Pendekar Sadis Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sadis Jilid 12
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SEBAIKNYA kita mengikuti dulu perjalanan Cia Kong Liang. Seperti kita ketahui, suami isteri pendekar ketua Cin-ling-pai itu hanya mempunyai seorang putera, yaitu Cia Kong Liang. Ada pun Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga, adalah putera dari ketua Cin-ling-pai itu dari seorang wanita yang lain.

Sebagai putera tunggal, tentu saja semenjak kecil Cia Kong Liang digembleng oleh ayah bundanya yang berilmu tinggi dengan bermacam ilmu silat. Dari ayahnya, dia digembleng dengan ilmu-ilmu khas dari Cin-ling-pai seperti Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat dan lain sebagainya, dan dari ayah bundanya itu dia juga menerima ilmu Thian-te Sin-ciang yang hebat, karena merupakan gabungan dari Thian-te Sin-ciang kedua orang tuanya, bahkan ibunya juga mengajarkan penggunaan Siang-tok-swa (Pasir Harum Beracun).

Akan tetapi, sesuai dengan watak seorang pendekar, pemuda ini tidak mau menggunakan pasir beracun, akan tetapi kepandaian itu bisa dilakukan dengan segala macam pasir atau tanah. Pendek kata, segala macam tanah kalau sudah berada di tangan pemuda ini dan digunakannya sebagai senjata rahasia, maka merupakan serangan yang amat berbahaya bagi lawan.

Cia Kong Liang bertubuh tegap dan gagah sekali. Pakaiannya tidak mewah, akan tetapi juga tak terlalu sederhana dan selalu rapi. Sinar matanya yang tajam pada wajahnya yang tampan gagah itu mengandung keangkuhan, seolah-olah dia memandang rendah kepada orang lain, memandang orang lain dari tempat ketinggian!

Memang sesungguhnyalah bahwa pemuda Cin-ling-pai ini memiliki watak yang agak tinggi hati. Dia tidak sombong, tetapi agak memandang rendah kepada orang lain. Dia berwatak pendekar, dan merasa dirinya seorang pendekar perkasa, putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal dan disegani, karena itu tidaklah mengherankan kalau ketinggian hati menyentuh batin pemuda yang perkasa dan masih belum masak ini, sungguh pun usianya sudah dua puluh dua tahun.

Kong Liang melakukan perjalanan seenaknya sambil menikmati keindahan pemandangan alam di sepanjang perjalanannya. Dia sedang mewakili ayah bundanya untuk dua urusan. Pertama adalah menengok pasangan suami isteri pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, kakek dan nenek yang menjadi kakak dari ayah dan ibunya itu, dan kedua kalinya dia harus mewakili ayah bundanya, bahkan mewakili Cin-ling-pai untuk hadir dalam pesta ulang tahun dari datuk persilatan dari pantai timur, yaitu Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur) yang juga mengirim undangan kepada ketua Cin-ling-pai.

Masih banyak waktu, pikirnya, karena hari ulang tahun itu masih lebih dari satu bulan lagi. Karena perjalanan yang dilakukan seenaknya itu, maka dua hari kemudian barulah Kong Liang tiba di Bwee-hoa-san. Hati pemuda ini lega melihat betapa paman dan bibi tuanya itu dalam keadaan selamat, walau pun memang benar bibi tuanya nampak lesu dan tidak bersemangat.

Yap Kun Liong yang dahulu amat terkenal sebagai seorang pendekar yang berilmu tinggi, kini telah menjadi seorang kakek yang usianya telah tujuh puluh enam tahun. Rambutnya sudah hampir putih semua, akan tetapi tubuhnya yang tinggi agak kurus itu masih dapat berdiri tegak dan gerak-geriknya masih sigap dan ringan. Demikian pula, Cia Giok Keng, puteri pendiri Cin-ling-pai itu pun masih nampak sigap, akan tetapi pada saat itu wajahnya agak pucat dan nampak tidak bersemangat, lesu bagaikan orang yang tidak sehat.

Yap Kun Liong dan isterinya merasa girang sekali melihat kedatangan keponakan mereka itu dan setelah Kong Liang menceritakan tentang keadaan orang tua mereka yang berada dalam keadaan selamat dan sehat, Yap Kun Liong lalu berkata, sikapnya sangat tenang akan tetapi alisnya berkerut,

“Kong Liang, tentu saja kami merasa sangat gembira melihat engkau datang berkunjung dan menjenguk kami dua orang tua yang kesepian ini. Akan tetapi, selain kegembiraan kami, juga hati kami merasa risau karena engkau datang sebelum urusan kami selesai. Kami harap saja engkau tidak akan terlibat dalam urusan kami ini.”

Pemuda itu menatap wajah paman dan bibinya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Memang sejak tadi dia dapat menduga bahwa tentu ada sesuatu yang merisaukan hati mereka terutama sekali hati bibinya.

“Paman, urusan apakah yang membuat risau hati paman dan bibi berdua?” Dia merasa heran bagaimana ada urusan yang dapat merisaukan hati paman dan bibinya yang gagah perkasa ini, apa lagi dalam usia setinggi itu dan berada di tempat yang demikian sunyi. Seharusnya tak mungkin lagi mereka itu menemui urusan-urusan yang bisa menimbulkan kesukaran.

Yap Kun Liong menarik napas panjang. “Karena bibimu sedang kurang sehat, ditambah dengan munculnya urusan ini, sungguh menimbulkan ketidak tenteraman juga.”

“Kong Liang, setua ini kami masih diancam oleh orang-orang jahat. Aku telah siap untuk menghadapi mereka dengan kekerasan, akan tetapi pamanmu ini sudah menjadi lemah, dia tidak setuju sehingga timbullah pertentangan di antara kami,” tiba-tiba Cia Giok Keng berkata sambil melirik ke arah suaminya.

Kong Liang telah mendengar bahwa bibinya ini mempunyai watak yang keras pada waktu mudanya, dan agaknya, biar pun sekarang sudah tua, tapi kekerasan dalam menghadapi musuh itu masih nampak, berbeda dengan pamannya yang agaknya telah menjadi orang yang tidak bersemangat untuk menghadapi kekerasan.

“Paman dan bibi, apakah yang sudah terjadi? Siapakah musuh yang berani mengancam ji-wi (anda berdua)?”

Yap Kun Liong memandang kepada isterinya, kemudian menoleh ke arah keponakannya lantas berkata, “Kong Liang, urusan ini tidak ada sangkut-pautnya denganmu, akan tetapi oleh karena engkau sudah dewasa dan kebetulan engkau berada di sini, biarlah engkau ketahui semuanya. Nah, dua hari yang lalu kami menerima surat ini, kau bacalah sendiri.”

Cia Kong Liang menerima gulungan surat itu, segera membukanya dengan sikap tenang, sikap yang mengagumkan paman serta bibinya yang mengamati semua gerak-geriknya. Kemudian dibacanya surat itu, dengan alisnya yang tebal itu berkerut, sepasang matanya bersinar-sinar saat dia membaca surat itu, dan wajahnya sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa akan tetapi pandang matanya berkilat mengejutkan ketika dia menatap wajah paman dan bibinya berganti-ganti. Kemudian, untuk meyakinkan hatinya, dia lantas membaca sekali lagi.

Pada hari ke tiga setelah surat ini dibaca sebelum matahari terbit, Yap Kun Liong beserta Cia Giok Keng akan mati berikut semua makhluk bernyawa yang berada pada kalian, sebagai pembayar hutang!

Tertanda, KETURUNAN PADANG BANGKAI.


“Paman dan bibi, apa artinya surat ini? Siapa pengirimnya dan mengapa dia mengirimkan surat seperti ini?” Akhirnya Kong Liang bertanya, suaranya tetap tenang akan tetapi pada pandang matanya terkandung kemarahan terhadap si penulis surat.

Yap Kun Liong menghela napas. “Siancai (damai)… sungguh tak kusangka bahwa setua ini kami masih saja dicari musuh dan dimusuhi oleh orang. Kami sendiri tidak tahu siapa penulis surat ini, akan tetapi melihat yang menandainya, kiranya mudahlah diduga bahwa mereka ini tentu keturunan atau segolongan dengan Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah) dan isterinya, Coa-tok Sian-li (Bidadari Racun Ular), suami isteri yang dulu pernah menjadi majikan dari Padang Bangkai di dekat Lembah Naga. Kurang lebih empat puluh tahun yang lalu, dalam suatu pertandingan pada waktu kami membantu pemerintah untuk menghadapi pemberontak, yaitu pasukan liar Sabutai, kami sudah menewaskan mereka, aku merobohkan Ang-bin Ciu-kwi ada pun bibimu itu menewaskan isterinya, yaitu Coa-tok Sian-li. Kami sama sekali tidak menyangka bahwa urusan empai puluh tahun yang lalu itu akan berekor sampai sekarang. Ah, usia setua ini, sudah mendekati akhir usia, masih saja dimusuhi orang.” Kembali kakek itu menarik napas panjang.

“Aku tidak takut!” tiba-tiba Nenek Cia Giok Keng berkata. “Biar pun sudah tua begini, aku tidak akan undur selangkah pun dalam menghadapi musuh!”

“Aihh… sudahlah, engkau sedang tidak sehat, mengapa harus menuruti perasaan marah? Kemarahan amatlah tidak baik bagi orang-orang tua seperti kita,” suaminya menghibur.

“Paman dan bibi harap jangan khawatir. Serahkan saja urusan ini kepada saya. Tiga hari berarti besok pagi kalau surat ini sudah dua hari paman terima. Bila mana musuh datang, biarlah saya yang akan menghadapi mereka!” kata Kong Liang dengan sikap gagah.

“Engkau tidak perlu ikut campur, anakku.”

“Tapi, paman. Bukankah mereka itu mengaku keturunan dari Padang Bangkai? Dan kalau sekarang yang menghadapi adalah saya, sebagai keturunan paman pula, bukankah hal itu sudah adil dan selayaknya? Dahulu, penghuni Padang Bangkai lawan paman dan bibi, sekarang keturunan mereka biarlah saya yang menghadapinya.”

Yap Kun Liong menarik napas panjang. “Kong Liang, menurut kata hati bibimu, kita harus melawan dan bibimu memang benar, biar pun kami berdua sudah tua, akan tetapi karena selama ini kami hidup dalam sehat maka kiranya kami masih dapat melidungi diri sendiri. Akan tetapi, sampai sekarang aku masih merasa menyesal kalau kuingat betapa dahulu aku menanam banyak sekali benih-benih permusuhan sehingga sampai di hari tua masih saja dimusuhi orang.”

“Tetapi itu sudah kewajiban paman dan bibi sebagai pendekar-pendekar! Kita harus selalu menentang kejahatan!”

Yap Kun Liong menggeleng kepalanya. “Semenjak ribuan tahun kita dibuai oleh khayalan seorang pendekar, anakku. Akan tetapi, bagaimana hasilnya? Dulu sudah banyak sekali orang-orang yang kita anggap jahat itu kita basmi, kita bunuh, akan tetapi kejahatan tetap saja merajalela sampai sekarang! Kita bisa membunuh orangnya dengan kekerasan, akan tetapi kejahatan tidak mungkin dapat terbasmi oleh kekerasan.”

“Tapi, kebenaran hanya dapat ditegakkan melalui kekerasan!”

“Memang demikian pendapat kalangan pendekar pada umumnya. Akan tetapi begitukah sebenarnya? Apakah semua kekerasan yang dilakukan untuk membasmi kejahatan dapat berhasil? Kurasa tak mungkin! Kejahatan adalah kekerasan, maka membasminya dengan kekerasan hanyalah berarti melakukan kejahatan dalam bentuk lain. Bayangkan saja. Kita menganggap seorang pembunuh itu jahat lantas kita menentangnya dan membunuhnya! Berarti kita pun menjadi pembunuh yang tidak ada bedanya dengan pembunuh yang kita bunuh!”

“Tapi, paman!” Kong Liang membantah. “Walau pun keduanya itu sama membunuhnya, akan tetapi alasannya sungguh berbeda! Penjahat membunuh karena dia hendak berbuat jahat demi keuntungan dirinya sendiri, namun seorang pendekar membunuh justru untuk menolong orang lain terbebas dari pada kejahatan selanjutnya!”

Yap Kun Liong tersenyum. “Memang demikianlah anggapan setiap orang pendekar. Dulu pun kami berdua beranggapan demikian, bahkan bibimu ini masih sulit melihat kejahatan walau pun anggapan seperti itu tidak benar. Apa pun alasannya, melakukan kekerasan, melakukan pembunuhan, sudah pasti mengandung kebencian dan juga pembunuhan. Dan setiap kebencian itu sudah pasti mendatangkan pertentangan dan permusuhan yang tiada hentinya. Tidak mungkin memadamkan api dengan api lain. Tidak mungkin melenyapkan kekerasan dengan kekerasan pula.”

“Saya masih tetap belum mengerti, paman. Bukankah dengan tindakan kita yang selalu menentang kaum penjahat, berarti kita berusaha untuk membuat dunia ini tenteram dan melenyapkan semua bentuk kejahatan agar supaya rakyat bisa hidup dengan tenang dan makmur?”

“Kejahatan memang dapat ditundukkan dengan kekerasaan, akan tetapi penundukan itu hanya bersifat sementara karena yang tunduk oleh paksaan hanyalah orang-orang yang menyimpan dendam dan sakit hati. Buktinya, kami dulu berhasil menundukkan majikan-majikan Padang Bangkai yang dianggap jahat, bahkan berhasil membunuh mereka. Akan tetapi apakah hal itu berarti kami berhasil menghentikan kejahatan? Bahkan yang jelas, keturunan mereka mendendam kepada kami dan sekarang buktinya mereka itu, agaknya setelah merasa kuat, lalu datang hendak menuntut balas. Kekerasan selalu menghasilkan kekerasan lainnya! Kebencian lain. Perdamaian tak mungkin diciptakan oleh peperangan! Kalau toh dapat, itu hanya karena satu fihak kalah dan terpaksa tunduk, namun dendam sudah bernyala di dalam hati yang kalah dan setiap ada kesempatan, tentu mereka akan menuntut balas. Damai semacam itu hanya untuk sementara saja.”

Baru sekarang ini Cia Kong Liang mendengar hal seperti itu, maka dia merasa bingung sekali sehingga akhirnya dia bertanya. “Habis, kalau begitu, apakah semua orang jahat itu harus didiamkan saja dan kita kaum pendekar tidak harus menentang mereka? Lalu kalau begitu, dengan apakah kejahatan dapat dihilangkan dari dunia ini, paman?”

Yap Kun Liong tersenyum. “Jangan bertanya kepadaku, aku sendiri juga tidak tahu, Kong Liang. Agaknya hanya penyadaran lewat batin, agaknya hanya cinta kasih saja yang akan dapat melenyapkan kejahatan. Yang jelas, jika menggunakan pedang, melalui darah dan pembunuhan, rasanya tidak mungkin kejahatan akan lenyap dari permukaan bumi ini.”

Kong Liang tidak berani membantah lagi, akan tetapi di dalam hatinya dia merasa tidak setuju sama sekali. “Habis, apakah yang harus kita lakukan pada besok pagi-pagi apa bila mereka itu datang dan hendak membunuh paman serta bibi berdua?” Akhirnya dia pun bertanya dengan suara mengandung kekhawatiran.

“Engkau jangan sembarangan turun tangan, Kong Liang. Biarlah aku seorang menghadapi mereka. Aku ingin mendamaikan urusan ini. Akan kuhadapi dengan kelembutan supaya mereka itu sadar dan tidak melanjutkan dendam permusuhan yang tiada gunanya ini.”

“Hemmm, kaum sesat yang jahat itu mana mau tahu tentang damai? Bagaimana kalau mereka itu berkeras dan hendak membunuh kita? Apakah kita akan diam saja?” Cia Giok Keng bertanya penasaran.

“Tenanglah, biarlah aku menghadapi mereka. Kita lihat saja bagaimana perkembangannya nanti. Aku tidak percaya bahwa mereka tidak akan mau mendengarkan kata-kata yang baik.”

Karena Kun Liong berkeras dengan kehendaknya untuk menghadapi fihak musuh dengan jalan damai, akhirnya isterinya pun tidak mau membantah dan mereka lalu membicarakan hal yang mengenai keadaan fihak kedua keluarga dan bercakap-cakap dengan gembira. Kesehatan Cia Giok Keng agaknya pulih kembali dengan kedatangan keponakannya itu.

Memang sesungguhnyalah, dia merasa girang sekali dengan kedatangan Cia Kong Liang, bukan hanya girang karena memperoleh kunjungan keponakannya yang disayangnya itu, akan tetapi juga diam-diam hatinya lega karena dia maklum bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda yang sakti dan telah mewarisi kepandaian adiknya yang menjadi ketua Cin-ling-pai, maka tentu saja dia dapat mengandalkan bantuan Kong Liang kalau musuh yang datang itu terlalu kuat. Memang dia sangat percaya akan kesaktian suaminya, Yap Kun Liong, akan tetapi suaminya, juga dia sendiri, sudah amat tua dan sudah belasan tahun lebih tidak pernah berkelahi.

Malam itu Yap Kun Liong bisa tidur dengan nyenyak. Pendekar tua ini seolah-olah sudah melupakan ancaman dalam surat itu. Akan tetapi tidak demikian dengan Cia Giok Keng. Nenek ini sukar sekali pulas karena perasaannya selalu membayangkan datangnya para musuh yang tentu amat tangguh itu. Fihak musuh tentu bukanlah orang-orang tolol yang hendak mengantar nyawa. Apa bila mereka sudah berani datang secara itu, yaitu dengan mengirim peringatan dahulu, tentu mereka itu sudah merasa yakin akan kekuatan mereka sendiri.

Nenek ini tidak tahu bahwa keponakannya, Cia Kong Liang, pada malam itu beberapa kali bangun kemudian keluar dari kamar untuk meronda, memeriksa di sekeliling pondok sunyi itu. Kemudian, sesudah lewat tengah malam, Kong Liang tidak tidur lagi melainkan duduk bersila untuk berjaga-jaga.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, puncak Bwee-hoa-san diselimuti kabut. Pondok kecil tempat tinggal suami isteri tua itu juga terbungkus oleh kabut. Hawa amat dingin dan suasana demikian sunyinya. Bahkan burung-burung agaknya malas untuk meninggalkan pohon karena kabut demikian tebalnya. Matahari juga masih jauh tenggelam di balik bukit di sebelah timur, akan tetapi cahayanya telah mulai mengusir kegelapan malam sehingga kabut mulai nampak keputihan bergerak perlahan seperti sekumpulan domba malas yang digiring meninggalkan puncak.

“Kukuruyuuuuukkk…!”

Mendadak keruyuk jago di dalam kandang di belakang pondok itu terdengar nyaring dan merdu. Keruyuk perlama yang bergema di seluruh permukaan puncak. Keruyuk pertama ini segera disambut oleh keruyuk ayam hutan yang pendek-pendek suaranya, akan tetapi yang nyaringnya melebihi suara ayam jago peliharaan penghuni pondok itu.

Dan nun jauh di bawah puncak, terdengar keruyuk ayam yang lain lagi. Mulailah keruyuk ayam bersahut-sahutan, sebagai tanda bahwa sang malam telah mulai mengundurkan diri untuk memberi tempat kepada matahari.

“Kukuru… kokkk!” Keruyuk itu terhenti di tengah-tengah.

Cia Kong Liang membuka mata. Dia masih duduk bersemedhi. Dia tadi dapat mendengar dengan jelas suara keruyuk yang terputus di tengah-tengah, mengerti bahwa hal itu tidak wajar. Ada sesuatu yang membuat ayam jantan itu menghentikan keruyuknya. Sesuatu yang tidak wajar dan mencurigakan sekali.

Tiba-tiba saja terdengar gonggong anjing peliharaan pamannya, anjing kecil berbulu tebal. Akan tetapi, mendadak gonggong itu pun terhenti.

“Kokk…!” tiba-tiba terdengar bunyi lantas suasana menjadi sunyi bukan main. Sunyi yang menyeramkan dan menegangkan, karena terhentinya bunyi keruyuk ayam jago dan anjing itu sungguh tidak wajar dan menjadi tanda bahwa pasti telah terjadi sesuatu yang sangat menyeramkan.

Dengan hati-hati sekali Cia Kong Liang segera turun dari atas pembaringan, menyambar pedang Hong-cu-kiam dan memakai pedang pemberian ayahnya itu sebagai sabuk pada pinggangnya, kemudian memakai sepatunya lantas dengan hati-hati sekali dia membuka daun jendela. Dia tak berani lancang meloncat keluar, melainkan dengan hati-hati dia naik ke ambang jendela, kemudian keluar sambil berjingkat-jingkat menuju ke belakang melalui samping rumah, lalu bersembunyi di balik tiang di samping pondok.

Cuaca masih remang-remang, akan tetapi dia dapat melihat bahwa ada beberapa buah benda hitam berserakan di pelataran belakang. Pada saat dia memandang dengan penuh perhatian, jantungnya berdebar tegang. Tidak salah lagi, benda-benda itu adalah bangkai beberapa ekor ayam dan seekor anjing!

Dia mengepal tinju. Musuh-musuh pamannya sudah datang, dan sesuai dengan isi surat, telah mulai melakukan pembunuhan-pembunuhan. Mula-mula mereka membunuh semua ayam-ayam di dalam kandang, kemudian membunuh anjing yang agaknya bisa mencium kedatangan mereka tadi.

Kong Liang merasa betapa jantungnya berdebar dan hatinya panas bukan main. Sungguh kurang ajar musuh-musuh yang datang ini, pikirnya. Dia sudah ingin meloncat keluar dan menantang musuh-musuh itu ketika tiba-tiba dia melihat berkelebatnya orang dan kiranya pamannya, Yap Kun Liong, telah berada di situ, berdiri di tengah-tengah pekarangan itu dengan tegak.

“Yap Kun Liong telah berada di sini, yang mempunyai urusan dengan aku silakan datang!” terdengar pendekar tua itu berkata dengan suaranya yang halus dan tenang.

“Bagus sekali, orang she Yap sudah siap menerima kematiannya!” terdengar suara wanita yang amat nyaring, kemudian berturut-turut dari tiga penjuru nampak bayangan-bayangan berkelebatan cepat dan tahu-tahu di situ telah muncul empat orang!

Orang pertama yang muncul adalah seorang dara yang usianya masih muda, tidak lebih dari sembilan belas tahun. Pakaiannya terbuat dari sutera yang halus tetapi potongannya ringkas sehingga mencetak tubuhnya yang langsing dan padat. Rambutnya digelung dan terhias dengan hiasan emas permata, di punggungnya tergantung sebatang pedang yang gagang dan sarungnya diukur indah, dihias ronce-ronce warna kuning, kedua lengannya memakai gelang emas.

Seorang dara yang manis sekali dan dia pun sama sekali tak nampak seperti orang jahat karena selain manis dia pun berwajah ramah penuh senyum, sungguh pun pada saat itu dia memandang pada kakek Yap Kun Liong dengan sinar mata mengandung kemarahan dan kebencian.

Sedangkan tiga orang lainnya adalah laki-laki yang berusia kurang lebih lima puluh tahun, ketiganya mengenakan pakaian serba putih seperti orang berkabung dan wajah mereka memperlihatkan bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang biasa hidup menghadapi kesulitan dan kekerasan.

Yang termuda di antara mereka mempunyai tahi lalat besar pada tepi hidungnya, seorang lagi berjenggot panjang sampai ke dada, ada pun yang tertua kehilangan sebelah telinga kirinya. Tiga orang kakek ini pun masing-masing mempunyai sebatang pedang tergantung di punggung mereka.

Kalau dara itu hanya tersenyum sambil memandang tajam, tiga orang kakek itu tertawa girang dan orang tertua yang telinga kirinya lenyap itu berkata, “Setelah Yap Kun Liong muncul, mana wanita bernama Cia Giok Keng itu? Suruh dia keluar sekalian menerima kematian!”

Yap Kun Liong sudah memesan kepada isterinya supaya jangan keluar, akan tetapi dia merasa khawatir melihat sikap orang-orang yang datang ini. Kalau mereka mengeluarkan kata-kata kasar, dia tidak berani menentukan bahwa isterinya akan dapat bersabar untuk tidak keluar. Maka cepat dia lalu menjura kepada mereka.

“Sekarang cu-wi berempat sudah datang,” katanya sambil melirik ke arah bangkai anjing dan beberapa ekor ayam itu, “dan kalau aku tidak salah menduga, agaknya cu-wi yang mengirim surat tiga hari yang lalu. Apakah cu-wi masih ada hubungan dengan Padang Bangkai? Bukankah Padang Bangkai telah menjadi wilayah kediaman Pendekar Lembah Naga?” Dia memancing, karena dia tahu bahwa kini yang mendiami Istana Lembah Naga adalah Cia Sin Liong dan Padang Bangkai merupakan bagian dari Lembah Naga.

“Yap Kun Liong, lupakah engkau kepada Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li? Mereka itu adalah kakek dan nenekku, aku So Cian Ling hari ini datang hendak membalas dendam kematian mereka! Suruh Cia Giok Keng keluar untuk menebus kematian nenekku seperti engkau, yang harus menebus kematian kakekku!” dara itu berkata dengan suaranya yang nyaring.

“Dan kami bertiga adalah murid-murid mereka, kami bertigalah yang mewarisi ilmu-ilmu dari suhu Ang-bin Ciu-kwi dan subo Coa-tok Sian-li. Sayang ketika mereka terbunuh, kami baru berusia sepuluh tahun lebih, akan tetapi kami mewarisi ilmu-ilmu mereka dan setelah belajar selama puluhan tahun, hari ini kami datang untuk membalas dendam!” kata kakek yang telinga kirinya buntung.

Yap Kun Liong mengangguk-angguk. “Memang, tidak perlu kusangkal lagi bahwa Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang ketika itu menjadi penghuni Padang Bangkai telah tewas di tangan kami. Akan tetapi tahukah kalian berempat mengapa mereka itu bertentangan dengan kami kemudian tewas dalam pertempuran? Karena mereka berdua itu membantu pemberontak, yaitu Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko, dua orang iblis yang menjadi guru raja liar Sabutai. Antara mereka dan kami tidak ada urusan pribadi, dan pada waktu itu mereka membantu pemberontak dan kami membantu pemerintah. Nah, dengan demikian, kematian mereka itu adalah kematian yang wajar, bukan karena urusan pribadi. Karena itu, perlukah ada dendam sakit hati? Andai kata kami gugur pada saat mengabdi kepada pemerintah, apakah keluarga kami juga harus mendendam dan sakit hati atas kematian kami? Kami rasa tidak. Nah, terutama sekali engkau, nona! Engkau masih begini muda, perlukah engkau hidup menanggung dendam yang tiada artinya itu? Bukankah sebaiknya kalau nona sadar bahwa kakek dan nenek nona itu tewas karena akibat dari perbuatan mereka sendiri dan bahkan bisa dijadikan contoh agar nona sendiri tak sampai melakukan penyelewengan di dalam hidup?”

“Tua bangka she Yap! Tidak perlu kau membujuk-bujuk!” bentak kakek bertelinga satu.

“Hemm, pengecut kau! Saking takut mati engkau hendak membujuk kami?” bentak kakek berjenggot panjang.

Yap Kun Liong tetap tenang, “Kalian tidak mengerti. Orang setua aku ini sudah tidak takut dengan kematian lagi. Tanpa kalian bunuh pun kematian agaknya sudah dekat denganku dan sewaktu-waktu akan datang menjemputku dan aku sudah siap untuk itu. Aku hanya tidak ingin nona muda ini melakukan hal yang akan membuat dia menyesal kelak. Nona So, sekali lagi kuharap engkau suka merenungkan hal ini.”

So Cian Ling, dara muda itu, mengerutkan alisnya dan dia pun meragu. Sesungguhnya dia hanyalah cucu angkat saja dari Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li. Mereka, majikan Padang Bangkai itu, tidak mempunyai anak, hanya pernah memungut anak perempuan yang ketika terjadi keributan yang mengakibatkan mereka tewas itu bisa menyelamatkan diri. Dan akhirnya anak perempuan ini lalu menikah dengan salah seorang anak buah dari See-thian-ong, yaitu yang kini menjadi datuk nomor satu di wilayah barat.

Anak perempuan itu adalah ibu dari So Cian Ling! Dari ibunyalah dia tahu bahwa ibunya itu, anak angkat dari Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang ditewaskan oleh pendekar-pendekar sakti Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Tentu saja hal itu sama sekali tidak menimbulkan kesan dalam hatinya. Akan tetapi ibunya sering kali mengingatkannya akan hal itu.

Kebetulan sekali ayahnya adalah seorang anak buah dari See-thian-ong. Lalu pada suatu hari, See-thian-ong melihat dia dan memuji bakatnya, bahkan dia lantas diangkat menjadi murid oleh datuk yang sakti itu sampai dia memperoleh ilmu silat yang tinggi! Akan tetapi, walau pun demikian, dia tidak pernah mempunyai pikiran untuk mencari pembunuh kakek dan nenek angkatnya itu.

Kemudian, muncullah tiga orang kakek itu. Mereka ini adalah pewaris dari kitab-kitab yang berisikan ilmu-ilmu kepandaian dari mendiang Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang berhasil dilarikan oleh seorang anak buah Padang Bangkai ketika terjadi keributan. Dan mereka bertiga inilah yang diam-diam merasa sakit hati dan mendendam.

Setelah mempelajari semua ilmu itu, mereka kemudian terkenal dengan julukan See-ouw Sam-ciu-ong (Tiga Raja Arak dari Telaga Barat). Namun pada suatu hari mereka bentrok dengan See-thian-ong dan akhirnya mereka bertiga ditundukkan hingga menakluk!

Di sinilah mereka bertemu dengan ibu So Cian Ling. Dan oleh bujukan-bujukan See-ouw Sam-ciu-ong itulah akhirnya So Cian Ling, dibujuk pula oleh ibunya, pergi dan membantu ketiga orang kakek itu untuk menuntut balas kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng yang tempat tinggalnya sudah diketemukan oleh tiga orang kakek itu. Demikianlah sedikit keadaan So Cian Ling, dara murid See-thian-ong yang amat lihai itu.

“Nona So, apa bila nona memang masih berkeras dan merasa bahwa nona benar untuk menuntut balas, nah, silakan. Aku orang tua Yap Kun Liong tidak takut mati dan dari pada dalam usia setua ini harus menanam permusuhan lagi, biarlah nona membunuhku. Aku tidak akan melakukan perlawanan.”

Mendengar kata-kata ini, dan melihat sikap kakek yang berdiri tegak dengan agung itu, hati So Cian Ling sudah menjadi gentar dan tunduk. Tak mungkin dia dapat turun tangan membunuh seorang kakek yang sikapnya begini agung dan gagah perkasa.

Dia sudah tunduk dan merasa kagum, bahkan mulai merasa malu atas sikapnya dan juga atas perbuatan tiga orang kakek itu membunuhi anjing dan ayam-ayam itu. So Cian Ling ragu-ragu dan bengong, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau bahkan dikatakan.

Akan tetapi, kakek ke tiga yang bertahi lalat di dekat hidungnya, agaknya sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. “Tua bangka pengecut!” teriaknya dan dia sudah menerjang ke depan dan memukulkan tangan kanannya yang terkepal ke dada Yap Kun Liong.

Tentu saja, sebagai seorang pendekar yang sudah memiliki tingkat kepandaian ilmu silat yang amat tinggi, secara otomatis tenaga sinkang dari pusar telah menjalar ke arah dada yang akan terpukul. Kakek ini amat lihai, bahkan dialah pewaris pertama dari ilmu mukjijat Thi-khi I-beng dari pendiri Cin-ling-pai sehingga jika dia menghendaki, tentu saja dengan mudahnya dia dapat menangkis, mengelak atau juga menerima pukulan itu tanpa melukai dirinya.

Akan tetapi, kakek ini sudah mengambil keputusan untuk menghindarkan kekerasan dan menghadapi kekerasan lawan dengan kelembutan dan usaha damai, maka dia pun cepat menarik kembali tenaganya dan menerima pukulan itu dengan begitu saja, tanpa disertai tenaga sinkang yang melindungi tubuhnya.

“Bukkk!”

Pukulan itu keras sekali dan karena tubuh tua itu tidak terlindung sinkang, maka tubuh Yap Kun Liong terlempar sampai tiga meter jauhnya lalu terbanting ke atas tanah sampai bergulingan!

Semenjak tadi Cia Kong Liang sudah merasa marah bukan kepalang dan hanya karena hormatnya kepada kakek yang menjadi kakak ibunya itu maka dia bertahan diri dan hanya mengintai saja dengan muka berubah merah mendengar betapa kakek itu dihina orang. Akan tetapi ketika dia melihat paman tuanya itu dipukul sampai tunggang langgang dan dia tahu bahwa pamannya itu sama sekali tidak mau mengerahkan tenaga, dia terkejut bukan main. Pukulan itu bisa mematikan!

Akan tetapi pada saat itu, dua orang kakek, yaitu yang bertahi lalat dan yang berjenggot panjang, kakek ke tiga dan ke dua, sudah berloncatan untuk menyerang Yap Kun Liong yang belum bangkit duduk. Pada saat itu pula nampak berkelebat bayangan dua orang yang tahu-tahu sudah tiba di depan Yap Kun Liong dan dua orang pemuda itu langsung menangkis pukulan dua orang kakek itu.

“Plakk! Plakk!”

Kedua orang kakek itu terkejut ketika merasakan betapa kuatnya lengan yang menangkis serangan mereka terhadap Yap Kun Liong sehingga mereka itu cepat-cepat meloncat ke belakang sambil memandang dengan penuh selidik. Kiranya yang muncul dengan cepat dan tak terduga-duga itu adalah dua orang pemuda yang usianya belum ada dua puluh tahun, yang seorang bertubuh tegap berwajah gagah dengan sepasang mata yang penuh wibawa, sedangkan pemuda yang kedua amat tampan dan juga bersikap gagah.

“Hemm, tidakkah kalian malu, memukul orang tua yang sama sekali tidak mau melawan?” Thian Sin, pemuda yang tampan itu, menudingkan jari telunjuknya ke arah muka kakek bertahi lalat di dekat hidung.

Mereka itu adalah Han Tiong dan Thian Sin. Biar pun mereka itu berangkat belakangan, namun karena mereka berdua melakukan perjalanan cepat, maka pada pagi itu mereka telah dapat menyusul dan tiba di puncak Bwe-hoa-san. Kebetulan sekali mereka sempat melihat munculnya empat orang musuh yang datang untuk membunuh kakek dan nenek itu!

Begitu melihat Yap Kun Liong dipukul, Han Tiong yang sudah pernah berjumpa dengan mereka dan mengenal mereka, cepat meloncat disusul adiknya yang telah dibisiki bahwa kakek itu adalah kakek tirinya, atau ayah tiri ibunya, kemudian mereka cepat menangkis serangan ke dua itu.

Sementara itu, dengan terheran-heran Kong Liang juga meloncat keluar, bersama dengan Cia Giok Keng yang juga telah meloncat keluar. Melihat munculnya mereka itu, dua orang kakek yang tadi ditangkis oleh Han Tiong dan Thian Sin, menjadi marah dan kini mereka sudah mencabut pedang masing-masing kemudian menyerang dua orang pemuda yang melindungi kakek yang hendak mereka bunuh itu.

“Bagus, kalian berdua ingin menjadi pembuka jalan ke akhirat bagi kakek dan nenek itu? Mampuslah!” bentak kakek berjenggot panjang sambil menyerang Han Tiong.

Pemuda ini cepat mengelak dan segera balas menyerang. Juga kakek bertahi lalat telah menusukkan pedangnya ke arah leher Thian Sin yang cepat mengelak.

“Manusia-manusia berwatak iblis!” Thian Sin berteriak marah sekali kemudian membalas dengan dahsyat, memukul dengan Thian-te Sin-ciang.

Pada mulanya, Yap Kun Liong yang sudah bangkit berdiri tanpa terluka, hanya merasa dadanya agak nyeri, juga isterinya dan Kong Liang, sangat terkejut dan terheran melihat munculnya dua orang pemuda itu. Kemudian mereka merasa khawatir sekali saat melihat betapa dua orang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu mencabut pedang dan menyerang dua orang pemuda itu. Dan akhirnya mereka terheran-heran sesudah melihat betapa pemuda-pemuda itu dapat mengelak dengan lincahnya dan ketika mereka sudah mengenali pukulan Thian-te Sin-ciang!

Ketika Yap Kun Liong melihat gerakan Han Tiong serta Thian Sin yang berdasarkan ilmu silat Thai-kek Sin-kun, wajahnya berseri-seri karena dia mulai mengenal Han Tiong. “Ehh, bukankah dia itu Han Tiong?” teriaknya sambil menuding ke arah Han Tiong yang masih diserang bertubi-tubi oleh lawannya.

“Benar! Dia itu Han Tiong putera Sin Liong!” kata Cia Giok Keng girang.

Kong Liang juga teringat dan mengenal Han Tiong, maka dia pun menjadi girang sekali melihat bahwa salah seorang di antara dua pemuda itu adalah keponakannya sendiri.

Kini mereka bertiga menduga-duga siapa adanya pemuda tampan yang datang bersama Han Tiong. Melihat sepak terjangnya, ternyata dia lebih ganas, amat jauh bedanya dengan gerakan Han Tiong yang tenang sehingga Yap Kun Liong mengerutkan alisnya.

Pemuda itu memiliki pukulan-pukulan yang amat ganas, pikirnya. Akan tetapi jelas bahwa semua gerakannya menunjukkan bahwa dia adalah murid Cin-ling-pai yang sudah pandai sekali, yaitu mempunyai ilmu-ilmu yang amat dikenalnya. Demikian pula dengan Cia Giok Keng dan Cia Kong Liang yang menduga bahwa tentu pemuda itu setidaknya merupakan adik-adik seperguruan dari Han Tiong.

Kini mereka hanya menonton dan tidak merasa khawatir lagi karena meski pun bertangan kosong, ternyata kedua orang pemuda itu mampu menghadapi dua orang lawannya yang berpedang. Hanya Kong Liang yang masih mengerutkan alisnya dengan penuh khawatir. Keponakannya itu masih muda dan lawan itu bukan lawan yang ringan. Ingin dia maju membantu, akan tetapi dia tahu bahwa pamannya tidak akan menyukai itu, dan pula dia sendiri pun pantang untuk melakukan pengeroyokan.

“Han Tiong, kau mundurlah dan biarkan pamanmu menghadapi iblis itu!” teriaknya.

“Biarlah, Paman Kong Liang, saya masih sanggup menandinginya!” jawab Han Tiong.

Dan mendengar itu, tahulah Thian Sin bahwa pemuda gagah perkasa itu adalah Cia Kong Liang, putera ketua Cin-ling-pai. Diam-diam dia merasa tidak senang. Paman yang muda dan sebaya itu sombong, terlalu memandang rendah terhadap Han Tiong. Maka dia pun lalu mengubah gerakannya dan tidak memberi kesempatan lagi kepada lawannya untuk mendesaknya dengan pedang. Dia bergerak lebih cepat dari pada gerakan pedang lawan.

Kakek bertahi lalat di dekat hidung itu terkejut bukan main dan dia pun menjadi bingung karena tubuh lawannya yang muda itu seolah-olah telah berubah menjadi beberapa orang banyaknya, saking cepatnya pemuda itu bergerak. Tidak disangkanya sama sekali bahwa dia akan berhadapan dengan seorang pemuda selihai ini.

Dan sebelum dia sempat memperkuat segi pertahanan, tiba-tiba sebuah tamparan yang amat keras mengenai pergelangan tangannya. Padahal pedangnya tadi telah menyambar dengan ganas tetapi ternyata pemuda itu menerima pedang itu dengan tangan telanjang, menangkis pedang kemudian melanjutkan dengan tamparan yang mengenai pergelangan tangannya.

“Plakkk!”

Pedang itu terlepas dan terlempar sedangkan kakek itu berteriak kesakitan dan terhuyung ke belakang. Thian Sin meloncat dan mengirim pukulan maut dengan Thian-te Sin-ciang, akan tetapi tiba-tiba Han Tiong meloncat dan menangkis pukulannya.

“Sin-te, jangan membunuh orang!” Kakak ini membentak dan pukulan Thian Sin pun cepat ditarik kembali.

Pada waktu Han Tiong mencegah adiknya ini, kakek berjenggot panjang melihat adanya kesempatan baik lantas menusukkan pedangnya ke arah dada Han Tiong pada saat Han Tiong menangkis pukulan maut adiknya itu. Semua orang terkejut melihat ini, dan hampir saja Kong Liang bergerak meloncat, akan tetapi dengan gerakan indah sekali Han Tiong melempar diri ke bawah dan kakinya menyambar.

“Desss…!”

Tendangan itu tepat mengenai tangan yang memegang pedang sehingga pedang itu pun terlepas! Akan tetapi kakek berjenggot itu masih penasaran dan dia pun menubruk tubuh Han Tiong yang masih rebah di atas tanah sehabis menendangnya tadi.

“Plakkk!”

Tubuh kakek berjenggot panjang itu terpelanting dan kiranya dia telah kena ditampar oleh Thian Sin yang sudah marah sekali. Hanya karena dia teringat akan larangan kakaknya, maka tamparan itu pun ditujukan kepada pundak kiri kakek itu.

Kakek itu segera bangkit sambil meringis karena tulang pundaknya yang kena tamparan itu patah-patah, seperti juga kakek yang tadi terpukul pergelangan tangannya itu pun kini memegangi pergelangan tangannya yang patah tulangnya. Tentu saja kakek bertahi lalat dan kakek berjenggot panjang itu tidak mungkin mampu bertempur kembali setelah tulang pergelangan tangan dan tulang pundaknya patah.

Kini kakek pertama yang kehilangan telinga kirinya itu maju. Wajahnya agak pucat karena dia amat terkejut menyaksikan kekalahan dua orang sute-nya. Berbeda dengan dua orang kakek pertama tadi, kakek yang buntung telinga kirinya ini bersikap hati-hati sekali.

“Ah, kiranya di sini berkumpul orang-orang muda yang lihai,” katanya untuk menutupi rasa kaget dan kecewanya. “Baiklah, dua orang dari kami telah kalah, akan tetapi bukan berarti bahwa kami semua telah menyerah. Masih ada kami berdua yang belum maju. Nah, kini siapakah yang akan menghadapi aku?” katanya sambil mencabut pedangnya.

Dari cara dia mencabut pedang dan dari bunyi pedangnya yang berdesing nyaring sekali ketika dicabut, jelaslah bahwa tingkat kepandaian kakek yang buntung telinga kirinya ini lebih tinggi dibandingkan dengan kedua orang kakek tadi. Melihat ini, Kong Liang menjadi khawatir akan keselamatan keponakannya, maka dia langsung meloncat ke depan lantas memegang lengan Han Tiong.

“Han Tiong, kau mundurlah. Kakek ini lawanku!”

“Paman,” kata Han Tiong yang memberi isyarat kepada Thian Sin untuk mundur pula.

Karena keadaan, maka Han Tiong belum sempat banyak bicara dengan kakek dan nenek itu, hanya memberi hormat sambil berlutut yang segera diturut pula oleh Thian Sin yang juga belum sempat memperkenalkan diri. Yap Kun Liong memberi isyarat dengan tangan, menyuruh mereka agar berdiri dan sekarang mereka semua menonton Kong Liang yang menghadapi kakek telinga buntung.

Kakek itu sudah menyilangkan pedangnya di depan dada sambil berkata. “Orang muda, aku telah siap, engkau mulailah!”

Sebetulnya, dengan segala ilmu kepandaian yang telah diwarisinya dari ayah dan ibunya, meski dia menghadapi lawan berpedang ini dengan tangan kosong sekali pun belum tentu Kong Liang akan kalah. Akan tetapi pemuda ini tidak mau membuang waktu, maka dia pun sudah mencabut pedang yang melingkar di pinggangnya sehingga nampaklah sinar keemasan berkelebat ketika Hong-cu-kiam telah berada di tangannya.

Pedang tipis ini mengeluarkan sinar berkilauan dan melihat ini agak gentar jugalah kakek yang buntung telinganya itu. Dan tanpa banyak cakap lagi, Kong Liang sudah menyerang dengan pedangnya dan begitu menggerakkan pedang, dia sudah memainkan Siang-bhok Kiam-sut yang hebat!

Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Pedang Kayu Harum) merupakan ilmu pedang pusaka dari Cin-ling-pai, yaitu merupakan ilmu pedang asli dari pendiri Cin-ling-pai, pendekar sakti Cia Keng Hong dan tentu saja hanya keturunan pendekar itu saja yang mewarisi ilmu pedang ini. Cia Bun Houw mewarisinya dari Cia Keng Hong dan kini ilmu pedang itu diwariskan pula kepada Cia Kong Liang.

Oleh karena itu, begitu pemuda ini memainkan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut dengan menggunakan sebatang pedang pusaka seperti Hong-cu-kiam yang amat tipis dan ringan sehingga sesuai sekali apa bila dipakai untuk mainkan Siang-bhok Kiam-sut, maka kakek yang buntung telinganya itu menjadi terkejut dan bingung sekali.

Memang Cia Kong Liang memiliki gerakan yang sangat tangkas dan kuat, dia pun tidak mau memberi hati kepada lawannya, maka begitu mereka bergebrak, dia sudah langsung mendesak sangat dahsyatnya, sedikit pun tidak memberi kelonggaran sehingga dari jurus pertama, kakek yang buntung telinganya itu sama sekali tidak mampu balas menyerang, melainkan hanya menangkis, mengelak sambil main mundur terus.

Han Tiong dan Thian Sin memandang kagum. Mereka juga banyak mempelajari ilmu silat, akan tetapi mereka tidak mengenal Siang-bhok Kiam-sut, maka kini mereka memandang dengan kagum karena memang gerakan ilmu pedang ini selain sangat indah juga aneh. Dan memang hal ini disengaja oleh Kong Liang yang tahu dengan pasti bahwa Pendekar Lembah Naga, yaitu kakak tirinya, walau pun terkenal amat lihai, tidak pernah menerima pelajaran Siang-bhok Kiam-sut, dan oleh karena itu kedua pemuda itu pun sudah pasti tak akan mengenal Siang-bhok Kiam-sut! Kalau dia memainkan ilmu lain, besar kemungkinan dua orang pemuda itu akan mengenalnya dan hal itu tentu tidak menimbulkan kesan.

Memang, sungguh pun dia sendiri mencoba untuk menutupinya, namun pada diri pemuda Cin-ling-pai ini terdapat suatu watak yang ingin dipuji dan dikagumi. Mungkin hal ini timbul karena dia merasa dimanjakan oleh kedua orang tuanya yang selain hanya mempunyai putera dia seorang, juga sudah berusia agak lanjut pada waktu memperoleh dia sebagai keturunan tunggal.

Dan memang ilmu pedang itu luar biasa sekali, apa lagi dimainkan dengan baiknya oleh Kong Liang. Biar pun kakek bertelinga buntung satu itu berusaha mati-matian, namun dia sama sekali tak mampu membalas dan sampai hampir tiga puluh jurus dia selalu diserang dan didesak hebat. Tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangan kirinya dan sinar kehijauan yang halus meluncur dari tangan kiri ke arah tubuh Kong Liang.

Thian Sin dan Han Tiong merasa terkejut bukan main karena mereka maklum apa artinya sinar-sinar lembut itu. Itu adalah jarum-jarum yang sangat halus sebagai senjata rahasia kakek itu. Jarum-jarum ini amat berbahaya, disebut Coa-tok-ciang (Jarum Racun Ular) dan kalau jarum ini sampai mengenai kulit lawan, maka racun yang berada di ujung jarum itu dapat terbawa darah dan akibatnya seperti orang digigit ular berbisa saja. Bahkan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng juga terkejut dan khawatir.

Akan tetapi Cia Kong Liang benar-benar tak mengecewakan menjadi putera Cin-ling-pai. Begitu melihat menyambarnya sinar hijau, dia sudah memutar pedangnya dan meloncat ke belakang, kemudian berjungkir balik ke atas dan meluncur turun setelah semua jarum itu dapat ditangkis pedangnya hingga lewat di bawah kakinya. Begitu tubuhnya meluncur, pedangnya sudah menyambar dengan kecepatan kilat ke arah ubun-ubun, kedua pundak, dada dan pusar lawan, begitu cepatnya bertubi-tubi sehingga seolah-olah yang menyerang itu bukan sebatang pedang, melainkan lima batang!

“Ihhh…!” Kakek itu terkejut dan mengelak mundur sambil menangkis.

Terdengar bunyi berdencingan ketika dua pedang itu bertemu dengan keras berkali-kali, akan tetapi tiba-tiba kakek itu berteriak kaget dan terjengkang! Sebatang jarum, jarumnya sendiri, telah menancap di dadanya sebelah kiri, menembus bajunya kemudian menancap sampai setengahnya lebih. Itulah sebatang jarum yang tadi dapat ditangkap oleh tangan kiri Kong Liang tanpa dapat dilihat oleh lawan dan kini jarum itu telah makan tuannya!

Kong Liang menerjang terus, hendak mengirim tusukan maut, akan tetapi Yap Kun Liong berseru keras, “Kong Liang, jangan…!”

Akan tetapi pedang telah digerakkan, tidak mungkin dapat ditarik kembali dan pemuda itu hanya dapat memiringkan tangannya saja sehingga pedang yang tadi menusuk dada, kini menyeleweng dan hanya mengenai pangkal lengan. Namun luka yang didatangkan oleh tusukan itu cukup lebar dan dalam, membuat kakek itu mengaduh dan meloncat mundur. Pangkal lengan kanannya terluka, juga dadanya yang sebelah kiri terkena jarum beracun sehingga perlu harus cepat-cepat diobatinya, maka tentu saja dia tidak dapat melanjutkan pertandingan dan melangkah mundur dengan muka pucat.

“Hemm, sungguh sayang para paman ini telah gagal. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, kuharap kalian suka maju sendiri agar perhitungan antara kita dapat dilunaskan sekarang juga. Kalian berdua mati di tanganku atau aku yang akan tewas di tangan kalian seperti kakek dan nenekku,” kata dara manis itu.

Tidak nampak dia menggerakkan kakinya, akan tetapi tahu-tahu tubuhnya telah melayang ke tengah taman itu. Hal ini saja sudah menunjukkan betapa lihainya dara ini dan melihat betapa pada waktu tubuhnya melayang tadi kedua tangannya digerakkan seperti burung, menunjukkan bahwa dia merupakan seorang yang ahli dalam ilmu ginkang yang disebut Hui-heng-sut (Ilmu Lari Terbang) dan orang yang memiliki ilmu ini amat berbahaya karena gerakannya amat ringan seperti seekor burung saja.

Kini dara itu berdiri tegak menghadap ke arah kakek dan nenek itu, sikapnya tenang dan tabah, kelihatan gagah sekali sehingga diam-diam Thian Sin merasa kagum bukan main. Hebat dara ini, pikirnya dengan jantung berdebar karena dia merasa tertarik sekali. Tanpa disadari dia sudah melangkah maju dan berkata,

“Biarlah aku menghadapi nona ini!”

“Sin-te, jangan lancang!” Han Tiong mencela adiknya.

“Kalian mundurlah,” kata Kong Liang yang masih terus memegang pedang Hong-cu-kiam di tangannya, sambil melangkah maju. “Nona ini agaknya mempunyai kepandaian, biarlah aku yang mewakili paman dan bibi memberi hajaran kepadanya!”

Dara itu tadi sudah menatap wajah Thian Sin dan sejenak keduanya saling pandang, dan keduanya merasa tertarik. Dara itu mendapat kenyataan betapa tampan dan gagahnya pemuda yang pertama kali maju ini dan harus diakuinya bahwa belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda yang begini menarik hatinya.

Akan tetapi, majunya Kong Liang dan teguran kakaknya itu membuat Thian Sin mundur kembali sungguh pun dia masih terus memandang wajah dara yang sangat manis dan menarik hatinya itu. Dan dara itu pun terpaksa kini memandang Kong Liang yang tadi telah merobohkan kakek telinga buntung. Tahulah dara ini bahwa dia berhadapan dengan lawan yang tangguh, akan tetapi sedikit pun dia tidak gentar.

“Pertandingan ini adalah untuk mengadu nyawa, oleh karena itu aku tak ingin membunuh atau pun terbunuh oleh orang yang tidak kuketahui siapa. Kalau aku tidak salah, engkau adalah orang dari Cin-ling-pai, bukan?” Dara itu bertanya. “Aku sudah memperkenalkan diriku. Aku bernama So Cian Ling, murid dari See-thian-ong. Akan tetapi aku datang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan guruku, melainkan mewakili arwah nenek dan kakekku untuk membalas dendam kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.”

Sikap dara itu sungguh tenang dan juga gagah, tidak seperti orang dari golongan jahat dan kasar. Apa lagi ketika dia mengaku bahwa dia adalah murid See-thian-ong, Yap Kun Liong dan isterinya, juga para pemuda itu terkejut sekali.

Mereka sudah mendengar akan nama See-thian-ong yang dianggap sebagai datuk dunia bagian barat, yang setingkat dengan Pak-san-kui dari utara, atau dengan Tung-hai-sian dari timur dan Lam-sin dari selatan! Ternyata dara ini adalah murid datuk barat, maka dapat diduga bahwa dia tentu lihai sekali, jauh lebih lihai dari pada tiga orang kakek yang telah kalah tadi.

Diam-diam Cia Kong Liang juga terkejut sekali, bukan hanya karena ternyata bahwa dara ini adalah murid See-thian-ong yang terkenal, akan tetapi juga betapa dara ini telah dapat menduga bahwa dia datang dari Cin-ling-pai hanya dengan melihat gerakan-gerakannya tadi. Maka dia pun menjawab cepat,

“Memang benar, aku adalah putera ketua Cin-ling-pai dan keponakanku di sana itu adalah putera Pendekar Lembah Naga. Nah, kami semua sudah berada di sini untuk melindungi paman dan bibiku yang sudah tua. Engkau sungguh sudah bosan hidup karena berani menentang paman dan bibiku.”

Dara itu juga terkejut, bukan hanya mendengar bahwa pemuda di hadapannya ini adalah putera ketua Cin-ling-pai, akan tetapi juga mendengar bahwa pemuda-pemuda yang lain itu datang dari Lembah Naga, bahkan seorang di antara mereka adalah putera Pendekar Lembah Naga. Tahulah dia bahwa dia benar-benar sial, akan tetapi karena telah terlanjur, maka dia tidak akan undur lagi.

“Siapa pun yang melindungi mereka, aku tidak peduli. Kematian kakek dan nenekku harus ditebus! Nah, majulah!” tantangnya dan sekali tangannya bergerak ke belakang dia telah mencabut pedangnya dan nampak sinar putih seperti perak. Ternyata pedangnya itu pun merupakan sebatang pedang pusaka yang indah dan juga ampuh.

“Bagus, bersiaplah engkau!” bentak Kong Liang dan sekali bergerak dia sudah mengirim serangan bertubi-tubi sampai lima kali beruntun!

Akan tetapi, dengan tangkas sekali nona itu menangkis sampai lima kali kemudian balas menyerang, dan sekali serang juga telah mengirim tusukan dan bacokan sampai lima kali berturut-turut yang semuanya telah dapat dielakkan dan ditangkis oleh Kong Liang. Ketika pemuda ini menangkis untuk ke lima kalinya, dia sengaja mengerahkan tenaganya.

“Tranggg…!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata dan keduanya merasa betapa lengan tangan mereka tergetar hebat. Cepat mereka memeriksa pedang masing-masing, akan tetapi dengan hati lega mereka mendapat kenyataan bahwa pedang mereka tidak rusak.

Pada saat itu, Yap Kun Liong sudah meloncat datang dan menengahi. “Kong Liang, kau mundurlah dan biarkan aku sendiri menyelesaikan urusan pribadiku ini.”

Mendengar ucapan pamannya ini, tentu saja Kong Liang cepat mundur dan menyimpan kembali pedangnya, memakainya sebagai ikat pinggang.

“Nona So, sungguh sedih sekali hatiku melihat bahwa urusan ini berlarut-larut. Aku tidak ingin membuat keluargaku terikat dengan urusan permusuhan yang tidak ada artinya ini. Nah, kalau memang benar-benar engkau mendendam atas kematian Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, kau bunuhlah aku, dan aku tidak akan melawan sama sekali. Aku tidak pernah menyesal bahwa dahulu aku menentang mereka, karena sesungguhnyalah bahwa mereka berdua adalah suami isteri yang amat jahat dan menyeleweng dalam kehidupan mereka! Aku melihat nona bukanlah orang seperti mereka itu, akan tetapi nona berkeras hendak membalas dendam kematian mereka. Nah, sekarang aku menyerahkan nyawaku kepadamu agar dendam ini dapat dihabiskan sampai di sini saja.”

Melihat kakek yang penuh wibawa itu memasang dada dan siap menerima kematian, dara itu melangkah mundur dan mukanya berubah agak pucat. Dia memandang ragu-ragu dan melihat keadaan suami isteri tua yang gagah perkasa, apa lagi tiga orang pemuda yang jelas merupakan pendekar-pendekar perkasa dan sangat mengagumkan itu, dia sudah mulai dapat melihat bahwa agaknya tidak salah lagi bahwa permusuhan antara kakek dan nenek angkatnya bersama suami isteri pendekar ini tentu terjadi karena kesalahan kakek dan nenek angkatnya. Apa lagi setelah tadi mendengar penuturan Yap Kun Liong bahwa kematian itu terjadi di dalam perang. Akhirnya dia membalikkan tubuhnya lantas berkata kepada tiga orang kakek yang sudah terluka tadi.

“Sudahlah, mari kita pergi dari sini!”

“Tetapi… tetapi… dendam kita…,” kakek yang buntung telinga kirinya membantah.

“Sudah, tidak ada urusan dendam lagi bagiku. Aku tidak mau mendengar bujukan kalian lagi!” kata So Cian Ling dan dia pun lalu menengok, memandang kepada Thian Sin lalu bibirnya membentuk senyum yang mewakili hatinya, dan sekali meloncat dia lenyap dari situ. Tiga orang kakek itu tentu saja sudah kehilangan nyalinya melihat dara itu tidak mau membantu mereka, dan tanpa pamit mereka itu pun berlari pergi.

Baru sekarang, setelah semua pengacau itu pergi, kakek dan nenek itu merasa gembira sekali. Yap Kun Liong lalu memandang Han Tiong dan berkata, “Bocah nakal, mengapa kau datang tanpa memberi tahu? Mengagetkan saja! Dan kau sudah begini besar, dan gagah perkasa seperti ayahmu. Hebat sekali gerakan-gerakanmu tadi.”

“Ah, saya masih banyak mengharapkan petunjuk dari locianpwe,” kata Han Tiong dengan sikap merendah, kemudian memandang pada Kong Liang sambil berkata, “Paman Kong Liang, ilmu pedangmu tadi sungguh membuat aku kagum bukan main!”

Kong Liang tersenyum, diam-diam merasa bangga. Akan tetapi dia memandang kepada Thian Sin dan bertanya kepada Han Tiong. “Siapakah temanmu ini, Han Tiong?”

“Ya, siapakah dia ini?” Cia Giok Keng menyambung dan sejak tadi dia menatap wajah pemuda yang tampan itu.

Ditanya begini, sebelum Han Tiong menjawab, Thian Sin sudah menjatuhkan diri di depan Cia Giok Keng sambil berkata. “Nenek, cucumu yang bodoh mohon ampun bahwa baru sekarang dapat datang menghadap.”

Tentu saja Cia Giok Keng menjadi kaget dan bingung, akan tetapi pada saat itu pula Han Tiong sudah berkata dengan hati terharu, “Dia ini adalah Ceng Thian Sin yang menjadi adik angkat saya dan menjadi murid ayah, dia adalah putera dari Paman Ceng Han Houw dan Bibi Lie Ciauw Si.”

“Ehh…?” Cia Giok Keng menjerit dan mengangkat bangkit pemuda itu, menatap wajahnya dan kemudian merangkulnya. “Cucuku…! Ahhh, cucuku, tidak kusangka bahwa aku akan dapat berjumpa dengan anak Ciauw Si…” Suaranya mengandung isak tangis. “Cucuku, di manakah mereka? Mengapa ibumu tidak ikut datang bersamamu menengokku…?”

Ditanya tentang ibunya, tentu saja jantung Thian Sin terasa seperti ditusuk. Dia langsung menunduk, menahan air matanya agar tidak keluar dari matanya yang terasa panas itu, kemudian dapat juga dia berkata lirih. “Maafkan nek… mereka… ayah dan ibu kini telah tiada…”

Sepasang mata tua itu terbelalak dan muka yang memang sudah agak pucat itu menjadi semakin pucat. “Apa…? Bagaimana…?”

Dan nenek itu tentu sudah roboh kalau tidak dipeluk cucunya. Yap Kun Liong cepat-cepat menghampiri kemudian memondong tubuh isterinya yang pingsan, lalu berkata kepada tiga orang muda itu.

“Mari kita bicara di dalam…”

Keadaan menjadi menyedihkan pada waktu tiga orang pemuda itu mengikuti kakek yang memondong tubuh nenek yang pingsan itu memasuki pondok. Sesudah merebahkan Cia Giok Keng di atas dipan lantas mengurut beberapa jalan darahnya, akhirnya nenek itu mengeluh dan membuka matanya. Akan tetapi begitu melihat Thian Sin duduk di dekat situ, dia pun segera menangis dan teringat lagi.

“Ah, Ciauw Si… Ciauw Si anakku… mengapa engkau yang masih muda telah mati lebih dulu? Betapa buruk nasibmu, anakku…”

Thian Sin menggigit bibirnya berusaha menahan supaya jangan ikut menangis mendengar neneknya itu menangis sambil meratap. Yap Kun Liong menghibur isterinya.

“Sudahlah, kematian akan datang kepada siapa pun juga, muda mau pun tua. Menyedihi si mati hanya melemahkan batin dan badan saja, dan tidak ada manfaatnya. Lebih baik kita mendengarkan Thian Sin menceritakan kematian ayah bundanya.”

Cia Giok Keng menyusut air matanya lalu memandang kepada cucunya, menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang amat tertekan, “Cucuku, ceritakan bagaimana ibumu sampai tewas…”

Dengan lirih dan hati-hati Thian Sin lalu bercerita mengenai pengeroyokan pasukan, baik pasukan dari Kerajaan Beng mau pun pasukan dari Raja Agahai di utara yang membantu, dan betapa dia sendiri oleh ibu dan ayahnya diungsikan sebelum malapetaka itu datang, mengungsi ke kuil pamannya, yaitu Hong San Hwesio Lie Seng, kemudian bersama Han Tiong belajar di bawah asuhan pamannya itu, sehingga akhirnya dia turut bersama kakak angkatnya itu dan mempelajari ilmu silat di Lembah Naga.

Mendengar penuturan itu, Yap Kun Liong lalu berkata, “Hemm, segala macam perbuatan manusia tak ada bedanya dengan menanam benih yang tentu akan menumbuhkan pohon yang berkembang dan berbuah. Bunga dan buahnya tak akan lepas dari pada sifat benih yang ditanam itu sendiri. Oleh karena itu, segala akibat takkan lepas dari pada sebabnya dan kita tak perlu menyesal. Ciauw Si terbawa oleh akibat dari pada perbuatan suaminya, maka hal itu pun tidak perlu disesalkan.”

“Akan tetapi, anakku adalah seorang wanita gagah. Tidak semestinya terbunuh demikian menyedihkan. Kematiannya tak mungkin dapat didiamkan saja! Para pembunuhnya tidak dapat membedakan siapa salah siapa benar, dan para pembunuhnya itu harus dibalas!”

Yap Kun Liong memegang lengan isterinya. “Tenang dan sabarlah. Apakah engkau akan mengulang apa yang sudah dilakukan oleh cucu dari para penghuni Padang Bangkai tadi, yaitu hidup diracuni dendam?”

“Ahh, tapi mereka itu lain lagi! Kakek dan nenek mereka adalah orang-orang jahat yang memang sepatutnya dibunuh! Akan tetapi Ciauw Si anakku! Apa salahnya? Salahnya dia hanya jatuh cinta kepada seorang yang…”

“Sudahlah, perlu apa menggali hal-hal yang sudah lalu? Mereka sudah tiada, akan tetapi mereka meninggalkan seorang putera dan dia telah menjadi seorang pemuda yang begini gagah,” kata Yap Kun Liong yang cepat mencegah isterinya melanjutkan kata-katanya mencela mendiang Ceng Han Houw di depan puteranya sendiri.

“Cucuku…!” Cia Giok Keng lalu merangkul Thian Sin dan menangis.

Betapa pun juga, kunjungan tiga orang pemuda itu, terutama sekali hadirnya Thian Sin di situ, mendatangkan kegembiraan di dalam hati nenek itu dan membuatnya sehat kembali. Tiga orang pemuda itu tinggal di puncak Bwee-hoa-san, melayani kakek serta nenek itu sehingga mereka merasa berbahagia sekali.

Giok Keng merasa gembira bukan main dan amat mencinta cucunya. Saking girang dan senangnya terhadap cucunya, dia menyerahkan pedang pusakanya, yaitu Gin-hwa-kiam kepada Thian Sin, bahkan mengajarkan ilmu silat memainkan sabuk sebagai senjata yang ampuh. Memang nenek ini amat ahli mempergunakan sabuk panjang sebagai senjata dan sabuk ini memang lihai bukan main, dapat dipergunakan untuk menghadapi senjata tajam lawan dan melilit serta merampasnya.

Juga Yap Kun Liong tidak tinggal diam. Dia merasa gembira dekat dengan ketiga orang pemuda yang berbakat dan gagah perkasa itu, dan dia pun tahu bahwa inilah kesempatan terakhir baginya. Dia sudah tua, tidak memiliki anak kecuali Yap Mei Lan yang telah pergi ke luar negeri bersama suaminya, Souw Kui Beng. Maka apa bila dia tidak meninggalkan ilmu-ilmunya tentu tidak lama lagi akan terbawa mati. Dan siapa lagi yang lebih pantas menerima ilmu-ilmunya itu kecuali tiga orang pemuda ini?

Yap Kun Liong merasa kagum bukan main melihat watak Cia Han Tiong. Dia tahu bahwa pemuda ini mempunyai kebijaksanaan yang luar biasa, yang amat menonjol hingga jauh melampaui kedua orang pemuda lainnya. Sebaliknya dia pun diam-diam merasa prihatin dan khawatir melihat sifat-sifat ganas yang dimiliki Thian Sin.

Dalam percakapan berdua dengan Thian Sin, Yap Kun Liong banyak memberi nasehat-nasehat dan menanamkan jiwa kependekaran pada pemuda ini, dan dia pun mengajarkan Ilmu Pat-hong Sin-kun dan Pek-in-ciang yang amat lihai kepada Thian Sin. Kepada Cia Kong Liang dia mengajarkan Siang-liong-pang dan Im-yang Sin-kun. Dan kepada Cia Han Tiong dia sudah memberikan kitab yang selama ini merupakan pusakanya yang sangat disayangnya, yaitu kitab Keng-lun Tai-pun ciptaan Bun Ong yang mengandung pelajaran yang amat halus dan hanya dapat dimengerti oleh orang yang benar-benar berbakat!

Demikianlah, tiga orang pemuda itu tinggal di situ sampai hampir satu bulan lamanya, dan mereka bertiga merasa gembira bukan main memperoleh ilmu-ilmu dari kakek dan nenek itu. Kemudian, karena telah tiba saatnya bagi Cia Kong Liang untuk mewakili kedua orang tuanya menghadiri undangan dari Tung-hai-sian di Ceng-tao di Propinsi Shan-tung yang merayakan ulang tahun, mereka bertiga lalu meninggalkan puncak Bwee-hoa-san, diantar oleh pandang mata kesepian oleh kakek dan nenek itu!

********************

Han Tiong dan Thian Sin diajak Kong Liang untuk turut ke kota Ceng-tao, menemaninya mengunjungi pesta ulang tahun itu. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng juga menganjurkan kepada dua orang pemuda itu untuk ikut.

“Tung-hai-sian adalah datuk kang-ouw yang amat disegani di dunia timur, oleh karena itu di dalam pesta perayaan itu tentu akan hadir banyak sekali orang-orang kang-ouw serta tokoh-tokoh besar. Pertemuan dengan mereka itu sangat penting bagi kalian orang-orang muda,” demikian Yap Kun Liong berkata.

Han Tiong dan Thian Sin memang juga hendak meluaskan pengalaman, maka tentu saja ajakan itu mereka terima dengan hati gembira. Mereka lalu melakukan perjalanan ke timur dengan cepat dan pada sepanjang perjalanan mereka bertiga itu bergembira.

Maklumlah, walau pun Kong Liang disebut paman oleh mereka, akan tetapi usia mereka sebaya. Kong Liang berusia dua puluh dua tahun, Han Tiong sembilan belas tahun dan Thian Sin delapan belas tahun.

“Ingat, kita bertiga mewakili Cin-ling-pai dan karena Cin-ling-pai sudah dikenal di seluruh dunia, maka kita harus menjaga gerak-gerik kita yang tentu akan diperhatikan orang. Dan karena aku yang bertanggung jawab atas nama Cin-ling-pai, maka kuminta supaya kalian tidak sembarangan melakukan sesuatu sebelum ada ketentuan dariku. Di sana berkumpul banyak sekali orang kang-ouw, maka bila kalian salah bertindak sedikit saja akan dapat menimbulkan kegemparan dan kalau sampai nama Cin-ling-pai terbawa, tentu ayah akan marah kepadaku.”

“Baiklah, paman. Kami hanya ikut saja dan menonton, tentu saja kami tidak akan berani membuat ribut. Bukankah begitu, Sin-te?”

Thian Sin hanya mengangguk. Akan tetapi karena dia memang kadang-kadang merasa mendongkol melihat sikap Kong Liang yang seakan-akan menganggap mereka berdua masih ‘hijau’ dan bersikap kepada mereka seolah-olah mereka itu masih kanak-kanak, lalu berkata.

“Kami mengerti, Paman Kong Liang. Pendeknya, biar engkau yang menjadi pemimpinnya, dan kami hanya mentaati saja.”

Ucapan ini sewajarnya saja bagi Kong Liang yang mengangguk senang, akan tetapi Han Tiong yang telah mengenal watak adik angkatnya ini, benar-benar tahu bahwa adiknya itu merasa mendongkol dan dalam kata-katanya tadi terkandung ejekan.

********************

Siapakah adanya Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur) ini? Mari kita berkenalan dengan tokoh yang terkenal sebagai datuk kaum persilatan di wilayah timur dan bahkan di sepanjang pantai timur.

Sebenarnya, Dewa Laut Timur ini adalah bekas seorang bajak laut yang dahulu pernah menggemparkan seluruh permukaan laut yang amat luas sehingga namanya dikenal oleh semua pelaut baik pelaut Tiongkok, Jepang, mau pun Korea. Dia adalah seorang ‘samurai’ Jepang, seorang pendekar Jepang yang pernah menjadi pengacau atau pemberontak yang amat terkenal di Jepang.

Sebetulnya dia bukanlah seorang samurai biasa saja. Kakeknya adalah seorang panglima besar yang bernama Minamoto, yaitu salah seorang pengikut Daigo II yang dijatuhkan dari kedudukannya oleh Ashikaga Takauji. Karena junjungannya kalah dan jatuh, Panglima Besar Minamoto ini lalu melarikan diri dan bersembunyi di pulau kosong bersama dengan keluarganya.

Di tempat ini mereka hidup sebagai nelayan biasa, akan tetapi cita-cita bekas panglima itu tak pernah padam, yaitu agar sekali waktu keturunannya dapat kembali ke Jepang untuk membalas dendam terhadap kaisar baru! Dia menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang cucunya yang berbakat, dan cucunya inilah yang sekarang menjadi Dewa Laut Timur!

Di sepanjang pantai timur Tiongkok, Tung-hai-sian ini dikenal dengan nama Bin Mo To, yaitu sebutan dalam bahasa Tionghoa untuk nama Minimoto, karena dia memakai nama besar kakeknya. Setelah dia dewasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, Minimoto muda ini pergi meninggalkan pulau kosong untuk memenuhi cita-cita kakeknya.

Di Jepang dia mengalahkan banyak jagoan samurai, menjadi pemimpin pemberontak dan berusaha memberontak terhadap istana yang pada saat itu sedang diperintah oleh Kaisar Muromaci. Akan tetapi semua usahanya gagal oleh karena usahanya ini ditentang oleh para pengikut aliran Zen Buddhis yang amat kuat.

Dia gagal, pasukannya dihancurkan dan dia pun dikejar-kejar. Maka larilah Minimoto dan menjadi buronan. Mulai saat itulah dia memasuki dunia penjahat, menjadi bajak laut. Dan karena dia terlahir di pulau kosong, juga oleh kakeknya digembleng oleh segala macam ilmu, maka dia pun memiliki keahlian ilmu dalam air laut yang amat hebat. Maka ketika dia menjadi bajak laut, sebentar saja namanya ditakuti semua orang.

Pekerjaannya membajak kapal-kapal ini membuat dirinya berhasil mengumpulkan banyak harta. Pada usia empat puluh tahun dia menghentikan pekerjaannya membajak kemudian bertempat tinggal di Korea, di mana dia hidup menjadi semacam ‘datuk’ yang menerima ‘bagi hasil’ dari para penjahat yang takut dan segan kepadanya. Namun, setelah tinggal di Korea selama lebih dari sepuluh tahun, kembali dia harus angkat kaki karena dimusuhi oleh Kerajaan Korea.

Itulah sebabnya, dalam usia kurang lebih lima puluh tahun, Minimoto atau Bin Mo To yang berjuluk Tung-hai-sian, julukan yang diperolehnya setelah dia tinggal di Ceng-tao, pindah ke kota itu dan di situ dia tidak lagi berani menjadi datuk secara terang-terangan.

Tung-hai-sian Bin Mo To berusaha untuk membersihkan namanya, dan untuk itu dia lalu mendirikan perkumpulan yang diberinya nama Mo-kiam-pang (perkumpulan Pedang Iblis), yakni sebuah perkumpulan silat. Perkumpulan ini tidak secara terang-terangan melakukan kejahatan, namun seluruh penjahat di wilayah itu semua tunduk terhadap perkumpulan ini sebab setiap penjahat yang tidak mau tunduk tentu akan berhadapan dengan pedang iblis yang amat ganas. Maka diam-diam Tung-hai-sian diangkatlah oleh dunia hitam sebagai datuk yang mereka takuti.

Tung-hai-sian yang kaya raya dan lihai ini amat berpengaruh. Dia dapat menguasai para pembesar setempat dengan sogokan-sogokan yang berani. Sebagian besar perusahaan pengawal, yaitu piauwkiok, seakan-akan menjadi anak buahnya dan semua membayar semacam ‘pajak’ kepadanya kalau menghendaki pekerjaan mereka tidak terganggu.

Perusahaan pengawal yang memakai bendera kuning kecil bergambar pedang bersilang dan tengkorak, yaitu tanda dari Mo-kiam-pang, dapat terlindung karena tidak ada seorang pun penjahat berani mengganggunya. Dan untuk memperoleh bendera kecil ini tentu saja perusahaan itu harus membelinya dengan harga yang sangat mahal. Juga Tung-hai-sian menanamkan banyak modal pada perusahaan-perusahaan besar di kota-kota pelabuhan besar sehingga kekayaannya semakin bertambah.

Tung-hai-sian Bin Mo To ini mempunyai banyak isteri atau selir, jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang. Akan tetapi di antara para isterinya itu, hanya isteri ke dua sajalah yang mempunyai seorang anak perempuan. Isteri ke dua itu adalah seorang wanita Korea dan diperisterinya saat dia masih tinggal di Korea, bahkan anaknya pun terlahir di Korea.

Anak itu baru berusia tujuh tahun ketika dia pindah ke Ceng-tao dan kini anak itu sudah berusia tujuh belas tahun, seorang anak perempuan yang cantik, bertubuh tinggi langsing seperti ibunya, berani dan tangkas dan lincah seperti ayahnya. Dara ini diberi nama Bin Biauw, dan tentu saja sebagai seorang puteri Tung-hai-sian yang menjadi pendiri serta ketua perkumpulan Mo-kiam-pang, Bin Biauw ini adalah seorang ahli pedang.

Demikianlah sedikit riwayat dari Tung-hai-sian dan kini datuk ini mengadakan pesta untuk merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh, suatu hal yang baru dapat dilakukannya di bumi Tiongkok ini, di mana dia dapat hidup bebas dari pengejaran yang berwajib dan hidup sebagai seorang terhormat! Undangan itu tentu saja mengandung maksud.

Pertama, dia ingin memperkenalkan diri kepada para tokoh kang-ouw sebagai datuk timur yang sepuluh tahun lebih ini tak pernah menemui tanding! Dan selain itu, juga dia hendak mencari-cari jodoh untuk puterinya yang sudah berusia tujuh belas tahun. Tentu saja dia tidak sudi mencari mantu di antara tokoh-tokoh sesat. Puterinya tidak akan menjadi isteri seorang bajingan!

Dia sendiri adalah keturunan samurai, keturunan jago dan pendekar kenamaan, sebab itu puterinya harus memperoleh jodoh setidaknya seorang pendekar gemblengan pula! Inilah sebabnya mengapa dia mengundang semua perkumpulan besar kecil di dunia kang-ouw, bukan terbatas pada golongan sesat belaka. Demikian pula sebabnya maka Cin-ling-pai juga menerima undangan yang sekarang diwakili oleh Cia Kong Liang yang mengajak dua orang keponakannya.

Rumah gedung milik Tung-hai-sian di kota Ceng-tao itu amat besar, dengan pekarangan depan luas sekali, juga dengan sebuah taman yang sangat indah dan luas di sebelah kiri dan belakang rumah gedung yang seperti istana pembesar tinggi itu. Di sebelah kanan gedung itu terdapat rumah-rumah petak tempat tinggal para murid atau pembantunya, tokoh-tokoh Mo-kiam-pang yang tingkatnya sudah tinggi, ada belasan orang banyaknya. Ada pun para murid lainnya berkumpul di sebuah rumah perkumpulan yang lebih besar lagi, yang berada di jalan itu juga dan tidak begitu jauh dari rumah gedung tempat tinggal Tung-hai-sian.

Pada hari yang telah ditentukan itu, para tamu membanjiri kota Ceng-tao dan suasana di gedung keluarga itu amat meriah. Halaman depan yang sangat luas itu dijadikan ruangan tamu yang dihias dengan bunga-bunga dan kertas-kertas berwarna.

Tempat itu mampu menampung seribu orang, dan tamu yang datang sedikitnya ada lima ratus orang dari bermacam golongan. Boleh dibilang bahwa hampir semua perkumpulan-perkumpulan di dunia persilatan, baik dari golongan bersih mau pun dari golongan kotor, apa yang disebut kaum putih dan kaum hitam, mengirimkan wakil, bahkan banyak pula yang ketuanya memerlukan hadir sendiri.
Selanjutnya,

Pendekar Sadis Jilid 12

Pendekar Sadis Jilid 12
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SEBAIKNYA kita mengikuti dulu perjalanan Cia Kong Liang. Seperti kita ketahui, suami isteri pendekar ketua Cin-ling-pai itu hanya mempunyai seorang putera, yaitu Cia Kong Liang. Ada pun Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga, adalah putera dari ketua Cin-ling-pai itu dari seorang wanita yang lain.

Sebagai putera tunggal, tentu saja semenjak kecil Cia Kong Liang digembleng oleh ayah bundanya yang berilmu tinggi dengan bermacam ilmu silat. Dari ayahnya, dia digembleng dengan ilmu-ilmu khas dari Cin-ling-pai seperti Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat dan lain sebagainya, dan dari ayah bundanya itu dia juga menerima ilmu Thian-te Sin-ciang yang hebat, karena merupakan gabungan dari Thian-te Sin-ciang kedua orang tuanya, bahkan ibunya juga mengajarkan penggunaan Siang-tok-swa (Pasir Harum Beracun).

Akan tetapi, sesuai dengan watak seorang pendekar, pemuda ini tidak mau menggunakan pasir beracun, akan tetapi kepandaian itu bisa dilakukan dengan segala macam pasir atau tanah. Pendek kata, segala macam tanah kalau sudah berada di tangan pemuda ini dan digunakannya sebagai senjata rahasia, maka merupakan serangan yang amat berbahaya bagi lawan.

Cia Kong Liang bertubuh tegap dan gagah sekali. Pakaiannya tidak mewah, akan tetapi juga tak terlalu sederhana dan selalu rapi. Sinar matanya yang tajam pada wajahnya yang tampan gagah itu mengandung keangkuhan, seolah-olah dia memandang rendah kepada orang lain, memandang orang lain dari tempat ketinggian!

Memang sesungguhnyalah bahwa pemuda Cin-ling-pai ini memiliki watak yang agak tinggi hati. Dia tidak sombong, tetapi agak memandang rendah kepada orang lain. Dia berwatak pendekar, dan merasa dirinya seorang pendekar perkasa, putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal dan disegani, karena itu tidaklah mengherankan kalau ketinggian hati menyentuh batin pemuda yang perkasa dan masih belum masak ini, sungguh pun usianya sudah dua puluh dua tahun.

Kong Liang melakukan perjalanan seenaknya sambil menikmati keindahan pemandangan alam di sepanjang perjalanannya. Dia sedang mewakili ayah bundanya untuk dua urusan. Pertama adalah menengok pasangan suami isteri pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, kakek dan nenek yang menjadi kakak dari ayah dan ibunya itu, dan kedua kalinya dia harus mewakili ayah bundanya, bahkan mewakili Cin-ling-pai untuk hadir dalam pesta ulang tahun dari datuk persilatan dari pantai timur, yaitu Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur) yang juga mengirim undangan kepada ketua Cin-ling-pai.

Masih banyak waktu, pikirnya, karena hari ulang tahun itu masih lebih dari satu bulan lagi. Karena perjalanan yang dilakukan seenaknya itu, maka dua hari kemudian barulah Kong Liang tiba di Bwee-hoa-san. Hati pemuda ini lega melihat betapa paman dan bibi tuanya itu dalam keadaan selamat, walau pun memang benar bibi tuanya nampak lesu dan tidak bersemangat.

Yap Kun Liong yang dahulu amat terkenal sebagai seorang pendekar yang berilmu tinggi, kini telah menjadi seorang kakek yang usianya telah tujuh puluh enam tahun. Rambutnya sudah hampir putih semua, akan tetapi tubuhnya yang tinggi agak kurus itu masih dapat berdiri tegak dan gerak-geriknya masih sigap dan ringan. Demikian pula, Cia Giok Keng, puteri pendiri Cin-ling-pai itu pun masih nampak sigap, akan tetapi pada saat itu wajahnya agak pucat dan nampak tidak bersemangat, lesu bagaikan orang yang tidak sehat.

Yap Kun Liong dan isterinya merasa girang sekali melihat kedatangan keponakan mereka itu dan setelah Kong Liang menceritakan tentang keadaan orang tua mereka yang berada dalam keadaan selamat dan sehat, Yap Kun Liong lalu berkata, sikapnya sangat tenang akan tetapi alisnya berkerut,

“Kong Liang, tentu saja kami merasa sangat gembira melihat engkau datang berkunjung dan menjenguk kami dua orang tua yang kesepian ini. Akan tetapi, selain kegembiraan kami, juga hati kami merasa risau karena engkau datang sebelum urusan kami selesai. Kami harap saja engkau tidak akan terlibat dalam urusan kami ini.”

Pemuda itu menatap wajah paman dan bibinya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Memang sejak tadi dia dapat menduga bahwa tentu ada sesuatu yang merisaukan hati mereka terutama sekali hati bibinya.

“Paman, urusan apakah yang membuat risau hati paman dan bibi berdua?” Dia merasa heran bagaimana ada urusan yang dapat merisaukan hati paman dan bibinya yang gagah perkasa ini, apa lagi dalam usia setinggi itu dan berada di tempat yang demikian sunyi. Seharusnya tak mungkin lagi mereka itu menemui urusan-urusan yang bisa menimbulkan kesukaran.

Yap Kun Liong menarik napas panjang. “Karena bibimu sedang kurang sehat, ditambah dengan munculnya urusan ini, sungguh menimbulkan ketidak tenteraman juga.”

“Kong Liang, setua ini kami masih diancam oleh orang-orang jahat. Aku telah siap untuk menghadapi mereka dengan kekerasan, akan tetapi pamanmu ini sudah menjadi lemah, dia tidak setuju sehingga timbullah pertentangan di antara kami,” tiba-tiba Cia Giok Keng berkata sambil melirik ke arah suaminya.

Kong Liang telah mendengar bahwa bibinya ini mempunyai watak yang keras pada waktu mudanya, dan agaknya, biar pun sekarang sudah tua, tapi kekerasan dalam menghadapi musuh itu masih nampak, berbeda dengan pamannya yang agaknya telah menjadi orang yang tidak bersemangat untuk menghadapi kekerasan.

“Paman dan bibi, apakah yang sudah terjadi? Siapakah musuh yang berani mengancam ji-wi (anda berdua)?”

Yap Kun Liong memandang kepada isterinya, kemudian menoleh ke arah keponakannya lantas berkata, “Kong Liang, urusan ini tidak ada sangkut-pautnya denganmu, akan tetapi oleh karena engkau sudah dewasa dan kebetulan engkau berada di sini, biarlah engkau ketahui semuanya. Nah, dua hari yang lalu kami menerima surat ini, kau bacalah sendiri.”

Cia Kong Liang menerima gulungan surat itu, segera membukanya dengan sikap tenang, sikap yang mengagumkan paman serta bibinya yang mengamati semua gerak-geriknya. Kemudian dibacanya surat itu, dengan alisnya yang tebal itu berkerut, sepasang matanya bersinar-sinar saat dia membaca surat itu, dan wajahnya sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa akan tetapi pandang matanya berkilat mengejutkan ketika dia menatap wajah paman dan bibinya berganti-ganti. Kemudian, untuk meyakinkan hatinya, dia lantas membaca sekali lagi.

Pada hari ke tiga setelah surat ini dibaca sebelum matahari terbit, Yap Kun Liong beserta Cia Giok Keng akan mati berikut semua makhluk bernyawa yang berada pada kalian, sebagai pembayar hutang!

Tertanda, KETURUNAN PADANG BANGKAI.


“Paman dan bibi, apa artinya surat ini? Siapa pengirimnya dan mengapa dia mengirimkan surat seperti ini?” Akhirnya Kong Liang bertanya, suaranya tetap tenang akan tetapi pada pandang matanya terkandung kemarahan terhadap si penulis surat.

Yap Kun Liong menghela napas. “Siancai (damai)… sungguh tak kusangka bahwa setua ini kami masih saja dicari musuh dan dimusuhi oleh orang. Kami sendiri tidak tahu siapa penulis surat ini, akan tetapi melihat yang menandainya, kiranya mudahlah diduga bahwa mereka ini tentu keturunan atau segolongan dengan Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah) dan isterinya, Coa-tok Sian-li (Bidadari Racun Ular), suami isteri yang dulu pernah menjadi majikan dari Padang Bangkai di dekat Lembah Naga. Kurang lebih empat puluh tahun yang lalu, dalam suatu pertandingan pada waktu kami membantu pemerintah untuk menghadapi pemberontak, yaitu pasukan liar Sabutai, kami sudah menewaskan mereka, aku merobohkan Ang-bin Ciu-kwi ada pun bibimu itu menewaskan isterinya, yaitu Coa-tok Sian-li. Kami sama sekali tidak menyangka bahwa urusan empai puluh tahun yang lalu itu akan berekor sampai sekarang. Ah, usia setua ini, sudah mendekati akhir usia, masih saja dimusuhi orang.” Kembali kakek itu menarik napas panjang.

“Aku tidak takut!” tiba-tiba Nenek Cia Giok Keng berkata. “Biar pun sudah tua begini, aku tidak akan undur selangkah pun dalam menghadapi musuh!”

“Aihh… sudahlah, engkau sedang tidak sehat, mengapa harus menuruti perasaan marah? Kemarahan amatlah tidak baik bagi orang-orang tua seperti kita,” suaminya menghibur.

“Paman dan bibi harap jangan khawatir. Serahkan saja urusan ini kepada saya. Tiga hari berarti besok pagi kalau surat ini sudah dua hari paman terima. Bila mana musuh datang, biarlah saya yang akan menghadapi mereka!” kata Kong Liang dengan sikap gagah.

“Engkau tidak perlu ikut campur, anakku.”

“Tapi, paman. Bukankah mereka itu mengaku keturunan dari Padang Bangkai? Dan kalau sekarang yang menghadapi adalah saya, sebagai keturunan paman pula, bukankah hal itu sudah adil dan selayaknya? Dahulu, penghuni Padang Bangkai lawan paman dan bibi, sekarang keturunan mereka biarlah saya yang menghadapinya.”

Yap Kun Liong menarik napas panjang. “Kong Liang, menurut kata hati bibimu, kita harus melawan dan bibimu memang benar, biar pun kami berdua sudah tua, akan tetapi karena selama ini kami hidup dalam sehat maka kiranya kami masih dapat melidungi diri sendiri. Akan tetapi, sampai sekarang aku masih merasa menyesal kalau kuingat betapa dahulu aku menanam banyak sekali benih-benih permusuhan sehingga sampai di hari tua masih saja dimusuhi orang.”

“Tetapi itu sudah kewajiban paman dan bibi sebagai pendekar-pendekar! Kita harus selalu menentang kejahatan!”

Yap Kun Liong menggeleng kepalanya. “Semenjak ribuan tahun kita dibuai oleh khayalan seorang pendekar, anakku. Akan tetapi, bagaimana hasilnya? Dulu sudah banyak sekali orang-orang yang kita anggap jahat itu kita basmi, kita bunuh, akan tetapi kejahatan tetap saja merajalela sampai sekarang! Kita bisa membunuh orangnya dengan kekerasan, akan tetapi kejahatan tidak mungkin dapat terbasmi oleh kekerasan.”

“Tapi, kebenaran hanya dapat ditegakkan melalui kekerasan!”

“Memang demikian pendapat kalangan pendekar pada umumnya. Akan tetapi begitukah sebenarnya? Apakah semua kekerasan yang dilakukan untuk membasmi kejahatan dapat berhasil? Kurasa tak mungkin! Kejahatan adalah kekerasan, maka membasminya dengan kekerasan hanyalah berarti melakukan kejahatan dalam bentuk lain. Bayangkan saja. Kita menganggap seorang pembunuh itu jahat lantas kita menentangnya dan membunuhnya! Berarti kita pun menjadi pembunuh yang tidak ada bedanya dengan pembunuh yang kita bunuh!”

“Tapi, paman!” Kong Liang membantah. “Walau pun keduanya itu sama membunuhnya, akan tetapi alasannya sungguh berbeda! Penjahat membunuh karena dia hendak berbuat jahat demi keuntungan dirinya sendiri, namun seorang pendekar membunuh justru untuk menolong orang lain terbebas dari pada kejahatan selanjutnya!”

Yap Kun Liong tersenyum. “Memang demikianlah anggapan setiap orang pendekar. Dulu pun kami berdua beranggapan demikian, bahkan bibimu ini masih sulit melihat kejahatan walau pun anggapan seperti itu tidak benar. Apa pun alasannya, melakukan kekerasan, melakukan pembunuhan, sudah pasti mengandung kebencian dan juga pembunuhan. Dan setiap kebencian itu sudah pasti mendatangkan pertentangan dan permusuhan yang tiada hentinya. Tidak mungkin memadamkan api dengan api lain. Tidak mungkin melenyapkan kekerasan dengan kekerasan pula.”

“Saya masih tetap belum mengerti, paman. Bukankah dengan tindakan kita yang selalu menentang kaum penjahat, berarti kita berusaha untuk membuat dunia ini tenteram dan melenyapkan semua bentuk kejahatan agar supaya rakyat bisa hidup dengan tenang dan makmur?”

“Kejahatan memang dapat ditundukkan dengan kekerasaan, akan tetapi penundukan itu hanya bersifat sementara karena yang tunduk oleh paksaan hanyalah orang-orang yang menyimpan dendam dan sakit hati. Buktinya, kami dulu berhasil menundukkan majikan-majikan Padang Bangkai yang dianggap jahat, bahkan berhasil membunuh mereka. Akan tetapi apakah hal itu berarti kami berhasil menghentikan kejahatan? Bahkan yang jelas, keturunan mereka mendendam kepada kami dan sekarang buktinya mereka itu, agaknya setelah merasa kuat, lalu datang hendak menuntut balas. Kekerasan selalu menghasilkan kekerasan lainnya! Kebencian lain. Perdamaian tak mungkin diciptakan oleh peperangan! Kalau toh dapat, itu hanya karena satu fihak kalah dan terpaksa tunduk, namun dendam sudah bernyala di dalam hati yang kalah dan setiap ada kesempatan, tentu mereka akan menuntut balas. Damai semacam itu hanya untuk sementara saja.”

Baru sekarang ini Cia Kong Liang mendengar hal seperti itu, maka dia merasa bingung sekali sehingga akhirnya dia bertanya. “Habis, kalau begitu, apakah semua orang jahat itu harus didiamkan saja dan kita kaum pendekar tidak harus menentang mereka? Lalu kalau begitu, dengan apakah kejahatan dapat dihilangkan dari dunia ini, paman?”

Yap Kun Liong tersenyum. “Jangan bertanya kepadaku, aku sendiri juga tidak tahu, Kong Liang. Agaknya hanya penyadaran lewat batin, agaknya hanya cinta kasih saja yang akan dapat melenyapkan kejahatan. Yang jelas, jika menggunakan pedang, melalui darah dan pembunuhan, rasanya tidak mungkin kejahatan akan lenyap dari permukaan bumi ini.”

Kong Liang tidak berani membantah lagi, akan tetapi di dalam hatinya dia merasa tidak setuju sama sekali. “Habis, apakah yang harus kita lakukan pada besok pagi-pagi apa bila mereka itu datang dan hendak membunuh paman serta bibi berdua?” Akhirnya dia pun bertanya dengan suara mengandung kekhawatiran.

“Engkau jangan sembarangan turun tangan, Kong Liang. Biarlah aku seorang menghadapi mereka. Aku ingin mendamaikan urusan ini. Akan kuhadapi dengan kelembutan supaya mereka itu sadar dan tidak melanjutkan dendam permusuhan yang tiada gunanya ini.”

“Hemmm, kaum sesat yang jahat itu mana mau tahu tentang damai? Bagaimana kalau mereka itu berkeras dan hendak membunuh kita? Apakah kita akan diam saja?” Cia Giok Keng bertanya penasaran.

“Tenanglah, biarlah aku menghadapi mereka. Kita lihat saja bagaimana perkembangannya nanti. Aku tidak percaya bahwa mereka tidak akan mau mendengarkan kata-kata yang baik.”

Karena Kun Liong berkeras dengan kehendaknya untuk menghadapi fihak musuh dengan jalan damai, akhirnya isterinya pun tidak mau membantah dan mereka lalu membicarakan hal yang mengenai keadaan fihak kedua keluarga dan bercakap-cakap dengan gembira. Kesehatan Cia Giok Keng agaknya pulih kembali dengan kedatangan keponakannya itu.

Memang sesungguhnyalah, dia merasa girang sekali dengan kedatangan Cia Kong Liang, bukan hanya girang karena memperoleh kunjungan keponakannya yang disayangnya itu, akan tetapi juga diam-diam hatinya lega karena dia maklum bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda yang sakti dan telah mewarisi kepandaian adiknya yang menjadi ketua Cin-ling-pai, maka tentu saja dia dapat mengandalkan bantuan Kong Liang kalau musuh yang datang itu terlalu kuat. Memang dia sangat percaya akan kesaktian suaminya, Yap Kun Liong, akan tetapi suaminya, juga dia sendiri, sudah amat tua dan sudah belasan tahun lebih tidak pernah berkelahi.

Malam itu Yap Kun Liong bisa tidur dengan nyenyak. Pendekar tua ini seolah-olah sudah melupakan ancaman dalam surat itu. Akan tetapi tidak demikian dengan Cia Giok Keng. Nenek ini sukar sekali pulas karena perasaannya selalu membayangkan datangnya para musuh yang tentu amat tangguh itu. Fihak musuh tentu bukanlah orang-orang tolol yang hendak mengantar nyawa. Apa bila mereka sudah berani datang secara itu, yaitu dengan mengirim peringatan dahulu, tentu mereka itu sudah merasa yakin akan kekuatan mereka sendiri.

Nenek ini tidak tahu bahwa keponakannya, Cia Kong Liang, pada malam itu beberapa kali bangun kemudian keluar dari kamar untuk meronda, memeriksa di sekeliling pondok sunyi itu. Kemudian, sesudah lewat tengah malam, Kong Liang tidak tidur lagi melainkan duduk bersila untuk berjaga-jaga.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, puncak Bwee-hoa-san diselimuti kabut. Pondok kecil tempat tinggal suami isteri tua itu juga terbungkus oleh kabut. Hawa amat dingin dan suasana demikian sunyinya. Bahkan burung-burung agaknya malas untuk meninggalkan pohon karena kabut demikian tebalnya. Matahari juga masih jauh tenggelam di balik bukit di sebelah timur, akan tetapi cahayanya telah mulai mengusir kegelapan malam sehingga kabut mulai nampak keputihan bergerak perlahan seperti sekumpulan domba malas yang digiring meninggalkan puncak.

“Kukuruyuuuuukkk…!”

Mendadak keruyuk jago di dalam kandang di belakang pondok itu terdengar nyaring dan merdu. Keruyuk perlama yang bergema di seluruh permukaan puncak. Keruyuk pertama ini segera disambut oleh keruyuk ayam hutan yang pendek-pendek suaranya, akan tetapi yang nyaringnya melebihi suara ayam jago peliharaan penghuni pondok itu.

Dan nun jauh di bawah puncak, terdengar keruyuk ayam yang lain lagi. Mulailah keruyuk ayam bersahut-sahutan, sebagai tanda bahwa sang malam telah mulai mengundurkan diri untuk memberi tempat kepada matahari.

“Kukuru… kokkk!” Keruyuk itu terhenti di tengah-tengah.

Cia Kong Liang membuka mata. Dia masih duduk bersemedhi. Dia tadi dapat mendengar dengan jelas suara keruyuk yang terputus di tengah-tengah, mengerti bahwa hal itu tidak wajar. Ada sesuatu yang membuat ayam jantan itu menghentikan keruyuknya. Sesuatu yang tidak wajar dan mencurigakan sekali.

Tiba-tiba saja terdengar gonggong anjing peliharaan pamannya, anjing kecil berbulu tebal. Akan tetapi, mendadak gonggong itu pun terhenti.

“Kokk…!” tiba-tiba terdengar bunyi lantas suasana menjadi sunyi bukan main. Sunyi yang menyeramkan dan menegangkan, karena terhentinya bunyi keruyuk ayam jago dan anjing itu sungguh tidak wajar dan menjadi tanda bahwa pasti telah terjadi sesuatu yang sangat menyeramkan.

Dengan hati-hati sekali Cia Kong Liang segera turun dari atas pembaringan, menyambar pedang Hong-cu-kiam dan memakai pedang pemberian ayahnya itu sebagai sabuk pada pinggangnya, kemudian memakai sepatunya lantas dengan hati-hati sekali dia membuka daun jendela. Dia tak berani lancang meloncat keluar, melainkan dengan hati-hati dia naik ke ambang jendela, kemudian keluar sambil berjingkat-jingkat menuju ke belakang melalui samping rumah, lalu bersembunyi di balik tiang di samping pondok.

Cuaca masih remang-remang, akan tetapi dia dapat melihat bahwa ada beberapa buah benda hitam berserakan di pelataran belakang. Pada saat dia memandang dengan penuh perhatian, jantungnya berdebar tegang. Tidak salah lagi, benda-benda itu adalah bangkai beberapa ekor ayam dan seekor anjing!

Dia mengepal tinju. Musuh-musuh pamannya sudah datang, dan sesuai dengan isi surat, telah mulai melakukan pembunuhan-pembunuhan. Mula-mula mereka membunuh semua ayam-ayam di dalam kandang, kemudian membunuh anjing yang agaknya bisa mencium kedatangan mereka tadi.

Kong Liang merasa betapa jantungnya berdebar dan hatinya panas bukan main. Sungguh kurang ajar musuh-musuh yang datang ini, pikirnya. Dia sudah ingin meloncat keluar dan menantang musuh-musuh itu ketika tiba-tiba dia melihat berkelebatnya orang dan kiranya pamannya, Yap Kun Liong, telah berada di situ, berdiri di tengah-tengah pekarangan itu dengan tegak.

“Yap Kun Liong telah berada di sini, yang mempunyai urusan dengan aku silakan datang!” terdengar pendekar tua itu berkata dengan suaranya yang halus dan tenang.

“Bagus sekali, orang she Yap sudah siap menerima kematiannya!” terdengar suara wanita yang amat nyaring, kemudian berturut-turut dari tiga penjuru nampak bayangan-bayangan berkelebatan cepat dan tahu-tahu di situ telah muncul empat orang!

Orang pertama yang muncul adalah seorang dara yang usianya masih muda, tidak lebih dari sembilan belas tahun. Pakaiannya terbuat dari sutera yang halus tetapi potongannya ringkas sehingga mencetak tubuhnya yang langsing dan padat. Rambutnya digelung dan terhias dengan hiasan emas permata, di punggungnya tergantung sebatang pedang yang gagang dan sarungnya diukur indah, dihias ronce-ronce warna kuning, kedua lengannya memakai gelang emas.

Seorang dara yang manis sekali dan dia pun sama sekali tak nampak seperti orang jahat karena selain manis dia pun berwajah ramah penuh senyum, sungguh pun pada saat itu dia memandang pada kakek Yap Kun Liong dengan sinar mata mengandung kemarahan dan kebencian.

Sedangkan tiga orang lainnya adalah laki-laki yang berusia kurang lebih lima puluh tahun, ketiganya mengenakan pakaian serba putih seperti orang berkabung dan wajah mereka memperlihatkan bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang biasa hidup menghadapi kesulitan dan kekerasan.

Yang termuda di antara mereka mempunyai tahi lalat besar pada tepi hidungnya, seorang lagi berjenggot panjang sampai ke dada, ada pun yang tertua kehilangan sebelah telinga kirinya. Tiga orang kakek ini pun masing-masing mempunyai sebatang pedang tergantung di punggung mereka.

Kalau dara itu hanya tersenyum sambil memandang tajam, tiga orang kakek itu tertawa girang dan orang tertua yang telinga kirinya lenyap itu berkata, “Setelah Yap Kun Liong muncul, mana wanita bernama Cia Giok Keng itu? Suruh dia keluar sekalian menerima kematian!”

Yap Kun Liong sudah memesan kepada isterinya supaya jangan keluar, akan tetapi dia merasa khawatir melihat sikap orang-orang yang datang ini. Kalau mereka mengeluarkan kata-kata kasar, dia tidak berani menentukan bahwa isterinya akan dapat bersabar untuk tidak keluar. Maka cepat dia lalu menjura kepada mereka.

“Sekarang cu-wi berempat sudah datang,” katanya sambil melirik ke arah bangkai anjing dan beberapa ekor ayam itu, “dan kalau aku tidak salah menduga, agaknya cu-wi yang mengirim surat tiga hari yang lalu. Apakah cu-wi masih ada hubungan dengan Padang Bangkai? Bukankah Padang Bangkai telah menjadi wilayah kediaman Pendekar Lembah Naga?” Dia memancing, karena dia tahu bahwa kini yang mendiami Istana Lembah Naga adalah Cia Sin Liong dan Padang Bangkai merupakan bagian dari Lembah Naga.

“Yap Kun Liong, lupakah engkau kepada Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li? Mereka itu adalah kakek dan nenekku, aku So Cian Ling hari ini datang hendak membalas dendam kematian mereka! Suruh Cia Giok Keng keluar untuk menebus kematian nenekku seperti engkau, yang harus menebus kematian kakekku!” dara itu berkata dengan suaranya yang nyaring.

“Dan kami bertiga adalah murid-murid mereka, kami bertigalah yang mewarisi ilmu-ilmu dari suhu Ang-bin Ciu-kwi dan subo Coa-tok Sian-li. Sayang ketika mereka terbunuh, kami baru berusia sepuluh tahun lebih, akan tetapi kami mewarisi ilmu-ilmu mereka dan setelah belajar selama puluhan tahun, hari ini kami datang untuk membalas dendam!” kata kakek yang telinga kirinya buntung.

Yap Kun Liong mengangguk-angguk. “Memang, tidak perlu kusangkal lagi bahwa Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang ketika itu menjadi penghuni Padang Bangkai telah tewas di tangan kami. Akan tetapi tahukah kalian berempat mengapa mereka itu bertentangan dengan kami kemudian tewas dalam pertempuran? Karena mereka berdua itu membantu pemberontak, yaitu Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko, dua orang iblis yang menjadi guru raja liar Sabutai. Antara mereka dan kami tidak ada urusan pribadi, dan pada waktu itu mereka membantu pemberontak dan kami membantu pemerintah. Nah, dengan demikian, kematian mereka itu adalah kematian yang wajar, bukan karena urusan pribadi. Karena itu, perlukah ada dendam sakit hati? Andai kata kami gugur pada saat mengabdi kepada pemerintah, apakah keluarga kami juga harus mendendam dan sakit hati atas kematian kami? Kami rasa tidak. Nah, terutama sekali engkau, nona! Engkau masih begini muda, perlukah engkau hidup menanggung dendam yang tiada artinya itu? Bukankah sebaiknya kalau nona sadar bahwa kakek dan nenek nona itu tewas karena akibat dari perbuatan mereka sendiri dan bahkan bisa dijadikan contoh agar nona sendiri tak sampai melakukan penyelewengan di dalam hidup?”

“Tua bangka she Yap! Tidak perlu kau membujuk-bujuk!” bentak kakek bertelinga satu.

“Hemm, pengecut kau! Saking takut mati engkau hendak membujuk kami?” bentak kakek berjenggot panjang.

Yap Kun Liong tetap tenang, “Kalian tidak mengerti. Orang setua aku ini sudah tidak takut dengan kematian lagi. Tanpa kalian bunuh pun kematian agaknya sudah dekat denganku dan sewaktu-waktu akan datang menjemputku dan aku sudah siap untuk itu. Aku hanya tidak ingin nona muda ini melakukan hal yang akan membuat dia menyesal kelak. Nona So, sekali lagi kuharap engkau suka merenungkan hal ini.”

So Cian Ling, dara muda itu, mengerutkan alisnya dan dia pun meragu. Sesungguhnya dia hanyalah cucu angkat saja dari Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li. Mereka, majikan Padang Bangkai itu, tidak mempunyai anak, hanya pernah memungut anak perempuan yang ketika terjadi keributan yang mengakibatkan mereka tewas itu bisa menyelamatkan diri. Dan akhirnya anak perempuan ini lalu menikah dengan salah seorang anak buah dari See-thian-ong, yaitu yang kini menjadi datuk nomor satu di wilayah barat.

Anak perempuan itu adalah ibu dari So Cian Ling! Dari ibunyalah dia tahu bahwa ibunya itu, anak angkat dari Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang ditewaskan oleh pendekar-pendekar sakti Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Tentu saja hal itu sama sekali tidak menimbulkan kesan dalam hatinya. Akan tetapi ibunya sering kali mengingatkannya akan hal itu.

Kebetulan sekali ayahnya adalah seorang anak buah dari See-thian-ong. Lalu pada suatu hari, See-thian-ong melihat dia dan memuji bakatnya, bahkan dia lantas diangkat menjadi murid oleh datuk yang sakti itu sampai dia memperoleh ilmu silat yang tinggi! Akan tetapi, walau pun demikian, dia tidak pernah mempunyai pikiran untuk mencari pembunuh kakek dan nenek angkatnya itu.

Kemudian, muncullah tiga orang kakek itu. Mereka ini adalah pewaris dari kitab-kitab yang berisikan ilmu-ilmu kepandaian dari mendiang Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang berhasil dilarikan oleh seorang anak buah Padang Bangkai ketika terjadi keributan. Dan mereka bertiga inilah yang diam-diam merasa sakit hati dan mendendam.

Setelah mempelajari semua ilmu itu, mereka kemudian terkenal dengan julukan See-ouw Sam-ciu-ong (Tiga Raja Arak dari Telaga Barat). Namun pada suatu hari mereka bentrok dengan See-thian-ong dan akhirnya mereka bertiga ditundukkan hingga menakluk!

Di sinilah mereka bertemu dengan ibu So Cian Ling. Dan oleh bujukan-bujukan See-ouw Sam-ciu-ong itulah akhirnya So Cian Ling, dibujuk pula oleh ibunya, pergi dan membantu ketiga orang kakek itu untuk menuntut balas kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng yang tempat tinggalnya sudah diketemukan oleh tiga orang kakek itu. Demikianlah sedikit keadaan So Cian Ling, dara murid See-thian-ong yang amat lihai itu.

“Nona So, apa bila nona memang masih berkeras dan merasa bahwa nona benar untuk menuntut balas, nah, silakan. Aku orang tua Yap Kun Liong tidak takut mati dan dari pada dalam usia setua ini harus menanam permusuhan lagi, biarlah nona membunuhku. Aku tidak akan melakukan perlawanan.”

Mendengar kata-kata ini, dan melihat sikap kakek yang berdiri tegak dengan agung itu, hati So Cian Ling sudah menjadi gentar dan tunduk. Tak mungkin dia dapat turun tangan membunuh seorang kakek yang sikapnya begini agung dan gagah perkasa.

Dia sudah tunduk dan merasa kagum, bahkan mulai merasa malu atas sikapnya dan juga atas perbuatan tiga orang kakek itu membunuhi anjing dan ayam-ayam itu. So Cian Ling ragu-ragu dan bengong, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau bahkan dikatakan.

Akan tetapi, kakek ke tiga yang bertahi lalat di dekat hidungnya, agaknya sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. “Tua bangka pengecut!” teriaknya dan dia sudah menerjang ke depan dan memukulkan tangan kanannya yang terkepal ke dada Yap Kun Liong.

Tentu saja, sebagai seorang pendekar yang sudah memiliki tingkat kepandaian ilmu silat yang amat tinggi, secara otomatis tenaga sinkang dari pusar telah menjalar ke arah dada yang akan terpukul. Kakek ini amat lihai, bahkan dialah pewaris pertama dari ilmu mukjijat Thi-khi I-beng dari pendiri Cin-ling-pai sehingga jika dia menghendaki, tentu saja dengan mudahnya dia dapat menangkis, mengelak atau juga menerima pukulan itu tanpa melukai dirinya.

Akan tetapi, kakek ini sudah mengambil keputusan untuk menghindarkan kekerasan dan menghadapi kekerasan lawan dengan kelembutan dan usaha damai, maka dia pun cepat menarik kembali tenaganya dan menerima pukulan itu dengan begitu saja, tanpa disertai tenaga sinkang yang melindungi tubuhnya.

“Bukkk!”

Pukulan itu keras sekali dan karena tubuh tua itu tidak terlindung sinkang, maka tubuh Yap Kun Liong terlempar sampai tiga meter jauhnya lalu terbanting ke atas tanah sampai bergulingan!

Semenjak tadi Cia Kong Liang sudah merasa marah bukan kepalang dan hanya karena hormatnya kepada kakek yang menjadi kakak ibunya itu maka dia bertahan diri dan hanya mengintai saja dengan muka berubah merah mendengar betapa kakek itu dihina orang. Akan tetapi ketika dia melihat paman tuanya itu dipukul sampai tunggang langgang dan dia tahu bahwa pamannya itu sama sekali tidak mau mengerahkan tenaga, dia terkejut bukan main. Pukulan itu bisa mematikan!

Akan tetapi pada saat itu, dua orang kakek, yaitu yang bertahi lalat dan yang berjenggot panjang, kakek ke tiga dan ke dua, sudah berloncatan untuk menyerang Yap Kun Liong yang belum bangkit duduk. Pada saat itu pula nampak berkelebat bayangan dua orang yang tahu-tahu sudah tiba di depan Yap Kun Liong dan dua orang pemuda itu langsung menangkis pukulan dua orang kakek itu.

“Plakk! Plakk!”

Kedua orang kakek itu terkejut ketika merasakan betapa kuatnya lengan yang menangkis serangan mereka terhadap Yap Kun Liong sehingga mereka itu cepat-cepat meloncat ke belakang sambil memandang dengan penuh selidik. Kiranya yang muncul dengan cepat dan tak terduga-duga itu adalah dua orang pemuda yang usianya belum ada dua puluh tahun, yang seorang bertubuh tegap berwajah gagah dengan sepasang mata yang penuh wibawa, sedangkan pemuda yang kedua amat tampan dan juga bersikap gagah.

“Hemm, tidakkah kalian malu, memukul orang tua yang sama sekali tidak mau melawan?” Thian Sin, pemuda yang tampan itu, menudingkan jari telunjuknya ke arah muka kakek bertahi lalat di dekat hidung.

Mereka itu adalah Han Tiong dan Thian Sin. Biar pun mereka itu berangkat belakangan, namun karena mereka berdua melakukan perjalanan cepat, maka pada pagi itu mereka telah dapat menyusul dan tiba di puncak Bwe-hoa-san. Kebetulan sekali mereka sempat melihat munculnya empat orang musuh yang datang untuk membunuh kakek dan nenek itu!

Begitu melihat Yap Kun Liong dipukul, Han Tiong yang sudah pernah berjumpa dengan mereka dan mengenal mereka, cepat meloncat disusul adiknya yang telah dibisiki bahwa kakek itu adalah kakek tirinya, atau ayah tiri ibunya, kemudian mereka cepat menangkis serangan ke dua itu.

Sementara itu, dengan terheran-heran Kong Liang juga meloncat keluar, bersama dengan Cia Giok Keng yang juga telah meloncat keluar. Melihat munculnya mereka itu, dua orang kakek yang tadi ditangkis oleh Han Tiong dan Thian Sin, menjadi marah dan kini mereka sudah mencabut pedang masing-masing kemudian menyerang dua orang pemuda yang melindungi kakek yang hendak mereka bunuh itu.

“Bagus, kalian berdua ingin menjadi pembuka jalan ke akhirat bagi kakek dan nenek itu? Mampuslah!” bentak kakek berjenggot panjang sambil menyerang Han Tiong.

Pemuda ini cepat mengelak dan segera balas menyerang. Juga kakek bertahi lalat telah menusukkan pedangnya ke arah leher Thian Sin yang cepat mengelak.

“Manusia-manusia berwatak iblis!” Thian Sin berteriak marah sekali kemudian membalas dengan dahsyat, memukul dengan Thian-te Sin-ciang.

Pada mulanya, Yap Kun Liong yang sudah bangkit berdiri tanpa terluka, hanya merasa dadanya agak nyeri, juga isterinya dan Kong Liang, sangat terkejut dan terheran melihat munculnya dua orang pemuda itu. Kemudian mereka merasa khawatir sekali saat melihat betapa dua orang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu mencabut pedang dan menyerang dua orang pemuda itu. Dan akhirnya mereka terheran-heran sesudah melihat betapa pemuda-pemuda itu dapat mengelak dengan lincahnya dan ketika mereka sudah mengenali pukulan Thian-te Sin-ciang!

Ketika Yap Kun Liong melihat gerakan Han Tiong serta Thian Sin yang berdasarkan ilmu silat Thai-kek Sin-kun, wajahnya berseri-seri karena dia mulai mengenal Han Tiong. “Ehh, bukankah dia itu Han Tiong?” teriaknya sambil menuding ke arah Han Tiong yang masih diserang bertubi-tubi oleh lawannya.

“Benar! Dia itu Han Tiong putera Sin Liong!” kata Cia Giok Keng girang.

Kong Liang juga teringat dan mengenal Han Tiong, maka dia pun menjadi girang sekali melihat bahwa salah seorang di antara dua pemuda itu adalah keponakannya sendiri.

Kini mereka bertiga menduga-duga siapa adanya pemuda tampan yang datang bersama Han Tiong. Melihat sepak terjangnya, ternyata dia lebih ganas, amat jauh bedanya dengan gerakan Han Tiong yang tenang sehingga Yap Kun Liong mengerutkan alisnya.

Pemuda itu memiliki pukulan-pukulan yang amat ganas, pikirnya. Akan tetapi jelas bahwa semua gerakannya menunjukkan bahwa dia adalah murid Cin-ling-pai yang sudah pandai sekali, yaitu mempunyai ilmu-ilmu yang amat dikenalnya. Demikian pula dengan Cia Giok Keng dan Cia Kong Liang yang menduga bahwa tentu pemuda itu setidaknya merupakan adik-adik seperguruan dari Han Tiong.

Kini mereka hanya menonton dan tidak merasa khawatir lagi karena meski pun bertangan kosong, ternyata kedua orang pemuda itu mampu menghadapi dua orang lawannya yang berpedang. Hanya Kong Liang yang masih mengerutkan alisnya dengan penuh khawatir. Keponakannya itu masih muda dan lawan itu bukan lawan yang ringan. Ingin dia maju membantu, akan tetapi dia tahu bahwa pamannya tidak akan menyukai itu, dan pula dia sendiri pun pantang untuk melakukan pengeroyokan.

“Han Tiong, kau mundurlah dan biarkan pamanmu menghadapi iblis itu!” teriaknya.

“Biarlah, Paman Kong Liang, saya masih sanggup menandinginya!” jawab Han Tiong.

Dan mendengar itu, tahulah Thian Sin bahwa pemuda gagah perkasa itu adalah Cia Kong Liang, putera ketua Cin-ling-pai. Diam-diam dia merasa tidak senang. Paman yang muda dan sebaya itu sombong, terlalu memandang rendah terhadap Han Tiong. Maka dia pun lalu mengubah gerakannya dan tidak memberi kesempatan lagi kepada lawannya untuk mendesaknya dengan pedang. Dia bergerak lebih cepat dari pada gerakan pedang lawan.

Kakek bertahi lalat di dekat hidung itu terkejut bukan main dan dia pun menjadi bingung karena tubuh lawannya yang muda itu seolah-olah telah berubah menjadi beberapa orang banyaknya, saking cepatnya pemuda itu bergerak. Tidak disangkanya sama sekali bahwa dia akan berhadapan dengan seorang pemuda selihai ini.

Dan sebelum dia sempat memperkuat segi pertahanan, tiba-tiba sebuah tamparan yang amat keras mengenai pergelangan tangannya. Padahal pedangnya tadi telah menyambar dengan ganas tetapi ternyata pemuda itu menerima pedang itu dengan tangan telanjang, menangkis pedang kemudian melanjutkan dengan tamparan yang mengenai pergelangan tangannya.

“Plakkk!”

Pedang itu terlepas dan terlempar sedangkan kakek itu berteriak kesakitan dan terhuyung ke belakang. Thian Sin meloncat dan mengirim pukulan maut dengan Thian-te Sin-ciang, akan tetapi tiba-tiba Han Tiong meloncat dan menangkis pukulannya.

“Sin-te, jangan membunuh orang!” Kakak ini membentak dan pukulan Thian Sin pun cepat ditarik kembali.

Pada waktu Han Tiong mencegah adiknya ini, kakek berjenggot panjang melihat adanya kesempatan baik lantas menusukkan pedangnya ke arah dada Han Tiong pada saat Han Tiong menangkis pukulan maut adiknya itu. Semua orang terkejut melihat ini, dan hampir saja Kong Liang bergerak meloncat, akan tetapi dengan gerakan indah sekali Han Tiong melempar diri ke bawah dan kakinya menyambar.

“Desss…!”

Tendangan itu tepat mengenai tangan yang memegang pedang sehingga pedang itu pun terlepas! Akan tetapi kakek berjenggot itu masih penasaran dan dia pun menubruk tubuh Han Tiong yang masih rebah di atas tanah sehabis menendangnya tadi.

“Plakkk!”

Tubuh kakek berjenggot panjang itu terpelanting dan kiranya dia telah kena ditampar oleh Thian Sin yang sudah marah sekali. Hanya karena dia teringat akan larangan kakaknya, maka tamparan itu pun ditujukan kepada pundak kiri kakek itu.

Kakek itu segera bangkit sambil meringis karena tulang pundaknya yang kena tamparan itu patah-patah, seperti juga kakek yang tadi terpukul pergelangan tangannya itu pun kini memegangi pergelangan tangannya yang patah tulangnya. Tentu saja kakek bertahi lalat dan kakek berjenggot panjang itu tidak mungkin mampu bertempur kembali setelah tulang pergelangan tangan dan tulang pundaknya patah.

Kini kakek pertama yang kehilangan telinga kirinya itu maju. Wajahnya agak pucat karena dia amat terkejut menyaksikan kekalahan dua orang sute-nya. Berbeda dengan dua orang kakek pertama tadi, kakek yang buntung telinga kirinya ini bersikap hati-hati sekali.

“Ah, kiranya di sini berkumpul orang-orang muda yang lihai,” katanya untuk menutupi rasa kaget dan kecewanya. “Baiklah, dua orang dari kami telah kalah, akan tetapi bukan berarti bahwa kami semua telah menyerah. Masih ada kami berdua yang belum maju. Nah, kini siapakah yang akan menghadapi aku?” katanya sambil mencabut pedangnya.

Dari cara dia mencabut pedang dan dari bunyi pedangnya yang berdesing nyaring sekali ketika dicabut, jelaslah bahwa tingkat kepandaian kakek yang buntung telinga kirinya ini lebih tinggi dibandingkan dengan kedua orang kakek tadi. Melihat ini, Kong Liang menjadi khawatir akan keselamatan keponakannya, maka dia langsung meloncat ke depan lantas memegang lengan Han Tiong.

“Han Tiong, kau mundurlah. Kakek ini lawanku!”

“Paman,” kata Han Tiong yang memberi isyarat kepada Thian Sin untuk mundur pula.

Karena keadaan, maka Han Tiong belum sempat banyak bicara dengan kakek dan nenek itu, hanya memberi hormat sambil berlutut yang segera diturut pula oleh Thian Sin yang juga belum sempat memperkenalkan diri. Yap Kun Liong memberi isyarat dengan tangan, menyuruh mereka agar berdiri dan sekarang mereka semua menonton Kong Liang yang menghadapi kakek telinga buntung.

Kakek itu sudah menyilangkan pedangnya di depan dada sambil berkata. “Orang muda, aku telah siap, engkau mulailah!”

Sebetulnya, dengan segala ilmu kepandaian yang telah diwarisinya dari ayah dan ibunya, meski dia menghadapi lawan berpedang ini dengan tangan kosong sekali pun belum tentu Kong Liang akan kalah. Akan tetapi pemuda ini tidak mau membuang waktu, maka dia pun sudah mencabut pedang yang melingkar di pinggangnya sehingga nampaklah sinar keemasan berkelebat ketika Hong-cu-kiam telah berada di tangannya.

Pedang tipis ini mengeluarkan sinar berkilauan dan melihat ini agak gentar jugalah kakek yang buntung telinganya itu. Dan tanpa banyak cakap lagi, Kong Liang sudah menyerang dengan pedangnya dan begitu menggerakkan pedang, dia sudah memainkan Siang-bhok Kiam-sut yang hebat!

Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Pedang Kayu Harum) merupakan ilmu pedang pusaka dari Cin-ling-pai, yaitu merupakan ilmu pedang asli dari pendiri Cin-ling-pai, pendekar sakti Cia Keng Hong dan tentu saja hanya keturunan pendekar itu saja yang mewarisi ilmu pedang ini. Cia Bun Houw mewarisinya dari Cia Keng Hong dan kini ilmu pedang itu diwariskan pula kepada Cia Kong Liang.

Oleh karena itu, begitu pemuda ini memainkan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut dengan menggunakan sebatang pedang pusaka seperti Hong-cu-kiam yang amat tipis dan ringan sehingga sesuai sekali apa bila dipakai untuk mainkan Siang-bhok Kiam-sut, maka kakek yang buntung telinganya itu menjadi terkejut dan bingung sekali.

Memang Cia Kong Liang memiliki gerakan yang sangat tangkas dan kuat, dia pun tidak mau memberi hati kepada lawannya, maka begitu mereka bergebrak, dia sudah langsung mendesak sangat dahsyatnya, sedikit pun tidak memberi kelonggaran sehingga dari jurus pertama, kakek yang buntung telinganya itu sama sekali tidak mampu balas menyerang, melainkan hanya menangkis, mengelak sambil main mundur terus.

Han Tiong dan Thian Sin memandang kagum. Mereka juga banyak mempelajari ilmu silat, akan tetapi mereka tidak mengenal Siang-bhok Kiam-sut, maka kini mereka memandang dengan kagum karena memang gerakan ilmu pedang ini selain sangat indah juga aneh. Dan memang hal ini disengaja oleh Kong Liang yang tahu dengan pasti bahwa Pendekar Lembah Naga, yaitu kakak tirinya, walau pun terkenal amat lihai, tidak pernah menerima pelajaran Siang-bhok Kiam-sut, dan oleh karena itu kedua pemuda itu pun sudah pasti tak akan mengenal Siang-bhok Kiam-sut! Kalau dia memainkan ilmu lain, besar kemungkinan dua orang pemuda itu akan mengenalnya dan hal itu tentu tidak menimbulkan kesan.

Memang, sungguh pun dia sendiri mencoba untuk menutupinya, namun pada diri pemuda Cin-ling-pai ini terdapat suatu watak yang ingin dipuji dan dikagumi. Mungkin hal ini timbul karena dia merasa dimanjakan oleh kedua orang tuanya yang selain hanya mempunyai putera dia seorang, juga sudah berusia agak lanjut pada waktu memperoleh dia sebagai keturunan tunggal.

Dan memang ilmu pedang itu luar biasa sekali, apa lagi dimainkan dengan baiknya oleh Kong Liang. Biar pun kakek bertelinga buntung satu itu berusaha mati-matian, namun dia sama sekali tak mampu membalas dan sampai hampir tiga puluh jurus dia selalu diserang dan didesak hebat. Tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangan kirinya dan sinar kehijauan yang halus meluncur dari tangan kiri ke arah tubuh Kong Liang.

Thian Sin dan Han Tiong merasa terkejut bukan main karena mereka maklum apa artinya sinar-sinar lembut itu. Itu adalah jarum-jarum yang sangat halus sebagai senjata rahasia kakek itu. Jarum-jarum ini amat berbahaya, disebut Coa-tok-ciang (Jarum Racun Ular) dan kalau jarum ini sampai mengenai kulit lawan, maka racun yang berada di ujung jarum itu dapat terbawa darah dan akibatnya seperti orang digigit ular berbisa saja. Bahkan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng juga terkejut dan khawatir.

Akan tetapi Cia Kong Liang benar-benar tak mengecewakan menjadi putera Cin-ling-pai. Begitu melihat menyambarnya sinar hijau, dia sudah memutar pedangnya dan meloncat ke belakang, kemudian berjungkir balik ke atas dan meluncur turun setelah semua jarum itu dapat ditangkis pedangnya hingga lewat di bawah kakinya. Begitu tubuhnya meluncur, pedangnya sudah menyambar dengan kecepatan kilat ke arah ubun-ubun, kedua pundak, dada dan pusar lawan, begitu cepatnya bertubi-tubi sehingga seolah-olah yang menyerang itu bukan sebatang pedang, melainkan lima batang!

“Ihhh…!” Kakek itu terkejut dan mengelak mundur sambil menangkis.

Terdengar bunyi berdencingan ketika dua pedang itu bertemu dengan keras berkali-kali, akan tetapi tiba-tiba kakek itu berteriak kaget dan terjengkang! Sebatang jarum, jarumnya sendiri, telah menancap di dadanya sebelah kiri, menembus bajunya kemudian menancap sampai setengahnya lebih. Itulah sebatang jarum yang tadi dapat ditangkap oleh tangan kiri Kong Liang tanpa dapat dilihat oleh lawan dan kini jarum itu telah makan tuannya!

Kong Liang menerjang terus, hendak mengirim tusukan maut, akan tetapi Yap Kun Liong berseru keras, “Kong Liang, jangan…!”

Akan tetapi pedang telah digerakkan, tidak mungkin dapat ditarik kembali dan pemuda itu hanya dapat memiringkan tangannya saja sehingga pedang yang tadi menusuk dada, kini menyeleweng dan hanya mengenai pangkal lengan. Namun luka yang didatangkan oleh tusukan itu cukup lebar dan dalam, membuat kakek itu mengaduh dan meloncat mundur. Pangkal lengan kanannya terluka, juga dadanya yang sebelah kiri terkena jarum beracun sehingga perlu harus cepat-cepat diobatinya, maka tentu saja dia tidak dapat melanjutkan pertandingan dan melangkah mundur dengan muka pucat.

“Hemm, sungguh sayang para paman ini telah gagal. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, kuharap kalian suka maju sendiri agar perhitungan antara kita dapat dilunaskan sekarang juga. Kalian berdua mati di tanganku atau aku yang akan tewas di tangan kalian seperti kakek dan nenekku,” kata dara manis itu.

Tidak nampak dia menggerakkan kakinya, akan tetapi tahu-tahu tubuhnya telah melayang ke tengah taman itu. Hal ini saja sudah menunjukkan betapa lihainya dara ini dan melihat betapa pada waktu tubuhnya melayang tadi kedua tangannya digerakkan seperti burung, menunjukkan bahwa dia merupakan seorang yang ahli dalam ilmu ginkang yang disebut Hui-heng-sut (Ilmu Lari Terbang) dan orang yang memiliki ilmu ini amat berbahaya karena gerakannya amat ringan seperti seekor burung saja.

Kini dara itu berdiri tegak menghadap ke arah kakek dan nenek itu, sikapnya tenang dan tabah, kelihatan gagah sekali sehingga diam-diam Thian Sin merasa kagum bukan main. Hebat dara ini, pikirnya dengan jantung berdebar karena dia merasa tertarik sekali. Tanpa disadari dia sudah melangkah maju dan berkata,

“Biarlah aku menghadapi nona ini!”

“Sin-te, jangan lancang!” Han Tiong mencela adiknya.

“Kalian mundurlah,” kata Kong Liang yang masih terus memegang pedang Hong-cu-kiam di tangannya, sambil melangkah maju. “Nona ini agaknya mempunyai kepandaian, biarlah aku yang mewakili paman dan bibi memberi hajaran kepadanya!”

Dara itu tadi sudah menatap wajah Thian Sin dan sejenak keduanya saling pandang, dan keduanya merasa tertarik. Dara itu mendapat kenyataan betapa tampan dan gagahnya pemuda yang pertama kali maju ini dan harus diakuinya bahwa belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda yang begini menarik hatinya.

Akan tetapi, majunya Kong Liang dan teguran kakaknya itu membuat Thian Sin mundur kembali sungguh pun dia masih terus memandang wajah dara yang sangat manis dan menarik hatinya itu. Dan dara itu pun terpaksa kini memandang Kong Liang yang tadi telah merobohkan kakek telinga buntung. Tahulah dara ini bahwa dia berhadapan dengan lawan yang tangguh, akan tetapi sedikit pun dia tidak gentar.

“Pertandingan ini adalah untuk mengadu nyawa, oleh karena itu aku tak ingin membunuh atau pun terbunuh oleh orang yang tidak kuketahui siapa. Kalau aku tidak salah, engkau adalah orang dari Cin-ling-pai, bukan?” Dara itu bertanya. “Aku sudah memperkenalkan diriku. Aku bernama So Cian Ling, murid dari See-thian-ong. Akan tetapi aku datang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan guruku, melainkan mewakili arwah nenek dan kakekku untuk membalas dendam kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.”

Sikap dara itu sungguh tenang dan juga gagah, tidak seperti orang dari golongan jahat dan kasar. Apa lagi ketika dia mengaku bahwa dia adalah murid See-thian-ong, Yap Kun Liong dan isterinya, juga para pemuda itu terkejut sekali.

Mereka sudah mendengar akan nama See-thian-ong yang dianggap sebagai datuk dunia bagian barat, yang setingkat dengan Pak-san-kui dari utara, atau dengan Tung-hai-sian dari timur dan Lam-sin dari selatan! Ternyata dara ini adalah murid datuk barat, maka dapat diduga bahwa dia tentu lihai sekali, jauh lebih lihai dari pada tiga orang kakek yang telah kalah tadi.

Diam-diam Cia Kong Liang juga terkejut sekali, bukan hanya karena ternyata bahwa dara ini adalah murid See-thian-ong yang terkenal, akan tetapi juga betapa dara ini telah dapat menduga bahwa dia datang dari Cin-ling-pai hanya dengan melihat gerakan-gerakannya tadi. Maka dia pun menjawab cepat,

“Memang benar, aku adalah putera ketua Cin-ling-pai dan keponakanku di sana itu adalah putera Pendekar Lembah Naga. Nah, kami semua sudah berada di sini untuk melindungi paman dan bibiku yang sudah tua. Engkau sungguh sudah bosan hidup karena berani menentang paman dan bibiku.”

Dara itu juga terkejut, bukan hanya mendengar bahwa pemuda di hadapannya ini adalah putera ketua Cin-ling-pai, akan tetapi juga mendengar bahwa pemuda-pemuda yang lain itu datang dari Lembah Naga, bahkan seorang di antara mereka adalah putera Pendekar Lembah Naga. Tahulah dia bahwa dia benar-benar sial, akan tetapi karena telah terlanjur, maka dia tidak akan undur lagi.

“Siapa pun yang melindungi mereka, aku tidak peduli. Kematian kakek dan nenekku harus ditebus! Nah, majulah!” tantangnya dan sekali tangannya bergerak ke belakang dia telah mencabut pedangnya dan nampak sinar putih seperti perak. Ternyata pedangnya itu pun merupakan sebatang pedang pusaka yang indah dan juga ampuh.

“Bagus, bersiaplah engkau!” bentak Kong Liang dan sekali bergerak dia sudah mengirim serangan bertubi-tubi sampai lima kali beruntun!

Akan tetapi, dengan tangkas sekali nona itu menangkis sampai lima kali kemudian balas menyerang, dan sekali serang juga telah mengirim tusukan dan bacokan sampai lima kali berturut-turut yang semuanya telah dapat dielakkan dan ditangkis oleh Kong Liang. Ketika pemuda ini menangkis untuk ke lima kalinya, dia sengaja mengerahkan tenaganya.

“Tranggg…!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata dan keduanya merasa betapa lengan tangan mereka tergetar hebat. Cepat mereka memeriksa pedang masing-masing, akan tetapi dengan hati lega mereka mendapat kenyataan bahwa pedang mereka tidak rusak.

Pada saat itu, Yap Kun Liong sudah meloncat datang dan menengahi. “Kong Liang, kau mundurlah dan biarkan aku sendiri menyelesaikan urusan pribadiku ini.”

Mendengar ucapan pamannya ini, tentu saja Kong Liang cepat mundur dan menyimpan kembali pedangnya, memakainya sebagai ikat pinggang.

“Nona So, sungguh sedih sekali hatiku melihat bahwa urusan ini berlarut-larut. Aku tidak ingin membuat keluargaku terikat dengan urusan permusuhan yang tidak ada artinya ini. Nah, kalau memang benar-benar engkau mendendam atas kematian Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, kau bunuhlah aku, dan aku tidak akan melawan sama sekali. Aku tidak pernah menyesal bahwa dahulu aku menentang mereka, karena sesungguhnyalah bahwa mereka berdua adalah suami isteri yang amat jahat dan menyeleweng dalam kehidupan mereka! Aku melihat nona bukanlah orang seperti mereka itu, akan tetapi nona berkeras hendak membalas dendam kematian mereka. Nah, sekarang aku menyerahkan nyawaku kepadamu agar dendam ini dapat dihabiskan sampai di sini saja.”

Melihat kakek yang penuh wibawa itu memasang dada dan siap menerima kematian, dara itu melangkah mundur dan mukanya berubah agak pucat. Dia memandang ragu-ragu dan melihat keadaan suami isteri tua yang gagah perkasa, apa lagi tiga orang pemuda yang jelas merupakan pendekar-pendekar perkasa dan sangat mengagumkan itu, dia sudah mulai dapat melihat bahwa agaknya tidak salah lagi bahwa permusuhan antara kakek dan nenek angkatnya bersama suami isteri pendekar ini tentu terjadi karena kesalahan kakek dan nenek angkatnya. Apa lagi setelah tadi mendengar penuturan Yap Kun Liong bahwa kematian itu terjadi di dalam perang. Akhirnya dia membalikkan tubuhnya lantas berkata kepada tiga orang kakek yang sudah terluka tadi.

“Sudahlah, mari kita pergi dari sini!”

“Tetapi… tetapi… dendam kita…,” kakek yang buntung telinga kirinya membantah.

“Sudah, tidak ada urusan dendam lagi bagiku. Aku tidak mau mendengar bujukan kalian lagi!” kata So Cian Ling dan dia pun lalu menengok, memandang kepada Thian Sin lalu bibirnya membentuk senyum yang mewakili hatinya, dan sekali meloncat dia lenyap dari situ. Tiga orang kakek itu tentu saja sudah kehilangan nyalinya melihat dara itu tidak mau membantu mereka, dan tanpa pamit mereka itu pun berlari pergi.

Baru sekarang, setelah semua pengacau itu pergi, kakek dan nenek itu merasa gembira sekali. Yap Kun Liong lalu memandang Han Tiong dan berkata, “Bocah nakal, mengapa kau datang tanpa memberi tahu? Mengagetkan saja! Dan kau sudah begini besar, dan gagah perkasa seperti ayahmu. Hebat sekali gerakan-gerakanmu tadi.”

“Ah, saya masih banyak mengharapkan petunjuk dari locianpwe,” kata Han Tiong dengan sikap merendah, kemudian memandang pada Kong Liang sambil berkata, “Paman Kong Liang, ilmu pedangmu tadi sungguh membuat aku kagum bukan main!”

Kong Liang tersenyum, diam-diam merasa bangga. Akan tetapi dia memandang kepada Thian Sin dan bertanya kepada Han Tiong. “Siapakah temanmu ini, Han Tiong?”

“Ya, siapakah dia ini?” Cia Giok Keng menyambung dan sejak tadi dia menatap wajah pemuda yang tampan itu.

Ditanya begini, sebelum Han Tiong menjawab, Thian Sin sudah menjatuhkan diri di depan Cia Giok Keng sambil berkata. “Nenek, cucumu yang bodoh mohon ampun bahwa baru sekarang dapat datang menghadap.”

Tentu saja Cia Giok Keng menjadi kaget dan bingung, akan tetapi pada saat itu pula Han Tiong sudah berkata dengan hati terharu, “Dia ini adalah Ceng Thian Sin yang menjadi adik angkat saya dan menjadi murid ayah, dia adalah putera dari Paman Ceng Han Houw dan Bibi Lie Ciauw Si.”

“Ehh…?” Cia Giok Keng menjerit dan mengangkat bangkit pemuda itu, menatap wajahnya dan kemudian merangkulnya. “Cucuku…! Ahhh, cucuku, tidak kusangka bahwa aku akan dapat berjumpa dengan anak Ciauw Si…” Suaranya mengandung isak tangis. “Cucuku, di manakah mereka? Mengapa ibumu tidak ikut datang bersamamu menengokku…?”

Ditanya tentang ibunya, tentu saja jantung Thian Sin terasa seperti ditusuk. Dia langsung menunduk, menahan air matanya agar tidak keluar dari matanya yang terasa panas itu, kemudian dapat juga dia berkata lirih. “Maafkan nek… mereka… ayah dan ibu kini telah tiada…”

Sepasang mata tua itu terbelalak dan muka yang memang sudah agak pucat itu menjadi semakin pucat. “Apa…? Bagaimana…?”

Dan nenek itu tentu sudah roboh kalau tidak dipeluk cucunya. Yap Kun Liong cepat-cepat menghampiri kemudian memondong tubuh isterinya yang pingsan, lalu berkata kepada tiga orang muda itu.

“Mari kita bicara di dalam…”

Keadaan menjadi menyedihkan pada waktu tiga orang pemuda itu mengikuti kakek yang memondong tubuh nenek yang pingsan itu memasuki pondok. Sesudah merebahkan Cia Giok Keng di atas dipan lantas mengurut beberapa jalan darahnya, akhirnya nenek itu mengeluh dan membuka matanya. Akan tetapi begitu melihat Thian Sin duduk di dekat situ, dia pun segera menangis dan teringat lagi.

“Ah, Ciauw Si… Ciauw Si anakku… mengapa engkau yang masih muda telah mati lebih dulu? Betapa buruk nasibmu, anakku…”

Thian Sin menggigit bibirnya berusaha menahan supaya jangan ikut menangis mendengar neneknya itu menangis sambil meratap. Yap Kun Liong menghibur isterinya.

“Sudahlah, kematian akan datang kepada siapa pun juga, muda mau pun tua. Menyedihi si mati hanya melemahkan batin dan badan saja, dan tidak ada manfaatnya. Lebih baik kita mendengarkan Thian Sin menceritakan kematian ayah bundanya.”

Cia Giok Keng menyusut air matanya lalu memandang kepada cucunya, menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang amat tertekan, “Cucuku, ceritakan bagaimana ibumu sampai tewas…”

Dengan lirih dan hati-hati Thian Sin lalu bercerita mengenai pengeroyokan pasukan, baik pasukan dari Kerajaan Beng mau pun pasukan dari Raja Agahai di utara yang membantu, dan betapa dia sendiri oleh ibu dan ayahnya diungsikan sebelum malapetaka itu datang, mengungsi ke kuil pamannya, yaitu Hong San Hwesio Lie Seng, kemudian bersama Han Tiong belajar di bawah asuhan pamannya itu, sehingga akhirnya dia turut bersama kakak angkatnya itu dan mempelajari ilmu silat di Lembah Naga.

Mendengar penuturan itu, Yap Kun Liong lalu berkata, “Hemm, segala macam perbuatan manusia tak ada bedanya dengan menanam benih yang tentu akan menumbuhkan pohon yang berkembang dan berbuah. Bunga dan buahnya tak akan lepas dari pada sifat benih yang ditanam itu sendiri. Oleh karena itu, segala akibat takkan lepas dari pada sebabnya dan kita tak perlu menyesal. Ciauw Si terbawa oleh akibat dari pada perbuatan suaminya, maka hal itu pun tidak perlu disesalkan.”

“Akan tetapi, anakku adalah seorang wanita gagah. Tidak semestinya terbunuh demikian menyedihkan. Kematiannya tak mungkin dapat didiamkan saja! Para pembunuhnya tidak dapat membedakan siapa salah siapa benar, dan para pembunuhnya itu harus dibalas!”

Yap Kun Liong memegang lengan isterinya. “Tenang dan sabarlah. Apakah engkau akan mengulang apa yang sudah dilakukan oleh cucu dari para penghuni Padang Bangkai tadi, yaitu hidup diracuni dendam?”

“Ahh, tapi mereka itu lain lagi! Kakek dan nenek mereka adalah orang-orang jahat yang memang sepatutnya dibunuh! Akan tetapi Ciauw Si anakku! Apa salahnya? Salahnya dia hanya jatuh cinta kepada seorang yang…”

“Sudahlah, perlu apa menggali hal-hal yang sudah lalu? Mereka sudah tiada, akan tetapi mereka meninggalkan seorang putera dan dia telah menjadi seorang pemuda yang begini gagah,” kata Yap Kun Liong yang cepat mencegah isterinya melanjutkan kata-katanya mencela mendiang Ceng Han Houw di depan puteranya sendiri.

“Cucuku…!” Cia Giok Keng lalu merangkul Thian Sin dan menangis.

Betapa pun juga, kunjungan tiga orang pemuda itu, terutama sekali hadirnya Thian Sin di situ, mendatangkan kegembiraan di dalam hati nenek itu dan membuatnya sehat kembali. Tiga orang pemuda itu tinggal di puncak Bwee-hoa-san, melayani kakek serta nenek itu sehingga mereka merasa berbahagia sekali.

Giok Keng merasa gembira bukan main dan amat mencinta cucunya. Saking girang dan senangnya terhadap cucunya, dia menyerahkan pedang pusakanya, yaitu Gin-hwa-kiam kepada Thian Sin, bahkan mengajarkan ilmu silat memainkan sabuk sebagai senjata yang ampuh. Memang nenek ini amat ahli mempergunakan sabuk panjang sebagai senjata dan sabuk ini memang lihai bukan main, dapat dipergunakan untuk menghadapi senjata tajam lawan dan melilit serta merampasnya.

Juga Yap Kun Liong tidak tinggal diam. Dia merasa gembira dekat dengan ketiga orang pemuda yang berbakat dan gagah perkasa itu, dan dia pun tahu bahwa inilah kesempatan terakhir baginya. Dia sudah tua, tidak memiliki anak kecuali Yap Mei Lan yang telah pergi ke luar negeri bersama suaminya, Souw Kui Beng. Maka apa bila dia tidak meninggalkan ilmu-ilmunya tentu tidak lama lagi akan terbawa mati. Dan siapa lagi yang lebih pantas menerima ilmu-ilmunya itu kecuali tiga orang pemuda ini?

Yap Kun Liong merasa kagum bukan main melihat watak Cia Han Tiong. Dia tahu bahwa pemuda ini mempunyai kebijaksanaan yang luar biasa, yang amat menonjol hingga jauh melampaui kedua orang pemuda lainnya. Sebaliknya dia pun diam-diam merasa prihatin dan khawatir melihat sifat-sifat ganas yang dimiliki Thian Sin.

Dalam percakapan berdua dengan Thian Sin, Yap Kun Liong banyak memberi nasehat-nasehat dan menanamkan jiwa kependekaran pada pemuda ini, dan dia pun mengajarkan Ilmu Pat-hong Sin-kun dan Pek-in-ciang yang amat lihai kepada Thian Sin. Kepada Cia Kong Liang dia mengajarkan Siang-liong-pang dan Im-yang Sin-kun. Dan kepada Cia Han Tiong dia sudah memberikan kitab yang selama ini merupakan pusakanya yang sangat disayangnya, yaitu kitab Keng-lun Tai-pun ciptaan Bun Ong yang mengandung pelajaran yang amat halus dan hanya dapat dimengerti oleh orang yang benar-benar berbakat!

Demikianlah, tiga orang pemuda itu tinggal di situ sampai hampir satu bulan lamanya, dan mereka bertiga merasa gembira bukan main memperoleh ilmu-ilmu dari kakek dan nenek itu. Kemudian, karena telah tiba saatnya bagi Cia Kong Liang untuk mewakili kedua orang tuanya menghadiri undangan dari Tung-hai-sian di Ceng-tao di Propinsi Shan-tung yang merayakan ulang tahun, mereka bertiga lalu meninggalkan puncak Bwee-hoa-san, diantar oleh pandang mata kesepian oleh kakek dan nenek itu!

********************

Han Tiong dan Thian Sin diajak Kong Liang untuk turut ke kota Ceng-tao, menemaninya mengunjungi pesta ulang tahun itu. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng juga menganjurkan kepada dua orang pemuda itu untuk ikut.

“Tung-hai-sian adalah datuk kang-ouw yang amat disegani di dunia timur, oleh karena itu di dalam pesta perayaan itu tentu akan hadir banyak sekali orang-orang kang-ouw serta tokoh-tokoh besar. Pertemuan dengan mereka itu sangat penting bagi kalian orang-orang muda,” demikian Yap Kun Liong berkata.

Han Tiong dan Thian Sin memang juga hendak meluaskan pengalaman, maka tentu saja ajakan itu mereka terima dengan hati gembira. Mereka lalu melakukan perjalanan ke timur dengan cepat dan pada sepanjang perjalanan mereka bertiga itu bergembira.

Maklumlah, walau pun Kong Liang disebut paman oleh mereka, akan tetapi usia mereka sebaya. Kong Liang berusia dua puluh dua tahun, Han Tiong sembilan belas tahun dan Thian Sin delapan belas tahun.

“Ingat, kita bertiga mewakili Cin-ling-pai dan karena Cin-ling-pai sudah dikenal di seluruh dunia, maka kita harus menjaga gerak-gerik kita yang tentu akan diperhatikan orang. Dan karena aku yang bertanggung jawab atas nama Cin-ling-pai, maka kuminta supaya kalian tidak sembarangan melakukan sesuatu sebelum ada ketentuan dariku. Di sana berkumpul banyak sekali orang kang-ouw, maka bila kalian salah bertindak sedikit saja akan dapat menimbulkan kegemparan dan kalau sampai nama Cin-ling-pai terbawa, tentu ayah akan marah kepadaku.”

“Baiklah, paman. Kami hanya ikut saja dan menonton, tentu saja kami tidak akan berani membuat ribut. Bukankah begitu, Sin-te?”

Thian Sin hanya mengangguk. Akan tetapi karena dia memang kadang-kadang merasa mendongkol melihat sikap Kong Liang yang seakan-akan menganggap mereka berdua masih ‘hijau’ dan bersikap kepada mereka seolah-olah mereka itu masih kanak-kanak, lalu berkata.

“Kami mengerti, Paman Kong Liang. Pendeknya, biar engkau yang menjadi pemimpinnya, dan kami hanya mentaati saja.”

Ucapan ini sewajarnya saja bagi Kong Liang yang mengangguk senang, akan tetapi Han Tiong yang telah mengenal watak adik angkatnya ini, benar-benar tahu bahwa adiknya itu merasa mendongkol dan dalam kata-katanya tadi terkandung ejekan.

********************

Siapakah adanya Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur) ini? Mari kita berkenalan dengan tokoh yang terkenal sebagai datuk kaum persilatan di wilayah timur dan bahkan di sepanjang pantai timur.

Sebenarnya, Dewa Laut Timur ini adalah bekas seorang bajak laut yang dahulu pernah menggemparkan seluruh permukaan laut yang amat luas sehingga namanya dikenal oleh semua pelaut baik pelaut Tiongkok, Jepang, mau pun Korea. Dia adalah seorang ‘samurai’ Jepang, seorang pendekar Jepang yang pernah menjadi pengacau atau pemberontak yang amat terkenal di Jepang.

Sebetulnya dia bukanlah seorang samurai biasa saja. Kakeknya adalah seorang panglima besar yang bernama Minamoto, yaitu salah seorang pengikut Daigo II yang dijatuhkan dari kedudukannya oleh Ashikaga Takauji. Karena junjungannya kalah dan jatuh, Panglima Besar Minamoto ini lalu melarikan diri dan bersembunyi di pulau kosong bersama dengan keluarganya.

Di tempat ini mereka hidup sebagai nelayan biasa, akan tetapi cita-cita bekas panglima itu tak pernah padam, yaitu agar sekali waktu keturunannya dapat kembali ke Jepang untuk membalas dendam terhadap kaisar baru! Dia menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang cucunya yang berbakat, dan cucunya inilah yang sekarang menjadi Dewa Laut Timur!

Di sepanjang pantai timur Tiongkok, Tung-hai-sian ini dikenal dengan nama Bin Mo To, yaitu sebutan dalam bahasa Tionghoa untuk nama Minimoto, karena dia memakai nama besar kakeknya. Setelah dia dewasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, Minimoto muda ini pergi meninggalkan pulau kosong untuk memenuhi cita-cita kakeknya.

Di Jepang dia mengalahkan banyak jagoan samurai, menjadi pemimpin pemberontak dan berusaha memberontak terhadap istana yang pada saat itu sedang diperintah oleh Kaisar Muromaci. Akan tetapi semua usahanya gagal oleh karena usahanya ini ditentang oleh para pengikut aliran Zen Buddhis yang amat kuat.

Dia gagal, pasukannya dihancurkan dan dia pun dikejar-kejar. Maka larilah Minimoto dan menjadi buronan. Mulai saat itulah dia memasuki dunia penjahat, menjadi bajak laut. Dan karena dia terlahir di pulau kosong, juga oleh kakeknya digembleng oleh segala macam ilmu, maka dia pun memiliki keahlian ilmu dalam air laut yang amat hebat. Maka ketika dia menjadi bajak laut, sebentar saja namanya ditakuti semua orang.

Pekerjaannya membajak kapal-kapal ini membuat dirinya berhasil mengumpulkan banyak harta. Pada usia empat puluh tahun dia menghentikan pekerjaannya membajak kemudian bertempat tinggal di Korea, di mana dia hidup menjadi semacam ‘datuk’ yang menerima ‘bagi hasil’ dari para penjahat yang takut dan segan kepadanya. Namun, setelah tinggal di Korea selama lebih dari sepuluh tahun, kembali dia harus angkat kaki karena dimusuhi oleh Kerajaan Korea.

Itulah sebabnya, dalam usia kurang lebih lima puluh tahun, Minimoto atau Bin Mo To yang berjuluk Tung-hai-sian, julukan yang diperolehnya setelah dia tinggal di Ceng-tao, pindah ke kota itu dan di situ dia tidak lagi berani menjadi datuk secara terang-terangan.

Tung-hai-sian Bin Mo To berusaha untuk membersihkan namanya, dan untuk itu dia lalu mendirikan perkumpulan yang diberinya nama Mo-kiam-pang (perkumpulan Pedang Iblis), yakni sebuah perkumpulan silat. Perkumpulan ini tidak secara terang-terangan melakukan kejahatan, namun seluruh penjahat di wilayah itu semua tunduk terhadap perkumpulan ini sebab setiap penjahat yang tidak mau tunduk tentu akan berhadapan dengan pedang iblis yang amat ganas. Maka diam-diam Tung-hai-sian diangkatlah oleh dunia hitam sebagai datuk yang mereka takuti.

Tung-hai-sian yang kaya raya dan lihai ini amat berpengaruh. Dia dapat menguasai para pembesar setempat dengan sogokan-sogokan yang berani. Sebagian besar perusahaan pengawal, yaitu piauwkiok, seakan-akan menjadi anak buahnya dan semua membayar semacam ‘pajak’ kepadanya kalau menghendaki pekerjaan mereka tidak terganggu.

Perusahaan pengawal yang memakai bendera kuning kecil bergambar pedang bersilang dan tengkorak, yaitu tanda dari Mo-kiam-pang, dapat terlindung karena tidak ada seorang pun penjahat berani mengganggunya. Dan untuk memperoleh bendera kecil ini tentu saja perusahaan itu harus membelinya dengan harga yang sangat mahal. Juga Tung-hai-sian menanamkan banyak modal pada perusahaan-perusahaan besar di kota-kota pelabuhan besar sehingga kekayaannya semakin bertambah.

Tung-hai-sian Bin Mo To ini mempunyai banyak isteri atau selir, jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang. Akan tetapi di antara para isterinya itu, hanya isteri ke dua sajalah yang mempunyai seorang anak perempuan. Isteri ke dua itu adalah seorang wanita Korea dan diperisterinya saat dia masih tinggal di Korea, bahkan anaknya pun terlahir di Korea.

Anak itu baru berusia tujuh tahun ketika dia pindah ke Ceng-tao dan kini anak itu sudah berusia tujuh belas tahun, seorang anak perempuan yang cantik, bertubuh tinggi langsing seperti ibunya, berani dan tangkas dan lincah seperti ayahnya. Dara ini diberi nama Bin Biauw, dan tentu saja sebagai seorang puteri Tung-hai-sian yang menjadi pendiri serta ketua perkumpulan Mo-kiam-pang, Bin Biauw ini adalah seorang ahli pedang.

Demikianlah sedikit riwayat dari Tung-hai-sian dan kini datuk ini mengadakan pesta untuk merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh, suatu hal yang baru dapat dilakukannya di bumi Tiongkok ini, di mana dia dapat hidup bebas dari pengejaran yang berwajib dan hidup sebagai seorang terhormat! Undangan itu tentu saja mengandung maksud.

Pertama, dia ingin memperkenalkan diri kepada para tokoh kang-ouw sebagai datuk timur yang sepuluh tahun lebih ini tak pernah menemui tanding! Dan selain itu, juga dia hendak mencari-cari jodoh untuk puterinya yang sudah berusia tujuh belas tahun. Tentu saja dia tidak sudi mencari mantu di antara tokoh-tokoh sesat. Puterinya tidak akan menjadi isteri seorang bajingan!

Dia sendiri adalah keturunan samurai, keturunan jago dan pendekar kenamaan, sebab itu puterinya harus memperoleh jodoh setidaknya seorang pendekar gemblengan pula! Inilah sebabnya mengapa dia mengundang semua perkumpulan besar kecil di dunia kang-ouw, bukan terbatas pada golongan sesat belaka. Demikian pula sebabnya maka Cin-ling-pai juga menerima undangan yang sekarang diwakili oleh Cia Kong Liang yang mengajak dua orang keponakannya.

Rumah gedung milik Tung-hai-sian di kota Ceng-tao itu amat besar, dengan pekarangan depan luas sekali, juga dengan sebuah taman yang sangat indah dan luas di sebelah kiri dan belakang rumah gedung yang seperti istana pembesar tinggi itu. Di sebelah kanan gedung itu terdapat rumah-rumah petak tempat tinggal para murid atau pembantunya, tokoh-tokoh Mo-kiam-pang yang tingkatnya sudah tinggi, ada belasan orang banyaknya. Ada pun para murid lainnya berkumpul di sebuah rumah perkumpulan yang lebih besar lagi, yang berada di jalan itu juga dan tidak begitu jauh dari rumah gedung tempat tinggal Tung-hai-sian.

Pada hari yang telah ditentukan itu, para tamu membanjiri kota Ceng-tao dan suasana di gedung keluarga itu amat meriah. Halaman depan yang sangat luas itu dijadikan ruangan tamu yang dihias dengan bunga-bunga dan kertas-kertas berwarna.

Tempat itu mampu menampung seribu orang, dan tamu yang datang sedikitnya ada lima ratus orang dari bermacam golongan. Boleh dibilang bahwa hampir semua perkumpulan-perkumpulan di dunia persilatan, baik dari golongan bersih mau pun dari golongan kotor, apa yang disebut kaum putih dan kaum hitam, mengirimkan wakil, bahkan banyak pula yang ketuanya memerlukan hadir sendiri.
Selanjutnya,