Pendekar Sadis Jilid 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sadis Jilid 13
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Thian Sin dan Han Tiong yang mengikuti Kong Liang hadir di tempat yang luas itu, dari jauh melihat pula hadirnya seorang pemuda pesolek tampan yang membuat mereka amat terkejut karena tidak disangkanya mereka akan melihat pemuda itu di sana. Pemuda itu tak lain adalah Siangkoan Wi Hong. Si pemuda pesolek, pemain yang-kim yang pandai.

Agaknya pemuda itu hadir mewakili ayahnya, yaitu Pak-san-kui yang dianggap sebagai datuk utara. Tidaklah mengherankan jika dia disambut sebagai tamu agung, ditempatkan di ruang kehormatan, yaitu panggung yang sengaja dibuat untuk menyambut tamu-tamu yang dihormati.

Siangkoan Wi Hong datang bersama tiga orang kakek yang juga dikenal oleh Han Tiong. Dia teringat betapa dulu ayahnya pernah diuji oleh Pak-san-kui, diadu dengan tiga orang kakek itu yang berjuluk Pak-thian Sam-liong, yaitu murid-murid Pak-san-kui yang lihai.

Dan tiga orang pemuda itu pun terkejut ketika melihat hadirnya seorang dara manis yang tidak lain adalah So Cian Ling, murid dari See-thian-ong atau keturunan penghuni Padang Bangkai yang pernah datang untuk membalas dendam kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng itu! Dara cantik manis itu datang mewakili suhu-nya, ditemani oleh seorang murid suhu-nya yang kelihatan gagah dan berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun. Juga wakil-wakil dari See-thian-ong in memperoleh kursi di panggung kehormatan.

Tiga orang pemuda yang mengaku wakil Cin-ling-pai itu tidak mendapat kursi di panggung kehormatan dan hal ini saja menyatakan bahwa datuk kaum sesat itu tidak memandang tinggi kepada fihak Cin-ling-pai! Akan tetapi hal itu tidak mendatangkan perubahan pada wajah Kong Liang yang tampan itu, sungguh pun sebenarnya hati merasa panas sekali! Memang pemuda ini sudah pandai menyimpan perasaannya. Betapa pun juga Han Tiong dan Thian Sin yang merasa lega karena dengan mendapat duduk di golongan tamu biasa mereka tidak harus bertemu muka dengan Siangkoan Wi Hong dan So Cian Ling.

Semua tokoh kang-ouw melihat-lihat dan merasa heran kenapa seorang di antara empat datuk, yaitu Lam-sin (Malaikat Selatan) tidak nampak mengirim wakilnya, padahal nama Lam-sin juga amat terkenal sungguh pun jarang ada orang yang pernah bertemu dengan orangnya. Hanya namanya sajalah yang amat terkenal, dan nama itu dibuat terkenal oleh para anggotanya, yaitu golongan pengemis!

Lam-sin ini di selatan menjadi ketua dari sebuah perkumpulan pengemis yang terkenal dengan nama yang amat sombong, yaitu Bu-tek Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tanpa Tanding)! Dan memang menurut kabar angin, perkumpulan ini memiliki anggota-anggota yang semuanya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan anggota mereka tidaklah banyak, katanya hanya dua puluh orang lebih namun rata-rata amat lihai sehingga nama Bu-tek Kai-pang itu ditakuti semua orang, apa lagi ketuanya yang hanya dikenal sebagai Lam-sin atau Malaikat Selatan.

Lam-sin sendiri tidak pernah keluar, akan tetapi setiap ada pengemis sakti dari Bu-tek Kai-pang melakukan sesuatu yang menggemparkan dunia kang-ouw, tentu nama Lam-sin semakin terangkat sebab setiap pengemis sakti itu amat menjunjung tinggi nama Lam-sin sebagai guru dan majikan mereka! Pendeknya, sampai kini nama Lam-sin merupakan tokoh misterius yang hanya dikenal nama namun belum dikenal rupanya itu.

Pesta ulang tahun itu berjalan dengan amat meriah. Suguhan-suguhan yang dihidangkan adalah masakan-masakan yang mahal, sedangkan araknya juga arak pilihan, pendeknya benar-benar merupakan pesta dari seorang yang kaya raya. Semua ini masih diramaikan dengan hadirnya serombongan penari dan penyanyi yang didatangkan dari Nan-king, yang tentu saja amat mahal bayarannya.

Selagi pesta itu berlangsung meriah, tiba-tiba seorang pembantu fihak tuan rumah yang bertugas sebagai pembawa acara bangkit berdiri di atas panggung di mana para penari baru saja mengundurkan diri. Musik pun berhenti dan terdengar suara orang itu lantang,

“Dimohon perhatian cu-wi yang mulia! Atas perintah dari fihak tuan rumah, kami memberi tahukan bahwa acara hiburan ditunda untuk memberi kesempatan kepada Bin-siocia yang hendak memberikan selamat kepada Bin-loya (tuan Besar Bin). Hendaknya cu-wi maklum bahwa Bin-siocia adalah puteri tunggal dari Tuan Besar Bin Mo To yang mulia. Sebagai hadiah untuk ayahnya, Bin-siocia berkenan hendak mempertunjukkan tarian pedang!”

Tentu saja pengumuman itu disambut dengan tepuk sorak riuh karena para tamu tentu saja ingin sekali melihat ilmu pedang dari puteri Tung-hai-sian Bin Mo To. Hanya beberapa orang saja di antara para tamu, termasuk para pembesar di Ceng-tao, yang sudah tahu bahwa Bin-siocia adalah seorang dara yang sangat cantik dan manis, dan yang kabarnya mempunyai ilmu silat yang amat tinggi, paling tinggi di antara anak buah atau murid-murid datuk itu sendiri!

Tiba-tiba saja terdengar musik ditabuh, yaitu tambur dan gembreng serta terompet. Selagi tambur dipukul gencar, dari dalam keluarlah seorang dara berpakaian serba merah, baju dan celana merah muda, ikat pinggang merah tua, pita rambut merah tua dan di dadanya terdapat hiasan dari sutera kuning, kedua kakinya mengenakan sepatu hitam yang masih mengkilap.

Bukan main cantik manis serta gagahnya dara itu nampaknya. Pakaiannya yang terbuat dari sutera tipis itu menempel ketat pada tubuhnya, membuat tubuhnya nampak menonjol dan padat menggairahkan, namun juga menimbulkan rasa segan karena sikapnya sangat gagah.

Dia berlari keluar, berlari kecil bagaikan seorang penari yang lincah, dan wajahnya yang manis itu tersenyum ketika dia memandang kepada para tamu dan mengangguk sebagai tanda terima kasih karena para tamu menyambutnya dengan tepuk tangan riuh. Ketika dara itu tersenyum, nampak dua buah lesung pipit di kanan kiri mulutnya, dan memang dara ini manis sekali.

Mulutnya merupakan daya tarik yang paling kuat dari wajahnya, sebuah mulut yang amat indah, dengan bibir melengkung penuh berkulit tipis seolah-olah setiap saat bibir itu akan pecah dan mengeluarkan darah karena bibir itu nampak demikian merah dan basah. Saat dia tersenyum hingga kedua bibir itu agak terpisah merenggang, tampak kilauan gigi putih seperti mutiara. Pada punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce berwarna kuning emas.

Dara itu adalah Bin Biauw, puteri remaja berusia tujuh belas tahun yang merupakan anak tunggal dari Tung-hai-sian Bin Mo To! Setelah berlari berputaran di atas panggung sambil memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada kepada para penonton yang menjadi tamu, barulah Bin Biauw menghampiri panggung di mana ayahnya duduk. Semua mata kini memandang ke arah tuan rumah.

Tung-hai-sian adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun yang berpakaian mewah, di kanan kirinya duduk dua orang wanita setengah tua yang juga berpakaian mewah. Di sebelah kanan itu adalah isterinya yang pertama, sedangkan di sebelah kirinya adalah isterinya yang ke dua atau ibu kandung Bin Biauw. Isteri pertamanya tidak mempunyai anak dan dia adalah seorang wanita Jepang, tidak seperti ibu Bin Biauw yang merupakan wanita Korea, bertubuh tinggi langsing seperti Bin Biauw.

Tung-hai-sian sendiri bertubuh pendek tegap dan bersikap gagah, biar pun usianya sudah enam puluh tahun namun dia masih nampak kuat, hanya kepalanya saja yang telah botak kelimis, hanya ditumbuhi rambut di bagian belakang dari dekat telinga sampai ke pelipis. Ubun-ubun dan atas dahinya sudah tidak ada rambutnya sama sekali.

Di pinggangnya tergantung sebatang pedang samurai yang sarungnya amat indah. Kedua matanya yang lebar itu sangat tajam, dan alisnya hanya merupakan bundaran hitam kecil saja yang ditumbuhi rambut pendek-pendek. Biar pun Tung-hai-sian sudah menjadi datuk dunia persilatan di daratan Tiongkok, bahkan sudah berganti nama dengan nama Bin Mo To sebagai pengganti nama Minamoto, namun di dalam kesempatan gembira merayakan hari ulang tahunnya yang ke enam puluh tahun itu, kini kakek ini mengenakan pakaian seorang Samurai Jepang! Kakinya juga memakai sandal model Jepang dan dia kelihatan bangga sekali berpakaian seperti itu!

Bin Biauw menghampiri ayahnya lantas menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya. Kakek ini lalu merangkul dan mencium kepala puterinya sambil tertawa gembira. Sesudah mengucapkan selamat dengan suara lirih yang tertindih dengan suara musik, dara itu lalu bangkit dan berlari lagi ke atas panggung.

Sesudah menghormat ke empat penjuru, tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan tahu-tahu dia sudah mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan cahaya kilat sehingga mengejutkan semua orang. Itu adalah sebatang pedang pusaka yang amat hebat, pikir mereka.

Kemudian dara itu mulai bersilat pedang, atau menari pedang karena gerakannya lemah gemulai seperti orang menari mengikuti irama tambur dan gembreng, akan tetapi di dalam gerakan tari lemah gemulai ini terkandung kekuatan yang amat dahsyat, yang menyambar setiap kali pedang berkelebat.

Semua orang yang hadir, kebanyakan ahli-ahli silat, dapat melihat betapa ujung pedang itu tergetar setiap kali digerakkan, getaran yang mendatangan suara mengaung! Jelaslah bahwa dara ini bukan sekedar menari biasa. Biar pun tari-tarian itu merupakan gerakan-gerakan yang amat indah, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi langsing, akan tetapi jelas bahwa dara itu sedang mainkan ilmu silat yang selain indah juga amat tangguh sekali!

Dan benarlah dugaan mereka karena semakin lama, gerakan itu makin cepat dan ketika bunyi tambur dan gembreng sudah menjadi cepat sekali, dara itu lenyap, yang nampak hanyalah bayangan merah terbungkus oleh gulungan cahaya pedang putih berkeredepan menyilaukan mata. Semua orang bertepuk tangan memuji karena memang harus mereka akui bahwa jarang mereka menyaksikan ilmu pedang yang demikian hebatnya.

Tiba-tiba Tung-hai-sian mengambil sebatang lilin merah yang bernyala, dan dia langsung melontarkan lilin itu ke arah puterinya sambil berseru. “Sambutlah, anak Biauw!”

Tiba-tiba saja bayangan yang dibungkus gulungan sinar itu berhenti dan nampak dara itu berdiri tegak menunggu hingga lilin yang dilontarkan itu tiba di atasnya, kemudian secepat kilat pedangnya bergerak ke kanan kiri… dan lilin bernyala itu nampaknya seperti tertahan oleh sesuatu di udara, dan sesudah dara itu menghentikan gerakannya, barulah lilin itu jatuh ke atas lantai dan… berserakan menjadi belasan potong, sedangkan ujung lilin yang bernyala kini ternyata telah menempel di ujung pedang!

Tentu saja kepandaian semacam itu adalah kepandaian yang merupakan keahlian karena dilatih, akan tetapi betapa pun juga, tanpa mempunyai gerakan yang cepat dan kuat, tidak mungkin dapat melakukan seperti itu. Oleh karena itu meledaklah tepuk tangan para tamu yang merasa kagum sekali.

“Bagus, kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus sekali!” Mendadak terdengar seruan nyaring mengatasi kegaduhan tepuk tangan itu.

Semua orang menoleh, juga Bin Biauw menoleh. Ternyata yang berseru itu adalah Thian Sin! Saking kagumnya, bukan hanya karena melihat ilmu pedang itu melainkan terutama sekali melihat kecantikan dara itu, Thian Sin menjadi lupa diri sehingga dia memuji sambil bangkit berdiri.

Melihat ulah adiknya ini, Han Tiong menjadi kaget sekali dan dia maklum bahwa adiknya itu tentu merasa tertarik sekali pada dara yang cantik itu, karena dia pun sudah tahu akan kelemahan hati adiknya terhadap wanita cantik.

Sementara itu, pada saat menengok dan melihat pemuda yang sangat tampan itu, muka Bin Biauw menjadi merah, akan tetapi dia menahan senyum dan mengerling malu-malu. Hati siapa tak akan merasa girang dan bangga kalau dipuji, terutama sekali hati seorang wanita yang selalu haus akan pujian, dan lebih-lebih lagi kalau pemujinya adalah seorang pemuda yang demikian gantengnya?

Juga Bin Mo To yang bangkit berdiri, dari atas dapat melihat pemuda tampan gagah yang mengeluarkan seruan pujian itu, maka dia lalu tersenyum dan memberi perintah kepada pembawa acara dengan kata-kata lirih.

Pembawa acara itu segera bangkit dan menuju ke panggung, kemudian berkata dengan lantang, “Kami menyampaikan permintaan Bin-loya kepada cu-wi yang terhormat, bahwa untuk meramaikan pesta ini dan untuk menguji kepandaian Bin-siocia, maka kepada para pendekar muda yang ingin menambah kemeriahan pesta ini dipersilakan untuk melayani Bin-siocia bermain pedang!”

Ucapan itu tentu saja langsung disambut dengan riuh-rendah dan semua tamu tertawa. Pengumuman itu sudah tidak aneh lagi artinya bagi orang-orang kang-ouw. Jika seorang ayah memberi kesempatan kepada orang-orang muda untuk bertanding dengan puterinya, hal itu dapat diartikan bahwa sang ayah hendak mencarikan jodoh bagi puterinya!

Hampir semua tokoh kang-ouw tentu saja menghendaki mantu yang lihai bagi puterinya, maka selalu diadakan sayembara pertandingan silat untuk memilih mantu. Dan agaknya datuk wilayah timur ini pun tak mau ketinggalan. Akan tetapi, siapakah yang berani untuk maju?

Sebagian besar dari mereka sudah kehilangan nyali menyaksikan permainan pedang dari Bin Biauw tadi, yang memang sangat lihai. Apa lagi kalau diingat bahwa dara itu adalah puteri tunggal dari Tung-hai-sian, mereka merasa lebih sungkan dan segan lagi. Tidak boleh main-main dengan keluarga datuk itu!

Semua orang memandang ke arah Thian Sin yang masih berdiri, juga dara itu sendiri memandang kepadanya, agaknya mengharapkan pemuda tampan itu untuk maju. Dan Thian Sin memang sudah merasa gatal tangan dan hatinya untuk maju menandingi nona manis itu, akan tetapi tiba-tiba dia merasa tangannya disentuh dan ditarik oleh kakaknya dan terdengar bisikan Kong Liang,

“Thian Sin, kau duduklah!”

Thian Sin segera teringat bahwa dia hanya ikut saja dengan pamannya itu dan dia sama sekali tak diperbolehkan bergerak sebelum mendapat perkenan Cia Kong Liang, maka dia pun lalu duduk kembali.

Bin Biauw tampak kecewa, akan tetapi tidak demikian dengan Tung-hai-sian, sebab datuk ini tentu saja tidak menghendaki seorang menantu dari golongan rendah, yaitu golongan tamu yang duduk di bawah panggung. Sejak tadi perhatiannya tertuju kepada Siangkoan Wi Hong.

Pemuda yang baru pertama kali dilihatnya ini tentu saja amat menarik perhatiannya, apa lagi setelah memperkenalkan diri sebagai putera Pak-san-kui! Pemuda yang cukup gagah dan tampan, terlebih lagi putera Pak-san-kui, sungguh akan merupakan pasangan yang cocok bagi puterinya, setingkat, bahkan segolongan! Maka, diam-diam dia mengharapkan pemuda itu untuk maju menandingi puterinya agar dia dapat melihat kelihaian pemuda itu yang sebagai putera Pak-san-kui dia yakin tentu berkepandaian tinggi.

Ternyata tidak ada orang yang berani sembarangan naik ke panggung untuk menyambut ajakan Tung-hai-sian tadi. Banyak di antara mereka yang merasa jeri untuk menandingi ilmu pedang yang demikian lihainya dari Bin Biauw, akan tetapi sebagian besar di antara mereka itu lebih merasa segan terhadap Tung-hai-sian sendiri.

Apa lagi mereka yang duduk di bawah panggung, andai kata di antara mereka ada yang merasa kuat melawan Bin Biauw sekali pun, agaknya mereka pun masih harus pikir-pikir beberapa kali untuk berani memamerkan kepandaian di hadapan datuk itu, apa lagi dalam kesempatan di mana hadir begitu banyak tokoh-tokoh besar dunia persilatan.

Pembicara atau pengatur acara tadi sudah menerima bisikan-bisikan dari Tung-hai-sian, maka setelah melihat bahwa di antara para tamu tidak ada yang berani maju dia segera angkat bicara lagi dengan sikap ramah,

“Bin-loya sudah memohon kepada cu-wi untuk meramaikan pesta dan melayani Bin-siocia beberapa jurus, apakah cu-wi merasa sungkan? Kami melihat bahwa di sini sudah hadir wakil-wakil dari para tokoh besar, bahkan ada pula wakil-wakil dari See-thian-ong dan dari Pak-san-kui Locianpwe, diharap agar cu-wi yang mewakili kedua locianpwe sudi memberi petunjuk kepada Bin-siocia, selain untuk memeriahkan pesta ini juga hitung-hitung untuk memperkekal persahabatan, demikian pesan Bin-loya.”

Mendengar ucapan itu, So Cian Ling sudah bergerak di tempat duduknya, akan tetapi dia dilarang oleh suheng-nya dan sang suheng inilah yang bangkit berdiri. Dia adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, mukanya agak pucat dan matanya sipit, pakaiannya sederhana dari kain berwarna kuning.

Laki-laki ini bernama Ciang Gu Sik dan merupakan murid pertama atau murid kepala dari See-thian-ong, itu datuk wilayah barat yang terkenal. Akan tetapi, dalam hal ilmu silat, dia masih sedikit di bawah tingkat So Cian Ling, sungguh pun dara itu merupakan sumoi-nya. Hal ini adalah karena So Ciang Ling sangat disayang oleh See-thian-ong sehingga murid wanita inilah yang menerima ilmu-ilmu simpanan Sang Datuk!

Bagaimana pun juga, tingkat kepandaian Ciang Gu Sik sudah terhitung tinggi dan karena sudah percaya penuh terhadap kepandaiannya, maka dia telah dipercaya untuk mewakili See-thian-ong dalam memenuhi undangan Tung-hai-sian itu, ada pun So Cian Ling hanya ikut suheng-nya untuk menambah pengalaman saja.

Ketika tadi melihat puteri tuan rumah itu bermain pedang, diam-diam So Cian Ling juga merasa kagum akan keindahan ilmu pedang itu. Akan tetapi dia merasa bahwa dia akan sanggup menandingi ilmu pedang yang indah itu, akan tetapi tentu saja dia tidak peduli, karena kedatangannya hanya ikut sang suheng dan hanya ingin menambah pengalaman dengan menjumpai orang-orang pandai dari segala fihak.

Akan tetapi, ketika dia melihat seorang pemuda di bawah panggung memuji ilmu pedang itu dan dia lalu mengenal Thian Sin sebagai pemuda tampan yang amat menarik hatinya pada saat dia dan para pamannya bertemu dengan pemuda itu di puncak Bwee-hoa-san, diam-diam hatinya merasa… cemburu dan panas! Inilah sebabnya maka dia berniat untuk menandingi Bin Biauw, bukan hanya untuk mengalahkan dara itu, akan tetapi terutama sekali untuk memperlihatkan kepada Thian Sin bahwa dia tidak kalah oleh dara puteri tuan rumah.

Akan tetapi suheng-nya melarangnya karena suheng ini maklum bahwa yang dikehendaki oleh tuan rumah adalah majunya tamu-tamu pria! Dia sendiri bukanlah seorang pria yang suka kepada wanita sehingga sampai kini berusia tiga puluh lima tahun dia masih belum menikah.

Dia tidak merasa tertarik kepada Bin Biauw, akan tetapi pemuda ini sangat menjunjung tinggi nama gurunya. Oleh karena itu, pada saat nama gurunya disebut-sebut, dia merasa penasaran juga. Kalau dia tidak maju, tentu orang-orang di situ akan mengira bahwa wakil dari See-thian-ong takut untuk menghadapi puteri tuan rumah dan hal itu berarti gurunya akan dipandang rendah.

Begitu Ciang Gu Sik bangkit berdiri dan tubuhnya yang tinggi kurus itu melangkah maju ke depan, semua tamu segera memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang, juga gembira karena ternyata ajakan atau tantangan itu kini diterima seorang tamu yang duduk di bagian kehormatan.

Bin Biauw juga sudah memandang kepada pria itu dan alisnya sedikit berkerut. Dia telah bermufakat dengan ayahnya untuk memilih calon jodoh, dan melihat pria yang maju ini, jelas bahwa dia tidak akan sudi berjodoh dengan orang ini! Sungguh pun dia tahu dan sudah diperkenalkan tadi bahwa pria ini adalah murid kepala dari See-thian-ong!

Ciang Gu Sik segera maklum bahwa majunya itu telah diikuti oleh pandang mata semua tokoh kang-ouw yang hadir, dan bahwa majunya itu bukanlah suatu hal yang boleh dibuat main-main karena dia mewakili gurunya, maka dia cepat memberi hormat ke arah tempat duduk Tung-hai-sian, kemudian dia menjura ke empat penjuru, dan barulah dia berbicara, ditujukan kepada para tamu,

“Cu-wi yang mulia. Sesungguhnya saya tidak akan berani lancang maju ke panggung ini untuk memamerkan kepandaian. Akan tetapi karena tadi wakil dari Bin-locianpwe sudah menyebutkan nama guru kami, yaitu See-thian-ong, maka sebagai wakil beliau dan murid kepala, terpaksa saya maju untuk atas nama suhu membantu memeriahkan pesta ini.”

Sesudah berkata demikian, dia lalu membalikkan tubuh menghadapi Bin Biauw, menjura dan berkata,

“Maafkan saya yang lancang berani memajukan diri untuk melayanimu, nona.”

“Ahhh, aku malah gembira sekali bahwa murid utama dari See-thian-ong Locianpwe mau maju dan memberi petunjuk kepadaku yang bodoh,” Bin Biauw berkata dengan gayanya yang lincah.

Sementara itu, pembicara yang mewakili Tung-hai-sian sudah memperoleh bisikan pula dari majikannya, dan dia pun berkata dengan lantang. “Permainan silat bersama diadakan selama lima puluh jurus saja. Kalau selama lima puluh jurus tidak ada fihak yang kalah, berarti bahwa kedua fihak sama kuatnya dan mempunyai tingkat yang sama! Demikianlah keputusan dari Bin-loya!”

Bin Biauw tersenyum manis, lalu menggerakkan pedangnya di depan dada dan berkata. “Silakan Ciang-sicu memilih senjata!”

Ciang Gu Sik meraba pinggangnya dan mengeluarkan senjatanya yang ternyata adalah sebuah senjata yang disebut Kim-coa Joan-pian (Cambuk Ular Emas), semacam ruyung lemas yang dapat dipergunakan sebagai ikat pinggang, gagangnya berbentuk kepala ular terbuat dari pada emas.

“Tarr! Tarrr…!” Pecut itu meledak dua kali di atas kepalanya.

“Bin-siocia, saya sudah siap!” katanya dengan tangan kanan yang memegang joan-pian di atas kepala dan tangan kiri miring di depan dada, kaki kiri diangkat dan ditekuk di depan tubuhnya, sikapnya tenang dan kokoh sekali.

Bin Biauw tersenyum, lalu membentak. “Lihat serangan!”

Pedangnya sudah meluncur dengan cepat membentuk sinar kilat menuju ke dada lawan.

“Tar! Tringgg…!”

Joan-pian itu berubah menjadi lurus kaku dan menangkis pedang, kemudian meluncur ke samping. Pada saat itu, pedang yang tertangkis sudah menerjang lagi, dan pecut itu dari samping langsung menyambar ke arah pundak serta sambungan siku yang memegang pedang, melakukan totokan untuk mendahului gerakan pedang.

“Hemmm…!” Bin Biauw terpaksa mengelak dan dengan sendirinya tusukannya pun batal, dan diam-diam dia tahu bahwa lawannya ini amat tenang dan amat lihai maka dia berlaku hati-hati dan segera memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga tubuhnya diselimuti gulungan sinar pedang yang berkilauan!

Melihat ini, murid See-thian-ong itu pun cepat memutar joan-pian di tangannya sehingga nampak sinar keemasan bergulung-gulung. Joan-pian itu memang gagangnya terbuat dari emas murni sedangkan joan-piannya sendiri terbuat dari pada baja diselaput emas maka sinarnya menjadi keemasan. Kini tampaklah pemandangan yang amat indah menyilaukan mata ketika dua gulungan sinar yang putih berkilauan dan keemasan saling sambar dan saling desak.

Bagi mata orang yang kurang tinggi kepandaiannya, tentu sukar untuk dapat mengikuti gerakan kedua orang itu. Gerakan mereka amat cepat dan kuat, dan keduanya mengadu kepandaian dengan mengerahkan tenaga dan keduanya berusaha untuk menang karena bagi mereka pertandingan itu merupakan adu kepandaian untuk mempertahankan nama guru mereka masing-masing.

Bin Biauw tidak lagi bertanding untuk menguji kepandaian seorang laki-laki yang mungkin menjadi calon jodohnya, akan tetapi hendak mempertahankan nama ayah sekaligus juga gurunya agar tidak kalah oleh murid See-thian-ong datuk dari barat itu. Sebaliknya Ciang Gu Sik sama sekali bukan melawan dara itu karena tertarik kepadanya melainkan juga hendak memperlihatkan bahwa See-thian-ong tidak kalah dari Tung-hai-sian!

Jadi pertandingan itu mewakili datuk barat dan datuk timur, masing-masing tak mau kalah. Oleh karena itu, pertandingan itu berjalan hebat sekali dan hal ini dirasakan oleh semua orang, terutama sekali oleh mereka yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan yang dapat mengikuti jalannya pertandingan itu dengan jelas.

So Cian Ling memandang jalannya pertandingan itu dengan alis berkerut. Dia mengerti bahwa suheng-nya itu terus didesak dan dia merasa menyesal kenapa suheng-nya tidak membiarkan dia saja yang maju tadi, karena dia merasa sanggup menandingi puteri dari Tung-hai-sian itu. Biar pun suheng-nya cukup lihai dengan joan-piannya, akan tetapi jika dibandingkan dengan lawan, maka dia itu kalah senjata, dalam arti kata senjatanya kalah ampuh sehingga keunggulan senjata itu sudah membuat lawan dapat lebih menindih dan mendesaknya.

Memang kalau hanya dalam lima puluh jurus saja, belum tentu Bin Biauw akan mampu mengalahkan suheng-nya, akan tetapi sekarang jelas tampak oleh semua tokoh kang-ouw bahwa suheng-nya itu sudah terdesak dan lebih banyak menangkis dari pada menyerang! Dan semua orang yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi tentu sudah dapat menduga bahwa kalau dilanjutkan lebih dari lima puluh jurus, suheng-nya itu tentu akan kalah!

Penglihatan So Cian Ling itu memang benar. Dengan ilmu pedangnya yang hebat, Bin Biauw mulai mendesak lawannya dan betapa pun murid See-thian-ong itu berusaha untuk balas menyerang, tetap saja dia harus melindungi diri terlebih dahulu dan sesudah lawan menyerang tiga jurus barulah dia dapat membalas, itu pun dengan satu kali serangan. Dia didesak terus dan main mundur, akan tetapi dia masih mampu mempertahankan sampai wakil Tung-hai-sian berseru,

“Lima puluh jurus telah lewat! Kedua fihak tidak ada yang kalah, berarti keduanya sama kuat!”

Bin Biauw segera menarik pedangnya dan berdiri sambil tersenyum manis, melintangkan pedangnya di depan dada. Ciang Gu Sik juga menarik joan-piannya, lantas dia menjura.

“Ilmu pedang Bin Siocia sungguh amat tangguh!” katanya dengan jujur.

“Ah, Ciang-sicu terlalu merendah dan mengalah!” kata Bin Biauw sambil tetap bersenyum.

Para penonton menyambut dengan tepuk sorak, dan tentu saja tepuk sorak itu ditujukan untuk memuji Bin Biauw. Dengan muka agak kemerahan, murid See-thian-ong itu kembali ke tempat duduknya, disambut oleh So Cian Ling dengan alis berkerut karena betapa pun juga, peristiwa itu membuat dara ini merasa penasaran dan tersinggung.

Bin Biauw masih berdiri di atas panggung. Hatinya merasa penasaran. Mengapa pemuda tampan di bawah panggung tadi tidak berani naik? Kalau pemuda itu yang melayaninya, tentu dia akan merasa gembira sekali! Tapi Kong Liang sudah berbisik-bisik kepada dua orang keponakannya itu.

“Janganlah kalian sembarangan bergerak. Di sini terdapat banyak sekali tokoh kang-ouw yang lihai. Dan ternyata tuan rumah tidak menghargai Cin-ling-pai. Hemmm, kalian lihat saja hal ini tak dapat kudiamkan saja!”

“Apakah paman hendak melayani nona itu?” Thian Sin berbisik.

“Kalau perlu, akan kuperlihatkan bahwa kita tidaklah kalah dengan mereka yang duduk di atas panggung!” Diam-diam Kong Liang merasa penasaran dan marah sekali karena dia dan dua orang keponakannya, meski pun telah mengaku sebagai wakil Cin-ling-pai, tetapi tetap saja dipersilakan duduk di bawah panggung. Ini dianggapnya suatu penghinaan bagi Cin-ling-pai!

“Ahh, di sini pun tidak apa-apa, apa sih bedanya dengan di atas panggung, paman?” Han Tiong berkata karena memang di dalam hatinya, dia sama sekali tidak merasa penasaran, tidak seperti Thian Sin yang setuju dengan pendapat paman itu.

“Bagi kita pribadi memang tidak ada bedanya, akan tetapi kita sedang membawa nama Cin-ling-pai, dan kalau orang tidak menghormati Cin-ling-pai, maka aku tidak bisa tinggal diam saja!”

“Biarlah aku menghadapi nona itu, paman, mewakilimu dan Cin-ling-pai,” kata Thian Sin.

“Thian Sin, jangan kau gegabah! Nona itu lihai sekali ilmu pedangnya. Kalau kau mewakili Cin-ling-pai dan sampai kalah, bukankah berarti nama Cin-ling-pai semakin hancur lagi? Pula, apa bila engkau sampai terluka oleh pedang nona itu, bukankah aku akan mendapat marah dari ayah? Aku yang bertanggung jawab atas keselamatan kalian berdua. Selain nona itu, di sini banyak orang pandai. Lebih baik kalian diam saja dan hanya bersiap-siap membantu kalau ada terjadi kecurangan terhadap diriku.”

Thian Sin hendak membantah akan tetapi pandang mata Han Tiong membuat dia segera terdiam. Sementara itu, pembantu Tung-hai-sian sudah berseru lagi dengan suara lantang dan gembira,

“Siapa lagi di antara para pendekar yang hendak memeriahkan pesta, silakan maju. Tadi dari fihak Locianpwe See-thian-ong sudah ada wakilnya yang maju, maka oleh Bin-loya diharapkan majunya wakil dari Pak-san-kui Locianpwe dan juga dari Lam-sin Locianpwe yang belum nampak wakilnya. Silakan, silakan. Nona kami masih sabar menunggu!”

Siangkoan Wi Hong berbisik-bisik dengan Pak-thian Sam-liong, tiga orang laki-laki gagah yang menjadi murid kepala Pak-san-kui. Mereka bertiga telah setuju kalau Siangkoan Wi Hong maju karena mereka juga tahu bahwa Siangkoan-kongcu mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari pada mereka sendiri dan lebih pantas kalau kongcu itu yang menandingi puteri tuan rumah, selain untuk mempertahankan nama Pak-san-kui, juga untuk mencoba kalau-kalau berjodoh dengan nona manis puteri Tung-hai-sian itu.

“Akan tetapi kalian tahu bahwa aku tak ingin menikah, suheng!” kata Siangkoan Wi Hong berbisik.

Tiga orang suheng itu pun tahu akan hal ini. Siangkoan Wi Hong adalah seorang pemuda yang sejak remaja sudah suka bermain-main dengan wanita, bahkan banyak mempunyai selir di mana-mana. Akan tetapi anehnya, pemuda ini tidak pernah mau mengikatkan diri dengan pernikahan, maka meski pun dia kagum melihat kecantikan Bin Biauw, tetap saja dia tidak bermaksud untuk membiarkan diri menjadi calon suami nona itu. Apa bila hanya berkenalan dan bermain-main, tentu dia akan menyambutnya dengan senang sekali!

“Kongcu, saat ini soal perkawinan tidaklah begitu penting. Yang terpenting adalah untuk mempertahankan kehormatan ayah kongcu sebagai datuk utara! Kalau kini puteri datuk timur dan murid datuk barat telah memperlihatkan kepandaian, apa kata orang kalau kita diam saja? Disangka bahwa wakil-wakil datuk utara tidak berani muncul!”

Siangkoan Wi Hong menarik napas panjang dan dia pun bangkit berdiri. Melihat ini, hati Tung-hai-sian girang sekali. Dia ingin sekali melihat sampai di mana kelihaian putera dari Pak-san-kui itu yang kabarnya merupakan seorang yang selain lihai dan dikenal sebagai datuk, juga seorang yang sangat kaya raya. Kiranya sudah cocoklah kalau dia berbesan dengan Pak-san-kui, akan tetapi lebih dulu dia harus melihat kemampuan pemuda yang tampan dan pesolek itu. Maka dengan girang dia lalu bertepuk tangan, diikuti oleh para tamu yang duduk di ruangan kehormatan, dan wakil pembicara itu lalu berteriak,

“Siangkoan-kongcu, putera dari Locianpwe Pak-san-kui berkenan untuk maju meramaikan pesta!”

Mendengar ini, maka semua orang memandang dan ketika melihat seorang pemuda yang tampan dan berpakaian mewah menuju ke tengah panggung sambil membawa sebuah alat musik yang-kim yang kedua ujungnya berbentuk gagang dan runcing seperti pedang, mereka lalu bertepuk tangan.

Akan tetapi Siangkoan Wi Hong menghampiri tempat duduk Tung-hai-sian, lalu menjura dengan hormat. “Paman Tung-hai-sian,” dia berkata dengan sikap ramah dan dia sengaja menyebut ‘paman’ agar lebih akrab. “Saya mewakili ayah, Pak-san-kui Siangkoan Tiang, untuk menyampaikan selamat kepada paman dan semoga paman diberi berkah panjang umur. Sekarang, karena diundang untuk memeriahkan pesta, terpaksa saya berlancang tangan untuk turut memperlihatkan kebodohan. Akan tetapi tentu paman tahu bahwa di antara kita terdapat ikatan persahabatan, oleh karena itu saya tidak setuju bila main-main ini dianggap sebagai pertandingan. Maka biarlah saya menemani saja puteri paman untuk sekedar meramaikan pesta.”

Hati Tung-hai-sian makin girang menyaksikan sikap yang ramah dan halus ini. Pemuda ini patut menjadi jodoh Bin Biauw, pikirnya. Dia mengangguk. “Baiklah, dan terima kasih atas kebaikanmu dan kebaikan keluarga Pak-san-kui yang terhormat.”

Siangkoan Wi Hong lalu menghampiri panggung, kemudian menjura ke empat penjuru dan berkata lantang. “Kami sebagai wakil dari ayah Pak-san-kui Siangkoan Tiang terpaksa maju melayani Bin-siocia untuk bermain-main sebentar agar fihak kami jangan dianggap tidak bersedia memeriahkan pesta,” ucapannya mendapat sambutan tepuk tangen pula.

“Nona, harap jangan bersikap kejam terhadap saya,” Siangkoan Wi Hong berkata sambil tersenyum manis ketika dia menjura kepada Bin Biauw.

Semenjak tadi nona ini memandang kepada tamu ini dan memang dia sudah tahu bahwa putera Pak-san-kui ini seorang pemuda yang tampan, gagah dan pesolek. Akan tetapi sejak pertemuan pertama, ketika dia diperkenalkan, dia merasa tidak begitu suka kepada pemuda ini sebab pandang mata pemuda ini kepadanya seolah-olah orang yang bersikap meremehkan! Pemuda ini sangat angkuh terhadap wanita! Sungguh pun pandai bersikap manis dan mengeluarkan kata-kata merayu, namun pemuda seperti ini tentu akan selalu memandang ringan terhadap kaum wanita.

“Sebaliknya, saya mohon petunjuk dari Siangkoan-kongcu,” jawabnya dengan ramah pula. Dia sendiri seorang dara yang lincah gembira, maka kalau dia hanya menjadi sahabat, tentu keduanya akan merasa cocok.

“Bin-siocia, engkau pandai sekali menari, dan sedikit banyak aku sudah biasa memainkan yang-kim, maka kalau engkau menari pedang dan aku memainkan yang-kim, bukankah cocok sekali?” Siangkoan Wi Hong berkata, lalu dia memegang gagang yang-kim yang seperti gagang pedang itu, mengayunkan benda itu, jari-jari tangan kirinya mengejar dan terdengarlah bunyi ‘tang-ting-tang-ting’ yang berirama dan merdu!

Banyak tamu tertawa melihat lagak kongcu ini, dan menyangka bahwa kongcu itu hanya berkelakar saja. Akan tetapi beberapa orang yang tajam pandang matanya, amat terkejut karena dalam suara tang-ting-tang-ting itu terkandung tenaga getaran yang mengejutkan. Jelas bahwa yang-kim itu bukan dibunyikan sembarangan saja! Dan sekarang yang-kim itu mulai menyambar turun dan membentuk kuda-kuda yang kokoh kuat.

“Silakan, nona!”

Bin Biauw juga sudah dapat menduga akan kelihaian lawan ini. Sebagai putera tunggal Pak-san-kui, sudah pasti pemuda ini lihai sekali, apa lagi ketika yang-kim itu berbunyi tadi dia pun merasakan getaran yang kuat menyerangnya, membuat dia cepat menggunakan hawa murni untuk melindungi dadanya. Sekarang melihat fihak lawan sudah memasang kuda-kuda, dia juga membentak.

“Lihat pedang!”

Dan pedangnya kemudian menerjang ke depan dengan kecepatan kilat, disusul dengan gulungan sinar pedang yang sudah berkelebatan ke sana-sini bagai halilintar menyambar-nyambar ke atas kepala lawan!

“Bagus!” Siangkoan Wi Hong menggerakkan yang-kimnya menangkis.

“Tranggg…!”

Kemudian dia pun memutar yang-kimnya dan segera nampak sinar bergulung-gulung dan di dalam sinar itu muncul suara yang-kim yang merdu! Kiranya pemuda itu telah mainkan yang-kim, memainkan sebagai senjata ampuh dan juga dengan sentilan-sentilan jari-jari tangan kiri yang membuat yang-kim itu mengeluarkan suara! Dan memang ilmu pedang yang dimainkan Bin Biauw amat indahnya, maka segera nampak perpaduan yang amat indah.

Nona itu seolah-olah tidak sedang menyerang, melainkan sedang menari-nari dan mereka itu lebih patut menjadi pasangan, yang wanita menari dan yang pria mengikutinya dengan suara yang-kim! Akan tetapi, sesungguhnya keduanya sedang mengeluarkan kepandaian masing-masing.

Diam-diam, Thian Sin dan Han Tiong menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian dan mereka berdua mendapatkan kenyataan bahwa sesudah mempergunakan yang-kim sebagai senjata, putera Pak-san-kui itu ternyata lihai bukan main!

Kiranya memang keistimewaannya adalah mempergunakan yang-kim itu sebagai senjata! Kalau dulu pada waktu berhadapan dengan Thian Sin dia mempergunakan yang-kimnya itu, agaknya tidak akan mudah bagi Thian Sin untuk mengalahkannya.

Memang hebat pemuda itu. Yang-kimnya bukan hanya merupakan senjata yang ampuh, terbuat dari logam yang dapat dipakai untuk menangkis senjata pusaka, akan tetapi juga suara yang keluar dari yang-kim itu merupakan serangan-serangan ke arah jantung dan batin lawan! Jantung fihak lawan dapat digetarkan lewat suara-suara itu, bahkan dapat dikacaukan pikirannya selagi mereka bertanding! Hal ini agaknya belum diketahui benar oleh Bin Biauw, maka dara ini merasa sangat penasaran ketika melihat betapa semua serangannya gagal oleh tangkisan alat musik lawan.

Bin Biauw mulai marah. Harus diakuinya bahwa pemuda itu cukup tampan dan gagah, akan tetapi melihat betapa pemuda itu melawannya sambil tersenyum-senyum mengejek dan setiap gerakannya diikuti suara yang-kim sehingga seakan-akan mempermainkannya atau mengejeknya. Hal ini membuat dia penasaran sekali sehingga akhirnya dia menjadi marah. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan gerakannya berubah semakin cepat sehingga akhirnya Siangkoan Wi Hong menjadi kelabakan dan terdesak juga.

Akan tetapi tiba-tiba yang-kim itu mengeluarkan bunyi yang aneh, suaranya nyaring sekali dan makin lama meninggi dan tiba-tiba saja permainan pedang Bin Biauw menjadi kacau-balau! Ternyata suara yang-kim itu merupakan serangan suara yang amat hebat hingga membuat dara itu merasa kacau pikirannya dan pening kepalanya, jantungnya berdebar-debar! Maka, apa bila tadi dia mendesak, sekarang sebaliknya malah gerakan pedangnya menjadi kacau dan kadang-kadang nampak dia terhuyung!

Melihat ini, diam-diam Tung-hai-sian menjadi terkejut dan juga girang. Kiranya kepandaian pemuda putera Pak-san-kui itu hebat! Maka dia memberi isyarat kepada pembantunya supaya membiarkan kedua orang muda itu melanjutkan pertempuran karena dia percaya bahwa keduanya mampu menjaga diri dan juga dia merasa yakin bahwa pemuda itu tidak akan mau mencelakai puterinya.

Dan memang sesungguhnya demikianlah. Dengan bantuan suara yang-kimnya, sekarang keadaannya menjadi berbalik dan apa bila Siangkoan Wi Hong menghendaki, kiranya dia akan dapat mengalahkan Bin Biauw, atau setidaknya mendesaknya dengan hebat. Akan tetapi dia adalah seorang yang cerdik.

Sungguh pun dia tidak berniat untuk diambil mantu, akan tetapi dia tahu bahwa dia harus bersahabat dengan fihak Tung-hai-sian dan kalau dia dapat berpacaran dengan dara ini, berpacaran saja tanpa ikatan perkawinan, tentu dia akan merasa gembira sekali! Maka dia pun hanya menyerang tanpa mendesak, walau pun sekarang permainan Bin Biauw sudah tidak setangkas tadi karena dia merasa bingung oleh suara yang-kim yang seperti terus menerus menusuk-nusuk telinganya itu.

Tiba-tiba saja mendengar suara tambur dan gembreng dibunyikan riuh-rendah. Tentu saja suara ini menelan suara yang-kim dan tiba-tiba Bin Biauw memperoleh ketangkasannya kembali setelah dia tidak lagi terganggu oleh suara yang-kim.

Dia merasa penasaran dan marah oleh gangguan yang-kim tadi. Dianggapnya pemuda tadi curang dan berkelahi mengandalkan ilmu siluman dengan suara yang-kim tadi. Kini Bin Biauw kembali mengamuk sehingga kembali Siangkoan Wi Hong terdesak.

Pada saat itu pula Tung-hai-sian sendiri melompat ke tempat pertempuran sambil tertawa. “Cukup… cukup… sudah mendekati seratus jurus!”

Sungguh hebat kakek ini. Begitu dia ‘masuk’, dia mampu menolak yang-kim dan pedang dengan hawa pukulan tangannya yang dikembangkan ke kanan kiri dan dua orang muda itu terdorong ke belakang! Siangkoan Wi Hong terkejut dan kagum sekali, maklum bahwa tingkat kepandaian kakek pendek ini amat tinggi, barang kali setingkat dengan ayahnya.

“Maafkan kebodohan saya!” Siangkoan Wi Hong menjura.

Kembali Tung-hai-sian tertawa. “Kepandaian putera Pak-san-kui benar-benar hebat!” kata datuk timur itu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Siangkoan Wi Hong untuk menjura kepada kakek itu sambil berkata, suaranya halus dan lantang sehingga dapat terdengar oleh semua tamu.

“Paman, saya kira Bin-siocia sudah terlalu banyak bermain pedang dan sudah lelah. Oleh karena itu, apa bila diperkenankan, biarlah saya mewakilinya melayani orang-orang yang masih ingin memperlihatkan kepandaian di panggung ini untuk meramaikan pesta.”

Tung-hai-sian tertawa. “Aih, engkau baik sekali, Siangkoan-kongcu, dan kami menghargai sekali bantuanmu untuk meramaikan pesta kami. Akan tetapi siapakah lagi di antara para sahabat yang berada di panggung ini yang masih suka maju memperlihatkan kepandaian dan meramaikan pesta?”

“Paman Tung-hai-sian yang terhormat, bukankah di bawah panggung ini masih terdapat banyak sekali tamu yang lihai?” Siangkoan Wi Hong berkata sambil tertawa dan secara sambil lalu dia mengerling ke arah para tamu di bawah panggung sebelah kanan di mana duduk Han Tiong dan Thian Sin. “Bahkan jumlah tamu di bawah itu jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan para tamu yang duduk di atas panggung.”

“Aihh, anak yang baik, kau jangan main-main. Sedangkan para tamu yang duduk di atas panggung saja tidak ada yang maju memperlihatkan kepandaian, apa lagi yang berada di bawah panggung.”

“Ehh, apakah paman hendak mengatakan bahwa mereka itu hanyalah orang-orang kelas rendahan saja? Ha-ha, tidak kusangka sama sekali bahwa keturunan mendiang Pangeran Ceng Han Houw kini hanya menjadi tokoh kelas rendahan saja!”

“Keturunan Pangeran Ceng Han Houw?” Datuk yang bertubuh katai itu berseru kaget dan memandang heran.

Bahkan semua tamu yang mendengar disebutnya nama ini menjadi amat terkejut. Mereka lantas memandang ke kanan kiri untuk mencari-cari keturunan orang yang dahulu pernah menggemparkan seluruh dunia persilatan itu. Benarkah pangeran yang amat terkenal itu mempunyai keturunan dan bahkan sekarang hadir di tempat itu?

Sementara itu, saat mendengar semua kata-kata itu, Thian Sin tak mampu lagi menahan kemarahannya sehingga tanpa dapat dicegah oleh Kong Liang dan Han Tiong, dia sudah meloncat naik ke atas panggung sambil berteriak.

“Siangkoan Wi Hong, siapa yang takut kepadamu? Hayo majulah kalau engkau memang laki-laki!”

Melihat majunya pemuda yang amat tampan ini, Tung-hai-sian menjadi terkejut dan juga memandang heran.

“Apakah… apakah engkau yang disebut keturunan Pangeran Ceng Han Houw?” tanya kakek itu.

“Benar, saya Ceng Thian Sin memang adalah putera tunggal Pangeran Ceng Han Houw. Tadi orang she Siangkoan ini mengajukan tantangan, nah, saya datang untuk menyambut tantangannya itu!” kata Thian Sin sambil menjura kepada orang tua itu.

Tung-hai-sian menjadi sangat gembira. Sebagai seorang datuk persilatan, tentu saja dia pun mempunyai semacam penyakit, yaitu suka sekali menonton pertandingan silat, apa lagi kalau hal itu dilakukan oleh orang-orang yang pandai.

Putera Pangeran Ceng Han Houw? Dia sendiri belum pernah bertemu dengan pangeran yang sudah meninggal dunia itu, akan tetapi nama besarnya telah didengarnya, sebagai seorang jagoan yang tak pernah terkalahkan, demikian menurut kabar yang didengarnya.

Tentu saja dia memandang pemuda itu dengan sinar mata lain dan dia pun ingin sekali melihat bagaimana kepandaian putera pangeran yang amat terkenal itu. Dan pemuda ini putera seorang pangeran! Meski pun pangeran yang sudah menjadi pemberontak, betapa pun juga putera pangeran, berdarah bangsawan tinggi! Hal ini saja sudah sangat menarik perhatiannya, maka dia segera mundur sambil berkata,

“Silakan… silakan…!”

Siangkoan Wi Hong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Ketika tadi dia melihat hadirnya Han Tiong dan Thian Sing sudah timbul akalnya untuk membalas kekalahannya tempo hari, dan kalau mungkin mengalahkan dan menghina pemuda-pemuda itu di depan orang banyak, tetapi kalau tidak mungkin, maka dia ingin mengadu domba antara mereka dengan fihak tuan rumah! Itulah sebabnya maka dia sengaja merendahkan mereka atau memanaskan hati mereka, yang hanya diterima sebagai tamu-tamu rendahan saja oleh Tung-hai-sian!

Namun sungguh tak disangkanya bahwa Thian Sin demikian beraninya untuk muncul juga dan mengaku sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw dan menantangnya! Akan tetapi dia sama sekali tidak merasa takut!

Memang dia pernah kalah oleh Thian Sin, akan tetapi kekalahannya itu adalah karena dia menghadapi pemuda itu dengan tangan kosong, dan dia tidak menyangka bahwa putera pangeran itu memiliki Ilmu Thi-khi I-beng yang sangat lihai itu. Sekarang dia memegang yang-kimnya, dan dia tahu bahwa lawannya memiliki Thi-khi I-beng, dia tahu bagaimana harus menghadapinya dan sekali ini dia tidak akan kalah! Maka sambil tersenyum dia lalu menghadapi Thian Sin.

“Ha-ha-ha, engkau anak pemberontak, masih berani banyak lagak? Bersiaplah dan lekas keluarkan senjatamu!” Siangkoan Wi Hong menantang.

Thian Sin tersenyum mengejek. “Engkau boleh berbesar hati karena memegang senjata yang-kimmu, Siangkoan Wi Hong, akan tetapi aku merasa cukup menghadapimu dengan kedua tangan kosong saja!”

Semua orang termasuk Tung-hai-sian, terkejut mendengar ini dan menganggap pemuda keturunan Pangeran Ceng Han Houw itu terlalu tinggi hati. Menghadapi yang-kim putera Pak-san-kui yang amat lihai itu dengan tangan kosong?

Akan tetapi, sikap dan wajah Thian Sin sudah menarik hati Bin Biauw, dan memang tadi pun dia sudah mengharapkan agar pemuda yang memuji ilmu pedangnya ini mau naik ke panggung sebelum Siangkoan Wi Hong muncul. Maka, melihat kini pemuda itu muncul dan mendengar bahwa pemuda tampan itu adalah putera seorang pangeran, dan melihat pula kegagahannya yang hendak melayani Siangkoan Wi Hong yang bersenjata yang-kim dengan tangan kosong, Bin Biauw cepat melangkah maju dan berkata kepada Siangkoan Wi Hong.

“Harap Siangkoan-kongcu suka mundur. Aku sendiri akan menghadapi orang she Ceng ini!”

Siangkoan Wi Hong pura-pura kaget, sungguh pun di dalam hatinya dia merasa senang. Betapa pun juga, agaknya dia akan berhasil mengadu domba antara Thian Sin dan fihak tuan rumah!

“Ahh, tapi aku sudah sanggup untuk menandinginya…”

“Siangkoan-kongcu, ingat bahwa engkau tadi bertindak sebagai wakilku, tanpa bertanya apakah aku mau kau wakili ataukah tidak. Dan sekarang aku mau menyatakan bahwa aku tidak ingin kau wakili untuk menghadapi siapa pun yang naik ke panggung ini. Aku hendak menghadapinya sendiri!” Bin Biauw tidak tersenyum lagi, namun memandang Siangkoan Wi Hong dengan mata bersinar-sinar penuh tantangan!

Siangkoan Wi Hong menggerakkan pundak seperti orang yang tidak berdaya, kemudian memandang kepada Thian Sin. “Hemmm, agaknya belum tiba saatnya engkau roboh di tanganku, Ceng Thian Sin. Biarlah kita bertemu di lain kesempatan!” Dia lalu menghadapi Bin Biauw dan berkata kepada nona itu, “Silakan, nona. Akan tetapi berhati-hatilah, bocah setan ini berbahaya juga. Awas, jangan sampai dia menggunakan Thi-khi I-beng!”

Mendengar disebutnya ilmu mukjijat yang bagi kebanyakan orang-orang kang-ouw hanya merupakan semacam dongeng itu, semua orang terkejut, tidak terkecuali Tung-hai-sian. Akan tetapi Bin Biauw menjadi marah.

“Aku tahu bagaimana harus menghadapi lawan-lawanku!” bentaknya dan Siangkoan Wi Hong lalu kembali ke tempat duduknya.

Thian Sin menjadi bingung sesudah Siangkoan Wi Hong pergi meninggalkan dia dan kini berhadapan dengan nona manis itu. Dia memandang dengan penuh keraguan, tidak tahu harus berbuat apa.

“Akan tetapi… aku… aku tidak hendak melawanmu, nona…”

Bin Biauw tersenyum manis. “Apakah engkau menganggap bahwa aku kurang berharga untuk menandingimu dalam ilmu silat?”

“Bukan… bukan begitu… tapi…”

Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh Kong Liang telah berada di atas panggung. Semua tamu terkejut. Itulah gerakan yang amat ringan dan cepatnya, membayangkan ginkang tingkat tinggi! Dan kini semua mata ditujukan kepada pemuda yang bertubuh tegap dan gagah ini, yang berdiri tegak dan memandang kepada Thian Sin lalu berkata,

“Thian Sin, kau kembalilah ke tempatmu!”

Thian Sin memandang pamannya dan dia segera tahu bahwa pamannya itu marah sekali kepadanya. Lantas teringatlah dia bahwa dia datang sebagai ‘anggota’ rombongan wakil Cin-ling-pai dan bahwa tadi dia meloncat ke atas panggung tanpa perkenan pamannya, maka dia merasa bersalah.

Tadi dia berbuat seperti itu karena tidak dapat menahan kemarahan hatinya ketika nama ayahnya disebut-sebut oleh Siangkoan Wi Hong. Dan kini, berhadapan dengan pamannya yang marah, dia hanya dapat mengangguk saja.

“Maafkan, paman,” katanya dan dia pun melompat turun, kembali ke tempat duduknya di dekat Han Tiong yang memegang lengan adiknya dan menyuruhnya sabar dengan satu tepukan tangan pada bahunya.

Sementara itu, Cia Kong Liang yang kini telah berdiri di atas panggung, segera memberi hormat ke arah tempat duduk Tung-hai-sian dan ke empat penjuru, ke arah penonton. Sikapnya dingin dan sinar matanya angkuh.

Memang semenjak tadi dia sudah marah sekali. Pertama-tama, karena sebagai wakil, apa lagi sebagai putera ketua Cin-ling-pai, dia hanya diberi tempat duduk di bawah panggung. Kemudian, percakapan antara fihak tuan rumah dan putera Pak-san-kui itu sungguh telah menyinggung perasaannya, yaitu bahwa mereka yang duduk di bawah panggung hanyalah tamu-tamu kelas rendahan saja!

Hal ini tak mungkin dapat dibiarkannya saja, karena dengan membiarkan hal itu berarti dia mengakui bahwa Cin-ling-pai adalah perkumpulan ‘kelas rendahan’ dan hal ini tentu akan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw bila mendengar bahwa putera ketua Cin-ling-pai dihina dalam pesta datuk kaum sesat itu! Betapa pun juga, dia masih menahan sabar, teringat akan pesan ayahnya agar dia tidak sembarangan membikin ribut di luar.

Akan tetapi, dengan majunya Thian Sin, tak mungkin lagi dia dapat mendiamkannya saja. Thian Sin adalah keponakannya, dan dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan keponakan itu. Juga, dia khawatir kalau-kalau Thian Sin akan celaka jika maju bertanding. Semua itu ditambah lagi dengan rasa penasaran ketika mendengar Siangkoan Wi Hong menyebut-nyebut Ilmu Thi-khi I-beng yang dikatakannya dimiliki oleh Thian Sin.

Ia sendiri belum tahu bahwa ilmu mukjijat dari kakeknya, yaitu pendiri Cin-ling-pai itu telah diturunkan kepada Thian Sin, padahal ayahnya sendiri yang kini sedang menjadi ketua Cin-ling-pai juga tidak mewarisi ilmu itu, apa lagi dia! Benarkah ilmu itu telah diwarisi oleh Thian Sin putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kabarnya jahat itu? Dia merasa penasaran, maka dia langsung meloncat ke atas panggung dan menyuruh Thian Sin turun, yang diturut oleh keponakannya itu.

Sekarang dia harus memberi penjelasan akan sikapnya. “Cu-wi yang terhormat,” katanya ditujukan kepada fihak tuan rumah, berikut juga para tamu. “Saya adalah Cia Kong Liang, datang ke sini untuk mewakili ayah saya, yaitu ketua Cin-ling-pai, memenuhi undangan fihak tuan rumah, bersama dua orang keponakan saya, yang seorang di antaranya adalah Ceng Thian Sin tadi. Nah, sebagai wakil Cin-ling-pai, kami mengajukan diri, bukan untuk memamerkan kepandaian, melainkan memperlihatkan bahwa kepandaian seseorang tak dapat diukur dari kekayaan atau nama besar, juga untuk sekedar membantu memeriahkan suasana pesta. Biarlah kami sekalian menjadi wakil dari para tamu kelas rendahan yang duduk di bawah panggung!”

Ucapan Cia Kong Liang ini nadanya keras bukan main, seolah-olah menampar muka tuan rumah sehingga wajah Tung-hai-sian seketika menjadi pucat, kemudian berubah merah. Dia merasa tak enak sekali dan diam-diam menyesalkan para pembantunya yang kurang teliti sehingga pemuda-pemuda wakil dari perkumpulan-perkumpulan besar diberi tempat di bawah, bahkan putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw juga diberi tempat di bawah panggung!

Akan tetapi, diam-diam dia pun gembira melihat bahwa pemuda perkasa deri Cin-ling-pai itu mau melayani puterinya. Dengan demikian, kini makin banyak bermunculan pemuda-pemuda yang baik sehingga memudahkan pemilihannya. Mula-mula Siangkoan Wi Hong, lalu putera pangeran itu yang belum sempat disaksikannya sampai di mana tingkat ilmu silatnya sungguh pun dia sudah girang sekali mendengar dari Siangkoan Wi Hong tadi bahwa putera pangeran itu memiliki ilmu mukjijat Thi-khi I-beng. Selain putera pangeran itu, kini putera ketua Cin-ling-pai!

Dia sendiri pernah mendengar tentang Cin-ling-pai, akan tetapi karena sudah lama sekali Cin-ling-pai tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw, maka kini nama Cin-ling-pai tidak terkenal lagi dan nama besarnya seolah-olah semakin pudar. Maka kini kemunculan putera ketua Cin-ling-pai menarik perhatian para tokoh kang-ouw, terutama sekali kaum tuanya yang dulu pernah mengalami masa jayanya perkumpulan itu.

Sejak tadi Bin Biauw memandang dan memperhatikan Cia Kong Liang dari kepala sampai ke kaki dan dara ini merasa kagum bukan main! Pemuda ini sungguh gagah! Meski pun tidak setampan pemuda putera pangeran tadi, akan tetapi pemuda ini gagah perkasa dan sikapnya demikian penuh wibawa dan matang, kokoh kuat dan penuh keberanian!

Kalau saja ilmu silatnya sehebat sikapnya ini, maka dia merupakan seorang pemuda yang sangat hebat! Maka ingin sekali dia menguji kepandaian pemuda ini, apakah selihai ilmu silat Siangkoan Wi Hong yang agaknya memandang rendah wanita itu? Pemuda ini sama sekali tidak memandangnya dengan sikap merendahkan, bahkan memandangnya dengan sekilas saja, dengan pandang mata sopan!

“Terima kasih bahwa Cia-enghiong suka memberi petunjuk kepadaku yang bodoh ini,” dia berkata sambil tersenyum manis.

Akan tetapi sikap Kong Liang biasa saja, tidak membalas senyum itu, melainkan berkata dengan sikap hormat dan tegas, “Silakan, ilmu pedang nona indah dan lihai, namun saya kira saya akan mampu menjaga diri.”

Bin Biauw gembira sekali dan dia sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat. Kong Liang juga segera melepaskan pedang Hong-cu-kiam yang tadinya melingkari pinggangnya sehingga nampaklah sinar keemasan yang menyilaukan mata.

Melihat ini, Bin Biauw lalu memuji, “Po-kiam (pedang pusaka) yang bagus! Cia-enghiong, bersiaplah dan lihat serangan!” Dia menyebut eng-hiong (pendekar) kepada pemuda yang berwibawa ini, dan di dalam hatinya, dara ini sudah tunduk kepada putera Cin-ling-pai ini!

Bin Biauw sudah menyerang dengan gerakan yang sangat cepat. Akan tetapi Kong Liang tidak pindah dari tempat dia berdiri, bahkan sedikit pun kakinya tidak tergeser. Dia tidak mempedulikan sinar pedang yang bergulung-gulung itu, hanya setiap kali cahaya pedang berkelebat ke arahnya, dia baru menggerakkan Hong-cu-kiam untuk menangkis.

“Cringgg…!”
Tangkisan pertama itu amat mengejutkan hati Bin Biauw karena seluruh tangan kanannya tergetar hebat. Tahulah dia bahwa pemuda ini memiliki tenaga sinkang yang sangat kuat dan bahwa pedang tipis bersinar emas itu benar-benar merupakan pedang yang ampuh. Maka dia bersikap hati-hati dan menyerang dengan lebih cepat.

Namun, ke mana juga pedangnya menyambar, selalu bertemu dengan sinar emas yang menangkisnya! Padahal pemuda itu sama sekali tidak menggeser kaki. Bahkan ketika dia menyerang dari belakang, sinar emas itu pun telah menangkis di belakang tubuh pemuda itu.

Berkali-kali terdengar bunyi berdencing nyaring dan nampaklah bunga api yang berpijaran menyilaukan mata ketika semakin lama semakin sering pula pedang Bin Biauw bertemu dengan pedang yang berubah menjadi gulungan sinar emas yang menyilaukan mata itu. Hebatnya, pemuda itu selain tak pernah membalas serangan, juga tubuhnya hampir tidak mengubah kedudukan kakinya, hanya memutar tubuh ke kanan atau kiri dan ke mana pun sinar pedang Bin Biauw datang menyambar, tentu selalu bertemu dengan cahaya emas yang menangkisnya.

Dengan ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut, Kong Liang mampu membangun pertahanan yang kokohnya bagaikan benteng baja dan tidak mudah ditembus oleh sinar pedang Bin Biauw. Apa lagi dia memang memiliki sinkang yang kuat sekali, sehingga setiap tangkisan yang disertai tenaga membuat lengan dara itu merasa tergetar hebat sekali. Makin lama serangan Bin Biauw menjadi semakin lemah dan belum lima puluh jurus kemudian, ketika Kong Liang memperkuat tenaganya dan menangkis, maka terdengar bunyi keras sekali.

“Tranggg…!”

Tubuh Bin Biauw terhuyung ke belakang. Dia menghentikan serangannya, dahinya penuh keringat sedangkan wajahnya menjadi merah sekali, mulutnya tersenyum malu-malu dan matanya mengerling tajam melebihi tajam pedangnya, dan dia pun menjura.

“Cia-enghiong sungguh pandai, saya mengaku kalah!”

Setelah berkata demikian, dara itu lalu mundur dan lari menuju ke tempat duduk ayahnya dengan muka merah dan sikap malu-malu! Melihat hal ini, Tung-hai-sian mengerti bahwa selain pemuda putera ketua Cin-ling-pai itu memang lebih lihai dari pada puterinya, juga agaknya Bin Biauw sudah jatuh hati kepada pemuda itu, maka mau mengalah sebelum dirinya dikalahkan.

Tung-hai-sian pun bangkit berdiri dan di bawah tepuk tangan para tamu yang menyambut kemenangan Cia Kong Liang dengan rasa girang, terutama mereka yang duduk di bawah panggung, karena bagaimana pun juga, tadi Kong Liang mengatakan bahwa dia mewakili para tamu di bawah panggung, dia menghampiri pemuda itu.

“Cia-sicu sungguh memiliki ilmu pedang yang sangat lihai. Itukah yang disohorkan orang sebagai Siang-bhok Kiam-sut?” kata datuk itu sambil tersenyum.

Secara diam-diam Kong Liang terkejut juga. Menurut ayahnya, selama belasan tahun ilmu pedang ini tak pernah dimainkan di depan umum, apa lagi digunakan dalam pertandingan, maka sekarang begitu melihatnya, padahal hanya dipergunakan sebagai pertahanan saja, kakek ini telah mampu menerkanya dengan tepat, menandakan bahwa kakek ini memang memiliki pengetahuan yang luas sekali.

“Pandangan locianpwe sangat tajam dan memang tadi adalah Siang-bhok Kiam-sut dari perkumpulan kami.”

“Bagus, bagus… dan maafkan kami yang telah berlaku kurang teliti sehingga sicu beserta rombongan memperoleh tempat duduk di bawah panggung. Sekarang silakan sicu dengan dua orang keponakan sicu untuk duduk di atas panggung, agar kita dapat bicara dengan enak.”

Kong Liang adalah seorang pemuda yang angkuh, akan tetapi dia bukan orang yang suka disanjung. Jika tadi dia maju untuk memperlihatkan kepandaiannya, hanyalah agar orang jangan memandang rendah pada Cin-ling-pai, bukan berarti dia ingin disanjung dan dipuji.

Andai kata nama Cin-ling-pai tidak disebut-sebut, atau andai kata para tamu yang duduk di bawah panggung tidak dianggap sebagai kelas rendahan, kiranya dia pun akan tetap menahan rasa penasaran dan kemarahannya. Kini, sesudah dia berhasil memperlihatkan kepandaiannya yang tidak usah kalah dibandingkan dengan puteri tuan rumah atau para tamu dari panggung, maka sudah cukuplah baginya.

“Terima kasih, locianpwe. Bagi kami, duduk di bawah panggung pun tidak mengapa asal orang tidak memandang rendah terhadap kami yang duduk di bawah!” jawabnya sambil membalas dengan penghormatan, kemudian dia melompat turun dari atas panggung.

“Cia-sicu, sebelum pulang aku ingin bicara dengan sicu lebih dulu!” Kakek itu berseru dari atas panggung.

“Baik, locianpwe.” jawab Kong Liang yang kembali ke tempat duduknya semula.

Dia disambut oleh Han Tiong dengan senyuman, akan tetapi Thian Sin nampak muram wajahnya. Pemuda ini merasa tidak puas dengan sikap pamannya tadi. Cia Kong Liang terlampau sombong dan mengandalkan dirinya sendiri, seakan-akan dia yang paling lihai! Sikap pamannya itu seolah-olah menganggap dia dan kakaknya masih kanak-kanak saja! Dan caranya mencegah dia bertanding dengan Bin Biauw tadi benar-benar membuat dia kecewa dan mendongkol. Akan tetapi dia pun tidak banyak cakap, hanya menunduk saja.

Setelah para tamu mulai berpamitan, Thian Sin berkata kepada Han Tiong sengaja bicara keras agar terdengar pula oleh Kong Liang, “Tiong-ko, mari kita pulang. Kita harus segera pergi ke Lok-yang, memenuhi pesan ayah mengunjungi Paman Ciu Khai Sun.”

“Engkau benar, adikku. Paman, marilah kita berpamit. Para tamu mulai pulang dan kami berdua masih harus melakukan perjalanan jauh ke Lok-yang.”

Kong Liang bangkit berdiri dan menarik napas panjang. Dia tadi sedang termenung ketika beberapa kali dia memandang ke arah tempat duduk Bin Biauw dan melihat betapa dara itu selalu memandang ke arahnya dan kadang-kadang tersenyum manis.

Tadi, pada saat dia naik ke panggung untuk memperlihatkan kepandaian, sedikit pun tidak mempunyai niat untuk memperhatikan dara itu, dan walau pun seperti para tamu lain dia dapat menduga bahwa majunya Bin Biauw ke atas panggung sebenarnya untuk mencari jodoh, namun sedikit pun juga dia tidak mempunyai niat untuk memasuki sayembara yang tidak diumumkan itu.

Kini, setelah dia dapat menangkan Bin Biauw dan mendengar ucapan serta melihat sikap Tung-hai-sian, diam-diam dia kemudian mengerti bahwa agaknya fihak keluarga itu tertarik kepadanya dan diam-diam dia pun baru merasa bingung karena sesungguhnya dia sama sekali belum mempunyai pikiran untuk mencari jodoh, sungguh pun ayah bundanya sudah sering mengemukakan keinginan mereka untuk mempunya mantu.

Bersama-sama para tamu yang lain mereka bertiga lalu menghampiri panggung di mana Tung-hai-sian menerima para tamu yang berpamit. Ketika melihat Kong Liang dan kedua orang pemuda keponakannya, Bin Biauw bangkit dengan kaget lantas memegang tangan ayahnya. Alisnya berkerut seakan-akan hendak memperlihatkan kekecewaannya melihat pemuda gagah perkasa itu hendak pergi meninggalkan tempat itu. Tung-hai-sian Bin Mo To juga segera melangkah maju menyambut Kong Liang, Han Tiong dan Thian Sin.

“Locianpwe, kami bertiga hendak mohon diri dan kami menghaturkan terima kasih atas segala penyambutan Locianpwe sekeluarga,” kata Kong Liang sambil memberi hormat, diturut oleh dua orang keponakannya.

“Ehh, Cia-sicu, kenapa tergesa-gesa? Saya ingin bicara dengan sicu… penting sekali…,” kata kakek itu.

Akan tetapi pada saat itu terdapat tamu-tamu lain yang datang berpamit, maka dia tidak dapat berbicara dengan leluasa. Sesudah rombongan tamu itu disambutnya dan terbuka kesempatan, barulah Kong Liang berkata dengan suara sungguh-sungguh,

“Maaf, locianpwe, bukan saya tidak bersedia, hanya karena kami masih ada urusan yang harus segera kami selesaikan, maka terpaksa kami tidak dapat menanti lebih lama lagi. Kami mohon diri.”

“Cia-sicu… kalau begitu, begini saja. Harap sampaikan hormat dan salamku kepada ketua Cin-ling-pai, ayahmu, dan harap sampaikan pula kepada beliau bahwa dalam waktu dekat ini saya akan datang berkunjung kepada beliau di Cin-ling-san, untuk… bicara… eh, untuk mempererat persahabatan antara kita.”

Wajah Kong Liang berubah merah, akan tetapi sikapnya tetap tenang. Dia tahu apa yang dimaksud oleh kakek itu. Tiada lain tentu hendak membicarakan urusan perjodohan. Apa lagi? Antara Cin-ling-pai dengan para datuk kaum sesat tak ada sangkut-paut dan urusan apa-apa.

“Baiklah, tentu nanti akan saya sampaikan, locianpwe. Selamat tinggal, dan… Nona Bin, selamat tinggal dan terima kasih.”

Bin Biauw cepat membalas penghormatan pemuda itu. “Sampai berjumpa kembali, Cia… koko…,” kata dara itu dengan sikap manis sekali.

Sesudah mereka bertiga meninggalkan tempat itu, di tengah perjalanan Thian Sin tidak dapat menahan perasaan hatinya lagi kemudian berkata sambil tersenyum masam. “Ahh, sekali ini Paman Kong Liang telah berhasil.”

Kong Liang memandang kepada putera pangeran itu. “Berhasil? Apa maksudmu?”

“Paman tidak hanya sudah mengalahkan pedang Nona Bin, melainkan juga telah berhasil menundukkan hatinya dan juga menaklukkan ayahnya.”

“Hemm, Thian Sin, coba jelaskan, apa maksud kata-katamu ini!”

“Kenapa paman masih pura-pura lagi? Tung-hai-sian telah menjelaskan sikapnya, hendak datang menemui ketua Cin-ling-pai. Apa lagi kalau tidak hendak membicarakan mengenai urusan pernikahan? Ahh, kionghi (selamat), paman!” Dan Thian Sin benar-benar memberi selamat dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada.

“Gila!” Kong Liang membentak, mukanya berubah merah. “Apa kau sangka begitu mudah menentukan urusan kawin? Yang penting adalah dua orang yang bersangkutan!”

“Wah, sikap Nona Bin sudah jelas. Bukankah tadi dia pun tiba-tiba saja menyebutmu… dengan sebutan koko yang mesra? Dan paman sendiri, ahh, masih pura-pura lagi?”

“Thian Sin, jangan sembarangan bicara kau!” Kong Liang yang merasa malu itu menjadi marah, atau pura-pura marah.

Melihat ini, Han Tiong yang semenjak tadi memperhatikan adiknya, cepat menengahi dan berkata, “Paman, Thian Sin hanya main-main saja. Sin-te, jangan kau goda paman. Mari kita percepat perjalanan kita yang masih jauh.”

Akan tetapi saat mereka baru saja keluar dari kota Ceng-tao dan tiba di kaki pegunungan yang sunyi, mereka melihat beberapa orang berdiri menghadang mereka di tengah jalan sehingga ketiga orang pemuda ini memandang dengan penuh perhatian. Mereka segera mengenal dua orang di antara mereka, yaitu Siangkoan Wi Hong yang tetap memanggul yang-kimnya dan seorang dara cantik manis berpakaian mewah yang bukan lain adalah So Cian Ling murid dari See-thian-ong, dara keturunan penghuni Padang Bangkai yang pernah datang untuk membalas dendam terhadap Kakek Yap Kun Liong dan Nenek Cia Giok Keng itu!

Di samping dua orang muda yang lihai ini nampak tiga orang kakek yang dikenal oleh Han Tiong, yaitu Pak-thian Sam-liong, tiga orang kakek murid-murid Pak-san-kui yang pernah dikalahkan oleh ayahnya beberapa tahun yang lalu. Juga di samping dara manis itu berdiri Ciang Gu Sik, murid kepala See-thian-ong yang berusia tiga puluh lima tahun itu, yang pernah bertanding melawan Bin Biauw dan amat lihai dengan joan-pian berselaput emas itu.

Melihat betapa keenam orang itu bersikap mengancam, Kong Liang mengerutkan alisnya kemudian berkata kepada dua orang keponakannya dengan bisikan, “Kalian diamlah saja. Mereka itu lihai, biar aku yang menghadapi mereka apa bila terpaksa aku harus melawan mereka. Kalian boleh melihat saja dan siap-siap saja untuk membela diri kalau diserang.”

Thian Sin tersenyum mengejek, akan tetapi Han Tiong mengangguk, lantas menyentuh lengan adiknya yang sudah gatal-gatal tangan hendak menantang musuh itu.

Dengan sikap yang tenang namun berwibawa, ketabahan yang amat besar, Kong Liang cepat mendahului dua orang keponakannya dan mengambil sikap seolah-olah dia hendak melindungi dua orang pemuda keponakannya itu. Dia berjalan terus sampai tiba di depan enam orang yang menghadangnya, lalu berkata dengan sopan namun tegas,

“Harap cu-wi suka minggir dan membiarkan kami lewat.”

Bagaimanakah putera Pak-san-kui dan murid See-thian-ong itu dapat berkumpul menjadi satu kemudian menghadang di tempat itu? Memang, di antara empat orang datuk, yaitu See-thian-ong, Pak-san-kui, Tung-hai-sian dan Lam-sin, maka See-thian-ong datuk dari barat dan Pak-san-kui dari utara sudah lama saling mengadakan hubungan seperti rekan seangkatan atau segolongan, sebab itu tidak mengherankan apa bila Siangkoan Wi Hong sudah lama mengenal So Cian Ling.

Ketika Siangkoan Wi Hong melihat betapa pemuda putera ketua Cin-ling-pai itu mampu mengalahkan sekaligus menundukkan hati Bin Biauw dan bahkan Tung-hai-sian nampak tertarik untuk mengambil mantu pemuda itu, diam-diam Siangkoan Wi Hong merasa tidak senang sekali. Bukan karena dia sendiri ingin memperisteri Bin Biauw, melainkan karena Tung-hai-sian telah dianggapnya sebagai orang satu golongan dengan ayahnya sebagai datuk timur.

Ada pun pemuda itu adalah putera Cin-ling-pai, golongan yang menamakan dirinya ‘kaum pendekar’ dan yang semenjak dahulu telah menjadi fihak yang menentang dan ditentang golongan para datuk. Kalau sampai Tung-hai-sian menjadi besan ketua Cin-ling-pai, tentu hal itu berarti akan melemahkan golongan mereka. Inilah sebabnya maka Siangkoan Wi Hong lalu cepat-cepat menghubungi para murid See-thian-ong mengajak dua orang murid See-thian-ong untuk melakukan penghadangan terhadap tiga orang dari Cin-ling-pai itu.

Hal ini disetujui Ciang Gu Sik yang berpemandangan sama dengan Siangkoan Wi Hong, sedangkan So Cian Ling yang pernah berhadapan dengan tiga orang pemuda itu sebagai lawan ketika dia hendak membalas dendam kepada Kakek Yap Kun Liong dan Nenek Cia Giok Keng, juga penuh semangat menyokong maksud ini.

Demikianlah, Siangkoan Wi Hong ditemani tiga orang Pak-thian Sam-liong, dan dua orang murid See-thian-ong itu kemudian bersama-sama memotong jalan dan menghadang tiga orang pemuda yang tadi menjadi tamu sebagai wakil Cin-ling-pai itu.

“Tring-tranggg…!”

Yang-kim di tangan Siangkoan Wi Hong itu berbunyi, disusul suara tawa pemuda tampan pesolek itu.

“Ha-ha-ha, sekarang sudah lengkap tiga-tiganya berkumpul di sini, ha-ha-ha! Putera ketua Cin-ling-pai, putera Pendekar Lembah Naga, dan putera Pangeran Ceng Han Houw! Wah, wah, tiga serangkai yang cocok! Pantas saja sikapnya sombong bukan main!”

Han Tiong yang pernah berkenalan dengan pemuda ini, bahkan pernah disambut sebagai sahabat dan dijamu makan, merasa tak enak kalau harus bermusuhan dengannya, maka dia sudah cepat berkata,

“Saudara Siangkoan, kami adalah orang-orang yang lebih mengutamakan persahabatan, tidak ingin mencari permusuhan, harap engkau tidak mengganggu kami.”

“Han Tiong, mundurlah dan biarkan aku menghadapi orang-orang liar ini!” Cia Kong Liang berkata dengan suara nyaring dan tajam.

Memang dia sudah marah sekali menyaksikan sikap Siangkoan Wi Hong tadi. Mendengar ucapan Han Tiong yang dianggapnya terlalu merendahkan diri itu, kemarahannya makin berkobar. Dia sudah melangkah maju di depan Han Tiong dan dia menghadapi Siangkoan Wi Hong dengan sikap penuh wibawa. Sepasang matanya kini mencorong seperti mata seekor naga saja.

“Memang benar bahwa kami tidak mencari permusuhan, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami takut menghadapi siapa pun juga yang hendak memusuhi kami! Kalau aku tidak salah lihat, kalian ini adalah orang-orangnya Pak-san-kui dan See-thian-ong, bukan? Nah, apa maksud kalian menghadang perjalanan kami dan bersikap seperti ini?”

Enam orang itu nampak jeri juga saat menyaksikan sikap yang gagah dari putera ketua Cin-ling-pai itu, bahkan Siangkoan Wi Hong yang biasanya tenang dan tertawa-tawa itu, yang biasanya sangat mengandalkan kepada diri sendiri, kini diam-diam merasa gembira bahwa dia mempunyai teman-teman yang lihai karena terus terang saja, kalau dia harus menghadapi pemuda Cin-ling-pai ini seorang diri saja, dia masih akan berpikir panjang.

Akan tetapi pada saat itu pula, sebelum ada yang menjawab pertanyaan Kong Liang tadi, terdengar suara keras, “Mana orang Cin-ling-pai? Biar kami menghadapinya!”

Dan nampaklah bayangan orang berkelebat dari atas pohon, kemudian dua tubuh yang melayang itu berjungkir balik bagaikan bola-bola besar, berputar-putar dan baru turun di depan Kong Liang. Cara mereka meloncat dari atas dan berjungkir balik itu hebat sekali, seperti permainan akrobatik para pemain sirkus yang terlatih baik saja. Dan ketika semua orang memandang, kiranya mereka itu adalah dua orang laki-laki berpakaian pengemis!

Usia mereka sekitar lima puluh tahun, pakaian mereka terbuat dari kain tambal-tambalan beraneka macam dan warna, tetapi pakaian mereka tidak butut seperti pakaian pengemis-pengemis biasa, namun bersih dan agaknya memang hanya merupakan pakaian model pengemis, yaitu berbagai macam kain baru ditembel-tembel sehingga menjadi pakaian. Di punggung mereka, seperti cara orang membawa pedang, terlihat sebatang tongkat, entah terbuat dari bahan apa, hanya kelihatan hitam dan butut.

“Aha, kiranya dua orang gagah dari Bu-tek Kai-pang?” seru Siangkoan Wi Hong dengan girang sekali ketika melihat munculnya dua orang kakek pengemis ini.

Dia tidak mengenal pribadi semua anggota Bu-tek Kai-pang yang jumlahnya dua puluh empat orang itu, akan tetapi melihat pakaian mereka dan tongkat yang mereka namakan ‘Hok-mo-pang’ (Tongkat Penakluk Iblis) itu, maka tahulah dia bahwa mereka itu adalah dua orang anggota Bu-tek Kai-pang yang dipimpin atau diketuai oleh Lam-sin (Malaikat Selatan), yaitu datuk selatan.
Selanjutnya,

Pendekar Sadis Jilid 13

Pendekar Sadis Jilid 13
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Thian Sin dan Han Tiong yang mengikuti Kong Liang hadir di tempat yang luas itu, dari jauh melihat pula hadirnya seorang pemuda pesolek tampan yang membuat mereka amat terkejut karena tidak disangkanya mereka akan melihat pemuda itu di sana. Pemuda itu tak lain adalah Siangkoan Wi Hong. Si pemuda pesolek, pemain yang-kim yang pandai.

Agaknya pemuda itu hadir mewakili ayahnya, yaitu Pak-san-kui yang dianggap sebagai datuk utara. Tidaklah mengherankan jika dia disambut sebagai tamu agung, ditempatkan di ruang kehormatan, yaitu panggung yang sengaja dibuat untuk menyambut tamu-tamu yang dihormati.

Siangkoan Wi Hong datang bersama tiga orang kakek yang juga dikenal oleh Han Tiong. Dia teringat betapa dulu ayahnya pernah diuji oleh Pak-san-kui, diadu dengan tiga orang kakek itu yang berjuluk Pak-thian Sam-liong, yaitu murid-murid Pak-san-kui yang lihai.

Dan tiga orang pemuda itu pun terkejut ketika melihat hadirnya seorang dara manis yang tidak lain adalah So Cian Ling, murid dari See-thian-ong atau keturunan penghuni Padang Bangkai yang pernah datang untuk membalas dendam kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng itu! Dara cantik manis itu datang mewakili suhu-nya, ditemani oleh seorang murid suhu-nya yang kelihatan gagah dan berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun. Juga wakil-wakil dari See-thian-ong in memperoleh kursi di panggung kehormatan.

Tiga orang pemuda yang mengaku wakil Cin-ling-pai itu tidak mendapat kursi di panggung kehormatan dan hal ini saja menyatakan bahwa datuk kaum sesat itu tidak memandang tinggi kepada fihak Cin-ling-pai! Akan tetapi hal itu tidak mendatangkan perubahan pada wajah Kong Liang yang tampan itu, sungguh pun sebenarnya hati merasa panas sekali! Memang pemuda ini sudah pandai menyimpan perasaannya. Betapa pun juga Han Tiong dan Thian Sin yang merasa lega karena dengan mendapat duduk di golongan tamu biasa mereka tidak harus bertemu muka dengan Siangkoan Wi Hong dan So Cian Ling.

Semua tokoh kang-ouw melihat-lihat dan merasa heran kenapa seorang di antara empat datuk, yaitu Lam-sin (Malaikat Selatan) tidak nampak mengirim wakilnya, padahal nama Lam-sin juga amat terkenal sungguh pun jarang ada orang yang pernah bertemu dengan orangnya. Hanya namanya sajalah yang amat terkenal, dan nama itu dibuat terkenal oleh para anggotanya, yaitu golongan pengemis!

Lam-sin ini di selatan menjadi ketua dari sebuah perkumpulan pengemis yang terkenal dengan nama yang amat sombong, yaitu Bu-tek Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tanpa Tanding)! Dan memang menurut kabar angin, perkumpulan ini memiliki anggota-anggota yang semuanya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan anggota mereka tidaklah banyak, katanya hanya dua puluh orang lebih namun rata-rata amat lihai sehingga nama Bu-tek Kai-pang itu ditakuti semua orang, apa lagi ketuanya yang hanya dikenal sebagai Lam-sin atau Malaikat Selatan.

Lam-sin sendiri tidak pernah keluar, akan tetapi setiap ada pengemis sakti dari Bu-tek Kai-pang melakukan sesuatu yang menggemparkan dunia kang-ouw, tentu nama Lam-sin semakin terangkat sebab setiap pengemis sakti itu amat menjunjung tinggi nama Lam-sin sebagai guru dan majikan mereka! Pendeknya, sampai kini nama Lam-sin merupakan tokoh misterius yang hanya dikenal nama namun belum dikenal rupanya itu.

Pesta ulang tahun itu berjalan dengan amat meriah. Suguhan-suguhan yang dihidangkan adalah masakan-masakan yang mahal, sedangkan araknya juga arak pilihan, pendeknya benar-benar merupakan pesta dari seorang yang kaya raya. Semua ini masih diramaikan dengan hadirnya serombongan penari dan penyanyi yang didatangkan dari Nan-king, yang tentu saja amat mahal bayarannya.

Selagi pesta itu berlangsung meriah, tiba-tiba seorang pembantu fihak tuan rumah yang bertugas sebagai pembawa acara bangkit berdiri di atas panggung di mana para penari baru saja mengundurkan diri. Musik pun berhenti dan terdengar suara orang itu lantang,

“Dimohon perhatian cu-wi yang mulia! Atas perintah dari fihak tuan rumah, kami memberi tahukan bahwa acara hiburan ditunda untuk memberi kesempatan kepada Bin-siocia yang hendak memberikan selamat kepada Bin-loya (tuan Besar Bin). Hendaknya cu-wi maklum bahwa Bin-siocia adalah puteri tunggal dari Tuan Besar Bin Mo To yang mulia. Sebagai hadiah untuk ayahnya, Bin-siocia berkenan hendak mempertunjukkan tarian pedang!”

Tentu saja pengumuman itu disambut dengan tepuk sorak riuh karena para tamu tentu saja ingin sekali melihat ilmu pedang dari puteri Tung-hai-sian Bin Mo To. Hanya beberapa orang saja di antara para tamu, termasuk para pembesar di Ceng-tao, yang sudah tahu bahwa Bin-siocia adalah seorang dara yang sangat cantik dan manis, dan yang kabarnya mempunyai ilmu silat yang amat tinggi, paling tinggi di antara anak buah atau murid-murid datuk itu sendiri!

Tiba-tiba saja terdengar musik ditabuh, yaitu tambur dan gembreng serta terompet. Selagi tambur dipukul gencar, dari dalam keluarlah seorang dara berpakaian serba merah, baju dan celana merah muda, ikat pinggang merah tua, pita rambut merah tua dan di dadanya terdapat hiasan dari sutera kuning, kedua kakinya mengenakan sepatu hitam yang masih mengkilap.

Bukan main cantik manis serta gagahnya dara itu nampaknya. Pakaiannya yang terbuat dari sutera tipis itu menempel ketat pada tubuhnya, membuat tubuhnya nampak menonjol dan padat menggairahkan, namun juga menimbulkan rasa segan karena sikapnya sangat gagah.

Dia berlari keluar, berlari kecil bagaikan seorang penari yang lincah, dan wajahnya yang manis itu tersenyum ketika dia memandang kepada para tamu dan mengangguk sebagai tanda terima kasih karena para tamu menyambutnya dengan tepuk tangan riuh. Ketika dara itu tersenyum, nampak dua buah lesung pipit di kanan kiri mulutnya, dan memang dara ini manis sekali.

Mulutnya merupakan daya tarik yang paling kuat dari wajahnya, sebuah mulut yang amat indah, dengan bibir melengkung penuh berkulit tipis seolah-olah setiap saat bibir itu akan pecah dan mengeluarkan darah karena bibir itu nampak demikian merah dan basah. Saat dia tersenyum hingga kedua bibir itu agak terpisah merenggang, tampak kilauan gigi putih seperti mutiara. Pada punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce berwarna kuning emas.

Dara itu adalah Bin Biauw, puteri remaja berusia tujuh belas tahun yang merupakan anak tunggal dari Tung-hai-sian Bin Mo To! Setelah berlari berputaran di atas panggung sambil memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada kepada para penonton yang menjadi tamu, barulah Bin Biauw menghampiri panggung di mana ayahnya duduk. Semua mata kini memandang ke arah tuan rumah.

Tung-hai-sian adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun yang berpakaian mewah, di kanan kirinya duduk dua orang wanita setengah tua yang juga berpakaian mewah. Di sebelah kanan itu adalah isterinya yang pertama, sedangkan di sebelah kirinya adalah isterinya yang ke dua atau ibu kandung Bin Biauw. Isteri pertamanya tidak mempunyai anak dan dia adalah seorang wanita Jepang, tidak seperti ibu Bin Biauw yang merupakan wanita Korea, bertubuh tinggi langsing seperti Bin Biauw.

Tung-hai-sian sendiri bertubuh pendek tegap dan bersikap gagah, biar pun usianya sudah enam puluh tahun namun dia masih nampak kuat, hanya kepalanya saja yang telah botak kelimis, hanya ditumbuhi rambut di bagian belakang dari dekat telinga sampai ke pelipis. Ubun-ubun dan atas dahinya sudah tidak ada rambutnya sama sekali.

Di pinggangnya tergantung sebatang pedang samurai yang sarungnya amat indah. Kedua matanya yang lebar itu sangat tajam, dan alisnya hanya merupakan bundaran hitam kecil saja yang ditumbuhi rambut pendek-pendek. Biar pun Tung-hai-sian sudah menjadi datuk dunia persilatan di daratan Tiongkok, bahkan sudah berganti nama dengan nama Bin Mo To sebagai pengganti nama Minamoto, namun di dalam kesempatan gembira merayakan hari ulang tahunnya yang ke enam puluh tahun itu, kini kakek ini mengenakan pakaian seorang Samurai Jepang! Kakinya juga memakai sandal model Jepang dan dia kelihatan bangga sekali berpakaian seperti itu!

Bin Biauw menghampiri ayahnya lantas menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya. Kakek ini lalu merangkul dan mencium kepala puterinya sambil tertawa gembira. Sesudah mengucapkan selamat dengan suara lirih yang tertindih dengan suara musik, dara itu lalu bangkit dan berlari lagi ke atas panggung.

Sesudah menghormat ke empat penjuru, tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan tahu-tahu dia sudah mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan cahaya kilat sehingga mengejutkan semua orang. Itu adalah sebatang pedang pusaka yang amat hebat, pikir mereka.

Kemudian dara itu mulai bersilat pedang, atau menari pedang karena gerakannya lemah gemulai seperti orang menari mengikuti irama tambur dan gembreng, akan tetapi di dalam gerakan tari lemah gemulai ini terkandung kekuatan yang amat dahsyat, yang menyambar setiap kali pedang berkelebat.

Semua orang yang hadir, kebanyakan ahli-ahli silat, dapat melihat betapa ujung pedang itu tergetar setiap kali digerakkan, getaran yang mendatangan suara mengaung! Jelaslah bahwa dara ini bukan sekedar menari biasa. Biar pun tari-tarian itu merupakan gerakan-gerakan yang amat indah, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi langsing, akan tetapi jelas bahwa dara itu sedang mainkan ilmu silat yang selain indah juga amat tangguh sekali!

Dan benarlah dugaan mereka karena semakin lama, gerakan itu makin cepat dan ketika bunyi tambur dan gembreng sudah menjadi cepat sekali, dara itu lenyap, yang nampak hanyalah bayangan merah terbungkus oleh gulungan cahaya pedang putih berkeredepan menyilaukan mata. Semua orang bertepuk tangan memuji karena memang harus mereka akui bahwa jarang mereka menyaksikan ilmu pedang yang demikian hebatnya.

Tiba-tiba Tung-hai-sian mengambil sebatang lilin merah yang bernyala, dan dia langsung melontarkan lilin itu ke arah puterinya sambil berseru. “Sambutlah, anak Biauw!”

Tiba-tiba saja bayangan yang dibungkus gulungan sinar itu berhenti dan nampak dara itu berdiri tegak menunggu hingga lilin yang dilontarkan itu tiba di atasnya, kemudian secepat kilat pedangnya bergerak ke kanan kiri… dan lilin bernyala itu nampaknya seperti tertahan oleh sesuatu di udara, dan sesudah dara itu menghentikan gerakannya, barulah lilin itu jatuh ke atas lantai dan… berserakan menjadi belasan potong, sedangkan ujung lilin yang bernyala kini ternyata telah menempel di ujung pedang!

Tentu saja kepandaian semacam itu adalah kepandaian yang merupakan keahlian karena dilatih, akan tetapi betapa pun juga, tanpa mempunyai gerakan yang cepat dan kuat, tidak mungkin dapat melakukan seperti itu. Oleh karena itu meledaklah tepuk tangan para tamu yang merasa kagum sekali.

“Bagus, kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus sekali!” Mendadak terdengar seruan nyaring mengatasi kegaduhan tepuk tangan itu.

Semua orang menoleh, juga Bin Biauw menoleh. Ternyata yang berseru itu adalah Thian Sin! Saking kagumnya, bukan hanya karena melihat ilmu pedang itu melainkan terutama sekali melihat kecantikan dara itu, Thian Sin menjadi lupa diri sehingga dia memuji sambil bangkit berdiri.

Melihat ulah adiknya ini, Han Tiong menjadi kaget sekali dan dia maklum bahwa adiknya itu tentu merasa tertarik sekali pada dara yang cantik itu, karena dia pun sudah tahu akan kelemahan hati adiknya terhadap wanita cantik.

Sementara itu, pada saat menengok dan melihat pemuda yang sangat tampan itu, muka Bin Biauw menjadi merah, akan tetapi dia menahan senyum dan mengerling malu-malu. Hati siapa tak akan merasa girang dan bangga kalau dipuji, terutama sekali hati seorang wanita yang selalu haus akan pujian, dan lebih-lebih lagi kalau pemujinya adalah seorang pemuda yang demikian gantengnya?

Juga Bin Mo To yang bangkit berdiri, dari atas dapat melihat pemuda tampan gagah yang mengeluarkan seruan pujian itu, maka dia lalu tersenyum dan memberi perintah kepada pembawa acara dengan kata-kata lirih.

Pembawa acara itu segera bangkit dan menuju ke panggung, kemudian berkata dengan lantang, “Kami menyampaikan permintaan Bin-loya kepada cu-wi yang terhormat, bahwa untuk meramaikan pesta ini dan untuk menguji kepandaian Bin-siocia, maka kepada para pendekar muda yang ingin menambah kemeriahan pesta ini dipersilakan untuk melayani Bin-siocia bermain pedang!”

Ucapan itu tentu saja langsung disambut dengan riuh-rendah dan semua tamu tertawa. Pengumuman itu sudah tidak aneh lagi artinya bagi orang-orang kang-ouw. Jika seorang ayah memberi kesempatan kepada orang-orang muda untuk bertanding dengan puterinya, hal itu dapat diartikan bahwa sang ayah hendak mencarikan jodoh bagi puterinya!

Hampir semua tokoh kang-ouw tentu saja menghendaki mantu yang lihai bagi puterinya, maka selalu diadakan sayembara pertandingan silat untuk memilih mantu. Dan agaknya datuk wilayah timur ini pun tak mau ketinggalan. Akan tetapi, siapakah yang berani untuk maju?

Sebagian besar dari mereka sudah kehilangan nyali menyaksikan permainan pedang dari Bin Biauw tadi, yang memang sangat lihai. Apa lagi kalau diingat bahwa dara itu adalah puteri tunggal dari Tung-hai-sian, mereka merasa lebih sungkan dan segan lagi. Tidak boleh main-main dengan keluarga datuk itu!

Semua orang memandang ke arah Thian Sin yang masih berdiri, juga dara itu sendiri memandang kepadanya, agaknya mengharapkan pemuda tampan itu untuk maju. Dan Thian Sin memang sudah merasa gatal tangan dan hatinya untuk maju menandingi nona manis itu, akan tetapi tiba-tiba dia merasa tangannya disentuh dan ditarik oleh kakaknya dan terdengar bisikan Kong Liang,

“Thian Sin, kau duduklah!”

Thian Sin segera teringat bahwa dia hanya ikut saja dengan pamannya itu dan dia sama sekali tak diperbolehkan bergerak sebelum mendapat perkenan Cia Kong Liang, maka dia pun lalu duduk kembali.

Bin Biauw tampak kecewa, akan tetapi tidak demikian dengan Tung-hai-sian, sebab datuk ini tentu saja tidak menghendaki seorang menantu dari golongan rendah, yaitu golongan tamu yang duduk di bawah panggung. Sejak tadi perhatiannya tertuju kepada Siangkoan Wi Hong.

Pemuda yang baru pertama kali dilihatnya ini tentu saja amat menarik perhatiannya, apa lagi setelah memperkenalkan diri sebagai putera Pak-san-kui! Pemuda yang cukup gagah dan tampan, terlebih lagi putera Pak-san-kui, sungguh akan merupakan pasangan yang cocok bagi puterinya, setingkat, bahkan segolongan! Maka, diam-diam dia mengharapkan pemuda itu untuk maju menandingi puterinya agar dia dapat melihat kelihaian pemuda itu yang sebagai putera Pak-san-kui dia yakin tentu berkepandaian tinggi.

Ternyata tidak ada orang yang berani sembarangan naik ke panggung untuk menyambut ajakan Tung-hai-sian tadi. Banyak di antara mereka yang merasa jeri untuk menandingi ilmu pedang yang demikian lihainya dari Bin Biauw, akan tetapi sebagian besar di antara mereka itu lebih merasa segan terhadap Tung-hai-sian sendiri.

Apa lagi mereka yang duduk di bawah panggung, andai kata di antara mereka ada yang merasa kuat melawan Bin Biauw sekali pun, agaknya mereka pun masih harus pikir-pikir beberapa kali untuk berani memamerkan kepandaian di hadapan datuk itu, apa lagi dalam kesempatan di mana hadir begitu banyak tokoh-tokoh besar dunia persilatan.

Pembicara atau pengatur acara tadi sudah menerima bisikan-bisikan dari Tung-hai-sian, maka setelah melihat bahwa di antara para tamu tidak ada yang berani maju dia segera angkat bicara lagi dengan sikap ramah,

“Bin-loya sudah memohon kepada cu-wi untuk meramaikan pesta dan melayani Bin-siocia beberapa jurus, apakah cu-wi merasa sungkan? Kami melihat bahwa di sini sudah hadir wakil-wakil dari para tokoh besar, bahkan ada pula wakil-wakil dari See-thian-ong dan dari Pak-san-kui Locianpwe, diharap agar cu-wi yang mewakili kedua locianpwe sudi memberi petunjuk kepada Bin-siocia, selain untuk memeriahkan pesta ini juga hitung-hitung untuk memperkekal persahabatan, demikian pesan Bin-loya.”

Mendengar ucapan itu, So Cian Ling sudah bergerak di tempat duduknya, akan tetapi dia dilarang oleh suheng-nya dan sang suheng inilah yang bangkit berdiri. Dia adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, mukanya agak pucat dan matanya sipit, pakaiannya sederhana dari kain berwarna kuning.

Laki-laki ini bernama Ciang Gu Sik dan merupakan murid pertama atau murid kepala dari See-thian-ong, itu datuk wilayah barat yang terkenal. Akan tetapi, dalam hal ilmu silat, dia masih sedikit di bawah tingkat So Cian Ling, sungguh pun dara itu merupakan sumoi-nya. Hal ini adalah karena So Ciang Ling sangat disayang oleh See-thian-ong sehingga murid wanita inilah yang menerima ilmu-ilmu simpanan Sang Datuk!

Bagaimana pun juga, tingkat kepandaian Ciang Gu Sik sudah terhitung tinggi dan karena sudah percaya penuh terhadap kepandaiannya, maka dia telah dipercaya untuk mewakili See-thian-ong dalam memenuhi undangan Tung-hai-sian itu, ada pun So Cian Ling hanya ikut suheng-nya untuk menambah pengalaman saja.

Ketika tadi melihat puteri tuan rumah itu bermain pedang, diam-diam So Cian Ling juga merasa kagum akan keindahan ilmu pedang itu. Akan tetapi dia merasa bahwa dia akan sanggup menandingi ilmu pedang yang indah itu, akan tetapi tentu saja dia tidak peduli, karena kedatangannya hanya ikut sang suheng dan hanya ingin menambah pengalaman dengan menjumpai orang-orang pandai dari segala fihak.

Akan tetapi, ketika dia melihat seorang pemuda di bawah panggung memuji ilmu pedang itu dan dia lalu mengenal Thian Sin sebagai pemuda tampan yang amat menarik hatinya pada saat dia dan para pamannya bertemu dengan pemuda itu di puncak Bwee-hoa-san, diam-diam hatinya merasa… cemburu dan panas! Inilah sebabnya maka dia berniat untuk menandingi Bin Biauw, bukan hanya untuk mengalahkan dara itu, akan tetapi terutama sekali untuk memperlihatkan kepada Thian Sin bahwa dia tidak kalah oleh dara puteri tuan rumah.

Akan tetapi suheng-nya melarangnya karena suheng ini maklum bahwa yang dikehendaki oleh tuan rumah adalah majunya tamu-tamu pria! Dia sendiri bukanlah seorang pria yang suka kepada wanita sehingga sampai kini berusia tiga puluh lima tahun dia masih belum menikah.

Dia tidak merasa tertarik kepada Bin Biauw, akan tetapi pemuda ini sangat menjunjung tinggi nama gurunya. Oleh karena itu, pada saat nama gurunya disebut-sebut, dia merasa penasaran juga. Kalau dia tidak maju, tentu orang-orang di situ akan mengira bahwa wakil dari See-thian-ong takut untuk menghadapi puteri tuan rumah dan hal itu berarti gurunya akan dipandang rendah.

Begitu Ciang Gu Sik bangkit berdiri dan tubuhnya yang tinggi kurus itu melangkah maju ke depan, semua tamu segera memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang, juga gembira karena ternyata ajakan atau tantangan itu kini diterima seorang tamu yang duduk di bagian kehormatan.

Bin Biauw juga sudah memandang kepada pria itu dan alisnya sedikit berkerut. Dia telah bermufakat dengan ayahnya untuk memilih calon jodoh, dan melihat pria yang maju ini, jelas bahwa dia tidak akan sudi berjodoh dengan orang ini! Sungguh pun dia tahu dan sudah diperkenalkan tadi bahwa pria ini adalah murid kepala dari See-thian-ong!

Ciang Gu Sik segera maklum bahwa majunya itu telah diikuti oleh pandang mata semua tokoh kang-ouw yang hadir, dan bahwa majunya itu bukanlah suatu hal yang boleh dibuat main-main karena dia mewakili gurunya, maka dia cepat memberi hormat ke arah tempat duduk Tung-hai-sian, kemudian dia menjura ke empat penjuru, dan barulah dia berbicara, ditujukan kepada para tamu,

“Cu-wi yang mulia. Sesungguhnya saya tidak akan berani lancang maju ke panggung ini untuk memamerkan kepandaian. Akan tetapi karena tadi wakil dari Bin-locianpwe sudah menyebutkan nama guru kami, yaitu See-thian-ong, maka sebagai wakil beliau dan murid kepala, terpaksa saya maju untuk atas nama suhu membantu memeriahkan pesta ini.”

Sesudah berkata demikian, dia lalu membalikkan tubuh menghadapi Bin Biauw, menjura dan berkata,

“Maafkan saya yang lancang berani memajukan diri untuk melayanimu, nona.”

“Ahhh, aku malah gembira sekali bahwa murid utama dari See-thian-ong Locianpwe mau maju dan memberi petunjuk kepadaku yang bodoh,” Bin Biauw berkata dengan gayanya yang lincah.

Sementara itu, pembicara yang mewakili Tung-hai-sian sudah memperoleh bisikan pula dari majikannya, dan dia pun berkata dengan lantang. “Permainan silat bersama diadakan selama lima puluh jurus saja. Kalau selama lima puluh jurus tidak ada fihak yang kalah, berarti bahwa kedua fihak sama kuatnya dan mempunyai tingkat yang sama! Demikianlah keputusan dari Bin-loya!”

Bin Biauw tersenyum manis, lalu menggerakkan pedangnya di depan dada dan berkata. “Silakan Ciang-sicu memilih senjata!”

Ciang Gu Sik meraba pinggangnya dan mengeluarkan senjatanya yang ternyata adalah sebuah senjata yang disebut Kim-coa Joan-pian (Cambuk Ular Emas), semacam ruyung lemas yang dapat dipergunakan sebagai ikat pinggang, gagangnya berbentuk kepala ular terbuat dari pada emas.

“Tarr! Tarrr…!” Pecut itu meledak dua kali di atas kepalanya.

“Bin-siocia, saya sudah siap!” katanya dengan tangan kanan yang memegang joan-pian di atas kepala dan tangan kiri miring di depan dada, kaki kiri diangkat dan ditekuk di depan tubuhnya, sikapnya tenang dan kokoh sekali.

Bin Biauw tersenyum, lalu membentak. “Lihat serangan!”

Pedangnya sudah meluncur dengan cepat membentuk sinar kilat menuju ke dada lawan.

“Tar! Tringgg…!”

Joan-pian itu berubah menjadi lurus kaku dan menangkis pedang, kemudian meluncur ke samping. Pada saat itu, pedang yang tertangkis sudah menerjang lagi, dan pecut itu dari samping langsung menyambar ke arah pundak serta sambungan siku yang memegang pedang, melakukan totokan untuk mendahului gerakan pedang.

“Hemmm…!” Bin Biauw terpaksa mengelak dan dengan sendirinya tusukannya pun batal, dan diam-diam dia tahu bahwa lawannya ini amat tenang dan amat lihai maka dia berlaku hati-hati dan segera memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga tubuhnya diselimuti gulungan sinar pedang yang berkilauan!

Melihat ini, murid See-thian-ong itu pun cepat memutar joan-pian di tangannya sehingga nampak sinar keemasan bergulung-gulung. Joan-pian itu memang gagangnya terbuat dari emas murni sedangkan joan-piannya sendiri terbuat dari pada baja diselaput emas maka sinarnya menjadi keemasan. Kini tampaklah pemandangan yang amat indah menyilaukan mata ketika dua gulungan sinar yang putih berkilauan dan keemasan saling sambar dan saling desak.

Bagi mata orang yang kurang tinggi kepandaiannya, tentu sukar untuk dapat mengikuti gerakan kedua orang itu. Gerakan mereka amat cepat dan kuat, dan keduanya mengadu kepandaian dengan mengerahkan tenaga dan keduanya berusaha untuk menang karena bagi mereka pertandingan itu merupakan adu kepandaian untuk mempertahankan nama guru mereka masing-masing.

Bin Biauw tidak lagi bertanding untuk menguji kepandaian seorang laki-laki yang mungkin menjadi calon jodohnya, akan tetapi hendak mempertahankan nama ayah sekaligus juga gurunya agar tidak kalah oleh murid See-thian-ong datuk dari barat itu. Sebaliknya Ciang Gu Sik sama sekali bukan melawan dara itu karena tertarik kepadanya melainkan juga hendak memperlihatkan bahwa See-thian-ong tidak kalah dari Tung-hai-sian!

Jadi pertandingan itu mewakili datuk barat dan datuk timur, masing-masing tak mau kalah. Oleh karena itu, pertandingan itu berjalan hebat sekali dan hal ini dirasakan oleh semua orang, terutama sekali oleh mereka yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan yang dapat mengikuti jalannya pertandingan itu dengan jelas.

So Cian Ling memandang jalannya pertandingan itu dengan alis berkerut. Dia mengerti bahwa suheng-nya itu terus didesak dan dia merasa menyesal kenapa suheng-nya tidak membiarkan dia saja yang maju tadi, karena dia merasa sanggup menandingi puteri dari Tung-hai-sian itu. Biar pun suheng-nya cukup lihai dengan joan-piannya, akan tetapi jika dibandingkan dengan lawan, maka dia itu kalah senjata, dalam arti kata senjatanya kalah ampuh sehingga keunggulan senjata itu sudah membuat lawan dapat lebih menindih dan mendesaknya.

Memang kalau hanya dalam lima puluh jurus saja, belum tentu Bin Biauw akan mampu mengalahkan suheng-nya, akan tetapi sekarang jelas tampak oleh semua tokoh kang-ouw bahwa suheng-nya itu sudah terdesak dan lebih banyak menangkis dari pada menyerang! Dan semua orang yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi tentu sudah dapat menduga bahwa kalau dilanjutkan lebih dari lima puluh jurus, suheng-nya itu tentu akan kalah!

Penglihatan So Cian Ling itu memang benar. Dengan ilmu pedangnya yang hebat, Bin Biauw mulai mendesak lawannya dan betapa pun murid See-thian-ong itu berusaha untuk balas menyerang, tetap saja dia harus melindungi diri terlebih dahulu dan sesudah lawan menyerang tiga jurus barulah dia dapat membalas, itu pun dengan satu kali serangan. Dia didesak terus dan main mundur, akan tetapi dia masih mampu mempertahankan sampai wakil Tung-hai-sian berseru,

“Lima puluh jurus telah lewat! Kedua fihak tidak ada yang kalah, berarti keduanya sama kuat!”

Bin Biauw segera menarik pedangnya dan berdiri sambil tersenyum manis, melintangkan pedangnya di depan dada. Ciang Gu Sik juga menarik joan-piannya, lantas dia menjura.

“Ilmu pedang Bin Siocia sungguh amat tangguh!” katanya dengan jujur.

“Ah, Ciang-sicu terlalu merendah dan mengalah!” kata Bin Biauw sambil tetap bersenyum.

Para penonton menyambut dengan tepuk sorak, dan tentu saja tepuk sorak itu ditujukan untuk memuji Bin Biauw. Dengan muka agak kemerahan, murid See-thian-ong itu kembali ke tempat duduknya, disambut oleh So Cian Ling dengan alis berkerut karena betapa pun juga, peristiwa itu membuat dara ini merasa penasaran dan tersinggung.

Bin Biauw masih berdiri di atas panggung. Hatinya merasa penasaran. Mengapa pemuda tampan di bawah panggung tadi tidak berani naik? Kalau pemuda itu yang melayaninya, tentu dia akan merasa gembira sekali! Tapi Kong Liang sudah berbisik-bisik kepada dua orang keponakannya itu.

“Janganlah kalian sembarangan bergerak. Di sini terdapat banyak sekali tokoh kang-ouw yang lihai. Dan ternyata tuan rumah tidak menghargai Cin-ling-pai. Hemmm, kalian lihat saja hal ini tak dapat kudiamkan saja!”

“Apakah paman hendak melayani nona itu?” Thian Sin berbisik.

“Kalau perlu, akan kuperlihatkan bahwa kita tidaklah kalah dengan mereka yang duduk di atas panggung!” Diam-diam Kong Liang merasa penasaran dan marah sekali karena dia dan dua orang keponakannya, meski pun telah mengaku sebagai wakil Cin-ling-pai, tetapi tetap saja dipersilakan duduk di bawah panggung. Ini dianggapnya suatu penghinaan bagi Cin-ling-pai!

“Ahh, di sini pun tidak apa-apa, apa sih bedanya dengan di atas panggung, paman?” Han Tiong berkata karena memang di dalam hatinya, dia sama sekali tidak merasa penasaran, tidak seperti Thian Sin yang setuju dengan pendapat paman itu.

“Bagi kita pribadi memang tidak ada bedanya, akan tetapi kita sedang membawa nama Cin-ling-pai, dan kalau orang tidak menghormati Cin-ling-pai, maka aku tidak bisa tinggal diam saja!”

“Biarlah aku menghadapi nona itu, paman, mewakilimu dan Cin-ling-pai,” kata Thian Sin.

“Thian Sin, jangan kau gegabah! Nona itu lihai sekali ilmu pedangnya. Kalau kau mewakili Cin-ling-pai dan sampai kalah, bukankah berarti nama Cin-ling-pai semakin hancur lagi? Pula, apa bila engkau sampai terluka oleh pedang nona itu, bukankah aku akan mendapat marah dari ayah? Aku yang bertanggung jawab atas keselamatan kalian berdua. Selain nona itu, di sini banyak orang pandai. Lebih baik kalian diam saja dan hanya bersiap-siap membantu kalau ada terjadi kecurangan terhadap diriku.”

Thian Sin hendak membantah akan tetapi pandang mata Han Tiong membuat dia segera terdiam. Sementara itu, pembantu Tung-hai-sian sudah berseru lagi dengan suara lantang dan gembira,

“Siapa lagi di antara para pendekar yang hendak memeriahkan pesta, silakan maju. Tadi dari fihak Locianpwe See-thian-ong sudah ada wakilnya yang maju, maka oleh Bin-loya diharapkan majunya wakil dari Pak-san-kui Locianpwe dan juga dari Lam-sin Locianpwe yang belum nampak wakilnya. Silakan, silakan. Nona kami masih sabar menunggu!”

Siangkoan Wi Hong berbisik-bisik dengan Pak-thian Sam-liong, tiga orang laki-laki gagah yang menjadi murid kepala Pak-san-kui. Mereka bertiga telah setuju kalau Siangkoan Wi Hong maju karena mereka juga tahu bahwa Siangkoan-kongcu mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari pada mereka sendiri dan lebih pantas kalau kongcu itu yang menandingi puteri tuan rumah, selain untuk mempertahankan nama Pak-san-kui, juga untuk mencoba kalau-kalau berjodoh dengan nona manis puteri Tung-hai-sian itu.

“Akan tetapi kalian tahu bahwa aku tak ingin menikah, suheng!” kata Siangkoan Wi Hong berbisik.

Tiga orang suheng itu pun tahu akan hal ini. Siangkoan Wi Hong adalah seorang pemuda yang sejak remaja sudah suka bermain-main dengan wanita, bahkan banyak mempunyai selir di mana-mana. Akan tetapi anehnya, pemuda ini tidak pernah mau mengikatkan diri dengan pernikahan, maka meski pun dia kagum melihat kecantikan Bin Biauw, tetap saja dia tidak bermaksud untuk membiarkan diri menjadi calon suami nona itu. Apa bila hanya berkenalan dan bermain-main, tentu dia akan menyambutnya dengan senang sekali!

“Kongcu, saat ini soal perkawinan tidaklah begitu penting. Yang terpenting adalah untuk mempertahankan kehormatan ayah kongcu sebagai datuk utara! Kalau kini puteri datuk timur dan murid datuk barat telah memperlihatkan kepandaian, apa kata orang kalau kita diam saja? Disangka bahwa wakil-wakil datuk utara tidak berani muncul!”

Siangkoan Wi Hong menarik napas panjang dan dia pun bangkit berdiri. Melihat ini, hati Tung-hai-sian girang sekali. Dia ingin sekali melihat sampai di mana kelihaian putera dari Pak-san-kui itu yang kabarnya merupakan seorang yang selain lihai dan dikenal sebagai datuk, juga seorang yang sangat kaya raya. Kiranya sudah cocoklah kalau dia berbesan dengan Pak-san-kui, akan tetapi lebih dulu dia harus melihat kemampuan pemuda yang tampan dan pesolek itu. Maka dengan girang dia lalu bertepuk tangan, diikuti oleh para tamu yang duduk di ruangan kehormatan, dan wakil pembicara itu lalu berteriak,

“Siangkoan-kongcu, putera dari Locianpwe Pak-san-kui berkenan untuk maju meramaikan pesta!”

Mendengar ini, maka semua orang memandang dan ketika melihat seorang pemuda yang tampan dan berpakaian mewah menuju ke tengah panggung sambil membawa sebuah alat musik yang-kim yang kedua ujungnya berbentuk gagang dan runcing seperti pedang, mereka lalu bertepuk tangan.

Akan tetapi Siangkoan Wi Hong menghampiri tempat duduk Tung-hai-sian, lalu menjura dengan hormat. “Paman Tung-hai-sian,” dia berkata dengan sikap ramah dan dia sengaja menyebut ‘paman’ agar lebih akrab. “Saya mewakili ayah, Pak-san-kui Siangkoan Tiang, untuk menyampaikan selamat kepada paman dan semoga paman diberi berkah panjang umur. Sekarang, karena diundang untuk memeriahkan pesta, terpaksa saya berlancang tangan untuk turut memperlihatkan kebodohan. Akan tetapi tentu paman tahu bahwa di antara kita terdapat ikatan persahabatan, oleh karena itu saya tidak setuju bila main-main ini dianggap sebagai pertandingan. Maka biarlah saya menemani saja puteri paman untuk sekedar meramaikan pesta.”

Hati Tung-hai-sian makin girang menyaksikan sikap yang ramah dan halus ini. Pemuda ini patut menjadi jodoh Bin Biauw, pikirnya. Dia mengangguk. “Baiklah, dan terima kasih atas kebaikanmu dan kebaikan keluarga Pak-san-kui yang terhormat.”

Siangkoan Wi Hong lalu menghampiri panggung, kemudian menjura ke empat penjuru dan berkata lantang. “Kami sebagai wakil dari ayah Pak-san-kui Siangkoan Tiang terpaksa maju melayani Bin-siocia untuk bermain-main sebentar agar fihak kami jangan dianggap tidak bersedia memeriahkan pesta,” ucapannya mendapat sambutan tepuk tangen pula.

“Nona, harap jangan bersikap kejam terhadap saya,” Siangkoan Wi Hong berkata sambil tersenyum manis ketika dia menjura kepada Bin Biauw.

Semenjak tadi nona ini memandang kepada tamu ini dan memang dia sudah tahu bahwa putera Pak-san-kui ini seorang pemuda yang tampan, gagah dan pesolek. Akan tetapi sejak pertemuan pertama, ketika dia diperkenalkan, dia merasa tidak begitu suka kepada pemuda ini sebab pandang mata pemuda ini kepadanya seolah-olah orang yang bersikap meremehkan! Pemuda ini sangat angkuh terhadap wanita! Sungguh pun pandai bersikap manis dan mengeluarkan kata-kata merayu, namun pemuda seperti ini tentu akan selalu memandang ringan terhadap kaum wanita.

“Sebaliknya, saya mohon petunjuk dari Siangkoan-kongcu,” jawabnya dengan ramah pula. Dia sendiri seorang dara yang lincah gembira, maka kalau dia hanya menjadi sahabat, tentu keduanya akan merasa cocok.

“Bin-siocia, engkau pandai sekali menari, dan sedikit banyak aku sudah biasa memainkan yang-kim, maka kalau engkau menari pedang dan aku memainkan yang-kim, bukankah cocok sekali?” Siangkoan Wi Hong berkata, lalu dia memegang gagang yang-kim yang seperti gagang pedang itu, mengayunkan benda itu, jari-jari tangan kirinya mengejar dan terdengarlah bunyi ‘tang-ting-tang-ting’ yang berirama dan merdu!

Banyak tamu tertawa melihat lagak kongcu ini, dan menyangka bahwa kongcu itu hanya berkelakar saja. Akan tetapi beberapa orang yang tajam pandang matanya, amat terkejut karena dalam suara tang-ting-tang-ting itu terkandung tenaga getaran yang mengejutkan. Jelas bahwa yang-kim itu bukan dibunyikan sembarangan saja! Dan sekarang yang-kim itu mulai menyambar turun dan membentuk kuda-kuda yang kokoh kuat.

“Silakan, nona!”

Bin Biauw juga sudah dapat menduga akan kelihaian lawan ini. Sebagai putera tunggal Pak-san-kui, sudah pasti pemuda ini lihai sekali, apa lagi ketika yang-kim itu berbunyi tadi dia pun merasakan getaran yang kuat menyerangnya, membuat dia cepat menggunakan hawa murni untuk melindungi dadanya. Sekarang melihat fihak lawan sudah memasang kuda-kuda, dia juga membentak.

“Lihat pedang!”

Dan pedangnya kemudian menerjang ke depan dengan kecepatan kilat, disusul dengan gulungan sinar pedang yang sudah berkelebatan ke sana-sini bagai halilintar menyambar-nyambar ke atas kepala lawan!

“Bagus!” Siangkoan Wi Hong menggerakkan yang-kimnya menangkis.

“Tranggg…!”

Kemudian dia pun memutar yang-kimnya dan segera nampak sinar bergulung-gulung dan di dalam sinar itu muncul suara yang-kim yang merdu! Kiranya pemuda itu telah mainkan yang-kim, memainkan sebagai senjata ampuh dan juga dengan sentilan-sentilan jari-jari tangan kiri yang membuat yang-kim itu mengeluarkan suara! Dan memang ilmu pedang yang dimainkan Bin Biauw amat indahnya, maka segera nampak perpaduan yang amat indah.

Nona itu seolah-olah tidak sedang menyerang, melainkan sedang menari-nari dan mereka itu lebih patut menjadi pasangan, yang wanita menari dan yang pria mengikutinya dengan suara yang-kim! Akan tetapi, sesungguhnya keduanya sedang mengeluarkan kepandaian masing-masing.

Diam-diam, Thian Sin dan Han Tiong menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian dan mereka berdua mendapatkan kenyataan bahwa sesudah mempergunakan yang-kim sebagai senjata, putera Pak-san-kui itu ternyata lihai bukan main!

Kiranya memang keistimewaannya adalah mempergunakan yang-kim itu sebagai senjata! Kalau dulu pada waktu berhadapan dengan Thian Sin dia mempergunakan yang-kimnya itu, agaknya tidak akan mudah bagi Thian Sin untuk mengalahkannya.

Memang hebat pemuda itu. Yang-kimnya bukan hanya merupakan senjata yang ampuh, terbuat dari logam yang dapat dipakai untuk menangkis senjata pusaka, akan tetapi juga suara yang keluar dari yang-kim itu merupakan serangan-serangan ke arah jantung dan batin lawan! Jantung fihak lawan dapat digetarkan lewat suara-suara itu, bahkan dapat dikacaukan pikirannya selagi mereka bertanding! Hal ini agaknya belum diketahui benar oleh Bin Biauw, maka dara ini merasa sangat penasaran ketika melihat betapa semua serangannya gagal oleh tangkisan alat musik lawan.

Bin Biauw mulai marah. Harus diakuinya bahwa pemuda itu cukup tampan dan gagah, akan tetapi melihat betapa pemuda itu melawannya sambil tersenyum-senyum mengejek dan setiap gerakannya diikuti suara yang-kim sehingga seakan-akan mempermainkannya atau mengejeknya. Hal ini membuat dia penasaran sekali sehingga akhirnya dia menjadi marah. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan gerakannya berubah semakin cepat sehingga akhirnya Siangkoan Wi Hong menjadi kelabakan dan terdesak juga.

Akan tetapi tiba-tiba yang-kim itu mengeluarkan bunyi yang aneh, suaranya nyaring sekali dan makin lama meninggi dan tiba-tiba saja permainan pedang Bin Biauw menjadi kacau-balau! Ternyata suara yang-kim itu merupakan serangan suara yang amat hebat hingga membuat dara itu merasa kacau pikirannya dan pening kepalanya, jantungnya berdebar-debar! Maka, apa bila tadi dia mendesak, sekarang sebaliknya malah gerakan pedangnya menjadi kacau dan kadang-kadang nampak dia terhuyung!

Melihat ini, diam-diam Tung-hai-sian menjadi terkejut dan juga girang. Kiranya kepandaian pemuda putera Pak-san-kui itu hebat! Maka dia memberi isyarat kepada pembantunya supaya membiarkan kedua orang muda itu melanjutkan pertempuran karena dia percaya bahwa keduanya mampu menjaga diri dan juga dia merasa yakin bahwa pemuda itu tidak akan mau mencelakai puterinya.

Dan memang sesungguhnya demikianlah. Dengan bantuan suara yang-kimnya, sekarang keadaannya menjadi berbalik dan apa bila Siangkoan Wi Hong menghendaki, kiranya dia akan dapat mengalahkan Bin Biauw, atau setidaknya mendesaknya dengan hebat. Akan tetapi dia adalah seorang yang cerdik.

Sungguh pun dia tidak berniat untuk diambil mantu, akan tetapi dia tahu bahwa dia harus bersahabat dengan fihak Tung-hai-sian dan kalau dia dapat berpacaran dengan dara ini, berpacaran saja tanpa ikatan perkawinan, tentu dia akan merasa gembira sekali! Maka dia pun hanya menyerang tanpa mendesak, walau pun sekarang permainan Bin Biauw sudah tidak setangkas tadi karena dia merasa bingung oleh suara yang-kim yang seperti terus menerus menusuk-nusuk telinganya itu.

Tiba-tiba saja mendengar suara tambur dan gembreng dibunyikan riuh-rendah. Tentu saja suara ini menelan suara yang-kim dan tiba-tiba Bin Biauw memperoleh ketangkasannya kembali setelah dia tidak lagi terganggu oleh suara yang-kim.

Dia merasa penasaran dan marah oleh gangguan yang-kim tadi. Dianggapnya pemuda tadi curang dan berkelahi mengandalkan ilmu siluman dengan suara yang-kim tadi. Kini Bin Biauw kembali mengamuk sehingga kembali Siangkoan Wi Hong terdesak.

Pada saat itu pula Tung-hai-sian sendiri melompat ke tempat pertempuran sambil tertawa. “Cukup… cukup… sudah mendekati seratus jurus!”

Sungguh hebat kakek ini. Begitu dia ‘masuk’, dia mampu menolak yang-kim dan pedang dengan hawa pukulan tangannya yang dikembangkan ke kanan kiri dan dua orang muda itu terdorong ke belakang! Siangkoan Wi Hong terkejut dan kagum sekali, maklum bahwa tingkat kepandaian kakek pendek ini amat tinggi, barang kali setingkat dengan ayahnya.

“Maafkan kebodohan saya!” Siangkoan Wi Hong menjura.

Kembali Tung-hai-sian tertawa. “Kepandaian putera Pak-san-kui benar-benar hebat!” kata datuk timur itu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Siangkoan Wi Hong untuk menjura kepada kakek itu sambil berkata, suaranya halus dan lantang sehingga dapat terdengar oleh semua tamu.

“Paman, saya kira Bin-siocia sudah terlalu banyak bermain pedang dan sudah lelah. Oleh karena itu, apa bila diperkenankan, biarlah saya mewakilinya melayani orang-orang yang masih ingin memperlihatkan kepandaian di panggung ini untuk meramaikan pesta.”

Tung-hai-sian tertawa. “Aih, engkau baik sekali, Siangkoan-kongcu, dan kami menghargai sekali bantuanmu untuk meramaikan pesta kami. Akan tetapi siapakah lagi di antara para sahabat yang berada di panggung ini yang masih suka maju memperlihatkan kepandaian dan meramaikan pesta?”

“Paman Tung-hai-sian yang terhormat, bukankah di bawah panggung ini masih terdapat banyak sekali tamu yang lihai?” Siangkoan Wi Hong berkata sambil tertawa dan secara sambil lalu dia mengerling ke arah para tamu di bawah panggung sebelah kanan di mana duduk Han Tiong dan Thian Sin. “Bahkan jumlah tamu di bawah itu jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan para tamu yang duduk di atas panggung.”

“Aihh, anak yang baik, kau jangan main-main. Sedangkan para tamu yang duduk di atas panggung saja tidak ada yang maju memperlihatkan kepandaian, apa lagi yang berada di bawah panggung.”

“Ehh, apakah paman hendak mengatakan bahwa mereka itu hanyalah orang-orang kelas rendahan saja? Ha-ha, tidak kusangka sama sekali bahwa keturunan mendiang Pangeran Ceng Han Houw kini hanya menjadi tokoh kelas rendahan saja!”

“Keturunan Pangeran Ceng Han Houw?” Datuk yang bertubuh katai itu berseru kaget dan memandang heran.

Bahkan semua tamu yang mendengar disebutnya nama ini menjadi amat terkejut. Mereka lantas memandang ke kanan kiri untuk mencari-cari keturunan orang yang dahulu pernah menggemparkan seluruh dunia persilatan itu. Benarkah pangeran yang amat terkenal itu mempunyai keturunan dan bahkan sekarang hadir di tempat itu?

Sementara itu, saat mendengar semua kata-kata itu, Thian Sin tak mampu lagi menahan kemarahannya sehingga tanpa dapat dicegah oleh Kong Liang dan Han Tiong, dia sudah meloncat naik ke atas panggung sambil berteriak.

“Siangkoan Wi Hong, siapa yang takut kepadamu? Hayo majulah kalau engkau memang laki-laki!”

Melihat majunya pemuda yang amat tampan ini, Tung-hai-sian menjadi terkejut dan juga memandang heran.

“Apakah… apakah engkau yang disebut keturunan Pangeran Ceng Han Houw?” tanya kakek itu.

“Benar, saya Ceng Thian Sin memang adalah putera tunggal Pangeran Ceng Han Houw. Tadi orang she Siangkoan ini mengajukan tantangan, nah, saya datang untuk menyambut tantangannya itu!” kata Thian Sin sambil menjura kepada orang tua itu.

Tung-hai-sian menjadi sangat gembira. Sebagai seorang datuk persilatan, tentu saja dia pun mempunyai semacam penyakit, yaitu suka sekali menonton pertandingan silat, apa lagi kalau hal itu dilakukan oleh orang-orang yang pandai.

Putera Pangeran Ceng Han Houw? Dia sendiri belum pernah bertemu dengan pangeran yang sudah meninggal dunia itu, akan tetapi nama besarnya telah didengarnya, sebagai seorang jagoan yang tak pernah terkalahkan, demikian menurut kabar yang didengarnya.

Tentu saja dia memandang pemuda itu dengan sinar mata lain dan dia pun ingin sekali melihat bagaimana kepandaian putera pangeran yang amat terkenal itu. Dan pemuda ini putera seorang pangeran! Meski pun pangeran yang sudah menjadi pemberontak, betapa pun juga putera pangeran, berdarah bangsawan tinggi! Hal ini saja sudah sangat menarik perhatiannya, maka dia segera mundur sambil berkata,

“Silakan… silakan…!”

Siangkoan Wi Hong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Ketika tadi dia melihat hadirnya Han Tiong dan Thian Sing sudah timbul akalnya untuk membalas kekalahannya tempo hari, dan kalau mungkin mengalahkan dan menghina pemuda-pemuda itu di depan orang banyak, tetapi kalau tidak mungkin, maka dia ingin mengadu domba antara mereka dengan fihak tuan rumah! Itulah sebabnya maka dia sengaja merendahkan mereka atau memanaskan hati mereka, yang hanya diterima sebagai tamu-tamu rendahan saja oleh Tung-hai-sian!

Namun sungguh tak disangkanya bahwa Thian Sin demikian beraninya untuk muncul juga dan mengaku sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw dan menantangnya! Akan tetapi dia sama sekali tidak merasa takut!

Memang dia pernah kalah oleh Thian Sin, akan tetapi kekalahannya itu adalah karena dia menghadapi pemuda itu dengan tangan kosong, dan dia tidak menyangka bahwa putera pangeran itu memiliki Ilmu Thi-khi I-beng yang sangat lihai itu. Sekarang dia memegang yang-kimnya, dan dia tahu bahwa lawannya memiliki Thi-khi I-beng, dia tahu bagaimana harus menghadapinya dan sekali ini dia tidak akan kalah! Maka sambil tersenyum dia lalu menghadapi Thian Sin.

“Ha-ha-ha, engkau anak pemberontak, masih berani banyak lagak? Bersiaplah dan lekas keluarkan senjatamu!” Siangkoan Wi Hong menantang.

Thian Sin tersenyum mengejek. “Engkau boleh berbesar hati karena memegang senjata yang-kimmu, Siangkoan Wi Hong, akan tetapi aku merasa cukup menghadapimu dengan kedua tangan kosong saja!”

Semua orang termasuk Tung-hai-sian, terkejut mendengar ini dan menganggap pemuda keturunan Pangeran Ceng Han Houw itu terlalu tinggi hati. Menghadapi yang-kim putera Pak-san-kui yang amat lihai itu dengan tangan kosong?

Akan tetapi, sikap dan wajah Thian Sin sudah menarik hati Bin Biauw, dan memang tadi pun dia sudah mengharapkan agar pemuda yang memuji ilmu pedangnya ini mau naik ke panggung sebelum Siangkoan Wi Hong muncul. Maka, melihat kini pemuda itu muncul dan mendengar bahwa pemuda tampan itu adalah putera seorang pangeran, dan melihat pula kegagahannya yang hendak melayani Siangkoan Wi Hong yang bersenjata yang-kim dengan tangan kosong, Bin Biauw cepat melangkah maju dan berkata kepada Siangkoan Wi Hong.

“Harap Siangkoan-kongcu suka mundur. Aku sendiri akan menghadapi orang she Ceng ini!”

Siangkoan Wi Hong pura-pura kaget, sungguh pun di dalam hatinya dia merasa senang. Betapa pun juga, agaknya dia akan berhasil mengadu domba antara Thian Sin dan fihak tuan rumah!

“Ahh, tapi aku sudah sanggup untuk menandinginya…”

“Siangkoan-kongcu, ingat bahwa engkau tadi bertindak sebagai wakilku, tanpa bertanya apakah aku mau kau wakili ataukah tidak. Dan sekarang aku mau menyatakan bahwa aku tidak ingin kau wakili untuk menghadapi siapa pun yang naik ke panggung ini. Aku hendak menghadapinya sendiri!” Bin Biauw tidak tersenyum lagi, namun memandang Siangkoan Wi Hong dengan mata bersinar-sinar penuh tantangan!

Siangkoan Wi Hong menggerakkan pundak seperti orang yang tidak berdaya, kemudian memandang kepada Thian Sin. “Hemmm, agaknya belum tiba saatnya engkau roboh di tanganku, Ceng Thian Sin. Biarlah kita bertemu di lain kesempatan!” Dia lalu menghadapi Bin Biauw dan berkata kepada nona itu, “Silakan, nona. Akan tetapi berhati-hatilah, bocah setan ini berbahaya juga. Awas, jangan sampai dia menggunakan Thi-khi I-beng!”

Mendengar disebutnya ilmu mukjijat yang bagi kebanyakan orang-orang kang-ouw hanya merupakan semacam dongeng itu, semua orang terkejut, tidak terkecuali Tung-hai-sian. Akan tetapi Bin Biauw menjadi marah.

“Aku tahu bagaimana harus menghadapi lawan-lawanku!” bentaknya dan Siangkoan Wi Hong lalu kembali ke tempat duduknya.

Thian Sin menjadi bingung sesudah Siangkoan Wi Hong pergi meninggalkan dia dan kini berhadapan dengan nona manis itu. Dia memandang dengan penuh keraguan, tidak tahu harus berbuat apa.

“Akan tetapi… aku… aku tidak hendak melawanmu, nona…”

Bin Biauw tersenyum manis. “Apakah engkau menganggap bahwa aku kurang berharga untuk menandingimu dalam ilmu silat?”

“Bukan… bukan begitu… tapi…”

Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh Kong Liang telah berada di atas panggung. Semua tamu terkejut. Itulah gerakan yang amat ringan dan cepatnya, membayangkan ginkang tingkat tinggi! Dan kini semua mata ditujukan kepada pemuda yang bertubuh tegap dan gagah ini, yang berdiri tegak dan memandang kepada Thian Sin lalu berkata,

“Thian Sin, kau kembalilah ke tempatmu!”

Thian Sin memandang pamannya dan dia segera tahu bahwa pamannya itu marah sekali kepadanya. Lantas teringatlah dia bahwa dia datang sebagai ‘anggota’ rombongan wakil Cin-ling-pai dan bahwa tadi dia meloncat ke atas panggung tanpa perkenan pamannya, maka dia merasa bersalah.

Tadi dia berbuat seperti itu karena tidak dapat menahan kemarahan hatinya ketika nama ayahnya disebut-sebut oleh Siangkoan Wi Hong. Dan kini, berhadapan dengan pamannya yang marah, dia hanya dapat mengangguk saja.

“Maafkan, paman,” katanya dan dia pun melompat turun, kembali ke tempat duduknya di dekat Han Tiong yang memegang lengan adiknya dan menyuruhnya sabar dengan satu tepukan tangan pada bahunya.

Sementara itu, Cia Kong Liang yang kini telah berdiri di atas panggung, segera memberi hormat ke arah tempat duduk Tung-hai-sian dan ke empat penjuru, ke arah penonton. Sikapnya dingin dan sinar matanya angkuh.

Memang semenjak tadi dia sudah marah sekali. Pertama-tama, karena sebagai wakil, apa lagi sebagai putera ketua Cin-ling-pai, dia hanya diberi tempat duduk di bawah panggung. Kemudian, percakapan antara fihak tuan rumah dan putera Pak-san-kui itu sungguh telah menyinggung perasaannya, yaitu bahwa mereka yang duduk di bawah panggung hanyalah tamu-tamu kelas rendahan saja!

Hal ini tak mungkin dapat dibiarkannya saja, karena dengan membiarkan hal itu berarti dia mengakui bahwa Cin-ling-pai adalah perkumpulan ‘kelas rendahan’ dan hal ini tentu akan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw bila mendengar bahwa putera ketua Cin-ling-pai dihina dalam pesta datuk kaum sesat itu! Betapa pun juga, dia masih menahan sabar, teringat akan pesan ayahnya agar dia tidak sembarangan membikin ribut di luar.

Akan tetapi, dengan majunya Thian Sin, tak mungkin lagi dia dapat mendiamkannya saja. Thian Sin adalah keponakannya, dan dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan keponakan itu. Juga, dia khawatir kalau-kalau Thian Sin akan celaka jika maju bertanding. Semua itu ditambah lagi dengan rasa penasaran ketika mendengar Siangkoan Wi Hong menyebut-nyebut Ilmu Thi-khi I-beng yang dikatakannya dimiliki oleh Thian Sin.

Ia sendiri belum tahu bahwa ilmu mukjijat dari kakeknya, yaitu pendiri Cin-ling-pai itu telah diturunkan kepada Thian Sin, padahal ayahnya sendiri yang kini sedang menjadi ketua Cin-ling-pai juga tidak mewarisi ilmu itu, apa lagi dia! Benarkah ilmu itu telah diwarisi oleh Thian Sin putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kabarnya jahat itu? Dia merasa penasaran, maka dia langsung meloncat ke atas panggung dan menyuruh Thian Sin turun, yang diturut oleh keponakannya itu.

Sekarang dia harus memberi penjelasan akan sikapnya. “Cu-wi yang terhormat,” katanya ditujukan kepada fihak tuan rumah, berikut juga para tamu. “Saya adalah Cia Kong Liang, datang ke sini untuk mewakili ayah saya, yaitu ketua Cin-ling-pai, memenuhi undangan fihak tuan rumah, bersama dua orang keponakan saya, yang seorang di antaranya adalah Ceng Thian Sin tadi. Nah, sebagai wakil Cin-ling-pai, kami mengajukan diri, bukan untuk memamerkan kepandaian, melainkan memperlihatkan bahwa kepandaian seseorang tak dapat diukur dari kekayaan atau nama besar, juga untuk sekedar membantu memeriahkan suasana pesta. Biarlah kami sekalian menjadi wakil dari para tamu kelas rendahan yang duduk di bawah panggung!”

Ucapan Cia Kong Liang ini nadanya keras bukan main, seolah-olah menampar muka tuan rumah sehingga wajah Tung-hai-sian seketika menjadi pucat, kemudian berubah merah. Dia merasa tak enak sekali dan diam-diam menyesalkan para pembantunya yang kurang teliti sehingga pemuda-pemuda wakil dari perkumpulan-perkumpulan besar diberi tempat di bawah, bahkan putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw juga diberi tempat di bawah panggung!

Akan tetapi, diam-diam dia pun gembira melihat bahwa pemuda perkasa deri Cin-ling-pai itu mau melayani puterinya. Dengan demikian, kini makin banyak bermunculan pemuda-pemuda yang baik sehingga memudahkan pemilihannya. Mula-mula Siangkoan Wi Hong, lalu putera pangeran itu yang belum sempat disaksikannya sampai di mana tingkat ilmu silatnya sungguh pun dia sudah girang sekali mendengar dari Siangkoan Wi Hong tadi bahwa putera pangeran itu memiliki ilmu mukjijat Thi-khi I-beng. Selain putera pangeran itu, kini putera ketua Cin-ling-pai!

Dia sendiri pernah mendengar tentang Cin-ling-pai, akan tetapi karena sudah lama sekali Cin-ling-pai tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw, maka kini nama Cin-ling-pai tidak terkenal lagi dan nama besarnya seolah-olah semakin pudar. Maka kini kemunculan putera ketua Cin-ling-pai menarik perhatian para tokoh kang-ouw, terutama sekali kaum tuanya yang dulu pernah mengalami masa jayanya perkumpulan itu.

Sejak tadi Bin Biauw memandang dan memperhatikan Cia Kong Liang dari kepala sampai ke kaki dan dara ini merasa kagum bukan main! Pemuda ini sungguh gagah! Meski pun tidak setampan pemuda putera pangeran tadi, akan tetapi pemuda ini gagah perkasa dan sikapnya demikian penuh wibawa dan matang, kokoh kuat dan penuh keberanian!

Kalau saja ilmu silatnya sehebat sikapnya ini, maka dia merupakan seorang pemuda yang sangat hebat! Maka ingin sekali dia menguji kepandaian pemuda ini, apakah selihai ilmu silat Siangkoan Wi Hong yang agaknya memandang rendah wanita itu? Pemuda ini sama sekali tidak memandangnya dengan sikap merendahkan, bahkan memandangnya dengan sekilas saja, dengan pandang mata sopan!

“Terima kasih bahwa Cia-enghiong suka memberi petunjuk kepadaku yang bodoh ini,” dia berkata sambil tersenyum manis.

Akan tetapi sikap Kong Liang biasa saja, tidak membalas senyum itu, melainkan berkata dengan sikap hormat dan tegas, “Silakan, ilmu pedang nona indah dan lihai, namun saya kira saya akan mampu menjaga diri.”

Bin Biauw gembira sekali dan dia sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat. Kong Liang juga segera melepaskan pedang Hong-cu-kiam yang tadinya melingkari pinggangnya sehingga nampaklah sinar keemasan yang menyilaukan mata.

Melihat ini, Bin Biauw lalu memuji, “Po-kiam (pedang pusaka) yang bagus! Cia-enghiong, bersiaplah dan lihat serangan!” Dia menyebut eng-hiong (pendekar) kepada pemuda yang berwibawa ini, dan di dalam hatinya, dara ini sudah tunduk kepada putera Cin-ling-pai ini!

Bin Biauw sudah menyerang dengan gerakan yang sangat cepat. Akan tetapi Kong Liang tidak pindah dari tempat dia berdiri, bahkan sedikit pun kakinya tidak tergeser. Dia tidak mempedulikan sinar pedang yang bergulung-gulung itu, hanya setiap kali cahaya pedang berkelebat ke arahnya, dia baru menggerakkan Hong-cu-kiam untuk menangkis.

“Cringgg…!”
Tangkisan pertama itu amat mengejutkan hati Bin Biauw karena seluruh tangan kanannya tergetar hebat. Tahulah dia bahwa pemuda ini memiliki tenaga sinkang yang sangat kuat dan bahwa pedang tipis bersinar emas itu benar-benar merupakan pedang yang ampuh. Maka dia bersikap hati-hati dan menyerang dengan lebih cepat.

Namun, ke mana juga pedangnya menyambar, selalu bertemu dengan sinar emas yang menangkisnya! Padahal pemuda itu sama sekali tidak menggeser kaki. Bahkan ketika dia menyerang dari belakang, sinar emas itu pun telah menangkis di belakang tubuh pemuda itu.

Berkali-kali terdengar bunyi berdencing nyaring dan nampaklah bunga api yang berpijaran menyilaukan mata ketika semakin lama semakin sering pula pedang Bin Biauw bertemu dengan pedang yang berubah menjadi gulungan sinar emas yang menyilaukan mata itu. Hebatnya, pemuda itu selain tak pernah membalas serangan, juga tubuhnya hampir tidak mengubah kedudukan kakinya, hanya memutar tubuh ke kanan atau kiri dan ke mana pun sinar pedang Bin Biauw datang menyambar, tentu selalu bertemu dengan cahaya emas yang menangkisnya.

Dengan ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut, Kong Liang mampu membangun pertahanan yang kokohnya bagaikan benteng baja dan tidak mudah ditembus oleh sinar pedang Bin Biauw. Apa lagi dia memang memiliki sinkang yang kuat sekali, sehingga setiap tangkisan yang disertai tenaga membuat lengan dara itu merasa tergetar hebat sekali. Makin lama serangan Bin Biauw menjadi semakin lemah dan belum lima puluh jurus kemudian, ketika Kong Liang memperkuat tenaganya dan menangkis, maka terdengar bunyi keras sekali.

“Tranggg…!”

Tubuh Bin Biauw terhuyung ke belakang. Dia menghentikan serangannya, dahinya penuh keringat sedangkan wajahnya menjadi merah sekali, mulutnya tersenyum malu-malu dan matanya mengerling tajam melebihi tajam pedangnya, dan dia pun menjura.

“Cia-enghiong sungguh pandai, saya mengaku kalah!”

Setelah berkata demikian, dara itu lalu mundur dan lari menuju ke tempat duduk ayahnya dengan muka merah dan sikap malu-malu! Melihat hal ini, Tung-hai-sian mengerti bahwa selain pemuda putera ketua Cin-ling-pai itu memang lebih lihai dari pada puterinya, juga agaknya Bin Biauw sudah jatuh hati kepada pemuda itu, maka mau mengalah sebelum dirinya dikalahkan.

Tung-hai-sian pun bangkit berdiri dan di bawah tepuk tangan para tamu yang menyambut kemenangan Cia Kong Liang dengan rasa girang, terutama mereka yang duduk di bawah panggung, karena bagaimana pun juga, tadi Kong Liang mengatakan bahwa dia mewakili para tamu di bawah panggung, dia menghampiri pemuda itu.

“Cia-sicu sungguh memiliki ilmu pedang yang sangat lihai. Itukah yang disohorkan orang sebagai Siang-bhok Kiam-sut?” kata datuk itu sambil tersenyum.

Secara diam-diam Kong Liang terkejut juga. Menurut ayahnya, selama belasan tahun ilmu pedang ini tak pernah dimainkan di depan umum, apa lagi digunakan dalam pertandingan, maka sekarang begitu melihatnya, padahal hanya dipergunakan sebagai pertahanan saja, kakek ini telah mampu menerkanya dengan tepat, menandakan bahwa kakek ini memang memiliki pengetahuan yang luas sekali.

“Pandangan locianpwe sangat tajam dan memang tadi adalah Siang-bhok Kiam-sut dari perkumpulan kami.”

“Bagus, bagus… dan maafkan kami yang telah berlaku kurang teliti sehingga sicu beserta rombongan memperoleh tempat duduk di bawah panggung. Sekarang silakan sicu dengan dua orang keponakan sicu untuk duduk di atas panggung, agar kita dapat bicara dengan enak.”

Kong Liang adalah seorang pemuda yang angkuh, akan tetapi dia bukan orang yang suka disanjung. Jika tadi dia maju untuk memperlihatkan kepandaiannya, hanyalah agar orang jangan memandang rendah pada Cin-ling-pai, bukan berarti dia ingin disanjung dan dipuji.

Andai kata nama Cin-ling-pai tidak disebut-sebut, atau andai kata para tamu yang duduk di bawah panggung tidak dianggap sebagai kelas rendahan, kiranya dia pun akan tetap menahan rasa penasaran dan kemarahannya. Kini, sesudah dia berhasil memperlihatkan kepandaiannya yang tidak usah kalah dibandingkan dengan puteri tuan rumah atau para tamu dari panggung, maka sudah cukuplah baginya.

“Terima kasih, locianpwe. Bagi kami, duduk di bawah panggung pun tidak mengapa asal orang tidak memandang rendah terhadap kami yang duduk di bawah!” jawabnya sambil membalas dengan penghormatan, kemudian dia melompat turun dari atas panggung.

“Cia-sicu, sebelum pulang aku ingin bicara dengan sicu lebih dulu!” Kakek itu berseru dari atas panggung.

“Baik, locianpwe.” jawab Kong Liang yang kembali ke tempat duduknya semula.

Dia disambut oleh Han Tiong dengan senyuman, akan tetapi Thian Sin nampak muram wajahnya. Pemuda ini merasa tidak puas dengan sikap pamannya tadi. Cia Kong Liang terlampau sombong dan mengandalkan dirinya sendiri, seakan-akan dia yang paling lihai! Sikap pamannya itu seolah-olah menganggap dia dan kakaknya masih kanak-kanak saja! Dan caranya mencegah dia bertanding dengan Bin Biauw tadi benar-benar membuat dia kecewa dan mendongkol. Akan tetapi dia pun tidak banyak cakap, hanya menunduk saja.

Setelah para tamu mulai berpamitan, Thian Sin berkata kepada Han Tiong sengaja bicara keras agar terdengar pula oleh Kong Liang, “Tiong-ko, mari kita pulang. Kita harus segera pergi ke Lok-yang, memenuhi pesan ayah mengunjungi Paman Ciu Khai Sun.”

“Engkau benar, adikku. Paman, marilah kita berpamit. Para tamu mulai pulang dan kami berdua masih harus melakukan perjalanan jauh ke Lok-yang.”

Kong Liang bangkit berdiri dan menarik napas panjang. Dia tadi sedang termenung ketika beberapa kali dia memandang ke arah tempat duduk Bin Biauw dan melihat betapa dara itu selalu memandang ke arahnya dan kadang-kadang tersenyum manis.

Tadi, pada saat dia naik ke panggung untuk memperlihatkan kepandaian, sedikit pun tidak mempunyai niat untuk memperhatikan dara itu, dan walau pun seperti para tamu lain dia dapat menduga bahwa majunya Bin Biauw ke atas panggung sebenarnya untuk mencari jodoh, namun sedikit pun juga dia tidak mempunyai niat untuk memasuki sayembara yang tidak diumumkan itu.

Kini, setelah dia dapat menangkan Bin Biauw dan mendengar ucapan serta melihat sikap Tung-hai-sian, diam-diam dia kemudian mengerti bahwa agaknya fihak keluarga itu tertarik kepadanya dan diam-diam dia pun baru merasa bingung karena sesungguhnya dia sama sekali belum mempunyai pikiran untuk mencari jodoh, sungguh pun ayah bundanya sudah sering mengemukakan keinginan mereka untuk mempunya mantu.

Bersama-sama para tamu yang lain mereka bertiga lalu menghampiri panggung di mana Tung-hai-sian menerima para tamu yang berpamit. Ketika melihat Kong Liang dan kedua orang pemuda keponakannya, Bin Biauw bangkit dengan kaget lantas memegang tangan ayahnya. Alisnya berkerut seakan-akan hendak memperlihatkan kekecewaannya melihat pemuda gagah perkasa itu hendak pergi meninggalkan tempat itu. Tung-hai-sian Bin Mo To juga segera melangkah maju menyambut Kong Liang, Han Tiong dan Thian Sin.

“Locianpwe, kami bertiga hendak mohon diri dan kami menghaturkan terima kasih atas segala penyambutan Locianpwe sekeluarga,” kata Kong Liang sambil memberi hormat, diturut oleh dua orang keponakannya.

“Ehh, Cia-sicu, kenapa tergesa-gesa? Saya ingin bicara dengan sicu… penting sekali…,” kata kakek itu.

Akan tetapi pada saat itu terdapat tamu-tamu lain yang datang berpamit, maka dia tidak dapat berbicara dengan leluasa. Sesudah rombongan tamu itu disambutnya dan terbuka kesempatan, barulah Kong Liang berkata dengan suara sungguh-sungguh,

“Maaf, locianpwe, bukan saya tidak bersedia, hanya karena kami masih ada urusan yang harus segera kami selesaikan, maka terpaksa kami tidak dapat menanti lebih lama lagi. Kami mohon diri.”

“Cia-sicu… kalau begitu, begini saja. Harap sampaikan hormat dan salamku kepada ketua Cin-ling-pai, ayahmu, dan harap sampaikan pula kepada beliau bahwa dalam waktu dekat ini saya akan datang berkunjung kepada beliau di Cin-ling-san, untuk… bicara… eh, untuk mempererat persahabatan antara kita.”

Wajah Kong Liang berubah merah, akan tetapi sikapnya tetap tenang. Dia tahu apa yang dimaksud oleh kakek itu. Tiada lain tentu hendak membicarakan urusan perjodohan. Apa lagi? Antara Cin-ling-pai dengan para datuk kaum sesat tak ada sangkut-paut dan urusan apa-apa.

“Baiklah, tentu nanti akan saya sampaikan, locianpwe. Selamat tinggal, dan… Nona Bin, selamat tinggal dan terima kasih.”

Bin Biauw cepat membalas penghormatan pemuda itu. “Sampai berjumpa kembali, Cia… koko…,” kata dara itu dengan sikap manis sekali.

Sesudah mereka bertiga meninggalkan tempat itu, di tengah perjalanan Thian Sin tidak dapat menahan perasaan hatinya lagi kemudian berkata sambil tersenyum masam. “Ahh, sekali ini Paman Kong Liang telah berhasil.”

Kong Liang memandang kepada putera pangeran itu. “Berhasil? Apa maksudmu?”

“Paman tidak hanya sudah mengalahkan pedang Nona Bin, melainkan juga telah berhasil menundukkan hatinya dan juga menaklukkan ayahnya.”

“Hemm, Thian Sin, coba jelaskan, apa maksud kata-katamu ini!”

“Kenapa paman masih pura-pura lagi? Tung-hai-sian telah menjelaskan sikapnya, hendak datang menemui ketua Cin-ling-pai. Apa lagi kalau tidak hendak membicarakan mengenai urusan pernikahan? Ahh, kionghi (selamat), paman!” Dan Thian Sin benar-benar memberi selamat dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada.

“Gila!” Kong Liang membentak, mukanya berubah merah. “Apa kau sangka begitu mudah menentukan urusan kawin? Yang penting adalah dua orang yang bersangkutan!”

“Wah, sikap Nona Bin sudah jelas. Bukankah tadi dia pun tiba-tiba saja menyebutmu… dengan sebutan koko yang mesra? Dan paman sendiri, ahh, masih pura-pura lagi?”

“Thian Sin, jangan sembarangan bicara kau!” Kong Liang yang merasa malu itu menjadi marah, atau pura-pura marah.

Melihat ini, Han Tiong yang semenjak tadi memperhatikan adiknya, cepat menengahi dan berkata, “Paman, Thian Sin hanya main-main saja. Sin-te, jangan kau goda paman. Mari kita percepat perjalanan kita yang masih jauh.”

Akan tetapi saat mereka baru saja keluar dari kota Ceng-tao dan tiba di kaki pegunungan yang sunyi, mereka melihat beberapa orang berdiri menghadang mereka di tengah jalan sehingga ketiga orang pemuda ini memandang dengan penuh perhatian. Mereka segera mengenal dua orang di antara mereka, yaitu Siangkoan Wi Hong yang tetap memanggul yang-kimnya dan seorang dara cantik manis berpakaian mewah yang bukan lain adalah So Cian Ling murid dari See-thian-ong, dara keturunan penghuni Padang Bangkai yang pernah datang untuk membalas dendam terhadap Kakek Yap Kun Liong dan Nenek Cia Giok Keng itu!

Di samping dua orang muda yang lihai ini nampak tiga orang kakek yang dikenal oleh Han Tiong, yaitu Pak-thian Sam-liong, tiga orang kakek murid-murid Pak-san-kui yang pernah dikalahkan oleh ayahnya beberapa tahun yang lalu. Juga di samping dara manis itu berdiri Ciang Gu Sik, murid kepala See-thian-ong yang berusia tiga puluh lima tahun itu, yang pernah bertanding melawan Bin Biauw dan amat lihai dengan joan-pian berselaput emas itu.

Melihat betapa keenam orang itu bersikap mengancam, Kong Liang mengerutkan alisnya kemudian berkata kepada dua orang keponakannya dengan bisikan, “Kalian diamlah saja. Mereka itu lihai, biar aku yang menghadapi mereka apa bila terpaksa aku harus melawan mereka. Kalian boleh melihat saja dan siap-siap saja untuk membela diri kalau diserang.”

Thian Sin tersenyum mengejek, akan tetapi Han Tiong mengangguk, lantas menyentuh lengan adiknya yang sudah gatal-gatal tangan hendak menantang musuh itu.

Dengan sikap yang tenang namun berwibawa, ketabahan yang amat besar, Kong Liang cepat mendahului dua orang keponakannya dan mengambil sikap seolah-olah dia hendak melindungi dua orang pemuda keponakannya itu. Dia berjalan terus sampai tiba di depan enam orang yang menghadangnya, lalu berkata dengan sopan namun tegas,

“Harap cu-wi suka minggir dan membiarkan kami lewat.”

Bagaimanakah putera Pak-san-kui dan murid See-thian-ong itu dapat berkumpul menjadi satu kemudian menghadang di tempat itu? Memang, di antara empat orang datuk, yaitu See-thian-ong, Pak-san-kui, Tung-hai-sian dan Lam-sin, maka See-thian-ong datuk dari barat dan Pak-san-kui dari utara sudah lama saling mengadakan hubungan seperti rekan seangkatan atau segolongan, sebab itu tidak mengherankan apa bila Siangkoan Wi Hong sudah lama mengenal So Cian Ling.

Ketika Siangkoan Wi Hong melihat betapa pemuda putera ketua Cin-ling-pai itu mampu mengalahkan sekaligus menundukkan hati Bin Biauw dan bahkan Tung-hai-sian nampak tertarik untuk mengambil mantu pemuda itu, diam-diam Siangkoan Wi Hong merasa tidak senang sekali. Bukan karena dia sendiri ingin memperisteri Bin Biauw, melainkan karena Tung-hai-sian telah dianggapnya sebagai orang satu golongan dengan ayahnya sebagai datuk timur.

Ada pun pemuda itu adalah putera Cin-ling-pai, golongan yang menamakan dirinya ‘kaum pendekar’ dan yang semenjak dahulu telah menjadi fihak yang menentang dan ditentang golongan para datuk. Kalau sampai Tung-hai-sian menjadi besan ketua Cin-ling-pai, tentu hal itu berarti akan melemahkan golongan mereka. Inilah sebabnya maka Siangkoan Wi Hong lalu cepat-cepat menghubungi para murid See-thian-ong mengajak dua orang murid See-thian-ong untuk melakukan penghadangan terhadap tiga orang dari Cin-ling-pai itu.

Hal ini disetujui Ciang Gu Sik yang berpemandangan sama dengan Siangkoan Wi Hong, sedangkan So Cian Ling yang pernah berhadapan dengan tiga orang pemuda itu sebagai lawan ketika dia hendak membalas dendam kepada Kakek Yap Kun Liong dan Nenek Cia Giok Keng, juga penuh semangat menyokong maksud ini.

Demikianlah, Siangkoan Wi Hong ditemani tiga orang Pak-thian Sam-liong, dan dua orang murid See-thian-ong itu kemudian bersama-sama memotong jalan dan menghadang tiga orang pemuda yang tadi menjadi tamu sebagai wakil Cin-ling-pai itu.

“Tring-tranggg…!”

Yang-kim di tangan Siangkoan Wi Hong itu berbunyi, disusul suara tawa pemuda tampan pesolek itu.

“Ha-ha-ha, sekarang sudah lengkap tiga-tiganya berkumpul di sini, ha-ha-ha! Putera ketua Cin-ling-pai, putera Pendekar Lembah Naga, dan putera Pangeran Ceng Han Houw! Wah, wah, tiga serangkai yang cocok! Pantas saja sikapnya sombong bukan main!”

Han Tiong yang pernah berkenalan dengan pemuda ini, bahkan pernah disambut sebagai sahabat dan dijamu makan, merasa tak enak kalau harus bermusuhan dengannya, maka dia sudah cepat berkata,

“Saudara Siangkoan, kami adalah orang-orang yang lebih mengutamakan persahabatan, tidak ingin mencari permusuhan, harap engkau tidak mengganggu kami.”

“Han Tiong, mundurlah dan biarkan aku menghadapi orang-orang liar ini!” Cia Kong Liang berkata dengan suara nyaring dan tajam.

Memang dia sudah marah sekali menyaksikan sikap Siangkoan Wi Hong tadi. Mendengar ucapan Han Tiong yang dianggapnya terlalu merendahkan diri itu, kemarahannya makin berkobar. Dia sudah melangkah maju di depan Han Tiong dan dia menghadapi Siangkoan Wi Hong dengan sikap penuh wibawa. Sepasang matanya kini mencorong seperti mata seekor naga saja.

“Memang benar bahwa kami tidak mencari permusuhan, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami takut menghadapi siapa pun juga yang hendak memusuhi kami! Kalau aku tidak salah lihat, kalian ini adalah orang-orangnya Pak-san-kui dan See-thian-ong, bukan? Nah, apa maksud kalian menghadang perjalanan kami dan bersikap seperti ini?”

Enam orang itu nampak jeri juga saat menyaksikan sikap yang gagah dari putera ketua Cin-ling-pai itu, bahkan Siangkoan Wi Hong yang biasanya tenang dan tertawa-tawa itu, yang biasanya sangat mengandalkan kepada diri sendiri, kini diam-diam merasa gembira bahwa dia mempunyai teman-teman yang lihai karena terus terang saja, kalau dia harus menghadapi pemuda Cin-ling-pai ini seorang diri saja, dia masih akan berpikir panjang.

Akan tetapi pada saat itu pula, sebelum ada yang menjawab pertanyaan Kong Liang tadi, terdengar suara keras, “Mana orang Cin-ling-pai? Biar kami menghadapinya!”

Dan nampaklah bayangan orang berkelebat dari atas pohon, kemudian dua tubuh yang melayang itu berjungkir balik bagaikan bola-bola besar, berputar-putar dan baru turun di depan Kong Liang. Cara mereka meloncat dari atas dan berjungkir balik itu hebat sekali, seperti permainan akrobatik para pemain sirkus yang terlatih baik saja. Dan ketika semua orang memandang, kiranya mereka itu adalah dua orang laki-laki berpakaian pengemis!

Usia mereka sekitar lima puluh tahun, pakaian mereka terbuat dari kain tambal-tambalan beraneka macam dan warna, tetapi pakaian mereka tidak butut seperti pakaian pengemis-pengemis biasa, namun bersih dan agaknya memang hanya merupakan pakaian model pengemis, yaitu berbagai macam kain baru ditembel-tembel sehingga menjadi pakaian. Di punggung mereka, seperti cara orang membawa pedang, terlihat sebatang tongkat, entah terbuat dari bahan apa, hanya kelihatan hitam dan butut.

“Aha, kiranya dua orang gagah dari Bu-tek Kai-pang?” seru Siangkoan Wi Hong dengan girang sekali ketika melihat munculnya dua orang kakek pengemis ini.

Dia tidak mengenal pribadi semua anggota Bu-tek Kai-pang yang jumlahnya dua puluh empat orang itu, akan tetapi melihat pakaian mereka dan tongkat yang mereka namakan ‘Hok-mo-pang’ (Tongkat Penakluk Iblis) itu, maka tahulah dia bahwa mereka itu adalah dua orang anggota Bu-tek Kai-pang yang dipimpin atau diketuai oleh Lam-sin (Malaikat Selatan), yaitu datuk selatan.
Selanjutnya,