Pendekar Sadis Jilid 36 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sadis Jilid 36
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
MEREKA berhenti di padang rumput, jauh dari dusun-dusun. Hanya burung-burung yang menyambut keindahan pagi dengan nyanyian mereka sajalah yang menemani mereka di tempat sunyi itu. Tidak nampak seorang pun manusia lain di sekitarnya.

“Kim Hong,” kata Thian Sin yang semenjak tadi menahan-nahan perasaan hatinya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyesak di dalam dada, sebab ketika mereka berlari-lari tadi, Kim Hong seolah-olah sengaja hendak mengajaknya berlomba. “Sekarang aku minta penjelasan darimu.”

Kim Hong tersenyum, mempergunakan sapu tangan sutera hijau untuk menghapus peluh dari leher dan dahinya, kemudian menggunakan sapu tangan itu untuk dikebut-kebutkan ke atas rumput di bawahnya. Titik-titik embun yang menempel pada ujung-ujung rumput itu, seperti juga keringatnya tadi, tersapu bersih dan setelah sebagian rumput itu kering, dia pun lantas menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang sudah tidak basah itu, sambil tersenyum.

“Penjelasan apa lagi?” tanyanya sambil mengerling, dan Thian Sin melihat betapa kerling mata dan senyum itu mengandung perpaduan antara ejekan dan rangsangan.

Thian Sin mengerutkan kedua alisnya, rasa cemburu memanaskan dadanya sehingga dia menjadi tidak sabaran. Dia pun menjatuhkan diri duduk di atas rumput, tidak peduli bahwa celananya menjadi basah oleh embun yang memandikan rumput-rumput hijau.

“Penjelasan banyak hal. Kenapa engkau meninggalkan aku pergi tanpa pamit? Kemudian, mengapa engkau melindungi Siangkoan Wi Hong ketika aku menyerangnya? Dan kenapa engkau bersekutu dengan Pak-san-kui dan kemudian engkau membalik melawan mereka dan membantuku? Dan kenapa… kenapa engkau membiarkan dirimu dirayu dan dicium oleh Siangkoan Wi Hong?”

Mendengar semua pertanyaan itu, Kim Hong tersenyum dan memandang kepada Thian Sin seperti pandang mata seorang dewasa memandang anak-anak yang nakal dan ingin digodanya. Kemudian dia mencabut sebatang rumput, lantas menggigit-gigit rumput itu di antara giginya yang berderet rapi dan putih bagaikan deretan mutiara, di antara bibirnya yang merah membasah dan tersenyum simpul itu.

“Thian Sin, engkau ini seorang pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi jalan pikiranmu masih begitu picik dan tumpul. Bila engkau tidak mengerti kenapa aku meninggalkanmu, biarlah engkau tetap saja tolol dan aku tak mau memberi tahukan kepadamu. Akan tetapi yang lain-lain dapat kujelaskan. Aku mendahuluimu ke Tai-goan, aku hendak menyelidiki keadaan Pak-san-kui yang kau sohorkan hebat itu. Aku sengaja mendekati Siangkoan Wi Hong dan pada waktu aku sedang menyelidiki, lalu muncul engkau yang hendak merusak penyelidikanku dengan menyerang Siangkoan Wi Hong. Tentu saja aku lalu mencegahmu. Aku pura-pura bersekutu dengan Pak-san-kui untuk menyelidiki keadaannya, dan melihat keadaan mereka sangat kuat, didukung oleh pasukan penjaga keamanan Tai-goan, mana mungkin engkau sanggup mengalahkannya? Maka ketika engkau menyerangnya dan aku melindunginya, lalu engkau lari, dengan diam-diam aku membayangimu dan tahu bahwa engkau tinggal di pondok itu. Aku lalu mengajak mereka untuk menyerbu tanpa bantuan pasukan. Nah, setelah Pak-san-kui dan puteranya serta tiga orang muridnya menyerbu, bukankah itu adalah hal yang kau tunggu-tunggu?”

Thian Sin melongo, lalu menggerakkan tangan hendak memegang lengan gadis itu, akan tetapi Kim Hong segera mengelak.

“Kim Hong, maafkan aku. Ternyata engkau melakukan semuanya itu untuk membantuku! Sungguh benar katamu bahwa aku seperti buta, aku telah berani menyangka yang bukan-bukan, mengira engkau membelakangiku dan memihak mereka. Kau maafkan aku!”

Bibir bawah yang lunak itu lantas mencibir, “Hemmm, untuk salah pengertian itu aku tidak perlu memaafkanmu karena memang sebaiknya jika engkau salah mengerti. Hal ini justru membuat penyelidikanku menjadi sempurna.”

“Kim Hong, apa bila engkau tidak menyesal, mengapa engkau menjauhkan diri? Sungguh aku tidak mengerti.”

“Apa saja yang kau mengerti kecuali membunuh orang?” Kim Hong mengejek.

“Kim Hong… aku minta kepadamu, jangan kau biarkan aku dalam kebingungan. Kuharap engkau suka menjelaskan mengapa engkau meninggalkan aku dan kenapa pula engkau membiarkan dirimu dirayu oleh Siangkoan Wi Hong.”

Tiba-tiba sepasang mata itu berkilat dan alis itu berkerut. “Ceng Thian Sin, karena engkau mendesak, aku akan memberi tahu, akan tetapi kalau setelah ini engkau tidak mau minta ampun kepadaku, jangan harap aku akan sudi bertemu muka denganmu lagi! Kau dengar baik-baik. Engkau telah menghinaku, engkau juga telah meremehkan perasaanku dengan mencium So Cian Ling di hadapan mataku! Itulah sebabnya maka aku meninggalkanmu! Dan engkau melihat aku membiarkan diri berciuman dan berpelukan dengan laki-laki lain, tanpa peduli siapa pun laki-laki itu? Karena aku sengaja melakukannya untuk membalas dendam kepadamu! Aku tahu bahwa engkau membayangi kami, dan memang aku ingin engkau melihat hal itu! Nah, kini aku telah memberi penjelasan!” Kim Hong bangkit berdiri kemudian membalikkan tubuhnya, membelakangi pemuda itu.

Thian Sin menjadi bengong sejenak, namun ketika melihat betapa kedua pundak gadis itu bergoyang-goyang, tahulah dia bahwa Kim Hong menangis, walau pun ditahan-tahannya sehingga tidak terisak. Maka dia pun segera menubruk kedua kaki gadis itu dan dengan penuh penyesalan dia pun berkata, “Kim Hong, kau ampunkanlah aku, Kim Hong.”

Sikap serta ucapan Thian Sin ini seperti membuka bendungan air bah sehingga air mata gadis itu mengalir turun dan kini dia tidak dapat menahan tangisnya sesenggukan.

“Kim Hong, aku mengaku salah… aku… tidak sengaja, melihat dia menghadapi kematian, aku terharu dan… ahhh, ampunkan aku, Kim Hong, aku… cinta padamu.”

Akan tetapi walau pun kini Thian Sin memeluk kedua kakinya dan berada di hadapannya, Kim Hong tidak menjawab dan hanya menangis sambil menutupi mukanya dengan sapu tangan.

“Kim Hong, maukah engkau memaafkan dan mengampuniku?” Kembali Thian Sin berkata sambil mengangkat muka memandang.

Kim Hong menahan isaknya dan menjawab lirih, “Kalau aku tidak sudah mengampunimu semenjak tadi, tentu aku sudah membantu mereka mengeroyokmu dan apa kau kira saat ini kau masih dapat hidup?”

Bukan main girangnya hati Thian Sin mendengar ini dan memang dia pun dapat melihat kenyataan dalam ucapan gadis itu. Kalau tadi Kim Hong membantu Pak-san-kui dan turut mengeroyoknya, jelaslah bahwa dia tak akan mungkin dapat menang. Hanya menghadapi Pak-san-kui seorang saja, dia hanya menang setingkat, juga demikian kalau dia melawan Kim Hong. Maka apa bila Pak-san-kui dibantu Kim Hong menyerangnya, sudah jelas dia akan kalah.

Apa lagi di sana masih ada Pak-thian Sam-liong dan Siangkoan Wi Hong! Belum lagi jika diingat bahwa tanpa bantuan Kim Hong, tentu tadi dia sudah dikurung oleh ratusan orang pasukan penjaga. Tidak, betapa pun lihainya, dia tidak mungkin dapat meloloskan diri dan sekarang tentu sudah menjadi mayat seperti Pak-san-kui dan murid-muridnya.

“Terima kasih Kim Hong, terima kasih! Sungguh akulah yang tolol, dan aku sangat cinta padamu. Kim Hong, apakah engkau juga cinta kepadaku?”

Kim Hong menjatuhkan diri berlutut, berhadapan dengan pemuda itu. “Tolol, jika aku tidak cinta padamu, apa kau kira aku sudi menyerahkan diri tempo hari? Kalau aku dikalahkan oleh pria yang tidak kucinta, apa sukarnya bagiku untuk membunuh diri?”

“Kim Hong…”

Mereka lalu berpelukan, saling dekap dan saling cium dengan penuh kemesraan, dengan panas karena di situ mereka mencurahkan segenap kerinduan hati mereka yang mereka tahan-tahan selama ini. Mereka tidak mempedulikan lagi rumput basah air embun, bahkan rumput-rumput itu menjadi tilam pencurahan kasih asmara mereka di tempat sunyi itu. Mereka lupa akan segala dan tinggal di padang rumput itu sampai dua hari dua malam, setiap saat hanya bermain cinta, saling mencurahkan cinta birahi yang seolah-olah tidak pernah mengenal puas.

Senggama, perbuatan yang dilakukan oleh pria dan wanita, adalah sesuatu yang amat indah, sesuatu yang tak bisa terelakkan, sesuatu yang wajar, sesuatu yang mengandung kenikmatan lahir batin, sesuatu yang menjadi hal yang terutama dalam hubungan antara pria dan wanita di dunia ini. Juga merupakan suatu perbuatan yang amat suci, karena di dalamnya terkandung kemukjijatan besar, yaitu perkembang biakan manusia, penciptaan manusia di dalam rahim ibunya.

Sungguh sayang bahwa semenjak ribuan tahun, hal itu malah dianggap sebagai sesuatu yang harus dirahasiakan, sesuatu yang bahkan dianggap tidak pantas untuk dibicarakan, terutama sekali kepada anak-anak, kepada calon-calon manusia yang pada waktunya tak akan terbebas dari pada perbuatan itu pula.

Sementara bahkan ada pula pandangan dari orang-orang yang belum mengerti atau yang munafik, atau yang pura-pura mengerti, bahwa senggama adalah sebuah hal yang ‘kotor’ untuk dibicarakan. Mengapakah kita tak berani mengungkap peristiwa ini, perbuatan ini, malah banyak yang menganggapnya sebagai pantangan dan sebagai pelanggaran susila bila mana membicarakannya? Mengapa? Apakah karena di sanalah tersembunyi rahasia kelemahan kita, sesuatu yang membuat kita tak berdaya, sesuatu yang menghancurkan seluruh gambaran dari si ‘aku’?

Ataukah karena begitu saratnya kata senggama atau sex dengan hal-hal yang dianggap memalukan dan tidak pantas maka kata itu, penggambaran tentang hal itu dianggap tak layak dikemukakan kepada kita yang ‘berbudaya’, yang ‘sopan’, yang ‘bersusila’? Kenapa kita begitu munafiknya sehingga untuk membicarakan kita merasa malu, walau pun tidak seorang pun di antara kita yang tidak melakukannya? Membicarakan malu, akan tetapi tidak malu melakukannya, walau pun dengan sembunyi-sembunyi. Bukankah ini munafik namanya?

Memang, seperti juga orang makan, apa bila senggama dilakukan orang hanya sekedar untuk mengejar kesenangan belaka, hal itu dapat saja menjadi sesuatu yang tidak sehat dan buruk. Orang yang memasukkan sesuatu ke dalam perutnya melalui mulut, apa bila hanya terdorong oleh nafsu keinginan belaka, bukan tidak mungkin ‘makan’ lalu menjadi sesuatu yang buruk dan mungkin menimbulkan bermacam-macam penyakit.

Demikian pula dengan senggama, jika dilakukan hanya untuk menuruti nafsu keinginan, maka yang ada hanyalah nafsu birahi semata dan hal ini akan menimbulkan bermacam keburukan seperti pelacuran, perjinahan, perkosaan dan sebagainya. Akan tetapi, kalau senggama dilakukan dengan dasar cinta kasih, sebagai tuntutan lahir batin yang wajar, maka hubungan senggama merupakan hubungan puncak yang paling indah dan suci bagi pria dan wanita yang saling mencinta. Penumpahan rasa sayang, rasa cinta, rasa bersatu, yang amat agung.

Perbuatan apa pun yang dilakukan manusia, termasuk terutama sekali senggama, kalau dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu adalah benar, bersih, sehat, dan indah. Indah sekali! Karena perbuatan antara dua orang manusia itu dilakukan dengan penuh kesadaran, dengan penuh kerelaan, sedikit pun tidak terdapat kekerasan, di sana yang ada hanya kemesraan dan dorongan untuk saling membahagiakan.

Saling membahagiakan! Inilah senggama yang dilakukan dengan dasar saling mencinta. Bukan mencari kenikmatan melalui partnernya, sama sekali tidak. Bahkan kenikmatan itu datang karena ingin membahagiakan partnernya. Inilah senggama yang benar karena cinta kasih tidak akan ada selama diri sendiri ingin senang sendiri. Sayang sekali kalau hal yang teramat penting ini dilupakan orang.

Sekali lagi perlu kita semua ingat bahwa senggama hanyalah suci dan bersih apa bila dilakukan orang atas dasar cinta kasih! Tanpa adanya cinta kasih maka hal itu bisa saja terperosok kepada perbuatan maksiat yang kotor.

Pada hakekatnya, semua pengejaran kesenangan merupakan sesuatu yang kotor karena di situ juga terkandung kekerasan dalam usaha untuk mencapai apa yang dikejar, yaitu kesenangan tadi. Jadi, sangat perlulah bagi anak-anak kita untuk semenjak kecil sudah mengetahui dengan jelas bahwa senggama adalah hubungan yang paling mesra antara dua orang laki-laki dan wanita yang saling mencinta.

Saling mencinta! Bukan hanya saling tertarik oleh keadaan lahiriah belaka, seperti wajah cantik atau tampan, kedudukan, kepandaian, harta benda atau lainnya. Anak-anak kita perlu mengetahui bahwa hubungan itu adalah hubungan yang suci, yang mengandung kemukjijatan terciptanya manusia baru dan sumber perkembang biakan manusia.

Cabul? Mudah saja orang mempergunakan kata ini untuk dijadikan dalih sebagai penutup kemunafikannya. Semacam keranjang sampah untuk mencoba mengalihkan pandangan sendiri terhadap kekotoran diri sendiri yang masih mengeram di dalam batin. Kecabulan bukanlah terletak di luar, bukan melekat di dalam kata mau pun perbuatan, melainkan di dalam lubuk hati.

Cabulkah orang yang melukis wanita telanjang? Jangan dinilai dari lukisannya melainkan dijenguk dasar lubuk hati si pelukis yang kadang-kadang memang tergambar di dalam lukisannya. Kalau di waktu melukis batinnya membayangkan kecabulan, maka cabullah pelukis itu. Cabulkah orang yang menonton gambar wanita telanjang? Tergantung pula dari keadaan batin si penonton gambar itu. Baru cabul namanya jika di waktu menonton dia menggambarkan hal-hal yang cabul tentunya. Seorang mahasiswa kedokteran yang sedang mempelajari ilmu anatomi sambil memandang gambar orang telanjang, belajar dengan tekun, tentu tidak melihat kecabulan apa pun.

Kecabulan timbul dari pikiran. Pikiran yang sering kali mengenang-ngenang pengalaman-pengalaman yang nikmat, baik pengalaman sendiri mau pun pengalaman orang lain lewat buku-buku dan cerita-cerita. Sang Pikiran membayang-bayangkan semua kenikmatan itu sehingga timbullah keinginan, timbullah nafsu birahi tanpa adanya cinta kasih, dan nafsu birahi tanpa cinta kasih inilah kecabulan! Keinginan untuk memperoleh kenikmatan inilah yang menciptakan berbagai macam akal, demi mencapai kenikmatan sebanyak mungkin seperti yang dibayang-bayangkan oleh pikiran, oleh si ‘aku’ yang selalu ingin menyelam ke dalam kesenangan. Dan pengejaran kesenangan ini menimbulkan segala macam cara dan inilah sumber kecabulan! Juga kekerasan, juga kemaksiatan, juga kejahatan.

Jadi jelaslah bahwa sex itu sendiri bukanlah sesuatu yang cabul. Cabul tidaknya sesuatu itu tergantung dari dasar batin orang yang menonjolkannya atau juga dasar batin orang yang memandangnya.

Di antara segala perbuatan di dunia ini, satu-satunya yang membuat kita merasa bebas, satu-satunya yang melenyapkan perasaan si aku untuk sesaat, hanyalah sex itulah! Di sini tidak lagi terdapat si aku yang menikmati. Seluruh diri lahir batin lebur menjadi satu dengan kenikmatan itu sendiri.

Dan keadaan seperti itu, keadaan tanpa aku inilah yang merupakan kenikmatan tertinggi sehingga membuat sex menjadi sesuatu yang teramat penting dan terpenting di dalam kehidupan, membuat orang mendewa-dewakannya. Dan karenanya sex menjadi sebuah kesenangan, dan setelah menjadi kesenangan lantas menciptakan pengejarannya. Maka terjadilah hal-hal yang amat buruk.


Thian Sin dan Kim Hong lupa diri. Setelah berpisah, barulah kini mereka merasa betapa mereka itu saling membutuhkan, dan pertemuan yang mesra ini membuat ikatan di antara mereka menjadi semakin kuat. Walau pun tidak ada ikatan lahir seperti pernikahan dan sebagainya di antara mereka, namun di dalam batin, mereka saling mengikatkan diri.

********************

“Sudah engkau pikirkan secara mendalamkah, Kong Liang?” Ibunya bertanya, suaranya mengandung kekerasan karena betapa pun Yap In Hong mencinta puteranya ini, namun apa yang dikemukakan puteranya itu sungguh tidak berkenan di hatinya. “Engkau harus ingat bahwa engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai!”

“Ibu, apakah dalam hal ini ibu hendak menonjolkan kedudukan?” puteranya membantah. Kini Cia Kong Liang sudah berusia dua puluh empat tahun, sudah lebih dari dewasa dan pandangannya sudah luas walau pun dia mewarisi kekerasan hati ibunya.

“Bukan begitu maksudku, Liang-ji. Aku tidak menonjolkan kedudukan ayahmu, melainkan hendak mengingatkanmu bahwa ayahmu seorang pendekar besar. Ibumu pun sejak muda dikenal sebagai seorang pendekar dan engkau tentu maklum perdirian seorang pendekar, yaitu menentang kejahatan. Dan engkau tentu maklum pula siapa adanya Tung-hai-sian Bin Mo To itu! Engkau tentu telah mendengar perkumpulan macam apa yang dinamakan Mo-kiam-pang yang diketuai serta didirikan oleh Tung-hai-sian itu. Mereka itu menguasai seluruh dunia perbajakan.”

“Akan tetapi, ibu. Yang saya cinta dan yang saya ingin supaya menjadi jodohku bukanlah Tung-hai-sian, melainkan Nona Bin Biauw!” Pemuda itu berbicara penuh semangat, akan tetapi dia bertemu pandang dengan ayahnya sehingga sadar bahwa dia bicara terlampau keras kepada ibunya, maka langsung disambungnya dengan suara halus, “Ibu, aku tahu bahwa Tung-hai-sian adalah seorang datuk golongan sesat yang menguasai dunia timur. Akan tetapi saat aku menjadi tamu di sana, aku melihat benar bahwa sikap dan wataknya sama sekali tidak membayangkan orang yang berhati jahat. Kecuali itu, aku sama sekali tidak peduli akan keadaan orang tuanya, karena apakah kita harus menilai seseorang dari keadaan orang tuanya, ibu?”

“Betapa pun juga, orang tua serta keluarganya tidak mungkin dikesampingkan begitu saja, anakku. Aku tidak melarang, tidak menentang, hanya minta kebijaksanaanmu.”

Cia Bun Houw tidak dapat mendiamkan saja puteranya dan isterinya berbantahan seperti itu. Dia lalu menarik napas panjang dan berkata, “Sudahlah, setiap pendapat tentu saja didasari dengan perhitungan-perhitungan yang semuanya mengandung kebenaran. Akan tetapi betapa pun juga, pendapat akan bertemu dengan pendapat lain sehingga terjadilah perselisihan dan kalau sudah demikian, maka keduanya menjadi tidak benar lagi. Isteriku, betapa pun tepat semua pendirianmu tadi, akan tetapi kita harus selalu ingat bahwa suatu perjodohan adalah urusan yang sepenuhnya mengenai diri dua orang yang bersangkutan itu sendiri. Percampur tanganan orang lain, biar orang tua sendiri sekali pun, biasanya tak menguntungkan dan hanya menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Harap kau ingat akan hal ini.”

Tentu saja Yap In Hong ingat benar akan hal itu. Bukankah perjodohannya sendiri dengan suaminya itu pun mengalami hal-hal yang menimbulkan penyesalan, bahkan membuat suaminya itu terpaksa berpisah dari orang tua selama bertahun-tahun karena orang tua suaminya tidak menyetujui perjodohan suaminya dengannya?

Dia tahu betul akan hal ini, tahu bahwa sebenarnya dia tidak berhak menentang kehendak puteranya yang sudah jatuh cinta kepada puteri Tung-hai-sian. Akan tetapi tetap saja dia adalah seorang ibu, seorang wanita, dan alangkah sukarnya menerima kenyataan yang amat berlawanan dengan keinginan hatinya itu. Maka, mendengar ucapan suaminya yang tak dapat dibantah lagi kebenarannya itu, dia hanya menundukkan mukanya dan matanya menjadi basah.

Melihat ini, Bun Houw merasa kasihan terhadap isterinya. Mereka sudah mulai tua, sudah mendekati enam puluh tahun. Tentu saja isterinya itu ingin sekali melihat puteranya dapat berjodoh dengan seorang dara yang bisa memuaskan dan menyenangkan hati isterinya sebagai seorang ibu.

“Lagi pula, kita belum pernah melihat gadis itu, isteriku. Siapa tahu, pilihan Kong Liang memang tepat.”

Mendengar ini, Yap In Hong segera mengusap air mata dan menarik napas panjang, lalu mengangkat mukanya memandang kepada puteranya sambil memaksa senyuman penuh harapan. “Itulah harapanku, dan agaknya anak kita tidak akan memilih dengan membabi buta.”

Kong Liang sungguh maklum apa yang diusahakan oleh ayahnya dan maklum apa yang terjadi di dalam perasaan ibunya. Maka dia pun mendekati ibunya dan memegang lengan ibunya dengan penuh kasih.

“Percayalah, ibu, selama ini aku sudah bertemu dengan banyak wanita, akan tetapi dalam pandanganku, tidak ada yang dapat menyamai Nona Bin Biauw. Di samping cantik jelita, dia juga sangat lincah dan gagah perkasa, lesung pipit di kedua pipinya manis sekali, dan semua gerak-geriknya, pakaiannya, sangat sederhana, sama sekali tidak membayangkan sifat pesolek walau pun dia adalah anak orang kaya.”

Ibunya tersenyum. “Begitulah kalau sudah jatuh cinta. Dahulu ayahmu juga menganggap ibumu ini sebagai wanita paling cantik di dunia!”

“Tapi, ibu memang wanita paling hebat di dunia!” Kong Liang berseru. “Pilihan ayah sama sekali tidak keliru!”

Lenyaplah sudah semua kemasygulan dari hati Yap In Hong. Nenek ini lantas tersenyum dan berkata, “Tentu saja, karena aku ibumu! Dan kalau ayahmu dahulu tidak memilih aku, tentu tidak akan terlahir engkau!” Mereka bertiga tertawa-tawa gembira sehingga suasana menjadi tenang dan akrab kembali.

Akhirnya kedua orang tua itu terpaksa menyetujui kehendak Kong Liang karena mereka mulai melihat kenyataan betapa putera mereka memang sudah jatuh cinta kepada puteri Tung-hai-sian Bin Mo To. “Akan tetapi, sebaiknya kalau kita mengirim utusan saja,” kata Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai itu. “Biar pun engkau telah merasa yakin bahwa keluarga Bin itu akan menerima pinangan kita, Kong Liang, akan tetapi keyakinanmu itu hanyalah berdasarkan dugaan saja. Pula, siapa tahu kalau-kalau dara itu sudah dijodohkan dengan orang lain. Tentu saja engkau tidak ingin melihat ayah bundamu mengalami pukulan batin dan rasa malu kalau sampai pinangan ini gagal. Maka, sebaiknya pinangan ini dilakukan melalui surat dan utusan, jadi andai kata gagal sekali pun tidak langsung membikin malu.”

Kong Liang setuju dan dapat mengerti alasan yang diajukan ayahnya. Memang dia dapat membayangkan betapa akan terpukul rasa hati orang tuanya kalau melakukan pinangan sendiri, datang ke rumah Tung-hai-sian, kemudian pinangan mereka ditolak karena gadis itu telah ditunangkan dengan orang lain misalnya.

Demikianlah, ketua Cin-ling-pai itu lalu mengirim utusan yang membawa surat lamaran ke Ceng-tou di Propinsi Shan-tung. Dan tentu saja lamaran itu diterima dengan amat girang dan bangga oleh keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To.

Utusan itu dijamu penuh kehormatan, kemudian ketika mengirim jawaban yang menerima pinangan itu, Bin Mo To tidak lupa membekali banyak barang-barang berharga sebagai hadiah kepada keluarga Cia! Dia juga mengirim undangan agar keluarga itu datang untuk membicarakan penentuan hari pernikahan.

Sebelum menerima undangan calon besan ini, Cia Bun Houw berunding dengan isterinya dan puteranya. “Kong Liang, pernikahan bukanlah sebuah hal yang remeh sehingga patut dipertimbangkan dengan baik-baik agar kelak tidak akan menimbulkan penyesalan. Ibumu dan aku percaya bahwa engkau sudah jatuh cinta kepada Nona Bin Biauw, akan tetapi harus kau akui bahwa perkenalanmu dengan nona itu masih sangat dangkal. Oleh karena itu, demi kebaikan kalian berdua sendiri, seyogyanya kalau pernikahan kalian ditunda dulu selama beberapa bulan sehingga dalam masa pertunangan engkau dan juga kami dapat mengamati dan melihat bagaimana keadaan dan watak dari keluarga Bin. Karena selama belum menikah, masih belum terlambat untuk mengubah kalau terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki.”

Kong Liang menyetujui pendapat ayahnya, dan pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka menuju ke Ceng-tou memenuhi undangan Bin Mo To yang dalam kesempatan itu sekalian mengundang hampir semua tokoh kang-ouw karena dia hendak mengumumkan pertunangan puterinya dengan putera Cin-ling-pai dan tentu saja di dalam kesempatan ini dia yang merasa bangga bukan kepalang itu mendapatkan kesempatan untuk menikmati kebanggaannya.

Pada hari yang ditentukan itu, suasana dalam rumah gedung keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To sungguh sangat meriah. Rumah gedung besar itu dihias dengan indah, dan semua anak buahnya, yaitu para anggota Mo-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan) nampak sibuk sekali.

Tamu-tamu berdatangan dari segenap penjuru dan diterima oleh murid-murid kepala atau tokoh-tokoh Mo-kiam-pang yang mewakili pihak tuan rumah. Sementara itu, keluarga Bin Mo To sendiri sibuk melayani keluarga Cia yang sudah datang lebih dahulu dan terjadilah pertemuan ramah tamah di dalam gedung, di mana keluarga Cia disambut dengan penuh kehormatan, keramahan dan kegembiraan.

Tung-hai-sian Bin Mo To merasa berbahagia dan bangga bukan kepalang. Hal ini tidaklah mengherankan. Dia adalah seorang Jepang, sungguh pun keturunan samurai sekali pun, namun tetap merupakan seorang asing, orang Jepang yang selalu dianggap rendah oleh bangsa Han, dianggap sebagai pelarian, sebagai bangsa biadab dan digolongkan sebagai bangsa bajak dan perampok! Dan betapa pun juga, tak dapat diingkari bahwa dia adalah seorang datuk golongan hitam, seorang tokoh besar dalam dunia penjahat yang biasanya dipandang rendah dan dimusuhi oleh para pendekar.

Dan sekarang, dia hendak berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, sebuah partai persilatan besar yang sangat disegani. Puteri tunggalnya ternyata berjodoh dengan putera tunggal ketua Cin-ling-pai! Tentu saja hal ini merupakan penghormatan besar sekali baginya dan akan mengangkat namanya ke tempat tinggi dalam pandangan dunia kang-ouw dan para pendekar.

Karena itu, biar pun pesta yang diadakan itu hanya untuk merayakan pertunangan, bukan pernikahan, namun dia mengerahkan harta bendanya untuk membuat pesta yang besar dan meriah sekali, dan mengirim undangan ke segenap pelosok. Semua tokoh besar dari semua kalangan, baik itu merupakan kaum liok-lim, kang-ouw atau pun kaum pendekar, semuanya dikirimi undangan.

Maka, pada hari yang telah ditentukan, tempat tinggal keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To atau nama aslinya Minamoto itu dibanjiri oleh tamu dari berbagai golongan. Bukan hanya gedung yang memiliki ruangan depan sangat luas itu yang penuh, bahkan di pekarangan depan yang lebih luas lagi yang kini dibangun atap darurat, juga penuh dengan para tamu.

Minuman berlimpahan berikut kue-kue ringan disuguhkan sebelum hidangan dikeluarkan, dan tempat itu amat berisik dengan suara para tamu yang bercakap-cakap sendiri antara teman semeja. Suara berisik para tamu ini bahkan mengatasi suara musik yang sejak tadi pagi telah dibunyikan oleh rombongan musik.

Semua wajah kelihatan gembira seperti biasanya tampak di dalam pesta perayaan seperti itu, di mana para tamu bergembira karena minuman yang memasuki perut dan mendapat kesempatan berjumpa dengan teman-teman dan kenalan-kenalan yang duduk satu meja. Kelompok memilih kelompok, dan setiap pendatang baru mengangkat muka melihat-lihat untuk mencari kelompoknya sendiri-sendiri, atau mencari orang-orang yang mereka kenal baik.

Dengan wajah penuh senyum, mata bersinar-sinar dan muka yang berseri-seri, Bin Mo To sendiri sudah keluar ke tempat kehormatan di atas panggung, sambil mengiringkan tamu kehormatan, yaitu keluarga Cia. Dan untuk keperluan ini Bin Mo To tidak ingin melupakan asal-usulnya, maka dia mengenakan pakaian tradisional Jepang, dengan jubah lebar dan sandal jepit berhak tinggi dan tebal.

Kepalanya yang agak botak itu licin, rambutnya digelung ke atas dan dihias dengan tusuk konde emas permata. Pedang samurainya tergantung di pinggang, dengan sarung pedang berukir dan berwarna-warni seperti juga pakaiannya. Dia nampak gagah sekali dan ketika berjalan, tubuhnya yang pendek tegap itu berlenggang seperti langkah seekor harimau.

Isterinya yang pertama berjalan bersama dengan isteri ke dua, yaitu wanita Korea yang menjadi ibu kandung Bin Biauw. Hanya isteri pertama dan isteri ke dua inilah yang hadir secara resmi, sedangkan belasan isterinya yang lain sibuk di dapur, tapi akhirnya mereka juga muncul di pinggiran.

Bagaimana pun juga, Bin Mo To merasa amat sungkan untuk menonjolkan belasan orang selirnya itu. Isterinya yang tertua sudah berusia hampir enam puluh tahun, juga seorang wanita Jepang yang pendek. Akan tetapi isterinya yang ke dua, ibu kandung Bin Biauw, adalah seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi semampai dan masih nampak cantik dengan pakaian Korea yang khas.

Bin Biauw sendiri berjalan bersama ibunya. Dara ini nampak cantik jelita dan manis sekali, juga gagah. Karena perayaan pertunangan itu tidak diadakan upacara resmi, maka ia pun berpakaian sebagai seorang pendekar wanita bangsa Han, walau pun rambutnya sama dengan gelung rambut ibunya, yaitu gelung rambut seorang puteri bangsa Korea, dengan tusuk konde yang panjang melintang ke kanan kiri dihias ronce-ronce yang indah.

Untung bahwa dara ini mempunyai bentuk tubuh menurun ibunya, tidak seperti ayahnya. Tubuhnya ramping dan biar pun dia menjadi tokoh utama di dalam pesta itu karena pesta itu untuk hari pertunangannya, tapi pakaiannya yang indah itu tidak terlampau menyolok, bahkan mukanya tidak dibedaki terlalu tebal dan juga tidak memakai gincu dan pemerah pipi. Memang tidak perlu, karena kedua pipinya sudah merah dan segar membasah. Dara ini memang manis sekali dan dalam pertemuannya dengan calon menantu ini, diam-diam Yap In Hong sendiri pun merasa amat puas.

Suami isteri pendekar dari Cin-ling-san itu sendiri, yang menjadi tamu-tamu kehormatan, segera menjadi pusat perhatian orang. Pendekar Cia Bun Houw, ketua Cin-ling-pai itu biar pun usianya sudah enam puluh tahun namun masih nampak gagah dan jauh lebih muda dari pada usia yang sebenarnya. Pakaiannya sederhana berwarna abu-abu dan nampak amat berwibawa meski pun wajahnya tersenyum ramah dan langkahnya tegap. Dia tidak nampak membawa senjata. Akan tetapi pada saat itu pedang Hong-cu-kiam menjadi ikat pinggang atau sabuknya.

Isterinya, Yap In Hong, yang usianya sudah hampir enam puluh tahun itu, juga berpakaian sederhana dan nyonya tua ini juga masih kelihatan gesit dan padat tubuhnya, bertangan kosong pula dan sepasang matanya amat tajam.

Dibandingkan dengan ayah bundanya Cia Kong Liang berpakaian lebih mewah dan rapi. Di punggungnya nampak gagang pedang dan langkahnya tegap, dadanya yang bidang itu agak membusung dan sepintas lalu nampak bahwa pemuda ini memiliki sikap yang agak tinggi hati. Betapa pun juga, harus diakui bahwa dia adalah seorang pemuda yang sangat tampan dan gagah, tidak mengecewakan menjadi putera tunggal ketua Cin-ling-pai.

Tempat pesta sudah penuh oleh tamu dari berbagai kalangan. Memang sudah disediakan tempat yang bertingkat-tingkat, disesuaikan dengan kedudukan dan tingkat para tamu. Di barisan pertama nampak duduk wakil-wakil dari partai persilatan besar dan perkumpulan-perkumpulan kang-ouw dan liok-lim, juga tokoh-tokoh besar dari dunia persilatan.

Semua tempat sudah penuh, dan yang paling ramai dan riuh adalah bagian terbelakang di mana berkumpul orang-orang muda yang termasuk tingkatan paling rendah, yaitu anak murid atau anggota-anggota dari berbagai perkumpulan silat. Juga tamu umum yang tidak begitu menonjol dalam dunia persilatan kebagian tempat di sini sehingga tempat itu penuh dengan orang-orang berbagai golongan yang tak saling mengenal.

Tung-hai-sian Bin Mo To bangkit berdiri dan menjura ke arah suami isteri yang menjadi besannya itu. Dia berjalan ke pinggir panggung menghadapi semua tamunya, maka suara yang berisik itu pun perlahan-lahan berhenti. Tuan rumah yang bertubuh pendek tegap ini berdiri dengan sepasang kaki terpentang, lantas dia mengangkat dua tangannya ke atas memberi isyarat agar para tamu tenang dan bahwa dia minta perhatian. Setelah suasana menjadi sunyi, barulah kakek pendek ini mengeluarkan suaranya yang terdengar lantang, tegas, namun dengan nada suara yang agak kaku dengan lidah asingnya itu.

“Saudara sekalian yang terhormat dan yang gagah perkasa! Kami berterima kasih sekali bahwa cu-wi telah memenuhi undangan kami dan kami merasa bergembira bahwa hari ini kita semua dapat berkumpul dalam suasana gembira. Seperti cu-wi sudah ketahui, pesta ini dirayakan untuk menyambut hari pertunangan anak kami, yaitu Bin Biauw, yang mulai saat ini sudah dijodohkan dengan Cia Kong Liang, putera tunggal dari ketua Cin-ling-pai, yang terhormat Saudara Cia Bun Houw dan isterinya.”

Sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut pengumuman ini dan wajah kakek pendek itu berseri gembira. Dia membiarkan sambutan sorak-sorai itu beberapa lamanya, kemudian dia mengangkat kedua tangan mohon perhatian. Suasana kembali menjadi hening ketika orang-orang menghentikan sorak-sorainya.

“Bagi kami, ikatan perjodohan ini adalah suatu kehormatan dan kemuliaan yang teramat besar. Untuk menghormati kedudukan besan kami yang menjadi ketua Cin-ling-pai, maka kami pun tahu diri dan berusaha untuk menyesuaikan diri. Mulai saat ini juga kami hendak mencuci tangan membersihkan diri supaya tidak sampai menodai nama mantu dan besan kami yang terhormat. Oleh karena itu, kami mohon hendaknya cu-wi menjadi saksi akan peristiwa yang terjadi ini!” Si Pendek ini kemudian mengangkat tangan kanannya memberi isyarat kepada anak buahnya.

Delapan orang yang berpakaian seragam hitam, yaitu para anggota dari Mo-kiam-pang, segera bergerak maju, memberi hormat kepada ketua mereka lalu mereka melangkah ke arah papan nama yang tergantung di depan. Sebuah papan nama yang bertuliskan MO KIAM PANG dari papan hitam dengan huruf perak, amat megah nampaknya.

Ketika delapan orang itu berjalan tiba di depan dan bawah papan nama besar itu, mereka menggerakkan tangan dan nampaklah bayangan pedang berkelebat menyambar ke atas ke arah kawat yang menggantung papan nama itu. Tentu saja papan nama itu terlepas dan jatuh ke bawah, diterima oleh tangan delapan orang itu, yang membawa papan nama itu kepada Tung-hai-sian.

Sejenak kakek ini menatap papan nama itu dengan muka yang agak pucat, tanda bahwa perasaannya terguncang, kemudian dia menarik napas panjang lantas begitu tangannya bergerak, nampaklah bayangan samurai berkelebat disusul bunyi keras dan papan nama yang terpegang oleh delapan orang itu runtuh ke bawah menjadi kepingan-kepingan kayu yang tidak terhitung banyaknya! Kemudian, tanpa dapat diikuti pandang mata bagaimana pedang samurai itu sudah kembali ke sarungnya, Bin Mo To sudah menjura kepada para tamunya dan berkata,

“Mulai saat ini juga Mo-kiam-pang telah tidak ada lagi. Para bekas anggota Mo-kiam-pang diperbolehkan memilih. Pulang ke tempat asal mereka atau tetap menjadi pembantu kami, dalam hal ini membantu perusahaan perdagangan kami.”

Tentu saja perbuatan Tung-hai-sian itu membuat semua orang melongo. Tak disangkanya bahwa datuk ini akan membubarkan perkumpulannya demikian saja. Dan pembubaran ini berarti bahwa semua bajak dan perampok di daerah pesisir itu telah dibebaskan, tidak lagi berada di bawah pengamatan serta perlindungan Mo-kiam-pang! Benar-benar merupakan peristiwa besar yang mengejutkan, baik pihak kaum sesat mau pun kaum pendekar.

Akan tetapi, mereka merasa lebih terkejut lagi ketika kembali Tung-hai-sian mengangkat kedua tangannya, kemudian suaranya mengatasi semua kegaduhan, “Harap cu-wi suka mendengarkan sebuah pengumuman lagi dari kami!”

Semua orang lalu memandang dan suasana menjadi sunyi. “Cu-wi yang terhormat, mulai detik ini, bukan hanya Mo-kiam-pang yang bubar, akan tetapi juga tidak ada lagi sebutan Tung-hai-sian, dan tak ada pula sebutan Datuk Dunia Timur! Mulai saat ini saya hanyalah seorang saudagar biasa saja yang bernama Bin Mo To. Saya sudah mencuci tangan dan melepaskan diri dari dunia kang-ouw!”

Pengumuman ini benar-benar mengejutkan semua orang. Orang bisa saja membubarkan perkumpulan, akan tetapi mana mungkin meninggalkan julukan serta nama besar sebagai Datuk Dunia Timur? Tentu saja, kalau pihak para pendekar mengangguk-angguk dengan hati kagum dan memuji, sebaliknya para tokoh dunia hitam mengerutkan alisnya.

Mereka akan kehilangan seorang tokoh dan berarti bahwa golongan mereka kini menjadi lemah. Apa lagi tiga orang datuk lain telah tumbang, Lam-sin tak lagi terdengar beritanya dan kabarnya lenyap tanpa meninggalkan jejak. See-thian-ong telah tewas, demikian pula Pak-san-kui, tewas di tangan Pendekar Sadis seorang yang agaknya berdiri di pihak para pendekar sebab memusuhi para datuk kaum sesat, akan tetapi yang kekejamannya justru melebihi kekejaman golongan sesat yang mana pun juga! Di antara empat datuk, hanya tinggal Tung-hai-sian dan kini datuk ini pun mengundurkan diri.

Karena merasa penasaran, seorang tokoh kaum sesat yang hadir di sana bangkit berdiri lantas berseru, “Locianpwe Tung-hai-sian meninggalkan kedudukannya tanpa alasan yang jelas, apakah gentar oleh munculnya Pendekar Sadis?”

Ucapan ini mendatangkan ketegangan di antara para tamu. Memang berita tentang para datuk yang diserbu dan bahkan sampai tewas oleh Pendekar Sadis, sudah tersiar sampai ke mana-mana. Menurut berita itu, See-thian-ong dan Pak-san-kui, bersama murid-murid mereka, semua tewas oleh Pendekar Sadis, sedangkan Lam-sin dikabarkan lenyap tanpa meninggalkan jejak setelah pendekar itu muncul pula di selatan.

Melihat sepak terjang Pendekar Sadis yang memusuhi para datuk, maka semua orang tentu saja dapat menduga bahwa pada suatu hari tentu pendekar itu akan muncul di timur untuk menghadapi dan menandingi datuk timur Tung-hai-sian Bin Mo To. Inilah sebabnya mengapa ucapan tokoh kaum sesat itu mendatangkan ketegangan hingga semua orang memandang kepada pembicara itu sebelum mereka semua menoleh dan memandang ke arah tuan rumah yang wajahnya segera berubah merah karena pertanyaan yang sifatnya menyerang dan menyudutkannya itu.

“Aha, kiranya Giok Lian-cu Totiang yang tadi mengajukan pertanyaan kepada kami,” kata datuk itu sambil tersenyum penuh kesabaran, walau pun hatinya mendongkol bukan main. Baru saja dia menyatakan melepaskan kedudukannya, orang sudah berani memandang rendah kepadanya seperti itu!

“Benar, pinto adalah Giok Lian-cu, akan tetapi dalam hal pertanyaan yang pinto ajukan ini, katakanlah bahwa pinto mewakili seluruh tokoh kang-ouw dan kami semua mengharapkan jawaban locianpwe secara terus terang.”

Bagaimana pun juga para tamu merasa senang mendengar ini karena rata-rata mereka pun merasa tidak puas dan ingin sekali tahu apa yang mendorong atau memaksa datuk itu meninggalkan kedudukannya serta melepaskan julukan semudah itu. Padahal, semua tokoh maklum belaka betapa sukarnya mencapai kedudukan tinggi seperti Tung-hai-sian dan julukannya itu tidak diperolehnya secara mudah.

“Tadi sudah kunyatakan bahwa sesudah keluarga kami berbesan dengan keluarga ketua Cin-ling-pai, maka kami menyadari sepenuhnya bahwa tak mungkin lagi kami melanjutkan kedudukan lama kami. Bagaimana pun juga, kami harus menghormati kedudukan ketua Cin-ling-pai. Karena itu, demi kebahagiaan puteri kami, maka kami rela mencuci tangan dan mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, dan menjadi seorang berdagang biasa saja. Tidak ada persoalan gentar kepada siapa pun juga.”

“Bohong! Ucapan bohong dan memang Tung-hai-sian telah menjadi seorang penakut!”

Ucapan suara wanita ini tentu saja mengejutkan semua orang sehingga semua mata lalu memandang ke arah wanita yang berani bicara seperti itu. Orang-orang menjadi semakin heran ketika melihat bahwa yang berbicara itu hanyalah seorang dara muda remaja yang duduk di antara tamu tingkat paling rendah! Dara itu kini sudah bangkit berdiri dan orang yang memandangnya bukan hanya terheran karena keberaniannya, melainkan terutama sekali terpesona oleh kecantikannya.

Seorang dara yang cantik jelita dan manis sekali, bahkan agaknya tidak kalah cantiknya dibandingkan dengan Nona Bin Biauw yang menjadi bunga perayaan saat itu. Kulit muka, leher dan tangannya tampak putih mulus, dengan sepasang mata yang tajam mencorong, mulut manis yang selalu tersenyum dan pada saat itu senyumannya mengandung ejekan, kedua tangannya bertolak pinggang, menekan kanan kiri pinggang yang amat ramping itu. Sikapnya gagah dan sedikit pun dia tidak kelihatan malu-malu atau takut-takut, padahal seluruh pandangan mata para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw, liok-lim dan para pendekar itu ditujukan kepadanya.

Tung-hai-sian Bin Mo To memandang pada gadis itu dan dia mengerutkan alisnya karena dia tak merasa mengenal gadis ini. Tahulah dia bahwa gadis ini memang sengaja mencari gara-gara, dan mungkin gadis itu adalah salah seorang di antara kaki tangan para tokoh yang merasa tidak puas dengan pengunduran dirinya. Dia tahu bahwa banyak pihak, di antaranya pihak Pek-lian-kauw yang tadi diwakili oleh Giok Lian-cu, merasa terpukul dan dirugikan kalau dia mengundurkan diri dari dunia hitam.

Akan tetapi, karena yang memakinya bohong dan penakut hanyalah seorang gadis muda remaja, sebagai orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi, tentu saja terpaksa Bin Mo To menahan kembali kemarahannya. Dia memaksa senyum lantas berkata dengan suara yang cukup sabar dan tenang.

“Agaknya nona ingin mengatakan sesuatu. Silakan dan hendaknya lebih dulu nona suka memperkenalkan diri kepada kami dan para tamu yang tentu ingin sekali mengenal siapa adanya nona.” Dengan ucapan ini, Bin Mo To telah menempatkan dirinya di tempat terang dan seperti memaksa gadis itu untuk memperkenalkan diri karena kalau tidak tentu gadis itu akan nampak tolol dan juga bersalah sekali.

Akan tetapi, tiba-tiba dara itu mengeluarkan suara ketawa yang merdu dan manis sekali, kemudian tubuhnya telah melayang dengan gerakan yang mengejutkan orang karena dia seperti terbang melayang, tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur ke atas papan panggung dan sudah berhadapan dengan Tung-hai-sian Bin Mo To. Gerakan ini tentu dikenal oleh para ahli silat yang hadir sebagai gerakan yang mengandung ilmu ginkang yang sangat tinggi.

Melihat ini, Bin Mo To juga terkejut. Ginkang seperti ini hanya dimiliki oleh seorang ahli silat yang tingkatnya telah tinggi. Maka, dia pun tak berani memandang rendah dan cepat dia menyambut dengan sikap hormat.

“Kiranya nona adalah seorang muda yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Maaf kalau sebagai tuan rumah yang telah tua kami tak mengenal pendekar muda dan penyambutan kami kurang menghormat. Harap nona suka memperkenalkan diri dan mengeluarkan isi hati nona.”

“Aku bernama Toan Kim Hong. Mengapa aku mengatakan bahwa Tung-hai-sian menjadi penakut? Karena memang agaknya dia sengaja hendak menghindar dari Pendekar Sadis! Sudah menjadi ketetapan hati pendekar itu hendak menumbangkan empat orang datuk di dunia ini. Lam-sin, datuk selatan telah kalah olehnya, juga See-thian-ong datuk barat dan Pak-san-kui datuk utara. Kini tinggal Tung-hai-sian seorang yang akan diajak bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Akan tetapi, begitu dia muncul, Tung-hai-sian mengundurkan diri! Bukankah ini berarti bahwa datuk timur telah kehilangan nyalinya dan menjadi seorang penakut?”

Wajah Tung-hai-sian menjadi merah. Kalau saja hal ini terjadi kemarin sebelum puterinya bertunangan dengan putera ketua Cin-ling-pai, tentu dia langsung mencabut samurainya untuk menghajar orang yang berani menghinanya seperti itu. Akan tetapi, demi puterinya, dia harus menelan semua penghinaan itu agar tidak sampai terpancing. Bukankah orang yang kini kedudukannya hanyalah sebagai pedagang tidak boleh sembarangan mencabut senjata dan mempergunakan kekerasan? Apalah artinya dia mengundurkan diri dari dunia kang-ouw dan melepaskan kedudukan dan julukannya kalau dia masih suka menyambut dan mempergunakan kekerasan? Sebab itu, dengan mengerahkan kekuatan batinnya, dia memaksa sebuah senyum pahit.

“Nona, aku tidak mengenal Pendekar Sadis, tidak mempunyai urusan dengan dia sama sekali. Sedangkan di waktu aku masih menjadi Tung-hai-sian sekali pun belum tentu aku mau melayani dia bertempur tanpa sebab-sebab yang jelas, apa lagi sekarang sesudah aku menanggalkan semua itu dan menjadi seorang pedagang biasa.”

Khawatir gagal membangkitkan kemarahan tuan rumah untuk diadu dengan Thian Sin, Kim Hong mengerutkan alisnya. Ia datang ke tempat itu bersama Thian Sin, menyelundup di antara para tamu muda yang duduk berbondong-bondong di bagian tamu umum.

Pada waktu Thian Sin mendapat kenyataan betapa Tung-hai-sian sedang merayakan hari pertunangan puterinya dan bahwa puterinya itu ditunangkan dengan pamannya, yaitu Cia Kong Liang, dan melihat pula betapa ketua Cin-ling-pai beserta isterinya berada di situ, hatinya sudah merasa amat sungkan dan malu. Dia tidak bermaksud melanjutkan niatnya menantang Tung-hai-sian, setidaknya bukan pada waktu itu. Akan tetapi Kim Hong yang tidak mempedulikan semua itu telah mendahuluinya dan menantang Tung-hai-sian hingga Thian Sin terpaksa hanya menonton saja dengan hati berdebar tegang dan merasa serba salah.

“Tung-hai-sian! Kini Pendekar Sadis sudah berada di sini dan menantangmu, tidak peduli engkau mau memakai nama Tung-hai-sian atau Bin Mo To, atau juga seorang pedagang tak bernama! Pendeknya, apa bila engkau tidak berani, katakan saja bahwa engkau takut menghadapi dan melawan Pendekar Sadis, baru aku akan pergi dari sini dan membawa kesan bahwa yang bernama Tung-hai-sian Bin Mo To bukan lain hanyalah seorang kakek yang penakut!”

Wajah Bin Mo To menjadi pucat sekali dan selagi dia bingung untuk menguasai dirinya yang dibakar kemarahan, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. “Perempuan hina, berani engkau mengacau tempat kami?”

Dan nampaklah sinar pedang berkelebat ketika Bin Biauw telah meloncat dan menyerang Kim Hong dengan tusukan pedangnya yang mengarah ke lehernya. Akan tetapi ayahnya sudah menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang itu, menahan serangan puterinya.

“Anakku, hari ini merupakan hari baikmu, tidak sepantasnya kalau engkau terjun ke dalam perkelahian. Duduklah kembali, Biauw-ji,” kata Bin Mo To dengan suara lemah lembut dan penuh kasih sayang.

“Hemm, anaknya jauh lebih gagah dari pada ayahnya!” Kirn Hong sengaja mengejek dan dia memang merasa kagum melihat kecantikan Bin Biauw tadi.

Akan tetapi sebelum Bin Biauw kembali ke tempat duduknya, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda bertubuh tegap gagah perkasa dengan pakaian yang rapi, seorang berpotongan pendekar sejati, dengan pedang di punggung, tampan dan ganteng, sikapnya angkuh namun berwibawa.

“Biauw-moi, biarkan aku menghadapi perempuan liar ini!”

Melihat bahwa yang maju adalah calon mantunya, Bin Mo To merasa girang dan bangga. Dia sendiri tentu saja tak merasa gentar menghadapi wanita itu biar pun disebutnya nama Pendekar Sadis membuat hatinya terasa agak tidak enak. Akan tetapi dengan munculnya menantunya yang dia tahu amat lihai, apa lagi ketika itu di situ hadir pula besannya, yaitu ketua Cin-ling-pai, hatinya menjadi besar, maka dia pun tersenyum dan berkata kepada calon mantunya, “Harap engkau berhati-hati.” Lalu dia pun mengajak puterinya kembali ke tempat duduk mereka.

Sekarang Cia Kong Liang telah berhadapan dengan Kim Hong yang agak terpesona oleh pemuda yang gagah perkasa dan ganteng ini. Kim Hong memandang pemuda itu tanpa menyembunyikan rasa kagumnya. Sambil tersenyum manis dia pun berkata,

“Ahhh, kiranya inikah putera ketua Cin-ling-pai yang menjadi mantu Tung-hai-sian Bin Mo To? Hebat! Sungguh pandai sekali Tung-hai-sian memilih menantu!” katanya dan semua orang yang mendengar menjadi semakin heran. Gadis itu berbicara tentang Tung-hai-sian seolah-olah kakek yang menjadi datuk itu hanyalah orang yang setingkat dengan dirinya saja.

Kong Liang tidak mau banyak bicara dengan wanita cantik itu. “Engkau tadi mengatakan bahwa kini Pendekar Sadis sudah muncul untuk mengacau di sini. Nah, akulah lawannya sebab aku yang mewakili tuan rumah, Locianpwe Bin Mo To untuk menghadapi Pendekar Sadis. Sudah lama aku mendengar mengenai kekejamannya dan hari ini aku ingin sekali untuk merasakan sampai di mana sebenarnya kelihaian orang kejam itu!”

Kim Hong tersenyum dan menjadi semakin kagum dengan kegagahan sikap pemuda ini. “Hemmm, tentunya kau she Cia, bukan? Aku mendengar bahwa keluarga Cia, ketua dari Cin-ling-pai merupakan pendekar-pendekar sakti yang berilmu sangat tinggi. Akan tetapi, munculnya Pendekar Sadis di sini adalah untuk menandingi Tung-hai-sian, bukan orang lain. Kalau orang lain yang hendak maju, maka akulah lawannya!”

Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. “Engkau seorang wanita yang sombong sekali. Aku tak peduli siapa yang akan maju, Pendekar Sadis atau antek-anteknya, pendeknya siapa pun yang hendak mengacaukan perayaan hari ini, biarlah dia boleh berhadapan dengan aku!” Sambil berkata demikian, Kong Liang telah mencabut pedangnya, sebatang pedang yang terbuat dari bahan yang sangat baik dan mengeluarkan sinar kebiruan tanda bahwa pedang itu amat tajam dan kuat. Dengan pedang melintang di depan dadanya, Kong Liang menanti, sikapnya siap untuk bertanding.

Kim Hong memandang kagum. Sungguh seorang pemuda yang pilihan, pikirnya. Tampan, ganteng, dan gagah perkasa. Pantas menjadi putera ketua Cin-ling-pai yang kesaktiannya telah amat terkenal itu. Maka timbullah kegembiraannya sehingga dia pun ingin mencoba kepandaian pemuda ganteng itu. Pula, dia pun mengerti bahwa Thian Sin akan merasa sungkan kalau harus melawan pemuda ini yang menurut penuturan kekasihnya itu, masih terhitung paman sendiri.

“Bagus! Cia-taihiap, mari kita main-main sebentar!” katanya dengan manis kemudian dia pun sudah mencabut sepasang pedangnya yang mengeluarkan sinar hitam mengerikan.

Sikap Kim Hong seperti tengah menghadapi suatu permainan atau pertunjukan yang amat menarik saja, sama sekali tidak nampak tegang atau khawatir, seakan-akan dia tidak tahu bahwa dia telah menantang putera tunggal ketua Cin-ling-pai! Kong Liang sendiri merasa mendongkol bukan main. Perempuan sombong ini memang perlu dihajar, pikirnya. Kalau tidak, maka tentu nama baik calon mertuanya akan tercemar.

“Ingat, nona, engkau sendiri yang datang mencari keributan, bukan kami!” berkata Kong Liang sambil memutar pedangnya ke atas kepala sehingga pedang itu berubah menjadi gulungan sinar kebiruan.

“Hik-hik, jangan khawatir. Memang aku datang untuk membikin ribut!” tantang Kim Hong yang juga sudah bergerak, memasang kuda-kuda yang manis sekali, kaki kanan diangkat dan ditekuk, tubuhnya tegak lurus. Pedang kanannya menuding ke atas dada, mulutnya tersenyum dan matanya mengerling ke arah lawan karena mukanya menghadap ke kiri.

“Lihat serangan!” Kong Liang yang bagaimana pun juga merasa tak enak harus melawan seorang dara muda, lalu membentak dan mulai dengan membuka serangan pertama. Kim Hong segera menangkis dengan pedang kirinya sambil mengerahkan tenaga karena dia melihat betapa serangan lawan itu mengandung sinkang yang kuat.

“Cringgg…!”
Kong Liang yang tadi hanya mengeluarkan setengah tenaganya, menjadi terkejut karena pedangnya tergetar hebat. Tahulah dia bahwa lawannya itu, walau pun hanya merupakan seorang wanita muda, namun memiliki sinkang yang kuat. Maka dia pun menyerang lagi, sekali ini mengerahkan seluruh tenaganya. Kim Hong yang agaknya hendak mengukur tenaga lawan, kembali menangkis.

“Tranggg…!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dengan sangat kerasnya dua batang pedang itu bertemu, lantas pedang kanan Kim Hong sudah meluncur ke depan dengan cepatnya menuju ke tenggorokan Kong Liang!

Pemuda ini terkejut. Pertemuan pedang tadi, yang digerakkan dengan sepenuh tenaga, ternyata ditangkis oleh tenaga yang tak kalah kuatnya, bahkan di saat berikutnya, pedang ke dua dari lawannya telah menusuk ke arah tenggorokannya. Dia cepat-cepat miringkan kepala, memutar kaki dan membalas dengan sabetan pedang dari samping. Kembali Kim Hong menangkis.

“Bagus!” Kong Liang memuji dengan sejujurnya.

Mulailah dia menggerakkan pedangnya dengan jurus-jurus dari Siang-bhok Kiam-sut yang hebat. Ilmu Pedang Kayu Harum ini adalah ilmu inti dari Cin-ling-pai, maka kehebatannya bukan main. Aslinya dimainkan oleh pedang kayu, akan tetapi untuk mencapai tingkat ini bukanlah mudah sehingga Kong Liang sendiri pun tidak mampu jika harus menggunakan pedang kayu, maka sebagai gantinya dia mainkan ilmu itu dengan pedang baja. Biar pun tidak sehebat kalau ayahnya bermain pedang kayu, akan tetapi ilmu pedang pemuda ini sudah hebat bukan main.

Melihat gerakan-gerakan aneh dan indah sekali ini, Kim Hong sendiri terkejut dan kagum. Dia merasa amat tertarik sehingga untuk belasan jurus lamanya dia hanya mengelak dan menangkis sambil memperhatikan gerakan lawan.

“Bagus sekali! Inikah Siang-bhok Kiam-sut dari Cin-ling-pai? Hebat… hebat… hebat…!”

Dia menangkis kembali dan mulai membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Kini sepasang pedangnya sudah membentuk dua gulungan sinar hitam yang melingkar-lingkar seperti dua ekor naga hitam yang menyambar-nyambar. Dia pun segera mainkan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu Hok-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Penakluk Iblis) dan karena dia memiliki ginkang yang masih lebih tinggi dibandingkan dengan Kong Liang maka gerakannya amat cepat dan cukup membuat Kong Liang menjadi bingung.

Pemuda ini cepat mengubah permainan pedangnya dan menggunakan gerakan Thai-kek Sin-kun untuk melindungi dirinya. Memang hanya ilmu inilah yang dapat digunakan untuk melindungi dirinya terhadap desakan lawan yang lihai. Akan tetapi, karena mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga untuk melindungi diri, dengan sendirinya Kong Liang tidak dapat membalas dan mulailah dia terdesak dengan hebat.

Kim Hong yang merasa gembira sekali itu sudah mengerahkan seluruh tenaganya sambil mengeluarkan semua kepandaiannya, maka tentu saja Kong Liang menjadi repot karena bagaimana pun juga, tingkat kepandaian Kim Hong yang pernah menjadi Lam-sin datuk selatan itu masih lebih tinggi dari tingkatnya!

Semua orang, termasuk juga Bin Mo To, dan bahkan Cia Bun Houw dan Yap In Hong, terkejut bukan kepalang melihat kenyataan yang pahit ini. Tidak pernah ada yang mengira bahwa gadis muda yang sama sekali tidak terkenal itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang begitu hebatnya sehingga putera ketua Cin-ling-pai yang sangat lihai itu pun menjadi kewalahan!

Yap In Hong yang melihat puteranya terdesak, sudah hendak bangkit, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. Akan tetapi suaminya menyentuh lengannya, maka dia pun teringat bahwa kalau sampai dia bangkit membantu puteranya, maka tentu saja hal itu akan mencemarkan nama besar Cin-ling-pai. Mana mungkin keluarga Cin-ling-pai main keroyok!

Akan tetapi pandangan mata Cia Bun Houw lebih tajam lagi. Dia memang dapat melihat bahwa dara itu bukan orang sembarangan, dan terutama sekali dalam hal ginkang, wanita itu jauh mengatasi puteranya. Puteranya akan kalah, akan tetapi betapa pun juga Kong Liang telah memiliki dasar yang amat kokoh kuat maka tidak mungkin dapat celaka begitu saja dan di samping itu, agaknya wanita itu pun tak bermaksud jahat terhadap puteranya. Maka pendekar ini pun hanya menonton saja dengan hati tegang akan tetapi wajah tetap tenang.

Juga Tung-hai-sian yang berilmu tinggi, pada waktu melihat kenyataan ini diam-diam dia terheran-heran kenapa tiba-tiba dapat muncul seorang dara yang begini lihainya. Apa lagi ketika dia melihat sepasang pedang hitam itu, dan gerakan-gerakan yang mengingatkan dia akan ilmu-ilmu dari Lam-sin, rekannya, yaitu datuk selatan dia menjadi semakin heran.

Apakah dara ini adalah murid Lam-sin, pikirnya. Akan tetapi kalau muridnya begini lihai luar biasa, tentu Lam-sin sekarang telah menjadi orang yang sukar dicari bandingnya lagi di dunia ini. Akan tetapi kalau benar murid Lam-sin, bagaimana bisa bersahabat dengan Pendekar Sadis? Bukankah Lam-sin tiba-tiba lenyap setelah kedatangan Pendekar Sadis dan mungkin sekali juga sudah terbunuh oleh pendekar itu...?
Selanjutnya,

Pendekar Sadis Jilid 36

Pendekar Sadis Jilid 36
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
MEREKA berhenti di padang rumput, jauh dari dusun-dusun. Hanya burung-burung yang menyambut keindahan pagi dengan nyanyian mereka sajalah yang menemani mereka di tempat sunyi itu. Tidak nampak seorang pun manusia lain di sekitarnya.

“Kim Hong,” kata Thian Sin yang semenjak tadi menahan-nahan perasaan hatinya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyesak di dalam dada, sebab ketika mereka berlari-lari tadi, Kim Hong seolah-olah sengaja hendak mengajaknya berlomba. “Sekarang aku minta penjelasan darimu.”

Kim Hong tersenyum, mempergunakan sapu tangan sutera hijau untuk menghapus peluh dari leher dan dahinya, kemudian menggunakan sapu tangan itu untuk dikebut-kebutkan ke atas rumput di bawahnya. Titik-titik embun yang menempel pada ujung-ujung rumput itu, seperti juga keringatnya tadi, tersapu bersih dan setelah sebagian rumput itu kering, dia pun lantas menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang sudah tidak basah itu, sambil tersenyum.

“Penjelasan apa lagi?” tanyanya sambil mengerling, dan Thian Sin melihat betapa kerling mata dan senyum itu mengandung perpaduan antara ejekan dan rangsangan.

Thian Sin mengerutkan kedua alisnya, rasa cemburu memanaskan dadanya sehingga dia menjadi tidak sabaran. Dia pun menjatuhkan diri duduk di atas rumput, tidak peduli bahwa celananya menjadi basah oleh embun yang memandikan rumput-rumput hijau.

“Penjelasan banyak hal. Kenapa engkau meninggalkan aku pergi tanpa pamit? Kemudian, mengapa engkau melindungi Siangkoan Wi Hong ketika aku menyerangnya? Dan kenapa engkau bersekutu dengan Pak-san-kui dan kemudian engkau membalik melawan mereka dan membantuku? Dan kenapa… kenapa engkau membiarkan dirimu dirayu dan dicium oleh Siangkoan Wi Hong?”

Mendengar semua pertanyaan itu, Kim Hong tersenyum dan memandang kepada Thian Sin seperti pandang mata seorang dewasa memandang anak-anak yang nakal dan ingin digodanya. Kemudian dia mencabut sebatang rumput, lantas menggigit-gigit rumput itu di antara giginya yang berderet rapi dan putih bagaikan deretan mutiara, di antara bibirnya yang merah membasah dan tersenyum simpul itu.

“Thian Sin, engkau ini seorang pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi jalan pikiranmu masih begitu picik dan tumpul. Bila engkau tidak mengerti kenapa aku meninggalkanmu, biarlah engkau tetap saja tolol dan aku tak mau memberi tahukan kepadamu. Akan tetapi yang lain-lain dapat kujelaskan. Aku mendahuluimu ke Tai-goan, aku hendak menyelidiki keadaan Pak-san-kui yang kau sohorkan hebat itu. Aku sengaja mendekati Siangkoan Wi Hong dan pada waktu aku sedang menyelidiki, lalu muncul engkau yang hendak merusak penyelidikanku dengan menyerang Siangkoan Wi Hong. Tentu saja aku lalu mencegahmu. Aku pura-pura bersekutu dengan Pak-san-kui untuk menyelidiki keadaannya, dan melihat keadaan mereka sangat kuat, didukung oleh pasukan penjaga keamanan Tai-goan, mana mungkin engkau sanggup mengalahkannya? Maka ketika engkau menyerangnya dan aku melindunginya, lalu engkau lari, dengan diam-diam aku membayangimu dan tahu bahwa engkau tinggal di pondok itu. Aku lalu mengajak mereka untuk menyerbu tanpa bantuan pasukan. Nah, setelah Pak-san-kui dan puteranya serta tiga orang muridnya menyerbu, bukankah itu adalah hal yang kau tunggu-tunggu?”

Thian Sin melongo, lalu menggerakkan tangan hendak memegang lengan gadis itu, akan tetapi Kim Hong segera mengelak.

“Kim Hong, maafkan aku. Ternyata engkau melakukan semuanya itu untuk membantuku! Sungguh benar katamu bahwa aku seperti buta, aku telah berani menyangka yang bukan-bukan, mengira engkau membelakangiku dan memihak mereka. Kau maafkan aku!”

Bibir bawah yang lunak itu lantas mencibir, “Hemmm, untuk salah pengertian itu aku tidak perlu memaafkanmu karena memang sebaiknya jika engkau salah mengerti. Hal ini justru membuat penyelidikanku menjadi sempurna.”

“Kim Hong, apa bila engkau tidak menyesal, mengapa engkau menjauhkan diri? Sungguh aku tidak mengerti.”

“Apa saja yang kau mengerti kecuali membunuh orang?” Kim Hong mengejek.

“Kim Hong… aku minta kepadamu, jangan kau biarkan aku dalam kebingungan. Kuharap engkau suka menjelaskan mengapa engkau meninggalkan aku dan kenapa pula engkau membiarkan dirimu dirayu oleh Siangkoan Wi Hong.”

Tiba-tiba sepasang mata itu berkilat dan alis itu berkerut. “Ceng Thian Sin, karena engkau mendesak, aku akan memberi tahu, akan tetapi kalau setelah ini engkau tidak mau minta ampun kepadaku, jangan harap aku akan sudi bertemu muka denganmu lagi! Kau dengar baik-baik. Engkau telah menghinaku, engkau juga telah meremehkan perasaanku dengan mencium So Cian Ling di hadapan mataku! Itulah sebabnya maka aku meninggalkanmu! Dan engkau melihat aku membiarkan diri berciuman dan berpelukan dengan laki-laki lain, tanpa peduli siapa pun laki-laki itu? Karena aku sengaja melakukannya untuk membalas dendam kepadamu! Aku tahu bahwa engkau membayangi kami, dan memang aku ingin engkau melihat hal itu! Nah, kini aku telah memberi penjelasan!” Kim Hong bangkit berdiri kemudian membalikkan tubuhnya, membelakangi pemuda itu.

Thian Sin menjadi bengong sejenak, namun ketika melihat betapa kedua pundak gadis itu bergoyang-goyang, tahulah dia bahwa Kim Hong menangis, walau pun ditahan-tahannya sehingga tidak terisak. Maka dia pun segera menubruk kedua kaki gadis itu dan dengan penuh penyesalan dia pun berkata, “Kim Hong, kau ampunkanlah aku, Kim Hong.”

Sikap serta ucapan Thian Sin ini seperti membuka bendungan air bah sehingga air mata gadis itu mengalir turun dan kini dia tidak dapat menahan tangisnya sesenggukan.

“Kim Hong, aku mengaku salah… aku… tidak sengaja, melihat dia menghadapi kematian, aku terharu dan… ahhh, ampunkan aku, Kim Hong, aku… cinta padamu.”

Akan tetapi walau pun kini Thian Sin memeluk kedua kakinya dan berada di hadapannya, Kim Hong tidak menjawab dan hanya menangis sambil menutupi mukanya dengan sapu tangan.

“Kim Hong, maukah engkau memaafkan dan mengampuniku?” Kembali Thian Sin berkata sambil mengangkat muka memandang.

Kim Hong menahan isaknya dan menjawab lirih, “Kalau aku tidak sudah mengampunimu semenjak tadi, tentu aku sudah membantu mereka mengeroyokmu dan apa kau kira saat ini kau masih dapat hidup?”

Bukan main girangnya hati Thian Sin mendengar ini dan memang dia pun dapat melihat kenyataan dalam ucapan gadis itu. Kalau tadi Kim Hong membantu Pak-san-kui dan turut mengeroyoknya, jelaslah bahwa dia tak akan mungkin dapat menang. Hanya menghadapi Pak-san-kui seorang saja, dia hanya menang setingkat, juga demikian kalau dia melawan Kim Hong. Maka apa bila Pak-san-kui dibantu Kim Hong menyerangnya, sudah jelas dia akan kalah.

Apa lagi di sana masih ada Pak-thian Sam-liong dan Siangkoan Wi Hong! Belum lagi jika diingat bahwa tanpa bantuan Kim Hong, tentu tadi dia sudah dikurung oleh ratusan orang pasukan penjaga. Tidak, betapa pun lihainya, dia tidak mungkin dapat meloloskan diri dan sekarang tentu sudah menjadi mayat seperti Pak-san-kui dan murid-muridnya.

“Terima kasih Kim Hong, terima kasih! Sungguh akulah yang tolol, dan aku sangat cinta padamu. Kim Hong, apakah engkau juga cinta kepadaku?”

Kim Hong menjatuhkan diri berlutut, berhadapan dengan pemuda itu. “Tolol, jika aku tidak cinta padamu, apa kau kira aku sudi menyerahkan diri tempo hari? Kalau aku dikalahkan oleh pria yang tidak kucinta, apa sukarnya bagiku untuk membunuh diri?”

“Kim Hong…”

Mereka lalu berpelukan, saling dekap dan saling cium dengan penuh kemesraan, dengan panas karena di situ mereka mencurahkan segenap kerinduan hati mereka yang mereka tahan-tahan selama ini. Mereka tidak mempedulikan lagi rumput basah air embun, bahkan rumput-rumput itu menjadi tilam pencurahan kasih asmara mereka di tempat sunyi itu. Mereka lupa akan segala dan tinggal di padang rumput itu sampai dua hari dua malam, setiap saat hanya bermain cinta, saling mencurahkan cinta birahi yang seolah-olah tidak pernah mengenal puas.

Senggama, perbuatan yang dilakukan oleh pria dan wanita, adalah sesuatu yang amat indah, sesuatu yang tak bisa terelakkan, sesuatu yang wajar, sesuatu yang mengandung kenikmatan lahir batin, sesuatu yang menjadi hal yang terutama dalam hubungan antara pria dan wanita di dunia ini. Juga merupakan suatu perbuatan yang amat suci, karena di dalamnya terkandung kemukjijatan besar, yaitu perkembang biakan manusia, penciptaan manusia di dalam rahim ibunya.

Sungguh sayang bahwa semenjak ribuan tahun, hal itu malah dianggap sebagai sesuatu yang harus dirahasiakan, sesuatu yang bahkan dianggap tidak pantas untuk dibicarakan, terutama sekali kepada anak-anak, kepada calon-calon manusia yang pada waktunya tak akan terbebas dari pada perbuatan itu pula.

Sementara bahkan ada pula pandangan dari orang-orang yang belum mengerti atau yang munafik, atau yang pura-pura mengerti, bahwa senggama adalah sebuah hal yang ‘kotor’ untuk dibicarakan. Mengapakah kita tak berani mengungkap peristiwa ini, perbuatan ini, malah banyak yang menganggapnya sebagai pantangan dan sebagai pelanggaran susila bila mana membicarakannya? Mengapa? Apakah karena di sanalah tersembunyi rahasia kelemahan kita, sesuatu yang membuat kita tak berdaya, sesuatu yang menghancurkan seluruh gambaran dari si ‘aku’?

Ataukah karena begitu saratnya kata senggama atau sex dengan hal-hal yang dianggap memalukan dan tidak pantas maka kata itu, penggambaran tentang hal itu dianggap tak layak dikemukakan kepada kita yang ‘berbudaya’, yang ‘sopan’, yang ‘bersusila’? Kenapa kita begitu munafiknya sehingga untuk membicarakan kita merasa malu, walau pun tidak seorang pun di antara kita yang tidak melakukannya? Membicarakan malu, akan tetapi tidak malu melakukannya, walau pun dengan sembunyi-sembunyi. Bukankah ini munafik namanya?

Memang, seperti juga orang makan, apa bila senggama dilakukan orang hanya sekedar untuk mengejar kesenangan belaka, hal itu dapat saja menjadi sesuatu yang tidak sehat dan buruk. Orang yang memasukkan sesuatu ke dalam perutnya melalui mulut, apa bila hanya terdorong oleh nafsu keinginan belaka, bukan tidak mungkin ‘makan’ lalu menjadi sesuatu yang buruk dan mungkin menimbulkan bermacam-macam penyakit.

Demikian pula dengan senggama, jika dilakukan hanya untuk menuruti nafsu keinginan, maka yang ada hanyalah nafsu birahi semata dan hal ini akan menimbulkan bermacam keburukan seperti pelacuran, perjinahan, perkosaan dan sebagainya. Akan tetapi, kalau senggama dilakukan dengan dasar cinta kasih, sebagai tuntutan lahir batin yang wajar, maka hubungan senggama merupakan hubungan puncak yang paling indah dan suci bagi pria dan wanita yang saling mencinta. Penumpahan rasa sayang, rasa cinta, rasa bersatu, yang amat agung.

Perbuatan apa pun yang dilakukan manusia, termasuk terutama sekali senggama, kalau dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu adalah benar, bersih, sehat, dan indah. Indah sekali! Karena perbuatan antara dua orang manusia itu dilakukan dengan penuh kesadaran, dengan penuh kerelaan, sedikit pun tidak terdapat kekerasan, di sana yang ada hanya kemesraan dan dorongan untuk saling membahagiakan.

Saling membahagiakan! Inilah senggama yang dilakukan dengan dasar saling mencinta. Bukan mencari kenikmatan melalui partnernya, sama sekali tidak. Bahkan kenikmatan itu datang karena ingin membahagiakan partnernya. Inilah senggama yang benar karena cinta kasih tidak akan ada selama diri sendiri ingin senang sendiri. Sayang sekali kalau hal yang teramat penting ini dilupakan orang.

Sekali lagi perlu kita semua ingat bahwa senggama hanyalah suci dan bersih apa bila dilakukan orang atas dasar cinta kasih! Tanpa adanya cinta kasih maka hal itu bisa saja terperosok kepada perbuatan maksiat yang kotor.

Pada hakekatnya, semua pengejaran kesenangan merupakan sesuatu yang kotor karena di situ juga terkandung kekerasan dalam usaha untuk mencapai apa yang dikejar, yaitu kesenangan tadi. Jadi, sangat perlulah bagi anak-anak kita untuk semenjak kecil sudah mengetahui dengan jelas bahwa senggama adalah hubungan yang paling mesra antara dua orang laki-laki dan wanita yang saling mencinta.

Saling mencinta! Bukan hanya saling tertarik oleh keadaan lahiriah belaka, seperti wajah cantik atau tampan, kedudukan, kepandaian, harta benda atau lainnya. Anak-anak kita perlu mengetahui bahwa hubungan itu adalah hubungan yang suci, yang mengandung kemukjijatan terciptanya manusia baru dan sumber perkembang biakan manusia.

Cabul? Mudah saja orang mempergunakan kata ini untuk dijadikan dalih sebagai penutup kemunafikannya. Semacam keranjang sampah untuk mencoba mengalihkan pandangan sendiri terhadap kekotoran diri sendiri yang masih mengeram di dalam batin. Kecabulan bukanlah terletak di luar, bukan melekat di dalam kata mau pun perbuatan, melainkan di dalam lubuk hati.

Cabulkah orang yang melukis wanita telanjang? Jangan dinilai dari lukisannya melainkan dijenguk dasar lubuk hati si pelukis yang kadang-kadang memang tergambar di dalam lukisannya. Kalau di waktu melukis batinnya membayangkan kecabulan, maka cabullah pelukis itu. Cabulkah orang yang menonton gambar wanita telanjang? Tergantung pula dari keadaan batin si penonton gambar itu. Baru cabul namanya jika di waktu menonton dia menggambarkan hal-hal yang cabul tentunya. Seorang mahasiswa kedokteran yang sedang mempelajari ilmu anatomi sambil memandang gambar orang telanjang, belajar dengan tekun, tentu tidak melihat kecabulan apa pun.

Kecabulan timbul dari pikiran. Pikiran yang sering kali mengenang-ngenang pengalaman-pengalaman yang nikmat, baik pengalaman sendiri mau pun pengalaman orang lain lewat buku-buku dan cerita-cerita. Sang Pikiran membayang-bayangkan semua kenikmatan itu sehingga timbullah keinginan, timbullah nafsu birahi tanpa adanya cinta kasih, dan nafsu birahi tanpa cinta kasih inilah kecabulan! Keinginan untuk memperoleh kenikmatan inilah yang menciptakan berbagai macam akal, demi mencapai kenikmatan sebanyak mungkin seperti yang dibayang-bayangkan oleh pikiran, oleh si ‘aku’ yang selalu ingin menyelam ke dalam kesenangan. Dan pengejaran kesenangan ini menimbulkan segala macam cara dan inilah sumber kecabulan! Juga kekerasan, juga kemaksiatan, juga kejahatan.

Jadi jelaslah bahwa sex itu sendiri bukanlah sesuatu yang cabul. Cabul tidaknya sesuatu itu tergantung dari dasar batin orang yang menonjolkannya atau juga dasar batin orang yang memandangnya.

Di antara segala perbuatan di dunia ini, satu-satunya yang membuat kita merasa bebas, satu-satunya yang melenyapkan perasaan si aku untuk sesaat, hanyalah sex itulah! Di sini tidak lagi terdapat si aku yang menikmati. Seluruh diri lahir batin lebur menjadi satu dengan kenikmatan itu sendiri.

Dan keadaan seperti itu, keadaan tanpa aku inilah yang merupakan kenikmatan tertinggi sehingga membuat sex menjadi sesuatu yang teramat penting dan terpenting di dalam kehidupan, membuat orang mendewa-dewakannya. Dan karenanya sex menjadi sebuah kesenangan, dan setelah menjadi kesenangan lantas menciptakan pengejarannya. Maka terjadilah hal-hal yang amat buruk.


Thian Sin dan Kim Hong lupa diri. Setelah berpisah, barulah kini mereka merasa betapa mereka itu saling membutuhkan, dan pertemuan yang mesra ini membuat ikatan di antara mereka menjadi semakin kuat. Walau pun tidak ada ikatan lahir seperti pernikahan dan sebagainya di antara mereka, namun di dalam batin, mereka saling mengikatkan diri.

********************

“Sudah engkau pikirkan secara mendalamkah, Kong Liang?” Ibunya bertanya, suaranya mengandung kekerasan karena betapa pun Yap In Hong mencinta puteranya ini, namun apa yang dikemukakan puteranya itu sungguh tidak berkenan di hatinya. “Engkau harus ingat bahwa engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai!”

“Ibu, apakah dalam hal ini ibu hendak menonjolkan kedudukan?” puteranya membantah. Kini Cia Kong Liang sudah berusia dua puluh empat tahun, sudah lebih dari dewasa dan pandangannya sudah luas walau pun dia mewarisi kekerasan hati ibunya.

“Bukan begitu maksudku, Liang-ji. Aku tidak menonjolkan kedudukan ayahmu, melainkan hendak mengingatkanmu bahwa ayahmu seorang pendekar besar. Ibumu pun sejak muda dikenal sebagai seorang pendekar dan engkau tentu maklum perdirian seorang pendekar, yaitu menentang kejahatan. Dan engkau tentu maklum pula siapa adanya Tung-hai-sian Bin Mo To itu! Engkau tentu telah mendengar perkumpulan macam apa yang dinamakan Mo-kiam-pang yang diketuai serta didirikan oleh Tung-hai-sian itu. Mereka itu menguasai seluruh dunia perbajakan.”

“Akan tetapi, ibu. Yang saya cinta dan yang saya ingin supaya menjadi jodohku bukanlah Tung-hai-sian, melainkan Nona Bin Biauw!” Pemuda itu berbicara penuh semangat, akan tetapi dia bertemu pandang dengan ayahnya sehingga sadar bahwa dia bicara terlampau keras kepada ibunya, maka langsung disambungnya dengan suara halus, “Ibu, aku tahu bahwa Tung-hai-sian adalah seorang datuk golongan sesat yang menguasai dunia timur. Akan tetapi saat aku menjadi tamu di sana, aku melihat benar bahwa sikap dan wataknya sama sekali tidak membayangkan orang yang berhati jahat. Kecuali itu, aku sama sekali tidak peduli akan keadaan orang tuanya, karena apakah kita harus menilai seseorang dari keadaan orang tuanya, ibu?”

“Betapa pun juga, orang tua serta keluarganya tidak mungkin dikesampingkan begitu saja, anakku. Aku tidak melarang, tidak menentang, hanya minta kebijaksanaanmu.”

Cia Bun Houw tidak dapat mendiamkan saja puteranya dan isterinya berbantahan seperti itu. Dia lalu menarik napas panjang dan berkata, “Sudahlah, setiap pendapat tentu saja didasari dengan perhitungan-perhitungan yang semuanya mengandung kebenaran. Akan tetapi betapa pun juga, pendapat akan bertemu dengan pendapat lain sehingga terjadilah perselisihan dan kalau sudah demikian, maka keduanya menjadi tidak benar lagi. Isteriku, betapa pun tepat semua pendirianmu tadi, akan tetapi kita harus selalu ingat bahwa suatu perjodohan adalah urusan yang sepenuhnya mengenai diri dua orang yang bersangkutan itu sendiri. Percampur tanganan orang lain, biar orang tua sendiri sekali pun, biasanya tak menguntungkan dan hanya menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Harap kau ingat akan hal ini.”

Tentu saja Yap In Hong ingat benar akan hal itu. Bukankah perjodohannya sendiri dengan suaminya itu pun mengalami hal-hal yang menimbulkan penyesalan, bahkan membuat suaminya itu terpaksa berpisah dari orang tua selama bertahun-tahun karena orang tua suaminya tidak menyetujui perjodohan suaminya dengannya?

Dia tahu betul akan hal ini, tahu bahwa sebenarnya dia tidak berhak menentang kehendak puteranya yang sudah jatuh cinta kepada puteri Tung-hai-sian. Akan tetapi tetap saja dia adalah seorang ibu, seorang wanita, dan alangkah sukarnya menerima kenyataan yang amat berlawanan dengan keinginan hatinya itu. Maka, mendengar ucapan suaminya yang tak dapat dibantah lagi kebenarannya itu, dia hanya menundukkan mukanya dan matanya menjadi basah.

Melihat ini, Bun Houw merasa kasihan terhadap isterinya. Mereka sudah mulai tua, sudah mendekati enam puluh tahun. Tentu saja isterinya itu ingin sekali melihat puteranya dapat berjodoh dengan seorang dara yang bisa memuaskan dan menyenangkan hati isterinya sebagai seorang ibu.

“Lagi pula, kita belum pernah melihat gadis itu, isteriku. Siapa tahu, pilihan Kong Liang memang tepat.”

Mendengar ini, Yap In Hong segera mengusap air mata dan menarik napas panjang, lalu mengangkat mukanya memandang kepada puteranya sambil memaksa senyuman penuh harapan. “Itulah harapanku, dan agaknya anak kita tidak akan memilih dengan membabi buta.”

Kong Liang sungguh maklum apa yang diusahakan oleh ayahnya dan maklum apa yang terjadi di dalam perasaan ibunya. Maka dia pun mendekati ibunya dan memegang lengan ibunya dengan penuh kasih.

“Percayalah, ibu, selama ini aku sudah bertemu dengan banyak wanita, akan tetapi dalam pandanganku, tidak ada yang dapat menyamai Nona Bin Biauw. Di samping cantik jelita, dia juga sangat lincah dan gagah perkasa, lesung pipit di kedua pipinya manis sekali, dan semua gerak-geriknya, pakaiannya, sangat sederhana, sama sekali tidak membayangkan sifat pesolek walau pun dia adalah anak orang kaya.”

Ibunya tersenyum. “Begitulah kalau sudah jatuh cinta. Dahulu ayahmu juga menganggap ibumu ini sebagai wanita paling cantik di dunia!”

“Tapi, ibu memang wanita paling hebat di dunia!” Kong Liang berseru. “Pilihan ayah sama sekali tidak keliru!”

Lenyaplah sudah semua kemasygulan dari hati Yap In Hong. Nenek ini lantas tersenyum dan berkata, “Tentu saja, karena aku ibumu! Dan kalau ayahmu dahulu tidak memilih aku, tentu tidak akan terlahir engkau!” Mereka bertiga tertawa-tawa gembira sehingga suasana menjadi tenang dan akrab kembali.

Akhirnya kedua orang tua itu terpaksa menyetujui kehendak Kong Liang karena mereka mulai melihat kenyataan betapa putera mereka memang sudah jatuh cinta kepada puteri Tung-hai-sian Bin Mo To. “Akan tetapi, sebaiknya kalau kita mengirim utusan saja,” kata Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai itu. “Biar pun engkau telah merasa yakin bahwa keluarga Bin itu akan menerima pinangan kita, Kong Liang, akan tetapi keyakinanmu itu hanyalah berdasarkan dugaan saja. Pula, siapa tahu kalau-kalau dara itu sudah dijodohkan dengan orang lain. Tentu saja engkau tidak ingin melihat ayah bundamu mengalami pukulan batin dan rasa malu kalau sampai pinangan ini gagal. Maka, sebaiknya pinangan ini dilakukan melalui surat dan utusan, jadi andai kata gagal sekali pun tidak langsung membikin malu.”

Kong Liang setuju dan dapat mengerti alasan yang diajukan ayahnya. Memang dia dapat membayangkan betapa akan terpukul rasa hati orang tuanya kalau melakukan pinangan sendiri, datang ke rumah Tung-hai-sian, kemudian pinangan mereka ditolak karena gadis itu telah ditunangkan dengan orang lain misalnya.

Demikianlah, ketua Cin-ling-pai itu lalu mengirim utusan yang membawa surat lamaran ke Ceng-tou di Propinsi Shan-tung. Dan tentu saja lamaran itu diterima dengan amat girang dan bangga oleh keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To.

Utusan itu dijamu penuh kehormatan, kemudian ketika mengirim jawaban yang menerima pinangan itu, Bin Mo To tidak lupa membekali banyak barang-barang berharga sebagai hadiah kepada keluarga Cia! Dia juga mengirim undangan agar keluarga itu datang untuk membicarakan penentuan hari pernikahan.

Sebelum menerima undangan calon besan ini, Cia Bun Houw berunding dengan isterinya dan puteranya. “Kong Liang, pernikahan bukanlah sebuah hal yang remeh sehingga patut dipertimbangkan dengan baik-baik agar kelak tidak akan menimbulkan penyesalan. Ibumu dan aku percaya bahwa engkau sudah jatuh cinta kepada Nona Bin Biauw, akan tetapi harus kau akui bahwa perkenalanmu dengan nona itu masih sangat dangkal. Oleh karena itu, demi kebaikan kalian berdua sendiri, seyogyanya kalau pernikahan kalian ditunda dulu selama beberapa bulan sehingga dalam masa pertunangan engkau dan juga kami dapat mengamati dan melihat bagaimana keadaan dan watak dari keluarga Bin. Karena selama belum menikah, masih belum terlambat untuk mengubah kalau terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki.”

Kong Liang menyetujui pendapat ayahnya, dan pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka menuju ke Ceng-tou memenuhi undangan Bin Mo To yang dalam kesempatan itu sekalian mengundang hampir semua tokoh kang-ouw karena dia hendak mengumumkan pertunangan puterinya dengan putera Cin-ling-pai dan tentu saja di dalam kesempatan ini dia yang merasa bangga bukan kepalang itu mendapatkan kesempatan untuk menikmati kebanggaannya.

Pada hari yang ditentukan itu, suasana dalam rumah gedung keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To sungguh sangat meriah. Rumah gedung besar itu dihias dengan indah, dan semua anak buahnya, yaitu para anggota Mo-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan) nampak sibuk sekali.

Tamu-tamu berdatangan dari segenap penjuru dan diterima oleh murid-murid kepala atau tokoh-tokoh Mo-kiam-pang yang mewakili pihak tuan rumah. Sementara itu, keluarga Bin Mo To sendiri sibuk melayani keluarga Cia yang sudah datang lebih dahulu dan terjadilah pertemuan ramah tamah di dalam gedung, di mana keluarga Cia disambut dengan penuh kehormatan, keramahan dan kegembiraan.

Tung-hai-sian Bin Mo To merasa berbahagia dan bangga bukan kepalang. Hal ini tidaklah mengherankan. Dia adalah seorang Jepang, sungguh pun keturunan samurai sekali pun, namun tetap merupakan seorang asing, orang Jepang yang selalu dianggap rendah oleh bangsa Han, dianggap sebagai pelarian, sebagai bangsa biadab dan digolongkan sebagai bangsa bajak dan perampok! Dan betapa pun juga, tak dapat diingkari bahwa dia adalah seorang datuk golongan hitam, seorang tokoh besar dalam dunia penjahat yang biasanya dipandang rendah dan dimusuhi oleh para pendekar.

Dan sekarang, dia hendak berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, sebuah partai persilatan besar yang sangat disegani. Puteri tunggalnya ternyata berjodoh dengan putera tunggal ketua Cin-ling-pai! Tentu saja hal ini merupakan penghormatan besar sekali baginya dan akan mengangkat namanya ke tempat tinggi dalam pandangan dunia kang-ouw dan para pendekar.

Karena itu, biar pun pesta yang diadakan itu hanya untuk merayakan pertunangan, bukan pernikahan, namun dia mengerahkan harta bendanya untuk membuat pesta yang besar dan meriah sekali, dan mengirim undangan ke segenap pelosok. Semua tokoh besar dari semua kalangan, baik itu merupakan kaum liok-lim, kang-ouw atau pun kaum pendekar, semuanya dikirimi undangan.

Maka, pada hari yang telah ditentukan, tempat tinggal keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To atau nama aslinya Minamoto itu dibanjiri oleh tamu dari berbagai golongan. Bukan hanya gedung yang memiliki ruangan depan sangat luas itu yang penuh, bahkan di pekarangan depan yang lebih luas lagi yang kini dibangun atap darurat, juga penuh dengan para tamu.

Minuman berlimpahan berikut kue-kue ringan disuguhkan sebelum hidangan dikeluarkan, dan tempat itu amat berisik dengan suara para tamu yang bercakap-cakap sendiri antara teman semeja. Suara berisik para tamu ini bahkan mengatasi suara musik yang sejak tadi pagi telah dibunyikan oleh rombongan musik.

Semua wajah kelihatan gembira seperti biasanya tampak di dalam pesta perayaan seperti itu, di mana para tamu bergembira karena minuman yang memasuki perut dan mendapat kesempatan berjumpa dengan teman-teman dan kenalan-kenalan yang duduk satu meja. Kelompok memilih kelompok, dan setiap pendatang baru mengangkat muka melihat-lihat untuk mencari kelompoknya sendiri-sendiri, atau mencari orang-orang yang mereka kenal baik.

Dengan wajah penuh senyum, mata bersinar-sinar dan muka yang berseri-seri, Bin Mo To sendiri sudah keluar ke tempat kehormatan di atas panggung, sambil mengiringkan tamu kehormatan, yaitu keluarga Cia. Dan untuk keperluan ini Bin Mo To tidak ingin melupakan asal-usulnya, maka dia mengenakan pakaian tradisional Jepang, dengan jubah lebar dan sandal jepit berhak tinggi dan tebal.

Kepalanya yang agak botak itu licin, rambutnya digelung ke atas dan dihias dengan tusuk konde emas permata. Pedang samurainya tergantung di pinggang, dengan sarung pedang berukir dan berwarna-warni seperti juga pakaiannya. Dia nampak gagah sekali dan ketika berjalan, tubuhnya yang pendek tegap itu berlenggang seperti langkah seekor harimau.

Isterinya yang pertama berjalan bersama dengan isteri ke dua, yaitu wanita Korea yang menjadi ibu kandung Bin Biauw. Hanya isteri pertama dan isteri ke dua inilah yang hadir secara resmi, sedangkan belasan isterinya yang lain sibuk di dapur, tapi akhirnya mereka juga muncul di pinggiran.

Bagaimana pun juga, Bin Mo To merasa amat sungkan untuk menonjolkan belasan orang selirnya itu. Isterinya yang tertua sudah berusia hampir enam puluh tahun, juga seorang wanita Jepang yang pendek. Akan tetapi isterinya yang ke dua, ibu kandung Bin Biauw, adalah seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi semampai dan masih nampak cantik dengan pakaian Korea yang khas.

Bin Biauw sendiri berjalan bersama ibunya. Dara ini nampak cantik jelita dan manis sekali, juga gagah. Karena perayaan pertunangan itu tidak diadakan upacara resmi, maka ia pun berpakaian sebagai seorang pendekar wanita bangsa Han, walau pun rambutnya sama dengan gelung rambut ibunya, yaitu gelung rambut seorang puteri bangsa Korea, dengan tusuk konde yang panjang melintang ke kanan kiri dihias ronce-ronce yang indah.

Untung bahwa dara ini mempunyai bentuk tubuh menurun ibunya, tidak seperti ayahnya. Tubuhnya ramping dan biar pun dia menjadi tokoh utama di dalam pesta itu karena pesta itu untuk hari pertunangannya, tapi pakaiannya yang indah itu tidak terlampau menyolok, bahkan mukanya tidak dibedaki terlalu tebal dan juga tidak memakai gincu dan pemerah pipi. Memang tidak perlu, karena kedua pipinya sudah merah dan segar membasah. Dara ini memang manis sekali dan dalam pertemuannya dengan calon menantu ini, diam-diam Yap In Hong sendiri pun merasa amat puas.

Suami isteri pendekar dari Cin-ling-san itu sendiri, yang menjadi tamu-tamu kehormatan, segera menjadi pusat perhatian orang. Pendekar Cia Bun Houw, ketua Cin-ling-pai itu biar pun usianya sudah enam puluh tahun namun masih nampak gagah dan jauh lebih muda dari pada usia yang sebenarnya. Pakaiannya sederhana berwarna abu-abu dan nampak amat berwibawa meski pun wajahnya tersenyum ramah dan langkahnya tegap. Dia tidak nampak membawa senjata. Akan tetapi pada saat itu pedang Hong-cu-kiam menjadi ikat pinggang atau sabuknya.

Isterinya, Yap In Hong, yang usianya sudah hampir enam puluh tahun itu, juga berpakaian sederhana dan nyonya tua ini juga masih kelihatan gesit dan padat tubuhnya, bertangan kosong pula dan sepasang matanya amat tajam.

Dibandingkan dengan ayah bundanya Cia Kong Liang berpakaian lebih mewah dan rapi. Di punggungnya nampak gagang pedang dan langkahnya tegap, dadanya yang bidang itu agak membusung dan sepintas lalu nampak bahwa pemuda ini memiliki sikap yang agak tinggi hati. Betapa pun juga, harus diakui bahwa dia adalah seorang pemuda yang sangat tampan dan gagah, tidak mengecewakan menjadi putera tunggal ketua Cin-ling-pai.

Tempat pesta sudah penuh oleh tamu dari berbagai kalangan. Memang sudah disediakan tempat yang bertingkat-tingkat, disesuaikan dengan kedudukan dan tingkat para tamu. Di barisan pertama nampak duduk wakil-wakil dari partai persilatan besar dan perkumpulan-perkumpulan kang-ouw dan liok-lim, juga tokoh-tokoh besar dari dunia persilatan.

Semua tempat sudah penuh, dan yang paling ramai dan riuh adalah bagian terbelakang di mana berkumpul orang-orang muda yang termasuk tingkatan paling rendah, yaitu anak murid atau anggota-anggota dari berbagai perkumpulan silat. Juga tamu umum yang tidak begitu menonjol dalam dunia persilatan kebagian tempat di sini sehingga tempat itu penuh dengan orang-orang berbagai golongan yang tak saling mengenal.

Tung-hai-sian Bin Mo To bangkit berdiri dan menjura ke arah suami isteri yang menjadi besannya itu. Dia berjalan ke pinggir panggung menghadapi semua tamunya, maka suara yang berisik itu pun perlahan-lahan berhenti. Tuan rumah yang bertubuh pendek tegap ini berdiri dengan sepasang kaki terpentang, lantas dia mengangkat dua tangannya ke atas memberi isyarat agar para tamu tenang dan bahwa dia minta perhatian. Setelah suasana menjadi sunyi, barulah kakek pendek ini mengeluarkan suaranya yang terdengar lantang, tegas, namun dengan nada suara yang agak kaku dengan lidah asingnya itu.

“Saudara sekalian yang terhormat dan yang gagah perkasa! Kami berterima kasih sekali bahwa cu-wi telah memenuhi undangan kami dan kami merasa bergembira bahwa hari ini kita semua dapat berkumpul dalam suasana gembira. Seperti cu-wi sudah ketahui, pesta ini dirayakan untuk menyambut hari pertunangan anak kami, yaitu Bin Biauw, yang mulai saat ini sudah dijodohkan dengan Cia Kong Liang, putera tunggal dari ketua Cin-ling-pai, yang terhormat Saudara Cia Bun Houw dan isterinya.”

Sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut pengumuman ini dan wajah kakek pendek itu berseri gembira. Dia membiarkan sambutan sorak-sorai itu beberapa lamanya, kemudian dia mengangkat kedua tangan mohon perhatian. Suasana kembali menjadi hening ketika orang-orang menghentikan sorak-sorainya.

“Bagi kami, ikatan perjodohan ini adalah suatu kehormatan dan kemuliaan yang teramat besar. Untuk menghormati kedudukan besan kami yang menjadi ketua Cin-ling-pai, maka kami pun tahu diri dan berusaha untuk menyesuaikan diri. Mulai saat ini juga kami hendak mencuci tangan membersihkan diri supaya tidak sampai menodai nama mantu dan besan kami yang terhormat. Oleh karena itu, kami mohon hendaknya cu-wi menjadi saksi akan peristiwa yang terjadi ini!” Si Pendek ini kemudian mengangkat tangan kanannya memberi isyarat kepada anak buahnya.

Delapan orang yang berpakaian seragam hitam, yaitu para anggota dari Mo-kiam-pang, segera bergerak maju, memberi hormat kepada ketua mereka lalu mereka melangkah ke arah papan nama yang tergantung di depan. Sebuah papan nama yang bertuliskan MO KIAM PANG dari papan hitam dengan huruf perak, amat megah nampaknya.

Ketika delapan orang itu berjalan tiba di depan dan bawah papan nama besar itu, mereka menggerakkan tangan dan nampaklah bayangan pedang berkelebat menyambar ke atas ke arah kawat yang menggantung papan nama itu. Tentu saja papan nama itu terlepas dan jatuh ke bawah, diterima oleh tangan delapan orang itu, yang membawa papan nama itu kepada Tung-hai-sian.

Sejenak kakek ini menatap papan nama itu dengan muka yang agak pucat, tanda bahwa perasaannya terguncang, kemudian dia menarik napas panjang lantas begitu tangannya bergerak, nampaklah bayangan samurai berkelebat disusul bunyi keras dan papan nama yang terpegang oleh delapan orang itu runtuh ke bawah menjadi kepingan-kepingan kayu yang tidak terhitung banyaknya! Kemudian, tanpa dapat diikuti pandang mata bagaimana pedang samurai itu sudah kembali ke sarungnya, Bin Mo To sudah menjura kepada para tamunya dan berkata,

“Mulai saat ini juga Mo-kiam-pang telah tidak ada lagi. Para bekas anggota Mo-kiam-pang diperbolehkan memilih. Pulang ke tempat asal mereka atau tetap menjadi pembantu kami, dalam hal ini membantu perusahaan perdagangan kami.”

Tentu saja perbuatan Tung-hai-sian itu membuat semua orang melongo. Tak disangkanya bahwa datuk ini akan membubarkan perkumpulannya demikian saja. Dan pembubaran ini berarti bahwa semua bajak dan perampok di daerah pesisir itu telah dibebaskan, tidak lagi berada di bawah pengamatan serta perlindungan Mo-kiam-pang! Benar-benar merupakan peristiwa besar yang mengejutkan, baik pihak kaum sesat mau pun kaum pendekar.

Akan tetapi, mereka merasa lebih terkejut lagi ketika kembali Tung-hai-sian mengangkat kedua tangannya, kemudian suaranya mengatasi semua kegaduhan, “Harap cu-wi suka mendengarkan sebuah pengumuman lagi dari kami!”

Semua orang lalu memandang dan suasana menjadi sunyi. “Cu-wi yang terhormat, mulai detik ini, bukan hanya Mo-kiam-pang yang bubar, akan tetapi juga tidak ada lagi sebutan Tung-hai-sian, dan tak ada pula sebutan Datuk Dunia Timur! Mulai saat ini saya hanyalah seorang saudagar biasa saja yang bernama Bin Mo To. Saya sudah mencuci tangan dan melepaskan diri dari dunia kang-ouw!”

Pengumuman ini benar-benar mengejutkan semua orang. Orang bisa saja membubarkan perkumpulan, akan tetapi mana mungkin meninggalkan julukan serta nama besar sebagai Datuk Dunia Timur? Tentu saja, kalau pihak para pendekar mengangguk-angguk dengan hati kagum dan memuji, sebaliknya para tokoh dunia hitam mengerutkan alisnya.

Mereka akan kehilangan seorang tokoh dan berarti bahwa golongan mereka kini menjadi lemah. Apa lagi tiga orang datuk lain telah tumbang, Lam-sin tak lagi terdengar beritanya dan kabarnya lenyap tanpa meninggalkan jejak. See-thian-ong telah tewas, demikian pula Pak-san-kui, tewas di tangan Pendekar Sadis seorang yang agaknya berdiri di pihak para pendekar sebab memusuhi para datuk kaum sesat, akan tetapi yang kekejamannya justru melebihi kekejaman golongan sesat yang mana pun juga! Di antara empat datuk, hanya tinggal Tung-hai-sian dan kini datuk ini pun mengundurkan diri.

Karena merasa penasaran, seorang tokoh kaum sesat yang hadir di sana bangkit berdiri lantas berseru, “Locianpwe Tung-hai-sian meninggalkan kedudukannya tanpa alasan yang jelas, apakah gentar oleh munculnya Pendekar Sadis?”

Ucapan ini mendatangkan ketegangan di antara para tamu. Memang berita tentang para datuk yang diserbu dan bahkan sampai tewas oleh Pendekar Sadis, sudah tersiar sampai ke mana-mana. Menurut berita itu, See-thian-ong dan Pak-san-kui, bersama murid-murid mereka, semua tewas oleh Pendekar Sadis, sedangkan Lam-sin dikabarkan lenyap tanpa meninggalkan jejak setelah pendekar itu muncul pula di selatan.

Melihat sepak terjang Pendekar Sadis yang memusuhi para datuk, maka semua orang tentu saja dapat menduga bahwa pada suatu hari tentu pendekar itu akan muncul di timur untuk menghadapi dan menandingi datuk timur Tung-hai-sian Bin Mo To. Inilah sebabnya mengapa ucapan tokoh kaum sesat itu mendatangkan ketegangan hingga semua orang memandang kepada pembicara itu sebelum mereka semua menoleh dan memandang ke arah tuan rumah yang wajahnya segera berubah merah karena pertanyaan yang sifatnya menyerang dan menyudutkannya itu.

“Aha, kiranya Giok Lian-cu Totiang yang tadi mengajukan pertanyaan kepada kami,” kata datuk itu sambil tersenyum penuh kesabaran, walau pun hatinya mendongkol bukan main. Baru saja dia menyatakan melepaskan kedudukannya, orang sudah berani memandang rendah kepadanya seperti itu!

“Benar, pinto adalah Giok Lian-cu, akan tetapi dalam hal pertanyaan yang pinto ajukan ini, katakanlah bahwa pinto mewakili seluruh tokoh kang-ouw dan kami semua mengharapkan jawaban locianpwe secara terus terang.”

Bagaimana pun juga para tamu merasa senang mendengar ini karena rata-rata mereka pun merasa tidak puas dan ingin sekali tahu apa yang mendorong atau memaksa datuk itu meninggalkan kedudukannya serta melepaskan julukan semudah itu. Padahal, semua tokoh maklum belaka betapa sukarnya mencapai kedudukan tinggi seperti Tung-hai-sian dan julukannya itu tidak diperolehnya secara mudah.

“Tadi sudah kunyatakan bahwa sesudah keluarga kami berbesan dengan keluarga ketua Cin-ling-pai, maka kami menyadari sepenuhnya bahwa tak mungkin lagi kami melanjutkan kedudukan lama kami. Bagaimana pun juga, kami harus menghormati kedudukan ketua Cin-ling-pai. Karena itu, demi kebahagiaan puteri kami, maka kami rela mencuci tangan dan mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, dan menjadi seorang berdagang biasa saja. Tidak ada persoalan gentar kepada siapa pun juga.”

“Bohong! Ucapan bohong dan memang Tung-hai-sian telah menjadi seorang penakut!”

Ucapan suara wanita ini tentu saja mengejutkan semua orang sehingga semua mata lalu memandang ke arah wanita yang berani bicara seperti itu. Orang-orang menjadi semakin heran ketika melihat bahwa yang berbicara itu hanyalah seorang dara muda remaja yang duduk di antara tamu tingkat paling rendah! Dara itu kini sudah bangkit berdiri dan orang yang memandangnya bukan hanya terheran karena keberaniannya, melainkan terutama sekali terpesona oleh kecantikannya.

Seorang dara yang cantik jelita dan manis sekali, bahkan agaknya tidak kalah cantiknya dibandingkan dengan Nona Bin Biauw yang menjadi bunga perayaan saat itu. Kulit muka, leher dan tangannya tampak putih mulus, dengan sepasang mata yang tajam mencorong, mulut manis yang selalu tersenyum dan pada saat itu senyumannya mengandung ejekan, kedua tangannya bertolak pinggang, menekan kanan kiri pinggang yang amat ramping itu. Sikapnya gagah dan sedikit pun dia tidak kelihatan malu-malu atau takut-takut, padahal seluruh pandangan mata para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw, liok-lim dan para pendekar itu ditujukan kepadanya.

Tung-hai-sian Bin Mo To memandang pada gadis itu dan dia mengerutkan alisnya karena dia tak merasa mengenal gadis ini. Tahulah dia bahwa gadis ini memang sengaja mencari gara-gara, dan mungkin gadis itu adalah salah seorang di antara kaki tangan para tokoh yang merasa tidak puas dengan pengunduran dirinya. Dia tahu bahwa banyak pihak, di antaranya pihak Pek-lian-kauw yang tadi diwakili oleh Giok Lian-cu, merasa terpukul dan dirugikan kalau dia mengundurkan diri dari dunia hitam.

Akan tetapi, karena yang memakinya bohong dan penakut hanyalah seorang gadis muda remaja, sebagai orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi, tentu saja terpaksa Bin Mo To menahan kembali kemarahannya. Dia memaksa senyum lantas berkata dengan suara yang cukup sabar dan tenang.

“Agaknya nona ingin mengatakan sesuatu. Silakan dan hendaknya lebih dulu nona suka memperkenalkan diri kepada kami dan para tamu yang tentu ingin sekali mengenal siapa adanya nona.” Dengan ucapan ini, Bin Mo To telah menempatkan dirinya di tempat terang dan seperti memaksa gadis itu untuk memperkenalkan diri karena kalau tidak tentu gadis itu akan nampak tolol dan juga bersalah sekali.

Akan tetapi, tiba-tiba dara itu mengeluarkan suara ketawa yang merdu dan manis sekali, kemudian tubuhnya telah melayang dengan gerakan yang mengejutkan orang karena dia seperti terbang melayang, tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur ke atas papan panggung dan sudah berhadapan dengan Tung-hai-sian Bin Mo To. Gerakan ini tentu dikenal oleh para ahli silat yang hadir sebagai gerakan yang mengandung ilmu ginkang yang sangat tinggi.

Melihat ini, Bin Mo To juga terkejut. Ginkang seperti ini hanya dimiliki oleh seorang ahli silat yang tingkatnya telah tinggi. Maka, dia pun tak berani memandang rendah dan cepat dia menyambut dengan sikap hormat.

“Kiranya nona adalah seorang muda yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Maaf kalau sebagai tuan rumah yang telah tua kami tak mengenal pendekar muda dan penyambutan kami kurang menghormat. Harap nona suka memperkenalkan diri dan mengeluarkan isi hati nona.”

“Aku bernama Toan Kim Hong. Mengapa aku mengatakan bahwa Tung-hai-sian menjadi penakut? Karena memang agaknya dia sengaja hendak menghindar dari Pendekar Sadis! Sudah menjadi ketetapan hati pendekar itu hendak menumbangkan empat orang datuk di dunia ini. Lam-sin, datuk selatan telah kalah olehnya, juga See-thian-ong datuk barat dan Pak-san-kui datuk utara. Kini tinggal Tung-hai-sian seorang yang akan diajak bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Akan tetapi, begitu dia muncul, Tung-hai-sian mengundurkan diri! Bukankah ini berarti bahwa datuk timur telah kehilangan nyalinya dan menjadi seorang penakut?”

Wajah Tung-hai-sian menjadi merah. Kalau saja hal ini terjadi kemarin sebelum puterinya bertunangan dengan putera ketua Cin-ling-pai, tentu dia langsung mencabut samurainya untuk menghajar orang yang berani menghinanya seperti itu. Akan tetapi, demi puterinya, dia harus menelan semua penghinaan itu agar tidak sampai terpancing. Bukankah orang yang kini kedudukannya hanyalah sebagai pedagang tidak boleh sembarangan mencabut senjata dan mempergunakan kekerasan? Apalah artinya dia mengundurkan diri dari dunia kang-ouw dan melepaskan kedudukan dan julukannya kalau dia masih suka menyambut dan mempergunakan kekerasan? Sebab itu, dengan mengerahkan kekuatan batinnya, dia memaksa sebuah senyum pahit.

“Nona, aku tidak mengenal Pendekar Sadis, tidak mempunyai urusan dengan dia sama sekali. Sedangkan di waktu aku masih menjadi Tung-hai-sian sekali pun belum tentu aku mau melayani dia bertempur tanpa sebab-sebab yang jelas, apa lagi sekarang sesudah aku menanggalkan semua itu dan menjadi seorang pedagang biasa.”

Khawatir gagal membangkitkan kemarahan tuan rumah untuk diadu dengan Thian Sin, Kim Hong mengerutkan alisnya. Ia datang ke tempat itu bersama Thian Sin, menyelundup di antara para tamu muda yang duduk berbondong-bondong di bagian tamu umum.

Pada waktu Thian Sin mendapat kenyataan betapa Tung-hai-sian sedang merayakan hari pertunangan puterinya dan bahwa puterinya itu ditunangkan dengan pamannya, yaitu Cia Kong Liang, dan melihat pula betapa ketua Cin-ling-pai beserta isterinya berada di situ, hatinya sudah merasa amat sungkan dan malu. Dia tidak bermaksud melanjutkan niatnya menantang Tung-hai-sian, setidaknya bukan pada waktu itu. Akan tetapi Kim Hong yang tidak mempedulikan semua itu telah mendahuluinya dan menantang Tung-hai-sian hingga Thian Sin terpaksa hanya menonton saja dengan hati berdebar tegang dan merasa serba salah.

“Tung-hai-sian! Kini Pendekar Sadis sudah berada di sini dan menantangmu, tidak peduli engkau mau memakai nama Tung-hai-sian atau Bin Mo To, atau juga seorang pedagang tak bernama! Pendeknya, apa bila engkau tidak berani, katakan saja bahwa engkau takut menghadapi dan melawan Pendekar Sadis, baru aku akan pergi dari sini dan membawa kesan bahwa yang bernama Tung-hai-sian Bin Mo To bukan lain hanyalah seorang kakek yang penakut!”

Wajah Bin Mo To menjadi pucat sekali dan selagi dia bingung untuk menguasai dirinya yang dibakar kemarahan, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. “Perempuan hina, berani engkau mengacau tempat kami?”

Dan nampaklah sinar pedang berkelebat ketika Bin Biauw telah meloncat dan menyerang Kim Hong dengan tusukan pedangnya yang mengarah ke lehernya. Akan tetapi ayahnya sudah menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang itu, menahan serangan puterinya.

“Anakku, hari ini merupakan hari baikmu, tidak sepantasnya kalau engkau terjun ke dalam perkelahian. Duduklah kembali, Biauw-ji,” kata Bin Mo To dengan suara lemah lembut dan penuh kasih sayang.

“Hemm, anaknya jauh lebih gagah dari pada ayahnya!” Kirn Hong sengaja mengejek dan dia memang merasa kagum melihat kecantikan Bin Biauw tadi.

Akan tetapi sebelum Bin Biauw kembali ke tempat duduknya, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda bertubuh tegap gagah perkasa dengan pakaian yang rapi, seorang berpotongan pendekar sejati, dengan pedang di punggung, tampan dan ganteng, sikapnya angkuh namun berwibawa.

“Biauw-moi, biarkan aku menghadapi perempuan liar ini!”

Melihat bahwa yang maju adalah calon mantunya, Bin Mo To merasa girang dan bangga. Dia sendiri tentu saja tak merasa gentar menghadapi wanita itu biar pun disebutnya nama Pendekar Sadis membuat hatinya terasa agak tidak enak. Akan tetapi dengan munculnya menantunya yang dia tahu amat lihai, apa lagi ketika itu di situ hadir pula besannya, yaitu ketua Cin-ling-pai, hatinya menjadi besar, maka dia pun tersenyum dan berkata kepada calon mantunya, “Harap engkau berhati-hati.” Lalu dia pun mengajak puterinya kembali ke tempat duduk mereka.

Sekarang Cia Kong Liang telah berhadapan dengan Kim Hong yang agak terpesona oleh pemuda yang gagah perkasa dan ganteng ini. Kim Hong memandang pemuda itu tanpa menyembunyikan rasa kagumnya. Sambil tersenyum manis dia pun berkata,

“Ahhh, kiranya inikah putera ketua Cin-ling-pai yang menjadi mantu Tung-hai-sian Bin Mo To? Hebat! Sungguh pandai sekali Tung-hai-sian memilih menantu!” katanya dan semua orang yang mendengar menjadi semakin heran. Gadis itu berbicara tentang Tung-hai-sian seolah-olah kakek yang menjadi datuk itu hanyalah orang yang setingkat dengan dirinya saja.

Kong Liang tidak mau banyak bicara dengan wanita cantik itu. “Engkau tadi mengatakan bahwa kini Pendekar Sadis sudah muncul untuk mengacau di sini. Nah, akulah lawannya sebab aku yang mewakili tuan rumah, Locianpwe Bin Mo To untuk menghadapi Pendekar Sadis. Sudah lama aku mendengar mengenai kekejamannya dan hari ini aku ingin sekali untuk merasakan sampai di mana sebenarnya kelihaian orang kejam itu!”

Kim Hong tersenyum dan menjadi semakin kagum dengan kegagahan sikap pemuda ini. “Hemmm, tentunya kau she Cia, bukan? Aku mendengar bahwa keluarga Cia, ketua dari Cin-ling-pai merupakan pendekar-pendekar sakti yang berilmu sangat tinggi. Akan tetapi, munculnya Pendekar Sadis di sini adalah untuk menandingi Tung-hai-sian, bukan orang lain. Kalau orang lain yang hendak maju, maka akulah lawannya!”

Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. “Engkau seorang wanita yang sombong sekali. Aku tak peduli siapa yang akan maju, Pendekar Sadis atau antek-anteknya, pendeknya siapa pun yang hendak mengacaukan perayaan hari ini, biarlah dia boleh berhadapan dengan aku!” Sambil berkata demikian, Kong Liang telah mencabut pedangnya, sebatang pedang yang terbuat dari bahan yang sangat baik dan mengeluarkan sinar kebiruan tanda bahwa pedang itu amat tajam dan kuat. Dengan pedang melintang di depan dadanya, Kong Liang menanti, sikapnya siap untuk bertanding.

Kim Hong memandang kagum. Sungguh seorang pemuda yang pilihan, pikirnya. Tampan, ganteng, dan gagah perkasa. Pantas menjadi putera ketua Cin-ling-pai yang kesaktiannya telah amat terkenal itu. Maka timbullah kegembiraannya sehingga dia pun ingin mencoba kepandaian pemuda ganteng itu. Pula, dia pun mengerti bahwa Thian Sin akan merasa sungkan kalau harus melawan pemuda ini yang menurut penuturan kekasihnya itu, masih terhitung paman sendiri.

“Bagus! Cia-taihiap, mari kita main-main sebentar!” katanya dengan manis kemudian dia pun sudah mencabut sepasang pedangnya yang mengeluarkan sinar hitam mengerikan.

Sikap Kim Hong seperti tengah menghadapi suatu permainan atau pertunjukan yang amat menarik saja, sama sekali tidak nampak tegang atau khawatir, seakan-akan dia tidak tahu bahwa dia telah menantang putera tunggal ketua Cin-ling-pai! Kong Liang sendiri merasa mendongkol bukan main. Perempuan sombong ini memang perlu dihajar, pikirnya. Kalau tidak, maka tentu nama baik calon mertuanya akan tercemar.

“Ingat, nona, engkau sendiri yang datang mencari keributan, bukan kami!” berkata Kong Liang sambil memutar pedangnya ke atas kepala sehingga pedang itu berubah menjadi gulungan sinar kebiruan.

“Hik-hik, jangan khawatir. Memang aku datang untuk membikin ribut!” tantang Kim Hong yang juga sudah bergerak, memasang kuda-kuda yang manis sekali, kaki kanan diangkat dan ditekuk, tubuhnya tegak lurus. Pedang kanannya menuding ke atas dada, mulutnya tersenyum dan matanya mengerling ke arah lawan karena mukanya menghadap ke kiri.

“Lihat serangan!” Kong Liang yang bagaimana pun juga merasa tak enak harus melawan seorang dara muda, lalu membentak dan mulai dengan membuka serangan pertama. Kim Hong segera menangkis dengan pedang kirinya sambil mengerahkan tenaga karena dia melihat betapa serangan lawan itu mengandung sinkang yang kuat.

“Cringgg…!”
Kong Liang yang tadi hanya mengeluarkan setengah tenaganya, menjadi terkejut karena pedangnya tergetar hebat. Tahulah dia bahwa lawannya itu, walau pun hanya merupakan seorang wanita muda, namun memiliki sinkang yang kuat. Maka dia pun menyerang lagi, sekali ini mengerahkan seluruh tenaganya. Kim Hong yang agaknya hendak mengukur tenaga lawan, kembali menangkis.

“Tranggg…!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dengan sangat kerasnya dua batang pedang itu bertemu, lantas pedang kanan Kim Hong sudah meluncur ke depan dengan cepatnya menuju ke tenggorokan Kong Liang!

Pemuda ini terkejut. Pertemuan pedang tadi, yang digerakkan dengan sepenuh tenaga, ternyata ditangkis oleh tenaga yang tak kalah kuatnya, bahkan di saat berikutnya, pedang ke dua dari lawannya telah menusuk ke arah tenggorokannya. Dia cepat-cepat miringkan kepala, memutar kaki dan membalas dengan sabetan pedang dari samping. Kembali Kim Hong menangkis.

“Bagus!” Kong Liang memuji dengan sejujurnya.

Mulailah dia menggerakkan pedangnya dengan jurus-jurus dari Siang-bhok Kiam-sut yang hebat. Ilmu Pedang Kayu Harum ini adalah ilmu inti dari Cin-ling-pai, maka kehebatannya bukan main. Aslinya dimainkan oleh pedang kayu, akan tetapi untuk mencapai tingkat ini bukanlah mudah sehingga Kong Liang sendiri pun tidak mampu jika harus menggunakan pedang kayu, maka sebagai gantinya dia mainkan ilmu itu dengan pedang baja. Biar pun tidak sehebat kalau ayahnya bermain pedang kayu, akan tetapi ilmu pedang pemuda ini sudah hebat bukan main.

Melihat gerakan-gerakan aneh dan indah sekali ini, Kim Hong sendiri terkejut dan kagum. Dia merasa amat tertarik sehingga untuk belasan jurus lamanya dia hanya mengelak dan menangkis sambil memperhatikan gerakan lawan.

“Bagus sekali! Inikah Siang-bhok Kiam-sut dari Cin-ling-pai? Hebat… hebat… hebat…!”

Dia menangkis kembali dan mulai membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Kini sepasang pedangnya sudah membentuk dua gulungan sinar hitam yang melingkar-lingkar seperti dua ekor naga hitam yang menyambar-nyambar. Dia pun segera mainkan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu Hok-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Penakluk Iblis) dan karena dia memiliki ginkang yang masih lebih tinggi dibandingkan dengan Kong Liang maka gerakannya amat cepat dan cukup membuat Kong Liang menjadi bingung.

Pemuda ini cepat mengubah permainan pedangnya dan menggunakan gerakan Thai-kek Sin-kun untuk melindungi dirinya. Memang hanya ilmu inilah yang dapat digunakan untuk melindungi dirinya terhadap desakan lawan yang lihai. Akan tetapi, karena mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga untuk melindungi diri, dengan sendirinya Kong Liang tidak dapat membalas dan mulailah dia terdesak dengan hebat.

Kim Hong yang merasa gembira sekali itu sudah mengerahkan seluruh tenaganya sambil mengeluarkan semua kepandaiannya, maka tentu saja Kong Liang menjadi repot karena bagaimana pun juga, tingkat kepandaian Kim Hong yang pernah menjadi Lam-sin datuk selatan itu masih lebih tinggi dari tingkatnya!

Semua orang, termasuk juga Bin Mo To, dan bahkan Cia Bun Houw dan Yap In Hong, terkejut bukan kepalang melihat kenyataan yang pahit ini. Tidak pernah ada yang mengira bahwa gadis muda yang sama sekali tidak terkenal itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang begitu hebatnya sehingga putera ketua Cin-ling-pai yang sangat lihai itu pun menjadi kewalahan!

Yap In Hong yang melihat puteranya terdesak, sudah hendak bangkit, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. Akan tetapi suaminya menyentuh lengannya, maka dia pun teringat bahwa kalau sampai dia bangkit membantu puteranya, maka tentu saja hal itu akan mencemarkan nama besar Cin-ling-pai. Mana mungkin keluarga Cin-ling-pai main keroyok!

Akan tetapi pandangan mata Cia Bun Houw lebih tajam lagi. Dia memang dapat melihat bahwa dara itu bukan orang sembarangan, dan terutama sekali dalam hal ginkang, wanita itu jauh mengatasi puteranya. Puteranya akan kalah, akan tetapi betapa pun juga Kong Liang telah memiliki dasar yang amat kokoh kuat maka tidak mungkin dapat celaka begitu saja dan di samping itu, agaknya wanita itu pun tak bermaksud jahat terhadap puteranya. Maka pendekar ini pun hanya menonton saja dengan hati tegang akan tetapi wajah tetap tenang.

Juga Tung-hai-sian yang berilmu tinggi, pada waktu melihat kenyataan ini diam-diam dia terheran-heran kenapa tiba-tiba dapat muncul seorang dara yang begini lihainya. Apa lagi ketika dia melihat sepasang pedang hitam itu, dan gerakan-gerakan yang mengingatkan dia akan ilmu-ilmu dari Lam-sin, rekannya, yaitu datuk selatan dia menjadi semakin heran.

Apakah dara ini adalah murid Lam-sin, pikirnya. Akan tetapi kalau muridnya begini lihai luar biasa, tentu Lam-sin sekarang telah menjadi orang yang sukar dicari bandingnya lagi di dunia ini. Akan tetapi kalau benar murid Lam-sin, bagaimana bisa bersahabat dengan Pendekar Sadis? Bukankah Lam-sin tiba-tiba lenyap setelah kedatangan Pendekar Sadis dan mungkin sekali juga sudah terbunuh oleh pendekar itu...?
Selanjutnya,