Pendekar Sadis Jilid 37

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Episode Pendekar Sadis Jilid 37 Karya Kho Ping Hoo

Pendekar Sadis Jilid 37

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PARA tamu terbelalak keheranan, terutama sekali para tokoh kang-ouw yang hadir. Mereka semua tak mengenal siapa adanya wanita ini, akan tetapi semuanya takjub menyaksikan kelihaiannya. Maka keadaan menjadi berisik, semua tamu saling bertanya siapa adanya wanita yang mengaku bernama Toan Kim Hong ini.

Kini perkelahian itu mencapai puncaknya. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga tubuh kedua orang itu sudah lenyap terbungkus gulungan sinar biru yang makin mengecil sedangkan dua gulungan sinar hitam makin menghimpit.

Akhirnya terdengar suara keras dari beradunya pedang, gulungan sinar pedang terhenti dan tubuh Kong Liang terhuyung ke belakang, mukanya pucat dan peluhnya membasahi dahi dan leher. Sebaliknya, Kim Hong berdiri tegak dengan sepasang pedang bersilang di depan dada, mulutnya tersenyum.

Dalam jurus terakhir, biar pun dia tidak berhasil merobohkan Kong Liang karena memang pemuda itu memiliki dasar ilmu yang tinggi dan kokoh, namun dia telah mendesaknya dan membuat Kong Liang terhuyung. Pemuda ini pun maklum bahwa kalau saat dia terhuyung tadi lawannya mendesak, bukan tak mungkin dia akan celaka dan dirobohkan. Akan tetapi tentu saja Kim Hong tidak menghendaki hal itu terjadi, dia tidak mau merobohkan paman dari kekasihnya.

“Kim Hong, jangan kurang ajar engkau!” Tiba-tiba nampak tubuh Thian Sin berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di atas panggung, menegur Kim Hong yang hanya tersenyum-senyum. Thian Sin lalu menjura kepada Kong Liang dengan hati tidak enak sekali.

“Paman, maafkanlah kelancangan nona ini…” Thian Sin memberi hormat kemudian cepat menyambung, “biarkanlah aku yang mintakan maaf, paman.”

Cia Kong Liang berdiri dengan muka pucat, lalu menarik napas panjang dan menyimpan pedangnya, sejenak menatap tajam kepada Thian Sin tanpa menjawab, lalu membalikkan tubuhnya dan kembali ke tempat duduknya.

Wajah Thian Sin berubah merah sekali. Dia maklum betapa pamannya itu, putera dari adik neneknya, memandang rendah kepadanya, bahkan agaknya tidak mau mengenalnya lagi. Dia memandang marah kepada Kim Hong dan berbisik, “Kau mencari gara-gara!”

Kim Hong tersenyum. “Hi-hik, bukankah aku telah membuka jalan bagimu? Sekarang kau hadapi sendiri!” Gadis itu pun melayang turun lantas duduk di sudut menjauhi para tamu lain.

Para tamu memperhatikan wanita ini, tetapi Kim Hong bersikap tak acuh dan memandang ke panggung karena pemuda tampan yang baru muncul itu sudah berkata dengan suara lantang. Apa lagi karena semua orang sudah menduga bahwa tentu pemuda itulah yang berjuluk Pendekar Sadis, yang amat ditakuti oleh orang-orang dunia hitam. Dan di antara mereka yang pernah melihat Thian Sin, sudah menjadi pucat mukanya karena memang benar bahwa yang kini berdiri di atas panggung itu adalah sang pendekar yang ditakuti itu.

“Seperti tadi telah dikatakan oleh temanku Nona Toan Kim Hong, kedatanganku ini adalah hendak menantang Tung-hai-sian Bin Mo To untuk mengadu ilmu! Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan Tung-hai-sian dan sepanjang pendengaranku, walau pun dia seorang datuk kaum sesat, namun tindakan Tung-hai-sian tak pernah sewenang-wenang. Hanya karena aku sudah pernah bersumpah serta bertekad hendak mengalahkan empat datuk di dunia, maka sekarang aku datang untuk menantang Tung-hai-sian mengadu ilmu dan menentukan siapa di antara kami berdua yang lebih unggul. Tung-hai-sian Bin Mo To harap suka keluar dan jangan melibatkan orang lain. Marilah kita mulai dengan disaksikan oleh banyak tokoh segala kalangan.”

Tung-hai-sian yang telah melepaskan julukan itu menjadi Bin Mo To biasa, kini melangkah maju dengan tindakan tenang menghadapi Thian Sin. Dia menjura dan berkata, “Sebagai tuan rumah kami mengucapkan selamat datang kepada Pendekar Sadis yang sudah lama kami dengar namanya. Tidak hanya mendengar sebagai Pendekar Sadis, akan tetapi juga sebagai putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang sangat terkenal. Orang muda, sudah kukatakan tadi bahwa Tung-hai-sian kini sudah tidak ada lagi, yang ada hanyalah pedagang Bin Mo To yang tidak mau mencampuri urusan kang-ouw, tidak mau lagi aku mempergunakan kekerasan dan buktinya adalah ini!”

Dengan gerakan yang amat cepatnya kakek itu mengambil pedang samurainya sehingga terlihat kilat menyambar dan mengejutkan hati Thian Sin yang telah bersiap-siap. Memang gerakan Bin Mo To mencabut pedang samurai tadi sungguh cepat sekali. Akan tetapi…

“Trakk!” terdengar bunyi nyaring dan pedang samurai itu sudah patah menjadi dua potong di tangan kakek itu. Dan kini nampak ada dua butir air mata di bawah mata pendekar Jepang itu ketika dia memegangi potongan samurai, menarik napas panjang dan berkata lagi.

“Orang muda, entah sudah berapa banyaknya nyawa melayang dan darah mengalir oleh samurai ini. Dan sekarang, seperti juga patahnya samurai ini, sudah patah semangat saya untuk mempergunakan kekerasan. Biarlah aku mengaku kalah darimu, dan kalau engkau masih belum puas juga sehingga hendak menyerang dan hendak membunuhku, silakan!” Kakek pendek itu membusungkan dada seperti menantang Thian Sin untuk memukul dan membunuhnya. “Tapi yang kau bunuh bukan Tung-hai-sian Si Datuk Timur, melainkan Bin Mo To saudagar biasa!”

Menghadapi sikap seperti itu, Thian Sin menjadi ragu-ragu dan bingung bagaimana harus bicara atau bertindak.

“Orang muda, maafkan jika aku yang tua memberi peringatan kepadamu. Sudah puluhan tahun aku berkecimpung di dalam dunia kang-ouw sehingga aku tahu benar bahwa nama besar hanyalah kosong belaka, hanya mengundang datangnya orang yang merasa iri hati dan musuh-musuh yang ingin melihat kita terjungkal. Mengapa engkau yang muda, yang gagah perkasa, mencari permusuhan secara berlebihan seperti ini? Ingatlah bahwa makin tinggi kedudukan seseorang, makin terkenal namanya, akan makin menyakitkan apabila sekali waktu dia terjungkal dari kedudukannya. Mengapa engkau yang masih begini muda hendak memaksa kedudukan tinggi dengan kekerasan? Seingatku, tidak ada orang yang terkenal di dunia ini sebab sekali waktu akan bertemu dengan yang lebih pandai dan yang akan merobohkannya.”

“Wah-wah-wah, sekali menanggalkan julukannya, Tung-hai-sian berubah menjadi tukang kibul!” tiba-tiba Kim Hong berseru dan dara ini telah meloncat lagi naik ke atas panggung, tak sempat dicegah oleh Thian Sin. “Tua bangka, tidak perlu banyak cakap. Kalau engkau memang jeri dan takut melawan Pendekar Sadis, hayo lawanlah aku, ingin kulihat sampai di mana sih kepandaian orang yang berani mengangkat dirinya menjadi datuk timur?”

“Nona muda, aku belum mengenalmu, mengapa engkau sengaja hendak menghina orang tua?” kata Tung-hai-sian dengan sabar. “Sesudah melihat sepasang pedang dan ilmumu, aku yakin bahwa engkau masih mempunyai hubungan dengan Lam-sin, datuk selatan itu. Kenapa engkau tiba-tiba memusuhiku?”

“Lam-sin sudah tidak ada, yang ada hanya Toan Kim Hong dan kalau engkau tidak berani menghadapi Pendekar Sadis, biarlah kau hadapi aku saja yang menantangmu!”

“Bocah bermulut lancang dan bersikap sombong!” tuba-tiba terdengar bentakan nyaring.

Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan Yap In Hong telah berdiri di situ. Nenek yang usianya hampir enam puluh tahun ini masih gesit sekali dan kini mukanya merah, kedua matanya berkilat dan jelas bahwa dia marah sekali. Ia memandang kepada Thian Sin dan menudingkan telunjuknya kepada pemuda itu.

“Ceng Thian Sin! Bagus sekali, engkau telah menjadi seorang manusia keji yang berjuluk Pendekar Sadis! Engkau agaknya mewarisi ambisi ayah kandungmu, akan tetapi engkau malah memalukan mereka yang menjadi nenek moyangmu. Hayo, majulah dan tandingi aku! Aku ingin sekali mengetahui sampai di mana kesadisanmu!” Nenek ini menantang-nantang dengan penuh kemarahan.

“Ahh… tidak… tidak…!” Thian Sin mundur-mundur menjauhi nenek itu dengan bingung.

Kini Yap In Hong menghampiri Kim Hong. “Dan engkau, engkau bocah perempuan tidak tahu malu, sombong dan tak tahu aturan! Engkau mencari musuh? Mari, mari kau hadapi aku. Jangan panggil aku Yap In Hong kalau aku mundur setapak dalam menghadapimu. Mari kita bertanding sampai salah seorang dari kita mampus di tempat ini!”

Kim Hong terkejut melihat nenek yang sangat galak luar biasa ini. Namun diam-diam dia merasa kagum sekali. Biar pun sudah tua, nenek ini tetap cantik dan penuh semangat dan jelaslah bahwa dahulu tentu merupakan seorang pendekar wanita yang hebat. Dan ketika mendengar namanya, yaitu Yap In Hong, tahulah dia bahwa memang nenek ini seorang pendekar wanita yang luar biasa, yaitu isteri dari ketua Cin-lin-pai. Akan tetapi tentu saja ia tidak bisa digertak seperti Thian Sin karena ia tidak mengenal nenek ini dan juga bukan apa-apanya. Maka dia tersenyum mengejek.

“Wah, galak-galak amat kau, nenek tua!”

“Keparat, terimalah seranganku!” bentak Yap In Hong.

Wanita ini sudah menerjang dengan kemarahan meluap-luap. Begitu menerjang maju, dia sudah menggunakan Ilmu Thian-te Sin-ciang yang ampuh itu. Melihat datangnya pukulan yang membawa angin berdesir dahsyat ini, Kim Hong juga cepat-cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

“Dukk! Dukkk!”

Dua kali kedua lengan wanita itu bertemu dan akibatnya, keduanya segera terdorong ke belakang. Tentu saja Kim Hong terkejut bukan main. Benar dugaannya bahwa nenek ini merupakan seorang lawan yang sangat tangguh. Maka dia pun mengeluarkan bentakan marah dan membalas serangan itu yang dapat ditangkis pula oleh Yap In Hong.

“Kim Hong, jangan melawan! Jangan kurang ajar!” Thian Sin berseru, akan tetapi Kim Hong tidak mau mempedulikannya dan dia memang sudah saling gempur dengan nenek itu, saling pukul dengan marah seperti dua ekor singa betina yang memperebutkan seekor domba.

Tiba-tiba berkesiur angin dan terdengar bentakan, “Tahan!”

Pada saat itu juga Kim Hong sedang menyerang lawannya, akan tetapi tangannya segera bertemu dengan tangan yang luar biasa kuatnya, yang membuat ia terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung. Dia terkejut sekali dan melihat bahwa di depannya telah berdiri seorang kakek yang gagah perkasa, yang matanya mencorong bagaikan mata naga sakti dan tahulah dia bahwa di hadapannya itu berdiri ketua Cin-ling-pai! Maka, diam-diam Kim Hong merasa kagum bukan main. Keluarga Cia ini memang hebat sehingga dia sungguh ragu-ragu apakah dia akan mampu menandingi ketua Cin-ling-pai ini.

Sementara itu, Thian Sin sudah melangkah maju dan menghalang di depan Kim Hong lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan Cia Bun Houw. “Mohon maaf… mohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya sungguh tak mengira bahwa Locianpwe Tung-hai-sian kini telah berbesan dengan keluarga Cia… maka harap sudi memberi ampun dan sekalian saya pun menghaturkan selamat atas perjodohan Paman Cia Kong Liang dengan Nona Bin Biauw. Sekali lagi maaf!”

Sesudah memberi hormat, dia pun lalu bangkit berdiri, memegang tangan Kim Hong dan menariknya dengan paksa meninggalkan tempat itu. Dengan beberapa kali loncatan saja, kedua orang muda itu pun lenyap dari tempat itu.

“Bukan main…!” Terdengar Bin Mo To berseru kagum. “Dia betul-betul seorang pendekar yang masih muda dan hebat! Dan wanita itu… ahh, benarkah dia murid Lam-sin?”

Pesta perayaan dilanjutkan dan munculnya Pendekar Sadis itu tentu saja menjadi bahan percakapan dari para tamu sambil menikmati hidangan yang dikeluarkan sedikit terlambat berhubung dengan adanya gangguan yang tidak tersangka-sangka tadi.

Sementara itu, Kim Hong yang ditarik dan diajak pergi dengan setengah paksa oleh Thian Sin, tiada hentinya mengomel panjang pendek.

“Engkau memang seorang manusia yang tidak berjantung!” Akhirnya Kim Hong berkata marah dan berhenti, mogok berjalan.

“Ehh? Tidak berjantung?” Thian Sin memandang heran.

“Ya, tidak berjantung, tidak mengenal budi!”

“Apa maksudmu, Kim Hong?”

“Aku mati-matian membelamu dan membantumu, engkau tak berterima kasih sebaliknya engkau malah membikin malu kepadaku! Engkau mau saja mengalah, mau saja mundur teratur, bukankah itu memalukan aku yang sudah terlanjur menantang-nantang?”

“Ah, engkau tentu mengerti bahwa tidak mungkin aku bisa menghadapi ketua Cin-ling-pai sebagai lawan, Kim Hong.”

“Huh! Engkau takut? Kalau engkau ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia, mengapa takut melawan ketua Cin-ling-pai?” Kim Hong mencela.

“Kim Hong, cita-citaku hanya ingin menundukkan dan mengalahkan seluruh tokoh kaum sesat di dunia hitam saja, sama sekali bukan ingin mengalahkan seluruh pendekar. Tidak mungkin aku melawan keluarga Cia, karena kalau demikian aku tentu akan berhadapan dengan ayah angkatku sendiri, Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong. Itu sungguh tidak mungkin, Kim Hong. Dan sekarang sesudah Tung-hai-sian menjadi besan keluarga Cia di Cin-ling-pai, berarti keluarganya juga sudah menjadi keluargaku, bukan orang lain. Mana mungkin aku memusuhinya? Apa lagi engkau melihat sendiri tadi, sekarang Tung-hai-sian sudah tidak ada, datuk timur sudah tidak ada dan Bin Mo To menjadi seorang saudagar biasa.”

“Huh!” Kim Hong masih terus merajuk. Thian Sin tersenyum dan merangkulnya, kemudian menciumnya dengan mesra sambil berbisik.

“Betapa pun, aku berterima kasih kepadamu, sayang, atas semua bantuanmu.”

“Hemm, hanya cukup dengan terima kasih saja?”

“Habis, engkau mau apa lagi? Katakanlah, aku tentu akan mau membantumu, biar harus bertaruh nyawa sekali pun!” kata Thian Sin sungguh-sungguh.

Thian Sin mempererat pelukannya dan hendak mencium. Akan tetapi Kim Hong langsung melepaskan diri dan berkata, “Nanti dulu, benarkah engkau mau membantuku walau pun dengan taruhan nyawa?”

“Tentu saja… asal engkau tidak minta aku memusuhi keluarga para pendekar Cin-ling-pai atau keluarga Cia…”

“Tidak, akan tetapi untuk menghadapi seorang lain yang mungkin belum kau kenal.”

“Siapakah dia? Dan kenapa engkau harus menghadapinya sebagai lawan?”

“Dia adalah musuh ayah… atau orang yang membuat ayah terpaksa harus bersembunyi di pulau kosong sampai matinya. Nah, semenjak dulu aku bercita-cita untuk menghadapi orang itu dan membalas dendam ayah.”

“Kenapa sampai sekarang belum juga kau lakukan? Bukankah dengan kepandaianmu…”

“Aku takkan dapat menang melawannya. Ayah sendiri pun dulu sampai jeri karena orang itu sangat lihai, kepandaiannya melebihi ayah. Kalau engkau membantu, nah, kita berdua tentu akan mampu mengalahkannya. Dan engkau tadi telah berjanji untuk membantuku.”

“Ceritakanlah, siapa dia dan bagaimana dia bermusuhan dengan mendiang ayahmu.”

Kim Hong lantas bercerita. Toan Su Ong, ayah Kim Hong, adalah seorang pangeran yang suka memberontak dan menentang kebijaksanaan kaisar yang dianggap tidak bijaksana. Dia dianggap pemberontak sehingga pangeran ini pun melarikan diri dari kota raja sebagai seorang buronan dan pemberontak.

Pangeran Toan Su Ong tidak merasa gentar menghadapi pengejaran kaisar, namun ada seorang yang ditakuti, yaitu seorang suheng-nya yang sesudah gurunya meninggal dunia boleh dibilang menjadi wakil gurunya pula. Suheng-nya itu memiliki ilmu silat yang hanya satu tingkat lebih tinggi dari padanya, dan pada saat Toan Su Ong telah menikah dengan pendekar wanita Ouwyang Ci, dengan kepandaian mereka berdua tentulah mereka akan dapat mengalahkan suheng itu. Akan tetapi suheng-nya memiliki sebuah bendera pusaka peninggalan suhu mereka dan sebagai seorang murid yang berbakti, Toan Su Ong tidak berani melawan bendera ini.

Pada waktu itu, hal seperti ini tidak aneh. Seorang murid paling takut terhadap gurunya, dan pesan seorang guru akan ditaati sampai selama hidupnya. Karena itu Toan Su Ong juga tidak berani melawan suheng-nya yang memegang bendera pusaka itu, seolah-olah suheng-nya itu menjadi gurunya yang telah tiada.

Karena rasa takutnya terhadap suheng-nya yang membantu kaisar untuk mengejarnya, maka Toan Su Ong hidup terlunta-lunta dan akhirnya bersembunyi di pulau kosong, yaitu Pulau Teratai Merah, sampai tiba ajalnya pada waktu dia tewas di tangan isterinya sendiri karena cekcok. Hal ini diketahui oleh Kim Hong karena dia mendengar penuturan ibunya.

Mendengar penuturan ini, Thian Sin mengangguk-angguk. Memang, bagaimana pun juga, mendiang ayah Kim Hong terlunta-lunta akibat suheng-nya itulah, atau supek (Uwa Guru) dari Kim Hong. Maka dianggapnya sebagai hal yang sepantasnya bila Kim Hong menaruh dendam lantas hendak membalas sakit hati ayahnya karena ayahnya sendiri dahulu tidak berani melawannya.

“Akan tetapi, apakah supek-mu itu sekarang masih hidup? Siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya?”

“Ketika aku masih menjadi Lam-sin, pernah hal itu kusuruh anak buahku menyelidiki dan sudah kutemukan di mana adanya musuh besar ayahku itu. Akan tetapi, aku tahu bahwa aku bukanlah tandingannya, maka aku terus menahan sabar sampai aku bertemu dengan engkau. Kini dia telah mengasingkan diri sesudah menerima pahala dari kaisar sebagai seorang pendekar yang berjasa besar untuk negara! Namanya lantas dijunjung tinggi oleh semua orang! Padahal, bagiku dia adalah pengkhianat yang mencelakakan ayahku, adik seperguruannya sendiri. Aku harus menandinginya, baik engkau mau membantuku atau tidak!” Gadis itu mengepal tinju.

“Tenanglah, Kim Hong. Aku pasti membantumu. Teruskan ceritamu. Siapa namanya dan di mana dia kini berada.”

“Dahulu ketika dia masih menjadi penjilat kaisar, namanya adalah Gouw Gwat Leng. Akan tetapi menurut hasil penyelidikan anak buahku ketika itu, kini dia sudah menjadi seorang tosu dan berjuluk Jit Goat Tosu dan bertapa di dalam kuil para tosu Kun-lun-pai…”

“Ahh! Di Kun-lun-pai?”

Kim Hong mengangguk. “Dia bertapa di dalam kuil dan kadang-kadang di dalam goa di daerah Pegunungan Kun-lun-san yang masih termasuk daerah Kun-lun-pai.”

Thian Sin mengerutkan alisnya. “Apakah dia seorang tokoh Kun-lun-pai?”

Gadis itu menggeleng kepalanya. “Bukan. Perguruan mendiang Ayah bukan Kun-lun-pai, melainkan perguruan yang tidak memiliki partai karena ilmu yang diwarisi oleh ayah dan suheng-nya adalah ilmu keluarga. Akan tetapi setelah tua, agaknya suheng dari mendiang ayah itu tertarik oleh Agama To dan masuk menjadi tosu dan mungkin karena bersahabat dengan para tosu Kun-lun-pai maka dia lalu menggabungkan diri atau mempelajari tentang agama di kuil Kun-lun-pai itu?”

Thian Sin menarik napas panjang dengan hati lapang. “Masih baik kalau dia bukan tokoh Kun-lun-pai, Kim Hong.”

“Andai kata dia adalah anggota Kun-lun-pai, engkau menjadi jeri dan takut kemudian tidak berani membantuku?”

“Bukan jeri mau pun takut, melainkan khawatir sekali. Engkau tentu tahu bahwa di antara para tokoh dunia persilatan, yang paling terkenal adalah tokoh-tokoh dari partai persilatan besar dan di antaranya adalah Kun-lun-pai. Kalau sampai engkau menanam permusuhan dengan Kun-lun-pai, maka sungguh sama artinya dengan bermusuhan melawan seluruh pendekar persilatan. Akan tetapi, musuhmu itu bukan murid dan bukan tokoh Kun-lun-pai, maka legalah hatiku.”

“Kau mau membantuku mencarinya ke Kun-lun-pai?”

“Tentu saja aku mau!”

“Kalau perlu dengan taruhan nyawa?”

Thian Sin mengangguk dan mendadak Kim Hong menubruk dan merangkul, menciuminya sampai dia hampir terjengkang. Thian Sin tertawa dan tenggelam dalam kemesraan yang terdorong oleh rasa girang dan terima kasih gadis itu.

********************

Kun-lun-pai adalah sebuah di antara partai-partai persilatan terbesar di seluruh Tiongkok. Bila Siauw-lim-pai semenjak pertama dipimpin oleh para tokoh beragama Buddha, maka Kun-lun-pai pada beberapa abad terakhir ini dipimpin oleh para tokoh beragama To yang berilmu tinggi.

Seperti juga Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai mempunyai banyak sekali murid-murid yang lihai, bahkan kalau Siauw-lim-pai agak ketat mengambil murid yang bukan hwesio, Kun-lun-pai memiliki banyak murid yang menjadi anggota Agama To atau To-kauw. Memang dalam hal tata tertib keagamaan, Agama To-kauw agak lebih bebas dari pada Agama Hud-kauw (Buddhis).

Akan tetapi, mengenai tertib pelajaran ilmu silat, Kun-lun-pai juga sangat ketat menjaga murid-muridnya dan baru membiarkan atau memperbolehkan seorang murid Kun-lun-pai ‘turun gunung’ kalau ilmu silatnya telah mencapai tingkat tinggi dan sudah lulus dari ujian. Hal ini selalu dilakukan oleh partai-partai persilatan besar untuk menjaga nama mereka, sehingga para murid itu kelak tidak akan memalukan nama partai kalau sampai bergerak di dunia ramai.

Agaknya karena ada peraturan yang keras inilah maka nama partai-partai seperti Siauw-lim-pai atau Kun-lun-pai menjadi makin terkenal, karena setiap murid dari kedua partai ini selalu mampu mengangkat nama besar perkumpulan dengan sepak terjang mereka yang gagah dan juga lihai.

Yang menjadi pimpinan dari Kun-lun-pai pada waktu itu adalah Kui Im Tosu dan Kui Yang Tosu, dua orang tosu yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun, dan tentu saja selain kedua orang yang tingkatnya tertinggi di Kun-lun-pai ini, masih ada beberapa orang sute mereka yang menjadi pembantu-pembantu mereka di dalam mengurus perkumpulan yang mempunyai banyak anggota itu.

Kui Im Tosu merupakan ketuanya dan tosu ini lebih banyak berdiam di kuil, bertapa atau mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan kepada para murid, dan kalau pun dia mengajarkan ilmu silat, maka yang diajarkan hanyalah murid-murid tingkat tinggi saja. Yang bertugas keluar adalah wakilnya, yaitu sute-nya yang bernama Kui Yang Tosu. Oleh karena itu, yang lebih banyak dikenal oleh dunia luar terutama di dunia persilatan, adalah Kui Yang Tosu.

Kedua orang tosu ini jarang memperlihatkan ilmu kepandaian mereka. Akan tetapi melihat sepak terjang para murid mereka, yaitu para jagoan atau pendekar-pendekar Kun-lun-pai yang demikian lihai dan gagah, mudah diduga bahwa kedua orang tosu ini telah mencapai tingkat yang tinggi dalam ilmu silat.

Murid-murid Kun-lun-pai tersebar luas di seluruh pelosok, dan yang tinggal di dalam kuil hanyalah belasan orang tosu sebagai penghuni tetap, dan sekarang ada dua puluh lebih murid-murid yang belum lulus dari tempat penggemblengan jiwa raga itu. Perumahan bagi para penghuni kuil dan para murid ini dikurung oleh pagar tembok yang tingginya ada tiga meter, di lereng Pegunungan Kun-lun-san.

Di dalam daerah yang cukup luas ini terdapat sebuah kuil besar dan di belakang kuil inilah tempat para murid yang tinggal dalam rumah-rumah yang dibangun untuk mereka, berupa bangunan panjang. Daerah ini luas sekali, ada tamannya, ada kebun di mana mereka menanam sayur-sayur dan berladang, ada pula kebun yang penuh pohon-pohon berbuah. Bahkan ada pula bagian bukit yang berbatu-batu dan mempunyai banyak goa-goa buatan alam di mana sering dipergunakan oleh para murid Kun-lun-pai untuk bersemedhi sebagai penggemblengan batin.

Karena tempat itu memang amat sunyi dan jarang sekali didatangi orang luar, maka para murid Kun-lun-pai dapat melatih diri tanpa ada gangguan dan bisa mencurahkan perhatian mereka baik terhadap pelajaran silat mau pun pelajaran agama sebagai penggemblengan mental. Seluruh perguruan silat yang tinggi, juga para guru silat yang benar-benar baik, tidak pernah melupakan penggemblengan mental ini, karena mereka semua tahu benar betapa berbahayanya kalau orang muda dibiarkan belajar ilmu silat tanpa disertai dengan penggemblengan watak dan batin ini.

Ilmu silat sama dengan senjata yang ampuh dan berbahaya, maka kalau sampai terjatuh ke tangan orang yang tak kuat batinnya, tentu saja dengan mudah akan disalah gunakan, diambil manfaatnya untuk keuntungan diri sendiri hingga muncullah perbuatan-perbuatan sewenang-wenang mengandalkan ilmu silat.

Sebaliknya, bila mana ilmu silat dikuasai oleh orang yang memiliki batin yang kuat, maka ilmu itu akan berguna sekali, baik bagi diri sendiri mau pun bagi masyarakat, karena ahli silat yang bermoral tinggi tentu akan mempergunakannya untuk membela kebenaran dan keadilan, menentang yang lalim dan membela yang lemah.


Walau pun tempat itu merupakan pegunungan yang sunyi dan aman, namun para murid Kun-lun-pai tak pernah lengah dalam melakukan penjagaan secara bergilir. Mereka tidak memusuhi orang-orang tertentu, akan tetapi mereka juga tahu bahwa Kun-lun-pai banyak dimusuhi orang-orang dari golongan hitam, yaitu mereka yang tergolong sebagai penjahat-penjahat dan yang pernah ditentang oleh para murid Kun-lun-pai sebagai musuh.

Pula, selain untuk menjaga segala kemungkinan buruk, penjagaan itu juga merupakan pelaksanaan ketertiban yang dilaksanakan dengan ketat, yaitu para murid yang sedang digembleng di asrama itu tidak diperkenankan keluar tanpa ijin dari guru mereka.

Kui Im Tosu dan Kui Yang Tosu memimpin Kun-lun-pai dengan bijaksana sehingga nama partai persilatan itu menjadi semakin terkenal. Digalangnya persatuan dan persahabatan yang makin erat dengan partai-partai bersih lainnya, maka nama Kun-lun-pai dibicarakan dengan rasa hormat dan segan.

Hal ini dimengerti benar oleh Thian Sin dan juga Kim Hong yang melakukan perjalanan jauh menuju ke Pegunungan Kun-lun-san itu. Mereka sudah melakukan penyelidikan dan mendengar betapa angkernya nama Kun-lun-pai sehingga mereka telah bersepakat untuk bersikap hati-hati dan sedapat mungkin menghindarkan bentrokan atau kesalah pahaman dengan fihak Kun-lun-pai.

Karena nama besar Kun-lun-pai itulah maka biar pun pada suatu senja mereka telah tiba di daerah Kun-lun-pai, mereka tidak mau mengunjungi asrama itu di waktu malam karena mereka menganggap hal itu kurang sopan. Juga mereka segera membuang niat mereka untuk melakukan penyelidikan secara diam-diam, yaitu dengan menggunakan kepandaian untuk malam-malam memasuki asrama secara menyelundup.

Mereka bersikap sangat berhati-hati, sebab memasuki Kun-lun-pai sebagai maling adalah perbuatan yang amat berbahaya dan sukar, juga kalau sampai mereka ketahuan, hal itu tentu akan menimbulkan permusuhan dan akan mempersulit maksud mereka berurusan dengan Jit Goat Tosu tanpa melibatkan Kun-lun-pai.

Mereka lalu bermalam di sebuah goa batu yang banyak terdapat tidak jauh dari asrama Kun-lun-pai itu. Baru pada keesokan harinya setelah matahari naik tinggi, setelah mereka membersihkan diri di sumber air dan sarapan pagi daging ayam hutan panggang, mereka berdua pergi mengunjungi asrama Kun-lun-pai.

Kuil Kun-lun-pai bukanlah kuil umum di mana orang umum suka datang bersembahyang, melainkan kuil yang khusus digunakan belajar agama oleh para murid Kun-lun-pai. Oleh karena itu, tidak ada orang luar yang datang bersembahyang. Maka, ketika Thian Sin dan Kim Hong tiba di pintu gerbang asrama di mana terpancang sebuah papan nama dengan huruf-huruf besar yang berbunyi KUN LUN PAI, beberapa orang tosu dan beberapa orang murid Kun-lun-pai yang bertugas jaga segera menyambut mereka dengan pandang mata heran dan juga bercuriga.

“Ji-wi (anda berdua) siapakah dan ada keperluan apakah mengunjungi tempat kami ini?” salah seorang di antara para murid yang bertugas jaga bertanya tanpa menyembunyikan kekaguman terhadap Kim Hong, kekaguman yang jujur, tanpa mengandung birahi atau pun sikap kurang ajar.

“Kami mohon bertemu dengan ketua Kun-lun-pai,” kata Thian Sin, sikapnya hormat dan bicara singkat, setelah dia dan Kim Hong memberi hormat dan dibalas oleh mereka.

“Maaf,” kata salah seorang di antara para tosu, “akan tetapi sungguh tidak mudah untuk menghadap para pimpinan kami. Ketua kami sibuk dengan pekerjaan beliau atau sedang siulian (semedhi), sedangkan wakil ketua kami juga lebih banyak lagi pekerjaannya. Kalau tidak ada keperluan yang penting sekali, kami sungguh tidak berani lancang mengganggu beliau berdua.”

“Totiang,” kata Kim Hong. “Kalau tidak ada keperluan penting, untuk apa kami jauh-jauh datang ke tempat sunyi seperti ini? Terus terang saja, yang memiliki kepentingan adalah aku, sedangkan kawanku ini hanya menemaniku saja. Nah, sekarang bagaimana caranya kalau kami hendak menghadap para pimpinan?”

“Caranya hanya satu, yaitu lebih dulu nona memperkenalkan nama dan memberi tahukan kepentingan nona agar dapat kami laporkan kepada pimpinan. Itu pun belum dapat kami menanggung bahwa nona akan pasti diterima menghadap, namun setidaknya kedatangan nona akan kami sampaikan sebagai laporan.”

“Baiklah, katakan bahwa aku Toan Kim Hong bersama temannya minta dapat menghadap pimpinan Kun-lun-pai karena ada urusan yang amat penting.”

“Maaf, Nona Toan. Kami minta agar urusan itu disebutkan sehingga kalau pimpinan kami menanyakan, kami bisa menjawab sehingga tidak akan mendapat teguran. Kami tak ingin permintaan nona ditolak hanya karena nona tidak memberi tahukan kepentingan nona.”

Kim Hong mengerutkan alisnya. Bagaimana pun juga, permintaan tosu ini masuk di akal dan pantas, maka terpaksa dia pun harus mengaku terus terang. “Aku minta menghadap pimpinan Kun-lun-pai untuk minta perkenan mereka agar aku diijinkan bertemu dengan Jit Goat Tosu yang sedang bertapa di daerah Kun-lun-pai.”

Tosu itu nampak terkejut. “Siancai…,” katanya lirih penuh keheranan karena sebenarnya dia sendiri sudah hampir lupa terhadap seorang kakek yang telah bertahun-tahun bertapa di dalam goa di sebelah belakang ladang Kun-lun-pai di belakang perumahan itu. Seorang kakek yang penuh rahasia dan yang menurut pimpinan Kun-lun-pai, amat sakti dan tidak boleh diganggu sama sekali.

“Ada apa, totiang? Aku sudah berterus terang, masih kurang apa lagi?”

“Ahh, tidak apa-apa, nona. Baik, kami akan segera melaporkan ke dalam dan harap ji-wi sudi menanti sebentar di luar.”

Dan pintu gerbang itu lalu ditutup dari dalam! Kim Hong saling pandang dengan Thian Sin dan pemuda ini hampir tertawa melihat wajah yang muram dan jengkel itu.

“Tenang dan sabar sajalah. Tiada gunanya jengkel.”

“Kalau para tosu itu mempersulit, jangan salahkan aku kalau aku mencari sendiri tanpa seijin mereka!” Gadis itu mengancam dengan hati mengkal dan melihat keadaan gadis itu, Thian Sin merasa lebih aman untuk berdiam diri saja.

Tak lama kemudian daun pintu itu terbuka lagi, sekarang terbuka kedua-duanya sehingga nampaklah sebelah dalam pekarangan depan yang luas itu. Para penjaga kini nampak berbaris rapi, dan selain para tosu yang tadi, kini nampak tiga orang tosu yang lain yang lebih tua dan melihat sikap mereka dapat diduga bahwa tentu tingkat mereka lebih tinggi dari pada para tosu pertama.

Seorang di antara mereka, yang memiliki tahi lalat pada dagunya, dengan pandang mata penuh selidik memandang kepada kedua orang tamunya, terutama kepada gadis yang katanya hendak bertemu dengan Jit Goat Tosu itu.

“Siancai… Nona yang masih begini muda berkeras hendak bicara dengan pimpinan kami. Akan tetapi pimpinan kami sedang amat sibuk dan tentu saja tak mempunyai waktu untuk melayani segala macam orang, terkecuali orang-orang istimewa yang memiliki keperluan istimewa pula.”

“Hmm, totiang, tak perlu bicara seperti teka-teki. Katakanlah, macam yang bagaimanakah orang istimewa itu?” Kim Hong bertanya, menahan kemarahannya dan masih tersenyum, walau pun dia merasa dipandang rendah.

“Melihat sikap nona, tentu nona adalah seorang yang biasa berkelana di dunia kang-ouw, maka ucapan pinto tadi kiranya sudah cukup jelas. Hanya tokoh kang-ouw yang memiliki kepandaian saja yang kiranya cukup berharga untuk berhadapan dengan pimpinan kami, ada pun tokoh kang-ouw biasa, cukuplah berurusan dengan kami, para murid Kun-lun-pai. Tidak tahu apakah nona termasuk golongan pertama ataukah ke dua.”

Hati Kim Hong mulai menjadi panas. “Totiang, hal-hal apakah yang harus kulakukan untuk membuktikan kepada kalian di sini golongan mana aku termasuk?”

“Maaf nona. Akan tetapi setiap perkumpulan mempunyai peraturan masing-masing dan Kun-lun-pai juga tidak terkecuali. Kami di sini mempunyai peraturan yang telah ditentukan sejak dulu. Di antara para tamu kami bagi menjadi tiga golongan. Golongan paling rendah adalah mereka yang tidak sanggup melewati kami dan golongan ini cukup membicarakan keperluannya dengan kami saja. Ada pun golongan ke dua adalah para tamu yang meski pun mampu melewati kami namun tidak mampu melewati para suheng kami di ruangan tengah dan golongan itu pun cukup disambut dan dilayani oleh para suheng kami itu. Ada pun golongan pertama haruslah dapat melewati kami dan kemudian melewati pula para suheng kami di ruangan tengah. Barulah dia berhak untuk bicara dengan pimpinan kami.”

“Begitukah? Kenapa tidak sejak tadi kalian memberi tahu kepadaku? Nah, lekas susunlah barisanmu, totiang, hendak kulihat sampai di mana kehebatan barisan Kun-lun-pai!” Kim Hong menantang, lantas dibisikkannya kepada Thian Sin. “Kau jangan mencampuri yang ini.”

Thian Sin tersenyum dan mengangguk. Tentu saja dia tidak mau mencampuri karena dia pun hanya hendak membantu kekasihnya kalau menghadapi musuh besarnya, Si Pertapa itu. Dia tidak mau bermusuhan dengan Kun-lun-pai dan dia pun tak ingin kalau Kim Hong bermusuhan dengan partai besar itu.

“Ingat, jangan lukai orang,” bisiknya dan Kim Hong mengangguk.

Sementara itu, tiga orang tosu yang baru datang itu sudah mengatur lima orang tosu dan sembilan orang anak murid Kun-lun-pai yang berpakaian biasa untuk membentuk barisan. Sembilan orang murid itu membentuk setengah lingkaran menghadang di depan, ada pun di belakangnya berdiri lima orang tosu yang memegang sebatang pedang. Sedangkan sembilan orang murid terendah dari Kun-lun-pai itu tetap bertangan kosong karena tugas mereka hanya mempergunakan tenaga mencegah wanita itu maju.

“Nona Toan Kim Hong, kami sudah siap, silakan melewati kami kalau kau mampu!” tosu yang dagunya bertahi lalat tiba-tiba berteriak.

Kim Hong tersenyum lalu dia melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba saja sembilan orang itu bergerak menghadangnya lalu ke mana pun dia melangkah, dia selalu bertemu dengan mereka yang terus membuat gerakan menghadang.

“Kenapa menghadang di jalan? Aku mau lewat!” kata Kim Hong dan dia melangkah maju terus.

Tentu saja dia tabrakan dengan seorang di antara mereka yang menghadang di jalan dan dengan menggerakkan sikunya, orang itu pun lantas terjengkang. Melihat ini, empat orang sudah menangkap kedua lengan dara itu, dua di kanan dan dua di kiri. Kedua lengannya dipegang kuat-kuat oleh empat orang laki-laki muda yang kokoh kuat dan terlatih.

Kim Hong masih tersenyum, tapi kemudian dia tiba-tiba menggerakkan kedua lengannya maka terdengarlah teriakan-teriakan ketika empat orang murid Kun-lun-pai itu terpelanting ke kanan dan ke kiri sampai beberapa meter jauhnya! Empat orang murid lain yang belum jatuh, cepat menubruk dari kanan dan kiri.

Akan tetapi dengan kecepatan yang luar biasa Kim Hong bergantian menggerakkan kaki kanan dan kiri dan tahu-tahu empat orang itu pun sudah roboh semua. Mereka tidak ada yang terluka, akan tetapi mengaduh-aduh karena bekas tendangan dan bekas terbanting itu cukup mendatangkan rasa nyeri, sementara itu dara yang mereka halangi telah lewat!

Kim Hong segera melangkah ke depan, menghadapi lima orang tosu yang memalangkan toya mereka dan begitu Kim Hong mendekat, mereka sudah mengurung dengan toya di tangan. Sementara itu, Thian Sin tersenyum melihat sembilan orang murid Kun-lun-pai berpelantingan tadi dan dengan lenggang seenaknya dia pun masuk mengikuti Kim Hong. Dia tidak mau campur tangan, hanya menonton saja.

Kim Hong sudah dikurung oleh lima orang tosu yang melihat gerakannya, tentu tidaklah selemah sembilan orang pertama tadi. Dan memang benarlah. Lima orang tosu ini adalah murid-murid tingkat tiga yang sudah memiliki dasar ilmu silat Kun-lun-pai yang kokoh kuat dan latihan yang cukup matang sungguh pun mereka belum mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari partai besar itu.

Namun ilmu toya mereka cukup hebat karena pada waktu itu, Kui Im Tosu telah berhasil mengembangkan Ilmu Toya Kim-kauw-pang-hoat, yaitu ilmu tongkat yang sumbernya dari ilmu tongkat tokoh dongeng Si Raja Monyet Sun Go Kong, dan ilmu tongkat ini diajarkan kepada murid-murid tingkat tiga. Lebih lagi, mereka berlima juga bergerak dalam barisan Ngo-heng-tin, maka mereka dapat bekerja sama sehingga seolah-olah tenaga lima orang digabung menjadi satu!

Kim Hong yang dikepung itu masih tersenyum tenang saja. “Sungguhkah kalian tidak mau memberi jalan kepada seorang muda seperti aku?” tanyanya.

Ditanya begini, lima orang tosu itu sejenak bingung. Menurut pantas memang nampaknya janggal apa bila lima orang pendeta seperti mereka tak mau mengalah terhadap seorang wanita muda yang mau lewat. Kesempatan ini cepat dipergunakan oleh Kim Hong untuk meloncat ke depan. Akan tetapi dua batang tongkat sudah memotong jalan menghadang dan dua tongkat lain mengancam ke atas kepala, ada pun tongkat ke lima dari belakang siap menyambar kakinya!

“Hebat!” katanya memuji karena memang gerakan refleks lima orang tosu itu sedemikian hebatnya.

Akan tetapi dia tidak menghentikan gerakannya dan cepat dia memegang dua tongkat di depannya, dengan gerakan tiba-tiba menarik dua tongkat itu ke atas sambil mengerahkan sinkang-nya kemudian tubuhnya meloncat untuk membiarkan tongkat yang menyambar kaki itu lewat.

“Trakk! Trakk!”

Dua tongkat yang dipegangnya itu menangkis tongkat yang menghantam dari atas.

Selain berhasil meloloskan diri dari serangan lima orang itu, juga dalam satu gebrakan ini Kim Hong sudah mampu mengacaukan mereka. Tetapi dengan gerakan sigap sekali lima orang tosu itu sudah dapat mengepungnya lagi sebelum dia mampu lewat!

Kim Hong tersenyum. “Bagus, Ngo-heng-tin yang hebat!” katanya memuji lantas tiba-tiba saja tubuhnya melayang ke atas!

Melihat ini, lima orang tosu itu cepat menggerakkan toya mereka menyerang dan mereka juga berlompatan. Akan tetapi, tubuh nona itu sudah berjungkir balik dan begitu kepalanya digerakkan, maka rambutnya berkelebat laksana ular dan melibat lima batang tongkat itu, kemudian tubuhnya membalik lagi dan kedua kakinya bergerak menendang ke arah lima tangan yang memegang tongkat.

Lima orang tosu itu terkejut bukan main ketika merasa betapa tongkat mereka tidak dapat mereka tarik kembali, sudah terbelit dengan sangat kuatnya oleh rambut wanita itu dan menghadapi tendangan kedua kaki di udara yang mengarah tangan mereka itu, mereka tak dapat menghindarkan diri lagi. Tangan mereka seketika lumpuh dan tahu-tahu tongkat mereka telah terampas lantas sekali Kim Hong menggerakkan kepalanya, tongkat-tongkat itu meluncur ke bawah dan menancap di atas tanah sampai setengahnya!

Sebelum lima orang tosu itu sempat menahan lagi, Kim Hong sudah cepat berjungkir balik dan turun di sebelah dalam, telah melewati lima orang tosu itu yang hanya mampu saling pandang, kemudian menarik tongkat masing-masing dari tanah.

Tiga orang tosu yang berada di sebelah dalam memandang penuh kagum. Mereka merasa kagum karena maklum bahwa dara muda ini selain lihai bukan main, juga tidak memiliki niat buruk sehingga kini sudah mengalahkan barisan pertama dari sembilan orang dan barisan ke dua dari lima orang tanpa melukai mereka sama sekali!

Mereka ini adalah murid-murid tingkat tingkat dua yang sudah memiliki kepandaian tinggi. Melihat gerakan Kim Hong tadi, sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka sudah maklum bahwa Kim Hong adalah seorang wanita yang lihai bukan main, yang agaknya mewarisi ilmu silat dari seorang sakti.

Kelihaian serta sikap Kim Hong yang tidak mau melukai lawan itu sesungguhnya sudah mendatangkan rasa simpati di dalam hati mereka dan menurutkan hati mereka, agaknya mereka akan suka membiarkan Kim Hong lolos untuk menemui ketua mereka. Akan tetapi mereka adalah tosu-tosu yang berdisiplin, maka mereka tidak berani melanggar peraturan dan tata tertib. Sambil menjura, tosu yang bertahi lalat di dagunya itu berkata,

“Ahh, kiranya nona sungguh memiliki kepandaian yang luar biasa. Akan tetapi nona masih harus dapat melewati kami bertiga sebelum memasuki ruangan sebelah dalam.” Mereka bertiga lalu bergerak membentuk barisan segi tiga dengan pedang mereka.

Kim Hong menggerakkan kepalanya untuk memindahkan kuncir rambutnya ke belakang. Manis sekali gerakan ini dan dia pun tersenyum. “Ahh, aku tidak percaya bahwa para tosu Kun-lun-pai yang bijaksana dan baik budi akan mau mencelakakan seorang tamu wanita muda yang hanya ingin menghadap ketuanya.”

Sesudah berkata demikian, dara ini segera menerjang ke depan, menerjang di antara dua batang pedang yang membuat pertahanan serta membentuk dua daun pintu. Akan tetapi dua batang pedang itu bergerak cepat sehingga nampaklah gulungan sinar pedang yang menghadang di depannya. Ada pun pedang ke tiga juga sudah siap menggantikan teman dengan berputar-putar di atas kepalanya.

Maka tahulah Kim Hong. Tiga orang tosu yang tingkatnya sudah lebih tinggi ini tidak akan menyerangnya seperti para penghadang pertama dan kedua tadi, melainkan membentuk sinar pedang untuk menghalangnya dan kalau dia menerjangnya dan sampai terluka oleh sinar pedang, hal itu berarti bahwa dia yang salah sendiri menerjang pedang, dan bukan pedang yang sengaja menyerangnya!

Maka dia pun tersenyum dan tentu saja dia tidak tega untuk melukai tosu-tosu yang begini sungkan dan baik kepadanya. Oleh karena itu, dia hendak memaksa agar tiga orang tosu itu menunjukkan kepandaiannya dan tidak merasa sungkan-sungkan lagi padanya, sebab bukankah perasaan sungkan itu berarti sudah menyeleweng dari pada tugas mereka? Dia tidak ingin mereka itu ditegur atasan mereka sebagai penjaga-penjaga yang kurang ketat.

“Sam-wi totiang harap jangan bersikap sungkan lagi!” katanya.

Dan tiba-tiba saja dia menggerakkan tangannya, bukannya dengan maksud menerobos ke dalam, melainkan menggunakan tangan untuk menyerang mereka! Serangan tangannya tentu saja hebat sekali, didahului oleh hawa pukulan yang sangat kuat dan mengeluarkan angin berdesir.

Dua orang tosu itu terkejut bukan main. Tidak disangkanya bahwa tamu ini malah berbalik menyerangnya demikian dahsyatnya. Cepat mereka memutar pedang untuk menangkis, akan tetapi kekagetan mereka bertambah ketika gadis itu berani mempergunakan tangan kosong untuk menyambar pedang mereka! Dengan tangan dimiringkan, gadis itu begitu saja menangkis pedang dan mereka merasa betapa tangan mereka bergetar hebat ketika pedang bertemu dengan tangan!

Kini tahulah tiga orang tosu itu bahwa lawannya benar-benar amat tangguh, maka mereka pun tak bersikap sungkan lagi. Apa bila bersikap sungkan dan mengalah terhadap lawan yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi, hal itu sungguh lucu dan sama dengan menyerah kalah.

Maka kini mereka pun mengubah gerakan mereka, dan Sam-ciok-tin (Barisan Segi Tiga) mereka betul-betul dipergunakan, dengan jurus-jurus serangan dari tiga penjuru sehingga sebentar saja tubuh Kim Hong sudah dijatuhi dan dihujani serangan bertubi-tubi.

“Bagus! Kun-lun Kiam-sut memang sangat hebat!” Kim Hong memuji, bukan hanya untuk menyenangkan lawan melainkan memang dia dapat merasakan kehebatan ilmu pedang yang dimainkan dalam barisan segi tiga ini.

Serangan mereka demikian mantap dan kuat, penjagaan mereka demikian ketat sehingga ia menghadapi lawan yang tangguh dan hal ini menimbulkan kegembiraannya. Sementara itu, lima orang tosu dan sembilan orang anak murid Kun-lun-pai sudah berdiri menonton dan mereka pun merasa kagum bukan main. Tahulah mereka bahwa gadis muda itu tadi bersikap lunak sekali terhadap mereka.

Sesudah mencoba ilmu pedang tiga orang tosu tingkat dua itu selama hampir lima puluh jurus, puaslah hati Kim Hong. Ia sudah memperlihatkan kecepatan gerakannya sehingga ketiga batang pedang itu tidak pernah dapat menyentuhnya, dan yang terlalu dekat dapat ditangkis dengan tangan terbuka. Sebaliknya, dia pun membalas setiap serangan dengan totokan-totokan yang tidak kalah hebatnya dan setelah lewat lima puluh jurus, tiba-tiba dia berseru,

“Maaf sam-wi totiang, aku mau lewat!”

Tiba-tiba saja tiga orang tosu itu merasa betapa tangan mereka yang memegang pedang menjadi lemas dan lumpuh untuk beberapa detik lamanya dan kesempatan ini sudah lebih dari cukup bagi Kim Hong untuk meloncat ke sebelah dalam melewati mereka! Tiga orang itu hanya dapat memutar tubuh lantas memandang bengong. Mereka tadi hanya melihat berkelebatnya sinar hitam disertai bau harum dan tahulah mereka kini bahwa wanita tadi telah menotok pundak mereka dengan ujung rambut kunciran itu!

Diam-diam ketiganya bergidik karena kalau wanita itu menghendaki tentu bukan tempat itu yang ditotok, melainkan jalan darah yang lebih berbahaya lagi, misalnya di leher yang dapat membuat mereka roboh atau bahkan tewas seketika! Maka mereka bertiga segera menjura dengan hormat kepada gadis itu dan berkata,

“Nona telah lulus dan dapat melewati kami, silakan masuk.”

“Terima kasih, akan tetapi biarkan temanku lewat juga,” katanya sambil menanti Thian Sin yang berjalan menghampirinya dari luar.

“Akan tetapi, yang dapat melewati kami hanya nona seorang. Dia belum memperkenalkan diri dan…”

“Bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan menghadap pimpinan Kun-lun-pai bersama seorang kawanku? Totiang, akulah yang bertanggung jawab atas dirinya!” kata Kim Hong.

Tosu yang bertahi lalat di dagunya itu mengerutkan alisnya akan tetapi dia menarik napas panjang, lalu menggerakkan pundaknya. “Siancai… kami sudah kalah, tidak perlu banyak cakap lagi. Akan tetapi mungkin sekali para suheng kami yang di dalam akan berpikiran lain. Harap nona berhati-hati karena para suheng kami tak boleh disamakan dengan kami yang masih bodoh.”

Kim Hong cepat menjura ke arah mereka dan tersenyum. “Terima kasih, totiang sekalian sungguh baik sekali!” Dan dia pun melangkah masuk bersama Thian Sin, meninggalkan para penjaga di luar yang tentu saja merasa kagum hingga tiada hentinya membicarakan nona cantik jelita yang berilmu tinggi itu.

Kim Hong beserta Thian Sin terus melangkah maju, melalui lorong yang panjang. Mereka berjalan dengan penuh kewasdaan, siap-siap menghadapi segala macam rintangan. Akan tetapi, lorong itu ternyata tak mengandung jebakan-jebakan atau rintangan-rintangan apa pun. Sesudah lorong itu habis, sampailah mereka di sebuah ruangan yang amat luas dan mereka melihat dua orang tosu yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, keduanya tinggi kurus dan wajah mereka membayangkan kehalusan budi akan tetapi sikap mereka sangat berwibawa.

Thian Sin menahan kakinya dan membiarkan Kim Hong yang maju sendirian menghadapi kedua orang tosu itu. Mereka itu adalah murid-murid kepala dari Kun-lun-pai, yang sudah menerima pendidikan langsung dari ketua dan wakil ketua Kun-lun-pai. Hanya ada lima orang murid kepala dan pada waktu itu, yang berada di dalam asrama hanya dua orang inilah.

“Maaf, ji-wi totiang. Aku mohon lewat untuk menghadap ketua Kun-lun-pai,” berkata Kim Hong dengan sikap biasa dan tenang sekali sambil menghampiri mereka.

“Siancai… Nona Toan Kim Hong dapat melewati penjagaan pertama, sungguh lihai sekali dan pinto berdua menyatakan kagum bukan main!” kata seorang di antara mereka yang mukanya pucat dan matanya sipit seperti terpejam.

Setelah berkata demikian, tosu ini mengangkat kedua tangan dikepal di depan dada dan memberi hormat sambil melangkah maju ke arah Kim Hong. Angin pukulan menyambar dahsyat dari kedua tangan itu ke arah dada Kim Hong!

Maklumlah dara ini bahwa tosu bermuka pucat itu adalah ahli lweekeh yang mempunyai tenaga sakti kuat, maka mukanya selalu kelihatan pucat seperti itu, mungkin disebabkan latihan yang terlalu terpaksa hingga berakibat seperti itu. Maka dia pun cepat mengangkat kedua tangan di depan dada membalas penghormatan itu sambil berkata,

“Ahh, totiang terlalu memuji. Mana aku berani menerimanya?”

Dari kedua tangan nona ini pun langsung menyambar tenaga sinkang yang merupakan angin berkesiur menyambut serangan lawan. Tosu itu nampak terkejut ketika merasa ada hawa dingin menolak tenaganya, maka dia pun membuka kedua kepalan tangannya dan kini mengulurkan kedua lengannya itu, dengan kedua telapak tangan terbuka mendorong dengan terang-terangan untuk memperkuat daya serangannya tadi.

Melihat lawannya menyerang secara terbuka, Kim Hong juga mengulurkan dua lengannya menyambut dan kini dua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan dari situ mengalir keluar kekuatan sinkang yang sama dahsyatnya! Terjadilah adu sinkang dan sungguh pun keduanya hanya berdiri tegak dengan kedua lengan dilonjorkan, kedua tangan terbuka dan saling sentuh, namun bagi Thian Sin dan tosu ke dua merupakan saat menegangkan di mana dua orang yang memiliki sinkang kuat saling menguji tenaga sinkang mereka!

Untuk beberapa saat lamanya Kim Hong mengerahkan sinkang-nya, mulai dari sedikit dan setelah dia mengerahkan sampai tiga perempat bagian, barulah dia mampu mengimbangi tenaga lawan. Diam-diam dia kagum juga. Murid kepala Kun-lun-pai sudah mempunyai sinkang sekuat ini!

Akan tetapi, sesudah mengukur kekuatan lawan, dia tidak ingin mencelakai lawannya itu, lalu tiba-tiba ia mengeluarkan seruan nyaring dan tosu itu kaget setengah mati. Mendadak saja dia merasa betapa telapak tangan nona itu menjadi lunak sekali, lantas dia merasa tenaganya seperti terjun ke tempat tanpa dasar sehingga dia pun terjerumus ke depan.

Pada saat itu Kim Hong telah meloncat ke atas, melalui kepalanya dan melewatinya, tiba di belakangnya sedangkan tosu pucat ini terhuyung ke depan dan nyaris terjelungkup. Dia membalikkan tubuh, mukanya penuh keringat dan napasnya sedikit memburu, kemudian dia menjura.

“Terima kasih atas petunjuk nona yang lihai sekali!”

Tosu ke dua, yang mukanya ramah dan jenggotnya panjang, tertawa. “Ha-ha-ha, sungguh luar biasa sekali. Di dunia ini sudah bermunculan orang muda yang memiliki kepandaian tinggi sekali. Sungguh membuat pinto merasa seperti seekor katak di dalam tempurung! Nona Toan, kalau saudaraku tadi menguji sinkang-mu, maka sekarang tiba giliranku untuk menguji ketinggian ginkang-mu. Aku akan mencegah engkau masuk, dan cobalah engkau melewati aku dengan mempergunakan kecepatan gerakanmu!” Setelah berkata demikian, tosu itu lantas berdiri di atas ujung jari kakinya, berjingkat sambil mengembangkan kedua lengannya.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.