Pendekar Sadis Jilid 25 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sadis Jilid 25
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
LAKI-LAKI tinggi besar yang memimpin teman-temannya untuk menangkap orang hutan itu tadinya adalah orang yang dianggap sebagai pemimpin kelompok itu. Orang ini bernama Gak Song dan telah dikalahkan oleh Su Lo To, lalu diangkat menjadi wakilnya. Gak Song amat setia kawan terhadap teman-temannya, maka meski pun dia diangkat menjadi wakil Su Lo To, namun dia secara diam-diam membela kawan-kawannya.

Akan tetapi, akhirnya Su Lo To mau juga mengganggu pembantu atau wakilnya ini, Gak Song mempunyai seorang menantu perempuan yang baru saja dikawini puteranya. Mantu perempuan ini berasal dari dusun lain yang agak jauh dari tempat itu, dan dia termasuk seorang wanita yang cantik dan manis.

Kecantikan mantu perempuan inilah yang mendatangkan mala petaka bagi keluarganya, karena, seperti mudah diduga, Su Lo To sangat tertarik kepadanya! Akan tetapi, terhadap wakilnya, Su Lo To merasa tidak enak hati juga untuk mempergunakan kekerasan. Lantas timbullah akalnya yang busuk!

Selama beberapa bulan ini, di sebuah hutan besar yang tidak jauh dari daerah perburuan mereka, terdapat seekor orang hutan yang amat ganas dan kuat. Karena mereka merasa kewalahan untuk menghadapi orang hutan ini, bahkan sudah kehilangan seorang teman menjadi korban orang hutan ini, maka para pemburu lalu meninggalkannya dan menjauhi hutan itu.

Su Lo To juga tidak memaksa anak buahnya untuk menghadapi bahaya itu. Akan tetapi, sesudah dia melihat mantu Gak Song, tiba-tiba dia memerintahkan agar Gak Song dan anak buahnya, termasuk puteranya sendiri, pergi menangkap orang hutan itu hidup-hidup!

“Orang hutan itu merupakan binatang yang cerdik,” demikian katanya kepada Gak Song. “Aku hendak menjinakkannya dan kemudian menjadikannya semacam keamanan rumah. Maka dia pun harus dapat ditangkap dalam keadaan hidup!”

Gak Song dan kawan-kawannya tidak berani membantah lagi karena membantah berarti akan membuat kepala itu marah dan celakalah mereka bila mana Su Lo To sudah marah. Terpaksa mereka berangkat dan memasang jebakan dengan menggali lubang. Akhirnya, setelah menunggu dengan sabar dan menggunakan segala akal untuk memancing orang hutan itu datang, mereka berhasil menjebak hingga orang hutan itu terjerumus ke dalam perangkap.

“Demikianiah, taihiap, selanjutnya taihiap telah melihat sendiri apa yang terjadi dan tanpa bantuan taihiap, tak mungkin kami akan berhasil. Kalau tidak menjadi korban orang hutan itu, tentu sebaliknya kami akan menerima hukuman dari ketua kami sendiri.”

Thian Sin mengangguk-angguk. “Tapi, bagaimana seorang temanmu bisa berada di dalam perangkap itu?”

“Kami semua mempergunakan tombak untuk mencegah orang hutan itu yang berusaha untuk keluar dari lubang. Sayang sekali bahwa lubang itu terlalu dangkal sehingga tanpa dicegah dengan tombak, orang hutan itu tentu akan dapat keluar kembali. Dan binatang itu sangat hebat. Tusukan tombak tidak melukainya, dan bahkan dia berhasil menangkap sebatang tombak lalu menarik tombak itu dan membuat teman kami terjungkal ke dalam lubang dan kami tidak dapat menyelamatkannya lagi,” Gak Song menarik napas panjang. “Dan… teman kami yang menyerang taihiap tadi mencari mati sendiri, dia melakukannya karena takut terhadap ketua kami. Maka, harap taihiap sudi memaafkan kami dan dapat mengerti keadaan kami yang tersudut ini…”

Thian Sin mengangguk-angguk. “Dan bagaimana kalian akan dapat menaklukkan orang hutan di dalam perangkap itu dan membawanya kepada pemimpin kalian?”

“Kami tadi tidak berani menggunakan racun, takut kalau-kalau membunuhnya. Sekarang dia sudah tidak berdaya di dalam lubang, kami akan melaporkan kepada pemimpin kami dan kalau perlu kami akan membuat binatang itu kelaparan sehingga mudah ditangkap.”

Pada saat itu pula terdengar jerit suara wanita. Semua orang menengok dan nampaklah seorang wanita muda berlarian sambil menangis dan menjerit-jerit memanggil nama dua orang di antara mereka.

“Su Bwee…!” teriak seorang muda, seorang di antara mereka yang langsung berlari maju menyambut wanita itu.

Mereka berpelukan dan wanita itu menangis sesenggukkan. Wanita muda itu amat manis, namun pakaiannya dan juga rambutnya awut-awutan, mukanya pucat dan matanya basah karena tangis.

“Apa yang terjadi?” Thian Sin bertanya kepada Gak Song yang memandang dengan alis berkerut.

“Dia adalah mantuku, baru beberapa bulan menikah dengan puteraku… entah apa yang telah terjadi, taihiap…” Sambil berkata demikian, laki-laki tinggi besar ini melangkah maju menghampiri dua orang yang saling berpelukan itu. Thian Sin juga melangkah maju.

“Su Bwee, berhentilah menangis dan lekas ceritakan, apa yang telah terjadi maka engkau menyusul ke tempat berbahaya ini sambil menangis?” kata Gak Song.

Mendengar suara Gak Song, wanita muda bernama Su Bwee itu kemudian mengangkat mukanya dari dada suaminya dan menoleh ke arah ayah mertuanya, kemudian sambil menangis dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut menubruk kaki ayah mertuanya.

“Ayah… bunuhlah saja saya…” tangisnya.

Mendengar ratapan anak mantunya, Gak Song memandang dengan mata tebelalak, lalu ia pun membentak, suaranya berwibawa. “Bangkitlah, jangan seperti anak kecil dan lekas ceritakan apa yang telah terjadi!”

Su Bwee menceritakan dengan suara tak jelas karena betapa pun dia menahannya, tetap saja dia berbicara sambil menangis sesenggukan.

“Setelah ayah bersama suami saya pergi… ketua kedatangan seorang tamu… dan untuk menjamu tamu itu… saya beserta beberapa orang wanita muda disuruh melayani mereka makan… kemudian… ketua memaksa saya… uh-hu-huuh… dia… dia menyeret saya ke dalam kamarnya dan… dan… uh-huu-huuh…” Wanita itu tak dapat melanjutkan ceritanya karena dia sudah terguling dan roboh pingsan.

Agaknya dia sudah menempuh jarak jauh mencari suami dan ayah mertuanya itu sambil menangis dan berlari-larian, maka dia kehabisan napas dan juga kesedihan yang sangat besar menghimpit perasaannya. Biar pun ceritanya tidak jelas, namun semua orang dapat menangkap dan membayangkan apa yang sudah terjadi, apa yang sudah dilakukah oleh pemimpin mereka, Su Lo To, terhadap Su Bwee ini.

Suaminya, pemuda yang menjadi putera Gak Song itu, mengepal tinju dan memejamkan kedua matanya, seakan-akan hendak mengusir bayangan yang nampak olehnya, betapa isterinya dipaksa dan diperkosa oleh Su Lo To. Sedangkan Gak Song marah sekali. Pria tinggi besar ini berdiri tegak, kedua tangannya dikepal dan dia pun lalu berteriak dengan geramnya.

“Su Lo To, manusia jahanam! Berani engkau menghinaku seperti ini?”

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, disusul suara parau. “He-he, kau lihat saja, sute, bagaimana aku akan menghukum mereka yang sudah berani menentangku!” Lantas muncullah dua orang laki-laki dari antara pohon-pohon di depan.

Melihat bahwa yang datang itu adalah Su Lo To bersama seorang laki-laki setengah tua lainnya, semua orang terkejut dan nampak jelas betapa mereka itu ketakutan. Thian Sin melihat betapa gerakan kaki kedua orang itu cukup gesit dan ketika dia mengenal orang ke dua, wajah pemuda ini berubah, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Bahkan beberapa kali dia mengedipkan matanya, seolah-olah tidak percaya akan penglihatannya sendiri.

Betapa dia tidak akan terkejut dan heran ketika mengenal laki-laki yang bukan lain adalah Torgan, bekas koksu dari Raja Agahai! Bukankah bekas koksu itu sudah dihukum mati, dipenggal di lehernya dan bahkan kepalanya digantungkan di depan pintu gerbang untuk menjadi peringatan bagi orang lain?

Kenapa orang yang telah mati itu tiba-tiba saja dapat muncul di sini? Apakah arwah atau setannya? Thian Sin memandang lagi, kini dia khawatir kalau-kalau dia terkena pengaruh sihir. Akan tetapi, tetap saja orang yang dipandangnya itu adalah Torgan.

Sementara itu Gak Song yang sudah tidak sanggup menahan kemarahannya lagi, begitu melihat munculnya Su Lo To yang telah mengganggu dan memperkosa mantunya timbul kenekatan hatinya.

“Su Lo To manusia setan, biar aku mengadu nyawa denganmu.” Gak Song menggunakan tombaknya untuk menyerang.

Melihat serangan yang cukup hebat dan dilakukan dengan hati yang penuh kemarahan ini, Su Lo To hanya tertawa saja. Laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun ini tubuhnya gendut dan agak pendek, mukanya buruk sekali, kulit mukanya kasar hitam dan matanya besar sebelah, mulutnya lebar dan pada saat tertawa, nampaklah giginya yang berwarna kuning menghitam.

Pada waktu mata tombak Gak Song sudah dekat dengan perutnya, tiba-tiba saja Su Lo To menggerakkan tangannya. Tubuhnya miring, lantas sekali sambar dia sudah berhasil menangkap tombak itu, menariknya dengan kuat sekali, lalu kakinya melangkah maju dan sekali diayun, dia pun sudah menendang.

Gak Song tidak dapat mengelak lagi, terkena tendangan dan jatuh terjengkang. Pada saat itu pula, puteranya, suami Su Bwee, yang juga marah dan nekat, sudah menerjang dan menusukkan tombaknya. Kembali Su Lo To tertawa, dengan mudah saja dia menangkis sehingga terdengar suara keras dan tombak pada tangan pemuda itu patah. Dan sebelum lawannya yang muda itu sempat mengelak, sebuah tendangan mengenai pahanya hingga pemuda itu terlempar dan terbanting jatuh di dekat ayahnya.

“Ha-ha-ha, ayah dan anak yang tiada guna, kalian berani melawan aku? Ha-ha-ha, sudah bosan hidup, ya?”

Tiba-tiba terdengar gerengan yang sangat dahsyat. Su Lo To terkejut dan menengok ke arah lubang jebakan itu dan dia pun mengerti, lalu tertawa girang.

“Aha, si liar itu telah terperangkap? Bagus, bagus, biarlah dia kuberi hadiah pertama agar mudah menjadi jinak!” Kemudian dia melangkah menghampiri Gak Song dan puteranya. “Hemm, kalian berani melawan aku, ya? Biarlah kalian berdua yang akan menjadi mangsa pertama dari orang hutan itu!”

Semua orang menjadi ketakutan sehingga mereka cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh menggigil. Mereka sudah tahu apa yang hendak dilakukan oleh Su Lo To. Gak Song bersama puteranya itu tentu akan dilempar ke dalam lubang perangkap supaya dibunuh oleh orang hutan!

Akan tetapi, sebelum Su Lo To menggerakkan tangannya atau kakinya untuk melempar kedua orang itu ke dalam lubang perangkap, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu seorang pemuda telah berdiri di depannya. Pemuda itu adalah Thian Sin. Seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan yang berdiri tenang dan tersenyum ramah kepadanya.

“Apakah engkau yang bernama Su Lo To?” tanya Thian Sin dengan suara halus.

Su Lo To mengernyitkan sepasang alisnya lantas memandang tajam. Baru sekarang dia melihat adanya seorang pemuda asing di antara orang-orangnya.

“Benar, aku bernama Su Lo To, engkau siapa, orang muda? Bagaimana engkau dapat berada di sini?”

“Suheng! Dialah pemuda setan itu, putera Pangeran Ceng Han Houw yang kuceritakan kepadamu! Jangan lepaskan dia!” Tiba-tiba Torgan berseru sambil meloncat maju pula, mendekati Su Lo To dan memandang kepada Thian Sin dengan sikap marah.

Thian Sin tersenyum. “Aha, ternyata dua ekor srigala busuk sudah berkumpul di sini, dan kalian adalah suheng dan sute! Torgan dan Su Lo To, memang amat cocok untuk menjadi saudara, sepasang manusia jahat yang tak boleh kubiarkan hidup begitu saja!”

Memang orang itu adalah bekas koksu Torgan. Bagaimana secara tiba-tiba saja dia dapat muncul di sini? Bukankah dia sudah dihukum pancung sampai mati? Tidak demikianlah sesungguhnya. Torgan ini terlalu cerdik untuk membiarkan dirinya mati begitu saja. Kalau dia tidak mengamuk dan melawan adalah dia tahu bahwa melawan di depan raja berarti memberontak dan dia tidak mungkin akan dapat menyelamatkan diri lagi kalau begitu.

Maka, biar pun dia mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi, dia tidak mau melawan dan membiarkan dirinya ditangkap dan dibelenggu. Namun masih ada bekas kaki tangannya yang dapat menyelamatkannya dengan jalan menggantikan kedudukannya dengan orang lain yang mirip dengan wajahnya.

Dengan jalan mengancam dan menyuap petugas, akhirnya Torgan pun berhasil lolos dan membiarkan seorang korban, yaitu orang lain yang mirip dengan dirinya dan sudah dibikin tidak berdaya oleh sihirnya, untuk menjadi korban hukuman menggantikan dirinya. Yang dipancangkan di menara itu bukanlah kepalanya, melainkan kepala orang lain yang mirip sekali dengan dirinya!

Dan dia sendiri lalu melarikan diri dan datang kepada Su Lo To, suheng-nya yang sudah menjadi pemimpin bekas orang-orang Jeng-hwa-pang itu. Mereka ini adalah kakak adik seperguruan yang pernah menjadi penjahat-penjahat di Tibet. Kemudian, para pendeta Lama di Tibet mengalahkan mereka dan mengusir mereka.

Keduanya lari dan Torgan lebih pandai dari pada suheng-nya karena Torgan bisa menjadi orang kepercayaan Raja Agahai, kemudian dijadikan pembantunya yang amat dipercaya. Sedangkan Su Lo To yang hanya lihai dalam hal ilmu silat dan racun, tetapi tidak secerdik sute-nya, hanya menjadi pemimpin bekas anak buah Jeng-hwa-pang.

Mendengar ucapan Thian Sin, tentu saja Su Lo To menjadi marah bukan main. “Keparat sombong!” Su Lo To membentak.

Ketika tangannya bergerak, tombak rampasan tadi meluncur seperti anak panah cepatnya ke arah Thian Sin. Akan tetapi, dengan mudah saja Thian Sin melangkah ke kiri sehingga tombak itu meluncur lewat dan dengan suara keras mengerikan tombak itu lalu menancap pada batang pohon sampai setengahnya!

“Hayo lekas kalian maju, keroyok dan bunuh pemuda ini!” bentak Su Lo To kepada anak buahnya, yaitu teman-teman Gak Song yang masih ada tujuh orang itu.

Akan tetapi tujuh orang yang masih berlutut itu hanya memandang dengan muka pucat. Tak ada seorang pun yang berani bergerak. Mereka semua tahu siapa pemuda ini, maka biar pun mereka sangat takut kepada Su Lo To, namun tidak ada seorang pun yang mau mengeroyok Thian Sin.

Sementara itu, Gak Song dan puteranya juga sudah bangun dan memandang kepada Su Lo To dengan marah, akan tetapi juga gembira melihat Thian Sin sudah maju. Mereka percaya bahwa pemuda itu sajalah yang akan mampu menanggulangi ketua mereka yang kejam itu.

“Hemm, tidak ada seorang pun yang mau mentaati perintahku, ya? Baiklah, tunggu saja, sesudah dia kubereskan, maka kalian pun akan kumasukkan ke dalam lubang perangkap itu seorang demi seorang bersama dua orang keparat itu!” katanya menuding ke arah Gak Song.

Hatinya semakin panas melihat betapa wanita muda yang manis itu sudah saling rangkul dengan suaminya. Su Lo To suka sekali kepada wanita itu dan tadi, ketika melihat wanita itu lenyap dari kamarnya pada saat dia sedang bercakap-cakap dengan Torgan, dia dapat menduga ke mana perginya wanita yang telah diperkosanya itu.

Dia memang sudah mengambil keputusan untuk mengenyahkan Gak Song dan puteranya agar dia dengan bebas dapat memiliki wanita itu. Tetapi tak disangkanya dia malah akan menghadapi pemberontakan anak buahnya dan bertemu dengan seorang pemuda asing yang menentangnya.

“Suheng, hati-hati, dia itu lihai sekali!” Torgan berkata dan ucapan ini membuat Su Lo To menjadi semakin marah dan penasaran. Dia tahu bahwa kepandaian sute-nya itu sudah tinggi sekali dan hanya sedikit saja selisihnya dengan kepandaiannya sendiri, maka pujian sute-nya terhadap lawan ini sungguh tidak sedap didengar.

“Sute, apakah engkau sekarang sudah menjadi seorang penakut?” bentaknya dan melihat adanya sebuah batu besar, sebesar perut kerbau bunting di hadapannya, dia kemudian melangkah dan dengan kedua lengannya dia memeluk batu itu.

Batu yang amat besar dan yang takkan dapat terangkat oleh lima enam orang itu, dengan mudah diangkatnya ke atas lalu dilontarkannya ke arah Thian Sin. Melihat kekuatan ini, diam-diam Thian Sin kagum juga. Dia tidak berani mengelak begitu saja karena maklum bahwa kalau dia mengelak, batu besar itu dapat melukai orang-orang lain. Maka dia pun segera mengerahkan sinkang-nya dan menerima sambaran batu besar itu dengan kedua tangannya.

Semua orang memandang dengan mata terbelalak, dan menyangka bahwa pemuda itu terancam bahaya maut oleh sambaran batu itu. Akan tetapi, dengan mudah dan enaknya Thian Sin bahkan mempermainkan batu itu di atas kepalanya, melempar-lemparkan ke atas beberapa kali dan kemudian, setelah melihat tempat kosong, dia melemparkan batu itu ke arah kiri.

Batu berdebuk keras menimpa tanah dan menimbulkan getaran keras, menggelundung kemudian terhenti saat menabrak pohon besar. Batang pohon itu patah dan tumbang!

Melihat betapa pemuda itu mampu menghadapi serangan dahsyat tadi, semua anak buah Gak Song merasa gembira, akan tetapi sebaliknya, Su Lo To menjadi semakin marah.

“Bagus, kiranya engkau memiliki sedikit ilmu kepandaian, ya? Nah, terimalah seranganku ini!”

Su Lo To segera maju menerjang ke depan, sepasang lengannya yang pendek besar itu bergerak aneh. lalu terbit angin pukulan dahsyat menyambar dari kanan kiri, didahului oleh bunyi berkeretekan, bunyi tulang-tulang di buku-buku jari orang itu. Mengerikan sekali.

Thian Sin yang sudah dapat menduga bahwa orang ini mengandalkan tenaga yang besar, cepat menghadapinya dengan senyum tak pernah meninggalkan bibirnya. Dengan mudah saja dia mengelak dengan langkah ke belakang. Pada saat itu pula Torgan juga sudah menyerangnya dari samping dan bekas koksu ini mempergunakan sebatang pedang.

“Singggg…!”

Sinar pedang menyambar lewat ketika Thian Sin mengelak. Pemuda ini mengelak sambil mengibaskan ujung lengan bajunya ke kanan, pada saat Su Lo To sudah menubruk maju lagi.

“Plakkk!”

Ujung lengan baju pemuda itu menampar dan bertemu dengan ujung jari Su Lo To. Ujung lengan baju dari sutera itu pecah sedikit, akan tetapi sebaliknya, Su Lo To menyeringai kesakitan karena merasa betapa ujung jari tangannya seperti ditusuki jarum-jarum panas!

Tahulah dia kini mengapa sute-nya memuji orang ini, dan ternyata memang pemuda ini merupakan lawan yang tangguh. Maka dia pun lalu mencabut senjatanya, yaitu sebatang golok yang tadi tergantung pada punggungnya. Golok tipis lebar yang berkilauan saking tajamnya. Ketika golok digerakkan, bersama dengan gerakan pedang Torgan, nampaklah dua gulungan sinar yang terang berkelebatan mengurung tubuh Thian Sin!

Melihat ini, Gak Song dan teman-temannya yang semuanya mengerti ilmu silat, terkejut bukan main. Seperti juga ketua mereka, ternyata pendatang baru yang disebut sute oleh ketua mereka itu ternyata lihai sekali. Mereka tentu saja mengkhawatirkan keselamatan Thian Sin yang tidak memegang senjata tetapi harus menghadapi pedang dan golok yang sedemikian lihainya. Dan kalau pemuda itu gagal dan kalah, berarti mereka semua akan menghadapi kematian yang mengerikan. Hal ini membuat Gak Song menjadi nekad.

“Mari kita bantu taihiap!” berkata demikian, dia pun mencari tombak dan para pengikutnya juga bangkit dan siap melawan sampai mati.

“Mundurlah kalian, biar kuhadapi sendiri dua ekor monyet ini! Jangan khawatir, aku belum membutuhkan bantuan!”

Ucapan Thian Sin ini mengejutkan, mengherankan akan tetapi sekaligus menggirangkan hati Gak Song dan para temannya. Mereka lalu mundur kembali dan menonton. Mereka melihat Thian Sin masih berdiri tegak namun terus diancam oleh dua gulungan sinar yang menyambar-nyambar seperti dua setan maut yang hendak mencabut nyawanya.

Tiba-tiba terdengar Su Lo To membentak keras kemudian sinar goloknya menyambar dan mulailah dia membuka serangan, diikuti oleh sute-nya yang juga amat membenci pemuda yang telah membuat dirinya terjungkal dari kursi kedudukannya di kerajaan yang dipimpin oleh Raja Agahai itu. Kebencian Torgan jauh lebih besar dari pada kebencian Su Lo To terhadap pemuda itu yang dianggapnya hanya merupakan seorang pengacau saja.

Thian Sin maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang ini sudah cukup tinggi sehingga tidak boleh dipandang ringan. Akan tetapi pada saat itu, Thian Sin telah menjadi seorang pendekar sakti yang memiliki banyak ilmu-ilmu peninggalan ayah kandungnya. Dia adalah seorang tokoh persilatan yang sukar dicari tandingannya. Bahkan kalau diadakan ukuran, mungkin ayahnya sendiri tidak akan mampu menandinginya!

Kiranya, dengan ilmu mana pun yang dimilikinya, Thian Sin akan mampu menandingi dan mengalahkan kedua orang lawan yang mengeroyoknya dengan senjata tajam di tangan itu. Akan tetapi, semenjak dia keluar atau turun dari tempat pertapaannya di Himalaya, baru sekaranglah dia berhadapan dengan dua orang lawan yang tangguh. Oleh karena itu, dia melihat terbukanya kesempatan baik baginya untuk menguji ilmu-ilmu peninggalan ayahnya yang sudah dilatihnya secara masak, di bawah bimbingan Bu Beng Hud-couw sendiri, seperti yang dibayangkan dan dilihatnya di dalam pertapaannya itu.

Oleh karena itu, dia pun segera menghadapi serangan-serangan kedua orang itu dengan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang. Dan ilmu silat yang hanya terdiri dari delapan belas jurus ini memang hebat bukan main. Begitu dia menggerakkan kaki tangannya menurut jurus ilmu ini dan mengerahkan sinkang yang terkumpul melalui siulian menurut ajaran di dalam kitab-kitab ayahnya, ada getaran-getaran aneh keluar dari kedua tangannya dan begitu dia menggerakkan kedua tangan, ada hawa pukulan yang menyambar keluar dan dapat menahan gulungan sinar pedang dan golok itu.

Gerakan kedua tangannya mengeluarkan hawa yang membuat pedang dan golok itu tidak mampu mendekatinya, apa lagi menyentuh tubuhnya! Dua orang lawannya beberapa kali mengeluarkan seruan heran dan kaget, dan hal ini menjadi bukti bagi Thian Sin bahwa ilmunya itu sudah mencapai tingkat sempurna. Maka puaslah hatinya. Dia menggerakkan tangannya menurut jurus-jurus Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang dan baru tiga jurus saja dia keluarkan, kedua orang lawannya itu tidak sanggup bertahan lagi dan terus terhuyung ke belakang!

“Hemmm, dua ekor monyet banyak lagak. Hadapilah yang ini!” Thian Sin membentak dan sekarang dia ingin mencoba ilmunya yang ke dua yaitu Hok-te Sin-kun, maka tiba-tiba saja tubuhnya berjungkir-balik!

Dua orang lawannya yang sudah menyerang lagi itu terkejut dan menjadi bingung ketika tiba-tiba ada dua buah kaki yang menghadapi mereka, dengan gerakan-gerakan aneh sekali. Dan sebelum mereka tahu apa yang sedang terjadi, ujung kedua sepatu itu telah menendang sehingga membuat golok dan pedang mereka terlepas dan tiba-tiba saja dari bawah, ada jari tangan menotok lutut kemudian mereka pun terpelanting dan jatuh!

Dua orang itu merasa terkejut dan juga heran bercampur penasaran dan takut! Belum pernah selama hidup mereka yang puluhan tahun itu mereka pernah berjumpa dengan lawan sehebat ini. Mereka telah meloncat bangun lagi dan keduanya cepat menggerakkan tangan. Jarum-jarum berikut paku-paku beracun langsung bertaburan keluar dari tangan mereka, menyambar ke arah tubuh Thian Sin.

Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja. Tangan kirinya mencabut kipas, kemudian dengan beberapa kali gerakan kipasnya, semua jarum dan paku beracun itu pun runtuh. Bahkan di bagian bawah, yang mengenai paha dan kaki, seperti mengenai baja saja dan runtuh tanpa menimbulkan luka.

Dan sambil tersenyum Thian Sin melangkah maju, terus menghampiri mereka. Dua orang itu memandang pucat, hendak lari merasa malu dan juga merasa tidak ada gunanya, tapi hendak melawan merasa takut!

“Engkau hendak melempar orang ke dalam lubang perangkap itu? Nah, aku ingin melihat kalian berdua masuk ke dalamnya dan menjinakkan orang hutan itu. Hayo kalian masuk, ataukah harus kulemparkan ke sana?” Thian Sin berkata, suaranya halus dan mulutnya tersenyum, tangannya masih menggerakkan kipasnya mengebut ke arah lehernya yang sedikit berkeringat.

Su Lo To dan Torgan memandang dengan muka pucat, dan keduanya menggelengkan kepala. Mereka belum gila untuk mau memasuki lubang perangkap yang di dalamnya ada seekor orang hutan yang liar dan haus darah itu. Akan tetapi, mereka juga tahu bahwa pemuda itu mengancam, maka mereka tidak tahu harus berbuat bagaimana.

Tiba-tiba saja Thian Sin berseru, “Baiklah, kalau begitu aku yang akan melempar kalian ke sana!”

Kipasnya lalu menyambar dengan cepat, mengeluarkan angin karena digerakkan ke arah muka mereka, dan jari-jari tangan kanan Thian Sin juga bergerak seperti hendak menusuk ke arah kedua mata mereka dengan kecepatan kilat.

Dua orang yang sudah merasa jeri itu dan yang hanya ingin membela diri, cepat-cepat mengangkat kedua tangan untuk menangkis, akan tetapi tiba-tiba mereka merasa tubuh mereka terdorong lantas terlempar tanpa dapat dihindarkan lagi. Ternyata Thian Sin tadi menggerakkan kipas dan tangannya untuk menarik perhatian mereka ke atas, sedangkan kakinya mengerahkan sinkang sambil menendang ke arah mereka, tendangan yang tidak mendatangkan luka melainkan membuat tubuh mereka terlempar, tepat masuk ke dalam lubang perangkap itu.

Semua orang yang menyaksikan peristiwa ini menjadi kaget, ngeri dan juga girang. Akan tetapi, segera terdengar suara hiruk-pikuk yang menyeramkan di dalam lubang parangkap itu. Suara orang hutan yang memekik-mekik diselingi oleh seruan-seruan dua orang yang terlempar ke dalam lubang itu.

Thian Sin, Gak Song dan beberapa orang temannya itu segera menghampiri lubang dan dari atas mereka melihat perkelahian yang amat seru dan mati-matian antara orang hutan dan dua orang lihai itu. Orang hutan itu memang kuat dan buas sekali, pakaian dua orang itu sudah robek-robek dan tubuh mereka luka-luka, akan tetapi sekali ini, orang hutan itu berhadapan dengan dua orang yang amat lihai. Dan karena lubang itu terlampau sempit untuk tempat berkelahi, maka mereka bertiga itu lebih tepat bergumul dari pada berkelahi mempergunakan pukulan-pukulan.

Akhirnya, sesudah menderita luka-luka akibat gigitan dan cakaran binatang buas itu, dua orang lihai itu berhasil menangkap sebuah kaki serta sebuah tangan, kemudian mereka mengerahkan tenaga menarik.

Terdengar orang hutan itu memekik nyaring sekali, berusaha meronta, namun akhirnya terdengar suara keras dan tubuh orang hutan itu robek dan pecah menjadi dua potong! Dua orang itu melemparkan potongan tubuh orang hutan keluar dari lubang.

Semua orang meloncat mundur dan tidak lama kemudian, kedua orang itu pun melayang keluar dari dalam lubang jebakan itu, pakaian mereka penuh dengan darah orang hutan dan muka mereka pun berdarah, keadaan mereka sungguh menyeramkan sekali.

Thian Sin tersenyum saat menghadapi mereka. “Bagus, kalian telah berhasil menjinakkan orang hutan itu. Akan tetapi jangan harap dapat lolos dari tanganku.”

Dua orang itu saling pandang dan nampak terkejut sekali. Mereka tadinya mengira bahwa sesudah mereka dilemparkan ke dalam lubang itu lantas berkelahi mati-matian melawan orang hutan sampai memperoleh kemenangan, pemuda itu akan membebaskan mereka.

Karena merasa jeri, maka tanpa malu-malu lagi Su Lo To berkata, “Taihiap… harap suka ampunkan kami…”

“Hemmm, mudah saja bagiku untuk mengampuni kalian. Akan tetapi, Torgan, apakah kau kira arwah ayah bundaku dapat mengampunimu? Bukankan engkau yang menganjurkan kepada mendiang Raja Agahai untuk ikut mengeroyok dan membunuh orang tuaku? Dan engkau, Su Lo To, biar pun di antara kita tidak terdapat permusuhan, akan tetapi agaknya mantu Paman Gak Song tidak akan dapat mengampunimu begitu saja! Juga para wanita yang pernah kau permainkan dan saudara-saudara yang dulu pernah kau siksa atau kau bunuh. Nah, demi mereka itulah aku harus bertindak kepada kalian. Selama ada aku di dunia ini, aku tentu akan membuat perhitungan dengan semua penjahat!”

Dua orang yang sudah merasa jeri itu, sesudah saling memberi isyarat dengan pandang mata, tiba-tiba saja meloncat dan melarikan diri, yang seorang ke kanan dan seorang lagi ke kiri. Mereka itu agaknya hendak berlaku cerdik, melarikan diri dengan berpencar agar salah seorang di antara mereka dapat lolos!

Melihat ini, Thian Sin sudah meloncat dan mengejar Torgan. Sekali loncat saja dia sudah berhasil menyusul dan sebuah tamparan yang mengenai pundak Torgan membuat orang itu terguling sehingga tidak mampu bangkit kembali.

Thian Sin langsung mengejar ke arah larinya Su Lo To. Orang itu sudah berlari agak jauh, akan tetapi dengan gerakannya yang luar biasa cepatnya, tidak lama kemudian Thian Sin sudah dapat mengejarnya.

Begitu mendengar gerakan dari arah belakang dan tahu bahwa pemuda sakti itu sudah mengejar dan menyusulnya, tiba-tiba Su Lo To membalik lalu mengirim serangan dengan nekat. Dia membalik dan menubruk, mempergunakan kedua tangannya untuk menerkam laksana gerakan seekor binatang buas menerkam mangsanya. Agaknya, karena maklum bahwa dia tak akan mampu menandingi ilmu silat pemuda itu, Su Lo To telah mengambil keputusan nekat untuk dapat menangkap pemuda itu. Sekali dapat ditangkapnya, dengan tenaganya yang besar, maka dia akan dapat menghancurkan pemuda itu!

Akan tetapi, Thian Sin langsung menangkap kedua pergelangan tangan lawan dan begitu dia mengerahkan tenaganya, maka terdengar suara nyaring.

“Krekk! Krekk!” dan patahlah tulang-tulang pergelangan kedua tangan itu!

Thian Sin menendang dan lawannya pun roboh tidak mampu bangkit lagi, hanya merintih karena kedua pergelangan tangannya terasa nyeri bukan kepalang! Gak Song dan teman-temannya sudah datang ke tempat itu sambil menyeret tubuh Torgan yang sudah tidak berdaya. Pukulan atau tamparan pada pundaknya tadi selain membuat pundaknya remuk juga membuat dia merasa lumpuh pada separuh tubuhnya.

Setelah melemparkan tubuh Torgan di dekat tubuh Su Lo To, Gak Song menjura kepada Thian Sin kemudian berkata, “Kami merasa bersyukur sekali bahwa taihiap telah mampu menundukkan mereka. Selanjutnya apakah yang hendak taihiap lakukan terhadap kedua orang ini?”

Thian Sin tersenyum. “Aku tidak pernah mau mengampuni orang jahat. Torgan adalah musuh orang tuaku, dia harus mati. Akan tetapi karena antara Su Lo To dan kalian ada perhitungan sendiri, maka terserah kepada kalian. Kuserahkan Su Lo To kepada kalian untuk diadili!”

“Biar kubalaskan sakit hati isteriku!” Putera Gak Song berteriak dan dia sudah mencabut goloknya, kemudian mengayun golok itu ke arah leher Su Lo To yang sudah tidak mampu mengelak lagi.

“Plakk!”

Golok itu terlepas dari tangan pemuda itu ketika Thian Sin menangkisnya dan pendekar ini lantas mengambil golok tadi sambil tersenyum memandang kepada putera Gak Song yang terbelalak heran dan kaget.

“Bukan begitu caranya menghukum orang jahat. Terlampau enak baginya apa bila hanya langsung dipenggal lehernya. Dia adalah perusak wanita, suka memperkosa wanita, nah beginilah hukumannya untuk itu!”

Nampak sinar berkelebat sedemikian cepatnya sehingga tidak ada yang tahu apa yang terjadi ketika Thian Sin sudah menarik kembali goloknya. Hanya ketika Su Lo To berteriak dan merintih-rintih sajalah, lalu melihat darah membasahi celana orang itu, maka semua baru tahu dan merasa ngeri sekali bahwa pendekar itu sudah mempergunakan goloknya untuk membuntungi alat kelamin Su Lo To!

Hanya seorang ahli yang amat mahir sajalah yang dapat melakukan hal itu tanpa melukai kedua paha atau perut. Tentu saja Su Lo To merasakan kengerian yang menusuk-nusuk jantung sehingga tubuhnya berkelojotan.

“Dan dia juga telah membunuh orang-orang yang tidak berdosa, tentu hal itu dilakukannya dengan kedua tangannya, bukan? Nah, beginilah hukumannya!”

Kembali tampak sinar golok berkelebat dan sekarang yang menjadi sasaran adalah kedua tangan Su Lo To yang tahu-tahu sudah menjadi buntung! Darah bercucuran dari kedua lengan yang telah kehilangan tangan itu dan tubuh Su Lo To semakin keras berkelojotan, mukanya penuh peluh dan matanya melotot, mulutnya mengerang-erang dan membusa.

Semua orang menjadi ngeri sekali menyaksikan peristiwa ini, bahkan menantu Gak Song yang tadinya merasa sakit hati terhadap orang itu telah roboh pingsan di dalam rangkulan suaminya. Wajah Gak Song sendiri menjadi pucat bukan main. Selamanya belum pernah dia melihat keganasan dan kekejaman orang seperti yang dilakukan Thian Sin itu!

“Nah, biarkan dia begitu sampai mati! Itu baru sepadan dengan semua kejahatannya. Dan sekarang aku akan menghukum musuh ayah dan ibuku!” Dia menghampiri Torgan yang sudah menjadi pucat sekali menyaksikan nasib kawan atau suheng-nya itu. “Torgan, apa yang hendak kau katakan sekarang?”

Baru sekarang Torgan mengenal apa artinya rasa takut. Dia merasa ngeri sekali melihat suheng-nya dan hampir dia tidak percaya bahwa seorang pemuda yang sehalus itu, yang bersikap ramah dan manis lemah lembut, berpakaian sastrawan, dapat memiliki sifat yang sedemikian kejamnya. Saking takutnya, dia tidak mampu berkata-kata lagi, hanya dapat memandang dengan muka pucat akan tetapi penuh dengan keringat dingin.

“Engkau tidak mau bicara? Padahal, di hadapan Raja Agahai, mulutmu inilah yang paling busuk dan jahat, dan tentu mulutmu pula yang dulu menganjurkan agar Raja Agahai ikut mengirim pasukan untuk mengeroyok kedua orang tuaku. Maka, pertama-tama mulutmu yang harus dihukum!” Golok itu berkelebat dan seketika darah muncrat dari bagian muka di mana tadinya mulut Torgan berada.

Kini mulut itu sendiri telah hilang, yaitu kedua bibirnya dan sebagian dari giginya, lenyap akibat terbabat golok sehingga pada bagian itu hanya nampak sebuah lubang hitam yang penuh berdarah. Torgan mengeluarkan rintihan dari tenggorokannya, sedangkan semua orang memandang dengan hati ngeri.

“Engkau pun harus menghadap arwah orang tuaku dalam keadaan tersiksa!”

Golok itu berkelebatan lagi dan nampak darah muncrat-muncrat ketika kedua telinganya, hidung, kedua tangan dan kedua kaki Torgan terbabat buntung semua. Tubuh Torgan kini juga berkelojotan seperti tubuh Su Lo To dan Gak Song sendiri sampai membuang muka tidak tahan menyaksikan mereka itu.

Thian Sin juga tahu akan kengerian mereka, maka dia kini menghampiri Gak Song serta kawan-kawannya lantas berkata, “Baik sekali bahwa kalian sebagai bekas-bekas anggota Jeng-hwa-pang telah bertobat dan tidak mau melakukan kejahatan lagi. Karena kalau aku mendapatkan kalian masih seperti dahulu, tentu kalian akan mengalami nasib yang sama dengan mereka berdua ini.”

Gak Song cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dan diturut oleh semua temannya. “Kami menghaturkan terima kasih atas pertolongan taihiap,” Suaranya menggetar, tanda bahwa hatinya masih gentar dan ngeri menyaksikan hukuman yang amat kejam itu.

“Dan kalian harus tahu bahwa wanita muda ini sama sekali tidak bersalah, karena itu, jika sampai kelak aku mendengar bahwa suaminya membencinya karena peristiwa perkosaan itu, aku akan menghukumnya dengan berat!”

Putera Gak Song cepat merangkul isterinya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Taihiap, saya mencinta isteri saya dan saya tahu bahwa dia sama sekali tidak bersalah. Saya tidak menyalahkan dia, bahkan saya merasa kasihan kepadanya.”

“Bagus kalau begitu. Nah, sekarang siapa yang tahu di mana adanya Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam? Dia juga merupakan musuh keluargaku, dan harus kucari sampai dapat!”

Mendengar pertanyaan ini, Gak Song lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh, “Kami semua benar-benar tidak tahu pasti di mana adanya orang itu, akan tetapi kami pernah mendengar kabar angin bahwa dia kini bersekutu dengan Pek-lian-kauw tak jauh dari kota raja. Tentu saja dia telah mendengar tentang taihiap, maka dia ingin mendekati sekutunya ketika melakukan pengeroyokan terhadap Pangeran Ceng Han Houw.”

“Apa maksudmu? Sekutunya? Siapakah mereka?”

“Ada dua orang yang dahulu diperbantukan oleh Kerajaan Beng untuk mengeroyok ayah bunda taihiap. Mereka itu adalah dua orang tokoh dari Hwa-i Kai-pang, bernama Hek-bin Mo-kai dan Lo-thian Sin-kai. Hanya itulah yang kami ketahui, taihiap.”

Thian Sin mengangguk-angguk. “Terima kasih, Paman Gak. Nah, aku pergi sekarang!”

Dan sekali dia berkelebat, pemuda itu sudah tidak nampak lagi di depan mereka. Semua orang menjadi terkejut dan juga kagum bukan main.

Sementara itu, dua tubuh yang sudah tak karuan rupanya itu masih berkelojotan dan dari tenggorokan mereka terdengar suara rintihan-rintihan yang tidak jelas. Melihat hal ini, Gak Song menjadi tidak tega. Walau pun Su Lo To pernah melakukan banyak kejahatan dan menindas dia serta semua temannya, namun melihat tubuh itu berkelejotan dan tersiksa, dia tidak tega.

Cepat dia menyambar dua batang tombak, lantas dengan gerakan kuat dia menancapkan tombak-tombak itu ke dada dua orang itu, menembus jantung dan punggung. Seketika itu juga tewaslah kedua orang itu.

Gak Song kemudian memimpin orang-orangnya untuk mengubur dua mayat itu di dalam lubang, bersama mayat kawan mereka yang menjadi korban orang hutan, juga bangkai orang hutan itu, lalu menutup lubang jebakan itu dengan tanah. Setelah itu, beramai-ramai mereka kembali ke perkampungan mereka dengan hati terasa lapang, karena mereka melihat masa depan yang cerah sesudah Su Lo To tidak ada.

********************

Perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah sebuah perkumpulan pengemis yang terbesar di kota raja dan sekitarnya. Dahulu, ketika perkumpulan itu didirikan oleh Hwa-i Sin-kai, perkumpulan ini merupakan perkumpulan pengemis yang mengutamakan kegagahan, bahkan tidak segan-segan untuk menentang para pejabat pemerintah apa bila para pejabat itu menindas rakyat. Bahkan perkumpulan Hwa-i Kai-pang terkenal sebagai perkumpulan yang membela rakyat jelata. Hwa-i Sin-kai sendiri tewas dikeroyok pasukan pemerintah ketika dia dituduh menjadi pemberontak.

Ketika itu, Hwa-i Kai-pang bahkan condong menentang pemerintah yang berada di bawah pimpinan Kaisar Ceng Tung. Akan tetapi, sesudah Hwa-i Sin-kai tewas dan Kaisar Ceng Tung sendiri juga sudah tak ada lagi dan pemerintahan dipegang oleh Kaisar Ceng Hwa, terjadilah perubahan besar. Hwa-i Kai-pang didekati dan mendekati pemerintah, apa lagi sesudah perkumpulan ini dipegang oleh Hek-bin Mo-kai dan Lo-thian Sin-kai yang haus akan kedudukan dan kemuliaan, perkumpulan itu terkenal sebagai perkumpulan yang pro pemerintah.

Dan biasanya, kemuliaan dan kekayaan suka menyeret manusia ke dalam lembah nafsu yang tidak kenal puas. Selain kepuasan sesaat saja, kesenangan selalu mendatangkan keserakahan dan kehausan akan kesenangan yang lebih besar dan lebih besar lagi.

Makin kita memanjakan nafsu mengejar kesenangan, makin dalam lagi kita terperosok ke dalam lembah kehausan ini. Makin dituruti, nafsu menjadi semakin kuat menguasai kita sehingga kita sudah bukan menjadi manusia lagi, melainkan menjadi hamba nafsu yang hidup hanya sekedar menjadi permainan nafsu belaka.

Sudah jelaslah bahwa menuruti nafsu saja membuat kita menjadi manusia yang tak ada guna, menjadi hamba nafsu yang akhirnya akan menyeret kita ke lembah kehancuran, baik jasmani mau pun rohani. Bukan hanya terdapat dalam pelajaran kitab-kitab suci atau pun filsafat-filsafat belaka yang kesemuanya itu hanya teori belaka, akan tetapi dapat kita saksikan dan hayati sendiri dalam kehidupan kita sehari-hari.

Akan tetapi, bagaimana pengekangan nafsu-nafsu seperti yang dianjurkan oleh hampir semua pelajaran kebatinan? Siapakah yang mengekang atau mengendalikan nafsu?

Yang mengendalikan adalah aku yang melihat bahwa menuruti nafsu adalah buruk, maka aku ingin supaya dapat menguasai dan mengendalikan nafsu, supaya menjadi baik. Aku melihat bahwa menuruti nafsu akan membawa kepada kesengsaraan, maka aku ingin mengendalikan nafsu, menguasainya agar tidak terjerumus, agar memperoleh keamanan dan keselamatan yang berarti aku akan menikmati keadaan yang menyenangkan.

Bila mana kita mau mendalami hal ini, maka akan nampaklah bahwa nafsu adalah kita sendiri, pikiran kita sendiri, nafsu adalah si aku yang ingin senang. Sedangkan yang ingin mengendalikan nafau adalah aku pula, maka tidak ada bedanya antara nafsu dan yang ingin mengendalikan nafsu! Semua itu adalah permainan si aku yang ingin selalu senang.

Terjadilah konflik antara keadaaan aku yang ingin memuaskan nafsu dan aku yang ingin mengendalikan dan menguasai nafsu. Dan hal ini malah akan menjadi pupuk bagi nafsu itu sendiri. Mengendalikan saja tak akan mematikan nafsu, hanya akan menyeilmuti saja untuk sementara. Dan dalam konflik pengekangan ini, kita membuang energi yang amat besar dan sangat banyak. Akibatnya, nafsu tidak akan lenyap dan kita kehilangan energi dan menjadi tumpul, lemah.

Yang terpenting adalah pengamatan terhadap diri sendiri, terhadap nafsu apa bila timbul, terdapat keinginan-keinginan untuk menguasainya, keinginan untuk begini atau begitu yang semuanya tentu menuju ke satu arah, yaitu ingin bebas, ingin selamat, ingin aman, yang sesungguhnya hanyalah topeng-topeng halus dari satu keinginan, yaitu keinginan untuk senang.

Pengamatan yang dilakukan oleh si pengamat, masih sama saja, berada di dalam satu lingkaran setan, karena si pengamat ini adalah si aku pula, si nafsu untuk memperoleh keadaan yang lebih menyenangkan juga. Jadi, yang ada hanyalah pengamatannya saja, tanpa aku si pengamat. Di dalam pengamatan ini terdapat kewaspadaan dan kesadaran yang menimbulkan pengertian yang mendalam. Dan hanya pengertian mendalam inilah yang akan menimbulkan tindakan yang mendatangkan perubahan.


Setelah kini menjadi perkumpulan yang dilindungi oleh pemerintah, apa lagi di kota raja di mana perkumpulan itu dapat berhubungan langsung dengan para pembesar dari tingkat yang tertinggi, Hwa-i Kai-pang menjadi amat berpengaruh dan kekuasaannya terasa oleh penduduk.

Kai-pang ini sangat disegani oleh semua golongan. Setiap orang pengemis baju kembang selalu diterima sebagai orang yang dihormati dan disegani, padahal sebenarnya adalah merupakan orang yang ditakuti dan dibenci, dan mudah bagi setiap orang pengemis baju kembang untuk mendapat sumbangan dari toko-toko dan pedagang-pedagang, mau pun orang-orang.

Tidak ada sumbangan yang diberikan dengan hati rela oleh siapa pun juga. Selama suatu pemberian itu terjadi karena diminta, dan selama pemberian itu disebut pemberian atau sumbangan atau dermaan dan lain sebagainya, maka di dalam pemberian itu sudah pasti terkandung suatu sebab yang melahirkan pemberian itu.

Mungkin sebab itu merupakan pamrih memperoleh pujian, atau sekedar memuaskan hati sendiri, atau karena takut, maka sudah pasti bahwa sumbangan yang biasanya disebut sumbangan suka rela itu dilakukan orang dengan hati yang sama sekali tidak rela! Hanya pemberian yang dilakukan dengan dasar cinta kasih sajalah yang bahkan pemberiannya tidak dianggap sebagai pemberian atau sumbangan lagi, akan tetapi merupakan suatu kewajaran dan yang tidak diingat-ingat lagi.

Orang-orang Hwa-i Kai-pang mudah dikenal dari pakaian mereka. Pakaian yang tambal-tambalan seperti lajimnya pakaian pengemis, akan tetapi sama sekali tidak kotor apa lagi butut, melainkan pakaian yang ditambal-tambal, sengaja ditambal-tambal dan terbuat dari pada kain yang bersih dan baru. Dan mereka ini yang menjadi semacam ‘pelindung’ dari toko-toko dan rumah-rumah penduduk.

Memang benar bahwa semenjak mereka berkuasa, di kota raja boleh dikatakan tidak ada lagi pencoleng yang berani beroperasi karena mereka ini akan berhadapan dengan Hwa-i Kai-pang yang sangat kuat. Para pencuri, pencopet dan pencoleng pergi untuk beroperasi di kota-kota atau dusun-dusun lain yang jauh dari kota raja.

Akan tetapi, tidak adanya kaum pencoleng itu bukan berarti bahwa kehidupan rakyat di kota raja menjadi aman. Sama sekali tidak! Karena, para ‘pelindung’ itu sendirilah yang kini menjadi pengganti para pencoleng itu. Hanya bedanya, apa bila para pencoleng itu melakukan pekerjaan mereka dengan cara mencopet, mencuri atau menggertak dengan kasar, sebaliknya para ‘pelindung’ itu melakukannya dengan halus, dengan dalih hendak melindungi, sumbangan dan sebagainya.

Akan tetapi, apa bedanya bagi rakyat yang harus menderita rugi karenanya? Sama saja! Pelindung yang seharusnya melindungi rakyat dari gangguan luar itu kini malah menjadi pengganggu sendiri, seperti pagar makan tanaman.

Inilah ciri-ciri dari penyalah gunaan kekuasaan dan hal ini sudah terjadi semenjak jaman kuno sampai sekarang, di seluruh dunia. Kalau toh ada perbedaannya, maka perbedaan itu hanyalah terletak pada caranya saja. mungkin kasar, mungkin pula halus. Akan tetapi pada hakekatnya kekuasaan telah disalah gunakan untuk mencari kemuliaan diri sendiri, kemakmuran diri sendiri dan kesenangan bagi diri sendiri.

Karena kekuasaan merupakan senjata mutlak untuk memperoleh kesenangan, maka tak mengherankan apa bila seluruh manusia di dunia ini lalu memperebutkan kekuasaan, dan perebutan kekuasaan ini melahirkan permusuhan, dari permusuhan pribadi, sampai permusuhan golongan, antara saudara, antara suku sampai kepada antara bangsa dan negara!

Setelah kita melihat dengan jelas bahwa kekuasaan itu merusak kehidupan, maka jalan satu-satunya bagi kita hanyalah melepaskan tangan dan tak pernah ikut memperebutkan kekuasaan lagi!


Sekarang para penjaga keamanan kota boleh tinggal enak-enak dan bersenang-senang. Bahkan para prajurit penjaga tidak perlu lagi berkeliaran dari satu toko ke toko lain untuk minta sumbangan karena mereka itu sudah dijamin oleh orang-orang Hwa-i Kai-pang!

Betapa pun juga, sekarang kota raja kelihatan aman dan tenteram, dan Hwa-i Kai-pang seolah-olah menjadi semacam pasukan khusus yang menjamin keamanan di dalam kota raja. Tentu saja hal ini hanya kelihatannya saja, karena banyak penghuni yang mengeluh dan merasa diperas dan ditekan oleh orang-orang berbaju kembang itu.

Pada suatu hari, di tanah lapang dekat dengan pasar sebelah selatan kota raja, banyak orang berkerumun dan kadang-kadang mereka itu bertepuk tangan dan bersorak memuji. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun bersama seorang gadis berusia tujuh belas tahun sedang mengadakan pertunjukkan silat untuk menarik perhatian orang-orang. Mereka adalah penjual-penjual koyo, yaitu obat luka, penyambung tulang dan obat memulihkan otot-otot yang keseleo, juga menyembuhkan sakit pegal linu dan sebagainya.

Permainan silat tukang obat itu, terutama sekali permainan silat puterinya yang manis itu menarik perhatian dan memancing tepuk tangan memuji tadi. Pada akhir pertunjukkan, Si Ayah membuka baju atasnya, kemudian sambil bertelanjang dada dan punggung, dia pun menghadap ke empat penjuru.

“Untuk membuktikan keampuhan koyo kami, biarlah saya akan menunjukkan betapa koyo itu dapat menyembuhkan luka bekas pukulan dengan cepat.”

Puterinya mengambil sebatang toya kuningan, kemudian dengan toya ini mulailah dara itu mengayunkan toya dan memukuli tubuh ayahnya, pada punggung dan dadanya. Nampak tanda-tanda matang biru pada dada dan punggung itu dan para penonton merasa ngeri juga. Walau pun pukulan-pukulan keras itu agaknya tidak sampai melukai sebelah dalam tubuh, namun jelas bahwa kulit punggung dan perut serta dadanya menjadi matang biru.

Atas isyarat ayahnya, dara itu menghentikan pukulan-pukulannya dan tukang obat itu lalu berjalan berkeliling mendekati para penonton memperlihatkan keadaan kulit punggung dan dadanya itu dari dekat. Sesudah itu, dengan dibantu oleh puterinya dia lalu menempelkan koyo-koyo pada luka-luka itu.

Sambil menanti dan membiarkan koyo-koyo itu bekerja, kini si dara kembali menunjukkan kemahirannya bermain toya. Toya yang dimainkan dengan cepat itu kelihatannya berubah menjadi banyak sekali, terus menyambar-nyambar di sekeliling tubuh si dara manis. Para penonton memuji dan bertepuk tangan.

Sesudah dara itu menghentikan permainan silatnya, ayahnya lalu membuka koyo-koyo itu dan semua penonton kembali memuji karena memang benar sekali, warna biru-biru pada kulit dada dan punggung itu lenyap sudah.

“Cu-wi telah menyaksikan kemanjuran koyo ini! Cu-wi perlu menyediakan koyo seperti ini di rumah, untuk menjaga kalau-kalau cu-wi sendiri atau pun anak-anak cu-wi, terjatuh lalu terluka atau membengkak. Harganya sangat murah karena koyo ini adalah buatan kami sendiri, maka cu-wi tidak dapat memperolehnya di toko-toko dan kami tidak setiap hari lewat di kota raja ini…”

Dara itu membawa baki terisi bungkusan koyo dan berjalan berkeliling. Banyak penonton yang membeli koyo, bukan hanya karena mereka sudah menyaksikan sendiri kemanjuran obat itu, melainkan juga karena kagum dengan kemahiran ayah dan anak itu bersilat, dan karena dara yang manis itu memang menarik hati. Sebentar saja seluruh persediaan koyo itu telah habis dibeli orang! Dara itu menjadi girang sehingga berkali-kali dia menjura dan mengucapkan terima kasih sambil tersenyum manis, juga penjual koyo itu mengucapkan terima kasih kepada para pembeli.

“Cu-wi sekalian sudah begitu baik hati untuk membantu kami membeli koyo kami sampai habis. Untuk kebaikan cu-wi ini, biarlah kami mainkan beberapa jurus ilmu silat lagi,” kata si tukang koyo.

Akan tetapi tiba-tiba saja para penonton itu mundur dan membuka jalan bagi dua orang pengemis baju kembang. Semua orang merasa sangat khawatir karena biasanya apa bila ada pengemis Hwa-i Kai-pang mencampuri sesuatu urusan, tentu akan timbul keributan.

Mereka itu adalah dua orang pengemis yang usianya masih muda, baru tiga puluh tahun lebih dan melihat sikap mereka, jelas nampak bahwa mereka berdua sudah biasa berbuat ugal-ugalan dan biasa pula ditakuti orang sehingga mereka langsung memasuki lingkaran itu dengan tersenyum mengejek.

Seorang di antara mereka yang pada pipi sebelah kirinya ada bekas luka memanjang dari hidung hingga ke telinga kiri, melangkah maju memasuki lingkaran itu dan menghampiri si penjual koyo yang memandang dengan heran sebab sebagai orang luar dia tak mengenal para pengemis Hwa-i Kai-pang, lalu berkata dengan suara galak,

“Hei, tukang penjual koyo! Apakah engkau sudah mendapat ijin dari Hwa-i Kai-pang untuk berdagang di sini dan memamerkan sedikit kepandaian ilmu silatmu?”

Menerima pertanyaan yang kasar dan nadanya merendahkan ini, tukang obat yang sudah sangat berpengalaman itu maklum bahwa pengemis-pengemis ini memang mau mencari keributan. Dia adalah seorang pendatang, seorang tamu, maka dia bersikap sabar.

“Maaf, karena tidak mengerti peraturan, maka kami membuka pertunjukan untuk menjual koyo guna menyambung biaya perjalanan kami.”

“Huh, enak saja bicara!” kata pengemis ke dua yang mukanya hitam dan kasar. “Siapa pun juga, sebelum mendapatkan ijin dari pemerintah atau dari Hwa-i Kai-pang, tidak boleh sembarangan membuka pertunjukan di sini!”

“Kami sudah terlanjur karena tidak tahu akan peraturan itu, harap maafkan. Lain kali kami akan minta ijin lebih dulu,” kata tukang penjual obat itu dengan sikap merendah.

“Mana ada aturan begitu? Sudah mengeduk uang baru minta maaf. Hayo lekas serahkan setengah dari pendapatan kalian kepada kami, baru boleh bicara tentang maaf!” kata Si Muka Codet.

Tukang obat itu mengerutkan alisnya, dan dara itu yang merasa penasaran sudah berkata dengan suara keras, “Mana bisa begitu? Keuntungan kami pun tidak ada setengahnya, bagaimana dapat diminta setegahnya?”

“Aha, nona, siapa tidak tahu bahwa koyo kalian ini hanya terbuat dari tahi kerbau dan tanah lumpur? Kalian membuat koyo tanpa modal, jadi biar pun membayar kepada kami setengahnya sekali pun, kalian masih kebagian keuntungan yang cukup banyak!” kata Si Muka Hitam sambil tersenyum cengar-cengir secara kurang ajar sekali.

Mendengar ini, kemarahan tukang obat itu tak sanggup ditahannya lagi. “Harap ji-wi tidak main-main. Kami ayah dan anak melakukan perjalanan merantau selalu mengandalkan biaya perjalanan dengan menjual obat. Kami bukanlah pemeras-pemeras yang mengambil keuntungan terlampau banyak. Karena kami tidak mengenal peraturan di sini, maka kami telah melanggarnya dan harap ji-wi suka memaafkan. Kini biarlah kami memberi sekedar sumbangan kepada ji-wi.” Sambil berkata demikian, tukang obat yang belum tahu dengan pengemis macam apa dia berhadapan itu, telah menyerahkan beberapa potong uang kecil kepada mereka.

“Plakk!” Si Codet menampar tangan itu sehingga beberapa potong uang kecil itu segera terlempar.

“Hemmm, siapa main-main? Engkaulah yang main-main dan kurang ajar menghina kami, memberi kami beberapa potong uang kecil. Apa kau kira kami ini orang-orang kelaparan? Dan memang aku mau main-main, yaitu main-main dengan puterimu ini. Biarlah jumlah yang setengahnya dari uang pendapatan itu kau ganti saja dengan puterimu ini yang harus melayani kami berdua selama satu malam. Akur, bukan?”

Inilah penghinaan yang sudah amat jauh melewati batas! Tukang obat itu adalah seorang kang-ouw yang sudah banyak merantau di dunia kang-ouw, maka mendengar ucapan ini, tahulah dia bahwa yang bersembunyi di balik pakaian pengemis ini adalah orang-orang jahat yang bermoral bejat. Maka dia pun melompat maju dan bertolak pinggang.

“Sahabat, aku orang she Liang bukanlah seorang pengecut yang tidak berani membela kehormatan dengan nyawa. Kalian sengaja hendak menghina kami, nah, majulah, jangan kalian kira aku takut berhadapan dengan penjahat-penjahat bertopeng pengemis macam kalian ini!”

Dua orang pengemis itu melotot. “Eh, monyet! Berani engkau menghina Hwa-i Kai-pang?” Sudah biasalah bagi orang-orang yang mengandalkan nama perkumpulan, sedikit-sedikit menyinggung kepada perkumpulannya di mana dia bersandar. “Apakah engkau sudah bosan hidup?” bentak Si Codet.

Dan dia pun sudah menyerang dengan pukulan keras ke arah muka tukang obat itu. Akan tetapi tukang obat itu mengelak, lantas balas memukul ke arah lambung. Si Codet cepat menangkis.

“Dukkk…!”

Dua lengan bertemu dan akibatnya mereka sama-sama terhuyung dan merasa lengan mereka nyeri. Ini menandakan bahwa tenaga kedua orang ini berimbang.

Si Codet yang merasa sebagai seorang jagoan dan selama ini di kota raja belum pernah ada orang yang berani menentangnya, merasa penasaran lantas menyerang lagi dengan cepatnya. Seperti para anggota Hwa-i Kai-pang lainnya, dia juga mengandalkan ilmu silat Ta-houw Ciang-hoat (Ilmu Silat Memukul Harimau). Gerakannya memang sangat cepat dan setiap pukulannya mengandung tenaga yang cukup kuat.

Tukang obat itu harus mengeluarkan seluruh kepandaian untuk mengimbangi serangan-serangan lawannya yang ternyata tangguh itu. Mereka lantas saling serang dan keadaan mereka seimbang, walau pun tukang obat itu merasa sibuk juga menghadapi ilmu silat yang lihai itu.

Melihat betapa temannya belum juga mampu mengalahkan Si Tukang Obat, Si Muka Hitam menyerbu ke depan. Akan tetapi, dara itu berseru marah.

“Pengecut, jangan main keroyok!” Dan dia pun menerjang ke depan menyambut Si Muka Hitam. Karena maklum betapa lihainya para pengemis ini, tukang obat itu berseru kepada puterinya agar mundur.

“Cin-ji, mundurlah, biarkan aku yang menghadapi mereka!”

Akan tetapi, tentu saja dara itu tidak mau mundur dan dengan cepat dia telah menyerang Si Muka Hitam yang melayaninya sambil tertawa-tawa. Dan memang benar, kepandaian dara itu masih terlampau rendah untuk menandingi Si Muka Hitam, apa lagi dia juga kalah tenaga. Setiap terkena tangkisan Si Muka Hitam itu, lengannya terasa nyeri sekali dan dia terhuyung. Akhirnya, sebuah tendangan dari Si Muka Hitam mengenai lutut dara itu yang membuatnya terpelanting roboh. Kakinya terkilir dan dara itu tidak dapat berdiri lagi.

“Ha-ha-ha, malam nanti kupijiti kakimu yang terkilir, manis!” kata Si Muka Hitam yang kini cepat membantu temannya menghadapi Si Tukang Obat yang sudah terdesak.

Melawan Si Codet seorang saja, dia sudah terdesak, apa lagi setelah Si Muka Hitam ikut maju. Maka Si Tukang Obat mulai menerima pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang membuatnya babak bundas dan jatuh bangun. Akan tetapi dia masih terus melawan meski pun setiap kali dia bangkit, hanya untuk menjadikan dirinya menjadi bulan-bulanan tendangan dan pukulan belaka.

“Ha-ha-ha, nah cobalah sekarang obati luka-lukamu dengan koyo itu! Ha-ha-ha!” Si Muka Hitam tertawa-tawa.

“Hayo kau ikut bersama kami!” Si Codet maju dan menangkap lengan dara yang masih duduk di atas tanah karena kakinya terkilir sehingga sia tidak mampu bangkit berdiri.

Ketika lengannya ditangkap, dara itu meronta-ronta sambil menangis. Akan tetapi, semua orang yang tadinya menjadi penonton, kini mundur dan tidak ada seorang pun yang berani melerai, apa lagi menolong dara dan ayahnya itu.

“Dunia sudah kacau, dunia sudah gila binatang buas berkedok manusia merajalela di kota raja seenaknya tanpa ada yang berani merintanginya!”

Semua orang merasa terheran-heran ketika melihat seorang pemuda tampan berpakaian sasterawan, membawa kipas dan mengebut-ngebutkan kipas mengusir panas, membaca sajak dengan suara merdu, mendekati tempat kedua orang pengemis Hwa-i Kai-pang itu beraksi. Kedua orang pengemis ini pun melihat Si Pemuda dan mereka menjadi marah sekali.

“Heh, engkau inilah yang agaknya sudah gila. Hayo lekas pergi, atau kupatahkan tulang-tulangmu bersama kipasmu!” bentak Si Muka Hitam yang sudah merasa lelah memukuli Si Tukang Obat dan sekarang agaknya hendak mencari sasaran lain untuk memamerkan kekuatannya.

Akan tetapi Thian Sin, pemuda itu, tidak mempedulikan Si Muka Hitam, melainkan malah menghampiri dara yang telah dilepaskan oleh Si Codet yang kini juga memandang marah kepada Thian Sin yang dianggapnya mencampuri urusannya. Tetap saja Thian Sin tidak mempedulikan dua orang pengemis itu, melainkan menggunakan kipasnya yang ditutup untuk menotok ke arah kaki kiri dara itu.

“Tuk-tukk!” Dua kali dia menotok dan dara itu merasa betapa kakinya sembuh kembali! Maka dia pun cepat bangkit berdiri dan memandang heran kepada pemuda itu.

Thian Sin lalu menjura kepada dara itu. “Nona, dua ekor anjing belang ini telah memukuli ayahmu dan bersikap kurang ajar kepadamu, mengapa engkau diam saja, nona? Engkau adalah seorang gadis yang pandai ilmu silat, mengapa dihina orang diam saja? Hayo kau hajar dua ekor anjing belang yang kurang ajar ini!” Berkata demikian, tanpa dilihat orang lain, Thian Sin mengedip kepada dara itu.

Entah apa yang menyebabkan dara itu seketika menjadi percaya sekali kepada Thian Sin. Mungkin melihat sikap aneh dari pemuda ini, dan mungkin pula melihat betapa dengan totokan kipasnya saja pemuda itu sudah mampu membuat kakinya yang terkilir menjadi sembuh kembali. Tiba-tiba dara itu telah meloncat ke depan menyerang kepada pengemis muka codet.

“Cin-ji… hati-hatilah…!” Ayahnya yang babak-belur itu memperingatkan karena dia tahu bahwa puterinya itu sama sekali bukan tandingan pengemis-pengemis yang lihai itu. Akan tetapi alangkah kaget hatinya ketika melihat betapa pukulan tangan dara itu dengan tepat mengenai leher pengemis muka codet.

“Plakkk!”

Pukulan itu cukup keras sehingga kepala Si Codet itu sampai miring dan tubuhnya juga terhuyung ke belakang.

“Bagus, nona! Itu aniing belang muka hitam minta bagian!” seru Thian Sin dengan suara gembira.

Semua orang yang melihat peristiwa ini menjadi terheran-heran, juga tukang obat sendiri. Kini, mendapatkan semangat baru karena hasil pukulannya tadi dan mendengar dorongan pemuda sasterawan, dara itu menyerang dengan tendangan kaki ke arah perut Si Muka Hitam.

“Desss…!”

Si Muka Hitam terjengkang dengan mata terbelalak dan muka merah, memegangi bagian perutnya yang tertendang karena terasa nyeri. Si Codet dan Si Muka Hitam sudah bangkit lagi, mata mereka terbelalak karena tanpa ada yang tahu, mereka tadi tentu saja tidak membiarkan dirinya ditampar dan ditendang oleh nona itu, akan tetapi sungguh luar biasa, setiap kali mereka ingin menggerakkan tangan atau kaki untuk menangkis atau mengelak, tubuh mereka mogok dan sama sekali tidak dapat digerakkan sehingga tentu saja pukulan serta tendangan gadis itu selalu tepat mengenai sasaran dan tubuh mereka terpelanting atau terhuyung, baru setelah itu mereka mampu bergerak lagi!

Dara itu menjadi gembira bukan main melihat betapa setiap pukulan dan tendangannya mengenai sasaran. Maka dia pun terus menyerang kedua orang pengemis itu bergantian, dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan sekuatnya. Akibatnya, tubuh kedua orang pengemis itu iatuh bangun seperti ketika ayahnya dihajar tadi.
Selanjutnya,

Pendekar Sadis Jilid 25

Pendekar Sadis Jilid 25
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
LAKI-LAKI tinggi besar yang memimpin teman-temannya untuk menangkap orang hutan itu tadinya adalah orang yang dianggap sebagai pemimpin kelompok itu. Orang ini bernama Gak Song dan telah dikalahkan oleh Su Lo To, lalu diangkat menjadi wakilnya. Gak Song amat setia kawan terhadap teman-temannya, maka meski pun dia diangkat menjadi wakil Su Lo To, namun dia secara diam-diam membela kawan-kawannya.

Akan tetapi, akhirnya Su Lo To mau juga mengganggu pembantu atau wakilnya ini, Gak Song mempunyai seorang menantu perempuan yang baru saja dikawini puteranya. Mantu perempuan ini berasal dari dusun lain yang agak jauh dari tempat itu, dan dia termasuk seorang wanita yang cantik dan manis.

Kecantikan mantu perempuan inilah yang mendatangkan mala petaka bagi keluarganya, karena, seperti mudah diduga, Su Lo To sangat tertarik kepadanya! Akan tetapi, terhadap wakilnya, Su Lo To merasa tidak enak hati juga untuk mempergunakan kekerasan. Lantas timbullah akalnya yang busuk!

Selama beberapa bulan ini, di sebuah hutan besar yang tidak jauh dari daerah perburuan mereka, terdapat seekor orang hutan yang amat ganas dan kuat. Karena mereka merasa kewalahan untuk menghadapi orang hutan ini, bahkan sudah kehilangan seorang teman menjadi korban orang hutan ini, maka para pemburu lalu meninggalkannya dan menjauhi hutan itu.

Su Lo To juga tidak memaksa anak buahnya untuk menghadapi bahaya itu. Akan tetapi, sesudah dia melihat mantu Gak Song, tiba-tiba dia memerintahkan agar Gak Song dan anak buahnya, termasuk puteranya sendiri, pergi menangkap orang hutan itu hidup-hidup!

“Orang hutan itu merupakan binatang yang cerdik,” demikian katanya kepada Gak Song. “Aku hendak menjinakkannya dan kemudian menjadikannya semacam keamanan rumah. Maka dia pun harus dapat ditangkap dalam keadaan hidup!”

Gak Song dan kawan-kawannya tidak berani membantah lagi karena membantah berarti akan membuat kepala itu marah dan celakalah mereka bila mana Su Lo To sudah marah. Terpaksa mereka berangkat dan memasang jebakan dengan menggali lubang. Akhirnya, setelah menunggu dengan sabar dan menggunakan segala akal untuk memancing orang hutan itu datang, mereka berhasil menjebak hingga orang hutan itu terjerumus ke dalam perangkap.

“Demikianiah, taihiap, selanjutnya taihiap telah melihat sendiri apa yang terjadi dan tanpa bantuan taihiap, tak mungkin kami akan berhasil. Kalau tidak menjadi korban orang hutan itu, tentu sebaliknya kami akan menerima hukuman dari ketua kami sendiri.”

Thian Sin mengangguk-angguk. “Tapi, bagaimana seorang temanmu bisa berada di dalam perangkap itu?”

“Kami semua mempergunakan tombak untuk mencegah orang hutan itu yang berusaha untuk keluar dari lubang. Sayang sekali bahwa lubang itu terlalu dangkal sehingga tanpa dicegah dengan tombak, orang hutan itu tentu akan dapat keluar kembali. Dan binatang itu sangat hebat. Tusukan tombak tidak melukainya, dan bahkan dia berhasil menangkap sebatang tombak lalu menarik tombak itu dan membuat teman kami terjungkal ke dalam lubang dan kami tidak dapat menyelamatkannya lagi,” Gak Song menarik napas panjang. “Dan… teman kami yang menyerang taihiap tadi mencari mati sendiri, dia melakukannya karena takut terhadap ketua kami. Maka, harap taihiap sudi memaafkan kami dan dapat mengerti keadaan kami yang tersudut ini…”

Thian Sin mengangguk-angguk. “Dan bagaimana kalian akan dapat menaklukkan orang hutan di dalam perangkap itu dan membawanya kepada pemimpin kalian?”

“Kami tadi tidak berani menggunakan racun, takut kalau-kalau membunuhnya. Sekarang dia sudah tidak berdaya di dalam lubang, kami akan melaporkan kepada pemimpin kami dan kalau perlu kami akan membuat binatang itu kelaparan sehingga mudah ditangkap.”

Pada saat itu pula terdengar jerit suara wanita. Semua orang menengok dan nampaklah seorang wanita muda berlarian sambil menangis dan menjerit-jerit memanggil nama dua orang di antara mereka.

“Su Bwee…!” teriak seorang muda, seorang di antara mereka yang langsung berlari maju menyambut wanita itu.

Mereka berpelukan dan wanita itu menangis sesenggukkan. Wanita muda itu amat manis, namun pakaiannya dan juga rambutnya awut-awutan, mukanya pucat dan matanya basah karena tangis.

“Apa yang terjadi?” Thian Sin bertanya kepada Gak Song yang memandang dengan alis berkerut.

“Dia adalah mantuku, baru beberapa bulan menikah dengan puteraku… entah apa yang telah terjadi, taihiap…” Sambil berkata demikian, laki-laki tinggi besar ini melangkah maju menghampiri dua orang yang saling berpelukan itu. Thian Sin juga melangkah maju.

“Su Bwee, berhentilah menangis dan lekas ceritakan, apa yang telah terjadi maka engkau menyusul ke tempat berbahaya ini sambil menangis?” kata Gak Song.

Mendengar suara Gak Song, wanita muda bernama Su Bwee itu kemudian mengangkat mukanya dari dada suaminya dan menoleh ke arah ayah mertuanya, kemudian sambil menangis dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut menubruk kaki ayah mertuanya.

“Ayah… bunuhlah saja saya…” tangisnya.

Mendengar ratapan anak mantunya, Gak Song memandang dengan mata tebelalak, lalu ia pun membentak, suaranya berwibawa. “Bangkitlah, jangan seperti anak kecil dan lekas ceritakan apa yang telah terjadi!”

Su Bwee menceritakan dengan suara tak jelas karena betapa pun dia menahannya, tetap saja dia berbicara sambil menangis sesenggukan.

“Setelah ayah bersama suami saya pergi… ketua kedatangan seorang tamu… dan untuk menjamu tamu itu… saya beserta beberapa orang wanita muda disuruh melayani mereka makan… kemudian… ketua memaksa saya… uh-hu-huuh… dia… dia menyeret saya ke dalam kamarnya dan… dan… uh-huu-huuh…” Wanita itu tak dapat melanjutkan ceritanya karena dia sudah terguling dan roboh pingsan.

Agaknya dia sudah menempuh jarak jauh mencari suami dan ayah mertuanya itu sambil menangis dan berlari-larian, maka dia kehabisan napas dan juga kesedihan yang sangat besar menghimpit perasaannya. Biar pun ceritanya tidak jelas, namun semua orang dapat menangkap dan membayangkan apa yang sudah terjadi, apa yang sudah dilakukah oleh pemimpin mereka, Su Lo To, terhadap Su Bwee ini.

Suaminya, pemuda yang menjadi putera Gak Song itu, mengepal tinju dan memejamkan kedua matanya, seakan-akan hendak mengusir bayangan yang nampak olehnya, betapa isterinya dipaksa dan diperkosa oleh Su Lo To. Sedangkan Gak Song marah sekali. Pria tinggi besar ini berdiri tegak, kedua tangannya dikepal dan dia pun lalu berteriak dengan geramnya.

“Su Lo To, manusia jahanam! Berani engkau menghinaku seperti ini?”

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, disusul suara parau. “He-he, kau lihat saja, sute, bagaimana aku akan menghukum mereka yang sudah berani menentangku!” Lantas muncullah dua orang laki-laki dari antara pohon-pohon di depan.

Melihat bahwa yang datang itu adalah Su Lo To bersama seorang laki-laki setengah tua lainnya, semua orang terkejut dan nampak jelas betapa mereka itu ketakutan. Thian Sin melihat betapa gerakan kaki kedua orang itu cukup gesit dan ketika dia mengenal orang ke dua, wajah pemuda ini berubah, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Bahkan beberapa kali dia mengedipkan matanya, seolah-olah tidak percaya akan penglihatannya sendiri.

Betapa dia tidak akan terkejut dan heran ketika mengenal laki-laki yang bukan lain adalah Torgan, bekas koksu dari Raja Agahai! Bukankah bekas koksu itu sudah dihukum mati, dipenggal di lehernya dan bahkan kepalanya digantungkan di depan pintu gerbang untuk menjadi peringatan bagi orang lain?

Kenapa orang yang telah mati itu tiba-tiba saja dapat muncul di sini? Apakah arwah atau setannya? Thian Sin memandang lagi, kini dia khawatir kalau-kalau dia terkena pengaruh sihir. Akan tetapi, tetap saja orang yang dipandangnya itu adalah Torgan.

Sementara itu Gak Song yang sudah tidak sanggup menahan kemarahannya lagi, begitu melihat munculnya Su Lo To yang telah mengganggu dan memperkosa mantunya timbul kenekatan hatinya.

“Su Lo To manusia setan, biar aku mengadu nyawa denganmu.” Gak Song menggunakan tombaknya untuk menyerang.

Melihat serangan yang cukup hebat dan dilakukan dengan hati yang penuh kemarahan ini, Su Lo To hanya tertawa saja. Laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun ini tubuhnya gendut dan agak pendek, mukanya buruk sekali, kulit mukanya kasar hitam dan matanya besar sebelah, mulutnya lebar dan pada saat tertawa, nampaklah giginya yang berwarna kuning menghitam.

Pada waktu mata tombak Gak Song sudah dekat dengan perutnya, tiba-tiba saja Su Lo To menggerakkan tangannya. Tubuhnya miring, lantas sekali sambar dia sudah berhasil menangkap tombak itu, menariknya dengan kuat sekali, lalu kakinya melangkah maju dan sekali diayun, dia pun sudah menendang.

Gak Song tidak dapat mengelak lagi, terkena tendangan dan jatuh terjengkang. Pada saat itu pula, puteranya, suami Su Bwee, yang juga marah dan nekat, sudah menerjang dan menusukkan tombaknya. Kembali Su Lo To tertawa, dengan mudah saja dia menangkis sehingga terdengar suara keras dan tombak pada tangan pemuda itu patah. Dan sebelum lawannya yang muda itu sempat mengelak, sebuah tendangan mengenai pahanya hingga pemuda itu terlempar dan terbanting jatuh di dekat ayahnya.

“Ha-ha-ha, ayah dan anak yang tiada guna, kalian berani melawan aku? Ha-ha-ha, sudah bosan hidup, ya?”

Tiba-tiba terdengar gerengan yang sangat dahsyat. Su Lo To terkejut dan menengok ke arah lubang jebakan itu dan dia pun mengerti, lalu tertawa girang.

“Aha, si liar itu telah terperangkap? Bagus, bagus, biarlah dia kuberi hadiah pertama agar mudah menjadi jinak!” Kemudian dia melangkah menghampiri Gak Song dan puteranya. “Hemm, kalian berani melawan aku, ya? Biarlah kalian berdua yang akan menjadi mangsa pertama dari orang hutan itu!”

Semua orang menjadi ketakutan sehingga mereka cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh menggigil. Mereka sudah tahu apa yang hendak dilakukan oleh Su Lo To. Gak Song bersama puteranya itu tentu akan dilempar ke dalam lubang perangkap supaya dibunuh oleh orang hutan!

Akan tetapi, sebelum Su Lo To menggerakkan tangannya atau kakinya untuk melempar kedua orang itu ke dalam lubang perangkap, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu seorang pemuda telah berdiri di depannya. Pemuda itu adalah Thian Sin. Seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan yang berdiri tenang dan tersenyum ramah kepadanya.

“Apakah engkau yang bernama Su Lo To?” tanya Thian Sin dengan suara halus.

Su Lo To mengernyitkan sepasang alisnya lantas memandang tajam. Baru sekarang dia melihat adanya seorang pemuda asing di antara orang-orangnya.

“Benar, aku bernama Su Lo To, engkau siapa, orang muda? Bagaimana engkau dapat berada di sini?”

“Suheng! Dialah pemuda setan itu, putera Pangeran Ceng Han Houw yang kuceritakan kepadamu! Jangan lepaskan dia!” Tiba-tiba Torgan berseru sambil meloncat maju pula, mendekati Su Lo To dan memandang kepada Thian Sin dengan sikap marah.

Thian Sin tersenyum. “Aha, ternyata dua ekor srigala busuk sudah berkumpul di sini, dan kalian adalah suheng dan sute! Torgan dan Su Lo To, memang amat cocok untuk menjadi saudara, sepasang manusia jahat yang tak boleh kubiarkan hidup begitu saja!”

Memang orang itu adalah bekas koksu Torgan. Bagaimana secara tiba-tiba saja dia dapat muncul di sini? Bukankah dia sudah dihukum pancung sampai mati? Tidak demikianlah sesungguhnya. Torgan ini terlalu cerdik untuk membiarkan dirinya mati begitu saja. Kalau dia tidak mengamuk dan melawan adalah dia tahu bahwa melawan di depan raja berarti memberontak dan dia tidak mungkin akan dapat menyelamatkan diri lagi kalau begitu.

Maka, biar pun dia mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi, dia tidak mau melawan dan membiarkan dirinya ditangkap dan dibelenggu. Namun masih ada bekas kaki tangannya yang dapat menyelamatkannya dengan jalan menggantikan kedudukannya dengan orang lain yang mirip dengan wajahnya.

Dengan jalan mengancam dan menyuap petugas, akhirnya Torgan pun berhasil lolos dan membiarkan seorang korban, yaitu orang lain yang mirip dengan dirinya dan sudah dibikin tidak berdaya oleh sihirnya, untuk menjadi korban hukuman menggantikan dirinya. Yang dipancangkan di menara itu bukanlah kepalanya, melainkan kepala orang lain yang mirip sekali dengan dirinya!

Dan dia sendiri lalu melarikan diri dan datang kepada Su Lo To, suheng-nya yang sudah menjadi pemimpin bekas orang-orang Jeng-hwa-pang itu. Mereka ini adalah kakak adik seperguruan yang pernah menjadi penjahat-penjahat di Tibet. Kemudian, para pendeta Lama di Tibet mengalahkan mereka dan mengusir mereka.

Keduanya lari dan Torgan lebih pandai dari pada suheng-nya karena Torgan bisa menjadi orang kepercayaan Raja Agahai, kemudian dijadikan pembantunya yang amat dipercaya. Sedangkan Su Lo To yang hanya lihai dalam hal ilmu silat dan racun, tetapi tidak secerdik sute-nya, hanya menjadi pemimpin bekas anak buah Jeng-hwa-pang.

Mendengar ucapan Thian Sin, tentu saja Su Lo To menjadi marah bukan main. “Keparat sombong!” Su Lo To membentak.

Ketika tangannya bergerak, tombak rampasan tadi meluncur seperti anak panah cepatnya ke arah Thian Sin. Akan tetapi, dengan mudah saja Thian Sin melangkah ke kiri sehingga tombak itu meluncur lewat dan dengan suara keras mengerikan tombak itu lalu menancap pada batang pohon sampai setengahnya!

“Hayo lekas kalian maju, keroyok dan bunuh pemuda ini!” bentak Su Lo To kepada anak buahnya, yaitu teman-teman Gak Song yang masih ada tujuh orang itu.

Akan tetapi tujuh orang yang masih berlutut itu hanya memandang dengan muka pucat. Tak ada seorang pun yang berani bergerak. Mereka semua tahu siapa pemuda ini, maka biar pun mereka sangat takut kepada Su Lo To, namun tidak ada seorang pun yang mau mengeroyok Thian Sin.

Sementara itu, Gak Song dan puteranya juga sudah bangun dan memandang kepada Su Lo To dengan marah, akan tetapi juga gembira melihat Thian Sin sudah maju. Mereka percaya bahwa pemuda itu sajalah yang akan mampu menanggulangi ketua mereka yang kejam itu.

“Hemm, tidak ada seorang pun yang mau mentaati perintahku, ya? Baiklah, tunggu saja, sesudah dia kubereskan, maka kalian pun akan kumasukkan ke dalam lubang perangkap itu seorang demi seorang bersama dua orang keparat itu!” katanya menuding ke arah Gak Song.

Hatinya semakin panas melihat betapa wanita muda yang manis itu sudah saling rangkul dengan suaminya. Su Lo To suka sekali kepada wanita itu dan tadi, ketika melihat wanita itu lenyap dari kamarnya pada saat dia sedang bercakap-cakap dengan Torgan, dia dapat menduga ke mana perginya wanita yang telah diperkosanya itu.

Dia memang sudah mengambil keputusan untuk mengenyahkan Gak Song dan puteranya agar dia dengan bebas dapat memiliki wanita itu. Tetapi tak disangkanya dia malah akan menghadapi pemberontakan anak buahnya dan bertemu dengan seorang pemuda asing yang menentangnya.

“Suheng, hati-hati, dia itu lihai sekali!” Torgan berkata dan ucapan ini membuat Su Lo To menjadi semakin marah dan penasaran. Dia tahu bahwa kepandaian sute-nya itu sudah tinggi sekali dan hanya sedikit saja selisihnya dengan kepandaiannya sendiri, maka pujian sute-nya terhadap lawan ini sungguh tidak sedap didengar.

“Sute, apakah engkau sekarang sudah menjadi seorang penakut?” bentaknya dan melihat adanya sebuah batu besar, sebesar perut kerbau bunting di hadapannya, dia kemudian melangkah dan dengan kedua lengannya dia memeluk batu itu.

Batu yang amat besar dan yang takkan dapat terangkat oleh lima enam orang itu, dengan mudah diangkatnya ke atas lalu dilontarkannya ke arah Thian Sin. Melihat kekuatan ini, diam-diam Thian Sin kagum juga. Dia tidak berani mengelak begitu saja karena maklum bahwa kalau dia mengelak, batu besar itu dapat melukai orang-orang lain. Maka dia pun segera mengerahkan sinkang-nya dan menerima sambaran batu besar itu dengan kedua tangannya.

Semua orang memandang dengan mata terbelalak, dan menyangka bahwa pemuda itu terancam bahaya maut oleh sambaran batu itu. Akan tetapi, dengan mudah dan enaknya Thian Sin bahkan mempermainkan batu itu di atas kepalanya, melempar-lemparkan ke atas beberapa kali dan kemudian, setelah melihat tempat kosong, dia melemparkan batu itu ke arah kiri.

Batu berdebuk keras menimpa tanah dan menimbulkan getaran keras, menggelundung kemudian terhenti saat menabrak pohon besar. Batang pohon itu patah dan tumbang!

Melihat betapa pemuda itu mampu menghadapi serangan dahsyat tadi, semua anak buah Gak Song merasa gembira, akan tetapi sebaliknya, Su Lo To menjadi semakin marah.

“Bagus, kiranya engkau memiliki sedikit ilmu kepandaian, ya? Nah, terimalah seranganku ini!”

Su Lo To segera maju menerjang ke depan, sepasang lengannya yang pendek besar itu bergerak aneh. lalu terbit angin pukulan dahsyat menyambar dari kanan kiri, didahului oleh bunyi berkeretekan, bunyi tulang-tulang di buku-buku jari orang itu. Mengerikan sekali.

Thian Sin yang sudah dapat menduga bahwa orang ini mengandalkan tenaga yang besar, cepat menghadapinya dengan senyum tak pernah meninggalkan bibirnya. Dengan mudah saja dia mengelak dengan langkah ke belakang. Pada saat itu pula Torgan juga sudah menyerangnya dari samping dan bekas koksu ini mempergunakan sebatang pedang.

“Singggg…!”

Sinar pedang menyambar lewat ketika Thian Sin mengelak. Pemuda ini mengelak sambil mengibaskan ujung lengan bajunya ke kanan, pada saat Su Lo To sudah menubruk maju lagi.

“Plakkk!”

Ujung lengan baju pemuda itu menampar dan bertemu dengan ujung jari Su Lo To. Ujung lengan baju dari sutera itu pecah sedikit, akan tetapi sebaliknya, Su Lo To menyeringai kesakitan karena merasa betapa ujung jari tangannya seperti ditusuki jarum-jarum panas!

Tahulah dia kini mengapa sute-nya memuji orang ini, dan ternyata memang pemuda ini merupakan lawan yang tangguh. Maka dia pun lalu mencabut senjatanya, yaitu sebatang golok yang tadi tergantung pada punggungnya. Golok tipis lebar yang berkilauan saking tajamnya. Ketika golok digerakkan, bersama dengan gerakan pedang Torgan, nampaklah dua gulungan sinar yang terang berkelebatan mengurung tubuh Thian Sin!

Melihat ini, Gak Song dan teman-temannya yang semuanya mengerti ilmu silat, terkejut bukan main. Seperti juga ketua mereka, ternyata pendatang baru yang disebut sute oleh ketua mereka itu ternyata lihai sekali. Mereka tentu saja mengkhawatirkan keselamatan Thian Sin yang tidak memegang senjata tetapi harus menghadapi pedang dan golok yang sedemikian lihainya. Dan kalau pemuda itu gagal dan kalah, berarti mereka semua akan menghadapi kematian yang mengerikan. Hal ini membuat Gak Song menjadi nekad.

“Mari kita bantu taihiap!” berkata demikian, dia pun mencari tombak dan para pengikutnya juga bangkit dan siap melawan sampai mati.

“Mundurlah kalian, biar kuhadapi sendiri dua ekor monyet ini! Jangan khawatir, aku belum membutuhkan bantuan!”

Ucapan Thian Sin ini mengejutkan, mengherankan akan tetapi sekaligus menggirangkan hati Gak Song dan para temannya. Mereka lalu mundur kembali dan menonton. Mereka melihat Thian Sin masih berdiri tegak namun terus diancam oleh dua gulungan sinar yang menyambar-nyambar seperti dua setan maut yang hendak mencabut nyawanya.

Tiba-tiba terdengar Su Lo To membentak keras kemudian sinar goloknya menyambar dan mulailah dia membuka serangan, diikuti oleh sute-nya yang juga amat membenci pemuda yang telah membuat dirinya terjungkal dari kursi kedudukannya di kerajaan yang dipimpin oleh Raja Agahai itu. Kebencian Torgan jauh lebih besar dari pada kebencian Su Lo To terhadap pemuda itu yang dianggapnya hanya merupakan seorang pengacau saja.

Thian Sin maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang ini sudah cukup tinggi sehingga tidak boleh dipandang ringan. Akan tetapi pada saat itu, Thian Sin telah menjadi seorang pendekar sakti yang memiliki banyak ilmu-ilmu peninggalan ayah kandungnya. Dia adalah seorang tokoh persilatan yang sukar dicari tandingannya. Bahkan kalau diadakan ukuran, mungkin ayahnya sendiri tidak akan mampu menandinginya!

Kiranya, dengan ilmu mana pun yang dimilikinya, Thian Sin akan mampu menandingi dan mengalahkan kedua orang lawan yang mengeroyoknya dengan senjata tajam di tangan itu. Akan tetapi, semenjak dia keluar atau turun dari tempat pertapaannya di Himalaya, baru sekaranglah dia berhadapan dengan dua orang lawan yang tangguh. Oleh karena itu, dia melihat terbukanya kesempatan baik baginya untuk menguji ilmu-ilmu peninggalan ayahnya yang sudah dilatihnya secara masak, di bawah bimbingan Bu Beng Hud-couw sendiri, seperti yang dibayangkan dan dilihatnya di dalam pertapaannya itu.

Oleh karena itu, dia pun segera menghadapi serangan-serangan kedua orang itu dengan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang. Dan ilmu silat yang hanya terdiri dari delapan belas jurus ini memang hebat bukan main. Begitu dia menggerakkan kaki tangannya menurut jurus ilmu ini dan mengerahkan sinkang yang terkumpul melalui siulian menurut ajaran di dalam kitab-kitab ayahnya, ada getaran-getaran aneh keluar dari kedua tangannya dan begitu dia menggerakkan kedua tangan, ada hawa pukulan yang menyambar keluar dan dapat menahan gulungan sinar pedang dan golok itu.

Gerakan kedua tangannya mengeluarkan hawa yang membuat pedang dan golok itu tidak mampu mendekatinya, apa lagi menyentuh tubuhnya! Dua orang lawannya beberapa kali mengeluarkan seruan heran dan kaget, dan hal ini menjadi bukti bagi Thian Sin bahwa ilmunya itu sudah mencapai tingkat sempurna. Maka puaslah hatinya. Dia menggerakkan tangannya menurut jurus-jurus Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang dan baru tiga jurus saja dia keluarkan, kedua orang lawannya itu tidak sanggup bertahan lagi dan terus terhuyung ke belakang!

“Hemmm, dua ekor monyet banyak lagak. Hadapilah yang ini!” Thian Sin membentak dan sekarang dia ingin mencoba ilmunya yang ke dua yaitu Hok-te Sin-kun, maka tiba-tiba saja tubuhnya berjungkir-balik!

Dua orang lawannya yang sudah menyerang lagi itu terkejut dan menjadi bingung ketika tiba-tiba ada dua buah kaki yang menghadapi mereka, dengan gerakan-gerakan aneh sekali. Dan sebelum mereka tahu apa yang sedang terjadi, ujung kedua sepatu itu telah menendang sehingga membuat golok dan pedang mereka terlepas dan tiba-tiba saja dari bawah, ada jari tangan menotok lutut kemudian mereka pun terpelanting dan jatuh!

Dua orang itu merasa terkejut dan juga heran bercampur penasaran dan takut! Belum pernah selama hidup mereka yang puluhan tahun itu mereka pernah berjumpa dengan lawan sehebat ini. Mereka telah meloncat bangun lagi dan keduanya cepat menggerakkan tangan. Jarum-jarum berikut paku-paku beracun langsung bertaburan keluar dari tangan mereka, menyambar ke arah tubuh Thian Sin.

Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja. Tangan kirinya mencabut kipas, kemudian dengan beberapa kali gerakan kipasnya, semua jarum dan paku beracun itu pun runtuh. Bahkan di bagian bawah, yang mengenai paha dan kaki, seperti mengenai baja saja dan runtuh tanpa menimbulkan luka.

Dan sambil tersenyum Thian Sin melangkah maju, terus menghampiri mereka. Dua orang itu memandang pucat, hendak lari merasa malu dan juga merasa tidak ada gunanya, tapi hendak melawan merasa takut!

“Engkau hendak melempar orang ke dalam lubang perangkap itu? Nah, aku ingin melihat kalian berdua masuk ke dalamnya dan menjinakkan orang hutan itu. Hayo kalian masuk, ataukah harus kulemparkan ke sana?” Thian Sin berkata, suaranya halus dan mulutnya tersenyum, tangannya masih menggerakkan kipasnya mengebut ke arah lehernya yang sedikit berkeringat.

Su Lo To dan Torgan memandang dengan muka pucat, dan keduanya menggelengkan kepala. Mereka belum gila untuk mau memasuki lubang perangkap yang di dalamnya ada seekor orang hutan yang liar dan haus darah itu. Akan tetapi, mereka juga tahu bahwa pemuda itu mengancam, maka mereka tidak tahu harus berbuat bagaimana.

Tiba-tiba saja Thian Sin berseru, “Baiklah, kalau begitu aku yang akan melempar kalian ke sana!”

Kipasnya lalu menyambar dengan cepat, mengeluarkan angin karena digerakkan ke arah muka mereka, dan jari-jari tangan kanan Thian Sin juga bergerak seperti hendak menusuk ke arah kedua mata mereka dengan kecepatan kilat.

Dua orang yang sudah merasa jeri itu dan yang hanya ingin membela diri, cepat-cepat mengangkat kedua tangan untuk menangkis, akan tetapi tiba-tiba mereka merasa tubuh mereka terdorong lantas terlempar tanpa dapat dihindarkan lagi. Ternyata Thian Sin tadi menggerakkan kipas dan tangannya untuk menarik perhatian mereka ke atas, sedangkan kakinya mengerahkan sinkang sambil menendang ke arah mereka, tendangan yang tidak mendatangkan luka melainkan membuat tubuh mereka terlempar, tepat masuk ke dalam lubang perangkap itu.

Semua orang yang menyaksikan peristiwa ini menjadi kaget, ngeri dan juga girang. Akan tetapi, segera terdengar suara hiruk-pikuk yang menyeramkan di dalam lubang parangkap itu. Suara orang hutan yang memekik-mekik diselingi oleh seruan-seruan dua orang yang terlempar ke dalam lubang itu.

Thian Sin, Gak Song dan beberapa orang temannya itu segera menghampiri lubang dan dari atas mereka melihat perkelahian yang amat seru dan mati-matian antara orang hutan dan dua orang lihai itu. Orang hutan itu memang kuat dan buas sekali, pakaian dua orang itu sudah robek-robek dan tubuh mereka luka-luka, akan tetapi sekali ini, orang hutan itu berhadapan dengan dua orang yang amat lihai. Dan karena lubang itu terlampau sempit untuk tempat berkelahi, maka mereka bertiga itu lebih tepat bergumul dari pada berkelahi mempergunakan pukulan-pukulan.

Akhirnya, sesudah menderita luka-luka akibat gigitan dan cakaran binatang buas itu, dua orang lihai itu berhasil menangkap sebuah kaki serta sebuah tangan, kemudian mereka mengerahkan tenaga menarik.

Terdengar orang hutan itu memekik nyaring sekali, berusaha meronta, namun akhirnya terdengar suara keras dan tubuh orang hutan itu robek dan pecah menjadi dua potong! Dua orang itu melemparkan potongan tubuh orang hutan keluar dari lubang.

Semua orang meloncat mundur dan tidak lama kemudian, kedua orang itu pun melayang keluar dari dalam lubang jebakan itu, pakaian mereka penuh dengan darah orang hutan dan muka mereka pun berdarah, keadaan mereka sungguh menyeramkan sekali.

Thian Sin tersenyum saat menghadapi mereka. “Bagus, kalian telah berhasil menjinakkan orang hutan itu. Akan tetapi jangan harap dapat lolos dari tanganku.”

Dua orang itu saling pandang dan nampak terkejut sekali. Mereka tadinya mengira bahwa sesudah mereka dilemparkan ke dalam lubang itu lantas berkelahi mati-matian melawan orang hutan sampai memperoleh kemenangan, pemuda itu akan membebaskan mereka.

Karena merasa jeri, maka tanpa malu-malu lagi Su Lo To berkata, “Taihiap… harap suka ampunkan kami…”

“Hemmm, mudah saja bagiku untuk mengampuni kalian. Akan tetapi, Torgan, apakah kau kira arwah ayah bundaku dapat mengampunimu? Bukankan engkau yang menganjurkan kepada mendiang Raja Agahai untuk ikut mengeroyok dan membunuh orang tuaku? Dan engkau, Su Lo To, biar pun di antara kita tidak terdapat permusuhan, akan tetapi agaknya mantu Paman Gak Song tidak akan dapat mengampunimu begitu saja! Juga para wanita yang pernah kau permainkan dan saudara-saudara yang dulu pernah kau siksa atau kau bunuh. Nah, demi mereka itulah aku harus bertindak kepada kalian. Selama ada aku di dunia ini, aku tentu akan membuat perhitungan dengan semua penjahat!”

Dua orang yang sudah merasa jeri itu, sesudah saling memberi isyarat dengan pandang mata, tiba-tiba saja meloncat dan melarikan diri, yang seorang ke kanan dan seorang lagi ke kiri. Mereka itu agaknya hendak berlaku cerdik, melarikan diri dengan berpencar agar salah seorang di antara mereka dapat lolos!

Melihat ini, Thian Sin sudah meloncat dan mengejar Torgan. Sekali loncat saja dia sudah berhasil menyusul dan sebuah tamparan yang mengenai pundak Torgan membuat orang itu terguling sehingga tidak mampu bangkit kembali.

Thian Sin langsung mengejar ke arah larinya Su Lo To. Orang itu sudah berlari agak jauh, akan tetapi dengan gerakannya yang luar biasa cepatnya, tidak lama kemudian Thian Sin sudah dapat mengejarnya.

Begitu mendengar gerakan dari arah belakang dan tahu bahwa pemuda sakti itu sudah mengejar dan menyusulnya, tiba-tiba Su Lo To membalik lalu mengirim serangan dengan nekat. Dia membalik dan menubruk, mempergunakan kedua tangannya untuk menerkam laksana gerakan seekor binatang buas menerkam mangsanya. Agaknya, karena maklum bahwa dia tak akan mampu menandingi ilmu silat pemuda itu, Su Lo To telah mengambil keputusan nekat untuk dapat menangkap pemuda itu. Sekali dapat ditangkapnya, dengan tenaganya yang besar, maka dia akan dapat menghancurkan pemuda itu!

Akan tetapi, Thian Sin langsung menangkap kedua pergelangan tangan lawan dan begitu dia mengerahkan tenaganya, maka terdengar suara nyaring.

“Krekk! Krekk!” dan patahlah tulang-tulang pergelangan kedua tangan itu!

Thian Sin menendang dan lawannya pun roboh tidak mampu bangkit lagi, hanya merintih karena kedua pergelangan tangannya terasa nyeri bukan kepalang! Gak Song dan teman-temannya sudah datang ke tempat itu sambil menyeret tubuh Torgan yang sudah tidak berdaya. Pukulan atau tamparan pada pundaknya tadi selain membuat pundaknya remuk juga membuat dia merasa lumpuh pada separuh tubuhnya.

Setelah melemparkan tubuh Torgan di dekat tubuh Su Lo To, Gak Song menjura kepada Thian Sin kemudian berkata, “Kami merasa bersyukur sekali bahwa taihiap telah mampu menundukkan mereka. Selanjutnya apakah yang hendak taihiap lakukan terhadap kedua orang ini?”

Thian Sin tersenyum. “Aku tidak pernah mau mengampuni orang jahat. Torgan adalah musuh orang tuaku, dia harus mati. Akan tetapi karena antara Su Lo To dan kalian ada perhitungan sendiri, maka terserah kepada kalian. Kuserahkan Su Lo To kepada kalian untuk diadili!”

“Biar kubalaskan sakit hati isteriku!” Putera Gak Song berteriak dan dia sudah mencabut goloknya, kemudian mengayun golok itu ke arah leher Su Lo To yang sudah tidak mampu mengelak lagi.

“Plakk!”

Golok itu terlepas dari tangan pemuda itu ketika Thian Sin menangkisnya dan pendekar ini lantas mengambil golok tadi sambil tersenyum memandang kepada putera Gak Song yang terbelalak heran dan kaget.

“Bukan begitu caranya menghukum orang jahat. Terlampau enak baginya apa bila hanya langsung dipenggal lehernya. Dia adalah perusak wanita, suka memperkosa wanita, nah beginilah hukumannya untuk itu!”

Nampak sinar berkelebat sedemikian cepatnya sehingga tidak ada yang tahu apa yang terjadi ketika Thian Sin sudah menarik kembali goloknya. Hanya ketika Su Lo To berteriak dan merintih-rintih sajalah, lalu melihat darah membasahi celana orang itu, maka semua baru tahu dan merasa ngeri sekali bahwa pendekar itu sudah mempergunakan goloknya untuk membuntungi alat kelamin Su Lo To!

Hanya seorang ahli yang amat mahir sajalah yang dapat melakukan hal itu tanpa melukai kedua paha atau perut. Tentu saja Su Lo To merasakan kengerian yang menusuk-nusuk jantung sehingga tubuhnya berkelojotan.

“Dan dia juga telah membunuh orang-orang yang tidak berdosa, tentu hal itu dilakukannya dengan kedua tangannya, bukan? Nah, beginilah hukumannya!”

Kembali tampak sinar golok berkelebat dan sekarang yang menjadi sasaran adalah kedua tangan Su Lo To yang tahu-tahu sudah menjadi buntung! Darah bercucuran dari kedua lengan yang telah kehilangan tangan itu dan tubuh Su Lo To semakin keras berkelojotan, mukanya penuh peluh dan matanya melotot, mulutnya mengerang-erang dan membusa.

Semua orang menjadi ngeri sekali menyaksikan peristiwa ini, bahkan menantu Gak Song yang tadinya merasa sakit hati terhadap orang itu telah roboh pingsan di dalam rangkulan suaminya. Wajah Gak Song sendiri menjadi pucat bukan main. Selamanya belum pernah dia melihat keganasan dan kekejaman orang seperti yang dilakukan Thian Sin itu!

“Nah, biarkan dia begitu sampai mati! Itu baru sepadan dengan semua kejahatannya. Dan sekarang aku akan menghukum musuh ayah dan ibuku!” Dia menghampiri Torgan yang sudah menjadi pucat sekali menyaksikan nasib kawan atau suheng-nya itu. “Torgan, apa yang hendak kau katakan sekarang?”

Baru sekarang Torgan mengenal apa artinya rasa takut. Dia merasa ngeri sekali melihat suheng-nya dan hampir dia tidak percaya bahwa seorang pemuda yang sehalus itu, yang bersikap ramah dan manis lemah lembut, berpakaian sastrawan, dapat memiliki sifat yang sedemikian kejamnya. Saking takutnya, dia tidak mampu berkata-kata lagi, hanya dapat memandang dengan muka pucat akan tetapi penuh dengan keringat dingin.

“Engkau tidak mau bicara? Padahal, di hadapan Raja Agahai, mulutmu inilah yang paling busuk dan jahat, dan tentu mulutmu pula yang dulu menganjurkan agar Raja Agahai ikut mengirim pasukan untuk mengeroyok kedua orang tuaku. Maka, pertama-tama mulutmu yang harus dihukum!” Golok itu berkelebat dan seketika darah muncrat dari bagian muka di mana tadinya mulut Torgan berada.

Kini mulut itu sendiri telah hilang, yaitu kedua bibirnya dan sebagian dari giginya, lenyap akibat terbabat golok sehingga pada bagian itu hanya nampak sebuah lubang hitam yang penuh berdarah. Torgan mengeluarkan rintihan dari tenggorokannya, sedangkan semua orang memandang dengan hati ngeri.

“Engkau pun harus menghadap arwah orang tuaku dalam keadaan tersiksa!”

Golok itu berkelebatan lagi dan nampak darah muncrat-muncrat ketika kedua telinganya, hidung, kedua tangan dan kedua kaki Torgan terbabat buntung semua. Tubuh Torgan kini juga berkelojotan seperti tubuh Su Lo To dan Gak Song sendiri sampai membuang muka tidak tahan menyaksikan mereka itu.

Thian Sin juga tahu akan kengerian mereka, maka dia kini menghampiri Gak Song serta kawan-kawannya lantas berkata, “Baik sekali bahwa kalian sebagai bekas-bekas anggota Jeng-hwa-pang telah bertobat dan tidak mau melakukan kejahatan lagi. Karena kalau aku mendapatkan kalian masih seperti dahulu, tentu kalian akan mengalami nasib yang sama dengan mereka berdua ini.”

Gak Song cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dan diturut oleh semua temannya. “Kami menghaturkan terima kasih atas pertolongan taihiap,” Suaranya menggetar, tanda bahwa hatinya masih gentar dan ngeri menyaksikan hukuman yang amat kejam itu.

“Dan kalian harus tahu bahwa wanita muda ini sama sekali tidak bersalah, karena itu, jika sampai kelak aku mendengar bahwa suaminya membencinya karena peristiwa perkosaan itu, aku akan menghukumnya dengan berat!”

Putera Gak Song cepat merangkul isterinya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Taihiap, saya mencinta isteri saya dan saya tahu bahwa dia sama sekali tidak bersalah. Saya tidak menyalahkan dia, bahkan saya merasa kasihan kepadanya.”

“Bagus kalau begitu. Nah, sekarang siapa yang tahu di mana adanya Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam? Dia juga merupakan musuh keluargaku, dan harus kucari sampai dapat!”

Mendengar pertanyaan ini, Gak Song lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh, “Kami semua benar-benar tidak tahu pasti di mana adanya orang itu, akan tetapi kami pernah mendengar kabar angin bahwa dia kini bersekutu dengan Pek-lian-kauw tak jauh dari kota raja. Tentu saja dia telah mendengar tentang taihiap, maka dia ingin mendekati sekutunya ketika melakukan pengeroyokan terhadap Pangeran Ceng Han Houw.”

“Apa maksudmu? Sekutunya? Siapakah mereka?”

“Ada dua orang yang dahulu diperbantukan oleh Kerajaan Beng untuk mengeroyok ayah bunda taihiap. Mereka itu adalah dua orang tokoh dari Hwa-i Kai-pang, bernama Hek-bin Mo-kai dan Lo-thian Sin-kai. Hanya itulah yang kami ketahui, taihiap.”

Thian Sin mengangguk-angguk. “Terima kasih, Paman Gak. Nah, aku pergi sekarang!”

Dan sekali dia berkelebat, pemuda itu sudah tidak nampak lagi di depan mereka. Semua orang menjadi terkejut dan juga kagum bukan main.

Sementara itu, dua tubuh yang sudah tak karuan rupanya itu masih berkelojotan dan dari tenggorokan mereka terdengar suara rintihan-rintihan yang tidak jelas. Melihat hal ini, Gak Song menjadi tidak tega. Walau pun Su Lo To pernah melakukan banyak kejahatan dan menindas dia serta semua temannya, namun melihat tubuh itu berkelejotan dan tersiksa, dia tidak tega.

Cepat dia menyambar dua batang tombak, lantas dengan gerakan kuat dia menancapkan tombak-tombak itu ke dada dua orang itu, menembus jantung dan punggung. Seketika itu juga tewaslah kedua orang itu.

Gak Song kemudian memimpin orang-orangnya untuk mengubur dua mayat itu di dalam lubang, bersama mayat kawan mereka yang menjadi korban orang hutan, juga bangkai orang hutan itu, lalu menutup lubang jebakan itu dengan tanah. Setelah itu, beramai-ramai mereka kembali ke perkampungan mereka dengan hati terasa lapang, karena mereka melihat masa depan yang cerah sesudah Su Lo To tidak ada.

********************

Perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah sebuah perkumpulan pengemis yang terbesar di kota raja dan sekitarnya. Dahulu, ketika perkumpulan itu didirikan oleh Hwa-i Sin-kai, perkumpulan ini merupakan perkumpulan pengemis yang mengutamakan kegagahan, bahkan tidak segan-segan untuk menentang para pejabat pemerintah apa bila para pejabat itu menindas rakyat. Bahkan perkumpulan Hwa-i Kai-pang terkenal sebagai perkumpulan yang membela rakyat jelata. Hwa-i Sin-kai sendiri tewas dikeroyok pasukan pemerintah ketika dia dituduh menjadi pemberontak.

Ketika itu, Hwa-i Kai-pang bahkan condong menentang pemerintah yang berada di bawah pimpinan Kaisar Ceng Tung. Akan tetapi, sesudah Hwa-i Sin-kai tewas dan Kaisar Ceng Tung sendiri juga sudah tak ada lagi dan pemerintahan dipegang oleh Kaisar Ceng Hwa, terjadilah perubahan besar. Hwa-i Kai-pang didekati dan mendekati pemerintah, apa lagi sesudah perkumpulan ini dipegang oleh Hek-bin Mo-kai dan Lo-thian Sin-kai yang haus akan kedudukan dan kemuliaan, perkumpulan itu terkenal sebagai perkumpulan yang pro pemerintah.

Dan biasanya, kemuliaan dan kekayaan suka menyeret manusia ke dalam lembah nafsu yang tidak kenal puas. Selain kepuasan sesaat saja, kesenangan selalu mendatangkan keserakahan dan kehausan akan kesenangan yang lebih besar dan lebih besar lagi.

Makin kita memanjakan nafsu mengejar kesenangan, makin dalam lagi kita terperosok ke dalam lembah kehausan ini. Makin dituruti, nafsu menjadi semakin kuat menguasai kita sehingga kita sudah bukan menjadi manusia lagi, melainkan menjadi hamba nafsu yang hidup hanya sekedar menjadi permainan nafsu belaka.

Sudah jelaslah bahwa menuruti nafsu saja membuat kita menjadi manusia yang tak ada guna, menjadi hamba nafsu yang akhirnya akan menyeret kita ke lembah kehancuran, baik jasmani mau pun rohani. Bukan hanya terdapat dalam pelajaran kitab-kitab suci atau pun filsafat-filsafat belaka yang kesemuanya itu hanya teori belaka, akan tetapi dapat kita saksikan dan hayati sendiri dalam kehidupan kita sehari-hari.

Akan tetapi, bagaimana pengekangan nafsu-nafsu seperti yang dianjurkan oleh hampir semua pelajaran kebatinan? Siapakah yang mengekang atau mengendalikan nafsu?

Yang mengendalikan adalah aku yang melihat bahwa menuruti nafsu adalah buruk, maka aku ingin supaya dapat menguasai dan mengendalikan nafsu, supaya menjadi baik. Aku melihat bahwa menuruti nafsu akan membawa kepada kesengsaraan, maka aku ingin mengendalikan nafsu, menguasainya agar tidak terjerumus, agar memperoleh keamanan dan keselamatan yang berarti aku akan menikmati keadaan yang menyenangkan.

Bila mana kita mau mendalami hal ini, maka akan nampaklah bahwa nafsu adalah kita sendiri, pikiran kita sendiri, nafsu adalah si aku yang ingin senang. Sedangkan yang ingin mengendalikan nafau adalah aku pula, maka tidak ada bedanya antara nafsu dan yang ingin mengendalikan nafsu! Semua itu adalah permainan si aku yang ingin selalu senang.

Terjadilah konflik antara keadaaan aku yang ingin memuaskan nafsu dan aku yang ingin mengendalikan dan menguasai nafsu. Dan hal ini malah akan menjadi pupuk bagi nafsu itu sendiri. Mengendalikan saja tak akan mematikan nafsu, hanya akan menyeilmuti saja untuk sementara. Dan dalam konflik pengekangan ini, kita membuang energi yang amat besar dan sangat banyak. Akibatnya, nafsu tidak akan lenyap dan kita kehilangan energi dan menjadi tumpul, lemah.

Yang terpenting adalah pengamatan terhadap diri sendiri, terhadap nafsu apa bila timbul, terdapat keinginan-keinginan untuk menguasainya, keinginan untuk begini atau begitu yang semuanya tentu menuju ke satu arah, yaitu ingin bebas, ingin selamat, ingin aman, yang sesungguhnya hanyalah topeng-topeng halus dari satu keinginan, yaitu keinginan untuk senang.

Pengamatan yang dilakukan oleh si pengamat, masih sama saja, berada di dalam satu lingkaran setan, karena si pengamat ini adalah si aku pula, si nafsu untuk memperoleh keadaan yang lebih menyenangkan juga. Jadi, yang ada hanyalah pengamatannya saja, tanpa aku si pengamat. Di dalam pengamatan ini terdapat kewaspadaan dan kesadaran yang menimbulkan pengertian yang mendalam. Dan hanya pengertian mendalam inilah yang akan menimbulkan tindakan yang mendatangkan perubahan.


Setelah kini menjadi perkumpulan yang dilindungi oleh pemerintah, apa lagi di kota raja di mana perkumpulan itu dapat berhubungan langsung dengan para pembesar dari tingkat yang tertinggi, Hwa-i Kai-pang menjadi amat berpengaruh dan kekuasaannya terasa oleh penduduk.

Kai-pang ini sangat disegani oleh semua golongan. Setiap orang pengemis baju kembang selalu diterima sebagai orang yang dihormati dan disegani, padahal sebenarnya adalah merupakan orang yang ditakuti dan dibenci, dan mudah bagi setiap orang pengemis baju kembang untuk mendapat sumbangan dari toko-toko dan pedagang-pedagang, mau pun orang-orang.

Tidak ada sumbangan yang diberikan dengan hati rela oleh siapa pun juga. Selama suatu pemberian itu terjadi karena diminta, dan selama pemberian itu disebut pemberian atau sumbangan atau dermaan dan lain sebagainya, maka di dalam pemberian itu sudah pasti terkandung suatu sebab yang melahirkan pemberian itu.

Mungkin sebab itu merupakan pamrih memperoleh pujian, atau sekedar memuaskan hati sendiri, atau karena takut, maka sudah pasti bahwa sumbangan yang biasanya disebut sumbangan suka rela itu dilakukan orang dengan hati yang sama sekali tidak rela! Hanya pemberian yang dilakukan dengan dasar cinta kasih sajalah yang bahkan pemberiannya tidak dianggap sebagai pemberian atau sumbangan lagi, akan tetapi merupakan suatu kewajaran dan yang tidak diingat-ingat lagi.

Orang-orang Hwa-i Kai-pang mudah dikenal dari pakaian mereka. Pakaian yang tambal-tambalan seperti lajimnya pakaian pengemis, akan tetapi sama sekali tidak kotor apa lagi butut, melainkan pakaian yang ditambal-tambal, sengaja ditambal-tambal dan terbuat dari pada kain yang bersih dan baru. Dan mereka ini yang menjadi semacam ‘pelindung’ dari toko-toko dan rumah-rumah penduduk.

Memang benar bahwa semenjak mereka berkuasa, di kota raja boleh dikatakan tidak ada lagi pencoleng yang berani beroperasi karena mereka ini akan berhadapan dengan Hwa-i Kai-pang yang sangat kuat. Para pencuri, pencopet dan pencoleng pergi untuk beroperasi di kota-kota atau dusun-dusun lain yang jauh dari kota raja.

Akan tetapi, tidak adanya kaum pencoleng itu bukan berarti bahwa kehidupan rakyat di kota raja menjadi aman. Sama sekali tidak! Karena, para ‘pelindung’ itu sendirilah yang kini menjadi pengganti para pencoleng itu. Hanya bedanya, apa bila para pencoleng itu melakukan pekerjaan mereka dengan cara mencopet, mencuri atau menggertak dengan kasar, sebaliknya para ‘pelindung’ itu melakukannya dengan halus, dengan dalih hendak melindungi, sumbangan dan sebagainya.

Akan tetapi, apa bedanya bagi rakyat yang harus menderita rugi karenanya? Sama saja! Pelindung yang seharusnya melindungi rakyat dari gangguan luar itu kini malah menjadi pengganggu sendiri, seperti pagar makan tanaman.

Inilah ciri-ciri dari penyalah gunaan kekuasaan dan hal ini sudah terjadi semenjak jaman kuno sampai sekarang, di seluruh dunia. Kalau toh ada perbedaannya, maka perbedaan itu hanyalah terletak pada caranya saja. mungkin kasar, mungkin pula halus. Akan tetapi pada hakekatnya kekuasaan telah disalah gunakan untuk mencari kemuliaan diri sendiri, kemakmuran diri sendiri dan kesenangan bagi diri sendiri.

Karena kekuasaan merupakan senjata mutlak untuk memperoleh kesenangan, maka tak mengherankan apa bila seluruh manusia di dunia ini lalu memperebutkan kekuasaan, dan perebutan kekuasaan ini melahirkan permusuhan, dari permusuhan pribadi, sampai permusuhan golongan, antara saudara, antara suku sampai kepada antara bangsa dan negara!

Setelah kita melihat dengan jelas bahwa kekuasaan itu merusak kehidupan, maka jalan satu-satunya bagi kita hanyalah melepaskan tangan dan tak pernah ikut memperebutkan kekuasaan lagi!


Sekarang para penjaga keamanan kota boleh tinggal enak-enak dan bersenang-senang. Bahkan para prajurit penjaga tidak perlu lagi berkeliaran dari satu toko ke toko lain untuk minta sumbangan karena mereka itu sudah dijamin oleh orang-orang Hwa-i Kai-pang!

Betapa pun juga, sekarang kota raja kelihatan aman dan tenteram, dan Hwa-i Kai-pang seolah-olah menjadi semacam pasukan khusus yang menjamin keamanan di dalam kota raja. Tentu saja hal ini hanya kelihatannya saja, karena banyak penghuni yang mengeluh dan merasa diperas dan ditekan oleh orang-orang berbaju kembang itu.

Pada suatu hari, di tanah lapang dekat dengan pasar sebelah selatan kota raja, banyak orang berkerumun dan kadang-kadang mereka itu bertepuk tangan dan bersorak memuji. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun bersama seorang gadis berusia tujuh belas tahun sedang mengadakan pertunjukkan silat untuk menarik perhatian orang-orang. Mereka adalah penjual-penjual koyo, yaitu obat luka, penyambung tulang dan obat memulihkan otot-otot yang keseleo, juga menyembuhkan sakit pegal linu dan sebagainya.

Permainan silat tukang obat itu, terutama sekali permainan silat puterinya yang manis itu menarik perhatian dan memancing tepuk tangan memuji tadi. Pada akhir pertunjukkan, Si Ayah membuka baju atasnya, kemudian sambil bertelanjang dada dan punggung, dia pun menghadap ke empat penjuru.

“Untuk membuktikan keampuhan koyo kami, biarlah saya akan menunjukkan betapa koyo itu dapat menyembuhkan luka bekas pukulan dengan cepat.”

Puterinya mengambil sebatang toya kuningan, kemudian dengan toya ini mulailah dara itu mengayunkan toya dan memukuli tubuh ayahnya, pada punggung dan dadanya. Nampak tanda-tanda matang biru pada dada dan punggung itu dan para penonton merasa ngeri juga. Walau pun pukulan-pukulan keras itu agaknya tidak sampai melukai sebelah dalam tubuh, namun jelas bahwa kulit punggung dan perut serta dadanya menjadi matang biru.

Atas isyarat ayahnya, dara itu menghentikan pukulan-pukulannya dan tukang obat itu lalu berjalan berkeliling mendekati para penonton memperlihatkan keadaan kulit punggung dan dadanya itu dari dekat. Sesudah itu, dengan dibantu oleh puterinya dia lalu menempelkan koyo-koyo pada luka-luka itu.

Sambil menanti dan membiarkan koyo-koyo itu bekerja, kini si dara kembali menunjukkan kemahirannya bermain toya. Toya yang dimainkan dengan cepat itu kelihatannya berubah menjadi banyak sekali, terus menyambar-nyambar di sekeliling tubuh si dara manis. Para penonton memuji dan bertepuk tangan.

Sesudah dara itu menghentikan permainan silatnya, ayahnya lalu membuka koyo-koyo itu dan semua penonton kembali memuji karena memang benar sekali, warna biru-biru pada kulit dada dan punggung itu lenyap sudah.

“Cu-wi telah menyaksikan kemanjuran koyo ini! Cu-wi perlu menyediakan koyo seperti ini di rumah, untuk menjaga kalau-kalau cu-wi sendiri atau pun anak-anak cu-wi, terjatuh lalu terluka atau membengkak. Harganya sangat murah karena koyo ini adalah buatan kami sendiri, maka cu-wi tidak dapat memperolehnya di toko-toko dan kami tidak setiap hari lewat di kota raja ini…”

Dara itu membawa baki terisi bungkusan koyo dan berjalan berkeliling. Banyak penonton yang membeli koyo, bukan hanya karena mereka sudah menyaksikan sendiri kemanjuran obat itu, melainkan juga karena kagum dengan kemahiran ayah dan anak itu bersilat, dan karena dara yang manis itu memang menarik hati. Sebentar saja seluruh persediaan koyo itu telah habis dibeli orang! Dara itu menjadi girang sehingga berkali-kali dia menjura dan mengucapkan terima kasih sambil tersenyum manis, juga penjual koyo itu mengucapkan terima kasih kepada para pembeli.

“Cu-wi sekalian sudah begitu baik hati untuk membantu kami membeli koyo kami sampai habis. Untuk kebaikan cu-wi ini, biarlah kami mainkan beberapa jurus ilmu silat lagi,” kata si tukang koyo.

Akan tetapi tiba-tiba saja para penonton itu mundur dan membuka jalan bagi dua orang pengemis baju kembang. Semua orang merasa sangat khawatir karena biasanya apa bila ada pengemis Hwa-i Kai-pang mencampuri sesuatu urusan, tentu akan timbul keributan.

Mereka itu adalah dua orang pengemis yang usianya masih muda, baru tiga puluh tahun lebih dan melihat sikap mereka, jelas nampak bahwa mereka berdua sudah biasa berbuat ugal-ugalan dan biasa pula ditakuti orang sehingga mereka langsung memasuki lingkaran itu dengan tersenyum mengejek.

Seorang di antara mereka yang pada pipi sebelah kirinya ada bekas luka memanjang dari hidung hingga ke telinga kiri, melangkah maju memasuki lingkaran itu dan menghampiri si penjual koyo yang memandang dengan heran sebab sebagai orang luar dia tak mengenal para pengemis Hwa-i Kai-pang, lalu berkata dengan suara galak,

“Hei, tukang penjual koyo! Apakah engkau sudah mendapat ijin dari Hwa-i Kai-pang untuk berdagang di sini dan memamerkan sedikit kepandaian ilmu silatmu?”

Menerima pertanyaan yang kasar dan nadanya merendahkan ini, tukang obat yang sudah sangat berpengalaman itu maklum bahwa pengemis-pengemis ini memang mau mencari keributan. Dia adalah seorang pendatang, seorang tamu, maka dia bersikap sabar.

“Maaf, karena tidak mengerti peraturan, maka kami membuka pertunjukan untuk menjual koyo guna menyambung biaya perjalanan kami.”

“Huh, enak saja bicara!” kata pengemis ke dua yang mukanya hitam dan kasar. “Siapa pun juga, sebelum mendapatkan ijin dari pemerintah atau dari Hwa-i Kai-pang, tidak boleh sembarangan membuka pertunjukan di sini!”

“Kami sudah terlanjur karena tidak tahu akan peraturan itu, harap maafkan. Lain kali kami akan minta ijin lebih dulu,” kata tukang penjual obat itu dengan sikap merendah.

“Mana ada aturan begitu? Sudah mengeduk uang baru minta maaf. Hayo lekas serahkan setengah dari pendapatan kalian kepada kami, baru boleh bicara tentang maaf!” kata Si Muka Codet.

Tukang obat itu mengerutkan alisnya, dan dara itu yang merasa penasaran sudah berkata dengan suara keras, “Mana bisa begitu? Keuntungan kami pun tidak ada setengahnya, bagaimana dapat diminta setegahnya?”

“Aha, nona, siapa tidak tahu bahwa koyo kalian ini hanya terbuat dari tahi kerbau dan tanah lumpur? Kalian membuat koyo tanpa modal, jadi biar pun membayar kepada kami setengahnya sekali pun, kalian masih kebagian keuntungan yang cukup banyak!” kata Si Muka Hitam sambil tersenyum cengar-cengir secara kurang ajar sekali.

Mendengar ini, kemarahan tukang obat itu tak sanggup ditahannya lagi. “Harap ji-wi tidak main-main. Kami ayah dan anak melakukan perjalanan merantau selalu mengandalkan biaya perjalanan dengan menjual obat. Kami bukanlah pemeras-pemeras yang mengambil keuntungan terlampau banyak. Karena kami tidak mengenal peraturan di sini, maka kami telah melanggarnya dan harap ji-wi suka memaafkan. Kini biarlah kami memberi sekedar sumbangan kepada ji-wi.” Sambil berkata demikian, tukang obat yang belum tahu dengan pengemis macam apa dia berhadapan itu, telah menyerahkan beberapa potong uang kecil kepada mereka.

“Plakk!” Si Codet menampar tangan itu sehingga beberapa potong uang kecil itu segera terlempar.

“Hemmm, siapa main-main? Engkaulah yang main-main dan kurang ajar menghina kami, memberi kami beberapa potong uang kecil. Apa kau kira kami ini orang-orang kelaparan? Dan memang aku mau main-main, yaitu main-main dengan puterimu ini. Biarlah jumlah yang setengahnya dari uang pendapatan itu kau ganti saja dengan puterimu ini yang harus melayani kami berdua selama satu malam. Akur, bukan?”

Inilah penghinaan yang sudah amat jauh melewati batas! Tukang obat itu adalah seorang kang-ouw yang sudah banyak merantau di dunia kang-ouw, maka mendengar ucapan ini, tahulah dia bahwa yang bersembunyi di balik pakaian pengemis ini adalah orang-orang jahat yang bermoral bejat. Maka dia pun melompat maju dan bertolak pinggang.

“Sahabat, aku orang she Liang bukanlah seorang pengecut yang tidak berani membela kehormatan dengan nyawa. Kalian sengaja hendak menghina kami, nah, majulah, jangan kalian kira aku takut berhadapan dengan penjahat-penjahat bertopeng pengemis macam kalian ini!”

Dua orang pengemis itu melotot. “Eh, monyet! Berani engkau menghina Hwa-i Kai-pang?” Sudah biasalah bagi orang-orang yang mengandalkan nama perkumpulan, sedikit-sedikit menyinggung kepada perkumpulannya di mana dia bersandar. “Apakah engkau sudah bosan hidup?” bentak Si Codet.

Dan dia pun sudah menyerang dengan pukulan keras ke arah muka tukang obat itu. Akan tetapi tukang obat itu mengelak, lantas balas memukul ke arah lambung. Si Codet cepat menangkis.

“Dukkk…!”

Dua lengan bertemu dan akibatnya mereka sama-sama terhuyung dan merasa lengan mereka nyeri. Ini menandakan bahwa tenaga kedua orang ini berimbang.

Si Codet yang merasa sebagai seorang jagoan dan selama ini di kota raja belum pernah ada orang yang berani menentangnya, merasa penasaran lantas menyerang lagi dengan cepatnya. Seperti para anggota Hwa-i Kai-pang lainnya, dia juga mengandalkan ilmu silat Ta-houw Ciang-hoat (Ilmu Silat Memukul Harimau). Gerakannya memang sangat cepat dan setiap pukulannya mengandung tenaga yang cukup kuat.

Tukang obat itu harus mengeluarkan seluruh kepandaian untuk mengimbangi serangan-serangan lawannya yang ternyata tangguh itu. Mereka lantas saling serang dan keadaan mereka seimbang, walau pun tukang obat itu merasa sibuk juga menghadapi ilmu silat yang lihai itu.

Melihat betapa temannya belum juga mampu mengalahkan Si Tukang Obat, Si Muka Hitam menyerbu ke depan. Akan tetapi, dara itu berseru marah.

“Pengecut, jangan main keroyok!” Dan dia pun menerjang ke depan menyambut Si Muka Hitam. Karena maklum betapa lihainya para pengemis ini, tukang obat itu berseru kepada puterinya agar mundur.

“Cin-ji, mundurlah, biarkan aku yang menghadapi mereka!”

Akan tetapi, tentu saja dara itu tidak mau mundur dan dengan cepat dia telah menyerang Si Muka Hitam yang melayaninya sambil tertawa-tawa. Dan memang benar, kepandaian dara itu masih terlampau rendah untuk menandingi Si Muka Hitam, apa lagi dia juga kalah tenaga. Setiap terkena tangkisan Si Muka Hitam itu, lengannya terasa nyeri sekali dan dia terhuyung. Akhirnya, sebuah tendangan dari Si Muka Hitam mengenai lutut dara itu yang membuatnya terpelanting roboh. Kakinya terkilir dan dara itu tidak dapat berdiri lagi.

“Ha-ha-ha, malam nanti kupijiti kakimu yang terkilir, manis!” kata Si Muka Hitam yang kini cepat membantu temannya menghadapi Si Tukang Obat yang sudah terdesak.

Melawan Si Codet seorang saja, dia sudah terdesak, apa lagi setelah Si Muka Hitam ikut maju. Maka Si Tukang Obat mulai menerima pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang membuatnya babak bundas dan jatuh bangun. Akan tetapi dia masih terus melawan meski pun setiap kali dia bangkit, hanya untuk menjadikan dirinya menjadi bulan-bulanan tendangan dan pukulan belaka.

“Ha-ha-ha, nah cobalah sekarang obati luka-lukamu dengan koyo itu! Ha-ha-ha!” Si Muka Hitam tertawa-tawa.

“Hayo kau ikut bersama kami!” Si Codet maju dan menangkap lengan dara yang masih duduk di atas tanah karena kakinya terkilir sehingga sia tidak mampu bangkit berdiri.

Ketika lengannya ditangkap, dara itu meronta-ronta sambil menangis. Akan tetapi, semua orang yang tadinya menjadi penonton, kini mundur dan tidak ada seorang pun yang berani melerai, apa lagi menolong dara dan ayahnya itu.

“Dunia sudah kacau, dunia sudah gila binatang buas berkedok manusia merajalela di kota raja seenaknya tanpa ada yang berani merintanginya!”

Semua orang merasa terheran-heran ketika melihat seorang pemuda tampan berpakaian sasterawan, membawa kipas dan mengebut-ngebutkan kipas mengusir panas, membaca sajak dengan suara merdu, mendekati tempat kedua orang pengemis Hwa-i Kai-pang itu beraksi. Kedua orang pengemis ini pun melihat Si Pemuda dan mereka menjadi marah sekali.

“Heh, engkau inilah yang agaknya sudah gila. Hayo lekas pergi, atau kupatahkan tulang-tulangmu bersama kipasmu!” bentak Si Muka Hitam yang sudah merasa lelah memukuli Si Tukang Obat dan sekarang agaknya hendak mencari sasaran lain untuk memamerkan kekuatannya.

Akan tetapi Thian Sin, pemuda itu, tidak mempedulikan Si Muka Hitam, melainkan malah menghampiri dara yang telah dilepaskan oleh Si Codet yang kini juga memandang marah kepada Thian Sin yang dianggapnya mencampuri urusannya. Tetap saja Thian Sin tidak mempedulikan dua orang pengemis itu, melainkan menggunakan kipasnya yang ditutup untuk menotok ke arah kaki kiri dara itu.

“Tuk-tukk!” Dua kali dia menotok dan dara itu merasa betapa kakinya sembuh kembali! Maka dia pun cepat bangkit berdiri dan memandang heran kepada pemuda itu.

Thian Sin lalu menjura kepada dara itu. “Nona, dua ekor anjing belang ini telah memukuli ayahmu dan bersikap kurang ajar kepadamu, mengapa engkau diam saja, nona? Engkau adalah seorang gadis yang pandai ilmu silat, mengapa dihina orang diam saja? Hayo kau hajar dua ekor anjing belang yang kurang ajar ini!” Berkata demikian, tanpa dilihat orang lain, Thian Sin mengedip kepada dara itu.

Entah apa yang menyebabkan dara itu seketika menjadi percaya sekali kepada Thian Sin. Mungkin melihat sikap aneh dari pemuda ini, dan mungkin pula melihat betapa dengan totokan kipasnya saja pemuda itu sudah mampu membuat kakinya yang terkilir menjadi sembuh kembali. Tiba-tiba dara itu telah meloncat ke depan menyerang kepada pengemis muka codet.

“Cin-ji… hati-hatilah…!” Ayahnya yang babak-belur itu memperingatkan karena dia tahu bahwa puterinya itu sama sekali bukan tandingan pengemis-pengemis yang lihai itu. Akan tetapi alangkah kaget hatinya ketika melihat betapa pukulan tangan dara itu dengan tepat mengenai leher pengemis muka codet.

“Plakkk!”

Pukulan itu cukup keras sehingga kepala Si Codet itu sampai miring dan tubuhnya juga terhuyung ke belakang.

“Bagus, nona! Itu aniing belang muka hitam minta bagian!” seru Thian Sin dengan suara gembira.

Semua orang yang melihat peristiwa ini menjadi terheran-heran, juga tukang obat sendiri. Kini, mendapatkan semangat baru karena hasil pukulannya tadi dan mendengar dorongan pemuda sasterawan, dara itu menyerang dengan tendangan kaki ke arah perut Si Muka Hitam.

“Desss…!”

Si Muka Hitam terjengkang dengan mata terbelalak dan muka merah, memegangi bagian perutnya yang tertendang karena terasa nyeri. Si Codet dan Si Muka Hitam sudah bangkit lagi, mata mereka terbelalak karena tanpa ada yang tahu, mereka tadi tentu saja tidak membiarkan dirinya ditampar dan ditendang oleh nona itu, akan tetapi sungguh luar biasa, setiap kali mereka ingin menggerakkan tangan atau kaki untuk menangkis atau mengelak, tubuh mereka mogok dan sama sekali tidak dapat digerakkan sehingga tentu saja pukulan serta tendangan gadis itu selalu tepat mengenai sasaran dan tubuh mereka terpelanting atau terhuyung, baru setelah itu mereka mampu bergerak lagi!

Dara itu menjadi gembira bukan main melihat betapa setiap pukulan dan tendangannya mengenai sasaran. Maka dia pun terus menyerang kedua orang pengemis itu bergantian, dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan sekuatnya. Akibatnya, tubuh kedua orang pengemis itu iatuh bangun seperti ketika ayahnya dihajar tadi.
Selanjutnya,