Pendekar Sadis Jilid 09 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sadis Jilid 09
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PADA waktu yang hampir berbarengan, Kim Thian Sengcu juga sudah menyerang dengan pedangnya, lantas disusul pula oleh Gin Thian Sengcu yang menyerang dengan kebutan bajanya. Melihat betapa tiga orang pemimpin Jeng-hwa-pang maju, tentu saja para murid Jeng-hwa-pang segera mundur dan membentuk lingkaran mengepung dan menjaga agar pemuda remaja itu tidak mungkin dapat melarikan diri dari tempat itu.

Dikeroyok tiga oleh ketua Jeng-hwa-pang dan kedua orang tokoh Pek-lian-kauw itu, repot juga Thian Sin harus menghindarkan diri dari kejaran tiga macam senjata itu. Ilmu silatnya memang sudah hebat sekali, akan tetapi dia masih belum berpengalaman, dan apa lagi pada waktu itu dia yang hanya bertangan kosong harus menghadapi tiga macam senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan ahli. Betapa pun juga, dia tidak merasa gentar dan dia tetap tersenyum, senyum yang menyeramkan karena di baliknya terbayang kebencian yang hebat bukan kepalang.

Sepasang matanya yang bagus itu mengeluarkan cahaya dingin, dan tiga orang kakek itu merasa ngeri setelah melihat kenyataan betapa kedua lengan pemuda remaja itu mampu menangkis tiga macam senjata itu tanpa terluka sedikit pun! Dan meski pun dia diserang secara bergantian dan didesak, Thian Sin kini mulai msmpu melakukan serangan balasan yang cukup hebat!

Dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun dan dengan gerakan kaki dalam ilmu silat ini dia mampu menghindarkan diri dari semua serangan, lalu sebagai balasan dia menggunakan pukulan atau tamparan Thian-te Sin-ciang yang tidak kalah ampuhnya bila dibandingkan dengan tiga macam senjata tiga orang kakek yang menjadi lawannya.

Karena dikeroyok tiga orang, untuk menghindarkan senjata lawan yang panjang dan yang selalu menyerang bagian lemah dari tubuhnya, kadang-kadang Thian Sin harus meloncat ke pinggir, akan tetapi dia langsung disambut oleh tusukan atau bacokan dari para murid Jeng-hwa-pang yang mengepung tempat itu.

Akan tetapi, dengan tangkisan yang dilanjutkan tamparan, dalam waktu cepat dia mampu merobohkan satu dua orang, untuk kemudian membalik untuk menghadapi desakan tiga orang kakek itu lagi! Melihat ini, Tok-ciang menjadi penasaran dan marah sekali. Pemuda remaja itu dalam waktu singkat telah membunuh belasan orang anak muridnya.

“Kurung dia dengan api!” teriaknya.

Kini para murid Jeng-hwa-pang itu menyalakan obor dan setiap kali Thian Sin meloncat ke pinggir, dia tidak lagi disambut dengan senjata melainkan dengan obor menyala! Tentu saja Thian Sin tidak berani menyambut api itu karena dia tidak kebal terhadap api, maka terpaksa dia kembali mendesak ke tengah lantas menyambut tiga orang kakek itu dengan mati-matian.

“Mampuslah!” Tiba-tiba pecut baja itu berubah menjadi kaku seperti tombak dan menusuk ke arah dada Thian Sin.

Melihat ini, Thian Sin menggerakkan lengannya menangkis sambil mengerahkan tenaga untuk mematahkan senjata itu. Akan tetapi pecut baja itu terbuat dari baja yang amat baik sehingga saat ditangkis, ujungnya melentur dan tanpa dapat dihindarkan lagi, ujung pecut yang runcing itu menusuk pangkal lengan kiri Thian Sin.

Pemuda itu merasa betapa pangkal lengannya panas sekali. Maklumlah dia bahwa ujung pecut baja itu tentu mengandung racun dan cepat dia mengerahkan sinkang seperti yang pernah dipelajarinya dari Pendekar Lembah Naga. Memang hebat sekali karena begitu dia mengerahkan hawa sakti dari pusar itu menuju ke bagian yang terluka, dari luka kecil itu keluar darah lalu semua racun yang dibawa ujung pecut dan mengotori luka itu terbawa keluar oleh darah!

“Ha-ha-ha!” Tok-ciang Sianjin tertawa bergelak karena dia merasa amat yakin bahwa luka dengan ujung pecut itu satu kali saja sudah cukup, dan dia merasa yakin bahwa dalam waktu satu dua menit lagi pemuda remaja itu akan roboh karena racun yang terkandung di ujung pecutnya itu amat ganas.

Akan tetapi, betapa kagetnya ketika tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara melengking keras dan tahu-tahu pemuda itu telah menerjang dan menubruknya seperti seekor burung elang rajawali menyambar seekor ular. Tok-ciang mengeluarkan seruan kaget, berusaha mengelak sambil memukulkan pecutnya.

Thian Sin tidak berhasil memberi pukulan yang tepat, namun kakinya sempat menyambar dan mengenai paha lawan, membuat Tok-ciang terhuyung dan pemuda remaja itu dengan kecepatan kilat telah berhasil menangkap cambuk. Terjadi tarik-menarik dan hampir saja Tok-ciang tidak dapat mempertahankan cambuknya lagi.

Akan tetapi pada saat itu dua orang tokoh Pek-lian-kauw telah menyerang dari kanan kiri. Terpaksa Thian Sin melepaskan cambuknya, dilepaskannya dengan amat tiba-tiba hingga cambuk itu melecut ke arah muka pemiliknya. Baiknya Tok-ciang sudah melempar tubuh ke samping, kalau tidak tentu dia menjadi korban senjatanya sendiri.

Dia meloncat bangun dan wajahnya berubah agak pucat. Tidak disangkanya pemuda itu sedemikian hebatnya, dan sungguh dia merasa heran bagaimana pemuda itu belum juga jatuh setelah pangkal lengannya terluka oleh pecut baja yang mengandung racun?

Kini Thian Sin sudah marah sekali. Biar pun dia berhasil menghindarkan diri dari bahaya maut dengan mengeluarkan racun itu seketika dari pundaknya, namun luka pada pangkal lengan dekat pundak itu cukup mendatangkan rasa nyeri.

Pada saat dia diserang oleh pedang dari kanan dan kebutan dari kiri, dia miringkan tubuh sehingga pedang itu lewat saja, kemudian cepat dia menangkap pergelangan tangan Kim Thian Sengcu sambil mengerahkan tenaga Thi-khi I-beng! Dia telah melanggar pantangan dan pesan ayah angkatnya agar tidak sembarangan mempergunakan ilmu ini.

“Heiii…?!” Kim Thian Sengcu berteriak aneh ketika mendadak dia merasa betapa tenaga sinkang dari tubuhnya mengalir keluar bagaikan air bah, tersedot melalui tangan pemuda remaja itu! Dia belum pernah mendengar, apa lagi merasakan hal seperti ini, maka dia terkejut bukan main.

Gin Thian Sengcu juga sudah menyerang dengan kebutannya yang memukul ke arah punggung Thian Sin. Pemuda ini sama sekali tidak mengelak.

“Prattt!”

Kebutan itu mengenai punggung, akan tetapi disusul teriakan aneh dari Gin Thian Sengcu karena kebutannya itu melekat pada punggung dan tenaga sinkang-nya juga membanjir keluar. Dia berusaha untuk menarik kebutannya, akan tetapi makin kuat dia mengerahkan tenaga, makin banyak pula tenaga sinkang yang mengalir keluar dari tubuhnya!

Dia mengalami hal yang sama dengan Kim Thian Sengcu, karena kakek ini pun merasa betapa pergelangan tangannya yang dipegang lawan itu melekat dengan erat dan makin dia berusaha melepaskan diri, makin hebat pula tenaganya tersedot keluar.

Melihat ini, mula-mula Tok-ciang terkejut dan heran. Akan tetapi dia lalu teringat akan ilmu aneh yang kabarnya dimiliki oleh keluarga Cin-ling-pai, yaitu ilmu Thi-khi I-beng yang bisa menyedot tenaga sinkang lawan. Teringat akan hal ini, dia cepat menggerakkan pecutnya dan kini pecut itu menjadi kaku seperti tombak dan menyerang dengan tusukan-tusukan ke arah kedua mata pemuda remaja itu!

Melihat ini, tentu saja Thian Sin menjadi terkejut dan tidak mungkin dia membuat matanya kebal terhadap tusukan pecut. Terpaksa dia melepaskan dua orang lawan itu dan sambil menundukkan mukanya dia lalu berusaha menangkap ujung pecut, akan tetapi Tok-ciang sudah menarik kembali pecutnya.

Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu merasa lega ketika mereka terlepas. Sudah ada tenaga sinkang mereka yang memberobot keluar, membuat kepala mereka terasa agak pening. Dengan marah kini mereka menyerang lagi, lebih hebat dari pada tadi, akan tetapi juga dengan hati-hati sekali karena mereka tidak ingin mengalami hal seperti tadi, yang amat berbahaya akan tetapi juga amat mengerikan hati mereka.

“Siapkan jala langit!” tiba-tiba terdengar Tok-ciang Sianjin berteriak sambil memperhebat serangannya, dibantu oleh dua orang kakek Pek-lian-kauw itu.

Thian Sin tidak tahu apa maksud perintah itu. Akan tetapi karena dia diserang secara gencar oleh tiga macam senjata yang lihai, dia terpaksa harus mencurahkan perhatiannya dan mencari kesempatan bagaimana agar dia dapat mengalahkan tiga orang musuhnya ini.

Dia tidak tahu bahwa di atas langit-langit itu sudah dipasangi jala yang tadinya tergulung dan tersembunyi dan kini, dengan menarik beberapa tali-temali dari bawah, jala itu telah terbentang di atas ruangan itu. Dia masih terus mengamuk ketika tiba-tiba saja dari atas menyambar turun sehelai jala dan pada saat itu, tiga orang lawannya telah berloncatan ke belakang. Dia tidak mungkin dapat menghindar karena tempat itu dikurung banyak orang yang memegang obor bernyala dan juga senjata-senjata yang menodongnya, maka jala itu tepat menimpa dan menyelimuti dirinya.

Thian Sin menjadi semakin marah, meronta-ronta dan berusaha merobek-robek jala itu. Akan tetapi ternyata jala itu terbuat dari pada benang-benang yang amat kuat, tidak dapat dibikin putus karena dapat mulur dan ulet bukan main.

Selagi dia meronta dan berusaha membebaskan dirinya, tiba-tiba jala itu ditarik naik dan tubuhnya yang sudah terbungkus jala itu ikut terbawa naik pula! Thian Sin berusaha untuk melepaskan diri, akan tetapi sia-sia belaka dan kini tubuhnya sudah tergantung di udara, terselimut jala yang amat kuat itu, ada pun para anggota Jeng-hwa-pang bersorak-sorak dengan girang, memaki-maki dan mengejeknya.

Tok-ciang Sianjin yang sudah menjadi sangat marah setelah melihat demikian banyaknya anak buahnya yang tewas, menyambar sebatang tombak dari tangan seorang murid dan dengan tombak ini dia menyerang Thian Sin, melontarkan tombak itu ke arah tubuh yang terbungkus jala dan tergantung di atas itu. Tombak itu meluncur dengan sangat cepatnya dan tepat mengenai punggung Thian Sin.

“Dukkk…!” Tombak itu seperti mengenai besi saja sehingga terpental dan jatuh terbanting berkerontangan di atas lantai.

Semua orang terkejut sekali. Pemuda remaja itu sungguh hebat, kekebalannya membuat serangan tombak itu tidak ada gunanya! Dan memang Thian Sin yang maklum bahwa dia tidak mampu menangkis atau mengelak, telah melindungi dirinya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang membuat tubuhnya menjadi kebal terhadap serangan senjata tajam atau runcing.

“Hemm, ingin kulihat apakah engkau juga kebal terhadap api!” Tiba-tiba Tok-ciang Sianjin berkata sambil tertawa. “Ha-ha-ha, mari kita melihat anak Pangeran Ceng Han Houw ini menjadi sate panggang seperti anak babi, ha-ha-ha!”

Semua murid Jeng-hwa-pang tertawa dan mereka lalu mengumpulkan kayu-kayu kering, dibawa ke dalam ruangan itu dan ditumpuk di bawah tempat Thian Sin tergantung.

“Ha-ha-ha, Ceng Thian Sin, apa lagi yang hendak kau katakan sekarang? Apakah engkau hendak minta ampun?” Tok-ciang mengejek.

Dia merasa sangat marah apabila melihat mayat-mayat para anak buah yang berserakan di tempat itu. Pemuda remaja itu benar-benar telah mendatangkan kerugian besar sekali, tidak hanya kerugian akibat kematian banyak anak murid, akan tetapi juga telah merusak nama besar Jeng-hwa-pang.

“Kakek iblis terkutuk! Mau bunuh lekas bunuh, siapa takut mampus? Kalau gagah, jangan gunakan kecurangan, lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!” Thian Sin memaki dan menantang.

“Lekas bereskan dia, pangcu (ketua). Dia itu bocah setan yang sangat berbahaya!” kata Kim Thian Sengcu, masih teringat akan pengalamannya ketika tersedot oleh Ilmu Thi-khi I-beng tadi. Tentu saja dia maksudkan bahwa bocah itu terlalu lihai untuk dibiarkan hidup.

Tok-ciang Sianjin cepat mengambil sebatang obor dari tangan anak buahnya, kemudian melemparkan obor itu di atas tumpukan kayu kering yang segera terbakar dan bernyala, makin lama makin tinggi.

Thian Sin telah merasakan hawa panas dari bawah, maka dia mengumpulkan hawa murni untuk mempertahankan diri selama mungkin. Otaknya lalu bekerja dan dia mengharapkan bahwa tubuhnya lebih kuat bertahan dari pada jala itu. Jika jala itu lebih dulu terbakar dari pada tubuhnya, tentu jala itu akan terobek dan dia dapat meloncat turun lalu mengamuk. Akan tetapi kalau jala itu lebih kuat bertahan terhadap api dari pada tubuhnya, maka dia akan mati, hal yang bukan apa-apa karena dia akan menyusul ayah bundanya!

Meski pun api belum menjilat tubuhnya, akan tetapi hawa panas sudah membuat seluruh tubuhnya berkeringat dan pakaiannya menjadi basah semua, dan asap telah membuat dia sukar untuk bernapas pula. Akan tetapi sedikit pun tidak ada keluhan terdengar dari mulut pemuda itu. Suara tawa dan ejekan orang-orang Jeng-hwa-pang tidak didengarnya lagi.

Tiba-tiba terdengar kegaduhan dan orang-orang yang berada di bawah itu menjadi kacau-balau. Thian Sin cepat membuka matanya kemudian memandang ke bawah. Timbul pula semangatnya pada saat dia melihat Han Tiong sedang mengamuk di antara orang-orang Jeng-hwa-pang.

“Tiong-ko, lepaskan dulu aku agar dapat membantumu!” teriak Thian Sin dengan girang.

Han Tiong memandang ke atas dan cepat dia merampas sebatang pedang lalu meloncat ke atas, pedangnya diayun membabat ke arah jala. Jala terobek dan terbuka. Thian Sin meloncat bersama kakaknya dan kini mereka berdua mengamuk.

Thian Sin bersikap ganas bukan main. Setiap pukulannya tentu dilakukan sepenuh tenaga sehingga setiap orang yang kena pukulannya tentu roboh dan tidak dapat bangun kembali karena kepalanya pecah atau tulang dadanya patah. Melihat sepak terjang adiknya ini, apa lagi melihat bahwa di sana sudah berserakan mayat belasan orang banyaknya, Han Tiong menjadi ngeri.

“Sin-te, jangan membunuh orang!” teriaknya lantang.

Mendengar teriakan kakaknya ini, Thian Sin membantah, suaranya halus akan tetapi juga penasaran. “Koko, mereka hampir saja membunuhku!”

Mereka berdua menerjang sedemikian hebatnya hingga para anak buah Jeng-hwa-pang terdesak keluar dari ruangan itu. Juga Tok-ciang Sianjin beserta dua orang pembantunya sudah berloncatan keluar karena ruangan itu penuh dengan tubuh berserakan dan asap yang menyerang mata. Dua orang muda itu segera berloncatan keluar mengejar.

“Sin-te, sudah terlampau banyak orang yang kau bunuh!” kembali Han Tiong menegur, suaranya kini terdengar tegas dan penuh nada teguran.

“Baiklah, Tiong-ko…!”

Tok-ciang Sianjin telah menerjang maju dengan pecut bajanya, disambut oleh Han Tiong, ada pun Thian Sin kini dihadapi oleh kedua orang tosu Pek-lian-kauw. Pertempuran terjadi di luar rumah dan amat serunya.

Akan tetapi di antara para anak buah Jeng-hwa-pang tidak seorang satu pun yang berani mendekat, karena setiap kali mendekat mereka tentu roboh oleh dua orang muda perkasa itu. Mereka sudah berusaha menggunakan racun-racun, bahkan telah menaburkan bubuk beracun atas perintah Tok-ciang, akan tetapi semua itu tidak ada gunanya karena kedua orang muda itu tidak roboh oleh penyebaran bubuk racun itu.

Senjata-senjata mereka tidak ada yang dapat mengenai tubuh mereka, bahkan kini Han Tiong mendesak Tok-ciang sedangkan Thian Sin membuat dua orang tosu Pek-lian-kauw itu kalang-kabut. Mereka hanya mampu mempertahankan diri belaka dari desakan Thian Sin yang sudah marah sekali kepada mereka.

“Plakk! Plakk!”

Untuk pertama kalinya, dua orang tosu itu berkenalan dengan tamparan Thian-te Sin-ciang dan mereka menjerit lantas roboh terpelanting. Thian Sin mengejar dan dua kali kakinya menginjak.

“Krekk-krekk!” terdengar bunyi tulang patah-patah dan dua orang tosu itu tewas dengan tulang iga dan tulang leher patah-patah!

“Sin-te…!” Han Tiong berteriak marah.

Tok-ciang Sianjin sendiri sudah terdesak amat hebat dan ketika melihat betapa dua orang pembantunya telah tewas dalam keadaan mengerikan itu, dia pun lalu meloncat jauh dan melarikan diri, diikuti oleh para muridnya yang masih selamat.

“Tiong-ko, aku harus membunuh mereka berdua. Mereka adalah kakek-kakek iblis yang jahat, dan kalau tadi engkau tidak keburu datang, aku tentu telah menjadi babi panggang!” kata Thian Sin yang mencoba berkelakar, akan tetapi melihat pandangan mata kakaknya yang tajam dan penuh teguran itu, dia pun segera menunduk.

Han Tiong memandang ke sekeliling tempat itu. Sunyi saja. Tidak kelihatan seorang pun anggota Jeng-hwa-pang. Mereka semua sudah lari dan meninggalkan mereka yang tewas atau terluka. Tidak kurang dari dua puluh orang yang rebah, kebanyakan telah tewas oleh tangan Thian Sin. Han Tiong bergidik dan menarik napas panjang.

“Sin-te, berapa banyak orang yang telah kau bunuh? Rombongan yang sudah kau bunuh di hutan itu! Dan sekarang di sini! Ah, lupakah engkau akan semua pelajaran dari Paman Hong San Hwesio? Dan lupakah engkau akan semua pesan ayah bahwa kita tidak boleh membunuh orang? Dan engkau hari ini telah menyebar maut!”

Thian Sin mengangkat muka dan memandang kakaknya. Baru sekarang dia sadar akan semua perbuatannya dan dia pun merasa menyesal sekali. “Mereka… mereka membunuh ayahku… ibuku… dan mereka membunuh Hwi Leng! Ahh… Tiong-ko, mereka… mereka merenggut nyawa orang-orang yang kucinta… aku menjadi mata gelap, kau maafkanlah aku, Tiong-ko…” Dan Thian Sin lalu menutupi kedua mata dengan kedua tangan. Pemuda remaja ini menangis!

Han Tiong merasa terharu dan kasihan sekali. Dia sangat sayang kepada adiknya ini dan dia pun dapat merasakan betapa hancur hati adiknya itu melihat kematian Hwi Leng, apa lagi karena yang membunuh dara itu adalah orang-orang Jeng-hwa-pang yang dahulu ikut mengambil bagian dalam kematian ayah bunda pemuda itu. Betapa pun juga, ada alasan yang amat kuat mendorong adiknya itu menjadi mata gelap. Dan segalanya sudah terjadi, dan yang terbunuh itu, bagaimana pun juga, harus diakui adalah orang-orang jahat yang sudah sepatutnya ditentang karena mereka itu hanya mengotori dunia dengan perbuatan-perbuatan mereka yang kejam dan jahat.

Didekatinya adiknya kemudian dirangkulnya. “Sudahlah, segala hal sudah terlanjur. Hanya kuminta agar lain kali engkau jangan terlampau membiarkan dirimu terhanyut dalam arus kemarahan dan dendam yang membutakan mata.”

Thian Sin terisak dan balas merangkul kakaknya. “Terima kasih, Tiong-ko, tentu aku akan memperhatikan nasehatmu. Harap… harap engkau… tak melaporkannya kepada ayah… aku takut akan tegurannya…”

Han Tiong menahan senyum dan saat itu dia melihat luka di pangkal tangan adiknya. “Eh, engkau terluka? Parahkah lukamu?”

Thian Sin tersenyum, matanya masih basah, dan dia menggelengkan kepala, “Terkena tusukan pecut baja ketua Jeng-hwa-pang. Memang mengandung racun akan tetapi sudah kukeluarkan dengan dorongan tenaga sinkang.”

“Baik kalau begitu, nah, mari kita urus mereka.”

“Urus mereka? Siapa?”

Han Tiong menuding ke arah orang-orang yang tubuhnya menggeletak di sana sini. “Urus mayat-mayat itu, dan urus mereka yang terluka,” katanya dengan nada suara agak dingin karena dia teringat betapa Thian Sin membunuh seluruh rombongan Jeng-hwa-pang dan membiarkan mayat-mayat mereka begitu saja di tengah hutan.

Thian Sin masih belum begitu mengerti akan tetapi dia mengikuti kakaknya, lantas tanpa banyak cakap lagi dia membantu kakaknya pada saat Han Tiong mulai membuat lubang besar untuk mengubur semua mayat, bahkan lalu mengobati mereka yang terluka parah.

Menjelang senja, Han Tiong mengajak adiknya untuk kembali ke Lembah Naga. Wajah Thian Sin nampak muram sekali di sepanjang perjalanan.

“Jangan khawatir, adikku. Aku tidak akan melaporkan kepada ayah tentang pembunuhan-pembunuhan itu.”

Thian Sin menarik napas panjang. “Aku percaya sepenuhnya padamu, koko. Akan tetapi, bukan itu yang menjadikan pikiran… aku… aku tak dapat melupakan Hwi Leng…” Dan dia menarik napas panjang berulang-ulang.

Diam-diam Han Tiong merasa kasihan sekali. Mengapa adiknya ini demikian lemah kalau menghadapi wanita cantik? Dia juga tahu bahwa adiknya telah merasa kehilangan akibat kematian Hwi Leng, dan untuk kedua kalinya patah hati setelah dahulu kehilangan Cu Ing.

Sesudah keduanya sampai di Istana Lembah Naga dan berhadapan dengan ayah dan ibu mereka. Han Tiong menceritakan secara singkat betapa mereka berdua sudah mengejar sampai ke sarang Jeng-hwa-pang dan berhasil mengobrak-abrik sarang itu hingga ketua Jeng-hwa-pang melarikan diri bersama anak buah mereka.

“Engkau terluka, Thian Sin. Parahkah lukamu? Coba kau mendekat.”

Cia Sin Liong memeriksa luka itu. “Hemm kau telah mendorong racunnya keluar. Bagus sekali. Ehh, Thian Sin, berapa banyak orang yang telah kau bunuh?”

Ditanya secara tiba-tiba seperti itu, wajah Thian Sin lantas berubah, akan tetapi dia cepat menekan perasaan hatinya. “Saya… saya tidak tahu, ayah…, mereka mengeroyok maka saya membela diri sedapat saya…”

“Ayah, Sin-te hampir saja celaka, sudah terjebak dalam jala dan digantung, nyaris dibakar hidup-hidup.”

“Untunglah Tiong-ko segera datang sehingga dapat menolong saya, dan kami berdua lalu mengamuk dan mengalahkan mereka…”

Cia Sin Liong menarik napas panjang. Tentu saja dia tahu akan semua itu. Tadi dia telah menyusul mereka lalu secara diam-diam dia menonton semua yang terjadi. Dia sengaja tidak turun tangan dan membiarkan saja segala sepak terjang Thian Sin dan Han Tiong, maka dia melihat pula perbedaan antara puteranya sendiri dan putera angkatnya itu.

Hatinya sangat khawatir menyaksikan keganasan Thian Sin tetapi dia pun kagum melihat keberaniannya ketika sudah tertawan namun masih sangat berani itu. Dan melihat betapa Han Tiong sangat melindungi dan membela adiknya, maka Cia Sin Liong diam saja tidak mau mendesak lebih jauh tentang pembunuhan yang dilakukan Thian Sin itu. Dia hanya bertanya tentang pertempuran itu.

Thian Sin lalu menceritakan dengan panjang lebar mengenai pertempuran itu, akan tetapi tentu saja tidak berani bercerita bahwa dia telah mempergunakan Thi-khi I-beng. Kepada Han Tiong telah diceritakannya segala hal, bahkan juga tentang dia menggunakan Thi-khi I-beng dan untuk itu, Han Tiong telah menegurnya. Terhadap kakaknya, dia sama sekali tidak ingin dan tidak bisa menyembunyikan sesuatu, bahkan baru lega rasa hatinya kalau dia sudah menceritakan hal yang membuat hatinya tertekan kepada kakaknya.

Semenjak terjadinya peristiwa itu, Cia Sin Liong makin tekun menyuruh dua orang muda itu berlatih silat di bawah pengawasannya langsung. Dia melihat betapa sejak terjadinya peristiwa Jeng-hwa-pang itu, Thian Sin kelihatan banyak sekali duduk termenung dengan wajah yang membayangkan kedukaan dan kekecewaan.

Karena itu, sebagai orang yang sudah banyak pengalaman, dia pun bisa menduga bahwa pemuda yang romantis itu tentu sudah mengalami patah hati yang agak parah karena hal itu terjadi untuk yang kedua kalinya. Maka satu-satunya jalan sebagai pengobatan adalah menyuruhnya berlatih sebanyak mungkin, baik latihan ilmu silat mau pun berlatih siulian untuk menghimpun sinkang.

Pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali, Sin Liong telah mengamati dua orang puteranya yang sudah asyik berlatih silat di dalam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Dua orang pemuda itu bertelanjang dada, hanya memakai celana dan sepatu. Tubuh mereka yang muda itu nampak padat kuat dan penuh dengan tenaga yang membayang pada otot-otot mereka.

Sungguh amat menyenangkan dan mengagumkan menyaksikan kedua orang pemuda itu berlatih silat. Gerakan Thian Sin demikian cekatan, lincah dan indah, sebaliknya gerakan Han Tiong begitu mantap, tenang dan kokoh kuat seperti batu karang. Kalau dapat dibuat perbandingan, gerakan Thian Sin laksana gerakan ombak samudera yang bergelombang dan tidak kenal henti, sebaliknya Han Tiong bagaikan batu karang di tepi samudera yang kokoh kuat. Tetapi keduanya mempunyai daya kekuatan masing-masing dan terasa sekali oleh Cia Sin Liong yang asyik menonton kedua orang puteranya yang sedang berlatih itu, menonton sambil berdiri dan memangku tangan.

Pada saat itu, sambil mengeluarkan pekik melengking Thian Sin meloncat dan menyerang dengan tendangan yang disusul oleh cengkeraman tangan kanan, seperti seekor harimau yang menubruk mangsanya. Namun dengan tenangnya Han Tiong menangkis tendangan itu dan sudah siap menghadapi cengkeraman adiknya yang cepat dielakkannya dengan merendahkan tubuh lalu tangan kanannya yang tadi menangkis tendangan kini memukul dari bawah ke arah pusar lawan.

Thian Sin juga dapat menangkis, maka selanjutnya dua orang pemuda itu saling serang dengan hebatnya. Angin pukulan berdesir-desir terasa di seluruh lian-bu-thia itu sehingga diam-diam Pendekar Lembah Naga menonton dengan hati puas dan bangga. Akan tetapi di samping kebanggaan ini juga timbul kekhawatiran di dalam hatinya melihat bahwa pada wajah Thian Sin masih jelas terbayang kedukaan yang mendalam itu.

Dia melihat bahwa tidak percuma dia menggembleng dua orang muda itu karena ternyata semua ilmu silat yang mereka pelajari sudah mendekati kesempurnaan dan agaknya tidak berselisih jauh dengan dia sendiri. Tentu saja mereka masih belum memiliki kematangan pendekar karena mereka masih membutuhkan banyak pengalaman. Akan tetapi jelaslah bahwa jarang ada tokoh kang-ouw yang akan mampu menandingi mereka!

Tak lama kemudian, Bhe Bi Cu, isteri pendekar sakti ini, muncul dan menonton pula. Dan wanita yang cerdas ini pun dapat melihat kedukaan yang membayang pada wajah tampan anak angkat mereka, maka dia pun lantas memberi isyarat kepada suaminya dan mereka berdua pergi meninggalkan lian-bu-thia untuk duduk di ruangan dalam, di mana mereka membicarakan keadaan Thian Sin.

“Dia agaknya tidak dapat melupakan gadis itu,” kata Bi Cu setelah mereka berdua saja di dalam kamar.

“Ahh, dia seperti mendiang ayahnya, amat lemah menghadapi wanita,” kata Sin Liong.

“Dia amat mudah jatuh hati, mudah sekali sakit hati, mudah mendendam, akan tetapi juga mudah melupakan. Buktinya, dia dahulu juga berduka karena ditinggal Cu Ing, akan tetapi kini dia sudah melupakannya, dan dia jatuh hati kepada Hwi Leng. Aku yakin bahwa kalau dia berjumpa dengan gadis lain yang dapat memikat hatinya, dia pun akan lupa kepada Hwi Leng,” kata Bi Cu dengan hati tidak puas.

Sin Liong menarik napas panjang, teringat dia akan mendiang Ceng Han Houw yang juga sudah biasa mempermainkan wanita dan berganti-ganti pacar. “Pemuda semacam dia itu sebaiknya cepat dicarikan jodoh dan dinikahkan.”

Bi Cu mengerutkan sepasang alisnya. “Mungkinkah seorang pemuda seperti dia dicarikan jodoh begitu saja? Tanpa persetujuan dan kecocokan hatinya sendiri, agaknya hal itu tak mungkin dilakukan, juga belum tentu akan menjadi sebuah perkawinan yang bahagia.”

“Tentu saja harus dengan persetujuannya. Ahh, aku teringat sekarang. Bukankah Lan-moi mempunyai seorang anak perempuan? Siapa namanya? Ahh, aku lupa lagi…”

“Namanya Ciu Lian Hong, akan tetapi dia masih kecil, masih kanak-kanak!” kata Bhe Bi Cu yang juga teringat, bahkan dia ingat pula akan nama anak itu, anak dari Kui Lan dan Ciu Khai Sun, seorang anak perempuan yang mungil dan lembut.

“Aihh, masih kanak-kanak kan ketika kita ke sana dulu. Semenjak itu, tujuh tahun sudah lewat, apa kau sudah lupa? Tentu usianya sudah belasan tahun sekarang!”

“Benar, akan tetapi usianya paling banyak hanya baru tiga belas tahun, dia masih belum dewasa benar.”

“Betapa pun juga, usia belasan tahun tidak dapat dinamakan anak-anak lagi dan apa bila sudah berkenalan dengan anak itu, tentu dapat dirundingkan. Siapa tahu, salah seorang di antara mereka ada yang cocok dan suka…”

“Seorang di antara mereka?”

“Ya, bukankah kita harus pula mencarikan jodoh atau calon jodoh untuk Han Tiong? Dan andai kata salah seorang di antara mereka cocok dengan puteri Lan-moi, maka alangkah baiknya kalau kita berbesan dengan Ciu Khai Sun dan isterinya!”

“Hemm, lalu maksudmu bagaimana?”

“Tiong-ji dan Sin-ji sudah cukup dewasa dan kulihat ilmu silat mereka sudah cukup baik, hanya tinggal mematangkan dengan pengalaman saja. Untuk mengusir kedukaan yang menggoda hati Thian Sin, sebaiknya kalau mereka berdua itu kusuruh pergi melakukan perjalanan jauh. Mengunjungi kakek mereka di Cin-ling-san, berpesiar ke kota raja, dan kemudian mengunjungi bibi mereka di Lok-yang, berkenalan dengan anak-anak Lan-moi dan Lin-moi. Bukankah itu baik sekali?”

“Ahh, dan membiarkan mereka itu menghadapi dunia yang begitu kejam, di mana banyak terdapat orang-orang jahat yang lihai? Ingat, sekarang di dunia kang-ouw muncul raja-raja kaum sesat seperti Pak-san-kui dan yang lain-lain…,” kata Bi Cu khawatir.

“Ah, justru karena keadaan di dunia banyak kekacauan dan banyak bahaya itulah, maka mereka perlu untuk meluaskan pengalaman mereka di dunia kang-ouw. Mereka bukanlah anak-anak kecil lagi, isteriku, agar kau ingat ini. Sekarang mereka sudah dewasa dan ilmu kepandaian mereka sudah boleh diandalkan.”

Demikianlah, Pendekar Lembah Naga itu memberi tahu kepada dua orang pemuda itu akan rencananya dan tentu saja Han Tiong dan Thian Sin menyambut rencana itu dengan kegembiraan. Bahkan mereka diperbolehkan melakukan perantauan ke kota raja! Mereka menerima banyak nasehat dari suami isteri pendekar itu, bahkan mendengar penuturan Sin Liong tentang datuk-datuk kaum sesat, tentang orang-orang gagah di dunia kang-ouw dan tentang bahaya-bahaya yang mungkin akan mereka jumpai di dalam perantauan.

“Kalian ingat baik-baik,” demikian antara lain pendekar itu memberikan nasehat, “sebagai orang-orang yang membela keadilan dan kebenaran, di mana kalian berada, kalian harus membela orang-orang lemah yang tertindas. Akan tetapi, kalian tidak boleh menggunakan ilmu untuk membunuh orang, betapa pun jahat orang itu, karena perbuatan itu akan sama jahat dan kejamnya dengan perbuatan penjahat-penjahat itu sendiri. Di dalam membela orang-orang lemah, tentu saja kalian harus menentang tindakan sewenang-wenang dari mereka yang kuat, akan tetapi cukup kalau kalian memberi ingat, baik dengan kasar mau pun halus agar mereka itu tidak melanjutkan perbuatannya. Sedapat mungkin, hindarkan perkelahian, hindarkan pemukulan untuk melukai orang, apa lagi membunuhnya. Apakah kalian mengerti?” Biar pun kata-katanya memperingatkan dua orang pemuda itu, namun pandang mata pendekar ini ditujukan terutama kepada Thian Sin. Dua orang muda itu mengangguk.

Sesudah membuat persiapan-persiapan, tiga hari kemudian berangkatlah Han Tiong dan Thian Sin meninggalkan Lembah Naga. Hati mereka diliputi kegembiraan dan senanglah Han Tiong ketika melihat betapa wajah adiknya yang semenjak kematian Hwi Leng selalu membayangkan kemuraman itu kini berseri-seri penuh kegembiraan.

Mereka berangkat dengan hati lapang, laksana dua ekor burung yang baru terlepas dari sarang, diikuti pandangan mata Pendekar Lembah Naga dan isterinya sampai bayangan kedua orang muda itu lenyap di sebuah tikungan.

********************

Melihat adiknya melakukan perjalanan dengan sikap gembira sekali, maka Han Tiong ikut merasa gembira pula. Mereka mengaso di tepi sebuah hutan karena senja mulai tiba dan mereka lalu mengisi perut dengan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal, kemudian bersama dengan datangnya malam gelap mereka membuat api unggun, keduanya duduk di dekat api unggun yang hangat sambil bercakap-cakap.

“Senangkah engkau melakukan perjalanan ini, Sin-te?”

“Tentu saja, apakah engkau juga tidak merasa senang, Tiong-ko? Aku merasa bagaikan seekor burung yang keluar dari sarang, terbang bebas di udara. Melihat dunia di depan terbentang luas, hati siapa tidak menjadi gembira?”

Han Tiong tersenyum. Jika pada hari-hari kemarin dia tidak mau mengusik urusan lampau karena adiknya itu sedang dalam duka, maka kini dia menganggap sudah waktunya untuk bertukar pikiran tentang segala peristiwa yang dialami adiknya itu.

“Selama beberapa pekan ini engkau tampak amat berduka dan kecewa di rumah. Apakah kematian Hwi Leng yang membuat engkau menjadi demikian berduka, adikku?”

Thian Sin menggelengkan kepala, membuat kakaknya terheran. “Hwi Leng telah mati, hal itu tidak mungkin berubah biar aku akan menangis air mata darah sekali pun. Aku hanya merasa menyesal kalau melihat betapa semua pelajaran tentang kebaikan, baik yang kita terima dari Paman Hong San Hwesio mau pun dari ayah, atau dari kitab-kitab, ternyata tidak ada gunanya sama sekali.”

“Ehh? Apa maksudmu?” Han Tiong memandang tajam penuh selidik, terkejut mendengar ucapan itu.

“Maksudku? Aku bersusah payah menahan segala nafsu, bersusah payah menjadi orang baik menurut semua pelajaran itu, namun ternyata, akibatnya hanya merugikan diri sendiri belaka.”

“Hemm, aku masih belum mengerti.”

“Coba engkau ingat akan halnya Cu Ing dan Hwi Leng, Tiong-ko. Andai kata aku tidak mentaati semua pelajaran Paman Hong San Hwesio, andai kata dulu aku tidak bersikap alim, andai kata aku tidak menahan nafsu dan aku mengajak Cu Ing pergi bersamaku, menjadikannya sebagai isteriku, tentu dia tidak akan dibawa pergi oleh orang tuanya dan dikawinkan dengan orang lain. Begitu pula dengan Hwi Leng, andai kata dia kuajak hidup bersama, tentu dia tidak sampai dapat disiksa sampai mati oleh penjahat-penjahat itu!”

“Ahh, omongan apa yang kau keluarkan ini, Sin-te?” Han Tiong memandang dengan sinar mata tajam dan sejenak mereka saling bertentangan pandang mata, akan tetapi akhirnya Thian Sin menunduk.

“Maafkan aku, Tiong-ko.”

Han Tiong menyentuh lengan adiknya dan berkata, suaranya penuh kesabaran dan juga mengandung teguran halus, “Adikku, pendapatmu itu sungguh merupakan pendapat yang keliru sama sekali. Pendapatmu itu hanyalah didasarkan rugi untung, susah senang bagi diri sendiri belaka. Engkau merasa kecewa karena Cu Ing dikawinkan dengan orang lain sehingga engkau kehilangan, demikian pula engkau menyesal sebab dengan matinya Hwi Leng, engkau merasa dirugikan. Sebenarnya engkau tidak mencinta dua orang dara itu, adikku, melainkan mencinta dirimu sendiri, ingin memuaskan nafsu sendiri, maka ketika hal itu tidak terjadi, engkau merasa kecewa dan menyesal.”

Thian Sin kelihatan terkejut mendengar ucapan itu. “Apa… maksudmu? Tiong-ko, engkau tahu bahwa aku benar-benar mencinta mereka!”

Han Tiong menggelengkan kepala. “Kalau engkau mencinta Cu Ing, engkau tentu harus bersyukur bahwa gadis itu tidak melakukan hal yang mendatangkan aib bagi keluarganya dan bahwa dia kini telah menikah dengan calon suami yang telah dipertunangkan dengan dia sejak kecil. Dan mengenai Hwi Leng, dia mati pun hanya sebagai akibat dari keadaan hidupnya. Ingat, dia adalah puteri seorang anggota Jeng-hwa-pang, maka tentu saja dia dianggap pengkhianat dan dibunuh. Memang dia patut dikasihani karena menjadi korban keadaan, seperti juga Cu Ing patut dikasihani, karena menjadi korban adat-istiadat pula. Kalau engkau merasa kasihan kepada mereka, hal itu memang sewajarnya. Akan tetapi kalau engkau menyesal karena engkau merasa dirugikan dengan perginya mereka itu dari sampingmu, berarti engkau hanya memikirkan diri sendiri belaka.”

Thian Sin mengangguk-angguk. “Kini aku mulai mengerti, Tiong-ko, dan aku mulai dapat menangkap kebenaran kata-katamu. Memang, agaknya aku terlampau mementingkan diri sendiri saja.”

“Bagus, adikku. Berbahagialah orang yang dapat melihat kesalahan diri sendiri. Agaknya engkau terlalu peka, terlalu perasa sehingga engkau mudah jatuh cinta, mudah patah hati. Kuharap saja kelak engkau akan lebih berhati-hati, karena tak semestinya kalau seorang pendekar sedemikian lemahnya, Sin-te. Hidup ini memang mengandung lebih banyak segi yang kelabu, akan tetapi hal itu tidak semestinya melemahkan hati seorang pendekar. Kita harus dapat menanggulangi segala persoalan yang betapa pahit pun dengan tabah. Bukankah demikian ajaran-ajaran yang selama ini kita terima?”

Thian Sin memegang lengan kakaknya dan memandang dengan wajah berseri. “Jangan khawatir, adikmu ini telah melihat kesalahannya dan tak akan mengulang kebodohannya lagi.”

Thian Sin lalu mengeluarkan suling dari buntalan pakaiannya dan tak lama kemudian, di malam yang amat sunyi itu terdengar alunan suara tiupan suling yang merdu. Han Tiong tersenyum girang dan dia seperti dibuai oleh suara suling itu hingga akhirnya dia tertidur pulas di bawah pohon dekat api unggun.

Karena perjalanan itu melewati perbatasan di luar Tembok Besar yang menjadi sarang perkumpulan Jeng-hwa-pang, maka Han Tiong mengajak adiknya untuk singgah dahulu di tempat itu. Perkampungan Jeng-hwa-pang itu masih ada dan ketika mereka memasuki pintu gerbang, mereka melihat bahwa kini perkampungan itu ditempati oleh sedikitnya tiga puluh orang anggota Jeng-hwa-pang. Sebaliknya, melihat munculnya dua orang pemuda ini, para anggota Jeng-hwa-pang itu lari ketakutan.

“Harap kalian jangan lari! Kami datang dengan damai!” Han Tiong berseru nyaring.

Mereka yang mendengarnya itu menjadi terheran-heran, akan tetapi dengan muka masih pucat serta sikap yang gentar mereka berhenti dan menghampiri dua orang muda yang amat mereka takuti itu.

Han Tiong dan Thian Sin tersenyum melihat sikap mereka. “Kami bukan datang sebagai musuh,” kata Thian Sin. “Kami hanya kebetulan lewat dan ingin melihat keadaan di sini.”

Tiba-tiba seorang di antara para anggota Jeng-hwa-pang itu menjatuhkan diri berlutut ke arah dua orang muda itu dan semua orang yang berada di situ lalu mengikuti contoh ini. Mereka semua berlutut.

“Ji-wi taihiap harap sudi memaafkan kami semua…,” kata orang itu.

Han Tiong saling pandang dengan Thian Sin dan tersenyum, “Bangkitlah, kalian tak perlu berlutut. Kami datang hanya untuk menjenguk dan ingin tahu apa jadinya dengan tempat ini. Ternyata kalian masih tinggal di sini. Apakah Jeng-hwa-pang masih tetap berdiri di sini dan menggunakan tempat ini sebagai markas?”

“Tidak, tidak, taihiap. Para pimpinan sudah meninggalkan kami. Kami hanyalah anggota-anggota yang tidak mempunyai tempat tinggal lain, maka terpaksa kami kembali ke sini dan tinggal di sini,” jawab orang pertama.

Kini dua orang muda itu melihat wanita dan anak-anak bermunculan dari balik pondok-pondok itu. Tentu keluarga orang-orang Jeng-hwa-pang itu, pikir mereka.

Kemudian orang itu menceritakan bahwa sejak sarang Jeng-hwa-pang itu diobrak-abrik oleh kedua orang pemuda Istana Lembah Naga itu, ketua mereka, Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam tidak pernah kembali lagi, entah telah lari ke mana. Dan karena para anak buah Jeng-hwa-pang banyak yang tidak mempunyai tempat tinggal, maka berturut-turut mereka kembali ke situ setelah melihat bahwa keadaan aman kembali. Akan tetapi banyak juga di antara anak buah Jeng-hwa-pang yang sudah melarikan diri ke selatan. Hanya mereka yang memiliki keluarga saja tidak berani untuk menyeberangi Tembok Besar ke selatan.

Sesudah mendengar penuturan mereka itu, Han Tiong memandang ke sekeliling tempat itu. Keadaan mereka cukup baik dan tentu ketua Jeng-hwa-pang itu meninggalkan banyak juga harta benda untuk mereka.

“Saudara-saudara sekalian, dengarkanlah baik-baik. Kalian adalah manusia-manusia yang tak ada bedanya dengan kami dan dengan manusia-manusia lain. Saudara-saudara juga mempunyai anak isteri, berarti saudara-saudara mempunyai tanggung jawab. Oleh karena itu, kami harap mulai saat ini kalian semua suka mengubah cara hidup kalian, menjauhi pekerjaan yang tidak baik dan jangan sekali-kali mempergunakan ilmu kepandaian untuk mencelakakan orang lain. Kalian dapat bekerja sebagai petani, atau dengan modal yang ada, kalian dapat berdagang, atau dapat juga bekerja sebagai pengawal-pengawal para saudagar yang melewati Tembok Besar. Kalau kalian menjadi orang-orang yang bekerja sebagaimana mestinya, tidak lagi menjadi penjahat, tentu kalian akan dapat hidup dengan aman. Akan tetapi kalau kalian kembali pada pekerjaan yang dulu dan suka mengganggu orang lain, kelak apa bila kami lewat di sini lagi, sudah pasti kami akan turun tangan menghajar kalian dan mengusir kalian dari tempat ini.”

Orang-orang itu segera memberi hormat dan dengan suara riuh mereka menyatakan taat akan pesan pendekar muda itu. Kedua orang pemuda itu kemudian meninggalkan sarang Jeng-hwa-pang, atau lebih tepat lagi, perkampungan baru itu karena mereka semua tentu tidak mau lagi menggunakan nama Jeng-hwa-pang, dan melanjutkan perjalanan mereka menyeberangi Tembok Besar.

********************

Melihat betapa wajah Thian Sin nampak tidak puas, Han Tiong bertanya, “Ada apakah, Sin-te?”

“Tiong-ko, aku tidak percaya bahwa mereka itu akan mau kembali ke jalan benar. Mereka adalah orang-orang jahat, maka di hadapan kita tentu saja mereka berjanji akan mentaati pesanmu sebab mereka merasa takut. Akan tetapi kelak, aku yakin sekali bahwa mereka itu akan kembali menjadi penjahat, apa lagi kalau ada yang memimpin mereka.”

“Hemmm, habis kalau menurut pendapatmu, bagaimana? Apa yang harus kita lakukan tadi?”

“Kurasa lebih baik menghajar agar mereka takut benar-benar, dan membubarkan mereka. Karena dengan berkelompok itu mereka tentu akan menjadi lebih berani untuk melakukan kejahatan lagi. Orang-orang kejam dan jahat semacam mereka itu tidak boleh diberi hati, Tiong-ko!”

Han Tiong tersenyum, “Sin-te, mengapa engkau begitu keras terhadap orang-orang yang pernah melakukan penyelewengan dalam hidupnya? Apakah engkau lupa akan wejangan Paman Hong San Hwesio? Orang yang melakukan penyelewengan, yang kita namakan orang jahat, adalah orang yang sedang menderita penyakit. Bukan tubuhnya yang sakit, melainkan batinnya. Nah, bila kita menghadapi orang yang sakit, sebaiknya kita memberi obat, bukan? Ingat, orang yang sedang menderita sakit itu juga dapat sembuh, adikku, sedangkan kita yang sekarang ini sedang sehat, bisa saja sewaktu-waktu jatuh sakit! Tapi bagaimana pun juga, manusia adalah makhluk yang sangat lemah, baik badan mau pun batinnya. Karena itulah kita harus mengasihani mereka, adikku, bukan malah membenci mereka.”

“Mengasihani orang jahat?”

“Tentu saja, karena mereka itu sedang menderita sakit…”

“Dan kalau ada orang jahat membunuh ayah bunda kita, kekasih kita, apakah kita harus mengasihani penjahat itu juga?”

Dibantah seperti ini, Han Tiong tak mampu menjawab karena dia merasa tidak enak untuk membantah. Dia tahu bahwa pertanyaan itu timbul dari hati yang amat mendendam atas kematian ayah bunda adiknya ini, juga kematian kekasihnya.

Tentu saja dia tak mau mengingatkan adiknya bahwa ayahnya itu mati karena akibat dari pada perbuatannya sendiri! Demikianlah pula Hwi Leng tewas karena keadaan lingkungan hidupnya. Akan tetapi, untuk diam saja pun tidak enak, maka dia memperoleh jawaban yang dianggapnya tepat.

“Adikku, apakah sesungguhnya yang aneh dari kematian orang-orang yang hidup sebagai pendekar? Baik mendiang ayah bundamu, mau pun nona Loa Hwi Leng, mereka adalah orang-orang yang sejak kecil telah berkecimpung di dunia kang-ouw dan karenanya sudah tentu mempunyai banyak musuh-musuh. Kurasa tak ada yang harus menjadi penasaran. Andai kata kita sewaktu-waktu tewas di tangan orang yang memusuhi kita, bukankah hal itu sudah wajar dan tidak perlu dijadikan dendam?”

“Aku mengerti Tiong-ko. Akan tetapi agaknya engkau tidak dapat merasakan penderitaan seorang anak yang kehilangan kedua orang tuanya, terbunuh oleh orang-orang jahat.”

Han Tiong tidak mau membantah lagi karena hal itu hanya akan mendatangkan perasaan yang tidak enak saja. Maka dia pun mengajak adiknya bicara tentang hal-hal lain. Mereka segera melupakan bahan percakapan yang tak menyenangkan itu kemudian melanjutkan perjalanan dengan gembira sebab pemandangan pada sepanjang perjalanan yang melalui bukit-bukit itu amat mempesonakan.

Biar pun pada tujuh tahun yang lalu mereka berdua pernah melakukan perjalanan ke kota raja bersama Cia Sin Liong dan isterinya, ketika mereka kembali dari Kuil Thian-to-tang, namun ketika itu selain sudah lewat lama sekali, juga mereka tidak begitu lama berada di kota raja. Apa lagi Han Tiong sendiri yang pernah datang ke Cin-ling-pai bersama orang tuanya, adalah pada saat dia baru berusia sebelas tahun. Oleh karena perjalanan itu amat jauh dan dia sama sekali sudah tak ingat lagi jalannya, maka sebelum mereka berangkat, Cia Sin Liong telah memberi petunjuk tentang tempat-tempat yang akan mereka lalui.

Pertama-tama, mereka akan memasuki kota raja lebih dulu, melihat-lihat di kota besar itu dengan pesan dari Cia Sin Liong supaya di kota raja mereka tidak sampai terlibat dalam perkelahian karena selain di tempat itu banyak terdapat orang pandai, juga jangan sampai mereka memancing perhatian para penjaga keamanan kota raja dan istana. Kemudian, mereka diharuskan pergi ke Cin-ling-san yang berada di Propinsi Shen-si selatan, setelah itu barulah mereka harus ke timur dari Propinsi Shen-si, memasuki Propinsi Ho-nan untuk pergi ke kota Lok-yang tempat tinggal Ciu Khai Sun.

“Kalian boleh pergi merantau sampai selama satu tahun,” demikian pesan Cia Sin Liong. “Waktu itu sudah lebih dari cukup bagi kalian berdua untuk mengunjungi ketiga tempat itu dan meluaskan pengetahuan kalian. Jangan terlalu lama di kota raja, yang penting adalah mengunjungi keluarga kakek kalian di Cin-ling-san, kemudian mengunjungi bibi kalian di kota Lok-yang. Di sana kalian boleh tinggal agak lama.”

Di antara banyak pintu gerbang yang memasuki kota raja, pintu gerbang utara merupakan pintu gerbang yang selain tebal dan kuat, juga terjaga paling ketat. Hal ini adalah karena semenjak dulu, pintu gerbang ini yang paling sering mengalami gempuran-gempuran dan serbuan-serbuan musuh yang datang dari utara dan bagi kerajaan itu, bahaya yang paling besar dan tak pernah dapat diabaikan adalah bahaya yang datangnya dari utara, dari luar Tembok Besar.

Hal ini tidaklah aneh, karena kota raja itu terletak paling dekat dengan perbatasan utara sehingga penyerbuan musuh dari utara akan dapat langsung memasuki kota raja, tidak seperti penyerbuan dari jurusan lain yang harus melampaui daratan luas, melalui propinsi-propinsi sehingga sebelum bahaya tiba di kota raja, sudah terlebih dahulu kota raja akan mendengar dan akan mempersiapkan diri.

Pada waktu itu, Kerajaan Beng-tiauw sedang mengalami masa jayanya. Perjalanan atau pelayaran Panglima The Hoo pada puluhan tahun yang lampau agaknya mendatangkan hubungan yang luas dan akrab dengan negara-negara lain di seberang lautan sehingga hubungan dagang juga bisa diperbesar, baik dengan negara-negara barat hingga ke India dan Arab, juga dengan negara-negara di selatan, bahkan sampai di Kepulauan Indonesia, yaitu Sumatera dan Jawa.

Bukan hanya itu saja, bahkan kemakmuran serta kebesaran nama Kerajaan Beng-tiauw juga sudah menarik minat orang-orang kulit putih yang mulai mempererat pula hubungan mereka. Terutama sekali bangsa Portugis yang memang sudah semenjak puluhan tahun menjadi orang kulit putih pertama yang datang ke Tiongkok untuk berdagang.

Biar pun penjagaan di pintu gerbang utara amat ketat, akan tetapi dua orang muda yang masih remaja, berpakaian patut, bersikap sopan dan lebih pantas menjadi pelajar-pelajar yang kaya, seperti Han Tiong dan Thian Sin, tidak menimbulkan kecurigaan dan mereka dapat memasuki kota raja dengan mudah.

Cia Sin Liong adalah seorang pendekar yang pernah berjasa terhadap kerajaan. Bahkan secara resmi Kaisar Ceng Hwa telah mengangkat pendekar itu menjadi Pendekar Lembah Naga, julukan yang diberikan sendiri oleh kaisar dan oleh karena itu terkenal di seluruh dunia kang-ouw, bahkan pendekar itu dihadiahi Istana Lembah Naga oleh kaisar dan harta benda yang amat banyak.

Hanya disebabkan pendekar itu menolak saja maka dia tidak menjadi seorang panglima, karena andai kata Sin Liong mau, tentu dia sudah diangkat menjadi seorang panglima. Meski pun demikian, pendekar itu tetap saja tidak pernah mau menonjolkan diri, apa lagi mendekatkan diri dengan kerajaan. Kepada dua orang puteranya yang juga tahu bahwa ayah mereka merupakan seorang yang ternama di kota raja, dia memesan agar jangan sembarangan memperkenalkan diri dan agar jangan sampai berhubungan dengan pihak kerajaan.

Han Tiong mentaati pesan ayahnya, karena dia sendiri pun adalah seorang pemuda yang batinnya sederhana, tidak suka akan nama besar serta kesohoran, maka diam-diam dia menyetujui sikap ayahnya yang menjauhkan diri dari kemuliaan dan kedudukan. Sudah banyak dibacanya dalam kitab-kitab sejarah betapa kemuliaan dan kedudukan itu hanya memancing datangnya permusuhan karena banyak yang merasa iri hati.

Akan tetapi tidak demikian dengan Thian Sin. Diam-diam pemuda ini merasa tidak puas. Betapa pun juga, dia tahu bahwa mendiang ayah kandungnya adalah saudara kaisar! Biar pun berlainan ibu, akan tetapi seayah! Jadi, betapa pun juga, dia adalah keponakan yang langsung dari kaisar yang sekarang, sedarah karena nama keturunannya masih sama!

Akan tetapi, di samping ini dia pun tahu pula bahwa ayahnya tewas karena kaisar yang menjadi pamannya ini mengirim pasukan untuk ‘menghukum’ ayahnya sebagai seorang pemberontak. Dia memang menyesalkan hal ini, kenyataan bahwa dulu ayahnya menjadi pemberontak, dan dia tidak merasa sakit hati kepada kaisar yang menjadi pamannya itu, melainkan kepada mereka yang turun tangan membunuh ayah bundanya.

Meski pun di dalam hati mereka berdua terdapat perbedaan yang amat besar, akan tetapi keduanya memandang dengan wajah berseri gembira ketika mereka memasuki kota raja dan melihat bangunan-bangunan besar yang indah, jalan-jalan raya yang lebar dan ramai dengan lalu-lintas, toko-toko yang serba lengkap, restoran besar dan bermacam pakaian orang yang serba indah. Mereka berdua adalah pemuda-pemuda yang sejak kecil tinggal di tempat sunyi, bahkan jarang berjumpa dengan orang lain, maka kini memasuki sebuah kota besar seperti kota raja, tentu saja mereka merasa kagum sekali.

“Sin-te, mari kita mencari tempat penginapan lebih dulu,” kata Han Tiong kepada adiknya.

“Mengapa kita tidak putar-putar dan melihat-lihat dulu, Tiong-ko? Kita tidur di mana saja, di kuil juga boleh, kan? Lebih aman dan tidak menyolok,” kata Thian Sin.

“Tidak, adikku. Justru kalau kita bermalam di kuil tua atau sebagainya, maka lebih banyak kemungkinan bagi kita untuk bertemu dengan orang-orang kang-ouw sehingga malah akan menimbulkan kecurigaan karena kita berpakaian seperti pelajar-pelajar yang melancong, bukan seperti orang kang-ouw. Pula, tidak enak kalau berjalan-jalan sambil menggendong buntalan pakaian seperti ini, hanya menjadi perhatian orang saja. Kita cari kamar dahulu, lalu menyimpan buntalan pakaian, dan baru kita jalan-jalan,” jawab Han Tiong dan seperti biasa, Thian Sin menyetujui. Memang pemuda ini selalu taat terhadap Han Tiong, bukan taat secara terpaksa, karena dia selalu dapat melihat bahwa kakaknya itu sudah benar dan tepat.

Di dalam hatinya, Thian Sin sangat sayang kepada Han Tiong, sayang dan tunduk, juga kagum karena kakaknya itu dianggap memiliki batin yang amat kuat sekali, tidak seperti dirinya yang mudah tunduk dan mudah terpengaruh. Juga dia tahu bahwa kalau mereka sama-sama menggunakan ilmu simpanan mereka, maka dia tidak akan menang melawan kakaknya.

Biar pun Pendekar Lembah Naga sendiri menyembunyikan dan menganggapnya sebagai rahasia, namun di antara kedua orang kakak dan adik ini tidak ada rahasia apa-apa dan mereka pernah saling menceritakan tentang ilmu-ilmu simpanan yang mereka pelajari dari ayah mereka. Mereka tidak merasa saling iri hati, karena mereka sudah tahu bahwa dua macam ilmu itu, yaitu Thi-khi I-beng dan Cap-sha-ciang, atau lebih lengkapnya Hok-mo Cap-sha-ciang, hanya boleh diturunkan kepada satu orang saja.

Bahkan dengan terus terang Han Tiong menceritakan bahwa dia pun diberi pelajaran ilmu totok It-sin-ci yang dapat menghadapi Thi-khi I-beng itu kepada adiknya. Hal ini pun tidak membuat Thian Sin menjadi kecil hati. Bagi dia, kalau kalah oleh Han Tiong merupakan hal yang sudah wajar dan semestinya.

Mereka menyewa sebuah kamar di losmen sederhana dan sesudah mandi serta berganti pakaian, mereka lalu pergi keluar berjalan-jalan meninggalkan buntalan pakaian di dalam kamar yang terkunci dan membawa semua uang bekal mereka dalam saku. Karena kini mereka tidak lagi menggendong buntalan, maka keadaan mereka semakin tidak menarik perhatian sebab mereka tiada bedanya dengan dua orang pemuda kota raja yang sedang berjalan-jalan makan angin di sore hari itu.
Selanjutnya,

Pendekar Sadis Jilid 09

Pendekar Sadis Jilid 09
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PADA waktu yang hampir berbarengan, Kim Thian Sengcu juga sudah menyerang dengan pedangnya, lantas disusul pula oleh Gin Thian Sengcu yang menyerang dengan kebutan bajanya. Melihat betapa tiga orang pemimpin Jeng-hwa-pang maju, tentu saja para murid Jeng-hwa-pang segera mundur dan membentuk lingkaran mengepung dan menjaga agar pemuda remaja itu tidak mungkin dapat melarikan diri dari tempat itu.

Dikeroyok tiga oleh ketua Jeng-hwa-pang dan kedua orang tokoh Pek-lian-kauw itu, repot juga Thian Sin harus menghindarkan diri dari kejaran tiga macam senjata itu. Ilmu silatnya memang sudah hebat sekali, akan tetapi dia masih belum berpengalaman, dan apa lagi pada waktu itu dia yang hanya bertangan kosong harus menghadapi tiga macam senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan ahli. Betapa pun juga, dia tidak merasa gentar dan dia tetap tersenyum, senyum yang menyeramkan karena di baliknya terbayang kebencian yang hebat bukan kepalang.

Sepasang matanya yang bagus itu mengeluarkan cahaya dingin, dan tiga orang kakek itu merasa ngeri setelah melihat kenyataan betapa kedua lengan pemuda remaja itu mampu menangkis tiga macam senjata itu tanpa terluka sedikit pun! Dan meski pun dia diserang secara bergantian dan didesak, Thian Sin kini mulai msmpu melakukan serangan balasan yang cukup hebat!

Dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun dan dengan gerakan kaki dalam ilmu silat ini dia mampu menghindarkan diri dari semua serangan, lalu sebagai balasan dia menggunakan pukulan atau tamparan Thian-te Sin-ciang yang tidak kalah ampuhnya bila dibandingkan dengan tiga macam senjata tiga orang kakek yang menjadi lawannya.

Karena dikeroyok tiga orang, untuk menghindarkan senjata lawan yang panjang dan yang selalu menyerang bagian lemah dari tubuhnya, kadang-kadang Thian Sin harus meloncat ke pinggir, akan tetapi dia langsung disambut oleh tusukan atau bacokan dari para murid Jeng-hwa-pang yang mengepung tempat itu.

Akan tetapi, dengan tangkisan yang dilanjutkan tamparan, dalam waktu cepat dia mampu merobohkan satu dua orang, untuk kemudian membalik untuk menghadapi desakan tiga orang kakek itu lagi! Melihat ini, Tok-ciang menjadi penasaran dan marah sekali. Pemuda remaja itu dalam waktu singkat telah membunuh belasan orang anak muridnya.

“Kurung dia dengan api!” teriaknya.

Kini para murid Jeng-hwa-pang itu menyalakan obor dan setiap kali Thian Sin meloncat ke pinggir, dia tidak lagi disambut dengan senjata melainkan dengan obor menyala! Tentu saja Thian Sin tidak berani menyambut api itu karena dia tidak kebal terhadap api, maka terpaksa dia kembali mendesak ke tengah lantas menyambut tiga orang kakek itu dengan mati-matian.

“Mampuslah!” Tiba-tiba pecut baja itu berubah menjadi kaku seperti tombak dan menusuk ke arah dada Thian Sin.

Melihat ini, Thian Sin menggerakkan lengannya menangkis sambil mengerahkan tenaga untuk mematahkan senjata itu. Akan tetapi pecut baja itu terbuat dari baja yang amat baik sehingga saat ditangkis, ujungnya melentur dan tanpa dapat dihindarkan lagi, ujung pecut yang runcing itu menusuk pangkal lengan kiri Thian Sin.

Pemuda itu merasa betapa pangkal lengannya panas sekali. Maklumlah dia bahwa ujung pecut baja itu tentu mengandung racun dan cepat dia mengerahkan sinkang seperti yang pernah dipelajarinya dari Pendekar Lembah Naga. Memang hebat sekali karena begitu dia mengerahkan hawa sakti dari pusar itu menuju ke bagian yang terluka, dari luka kecil itu keluar darah lalu semua racun yang dibawa ujung pecut dan mengotori luka itu terbawa keluar oleh darah!

“Ha-ha-ha!” Tok-ciang Sianjin tertawa bergelak karena dia merasa amat yakin bahwa luka dengan ujung pecut itu satu kali saja sudah cukup, dan dia merasa yakin bahwa dalam waktu satu dua menit lagi pemuda remaja itu akan roboh karena racun yang terkandung di ujung pecutnya itu amat ganas.

Akan tetapi, betapa kagetnya ketika tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara melengking keras dan tahu-tahu pemuda itu telah menerjang dan menubruknya seperti seekor burung elang rajawali menyambar seekor ular. Tok-ciang mengeluarkan seruan kaget, berusaha mengelak sambil memukulkan pecutnya.

Thian Sin tidak berhasil memberi pukulan yang tepat, namun kakinya sempat menyambar dan mengenai paha lawan, membuat Tok-ciang terhuyung dan pemuda remaja itu dengan kecepatan kilat telah berhasil menangkap cambuk. Terjadi tarik-menarik dan hampir saja Tok-ciang tidak dapat mempertahankan cambuknya lagi.

Akan tetapi pada saat itu dua orang tokoh Pek-lian-kauw telah menyerang dari kanan kiri. Terpaksa Thian Sin melepaskan cambuknya, dilepaskannya dengan amat tiba-tiba hingga cambuk itu melecut ke arah muka pemiliknya. Baiknya Tok-ciang sudah melempar tubuh ke samping, kalau tidak tentu dia menjadi korban senjatanya sendiri.

Dia meloncat bangun dan wajahnya berubah agak pucat. Tidak disangkanya pemuda itu sedemikian hebatnya, dan sungguh dia merasa heran bagaimana pemuda itu belum juga jatuh setelah pangkal lengannya terluka oleh pecut baja yang mengandung racun?

Kini Thian Sin sudah marah sekali. Biar pun dia berhasil menghindarkan diri dari bahaya maut dengan mengeluarkan racun itu seketika dari pundaknya, namun luka pada pangkal lengan dekat pundak itu cukup mendatangkan rasa nyeri.

Pada saat dia diserang oleh pedang dari kanan dan kebutan dari kiri, dia miringkan tubuh sehingga pedang itu lewat saja, kemudian cepat dia menangkap pergelangan tangan Kim Thian Sengcu sambil mengerahkan tenaga Thi-khi I-beng! Dia telah melanggar pantangan dan pesan ayah angkatnya agar tidak sembarangan mempergunakan ilmu ini.

“Heiii…?!” Kim Thian Sengcu berteriak aneh ketika mendadak dia merasa betapa tenaga sinkang dari tubuhnya mengalir keluar bagaikan air bah, tersedot melalui tangan pemuda remaja itu! Dia belum pernah mendengar, apa lagi merasakan hal seperti ini, maka dia terkejut bukan main.

Gin Thian Sengcu juga sudah menyerang dengan kebutannya yang memukul ke arah punggung Thian Sin. Pemuda ini sama sekali tidak mengelak.

“Prattt!”

Kebutan itu mengenai punggung, akan tetapi disusul teriakan aneh dari Gin Thian Sengcu karena kebutannya itu melekat pada punggung dan tenaga sinkang-nya juga membanjir keluar. Dia berusaha untuk menarik kebutannya, akan tetapi makin kuat dia mengerahkan tenaga, makin banyak pula tenaga sinkang yang mengalir keluar dari tubuhnya!

Dia mengalami hal yang sama dengan Kim Thian Sengcu, karena kakek ini pun merasa betapa pergelangan tangannya yang dipegang lawan itu melekat dengan erat dan makin dia berusaha melepaskan diri, makin hebat pula tenaganya tersedot keluar.

Melihat ini, mula-mula Tok-ciang terkejut dan heran. Akan tetapi dia lalu teringat akan ilmu aneh yang kabarnya dimiliki oleh keluarga Cin-ling-pai, yaitu ilmu Thi-khi I-beng yang bisa menyedot tenaga sinkang lawan. Teringat akan hal ini, dia cepat menggerakkan pecutnya dan kini pecut itu menjadi kaku seperti tombak dan menyerang dengan tusukan-tusukan ke arah kedua mata pemuda remaja itu!

Melihat ini, tentu saja Thian Sin menjadi terkejut dan tidak mungkin dia membuat matanya kebal terhadap tusukan pecut. Terpaksa dia melepaskan dua orang lawan itu dan sambil menundukkan mukanya dia lalu berusaha menangkap ujung pecut, akan tetapi Tok-ciang sudah menarik kembali pecutnya.

Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu merasa lega ketika mereka terlepas. Sudah ada tenaga sinkang mereka yang memberobot keluar, membuat kepala mereka terasa agak pening. Dengan marah kini mereka menyerang lagi, lebih hebat dari pada tadi, akan tetapi juga dengan hati-hati sekali karena mereka tidak ingin mengalami hal seperti tadi, yang amat berbahaya akan tetapi juga amat mengerikan hati mereka.

“Siapkan jala langit!” tiba-tiba terdengar Tok-ciang Sianjin berteriak sambil memperhebat serangannya, dibantu oleh dua orang kakek Pek-lian-kauw itu.

Thian Sin tidak tahu apa maksud perintah itu. Akan tetapi karena dia diserang secara gencar oleh tiga macam senjata yang lihai, dia terpaksa harus mencurahkan perhatiannya dan mencari kesempatan bagaimana agar dia dapat mengalahkan tiga orang musuhnya ini.

Dia tidak tahu bahwa di atas langit-langit itu sudah dipasangi jala yang tadinya tergulung dan tersembunyi dan kini, dengan menarik beberapa tali-temali dari bawah, jala itu telah terbentang di atas ruangan itu. Dia masih terus mengamuk ketika tiba-tiba saja dari atas menyambar turun sehelai jala dan pada saat itu, tiga orang lawannya telah berloncatan ke belakang. Dia tidak mungkin dapat menghindar karena tempat itu dikurung banyak orang yang memegang obor bernyala dan juga senjata-senjata yang menodongnya, maka jala itu tepat menimpa dan menyelimuti dirinya.

Thian Sin menjadi semakin marah, meronta-ronta dan berusaha merobek-robek jala itu. Akan tetapi ternyata jala itu terbuat dari pada benang-benang yang amat kuat, tidak dapat dibikin putus karena dapat mulur dan ulet bukan main.

Selagi dia meronta dan berusaha membebaskan dirinya, tiba-tiba jala itu ditarik naik dan tubuhnya yang sudah terbungkus jala itu ikut terbawa naik pula! Thian Sin berusaha untuk melepaskan diri, akan tetapi sia-sia belaka dan kini tubuhnya sudah tergantung di udara, terselimut jala yang amat kuat itu, ada pun para anggota Jeng-hwa-pang bersorak-sorak dengan girang, memaki-maki dan mengejeknya.

Tok-ciang Sianjin yang sudah menjadi sangat marah setelah melihat demikian banyaknya anak buahnya yang tewas, menyambar sebatang tombak dari tangan seorang murid dan dengan tombak ini dia menyerang Thian Sin, melontarkan tombak itu ke arah tubuh yang terbungkus jala dan tergantung di atas itu. Tombak itu meluncur dengan sangat cepatnya dan tepat mengenai punggung Thian Sin.

“Dukkk…!” Tombak itu seperti mengenai besi saja sehingga terpental dan jatuh terbanting berkerontangan di atas lantai.

Semua orang terkejut sekali. Pemuda remaja itu sungguh hebat, kekebalannya membuat serangan tombak itu tidak ada gunanya! Dan memang Thian Sin yang maklum bahwa dia tidak mampu menangkis atau mengelak, telah melindungi dirinya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang membuat tubuhnya menjadi kebal terhadap serangan senjata tajam atau runcing.

“Hemm, ingin kulihat apakah engkau juga kebal terhadap api!” Tiba-tiba Tok-ciang Sianjin berkata sambil tertawa. “Ha-ha-ha, mari kita melihat anak Pangeran Ceng Han Houw ini menjadi sate panggang seperti anak babi, ha-ha-ha!”

Semua murid Jeng-hwa-pang tertawa dan mereka lalu mengumpulkan kayu-kayu kering, dibawa ke dalam ruangan itu dan ditumpuk di bawah tempat Thian Sin tergantung.

“Ha-ha-ha, Ceng Thian Sin, apa lagi yang hendak kau katakan sekarang? Apakah engkau hendak minta ampun?” Tok-ciang mengejek.

Dia merasa sangat marah apabila melihat mayat-mayat para anak buah yang berserakan di tempat itu. Pemuda remaja itu benar-benar telah mendatangkan kerugian besar sekali, tidak hanya kerugian akibat kematian banyak anak murid, akan tetapi juga telah merusak nama besar Jeng-hwa-pang.

“Kakek iblis terkutuk! Mau bunuh lekas bunuh, siapa takut mampus? Kalau gagah, jangan gunakan kecurangan, lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!” Thian Sin memaki dan menantang.

“Lekas bereskan dia, pangcu (ketua). Dia itu bocah setan yang sangat berbahaya!” kata Kim Thian Sengcu, masih teringat akan pengalamannya ketika tersedot oleh Ilmu Thi-khi I-beng tadi. Tentu saja dia maksudkan bahwa bocah itu terlalu lihai untuk dibiarkan hidup.

Tok-ciang Sianjin cepat mengambil sebatang obor dari tangan anak buahnya, kemudian melemparkan obor itu di atas tumpukan kayu kering yang segera terbakar dan bernyala, makin lama makin tinggi.

Thian Sin telah merasakan hawa panas dari bawah, maka dia mengumpulkan hawa murni untuk mempertahankan diri selama mungkin. Otaknya lalu bekerja dan dia mengharapkan bahwa tubuhnya lebih kuat bertahan dari pada jala itu. Jika jala itu lebih dulu terbakar dari pada tubuhnya, tentu jala itu akan terobek dan dia dapat meloncat turun lalu mengamuk. Akan tetapi kalau jala itu lebih kuat bertahan terhadap api dari pada tubuhnya, maka dia akan mati, hal yang bukan apa-apa karena dia akan menyusul ayah bundanya!

Meski pun api belum menjilat tubuhnya, akan tetapi hawa panas sudah membuat seluruh tubuhnya berkeringat dan pakaiannya menjadi basah semua, dan asap telah membuat dia sukar untuk bernapas pula. Akan tetapi sedikit pun tidak ada keluhan terdengar dari mulut pemuda itu. Suara tawa dan ejekan orang-orang Jeng-hwa-pang tidak didengarnya lagi.

Tiba-tiba terdengar kegaduhan dan orang-orang yang berada di bawah itu menjadi kacau-balau. Thian Sin cepat membuka matanya kemudian memandang ke bawah. Timbul pula semangatnya pada saat dia melihat Han Tiong sedang mengamuk di antara orang-orang Jeng-hwa-pang.

“Tiong-ko, lepaskan dulu aku agar dapat membantumu!” teriak Thian Sin dengan girang.

Han Tiong memandang ke atas dan cepat dia merampas sebatang pedang lalu meloncat ke atas, pedangnya diayun membabat ke arah jala. Jala terobek dan terbuka. Thian Sin meloncat bersama kakaknya dan kini mereka berdua mengamuk.

Thian Sin bersikap ganas bukan main. Setiap pukulannya tentu dilakukan sepenuh tenaga sehingga setiap orang yang kena pukulannya tentu roboh dan tidak dapat bangun kembali karena kepalanya pecah atau tulang dadanya patah. Melihat sepak terjang adiknya ini, apa lagi melihat bahwa di sana sudah berserakan mayat belasan orang banyaknya, Han Tiong menjadi ngeri.

“Sin-te, jangan membunuh orang!” teriaknya lantang.

Mendengar teriakan kakaknya ini, Thian Sin membantah, suaranya halus akan tetapi juga penasaran. “Koko, mereka hampir saja membunuhku!”

Mereka berdua menerjang sedemikian hebatnya hingga para anak buah Jeng-hwa-pang terdesak keluar dari ruangan itu. Juga Tok-ciang Sianjin beserta dua orang pembantunya sudah berloncatan keluar karena ruangan itu penuh dengan tubuh berserakan dan asap yang menyerang mata. Dua orang muda itu segera berloncatan keluar mengejar.

“Sin-te, sudah terlampau banyak orang yang kau bunuh!” kembali Han Tiong menegur, suaranya kini terdengar tegas dan penuh nada teguran.

“Baiklah, Tiong-ko…!”

Tok-ciang Sianjin telah menerjang maju dengan pecut bajanya, disambut oleh Han Tiong, ada pun Thian Sin kini dihadapi oleh kedua orang tosu Pek-lian-kauw. Pertempuran terjadi di luar rumah dan amat serunya.

Akan tetapi di antara para anak buah Jeng-hwa-pang tidak seorang satu pun yang berani mendekat, karena setiap kali mendekat mereka tentu roboh oleh dua orang muda perkasa itu. Mereka sudah berusaha menggunakan racun-racun, bahkan telah menaburkan bubuk beracun atas perintah Tok-ciang, akan tetapi semua itu tidak ada gunanya karena kedua orang muda itu tidak roboh oleh penyebaran bubuk racun itu.

Senjata-senjata mereka tidak ada yang dapat mengenai tubuh mereka, bahkan kini Han Tiong mendesak Tok-ciang sedangkan Thian Sin membuat dua orang tosu Pek-lian-kauw itu kalang-kabut. Mereka hanya mampu mempertahankan diri belaka dari desakan Thian Sin yang sudah marah sekali kepada mereka.

“Plakk! Plakk!”

Untuk pertama kalinya, dua orang tosu itu berkenalan dengan tamparan Thian-te Sin-ciang dan mereka menjerit lantas roboh terpelanting. Thian Sin mengejar dan dua kali kakinya menginjak.

“Krekk-krekk!” terdengar bunyi tulang patah-patah dan dua orang tosu itu tewas dengan tulang iga dan tulang leher patah-patah!

“Sin-te…!” Han Tiong berteriak marah.

Tok-ciang Sianjin sendiri sudah terdesak amat hebat dan ketika melihat betapa dua orang pembantunya telah tewas dalam keadaan mengerikan itu, dia pun lalu meloncat jauh dan melarikan diri, diikuti oleh para muridnya yang masih selamat.

“Tiong-ko, aku harus membunuh mereka berdua. Mereka adalah kakek-kakek iblis yang jahat, dan kalau tadi engkau tidak keburu datang, aku tentu telah menjadi babi panggang!” kata Thian Sin yang mencoba berkelakar, akan tetapi melihat pandangan mata kakaknya yang tajam dan penuh teguran itu, dia pun segera menunduk.

Han Tiong memandang ke sekeliling tempat itu. Sunyi saja. Tidak kelihatan seorang pun anggota Jeng-hwa-pang. Mereka semua sudah lari dan meninggalkan mereka yang tewas atau terluka. Tidak kurang dari dua puluh orang yang rebah, kebanyakan telah tewas oleh tangan Thian Sin. Han Tiong bergidik dan menarik napas panjang.

“Sin-te, berapa banyak orang yang telah kau bunuh? Rombongan yang sudah kau bunuh di hutan itu! Dan sekarang di sini! Ah, lupakah engkau akan semua pelajaran dari Paman Hong San Hwesio? Dan lupakah engkau akan semua pesan ayah bahwa kita tidak boleh membunuh orang? Dan engkau hari ini telah menyebar maut!”

Thian Sin mengangkat muka dan memandang kakaknya. Baru sekarang dia sadar akan semua perbuatannya dan dia pun merasa menyesal sekali. “Mereka… mereka membunuh ayahku… ibuku… dan mereka membunuh Hwi Leng! Ahh… Tiong-ko, mereka… mereka merenggut nyawa orang-orang yang kucinta… aku menjadi mata gelap, kau maafkanlah aku, Tiong-ko…” Dan Thian Sin lalu menutupi kedua mata dengan kedua tangan. Pemuda remaja ini menangis!

Han Tiong merasa terharu dan kasihan sekali. Dia sangat sayang kepada adiknya ini dan dia pun dapat merasakan betapa hancur hati adiknya itu melihat kematian Hwi Leng, apa lagi karena yang membunuh dara itu adalah orang-orang Jeng-hwa-pang yang dahulu ikut mengambil bagian dalam kematian ayah bunda pemuda itu. Betapa pun juga, ada alasan yang amat kuat mendorong adiknya itu menjadi mata gelap. Dan segalanya sudah terjadi, dan yang terbunuh itu, bagaimana pun juga, harus diakui adalah orang-orang jahat yang sudah sepatutnya ditentang karena mereka itu hanya mengotori dunia dengan perbuatan-perbuatan mereka yang kejam dan jahat.

Didekatinya adiknya kemudian dirangkulnya. “Sudahlah, segala hal sudah terlanjur. Hanya kuminta agar lain kali engkau jangan terlampau membiarkan dirimu terhanyut dalam arus kemarahan dan dendam yang membutakan mata.”

Thian Sin terisak dan balas merangkul kakaknya. “Terima kasih, Tiong-ko, tentu aku akan memperhatikan nasehatmu. Harap… harap engkau… tak melaporkannya kepada ayah… aku takut akan tegurannya…”

Han Tiong menahan senyum dan saat itu dia melihat luka di pangkal tangan adiknya. “Eh, engkau terluka? Parahkah lukamu?”

Thian Sin tersenyum, matanya masih basah, dan dia menggelengkan kepala, “Terkena tusukan pecut baja ketua Jeng-hwa-pang. Memang mengandung racun akan tetapi sudah kukeluarkan dengan dorongan tenaga sinkang.”

“Baik kalau begitu, nah, mari kita urus mereka.”

“Urus mereka? Siapa?”

Han Tiong menuding ke arah orang-orang yang tubuhnya menggeletak di sana sini. “Urus mayat-mayat itu, dan urus mereka yang terluka,” katanya dengan nada suara agak dingin karena dia teringat betapa Thian Sin membunuh seluruh rombongan Jeng-hwa-pang dan membiarkan mayat-mayat mereka begitu saja di tengah hutan.

Thian Sin masih belum begitu mengerti akan tetapi dia mengikuti kakaknya, lantas tanpa banyak cakap lagi dia membantu kakaknya pada saat Han Tiong mulai membuat lubang besar untuk mengubur semua mayat, bahkan lalu mengobati mereka yang terluka parah.

Menjelang senja, Han Tiong mengajak adiknya untuk kembali ke Lembah Naga. Wajah Thian Sin nampak muram sekali di sepanjang perjalanan.

“Jangan khawatir, adikku. Aku tidak akan melaporkan kepada ayah tentang pembunuhan-pembunuhan itu.”

Thian Sin menarik napas panjang. “Aku percaya sepenuhnya padamu, koko. Akan tetapi, bukan itu yang menjadikan pikiran… aku… aku tak dapat melupakan Hwi Leng…” Dan dia menarik napas panjang berulang-ulang.

Diam-diam Han Tiong merasa kasihan sekali. Mengapa adiknya ini demikian lemah kalau menghadapi wanita cantik? Dia juga tahu bahwa adiknya telah merasa kehilangan akibat kematian Hwi Leng, dan untuk kedua kalinya patah hati setelah dahulu kehilangan Cu Ing.

Sesudah keduanya sampai di Istana Lembah Naga dan berhadapan dengan ayah dan ibu mereka. Han Tiong menceritakan secara singkat betapa mereka berdua sudah mengejar sampai ke sarang Jeng-hwa-pang dan berhasil mengobrak-abrik sarang itu hingga ketua Jeng-hwa-pang melarikan diri bersama anak buah mereka.

“Engkau terluka, Thian Sin. Parahkah lukamu? Coba kau mendekat.”

Cia Sin Liong memeriksa luka itu. “Hemm kau telah mendorong racunnya keluar. Bagus sekali. Ehh, Thian Sin, berapa banyak orang yang telah kau bunuh?”

Ditanya secara tiba-tiba seperti itu, wajah Thian Sin lantas berubah, akan tetapi dia cepat menekan perasaan hatinya. “Saya… saya tidak tahu, ayah…, mereka mengeroyok maka saya membela diri sedapat saya…”

“Ayah, Sin-te hampir saja celaka, sudah terjebak dalam jala dan digantung, nyaris dibakar hidup-hidup.”

“Untunglah Tiong-ko segera datang sehingga dapat menolong saya, dan kami berdua lalu mengamuk dan mengalahkan mereka…”

Cia Sin Liong menarik napas panjang. Tentu saja dia tahu akan semua itu. Tadi dia telah menyusul mereka lalu secara diam-diam dia menonton semua yang terjadi. Dia sengaja tidak turun tangan dan membiarkan saja segala sepak terjang Thian Sin dan Han Tiong, maka dia melihat pula perbedaan antara puteranya sendiri dan putera angkatnya itu.

Hatinya sangat khawatir menyaksikan keganasan Thian Sin tetapi dia pun kagum melihat keberaniannya ketika sudah tertawan namun masih sangat berani itu. Dan melihat betapa Han Tiong sangat melindungi dan membela adiknya, maka Cia Sin Liong diam saja tidak mau mendesak lebih jauh tentang pembunuhan yang dilakukan Thian Sin itu. Dia hanya bertanya tentang pertempuran itu.

Thian Sin lalu menceritakan dengan panjang lebar mengenai pertempuran itu, akan tetapi tentu saja tidak berani bercerita bahwa dia telah mempergunakan Thi-khi I-beng. Kepada Han Tiong telah diceritakannya segala hal, bahkan juga tentang dia menggunakan Thi-khi I-beng dan untuk itu, Han Tiong telah menegurnya. Terhadap kakaknya, dia sama sekali tidak ingin dan tidak bisa menyembunyikan sesuatu, bahkan baru lega rasa hatinya kalau dia sudah menceritakan hal yang membuat hatinya tertekan kepada kakaknya.

Semenjak terjadinya peristiwa itu, Cia Sin Liong makin tekun menyuruh dua orang muda itu berlatih silat di bawah pengawasannya langsung. Dia melihat betapa sejak terjadinya peristiwa Jeng-hwa-pang itu, Thian Sin kelihatan banyak sekali duduk termenung dengan wajah yang membayangkan kedukaan dan kekecewaan.

Karena itu, sebagai orang yang sudah banyak pengalaman, dia pun bisa menduga bahwa pemuda yang romantis itu tentu sudah mengalami patah hati yang agak parah karena hal itu terjadi untuk yang kedua kalinya. Maka satu-satunya jalan sebagai pengobatan adalah menyuruhnya berlatih sebanyak mungkin, baik latihan ilmu silat mau pun berlatih siulian untuk menghimpun sinkang.

Pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali, Sin Liong telah mengamati dua orang puteranya yang sudah asyik berlatih silat di dalam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Dua orang pemuda itu bertelanjang dada, hanya memakai celana dan sepatu. Tubuh mereka yang muda itu nampak padat kuat dan penuh dengan tenaga yang membayang pada otot-otot mereka.

Sungguh amat menyenangkan dan mengagumkan menyaksikan kedua orang pemuda itu berlatih silat. Gerakan Thian Sin demikian cekatan, lincah dan indah, sebaliknya gerakan Han Tiong begitu mantap, tenang dan kokoh kuat seperti batu karang. Kalau dapat dibuat perbandingan, gerakan Thian Sin laksana gerakan ombak samudera yang bergelombang dan tidak kenal henti, sebaliknya Han Tiong bagaikan batu karang di tepi samudera yang kokoh kuat. Tetapi keduanya mempunyai daya kekuatan masing-masing dan terasa sekali oleh Cia Sin Liong yang asyik menonton kedua orang puteranya yang sedang berlatih itu, menonton sambil berdiri dan memangku tangan.

Pada saat itu, sambil mengeluarkan pekik melengking Thian Sin meloncat dan menyerang dengan tendangan yang disusul oleh cengkeraman tangan kanan, seperti seekor harimau yang menubruk mangsanya. Namun dengan tenangnya Han Tiong menangkis tendangan itu dan sudah siap menghadapi cengkeraman adiknya yang cepat dielakkannya dengan merendahkan tubuh lalu tangan kanannya yang tadi menangkis tendangan kini memukul dari bawah ke arah pusar lawan.

Thian Sin juga dapat menangkis, maka selanjutnya dua orang pemuda itu saling serang dengan hebatnya. Angin pukulan berdesir-desir terasa di seluruh lian-bu-thia itu sehingga diam-diam Pendekar Lembah Naga menonton dengan hati puas dan bangga. Akan tetapi di samping kebanggaan ini juga timbul kekhawatiran di dalam hatinya melihat bahwa pada wajah Thian Sin masih jelas terbayang kedukaan yang mendalam itu.

Dia melihat bahwa tidak percuma dia menggembleng dua orang muda itu karena ternyata semua ilmu silat yang mereka pelajari sudah mendekati kesempurnaan dan agaknya tidak berselisih jauh dengan dia sendiri. Tentu saja mereka masih belum memiliki kematangan pendekar karena mereka masih membutuhkan banyak pengalaman. Akan tetapi jelaslah bahwa jarang ada tokoh kang-ouw yang akan mampu menandingi mereka!

Tak lama kemudian, Bhe Bi Cu, isteri pendekar sakti ini, muncul dan menonton pula. Dan wanita yang cerdas ini pun dapat melihat kedukaan yang membayang pada wajah tampan anak angkat mereka, maka dia pun lantas memberi isyarat kepada suaminya dan mereka berdua pergi meninggalkan lian-bu-thia untuk duduk di ruangan dalam, di mana mereka membicarakan keadaan Thian Sin.

“Dia agaknya tidak dapat melupakan gadis itu,” kata Bi Cu setelah mereka berdua saja di dalam kamar.

“Ahh, dia seperti mendiang ayahnya, amat lemah menghadapi wanita,” kata Sin Liong.

“Dia amat mudah jatuh hati, mudah sekali sakit hati, mudah mendendam, akan tetapi juga mudah melupakan. Buktinya, dia dahulu juga berduka karena ditinggal Cu Ing, akan tetapi kini dia sudah melupakannya, dan dia jatuh hati kepada Hwi Leng. Aku yakin bahwa kalau dia berjumpa dengan gadis lain yang dapat memikat hatinya, dia pun akan lupa kepada Hwi Leng,” kata Bi Cu dengan hati tidak puas.

Sin Liong menarik napas panjang, teringat dia akan mendiang Ceng Han Houw yang juga sudah biasa mempermainkan wanita dan berganti-ganti pacar. “Pemuda semacam dia itu sebaiknya cepat dicarikan jodoh dan dinikahkan.”

Bi Cu mengerutkan sepasang alisnya. “Mungkinkah seorang pemuda seperti dia dicarikan jodoh begitu saja? Tanpa persetujuan dan kecocokan hatinya sendiri, agaknya hal itu tak mungkin dilakukan, juga belum tentu akan menjadi sebuah perkawinan yang bahagia.”

“Tentu saja harus dengan persetujuannya. Ahh, aku teringat sekarang. Bukankah Lan-moi mempunyai seorang anak perempuan? Siapa namanya? Ahh, aku lupa lagi…”

“Namanya Ciu Lian Hong, akan tetapi dia masih kecil, masih kanak-kanak!” kata Bhe Bi Cu yang juga teringat, bahkan dia ingat pula akan nama anak itu, anak dari Kui Lan dan Ciu Khai Sun, seorang anak perempuan yang mungil dan lembut.

“Aihh, masih kanak-kanak kan ketika kita ke sana dulu. Semenjak itu, tujuh tahun sudah lewat, apa kau sudah lupa? Tentu usianya sudah belasan tahun sekarang!”

“Benar, akan tetapi usianya paling banyak hanya baru tiga belas tahun, dia masih belum dewasa benar.”

“Betapa pun juga, usia belasan tahun tidak dapat dinamakan anak-anak lagi dan apa bila sudah berkenalan dengan anak itu, tentu dapat dirundingkan. Siapa tahu, salah seorang di antara mereka ada yang cocok dan suka…”

“Seorang di antara mereka?”

“Ya, bukankah kita harus pula mencarikan jodoh atau calon jodoh untuk Han Tiong? Dan andai kata salah seorang di antara mereka cocok dengan puteri Lan-moi, maka alangkah baiknya kalau kita berbesan dengan Ciu Khai Sun dan isterinya!”

“Hemm, lalu maksudmu bagaimana?”

“Tiong-ji dan Sin-ji sudah cukup dewasa dan kulihat ilmu silat mereka sudah cukup baik, hanya tinggal mematangkan dengan pengalaman saja. Untuk mengusir kedukaan yang menggoda hati Thian Sin, sebaiknya kalau mereka berdua itu kusuruh pergi melakukan perjalanan jauh. Mengunjungi kakek mereka di Cin-ling-san, berpesiar ke kota raja, dan kemudian mengunjungi bibi mereka di Lok-yang, berkenalan dengan anak-anak Lan-moi dan Lin-moi. Bukankah itu baik sekali?”

“Ahh, dan membiarkan mereka itu menghadapi dunia yang begitu kejam, di mana banyak terdapat orang-orang jahat yang lihai? Ingat, sekarang di dunia kang-ouw muncul raja-raja kaum sesat seperti Pak-san-kui dan yang lain-lain…,” kata Bi Cu khawatir.

“Ah, justru karena keadaan di dunia banyak kekacauan dan banyak bahaya itulah, maka mereka perlu untuk meluaskan pengalaman mereka di dunia kang-ouw. Mereka bukanlah anak-anak kecil lagi, isteriku, agar kau ingat ini. Sekarang mereka sudah dewasa dan ilmu kepandaian mereka sudah boleh diandalkan.”

Demikianlah, Pendekar Lembah Naga itu memberi tahu kepada dua orang pemuda itu akan rencananya dan tentu saja Han Tiong dan Thian Sin menyambut rencana itu dengan kegembiraan. Bahkan mereka diperbolehkan melakukan perantauan ke kota raja! Mereka menerima banyak nasehat dari suami isteri pendekar itu, bahkan mendengar penuturan Sin Liong tentang datuk-datuk kaum sesat, tentang orang-orang gagah di dunia kang-ouw dan tentang bahaya-bahaya yang mungkin akan mereka jumpai di dalam perantauan.

“Kalian ingat baik-baik,” demikian antara lain pendekar itu memberikan nasehat, “sebagai orang-orang yang membela keadilan dan kebenaran, di mana kalian berada, kalian harus membela orang-orang lemah yang tertindas. Akan tetapi, kalian tidak boleh menggunakan ilmu untuk membunuh orang, betapa pun jahat orang itu, karena perbuatan itu akan sama jahat dan kejamnya dengan perbuatan penjahat-penjahat itu sendiri. Di dalam membela orang-orang lemah, tentu saja kalian harus menentang tindakan sewenang-wenang dari mereka yang kuat, akan tetapi cukup kalau kalian memberi ingat, baik dengan kasar mau pun halus agar mereka itu tidak melanjutkan perbuatannya. Sedapat mungkin, hindarkan perkelahian, hindarkan pemukulan untuk melukai orang, apa lagi membunuhnya. Apakah kalian mengerti?” Biar pun kata-katanya memperingatkan dua orang pemuda itu, namun pandang mata pendekar ini ditujukan terutama kepada Thian Sin. Dua orang muda itu mengangguk.

Sesudah membuat persiapan-persiapan, tiga hari kemudian berangkatlah Han Tiong dan Thian Sin meninggalkan Lembah Naga. Hati mereka diliputi kegembiraan dan senanglah Han Tiong ketika melihat betapa wajah adiknya yang semenjak kematian Hwi Leng selalu membayangkan kemuraman itu kini berseri-seri penuh kegembiraan.

Mereka berangkat dengan hati lapang, laksana dua ekor burung yang baru terlepas dari sarang, diikuti pandangan mata Pendekar Lembah Naga dan isterinya sampai bayangan kedua orang muda itu lenyap di sebuah tikungan.

********************

Melihat adiknya melakukan perjalanan dengan sikap gembira sekali, maka Han Tiong ikut merasa gembira pula. Mereka mengaso di tepi sebuah hutan karena senja mulai tiba dan mereka lalu mengisi perut dengan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal, kemudian bersama dengan datangnya malam gelap mereka membuat api unggun, keduanya duduk di dekat api unggun yang hangat sambil bercakap-cakap.

“Senangkah engkau melakukan perjalanan ini, Sin-te?”

“Tentu saja, apakah engkau juga tidak merasa senang, Tiong-ko? Aku merasa bagaikan seekor burung yang keluar dari sarang, terbang bebas di udara. Melihat dunia di depan terbentang luas, hati siapa tidak menjadi gembira?”

Han Tiong tersenyum. Jika pada hari-hari kemarin dia tidak mau mengusik urusan lampau karena adiknya itu sedang dalam duka, maka kini dia menganggap sudah waktunya untuk bertukar pikiran tentang segala peristiwa yang dialami adiknya itu.

“Selama beberapa pekan ini engkau tampak amat berduka dan kecewa di rumah. Apakah kematian Hwi Leng yang membuat engkau menjadi demikian berduka, adikku?”

Thian Sin menggelengkan kepala, membuat kakaknya terheran. “Hwi Leng telah mati, hal itu tidak mungkin berubah biar aku akan menangis air mata darah sekali pun. Aku hanya merasa menyesal kalau melihat betapa semua pelajaran tentang kebaikan, baik yang kita terima dari Paman Hong San Hwesio mau pun dari ayah, atau dari kitab-kitab, ternyata tidak ada gunanya sama sekali.”

“Ehh? Apa maksudmu?” Han Tiong memandang tajam penuh selidik, terkejut mendengar ucapan itu.

“Maksudku? Aku bersusah payah menahan segala nafsu, bersusah payah menjadi orang baik menurut semua pelajaran itu, namun ternyata, akibatnya hanya merugikan diri sendiri belaka.”

“Hemm, aku masih belum mengerti.”

“Coba engkau ingat akan halnya Cu Ing dan Hwi Leng, Tiong-ko. Andai kata aku tidak mentaati semua pelajaran Paman Hong San Hwesio, andai kata dulu aku tidak bersikap alim, andai kata aku tidak menahan nafsu dan aku mengajak Cu Ing pergi bersamaku, menjadikannya sebagai isteriku, tentu dia tidak akan dibawa pergi oleh orang tuanya dan dikawinkan dengan orang lain. Begitu pula dengan Hwi Leng, andai kata dia kuajak hidup bersama, tentu dia tidak sampai dapat disiksa sampai mati oleh penjahat-penjahat itu!”

“Ahh, omongan apa yang kau keluarkan ini, Sin-te?” Han Tiong memandang dengan sinar mata tajam dan sejenak mereka saling bertentangan pandang mata, akan tetapi akhirnya Thian Sin menunduk.

“Maafkan aku, Tiong-ko.”

Han Tiong menyentuh lengan adiknya dan berkata, suaranya penuh kesabaran dan juga mengandung teguran halus, “Adikku, pendapatmu itu sungguh merupakan pendapat yang keliru sama sekali. Pendapatmu itu hanyalah didasarkan rugi untung, susah senang bagi diri sendiri belaka. Engkau merasa kecewa karena Cu Ing dikawinkan dengan orang lain sehingga engkau kehilangan, demikian pula engkau menyesal sebab dengan matinya Hwi Leng, engkau merasa dirugikan. Sebenarnya engkau tidak mencinta dua orang dara itu, adikku, melainkan mencinta dirimu sendiri, ingin memuaskan nafsu sendiri, maka ketika hal itu tidak terjadi, engkau merasa kecewa dan menyesal.”

Thian Sin kelihatan terkejut mendengar ucapan itu. “Apa… maksudmu? Tiong-ko, engkau tahu bahwa aku benar-benar mencinta mereka!”

Han Tiong menggelengkan kepala. “Kalau engkau mencinta Cu Ing, engkau tentu harus bersyukur bahwa gadis itu tidak melakukan hal yang mendatangkan aib bagi keluarganya dan bahwa dia kini telah menikah dengan calon suami yang telah dipertunangkan dengan dia sejak kecil. Dan mengenai Hwi Leng, dia mati pun hanya sebagai akibat dari keadaan hidupnya. Ingat, dia adalah puteri seorang anggota Jeng-hwa-pang, maka tentu saja dia dianggap pengkhianat dan dibunuh. Memang dia patut dikasihani karena menjadi korban keadaan, seperti juga Cu Ing patut dikasihani, karena menjadi korban adat-istiadat pula. Kalau engkau merasa kasihan kepada mereka, hal itu memang sewajarnya. Akan tetapi kalau engkau menyesal karena engkau merasa dirugikan dengan perginya mereka itu dari sampingmu, berarti engkau hanya memikirkan diri sendiri belaka.”

Thian Sin mengangguk-angguk. “Kini aku mulai mengerti, Tiong-ko, dan aku mulai dapat menangkap kebenaran kata-katamu. Memang, agaknya aku terlampau mementingkan diri sendiri saja.”

“Bagus, adikku. Berbahagialah orang yang dapat melihat kesalahan diri sendiri. Agaknya engkau terlalu peka, terlalu perasa sehingga engkau mudah jatuh cinta, mudah patah hati. Kuharap saja kelak engkau akan lebih berhati-hati, karena tak semestinya kalau seorang pendekar sedemikian lemahnya, Sin-te. Hidup ini memang mengandung lebih banyak segi yang kelabu, akan tetapi hal itu tidak semestinya melemahkan hati seorang pendekar. Kita harus dapat menanggulangi segala persoalan yang betapa pahit pun dengan tabah. Bukankah demikian ajaran-ajaran yang selama ini kita terima?”

Thian Sin memegang lengan kakaknya dan memandang dengan wajah berseri. “Jangan khawatir, adikmu ini telah melihat kesalahannya dan tak akan mengulang kebodohannya lagi.”

Thian Sin lalu mengeluarkan suling dari buntalan pakaiannya dan tak lama kemudian, di malam yang amat sunyi itu terdengar alunan suara tiupan suling yang merdu. Han Tiong tersenyum girang dan dia seperti dibuai oleh suara suling itu hingga akhirnya dia tertidur pulas di bawah pohon dekat api unggun.

Karena perjalanan itu melewati perbatasan di luar Tembok Besar yang menjadi sarang perkumpulan Jeng-hwa-pang, maka Han Tiong mengajak adiknya untuk singgah dahulu di tempat itu. Perkampungan Jeng-hwa-pang itu masih ada dan ketika mereka memasuki pintu gerbang, mereka melihat bahwa kini perkampungan itu ditempati oleh sedikitnya tiga puluh orang anggota Jeng-hwa-pang. Sebaliknya, melihat munculnya dua orang pemuda ini, para anggota Jeng-hwa-pang itu lari ketakutan.

“Harap kalian jangan lari! Kami datang dengan damai!” Han Tiong berseru nyaring.

Mereka yang mendengarnya itu menjadi terheran-heran, akan tetapi dengan muka masih pucat serta sikap yang gentar mereka berhenti dan menghampiri dua orang muda yang amat mereka takuti itu.

Han Tiong dan Thian Sin tersenyum melihat sikap mereka. “Kami bukan datang sebagai musuh,” kata Thian Sin. “Kami hanya kebetulan lewat dan ingin melihat keadaan di sini.”

Tiba-tiba seorang di antara para anggota Jeng-hwa-pang itu menjatuhkan diri berlutut ke arah dua orang muda itu dan semua orang yang berada di situ lalu mengikuti contoh ini. Mereka semua berlutut.

“Ji-wi taihiap harap sudi memaafkan kami semua…,” kata orang itu.

Han Tiong saling pandang dengan Thian Sin dan tersenyum, “Bangkitlah, kalian tak perlu berlutut. Kami datang hanya untuk menjenguk dan ingin tahu apa jadinya dengan tempat ini. Ternyata kalian masih tinggal di sini. Apakah Jeng-hwa-pang masih tetap berdiri di sini dan menggunakan tempat ini sebagai markas?”

“Tidak, tidak, taihiap. Para pimpinan sudah meninggalkan kami. Kami hanyalah anggota-anggota yang tidak mempunyai tempat tinggal lain, maka terpaksa kami kembali ke sini dan tinggal di sini,” jawab orang pertama.

Kini dua orang muda itu melihat wanita dan anak-anak bermunculan dari balik pondok-pondok itu. Tentu keluarga orang-orang Jeng-hwa-pang itu, pikir mereka.

Kemudian orang itu menceritakan bahwa sejak sarang Jeng-hwa-pang itu diobrak-abrik oleh kedua orang pemuda Istana Lembah Naga itu, ketua mereka, Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam tidak pernah kembali lagi, entah telah lari ke mana. Dan karena para anak buah Jeng-hwa-pang banyak yang tidak mempunyai tempat tinggal, maka berturut-turut mereka kembali ke situ setelah melihat bahwa keadaan aman kembali. Akan tetapi banyak juga di antara anak buah Jeng-hwa-pang yang sudah melarikan diri ke selatan. Hanya mereka yang memiliki keluarga saja tidak berani untuk menyeberangi Tembok Besar ke selatan.

Sesudah mendengar penuturan mereka itu, Han Tiong memandang ke sekeliling tempat itu. Keadaan mereka cukup baik dan tentu ketua Jeng-hwa-pang itu meninggalkan banyak juga harta benda untuk mereka.

“Saudara-saudara sekalian, dengarkanlah baik-baik. Kalian adalah manusia-manusia yang tak ada bedanya dengan kami dan dengan manusia-manusia lain. Saudara-saudara juga mempunyai anak isteri, berarti saudara-saudara mempunyai tanggung jawab. Oleh karena itu, kami harap mulai saat ini kalian semua suka mengubah cara hidup kalian, menjauhi pekerjaan yang tidak baik dan jangan sekali-kali mempergunakan ilmu kepandaian untuk mencelakakan orang lain. Kalian dapat bekerja sebagai petani, atau dengan modal yang ada, kalian dapat berdagang, atau dapat juga bekerja sebagai pengawal-pengawal para saudagar yang melewati Tembok Besar. Kalau kalian menjadi orang-orang yang bekerja sebagaimana mestinya, tidak lagi menjadi penjahat, tentu kalian akan dapat hidup dengan aman. Akan tetapi kalau kalian kembali pada pekerjaan yang dulu dan suka mengganggu orang lain, kelak apa bila kami lewat di sini lagi, sudah pasti kami akan turun tangan menghajar kalian dan mengusir kalian dari tempat ini.”

Orang-orang itu segera memberi hormat dan dengan suara riuh mereka menyatakan taat akan pesan pendekar muda itu. Kedua orang pemuda itu kemudian meninggalkan sarang Jeng-hwa-pang, atau lebih tepat lagi, perkampungan baru itu karena mereka semua tentu tidak mau lagi menggunakan nama Jeng-hwa-pang, dan melanjutkan perjalanan mereka menyeberangi Tembok Besar.

********************

Melihat betapa wajah Thian Sin nampak tidak puas, Han Tiong bertanya, “Ada apakah, Sin-te?”

“Tiong-ko, aku tidak percaya bahwa mereka itu akan mau kembali ke jalan benar. Mereka adalah orang-orang jahat, maka di hadapan kita tentu saja mereka berjanji akan mentaati pesanmu sebab mereka merasa takut. Akan tetapi kelak, aku yakin sekali bahwa mereka itu akan kembali menjadi penjahat, apa lagi kalau ada yang memimpin mereka.”

“Hemmm, habis kalau menurut pendapatmu, bagaimana? Apa yang harus kita lakukan tadi?”

“Kurasa lebih baik menghajar agar mereka takut benar-benar, dan membubarkan mereka. Karena dengan berkelompok itu mereka tentu akan menjadi lebih berani untuk melakukan kejahatan lagi. Orang-orang kejam dan jahat semacam mereka itu tidak boleh diberi hati, Tiong-ko!”

Han Tiong tersenyum, “Sin-te, mengapa engkau begitu keras terhadap orang-orang yang pernah melakukan penyelewengan dalam hidupnya? Apakah engkau lupa akan wejangan Paman Hong San Hwesio? Orang yang melakukan penyelewengan, yang kita namakan orang jahat, adalah orang yang sedang menderita penyakit. Bukan tubuhnya yang sakit, melainkan batinnya. Nah, bila kita menghadapi orang yang sakit, sebaiknya kita memberi obat, bukan? Ingat, orang yang sedang menderita sakit itu juga dapat sembuh, adikku, sedangkan kita yang sekarang ini sedang sehat, bisa saja sewaktu-waktu jatuh sakit! Tapi bagaimana pun juga, manusia adalah makhluk yang sangat lemah, baik badan mau pun batinnya. Karena itulah kita harus mengasihani mereka, adikku, bukan malah membenci mereka.”

“Mengasihani orang jahat?”

“Tentu saja, karena mereka itu sedang menderita sakit…”

“Dan kalau ada orang jahat membunuh ayah bunda kita, kekasih kita, apakah kita harus mengasihani penjahat itu juga?”

Dibantah seperti ini, Han Tiong tak mampu menjawab karena dia merasa tidak enak untuk membantah. Dia tahu bahwa pertanyaan itu timbul dari hati yang amat mendendam atas kematian ayah bunda adiknya ini, juga kematian kekasihnya.

Tentu saja dia tak mau mengingatkan adiknya bahwa ayahnya itu mati karena akibat dari pada perbuatannya sendiri! Demikianlah pula Hwi Leng tewas karena keadaan lingkungan hidupnya. Akan tetapi, untuk diam saja pun tidak enak, maka dia memperoleh jawaban yang dianggapnya tepat.

“Adikku, apakah sesungguhnya yang aneh dari kematian orang-orang yang hidup sebagai pendekar? Baik mendiang ayah bundamu, mau pun nona Loa Hwi Leng, mereka adalah orang-orang yang sejak kecil telah berkecimpung di dunia kang-ouw dan karenanya sudah tentu mempunyai banyak musuh-musuh. Kurasa tak ada yang harus menjadi penasaran. Andai kata kita sewaktu-waktu tewas di tangan orang yang memusuhi kita, bukankah hal itu sudah wajar dan tidak perlu dijadikan dendam?”

“Aku mengerti Tiong-ko. Akan tetapi agaknya engkau tidak dapat merasakan penderitaan seorang anak yang kehilangan kedua orang tuanya, terbunuh oleh orang-orang jahat.”

Han Tiong tidak mau membantah lagi karena hal itu hanya akan mendatangkan perasaan yang tidak enak saja. Maka dia pun mengajak adiknya bicara tentang hal-hal lain. Mereka segera melupakan bahan percakapan yang tak menyenangkan itu kemudian melanjutkan perjalanan dengan gembira sebab pemandangan pada sepanjang perjalanan yang melalui bukit-bukit itu amat mempesonakan.

Biar pun pada tujuh tahun yang lalu mereka berdua pernah melakukan perjalanan ke kota raja bersama Cia Sin Liong dan isterinya, ketika mereka kembali dari Kuil Thian-to-tang, namun ketika itu selain sudah lewat lama sekali, juga mereka tidak begitu lama berada di kota raja. Apa lagi Han Tiong sendiri yang pernah datang ke Cin-ling-pai bersama orang tuanya, adalah pada saat dia baru berusia sebelas tahun. Oleh karena perjalanan itu amat jauh dan dia sama sekali sudah tak ingat lagi jalannya, maka sebelum mereka berangkat, Cia Sin Liong telah memberi petunjuk tentang tempat-tempat yang akan mereka lalui.

Pertama-tama, mereka akan memasuki kota raja lebih dulu, melihat-lihat di kota besar itu dengan pesan dari Cia Sin Liong supaya di kota raja mereka tidak sampai terlibat dalam perkelahian karena selain di tempat itu banyak terdapat orang pandai, juga jangan sampai mereka memancing perhatian para penjaga keamanan kota raja dan istana. Kemudian, mereka diharuskan pergi ke Cin-ling-san yang berada di Propinsi Shen-si selatan, setelah itu barulah mereka harus ke timur dari Propinsi Shen-si, memasuki Propinsi Ho-nan untuk pergi ke kota Lok-yang tempat tinggal Ciu Khai Sun.

“Kalian boleh pergi merantau sampai selama satu tahun,” demikian pesan Cia Sin Liong. “Waktu itu sudah lebih dari cukup bagi kalian berdua untuk mengunjungi ketiga tempat itu dan meluaskan pengetahuan kalian. Jangan terlalu lama di kota raja, yang penting adalah mengunjungi keluarga kakek kalian di Cin-ling-san, kemudian mengunjungi bibi kalian di kota Lok-yang. Di sana kalian boleh tinggal agak lama.”

Di antara banyak pintu gerbang yang memasuki kota raja, pintu gerbang utara merupakan pintu gerbang yang selain tebal dan kuat, juga terjaga paling ketat. Hal ini adalah karena semenjak dulu, pintu gerbang ini yang paling sering mengalami gempuran-gempuran dan serbuan-serbuan musuh yang datang dari utara dan bagi kerajaan itu, bahaya yang paling besar dan tak pernah dapat diabaikan adalah bahaya yang datangnya dari utara, dari luar Tembok Besar.

Hal ini tidaklah aneh, karena kota raja itu terletak paling dekat dengan perbatasan utara sehingga penyerbuan musuh dari utara akan dapat langsung memasuki kota raja, tidak seperti penyerbuan dari jurusan lain yang harus melampaui daratan luas, melalui propinsi-propinsi sehingga sebelum bahaya tiba di kota raja, sudah terlebih dahulu kota raja akan mendengar dan akan mempersiapkan diri.

Pada waktu itu, Kerajaan Beng-tiauw sedang mengalami masa jayanya. Perjalanan atau pelayaran Panglima The Hoo pada puluhan tahun yang lampau agaknya mendatangkan hubungan yang luas dan akrab dengan negara-negara lain di seberang lautan sehingga hubungan dagang juga bisa diperbesar, baik dengan negara-negara barat hingga ke India dan Arab, juga dengan negara-negara di selatan, bahkan sampai di Kepulauan Indonesia, yaitu Sumatera dan Jawa.

Bukan hanya itu saja, bahkan kemakmuran serta kebesaran nama Kerajaan Beng-tiauw juga sudah menarik minat orang-orang kulit putih yang mulai mempererat pula hubungan mereka. Terutama sekali bangsa Portugis yang memang sudah semenjak puluhan tahun menjadi orang kulit putih pertama yang datang ke Tiongkok untuk berdagang.

Biar pun penjagaan di pintu gerbang utara amat ketat, akan tetapi dua orang muda yang masih remaja, berpakaian patut, bersikap sopan dan lebih pantas menjadi pelajar-pelajar yang kaya, seperti Han Tiong dan Thian Sin, tidak menimbulkan kecurigaan dan mereka dapat memasuki kota raja dengan mudah.

Cia Sin Liong adalah seorang pendekar yang pernah berjasa terhadap kerajaan. Bahkan secara resmi Kaisar Ceng Hwa telah mengangkat pendekar itu menjadi Pendekar Lembah Naga, julukan yang diberikan sendiri oleh kaisar dan oleh karena itu terkenal di seluruh dunia kang-ouw, bahkan pendekar itu dihadiahi Istana Lembah Naga oleh kaisar dan harta benda yang amat banyak.

Hanya disebabkan pendekar itu menolak saja maka dia tidak menjadi seorang panglima, karena andai kata Sin Liong mau, tentu dia sudah diangkat menjadi seorang panglima. Meski pun demikian, pendekar itu tetap saja tidak pernah mau menonjolkan diri, apa lagi mendekatkan diri dengan kerajaan. Kepada dua orang puteranya yang juga tahu bahwa ayah mereka merupakan seorang yang ternama di kota raja, dia memesan agar jangan sembarangan memperkenalkan diri dan agar jangan sampai berhubungan dengan pihak kerajaan.

Han Tiong mentaati pesan ayahnya, karena dia sendiri pun adalah seorang pemuda yang batinnya sederhana, tidak suka akan nama besar serta kesohoran, maka diam-diam dia menyetujui sikap ayahnya yang menjauhkan diri dari kemuliaan dan kedudukan. Sudah banyak dibacanya dalam kitab-kitab sejarah betapa kemuliaan dan kedudukan itu hanya memancing datangnya permusuhan karena banyak yang merasa iri hati.

Akan tetapi tidak demikian dengan Thian Sin. Diam-diam pemuda ini merasa tidak puas. Betapa pun juga, dia tahu bahwa mendiang ayah kandungnya adalah saudara kaisar! Biar pun berlainan ibu, akan tetapi seayah! Jadi, betapa pun juga, dia adalah keponakan yang langsung dari kaisar yang sekarang, sedarah karena nama keturunannya masih sama!

Akan tetapi, di samping ini dia pun tahu pula bahwa ayahnya tewas karena kaisar yang menjadi pamannya ini mengirim pasukan untuk ‘menghukum’ ayahnya sebagai seorang pemberontak. Dia memang menyesalkan hal ini, kenyataan bahwa dulu ayahnya menjadi pemberontak, dan dia tidak merasa sakit hati kepada kaisar yang menjadi pamannya itu, melainkan kepada mereka yang turun tangan membunuh ayah bundanya.

Meski pun di dalam hati mereka berdua terdapat perbedaan yang amat besar, akan tetapi keduanya memandang dengan wajah berseri gembira ketika mereka memasuki kota raja dan melihat bangunan-bangunan besar yang indah, jalan-jalan raya yang lebar dan ramai dengan lalu-lintas, toko-toko yang serba lengkap, restoran besar dan bermacam pakaian orang yang serba indah. Mereka berdua adalah pemuda-pemuda yang sejak kecil tinggal di tempat sunyi, bahkan jarang berjumpa dengan orang lain, maka kini memasuki sebuah kota besar seperti kota raja, tentu saja mereka merasa kagum sekali.

“Sin-te, mari kita mencari tempat penginapan lebih dulu,” kata Han Tiong kepada adiknya.

“Mengapa kita tidak putar-putar dan melihat-lihat dulu, Tiong-ko? Kita tidur di mana saja, di kuil juga boleh, kan? Lebih aman dan tidak menyolok,” kata Thian Sin.

“Tidak, adikku. Justru kalau kita bermalam di kuil tua atau sebagainya, maka lebih banyak kemungkinan bagi kita untuk bertemu dengan orang-orang kang-ouw sehingga malah akan menimbulkan kecurigaan karena kita berpakaian seperti pelajar-pelajar yang melancong, bukan seperti orang kang-ouw. Pula, tidak enak kalau berjalan-jalan sambil menggendong buntalan pakaian seperti ini, hanya menjadi perhatian orang saja. Kita cari kamar dahulu, lalu menyimpan buntalan pakaian, dan baru kita jalan-jalan,” jawab Han Tiong dan seperti biasa, Thian Sin menyetujui. Memang pemuda ini selalu taat terhadap Han Tiong, bukan taat secara terpaksa, karena dia selalu dapat melihat bahwa kakaknya itu sudah benar dan tepat.

Di dalam hatinya, Thian Sin sangat sayang kepada Han Tiong, sayang dan tunduk, juga kagum karena kakaknya itu dianggap memiliki batin yang amat kuat sekali, tidak seperti dirinya yang mudah tunduk dan mudah terpengaruh. Juga dia tahu bahwa kalau mereka sama-sama menggunakan ilmu simpanan mereka, maka dia tidak akan menang melawan kakaknya.

Biar pun Pendekar Lembah Naga sendiri menyembunyikan dan menganggapnya sebagai rahasia, namun di antara kedua orang kakak dan adik ini tidak ada rahasia apa-apa dan mereka pernah saling menceritakan tentang ilmu-ilmu simpanan yang mereka pelajari dari ayah mereka. Mereka tidak merasa saling iri hati, karena mereka sudah tahu bahwa dua macam ilmu itu, yaitu Thi-khi I-beng dan Cap-sha-ciang, atau lebih lengkapnya Hok-mo Cap-sha-ciang, hanya boleh diturunkan kepada satu orang saja.

Bahkan dengan terus terang Han Tiong menceritakan bahwa dia pun diberi pelajaran ilmu totok It-sin-ci yang dapat menghadapi Thi-khi I-beng itu kepada adiknya. Hal ini pun tidak membuat Thian Sin menjadi kecil hati. Bagi dia, kalau kalah oleh Han Tiong merupakan hal yang sudah wajar dan semestinya.

Mereka menyewa sebuah kamar di losmen sederhana dan sesudah mandi serta berganti pakaian, mereka lalu pergi keluar berjalan-jalan meninggalkan buntalan pakaian di dalam kamar yang terkunci dan membawa semua uang bekal mereka dalam saku. Karena kini mereka tidak lagi menggendong buntalan, maka keadaan mereka semakin tidak menarik perhatian sebab mereka tiada bedanya dengan dua orang pemuda kota raja yang sedang berjalan-jalan makan angin di sore hari itu.
Selanjutnya,