Pendekar Sadis Jilid 28 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sadis Jilid 28
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Thian Sin terkejut, maklum akan datangnya serangan yang kuat. Cepat dia membalik dan menangkis sambil menggunakan tenaga Thi-khi I-beng.

“Plakk!”

“Ahhhhh… ahhhhh, lepaskan…!” Giok-lian-cu terkejut bukan main ketika melihat betapa lengannya melekat dengan lengan pemuda itu dan betapa tenaga sinkang-nya membanjir keluar dari tubuhnya melalui lengan yang merapat dengan lengan pemuda itu. Melihat ini, Thian-hwa Lo-su juga cepat menampar ke arah kepala Thian Sin. Pemuda itu miringkan kepalanya, dan menerima tamparan itu dengan pangkal lengannya.

“Plakk!”

“Aihhhhhh… lepaskan tanganku…!” Thian-hwa Lo-su juga berseru.

Kedua orang ini sudah mengerahkan tenaga untuk menarik tangan mereka. Akan tetapi sungguh celaka, semakin besar mengerahkan tenaga, semakin hebat pula tenaga mereka membanjir keluar.

“Itu Thi-khi I-beng, jangan kerahkan sinkang!” Mendadak Tok-ciang Sianjin berseru keras. Cambuknya menyambar-nyambar lagi, kini cambuknya itu seperti burung mematuk-matuk mengarah ubun-ubun kepala, kedua mata dan bagian-bagian yang lemah lainnya.

Menghadapi ini, Thian Sin terpaksa berloncatan dan melepaskan dua orang yang melekat pada lengannya tadi. Akan tetapi, sebelum dia mampu mendesak Tok-ciang Sianjin, para tosu lain sudah mengurung dan mengeroyoknya. Juga Thian-hwa Lo-su dan Giok-lian-cu yang sudah marah sekali karena dipermainkan pemuda ini, telah maju mengeroyok sambil mengeluarkan senjata masing-masing.

Bukan hanya mereka, bahkan kini banyak pula anggota Pek-lian-kauw yang mengepung dan mendesaknya. Para anggota ini dikerahkan oleh Tok-ciang Sianjin yang tiba-tiba saja menghilang di antara banyak anggota Pek-lian-kauw itu.

“Tok-ciang Sianjin manusia pengecut, jangan lari kau!” Thian Sin membentak marah, akan tetapi orang itu sudah menghilang dan dia dikeroyok oleh banyak sekali orang.

Thian Sin mengamuk, akan tetapi dia tidak mau membunuh orang karena dia tak merasa bermusuhan dengan perkumpulan itu walau pun perkumpulan itu telah melindungi musuh besarnya. Dia tak begitu bodoh untuk menanam permusuhan dengan perkumpulan besar itu, sama saja dengan mencari penyakit. Sesudah musuhnya benar-benar lenyap, dia pun cepat merobohkan beberapa orang pengeroyok dengan angin dorongan kedua tangannya, kemudian tubuhnya mencelat ke atas genteng.

“Pek-lian-kauw bukan musuhku!” teriaknya dan dia pun berloncatan cepat sekali kemudian menghilang di balik pohon-pohon di luar dusun itu.

Giok-lian-cu melarang anak buahnya mengejar, sementara itu Thian-hwa Lo-su memberi perintah agar penjagaan lebih diperketat. Kemudian dengan hati kecil dan gentar mereka ramai membicarakan kehebatan ilmu kepandaian pemuda yang terkenal dengan sebutan Pendekar Sadis itu, dan mereka pun bergidik.

Untung pemuda itu tidak menganggap Pek-lian-kauw sebagai musuh, sebab jika demikian halnya, tentu tadi sudah jatuh banyak korban. Sebaliknya mereka pun merasa tidak perlu bermusuhan dengan pemuda yang demikian lihainya, maka para pimpinan Pek-lian-kauw itu lalu menganjurkan kepada Tok-ciang Sianjin untuk bersembunyi di kamar rahasia dan jangan keluar dulu sebelum pemuda itu benar-benar meninggalkan daerah itu.

Juga dengan terus terang Giok-lian-cu terpaksa mengatakan kepada Tok-ciang Sianjin agar supaya segera mencari tempat perlindungan lain saja karena Pek-lian-kauw tak mau terbawa-bawa ke dalam permusuhan dengan Pendekar Sadis.

********************

“Sungguh mati, taihiap, apakah aku sudah menjadi gila sehingga berani mengkhianatimu? Aku sampai harus menahan diri dari kemuakan pada saat aku terpaksa melayani mereka, dan… ahhh, sudah kukatakan bahwa aku rela mati untuk membantumu, taihiap. Apakah engkau masih juga tidak mau percaya bahwa aku telah menyerahkan seluruh jiwa ragaku kepadamu?”

“Tak perlu semua janji dan sumpah itu, jika memang benar perasaanmu itu, nah, engkau sekarang harus dapat memancing keluar Tok-ciang Sianjin dari tempat sembunyinya.”

“Baik, saya akan melakukan segala perintahmu,” kata Kim Lan dengan sikap menantang, untuk membuktikan bahwa dia memang tidak mengkhianati pemuda itu.

“Asalkan… asalkan engkau tak akan melupakan semua pembelaanku, taihiap…,” katanya dengan sikap manja.

Thian Sin tersenyum dan karena dia memang membutuhkan bantuan wanita ini, maka dia pun segera mengulurkan kedua tangannya lantas menerima wanita itu yang menubruknya dan merangkulnya dengan isak tertahan saking gembiranya.

Dengan sengaja Thian Sin tidak pernah memperlihatkan diri sampai dua minggu lamanya. Dan setelah dia menduga bahwa fihak Pek-lian-kauw tentu mengira dia sudah pergi untuk mencari jejak Tok-ciang Sianjin di lain tempat, apa lagi setelah Thian Sin secara sengaja melakukan kegemparan dengan membasmi beberapa orang penjahat di kota-kota yang berjauhan dari kota raja dan dari dusun Tiong-king, barulah Thian Sin menyuruh Kim Lan agar berjalan seorang diri di lereng Pegunungan Tai-hang-san, pura-pura hendak berburu binatang. Tentu saja diam-diam dia membayangi wanita ini dari jarak tidak terlampau jauh, akan tetapi dengan hati-hati sekali sehingga tidak akan ada orang yang dapat melihatnya.

Selama dua hari tidak terjadi sesuatu, tidak ada yang menegur atau menemui Kim Lan. Akan tetapi pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali, ketika Kim Lan mengejar-ngejar seekor kelinci gemuk untuk ditangkapnya, tiba-tiba saja kelinci putih gemuk itu roboh berlumuran darah.

Kim Lan terkejut sekali dan menghampiri kelinci itu. Ketika diperiksanya, ternyata kepala kelinci itu telah pecah! Dia mengambil kelinci itu dan menoleh ke kanan kiri, dengan wajah membayangkan keheranan.

“Kepalamu pun akan kupecahkan seperti kepala kelinci itu!” Tiba-tiba saja terdengar suara halus kemudian dari atas melayanglah turun seorang berpakaian jubah kuning. Tok-ciang Sianjin!

Seketika tubuh Kim Lan menggigil, bukan dibuat-buat walau pun dia tahu dilindungi oleh Pendekar Sadis. Semenjak pertemuan pertama, wanita ini memang sudah merasa takut sekali terhadap tosu ini, maka munculnya tosu itu secara tiba-tiba benar-benar membuat dia menggigil dan merasa ngeri.

“Pelacur hina! Tentu engkau yang telah mengkhianatiku dan menyelidiki keadaanku untuk kau laporkan kepada Pendekar Sadis! Hayo mengakulah sebelum kuhancurkan kepalamu seperti kepala kelinci ini!” bentak Tok-ciang Sianjin dengan suara yang menyeramkan dan wajahnya yang dingin itu benar-benar tampak menakutkan sekali bagi Kim Lan. Wanita ini merasakan kedua lututnya menggigil.

“Tidak… ti… tidak…!” Suara Kim Lan juga menggigil dan diam-diam wanita ini merasa sangat gelisah mengapa Pendekar Sadis belum juga muncul, padahal dia seperti merasa betapa maut sedang mengelus-elus kepalanya.

“Hemm, tidak ada gunanya kau membohong. Engkau adalah kaki tangan Pendekar Sadis, atau setidaknya, ketika engkau datang menjual kulit harimau itu, engkau menyelidiki aku kemudian melaporkannya kepada Pendekar Sadis. Hayo katakan di mana dia sekarang berada?”

“Tok-ciang Sianjin, aku berada di sini!” Tiba-tiba saja terdengar suara ini yang seketika membuat mata kakek itu yang biasanya sipit seperti terpejam sekarang terbelalak lebar dan mukanya yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat seperti mayat.

“Bagus! Kalau begitu kita akan mengadu nyawa di sini! Kini mampuslah kau, perempuan laknat!” Cambuk baja di tangannya segera bergerak dan terdengar suara meledak-ledak ketika ujung cambuk itu menyambar ke arah ubun-ubun kepala Kim Lan.

Namun secepat kilat Thian Sin sudah meloncat dan menangkis cambuk, membarenginya dengan tendangan kakinya ke arah Kim Lan. Tubuh Kim Lan langsung terlempar sampai bergulingan, akan tetapi dia selamat dari cengkeraman maut di ujung cambuk baja tadi.

Tok-ciang Sianjin yang sama sekali tak menyangka bahwa musuh besarnya akan berada di situ, kini mulai maklum bahwa dia telah masuk perangkap. Bahwa adanya wanita yang berkeliaran di tempat ini dan kelihatan berburu kelinci, sesungguhnya merupakan umpan untuk memancingnya keluar, sedangkan musuh besarnya itu memang selalu membayangi wanita itu.

Tahulah dia bahwa tidak ada jalan lari lagi baginya. Dia lalu menyerang dengan dahsyat, cambuknya meledak-ledak hingga mengeluarkan asap dan tangan kirinya juga melakukan serangan pukulan beracun. Tokoh ini dikenal dengan kelihaiannya yang mengerikan, yaitu tangan beracun dan pukulan tangan kirinya itu tidak kalah lihainya dibandingkan dengan sambaran pecut bajanya.

Namun, sekali ini dia menghadapi Thian Sin yang telah memiliki tingkat kepandaian yang jauh melampauinya. Pukulan-pukulan tangan kiri itu disambut Thian Sin dengan berani, tetapi bukan pemuda itu yang menderita oleh tangan beracun lawan, melainkan Tok-ciang Sianjin sendirilah yang tergetar hebat dan dari pertemuan tangan itu menjalar hawa yang panas dan sangat kuat. Itulah tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat hebat, yang sekaligus mengembalikan semua hawa beracun yang keluar dari tangannya.

Dan cambuk bajanya juga dapat dihadapi dengan sangat mudah oleh Thian Sin! Pemuda itu seakan-akan mempermainkannya seperti seekor kucing mempermainkan seekor tikus. Apa bila pemuda itu menghendaki, tentu dengan mudah dia dapat merobohkan lawannya. Akan tetapi Thian Sin tidak mau begitu saja. Dia terus mempermainkan lawan, mengelak ke sana-sini, kadang-kadang mengirim tamparan yang hanya membuat tubuh lawannya terhuyung sambil tiada hentinya dia mengejek.

“Hemmm, pengecut yang beraninya hanya main keroyok. Kalau tidak mengeroyok, dalam beberapa jurus saja ayahku atau ibuku tentu telah dapat membunuhmu. Pengecut! Hayo keluarkan semua ilmumu untuk melawanku!”

“Plakk!”

Kembali sebuah tamparan yang cukup keras membuat kakek ini mulai menjadi ketakutan. Dia tahu benar bahwa dia tidak akan sanggup untuk menandingi putera Pangeran Ceng Han Houw ini, dan jika dia teringat akan kekejamannya sebagai Pendekar Sadis, keringat dingin keluar dari leher serta mukanya. Dia tidak takut mati, akan tetapi membayangkan kekejaman pemuda itu, benar-benar dia merasa ngeri sendiri.

Maka, setelah cambuknya menyambar dan pemuda itu mengelak sambil tertawa, dia pun segera membalikkan tubuhnya lantas menggunakan ginkang-nya untuk mencoba lari dari tempat itu menuju ke sarang Pek-lian-kauw di balik puncak. Akan tetapi tiba-tiba saja ada angin berkesiur dan bayangan berkelebat, tahu-tahu pemuda itu telah berdiri di depannya! Dia membalik dan lari lagi, namun lagi-lagi pemuda itu telah mendahuluinya dan kembali menghadang sambil tertawa.

Akhirnya Tok-ciang Sianjin putus asa, dan untuk yang terakhir kalinya dia mengerahkan seluruh tenaganya dan menyalurkan tenaga itu pada cambuknya, lalu menyerang sekuat tenaga. Cambuknya meledak dahsyat dan menyambar dengan totokan, ujung cambuk itu meluncur dan menjadi kaku menusuk ke arah leher Thian Sin.

Sungguh serangannya ini sangat hebat dan berbahaya sekali sehingga Thian Sin sendiri sampai terkejut. Maka pemuda ini cepat memiringkan tubuhnya dan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, sebelum ujung cambuk lewat atau ditarik kembali, jari-jari tangannya telah menjepit ujung cambuk itu dan pada saat itu juga dia telah mempergunakan Thi-khi I-beng.

Daya sedot yang amat kuat menjalar melalui cambuk itu sehingga pada waktu Tok-ciang Sianjinmengerahkan tenaga hendak membetot cambuknya, tenaga sinkang-nya langsung membanjir keluar. Terkejutlah kakek itu, maka dia cepat melepaskan tenaga sinkang-nya, akan tetapi pada saat itu pula Thian Sin telah menarik cambuk itu sehingga terlepas dan terampas olehnya. Tangan kiri Thian Sin bergerak memukul dan tubuh Tok-ciang Sianjin terpelanting keras.

Habislah harapan kakek itu dan karena dia tidak ingin disiksa, dia sudah menggerakkan tangan kirinya ke arah ubun-ubun kepalanya sendiri. Akan tetapi… tiba-tiba dia terbelalak karena tangan kiri itu tidak dapat digerakkannya lagi. Dia cepat mencoba dengan tangan kanan, akan tetapi tangan kanannya tidak dapat digerakkan juga.

Kiranya, dengan kecepatan yang luar biasa, Thian Sin yang maklum bahwa lawannya itu hendak membunuh diri, telah mendahuluinya dan menggerakkan cambuk baja rampasan, menotok ke arah kedua pundak kakek itu sehingga membuat sepasang lengan kakek itu lumpuh dan tidak mampu digerakkan.

“Hemm, jangan mengira akan enak saja engkau menghabisi nyawamu sendiri, Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam. Terlalu enak bagimu!” kata Thian Sin sambil tertawa.

Dari jauh, Kim Lan yang nonton pertempuran itu bergidik. Wanita ini sendiri bukan orang lemah dan sudah banyak dia melihat kekejaman yang dilakukan orang, tapi menyaksikan sikap Pendekar Sadis, dia benar-benar bergidik dan hampir dia tidak berani melihat apa yang hendak dilakukan oleh pendekar itu terhadap diri Tok-ciang Sianjin. Bagaimana pun juga, ia semakin kagum melihat betapa dengan mudahnya pemuda itu dapat merobohkan lawan, bahkan mampu pula mencegah lawan yang hendak membunuh diri.

“Ceng Thian Sin, aku sudah kalah olehmu, kalau mau bunuh, bunuhlah, siapa yang takut mati?” bentak Tok-ciang Sianjin, bersikap galak dan berani, padahal dia menggigil kalau teringat bahwa dia sudah terjatuh ke tangan Pendekar Sadis yang sepak terjangnya telah banyak didengarnya itu.

“Ayah bundaku tewas dikeroyok ratusan orang lawan yang tidak seimbang, maka engkau pun harus mati dikeroyok!”

“Apa… apa maksudmu…?” Tok-ciang Sianjin kini tidak lagi menyembunyikan rasa ngeri dan takutnya, suaranya gemetar.

“Kau lihat saja nanti…!” Thian Sin lalu menggerakkan cambuknya dan ujung cambuk yang panjang itu melibat tubuh kakek itu, lantas diseretnya kakek itu menuju ke sebuah pohon besar yang agaknya memang sudah dipersiapkan oleh Thian Sin untuk keperluan ini.

Sebuah pohon besar dan di atas pohon itu penuh dengan semut-semut besar, semacam semut yang suka makan bangkai, semut yang ganas bukan kepalang, berwarna merah darah! Ketika melihat semut-semut itu, maka mengertilah Tok-ciang Sianjin sehingga dia pun mulai berteriak-teriak.

“Jangan…! Jangan… bunuh saja aku…!”

Akan tetapi Thian Sin hanya tersenyum saja, kemudian cambuk rampasan di tangannya itu menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat saja seluruh pakaian tosu itu sudah direnggut lepas sehingga tosu itu sudah telanjang bulat. Lalu cambuk itu beberapa kali menyambar, melecuti tubuh itu hingga pecah-pecahlah kulit tubuh itu, membuat guratan-guratan berdarah yang panjang.

Dengan sabuk tosu itu sendiri, Thian Sin mengikat pinggang tubuh yang berdarah-darah itu dan menggantung tubuh itu di sebuah cabang pohon. Kemudian, dengan cambuknya dia melecuti sarang-sarang semut merah di cabang-cabang.

Maka mengamuklah semut-semut itu sehingga akhirnya menemukan korban, yaitu tubuh Tok-ciang Sianjin. Mulailah mereka mengeroyok, menggigit dan tosu itu tanpa malu-malu lagi menjerit-jerit, meronta-ronta, menangis dan minta-minta ampun. Akan tetapi Thian Sin hanya tertawa saja.

Semut-semut itu makin banyak berdatangan, menggigiti seluruh tubuhnya, bahkan mulai merayap sampai ke muka tosu itu. Mula-mula tosu itu dapat mengusirnya dengan tiupan-tiupannya, akan tetapi akhirnya dia kehabisan napas sehingga mulailah semut-semut itu menggigiti dan menggerogoti kulit mukanya sedikit demi sedikit, hidungnya, bibirnya, pipi, mata, telinga!

Tok-ciang Sianjin terus meronta-ronta dan tangisnya merupakan lolong yang mengerikan sampai Kim Lan sendiri menutupi kedua telinganya sambil membuang muka tidak berani memandang lebih lama lagi. Berjam-jam Tok-ciang Sianjin mengalami siksaan yang amat hebat, mati tidak hidup pun tidak. Menjelang senja, setelah mengalami siksaan yang lebih dari setengah hari lamanya, akhirnya dia pun terkulai dan pingsan, mendekati mati.

Thian Sin lalu mempergunakan cambuk baja itu, diayun ke atas dan dengan pengerahan sinkang-nya, cambuk itu pun menyambar laksana pedang, tepat mengenai leher tubuh itu sehingga putuslah leher Tok-ciang Sianjin. Dengan pakaian tosu itu sendiri yang tadi telah dilucutinya dengan cambuk, dia membungkus kepala itu, lantas dengan cambuknya dia membelit tubuh tanpa kepala itu, menyeretnya secara kasar sambil berjalan pergi menuju ke sarang Pek-lian-kauw!

“Taihiap…!” Kim Lan berseru, mukanya pucat sekali.

“Kau kembalilah dan tunggu aku di kuil tua,” kata Thian Sin dan wanita itu mengangguk, lalu pergi cepat-cepat dari situ dengan hati penuh kengerian.

Pada keesokan harinya, gegerlah orang-orang Pek-lian-kauw sesudah menemukan tubuh tanpa kepala, tubuh yang telanjang bulat dan rusak oleh gigitan semut-semut, tergantung oleh cambuk baja di pintu gerbang Pek-lian-kauw! Walau pun kepalanya sudah tidak ada dan tubuh itu sukar dikenal lagi, namun melihat cambuk baja itu, para tosu Pek-lian-kauw dapat menduga siapakah pula orangnya yang membunuh Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam secara demikian sadisnya. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Sadis!

Akan tetapi karena Tok-ciang Sianjin bukan orang Pek-lian-kauw, dan melihat kenyataan bahwa pendekar itu tidak membunuh seorang pun anggota Pek-lian-kauw, maka mereka pun diam saja.

Sementara itu, kota raja juga gempar ketika pagi hari itu orang-orang melihat ada sebuah kepala terpancang di atas menara istana! Orang hanya dapat menduga-duga siapa yang melakukan itu, akan tetapi ada beberapa orang kang-ouw yang mengenal bahwa kepala itu merupakan kepala milik Tok-ciang Sianjin, maka orang-orang pun bisa menduga bahwa pembunuhnya agaknya adalah Pendekar Sadis.

Sementara itu, sesudah menggantung mayat di depan pintu gerbang Pek-lian-kauw dan kepalanya di menara istana, Thian Sin lalu kembali ke kuil kuno di mana Kim Lan sudah menantinya. Kim Lan terisak ketika menyambut pemuda itu dengan pelukannya, kadang-kadang dia masih bergidik ngeri biar pun dia merasa girang sekali telah dapat mendekap lagi pemuda yang dikaguminya, dicinta, dipuja dan juga amat ditakutinya itu.

Akan tetapi pada keesokan harinya, mereka berdua yang masih tidur tiba-tiba dikejutkan oleh suara halus dari luar kuil. Suara itu halus sekali, akan tetapi juga sangat berwibawa, “Pendekar Sadis, keluarlah, kami hendak bicara denganmu!”

Thian Sin juga mendengar suara itu. Dia mengulet lantas mengucek matanya. Tubuhnya terasa segar karena hatinya sangat puas sudah berhasil menewaskan musuh besarnya. Dia terkejut juga mendengar suara itu, akan tetapi sama sekali tidak memperlihatkannya. Bahkan ketika Kim Lan mengintai keluar, kemudian kembali dengan mata terbelalak dan sikap takut, dia malah tersenyum.

“Tenanglah, kenapa takut?”

“Taihiap, yang datang adalah hwesio tua, tosu dan tiga orang tua lain. Mereka kelihatan begitu berwibawa dan marah. Aku…aku khawatir, taihiap.”

“Tenanglah dan berpakaianlah yang pantas untuk menemui tamu.” Thian Sin bangkit dan membereskan pakaiannya.

“Pendekar Sadis, kami menanti, keluarlah!” Setelah agak lama, terdengar lagi suara tadi.

Thian Sin mengajak Kim Lan keluar dan dia melangkah dengan tenang sekali. Ketika tiba di luar, dia melihat ada lima orang kakek yang berdiri di pekarangan kuil kuno. Seorang hwesio tua yang wajahnya kereng, memegang sebatang tongkat hwesio, jubahnya lebar dan berwarna kuning. Orang ke dua adalah seorang tosu tinggi kurus, selalu tersenyum namun sepasang matanya tajam, dan tosu ini seperti juga si hwesio, tentu sudah berusia enam puluh tahun lebih dan dia memegang tasbih.

Tiga orang kakek yang usianya juga enam puluhan tahun, ternyata mengenakan pakaian biasa, seperti sasterawan, tetapi dari sikap mereka dan keadaan mereka, Thian Sin dapat menduga bahwa mereka berlima itu tentu bukanlah orang-orang sembarangan, apa lagi melihat sikap hwesio dan tosu yang alim serta berwibawa itu, benar-benar jauh bedanya dengan sikap para pendeta Pek-lian-kauw.

Maka dia pun cepat menjura dengan sikap hormat dan berkata, “Ngo-wi locianpwe datang mencari saya, entah membawa keperluan apakah?” Thian Sin memang pandai bersikap halus dan sopan tidak ubahnya seorang sasterawan muda yang tahu akan sopan santun.

“Omitohud…! Betulkah sicu ini yang dijuluki Pendekar Sadis?” tanya Si Hwesio tua sambil merangkap kedua tangan di atas dada sedangkan tongkatnya bersandar di pundaknya.

“Kiranya tidak salah dugaan lo-suhu, biar pun saya sendiri sebenarnya sama sekali tidak menghendaki menerima julukan seperti itu,” jawab Thian Sin dengan sikap merendah dan masih manis budi.

“Siancai… siapa dapat percaya pemuda yang gagah dan ramah ini yang dijuluki Pendekar Sadis,” kata pula Si Tosu sambil memperlebar senyumnya.

“Apa bila saya boleh bertanya, siapakah ngo-wi locianpwe dan apakah maksud kunjungan ngo-wi ini?”

“Pinceng adalah Hwa Siong Hwesio dari Siauw-lim-pai,” hwesio itu berkata dengan sangat sederhana, akan tetapi Thian Sin menjadi terkejut sekali karena nama Hwa Siong Hwesio ini adalah nama seorang tokoh yang amat tinggi kedudukannya di Siauw-lim-pai!

“Pinto adalah Kui Yang Tosu dari Kun-lun-pai,” kata Si Tosu yang ramah. Kembali Thian Sin terkejut karena kalau dia tidak salah ingat, yang bernama Kui Yang Tosu adalah wakil ketua partai persilatan Kun-lun-pai yang amat terkenal itu!

“Kami bertiga adalah Shan-tung Sam-lo-heng, sahabat baik dari mendiang Toan-ong-ya.” kata salah seorang di antara tiga orang tua gagah itu. Meski pun Thian Sin belum pernah mendengar nama ini akan tetapi dia dapat menduga bahwa agaknya tiga orang ini adalah pendekar-pendekar yang kenamaan di Propinsi Shan-tung dan memang dugaannya itu tepat sekali.

“Pinceng juga mengenal baik Toan-ong-ya,” kata pula hwesio Siauw-lim-pai itu.

“Pinto banyak berhutang budi pada mendiang Toan-ong-ya,” sambung tosu Kun-lun-pai.

Diam-diam Thian Sin merasa tidak enak hati. Kiranya mereka ini adalah sahabat-sahabat Toan-ong-ya, maka mudah diduga bahwa kunjungan mereka tentu hendak menegurnya, bahkan mungkin saja untuk membalaskan kematian pangeran itu. Akan tetapi, karena dia merasa yakin sekali akan kebenarannya bahwa pembunuhan yang dilakukannya terhadap Toan-ong-ya itu adalah akibat kesalahan pangeran itu sendiri, maka dia bersikap tenang dan tidak merasa takut sedikit pun juga.

Agaknya hal ini terlihat oleh lima orang kakek itu dan mereka pun diam-diam amat kagum. Pendekar Sadis ini selain masih muda, tampan, gagah dan halus budi, sopan santun, juga ternyata memiliki nyali yang amat luar biasa.

“Ahh, kiranya ngo-wi locianpwe adalah sahabat-sahabat baik mendiang Toan-ong-ya. Jika begitu, agaknya kedatangan ngo-wi adalah karena saya sudah membunuh pangeran itu, bukan?” tanyanya dengan jujur, tanpa membuang waktu lagi.

“Bukan hanya itu saja, orang muda,” kata tosu Kun-lun-pai. “Pinto datang untuk menegur caramu membasmi orang-orang dari dunia hitam!”

“Omitohud, dosamu telah bertumpuk-tumpuk, orang muda. Kau kira siapakah engkau ini? Giam-lo-ong sendiri? Ataukah ibils berwajah manusia? Pinceng telah mendengar tentang cara-caramu menghakimi orang-orang, dengan penyiksaan dan pembunuhan yang amat mengerikan. Omitohud… Siauw-lim-pai akan ikut bersalah bila tidak turun tangan terhadap keganasanmu ini!”

Thian Sin mengerutkan alisnya. Akan tetapi, sambil tersenyum suaranya masih halus saat dia berkata, “Ji-wi locianpwe dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, maafkan kalau saya tidak dapat menyenangkan hati ji-wi, akan tetapi hendaknya diingat bahwa semua urusan saya tak ada sangkut-pautnya dengan ji-wi locianpwe. Dan karena saya bukan anggota kedua partai terbesar di dunia persilatan, maka kiranya saya tidak perlu mempedulikan larangan dan peraturan yang terdapat dalam perguruan ji-wi.” Jawaban itu singkat, padat, dan juga tegas.

Kedua orang pendeta itu saling pandang dan nampaknya mulai kehabisan akal, karena bagaimana pun juga, ucapan pemuda itu memang benar. Selain pemuda itu tidak punya urusan baik dengan Kun-lun-pai mau pun Siauw-lim-pai, juga pemuda ini sama sekali tak melakukan kejahatan di dalam membasmi mereka yang tergolong jahat. Oleh karena itu, mereka kini menoleh kepada tiga orang gagah dari Shan-tung itu dan menggantungkan harapan kepada mereka untuk menyudutkan pemuda yang ganas ini. Seorang di antara tiga pendekar tua dari Shan-tung itu lalu berkata, suaranya garang.

“Pendekar Sadis, kedua orang pendeta yang budiman ini datang untuk menyadarkanmu dari kesesatan, akan tetapi engkau malah menjawab dengan kata-kata sombong. Akan tetapi ketahuilah, bahwa kami tidak mungkin dapat mendiamkan saja engkau membunuh Toan-ong-ya. Apa bila kami diamkan, berarti kami membiarkan orang berbuat sewenang-wenang dan jahat.”

Thian Sin tersenyum lebar. “Hemm, apakah sekarang orang-orang gagah di dunia ini telah berbalik hati dan hendak membela orang jahat? Kalau benar ngo-wi yang saya hormati sudah berbalik hati, membela orang jahat, biarlah saya akan menghadapi ngo-wi karena dengan demikian berarti pula bahwa ngo-wi adalah orang-orang jahat juga!”

“Omitohud…!”

“Siancai…!”

“Pendekar Sadis, berani kau berkata demikian? Siapakah yang sudah mengatakan bahwa Toan-ong-ya adalah orang jahat? Agaknya wanita itu yang memberi tahukanmu, bukan?” Salah seorang di antara tiga pendekar tua Shan-tung itu membentak.

“Kalau pangeran itu tidak jahat, mengapa sampai mati di tangan Pendekar Sadis?” Thian Sin balas bertanya.

“Coba katakan, kejahatan apakah yang sudah dilakukan oleh Toan-ong-ya, maka engkau turun tangan membunuhnya secara keji!”

“Saya tahu apa yang saya lakukan, dan saya merasa tak perlu berdebat lagi. Akan tetapi, kalau ngo-wi hendak membela orang jahat yang telah saya bunuh, silakan maju, saya tak akan undur selangkah pun!”

“Keparat…!” Dan serentak tiga orang gagah dari Shan-tung itu meloncat ke depan, wajah mereka menjadi merah karena marah. Pemuda itu mereka anggap sombong bukan main. Terdengar suara berdesing kemudian nampak sinar berkilat ketika mereka bertiga sudah mencabut pedang masing-masing, dan gerakan mereka sungguh cepat dan indah.

“Orang muda sombong, keluarkanlah senjatamu!”

Thian Sin tersenyum. Biar pun dia tahu bahwa ilmu pedang mereka bertiga itu lihai sekali, akan tetapi dia tidak merasa takut. “Sam-wi hendak membela orang jahat? Majulah, saya belum merasa perlu untuk memakai senjata untuk menghadapi sam-wi.”

Betapa sombongnya jawaban ini. Tiga orang gagah dari Shan-tung itu menjadi semakin marah dan mereka sudah hendak menerjang maju. Akan tetapi tiba-tiba saja tokoh Siauw-lim-pai itu memalangkan tongkatnya dan berkata,

“Omitohud… harap sam-wi tenang dahulu. Tidak baik jika turun tangan sebelum diperoleh penjelasan.” Karena menghormati tokoh Siauw-lim-pai ini, Shan-tung Sam-lo-eng mundur dengan muka merah padam.

Hwa Siong Hwesio lalu melangkah maju dan menghadapi Thian Sin. “Orang muda, harap engkau suka menghadapi urusan dengan kepala dingin. Sungguh kami bukan orang-orang yang usil atau membela orang jahat, akan tetapi agaknya ada kesalah fahaman di antara kita tentang diri mendiang Toan-ong-ya. Oleh karena itu, pinceng harap agar engkau suka memandang muka orang-orang tua ini untuk menjelaskan, kejahatan apakah yang pernah dilakukan oleh Toan-ong-ya hingga engkau mengambil keputusan untuk membunuhnya?”

Menghadapi sikap yang begini halus, Thian Sin merasa kewalahan juga. Kalau dia terus berkeras, berarti dia yang tidak tahu aturan. Maka dia pun menjawab tenang. “Locianpwe, kalau saya tidak melihat dia jahat, mengapa harus saya bunuh dia? Toan-ong-ya itu telah memperkosa wanita, membunuh ayah beserta suami wanita itu. Coba ngo-wi bayangkan, apakah kejahatan itu tidak melewati batas dan sudah sewajarnya kalau saya membunuh dia?”

“Hemmm, engkau tentu mendengar semua itu dari wanita ini, bukan?” seorang di antara tiga orang Shan-tung itu berkata.

Thian Sin mengangguk. “Betul, dan dia di sini karena harus kulindungi dari ancaman para kaki tangan Toan-ong-ya yang tentu akan membunuhnya.” Dia sengaja mempergunakan kata-kata kaki tangan Toan-ong-ya untuk menyindir kepada mereka.

“Omitohud… Sicu, engkau orang muda, walau pun telah mempunyai ilmu silat yang tinggi, tapi masih kurang pengalaman. Tahukah engkau mengapa Toan-ong-ya membunuh dua orang laki-laki yang menjadi ayah dan suami wanita ini?”

Mendengar pertanyaan ini, Thian Sin terperanjat. Baru dia sadar bahwa memang dia tidak mengenal dengan baik siapa sebetulnya diri Kim Lan sebelumnya, dan dia hanya percaya saja kepada cerita wanita ini!

“Mereka adalah pemburu-pemburu binatang liar yang menjadi langganan Toan-ong-ya dan ketika wanita ini mengantar kulit harimau, dia telah ditahan dan diperkosa oleh pangeran itu. Ketika suami dan ayahnya datang untuk menyelidik, mereka dibunuh oleh pangeran itu…”

“Siancai…!” Tosu itu berseru dengan suara panjang. “Pemutar balikan fakta yang sungguh memalukan. Pendekar Sadis, ketahuilah bahwa wanita ini adalah bekas seorang maling tunggal yang terkenal di kota raja. Dahulu dia pernah berusaha hendak mencuri di istana Toan-ong-ya, lantas tertangkap, akan tetapi dia diampuni oleh Toan-ong-ya bahkan diberi pekerjaan menjaga keamanan asalkan ia berjanji akan merubah jalan hidupnya. Baru satu bulan dipekerjakan di istana Toan-ong-ya, ia bersekutu dengan dua orang perampok yang memang adalah suaminya dan ayahnya, dan ketika mereka datang malam itu, mereka ini masih tetap diampuni oleh Toan-ong-ya karena selama itu dia sudah diambil sebagai selir oleh Toan-ong-ya, sebuah kesalahan kecil dari mendiang Toan-ong-ya yang mudah dirayu oleh wanita. Akan tetapi, bukan berterima kasih, ia malah hendak meracuni Toan-ong-ya. Bayangkan betapa jahatnya. Akan tetapi Toan-ong-ya tidak menuntut atau membunuhnya, melainkan hanya mengusirnya saja.”

“Omitohud, dan sekarang jelaslah. Agaknya, mendengar akan namamu, Pendekar Sadis, dia sudah berhasil membujukmu dan memutar balikkan fakta sehingga engkau tertipu dan mau membunuh orang yang demikian berbudi seperti Toan-ong-ya…”

Thian Sin sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. “Kim Lan…!” Dia memanggil dan menengok, akan tetapi wanita yang tadi berdiri di belakangnya itu tiba-tiba melarikan diri.

“Berhenti kau…!” Tosu Kun-lun-pai itu menggerakkan tangan memukul dari jarak jauh.

“Plakk!” Thian Sin menangkisnya sehingga tosu itu terhuyung ke belakang.

“Harap locianpwe jangan mencampuri urusan saya!” Thian Sin berkata dan sekali loncat, tubuhnya telah melesat ke depan seperti seekor burung saja, kemudian sekali tangannya meraih, rambut Kim Lan telah dijambaknya lantas ditariknya dengan kuat sehingga tubuh wanita itu jatuh tergungkur.

Kim Lan segera meloncat bangun, mencabut sebuah pisau belati lalu menusukkan pisau itu ke perutnya sendiri. Akan tetapi sekali renggut saja, pisau itu telah pindah ke tangan Thian Sin dan sebuah tendangan membuat wanita itu terjungkal.

Tiga orang kakek itu telah maju mendekat dan hanya menonton. Thian Sin seperti tidak menganggap ada orang lain di tempat itu.

“Kim Lan, hayo katakan, benarkah semua itu? Benarkah bahwa engkau datang pura-pura menggantung diri untuk membujuk dan membohongi aku? Benarkah mereka itu perampok dan engkau pencuri, dan bahwa Toan-ong-ya adalah seorang yang budiman? Hayo jawab sebenarnya!”

Tiba-tiba saja wanita yang menangis itu menjadi nekat. Dipandangnya Thian Sin melalui air matanya, lantas dia berkata, “Benar, memang benar! Akan tetapi ayahku dan suamiku dibunuh, aku harus membalas dendam, dan engkau taihiap… engkau… aku tergila-gila kepadamu… ahhh!”

“Perempuan iblis, jadi engkau telah menipuku, mataku masih melek tetapi seperti hendak kau bikin buta, dan mulutmu pandai sekali membujuk, merayu, berbohong! Rasakan ini!” Beberapa kali pisau berkelebat.

Lima orang kakek itu hendak mencegah, akan tetapi langsung menahan tangan mereka karena maklum bahwa selain tidak keburu, juga pemuda itu agaknya tidak mau dicampuri orang lain. Terdengar wanita itu menjerit-jerit mengerikan dan darah muncrat-muncrat dari mukanya. Kedua matanya sudah dicokel keluar oleh pisau di tangan Thian Sin, dan ada dua guratan pisau membentuk palang merobek mulutnya dari pipi di kanan kiri sampai ke dagu.

Tentu saja Kim Lan berkelojotan di atas tanah. Oleh karena bibirnya dan pipinya sudah robek-robek, suara yang terdengar dari mulutnya menjadi aneh, seperti suara binatang!

“Inilah biang-keladi dari semua peristiwa itu, ngo-wi locianpwe. Selamat berpisah!” Thian Sin melompat dengan cepat tanpa memberi kesempatan lima orang itu menjawab.

Lima orang kakek itu masih terlampau kaget dan ngeri menyaksikan hukuman kejam yang dijatuhkan oleh Pendekar Sadis terhadap Kim Lan sehingga mereka tercengang dan tidak sempat menghalangi perginya pemuda itu. Dan pula, apa perlunya menghalangi pendekar itu.

Mereka datang di samping untuk menuntut pembunuhan atas diri Toan-ong-ya, juga untuk memberi nasehat kepada pendekar yang hatinya kejam bagaikan iblis itu. Dan ternyata, dalam urusan pangeran itu, Pendekar Sadis bukan sengaja membunuh orang baik-baik, melainkan tertipu oleh wanita ini yang telah dihukumnya pula, ada pun tentang nasehat, agaknya pemuda itu tidak dapat dinasehati. Buktinya, baru saja mereka menegur namun si pendekar itu kembali telah melakukan kekejaman dalam menghukum orang jahat, yaitu terhadap wanita itu, dan di depan mata mereka sendiri malah!

********************

Thian Sin cepat-cepat meninggalkan daerah itu. Dia agak merasa gelisah juga sesudah pertemuannya dengan lima orang kakek itu. Kenapa dia begitu ceroboh sehingga mudah saja tertipu oleh seorang wanita seperti Kim Lan? Kini dia dihadapkan dalam keadaan yang tidak enak sekali dengan para tokoh pendekar di dunia.

Akan tetapi dia tidak peduli. Hatinya merasa sangat puas setelah dia berhasil membunuh semua musuh-musuh orang tuanya. Sekarang tinggal musuh-musuh keluarga Lian Hong! Dan musuh-musuh keluarga Ciu Khai Sun itu pun hanya tinggal See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kui. Musuh-musuh yang amat berat.

Akan tetapi dia harus dapat mengalahkan mereka, membunuh mereka. Meski pun bukan tokoh-tokoh besar itu sendiri yang bergerak, namun jelas bahwa orang-orang mereka ikut menyerbu dan menyebabkan terbasminya keluarga Ciu itu. Dan di samping keinginannya hendak membalaskan kematian keluarga Ciu itu, masih ada satu keinginan lainnya yang pada akhir-akhir ini menyelinap di dalam hati sanubarinya.

Dahulu mendiang ayahnya telah gagal menjadi jagoan nomor satu di dunia! Kini, sebagai keturunannya, putera tunggalnya, dia harus mampu menebus kegagalan ayahnya itu. Dia harus bisa mengalahkan semua jagoan di dunia, terutama sekali datuk-datuk kaum sesat.

Memang dia sudah pernah mengalahkan See-thian-ong dan Pak-san-kwi, akan tetapi dua kemenangannya itu belum mutlak. Kemenangannya baru akan diakui oleh dunia apa bila dia sudah berhasil membunuh mereka, yaitu ketiga datuk itu, See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kwi!

Dan dia akan mencari, lantas akan membunuh mereka selain untuk membalas sakit hati Ciu Lian Hong, juga untuk membikin puas hati mendiang ayahnya bahwa puteranya telah berhasil mengalahkan semua datuk dari dunia sesat! Setelah membunuh mereka bertiga, barulah dia akan menghadapi Tung-hai-sian, datuk di timur itu.

Meski pun dengan datuk ini dia tidak mempunyai urusan sesuatu, akan tetapi untuk dapat mengangkat nama ayahnya maka dia harus dapat mengalahkan semua datuk, termasuk pula Tung-hai-sian. Dan puterinya itu, siapa namanya? Ah, ya, Bin Biauw, sungguh cantik jelita, kecantikan yang khas wanita keturunan Korea!

Dia pernah mengalahkan See-thian-ong dan Pak-san-kwi, juga dia sudah pernah bertemu dengan Tung-hai-sian. Hanya Lam-sin saja, datuk kaum sesat dari selatan itu yang belum pernah dijumpainya, walau pun dia pernah bertemu dengan anak buahnya, yaitu anggota-anggota Bu-tek Kai-pang yang rata-rata sangat lihai itu. Juga berita mengenai Lam-sin ini sangat menarik hatinya, karena tokoh datuk kaum sesat yang satu ini keadaannya diliputi penuh rahasia dan kabarnya lihai bukan main, lebih lihai dari pada tiga datuk lainnya.

Pula, untuk sementara waktu, memang ada baiknya untuk meninggalkan kota raja sejauh mungkin, apa lagi sesudah para pendekar merasa tidak senang kepadanya. Dan tempat tinggal datuk selatan itu terletak paling jauh dari kota raja. Dia mendengar bahwa Bu-tek Kai-pang berpusat di Heng-yang, di Propinsi Hu-nan, maka ke sanalah dia pergi.

Ada pun tentang Lam-sin sendiri, tidak ada orang yang tahu berada di mana atau di mana tempat tinggalnya. Akan tetapi dia merasa yakin bahwa di sarang Bu-tek Kai-pang, tentu dia akan dapat menemukan ketuanya, yaitu Lam-sin, atau setidaknya, dari para pengemis itu tentu dia akan dapat menemukan alamat Lam-sin.

Sama sekali Thian Sin tidak pernah menduga bahwa dia menuju ke sebuah kota di mana dara yang dicintanya itu, Ciu Lian Hong, pernah tinggal, bahkan tinggal bersama dengan Lam-sin, juga bahwa kakak angkatnya, Cia Han Tiong, bersama ayah dan ibu angkatnya, yaitu Pendekar Lembah Naga, pernah datang ke kota itu dan bertemu dengan Lam-sin!

Bu-tek Kai-pang memang merupakan perkumpulan pengemis yang sangat berpengaruh di Propinsi Hu-nan bahkan di seluruh daerah selatan. Bukan hanya karena para pengemis yang bajunya tambal-tambalan dan bersih itu rata-rata mempunyai kepandaian tinggi yang membuat para pengemis ini ditakuti orang, tetapi terutama sekali karena perkumpulan ini adalah anak buah dari Lam-sin, datuk selatan yang dianggap sebagai datuk semua kaum sesat di daerah selatan. Yang disebut sebagai daerah selatan adalah daratan yang berada di sebelah selatan Sungai Yang-ce-kiang.

Lam-sin sendiri adalah seorang tokoh yang penuh rahasia. Jarang ada orang yang tahu bahwa datuk kaum sesat selatan yang hanya terkenal dengan sebutan Lam-sin (Malaikat Selatan) itu adalah seorang nenek. Bahkan semua orang di kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan itu sendiri, kalau bertemu dengan nenek ini, tidak tahu bahwa dia adalah Lam-sin yang tersohor itu.

Lam-sin tak pernah keluar turun tangan sendiri dalam menghadapi segala macam urusan. Cukup dengan perkumpulan Bu-tek Kai-pang saja yang membereskan semua persoalan. Memang dalam urusan yang besar, yang tidak mampu dibereskan oleh Bu-tek Kai-pang, seperti ketika ada lima jagoan dari Jepang yang membuat kacau di pantai lautan timur selatan dan yang amat lihai sehingga para pimpinan Bu-tek Kai-pang tak ada yang dapat menundukkannya, Lam-sin sendiri yang turun tangan.

Namun, dia turun tangan pada waktu malam sehingga lima orang jagoan dari Jepang itu tidak tahu, orang macam apakah yang menghajar mereka sehingga mereka lari tunggang langgang lalu naik ke dalam perahunya dan tidak pernah berani kembali lagi. Pendeknya, tokoh Lam-sin ini penuh dengan rahasia dan di mana pun dia berada, tidak pernah dia memperkenalkan dirinya kepada orang lain.

Bu-tek Kai-pang adalah nama perkumpulan yang menunjukkan ketinggian hati ketuanya. Bu-tek Kai-pang berarti Perkumpulan Pengemis Tanpa Tanding! Untuk urusan sehari-hari, perkumpulan ini dipimpin oleh ketua-ketua yang disebut pangcu-pangcu karena Lam-sin sendiri tidak mau disebut ketua pengemis!

Ketiga orang pangcu dari Bu-tek Kai-pang adalah orang-orang yang menerima pelajaran ilmu silat secara langsung dari Lam-sin, dan mereka itu pun hanya dikenal julukan mereka saja yang sesuai dengan warna pakaian mereka. Ketua pertama adalah Ang-i Kai-ong (Raja Pengemis Berbaju Merah), ketua ke dua adalah Jeng-i Kai-ong karena pakaiannya yang berwarna hijau dan yang ke tiga adalah Pek-i Kai-ong yang selalu berbaju putih. Ketiga orang inilah yang secara langsung menangani semua urusan kai-pang itu. Mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi dan amat tunduk serta setia kepada Lam-sin yang merupakan guru mereka.

Tentu saja Bu-tek Kai-pang dianggap sebagai perkumpulan kaum sesat, ada pun Lam-sin sendiri juga dianggap sebagai datuk sesat karena seluruh sepak terjang perkumpulan itu sendiri memang jelas menunjukkan bahwa mereka adalah golongan hitam. Perkumpulan ini seolah pemerintah gelap yang menuntut pajak dari tempat-tempat perjudian, pelacuran dan semua penjahat dari golongan apa pun di selatan selalu membayar semacam ‘pajak’ atas penghasilan mereka kepada Bu-tek Kai-pang. Apa bila hal ini tidak dipenuhi, jangan harap mereka itu akan dapat melanjutkan ‘pekerjaan’ mereka.

Oleh karena itu, tentu saja penghasilan Bu-tek Kai-pang yang masuk sangat banyak dan perkumpulan itu memperoleh dana yang lebih dari cukup. Bahkan Lam-sin yang memang tadinya sudah mempunyai harta yang besar itu kini hidup serba kecukupan dalam sebuah istana yang indah dan penuh dengan barang berharga.

Ketika pada pagi itu Thian Sin memasuki kota Heng-yang, tanpa bertanya-tanya saja dia telah dapat melihat ada beberapa orang anggota pengemis Bu-tek Kai-pang berkeliaran di dalam kota. Pakaian mereka yang tambal-tambalan akan tetapi bersih dan baru itu jelas menunjukkan siapa adanya mereka.

Dan mereka itu tidak ada yang mengemis! Mereka berjalan-jalan seperti penjaga-penjaga keamanan saja, dengan sikap yang angkuh dan pendiam, tidak mempedulikan keadaan kanan kiri agaknya. Dan setiap orang pengemis Bu-tek Kai-pang selalu memiliki sebatang tongkat akar bahar yang berwarna hitam dan bentuknya berlekak-lekuk seperti ular. Ada yang memegangnya dengan tangan, ada pula yang menaruhnya di punggung.

Thian Sin memasuki sebuah rumah makan dan sengaja memilih meja yang berdekatan dengan pintu. Dengan penuh perhatian dia memandang pengemis yang mendekati rumah makan itu.

Pengemis itu masih muda, belum empat puluh tahun usianya. Pakaiannya yang tambal-tambalan dan masih baru, nampak jelas sekali bahwa itu bukan baju robek yang ditambal-tambal, melainkan sengaja dibuat baju baru dari kain baru yang disambung-sambung.

Pengemis ini pun memiliki sebatang tongkat akar bahar yang tergantung di punggungnya. Dari gerakan kedua kaki itu ketika si pengemis menghampiri rumah makan, mudah dilihat bahwa dia memiliki kepandaian silat yang cukup kuat. Gerakan kakinya tegap dan teguh, dengan punggung tegak lurus dan sikap waspada.

Thian Sin memang sengaja mau mencari gara-gara. Dia tadi telah makan panggang ayam dan melihat pengemis itu lewat di dekat mejanya, dia lalu mengambil tulang-tulang ayam di dalam mangkoknya, lantas memberikan itu kepada si pengemis sambil berkata dengan suara lantang.

“Hei, jembel! Nih kuberi tulang ayam sebagai hadiahku kepada rajamu. Berikan ini kepada rajamu, ya?”

Semua orang menoleh dan banyak mata terbelalak, muka orang-orang itu menjadi pucat ketika melihat siapa yang dihina oleh pemuda itu. Ada orang berani menghina seperti itu kepada seorang pengemis Bu-tek Kai-pang, sungguh itu berarti mengantar nyawa untuk mati konyol! Semua orang memandang dan menduga bahwa pada lain saat mereka akan melihat pemuda itu menggeletak tanpa nyawa di tempat itu.

Akan tetapi, pengemis muda yang sudah berhenti melangkah dan berdiri di depan Thian Sin, sejenak memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Jelas bahwa dia marah sekali. Agaknya memang dia tidak mau membikin ribut di dalam restoran. Dia menerima tulang-tulang ayam itu, kemudian sekali banting, tulang-tulang ayam itu menancap di atas papan meja di depan Thian Sin! Itulah demontrasi kekuatan sinkang yang lumayan!

Akan tetapi Thian Sin tertawa melihat kemarahan ini. “Ha-ha-ha-ha, rajamu tidak doyan tulang? Aneh sekali! Bukankah biasanya pengemis berebut tulang dengan anjing-anjing? Kalau rajamu menghendaki daging, suruh dia datang ke sini!”

Semua orang yang mendengar ini merasa ngeri. Sudah gilakah pemuda itu, pikir mereka. Tak ada seorang pun di kota itu yang akan berani bersikap menghina seperti ini, apa lagi ditujukan kepada raja pengemis. Sungguh mencari mati seratus kali!

Akan tetapi pengemis itu mampu menahan kemarahannya. Dia sungguh mengerti bahwa pemuda ini tentu bukan penduduk Heng-yang dan dapat menduga pula bahwa pemuda ini memang sengaja mencari gara-gara. Karena itu, setelah memandang dengan sinar mata penuh ancaman, dia melangkah keluar dari rumah makan itu, tidak jadi masuk. Biasanya, seorang anggota Bu-tek Kai-pang yang memasuki rumah makan akan dilayani laksana tamu-tamu biasa, walau pun mereka itu tidak perlu membayar.

Dan fihak pemilik rumah makan juga tidak merasa menyesal karena para anggota Bu-tek Kai-pang itu selalu tertib, tidak menunjukkan sikap sewenang-wenang dan hanya masuk dan makan kalau memang mereka lapar dan membutuhkan makanan. Pendeknya, sikap mereka itu rata-rata berwibawa dan tidak rendah seperti penjahat-penjahat kecil.

Melihat pengemis itu pergi keluar, Thian Sin hanya tersenyum lantas melanjutkan makan minum seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Dia tak peduli akan pandang mata para tamu lain yang ditujukan kepadanya, bahkan di antara mereka ada yang memberi tanda-tanda dengan kedipan mata supaya dia itu cepat-cepat pergi saja. Sebaliknya, Thian Sin malah minta ditambah araknya dan pelayan yang melayaninya juga memandang dengan wajah pucat, lalu berbisik ketika membawa arak yang dipesannya.

“Kongcu sebaiknya cepat meninggalkan tempat ini…!”

“Jangan campuri urusanku!” bentak Thian Sin dan pelayan itu pergi ketakutan.

Semua orang merasa tegang dan ngeri, apa lagi ketika mereka melihat bahwa pengemis yang tadi kini telah nampak di luar rumah makan, bersama dengan pengemis kedua yang bermuka hitam, bertubuh tinggi besar dan nampaknya kuat sekali. Mereka berdua itu kini telah memegang tongkat mereka, tanda bahwa mereka sudah bersiap hendak menghajar pemuda kurang ajar yang masih enak-enak minum arak di dalam rumah makan itu.

Thian Sin juga melihat dua orang pengemis itu maka dia pun tersenyum, hatinya gembira bahwa pancingannya mulai berhasil. Tidak mudahlah baginya untuk bisa mencari Lam-sin tanpa memancing keributan dengan Bu-tek Kai-pang. Setelah selesai makan minum yang dilakukan dengan sabar dan tidak tergesa-gesa, membuat dua orang pengemis itu makin marah, dia lalu membayar kepada pelayan yang kelihatan lega karena melihat pemuda itu akhirnya mau meninggalkan rumah makan itu. Akan tetapi dia terbelalak melihat pemuda itu mengumpulkan tulang-tulang ayam dan membawanya keluar dari restoran.
Selanjutnya,

Pendekar Sadis Jilid 28

Pendekar Sadis Jilid 28
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Thian Sin terkejut, maklum akan datangnya serangan yang kuat. Cepat dia membalik dan menangkis sambil menggunakan tenaga Thi-khi I-beng.

“Plakk!”

“Ahhhhh… ahhhhh, lepaskan…!” Giok-lian-cu terkejut bukan main ketika melihat betapa lengannya melekat dengan lengan pemuda itu dan betapa tenaga sinkang-nya membanjir keluar dari tubuhnya melalui lengan yang merapat dengan lengan pemuda itu. Melihat ini, Thian-hwa Lo-su juga cepat menampar ke arah kepala Thian Sin. Pemuda itu miringkan kepalanya, dan menerima tamparan itu dengan pangkal lengannya.

“Plakk!”

“Aihhhhhh… lepaskan tanganku…!” Thian-hwa Lo-su juga berseru.

Kedua orang ini sudah mengerahkan tenaga untuk menarik tangan mereka. Akan tetapi sungguh celaka, semakin besar mengerahkan tenaga, semakin hebat pula tenaga mereka membanjir keluar.

“Itu Thi-khi I-beng, jangan kerahkan sinkang!” Mendadak Tok-ciang Sianjin berseru keras. Cambuknya menyambar-nyambar lagi, kini cambuknya itu seperti burung mematuk-matuk mengarah ubun-ubun kepala, kedua mata dan bagian-bagian yang lemah lainnya.

Menghadapi ini, Thian Sin terpaksa berloncatan dan melepaskan dua orang yang melekat pada lengannya tadi. Akan tetapi, sebelum dia mampu mendesak Tok-ciang Sianjin, para tosu lain sudah mengurung dan mengeroyoknya. Juga Thian-hwa Lo-su dan Giok-lian-cu yang sudah marah sekali karena dipermainkan pemuda ini, telah maju mengeroyok sambil mengeluarkan senjata masing-masing.

Bukan hanya mereka, bahkan kini banyak pula anggota Pek-lian-kauw yang mengepung dan mendesaknya. Para anggota ini dikerahkan oleh Tok-ciang Sianjin yang tiba-tiba saja menghilang di antara banyak anggota Pek-lian-kauw itu.

“Tok-ciang Sianjin manusia pengecut, jangan lari kau!” Thian Sin membentak marah, akan tetapi orang itu sudah menghilang dan dia dikeroyok oleh banyak sekali orang.

Thian Sin mengamuk, akan tetapi dia tidak mau membunuh orang karena dia tak merasa bermusuhan dengan perkumpulan itu walau pun perkumpulan itu telah melindungi musuh besarnya. Dia tak begitu bodoh untuk menanam permusuhan dengan perkumpulan besar itu, sama saja dengan mencari penyakit. Sesudah musuhnya benar-benar lenyap, dia pun cepat merobohkan beberapa orang pengeroyok dengan angin dorongan kedua tangannya, kemudian tubuhnya mencelat ke atas genteng.

“Pek-lian-kauw bukan musuhku!” teriaknya dan dia pun berloncatan cepat sekali kemudian menghilang di balik pohon-pohon di luar dusun itu.

Giok-lian-cu melarang anak buahnya mengejar, sementara itu Thian-hwa Lo-su memberi perintah agar penjagaan lebih diperketat. Kemudian dengan hati kecil dan gentar mereka ramai membicarakan kehebatan ilmu kepandaian pemuda yang terkenal dengan sebutan Pendekar Sadis itu, dan mereka pun bergidik.

Untung pemuda itu tidak menganggap Pek-lian-kauw sebagai musuh, sebab jika demikian halnya, tentu tadi sudah jatuh banyak korban. Sebaliknya mereka pun merasa tidak perlu bermusuhan dengan pemuda yang demikian lihainya, maka para pimpinan Pek-lian-kauw itu lalu menganjurkan kepada Tok-ciang Sianjin untuk bersembunyi di kamar rahasia dan jangan keluar dulu sebelum pemuda itu benar-benar meninggalkan daerah itu.

Juga dengan terus terang Giok-lian-cu terpaksa mengatakan kepada Tok-ciang Sianjin agar supaya segera mencari tempat perlindungan lain saja karena Pek-lian-kauw tak mau terbawa-bawa ke dalam permusuhan dengan Pendekar Sadis.

********************

“Sungguh mati, taihiap, apakah aku sudah menjadi gila sehingga berani mengkhianatimu? Aku sampai harus menahan diri dari kemuakan pada saat aku terpaksa melayani mereka, dan… ahhh, sudah kukatakan bahwa aku rela mati untuk membantumu, taihiap. Apakah engkau masih juga tidak mau percaya bahwa aku telah menyerahkan seluruh jiwa ragaku kepadamu?”

“Tak perlu semua janji dan sumpah itu, jika memang benar perasaanmu itu, nah, engkau sekarang harus dapat memancing keluar Tok-ciang Sianjin dari tempat sembunyinya.”

“Baik, saya akan melakukan segala perintahmu,” kata Kim Lan dengan sikap menantang, untuk membuktikan bahwa dia memang tidak mengkhianati pemuda itu.

“Asalkan… asalkan engkau tak akan melupakan semua pembelaanku, taihiap…,” katanya dengan sikap manja.

Thian Sin tersenyum dan karena dia memang membutuhkan bantuan wanita ini, maka dia pun segera mengulurkan kedua tangannya lantas menerima wanita itu yang menubruknya dan merangkulnya dengan isak tertahan saking gembiranya.

Dengan sengaja Thian Sin tidak pernah memperlihatkan diri sampai dua minggu lamanya. Dan setelah dia menduga bahwa fihak Pek-lian-kauw tentu mengira dia sudah pergi untuk mencari jejak Tok-ciang Sianjin di lain tempat, apa lagi setelah Thian Sin secara sengaja melakukan kegemparan dengan membasmi beberapa orang penjahat di kota-kota yang berjauhan dari kota raja dan dari dusun Tiong-king, barulah Thian Sin menyuruh Kim Lan agar berjalan seorang diri di lereng Pegunungan Tai-hang-san, pura-pura hendak berburu binatang. Tentu saja diam-diam dia membayangi wanita ini dari jarak tidak terlampau jauh, akan tetapi dengan hati-hati sekali sehingga tidak akan ada orang yang dapat melihatnya.

Selama dua hari tidak terjadi sesuatu, tidak ada yang menegur atau menemui Kim Lan. Akan tetapi pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali, ketika Kim Lan mengejar-ngejar seekor kelinci gemuk untuk ditangkapnya, tiba-tiba saja kelinci putih gemuk itu roboh berlumuran darah.

Kim Lan terkejut sekali dan menghampiri kelinci itu. Ketika diperiksanya, ternyata kepala kelinci itu telah pecah! Dia mengambil kelinci itu dan menoleh ke kanan kiri, dengan wajah membayangkan keheranan.

“Kepalamu pun akan kupecahkan seperti kepala kelinci itu!” Tiba-tiba saja terdengar suara halus kemudian dari atas melayanglah turun seorang berpakaian jubah kuning. Tok-ciang Sianjin!

Seketika tubuh Kim Lan menggigil, bukan dibuat-buat walau pun dia tahu dilindungi oleh Pendekar Sadis. Semenjak pertemuan pertama, wanita ini memang sudah merasa takut sekali terhadap tosu ini, maka munculnya tosu itu secara tiba-tiba benar-benar membuat dia menggigil dan merasa ngeri.

“Pelacur hina! Tentu engkau yang telah mengkhianatiku dan menyelidiki keadaanku untuk kau laporkan kepada Pendekar Sadis! Hayo mengakulah sebelum kuhancurkan kepalamu seperti kepala kelinci ini!” bentak Tok-ciang Sianjin dengan suara yang menyeramkan dan wajahnya yang dingin itu benar-benar tampak menakutkan sekali bagi Kim Lan. Wanita ini merasakan kedua lututnya menggigil.

“Tidak… ti… tidak…!” Suara Kim Lan juga menggigil dan diam-diam wanita ini merasa sangat gelisah mengapa Pendekar Sadis belum juga muncul, padahal dia seperti merasa betapa maut sedang mengelus-elus kepalanya.

“Hemm, tidak ada gunanya kau membohong. Engkau adalah kaki tangan Pendekar Sadis, atau setidaknya, ketika engkau datang menjual kulit harimau itu, engkau menyelidiki aku kemudian melaporkannya kepada Pendekar Sadis. Hayo katakan di mana dia sekarang berada?”

“Tok-ciang Sianjin, aku berada di sini!” Tiba-tiba saja terdengar suara ini yang seketika membuat mata kakek itu yang biasanya sipit seperti terpejam sekarang terbelalak lebar dan mukanya yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat seperti mayat.

“Bagus! Kalau begitu kita akan mengadu nyawa di sini! Kini mampuslah kau, perempuan laknat!” Cambuk baja di tangannya segera bergerak dan terdengar suara meledak-ledak ketika ujung cambuk itu menyambar ke arah ubun-ubun kepala Kim Lan.

Namun secepat kilat Thian Sin sudah meloncat dan menangkis cambuk, membarenginya dengan tendangan kakinya ke arah Kim Lan. Tubuh Kim Lan langsung terlempar sampai bergulingan, akan tetapi dia selamat dari cengkeraman maut di ujung cambuk baja tadi.

Tok-ciang Sianjin yang sama sekali tak menyangka bahwa musuh besarnya akan berada di situ, kini mulai maklum bahwa dia telah masuk perangkap. Bahwa adanya wanita yang berkeliaran di tempat ini dan kelihatan berburu kelinci, sesungguhnya merupakan umpan untuk memancingnya keluar, sedangkan musuh besarnya itu memang selalu membayangi wanita itu.

Tahulah dia bahwa tidak ada jalan lari lagi baginya. Dia lalu menyerang dengan dahsyat, cambuknya meledak-ledak hingga mengeluarkan asap dan tangan kirinya juga melakukan serangan pukulan beracun. Tokoh ini dikenal dengan kelihaiannya yang mengerikan, yaitu tangan beracun dan pukulan tangan kirinya itu tidak kalah lihainya dibandingkan dengan sambaran pecut bajanya.

Namun, sekali ini dia menghadapi Thian Sin yang telah memiliki tingkat kepandaian yang jauh melampauinya. Pukulan-pukulan tangan kiri itu disambut Thian Sin dengan berani, tetapi bukan pemuda itu yang menderita oleh tangan beracun lawan, melainkan Tok-ciang Sianjin sendirilah yang tergetar hebat dan dari pertemuan tangan itu menjalar hawa yang panas dan sangat kuat. Itulah tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat hebat, yang sekaligus mengembalikan semua hawa beracun yang keluar dari tangannya.

Dan cambuk bajanya juga dapat dihadapi dengan sangat mudah oleh Thian Sin! Pemuda itu seakan-akan mempermainkannya seperti seekor kucing mempermainkan seekor tikus. Apa bila pemuda itu menghendaki, tentu dengan mudah dia dapat merobohkan lawannya. Akan tetapi Thian Sin tidak mau begitu saja. Dia terus mempermainkan lawan, mengelak ke sana-sini, kadang-kadang mengirim tamparan yang hanya membuat tubuh lawannya terhuyung sambil tiada hentinya dia mengejek.

“Hemmm, pengecut yang beraninya hanya main keroyok. Kalau tidak mengeroyok, dalam beberapa jurus saja ayahku atau ibuku tentu telah dapat membunuhmu. Pengecut! Hayo keluarkan semua ilmumu untuk melawanku!”

“Plakk!”

Kembali sebuah tamparan yang cukup keras membuat kakek ini mulai menjadi ketakutan. Dia tahu benar bahwa dia tidak akan sanggup untuk menandingi putera Pangeran Ceng Han Houw ini, dan jika dia teringat akan kekejamannya sebagai Pendekar Sadis, keringat dingin keluar dari leher serta mukanya. Dia tidak takut mati, akan tetapi membayangkan kekejaman pemuda itu, benar-benar dia merasa ngeri sendiri.

Maka, setelah cambuknya menyambar dan pemuda itu mengelak sambil tertawa, dia pun segera membalikkan tubuhnya lantas menggunakan ginkang-nya untuk mencoba lari dari tempat itu menuju ke sarang Pek-lian-kauw di balik puncak. Akan tetapi tiba-tiba saja ada angin berkesiur dan bayangan berkelebat, tahu-tahu pemuda itu telah berdiri di depannya! Dia membalik dan lari lagi, namun lagi-lagi pemuda itu telah mendahuluinya dan kembali menghadang sambil tertawa.

Akhirnya Tok-ciang Sianjin putus asa, dan untuk yang terakhir kalinya dia mengerahkan seluruh tenaganya dan menyalurkan tenaga itu pada cambuknya, lalu menyerang sekuat tenaga. Cambuknya meledak dahsyat dan menyambar dengan totokan, ujung cambuk itu meluncur dan menjadi kaku menusuk ke arah leher Thian Sin.

Sungguh serangannya ini sangat hebat dan berbahaya sekali sehingga Thian Sin sendiri sampai terkejut. Maka pemuda ini cepat memiringkan tubuhnya dan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, sebelum ujung cambuk lewat atau ditarik kembali, jari-jari tangannya telah menjepit ujung cambuk itu dan pada saat itu juga dia telah mempergunakan Thi-khi I-beng.

Daya sedot yang amat kuat menjalar melalui cambuk itu sehingga pada waktu Tok-ciang Sianjinmengerahkan tenaga hendak membetot cambuknya, tenaga sinkang-nya langsung membanjir keluar. Terkejutlah kakek itu, maka dia cepat melepaskan tenaga sinkang-nya, akan tetapi pada saat itu pula Thian Sin telah menarik cambuk itu sehingga terlepas dan terampas olehnya. Tangan kiri Thian Sin bergerak memukul dan tubuh Tok-ciang Sianjin terpelanting keras.

Habislah harapan kakek itu dan karena dia tidak ingin disiksa, dia sudah menggerakkan tangan kirinya ke arah ubun-ubun kepalanya sendiri. Akan tetapi… tiba-tiba dia terbelalak karena tangan kiri itu tidak dapat digerakkannya lagi. Dia cepat mencoba dengan tangan kanan, akan tetapi tangan kanannya tidak dapat digerakkan juga.

Kiranya, dengan kecepatan yang luar biasa, Thian Sin yang maklum bahwa lawannya itu hendak membunuh diri, telah mendahuluinya dan menggerakkan cambuk baja rampasan, menotok ke arah kedua pundak kakek itu sehingga membuat sepasang lengan kakek itu lumpuh dan tidak mampu digerakkan.

“Hemm, jangan mengira akan enak saja engkau menghabisi nyawamu sendiri, Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam. Terlalu enak bagimu!” kata Thian Sin sambil tertawa.

Dari jauh, Kim Lan yang nonton pertempuran itu bergidik. Wanita ini sendiri bukan orang lemah dan sudah banyak dia melihat kekejaman yang dilakukan orang, tapi menyaksikan sikap Pendekar Sadis, dia benar-benar bergidik dan hampir dia tidak berani melihat apa yang hendak dilakukan oleh pendekar itu terhadap diri Tok-ciang Sianjin. Bagaimana pun juga, ia semakin kagum melihat betapa dengan mudahnya pemuda itu dapat merobohkan lawan, bahkan mampu pula mencegah lawan yang hendak membunuh diri.

“Ceng Thian Sin, aku sudah kalah olehmu, kalau mau bunuh, bunuhlah, siapa yang takut mati?” bentak Tok-ciang Sianjin, bersikap galak dan berani, padahal dia menggigil kalau teringat bahwa dia sudah terjatuh ke tangan Pendekar Sadis yang sepak terjangnya telah banyak didengarnya itu.

“Ayah bundaku tewas dikeroyok ratusan orang lawan yang tidak seimbang, maka engkau pun harus mati dikeroyok!”

“Apa… apa maksudmu…?” Tok-ciang Sianjin kini tidak lagi menyembunyikan rasa ngeri dan takutnya, suaranya gemetar.

“Kau lihat saja nanti…!” Thian Sin lalu menggerakkan cambuknya dan ujung cambuk yang panjang itu melibat tubuh kakek itu, lantas diseretnya kakek itu menuju ke sebuah pohon besar yang agaknya memang sudah dipersiapkan oleh Thian Sin untuk keperluan ini.

Sebuah pohon besar dan di atas pohon itu penuh dengan semut-semut besar, semacam semut yang suka makan bangkai, semut yang ganas bukan kepalang, berwarna merah darah! Ketika melihat semut-semut itu, maka mengertilah Tok-ciang Sianjin sehingga dia pun mulai berteriak-teriak.

“Jangan…! Jangan… bunuh saja aku…!”

Akan tetapi Thian Sin hanya tersenyum saja, kemudian cambuk rampasan di tangannya itu menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat saja seluruh pakaian tosu itu sudah direnggut lepas sehingga tosu itu sudah telanjang bulat. Lalu cambuk itu beberapa kali menyambar, melecuti tubuh itu hingga pecah-pecahlah kulit tubuh itu, membuat guratan-guratan berdarah yang panjang.

Dengan sabuk tosu itu sendiri, Thian Sin mengikat pinggang tubuh yang berdarah-darah itu dan menggantung tubuh itu di sebuah cabang pohon. Kemudian, dengan cambuknya dia melecuti sarang-sarang semut merah di cabang-cabang.

Maka mengamuklah semut-semut itu sehingga akhirnya menemukan korban, yaitu tubuh Tok-ciang Sianjin. Mulailah mereka mengeroyok, menggigit dan tosu itu tanpa malu-malu lagi menjerit-jerit, meronta-ronta, menangis dan minta-minta ampun. Akan tetapi Thian Sin hanya tertawa saja.

Semut-semut itu makin banyak berdatangan, menggigiti seluruh tubuhnya, bahkan mulai merayap sampai ke muka tosu itu. Mula-mula tosu itu dapat mengusirnya dengan tiupan-tiupannya, akan tetapi akhirnya dia kehabisan napas sehingga mulailah semut-semut itu menggigiti dan menggerogoti kulit mukanya sedikit demi sedikit, hidungnya, bibirnya, pipi, mata, telinga!

Tok-ciang Sianjin terus meronta-ronta dan tangisnya merupakan lolong yang mengerikan sampai Kim Lan sendiri menutupi kedua telinganya sambil membuang muka tidak berani memandang lebih lama lagi. Berjam-jam Tok-ciang Sianjin mengalami siksaan yang amat hebat, mati tidak hidup pun tidak. Menjelang senja, setelah mengalami siksaan yang lebih dari setengah hari lamanya, akhirnya dia pun terkulai dan pingsan, mendekati mati.

Thian Sin lalu mempergunakan cambuk baja itu, diayun ke atas dan dengan pengerahan sinkang-nya, cambuk itu pun menyambar laksana pedang, tepat mengenai leher tubuh itu sehingga putuslah leher Tok-ciang Sianjin. Dengan pakaian tosu itu sendiri yang tadi telah dilucutinya dengan cambuk, dia membungkus kepala itu, lantas dengan cambuknya dia membelit tubuh tanpa kepala itu, menyeretnya secara kasar sambil berjalan pergi menuju ke sarang Pek-lian-kauw!

“Taihiap…!” Kim Lan berseru, mukanya pucat sekali.

“Kau kembalilah dan tunggu aku di kuil tua,” kata Thian Sin dan wanita itu mengangguk, lalu pergi cepat-cepat dari situ dengan hati penuh kengerian.

Pada keesokan harinya, gegerlah orang-orang Pek-lian-kauw sesudah menemukan tubuh tanpa kepala, tubuh yang telanjang bulat dan rusak oleh gigitan semut-semut, tergantung oleh cambuk baja di pintu gerbang Pek-lian-kauw! Walau pun kepalanya sudah tidak ada dan tubuh itu sukar dikenal lagi, namun melihat cambuk baja itu, para tosu Pek-lian-kauw dapat menduga siapakah pula orangnya yang membunuh Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam secara demikian sadisnya. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Sadis!

Akan tetapi karena Tok-ciang Sianjin bukan orang Pek-lian-kauw, dan melihat kenyataan bahwa pendekar itu tidak membunuh seorang pun anggota Pek-lian-kauw, maka mereka pun diam saja.

Sementara itu, kota raja juga gempar ketika pagi hari itu orang-orang melihat ada sebuah kepala terpancang di atas menara istana! Orang hanya dapat menduga-duga siapa yang melakukan itu, akan tetapi ada beberapa orang kang-ouw yang mengenal bahwa kepala itu merupakan kepala milik Tok-ciang Sianjin, maka orang-orang pun bisa menduga bahwa pembunuhnya agaknya adalah Pendekar Sadis.

Sementara itu, sesudah menggantung mayat di depan pintu gerbang Pek-lian-kauw dan kepalanya di menara istana, Thian Sin lalu kembali ke kuil kuno di mana Kim Lan sudah menantinya. Kim Lan terisak ketika menyambut pemuda itu dengan pelukannya, kadang-kadang dia masih bergidik ngeri biar pun dia merasa girang sekali telah dapat mendekap lagi pemuda yang dikaguminya, dicinta, dipuja dan juga amat ditakutinya itu.

Akan tetapi pada keesokan harinya, mereka berdua yang masih tidur tiba-tiba dikejutkan oleh suara halus dari luar kuil. Suara itu halus sekali, akan tetapi juga sangat berwibawa, “Pendekar Sadis, keluarlah, kami hendak bicara denganmu!”

Thian Sin juga mendengar suara itu. Dia mengulet lantas mengucek matanya. Tubuhnya terasa segar karena hatinya sangat puas sudah berhasil menewaskan musuh besarnya. Dia terkejut juga mendengar suara itu, akan tetapi sama sekali tidak memperlihatkannya. Bahkan ketika Kim Lan mengintai keluar, kemudian kembali dengan mata terbelalak dan sikap takut, dia malah tersenyum.

“Tenanglah, kenapa takut?”

“Taihiap, yang datang adalah hwesio tua, tosu dan tiga orang tua lain. Mereka kelihatan begitu berwibawa dan marah. Aku…aku khawatir, taihiap.”

“Tenanglah dan berpakaianlah yang pantas untuk menemui tamu.” Thian Sin bangkit dan membereskan pakaiannya.

“Pendekar Sadis, kami menanti, keluarlah!” Setelah agak lama, terdengar lagi suara tadi.

Thian Sin mengajak Kim Lan keluar dan dia melangkah dengan tenang sekali. Ketika tiba di luar, dia melihat ada lima orang kakek yang berdiri di pekarangan kuil kuno. Seorang hwesio tua yang wajahnya kereng, memegang sebatang tongkat hwesio, jubahnya lebar dan berwarna kuning. Orang ke dua adalah seorang tosu tinggi kurus, selalu tersenyum namun sepasang matanya tajam, dan tosu ini seperti juga si hwesio, tentu sudah berusia enam puluh tahun lebih dan dia memegang tasbih.

Tiga orang kakek yang usianya juga enam puluhan tahun, ternyata mengenakan pakaian biasa, seperti sasterawan, tetapi dari sikap mereka dan keadaan mereka, Thian Sin dapat menduga bahwa mereka berlima itu tentu bukanlah orang-orang sembarangan, apa lagi melihat sikap hwesio dan tosu yang alim serta berwibawa itu, benar-benar jauh bedanya dengan sikap para pendeta Pek-lian-kauw.

Maka dia pun cepat menjura dengan sikap hormat dan berkata, “Ngo-wi locianpwe datang mencari saya, entah membawa keperluan apakah?” Thian Sin memang pandai bersikap halus dan sopan tidak ubahnya seorang sasterawan muda yang tahu akan sopan santun.

“Omitohud…! Betulkah sicu ini yang dijuluki Pendekar Sadis?” tanya Si Hwesio tua sambil merangkap kedua tangan di atas dada sedangkan tongkatnya bersandar di pundaknya.

“Kiranya tidak salah dugaan lo-suhu, biar pun saya sendiri sebenarnya sama sekali tidak menghendaki menerima julukan seperti itu,” jawab Thian Sin dengan sikap merendah dan masih manis budi.

“Siancai… siapa dapat percaya pemuda yang gagah dan ramah ini yang dijuluki Pendekar Sadis,” kata pula Si Tosu sambil memperlebar senyumnya.

“Apa bila saya boleh bertanya, siapakah ngo-wi locianpwe dan apakah maksud kunjungan ngo-wi ini?”

“Pinceng adalah Hwa Siong Hwesio dari Siauw-lim-pai,” hwesio itu berkata dengan sangat sederhana, akan tetapi Thian Sin menjadi terkejut sekali karena nama Hwa Siong Hwesio ini adalah nama seorang tokoh yang amat tinggi kedudukannya di Siauw-lim-pai!

“Pinto adalah Kui Yang Tosu dari Kun-lun-pai,” kata Si Tosu yang ramah. Kembali Thian Sin terkejut karena kalau dia tidak salah ingat, yang bernama Kui Yang Tosu adalah wakil ketua partai persilatan Kun-lun-pai yang amat terkenal itu!

“Kami bertiga adalah Shan-tung Sam-lo-heng, sahabat baik dari mendiang Toan-ong-ya.” kata salah seorang di antara tiga orang tua gagah itu. Meski pun Thian Sin belum pernah mendengar nama ini akan tetapi dia dapat menduga bahwa agaknya tiga orang ini adalah pendekar-pendekar yang kenamaan di Propinsi Shan-tung dan memang dugaannya itu tepat sekali.

“Pinceng juga mengenal baik Toan-ong-ya,” kata pula hwesio Siauw-lim-pai itu.

“Pinto banyak berhutang budi pada mendiang Toan-ong-ya,” sambung tosu Kun-lun-pai.

Diam-diam Thian Sin merasa tidak enak hati. Kiranya mereka ini adalah sahabat-sahabat Toan-ong-ya, maka mudah diduga bahwa kunjungan mereka tentu hendak menegurnya, bahkan mungkin saja untuk membalaskan kematian pangeran itu. Akan tetapi, karena dia merasa yakin sekali akan kebenarannya bahwa pembunuhan yang dilakukannya terhadap Toan-ong-ya itu adalah akibat kesalahan pangeran itu sendiri, maka dia bersikap tenang dan tidak merasa takut sedikit pun juga.

Agaknya hal ini terlihat oleh lima orang kakek itu dan mereka pun diam-diam amat kagum. Pendekar Sadis ini selain masih muda, tampan, gagah dan halus budi, sopan santun, juga ternyata memiliki nyali yang amat luar biasa.

“Ahh, kiranya ngo-wi locianpwe adalah sahabat-sahabat baik mendiang Toan-ong-ya. Jika begitu, agaknya kedatangan ngo-wi adalah karena saya sudah membunuh pangeran itu, bukan?” tanyanya dengan jujur, tanpa membuang waktu lagi.

“Bukan hanya itu saja, orang muda,” kata tosu Kun-lun-pai. “Pinto datang untuk menegur caramu membasmi orang-orang dari dunia hitam!”

“Omitohud, dosamu telah bertumpuk-tumpuk, orang muda. Kau kira siapakah engkau ini? Giam-lo-ong sendiri? Ataukah ibils berwajah manusia? Pinceng telah mendengar tentang cara-caramu menghakimi orang-orang, dengan penyiksaan dan pembunuhan yang amat mengerikan. Omitohud… Siauw-lim-pai akan ikut bersalah bila tidak turun tangan terhadap keganasanmu ini!”

Thian Sin mengerutkan alisnya. Akan tetapi, sambil tersenyum suaranya masih halus saat dia berkata, “Ji-wi locianpwe dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, maafkan kalau saya tidak dapat menyenangkan hati ji-wi, akan tetapi hendaknya diingat bahwa semua urusan saya tak ada sangkut-pautnya dengan ji-wi locianpwe. Dan karena saya bukan anggota kedua partai terbesar di dunia persilatan, maka kiranya saya tidak perlu mempedulikan larangan dan peraturan yang terdapat dalam perguruan ji-wi.” Jawaban itu singkat, padat, dan juga tegas.

Kedua orang pendeta itu saling pandang dan nampaknya mulai kehabisan akal, karena bagaimana pun juga, ucapan pemuda itu memang benar. Selain pemuda itu tidak punya urusan baik dengan Kun-lun-pai mau pun Siauw-lim-pai, juga pemuda ini sama sekali tak melakukan kejahatan di dalam membasmi mereka yang tergolong jahat. Oleh karena itu, mereka kini menoleh kepada tiga orang gagah dari Shan-tung itu dan menggantungkan harapan kepada mereka untuk menyudutkan pemuda yang ganas ini. Seorang di antara tiga pendekar tua dari Shan-tung itu lalu berkata, suaranya garang.

“Pendekar Sadis, kedua orang pendeta yang budiman ini datang untuk menyadarkanmu dari kesesatan, akan tetapi engkau malah menjawab dengan kata-kata sombong. Akan tetapi ketahuilah, bahwa kami tidak mungkin dapat mendiamkan saja engkau membunuh Toan-ong-ya. Apa bila kami diamkan, berarti kami membiarkan orang berbuat sewenang-wenang dan jahat.”

Thian Sin tersenyum lebar. “Hemm, apakah sekarang orang-orang gagah di dunia ini telah berbalik hati dan hendak membela orang jahat? Kalau benar ngo-wi yang saya hormati sudah berbalik hati, membela orang jahat, biarlah saya akan menghadapi ngo-wi karena dengan demikian berarti pula bahwa ngo-wi adalah orang-orang jahat juga!”

“Omitohud…!”

“Siancai…!”

“Pendekar Sadis, berani kau berkata demikian? Siapakah yang sudah mengatakan bahwa Toan-ong-ya adalah orang jahat? Agaknya wanita itu yang memberi tahukanmu, bukan?” Salah seorang di antara tiga pendekar tua Shan-tung itu membentak.

“Kalau pangeran itu tidak jahat, mengapa sampai mati di tangan Pendekar Sadis?” Thian Sin balas bertanya.

“Coba katakan, kejahatan apakah yang sudah dilakukan oleh Toan-ong-ya, maka engkau turun tangan membunuhnya secara keji!”

“Saya tahu apa yang saya lakukan, dan saya merasa tak perlu berdebat lagi. Akan tetapi, kalau ngo-wi hendak membela orang jahat yang telah saya bunuh, silakan maju, saya tak akan undur selangkah pun!”

“Keparat…!” Dan serentak tiga orang gagah dari Shan-tung itu meloncat ke depan, wajah mereka menjadi merah karena marah. Pemuda itu mereka anggap sombong bukan main. Terdengar suara berdesing kemudian nampak sinar berkilat ketika mereka bertiga sudah mencabut pedang masing-masing, dan gerakan mereka sungguh cepat dan indah.

“Orang muda sombong, keluarkanlah senjatamu!”

Thian Sin tersenyum. Biar pun dia tahu bahwa ilmu pedang mereka bertiga itu lihai sekali, akan tetapi dia tidak merasa takut. “Sam-wi hendak membela orang jahat? Majulah, saya belum merasa perlu untuk memakai senjata untuk menghadapi sam-wi.”

Betapa sombongnya jawaban ini. Tiga orang gagah dari Shan-tung itu menjadi semakin marah dan mereka sudah hendak menerjang maju. Akan tetapi tiba-tiba saja tokoh Siauw-lim-pai itu memalangkan tongkatnya dan berkata,

“Omitohud… harap sam-wi tenang dahulu. Tidak baik jika turun tangan sebelum diperoleh penjelasan.” Karena menghormati tokoh Siauw-lim-pai ini, Shan-tung Sam-lo-eng mundur dengan muka merah padam.

Hwa Siong Hwesio lalu melangkah maju dan menghadapi Thian Sin. “Orang muda, harap engkau suka menghadapi urusan dengan kepala dingin. Sungguh kami bukan orang-orang yang usil atau membela orang jahat, akan tetapi agaknya ada kesalah fahaman di antara kita tentang diri mendiang Toan-ong-ya. Oleh karena itu, pinceng harap agar engkau suka memandang muka orang-orang tua ini untuk menjelaskan, kejahatan apakah yang pernah dilakukan oleh Toan-ong-ya hingga engkau mengambil keputusan untuk membunuhnya?”

Menghadapi sikap yang begini halus, Thian Sin merasa kewalahan juga. Kalau dia terus berkeras, berarti dia yang tidak tahu aturan. Maka dia pun menjawab tenang. “Locianpwe, kalau saya tidak melihat dia jahat, mengapa harus saya bunuh dia? Toan-ong-ya itu telah memperkosa wanita, membunuh ayah beserta suami wanita itu. Coba ngo-wi bayangkan, apakah kejahatan itu tidak melewati batas dan sudah sewajarnya kalau saya membunuh dia?”

“Hemmm, engkau tentu mendengar semua itu dari wanita ini, bukan?” seorang di antara tiga orang Shan-tung itu berkata.

Thian Sin mengangguk. “Betul, dan dia di sini karena harus kulindungi dari ancaman para kaki tangan Toan-ong-ya yang tentu akan membunuhnya.” Dia sengaja mempergunakan kata-kata kaki tangan Toan-ong-ya untuk menyindir kepada mereka.

“Omitohud… Sicu, engkau orang muda, walau pun telah mempunyai ilmu silat yang tinggi, tapi masih kurang pengalaman. Tahukah engkau mengapa Toan-ong-ya membunuh dua orang laki-laki yang menjadi ayah dan suami wanita ini?”

Mendengar pertanyaan ini, Thian Sin terperanjat. Baru dia sadar bahwa memang dia tidak mengenal dengan baik siapa sebetulnya diri Kim Lan sebelumnya, dan dia hanya percaya saja kepada cerita wanita ini!

“Mereka adalah pemburu-pemburu binatang liar yang menjadi langganan Toan-ong-ya dan ketika wanita ini mengantar kulit harimau, dia telah ditahan dan diperkosa oleh pangeran itu. Ketika suami dan ayahnya datang untuk menyelidik, mereka dibunuh oleh pangeran itu…”

“Siancai…!” Tosu itu berseru dengan suara panjang. “Pemutar balikan fakta yang sungguh memalukan. Pendekar Sadis, ketahuilah bahwa wanita ini adalah bekas seorang maling tunggal yang terkenal di kota raja. Dahulu dia pernah berusaha hendak mencuri di istana Toan-ong-ya, lantas tertangkap, akan tetapi dia diampuni oleh Toan-ong-ya bahkan diberi pekerjaan menjaga keamanan asalkan ia berjanji akan merubah jalan hidupnya. Baru satu bulan dipekerjakan di istana Toan-ong-ya, ia bersekutu dengan dua orang perampok yang memang adalah suaminya dan ayahnya, dan ketika mereka datang malam itu, mereka ini masih tetap diampuni oleh Toan-ong-ya karena selama itu dia sudah diambil sebagai selir oleh Toan-ong-ya, sebuah kesalahan kecil dari mendiang Toan-ong-ya yang mudah dirayu oleh wanita. Akan tetapi, bukan berterima kasih, ia malah hendak meracuni Toan-ong-ya. Bayangkan betapa jahatnya. Akan tetapi Toan-ong-ya tidak menuntut atau membunuhnya, melainkan hanya mengusirnya saja.”

“Omitohud, dan sekarang jelaslah. Agaknya, mendengar akan namamu, Pendekar Sadis, dia sudah berhasil membujukmu dan memutar balikkan fakta sehingga engkau tertipu dan mau membunuh orang yang demikian berbudi seperti Toan-ong-ya…”

Thian Sin sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. “Kim Lan…!” Dia memanggil dan menengok, akan tetapi wanita yang tadi berdiri di belakangnya itu tiba-tiba melarikan diri.

“Berhenti kau…!” Tosu Kun-lun-pai itu menggerakkan tangan memukul dari jarak jauh.

“Plakk!” Thian Sin menangkisnya sehingga tosu itu terhuyung ke belakang.

“Harap locianpwe jangan mencampuri urusan saya!” Thian Sin berkata dan sekali loncat, tubuhnya telah melesat ke depan seperti seekor burung saja, kemudian sekali tangannya meraih, rambut Kim Lan telah dijambaknya lantas ditariknya dengan kuat sehingga tubuh wanita itu jatuh tergungkur.

Kim Lan segera meloncat bangun, mencabut sebuah pisau belati lalu menusukkan pisau itu ke perutnya sendiri. Akan tetapi sekali renggut saja, pisau itu telah pindah ke tangan Thian Sin dan sebuah tendangan membuat wanita itu terjungkal.

Tiga orang kakek itu telah maju mendekat dan hanya menonton. Thian Sin seperti tidak menganggap ada orang lain di tempat itu.

“Kim Lan, hayo katakan, benarkah semua itu? Benarkah bahwa engkau datang pura-pura menggantung diri untuk membujuk dan membohongi aku? Benarkah mereka itu perampok dan engkau pencuri, dan bahwa Toan-ong-ya adalah seorang yang budiman? Hayo jawab sebenarnya!”

Tiba-tiba saja wanita yang menangis itu menjadi nekat. Dipandangnya Thian Sin melalui air matanya, lantas dia berkata, “Benar, memang benar! Akan tetapi ayahku dan suamiku dibunuh, aku harus membalas dendam, dan engkau taihiap… engkau… aku tergila-gila kepadamu… ahhh!”

“Perempuan iblis, jadi engkau telah menipuku, mataku masih melek tetapi seperti hendak kau bikin buta, dan mulutmu pandai sekali membujuk, merayu, berbohong! Rasakan ini!” Beberapa kali pisau berkelebat.

Lima orang kakek itu hendak mencegah, akan tetapi langsung menahan tangan mereka karena maklum bahwa selain tidak keburu, juga pemuda itu agaknya tidak mau dicampuri orang lain. Terdengar wanita itu menjerit-jerit mengerikan dan darah muncrat-muncrat dari mukanya. Kedua matanya sudah dicokel keluar oleh pisau di tangan Thian Sin, dan ada dua guratan pisau membentuk palang merobek mulutnya dari pipi di kanan kiri sampai ke dagu.

Tentu saja Kim Lan berkelojotan di atas tanah. Oleh karena bibirnya dan pipinya sudah robek-robek, suara yang terdengar dari mulutnya menjadi aneh, seperti suara binatang!

“Inilah biang-keladi dari semua peristiwa itu, ngo-wi locianpwe. Selamat berpisah!” Thian Sin melompat dengan cepat tanpa memberi kesempatan lima orang itu menjawab.

Lima orang kakek itu masih terlampau kaget dan ngeri menyaksikan hukuman kejam yang dijatuhkan oleh Pendekar Sadis terhadap Kim Lan sehingga mereka tercengang dan tidak sempat menghalangi perginya pemuda itu. Dan pula, apa perlunya menghalangi pendekar itu.

Mereka datang di samping untuk menuntut pembunuhan atas diri Toan-ong-ya, juga untuk memberi nasehat kepada pendekar yang hatinya kejam bagaikan iblis itu. Dan ternyata, dalam urusan pangeran itu, Pendekar Sadis bukan sengaja membunuh orang baik-baik, melainkan tertipu oleh wanita ini yang telah dihukumnya pula, ada pun tentang nasehat, agaknya pemuda itu tidak dapat dinasehati. Buktinya, baru saja mereka menegur namun si pendekar itu kembali telah melakukan kekejaman dalam menghukum orang jahat, yaitu terhadap wanita itu, dan di depan mata mereka sendiri malah!

********************

Thian Sin cepat-cepat meninggalkan daerah itu. Dia agak merasa gelisah juga sesudah pertemuannya dengan lima orang kakek itu. Kenapa dia begitu ceroboh sehingga mudah saja tertipu oleh seorang wanita seperti Kim Lan? Kini dia dihadapkan dalam keadaan yang tidak enak sekali dengan para tokoh pendekar di dunia.

Akan tetapi dia tidak peduli. Hatinya merasa sangat puas setelah dia berhasil membunuh semua musuh-musuh orang tuanya. Sekarang tinggal musuh-musuh keluarga Lian Hong! Dan musuh-musuh keluarga Ciu Khai Sun itu pun hanya tinggal See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kui. Musuh-musuh yang amat berat.

Akan tetapi dia harus dapat mengalahkan mereka, membunuh mereka. Meski pun bukan tokoh-tokoh besar itu sendiri yang bergerak, namun jelas bahwa orang-orang mereka ikut menyerbu dan menyebabkan terbasminya keluarga Ciu itu. Dan di samping keinginannya hendak membalaskan kematian keluarga Ciu itu, masih ada satu keinginan lainnya yang pada akhir-akhir ini menyelinap di dalam hati sanubarinya.

Dahulu mendiang ayahnya telah gagal menjadi jagoan nomor satu di dunia! Kini, sebagai keturunannya, putera tunggalnya, dia harus mampu menebus kegagalan ayahnya itu. Dia harus bisa mengalahkan semua jagoan di dunia, terutama sekali datuk-datuk kaum sesat.

Memang dia sudah pernah mengalahkan See-thian-ong dan Pak-san-kwi, akan tetapi dua kemenangannya itu belum mutlak. Kemenangannya baru akan diakui oleh dunia apa bila dia sudah berhasil membunuh mereka, yaitu ketiga datuk itu, See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kwi!

Dan dia akan mencari, lantas akan membunuh mereka selain untuk membalas sakit hati Ciu Lian Hong, juga untuk membikin puas hati mendiang ayahnya bahwa puteranya telah berhasil mengalahkan semua datuk dari dunia sesat! Setelah membunuh mereka bertiga, barulah dia akan menghadapi Tung-hai-sian, datuk di timur itu.

Meski pun dengan datuk ini dia tidak mempunyai urusan sesuatu, akan tetapi untuk dapat mengangkat nama ayahnya maka dia harus dapat mengalahkan semua datuk, termasuk pula Tung-hai-sian. Dan puterinya itu, siapa namanya? Ah, ya, Bin Biauw, sungguh cantik jelita, kecantikan yang khas wanita keturunan Korea!

Dia pernah mengalahkan See-thian-ong dan Pak-san-kwi, juga dia sudah pernah bertemu dengan Tung-hai-sian. Hanya Lam-sin saja, datuk kaum sesat dari selatan itu yang belum pernah dijumpainya, walau pun dia pernah bertemu dengan anak buahnya, yaitu anggota-anggota Bu-tek Kai-pang yang rata-rata sangat lihai itu. Juga berita mengenai Lam-sin ini sangat menarik hatinya, karena tokoh datuk kaum sesat yang satu ini keadaannya diliputi penuh rahasia dan kabarnya lihai bukan main, lebih lihai dari pada tiga datuk lainnya.

Pula, untuk sementara waktu, memang ada baiknya untuk meninggalkan kota raja sejauh mungkin, apa lagi sesudah para pendekar merasa tidak senang kepadanya. Dan tempat tinggal datuk selatan itu terletak paling jauh dari kota raja. Dia mendengar bahwa Bu-tek Kai-pang berpusat di Heng-yang, di Propinsi Hu-nan, maka ke sanalah dia pergi.

Ada pun tentang Lam-sin sendiri, tidak ada orang yang tahu berada di mana atau di mana tempat tinggalnya. Akan tetapi dia merasa yakin bahwa di sarang Bu-tek Kai-pang, tentu dia akan dapat menemukan ketuanya, yaitu Lam-sin, atau setidaknya, dari para pengemis itu tentu dia akan dapat menemukan alamat Lam-sin.

Sama sekali Thian Sin tidak pernah menduga bahwa dia menuju ke sebuah kota di mana dara yang dicintanya itu, Ciu Lian Hong, pernah tinggal, bahkan tinggal bersama dengan Lam-sin, juga bahwa kakak angkatnya, Cia Han Tiong, bersama ayah dan ibu angkatnya, yaitu Pendekar Lembah Naga, pernah datang ke kota itu dan bertemu dengan Lam-sin!

Bu-tek Kai-pang memang merupakan perkumpulan pengemis yang sangat berpengaruh di Propinsi Hu-nan bahkan di seluruh daerah selatan. Bukan hanya karena para pengemis yang bajunya tambal-tambalan dan bersih itu rata-rata mempunyai kepandaian tinggi yang membuat para pengemis ini ditakuti orang, tetapi terutama sekali karena perkumpulan ini adalah anak buah dari Lam-sin, datuk selatan yang dianggap sebagai datuk semua kaum sesat di daerah selatan. Yang disebut sebagai daerah selatan adalah daratan yang berada di sebelah selatan Sungai Yang-ce-kiang.

Lam-sin sendiri adalah seorang tokoh yang penuh rahasia. Jarang ada orang yang tahu bahwa datuk kaum sesat selatan yang hanya terkenal dengan sebutan Lam-sin (Malaikat Selatan) itu adalah seorang nenek. Bahkan semua orang di kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan itu sendiri, kalau bertemu dengan nenek ini, tidak tahu bahwa dia adalah Lam-sin yang tersohor itu.

Lam-sin tak pernah keluar turun tangan sendiri dalam menghadapi segala macam urusan. Cukup dengan perkumpulan Bu-tek Kai-pang saja yang membereskan semua persoalan. Memang dalam urusan yang besar, yang tidak mampu dibereskan oleh Bu-tek Kai-pang, seperti ketika ada lima jagoan dari Jepang yang membuat kacau di pantai lautan timur selatan dan yang amat lihai sehingga para pimpinan Bu-tek Kai-pang tak ada yang dapat menundukkannya, Lam-sin sendiri yang turun tangan.

Namun, dia turun tangan pada waktu malam sehingga lima orang jagoan dari Jepang itu tidak tahu, orang macam apakah yang menghajar mereka sehingga mereka lari tunggang langgang lalu naik ke dalam perahunya dan tidak pernah berani kembali lagi. Pendeknya, tokoh Lam-sin ini penuh dengan rahasia dan di mana pun dia berada, tidak pernah dia memperkenalkan dirinya kepada orang lain.

Bu-tek Kai-pang adalah nama perkumpulan yang menunjukkan ketinggian hati ketuanya. Bu-tek Kai-pang berarti Perkumpulan Pengemis Tanpa Tanding! Untuk urusan sehari-hari, perkumpulan ini dipimpin oleh ketua-ketua yang disebut pangcu-pangcu karena Lam-sin sendiri tidak mau disebut ketua pengemis!

Ketiga orang pangcu dari Bu-tek Kai-pang adalah orang-orang yang menerima pelajaran ilmu silat secara langsung dari Lam-sin, dan mereka itu pun hanya dikenal julukan mereka saja yang sesuai dengan warna pakaian mereka. Ketua pertama adalah Ang-i Kai-ong (Raja Pengemis Berbaju Merah), ketua ke dua adalah Jeng-i Kai-ong karena pakaiannya yang berwarna hijau dan yang ke tiga adalah Pek-i Kai-ong yang selalu berbaju putih. Ketiga orang inilah yang secara langsung menangani semua urusan kai-pang itu. Mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi dan amat tunduk serta setia kepada Lam-sin yang merupakan guru mereka.

Tentu saja Bu-tek Kai-pang dianggap sebagai perkumpulan kaum sesat, ada pun Lam-sin sendiri juga dianggap sebagai datuk sesat karena seluruh sepak terjang perkumpulan itu sendiri memang jelas menunjukkan bahwa mereka adalah golongan hitam. Perkumpulan ini seolah pemerintah gelap yang menuntut pajak dari tempat-tempat perjudian, pelacuran dan semua penjahat dari golongan apa pun di selatan selalu membayar semacam ‘pajak’ atas penghasilan mereka kepada Bu-tek Kai-pang. Apa bila hal ini tidak dipenuhi, jangan harap mereka itu akan dapat melanjutkan ‘pekerjaan’ mereka.

Oleh karena itu, tentu saja penghasilan Bu-tek Kai-pang yang masuk sangat banyak dan perkumpulan itu memperoleh dana yang lebih dari cukup. Bahkan Lam-sin yang memang tadinya sudah mempunyai harta yang besar itu kini hidup serba kecukupan dalam sebuah istana yang indah dan penuh dengan barang berharga.

Ketika pada pagi itu Thian Sin memasuki kota Heng-yang, tanpa bertanya-tanya saja dia telah dapat melihat ada beberapa orang anggota pengemis Bu-tek Kai-pang berkeliaran di dalam kota. Pakaian mereka yang tambal-tambalan akan tetapi bersih dan baru itu jelas menunjukkan siapa adanya mereka.

Dan mereka itu tidak ada yang mengemis! Mereka berjalan-jalan seperti penjaga-penjaga keamanan saja, dengan sikap yang angkuh dan pendiam, tidak mempedulikan keadaan kanan kiri agaknya. Dan setiap orang pengemis Bu-tek Kai-pang selalu memiliki sebatang tongkat akar bahar yang berwarna hitam dan bentuknya berlekak-lekuk seperti ular. Ada yang memegangnya dengan tangan, ada pula yang menaruhnya di punggung.

Thian Sin memasuki sebuah rumah makan dan sengaja memilih meja yang berdekatan dengan pintu. Dengan penuh perhatian dia memandang pengemis yang mendekati rumah makan itu.

Pengemis itu masih muda, belum empat puluh tahun usianya. Pakaiannya yang tambal-tambalan dan masih baru, nampak jelas sekali bahwa itu bukan baju robek yang ditambal-tambal, melainkan sengaja dibuat baju baru dari kain baru yang disambung-sambung.

Pengemis ini pun memiliki sebatang tongkat akar bahar yang tergantung di punggungnya. Dari gerakan kedua kaki itu ketika si pengemis menghampiri rumah makan, mudah dilihat bahwa dia memiliki kepandaian silat yang cukup kuat. Gerakan kakinya tegap dan teguh, dengan punggung tegak lurus dan sikap waspada.

Thian Sin memang sengaja mau mencari gara-gara. Dia tadi telah makan panggang ayam dan melihat pengemis itu lewat di dekat mejanya, dia lalu mengambil tulang-tulang ayam di dalam mangkoknya, lantas memberikan itu kepada si pengemis sambil berkata dengan suara lantang.

“Hei, jembel! Nih kuberi tulang ayam sebagai hadiahku kepada rajamu. Berikan ini kepada rajamu, ya?”

Semua orang menoleh dan banyak mata terbelalak, muka orang-orang itu menjadi pucat ketika melihat siapa yang dihina oleh pemuda itu. Ada orang berani menghina seperti itu kepada seorang pengemis Bu-tek Kai-pang, sungguh itu berarti mengantar nyawa untuk mati konyol! Semua orang memandang dan menduga bahwa pada lain saat mereka akan melihat pemuda itu menggeletak tanpa nyawa di tempat itu.

Akan tetapi, pengemis muda yang sudah berhenti melangkah dan berdiri di depan Thian Sin, sejenak memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Jelas bahwa dia marah sekali. Agaknya memang dia tidak mau membikin ribut di dalam restoran. Dia menerima tulang-tulang ayam itu, kemudian sekali banting, tulang-tulang ayam itu menancap di atas papan meja di depan Thian Sin! Itulah demontrasi kekuatan sinkang yang lumayan!

Akan tetapi Thian Sin tertawa melihat kemarahan ini. “Ha-ha-ha-ha, rajamu tidak doyan tulang? Aneh sekali! Bukankah biasanya pengemis berebut tulang dengan anjing-anjing? Kalau rajamu menghendaki daging, suruh dia datang ke sini!”

Semua orang yang mendengar ini merasa ngeri. Sudah gilakah pemuda itu, pikir mereka. Tak ada seorang pun di kota itu yang akan berani bersikap menghina seperti ini, apa lagi ditujukan kepada raja pengemis. Sungguh mencari mati seratus kali!

Akan tetapi pengemis itu mampu menahan kemarahannya. Dia sungguh mengerti bahwa pemuda ini tentu bukan penduduk Heng-yang dan dapat menduga pula bahwa pemuda ini memang sengaja mencari gara-gara. Karena itu, setelah memandang dengan sinar mata penuh ancaman, dia melangkah keluar dari rumah makan itu, tidak jadi masuk. Biasanya, seorang anggota Bu-tek Kai-pang yang memasuki rumah makan akan dilayani laksana tamu-tamu biasa, walau pun mereka itu tidak perlu membayar.

Dan fihak pemilik rumah makan juga tidak merasa menyesal karena para anggota Bu-tek Kai-pang itu selalu tertib, tidak menunjukkan sikap sewenang-wenang dan hanya masuk dan makan kalau memang mereka lapar dan membutuhkan makanan. Pendeknya, sikap mereka itu rata-rata berwibawa dan tidak rendah seperti penjahat-penjahat kecil.

Melihat pengemis itu pergi keluar, Thian Sin hanya tersenyum lantas melanjutkan makan minum seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Dia tak peduli akan pandang mata para tamu lain yang ditujukan kepadanya, bahkan di antara mereka ada yang memberi tanda-tanda dengan kedipan mata supaya dia itu cepat-cepat pergi saja. Sebaliknya, Thian Sin malah minta ditambah araknya dan pelayan yang melayaninya juga memandang dengan wajah pucat, lalu berbisik ketika membawa arak yang dipesannya.

“Kongcu sebaiknya cepat meninggalkan tempat ini…!”

“Jangan campuri urusanku!” bentak Thian Sin dan pelayan itu pergi ketakutan.

Semua orang merasa tegang dan ngeri, apa lagi ketika mereka melihat bahwa pengemis yang tadi kini telah nampak di luar rumah makan, bersama dengan pengemis kedua yang bermuka hitam, bertubuh tinggi besar dan nampaknya kuat sekali. Mereka berdua itu kini telah memegang tongkat mereka, tanda bahwa mereka sudah bersiap hendak menghajar pemuda kurang ajar yang masih enak-enak minum arak di dalam rumah makan itu.

Thian Sin juga melihat dua orang pengemis itu maka dia pun tersenyum, hatinya gembira bahwa pancingannya mulai berhasil. Tidak mudahlah baginya untuk bisa mencari Lam-sin tanpa memancing keributan dengan Bu-tek Kai-pang. Setelah selesai makan minum yang dilakukan dengan sabar dan tidak tergesa-gesa, membuat dua orang pengemis itu makin marah, dia lalu membayar kepada pelayan yang kelihatan lega karena melihat pemuda itu akhirnya mau meninggalkan rumah makan itu. Akan tetapi dia terbelalak melihat pemuda itu mengumpulkan tulang-tulang ayam dan membawanya keluar dari restoran.
Selanjutnya,