Pendekar Sadis Jilid 35 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sadis Jilid 35
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Thian Sin meninggalkan mejanya, tidak tergesa-gesa agar tidak menimbulkan kecurigaan, lalu keluar dari rumah makan itu. Dengan tenang dia pun lalu membayangi kereta itu yang dijalankan perlahan-lahan menuju ke sebelah utara.

Cuaca sudah mulai gelap dan hal ini memudahkan Thian Sin untuk membayangi kereta. Akhirnya kereta itu berhenti di depan sebuah penginapan! Mereka berdua itu menginap di dalam sebuah penginapan yang mewah! Makin panaslah hati Thian Sin.

Dan dia pun menyelinap ke dalam gelap lalu dari situ dia mengintai. Dia melihat mereka berdua turun dari kereta kemudian bercakap-cakap sebentar. Agaknya, dari jauh dia bisa menduga bahwa Kim Hong minta kepada Siangkoan Wi Hong untuk berangin-angin lebih dulu di taman bunga rumah penginapan itu sebelum mereka masuk. Siangkoan Wi Hong tampak tersenyum di bawah lampu depan pekarangan itu, kemudian keduanya memasuki taman bunga yang letaknya di belakang rumah penginapan dan di sebelah kirinya.

Thian Sin tetap membayangi mereka sambil menyelinap di antara pohon-pohon di dalam taman itu sampai dia dapat mengintai mereka tidak terlalu jauh dan dapat mendengarkan percakapan mereka. Mereka duduk di atas bangku yang saling berhadapan, dekat kolam ikan emas di mana terdapat sedikit penerangan dari lampu gantung. Suasana di taman itu sungguh romantis dan pada saat itu amat sunyi. Agaknya tidak terdapat orang lain kecuali mereka berdua.

“Nona Toan, engkau sungguh cantik jelita seperti bidadari, dan aku berbahagia sekali bisa berjumpa serta mengenalmu, nona,” terdengar Siangkoan Wi Hong tiba-tiba menyatakan rasa hatinya dengan sikap dan suara mesra.

Kim Hong tertawa, ketawa ditahan yang sudah sangat dikenal Thian Sin itu. “Engkau juga gagah dan tampan sekali, Siangkoan-kongcu, dan aku pun amat gembira bisa berkenalan denganmu.”

“Ahhh…, benarkah apa yang kau katakan itu Kim Hong? Dan bolehkah aku memanggil namamu?”

“Tentu saja benar, dan engkau boleh memanggil namaku.”

“Kim Hong… aku suka sekali padamu… belum, aku belum dapat mengatakan cinta sebab baru beberapa saat kita berkenalan, akan tetapi aku… aku suka sekali padamu.”

“Hemmm, aku pun suka sekali padamu, kongcu. Engkau baik sekali dan engkau gagah sekali…”

“Kim Hong…” Pemuda itu bangkit dan menghampiri, lalu duduk di samping gadis itu dan merangkulnya.

Kim Hong tidak menolak, malah mengangkat mukanya sehingga memudahkan Siangkoan Wi Hong untuk menciumnya. Mencium bibirnya dengan mesra dan lama sekali.

“Keparat jahanam! Siangkoan Wi Hong, bersiaplah engkau untuk mampus!” Teriakan ini keluar dari mulut Thian Sin yang sudah meloncat keluar dari tempat persembunyiannya, tak dapat menahan lebih lama lagi rasa panas di dalam dada dan perutnya menyaksikan adegan mesra antara Kim Hong dan putera Pak-san-kui itu.

Seketika dua orang yang sedang berpelukan dan berciuman itu melepaskan diri masing-masing, dan Siangkoan Wi Hong cepat menyambar yangkim-nya lalu berbalik. Wajahnya menjadi pucat ketika dia mengenal Thian Sin yang sudah berdiri di bawah lampu, wajah yang biasanya ramah itu kini nampak muram dan menakutkan.

“Thian Sin…!” Dia berseru penuh rasa gentar akan tetapi juga marah.

“Bagus, engkau sudah mengenalku sehingga engkau tidak akan mati penasaran!” Thian Sin berkata kemudian secepat kilat dia menerjang ke depan dengan serangan maut. Akan tetapi, Siangkoan Wi Hong bukanlah orang yang lemah dan dia langsung menggerakkan yangkim-nya untuk menangkis.

“Dukkk…!”

Dan terkejutlah putera Pak-san-kui itu karena tubuhnya tergetar hebat dan dia terdorong mundur, terhuyung-huyung! Thian Sin tidak mau memberi hati lagi, terus menerjang lawan yang sudah terhuyung itu.

“Desss…!”

Thian Sin terkejut melihat bahwa Kim Hong telah menangkis pukulannya. Sejenak mereka saling pandang. Akan tetapi Kim Hong tidak mau membuang waktu lagi dan secepat kilat gadis ini mencabut sepasang pedangnya dan menyerang Thian Sin kalang-kabut!

Tentu saja Thian Sin cepat mengelak. Hatinya terasa bagaikan ditusuk. Begini marahkah Kim Hong padanya sehingga kini malah membantu Siangkoan Wi Hong dan menyerang dia mati-matian? Ingin dia bicara, ingin dia minta maaf. Akan tetapi di situ ada Siangkoan Wi Hong. Dia malu kalau harus memperlihatkan kelemahannya di depan orang lain. Maka dia pun mencabut pedangnya dan diputarnya pedang itu untuk menangkis.

Sementara itu, Siangkoan Wi Hong gembira sekali melihat Kim Hong membantunya. Dia memang telah tahu bahwa gadis itu mempunyai kepandaian silat yang lihai, maka dia pun lalu memutar yangkim-nya dan membantu Kim Hong.

“Pendekar Sadis, sekarang jangan harap engkau dapat lolos dari tanganku!” bentak Kim Hong.

Bentakan ini diterima oleh Thian Sin dengan mata terbelalak. Dia merasa sangat heran mendengar gadis ini menyebutnya Pendekar Sadis. Ada permainan apa ini? Akan tetapi karena Kim Hong mendesaknya dengan hebat, dibantu pula oleh pemuda itu, dia merasa serba salah. Apa bila dia melawan dengan kekerasan, dia takut kalau-kalau akan melukai gadis itu. Maka dia pun meloncat ke dalam gelap lantas melarikan diri.

“Lekas lapor ayahmu, aku mengejarnya!” kata Kim Hong kepada Siangkoan Wi Hong, dan dia pun telah meloncat dengan cepat melakukan pengejaran.

Bagaimana pula Toan Kim Hong bisa bersama-sama dengan Siangkoan Wi Hong di kota Tai-goan dan telah berkenalan dengan akrabnya? Terjadinya tiga hari yang lalu, di dalam sebuah hutan di lembah Sungai Fen-ho.

Ketika itu, seperti yang telah menjadi kesukaannya, Siangkoan Wi Hong berburu binatang hutan. Yangkim-nya yang selalu dibawanya tergantung di punggung, ada pun tangannya memegang busur dan anak panah. Ketika melihat seekor kijang, dia cepat mengejarnya.

Kijang itu masih muda dan gesit bukan main, berloncatan amat cepatnya dan menyusup-nyusup ke dalam semak-semak, kalau didekati meloncat lagi. Wi Hong telah melepaskan anak panah dua kali, yang sekali luput dan yang sekali lagi hanya menyerempet di betis binatang itu, membuatnya menjadi semakin ketakutan, liar dan lebih cepat lagi larinya.

Akan tetapi akhirnya Siangkoan Wi Hong bisa mendesaknya ke tepi sungai dan binatang itu kebingungan. Wi Hong memasang anak panah pada busurnya dan sudah siap untuk membidikkan anak panahnya. Akan tetapi pada saat dia hendak melepaskan anak panah, tiba-tiba saja kijang itu mengeluarkan teriakan nyaring dan roboh terpelanting!

Wi Hong terkejut bukan kepalang dan cepat meloncat, akan tetapi dia melihat bayangan berkelebat dan seorang gadis cantik jelita telah berdiri di dekat bangkai kijang. Siangkoan Wi Hong terpesona dan memandang dengan melongo.

“Hemm, apa yang kau pandang?!” gadis itu membentak sambil memandang dan bertolak pinggang.

Siangkoan Wi Hong baru sadar dan dia tersenyum, menyimpan gandewanya kemudian berjalan menghampiri.

“Ahh, tadi kusangka ada bidadari yang turun dari kahyangan. Nona, apakah nona… ehhh, manusia biasa?”

Wanita itu adalah Kim Hong dan ketika mendengar ucapan itu, Kim Hong juga tersenyum. Pemuda tampan ini sungguh mengagumkan dan juga menyenangkan hatinya. “Kalau aku bukan manusia, apakah kau kira aku setan atau siluman?”

Siangkoan Wi Hong memandang ke kanan dan kiri. “Tempat ini amat sunyi, dan kijang ini tiba-tiba tewas sebelum kupanah, lalu muncul seorang seperti nona! Begini… cantik jelita. Aku mendengar bahwa di tempat-tempat sunyi seperti ini terdapat… ehh, siluman-siluman yang pandai merubah diri menjadi wanita cantik melebihi bidadari, seperti… ehh, dongeng tentang Tiat Ki dalam dongeng Hong-sin-pong itu, begitu cantiknya sampai menjatuhkan hati Kaisar Tiu-ong!”

“Hemmm, apa kau tidak dapat membedakan antara manusia dengan siluman?” Kim Hong menanggapi, tidak marah disangka siluman sebab cara pemuda itu mengatakannya sama sekali tidak terkandung nada menghina, melainkan memuji.

Semakin gembiralah hati Siangkoan Wi Hong melihat betapa gadis yang cantik jelita itu mau menanggapinya, maka dia langsung pasang aksi, pura-pura berpikir dan mengingat-ingat, mengerutkan alisnya, kemudian berkata dengan wajah berseri,

“Ahh, kini aku ingat! Dalam kitab dongeng kuno tentang siluman-siluman yang menyamar sebagai wanita cantik terdapat tanda-tanda. Ada tanda yang… ahhh, sebelumnya maaf, nona. Kata kitab itu, bila siluman rase atau rubah menyamar sebagai wanita, ada satu hal yang tak dapat dilenyapkannya, yaitu ekornya! Wanita cantik penyamaran siluman rubah itu tentu mempunyai ekor! Ah, akan tetapi tentu saja, aku tidak dapat membuktikan pada dirimu…,” dia berhenti untuk melihat reaksi gadis itu. Akan tetapi Kim Hong masih tetap tersenyum saja dan agaknya tidak nampak marah sama sekali. Hal ini langsung membuat Siangkoan Wi Hong menjadi semakin girang dan berani.

“Akan tetapi ada tanda lain lagi yang dapat kubuktikan pada dirimu nona. Kata kitab itu, seorang wanita penyamaran siluman rubah mempunyai dua tanda, yaitu pertama, karena tubuh yang diambilnya adalah tubuh wanita yang telah mati, maka lengannya akan terasa dingin seperti mayat kalau dipegang, dan dari hawanya keluar bau rubah yang khas. Nah, aku boleh menyentuh lenganmu, nona, dan kalau aku boleh mendekatimu tentu aku akan segera bisa membedakan apakah nona seorang manusia biasa atau sebangsa siluman.”

Kim Hong tersenyum, sepasang matanya bersinar-sinar dan wajahnya yang cantik manis itu berseri. Dia juga merasa gembira oleh sikap pemuda itu. Maka dia menyingsingkan lengan baju sebelah kiri kemudian menyorongkan lengan kirinya kepada Wi Hong sambil berkata dengan senyum, “Nah, periksalah.”

Siangkoan Wi Hong girang bukan main dan dia menelan ludahnya melihat sebuah lengan yang berkulit begitu mulus, putih dan lembut, halus seperti lilin diraut. Dia pun melangkah maju mendekat, lalu menggunakan tangan kanannya untuk menyentuh, bahkan sesudah ujung jari-jari tangannya menyentuh kulit halus lunak hangat itu, dengan kedua matanya tetap menatap wajah Kim Hong untuk melihat reaksinya, dan melihat bibir nona itu tetap tersenyum, maka jari-jari tangannya segera melanjutkan dengan meraba-raba lengan dan memegangnya dengan mesra!

Kim Hong menarik lengannya dengan gerakan halus, lantas bertanya sambil tersenyum, “Bagaimana, dingin seperti mayatkah?”

Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar sambil memandang dengan mata berseri. “Ah, sama sekali tidak, sebaliknya malah, begitu hangat, halus dan lunak… ahhh, dan yang tercium olehku hanya keharuman seperti bunga setaman…!”

Kim Hong tersenyum gembira, akan tetapi berlagak tak senang. “Hemm, engkau seorang perayu! Siapakah engkau?”

Siangkoan Wi Hong menjura, “Perkenalkan, nona, namaku Siangkoan Wi Hong. Aku tadi sedang berburu di hutan ini dan mengejar-ngejar kijang itu sampai ke tepi sungai. Setelah aku berhasil menyudutkannya dan siap hendak melepaskan anak panah… ehh, tahu-tahu kijang itu roboh dan tewas, lalu muncullah nona. Siapakah nona dan bagaimana seorang wanita muda seperti nona dapat berada di tempat sunyi terpencil ini?”

“Namaku Toan Kim Hong…”

“Nama yang indah sekali, seperti orangnya! Dan she Toan…?” Ahhh, apakah masih ada hubungannya dengan keluarga pangeran…?”

Kim Hong mengangguk.

Siangkoan Wi Hong menjura lagi. “Ah, maaf, maafkan…! Kiranya nona adalah puteri yang berdarah bangsawan! Sungguh sikap saya layak dihukum…”

Kim Hong menarik nafas panjang. “Sudahlah, urusan kebangsawanan itu urusan dahulu, sekarang aku adalah orang biasa saja. Aku kebetulan lewat di sini dan selagi menikmati keheningan di tempat ini, aku melihat seekor kijang. Oleh karena perutku lapar, maka aku segera merobohkannya dengan sabitan jarumku.”

Wi Hong terbelalak. “Apa…? Membunuh kijang dengan sabitan jarum saja? Agaknya tak masuk akal…!”

“Siapa bilang tak masuk akal kalau jarumku memasuki kepala melalui antara matanya lalu menembus otak,” jawab Kim Hong.

Mendengar jawaban ini, tentu saja Siangkoan Wi Hong menjadi semakin kaget dan heran. Sebagai seorang pemuda yang mempunyai ilmu silat yang tinggi, dia tahu bahwa jarum hanya merupakan senjata rahasia ringan yang hanya dapat digunakan dari jarak dekat, dan bukan merupakan senjata rahasia yang berbahaya.

Akan tetapi gadis ini dapat membunuh seekor kijang dari jarak jauh dengan penyambitan jarum, bahkan tanpa memeriksa lagi gadis ini dapat memastikan bahwa jarumnya sudah menancap di antara mata kijang itu dan tembus sampai ke otak! Hal ini, kalau memang benar, menunjukkan bahwa gadis ini adalah seorang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Dan jarum itu pun tentu mengandung racun yang hebat.

Untuk meyakinkan hatinya dia pun lalu berjongkok dan memeriksa kijang itu. Dan betapa kagumnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa memang benar pada kepala binatang itu, di antara kedua matanya, terdapat luka kecil kemerahan yang mulai membengkak dan mengeluarkan darah! Dia cepat bangkit berdiri dan kembali dia menjura dengan hormat.

“Ahh, kiranya aku sedang berhadapan dengan seorang pendekar wanita lihai! Toan-lihiap, aku girang sekali dapat berkenalan dengan seorang gadis pendekar sepertimu!”

“Ah, Siangkoan-kongcu terlampau memuji orang. Sebaliknya, aku pun pernah mendengar namamu dan melihat yangkim pada pundakmu tadi pun aku sudah dapat menduga bahwa engkau tentulah Siangkoan-kongcu yang sudah sangat terkenal itu, putera dari locianpwe Pak-san-kui, bukan?”

“Tepat sekali, lihiap.”

“Ahh, jangan sebut aku lihiap, membikin aku merasa canggung dan malu saja.”

“Baiklah, kalau begitu biarlah kusebut engkau Toan-siocia.” Siangkoan Wi Hong kemudian memanggul bangkai kijang itu. “Nona, setelah kita bertemu dan saling berkenalan di sini, aku mengundang nona untuk bersama-sama menikmati daging kijang ini. Akan kusuruh orang untuk memasak daging ini di rumahku. Silakan nona.”

Demikianlah, kedua orang itu berkenalan dan Kim Hong lalu mengunjungi rumah pemuda hartawan itu. Sebaliknya, Siangkoan Wi Hong kemudian sering kali mengunjungi hotel di mana gadis itu bermalam, mengajaknya pelesir atau makan ke restoran-restoran terbesar di kota Tai-goan, mengajaknya pesiar dengan kereta. Maka dalam waktu beberapa hari saja hubungan antara mereka amat akrabnya.

Demikianlah pertemuan antara Kim Hong dengan putera Pak-san-kui itu sampai mereka dilihat oleh Thian Sin yang membayangi mereka, kemudian Pendekar Sadis menyerang Siangkoan Wi Hong ketika melihat betapa putera datuk utara itu berpacaran dengan Kim Hong.

Di dalam waktu beberapa hari itu, Siangkoan Wi Hong sudah sempat mengajak Kim Hong berkunjung pula kepada ayahnya. Pak-san-kui Siangkoan Tiang menerima perkenalan itu dengan hati gembira. Dia melihat bahwa bukan saja gadis itu sangat cantik dan menurut puteranya juga memiliki ilmu silat yang lihai, akan tetapi juga mengingat bahwa gadis ini masih keluarga bangsawan tinggi, yaitu Pangeran Toan, maka dia merasa girang apa bila puteranya dapat berjodoh dengan gadis ini.

Dan setelah dia mendengar bahwa Kim Hong adalah puteri dari mendiang Pangeran Toan Su Ong seperti pengakuan gadis itu, maka diam-diam dia terkejut dan semakin kagum. Ia pernah mengenal pangeran pemberontak itu, dan maklum bahwa kepandaian pangeran itu tidak berada di bawah tingkatnya! Bahkan akhirnya ia pun mendengar bahwa sebelum meninggal, pangeran itu bersama istrinya telah menemukan ilmu peninggalan Menteri The Hoo sehingga kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang sukar dicari tandingannya.

Ketika Thian Sin menyerang Siangkoan Wi Hong dengan ganas karena pemuda ini sudah marah sekali sehingga ingin membunuhnya, Kim Hong membela sahabat barunya itu dan ketika Thian Sin melarikan diri karena pemuda ini tak mau berkelahi melawan kekasihnya, Kim Hong segera mengejar dan minta kepada Siangkoan Wi Hong untuk melapor kepada ayah pemuda itu.

Dengan ginkang-nya yang memang lebih tinggi dari pada Thian Sin, Kim Hong berhasil membayangi pemuda itu tanpa diketahuinya, dan dara ini dapat melihat pondok kecil yang disewa pemuda itu di tepi kota. Maka dia pun cepat pergi meninggalkan tempat itu dan menyusul Siangkoan Wi Hong ke rumah Pak-san-kui.

Pada waktu dia tiba di rumah datuk itu, ternyata Pak-san-kui telah mengumpulkan semua murid-muridnya dan ketika melihat Kim Homg datang, Siangkoan Wi Hong cepat-cepat menyambut dan memegang tangan dara itu.

“Nona, bagaimana…? Dapatkah engkau mengejarnya?”

“Aku tahu dimana dia, akan tetapi aku tahu dia lihai sekali, maka aku tidak berani turun tangan sendiri, dan aku cepat menyusulmu untuk memberi tahukan hal itu.”

Akan tetapi Pak-san-kui memandang kepada gadis itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, “Nona Toan, kenapa nona membantu puteraku dan memusuhi Pendekar Sadis?”

Pertanyaan ini diajukan secara tiba-tiba dengan suara keras penuh desakan, sebab kakek ini memang menaruh curiga dan sengaja bertanya secara tiba-tiba untuk membuat gadis ini tidak dapat berbohong tanpa diketahuinya. Akan tetapi gadis itu bersikap tenang saja, dan di bawah cahaya lampu yang terang itu nampak betapa gadis itu memandang kepada penanyanya dengan penasaran.

“Ahhh, apakah locianpwe belum tahu? Bukankah Pendekar Sadis yang sudah membunuh pamanku, Pangeran Toan-ong di kota raja? Locianpwe, biar pun mendiang ayahku telah dianggap pemberontak oleh kota raja, akan tetapi dia telah diampuni, dan bagaimana pun juga, Toan-ong yang dibunuh Pendekar Sadis itu adalah pamanku sendiri. Sebab itu tentu saja aku menganggap Pendekar Sadis sebagai musuhku!”

“Ayah, selain itu kami berdua pun saling mencinta. Aku… aku telah mengambil keputusan untuk memilih nona Toan sebagai calon jodohku, karena itu sudah sepatutnya apa bila dia membantuku ketika Pendekar Sadis menyerangku,” kata Siangkoan Wi Hong. Kim Hong mengerling ke arah pemuda itu dan sepasang pipinya berubah merah, akan tetapi gadis ini tidak berkata sesuatu.

“Jadi engkau sudah tahu di mana dia berada, nona?” tanya Pak-san-kui Siangkoan Tiang. Gadis ini mengangguk.

“Sebaiknya kalau malam ini juga kita menyerbunya, selagi dia lengah,” katanya.

“Memang itu pun yang menjadi rencana kami,” kata Pak-san-kui. “Akan tetapi, kita masih menanti datangnya pasukan Siong-ciangkun.”

“Ahh, jangan menggunakan pasukan, locianpwe!” Tiba-tiba saja Kim Hong berkata sambil mengerutkan alisnya. “Mengapa hanya menghadapi satu orang saja harus menggunakan pasukan? Locianpwe sendiri adalah seorang yang sakti, belum lagi locianpwe dibantu oleh putera locianpwe yang juga lihai, dan masih ada lagi murid-murid locianpwe yang terkenal pula. Dan jika locianpwe percaya kepadaku, aku pun dapat membantu. Bukan aku hendak menyombong, tapi kalau aku dibantu oleh Siangkoan-kongcu seorang saja, maka aku pun sudah akan mampu menandinginya!”

Tentu saja Pak-san-kui menganggap gadis ini bicara sombong. Bagaimana pun lihainya, tidak mungkin gadis ini mampu melawan Pendekar Sadis. Dia sendiri saja merasa gentar menghadapi pendekar yang telah mampu menewaskan See-thian-ong dan para muridnya itu. Akan tetapi karena gadis ini pun merupakan pembantu yang lumayan, dia diam saja tidak menanggapi sikap yang dianggapnya sombong itu.

Akan tetapi secara diam-diam Siangkoan Wi Hong mempercayai omongan gadis itu, oleh karena dia sudah melihat sendiri betapa gadis itu sanggup menandingi Pendekar Sadis, bahkan pendekar itu kelihatan gentar sehingga melarikan diri, “Ayah, apa bila Toan-siocia membantu kita, aku yakin kita akan mampu menghancurkan Pendekar Sadis!”

“Locianpwe, sesungguhnya telah cukup lama aku sendiri pun ingin sekali bertemu dengan pembunuh pamanku itu dan membalas dendam. Oleh karena itulah, maka sekarang ini sama sekali bukan berarti aku membantu locianpwe, bahkan dapat dikatakan sebaliknya, pihak locianpwe yang membantu aku agar berhasil membalas dendam. Karena aku tidak mau gagal, maka kuharap locianpwe jangan mengerahkan pasukan.”

“Hemm, mengapa nona mengatakan begitu?”

“Pendekar Sadis adalah seorang yang amat lihai, apa bila kita menyerbu mempergunakan pasukan besar, tentu sebelumnya dia akan mengetahui lebih dahulu dan dapat melarikan diri sehingga usaha kita akan sia-sia belaka. Sebaliknya kalau yang menyergapnya hanya kita saja, yang semua memiliki kepandaian yang cukup tinggi, maka kita tentu akan bisa datang tanpa menimbulkan suara dan dapat menyergapnya, tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri. Sebab itu, kuusulkan agar locianpwe sendiri, dibantu oleh Pak-thian Sam-liong, Siangkoan-kongcu serta aku sendiri, kita berenam sudah lebih dari cukup untuk menandingi dan merobohkannya. Jangan membawa pasukan.”

Pak-san-kui mengangguk-angguk. Kini dia melihat benarnya ucapan gadis itu, dan secara diam-diam dia girang bahwa puteranya dapat menarik gadis ini sebagai sahabat. Kini dia yakin pasti akan berhasil membalas dendam, bukan hanya mengalahkan Pendekar Sadis, bahkan membunuhnya.

“Baik, kita berangkat sekarang tanpa pasukan!” katanya dan mereka lalu berangkat. Kim Hong berjalan lebih dulu sebagai penunjuk jalan.

Pondok itu memang terpencil di pinggir kota. Dan malam telah larut, suasana amat sunyi. Agaknya semua penghuni rumah sudah tidur dan tidak terdengar suara apa pun. Dengan hati-hati Kim Hong memberi isyarat-isyarat kepada teman-temannya dan mereka berenam mengurung pondok kecil itu. Kim Hong sendiri bersama Pak-san-kui menghampiri pintu depan, dan terdengarlah Pak-san-kui berseru, seperti yang telah mereka rencanakan,

“Pendekar Sadis! Kami telah mengetahui tempat sembunyimu. Keluarlah untuk menerima kematian!”

Sejenak sunyi saja. Pak-san-kui yang menjadi tidak sabaran itu menggedor pintu.

“Pendekar Sadis, keluarlah, kalau tidak, akan kurobohkan pondok ini!”

“Jangan robohkan pondokku…!” Terdengar teriakan lantas pintu depan terbuka, seorang laki-laki tua keluar dari pintu itu. Dari dalam terdengar suara nyaring,

“Paman, jangan keluar!”

Akan tetapi terlambat sudah! Melihat seorang pria tua keluar, Pak-san-kui menggerakkan huncwe-nya. Terdengar jerit orang itu yang langsung terpelanting roboh tak bergerak lagi. Pak-san-kui sendiri sampai terkejut. Tak disangkanya bahwa orang yang keluar itu sama sekali tidak memiliki kepandaian silat sehingga begitu mudah roboh dan tewas.

Karena menurut Kim Hong rumah itu adalah tempat Pendekar Sadis bersembunyi, maka tentu saja dia tadi menyangka bahwa yang keluar tentu bukan orang sembarangan. Akan tetapi, membunuh orang, baik bersalah mau pun yang tidak, bagi datuk ini tiada bedanya, maka dia pun sama sekali tidak peduli. Puteranya, murid-muridnya dan juga Kim Hong memandang tanpa mempedulikan, melainkan memperlihatkan ke dalam pondok melalui pintu yang kini telah terbuka.

Akan tetapi tidak terdengar sesuatu dari dalam pondok itu, juga tak nampak sesuatu yang muncul dari situ. Thian Sin yang tadinya sedang merebahkan diri di dalam pondok, begitu mendengar suara Pak-san-kui, sudah langsung meloncat ke atas dan membuka genteng, lalu mengintai dari atas.

Dia melihat Pak-san-kui datang bersama Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong namun sama sekali dia tak merasa gentar. Akan tetapi yang membuat dia meragu adalah ketika melihat Kim Hong berada pula di situ bersama mereka!

Tadi pun dia sudah gelisah memikirkan betapa Kim Hong melindungi Siangkoan Wi Hong dan menyerangnya. Dan ternyata gadis itu kini agaknya sudah bersekutu dengan musuh besarnya! Hal ini mendatangkan rasa nyeri di dalam hatinya, lebih nyeri dari pada ketika melihat gadis itu berciuman dengan Siangkoan Wi Hong tadi.

Kalau memang Kim Hong sudah mengambil keputusan bersekutu dengan datuk utara itu untuk memusuhinya, dia pun tidak takut! Demikian suara hatinya yang terasa amat nyeri, kecewa, berduka dan marah. Maka dia pun bangkit berdiri di atas atap rumah itu. Sinar bintang-bintang membuat dia nampak seperti tubuh siluman yang tiba-tiba muncul di situ. Akan tetapi suaranya masih halus walau pun mengandung teguran keras.

“Kim Hong, begitu tidak tahu malukah engkau, mau merendahkan diri menjadi kaki tangan Pak-san-kui?” Kemudian dia melayang turun ke depan Pak-san-kui sambil menudingkan telunjuknya. “Pak-san-kui, tua bangka keparat! kalau memang engkau datuk dan laki-laki sejati, hayo lawanlah aku, keroyoklah bersama dengan murid-muridmu, akan tetapi jangan ikut-ikutkan orang lain!”

Sebelum Pak-san-kui menjawab, tiba-tiba Kim Hong tertawa lantas berkata dengan nada menghina, “Hi-hik, Pendekar Sadis! Apakah engkau sudah buta dan tidak melihat dengan siapa kau sedang berhadapan? Locianpwe Siangkoan Tiang adalah datuk utara, seorang locianpwe yang gagah perkasa. Dia sendiri saja sudah cukup, siapa yang butuh bantuan untuk mengeroyokmu?”

Mendengar ucapan ini, Pak-san-kui terkejut. Ucapan itu memang bermaksud baik, akan tetapi sungguh merugikannya! Dan sesudah mendengar gadis itu berkata demikian, tentu saja dia akan merasa rendah dan malu kalau begitu maju lalu mengeroyok musuhnya itu. Maka dia pun mengerling ke arah puteranya dan tiga orang muridnya.

“Aku akan menghadapinya sendiri! Kalian tentu tahu kapan untuk turun tangan mencegah dia melarikan diri!” Setelah berkata demikian dan merasa yakin bahwa puteranya dan tiga orang muridnya dapat mengerti apa yang dia maksudkan, tiba-tiba saja Pak-san-kui telah menerjang ke depan dengan senjatanya yang ampuh, yaitu huncwe maut itu. Nampak api menyambar dari dalam huncwe itu, kemudian menjadi cahaya yang menyambar ke arah muka dan leher Thian Sin.

Cepat bukan main gerakan ini, akan tetapi Thian Sin sudah mengelak ke belakang. Kim Hong juga melihat gerakan itu, kemudian melihat betapa kakek itu menggerakkan tangan kirinya dan lengan kiri itu lantas mulur sampai panjang mengejar atau membuat serangan ke arah kepala Thian Sin.

“Dukkk!”

Thian Sin menangkis dan keduanya terdorong dua langkah ke belakang. Melihat ini, Kim Hong diam-diam terkejut dan kagum akan kelihaian datuk ini yang selain memiliki senjata huncwe yang sangat berbahaya, juga memiliki lengan kiri yang dapat mulur panjang dan tentu saja amat berbahaya pula.

Sementara itu, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong hanya mengurung tempat itu, siap untuk membantu karena mereka maklum bahwa kehadiran Kim Hong tentu saja membuat Pak-sam-kui merasa sungkan untuk melakukan pengeroyokan. Namun mereka tahu bahwa jika sampai Pak-san-kui terdesak, maka mereka berempat tentu akan segera turun tangan mengeroyok. Maka, Siangkoan Wi Hong lalu mendekati Kim Hong.

“Adik manis, jika dia terlalu berat bagi ayah, kita baru akan turun tangan mengeroyoknya. Dia memang orang yang amat berbahaya sekali.” Kim Hong tidak menjawab, seperti tidak mendengar ucapan itu, melainkan menonton perkelahian itu dengan penuh perhatian.

Dan perkelahian itu memang sangat menegangkan untuk ditonton. Seru dan mati-matian, juga merupakan perkelahian antara orang-orang yang memiliki kepandaian hebat. Dahulu, ketika untuk pertama kalinya Thian Sin mengalahkan Pak-san-kui, ia harus mengandalkan akal, menggunakan air untuk menghadapi serangan api yang kadang-kadang keluar dari huncwe maut itu, yang membuat lawan kewalahan dan panik.

Akan tetapi sekarang dia sudah tidak membutuhkan lagi akal seperti itu. Lagi pula, sejak kekalahannya dari Thian Sin dulu itu, Pak-san-kui sudah berlatih matang dan bersiap-siap kalau lawan menggunakan air lagi. Maka andai kata Thian Sin mengulangi akalnya yang dahulu, dia tentu akan kecelik dan tidak akan berhasil.

Pemuda ini hanya menghadapinya dengan memegang kipasnya. Setiap kali ada bunga api menyambar atau asap yang berbau keras, kipas itulah yang mengebut dan api serta asap itu lalu membalik dan menyerbu kakek itu sendiri! Sedangkan serangan huncwe itu hanya dihadapi dengan tangan kosong oleh Thian Sin.

Huncwe maut itu menyambar-nyambar dengan ganasnya, mengeluarkan suara bercuitan mengerikan. Thian Sin selalu dapat mengelak atau menangkis huncwe dengan lengannya, bahkan membalas serangan lawan dengan sama dahsyatnya, menampar dan memukul atau menendang sambil mengerahkan sinkang.

Thian Sin bisa melihat kenyataan bahwa dibandingkan dengan dahulu, datuk ini kini telah mendapat kemajuan yang cukup banyak, maka dia pun lalu mulai merubah gerakannya, mainkan ilmu silat warisan ayahnya yaitu Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan belas jurus itu. Akan tetapi, baru saja dia mengeluarkan tiga empat jurus yang masing-masing mempunyai bagian-bagian dan perkembangan-perkembangan yang amat sukar itu, lawan telah terdesak hebat!

Pak-san-kui juga mengenal jurus-jurus itu, tetapi hanya mengenal kulitnya saja dan isinya sungguh membuat dia merasa bingung sebab mengandung daya serang yang tak pernah diduganya sama sekali, dan selain itu juga sangat hebat. Di dalam serangan-serangan itu terkandung gerakan-gerakan aneh dan hampir saja dia kena dirobohkan lawan sehingga ketika kaki Thian Sin menyerempet lambungnya, dia terhuyung dan meloncat ke belakang sambil mengeluarkan seruan. Seruan ini dikenal oleh Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong, maka mereka itu segera bergerak untuk membantu.

Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan menghadang mereka disertai bentakan, “Tahan dulu!”

Siangkoan Wi Hong amat terkejut ketika melihat bahwa yang menghadang itu adalah Kim Hong! Gadis ini berkata, “Tadi sudah diadakan janji bahwa tidak akan ada pengeroyokan! Kalau kalian ingin mencoba kelihaian musuh, biarlah Pendekar Sadis menghadapi kalian. Oleh karena tingkat kepandaian kalian masih terlalu rendah, maka kalian berempat boleh saja maju berbareng untuk menghadapinya! Heiii, Pendekar Sadis, kau tinggalkan dahulu Pak-san-kui, dan hadapi mereka ini. Aku sendiri ingin merasakan huncwe maut!” Setelah berkata demikian, Kim Hong kemudian meloncat ke dalam arena pertempuran itu sambil mencabut sepasang pedangnya dan langsung menerjang Pak-san-kui!

Perubahan sikap gadis ini sungguh membuat semua orang tercengang. Akan tetapi, kalau Siangkoan Wi Hong menjadi terkejut dan marah sekali, maka sebaliknya Thian Sin yang juga kaget itu merasa girang bukan main. Tadinya dia sudah merasa bingung dan gelisah kalau terpaksa harus menghadapi gadis itu sebagai musuh.

Biar pun hatinya panas kalau teringat akan adegan romantis dan mesra antara Kim Hong dengan Siangkoan Wi Hong, namun pembalikan sikap Kim Hong yang kini jelas berpihak kepadanya itu membuat hatinya gembira sekali maka begitu melihat Kim Hong menyerbu Pak-san-kui, dia pun lalu meloncat ke belakang untuk menghadapi Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong yang segera mengurung dan mengeroyoknya dengan serangan-serangan bertubi-tubi. Terutama sekali, Siangkoan Wi Hong menyerang dengan senjata yangkim-nya, menyerang dengan penuh kebencian dan kemarahan.

Pemuda hartawan ini merasa kecewa bukan main melihat betapa Kim Hong, gadis yang menjatuhkan hatinya, yang disangkanya sudah terjerat olehnya, ternyata sekarang malah membantu Thian Sin! Maka timbullah kecurigaannya bahwa memang gadis itu sengaja bersikap baik terhadapnya untuk memancingnya, memancing ayahnya untuk menghadapi Pendekar Sadis di tempat sunyi itu.

Dan teringatlah dia betapa gadis itu yang menganjurkan agar mereka berenam saja yang menghadapi Pendekar Sadis dan melarang agar jangan menggunakan pasukan! Teringat akan ini, keringat dingin membasahi dahi Siangkoan Wi Hong dan ia menyerang semakin dahsyat, dibantu oleh tiga orang suheng-nya yang sudah membentuk barisan Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga) itu.

Thian Sin menghadapi empat orang pengeroyoknya itu dengan sikap tenang-tenang saja. Akan tetapi karena untuk menghadapi pengeroyokan empat senjata itu lebih enak jika dia menggunakan senjata pula, maka selain kipasnya, dia pun cepat mencabut Gin-hwa-kiam kemudian memutar pedangnya untuk melindungi dirinya sambil kipasnya kadang-kadang menyambar dengan totokan-totokan maut.

Akan tetapi, Thian Sin tidak dapat mencurahkan seluruh perhatian terhadap empat orang pengeroyoknya itu karena dia merasa khawatir kalau-kalau Kim Hong terancam bahaya, walau pun dia maklum bahwa kepandaian gadis itu kiranya tidak berada di sebelah bawah tingkat Pak-san-kui.

Pak-san-kui sendiri yang tadinya tercengang dan marah melihat betapa tiba-tiba gadis itu membalik dan memihak musuh, dengan kemarahan meluap menghadapi Kim Hong.

“Bagus!” bentaknya. “Memang mata anakku yang buta, tidak tahu bahwa engkau adalah siluman yang jahat. Mampuslah kau di tanganku!”

Kakek itu lantas menghisap huncwe-nya kemudian sekali dia menggerakkan huncwe, ada bunga api menyambar ke arah muka Kim Hong, disusul tiupan asap dari mulutnya yang dibarengi pula dengan totokan-totokan maut dari ujung huncwe! Benar-benar merupakan serangan maut yang amat hebat.

Sejak tadi Kim Hong sudah melihat dan mempelajari kepandaian lawan, maka gadis ini mengerahkan ginkang-nya yang amat istimewa, segera melesat ke atas untuk mengelak dari serangan bertubi-tubi itu. Akan tetapi tangan kiri kakek itu sudah menyambar, mulur sampai dua tiga panjang lengan biasa, mencengkeram ke arah dada!

“Hih!” Kim Hong berseru dan pedangnya berkelebat menyambar untuk membacok lengan yang panjang mengerikan itu.

Pak-san-kui kembali meniupkan asapnya dan menarik tangannya. Karena asap itu selain sangat kuat juga mengandung bau yang menyesakkan nafas, maka terpaksa Kim Hong berjungkir-balik di udara, dan itu saja telah menunjukkan kemahiran ginkang yang sangat hebat. Dan sambil berjungkir balik ini Kim Hong sudah memindahkan pedang dari tangan kirinya ke tangan kanan sehingga tangan kanan itu memegang dua pedang, sedangkan tangan kirinya lalu bergerak. Sinar merah menyambar dari atas ke arah kepala dan dada Pak-san-kui.

“Uhhhhh…!” Pak-san-kui terkejut sekali dan dengan cepat dia memutar huncwe-nya untuk menangkis.

Terdengar suara nyaring berkerincingan pada saat jarum-jarum merah itu terpukul runtuh. Akan tetapi, gadis itu telah turun ke atas tanah dan menyerang kembali dengan sepasang pedangnya, gerakannya aneh luar biasa sehingga yang nampak hanyalah dua gulungan sinar hitam yang bergulung-gulung laksana dua ekor naga hitam mengamuk.

Pak-san-kui menangkis beberapa kali sehingga nampak bunga-bunga api berhamburan, dari mulut huncwe dan juga dari pertemuan senjata mereka! Kembali Pak-san-kui merasa terkejut bukan main.

“Tahan...!” serunya dan dia pun meloncat kebelakang.

Kim Hong lalu menyilangkan sepasang pedang hitamnya di depan dada dan memandang sambil tersenyum mengejek. “Pak-san-kui, kini engkau hendak bicara apa lagi?” tanyanya, kini lenyap sikapnya yang tadinya menghormat terhadap datuk itu, berubah menjadi sikap dan suara penuh ejekan.

Pak-san-kui mengerutkan alisnya dan memandang tajam, penuh selidik. Dan teriakannya tadi ternyata juga menghentikan pertandingan antara Thian Sin dengan empat orang yang mengeroyoknya. Agaknya puteranya, dan juga ketiga orang muridnya, menyangka bahwa teriakan itu ditujukan untuk semua sehingga mereka berempat pun meloncat ke belakang, dan tentu saja Thian Sin juga turut menunda gerakannya. Dia ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh kakek itu.

“Nona, aku pernah mendengar tentang jarum merah dan juga tentang Hok-mo Siang-kiam. Ada hubungan apakah engkau dengan Lam-sin?”

Pertanyaan ini persis sama dengan yang pernah diajukan oleh See-thian-ong kepadanya! Sekali ini Thian Sin diam saja, dan Kim Hong menjawab persis seperti saat dia menjawab See-thian-ong, “Lam-sin sudah tidak ada, yang ada hanyalah Toan Kim Hong saja!”

“Tapi… tapi…, Lam-sin adalah datuk selatan, masih rekan dan segolongan denganku…”

“Cukup! Kalau engkau takut menghadapiku katakanlah, tua bangka!” bentak Kim Hong.

Tentu saja bentakan ini membuat Pak-san-kui marah bukan main. Dia tahu bahwa gadis ini ternyata amat lihai, dan mungkin sekali telah mewarisi semua kepandaian datuk yang bernama Lam-sin. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa dia takut menghadapi gadis ini, tetapi kalau gadis yang selihai ini sekarang berpihak kepada Thian Sin, sungguh pihaknya sangat berbahaya. Kini mendengar makian dan bentakan Kim Hong, dia lupa akan semua kekhawatiran itu, terganti rasa kemarahan besar sekali dan dia pun membentak,

“Bocah yang bosan hidup!” Dan huncwe-nya sudah menyerang lagi.

Kim Hong tersenyum mengejek lantas menggerakkan sepasang pedangnya pula. Melihat betapa mereka sudah mulai bertempur lagi, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong juga segera menyerbu Thian Sin yang menghadapi mereka sambil tersenyum-senyum dan memandang rendah. Akan tetapi pemuda ini tetap saja membagi perhatiannya untuk Kim Hong karena dia tidak ingin gadis itu celaka di tangan datuk utara yang lihai itu.

Diam-diam Kim Hong merasa gembira sekali karena semenjak dia meninggalkan Pulau Teratai Merah, berkelana di dunia kang-ouw sampai mendapatkan julukan Lam-sin, baru beberapa kali saja dia memperoleh lawan yang cukup tangguh.

Pertama sekali adalah Thian Sin yang telah berhasil mengalahkannya, mengalahkan ilmu silatnya bahkan juga menundukkan hatinya, pria pertama yang diserahi tubuhnya sebagai tanda takluk. Kemudian dia bertemu dengan See-thian-ong yang merupakan lawan yang tangguh pula. Dan kini, Pak-san-kui juga merupakan lawan yang menggembirakan karena memang lihai sekali. Kim Hong harus mengerahkan seluruh kepandaian serta tenaganya, barulah dia dapat mengimbangi kehebatan kakek itu.

Di lain pihak Pak-san-kui terkejut bukan main sesudah memperoleh kenyataan bahwa dia sungguh-sungguh tidak mampu mengatasi gadis itu! Jurus apa pun yang dikeluarkannya selalu dapat dibendung oleh gadis itu, sementara dia sendiri dengan setengah mati baru sanggup menyelamatkan diri dari desakan gadis itu. Apa lagi kecepatan dan keringanan tubuh gadis itu yang membuat dia hampir kewalahan. Benar-benar seorang lawan yang tingkat kepandaiannya agaknya tidak dibawah Pendekar Sadis sendiri.

Mulailah dia merasa khawatir sekali. Kalau gadis ini membantu Thian Sin, maka pihaknya jelas akan mengalami kerugian hebat.

Sesudah membiarkan Kim Hong menghadapi serta ‘merasakan’ kelihaian datuk utara itu selama lebih dari lima puluh jurus, tiba-tiba Thian Sin melompat dan meninggalkan empat orang pengeroyoknya lalu menerjang datuk itu sambil berkata kepada Kim Hong.

“Jangan kau merampas musuh besar dari tanganku!”

Kim Hong tertawa dan gadis ini pun membalik lalu menghadapi Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong. Pada saat itu Siangkoan Wi Hong sudah merasa yakin bahwa gadis ini agaknya memang sengaja mendekati keluarga Pak-san-kui untuk memancing mereka ke tempat itu, maka dia pun menjadi marah sekali.

“Perempuan hina, rasakan pembalasanku!” Yangkim-nya menyerang ganas, lantas disusul cengkeraman tangan kirinya dengan ilmu cakar garuda!

Dimaki seperti itu, Kim Hong menjadi marah sekali. Pedangnya berkelebat menyambar, yang satu menangkis yangkim dan yang ke dua membabat ke arah lengan kiri lawan, dan selain itu, dia pun mengerahkan segenap tenaganya.

“Trakkk!”
Memang Siangkoan Wi Hong berhasil menarik kembali lengan kirinya, akan tetapi setelah terdengar suara keras itu, ujung yangkim-nya pecah terbabat oleh pedang hitam! Dan Kim Hong masih terus mendesaknya, akan tetapi pada saat itu pula Pak-thian Sam-liong telah menyerbunya dari belakang, kanan dan kiri. Terpaksa dara itu memutar kedua pedangnya dan kembali dia menghadapi pengeroyokan mereka berempat. Akan tetapi sekali ini Kim Hong tidak main-main lagi dan gerakan kedua pedangnya membuat empat pengeroyok itu menjadi kalang kabut dan terdesak hebat.

Apa lagi Siangkoan Wi Hong juga telah mengalami kekagetan karena ujung yangkim-nya sudah patah. Pemuda ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa gadis cantik yang pernah membiarkan dia menciuminya dengan mesra itu ternyata memiliki ilmu kepandaian begitu hebat sehingga ayahnya sendiri pun tidak mampu mengalahkannya.

Sementara itu, perkelahian antara Thian Sin dan Pak-san-kui juga sudah menampakkan perubahan. Kini Thian Sin mulai mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Kakek itu tampak lelah sekali, dan cahaya lampu di depan pondok itu biar pun hanya suram saja namun masih dapat menerangi keadaan kakek yang wajahnya menjadi pucat, napasnya agak memburu dan dari topi sulaman bunga emas di kepalanya itu keluar uap putih yang tebal. Tapi Thian Sin terus mendesaknya dan setiap kali huncwe bertemu dengan Gim-hwa-kiam, tentu kakek itu tergetar dan terhuyung ke belakang.

“Tranggggg…!”

Kembali dua senjata itu saling bertemu dan kali ini sedemikian hebatnya sehingga tubuh kakek itu langsung terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk. Akan tetapi Pak-san-kui telah menggerakkan lengan kirinya yang bisa memanjang itu, sambil duduk tangan kirinya itu bergerak seperti ular dan tahu-tahu sudah menangkap kaki kanan Thian Sin.

Pemuda ini memang sengaja membiarkan kakinya ditangkap, akan tetapi ketika kakinya ditarik, tetap saja dia tidak mampu mempertahankan dan dia pun terpelanting! Akan tetapi bukan sembarangan terpelanting, melainkan terpelanting yang sudah diaturnya sehingga ketika terguling itu, pedangnya bergerak, sinar perak berkelebat ke bawah.

“Crokkk!”

“Aughhhhh…!” Pak-san-kui meloncat berdiri kemudian terhuyung ke belakang.

Lengannya tertinggal di kaki Thian Sin karena pedang itu telah membabat buntung lengan kirinya sebatas siku tetapi tangan kirinya itu masih saja mencengkeram pergelangan kaki pemuda itu! Thian Sin cepat membungkuk dan segera melepaskan tangan kiri lawan itu dari kakinya, kemudian dia langsung menubruk maju menyerang Pak-san-kui yang sudah terluka parah.

“Trangg! Tranggg…!”

Kembali bunga api berpijar dan tubuh kakek itu terjengkang. Thian Sin segera menyimpan Gin-hwa-kiam dan pada waktu kakek itu bangkit, dia sudah menyerangnya lagi, sekarang menggunakan kedua tangan kosong. Pak-san-kui yang menyeringai kesakitan itu segera menyambutnya dengan pukulan huncwe sekuatnya ke arah dahi Thian Sin, tetapi pemuda ini menangkapnya. Mereka saling betot dan mendadak Thian Sin mempergunakan Thi-khi I-beng!

“Ahhhh…!” Pak-san-kui terkejut sekali.

Dia sudah tahu bahwa lawannya ini mempunyai ilmu Thi-khi I-beng yang mukjijat itu, akan tetapi dia sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda itu akan menggunakannya pada saat itu. Kini huncwe-nya melekat pada tangan pemuda itu dan pada waktu dia sedang mengerahkan tenaga sekuatnya untuk membetot huncwe, pemuda itu juga mengerahkan ilmu yang seketika menyedot semua sinkang yang tersalur lewat tangan kanannya.

Karena tangan kirinya sudah tidak dapat dipergunakan, maka kakek ini cepat menyimpan tenaga dengan menghentikan pengerahan sinkang-nya. Hanya itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirinya agar tenaga lweekang-nya tidak tersedot habis. Akan tetapi, pada saat itu Thian Sin yang sudah memperhitungkan ini, tiba-tiba saja merenggut lepas huncwe-nya dan di lain saat huncwe itu sudah membalik ke arah kepala Pak-san-kui.

“Prakkk!”

Huncwe itu remuk, pecah berantakan, namun tubuh kakek itu terguling, kepalanya bagian pelipis mengucurkan darah!

Thian Sin membuang huncwe yang sudah remuk itu kemudian meloncat mendekati untuk memeriksa apakah betul lawannya telah tewas. Baru saja dia membungkuk, tiba-tiba kaki Pak-san-kui bergerak cepat.

“Dessss…!”

Tubuh Thian Sin terlempar ke belakang ketika kaki itu mengenai dadanya! Untung bahwa dia tadi cepat mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang melindungi dadanya sehingga ketika kena tendang, dia hanya terlempar saja dengan dada terasa agak nyeri, akan tetapi tidak sampai terluka dalam.

Kakek itu tertawa aneh dan tubuhnya sudah meloncat bangun lagi lalu menubruk ke arah Thian Sin yang masih rebah terlentang sesudah terlempar tadi. Thian Sin menyambutnya dengan totokan ke arah leher sambil meloncat bangun.

“Cusss…!”

Thian Sin kaget bukan main ketika jari tangannya hanya menotok kulit daging yang lunak. Bahkan disangkanya kakek itu sudah mempergunakan ilmu yang dimiliki Kim Hong, yaitu melepaskan daging menyembunyikan otot seperti Ilmu Bian-kun (Ilmu Silat Kapas). Akan tetapi ketika dia memandangi ternyata kakek itu terkulai dan roboh tak bernyawa lagi!

Ternyata kakek itu telah tewas sesudah mengeluarkan suara ketawa aneh dan pada saat menubruk dirinya tadi! Dia telah menggunakan tenaganya yang terakhir dalam tendangan tadi dan sesudah dia memeriksanya, ternyata pelipis kepalanya telah retak oleh pukulan dengan huncwe tadi.

Thian Sin cepat menengok. Dia melihat betapa Kim Hong mempermainkan empat orang lawannya. Dia pun tidak membantu, hanya menonton saja sambil berdiri di depan pondok. Diam-diam dia merasa semakin kagum kepada Kim Hong.

Empat orang pengeroyoknya itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan kalau mereka berempat itu maju bersama seperti itu, agaknya malah lebih berbahaya dan lebih kuat dibandingkan dengan Pak-san-kui sendiri. Tapi jelaslah bahwa Kim Hong menguasai perkelahian itu.

Dara ini membagi-bagi serangan seenaknya, dan dengan ginkang-nya yang luar biasa dia seperti beterbangan ke sana ke mari, laksana seekor kupu-kupu yang lincah beterbangan di antara empat tangkai bunga. Sepasang pedang di tangannya membuat gulungan sinar hitam yang mengeluarkan angin dahsyat dan suara berdesing-desing sehingga membuat empat orang pengeroyoknya kewalahan sekali.

Malah barisan Sha-kak-tin itu pun sudah kocar-kacir. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh kelihaian ilmu pedang Kim Hong, melainkan juga karena adanya Siangkoan Wi Hong turut mengeroyok. Sha-kak-tin adalah ilmu silat kelompok yang dilakukan oleh tiga orang yang selalu mengatur pengepungan dalam bentuk segi tiga. Tempat mereka itu boleh bertukar-tukar, akan tetapi selalu dalam bentuk segi tiga. Kini dengan adanya Siangkoan Wi Hong, biar pun dasar ilmu silat mereka masih dari satu sumber, namun kehadiran Siangkoan Wi Hong ini justru tak memungkinkan lagi bagi mereka untuk memainkan Sha-kak-tin secara sempurna.

Untuk membiarkan Siangkoan Wi Hong meninggalkan mereka pun merupakan hal yang berbahaya sekali karena lawan mereka ini sungguh amat lihai. Maka mereka mengepung berempat dan melakukan pengeroyokan. Namun akibatnya malah mereka sendirilah yang merasa dikeroyok oleh banyak sekali pedang hitam!

Memang Kim Hong sengaja mempermainkan mereka. Dia sudah berhasil merobek baju Siangkoan Wi Hong berikut kulit dan sedikit daging di dada kirinya, melukai pundak dan paha tiga orang Pak-thian Sam-liong, akan tetapi masih belum mau merobohkan mereka. Dia menanti sampai Thian Sin berhasil merobohkan Pak-san-kui dulu, dan setelah melihat Pak-san-kui roboh dan tidak bergerak lagi, barulah dia tersenyum.

“Sekarang, kalian berempat bersiaplah untuk mengiringi guru kalian pergi ke neraka!”

Dan gerakan pedangnya pun berubah, menjadi semakin cepat, membuat empat orang itu bingung sekali. Dua kali cahaya hitam menyambar disusul robohnya dua orang di antara Pak-thian Sam-liong. Mereka roboh tidak bergerak lagi karena ujung kedua pedang hitam itu telah menusuk antara kedua mata mereka.

Orang ke tiga dari Pak-thian Sam-liong yang menjadi marah bukan kepalang menusukkan pedangnya dengan nekad, akan tetapi kembali cahaya hitam berkelebat. Terdengar suara keras dan pedang itu buntung, disusul robohnya pemegangnya dengan leher yang hampir putus akibat terbabat cahaya hitam pedang Hok-mo Siang-kiam.

Kini tinggal Siangkoan Wi Hong seorang diri yang harus menghadapi wanita itu! Pemuda ini menjadi pucat mukanya. Akan tetapi dia segera maklum bahwa tak mungkin dia dapat melarikan diri lagi maka dia pun lalu membuat gerakan tiba-tiba, menyambitkan yangkim ke arah lawan, disusul dengan kedua tangannya yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan tangan kanan mencengkeram ke arah buah dada! Inilah serangan maut yang dimaksudkan untuk mengadu nyawa dengan gadis cantik itu!

Akan tetapi, dengan mudahnya Kim Hong dapat mengelak dari sambaran yangkim, lantas sebelum serangan kedua tangan lawan dapat menyentuhnya, dia telah membuat gerakan meloncat cepat, tubuhnya melesat ke arah belakang tubuh lawan, kepalanya digerakkan dan tahu-tahu rambutnya yang panjang hitam dan harum itu sudah menyambar ke depan dan telah membelit leher Siangkoan Wi Hong! Bukan belitan mesra dari rambut harum itu seperti yang dibayangkan oleh Siangkoan Wi Hong, melainkan belitan yang sangat kuat, melebihi kuatnya lilitan seekor ular dan rambut itu telah mencekik leher!

Siangkoan Wi Hong kaget sekali dan otomatis kedua tangannya bergerak ke leher untuk melepaskan belitan itu. Akan tetapi tiba-tiba saja Kim Hong memutar kepalanya sehingga tubuh Siangkoan Wi Hong terangkat dan terbawa oleh putaran itu, lantas diputar beberapa kali dengan amat kuatnya, dan akhirnya belitan rambut itu terlepas.

Tubuh Siangkoan Wi Hong langsung melayang ke arah Thian Sin! Tubuh itu sudah lemas karena belitan rambut tadi telah membuatnya tak dapat bernapas, maka ketika Thian Sin menyambutnya dengan tamparan, Siangkoan Wi Hong yang sudah setengah mati itu tak mampu mengelak lagi.

“Prokkk!”

Tubuh pemuda itu terbanting dan seperti juga ayahnya, kepalanya retak akibat tamparan yang dilakukan oleh Thian Sin dan dia pun tewas tak jauh dari mayat ayahnya.

Mereka kini saling berhadapan, saling pandang di bawah penerangan sinar lampu redup depan pondok itu. Mayat lima orang itu berserakan.

“Kim Hong…”

“Mari kita pergi dari sini, kalau ketahuan pasukan penjaga kita akan repot juga.” Kim Hong memotong kata-kata Thian Sin dan meloncat pergi, disusul oleh Thian Sin.

Mereka baru berhenti setelah sinar matahari pagi menciptakan warna indah cerah di ufuk timur dan mereka telah tiba jauh sekali dari kota Tai-goan. Pagi itu cerah dan indah sekali, secerah hati Thian Sin. Lenyaplah semua perasaan kesepian, lenyaplah semua perasaan nelangsa, terganti dengan sinar kegembiraan memenuhi hatinya, walau pun kegembiraan ini kadang-kadang menyuram oleh bayangan betapa gadis ini pernah berciuman dengan mesra bersama Siangkoan Wi Hong!
Selanjutnya,

Pendekar Sadis Jilid 35

Pendekar Sadis Jilid 35
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Thian Sin meninggalkan mejanya, tidak tergesa-gesa agar tidak menimbulkan kecurigaan, lalu keluar dari rumah makan itu. Dengan tenang dia pun lalu membayangi kereta itu yang dijalankan perlahan-lahan menuju ke sebelah utara.

Cuaca sudah mulai gelap dan hal ini memudahkan Thian Sin untuk membayangi kereta. Akhirnya kereta itu berhenti di depan sebuah penginapan! Mereka berdua itu menginap di dalam sebuah penginapan yang mewah! Makin panaslah hati Thian Sin.

Dan dia pun menyelinap ke dalam gelap lalu dari situ dia mengintai. Dia melihat mereka berdua turun dari kereta kemudian bercakap-cakap sebentar. Agaknya, dari jauh dia bisa menduga bahwa Kim Hong minta kepada Siangkoan Wi Hong untuk berangin-angin lebih dulu di taman bunga rumah penginapan itu sebelum mereka masuk. Siangkoan Wi Hong tampak tersenyum di bawah lampu depan pekarangan itu, kemudian keduanya memasuki taman bunga yang letaknya di belakang rumah penginapan dan di sebelah kirinya.

Thian Sin tetap membayangi mereka sambil menyelinap di antara pohon-pohon di dalam taman itu sampai dia dapat mengintai mereka tidak terlalu jauh dan dapat mendengarkan percakapan mereka. Mereka duduk di atas bangku yang saling berhadapan, dekat kolam ikan emas di mana terdapat sedikit penerangan dari lampu gantung. Suasana di taman itu sungguh romantis dan pada saat itu amat sunyi. Agaknya tidak terdapat orang lain kecuali mereka berdua.

“Nona Toan, engkau sungguh cantik jelita seperti bidadari, dan aku berbahagia sekali bisa berjumpa serta mengenalmu, nona,” terdengar Siangkoan Wi Hong tiba-tiba menyatakan rasa hatinya dengan sikap dan suara mesra.

Kim Hong tertawa, ketawa ditahan yang sudah sangat dikenal Thian Sin itu. “Engkau juga gagah dan tampan sekali, Siangkoan-kongcu, dan aku pun amat gembira bisa berkenalan denganmu.”

“Ahhh…, benarkah apa yang kau katakan itu Kim Hong? Dan bolehkah aku memanggil namamu?”

“Tentu saja benar, dan engkau boleh memanggil namaku.”

“Kim Hong… aku suka sekali padamu… belum, aku belum dapat mengatakan cinta sebab baru beberapa saat kita berkenalan, akan tetapi aku… aku suka sekali padamu.”

“Hemmm, aku pun suka sekali padamu, kongcu. Engkau baik sekali dan engkau gagah sekali…”

“Kim Hong…” Pemuda itu bangkit dan menghampiri, lalu duduk di samping gadis itu dan merangkulnya.

Kim Hong tidak menolak, malah mengangkat mukanya sehingga memudahkan Siangkoan Wi Hong untuk menciumnya. Mencium bibirnya dengan mesra dan lama sekali.

“Keparat jahanam! Siangkoan Wi Hong, bersiaplah engkau untuk mampus!” Teriakan ini keluar dari mulut Thian Sin yang sudah meloncat keluar dari tempat persembunyiannya, tak dapat menahan lebih lama lagi rasa panas di dalam dada dan perutnya menyaksikan adegan mesra antara Kim Hong dan putera Pak-san-kui itu.

Seketika dua orang yang sedang berpelukan dan berciuman itu melepaskan diri masing-masing, dan Siangkoan Wi Hong cepat menyambar yangkim-nya lalu berbalik. Wajahnya menjadi pucat ketika dia mengenal Thian Sin yang sudah berdiri di bawah lampu, wajah yang biasanya ramah itu kini nampak muram dan menakutkan.

“Thian Sin…!” Dia berseru penuh rasa gentar akan tetapi juga marah.

“Bagus, engkau sudah mengenalku sehingga engkau tidak akan mati penasaran!” Thian Sin berkata kemudian secepat kilat dia menerjang ke depan dengan serangan maut. Akan tetapi, Siangkoan Wi Hong bukanlah orang yang lemah dan dia langsung menggerakkan yangkim-nya untuk menangkis.

“Dukkk…!”

Dan terkejutlah putera Pak-san-kui itu karena tubuhnya tergetar hebat dan dia terdorong mundur, terhuyung-huyung! Thian Sin tidak mau memberi hati lagi, terus menerjang lawan yang sudah terhuyung itu.

“Desss…!”

Thian Sin terkejut melihat bahwa Kim Hong telah menangkis pukulannya. Sejenak mereka saling pandang. Akan tetapi Kim Hong tidak mau membuang waktu lagi dan secepat kilat gadis ini mencabut sepasang pedangnya dan menyerang Thian Sin kalang-kabut!

Tentu saja Thian Sin cepat mengelak. Hatinya terasa bagaikan ditusuk. Begini marahkah Kim Hong padanya sehingga kini malah membantu Siangkoan Wi Hong dan menyerang dia mati-matian? Ingin dia bicara, ingin dia minta maaf. Akan tetapi di situ ada Siangkoan Wi Hong. Dia malu kalau harus memperlihatkan kelemahannya di depan orang lain. Maka dia pun mencabut pedangnya dan diputarnya pedang itu untuk menangkis.

Sementara itu, Siangkoan Wi Hong gembira sekali melihat Kim Hong membantunya. Dia memang telah tahu bahwa gadis itu mempunyai kepandaian silat yang lihai, maka dia pun lalu memutar yangkim-nya dan membantu Kim Hong.

“Pendekar Sadis, sekarang jangan harap engkau dapat lolos dari tanganku!” bentak Kim Hong.

Bentakan ini diterima oleh Thian Sin dengan mata terbelalak. Dia merasa sangat heran mendengar gadis ini menyebutnya Pendekar Sadis. Ada permainan apa ini? Akan tetapi karena Kim Hong mendesaknya dengan hebat, dibantu pula oleh pemuda itu, dia merasa serba salah. Apa bila dia melawan dengan kekerasan, dia takut kalau-kalau akan melukai gadis itu. Maka dia pun meloncat ke dalam gelap lantas melarikan diri.

“Lekas lapor ayahmu, aku mengejarnya!” kata Kim Hong kepada Siangkoan Wi Hong, dan dia pun telah meloncat dengan cepat melakukan pengejaran.

Bagaimana pula Toan Kim Hong bisa bersama-sama dengan Siangkoan Wi Hong di kota Tai-goan dan telah berkenalan dengan akrabnya? Terjadinya tiga hari yang lalu, di dalam sebuah hutan di lembah Sungai Fen-ho.

Ketika itu, seperti yang telah menjadi kesukaannya, Siangkoan Wi Hong berburu binatang hutan. Yangkim-nya yang selalu dibawanya tergantung di punggung, ada pun tangannya memegang busur dan anak panah. Ketika melihat seekor kijang, dia cepat mengejarnya.

Kijang itu masih muda dan gesit bukan main, berloncatan amat cepatnya dan menyusup-nyusup ke dalam semak-semak, kalau didekati meloncat lagi. Wi Hong telah melepaskan anak panah dua kali, yang sekali luput dan yang sekali lagi hanya menyerempet di betis binatang itu, membuatnya menjadi semakin ketakutan, liar dan lebih cepat lagi larinya.

Akan tetapi akhirnya Siangkoan Wi Hong bisa mendesaknya ke tepi sungai dan binatang itu kebingungan. Wi Hong memasang anak panah pada busurnya dan sudah siap untuk membidikkan anak panahnya. Akan tetapi pada saat dia hendak melepaskan anak panah, tiba-tiba saja kijang itu mengeluarkan teriakan nyaring dan roboh terpelanting!

Wi Hong terkejut bukan kepalang dan cepat meloncat, akan tetapi dia melihat bayangan berkelebat dan seorang gadis cantik jelita telah berdiri di dekat bangkai kijang. Siangkoan Wi Hong terpesona dan memandang dengan melongo.

“Hemm, apa yang kau pandang?!” gadis itu membentak sambil memandang dan bertolak pinggang.

Siangkoan Wi Hong baru sadar dan dia tersenyum, menyimpan gandewanya kemudian berjalan menghampiri.

“Ahh, tadi kusangka ada bidadari yang turun dari kahyangan. Nona, apakah nona… ehhh, manusia biasa?”

Wanita itu adalah Kim Hong dan ketika mendengar ucapan itu, Kim Hong juga tersenyum. Pemuda tampan ini sungguh mengagumkan dan juga menyenangkan hatinya. “Kalau aku bukan manusia, apakah kau kira aku setan atau siluman?”

Siangkoan Wi Hong memandang ke kanan dan kiri. “Tempat ini amat sunyi, dan kijang ini tiba-tiba tewas sebelum kupanah, lalu muncul seorang seperti nona! Begini… cantik jelita. Aku mendengar bahwa di tempat-tempat sunyi seperti ini terdapat… ehh, siluman-siluman yang pandai merubah diri menjadi wanita cantik melebihi bidadari, seperti… ehh, dongeng tentang Tiat Ki dalam dongeng Hong-sin-pong itu, begitu cantiknya sampai menjatuhkan hati Kaisar Tiu-ong!”

“Hemmm, apa kau tidak dapat membedakan antara manusia dengan siluman?” Kim Hong menanggapi, tidak marah disangka siluman sebab cara pemuda itu mengatakannya sama sekali tidak terkandung nada menghina, melainkan memuji.

Semakin gembiralah hati Siangkoan Wi Hong melihat betapa gadis yang cantik jelita itu mau menanggapinya, maka dia langsung pasang aksi, pura-pura berpikir dan mengingat-ingat, mengerutkan alisnya, kemudian berkata dengan wajah berseri,

“Ahh, kini aku ingat! Dalam kitab dongeng kuno tentang siluman-siluman yang menyamar sebagai wanita cantik terdapat tanda-tanda. Ada tanda yang… ahhh, sebelumnya maaf, nona. Kata kitab itu, bila siluman rase atau rubah menyamar sebagai wanita, ada satu hal yang tak dapat dilenyapkannya, yaitu ekornya! Wanita cantik penyamaran siluman rubah itu tentu mempunyai ekor! Ah, akan tetapi tentu saja, aku tidak dapat membuktikan pada dirimu…,” dia berhenti untuk melihat reaksi gadis itu. Akan tetapi Kim Hong masih tetap tersenyum saja dan agaknya tidak nampak marah sama sekali. Hal ini langsung membuat Siangkoan Wi Hong menjadi semakin girang dan berani.

“Akan tetapi ada tanda lain lagi yang dapat kubuktikan pada dirimu nona. Kata kitab itu, seorang wanita penyamaran siluman rubah mempunyai dua tanda, yaitu pertama, karena tubuh yang diambilnya adalah tubuh wanita yang telah mati, maka lengannya akan terasa dingin seperti mayat kalau dipegang, dan dari hawanya keluar bau rubah yang khas. Nah, aku boleh menyentuh lenganmu, nona, dan kalau aku boleh mendekatimu tentu aku akan segera bisa membedakan apakah nona seorang manusia biasa atau sebangsa siluman.”

Kim Hong tersenyum, sepasang matanya bersinar-sinar dan wajahnya yang cantik manis itu berseri. Dia juga merasa gembira oleh sikap pemuda itu. Maka dia menyingsingkan lengan baju sebelah kiri kemudian menyorongkan lengan kirinya kepada Wi Hong sambil berkata dengan senyum, “Nah, periksalah.”

Siangkoan Wi Hong girang bukan main dan dia menelan ludahnya melihat sebuah lengan yang berkulit begitu mulus, putih dan lembut, halus seperti lilin diraut. Dia pun melangkah maju mendekat, lalu menggunakan tangan kanannya untuk menyentuh, bahkan sesudah ujung jari-jari tangannya menyentuh kulit halus lunak hangat itu, dengan kedua matanya tetap menatap wajah Kim Hong untuk melihat reaksinya, dan melihat bibir nona itu tetap tersenyum, maka jari-jari tangannya segera melanjutkan dengan meraba-raba lengan dan memegangnya dengan mesra!

Kim Hong menarik lengannya dengan gerakan halus, lantas bertanya sambil tersenyum, “Bagaimana, dingin seperti mayatkah?”

Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar sambil memandang dengan mata berseri. “Ah, sama sekali tidak, sebaliknya malah, begitu hangat, halus dan lunak… ahhh, dan yang tercium olehku hanya keharuman seperti bunga setaman…!”

Kim Hong tersenyum gembira, akan tetapi berlagak tak senang. “Hemm, engkau seorang perayu! Siapakah engkau?”

Siangkoan Wi Hong menjura, “Perkenalkan, nona, namaku Siangkoan Wi Hong. Aku tadi sedang berburu di hutan ini dan mengejar-ngejar kijang itu sampai ke tepi sungai. Setelah aku berhasil menyudutkannya dan siap hendak melepaskan anak panah… ehh, tahu-tahu kijang itu roboh dan tewas, lalu muncullah nona. Siapakah nona dan bagaimana seorang wanita muda seperti nona dapat berada di tempat sunyi terpencil ini?”

“Namaku Toan Kim Hong…”

“Nama yang indah sekali, seperti orangnya! Dan she Toan…?” Ahhh, apakah masih ada hubungannya dengan keluarga pangeran…?”

Kim Hong mengangguk.

Siangkoan Wi Hong menjura lagi. “Ah, maaf, maafkan…! Kiranya nona adalah puteri yang berdarah bangsawan! Sungguh sikap saya layak dihukum…”

Kim Hong menarik nafas panjang. “Sudahlah, urusan kebangsawanan itu urusan dahulu, sekarang aku adalah orang biasa saja. Aku kebetulan lewat di sini dan selagi menikmati keheningan di tempat ini, aku melihat seekor kijang. Oleh karena perutku lapar, maka aku segera merobohkannya dengan sabitan jarumku.”

Wi Hong terbelalak. “Apa…? Membunuh kijang dengan sabitan jarum saja? Agaknya tak masuk akal…!”

“Siapa bilang tak masuk akal kalau jarumku memasuki kepala melalui antara matanya lalu menembus otak,” jawab Kim Hong.

Mendengar jawaban ini, tentu saja Siangkoan Wi Hong menjadi semakin kaget dan heran. Sebagai seorang pemuda yang mempunyai ilmu silat yang tinggi, dia tahu bahwa jarum hanya merupakan senjata rahasia ringan yang hanya dapat digunakan dari jarak dekat, dan bukan merupakan senjata rahasia yang berbahaya.

Akan tetapi gadis ini dapat membunuh seekor kijang dari jarak jauh dengan penyambitan jarum, bahkan tanpa memeriksa lagi gadis ini dapat memastikan bahwa jarumnya sudah menancap di antara mata kijang itu dan tembus sampai ke otak! Hal ini, kalau memang benar, menunjukkan bahwa gadis ini adalah seorang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Dan jarum itu pun tentu mengandung racun yang hebat.

Untuk meyakinkan hatinya dia pun lalu berjongkok dan memeriksa kijang itu. Dan betapa kagumnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa memang benar pada kepala binatang itu, di antara kedua matanya, terdapat luka kecil kemerahan yang mulai membengkak dan mengeluarkan darah! Dia cepat bangkit berdiri dan kembali dia menjura dengan hormat.

“Ahh, kiranya aku sedang berhadapan dengan seorang pendekar wanita lihai! Toan-lihiap, aku girang sekali dapat berkenalan dengan seorang gadis pendekar sepertimu!”

“Ah, Siangkoan-kongcu terlampau memuji orang. Sebaliknya, aku pun pernah mendengar namamu dan melihat yangkim pada pundakmu tadi pun aku sudah dapat menduga bahwa engkau tentulah Siangkoan-kongcu yang sudah sangat terkenal itu, putera dari locianpwe Pak-san-kui, bukan?”

“Tepat sekali, lihiap.”

“Ahh, jangan sebut aku lihiap, membikin aku merasa canggung dan malu saja.”

“Baiklah, kalau begitu biarlah kusebut engkau Toan-siocia.” Siangkoan Wi Hong kemudian memanggul bangkai kijang itu. “Nona, setelah kita bertemu dan saling berkenalan di sini, aku mengundang nona untuk bersama-sama menikmati daging kijang ini. Akan kusuruh orang untuk memasak daging ini di rumahku. Silakan nona.”

Demikianlah, kedua orang itu berkenalan dan Kim Hong lalu mengunjungi rumah pemuda hartawan itu. Sebaliknya, Siangkoan Wi Hong kemudian sering kali mengunjungi hotel di mana gadis itu bermalam, mengajaknya pelesir atau makan ke restoran-restoran terbesar di kota Tai-goan, mengajaknya pesiar dengan kereta. Maka dalam waktu beberapa hari saja hubungan antara mereka amat akrabnya.

Demikianlah pertemuan antara Kim Hong dengan putera Pak-san-kui itu sampai mereka dilihat oleh Thian Sin yang membayangi mereka, kemudian Pendekar Sadis menyerang Siangkoan Wi Hong ketika melihat betapa putera datuk utara itu berpacaran dengan Kim Hong.

Di dalam waktu beberapa hari itu, Siangkoan Wi Hong sudah sempat mengajak Kim Hong berkunjung pula kepada ayahnya. Pak-san-kui Siangkoan Tiang menerima perkenalan itu dengan hati gembira. Dia melihat bahwa bukan saja gadis itu sangat cantik dan menurut puteranya juga memiliki ilmu silat yang lihai, akan tetapi juga mengingat bahwa gadis ini masih keluarga bangsawan tinggi, yaitu Pangeran Toan, maka dia merasa girang apa bila puteranya dapat berjodoh dengan gadis ini.

Dan setelah dia mendengar bahwa Kim Hong adalah puteri dari mendiang Pangeran Toan Su Ong seperti pengakuan gadis itu, maka diam-diam dia terkejut dan semakin kagum. Ia pernah mengenal pangeran pemberontak itu, dan maklum bahwa kepandaian pangeran itu tidak berada di bawah tingkatnya! Bahkan akhirnya ia pun mendengar bahwa sebelum meninggal, pangeran itu bersama istrinya telah menemukan ilmu peninggalan Menteri The Hoo sehingga kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang sukar dicari tandingannya.

Ketika Thian Sin menyerang Siangkoan Wi Hong dengan ganas karena pemuda ini sudah marah sekali sehingga ingin membunuhnya, Kim Hong membela sahabat barunya itu dan ketika Thian Sin melarikan diri karena pemuda ini tak mau berkelahi melawan kekasihnya, Kim Hong segera mengejar dan minta kepada Siangkoan Wi Hong untuk melapor kepada ayah pemuda itu.

Dengan ginkang-nya yang memang lebih tinggi dari pada Thian Sin, Kim Hong berhasil membayangi pemuda itu tanpa diketahuinya, dan dara ini dapat melihat pondok kecil yang disewa pemuda itu di tepi kota. Maka dia pun cepat pergi meninggalkan tempat itu dan menyusul Siangkoan Wi Hong ke rumah Pak-san-kui.

Pada waktu dia tiba di rumah datuk itu, ternyata Pak-san-kui telah mengumpulkan semua murid-muridnya dan ketika melihat Kim Homg datang, Siangkoan Wi Hong cepat-cepat menyambut dan memegang tangan dara itu.

“Nona, bagaimana…? Dapatkah engkau mengejarnya?”

“Aku tahu dimana dia, akan tetapi aku tahu dia lihai sekali, maka aku tidak berani turun tangan sendiri, dan aku cepat menyusulmu untuk memberi tahukan hal itu.”

Akan tetapi Pak-san-kui memandang kepada gadis itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, “Nona Toan, kenapa nona membantu puteraku dan memusuhi Pendekar Sadis?”

Pertanyaan ini diajukan secara tiba-tiba dengan suara keras penuh desakan, sebab kakek ini memang menaruh curiga dan sengaja bertanya secara tiba-tiba untuk membuat gadis ini tidak dapat berbohong tanpa diketahuinya. Akan tetapi gadis itu bersikap tenang saja, dan di bawah cahaya lampu yang terang itu nampak betapa gadis itu memandang kepada penanyanya dengan penasaran.

“Ahhh, apakah locianpwe belum tahu? Bukankah Pendekar Sadis yang sudah membunuh pamanku, Pangeran Toan-ong di kota raja? Locianpwe, biar pun mendiang ayahku telah dianggap pemberontak oleh kota raja, akan tetapi dia telah diampuni, dan bagaimana pun juga, Toan-ong yang dibunuh Pendekar Sadis itu adalah pamanku sendiri. Sebab itu tentu saja aku menganggap Pendekar Sadis sebagai musuhku!”

“Ayah, selain itu kami berdua pun saling mencinta. Aku… aku telah mengambil keputusan untuk memilih nona Toan sebagai calon jodohku, karena itu sudah sepatutnya apa bila dia membantuku ketika Pendekar Sadis menyerangku,” kata Siangkoan Wi Hong. Kim Hong mengerling ke arah pemuda itu dan sepasang pipinya berubah merah, akan tetapi gadis ini tidak berkata sesuatu.

“Jadi engkau sudah tahu di mana dia berada, nona?” tanya Pak-san-kui Siangkoan Tiang. Gadis ini mengangguk.

“Sebaiknya kalau malam ini juga kita menyerbunya, selagi dia lengah,” katanya.

“Memang itu pun yang menjadi rencana kami,” kata Pak-san-kui. “Akan tetapi, kita masih menanti datangnya pasukan Siong-ciangkun.”

“Ahh, jangan menggunakan pasukan, locianpwe!” Tiba-tiba saja Kim Hong berkata sambil mengerutkan alisnya. “Mengapa hanya menghadapi satu orang saja harus menggunakan pasukan? Locianpwe sendiri adalah seorang yang sakti, belum lagi locianpwe dibantu oleh putera locianpwe yang juga lihai, dan masih ada lagi murid-murid locianpwe yang terkenal pula. Dan jika locianpwe percaya kepadaku, aku pun dapat membantu. Bukan aku hendak menyombong, tapi kalau aku dibantu oleh Siangkoan-kongcu seorang saja, maka aku pun sudah akan mampu menandinginya!”

Tentu saja Pak-san-kui menganggap gadis ini bicara sombong. Bagaimana pun lihainya, tidak mungkin gadis ini mampu melawan Pendekar Sadis. Dia sendiri saja merasa gentar menghadapi pendekar yang telah mampu menewaskan See-thian-ong dan para muridnya itu. Akan tetapi karena gadis ini pun merupakan pembantu yang lumayan, dia diam saja tidak menanggapi sikap yang dianggapnya sombong itu.

Akan tetapi secara diam-diam Siangkoan Wi Hong mempercayai omongan gadis itu, oleh karena dia sudah melihat sendiri betapa gadis itu sanggup menandingi Pendekar Sadis, bahkan pendekar itu kelihatan gentar sehingga melarikan diri, “Ayah, apa bila Toan-siocia membantu kita, aku yakin kita akan mampu menghancurkan Pendekar Sadis!”

“Locianpwe, sesungguhnya telah cukup lama aku sendiri pun ingin sekali bertemu dengan pembunuh pamanku itu dan membalas dendam. Oleh karena itulah, maka sekarang ini sama sekali bukan berarti aku membantu locianpwe, bahkan dapat dikatakan sebaliknya, pihak locianpwe yang membantu aku agar berhasil membalas dendam. Karena aku tidak mau gagal, maka kuharap locianpwe jangan mengerahkan pasukan.”

“Hemm, mengapa nona mengatakan begitu?”

“Pendekar Sadis adalah seorang yang amat lihai, apa bila kita menyerbu mempergunakan pasukan besar, tentu sebelumnya dia akan mengetahui lebih dahulu dan dapat melarikan diri sehingga usaha kita akan sia-sia belaka. Sebaliknya kalau yang menyergapnya hanya kita saja, yang semua memiliki kepandaian yang cukup tinggi, maka kita tentu akan bisa datang tanpa menimbulkan suara dan dapat menyergapnya, tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri. Sebab itu, kuusulkan agar locianpwe sendiri, dibantu oleh Pak-thian Sam-liong, Siangkoan-kongcu serta aku sendiri, kita berenam sudah lebih dari cukup untuk menandingi dan merobohkannya. Jangan membawa pasukan.”

Pak-san-kui mengangguk-angguk. Kini dia melihat benarnya ucapan gadis itu, dan secara diam-diam dia girang bahwa puteranya dapat menarik gadis ini sebagai sahabat. Kini dia yakin pasti akan berhasil membalas dendam, bukan hanya mengalahkan Pendekar Sadis, bahkan membunuhnya.

“Baik, kita berangkat sekarang tanpa pasukan!” katanya dan mereka lalu berangkat. Kim Hong berjalan lebih dulu sebagai penunjuk jalan.

Pondok itu memang terpencil di pinggir kota. Dan malam telah larut, suasana amat sunyi. Agaknya semua penghuni rumah sudah tidur dan tidak terdengar suara apa pun. Dengan hati-hati Kim Hong memberi isyarat-isyarat kepada teman-temannya dan mereka berenam mengurung pondok kecil itu. Kim Hong sendiri bersama Pak-san-kui menghampiri pintu depan, dan terdengarlah Pak-san-kui berseru, seperti yang telah mereka rencanakan,

“Pendekar Sadis! Kami telah mengetahui tempat sembunyimu. Keluarlah untuk menerima kematian!”

Sejenak sunyi saja. Pak-san-kui yang menjadi tidak sabaran itu menggedor pintu.

“Pendekar Sadis, keluarlah, kalau tidak, akan kurobohkan pondok ini!”

“Jangan robohkan pondokku…!” Terdengar teriakan lantas pintu depan terbuka, seorang laki-laki tua keluar dari pintu itu. Dari dalam terdengar suara nyaring,

“Paman, jangan keluar!”

Akan tetapi terlambat sudah! Melihat seorang pria tua keluar, Pak-san-kui menggerakkan huncwe-nya. Terdengar jerit orang itu yang langsung terpelanting roboh tak bergerak lagi. Pak-san-kui sendiri sampai terkejut. Tak disangkanya bahwa orang yang keluar itu sama sekali tidak memiliki kepandaian silat sehingga begitu mudah roboh dan tewas.

Karena menurut Kim Hong rumah itu adalah tempat Pendekar Sadis bersembunyi, maka tentu saja dia tadi menyangka bahwa yang keluar tentu bukan orang sembarangan. Akan tetapi, membunuh orang, baik bersalah mau pun yang tidak, bagi datuk ini tiada bedanya, maka dia pun sama sekali tidak peduli. Puteranya, murid-muridnya dan juga Kim Hong memandang tanpa mempedulikan, melainkan memperlihatkan ke dalam pondok melalui pintu yang kini telah terbuka.

Akan tetapi tidak terdengar sesuatu dari dalam pondok itu, juga tak nampak sesuatu yang muncul dari situ. Thian Sin yang tadinya sedang merebahkan diri di dalam pondok, begitu mendengar suara Pak-san-kui, sudah langsung meloncat ke atas dan membuka genteng, lalu mengintai dari atas.

Dia melihat Pak-san-kui datang bersama Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong namun sama sekali dia tak merasa gentar. Akan tetapi yang membuat dia meragu adalah ketika melihat Kim Hong berada pula di situ bersama mereka!

Tadi pun dia sudah gelisah memikirkan betapa Kim Hong melindungi Siangkoan Wi Hong dan menyerangnya. Dan ternyata gadis itu kini agaknya sudah bersekutu dengan musuh besarnya! Hal ini mendatangkan rasa nyeri di dalam hatinya, lebih nyeri dari pada ketika melihat gadis itu berciuman dengan Siangkoan Wi Hong tadi.

Kalau memang Kim Hong sudah mengambil keputusan bersekutu dengan datuk utara itu untuk memusuhinya, dia pun tidak takut! Demikian suara hatinya yang terasa amat nyeri, kecewa, berduka dan marah. Maka dia pun bangkit berdiri di atas atap rumah itu. Sinar bintang-bintang membuat dia nampak seperti tubuh siluman yang tiba-tiba muncul di situ. Akan tetapi suaranya masih halus walau pun mengandung teguran keras.

“Kim Hong, begitu tidak tahu malukah engkau, mau merendahkan diri menjadi kaki tangan Pak-san-kui?” Kemudian dia melayang turun ke depan Pak-san-kui sambil menudingkan telunjuknya. “Pak-san-kui, tua bangka keparat! kalau memang engkau datuk dan laki-laki sejati, hayo lawanlah aku, keroyoklah bersama dengan murid-muridmu, akan tetapi jangan ikut-ikutkan orang lain!”

Sebelum Pak-san-kui menjawab, tiba-tiba Kim Hong tertawa lantas berkata dengan nada menghina, “Hi-hik, Pendekar Sadis! Apakah engkau sudah buta dan tidak melihat dengan siapa kau sedang berhadapan? Locianpwe Siangkoan Tiang adalah datuk utara, seorang locianpwe yang gagah perkasa. Dia sendiri saja sudah cukup, siapa yang butuh bantuan untuk mengeroyokmu?”

Mendengar ucapan ini, Pak-san-kui terkejut. Ucapan itu memang bermaksud baik, akan tetapi sungguh merugikannya! Dan sesudah mendengar gadis itu berkata demikian, tentu saja dia akan merasa rendah dan malu kalau begitu maju lalu mengeroyok musuhnya itu. Maka dia pun mengerling ke arah puteranya dan tiga orang muridnya.

“Aku akan menghadapinya sendiri! Kalian tentu tahu kapan untuk turun tangan mencegah dia melarikan diri!” Setelah berkata demikian dan merasa yakin bahwa puteranya dan tiga orang muridnya dapat mengerti apa yang dia maksudkan, tiba-tiba saja Pak-san-kui telah menerjang ke depan dengan senjatanya yang ampuh, yaitu huncwe maut itu. Nampak api menyambar dari dalam huncwe itu, kemudian menjadi cahaya yang menyambar ke arah muka dan leher Thian Sin.

Cepat bukan main gerakan ini, akan tetapi Thian Sin sudah mengelak ke belakang. Kim Hong juga melihat gerakan itu, kemudian melihat betapa kakek itu menggerakkan tangan kirinya dan lengan kiri itu lantas mulur sampai panjang mengejar atau membuat serangan ke arah kepala Thian Sin.

“Dukkk!”

Thian Sin menangkis dan keduanya terdorong dua langkah ke belakang. Melihat ini, Kim Hong diam-diam terkejut dan kagum akan kelihaian datuk ini yang selain memiliki senjata huncwe yang sangat berbahaya, juga memiliki lengan kiri yang dapat mulur panjang dan tentu saja amat berbahaya pula.

Sementara itu, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong hanya mengurung tempat itu, siap untuk membantu karena mereka maklum bahwa kehadiran Kim Hong tentu saja membuat Pak-sam-kui merasa sungkan untuk melakukan pengeroyokan. Namun mereka tahu bahwa jika sampai Pak-san-kui terdesak, maka mereka berempat tentu akan segera turun tangan mengeroyok. Maka, Siangkoan Wi Hong lalu mendekati Kim Hong.

“Adik manis, jika dia terlalu berat bagi ayah, kita baru akan turun tangan mengeroyoknya. Dia memang orang yang amat berbahaya sekali.” Kim Hong tidak menjawab, seperti tidak mendengar ucapan itu, melainkan menonton perkelahian itu dengan penuh perhatian.

Dan perkelahian itu memang sangat menegangkan untuk ditonton. Seru dan mati-matian, juga merupakan perkelahian antara orang-orang yang memiliki kepandaian hebat. Dahulu, ketika untuk pertama kalinya Thian Sin mengalahkan Pak-san-kui, ia harus mengandalkan akal, menggunakan air untuk menghadapi serangan api yang kadang-kadang keluar dari huncwe maut itu, yang membuat lawan kewalahan dan panik.

Akan tetapi sekarang dia sudah tidak membutuhkan lagi akal seperti itu. Lagi pula, sejak kekalahannya dari Thian Sin dulu itu, Pak-san-kui sudah berlatih matang dan bersiap-siap kalau lawan menggunakan air lagi. Maka andai kata Thian Sin mengulangi akalnya yang dahulu, dia tentu akan kecelik dan tidak akan berhasil.

Pemuda ini hanya menghadapinya dengan memegang kipasnya. Setiap kali ada bunga api menyambar atau asap yang berbau keras, kipas itulah yang mengebut dan api serta asap itu lalu membalik dan menyerbu kakek itu sendiri! Sedangkan serangan huncwe itu hanya dihadapi dengan tangan kosong oleh Thian Sin.

Huncwe maut itu menyambar-nyambar dengan ganasnya, mengeluarkan suara bercuitan mengerikan. Thian Sin selalu dapat mengelak atau menangkis huncwe dengan lengannya, bahkan membalas serangan lawan dengan sama dahsyatnya, menampar dan memukul atau menendang sambil mengerahkan sinkang.

Thian Sin bisa melihat kenyataan bahwa dibandingkan dengan dahulu, datuk ini kini telah mendapat kemajuan yang cukup banyak, maka dia pun lalu mulai merubah gerakannya, mainkan ilmu silat warisan ayahnya yaitu Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan belas jurus itu. Akan tetapi, baru saja dia mengeluarkan tiga empat jurus yang masing-masing mempunyai bagian-bagian dan perkembangan-perkembangan yang amat sukar itu, lawan telah terdesak hebat!

Pak-san-kui juga mengenal jurus-jurus itu, tetapi hanya mengenal kulitnya saja dan isinya sungguh membuat dia merasa bingung sebab mengandung daya serang yang tak pernah diduganya sama sekali, dan selain itu juga sangat hebat. Di dalam serangan-serangan itu terkandung gerakan-gerakan aneh dan hampir saja dia kena dirobohkan lawan sehingga ketika kaki Thian Sin menyerempet lambungnya, dia terhuyung dan meloncat ke belakang sambil mengeluarkan seruan. Seruan ini dikenal oleh Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong, maka mereka itu segera bergerak untuk membantu.

Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan menghadang mereka disertai bentakan, “Tahan dulu!”

Siangkoan Wi Hong amat terkejut ketika melihat bahwa yang menghadang itu adalah Kim Hong! Gadis ini berkata, “Tadi sudah diadakan janji bahwa tidak akan ada pengeroyokan! Kalau kalian ingin mencoba kelihaian musuh, biarlah Pendekar Sadis menghadapi kalian. Oleh karena tingkat kepandaian kalian masih terlalu rendah, maka kalian berempat boleh saja maju berbareng untuk menghadapinya! Heiii, Pendekar Sadis, kau tinggalkan dahulu Pak-san-kui, dan hadapi mereka ini. Aku sendiri ingin merasakan huncwe maut!” Setelah berkata demikian, Kim Hong kemudian meloncat ke dalam arena pertempuran itu sambil mencabut sepasang pedangnya dan langsung menerjang Pak-san-kui!

Perubahan sikap gadis ini sungguh membuat semua orang tercengang. Akan tetapi, kalau Siangkoan Wi Hong menjadi terkejut dan marah sekali, maka sebaliknya Thian Sin yang juga kaget itu merasa girang bukan main. Tadinya dia sudah merasa bingung dan gelisah kalau terpaksa harus menghadapi gadis itu sebagai musuh.

Biar pun hatinya panas kalau teringat akan adegan romantis dan mesra antara Kim Hong dengan Siangkoan Wi Hong, namun pembalikan sikap Kim Hong yang kini jelas berpihak kepadanya itu membuat hatinya gembira sekali maka begitu melihat Kim Hong menyerbu Pak-san-kui, dia pun lalu meloncat ke belakang untuk menghadapi Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong yang segera mengurung dan mengeroyoknya dengan serangan-serangan bertubi-tubi. Terutama sekali, Siangkoan Wi Hong menyerang dengan senjata yangkim-nya, menyerang dengan penuh kebencian dan kemarahan.

Pemuda hartawan ini merasa kecewa bukan main melihat betapa Kim Hong, gadis yang menjatuhkan hatinya, yang disangkanya sudah terjerat olehnya, ternyata sekarang malah membantu Thian Sin! Maka timbullah kecurigaannya bahwa memang gadis itu sengaja bersikap baik terhadapnya untuk memancingnya, memancing ayahnya untuk menghadapi Pendekar Sadis di tempat sunyi itu.

Dan teringatlah dia betapa gadis itu yang menganjurkan agar mereka berenam saja yang menghadapi Pendekar Sadis dan melarang agar jangan menggunakan pasukan! Teringat akan ini, keringat dingin membasahi dahi Siangkoan Wi Hong dan ia menyerang semakin dahsyat, dibantu oleh tiga orang suheng-nya yang sudah membentuk barisan Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga) itu.

Thian Sin menghadapi empat orang pengeroyoknya itu dengan sikap tenang-tenang saja. Akan tetapi karena untuk menghadapi pengeroyokan empat senjata itu lebih enak jika dia menggunakan senjata pula, maka selain kipasnya, dia pun cepat mencabut Gin-hwa-kiam kemudian memutar pedangnya untuk melindungi dirinya sambil kipasnya kadang-kadang menyambar dengan totokan-totokan maut.

Akan tetapi, Thian Sin tidak dapat mencurahkan seluruh perhatian terhadap empat orang pengeroyoknya itu karena dia merasa khawatir kalau-kalau Kim Hong terancam bahaya, walau pun dia maklum bahwa kepandaian gadis itu kiranya tidak berada di sebelah bawah tingkat Pak-san-kui.

Pak-san-kui sendiri yang tadinya tercengang dan marah melihat betapa tiba-tiba gadis itu membalik dan memihak musuh, dengan kemarahan meluap menghadapi Kim Hong.

“Bagus!” bentaknya. “Memang mata anakku yang buta, tidak tahu bahwa engkau adalah siluman yang jahat. Mampuslah kau di tanganku!”

Kakek itu lantas menghisap huncwe-nya kemudian sekali dia menggerakkan huncwe, ada bunga api menyambar ke arah muka Kim Hong, disusul tiupan asap dari mulutnya yang dibarengi pula dengan totokan-totokan maut dari ujung huncwe! Benar-benar merupakan serangan maut yang amat hebat.

Sejak tadi Kim Hong sudah melihat dan mempelajari kepandaian lawan, maka gadis ini mengerahkan ginkang-nya yang amat istimewa, segera melesat ke atas untuk mengelak dari serangan bertubi-tubi itu. Akan tetapi tangan kiri kakek itu sudah menyambar, mulur sampai dua tiga panjang lengan biasa, mencengkeram ke arah dada!

“Hih!” Kim Hong berseru dan pedangnya berkelebat menyambar untuk membacok lengan yang panjang mengerikan itu.

Pak-san-kui kembali meniupkan asapnya dan menarik tangannya. Karena asap itu selain sangat kuat juga mengandung bau yang menyesakkan nafas, maka terpaksa Kim Hong berjungkir-balik di udara, dan itu saja telah menunjukkan kemahiran ginkang yang sangat hebat. Dan sambil berjungkir balik ini Kim Hong sudah memindahkan pedang dari tangan kirinya ke tangan kanan sehingga tangan kanan itu memegang dua pedang, sedangkan tangan kirinya lalu bergerak. Sinar merah menyambar dari atas ke arah kepala dan dada Pak-san-kui.

“Uhhhhh…!” Pak-san-kui terkejut sekali dan dengan cepat dia memutar huncwe-nya untuk menangkis.

Terdengar suara nyaring berkerincingan pada saat jarum-jarum merah itu terpukul runtuh. Akan tetapi, gadis itu telah turun ke atas tanah dan menyerang kembali dengan sepasang pedangnya, gerakannya aneh luar biasa sehingga yang nampak hanyalah dua gulungan sinar hitam yang bergulung-gulung laksana dua ekor naga hitam mengamuk.

Pak-san-kui menangkis beberapa kali sehingga nampak bunga-bunga api berhamburan, dari mulut huncwe dan juga dari pertemuan senjata mereka! Kembali Pak-san-kui merasa terkejut bukan main.

“Tahan...!” serunya dan dia pun meloncat kebelakang.

Kim Hong lalu menyilangkan sepasang pedang hitamnya di depan dada dan memandang sambil tersenyum mengejek. “Pak-san-kui, kini engkau hendak bicara apa lagi?” tanyanya, kini lenyap sikapnya yang tadinya menghormat terhadap datuk itu, berubah menjadi sikap dan suara penuh ejekan.

Pak-san-kui mengerutkan alisnya dan memandang tajam, penuh selidik. Dan teriakannya tadi ternyata juga menghentikan pertandingan antara Thian Sin dengan empat orang yang mengeroyoknya. Agaknya puteranya, dan juga ketiga orang muridnya, menyangka bahwa teriakan itu ditujukan untuk semua sehingga mereka berempat pun meloncat ke belakang, dan tentu saja Thian Sin juga turut menunda gerakannya. Dia ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh kakek itu.

“Nona, aku pernah mendengar tentang jarum merah dan juga tentang Hok-mo Siang-kiam. Ada hubungan apakah engkau dengan Lam-sin?”

Pertanyaan ini persis sama dengan yang pernah diajukan oleh See-thian-ong kepadanya! Sekali ini Thian Sin diam saja, dan Kim Hong menjawab persis seperti saat dia menjawab See-thian-ong, “Lam-sin sudah tidak ada, yang ada hanyalah Toan Kim Hong saja!”

“Tapi… tapi…, Lam-sin adalah datuk selatan, masih rekan dan segolongan denganku…”

“Cukup! Kalau engkau takut menghadapiku katakanlah, tua bangka!” bentak Kim Hong.

Tentu saja bentakan ini membuat Pak-san-kui marah bukan main. Dia tahu bahwa gadis ini ternyata amat lihai, dan mungkin sekali telah mewarisi semua kepandaian datuk yang bernama Lam-sin. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa dia takut menghadapi gadis ini, tetapi kalau gadis yang selihai ini sekarang berpihak kepada Thian Sin, sungguh pihaknya sangat berbahaya. Kini mendengar makian dan bentakan Kim Hong, dia lupa akan semua kekhawatiran itu, terganti rasa kemarahan besar sekali dan dia pun membentak,

“Bocah yang bosan hidup!” Dan huncwe-nya sudah menyerang lagi.

Kim Hong tersenyum mengejek lantas menggerakkan sepasang pedangnya pula. Melihat betapa mereka sudah mulai bertempur lagi, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong juga segera menyerbu Thian Sin yang menghadapi mereka sambil tersenyum-senyum dan memandang rendah. Akan tetapi pemuda ini tetap saja membagi perhatiannya untuk Kim Hong karena dia tidak ingin gadis itu celaka di tangan datuk utara yang lihai itu.

Diam-diam Kim Hong merasa gembira sekali karena semenjak dia meninggalkan Pulau Teratai Merah, berkelana di dunia kang-ouw sampai mendapatkan julukan Lam-sin, baru beberapa kali saja dia memperoleh lawan yang cukup tangguh.

Pertama sekali adalah Thian Sin yang telah berhasil mengalahkannya, mengalahkan ilmu silatnya bahkan juga menundukkan hatinya, pria pertama yang diserahi tubuhnya sebagai tanda takluk. Kemudian dia bertemu dengan See-thian-ong yang merupakan lawan yang tangguh pula. Dan kini, Pak-san-kui juga merupakan lawan yang menggembirakan karena memang lihai sekali. Kim Hong harus mengerahkan seluruh kepandaian serta tenaganya, barulah dia dapat mengimbangi kehebatan kakek itu.

Di lain pihak Pak-san-kui terkejut bukan main sesudah memperoleh kenyataan bahwa dia sungguh-sungguh tidak mampu mengatasi gadis itu! Jurus apa pun yang dikeluarkannya selalu dapat dibendung oleh gadis itu, sementara dia sendiri dengan setengah mati baru sanggup menyelamatkan diri dari desakan gadis itu. Apa lagi kecepatan dan keringanan tubuh gadis itu yang membuat dia hampir kewalahan. Benar-benar seorang lawan yang tingkat kepandaiannya agaknya tidak dibawah Pendekar Sadis sendiri.

Mulailah dia merasa khawatir sekali. Kalau gadis ini membantu Thian Sin, maka pihaknya jelas akan mengalami kerugian hebat.

Sesudah membiarkan Kim Hong menghadapi serta ‘merasakan’ kelihaian datuk utara itu selama lebih dari lima puluh jurus, tiba-tiba Thian Sin melompat dan meninggalkan empat orang pengeroyoknya lalu menerjang datuk itu sambil berkata kepada Kim Hong.

“Jangan kau merampas musuh besar dari tanganku!”

Kim Hong tertawa dan gadis ini pun membalik lalu menghadapi Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong. Pada saat itu Siangkoan Wi Hong sudah merasa yakin bahwa gadis ini agaknya memang sengaja mendekati keluarga Pak-san-kui untuk memancing mereka ke tempat itu, maka dia pun menjadi marah sekali.

“Perempuan hina, rasakan pembalasanku!” Yangkim-nya menyerang ganas, lantas disusul cengkeraman tangan kirinya dengan ilmu cakar garuda!

Dimaki seperti itu, Kim Hong menjadi marah sekali. Pedangnya berkelebat menyambar, yang satu menangkis yangkim dan yang ke dua membabat ke arah lengan kiri lawan, dan selain itu, dia pun mengerahkan segenap tenaganya.

“Trakkk!”
Memang Siangkoan Wi Hong berhasil menarik kembali lengan kirinya, akan tetapi setelah terdengar suara keras itu, ujung yangkim-nya pecah terbabat oleh pedang hitam! Dan Kim Hong masih terus mendesaknya, akan tetapi pada saat itu pula Pak-thian Sam-liong telah menyerbunya dari belakang, kanan dan kiri. Terpaksa dara itu memutar kedua pedangnya dan kembali dia menghadapi pengeroyokan mereka berempat. Akan tetapi sekali ini Kim Hong tidak main-main lagi dan gerakan kedua pedangnya membuat empat pengeroyok itu menjadi kalang kabut dan terdesak hebat.

Apa lagi Siangkoan Wi Hong juga telah mengalami kekagetan karena ujung yangkim-nya sudah patah. Pemuda ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa gadis cantik yang pernah membiarkan dia menciuminya dengan mesra itu ternyata memiliki ilmu kepandaian begitu hebat sehingga ayahnya sendiri pun tidak mampu mengalahkannya.

Sementara itu, perkelahian antara Thian Sin dan Pak-san-kui juga sudah menampakkan perubahan. Kini Thian Sin mulai mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Kakek itu tampak lelah sekali, dan cahaya lampu di depan pondok itu biar pun hanya suram saja namun masih dapat menerangi keadaan kakek yang wajahnya menjadi pucat, napasnya agak memburu dan dari topi sulaman bunga emas di kepalanya itu keluar uap putih yang tebal. Tapi Thian Sin terus mendesaknya dan setiap kali huncwe bertemu dengan Gim-hwa-kiam, tentu kakek itu tergetar dan terhuyung ke belakang.

“Tranggggg…!”

Kembali dua senjata itu saling bertemu dan kali ini sedemikian hebatnya sehingga tubuh kakek itu langsung terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk. Akan tetapi Pak-san-kui telah menggerakkan lengan kirinya yang bisa memanjang itu, sambil duduk tangan kirinya itu bergerak seperti ular dan tahu-tahu sudah menangkap kaki kanan Thian Sin.

Pemuda ini memang sengaja membiarkan kakinya ditangkap, akan tetapi ketika kakinya ditarik, tetap saja dia tidak mampu mempertahankan dan dia pun terpelanting! Akan tetapi bukan sembarangan terpelanting, melainkan terpelanting yang sudah diaturnya sehingga ketika terguling itu, pedangnya bergerak, sinar perak berkelebat ke bawah.

“Crokkk!”

“Aughhhhh…!” Pak-san-kui meloncat berdiri kemudian terhuyung ke belakang.

Lengannya tertinggal di kaki Thian Sin karena pedang itu telah membabat buntung lengan kirinya sebatas siku tetapi tangan kirinya itu masih saja mencengkeram pergelangan kaki pemuda itu! Thian Sin cepat membungkuk dan segera melepaskan tangan kiri lawan itu dari kakinya, kemudian dia langsung menubruk maju menyerang Pak-san-kui yang sudah terluka parah.

“Trangg! Tranggg…!”

Kembali bunga api berpijar dan tubuh kakek itu terjengkang. Thian Sin segera menyimpan Gin-hwa-kiam dan pada waktu kakek itu bangkit, dia sudah menyerangnya lagi, sekarang menggunakan kedua tangan kosong. Pak-san-kui yang menyeringai kesakitan itu segera menyambutnya dengan pukulan huncwe sekuatnya ke arah dahi Thian Sin, tetapi pemuda ini menangkapnya. Mereka saling betot dan mendadak Thian Sin mempergunakan Thi-khi I-beng!

“Ahhhh…!” Pak-san-kui terkejut sekali.

Dia sudah tahu bahwa lawannya ini mempunyai ilmu Thi-khi I-beng yang mukjijat itu, akan tetapi dia sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda itu akan menggunakannya pada saat itu. Kini huncwe-nya melekat pada tangan pemuda itu dan pada waktu dia sedang mengerahkan tenaga sekuatnya untuk membetot huncwe, pemuda itu juga mengerahkan ilmu yang seketika menyedot semua sinkang yang tersalur lewat tangan kanannya.

Karena tangan kirinya sudah tidak dapat dipergunakan, maka kakek ini cepat menyimpan tenaga dengan menghentikan pengerahan sinkang-nya. Hanya itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirinya agar tenaga lweekang-nya tidak tersedot habis. Akan tetapi, pada saat itu Thian Sin yang sudah memperhitungkan ini, tiba-tiba saja merenggut lepas huncwe-nya dan di lain saat huncwe itu sudah membalik ke arah kepala Pak-san-kui.

“Prakkk!”

Huncwe itu remuk, pecah berantakan, namun tubuh kakek itu terguling, kepalanya bagian pelipis mengucurkan darah!

Thian Sin membuang huncwe yang sudah remuk itu kemudian meloncat mendekati untuk memeriksa apakah betul lawannya telah tewas. Baru saja dia membungkuk, tiba-tiba kaki Pak-san-kui bergerak cepat.

“Dessss…!”

Tubuh Thian Sin terlempar ke belakang ketika kaki itu mengenai dadanya! Untung bahwa dia tadi cepat mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang melindungi dadanya sehingga ketika kena tendang, dia hanya terlempar saja dengan dada terasa agak nyeri, akan tetapi tidak sampai terluka dalam.

Kakek itu tertawa aneh dan tubuhnya sudah meloncat bangun lagi lalu menubruk ke arah Thian Sin yang masih rebah terlentang sesudah terlempar tadi. Thian Sin menyambutnya dengan totokan ke arah leher sambil meloncat bangun.

“Cusss…!”

Thian Sin kaget bukan main ketika jari tangannya hanya menotok kulit daging yang lunak. Bahkan disangkanya kakek itu sudah mempergunakan ilmu yang dimiliki Kim Hong, yaitu melepaskan daging menyembunyikan otot seperti Ilmu Bian-kun (Ilmu Silat Kapas). Akan tetapi ketika dia memandangi ternyata kakek itu terkulai dan roboh tak bernyawa lagi!

Ternyata kakek itu telah tewas sesudah mengeluarkan suara ketawa aneh dan pada saat menubruk dirinya tadi! Dia telah menggunakan tenaganya yang terakhir dalam tendangan tadi dan sesudah dia memeriksanya, ternyata pelipis kepalanya telah retak oleh pukulan dengan huncwe tadi.

Thian Sin cepat menengok. Dia melihat betapa Kim Hong mempermainkan empat orang lawannya. Dia pun tidak membantu, hanya menonton saja sambil berdiri di depan pondok. Diam-diam dia merasa semakin kagum kepada Kim Hong.

Empat orang pengeroyoknya itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan kalau mereka berempat itu maju bersama seperti itu, agaknya malah lebih berbahaya dan lebih kuat dibandingkan dengan Pak-san-kui sendiri. Tapi jelaslah bahwa Kim Hong menguasai perkelahian itu.

Dara ini membagi-bagi serangan seenaknya, dan dengan ginkang-nya yang luar biasa dia seperti beterbangan ke sana ke mari, laksana seekor kupu-kupu yang lincah beterbangan di antara empat tangkai bunga. Sepasang pedang di tangannya membuat gulungan sinar hitam yang mengeluarkan angin dahsyat dan suara berdesing-desing sehingga membuat empat orang pengeroyoknya kewalahan sekali.

Malah barisan Sha-kak-tin itu pun sudah kocar-kacir. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh kelihaian ilmu pedang Kim Hong, melainkan juga karena adanya Siangkoan Wi Hong turut mengeroyok. Sha-kak-tin adalah ilmu silat kelompok yang dilakukan oleh tiga orang yang selalu mengatur pengepungan dalam bentuk segi tiga. Tempat mereka itu boleh bertukar-tukar, akan tetapi selalu dalam bentuk segi tiga. Kini dengan adanya Siangkoan Wi Hong, biar pun dasar ilmu silat mereka masih dari satu sumber, namun kehadiran Siangkoan Wi Hong ini justru tak memungkinkan lagi bagi mereka untuk memainkan Sha-kak-tin secara sempurna.

Untuk membiarkan Siangkoan Wi Hong meninggalkan mereka pun merupakan hal yang berbahaya sekali karena lawan mereka ini sungguh amat lihai. Maka mereka mengepung berempat dan melakukan pengeroyokan. Namun akibatnya malah mereka sendirilah yang merasa dikeroyok oleh banyak sekali pedang hitam!

Memang Kim Hong sengaja mempermainkan mereka. Dia sudah berhasil merobek baju Siangkoan Wi Hong berikut kulit dan sedikit daging di dada kirinya, melukai pundak dan paha tiga orang Pak-thian Sam-liong, akan tetapi masih belum mau merobohkan mereka. Dia menanti sampai Thian Sin berhasil merobohkan Pak-san-kui dulu, dan setelah melihat Pak-san-kui roboh dan tidak bergerak lagi, barulah dia tersenyum.

“Sekarang, kalian berempat bersiaplah untuk mengiringi guru kalian pergi ke neraka!”

Dan gerakan pedangnya pun berubah, menjadi semakin cepat, membuat empat orang itu bingung sekali. Dua kali cahaya hitam menyambar disusul robohnya dua orang di antara Pak-thian Sam-liong. Mereka roboh tidak bergerak lagi karena ujung kedua pedang hitam itu telah menusuk antara kedua mata mereka.

Orang ke tiga dari Pak-thian Sam-liong yang menjadi marah bukan kepalang menusukkan pedangnya dengan nekad, akan tetapi kembali cahaya hitam berkelebat. Terdengar suara keras dan pedang itu buntung, disusul robohnya pemegangnya dengan leher yang hampir putus akibat terbabat cahaya hitam pedang Hok-mo Siang-kiam.

Kini tinggal Siangkoan Wi Hong seorang diri yang harus menghadapi wanita itu! Pemuda ini menjadi pucat mukanya. Akan tetapi dia segera maklum bahwa tak mungkin dia dapat melarikan diri lagi maka dia pun lalu membuat gerakan tiba-tiba, menyambitkan yangkim ke arah lawan, disusul dengan kedua tangannya yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan tangan kanan mencengkeram ke arah buah dada! Inilah serangan maut yang dimaksudkan untuk mengadu nyawa dengan gadis cantik itu!

Akan tetapi, dengan mudahnya Kim Hong dapat mengelak dari sambaran yangkim, lantas sebelum serangan kedua tangan lawan dapat menyentuhnya, dia telah membuat gerakan meloncat cepat, tubuhnya melesat ke arah belakang tubuh lawan, kepalanya digerakkan dan tahu-tahu rambutnya yang panjang hitam dan harum itu sudah menyambar ke depan dan telah membelit leher Siangkoan Wi Hong! Bukan belitan mesra dari rambut harum itu seperti yang dibayangkan oleh Siangkoan Wi Hong, melainkan belitan yang sangat kuat, melebihi kuatnya lilitan seekor ular dan rambut itu telah mencekik leher!

Siangkoan Wi Hong kaget sekali dan otomatis kedua tangannya bergerak ke leher untuk melepaskan belitan itu. Akan tetapi tiba-tiba saja Kim Hong memutar kepalanya sehingga tubuh Siangkoan Wi Hong terangkat dan terbawa oleh putaran itu, lantas diputar beberapa kali dengan amat kuatnya, dan akhirnya belitan rambut itu terlepas.

Tubuh Siangkoan Wi Hong langsung melayang ke arah Thian Sin! Tubuh itu sudah lemas karena belitan rambut tadi telah membuatnya tak dapat bernapas, maka ketika Thian Sin menyambutnya dengan tamparan, Siangkoan Wi Hong yang sudah setengah mati itu tak mampu mengelak lagi.

“Prokkk!”

Tubuh pemuda itu terbanting dan seperti juga ayahnya, kepalanya retak akibat tamparan yang dilakukan oleh Thian Sin dan dia pun tewas tak jauh dari mayat ayahnya.

Mereka kini saling berhadapan, saling pandang di bawah penerangan sinar lampu redup depan pondok itu. Mayat lima orang itu berserakan.

“Kim Hong…”

“Mari kita pergi dari sini, kalau ketahuan pasukan penjaga kita akan repot juga.” Kim Hong memotong kata-kata Thian Sin dan meloncat pergi, disusul oleh Thian Sin.

Mereka baru berhenti setelah sinar matahari pagi menciptakan warna indah cerah di ufuk timur dan mereka telah tiba jauh sekali dari kota Tai-goan. Pagi itu cerah dan indah sekali, secerah hati Thian Sin. Lenyaplah semua perasaan kesepian, lenyaplah semua perasaan nelangsa, terganti dengan sinar kegembiraan memenuhi hatinya, walau pun kegembiraan ini kadang-kadang menyuram oleh bayangan betapa gadis ini pernah berciuman dengan mesra bersama Siangkoan Wi Hong!
Selanjutnya,