Pendekar Sadis Jilid 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sadis Jilid 11
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
TERNYATA sepagi itu Siangkoan Wi Hong telah duduk di serambi depan rumahnya sambil memandang ke jalan, wajahnya berseri dan pakaiannya tetap pesolek dan mewah seperti biasanya. Dan hebatnya, di atas meja di dekatnya nampak alat musik yang-kimnya itu.

Agaknya yang-kimnya ini tak pernah terpisah dari dekatnya, dan memang sesungguhnya demikianlah. Yang-kim ini menjadi senjata yang sangat diandalkan di samping merupakan alat musik yang amat disukainya. Ketika pemuda kaya itu melihat munculnya Han Tiong dan Thian Sin, dia tersenyum dan bangkit menyambut dengan wajah gembira.

“Ah, selamat pagi, selamat pagi! Girang sekali hatiku mendapat kunjungan kalian berdua! Silakan duduk… ehh, tidak, mari kita sarapan pagi di dalam taman saja sambil menikmati bunga-bunga indah.”

Dengan ramahnya Siangkoan Wi Hong lalu mengajak mereka untuk langsung memasuki taman bunga di sebelah kiri gedungnya lantas mengajak mereka duduk di pondok kecil terbuka yang beraneka warna. Memang indah dan segar nyaman sekali hawa di dalam taman itu. Tanpa diperintah lagi, dua orang pelayan wanita yang muda-muda berdatangan membawa minuman.

Siangkoan Wi Hong memesan supaya dibawakan makanan, kemudian ditambahkannya agar dipanggilkan tiga orang nona dari Rumah Bunga Seruni! Thian Sin dan Han Tiong tidak mengerti apa yang dimaksudkan ketika Siangkoan Wi Hong berkata,

“Katakan kepada bibi pemilik Rumah Bunga Seruni agar Kim Hiang bersama dua orang kawannya cepat datang ke sini, sekarang juga!”

Dua orang pemuda Lembah Naga itu sama sekali tidak tahu bahwa Rumah Bunga Seruni adalah sebuah rumah pelacuran tingkat tinggi yang paling terkenal di kota raja, tempat yang hanya dapat dikunjungi oleh bangsawan-bangsawan dan hartawan-hartawan karena segala sesuatu di tempat itu teramat mahal. Juga mereka tidak menyangka sama sekali bahwa tuan rumah ini telah memesan tiga orang pelacur pilihan untuk melayani mereka!

Han Tiong dan Thian Sin menjadi sungkan serta malu-malu ketika para pelayan datang dan membawa hidangan yang amat banyak dan bermacam-macam. Sungguh luar biasa royalnya tuan rumah, karena hidangan yang dihadapkan mereka itu sama sekali bukan sarapan pagi, melainkan lebih mewah dari pada makan siang atau makan malam!

Dan kedua orang pemuda ini menjadi semakin tersipu malu ketika tidak lama kemudian datang tiga orang gadis cantik jelita yang berpakaian indah dan memakai minyak wangi yang semerbak harum, juga sikap mereka amat lincah dan genit, walau pun harus mereka akui bahwa mereka bertiga itu selain cantik sekali juga tidak kasar, melainkan genit-genit halus seperti dara-dara remaja yang jinak-jinak merpati!

Diam-diam Han Tiong terkejut dan juga terheran-heran kenapa ada tiga orang dara muda seperti ini yang mau datang menemani mereka, hal yang sungguh luar biasa sekali. Akan tetapi alisnya lalu berkerut ketika Siangkoan Wi Hong memperkenalkan mereka sebagai ‘bunga’ pilihan dari Rumah Bunga Seruni!

Biar pun dia sama sekali tidak berpengalaman, namun berkat luasnya bacaan buku-buku yang pernah dibacanya, maka Han Tiong dan juga Thian Sin dapat menduga bahwa tiga orang wanita ini adalah pelacur-pelacur kelas tinggi, seperti juga halnya pelacur yang dulu pernah menemani kongcu ini di rumah makan.

Maka, Han Tiong merasa kikuk dan malu sekali dilayani oleh para pelacur itu, sedangkan Thlan Sin juga nampak ‘alim’, padahal di dalam hatinya dia merasa gembira sekali. Hanya karena sungkan kepada kakaknya sajalah maka dia pura-pura alim!

Melihat betapa kikuk sikap dua orang tamunya menghadapi para pelacur itu, Siangkoan Wi Hong bersikap bijaksana. Dengan mulutnya dia menyuruh mereka mundur dan hanya membiarkan mereka bermain yang-kim, suling dan bernyanyi saja, tak lagi membolehkan mereka mendekati dan melayani dua orang tamunya.

“Siangkoan-loheng, bagaimana jadinya dengan putera Ji-cianbu itu? Apa yang terjadi saat engkau dipanggil oleh Ji-cianbu dari rumah makan itu?” Thian Sin tidak mampu menahan hatinya untuk memancing tuan rumah dengan pertanyaan ini.

Kakaknya menganggap pemuda ini curang, kejam dan juga jahat, akan tetapi dia sendiri merasa tertarik dan menganggap pemuda ini sangat gagah perkasa, selain juga ramah menyenangkan. Maka dia ingin mendengar bagaimana pandangan Siangkoan Wi Hong sendiri tentang urusannya dengan keluarga Ji itu, dan apakah pemuda hartawan itu mau mengakui semua perbuatannya.

Mendengar pertanyaan itu, Siangkoan Wi Hong tertawa gembira dan mengangkat cawan arak lalu minum araknya. Kemudian dia meletakkan cawan kosong di atas meja, tertawa lagi dengan gembira seolah-olah dia tak dapat menahan kegelian hatinya membayangkan kembali peristiwa yang lucu.

“Ha-ha-ha, aku sudah memberi hajaran kepada keluarga Ji yang brengsek itu! Ha-ha-ha, puas benar hatiku. Orang-orang macam ayah dan anak itu sudah sepatutnya kalau diberi hajaran keras. Kalian tahu apa yang sudah kulakukan? Aku telah memeras lima puluh tail emas dari kantong Kapten Ji itu, ha-ha-ha!”

Thian Sin saling pandang dengan kakaknya dan di dalam sinar mata Thian Sin nampak sinar kemenangan, seolah-olah pandang matanya berkata, “Lihat, bukankah dia ini gagah dan jujur?”

“Aku memang sengaja memukul anaknya serta tukang-tukang pukulnya dengan pukulan yang mengancam keselamatan nyawa mereka agar ayahnya datang dan memang benar dugaanku. Maka, aku menyembuhkan anaknya asal ayahnya mau membayar lima puluh tail emas. Ha-ha-ha, ayah dan anak busuk itu memang patut dihajar!”

“Mengapa loheng menganggap mereka busuk?” Thian Sin mendesak sambil memandang kagum.

“Tidakkah busuk mereka itu? Kalian sudah menyaksikan sikap anak Ji-ciangkun itu yang amat sombong dan kasar, dan dia telah biasa bersikap sewenang-wenang kepada rakyat, memaksa wanita dan sebagainya. Ada pun ayahnya… hemm, coba bayangkan, petugas berpangkat kapten seperti dia sanggup membayarku lima puluh tail emas secara tunai! Kalau menurut jumlah gajinya, biar dia bekerja sampai seratus tahun pun dia belum dapat menyimpan lima puluh tail emas! Ayahnya tukang korup besar, pencuri uang negara dan rakyat, anaknya sebagai pemuda yang sewenang-wenang, maka tidakkah pantas apa bila mereka itu dihajar?” Kembali Siangkoan Wi Hong tertawa dan Thian Sin mengerling ke arah kakaknya, kekaguman terbayang pada wajahnya yang tampan.

“Akan tetapi, Saudara Siangkoan berarti main-main dengan nyawa orang. Nyaris saja tiga orang itu terbunuh…,” Han Tiong berkata mencela halus.

Siangkoan Wi Hong memandang kepada Han Tiong dengan alis terangkat, seperti heran mendengar kata-kata ini, akan tetapi kemudian dia tersenyum. “Agaknya saudara Cia Han Tiong tidak mengerti tentang jiwa pendekar! Lagi pula, andai kata tiga orang itu mampus, bukankah itu berarti menyingkirkan malapetaka bagi para penghuni kota raja?”

Han Tiong menunduk dan tak mau membantah lagi, dan tiba-tiba terdengar langkah orang memasuki pondok taman itu dan mucullah sebagai laki-laki muda tinggi besar berpakaian pengawal atau tukang pukul. Dengan sikap gagah orang itu lalu memberi hormat kepada Siangkoan Wi Hong sambil berkata,

“Maaf jika saya mengganggu, kongcu. Akan tetapi di luar terdapat Kang-thouw-kwi (Setan Kepala Baja) yang minta bertemu dengan kongcu.”

“Hemm… Kang-thouw-kwi? Baik, antarkan dia ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dan suruh dia menanti di sana. Aku akan segera datang!” kata Siangkoan Wi Hong.

Akan tetapi pada saat itu Han Tiong dan Thian Sin terkejut melihat pengawal tinggi besar itu, oleh karena mereka berdua mengenalnya sebagai pemuda berandal yang mengepalai gerombolan lima orang yang mengganggu mereka di pasar!

Thian Sin sudah bangkit berdiri dengan muka merah, akan tetapi Han Tiong memegang lengannya dan menariknya untuk duduk kembali. Si Tinggi Besar itu memandang kepada mereka sambil tersenyum mengejek, kemudian pergi keluar dari pondok.

Han Tiong kini memandang kepada tuan rumah, dengan suara tenang namun tegas dia lalu berkata, “Saudara Siangkoan, kami minta penjelasan tentang diri pembantumu tadi. Dia pernah mengganggu kami di pasar dan ternyata dia adalah pembantumu. Apakah sebenarnya artinya kenyataan ini?”

Tentu saja mereka berdua menjadi heran ketika melihat pemuda kaya itu tertawa geli, kemudian Siangkoan Wi Hong menjawab, “Memang benar, dia adalah pembantuku dan gangguan yang dia lakukan bersama teman-temannya itu adalah atas perintahku.”

“Apa? Apa maksudmu dengan itu?” Thian Sin berseru kaget dan heran, juga penasaran sekali.

“Tidak ada maksud buruk. Aku hanya ingin menguji kalian. dua orang mabuk di losmen itu adalah orang-orangku yang kusuruh menguji kalian. Akan tetapi aku amat kecewa karena ternyata aku salah duga. Kalian hanyalah dua orang pelajar yang bijaksana dan sabar sekali, bukan…”

Melihat tuan rumah menghentikan kata-katanya, Han Tiong segera menyambung, “Bukan dua orang pendekar seperti yang kau sangka?”

Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar dan mengangguk, kemudian dia bangkit berdiri dan menjura, “Maaf, sesudah melihat sikap kalian yang tabah dan mengagumkan, tadinya aku menyangka bahwa kalian tentu memiliki ilmu silat yang tinggi. Karena ingin tahu maka aku menyuruh orang-orangku mencoba kalian. Tetapi ternyata mereka gagal dan aku merasa bersalah kepada ji-wi (anda berdua), maka aku mohon maaf. Sekarang, ada tamu yang agaknya hendak mengadu kepandaian silat denganku, tidak tahu apakah ji-wi ingin turut menonton adu pibu ataukah tidak?”

Han Tiong tadinya ingin minta diri saja, akan tetapi melihat wajah adiknya dia tahu betapa adiknya ingin sekali nonton pertandingan, dan dia sendiri pun diam-diam amat tertarik dan ingin menyaksikan sebenarnya sampai di mana kehebatan tuan rumah ini yang agaknya hendak melayani tamu yang berjuluk Kang-thouw-kwi itu. Maka dia pun mengangguk dan menjawab,

“Kalau kami tidak mengganggu, kami ingin melihat.”

“Bagus! Mari silakan ikut bersamaku!” pemuda itu berkata dengan sikap gembira karena betapa pun juga, dia ingin memamerkan kepandaiannya kepada dua orang tamu ini.

Han Tiong dan Thian Sin mengikuti tuan rumah meninggalkan pondok dalam taman, lalu memasuki gedung itu dari pintu belakang dan menuju ke sebuah ruangan yang amat luas, sebuah ruangan lian-bu-thia, yaitu ruang tempat berlatih silat yang mewah sekali, dengan hiasan dinding berbentuk lukisan binatang-binatang yang gagah seperti harimau, burung bangau, naga, dan lain-lain binatang yang dianggap mempunyai gerakan-gerakan gagah dan yang dijadikan dasar bermacam gerakan ilmu silat.

Di sudut ruangan yang luas itu terdapat beberapa rak tempat senjata yang penuh dengan belasan alat-alat berlatih dan olah raga seperti karung-karung pasir, batu-batu besar untuk diangkat, dan sebagainya. Di sebelah kiri, di dekat dinding, terdapat belasan bangku dan seorang kakek bangkit dari bangku yang didudukinya ketika melihat ketiga orang pemuda itu memasuki ruangan.

Han Tiong dan Thian Sin memandang penuh perhatian. Kakek itu usianya lebih dari enam puluh tahun, sebagian rambutnya telah putih, sinar matanya mengandung kecemasan dan kedukaan, pakaiannya sederhana dan pandang matanya ditujukan kepada Siangkoan Wi Hong setelah dengan sikap tak acuh dia melempar pandang kepada Han Tiong dan Thian Sin.

Dengan sikap tenang Siangkoan Wi Hong mempersilakan kedua orang tamunya duduk di atas bangku. Han Tiong dan Thian Sin lantas duduk dan hati mereka tertarik sekali untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.

Setelah berdiri berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik, akhirnya kakek itu berkata, “Maaf, apakah saya berhadapan dengan Siangkoan-kongcu?”

Yang ditanya hanya mengangguk, tetapi tangan kanannya mempersilakan tamunya untuk duduk. “Silakan duduk, Lo-enghiong.”

Kakek itu nampak tak sabar, akan tetapi melihat sikap pemuda itu yang amat tenang, dia pun duduklah sambil menarik napas panjang. Siangkoan Wi Hong sendiri pun lalu duduk menghadapi kakek itu.

“Apakah Lo-enghiong ini yang berjuluk Kang-thouw-kwi? Dan kepentingan apakah yang mendorong Lo-enghiong untuk datang berkunjung?”

Tiba-tiba sinar mata kakek itu menjadi keras dan suaranya pun penuh dengan nada marah ketika dia menjawab, “Saya datang untuk bicara tentang cucu saya Lee Si!”

Memang Siangkoan Wi Hong agaknya telah maklum, maka jawaban itu sama sekali tidak mengejutkannya. Sambil tersenyum ramah dia lalu berkata. “Tentang Lee Si? Ada apakah dengan dia, Lo-enghiong? Sudah lama saya tidak bertemu dengan dia. Baik-baik sajakah cucumu itu, Lo-enghiong?”

“Siangkoan-kongcu, harap kongcu tak berpura-pura lagi. Saya datang untuk mendapatkan pertanggungan jawab kongcu atas diri cucu saya itu.”

“Pertanggungan jawab yang bagaimanakah yang kau maksudkan, Lo-enghiong?”

Nampaknya kakek itu semakin tidak sabar. Dia mengepal tangan kanannya dan suaranya terdengar lantang. “Cucuku Lee Si itu baru berusia lima belas tahun, namun kongcu telah mencemarkan dia! Pertangungan jawab apa lagi kalau bukan minta agar kongcu bersedia mengawininya?”

Han Tiong dan Thian Sin terkejut, memandang dengan hati tegang. Tidak mereka sangka bahwa kakek ini datang untuk urusan begitu! Mereka memandang kepada Siangkoan Wi Hong dengan alis berkerut karena tidak mengira bahwa pemuda kaya itu dapat berbuat sejahat itu, mencemarkan gadis orang!

Akan tetapi Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar, sikapnya tenang-tenang saja. “Hemm, aku tidak pernah mencemarkan siapa pun…”

“Kongcu masih hendak menyangkal? Cucuku sudah mengaku dan harap kongcu bersikap sebagai sebagai laki-laki jantan untuk tidak menyangkal perbuatan kongcu sendiri!” Kakek itu membentak marah.

“Siapa yang menyangkal?” Dia lantas menoleh kepada dua orang pemuda yang menjadi tamunya. “Coba ji-wi dengarkan baik-baik. Aku mengenal sebagai dara manis bernama Lee Si, dan dia sendiri yang jatuh cinta padaku. Kami berdua, dengan suka sama suka, suka rela tanpa unsur paksaan dari fihak mana pun, telah memadu kasih. Ehh, sekarang tahu-tahu Lo-enghiong ini datang menuntut pertanggungan jawab! Pertanggungan jawab apa? Tidak ada janji antara Lee Si dan aku untuk menikah! Hubungan kami adalah suka rela dan suka sama suka, bukan aku yang memaksa dia…”

“Siangkoan-kongcu! Aku adalah seorang tua, tak perlu menggunakan kata-kata sangkalan yang tidak berujung pangkal! Jelas bahwa cucuku telah kau rusak, sekarang kami datang untuk minta pertanggungan jawab, agar engkau suka mengawini cucuku. Bukankah hal ini sudah wajar? Apakah engkau hendak menolak?” Kakek itu bangkit berdiri.

Melihat sikap kakek itu mulai kasar, Siangkoan Wi Hong mengerutkan kedua alisnya dan senyumnya lenyap. Dia juga bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu. “Kang-thouw-kwi, jangan kau bicara sembarangan! Aku, orang she Siangkoan adalah seorang lelaki yang berani mempertanggung jawabkan perbuatannya! Hubunganku dengan Lee Si adalah hubungan suka sama suka, tidak ada janji ikatan perjodohan. Dan tidak ada setan mana pun yang akan dapat memaksaku kawin dengan dia!”

“Siangkoan-kongcu! Berani engkau menghina orang tua seperti aku dan hendak menodai nama keluargaku?” Kakek itu membentak.

“Hemm, apakah karena engkau berjuluk Kang-thouw-kwi aku lalu harus takut dan tunduk kepadamu?”

“Siangkoan Wi Hong! Jangan menyangka bahwa aku tidak tahu siapa engkau! Engkau adalah putera Pak-san-kui Siangkoan Tiang locianpwe yang kuhormati. Sungguh tak tahu diri jika aku berani menentang putera beliau! Akan tetapi, engkau sebagai putera seorang locianpwe telah mempergunakan kekayaanmu, ketampananmu dan kepandaianmu untuk merayu cucuku yang masih terlalu muda sehingga dia terjatuh dan dapat kau cemarkan, kemudian sekarang engkau tidak mau bertanggung jawab! Hemm, orang muda. Aku tahu bahwa memang aku bukanlah lawan keluarga Siangkoan Tiang locianpwe, namun untuk membela kehormatan keluargaku, aku siap untuk mempertaruhkannya dengan nyawaku sekali pun! Apa bila engkau mau bertanggung jawab dan mengawini Lee Si, kami akan menganggapnya sebagai suatu kehormatan besar, akan tetap bila engkau tetap menolak, maka biarlah kutebus dengan nyawaku!”

Siangkoan Wi Hong tersenyum mengejek kemudian berkata, “Maksudmu, engkau hendak menantangku mengadakan pibu?”

“Hanya ada dua pilihan, engkau menerima permintaanku atau seorang di antara kita akan mencuci noda itu dengan darah.”

“Bagus sekali, memang aku pun ingin merasakan sampai bagaimana kerasnya kepala itu sehingga dijuluki Setan Kepala Baja!” Sesudah berkata demikian, sekali bergerak, tubuh pemuda itu sudah melayang ke tengah ruangan itu, lantas dia menggapai dengan sikap menantang sekali, “Mari, Kang-thouw-kwi!”

Kakek itu memandang dengan muka merah dan mata mendelik, lalu dengan langkah lebar dia pun menghampiri pemuda itu. Mereka berdiri berhadapan dan dengan sikap masih marah, sambil tersenyum pemuda itu berkata,

“Kang-thouw-kwi, kita akan bertanding sebagai dua orang sahabat atau sebagai musuh? Mengingat akan wajah Lee Si yang manis, tentu aku suka memaafkan kekasaranmu tadi dan biarlah kita mengadu ilmu sebagai sahabat.”

“Tidak! Aku tidak menganggapmu sebagai putera Pak-san-kui, melainkan sebagai seorang lelaki pengecut yang telah mencemarkan kehormatan keluarga kami dan sudah menodai cucuku. Engkau harus mampus di tanganku atau aku yang mati di tanganmu!”

Siangkoan Wi Hong mejebikan bibirnya. “Hemm, melihat usiamu, engkau tidak lama lagi hidup di dunia, akan tetapi agaknya engkau sudah bosan hidup. Nah, kalau engkau ingin mati, majulah!”

Kakek itu mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah menerjang dengan dahsyatnya, gerakannya mantap dan kuat sekali pada waktu tubuhnya menerjang maju, tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar disusul tangan kanan yang mencengkeram ke arah kepala lawan.

Gerakannya itu laksana gerakan seekor harimau buas yang mempergunakan kedua kaki depan untuk mencengkeram. Dari jari-jari kedua tangannya terdengar suara berkerotokan tulang-tulang yang sangat kuat! Akan tetapi, Siangkoan Wi Hong sudah dapat mengelak dengan gerakan lincah.

Sementara itu, ketika tadi mendengar disebutnya nama Pak-san-kui, dua orang pemuda itu terkejut tukan main dan saling pandang. Kini, rasa kagum dan suka di dalam hati Thian Sin mulai berubah menjadi rasa marah. Pamannya, atau ayah angkatnya, sudah bercerita tentang Pak-san-kui, bahkan Han Tiong sendiri bersama ibunya pernah menjadi tawanan Pak-san-kui, sungguh pun menjadi tawanan yang kemudian diperlakukan manis bagaikan tamu-tamu agung.

Pak-san-kui adalah datuk kaum sesat dari wilayah utara dan ternyata pemuda ini adalah putera datuk itu! Pantas saja demikian lihai dan juga kaya raya. Dan mendengar jawaban-jawaban pemuda itu terhadap Kang-thouw-kwi, juga mendengar betapa pemuda itu sudah mencemarkan gadis cucu kakek itu, maka Han Tiong mengerutkan alisnya dan diam-diam dia berfihak kepada Kang-thouw-kwi walau pun dia sendiri tidak pernah mengenalnya dan tidak tahu orang macam apa adanya kakek itu.

Ada pun Thian Sin kini diam-diam ingin sekali mencoba kepandaian Siangkoan Wi Hong yang dalam pandangannya kini nampak sebagai seorang pemuda yang sombong, angkuh dan memandang rendah kepada orang lain! Memang ada sifat-sifat yang mengagumkan hatinya terdapat pada diri pemuda itu, akan tetapi setelah dia mengetahui bahwa pemuda itu adalah putera Pak-san-kui yang pernah mengganggu ayah dan ibu angkatnya, timbul rasa tidak senang dan bermusuh di dalam hatinya terhadap Siangkoan Wi Hong.

“Heiiiiittttt…!”

Untuk ke sekian kalinya kakek itu menyerang dengan dahsyatnya. Dari gerakannya pada waktu menyerang, nampak jelas betapa benci dan marahnya kakek itu kepada Siangkoan Wi Hong, karena itu semua serangannya itu adalah serangan maut yang sangat dahsyat dan berbahaya.

Namun pemuda itu benar-benar memiliki kelincahan yang luar biasa dan dengan ginkang yang lebih sempurna, dia selalu berhasil mengelak serta menghindarkan diri dari setiap serangan, bahkan membalas pula dengan tamparan-tamparan yang tidak kalah hebatnya.

Akan tetapi, kalau pemuda itu lebih mengandalkan kelincahannya sehingga selalu dapat mengelak dari serangan lawan, sebaliknya Kang-thouw-kwi ini lebih mengandalkan pada kekebalan tubuhnya sehingga sungguh pun sudah tiga kali dia terkena tamparan tangan pemuda itu, namun dia hanya terhuyung saja dan tidak terluka.

“Hemmm, ternyata engkau masih dapat bertahan juga?” kata Siangkoan Wi Hong setelah pertandingan itu berlangsung selama lima puluh jurus dan melihat betapa kakek itu tidak roboh oleh tiga kali pukulannya.

Kini dia mengubah gerakan silatnya dan ternyata dia mempergunakan gerakan meliuk-liuk seperti seekor ular. Kedua lengannya itu seperti kepala ular yang mematuk-matuk dan kini setiap patukan itu ditujukan kepada jalan darah maut dari tubuh lawan.

Menghadapi serangan ini yang agaknya merupakan sebuah di antara ilmu-ilmu simpanan pemuda itu, Kang-thouw-kwi mulai terdesak hebat dan beberapa kali dia harus terhuyung setelah terkena totokan-totokan yang sebenarnya merupakan totokan-totokan maut, akan tetapi agaknya kekebalan tubuh kakek itu yang membuat dia hanya terhuyung saja.

Marahlah Kang-thouw-kwi. Memang dia sudah tak mempedulikan keselamatan nyawanya lagi. Maka dia lalu mengeluarkan teriakan panjang dan tiba-tiba dia meloncat ke belakang, kemudian, bagai seekor kerbau yang marah, dia lari ke depan dengan kepala menunduk, seperti seekor kerbau merendahkan diri dan hendak menerjang fihak lawan menggunakan kepalanya untuk menyeruduk!

Melihat ini, Siangkoan Wi Hong tersenyum dan pemuda ini segera berdiri tegak, sengaja memasang perutnya untuk diseruduk sambil bertolak pinggang dengan sikap yang angkuh sekali.

Dua orang pemuda Lembah Naga memandang dengan mata terbelalak. Dari Cia Sin Liong mereka pernah mendengar akan adanya ilmu serangan menggunakan kepala ini. Kepala yang terlatih baik dapat menyeruduk tembok sampai jebol dan kalau kepala yang terlatih dan sudah kebal itu menyerang lawan, maka akibatnya amat berbahaya, tulang-tulang iga akan patah-patah dan setidaknya isi perut akan terguncang dan terluka parah!

Akan tetapi pemuda itu bukannya siap menyingkir atau pun menangkis, sebaliknya malah memasang perutnya, sengaja membiarkan perutnya untuk diseruduk! Maka mereka dapat menduga bahwa pemuda itu pun memiliki sinkang yang sangat kuat dan dengan tenaga sinkang yang memenuhi perutnya, memang dapat juga dia menerima serudukan itu tanpa terluka karena perutnya terlindung oleh hawa yang padat dan kuat, dan paling hebat dia akan terdorong saja tanpa mengalami luka. Akan tetapi kalau tenaga sinkang-nya itu tidak jauh lebih kuat dari pada tenaga dorongan kepala lawan, maka banyak bahayanya dia akan menderita luka guncangan di dalam perutnya.

Kang-thouw-kwi yang merundukkan kepalanya itu, dengan kerling mata ke depan dia pun melihat posisi lawan, maka dia merasa dipandang rendah dan kemarahannya memuncak. Dia mengerahkan sepenuh tenaganya karena dia mengandalkan kalah menangnya dalam serangan terakhir ini. Larinya semakin kencang dan sesudah jarak antara dia dan lawan tinggal dua meter lagi, tubuhnya lantas meloncat dan meluncur ke depan, kepalanya lebih dulu mengarah perut lawan yang sengaja dikembungkan itu.

Akan tetapi begitu kepala itu menyentuh perut, tiba-tiba saja perut yang dikembungkan itu tiba-tiba membalik menjadi dikempiskan dan dari dalam perut itu timbul daya sedot yang amat kuat sehingga kepala itu tersedot masuk ke dalam rongga perut sampai ke bawah hidung! Dan kedua jari tangan Siangkoan Wi Hong telah bergerak dengan kecepatan kilat menotok ke arah kedua pundak lawan yang tiba-tiba menjadi lumpuh tergantung lemas!

Bukan main kagumnya hati Kang-thouw-kwi. Dia merasa betapa kepalanya seakan-akan memasuki sebuah perapian yang panas sekali. Dia pun maklum akan kelihaian pemuda ini, maka dia segera mengerahkan sinkang di tubuhnya untuk menahan karena dia tidak dapat meronta lagi untuk melepaskan diri, apa lagi sesudah sepasang lengannya lumpuh tertotok itu.

Akan tetapi, bagaimana pun dia menahannya, tetap saja dia merasa kepalanya bagaikan direbus dan perlahan-lahan, seluruh tubuhnya mulai menggigil. Dia maklum bahwa sekali dia kehilangan kesadaran, maka dia akan tewas!

Han Tiong dan Thian Sin yang melihat peristiwa ini, diam-diam terkejut bukan main dan mereka itu kagum akan kelihaian Siangkoan Wi Hong. Tahulah mereka bahwa kini nyawa kakek itu berada dalam bahaya, apa lagi ketika melihat betapa pemuda itu dengan berdiri dan bertolak pinggang masih terus mengerahkan sinkang untuk membunuh kakek itu, ada pun tubuh kakek itu mulai menggigil, kedua lengannya lumpuh seperti seekor cecak yang kepalanya terjepit pintu, hanya kedua kaki saja yang meronta sedikit.

Thian Sin tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dengan sikap tenang dia lalu bangkit dari bangkunya dan menghampiri ke tengah ruangan itu. Siangkoan Wi Hong memandang kepadanya, agaknya merasa heran dan tidak dapat menduga apa yang hendak dilakukan oleh pemuda pelajar yang lemah namun pemberani itu.

“Kakek bodoh, kalau kepandaianmu hanya sebegini, bagaimana kau berani bermain gila di depan putera Pak-san-kui?” Thian Sin berkata lirih sambil menggunakan tangan kirinya menepuk pinggul kakek itu yang menonjol.

“Plakk-plakk-plakk!”

Tiga kali dia menepuk dan akibatnya hebat bukan main. Mula-mula wajah Siangkoan Wi Hong berubah pucat, kemudian pada tepukan ke tiga, pemuda itu meloncat ke belakang sambil melepaskan kepala kakek itu dari jepitan perutnya. Kini dia berdiri sambil menarik napas panjang untuk melindungi perutnya yang barusan tergetar hebat, matanya menatap wajah Thian Sin.

Ia tadi merasa betapa ada tenaga yang amat dingin menyerbu ke dalam perutnya melalui kepala kakek itu, yang membuat seluruh isi perutnya terasa amat dingin sampai menusuk jantung. Maka dia kaget sekali sehingga terpaksa melepaskan korbannya. Begitu terlepas kakek itu lalu terguling, namun sekali Thian Sin menyambar pundaknya dan menariknya bangun, ternyata dia telah terbebas dari totokan!

Melihat keadaan yang gawat ini, Han Tiong segera menghampiri adiknya dan dia sudah menjura dengan sikap hormat sekali kepada Siangkoan Wi Hong.

“Ah, Saudara Siangkoan, adikku telah berlaku lancang, harap kau sudi memaafkan kami dan suka menghabiskan urusan dengan orang tua ini sampai di sini saja.”

Siangkoan Wi Hong masih terkejut sekali dan dia telah melupakan kakek itu, kini seluruh perhatiannya tercurah kepada dua orang tamunya yang benar-benar mengejutkan hatinya ini. Mendengar ucapan Han Tiong, dia hanya berkata, “Bukan aku yang mencari perkara, melainkan dia.”

Han Tiong lalu menghadapi kakek itu dan berkata, “Lo-enghiong, berlaku nekat bukanlah sikap yang bijaksana dan gagah. Membuang nyawa secara sia-sia bukan merupakan obat untuk menyembuhkan penyakit dalam keluargamu.”

Sekarang kakek itu sudah terbuka matanya, sudah tahu bahwa dua orang muda itu telah menyelamatkan nyawanya dan bahwa mereka itu lihai bukan kepalang. Tepukan-tepukan di pinggulnya tadi mendatangkan hawa dingin luar biasa yang meluncur melalui tubuhnya kemudian sampai di kepalanya hingga membuat perut yang menjepit kepalanya terpaksa melepaskannya. Dia tahu berhadapan dengan orang-orang pandai, maka dia pun menarik napas panjang dan menjura kepada Thian Sin dan Han Tiong.

“Aku tua bangka yang tidak ada gunanya memang seharusnya lebih keras mendidik cucu, salah kami sendiri dan terima kasih atas pertolongan ji-wi taihiap.” Maka dia pun pergi dari tempat itu tanpa berpamit lagi kepada Siangkoan Wi Hong yang memandang tidak peduli karena kini dia terus memandang kepada dua orang muda itu. Sesudah kakek itu pergi, barulah dia berkata sambil memandang kepada dua orang muda itu berganti-ganti.

“Hemm, kiranya dugaan dan kecurigaanku ternyata benar! Kalian adalah dua orang pandai yang menyembunyikan kepandaian dan berpura-pura lemah dan bodoh.” Dia pun menatap tajam kepada Han Tiong, kemudian berkata. “Dan bukankah Saudara Cia Han Tiong ini benar-benar putera Pendekar Lembah Naga yang pernah menjadi tamu ayah beberapa tahun yang lalu?”

Han Tiong tahu bahwa kini sudah tidak mungkin lagi baginya untuk menyembunyikan diri. Maka dengan tenang dia pun berkata, “Dugaanmu memang benar, sobat. Aku sekeluarga pernah menerima penghormatan dari Pak-san-kui, ayahmu.”

“Dan aku adalah Ceng Thian Sin!” Thian Sin menyambung cepat.

“She Ceng…?” Siangkoan Wi Hong terkejut memandang pemuda tampan yang pandai pula bersajak dan bernyanyi itu.

“Benar!”

“Kalau begitu… mendiang Ceng Han Houw…”

“Dia adalah ayahku!”

“Ah, jadi engkau inilah puteranya yang dikabarkan terlepas dari pembasmian dan berhasil menghilang itu? Sungguh tidak kusangka akan dapat bertemu dengan dua orang seperti kalian!” Siangkoan Wi Hong nampak gembira bukan main, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.

Diam-diam Han Tiong terkejut mendengar pengakuan Thian Sin. Adiknya itu benar-benar lancang sekali mengenalkan diri. Mereka masih berada di kota raja dan memperkenalkan diri sebagai putera Ceng Han Houw yang dimusuhi oleh pemerintah itu sungguh sangat berbahaya. Maka dia cepat menjura ke arah Siangkoan Wi Hong.

“Saudara Siangkoan, kami berterima kasih atas semua kebaikanmu kepada kami. Nah, perkenankan kami untuk melanjutkan perjalanan.”

Akan tetapi, pemuda hartawan itu cepat mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata dengan cepat, “Nanti dulu, tahan dulu, sahabat-sahabatku yang baik! Setelah mengetahui siapa kalian, dua orang muda yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, tidak mungkin aku membiarkan kalian pergi begitu saja tanpa lebih dulu berkenalan dengan ilmu silat kalian. Kesempatan baik ini tak boleh kulepaskan begitu saja! Kalian harus lebih dulu menandingi aku dalam pibu, baru kulepaskan kalian pergi!”

“Akan tetapi, kami bukanlah musuh-musuhmu!” Han Tiong membantah dan menolak.

Siangkoan Wi Hong tertawa gembira. “Ha-ha-ha! Sahabat atau musuh bagiku sama saja, asalkan orangnya lihai. Tidak seperti kakek kerbau tadi yang menjemukan! Bagiku punya teman lihai atau musuh lihai, itulah yang amat menyenangkan. Sekarang putera Pendekar Lembah Naga dan putera Pangeran Ceng Han Houw, dua-duanya merupakan pendekar-pendekar sakti yang dahulu namanya pernah menggemparkan dunia, telah berada di sini berhadapan dengan aku, maka bagaimana pun juga kalian harus menandingi aku dalam adu ilmu silat!” Setelah berkata demikian dan sebelum dua orang pemuda itu menjawab, Siangkoan Wi Hong bertepuk tangan tiga kali.

Dari pintu belakang lalu bermunculan enam orang. Mereka ini bukan lain adalah pemuda tinggi besar dan lima orang temannya yang pernah mengganggu dua orang pemuda itu di pasar. Si tinggi besar itu memandang kepada dua orang pemuda Lembah Naga dengan senyum mengejek dan mereka semua menanti perintah dari tuan muda mereka.

“Kia Tong, sekarang engkau dan kawan-kawanmu boleh mencoba mereka ini. Hati-hati, mereka berdua bukanlah orang-orang lemah seperti yang kalian kira,” kata Siangkoan Wi Hong dengan senyum gembira.

“Tetapi, kongcu, perlukah kami berenam yang maju? Biarkan saya sendiri menghajar dua cacing buku ini!” kata Si Tinggi Besar yang dipanggil Kia Tong itu.

Sepasang mata Siangkoan Wi Hong yang biasanya lembut dan ramah itu tiba-tiba saja mendelik dan suaranya terdengar ketus, “Tolol! Kalian maju berenam pun jangan harap akan menang!” Terkejutlah Kia Tong dan dia tidak berani membantah pula, lalu memberi isyarat kepada lima orang temannya untuk maju kersama.

Sementara itu, Thian Sin sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. “Tiong-ko, sekali ini kita tidak bisa membiarkan tikus-tikus ini berlagak. Biarkan aku menghajar mereka!”

Han Tiong juga maklum bahwa sekarang tak mungkin lagi mereka menyingkirkan diri dan menghindarkan perkelahian, maka dia pun mengangguk, akan tetapi lalu berkata dengan suara penuh peringatan, “Ingat, jangan kau membunuh orang, Sin-te!”

Giranglah hati Thian Sin memperoleh perkenan kakaknya ini. Dia lalu melangkah maju ke tengah ruangan yang luas itu. Dengan anggukan kepalanya, Siangkoan Wi Hong lantas memberi isyarat kepada enam orang itu yang segera maju mengepung Thian Sin.

Si Tinggi Besar masih bersikap sombong, karena betapa pun juga, dia masih memandang rendah kepada pemuda yang kelihatan lemah dan yang pernah melarikan diri tunggang-langgang ketika dia mengganggunya di pasar itu.

Melihat betapa enam orang itu hanya mengepungnya, Thian Sin membentak, “Tikus-tikus busuk, majulah kalau kalian memang berani!”

Si Tinggi Besar menjadi marah. “Serbu…!” dia memberi aba-aba.

Lima orang pembantunya serentak maju menyerang Thian Sin dari lima jurusan. Mereka berlima ini merupakan pembantu-pembantu utama Siangkoan Wi Hong, maka tentu saja kepandaian mereka sudah cukup tangguh, lebih tinggi dibandingkan dengan para tukang pukul biasa saja. Maka kini serangan mereka pun merupakan serangan gaya silat yang cukup kuat dan cepat, bukan sekedar mengandalkan tenaga kasar belaka.

Thian Sin teringat akan pesan kakaknya, maka dia pun menahan kemarahannya dan tak ingin menurunkan tangan maut. Akan tetapi, teringat betapa dia dan kakaknya dihina di pasar, betapa buah-buah yang dibelinya jatuh berhamburan di atas tanah, betapa dia dan kakaknya ditertawakan dan diejek, maka kini dia menggerakkan tangan menangkis setiap pukulan sambil mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang!

“Krekk!”

Terdengar bunyi nyaring setiap kali dia menangkis, dan lima kali dia menangkis pukulan lima orang itu. Akibatnya, lima orang itu terpelanting roboh dan ketika mereka merangkak bangun, mereka mengaduh-aduh sambil memegangi lengan mereka yang tadi tertangkis karena lengan mereka itu ternyata telah patah tulangnya dan tentu saja mereka tak dapat menyerang lagi.

Rasa nyeri membuat mereka meringis dan melangkah mundur sambil memandang pada pemuda itu dengan kedua mata terbelalak. Juga Siangkoan Wi Hong terkejut bukan main. Dia memang sudah dapat menduga akan kelihaian Thian Sin putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw itu, akan tetapi tidak disangkanya bahwa pemuda yang halus itu ternyata demikian tangkas, kuat dan ganas, bertangan besi, dan sekali tangkis telah mematahkan lengan lima orang penyerangnya!

Tahulah dia bahwa orang-orangnya itu sama sekali bukan merupakan tandingan pemuda ini akan tetapi untuk mencegahnya dia sudah terlambat, karena kini Si Tinggi Besar telah menyambar sebatang golok besar dari rak senjata dan dengan marah dia telah menerjang dengan goloknya ke arah Thian Sin.

Apa bila dia mau, tentu saja Siangkoan Wi Hong dapat dan masih ada kesempatan untuk mencegah pembantunya ini. Akan tetapi dia memang ingin melihat bagaimana Thian Sin akan menghadapi serangan golok dari pembantunya yang cukup lihai ini.

Thian Sin tetap tidak bergerak dari tempatnya. Dia menunggu sampai bacokan golok itu menyambar dekat dengan kepalanya, lantas tiba-tiba tangan kirinya bergerak menangkis golok besar itu dengan jari-jari tangannya dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang.

“Krokkk!”

Golok itu patah menjadi dua potong dan secepat kilat tangan Thian Sin bergerak dua kali disusul gerakan kaki dua kali dan… tubuh Si Tinggi Besar itu terlempar, terjengkang dan terbanting ke belakang, goloknya terlepas jauh. Dia tidak dapat merangkak bangkit seperti teman-temannya tadi karena jika teman-temannya itu hanya menderita patah tulang pada sebelah lengan saja, dia sendiri menderita patah tulang kedua lengan dan kedua kakinya! Dengan sebelah tangan saja, terpaksa teman-temannya membantu dan menggotongnya keluar dari tempat itu!

Siangkoan Wi Hong menjadi semakin kagum akan tetapi juga terkejut. Pemuda putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw itu benar-benar hebat dan bertangan maut, pikirnya. Dia lantas teringat akan cerita tentang mendiang pangeran yang pernah menjagoi di dunia kang-ouw itu maka diam-diam dia pun bersikap waspada karena maklum bahwa pemuda itu benar-benar tidak boleh dipandang ringan.

Akan tetapi dengan wajah penuh senyum ramah dia melangkah maju menghadapi Thian Sin sambil menjura, “Ahh, kiranya ilmu kepandaian Saudara Ceng amat hebat dan tinggi! Sungguh aku seperti katak dalam tempurung, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata!”

Akan tetapi Han Tiong telah menjura kepadanya, “Saudara Siangkoan, harap engkau suka memaafkan adikku, dan perkenankanlah kami pergi dari sini dan tidak merusak suasana persahabatan antara kita.”

Siangkoan Wi Hong menoleh kepada Han Tiong. Dia memang seorang pemuda yang sangat cerdik. Dia sudah mendengar akan hubungan antara Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong dengan mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran itu merupakan kakak angkat dari Cia Sin Liong, dan juga ada hubungan darah antara isteri pangeran itu dengan Pendekar Lembah Naga, yaitu saudara misan, keduanya adalah cucu-cucu dari pendiri Cin-ling-pai. Maka diam-diam dia pun melakukan pilihan.

Menurut riwayat sang pangeran, maka keturunannya ini lebih condong untuk menjadi satu golongan dengan dirinya, sedangkan pemuda she Cia itu tentu saja merupakan ahli waris Cin-ling-pai sehingga akan tetap menjadi musuh golongannya. Maka, sebisa mungkin dia harus menjadikan Ceng Thian Sin ini sebagai sebagai sahabat, sedangkan Cia Han Tiong harus dimusuhinya!

“Ah, Saudara Cia Han Tiong. Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak peduli apakah kalian menjadi kawan atau lawan, bagiku sama saja asalkan kawan atau lawan itu lihai, semua menyenangkan hatiku. Keturunan mendiang Pangeran Ceng Han Houw sudah jelas amat hebat kepandaiannya dan membuat hatiku kagum sekali, tapi tidak tahu sampai di mana kelihaian keturunan dari ketua Cin-ling-pai. Apakah lebih hebat dibandingkan kepandaian keturunan Pangeran Ceng? Kiranya begitulah. Oleh karena itu aku ingin sekali mencoba kepandaianmu. Mari, majulah!” Terang bahwa pemuda hartawan itu sekarang menujukan tantangan kepada Cia Han Tiong.

Akan tetapi pancingan dan tantangannya itu tidak mengenai sasaran. Han Tiong langsung menggelengkan kepalanya dan berkata, “Aku datang ini bukan untuk berkelahi, melainkan memenuhi undanganmu, sebagai kenalan.”

“Hemm, apakah engkau takut, Saudara Cia?”

“Terserah penilaianmu,” jawab Han Tiong tenang.

Akan tetapi, Thian Sin sudah mengerutkan alisnya dan wajahnya menjadi merah. “Siapa bilang kami takut padamu?” bentaknya. “Tiong-ko, biarlah aku melawan si sombong ini!”

Thian Sin tak memberi kesempatan kepada kakaknya untuk menjawab dan dia langsung maju menghadapi Siangkoan Wi Hong sambil membentak, “Tak perlu kakakku yang turun tangan, aku pun sudah cukup untuk menandingimu!”

Biar pun hatinya sangat menyesal mengapa pemuda keturunan ketua Cin-ling-pai itu tidak melayaninya dan kini bahkan putera pangeran itu yang maju, akan tetapi Siangkoan Wi Hong tidak menolak. Betapa pun juga dia harus menunjukkan kelihaiannya dan karena selama ini dia belum pernah kalah oleh siapa pun juga, timbul semacam kesombongan di dalam hatinya serta kepercayaan diri yang berlebihan sehingga dia memandang ringan terhadap semua orang.

“Baik sekali, biariah kita bermain-main sebentar, Saudara Ceng!” Baru saja kata-katanya terhenti, tangannya telah melakukan serangan. Dengan tangan terkepal, tangan itu cepat menyambar dari pinggang kanannya, dengan kepalan terputar amat kuatnya menyambar ke arah pusar Thian Sin!

Pemuda ini tahu akan bahayanya pukulan seperti itu. Kepalan terputar itu lajunya seperti peluru baja saja dan dapat minimbulkan luka-luka hebat di dalam rongga perut, maka dia pun cepat menggerakkan lengan kirinya menangkis sambil mengerahkan tenaga, ada pun tangan kanannya dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah dada lawan.

“Dukkk!”

Tangkisan Thian Sin itu bertemu dengan lengan Siangkoan Wi Hong, membuat mereka berdua tergetar. Pemuda hartawan itu juga menggunakan lengan kirinya untuk menangkis hantaman tangan kiri dengan jari-jari terbuka yang sangat kuat, dan yang akan mampu mematahkan tulang-tulang dadanya itu.

“Dukkk!”

Kembali kedua lengan mereka bertemu dan keduanya tergetar hebat. Hal ini mengejutkan Siangkoan Wi Hong karena dari pertemuan lengan dua kali ini saja maklumlah dia bahwa Thian Sin memiliki tenaga sinkang yang amat kuat! Maka, mengingat betapa pemuda ini tadi telah merobohkan semua pembantunya, dan melihat kenyataan akan kuatnya tenaga sinkang-nya, Siangkoan Wi Hong tidak berani memandang rendah lagi.

Senyumnya menghilang dari wajahnya yang tampan dan mulailah dia menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga serta kepandaiannya. Kedua tangannya mengeluarkan hawa pukulan dahsyat ketika dia menghujankan serangan kepada Thian Sin.

Namun Thian Sin sudah siap menghadapinya. Pemuda Lembah Naga ini pun sudah tahu bahwa putera Pak-san-kui ini merupakan seorang lawan yang tangguh, karena itu dia pun segera menggerakkan tubuhnya untuk mengelak, menangkis dan juga membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah dahsyatnya.

Maka terjadilah serang menyerang, saling pukul, elak dan tangkis bertubi-tubi. Berkali-kali kedua lengan mereka saling bertemu, makin lama semakin kuat sehingga pertemuan itu seperti menggetarkan seluruh ruangan dan kadang-kadang jika pertemuan antara kedua lengan itu sangat kuatnya, tubuh mereka tidak hanya tergetar, bahkan terdorong mundur. Pertandingan itu makin lama makin seru dan agaknya mereka itu seimbang, baik dalam hal kecepatan mau pun tenaga.

Setelah lewat lima puluh jurus dan belum juga mampu mendesak lawannya sama sekali, Siangkoan Wi Hong baru betul-betul terkejut karena tahulah dia bahwa kepandaian Thian Sin ternyata tak kalah olehnya! Dia kemudian mengeluarkan suara melengking tinggi dan menyerang lawan dari atas, dengan kedua lengan bergerak-gerak, kedua telapak tangan membentuk cakar seperti seekor burung garuda yang menyambar-nyambar dari atas.

“Brettt-brettt…!”

Thian Sin meloncat ke belakang dengan kaget. Serangan lawan yang sangat cepat dan aneh itu biar pun telah dielakkan dan ditangkisnya, tetap saja masih mengenai pundaknya hingga membuat bajunya terobek di bagian kedua pundaknya! Dia terkejut sekali sungguh pun kulit dagingnya dilindungi kekebalan Thian-te Sin-ciang dan tidak terluka.

Memang gerakan lawan itu amat aneh dan tidak mudah menghadapi seorang lawan yang menyerang dari atas semacam itu. Ilmu silatnya dilatih untuk menghadapi lawan seorang manusia, yaitu yang bergerak di sekeliling dirinya, bukannya menghadapi manusia burung yang datang dari atas.

Setelah berhasil merobek baju pada kedua pundak lawan, timbul kembali kesombongan Siangkoan Wi Hong dan dia pun tertawa dengan gembira. Hal ini membuat wajah Thian Sin menjadi merah dan dia sudah menjadi marah sekali.

“Wuuutt… wuuuttt…!”

Angin menyambar-nyambar hebat saat dia menggunakan pukulan dan tamparan Thian-te Sin-ciang yang sangat hebat. Siangkoan Wi Hong terkejut bukan kepalang karena hawa pukulan itu saja sudah terasa olehnya dan dia cepat berloncatan mundur.

“Sin-te, jangan…!” Han Tiong memperingatkan.

Thian Sin lalu sadar bahwa kalau dia mendesak lawan dengan pukulan-pukulan sakti itu, memang kalau sampai lawannya terkena mungkin saja dia akan melakukan pembunuhan. Maka dia pun cepat mengubah gerakannya dan sekarang dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun.

Dengan ilmu silat yang amat tangguh di bagian pertahanan ini, dia mampu membendung semua serangan lawan yang menggunakan ilmu silat seperti burung garuda beterbangan itu, mampu mengelak, menangkis dan juga membalas serangan. Betapa pun juga, tetap saja dia berada di fihak yang diserang dan didesak, kira-kira dalam perbandingan satu kali menyerang tiga kali diserang! Hal ini membuat Thian Sin merasa penasaran sekali.

Memang hebat sekali ilmu silat lawannya itu. Memang ilmu yang dimainkan Siangkoan Wi Hong itu adalah ilmu silat keluarganya yang amat diandalkan dan hanya dikeluarkan kalau menghadapi lawan tangguh. Ilmu silat itu diberi nama Go-bi Sin-eng-jiauw (Cakar Garuda Go-bi) yang bersumber pada ilmu silat Go-bi-pai. Akan tetapi oleh Pak-san-kui dasar ilmu silat Go-bi-pai itu telah diubah dan juga ditambah sedemikian rupa, dicampur dengan ilmu Eng-jiauw-kang yang berasal dari daerah Korea hingga kemudian terciptalah ilmu Go-bi Sin-eng-jiauw yang amat ampuh itu.

Selain gerakan-gerakan dalam ilmu silat ini aneh, tubuh berloncatan seperti garuda yang beterbangan menyambar-nyambar lawan, juga jari-jari tangan yang membentuk cakar itu seolah-olah berubah menjadi cakar baja yang sangat kuat, dapat dipakai untuk menahan senjata tajam dan memiliki kekebalan seperti ilmu Thian-te Sin-ciang!

Sudah seratus jurus mereka bertanding dan Thian Sin masih terus terdesak, bahkan telah beberapa kali tubuhnya kena cakaran yang untung tidak sampai terluka, hanya bajunya saja yang robek karena kulit tubuhnya telah terlindung oleh sinkang-nya. Hal ini membuat Siangkoan Wi Hong tertawa-tawa dan membuat Thian Sin makin penasaran.

Pada waktu dia melihat tangan kiri lawan yang berbentuk cakar itu menyerang ke arah mukanya, dia cepat-cepat menangkis, akan tetapi cakaran tangan kanan lawan ke arah dadanya sama sekali tidak ditangkis atau dielakkannya.

“Plakk!” Cakar tangan kanan Siangkoan Wi Hong mengenai dada Thian Sin.

“Ahhhhhh…!” Siangkoan Wi Hong berteriak kaget, matanya terbelalak ketika dia merasa betapa tangan kanannya itu melekat pada dada lawan dan tenaga sinkang-nya membanjir keluar melalui telapak tangannya yang tersedot oleh dada lawan.

Dalam kagetnya itu, pemuda ini mengerahkan sinkang untuk menarik kembali tangannya. Akan tetapi makin hebat dia mengerahkan tenaga, makin hebat pula tenaga sinkang-nya tersedot keluar.

“Thi-khi I-beng…!” teriaknya kaget dan mukanya menjadi pucat.

Dia telah mendengar dari ayahnya akan ilmu yang istimewa ini. Akan tetapi sebelum dia sempat melakukan sesuatu, tangan kiri Thian Sin telah menyambar kemudian menampar punggungnya.

“Bukkk!”

Tubuh Siangkoan Wi Hong terpelanting dan dia pun roboh, lalu muntahkan darah segar. Hantaman dengan tenaga Thian-te Sin-ciang di punggungnya itu walau pun tidak melukai punggung yang terlindung kekebalan, akan tetapi telah mengguncangkan isi dadanya dan membuat dia terluka di sebelah dalam, tidak terlampau parah namun cukup membuat dia muntah darah dan tidak mungkin melanjutkan pertandingan.

Melihat ini, Han Tiong cepat-cepat meloncat menghampiri dan dengan ilmu It-sin-ci, yaitu totokan dengan satu jari telunjuk tangan kanannya, dia menotok tiga tempat, di sepanjang tulang punggung Siangkoan Wi Hong untuk menyembuhkan orang itu, sambil menariknya bangun, lalu dia menjura dengan hormat.

“Harap Saudara Siangkoan sudi memaafkan kami berdua,” katanya.

Dia memberi isyarat kepada adiknya kemudian mereka berdua meninggalkan ruangan itu, terus keluar dari dalam rumah dan bergegas meninggalkan kota raja yang oleh Han Tiong dianggap sebagai tempat berbahaya itu.

Siangkoan Wi Hong masih terlampau kaget dan merasa terpukul kehormatannya karena dia sudah dikalahkan, karena itu dia pun hanya menarik napas panjang berulang-ulang. Dia tahu dari totokan-totokan tadi bahwa kepandaian Cia Han Tiong kiranya bahkan lebih lihai dari pada kepandaian Thian Sin yang telah mengalahkannya.

Timbul rasa penasaran dan dia ingin memperdalam ilmunya kepada ayahnya dan dia pun merasa kecewa, mengapa tadi dia tidak menggunakan yang-kim untuk melawan pemuda Lembah Naga itu. Dia telah menderita kerugian sebagai akibat memandang rendah lawan. Akan tetapi menyesal pun tak ada gunanya. Dua orang pemuda itu telah pergi dan dalam keadaan terluka itu tak mungkin dia akan dapat melawan lagi.

Dengan hati penuh rasa penasaran dan penyesalan, maka pada hari itu juga Siangkoan Wi Hong meninggalkan kota raja dan kembali ke Tai-goan, ke tempat tinggal Pak-san-kui Siangkoan Tiang, ayahnya yang hidup sebagai datuk kaya raya.

********************

Han Tiong dan Thian Sin yang baru saja meninggalkan kota raja, sekarang merasa amat gembira dan takjub menikmati pemandangan alam yang begitu indahnya di Pegunungan Cin-ling-san. Setelah berhari-hari mereka tinggal di kota raja yang demikian sesak dengan manusia, yang demikian bising dan di mana mereka menemukan masalah-masalah yang tidak enak sekali, sekarang tempat yang berhawa sejuk dan segar, bersih dan hening itu nampak teramat indah dan menyenangkan!

Memang sesungguhnyalah, kita harus mengakui adanya kenyataan betapa ulah manusia, yaitu diri sendiri, sudah membuat dunia ini menjadi suatu tempat tinggal yang kotor dan tidak enak ditinggali. Alam yang begitu sejuk, segar dan bersih seperti yang terdapat di pegunungan atau di dusun-dusun sunyi, langsung berubah menjadi panas, pengap dan kotor setelah penuh oleh manusia.

Banyak memang terdapat makhluk hidup di dunia ini, namun, betapa pun nyaring suara makhluk-makhluk itu, tidak ada yang seperti suara manusia ketika mereka saling bicara. Suara manusia pada umumnya sudah dipenuhi dengan nafsu, penuh dengan keinginan mengejar senang, penuh dengan kedukaan, penuh dengan kemarahan, kebencian! Kalau kita memasuki sebuah pasar yang penuh manusia, mendengarkan suara, manusia dalam pasar itu, lalu membandingkannya dengan suara burung-burung dan binatang-binatang di dalam hutan, akan nampak perbedaan yang teramat besar.

Kita tidak pernah dapat menikmati hidup, tidak pernah dapat menikmati sebuah tempat. Yang tinggal di kota ingin lari ke gunung, lari dari kebisingan dan menganggap bahwa keheningan akan lebih menyenangkan. Sebaliknya, kalau dia sudah tinggal di gunung, dia pun masih akan menderita karena merasa kesepian dan ingin kembali ke kota! Jarang terdapat orang yang benar-benar dapat menikmati keindahan alam, dan kalau pun ada, hanya dapat dihitung dengan jari saja agaknya!

Kita baru dapat menikmati keindahan alam apa bila kita tidak membanding-bandingkan, apa bila pikiran kita kosong, tidak dipenuhi kesibukan, apa bila di dalam pikiran kita tidak terdapat gambaran tentang si aku dan tentang apa yang kusenangi dan tidak kusenangi. Keindahan dan kebahagiaan bukan berada di luar diri kita, keindahan dan kebahagiaan hanya terdapat di dalam jiwa yang bebas, bebas dari ikatan suka dan tidak suka yang menjadi permainan pikiran, yaitu pencipta si aku.

********************

Senja itu memang indah bukan kepalang! Han Tiong dan Thian Sin yang kebetulan datang dari arah timur bisa sepenuhnya menikmati keindahan senja itu. Kata-kata tidaklah cukup untuk menggambarkan keindahan pada saat itu, keindahan senja tak dapat digambarkan, hanya dapat dirasakan. Seolah-olah terbuka pintu sorga dalam dongeng-dongeng nun jauh di langit barat.

Langit yang pada kakinya seperti terjadi kebakaran, memerah jingga di lereng belakang bukit. Makin tinggi makin muda warna merah itu sampai menjadi warna setengah merah setengah kuning, dengan dilatar belakangi warna kebiruan, biru yang mengandung sedikit kehijauan, maka terjadilah percampuran warna antara merah, kuning dan biru, tiga warna pokok yang dapat membentuk segala macam warna yang sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata.

Di antara langit yang dicoreng-moreng bermacam warna itu, di antara awan-awan yang menghitam kelabu dan yang membentuk bermacam corak dan bentuk yang melampaui segala yang dapat dikhayalkan otak, nampak sinar-sinar kuning emas dari matahari senja yang sudah mulai bersembunyi di balik puncak Gunung Cin-ling-san.

Makin jauh matahari tenggelam, makin remang-remang cuaca dan keremangan itu seperti mendatangkan suatu keheningan yang baru, keheningan yang ajaib menyelimuti seluruh permukaan bumi. Pohon-pohon mulai menyembunyikan diri, menarik diri dari penonjolan di waktu siang, membuat persiapan untuk tenggelam dalam kegelapan yang segera akan tiba.

Sebatang pohon yang-liu yang tinggi nampak di kejauhan, terpencil sehingga merupakan sesuatu yang hitam menentang keindahan berwarna-warni itu, dengan cabang-cabangnya yang melengkung indah dan halus, seakan-akan menunduk serta menghormati suasana yang hening, sedikit pun tidak bergerak, tidak seperti pada saat-saat lain di mana pohon yang-liu itu merupakan pohon yang paling luwes menari-nari lemah gemulai tertiup angin berdesir.

Beberapa burung yang merupakan kelompok terbang mendatang dari selatan, seolah-olah merupakan seekor makhluk besar yang bergerak sambil mengeluarkan bunyi bercicit-cicit nyaring karena gerakannya yang seirama. Anehnya gerakan terbang dan bunyi bercicit itu sama sekali tidak mengganggu keheningan, bahkan merupakan bagian dari keheningan yang maha mendalam itu, sehingga terdapat perpaduan yang aneh di antara yang hening dan yang bising, yang diam dan bergerak.

Keadaan yang tadinya diam dan hening seperti keadaan mati kini mengandung gairah dan bunyi yang menjadi pertanda hidup sehingga di dalam kematian itu terkandung kehidupan dan di dalam kehidupan itu pun terkandung kematian, keduanya tak terpisahkan lagi.

Dua orang kakak beradik itu juga merupakan bagian dari pada keheningan maha luas itu dan mereka seperti dua titik tenggelam ke dalam suatu keluasan yang membuat mereka tidak ada artinya lagi, yang berarti hanyalah keluasan itu sendiri, keheningan itu sendiri di mana mereka tergulung. Hingga beberapa lamanya mereka berdua terpesona, melangkah tanpa terasa, namun dengan batin yang sadar akan semua itu, dan kebahagiaan yang mukjijat memenuhi rongga dada.

“Ahh, tanpa terasa kini hari telah mulai gelap. Mari kita mempercepat langkah, itu puncak Cin-ling-san sudah kelihatan dari sini, Sin-te,” kata Han Tiong dan kata-kata ini bagaikan menyeret mereka kembali ke dalam alam dunia fana.

“Mari, Tiong-ko,” jawab Thian Sin singkat, hatinya masih penuh pesona.

Baru saja sampai di luar pintu gerbang pagar tembok yang mengelilingi perkampungan Cin-ling-pai, mereka telah disambut oleh para murid Cin-ling-pai yang sedang melakukan penjagaan. Karena kini Han Tiong telah menjadi seorang pemuda dewasa dan ketika dia dulu mengunjungi Cin-ling-pai dia masih kecil, pula karena waktu itu malam telah tiba dan tempat itu hanya diterangi dengan beberapa buah teng yang tergantung di pintu gerbang, maka tidak ada murid Cin-ling-pai yang mengenalnya.

“Berhenti!” bentak murid Cin-ling-pai dan beberapa orang murid langsung mengepung dua orang pemuda itu, “Siapakah kalian dan ada perlu apa malam-malam begini datang ke sini?”

Melihat sikap mereka yang gagah itu, Han Tiong tersenyum. “Agaknya saudara-saudara tak lagi mengenalku. Beberapa tahun yang lalu, kurang lebih delapan tahun yang lalu, aku pernah datang bersama ayah dan ibu untuk berkunjung kepada ketua Cin-ling-pai.”

“Ehhh, siapakah engkau…?” pemimpin para penjaga itu bertanya sambil mencoba untuk mengenal wajah yang nampak tenang dan jujur itu.

“Kami datang dari Lembah Naga!” kata Thian Sin yang sudah tidak sabar lagi.

Kini semua murid Cin-ling-pai terkejut dan makin mendekat untuk melihat wajah mereka. Mereka masih belum dapat mengenali Han Tiong, bahkan sama sekali tidak mengenal wajah Thian Sin yang tampan itu.

“Lembah Naga…?” tanya mereka gagap.

“Ketua Cin-ling-pai Cia Bun Houw adalah kakek kami,” kata Han Tiong.

“Ohhh…! Jadi kongcu ini adalah putera Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong…?”

Han Tiong mengangguk dan para murid Cin-ling-pai itu dengan gembira lalu mengiringkan Han Tiong dan Thian Sin masuk, ada pun beberapa orang anak murid Cin-ling-pai sudah lebih dulu berlari-lari ke dalam untuk memberi kabar gembira itu kepada ketua mereka.

Tidak lama kemudian, nampak Kakek Cia Bun Houw bersama Nenek Yap In Hong keluar menyambut. Cia Bun Houw telah menjadi seorang kakek yang usianya enam puluh tahun, sedangkan Nenek Yap In Hong telah berusia lima puluh delapan tahun. Akan tetapi ketua Cin-ling-pai itu masih tampak sehat dan segar, sedangkan isterinya pun mempunyai tubuh yang langsing dan biar pun rambutnya sudah banyak yang putih, tapi garis-garis mukanya masih jelas membayangkan bekas-bekas kecantikan dan kegagahan.

Biar pun sudah bertahun-tahun dia tidak pernah jumpa dengan kakek dan neneknya itu, dan biar pun mereka sudah menjadi tua, namun Han Tiong masih mengenal mereka dan cepat dia pun maju menghampiri, menjatuhkan diri berlutut di hadapan dua orang tua itu. Thian Sin juga mengikuti perbuatan kakaknya, karena betapa pun juga, kakek yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai ini adalah paman dari ibunya.

Ketika tadi mendengar laporan bahwa ada tamu dua orang pemuda yang mengaku datang dari Lembah Naga dan mengaku bahwa ketua Cin-ling-pai adalah kakeknya, segera Cia Bun Houw dan Yap In Hong bergegas keluar dengan gembira. Mereka sudah menduga bahwa tentu Cia Han Tiong yang datang, hanya mereka agak merasa heran mengapa ada dua orang pemuda. Setahu mereka, Han Tiong tidak mempunyai adik.

Yap In Hong tersenyum memandang kepada Han Tiong. Cucu ini sudah menjadi seorang pemuda yang bersikap gagah dan wajahnya membayangkan kejujuran serta ketenangan, sedangkan sinar matanya tajam penuh wibawa.

“Aihh, engkau tentu Han Tiong! Sudah menjadi seorang pemuda dewasa sekarang! Bagai mana dengan ayah-bundamu? Mereka baik-baik sajakah?”

“Terima kasih, ayah dan ibu dalam keadaan baik-baik saja dan mereka menitipkan salam hormat kepada kakek dan nenek berdua,” jawab Han Tiong dengan sikap hormat.

“Han Tiong, siapakah pemuda ini?” tanya Cia Bun Houw.

Dia bersama isterinya memandang kepada wajah yang tampan, cahaya mata yang tajam penuh membayangkan kecerdikan dan sikap yang lemah lembut dari pemuda yang juga berlutut di dekat Han Tiong itu.

“Dia ini adalah adik angkat saya, akan tetapi sebenarnya dia pun masih keluarga sendiri, karena dia ini adalah putera tunggal mendiang Bibi Lie Ciauw Si. Namanya adalah Ceng Thian Sin.”

“Ahhh…!” Yap In Hong menahan seruannya.

Cia Bun Houw juga terkejut lantas terbayanglah olehnya akan segala yang dialami oleh keponakannya, Lie Ciauw Si itu. “Dia she Ceng, jadi dia adalah keturunan dari Ceng Han Houw?” Kemudian disambungnya dengan suara lirih, “Dan Lie Ciauw Si telah meninggal dunia?”

Thian Sin cepat memberi hormat. “Benar sekali, Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si adalah mendiang ayah-bunda saya.”

Cia Bun Houw merasa terharu dan dia cepat membangkitkan pemuda ini sedangkan Yap In Hong juga memegang pundak Han Tiong menyuruhnya bangun. “Mari, mari kita bicara di dalam…,” kakek dan nenek itu berkata dengan ramah dan mereka pun lalu memasuki rumah induk Cin-ling-pai yang cukup besar itu.

Setelah mandi dan makan malam, dua orang pemuda Lembah Naga itu baru dipersilakan memasuki ruang duduk di mana telah menunggu kakek dan nenek mereka. Tadinya Han Tiong mengira bahwa tentu dia akan bertemu dengan Cia Kong Liang, pamannya yang sebaya dengan dia hanya tiga tahun lebih tua, akan tetapi ketika dia tidak melihat adanya pemuda yang telah dikenalnya itu di ruangan duduk, dia yang bersama Thian Sin sudah disuruh duduk, segera bertanya,

“Kongkong, di manakah adanya Paman Cia Kong Liang? Mengapa sejak tadi saya tidak melihatnya?”

“Ahhh, pamanmu? Dia baru kemarin berangkat pergi ke Bwee-hoa-san untuk menengok bibinya, yaitu Enci Cia Giok Keng yang kabarnya sakit,” jawab Cia Bun Houw.

Mendengar disebutnya nama Cia Giok Keng ini, Thian Sin mengerutkan alisnya kemudian sambil memandang pada kakaknya dia berkata, suaranya lirih dan mengandung getaran haru.

“Bukankah… beliau itu… nenekku, ibu mendiang ibuku? Ah, Tiong-ko, betapa ingin hatiku untuk berjumpa dengan nenekku itu… sudah begitu sering aku mendengar tentang beliau dari ibu…”

Dia berhenti berbicara karena teringat bahwa dia berada di depan ketua Cin-ling-pai dan isterinya, dan betapa kekanak-kanakan sikapnya tadi.

Akan tetapi Cia Bun Houw mengelus jenggotnya, diam-diam merasa terharu juga teringat akan riwayat kehidupan pemuda yang amat tampan ini. “Sungguh baik sekali bila engkau mempunyai keinginan itu di hatimu, Thian Sin. Memang sudah sepatutnyalah jika engkau pergi mengunjungi nenekmu. Beliau sudah tua dan kunjunganmu sebagai wakil mendiang ibumu tentu akan menggirangkan hatinya.”

Kedatangan dua orang pemuda itu sungguh merupakan hal yang sangat membahagiakan hati Cia Bun Houw beserta isterinya sehingga hampir semalam suntuk mereka berempat bercakap-cakap dalam ruangan itu, di mana kakek dan nenek itu minta kepada Thian Sin untuk menceritakan segala hal yang telah terjadi dan menimpa keluarga Ceng Han Houw yang menyedihkan itu.

Cia Bun Houw dan isterinya hanya dapat saling pandang sambil kadang-kadang menarik napas panjang ketika mendengar betapa Pangeran Ceng Han Houw tewas dalam sebuah pengeroyokan dan betapa isterinya Lie Ciauw Si, dengan gagah perkasa sudah membela suaminya sampai tetes darah terakhir.

“Ibumu adalah seorang isteri yang hebat!” demikian komentar kakek dan nenek itu kepada Thian Sin setelah mereka mendengar penuturannya. Mereka sama sekali tidak memberi komentar apa-apa mengenai diri Pangeran Ceng Han Houw.

Dan Thian Sin bukan seorang bodoh. Dia amat cerdik dan dia pun sudah tahu apa yang terkandung dalam hati kakek dan nenek itu setelah mendengar ceritanya. Dia tahu bahwa di dalam pandangan mereka, di dalam pandangan semua keluarga Cin-ling-pai, ayahnya hanya seorang laki-laki yang berambisi besar dan tidak segan-segan untuk memberontak, sehingga kematian ayahnya merupakan kematian seorang pemberontak yang telah wajar menerima hukuman, sebaliknya kematian ibunya adalah kematian seorang wanita gagah perkasa yang setia dan mencinta suaminya!

Mendengar betapa neneknya, Cia Giok Keng, yang hidup berdua dengan suaminya, yaitu pendekar Yap Kun Liong di puncak Bwee-hoa-san kini sudah berusia kurang lebih tujuh puluh lima tahun itu, Thian Sin merasa khawatir kalau-kalau dia tidak akan dapat bertemu lagi dengan neneknya yang sudah tua itu. Maka kemudian diambil keputusan bahwa dua orang pemuda itu pada besok pagi-pagi akan berangkat ke Bwee-hoa-san menyusul Cia Kong Liang yang telah menuju ke pegunungan itu pada hari kemarin.

********************

Selanjutnya,

Pendekar Sadis Jilid 11

Pendekar Sadis Jilid 11
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
TERNYATA sepagi itu Siangkoan Wi Hong telah duduk di serambi depan rumahnya sambil memandang ke jalan, wajahnya berseri dan pakaiannya tetap pesolek dan mewah seperti biasanya. Dan hebatnya, di atas meja di dekatnya nampak alat musik yang-kimnya itu.

Agaknya yang-kimnya ini tak pernah terpisah dari dekatnya, dan memang sesungguhnya demikianlah. Yang-kim ini menjadi senjata yang sangat diandalkan di samping merupakan alat musik yang amat disukainya. Ketika pemuda kaya itu melihat munculnya Han Tiong dan Thian Sin, dia tersenyum dan bangkit menyambut dengan wajah gembira.

“Ah, selamat pagi, selamat pagi! Girang sekali hatiku mendapat kunjungan kalian berdua! Silakan duduk… ehh, tidak, mari kita sarapan pagi di dalam taman saja sambil menikmati bunga-bunga indah.”

Dengan ramahnya Siangkoan Wi Hong lalu mengajak mereka untuk langsung memasuki taman bunga di sebelah kiri gedungnya lantas mengajak mereka duduk di pondok kecil terbuka yang beraneka warna. Memang indah dan segar nyaman sekali hawa di dalam taman itu. Tanpa diperintah lagi, dua orang pelayan wanita yang muda-muda berdatangan membawa minuman.

Siangkoan Wi Hong memesan supaya dibawakan makanan, kemudian ditambahkannya agar dipanggilkan tiga orang nona dari Rumah Bunga Seruni! Thian Sin dan Han Tiong tidak mengerti apa yang dimaksudkan ketika Siangkoan Wi Hong berkata,

“Katakan kepada bibi pemilik Rumah Bunga Seruni agar Kim Hiang bersama dua orang kawannya cepat datang ke sini, sekarang juga!”

Dua orang pemuda Lembah Naga itu sama sekali tidak tahu bahwa Rumah Bunga Seruni adalah sebuah rumah pelacuran tingkat tinggi yang paling terkenal di kota raja, tempat yang hanya dapat dikunjungi oleh bangsawan-bangsawan dan hartawan-hartawan karena segala sesuatu di tempat itu teramat mahal. Juga mereka tidak menyangka sama sekali bahwa tuan rumah ini telah memesan tiga orang pelacur pilihan untuk melayani mereka!

Han Tiong dan Thian Sin menjadi sungkan serta malu-malu ketika para pelayan datang dan membawa hidangan yang amat banyak dan bermacam-macam. Sungguh luar biasa royalnya tuan rumah, karena hidangan yang dihadapkan mereka itu sama sekali bukan sarapan pagi, melainkan lebih mewah dari pada makan siang atau makan malam!

Dan kedua orang pemuda ini menjadi semakin tersipu malu ketika tidak lama kemudian datang tiga orang gadis cantik jelita yang berpakaian indah dan memakai minyak wangi yang semerbak harum, juga sikap mereka amat lincah dan genit, walau pun harus mereka akui bahwa mereka bertiga itu selain cantik sekali juga tidak kasar, melainkan genit-genit halus seperti dara-dara remaja yang jinak-jinak merpati!

Diam-diam Han Tiong terkejut dan juga terheran-heran kenapa ada tiga orang dara muda seperti ini yang mau datang menemani mereka, hal yang sungguh luar biasa sekali. Akan tetapi alisnya lalu berkerut ketika Siangkoan Wi Hong memperkenalkan mereka sebagai ‘bunga’ pilihan dari Rumah Bunga Seruni!

Biar pun dia sama sekali tidak berpengalaman, namun berkat luasnya bacaan buku-buku yang pernah dibacanya, maka Han Tiong dan juga Thian Sin dapat menduga bahwa tiga orang wanita ini adalah pelacur-pelacur kelas tinggi, seperti juga halnya pelacur yang dulu pernah menemani kongcu ini di rumah makan.

Maka, Han Tiong merasa kikuk dan malu sekali dilayani oleh para pelacur itu, sedangkan Thlan Sin juga nampak ‘alim’, padahal di dalam hatinya dia merasa gembira sekali. Hanya karena sungkan kepada kakaknya sajalah maka dia pura-pura alim!

Melihat betapa kikuk sikap dua orang tamunya menghadapi para pelacur itu, Siangkoan Wi Hong bersikap bijaksana. Dengan mulutnya dia menyuruh mereka mundur dan hanya membiarkan mereka bermain yang-kim, suling dan bernyanyi saja, tak lagi membolehkan mereka mendekati dan melayani dua orang tamunya.

“Siangkoan-loheng, bagaimana jadinya dengan putera Ji-cianbu itu? Apa yang terjadi saat engkau dipanggil oleh Ji-cianbu dari rumah makan itu?” Thian Sin tidak mampu menahan hatinya untuk memancing tuan rumah dengan pertanyaan ini.

Kakaknya menganggap pemuda ini curang, kejam dan juga jahat, akan tetapi dia sendiri merasa tertarik dan menganggap pemuda ini sangat gagah perkasa, selain juga ramah menyenangkan. Maka dia ingin mendengar bagaimana pandangan Siangkoan Wi Hong sendiri tentang urusannya dengan keluarga Ji itu, dan apakah pemuda hartawan itu mau mengakui semua perbuatannya.

Mendengar pertanyaan itu, Siangkoan Wi Hong tertawa gembira dan mengangkat cawan arak lalu minum araknya. Kemudian dia meletakkan cawan kosong di atas meja, tertawa lagi dengan gembira seolah-olah dia tak dapat menahan kegelian hatinya membayangkan kembali peristiwa yang lucu.

“Ha-ha-ha, aku sudah memberi hajaran kepada keluarga Ji yang brengsek itu! Ha-ha-ha, puas benar hatiku. Orang-orang macam ayah dan anak itu sudah sepatutnya kalau diberi hajaran keras. Kalian tahu apa yang sudah kulakukan? Aku telah memeras lima puluh tail emas dari kantong Kapten Ji itu, ha-ha-ha!”

Thian Sin saling pandang dengan kakaknya dan di dalam sinar mata Thian Sin nampak sinar kemenangan, seolah-olah pandang matanya berkata, “Lihat, bukankah dia ini gagah dan jujur?”

“Aku memang sengaja memukul anaknya serta tukang-tukang pukulnya dengan pukulan yang mengancam keselamatan nyawa mereka agar ayahnya datang dan memang benar dugaanku. Maka, aku menyembuhkan anaknya asal ayahnya mau membayar lima puluh tail emas. Ha-ha-ha, ayah dan anak busuk itu memang patut dihajar!”

“Mengapa loheng menganggap mereka busuk?” Thian Sin mendesak sambil memandang kagum.

“Tidakkah busuk mereka itu? Kalian sudah menyaksikan sikap anak Ji-ciangkun itu yang amat sombong dan kasar, dan dia telah biasa bersikap sewenang-wenang kepada rakyat, memaksa wanita dan sebagainya. Ada pun ayahnya… hemm, coba bayangkan, petugas berpangkat kapten seperti dia sanggup membayarku lima puluh tail emas secara tunai! Kalau menurut jumlah gajinya, biar dia bekerja sampai seratus tahun pun dia belum dapat menyimpan lima puluh tail emas! Ayahnya tukang korup besar, pencuri uang negara dan rakyat, anaknya sebagai pemuda yang sewenang-wenang, maka tidakkah pantas apa bila mereka itu dihajar?” Kembali Siangkoan Wi Hong tertawa dan Thian Sin mengerling ke arah kakaknya, kekaguman terbayang pada wajahnya yang tampan.

“Akan tetapi, Saudara Siangkoan berarti main-main dengan nyawa orang. Nyaris saja tiga orang itu terbunuh…,” Han Tiong berkata mencela halus.

Siangkoan Wi Hong memandang kepada Han Tiong dengan alis terangkat, seperti heran mendengar kata-kata ini, akan tetapi kemudian dia tersenyum. “Agaknya saudara Cia Han Tiong tidak mengerti tentang jiwa pendekar! Lagi pula, andai kata tiga orang itu mampus, bukankah itu berarti menyingkirkan malapetaka bagi para penghuni kota raja?”

Han Tiong menunduk dan tak mau membantah lagi, dan tiba-tiba terdengar langkah orang memasuki pondok taman itu dan mucullah sebagai laki-laki muda tinggi besar berpakaian pengawal atau tukang pukul. Dengan sikap gagah orang itu lalu memberi hormat kepada Siangkoan Wi Hong sambil berkata,

“Maaf jika saya mengganggu, kongcu. Akan tetapi di luar terdapat Kang-thouw-kwi (Setan Kepala Baja) yang minta bertemu dengan kongcu.”

“Hemm… Kang-thouw-kwi? Baik, antarkan dia ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dan suruh dia menanti di sana. Aku akan segera datang!” kata Siangkoan Wi Hong.

Akan tetapi pada saat itu Han Tiong dan Thian Sin terkejut melihat pengawal tinggi besar itu, oleh karena mereka berdua mengenalnya sebagai pemuda berandal yang mengepalai gerombolan lima orang yang mengganggu mereka di pasar!

Thian Sin sudah bangkit berdiri dengan muka merah, akan tetapi Han Tiong memegang lengannya dan menariknya untuk duduk kembali. Si Tinggi Besar itu memandang kepada mereka sambil tersenyum mengejek, kemudian pergi keluar dari pondok.

Han Tiong kini memandang kepada tuan rumah, dengan suara tenang namun tegas dia lalu berkata, “Saudara Siangkoan, kami minta penjelasan tentang diri pembantumu tadi. Dia pernah mengganggu kami di pasar dan ternyata dia adalah pembantumu. Apakah sebenarnya artinya kenyataan ini?”

Tentu saja mereka berdua menjadi heran ketika melihat pemuda kaya itu tertawa geli, kemudian Siangkoan Wi Hong menjawab, “Memang benar, dia adalah pembantuku dan gangguan yang dia lakukan bersama teman-temannya itu adalah atas perintahku.”

“Apa? Apa maksudmu dengan itu?” Thian Sin berseru kaget dan heran, juga penasaran sekali.

“Tidak ada maksud buruk. Aku hanya ingin menguji kalian. dua orang mabuk di losmen itu adalah orang-orangku yang kusuruh menguji kalian. Akan tetapi aku amat kecewa karena ternyata aku salah duga. Kalian hanyalah dua orang pelajar yang bijaksana dan sabar sekali, bukan…”

Melihat tuan rumah menghentikan kata-katanya, Han Tiong segera menyambung, “Bukan dua orang pendekar seperti yang kau sangka?”

Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar dan mengangguk, kemudian dia bangkit berdiri dan menjura, “Maaf, sesudah melihat sikap kalian yang tabah dan mengagumkan, tadinya aku menyangka bahwa kalian tentu memiliki ilmu silat yang tinggi. Karena ingin tahu maka aku menyuruh orang-orangku mencoba kalian. Tetapi ternyata mereka gagal dan aku merasa bersalah kepada ji-wi (anda berdua), maka aku mohon maaf. Sekarang, ada tamu yang agaknya hendak mengadu kepandaian silat denganku, tidak tahu apakah ji-wi ingin turut menonton adu pibu ataukah tidak?”

Han Tiong tadinya ingin minta diri saja, akan tetapi melihat wajah adiknya dia tahu betapa adiknya ingin sekali nonton pertandingan, dan dia sendiri pun diam-diam amat tertarik dan ingin menyaksikan sebenarnya sampai di mana kehebatan tuan rumah ini yang agaknya hendak melayani tamu yang berjuluk Kang-thouw-kwi itu. Maka dia pun mengangguk dan menjawab,

“Kalau kami tidak mengganggu, kami ingin melihat.”

“Bagus! Mari silakan ikut bersamaku!” pemuda itu berkata dengan sikap gembira karena betapa pun juga, dia ingin memamerkan kepandaiannya kepada dua orang tamu ini.

Han Tiong dan Thian Sin mengikuti tuan rumah meninggalkan pondok dalam taman, lalu memasuki gedung itu dari pintu belakang dan menuju ke sebuah ruangan yang amat luas, sebuah ruangan lian-bu-thia, yaitu ruang tempat berlatih silat yang mewah sekali, dengan hiasan dinding berbentuk lukisan binatang-binatang yang gagah seperti harimau, burung bangau, naga, dan lain-lain binatang yang dianggap mempunyai gerakan-gerakan gagah dan yang dijadikan dasar bermacam gerakan ilmu silat.

Di sudut ruangan yang luas itu terdapat beberapa rak tempat senjata yang penuh dengan belasan alat-alat berlatih dan olah raga seperti karung-karung pasir, batu-batu besar untuk diangkat, dan sebagainya. Di sebelah kiri, di dekat dinding, terdapat belasan bangku dan seorang kakek bangkit dari bangku yang didudukinya ketika melihat ketiga orang pemuda itu memasuki ruangan.

Han Tiong dan Thian Sin memandang penuh perhatian. Kakek itu usianya lebih dari enam puluh tahun, sebagian rambutnya telah putih, sinar matanya mengandung kecemasan dan kedukaan, pakaiannya sederhana dan pandang matanya ditujukan kepada Siangkoan Wi Hong setelah dengan sikap tak acuh dia melempar pandang kepada Han Tiong dan Thian Sin.

Dengan sikap tenang Siangkoan Wi Hong mempersilakan kedua orang tamunya duduk di atas bangku. Han Tiong dan Thian Sin lantas duduk dan hati mereka tertarik sekali untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.

Setelah berdiri berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik, akhirnya kakek itu berkata, “Maaf, apakah saya berhadapan dengan Siangkoan-kongcu?”

Yang ditanya hanya mengangguk, tetapi tangan kanannya mempersilakan tamunya untuk duduk. “Silakan duduk, Lo-enghiong.”

Kakek itu nampak tak sabar, akan tetapi melihat sikap pemuda itu yang amat tenang, dia pun duduklah sambil menarik napas panjang. Siangkoan Wi Hong sendiri pun lalu duduk menghadapi kakek itu.

“Apakah Lo-enghiong ini yang berjuluk Kang-thouw-kwi? Dan kepentingan apakah yang mendorong Lo-enghiong untuk datang berkunjung?”

Tiba-tiba sinar mata kakek itu menjadi keras dan suaranya pun penuh dengan nada marah ketika dia menjawab, “Saya datang untuk bicara tentang cucu saya Lee Si!”

Memang Siangkoan Wi Hong agaknya telah maklum, maka jawaban itu sama sekali tidak mengejutkannya. Sambil tersenyum ramah dia lalu berkata. “Tentang Lee Si? Ada apakah dengan dia, Lo-enghiong? Sudah lama saya tidak bertemu dengan dia. Baik-baik sajakah cucumu itu, Lo-enghiong?”

“Siangkoan-kongcu, harap kongcu tak berpura-pura lagi. Saya datang untuk mendapatkan pertanggungan jawab kongcu atas diri cucu saya itu.”

“Pertanggungan jawab yang bagaimanakah yang kau maksudkan, Lo-enghiong?”

Nampaknya kakek itu semakin tidak sabar. Dia mengepal tangan kanannya dan suaranya terdengar lantang. “Cucuku Lee Si itu baru berusia lima belas tahun, namun kongcu telah mencemarkan dia! Pertangungan jawab apa lagi kalau bukan minta agar kongcu bersedia mengawininya?”

Han Tiong dan Thian Sin terkejut, memandang dengan hati tegang. Tidak mereka sangka bahwa kakek ini datang untuk urusan begitu! Mereka memandang kepada Siangkoan Wi Hong dengan alis berkerut karena tidak mengira bahwa pemuda kaya itu dapat berbuat sejahat itu, mencemarkan gadis orang!

Akan tetapi Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar, sikapnya tenang-tenang saja. “Hemm, aku tidak pernah mencemarkan siapa pun…”

“Kongcu masih hendak menyangkal? Cucuku sudah mengaku dan harap kongcu bersikap sebagai sebagai laki-laki jantan untuk tidak menyangkal perbuatan kongcu sendiri!” Kakek itu membentak marah.

“Siapa yang menyangkal?” Dia lantas menoleh kepada dua orang pemuda yang menjadi tamunya. “Coba ji-wi dengarkan baik-baik. Aku mengenal sebagai dara manis bernama Lee Si, dan dia sendiri yang jatuh cinta padaku. Kami berdua, dengan suka sama suka, suka rela tanpa unsur paksaan dari fihak mana pun, telah memadu kasih. Ehh, sekarang tahu-tahu Lo-enghiong ini datang menuntut pertanggungan jawab! Pertanggungan jawab apa? Tidak ada janji antara Lee Si dan aku untuk menikah! Hubungan kami adalah suka rela dan suka sama suka, bukan aku yang memaksa dia…”

“Siangkoan-kongcu! Aku adalah seorang tua, tak perlu menggunakan kata-kata sangkalan yang tidak berujung pangkal! Jelas bahwa cucuku telah kau rusak, sekarang kami datang untuk minta pertanggungan jawab, agar engkau suka mengawini cucuku. Bukankah hal ini sudah wajar? Apakah engkau hendak menolak?” Kakek itu bangkit berdiri.

Melihat sikap kakek itu mulai kasar, Siangkoan Wi Hong mengerutkan kedua alisnya dan senyumnya lenyap. Dia juga bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu. “Kang-thouw-kwi, jangan kau bicara sembarangan! Aku, orang she Siangkoan adalah seorang lelaki yang berani mempertanggung jawabkan perbuatannya! Hubunganku dengan Lee Si adalah hubungan suka sama suka, tidak ada janji ikatan perjodohan. Dan tidak ada setan mana pun yang akan dapat memaksaku kawin dengan dia!”

“Siangkoan-kongcu! Berani engkau menghina orang tua seperti aku dan hendak menodai nama keluargaku?” Kakek itu membentak.

“Hemm, apakah karena engkau berjuluk Kang-thouw-kwi aku lalu harus takut dan tunduk kepadamu?”

“Siangkoan Wi Hong! Jangan menyangka bahwa aku tidak tahu siapa engkau! Engkau adalah putera Pak-san-kui Siangkoan Tiang locianpwe yang kuhormati. Sungguh tak tahu diri jika aku berani menentang putera beliau! Akan tetapi, engkau sebagai putera seorang locianpwe telah mempergunakan kekayaanmu, ketampananmu dan kepandaianmu untuk merayu cucuku yang masih terlalu muda sehingga dia terjatuh dan dapat kau cemarkan, kemudian sekarang engkau tidak mau bertanggung jawab! Hemm, orang muda. Aku tahu bahwa memang aku bukanlah lawan keluarga Siangkoan Tiang locianpwe, namun untuk membela kehormatan keluargaku, aku siap untuk mempertaruhkannya dengan nyawaku sekali pun! Apa bila engkau mau bertanggung jawab dan mengawini Lee Si, kami akan menganggapnya sebagai suatu kehormatan besar, akan tetap bila engkau tetap menolak, maka biarlah kutebus dengan nyawaku!”

Siangkoan Wi Hong tersenyum mengejek kemudian berkata, “Maksudmu, engkau hendak menantangku mengadakan pibu?”

“Hanya ada dua pilihan, engkau menerima permintaanku atau seorang di antara kita akan mencuci noda itu dengan darah.”

“Bagus sekali, memang aku pun ingin merasakan sampai bagaimana kerasnya kepala itu sehingga dijuluki Setan Kepala Baja!” Sesudah berkata demikian, sekali bergerak, tubuh pemuda itu sudah melayang ke tengah ruangan itu, lantas dia menggapai dengan sikap menantang sekali, “Mari, Kang-thouw-kwi!”

Kakek itu memandang dengan muka merah dan mata mendelik, lalu dengan langkah lebar dia pun menghampiri pemuda itu. Mereka berdiri berhadapan dan dengan sikap masih marah, sambil tersenyum pemuda itu berkata,

“Kang-thouw-kwi, kita akan bertanding sebagai dua orang sahabat atau sebagai musuh? Mengingat akan wajah Lee Si yang manis, tentu aku suka memaafkan kekasaranmu tadi dan biarlah kita mengadu ilmu sebagai sahabat.”

“Tidak! Aku tidak menganggapmu sebagai putera Pak-san-kui, melainkan sebagai seorang lelaki pengecut yang telah mencemarkan kehormatan keluarga kami dan sudah menodai cucuku. Engkau harus mampus di tanganku atau aku yang mati di tanganmu!”

Siangkoan Wi Hong mejebikan bibirnya. “Hemm, melihat usiamu, engkau tidak lama lagi hidup di dunia, akan tetapi agaknya engkau sudah bosan hidup. Nah, kalau engkau ingin mati, majulah!”

Kakek itu mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah menerjang dengan dahsyatnya, gerakannya mantap dan kuat sekali pada waktu tubuhnya menerjang maju, tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar disusul tangan kanan yang mencengkeram ke arah kepala lawan.

Gerakannya itu laksana gerakan seekor harimau buas yang mempergunakan kedua kaki depan untuk mencengkeram. Dari jari-jari kedua tangannya terdengar suara berkerotokan tulang-tulang yang sangat kuat! Akan tetapi, Siangkoan Wi Hong sudah dapat mengelak dengan gerakan lincah.

Sementara itu, ketika tadi mendengar disebutnya nama Pak-san-kui, dua orang pemuda itu terkejut tukan main dan saling pandang. Kini, rasa kagum dan suka di dalam hati Thian Sin mulai berubah menjadi rasa marah. Pamannya, atau ayah angkatnya, sudah bercerita tentang Pak-san-kui, bahkan Han Tiong sendiri bersama ibunya pernah menjadi tawanan Pak-san-kui, sungguh pun menjadi tawanan yang kemudian diperlakukan manis bagaikan tamu-tamu agung.

Pak-san-kui adalah datuk kaum sesat dari wilayah utara dan ternyata pemuda ini adalah putera datuk itu! Pantas saja demikian lihai dan juga kaya raya. Dan mendengar jawaban-jawaban pemuda itu terhadap Kang-thouw-kwi, juga mendengar betapa pemuda itu sudah mencemarkan gadis cucu kakek itu, maka Han Tiong mengerutkan alisnya dan diam-diam dia berfihak kepada Kang-thouw-kwi walau pun dia sendiri tidak pernah mengenalnya dan tidak tahu orang macam apa adanya kakek itu.

Ada pun Thian Sin kini diam-diam ingin sekali mencoba kepandaian Siangkoan Wi Hong yang dalam pandangannya kini nampak sebagai seorang pemuda yang sombong, angkuh dan memandang rendah kepada orang lain! Memang ada sifat-sifat yang mengagumkan hatinya terdapat pada diri pemuda itu, akan tetapi setelah dia mengetahui bahwa pemuda itu adalah putera Pak-san-kui yang pernah mengganggu ayah dan ibu angkatnya, timbul rasa tidak senang dan bermusuh di dalam hatinya terhadap Siangkoan Wi Hong.

“Heiiiiittttt…!”

Untuk ke sekian kalinya kakek itu menyerang dengan dahsyatnya. Dari gerakannya pada waktu menyerang, nampak jelas betapa benci dan marahnya kakek itu kepada Siangkoan Wi Hong, karena itu semua serangannya itu adalah serangan maut yang sangat dahsyat dan berbahaya.

Namun pemuda itu benar-benar memiliki kelincahan yang luar biasa dan dengan ginkang yang lebih sempurna, dia selalu berhasil mengelak serta menghindarkan diri dari setiap serangan, bahkan membalas pula dengan tamparan-tamparan yang tidak kalah hebatnya.

Akan tetapi, kalau pemuda itu lebih mengandalkan kelincahannya sehingga selalu dapat mengelak dari serangan lawan, sebaliknya Kang-thouw-kwi ini lebih mengandalkan pada kekebalan tubuhnya sehingga sungguh pun sudah tiga kali dia terkena tamparan tangan pemuda itu, namun dia hanya terhuyung saja dan tidak terluka.

“Hemmm, ternyata engkau masih dapat bertahan juga?” kata Siangkoan Wi Hong setelah pertandingan itu berlangsung selama lima puluh jurus dan melihat betapa kakek itu tidak roboh oleh tiga kali pukulannya.

Kini dia mengubah gerakan silatnya dan ternyata dia mempergunakan gerakan meliuk-liuk seperti seekor ular. Kedua lengannya itu seperti kepala ular yang mematuk-matuk dan kini setiap patukan itu ditujukan kepada jalan darah maut dari tubuh lawan.

Menghadapi serangan ini yang agaknya merupakan sebuah di antara ilmu-ilmu simpanan pemuda itu, Kang-thouw-kwi mulai terdesak hebat dan beberapa kali dia harus terhuyung setelah terkena totokan-totokan yang sebenarnya merupakan totokan-totokan maut, akan tetapi agaknya kekebalan tubuh kakek itu yang membuat dia hanya terhuyung saja.

Marahlah Kang-thouw-kwi. Memang dia sudah tak mempedulikan keselamatan nyawanya lagi. Maka dia lalu mengeluarkan teriakan panjang dan tiba-tiba dia meloncat ke belakang, kemudian, bagai seekor kerbau yang marah, dia lari ke depan dengan kepala menunduk, seperti seekor kerbau merendahkan diri dan hendak menerjang fihak lawan menggunakan kepalanya untuk menyeruduk!

Melihat ini, Siangkoan Wi Hong tersenyum dan pemuda ini segera berdiri tegak, sengaja memasang perutnya untuk diseruduk sambil bertolak pinggang dengan sikap yang angkuh sekali.

Dua orang pemuda Lembah Naga memandang dengan mata terbelalak. Dari Cia Sin Liong mereka pernah mendengar akan adanya ilmu serangan menggunakan kepala ini. Kepala yang terlatih baik dapat menyeruduk tembok sampai jebol dan kalau kepala yang terlatih dan sudah kebal itu menyerang lawan, maka akibatnya amat berbahaya, tulang-tulang iga akan patah-patah dan setidaknya isi perut akan terguncang dan terluka parah!

Akan tetapi pemuda itu bukannya siap menyingkir atau pun menangkis, sebaliknya malah memasang perutnya, sengaja membiarkan perutnya untuk diseruduk! Maka mereka dapat menduga bahwa pemuda itu pun memiliki sinkang yang sangat kuat dan dengan tenaga sinkang yang memenuhi perutnya, memang dapat juga dia menerima serudukan itu tanpa terluka karena perutnya terlindung oleh hawa yang padat dan kuat, dan paling hebat dia akan terdorong saja tanpa mengalami luka. Akan tetapi kalau tenaga sinkang-nya itu tidak jauh lebih kuat dari pada tenaga dorongan kepala lawan, maka banyak bahayanya dia akan menderita luka guncangan di dalam perutnya.

Kang-thouw-kwi yang merundukkan kepalanya itu, dengan kerling mata ke depan dia pun melihat posisi lawan, maka dia merasa dipandang rendah dan kemarahannya memuncak. Dia mengerahkan sepenuh tenaganya karena dia mengandalkan kalah menangnya dalam serangan terakhir ini. Larinya semakin kencang dan sesudah jarak antara dia dan lawan tinggal dua meter lagi, tubuhnya lantas meloncat dan meluncur ke depan, kepalanya lebih dulu mengarah perut lawan yang sengaja dikembungkan itu.

Akan tetapi begitu kepala itu menyentuh perut, tiba-tiba saja perut yang dikembungkan itu tiba-tiba membalik menjadi dikempiskan dan dari dalam perut itu timbul daya sedot yang amat kuat sehingga kepala itu tersedot masuk ke dalam rongga perut sampai ke bawah hidung! Dan kedua jari tangan Siangkoan Wi Hong telah bergerak dengan kecepatan kilat menotok ke arah kedua pundak lawan yang tiba-tiba menjadi lumpuh tergantung lemas!

Bukan main kagumnya hati Kang-thouw-kwi. Dia merasa betapa kepalanya seakan-akan memasuki sebuah perapian yang panas sekali. Dia pun maklum akan kelihaian pemuda ini, maka dia segera mengerahkan sinkang di tubuhnya untuk menahan karena dia tidak dapat meronta lagi untuk melepaskan diri, apa lagi sesudah sepasang lengannya lumpuh tertotok itu.

Akan tetapi, bagaimana pun dia menahannya, tetap saja dia merasa kepalanya bagaikan direbus dan perlahan-lahan, seluruh tubuhnya mulai menggigil. Dia maklum bahwa sekali dia kehilangan kesadaran, maka dia akan tewas!

Han Tiong dan Thian Sin yang melihat peristiwa ini, diam-diam terkejut bukan main dan mereka itu kagum akan kelihaian Siangkoan Wi Hong. Tahulah mereka bahwa kini nyawa kakek itu berada dalam bahaya, apa lagi ketika melihat betapa pemuda itu dengan berdiri dan bertolak pinggang masih terus mengerahkan sinkang untuk membunuh kakek itu, ada pun tubuh kakek itu mulai menggigil, kedua lengannya lumpuh seperti seekor cecak yang kepalanya terjepit pintu, hanya kedua kaki saja yang meronta sedikit.

Thian Sin tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dengan sikap tenang dia lalu bangkit dari bangkunya dan menghampiri ke tengah ruangan itu. Siangkoan Wi Hong memandang kepadanya, agaknya merasa heran dan tidak dapat menduga apa yang hendak dilakukan oleh pemuda pelajar yang lemah namun pemberani itu.

“Kakek bodoh, kalau kepandaianmu hanya sebegini, bagaimana kau berani bermain gila di depan putera Pak-san-kui?” Thian Sin berkata lirih sambil menggunakan tangan kirinya menepuk pinggul kakek itu yang menonjol.

“Plakk-plakk-plakk!”

Tiga kali dia menepuk dan akibatnya hebat bukan main. Mula-mula wajah Siangkoan Wi Hong berubah pucat, kemudian pada tepukan ke tiga, pemuda itu meloncat ke belakang sambil melepaskan kepala kakek itu dari jepitan perutnya. Kini dia berdiri sambil menarik napas panjang untuk melindungi perutnya yang barusan tergetar hebat, matanya menatap wajah Thian Sin.

Ia tadi merasa betapa ada tenaga yang amat dingin menyerbu ke dalam perutnya melalui kepala kakek itu, yang membuat seluruh isi perutnya terasa amat dingin sampai menusuk jantung. Maka dia kaget sekali sehingga terpaksa melepaskan korbannya. Begitu terlepas kakek itu lalu terguling, namun sekali Thian Sin menyambar pundaknya dan menariknya bangun, ternyata dia telah terbebas dari totokan!

Melihat keadaan yang gawat ini, Han Tiong segera menghampiri adiknya dan dia sudah menjura dengan sikap hormat sekali kepada Siangkoan Wi Hong.

“Ah, Saudara Siangkoan, adikku telah berlaku lancang, harap kau sudi memaafkan kami dan suka menghabiskan urusan dengan orang tua ini sampai di sini saja.”

Siangkoan Wi Hong masih terkejut sekali dan dia telah melupakan kakek itu, kini seluruh perhatiannya tercurah kepada dua orang tamunya yang benar-benar mengejutkan hatinya ini. Mendengar ucapan Han Tiong, dia hanya berkata, “Bukan aku yang mencari perkara, melainkan dia.”

Han Tiong lalu menghadapi kakek itu dan berkata, “Lo-enghiong, berlaku nekat bukanlah sikap yang bijaksana dan gagah. Membuang nyawa secara sia-sia bukan merupakan obat untuk menyembuhkan penyakit dalam keluargamu.”

Sekarang kakek itu sudah terbuka matanya, sudah tahu bahwa dua orang muda itu telah menyelamatkan nyawanya dan bahwa mereka itu lihai bukan kepalang. Tepukan-tepukan di pinggulnya tadi mendatangkan hawa dingin luar biasa yang meluncur melalui tubuhnya kemudian sampai di kepalanya hingga membuat perut yang menjepit kepalanya terpaksa melepaskannya. Dia tahu berhadapan dengan orang-orang pandai, maka dia pun menarik napas panjang dan menjura kepada Thian Sin dan Han Tiong.

“Aku tua bangka yang tidak ada gunanya memang seharusnya lebih keras mendidik cucu, salah kami sendiri dan terima kasih atas pertolongan ji-wi taihiap.” Maka dia pun pergi dari tempat itu tanpa berpamit lagi kepada Siangkoan Wi Hong yang memandang tidak peduli karena kini dia terus memandang kepada dua orang muda itu. Sesudah kakek itu pergi, barulah dia berkata sambil memandang kepada dua orang muda itu berganti-ganti.

“Hemm, kiranya dugaan dan kecurigaanku ternyata benar! Kalian adalah dua orang pandai yang menyembunyikan kepandaian dan berpura-pura lemah dan bodoh.” Dia pun menatap tajam kepada Han Tiong, kemudian berkata. “Dan bukankah Saudara Cia Han Tiong ini benar-benar putera Pendekar Lembah Naga yang pernah menjadi tamu ayah beberapa tahun yang lalu?”

Han Tiong tahu bahwa kini sudah tidak mungkin lagi baginya untuk menyembunyikan diri. Maka dengan tenang dia pun berkata, “Dugaanmu memang benar, sobat. Aku sekeluarga pernah menerima penghormatan dari Pak-san-kui, ayahmu.”

“Dan aku adalah Ceng Thian Sin!” Thian Sin menyambung cepat.

“She Ceng…?” Siangkoan Wi Hong terkejut memandang pemuda tampan yang pandai pula bersajak dan bernyanyi itu.

“Benar!”

“Kalau begitu… mendiang Ceng Han Houw…”

“Dia adalah ayahku!”

“Ah, jadi engkau inilah puteranya yang dikabarkan terlepas dari pembasmian dan berhasil menghilang itu? Sungguh tidak kusangka akan dapat bertemu dengan dua orang seperti kalian!” Siangkoan Wi Hong nampak gembira bukan main, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.

Diam-diam Han Tiong terkejut mendengar pengakuan Thian Sin. Adiknya itu benar-benar lancang sekali mengenalkan diri. Mereka masih berada di kota raja dan memperkenalkan diri sebagai putera Ceng Han Houw yang dimusuhi oleh pemerintah itu sungguh sangat berbahaya. Maka dia cepat menjura ke arah Siangkoan Wi Hong.

“Saudara Siangkoan, kami berterima kasih atas semua kebaikanmu kepada kami. Nah, perkenankan kami untuk melanjutkan perjalanan.”

Akan tetapi, pemuda hartawan itu cepat mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata dengan cepat, “Nanti dulu, tahan dulu, sahabat-sahabatku yang baik! Setelah mengetahui siapa kalian, dua orang muda yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, tidak mungkin aku membiarkan kalian pergi begitu saja tanpa lebih dulu berkenalan dengan ilmu silat kalian. Kesempatan baik ini tak boleh kulepaskan begitu saja! Kalian harus lebih dulu menandingi aku dalam pibu, baru kulepaskan kalian pergi!”

“Akan tetapi, kami bukanlah musuh-musuhmu!” Han Tiong membantah dan menolak.

Siangkoan Wi Hong tertawa gembira. “Ha-ha-ha! Sahabat atau musuh bagiku sama saja, asalkan orangnya lihai. Tidak seperti kakek kerbau tadi yang menjemukan! Bagiku punya teman lihai atau musuh lihai, itulah yang amat menyenangkan. Sekarang putera Pendekar Lembah Naga dan putera Pangeran Ceng Han Houw, dua-duanya merupakan pendekar-pendekar sakti yang dahulu namanya pernah menggemparkan dunia, telah berada di sini berhadapan dengan aku, maka bagaimana pun juga kalian harus menandingi aku dalam adu ilmu silat!” Setelah berkata demikian dan sebelum dua orang pemuda itu menjawab, Siangkoan Wi Hong bertepuk tangan tiga kali.

Dari pintu belakang lalu bermunculan enam orang. Mereka ini bukan lain adalah pemuda tinggi besar dan lima orang temannya yang pernah mengganggu dua orang pemuda itu di pasar. Si tinggi besar itu memandang kepada dua orang pemuda Lembah Naga dengan senyum mengejek dan mereka semua menanti perintah dari tuan muda mereka.

“Kia Tong, sekarang engkau dan kawan-kawanmu boleh mencoba mereka ini. Hati-hati, mereka berdua bukanlah orang-orang lemah seperti yang kalian kira,” kata Siangkoan Wi Hong dengan senyum gembira.

“Tetapi, kongcu, perlukah kami berenam yang maju? Biarkan saya sendiri menghajar dua cacing buku ini!” kata Si Tinggi Besar yang dipanggil Kia Tong itu.

Sepasang mata Siangkoan Wi Hong yang biasanya lembut dan ramah itu tiba-tiba saja mendelik dan suaranya terdengar ketus, “Tolol! Kalian maju berenam pun jangan harap akan menang!” Terkejutlah Kia Tong dan dia tidak berani membantah pula, lalu memberi isyarat kepada lima orang temannya untuk maju kersama.

Sementara itu, Thian Sin sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. “Tiong-ko, sekali ini kita tidak bisa membiarkan tikus-tikus ini berlagak. Biarkan aku menghajar mereka!”

Han Tiong juga maklum bahwa sekarang tak mungkin lagi mereka menyingkirkan diri dan menghindarkan perkelahian, maka dia pun mengangguk, akan tetapi lalu berkata dengan suara penuh peringatan, “Ingat, jangan kau membunuh orang, Sin-te!”

Giranglah hati Thian Sin memperoleh perkenan kakaknya ini. Dia lalu melangkah maju ke tengah ruangan yang luas itu. Dengan anggukan kepalanya, Siangkoan Wi Hong lantas memberi isyarat kepada enam orang itu yang segera maju mengepung Thian Sin.

Si Tinggi Besar masih bersikap sombong, karena betapa pun juga, dia masih memandang rendah kepada pemuda yang kelihatan lemah dan yang pernah melarikan diri tunggang-langgang ketika dia mengganggunya di pasar itu.

Melihat betapa enam orang itu hanya mengepungnya, Thian Sin membentak, “Tikus-tikus busuk, majulah kalau kalian memang berani!”

Si Tinggi Besar menjadi marah. “Serbu…!” dia memberi aba-aba.

Lima orang pembantunya serentak maju menyerang Thian Sin dari lima jurusan. Mereka berlima ini merupakan pembantu-pembantu utama Siangkoan Wi Hong, maka tentu saja kepandaian mereka sudah cukup tangguh, lebih tinggi dibandingkan dengan para tukang pukul biasa saja. Maka kini serangan mereka pun merupakan serangan gaya silat yang cukup kuat dan cepat, bukan sekedar mengandalkan tenaga kasar belaka.

Thian Sin teringat akan pesan kakaknya, maka dia pun menahan kemarahannya dan tak ingin menurunkan tangan maut. Akan tetapi, teringat betapa dia dan kakaknya dihina di pasar, betapa buah-buah yang dibelinya jatuh berhamburan di atas tanah, betapa dia dan kakaknya ditertawakan dan diejek, maka kini dia menggerakkan tangan menangkis setiap pukulan sambil mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang!

“Krekk!”

Terdengar bunyi nyaring setiap kali dia menangkis, dan lima kali dia menangkis pukulan lima orang itu. Akibatnya, lima orang itu terpelanting roboh dan ketika mereka merangkak bangun, mereka mengaduh-aduh sambil memegangi lengan mereka yang tadi tertangkis karena lengan mereka itu ternyata telah patah tulangnya dan tentu saja mereka tak dapat menyerang lagi.

Rasa nyeri membuat mereka meringis dan melangkah mundur sambil memandang pada pemuda itu dengan kedua mata terbelalak. Juga Siangkoan Wi Hong terkejut bukan main. Dia memang sudah dapat menduga akan kelihaian Thian Sin putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw itu, akan tetapi tidak disangkanya bahwa pemuda yang halus itu ternyata demikian tangkas, kuat dan ganas, bertangan besi, dan sekali tangkis telah mematahkan lengan lima orang penyerangnya!

Tahulah dia bahwa orang-orangnya itu sama sekali bukan merupakan tandingan pemuda ini akan tetapi untuk mencegahnya dia sudah terlambat, karena kini Si Tinggi Besar telah menyambar sebatang golok besar dari rak senjata dan dengan marah dia telah menerjang dengan goloknya ke arah Thian Sin.

Apa bila dia mau, tentu saja Siangkoan Wi Hong dapat dan masih ada kesempatan untuk mencegah pembantunya ini. Akan tetapi dia memang ingin melihat bagaimana Thian Sin akan menghadapi serangan golok dari pembantunya yang cukup lihai ini.

Thian Sin tetap tidak bergerak dari tempatnya. Dia menunggu sampai bacokan golok itu menyambar dekat dengan kepalanya, lantas tiba-tiba tangan kirinya bergerak menangkis golok besar itu dengan jari-jari tangannya dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang.

“Krokkk!”

Golok itu patah menjadi dua potong dan secepat kilat tangan Thian Sin bergerak dua kali disusul gerakan kaki dua kali dan… tubuh Si Tinggi Besar itu terlempar, terjengkang dan terbanting ke belakang, goloknya terlepas jauh. Dia tidak dapat merangkak bangkit seperti teman-temannya tadi karena jika teman-temannya itu hanya menderita patah tulang pada sebelah lengan saja, dia sendiri menderita patah tulang kedua lengan dan kedua kakinya! Dengan sebelah tangan saja, terpaksa teman-temannya membantu dan menggotongnya keluar dari tempat itu!

Siangkoan Wi Hong menjadi semakin kagum akan tetapi juga terkejut. Pemuda putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw itu benar-benar hebat dan bertangan maut, pikirnya. Dia lantas teringat akan cerita tentang mendiang pangeran yang pernah menjagoi di dunia kang-ouw itu maka diam-diam dia pun bersikap waspada karena maklum bahwa pemuda itu benar-benar tidak boleh dipandang ringan.

Akan tetapi dengan wajah penuh senyum ramah dia melangkah maju menghadapi Thian Sin sambil menjura, “Ahh, kiranya ilmu kepandaian Saudara Ceng amat hebat dan tinggi! Sungguh aku seperti katak dalam tempurung, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata!”

Akan tetapi Han Tiong telah menjura kepadanya, “Saudara Siangkoan, harap engkau suka memaafkan adikku, dan perkenankanlah kami pergi dari sini dan tidak merusak suasana persahabatan antara kita.”

Siangkoan Wi Hong menoleh kepada Han Tiong. Dia memang seorang pemuda yang sangat cerdik. Dia sudah mendengar akan hubungan antara Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong dengan mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran itu merupakan kakak angkat dari Cia Sin Liong, dan juga ada hubungan darah antara isteri pangeran itu dengan Pendekar Lembah Naga, yaitu saudara misan, keduanya adalah cucu-cucu dari pendiri Cin-ling-pai. Maka diam-diam dia pun melakukan pilihan.

Menurut riwayat sang pangeran, maka keturunannya ini lebih condong untuk menjadi satu golongan dengan dirinya, sedangkan pemuda she Cia itu tentu saja merupakan ahli waris Cin-ling-pai sehingga akan tetap menjadi musuh golongannya. Maka, sebisa mungkin dia harus menjadikan Ceng Thian Sin ini sebagai sebagai sahabat, sedangkan Cia Han Tiong harus dimusuhinya!

“Ah, Saudara Cia Han Tiong. Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak peduli apakah kalian menjadi kawan atau lawan, bagiku sama saja asalkan kawan atau lawan itu lihai, semua menyenangkan hatiku. Keturunan mendiang Pangeran Ceng Han Houw sudah jelas amat hebat kepandaiannya dan membuat hatiku kagum sekali, tapi tidak tahu sampai di mana kelihaian keturunan dari ketua Cin-ling-pai. Apakah lebih hebat dibandingkan kepandaian keturunan Pangeran Ceng? Kiranya begitulah. Oleh karena itu aku ingin sekali mencoba kepandaianmu. Mari, majulah!” Terang bahwa pemuda hartawan itu sekarang menujukan tantangan kepada Cia Han Tiong.

Akan tetapi pancingan dan tantangannya itu tidak mengenai sasaran. Han Tiong langsung menggelengkan kepalanya dan berkata, “Aku datang ini bukan untuk berkelahi, melainkan memenuhi undanganmu, sebagai kenalan.”

“Hemm, apakah engkau takut, Saudara Cia?”

“Terserah penilaianmu,” jawab Han Tiong tenang.

Akan tetapi, Thian Sin sudah mengerutkan alisnya dan wajahnya menjadi merah. “Siapa bilang kami takut padamu?” bentaknya. “Tiong-ko, biarlah aku melawan si sombong ini!”

Thian Sin tak memberi kesempatan kepada kakaknya untuk menjawab dan dia langsung maju menghadapi Siangkoan Wi Hong sambil membentak, “Tak perlu kakakku yang turun tangan, aku pun sudah cukup untuk menandingimu!”

Biar pun hatinya sangat menyesal mengapa pemuda keturunan ketua Cin-ling-pai itu tidak melayaninya dan kini bahkan putera pangeran itu yang maju, akan tetapi Siangkoan Wi Hong tidak menolak. Betapa pun juga dia harus menunjukkan kelihaiannya dan karena selama ini dia belum pernah kalah oleh siapa pun juga, timbul semacam kesombongan di dalam hatinya serta kepercayaan diri yang berlebihan sehingga dia memandang ringan terhadap semua orang.

“Baik sekali, biariah kita bermain-main sebentar, Saudara Ceng!” Baru saja kata-katanya terhenti, tangannya telah melakukan serangan. Dengan tangan terkepal, tangan itu cepat menyambar dari pinggang kanannya, dengan kepalan terputar amat kuatnya menyambar ke arah pusar Thian Sin!

Pemuda ini tahu akan bahayanya pukulan seperti itu. Kepalan terputar itu lajunya seperti peluru baja saja dan dapat minimbulkan luka-luka hebat di dalam rongga perut, maka dia pun cepat menggerakkan lengan kirinya menangkis sambil mengerahkan tenaga, ada pun tangan kanannya dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah dada lawan.

“Dukkk!”

Tangkisan Thian Sin itu bertemu dengan lengan Siangkoan Wi Hong, membuat mereka berdua tergetar. Pemuda hartawan itu juga menggunakan lengan kirinya untuk menangkis hantaman tangan kiri dengan jari-jari terbuka yang sangat kuat, dan yang akan mampu mematahkan tulang-tulang dadanya itu.

“Dukkk!”

Kembali kedua lengan mereka bertemu dan keduanya tergetar hebat. Hal ini mengejutkan Siangkoan Wi Hong karena dari pertemuan lengan dua kali ini saja maklumlah dia bahwa Thian Sin memiliki tenaga sinkang yang amat kuat! Maka, mengingat betapa pemuda ini tadi telah merobohkan semua pembantunya, dan melihat kenyataan akan kuatnya tenaga sinkang-nya, Siangkoan Wi Hong tidak berani memandang rendah lagi.

Senyumnya menghilang dari wajahnya yang tampan dan mulailah dia menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga serta kepandaiannya. Kedua tangannya mengeluarkan hawa pukulan dahsyat ketika dia menghujankan serangan kepada Thian Sin.

Namun Thian Sin sudah siap menghadapinya. Pemuda Lembah Naga ini pun sudah tahu bahwa putera Pak-san-kui ini merupakan seorang lawan yang tangguh, karena itu dia pun segera menggerakkan tubuhnya untuk mengelak, menangkis dan juga membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah dahsyatnya.

Maka terjadilah serang menyerang, saling pukul, elak dan tangkis bertubi-tubi. Berkali-kali kedua lengan mereka saling bertemu, makin lama semakin kuat sehingga pertemuan itu seperti menggetarkan seluruh ruangan dan kadang-kadang jika pertemuan antara kedua lengan itu sangat kuatnya, tubuh mereka tidak hanya tergetar, bahkan terdorong mundur. Pertandingan itu makin lama makin seru dan agaknya mereka itu seimbang, baik dalam hal kecepatan mau pun tenaga.

Setelah lewat lima puluh jurus dan belum juga mampu mendesak lawannya sama sekali, Siangkoan Wi Hong baru betul-betul terkejut karena tahulah dia bahwa kepandaian Thian Sin ternyata tak kalah olehnya! Dia kemudian mengeluarkan suara melengking tinggi dan menyerang lawan dari atas, dengan kedua lengan bergerak-gerak, kedua telapak tangan membentuk cakar seperti seekor burung garuda yang menyambar-nyambar dari atas.

“Brettt-brettt…!”

Thian Sin meloncat ke belakang dengan kaget. Serangan lawan yang sangat cepat dan aneh itu biar pun telah dielakkan dan ditangkisnya, tetap saja masih mengenai pundaknya hingga membuat bajunya terobek di bagian kedua pundaknya! Dia terkejut sekali sungguh pun kulit dagingnya dilindungi kekebalan Thian-te Sin-ciang dan tidak terluka.

Memang gerakan lawan itu amat aneh dan tidak mudah menghadapi seorang lawan yang menyerang dari atas semacam itu. Ilmu silatnya dilatih untuk menghadapi lawan seorang manusia, yaitu yang bergerak di sekeliling dirinya, bukannya menghadapi manusia burung yang datang dari atas.

Setelah berhasil merobek baju pada kedua pundak lawan, timbul kembali kesombongan Siangkoan Wi Hong dan dia pun tertawa dengan gembira. Hal ini membuat wajah Thian Sin menjadi merah dan dia sudah menjadi marah sekali.

“Wuuutt… wuuuttt…!”

Angin menyambar-nyambar hebat saat dia menggunakan pukulan dan tamparan Thian-te Sin-ciang yang sangat hebat. Siangkoan Wi Hong terkejut bukan kepalang karena hawa pukulan itu saja sudah terasa olehnya dan dia cepat berloncatan mundur.

“Sin-te, jangan…!” Han Tiong memperingatkan.

Thian Sin lalu sadar bahwa kalau dia mendesak lawan dengan pukulan-pukulan sakti itu, memang kalau sampai lawannya terkena mungkin saja dia akan melakukan pembunuhan. Maka dia pun cepat mengubah gerakannya dan sekarang dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun.

Dengan ilmu silat yang amat tangguh di bagian pertahanan ini, dia mampu membendung semua serangan lawan yang menggunakan ilmu silat seperti burung garuda beterbangan itu, mampu mengelak, menangkis dan juga membalas serangan. Betapa pun juga, tetap saja dia berada di fihak yang diserang dan didesak, kira-kira dalam perbandingan satu kali menyerang tiga kali diserang! Hal ini membuat Thian Sin merasa penasaran sekali.

Memang hebat sekali ilmu silat lawannya itu. Memang ilmu yang dimainkan Siangkoan Wi Hong itu adalah ilmu silat keluarganya yang amat diandalkan dan hanya dikeluarkan kalau menghadapi lawan tangguh. Ilmu silat itu diberi nama Go-bi Sin-eng-jiauw (Cakar Garuda Go-bi) yang bersumber pada ilmu silat Go-bi-pai. Akan tetapi oleh Pak-san-kui dasar ilmu silat Go-bi-pai itu telah diubah dan juga ditambah sedemikian rupa, dicampur dengan ilmu Eng-jiauw-kang yang berasal dari daerah Korea hingga kemudian terciptalah ilmu Go-bi Sin-eng-jiauw yang amat ampuh itu.

Selain gerakan-gerakan dalam ilmu silat ini aneh, tubuh berloncatan seperti garuda yang beterbangan menyambar-nyambar lawan, juga jari-jari tangan yang membentuk cakar itu seolah-olah berubah menjadi cakar baja yang sangat kuat, dapat dipakai untuk menahan senjata tajam dan memiliki kekebalan seperti ilmu Thian-te Sin-ciang!

Sudah seratus jurus mereka bertanding dan Thian Sin masih terus terdesak, bahkan telah beberapa kali tubuhnya kena cakaran yang untung tidak sampai terluka, hanya bajunya saja yang robek karena kulit tubuhnya telah terlindung oleh sinkang-nya. Hal ini membuat Siangkoan Wi Hong tertawa-tawa dan membuat Thian Sin makin penasaran.

Pada waktu dia melihat tangan kiri lawan yang berbentuk cakar itu menyerang ke arah mukanya, dia cepat-cepat menangkis, akan tetapi cakaran tangan kanan lawan ke arah dadanya sama sekali tidak ditangkis atau dielakkannya.

“Plakk!” Cakar tangan kanan Siangkoan Wi Hong mengenai dada Thian Sin.

“Ahhhhhh…!” Siangkoan Wi Hong berteriak kaget, matanya terbelalak ketika dia merasa betapa tangan kanannya itu melekat pada dada lawan dan tenaga sinkang-nya membanjir keluar melalui telapak tangannya yang tersedot oleh dada lawan.

Dalam kagetnya itu, pemuda ini mengerahkan sinkang untuk menarik kembali tangannya. Akan tetapi makin hebat dia mengerahkan tenaga, makin hebat pula tenaga sinkang-nya tersedot keluar.

“Thi-khi I-beng…!” teriaknya kaget dan mukanya menjadi pucat.

Dia telah mendengar dari ayahnya akan ilmu yang istimewa ini. Akan tetapi sebelum dia sempat melakukan sesuatu, tangan kiri Thian Sin telah menyambar kemudian menampar punggungnya.

“Bukkk!”

Tubuh Siangkoan Wi Hong terpelanting dan dia pun roboh, lalu muntahkan darah segar. Hantaman dengan tenaga Thian-te Sin-ciang di punggungnya itu walau pun tidak melukai punggung yang terlindung kekebalan, akan tetapi telah mengguncangkan isi dadanya dan membuat dia terluka di sebelah dalam, tidak terlampau parah namun cukup membuat dia muntah darah dan tidak mungkin melanjutkan pertandingan.

Melihat ini, Han Tiong cepat-cepat meloncat menghampiri dan dengan ilmu It-sin-ci, yaitu totokan dengan satu jari telunjuk tangan kanannya, dia menotok tiga tempat, di sepanjang tulang punggung Siangkoan Wi Hong untuk menyembuhkan orang itu, sambil menariknya bangun, lalu dia menjura dengan hormat.

“Harap Saudara Siangkoan sudi memaafkan kami berdua,” katanya.

Dia memberi isyarat kepada adiknya kemudian mereka berdua meninggalkan ruangan itu, terus keluar dari dalam rumah dan bergegas meninggalkan kota raja yang oleh Han Tiong dianggap sebagai tempat berbahaya itu.

Siangkoan Wi Hong masih terlampau kaget dan merasa terpukul kehormatannya karena dia sudah dikalahkan, karena itu dia pun hanya menarik napas panjang berulang-ulang. Dia tahu dari totokan-totokan tadi bahwa kepandaian Cia Han Tiong kiranya bahkan lebih lihai dari pada kepandaian Thian Sin yang telah mengalahkannya.

Timbul rasa penasaran dan dia ingin memperdalam ilmunya kepada ayahnya dan dia pun merasa kecewa, mengapa tadi dia tidak menggunakan yang-kim untuk melawan pemuda Lembah Naga itu. Dia telah menderita kerugian sebagai akibat memandang rendah lawan. Akan tetapi menyesal pun tak ada gunanya. Dua orang pemuda itu telah pergi dan dalam keadaan terluka itu tak mungkin dia akan dapat melawan lagi.

Dengan hati penuh rasa penasaran dan penyesalan, maka pada hari itu juga Siangkoan Wi Hong meninggalkan kota raja dan kembali ke Tai-goan, ke tempat tinggal Pak-san-kui Siangkoan Tiang, ayahnya yang hidup sebagai datuk kaya raya.

********************

Han Tiong dan Thian Sin yang baru saja meninggalkan kota raja, sekarang merasa amat gembira dan takjub menikmati pemandangan alam yang begitu indahnya di Pegunungan Cin-ling-san. Setelah berhari-hari mereka tinggal di kota raja yang demikian sesak dengan manusia, yang demikian bising dan di mana mereka menemukan masalah-masalah yang tidak enak sekali, sekarang tempat yang berhawa sejuk dan segar, bersih dan hening itu nampak teramat indah dan menyenangkan!

Memang sesungguhnyalah, kita harus mengakui adanya kenyataan betapa ulah manusia, yaitu diri sendiri, sudah membuat dunia ini menjadi suatu tempat tinggal yang kotor dan tidak enak ditinggali. Alam yang begitu sejuk, segar dan bersih seperti yang terdapat di pegunungan atau di dusun-dusun sunyi, langsung berubah menjadi panas, pengap dan kotor setelah penuh oleh manusia.

Banyak memang terdapat makhluk hidup di dunia ini, namun, betapa pun nyaring suara makhluk-makhluk itu, tidak ada yang seperti suara manusia ketika mereka saling bicara. Suara manusia pada umumnya sudah dipenuhi dengan nafsu, penuh dengan keinginan mengejar senang, penuh dengan kedukaan, penuh dengan kemarahan, kebencian! Kalau kita memasuki sebuah pasar yang penuh manusia, mendengarkan suara, manusia dalam pasar itu, lalu membandingkannya dengan suara burung-burung dan binatang-binatang di dalam hutan, akan nampak perbedaan yang teramat besar.

Kita tidak pernah dapat menikmati hidup, tidak pernah dapat menikmati sebuah tempat. Yang tinggal di kota ingin lari ke gunung, lari dari kebisingan dan menganggap bahwa keheningan akan lebih menyenangkan. Sebaliknya, kalau dia sudah tinggal di gunung, dia pun masih akan menderita karena merasa kesepian dan ingin kembali ke kota! Jarang terdapat orang yang benar-benar dapat menikmati keindahan alam, dan kalau pun ada, hanya dapat dihitung dengan jari saja agaknya!

Kita baru dapat menikmati keindahan alam apa bila kita tidak membanding-bandingkan, apa bila pikiran kita kosong, tidak dipenuhi kesibukan, apa bila di dalam pikiran kita tidak terdapat gambaran tentang si aku dan tentang apa yang kusenangi dan tidak kusenangi. Keindahan dan kebahagiaan bukan berada di luar diri kita, keindahan dan kebahagiaan hanya terdapat di dalam jiwa yang bebas, bebas dari ikatan suka dan tidak suka yang menjadi permainan pikiran, yaitu pencipta si aku.

********************

Senja itu memang indah bukan kepalang! Han Tiong dan Thian Sin yang kebetulan datang dari arah timur bisa sepenuhnya menikmati keindahan senja itu. Kata-kata tidaklah cukup untuk menggambarkan keindahan pada saat itu, keindahan senja tak dapat digambarkan, hanya dapat dirasakan. Seolah-olah terbuka pintu sorga dalam dongeng-dongeng nun jauh di langit barat.

Langit yang pada kakinya seperti terjadi kebakaran, memerah jingga di lereng belakang bukit. Makin tinggi makin muda warna merah itu sampai menjadi warna setengah merah setengah kuning, dengan dilatar belakangi warna kebiruan, biru yang mengandung sedikit kehijauan, maka terjadilah percampuran warna antara merah, kuning dan biru, tiga warna pokok yang dapat membentuk segala macam warna yang sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata.

Di antara langit yang dicoreng-moreng bermacam warna itu, di antara awan-awan yang menghitam kelabu dan yang membentuk bermacam corak dan bentuk yang melampaui segala yang dapat dikhayalkan otak, nampak sinar-sinar kuning emas dari matahari senja yang sudah mulai bersembunyi di balik puncak Gunung Cin-ling-san.

Makin jauh matahari tenggelam, makin remang-remang cuaca dan keremangan itu seperti mendatangkan suatu keheningan yang baru, keheningan yang ajaib menyelimuti seluruh permukaan bumi. Pohon-pohon mulai menyembunyikan diri, menarik diri dari penonjolan di waktu siang, membuat persiapan untuk tenggelam dalam kegelapan yang segera akan tiba.

Sebatang pohon yang-liu yang tinggi nampak di kejauhan, terpencil sehingga merupakan sesuatu yang hitam menentang keindahan berwarna-warni itu, dengan cabang-cabangnya yang melengkung indah dan halus, seakan-akan menunduk serta menghormati suasana yang hening, sedikit pun tidak bergerak, tidak seperti pada saat-saat lain di mana pohon yang-liu itu merupakan pohon yang paling luwes menari-nari lemah gemulai tertiup angin berdesir.

Beberapa burung yang merupakan kelompok terbang mendatang dari selatan, seolah-olah merupakan seekor makhluk besar yang bergerak sambil mengeluarkan bunyi bercicit-cicit nyaring karena gerakannya yang seirama. Anehnya gerakan terbang dan bunyi bercicit itu sama sekali tidak mengganggu keheningan, bahkan merupakan bagian dari keheningan yang maha mendalam itu, sehingga terdapat perpaduan yang aneh di antara yang hening dan yang bising, yang diam dan bergerak.

Keadaan yang tadinya diam dan hening seperti keadaan mati kini mengandung gairah dan bunyi yang menjadi pertanda hidup sehingga di dalam kematian itu terkandung kehidupan dan di dalam kehidupan itu pun terkandung kematian, keduanya tak terpisahkan lagi.

Dua orang kakak beradik itu juga merupakan bagian dari pada keheningan maha luas itu dan mereka seperti dua titik tenggelam ke dalam suatu keluasan yang membuat mereka tidak ada artinya lagi, yang berarti hanyalah keluasan itu sendiri, keheningan itu sendiri di mana mereka tergulung. Hingga beberapa lamanya mereka berdua terpesona, melangkah tanpa terasa, namun dengan batin yang sadar akan semua itu, dan kebahagiaan yang mukjijat memenuhi rongga dada.

“Ahh, tanpa terasa kini hari telah mulai gelap. Mari kita mempercepat langkah, itu puncak Cin-ling-san sudah kelihatan dari sini, Sin-te,” kata Han Tiong dan kata-kata ini bagaikan menyeret mereka kembali ke dalam alam dunia fana.

“Mari, Tiong-ko,” jawab Thian Sin singkat, hatinya masih penuh pesona.

Baru saja sampai di luar pintu gerbang pagar tembok yang mengelilingi perkampungan Cin-ling-pai, mereka telah disambut oleh para murid Cin-ling-pai yang sedang melakukan penjagaan. Karena kini Han Tiong telah menjadi seorang pemuda dewasa dan ketika dia dulu mengunjungi Cin-ling-pai dia masih kecil, pula karena waktu itu malam telah tiba dan tempat itu hanya diterangi dengan beberapa buah teng yang tergantung di pintu gerbang, maka tidak ada murid Cin-ling-pai yang mengenalnya.

“Berhenti!” bentak murid Cin-ling-pai dan beberapa orang murid langsung mengepung dua orang pemuda itu, “Siapakah kalian dan ada perlu apa malam-malam begini datang ke sini?”

Melihat sikap mereka yang gagah itu, Han Tiong tersenyum. “Agaknya saudara-saudara tak lagi mengenalku. Beberapa tahun yang lalu, kurang lebih delapan tahun yang lalu, aku pernah datang bersama ayah dan ibu untuk berkunjung kepada ketua Cin-ling-pai.”

“Ehhh, siapakah engkau…?” pemimpin para penjaga itu bertanya sambil mencoba untuk mengenal wajah yang nampak tenang dan jujur itu.

“Kami datang dari Lembah Naga!” kata Thian Sin yang sudah tidak sabar lagi.

Kini semua murid Cin-ling-pai terkejut dan makin mendekat untuk melihat wajah mereka. Mereka masih belum dapat mengenali Han Tiong, bahkan sama sekali tidak mengenal wajah Thian Sin yang tampan itu.

“Lembah Naga…?” tanya mereka gagap.

“Ketua Cin-ling-pai Cia Bun Houw adalah kakek kami,” kata Han Tiong.

“Ohhh…! Jadi kongcu ini adalah putera Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong…?”

Han Tiong mengangguk dan para murid Cin-ling-pai itu dengan gembira lalu mengiringkan Han Tiong dan Thian Sin masuk, ada pun beberapa orang anak murid Cin-ling-pai sudah lebih dulu berlari-lari ke dalam untuk memberi kabar gembira itu kepada ketua mereka.

Tidak lama kemudian, nampak Kakek Cia Bun Houw bersama Nenek Yap In Hong keluar menyambut. Cia Bun Houw telah menjadi seorang kakek yang usianya enam puluh tahun, sedangkan Nenek Yap In Hong telah berusia lima puluh delapan tahun. Akan tetapi ketua Cin-ling-pai itu masih tampak sehat dan segar, sedangkan isterinya pun mempunyai tubuh yang langsing dan biar pun rambutnya sudah banyak yang putih, tapi garis-garis mukanya masih jelas membayangkan bekas-bekas kecantikan dan kegagahan.

Biar pun sudah bertahun-tahun dia tidak pernah jumpa dengan kakek dan neneknya itu, dan biar pun mereka sudah menjadi tua, namun Han Tiong masih mengenal mereka dan cepat dia pun maju menghampiri, menjatuhkan diri berlutut di hadapan dua orang tua itu. Thian Sin juga mengikuti perbuatan kakaknya, karena betapa pun juga, kakek yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai ini adalah paman dari ibunya.

Ketika tadi mendengar laporan bahwa ada tamu dua orang pemuda yang mengaku datang dari Lembah Naga dan mengaku bahwa ketua Cin-ling-pai adalah kakeknya, segera Cia Bun Houw dan Yap In Hong bergegas keluar dengan gembira. Mereka sudah menduga bahwa tentu Cia Han Tiong yang datang, hanya mereka agak merasa heran mengapa ada dua orang pemuda. Setahu mereka, Han Tiong tidak mempunyai adik.

Yap In Hong tersenyum memandang kepada Han Tiong. Cucu ini sudah menjadi seorang pemuda yang bersikap gagah dan wajahnya membayangkan kejujuran serta ketenangan, sedangkan sinar matanya tajam penuh wibawa.

“Aihh, engkau tentu Han Tiong! Sudah menjadi seorang pemuda dewasa sekarang! Bagai mana dengan ayah-bundamu? Mereka baik-baik sajakah?”

“Terima kasih, ayah dan ibu dalam keadaan baik-baik saja dan mereka menitipkan salam hormat kepada kakek dan nenek berdua,” jawab Han Tiong dengan sikap hormat.

“Han Tiong, siapakah pemuda ini?” tanya Cia Bun Houw.

Dia bersama isterinya memandang kepada wajah yang tampan, cahaya mata yang tajam penuh membayangkan kecerdikan dan sikap yang lemah lembut dari pemuda yang juga berlutut di dekat Han Tiong itu.

“Dia ini adalah adik angkat saya, akan tetapi sebenarnya dia pun masih keluarga sendiri, karena dia ini adalah putera tunggal mendiang Bibi Lie Ciauw Si. Namanya adalah Ceng Thian Sin.”

“Ahhh…!” Yap In Hong menahan seruannya.

Cia Bun Houw juga terkejut lantas terbayanglah olehnya akan segala yang dialami oleh keponakannya, Lie Ciauw Si itu. “Dia she Ceng, jadi dia adalah keturunan dari Ceng Han Houw?” Kemudian disambungnya dengan suara lirih, “Dan Lie Ciauw Si telah meninggal dunia?”

Thian Sin cepat memberi hormat. “Benar sekali, Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si adalah mendiang ayah-bunda saya.”

Cia Bun Houw merasa terharu dan dia cepat membangkitkan pemuda ini sedangkan Yap In Hong juga memegang pundak Han Tiong menyuruhnya bangun. “Mari, mari kita bicara di dalam…,” kakek dan nenek itu berkata dengan ramah dan mereka pun lalu memasuki rumah induk Cin-ling-pai yang cukup besar itu.

Setelah mandi dan makan malam, dua orang pemuda Lembah Naga itu baru dipersilakan memasuki ruang duduk di mana telah menunggu kakek dan nenek mereka. Tadinya Han Tiong mengira bahwa tentu dia akan bertemu dengan Cia Kong Liang, pamannya yang sebaya dengan dia hanya tiga tahun lebih tua, akan tetapi ketika dia tidak melihat adanya pemuda yang telah dikenalnya itu di ruangan duduk, dia yang bersama Thian Sin sudah disuruh duduk, segera bertanya,

“Kongkong, di manakah adanya Paman Cia Kong Liang? Mengapa sejak tadi saya tidak melihatnya?”

“Ahhh, pamanmu? Dia baru kemarin berangkat pergi ke Bwee-hoa-san untuk menengok bibinya, yaitu Enci Cia Giok Keng yang kabarnya sakit,” jawab Cia Bun Houw.

Mendengar disebutnya nama Cia Giok Keng ini, Thian Sin mengerutkan alisnya kemudian sambil memandang pada kakaknya dia berkata, suaranya lirih dan mengandung getaran haru.

“Bukankah… beliau itu… nenekku, ibu mendiang ibuku? Ah, Tiong-ko, betapa ingin hatiku untuk berjumpa dengan nenekku itu… sudah begitu sering aku mendengar tentang beliau dari ibu…”

Dia berhenti berbicara karena teringat bahwa dia berada di depan ketua Cin-ling-pai dan isterinya, dan betapa kekanak-kanakan sikapnya tadi.

Akan tetapi Cia Bun Houw mengelus jenggotnya, diam-diam merasa terharu juga teringat akan riwayat kehidupan pemuda yang amat tampan ini. “Sungguh baik sekali bila engkau mempunyai keinginan itu di hatimu, Thian Sin. Memang sudah sepatutnyalah jika engkau pergi mengunjungi nenekmu. Beliau sudah tua dan kunjunganmu sebagai wakil mendiang ibumu tentu akan menggirangkan hatinya.”

Kedatangan dua orang pemuda itu sungguh merupakan hal yang sangat membahagiakan hati Cia Bun Houw beserta isterinya sehingga hampir semalam suntuk mereka berempat bercakap-cakap dalam ruangan itu, di mana kakek dan nenek itu minta kepada Thian Sin untuk menceritakan segala hal yang telah terjadi dan menimpa keluarga Ceng Han Houw yang menyedihkan itu.

Cia Bun Houw dan isterinya hanya dapat saling pandang sambil kadang-kadang menarik napas panjang ketika mendengar betapa Pangeran Ceng Han Houw tewas dalam sebuah pengeroyokan dan betapa isterinya Lie Ciauw Si, dengan gagah perkasa sudah membela suaminya sampai tetes darah terakhir.

“Ibumu adalah seorang isteri yang hebat!” demikian komentar kakek dan nenek itu kepada Thian Sin setelah mereka mendengar penuturannya. Mereka sama sekali tidak memberi komentar apa-apa mengenai diri Pangeran Ceng Han Houw.

Dan Thian Sin bukan seorang bodoh. Dia amat cerdik dan dia pun sudah tahu apa yang terkandung dalam hati kakek dan nenek itu setelah mendengar ceritanya. Dia tahu bahwa di dalam pandangan mereka, di dalam pandangan semua keluarga Cin-ling-pai, ayahnya hanya seorang laki-laki yang berambisi besar dan tidak segan-segan untuk memberontak, sehingga kematian ayahnya merupakan kematian seorang pemberontak yang telah wajar menerima hukuman, sebaliknya kematian ibunya adalah kematian seorang wanita gagah perkasa yang setia dan mencinta suaminya!

Mendengar betapa neneknya, Cia Giok Keng, yang hidup berdua dengan suaminya, yaitu pendekar Yap Kun Liong di puncak Bwee-hoa-san kini sudah berusia kurang lebih tujuh puluh lima tahun itu, Thian Sin merasa khawatir kalau-kalau dia tidak akan dapat bertemu lagi dengan neneknya yang sudah tua itu. Maka kemudian diambil keputusan bahwa dua orang pemuda itu pada besok pagi-pagi akan berangkat ke Bwee-hoa-san menyusul Cia Kong Liang yang telah menuju ke pegunungan itu pada hari kemarin.

********************

Selanjutnya,