Pendekar Sadis Jilid 08

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Episode Pendekar Sadis Jilid 08 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pendekar Sadis Jilid 08

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Thian Sin merasa terharu sekali dan hampir dia ikut menitikkan air mata. Dengan halus dia kemudian bertanya, “Kalau sudah begini, lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya, nona?”

Dara itu memandang kepada Thian Sin sambil mengusap beberapa butir air mata yang tergenang pada pelupuk matanya. “Aku akan mengantar kembali lima orang gadis ini ke dusun mereka…”

“Sesudah itu…?” Thian Sin mendesak.

“Sesudah itu… aku tidak tahu, pendeknya aku tidak sudi kembali kepadanya!”

“Apakah… apakah engkau tidak mempunyai keluarga yang lain, nona?”

Gadis itu menggelengkan kepala. “Tidak, aku seorang diri saja di dunia ini…”

Tiba-tiba seorang di antara lima gadis dusun itu menghampirinya dan memeluknya. “Adik yang baik, engkau telah menyelamatkan kami, marilah kau ikut dan tinggal bersama kami saja, kami akan menganggapmu sebagai saudara kami, sebagai penolong, dan pelindung kami…” Empat orang gadis yang lain menyetujui dan membujuk-bujuk dara itu.

“Bagus sekali! Memang usul mereka itu baik sekali, nona, dan aku turut mendukungnya! Ketahuilah, nona, kami datang dari Istana Lembah Naga. Dia ini kakak angkatku, Cia Han Tiong, dan aku sendiri bernama Ceng Thian Sin. Kalau kau mau tinggal di dusun itu… kita akan berdekatan dan dapat saling mengunjungi sebagai sahabat.”

Han Tiong memandang kepada adik angkatnya itu dan diam-diam dia merasa geli sendiri. Agaknya adiknya ini benar-benar sudah jatuh hati lagi kepada gadis ini, pikirnya. Hatinya lega karena hal itu menandakan bahwa Thian Sin sudah melupakan peristiwa patah hati dahulu itu bersama Bhe Cu Ing.

Dara itu bangkit dan nampak terkejut, lalu menjura ke arah kedua orang pemuda gagah perkasa itu. “Ahh, maafkan, karena tidak tahu maka saya bersikap kurang hormat. Aihh, betapa tololnya ayah tiriku itu, berani mengganggu naga yang sedang tidur! Ji-wi sangat gagah perkasa dan baik, saya Loa Hwi Leng merasa kagum dan berterima kasih bahwa ji-wi tidak menganggap saya sebagai anggota gerombolan pengacau.”

Karena bujukan lima orang gadis itu, akhirnya Hwi Leng menyetujui untuk tinggal di dusun mereka. Para orang tua lima orang gadis itu tentu saja merasa gembira sekali melihat puteri-puteri mereka selamat, dan berterima kasih kepada Hwi Leng. Semua orang dusun menghormati gadis ini dan mulai saat itu menganggapnya sebagai pelindung dusun.

Cia Sin Liong dan isterinya merasa gembira dan bangga mendengar penuturan dua orang muda itu mengenai hasil tugas mereka mengejar gerombolan pengacau, akan tetapi Sin Liong mengerutkan alisnya ketika mendengar betapa kepala gerombolan itu sudah putus sebelah lengannya.

“Memang dia seorang jahat yang patut dihukum, akan tetapi engkau juga agak keterlaluan jika membikin putus lengannya, Thian Sin. Sebetulnya sudah cukup dengan mematahkan tulang lengannya saja.”

“Maaf, ayah, saya merasa dalam keadaan marah dan mata gelap ketika dia menyerang saya dengan golok, dan mengingat betapa dia sudah membunuh orang dusun, menculik wanita, maka…”

“Sudahlah, mungkin perbuatanmu itu ada baiknya, membikin jera kepadanya. Tetapi yang amat menggemaskan adalah Jeng-hwa-pang itu. Apa pula maksud mereka memancingku keluar dari sini? Mengapa mereka masih terus hendak mencari permusuhan denganku?”

“Ayah, apakah Jeng-hwa-pang itu dan mengapa memusuhi ayah?” tanya Han Tiong.

“Aku tahu siapa Jeng-hwa-pang itu! Perkumpulan jahat yang dahulu ikut membunuh ayah bundaku!” tiba-tiba Thian Sin berkata dengan suara mengandung kemarahan dan dendam sehingga Sin Liong menjadi terkejut dan cepat memandang kepada anak angkatnya itu.

Sejenak dua pasang mata bertemu dan Thian Sin menundukkan mukanya, sadar bahwa kembali dia membiarkan dirinya dikuasai nafsu dendam yang amat hebat. Dan Sin Liong diam-diam merasa khawatir sekali karena mendapatkan kenyataan bahwa sesungguhnya api dendam yang hebat itu masih selalu membara di dalam hati Thian Sin.

“Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan besar di perbatasan, dan mereka memusuhi kami, yaitu aku dan mendiang ayah Thian Sin, karena urusan lama sekali. Tak kusangka hingga sekarang mereka masih menaruh dendam. Bagaimana pun juga, mudah-mudahan mereka tidak berani lagi mengacau setelah menerima hajaran kalian.”

Sin Liong merasa tidak enak untuk banyak bercerita tentang diri Ceng Han Houw dan dua orang muda itu pun tidak banyak mendesak lagi. Pengalaman itu membuat mereka kini semakin giat berlatih ilmu silat, dan juga Sin Liong tidak ragu-ragu lagi untuk menurunkan ilmu silat rahasia kepada mereka berdua, yaitu Ilmu Thi-khi I-beng kepada Thian Sin dan Ilmu Cap-sha-ciang kepada Han Tiong!

Ia menurunkan Ilmu Cap-sha-ciang kepada Han Tiong dan tidak kepada Thian Sin sebab dia tahu akan dahsyatnya ilmu ini. Kalau sampai dipergunakan secara liar oleh Thian Sin yang wataknya mudah berubah itu, sungguh akan menimbulkan geger di dunia persilatan! Sebaliknya, Thi-khi I-beng adalah ilmu yang mengandung kelemasan sehingga diharapkan ilmu itu akan dapat mengendalikan Thian Sin, memberinya watak yang lebih lemas, tidak kaku dan keras.

Maka berlatihlah dua orang muda itu dengan sangat tekunnya, dan sesuai dengan pesan Sin Liong, mereka merahasiakan ilmu masing-masing karena kedua macam ilmu itu tidak boleh diajarkan kepada dua orang, melainkan hanya boleh diturunkan kepada satu orang saja.

Akan tetapi di samping menurunkan kedua macam ilmu silat yang luar biasa itu kepada masing-masing, secara diam-diam Sin Liong juga mengajarkan cara untuk melindungi diri terhadap Thi-khi I-beng kepada Han Tiong. Hal ini dilakukan bukan karena dia pilih kasih, melainkan karena dia percaya penuh akan watak putera kandungnya ini dan merasa perlu adanya orang yang dapat mengamati dan kalau perlu mengendalikan keliaran Thian Sin kelak. Ilmu ini adalah ilmu totok jalan darah yang memang diciptakannya sendiri, khusus untuk melindungi diri terhadap penyedotan hawa Thi-khi I-beng, yang diberi nama It-sin-ci (Jari Tunggal Sakti).

Mudah sekali diduga semenjak terjadinya pengacauan di dusun itu, Thian Sin sering kali berkunjung ke dusun dan mengadakan pertemuan dengan dara yang bernama Loa Hwi Leng itu. Mereka bersahabat akrab dan hubungan mereka makin lama semakin erat, dan mudah diduga bahwa Hwi Leng pun tidak dapat menguasai hatinya lagi ketika berkenalan dengan pemuda tampan yang pandai membawa diri ini sehingga dia pun jatuh cinta!

Dan karena dia tidak bertepuk sebelah tangan, maka keduanya nampak akrab sekali dan sering kali mereka berdua berjalan-jalan di luar dusun, di antara sawah ladang dan ada kalanya ke dalam hutan di dekat dusun. Di tempat sunyi itu, dengan leluasa keduanya saling menumpahkan kerinduan hati mereka dan kasih sayang mereka dengan bercumbu, akan tetapi Thian Sin selalu dapat mempertahankan nafsu birahinya sehingga hubungan mereka hanya terbatas pada cumbu-cumbuan dan peluk cium belaka, tak melebihi batas yang akan menghanyutkan mereka ke dalam perjinahan hubungan kelamin.

Maka terobatlah sakit hati Thian Sin kehilangan pacarnya yang pertama, yaitu Cu Ing dan sekarang seluruh orang muda di dusun-dusun sekitar Lembah Naga tahu belaka bahwa Ceng-kongcu yang tampan itu telah mempunyai seorang pacar baru, yaitu Hwi Leng gadis perkasa yang namanya terkenal sebagai pendekar wanita yang dengan berani mati sudah melindungi lima orang gadis yang ditawan gerombolan perampok.

Sekali ini, tidak ada gadis-gadis yang dapat melapor kepada siapa pun, karena Hwi Leng adalah seorang gadis yatim piatu yang berdiri sendiri di dunia ini. Pula, untuk menyatakan rasa iri dan cemburu secara berterang tentu saja tidak ada yang berani karena gadis itu terkenal sebagai seorang yang lihai!

Han Tiong juga melihat perkembangan ini, dan Han Tiong inilah yang lantas membisikkan nasehat kepada adik angkatnya agar adik angkatnya itu selalu dapat menahan nafsunya. “Ingat, adikku yang baik. Sekali engkau tidak dapat menahan nafsu kemudian melakukan pelanggaran, hal itu akan merusak nama baikmu dan nama baik gadis yang kau cinta. Maka hati-hatilah engkau.”

Thian Sin tersenyum dan mukanya berubah menjadi merah. “Jangan khawatir, Tiong-ko. Aku selalu dapat menahan diri. Aku cinta padanya, dan aku tidak ingin mempermainkan cinta kami dengan pelanggaran nafsu birahi.”

Hemmm, begitu mudah patah hati dan begitu mudah mendapat gantinya, bisik hati Han Tiong, akan tetapi dia tidak ingin menyinggung perasaan adiknya. “Kalau begitu, apakah ada niat di hatimu untuk menikah dengan Hwi Leng, Sin-te?”

Ditanya demikian, Thian Sin kelihatan terkejut sehingga sejenak dia menatap wajah kakak angkatnya seperti orang bodoh. Kemudian dia menggeleng-gelengkan kepala bagai orang bingung dan berkata, “Menikah? Ahhh, itu… itu… entahlah, Tiong-ko, sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku.”

“Aihhh, kau ini bagaimana, Sin-te? Habis untuk apa engkau berpacaran dengan Hwi Leng kalau tidak ada niatmu untuk menjadi suaminya kelak?”

Kini sepasang mata yang tajam itu menatap Han Tiong dan suaranya tegas ketika dia bertanya, “Tiong-ko, apakah cinta harus selalu diakhiri dengan pernikahan?”

“Cinta antara sahabat, antara saudara, tentu saja tidak. Akan tetapi cinta antara pria dan wanita yang sudah berpacaran, apa lagi kalau tidak diakhiri dengan pernikahan?”

“Apakah tidak bisa kita hidup dengan cinta di hati tanpa diikat pernikahan, Tiong-ko?”

“Ah, pertanyaanmu amat aneh, adikku, Mana mungkin dalam kebudayaan dan kesopanan kita itu ada cinta antara pria dan wanita yang tidak disudahi dengan pernikahan?”

“Aku ingin ada cinta tanpa ikatan pernikahan, Tiong-ko.”

“Hemmm, kalau memang kedua fihak menghendaki, tentu saja hal itu dapat terjadi. Akan tetapi wanita manakah yang mau dijadikan kekasih selamanya tanpa dinikahi? Mereka semua tentu ingin dinikahi secara resmi, menjadi isteri, menjadi ibu, terjamin dan terikat erat-erat!”

Semenjak percakapan itu, sering kali Thian Sin kelihatan termenung dan menarik napas panjang. Dia juga mulai agak mengurangi kunjungannya kepada Hwi Leng karena setiap kali dia berdekatan dengan Hwi Leng, maka bayangan pernikahan langsung muncul dan menghantuinya. Dia tak ingin terikat sebagai suami, sebagai ayah, dia masih ingin bebas, ingin memasuki dunia yang luas ini, ingin bertualang, merantau meluaskan pengetahuan, akan tetapi dia pun senang sekali berdekatan dengan wanita cantik seperti Hwi Leng.

********************

Petani tua itu datang dengan wajah pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Keluarga Istana Lembah Naga pagi itu sedang duduk lengkap di serambi depan, Cia Sin Liong, isterinya dan dua orang puteranya. Mereka berada dalam suasana gembira dan sepagi itu mereka telah menghadapi hidangan-hidangan lezat karena pagi itu mereka merayakan hari ulang tahun Cia Sin Liong yang ke empat puluh!

Perayaan keluarga yang sangat sederhana, tanpa dihadiri orang luar. Dan ini pun bukan kehendak pendekar itu yang tidak ingin diadakan pesta apa pun untuk peringatan genap usia empat puluh tahun saja, melainkan kehendak isterinya. Sejak pagi sekali Bi Cu telah bangun dan dibantu pelayan telah masak-masak, maka pagi itu mereka telah menghadapi sarapan besar dengan gembira.

Kedatangan petani tua itu tentu saja amat mengherankan mereka semua. Sin Liong dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat maka petani itu nampak demikian ketakutan. Dengan halus dia cepat mempersilakan orang itu duduk dan bertanya apakah keperluannya datang pagi-pagi dengan sikap seperti itu.

“Celaka, taihiap… semalam dusun kami kembali didatangi penjahat-penjahat!” kata petani itu dengan suara gemetar.

Keluarga itu menjadi terkejut, terutama sekali Thian Sin yang menatap tajam dengan mata terbelalak.

“Ahh, mereka masih berani datang lagi?” seru Han Tiong.

“Jahanam-jahanam itu menjemukan!” Thian Sin juga berseru.

“Lalu apakah yang mereka lakukan? Perampokan dan pembunuhan lagi?” Cia Sin Liong bertanya penuh kekhawatiran.

“Hanya satu pembunuhan, taihiap… Nona Hwi Leng mereka bunuh…”

“Ahhhh…!” Thian Sin mengeluarkan teriakan nyaring dan di lain saat dia sudah meloncat dan lari dari situ.

“Sin-te…!” Han Tiong berteriak, akan tetapi ayahnya mencegahnya dan malah berkata,

“Tiong-ji, biarkan dia. Akan tetapi kau cepat kejar dan susul dia, jangan sampai adikmu melakukan hal-hal yang tidak semestinya.”

“Baik, ayah.” Dan pemuda ini pun lalu meloncat dan berlari cepat mengejar adiknya yang lari menuju ke arah dusun di mana tinggal Loa Hwi Leng itu.

“Sekarang harap kau ceritakan apa yang telah terjadi di dusunmu semalam, paman,” kata Sin Liong kepada kakek petani yang mukanya keriputan itu.

Kakek itu dengan suara gemetar bercerita. Semalam di dusun mereka, menjelang tengah malam terdengar derap kaki banyak kuda. Karena sudah pernah mengalami gangguan para perampok, penduduk dusun itu menjadi penakut dan mendengar derap kaki banyak kuda ini, mereka tidak berani keluar pondok, menutupkan pintu, memadamkan lampu dan mengintai keluar dari rumah-rumah yang gelap, bahkan ada yang sama sekali tidak berani mengintai, hanya berjubel dengan ketakutan di dalam kamar masing-masing.

“Saya memberanikan diri mengintai keluar dan kebetulan rumah saya berdekatan dengan rumah di mana Nona Hwi Leng tinggal.” kata kakek itu melanjutkan. “Saya melihat Nona Leng keluar dari rumah itu, dengan pedang di tangan dan dengan berani dia lalu menegur para penunggang kuda yang jumlahnya belasan orang itu.” Dia berhenti dan kelihatan bingung dan ketakutan, sebentar-sebentar menoleh ke kanan kiri seakan-akan dia takut kalau-kalau di tempat itu sewaktu-waktu akan muncul perampok-perampok.

“Lalu bagaimana, paman? Jangan takut, di sini aman,” kata Sin Liong.

“Terjadi pertempuran, akan tetapi hanya sebentar dan tahu-tahu Nona Leng telah ditawan oleh mereka. Kemudian… kemudian…” Kakek itu tidak mampu melanjutkan ceritanya lagi dan menutupi mukanya dengan dua tangannya, seolah-olah dia hendak menghindar dari penglihatan yang masih membayang di depan matanya.

Sin Liong dan Bi Cu sudah dapat menduga. “Mereka itu membunuhnya?” tanya Sin Liong kepada petani itu.

“Bukan hanya dibunub. Dia disiksa… saya tidak berani lagi melihatnya… dan kami semua tidak berani keluar biar pun kaki kuda mereka itu sudah meninggalkan dusun. Baru pada keesokan harinya kami berani keluar dan melihat… mayat Nona Leng sudah tergantung di pohon tanpa pakaian, tubuhnya hancur disayat-sayat…”

“Keparat jahanam!” Bi Cu membentak dan bangkit berdiri, kedua tangannya dikepal sebab nyonya ini sudah menjadi marah bukan main.

Sin Liong memegang lengan isterinya dan dengan pandangan matanya dia menenangkan isterinya. Bi Cu yang mukanya berubah menjadi merah sekali itu menarik napas panjang untuk menenangkan diri, lalu duduk kembali.

“Paman, apakah paman mendengar apa yang diucapkan oleh para penjahat itu?”

“Mereka itu orang-orang kasar dan tertawa-tawa ketika menyiksa Nona Leng. Saya hanya mendengar suara Nona Leng merintih, akan tetapi ada yang bersuara besar dan berkata: Engkau berani mengkhianati Jeng-hwa-pang? Hanya itulah yang saya dengar…”

“Hemm, Jeng-hwa-pang lagi…!” Sin Liong berkata. “terima kasih atas laporanmu, paman.”

Setelah petani tua itu pergi, Sin Liong lalu berkata kepada isterinya, “Jeng-hwa-pang tak boleh dipandang ringan. Sebaiknya kalau aku melihat keadaan anak-anak kita.”

Bi Cu mengangguk. Sebenarnya nyonya ini ingin sekali ikut supaya dapat mengamuk dan memberi hajaran kepada Jeng-hwa-pang. Akan tetapi karena kedua orang puteranya itu kini telah mempunyai kepandaian tinggi, bahkan lebih lihai dari pada dia sendiri, dan lebih lagi karena suaminya juga menyusul mereka, maka sebaiknya bagi dia untuk menjaga dan menanti di rumah. Maka pergilah Sin Liong dengan cepat untuk menyusul dua orang puteranya.

Ketika Thian Sin yang berlari secepat terbang itu tiba di rumah yang ditinggali kekasihnya dan melihat peti mati dengan hio mengepul di depan pintu, bagaikan orang gila dia segera menjerit. “Hwi Leng…!” Dan dia segera menghampiri peti mati.

Semua orang terkejut, terharu dan juga takut melihat pemuda yang biasanya ramah dan tersenyum-senyum itu kini kelihatan berwajah beringas dan pucat, matanya merah.

“Brakkk…!”

Sekali renggut, tutup peti mati itu pun terbuka. Nampak wajah Hwi Leng yang pucat dan putih, namun masih nampak cantik biar pun muka itu penuh luka tersayat-sayat kulitnya. Dari pipi sampai ke dagu dan lehernya penuh dengan goresan senjata tajam dan tanpa membuka pakaiannya Thian Sin bisa menduga bahwa seluruh tubuh itu tentu juga penuh dengan luka-luka goresan pedang.

“Hwi Leng…!” Dia menjerit, kemudian tubuhnya membalik dan matanya liar mencari-cari, lantas dia memekik sangat mengerikan. “Bedebah kalian semua! Mampuslah orang-orang Jeng-hwa-pang!” Dan dia pun melesat dan lari cepat sekali dari tempat itu.

Kurang lebih setengah jam kemudian Han Tiong baru tiba di rumah duka itu. Mendengar bahwa adiknya telah tiba di situ dan sudah pergi dalam keadaan marah hendak mengejar orang-orang Jeng-hwa-pang, Han Tiong merasa khawatir sekali. Maka dia pun tidak lama berada di situ dan cepat dia pergi mengejar adiknya.

Sekali ini Han Tiong berlari cepat bukan kepalang, mengikuti jejak rombongan kuda orang Jeng-hwa-pang yang keluar dari daerah itu menuju ke selatan. Dia merasa yakin bahwa adiknya tentu juga melakukan pengejaran mengikuti jejak itu.

Menjelang tengah hari, tibalah dia di sebuah lereng yang sunyi dan di atas padang rumput itu dia melihat bahwa kiranya kekhawatirannya terbukti. Hingga di situlah jejak rombongan berkuda itu dan tidak lama kemudian dia berdiri sambil bertolak pinggang memandang ke sekeliling, di mana terdapat mayat-mayat dua belas orang berserakan.

Dua belas orang itu semua tewas dalam keadaan sangat mengerikan dan kepala mereka pecah-pecah. Han Tiong dapat melihat bekas pukulan Thian-te Sin-ciang adiknya, karena itu wajahnya menjadi pucat, perasaannya diliputi kesedihan dan perutnya langsung terasa mual menyaksikan belasan orang yang tewas oleh tangan adiknya itu!

“Thian Sin…!” dia mengeluh dan dengan punggung tangan dia mengusap kedua matanya yang basah. Dia merasa menyesal sekali mengapa dia tidak dapat menyusul lebih cepat sehingga dia dapat mencegah terjadinya pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Thian Sin.

Han Tiong lalu menggali lubang besar, hanya menggunakan golok yang banyak terdapat di tempat itu. Golok, pedang serta tombak malang melintang dan patah-patah. Dia dapat membayangkan betapa adiknya telah mengamuk bagaikan seekor naga di tempat itu tadi. Belum lama terjadinya, karena darah yang membanjiri tempat itu masih basah.

Ingin dia cepat-cepat menyusul adiknya, akan tetapi mayat-mayat itu harus dikubur dulu. Tak mungkin dia membiarkan saja mayat-mayat itu, apa lagi mayat-mayat yang terbunuh oleh tangan adiknya. Dengan khidmat dia kemudian mengangkat semua mayat itu, lantas memasukkannya ke dalam lubang besar yang sudah dibuatnya.

Dalam lubuk hatinya dia menganggap bahwa sikapnya ini setidaknya akan meringankan kekejaman adiknya, sebagai sekedar penebusan dosa yang dilakukan adiknya. Dia lantas menimbuni kuburan itu dengan tanah dan secepatnya dia melanjutkan pengejarannya.

********************

Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju ke selatan. Dia sudah membunuh seluruh anggota Jeng-hwa-pang. Ada sedikit kepuasan di hatinya kalau dia mengingat akan apa yang telah dilakukannya tadi. Dengan kepandaiannya dia telah membikin terpental semua senjata belasan orang itu, dan hanya ada tiga empat orang yang melakukan perlawanan agak keras karena ilmu kepandaian mereka yang lumayan.

Akan tetapi akhirnya mereka semua roboh dan dia menjambak rambut mereka satu demi satu, dengan wajah merah dan mata melotot menyeramkan dia membentak, “Siapa yang menyiksa dan membunuh Hwi Leng?!”

Akan tetapi mereka semua tidak mau mengaku, maka satu demi satu dipukulnya kepala mereka itu dengan tamparan Thian-te Sin-ciang sehingga mereka roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika, dan setiap kali melakukan tamparan maut itu, mulutnya selalu berkata. “Ini untuk Hwi Leng!” dan….

“Prakk!” sekali tampar saja kepala itu tentu pecah!

Thian Sin berlari terus, kadang-kadang tersenyum kalau dia teringat betapa kini nyawa belasan orang itu berlutut di depan nyawa Hwi Leng! Akan tetapi dia belum puas! Sama sekali belum. Belasan orang yang dibunuhnya itu memang benar merupakan penyiksa-penyiksa dan pembunuh Hwi Leng, akan tetapi mereka itu hanya utusan-utusan belaka. Biang keladinya berada di Jeng-hwa-pang!

Dan kini dia harus pergi ke sana, harus mengobrak-abrik Jeng-hwa-pang, dan membunuh mereka semua terutama para pimpinannya. Bukan hanya untuk Hwi Leng, melainkan juga untuk ayah bundanya!

Mengingat hal ini, membayangkan betapa dia akan menghancur leburkan Jeng-hwa-pang, wajah Thian Sin yang agak pucat itu berseri-seri dan mulutnya tersenyum, hatinya terasa ringan dan senang sekali. Baru sekarang dia tahu bahwa sebetulnya itulah keinginannya yang selalu terpendam, yaitu menghancurkan Jeng-hwa-pang, membalas kematian ayah bundanya, membasmi semua penjahat di dunia ini!

Tiba-tiba di dalam benaknya muncul wajah Hong San Hwesio dan terngiang di telinganya semua nasehat hwesio itu. Terdengar pula olehnya, suara ayah angkatnya yang pernah menasehatkan betapa buruknya jika dendam disimpan di hati.

“Tidak, aku tak akan menyimpannya lagi, aku akan melaksanakannya!” demikian bibirnya bergerak dan dia pun mencari alasan untuk membela diri dan mempertahankan keinginan hatinya. “Aku adalah anak pendekar, semenjak kecil dididik menjadi pendekar. Aku adalah pembasmi penjahat-penjahat! Bukan hanya Jeng-hwa-pang, bukan hanya musuh-musuh ayah bundaku, melainkan seluruh penjahat di permukaan bumi ini! Selama masih ada penjahat di permukaan bumi, selama itu pula aku akan berusaha membasmi mereka.”

Dengan melakukan perjalanan yang amat cepat tak mengenal lelah, akhirnya pada suatu senja tiga hari kemudian tibalah Thian Sin di sarang Jeng-hwa-pang yang berada di dekat dan di luar Tembok Besar. Dia bertindak hati-hati sekali karena teringat akan cerita ayah angkatnya tentang perkumpulan ini.

Menurut cerita ayah angkatnya, Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan yang sangat kuat, dan para anggotanya adalah ahli-ahli racun yang lihai dan berbahaya. Dahulu sekali, Jeng-hwa-pang ini mengalami masa jaya sebagai perkumpulan yang sangat ditakuti dan disegani.

Pendirinya adalah mendiang Jeng-hwa Sianjin, yaitu seorang tokoh Pek-lian-kauw yang kenamaan dan berilmu tinggi. Nama Jeng-hwa-pang diambil dari racun jeng-hwa (bunga hijau) dan sarang mereka berada di daerah Tembok Besar.

Belasan tahun yang lalu, ketuanya adalah Gak Song Kam, murid Jeng-hwa Sianjin yang saking lihai dan pandainya mengenai racun memakai julukan Tok-ong (Raja Racun). Akan tetapi Tok-ong Gak Song Kam ini tewas di tangan mendiang Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong. Oleh karena itu terdapat dendam yang besar pada perkumpulan itu terhadap Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong.

Dan Thian Sin sudah mengerti mengapa Jeng-hwa-pang ikut menyerbu ayah bundanya, dan sekarang dia pun tahu bahwa semua kekacauan yang dilakukan oleh Jeng-hwa-pang di dusun-dusun itu adalah untuk membalas dendam mereka kepada Cia Sin Liong. Maka tugasnya kali ini selain membalaskan kematian ayah bundanya, membalaskan kematian Hwi Leng, sekaligus untuk membasmi musuh ayah angkatnya. Dia akan bertindak dengan waspada, tidak ceroboh ketika menghadapi lawan yang dia tahu kuat dan berbahaya itu.

Akan tetapi Thian Sin tidak tahu bahwa telah terjadi perubahan besar pada perkumpulan itu. Kini perkumpulan itu dihidupkan kembali oleh seorang murid Jeng-hwa Sianjin yang lebih lihai dibandingkan dengan Gak Song Kam yang tewas di tangan ayah kandung dan ayah angkatnya.

Tokoh ini adalah murid utama Jeng-hwa Sianjin yang bernama Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam. Dari julukannya, yaitu Tok-ciang (Tangan Beracun) sudah dapat dimengerti bahwa dia pun merupakan seorang ahli racun yang berbahaya.

Dan bukan hanya tokoh ini yang kini memimpin Jeng-hwa-pang, juga dia dibantu oleh dua orang sahabatnya yang lihai sekali, yaitu dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang memakai nama julukan Kim Thian Sengcu dan Gin Thian Sengcu, dua orang kakek berpakaian dan berambut seperti model tosu, nampaknya seperti pendeta-pendeta alim dan memiliki ilmu kepandaian yang hanya berselisih sedikit dibandingkan tingkat kepandaian Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam sendiri!

Dan mungkin karena Ciu Hek Lam sendiri adalah murid seorang tokoh Pek-lian-kauw, ada pun kedua orang pembantunya itu juga merupakan tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, maka kini agaknya Jeng-hwa-pang condong kepada urusan politik seperti halnya Pek-lian-kauw, dan diam-diam mengadakan persekutuan dengan Raja Agahai di utara.

Thian Sin tidak mau sembarangan menyerbu ke dalam dan malam itu dia bersembunyi di dalam goa di sebuah bukit tak jauh dari sarang Jeng-hwa-pang itu. Baru pada keesokan harinya, setelah semalam suntuk dia berlatih siulian untuk mengumpulan hawa murni, dia berjalan dengan langkah lebar menuju ke pintu gerbang perkampungan Jeng-hwa-pang itu.

Udara pagi itu cerah, hawanya sejuk segar dan pemuda yang berusia tujuh belas tahun ini berjalan dengan langkah bebas, dadanya terasa lapang dan dia menghirup hawa udara yang bersih itu sampai sepenuh paru-parunya. Rasa lapar perutnya sudah lenyap oleh sarapan pagi berupa daging burung yang dijatuhkannya dengan sambitan batu kemudian dipanggang dagingnya di dalam goa.

Hatinya dan pikirannya dingin dan tidak sepanas kemarin sebelum dia membunuhi semua penjahat yang dapat disusulnya di tengah jalan. Kini dia dapat berpikir dengan jernih dan tidak terdorong oleh perasaan marah.

Dia akan membalas dendam kematian ayah bundanya, termasuk kematian Hwi Leng, dan membasmi musuh-musuh ayah angkatnya dengan pikiran yang jernih dan dingin, dengan perhitungan matang. Dia akan menghadapi lawan tangguh dan banyak, maka dia harus menggunakan kecerdikan dan tidak hanya menuruti perasaan dendam belaka.

Maka para penjaga pintu gerbang juga tidak menaruh curiga, hanya memandang heran ketika melihat munculnya seorang pemuda remaja yang sangat tampan, gagah dan sopan pada pagi hari itu di depan pintu gerbang. Tentu saja para penjaga telah menghadangnya dan memandang dengan penuh perhatian.

“Heiii, orang muda, siapakah engkau dan mau apa engkau berkeliaran sampai ke tempat ini?” tanya kepala jaga sambil memandang heran.

Dari pakaiannya, dia tahu bahwa pemuda remaja ini tentulah seorang berbangsa Han, dan dari pakaian dan sikap itu pula dia tahu bahwa pemuda ini bukanlah seorang penghuni dusun biasa, melainkan lebih patut kalau dia seorang pelajar yang halus budi.

Wajah yang ramah dan tampan itu tersenyum, lantas Thian Sin menjura dengan sikap hormat dan lemah lembut, sikap seorang pelajar tulen. “Harap cu-wi (anda sekalian) sudi memaafkan apa bila saya mengganggu. Akan tetapi saya memang sengaja datang untuk bertemu dengan yang terhormat para pimpinan Jeng-hwa-pang. Bukankah di sini adalah markas perkumpulan Jeng-hwa-pang yang terkenal dan besar?”

“Benar, akan tetapi mau apa engkau hendak bertemu dengan para pimpinan? Siapakah engkau?” Kepala jaga dan teman-temannya mulai memandang dengan sinar mata curiga.

“Nama saya Thian Sin dan saya perlu berjumpa dengan para pimpinan Jeng-hwa-pang yang terhormat karena ada sesuatu yang perlu saya sampaikan kepada mereka. Sudah lama sekali saya mendengar akan nama besar Jeng-hwa-pang, dan sudah lama saya amat mengagumi Jeng-hwa-pang. Sekarang, dengan girang saya berhasil tiba di markas Jeng-hwa-pang, maka saya harap cu-wi suka memberi kesempatan kepada saya untuk menghadap para pimpinan Jeng-hwa-pang untuk menyampaikan hal yang sangat penting itu.”

Kecurigaan para penjaga itu berkurang dan kepala jaga lalu memandang kepada pemuda remaja itu sambil tersenyum. “Orang muda, memang Jeng-hwa-pang merupakan sebuah perkumpulan yang besar sekali dan kuat. Akan tetapi tidaklah mudah bagimu untuk minta bertemu dengan para pimpinan. Apa bila ada urusan, sampaikan kepada kami maka kami akan melaporkan kepada pimpinan kami. Nah, kini katakanlah, urusan apa yang ingin kau sampaikan kepada pimpinan Jeng-hwa-pang?”

Thian Sin menggelengkan kepala. “Maaf, toako. Urusan ini menyangkut diri pribadi para pimpinan Jeng-hwa-pang dan saya hanya dapat mengatakannya kepada mereka sendiri. Urusan yang amat penting sekali.”

Para penjaga itu merasa penasaran akan tetapi juga semakin tertarik. Mereka tidak dapat marah karena sikap Thian Sin yang sopan dan baik serta ramah itu, terlebih lagi karena pemuda remaja ini mengaku datang dengan membawa berita yang sangat penting untuk disampaikan sendiri kepada para pimpinan mereka. Mereka tidak berani bersikap lancang atau ceroboh, karena siapa tahu pemuda ini benar-benar mempunyai urusan yang amat penting, maka, kalau benar demikian, tentu mereka akan menerima hukuman berat dari para pemimpin mereka apa bila mereka mengganggu pemuda ini.

“Baiklah,” akhirnya kepala jaga berkata. “Kau tunggulah di sini, biar kami melaporkannya dulu kepada pimpinan. Siapakah namamu tadi?”

“Nama saya Thian Sin…” Thian Sin tak mau memperkenalkan she-nya yang sebenarnya karena she Ceng tentu akan menimbulkan kecurigaan mereka berhubung dengan nama Ceng Han Houw, ayah kandungnya, yang tentunya sangat dikenal oleh mereka. Biarlah mereka mengira aku she Thian, pikirnya.

Dia harus berhati-hati, karena kalau dia memperkenalkan diri begitu saja lalu dikeroyok, maka tipislah harapannya untuk dapat membalaskan dendamnya terhadap para pimpinan Jeng-hwa-pang. Dia harus dapat membunuh para pimpinannya lebih dulu, karena untuk menghadapi anak buahnya amatlah mudah.

Sementara itu, Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam, tokoh Jeng-hwa-pang yang kini dapat dikatakan menjadi ketua Jeng-hwa-pang karena dialah yang sudah membangun kembali Jeng-hwa-pang yang telah dibasmi oleh mendiang Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong itu, sedang duduk menghadapi sarapan pagi bersama dua orang pembantunya yang sangat diandalkannya, yaitu Kim Thian Sengcu dan Gin Thian Sengcu. Mereka bertiga sedang membicarakan pasukan Jeng-hwa-pang yang mereka utus ke dusun di daerah Lembah Naga untuk menjatuhkan hukuman kepada Loa Hwi Leng.

Ketua Jeng-hwa-pang ini menjadi marah sekali pada saat mendengar laporan Loa Song, kepala pasukan yang diperintahkannya untuk mengacau dusun dan yang pulang dengan lengan kiri buntung itu tentang dihajarnya pasukan itu oleh dua orang pemuda dari Istana Lembah Naga, dan mengenai pengkhianatan yang dilakukan oleh puteri Loa Song yang bernama Loa Hwi Leng.

Pasukan itu, ditambah dengan beberapa orang yang menjadi muridnya dan yang memiliki kepandaian cukup tinggi, lalu diutusnya untuk kembali ke dusun itu dan membunuh Loa Hwi Leng sebagai hukuman. Dengan perbuatan itu, maka pasukan ini diharapkan akan dapat memancing datangnya Pendekar Lembah Naga, yaitu musuh besarnya, ke markas Jeng-hwa-pang.

Pagi hari itu, dia bersama dua orang pembantunya sarapan pagi, sambil membicarakan pasukan yang mereka utus itu, karena menurut perhitungan, hari ini pasukan itu tentu tiba kembali.

Ketika datang laporan bahwa di luar ada seorang tamu, seorang pemuda ‘pelajar’ yang ramah dan sopan bernama Thian Sin hendak menyampaikan berita penting sekali kepada para pimpinan Jeng-hwa-pang, ketua Jeng-hwa-pang itu segera saling pandang dengan dua orang pembantunya. Sebagai orang-orang kang-ouw yang banyak pengalaman, tentu saja mereka tidak memandang rendah terhadap laporan adanya ‘pemuda pelajar’ itu dan mereka merasa curiga.

Akan tetapi dengan tenang Ciu Hek Lam cepat memberi perintah agar menyuruh pemuda itu masuk saja ke ruangan itu, di mana dia melanjutkan sarapan paginya bersama dua orang pembantunya. Membiarkan tamu masuk ke dalam jauh lebih menguntungkan dari pada menemui tamu di luar. Apa lagi tamunya hanya seorang pemuda remaja, yang tidak cukup pantas kiranya untuk disambut di luar.

Tidak lama kemudian, masuklah Thian Sin diantar oleh dua orang penjaga ke ruangan itu. Melihat tiga orang kakek duduk menghadapi meja santapan dan memandang kepadanya penuh perhatian, Thian Sin segera melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat.

“Harap sam-wi locianpwe sudi memaafkan bila mana saya datang mengganggu sam-wi,” katanya dengan ramah dan sikap sopan sehingga begitu melihat wajah tampan dan ramah ini tiga orang kakek itu sudah merasa tertarik dan senang.

Diam-diam Thian Sin menyapu ketiga orang kakek itu dengan pandangan matanya. Dia melihat kakek yang duduk di kepala meja adalah seorang kakek yang usianya sudah tua, tentu ada tujuh puluh tahun, seorang kakek tinggi kurus yang mukanya pucat seperti tak berdarah, matanya sipit sekali dan jubahnya berwarna kuning. Dia pun menduga bahwa agaknya kakek inilah ketua Jeng-hwa-pang dan dugaannya memang benar karena kakek itu adalah Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam.

Kemudian dia juga memandang kepada dua orang tosu yang duduk di samping kakek pertama itu. Kim Thian Sengcu adalah seorang tosu berusia enam puluh tahun, tubuhnya kurus dan mukanya hitam, ada pun Gin Thian Sengcu, sute-nya, berusia dua tiga tahun lebih muda, tubuhnya gemuk dan bermuka kuning, wajahnya berseri.

Karena tamunya ini hanyalah seorang pemuda belasan tahun, maka tentu saja Tok-ciang Sianjin tidak bangkit dari tempat duduknya, melainkan tersenyum sambil berkata, “Orang muda, menurut laporan penjaga, engkau bernama Thian Sin dan datang hendak bertemu dengan pimpinan Jeng-hwa-pang! Nah, kini engkau sedang berhadapan dengan pimpinan Jeng-hwa-pang, katakan, apakah yang hendak kau sampaikan kepada kami?”

Thian Sin merasa jantungnya berdebar tegang, namun wajahnya masih tersenyum manis ketika dia bertanya. “Apakah saya sedang berhadapan dengan pimpinan Jeng-hwa-pang? Bolehkah saya mengetahui nama sam-wi locianpwe (tiga orang tua gagah) yang mulia?”

Karena pemuda itu mempunyai wajah yang amat tampan dan sikapnya juga amat sopan menyenangkan, Tok-ciang Sianjin mengelus-elus jenggotnya kemudian menjawab sambil tersenyum.

“Orang muda yang baik, ketahuilah bahwa aku adalah Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam, ketua Jeng-hwa-pang. Dan mereka ini adalah pembantu-pembantuku.”

“Pinto adalah Kim Thian Sengcu.”

“Pinto Gin Thian Sengcu.”

Dua orang tosu itu juga merasa amat tertarik dan suka kepada Thian Sin, maka mereka pun masing-masing memperkenalkan diri.

“Sekarang katakanlah, apa keperluanmu ingin berjumpa dengan kami,” Tok-ciang Sianjin bertanya mendesak.

“Sam-wi Locianpwe, sejak lama sekali saya telah mendengar nama besar dan kehebatan Jeng-hwa-pang sehingga saya merasa kagum bukan main dan baru hari ini saya memiliki kesempatan untuk menyaksikan dengan mata sendiri tentang kebesaran Jeng-hwa-pang. Terus terang saja, saya datang untuk mencari guru!”

“Ha-ha-ha-ha, engkau mencari guru? Maksudmu guru silat atau guru sastera?” Gin Thian Sengcu bertanya sambil tertawa. “Kalau mau belajar silat, tentu kau boleh masuk menjadi anggota Jeng-hwa-pang, akan tetapi kalau ingin belajar sastera… wah, siapa yang dapat mengajarmu?”

“Orang muda, apakah engkau ingin belajar silat?” Ketua Jeng-hwa-pang itu pun bertanya sambil tersenyum karena dia merasa suka sekali jika dapat mempunyai murid setampan ini.

“Memang benar, saya ingin mencari guru silat dan kabarnya Jeng-hwa-pang merupakan gudangnya jago silat yang lihai, maka saya mencari ke sini.”

“Ha-ha-ha, kalau begitu benar seperti yang dikatakan oleh Gin Thian Sengcu tadi, engkau boleh menjadi anggota Jeng-hwa-pang dan aku sendiri yang nanti akan melatihmu,” kata Tok-ciang Sianjin sambil mengelus jenggotnya. Bagi seorang kakek seperti dia, kini sudah agak jauh dari wanita, malah dia akan lebih senang berdekatan dengan seorang pemuda yang setampan dan sehalus itu.

“Terima kasih atas kebaikan locianpwe, akan tetapi saya telah mengambil keputusan ingin berguru kepada orang yang dapat mengalahkan saya dalam ilmu silat.”

Muka tiga orang kakek yang tadinya tersenyum-senyum itu tiba-tiba berubah dan mereka saling pandang karena timbul lagi kecurigaan hati mereka.

“Orang muda, apakah engkau pernah belajar silat?” tanya Tok-ciang Sianjin atau Dewa Bertangan Racun itu.

“Saya sudah belajar dari banyak guru silat, tetapi akhir-akhir ini banyak guru yang menipu, hanya hendak mencari uang saja tanpa mempunyai ilmu yang tulen. Oleh karena itu, saya tidak mau dikecewakan lagi, dan sekarang saya hanya akan berguru kepada orang yang dapat mengalahkan saya.”

Ketua Jeng-hwa-pang itu mengangguk-angguk. “Bagus, memang engkau sungguh cerdik. Biarlah kami juga hendak melihat sampai di mana tingkatmu sehingga lebih mudah untuk membimbingmu apa bila engkau belajar di sini.” Tok-ciang itu kemudian bertepuk tangan memanggil.

Para pengawal datang dan Tok-ciang lalu menyuruh panggil seorang murid tingkat empat dari Jeng-hwa-pang. Seorang murid datang, dan dia ini seorang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan tampaknya kuat, gerak-geriknya gesit. Memang demikianlah, makin tinggi ilmu silat seseorang, maka makin tak kentara nampak pada dirinya, sebaliknya yang tingkat ilmunya masih rendah selalu ingin menonjolkan dan memamerkan diri dengan bermacam lagak, baik melalui langkah-langkahnya yang dibikin cepat dan gesit, mau pun melalui tonjolan-tonjolan uratnya dan sebagainya. Hanya sekali pandang saja maklumlah Thian Sin bahwa orang ini hanya mempunyai kekuatan otot saja dan tidak atau belum memiliki ilmu silat yang tinggi.

“Nah, Thian Sin, coba engkau hadapi murid Jeng-hwa-pang tingkat empat ini,” Tok-ciang berkata sambil tersenyum dan cara dia memanggil nama itu seakan-akan dia memanggil seorang murid saja.

Secara diam-diam Thian Sin merasa girang karena ternyata dia sudah dapat memperoleh kepercayaan dari ketua Jeng-hwa-pang ini. Sekarang dia akan dapat menghadapi mereka secara halus, dengan bertanding satu melawan satu sehingga akan lebih mudah baginya untuk dapat merobohkan ketiga orang ini tanpa harus menghadapi pengeroyokan banyak sekali orang.

“Baik, locianpwe,” katanya dan dia pun melangkah ke tengah ruangan yang cukup luas itu.

“Kau boleh merobohkan dia, akan tetapi jangan sekali-kali menggunakan pukulan maut,” pesan Tok-ciang kepada murid Jeng-hwa-pang itu. Kemudian sambil tersenyum dia juga berkata kepada Thian Sin. “Orang muda she Thian, kalau engkau sampai kalah, engkau tidak harus mengangkat dia menjadi guru, melainkan engkau akan menjadi muridku kalau memang kulihat engkau berbakat. Nah, mulailah kalian!”

Murid Jeng-hwa-pang itu sudah memasang kuda-kuda dengan gaya yang sangat gagah, dengan kedua kakinya memasang kuda-kuda terpentang setengah berjongkok, tangan kiri di depan dada dan tangan kanannya di depan pusar. Otot-otot kedua lengannya menonjol dan sepasang matanya memandang ke arah Thian Sin dengan sinar mata merendahkan.

Melihat ini, Thian Sin maklum bahwa sekali gebrakan saja dia akan mampu merobohkan bahkan membunuh lawannya, tetapi dia berpura-pura gentar dan memasang kuda-kuda biasa saja, kuda-kuda dengan kaki kanan di depan dan kaki kiri di belakang, kuda-kuda seorang yang baru belajar silat.

“Haiiiiitttttt…!”

Murid Jeng-hwa-pang itu mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya telah menyerang bagaikan seekor singa mengamuk. Dengan tenaga otot yang keras dia mengirim pukulan bertubi-tubi ke arah tubuh Thian Sin.

Pemuda remaja ini berpura-pura kewalahan dan terdesak, akan tetapi dia dapat mengelak ke sana-sini, membuat kakinya agak kacau sambil terhuyung, namun tak pernah pukulan lawan bisa mengenainya. Dia pun sambil mengelak balas memukul secara sembarangan saja, maka tentu saja pukulan-pukulannya dapat ditangkis atau dielakkan oleh lawannya. Terjadilah pertandingan yang seru karena agaknya kedua fihak sama kuat.

Pada saat ketua Jeng-hwa-pang melihat pemuda remaja itu mampu menghadapi murid ke empat dari Jeng-hwa-pang, biar pun kedudukan kakinya masih kurang kuat dan gerakan-gerakannya masih kaku, hati ketua ini cukup puas. Pemuda itu bukan seorang lemah dan dapat menjadi murid Jeng-hwa-pang yang baik, pikirnya.

Setelah lewat lima puluh jurus, Thian Sin pun merasa cukup. Apa lagi dia mulai tidak kuat menahan bau keringat lawannya sungguh melebihi bau cuka yang paling keras dan kalau dia tak bertahan, tentu dia sudah terbangkis-bangkis. Maka, pada saat lawannya kembali menyerang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia telah siap sedia untuk mengakhiri pertandingan itu.

“Haiiii… ekkk…!”

Bentakan orang tinggi tegap itu terpaksa berhenti di tengah jalan karena perutnya kena disodok pukulan Thian Sin, ada pun pemuda itu membiarkan pukulan lawan menyerempet pundaknya sehingga membuat dirinya terdorong mundur sampai lima langkah akan tetapi lawannya telah berjongkok sambil menyeringai kesakitan, menekan-nekan perutnya yang menjadi mulas!

Terdengar Gin Thian Sengcu tertawa. Tosu ini memang berwatak gembira dan melihat murid tingkat empat itu menekan-nekan perut sambil menyeringai, maka dia tidak mampu menahan geli hatinya dan dia pun berkata, “Wah, usus buntumu terkena agaknya. Sudah, pergi sana, kau sudah kalah!”

Murid itu bangkit berdiri dengan kedua tangan masih menekan perut, lalu mundur dengan muka penuh keringat dingin.

“Bagus! Kau sudah menang, maka kau boleh menjadi murid Jeng-hwa-pang, Thian Sin!” kata Tok-ciang dengan girang. Biar pun gerakan pemuda itu masih kaku, namun jelas dia masih menang sedikit dibandingkan dengan murid tingkat ke empat tadi.

“Akan tetapi, locianpwe. Saya sudah mengambil keputusan hanya akan berguru bila saya telah dikalahkan,” kata Thian Sin dengan sikap bandel, bagai sikap seorang pemuda yang masih hijau dan bodoh.

“Hemm, mengapa engkau berkeras harus dikalahkan dulu? Bukankah dikalahkan itu tidak enak dan menyakitkan? Melawan murid tingkat ke empat tadi pun engkau sudah nyaris kalah dan hanya dapat menang dengan susah payah. Apa bila kami mendatangkan murid tingkat ke tiga, tentu engkau akan kalah.”

“Biarlah saya kalah, karena hanya kalau sudah kalah saya mau mengangkat guru,” jawab Thian Sin.

“Panggil saja murid tingkat ke tiga,” Kim Thian Sengcu memberi usul.

“Jangan,” kata Tong-ciang “Murid tingkat tiga meski pun dapat menang, akan tetapi tentu tidak mudah dan hal itu berbahaya bagi pemuda ini, mungkin dapat celaka kalau terkena pukulan yang terlampau kuat baginya. Sebaiknya suruh Lim Seng saja maju dan kalahkan dia dengan mudah agar Thian Sin yakin bahwa kepandaiannya masih jauh dan dia perlu berguru di tempat ini.”

Yang disebut Lim Seng adalah murid kelas pertama dari Jeng-hwa-pang, yang tentu saja mempunyai kepandaian yang sudah tinggi karena dia adalah murid dari ketua sendiri, dan kedudukannya hanya di bawah dua orang tosu pembantu itu. Lim Seng segera dipanggil dan seorang kakek berusia hampir lima puluh tahun tiba di tempat itu.

“Lim Seng, anak itu adalah calon muridku. Kau boleh mengujinya, dan boleh merobohkan dia, akan tetapi jangan sampai dia terluka parah apa lagi tewas. Ingat, dia adalah calon sute-mu yang termuda,” kata Ketua Jeng-hwa-pang itu kepada muridnya.

Lim Seng yang bertubuh tinggi kurus itu memandang kepada Thian Sin dan alisnya pun berkerut. Mengapa gurunya menerima seorang murid baru secara langsung seperti ini? Akan tetapi sesudah melihat betapa pemuda remaja itu amat tampan, dengan kulit halus putih seperti kulit wanita, dengan wajah yang berseri dan ramah, mengertilah dia dan dia pun tidak mau banyak cerewet lagi.

“Baik, suhu,” Dan dia pun menghampiri Thian Sin yang sudah berada di tengah ruangan itu. “Orang muda, kau jagalah dirimu baik-baik dan lihat, aku sudah mulai menyerangmu!” Berkata demikian, Lim Seng sudah melangkah maju lantas tangannya menampar dari kiri, dan tamparan ini mendatangkan angin pukulan yang cukup kuat.

Maka tahulah Thian Sin bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang ‘berisi’, dan bukan pemamer otot seperti lawannya yang tadi. Cepat dia pun mengelak sambil kakinya melangkah mundur dan balas memukul ke arah dada lawan agar tampak bahwa dia pun telah melawan dengan ‘sungguh-sungguh’. Padahal seperti tadi, tentu saja dia pun hanya main-main saja, mengatur agar perlawanannya terhadap murid Jeng-hwa-pang itu terlihat seimbang!

Para murid Jeng-hwa-pang, sejak tingkat paling rendah, sudah mulai mempelajari racun yang merupakan keistimewaan dari perkumpulan itu, terutama racun bunga hijau. Akan tetapi, mereka itu hanya mulai mempelajari cara mempergunakan racun-racun itu, seperti dalam mencampurkannya dengan makanan, minuman, sebagai asap beracun atau bubuk beracun, atau cara merendam senjata dengan racun.

Bahkan sampai murid tingkat dua pun baru mempelajari cara penggunaan luar ini karena tingkat sinkang mereka dianggap belum cukup untuk mempelajari ilmu pukulan beracun dengan jalan merendam dan melatih tangan di dalam racun sehingga dapat dipergunakan untuk melakukan serangan dengan pukulan yang mengandung hawa beracun.

Akan tetapi Lim Seng, sebagai murid tingkatan pertama, atau boleh dibilang murid kepala dari Jeng-hwa-pang, tentu saja dia pun telah mempelajari ilmu pukulan beracun yang oleh ketuanya dinamakan Jeng-hwa-ciang (Tangan Bunga Hijau). Ilmu pukulan ini sangat lihai, karena sepasang tangan sudah dilatih secara bertahun-tahun direndam dalam sari racun bunga hijau. Jangankan tangan itu sampai berhasil mengenai sasaran tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah mampu meracuni lawan!

Dilihat dari tingkatnya ini, sesungguhnya Lim Seng sudah merupakan tokoh yang sangat lihai, tetapi karena dia dipesan oleh suhu-nya agar merobohkan pemuda tampan ini tanpa melukainya sampai parah apa lagi menewaskannya, maka dia bersilat dengan hati-hati dan tentu saja tidak mengeluarkan ilmu pukulan Jeng-hwa-ciang itu.

Betapa pun lihainya Lim Seng, dia bukanlah tandingan Thian Sin. Apa lagi dia tidak berani mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Andai kata dia mengeluarkan seluruh kelihaiannya sekali pun, mana mungkin dia melawan murid tersayang dari pendekar sakti Cia Sin Liong yang terkenal sebagai Pendekar Lembah Naga?

“Hyaaaattt…!” Tiba-tiba Lim Seng membentak dengan nyaring, kedua tangannya sudah menyerang dengan cepat sekali, tangan kanan menyambar ke arah telinga kiri lawan, ada pun tangan kiri mencengkeram ke arah pusar.

Serangan ini memang hebat dan cepat sekali, akan tetapi Thian Sin pun mengerti bahwa serangan yang nampak hebat itu hanyalah gertakan belaka dan maklum bahwa serangan susulanlah yang menjadi inti serangan lawan. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu akan hal itu. Karena itu, melihat serangan kedua tangan lawan itu, cepat dia mengelak dengan melangkah ke belakang persis seperti yang dikehendaki oleh Lim Seng.

Melihat pemuda itu mengelak dengan kaget, Lim Seng tersenyum dan tiba-tiba saja kaki kanannya sudah menyambut dengan sapuan keras dan cepat. Sapuan kakinya itu tepat mengenai kedua kaki Thian Sin dan pemuda remaja ini pun terpelanting. Sebelumnya Lim Seng sudah dapat membayangkan betapa pemuda itu akan roboh terguling dan dia akan memperoleh kemenangan mudah, akan tetapi sungguh tak diduganya bahwa tubuh yang terpelanting itu dapat berjungkir balik membuat salto dua kali dan turun lagi ke atas tanah dengan ringan, bahkan lalu mengirim tendangan berantai kepadanya sehingga membuat dia terhuyung lantas berusaha menghindarkan diri dari tendangan-tendangan itu dengan mengelak dan berloncatan ke belakang. Dengan demikian, bukan Thian Sin yang roboh kalah, melainkan Lim Seng yang kena didesak!

Melihat ini, Tok-ciang Sianjin gembira bukan main, dan juga kagum. Bocah yang hendak menjadi muridnya itu ternyata hebat dan lincah sekali! Maka tahulah dia sekarang bahwa dia sudah mendapatkan seorang calon murid yang baik sekali, bukan hanya masih muda remaja dan amat tampan seperti wanita cantik, akan tetapi juga memiliki bakat yang amat menonjol dalam ilmu silat!

“Bagus…!” dia memuji kagum ketika melihat betapa sebuah tendangan kaki kiri pemuda itu berhasil mencium pangkal paha sebelah kiri Lim Seng, membuat murid pertama dari Jeng-hwa-pang itu terhuyung.

Pujian ini mengingatkan Thian Sin, sebab itu dia pun menahan diri dan membiarkan lawan mengirim serangan-serangan bertubi-tubi sehingga kini dialah yang didesak. Dia teringat bahwa dia tak boleh tergesa-gesa memenangkan pertandingan ini agar dia tidak dicurigai dan akhirnya dia pun bisa berhadapan dengan musuh-musuh besarnya itu secara leluasa, melalui pertandingan.

Terkena tendangan itu, walau pun tidak membuatnya menderita terlalu nyeri, akan tetapi membuat Lim Seng penasaran sekali. Belum ada sepuluh jurus namun dia sudah terkena tendangan balasan sebagai hasilnya menyapu kaki tadi!

Dengan demikian, keadaan mereka berdua masih sama kuatnya, belum ada yang roboh akan tetapi juga keduanya telah berhasil mengenai lawan masing-masing satu kali! Kalau dia tidak ingat pesan gurunya, tentu sudah dikeluarkan ilmu pukulannya yang beracun.

Agaknya Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam menjadi semakin tertarik ketika lewat tiga puluh jurus, pemuda remaja itu ternyata masih saja mampu menandingi murid kepala itu! Saking pandainya Thian Sin membawa diri, ketua Jeng-hwa-pang ini sampai tidak sadar betapa anehnya melihat pemuda yang tadi hanya mampu mengalahkan murid ke empat dengan selisih sedikit saja itu kini mampu menandingi murid utama sampai begitu lamanya! Begitu gembira dia sampai dia lalu berseru kepada Lim Seng, menganjurkan murid pertama ini untuk mempergunakan ilmu silat paling tinggi yang pernah diajarkannya kepada murid ini.

“Lim Seng, pergunakan jurus-jurus Hui-liong Sin-kun!”

Ilmu silat ini adalah hasil ciptaan Ciu Hek Lam sendiri dan melihat namanya saja Hui-liong Sin-kun (Silat Sakti Naga Terbang) dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu silat ini! Dan hati Lim Seng gembira sekali mendengarkan ucapan suhu-nya karena tadinya dia merasa ragu-ragu untuk mempergunakan ilmu simpanan itu, apa lagi karena ilmu itu mengandung daya serangan yang amat dahsyat, padahal dia tak berani untuk melukai murid baru yang agaknya disayang oleh gurunya itu.

Akan tetapi kini gurunya sendiri yang memerintahkan. Maka, andai kata sampai bocah itu terkena pukulan dahsyat dan terluka, gurunya tidak dapat menyalahkan dia!

“Baik, suhu!” jawabnya.

Tanpa membuang waktu lagi, dia pun lalu merubah gerakannya dan kini dia melakukan serangan yang amat keras dan dahsyat sehingga tiap kali lengannya bergerak memukul, didahului oleh angin pukulan yang berdesir dahsyat, sedangkan tubuhnya berloncatan ke atas seperti seekor naga yang hendak terbang ke langit!

Melihat ini, Thian Sin sengaja mengeluarkan seruan-seruan kaget dan membiarkan dirinya terdesak hebat, bahkan dia membiarkan dirinya terhuyung-huyung, seakan-akan gerakan lawan amat membingungkannya.

Ciu Hek Lam memandang dengan dua mata terbelalak. Dia memang menyuruh muridnya mempergunakan ilmu itu, bukan hendak mencelakai Thian Sin, melainkan dia sendiri juga merasa penasaran dan kagum, maka dia ingin tahu sampai di mana tingkat murid baru itu. Selain itu diam-diam dia pun merasa heran dan penasaran sekali, mengapa sampai sekarang dia belum juga mampu mengenal dasar ilmu silat yang dimainkan oleh pemuda remaja itu!

Sekarang pertandingan itu menjadi semakin hebat dan seru karena makin cepat Lim Seng bergerak, makin cepat pula Thian Sin mengimbanginya, dan anehnya, hal ini hanya terasa oleh Lim Seng, betapa makin besar dia mempergunakah tenaga, ternyata semakin besar pula tenaga bocah itu ketika menangkisnya! Dan dengan ilmu yang sangat diandalkannya ini, yaitu dengan Hui-liong Sin-kun, setelah melewatkan dua puluh jurus lagi, tetap saja dia belum mampu mengalahkan Thian Sin!

Sementara itu, mengingat bahwa sudah cukup lama dia mempermainkan lawannya, maka Thian Sin mulai mencari kesempatan untuk keluar sebagai pemenang. Sesudah dia tadi menghadapi serangan-serangan Lim Seng, dia segera tahu bahwa bila dia menghendaki, maka dalam beberapa jurus saja dia tentu dapat merobohkan lawan!

Dia lantas mempergunakan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang sengaja dia campur-campur dengan gerakan lain untuk menyembunyikan keaslian ilmunya, maka tidak mengherankan kalau ketua Jeng-hwa-pang itu tidak dapat mengenal ilmu silatnya. Andai kata dia terang-terangan mainkan Thai-kek Sin-kun sekali pun, belum tentu Tok-ciang mengenal ilmu itu, apa lagi kalau dicampur-campur seperti itu!

“Plakk!”

Pipi kanan Lim Seng ditampar oleh tangan Thian Sin, cukup keras sehingga terasa panas dan pipi itu menjadi merah kehitaman.

Tentu saja Lim Seng menjadi amat marah dan malu, sedangkan Tok-ciang dan dua orang pembantunya terbelalak keheranan. Murid kepala itu kena ditampar! Dan melihat betapa yang ditampar itu tidak roboh, dapat diketahui bahwa tenaga tamparan itu tidaklah besar, akan tetapi yang membuat mereka terheran, mengapa Lim Seng sampai kena ditampar? Padahal kalau melihat gerakan-gerakannya, jelas bahwa Lim Seng masih menang cepat dan menang kuat pula!

“Plakk!”

Kembali tamparan Thian Sin mengenai pipi Lim Seng sehingga kedua pipi orang itu kini menjadi merah dan bengkak! Bukan tamparan Thian-te Sin-ciang tentu saja, karena kalau Thian Sin menggunakan ilmu pukulan itu, sekali tampar saja tentu kepala itu akan pecah! Betapa pun juga, tamparan itu sudah cukup memanaskan, terutama sekali memanaskan hati dan inilah yang dikehendaki oleh Thian Sin. Lawannya menjadi marah bukan main.

Dengan suara menggereng hebat, Lim Seng memandang kepada lawannya dengan mata melotot. Dia merasa malu sekali, apa lagi karena secara diam-diam tempat itu sekarang ternyata telah penuh dengan murid-murid Jeng-hwa-pang yang merasa tertarik untuk turut menonton pertandingan itu. Dia dihina di hadapan gurunya, juga di hadapan banyak murid Jeng-hwa-pang!

Maka dengan kemarahan meluap-luap, dia menubruk ke depan dan menyerang Thian Sin dengan pukulan Jeng-hwa-ciang! Nama pukulan ini indah, yaitu Jeng-hwa-ciang (Tangan Bunga Hijau) akan tetapi sesungguhnya amat keji karena kedua tangan itu mengandung racun bunga hijau yang sangat jahat. Kedua tangannya berubah menjadi hijau warnanya dan begitu tangan menyambar, tercium bau harum bercampur amis menyambar ke arah kepala Thian Sin!

“Lim Seng, jangan kau bunuh dia!” Tok-ciang Sianjin berseru kaget melihat muridnya itu menggunakan pukulan beracun.

Akan tetapi seruannya itu terlambat sudah, karena pukulan telah dilakukan dengan amat dahsyatnya. Semua orang menyangka bahwa Thian Sin akan terkena pukulan itu, lantas akan roboh dan terluka hebat yang akan dapat disembuhkan oleh ketua Jeng-hwa-pang kalau belum mati oleh pukulan itu.

“Desssss…!”

Pemuda remaja itu terhuyung ke belakang, akan tetapi tubuh Lim Seng sendiri terlempar ke belakang lalu terbanting keras. Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi roboh lagi dan hanya dapat bangkit duduk kemudian mengeluh panjang pendek dan memegangi lengan kanannya yang ternyata menjadi salah urat dan menggembung di pergelangan tangannya. Agaknya keseleo.

Semua orang menjadi bengong, malah Tok-ciang juga terbelalak. Mana mungkin ini? Jelas bahwa muridnya menggunakan pukulan Jeng-hwa-ciang, akan tetapi kenapa hanya sekali tangkis saja muridnya malah terlempar dan pergelangan tangannya terkilir atau terlepas sambungan tulangnya? Ilmu apa yang digunakan oleh pemuda remaja itu dan mengapa pemuda remaja itu sama sekali tidak nampak terluka oleh hawa beracun dari Jeng-hwa-ciang?

Saat dia masih terheran-heran, lima orang pria berusia sekitar tiga puluh lima tahun sudah berloncatan ke depan dan melihat gerakan mereka yang sama dan teratur, dapat diduga bahwa mereka itu merupakan orang-orang yang berilmu tinggi. Dan mereka itu memang merupakan adik-adik seperguruan Lim Seng dan tingkat kepandaian mereka biar pun tak setinggi Lim Seng namun tidak berselisih banyak dan mereka berlima itu terkenal dengan ilmu silat bersama yang dinamakan Ngo-heng-tin, yaitu semacam ilmu silat berlima yang teratur dengan sangat baiknya.

“Suhu, biarkanlah teecu berlima menghadapinya!” kata orang pertama dari mereka.

Tok-ciang Sianjin memandang kepada Thian Sin, kemudian bertanya, “Thian Sin, apakah engkau tidak terluka?”

Thian Sin melangkah maju lantas menjura dengan hormatnya. “Saudara Lim tadi memang hebat dan sungguh baik hati sekali suka mengalah.”

“Thian Sin, engkau hebat dan aku suka menerimamu menjadi murid. Sudahlah, tak perlu diadakan percobaan lagi,” kata Ketua Jeng-hwa-pang itu, dan diam-diam merasa kagum sekali.

Thian Sin menggelengkan kepalanya. “Maaf, locianpwe. Saya tak biasa menarik kembali keputusan atau janji saya. Saya tidak akan berguru kalau belum dikalahkan.”

“Hemm, jadi apa bila aku ingin mengambilmu sebagai murid, aku harus mengalahkanmu lebih dulu?” Ketua Jeng-hwa-pang itu memandang tajam dan mengerutkan alisnya.

“Kalau locianpwe sudah mengalahkan saya, tentu dengan sepenuh hati saya akan tunduk kepada locianpwe dan tidak ragu-ragu lagi untuk mengangkat locianpwe sebagai guru.”

“Hemm, engkau sungguh berhati baja. Bagaimana jika aku kesalahan tangan dan dalam pertandingan membunuhmu?”

“Kalau sudah begitu, apa yang perlu disesalkan? Barangkali nasib saya saja yang buruk.”

Sementara itu, Lim Seng sudah mampu berdiri lagi. Dengan muka yang masih merah dan agak bengkak akibat tamparan-tamparan tadi, dan masih sambil memegangi pergelangan tangannya yang salah urat, dia lalu berkata, “Suhu, dia itu mencurigakan sekali!”

Akan tetapi Tok-ciang Sianjin yang sudah merasa suka kepada Thian Sin menghardiknya, “Masuklah dan obati tanganmu!”

“Suhu, biarlah teecu berlima mencobanya sebelum suhu sendiri turun tangan!” kata pula pimpinan dari Ngo-heng-tin.

Mendengar ini Tok-ciang Sianjin tersenyum dan mendapat pikiran baik. Dia masih belum percaya benar bahwa Thian Sin mampu mengalahkan Lim Seng karena ilmunya menang tinggi. Mungkin saja hanya karena kebetulan atau karena Lim Seng keliru menggunakan tenaganya.

Ngo-heng-tin adalah ilmu yang amat kuat, apa lagi dimainkan oleh lima orang. Jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan kepandaian Lim Seng. Sedangkan dia sendiri tidak begitu gampang untuk melumpuhkan tin atau barisan itu pada waktu melatih mereka dan harus menghadapi Ngo-heng-tin yang diciptakannya sendiri itu. Sebab itu dia yakin bahwa kalau Ngo-heng-tin maju, tentu seorang pemuda remaja seperti Thian Sin tak akan berdaya dan sekali telah terkurung, maka tidak akan mampu melepaskan diri lagi sehingga tentu dapat diringkus dan dikalahkan.

“Thian Sin, sebelum menghadapi aku sendiri, cobalah kau hadapi Ngo-heng-tin dari lima orang muridku ini. Beranikah engkau?”

“Kalau locianpwe menghendaki, mengapa tidak berani? Saya datang untuk mencari guru yang pandai dan meyakinkan.”

Tok-ciang mengangguk-angguk lalu memberi isyarat dengan gerakan kepala, menyuruh kelima orang murid itu maju menghadapi Thian Sin. Pemuda ini tahu bahwa menghadapi pengeroyokan lima orang bukan hal yang boleh dipandang ringan, maka telah mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepandaiannya yang sejati.

Lima orang anggota Ngo-heng-tin itu pun sudah berloncatan ke depan, kemudian dengan gerakan kaki lincah mereka segera berdiri mengurung Thian Sin dalam bentuk segi lima. Oleh karena namanya juga Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur), maka mereka berlima itu mewakili kedudukan Air, Api, Angin, Kayu dan Logam.

Mereka bisa bergerak serentak dan saling membantu dan melindungi dengan baik sekali. Sesuai dengan isyarat yang diberikan oleh Tok-ciang, mereka berlima tidak mengeluarkan senjata dan hanya mempergunakan tangan kosong untuk mengalahkan pemuda remaja ini.

Lima orang anggota Ngo-heng-tin itu tidak membuang banyak waktu lagi. Setelah mereka mengurung, mereka langsung mulai melakukan penyerangan yang bertubi-tubi dan saling susul, saling bantu dengan kecepatan yang hebat! Thian Sin terkejut juga.

Biar pun dia sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun dia kurang pengalaman sehingga ketika mengalami pengeroyokan teratur dalam bentuk tin ini, dia menjadi kaget dan merasa kerepotan juga. Dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, mencoba untuk menerobos keluar, akan tetapi ke mana pun dia meloncat, tetap saja lima orang itu terus-menerus membentuk segi lima yang mengurungnya dan terus menyerangnya dari segala jurusan.

Selagi Thian Sin hendak mengeluarkan kepandaiannya untuk balas menyerang, tiba-tiba terdengar suara teriakan orang,

“Benar dialah itu! Dia adalah seorang di antara dua pemuda dari Istana Lembah Naga! Dialah yang membuntungi lenganku!”

Yang berteriak ini adalah Loa Song, anggota Jeng-hwa-pang yang dulu pernah memimpin orang-orang untuk membuat kekacauan di dusun daerah Lembah Naga, ayah tiri Hwi Leng yang lengan kirinya sudah buntung pada waktu melawan Thian Sin itu! Semua anak buahnya sudah turut bersama rombongan baru yang pergi menyiksa dan membunuh Hwi Leng dan Loa Song ini karena buntung lengannya dan masih dalam perawatan, maka dia tidak ikut.

Seperti kita ketahui, seluruh rombongan yang membunuh Hwi Leng itu dapat disusul oleh Thian Sin dan semuanya dibunuh oleh pemuda ini. Karena tidak ikut di dalam rombongan itulah maka Loa Song tidak ikut terbunuh. Tadi dia masih berada dalam kamarnya karena buntungnya lengan itu tidak hanya membuatnya merasa sakit badannya, akan tetapi juga membuatnya berduka sekali.

Ketika mendengar ribut-ribut bahwa ada seorang pemuda yang sedang dicoba oleh ketua Jeng-hwa-pang dan bahwa pemuda itu lihai bukan main, sudah mengalahkan Lim Seng, dia merasa curiga dan tertarik, lalu sambil menahan rasa sakit, dia keluar dari kamarnya untuk ikut nonton. Dapat dibayangkan betapa terkejut dan marahnya ketika dia mengenal pemuda itu, maka dia pun lalu berteriak.

Di lain fihak, ketika Thian Sin melihat siapa adanya orang yang berteriak itu, kemarahan membuat mukanya berubah menjadi merah. Inilah ayah tiri Hwi Leng yang jahat itu dan orang inilah yang menjerumuskan Hwi Leng sampai dara itu tewas.

“Ha-ha-ha, babi buntung, sekarang aku tidak dapat mengampunimu lagi!”

Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia sudah terlepas dari kurungan lima orang anggota Ngo-heng-tin yang tidak dapat berbuat apa-apa karena sekali berkelebat pemuda itu telah lenyap! Maka terdengarlah teriakan dan orang hanya melihat betapa tubuh Loa Song telah terlempar ke atas dan kedua kakinya tahu-tahu telah dipegang oleh Thian Sin!

Orang yang buntung lengan kirinya ini langsung berteriak-teriak minta tolong! Sedangkan Ngo-heng-tin cepat mencabut senjata masing-masing ketika ketua mereka sudah bangkit berdiri dan berteriak marah.

“Bunuh dia!” Tok-ciang marah sekali karena sama sekali dia tidak mengira bahwa pemuda remaja yang amat disuka dan dikaguminya itu ternyata adalah musuh besar, pemuda dari Istana Lembah Naga. Dia kecewa sekali dan menjadi marah bukan main!

Akan tetapi Thian Sin yang sudah marah itu kini tak mau berpura-pura lagi. Dengan tubuh Loa Song sebagai ‘senjata’ dia langsung menyerbu, memutarkan tubuh yang dia pegang kedua kakinya itu menyambut Ngo-heng-tin!

“Prakk! Prakk!” terdengar bunyi berkali-kali.

Orang-orang di sana tidak ada yang tahu bagaimana terjadinya, akan tetapi tubuh kelima orang Ngo-heng-tin itu berturut-turut terpelanting roboh, dengan kepala pecah! Kemudian Thian Sin melemparkan pula tubuh Loa Song yang sudah menjadi mayat dengan kepala yang tak karuan rupanya karena kepala Loa Song tadi telah dipakai oleh Thian Sin untuk menghantam kepala lima orang Ngo-heng-tin itu berturut-turut. Kalau lima orang itu roboh dengan kepala retak, tentu saja Loa Song tewas dengan kepala yang remuk-remuk akibat lima kali diadu dengan kepala lima orang!

Thian Sin kini berdiri di tengah ruangan, berdiri tegak dan mengangkat kepalanya dengan sikap amat angkuh. Suasana menjadi sunyi karena semua orang masih terkejut dan ngeri menyaksikan sepak terjangnya tadi.

“Jeng-hwa-pang, dengarlah baik-baik! Aku memang datang dari Istana Lembah Naga dan ketahuilah bahwa namaku adalah Ceng Thian Sin! Aku datang bukan hanya atas nama Lembah Naga, tapi sekaligus juga untuk membalaskan kematian ayahku, Pangeran Ceng Han Houw dan ibuku!”

Mendengar ini, seketika wajah Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam menjadi pucat. Juga kedua pembantunya, Kim Thian Sengcu dan Gin Thian Sengcu sudah berdiri.

“Bunuh dia! Kepung, jangan sampai lolos!” bentak Ketua Jeng-hwa-pang itu.

Akan tetapi Thian Sin sudah mendahuluinya, meloncat dengan terjangan bagaikan seekor harimau muda kelaparan, menerjang dan menyerangnya dengan hebat, mempergunakan tamparan Thian-te Sin-ciang.

Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam tadi menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya, menggunakan hawa beracun dari tangannya, akan tetapi begitu bertemu dengan pukulan Thian-te Sin-ciang, tubuhnya terlempar ke belakang dan hanya dengan berjungkir balik dia dapat menyelamatkan diri dari bantingan keras. Diam-diam dia terkejut bukan main.

Pemuda remaja itu ternyata mempunyai tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya! Untung bagi Tok-ciang bahwa dari kanan dan kirinya, dua orang tosu Pek-lian-kauw yang menjadi pembantu-pembantunya sudah menubruk ke depan dan menyerang Thian Sin. Kim Thian Sengcu sudah menyerang dengan pedangnya, sedangkan Gin Thian Sengcu menyerang dengan kebutan bajanya yang ampuh.

Melihat serangan-serangan ini, Thian Sin lalu meloncat ke belakang dan karena dari arah belakangnya telah datang murid-murid Jeng-hwa-pang yang membawa beraneka macam senjata, maka dia pun segera mengamuk. Kilatan-kilatan senjata yang menimpanya bagai hujan, dielakkannya dengan gerakan cekatan, dan setiap serangan yang dielakkannya itu tentu disambut dengan tamparan atau tendangan.

Demikian cepatnya gerakannya, demikian kuatnya sehingga setiap kali dia menggerakkan tangan atau kaki, tentu tubuh seorang pengeroyok terlempar dan tak dapat bangun lagi! Kadang-kadang, dengan tangan telanjang saja dia menangkis golok atau pedang, lengan bajunya sudah robek-robek dan hancur, akan tetapi berkat Ilmu Thian-te Sin-ciang, kulit lengannya menjadi kebal dan bukan kulit lengannya yang terluka, sebaliknya pedang dan golok itu yang patah atau terlempar jauh!

Melihat kelihaian pemuda itu, Tok-ciang segera mencabut senjatanya yang ampuh, yaitu pecut baja. Terdengar bunyi ledakan-ledakan ketika dia menggerakkan pecut bajanya dan ketua Jeng-hwa-pang ini menyerang dengan dahsyatnya. Pecut baja itu pun meledak dan menyambar ke arah ubun-ubun kepala Thian Sin.

Pemuda ini maklum akan bahaya maut ini, maka dia pun cepat mengelak dan berusaha menangkap ujung pecut. Akan tetapi, dengan gerakan pergelangan tangannya, Tok-ciang menarik kembali pecutnya dan dengan satu ujung pecut baja itu kini meluncur ke depan dan menotok ke arah jalan darah di ulu hati Thian Sin.

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.