Pendekar Sadis Jilid 29 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sadis Jilid 29
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Thian Sin melangkah keluar sambil tersenyum-senyum tenang melihat lagak kedua orang pengemis yang menghadangnya di luar itu. Dia bersikap seolah-olah tidak melihat bahwa dua orang pengemis itu marah bukan main, dan tidak melihat bahwa tangan mereka yang memegang tongkat akar bahar itu tergetar karena marah dan ingin memukul. Bahkan dia tersenyum.

“Aihhh, kiranya engkau masih berada di sini dan membawa teman? Apakah kalian diutus oleh raja kalian untuk menerima hadiah tulang ayam dariku?”

“Keparat bermulut busuk!”

“Bocah sudah bosan hidup!”

Dua orang pengemis itu sudah bergerak cepat, yang seorang menusukkan tongkatnya ke arah dada Thian Sin, yang ke dua menghantamkan tongkat itu ke arah lehernya. Namun Thian Sin dengan dua kali langkah ke kiri dan belakang saja sudah dapat menghindarkan diri dan dia berkata sambil tertawa,

“Nah, ini hadiahku, sampaikan kepada Lam-sin!”

Tangannya lantas bergerak, ada sinar menyambar dan dua orang pengemis itu berteriak kesakitan, tongkat-tongkat mereka terlepas dan mereka mundur dengan mata terbelalak. Kedua tangan mereka lumpuh dan tulang-tulang ayam itu sudah menancap pada lengan mereka, mengenai urat-urat besar sehingga membuat lengan mereka menjadi lumpuh dan terasa nyeri bukan main.

Maklum bahwa pemuda itu adalah seorang ahli dan bukan lawan mereka, kedua orang pengemis itu segera membalikkan tubuh dan pergi dari situ dengan langkah lebar. Kedua lengan masih bergantung lumpuh.

“Hei, jangan lupakan tongkat jimat kalian!” Thian Sin berseru.

Thian Sin menyambar dua tongkat itu, kemudian melemparkannya dengan sembarangan ke depan. Tongkat-tongkat itu melayang dan dengan tepat sekali tiba di punggung kedua orang pengemis itu, mengait dan bergantung seperti kalau mereka yang menggantungnya sendiri!

Semua orang yang berada di rumah makan itu dan tadi sudah melongok keluar pintu dan jendela, karena mereka merasa yakin bahwa pemuda itu tentulah akan dibunuh oleh dua orang Bu-tek Kai-pang, kini terbelalak dan melongo penuh keheranan. Hampir mereka itu tidak dapat mempercayai pandang mata mereka sendiri menyaksikan dua keanehan yang selama bertahun-tahun tak pernah terjadi itu.

Pertama, adanya seorang pemuda yang berani mati melawan dua orang Bu-tek Kai-pang, bahkan berani menyebut-nyebut serta menantang Lam-sin. Dan ke dua, adanya seorang pemuda yang sanggup mengalahkan dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang hanya dalam satu gebrakan saja, tidak mempergunakan senjata melainkan menggunakan tulang-tulang ayam!

Dan kini mereka melihat pemuda itu dengan lenggang kangkung meninggalkan tempat itu seenaknya, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu yang luar biasa. Karena itu mulailah orang-orang bertanya-tanya. Siapakah gerangan pemuda yang luar biasa itu? Luar biasa beraninya dan juga luar biasa lihainya?

Pertanyaan ini juga bergema di seantero Bu-tek Kai-pang. Tiga orang Kai-pangcu yang mendengar laporan dari dua orang anak buahnya, melihat betapa tulang-tulang ayam itu menusuk lengan-lengan murid atau anak buah mereka bagaikan senjata-senjata rahasia yang ampuh, langsung menggebrak meja.

“Siapakah pemuda keparat itu?”

“Kami… kami tidak tahu namanya.”

“Bodoh! Kenapa tidak kalian tanya dan di mana dia sekarang?”

Seorang pengemis yang baru datang berkata, “Harap pangcu ketahui bahwa pemuda itu kini mondok di rumah penginapan Lok-nam.”

“Bagus,” kata Ang-i Kai-ong, ketua pertama. “Lima Ular Hitam, malam nanti kutugaskan untuk menangkapnya dan menyeretnya ke sini!”

Lima orang pengemis serentak memberi hormat dan menyatakan kesanggupan mereka. Kelimanya berusia empat puluhan tahun dan semuanya bertubuh tinggi kurus. Mereka ini terkenal dengan julukan Hek-coa Ngo-kai (Lima Pengemis Ular Hitam).

Hek-coa Ngo-kai ini tadinya adalah lima orang perantau yang menjual obat-obatan serta racun-racun ular dan memainkan pertunjukan dengan ular-ular hitam. Oleh karena itulah, sesudah mereka ditundukkan oleh Bu-tek Kai-pang dan menakluk, mereka lantas diterima sebagai anggota-anggota kai-pang kemudian menjadi lima di antara pembantu-pembantu para ketua kai-pang itu, dengan julukan Lima Pengemis Ular Hitam. Mereka adalah para ahli racun yang lihai, di samping ilmu silat mereka yang tinggi, apa lagi sesudah mereka menerima Ilmu Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis).

Malam itu suasana di penginapan Lok-nam sunyi sekali. Hal ini bukan sekali-kali karena penginapan itu sepi tamu, sama sekali tidak, melainkan karena pemilik penginapan serta para tamu, penjaga dan pelayan sudah mendengar dari Bu-tek Kai-pang bahwa seorang di antara para tamu mereka, yaitu pemuda tampan berpakaian sasterawan yang bersikap halus itu, adalah musuh Bu-tek Kai-pang yang malam itu hendak ditangkap oleh Bu-tek Kai-pang!

Tentu saja hal ini menimbulkan ketegangan, apa lagi ketika para pelayan membocorkan rahasia itu kepada tamu-tamu lainnya. Para tamu ada yang pindah tempat, dan yang tidak pindah penginapan, sore-sore telah menutup pintu kamar dan tidur atau berdiam di dalam kamar saja dengan hati gelisah, takut kalau-kalau mereka terbawa-bawa.

Tentu saja Thian Sin tahu atau menduga bahwa malam itu tentu akan terjadi sesuatu. Sesudah pancingannya yang berhasil pagi tadi, setelah dia melukai dua orang pengemis itu, luka-luka ringan saja untuk sekedar memancing keluarnya ‘kakap’, yaitu Lam-sin yang dicarinya, dia menanti dengan sabar.

Sejak pagi tidak terjadi sesuatu, akan tetapi dia tahu bahwa tidak mungkinlah kalau Bu-tek Kai-pang diam-diam saja dan merasa takut kepadanya. Demontrasi kepandaian yang tadi diperlihatkannya pada saat dia mengalahkan dua orang pengemis itu tidak berapa hebat, sehingga tidak mungkin membuat jeri tokoh-tokoh Bu-tek Kai-pang yang tentu jauh lebih lihai dari pada tingkat yang telah diperlihatkannya pagi tadi.

Dia menduga kalau hari itu tidak terjadi sesuatu, tentu fihak perigemis itu menanti sampai malam ini. Maka dia pun telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan, akan tetapi pada lahirnya, dia nampak tenang-tenang saja, bahkan para pengurus dan pelayan rumah penginapan itu dapat mendengar dia bernyanyi-nyanyi dan membaca sajak dengan suara merdu di dalam kamarnya!

Menjelang tengah malam, keadaan di rumah penginapan itu sudah betul-betul sunyi sepi. Pemuda yang menjadi pusat perhatian, yang tadi masih membaca sajak dengan suaranya yang merdu, kini pun sudah tidak ada suaranya lagi. Kamarnya sudah sunyi, lilin sudah dipadamkan dan agaknya pemuda ini sudah tidur.

Nampak bayangan-bayangan orang berkelebat dengan cepat. Mereka memasuki rumah penginapan itu dengan mudah karena memang mereka bekerja sama dengan pengurus hotel, lalu mereka itu menyelinap mendekati kamar nomor lima, kamar di mana Thian Sin bermalam.

Tidak lama kemudian, ada asap putih memasuki kamar itu melalui lubang jendela. Asap dari dupa yang sangat harum. Sesudah sampai beberapa lamanya membiarkan kamar itu penuh asap dupa wangi yang mengandung obat bius, lima orang Pengemis Ular Hitam itu lalu mencokel jendela dan membiarkan asap-asap itu keluar lagi melalui jendela-jendela yang terbuka.

Betapa pun juga, mereka masih tetap menggunakan sapu tangan yang sudah diberi obat penawar untuk ditutupkan pada muka mereka dan mereka lalu berloncatan masuk melalui jendela yang telah terbuka. Mereka berlima melihat tubuh berselimut di atas pembaringan, sedikit pun tidak bergerak.

Dengan girang karena ternyata lawan yang dikatakan lihai ini begitu mudah ditundukkan, lima orang itu menubruk ke depan dengan penerangan yang menyorot ke dalam dari luar jendela yang sudah terbuka. Biar pun remang-remang mereka dapat melihat bahwa lawan mereka itu rebah berselimut dalam keadaan tak berdaya.

“Hayaaa…!” Mereka berteriak dengan kaget.

“Kita tertipu…!”

Kiranya yang mereka tubruk bersama itu tak lain hanyalah sebuah guling yang diselimuti dan diletakkan di atas bantal, seperti orang tidur. Dan orangnya sendiri entah berada di mana!

“Cepat keluar, angin buruk!” kata yang menjadi pimpinan.

Angin buruk ini berarti bahwa keadaan tidak bagus bagi mereka sehingga mereka hendak cepat-cepat pulang untuk melaporkan kegagalan mereka itu. Akan tetapi, ketika mereka sedang berloncatan keluar, di ruangan depan telah menanti seorang pemuda yang berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum memandang kepada mereka. Dan pemuda ini bukan lain adalah Thian Sin!

“Ha-ha-ha, pengemis-pengemis tolol bisanya hanya menangkap bantal guling!” Pemuda itu mengejek sambil tersenyum lebar.

Lima orang pengemis yang telah menerima perintah dari ketua mereka untuk menangkap pemuda itu, ‘hidup atau mati’ demikian kata ketua mereka, cepat maju mengurung.

“Orang muda, menyerahlah supaya kami dapat membawamu kepada ketua kami dan tak perlu untuk melukaimu,” kata seorang di antara mereka.

Sebenarnya ucapan ini sama sekali bukan timbul karena rasa sayang kepada pemuda ini melainkan karena mereka sudah gentar dan ingin agar pemuda itu menyerah saja supaya mereka tidak perlu menghadapi bahaya perlawanan pemuda yang cerdik sekali ini.

“Jembel busuk, ucapanmu seolah-olah kalian mampu melukaiku, apa lagi menangkapku! Suruh ketua kalian ke sini, itu si Lam-sin ke mana dia? Kenapa dia tidak berani muncul? Sampaikan tantanganku ini kepadanya!”

“Manusia sombong!” Lima orang pengemis itu marah bukan main karena nama Lam-sin bagi mereka seperti nama dewa junjungan yang tidak boleh dibicarakan begitu saja tanpa dipuja. Mereka segera menerjang dengan tongkat akar bahar mereka, langsung mereka mainkan Ilmu Tongkat Hok-mo-pang yang lihai.

Tingkat kepandaian Lima Ular Hitam ini sebetulnya masih jauh terlampau rendah apa bila dibandingkan dengan tingkat yang dimiliki Thian Sin pada saat itu sehingga kalau saja dia menghendaki, maka hanya dalam satu dua jurus saja Thian Sin dengan mudah akan bisa merobohkan, bahkan menewaskan mereka semuanya.

Akan tetapi pemuda ini masih melanjutkan siasatnya memancing ‘kakap’ sehingga dia tak mau membikin gentar kakap yang hendak dipancingnya itu. Maka dia pun melayani lima orang itu dengan hati-hati agar nampak agak seimbang. Dengan Ilmu San-in Kun-hoat dia mempermainkan mereka seperti seorang dewasa mempermainkan lima orang anak-anak yang nakal saja. Ke mana pun tongkat mereka menyambar, selalu saja mengenai tempat kosong atau dapat ditangkis oleh tangan Thian Sin.

Beberapa kali dia membiarkan tubuhnya terpukul, bahkan sempat pula dia berpura-pura terhuyung. Dengan demikian, lima orang itu akan menganggap bahwa sebetulnya tingkat kepandalannya tidak jauh lebih tinggi dari pada mereka.

Dengan lagak bagai orang kewalahan, akhirnya Thian Sin mencabut pedangnya sehingga nampaklah cahaya perak. Itulah Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak) yang diterimanya sebagai hadiah dari neneknya, yaitu Nenek Cia Giok Keng suami pendekar sakti Yap Kun Liong di Bwee-hoa-san.

Dan kini perkelahian menjadi semakin seru. Dengan pedang di tangan, Thian Sin segera memainkan pedang itu dengan indahnya dan mengatur agar mereka nampak setanding. Setelah membiarkan lawannya mengeroyok selama tiga puluh jurus lebih barulah pedang Gin-hwa-kiam menyambar ganas, lantas robohlah empat orang pengeroyok dengan leher berlubang dan mereka pun tewas seketika, ada pun yang seorang lagi hanya kehilangan lengan kanan sebatas siku yang dibuntungi oleh Thian Sin! Orang ini merintih-rintih sambil menggunakan tangan kiri memegangi sisa lengan yang buntung itu.

“Hemmm, pulanglah dan katakan kepada Lam-sin bahwa aku menanti kedatangannya di dalam kamarku!” Sesudah berkata demikian, tanpa mempedulikan apa-apa lagi, Thian Sin berjalan kembali ke dalam kamarnya dan memasuki kamar, menutup jendela dan pintu, lalu tidur berselimut dan sebentar saja dia pun sudah pulas!

Tentu saja peristiwa ini lalu menimbulkan kegemparan pada kalangan pengemis di Bu-tek Kai-pang. Pemuda yang pagi tadi melukai dua orang pengemis, malam ini bahkan sudah membasmi Lima Ular Hitam, membunuh empat orang di antara mereka dan membuntungi lengan yang seorang lagi! Inilah hebat bukan main!

Lima Ular Hitam adalah pembantu-pembantu utama dari tiga orang ketua, bahkan dalam hal ilmu kepandaian, mereka itu hanya berada di bawah tingkat tiga orang ketua itu! Biar pun menurut laporan orang terakhir yang buntung lengannya itu bahwa ilmu kepandaian pemuda itu hanya setingkat dengan mereka, namun pemuda itu sudah dapat membunuh Lima Ular Hitam, maka hal ini saja sudah amat hebat. Berarti bahwa para ketua itu sendiri harus turun tangan.

Dan mereka semua bertanya-tanya, siapa gerangan pemuda yang berani mati menentang Bu-tek Kai-pang, dan bukan hanya menghina, kini bahkan berani membunuh itu. Mereka pun segera teringat akan nama yang baru-baru ini menghebohkan dunia persilatan, malah sempat menggegerkan kota raja, yaitu Pendekar Sadis!

Benarkah pemuda ini adalah Pendekar Sadis dan apa bila benar demikian, mengapa dia mengacau di Heng-yang dan sengaja memusuhi Bu-tek Kai-pang? Kalau benar pemuda itu Pendekar Sadis, maka fihak Bu-tek Kai-pang harus bersikap hati-hati.

Tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu bersikap hati-hati dan mereka bertiga segera pergi menghadap Lam-sin di dalam gedungnya yang indah itu. Saat tiga orang ketua itu datang menghadap, Lam-sin, nenek itu, sedang duduk menghadapi makan pagi, dan sebelum dia menerimanya, dia telah lebih dahulu mendengar dari pelayan wanita tentang permohonan tiga orang itu untuk menghadap.

“Hemm, pagi-pagi begini sudah berani mengganggu, tentu ada hal penting. Suruh mereka langsung saja datang ke sini dan juga sediakan sarapan untuk mereka,” perintahnya yang cepat ditaati oleh para pelayannya, yaitu wanita-wanita yang cantik-cantik.

Begitu masuk dan bertemu dengan nenek itu, tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang yang juga dapat disebut murid-murid Lam-sin, menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi nenek itu cepat menggerakkan tangannya menyuruh mereka bangkit dengan sikap muak.

“Sudah, kalian jangan banyak memakai peraturan kuno. Lebih baik duduklah dan temani aku sarapan, dan jangan bicara sebelum kita selesai makan.” Ucapannya ini diikuti sikap wajah ramah dari muka yang berkeriputan itu, akan tetapi sepasang mata itu, yang selalu ditakuti serta dikagumi oleh ketiga orang ketua kai-pang ini, kelihatan bersinar-sinar dan mencorong penuh wibawa menyeramkan.

Tiga orang ketua itu tidak berani menolak, biar pun agak canggung namun mereka makan sarapan pagi bersama guru sekaligus ketua mereka yang mereka hormati dan takuti itu. Dan akhirnya, selesai jugalah nenek itu sarapan pagi, pekerjaan yang dilakukan dengan seenaknya seakan-akan tidak ada apa-apa yang menyusahkan di dunia ini, sama sekali tidak peduli akan sikap tiga orang bawahannya yang canggung dan kelihatan gugup itu.

Setelah para pelayan wanita yang cantik-cantik dan muda-muda itu membersihkan meja, barulah Lam-sin menghadapi tiga orang ketua itu, lantas berkata, “Sepagi ini kalian sudah datang menggangguku, tentu ada urusan penting sekali yang kalian merasa tak sanggup menanggulangi sendiri. Nah, apakah itu?”

“Harap locianpwe sudi memaafkan kami,” kata mereka.

Mereka memang hanya berani menyebut locianpwe kepada nenek itu, karena nenek itu tidak menganggap mereka sebagai murid. Dan memang kenyataannya, nenek itu hanya menurunkan beberapa macam ilmu pukulan, terutama Hok-mo-pang kepada mereka itu.

“Sebenarnya kami tidak berani mengganggu locianpwe dan rasanya kami masih sanggup untuk menanggulangi sendiri. Akan tetapi, karena kami menduga bahwa pengacau yang sekali ini menentang Bu-tek Kai-pang adalah orang yang baru-baru ini namanya menonjol di dunia kang-ouw, bahkan sudah menggegerkan kota raja, maka kami memberanikan diri untuk melaporkan kepada locianpwe dan mohon petunjuk dan keputusan. Jika locianpwe menghendaki kami turun tangan sendiri, tentu kami tidak lagi mengganggu locianpwe.”

“Menggegerkan kota raja? Siapakah yang akhir-akhir ini menggegerkan kota raja selain Pendekar Sadis itu?”

“Itulah dia orangnya yang akan kami laporkan kepada locianpwe.”

Nenek itu nampak tertarik. “Ah, benarkah? Benarkah Pendekar Sadis itu yang kini datang ke sini menentang Bu-tek Kai-pang? Lekas ceritakan semuanya!”

Ang-i Kai-ong lalu mewakili para sute-nya dan menceritakan semua peristiwa yang terjadi dengan sejelasnya, dimulai peristiwa di rumah makan di mana ada seorang pemuda yang telah menghina seorang pengemis, kemudian ada dua orang pengemis dilukainya dengan tulang ayam dan disertai penghinaan supaya tulang-tulang ayam itu disampaikan kepada raja pengemis.

“Bahkan dia sudah berani menyebut-nyebut dan menantang nama locianpwe. Inilah yang membuat kami berpikir lebih baik melaporkan kepada locianpwe.”

Nenek itu tidak marah. Nenek itu tidak pernah memperlihatkan kemarahan. Bahkan ada kalanya dia membunuh orang sambil tersenyum saja!

“Menarik sekali!” katanya dan sepasang matanya itu bersinar-sinar, nampak tertarik benar. “Lalu bagaimana? Teruskan dan ceritakan bagaimana kepandaiannya!”

“Menurut laporan para anggota, kepandaiannya tidaklah seberapa hebat. Memang ia telah merobohkan dua orang pengemis tingkat rendahan. Kemudian kami mengutus Lima Ular Hitam untuk menangkapnya di rumah penginapan.”

“Hemmm, apa bila mereka juga gagal, maka menarik sekali,” kata Si Nenek yang sudah mengenal kelihaian serta kelicikan Lima Ular Hitam itu.

“Memang mereka telah gagal, locianpwe. Akan tetapi menurut seorang di antara mereka yang hanya menderita buntung lengannya, tingkat kepandaian pemuda itu seimbang saja dengan mereka berlima, jadi menurut pikiran kami, bukan merupakan bahaya besar.”

Dia lalu menceritakan semua peristiwa di rumah penginapan itu, tentang matinya empat di antara Lima Ular Hitam dan seorang lagi yang dibuntungi lengannya dan kembali di dalam kesempatan itu, Si Pemuda menantang Lam-sin tanpa menyebutkan namanya.

Lam-sin mengangguk-angguk. “Hemm, agaknya lancang juga pemuda itu, dan sombong sekali.”

“Memang dia sombong bukan main, locianpwe. Akan tetapi jika locianpwe menghendaki, kami masih cukup kuat untuk menundukkan dan menyeret dia ke depan kaki locianpwe,” kata Ang-i Kai-ong dengan penasaran sekali.

Akan tetapi nenek itu tersenyum. “Dia sudah berulang kali menantangku, kalau aku diam saja nanti bisa disangka bahwa aku tidak berani kepadanya. Akan tetapi, sebelum kau menyerahkan surat tantanganku kepadanya, selidiki lebih dulu apakah benar dia adalah Pendekar Sadis yang disohorkan itu atau bukan. Kalau bukan, jangan berikan suratku dan bunuh saja dia, aku tidak mau mencampurinya lagi. Tapi kalau benar dia Pendekar Sadis, serahkan surat tantanganku. Aku akan melihat dulu bagaimana kelihaiannya menghadapi kalian. Kalau kuanggap dia patut untuk melawanku, baru aku akan menemuinya.”

Lam-sin memanggil pelayan lantas membuat coretan-coretan di atas kertas merah muda, kemudian memasukkan surat itu ke dalam amplop yang ditulis dengan huruf-huruf halus:

KEPADA PENDEKAR SADIS

Sehari lewat tanpa ada apa-apa. Thian Sin masih menanti di rumah penginapan itu. Dia tidak merasa heran ketika melihat semua orang di dalam rumah penginapan itu bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal malam tadi ada empat orang tewas di ruangan depan, dan seorang lagi buntung lengannya. Dia tahu bahwa semua bekas telah dibersihkan dan para pengurus rumah penginapan itu tidak berani membuka mulut, tentu telah dipesan oleh pihak Bu-tek Kai-pang.

Dia tidak tahu bahwa waktu seharian itu dipergunakan oleh para anggota kai-pang untuk melakukan penyelidikan, mendengar tentang Pendekar Sadis. Setelah mereka mendapat berbagai keterangan tentang pendekar itu, yang dikabarkan masih muda dan berpakaian sasterawan, pandai bersajak dan suka bernyanyi, bersikap lemah lembut, murah senyum, mereka tak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang bermalam di rumah penginapan Lok-nam itu sudah pasti adalah Pendekar Sadis!

Maka pada hari berikutnya, pagi-pagi sekali seorang pelayan mengetuk pintu kamar Thian Sin.

“Masuk saja, pintuku tidak dikunci!” kata pula Thian Sin yang sedang duduk termenung di dalam kamarnya.

Pintu lalu terbuka dan pelayan itu menyerahkan sebuah amplop. “Ada orang menyerahkan surat ini, kongcu, akan tetapi walau pun nomor kamarnya adalah nomor lima, kami tidak tahu apakah benar surat ini untuk kongcu ataukah bukan.”

Thian Sin menerima surat beramplop merah muda itu, membaca tulisannya di luar.

KEPADA PENDEKAR SADIS

Dia tersenyum dan mengangguk. “Benar, surat ini untukku. Terima kasih!”

Itulah tindakan terakhir dari pihak kai-pang untuk meyakinkan bahwa memang pemuda itu adalah Pendekar Sadis, yaitu melalui pelayan itu. Pelayan itu membungkuk, agak terlalu dalam karena dia terkejut dan ketakutan, lalu segera mengundurkan diri keluar dari kamar itu.

Thian Sin tersenyum dan merobek amplop, mengeluarkan kertas merah muda. Dia tetap bersikap hati-hati, tidak ceroboh pada waktu membuka surat karena dia maklum bahwa seorang penjahat yang lihai dapat saja membunuh lawan melalui surat. Akan tetapi, tidak ada jarum rahasia atau pun asap beracun yang menyambar keluar dari amplop, juga tidak tercium sesuatu kecuali sedikit keharuman minyak wangi, karena itu dia membuka kertas tertulis itu dengan senyum geli.

Namanya juga datuk kaum sesat, pikirnya. Menulis surat pun dengan amplop dan kertas berwarna merah muda dan berbau harum pula! Dengan tenang namun tertarik dibacanya tulisan yang goresannya halus dan rapi itu.

Lam-sin menantang kepada Pendekar Sadis untuk mengadu kepandaian melawan murid-muridnya di Lembah Gunung Cemara di sebelah timur kota Heng-yang, kalau Pendekar Sadis memang berani! Lewat tengah hari menjelang sore hari ini.

Tertanda: Lam-sin


Thian Sin tertawa dan merasa girang sekali. Akhirnya sang kakap mulai memperlihatkan dirinya, walau pun masih bersembunyi di balik murid-muridnya.

“Ha-ha-ha, menghadapi engkau sendiri aku tidak takut, apa lagi murid-muridmu, Lam-sin!” katanya sambil tersenyum.

Tidak lama kemudian, sudah terdengar pemuda ini bernyanyi-nyanyi di dalam kamarnya, sikapnya tenang-tenang saja sehingga anak buah kai-pang yang dipasang di sana untuk menyelidiki, segera melaporkan kepada tiga orang ketua kai-pang yang menjadi semakin terheran-heran, akan tetapi juga mendongkol dan penasaran sekali. Pemuda itu sudah menerima tantangan Lam-sin, tentu sudah membacanya, akan tetapi malah bernyanyi-nyanyi. Manusia ataukah setan orang itu?

Siang hari itu Thian Sin memesan makanan yang cukup mewah seperti orang berpesta pora seorang diri. Tadinya timbul pikiran para ketua kai-pang untuk meracuni pemuda ini, akan tetapi mereka takut kepada Lam-sin, sebab salah satu di antara hal-hal yang dibenci oleh datuk itu, selain perkosaan yang merupakan hal terutama, adalah kecurangan dalam menghadapi lawan.

Sekarang Lam-sin sudah mengirim surat sendiri, menantang, maka kalau sampai mereka melakukan penyerangan melalui makanan yang mengandung racun, kalau sampai gagal, tentu Lam-sin akan mendapat malu dan akan menjadi marah sekali kepada mereka. Dan mereka bergidik kalau membayangkan datuk itu marah kepada mereka.

Sehabis makan, sesudah beristirahat beberapa jam lamanya, pada waktu matahari mulai condong ke arah barat, Thian Sin pun keluar dari kamarnya, langsung menghampiri meja pengurus rumah penginapan itu dan bertanya dengan ramah, “Tolong kalian beri tahukan di mana aku dapat menemukan lembah Gunung Cemara di sebelah timur kota ini.”

Para pengurus itu gemetar ketakutan. Alangkah beraninya pemuda ini, pikir mereka. Tentu pemuda ini sudah menduga bahwa para pengurus di rumah penginapan ini juga tunduk kepada kai-pang akan tetapi sikapnya demikian tenang seperti berada di antara sahabat-sahabat sendiri saja.

Tergopoh-gopoh pengurus rumah penginapan yang memang sudah menerima pesan itu memberi tahukan jalan serta arah tempat yang hendak dikunjungi oleh pemuda yang kini secara diam-diam mereka kenal sebagai Pendekar Sadis sehingga pandang mata mereka berbeda penuh kengerian dan ketakutan.

********************

Lembah itu merupakan padang rumput yang rata dan lembut, nampak kehijauan seperti permadani dihamparkan. Tempat itu dikelilingi hutan-hutan kecil, namun di padang rumput itu sendiri tidak ada pohonnya.

Pada waktu Thian Sin sedang berjalan seorang diri menuju ke lembah ini, melalui hutan cemara seperti yang diberi tahukan oleh pengurus rumah penginapan, tempat yang sunyi dan tidak nampak ada seorang pun manusia, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara ketawa dan berkelebatnya orang tak jauh di sampingnya. Yang amat mengejutkan hatinya adalah karena orang itu bergerak sedemikian cepatnya seperti menghilang saja.

Thian Sin seakan tenang-tenang saja dan dia tak akan mengambil peduli kalau saja yang bergerak itu orang biasa, atau dengan ginkang biasa saja. Akan tetapi gerakan orang ini mengejutkan hatinya. Demikian cepatnya bagaikan terbang. Maka dia merasa penasaran dan dia pun lalu mengerahkan ginkang dan melakukan pengejaran.

Bayangan itu masih nampak di depan, akan tetapi bayangan itu cepatnya sungguh luar biasa. Lenyap di balik pohon di depan, tahu-tahu muncul di sebelah kirinya. Dia mengejar, lenyap lagi, kemudian muncul di sebelah kanan.

Thian Sin semakin penasaran, jelas bahwa bayangan itu sedang mempermainkan dirinya, atau setidak-tidaknya, tentu tengah menguji kecepatan gerakannya. Dia lalu meloncat dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengejar, akan tetapi bayangan itu lenyap ketika dia tiba di padang rumput dan di situ ternyata sudah berkumpul tiga orang ketua berikut sedikitnya tiga puluh orang anak buah Bu-tek Kai-pang yang tinggi tingkatnya.

Thian Sin lalu teringat bahwa dulu, menurut penuturan Cia Kong Liang, Bu-tek Kai-pang dipimpin oleh seorang pengemis sakti bernama Lam-thian Kai-ong. Dia tidak tahu bahwa sekarang telah terjadi perubahan besar, Lam-thian Kai-ong telah meninggal dunia dan kini Bu-tek Kai-pang telah berganti pimpinan, yaitu ketiga orang pengemis setengah tua yang berdiri dengan gagahnya di depannya itu.

Maka, melihat tiga orang pengemis yang berdiri dengan kedua kaki tegak agak dipentang dengan sikap gagah, dia kemudian melangkah maju, menghampiri mereka dan sesudah memandang ke kanan kiri, dia lalu berkata, suaranya halus, wajahnya berseri, seolah-olah dia tidak sedang menghadapi calon lawan melainkan berada di antara para sahabat!

“Manakah ketua Bu-tek Kai-pang yang bernama Lam-thian Kai-ong? Dan mana pula datuk Lam-sin yang telah mengirim surat tantangan kepadaku? Aku telah datang, harap mereka berdua suka memperkenalkan diri.”

“Pendekar Sadis, kalau engkau mencari ketua Bu-tek Kai-pang, kamilah ketuanya!”

Thian Sin memandang kepada tiga orang itu dengan penuh perhatian. Yang bicara tadi adalah seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, berjubah merah tambal-tambalan. Di sampingnya berdiri kakek berjubah hijau dan seorang lagi berjubah putih. Usia mereka sebaya dan ketiganya memegang sebuah tongkat yang ujungnya runcing.

“Yang manakah di antara sam-wi yang bernama Lam-thian Kai-ong?”

Ang-i Kai-ong menjawab, “Pendekar Sadis, orang yang kau cari itu, Lam-thian Kai-ong telah meninggal dunia dan kini yang menjadi ketua Bu-tek Kai-pang adalah kami bertiga.”

“Ah, begitukah? Dan di mana adanya locianpwe yang berjuluk Lam-sin? Aku datang untuk memenuhi panggilan dan tantangannya.”

“Bocah sombong!” bentak Jeng-i Kai-ong dengan marah. “Tidak sembarangan orang boleh berhadapan dengan Locianpwe Lam-sin! Engkau sudah mengacau dan menghina Bu-tek Kai-pang, nah, sekarang engkau telah berhadapan dengan kami, ketuanya. Kalau engkau mampu mengalahkan kami, barulah boleh bicara tentang bertemu dengan Lam-sin!”

Thian Sin mengangguk-angguk dan tersenyum. Dia sudah menduga akan hal ini, maka dia pun tertawa bergelak dan berkata lantang, dengan harapan agar suara ketawanya dan kata-katanya dapat terdengar oleh Lam-sin yang dia kira tentu bersembunyi tak jauh dari situ.

“Ha-ha-ha-ha! Kiranya yang bernama Lam-sin hanyalah seorang licik yang bersembunyi dan berlindung di belakang sekumpulan pengemis tukang pukul!”

Dia keliru karena Lam-sin sama sekali tidak mendekati tempat itu kecuali ketika mencoba ginkang-nya tadi, kemudian terus pulang dan hanya mengutus seorang pelayannya untuk menyaksikan jalannya pertempuran sambil bersembunyi.

Kata-kata Thian Sin tadi merupakan penghinaan yang luar biasa. Para pengemis Bu-tek Kai-pang memandang Lam-sin sebagai seorang junjungan yang sangat ditakuti, dikagumi dan dihormati. Sekarang pemuda ini memaki nenek itu, tentu saja mereka menjadi marah sekali.

Akan tetapi, ketiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu sudah mendengar tentang Pendekar Sadis yang telah menggegerkan kota raja, telah mengacau Hwa-i Kai-pang di kota raja dan membunuh dua orang ketua Hwa-i Kai-pang, bahkan telah membunuh Toan-ong-ya. Kemudian terdengar desas-desus pula bahwa pemuda ini telah mengacau Pek-lian-kauw dan membunuh Tok-ciang Sianjin yang amat lihai itu. Maka, mereka bertiga tidak berani ceroboh dan Ang-i Kai-ong lantas berteriak kepada para anak buahnya, yaitu para tokoh Bu-tek Kai-pang yang sudah mempunyai tingkat tinggi, agar segera maju mengepung dan mengeroyok!

Kurang lebih tiga puluh orang tenaga Bu-tek Kai-pang cepat maju mengepung dan mereka bergerak mengelilingi pemuda itu sambil mengeluarkan senjata masing-masing. Sebagian besar di antara mereka memegang tongkat pendek dari baja, akan tetapi ada pula yang membawa tombak, golok atau pedang.

Thian Sin yang memang datang dengan maksud untuk membasmi Bu-tek Kai-pang yang pernah membantu saat keluarga Ciu Khai Sun diserbu, berdiri tegak dengan sikap tenang sekali. Sepasang matanya mengerling ke depan, kanan dan kiri, ada pun telinganya terus mengikuti gerak-gerik para pengurung yang tidak dapat dilihat oleh sepasang matanya, yaitu mereka yang berada di belakangnya. Setiap urat syaraf di tubuhnya menegang dan sudah dalam keadaan siap.

Thian Sin berdiri tegak dan diam bukan karena menanti mereka menyerang lebih dahulu, melainkan terutama sekali membuat perhitungan dan mempelajari kedudukan mereka. Dia melihat bahwa para pengemis itu bergerak dengan teratur, dengan barisan yang terlatih bukan sekedar mengeroyok secara awut-awutan belaka. Oleh karena itu dia pun bersikap waspada.

Dia melihat betapa ketua baju merah berdiri di belakang barisan yang berada di depannya, ketua baju hijau dan ketua baju putih memimpin barisan yang berdiri di belakang barisan yang berada di depannya, ketua baju hijau memimpin barisan di sebelah kanannya dan ketua baju putih memimpin barisan yang berdiri di sebelah kirinya. Ada pun sisa pasukan pengemis itu berada di belakangnya.

Tiba-tiba mereka yang berada di belakangnya itu bersorak dan dia mendengar mereka itu telah menggerakkan senjata dan menyerbu ke arahnya. Menurut pendengarannya, kiranya tidak kurang dari sepuluh orang yang menerjangnya dari belakang. Akan tetapi dia masih sempat memperhatikan ke depan, kanan dan kirinya sebab itu tahulah dia bahwa bahaya datangnya dari tiga orang ketua itu.

Dia melihat betapa mereka, tiga golongan ini sudah siap untuk menyerbu dan menunggu kesempatan. Dia pun bisa menduga bahwa barisan belakang yang agaknya tidak dipimpin langsung oleh para ketua itu hanya dipergunakan untuk menggertak atau mengacau saja, untuk memecah perhatiannya, padahal yang menjadi inti pasukan penyerang adalah dari depan, kanan dan kiri itu.

Sebab itu, Thian Sin seperti tidak mempedulikan serangan dari belakang, melainkan tetap memperhatikan musuh-musuh di depan. Setelah dia merasa ada sambaran senjata yang sudah dekat sekali dengan tubuh belakangnya, barulah dia membalik dan menggerakkan kedua tangan yang mengandung tenaga sakti Thian-te Sin-ciang.

Terdengar teriakan-teriakan, dan nampak senjata-senjata terlempar lalu disusul robohnya lima orang penyerang paling depan yang terjengkang dan tak berkutik lagi karena mereka telah tewas oleh sambaran hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang meretakkan kepala dan memecahkan dada mereka itu! Memang Thian Sin tidak mau berlaku kepalang tanggung, begitu memapaki serangan dia telah mengerahkan tenaga sinkang yang kuat sekali.

Melihat hal ini, sisa penyerang dari belakang itu terbelalak dan muka mereka pucat, hati mereka gentar bukan main. Belum pernah mereka melihat ada lawan yang diserbu, sekali membalikkan tubuh dan mendorong dengan dua tangan, langsung membunuh lima orang teman mereka!

Ketika Ang-i Kai-ong menggerakkan pasukannya menyerbu, Thian Sin telah membalikkan tubuhnya lagi. Dia melihat bahwa Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong sudah menggerakkan barisan masing-masing, maka senjata dari depan, kiri dan kanan datang bagaikan hujan saja.

Thian Sin menyambut semua serangan itu dengan tangkisan, elakan, dan juga tak tinggal diam melainkan membagi-bagi tamparan dan tendangan. Dan hebatnya, setiap serangan balasan dari kaki serta tangannya tentu membuat roboh seorang pengeroyok untuk tidak bangun lagi karena tewas seketika! Terjadi pengeroyokan dan perkelahian yang seru dan mengerikan.

Karena datangnya senjata seperti hujan, dan penyerangan itu amat teratur, maka biar pun Thian Sin dapat melindungi dirinya dengan pengerahan sinkang yang membuat tubuhnya kebal dan tak dapat terluka oleh senjata, namun dia tidak dapat melindungi bajunya yang menjadi robek-robek di sana-sini! Dia pun menjadi marah sekali.

Memang penyerangan itu teratur sekali. Kalau dia menghadapi barisan kiri, maka barisan kanan menyerbu, dan kalau dia membalik ke kanan, maka yang dari depan menyerbu dan demikian sebaliknya. Dia mengamuk terus sehingga kini telah ada kurang lebih dua belas orang roboh dan tewas oleh amukannya.

Dan ketika dia memperoleh kesempatan, melihat Ang-i Kai-ong yang terdekat, dia segera meloncat, membiarkan senjata para pengemis menghantaminya sambil melindungi dirinya dengan kekebalan, kemudian dia langsung menyerang Ang-i Kai-ong!

Kakek ini terkejut lantas menggerakkan tongkatnya, menyambut tubuh Thian Sin dengan tusukan tongkat, dengan ujung tongkat yang runcing itu meluncur ke arah ulu hati Thian Sin. Pemuda ini cepat miringkan tubuhnya sehingga tusukan itu luput. Akan tetapi dengan gerakan kilat, tongkat berujung runcing itu sudah membalik dan dari samping menusuk ke arah lambung. Melihat kecepatan gerakan tongkat ini, maklumlah Thian Sin bahwa ilmu kepandaian si jubah merah ini hebat juga.

“Dukkk!”

Dia menangkis dengan lengannya sambil mengerahkan tenaga. Kini giliran Ang-i Kai-ong terkejut. Tangkisan pemuda itu mengandung tenaga yang sedemikian besarnya sehingga dia terdorong mundur dan terhuyung. Cepat dia memberi isyarat sehingga kedua orang adiknya, yaitu Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong sudah cepat meloncat datang dan tongkat mereka menyambar ganas. Tongkat Jeng-i Kai-ong meluncur ke arah pusarnya, ada pun tongkat Pek-i Kai-ong menghantam ke arah kepalanya.

“Plakk! Plakk!”

Dua tangan Thian Sin berhasil menangkis dua batang tongkat itu dan seperti juga Ang-i Kai-ong, kedua orang ketua pengemis ini terkejut karena tangkisan itu membuat mereka terpelanting dan hampir terbanting roboh. Mereka lalu bergerak cepat dan mengeroyok dengan permainan tongkat mereka yang lihai. Karena mereka telah menerima latihan dari Lam-sin, maka permainan tongkat mereka dengan Ilmu Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis) sungguh hebat dan tingkat kepandaian mereka itu tidak di sebelah bawah mendiang Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, kedua orang ketua Hwa-i Kai-pang di kota raja itu!

Para anggota Bu-tek Kai-pang terlalu kaget dan gentar menyaksikan betapa pemuda yang terkenal dengan julukan Pendekar Sadis itu kini telah membunuh dua belas orang teman mereka! Oleh karena itu, melihat betapa kini tiga orang ketua mereka telah maju bertiga dan mengeroyok Pendekar Sadis, mereka hanya mengurung tempat itu dan membiarkan tiga orang ketua mereka membereskan pemuda yang amat lihai itu dengan senjata siap di tangan. Masih ada dua puluh orang yang mengepung tempat itu.

Sementara itu, Thian Sin mengamuk dengan hebatnya. Meski pun tiga orang itu memiliki Hok-mo-pang yang sangat tangguh dan senjata mereka yang terbuat dari baja tulen itu juga ampuh sekali, apa lagi gerakan mereka bertiga demikian teratur, saling mengisi dan saling melengkapi, tapi ketika berhadapan dengan Thian Sin mereka seolah-olah bertemu dengan gurunya.

Pemuda ini menghadapi tiga tongkat mereka dengan tangan kosong saja dan sama sekali tidak pernah terdesak! Bahkan sebaliknya malah, dengan mainkan Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, pemuda itu membuat mereka repot sekali hingga mereka sering kali terhuyung-huyung dan terpaksa memutar tongkat untuk melindungi diri dan cepat-cepat dibantu oleh temannya.

Thian Sin memang sengaja hendak memamerkan kepandaian dan juga hendak mengenal Ilmu Tongkat Hok-mo-pang, karena dia harus mempersiapkan diri menghadapi Lam-sin yang tentunya lebih lihai lagi dari pada tiga orang ini. Setelah dia mengenal liku-liku Ilmu Tongkat Hok-mo-pang yang harus diakuinya memang hebat itu, dia mengambil keputusan untuk mengakhiri perkelahian itu.

“Plakkk!”

Tongkat Ang-i Kai-ong yang menghantam punggungnya, dia terima dengan punggungnya tanpa mengelak atau menangkis. Tongkat itu tetap melekat. Kedua mata Ang-i Kai-ong langsung terbelalak dan wajahnya pucat sekali. Dia meronta, akan tetapi malah semakin hebat tenaga sinkang mengalir keluar dari kedua tangannya yang memegang tongkat. Hal ini terasa olehnya sehingga membuat dia panik.

“Tolong… tolong…!” teriaknya dan terus berusaha menarik-narik tongkatnya.

Melihat ini, Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong cepat membantu. Si jubah hijau cepat-cepat memasukkan tongkatnya ke arah lambung Thian Sin, dan Pek-i Kai-ong menghantamkan tongkatnya ke punggung pemuda itu untuk membantu kakaknya melepaskan diri.

“Plakk! Bukkk!”

Thian Sin menangkap tongkat yang menusuk lambungnya dan membiarkan tongkat Pek-i Kai-ong menghantam punggungnya pula. Tenaga Thi-khi I-beng yang dia kerahkan kini bekerja sepenuhnya dan tiga batang tongkat itu melekat di tangan dan punggungnya.

Tiga orang pengemis tua itu terkejut sekali, akan tetapi makin hebat mereka mengerahkan tenaga, semakin keras pula tenaga sinkang mereka membanjir keluar tersedot oleh tubuh pemuda itu!

Para pengemis yang melihat tiga orang ketua mereka itu memegangi tongkat sambil terus meronta-ronta seperti hendak menarik kembali tongkat mereka, dengan muka pucat mata terbelalak dan napas terengah-engah, menjadi terheran-heran. Mereka tak tahu apa yang terjadi. Karena mengira bahwa para ketua mereka itu hendak menarik kembali tongkat itu yang agaknya secara aneh terus dipertahankan oleh si pemuda, maka beberapa orang lalu meloncat maju dan membantu ketua mereka, memegang tongkat dan bantu menarik.

Namun mereka ini pun berteriak kaget ketika tenaga mereka pun tersedot. Lebih banyak lagi yang datang ikut membantu dan kini ada belasan orang menarik-narik tongkat-tongkat itu, maka lebih banyak orang lagi yang tenaga sinkang-nya tersedot oleh Thian Sin! Sisa para pengemis memandang bengong.

Pada saat itu pula nampak ada bayangan berkelebat di atas kepalanya. Thian Sin terkejut melihat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali dan ketika bayangan itu melayang lewat, ada dua buah benda kecil hitam menyambar ke arah kedua pundak Thian Sin!

“Tukk! Tukk!”

Dua buah batu hitam sebesar ujung jari tangan menyambar dengan lembut ke arah kedua pundak pemuda itu. Akan tetapi ternyata dua buah batu kecil itu tepat sekali mengenai jalan darah yang membuat Thian Sin seketika merasa tubuhnya tergetar hebat.

Dia terkejut bukan main, maklum bahwa orang itu merupakan lawan yang amat tangguh dan kini keadaannya menjadi terancam. Maka dia cepat menarik kembali tenaga sedotan Thi-khi I-beng lantas menggunakan tenaga yang telah disedotnya itu untuk dihempaskan keluar melalui sepasang tangan dan seluruh badannya, membuat gerakan seperti seekor anjing berkirik mengusir air dari tubuhnya.

Akibatnya, terdengar teriakan-teriakan kemudian belasan orang itu terlempar sampai jauh. Banyak di antara mereka yang tidak begitu kuat, roboh dan tewas, sedangkan tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu hanya merasa dada mereka sesak dan mereka muntah darah. Akan tetapi mereka masih mempunyai sisa-sisa tenaga untuk bangkit dan melarikan diri secepatnya!

Thian Sin berloncatan mengejar bayangan tadi. Akan tetapi dia melihat bayangan itu telah berada jauh sekali di depan, melintasi sebuah lereng bukit. Dia terus saja mengejar, akan tetapi akhirnya bayangan itu lenyap dan ke mana pun dia mencari, hasilnya sia-sia.

Akhirnya dia kembali ke tempat pertempuran tadi dan di situ sudah sunyi, tidak nampak seorang pun pengemis, juga mayat-mayat para anggota pengemis sudah lenyap. Hanya darah-darah yang berceceran di sana saja yang membuktikan bahwa di tempat itu baru saja terjadi perkelahian yang hebat.

Tiba-tiba Thian Sin tertarik oleh bentuk ceceran darah di atas rumput. Ceceran darah itu membentuk huruf-huruf!

LAM-SIN MENANTANG PENDEKAR SADIS DI RUMAHNYA.
Membaca huruf-huruf itu, Thian Sin tertawa. “Ha-ha-ha, Lam-sin, walau pun engkau main curang, jangan mengira aku takut padamu!”

Thian Sin lalu berlari cepat memasuki kota dan segera mencari sarang Bu-tek Kai-pang. Sarang itu sangat megah dan menyeramkan, akan tetapi dengan langkah tenang pemuda itu memasuki pintu gerbang yang terjaga oleh beberapa orang pengemis Bu-tek Kai-pang.

Para penjaga itu berdiri berbaris di kanan kiri pintu gerbang, sama sekali tidak melarang atau bertanya kepada Thian Sin, bahkan rata-rata mereka memperlihatkan sikap tegang dan gentar terhadap pemuda ini. Thian Sin berjalan lenggang kangkung, masuk menuju ke gedung di belakang perumahan Bu-tek Kai-pang itu sambil tersenyum.

Akan tetapi tentu saja dia tidak pernah melepaskan kewaspadaannya karena dia maklum bahwa dia telah memasuki tempat tinggal Lam-sin, datuk dari selatan yang amat terkenal itu. Dia sudah memasuki goa naga dan harimau! Kelengahan di tempat seperti ini berarti ancaman maut.....

Keadaan di tempat itu sunyi saja, hanya terlihat beberapa orang anggota Bu-tek Kai-pang yang berdiri bagaikan patung. Tempat itu seolah-olah diselubungi suasana berkabung dan memanglah, selain gentar, juga para anggota Bu-tek Kai-pang berkabung akibat kematian para anggota yang dua belas orang itu, ditambah lagi enam orang yang tewas pada saat Thian Sin mempergunakan Thi-khi I-beng. Di dalam gedung Bu-tek Kai-pang, tiga orang ketuanya sedang rebah dengan muka pucat, karena mereka telah menderita luka dalam yang cukup parah.

Thian Sin memandang kagum saat dia tiba di depan gedung yang menjadi tempat tinggal Lam-sin. Gedung itu mungil dan nyeni, dengan tanaman-tanaman yang amat terawat rapi dan indah. Halaman depan dihias dengan petak rumput yang hijau segar dan rata, dan di sana-sini tumbuh pohon kembang mawar dan bermacam-macam bunga.

Jalan menuju ke pintu depan dilapisi dengan kerikil yang merupakan kerikil putih kebiruan. Saat menginjak jalan berkerikil itu, terdengar suara berisik sehingga Thian Sin cepat-cepat mengerahkan ginkang-nya. Kini dia berjalan melalui kerikil itu tanpa mengeluarkan suara sedikit pun seolah-olah tubuhnya hanya seringan bulu saja!

Dua orang wanita muda yang menyambutnya di pintu depan, memandang dengan wajah tak berhasil menyembunyikan keheranan dan kekaguman mereka melihat betapa pemuda itu dapat berjalan di atas jalan kerikil tanpa menimbulkan suara. Ini saja sudah merupakan demontrasi ginkang yang amat hebat, dan yang mereka ketahui hanya mampu dilakukan oleh majikan mereka, Lam-sin.

Ketika Thian Sin sudah berdiri di depan pintu, dua orang wanita yang berpakaian rapi dan memiliki wajah yang manis itu segera memberi hormat. Seorang di antara mereka, yang mempunyai tahi lalat kecil di dagu sehingga dia kelihatan manis sekali, berkata dengan suara halus dan merdu,

“Kongcu, silakan masuk. Pangcu sedang menghadapi meja makan dan mempersilakan kongcu untuk masuk saja.”

“Pangcu juga mengundang kongcu untuk makan malam bersamanya,” kata pula wanita ke dua.

Thian Sin tersenyum. Dua orang gadis muda ini sungguh cantik dan berpakaian mewah, sama sekali tidak kelihatan seperti pelayan. Maka dia pun mengangguk. “Pangcu kalian sungguh baik hati.” Maka dia pun mulai melangkah ke dalam gedung itu, diiringi oleh dua orang, satu di depan dan satu lagi di belakangnya.

Ketika memasuki gedung kecil itu, Thian Sin merasa semakin kagum. Lantainya begitu bersih dan licin mengkilat, langit-langitnya agak tinggi dan banyak terpasang lubang angin berukir sehingga ruangan di dalam gedung terasa sejuk sekali. Dan di dinding tergantung lukisan-lukisan indah serta tulisan-tulisan huruf indah yang tentu dibuat oleh ahli-ahli yang pandai dan berharga mahal sekali. Kain-kain sutera dan beludru menghias ruangan, juga perabot-perabot yang mungil. Sebuah rumah gedung kecil mungil yang dalamnya sangat indah seperti istana saja!

Sesudah mereka berdua membawanya masuk ke sebuah ruangan yang cukup luas, dia melihat seorang nenek duduk menghadapi meja makan yang panjang, dilayani oleh tiga orang gadis muda lain yang pakaiannya juga mewah dan wajahnya manis-manis seperti dua orang gadis pertama. Kini lima orang gadis itu berkumpul dan berdiri seperti hiasan ruangan, berjajar di latar belakang, membiarkan nenek itu menghadapi Thian Sin.

Akan tetapi nenek itu masih tetap duduk sambil menyumpit sepotong daging kecil, lantas dimasukkan ke mulutnya dan mengunyah daging itu dengan cara sopan tanpa membuka mulutnya, dan dengan sikap tenang seolah-olah tidak tahu bahwa ada tamu datang.

Thian Sin sendiri hanya berdiri dan memandang dengan sikap tenang pula, memandang penuh perhatian. Diam-diam hati pemuda ini kecewa. Kalau yang berjuluk Lam-sin hanya seorang nenek tua renta yang telah mendekati lubang kubur ini, maka agaknya sia-sialah perjalanannya yang jauh ini.

Dia sudah melihat tiga orang di antara empat datuk empat penjuru. Tung-hai-sian Bin Mo To adalah seorang tokoh yang tampak jelas kebesaran dan keangkerannya sebagai datuk wilayah timur, dan memang kakek itu memiliki kepandaian yang hebat.

Pak-san-kui Siangkoan Tiang juga pantas dinamakan datuk wilayah utara sebab memang memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi, juga mempunyai pengaruh dan wibawa yang kekuatannya tidak dapat dibantah lagi. Demikian pula See-thian-ong amat gagah perkasa dan menyeramkan, pantas menjadi datuk wilayah barat.

Akan tetapi mengapa datuk wilayah selatan hanyalah seorang nenek tua renta seperti ini, yang nampaknya lemah dan sudah pikun. Melawan seorang nenek seperti ini saja sudah merupakan hal yang memalukan.

Akan tetapi, melihat sikap nenek ini yang agaknya sama sekali tidak mempedulikannya, diam-diam Thian Sin merasa penasaran sekali. Dia terbatuk beberapa kali untuk menarik perhatian nenek pikun itu, akan tetapi nenek itu agaknya tidak mendengarnya. Pada saat Thian Sin mengulangi batuknya, nenek itu mengerutkan kedua alisnya, tanpa menengok dia berkata kepada salah seorang di antara lima orang gadis cantik itu.

“A-bwee, suara apakah itu? Tikus? Anjing?”

Thian Sin mendongkol sekali. Dia dianggap tikus atau anjjng! Dan lima orang gadis cantik itu tidak menjawab, melainkan menutupi mulut mereka dengan sapu tangan sutera untuk menyembunyikan senyum dan tawa mereka. Dari hal ini saja sudah membuat Thian Sin mengerti bahwa Si Nenek memang sengaja hendak menghinanya, mempermainkan dan memandang rendah kepadanya. Tentu saja dia menjadi semakin gemas.

“Nenek tua bangka! Apakah engkau yang berjuluk Lam-sin?” akhirnya dia bertanya juga dengan suara nyaring.

Dia melihat betapa wajah kelima orang gadis itu menjadi pucat dan mereka memandang kepada nenek itu dengan sinar mata mengandung kengerian. Dari sikap ini saja Thian Sin maklum bahwa kata-katanya tadi tentu luar biasa sekali, dan agaknya nenek ini sangat ditakuti, maka gembiralah dia dapat membalas dengan cara demikian.

Thian Sin melihat tangan yang menjepit sumpit itu nampak gemetar. Akan tetapi sebentar saja lalu sumpit itu melanjutkan pekerjaannya menjepit makanan. Tanpa menoleh, nenek itu berkata dengan suaranya yang lirih namun halus,

“Bocah ingusan, apakah engkau yang berjuluk Pendekar Sadis?”

Kembali Thian Sin merasa mendongkol sekali. Nenek ini benar-benar memandang rendah padanya, menyebutnya bocah ingusan! Sekaligus rasa gembira karena perasaan menang dengan pertanyaannya yang menghina itu lenyap, malah hatinya merasa semakin panas. Akan tetapi dia menjawab juga.

“Benar, akulah yang dijuluki Pendekar Sadis!”

“Dan akulah yang dijuluki Lam-sin!”

“Huh, tidak pantas seorang nenek tua bangka yang lemah dijuluki Malaikat Selatan, datuk kaum sesat di dunia selatan!”

“Heh, engkau lebih tidak patut lagi dijuluki Pendekar Sadis, karena engkau hanya seorang kanak-kanak hijau yang berusaha meniru lagak seorang siucai, namun pantasnya hanya menjadi kacung di sekolah!”

Saking mendongkolnya, dada Thian Sin terasa seperti hampir meledak. Nenek ini ternyata seorang yang pintar berdebat dan pandai menghina. Teringatlah Thian Sin bahwa semakin tua wanita, maka semakin cerewetlah dia. Dia pikir, kalau harus berdebat adu mulut, tentu dia akan kalah. Maka lebih baik menghentikan adu sindir-menyindir agar dia tidak menjadi semakin mendongkol.

“Lam-sin, engkau telah mengundangku dan aku sudah datang! Nah, mau apakah engkau mengundangku?”

Nenek itu menengok ke kiri, ke arah pemuda itu. Kini Thian Sin bisa melihat dari samping sebuah wajah yang kedua pipinya berkeriputan, dengan hidung kecil dan bibir kering yang seolah mengejek.

“Aku sedang makan, apa engkau tidak melihatnya? Aku tidak bisa bicara sambil makan, dan karena kau datang pada waktu aku makan maka aku mengundangmu untuk makan bersamaku. Aku tidak tahu apakah engkau berani makan bersamaku dan apakah engkau masih ada selera makan ketika menghadapi kematianmu.”

Thian Sin merasa dipandang rendah sekali dan ditantang. Seakan-akan nenek ini sudah merasa begitu yakin bahwa sebentar lagi nenek itu akan mampu membunuhnya. Dia lalu melangkah maju dan berkata dengan nada tak kalah mengejeknya,

“Memang orang yang akan mati sebaiknya makan dulu sekenyangnya. Dan aku memang senang menemani calon pecundangku makan bersama. Hendak kulihat racun apa yang hendak kau serahkan dan gunakan untuk bertindak curang.”

Thian Sin pun lalu duduk menghadapi meja makan, mengambil bangku yang berhadapan dengan nenek itu sehingga sekarang mereka bisa saling pandang, terhalang meja makan yang penuh dengan berbagai macam masakan yang masih mengepulkan uap dengan bau yang sedap. Tidak kurang dari dua puluh macam masakan sedap yang semuanya masih panas-panas terhidang di atas meja itu, disamping arak dan anggur wangi.

Akan tetapi, setelah kini mereka duduk saling berhadapan dan melihat sinar mata nenek itu, diam-diam Thian Sin terkejut bukan main dan merasa seram sehingga bulu kuduknya meremang. Nenek ini dilihat dari jauh tampak seperti seorang nenek tua renta yang lemah dan biasa saja, sama sekali tidak menimbulkan segan.

Akan tetapi begitu dia saling pandang dengan nenek itu, dia melihat sinar mata yang luar biasa, sepasang mata yang begitu tajam dan mencorong penuh wibawa, sepasang mata yang terang dan jernih, tak pantas dimiliki seorang nenek tua renta, sepantasnya menjadi mata seorang anak kecil yang masih bersih batinnya!

Kontras antara wajah tua keriputan dan sinar mata inilah yang membuat nenek itu amat berwibawa dan juga amat menyeramkan, juga menakutkan. Kini Thian Sin tidak merasa heran lagi mengapa tadi lima orang gadis pelayan itu kelihatan begitu ketakutan melihat betapa dia berani mengeluarkan kata-kata menghina kepada nenek luar biasa ini.

Sesudah sejenak saling pandang dan nenek itu pun agaknya nampak tercengang setelah menatap wajah pemuda itu karena agaknya baru pertama kali ini dia dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas, saling berhadapan dalam jarak yang tidak jauh, sampai lama nenek itu tidak mengeluarkan kata-kata. Sinar matanya seperti menjelajahi seluruh bagian muka Thian Sin.

Sesudah pemuda itu tersenyum seperti mengejek, barulah nenek itu nampak gugup dan sambil menoleh kepada para pelayannya dia berkata, “Nyalakan lampu, tak enak makan agak gelap begini!”

Memang saat itu sudah menjelang senja dan keadaan di dalam ruangan makan itu yang jendela-jendelanya menghadap ke timur sudah tak kebagian sinar matahari lagi sehingga menjadi agak remang-remang. Dua orang pelayan kemudian sibuk menyalakan beberapa buah lampu yang digantung pada sudut-sudut ruangan itu dan sebentar saja ruangan itu menjadi terang.

Karena lampu-lampu itu ditutup kain warna-warni, ada yang merah, ada yang kuning, ada yang biru dan hijau, maka suasana berubah menjadi romantis dan indah sekali, sungguh pun wajah nenek yang keriputan itu menjadi semakin jelas setelah tertimpa cahaya yang berwarna-warni itu. Sebaliknya wajah lima orang gadis pelayan nampak menjadi semakin manis dan bercahaya, dan demikian pula Thian Sin nampak semakin ganteng.

“Tuangkan arak untuk Pendekar Sadis!” kata pula nenek itu yang cepat ditaati oleh salah seorang pelayan.

Ketika pelayan yang berbaju ungu ini mendekat dan menuangkan arak ke dalam cawan di depan Thian Sin, pemuda ini mencium bau harum semerbak keluar dari lengan baju gadis itu. Akan tetapi dia bersikap tenang dan tidak memandang wajah halus cantik yang dekat dengannya itu, melainkan dia tetap mengamati gerak-gerik nenek di depannya karena dia maklum bahwa orang seperti nenek itu yang menjadi datuk kaum sesat, tentu mempunyai watak aneh yang tidak terduga-duga.

Dia tidak akan merasa heran kalau pada saat dia mencurahkan perhatiannya kepada lain hal, misalnya kepada gadis pelayan cantik itu, tiba-tiba saja Si Nenek akan melakukan serangan gelap yang amat berbahaya. Maka, dia tetap memandang wajah nenek itu. Baru setelah gadis itu memenuhi cawan araknya dan melangkah mundur, Thian Sin melirik ke cawan araknya yang sudah penuh dengan arak wangi.
Selanjutnya,

Pendekar Sadis Jilid 29

Pendekar Sadis Jilid 29
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Thian Sin melangkah keluar sambil tersenyum-senyum tenang melihat lagak kedua orang pengemis yang menghadangnya di luar itu. Dia bersikap seolah-olah tidak melihat bahwa dua orang pengemis itu marah bukan main, dan tidak melihat bahwa tangan mereka yang memegang tongkat akar bahar itu tergetar karena marah dan ingin memukul. Bahkan dia tersenyum.

“Aihhh, kiranya engkau masih berada di sini dan membawa teman? Apakah kalian diutus oleh raja kalian untuk menerima hadiah tulang ayam dariku?”

“Keparat bermulut busuk!”

“Bocah sudah bosan hidup!”

Dua orang pengemis itu sudah bergerak cepat, yang seorang menusukkan tongkatnya ke arah dada Thian Sin, yang ke dua menghantamkan tongkat itu ke arah lehernya. Namun Thian Sin dengan dua kali langkah ke kiri dan belakang saja sudah dapat menghindarkan diri dan dia berkata sambil tertawa,

“Nah, ini hadiahku, sampaikan kepada Lam-sin!”

Tangannya lantas bergerak, ada sinar menyambar dan dua orang pengemis itu berteriak kesakitan, tongkat-tongkat mereka terlepas dan mereka mundur dengan mata terbelalak. Kedua tangan mereka lumpuh dan tulang-tulang ayam itu sudah menancap pada lengan mereka, mengenai urat-urat besar sehingga membuat lengan mereka menjadi lumpuh dan terasa nyeri bukan main.

Maklum bahwa pemuda itu adalah seorang ahli dan bukan lawan mereka, kedua orang pengemis itu segera membalikkan tubuh dan pergi dari situ dengan langkah lebar. Kedua lengan masih bergantung lumpuh.

“Hei, jangan lupakan tongkat jimat kalian!” Thian Sin berseru.

Thian Sin menyambar dua tongkat itu, kemudian melemparkannya dengan sembarangan ke depan. Tongkat-tongkat itu melayang dan dengan tepat sekali tiba di punggung kedua orang pengemis itu, mengait dan bergantung seperti kalau mereka yang menggantungnya sendiri!

Semua orang yang berada di rumah makan itu dan tadi sudah melongok keluar pintu dan jendela, karena mereka merasa yakin bahwa pemuda itu tentulah akan dibunuh oleh dua orang Bu-tek Kai-pang, kini terbelalak dan melongo penuh keheranan. Hampir mereka itu tidak dapat mempercayai pandang mata mereka sendiri menyaksikan dua keanehan yang selama bertahun-tahun tak pernah terjadi itu.

Pertama, adanya seorang pemuda yang berani mati melawan dua orang Bu-tek Kai-pang, bahkan berani menyebut-nyebut serta menantang Lam-sin. Dan ke dua, adanya seorang pemuda yang sanggup mengalahkan dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang hanya dalam satu gebrakan saja, tidak mempergunakan senjata melainkan menggunakan tulang-tulang ayam!

Dan kini mereka melihat pemuda itu dengan lenggang kangkung meninggalkan tempat itu seenaknya, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu yang luar biasa. Karena itu mulailah orang-orang bertanya-tanya. Siapakah gerangan pemuda yang luar biasa itu? Luar biasa beraninya dan juga luar biasa lihainya?

Pertanyaan ini juga bergema di seantero Bu-tek Kai-pang. Tiga orang Kai-pangcu yang mendengar laporan dari dua orang anak buahnya, melihat betapa tulang-tulang ayam itu menusuk lengan-lengan murid atau anak buah mereka bagaikan senjata-senjata rahasia yang ampuh, langsung menggebrak meja.

“Siapakah pemuda keparat itu?”

“Kami… kami tidak tahu namanya.”

“Bodoh! Kenapa tidak kalian tanya dan di mana dia sekarang?”

Seorang pengemis yang baru datang berkata, “Harap pangcu ketahui bahwa pemuda itu kini mondok di rumah penginapan Lok-nam.”

“Bagus,” kata Ang-i Kai-ong, ketua pertama. “Lima Ular Hitam, malam nanti kutugaskan untuk menangkapnya dan menyeretnya ke sini!”

Lima orang pengemis serentak memberi hormat dan menyatakan kesanggupan mereka. Kelimanya berusia empat puluhan tahun dan semuanya bertubuh tinggi kurus. Mereka ini terkenal dengan julukan Hek-coa Ngo-kai (Lima Pengemis Ular Hitam).

Hek-coa Ngo-kai ini tadinya adalah lima orang perantau yang menjual obat-obatan serta racun-racun ular dan memainkan pertunjukan dengan ular-ular hitam. Oleh karena itulah, sesudah mereka ditundukkan oleh Bu-tek Kai-pang dan menakluk, mereka lantas diterima sebagai anggota-anggota kai-pang kemudian menjadi lima di antara pembantu-pembantu para ketua kai-pang itu, dengan julukan Lima Pengemis Ular Hitam. Mereka adalah para ahli racun yang lihai, di samping ilmu silat mereka yang tinggi, apa lagi sesudah mereka menerima Ilmu Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis).

Malam itu suasana di penginapan Lok-nam sunyi sekali. Hal ini bukan sekali-kali karena penginapan itu sepi tamu, sama sekali tidak, melainkan karena pemilik penginapan serta para tamu, penjaga dan pelayan sudah mendengar dari Bu-tek Kai-pang bahwa seorang di antara para tamu mereka, yaitu pemuda tampan berpakaian sasterawan yang bersikap halus itu, adalah musuh Bu-tek Kai-pang yang malam itu hendak ditangkap oleh Bu-tek Kai-pang!

Tentu saja hal ini menimbulkan ketegangan, apa lagi ketika para pelayan membocorkan rahasia itu kepada tamu-tamu lainnya. Para tamu ada yang pindah tempat, dan yang tidak pindah penginapan, sore-sore telah menutup pintu kamar dan tidur atau berdiam di dalam kamar saja dengan hati gelisah, takut kalau-kalau mereka terbawa-bawa.

Tentu saja Thian Sin tahu atau menduga bahwa malam itu tentu akan terjadi sesuatu. Sesudah pancingannya yang berhasil pagi tadi, setelah dia melukai dua orang pengemis itu, luka-luka ringan saja untuk sekedar memancing keluarnya ‘kakap’, yaitu Lam-sin yang dicarinya, dia menanti dengan sabar.

Sejak pagi tidak terjadi sesuatu, akan tetapi dia tahu bahwa tidak mungkinlah kalau Bu-tek Kai-pang diam-diam saja dan merasa takut kepadanya. Demontrasi kepandaian yang tadi diperlihatkannya pada saat dia mengalahkan dua orang pengemis itu tidak berapa hebat, sehingga tidak mungkin membuat jeri tokoh-tokoh Bu-tek Kai-pang yang tentu jauh lebih lihai dari pada tingkat yang telah diperlihatkannya pagi tadi.

Dia menduga kalau hari itu tidak terjadi sesuatu, tentu fihak perigemis itu menanti sampai malam ini. Maka dia pun telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan, akan tetapi pada lahirnya, dia nampak tenang-tenang saja, bahkan para pengurus dan pelayan rumah penginapan itu dapat mendengar dia bernyanyi-nyanyi dan membaca sajak dengan suara merdu di dalam kamarnya!

Menjelang tengah malam, keadaan di rumah penginapan itu sudah betul-betul sunyi sepi. Pemuda yang menjadi pusat perhatian, yang tadi masih membaca sajak dengan suaranya yang merdu, kini pun sudah tidak ada suaranya lagi. Kamarnya sudah sunyi, lilin sudah dipadamkan dan agaknya pemuda ini sudah tidur.

Nampak bayangan-bayangan orang berkelebat dengan cepat. Mereka memasuki rumah penginapan itu dengan mudah karena memang mereka bekerja sama dengan pengurus hotel, lalu mereka itu menyelinap mendekati kamar nomor lima, kamar di mana Thian Sin bermalam.

Tidak lama kemudian, ada asap putih memasuki kamar itu melalui lubang jendela. Asap dari dupa yang sangat harum. Sesudah sampai beberapa lamanya membiarkan kamar itu penuh asap dupa wangi yang mengandung obat bius, lima orang Pengemis Ular Hitam itu lalu mencokel jendela dan membiarkan asap-asap itu keluar lagi melalui jendela-jendela yang terbuka.

Betapa pun juga, mereka masih tetap menggunakan sapu tangan yang sudah diberi obat penawar untuk ditutupkan pada muka mereka dan mereka lalu berloncatan masuk melalui jendela yang telah terbuka. Mereka berlima melihat tubuh berselimut di atas pembaringan, sedikit pun tidak bergerak.

Dengan girang karena ternyata lawan yang dikatakan lihai ini begitu mudah ditundukkan, lima orang itu menubruk ke depan dengan penerangan yang menyorot ke dalam dari luar jendela yang sudah terbuka. Biar pun remang-remang mereka dapat melihat bahwa lawan mereka itu rebah berselimut dalam keadaan tak berdaya.

“Hayaaa…!” Mereka berteriak dengan kaget.

“Kita tertipu…!”

Kiranya yang mereka tubruk bersama itu tak lain hanyalah sebuah guling yang diselimuti dan diletakkan di atas bantal, seperti orang tidur. Dan orangnya sendiri entah berada di mana!

“Cepat keluar, angin buruk!” kata yang menjadi pimpinan.

Angin buruk ini berarti bahwa keadaan tidak bagus bagi mereka sehingga mereka hendak cepat-cepat pulang untuk melaporkan kegagalan mereka itu. Akan tetapi, ketika mereka sedang berloncatan keluar, di ruangan depan telah menanti seorang pemuda yang berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum memandang kepada mereka. Dan pemuda ini bukan lain adalah Thian Sin!

“Ha-ha-ha, pengemis-pengemis tolol bisanya hanya menangkap bantal guling!” Pemuda itu mengejek sambil tersenyum lebar.

Lima orang pengemis yang telah menerima perintah dari ketua mereka untuk menangkap pemuda itu, ‘hidup atau mati’ demikian kata ketua mereka, cepat maju mengurung.

“Orang muda, menyerahlah supaya kami dapat membawamu kepada ketua kami dan tak perlu untuk melukaimu,” kata seorang di antara mereka.

Sebenarnya ucapan ini sama sekali bukan timbul karena rasa sayang kepada pemuda ini melainkan karena mereka sudah gentar dan ingin agar pemuda itu menyerah saja supaya mereka tidak perlu menghadapi bahaya perlawanan pemuda yang cerdik sekali ini.

“Jembel busuk, ucapanmu seolah-olah kalian mampu melukaiku, apa lagi menangkapku! Suruh ketua kalian ke sini, itu si Lam-sin ke mana dia? Kenapa dia tidak berani muncul? Sampaikan tantanganku ini kepadanya!”

“Manusia sombong!” Lima orang pengemis itu marah bukan main karena nama Lam-sin bagi mereka seperti nama dewa junjungan yang tidak boleh dibicarakan begitu saja tanpa dipuja. Mereka segera menerjang dengan tongkat akar bahar mereka, langsung mereka mainkan Ilmu Tongkat Hok-mo-pang yang lihai.

Tingkat kepandaian Lima Ular Hitam ini sebetulnya masih jauh terlampau rendah apa bila dibandingkan dengan tingkat yang dimiliki Thian Sin pada saat itu sehingga kalau saja dia menghendaki, maka hanya dalam satu dua jurus saja Thian Sin dengan mudah akan bisa merobohkan, bahkan menewaskan mereka semuanya.

Akan tetapi pemuda ini masih melanjutkan siasatnya memancing ‘kakap’ sehingga dia tak mau membikin gentar kakap yang hendak dipancingnya itu. Maka dia pun melayani lima orang itu dengan hati-hati agar nampak agak seimbang. Dengan Ilmu San-in Kun-hoat dia mempermainkan mereka seperti seorang dewasa mempermainkan lima orang anak-anak yang nakal saja. Ke mana pun tongkat mereka menyambar, selalu saja mengenai tempat kosong atau dapat ditangkis oleh tangan Thian Sin.

Beberapa kali dia membiarkan tubuhnya terpukul, bahkan sempat pula dia berpura-pura terhuyung. Dengan demikian, lima orang itu akan menganggap bahwa sebetulnya tingkat kepandalannya tidak jauh lebih tinggi dari pada mereka.

Dengan lagak bagai orang kewalahan, akhirnya Thian Sin mencabut pedangnya sehingga nampaklah cahaya perak. Itulah Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak) yang diterimanya sebagai hadiah dari neneknya, yaitu Nenek Cia Giok Keng suami pendekar sakti Yap Kun Liong di Bwee-hoa-san.

Dan kini perkelahian menjadi semakin seru. Dengan pedang di tangan, Thian Sin segera memainkan pedang itu dengan indahnya dan mengatur agar mereka nampak setanding. Setelah membiarkan lawannya mengeroyok selama tiga puluh jurus lebih barulah pedang Gin-hwa-kiam menyambar ganas, lantas robohlah empat orang pengeroyok dengan leher berlubang dan mereka pun tewas seketika, ada pun yang seorang lagi hanya kehilangan lengan kanan sebatas siku yang dibuntungi oleh Thian Sin! Orang ini merintih-rintih sambil menggunakan tangan kiri memegangi sisa lengan yang buntung itu.

“Hemmm, pulanglah dan katakan kepada Lam-sin bahwa aku menanti kedatangannya di dalam kamarku!” Sesudah berkata demikian, tanpa mempedulikan apa-apa lagi, Thian Sin berjalan kembali ke dalam kamarnya dan memasuki kamar, menutup jendela dan pintu, lalu tidur berselimut dan sebentar saja dia pun sudah pulas!

Tentu saja peristiwa ini lalu menimbulkan kegemparan pada kalangan pengemis di Bu-tek Kai-pang. Pemuda yang pagi tadi melukai dua orang pengemis, malam ini bahkan sudah membasmi Lima Ular Hitam, membunuh empat orang di antara mereka dan membuntungi lengan yang seorang lagi! Inilah hebat bukan main!

Lima Ular Hitam adalah pembantu-pembantu utama dari tiga orang ketua, bahkan dalam hal ilmu kepandaian, mereka itu hanya berada di bawah tingkat tiga orang ketua itu! Biar pun menurut laporan orang terakhir yang buntung lengannya itu bahwa ilmu kepandaian pemuda itu hanya setingkat dengan mereka, namun pemuda itu sudah dapat membunuh Lima Ular Hitam, maka hal ini saja sudah amat hebat. Berarti bahwa para ketua itu sendiri harus turun tangan.

Dan mereka semua bertanya-tanya, siapa gerangan pemuda yang berani mati menentang Bu-tek Kai-pang, dan bukan hanya menghina, kini bahkan berani membunuh itu. Mereka pun segera teringat akan nama yang baru-baru ini menghebohkan dunia persilatan, malah sempat menggegerkan kota raja, yaitu Pendekar Sadis!

Benarkah pemuda ini adalah Pendekar Sadis dan apa bila benar demikian, mengapa dia mengacau di Heng-yang dan sengaja memusuhi Bu-tek Kai-pang? Kalau benar pemuda itu Pendekar Sadis, maka fihak Bu-tek Kai-pang harus bersikap hati-hati.

Tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu bersikap hati-hati dan mereka bertiga segera pergi menghadap Lam-sin di dalam gedungnya yang indah itu. Saat tiga orang ketua itu datang menghadap, Lam-sin, nenek itu, sedang duduk menghadapi makan pagi, dan sebelum dia menerimanya, dia telah lebih dahulu mendengar dari pelayan wanita tentang permohonan tiga orang itu untuk menghadap.

“Hemm, pagi-pagi begini sudah berani mengganggu, tentu ada hal penting. Suruh mereka langsung saja datang ke sini dan juga sediakan sarapan untuk mereka,” perintahnya yang cepat ditaati oleh para pelayannya, yaitu wanita-wanita yang cantik-cantik.

Begitu masuk dan bertemu dengan nenek itu, tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang yang juga dapat disebut murid-murid Lam-sin, menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi nenek itu cepat menggerakkan tangannya menyuruh mereka bangkit dengan sikap muak.

“Sudah, kalian jangan banyak memakai peraturan kuno. Lebih baik duduklah dan temani aku sarapan, dan jangan bicara sebelum kita selesai makan.” Ucapannya ini diikuti sikap wajah ramah dari muka yang berkeriputan itu, akan tetapi sepasang mata itu, yang selalu ditakuti serta dikagumi oleh ketiga orang ketua kai-pang ini, kelihatan bersinar-sinar dan mencorong penuh wibawa menyeramkan.

Tiga orang ketua itu tidak berani menolak, biar pun agak canggung namun mereka makan sarapan pagi bersama guru sekaligus ketua mereka yang mereka hormati dan takuti itu. Dan akhirnya, selesai jugalah nenek itu sarapan pagi, pekerjaan yang dilakukan dengan seenaknya seakan-akan tidak ada apa-apa yang menyusahkan di dunia ini, sama sekali tidak peduli akan sikap tiga orang bawahannya yang canggung dan kelihatan gugup itu.

Setelah para pelayan wanita yang cantik-cantik dan muda-muda itu membersihkan meja, barulah Lam-sin menghadapi tiga orang ketua itu, lantas berkata, “Sepagi ini kalian sudah datang menggangguku, tentu ada urusan penting sekali yang kalian merasa tak sanggup menanggulangi sendiri. Nah, apakah itu?”

“Harap locianpwe sudi memaafkan kami,” kata mereka.

Mereka memang hanya berani menyebut locianpwe kepada nenek itu, karena nenek itu tidak menganggap mereka sebagai murid. Dan memang kenyataannya, nenek itu hanya menurunkan beberapa macam ilmu pukulan, terutama Hok-mo-pang kepada mereka itu.

“Sebenarnya kami tidak berani mengganggu locianpwe dan rasanya kami masih sanggup untuk menanggulangi sendiri. Akan tetapi, karena kami menduga bahwa pengacau yang sekali ini menentang Bu-tek Kai-pang adalah orang yang baru-baru ini namanya menonjol di dunia kang-ouw, bahkan sudah menggegerkan kota raja, maka kami memberanikan diri untuk melaporkan kepada locianpwe dan mohon petunjuk dan keputusan. Jika locianpwe menghendaki kami turun tangan sendiri, tentu kami tidak lagi mengganggu locianpwe.”

“Menggegerkan kota raja? Siapakah yang akhir-akhir ini menggegerkan kota raja selain Pendekar Sadis itu?”

“Itulah dia orangnya yang akan kami laporkan kepada locianpwe.”

Nenek itu nampak tertarik. “Ah, benarkah? Benarkah Pendekar Sadis itu yang kini datang ke sini menentang Bu-tek Kai-pang? Lekas ceritakan semuanya!”

Ang-i Kai-ong lalu mewakili para sute-nya dan menceritakan semua peristiwa yang terjadi dengan sejelasnya, dimulai peristiwa di rumah makan di mana ada seorang pemuda yang telah menghina seorang pengemis, kemudian ada dua orang pengemis dilukainya dengan tulang ayam dan disertai penghinaan supaya tulang-tulang ayam itu disampaikan kepada raja pengemis.

“Bahkan dia sudah berani menyebut-nyebut dan menantang nama locianpwe. Inilah yang membuat kami berpikir lebih baik melaporkan kepada locianpwe.”

Nenek itu tidak marah. Nenek itu tidak pernah memperlihatkan kemarahan. Bahkan ada kalanya dia membunuh orang sambil tersenyum saja!

“Menarik sekali!” katanya dan sepasang matanya itu bersinar-sinar, nampak tertarik benar. “Lalu bagaimana? Teruskan dan ceritakan bagaimana kepandaiannya!”

“Menurut laporan para anggota, kepandaiannya tidaklah seberapa hebat. Memang ia telah merobohkan dua orang pengemis tingkat rendahan. Kemudian kami mengutus Lima Ular Hitam untuk menangkapnya di rumah penginapan.”

“Hemmm, apa bila mereka juga gagal, maka menarik sekali,” kata Si Nenek yang sudah mengenal kelihaian serta kelicikan Lima Ular Hitam itu.

“Memang mereka telah gagal, locianpwe. Akan tetapi menurut seorang di antara mereka yang hanya menderita buntung lengannya, tingkat kepandaian pemuda itu seimbang saja dengan mereka berlima, jadi menurut pikiran kami, bukan merupakan bahaya besar.”

Dia lalu menceritakan semua peristiwa di rumah penginapan itu, tentang matinya empat di antara Lima Ular Hitam dan seorang lagi yang dibuntungi lengannya dan kembali di dalam kesempatan itu, Si Pemuda menantang Lam-sin tanpa menyebutkan namanya.

Lam-sin mengangguk-angguk. “Hemm, agaknya lancang juga pemuda itu, dan sombong sekali.”

“Memang dia sombong bukan main, locianpwe. Akan tetapi jika locianpwe menghendaki, kami masih cukup kuat untuk menundukkan dan menyeret dia ke depan kaki locianpwe,” kata Ang-i Kai-ong dengan penasaran sekali.

Akan tetapi nenek itu tersenyum. “Dia sudah berulang kali menantangku, kalau aku diam saja nanti bisa disangka bahwa aku tidak berani kepadanya. Akan tetapi, sebelum kau menyerahkan surat tantanganku kepadanya, selidiki lebih dulu apakah benar dia adalah Pendekar Sadis yang disohorkan itu atau bukan. Kalau bukan, jangan berikan suratku dan bunuh saja dia, aku tidak mau mencampurinya lagi. Tapi kalau benar dia Pendekar Sadis, serahkan surat tantanganku. Aku akan melihat dulu bagaimana kelihaiannya menghadapi kalian. Kalau kuanggap dia patut untuk melawanku, baru aku akan menemuinya.”

Lam-sin memanggil pelayan lantas membuat coretan-coretan di atas kertas merah muda, kemudian memasukkan surat itu ke dalam amplop yang ditulis dengan huruf-huruf halus:

KEPADA PENDEKAR SADIS

Sehari lewat tanpa ada apa-apa. Thian Sin masih menanti di rumah penginapan itu. Dia tidak merasa heran ketika melihat semua orang di dalam rumah penginapan itu bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal malam tadi ada empat orang tewas di ruangan depan, dan seorang lagi buntung lengannya. Dia tahu bahwa semua bekas telah dibersihkan dan para pengurus rumah penginapan itu tidak berani membuka mulut, tentu telah dipesan oleh pihak Bu-tek Kai-pang.

Dia tidak tahu bahwa waktu seharian itu dipergunakan oleh para anggota kai-pang untuk melakukan penyelidikan, mendengar tentang Pendekar Sadis. Setelah mereka mendapat berbagai keterangan tentang pendekar itu, yang dikabarkan masih muda dan berpakaian sasterawan, pandai bersajak dan suka bernyanyi, bersikap lemah lembut, murah senyum, mereka tak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang bermalam di rumah penginapan Lok-nam itu sudah pasti adalah Pendekar Sadis!

Maka pada hari berikutnya, pagi-pagi sekali seorang pelayan mengetuk pintu kamar Thian Sin.

“Masuk saja, pintuku tidak dikunci!” kata pula Thian Sin yang sedang duduk termenung di dalam kamarnya.

Pintu lalu terbuka dan pelayan itu menyerahkan sebuah amplop. “Ada orang menyerahkan surat ini, kongcu, akan tetapi walau pun nomor kamarnya adalah nomor lima, kami tidak tahu apakah benar surat ini untuk kongcu ataukah bukan.”

Thian Sin menerima surat beramplop merah muda itu, membaca tulisannya di luar.

KEPADA PENDEKAR SADIS

Dia tersenyum dan mengangguk. “Benar, surat ini untukku. Terima kasih!”

Itulah tindakan terakhir dari pihak kai-pang untuk meyakinkan bahwa memang pemuda itu adalah Pendekar Sadis, yaitu melalui pelayan itu. Pelayan itu membungkuk, agak terlalu dalam karena dia terkejut dan ketakutan, lalu segera mengundurkan diri keluar dari kamar itu.

Thian Sin tersenyum dan merobek amplop, mengeluarkan kertas merah muda. Dia tetap bersikap hati-hati, tidak ceroboh pada waktu membuka surat karena dia maklum bahwa seorang penjahat yang lihai dapat saja membunuh lawan melalui surat. Akan tetapi, tidak ada jarum rahasia atau pun asap beracun yang menyambar keluar dari amplop, juga tidak tercium sesuatu kecuali sedikit keharuman minyak wangi, karena itu dia membuka kertas tertulis itu dengan senyum geli.

Namanya juga datuk kaum sesat, pikirnya. Menulis surat pun dengan amplop dan kertas berwarna merah muda dan berbau harum pula! Dengan tenang namun tertarik dibacanya tulisan yang goresannya halus dan rapi itu.

Lam-sin menantang kepada Pendekar Sadis untuk mengadu kepandaian melawan murid-muridnya di Lembah Gunung Cemara di sebelah timur kota Heng-yang, kalau Pendekar Sadis memang berani! Lewat tengah hari menjelang sore hari ini.

Tertanda: Lam-sin


Thian Sin tertawa dan merasa girang sekali. Akhirnya sang kakap mulai memperlihatkan dirinya, walau pun masih bersembunyi di balik murid-muridnya.

“Ha-ha-ha, menghadapi engkau sendiri aku tidak takut, apa lagi murid-muridmu, Lam-sin!” katanya sambil tersenyum.

Tidak lama kemudian, sudah terdengar pemuda ini bernyanyi-nyanyi di dalam kamarnya, sikapnya tenang-tenang saja sehingga anak buah kai-pang yang dipasang di sana untuk menyelidiki, segera melaporkan kepada tiga orang ketua kai-pang yang menjadi semakin terheran-heran, akan tetapi juga mendongkol dan penasaran sekali. Pemuda itu sudah menerima tantangan Lam-sin, tentu sudah membacanya, akan tetapi malah bernyanyi-nyanyi. Manusia ataukah setan orang itu?

Siang hari itu Thian Sin memesan makanan yang cukup mewah seperti orang berpesta pora seorang diri. Tadinya timbul pikiran para ketua kai-pang untuk meracuni pemuda ini, akan tetapi mereka takut kepada Lam-sin, sebab salah satu di antara hal-hal yang dibenci oleh datuk itu, selain perkosaan yang merupakan hal terutama, adalah kecurangan dalam menghadapi lawan.

Sekarang Lam-sin sudah mengirim surat sendiri, menantang, maka kalau sampai mereka melakukan penyerangan melalui makanan yang mengandung racun, kalau sampai gagal, tentu Lam-sin akan mendapat malu dan akan menjadi marah sekali kepada mereka. Dan mereka bergidik kalau membayangkan datuk itu marah kepada mereka.

Sehabis makan, sesudah beristirahat beberapa jam lamanya, pada waktu matahari mulai condong ke arah barat, Thian Sin pun keluar dari kamarnya, langsung menghampiri meja pengurus rumah penginapan itu dan bertanya dengan ramah, “Tolong kalian beri tahukan di mana aku dapat menemukan lembah Gunung Cemara di sebelah timur kota ini.”

Para pengurus itu gemetar ketakutan. Alangkah beraninya pemuda ini, pikir mereka. Tentu pemuda ini sudah menduga bahwa para pengurus di rumah penginapan ini juga tunduk kepada kai-pang akan tetapi sikapnya demikian tenang seperti berada di antara sahabat-sahabat sendiri saja.

Tergopoh-gopoh pengurus rumah penginapan yang memang sudah menerima pesan itu memberi tahukan jalan serta arah tempat yang hendak dikunjungi oleh pemuda yang kini secara diam-diam mereka kenal sebagai Pendekar Sadis sehingga pandang mata mereka berbeda penuh kengerian dan ketakutan.

********************

Lembah itu merupakan padang rumput yang rata dan lembut, nampak kehijauan seperti permadani dihamparkan. Tempat itu dikelilingi hutan-hutan kecil, namun di padang rumput itu sendiri tidak ada pohonnya.

Pada waktu Thian Sin sedang berjalan seorang diri menuju ke lembah ini, melalui hutan cemara seperti yang diberi tahukan oleh pengurus rumah penginapan, tempat yang sunyi dan tidak nampak ada seorang pun manusia, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara ketawa dan berkelebatnya orang tak jauh di sampingnya. Yang amat mengejutkan hatinya adalah karena orang itu bergerak sedemikian cepatnya seperti menghilang saja.

Thian Sin seakan tenang-tenang saja dan dia tak akan mengambil peduli kalau saja yang bergerak itu orang biasa, atau dengan ginkang biasa saja. Akan tetapi gerakan orang ini mengejutkan hatinya. Demikian cepatnya bagaikan terbang. Maka dia merasa penasaran dan dia pun lalu mengerahkan ginkang dan melakukan pengejaran.

Bayangan itu masih nampak di depan, akan tetapi bayangan itu cepatnya sungguh luar biasa. Lenyap di balik pohon di depan, tahu-tahu muncul di sebelah kirinya. Dia mengejar, lenyap lagi, kemudian muncul di sebelah kanan.

Thian Sin semakin penasaran, jelas bahwa bayangan itu sedang mempermainkan dirinya, atau setidak-tidaknya, tentu tengah menguji kecepatan gerakannya. Dia lalu meloncat dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengejar, akan tetapi bayangan itu lenyap ketika dia tiba di padang rumput dan di situ ternyata sudah berkumpul tiga orang ketua berikut sedikitnya tiga puluh orang anak buah Bu-tek Kai-pang yang tinggi tingkatnya.

Thian Sin lalu teringat bahwa dulu, menurut penuturan Cia Kong Liang, Bu-tek Kai-pang dipimpin oleh seorang pengemis sakti bernama Lam-thian Kai-ong. Dia tidak tahu bahwa sekarang telah terjadi perubahan besar, Lam-thian Kai-ong telah meninggal dunia dan kini Bu-tek Kai-pang telah berganti pimpinan, yaitu ketiga orang pengemis setengah tua yang berdiri dengan gagahnya di depannya itu.

Maka, melihat tiga orang pengemis yang berdiri dengan kedua kaki tegak agak dipentang dengan sikap gagah, dia kemudian melangkah maju, menghampiri mereka dan sesudah memandang ke kanan kiri, dia lalu berkata, suaranya halus, wajahnya berseri, seolah-olah dia tidak sedang menghadapi calon lawan melainkan berada di antara para sahabat!

“Manakah ketua Bu-tek Kai-pang yang bernama Lam-thian Kai-ong? Dan mana pula datuk Lam-sin yang telah mengirim surat tantangan kepadaku? Aku telah datang, harap mereka berdua suka memperkenalkan diri.”

“Pendekar Sadis, kalau engkau mencari ketua Bu-tek Kai-pang, kamilah ketuanya!”

Thian Sin memandang kepada tiga orang itu dengan penuh perhatian. Yang bicara tadi adalah seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, berjubah merah tambal-tambalan. Di sampingnya berdiri kakek berjubah hijau dan seorang lagi berjubah putih. Usia mereka sebaya dan ketiganya memegang sebuah tongkat yang ujungnya runcing.

“Yang manakah di antara sam-wi yang bernama Lam-thian Kai-ong?”

Ang-i Kai-ong menjawab, “Pendekar Sadis, orang yang kau cari itu, Lam-thian Kai-ong telah meninggal dunia dan kini yang menjadi ketua Bu-tek Kai-pang adalah kami bertiga.”

“Ah, begitukah? Dan di mana adanya locianpwe yang berjuluk Lam-sin? Aku datang untuk memenuhi panggilan dan tantangannya.”

“Bocah sombong!” bentak Jeng-i Kai-ong dengan marah. “Tidak sembarangan orang boleh berhadapan dengan Locianpwe Lam-sin! Engkau sudah mengacau dan menghina Bu-tek Kai-pang, nah, sekarang engkau telah berhadapan dengan kami, ketuanya. Kalau engkau mampu mengalahkan kami, barulah boleh bicara tentang bertemu dengan Lam-sin!”

Thian Sin mengangguk-angguk dan tersenyum. Dia sudah menduga akan hal ini, maka dia pun tertawa bergelak dan berkata lantang, dengan harapan agar suara ketawanya dan kata-katanya dapat terdengar oleh Lam-sin yang dia kira tentu bersembunyi tak jauh dari situ.

“Ha-ha-ha-ha! Kiranya yang bernama Lam-sin hanyalah seorang licik yang bersembunyi dan berlindung di belakang sekumpulan pengemis tukang pukul!”

Dia keliru karena Lam-sin sama sekali tidak mendekati tempat itu kecuali ketika mencoba ginkang-nya tadi, kemudian terus pulang dan hanya mengutus seorang pelayannya untuk menyaksikan jalannya pertempuran sambil bersembunyi.

Kata-kata Thian Sin tadi merupakan penghinaan yang luar biasa. Para pengemis Bu-tek Kai-pang memandang Lam-sin sebagai seorang junjungan yang sangat ditakuti, dikagumi dan dihormati. Sekarang pemuda ini memaki nenek itu, tentu saja mereka menjadi marah sekali.

Akan tetapi, ketiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu sudah mendengar tentang Pendekar Sadis yang telah menggegerkan kota raja, telah mengacau Hwa-i Kai-pang di kota raja dan membunuh dua orang ketua Hwa-i Kai-pang, bahkan telah membunuh Toan-ong-ya. Kemudian terdengar desas-desus pula bahwa pemuda ini telah mengacau Pek-lian-kauw dan membunuh Tok-ciang Sianjin yang amat lihai itu. Maka, mereka bertiga tidak berani ceroboh dan Ang-i Kai-ong lantas berteriak kepada para anak buahnya, yaitu para tokoh Bu-tek Kai-pang yang sudah mempunyai tingkat tinggi, agar segera maju mengepung dan mengeroyok!

Kurang lebih tiga puluh orang tenaga Bu-tek Kai-pang cepat maju mengepung dan mereka bergerak mengelilingi pemuda itu sambil mengeluarkan senjata masing-masing. Sebagian besar di antara mereka memegang tongkat pendek dari baja, akan tetapi ada pula yang membawa tombak, golok atau pedang.

Thian Sin yang memang datang dengan maksud untuk membasmi Bu-tek Kai-pang yang pernah membantu saat keluarga Ciu Khai Sun diserbu, berdiri tegak dengan sikap tenang sekali. Sepasang matanya mengerling ke depan, kanan dan kiri, ada pun telinganya terus mengikuti gerak-gerik para pengurung yang tidak dapat dilihat oleh sepasang matanya, yaitu mereka yang berada di belakangnya. Setiap urat syaraf di tubuhnya menegang dan sudah dalam keadaan siap.

Thian Sin berdiri tegak dan diam bukan karena menanti mereka menyerang lebih dahulu, melainkan terutama sekali membuat perhitungan dan mempelajari kedudukan mereka. Dia melihat bahwa para pengemis itu bergerak dengan teratur, dengan barisan yang terlatih bukan sekedar mengeroyok secara awut-awutan belaka. Oleh karena itu dia pun bersikap waspada.

Dia melihat betapa ketua baju merah berdiri di belakang barisan yang berada di depannya, ketua baju hijau dan ketua baju putih memimpin barisan yang berdiri di belakang barisan yang berada di depannya, ketua baju hijau memimpin barisan di sebelah kanannya dan ketua baju putih memimpin barisan yang berdiri di sebelah kirinya. Ada pun sisa pasukan pengemis itu berada di belakangnya.

Tiba-tiba mereka yang berada di belakangnya itu bersorak dan dia mendengar mereka itu telah menggerakkan senjata dan menyerbu ke arahnya. Menurut pendengarannya, kiranya tidak kurang dari sepuluh orang yang menerjangnya dari belakang. Akan tetapi dia masih sempat memperhatikan ke depan, kanan dan kirinya sebab itu tahulah dia bahwa bahaya datangnya dari tiga orang ketua itu.

Dia melihat betapa mereka, tiga golongan ini sudah siap untuk menyerbu dan menunggu kesempatan. Dia pun bisa menduga bahwa barisan belakang yang agaknya tidak dipimpin langsung oleh para ketua itu hanya dipergunakan untuk menggertak atau mengacau saja, untuk memecah perhatiannya, padahal yang menjadi inti pasukan penyerang adalah dari depan, kanan dan kiri itu.

Sebab itu, Thian Sin seperti tidak mempedulikan serangan dari belakang, melainkan tetap memperhatikan musuh-musuh di depan. Setelah dia merasa ada sambaran senjata yang sudah dekat sekali dengan tubuh belakangnya, barulah dia membalik dan menggerakkan kedua tangan yang mengandung tenaga sakti Thian-te Sin-ciang.

Terdengar teriakan-teriakan, dan nampak senjata-senjata terlempar lalu disusul robohnya lima orang penyerang paling depan yang terjengkang dan tak berkutik lagi karena mereka telah tewas oleh sambaran hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang meretakkan kepala dan memecahkan dada mereka itu! Memang Thian Sin tidak mau berlaku kepalang tanggung, begitu memapaki serangan dia telah mengerahkan tenaga sinkang yang kuat sekali.

Melihat hal ini, sisa penyerang dari belakang itu terbelalak dan muka mereka pucat, hati mereka gentar bukan main. Belum pernah mereka melihat ada lawan yang diserbu, sekali membalikkan tubuh dan mendorong dengan dua tangan, langsung membunuh lima orang teman mereka!

Ketika Ang-i Kai-ong menggerakkan pasukannya menyerbu, Thian Sin telah membalikkan tubuhnya lagi. Dia melihat bahwa Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong sudah menggerakkan barisan masing-masing, maka senjata dari depan, kiri dan kanan datang bagaikan hujan saja.

Thian Sin menyambut semua serangan itu dengan tangkisan, elakan, dan juga tak tinggal diam melainkan membagi-bagi tamparan dan tendangan. Dan hebatnya, setiap serangan balasan dari kaki serta tangannya tentu membuat roboh seorang pengeroyok untuk tidak bangun lagi karena tewas seketika! Terjadi pengeroyokan dan perkelahian yang seru dan mengerikan.

Karena datangnya senjata seperti hujan, dan penyerangan itu amat teratur, maka biar pun Thian Sin dapat melindungi dirinya dengan pengerahan sinkang yang membuat tubuhnya kebal dan tak dapat terluka oleh senjata, namun dia tidak dapat melindungi bajunya yang menjadi robek-robek di sana-sini! Dia pun menjadi marah sekali.

Memang penyerangan itu teratur sekali. Kalau dia menghadapi barisan kiri, maka barisan kanan menyerbu, dan kalau dia membalik ke kanan, maka yang dari depan menyerbu dan demikian sebaliknya. Dia mengamuk terus sehingga kini telah ada kurang lebih dua belas orang roboh dan tewas oleh amukannya.

Dan ketika dia memperoleh kesempatan, melihat Ang-i Kai-ong yang terdekat, dia segera meloncat, membiarkan senjata para pengemis menghantaminya sambil melindungi dirinya dengan kekebalan, kemudian dia langsung menyerang Ang-i Kai-ong!

Kakek ini terkejut lantas menggerakkan tongkatnya, menyambut tubuh Thian Sin dengan tusukan tongkat, dengan ujung tongkat yang runcing itu meluncur ke arah ulu hati Thian Sin. Pemuda ini cepat miringkan tubuhnya sehingga tusukan itu luput. Akan tetapi dengan gerakan kilat, tongkat berujung runcing itu sudah membalik dan dari samping menusuk ke arah lambung. Melihat kecepatan gerakan tongkat ini, maklumlah Thian Sin bahwa ilmu kepandaian si jubah merah ini hebat juga.

“Dukkk!”

Dia menangkis dengan lengannya sambil mengerahkan tenaga. Kini giliran Ang-i Kai-ong terkejut. Tangkisan pemuda itu mengandung tenaga yang sedemikian besarnya sehingga dia terdorong mundur dan terhuyung. Cepat dia memberi isyarat sehingga kedua orang adiknya, yaitu Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong sudah cepat meloncat datang dan tongkat mereka menyambar ganas. Tongkat Jeng-i Kai-ong meluncur ke arah pusarnya, ada pun tongkat Pek-i Kai-ong menghantam ke arah kepalanya.

“Plakk! Plakk!”

Dua tangan Thian Sin berhasil menangkis dua batang tongkat itu dan seperti juga Ang-i Kai-ong, kedua orang ketua pengemis ini terkejut karena tangkisan itu membuat mereka terpelanting dan hampir terbanting roboh. Mereka lalu bergerak cepat dan mengeroyok dengan permainan tongkat mereka yang lihai. Karena mereka telah menerima latihan dari Lam-sin, maka permainan tongkat mereka dengan Ilmu Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis) sungguh hebat dan tingkat kepandaian mereka itu tidak di sebelah bawah mendiang Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, kedua orang ketua Hwa-i Kai-pang di kota raja itu!

Para anggota Bu-tek Kai-pang terlalu kaget dan gentar menyaksikan betapa pemuda yang terkenal dengan julukan Pendekar Sadis itu kini telah membunuh dua belas orang teman mereka! Oleh karena itu, melihat betapa kini tiga orang ketua mereka telah maju bertiga dan mengeroyok Pendekar Sadis, mereka hanya mengurung tempat itu dan membiarkan tiga orang ketua mereka membereskan pemuda yang amat lihai itu dengan senjata siap di tangan. Masih ada dua puluh orang yang mengepung tempat itu.

Sementara itu, Thian Sin mengamuk dengan hebatnya. Meski pun tiga orang itu memiliki Hok-mo-pang yang sangat tangguh dan senjata mereka yang terbuat dari baja tulen itu juga ampuh sekali, apa lagi gerakan mereka bertiga demikian teratur, saling mengisi dan saling melengkapi, tapi ketika berhadapan dengan Thian Sin mereka seolah-olah bertemu dengan gurunya.

Pemuda ini menghadapi tiga tongkat mereka dengan tangan kosong saja dan sama sekali tidak pernah terdesak! Bahkan sebaliknya malah, dengan mainkan Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, pemuda itu membuat mereka repot sekali hingga mereka sering kali terhuyung-huyung dan terpaksa memutar tongkat untuk melindungi diri dan cepat-cepat dibantu oleh temannya.

Thian Sin memang sengaja hendak memamerkan kepandaian dan juga hendak mengenal Ilmu Tongkat Hok-mo-pang, karena dia harus mempersiapkan diri menghadapi Lam-sin yang tentunya lebih lihai lagi dari pada tiga orang ini. Setelah dia mengenal liku-liku Ilmu Tongkat Hok-mo-pang yang harus diakuinya memang hebat itu, dia mengambil keputusan untuk mengakhiri perkelahian itu.

“Plakkk!”

Tongkat Ang-i Kai-ong yang menghantam punggungnya, dia terima dengan punggungnya tanpa mengelak atau menangkis. Tongkat itu tetap melekat. Kedua mata Ang-i Kai-ong langsung terbelalak dan wajahnya pucat sekali. Dia meronta, akan tetapi malah semakin hebat tenaga sinkang mengalir keluar dari kedua tangannya yang memegang tongkat. Hal ini terasa olehnya sehingga membuat dia panik.

“Tolong… tolong…!” teriaknya dan terus berusaha menarik-narik tongkatnya.

Melihat ini, Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong cepat membantu. Si jubah hijau cepat-cepat memasukkan tongkatnya ke arah lambung Thian Sin, dan Pek-i Kai-ong menghantamkan tongkatnya ke punggung pemuda itu untuk membantu kakaknya melepaskan diri.

“Plakk! Bukkk!”

Thian Sin menangkap tongkat yang menusuk lambungnya dan membiarkan tongkat Pek-i Kai-ong menghantam punggungnya pula. Tenaga Thi-khi I-beng yang dia kerahkan kini bekerja sepenuhnya dan tiga batang tongkat itu melekat di tangan dan punggungnya.

Tiga orang pengemis tua itu terkejut sekali, akan tetapi makin hebat mereka mengerahkan tenaga, semakin keras pula tenaga sinkang mereka membanjir keluar tersedot oleh tubuh pemuda itu!

Para pengemis yang melihat tiga orang ketua mereka itu memegangi tongkat sambil terus meronta-ronta seperti hendak menarik kembali tongkat mereka, dengan muka pucat mata terbelalak dan napas terengah-engah, menjadi terheran-heran. Mereka tak tahu apa yang terjadi. Karena mengira bahwa para ketua mereka itu hendak menarik kembali tongkat itu yang agaknya secara aneh terus dipertahankan oleh si pemuda, maka beberapa orang lalu meloncat maju dan membantu ketua mereka, memegang tongkat dan bantu menarik.

Namun mereka ini pun berteriak kaget ketika tenaga mereka pun tersedot. Lebih banyak lagi yang datang ikut membantu dan kini ada belasan orang menarik-narik tongkat-tongkat itu, maka lebih banyak orang lagi yang tenaga sinkang-nya tersedot oleh Thian Sin! Sisa para pengemis memandang bengong.

Pada saat itu pula nampak ada bayangan berkelebat di atas kepalanya. Thian Sin terkejut melihat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali dan ketika bayangan itu melayang lewat, ada dua buah benda kecil hitam menyambar ke arah kedua pundak Thian Sin!

“Tukk! Tukk!”

Dua buah batu hitam sebesar ujung jari tangan menyambar dengan lembut ke arah kedua pundak pemuda itu. Akan tetapi ternyata dua buah batu kecil itu tepat sekali mengenai jalan darah yang membuat Thian Sin seketika merasa tubuhnya tergetar hebat.

Dia terkejut bukan main, maklum bahwa orang itu merupakan lawan yang amat tangguh dan kini keadaannya menjadi terancam. Maka dia cepat menarik kembali tenaga sedotan Thi-khi I-beng lantas menggunakan tenaga yang telah disedotnya itu untuk dihempaskan keluar melalui sepasang tangan dan seluruh badannya, membuat gerakan seperti seekor anjing berkirik mengusir air dari tubuhnya.

Akibatnya, terdengar teriakan-teriakan kemudian belasan orang itu terlempar sampai jauh. Banyak di antara mereka yang tidak begitu kuat, roboh dan tewas, sedangkan tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu hanya merasa dada mereka sesak dan mereka muntah darah. Akan tetapi mereka masih mempunyai sisa-sisa tenaga untuk bangkit dan melarikan diri secepatnya!

Thian Sin berloncatan mengejar bayangan tadi. Akan tetapi dia melihat bayangan itu telah berada jauh sekali di depan, melintasi sebuah lereng bukit. Dia terus saja mengejar, akan tetapi akhirnya bayangan itu lenyap dan ke mana pun dia mencari, hasilnya sia-sia.

Akhirnya dia kembali ke tempat pertempuran tadi dan di situ sudah sunyi, tidak nampak seorang pun pengemis, juga mayat-mayat para anggota pengemis sudah lenyap. Hanya darah-darah yang berceceran di sana saja yang membuktikan bahwa di tempat itu baru saja terjadi perkelahian yang hebat.

Tiba-tiba Thian Sin tertarik oleh bentuk ceceran darah di atas rumput. Ceceran darah itu membentuk huruf-huruf!

LAM-SIN MENANTANG PENDEKAR SADIS DI RUMAHNYA.
Membaca huruf-huruf itu, Thian Sin tertawa. “Ha-ha-ha, Lam-sin, walau pun engkau main curang, jangan mengira aku takut padamu!”

Thian Sin lalu berlari cepat memasuki kota dan segera mencari sarang Bu-tek Kai-pang. Sarang itu sangat megah dan menyeramkan, akan tetapi dengan langkah tenang pemuda itu memasuki pintu gerbang yang terjaga oleh beberapa orang pengemis Bu-tek Kai-pang.

Para penjaga itu berdiri berbaris di kanan kiri pintu gerbang, sama sekali tidak melarang atau bertanya kepada Thian Sin, bahkan rata-rata mereka memperlihatkan sikap tegang dan gentar terhadap pemuda ini. Thian Sin berjalan lenggang kangkung, masuk menuju ke gedung di belakang perumahan Bu-tek Kai-pang itu sambil tersenyum.

Akan tetapi tentu saja dia tidak pernah melepaskan kewaspadaannya karena dia maklum bahwa dia telah memasuki tempat tinggal Lam-sin, datuk dari selatan yang amat terkenal itu. Dia sudah memasuki goa naga dan harimau! Kelengahan di tempat seperti ini berarti ancaman maut.....

Keadaan di tempat itu sunyi saja, hanya terlihat beberapa orang anggota Bu-tek Kai-pang yang berdiri bagaikan patung. Tempat itu seolah-olah diselubungi suasana berkabung dan memanglah, selain gentar, juga para anggota Bu-tek Kai-pang berkabung akibat kematian para anggota yang dua belas orang itu, ditambah lagi enam orang yang tewas pada saat Thian Sin mempergunakan Thi-khi I-beng. Di dalam gedung Bu-tek Kai-pang, tiga orang ketuanya sedang rebah dengan muka pucat, karena mereka telah menderita luka dalam yang cukup parah.

Thian Sin memandang kagum saat dia tiba di depan gedung yang menjadi tempat tinggal Lam-sin. Gedung itu mungil dan nyeni, dengan tanaman-tanaman yang amat terawat rapi dan indah. Halaman depan dihias dengan petak rumput yang hijau segar dan rata, dan di sana-sini tumbuh pohon kembang mawar dan bermacam-macam bunga.

Jalan menuju ke pintu depan dilapisi dengan kerikil yang merupakan kerikil putih kebiruan. Saat menginjak jalan berkerikil itu, terdengar suara berisik sehingga Thian Sin cepat-cepat mengerahkan ginkang-nya. Kini dia berjalan melalui kerikil itu tanpa mengeluarkan suara sedikit pun seolah-olah tubuhnya hanya seringan bulu saja!

Dua orang wanita muda yang menyambutnya di pintu depan, memandang dengan wajah tak berhasil menyembunyikan keheranan dan kekaguman mereka melihat betapa pemuda itu dapat berjalan di atas jalan kerikil tanpa menimbulkan suara. Ini saja sudah merupakan demontrasi ginkang yang amat hebat, dan yang mereka ketahui hanya mampu dilakukan oleh majikan mereka, Lam-sin.

Ketika Thian Sin sudah berdiri di depan pintu, dua orang wanita yang berpakaian rapi dan memiliki wajah yang manis itu segera memberi hormat. Seorang di antara mereka, yang mempunyai tahi lalat kecil di dagu sehingga dia kelihatan manis sekali, berkata dengan suara halus dan merdu,

“Kongcu, silakan masuk. Pangcu sedang menghadapi meja makan dan mempersilakan kongcu untuk masuk saja.”

“Pangcu juga mengundang kongcu untuk makan malam bersamanya,” kata pula wanita ke dua.

Thian Sin tersenyum. Dua orang gadis muda ini sungguh cantik dan berpakaian mewah, sama sekali tidak kelihatan seperti pelayan. Maka dia pun mengangguk. “Pangcu kalian sungguh baik hati.” Maka dia pun mulai melangkah ke dalam gedung itu, diiringi oleh dua orang, satu di depan dan satu lagi di belakangnya.

Ketika memasuki gedung kecil itu, Thian Sin merasa semakin kagum. Lantainya begitu bersih dan licin mengkilat, langit-langitnya agak tinggi dan banyak terpasang lubang angin berukir sehingga ruangan di dalam gedung terasa sejuk sekali. Dan di dinding tergantung lukisan-lukisan indah serta tulisan-tulisan huruf indah yang tentu dibuat oleh ahli-ahli yang pandai dan berharga mahal sekali. Kain-kain sutera dan beludru menghias ruangan, juga perabot-perabot yang mungil. Sebuah rumah gedung kecil mungil yang dalamnya sangat indah seperti istana saja!

Sesudah mereka berdua membawanya masuk ke sebuah ruangan yang cukup luas, dia melihat seorang nenek duduk menghadapi meja makan yang panjang, dilayani oleh tiga orang gadis muda lain yang pakaiannya juga mewah dan wajahnya manis-manis seperti dua orang gadis pertama. Kini lima orang gadis itu berkumpul dan berdiri seperti hiasan ruangan, berjajar di latar belakang, membiarkan nenek itu menghadapi Thian Sin.

Akan tetapi nenek itu masih tetap duduk sambil menyumpit sepotong daging kecil, lantas dimasukkan ke mulutnya dan mengunyah daging itu dengan cara sopan tanpa membuka mulutnya, dan dengan sikap tenang seolah-olah tidak tahu bahwa ada tamu datang.

Thian Sin sendiri hanya berdiri dan memandang dengan sikap tenang pula, memandang penuh perhatian. Diam-diam hati pemuda ini kecewa. Kalau yang berjuluk Lam-sin hanya seorang nenek tua renta yang telah mendekati lubang kubur ini, maka agaknya sia-sialah perjalanannya yang jauh ini.

Dia sudah melihat tiga orang di antara empat datuk empat penjuru. Tung-hai-sian Bin Mo To adalah seorang tokoh yang tampak jelas kebesaran dan keangkerannya sebagai datuk wilayah timur, dan memang kakek itu memiliki kepandaian yang hebat.

Pak-san-kui Siangkoan Tiang juga pantas dinamakan datuk wilayah utara sebab memang memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi, juga mempunyai pengaruh dan wibawa yang kekuatannya tidak dapat dibantah lagi. Demikian pula See-thian-ong amat gagah perkasa dan menyeramkan, pantas menjadi datuk wilayah barat.

Akan tetapi mengapa datuk wilayah selatan hanyalah seorang nenek tua renta seperti ini, yang nampaknya lemah dan sudah pikun. Melawan seorang nenek seperti ini saja sudah merupakan hal yang memalukan.

Akan tetapi, melihat sikap nenek ini yang agaknya sama sekali tidak mempedulikannya, diam-diam Thian Sin merasa penasaran sekali. Dia terbatuk beberapa kali untuk menarik perhatian nenek pikun itu, akan tetapi nenek itu agaknya tidak mendengarnya. Pada saat Thian Sin mengulangi batuknya, nenek itu mengerutkan kedua alisnya, tanpa menengok dia berkata kepada salah seorang di antara lima orang gadis cantik itu.

“A-bwee, suara apakah itu? Tikus? Anjing?”

Thian Sin mendongkol sekali. Dia dianggap tikus atau anjjng! Dan lima orang gadis cantik itu tidak menjawab, melainkan menutupi mulut mereka dengan sapu tangan sutera untuk menyembunyikan senyum dan tawa mereka. Dari hal ini saja sudah membuat Thian Sin mengerti bahwa Si Nenek memang sengaja hendak menghinanya, mempermainkan dan memandang rendah kepadanya. Tentu saja dia menjadi semakin gemas.

“Nenek tua bangka! Apakah engkau yang berjuluk Lam-sin?” akhirnya dia bertanya juga dengan suara nyaring.

Dia melihat betapa wajah kelima orang gadis itu menjadi pucat dan mereka memandang kepada nenek itu dengan sinar mata mengandung kengerian. Dari sikap ini saja Thian Sin maklum bahwa kata-katanya tadi tentu luar biasa sekali, dan agaknya nenek ini sangat ditakuti, maka gembiralah dia dapat membalas dengan cara demikian.

Thian Sin melihat tangan yang menjepit sumpit itu nampak gemetar. Akan tetapi sebentar saja lalu sumpit itu melanjutkan pekerjaannya menjepit makanan. Tanpa menoleh, nenek itu berkata dengan suaranya yang lirih namun halus,

“Bocah ingusan, apakah engkau yang berjuluk Pendekar Sadis?”

Kembali Thian Sin merasa mendongkol sekali. Nenek ini benar-benar memandang rendah padanya, menyebutnya bocah ingusan! Sekaligus rasa gembira karena perasaan menang dengan pertanyaannya yang menghina itu lenyap, malah hatinya merasa semakin panas. Akan tetapi dia menjawab juga.

“Benar, akulah yang dijuluki Pendekar Sadis!”

“Dan akulah yang dijuluki Lam-sin!”

“Huh, tidak pantas seorang nenek tua bangka yang lemah dijuluki Malaikat Selatan, datuk kaum sesat di dunia selatan!”

“Heh, engkau lebih tidak patut lagi dijuluki Pendekar Sadis, karena engkau hanya seorang kanak-kanak hijau yang berusaha meniru lagak seorang siucai, namun pantasnya hanya menjadi kacung di sekolah!”

Saking mendongkolnya, dada Thian Sin terasa seperti hampir meledak. Nenek ini ternyata seorang yang pintar berdebat dan pandai menghina. Teringatlah Thian Sin bahwa semakin tua wanita, maka semakin cerewetlah dia. Dia pikir, kalau harus berdebat adu mulut, tentu dia akan kalah. Maka lebih baik menghentikan adu sindir-menyindir agar dia tidak menjadi semakin mendongkol.

“Lam-sin, engkau telah mengundangku dan aku sudah datang! Nah, mau apakah engkau mengundangku?”

Nenek itu menengok ke kiri, ke arah pemuda itu. Kini Thian Sin bisa melihat dari samping sebuah wajah yang kedua pipinya berkeriputan, dengan hidung kecil dan bibir kering yang seolah mengejek.

“Aku sedang makan, apa engkau tidak melihatnya? Aku tidak bisa bicara sambil makan, dan karena kau datang pada waktu aku makan maka aku mengundangmu untuk makan bersamaku. Aku tidak tahu apakah engkau berani makan bersamaku dan apakah engkau masih ada selera makan ketika menghadapi kematianmu.”

Thian Sin merasa dipandang rendah sekali dan ditantang. Seakan-akan nenek ini sudah merasa begitu yakin bahwa sebentar lagi nenek itu akan mampu membunuhnya. Dia lalu melangkah maju dan berkata dengan nada tak kalah mengejeknya,

“Memang orang yang akan mati sebaiknya makan dulu sekenyangnya. Dan aku memang senang menemani calon pecundangku makan bersama. Hendak kulihat racun apa yang hendak kau serahkan dan gunakan untuk bertindak curang.”

Thian Sin pun lalu duduk menghadapi meja makan, mengambil bangku yang berhadapan dengan nenek itu sehingga sekarang mereka bisa saling pandang, terhalang meja makan yang penuh dengan berbagai macam masakan yang masih mengepulkan uap dengan bau yang sedap. Tidak kurang dari dua puluh macam masakan sedap yang semuanya masih panas-panas terhidang di atas meja itu, disamping arak dan anggur wangi.

Akan tetapi, setelah kini mereka duduk saling berhadapan dan melihat sinar mata nenek itu, diam-diam Thian Sin terkejut bukan main dan merasa seram sehingga bulu kuduknya meremang. Nenek ini dilihat dari jauh tampak seperti seorang nenek tua renta yang lemah dan biasa saja, sama sekali tidak menimbulkan segan.

Akan tetapi begitu dia saling pandang dengan nenek itu, dia melihat sinar mata yang luar biasa, sepasang mata yang begitu tajam dan mencorong penuh wibawa, sepasang mata yang terang dan jernih, tak pantas dimiliki seorang nenek tua renta, sepantasnya menjadi mata seorang anak kecil yang masih bersih batinnya!

Kontras antara wajah tua keriputan dan sinar mata inilah yang membuat nenek itu amat berwibawa dan juga amat menyeramkan, juga menakutkan. Kini Thian Sin tidak merasa heran lagi mengapa tadi lima orang gadis pelayan itu kelihatan begitu ketakutan melihat betapa dia berani mengeluarkan kata-kata menghina kepada nenek luar biasa ini.

Sesudah sejenak saling pandang dan nenek itu pun agaknya nampak tercengang setelah menatap wajah pemuda itu karena agaknya baru pertama kali ini dia dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas, saling berhadapan dalam jarak yang tidak jauh, sampai lama nenek itu tidak mengeluarkan kata-kata. Sinar matanya seperti menjelajahi seluruh bagian muka Thian Sin.

Sesudah pemuda itu tersenyum seperti mengejek, barulah nenek itu nampak gugup dan sambil menoleh kepada para pelayannya dia berkata, “Nyalakan lampu, tak enak makan agak gelap begini!”

Memang saat itu sudah menjelang senja dan keadaan di dalam ruangan makan itu yang jendela-jendelanya menghadap ke timur sudah tak kebagian sinar matahari lagi sehingga menjadi agak remang-remang. Dua orang pelayan kemudian sibuk menyalakan beberapa buah lampu yang digantung pada sudut-sudut ruangan itu dan sebentar saja ruangan itu menjadi terang.

Karena lampu-lampu itu ditutup kain warna-warni, ada yang merah, ada yang kuning, ada yang biru dan hijau, maka suasana berubah menjadi romantis dan indah sekali, sungguh pun wajah nenek yang keriputan itu menjadi semakin jelas setelah tertimpa cahaya yang berwarna-warni itu. Sebaliknya wajah lima orang gadis pelayan nampak menjadi semakin manis dan bercahaya, dan demikian pula Thian Sin nampak semakin ganteng.

“Tuangkan arak untuk Pendekar Sadis!” kata pula nenek itu yang cepat ditaati oleh salah seorang pelayan.

Ketika pelayan yang berbaju ungu ini mendekat dan menuangkan arak ke dalam cawan di depan Thian Sin, pemuda ini mencium bau harum semerbak keluar dari lengan baju gadis itu. Akan tetapi dia bersikap tenang dan tidak memandang wajah halus cantik yang dekat dengannya itu, melainkan dia tetap mengamati gerak-gerik nenek di depannya karena dia maklum bahwa orang seperti nenek itu yang menjadi datuk kaum sesat, tentu mempunyai watak aneh yang tidak terduga-duga.

Dia tidak akan merasa heran kalau pada saat dia mencurahkan perhatiannya kepada lain hal, misalnya kepada gadis pelayan cantik itu, tiba-tiba saja Si Nenek akan melakukan serangan gelap yang amat berbahaya. Maka, dia tetap memandang wajah nenek itu. Baru setelah gadis itu memenuhi cawan araknya dan melangkah mundur, Thian Sin melirik ke cawan araknya yang sudah penuh dengan arak wangi.
Selanjutnya,