Pendekar Sadis Jilid 26 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sadis Jilid 26
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
TENTU saja semua itu disebabkan oleh Thian Sin yang mempergunakan kepandaiannya sehingga kedua orang pengemis itu tidak berdaya. Dan mulutnya terus memberi anjuran kepada dara itu.

“Terus, nona. Hantam terus! Atau lebih baik gunakan kaki saja. Mereka itu tidak pantas bersentuhan dengan tanganmu, lebih baik gunakan sepatu menghajar muka mereka!”

Dan dara itu pun menurut. Agaknya Thian Sin sudah melihat bahwa dara itu memiliki ilmu tendangan yang bagus sekali, maka dia memberi anjuran demikian. Dan kini, orang-orang melihat betapa kedua kaki dara itu secara bergantian menyambar-nyambar dan setiap kali menyambar, tentu mengenai muka kedua orang pengemis itu sehingga hidung dan mulut mereka berlumuran darah!

Kini kedua orang pengemis itu mencabut pedang masing-masing. Akan tetapi, tetap saja setiap kali tendangan tiba, mereka tak mampu bergerak sehingga akhirnya, setelah muka mereka bengkak-bengkak dan berdarah, keduanya lari meninggalkan tempat itu.

“Heiii, ini pedang kalian tertinggal!” Thian Sin berseru dan mengambil dua batang pedang mereka yang memang tadi terlepas dari pegangan dan mereka tinggalkan. Dengan sekali mengayun tangannya, Thian Sin melepaskan dua batang pedang itu yang menyambar seperti dua batang anak panah ke arah dua orang pengemis itu.

Terdengar dua orang pengemis itu menjerit dan mendekap telinga kiri mereka yang telah buntung disambar pedang mereka sendiri dan kini mereka melarikan diri bagaikan dikejar setan saking merasa ngeri takutnya!

Thian Sin cepat menghampiri tukang obat. “Paman, cepat kau ajak puterimu keluar dari kota ini. Cepat sebelum mereka ini datang. Biarkan aku yang menghadapi mereka!”

Tukang obat itu tadi telah maklum bahwa pemuda inilah yang membantunya, dan dia pun bisa menduga bahwa pemuda ini adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Maka dia pun memberi hormat dan mengajak puterinya berlutut di hadapan Thian Sin.

“Taihiap telah menolong kami, mohon tahu siapa nama taihiap yang mulia.”

Thian Sin tersenyum dan membangkitkan mereka, “Bangunlah dan cepatlah kalian pergi. Namaku tak ada artinya, kelak kalian akan tahu sendiri. Sudahlah, paman. Pergilah cepat kalau paman ingin melihat puterimu selamat.”

Tukang obat itu kembali menghaturkan terima kasih, kemudian membawa barang-barang mereka dan pergi bersama puterinya yang merasa berterima kasih serta kagum sekali terhadap Thian Sin. Pemuda ini tidak pergi, malah duduk di atas tanah dengan tenang.

Melihat ini, orang-orang yang merasa takut akan pembalasan para pengemis sudah cepat pergi meninggalkan tempat itu karena takut terbawa-bawa. Dan beberapa orang memberi nasehat kepadanya agar cepat pergi pula. Akan tetapi pemuda itu menggelengkan kepala dan tertawa.

“Aku memang menunggu mereka,” katanya seenaknya lalu pemuda ini bernyanyi-nyanyi gembira. Orang-orang menjadi semakin khawatir, tetapi karena takut tersangkut, akhirnya mereka pergi dan hanya berani menonton dari jarak jauh saja.

Tak lama kemudian, muncul lima orang pengemis yang usianya kurang lebih lima puluh tahun bersama Si Muka Hitam yang kepalanya sudah dibalut sehingga telinganya yang buntung tertutup kain pembalut. Si Muka Hitam tidak berbicara hanya menuding ke arah Thian Sin.

Lima orang pengemis itu meloncat dengan gerakan ringan sekali dan mereka telah berdiri mengepung Thian Sin. Sikap mereka itu hati-hati sekali dan dari gerakan mereka tahulah Thian Sin bahwa kepandaian mereka ini jauh lebih tinggi dari pada tingkat kedua orang pengemis yang tadi dihajarnya melalui kaki nona penjual koyo itu. Akan tetapi dia masih enak-enak saja, tersenyum-senyum memandang kepada mereka.

“Inikah manusianya yang berani menghina anggota Hwa-i Kai-pang?” bentak seorang di antara mereka.

“Manusia bosan hidup!” teriak yang ke dua.

“Bocah setan, hayo mengaku siapa namamu sebelum kami mengantarkanmu ke neraka jahanam!” tertak orang ke tiga.

Thian Sin masih berdiri sambil tersenyum, menurunkan dua tangannya yang tadi bertolak pinggang dan kini dia menggerak-gerakkan sepasang tangannya sambil menengadah dan bersajak dengan suara merdu, bahkan kepalanya juga bergerak-gerak menurutkan irama kata demi kata yang keluar dari mulutnya.

“Yang lemas mengalahkan yang kaku, yang halus mengalahkan yang kasar, yang lunak mengalahkan yang keras, yang lemah mengalahkan yang kuat! Siapa bilang? Hwa-i Kai-pang menyalah gunakan kekuatan yang macam ini harus dihadapi dengan kaku, kasar, keras, kuat dan berani!”

Lima orang itu menjadi marah sekali, akan tetapi juga terheran-heran melihat ada seorang pemuda yang begini berani menantang Hwa-i Kai-pang di kota raja! Baru mengingat akan kekuasaan dan pengaruh Hwa-i Kai-pang sudah membuat partai-partai persilatan besar tidak berani bersikap sembarangan, apa lagi hanya seorang manusia saja. Belum lagi jika diingat bahwa perkumpulan ini dilindungi oleh pemerintah sehingga bila menentang Hwa-i Kai-pang bisa berhadapan dengan pasukan keamanan pemerintah!

“Hayo mengaku siapa namamu supaya engkau jangan mampus sebagai manusia tanpa nama!”

“Huh, manusia ini agaknya sudah gila dan tidak berani mengakui nama sendiri!”

Thian Sin tersenyum, lalu menjawab dengan suara tetap merdu seperti orang bernyanyi.

“Namaku memang tidak berharga namun kalian anjing-anjing hina terlampau rendah untuk mengenalnya!”

Inilah penghinaan yang sudah dianggap keterlaluan oleh lima orang pengemis itu. Mereka itu adalah lima orang anggota Hwa-i Kai-pang yang tingkatnya sudah cukup tinggi, yaitu anggota tingkat tiga yang sudah merupakan pengurus-pengurus perkumpulan itu. Bukan hanya itu saja, juga mereka ini sudah menjadi satu pasukan yang disegani dalam Hwa-i Kai-pang, yaitu Ngo-lian-tin (Barisan Lima Teratai).

Di dalam Hwa-i Kai-pang, di samping terdapat ilmu silat tongkat yang merupakan inti dari ilmu tongkat para pimpinan perkumpulan itu, yaitu yang disebut Ta-houw Sin-pang (Ilmu Tongkat Sakti Memukul Harimau) yang juga bisa diubah menjadi Sin-ciang (Tangan Sakti), juga terdapat sejenis ilmu tongkat yang bernama Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai).

Para pengurus Hwa-i Kai-pang semuanya menguasai Ilmu Tongkat Lima Teratai ini, akan tetapi hanya mulai dari tingkat tiga sajalah yang mampu mempergunakan ilmu tongkat itu untuk membentuk Ngo-lian-tin, yaitu semacam barisan atau kerja sama dari lima orang yang mempergunakan Ngo-lian Pang-hoat untuk mengeroyok lawan dengan kerja sama yang amat teratur, baik dan tangguh sekali.

Mendengar penghinaan Thian Sin yang memaki mereka sebagai anjing-anjing hina yang terlalu rendah untuk mengenal namanya, lima orang itu tidak dapat menahan kemarahan mereka lagi. Tongkat di tangan mereka langsung bergerak disusul gerakan tubuh mereka, dan dengan gerakan indah namun gagah sekali mereka itu sudah mengepung Thian Sin dari lima jurusan, dengan tongkat yang digerakkan secara berantai dan saling ‘mengisi’ sehingga merupakan kekuatan yang sangat dahsyat.

Akan tetapi Thian Sin masih tersenyum saja. Hatinya girang bukan main bahwa akhirnya dia dapat berhadapan dengan orang-orang Hwa-i Kai-pang. Sebetulnya, dia tidak memiliki urusan dengan Hwa-i Kai-pang dan yang dicarinya hanyalah dua orang tokoh besarnya yang kini menjadi ketuanya. Akan tetapi mengingat bahwa mereka ini adalah anak buah dari dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang yang menjadi musuhnya itu, maka hatinya gembira untuk melayani mereka.

“Mari, mari, ingin kulihat bagaimana kalian membadut dengan tongkat-tongkat butut itu!” katanya dengan nada penuh ejekan.

Tiba-tiba lima orang itu serentak mengeluarkan seruan keras dan tongkat mereka sudah menyambar, menusuk dari lima penjuru. Gerakan mereka memang cepat dan kuat, dan yang diserang adalah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan cara menyerangnya juga bertubi-tubi, susul-menyusul sehingga merupakan kerja sama yang baik dan serangan itu amatlah berbahaya bagi lawan.

Thian Sin maklum akan hal ini. Akan tetapi karena dia hendak mempermainkan mereka, dia pun menggunakan kegesitannya, mengelak atau menangkis terhadap setiap tusukan tanpa berusaha merusak tongkat mereka, bahkan dia memperlihatkan diri seperti orang yang terdesak.

Tiba-tiba tongkat-tongkat yang luput menusuk tubuhnya itu membuat gerakan aneh dan tahu-tahu lima batang tongkat itu telah membentuk sebuah kurungan yang menghadang dirinya dan menutup semua jalan keluarnya, karena tongkat-tongkat itu malang-melintang saling tindih dan saling sambung membuat sebuah ruang di tengah-tengah di mana Thian Sin berdiri. Maka pemuda itu seolah-olah telah terkurung atau tertangkap oleh lima batang tongkat itu!

Thian Sin menekan tongkat-tongkat itu dan meloncat ke atas, akan tetapi tongkat-tongkat itu terus melayang mengikutinya dan tahu-tahu seperti hendak meringkus kedua kakinya. Melihat ini, Thian Sin berjungkir-balik, menghalau tongkat-tongkat itu dengan dua tangan sambil meminjam tenaga mereka untuk meloncat lagi ke depan sehingga dia terlepas dari kepungan tongkat. Akan tetapi, kelima orang itu bergerak cepat, kembali berloncatan dan tahu-tahu dia telah terkurung lagi!

Diam-diam Thian Sin merasa amat kagum. Memang indah sekali dan juga tangguh sekali gerakan dari Ngo-lian-tin ini, dan ilmu tongkat mereka ini memang telah mencapai tingkat yang cukup kuat sehingga jago-jago silat biasa saja jangan harap akan mampu melawan mereka. Bahkan pendekar yang sudah pandai pun akan bingung menghadapi kepungan tongkat-tongkat yang dapat bergerak otomatis dan amat rapi bekerja sama ini. Pada saat dia kembali terkepung oleh tongkat-tongkat yang saling tindih itu, dia mengangkat kedua tangannya ke atas.

“Hei, jembel-jembel busuk. Aku sudah muak dengan main-main ini. Dengarlah, aku akan menyerah asal kalian membawaku menghadap ketua kalian!”

“Kau boleh menghadap ketua kami sebagai mayat!” bentak seorang di antara mereka dan tanpa merusak ‘kurungan’ itu, dia telah menarik tongkatnya dan menggunakan tongkatnya menusuk ke arah pusar pemuda itu yang nampaknya sudah terkurung dan tidak mampu bergerak lagi.

Thian Sin tersenyum dan mendiamkan saja sebelah bawah perutnya ditusuk. Dia hanya menurunkan sedikit tubuhnya dan menerima tusukan tongkat itu dengan perutnya sambil mengerahkan sedikit tenaga.

“Krekkk!”

Tongkat yang bertemu dengan perutnya itu pun patah-patah menjadi tiga potong saking kerasnya pengemis yang memegangnya tadi menusuk. Terkejutlah pengemis itu dan juga empat orang kawannya. Mereka menarik tongkat masing-masing dan kini kembali mereka menyerang, ada yang memukul kepala, ada pula yang menusukkan tongkatnya, semua itu dilakukan dengan beruntun, juga pengemis yang kehilangan tongkatnya itu menerjang dengan pukulan tangannya.

Terdengar suara keras karena patahnya tongkat-tongkat itu dan ternyata empat batang tongkat itu telah patah-patah semua, ada pun pengemis yang menghantamkan tangannya segera berteriak kesakitan karena tulang jari tangannya juga patah! Kini mereka berlima yang masih berdiri mengepung Thian Sin memandang dengan muka pucat dan dua mata terbelalak. Pemuda itu tersenyum tenang.

“Bagaimana? Apakah kalian masih belum puas dan hendak bermain-main terus? Ataukah mau membawaku menghadap ketua kalian sebagai tawanan?”

Lima orang pengemis itu bukanlah orang-orang yang bodoh. Mereka sudah tahu bahwa sesungguhnya pemuda ini adalah orang yang mempunyai ilmu kepandaian hebat sekali. Kekalahan mereka merupakan tamparan bagi mereka, maka jika mereka dapat membawa pemuda ini sebagai tawanan, hal itu bukan hanya berarti menebus kekalahan yang amat memalukan itu, akan tetapi juga mereka tidak akan memperoleh kemarahan dari ketua mereka. Dan bertapa pun lihainya pemuda ini, bila sudah berhadapan dengan dua orang ketua mereka, maka akan dapat berbuat apakah?

“Sebagai tawanan katamu? Jadi engkau mau untuk kami tangkap, kami ikat, lantas kami bawa menghadap kepada ketua kami?” tanya pengemis berhidung pesek yang agaknya menjadi pemimpin mereka berlima.

Thian Sin berpikir bahwa agaknya tidak akan mudah baginya untuk bertemu dengan dua orang musuh besarnya itu. Biar pun dia dapat memancingnya, namun yang akan keluar tentulah para pembantunya dan sebagai orang yang berkedudukan tinggi, ketua Hwa-i Kai-pang yang agaknya telah menjadi perkumpulan yang besar dan berpengaruh sekali di kota raja, kedua orang itu agaknya tidak akan sembarangan keluar dari sarang.

Untuk mencari mereka ke sarang mereka pun bukan merupakan hal yang mudah karena menurut penyelidikannya, kai-pang itu kini dekat dengan pemerintah dan tentu saja akan bisa memperoleh bantuan pasukan penjaga, dan jika telah demikian, maka akan semakin sukarlah baginya untuk dapat berhadapan dengan mereka. Karena itu dia pun mengambil keputusan cepat.

“Baik, kau boleh bawa aku sebagai tawanan, dan boleh mengikat kedua tanganku kalau perlu,” jawabnya.

Lima orang pengemis itu menjadi gembira bukan main. Mereka lalu mempergunakan tali yang kuat untuk mengikat kedua pergelangan Thian Sin ke belakang tubuhnya. Baru saja ikatan yang amat kuat itu selesai, Thian Sin sudah berkata,

“Akan tetapi, janganlah kalian main-main. Lihat, aku akan dapat melepaskan diri dengan mudah apa bila kalian main gila.” Dan sekali dia menggerakkan kedua tangan… ternyata kedua tangannya itu sudah terlepas dari ikatan tali tanpa membuat tali itu putus! Tali itu jatuh ke atas tanah begitu saja.

Tentu saja lima orang pengemis itu terkejut bukan main dan muka mereka menjadi pucat sekali. Mereka tidak tahu bahwa pemuda ini tadi telah mempergunakan kekuatan sihirnya sehingga walau pun mereka merasa sudah membelenggu kedua tangan itu, sebenarnya kedua tangan pemuda itu sama sekali tidak terikat, maka dengan mudah Thian Sin dapat membebaskan kedua tangannya. Bagi pemuda ini, diikat atau tidak sama saja karena biar pun sepasang tangannya terikat secara sungguh-sungguh sekali pun, dengan mudah dia akan dapat membikin putus tali-tali itu.

“Tidak… kami tidak main-main…,” kata Si Hidung Pesek.

“Nah, kalau begitu ikatlah lagi baik-baik lalu antar aku menemui ketua kalian.”

Lima orang pengemis itu lalu mengikat kembali kedua pergelangan tangan Thian Sin ke belakang tubuhnya, kemudian pemuda ini lalu mereka giring menuju ke sarang mereka. Di sepanjang perjalanan, banyak orang menonton iring-iringan ini.

Tidak aneh melihat orang-orang Hwa-i Kai-pang menganiaya orang. Akan tetapi sekali ini lain. Pemuda itu tidak kelihatan berduka atau ketakutan. Bahkan sebaliknya, lima orang pengemis yang menggiringnya itu, yang oleh banyak orang terkenal sebagai tokoh-tokoh tinggi Hwa-i Kai-pang, berjalan di depan dan belakang pemuda itu dengan wajah muram dan pendiam, nampak serius sekali, sedangkan si pemuda yang menjadi tawanan mereka itu tersenyum-senyum, bahkan tampak bernyanyi-nyanyi kecil! Tentu saja hal ini membuat semua orang menjadi terheran-heran dan ada yang mengira bahwa pemuda tampan yang berpakaian mewah itu tentu telah menjadi gila!

Tempat yang menjadi pusat atau sarang Hwa-i Kai-pang sekarang jauh berbeda dengan dahulu sebelum perkumpulan pengemis itu dekat dengan kekuasaan kaisar. Tempat itu berada di luar pintu gerbang sebelah timur, merupakan bangunan yang cukup besar dan terdiri dari rumah-rumah kecil mengelilingi bangunan besar yang menjadi tempat tinggal dua orang ketua mereka.

Di sekeliling perumahan itu terdapat pagar tembok yang tinggi dan tebal, seperti keadaan sebuah benteng saja. Pintu tembok benteng itu pun tebal dan dijaga ketat oleh beberapa orang pengemis yang lagaknya seperti penjaga di pintu gerbang istana saja, setiap orang pengemis memegang sebuah tongkat.

Diam-diam Thian Sin merasa girang bahwa dia telah mempergunakan siasat membiarkan dirinya ditawan ini. Harus diakuinya bahwa walau pun dengan mudah dia akan sanggup melewati tembok itu dan menyerbu ke dalam, namun belum tentu dia akan bisa mencari dua orang ketua itu kalau mereka menyembunyikan diri atau melarikan diri.

Dengan akalnya yang sekarang ini, dia malah akan langsung dibawa menghadap mereka, jadi dia tak perlu mencari lagi! Jantungnya berdebar tegang pada saat dia dibawa melalui lorong di mana terdapat pengemis-pengemis yang berjaga-jaga.

Beberapa orang pengemis tua memandang heran dan ada yang bertanya kepada lima orang tokoh pengemis yang menangkap pemuda itu. Mereka menjawab dengan singkat bahwa pemuda itu adalah tawanan mereka yang hendak mereka hadapkan kepada ketua. Jawaban ini saja sudah dapat dimengerti oleh para rekan mereka itu bahwa tangkapan itu adalah orang penting maka harus dihadapkan dengan ketua sendiri.

Betapa pun juga, para tokoh Hwa-i Kai-pang dari tingkat tiga ke atas menjadi tertarik dan mereka pun ikut pula mengawal pemuda itu memasuki bangunan besar untuk menghadap ketua. Mereka semua ingin mendengar dan melihat sendiri sebab mereka dapat menduga bahwa pemuda itu tentulah orang yang penting maka oleh kelima orang rekan itu dibawa menghadap ketua.

Pada waktu itu, Hwa-i Kai-pang merupakan perkumpulan yang kuat sekali. Para anggota pimpinan terdiri dari dua orang ketuanya dan para murid tingkat dua yang jumlahnya ada enam orang, yaitu murid-murid kepala yang digembleng oleh dua orang ketua itu sendiri, lalu lima belas orang murid yang ilmu silatnya lebih rendah dari pada murid-murid kepala, akan tetapi lima belas orang murid tingkat tiga ini sudah membentuk Ngo-heng-tin yang tangguh dan biasanya merupakan inti kekuatan Hwa-i Kai-pang bila mana menanggulangi urusan yang memerlukan kekerasan.

Kini, melihat adanya seorang pemuda yang tampan dan kelihatan gagah menjadi tawanan hendak diajukan kepada ketua, hal yang jarang terjadi, semua murid tingkat dua dan tiga yang kebetulan berada di tempat itu segera berkumpul dan ikut pula menghadap.

Tentu saja murid-murid lainnya yang tingkatnya lebih rendah tidak berani ikut memasuki ruangan di mana terdapat ketua mereka. Murid-murid tingkat rendah ini tidak akan berani menghadap tanpa dipanggil. Pada waktu itu, yang kebetulan berada di sarang ada tiga orang murid tingkat dua bersama sepuluh orang murid tingkat tiga, atau dua Ngo-lian-tin berikut yang menawan Thian Sin.

Mereka memasuki sebuah ruangan yang amat luas, karena ruangan ini selain merupakan ruangan untuk persidangan para pimpinan, juga merupakan sebuah lian-bu-thia di mana mereka biasa berlatih silat.

Thian Sin yang dibawa memasuki ruangan ini memandang dengan penuh perhatian. Dia melihat betapa ruangan yang luas itu cukup mewah, dihias dengan lukisan-lukisan dan di sudut terdapat rak-rak terisi segala macam senjata. Biar pun keistimewaan para pengemis ini adalah memainkan tongkat, namun sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka juga melatih diri dengan senjata lain sehingga mereka tidak akan merasa asing bila mana berhadapan dengan lawan yang mempergunakan lain macam senjata.

Di sudut ruangan itu nampak dua orang kakek yang sedang duduk berhadapan dengan santai sambil bercakap-cakap. Sebagai ketua perkumpulan yang intinya adalah ilmu silat, maka kedua orang ketua ini tidak pernah dikawal dan kini mereka duduk berdua saja di ruangan itu dan barulah mereka mengangkat muka memandang ketika para murid datang menghadap membawa seorang pemuda yang tidak mereka kenal.

Thian Sin lalu memperhatikan dua orang kakek itu. Yang seorang bertubuh kurus sekali, seperti tulang dibungkus kulit saja, mukanya penuh keriput dan pucat, nampak sudah tua sekali dan kiranya kakek ini tidak akan kurang dari tujuh puluh tahun lebih, mukanya hitam seperti pantat kuali, sungguh merupakan kebalikan dari muka kakek pertama, akan tetapi anehnya, kakek bermuka hitam ini mempunyai kulit tangan yang putih.

Melihat keadaan mereka berdua, Thian Sin dapat menduga bahwa tentu kakek tua renta itu adalah Lo-thian Sin-kai sedangkan yang kedua adalah sute-nya yang bernama atau berjuluk Hek-bin Mo-kai. Jantungnya berdebar karena perasaan tegang dan juga marah. Jadi kedua orang inilah yang sudah membantu Kerajaan Beng untuk mengeroyok dan ikut membunuh ayah bundanya!

Tiga belas orang tingkat dua dan tiga itu berlutut di atas lantai menghadap kedua orang kakek yang masih tetap duduk di atas kursi itu. Akan tetapi ketika lima orang pengemis itu mendorong Thian Sin untuk berlutut, pemuda ini tetap berdiri saja sambil memandang ke arah dua orang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik.

“Apa artinya ini? Siapakah bocah yang kalian bawa ini?” Hek-bin Mo-kai menegur dengan suara tidak senang melihat sikap pemuda itu yang demikian angkuh.

Biar pun pemuda itu tampan dan gagah, memakai pakaian mewah seperti seorang pelajar tingkat tinggi, akan tetapi sungguh merupakan suatu sikap yang kurang ajar kalau berani berhadapan dengan dua orang ketua Hwa-i Kai-pang dengan sikap demikian angkuh.

Si Hidung Pesek, pemimpin dari Ngo-lian-tin itu, cepat-cepat memberi hormat, “Harap ji-wi pangcu sudi memaafkan kami. Pemuda ini telah membuat kacau di lapangan dekat pasar, membela penjual koyo yang berani membuka dagangan tanpa ijin kita, bahkan pemuda ini sudah memukul serta membuntungi telinga dua orang anak buah kita. Maka kami lalu datang dan akhirnya kami menangkap dia untuk kami bawa menghadap ji-wi pangcu dan mohon keputusan ji-wi pangcu terhadap dirinya.”

Mendengar laporan ini, Hek-bin Mo-kai yang wataknya berangasan itu menjadi marah. Terutama dia mendongkol mendengar ada orang yang berani membuntungi telinga kedua orang anak buah Hwa-i Kai-pang.

“Hemm, urusan sepele begini saja kalian tidak dapat memutuskan sendiri dan harus minta keputusan kami? Tolol! Dia telah mengacau, dia telah menghina anak buah kita, mau apa lagi? Kalau dia membuntungi telinga anak buah kita, nah, buntungi kedua telinganya dan cokel kedua matanya itu yang seperti mata setan!”

Mendengar perintah ini, para tokoh yang lain mengangguk-angguk setuju, akan tetapi lima orang pengemis yang tadi menggiring Thian Sin masuk lalu saling pandang dengan muka pucat. Si Hidung Pesek menjadi serba salah, karena itu dia pun tidak dapat berlagak telah menangkap pemuda itu lagi.

“Tapi… tapi… pangcu, dia… dia itu lihai sekali dan kami tidak akan dapat melaksanakan perintah itu.”

Kini dua orang ketua itu mengangkat muka dan memandangnya penuh keheranan, juga merasa sangat marah dan terkejut. “Apa?! Dan bukankah kalian telah meringkusnya dan menyeretnya ke sini?” yang bertanya ini adalah Lo-thian Sin-kai, suaranya halus namun sikapnya hati-hati, kini memandang penuh kecurigaan kepada lima orang anak buahnya itu, juga kepada Thian Sin.

“Mohon maaf sebesarnya dari ji-wi pangcu,” Si Hidung Pesek berkata, suaranya gemetar. “Sesungguhnya… kami berlima telah dikalahkan oleh pemuda ini… dan dia… dia sendiri yang minta agar dibelenggu dan dibawa menghadap ji-wi pangcu.”

Dua orang ketua Hwa-i Kai-pang itu terkejut bukan kepalang. Kiranya pemuda ini dapat mengalahkan Ngo-lian-tin! Akan tetapi mengapa lalu menyerah dan minta ditangkap? Apa yang tersembunyi di balik sikap aneh ini? Kini kedua orang ketua itu bangkit dari tempat duduk mereka, memandang tajam kepada Thian Sin.

“Orang muda, siapakah engkau sebenarnya?” Lo-thian Sin-kai bertanya, suaranya halus. “Apa maksudmu mengacau anak buah kami lalu minta dihadapkan kepada kami?”

Dengan kedua tangan masih terbelenggu ke belakang tubuhnya, Thian Sin pun menjawab sambil tersenyum, akan tetapi sepasang matanya mencorong laksana hendak membakar kedua orang pengemis tua itu!

“Kalian adalah Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, benarkah?”

“Benar!” bentak Hek-bin Mo-kai. “Dan siapakah engkau, pemuda sombong?”

“Ha-ha-ha!” Thian Sin tertawa girang sesudah mendapatkan kepastian bahwa dua orang ini adalah musuh besar yang dicari-carinya. “Kuberi tahukan namaku pun kalian tak akan mengenalnya. Akan tetapi kalian tentu mengenal nama Pangeran Ceng Han Houw dan isterinya yang bernama Li Ciauw Si, bukan?”

Seketika pucat wajah kedua orang kakek pengemis itu mendengar disebutnya nama ini. Sejak mereka berdua turut mengeroyok kemudian membunuh pangeran itu dan isterinya, mereka dapat mengangkat nama Hwa-i Kai-pang sebagai sebuah perkumpulan yang tak lagi dimusuhi oleh kerajaan, bahkan dianggap berjasa sehingga memperoleh kekuasaan dan pengaruh.

Akan tetapi, sering kali mereka bermimpi buruk karena mereka tahu bahwa pangeran itu adalah seorang yang amat sakti dan isterinya merupakan keluarga dari Cin-ling-pai. Kalau saja Cin-ling-pai berusaha membalas kematian itu! Mereka sering merasa ketakutan dan ngeri, maka mereka lebih banyak bersembunyi dan berlindung di balik kekuasaan kaisar.

Setelah lewat bertahun-tahun dan tak ada usaha dari fihak Cin-ling-pai untuk mengganggu mereka, hati mereka mulai tenang walau pun mereka lebih menikmati kedudukan mereka itu dengan bersenang-senang di dalam sarang yang terjaga kuat itu dari pada berkeliaran di luar. Maka, sungguh amat mengejutkan hati mereka ketika pemuda ini bicara tentang Pangeran Ceng Han Houw dan isterinya!

“Siapakah engkau? Apa maksudmu berbicara mengenai orang yang sudah mati?” tanya Hek-bin Mo-kai sambil berusaha keras untuk menyembunyikan getaran suaranya di balik bentakan marah yang tidak sangat berhasil.

“Pandanglah baik-baik. Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai. Aku adalah putera tunggal mereka!” Dia berhenti sebentar, menikmati kekagetan yang membayang di wajah-wajah yang pucat itu. “Dan kiranya tak perlu lagi kujelaskan kenapa aku datang mencari kalian, bukan?”

Dua orang ketua Hwa-i Kai-pang itu terbelalak, akan tetapi mereka bukanlah orang lemah. Apa lagi di situ terdapat tiga belas orang murid-murid mereka yang boleh diandalkan, dan juga bukankah kedua tangan pemuda itu dalam keadaan terbelenggu?

“Bentuk dua Ngo-lian-tin lantas bekuk pemuda ini!” bentak Hek-bin Mo-kai, memerintah kepada sepuluh orang murid tingkat tiga itu.

Biar pun lima orang yang tadi menggiring Thian Sin pernah merasakan kelihaian pemuda ini dan mereka merasa gentar, akan tetapi kini mereka berada di kandang sendiri. Di situ terdapat dua orang guru dan ketua mereka, juga teman-teman mereka yang lihai, maka timbul pula keberanian mereka, bahkan mereka hendak mempergunakan kesempatan ini untuk membalas kekalahan mereka tadi.

Cepat mereka lari ke rak senjata dan menyambar tongkat-tongkat yang banyak terdapat di sana, kemudian bersama Ngo-lian-tin yang kedua, mereka sudah membentuk barisan lima teratai dan mengurung Thian Sin.

Pemuda ini masih belum melepaskan belenggu kedua tangannya. Dia berdiri menghadapi kepungan dua barisan Ngo-lian-tin itu dengan amat tenang dan masih tersenyum-senyum saja. Kepada Si Hidung Pesek dia berkata, “Sekali ini aku tidak akan mengampuni kalian.”

Dan dia masih saja belum melepaskan diri dari belenggu kedua tangannya, seakan-akan dia hendak memperlihatkan bahwa untuk menghadapi kedua barisan Ngo-lian-tin itu dia tidak membutuhkan kedua lengannya!

Melihat hal ini, tentu saja Si Hidung Pesek melihat keuntungan maka cepat dia memberi aba-aba kepada teman-temannya agar cepat bergerak. Dan mulailah Ngo-lian-tin pertama itu bergerak menyerang, ada pun Ngo-lian-tin ke dua juga turut mendesak dan membantu Ngo-lian-tin yang pertama.

Thian Sin mempergunakan kecepatan gerak tubuhnya untuk mengelak dan berloncatan ke sana-sini, dan sungguh pun kedua tangannya masih terbelenggu, namun dia kelihatan seenaknya dan mudah saja menghindarkan semua sambaran tongkat. Akan tetapi, kini sepuluh batang tongkat panjang itu bekerja sama dan dia pun terkurung oleh gulungan sinar tongkat yang makin lama makin menyempit dan akhirnya tubuhnya sudah tertutup rapat oleh tongkat-tongkat itu dari segenap penjuru.

Akan tetapi, sambil tertawa Thian Sin meloncat lurus ke atas untuk membebaskan diri dari kepungan tongkat-tongkat itu. Sepuluh orang itu bergerak dengan cepat, tahu-tahu tubuh Thian Sin di udara telah tertahan dan terjepit oleh tongkat-tongkat itu!

Keadaan Thian Sin seolah-olah sudah tak berdaya lagi karena tubuhnya tertahan di udara oleh tongkat-tongkat itu yang malang-melintang serta menghimpitnya. Terdengar Hek-bin Mo-kai tertawa senang menyaksikan hal ini.

Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara melengking tinggi dan tubuh Thian Sin meronta, kedua kakinya bergerak-gerak, lantas terpelantinglah sepuluh orang itu, tongkat mereka beterbangan jauh ke kanan kiri menimpa dinding-dinding ruangan yang luas itu, ada pun sepuluh orang yang terpelanting itu langsung mengaduh-aduh karena beberapa di antara mereka terkena tendangan kaki Thian Sin yang kini telah turun kembali sambil tersenyum-senyum.

Hek-bin Mo-kai maklum akan kelihaian pemuda itu, maka dia pun mengeluarkan seruan nyaring untuk memerintahkan tiga orang murid kelas dua maju mengeroyok. Tiga orang pengemis tua ini adalah murid-murid kepala yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi. Mereka lalu menerjang maju sambil menggerakkan tongkat mereka.

Melihat gerakan ini serta mendengar suara angin pukulan tongkat mereka, Thian Sin pun maklum bahwa tiga orang ini sudah memiliki kepandaian tinggi, apa lagi di situ terdapat dua orang ketua Hwa-i Kai-pang yang sudah mulai memutar tongkat masing-masing pula. Sambil tertawa Thian Sin lalu menggerakkan kedua tangannya dan putuslah tali pengikat pergelangan tangannya tadi. Sekali dia menggerakkan kedua tangannya yang memegang tali, maka tali itu seperti seekor ular saja menyambar ke depan.

Terdengar pekik mengerikan ketika tiga orang pengemis itu, termasuk Si Hidung Pesek, terjengkang roboh dengan kepala pecah sesudah terkena tali yang disambitkan Thian Sin itu. Tentu saja semua orang terkejut bukan kepalang. Tak disangkanya bahwa pemuda itu sedemikian lihainya sehingga sambitan tali bekas belenggu tangannya saja telah berhasil membunuh tiga orang anggota Ngo-lian-tin yang lihai!

Dan mulailah Thian Sin mengamuk! Dia dikeroyok lima, yaitu oleh dua orang ketua Hwa-i Kai-pang yang dibantu dengan tiga orang murid utama mereka.

Lo-thian Sin-kai adalah seorang tokoh Hwa-i Kai-pang yang paling lihai karena dia sudah mewarisi ilmu-ilmu dari Hwa-i Sin-kai pendiri dari Hwa-i Kai-pang. Dia memiliki semua ilmu silat kai-pang itu, pandai sekali memainkan tongkat, baik dengan Ilmu Ngo-lian Pang-hoat mau pun Ta-houw Sin-pang, dan selain itu, juga dia memiliki tenaga yang kuat sekali.

Sute-nya, Hek-bin Mo-kai, juga amat lihai dan hanya kalah sedikit saja jika dibandingkan dengan suheng-nya itu. Maka, dibantu oleh tiga orang murid utama mereka, tentu saja lima orang ini merupakan lawan yang sangat tangguh dan sangat berbahaya. Mereka itu merupakan inti kekuatan yang paling tinggi sebagai pucuk pimpinan Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi kali ini mereka bertemu dengan Thian Sin sehingga ketangguhan mereka itu sama sekali tidak ada gunanya.

“Hemm, sejak dulu sampai kini kalian adalah pengecut-pengecut hina yang hanya berani jika mengandalkan pengeroyokan,” kata Thian Sin sambil menghadapi terjangan mereka yang bertubi-tubi itu dengan tangan kosong saja. Dia tak begitu mempedulikan tiga orang murid utama itu, karena yang diincarnya adalah dua orang ketua Hwa-i Kai-pang yang pernah mengeroyok dan ikut membunuh ayah bundanya.

“Wuuuttt…!”

Sinar tongkat menyambar dari kanan dengan amat hebatnya sebab tongkat ini ditusukkan dengan pengerahan tenaga oleh Hek-bin Mo-kai yang maklum bahwa dia dan suheng-nya dibantu murid-muridnya harus bisa membunuh pemuda putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw ini, kalau tidak mereka sendiri yang akan tewas. Maka serangannya pun selalu dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.

“Plakkk!”

Thian Sin menangkap tongkat itu, tidak mempedulikan pukulan tiga batang tongkat dari arah belakangnya yang dilakukan oleh ketiga orang murid utama Hwa-i Kai-pang itu. Dia hanya mengerahkan sinkang-nya untuk melindungi tubuh belakangnya.

Terdengar suara keras ketika tiga batang tongkat itu mengenai punggung, pinggul serta leher belakang atau tengkuknya, lantas tiga batang tongkat itu membalik, membuat tiga orang penyerangnya berteriak kaget dan kesakitan karena telapak tangan mereka terobek dan berdarah!

Sementara itu, Thian Sin yang sudah berhasil menangkap tongkat Hek-bin Mo-kai itu lalu melangkah maju dengan cepat sekali, tangan kanannya menangkap tongkat, tangan kiri menyambar ke depan untuk mencengkeram dada lawan yang dibencinya ini.

Hek-bin Mo-kai tadi telah berusaha untuk menarik kembali tongkatnya, akan tetapi sia-sia saja dan melihat serangan pemuda itu, maka dia cepat melangkah mundur dan terpaksa dia melepaskan tongkatnya. Pada saat itu, Lo-thian Sin-kai telah menyerang pula dengan tongkatnya yang menghantam ke arah kepala Thian Sin.

Melihat serangan yang sangat hebat ini, Thian Sin yang sudah merampas tongkat Hek-bin Mo-kai langsung menggunakan tongkat itu untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sekuatnya.

“Krakkk!”

Tongkat di tangannya patah menjadi dua, begitu pula tongkat di tangan Lo-thian Sin-kai! Ketua pertama dari Hwa-i Kai-pang ini terkejut bukan main, apa lagi pada saat itu, Thian Sin berseru keras dan potongan tongkatnya tadi telah dilontarkan ke depan.

Hek-bin Mo-kai sedang berlari untuk mengambil senjata baru dari rak, dan Thian Sin yang menyangka bahwa kakek muka hitam itu hendak melarikan diri, segera mempergunakan kepandaiannya menyambitkan potongan tongkat di tangannya.

“Aughhhh…!”

Hek-bin Mo-kai berteriak kemudian roboh, paha kirinya tertusuk potongan tongkat sampai tembus! Melihat ini, Lo-thian Sin-kai terkejut dan marah, lantas menubruk ke depan pada saat Thian Sin menyambitkan tongkatnya tadi dan menggunakan kedua tangannya sambil mengerahkan sinkang yang sangat kuat untuk menghantam ke arah dada serta lambung pemuda itu.

Inilah jurus yang paling hebat dari Ta-houw Sin-ciang-hoat. Jangankan manusia, bahkan harimau yang kuat sekali pun akan tewas seketika apa bila terkena hantaman yang dapat menghancurkan isi dada dan perut ini.

Thian Sin yang sedang menyambitkan potongan tongkat itu sempat melihat hantaman ini, akan tetapi dia tidak peduli dan membiarkan dada serta lambungnya dipukul!

“Plak! Plak! Krekkk…!”

Tubuh Lo-thian Sin-kai terpelanting dengan tulang pundak kanan dan kiri remuk, ada pun tubuh Thian Sin hanya terguncang sedikit saja. Ternyata ketika menerima pukulan pada dada dan lambungnya itu, Thian Sin menerima pukulan lawan sambil balas menghantam dengan ketukan jari-jari tangannya ke arah kedua pundak lawan hingga membuat tulang-tulang kedua pundak itu patah. Sengaja Thian Sin tak mau langsung membunuhnya, akan tetapi merobohkan kedua orang kakek itu lebih dulu.

Tentu saja robohnya dua orang ketua ini membuat ketiga orang murid utamanya terkejut dan gentar bukan main. Namun mereka tidak diberi kesempatan lagi. Thian Sin bergerak cepat sekali, lantas dengan beberapa kali serangan saja maka tiga orang itu sudah roboh dan tewas!

Tujuh orang murid tingkat tiga yang tadinya sudah mengepung, kini maju mengeroyok, ditambah lagi dengan para anggota pengemis yang datang ketika mendengar keributan di ruangan itu. Terjadilah pengeroyokan, akan tetapi Thian Sin mengamuk dan dalam waktu singkat telah dapat merobohkan dan menewaskan beberapa orang murid-murid rendahan sehingga tubuh-tubuh yang telah menjadi mayat itu malang melintang di ruangan itu.

Melihat ini, kedua orang ketua Hwa-i Kai-pang terkejut dan ketakutan, akan tetapi mereka itu tidak mampu meninggalkan lantai di mana mereka roboh tadi. Kedua pundak Lo-thian Sin-kai sudah remuk sehingga untuk bangun saja dia tidak sanggup, sedangkan Hek-bin Mo-kai yang pahanya tertusuk tongkat itu pun tidak mampu bangkit.

Mereka berteriak-teriak beberapa kali untuk minta tolong kepada anak buah mereka agar mereka dibawa melarikan diri, namun setiap orang pengemis yang mencoba mendekati mereka tentu langsung dirobohkan oleh Thian Sin. Akhirnya, para pengemis itu maklum bahwa melawan pemuda ini sama saja dengan membunuh diri, maka sisanya, kurang dari setengahnya, lari ketakutan meninggalkan sarang mereka dan ada yang segera melapor kepada komandan pasukan penjaga keamanan kota raja di benteng.

Melihat sisa para pengeroyoknya melarikan diri, Thian Sin tidak mau mengejar. Yang dia cari adalah dua orang ketua itu dan kini mereka sudah roboh tidak mampu bergerak lagi. Sambil tersenyum dia menghampiri mereka setelah dia menendang tubuh Hek-bin Mo-kai sehingga tubuh orang ini terlempar di dekat suheng-nya.

Mereka berdua hanya dapat menatap kepada pemuda itu dengan sinar mata mengandung kebencian dan juga rasa seram. Belum pernah mereka bertemu dengan seorang pemuda yang selihai ini, yang mengingatkan mereka akan kelihaian mendiang Pangeran Ceng Han Houw.

“Hemmm, ternyata engkaulah yang disebut Pendekar Sadis!” akhirnya Lo-thian Sin-kai berkata.

Dia tidak mengharapkan dapat hidup lagi, akan tetapi dia pun tidak takut mati. Betapa pun juga, kedua Sin-kai ini adalah orang yang gagah perkasa dan lihai, dan ketika mereka itu turut mengeroyok dan membunuh Pangeran Ceng Han Houw, mereka merasa berada di fihak yang benar karena pangeran itu dianggap seorang pemberontak dan seorang yang amat jahat, dan sudah pernah mengacau dunia kang-ouw pula.

Thian Sin tersenyum. “Salah kalian sendiri, sudah mendengar aku datang mencari kalian, tetapi kalian tidak mau bersembunyi. Ha-ha-ha-ha, sekarang bagaimana? Coba ceritakan bagaimana kalian dahulu ikut mengeroyok dan membunuh ayah bundaku.”

“Ayahmu seorang penjahat, seorang pemberontak yang kejam!” bentak Lo-thian Sin-kai.

“Dan engkau tidak kalah jahatnya dengan ayahmu!” Hek-bin Mo-kai juga memaki.

Thian Sin hanya tersenyum. “Apakah kalian tidak jahat? Apakah anak buah kalian yang melakukan pemerasan di kota raja tidak busuk? Memang, melihat kebusukan orang lain, betapa pun kecilnya, amatlah mudah, sebaliknya, kebusukan sendiri sebesar gajah takkan pernah kalian lihat!”

“Tidak perlu banyak cakap lagi, kami sudah kalah, mau bunuh kami, bunuhlah!” bentak Lo-thian Sin-kai.

“Kami adalah laki-laki sejati yang tak takut mati!” Hek-bin Mo-kai juga ikut berkata sambil menyeringai menahan sakit.

“Bagus! Gagah perkasa tidak takut mati, akan tetapi pengecut hina yang beraninya hanya mengandalkan pengeroyokan banyak orang, dulu terhadap ayah bundaku dan sekarang terhadap diriku.”

“Bocah setan yang sombong, tak perlu banyak mulut lagi!” Hek-bin Mo-kai membentak.

Thian Sin tersenyum lebar lantas tangannya bergerak ke bawah, dua kali jari tangannya menotok ke arah dada serta leher Hek-bin Mo-kai. Dan kembali dia bergerak melakukan penotokan yang sama terhadap tubuh Lo-thian Sin-kai.

Mula-mula kedua orang kakek itu tidak merasakan sesuatu, hanya ada hawa dingin yang menyelinap ke dalam bagian tubuh yang tadi tertotok jari tangan pemuda itu. Akan tetapi mulailah terasa gatal-gatal dan dingin, lalu rasa gatal itu semakin menghebat disertai rasa perih seperti ditusuk-tusuk jarum!

Kedua orang kakek itu berusaha mempertahankan diri, akan tetapi rasa nyeri yang tidak begitu hebat namun makin lama makin terasa itu mulai menggerogoti perasaan mereka. Rasa gatal sukar dapat dipertahankan orang, apa lagi rasa perih yang sedikit demi sedikit menusuk-nusuk perasaan itu.

Rasa nyeri yang hebat sekali dapat mematikan rasa, atau dapat membuat orang pingsan karenanya. Akan tetapi rasa gatal-gatal disertai perih sedikit demi sedikit itu menyerap semakin hebat dan keduanya tidak mampu mengerahkan sinkang karena tenaga mereka telah punah oleh totokan itu.

Mereka berusaha mempertahankan diri tanpa mengeluh, dan keduanya sampai menggigit bibir mereka. Akan tetapi rasa nyeri makin hebat hingga bibir mereka pecah-pecah oleh gigitan sendiri. Darah mengalir membasahi mulut mereka. Sungguh keadaan mereka amat mengerikan.

Muka mereka penuh dengan keringat dan tubuh mereka menggeliat-geliat, dan akhirnya keduanya tak dapat bertahan lagi sehingga mulailah mereka mengeluh. Mula-mula hanya rintihan-rintihan saja, masih mereka tahan, akan tetapi tak lama kemudian mereka sudah menangis dan meraung-raung minta mati!

Dan Thian Sin berdiri sambil bertolak pinggang, tersenyum menyaksikan dua orang lawan yang disiksanya sedemikian hebat itu. Dia tadi telah menotok mereka dengan pengerahan tenaga sinkang yang dipelalarinya dari kitab ayahnya, dan dia telah membuat mereka itu keracunan sedikit demi sedikit.

Raungan-raungan kedua orang kakek itu masih terus terdengar, sungguh pun makin lama semakin lemah dan pada saat itu pula terdengar suara hiruk pikuk di luar, lalu tidak lama kemudian banyak prajurit penjaga keamanan kota raja yang mengurung tempat itu sudah menyerbu ke dalam! Melihat betapa dua orang kakek yang menjadi musuhnya itu sudah mulai sekarat dan nyawa mereka tidak mungkin dapat tertolong lagi, Thian Sin tertawa bergelak dan tubuhnya meloncat ke atas, menerobos genteng.

Beberapa orang anggota kai-pang beserta prajurit yang berjaga di atas genteng, terkejut melihat munculnya pemuda yang menerobos genteng itu. Mereka segera mencoba untuk menyerang, tapi akibatnya mereka sendiri yang terlempar lantas jatuh tunggang-langgang di atas genteng, ada pula yang terus menggelinding ke bawah dan tentu saja mengalami kematian terbanting dari atas genteng.

Ternyata pemuda itu sudah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Bekas amukannya yang ada, yaitu kematian banyak sekali anggota kai-pang serta beberapa orang prajurit, dan yang sangat mengerikan adalah kematian dua orang ketua kai-pang itu. Wajah mereka masih menyiringai, dua mata mereka terbelalak dan wajah itu masih membayangkan rasa nyeri yang luar biasa, akan tetapi nyawa mereka telah melayang.

Gegerlah ibu kota atau kota raja dengan terjadinya peristiwa yang sangat mengerikan ini, sehingga semakin terkenallah nama Pendekar Sadis karena kini semua orang telah dapat menduga, melihat dari cara-cara kematian yang disebabkannya, bahwa yang mengamuk itu tentu bukan lain Pendekar Sadis yang banyak disohorkan orang akhir-akhir ini.

Bukan hanya sampai di situ saja sepak terjang Thian Sin di kota raja. Dia memang sudah berhasil membunuh Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, yaitu dua orang di antara para pengeroyok dan pembunuh ayah bundanya. Akan tetapi dia belum puas karena dia belum berhasil menemukan orang yang lebih dibencinya dari pada yang lainnya, yaitu Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam.

Seperti diketahui, Tok-ciang Sianjin ini adalah seorang tokoh Jeng-hwa-pang yang dahulu juga ikut mengeroyok dan membunuh ayah bundanya. Dan bahkan lebih dari itu, orang ini adalah yang terpandai di antara mereka yang mengeroyok ayah bundanya. Dan sampai kini dia belum juga berhasil membalas, bahkan belum tahu di mana adanya Tok-ciang Sianjin yang dicari-carinya itu.

Maka, Thian Sin lalu mendatangi para tokoh kang-ouw, terutama sekali para penjahat di sekitar kota raja. Maksudnya hendak mencari keterangan dan menyelidiki di mana adanya Tok-ciang Sianjin, akan tetapi caranya menimbulkan kegemparan hebat di kota raja.

Terhadap para tokoh dari dunia hitam ini, Thian Sin bersikap kejam bukan kepalang. Dia menangkap, menyiksa, membunuh, memaksa kepada mereka itu untuk membuka rahasia di mana adanya Tok-ciang Sianjin. Dan untuk semua itu dia tidak segan-segan melakukan kekejaman yang mendirikan bulu roma terhadap para penjahat itu.

Maka nama Pendekar Sadis makin terkenal dan ditakuti oleh kaum penjahat melebihi iblis sendiri. Belum pernah ada tokoh atau datuk sesat sekali pun yang lebih mengerikan dan lebih ditakuti oleh kaum sesat seperti Pendekar Sadis ini.

Thian Sin amat membenci kepada penjahat karena diangapnya bahwa penjahat-penjahat itulah yang telah merusak hidupnya, telah mencelakakan orang-orang yang dicintanya dan karena itu, dia telah mengambil keputusan untuk memusuhi semua penjahat di dunia ini!

Ada kalanya dia memasang mata di pasar dan tempat-tempat ramai dan kalau dia melihat ada penjahat yang melakukan pencopetan saja, dia tidak segan-segan untuk turun tangan dan mematahkan tulang lengan pencopet itu. Bahkan pada waktu malam dia sering keluar dan sekali dilihatnya ada pencuri, tentu tangan pencuri itu segera dibuntungi! Pemerkosa jangan harap dapat hidup bilamana berjumpa dengannya, karena Thian Sin segera akan menghukumnya secara mengerikan, yaitu membuntungi alat kelaminnya!

Belum ada sebulan dia datang ke kota raja, keadaan kota raja menjadi gempar. Bukan hanya para penjahat yang ketakutan setengah mati, bahkan banyak penduduk kota raja juga merasa gelisah dan ngeri. Siapa pun adanya dia, setiap orang sudah tentu tak akan luput dari pada kesalahan, maka dia tentu merasa ngeri untuk dilihat dan dihukum oleh seorang seperti Pendekar Sadis ini.

Pada suatu senja, Thian Sin kembali ke dalam kuil tua di mana dia menyembunyikan diri sebab dia tahu bahwa pasukan kota raja selalu mencarinya. Telah berkali-kali dia bertemu dengan penyelidik-penyelidik dari kota raja itu, namun dia selalu dapat membuat mereka tidak berdaya.

Untuk dapat beristirahat dengan tanpa banyak gangguan, dia lalu mencari penginapan di luar kota raja sehingga akhirnya dia menemukan sebuah kuil tua yang dikabarkan orang sebagai kuil tua kosong yang banyak hantunya. Sungguh kebetulan, pikirnya.

Apa bila kuil itu berhantu, tentu tidak ada orang yang akan berani mendekatinya. Dan dari para penduduk di kampung-kampung sekitar kuil yang berada di tempat sunyi di lereng pegunungan sebelah utara kota raja ini, dia pun mendengar bahwa siapa saja yang berani datang ke kuil ini, apa lagi di malam hari, tentu akan bertemu dengan hantu dan kabarnya sudah ada beberapa orang yang mati dengan mengerikan di tempat itu.

Mati menggantung diri atau pun digantung hantu, tak ada yang dapat tahu dengan pasti. Pendeknya, di sebelah belakang kuil itu terdapat sebuah tengkorak manusia yang masih tergantung di sebuah batang pohon. Hanya tinggal kepala dan leher saja yang tergantung, sedangkan tulang-tulang bagian lainnya sudah runtuh dan bertumpuk di bawah pohon itu tanpa ada yang berani mengganggunya.

Kepercayaan akan tahyul membuat orang yang mempunyai kepandaian tinggi sekali pun menjadi penakut. Orang yang cukup lihai boleh jadi tidak takut menghadapi pengeroyokan banyak lawan tangguh dan bahkan tak gentar menghadapi kematian. Akan tetapi, karena kepercayaan tahyul yang telah berakar di dalam hati mereka, ditanamkan semenjak kecil, membuat mereka atau orang yang mempunyai ilmu silat cukup tinggi sekali pun dapat lari tunggang langgang. Mereka itu merasa seram.

Akan tetapi Thian Sin sama sekali tak merasa takut. Dia telah sering menghadapi hal-hal menyeramkan, yaitu waktu dia bertapa di dalam goa dan mempelajari ilmu sihir dari kakek pertapa di Pegunungan Himalaya. Kalau memang ada hantunya, biarlah aku berkenalan dengan hantu itu, pikirnya, bahkan siapa tahu dia akan dapat mempelajari ilmu yang lebih hebat lagi dari hantu itu!

Maka, beberapa malam yang lalu, ketika untuk pertama kali dia mendatangi tempat itu, dia lalu melakukan pengintaian. Tidak ada apa-apa di sana, sunyi saja. Akan tetapi ketika dia sedang duduk beristirahat di dalam kuil itu, tiba-tiba dia mendengar suara melengking yang aneh. Seketika bulu tengkuknya meremang, akan tetapi ia melawannya dan dengan mengusap tengkuknya, maka rasa meremang pun lenyaplah.

Dia lalu berindap-indap menuju ke arah suara yang datangnya dari belakang kuil di mana terdapat pohon yang ada tengkoraknya tergantung itu. Dia melangkah maju menghampiri karena malam itu gelap, cuaca hanya diterangi oleh sinar bulan yang sepotong.

Ketika dia sudah dekat untuk dapat melihat tengkorak itu, dia mendapat kenyataan bahwa suara itu memang datang dari arah tengkorak itu dan kembali bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat tengkorak itu bergoyang-goyang! Padahal pada saat itu tidak ada angin sama sekali!

Jika bukan Thian Sin yang menghadapi penglihatan dan pendengaran seperti itu, agaknya tentu sudah melarikan diri karena sepandai-pandainya manusia, kalau harus menghadapi sesuatu yang tak dimengertinya dan berada di luar kemampuannya sebagai manusia, apa lagi setelah segala yang didengarnya sejak kecil tentang ketahyulan yang menyeramkan, tentu dia telah ketakutan. Akan tetapi, biar pun bulu tengkuknya terasa dingin, kepalanya terasa berat dan seperti membengkak besar, Thian Sin kembali mengusap tengkuknya dan dia malah maju menghampiri!

Agaknya ‘hantu’ itu menjadi penasaran karena melihat pemuda ini tidak ketakutan seperti orang-orang lain yang pernah melihat dan mendengarnya, maka suara melengking itu lalu menjadi semakin nyaring menyeramkan, dan tengkorak yang bergantungan pada pohon itu juga bergoyang-goyang lebih keras lagi, seolah-olah hendak terbang dan menubruknya.

Thian Sin tidak berhenti bahkan terus menghampiri. Dan pada saat itu terdengar teriakan parau menyeramkan dari atas pohon dan dari atas itu melayanglah sesosok tubuh tinggi besar hitam seolah-olah bayangan itu hendak menyerbu Thian Sin.

Pemuda ini menghentikan langkahnya dan bersiap sedia menyambut terkaman bayangan tubuh tinggi besar yang tidak kelihatan jelas dalam keremangan cuaca itu, akan tetapi… tubuh itu berhenti di tengah udara lantas tergantung-gantung. Kiranya itu adalah bayangan tubuh manusia yang bergantung diri atau digantung orang!

Thian Sin meloncat dan tangannya menyambar, maksudnya untuk menolong orang yang tergantung itu dan sekali tangannya bergerak, tali yang menggantung orang itu putus dan dia pun sudah memondong tubuh itu ke bawah. Akan tetapi tubuh itu ternyata hanyalah sepotong kayu besar yang diberi pakaian!

Mengertilah dia bahwa ada yang mempermainkan dirinya dan kalau ada yang main hantu-hantuan maka tentu yang bermain-main itu adalah manusia! Karena suara itu datang dari atas pohon, maka Thian Sin lalu meloncat lagi, sekarang menerjang ke tengah daun-daun pohon yang rindang itu.

Ada pedang yang menyambutnya, akan tetapi dengan gerakan tangannya Thian Sin dapat membuat pedang itu terpukul ke samping dan ternyata orang yang memegang pedang itu tidak kuat menyambut terjangan Thian Sin. Sambil mengeluarkan teriakan orang itu lantas terjatuh dari atas pohon! Suara berdebuk yang keras membuktikan bahwa orang itu tidak mempunyai ilmu ginkang yang baik dan tubuhnya telah terbanting keras ke atas tanah.

Thian Sin mengikutinya dan melompat turun, cepat menghampiri tubuh yang menggereng kesakitan itu. Kiranya dia seorang laki-laki setengah tua yang mengerang kesakitan dan napasnya empas-empis karena tadi dia telah terkena pukulan tangan sakti Thian Sin yang mengenai dadanya, ditambah lagi dia terbanting roboh ke atas tanah yang mematahkan beberapa tulang iganya.
“Hemm, mengapa kau menakut-nakuti orang?!” Thian Sin membentak.

Orang itu sukar sekali menjawab karena dia menderita sakit bukan main dan napasnya tinggal satu-satu, “…agar… tempat ini menjadi tempatku… tanpa diganggu orang… dan… dan… orang-orang yang ketakutan… meninggalkan barang-barangnya…” Orang itu tidak dapat bicara terus karena kepalanya terkulai dan tewas. Pukulan Thian Sin tadi memang hebat sekali, dilakukan karena menduga bahwa ada lawan tangguh bersembunyi di dalam pohon.

Thian Sin menarik napas panjang kemudian sejenak dia berdiri termenung. Orang ini mati karena kesalahan sendiri, dan pula, memang orang itu bukan orang baik-baik, agaknya menakut-nakuti orang di samping untuk membuat orang takut datang ke tempat itu, juga agaknya untuk memperoleh barang-barang orang yang lari ketakutan. Betapa pun juga, orang ini sudah berjasa baginya, sudah memberikan sebuah tempat persembunyian yang baik sekali. Maka malam itu juga Thian Sin menggali lubang dan mengubur jenazahnya.

Rasa takut memang selalu mempengaruhi kehidupan manusia. Hampir seluruh manusia di dunia ini hidup dalam cengkeraman rasa takut yang dapat juga disebut kekhawatiran, kegelisahan, dan sebagainya. Pendeknya, rasa takut akan sesuatu. Tentu saja perasaan ini mempengaruhi kehidupannya, karena setiap tindakan yang didasari oleh rasa takut tentu merupakan suatu tindakan yang tidak wajar dan palsu. Dapatkah kita hidup bebas dari rasa takut? Apakah sesungguhnya perasaan takut akan sesuatu ini?

Jika kita mau mengamatinya dengan waspada, maka kita akan dapat melihatnya bahwa rasa takut timbul dari permainan pikiran kita sendiri yang membayangkan sesuatu yang tidak ada, sesuatu yang belum tiba, atau sesuatu yang dibayangkan akan ada dan akan menyusahkan diri kita. Apa bila tidak ada pikiran yang membayang-bayangkan keadaan yang belum ada ini, maka rasa takut pun tidak akan ada.

Orang yang takut akan penyakit menular yang sedang mengamuk tentu belum terkena penyakit itu, dan orang yang takut akan kehilangan pekerjaan tentulah belum kehilangan pekerjaan, sedangkan orang yang takut akan kematian tentu belum mati. Demikian pula, orang yang takut akan setan tentu belum bertemu dengan yang ditakutinya itu.

Maka dari itu, ketika menghadapi setiap persoalan, setiap peristiwa, kalau kita membuka mata dengan waspada tanpa membayangkan hal-hal yang belum terjadi, maka tindakan kita tentu akan lebih tepat.

Seperti halnya Thian Sin, pada waktu menghadapi segala penglihatan dan pendengaran itu, dia tidak membayangkan hal-hal yang mengerikan, akan tetapi dengan waspada dia mengamati, maka dia terbebas dari rasa takut dan dapat menanggulangi keadaan yang bagaimana pun juga.

Ada yang mengatakan bahwa kita takut setan karena kita tidak mengertinya, karena kita tidak mengenalnya. Benarkah itu? Apa bila kita mau menyelidiki, maka rasa takut akan setan itu sama sekali bukan timbul karena kita tidak mengenalnya.

Orang yang tidak pernah mengenal setan, yang tidak pernah mendengar cerita tentang setan, atau anak-anak yang belum pernah mendengar sama sekali tentang setan, tidak mungkin akan takut! Sebaliknya, yang kita takuti adalah karena kita sudah tahu tentang setan, sudah mendengar tentang setan, bahwa setan itu amat menakutkan, mengerikan, menyeramkan dan sebagainya. Maka, takutlah kita, karena pikiran kita membayangkan hal-hal yang menakutkan itu! Sederhana sekali, bukan? Maka sekali lagi, dapatkah kita hidup bebas dari rasa takut?


Senja itu Thian Sin kembali ke tempat persembunyiannya yang sunyi itu. Seperti biasa apa bila dia hendak beristirahat di tempat ini, dia tidak langsung memasuki kuil. Dia tahu bahwa pada waktu itu, dia telah menanam banyak sekali bibit permusuhan sehingga pasti banyak orang pandai yang akan mencarinya dan mencelakainya.

Oleh karena itu, dia selalu hati-hati dan ketika dia tiba di tempat sunyi itu, dia pun tidak langsung memasuki kuil tua. Dia mengambil jalan memutar, lebih dulu mengelilingi kuil itu untuk melihat kalau-kalau ada orang bersembunyi.

Ketika dia mulai memutari kuil, tiba-tiba dia mendengar suara isak tangis perlahan yang datangnya dari arah belakang kuil di mana terdapat pohon besar yang menakutkan itu. Hemm,apakah ada orang gila lain lagi yang hendak menakut-nakutinya, pikirnya. Ataukah ada orang pandai yang datang untuk membalas segala perbuatannya pada orang-orang jahat selama beberapa pekan di kota raja ini?

Dengan hati-hati Thian Sin lalu pergi ke belakang kuil, dan dia pun terheran-heran melihat ada sesosok tubuh wanita berlutut di bawah pohon besar itu, tak jauh dari tengkorak yang masih tergantung, dan menangis terisak-isak!

Hemmm, apakah ini? Sebuah perangkap? Thian Sin bersikap hati-hati sekali dan dengan kepandaiannya, dia berloncatan jauh lantas mengelilingi pohon itu dari jauh untuk melihat kalau-kalau kehadiran wanita itu merupakan perangkap untuknya. Akan tetapi sunyi saja. Tidak ada orang lain kecuali wanita itu sendiri yang masih menangis. Maka dia pun tidak curiga lagi dan cepat menghampiri, lalu setelah berdiri dekat dia pun menegur halus.

“Siapakah engkau? Mengapa kau menangis di sini?”

Wanita itu nampak terkejut dan mengangkat muka memandang. Thian Sin melihat sebuah wajah yang cukup manis, dengan usia kurang dari tiga puluh tahun dan wanita itu segera bangkit berdiri kemudian menghadapi Thian Sin dengan sikap marah.

“Mengapa engkau hendak menggangguku? Pergilah! Urusanku tak ada sangkut-pautnya denganmu. Pergi!”

Akan tetapi tentu saja Thian Sin tidak mau pergi, bahkan dia lalu mengerutkan alisnya dan berkata, “Hemmm, engkaulah yang menggangguku, engkaulah yang harus pergi dari sini. Tempat ini adalah tempatku. Kau siapa dan apa maksudmu…”

“Persetan denganmu!” bentak wanita itu, yang segera menerjang dan memukulnya!

Thian Sin melihat gerakan orang yang paham ilmu silat, bahkan pukulannya cukup cepat dan keras. Dia menangkap lengan yang memukulnya itu dan sekali memutarnya, tubuh wanita itu terpelanting jatuh. Akan tetapi, dengan nekatnya wanita itu bangkit kembali dan menyerang lagi, kini menendang dengan tendangan cepat dan kuat ke arah pusar. Thian juga menangkap kaki itu lantas mendorongnya sehingga wanita itu jatuh terbanting lebih keras lagi!

Wanita itu menangis kembali. “Hu-huuuh… kau… kamu manusia kejam… !” Dan dia pun menghampiri pohon di mana telah terpasang selendangnya, yaitu sehelai selendang yang ujungnya telah diikatkan di sebuah cabang dekat tempat tengkorak bergantung, kemudian wanita itu meloncat, memegang selendang yang tergantung itu dan memasang ujungnya pada lehernya, kemudian melepaskan kedua tangannya sehingga lehernya tergantung!

Thian Sin terkejut sekali, akan tetapi dia berdiri dan tetap tersenyum. Ahh, wanita itu tentu hanya hendak menggertak saja, pikirnya. Wanita seperti itu tentu bisa saja menggunakan akal, pura-pura gantung diri untuk menarik perhatiannya, atau mungkin juga ada udang di balik batu. Siapa tahu wanita itu hendak menjebaknya. Maka dia pun diam saja, bahkan bersedakap dan berdiri memandang sejenak, lantas membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam kuil!

Sejak menggantung diri tadi, wanita itu memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata tajam dan kini tubuhnya berkelojotan, lidahnya terjulur keluar, dan matanya melotot, akan tetapi dia tetap tidak mau mempergunakan kedua tangannya untuk menahan selendang.

Bila mana dikehendakinya, tentu saja dia dapat menggunakan tangannya untuk menahan selendang lantas melepaskan lehernya dari gantungan itu. Tetapi agaknya keputusannya sudah bulat dan dia memilih mati di tempat gantungan itu, berdekatan dengan tengkorak orang yang dulu telah menggantung diri sampai mati di situ dan yang arwahnya kabarnya menjadi setan di tempat itu.

Sesudah tubuh itu tidak berkelojotan lagi, barulah Thian Sin cepat berloncatan keluar dari kuil menuju ke pohon itu. Dengan mudah saja dia pun menurunkan wanita itu dari tempat gantungan, lalu memondongnya memasuki kuil di mana sudah dinyalakan sebatang lilin.

Dia biasa tidur di lantai yang ditilami jerami kering dan seilmut. Direbahkannya tubuh itu ke atas selimut dan dia segera memeriksanya. Memang wanita itu sudah pingsan. Cepat dia mengurut leher itu, menotok beberapa jalan darah dan memaksa bibir itu terbuka, lalu dituanginya beberapa teguk air dari guci airnya. Tak lama kemudian wanita itu membuka mata, mengeluh dan nampak bingung.

“Su… sudah matikah…?” akan tetapi dia melihat wajah Thian Sin dan cepat dia memukul sambil meloncat bangun. Thian Sin menangkap tangan itu.

“Tenanglah. Aku menyelamatkanmu dari kematian dan sekarang engkau bahkan hendak memukulku?”

“Kenapa kau menurunkan aku? Kenapa tidak membiarkan aku mati. Ah, aku ingin mati saja! Aku ingin mati… huh-huuuhh…,” dan wanita itu pun menangis lagi, mengguguk.

Thian Sin merasa kasihan. Tadinya dia merasa curiga, akan tetapi setelah melihat betapa wanita itu sungguh-sungguh hendak membunuh diri, maka dia merasa kasihan dan timbul keinginannya untuk menolong wanita yang merasa berduka hingga lebih baik memilih mati itu.

“Katakanlah kepadaku, mengapa engkau ingin mati? Jika ada rasa penasaran, boleh beri tahukan kepadaku dan aku akan menolongmu.”

Wanita itu menghentikan tangisnya dan memandang pada wajah Thian Sin, lalu menangis lagi. “Tidak mungkin…,” isaknya. “Walau pun engkau dapat mengalahkan aku, akan tetapi seorang pemuda pelajar macam engkau ini tak mungkin dapat menandingi Toan-ong-ya!” Dia pun menangis lagi.

Diam-diam Thian Sin merasa tertarik. Dia telah pernah mendengar nama ini. Toan-ong-ya adalah seorang pangeran tua yang kabarnya tidak aktip lagi di dalam pemerintahan, akan tetapi orang itu terkenal sebagai seorang pangeran yang kaya raya, mempunyai ilmu silat cukup tinggi, dan terutama sekali, sangat dermawan serta dikenal baik oleh para tokoh persilatan. Pangeran tua yang dikabarkan kaya raya dan gagah itu bagaimana kini dapat membuat seorang wanita muda yang manis ini menderita dan ingin membunuh diri?

“Ceritakanlah, jangankan Toan-ong-ya, biar pun raja neraka sekali, kalau kuanggap cukup memenuhi syarat untuk dibasmi, maka akan kubunuh dia!” katanya dengan nada suara yang serius dan halus, namun mengandung ancaman yang mendirikan bulu roma.

Wanita itu masih menangis, membuat Thian Sin menjadi jengkel juga. “Ceritakanlah dan aku akan membantumu. Kalau engkau tidak mau, nah, pergi dari sini dan kalau kau mau bunuh diri, silakan, akan tetapi jangan di tempatku sini!”

Wanita itu menghentikan tangisnya, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Sin. “Benarkah taihiap sudi menolongku dan membalaskan dendam sakit hatiku yang sedalam lautan?”

“Ceritakanlah lebih dulu apa yang terjadi,” potong Thian Sin.

“Pangeran terkutuk itu sudah membunuh ayahku, suamiku, kemudian memperkosaku dan memaksaku untuk menjadi selirnya. Aku tak tahan lagi dan hendak membunuhnya untuk membalas kematian ayahku dan suamiku, akan tetapi dia terlampau kuat bagiku dan aku malah dihinanya… sampai akhirnya aku melarikan diri dan pergi ke tempat yang terkenal ada hantunya ini untuk membunuh diri…”

Thian Sin mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mau menelan dan menerima saja cerita sepihak macam ini. “Mengapa ayahmu dan suamimu dibunuh oleh pangeran itu?”

Wanita itu lalu bercerita yang kadang-kadang diselingi isak. Dia bernama Louw Kim Lan, dan sudah beberapa tahun lamanya menjadi isteri dari seorang pemburu she Gak yang pekerjaannya memburu binatang buas berdua dengan ayahnya. Mereka sering berburu di hutan-hutan sebelah utara kota raja dan mereka sudah mendapatkan seorang langganan yang baik, yaitu keluarga Pangeran Toan itulah.

Pada suatu hari, saat Kim Lan membawa kulit binatang hutan untuk dikirimkan ke rumah Toan-ong-ya, kebetulan sekali pangeran tua itu sendiri yang menerimanya dan agaknya pangeran yang terkenal kaya raya dan dermawan tetapi juga terkenal suka bermain-main dengan wanita-wanita cantik itu agaknya tertarik kepada Kim Lan yang manis.

Kim Lan lalu dibujuk dan diancam, bahkan Sang Pangeran itu mempergunakan kekerasan untuk menahannya di dalam istananya hingga akhimya Kim Lan tidak dapat melawan dan terpaksa harus menyerahkan diri kepada pangeran tua yang juga adalah seorang ahli silat tinggi yang amat lihai itu.

Suaminya dan ayahnya yang sudah lama menjadi teman berburu suaminya, jauh sebelum dia menikah dengan pemburu itu, kemudian malam-malam datang menyelidiki dan dalam pertempuran melawan Toan-ong-ya, keduanya roboh tewas. Selanjutnya, Kim Lan diambil sebagai selir oleh pangeran itu.

Ketika malam tadi Kim Lan mencari kesempatan untuk membunuh pangeran itu dengan racun, dia telah ketahuan. Biar pun dia diampuni, namun dia diusir pergi dari istana.

“Demikianlah, taihiap. Apa dayaku sebagai seorang wanita lemah? Biar pun aku mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi mana mungkin aku menandingi Toan-ong-ya? Baru melawan para pengawalnya saja aku tidak akan sanggup. Karena putus harapan dan penasaran, maka aku mengambil keputusan untuk mati dan menyusul ayah serta suamiku saja!” Kim Lan mengakhiri penuturannya dan menangis lagi.

Thian Sin telah mengerutkan alisnya dan mengepal tinju tangannya. “Baik, malam ini juga Toan-ong-ya akan kubunuh, akan tetapi engkau harus ikut untuk membuktikan kebenaran ceritamu!” katanya. Wanita itu terkejut dan cepat menggelengkan kepala.

“Tidak… tidak… mana aku berani ke sana?”

“Jangan takut, ada aku yang akan melindungimu. Aku berjanji, tidak akan ada orang yang dapat mengganggumu seujung rambutmu pun. Mari!”

Dengan terpaksa, akan tetapi juga penuh harapan, wanita yang bernama Kim Lan itu lalu berlari menuju ke dalam kota raja. Ketika mereka tiba di pintu gerbang kota raja, Thian Sin memondongnya dan membawanya melompati tembok kota raja yang tinggi itu, membuat Kim Lan menahan napas dan juga kagum bukan main. Sesudah mereka turun di sebelah dalam tembok itu, Kim Lan langsung berkata,

“Ah, kini aku percaya bahwa taihiap tentu akan dapat membantuku menghadapi pangeran terkutuk itu!”

Thian Sin tidak menjawab, melainkan menurunkan Kim Lan dan mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke istana pangeran itu. Suasana sudah sunyi karena waktu telah mulai menjelang tengah malam.

Dengan mudahnya mereka pun tiba di sebelah belakang tembok yang mengurung istana Pangeran Toan itu. Di sini, kembali Thian Sin memondong tubuh Kim Lan dan meloncat ke atas pagar tembok, kemudian mereka, atas petunjuk Kim Lan, turun ke dalam taman di belakang istana. Dari sini, Kim Lan menjadi penunjuk jalan.

Dengan berindap-indap mereka memasuki bangunan yang besar dan megah itu, melalui pintu-pintu rahasia kecil yang telah dikenal baik oleh Kim Lan. Setelah memeriksa dengan berindap-indap, akhirnya mereka tiba di luar sebuah ruangan tamu di belakang, di mana pangeran itu suka menerima tamu-tamunya yang penting atau sahabat-sahabat baiknya. Dan ruangan itu masih terang, berarti bahwa Sang Pangeran masih berada di situ, dan terdengarlah lapat-lapat suara orang berbicara di balik pintu ruangan itu.

“Dia berada di dalam ruangan itu menerima tamunya…,” Kim Lan berbisik di dekat telinga Thian Sin.

Thian Sin mengangguk kemudian balas berbisik, “Aku akan naik dan mengintai dari atas, engkau harus dapat membuktikan ceritamu kepadaku tadi, baru aku akan turun tangan.” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Thian Sin telah lenyap dari depan wanita itu.

Ditinggal seperti ini, Kim Lan terkejut dan gelisah, akan tetapi dia percaya bahwa pemuda itu pasti mengintai dari atas. Dia harus bisa meyakinkan hati pemuda itu akan kebenaran ceritanya tadi, dan kalau pemuda itu turun tangan, dia yakin bahwa musuh besarnya pasti akan dapat terbunuh dan dendamnya akan terbalas secara memuaskan sekali!

Dia memberi kesempatan beberapa waktu supaya pemuda itu dapat menemukan tempat pengintaian yang baik. Setelah lewat beberapa waktu, barulah dia mendorong pintu ruang itu dan masuk ke dalam ruangan.

Perbuatannya ini mengejutkan tiga orang laki-laki yang sedang duduk menghadapi meja dan bercakap-cakap di dalam ruangan itu. Mereka menghadapi cawan dan guci arak serta beberapa macam makanan kering. Tadinya pangeran tua itu mengira bahwa ada pelayan lancang yang memasuki ruangan, akan tetapi ketika dia melihat siapa yang masuk, maka alisnya berkerut dan dia bangkit berdiri dengan muka merah karena marah.

“Hemm, perempuan rendah budi! Engkau berani datang lagi ke sini?” bentaknya.

Thian Sin mengintai dari atas atap yang telah dia lubangi. Dia melihat bahwa yang berdiri dan membentak itu adalah seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi dan masih gagah, nampak berwibawa akan tetapi sikapnya halus sebagai tanda bahwa kakek ini adalah seorang terpelajar tinggi.

Mudah saja baginya untuk menduga bahwa tentu orang inilah yang dimaksudkan oleh Kim Lan, yaitu Toan-ong-ya, Pangeran Toan yang terkenal itu. Dari teguran itu maklumlah dia bahwa memang benar pangeran itu mengenal baik kepada Kim Lan. Dia melihat Kim Lan menjatuhkan diri berlutut.

“Ong-ya… saya tak percaya paduka begini kejam! Setelah membunuh ayahku, suamiku, dan sesudah sekian lama saya melayani paduka, kini paduka hendak mengusirku begitu saja!”

“Hemm, engkau tak mungkin lupa akan perbuatanmu yang hina! Engkau hampir berhasil membunuhku dengan meracuni minumanku, dan sekarang engkau mengatakan aku yang kejam? Hayo pergi dari sini, jangan engkau injak lagi tempat ini!”

“Tapi… tapi saya mencoba meracuni paduka karena paduka telah membunuh ayahku dan suamiku…”

“Ayahmu dan suamimu mencari mampus sendiri! Sudahlah, pergi kataku!”

Dari atas, Thian Sin mendengar ini semua dan percayalah dia akan kebenaran cerita Kim Lan. Pangeran itu tidak menyangkal telah membunuh ayah dan suami wanita itu, dan Kim Lan juga sudah mengaku telah mencoba meracuni Sang Pangeran, persis seperti yang diceritakan oleh wanita itu kepadanya tadi.

Marahlah Thian Sin. Membunuh ayah dan suami orang, memperkosa isteri orang, dan hal ini dia tidak sangsi lagi melihat bahwa Kim Lan begitu berbakti serta mencinta suaminya sehingga mau meracuni pangeran itu, dan sekarang hendak mengusir wanita itu begitu saja. Jelas bahwa pangeran itu bukan seorang baik-baik!

Dia melihat bahwa dua orang tamu pangeran itu ternyata adalah dua orang laki-laki yang kelihatan gagah perkasa, yang seorang bertubuh tinggi besar berpakaian seperti petani, sikapnya amat polos dan gagah, sedangkan yang kedua adalah seorang berjubah hwesio berkepala gundul, berusia sebaya dengan petani itu, yaitu kira-kira empat puluh tahun.

Namun dia tidak peduli. Kalau mereka akan mengeroyoknya, terserah, pikirnya. Maka dia pun segera menerobos atap dan melayang turun ke dalam ruangan itu.

“Yang berkedudukan mempergunakan kekuasaannya untuk menindas orang, yang kaya raya mempergunakan hartanya untuk memperbudak orang, yang kuat mempergunakan kepandaiannya untuk bersikap sewenang-wenang, seorang pangeran membunuh dan memperkosa orang seenak perutnya sendiri. Ahh, sungguh dunia sudah penuh dengan manusia-manusia jahat yang harus dibasmi!”

Sementara itu, ketika melihat munculnya seorang pemuda yang menerobos masuk dari atas, maklumlah Pangeran Toan bahwa orang ini tentulah sekutu dari Kim Lan, maka dia sudah mencabut pedangnya dan menudingkan pedang itu ke arah muka Thian Sin sambil membentak,

“Siapakah engkau yang berani memasuki rumah orang tanpa ijin?!”

Thian Sin tersenyum. “Hemm, meski engkau seorang pangeran yang kaya raya, apa kau kira boleh membunuh orang tanpa ijin?” Lalu sambil melangkah maju dia menyambung, “Kenalilah, aku adalah wakil dari orang-orang yang kau bunuh.” Tangannya telah bergerak menampar ke depan dengan cepat dan kuat.

Melihat ini, sang pangeran segera menggerakkan pedangnya membacok ke arah tangan yang menampar itu. Akan tetapi tamparan itu memang hanya serangan pancingan saja dari Thian Sin. Pada waktu pedang membacok, dia membuka tangannya dan menerima pedang itu dengan tangan terbuka!
Selanjutnya,

Pendekar Sadis Jilid 26

Pendekar Sadis Jilid 26
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
TENTU saja semua itu disebabkan oleh Thian Sin yang mempergunakan kepandaiannya sehingga kedua orang pengemis itu tidak berdaya. Dan mulutnya terus memberi anjuran kepada dara itu.

“Terus, nona. Hantam terus! Atau lebih baik gunakan kaki saja. Mereka itu tidak pantas bersentuhan dengan tanganmu, lebih baik gunakan sepatu menghajar muka mereka!”

Dan dara itu pun menurut. Agaknya Thian Sin sudah melihat bahwa dara itu memiliki ilmu tendangan yang bagus sekali, maka dia memberi anjuran demikian. Dan kini, orang-orang melihat betapa kedua kaki dara itu secara bergantian menyambar-nyambar dan setiap kali menyambar, tentu mengenai muka kedua orang pengemis itu sehingga hidung dan mulut mereka berlumuran darah!

Kini kedua orang pengemis itu mencabut pedang masing-masing. Akan tetapi, tetap saja setiap kali tendangan tiba, mereka tak mampu bergerak sehingga akhirnya, setelah muka mereka bengkak-bengkak dan berdarah, keduanya lari meninggalkan tempat itu.

“Heiii, ini pedang kalian tertinggal!” Thian Sin berseru dan mengambil dua batang pedang mereka yang memang tadi terlepas dari pegangan dan mereka tinggalkan. Dengan sekali mengayun tangannya, Thian Sin melepaskan dua batang pedang itu yang menyambar seperti dua batang anak panah ke arah dua orang pengemis itu.

Terdengar dua orang pengemis itu menjerit dan mendekap telinga kiri mereka yang telah buntung disambar pedang mereka sendiri dan kini mereka melarikan diri bagaikan dikejar setan saking merasa ngeri takutnya!

Thian Sin cepat menghampiri tukang obat. “Paman, cepat kau ajak puterimu keluar dari kota ini. Cepat sebelum mereka ini datang. Biarkan aku yang menghadapi mereka!”

Tukang obat itu tadi telah maklum bahwa pemuda inilah yang membantunya, dan dia pun bisa menduga bahwa pemuda ini adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Maka dia pun memberi hormat dan mengajak puterinya berlutut di hadapan Thian Sin.

“Taihiap telah menolong kami, mohon tahu siapa nama taihiap yang mulia.”

Thian Sin tersenyum dan membangkitkan mereka, “Bangunlah dan cepatlah kalian pergi. Namaku tak ada artinya, kelak kalian akan tahu sendiri. Sudahlah, paman. Pergilah cepat kalau paman ingin melihat puterimu selamat.”

Tukang obat itu kembali menghaturkan terima kasih, kemudian membawa barang-barang mereka dan pergi bersama puterinya yang merasa berterima kasih serta kagum sekali terhadap Thian Sin. Pemuda ini tidak pergi, malah duduk di atas tanah dengan tenang.

Melihat ini, orang-orang yang merasa takut akan pembalasan para pengemis sudah cepat pergi meninggalkan tempat itu karena takut terbawa-bawa. Dan beberapa orang memberi nasehat kepadanya agar cepat pergi pula. Akan tetapi pemuda itu menggelengkan kepala dan tertawa.

“Aku memang menunggu mereka,” katanya seenaknya lalu pemuda ini bernyanyi-nyanyi gembira. Orang-orang menjadi semakin khawatir, tetapi karena takut tersangkut, akhirnya mereka pergi dan hanya berani menonton dari jarak jauh saja.

Tak lama kemudian, muncul lima orang pengemis yang usianya kurang lebih lima puluh tahun bersama Si Muka Hitam yang kepalanya sudah dibalut sehingga telinganya yang buntung tertutup kain pembalut. Si Muka Hitam tidak berbicara hanya menuding ke arah Thian Sin.

Lima orang pengemis itu meloncat dengan gerakan ringan sekali dan mereka telah berdiri mengepung Thian Sin. Sikap mereka itu hati-hati sekali dan dari gerakan mereka tahulah Thian Sin bahwa kepandaian mereka ini jauh lebih tinggi dari pada tingkat kedua orang pengemis yang tadi dihajarnya melalui kaki nona penjual koyo itu. Akan tetapi dia masih enak-enak saja, tersenyum-senyum memandang kepada mereka.

“Inikah manusianya yang berani menghina anggota Hwa-i Kai-pang?” bentak seorang di antara mereka.

“Manusia bosan hidup!” teriak yang ke dua.

“Bocah setan, hayo mengaku siapa namamu sebelum kami mengantarkanmu ke neraka jahanam!” tertak orang ke tiga.

Thian Sin masih berdiri sambil tersenyum, menurunkan dua tangannya yang tadi bertolak pinggang dan kini dia menggerak-gerakkan sepasang tangannya sambil menengadah dan bersajak dengan suara merdu, bahkan kepalanya juga bergerak-gerak menurutkan irama kata demi kata yang keluar dari mulutnya.

“Yang lemas mengalahkan yang kaku, yang halus mengalahkan yang kasar, yang lunak mengalahkan yang keras, yang lemah mengalahkan yang kuat! Siapa bilang? Hwa-i Kai-pang menyalah gunakan kekuatan yang macam ini harus dihadapi dengan kaku, kasar, keras, kuat dan berani!”

Lima orang itu menjadi marah sekali, akan tetapi juga terheran-heran melihat ada seorang pemuda yang begini berani menantang Hwa-i Kai-pang di kota raja! Baru mengingat akan kekuasaan dan pengaruh Hwa-i Kai-pang sudah membuat partai-partai persilatan besar tidak berani bersikap sembarangan, apa lagi hanya seorang manusia saja. Belum lagi jika diingat bahwa perkumpulan ini dilindungi oleh pemerintah sehingga bila menentang Hwa-i Kai-pang bisa berhadapan dengan pasukan keamanan pemerintah!

“Hayo mengaku siapa namamu supaya engkau jangan mampus sebagai manusia tanpa nama!”

“Huh, manusia ini agaknya sudah gila dan tidak berani mengakui nama sendiri!”

Thian Sin tersenyum, lalu menjawab dengan suara tetap merdu seperti orang bernyanyi.

“Namaku memang tidak berharga namun kalian anjing-anjing hina terlampau rendah untuk mengenalnya!”

Inilah penghinaan yang sudah dianggap keterlaluan oleh lima orang pengemis itu. Mereka itu adalah lima orang anggota Hwa-i Kai-pang yang tingkatnya sudah cukup tinggi, yaitu anggota tingkat tiga yang sudah merupakan pengurus-pengurus perkumpulan itu. Bukan hanya itu saja, juga mereka ini sudah menjadi satu pasukan yang disegani dalam Hwa-i Kai-pang, yaitu Ngo-lian-tin (Barisan Lima Teratai).

Di dalam Hwa-i Kai-pang, di samping terdapat ilmu silat tongkat yang merupakan inti dari ilmu tongkat para pimpinan perkumpulan itu, yaitu yang disebut Ta-houw Sin-pang (Ilmu Tongkat Sakti Memukul Harimau) yang juga bisa diubah menjadi Sin-ciang (Tangan Sakti), juga terdapat sejenis ilmu tongkat yang bernama Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai).

Para pengurus Hwa-i Kai-pang semuanya menguasai Ilmu Tongkat Lima Teratai ini, akan tetapi hanya mulai dari tingkat tiga sajalah yang mampu mempergunakan ilmu tongkat itu untuk membentuk Ngo-lian-tin, yaitu semacam barisan atau kerja sama dari lima orang yang mempergunakan Ngo-lian Pang-hoat untuk mengeroyok lawan dengan kerja sama yang amat teratur, baik dan tangguh sekali.

Mendengar penghinaan Thian Sin yang memaki mereka sebagai anjing-anjing hina yang terlalu rendah untuk mengenal namanya, lima orang itu tidak dapat menahan kemarahan mereka lagi. Tongkat di tangan mereka langsung bergerak disusul gerakan tubuh mereka, dan dengan gerakan indah namun gagah sekali mereka itu sudah mengepung Thian Sin dari lima jurusan, dengan tongkat yang digerakkan secara berantai dan saling ‘mengisi’ sehingga merupakan kekuatan yang sangat dahsyat.

Akan tetapi Thian Sin masih tersenyum saja. Hatinya girang bukan main bahwa akhirnya dia dapat berhadapan dengan orang-orang Hwa-i Kai-pang. Sebetulnya, dia tidak memiliki urusan dengan Hwa-i Kai-pang dan yang dicarinya hanyalah dua orang tokoh besarnya yang kini menjadi ketuanya. Akan tetapi mengingat bahwa mereka ini adalah anak buah dari dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang yang menjadi musuhnya itu, maka hatinya gembira untuk melayani mereka.

“Mari, mari, ingin kulihat bagaimana kalian membadut dengan tongkat-tongkat butut itu!” katanya dengan nada penuh ejekan.

Tiba-tiba lima orang itu serentak mengeluarkan seruan keras dan tongkat mereka sudah menyambar, menusuk dari lima penjuru. Gerakan mereka memang cepat dan kuat, dan yang diserang adalah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan cara menyerangnya juga bertubi-tubi, susul-menyusul sehingga merupakan kerja sama yang baik dan serangan itu amatlah berbahaya bagi lawan.

Thian Sin maklum akan hal ini. Akan tetapi karena dia hendak mempermainkan mereka, dia pun menggunakan kegesitannya, mengelak atau menangkis terhadap setiap tusukan tanpa berusaha merusak tongkat mereka, bahkan dia memperlihatkan diri seperti orang yang terdesak.

Tiba-tiba tongkat-tongkat yang luput menusuk tubuhnya itu membuat gerakan aneh dan tahu-tahu lima batang tongkat itu telah membentuk sebuah kurungan yang menghadang dirinya dan menutup semua jalan keluarnya, karena tongkat-tongkat itu malang-melintang saling tindih dan saling sambung membuat sebuah ruang di tengah-tengah di mana Thian Sin berdiri. Maka pemuda itu seolah-olah telah terkurung atau tertangkap oleh lima batang tongkat itu!

Thian Sin menekan tongkat-tongkat itu dan meloncat ke atas, akan tetapi tongkat-tongkat itu terus melayang mengikutinya dan tahu-tahu seperti hendak meringkus kedua kakinya. Melihat ini, Thian Sin berjungkir-balik, menghalau tongkat-tongkat itu dengan dua tangan sambil meminjam tenaga mereka untuk meloncat lagi ke depan sehingga dia terlepas dari kepungan tongkat. Akan tetapi, kelima orang itu bergerak cepat, kembali berloncatan dan tahu-tahu dia telah terkurung lagi!

Diam-diam Thian Sin merasa amat kagum. Memang indah sekali dan juga tangguh sekali gerakan dari Ngo-lian-tin ini, dan ilmu tongkat mereka ini memang telah mencapai tingkat yang cukup kuat sehingga jago-jago silat biasa saja jangan harap akan mampu melawan mereka. Bahkan pendekar yang sudah pandai pun akan bingung menghadapi kepungan tongkat-tongkat yang dapat bergerak otomatis dan amat rapi bekerja sama ini. Pada saat dia kembali terkepung oleh tongkat-tongkat yang saling tindih itu, dia mengangkat kedua tangannya ke atas.

“Hei, jembel-jembel busuk. Aku sudah muak dengan main-main ini. Dengarlah, aku akan menyerah asal kalian membawaku menghadap ketua kalian!”

“Kau boleh menghadap ketua kami sebagai mayat!” bentak seorang di antara mereka dan tanpa merusak ‘kurungan’ itu, dia telah menarik tongkatnya dan menggunakan tongkatnya menusuk ke arah pusar pemuda itu yang nampaknya sudah terkurung dan tidak mampu bergerak lagi.

Thian Sin tersenyum dan mendiamkan saja sebelah bawah perutnya ditusuk. Dia hanya menurunkan sedikit tubuhnya dan menerima tusukan tongkat itu dengan perutnya sambil mengerahkan sedikit tenaga.

“Krekkk!”

Tongkat yang bertemu dengan perutnya itu pun patah-patah menjadi tiga potong saking kerasnya pengemis yang memegangnya tadi menusuk. Terkejutlah pengemis itu dan juga empat orang kawannya. Mereka menarik tongkat masing-masing dan kini kembali mereka menyerang, ada yang memukul kepala, ada pula yang menusukkan tongkatnya, semua itu dilakukan dengan beruntun, juga pengemis yang kehilangan tongkatnya itu menerjang dengan pukulan tangannya.

Terdengar suara keras karena patahnya tongkat-tongkat itu dan ternyata empat batang tongkat itu telah patah-patah semua, ada pun pengemis yang menghantamkan tangannya segera berteriak kesakitan karena tulang jari tangannya juga patah! Kini mereka berlima yang masih berdiri mengepung Thian Sin memandang dengan muka pucat dan dua mata terbelalak. Pemuda itu tersenyum tenang.

“Bagaimana? Apakah kalian masih belum puas dan hendak bermain-main terus? Ataukah mau membawaku menghadap ketua kalian sebagai tawanan?”

Lima orang pengemis itu bukanlah orang-orang yang bodoh. Mereka sudah tahu bahwa sesungguhnya pemuda ini adalah orang yang mempunyai ilmu kepandaian hebat sekali. Kekalahan mereka merupakan tamparan bagi mereka, maka jika mereka dapat membawa pemuda ini sebagai tawanan, hal itu bukan hanya berarti menebus kekalahan yang amat memalukan itu, akan tetapi juga mereka tidak akan memperoleh kemarahan dari ketua mereka. Dan bertapa pun lihainya pemuda ini, bila sudah berhadapan dengan dua orang ketua mereka, maka akan dapat berbuat apakah?

“Sebagai tawanan katamu? Jadi engkau mau untuk kami tangkap, kami ikat, lantas kami bawa menghadap kepada ketua kami?” tanya pengemis berhidung pesek yang agaknya menjadi pemimpin mereka berlima.

Thian Sin berpikir bahwa agaknya tidak akan mudah baginya untuk bertemu dengan dua orang musuh besarnya itu. Biar pun dia dapat memancingnya, namun yang akan keluar tentulah para pembantunya dan sebagai orang yang berkedudukan tinggi, ketua Hwa-i Kai-pang yang agaknya telah menjadi perkumpulan yang besar dan berpengaruh sekali di kota raja, kedua orang itu agaknya tidak akan sembarangan keluar dari sarang.

Untuk mencari mereka ke sarang mereka pun bukan merupakan hal yang mudah karena menurut penyelidikannya, kai-pang itu kini dekat dengan pemerintah dan tentu saja akan bisa memperoleh bantuan pasukan penjaga, dan jika telah demikian, maka akan semakin sukarlah baginya untuk dapat berhadapan dengan mereka. Karena itu dia pun mengambil keputusan cepat.

“Baik, kau boleh bawa aku sebagai tawanan, dan boleh mengikat kedua tanganku kalau perlu,” jawabnya.

Lima orang pengemis itu menjadi gembira bukan main. Mereka lalu mempergunakan tali yang kuat untuk mengikat kedua pergelangan Thian Sin ke belakang tubuhnya. Baru saja ikatan yang amat kuat itu selesai, Thian Sin sudah berkata,

“Akan tetapi, janganlah kalian main-main. Lihat, aku akan dapat melepaskan diri dengan mudah apa bila kalian main gila.” Dan sekali dia menggerakkan kedua tangan… ternyata kedua tangannya itu sudah terlepas dari ikatan tali tanpa membuat tali itu putus! Tali itu jatuh ke atas tanah begitu saja.

Tentu saja lima orang pengemis itu terkejut bukan main dan muka mereka menjadi pucat sekali. Mereka tidak tahu bahwa pemuda ini tadi telah mempergunakan kekuatan sihirnya sehingga walau pun mereka merasa sudah membelenggu kedua tangan itu, sebenarnya kedua tangan pemuda itu sama sekali tidak terikat, maka dengan mudah Thian Sin dapat membebaskan kedua tangannya. Bagi pemuda ini, diikat atau tidak sama saja karena biar pun sepasang tangannya terikat secara sungguh-sungguh sekali pun, dengan mudah dia akan dapat membikin putus tali-tali itu.

“Tidak… kami tidak main-main…,” kata Si Hidung Pesek.

“Nah, kalau begitu ikatlah lagi baik-baik lalu antar aku menemui ketua kalian.”

Lima orang pengemis itu lalu mengikat kembali kedua pergelangan tangan Thian Sin ke belakang tubuhnya, kemudian pemuda ini lalu mereka giring menuju ke sarang mereka. Di sepanjang perjalanan, banyak orang menonton iring-iringan ini.

Tidak aneh melihat orang-orang Hwa-i Kai-pang menganiaya orang. Akan tetapi sekali ini lain. Pemuda itu tidak kelihatan berduka atau ketakutan. Bahkan sebaliknya, lima orang pengemis yang menggiringnya itu, yang oleh banyak orang terkenal sebagai tokoh-tokoh tinggi Hwa-i Kai-pang, berjalan di depan dan belakang pemuda itu dengan wajah muram dan pendiam, nampak serius sekali, sedangkan si pemuda yang menjadi tawanan mereka itu tersenyum-senyum, bahkan tampak bernyanyi-nyanyi kecil! Tentu saja hal ini membuat semua orang menjadi terheran-heran dan ada yang mengira bahwa pemuda tampan yang berpakaian mewah itu tentu telah menjadi gila!

Tempat yang menjadi pusat atau sarang Hwa-i Kai-pang sekarang jauh berbeda dengan dahulu sebelum perkumpulan pengemis itu dekat dengan kekuasaan kaisar. Tempat itu berada di luar pintu gerbang sebelah timur, merupakan bangunan yang cukup besar dan terdiri dari rumah-rumah kecil mengelilingi bangunan besar yang menjadi tempat tinggal dua orang ketua mereka.

Di sekeliling perumahan itu terdapat pagar tembok yang tinggi dan tebal, seperti keadaan sebuah benteng saja. Pintu tembok benteng itu pun tebal dan dijaga ketat oleh beberapa orang pengemis yang lagaknya seperti penjaga di pintu gerbang istana saja, setiap orang pengemis memegang sebuah tongkat.

Diam-diam Thian Sin merasa girang bahwa dia telah mempergunakan siasat membiarkan dirinya ditawan ini. Harus diakuinya bahwa walau pun dengan mudah dia akan sanggup melewati tembok itu dan menyerbu ke dalam, namun belum tentu dia akan bisa mencari dua orang ketua itu kalau mereka menyembunyikan diri atau melarikan diri.

Dengan akalnya yang sekarang ini, dia malah akan langsung dibawa menghadap mereka, jadi dia tak perlu mencari lagi! Jantungnya berdebar tegang pada saat dia dibawa melalui lorong di mana terdapat pengemis-pengemis yang berjaga-jaga.

Beberapa orang pengemis tua memandang heran dan ada yang bertanya kepada lima orang tokoh pengemis yang menangkap pemuda itu. Mereka menjawab dengan singkat bahwa pemuda itu adalah tawanan mereka yang hendak mereka hadapkan kepada ketua. Jawaban ini saja sudah dapat dimengerti oleh para rekan mereka itu bahwa tangkapan itu adalah orang penting maka harus dihadapkan dengan ketua sendiri.

Betapa pun juga, para tokoh Hwa-i Kai-pang dari tingkat tiga ke atas menjadi tertarik dan mereka pun ikut pula mengawal pemuda itu memasuki bangunan besar untuk menghadap ketua. Mereka semua ingin mendengar dan melihat sendiri sebab mereka dapat menduga bahwa pemuda itu tentulah orang yang penting maka oleh kelima orang rekan itu dibawa menghadap ketua.

Pada waktu itu, Hwa-i Kai-pang merupakan perkumpulan yang kuat sekali. Para anggota pimpinan terdiri dari dua orang ketuanya dan para murid tingkat dua yang jumlahnya ada enam orang, yaitu murid-murid kepala yang digembleng oleh dua orang ketua itu sendiri, lalu lima belas orang murid yang ilmu silatnya lebih rendah dari pada murid-murid kepala, akan tetapi lima belas orang murid tingkat tiga ini sudah membentuk Ngo-heng-tin yang tangguh dan biasanya merupakan inti kekuatan Hwa-i Kai-pang bila mana menanggulangi urusan yang memerlukan kekerasan.

Kini, melihat adanya seorang pemuda yang tampan dan kelihatan gagah menjadi tawanan hendak diajukan kepada ketua, hal yang jarang terjadi, semua murid tingkat dua dan tiga yang kebetulan berada di tempat itu segera berkumpul dan ikut pula menghadap.

Tentu saja murid-murid lainnya yang tingkatnya lebih rendah tidak berani ikut memasuki ruangan di mana terdapat ketua mereka. Murid-murid tingkat rendah ini tidak akan berani menghadap tanpa dipanggil. Pada waktu itu, yang kebetulan berada di sarang ada tiga orang murid tingkat dua bersama sepuluh orang murid tingkat tiga, atau dua Ngo-lian-tin berikut yang menawan Thian Sin.

Mereka memasuki sebuah ruangan yang amat luas, karena ruangan ini selain merupakan ruangan untuk persidangan para pimpinan, juga merupakan sebuah lian-bu-thia di mana mereka biasa berlatih silat.

Thian Sin yang dibawa memasuki ruangan ini memandang dengan penuh perhatian. Dia melihat betapa ruangan yang luas itu cukup mewah, dihias dengan lukisan-lukisan dan di sudut terdapat rak-rak terisi segala macam senjata. Biar pun keistimewaan para pengemis ini adalah memainkan tongkat, namun sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka juga melatih diri dengan senjata lain sehingga mereka tidak akan merasa asing bila mana berhadapan dengan lawan yang mempergunakan lain macam senjata.

Di sudut ruangan itu nampak dua orang kakek yang sedang duduk berhadapan dengan santai sambil bercakap-cakap. Sebagai ketua perkumpulan yang intinya adalah ilmu silat, maka kedua orang ketua ini tidak pernah dikawal dan kini mereka duduk berdua saja di ruangan itu dan barulah mereka mengangkat muka memandang ketika para murid datang menghadap membawa seorang pemuda yang tidak mereka kenal.

Thian Sin lalu memperhatikan dua orang kakek itu. Yang seorang bertubuh kurus sekali, seperti tulang dibungkus kulit saja, mukanya penuh keriput dan pucat, nampak sudah tua sekali dan kiranya kakek ini tidak akan kurang dari tujuh puluh tahun lebih, mukanya hitam seperti pantat kuali, sungguh merupakan kebalikan dari muka kakek pertama, akan tetapi anehnya, kakek bermuka hitam ini mempunyai kulit tangan yang putih.

Melihat keadaan mereka berdua, Thian Sin dapat menduga bahwa tentu kakek tua renta itu adalah Lo-thian Sin-kai sedangkan yang kedua adalah sute-nya yang bernama atau berjuluk Hek-bin Mo-kai. Jantungnya berdebar karena perasaan tegang dan juga marah. Jadi kedua orang inilah yang sudah membantu Kerajaan Beng untuk mengeroyok dan ikut membunuh ayah bundanya!

Tiga belas orang tingkat dua dan tiga itu berlutut di atas lantai menghadap kedua orang kakek yang masih tetap duduk di atas kursi itu. Akan tetapi ketika lima orang pengemis itu mendorong Thian Sin untuk berlutut, pemuda ini tetap berdiri saja sambil memandang ke arah dua orang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik.

“Apa artinya ini? Siapakah bocah yang kalian bawa ini?” Hek-bin Mo-kai menegur dengan suara tidak senang melihat sikap pemuda itu yang demikian angkuh.

Biar pun pemuda itu tampan dan gagah, memakai pakaian mewah seperti seorang pelajar tingkat tinggi, akan tetapi sungguh merupakan suatu sikap yang kurang ajar kalau berani berhadapan dengan dua orang ketua Hwa-i Kai-pang dengan sikap demikian angkuh.

Si Hidung Pesek, pemimpin dari Ngo-lian-tin itu, cepat-cepat memberi hormat, “Harap ji-wi pangcu sudi memaafkan kami. Pemuda ini telah membuat kacau di lapangan dekat pasar, membela penjual koyo yang berani membuka dagangan tanpa ijin kita, bahkan pemuda ini sudah memukul serta membuntungi telinga dua orang anak buah kita. Maka kami lalu datang dan akhirnya kami menangkap dia untuk kami bawa menghadap ji-wi pangcu dan mohon keputusan ji-wi pangcu terhadap dirinya.”

Mendengar laporan ini, Hek-bin Mo-kai yang wataknya berangasan itu menjadi marah. Terutama dia mendongkol mendengar ada orang yang berani membuntungi telinga kedua orang anak buah Hwa-i Kai-pang.

“Hemm, urusan sepele begini saja kalian tidak dapat memutuskan sendiri dan harus minta keputusan kami? Tolol! Dia telah mengacau, dia telah menghina anak buah kita, mau apa lagi? Kalau dia membuntungi telinga anak buah kita, nah, buntungi kedua telinganya dan cokel kedua matanya itu yang seperti mata setan!”

Mendengar perintah ini, para tokoh yang lain mengangguk-angguk setuju, akan tetapi lima orang pengemis yang tadi menggiring Thian Sin masuk lalu saling pandang dengan muka pucat. Si Hidung Pesek menjadi serba salah, karena itu dia pun tidak dapat berlagak telah menangkap pemuda itu lagi.

“Tapi… tapi… pangcu, dia… dia itu lihai sekali dan kami tidak akan dapat melaksanakan perintah itu.”

Kini dua orang ketua itu mengangkat muka dan memandangnya penuh keheranan, juga merasa sangat marah dan terkejut. “Apa?! Dan bukankah kalian telah meringkusnya dan menyeretnya ke sini?” yang bertanya ini adalah Lo-thian Sin-kai, suaranya halus namun sikapnya hati-hati, kini memandang penuh kecurigaan kepada lima orang anak buahnya itu, juga kepada Thian Sin.

“Mohon maaf sebesarnya dari ji-wi pangcu,” Si Hidung Pesek berkata, suaranya gemetar. “Sesungguhnya… kami berlima telah dikalahkan oleh pemuda ini… dan dia… dia sendiri yang minta agar dibelenggu dan dibawa menghadap ji-wi pangcu.”

Dua orang ketua Hwa-i Kai-pang itu terkejut bukan kepalang. Kiranya pemuda ini dapat mengalahkan Ngo-lian-tin! Akan tetapi mengapa lalu menyerah dan minta ditangkap? Apa yang tersembunyi di balik sikap aneh ini? Kini kedua orang ketua itu bangkit dari tempat duduk mereka, memandang tajam kepada Thian Sin.

“Orang muda, siapakah engkau sebenarnya?” Lo-thian Sin-kai bertanya, suaranya halus. “Apa maksudmu mengacau anak buah kami lalu minta dihadapkan kepada kami?”

Dengan kedua tangan masih terbelenggu ke belakang tubuhnya, Thian Sin pun menjawab sambil tersenyum, akan tetapi sepasang matanya mencorong laksana hendak membakar kedua orang pengemis tua itu!

“Kalian adalah Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, benarkah?”

“Benar!” bentak Hek-bin Mo-kai. “Dan siapakah engkau, pemuda sombong?”

“Ha-ha-ha!” Thian Sin tertawa girang sesudah mendapatkan kepastian bahwa dua orang ini adalah musuh besar yang dicari-carinya. “Kuberi tahukan namaku pun kalian tak akan mengenalnya. Akan tetapi kalian tentu mengenal nama Pangeran Ceng Han Houw dan isterinya yang bernama Li Ciauw Si, bukan?”

Seketika pucat wajah kedua orang kakek pengemis itu mendengar disebutnya nama ini. Sejak mereka berdua turut mengeroyok kemudian membunuh pangeran itu dan isterinya, mereka dapat mengangkat nama Hwa-i Kai-pang sebagai sebuah perkumpulan yang tak lagi dimusuhi oleh kerajaan, bahkan dianggap berjasa sehingga memperoleh kekuasaan dan pengaruh.

Akan tetapi, sering kali mereka bermimpi buruk karena mereka tahu bahwa pangeran itu adalah seorang yang amat sakti dan isterinya merupakan keluarga dari Cin-ling-pai. Kalau saja Cin-ling-pai berusaha membalas kematian itu! Mereka sering merasa ketakutan dan ngeri, maka mereka lebih banyak bersembunyi dan berlindung di balik kekuasaan kaisar.

Setelah lewat bertahun-tahun dan tak ada usaha dari fihak Cin-ling-pai untuk mengganggu mereka, hati mereka mulai tenang walau pun mereka lebih menikmati kedudukan mereka itu dengan bersenang-senang di dalam sarang yang terjaga kuat itu dari pada berkeliaran di luar. Maka, sungguh amat mengejutkan hati mereka ketika pemuda ini bicara tentang Pangeran Ceng Han Houw dan isterinya!

“Siapakah engkau? Apa maksudmu berbicara mengenai orang yang sudah mati?” tanya Hek-bin Mo-kai sambil berusaha keras untuk menyembunyikan getaran suaranya di balik bentakan marah yang tidak sangat berhasil.

“Pandanglah baik-baik. Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai. Aku adalah putera tunggal mereka!” Dia berhenti sebentar, menikmati kekagetan yang membayang di wajah-wajah yang pucat itu. “Dan kiranya tak perlu lagi kujelaskan kenapa aku datang mencari kalian, bukan?”

Dua orang ketua Hwa-i Kai-pang itu terbelalak, akan tetapi mereka bukanlah orang lemah. Apa lagi di situ terdapat tiga belas orang murid-murid mereka yang boleh diandalkan, dan juga bukankah kedua tangan pemuda itu dalam keadaan terbelenggu?

“Bentuk dua Ngo-lian-tin lantas bekuk pemuda ini!” bentak Hek-bin Mo-kai, memerintah kepada sepuluh orang murid tingkat tiga itu.

Biar pun lima orang yang tadi menggiring Thian Sin pernah merasakan kelihaian pemuda ini dan mereka merasa gentar, akan tetapi kini mereka berada di kandang sendiri. Di situ terdapat dua orang guru dan ketua mereka, juga teman-teman mereka yang lihai, maka timbul pula keberanian mereka, bahkan mereka hendak mempergunakan kesempatan ini untuk membalas kekalahan mereka tadi.

Cepat mereka lari ke rak senjata dan menyambar tongkat-tongkat yang banyak terdapat di sana, kemudian bersama Ngo-lian-tin yang kedua, mereka sudah membentuk barisan lima teratai dan mengurung Thian Sin.

Pemuda ini masih belum melepaskan belenggu kedua tangannya. Dia berdiri menghadapi kepungan dua barisan Ngo-lian-tin itu dengan amat tenang dan masih tersenyum-senyum saja. Kepada Si Hidung Pesek dia berkata, “Sekali ini aku tidak akan mengampuni kalian.”

Dan dia masih saja belum melepaskan diri dari belenggu kedua tangannya, seakan-akan dia hendak memperlihatkan bahwa untuk menghadapi kedua barisan Ngo-lian-tin itu dia tidak membutuhkan kedua lengannya!

Melihat hal ini, tentu saja Si Hidung Pesek melihat keuntungan maka cepat dia memberi aba-aba kepada teman-temannya agar cepat bergerak. Dan mulailah Ngo-lian-tin pertama itu bergerak menyerang, ada pun Ngo-lian-tin ke dua juga turut mendesak dan membantu Ngo-lian-tin yang pertama.

Thian Sin mempergunakan kecepatan gerak tubuhnya untuk mengelak dan berloncatan ke sana-sini, dan sungguh pun kedua tangannya masih terbelenggu, namun dia kelihatan seenaknya dan mudah saja menghindarkan semua sambaran tongkat. Akan tetapi, kini sepuluh batang tongkat panjang itu bekerja sama dan dia pun terkurung oleh gulungan sinar tongkat yang makin lama makin menyempit dan akhirnya tubuhnya sudah tertutup rapat oleh tongkat-tongkat itu dari segenap penjuru.

Akan tetapi, sambil tertawa Thian Sin meloncat lurus ke atas untuk membebaskan diri dari kepungan tongkat-tongkat itu. Sepuluh orang itu bergerak dengan cepat, tahu-tahu tubuh Thian Sin di udara telah tertahan dan terjepit oleh tongkat-tongkat itu!

Keadaan Thian Sin seolah-olah sudah tak berdaya lagi karena tubuhnya tertahan di udara oleh tongkat-tongkat itu yang malang-melintang serta menghimpitnya. Terdengar Hek-bin Mo-kai tertawa senang menyaksikan hal ini.

Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara melengking tinggi dan tubuh Thian Sin meronta, kedua kakinya bergerak-gerak, lantas terpelantinglah sepuluh orang itu, tongkat mereka beterbangan jauh ke kanan kiri menimpa dinding-dinding ruangan yang luas itu, ada pun sepuluh orang yang terpelanting itu langsung mengaduh-aduh karena beberapa di antara mereka terkena tendangan kaki Thian Sin yang kini telah turun kembali sambil tersenyum-senyum.

Hek-bin Mo-kai maklum akan kelihaian pemuda itu, maka dia pun mengeluarkan seruan nyaring untuk memerintahkan tiga orang murid kelas dua maju mengeroyok. Tiga orang pengemis tua ini adalah murid-murid kepala yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi. Mereka lalu menerjang maju sambil menggerakkan tongkat mereka.

Melihat gerakan ini serta mendengar suara angin pukulan tongkat mereka, Thian Sin pun maklum bahwa tiga orang ini sudah memiliki kepandaian tinggi, apa lagi di situ terdapat dua orang ketua Hwa-i Kai-pang yang sudah mulai memutar tongkat masing-masing pula. Sambil tertawa Thian Sin lalu menggerakkan kedua tangannya dan putuslah tali pengikat pergelangan tangannya tadi. Sekali dia menggerakkan kedua tangannya yang memegang tali, maka tali itu seperti seekor ular saja menyambar ke depan.

Terdengar pekik mengerikan ketika tiga orang pengemis itu, termasuk Si Hidung Pesek, terjengkang roboh dengan kepala pecah sesudah terkena tali yang disambitkan Thian Sin itu. Tentu saja semua orang terkejut bukan kepalang. Tak disangkanya bahwa pemuda itu sedemikian lihainya sehingga sambitan tali bekas belenggu tangannya saja telah berhasil membunuh tiga orang anggota Ngo-lian-tin yang lihai!

Dan mulailah Thian Sin mengamuk! Dia dikeroyok lima, yaitu oleh dua orang ketua Hwa-i Kai-pang yang dibantu dengan tiga orang murid utama mereka.

Lo-thian Sin-kai adalah seorang tokoh Hwa-i Kai-pang yang paling lihai karena dia sudah mewarisi ilmu-ilmu dari Hwa-i Sin-kai pendiri dari Hwa-i Kai-pang. Dia memiliki semua ilmu silat kai-pang itu, pandai sekali memainkan tongkat, baik dengan Ilmu Ngo-lian Pang-hoat mau pun Ta-houw Sin-pang, dan selain itu, juga dia memiliki tenaga yang kuat sekali.

Sute-nya, Hek-bin Mo-kai, juga amat lihai dan hanya kalah sedikit saja jika dibandingkan dengan suheng-nya itu. Maka, dibantu oleh tiga orang murid utama mereka, tentu saja lima orang ini merupakan lawan yang sangat tangguh dan sangat berbahaya. Mereka itu merupakan inti kekuatan yang paling tinggi sebagai pucuk pimpinan Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi kali ini mereka bertemu dengan Thian Sin sehingga ketangguhan mereka itu sama sekali tidak ada gunanya.

“Hemm, sejak dulu sampai kini kalian adalah pengecut-pengecut hina yang hanya berani jika mengandalkan pengeroyokan,” kata Thian Sin sambil menghadapi terjangan mereka yang bertubi-tubi itu dengan tangan kosong saja. Dia tak begitu mempedulikan tiga orang murid utama itu, karena yang diincarnya adalah dua orang ketua Hwa-i Kai-pang yang pernah mengeroyok dan ikut membunuh ayah bundanya.

“Wuuuttt…!”

Sinar tongkat menyambar dari kanan dengan amat hebatnya sebab tongkat ini ditusukkan dengan pengerahan tenaga oleh Hek-bin Mo-kai yang maklum bahwa dia dan suheng-nya dibantu murid-muridnya harus bisa membunuh pemuda putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw ini, kalau tidak mereka sendiri yang akan tewas. Maka serangannya pun selalu dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.

“Plakkk!”

Thian Sin menangkap tongkat itu, tidak mempedulikan pukulan tiga batang tongkat dari arah belakangnya yang dilakukan oleh ketiga orang murid utama Hwa-i Kai-pang itu. Dia hanya mengerahkan sinkang-nya untuk melindungi tubuh belakangnya.

Terdengar suara keras ketika tiga batang tongkat itu mengenai punggung, pinggul serta leher belakang atau tengkuknya, lantas tiga batang tongkat itu membalik, membuat tiga orang penyerangnya berteriak kaget dan kesakitan karena telapak tangan mereka terobek dan berdarah!

Sementara itu, Thian Sin yang sudah berhasil menangkap tongkat Hek-bin Mo-kai itu lalu melangkah maju dengan cepat sekali, tangan kanannya menangkap tongkat, tangan kiri menyambar ke depan untuk mencengkeram dada lawan yang dibencinya ini.

Hek-bin Mo-kai tadi telah berusaha untuk menarik kembali tongkatnya, akan tetapi sia-sia saja dan melihat serangan pemuda itu, maka dia cepat melangkah mundur dan terpaksa dia melepaskan tongkatnya. Pada saat itu, Lo-thian Sin-kai telah menyerang pula dengan tongkatnya yang menghantam ke arah kepala Thian Sin.

Melihat serangan yang sangat hebat ini, Thian Sin yang sudah merampas tongkat Hek-bin Mo-kai langsung menggunakan tongkat itu untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sekuatnya.

“Krakkk!”

Tongkat di tangannya patah menjadi dua, begitu pula tongkat di tangan Lo-thian Sin-kai! Ketua pertama dari Hwa-i Kai-pang ini terkejut bukan main, apa lagi pada saat itu, Thian Sin berseru keras dan potongan tongkatnya tadi telah dilontarkan ke depan.

Hek-bin Mo-kai sedang berlari untuk mengambil senjata baru dari rak, dan Thian Sin yang menyangka bahwa kakek muka hitam itu hendak melarikan diri, segera mempergunakan kepandaiannya menyambitkan potongan tongkat di tangannya.

“Aughhhh…!”

Hek-bin Mo-kai berteriak kemudian roboh, paha kirinya tertusuk potongan tongkat sampai tembus! Melihat ini, Lo-thian Sin-kai terkejut dan marah, lantas menubruk ke depan pada saat Thian Sin menyambitkan tongkatnya tadi dan menggunakan kedua tangannya sambil mengerahkan sinkang yang sangat kuat untuk menghantam ke arah dada serta lambung pemuda itu.

Inilah jurus yang paling hebat dari Ta-houw Sin-ciang-hoat. Jangankan manusia, bahkan harimau yang kuat sekali pun akan tewas seketika apa bila terkena hantaman yang dapat menghancurkan isi dada dan perut ini.

Thian Sin yang sedang menyambitkan potongan tongkat itu sempat melihat hantaman ini, akan tetapi dia tidak peduli dan membiarkan dada serta lambungnya dipukul!

“Plak! Plak! Krekkk…!”

Tubuh Lo-thian Sin-kai terpelanting dengan tulang pundak kanan dan kiri remuk, ada pun tubuh Thian Sin hanya terguncang sedikit saja. Ternyata ketika menerima pukulan pada dada dan lambungnya itu, Thian Sin menerima pukulan lawan sambil balas menghantam dengan ketukan jari-jari tangannya ke arah kedua pundak lawan hingga membuat tulang-tulang kedua pundak itu patah. Sengaja Thian Sin tak mau langsung membunuhnya, akan tetapi merobohkan kedua orang kakek itu lebih dulu.

Tentu saja robohnya dua orang ketua ini membuat ketiga orang murid utamanya terkejut dan gentar bukan main. Namun mereka tidak diberi kesempatan lagi. Thian Sin bergerak cepat sekali, lantas dengan beberapa kali serangan saja maka tiga orang itu sudah roboh dan tewas!

Tujuh orang murid tingkat tiga yang tadinya sudah mengepung, kini maju mengeroyok, ditambah lagi dengan para anggota pengemis yang datang ketika mendengar keributan di ruangan itu. Terjadilah pengeroyokan, akan tetapi Thian Sin mengamuk dan dalam waktu singkat telah dapat merobohkan dan menewaskan beberapa orang murid-murid rendahan sehingga tubuh-tubuh yang telah menjadi mayat itu malang melintang di ruangan itu.

Melihat ini, kedua orang ketua Hwa-i Kai-pang terkejut dan ketakutan, akan tetapi mereka itu tidak mampu meninggalkan lantai di mana mereka roboh tadi. Kedua pundak Lo-thian Sin-kai sudah remuk sehingga untuk bangun saja dia tidak sanggup, sedangkan Hek-bin Mo-kai yang pahanya tertusuk tongkat itu pun tidak mampu bangkit.

Mereka berteriak-teriak beberapa kali untuk minta tolong kepada anak buah mereka agar mereka dibawa melarikan diri, namun setiap orang pengemis yang mencoba mendekati mereka tentu langsung dirobohkan oleh Thian Sin. Akhirnya, para pengemis itu maklum bahwa melawan pemuda ini sama saja dengan membunuh diri, maka sisanya, kurang dari setengahnya, lari ketakutan meninggalkan sarang mereka dan ada yang segera melapor kepada komandan pasukan penjaga keamanan kota raja di benteng.

Melihat sisa para pengeroyoknya melarikan diri, Thian Sin tidak mau mengejar. Yang dia cari adalah dua orang ketua itu dan kini mereka sudah roboh tidak mampu bergerak lagi. Sambil tersenyum dia menghampiri mereka setelah dia menendang tubuh Hek-bin Mo-kai sehingga tubuh orang ini terlempar di dekat suheng-nya.

Mereka berdua hanya dapat menatap kepada pemuda itu dengan sinar mata mengandung kebencian dan juga rasa seram. Belum pernah mereka bertemu dengan seorang pemuda yang selihai ini, yang mengingatkan mereka akan kelihaian mendiang Pangeran Ceng Han Houw.

“Hemmm, ternyata engkaulah yang disebut Pendekar Sadis!” akhirnya Lo-thian Sin-kai berkata.

Dia tidak mengharapkan dapat hidup lagi, akan tetapi dia pun tidak takut mati. Betapa pun juga, kedua Sin-kai ini adalah orang yang gagah perkasa dan lihai, dan ketika mereka itu turut mengeroyok dan membunuh Pangeran Ceng Han Houw, mereka merasa berada di fihak yang benar karena pangeran itu dianggap seorang pemberontak dan seorang yang amat jahat, dan sudah pernah mengacau dunia kang-ouw pula.

Thian Sin tersenyum. “Salah kalian sendiri, sudah mendengar aku datang mencari kalian, tetapi kalian tidak mau bersembunyi. Ha-ha-ha-ha, sekarang bagaimana? Coba ceritakan bagaimana kalian dahulu ikut mengeroyok dan membunuh ayah bundaku.”

“Ayahmu seorang penjahat, seorang pemberontak yang kejam!” bentak Lo-thian Sin-kai.

“Dan engkau tidak kalah jahatnya dengan ayahmu!” Hek-bin Mo-kai juga memaki.

Thian Sin hanya tersenyum. “Apakah kalian tidak jahat? Apakah anak buah kalian yang melakukan pemerasan di kota raja tidak busuk? Memang, melihat kebusukan orang lain, betapa pun kecilnya, amatlah mudah, sebaliknya, kebusukan sendiri sebesar gajah takkan pernah kalian lihat!”

“Tidak perlu banyak cakap lagi, kami sudah kalah, mau bunuh kami, bunuhlah!” bentak Lo-thian Sin-kai.

“Kami adalah laki-laki sejati yang tak takut mati!” Hek-bin Mo-kai juga ikut berkata sambil menyeringai menahan sakit.

“Bagus! Gagah perkasa tidak takut mati, akan tetapi pengecut hina yang beraninya hanya mengandalkan pengeroyokan banyak orang, dulu terhadap ayah bundaku dan sekarang terhadap diriku.”

“Bocah setan yang sombong, tak perlu banyak mulut lagi!” Hek-bin Mo-kai membentak.

Thian Sin tersenyum lebar lantas tangannya bergerak ke bawah, dua kali jari tangannya menotok ke arah dada serta leher Hek-bin Mo-kai. Dan kembali dia bergerak melakukan penotokan yang sama terhadap tubuh Lo-thian Sin-kai.

Mula-mula kedua orang kakek itu tidak merasakan sesuatu, hanya ada hawa dingin yang menyelinap ke dalam bagian tubuh yang tadi tertotok jari tangan pemuda itu. Akan tetapi mulailah terasa gatal-gatal dan dingin, lalu rasa gatal itu semakin menghebat disertai rasa perih seperti ditusuk-tusuk jarum!

Kedua orang kakek itu berusaha mempertahankan diri, akan tetapi rasa nyeri yang tidak begitu hebat namun makin lama makin terasa itu mulai menggerogoti perasaan mereka. Rasa gatal sukar dapat dipertahankan orang, apa lagi rasa perih yang sedikit demi sedikit menusuk-nusuk perasaan itu.

Rasa nyeri yang hebat sekali dapat mematikan rasa, atau dapat membuat orang pingsan karenanya. Akan tetapi rasa gatal-gatal disertai perih sedikit demi sedikit itu menyerap semakin hebat dan keduanya tidak mampu mengerahkan sinkang karena tenaga mereka telah punah oleh totokan itu.

Mereka berusaha mempertahankan diri tanpa mengeluh, dan keduanya sampai menggigit bibir mereka. Akan tetapi rasa nyeri makin hebat hingga bibir mereka pecah-pecah oleh gigitan sendiri. Darah mengalir membasahi mulut mereka. Sungguh keadaan mereka amat mengerikan.

Muka mereka penuh dengan keringat dan tubuh mereka menggeliat-geliat, dan akhirnya keduanya tak dapat bertahan lagi sehingga mulailah mereka mengeluh. Mula-mula hanya rintihan-rintihan saja, masih mereka tahan, akan tetapi tak lama kemudian mereka sudah menangis dan meraung-raung minta mati!

Dan Thian Sin berdiri sambil bertolak pinggang, tersenyum menyaksikan dua orang lawan yang disiksanya sedemikian hebat itu. Dia tadi telah menotok mereka dengan pengerahan tenaga sinkang yang dipelalarinya dari kitab ayahnya, dan dia telah membuat mereka itu keracunan sedikit demi sedikit.

Raungan-raungan kedua orang kakek itu masih terus terdengar, sungguh pun makin lama semakin lemah dan pada saat itu pula terdengar suara hiruk pikuk di luar, lalu tidak lama kemudian banyak prajurit penjaga keamanan kota raja yang mengurung tempat itu sudah menyerbu ke dalam! Melihat betapa dua orang kakek yang menjadi musuhnya itu sudah mulai sekarat dan nyawa mereka tidak mungkin dapat tertolong lagi, Thian Sin tertawa bergelak dan tubuhnya meloncat ke atas, menerobos genteng.

Beberapa orang anggota kai-pang beserta prajurit yang berjaga di atas genteng, terkejut melihat munculnya pemuda yang menerobos genteng itu. Mereka segera mencoba untuk menyerang, tapi akibatnya mereka sendiri yang terlempar lantas jatuh tunggang-langgang di atas genteng, ada pula yang terus menggelinding ke bawah dan tentu saja mengalami kematian terbanting dari atas genteng.

Ternyata pemuda itu sudah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Bekas amukannya yang ada, yaitu kematian banyak sekali anggota kai-pang serta beberapa orang prajurit, dan yang sangat mengerikan adalah kematian dua orang ketua kai-pang itu. Wajah mereka masih menyiringai, dua mata mereka terbelalak dan wajah itu masih membayangkan rasa nyeri yang luar biasa, akan tetapi nyawa mereka telah melayang.

Gegerlah ibu kota atau kota raja dengan terjadinya peristiwa yang sangat mengerikan ini, sehingga semakin terkenallah nama Pendekar Sadis karena kini semua orang telah dapat menduga, melihat dari cara-cara kematian yang disebabkannya, bahwa yang mengamuk itu tentu bukan lain Pendekar Sadis yang banyak disohorkan orang akhir-akhir ini.

Bukan hanya sampai di situ saja sepak terjang Thian Sin di kota raja. Dia memang sudah berhasil membunuh Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, yaitu dua orang di antara para pengeroyok dan pembunuh ayah bundanya. Akan tetapi dia belum puas karena dia belum berhasil menemukan orang yang lebih dibencinya dari pada yang lainnya, yaitu Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam.

Seperti diketahui, Tok-ciang Sianjin ini adalah seorang tokoh Jeng-hwa-pang yang dahulu juga ikut mengeroyok dan membunuh ayah bundanya. Dan bahkan lebih dari itu, orang ini adalah yang terpandai di antara mereka yang mengeroyok ayah bundanya. Dan sampai kini dia belum juga berhasil membalas, bahkan belum tahu di mana adanya Tok-ciang Sianjin yang dicari-carinya itu.

Maka, Thian Sin lalu mendatangi para tokoh kang-ouw, terutama sekali para penjahat di sekitar kota raja. Maksudnya hendak mencari keterangan dan menyelidiki di mana adanya Tok-ciang Sianjin, akan tetapi caranya menimbulkan kegemparan hebat di kota raja.

Terhadap para tokoh dari dunia hitam ini, Thian Sin bersikap kejam bukan kepalang. Dia menangkap, menyiksa, membunuh, memaksa kepada mereka itu untuk membuka rahasia di mana adanya Tok-ciang Sianjin. Dan untuk semua itu dia tidak segan-segan melakukan kekejaman yang mendirikan bulu roma terhadap para penjahat itu.

Maka nama Pendekar Sadis makin terkenal dan ditakuti oleh kaum penjahat melebihi iblis sendiri. Belum pernah ada tokoh atau datuk sesat sekali pun yang lebih mengerikan dan lebih ditakuti oleh kaum sesat seperti Pendekar Sadis ini.

Thian Sin amat membenci kepada penjahat karena diangapnya bahwa penjahat-penjahat itulah yang telah merusak hidupnya, telah mencelakakan orang-orang yang dicintanya dan karena itu, dia telah mengambil keputusan untuk memusuhi semua penjahat di dunia ini!

Ada kalanya dia memasang mata di pasar dan tempat-tempat ramai dan kalau dia melihat ada penjahat yang melakukan pencopetan saja, dia tidak segan-segan untuk turun tangan dan mematahkan tulang lengan pencopet itu. Bahkan pada waktu malam dia sering keluar dan sekali dilihatnya ada pencuri, tentu tangan pencuri itu segera dibuntungi! Pemerkosa jangan harap dapat hidup bilamana berjumpa dengannya, karena Thian Sin segera akan menghukumnya secara mengerikan, yaitu membuntungi alat kelaminnya!

Belum ada sebulan dia datang ke kota raja, keadaan kota raja menjadi gempar. Bukan hanya para penjahat yang ketakutan setengah mati, bahkan banyak penduduk kota raja juga merasa gelisah dan ngeri. Siapa pun adanya dia, setiap orang sudah tentu tak akan luput dari pada kesalahan, maka dia tentu merasa ngeri untuk dilihat dan dihukum oleh seorang seperti Pendekar Sadis ini.

Pada suatu senja, Thian Sin kembali ke dalam kuil tua di mana dia menyembunyikan diri sebab dia tahu bahwa pasukan kota raja selalu mencarinya. Telah berkali-kali dia bertemu dengan penyelidik-penyelidik dari kota raja itu, namun dia selalu dapat membuat mereka tidak berdaya.

Untuk dapat beristirahat dengan tanpa banyak gangguan, dia lalu mencari penginapan di luar kota raja sehingga akhirnya dia menemukan sebuah kuil tua yang dikabarkan orang sebagai kuil tua kosong yang banyak hantunya. Sungguh kebetulan, pikirnya.

Apa bila kuil itu berhantu, tentu tidak ada orang yang akan berani mendekatinya. Dan dari para penduduk di kampung-kampung sekitar kuil yang berada di tempat sunyi di lereng pegunungan sebelah utara kota raja ini, dia pun mendengar bahwa siapa saja yang berani datang ke kuil ini, apa lagi di malam hari, tentu akan bertemu dengan hantu dan kabarnya sudah ada beberapa orang yang mati dengan mengerikan di tempat itu.

Mati menggantung diri atau pun digantung hantu, tak ada yang dapat tahu dengan pasti. Pendeknya, di sebelah belakang kuil itu terdapat sebuah tengkorak manusia yang masih tergantung di sebuah batang pohon. Hanya tinggal kepala dan leher saja yang tergantung, sedangkan tulang-tulang bagian lainnya sudah runtuh dan bertumpuk di bawah pohon itu tanpa ada yang berani mengganggunya.

Kepercayaan akan tahyul membuat orang yang mempunyai kepandaian tinggi sekali pun menjadi penakut. Orang yang cukup lihai boleh jadi tidak takut menghadapi pengeroyokan banyak lawan tangguh dan bahkan tak gentar menghadapi kematian. Akan tetapi, karena kepercayaan tahyul yang telah berakar di dalam hati mereka, ditanamkan semenjak kecil, membuat mereka atau orang yang mempunyai ilmu silat cukup tinggi sekali pun dapat lari tunggang langgang. Mereka itu merasa seram.

Akan tetapi Thian Sin sama sekali tak merasa takut. Dia telah sering menghadapi hal-hal menyeramkan, yaitu waktu dia bertapa di dalam goa dan mempelajari ilmu sihir dari kakek pertapa di Pegunungan Himalaya. Kalau memang ada hantunya, biarlah aku berkenalan dengan hantu itu, pikirnya, bahkan siapa tahu dia akan dapat mempelajari ilmu yang lebih hebat lagi dari hantu itu!

Maka, beberapa malam yang lalu, ketika untuk pertama kali dia mendatangi tempat itu, dia lalu melakukan pengintaian. Tidak ada apa-apa di sana, sunyi saja. Akan tetapi ketika dia sedang duduk beristirahat di dalam kuil itu, tiba-tiba dia mendengar suara melengking yang aneh. Seketika bulu tengkuknya meremang, akan tetapi ia melawannya dan dengan mengusap tengkuknya, maka rasa meremang pun lenyaplah.

Dia lalu berindap-indap menuju ke arah suara yang datangnya dari belakang kuil di mana terdapat pohon yang ada tengkoraknya tergantung itu. Dia melangkah maju menghampiri karena malam itu gelap, cuaca hanya diterangi oleh sinar bulan yang sepotong.

Ketika dia sudah dekat untuk dapat melihat tengkorak itu, dia mendapat kenyataan bahwa suara itu memang datang dari arah tengkorak itu dan kembali bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat tengkorak itu bergoyang-goyang! Padahal pada saat itu tidak ada angin sama sekali!

Jika bukan Thian Sin yang menghadapi penglihatan dan pendengaran seperti itu, agaknya tentu sudah melarikan diri karena sepandai-pandainya manusia, kalau harus menghadapi sesuatu yang tak dimengertinya dan berada di luar kemampuannya sebagai manusia, apa lagi setelah segala yang didengarnya sejak kecil tentang ketahyulan yang menyeramkan, tentu dia telah ketakutan. Akan tetapi, biar pun bulu tengkuknya terasa dingin, kepalanya terasa berat dan seperti membengkak besar, Thian Sin kembali mengusap tengkuknya dan dia malah maju menghampiri!

Agaknya ‘hantu’ itu menjadi penasaran karena melihat pemuda ini tidak ketakutan seperti orang-orang lain yang pernah melihat dan mendengarnya, maka suara melengking itu lalu menjadi semakin nyaring menyeramkan, dan tengkorak yang bergantungan pada pohon itu juga bergoyang-goyang lebih keras lagi, seolah-olah hendak terbang dan menubruknya.

Thian Sin tidak berhenti bahkan terus menghampiri. Dan pada saat itu terdengar teriakan parau menyeramkan dari atas pohon dan dari atas itu melayanglah sesosok tubuh tinggi besar hitam seolah-olah bayangan itu hendak menyerbu Thian Sin.

Pemuda ini menghentikan langkahnya dan bersiap sedia menyambut terkaman bayangan tubuh tinggi besar yang tidak kelihatan jelas dalam keremangan cuaca itu, akan tetapi… tubuh itu berhenti di tengah udara lantas tergantung-gantung. Kiranya itu adalah bayangan tubuh manusia yang bergantung diri atau digantung orang!

Thian Sin meloncat dan tangannya menyambar, maksudnya untuk menolong orang yang tergantung itu dan sekali tangannya bergerak, tali yang menggantung orang itu putus dan dia pun sudah memondong tubuh itu ke bawah. Akan tetapi tubuh itu ternyata hanyalah sepotong kayu besar yang diberi pakaian!

Mengertilah dia bahwa ada yang mempermainkan dirinya dan kalau ada yang main hantu-hantuan maka tentu yang bermain-main itu adalah manusia! Karena suara itu datang dari atas pohon, maka Thian Sin lalu meloncat lagi, sekarang menerjang ke tengah daun-daun pohon yang rindang itu.

Ada pedang yang menyambutnya, akan tetapi dengan gerakan tangannya Thian Sin dapat membuat pedang itu terpukul ke samping dan ternyata orang yang memegang pedang itu tidak kuat menyambut terjangan Thian Sin. Sambil mengeluarkan teriakan orang itu lantas terjatuh dari atas pohon! Suara berdebuk yang keras membuktikan bahwa orang itu tidak mempunyai ilmu ginkang yang baik dan tubuhnya telah terbanting keras ke atas tanah.

Thian Sin mengikutinya dan melompat turun, cepat menghampiri tubuh yang menggereng kesakitan itu. Kiranya dia seorang laki-laki setengah tua yang mengerang kesakitan dan napasnya empas-empis karena tadi dia telah terkena pukulan tangan sakti Thian Sin yang mengenai dadanya, ditambah lagi dia terbanting roboh ke atas tanah yang mematahkan beberapa tulang iganya.
“Hemm, mengapa kau menakut-nakuti orang?!” Thian Sin membentak.

Orang itu sukar sekali menjawab karena dia menderita sakit bukan main dan napasnya tinggal satu-satu, “…agar… tempat ini menjadi tempatku… tanpa diganggu orang… dan… dan… orang-orang yang ketakutan… meninggalkan barang-barangnya…” Orang itu tidak dapat bicara terus karena kepalanya terkulai dan tewas. Pukulan Thian Sin tadi memang hebat sekali, dilakukan karena menduga bahwa ada lawan tangguh bersembunyi di dalam pohon.

Thian Sin menarik napas panjang kemudian sejenak dia berdiri termenung. Orang ini mati karena kesalahan sendiri, dan pula, memang orang itu bukan orang baik-baik, agaknya menakut-nakuti orang di samping untuk membuat orang takut datang ke tempat itu, juga agaknya untuk memperoleh barang-barang orang yang lari ketakutan. Betapa pun juga, orang ini sudah berjasa baginya, sudah memberikan sebuah tempat persembunyian yang baik sekali. Maka malam itu juga Thian Sin menggali lubang dan mengubur jenazahnya.

Rasa takut memang selalu mempengaruhi kehidupan manusia. Hampir seluruh manusia di dunia ini hidup dalam cengkeraman rasa takut yang dapat juga disebut kekhawatiran, kegelisahan, dan sebagainya. Pendeknya, rasa takut akan sesuatu. Tentu saja perasaan ini mempengaruhi kehidupannya, karena setiap tindakan yang didasari oleh rasa takut tentu merupakan suatu tindakan yang tidak wajar dan palsu. Dapatkah kita hidup bebas dari rasa takut? Apakah sesungguhnya perasaan takut akan sesuatu ini?

Jika kita mau mengamatinya dengan waspada, maka kita akan dapat melihatnya bahwa rasa takut timbul dari permainan pikiran kita sendiri yang membayangkan sesuatu yang tidak ada, sesuatu yang belum tiba, atau sesuatu yang dibayangkan akan ada dan akan menyusahkan diri kita. Apa bila tidak ada pikiran yang membayang-bayangkan keadaan yang belum ada ini, maka rasa takut pun tidak akan ada.

Orang yang takut akan penyakit menular yang sedang mengamuk tentu belum terkena penyakit itu, dan orang yang takut akan kehilangan pekerjaan tentulah belum kehilangan pekerjaan, sedangkan orang yang takut akan kematian tentu belum mati. Demikian pula, orang yang takut akan setan tentu belum bertemu dengan yang ditakutinya itu.

Maka dari itu, ketika menghadapi setiap persoalan, setiap peristiwa, kalau kita membuka mata dengan waspada tanpa membayangkan hal-hal yang belum terjadi, maka tindakan kita tentu akan lebih tepat.

Seperti halnya Thian Sin, pada waktu menghadapi segala penglihatan dan pendengaran itu, dia tidak membayangkan hal-hal yang mengerikan, akan tetapi dengan waspada dia mengamati, maka dia terbebas dari rasa takut dan dapat menanggulangi keadaan yang bagaimana pun juga.

Ada yang mengatakan bahwa kita takut setan karena kita tidak mengertinya, karena kita tidak mengenalnya. Benarkah itu? Apa bila kita mau menyelidiki, maka rasa takut akan setan itu sama sekali bukan timbul karena kita tidak mengenalnya.

Orang yang tidak pernah mengenal setan, yang tidak pernah mendengar cerita tentang setan, atau anak-anak yang belum pernah mendengar sama sekali tentang setan, tidak mungkin akan takut! Sebaliknya, yang kita takuti adalah karena kita sudah tahu tentang setan, sudah mendengar tentang setan, bahwa setan itu amat menakutkan, mengerikan, menyeramkan dan sebagainya. Maka, takutlah kita, karena pikiran kita membayangkan hal-hal yang menakutkan itu! Sederhana sekali, bukan? Maka sekali lagi, dapatkah kita hidup bebas dari rasa takut?


Senja itu Thian Sin kembali ke tempat persembunyiannya yang sunyi itu. Seperti biasa apa bila dia hendak beristirahat di tempat ini, dia tidak langsung memasuki kuil. Dia tahu bahwa pada waktu itu, dia telah menanam banyak sekali bibit permusuhan sehingga pasti banyak orang pandai yang akan mencarinya dan mencelakainya.

Oleh karena itu, dia selalu hati-hati dan ketika dia tiba di tempat sunyi itu, dia pun tidak langsung memasuki kuil tua. Dia mengambil jalan memutar, lebih dulu mengelilingi kuil itu untuk melihat kalau-kalau ada orang bersembunyi.

Ketika dia mulai memutari kuil, tiba-tiba dia mendengar suara isak tangis perlahan yang datangnya dari arah belakang kuil di mana terdapat pohon besar yang menakutkan itu. Hemm,apakah ada orang gila lain lagi yang hendak menakut-nakutinya, pikirnya. Ataukah ada orang pandai yang datang untuk membalas segala perbuatannya pada orang-orang jahat selama beberapa pekan di kota raja ini?

Dengan hati-hati Thian Sin lalu pergi ke belakang kuil, dan dia pun terheran-heran melihat ada sesosok tubuh wanita berlutut di bawah pohon besar itu, tak jauh dari tengkorak yang masih tergantung, dan menangis terisak-isak!

Hemmm, apakah ini? Sebuah perangkap? Thian Sin bersikap hati-hati sekali dan dengan kepandaiannya, dia berloncatan jauh lantas mengelilingi pohon itu dari jauh untuk melihat kalau-kalau kehadiran wanita itu merupakan perangkap untuknya. Akan tetapi sunyi saja. Tidak ada orang lain kecuali wanita itu sendiri yang masih menangis. Maka dia pun tidak curiga lagi dan cepat menghampiri, lalu setelah berdiri dekat dia pun menegur halus.

“Siapakah engkau? Mengapa kau menangis di sini?”

Wanita itu nampak terkejut dan mengangkat muka memandang. Thian Sin melihat sebuah wajah yang cukup manis, dengan usia kurang dari tiga puluh tahun dan wanita itu segera bangkit berdiri kemudian menghadapi Thian Sin dengan sikap marah.

“Mengapa engkau hendak menggangguku? Pergilah! Urusanku tak ada sangkut-pautnya denganmu. Pergi!”

Akan tetapi tentu saja Thian Sin tidak mau pergi, bahkan dia lalu mengerutkan alisnya dan berkata, “Hemmm, engkaulah yang menggangguku, engkaulah yang harus pergi dari sini. Tempat ini adalah tempatku. Kau siapa dan apa maksudmu…”

“Persetan denganmu!” bentak wanita itu, yang segera menerjang dan memukulnya!

Thian Sin melihat gerakan orang yang paham ilmu silat, bahkan pukulannya cukup cepat dan keras. Dia menangkap lengan yang memukulnya itu dan sekali memutarnya, tubuh wanita itu terpelanting jatuh. Akan tetapi, dengan nekatnya wanita itu bangkit kembali dan menyerang lagi, kini menendang dengan tendangan cepat dan kuat ke arah pusar. Thian juga menangkap kaki itu lantas mendorongnya sehingga wanita itu jatuh terbanting lebih keras lagi!

Wanita itu menangis kembali. “Hu-huuuh… kau… kamu manusia kejam… !” Dan dia pun menghampiri pohon di mana telah terpasang selendangnya, yaitu sehelai selendang yang ujungnya telah diikatkan di sebuah cabang dekat tempat tengkorak bergantung, kemudian wanita itu meloncat, memegang selendang yang tergantung itu dan memasang ujungnya pada lehernya, kemudian melepaskan kedua tangannya sehingga lehernya tergantung!

Thian Sin terkejut sekali, akan tetapi dia berdiri dan tetap tersenyum. Ahh, wanita itu tentu hanya hendak menggertak saja, pikirnya. Wanita seperti itu tentu bisa saja menggunakan akal, pura-pura gantung diri untuk menarik perhatiannya, atau mungkin juga ada udang di balik batu. Siapa tahu wanita itu hendak menjebaknya. Maka dia pun diam saja, bahkan bersedakap dan berdiri memandang sejenak, lantas membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam kuil!

Sejak menggantung diri tadi, wanita itu memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata tajam dan kini tubuhnya berkelojotan, lidahnya terjulur keluar, dan matanya melotot, akan tetapi dia tetap tidak mau mempergunakan kedua tangannya untuk menahan selendang.

Bila mana dikehendakinya, tentu saja dia dapat menggunakan tangannya untuk menahan selendang lantas melepaskan lehernya dari gantungan itu. Tetapi agaknya keputusannya sudah bulat dan dia memilih mati di tempat gantungan itu, berdekatan dengan tengkorak orang yang dulu telah menggantung diri sampai mati di situ dan yang arwahnya kabarnya menjadi setan di tempat itu.

Sesudah tubuh itu tidak berkelojotan lagi, barulah Thian Sin cepat berloncatan keluar dari kuil menuju ke pohon itu. Dengan mudah saja dia pun menurunkan wanita itu dari tempat gantungan, lalu memondongnya memasuki kuil di mana sudah dinyalakan sebatang lilin.

Dia biasa tidur di lantai yang ditilami jerami kering dan seilmut. Direbahkannya tubuh itu ke atas selimut dan dia segera memeriksanya. Memang wanita itu sudah pingsan. Cepat dia mengurut leher itu, menotok beberapa jalan darah dan memaksa bibir itu terbuka, lalu dituanginya beberapa teguk air dari guci airnya. Tak lama kemudian wanita itu membuka mata, mengeluh dan nampak bingung.

“Su… sudah matikah…?” akan tetapi dia melihat wajah Thian Sin dan cepat dia memukul sambil meloncat bangun. Thian Sin menangkap tangan itu.

“Tenanglah. Aku menyelamatkanmu dari kematian dan sekarang engkau bahkan hendak memukulku?”

“Kenapa kau menurunkan aku? Kenapa tidak membiarkan aku mati. Ah, aku ingin mati saja! Aku ingin mati… huh-huuuhh…,” dan wanita itu pun menangis lagi, mengguguk.

Thian Sin merasa kasihan. Tadinya dia merasa curiga, akan tetapi setelah melihat betapa wanita itu sungguh-sungguh hendak membunuh diri, maka dia merasa kasihan dan timbul keinginannya untuk menolong wanita yang merasa berduka hingga lebih baik memilih mati itu.

“Katakanlah kepadaku, mengapa engkau ingin mati? Jika ada rasa penasaran, boleh beri tahukan kepadaku dan aku akan menolongmu.”

Wanita itu menghentikan tangisnya dan memandang pada wajah Thian Sin, lalu menangis lagi. “Tidak mungkin…,” isaknya. “Walau pun engkau dapat mengalahkan aku, akan tetapi seorang pemuda pelajar macam engkau ini tak mungkin dapat menandingi Toan-ong-ya!” Dia pun menangis lagi.

Diam-diam Thian Sin merasa tertarik. Dia telah pernah mendengar nama ini. Toan-ong-ya adalah seorang pangeran tua yang kabarnya tidak aktip lagi di dalam pemerintahan, akan tetapi orang itu terkenal sebagai seorang pangeran yang kaya raya, mempunyai ilmu silat cukup tinggi, dan terutama sekali, sangat dermawan serta dikenal baik oleh para tokoh persilatan. Pangeran tua yang dikabarkan kaya raya dan gagah itu bagaimana kini dapat membuat seorang wanita muda yang manis ini menderita dan ingin membunuh diri?

“Ceritakanlah, jangankan Toan-ong-ya, biar pun raja neraka sekali, kalau kuanggap cukup memenuhi syarat untuk dibasmi, maka akan kubunuh dia!” katanya dengan nada suara yang serius dan halus, namun mengandung ancaman yang mendirikan bulu roma.

Wanita itu masih menangis, membuat Thian Sin menjadi jengkel juga. “Ceritakanlah dan aku akan membantumu. Kalau engkau tidak mau, nah, pergi dari sini dan kalau kau mau bunuh diri, silakan, akan tetapi jangan di tempatku sini!”

Wanita itu menghentikan tangisnya, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Sin. “Benarkah taihiap sudi menolongku dan membalaskan dendam sakit hatiku yang sedalam lautan?”

“Ceritakanlah lebih dulu apa yang terjadi,” potong Thian Sin.

“Pangeran terkutuk itu sudah membunuh ayahku, suamiku, kemudian memperkosaku dan memaksaku untuk menjadi selirnya. Aku tak tahan lagi dan hendak membunuhnya untuk membalas kematian ayahku dan suamiku, akan tetapi dia terlampau kuat bagiku dan aku malah dihinanya… sampai akhirnya aku melarikan diri dan pergi ke tempat yang terkenal ada hantunya ini untuk membunuh diri…”

Thian Sin mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mau menelan dan menerima saja cerita sepihak macam ini. “Mengapa ayahmu dan suamimu dibunuh oleh pangeran itu?”

Wanita itu lalu bercerita yang kadang-kadang diselingi isak. Dia bernama Louw Kim Lan, dan sudah beberapa tahun lamanya menjadi isteri dari seorang pemburu she Gak yang pekerjaannya memburu binatang buas berdua dengan ayahnya. Mereka sering berburu di hutan-hutan sebelah utara kota raja dan mereka sudah mendapatkan seorang langganan yang baik, yaitu keluarga Pangeran Toan itulah.

Pada suatu hari, saat Kim Lan membawa kulit binatang hutan untuk dikirimkan ke rumah Toan-ong-ya, kebetulan sekali pangeran tua itu sendiri yang menerimanya dan agaknya pangeran yang terkenal kaya raya dan dermawan tetapi juga terkenal suka bermain-main dengan wanita-wanita cantik itu agaknya tertarik kepada Kim Lan yang manis.

Kim Lan lalu dibujuk dan diancam, bahkan Sang Pangeran itu mempergunakan kekerasan untuk menahannya di dalam istananya hingga akhimya Kim Lan tidak dapat melawan dan terpaksa harus menyerahkan diri kepada pangeran tua yang juga adalah seorang ahli silat tinggi yang amat lihai itu.

Suaminya dan ayahnya yang sudah lama menjadi teman berburu suaminya, jauh sebelum dia menikah dengan pemburu itu, kemudian malam-malam datang menyelidiki dan dalam pertempuran melawan Toan-ong-ya, keduanya roboh tewas. Selanjutnya, Kim Lan diambil sebagai selir oleh pangeran itu.

Ketika malam tadi Kim Lan mencari kesempatan untuk membunuh pangeran itu dengan racun, dia telah ketahuan. Biar pun dia diampuni, namun dia diusir pergi dari istana.

“Demikianlah, taihiap. Apa dayaku sebagai seorang wanita lemah? Biar pun aku mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi mana mungkin aku menandingi Toan-ong-ya? Baru melawan para pengawalnya saja aku tidak akan sanggup. Karena putus harapan dan penasaran, maka aku mengambil keputusan untuk mati dan menyusul ayah serta suamiku saja!” Kim Lan mengakhiri penuturannya dan menangis lagi.

Thian Sin telah mengerutkan alisnya dan mengepal tinju tangannya. “Baik, malam ini juga Toan-ong-ya akan kubunuh, akan tetapi engkau harus ikut untuk membuktikan kebenaran ceritamu!” katanya. Wanita itu terkejut dan cepat menggelengkan kepala.

“Tidak… tidak… mana aku berani ke sana?”

“Jangan takut, ada aku yang akan melindungimu. Aku berjanji, tidak akan ada orang yang dapat mengganggumu seujung rambutmu pun. Mari!”

Dengan terpaksa, akan tetapi juga penuh harapan, wanita yang bernama Kim Lan itu lalu berlari menuju ke dalam kota raja. Ketika mereka tiba di pintu gerbang kota raja, Thian Sin memondongnya dan membawanya melompati tembok kota raja yang tinggi itu, membuat Kim Lan menahan napas dan juga kagum bukan main. Sesudah mereka turun di sebelah dalam tembok itu, Kim Lan langsung berkata,

“Ah, kini aku percaya bahwa taihiap tentu akan dapat membantuku menghadapi pangeran terkutuk itu!”

Thian Sin tidak menjawab, melainkan menurunkan Kim Lan dan mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke istana pangeran itu. Suasana sudah sunyi karena waktu telah mulai menjelang tengah malam.

Dengan mudahnya mereka pun tiba di sebelah belakang tembok yang mengurung istana Pangeran Toan itu. Di sini, kembali Thian Sin memondong tubuh Kim Lan dan meloncat ke atas pagar tembok, kemudian mereka, atas petunjuk Kim Lan, turun ke dalam taman di belakang istana. Dari sini, Kim Lan menjadi penunjuk jalan.

Dengan berindap-indap mereka memasuki bangunan yang besar dan megah itu, melalui pintu-pintu rahasia kecil yang telah dikenal baik oleh Kim Lan. Setelah memeriksa dengan berindap-indap, akhirnya mereka tiba di luar sebuah ruangan tamu di belakang, di mana pangeran itu suka menerima tamu-tamunya yang penting atau sahabat-sahabat baiknya. Dan ruangan itu masih terang, berarti bahwa Sang Pangeran masih berada di situ, dan terdengarlah lapat-lapat suara orang berbicara di balik pintu ruangan itu.

“Dia berada di dalam ruangan itu menerima tamunya…,” Kim Lan berbisik di dekat telinga Thian Sin.

Thian Sin mengangguk kemudian balas berbisik, “Aku akan naik dan mengintai dari atas, engkau harus dapat membuktikan ceritamu kepadaku tadi, baru aku akan turun tangan.” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Thian Sin telah lenyap dari depan wanita itu.

Ditinggal seperti ini, Kim Lan terkejut dan gelisah, akan tetapi dia percaya bahwa pemuda itu pasti mengintai dari atas. Dia harus bisa meyakinkan hati pemuda itu akan kebenaran ceritanya tadi, dan kalau pemuda itu turun tangan, dia yakin bahwa musuh besarnya pasti akan dapat terbunuh dan dendamnya akan terbalas secara memuaskan sekali!

Dia memberi kesempatan beberapa waktu supaya pemuda itu dapat menemukan tempat pengintaian yang baik. Setelah lewat beberapa waktu, barulah dia mendorong pintu ruang itu dan masuk ke dalam ruangan.

Perbuatannya ini mengejutkan tiga orang laki-laki yang sedang duduk menghadapi meja dan bercakap-cakap di dalam ruangan itu. Mereka menghadapi cawan dan guci arak serta beberapa macam makanan kering. Tadinya pangeran tua itu mengira bahwa ada pelayan lancang yang memasuki ruangan, akan tetapi ketika dia melihat siapa yang masuk, maka alisnya berkerut dan dia bangkit berdiri dengan muka merah karena marah.

“Hemm, perempuan rendah budi! Engkau berani datang lagi ke sini?” bentaknya.

Thian Sin mengintai dari atas atap yang telah dia lubangi. Dia melihat bahwa yang berdiri dan membentak itu adalah seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi dan masih gagah, nampak berwibawa akan tetapi sikapnya halus sebagai tanda bahwa kakek ini adalah seorang terpelajar tinggi.

Mudah saja baginya untuk menduga bahwa tentu orang inilah yang dimaksudkan oleh Kim Lan, yaitu Toan-ong-ya, Pangeran Toan yang terkenal itu. Dari teguran itu maklumlah dia bahwa memang benar pangeran itu mengenal baik kepada Kim Lan. Dia melihat Kim Lan menjatuhkan diri berlutut.

“Ong-ya… saya tak percaya paduka begini kejam! Setelah membunuh ayahku, suamiku, dan sesudah sekian lama saya melayani paduka, kini paduka hendak mengusirku begitu saja!”

“Hemm, engkau tak mungkin lupa akan perbuatanmu yang hina! Engkau hampir berhasil membunuhku dengan meracuni minumanku, dan sekarang engkau mengatakan aku yang kejam? Hayo pergi dari sini, jangan engkau injak lagi tempat ini!”

“Tapi… tapi saya mencoba meracuni paduka karena paduka telah membunuh ayahku dan suamiku…”

“Ayahmu dan suamimu mencari mampus sendiri! Sudahlah, pergi kataku!”

Dari atas, Thian Sin mendengar ini semua dan percayalah dia akan kebenaran cerita Kim Lan. Pangeran itu tidak menyangkal telah membunuh ayah dan suami wanita itu, dan Kim Lan juga sudah mengaku telah mencoba meracuni Sang Pangeran, persis seperti yang diceritakan oleh wanita itu kepadanya tadi.

Marahlah Thian Sin. Membunuh ayah dan suami orang, memperkosa isteri orang, dan hal ini dia tidak sangsi lagi melihat bahwa Kim Lan begitu berbakti serta mencinta suaminya sehingga mau meracuni pangeran itu, dan sekarang hendak mengusir wanita itu begitu saja. Jelas bahwa pangeran itu bukan seorang baik-baik!

Dia melihat bahwa dua orang tamu pangeran itu ternyata adalah dua orang laki-laki yang kelihatan gagah perkasa, yang seorang bertubuh tinggi besar berpakaian seperti petani, sikapnya amat polos dan gagah, sedangkan yang kedua adalah seorang berjubah hwesio berkepala gundul, berusia sebaya dengan petani itu, yaitu kira-kira empat puluh tahun.

Namun dia tidak peduli. Kalau mereka akan mengeroyoknya, terserah, pikirnya. Maka dia pun segera menerobos atap dan melayang turun ke dalam ruangan itu.

“Yang berkedudukan mempergunakan kekuasaannya untuk menindas orang, yang kaya raya mempergunakan hartanya untuk memperbudak orang, yang kuat mempergunakan kepandaiannya untuk bersikap sewenang-wenang, seorang pangeran membunuh dan memperkosa orang seenak perutnya sendiri. Ahh, sungguh dunia sudah penuh dengan manusia-manusia jahat yang harus dibasmi!”

Sementara itu, ketika melihat munculnya seorang pemuda yang menerobos masuk dari atas, maklumlah Pangeran Toan bahwa orang ini tentulah sekutu dari Kim Lan, maka dia sudah mencabut pedangnya dan menudingkan pedang itu ke arah muka Thian Sin sambil membentak,

“Siapakah engkau yang berani memasuki rumah orang tanpa ijin?!”

Thian Sin tersenyum. “Hemm, meski engkau seorang pangeran yang kaya raya, apa kau kira boleh membunuh orang tanpa ijin?” Lalu sambil melangkah maju dia menyambung, “Kenalilah, aku adalah wakil dari orang-orang yang kau bunuh.” Tangannya telah bergerak menampar ke depan dengan cepat dan kuat.

Melihat ini, sang pangeran segera menggerakkan pedangnya membacok ke arah tangan yang menampar itu. Akan tetapi tamparan itu memang hanya serangan pancingan saja dari Thian Sin. Pada waktu pedang membacok, dia membuka tangannya dan menerima pedang itu dengan tangan terbuka!
Selanjutnya,