thian Sin melihat tosu itu mengeluarkan tasbehnya dari saku jubahnya yang lebar, maka dia pun teringat kepada tosu ini. Sambil tersenyum pahit Thian Sin menggelengkan kepalanya dan berkata, “Maaf, totiang. Sekali ini aku hanya menemani Nona Toan saja, dan sama sekali tidak ada urusan dengan pihak Kun-lun-pai.”

“Siancai…!” Tosu itu tampak lega mendengar ini, akan tetapi kini pandangannya terhadap Kim Hong menjadi lain, tidak seramah tadi. “Maaf, nona. Apa bila pinto tidak salah dengar, namamu adalah Toan Kim Hong. Di dunia ini tidak banyak nama keluarga Toan, apakah nona masih ada hubungan keluarga dengan mendiang Pangeran Toan Ong?”

Kim Hong tersenyum. “Tidak ada salahnya menjawab pertanyaan itu, locianpwe, walau pun tak ada sangkut-pautnya dengan kunjunganku ke sini. Memang benar ada hubungan keluarga, karena Pangeran Toan Ong itu adalah pamanku sendiri.”

“Ahhh…!” Tosu itu terkejut. “Dan apakah Toan-siocia sudah tahu siapa yang membunuh Pangeran Toan?”

Nona itu mengangguk sambil mengerling ke arah Thian Sin. “Aku sudah tahu, locianpwe, pembunuhan terjadi karena salah paham dan karena fitnah orang. Pembunuhnya adalah temanku inilah…”

“Tapi mengapa…?”

“Sudahlah, locianpwe. Kedatanganku ini bukan untuk urusan itu, melainkan untuk urusan yang lain sama sekali.”

Kui Yang Tosu menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Benar, memang demikianlah. Nah, sekarang katakanlah, apa perlunya nona berkeras hendak bertemu dengan pimpinan Kun-lun-pai?”

“Kedatanganku ini ingin minta perkenan locianpwe agar aku diijinkan bertemu dengan Jit Goat Tosu yang sedang bertapa di asrama Kun-lun-pai.”

Tosu itu mengangguk-angguk. “Permintaan nona itu sudah pinto dengar tadi, akan tetapi pinto masih ragu-ragu sebab permintaan itu sungguh amat aneh. Kehadiran Jit Goat Tosu di sini adalah suatu rahasia dan sudah bertahun-tahun tidak ada yang tahu, bagaimana nona bisa mengetahuinya? Dan bolehkah pinto mengetahui apa urusan nona dengan Jit Goat Tosu?”

“Hemmm, aku cukup menghormati Kun-lun-pai, locianpwe, sehingga untuk menemuinya, terlebih dahulu aku menghadapi pemimpin Kun-lun-pai dan minta ijin, bukannya langsung mencarinya sampai bisa kutemukan. Aku tak ingin melibatkan Kun-lun-pai dengan urusan kami, maka pertanyaan itu tidak dapat kujawab karena tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai.”

“Siancai…! Janganlah Nona Toan berpendapat demikian. Ketahuilah bahwa Jit Goat Tosu bukan orang lain bagi kami. Dia adalah saudara angkat kami, maka tentu saja kami ingin tahu apa yang menjadi sebabnya maka nona datang untuk mencarinya di sini.”

Kim Hong mengerutkan alisnya. Ahh, urusan menjadi sulit kalau begini. Tak disangkanya bahwa selain menjadi tosu dan mondok di asrama Kun-lun-pai, supek-nya itu kini malah telah mengangkat saudara dengan para pimpinan Kun-lun-pai! Kalau begini, agaknya tak dapat dihindarkan lagi keterlibatan Kun-lun-pai!

“Locianpwe, urusanku dengan dia merupakan urusan pribadi, urusan antara seorang murid keponakan dengan supek-nya. Apakah locianpwe masih hendak mencampurinya?”

Mendengar ini terkejutlah kakek itu. “Siancai… siancai… kiranya nona adalah puteri dari mendiang Toan Su Ong…?”

“Benar sekali, locianpwe.”

“Ah, kalau begitu… tentu saja pinto tidak berhak mencampuri urusan pribadi nona dengan supek nona.” Lalu Kui Yang Tosu menoleh kepada tiga orang tosu itu. “Thian-sute, harap kau antarkan Nona Toan menghadap Jit Goat Tosu. Karena beliau sedang bertapa, maka antarkan saja hingga di depan goa kemudian tinggalkan di situ. Biar terserah kepada yang berkepentingan mau menemui atau tidak.”

“Baik, suheng,” jawab seorang di antara tiga tosu itu. “Marilah, nona.”

Kim Hong dan juga Thian Sin mengikuti tosu itu dan Kui Yang Tosu tak berani mencegah ketika melihat Thian Sin juga ikut, biar pun hatinya merasa tidak enak dengan munculnya Pendekar Sadis di tempat itu. Karena itu, setelah sute-nya pergi mengantarkan dua orang muda itu ke arah belakang asrama, dia sendiri segera bergegas masuk ke dalam untuk menemui suheng-nya, yaitu Kui Im Tosu untuk membicarakan urusan itu.

********************

Kiranya daerah markas Kun-lun-pai itu luas bukan kepalang. Melalui sebuah pintu rahasia yang kecil, mereka keluar dari pagar tembok dan mendaki bukit atau puncak pegunungan di belakang dan setelah melalui daerah berbatu, akhirnya sampailah mereka pada dinding puncak yang penuh dengan goa-goa besar. Tosu itu membawa mereka ke sebuah goa besar yang gelap, berhenti di depan goa sambil berkata,

“Nah, di sinilah tempat Jit Goat Tosu bertapa, nona.” Sesudah berkata demikian, tosu itu langsung membalikkan badan dan meninggalkan dua orang muda itu termangu-mangu di depan goa.

Thian Sin dan Kim Hong memandang ke sekeliling. Tempat itu tentu saja sudah berada di luar pagar tembok Kun-lun-pai, akan tetapi masih termasuk daerah Kun-lun-pai. Tempat itu amat sunyi, di dekat sebuah puncak dan kalau saja mereka tidak diantar oleh seorang tosu Kun-lun, agaknya tak mungkin mereka akan dapat menemukan tempat pertapaan Jit Goat Tosu. Di situ terdapat banyak sekali goa-goa besar berjajar seperti pintu-pintu hitam atau seperti mulut-mulut raksasa, jumlahnya ada puluhan. Mereka pasti akan memerlukan banyak waktu untuk menyelidikinya satu demi satu!

Tidak kelihatan seorang pun manusia lainnya, bahkan agaknya tidak ada binatang hutan di pegunungan batu ini. Hanya ada beberapa ekor burung yang beterbangan di puncak, agaknya mempunyai sarang di sana, semacam burung pemakan bangkai.

Thian Sin memberi isyarat kepada Kim Hong agar membuka suara. Dara itu mengangguk, kemudian dia berseru dengan suara yang mengandung tenaga khikang sehingga getaran suaranya itu terdengar sampai jauh dan tentu akan sampai ke dasar goa di depannya.

“Jit Goat Tosu, keluarlah! Aku Toan Kim Hong datang untuk bicara denganmu!”

Dari dalam goa itu terdengar gema suara Kim Hong, terdengar mengaung menyeramkan seolah-olah terdapat suara iblis yang menjawabnya. Akan tetapi hanya gaung suara yang memantul itu saja yang terdengar, tidak ada suara lainnya. Beberapa kali Toan Kim Hong mengulangi seruannya tadi, namun sia-sia. Tidak ada suara menjawabnya.

“Sialan tosu-tosu Kun-lun-pai itu. Aku telah ditipu, agaknya tempat ini kosong!” gerutu Kim Hong.

Thian Sin menggelengkan kepalanya. “Tidak mungkin dia membohong.”

“Kalau begitu orangnya berada di dalam, tetapi sengaja tidak mau menjawab. Sebaiknya kumasuki saja dan kalau memang berada di dalam, kuseret dia keluar!”

Akan tetapi Thian Sin memegang lengannya dan menggeleng kepala. Kim Hong teringat dan bergidik. Bagaimana ia bisa lupa bahwa supek-nya itu memiliki ilmu kepandaian yang bahkan lebih lihai dari pada mendiang ayahnya? Karena ia tidak merasa mampu melawan maka ia minta bantuan Thian Sin, bagaimana kini secara lancang hendak memasuki goa gelap itu? Sungguh ceroboh karena hal itu akan berbahaya sekali.

“Tentu dia tidak mengenalmu, coba sebut nama ayahmu,” bisik Thian Sin.

Kim Hong langsung teringat. Betul juga, pikirnya. Supek-nya itu belum pernah melihatnya, belum pernah pula mendengar tentang dirinya, tentu saja tidak ada artinya apa bila hanya memperkenalkan nama. Maka dia lalu berteriak kembali, ditujukan ke dalam goa, dengan mengerahkan khikang-nya.

“Supek Jit Goat Tosu! Supek Gouw Gwat Leng! Keluarlah, ini aku Toan Kim Hong puteri tunggal dari Toan Su Ong datang hendak bicara dengan supek!”

Baru saja gema suara itu menghilang, terdengarlah suara yang halus dari dalam goa itu, suara yang agak menggetar penuh perasaan, “Siancai… siancai… siancai…!”

Dan tak lama kemudian keluarlah seorang kakek dari dalam goa itu. Seorang kakek yang sangat kurus kecil dan mukanya pucat seperti mayat, mungkin karena terlalu lama tidak pernah terkena sinar matahari. Melihat munculnya kakek yang kelihatan amat lemah dan sudah mendekati liang kubur ini, hati Kim Hong segera merasa kecewa sekali. Beginikah macamnya orang yang selama ini dicari-carinya dengan hati penuh dendam kebencian? Hanya seorang kakek tua renta yang sudah hampir mati, bahkan tertiup angin kencang saja agaknya tentu akan roboh!

Kakek itu berdiri agak bongkok di depan goa, sepasang matanya yang lemah itu berkedip-kedip, agaknya silau oleh sinar matahari yang sudah lama sekali tidak dilihatnya. Tangan kirinya digunakan melindungi matanya dari cahaya matahari sedangkan tangan kanannya memegang sebuah bendera kecil yang sudah lapuk.

Bendera itu berwarna kuning dan sudah tidak nampak jelas lagi apa gambarnya, hanya pinggiran bendera itu sudah robek-robek seperti biasanya pada bendera kuno yang sudah terlalu lama dan dimakan usia. Gagang bendera itu ternyata merupakan sebatang anak panah terbuat dari perak.

“Mana dia puteri Toan Su Ong?” tanya kakek itu dengan suara gemetar.

Kim Hong hampir tidak mampu menerima kenyataan itu. Tidak percaya bahwa mendiang ayahnya ketakutan terhadap orang lemah macam ini! Ia meragu dan dengan hati kecewa dia bertanya,

“Mungkinkah engkau ini yang bernama Gouw Gwat Leng atau Jit Goat Tosu?”

Kakek itu memandang kepada Kim Hong, lalu terkekeh lirih, “Heh-heh, benar… matamu seperti mata ayahmu. Engkau tentu anak sute Toan Su Ong, tidak salah lagi… heh-heh, anak baik, boleh jadi engkau meragukan diriku sebagai supek-mu Gouw Gwat Leng, tetapi ayahmu tentu pernah bercerita mengenai bendera pusaka kita ini, peninggalan dari kakek gurumu…”

Melihat bendera tua itu, hati Kim Hong menjadi panas rasanya. Bendera itulah yang selalu membuat ayahnya tunduk terhadap suheng-nya ini.

“Bendera sialan!” bentaknya.

Dan tiba-tiba saja tubuhnya telah berkelebat meloncat ke arah kakek itu sambil tangannya menjangkau untuk merampas bendera itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tangannya hanya menangkap angin saja! Entah bagaimana caranya, kakek yang kelihatan lemah itu sudah dapat mengelakkan bendera itu dari jangkauan tangan Kim Hong yang amat cepat tadi.

“Siancai… tidak seorang pun di dunia ini yang boleh merampas bendera pusaka ini dari tanganku…” Kakek itu terkekeh.

Tentu saja Kim Hong merasa penasaran sekali. Kembali dia menubruk, kini menggunakan kedua tangannya untuk merampas. Akan tetapi, dua kali bendera kecil itu berkelebat dan tidak dapat ditangkap oleh tangan Kim Hong. Marahlah gadis itu dan kini pandangannya terhadap kakek itu sudah berubah. Biar pun nampaknya lemah, kiranya kakek ini memiliki kepandaian tinggi.

“Aku tetap akan merampas bendera itu!” bentaknya.

Kini dia kembali menerjang, tangan kirinya menyerang dengan tusukan jari tangan ke arah lambung, kepalanya bergerak dan kuncir rambutnya menotok ke arah ulu hati dan tangan kanannya mencengkeram hendak merampas bendera! Hebat bukan main jurus serangan yang dilakukan oleh Kim Hong ini dan jarang ada orang yang akan dapat menyelamatkan diri dari serangan seperti itu yang di samping dilakukan amat cepat, juga dengan tenaga dahsyat dan terutama sekali penggunaan rambut sebagai senjata itu sukar diduga.

“Plak-plak-plakkk!”

Tubuh Kim Hong terbuyung ke belakang! Ternyata kakek yang kelihatan lemah itu sudah berhasil menangkis semua serangannya, bukan hanya menangkis, malah juga membalas dengan dorongan yang membuat gadis itu terhuyung-huyung! Melihat ini, Thian Sin sendiri memandang kaget dan kagum. Gerakan kakek itu kelihatan lambat, namun begitu tepat dan mengandung tenaga yang dahsyat sekali.

“Hemm, kiranya engkau pun pemberontak seperti ayahmu?” Kakek itu menegur, suaranya berwibawa, biar pun suara itu masih saja agak menggetar dan agak kaku, mungkin karena lamanya dia bertapa dan selama itu tidak pernah mengeluarkan suara.

Kim Hong sendiri terkejut dan maklum bahwa bendera itulah yang membuat dia sampai kena terdorong. Saat Si Kakek tadi menangkis, bendera itu berkelebat di depan matanya kemudian membuat dia lengah sehingga kena didorong. Kiranya bendera itu bukan hanya merupakan bendera pusaka, akan tetapi bisa juga merupakan sebuah senjata aneh yang agaknya ampuh sekali walau pun belum dipergunakan sepenuhnya oleh kakek itu.

“Bocah she Toan, kau sebagai puteri Toan Su Ong merupakan satu-satunya keturunan yang seharusnya mewarisi bendera ini dan menghormati bendera ini sampai mati. Akan tetapi kini engkau malah menghinanya dan hendak merampasnya. Katakan, apa perlunya engkau datang untuk menemuiku?”

“Gouw Gwat Leng, lupakah engkau betapa ayahku harus hidup terlunta-lunta dan menjadi buronan, juga selama hidupnya harus bersembunyi sampai mati, hanya karena engkau? Mendiang ibuku bercerita bahwa engkaulah yang menyebabkan ayah tidak berani muncul di dunia ramai, engkau dan bendera sialan itu. Boleh jadi ayah terlalu bodoh untuk merasa jeri menghadapi engkau dan bendera terkutuk itu, akan tetapi aku, anaknya, tidak! Aku yang akan membalaskan kematian serta menebus kesengsaraan ayah kepadamu, juga menghancurkan bendera terkutuk itu!”

“Siancai… akhirnya datang juga saat yang kunanti-nantikan selama ini! Anak baik, engkau hendak berbakti secara sesat kepada ayahmu. Ayahmu sendiri takut kepadaku karena dia sangat menghormati bendera dan karena tahu diri, sekarang engkau hendak melawanku? Engkau benar-benar telah murtad terhadap bendera pusaka nenek moyang perguruanmu sendiri, dan engkau tidak tahu diri berani melawan supek-mu!”

“Tidak usah banyak cerewet, bersiaplah untuk menyusul ayah dan ibuku!” Setelah berkata demikian, Toan Kim Hong segera mencabut sepasang pedang hitamnya dan menyerang dengan sengit.

“Trang-tranggg…!” Gagang bendera itu telah menangkis sepasang pedang.

“Aihhh, aku sudah mendengar bahwa dalam persembunyiannya ayah ibumu menciptakan Hok-mo Sin-kun! Apakah ini yang namanya Hok-mo Siang-kiam?”

Akan tetapi Kim Hong sudah tak mempedulikan lagi dan menyerang terus, menggunakan jurus-jurus terampuh dari ilmu pedangnya. Dan ternyata kakek itu, sungguh pun kelihatan sudah tua dan lemah, tapi ternyata masih hebat! Gerakannya begitu ringan seperti kapas tertawa angin. Seolah-olah tubuhnya sudah terdorong oleh angin sambaran pedang lawan sehingga tanpa mengelak pedang itu tidak mengenai sasaran!

Dan benderanya bergerak-gerak, berkibar-kibar, tapi bukan sembarangan berkibar karena bendera tua itu berkelebat menggelapkan pandangan dan ujung gagangnya yang tumpul menjadi alat penotok yang amat ampuh, ada pun mata anak panah yang menjadi gagang bendera itu pun menyambar-nyambar seperti patuk seekor rajawali!

Walau pun Kim Hong bergerak cepat dan mengerahkan tenaga, namun Thian Sin dapat melihat bahwa memang kakek itu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi tingkatannya sehingga dengan mudahnya kakek itu dapat menghalau semua serangan Kim Hong tanpa banyak kesukaran, sebaliknya setiap serangan balasan kakek itu agaknya memang tepat sehingga membuat Kim Hong kewalahan dan sibuk menyelamatkan diri.

“Jit Goat Tosu, sungguh tidak patut kalau yang tua menghina yang muda, dan aku sudah menjanjikan bantuan kepada Kim Hong!” Berkata demikian, Thian Sin sudah meloncat ke depan sambil mengelebatkan Gin-hwa-kiam sehingga nampaklah sinar perak menyambar ganas.

“Tranggggg…!”

Tangkisan anak panah yang menjadi gagang bendera terhadap Gin-hwa-kiam itu segera membuat Si Kakek terdorong ke belakang, akan tetapi juga Thian Sin terdorong mundur. Keduanya terkejut dan kakek itu sejenak memandang kepada pemuda itu.

“Toan Kim Hong! Siapakah pemuda yang hendak membantumu ini?!” Pertanyaan ini lebih menyerupai bentakan dan di dalamnya mengandung ancaman maut!

Kim Hong merasa malu kalau harus mengeroyok kakek itu bersama orang lain, maka dia pun menyahut lantang, “Dia adalah Ceng Thian Sin, tunanganku!”

Dengan mengakui pemuda itu sebagai tunangannya yang berarti jodohnya, maka berarti bahwa yang turut mengeroyok kakek itu ‘bukan orang luar’. Dan memang pendapatnya ini tepat sekali. Kakek itu tertawa.

“Ha-ha-ha, pantas…! Dia tampan dan gagah, ilmunya hebat. Hayo anak-anak, hayo kita latihan dan lihatlah kehebatan ilmu dari nenek moyang perguruanmu!”

Setelah berkata demikian kakek itu menggerakkan anak panah bendera itu dan sekaligus gerakan ini menyerang Thian Sin dan Kim Hong secara bertubi-tubi. Dua orang muda itu kaget sekaligus juga heran bagaimana senjata kecil seperti itu dapat bergerak sedemikian anehnya dan setiap gerakan merupakan serangan maut yang amat berbahaya. Tentu saja keduanya langsung menggerakkan pedang untuk menangkis dan balas menyerang.

Kim Hong telah memainkan Hok-mo Siang-kiam-sut dan sepasang pedangnya yang hitam itu berubah menjadi dua sinar hitam bergulung-gulung amat menyeramkan, diiringi angin dingin yang mengeluarkan suara bercuitan. Tubuhnya sendiri lalu lenyap terbungkus dua gulungan sinar hitam ini dan kadang-kadang ada sinar hitam mencuat dari dua gulungan itu, menyambar ke arah tubuh kakek kecil kurus.

Thian Sin juga memutar pedangnya dengan cepat, dan selain sambaran pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar perak yang mengimbangi serta saling membantu dengan dua gulungan sinar hitam itu, juga tangan kirinya secara diam-diam melancarkan pukulan-pukulan Pek-in-ciang yang dulu dipelajarinya dari pendekar sakti Yap Kun Liong di puncak Bwe-hoa-san. Tangan kirinya itu mengepulkan uap putih ketika dia mempergunakan ilmu pukulan ampuh itu. Melihat kehebatan kedua orang muda ini, berkali-kali kakek itu harus mengeluarkan seruan kagum dan kaget.

Akan tetapi ilmu kepandaian kakek tua renta itu memang hebat sekali. Dia telah memiliki kematangan yang amat sempurna, ilmu silatnya telah mendarah daging dan berkat latihan semedhi yang tidak kunjung henti, dia telah menghimpun kekuatan dalam yang luar biasa sekali, tidak lumrah dimiliki manusia. Tubuhnya, jasmaninya memang terlihat lemah, akan tetapi, kekuatan sakti yang tersembunyi di tubuhnya bangkit semua dan sudah terhimpun sinkang yang mencapai puncaknya.

Gerakan anak panah berikut bendera tua itu aneh sekali, akan tetapi ke mana pun senjata ini bergerak, tentu selalu sanggup menahan senjata lawan dan begitu terbentur, langsung saja anak panah itu menyambar dan mengirim serangan balasan yang tidak kalah lihainya dari pada serangan lawan.

Biar pun dikeroyok dua, kakek itu sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan seolah-olah dia sudah menguasai ilmu lawan. Padahal, ilmu yang dikeluarkan oleh kedua orang muda itu adalah ilmu-ilmu yang belum dikenalnya, akan tetapi kematangannya dalam ilmu silat membuat dia bisa melihat intinya dan karenanya gerakan dua orang muda itu sama sekali tidak mengejutkan hatinya, hanya membuatnya kagum bukan main.

“Bagus sekali ilmu pedang kalian, kini mari kita berlatih dengan tangan kosong!” Setelah berkata demikian, kakek itu menyelipkan anak panah itu di pinggangnya dan menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong saja.

Melihat ini, Thian Sin otomatis menyimpan pedangnya, dan melihat sikap pemuda ini, Kim Hong juga langsung menyimpan sepasang pedang hitamnya! Diam-diam gadis ini merasa heran sendiri. Dia datang untuk membunuh kakek ini, akan tetapi mengapa sekarang dia menghadapi kakek itu seperti supek-nya sendiri mengajaknya berlatih saja?

Sesungguhnya bukanlah demikian. Seperti juga yang dirasakan oleh Thian Sin, Kim Hong merasa malu di sudut hatinya bahwa menghadapi seorang kakek tua renta yang kelihatan amat lemah ini dia harus melakukan pengeroyokan. Dan di samping itu, juga dia merasa kagum bukan main melihat kepandaian kakek ini.

Oleh karena itu, melihat kakek itu menyimpan senjata, mana mungkin dia ada muka untuk menyerang kakek yang bertangan kosong itu dengan sepasang pedangnya? Hal itu tentu akan memalukan sekali, dan karena inilah maka Thian Sin dan ia sendiri juga menyimpan senjata mereka.

Bagi Thian Sin, ada hal lain yang mendorongnya menyimpan senjata. Sebenarnya, kalau dibuat perbandingan, pemuda ini lebih lihai bertangan kosong dari pada mempergunakan senjata. Hal ini adalah karena dia telah mewarisi banyak ilmu kesaktian yang digunakan dengan tangan kosong, antara lain seperti Ilmu Pek-in-ciang dari pendekar Yap Kun Liong, lalu Thi-khi I-beng dari ayah angkatnya, Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, belum lagi ilmu silat tinggi seperti Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, Pat-hong Sin-kun dan tenaga Thian-te Sin-ciang.

Malah ilmu-ilmu yang diwarisinya dari ayah kandungnya juga merupakan ilmu silat tangan kosong yang mengandalkan kaki dan tangan belaka, seperti Ilmu Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun itu. Maka, saat ditantang untuk bertanding dengan tangan kosong, dengan gembira Thian Sin menyimpan pedangnya yang diturut pula oleh Kim Hong.

Terjadilah pertandingan yang hebat luar biasa, malah lebih menegangkan dari pada ketika mereka mempergunakan senjata tadi. Jika tadi mereka bertanding dalam jarak agak jauh, kini mereka berkelahi dalam jarak pendek, saling pukul, saling tendang, menangkis dan mengelak dengan kecepatan yang amat mengagumkan. Kadang-kadang gerakan mereka nampak begitu otomatis seakan-akan tiga tubuh itu sudah menjadi satu dan enam batang lengan, enam batang kaki itu digerakkan oleh satu otak saja.

Dan Thian Sin menjadi semakin kagum. Ilmu-ilmu silat tinggi sudah dikeluarkannya, akan tetapi dia dan Kim Hong tak mampu mendesak kakek itu. Bahkan senjata rambut panjang Kim Hong tidak dapat mendesak lawan, malah beberapa kali hampir saja ujung rambut itu terkena cengkeraman kakek itu kalau saja Thian Sin tidak cepat membantunya. Kakek itu mentertawakan Kim Hong dan mengejeknya dengan kata-kata,

“Senjata khas wanita, tapi curang!”

Karena merasa penasaran, sesudah lewat hampir seratus jurus belum juga dia sanggup mendesak kakek itu, ketika kakek itu menampar ke arah kepalanya, Thian Sin miringkan tubuh, akan tetapi memasang pundaknya sehingga kena ditampar.

“Plakkk!”

“Uuhhhhhh… apa ini…? Ahhh, Thi-khi I-beng…?!” Kakek itu berseru dan bukan menarik tenaganya malah mengerahkan tenaga lebih besar sehingga Thian Sin menjadi gelagapan bagaikan orang yang dimasukkan ke dalam air.

Ilmu itu adalah ilmu menyedot tenaga sinkang lawan, akan tetapi kakek itu membanjirinya dengan tenaga berlebihan sehingga dia tidak mampu menampungnya dan otomatis Thian Sin mengembalikan tenaga yang membanjir itu lalu menghentikan sedotannya! Kakek itu meloncat ke belakang.

“Orang muda, apakah engkau dari Cin-ling-pai?” tanya kakek itu heran. Walau pun tidak pernah mengenal secara pribadi, agaknya kakek ini pernah mendengar ilmu mukjijat dari Cin-ling-pai itu.

“Masih ada hubungan keluarga!” kata Thian Sin akan tetapi hatinya merasa amat kecewa karena ternyata Thi-khi I-beng juga tak ada gunanya terhadap kakek yang amat hebat ini. “Akan tetapi yang ini bukan dari Cin-ling-pai, terimalah!”

Dan Thian Sin langsung berjungkir balik, kemudian, secara tiba-tiba dia menghantam dari bawah. Itulah Hok-te Sin-kun yang hebat sekali. Angin pukulan yang dahsyat menyambar dan kakek itu agaknya dapat mengenali ilmu mukjijat maka sambil berseru dia memapaki dengan pukulan tangannya.

“Desss…!”

Tubuh kakek itu terlempar hingga nyaris terbanting, sedangkan Thian Sin terpaksa harus berjungkir balik beberapa kali karena pertemuan tenaga tadi membuat seluruh tubuhnya tergetar. Wajah kakek itu berubah dan matanya terbelalak.

“Ilmu setan…!” Dia menggerutu, dan ketika Kim Hong dan Thian Sin maju lagi, dia berkata dengan nyaring, “Tahan!”

“Toan Kim Hong, engkau tidak mau menghormati bendera pusaka, maka habislah riwayat bendera pusaka perguruan kami, akan tetapi ilmu silatmu juga sudah tidak asli lagi. Dan biar pun salahnya ayahmu sendiri, namun memang akulah yang membuat hidup ayahmu menderita. Aku merasa menyesal sekali dan sudah menebusnya dengan pertapaan, akan tetapi agaknya belum impas kalau badan tua tak berguna ini belum mati. Nah, sekarang saksikanlah. Supek-mu menebus dosa sambil membawa bendera pusaka bersama, maka lunaslah sudah!”

Tiba-tiba kakek itu mencabut anak panah yang menjadi gagang bendera itu, lantas sekali menggerakkan anak panah itu, senjata ini amblas memasuki dadanya berikut benderanya dan ujung anak panah itu tembus di punggungnya. Dia terhuyung lalu roboh miring, tidak bergerak lagi.

Thian Sin dan Kim Hong merasa terkejut sekali sehingga mereka terkesima dan berdiri bengong memandang kepada tubuh kakek yang sudah tewas itu. Setelah kakek itu tewas barulah di dalam hati mereka terasa menyesal.

Kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat bukan main, dan kakek ini tadi jelas tidak menghadapi mereka sebagai musuh melainkan hanya sebagai lawan berlatih belaka. Baru sekarang keduanya mengerti bahwa apa bila kakek itu menghendaki, sejak tadi kakek itu tentu sudah dapat merobohkan dan menewaskan mereka. Kakek itu telah mengalah! Dan kini kakek itu telah membunuh diri!

Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya Gouw Gwat Leng sangat mencinta sute-nya, yaitu Toan Su Ong. Mereka berdua telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari guru mereka. Tapi sayang sekali bahwa Toan Su Ong kemudian dinyatakan sebagai seorang pemberontak karena terlalu berani menentang kebijaksanaan kaisar.

Sebenarnya, kalau kaisar menghendaki, dengan mengerahkan bala tentara, apa sukarnya menangkap dan membunuh seorang manusia saja, bagaimana pun lihainya dia itu? Gouw Gwat Leng melihat hal ini dan dia pun menghadap kaisar dan menyatakan bahwa dialah yang akan mengejar sute-nya dan menghalangi sute-nya supaya tidak memberontak. Dan memang dia melakukan pengejaran.

Toan Su Ong tidak berani melawan suheng-nya yang menjadi ahli waris bendera pusaka guru mereka, maka dia pun kemudian pergi menyembunyikan diri hingga matinya di Pulau Teratai Merah, terbunuh dalam pertikaian oleh isterinya sendiri. Dan memang inilah yang dikehendaki oleh Gouw Gwat Leng, yaitu agar sute-nya tidak sampai dikeroyok oleh bala tentara dan tidak sampai terbinasa oleh kaisar.

Namun dia pun merasa menyesal dan berdosa karena biar pun dia telah menyelamatkan nyawa sute-nya, sebaliknya ia pun telah membuat sute-nya hidup merana dan menderita, harus selalu bersembunyi. Penyesalan inilah, ditambah kedukaan bahwa semenjak muda dia terpaksa harus berpisah dari sute-nya yang tercinta, yang membuat Gouw Gwat Leng menjadi semakin berduka ketika mendengar akan tewasnya sute-nya itu.

Dia lalu pergi ke Kun-lun-pai, minta kepada para tokoh Kun-lun-pai yang menjadi sahabat baiknya untuk menerimanya menjadi tosu dan memberi pelajaran Agama To kepadanya. Dia pun sempat menurunkan beberapa ilmu silat tinggi kepada para pimpinan Kun-lun-pai sehingga dia lalu dianggap sebagai saudara tua dan diperbolehkan untuk bertapa di dalam goa-goa di Kun-lun-san.

Ketika puteri sute-nya itu menghadapinya sebagai musuh, sampailah Gouw Gwat Leng yang sudah menjadi Jit Goat Tosu itu pada puncak penyesalannya. Puteri sute-nya itu sebenarnya merupakan ahli waris tunggal dari ilmu-ilmu perguruan yang berikut bendera pusaka itu. Akan tetapi gadis itu malah menghina bendera pusaka dan menghadapinya sebagai seorang musuh besar yang menyengsarakan kehidupan ayah gadis itu.

Maka, untuk menebus penyesalannya, kakek yang sangat renta itu akhirnya menyimpan bendera pusaka ke dalam tubuhnya dan membunuh diri di hadapan Kim Hong tanpa rasa penyesalan karena dia pun sudah puas melihat puteri sute-nya itu menjadi seorang gadis yang demikian lihai, berjodoh dengan seorang pemuda yang lihai pula, bahkan seorang pemuda Cin-ling-pai pula.

Ketika mendengar gerakan di belakang mereka, Thian Sin dan Kim Hong baru sadar dan cepat memutar tubuh. Mereka melihat bahwa di situ telah berdiri dua orang tosu tua yang bukan lain adalah Kui Yang Tosu dan seorang tosu lain yang juga tinggi kurus akan tetapi wajahnya muram tidak segembira wajah Kui Yang Tosu.

Mereka pun dapat menduga bahwa tentu tosu inilah yang menjadi ketua Kun-lun-pai dan memang mereka benar, tosu itu adalah Kui Im Tosu! Di belakang ketua dan wakil ketua Kun-lun-pai ini berdiri para sute mereka, lalu para murid mereka mulai dari tingkat tertinggi sampai tingkat terbawah. Sekarang semua penghuni asrama Kun-lun-pai telah keluar dan menghadapi dua orang muda itu agaknya.

“Siancai, siancai, siancai… Saudara tua Jit Goat Tosu sudah tewas dalam keadaan yang menyedihkan sekali…” Kui Im Tosu berkata sambil memandang ke arah tubuh kurus yang rebah miring itu dengan nada suara penuh kedukaan dan wajahnya semakin muram.

“Puluhan tahun lamanya beliau tidak pernah mengganggu siapa atau apa pun, tidak akan mau membunuh seekor semut pun, akan tetapi sekarang tewas oleh kekerasan. Di mana Pendekar Sadis tiba di situ tentu ada bekas tangannya yang kejam,” kata Kui Yang Tosu, kini senyumnya lenyap dari wajahnya yang biasanya gembira itu.

“Aku yang datang untuk membunuhnya, dia hanya datang menemani dan membantuku!” kata Kim Hong dengan lantang.

“Jit Goat Tosu membunuh diri, jika tidak mana kalian akan mampu membunuhnya?” kata Kui Yang Tosu. “Akan tetapi betapa pun juga, kalian yang sudah mendesaknya sehingga dia membunuh diri.”

“Locianpwe, tadi sudah kukatakan bahwa kedatanganku ke sini bukanlah untuk berurusan dengan Kun-lun-pai, melainkan urusan pribadi dengan Jit Goat Tosu yang masih terhitung supek-ku. Kami membuat perhitungan lama antara dia dan ayahku, dan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai. Maka kuminta supaya Kun-lun-pai jangan turut mencampuri urusan pribadi orang lain!”

“Siancai… tidak demikian mudah, nona,” kata Kui Yang Tosu yang agaknya lebih pandai bicara dari pada suheng-nya yang pendiam. “Kami sudah mendengar dan melihat semua. Engkau sebagai murid keponakan sudah berani melawan supek-mu, berarti engkau telah mengkhianati bendera pusaka perguruan. Ini termasuk perbuatan jahat sekali. Dan kalian berdua sudah menyebabkan kematian seorang saudara angkat kami. Tidak mungkin kami dapat mendiamkan saja kejahatan dilakukan orang di wilayah Kun-lun-pai.”

“Habis, sekarang kalian mau apa?” tanya Kim Hong, nadanya tidak menghormat lagi dan mengandung tantangan. Kumat lagi sikapnya sebagai Lam-sin yang memandang rendah siapa pun juga di dunia ini.

“Siancai!” Kui Im Tosu berkata. “Kami terpaksa harus menangkap kalian untuk dimintakan pengadilan kepada rapat pertemuan para tokoh kang-ouw!”

“Singgg…!”

Kim Hong sudah mencabut pedang hitamnya. “Bagus! Seekor semut pun bila diinjak pasti balas menggigit, seekor ayam pun kalau akan ditangkap pasti melarikan diri dan seekor harimau pun kalau akan dibunuh pasti melawan. Apa lagi manusia! Aku Toan Kim Hong tdak berniat memusuhi Kun-lun-pai, akan tetapi kalau ada yang mendesakku, menangkap atau membunuhku, silakan maju. Jangan disangka aku takut terhadap Kun-lun-pai!”

“Tangkap mereka!” kata Kui Yang Tosu kepada anak buahnya.

Dia tahu bahwa dua orang muda itu lihai sekali, maka dia sendiri pun bersama sang ketua sudah siap untuk bantu mengeroyok dan menangkap. Sebagai orang yang berkedudukan tinggi mereka tidak mau tergesa-gesa turun tangan. Dan dia maklum bahwa para murid Kun-lun-pai akan mentaati perintahnya, yaitu menangkap mereka, bukan membunuh.

Melihat para tosu dan para murid Kun-lun-pai telah bergerak, Thian Sin memegang lengan gadis itu. “Jangan lukai atau bunuh orang. Simpan pedangmu!”

Dalam kemarahannya, Kim Hong masih dapat diingatkan maka dia pun cepat menyimpan kembali sepasang pedangnya, kemudian berdiri saling membelakangi dengan Thian Sin, memandang kepada anak murid Kun-lun-pai yang telah mengepung mereka itu.

Sesudah para murid Kun-lun-pai itu bergerak maju, keduanya segera mengamuk. Dengan gerakan mereka yang cepat, Kim Hong dan Thian Sin menggerakkan kaki tangan untuk merobohkan tanpa membuat mereka terluka parah. Akan tetapi, segera murid-murid yang tingkatnya lebih tinggi sudah menyerbu, membuat mereka berdua terpaksa berlompatan ke sana-sini sebelum akhirnya membalas dengan tenaga yang lebih kuat.

Para anak buah Kun-lun-pai itu, mulai dari murid-murid kepala sampai murid-murid yang tingkatnya paling rendah, menjadi sibuk sekali. Mereka bagaikan sekumpulan semut yang tengah mengeroyok dua ekor jangkerik yang besar dan setiap gerakan jangkerik-jangkerik itu membuat semut-semut yang mengeroyok terlempar ke sana-sini.

“Mundur!” Mendadak terdengar bentakan nyaring dan berkelebatlah dua bayangan orang. Kiranya Kui Yang Tosu dan Kui Im Tosu sendiri yang telah maju menghadapi dua orang muda itu.

Thian Sin kaget bukan main. Dua orang ketua Kun-lun-pai telah maju sendiri! Permusuhan dengan Kun-lun-pai tidak dapat dihindarkan lagi! Dan untuk melarikan diri tidaklah mudah karena dengan rapi para murid Kun-lun-pai telah mengurung tempat itu dengan ketatnya.

“Ji-wi locianpwe,” kata Thian Sin dengan suara merendah. “Kami dua orang muda sama sekali tidak berniat untuk bentrok dan bermusuhan dengan Kun-lun-pai, kenapa ji-wi tidak membiarkan kami pergi dengan aman?”

“Hemm, kalian sudah membunuh Jit Goat Tosu dan mengatakan tidak berniat memusuhi kami? Kalau benar kalian mempunyai niat baik, menyerahlah agar kami bawa ke depan pertimbangan dan pengadilan para tokoh kang-ouw,” kata Kui Yang Tosu.

“Kami bukanlah penjahat!” bentak Kim Hong. “Kalau kami terpaksa melawan Kun-lun-pai, adalah karena kami didesak!”

“Hemm, kalian telah melakukan pembunuhan, masih berani berkata bukan penjahat?” Kui Im Tosu berseru, dan Kui Yang Tosu sudah menerjang maju disambut oleh Kim Hong. Kui Im Tosu juga maju, disambut oleh Thian Sin.

Kui Yang Tosu terkejut bukan main ketika tangannya bertemu dengan tangan Kim Hong dan dia merasa betapa seluruh lengannya menjadi tergetar hampir lumpuh. Tak dikiranya bahwa murid keponakan dari mendiang Jit Goat Tosu mempunyai tenaga sinkang yang demikian dahsyatnya.

Sebaliknya, setelah pertemuan tenaga itu Kim Hong pun maklum bahwa dia menghadapi lawan yang berat. Maka dia tidak banyak cakap lagi, lalu cepat menyerang dengan kedua pukulan dan kedua kakinya dibantu oleh rambutnya.

Kui Yang Tosu bergerak dengan mantap dan tenang, akan tetapi dia amat terkejut melihat sambaran kuncir rambut yang amat cepat dan kuat itu yang nyaris menotok jalan darah di lehernya. Cepat tangan kirinya bergerak dan terdengar suara berkerotokan nyaring ketika tasbehnya menyambar ke depan menyambut rambut itu. Kui Yang Tosu kemudian balas menyerang, namun semua serangannya dapat dielakkan dengan baik oleh Kim Hong dan mereka bertanding dengan amat serunya, dan ternyata bahwa tingkat kepandaian mereka seimbang, hal yang amat mengejutkan wakil ketua Kun-lun-pai itu.

Sementara itu, pertandingan antara Thian Sin dan ketua Kun-lun-pai juga terjadi dengan amat seru dan hebat. Angin pukulan menyambar-nyambar ganas dan Thian Sin mendapat kenyataan betapa lihainya ketua Kun-lun-pai ini. Dia merasa kerepotan sekali karena tosu yang bersilat dengan amat tenang itu seakan-akan dilindungi oleh hawa murni yang sukar diterobos, kuat bukan main sehingga semua serangannya, bila tidak dapat dielakkan atau ditangkis oleh lawan, pasti membentur tenaga yang membuat serangannya menyeleweng. Akhirnya, Thian Sin yang tidak ingin bermusuhan dengan Kun-lun-pai itu secara terpaksa sekali mengeluarkan ilmu simpanannya. Tiba-tiba dia berjungkir balik dan dengan tenaga dari tanah dia menerjang ke atas dengan mempergunakan Ilmu Hok-te Sin-kun.

“Hiaaaattt…!” Dia memekik dengan nyaring sekali. Seketika bersamaan dengan pekik itu, tubuhnya sudah mencelat dari atas tanah dengan serangan yang amat dahsyat.

“Bresss…!”

Ketua Kun-lun-pai menangkis dengan kedua lengannya, akan tetapi kakek ini terlempar sampai empat meter dan walau pun jatuh berdiri, akan tetapi wajah kakek ini pucat dan matanya terbelalak, tanda bahwa dia terkejut bukan kepalang menghadapi serangan yang amat luar biasa itu.

“Kim Hong, lari…!” teriak Thian Sin.

Kim Hong maklum bahwa sangat sukarlah melawan dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu tanpa merobohkan mereka dengan serangan maut yang amat tidak dia kehendaki. Maka tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan sinar halus merah menyambar ke arah delapan jalan darah di tubuh lawan bagian depan.

“Siancai…!” Kui Yang Tosu berseru kaget.

Dia cepat-cepat mengebut dengan kedua lengan bajunya sehingga sinar merah itu runtuh. Sebatang jarum merah menancap di lengan bajunya. Menggunakan kesempatan ini, Kim Hong meloncat jauh dan cepat melarikan diri bersama Thian Sin. Para murid Kun-lun-pai hendak mengejar, akan tetapi Kui Im Tosu berseru dengan tenang,

“Jangan kejar!”

Kui Yang Tosu memperlihatkan jarum merah itu kepada suheng-nya. “Suheng mengenal ini?”

Kui Im Tosu memeriksa jarum itu. “Hemmm, bukankah jarum seperti ini, juga permainan rambut itu, menjadi ilmu yang amat terkenal dari datuk sesat bagian selatan yang berjuluk Lam-sin?”

Kui Yang Tosu mengangguk-angguk. “Benar, suheng. Jelaslah bahwa Nona Toan puteri dari mendiang Pangeran Toan Su Ong itu tentu ada hubungannya dengan Lam-sin. Akan tetapi, menurut berita tingkat kepandaian Lam-sin seperti tingkat para datuk lain, jadi tidak banyak berbeda dengan tingkat kita. Dan gadis itu lihai bukan main, agaknya tidak mudah bagi pinto untuk mengalahkannya, agaknya kami satu tingkat. Apa bila dia memang murid Lam-sin, apakah dia telah mencapai tingkat seperti gurunya?”

Kui Im Tosu menggeleng kepala. “Pinto rasa tidak begitu, sute. Menurut perasaan pinto, dia sendirilah Lam-sin itu!”

“Ehhh…?!” Kui Yang Tosu memandang kepada suheng-nya dengan heran, “Akan tetapi, bukankah menurut berita Lam-sin adalah seorang nenek yang lihai sekali?”

“Seorang nenek yang jarang sekali bertindak sendiri, bukan? Hanya perkumpulannya saja yang bernama Bu-tek Kai-pang yang mewakilinya, dan bukankah berita terakhir pernah mengatakan bahwa setelah Pendekar Sadis muncul maka nenek itu pun menghilang, dan Bu-tek Kai-pang juga dibubarkan? Kemudian, ke mana pun Pendekar Sadis pergi, gadis yang lihai itu selalu ikut, dan ikut pula menyerbu See-thian-ong, Pak-san-kui dan bahkan Tung-hai-sian? Pinto berpendapat bahwa gadis lihai itulah yang dahulu menjadi Lam-sin, mungkin menggunakan alat penyamaran sebagai seorang nenek.”

Sute-nya mengangguk-angguk. Kini dia dapat melihat kemungkinan itu dan biasanya, biar pun suheng-nya tak pernah keluar, namun suheng-nya mempunyai kecerdasan yang luar biasa.

“Kita harus cepat mengumpulkan para tokoh pendekar dan membicarakan urusan ini. Tak mungkin sepak terjang Pendekar Sadis dibiarkan saja,” katanya.

Kui Im Tosu mengangguk-angguk. “Dia sudah berani mengacau ke sini, dan pula sedikit banyak Cin-ling-pai turut bertanggung jawab, sebab bukankah Pangeran Ceng Han Houw itu masih ada hubungannya dengan Cin-ling-pai? Menurut kabar yang kita peroleh, dia adalah anak angkat Pendekar Lembah Naga. Nah, kita harus minta pertanggungan jawab para pendekar itu.”

Demikianlah, orang-orang Kun-lun-pai segera mengurus jenazah Jit Goat Tosu, kemudian mereka mengirim undangan kepada wakil partai-partai persilatan besar serta para tokoh pendekar untuk membicarakan tentang Pendekar Sadis yang biar pun termasuk pendekar yang menentang orang-orang jahat, namun sepak terjangnya liar dan kekejamannya tidak patut dilakukan oleh seorang pendekar.

Di samping itu, juga Kun-lun-pai perlu memberi tahukan tentang pembunuhan yang terjadi di Kun-lun-pai dan hendak meminta pertanggungan jawab para pendekar yang masih ada hubungannya dengan Pendekar Sadis. Maka tak lupa dia mengundang Cin-ling-pai, juga mengirim utusan untuk mengundang Pendekar Lembah Naga!

********************

Sudah terlampau lama kita tak bertemu dengan Cia Han Tiong, putera tunggal Pendekar Lembah Naga itu. Seperti sudah diketahui, Han Tiong merasa berduka sekali ketika adik angkat yang amat dicintainya, yaitu Thian Sin, pergi meninggalkan Lembah Naga. Dia pun mulai merantau dan mencari adik angkatnya, juga mencari dara yang dicintanya dan yang telah ditunangkan dengannya, yaitu Ciu Lian Hong.

Dan akhirnya dia berhasil menemukan Ciu Lian Hong di selatan, bersama datuk selatan Lam-sin karena dara itu selain telah ditolong oleh datuk ini, juga sudah menjadi muridnya. Dengan bantuan ayah bundanya, Han Tiong berhasil minta kembali tunangannya itu dan Lian Hong ikut pulang bersama calon mertuanya ke Lembah Naga. Ada pun Han Tiong sendiri belum mau pulang, hendak mencari adik angkat yang amat disayangnya itu.

Akan tetapi, sudah berbulan-bulan lamanya dia mencari dengan sia-sia belaka, sejak adik angkatnya itu lenyap sama sekali seperti ditelan bumi. Hal ini tidak mengherankan karena pada waktu dia mencari-cari itu, Thian Sin sedang tekun bertapa dan melatih diri dengan ilmu peninggalan ayah kandungnya, di Pegunungan Himalaya.

Setelah merantau hampir setahun lamanya dan tak berhasil menemukan adik angkatnya, maka akhirnya Han Tiong pulang ke Lembah Naga dengan hati berat karena kecewa dan berduka, langsung disambut dengan gembira oleh ayah bundanya dan juga tunangannya. Melihat wajah Han Tiong yang muram dan berduka, ayahnya lalu menghibur,

“Han Tiong, sudahlah jangan terlalu memikirkan adikmu. Dia sudah cukup dewasa, bukan seorang anak kecil lagi. Apa bila dia hendak mengambil jalannya sendiri, bagaimana kita dapat menghalangi dia? Biarkanlah saja, kelak bila mana dia teringat kepada kita, tentu dia akan kembali juga.”

“Ucapan ayahmu benar, Han Tiong. Watak adikmu itu agak keras dan manja maka kalau engkau terlalu memperlihatkan rasa sayangmu kepadanya, dia akan menjadi makin manja dan kelak hanya akan menimbulkan hal-hal yang memusingkan saja,” sambung ibunya.

“Justru karena itulah, ibu, karena mengingat betapa keras hatinya, maka aku pun merasa sangat khawatir. Wataknya masih seperti anak kecil saja, belum mampu berpikir secara mendalam dan memandang jauh,” kata Han Tiong menarik napas panjang.

“Habis, setelah engkau tak berhasil mencarinya, apa yang bisa kau lakukan, Han Tiong?” tanya ayahnya.

“Kalau saja aku dapat menemukan dia, tentu aku akan dapat membujuknya untuk pulang dulu, ayah. Aku hanya ingin melihat dia berbahagia, dan hanya kalau dia dekat dengan kitalah maka ada yang mengamati dan menasehatinya.”

Ibunya tersenyum, diam-diam kagum atas besarnya kasih sayang dalam hati puteranya. “Sudahlah, ayahmu benar, Thian Sin bukan anak kecil lagi. Dan setelah sekian lama kami menanti-nanti engkau pulang, kami berbahagia melihat engkau kini pulang dalam keadaan sehat, anakku. Dan perkabungan Lian Hong juga sudah hampir habis dan begitu dia tidak berkabung lagi, kita dapat merayakan pernikahan kalian.”

“Kata-kata ibumu memang tepat. Pernikahan itu tidak mungkin dapat ditunda lebih lama lagi,” sambung ayahnya.

Mendengar betapa percakapan menjurus ke urusan pernikahan, Lian Hong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali dan ia lalu berpamit untuk menyiapkan makan siang. Kedua orang mertuanya memandang sambil tersenyum pada saat gadis itu tergesa-gesa meninggalkan ruangan itu.

“Tiong-ji, engkau tidak tahu betapa baiknya tunanganmu itu. Dia anak yang baik sekali, manis budi dan kami sayang sekali kepadanya,” kata ibunya.

“Hemm, yang lebih dari itu, dia amat mencintaimu Han Tiong,” sambung ayahnya.

“Kau tidak percaya?” kata ibunya ketika melihat puteranya memandang kepada ayahnya. “Dia tak pernah membicarakan engkau, akan tetapi aku tahu bahwa setiap hari dia selalu mengharapkan kedatanganmu. Kau tahu, setiap malam jam dua belas tengah malam dia pasti bersembahyang di halaman, bersembahyang untukmu, Han Tiong! Bersembahyang untuk keselamatanmu dan agar engkau lekas pulang dalam keadaan selamat.”

Keharuan mencekam hati Han Tiong, maka dia pun menunduk. Keharuan yang disertai kebahagiaan hati. Benarkah Lian Hong mencintanya begitu mendalam? Dan dia selama ini memiliki keinginan dan harapan gila, yaitu ingin menjodohkan Lian Hong dengan Thian Sin, kalau hal itu akan membahagiakan hati Thian Sin!

Kini baru terbuka matanya bahwa dia hanya memikirkan Thian Sin saja sehingga dia lupa bahwa Lian Hong juga seorang manusia yang berhak menentukan pilihannya sendiri. Lian Hong bukan boneka yang dapat dioper-operkan begitu saja!

“Menurut perhitungan kami, tiga bulan lagi Lian Hong akan bebas dari perkabungan dan kita dapat melangsungkan pernikahan kalian,” kata pula ibunya.

“Kuharap saja pada waktu itu Sin-te sudah pulang, ibu.”

“Hemm, kenapa begitu?” tanya ayahnya.

“Ayah, kalau tidak ada kehadiran Sin-te, tentu aku merasa bahwa kebahagiaanku itu tidak lengkap. Aku akan bergembira, akan tetapi kalau teringat padanya, mungkin dia terancam bahaya dan mala petaka, bagaimana hatiku dapat berbahagia?”

Ayah ibunya saling pandang, dan ayahnya berkata, “Ah, anak itu hanya membikin pusing saja. Biarlah aku akan menyuruh beberapa orang muda dusun di luar lembah untuk pergi menyelidiki kalau-kalau mereka akan berhasil menemukan atau mendengar tentang Thian Sin.”

Biar pun harapannya hanya tipis, namun hatinya agak lega mendengar janji ayahnya itu. Hatinya jadi terhibur, apa lagi di situ terdapat Lian Hong yang dicintanya dan setelah dia pulang, maka pergaulannya dengan Lian Hong semakin akrab.
Selanjutnya,

Pendekar Sadis Jilid 38

Pendekar Sadis Jilid 38
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Kim Hong tersenyum dan hatinya girang. Tosu Kun-lun-pai ternyata bukanlah orang-orang yang suka mempergunakan kekerasan, walau pun murid-murid mereka di dunia kang-ouw terkenal gagah perkasa dan gigih menentang kejahatan.

“Baik, totiang. Nah kau halangilah aku!”

Tiba-tiba Kim Hong berkelebat lari ke sebelah kiri tosu itu, akan tetapi tosu itu pun sudah meloncat ke sana sehingga jalan bagi Kim Hong terhalang. Nona itu meloncat tinggi ke atas, berjungkir balik sampai tiga kali sehingga dia mencapai langit-langit, akan tetapi tosu itu pun mengeluarkan seruan keras lantas tubuhnya juga sudah mencelat ke atas untuk menghadang di atas!

Kim Hong turun kembali, diikuti oleh tosu itu dan selanjutnya dua orang itu seperti sedang bermain kejar-kejaran seperti anak kecil. Tubuh mereka tak nampak lagi saking cepatnya gerakan mereka. Yang nampak hanyalah bayangan yang berkelebatan dan memang tosu yang seorang ini mempunyai gerakan cepat bukan main. Akan tetapi, kali ini dia bertemu dengan gadis yang pernah menjadi Lam-sin, yang terkenal sekali dengan kepandaiannya yang hebat-hebat, di antaranya adalah kecepatan gerakannya.

Demikianlah, setelah mengajak tosu itu berkelebatan dengan amat cepatnya di mana tosu itu selalu dapat memotong jalan masuk, tiba-tiba Kim Hong mengerahkan seluruh tenaga ginkang-nya lalu tubuhnya berpusingan cepat laksana gasing!

Tentu saja tosu itu terkejut sekali dan tidak tahu harus berbuat apa. Untuk turut berpusing seperti itu, dia tidak mampu dan tiba-tiba saja tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu dara itu sudah melesat di sampingnya tanpa dia mampu mencegahnya, saking cepatnya gerakan itu. Tahulah tosu itu bahwa kalau tadi-tadi nona itu mengerahkan seluruh tenaga ginkang-nya, dia tidak akan mampu mencegahnya.

“Hebat, hebat… pinto mengaku kalah!” katanya sambil tertawa dan menghapus peluhnya.

Tosu yang matanya sipit tadi kembali menjura. “Nona telah menunjukkan ketinggian ilmu silat, kekuatan sinkang serta ketinggian ginkang. Nona adalah seorang tamu yang sudah sepatutnya minta berjumpa dengan wakil ketua kami. Akan tetapi, orang muda itu tidak boleh masuk. Dia hanya teman nona, dan dia tidak melalui ujian masuk.”

“Totiang bersikap kurang adil sekali.”

Dua orang tosu itu saling pandang kemudian yang bermata sipit kembali menghadapi Kim Hong. “Siancai…! Jika ada kesalahan kami, harap kau tunjukkan, nona. Sikap kami yang manakah yang kurang adil menurut pendepatmu?”

“Setiap orang memiliki peraturan masing-masing. Kun-lun-pai memiliki peraturan bahwa siapa hendak menghadap ketuanya harus melalui ujian barisan murid-murid Kun-lun-pai. Aku menghormati peraturan tuan rumah dan telah memenuhi syarat. Sebaliknya, sebagai tamu aku juga memiliki peraturan, peraturan kepantasan yang kiranya dapat dimengerti oleh para tokoh Kun-lun-pai. Aku adalah seorang wanita muda, dan menurut patut, kalau aku menghadap seorang laki-laki, aku harus membawa teman. Karena itulah maka untuk menghadap ketua Kun-lun-pai aku membawa temanku, apakah telah dianggap tepat oleh ketua Kun-lun-pai untuk menerima tamu wanita muda berdua saja tanpa ada orang lain?”

Wajah kedua orang tosu itu menjadi merah dan mereka merasa bingung, saling pandang karena mereka menganggap alasan nona ini cukup kuat. Memang, dari sudut kesusilaan, sangatlah tidak pantas kalau menolak orang yang menemani nona ini menghadap ketua Kun-lun-pai, dan amatlah memalukan dan mendatangkan dugaan yang bukan-bukan jika ketua atau wakil ketua Kun-lun-pai menerima kunjungan seorang wanita muda cantik jelita yang bukan murid dan bukan keluarga secara sendiri saja!

Akan tetapi, tosu berjenggot panjang yang ramah itu cerdik. Tiba-tiba dia bertanya, “Nona, apamukah orang muda yang hendak mengantarmu menjumpai wakil ketua kami?”

“Dia adalah kekasihku, tunanganku!” Kim Hong berkata dengan lantang dan terus terang sehingga Thian Sin sendiri menjadi terkejut dan mukanya berubah merah. Akan tetapi dia pun lantas bisa menangkap bahwa memang jawaban terus terang itulah yang paling tepat, karena jika bukan saudara dan bukan tunangan, melakukan perjalanan berdua saja tentu sudah melanggar kepantasan pula!

Selagi dua orang tosu itu termangu-mangu, tiba-tiba terdengar suara dari balik daun pintu di sebelah dalam, suara yang sangat halus dan ramah, “Siancai… seorang muda yang penuh semangat! Persilakan Nona Toan dan temannya masuk…!”

Kedua orang tosu itu nampak lega, lalu menjura ke arah Kim Hong dan Thian Sin. “Wakil ketua kami, Kui Yang Tosu, mengundang ji-wi untuk datang menghadap. Silakan!”

Mereka lantas membuka daun pintu yang besar itu. Kim Hong dan Thian Sin membalas penghormatan mereka, kemudian melangkah melewati ambang pintu memasuki sebuah ruangan lain yang terang. Ternyata kamar itu adalah sebuah kamar buku karena di sudut berdiri rak penuh dengan buku-buku tua, dan juga merangkap kamar tamu karena di situ terdapat meja kursi dan di atas dipan berkasur duduk bersila seorang tosu yang wajahnya ramah dan tosu itu duduk sambil tersenyum gembira, memandang kepada mereka.

Thian Sin dan Kim Hong juga mengangkat muka, lalu memandang kepada tosu tua yang duduk bersila di atas dipan itu. Seorang tosu yang usianya mendekati tujuh puluh tahun, tinggi kurus, wajahnya dihias senyum gembira dan sepasang matanya membayangkan keramahan dan kehalusan budi.

Di sudut ruangan duduk pula tiga orang tosu lain yang usianya lebih muda, kurang lebih enam puluh tahun, dan sikap mereka diam menanti, tanda bahwa mereka ini kalah tinggi tingkatnya dengan tosu tua itu. Diam-diam Thian Sin merasa seperti pernah mengenal tosu-tua itu, akan tetapi dia sudah lupa lagi di mana.

Dan memanglah, dia pernah melihat tosu itu yang bukan lain adalah Kui Yang Tosu, tokoh Kun-lun-pai yang pernah datang mencarinya bersama tokoh-tokoh pendekar lain ketika dia membunuh Pangeran Toan Ong! Dan tiga orang tokoh lain itu adalah sute-sute-nya, para pembantunya sehingga tentu saja tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada dua orang murid kepala tadi.

Sementara itu, pada saat dia memandang kepada wajah Thian Sin dan bertemu pandang dengan sepasang mata pemuda yang mencorong tajam itu, jantung tosu itu terguncang dan senyumnya lenyap seketika, alisnya yang putih berkerut dan sekali meloncat dia pun sudah bangkit berdiri menghadapi dua orang muda itu.

“Pendekar Sadis!” teriaknya mengejutkan tiga orang sute-nya yang juga segera bangkit ketika mendengar sebutan ini.

“Pendekar Sadis! Kiranya engkau berhasil menyelundup ke sini? Apakah kini engkau juga mulai dan hendak menyebar maut di Kun-lun-pai?”

Ketika Thian Sin melihat tosu itu mengeluarkan tasbehnya dari saku jubahnya yang lebar, maka dia pun teringat kepada tosu ini. Sambil tersenyum pahit Thian Sin menggelengkan kepalanya dan berkata, “Maaf, totiang. Sekali ini aku hanya menemani Nona Toan saja, dan sama sekali tidak ada urusan dengan pihak Kun-lun-pai.”

“Siancai…!” Tosu itu tampak lega mendengar ini, akan tetapi kini pandangannya terhadap Kim Hong menjadi lain, tidak seramah tadi. “Maaf, nona. Apa bila pinto tidak salah dengar, namamu adalah Toan Kim Hong. Di dunia ini tidak banyak nama keluarga Toan, apakah nona masih ada hubungan keluarga dengan mendiang Pangeran Toan Ong?”

Kim Hong tersenyum. “Tidak ada salahnya menjawab pertanyaan itu, locianpwe, walau pun tak ada sangkut-pautnya dengan kunjunganku ke sini. Memang benar ada hubungan keluarga, karena Pangeran Toan Ong itu adalah pamanku sendiri.”

“Ahhh…!” Tosu itu terkejut. “Dan apakah Toan-siocia sudah tahu siapa yang membunuh Pangeran Toan?”

Nona itu mengangguk sambil mengerling ke arah Thian Sin. “Aku sudah tahu, locianpwe, pembunuhan terjadi karena salah paham dan karena fitnah orang. Pembunuhnya adalah temanku inilah…”

“Tapi mengapa…?”

“Sudahlah, locianpwe. Kedatanganku ini bukan untuk urusan itu, melainkan untuk urusan yang lain sama sekali.”

Kui Yang Tosu menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Benar, memang demikianlah. Nah, sekarang katakanlah, apa perlunya nona berkeras hendak bertemu dengan pimpinan Kun-lun-pai?”

“Kedatanganku ini ingin minta perkenan locianpwe agar aku diijinkan bertemu dengan Jit Goat Tosu yang sedang bertapa di asrama Kun-lun-pai.”

Tosu itu mengangguk-angguk. “Permintaan nona itu sudah pinto dengar tadi, akan tetapi pinto masih ragu-ragu sebab permintaan itu sungguh amat aneh. Kehadiran Jit Goat Tosu di sini adalah suatu rahasia dan sudah bertahun-tahun tidak ada yang tahu, bagaimana nona bisa mengetahuinya? Dan bolehkah pinto mengetahui apa urusan nona dengan Jit Goat Tosu?”

“Hemmm, aku cukup menghormati Kun-lun-pai, locianpwe, sehingga untuk menemuinya, terlebih dahulu aku menghadapi pemimpin Kun-lun-pai dan minta ijin, bukannya langsung mencarinya sampai bisa kutemukan. Aku tak ingin melibatkan Kun-lun-pai dengan urusan kami, maka pertanyaan itu tidak dapat kujawab karena tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai.”

“Siancai…! Janganlah Nona Toan berpendapat demikian. Ketahuilah bahwa Jit Goat Tosu bukan orang lain bagi kami. Dia adalah saudara angkat kami, maka tentu saja kami ingin tahu apa yang menjadi sebabnya maka nona datang untuk mencarinya di sini.”

Kim Hong mengerutkan alisnya. Ahh, urusan menjadi sulit kalau begini. Tak disangkanya bahwa selain menjadi tosu dan mondok di asrama Kun-lun-pai, supek-nya itu kini malah telah mengangkat saudara dengan para pimpinan Kun-lun-pai! Kalau begini, agaknya tak dapat dihindarkan lagi keterlibatan Kun-lun-pai!

“Locianpwe, urusanku dengan dia merupakan urusan pribadi, urusan antara seorang murid keponakan dengan supek-nya. Apakah locianpwe masih hendak mencampurinya?”

Mendengar ini terkejutlah kakek itu. “Siancai… siancai… kiranya nona adalah puteri dari mendiang Toan Su Ong…?”

“Benar sekali, locianpwe.”

“Ah, kalau begitu… tentu saja pinto tidak berhak mencampuri urusan pribadi nona dengan supek nona.” Lalu Kui Yang Tosu menoleh kepada tiga orang tosu itu. “Thian-sute, harap kau antarkan Nona Toan menghadap Jit Goat Tosu. Karena beliau sedang bertapa, maka antarkan saja hingga di depan goa kemudian tinggalkan di situ. Biar terserah kepada yang berkepentingan mau menemui atau tidak.”

“Baik, suheng,” jawab seorang di antara tiga tosu itu. “Marilah, nona.”

Kim Hong dan juga Thian Sin mengikuti tosu itu dan Kui Yang Tosu tak berani mencegah ketika melihat Thian Sin juga ikut, biar pun hatinya merasa tidak enak dengan munculnya Pendekar Sadis di tempat itu. Karena itu, setelah sute-nya pergi mengantarkan dua orang muda itu ke arah belakang asrama, dia sendiri segera bergegas masuk ke dalam untuk menemui suheng-nya, yaitu Kui Im Tosu untuk membicarakan urusan itu.

********************

Kiranya daerah markas Kun-lun-pai itu luas bukan kepalang. Melalui sebuah pintu rahasia yang kecil, mereka keluar dari pagar tembok dan mendaki bukit atau puncak pegunungan di belakang dan setelah melalui daerah berbatu, akhirnya sampailah mereka pada dinding puncak yang penuh dengan goa-goa besar. Tosu itu membawa mereka ke sebuah goa besar yang gelap, berhenti di depan goa sambil berkata,

“Nah, di sinilah tempat Jit Goat Tosu bertapa, nona.” Sesudah berkata demikian, tosu itu langsung membalikkan badan dan meninggalkan dua orang muda itu termangu-mangu di depan goa.

Thian Sin dan Kim Hong memandang ke sekeliling. Tempat itu tentu saja sudah berada di luar pagar tembok Kun-lun-pai, akan tetapi masih termasuk daerah Kun-lun-pai. Tempat itu amat sunyi, di dekat sebuah puncak dan kalau saja mereka tidak diantar oleh seorang tosu Kun-lun, agaknya tak mungkin mereka akan dapat menemukan tempat pertapaan Jit Goat Tosu. Di situ terdapat banyak sekali goa-goa besar berjajar seperti pintu-pintu hitam atau seperti mulut-mulut raksasa, jumlahnya ada puluhan. Mereka pasti akan memerlukan banyak waktu untuk menyelidikinya satu demi satu!

Tidak kelihatan seorang pun manusia lainnya, bahkan agaknya tidak ada binatang hutan di pegunungan batu ini. Hanya ada beberapa ekor burung yang beterbangan di puncak, agaknya mempunyai sarang di sana, semacam burung pemakan bangkai.

Thian Sin memberi isyarat kepada Kim Hong agar membuka suara. Dara itu mengangguk, kemudian dia berseru dengan suara yang mengandung tenaga khikang sehingga getaran suaranya itu terdengar sampai jauh dan tentu akan sampai ke dasar goa di depannya.

“Jit Goat Tosu, keluarlah! Aku Toan Kim Hong datang untuk bicara denganmu!”

Dari dalam goa itu terdengar gema suara Kim Hong, terdengar mengaung menyeramkan seolah-olah terdapat suara iblis yang menjawabnya. Akan tetapi hanya gaung suara yang memantul itu saja yang terdengar, tidak ada suara lainnya. Beberapa kali Toan Kim Hong mengulangi seruannya tadi, namun sia-sia. Tidak ada suara menjawabnya.

“Sialan tosu-tosu Kun-lun-pai itu. Aku telah ditipu, agaknya tempat ini kosong!” gerutu Kim Hong.

Thian Sin menggelengkan kepalanya. “Tidak mungkin dia membohong.”

“Kalau begitu orangnya berada di dalam, tetapi sengaja tidak mau menjawab. Sebaiknya kumasuki saja dan kalau memang berada di dalam, kuseret dia keluar!”

Akan tetapi Thian Sin memegang lengannya dan menggeleng kepala. Kim Hong teringat dan bergidik. Bagaimana ia bisa lupa bahwa supek-nya itu memiliki ilmu kepandaian yang bahkan lebih lihai dari pada mendiang ayahnya? Karena ia tidak merasa mampu melawan maka ia minta bantuan Thian Sin, bagaimana kini secara lancang hendak memasuki goa gelap itu? Sungguh ceroboh karena hal itu akan berbahaya sekali.

“Tentu dia tidak mengenalmu, coba sebut nama ayahmu,” bisik Thian Sin.

Kim Hong langsung teringat. Betul juga, pikirnya. Supek-nya itu belum pernah melihatnya, belum pernah pula mendengar tentang dirinya, tentu saja tidak ada artinya apa bila hanya memperkenalkan nama. Maka dia lalu berteriak kembali, ditujukan ke dalam goa, dengan mengerahkan khikang-nya.

“Supek Jit Goat Tosu! Supek Gouw Gwat Leng! Keluarlah, ini aku Toan Kim Hong puteri tunggal dari Toan Su Ong datang hendak bicara dengan supek!”

Baru saja gema suara itu menghilang, terdengarlah suara yang halus dari dalam goa itu, suara yang agak menggetar penuh perasaan, “Siancai… siancai… siancai…!”

Dan tak lama kemudian keluarlah seorang kakek dari dalam goa itu. Seorang kakek yang sangat kurus kecil dan mukanya pucat seperti mayat, mungkin karena terlalu lama tidak pernah terkena sinar matahari. Melihat munculnya kakek yang kelihatan amat lemah dan sudah mendekati liang kubur ini, hati Kim Hong segera merasa kecewa sekali. Beginikah macamnya orang yang selama ini dicari-carinya dengan hati penuh dendam kebencian? Hanya seorang kakek tua renta yang sudah hampir mati, bahkan tertiup angin kencang saja agaknya tentu akan roboh!

Kakek itu berdiri agak bongkok di depan goa, sepasang matanya yang lemah itu berkedip-kedip, agaknya silau oleh sinar matahari yang sudah lama sekali tidak dilihatnya. Tangan kirinya digunakan melindungi matanya dari cahaya matahari sedangkan tangan kanannya memegang sebuah bendera kecil yang sudah lapuk.

Bendera itu berwarna kuning dan sudah tidak nampak jelas lagi apa gambarnya, hanya pinggiran bendera itu sudah robek-robek seperti biasanya pada bendera kuno yang sudah terlalu lama dan dimakan usia. Gagang bendera itu ternyata merupakan sebatang anak panah terbuat dari perak.

“Mana dia puteri Toan Su Ong?” tanya kakek itu dengan suara gemetar.

Kim Hong hampir tidak mampu menerima kenyataan itu. Tidak percaya bahwa mendiang ayahnya ketakutan terhadap orang lemah macam ini! Ia meragu dan dengan hati kecewa dia bertanya,

“Mungkinkah engkau ini yang bernama Gouw Gwat Leng atau Jit Goat Tosu?”

Kakek itu memandang kepada Kim Hong, lalu terkekeh lirih, “Heh-heh, benar… matamu seperti mata ayahmu. Engkau tentu anak sute Toan Su Ong, tidak salah lagi… heh-heh, anak baik, boleh jadi engkau meragukan diriku sebagai supek-mu Gouw Gwat Leng, tetapi ayahmu tentu pernah bercerita mengenai bendera pusaka kita ini, peninggalan dari kakek gurumu…”

Melihat bendera tua itu, hati Kim Hong menjadi panas rasanya. Bendera itulah yang selalu membuat ayahnya tunduk terhadap suheng-nya ini.

“Bendera sialan!” bentaknya.

Dan tiba-tiba saja tubuhnya telah berkelebat meloncat ke arah kakek itu sambil tangannya menjangkau untuk merampas bendera itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tangannya hanya menangkap angin saja! Entah bagaimana caranya, kakek yang kelihatan lemah itu sudah dapat mengelakkan bendera itu dari jangkauan tangan Kim Hong yang amat cepat tadi.

“Siancai… tidak seorang pun di dunia ini yang boleh merampas bendera pusaka ini dari tanganku…” Kakek itu terkekeh.

Tentu saja Kim Hong merasa penasaran sekali. Kembali dia menubruk, kini menggunakan kedua tangannya untuk merampas. Akan tetapi, dua kali bendera kecil itu berkelebat dan tidak dapat ditangkap oleh tangan Kim Hong. Marahlah gadis itu dan kini pandangannya terhadap kakek itu sudah berubah. Biar pun nampaknya lemah, kiranya kakek ini memiliki kepandaian tinggi.

“Aku tetap akan merampas bendera itu!” bentaknya.

Kini dia kembali menerjang, tangan kirinya menyerang dengan tusukan jari tangan ke arah lambung, kepalanya bergerak dan kuncir rambutnya menotok ke arah ulu hati dan tangan kanannya mencengkeram hendak merampas bendera! Hebat bukan main jurus serangan yang dilakukan oleh Kim Hong ini dan jarang ada orang yang akan dapat menyelamatkan diri dari serangan seperti itu yang di samping dilakukan amat cepat, juga dengan tenaga dahsyat dan terutama sekali penggunaan rambut sebagai senjata itu sukar diduga.

“Plak-plak-plakkk!”

Tubuh Kim Hong terbuyung ke belakang! Ternyata kakek yang kelihatan lemah itu sudah berhasil menangkis semua serangannya, bukan hanya menangkis, malah juga membalas dengan dorongan yang membuat gadis itu terhuyung-huyung! Melihat ini, Thian Sin sendiri memandang kaget dan kagum. Gerakan kakek itu kelihatan lambat, namun begitu tepat dan mengandung tenaga yang dahsyat sekali.

“Hemm, kiranya engkau pun pemberontak seperti ayahmu?” Kakek itu menegur, suaranya berwibawa, biar pun suara itu masih saja agak menggetar dan agak kaku, mungkin karena lamanya dia bertapa dan selama itu tidak pernah mengeluarkan suara.

Kim Hong sendiri terkejut dan maklum bahwa bendera itulah yang membuat dia sampai kena terdorong. Saat Si Kakek tadi menangkis, bendera itu berkelebat di depan matanya kemudian membuat dia lengah sehingga kena didorong. Kiranya bendera itu bukan hanya merupakan bendera pusaka, akan tetapi bisa juga merupakan sebuah senjata aneh yang agaknya ampuh sekali walau pun belum dipergunakan sepenuhnya oleh kakek itu.

“Bocah she Toan, kau sebagai puteri Toan Su Ong merupakan satu-satunya keturunan yang seharusnya mewarisi bendera ini dan menghormati bendera ini sampai mati. Akan tetapi kini engkau malah menghinanya dan hendak merampasnya. Katakan, apa perlunya engkau datang untuk menemuiku?”

“Gouw Gwat Leng, lupakah engkau betapa ayahku harus hidup terlunta-lunta dan menjadi buronan, juga selama hidupnya harus bersembunyi sampai mati, hanya karena engkau? Mendiang ibuku bercerita bahwa engkaulah yang menyebabkan ayah tidak berani muncul di dunia ramai, engkau dan bendera sialan itu. Boleh jadi ayah terlalu bodoh untuk merasa jeri menghadapi engkau dan bendera terkutuk itu, akan tetapi aku, anaknya, tidak! Aku yang akan membalaskan kematian serta menebus kesengsaraan ayah kepadamu, juga menghancurkan bendera terkutuk itu!”

“Siancai… akhirnya datang juga saat yang kunanti-nantikan selama ini! Anak baik, engkau hendak berbakti secara sesat kepada ayahmu. Ayahmu sendiri takut kepadaku karena dia sangat menghormati bendera dan karena tahu diri, sekarang engkau hendak melawanku? Engkau benar-benar telah murtad terhadap bendera pusaka nenek moyang perguruanmu sendiri, dan engkau tidak tahu diri berani melawan supek-mu!”

“Tidak usah banyak cerewet, bersiaplah untuk menyusul ayah dan ibuku!” Setelah berkata demikian, Toan Kim Hong segera mencabut sepasang pedang hitamnya dan menyerang dengan sengit.

“Trang-tranggg…!” Gagang bendera itu telah menangkis sepasang pedang.

“Aihhh, aku sudah mendengar bahwa dalam persembunyiannya ayah ibumu menciptakan Hok-mo Sin-kun! Apakah ini yang namanya Hok-mo Siang-kiam?”

Akan tetapi Kim Hong sudah tak mempedulikan lagi dan menyerang terus, menggunakan jurus-jurus terampuh dari ilmu pedangnya. Dan ternyata kakek itu, sungguh pun kelihatan sudah tua dan lemah, tapi ternyata masih hebat! Gerakannya begitu ringan seperti kapas tertawa angin. Seolah-olah tubuhnya sudah terdorong oleh angin sambaran pedang lawan sehingga tanpa mengelak pedang itu tidak mengenai sasaran!

Dan benderanya bergerak-gerak, berkibar-kibar, tapi bukan sembarangan berkibar karena bendera tua itu berkelebat menggelapkan pandangan dan ujung gagangnya yang tumpul menjadi alat penotok yang amat ampuh, ada pun mata anak panah yang menjadi gagang bendera itu pun menyambar-nyambar seperti patuk seekor rajawali!

Walau pun Kim Hong bergerak cepat dan mengerahkan tenaga, namun Thian Sin dapat melihat bahwa memang kakek itu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi tingkatannya sehingga dengan mudahnya kakek itu dapat menghalau semua serangan Kim Hong tanpa banyak kesukaran, sebaliknya setiap serangan balasan kakek itu agaknya memang tepat sehingga membuat Kim Hong kewalahan dan sibuk menyelamatkan diri.

“Jit Goat Tosu, sungguh tidak patut kalau yang tua menghina yang muda, dan aku sudah menjanjikan bantuan kepada Kim Hong!” Berkata demikian, Thian Sin sudah meloncat ke depan sambil mengelebatkan Gin-hwa-kiam sehingga nampaklah sinar perak menyambar ganas.

“Tranggggg…!”

Tangkisan anak panah yang menjadi gagang bendera terhadap Gin-hwa-kiam itu segera membuat Si Kakek terdorong ke belakang, akan tetapi juga Thian Sin terdorong mundur. Keduanya terkejut dan kakek itu sejenak memandang kepada pemuda itu.

“Toan Kim Hong! Siapakah pemuda yang hendak membantumu ini?!” Pertanyaan ini lebih menyerupai bentakan dan di dalamnya mengandung ancaman maut!

Kim Hong merasa malu kalau harus mengeroyok kakek itu bersama orang lain, maka dia pun menyahut lantang, “Dia adalah Ceng Thian Sin, tunanganku!”

Dengan mengakui pemuda itu sebagai tunangannya yang berarti jodohnya, maka berarti bahwa yang turut mengeroyok kakek itu ‘bukan orang luar’. Dan memang pendapatnya ini tepat sekali. Kakek itu tertawa.

“Ha-ha-ha, pantas…! Dia tampan dan gagah, ilmunya hebat. Hayo anak-anak, hayo kita latihan dan lihatlah kehebatan ilmu dari nenek moyang perguruanmu!”

Setelah berkata demikian kakek itu menggerakkan anak panah bendera itu dan sekaligus gerakan ini menyerang Thian Sin dan Kim Hong secara bertubi-tubi. Dua orang muda itu kaget sekaligus juga heran bagaimana senjata kecil seperti itu dapat bergerak sedemikian anehnya dan setiap gerakan merupakan serangan maut yang amat berbahaya. Tentu saja keduanya langsung menggerakkan pedang untuk menangkis dan balas menyerang.

Kim Hong telah memainkan Hok-mo Siang-kiam-sut dan sepasang pedangnya yang hitam itu berubah menjadi dua sinar hitam bergulung-gulung amat menyeramkan, diiringi angin dingin yang mengeluarkan suara bercuitan. Tubuhnya sendiri lalu lenyap terbungkus dua gulungan sinar hitam ini dan kadang-kadang ada sinar hitam mencuat dari dua gulungan itu, menyambar ke arah tubuh kakek kecil kurus.

Thian Sin juga memutar pedangnya dengan cepat, dan selain sambaran pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar perak yang mengimbangi serta saling membantu dengan dua gulungan sinar hitam itu, juga tangan kirinya secara diam-diam melancarkan pukulan-pukulan Pek-in-ciang yang dulu dipelajarinya dari pendekar sakti Yap Kun Liong di puncak Bwe-hoa-san. Tangan kirinya itu mengepulkan uap putih ketika dia mempergunakan ilmu pukulan ampuh itu. Melihat kehebatan kedua orang muda ini, berkali-kali kakek itu harus mengeluarkan seruan kagum dan kaget.

Akan tetapi ilmu kepandaian kakek tua renta itu memang hebat sekali. Dia telah memiliki kematangan yang amat sempurna, ilmu silatnya telah mendarah daging dan berkat latihan semedhi yang tidak kunjung henti, dia telah menghimpun kekuatan dalam yang luar biasa sekali, tidak lumrah dimiliki manusia. Tubuhnya, jasmaninya memang terlihat lemah, akan tetapi, kekuatan sakti yang tersembunyi di tubuhnya bangkit semua dan sudah terhimpun sinkang yang mencapai puncaknya.

Gerakan anak panah berikut bendera tua itu aneh sekali, akan tetapi ke mana pun senjata ini bergerak, tentu selalu sanggup menahan senjata lawan dan begitu terbentur, langsung saja anak panah itu menyambar dan mengirim serangan balasan yang tidak kalah lihainya dari pada serangan lawan.

Biar pun dikeroyok dua, kakek itu sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan seolah-olah dia sudah menguasai ilmu lawan. Padahal, ilmu yang dikeluarkan oleh kedua orang muda itu adalah ilmu-ilmu yang belum dikenalnya, akan tetapi kematangannya dalam ilmu silat membuat dia bisa melihat intinya dan karenanya gerakan dua orang muda itu sama sekali tidak mengejutkan hatinya, hanya membuatnya kagum bukan main.

“Bagus sekali ilmu pedang kalian, kini mari kita berlatih dengan tangan kosong!” Setelah berkata demikian, kakek itu menyelipkan anak panah itu di pinggangnya dan menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong saja.

Melihat ini, Thian Sin otomatis menyimpan pedangnya, dan melihat sikap pemuda ini, Kim Hong juga langsung menyimpan sepasang pedang hitamnya! Diam-diam gadis ini merasa heran sendiri. Dia datang untuk membunuh kakek ini, akan tetapi mengapa sekarang dia menghadapi kakek itu seperti supek-nya sendiri mengajaknya berlatih saja?

Sesungguhnya bukanlah demikian. Seperti juga yang dirasakan oleh Thian Sin, Kim Hong merasa malu di sudut hatinya bahwa menghadapi seorang kakek tua renta yang kelihatan amat lemah ini dia harus melakukan pengeroyokan. Dan di samping itu, juga dia merasa kagum bukan main melihat kepandaian kakek ini.

Oleh karena itu, melihat kakek itu menyimpan senjata, mana mungkin dia ada muka untuk menyerang kakek yang bertangan kosong itu dengan sepasang pedangnya? Hal itu tentu akan memalukan sekali, dan karena inilah maka Thian Sin dan ia sendiri juga menyimpan senjata mereka.

Bagi Thian Sin, ada hal lain yang mendorongnya menyimpan senjata. Sebenarnya, kalau dibuat perbandingan, pemuda ini lebih lihai bertangan kosong dari pada mempergunakan senjata. Hal ini adalah karena dia telah mewarisi banyak ilmu kesaktian yang digunakan dengan tangan kosong, antara lain seperti Ilmu Pek-in-ciang dari pendekar Yap Kun Liong, lalu Thi-khi I-beng dari ayah angkatnya, Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, belum lagi ilmu silat tinggi seperti Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, Pat-hong Sin-kun dan tenaga Thian-te Sin-ciang.

Malah ilmu-ilmu yang diwarisinya dari ayah kandungnya juga merupakan ilmu silat tangan kosong yang mengandalkan kaki dan tangan belaka, seperti Ilmu Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun itu. Maka, saat ditantang untuk bertanding dengan tangan kosong, dengan gembira Thian Sin menyimpan pedangnya yang diturut pula oleh Kim Hong.

Terjadilah pertandingan yang hebat luar biasa, malah lebih menegangkan dari pada ketika mereka mempergunakan senjata tadi. Jika tadi mereka bertanding dalam jarak agak jauh, kini mereka berkelahi dalam jarak pendek, saling pukul, saling tendang, menangkis dan mengelak dengan kecepatan yang amat mengagumkan. Kadang-kadang gerakan mereka nampak begitu otomatis seakan-akan tiga tubuh itu sudah menjadi satu dan enam batang lengan, enam batang kaki itu digerakkan oleh satu otak saja.

Dan Thian Sin menjadi semakin kagum. Ilmu-ilmu silat tinggi sudah dikeluarkannya, akan tetapi dia dan Kim Hong tak mampu mendesak kakek itu. Bahkan senjata rambut panjang Kim Hong tidak dapat mendesak lawan, malah beberapa kali hampir saja ujung rambut itu terkena cengkeraman kakek itu kalau saja Thian Sin tidak cepat membantunya. Kakek itu mentertawakan Kim Hong dan mengejeknya dengan kata-kata,

“Senjata khas wanita, tapi curang!”

Karena merasa penasaran, sesudah lewat hampir seratus jurus belum juga dia sanggup mendesak kakek itu, ketika kakek itu menampar ke arah kepalanya, Thian Sin miringkan tubuh, akan tetapi memasang pundaknya sehingga kena ditampar.

“Plakkk!”

“Uuhhhhhh… apa ini…? Ahhh, Thi-khi I-beng…?!” Kakek itu berseru dan bukan menarik tenaganya malah mengerahkan tenaga lebih besar sehingga Thian Sin menjadi gelagapan bagaikan orang yang dimasukkan ke dalam air.

Ilmu itu adalah ilmu menyedot tenaga sinkang lawan, akan tetapi kakek itu membanjirinya dengan tenaga berlebihan sehingga dia tidak mampu menampungnya dan otomatis Thian Sin mengembalikan tenaga yang membanjir itu lalu menghentikan sedotannya! Kakek itu meloncat ke belakang.

“Orang muda, apakah engkau dari Cin-ling-pai?” tanya kakek itu heran. Walau pun tidak pernah mengenal secara pribadi, agaknya kakek ini pernah mendengar ilmu mukjijat dari Cin-ling-pai itu.

“Masih ada hubungan keluarga!” kata Thian Sin akan tetapi hatinya merasa amat kecewa karena ternyata Thi-khi I-beng juga tak ada gunanya terhadap kakek yang amat hebat ini. “Akan tetapi yang ini bukan dari Cin-ling-pai, terimalah!”

Dan Thian Sin langsung berjungkir balik, kemudian, secara tiba-tiba dia menghantam dari bawah. Itulah Hok-te Sin-kun yang hebat sekali. Angin pukulan yang dahsyat menyambar dan kakek itu agaknya dapat mengenali ilmu mukjijat maka sambil berseru dia memapaki dengan pukulan tangannya.

“Desss…!”

Tubuh kakek itu terlempar hingga nyaris terbanting, sedangkan Thian Sin terpaksa harus berjungkir balik beberapa kali karena pertemuan tenaga tadi membuat seluruh tubuhnya tergetar. Wajah kakek itu berubah dan matanya terbelalak.

“Ilmu setan…!” Dia menggerutu, dan ketika Kim Hong dan Thian Sin maju lagi, dia berkata dengan nyaring, “Tahan!”

“Toan Kim Hong, engkau tidak mau menghormati bendera pusaka, maka habislah riwayat bendera pusaka perguruan kami, akan tetapi ilmu silatmu juga sudah tidak asli lagi. Dan biar pun salahnya ayahmu sendiri, namun memang akulah yang membuat hidup ayahmu menderita. Aku merasa menyesal sekali dan sudah menebusnya dengan pertapaan, akan tetapi agaknya belum impas kalau badan tua tak berguna ini belum mati. Nah, sekarang saksikanlah. Supek-mu menebus dosa sambil membawa bendera pusaka bersama, maka lunaslah sudah!”

Tiba-tiba kakek itu mencabut anak panah yang menjadi gagang bendera itu, lantas sekali menggerakkan anak panah itu, senjata ini amblas memasuki dadanya berikut benderanya dan ujung anak panah itu tembus di punggungnya. Dia terhuyung lalu roboh miring, tidak bergerak lagi.

Thian Sin dan Kim Hong merasa terkejut sekali sehingga mereka terkesima dan berdiri bengong memandang kepada tubuh kakek yang sudah tewas itu. Setelah kakek itu tewas barulah di dalam hati mereka terasa menyesal.

Kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat bukan main, dan kakek ini tadi jelas tidak menghadapi mereka sebagai musuh melainkan hanya sebagai lawan berlatih belaka. Baru sekarang keduanya mengerti bahwa apa bila kakek itu menghendaki, sejak tadi kakek itu tentu sudah dapat merobohkan dan menewaskan mereka. Kakek itu telah mengalah! Dan kini kakek itu telah membunuh diri!

Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya Gouw Gwat Leng sangat mencinta sute-nya, yaitu Toan Su Ong. Mereka berdua telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari guru mereka. Tapi sayang sekali bahwa Toan Su Ong kemudian dinyatakan sebagai seorang pemberontak karena terlalu berani menentang kebijaksanaan kaisar.

Sebenarnya, kalau kaisar menghendaki, dengan mengerahkan bala tentara, apa sukarnya menangkap dan membunuh seorang manusia saja, bagaimana pun lihainya dia itu? Gouw Gwat Leng melihat hal ini dan dia pun menghadap kaisar dan menyatakan bahwa dialah yang akan mengejar sute-nya dan menghalangi sute-nya supaya tidak memberontak. Dan memang dia melakukan pengejaran.

Toan Su Ong tidak berani melawan suheng-nya yang menjadi ahli waris bendera pusaka guru mereka, maka dia pun kemudian pergi menyembunyikan diri hingga matinya di Pulau Teratai Merah, terbunuh dalam pertikaian oleh isterinya sendiri. Dan memang inilah yang dikehendaki oleh Gouw Gwat Leng, yaitu agar sute-nya tidak sampai dikeroyok oleh bala tentara dan tidak sampai terbinasa oleh kaisar.

Namun dia pun merasa menyesal dan berdosa karena biar pun dia telah menyelamatkan nyawa sute-nya, sebaliknya ia pun telah membuat sute-nya hidup merana dan menderita, harus selalu bersembunyi. Penyesalan inilah, ditambah kedukaan bahwa semenjak muda dia terpaksa harus berpisah dari sute-nya yang tercinta, yang membuat Gouw Gwat Leng menjadi semakin berduka ketika mendengar akan tewasnya sute-nya itu.

Dia lalu pergi ke Kun-lun-pai, minta kepada para tokoh Kun-lun-pai yang menjadi sahabat baiknya untuk menerimanya menjadi tosu dan memberi pelajaran Agama To kepadanya. Dia pun sempat menurunkan beberapa ilmu silat tinggi kepada para pimpinan Kun-lun-pai sehingga dia lalu dianggap sebagai saudara tua dan diperbolehkan untuk bertapa di dalam goa-goa di Kun-lun-san.

Ketika puteri sute-nya itu menghadapinya sebagai musuh, sampailah Gouw Gwat Leng yang sudah menjadi Jit Goat Tosu itu pada puncak penyesalannya. Puteri sute-nya itu sebenarnya merupakan ahli waris tunggal dari ilmu-ilmu perguruan yang berikut bendera pusaka itu. Akan tetapi gadis itu malah menghina bendera pusaka dan menghadapinya sebagai seorang musuh besar yang menyengsarakan kehidupan ayah gadis itu.

Maka, untuk menebus penyesalannya, kakek yang sangat renta itu akhirnya menyimpan bendera pusaka ke dalam tubuhnya dan membunuh diri di hadapan Kim Hong tanpa rasa penyesalan karena dia pun sudah puas melihat puteri sute-nya itu menjadi seorang gadis yang demikian lihai, berjodoh dengan seorang pemuda yang lihai pula, bahkan seorang pemuda Cin-ling-pai pula.

Ketika mendengar gerakan di belakang mereka, Thian Sin dan Kim Hong baru sadar dan cepat memutar tubuh. Mereka melihat bahwa di situ telah berdiri dua orang tosu tua yang bukan lain adalah Kui Yang Tosu dan seorang tosu lain yang juga tinggi kurus akan tetapi wajahnya muram tidak segembira wajah Kui Yang Tosu.

Mereka pun dapat menduga bahwa tentu tosu inilah yang menjadi ketua Kun-lun-pai dan memang mereka benar, tosu itu adalah Kui Im Tosu! Di belakang ketua dan wakil ketua Kun-lun-pai ini berdiri para sute mereka, lalu para murid mereka mulai dari tingkat tertinggi sampai tingkat terbawah. Sekarang semua penghuni asrama Kun-lun-pai telah keluar dan menghadapi dua orang muda itu agaknya.

“Siancai, siancai, siancai… Saudara tua Jit Goat Tosu sudah tewas dalam keadaan yang menyedihkan sekali…” Kui Im Tosu berkata sambil memandang ke arah tubuh kurus yang rebah miring itu dengan nada suara penuh kedukaan dan wajahnya semakin muram.

“Puluhan tahun lamanya beliau tidak pernah mengganggu siapa atau apa pun, tidak akan mau membunuh seekor semut pun, akan tetapi sekarang tewas oleh kekerasan. Di mana Pendekar Sadis tiba di situ tentu ada bekas tangannya yang kejam,” kata Kui Yang Tosu, kini senyumnya lenyap dari wajahnya yang biasanya gembira itu.

“Aku yang datang untuk membunuhnya, dia hanya datang menemani dan membantuku!” kata Kim Hong dengan lantang.

“Jit Goat Tosu membunuh diri, jika tidak mana kalian akan mampu membunuhnya?” kata Kui Yang Tosu. “Akan tetapi betapa pun juga, kalian yang sudah mendesaknya sehingga dia membunuh diri.”

“Locianpwe, tadi sudah kukatakan bahwa kedatanganku ke sini bukanlah untuk berurusan dengan Kun-lun-pai, melainkan urusan pribadi dengan Jit Goat Tosu yang masih terhitung supek-ku. Kami membuat perhitungan lama antara dia dan ayahku, dan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai. Maka kuminta supaya Kun-lun-pai jangan turut mencampuri urusan pribadi orang lain!”

“Siancai… tidak demikian mudah, nona,” kata Kui Yang Tosu yang agaknya lebih pandai bicara dari pada suheng-nya yang pendiam. “Kami sudah mendengar dan melihat semua. Engkau sebagai murid keponakan sudah berani melawan supek-mu, berarti engkau telah mengkhianati bendera pusaka perguruan. Ini termasuk perbuatan jahat sekali. Dan kalian berdua sudah menyebabkan kematian seorang saudara angkat kami. Tidak mungkin kami dapat mendiamkan saja kejahatan dilakukan orang di wilayah Kun-lun-pai.”

“Habis, sekarang kalian mau apa?” tanya Kim Hong, nadanya tidak menghormat lagi dan mengandung tantangan. Kumat lagi sikapnya sebagai Lam-sin yang memandang rendah siapa pun juga di dunia ini.

“Siancai!” Kui Im Tosu berkata. “Kami terpaksa harus menangkap kalian untuk dimintakan pengadilan kepada rapat pertemuan para tokoh kang-ouw!”

“Singgg…!”

Kim Hong sudah mencabut pedang hitamnya. “Bagus! Seekor semut pun bila diinjak pasti balas menggigit, seekor ayam pun kalau akan ditangkap pasti melarikan diri dan seekor harimau pun kalau akan dibunuh pasti melawan. Apa lagi manusia! Aku Toan Kim Hong tdak berniat memusuhi Kun-lun-pai, akan tetapi kalau ada yang mendesakku, menangkap atau membunuhku, silakan maju. Jangan disangka aku takut terhadap Kun-lun-pai!”

“Tangkap mereka!” kata Kui Yang Tosu kepada anak buahnya.

Dia tahu bahwa dua orang muda itu lihai sekali, maka dia sendiri pun bersama sang ketua sudah siap untuk bantu mengeroyok dan menangkap. Sebagai orang yang berkedudukan tinggi mereka tidak mau tergesa-gesa turun tangan. Dan dia maklum bahwa para murid Kun-lun-pai akan mentaati perintahnya, yaitu menangkap mereka, bukan membunuh.

Melihat para tosu dan para murid Kun-lun-pai telah bergerak, Thian Sin memegang lengan gadis itu. “Jangan lukai atau bunuh orang. Simpan pedangmu!”

Dalam kemarahannya, Kim Hong masih dapat diingatkan maka dia pun cepat menyimpan kembali sepasang pedangnya, kemudian berdiri saling membelakangi dengan Thian Sin, memandang kepada anak murid Kun-lun-pai yang telah mengepung mereka itu.

Sesudah para murid Kun-lun-pai itu bergerak maju, keduanya segera mengamuk. Dengan gerakan mereka yang cepat, Kim Hong dan Thian Sin menggerakkan kaki tangan untuk merobohkan tanpa membuat mereka terluka parah. Akan tetapi, segera murid-murid yang tingkatnya lebih tinggi sudah menyerbu, membuat mereka berdua terpaksa berlompatan ke sana-sini sebelum akhirnya membalas dengan tenaga yang lebih kuat.

Para anak buah Kun-lun-pai itu, mulai dari murid-murid kepala sampai murid-murid yang tingkatnya paling rendah, menjadi sibuk sekali. Mereka bagaikan sekumpulan semut yang tengah mengeroyok dua ekor jangkerik yang besar dan setiap gerakan jangkerik-jangkerik itu membuat semut-semut yang mengeroyok terlempar ke sana-sini.

“Mundur!” Mendadak terdengar bentakan nyaring dan berkelebatlah dua bayangan orang. Kiranya Kui Yang Tosu dan Kui Im Tosu sendiri yang telah maju menghadapi dua orang muda itu.

Thian Sin kaget bukan main. Dua orang ketua Kun-lun-pai telah maju sendiri! Permusuhan dengan Kun-lun-pai tidak dapat dihindarkan lagi! Dan untuk melarikan diri tidaklah mudah karena dengan rapi para murid Kun-lun-pai telah mengurung tempat itu dengan ketatnya.

“Ji-wi locianpwe,” kata Thian Sin dengan suara merendah. “Kami dua orang muda sama sekali tidak berniat untuk bentrok dan bermusuhan dengan Kun-lun-pai, kenapa ji-wi tidak membiarkan kami pergi dengan aman?”

“Hemm, kalian sudah membunuh Jit Goat Tosu dan mengatakan tidak berniat memusuhi kami? Kalau benar kalian mempunyai niat baik, menyerahlah agar kami bawa ke depan pertimbangan dan pengadilan para tokoh kang-ouw,” kata Kui Yang Tosu.

“Kami bukanlah penjahat!” bentak Kim Hong. “Kalau kami terpaksa melawan Kun-lun-pai, adalah karena kami didesak!”

“Hemm, kalian telah melakukan pembunuhan, masih berani berkata bukan penjahat?” Kui Im Tosu berseru, dan Kui Yang Tosu sudah menerjang maju disambut oleh Kim Hong. Kui Im Tosu juga maju, disambut oleh Thian Sin.

Kui Yang Tosu terkejut bukan main ketika tangannya bertemu dengan tangan Kim Hong dan dia merasa betapa seluruh lengannya menjadi tergetar hampir lumpuh. Tak dikiranya bahwa murid keponakan dari mendiang Jit Goat Tosu mempunyai tenaga sinkang yang demikian dahsyatnya.

Sebaliknya, setelah pertemuan tenaga itu Kim Hong pun maklum bahwa dia menghadapi lawan yang berat. Maka dia tidak banyak cakap lagi, lalu cepat menyerang dengan kedua pukulan dan kedua kakinya dibantu oleh rambutnya.

Kui Yang Tosu bergerak dengan mantap dan tenang, akan tetapi dia amat terkejut melihat sambaran kuncir rambut yang amat cepat dan kuat itu yang nyaris menotok jalan darah di lehernya. Cepat tangan kirinya bergerak dan terdengar suara berkerotokan nyaring ketika tasbehnya menyambar ke depan menyambut rambut itu. Kui Yang Tosu kemudian balas menyerang, namun semua serangannya dapat dielakkan dengan baik oleh Kim Hong dan mereka bertanding dengan amat serunya, dan ternyata bahwa tingkat kepandaian mereka seimbang, hal yang amat mengejutkan wakil ketua Kun-lun-pai itu.

Sementara itu, pertandingan antara Thian Sin dan ketua Kun-lun-pai juga terjadi dengan amat seru dan hebat. Angin pukulan menyambar-nyambar ganas dan Thian Sin mendapat kenyataan betapa lihainya ketua Kun-lun-pai ini. Dia merasa kerepotan sekali karena tosu yang bersilat dengan amat tenang itu seakan-akan dilindungi oleh hawa murni yang sukar diterobos, kuat bukan main sehingga semua serangannya, bila tidak dapat dielakkan atau ditangkis oleh lawan, pasti membentur tenaga yang membuat serangannya menyeleweng. Akhirnya, Thian Sin yang tidak ingin bermusuhan dengan Kun-lun-pai itu secara terpaksa sekali mengeluarkan ilmu simpanannya. Tiba-tiba dia berjungkir balik dan dengan tenaga dari tanah dia menerjang ke atas dengan mempergunakan Ilmu Hok-te Sin-kun.

“Hiaaaattt…!” Dia memekik dengan nyaring sekali. Seketika bersamaan dengan pekik itu, tubuhnya sudah mencelat dari atas tanah dengan serangan yang amat dahsyat.

“Bresss…!”

Ketua Kun-lun-pai menangkis dengan kedua lengannya, akan tetapi kakek ini terlempar sampai empat meter dan walau pun jatuh berdiri, akan tetapi wajah kakek ini pucat dan matanya terbelalak, tanda bahwa dia terkejut bukan kepalang menghadapi serangan yang amat luar biasa itu.

“Kim Hong, lari…!” teriak Thian Sin.

Kim Hong maklum bahwa sangat sukarlah melawan dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu tanpa merobohkan mereka dengan serangan maut yang amat tidak dia kehendaki. Maka tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan sinar halus merah menyambar ke arah delapan jalan darah di tubuh lawan bagian depan.

“Siancai…!” Kui Yang Tosu berseru kaget.

Dia cepat-cepat mengebut dengan kedua lengan bajunya sehingga sinar merah itu runtuh. Sebatang jarum merah menancap di lengan bajunya. Menggunakan kesempatan ini, Kim Hong meloncat jauh dan cepat melarikan diri bersama Thian Sin. Para murid Kun-lun-pai hendak mengejar, akan tetapi Kui Im Tosu berseru dengan tenang,

“Jangan kejar!”

Kui Yang Tosu memperlihatkan jarum merah itu kepada suheng-nya. “Suheng mengenal ini?”

Kui Im Tosu memeriksa jarum itu. “Hemmm, bukankah jarum seperti ini, juga permainan rambut itu, menjadi ilmu yang amat terkenal dari datuk sesat bagian selatan yang berjuluk Lam-sin?”

Kui Yang Tosu mengangguk-angguk. “Benar, suheng. Jelaslah bahwa Nona Toan puteri dari mendiang Pangeran Toan Su Ong itu tentu ada hubungannya dengan Lam-sin. Akan tetapi, menurut berita tingkat kepandaian Lam-sin seperti tingkat para datuk lain, jadi tidak banyak berbeda dengan tingkat kita. Dan gadis itu lihai bukan main, agaknya tidak mudah bagi pinto untuk mengalahkannya, agaknya kami satu tingkat. Apa bila dia memang murid Lam-sin, apakah dia telah mencapai tingkat seperti gurunya?”

Kui Im Tosu menggeleng kepala. “Pinto rasa tidak begitu, sute. Menurut perasaan pinto, dia sendirilah Lam-sin itu!”

“Ehhh…?!” Kui Yang Tosu memandang kepada suheng-nya dengan heran, “Akan tetapi, bukankah menurut berita Lam-sin adalah seorang nenek yang lihai sekali?”

“Seorang nenek yang jarang sekali bertindak sendiri, bukan? Hanya perkumpulannya saja yang bernama Bu-tek Kai-pang yang mewakilinya, dan bukankah berita terakhir pernah mengatakan bahwa setelah Pendekar Sadis muncul maka nenek itu pun menghilang, dan Bu-tek Kai-pang juga dibubarkan? Kemudian, ke mana pun Pendekar Sadis pergi, gadis yang lihai itu selalu ikut, dan ikut pula menyerbu See-thian-ong, Pak-san-kui dan bahkan Tung-hai-sian? Pinto berpendapat bahwa gadis lihai itulah yang dahulu menjadi Lam-sin, mungkin menggunakan alat penyamaran sebagai seorang nenek.”

Sute-nya mengangguk-angguk. Kini dia dapat melihat kemungkinan itu dan biasanya, biar pun suheng-nya tak pernah keluar, namun suheng-nya mempunyai kecerdasan yang luar biasa.

“Kita harus cepat mengumpulkan para tokoh pendekar dan membicarakan urusan ini. Tak mungkin sepak terjang Pendekar Sadis dibiarkan saja,” katanya.

Kui Im Tosu mengangguk-angguk. “Dia sudah berani mengacau ke sini, dan pula sedikit banyak Cin-ling-pai turut bertanggung jawab, sebab bukankah Pangeran Ceng Han Houw itu masih ada hubungannya dengan Cin-ling-pai? Menurut kabar yang kita peroleh, dia adalah anak angkat Pendekar Lembah Naga. Nah, kita harus minta pertanggungan jawab para pendekar itu.”

Demikianlah, orang-orang Kun-lun-pai segera mengurus jenazah Jit Goat Tosu, kemudian mereka mengirim undangan kepada wakil partai-partai persilatan besar serta para tokoh pendekar untuk membicarakan tentang Pendekar Sadis yang biar pun termasuk pendekar yang menentang orang-orang jahat, namun sepak terjangnya liar dan kekejamannya tidak patut dilakukan oleh seorang pendekar.

Di samping itu, juga Kun-lun-pai perlu memberi tahukan tentang pembunuhan yang terjadi di Kun-lun-pai dan hendak meminta pertanggungan jawab para pendekar yang masih ada hubungannya dengan Pendekar Sadis. Maka tak lupa dia mengundang Cin-ling-pai, juga mengirim utusan untuk mengundang Pendekar Lembah Naga!

********************

Sudah terlampau lama kita tak bertemu dengan Cia Han Tiong, putera tunggal Pendekar Lembah Naga itu. Seperti sudah diketahui, Han Tiong merasa berduka sekali ketika adik angkat yang amat dicintainya, yaitu Thian Sin, pergi meninggalkan Lembah Naga. Dia pun mulai merantau dan mencari adik angkatnya, juga mencari dara yang dicintanya dan yang telah ditunangkan dengannya, yaitu Ciu Lian Hong.

Dan akhirnya dia berhasil menemukan Ciu Lian Hong di selatan, bersama datuk selatan Lam-sin karena dara itu selain telah ditolong oleh datuk ini, juga sudah menjadi muridnya. Dengan bantuan ayah bundanya, Han Tiong berhasil minta kembali tunangannya itu dan Lian Hong ikut pulang bersama calon mertuanya ke Lembah Naga. Ada pun Han Tiong sendiri belum mau pulang, hendak mencari adik angkat yang amat disayangnya itu.

Akan tetapi, sudah berbulan-bulan lamanya dia mencari dengan sia-sia belaka, sejak adik angkatnya itu lenyap sama sekali seperti ditelan bumi. Hal ini tidak mengherankan karena pada waktu dia mencari-cari itu, Thian Sin sedang tekun bertapa dan melatih diri dengan ilmu peninggalan ayah kandungnya, di Pegunungan Himalaya.

Setelah merantau hampir setahun lamanya dan tak berhasil menemukan adik angkatnya, maka akhirnya Han Tiong pulang ke Lembah Naga dengan hati berat karena kecewa dan berduka, langsung disambut dengan gembira oleh ayah bundanya dan juga tunangannya. Melihat wajah Han Tiong yang muram dan berduka, ayahnya lalu menghibur,

“Han Tiong, sudahlah jangan terlalu memikirkan adikmu. Dia sudah cukup dewasa, bukan seorang anak kecil lagi. Apa bila dia hendak mengambil jalannya sendiri, bagaimana kita dapat menghalangi dia? Biarkanlah saja, kelak bila mana dia teringat kepada kita, tentu dia akan kembali juga.”

“Ucapan ayahmu benar, Han Tiong. Watak adikmu itu agak keras dan manja maka kalau engkau terlalu memperlihatkan rasa sayangmu kepadanya, dia akan menjadi makin manja dan kelak hanya akan menimbulkan hal-hal yang memusingkan saja,” sambung ibunya.

“Justru karena itulah, ibu, karena mengingat betapa keras hatinya, maka aku pun merasa sangat khawatir. Wataknya masih seperti anak kecil saja, belum mampu berpikir secara mendalam dan memandang jauh,” kata Han Tiong menarik napas panjang.

“Habis, setelah engkau tak berhasil mencarinya, apa yang bisa kau lakukan, Han Tiong?” tanya ayahnya.

“Kalau saja aku dapat menemukan dia, tentu aku akan dapat membujuknya untuk pulang dulu, ayah. Aku hanya ingin melihat dia berbahagia, dan hanya kalau dia dekat dengan kitalah maka ada yang mengamati dan menasehatinya.”

Ibunya tersenyum, diam-diam kagum atas besarnya kasih sayang dalam hati puteranya. “Sudahlah, ayahmu benar, Thian Sin bukan anak kecil lagi. Dan setelah sekian lama kami menanti-nanti engkau pulang, kami berbahagia melihat engkau kini pulang dalam keadaan sehat, anakku. Dan perkabungan Lian Hong juga sudah hampir habis dan begitu dia tidak berkabung lagi, kita dapat merayakan pernikahan kalian.”

“Kata-kata ibumu memang tepat. Pernikahan itu tidak mungkin dapat ditunda lebih lama lagi,” sambung ayahnya.

Mendengar betapa percakapan menjurus ke urusan pernikahan, Lian Hong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali dan ia lalu berpamit untuk menyiapkan makan siang. Kedua orang mertuanya memandang sambil tersenyum pada saat gadis itu tergesa-gesa meninggalkan ruangan itu.

“Tiong-ji, engkau tidak tahu betapa baiknya tunanganmu itu. Dia anak yang baik sekali, manis budi dan kami sayang sekali kepadanya,” kata ibunya.

“Hemm, yang lebih dari itu, dia amat mencintaimu Han Tiong,” sambung ayahnya.

“Kau tidak percaya?” kata ibunya ketika melihat puteranya memandang kepada ayahnya. “Dia tak pernah membicarakan engkau, akan tetapi aku tahu bahwa setiap hari dia selalu mengharapkan kedatanganmu. Kau tahu, setiap malam jam dua belas tengah malam dia pasti bersembahyang di halaman, bersembahyang untukmu, Han Tiong! Bersembahyang untuk keselamatanmu dan agar engkau lekas pulang dalam keadaan selamat.”

Keharuan mencekam hati Han Tiong, maka dia pun menunduk. Keharuan yang disertai kebahagiaan hati. Benarkah Lian Hong mencintanya begitu mendalam? Dan dia selama ini memiliki keinginan dan harapan gila, yaitu ingin menjodohkan Lian Hong dengan Thian Sin, kalau hal itu akan membahagiakan hati Thian Sin!

Kini baru terbuka matanya bahwa dia hanya memikirkan Thian Sin saja sehingga dia lupa bahwa Lian Hong juga seorang manusia yang berhak menentukan pilihannya sendiri. Lian Hong bukan boneka yang dapat dioper-operkan begitu saja!

“Menurut perhitungan kami, tiga bulan lagi Lian Hong akan bebas dari perkabungan dan kita dapat melangsungkan pernikahan kalian,” kata pula ibunya.

“Kuharap saja pada waktu itu Sin-te sudah pulang, ibu.”

“Hemm, kenapa begitu?” tanya ayahnya.

“Ayah, kalau tidak ada kehadiran Sin-te, tentu aku merasa bahwa kebahagiaanku itu tidak lengkap. Aku akan bergembira, akan tetapi kalau teringat padanya, mungkin dia terancam bahaya dan mala petaka, bagaimana hatiku dapat berbahagia?”

Ayah ibunya saling pandang, dan ayahnya berkata, “Ah, anak itu hanya membikin pusing saja. Biarlah aku akan menyuruh beberapa orang muda dusun di luar lembah untuk pergi menyelidiki kalau-kalau mereka akan berhasil menemukan atau mendengar tentang Thian Sin.”

Biar pun harapannya hanya tipis, namun hatinya agak lega mendengar janji ayahnya itu. Hatinya jadi terhibur, apa lagi di situ terdapat Lian Hong yang dicintanya dan setelah dia pulang, maka pergaulannya dengan Lian Hong semakin akrab.
Selanjutnya,