Panasnya Bunga Mekar Jilid 20 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 04: Panasnya Bunga Mekar Jilid 20
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

TETAPI ia sudah mapan, yang dilakukannya itu adalah sepenuhnya di bawah pengaruh kesadarannya. Kesadaran seseorang yang mempunyai kepribadian kuat. Namun dengan demikian Mahisa Bungalan dapat mengerti, pengaruh apakah sebenarnya yang sudah menguasai Ki Demung dan kawan-kawannya, sehingga seolah-olah mereka tidak dapat berpikir lama sekali.

“Apakah kau sudah mengetahuinya?” bertanya Mahisa Agni yang telah duduk kembali setelah meletakkan senjatanya.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Namun dengan demikian ia menjadi semakin berhati-hati. Pada suatu saat ia harus mengambil satu sikap tertentu bersama Mahisa Agni dan Witantra. Nampaknya Ki Demung dan Ki Perapat itu harus dibangunkannya untuk tetap berpegang pada niat kedatangannya.

Sejenak kemudian, orang-orang yang berada di pendapa itu telah duduk kembali sambil menundukkan kepalanya. Diantara mereka duduk Ki Buyut sambil termangu-mangu. Bahkan kemudian terdengar suara tertawanya diantara kata-katanya “Nah, Ki Demung. Sekarang kita dapat berbicara dengan mapan. Katakan, kenapa kalian datang kemari bersama Ki Perapat dan beberapa orang lainnya? Apakah ada sesuatu yang penting yang ingin kau katakan?”

Ki Demung mengangkat wajahnya. Sekilas terpandang olehnya mata Ki Buyut yang seolah-olah mencengkam jantungnya. Sambil menunduk ia menjawab “Kami datang sekedar untuk menyatakan kesetiaan kami Ki Buyut. Kami mendengar beberapa orang bebahu telah datang meronda di rumah ini. Karena itulah, maka kami pun datang pula bersama beberapa orang untuk ikut berjaga-jaga.”

“O, begitu” berkata Ki Buyut, “terima kasih. Kami senang sekali menerima kedatangan kalian. Di rumah ini beberapa bebahu memang sedang berjaga-jaga. Lihatlah, itulah mereka.”

Orang-orang yang berada di pendapa itu pun berpaling. Betapapun juga nampak orang-orang itu terkejut. Di sekeliling pendapa itu nampak beberapa orang bebahu yang bersenjata berjalan keluar dari longkangan sebelah menyebelah. Kemudian mereka seolah-olah telah mengepung pendapa itu dari segala arah.

“Nah, itulah mereka” berkata Ki Buyut “namun nampaknya penjagaan itu harus di atur bergilir. Marilah, kalian akan mendapat giliran nanti. Karena itu, sebelum giliran bagi kalian tiba, kami persilahkan kalian beristirahat lebih dahulu di gandok.”

“Marilah Ki Demung dan Ki Perapat” berkata Ki Buyut, “kami persilahkan kalian beristirahat di gandok”

Ternyata Ki Demung dan Ki Perapat tidak membantah. Mereka pun kemudian bangkit dan mengikuti Ki Buyut menuju ke gandok sebelah kanan.

Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan pun mengikuti mereka pula. Dan mereka pun kemudian mengerti, apa yang sebenarnya dilakukan oleh Ki Buyut. Karena demikian mereka masuk ke dalam gandok, maka pintu gandok itu pun telah ditutup dan diselarak dari luar.

Yang terdengar kemudian adalah gelak tertawa di luar pintu. Terdengar suara Ki Buyut dan Ki Jagabaya berbincang. Tetapi orang-orang yang berada di dalam gandok itu tidak mendengar jelas. Namun beberapa kalimat dapat ditangkap oleh telinga Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan yang tajam, ketika Ki Buyut berkata,

“Ternyata ketiga orang yang disebut memiliki kelebihan itu, sama sekali tidak berdaya menghadapi aku dengan langsung. Meskipun demikian mereka cukup berbahaya karena mereka berhasil menangkap kembali pemimpin itu.”

“Serahkan kepada orang-orang itu sendiri. Mereka dapat membunuhnya” berkata Ki Jagabaya.

Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa. Selebihnya pembicaraan itu tidak dapat didengarnya lagi, betapapun mereka berusaha.

Namun kesadaran Ki Demung, Ki Perapat dan kawan kawannya ternyata sudah terlambat. Mereka telah terjebak dalam satu ruangan yang kuat dan tertutup rapat. Gandok itu terdiri dari sebuah ruangan yang agak luas, dan dibatasi dengan dinding-dinding kayu yang tebal, sehingga sulit bagi orang-orang yang berada di dalamnya untuk dapat memaksa keluar. Apalagi di luar beberapa orang sedang berjaga-jaga.

Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan masih membiarkan orang-orang itu menjadi sibuk. Beberapa orang mencoba meraba-raba dinding untuk mencari kelemahannya. Namun yang lain berkata, “Seandainya kita dapat keluar dari bilik ini, kita sudah tidak bersenjata lagi. Apakah artinya.”

“Ya. Kita memang terlalu dungu, sementara Ki Buyut terlalu licik.” sahut yang lain.

“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang? Kita akan menyerah untuk dibantai di sini atau tindakan-tindakan lain yang akan dilakukan oleh Ki Buyut?” berkata yang lain, “sehingga kedatangan kita kemari semata-mata untuk menyerahkan leher kita.”

Tiba-tiba saja di luar dugaan seseorang berkata, “Ki Demung. Kita datang dengan harapan bahwa Ki Demung Ki Perapat akan dapat memberikan jalan bagi perubahan yang kita harapan di Kabuyutan ini. Tetapi tiba-tiba kita sudah dijebak, sementara Ki Demung dan Ki Perapat tidak berbuat apa-apa.”

“Ya” sahut beberapa orang hampir bersamaan, “ya. Apa yang dapat kalian lakukan.”

Ki Demung dan Ki Perapat saling berpandangan. Tetapi apa yang dapat mereka lakukan, setelah mereka di dalam sebuah bilik yang tertutup rapat.

“Sekarang” berkata salah seorang “berbuatlah sesuatu Ki Demung atau Ki Perapat. Kita tidak akan terlepas dengan sendirinya dari tempat ini dan dari kelicikan Ki Buyut.”

“Ya, berbuatlah sesuatu“ sahut yang lain.

Ki Demung dan Ki Perapat benar-benar telah kehilangan, kepribadian mereka. Yang dilakukan sama sekali tidak sesuai dengan tekad mereka sejak mereka berangkat. Demikian orang-orang lainnya pun nampaknya tidak dapat melawan sama sekali pengaruh Ki Buyut yang telah mencengkeram perasaan mereka.

Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan dengan sengaja telah menempatkan diri mereka bersama orang-orang itu. Mereka ingin tahu, betapa kemampuan Ki Buyut menguasai orang-orang itu, dan apa sajakah yang akan dilakukannya kemudian terhadap orang-orangnya yang diketahuinya akan melawannya dan bahkan serba sedikit telah mengetahui rahasianya melalui pemimpin perampok yang telah tertangkap itu. Karena itu, maka mereka pun telah bersikap, sebagaimana orang-orang lain bersikap.

“Ya. Carilah jalan yang manapun juga. Kita lebih baik mati dalam usaha daripada kita menunggu kematian itu sambil merenung disini.” berkata yang lain.

Orang-orang di dalam ruang itu pun menjadi gelisah. Ki Demung dan Ki Perapat pun menjadi bingung. Orang-orang itu ternyata marah dan menyalahkan mereka berdua.

Dalam kegelisahan itu, maka tiba-tiba saja Ki Demung berpaling kepada Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan Kemudian dengan serta merta ia mendekatinya sambil berkata, “Ki Sanak. Kenapa Ki Sanak hanya berdiam diri saja?”

“Kami merasa menyesal seperti orang-orang lain. Lalu apa gunanya kami datang kemari” jawab Mahisa Agni.

“Ya. Untuk apa kami datang. Sekedar menyerahkan leher?” sahut seseorang.

“Tetapi, katakan. Apa yang harus aku lakukan” Ki Demung hampir berteriak.

“Kenapa kita telah meletakkan senjata kita?” bertanya Mahisa Agni.

“Ya. kenapa?” Ki Demung justru mengulang.

“Kami hanya mengikuti saja apa yang telah Ki Demung dan Ki Perapat lakukan” jawab Mahisa Agni, “karena Ki Demung dan Ki Perapat meletakkan senjata, kami kira bahwa itu adalah perintah yang harus kami lakukan pula.”

Ki Demung tiba-tiba saja telah terduduk dengan lemahnya sementara Ki Perapat berjalan hilir mudik dengan kepala tunduk.

“Ki Demung dan Ki Perapat” berkata Mahisa Agni, “coba katakan, kenapa kita semuanya telah meletakkan senjata.?”

Ki Demung termangu-mangu sejenak. Kemudian jawabnya, “Aku tidak tahu Ki Sanak. Tiba-tiba saja aku telah melakukannya ketika Ki Buyut minta kita melakukannya."

“Tanpa disadari?” bertanya Mahisa Agni pula.

“Ya. Tanpa disadari.” jawab Ki Perapat.

“Nah, sekarang sudah waktunya untuk menyadari bahwa yang terjadi itu adalah satu kelemahan bagi kita. Kita sudah kehilangan diri kita sendiri demikian kita berhadapan dengan Ki Buyut. Ki Demung dan Ki Perapat, diikuti oleh kita semuanya, melakukan apa yang kita sendiri tidak menyadarinya.” desis Mahisa Agni.

“Ya. Tepat seperti itu.” jawab Ki Demung.

“Nah. Sebentar lagi, akan terjadi satu hal yang mungkin merupakan ulangan dari peristiwa itu. Tetapi lebih mengerikan lagi. Ki Buyut akan memasuki bilik ini bersama Ki Jagabaya. Ki Buyut akan menatap mata kalian dan dengan sorot matanya mempengaruhi kesadaran kalian sehingga kalian akan kehilangan diri kalian sendiri.” Mahisa Agni terdiam sejenak lalu, “Dengarlah. Kalian telah dipengaruhi oleh sorot mata Ki Buyut. Sebentar lagi dengan sorot matanya Ki Buyut akan memerintahkan kalian untuk membunuh kami bertiga. Jika kalian tidak mempersiapkan diri melawan pengaruh itu dengan kekuatan pribadi kalian masing-masing maka kalian tentu akan melakukannya.”

“Apakah benar begitu?” bertanya Ki Demung.

“Ya. Seperti yang telah kalian lakukan. Meletakkan senjata tanpa berpikir sama sekali bahwa ia adalah satu kebodohan yang sangat berbahaya.” sahut Mahisa Agni. Lalu, “Karena itu, aku ingin berpesan. Jika Ki Buyut berbuat demikian, maka cobalah melawan pengaruh itu dengan kekuatan pribadi kalian. Kemudian cobalah mengelabui mereka. Seolah-olah kalian ingin melakukannya. Mintalah senjata kalian kembali dengan kesanggupan untuk membunuh kami bertiga. Selebihnya, dengan senjata itu kita dapat berbuat sesuatu seperti yang kita rencanakan sejak kita berangkat dari pedukuhan itu.”

Orang-orang yang mendengarkan keterangan Mahisa Agni itu mengangguk, sementara Mahisa Agni berpesan, “Syaratnya, kalian harus menyadari diri sendiri dan berpijak pada sikap dan kepribadian kalian sendiri. Jika kalian gagal, maka akan terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki, karena kami pun tidak akan dengan suka rela menerima kematian.”

Orang-orang yang berada di dalam bilik tertutup itu pun mengangguk-angguk. Mereka sadar, bahwa mereka telah berhadapan dengan ilmu yang sangat berbahaya. Karena itu, maka salah seorang dari mereka berkata, “Ya. Kita harus melakukannya. Jika tidak akan datang gilirannya, kita akan saling membunuh seperti yang mereka kehendaki tanpa dapat menentang sama sekali.”

“Baiklah” berkata Ki Demung, “marilah kita bersama-sama berusaha, agar kita tidak akan bertarung yang satu dengan yang lain.”

Demikianlah orang-orang itu telah berusaha untuk berpegang kepada kedirian masing-masing. Mereka bertekad, jika Ki Buyut itu datang lagi mereka tidak akan dengan mudah menyerahkan diri mereka dan tunduk alas segala perintah Ki Buyut tanpa berbuat sesuatu.

Dalam pada itu, Ki Demung dan Ki Perapat beserta orang-orang yang lain itu pun bagaikan orang yang kehilangan kesadarannya. Mereka duduk di sebuah amben bambu yang besar. Bahkan beberapa orang telah membaringkan dirinya, seolah-olah mereka benar-benar beristirahat sebelum melakukan tugas mereka berjaga-jaga di rumah Ki Buyut itu.

“Bukan main” berkata Mahisa Bungalan.

“Ya. Sampai kapan pengaruh itu akan mencengkam mereka” desis Witantra.

“Tetapi pengaruh itu akan lenyap dengan sendirinya. Kecuali jika sebentar lagi Ki Buyut itu datang memasuki ruangan ini dan memberikan perintah-perintah khusus kepada mereka. seperti yang dikatakan oleh Ki Jagabaya, “jika benar terjadi demikian, kita akan mengalami kesulitan. Apakah kita harus melawan orang-orang yang tidak sadarkan diri itu, sementara mereka benar-benar ingin membunuh kita?“

“Sumber dari pengaruh itulah yang harus dipadamkan” sahut Witantra.

Mahisa Agni mengangguk-angguk, Kemudian katanya “Kita akan menunggu perkembangan apakah yang akan terjadi.”

Dalam pada itu, lambat laun tetapi nampak jelas. bahwa Ki Demung, Ki Perapat dan kawan-kawannya mulai menyadari apa yang terjadi. Karena itu, tiba-tiba saja Ki Demung berlari ke pintu dan mencoba membukanya.

“Gila. Pintu itu diselarak. Kita sudah tertipu geramnya.”

Ki Perapat pun melakukan hat yang serupa. Demikian pula kawan-kawannya, “Pintu diselarak. Kita sudah dijebak.”

“Gila. Licik.” Ki Demung mengumpat. Lalu, “sementara senjata kita sudah kita letakkan. Kita tidak mengira bahwa Ki Buyut akan selicik itu.”

Orang-orang di dalam ruangan itu menjadi ribut. Sementara itu terdengar suara tertawa di luar, suara tertawa yang sangat menyakitkan hati. Untuk beberapa saat lamanya mereka berada di dalam bilik itu. Sementara itu, seorang dari para penjaga telah melaporkan kepada Ki Buyut bahwa orang-orang yang berada di dalam bilik itu telah memukul-mukul pintu dengan sekeras-kerasnya.

Ki Buyut tertawa, Katanya, “Mereka mulai menyadari keadaannya. Tetapi tidak apa. Sebentar lagi aku akan mempengaruhi mereka lagi, sehingga mereka akan beramai-ramai membunuh tiga orang dikatakan sebagai orang yang luar biasa itu, yang ternyata tidak lebih dari orang-orang padukuhan yang dungu itu.”

“Kita akan memanggil kawan-kawan kita untuk menyaksikan pembunuhan yang mengasyikkan itu Ki Buyut, sekaligus sebagai saksi bahwa merekalah yang melakukannya. Bukan kita” berkata Ki Jagabaya.

“Ya. Kemudian kita pun akan menyaksikan mereka bertengkar dan saling berbunuhan. Ki Demung dan Ki Perapat akan dibantai beramai-ramai oleh kawan-kawan mereka sendiri. Kita akan berpura-pura mencegah, tetapi kita tidak sempat. Dengan demikian, maka kita akan menyelesaikan pekerjaan ini dengan baik dan tidak berbekas. Tidak seorang pun akan dapat menuduh kita melakukan pembunuhan.”

Orang-orang itu tertawa. Dan sebenarnyalah mereka pun mulai mempersiapkan pertunjukkan yang akan sangat mengasyikkan itu.

Sejenak kemudian, maka Ki Buyut diiringi oleh beberapa orang telah pergi ke bilik tempat Ki Demung dan kawan-kawannya ditahan. Beberapa orang bersenjata telah berada di sebelah menyebelah pintu, untuk menjaga agar tidak terjadi sesuatu sebelum pengaruh Ki Buyut meresap ke dalam jantung mereka.

Demikian pintu bilik di gandok itu terbuka, maka Ki Demung lah yang pertama-tama muncul diikuti oleh Ki Perapat. Kemudian beberapa orang lainnya bersama Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan.

Ki Buyut sambil tersenyum berkata, “Marilah. Aku ingin berbicara dengan kalian.”

Keringat dingin mengalir di tubuh Ki Demung, Ki Perapat dan kawan-kawannya. Mereka merasa seolah-olah mereka sedang direnggut oleh satu pengaruh yang luar biasa. Rasa-rasanya seperti mimpi yang mencengkam, tetapi bukan mimpi.

Dalam keadaan yang sulit itu terdengar Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan yang memencar di antara orang-orang itu berdesis, “Pertahankan diri kalian masing-masing.”

Kata-kata itu benar-benar sangat berarti. Ki Demung dan Ki Perapat yang bagaikan mandi oleh keringat dinginnya, telah menemukan kekuatannya kembali. Karena itulah, maka mereka pun sadar, bahwa pengaruh kekuatan aneh Ki Buyut telah menyusup ke dalam diri mereka. Namun mereka harus berhasil merenggut diri mereka sendiri dari pengaruh itu.

Orang-orang yang lain benar-benar berada di antara sadar dan tidak sadar. Ada juga kadang-kadang kemauan untuk bertahan. Tetapi kekuatan pengaruh Ki Buyut terlalu kuat, sehingga mereka bagaikan terombang-ambing di antara dua kekuatan. Kekuatan ilmu Ki Buyut dan kekuatan kepribadian mereka sendiri.

Setiap kali Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan selalu berdesis, memberikan imbangan pengaruh kekuatan Ki Buyut. Meskipun orang-orang itu selain Ki Demung dan Ki Perapat tidak berhasil sepenuhnya melepaskan diri dari pengaruh Ki Buyut, namun setidak-tidaknya pengaruh itu dapat dibatasi.

Demikianlah, maka orang-orang itu telah dibawa ke halaman rumah Ki Buyut yang agak luas. Dalam pada itu, maka Ki Buyut pun telah berkata, “Baiklah. Barangkali Ki Sanak semuanya perlu menyadari, bahwa keadaan padukuhan kita sekarang ini sedang gawat. Agaknya ada juga pengertian itu, ternyata bahwa kalian telah bersenjata ketika kalian datang.

Tetapi sebenarnyalah bahwa orang-orang yang mengacaukan padukuhan di antara padukuhan-padukuhan di Kabuyutan ini tidak ada lain kecuaii orang-orang yang sekarang ada di antara kalian. Orang-orang yang tidak kita kenal dan mengaku telah berhasil menangkap kembali pemimpin perampok yang melarikan diri itu. Ketahuilah Ki Sanak. Hal itu dapat dilakukannya karena sebenarnya, mereka telah bekerja bersama dengan pemimpin perampok itu.

Ki Buyut terdiam sejenak. Ki Demung dan Ki Perapat telah berjuang dengan segenap kemampuannya untuk menguasai diri. Sebenarnyalah ia selalu mencoba mengingat, bahwa Ki Buyut akan mempergunakan tangannya untuk membunuh Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan.

“Karena itu Ki Sanak” berkata Ki Buyut, “jika orang-orang itu tidak dilenyapkan, maka Kabuyutan ini tidak akan tenteram.

Tiba-tiba saja Ki Demung menyahut “Ya. Orang-orang itu harus dibinasakan.

Ki Buyut tertawa, sementara Ki Demung terkejut mendengar kata-katanya sendiri. Namun justru karena itu, ia berjuang semakin gigih untuk bertahan. Ketika ia menyahut, rasa-rasanya ia tidak melakukannya dengan satu kesadaran seperti yang dimaksud oleh Mahisa Agni. Namun kemudian ia telah melakukannya dengan kesadarannya yang kadang-kadang kabur untuk berbuat seperti yang dikatakan itu oleh Mahisa Agni. Karena itu, sekali lagi ia berkata, “Orang-orang itu memang harus dibunuh”

Ki Buyut tertawa semakin keras. Ia mengharap dapat melihat satu pertunjukkan yang menarik sekali. Karena itu, maka kemudian dipandanginya Mahisa Agni yang berdiri termangu-mangu. Katanya, “Ki Sanak yang memiliki kemampuan di atas kemampuan orang kebanyakan, cobalah mempertahankan diri. Orang-orang itu telah bersiap untuk membunuh kalian. Tetapi kami bukan orang-orang, licik yang akan membunuh orang yang tidak mampu melawan karena itu, jika kalian memang ingin selamat, lawanlah Kalian bertiga akan berhadapan dengan orang-orang yang datang bersamamu kemari.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Dipandanginya orang itu sejenak, kemudian Ki Demung dan Ki Perapat.

“Nah, mulailah.” berkata Ki Buyut itu pula.

Ki Demung dan Ki Perapat benar-benar telah menjadi basah kuyup. Mereka berusaha bertahan atas kesadarannya sendiri. Mereka pun mendengar perintah Ki Buyut. Di antara sadar dan tidak, maka ia mendengar pula Ki Buyut Berkata, “Ambillah senjata kalian.”

Ki Demung dan Ki Perapat itu pun kemudian berlari-lari mengambil senjata mereka di sudut pendapa. Senjata-senjata itu masih berada di tempat mereka meletakkannya.

Ki Buyut dan beberapa orang bebahu menjadi gembira melihat orang-orang itu menjadi bahan permainannya. Namun demikian Ki Buyut tidak lengah. Beberapa orang bebahu dan pengawal pun masih tetap mengawasi mereka dengan senjata di tangan.

Bersama mereka, Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan pun telah mengambil senjata mereka pula. Mereka berusaha agar Ki Buyut yakin, bahwa mereka semuanya telah berada di dalam pengaruh kuasanya. Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan justru dapat memainkan peranannya dengan sebaik-baiknya, karena justru mereka menyadarinya sepenuhnya. Mereka berjalan dengan tatapan mata kosong. Mengambil senjata dan kembali ke tempatnya dengan senjata yang tunduk.

Sementara itu, Ki Demung dan Ki Perapat pun telah menggenggam senjata masing-masing pula. Demikian pula beberapa orang kawan-kawannya. Sementara itu, Ki Demung dan Ki Perapat masih berada di dalam keadaan yang, kabur dan pengaruh yang bercampur baur, antara pengaruh kuasa, Ki Buyut dan pengaruh keadaan diri.

“Nah” berkata Ki Buyut, “semuanya sudah siap. Kalian adalah laki-laki yang terpilih. Mulailah. Gerakkan senjatamu. Hadapilah lawanmu. Lakukanlah apa yang aku katakan. Angkat senjatamu dan penggal leher lawanmu."

Kata-kata itu benar-benar telah mencengkam jantung. Kawan-kawan Ki Demung dun Ki Perapat tidak lagi dapat melawan pengaruh itu. Sementara Ki Demung dan Ki Perapat sendiri berusaha bertahan dengan sengit.

Dalam pada itu, Ki Buyut berkata, “Marilah. Lakukanlah. Dengarlah kata-kataku. Kalian adalah orang-orang yang perkasa. Tangan kalian adalah tangan-tangan yang haus akan darah. Merahilah tangan-tangan kalian agar menjadi pertanda bahwa kalian adalah laki-laki jantan. Melangkah maju dengan senjata teracu. Mulailah, mulailah."

Ki Demung dan Ki Perapat pun mulai melangkah maju diikuti oleh kawan-kawannya. Sementara Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan masih tetap berdiri di tempatnya. Dalam pada itu, Ki Buyut pun berkata,

“Bertahanlah Ki Sanak. Kalian harus menyelamatkan diri sebagaimana orang-orang menyebut kalian sebagai orang-orang yang memiliki kelebihan. Angkatlah senjata kalian dan mulailah bertempur seperti seorang laki-laki."

Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan masih berdiri tegak. Mereka memandang Ki Demung, Ki Perapat dan kawan-kawannya melangkah semakin dekat. Namun Mahisa Agni kemudian menjadi berdebar-debar. Ia tidak yakin bahwa Ki Demung dan Ki Perapat mampu bertahan. Karena itu, maka ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

“Bagus.” Berkata Ki Buyut, “sebentar lagi senjata kalian akan berbenturan. Kalian akan bertempur sebagai pahlawan untuk mempertahankan hidup kalian masing-masing.-”

Ki Demung dan Ki Perapat diikuti oleh kawan-kawannya maju semakin dekat. Senjata mereka pun telah teracu. Namun dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa kesadaran Ki Demung dan Ki Perapat telah mulai larut. Pada saat yang demikian Mahisa Agni menganggap bahwa saatnya sudah tepat. Ia tidak mau terlambat sehingga Ki Demung dan Ki Perapat benar-benar tidak mampu lagi mengendalikan diri.

Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja terdengar Mahisa Agni tertawa. Katanya, “Ki Buyut. Permainan apakah yang sedang Ki Buyut lakukan? Aku sudah mencoba untuk mengikuti segala kemauan Ki Buyut untuk memberikan kepuasan. Aku sudah bermain api dengan meletakkan senjata dan memasuki ruang itu. Tetapi aku yakin, bahwa pada suatu saat senjata kami akan kembali ke tangan kami. Karena itu, permainan ini sudah cukup dan bagi kami sudah sangat memuakkan."

Ki Buyut terkejut. Barulah ia sadar, bahwa Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan itu sebenarnya lepas dari pengaruhnya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak, “Ki Demung, Ki Perapat dan laki-laki padukuhan ini yang berhati jantan. Lakukanlah. Bunuhlah orang-orang ini.”

“Kau keliru Ki Buyut” sahut Mahisa Agni, “mereka pun menyadari apa yang terjadi.” Lalu katanya kepada Ki Demung dan Ki Perapat, “nah, sudah waktunya kalian menyatakan diri seperti yang kami lakukan. Kalian adalah laki-laki yang mempunyai pendirian yang teguh. Kalian mempunyai sikap dan keyakinan. Karena itulah maka kalian akan bertumpu kepada diri kalian sendiri. Tidak kepada pengaruh kuasa Ki Buyut yang sesat.”

“Kalian adalah orang Kebuyutan ini. Cepat, lakukan” Ki Buyut berteriak semakin keras.

“Kalian harus bangun” berkata Mahisa Agni. “Kalian datang tidak untuk membius diri. Tetapi kalian datang dengan keyakinan.”

Ki Demung dan Ki Perapat memejamkan matanya sejenak. Ternyata bahwa mereka masih berhasil menggapai diri mereka yang hampir terlepas. Namun dalam pada itu, suara Ki Buyut dan suara Mahisa Agni seolah-olah saling berebut tempat. Seolah-olah mereka telah didesak ke arah yang berlawanan berganti-ganti.

Namun akhirnya Ki Demung dan Ki Perapat yang menggapai-gapai itu mendapat pegangan yang teguh, karena di telinga mereka terdengar pertanyaan Mahisa Agni, “Ki Demung dan Ki Perapat, apakah maksud kalian sebenarnya datang kemari?”

Tiba-tiba saja dengan suara lantang Ki Demung yang sedang mencapai pegangan itu ingin memperkuat genggaman batinnya dengan berteriak, “Kami akan menuntut keadilan Ki Buyut, kau sudah menodai kedamaian di Kabuyutan ini. Kami sudah tahu semuanya.”

“Omong kosong” sahut Ki Buyut. Lalu, “Marilah Ki Demung. Kau sudah melangkah ke jalan yang sesat. Dengarlah kata-kataku. Mulailah. Gerakan senjatamu. Kau sudah berhadapan dengan lawan yang ingin membinasakanmu.”

Tetapi terdengar suara Mahisa Agni, “Dengarlah kata nuranimu sendiri. Kau mempunyai sikap dan keyakinan. Katakanlah. Katakanlah.”

Ki Perapat yang juga ingin bertempur lebih kuat lagi itu pun berteriak pula “Jangan mencoba mempengaruhi kami lagi Ki Buyut. Kami tidak akan menundukkan kepala kami dan membiarkan tangan dan kaki kami terikat.”

“Jangan mencoba melepaskan diri dari pengaruh kuasaku. Dengar. Aku adalah pemimpinmu,” desis Ki Buyut, “lihatlah. Lihatlah mataku. Aku berbicara dengan jujur.”

“’Sorot matamu mengandung racun Ki Buyut” sahut Mahisa Agni, “biarlah aku memandang sorot matamu. Pandanglah aku. Cobalah menanamkan pengaruh di hatiku. Kau tidak akan mampu melakukannya karena aku memiliki pegangan yang kokoh. Dan sekarang Ki Demung dan Ki Perapat pun memiliki pegangan yang kokoh pula seperti kami bertiga. Nah, cobalah, pandang aku. Pandang aku Ki Buyut.”

Ki Buyut menggeram. Dipandanginya wajah Mahisa Agni. Kemudian dengan sorot matanya Ki Buyut mencoba menembus dinding perasaan Mahisa Agni untuk menundukkannya. Tetapi Mahisa Agni yang memiliki perbendaharaan pengalaman yang hampir lengkap itu sama sekali tidak dapat ditundukkannya, bahkan pada saat yang demikian Witantra dan Mahisa Bungalan telah menyusup di antara orang-orang padukuhan itu sambil berdesis membangunkan mereka dari cengkaman ilmu Ki Buyut.

Di saat Ki Buyut memusatkan ilmunya untuk menundukkan Mahisa Agni, maka Ki Demung dan Ki Perapat telah benar-benar memiliki kesadarannya sepenuhnya. Karena itu maka ia pun telah berkata kepada pengikutnya, “jangan biarkan diri kita terbius oleh ilmunya. Jangan tatap matanya, tetapi pandang senjatanya.”

Para pengikut Ki Demung dan Ki Perapat pun mulai menyadari diri mereka masing-masing. Mereka mulai menyadari apa yang terjadi, sementara Witantra berdesis, “Bukankah kalian ingat, bahwa kita semuanya telah dimasukkan ke dalam bilik tertutup dan kemudian kita akan diadu domba sekarang ini?”

Ternyata usaha Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan itu berhasil. Ki Buyut yang merasa gagal itu menjadi gelisah. Namun dalam pada itu, Ki Jagabaya lah yang. mendekatinya sambil berkata, “Jangan cemas Ki Buyut. Jika cara yang Ki Buyut pergunakan itu gagal, maka kita akan memakai cara terakhir. Apa boleh buat. Kita akan membunuh mereka seorang demi seorang.

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Sementara terdengar Ki Jagabaya berteriak, “Jangan seorang pun keluar dari regol ini. Tutup semua pintu regol. Regol depan, dan semua regol butulan.”

Perintah itu telah menggerakkan orang-orang Ki Buyut dan para pengawalnya. mengepung orang-orang yang telah mulai sadar akan diri mereka sendiri. Dua orang setelah menyelarak regol telah maju pula mendekat.

“Nah” berkata Ki Jagabaya, “sekarang akulah yang akan berbicara. Caraku lain dengan cara yang ditempuh oleh Ki Buyut yang nampaknya dapat digagalkan oleh orang asing itu. Tetapi dengan caraku, tidak ada seorang pun yang akan dapat menggagalkannya meskipun kalian sudah bersenjata.”

Ki Demung lah yang menyahut, “Ki Jagabaya. Kenapa kau langsung menganggap kami adalah musuh yang harus dibinasakan. Kalian masih belum bertanya, kenapa kami datang kemari dan apakah yang sebenarnya kami kehendaki. Jika kalian tadi mendengar jawaban-jawaban kami maka yang kami katakan itu adalah diluar kesadaran kami."

“Tidak perlu” berkata Ki Jagabaya, “kalian datang dengan senjata di tangan. Itu sudah merupakan satu bukti bahwa kalian akan menentang kekuasaan yang sah di Kabuyutan ini.”

“Kalian terlalu berprasangka” berkata Ki Perapat, “kami sebenarnya ingin berbicara dengan baik”.

“Itu tidak perlu” berkata Ki Jagabaya, “demi ketenangan di kabuyutan ini, maka kalian harus tunduk kepada perintah kami. Menyerah atau kami binasakan.”

Ki Demung dan Ki Perapat menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat berbicara lebih .banyak lagi. Karena itu, maka mereka segera mempersiapkan diri, untuk melakukan perlawanan apabila benar Ki Jagabaya akan menangkap dan membunuh mereka.

Ki Buyut yang merasa bahwa usahanya untuk mempengaruhi orang-orang itu tidak berhasil, maka ia telah menyesuaikan diri dengan perkembangan berikutnya. Ia sadar, bahwa orang-orang yang berada di halaman itu mengerti, sumber pengaruhnya adalah pada tatapan matanya, Karena itu, maka orang-orang itu sudah menghindar dan tidak lagi berusaha memandang matanya. Karena itulah maka katanya kemudian, “Baiklah. Aku ulangi pertanyaan Ki Jagabaya. Menyerah atau binasa.”

“Kami tidak akan menyerah” jawab Ki Demung, “kami sudah bertekad untuk menyatakan sikap kami. Tetapi sebelum kami berbicara dengan baik, kalian sudah memperlakukan kami sebagai perampok-perampok. Dan bahkan sebaliknya, kalian memperlakukannya pemimpin perampok itu seperti keluarga sendiri.”

Wajah Ki Buyut menjadi merah. Ia sadar, bahwa pemimpin perampok yang telah tertangkap kembali itu tentu sudah berbicara banyak. Karena itu, maka ia tidak mau menunda lebih lama lagi. Sekejap kemudian jatuhlah perintah Ki Buyut, “Jangan menunggu mereka berkicau lagi. Tangkap mereka hidup atau mati. Kepada yang menyerah, aku akan memberikan pengampunan. Tetapi bagi yang melawan akan aku binasakan.”

Ki Jagabaya menanggapi perintah itu dengan sikap yang pasti. Dengan suara lantang ia bertanya, “Yang manakah yang disebut orang-orang berilmu tinggi? Jika mereka adalah ketiga orang yang mampu membebaskan diri dari pengaruh kuasa Ki Buyut, maka biarlah aku melawan mereka bertiga.”

Ki Demung, Ki Perapat dan orang-orangnya yang sudah bebas sama sekali dari pengaruh sorot mata Ki Buyut itu pun segera bersiap. Namun mereka pun menyadari bahwa di seputar mereka terdapat bahaya yang sama gawatnya seperti mata Ki Buyut. Beberapa orang bersenjata telah mulai bergerak memperkecil lingkaran kepungan mereka.

“Kita menghadap ke segala arah” perintah Ki Demung, “mereka tidak dapat lagi diajak berbicara. Karena itu, biarlah senjata kita yang berbicara. Seandainya kita tidak kembali, dan bahkan tidak keluar dari halaman ini, maka orang-orang yang mengetahui bahwa kita memasuki halaman rumah ini akan mengetahui bahwa kita sudah mencoba berbuat sesuatu. Berbuat sesuatu atas keadaan Kabuyutan kita yang tidak sewajarnya ini.”

“Persetan” geram Ki Jagabaya, “jangan banyak bicara. Sebentar lagi kau akan mati.”

“Justru karena itu” jawab Ki Demung, “sebelum aku mati. Selagi aku masih sempat, maka aku akan berbicara apa saja yang ingin aku bicarakan.”

Ki Jagabaya menggeram. Katanya, “Bunuh orang itu lebih dahulu.”

Seorang bebahu pengikut Ki Buyut pun telah meloncat menyerang Ki Demung. Namun Ki Demung sudah siap menghadapinya, sehingga dengan sigapnya pula ia telah menangkis serangan itu.

Demikian, maka pertempuran itu pun telah pecah. Ternyata bahwa para pengikut Ki Buyut jumlahnya memang lebih banyak, sehingga karena itu, maka Ki Demung dan orang-orangnya memang menjadi agak cemas, Sementara itu, Ki Jagabaya yang terlalu yakin akan kemampuannya sekali lagi menantang,

“He, orang-orang asing yang telah menyalakan api pertentangan di kalangan orang-orang Kabuyutan ini. Lawanlah aku. Kalian bertiga tidak akan mampu berbuat apa-apa di hadapanku, meskipun orang-orang mengira bahwa kalian memiliki ilmu yang tinggi, sehingga kalian dapat membantu menangkap para perampok itu.”

Mahisa Agni, Witantra dan terutama Mahisa Bungalan menjadi panas. Hampir saja Mahisa Bungalan kehilangan pengendalian dirinya. Namun Mahisa Agni menggamitnya sambil berkata, “Marilah, mumpung pertempuran ini belum membakar seisi halaman. Kita beri pelajaran sedikit Ki Jagabaya yang sangat sombong itu.”

Mahisa Bungalan tidak segera menangkap maksud Mahisa Agni, namun ketika ia melihat Mahisa Agni dan Witantra bersama-sama mendekati Ki Jagabaya, maka mulailah Mahisa Bungalan mengetahui maksudnya. Karena itu, maka ia pun mengikutinya pula mendekati Ki Jagabaya yang telah menantang mereka bertiga.

“Kami bertiga siap menghadapi Ki Jagabaya” berkata Mahisa Agni.

“Bagus” teriak Ki Jagabaya yang ternyata bersenjata bindi, yang diberi gelang-gelang besi bergerigi, “Marilah Siapa yang ingin mati lebih dahulu.”

Ki Demung dan Ki Perapat menjadi berdebar-debar. Ternyata ketiga orang yang diharapkan akan dapat membantu mereka itu telah bertempur bersama hanya menghadapi seorang saja. Ki Jagabaya. Jika kemudian Ki Buyut pun turun ke arena, maka keadaan mereka tentu akan bertambah sulit pula.

Tetapi semuanya itu memang sudah diperhitungkan. Bahkan mereka pun sudah sampai pada pertimbangan, bahwa mereka tidak- akan dapat keluar lagi dari halaman rumah Ki Buyut. Sehingga mereka telah menganjurkan kepada orang-orang yang mempunyai kepentingan khusus untuk tidak ikut serta bersama mereka.

Ki Jagabaya yang bersenjata bindi itu pun kemudian telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu, Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan masing-masing bersenjata pedang.

Mahisa Agni lah yang mula-mula memancing serangan Ki Jagabaya dengan menjulurkan pedangnya. Namun dengan tangkasnya Ki Jagabaya telah bergeser menghindar. Namun pada saat yang pendek, Witantra lah yang menggerakkan pedangnya menyerang Ki Jagabaya. Namun serangan itu pun mampu dihindarinya pula. Tetapi demikian kakinya berjejak di tanah, pedang Mahisa Bungalan menyambar kakinya, sehingga ia pun harus meloncat lagi dengan tangkasnya.

Tetapi Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan telah dengan sengaja mempermainkan Ki Jagabaya, sehingga serangan mereka telah datang beruntun tanpa dapat dicegah lagi.

Ki Buyut yang sudah hampir turun ke arena melihat, betapa Ki Jagabaya hampir kehabisan akal. Serangan-serangan itu tidak melukainya. Namun hampir tidak dapat dihindari. Dalam kemarahan yang memuncak, maka Ki Jagabaya pun telah mengayunkan bindinya yang berat. Tetapi ayunan2 bindi-ayunan itu pun hanya menambah keringatnya yang sudah membasahi seluruh tubuhnya.

Kemarahan Ki Jagabaya itu pun memuncak ketika ujung senjata ketiga orang itu mulai menyentuhnya. Sedikit sekali. Hanya seujung duri dan bahkan hanya goresan-goresan kecil. Namun sentuhan-sentuhan itu ternyata telah memerah oleh darah yang mengembun.

“Gila” Ki Buyut lah yang menggeram di dalam hatinya, ia melihat pertempuran telah berkobar, sementara ia terpukau melihat Ki Jagabaya yang menjadi seperti orang gila.

Namun dalam pada itu, Ki Demung, Ki Perapat dan kawan-kawannya pun mulai merasa tekanan yang berat dari lawan-lawan mereka yang jumlahnya memang lebih banyak. Namun Ki Demung dan Ki Perapat sudah bertekad untuk bertempur dengan segenap tenaga dan kemampuan yang, ada. Karena itu, maka keduanya telah mengamuk sejadi-jadinya. Sementara kawan-kawannya pun telah berbuat serupa, meskipun lawan mereka lebih banyak.

Mereka masih merasa beruntung, bahwa tiga orang yang telah berhasil menangkap pemimpin perampok itu bersama mereka. Dengan demikian mereka telah berhasil menahan Ki Jagabaya dan nampaknya Ki Buyut juga tertarik untuk melawan mereka bertiga. Sehingga dua orang yang mewakili kekuatan yang luar biasa itu tidak bergabung dengan orang-orang yang telah bertempur melawan Ki Demung dan kawan-kawannya.

Sebenarnyalah bahwa Ki Buyut pun menjadi sangat marah melihat ketiga orang itu memperlakukan Ki Jagabaya. Karena itu, maka Ki Buyut pun berteriak lantang, “Aku akan membantumu Ki Jagabaya.”

Mahisa Agni mundur selangkah sambil berkata” Jika demikian, maka aku akan bertempur wajar. Bukan sekedar bermain-main melayani keinginan Ki Jagabaya.”

“Apa maksudmu?” bertanya Ki Buyut.

“Seorang lawan seorang.” jawab Mahisa Agni.

“Kau sombong sekali. Kau bertiga tidak mampu mengalahkan Ki Jagabaya.”

Mahisa Agni tertawa. Lalu katanya, “Baiklah, marilah kita mulai dengan satu permainan baru.”

Ki Buyut tidak menjawab lagi. Ia pun langsung meloncat menyerang Mahisa Agni. Ia terlalu yakin, bahwa kemampuannya akan dapat mengalahkan orang yang tidak dikenal sebelumnya di padukuhan itu. Tetapi serangannya sama sekali tidak menyentuh Mahisa Agni. Dengan sigapnya Mahisa Agni meloncat menghindar. Namun Ki Buyut itu pun memburunya. Kemanapun Mahisa Agni menghindar, Ki Buyut selalu memburunya.

Dengan demikian, akhirnya keduanya telah bertempur di tempat yang terpisah. Mahisa Agni sengaja telah memancingnya sehingga ia akan dapat berhadapan dengan Ki Buyut yang memiliki pengaruh pada sorot matanya itu.

Sementara itu, Witantra pun telah mengambil sikap tersendiri menghadapi keadaan itu. Ia melihat bahwa Ki Demung, Ki Perapat dan kawan-kawannya mengalami kesulitan. Karena itu, maka katanya kepada Ki Jagabaya,

“Permainan ini agaknya tidak menyenangkan bagi Ki Jagabaya. Karena itu, cara ini pun akan kita akhiri. Hadapilah lawanmu yang paling muda ini. Aku akan bergabung dengan Ki Demung yang mengalami kesulitan karena jumlah lawannya yang banyak itu.”

“Persetan” geram Ki Jagabaya. Bindinya terayun dengan derasnya. Namun Witantra berhasil menghindarinya. Ia sama sekali tidak menghiraukan lagi Ki Jagabaya, karena -orang itu sudah diserahkannya kepada Mahisa Bungalan.

Ketika Witantra bergeser meninggalkan Ki Jagabaya, orang itu berusaha memburunya. Namun Mahisa Bungalan telah menyerangnya, sehingga langkah Ki Jagabaya pun telah tertegun. Ia harus berusaha menghindari serangan Mahisa Bungalan.

Dengan demikian maka Witantra telah terlepas daripadanya. Dengan seksama ia pun memperhatikan medan yang menjadi riuh oleh pertempuran yang terjadi antara para pengikut Ki Buyut melawan para pengikut Ki Demung.

Sekilas Witantra tidak dapat mengenali mereka dengan cepat. Namun akhirnya ia dapat melihat orang-orang yang datang bersamanya di halaman itu. Dengan demikian, maka ia pun berhasil membedakan, yang manakah lawan dan yang manakah kawan.

Sejenak kemudian Witantra telah melibatkan diri ke dalam pertempuran itu. Sebenarnya ia tidak perlu mencari lawan, karena lawan itu telah datang sendiri. Sebelum ia menyerang siapapun juga, maka seseorang telah menyerangnya dengan canggah yang terjulur lurus mengarah ke leher.

“Senjata yang berbahaya” desis Witantra.

Untuk sesaat Witantra masih tetap berdiam diri, sehingga orang yang menyerangnya itu merasa. bahwa lawannya itu akan mampu menghindar. Lehernya akan terjepit oleh dua mata canggah yang tajam dan bahkan leher itu akan tergores di kedua sisi.

Tetapi dugaan itu ternyata keliru. Witantra menghindar tepat pada saatnya. Ia sengaja berbuat demikian sambil menyilangkan sebelah kakinya. Karena itu, terdorong oleh kekuatan sendiri, sementara kakinya terantuk kaki lawan, maka orang itu telah jatuh terjerembab.

Tetapi yang tidak terduga oleh Witantra, bahwa dalam keadaan yang demikian, seorang pengikut Ki Demung telah menginjak kepala orang itu. Tetapi ketika orang itu mengangkat pedang dan siap untuk menusuk punggung, Witantra mencegahnya, “Jangan kau bunuh orang itu. Ia masih kadang sendiri.”

Orang itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia mengurungkan niatnya untuk membunuh, meskipun kakinya yang menginjak kepala itu justru dihentakkannya, sehingga wajah orang itu seakan akan telah menghunjam ke dalam tanah.

Orang yang menginjakkan kakinya itu tidak dapat bertahan terlalu lama, karena orang-orang lain yang saling menyerang dan menghindar. Namun Witantra masih sempat mengangkat orang itu dan meletakkannya di pinggir halaman. Hidung orang itu ternyata telah berdarah, sementara senjatanya tertinggal di arena.

Pertempuran selanjutnya, sangat menggelisahkan para pengikut Ki Buyut. Namun demikian ketika di kedua belah pihak, senjata sudah mulai menyentuh kulit, maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit.

Dalam pada itu, Ki Buyut yang marah itu pun telah berusaha untuk segera menguasai lawannya. Ia sadar, bahwa pengaruh matanya tidak dapat menundukkan orang yang menempatkan dirinya sebagai lawannya itu. Karena itu, maka senjatanyalah yang kemudian akan menjinakkannya. Sejenak kemudian, Ki Buyut pun telah mengerahkan kemampuannya. Ia ingin dengan cepat menundukkan lawan nya yang dianggapnya telah sombong itu.

Namun dalam pada itu, Mahisa Agni lah yang justru berkata kepada Ki Buyut sambil menghindari serangan-serangan nya, “Ki Buyut. Sebaiknya kau hentikan tingkahmu yang sesat itu. Jika kau menyerah dan datang sendiri ke tempat Sang Akuwu dengan segala penyesalan, mungkin kau tidak akan mendapat hukuman terlalu berat. Bahkan mungkin dengan persetujuan orang-orang Kabuyutan ini, kau masih akan dapat diterima kembali. Namun, jika kami terpaksa memaksamu menyerah dan menghadap Akuwu, maka kesannya akan berbeda.”

“Persetan” geram Ki Buyut, “sebentar lagi kau akan mati. Mayatmu akan ditanam di halaman ini tanpa pertanda apapun juga. Demikian juga semua orang yang datang bersamamu. Dengan demikian akan lenyaplah segala keterangan tentang kalian.”

“Jangan mempermudah persoalan” jawab Mahisa Agni, “banyak orang yang mengetahui bahwa kami datang menghadap Ki Buyut. Jika kami tidak keluar dari halaman ini, mereka tentu akan mempersoalkannya.”

“Mudah sekali” berkata Ki Buyut, “mereka akan segera jatuh di bawah pengaruhku. Jika aku gagal, aku dapat mengancam mereka agar mereka tidak mengatakan sesuatu tentang kalian yang memasuki halaman ini dan tidak pernah keluar lagi. Aku akan dapat menakut-nakuti mereka dengan membunuh satu atau dua orang dan mengatakan kepada mereka, bahwa orang-orang itu telah berusaha berkhianat. Dengan demikian maka orang-orang lain pun akan menjadi ketakutan."

“Kau korbankan dua orang yang tidak bersalah?” bertanya Mahisa Agni.“

“Apa boleh buat” jawab Ki Buyut, “memang kebohongan yang pertama harus ditutup dengan kebohongan-kebohongan berikutnya. Kebohongan yang setengah-tengah dan ragu-ragu, akan segera dapat diketahui orang. Tetapi kebohongan yang mantap dan tegas, justru tidak akan menimbulkan kecurigaan orang lain."

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sambil menangkis serangan Ki Buyut itu masih sempat berkata, “Kau mendorong aku untuk bertindak lebih jauh.”

“Persetan” geram Ki Buyut sambil menyerang.

Tetapi serangan-serangannya sama sekali tidak mengenai sasaran. Mahisa Agni selalu menghindar dan menangkis serangan Ki Buyut. Namun sikap Ki Buyut yang kasar itu, membuat Mahisa Agni berkeinginan untuk menangkapnya saja dan menyerahkannya kepada Akuwu; karena nampaknya tidak ada lagi jalan yang dapat ditempuh untuk memberi peringatan sekedarnya kepada Ki Buyut.

Dalam pada itu, Ki Jagabaya yang marah telah berusaha membinasakan Mahisa Bungalan. Dengan kekuatan yang besar ia yakin akan dapat mengalahkan lawannya yang muda itu. Namun ternyata ia harus kecewa. Mahisa Bungalan yang masih muda dan kadang-kadang masih dibayangi oleh perasaannya saja, kadang-kadang dengan sengaja tidak mau menghindari serangan Ki Jagabaya. Ia justru berusaha membentur serangan itu dengan menangkisnya.

Dalam benturan- benturan itulah Ki Jagabaya hampir tidak percaya pada kenyataan yang dihadapinya. Anak muda itu ternyata memiliki kekuatan raksasa. Bahkan melampaui kekuatannya. Namun dalam pada itu, rasa-rasanya Ki Jagabaya tidak dapat mengakuinya. Ia justru berpikir, bahwa mungkinkah ia sudah melakukan satu kesalahan sehingga kekuatan lawannya yang muda-muda itu rasa-rasanya tidak dapat diimbanginya. Tetapi, setiap kali kenyataan itu telah terulang. Benturan senjata antara keduanya telah membuat tangan Ki Jagabaya itu merasa-pedih.

“Anak iblis” geramnya, “aku harus berhasil mengalahkannya” berkata Ki Jagabaya dalam hatinya.

Karena itu, maka ia tidak lagi bertumpu pada kekuatannya. Namun ia mencoba dengan kecepatan bergerak. Ia menyerang sambil berloncatan. Kadang-kadang justru menjauh. Namun tiba-tiba kakinya telah terjulur panjang dengan senjata teracung.

Tetapi ia sama sekali tidak berhasil. Lawannya justru dapat bergerak lebih cepat lagi. Mahisa Bungalan selalu dapat memotong serangan-serangannya yang dirasakannya telah dilakukan dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Dengan demikian. maka Ki Jagabaya, orang yang paling terpercaya di samping Ki Buyut sendiri, sama sekali tidak berdaya menghadapi Mahisa Bungalan. Bahkan kadang-kadang rasa-rasanya ia ingin mengumpat sampai ke langit. Anak muda itu seakan-akan hanya sekedar bermain-main saja. Namun dalam pada itu, anak itu telah berhasil melumpuhkannya.

Dibagian lain dari pertempuran itu, Witantra berusaha untuk menguasai arena, sehingga pertempuran itu tidak akan menjadi perang yang mengerikan. Ia berusaha untuk menengahi benturan-benturan yang sudah mendekati pembunuhan. Dalam kesibukan itu, ia masih sempat menyingkirkan beberapa orang yang terluka dan mendesak para pengikut Ki Buyut untuk mundur mendekati pendapa.

“Tidak ada gunanya kalian melawan” berkata Witantra.

Tetapi pertempuran itu berlangsung terus. Bagaimanapun juga, Witantra tidak akan dapat mencegah sama sekali, darah yang mengalir membasahi halaman. Namun dalam pada itu, segera dapat diketahui. bahwa Ki Buyut dan pengikutnya sudah hampir kehilangan kesempatan sama sekali.

Dalam pada itu, agaknya Mahisa Agni lah yang harus bertindak untuk menghentikan pertempuran itu. Ia sudah melihat beberapa orang terluka. Tetapi ia memang menghendaki, agar para pengikut Ki Buyut mengakui kelebihan Ki Demung, Ki Perapat dan para pengikutnya.

Meskipun ada juga para pengikut Ki Demung yang terluka, tetapi ternyata bahwa hadirnya Witantra di pertempuran itu, ia dapat mengatur, sehingga kekuatan Ki Demung dan pengikut-pengikutnya nampak jauh lebih tinggi dari para pengikut Ki Buyut.

Dalam pada itu, setelah Mahisa Agni menganggap cukup tekanan dan kegelisahan bagi para pengikut Ki Buyut, mulailah ia dengan lebih bersungguh-sungguh menekan Ki Buyut untuk menyerah.

Tetapi ternyata bahwa Ki Buyut benar-benar memiliki hati yang keras. Ia tidak menghiraukan peringatan-peringatan yang diberikan oleh Mahisa Agni. Bahkan setiap kesempatan yang diberikan oleh Mahisa Agni, dirasanya sebagai satu kelemahan. Karena itu, maka Ki Buyut justru bertempur lebih keras lagi.

Namun, akhirnya Mahisa Agni menganggap perlu segera mengakhiri pertempuran. Jika Ki Buyut sudah tidak berdaya, maka para pengikutnya yang telah merasa betapa beratnya tekanan lawannya, akan segera menyerah pula.

Demikianlah, maka Ki Buyut yang mengerahkan segenap kemampuannya, tiba-tiba merasa, serangan Mahisa Agni datang lebih seru. Sejenak ia masih dapat menilai kemampuan lawannya. Namun akhirnya Ki Buyut benar-benar menjadi bingung. Ia tidak mengerti, bagaimana mungkin senjata telah terlepas dari tangannya. Ketika ia berusaha untuk memungutnya, maka terasa sentuhan ujung pedang Mahisa Agni di lambungnya.

“Jangan Ki Buyut. Biarlah senjata itu terletak di situ” berkata Mahisa Agni.

Sejenak Ki Buyut tertegun. Namun tiba-tiba saja ia meloncat memungut senjatanya sambil berkata, “Jika kau ingin membunuh, bunuhlah aku.”

Namun, justru karena itu, Mahisa Agni tidak menekan ujung pedangnya sehingga menghunjam ke lambung. Ki Buyut yang agaknya justru ingin membunuh diri itu. Dibiarkannya Ki Buyut bersiap untuk menghadapinya lagi.

“Kenapa kau tidak membunuhku ketika aku memungut senjataku?” bertanya Ki Buyut.

Tetapi Mahisa Agni justru tertawa: Katanya, “Aku tidak mau melihat kau membunuh diri dengan cara demikian.”

“Persetan” geram Ki Buyut.

“Nah, setelah senjatamu berada di tanganmu lagi, kau mau apa?” bertanya Mahisa Agni.

Ki Buyut memandang wajah Mahisa Agni sejenak. Kemarahan yang tidak tertahankan telah membakar. jantungnya. Karena itu, maka ia pun segera meloncat menyerang dengan garangnya.

Mahisa Agni melangkah surut. Ketika senjata lawannya menebas mendatar, ia menghindar. Namun Ki Buyut tidak mau melepaskannya. Ia pun telah memburu dengan mengacukan senjatanya. Namun tiba-tiba saja terasa senjatanya bagaikan berputar ditangannya, Sehingga senjata itu tiba-tiba saja telah terlempar.

“Gila” geram Ki Buyut.

Namun seperti yang terdahulu, Ki Buyut tidak menghiraukan apapun lagi. Ia sama sekali tidak menghiraukan ancaman senjata Mahisa Agni. Karena itu, maka dengan serta merta, maka ia pun meloncat memungut senjatanya kembali. Mahisa Agni pun membiarkannya. Namun ketika dengan senjata itu Ki Buyut menyerangnya sekali lagi, maka senjatanya telah terlepas pula dari tangannya.

“Setan. Anak iblis” geram Ki Buyut.

Sementara Mahisa Agni tersenyum sambil berkata, “Apakah kau akan mengambil senjatamu lagi? Silahkan Ki Buyut. Aku tidak akan mengancammu lagi."

Ki Buyut benar-benar dibakar oleh kemarahan yang tidak ada taranya. Sekali lagi ia memungut senjatanya. Dan sekali lagi ia menyerang Mahisa Agni. Tetapi yang terjadi itu telah terulang, dan terulang lagi. Karena itu, akhirnya Ki Buyut itu menjadi putus asa. Ia sama sekali tidak dapat berbuat apapun juga. Mahisa Agni itu ternyata benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang tiada taranya, sehingga akhirnya Ki Buyut itu pun sadar bahwa Mahisa Agni memang bukan lawannya.

Dengan demikian ketika senjatanya sekali lagi terlepas, maka ia pun tidak berusaha untuk memungutnya lagi. Sambil berdiri tegak dan menengadahkan dadanya ia berkata, bunuhlah aku ki sanak.”

Tetapi Mahisa Agni menggeleng. Katanya, “Aku bukan seorang pembunuh. Aku hanya ingin menempatkan persoalan ini pada keadaan yang sewajarnya.”

“Apa yang kau maksud dengan keadaan yang sewajarnya itu?” bertanya Ki Buyut.

“Aku tidak akan mengadilimu. Sebaiknya kau menghadap Sang Akuwu. Aku tidak tahu, apa yang akan dilakukan atasmu” berkata Mahisa Agni.

“Persetan. Aku tidak mau. Lebih baik kau bunuh saja aku di sini” geram Ki Buyut.

“Bukan kewajibanku.” jawab Mahisa Agni, lalu, "sekarang aku minta kau menghentikan pertempuran itu. Kau dapat memerintahkan orang-orangmu berhenti melawan."

“Gila. Kenapa bukan orang-orang Ki Demung yang diperintahkan untuk berhenti bertempur.” geram Ki Buyut.

“Mereka akan berhenti jika orang-orang berhenti melawan” sahut Mahisa Agni.

“Tidak. Aku tidak mau memerintahkan mereka berhenti bertempur. Biarlah orang-orang Ki Demung habis terbunuh” jawab Ki Buyut.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kekerasan hati memancar di wajah Ki Buyut. Agaknya ia sama sekali tidak ingin berbuat sesuatu yang akan dapat membantu mempercepat penyelesaian pertempuran itu. Oleh karena itu maka Mahisa Agni pun menjawab, “Ki Buyut. Apa bila kau tidak mau memerintahkan orang-orangmu untuk berhenti bertempur, maka yang akan habis bukannya para pengikut Ki Demung dan Ki Perapat. Tetapi yang akan habis adalah pengikut-pengikutmu: Bebahu-bebahu yang kau angkat. yang sebenarnya bukan haknya.”

“Persetan. Bunuhlah semuanya. Aku tidak peduli.” jawab Ki Buyut, “kau dapat membunuh aku juga jika semuanya sudah terbunuh.”

Mahisa Agni menjadi termangu-mangu. Nampaknya Ki Buyut memang sulit untuk mengerti. Karena itu, maka Mahisa Agni itu pun berkata, “Baiklah Ki Buyut. Jika demikian, kita akan membiarkan pertempuran itu berlangsung. Biarlah di antara mereka mati sebanyak-banyaknya. Dan kematian itu nanti akan menjadi, pertimbangan Akuwu, betapa dahsyatnya pertempuran yang terjadi. Dan segala tanggung jawab akan dibebankan kepada Ki Buyut.”

“Persetan” jawab Ki Buyut, “aku sudah mati jika Akuwu itu mendapat laporan apa yang terjadi di Kabuyutan ini.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Tetapi ia menyadari, bahwa hal itu akan dapat terjadi. Ki Buyut itu mungkin sekali akan membunuh dirinya tanpa menghiraukan apapun yang dapat terjadi. Karena itu, maka Mahisa Agni harus mengambil sikap. Sebelum hal itu terjadi.

Adalah di luar dugaan Ki Buyut, bahwa tiba-tiba saja Mahisa Agni telah meloncat menggapainya. Dengan tangan sebelah, Mahisa, Agni telah menerkam tengkuk Ki Buyut. Satu hentakkan telah menekan urat di pangkal leher Ki Buyut.

Ki Buyut tidak tahu apa yang telah terjadi atas dirinya. Tetapi tiba-tiba saja ia merasa tubuhnya bagaikan lumpuh. Meskipun ia tidak tertidur, namun rasa-rasanya ia tidak dapat berbuat sesuatu. Bahkan berdiri pun ia tidak sanggup lagi. Mahisa Agni lah yang kemudian menolong memapahnya dan kemudian meletakkannya di pendapa, duduk sambil bersandar tiang.

“Ki Buyut” desis Mahisa Agni, “aku dapat membuatmu tidur dan tidak menyadari apa yang terjadi dengan satu pijitan yang lain. Tetapi aku pun dapat membuat urat-uratmu tidak bekerja sehingga kau seakan akan menjadi lumpuh. Duduklah, dan jagalah agar kau tidak terjatuh. Jika kau tidak berusaha untuk banyak bergerak, maka kau akan dapat bertahan duduk untuk beberapa lama.”

“Persetan. Licik” geram Ki Buyut.

“Jangan mengumpat begitu. Lebih baik.kau memerintahkan orang-orangmu berhenti bertempur sebelum korban akan jatuh lebih banyak lagi.” sahut Mahisa Agni. Lalu, “Semakin banyak korban yang jatuh, semakin berat tanggung jawabmu.”

“Kau yang harus bertanggung jawab” geram Ki Buyut.

“Aku akan pergi sebelum Akuwu datang. Ki Demung dan Ki Perapat lah yang akan menemui Akuwu, atau akan membawa kalian menghadapinya, jika Akuwu menghendaki. Ki Demung lah yang akan menjawab semua pertanyaan Akuwu tentang kalian dan tentang apa saja yang telah kalian lakukan di sini. Terakhir adalah usahamu melepaskan pemimpin perampok itu. Adalah tidak masuk akal jika seorang Buyut melepaskan seorang pemimpin perampok yang telah merampok di salah satu padukuhan yang terletak di dalam lingkungan Kabuyutannya.”

“Persetan. Aku tidak peduli” geram Ki Buyut.

“Baiklah. Dan perhatikan pertempuran itu. Kau lihat, bagaimana anak muda itu bermain main dengan Ki Jagabaya?” bertanya Mahisa Agni.

Ki Buyut tidak menjawab. Tetapi ia pun sempat memperhatikan apa yang terjadi dengan Ki Jagabaya. Agaknya Mahisa Bungalan dengan sengaja ingin menunjukkan kepada Ki Jagabaya bahwa kesombongannya sama sekali tidak seimbang dengan kemampuannya. Karena itu, maka setiap kali ujung senjata Mahisa Bungalan telah menyentuh kulitnya. Meskipun ujung senjata itu tidak mengoyak kulitnya itu, namun sentuhan itu telah meninggalkan luka betapa tipisnya, sehingga darah pun telah mengembun di luka itu.

Mahisa Bungalan yang masih muda itu, ternyata mampu menahan diri, justru setelah ia melihat keadaan lawannya. Meskipun kesombongan masih. nampak pada sikap dan kata-katanya, tetapi Ki Jagabaya tidak dapat mengelakkan kenyataan, bahwa tubuhnya telah berdarah di beberapa tempat. Lengannya, pundaknya, dadanya dan bahkan punggungnya.

“Menyerahlah” geram Mahisa Bungalan, “lihatlah, Ki Buyut sudah duduk di pendapa. Justru beristirahat dengan tenangnya melihat kau yang semakin banyak menitikkan darah. Kenapa kau tidak berhenti bertempur, menyerah dan beristirahat?”

Ki Jagabaya menggeram. Ia menghentakkan kemampuannya menyerang Mahisa Bungalan. Namun justru senjata anak muda itulah yang menyentuh lambungnya. Segores kecil. Tetapi menyakitkan. Bukan sakit pada luka itu. Tetapi justru sakit di hati Ki Jagabaya: yang sombong itu.

Sementara itu, Witantra lah yang masih sibuk bersama para pengikut Ki Demung. Setiap kali Witantra berusaha untuk menahan agar tidak terjadi pembunuhan-pembunuhan yang tidak perlu. Sementara ia pun sebenarnya menunggu sikap Ki Buyut dan Ki Jagabaya.

“Cepatlah bersikap Ki Buyut” berkata Mahisa Agni.

“Aku tidak peduli” jawab Ki Buyut.

“Baiklah” berkata Mahisa Agni, “aku akan turun ke arena. Ki Jagabaya dan orang-orangmu akan mati di sini. Sementara itu kau akan tetap hidup. Jika Akuwu tidak dapat datang, maka kau dalam keadaanmu akan dibawa menghadap untuk menerima hukuman yang akan kau jalani dalam keadaanmu sekarang. Tidak seorang pun yang akan dapat mengobati lumpuhmu jika bukan aku sendiri.”

Wajah Ki Buyut menjadi tegang. Tetapi ia masih tetap tidak berdaya untuk berbuat sesuatu. Seakan-akan seluruh tubuhnya memang sudah lumpuh.

“Pikirkanlah” berkata Mahisa Agni, “selebihnya kau harus mengetahui bahwa pada suatu saat kesabaranku akan sampai ke batas. Dan aku akan berbuat sesuatu yang tidak pernah kau duga sebelumnya. Terhadapmu dan juga terhadap orang-orangmu.”

Ki Buyut masih tetap berdiam diri. Sementara Mahisa Agni berkata selanjutnya, “Kau lihat orangmu yang paling kau percaya. Ia tidak berdaya sama sekali menghadapi anak muda itu. Lihatlah dengan seksama. Apakah kau kira anak muda itu benar-benar bertempur. Bukankah ia sedang bermain main? Seperti juga saudaraku yang seorang itu. Ia berada di antara mereka yang bertempur itu sekedar untuk melerai kekerasan-kekerasan yang tidak perlu. Tetapi jika sikapnya berubah, dapat kau bayangkan, apa yang akan terjadi.”

“Aku tidak peduli” Ki Buyut hampir berteriak.

“Baik” Mahisa Agni pun hampir berteriak. Lalu katanya kepada Mahisa Bungalan, “Mahisa Bungalan. Bawa lawanmu kemari dalam keadaan yang tidak diinginkannya sama sekali. Biarlah ia menjadi lumpuh dan tidak dapat berbuat apa-apa. Kemudian kita bertiga akan mengambil sikap terhadap orang-orang padukuhan ini.”

Perintah Mahisa Agni itu ternyata telah menggetarkan hati Ki Buyut yang semula telah membatu itu. Ketika Mahisa Bungalan kemudian mendesak Ki Jagabaya dan dengan putaran senjatanya anak muda itu berhasil melemparkan senjata Ki Jagabaya, maka tiba-tiba Ki Buyut pun berdesis perlahan, “Baiklah. Kami menyerah.”

“Bagus” sahut Mahisa Agni, “perintahkan kepada orang-orangmu sebelum mereka tertumpas habis dan semuanya itu akan menjadi tanggung jawabmu.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ketika melihat Mahisa Bungalan mengancam Ki Jagabaya dengan senjatanya, maka ia pun kemudian berkata, “Kita menyerah.”

Ki Jagabaya berpaling. Tetapi ia pun tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Sakit hatinya bagaikan meretakkan tulang-tulang di dadanya. Namun ia tidak dapat ingkar dari kenyataan yang dihadapinya. Bahwa orang-orang yang datang bersama Ki Demung telah memenangkan pertempuran itu. Kemampuan pengaruh sorot mata Ki Buyut tidak lagi dapat menguasai kesadaran pribadi mereka, sementara kepercayaan mereka terhadap senjata mereka pun hampir tidak berarti sama sekali. Meskipun jumlah mereka lebih banyak, tetapi Ki Demung dan orang-orangnya benar-benar telah berhasil menguasai mereka.

Dengan demikian, maka Ki Buyut dan orang-orangnya itu pun telah menyatakan menyerahkan diri. Mereka kemudian berkumpul di pendapa, sementara senjata mereka telah dikumpulkan pula. Mahisa Agni telah membebaskan Ki Buyut dari kelumpuhannya, meskipun ia masih harus mengawasinya, karena dalam keadaan tertentu, jika para pengikut Ki Demung lengah, pengaruh sorot mata Ki Buyut akan dapat menguasai mereka kembali.

Namun dalam pada itu, ternyata pertempuran itu telah mengakibatkan beberapa orang terluka. Bahkan ada beberapa di antara mereka yang menjadi parah. Dengan obat-obatan yang ada, Witantra telah berusaha menolong mereka, sehingga penderitaan mereka menjadi agak ringan.

Sementara Mahisa Agni berkata, “Hari ini kalian harus memanggil seorang tabib yang paling pandai di daerah ini, sehingga ia akan dapat mengobati mereka yang terluka sebaik-baiknya. Terlebih lebih mereka yang terluka parah dan tidak mampu lagi berbuat sesuatu.”

Sementara itu, Ki Buyut dan Ki Jagabaya duduk dengan kepala tunduk. Mereka seolah-olah sedang mengenang masa-masa lampau mereka. Saat-saat mereka mulai memanjat ke jenjang kekuasaan di Kabuyutan itu. Namun segalanya telah berakhir.

Ada semacam penyesalan menyelinap di hati Ki Buyut. Jika ia puas dengan keberuntungannya, bahwa ia telah berhasil memikat hati anak Ki Buyut tua dan kemudian menggantikannya. Seandainya ia puas dengan kedudukan itu dan kekuasaan yang diperoleh karena kedudukan itu. Tetapi segalanya sudah terjadi. Dan ia tidak akan dapat lari dari tanggung jawab. Apalagi tentang pemimpin perampok yang telah dilepaskannya itu.

Ki Demung lah yang kemudian memberikan beberapa keterangan tentang kehadirannya. Katanya, “Aku tidak sempat mengatakannya saat aku datang. Tetapi aku kira kalian semuanya telah mengetahui, kenapa aku datang bersama beberapa orang bersenjata, justru karena di rumah ini ada beberapa orang bersenjata pula.”

Ki Buyut sama sekali tidak menyahut. Bahkan kepalanya menjadi semakin tunduk. Dalam pada itu, Ki. Demung pun berkata selanjutnya, “Sebenarnya hati kami telah terbakar oleh kemarahan. Jika di sini tidak ada ketiga orang yang telah menolong kami menyelamatkan Kabuyutan ini, maka keadaan kita tentu sudah menjadi terlalu buruk. Tetapi kehadiran mereka telah berhasil membatasi keadaan.”

Ki Buyut hanya menarik nafas dalam-dalam. Dan Ki Demung pun melanjutkan, “Nah, segalanya terserah kepada kebijaksanaan Akuwu. Kami akan menghadap dan melaporkan apa yang telah terjadi di sini.”

Memang tidak ada pilihan lain. Ki Buyut pun tidak dapat mengelak lagi. Ketika ia bersama beberapa orang dipersilahkan masuk ke gandok dan diselarak dari luar, maka Ki Buyut itu pun kemudian duduk di sudut amben sambil berdesah panjang. Tetapi yang terjadi sudah terjadi.

Ki Demung masih minta agar Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan untuk tinggal beberapa saat lagi di Kabuyutan itu sampai segalanya dapat diselesaikan dengan Akuwu yang tentu akan mengambil sikap terhadap ,seorang Buyut yang telah berbelok dari jalur jalan yang seharusnya ditempuh.

Ketika semuanya telah dikemasi, maka Ki Demung dan Ki Perapat pun segera berangkat menghadap Akuwu untuk melaporkan apa yang telah terjadi di Kabuyutan mereka. sementara Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan masih tetap berada di kabuyutan itu.

Namun dalam pada itu, sambil menunggu Akuwu maka Mahisa Bungalan telah pergi mengambil pemimpin perampok yang telah tertangkap kembali, sementara orang lain telah berusaha memanggil tabib yang dapat menolong orang-orang yang terluka. Bahkan ada di antara mereka yang terluka berat.

Pemimpin perampok yang telah dibawa ke rumah Ki Buyut itu tidak dimasukkan ke dalam ruang yang sama. Tetapi ia dibawa ke ruang yang lain, sementara Mahisa Agni. Witantra dan Mahisa Bungalan dapat bertanya kepada mereka tentang orang yang disebut Rajawali Penakluk.

“Orang itu sudah lama meninggalkan kami” berkata pemimpin perampok itu.

Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan memang tidak dapat memaksa orang itu untuk dapat mengatakan sesuatu tentang Rajawali Penakluk. Mereka percaya bahwa Ki Dukut memang sudah meninggalkan para perampok yang pernah diharapkan akan dapat membantunya. Namun ia selalu mengalami kegagalan. Bahkan bersama orang-orang yang memiliki kemampuan dengan ilmu hitamnya pun, Ki Dukut tidak pernah dapat berhasil.

Karena itu, maka Mahisa Agni, Witantra-dan Mahisa Bungalan pun tidak memaksanya untuk berbicara lagi. Dibiarkannya pemimpin perampok itu untuk menunggu, apa yang diperintahkan oleh Akuwu.

Jarak antara padukuhan itu dengan Pakuwon tidak terlalu jauh, meskipun ternyata bahwa Ki Demung dan Ki Perapat tidak segera dapat menghadap dan harus bermalam satu malam.

Tetapi Ki Demung dan Ki Perapat tidak mencemaskan keadaan Kabuyutan mereka, karena di Kabuyutan itu masih ada orang-orang yang sebenarnya memang memiliki kemampuan yang luar biasa. Bahkan sulit untuk digambarkan.

Di Kabuyutan, Mahisa Agni telah mengambil sikap tertentu beberapa orang bebahu yang memang tidak terlibat, telah membantu Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan menguasai keadaan di Kabuyutan itu.

Peristiwa yang terjadi di rumah Ki Buyut itu memang tidak dapat dibatasi di dalam dinding halaman saja. Karena dalam waktu yang singkat berita itu telah menjalar sampai ke seluruh daerah Kabuyutan. Berita yang tidak jelas telah menjalar dari mulut ke mulut. Tetapi berita itu telah berkembang dan berubah sesuai dengan orang-orang yang meneruskan berita itu. Ada yang berpihak kepada Ki Buyut, dan menyiarkan berita, seolah-olah Ki Demung dan Ki Perapat telah merebut kedudukan Ki Buyut dibantu oleh beberapa orang tidak dikenal dan seorang pemimpin perampok yang sakti.

Tetapi orang lain mengatakan, bahwa Ki Buyut telah bersekutu dengan sekelompok perampok untuk merampok orang-orang di Kabuyutannya sendiri, sehingga Ki Demung dan Ki Perapat terpaksa bertindak. Sementara orang lain lagi mengatakan bahwa yang terjadi sebenarnya adalah perebutan kedudukan berdasarkan kepada kecurigaan yang tidak mendasar dan dendam yang sebenarnya sudah berakar sejak nenek moyang Ki Demung dengan keluarga Ki Buyut.

Karena itulah, maka para bebahu yang tidak terlibat pun segera memanggil setiap pemimpin padukuhan ke rumah Ki Buyut. Atas nama Ki Demung mereka memberikan panjelasan, apa yang sebenarnya telah terjadi.

“Jangan membuat tanggapan menurut selera kalian sendiri-sendiri” berkata seorang bebahu yang sudah lanjut usia, “kita harus mendudukkan peristiwa ini pada tempat yang sebenarnya. Ki Buyut harus kalian lihat sesuai dengan apa adanya”

Orang-orang yang memang tidak menyukainya cepat menyesuaikan diri dengan keterangan bebahu itu, sementara yang lain pun kemudian melihat satu kenyataan, bahwa Ki Buyut adalah seorang bekas perampok yang telah memanfaatkan kedudukannya untuk mencari keuntungan. Namun dengan sungguh-sungguh para bebahu berusaha menenangkan keadaan, sehingga akhirnya kegelisahan orang-orang di seluruh Kabuyutan itu pun dapat diredakan.

Namun dalam pada itu, semalam suntuk hampir semua laki-laki di Kabuyutan itu tidak ada yang sempat tidur. Mereka siap untuk berjaga-jaga di seluruh Kabuyutan. Di padukuhan-padukuhan besar dan kecil gardu-gardu perondan menjadi penuh. Anak-anak muda berkeliaran di mulut-mulut lorong, di gerbang-gerbang padukuhan dan tikungan- tikungan. Bagaimanapun juga mereka mencemaskan, bahwa ada juga beberapa pihak yang akan memancing keuntungan dalam keadaan yang keruh. Mungkin sekelompok perampok yang lain, mungkin orang-orang yang ingin melihat Ki Buyut bebas atau kemungkinan-kemungkinan yang tidak diketahui lainnya.

Sementara itu, Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan masih tetap berada di rumah Ki Buyut. Mereka menunggu Ki Demung dan Ki Perapat kembali dengan membawa sikap sesuai dengan keputusan Akuwu.

Di pagi harinya, barulah Ki Demung dan Ki Perapat sempat menghadap Akuwu. Mereka mengatakan apa yang telah terjadi di Kabuyutan mereka dan memberikan beberapa keterangan tentang Ki Buyut dan apa yang telah dilakukannya di saat-saat terakhir.

“Apakah kau tidak berbohong?” bertanya Akuwu.

“Ampun Sang Akuwu. Hamba telah mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di Kabuyutan kami” berkata, Ki Demung.

Akuwu yang masih muda itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun memanggil seorang Senapatinya sambil berkata “Bawalah dua orang pengawal. Lihatlah apa apa yang terjadi di Kabuyutan itu. Laporanmu akan menentukan keputusanku”

Ki Demung menarik nafas dalam-dalam. Ternyata masalahnya tidak dapat selesai secepat dugaannya. Namun bahwa Akuwu telah mengirimkan seorang Senapati, tentu akan memberikan gambaran yang sebenarnya.

Demikianlah, maka yang datang ke Kabuyutan itu sama sekali bukan Akuwu sendiri atau memerintahkan orang-orang Kabuyutan itu membawa Ki Buyut menghadap. Tetapi ia masih memerlukan untuk melihat persoalannya lewat seorang Senapatinya.

Namun ternyata Senapati itu telah melakukan tugasnya dengan cermat. Ia telah bertemu dengan Ki Buyut dan para pengikutnya. Berbicara dengan mereka dan berusaha melihat persoalannya dengan sudut pertimbangan seorang Senapati.

Dalam pada itu, Senapati itu masih sempat juga tersenyum sambil berkata kepada Ki Buyut di dalam ruang tertutup, namun yang dapat didengar oleh Mahisa Agni dan beberapa orang lain di luar bilik itu, “Jangan main-main Ki Buyut. Aku tahu, bahwa kau mempunyai kekuatan yang sangat berpengaruh pada tatapan matamu. Tetapi jangan mencoba mempengaruhi aku untuk melepaskanmu, karena dengan demikian akan berarti, bahwa aku akan kau adu dan kau benturkan kepada orang-orang padukuhan ini”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Kepalanyapun kemudian tertunduk lesu. Ia tidak berhasil mempergunakan sorot matanya untuk mempengaruhi Senapati yang memiliki kepribadian yang kuat itu. Karena itu, maka Senapati itupun justru menjadi lebih berhati-hati menghadapinya.

Setelah semua pertanyaan dijawab oleh Ki Buyut yang merasa tidak mampu mengelak lagi, maka Senapati itu pun telah diantar ke ruang yang lain untuk berbicara dengan pemimpin perampok yang telah berada di rumah Ki Buyut itu pula. Dari pemimpin perampok itu, Senapati itu pun mendapat beberapa penjelasan tentang Ki Buyut, dan apa saja yang pernah dilakukannya sebelumnya.

Dengan demikian, maka bahan laporan Senapati itu menjadi lengkap. Ia telah mengetahui apa yang pernah dilakukan oleh Ki Buyut sebelum ia mendapatkan kedudukan itu dan apa pula yang telah dilakukannya di saat-saat terakhir. Karena itu, maka Senapati itu merasa, bahwa tidak ada persoalan lagi yang harus dibicarakannya di Kabuyutan itu, sehingga ia merasa perlu untuk segera minta diri. Tetapi ternyata masih ada yang menarik perhatiannya. Senapati itu melihat, ada tiga orang yang tentu bukan orang dari Kabuyutan itu.

“Kami memang bukan orang-orang Kabuyutan ini” berkata Mahisa Agni.

“Jadi, siapakah kalian dan apakah kepentingan kalian di daerah ini?” bertanya Senapati itu kepada Mahisa Agni.

“Kami adalah pengembara. Kami mengembara dari satu tempat ke tempat lain sekedar untuk melihat-lihat keadaan” jawab Mahisa Agni.

Tetapi kalian tentu mempunyai tujuan. Di Kabuyutan ini kalian telah membantu membuka satu persoalan yang sangat menarik. Namun apakah kalian berbuat seperti ini pula di tempat yang lain? Atau kalian hanya sekedar ingin melihat satu perubahan terjadi di satu tempat?” bertanya Senapati itu.

“Tidak Ki Sanak” jawab Mahisa Agni “kami tidak pernah berbuat sesuatu jika kami tidak disentuh oleh satu peristiwa yang menurut penilaian kami kurang sewajarnya. Di Kabuyutan ini kami telah dicurigai. Namun justru karena itu, kami dapat menduga, bahwa sesuatu telah terjadi di daerah ini. Ternyata bahwa di daerah ini memang menjadi sasaran perampokan, yang justru telah menyangkut nama Ki Buyut itu sendiri”

Senapati itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja katanya “Kami tidak akan menolak keterangan itu. Meski pun kami dapat mempunyai dugaan yang lain, bahwa kalian adalah orang-orang yang mengembara, yang bertualang dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mendapatkan kepuasan dalam benturan-benturan yang terjadi di tempat-tempat yang kau datangi. Dengan demikian maka kalian akan mendapatkan keuntungan berupa apapun juga, misalnya upah dari mereka yang pernah merasa kau tolong. Dalam hal yang terjadi di Kabuyutan ini, misalnya, kau akan mendapat ucapan terima kasih dari orang-orang di Kabuyutan ini, khususnya dari Ki Demung dan pengikut-pengikutnya”

Witantra telah menggamit Mahisa Bungalan yang bergeser setapak, sehingga anak muda itu telah mengurungkan niatnya untuk menjawab. Yang menjawab adalah Mahisa Agni, “Ki Sanak. Sudahlah. Jangan berprasangka begitu. Sebaiknya kalian selesaikan tugas kalian di Kabuyutan ini. Setelah segalanya selesai, maka kami pun akan meninggalkan tempat ini. Sebenarnyalah bahwa kami tidak mengharapkan apapun juga dari Ki Demung dan semua orang Kabuyutan ini. Kami berbuat seperti yang kami lakukan, semata-mata karena kami merasa bahwa menjadi kewajiban setiap orang untuk saling membantu dalam keadaan yang pahit terutama. Karena pada suatu saat. akupun tentu memerlukan juga bantuan dari pihak yang sekarang masih belum aku kenal”

Senapati itu mengangguk-angguk. Namun katanya, “Baiklah. Tetapi aku minta kalian bersedia bersama kami menghadap Akuwu. Mungkin Akuwu mempunyai beberapa pertanyaan kepadamu dalam hubungan peristiwa di Kabuyutan ini”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Katanya, “Sudahlah Ki Sanak. Jangan memperpanjang persoalan. Kami merasa bahwa tugas kami sudah selesai. Biarlah kami pergi meninggalkan Kabuyutan ini, dan mungkin kami pun akan segera meninggalkan daerah Pakuwon ini. Seperti yang kami katakan, bahwa kami mengembara tanpa tujuan, semata-mata untuk melihat kehidupan mi dalam segala segi dan ujudnya”

Tetapi Senapati itu tersenyum. Katanya, “Memang menarik sekali. Tetapi sulit untuk dipercaya bahwa kalian telah berbuat sesuatu sehingga kalian mempertaruhkan nyawa kalian”

“Sebaiknya Ki Sanak tidak usah menghiraukan kami” jawab Mahisa Agni pula.

Senapati itu mengangguk-angguk. Tetapi wajahnya sama sekali tidak memberikan kesan keterbukaan hatinya. Sehingga dengan demikian maka Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar.

Dalam pada itu, Ki Demung yang merasakan pertolongan Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan, bukan saja karena mereka telah berhasil mengatasi pengaruh Ki Buyut dan orang-orangnya, juga karena mereka telah membantu menangkap pemimpin perampok yang akan dapat menjadi saksi utama dari persoalan yang sedang mereka hadapi di Kabuyutan itu, berusaha untuk memberikan keterangan.

“Sebenarnyalah mereka adalah orang-orang yang telah banyak berjasa dalam masalah ini, sehingga segalanya dapat menjadi jelas”

Senapati itupun mengangguk-angguk pula. Tetapi ia kemudian berkata, “Baiklah. Aku percaya bahwa kalian telah melakukan sesuatu yang menguntungkan di Kabuyutan ini. Mungkin orang-orang Kabuyutan ini pun tidak akan mengatakan bahwa mereka telah memberi kalian upah yang tinggi atas jasa-jasa kalian”

“Tidak” sahut Ki Perapat, “kami tidak memberikan ampun juga kepada mereka. Mereka datang tanpa kami minta dan mereka melakukan segalanya atas kehendak mereka sendiri”

Senapati itu tertawa, “Kalian adalah orang-orang Kabuyutan yang masih diselebungi oleh sifat-sifat kalian yang jujur dan tanpa prasangka apapun juga. Karena itu, kalian justru mudah dikelabui orang yang kemudian kalian anggap sebagai Buyut itu, ternyata telah menipu kalian untuk waktu yang cukup lama. Hal ini dapat terjadi karena kalian menanggapi perubahan keadaan dengan tanpa prasangka apapun juga. Dan nampaknya orang lain telah memanfaatkan sifat kalian itu sebaik-baiknya”

Ki Demung dan Ki Perapat mengerutkan keningnya. Sementara Senapati itu berbicara selanjutnya, “Ki Demung. Kalian dan setiap orang di Kabuyutan ini tentu merasa berhutang budi kepada ketiga orang ini. Dengan demikian perasaan itu akan mengikuti kalian seumur hidup kalian. Jika kalian mengupah seseorang, maka demikian upah kalian serahkan, maka persoalannya sudah selesai. Kalian sudah membeli apa yang kalian terima dari pihak lain. Tetapi dengan berhutang budi, maka kalian akan menjadi sumber pemerasan yang tidak ada kering-keringnya. Pada suatu saat mereka bertiga akan datang dan mengeluh karena sesuatu persoalan. Maka aku yakin bahkan pasti, bahwa kalian akan memberikan pertolongan yang berlebih-lebihan. Di saat lain, mereka akan datang pula dengan cara yang sama, sehingga mereka akan menerima pemberian kalian sebagai balas budi. Tetapi yang akan mereka lakukan adalah berulang-ulang dan bahkan berpuluh-puluh kali. Nah, apakah kira-kira yang akan terjadi di Kabuyutan ini”

Ki Demung dan Ki Perapat tidak menjawab. Tetapi mereka benar-benar memikirkan pendapat Senapati itu. Apalagi, ketika Senapati itu berkata, “Karena itu, sebaiknya orang-orang Kabuyutan ini tidak usah memikirkannya. Kami akan membawa ketiga orang ini menghadap Sang Akuwu”

“Tidak mungkin” tiba-tiba saja Mahisa Bungalan telah menjawab.

Tetapi Witantra menggamitnya sekali lagi sambil berdesis, “Biarlah diselesaikan oleh pamanmu Mahisa Agni”

Dalam pada itu, Senapati itupun berkata, “Biarlah Akuwu mengambil keputusan. Jika kalian memang tidak bersalah, maka kalian tentu akan dilepaskan. Tetapi jika penglihatan batin Akuwu yang tajam melihat, bahwa kalian memang bersalah dan apa lagi terbiasa melakukan pemerasan, maka kalian tentu akan menerima hukumannya. Tidak seorang pun yang dapat lolos dari tangannya. Meskipun Akuwu masih muda. tetapi ia memiliki kelebihan dari kebanyakan orang”

Mahisa Bungalan menjadi tegang. Namun ia masih tetap menahan hati. Seperti Witantra, maka ia pun akan menyerahkan semuanya kepada Mahisa Agni. Dalam pada itu, Mahisa Agni pun berpikir sejenak. Dipandanginya Ki Demung dan Ki Perapat berganti-ganti. Nampaknya mereka telah terpengaruh oleh kata-kata Senapati itu. Sehingga dengan demikian, mereka telah menjadi berprasangka terhadap Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan.

“Ki Sanak” berkata Senapati itu “jangan membantah lagi. Ikutilah kami menghadap Sang Akuwu”

Mahisa Bungalan terkejut ketika ia mendengar Mahisa Agni menjawab, “Baiklah. Kami tidak akan membantah lagi”

Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih atas kesediaan Ki Sanak. Bersiaplah. Kita akan segera berangkat”

Ketika Mahisa Bungalan beringsut, maka Mahisa Agni pun memberi isyarat kepadanya, agar ia tidak menolak. Betapapun beratnya perasaan Mahisa Bungalan, namun akhirnya ia pun terpaksa mengikuti keputusan yang sudah diambil oleh Mahisa Agni dan yang agaknya akan dilakukan pula oleh Witantra mengikuti Senapati itu menghadap Sang Akuwu.

Dengan demikian, maka Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan pun segera bersiap pula. Mereka membenahi kuda-kuda mereka dan diri mereka sendiri. Sementara Ki Demung dan Ki Perapat hanya memandangi mereka bertiga dengan hati yang gelisah dan penuh kebimbangan.

Dalam pada itu Mahisa Agni pun kemudian mendekatinya sambil tersenyum. Katanya, “Jangan gelisahkan kami. Kami sudah berusaha berbuat sebaik-baiknya bagi kalian. Tetapi ternyata yang kami lakukan itu masih harus diusut oleh Akuwu”

Ki Demung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun bergumam, “Percayalah. Akuwu tentu tidak akan menghukum orang yang tidak bersalah”

Mahisa Agni mengangguk. Jawabnya, “Tentu. Kami yakin, bahwa Akuwu akan bijaksana”

Namun dalam pada itu. Mahisa Bungalan menjadi semakin gelisah. Ia tidak mengerti sama sekali, kenapa Mahisa Agni menerima keputusan Senapati yang baginya sama sekali tidak bijaksana. Namun akhirnya, Mahisa Bungalan pun mengerti maksud Mahisa Agni ketika pamannya itu sempat membisikkan sesuatu ditelinganya. Meskipun demikian, ia masih belum dapat menerima sepenuhnya keputusan Mahisa Agni untuk mengikuti Senapati itu menghadap Akuwu.

“Jangan rendahkan wibawa Akuwu dihadapan orang-orang Kabuyutan yang sedang bergejolak itu” berkata Mahisa Agni, “karena itu, biarlah kita mengikutinya. Kita akan dapat memisahkan diri kapan saja kita kehendaki. Senapati dan pengawalnya itu tidak akan dapat mencegah kita lagi. Bahkan kita akan dapat kembali ke Kabuyutan dan minta diri kepada mereka untuk meninggalkan daerah ini”

Witantra mengangguk-angguk, tetapi Mahisa Bungalan hanya menundukkan kepalanya saja. Ia justru ingin menunjukkan kepada orang Kabuyutan, bahwa yang dilakukan oleh Senapati itu kurang adil. Namun demikian, ia tidak mau membantah pamannya, karena bagaimanapun juga Mahisa Agni mempunyai pengaruh yang kuat sekali terhadap dirinya, sebagaimana ayahnya sendiri.

Demikianlah maka ketiga orang itu pun mengikuti Senapati yang ingin membawanya kepada Akuwu. Senapati itu berkuda justru di belakang, sementara seorang pengawalnya berkuda disampingnya, sedangkan pengawalnya yang seorang lagi berkuda di paling depan, di antara oleh Mehisa Agni, Mahisa Bungalan dan Witantra.

“Jangan berbuat sesuatu yang dapat menyulitkan kalian” berkata Senapati itu setiap kali. Dan setiap kali pula Witantra menggamit Mahisa Bungalan apabila ia berpaling dengan wajah yang tegang.

“Kapan kita melepaskan diri dari keadaan yang menjemukan ini paman” desis Mahisa Bungalan.

Witantra tersenyum. Katanya, “Jangan tergesa-gesa. Waktu masih panjang. Perjalanan ini baru saja kita mulai”

“Tentu kita tidak akan menunggu sampai kita memasuki halaman istana Akuwu” gumam Mahisa Bungalan.

“Tentu tidak. Dihadapan kita itu adalah sebuah bulak panjang” berkata Witantra, “jika pamanmu Mahisa Agni setuju, biarlah kita menyimpang di bulak itu”

Di luar sadarnya Mahisa Bungalan telah berpaling. Justru karena itu, maka sikapnya telah menarik perhatian Senapati itu, sehingga ia pun mendekat sambil berkata, “Anak muda, sikapmu membuat aku curiga. Jangan kau anggap bahwa aku adalah sedungu orang-orang Kabuyutan itu, sehingga kau akan dapat berbuat apa saja yang kau kehendaki. Tetapi aku mengemban perintah Sang Akuwu untuk bertindak terhadap siapa pun yang menolak perintahku. Termasuk kalian, karena tidak ada satu sebab pun yang dapat menolong kalian dengan sikap khusus terhadap kalian”

Yang menjawab adalah Witantra, “Kami tidak akan berbuat apa-apa yang barangkali tidak sesuai dengan kehendakmu Ki Sanak. Kami sudah mengikut kalian sesuai dengan perintah kalian”

Tetapi Senapati itu menjawab, “Sikap kawanmu yang muda itu menyinggung perasaan kami. Ia tidak menerima hal ini dengan ikhlas dan penuh pengertian. Nampaknya ia melakukannya dengan terpaksa karena kalian berdua, yang tua-tua, bersedia melakukan perintahku”

“Apapun yang telah dilakukannya, tetapi kami semuanya telah mematuhi perintah kalian” jawab Mahisa Agni pula.

“Ada dua kemungkinan” berkata Senapati itu, “melakukan perintahku dengan ikhlas dan mengerti artinya, atau dibawah pengaruh kekuasaanku sehingga hal itu dilakukan dengan terpaksa”

“Bagi Ki Sanak, tidak ada bedanya, apakah kami mengikut Ki Sanak karena kami mengerti maksud Ki Sanak atau karena kami menghormati kekuasaan yang ada pada Ki Sanak”

“Ada bedanya Ki Sanak” jawab Senapati itu, “jika kalian melakukan dengan pengertian, maka sebenarnya kami tidak usah mengawasi kalian seperti mengawasi tawanan. Tetapi jika kalian melakukan perintahku karena kekuasaanku, maka kami harus mengawasi kalian yang setiap saat mungkin sekali akan melarikan diri. Sikap itu nampak pada anak muda itu. Nampaknya ia melakukan perintahku karena ia takut melihat kuasaku dan kemampuanku mempergunakan kekuasaanku. Karena itu, anak muda itu perlu diawasi. Mungkin saja ia tiba-tiba memacu kudanya dan melarikan diri, sehingga salah seorang dari kami harus mengejarnya. Tetapi jika demikian, maka nasibnya akan menjadi buruk. Ia akan diperlakukan dengan kasar, seperti kami memperlakukan para perampok”

Mahisa Bungalan menggeram. Namun karena mereka sudah memasuki bulak panjang, maka Mahisa Bungalan itu ternyata tidak lagi dapat menahan hatinya, sehingga iapun menjawab, “Jangan terlalu meremehkan kami”

Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Bahkan Mahisa Agni dan Witantra pun telah terkejut. Tetapi kata-kata itu sudah diucapkan oleh Mahisa Bungalan Bahkan katanya kemudian, “Kita sudah berada di bulak panjang”

“Anak muda” berkata Senapati itu dengan nada yang agak keras, “apakah kau mulai akan memberontak?”

“Kau sendirilah yang menggelitik aku untuk melakukan sesuatu” jawab Mahisa Bungalan.

“Diamlah” berkata Senapati itu, “pandanglah ke depan atau tundukkan kepalamu. Jangan membuat aku marah”

“Kau juga jangan membuat aku marah” sahut Mahisa Bungalan.

Pengawal yang berkuda di depan tiba-tiba saja telah berhenti dan memutar kudanya. Wajahnya yang gelap nampak semakin buram. Dengan nada berat ia berkata, “Kau membuat jantungku berdegup semakin cepat. Tetapi aku masih berusaha untuk menahan diri. Tetapi seandainya sekarang juga Senapati memerintahkan, aku akan membungkam mulutmu”

Wajah Mahisa Bungalan pun menjadi marah. Namun dalam pada itu ternyata Mahisa Agni dan Witantra tidak lagi mencegahnya. Kedua orang tua itu telah membiarkan Mahisa Bungalan menjadi marah karena tingkah laku Senapati itu. Sehingga anak muda itupun berkata, “Senapati. Sudah sampai saatnya aku menentukan sikap. Aku tidak mau kau perlakukan seperti ini”

“Gila” geram pengawal yang tangannya menjadi gemetar.

Senapati itu pun menjadi marah pula. Dengan suara bergetar ia berkata, “Apakah kau benar-benar akan memberontak? Mintalah pertimbangan kepada dua orang tua-tua ini”

Namun ternyata jawab Mahisa Agni telah mengejutkan Senapati itu pula, “Ki Sanak. Kau pun telah berbuat melampaui batas kesabarannya. Anak itu sudah menahan hati sejak ia mendengar niatmu untuk membawanya menghadap Akuwu. Akulah yang memaksanya agar ia menuruti perintahmu. Bukan karena kami merasa bahwa kami tidak akan dapat melepaskan diri dari kuasamu, tetapi kami masih menghormati kuasa Akuwu di hadapan orang-orang Kabuyutan yang sedang bergejolak itu. Jika kami menolak perintahmu, maka wibawa Akuwu pun akan tercemar. Karena itu, maka kami telah berusaha membantumu mengangkat wibawa Akuwu lewat seorang Senapatinya. Tetapi ternyata kau salah mengerti. Kau anggap kami terlalu tidak berarti, sehingga seperti yang dikatakan oleh anak muda itu, bahwa kau sudah menggelitiknya untuk mengambil sikap”

Wajah Senapati itu telah membara. Dengan suara lantang ia pun kemudian berkata, “Apakah dengan demikian berarti bahwa kalian bertiga melawan kami setelah kami tidak berada di Kabuyutan itu lagi”

Yang menjawab tegas adalah Mahisa Bungalan “Ya”

Senapati itu tidak menahan diri lagi. Dengan serta merta ia memerintahkan kepada pengawal-pengawalnya, “Tangkap mereka bertiga dan perlakukan mereka sebagai tawanan”

Kedua orang pengawal itupun segera menempatkan dirinya. Mereka masing-masing berada di tempat yang berseberangan. Yang seorang mula-mula berjalan di depan dan yang lain bersama Senapati berada di belakang. Sejenak kemudian kedua orang itu telah berloncatan turun dari kudanya. Agaknya mereka merasa lebih mudah bertindak atas ketiga orang yang dianggapnya akan memberontak itu.

Sikap Senapati itu benar-benar telah menyakitkan hati Mahisa Bungalan. Ia sama sekali tidak berbuat apa-apa. Ia hanya memerintahkan kedua orang pengawalnya untuk menangkap mereka bertiga. Karena itu, maka Mahisa Bungalan yang muda itu pun kemudian berkata lantang, “Paman. Silahkan keduanya menunggu. Biarlah aku sendiri melayani kedua orang pengawal yang sombong ini”

Kata-kata itu benar-benar menusuk jantung kedua orang pengawal itu. Salah seorang dari keduanya berkata, “Jika kami membunuhmu, tidak akan ada seorang pun yang dapat menyalahkan kami”

“Tetapi juga sebaliknya” sahut Mahisa Bungalan tidak kalah lantangnya, “tidak seorang pun dapat menangkap kami jika kami membunuh kalian bertiga”

Kemarahan kedua pengawal itu sudah sampai ke puncaknya. Setelah mereka menambatkan kudanya, maka mereka pun segera bersiap untuk bertindak.

Sementara itu Mahisa Bungalan pun telah turun pula dari kudanya dan menambatkannya pada sebatang perdu di pinggir jalan. Ia pun segera pula mempersiapkan diri menghadapi kedua orang pengawal yang datang dari sebelah menyebelah.

“Apakah kau benar-benar menantang kami berdua?” bertanya pengawal itu.

“Ya” jawab Mahisa Bungalan.

“Anak yang malang” desis pengawal yang lain, “sikapmu telah menjerumuskanmu ke dalam keadaan yang paling parah. Kau sudah pantas dihukum mati”

Mahisa Bungalan sama sekali tidak menjawab. Namun dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra tidak duduk saja di punggung kudanya. Tetapi mereka pun berloncatan turun pula dan menambatkan kuda mereka masing-masing.

Dalam pada itu, Senapati yang memerintahkan ketiga orang itu untuk mengikutinya menghadap Akuwu masih tetap duduk di atas punggung kudanya. Ia merasa yakin bahwa kedua orang pengawalnya yang terpilih itu akan sanggup mengatasi keadaan, meskipun seandainya ketiga orang itu bersama-sama akan bertempur melawan para pengawalnya itu.

Sejenak kemudian Mahisa Bungalan sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia berdiri di pinggir jalan, sementara kedua lawannya datang dari arah yang berbeda.

“Jangan hiraukan kedua orang pamannya” berkata Senapati yang masih di punggung kudanya, “jika mereka berusaha melarikan diri, aku sendiri yang akan menangkap mereka”

“Gila” Mahisa Bungalan menggeram. Ia menjadi jengkel karena kedua orang pamannya itu sama sekali tidak berbuat apa-apa meskipun mereka mendengar betapa Senapati itu telah merendahkan mereka.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan telah menumpahkan kejengkelannya kepada kedua orang pengawal itu. Ia berniat untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar seseorang yang tidak dapat diperlakukan demikian menyakitkan hati. Ketika kedua pengawal itu menjadi semakin dekat, maka Mahisa Bungalan pun telah bergeser. Ia menjulurkan tangannya menyerang seorang di antaranya. Hanya sekedar untuk memancing agar lawannya pun mulai bergerak menyerangnya.

Lawannya bergeser. Namun seperti yang diharap, dengan garangnya ia menyerang dengan kakinya yang mendatar mengarah ke lambung. Mahisa Bungalan yang jengkel itu tidak melepaskan kesempatan itu. Pada langkah-langkah pertama ia ingin membuktikan bahwa kedua pengawal itu tidak akan mampu berbuat apa-apa sama sekali. Karena itu, maka Mahisa Bungalan telah berbuat sesuatu yang mengejutkan. Bukan saja bagi pengawal yang sedang menyerang itu, tetapi juga kedua orang yang lain.

Sementara kaki pengawal itu terjulur, maka Mahisa Bungalan telah bergeser setapak. Dengan kecepatan yang tinggi, Mahisa Bungalan telah menangkap kaki pengawal itu. Kemudian dengan kekuatan yang menghentak ia melemparkan pengawal itu menghamtam kawannya.

Kedua pengawal itu sama sekali tidak menyangka, bahwa hal itu dapat dilakukan oleh Mahisa Bungalan. Karena itu, maka mereka tidak dapat mengelak sama sekali ketika keduanya harus berbenturan satu sama lain.

Senapati yang masih duduk di punggung kudanya itu pun terkejut. Bahwa hal itu dapat dilakukan oleh Mahisa Bungalan, telah menghentak jantungnya, sehingga darahnya pun bagaikan berhenti mengalir. Apalagi ketika kemudian ia melihat Mahisa Bungalan itu berdiri saja sambil bertolak pinggang menunggui kudua orang pengawal yang sedang berusaha untuk bangkit.

“Cepat” bentak Mahisa Bungalan, “berdiri dan lawan aku lagi”

Kedua pengawal itu pun kemudian meloncat berdiri. Dengan wajah yang merah membara mereka memandangi Mahisa Bungalan yang berdiri tegak.

“Kalian sudah mendapat bukti perlawanannya” berkata Senapati yang masih berada dipunggung kuda itu, “jangan ragu-ragu lagi. Kesalahan kalian adalah, bahwa kalian terlalu baik hati dan ragu-ragu. Mungkin kalian menganggap anak itu terlalu lemah sehingga kalian menjadi lengah, atau kalian masih mempunyai belas kasihan untuk bertindak dengan sungguh-sungguh”

“Ya. Ternyata anak itu benar-benar anak gila yang harus di selesaikan dengan cara yang keras” geram salah seorang pengawal itu.

“Kalian hanya dapat berbicara tanpa ujung pangkal” berkata Mahisa Bungalan, “sudah aku katakan, bahwa aku akan melawan perintah kalian. Kami mengikuti kalian sampai di bulak ini sekedar menolong agar kalian tidak kehilangan wibawa di hadapan rakyat padukuhan yang sedang berguncang itu. Setelah kita semuanya berada di tempat yang cukup jauh, dan di bulak panjang yang tidak banyak dilihat orang, maka kalian harus melihat satu kenyataan, bahwa kalian bagi kami memang tidak berarti apa-apa”

Kata-kata Mahisa Bungalan itu benar-benar menyakitkan hati. Karena itu kedua orang pengawal itu pun segera bersiap. Mereka maju selangkah demi selangkah mendekati Mahisa Bungalan.

Mahisa Bungalan bergeser. Ia sudah bersiap sepenuhnya ketika kedua orang itu mengambil arah. Bahkan kemudian Keduanya siap menyerang beruntun dari arah yang berbeda. Namun sikap mereka terlalu lugu bagi Mahisa Bungalan. Apa yang akan mereka lakukan dengan mudah dapat dilihat pada langkah-langkah mereka. Meskipun mereka nampak garang bagi orang lain, namun bagi Mahisa Bungalan, mereka adalah orang-orang yang terlalu sederhana.

Mereka terlalu percaya kepada kemampuan mereka bertempur sesuai dengan latihan-latihan yang mereka lakukan di dalam lingkungan para pengawal Akuwu. Bagi orang kebanyakan, bahkan bagi mereka yang baru mulai mengenal ilmu kanuragan, para pengawal itu adalah orang-orang yang ditakuti. Tetapi tidak ada artinya bagi Mahisa Bungalan.

Karena itu, ketika orang-orang itu mulai menyerang, maka niat Mahisa Bungalan untuk memperlakukan mereka dengan garang pun menjadi susut. Bahkan kemudian Mahisa Bungalan menganggap bahwa mereka adalah orang-orang yang sama sekali tidak mengerti, apa yang telah mereka lakukan.

“Aku tidak yakin, bahwa seorang demi seorang pengawal ini lebih baik dari pemimpin perampok yang tertangkap itu” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

Sebenarnyalah, bahwa kedua pengawal itu masih belum memiliki kemampuan setingkat dengan pemimpin perampok yang telah tertangkap kembali. Bahkan mungkin kedua pengawal ini akan kehilangan kepribadian mereka sendiri, jika mereka berhadapan dengan Ki Buyut yang memiliki kemampuan mempengarui orang lain lewat sorot matanya.

“Apakah Akuwu itu memiliki kewibawaan yang cukup dengan pengawal-pengawalnya yang terpilih seperti ini” bertanya Mahisa Bungalan kepada diri sendiri.

Tanpa sesadarnya, ia memandang sekilas kepada pamannya. Witantra. Pada mulanya Witantra itu pun seorang Senapati pada sebuah Pakuwon yang besar, Tumapel Yang kemudian berkembang dan bahkan Ken Arok telah menjadikan Pakuwon itu pusar dari sebuah pusat pemerintahan yang baru.

“Tetapi bagaimana dengan Pakuwon ini” desis Mahisa Bungalan.

Sejenak kemudian, maka pertempuran pun segera terjadi lagi. Kedua orang pengawal itu bertempur dengan tangkasnya. Mereka menyerang sambil berloncatan dengan senjata di dalam genggaman. Mereka mengacu-acukan pedang mereka. Dengan sungguh-sungguh mereka berusaha untuk mengenai lawannya. Bahkan nampaknya keduanya tidak lagi berusaha untuk mengekang diri dengan pedang mereka.

Tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang dapat mengenai Mahisa Bungalan. Bahkan menyentuh pakaiannya pun tidak. Keduanya tidak mampu mengimbangi kecepatan gerak anak muda itu. Tanpa senjata Mahisa Bungalan berhasil menghindari serangan-serangan kedua pengawal yang menurut mereka, adalah serangan-serangan yang sangat berbahaya.

Senapati yang duduk di punggung kuda itu akhirnya tidak dapat tinggal diam. Kedua orang pengawalnya sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa terhadap seorang saja di antara ketiga orang yang dianggapnya telah memberontak itu. Karena itu, maka Senapati itu pun menggeram sambil meloncat turun dari kudanya. Sambil mengikat kudanya pada sebatang pohon perdu. Senapati itu berkata, “Kalian memang tidak dapat dibelas kasihani. Bersiaplah untuk mati, karena jika aku sendiri sudah turun tangan, maka nasib kalian sulit untuk diramalkan”

“Benar Ki Sanak” jawab Mahisa Agni, “seperti nasib kami yang sulit diramalkan, nasib Ki Sanak pun sulit untuk diramalkan. Karena itu, sebaliknya Ki Sanak tidak usah mulai dengan kerja yang sia-sia. Dua orang pengawalmu yang terpecaya sama sekali tidak dapat mengalahkan seorang di antara kami, justru yang paling muda. Lalu, apakah yang kira-kira dapat kau lakukan menghadapi kami berdua?”

“Persetan” geram Senapati itu, “kau ternyata salah sangka. Kedua pengawalku itu memang tidak dapat mengalahkan seorang kawanmu. Tetapi jangan kau kira bahwa kalian berdua akan dapat mengalahkan aku seorang diri, karena sebenarnyalah kemampuanku berlipat sepuluh dari kedua orang pengawal itu”

“O” Mahisa Agni mengangguk-angguk, “benarkah Senapati dari satu Pakuwon memiliki kemampuan lipat sepuluh dari pengawalnya? Itukah agaknya maka Akuwu dari Tumapel yang kecil itu berhasil mengalahkan Kediri dan kemudian mengangkat dirinya menjadi seorang Maharaja yang Perkasa. He, apakah Pakuwon Ki Sanak yang memiliki Senapati yang tangguh akan berusaha juga untuk melatah Singasari”

Witantra yang tertawa berkata, “Jangan bermimpi Ki Sanak. Sudahlah. Marilah kita akhiri persoalan kita sampai di sini. Biarlah kami meneruskan perjalanan kami. Jangan ganggu kami, dan kami pun tidak akan mengganggu tugas Ki Sanak. Bukankah tugas Ki Sanak sudah Ki Sanak lakukan di Kabuyutan itu? Laporkan sajalah hasil tugas kalian kepada Akuwu”

“Gila” geram Senapati itu, “kenapa kau mengigau tentang Kediri, Tumapel dan Singasari” ia berhenti sejenak, lalu, “yang penting sekarang, aku akan menangkap kalian bertiga. Dan kalian akan dengan leluasa melakukan pekerjaan kalian dengan menghasut dan menimbulkan benturan benturan di Kabuyutan-Kabuyutan yang lain?” bertanya Senapati itu, “bukankah hanya kebetulan saja bahwa kau berdiri dipihak yang benar di kabuyutan itu. Tetapi mungkin di Kabuyutan yang lain kau tidak menghiraukan lagi, siapakah yang benar dan yang salah. Bagimu, benturan dan geseran yang terjadi, akan dapat memberikan keuntungan bagi kalian”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dipandangnya wajah Senapati yang tegang itu. Bahkan Senapati telah melangkah maju dengan tangan di hulu pedang.

“Menyerahlah” geramnya. Namun dalam pada itu Senapati itu terkejut karena ia melihat salah seorang pengawalnya yang bertempur melawan Mahisa Bungalan telah terpelanting jatuh meskipun senjatanya masih belum terlepas dari tangannya.

Mahisa Agni menarik nafas panjang, sementara Witantra tersenyum sambil berkata, “Ki Sanak. Apakah Ki Sanak tidak dapat melihat kanyataan itu? Apakah Ki Sanak sekedar berpegang kepada harga diri dan kewibawaan. Dengarlah, kami sudah menolong mempertahankan kewibawaan Ki Sanak dihadapan orang-orang Kabuyutan itu. Bagaimanakah kira-kira yang akan dikatakan oleh orang Kabuyutan itu jika mereka melihat seorang pengawalmu terpelanting jatuh justru dua orang sekaligus Bertempur melawan seorang di antara kami”

“Itu bukan ukuran” geram Senapati itu, “karena aku sendiri belum terlibat. Marilah, jangan banyak bicara. Jangan salahkan aku jika kalian akan mati. Aku mulai meskipun kalian tidak melawan”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya wajah Witantra yang menegang. Bahkan kemudian ia pun berkata kepada Witantra, “Marilah. Jika Senapati ini memang ingin menyakinkan dirinya tentang kita. Kita akan melayaninya dan menyakinkannya bahwa ia tidak dapat berbuat sesuatu atas kami. Ia harus melihat kenyataan, bahwa kami akan dapat melepaskan diri kapan saja kami kehendaki”

Senapati itu benar-benar tidak berbicara lagi. Namun nampaknya ia pun masih belum mempergunakan senjatanya. Dengan serta merta ia telah meloncat menyerang Mahisa Agni dengan tangannya yang terjulur lurus ke depan.

Mahisa Agni bergeser ke samping, sementara serangan itu tidak mengenai sasarannya. Namun ternyata Senapati itu mampu bergerak cepat. Demikian kakinya menjejak tanah, maka ia telah meloncat lagi menyerang. Bukan Mahisa Agni, tetapi Senapati itu telah menyerang Witantra.

Witantra agak terkejut juga. Tetapi ia pun sempat mengelak pula, sehingga serangan Senapati itu tidak mengenainya. Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra sama sekali tidak mempunyai minat untuk bermain-main terlalu lama. Karena itu, maka mereka seolah-olah telah bersepakat untuk segera mengakhiri pertempuran itu.

Karena itu, ketika Senapati itu menyerang sekali lagi, Mahisa Agni pun telah menghindarinya dan sekaligus menyerangnya. Dengan cepat dan keras. Senapati itu telah didorong ke arah Witantra dengan telapak tangannya.

Witantra pun mengerti, apa yang dimaksud oleh Mahisa Agni. Ia pun telah siap untuk menerima Senapati itu dengan telapak tangannya pula. Namun ternyata Senapati itu memiliki kecepatan bergerak pula. Ia sadar bahwa ia akan dipermainkan kedua lawannya. Karena itu. maka iapun menggeliat dan meloncat kesamping, sehingga ia tidak lagi terdorong kearah Witantra.

Mahisa Agni menarik nalas dalam-dalam. Ternyata Senapati itu tidak selemah yang diduganya. Bahkan kemudian mereka melihat Senapati itu telah bersiap menyerangnya kembali sambil berkata, “Kau telah menghina aku”

Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan. Nampaknya Senapati itu mengerti, bahwa Mahisa Agni dan Witantra ingin menyelesaikan pertempuran itu dengan cepat dan dengan cara yang sangat sederhana. Karena itu, maka Senapati itu pun menjadi sangat marah dan terhina.

Karena itulah, maka ia pun segera mempersiapkan dirinya. Betapapun juga ia merasa bahwa ia akan dapat melawan kedua orang itu. Meskipun ia merasa betapa kuatnya dorongan Mahisa Agni, namun ia masih belum melihat kekuatan yang sesungguhnya yang ada di dalam diri kedua orang lawannya yang sudah tua itu.

Sejenak kemudian dengan garangnya Senapati itu menyerang pula. Tetapi Mahisa Agni dan Witantra benar-benar menjadi jemu. Sementara Mahisa Agni bergeser setapak, maka Mahisa Bungalan telah melemparkan kedua lawannya, sehingga keduanya jatuh berguling di tanah. Senapati itu tidak sempat berbuat sesuatu, karena Mahisa Agni justru telah meloncat menyerangnya.

Demikian cepatnya, seningga Senapati itu tidak dapat berbuat sesuatu. Yang dapat dilakukannya adalah mencoba menangkis serangan Mahisa Agni itu. Sehingga dengan demikian telah terjadi benturan diantara keduanya.

Barulah Senapati itu merasa, betapa dahsyatnya tenaga lawan. Meskipun Mahisa Agni hanya mempergunakan sebagian kecil saja dari tenaganya, namun Senapati itu tidak mampu untuk mengimbanginya sehingga, ia telah terdorong beberapa langkah surut, dan bahkan telah kehilangan keseimbangannya. Tetapi sebelum ia terjatuh, Witantra terah meloncat menangkapnya dan membantunya untuk berdiri tegak.

“Setan alas” Senapati itu mengumpat. Sekaligus ia telah menyerang Witantra yang dirasanya terlalu sombong itu.

Witantra tidak menghindar. Tetapi Witantra menangkis serangan itu sehingga sekali lagi terjadi benturan. Sekali lagi Senapati itu dihentakkan oleh kekuatan yang tidak diduganya. Oleh kekuatannya sendiri yang seolah-olah telah membentur dinding baja, maka Senapati itu terdorong surut. Tangannya menjadi sakit, bahkan terasa tulang-tulangnya akan retak. Oleh dorongan kekuatan Witantra yang tidak terlalu besar, maka sekali lagi Senapati itu terhuyung-huyung. Namun Mahisa Agnilah yang telah menangkapnya, sehingga Senapati itu tidak terbanting jatuh.

Sekali lagi Senapati itu menhentakkan diri meloncat sambil mengumpat. Namun bagaimana juga, ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia menggeram sambil mencabut pedangnya, “Apa boleh buat. Kalian harus menebus kesombongan kalian dengan kematian. Tidak ada pilihan lain kecuali dengan ujung pedang”

“Sudahlah Ki Sanak” berkata Mahisa Agni, “kau harus melihat kenyataan ini. Bukan maksudku untuk menyombongkan diri, tetapi kau sama sekali tidak akan dapat melawan kami, Permainan senjata hanya akan berbahaya bagi Ki Sanak sendiri”

Senapati itu mengumpat semakin keras. Dengan senjata teracung ia berkata, “Jangan mencoba melawan. Mungkin kau memiliki kelebihan. Tetapi aku adalah seorang yang menguasai ilmu pedang sebaik-baiknya”

Witantra menjadi jengkel juga akhirnya. Tetapi ia masih berusaha mengekang diri. Bahkan kemudian ia masih mencoba berkata dengan nada rendah, “Ki Sanak. Lihat. Anak muda itu akan segera mengakhiri perkelahiannya. Kedua lawannya benar-benar sudah tidak berdaya. Apakah kau akan melawan kami bertiga?”

Senapati itu menjadi ragu-ragu, sementara Witantra melanjutkan, “Jangan sekedar berpegang pada harga diri. Kau harus melihat kenyataan ini”

Namun Senapati itu menggertakan giginya, “Aku tidak peduli. Aku akan membunuhmu”

Namun belum lagi ia berbuat sesuatu, ia melihat kedua kedua senjata pengawalnya sudah terlempar ke tanah, dan mereka telah terpelanting jatuh, sementara nafas mereka bagaikan berdesakan di lubang hidungnya. Meskipun demikian, sambil menghentakkan kakinya ia berkata, “Bersiaplah. Bersenjata atau tidak bersenjata, aku akan tetap membunuh kalian. Bertempurlah bersama-sama. Aku akan melawan kalian bertiga”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau bukan seorang prajurit lagi. Tetapi kau sekedar seorang yang keras kepala tanpa dapat mempertimbangkan peristiwa dengan nalar. Baiklah. Anak muda itu akan melawanmu”

Mahisa Agni pun kemudian berpaling kepada Mahisa Bungalan sambil berkata, “Kau dapat memungut sebuah dari senjata lawan-lawanmu yang terlempar itu. Lawanlah Senapati ini”

Mahisa Bungalan menarik nafas panjang. Dengan segan ia memungut sebilah pedang. Kemudian dengan langkah berat ia mendekat sambil berkata, “Kenapa harus aku?”

Mahisa Agni tersenyum. "Cepat, aku dan pamanmu akan bersiap di punggung kuda. Setelah kau selesaikan Senapati ini, susul kami berdua. Biarlah mereka bertiga kembali menghadap Akuwu dan berceritera tentang kita”

Senapati itu menjadi sangat marah. Sambil berteriak ia menyerang Mahisa Bungalan. Tetapi Mahisa Bungalan pun telah siap. Karena itu, maka ia mampu mengelakkan serangan itu dan membalas dengan serangan pula.

Dalam waktu sesaat. Senapati itu sudah berada dalam kesulitan, sementara Mahisa Agni dan Witantra benar-benar telah meloncat ke punggung kudanya. Katanya kepada Mahisa Bungalan, “Aku mendahuluimu. Tetapi aku tidak akan berpacu terlalu cepat”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi ia melihat lawannya semakin cepat. Bahkan ia masih berkata, “Tunggu paman. Aku hanya sebentar”

Senanapati itu benar-benar merasa terhina. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu selain mengumpat-umpat. Sebenarnyalah bahwa Mahisa Bungalan tidak merasa terlalu sulit untuk menyelesaikan pertempuran itu. Ketika ia menghentakkan serangannya, maka Senapati itu telah terdesak surut.

Karena Mahisa Bungalan memang ingin menyelesaikan pertempuran itu dengan segera, maka ia pun segera memburunya dan dengan kekuatan yang tidak terlawan oleh Senapati itu, iapun telah berhasil merenggut senjata lawannya sehingga terjatuh beberapa langkah dari padanya. Sementara itu, ia pun telah siap menyelesaikan pertempuran itu. Karena itu, maka demikian lawannya kehilangan senjatanya Mahisa Bungalan telah menyerangnya. Tidak dengan pedangnya, tetapi dengan kakinya.

Dalam kebingungan Senapati itu benar-benar tidak berdaya. Serangan Mahisa Bungalan yang cepat itu sama sekali tidak dapat dihindarinya. Karena itu, maka ia telah berusaha untuk menangkisnya. Namun kekuatan Mahisa Bungalan ternyata jauh melampaui kekuatannya. Dengan demikian, maka serangan Mahisa Bungalan itu telah membenturnya dan melontarkannya beberapa langkah. Kemudian tanpa dapat mempertahankan lagi keseimbangannya, Senapati itu pun jatuh terbanting.

Demikian kerasnya dorongan kekuatan Mahisa Bungalan, sehingga terasa seakan-akan tulang belakangnya telah patah. Ketika ia berusaha untuk segera bangkit, punggungnya terasa sakit sekali. Sehingga dengan demikian, maka sambil menyeringai ia sekali lagi mengumpat. Namun ia tidak berhasil untuk berdiri, seperti kedua pengawalnya, maka ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika Mahisa Bungalan kemudian pergi ke kudanya sambil berkata,

“jangan ganggu aku lagi. Aku akan menyusul kedua pamanku itu”

“Anak gila” geram Senapati itu “seluruh pengawal Pakuwon akan mencari kalian bertiga. Kalian akan dibunuh di alun-alun dan kepala kalian akan ditanjir dipintu gerbang kota pakuwon di tiga penjuru”

Mahisa Bungalan memandang Senapati yang masih menyeringai sambil duduk di tanah. Katanya kemudian, “Segeralah bangkit dan tinggalkan tempat ini. Jika ada satu dua orang petani menyaksikan kalian duduk di pinggir parit itu, mereka tentu akan bertanya”

“Anak setan” geram Senapati itu.

Mahisa Bungalan tidak menghiraukannya lagi. Namun ia pun segera meninggalkan tempat itu. Ketika sekali ia berpaling, maka ia. masih melihat Senapati itu mencoba untuk berdiri. Tetapi ia tidak mempedulikannya lagi. Dipacu kudanya menyusul Mahisa Agni dan Witantra yang masih belum terlalu jauh.

Sepeninggal ketiga orang itu. Senapati itu pun masih mengumpat-umpat. Dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit. Betapapun perasaan sakit mencengkam punggungnya, namun akhirnya iapun berdiri juga terbungkuk-bungkuk. Tetapi dalam pada itu, ia pun dengan serta merta mengumpati kedua orang pengawalnya,

“Bangkit, cepat tikus-tikus dungu.

Kedua pengawalnya masih menyeringai kasakitan. Bahkan seorang di antara keduanya rasa-rasanya tidak memiliki kesadaran sepenuhnya, meskipun ia tidak pingsan. Baru kemudian perlahan-lahan ia menyadari keadaannya. Namun perasaan sakitpun bagaikan menggigit-gigit tulang.

Ketika sekali lagi Senapatinya yang marah itu mengumpat, maka barulah ia sadar sepenuhnya, apakah yang sudah terjadi. Karena itu, dengan menahan rasa sakit, kedua orang pengawal itu pun mencoba untuk bangkit pula. Mula-mula mereka duduk di atas rerumputan di pinggir jalan bertelekan tangannya. Baru kemudian mereka mencoba untuk berdiri betapapun tubuhnya merasa sakit. Akhirnya kedua pengawal itu pun dapat berdiri tegak seperti Senapati itu pula.

“Kita akan menghadap Akuwu” berkata Senapati itu “kecuali melaporkan keadaan Kabuyutan itu, kita harus melaporkan tentang ketiga orang yang tentu akan sangat berbahaya bagi kita semuanya”

“Ya” sahut seorang pengawalnya “ketiga orang ini akan lebih berbahaya dari sekalompok perampok”

“Para Senapati dan para pengawal akan mencari di seluruh daerah Pakuwon. Aku akan mengusulkan untuk mencari ketiga orang itu dan menangkapnya hidup-hidup” berkata Senapati itu.

“Ya. Orang itu harus ditangkap hidup-hidup” berkata pengawal itu, namun kemudian, “tetapi siapakah yang sanggup menangkapnya. Para Senapati tentu tidak akan dapat mengimbangi kemampuannya”

“Omong kosong” teriak Senapati itu. Namun kemudian suaranya merendah, “orang-orang itu memang memiliki ilmu iblis. Mungkin Akuwu sendiri harus turun tangan. Jika Akuwu sendiri bersedia untuk menangkapnya, maka ketiga orang itu tidak akan mampu menghindar lagi”

“Tetapi apakah Akuwu bersedia melakukannya?” bertanya salah seorang pengawalnya.

Senapati itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu. Tetapi adalah kewajiban kita untuk menyampaikannya. Keputusan terakhir terserah kepada Akuwu”

“Ya, segalanya terserah kepada Akuwu” desis pengawalnya.

“Jangan terlalu lama. Jika mungkin, kita jangan kehilangan waktu. Masih ada kesempatan untuk mengejarnya” berkata Senapati itu “semua jalan keluar Pakuwon akan ditutup”

“Akan diperdengarkan isyarat tanda?” bertanya pengawalnya.

“Aku akan mengusulkan” jawab Senapati itu.

Kedua pengawal itu tidak menjawab. Namun ketiga Senapati itu pergi mengambil kudanya, keduanya pun segera melakukannya pula. Sambil menyeringai kesakitan mereka naik kepunggung kuda masing-masing. Dan sejenak kemudian kuda merekapun telah berpacu, meskipun perasaan sakit masih mencangkam. Ketiganya ingin segera menghadap Akuwu dan melaporkan apa yang terjadi.

Dengan kemarahan yang masih menghentak-hentak di dada, maka Senapati itu pun melaporkan apa yang dilihat, didengar dan dialaminya.

Akuwu yang masih muda itu pun mendengarkannya dengan penuh perhatian. Namun semakin lama terasa telinganya pun menjadi semakin panas. Senapati yang tidak berdaya menghadapi Mahisa Bungalan itu telah menceriterakan apa yang dialaminya dengan maksud tertentu, sehingga ada beberapa hal yang sengaja atau tidak sengaja tersisip di dalam ceriteranya.

Dengan marah Akuwu itupun kemudian berkata “Lepas dari salah atau tidak bersalah, tetapi menolak perintahmu, itu sudah merupakan satu tindak yang pantas mendapat hukuman”

“Ampun Sang Akuwu. Maksud hamba, bukan untuk menghukum mereka. Tetapi sekedar membawa mereka menghadap” berkata Senapati itu.

“Aku mengerti. Karena itu, maka aku menganggap mereka bersalah. Meskipun aku merasa heran bahwa kalian bertiga tidak mampu menangkap tiga orang yang meskipun mereka disebut orang yang luar biasa karena mereka berhasil menangkap pemimpin perampok yang melarikan diri itu” geram Akuwu yang muda itu.

“Satu kelengahan Sang Akuwu” desis Senapati itu, “hamba memang tidak menyangka sama sekali bahwa mereka akan melawan. Karena itu, maka mereka berhasil mendahului menyerang hamba dan kawan-kawan hamba. Kemudian mereka pun sempat melarikan diri”

“Perintahkan. Tangkap mereka” perintah Akuwu “bawa mereka menghadap kepadaku”

Senapati itu dengan serta merta menyahut “Apakah hamba harus memerintahkan untuk membunyikan isyarat? Bahkan isyarat tunda agar dengan cepat dapat diketahui oleh para penjaga di semua jalur jalan keluar dari Pakuwon ini."

Akuwu itu berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Baiklah. Isyarat itu tentu menjalar jauh lebih cepat dari derap kuda yang manapun juga. Seluruh Pakuwon harus ikut serta menangkap mereka”

Senapati itu pun kemudian mohon diri dari hadapan Akuwu. Sejenak kemudian, maka kenthongan yang menjadi pusat isyarat dari Pukuwon itu telah berbunyi. Isyarat yang berbunyi dengan irama dua ganda, kemudian disusul dengan tiga ganda. Setiap pengawal dan bahkan setiap orang di Pakuwon itu mengetahui, bahwa Akuwu menjatuhkan perintah untuk menutup semua perbatasan. Tidak seorang pun yang boleh keluar dari Pakuwon. Sehingga dengan demikian setiap orang mengetahui bahwa ada buruan yang gawat yang harus ditangkap.

Orang-orang yang mendengar isyarat itu terkejut. Namun setiap banjar padukuhan dan banjar kabuyutan telah menyahut isyarat itu dan menyambungnya, sehingga isyarat itu memang menjalar dengan cepat ke seluruh daerah Pakuwon. Padukuhan yang baru saja dijamah oleh perampok itu pun mendengar pula isyarat itu. Ki Demung dan Ki Perapat serta para pengikutnya pun mendengar pula, dan bahkan mereka yang berada di banjar teluh memukul isyarat itu pula.

Para pengawal yang tersebar di jalur jalan yang keluar dan masuk daerah Pakuwon itupun mendengar pula. Mereka pun segera bersiaga di pintu-pintu gerbang, untuk menutup sehingga tidak seorang pun dapat keluar dari Pakuwon.

Sementara itu, jalan-jalan padukuhan yang paling kecil pun terutama di perbatasan telah dijaga pula oleh anak-anak muda di padukuhan itu. Mereka justru lebih garang dari para pengawal. Mereka tidak hanya mencegah orang-orang yang keluar dari daerah Pakuwon. Tetapi mereka menangkap siapapun yang mereka curigai.

“Kami sekedar lewat” tangis seorang laki-laki tua.

“Jangan menangis seperti bayi. Tunggu sajalah di sini. Jika keadaan sudah baik, dan ternyata bukan kau yang diperlukan, maka kau akan kami lepaskan” jawab anak-anak muda.

“Kapan keadaan akan menjadi baik?” bertanya orang tua itu.

“Jika orang yang dicari sudah tertangkap, maka akan terdengar isyarat. Isyarat yang menyebutkan bahwa keadaan sudah menjadi baik dan buruan itu sudah tertangkap” jawab anak-anak muda.

Orang tua itu tidak berhasil melepaskan diri. Ia harus tunduk kepada anak-anak muda yang menjadi lebih garang dari para pengawal itu sendiri.

Dalam pada itu, selain para pangawal, anak-anak muda dan orang-orang di perbatasan yang menutup semua jalan keluar, maka beberapa kelompok pengawal terpilih pun telah meninggalkan pusat pemerintahan Pakuwon menjelajahi padukuhan. Setiap kelompok yang terdiri dari lima orang terpilih itu pun berusaha untuk menemukan tiga orang berkuda dan menangkapnya untuk membawa mereka menghadap Akuwu.

“Betapapun tinggi ilmunya, mereka tidak akan dapat menghadapi para pengawal terpilih” berkata Akuwu muda itu.

Namun Senapati yang melaporkan itu memperingatkan “Mereka memiliki ilmu iblis”

“Bukankah mereka menyerangmu dengan tiba-tiba di saat kalian lengah?” bertanya Akuwu itu, “itu tidak berarti apa-apa. Namun demikian jika perlu, maka para pengawal itu akan dapat minta bantuan para pengawal di perbatasan atau anak-anak muda di setiap padukuhan yang tentu telah bersiap-siap pula”

Senapati itu tidak membantah pula. Bahkan ia pun kemudian telah mendapat perintah-perintah pula untuk berkeliling daerah Selatan dari Kabuyutan itu.

Sementara itu, Ki Demung dan Ki Perapat menjadi gelisah. Ia mengetahui suasana yang kurang baik di saat-saat Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan dibawa oleh Senapati itu. Bahkan mereka pun menduga jauh melampaui peristiwa yang sebenarnya terjadi. Seolah-olah telah terjadi satu peristiwa berdarah, sehingga ketiga orang yang telah menolongnya itu menjadi buronan.

“Jika Akuwu sendiri bertindak, betapapun tinggi ilmu orang-orang itu, namun mereka tidak akan berdaya” desis Ki Demung.

“Kita sudah berhutang budi” sahut Ki Perapat.

Ki Demung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mengerti, apa yang sebaiknya dilakukan. Jika benar terjadi perselisihan antara orang-orang yang telah menolongnya itu dengan Akuwu, sudah barang tentu bahwa ia tidak akan dapat berpihak. Jika ia berusaha untuk membalas budi kepada ketiga orang yang tidak mereka kenal dengan pasti itu, maka akibatnya akan sangat pahit bagi mereka.

Bukan saja mereka dan beberapa orang yang mengetahui dengan pasti pertolongan yang telah diberikan oleh ketiga orang itu, namun seluruh Kabuyutan itu akan mengalami perlakukan yang kurang baik dari Akuwu. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain dari Ki Demung dan Ki Perapat selain tidak ikut campur dalam persoalan yang terjadi itu.

“Mudah-mudahan isyarat ini tidak ada hubungannya dengan ketiga orang itu” berkata Ki Demung.

“Mudah-mudahan” sahut Ki Perapat, “namun seandainya benar-benar ketiga orang itu harus ditangkap, beruntunglah kita, bahwa Kabuyutan ini tidak terletak di perbatasan.

“Tetapi bagaimana sikap kita jika ketiga orang itu datang kembali ke Kabuyutan ini dan minta perlindungan kepada kita, sementara persoalan Ki Buyut dan para perampok itu masih belum selesai. Bukankah Senapati yang datang kemari melihat keadaan itu akan dapat mengkaitkan segala peristiwa yang terjadi ini dengan ketiga orang yang dicurigainya itu? Memang masuk akal, agaknya sulit dimengerti bahwa seseorang telah mempertaruhkan nyawanya tanpa pamrih sama sekali” bertanya Ki Demung, seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri.

Tidak seorang pun yang menjawab. Mereka pun menjadi bingung, apakah yang harus mereka lakukan.

Dalam pada itu, Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan pun terkejut mendengar isyarat itu. Meskipun mereka tidak tahu pasti, arti dari suara kentongan yang bersahutan dan merambat dengan cepatnya itu, namun terasa bahwa mereka adalah sasaran dari suara isyarat itu.

“Senapati itu memang gila” geram Mahisa Bungalan “jika aku membuatnya pingsan, maka isyarat itu tentu tidak akan secepat ini menjalar keseluruh wilayah Pakuwon yang luas ini”

“Terlambat” desis Mahisa Agni “semua jalan tentu sudah ditutup”

“Tetapi jika maksud isyarat ini justru membuka semua jalan kaluar?” bertanya Witantra.

Mahisa Agni tersenyum. Ia mengerti, bahwa Witantra pun sebenarnya mempunyai dugaan yang sama. Isyarat itu ditujukan kepada mereka bertiga yang tentu dianggap telahi melawan kekuasaan Sang Akuwu.

“Apakah Akuwu ini juga memiliki jiwa yang bergejolak seperti Ken Arok?” desis Mahisa Agni.

“Mungkin” sahut Witantra “kadang-kadang seorang Akuwu memang memiliki kelebihan. Bahkan mungkin Akuwu itu tidak berdiri sendiri. Ia mungkin memiliki seorang guru yang akan dapat membantunya dalam keadaan yang paling sulit”

“Mudah-mudahan kita akan berhadapan dengan orang-orang yang mengerti tentang kita, agar kita tidak terpaksa membela diri” berkata Mahisa Agni, “karena kitapun sadar, bahwa kita tidak akan mungkin dapat melawan seisi Pakuwon ini. Setidak-tidaknya pengawal di seluruh Pakuwon ini."

“Jika demikian” berkata Mahisa Bungalan, “kita masih mempunyai waktu. Kita dapat berpacu menuju keperbatasan dimana pun juga, karena arah yang manapun akan dapat kita tempuh. Dengan demikian, kita hanya akan berhadapan dengan para pengawal di perbatasan yang jumlahnya tentu terbatas”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin kita dapat melakukannya. Tetapi mungkin dengan demikian kita harus membunuh para pengawal yang tidak tahu menahu persoalannya itu”

“Jadi bagaimana?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Kita bertemu dengan Akuwu” desis Mahisa Agni, “kita akan menyelesaikan persoalan ini dengan Akuwu. Kita berharap bahwa Akuwu adalah seorang laki-laki. Bahkan seandainya ada seseorang di belakangnya, gurunya misalnya. Atau orang lain sekalipun”

Mahisa Bungalan menarik nafas panjang. Ia mengerti, bahwa kedua orang pamannya itu adalah orang-orang yang jarang ada bandingnya. Mahisa Agni dan Witantra rasa-rasanya adalah dua orang yang mumpuni dalam ilmu kanuragan. Bahkan mereka memiliki kekuatan diluar batas jangkauan nalar manusia, seperti juga ayahnya, saudara seperguruan Witantra.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian menyambut, “Aku sependapat paman. Kita menemui Akuwu”

“Baiklah” sahut Witantra, “katakan kita akan menemui Akuwu. Tetapi apakah kita akan mencari Akuwu, atau kita membiarkan diri kita ditangkap dan dibawa menghadap?”

“Sama saja” jawab Mahisa Agni, “karena itu. Kita akan menuju ke Pakuwon. Seandainya di perjalanan kita bertemu dengan para pengawal yang mendapat tugas untuk menangkap kita, maka kita akan menyerah”

“Kita akan menyerah, sehingga kita akan dibawa sebagai tawanan?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Untuk sementara demikian” jawab Mahisa Agni, “apa salahnya jika kita akan digiring dengan tangan terikat. He, apakah ada tali pengikat yang tidak dapat diputuskan dengan ilmu bahkan seandainya kau diikat dengan janget sekalipun?”

Mahisa Bungalan menarik nafas panjang. Bagaimanapun juga, memang tidak menyenangkan jika ia akan digiring sebagai tawanan. Tangannya akan diikat bahkan mungkin ia akan diperlakukan dengan buruk sekali. Tetapi ia tidak membantah. Ia sadar, bahwa kedua orang tua itu nampaknya terlalu biasa mengalami perlakuan kasar dari kadang-kadang lebih condong disebut membiarkan dirinya tersiksa, bahkan justru menyiksa diri dengan perlakukan yang sangat tidak menyenangkan.

Dalam pada itu, maka Mahisa Agni diikuti oleh Witantra dan Mahisa Bungalan telah memutar haluan perjalanan mereka. Mereka justru menuju ke istana Akuwu yang menurut perhitungan mereka, justru sedang berusaha menangkap mereka bertiga, yang tentu karena laporan Senapati yang gagal membawa mereka menghadap itu.

Untuk beberapa lamanya, mereka menelusuri jalan mendakati pusat pemerintahan Pakuwon yang sedang dibayangi oleh isyarat yang mendebarkan itu. Namun mereka sama sekali tidak bertemu dengan pengawal yang sedang memburu mereka. Tetapi akhirnya yang mereka tunggu itupun datang. Ketika Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan sampai di tikungan, maka mereka pun melihat debu yang mengepul kelabu.

“Itulah agaknya mereka. Satu di antara beberapa kelompok pengawal yang sedang memburu kita” berkata Mahisa Agni.

“Sebenarnya aku segan menyerah begitu saja paman” desis Mahisa Bungalan.

Mahisa Agni tersenyum. Katanya “Apa salahnya”

“Kita masih belum mengetahui keadaan Pakuwon ini sedalam-dalamnya. Kita baru mengetahui kemampuan seorang saja dari Senapatinya yang tentu banyak jumlahnya. Mungkin Senapati yang lebih tua, bukan umurnya, tetapi jabatannya, memiliki kemampuan yang jauh lebih tinggi, sehingga kita benar-benar tidak akan dapat berbuat apa-apa”

“Jika ada di antara mereka yang berilmu tinggi” sahut Mahisa Agni, “pada umumnya mereka akan dapat berpikir bening. Meskipun ada juga perkecualiannya”

“Bukan sakedar perkecualian paman. Orang-orang berilmu hitam adalah orang-orang berilmu tinggi. Sementara itu Ki Dukut pun adalah orang yang berilmu tinggi pula. Apakah mereka orang-orang yang dapat berpikir bening?”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Jawabnya, “Kau benar Mahisa Bungalan. Tetapi sebaiknya kita melihat, apa yang akan terjadi. Bahkan kita akan dapat mengambil Keuntungan. Jika mungkin Akuwu akan dapat membantu kita dalam persoalan Ki Dukut yang sampai sekarang belum dapat kita ketemukan. Bukan saja Akuwu di sini, tetapi atas pengaruhnya, mungkin Akuwu di daerah tetangga pun akan dapat membantu pula”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi ia merasa bahwa yang mereka lakukan itu sama sekali tidak menyenangkan.

Dalam pada itu, sekelompok pengawal di hadapan mereka itu pun telah melihat ketiga orang itu pula. Senapati yang memimpin kelompok pengawal itu langsung menjadi curiga, ketika ia melihat ketiga orang itu. Seperti ciri-ciri yang didengarnya tentang tiga orang yang harus diburu dan ditangkap.

“Berhati-hatilah” berkata Senapati itu kepada para pengawalnya “mereka adalah orang-orang yang berbahaya”

Para pengawal itu pun segera bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan sebagian dari mereka telah memegang hulu pedangnya dan bersiap untuk menyerang. Tetapi Senapati yang memimpin para pengawal itu menjadi heran. Ketiga orang itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda yang mencurigakan. Bahkan sampai beberapa langkah di hadapan Senapati yang memimpin para pengawal itu, ketiganya masih tetap bersikap wajar.

Karena itu, maka Senapati yang memimpin para pengawal itu pun telah terpengaruh oleh sikap itu pula. Jika semula ia mendapat gambaran yang garang tentang ketiga orang itu, maka yang mereka jumpai ternyata agak berbeda.

Mahisa Agni yang berada di paling depan di antara ketiga orang yang bersamanya mengangguk hormat sambil bertanya, “Apakah aku bertemu dengan pasukan pengawal Pakuwon?”

“Ya Ki Sanak” jawab Senapati itu. Meskipun ia tersenyum tetapi sama sekali tidak melepaskan kewaspadaan. Apabila perlu ia dapat bertindak dengan cepat untuk mengatasi persoalan.

Namun Mahisa Agni ternyata bersikap wajar saja. Dengan nada datar ia bertanya, “Apakah kehadiran Ki Sanak ini ada hubungannya dengan isyarat yang bergema di seluruh padukuhan dan Kabuyutan?”

“Ya Ki Sanak” jawab Senapati itu yang kemudian iapun bertanya, “siapakah sebenarnya Ki Sanak bertiga ini?”

“Aku adalah perantau yang menjelajahi desa demi desa, padukuhan demi padukuhan dan Kabuyutan demi Kabuyutan sekedar untuk melihat, betapa luasnya bumi ciptaan Tuhan Yang Maha Agung ini, dan betapa aneka ragamnya isi dan warnanya”

“O” Senapati itu mangangguk-angguk, “sungguh menyenangkan jika mendapat kesempatan untuk melakukannya. Tetapi siapakah kalian bertiga. Maksudku, dari mana kalian datang, dan apakah kerja kalian sehari-hari? Tentu kalian bukan perantau seumur hidup yang tidak mempunyai lambaran penghidupan apapun juga”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kami adalah penghuni padepokan kecil di tempat terpencil. Kami hidup dalam lingkungan sawah dan pategalan. Namun juga dalam olah kajiwan sebagaimana kebiasaan orang-orang padepokan. Betapa rindunya kami mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Agung. Sehingga, kami pun telah memutuskan untuk melihat isi dari ciptaannya lebih banyak lagi”

Senapati itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Ki Sanak. Apakah dalam perjalanan perantauan Ki Sanak yang dibayangi oleh kerinduan itu, Ki Sanak benar-benar telah memuji nama Tuhan Yang Maha Agung atau justru yang terjadi adalah sebaliknya, misalnya benturan antara sesama titah Tuhan Yang Maha Agung sehingga sama sekali tidak membayangkan kerinduan itu sendiri”

“Maaf Ki Sanak” sahut Mahisa Agni “itulah kelemahan kami. Bahwa kami adalah manusia yang lemah hati. Betapa kerdilnya jiwa ini. sehingga bayangan kecemasan akan nasib buruk loluli memaksa kami untuk berusaha melindungi diri pada setiap kesempatan, seperti kamipun makan di setiap hari untuk mempertahankan hidup kami dan tidak menyerah semata-mata kepada nasib”

Senapati yang memimpin sekelompok pengawal itu pun mengerutkan keningnya. Dengan wajah berkerut ia berkata, “Jadi maksud Ki Sanak, apa yang telah Ki Sanak lakukan itu semata-mata karena Ki Sanak berusaha untuk melindungi diri sendiri. Juga barangkali jika Ki Sanak terpaksa melakukan kekerasan”

“Begitulah kira-kira Ki Sanak” jawab Mahisa Agni, “tetapi sepanjang masih dapat ditempuh cara lain, aku akan selalu mempergunakan cara lain”

“Jadi kau hanya melakukan kekerasan jika terpaksa?” bertanya Senapati itu pula.

“Benar Ki Sanak” jawab Mahisa Agni.

“Juga apa yang pernah kau lakukan terhadap utusan Akuwu? Aku mendapat laporan bahwa kalian telah melawan kehendak Akuwu lewat utusannya” berkata Senapati itu.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak akan mengingkarinya. Namun barangkali laporan yang sampai kepada Akuwu itu tidak seperti apa yang terjadi”

“Katakan apa yang telah terjadi” berkata Senapati itu.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun mengatakan seperti apa yang pernah di alami.

Senapati itu mengangguk-angguk, Katanya, “Jadi kau memang dengan sengaja ingin menghindari kekuasaan Akuwu?”

“Kami hanya ingin menyatakan bahwa kami tidak berbuat sesuatu yang pantas dipergunakan sebagai alasan untuk membawa kami menghadap Akuwu” sahut Mahisa Agni.

“Ki Sanak” berkata Senapati itu, “sekarang kami juga mendapat tugas untuk menangkap Ki Sanak dan membawa menghadap Akuwu. Apakah Ki Sanak juga akan melawan?”

Mahisa Agni menggeleng. Jawabnya, “Tidak Ki Sanak. Aku sekarang tidak akan melawan. Aku akan bersedia menghadap Akuwu dan memberikan penjelasan, sehingga salah paham ini tidak akan berkepanjangan lagi”

Senapati itu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Terima kasih Ki Sanak Ki Sanak telah memperingan tugasku dengan kesediaan itu. Sehingga dengan demikian aku tidak perlu mengambil satu tindakan apapun juga terhadap Ki Sanak”

“Mudah-mudahan niat kami untuk memberikan penjelasan itu dapat dimengerti” berkata Mahisa Agni.

“Marilah. Jika Ki Sanak sudah berniat untuk mengikuti kami, marilah. Tetapi apa yang Ki Sanak lakukan ini, jangan sekedar satu pancingan kelengahan kami semata-mata” berkata Senapati itu...

Panasnya Bunga Mekar Jilid 20

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 04: Panasnya Bunga Mekar Jilid 20
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

TETAPI ia sudah mapan, yang dilakukannya itu adalah sepenuhnya di bawah pengaruh kesadarannya. Kesadaran seseorang yang mempunyai kepribadian kuat. Namun dengan demikian Mahisa Bungalan dapat mengerti, pengaruh apakah sebenarnya yang sudah menguasai Ki Demung dan kawan-kawannya, sehingga seolah-olah mereka tidak dapat berpikir lama sekali.

“Apakah kau sudah mengetahuinya?” bertanya Mahisa Agni yang telah duduk kembali setelah meletakkan senjatanya.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Namun dengan demikian ia menjadi semakin berhati-hati. Pada suatu saat ia harus mengambil satu sikap tertentu bersama Mahisa Agni dan Witantra. Nampaknya Ki Demung dan Ki Perapat itu harus dibangunkannya untuk tetap berpegang pada niat kedatangannya.

Sejenak kemudian, orang-orang yang berada di pendapa itu telah duduk kembali sambil menundukkan kepalanya. Diantara mereka duduk Ki Buyut sambil termangu-mangu. Bahkan kemudian terdengar suara tertawanya diantara kata-katanya “Nah, Ki Demung. Sekarang kita dapat berbicara dengan mapan. Katakan, kenapa kalian datang kemari bersama Ki Perapat dan beberapa orang lainnya? Apakah ada sesuatu yang penting yang ingin kau katakan?”

Ki Demung mengangkat wajahnya. Sekilas terpandang olehnya mata Ki Buyut yang seolah-olah mencengkam jantungnya. Sambil menunduk ia menjawab “Kami datang sekedar untuk menyatakan kesetiaan kami Ki Buyut. Kami mendengar beberapa orang bebahu telah datang meronda di rumah ini. Karena itulah, maka kami pun datang pula bersama beberapa orang untuk ikut berjaga-jaga.”

“O, begitu” berkata Ki Buyut, “terima kasih. Kami senang sekali menerima kedatangan kalian. Di rumah ini beberapa bebahu memang sedang berjaga-jaga. Lihatlah, itulah mereka.”

Orang-orang yang berada di pendapa itu pun berpaling. Betapapun juga nampak orang-orang itu terkejut. Di sekeliling pendapa itu nampak beberapa orang bebahu yang bersenjata berjalan keluar dari longkangan sebelah menyebelah. Kemudian mereka seolah-olah telah mengepung pendapa itu dari segala arah.

“Nah, itulah mereka” berkata Ki Buyut “namun nampaknya penjagaan itu harus di atur bergilir. Marilah, kalian akan mendapat giliran nanti. Karena itu, sebelum giliran bagi kalian tiba, kami persilahkan kalian beristirahat lebih dahulu di gandok.”

“Marilah Ki Demung dan Ki Perapat” berkata Ki Buyut, “kami persilahkan kalian beristirahat di gandok”

Ternyata Ki Demung dan Ki Perapat tidak membantah. Mereka pun kemudian bangkit dan mengikuti Ki Buyut menuju ke gandok sebelah kanan.

Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan pun mengikuti mereka pula. Dan mereka pun kemudian mengerti, apa yang sebenarnya dilakukan oleh Ki Buyut. Karena demikian mereka masuk ke dalam gandok, maka pintu gandok itu pun telah ditutup dan diselarak dari luar.

Yang terdengar kemudian adalah gelak tertawa di luar pintu. Terdengar suara Ki Buyut dan Ki Jagabaya berbincang. Tetapi orang-orang yang berada di dalam gandok itu tidak mendengar jelas. Namun beberapa kalimat dapat ditangkap oleh telinga Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan yang tajam, ketika Ki Buyut berkata,

“Ternyata ketiga orang yang disebut memiliki kelebihan itu, sama sekali tidak berdaya menghadapi aku dengan langsung. Meskipun demikian mereka cukup berbahaya karena mereka berhasil menangkap kembali pemimpin itu.”

“Serahkan kepada orang-orang itu sendiri. Mereka dapat membunuhnya” berkata Ki Jagabaya.

Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa. Selebihnya pembicaraan itu tidak dapat didengarnya lagi, betapapun mereka berusaha.

Namun kesadaran Ki Demung, Ki Perapat dan kawan kawannya ternyata sudah terlambat. Mereka telah terjebak dalam satu ruangan yang kuat dan tertutup rapat. Gandok itu terdiri dari sebuah ruangan yang agak luas, dan dibatasi dengan dinding-dinding kayu yang tebal, sehingga sulit bagi orang-orang yang berada di dalamnya untuk dapat memaksa keluar. Apalagi di luar beberapa orang sedang berjaga-jaga.

Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan masih membiarkan orang-orang itu menjadi sibuk. Beberapa orang mencoba meraba-raba dinding untuk mencari kelemahannya. Namun yang lain berkata, “Seandainya kita dapat keluar dari bilik ini, kita sudah tidak bersenjata lagi. Apakah artinya.”

“Ya. Kita memang terlalu dungu, sementara Ki Buyut terlalu licik.” sahut yang lain.

“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang? Kita akan menyerah untuk dibantai di sini atau tindakan-tindakan lain yang akan dilakukan oleh Ki Buyut?” berkata yang lain, “sehingga kedatangan kita kemari semata-mata untuk menyerahkan leher kita.”

Tiba-tiba saja di luar dugaan seseorang berkata, “Ki Demung. Kita datang dengan harapan bahwa Ki Demung Ki Perapat akan dapat memberikan jalan bagi perubahan yang kita harapan di Kabuyutan ini. Tetapi tiba-tiba kita sudah dijebak, sementara Ki Demung dan Ki Perapat tidak berbuat apa-apa.”

“Ya” sahut beberapa orang hampir bersamaan, “ya. Apa yang dapat kalian lakukan.”

Ki Demung dan Ki Perapat saling berpandangan. Tetapi apa yang dapat mereka lakukan, setelah mereka di dalam sebuah bilik yang tertutup rapat.

“Sekarang” berkata salah seorang “berbuatlah sesuatu Ki Demung atau Ki Perapat. Kita tidak akan terlepas dengan sendirinya dari tempat ini dan dari kelicikan Ki Buyut.”

“Ya, berbuatlah sesuatu“ sahut yang lain.

Ki Demung dan Ki Perapat benar-benar telah kehilangan, kepribadian mereka. Yang dilakukan sama sekali tidak sesuai dengan tekad mereka sejak mereka berangkat. Demikian orang-orang lainnya pun nampaknya tidak dapat melawan sama sekali pengaruh Ki Buyut yang telah mencengkeram perasaan mereka.

Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan dengan sengaja telah menempatkan diri mereka bersama orang-orang itu. Mereka ingin tahu, betapa kemampuan Ki Buyut menguasai orang-orang itu, dan apa sajakah yang akan dilakukannya kemudian terhadap orang-orangnya yang diketahuinya akan melawannya dan bahkan serba sedikit telah mengetahui rahasianya melalui pemimpin perampok yang telah tertangkap itu. Karena itu, maka mereka pun telah bersikap, sebagaimana orang-orang lain bersikap.

“Ya. Carilah jalan yang manapun juga. Kita lebih baik mati dalam usaha daripada kita menunggu kematian itu sambil merenung disini.” berkata yang lain.

Orang-orang di dalam ruang itu pun menjadi gelisah. Ki Demung dan Ki Perapat pun menjadi bingung. Orang-orang itu ternyata marah dan menyalahkan mereka berdua.

Dalam kegelisahan itu, maka tiba-tiba saja Ki Demung berpaling kepada Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan Kemudian dengan serta merta ia mendekatinya sambil berkata, “Ki Sanak. Kenapa Ki Sanak hanya berdiam diri saja?”

“Kami merasa menyesal seperti orang-orang lain. Lalu apa gunanya kami datang kemari” jawab Mahisa Agni.

“Ya. Untuk apa kami datang. Sekedar menyerahkan leher?” sahut seseorang.

“Tetapi, katakan. Apa yang harus aku lakukan” Ki Demung hampir berteriak.

“Kenapa kita telah meletakkan senjata kita?” bertanya Mahisa Agni.

“Ya. kenapa?” Ki Demung justru mengulang.

“Kami hanya mengikuti saja apa yang telah Ki Demung dan Ki Perapat lakukan” jawab Mahisa Agni, “karena Ki Demung dan Ki Perapat meletakkan senjata, kami kira bahwa itu adalah perintah yang harus kami lakukan pula.”

Ki Demung tiba-tiba saja telah terduduk dengan lemahnya sementara Ki Perapat berjalan hilir mudik dengan kepala tunduk.

“Ki Demung dan Ki Perapat” berkata Mahisa Agni, “coba katakan, kenapa kita semuanya telah meletakkan senjata.?”

Ki Demung termangu-mangu sejenak. Kemudian jawabnya, “Aku tidak tahu Ki Sanak. Tiba-tiba saja aku telah melakukannya ketika Ki Buyut minta kita melakukannya."

“Tanpa disadari?” bertanya Mahisa Agni pula.

“Ya. Tanpa disadari.” jawab Ki Perapat.

“Nah, sekarang sudah waktunya untuk menyadari bahwa yang terjadi itu adalah satu kelemahan bagi kita. Kita sudah kehilangan diri kita sendiri demikian kita berhadapan dengan Ki Buyut. Ki Demung dan Ki Perapat, diikuti oleh kita semuanya, melakukan apa yang kita sendiri tidak menyadarinya.” desis Mahisa Agni.

“Ya. Tepat seperti itu.” jawab Ki Demung.

“Nah. Sebentar lagi, akan terjadi satu hal yang mungkin merupakan ulangan dari peristiwa itu. Tetapi lebih mengerikan lagi. Ki Buyut akan memasuki bilik ini bersama Ki Jagabaya. Ki Buyut akan menatap mata kalian dan dengan sorot matanya mempengaruhi kesadaran kalian sehingga kalian akan kehilangan diri kalian sendiri.” Mahisa Agni terdiam sejenak lalu, “Dengarlah. Kalian telah dipengaruhi oleh sorot mata Ki Buyut. Sebentar lagi dengan sorot matanya Ki Buyut akan memerintahkan kalian untuk membunuh kami bertiga. Jika kalian tidak mempersiapkan diri melawan pengaruh itu dengan kekuatan pribadi kalian masing-masing maka kalian tentu akan melakukannya.”

“Apakah benar begitu?” bertanya Ki Demung.

“Ya. Seperti yang telah kalian lakukan. Meletakkan senjata tanpa berpikir sama sekali bahwa ia adalah satu kebodohan yang sangat berbahaya.” sahut Mahisa Agni. Lalu, “Karena itu, aku ingin berpesan. Jika Ki Buyut berbuat demikian, maka cobalah melawan pengaruh itu dengan kekuatan pribadi kalian. Kemudian cobalah mengelabui mereka. Seolah-olah kalian ingin melakukannya. Mintalah senjata kalian kembali dengan kesanggupan untuk membunuh kami bertiga. Selebihnya, dengan senjata itu kita dapat berbuat sesuatu seperti yang kita rencanakan sejak kita berangkat dari pedukuhan itu.”

Orang-orang yang mendengarkan keterangan Mahisa Agni itu mengangguk, sementara Mahisa Agni berpesan, “Syaratnya, kalian harus menyadari diri sendiri dan berpijak pada sikap dan kepribadian kalian sendiri. Jika kalian gagal, maka akan terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki, karena kami pun tidak akan dengan suka rela menerima kematian.”

Orang-orang yang berada di dalam bilik tertutup itu pun mengangguk-angguk. Mereka sadar, bahwa mereka telah berhadapan dengan ilmu yang sangat berbahaya. Karena itu, maka salah seorang dari mereka berkata, “Ya. Kita harus melakukannya. Jika tidak akan datang gilirannya, kita akan saling membunuh seperti yang mereka kehendaki tanpa dapat menentang sama sekali.”

“Baiklah” berkata Ki Demung, “marilah kita bersama-sama berusaha, agar kita tidak akan bertarung yang satu dengan yang lain.”

Demikianlah orang-orang itu telah berusaha untuk berpegang kepada kedirian masing-masing. Mereka bertekad, jika Ki Buyut itu datang lagi mereka tidak akan dengan mudah menyerahkan diri mereka dan tunduk alas segala perintah Ki Buyut tanpa berbuat sesuatu.

Dalam pada itu, Ki Demung dan Ki Perapat beserta orang-orang yang lain itu pun bagaikan orang yang kehilangan kesadarannya. Mereka duduk di sebuah amben bambu yang besar. Bahkan beberapa orang telah membaringkan dirinya, seolah-olah mereka benar-benar beristirahat sebelum melakukan tugas mereka berjaga-jaga di rumah Ki Buyut itu.

“Bukan main” berkata Mahisa Bungalan.

“Ya. Sampai kapan pengaruh itu akan mencengkam mereka” desis Witantra.

“Tetapi pengaruh itu akan lenyap dengan sendirinya. Kecuali jika sebentar lagi Ki Buyut itu datang memasuki ruangan ini dan memberikan perintah-perintah khusus kepada mereka. seperti yang dikatakan oleh Ki Jagabaya, “jika benar terjadi demikian, kita akan mengalami kesulitan. Apakah kita harus melawan orang-orang yang tidak sadarkan diri itu, sementara mereka benar-benar ingin membunuh kita?“

“Sumber dari pengaruh itulah yang harus dipadamkan” sahut Witantra.

Mahisa Agni mengangguk-angguk, Kemudian katanya “Kita akan menunggu perkembangan apakah yang akan terjadi.”

Dalam pada itu, lambat laun tetapi nampak jelas. bahwa Ki Demung, Ki Perapat dan kawan-kawannya mulai menyadari apa yang terjadi. Karena itu, tiba-tiba saja Ki Demung berlari ke pintu dan mencoba membukanya.

“Gila. Pintu itu diselarak. Kita sudah tertipu geramnya.”

Ki Perapat pun melakukan hat yang serupa. Demikian pula kawan-kawannya, “Pintu diselarak. Kita sudah dijebak.”

“Gila. Licik.” Ki Demung mengumpat. Lalu, “sementara senjata kita sudah kita letakkan. Kita tidak mengira bahwa Ki Buyut akan selicik itu.”

Orang-orang di dalam ruangan itu menjadi ribut. Sementara itu terdengar suara tertawa di luar, suara tertawa yang sangat menyakitkan hati. Untuk beberapa saat lamanya mereka berada di dalam bilik itu. Sementara itu, seorang dari para penjaga telah melaporkan kepada Ki Buyut bahwa orang-orang yang berada di dalam bilik itu telah memukul-mukul pintu dengan sekeras-kerasnya.

Ki Buyut tertawa, Katanya, “Mereka mulai menyadari keadaannya. Tetapi tidak apa. Sebentar lagi aku akan mempengaruhi mereka lagi, sehingga mereka akan beramai-ramai membunuh tiga orang dikatakan sebagai orang yang luar biasa itu, yang ternyata tidak lebih dari orang-orang padukuhan yang dungu itu.”

“Kita akan memanggil kawan-kawan kita untuk menyaksikan pembunuhan yang mengasyikkan itu Ki Buyut, sekaligus sebagai saksi bahwa merekalah yang melakukannya. Bukan kita” berkata Ki Jagabaya.

“Ya. Kemudian kita pun akan menyaksikan mereka bertengkar dan saling berbunuhan. Ki Demung dan Ki Perapat akan dibantai beramai-ramai oleh kawan-kawan mereka sendiri. Kita akan berpura-pura mencegah, tetapi kita tidak sempat. Dengan demikian, maka kita akan menyelesaikan pekerjaan ini dengan baik dan tidak berbekas. Tidak seorang pun akan dapat menuduh kita melakukan pembunuhan.”

Orang-orang itu tertawa. Dan sebenarnyalah mereka pun mulai mempersiapkan pertunjukkan yang akan sangat mengasyikkan itu.

Sejenak kemudian, maka Ki Buyut diiringi oleh beberapa orang telah pergi ke bilik tempat Ki Demung dan kawan-kawannya ditahan. Beberapa orang bersenjata telah berada di sebelah menyebelah pintu, untuk menjaga agar tidak terjadi sesuatu sebelum pengaruh Ki Buyut meresap ke dalam jantung mereka.

Demikian pintu bilik di gandok itu terbuka, maka Ki Demung lah yang pertama-tama muncul diikuti oleh Ki Perapat. Kemudian beberapa orang lainnya bersama Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan.

Ki Buyut sambil tersenyum berkata, “Marilah. Aku ingin berbicara dengan kalian.”

Keringat dingin mengalir di tubuh Ki Demung, Ki Perapat dan kawan-kawannya. Mereka merasa seolah-olah mereka sedang direnggut oleh satu pengaruh yang luar biasa. Rasa-rasanya seperti mimpi yang mencengkam, tetapi bukan mimpi.

Dalam keadaan yang sulit itu terdengar Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan yang memencar di antara orang-orang itu berdesis, “Pertahankan diri kalian masing-masing.”

Kata-kata itu benar-benar sangat berarti. Ki Demung dan Ki Perapat yang bagaikan mandi oleh keringat dinginnya, telah menemukan kekuatannya kembali. Karena itulah, maka mereka pun sadar, bahwa pengaruh kekuatan aneh Ki Buyut telah menyusup ke dalam diri mereka. Namun mereka harus berhasil merenggut diri mereka sendiri dari pengaruh itu.

Orang-orang yang lain benar-benar berada di antara sadar dan tidak sadar. Ada juga kadang-kadang kemauan untuk bertahan. Tetapi kekuatan pengaruh Ki Buyut terlalu kuat, sehingga mereka bagaikan terombang-ambing di antara dua kekuatan. Kekuatan ilmu Ki Buyut dan kekuatan kepribadian mereka sendiri.

Setiap kali Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan selalu berdesis, memberikan imbangan pengaruh kekuatan Ki Buyut. Meskipun orang-orang itu selain Ki Demung dan Ki Perapat tidak berhasil sepenuhnya melepaskan diri dari pengaruh Ki Buyut, namun setidak-tidaknya pengaruh itu dapat dibatasi.

Demikianlah, maka orang-orang itu telah dibawa ke halaman rumah Ki Buyut yang agak luas. Dalam pada itu, maka Ki Buyut pun telah berkata, “Baiklah. Barangkali Ki Sanak semuanya perlu menyadari, bahwa keadaan padukuhan kita sekarang ini sedang gawat. Agaknya ada juga pengertian itu, ternyata bahwa kalian telah bersenjata ketika kalian datang.

Tetapi sebenarnyalah bahwa orang-orang yang mengacaukan padukuhan di antara padukuhan-padukuhan di Kabuyutan ini tidak ada lain kecuaii orang-orang yang sekarang ada di antara kalian. Orang-orang yang tidak kita kenal dan mengaku telah berhasil menangkap kembali pemimpin perampok yang melarikan diri itu. Ketahuilah Ki Sanak. Hal itu dapat dilakukannya karena sebenarnya, mereka telah bekerja bersama dengan pemimpin perampok itu.

Ki Buyut terdiam sejenak. Ki Demung dan Ki Perapat telah berjuang dengan segenap kemampuannya untuk menguasai diri. Sebenarnyalah ia selalu mencoba mengingat, bahwa Ki Buyut akan mempergunakan tangannya untuk membunuh Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan.

“Karena itu Ki Sanak” berkata Ki Buyut, “jika orang-orang itu tidak dilenyapkan, maka Kabuyutan ini tidak akan tenteram.

Tiba-tiba saja Ki Demung menyahut “Ya. Orang-orang itu harus dibinasakan.

Ki Buyut tertawa, sementara Ki Demung terkejut mendengar kata-katanya sendiri. Namun justru karena itu, ia berjuang semakin gigih untuk bertahan. Ketika ia menyahut, rasa-rasanya ia tidak melakukannya dengan satu kesadaran seperti yang dimaksud oleh Mahisa Agni. Namun kemudian ia telah melakukannya dengan kesadarannya yang kadang-kadang kabur untuk berbuat seperti yang dikatakan itu oleh Mahisa Agni. Karena itu, sekali lagi ia berkata, “Orang-orang itu memang harus dibunuh”

Ki Buyut tertawa semakin keras. Ia mengharap dapat melihat satu pertunjukkan yang menarik sekali. Karena itu, maka kemudian dipandanginya Mahisa Agni yang berdiri termangu-mangu. Katanya, “Ki Sanak yang memiliki kemampuan di atas kemampuan orang kebanyakan, cobalah mempertahankan diri. Orang-orang itu telah bersiap untuk membunuh kalian. Tetapi kami bukan orang-orang, licik yang akan membunuh orang yang tidak mampu melawan karena itu, jika kalian memang ingin selamat, lawanlah Kalian bertiga akan berhadapan dengan orang-orang yang datang bersamamu kemari.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Dipandanginya orang itu sejenak, kemudian Ki Demung dan Ki Perapat.

“Nah, mulailah.” berkata Ki Buyut itu pula.

Ki Demung dan Ki Perapat benar-benar telah menjadi basah kuyup. Mereka berusaha bertahan atas kesadarannya sendiri. Mereka pun mendengar perintah Ki Buyut. Di antara sadar dan tidak, maka ia mendengar pula Ki Buyut Berkata, “Ambillah senjata kalian.”

Ki Demung dan Ki Perapat itu pun kemudian berlari-lari mengambil senjata mereka di sudut pendapa. Senjata-senjata itu masih berada di tempat mereka meletakkannya.

Ki Buyut dan beberapa orang bebahu menjadi gembira melihat orang-orang itu menjadi bahan permainannya. Namun demikian Ki Buyut tidak lengah. Beberapa orang bebahu dan pengawal pun masih tetap mengawasi mereka dengan senjata di tangan.

Bersama mereka, Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan pun telah mengambil senjata mereka pula. Mereka berusaha agar Ki Buyut yakin, bahwa mereka semuanya telah berada di dalam pengaruh kuasanya. Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan justru dapat memainkan peranannya dengan sebaik-baiknya, karena justru mereka menyadarinya sepenuhnya. Mereka berjalan dengan tatapan mata kosong. Mengambil senjata dan kembali ke tempatnya dengan senjata yang tunduk.

Sementara itu, Ki Demung dan Ki Perapat pun telah menggenggam senjata masing-masing pula. Demikian pula beberapa orang kawan-kawannya. Sementara itu, Ki Demung dan Ki Perapat masih berada di dalam keadaan yang, kabur dan pengaruh yang bercampur baur, antara pengaruh kuasa, Ki Buyut dan pengaruh keadaan diri.

“Nah” berkata Ki Buyut, “semuanya sudah siap. Kalian adalah laki-laki yang terpilih. Mulailah. Gerakkan senjatamu. Hadapilah lawanmu. Lakukanlah apa yang aku katakan. Angkat senjatamu dan penggal leher lawanmu."

Kata-kata itu benar-benar telah mencengkam jantung. Kawan-kawan Ki Demung dun Ki Perapat tidak lagi dapat melawan pengaruh itu. Sementara Ki Demung dan Ki Perapat sendiri berusaha bertahan dengan sengit.

Dalam pada itu, Ki Buyut berkata, “Marilah. Lakukanlah. Dengarlah kata-kataku. Kalian adalah orang-orang yang perkasa. Tangan kalian adalah tangan-tangan yang haus akan darah. Merahilah tangan-tangan kalian agar menjadi pertanda bahwa kalian adalah laki-laki jantan. Melangkah maju dengan senjata teracu. Mulailah, mulailah."

Ki Demung dan Ki Perapat pun mulai melangkah maju diikuti oleh kawan-kawannya. Sementara Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan masih tetap berdiri di tempatnya. Dalam pada itu, Ki Buyut pun berkata,

“Bertahanlah Ki Sanak. Kalian harus menyelamatkan diri sebagaimana orang-orang menyebut kalian sebagai orang-orang yang memiliki kelebihan. Angkatlah senjata kalian dan mulailah bertempur seperti seorang laki-laki."

Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan masih berdiri tegak. Mereka memandang Ki Demung, Ki Perapat dan kawan-kawannya melangkah semakin dekat. Namun Mahisa Agni kemudian menjadi berdebar-debar. Ia tidak yakin bahwa Ki Demung dan Ki Perapat mampu bertahan. Karena itu, maka ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

“Bagus.” Berkata Ki Buyut, “sebentar lagi senjata kalian akan berbenturan. Kalian akan bertempur sebagai pahlawan untuk mempertahankan hidup kalian masing-masing.-”

Ki Demung dan Ki Perapat diikuti oleh kawan-kawannya maju semakin dekat. Senjata mereka pun telah teracu. Namun dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa kesadaran Ki Demung dan Ki Perapat telah mulai larut. Pada saat yang demikian Mahisa Agni menganggap bahwa saatnya sudah tepat. Ia tidak mau terlambat sehingga Ki Demung dan Ki Perapat benar-benar tidak mampu lagi mengendalikan diri.

Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja terdengar Mahisa Agni tertawa. Katanya, “Ki Buyut. Permainan apakah yang sedang Ki Buyut lakukan? Aku sudah mencoba untuk mengikuti segala kemauan Ki Buyut untuk memberikan kepuasan. Aku sudah bermain api dengan meletakkan senjata dan memasuki ruang itu. Tetapi aku yakin, bahwa pada suatu saat senjata kami akan kembali ke tangan kami. Karena itu, permainan ini sudah cukup dan bagi kami sudah sangat memuakkan."

Ki Buyut terkejut. Barulah ia sadar, bahwa Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan itu sebenarnya lepas dari pengaruhnya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak, “Ki Demung, Ki Perapat dan laki-laki padukuhan ini yang berhati jantan. Lakukanlah. Bunuhlah orang-orang ini.”

“Kau keliru Ki Buyut” sahut Mahisa Agni, “mereka pun menyadari apa yang terjadi.” Lalu katanya kepada Ki Demung dan Ki Perapat, “nah, sudah waktunya kalian menyatakan diri seperti yang kami lakukan. Kalian adalah laki-laki yang mempunyai pendirian yang teguh. Kalian mempunyai sikap dan keyakinan. Karena itulah maka kalian akan bertumpu kepada diri kalian sendiri. Tidak kepada pengaruh kuasa Ki Buyut yang sesat.”

“Kalian adalah orang Kebuyutan ini. Cepat, lakukan” Ki Buyut berteriak semakin keras.

“Kalian harus bangun” berkata Mahisa Agni. “Kalian datang tidak untuk membius diri. Tetapi kalian datang dengan keyakinan.”

Ki Demung dan Ki Perapat memejamkan matanya sejenak. Ternyata bahwa mereka masih berhasil menggapai diri mereka yang hampir terlepas. Namun dalam pada itu, suara Ki Buyut dan suara Mahisa Agni seolah-olah saling berebut tempat. Seolah-olah mereka telah didesak ke arah yang berlawanan berganti-ganti.

Namun akhirnya Ki Demung dan Ki Perapat yang menggapai-gapai itu mendapat pegangan yang teguh, karena di telinga mereka terdengar pertanyaan Mahisa Agni, “Ki Demung dan Ki Perapat, apakah maksud kalian sebenarnya datang kemari?”

Tiba-tiba saja dengan suara lantang Ki Demung yang sedang mencapai pegangan itu ingin memperkuat genggaman batinnya dengan berteriak, “Kami akan menuntut keadilan Ki Buyut, kau sudah menodai kedamaian di Kabuyutan ini. Kami sudah tahu semuanya.”

“Omong kosong” sahut Ki Buyut. Lalu, “Marilah Ki Demung. Kau sudah melangkah ke jalan yang sesat. Dengarlah kata-kataku. Mulailah. Gerakan senjatamu. Kau sudah berhadapan dengan lawan yang ingin membinasakanmu.”

Tetapi terdengar suara Mahisa Agni, “Dengarlah kata nuranimu sendiri. Kau mempunyai sikap dan keyakinan. Katakanlah. Katakanlah.”

Ki Perapat yang juga ingin bertempur lebih kuat lagi itu pun berteriak pula “Jangan mencoba mempengaruhi kami lagi Ki Buyut. Kami tidak akan menundukkan kepala kami dan membiarkan tangan dan kaki kami terikat.”

“Jangan mencoba melepaskan diri dari pengaruh kuasaku. Dengar. Aku adalah pemimpinmu,” desis Ki Buyut, “lihatlah. Lihatlah mataku. Aku berbicara dengan jujur.”

“’Sorot matamu mengandung racun Ki Buyut” sahut Mahisa Agni, “biarlah aku memandang sorot matamu. Pandanglah aku. Cobalah menanamkan pengaruh di hatiku. Kau tidak akan mampu melakukannya karena aku memiliki pegangan yang kokoh. Dan sekarang Ki Demung dan Ki Perapat pun memiliki pegangan yang kokoh pula seperti kami bertiga. Nah, cobalah, pandang aku. Pandang aku Ki Buyut.”

Ki Buyut menggeram. Dipandanginya wajah Mahisa Agni. Kemudian dengan sorot matanya Ki Buyut mencoba menembus dinding perasaan Mahisa Agni untuk menundukkannya. Tetapi Mahisa Agni yang memiliki perbendaharaan pengalaman yang hampir lengkap itu sama sekali tidak dapat ditundukkannya, bahkan pada saat yang demikian Witantra dan Mahisa Bungalan telah menyusup di antara orang-orang padukuhan itu sambil berdesis membangunkan mereka dari cengkaman ilmu Ki Buyut.

Di saat Ki Buyut memusatkan ilmunya untuk menundukkan Mahisa Agni, maka Ki Demung dan Ki Perapat telah benar-benar memiliki kesadarannya sepenuhnya. Karena itu maka ia pun telah berkata kepada pengikutnya, “jangan biarkan diri kita terbius oleh ilmunya. Jangan tatap matanya, tetapi pandang senjatanya.”

Para pengikut Ki Demung dan Ki Perapat pun mulai menyadari diri mereka masing-masing. Mereka mulai menyadari apa yang terjadi, sementara Witantra berdesis, “Bukankah kalian ingat, bahwa kita semuanya telah dimasukkan ke dalam bilik tertutup dan kemudian kita akan diadu domba sekarang ini?”

Ternyata usaha Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan itu berhasil. Ki Buyut yang merasa gagal itu menjadi gelisah. Namun dalam pada itu, Ki Jagabaya lah yang. mendekatinya sambil berkata, “Jangan cemas Ki Buyut. Jika cara yang Ki Buyut pergunakan itu gagal, maka kita akan memakai cara terakhir. Apa boleh buat. Kita akan membunuh mereka seorang demi seorang.

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Sementara terdengar Ki Jagabaya berteriak, “Jangan seorang pun keluar dari regol ini. Tutup semua pintu regol. Regol depan, dan semua regol butulan.”

Perintah itu telah menggerakkan orang-orang Ki Buyut dan para pengawalnya. mengepung orang-orang yang telah mulai sadar akan diri mereka sendiri. Dua orang setelah menyelarak regol telah maju pula mendekat.

“Nah” berkata Ki Jagabaya, “sekarang akulah yang akan berbicara. Caraku lain dengan cara yang ditempuh oleh Ki Buyut yang nampaknya dapat digagalkan oleh orang asing itu. Tetapi dengan caraku, tidak ada seorang pun yang akan dapat menggagalkannya meskipun kalian sudah bersenjata.”

Ki Demung lah yang menyahut, “Ki Jagabaya. Kenapa kau langsung menganggap kami adalah musuh yang harus dibinasakan. Kalian masih belum bertanya, kenapa kami datang kemari dan apakah yang sebenarnya kami kehendaki. Jika kalian tadi mendengar jawaban-jawaban kami maka yang kami katakan itu adalah diluar kesadaran kami."

“Tidak perlu” berkata Ki Jagabaya, “kalian datang dengan senjata di tangan. Itu sudah merupakan satu bukti bahwa kalian akan menentang kekuasaan yang sah di Kabuyutan ini.”

“Kalian terlalu berprasangka” berkata Ki Perapat, “kami sebenarnya ingin berbicara dengan baik”.

“Itu tidak perlu” berkata Ki Jagabaya, “demi ketenangan di kabuyutan ini, maka kalian harus tunduk kepada perintah kami. Menyerah atau kami binasakan.”

Ki Demung dan Ki Perapat menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat berbicara lebih .banyak lagi. Karena itu, maka mereka segera mempersiapkan diri, untuk melakukan perlawanan apabila benar Ki Jagabaya akan menangkap dan membunuh mereka.

Ki Buyut yang merasa bahwa usahanya untuk mempengaruhi orang-orang itu tidak berhasil, maka ia telah menyesuaikan diri dengan perkembangan berikutnya. Ia sadar, bahwa orang-orang yang berada di halaman itu mengerti, sumber pengaruhnya adalah pada tatapan matanya, Karena itu, maka orang-orang itu sudah menghindar dan tidak lagi berusaha memandang matanya. Karena itulah maka katanya kemudian, “Baiklah. Aku ulangi pertanyaan Ki Jagabaya. Menyerah atau binasa.”

“Kami tidak akan menyerah” jawab Ki Demung, “kami sudah bertekad untuk menyatakan sikap kami. Tetapi sebelum kami berbicara dengan baik, kalian sudah memperlakukan kami sebagai perampok-perampok. Dan bahkan sebaliknya, kalian memperlakukannya pemimpin perampok itu seperti keluarga sendiri.”

Wajah Ki Buyut menjadi merah. Ia sadar, bahwa pemimpin perampok yang telah tertangkap kembali itu tentu sudah berbicara banyak. Karena itu, maka ia tidak mau menunda lebih lama lagi. Sekejap kemudian jatuhlah perintah Ki Buyut, “Jangan menunggu mereka berkicau lagi. Tangkap mereka hidup atau mati. Kepada yang menyerah, aku akan memberikan pengampunan. Tetapi bagi yang melawan akan aku binasakan.”

Ki Jagabaya menanggapi perintah itu dengan sikap yang pasti. Dengan suara lantang ia bertanya, “Yang manakah yang disebut orang-orang berilmu tinggi? Jika mereka adalah ketiga orang yang mampu membebaskan diri dari pengaruh kuasa Ki Buyut, maka biarlah aku melawan mereka bertiga.”

Ki Demung, Ki Perapat dan orang-orangnya yang sudah bebas sama sekali dari pengaruh sorot mata Ki Buyut itu pun segera bersiap. Namun mereka pun menyadari bahwa di seputar mereka terdapat bahaya yang sama gawatnya seperti mata Ki Buyut. Beberapa orang bersenjata telah mulai bergerak memperkecil lingkaran kepungan mereka.

“Kita menghadap ke segala arah” perintah Ki Demung, “mereka tidak dapat lagi diajak berbicara. Karena itu, biarlah senjata kita yang berbicara. Seandainya kita tidak kembali, dan bahkan tidak keluar dari halaman ini, maka orang-orang yang mengetahui bahwa kita memasuki halaman rumah ini akan mengetahui bahwa kita sudah mencoba berbuat sesuatu. Berbuat sesuatu atas keadaan Kabuyutan kita yang tidak sewajarnya ini.”

“Persetan” geram Ki Jagabaya, “jangan banyak bicara. Sebentar lagi kau akan mati.”

“Justru karena itu” jawab Ki Demung, “sebelum aku mati. Selagi aku masih sempat, maka aku akan berbicara apa saja yang ingin aku bicarakan.”

Ki Jagabaya menggeram. Katanya, “Bunuh orang itu lebih dahulu.”

Seorang bebahu pengikut Ki Buyut pun telah meloncat menyerang Ki Demung. Namun Ki Demung sudah siap menghadapinya, sehingga dengan sigapnya pula ia telah menangkis serangan itu.

Demikian, maka pertempuran itu pun telah pecah. Ternyata bahwa para pengikut Ki Buyut jumlahnya memang lebih banyak, sehingga karena itu, maka Ki Demung dan orang-orangnya memang menjadi agak cemas, Sementara itu, Ki Jagabaya yang terlalu yakin akan kemampuannya sekali lagi menantang,

“He, orang-orang asing yang telah menyalakan api pertentangan di kalangan orang-orang Kabuyutan ini. Lawanlah aku. Kalian bertiga tidak akan mampu berbuat apa-apa di hadapanku, meskipun orang-orang mengira bahwa kalian memiliki ilmu yang tinggi, sehingga kalian dapat membantu menangkap para perampok itu.”

Mahisa Agni, Witantra dan terutama Mahisa Bungalan menjadi panas. Hampir saja Mahisa Bungalan kehilangan pengendalian dirinya. Namun Mahisa Agni menggamitnya sambil berkata, “Marilah, mumpung pertempuran ini belum membakar seisi halaman. Kita beri pelajaran sedikit Ki Jagabaya yang sangat sombong itu.”

Mahisa Bungalan tidak segera menangkap maksud Mahisa Agni, namun ketika ia melihat Mahisa Agni dan Witantra bersama-sama mendekati Ki Jagabaya, maka mulailah Mahisa Bungalan mengetahui maksudnya. Karena itu, maka ia pun mengikutinya pula mendekati Ki Jagabaya yang telah menantang mereka bertiga.

“Kami bertiga siap menghadapi Ki Jagabaya” berkata Mahisa Agni.

“Bagus” teriak Ki Jagabaya yang ternyata bersenjata bindi, yang diberi gelang-gelang besi bergerigi, “Marilah Siapa yang ingin mati lebih dahulu.”

Ki Demung dan Ki Perapat menjadi berdebar-debar. Ternyata ketiga orang yang diharapkan akan dapat membantu mereka itu telah bertempur bersama hanya menghadapi seorang saja. Ki Jagabaya. Jika kemudian Ki Buyut pun turun ke arena, maka keadaan mereka tentu akan bertambah sulit pula.

Tetapi semuanya itu memang sudah diperhitungkan. Bahkan mereka pun sudah sampai pada pertimbangan, bahwa mereka tidak- akan dapat keluar lagi dari halaman rumah Ki Buyut. Sehingga mereka telah menganjurkan kepada orang-orang yang mempunyai kepentingan khusus untuk tidak ikut serta bersama mereka.

Ki Jagabaya yang bersenjata bindi itu pun kemudian telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu, Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan masing-masing bersenjata pedang.

Mahisa Agni lah yang mula-mula memancing serangan Ki Jagabaya dengan menjulurkan pedangnya. Namun dengan tangkasnya Ki Jagabaya telah bergeser menghindar. Namun pada saat yang pendek, Witantra lah yang menggerakkan pedangnya menyerang Ki Jagabaya. Namun serangan itu pun mampu dihindarinya pula. Tetapi demikian kakinya berjejak di tanah, pedang Mahisa Bungalan menyambar kakinya, sehingga ia pun harus meloncat lagi dengan tangkasnya.

Tetapi Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan telah dengan sengaja mempermainkan Ki Jagabaya, sehingga serangan mereka telah datang beruntun tanpa dapat dicegah lagi.

Ki Buyut yang sudah hampir turun ke arena melihat, betapa Ki Jagabaya hampir kehabisan akal. Serangan-serangan itu tidak melukainya. Namun hampir tidak dapat dihindari. Dalam kemarahan yang memuncak, maka Ki Jagabaya pun telah mengayunkan bindinya yang berat. Tetapi ayunan2 bindi-ayunan itu pun hanya menambah keringatnya yang sudah membasahi seluruh tubuhnya.

Kemarahan Ki Jagabaya itu pun memuncak ketika ujung senjata ketiga orang itu mulai menyentuhnya. Sedikit sekali. Hanya seujung duri dan bahkan hanya goresan-goresan kecil. Namun sentuhan-sentuhan itu ternyata telah memerah oleh darah yang mengembun.

“Gila” Ki Buyut lah yang menggeram di dalam hatinya, ia melihat pertempuran telah berkobar, sementara ia terpukau melihat Ki Jagabaya yang menjadi seperti orang gila.

Namun dalam pada itu, Ki Demung, Ki Perapat dan kawan-kawannya pun mulai merasa tekanan yang berat dari lawan-lawan mereka yang jumlahnya memang lebih banyak. Namun Ki Demung dan Ki Perapat sudah bertekad untuk bertempur dengan segenap tenaga dan kemampuan yang, ada. Karena itu, maka keduanya telah mengamuk sejadi-jadinya. Sementara kawan-kawannya pun telah berbuat serupa, meskipun lawan mereka lebih banyak.

Mereka masih merasa beruntung, bahwa tiga orang yang telah berhasil menangkap pemimpin perampok itu bersama mereka. Dengan demikian mereka telah berhasil menahan Ki Jagabaya dan nampaknya Ki Buyut juga tertarik untuk melawan mereka bertiga. Sehingga dua orang yang mewakili kekuatan yang luar biasa itu tidak bergabung dengan orang-orang yang telah bertempur melawan Ki Demung dan kawan-kawannya.

Sebenarnyalah bahwa Ki Buyut pun menjadi sangat marah melihat ketiga orang itu memperlakukan Ki Jagabaya. Karena itu, maka Ki Buyut pun berteriak lantang, “Aku akan membantumu Ki Jagabaya.”

Mahisa Agni mundur selangkah sambil berkata” Jika demikian, maka aku akan bertempur wajar. Bukan sekedar bermain-main melayani keinginan Ki Jagabaya.”

“Apa maksudmu?” bertanya Ki Buyut.

“Seorang lawan seorang.” jawab Mahisa Agni.

“Kau sombong sekali. Kau bertiga tidak mampu mengalahkan Ki Jagabaya.”

Mahisa Agni tertawa. Lalu katanya, “Baiklah, marilah kita mulai dengan satu permainan baru.”

Ki Buyut tidak menjawab lagi. Ia pun langsung meloncat menyerang Mahisa Agni. Ia terlalu yakin, bahwa kemampuannya akan dapat mengalahkan orang yang tidak dikenal sebelumnya di padukuhan itu. Tetapi serangannya sama sekali tidak menyentuh Mahisa Agni. Dengan sigapnya Mahisa Agni meloncat menghindar. Namun Ki Buyut itu pun memburunya. Kemanapun Mahisa Agni menghindar, Ki Buyut selalu memburunya.

Dengan demikian, akhirnya keduanya telah bertempur di tempat yang terpisah. Mahisa Agni sengaja telah memancingnya sehingga ia akan dapat berhadapan dengan Ki Buyut yang memiliki pengaruh pada sorot matanya itu.

Sementara itu, Witantra pun telah mengambil sikap tersendiri menghadapi keadaan itu. Ia melihat bahwa Ki Demung, Ki Perapat dan kawan-kawannya mengalami kesulitan. Karena itu, maka katanya kepada Ki Jagabaya,

“Permainan ini agaknya tidak menyenangkan bagi Ki Jagabaya. Karena itu, cara ini pun akan kita akhiri. Hadapilah lawanmu yang paling muda ini. Aku akan bergabung dengan Ki Demung yang mengalami kesulitan karena jumlah lawannya yang banyak itu.”

“Persetan” geram Ki Jagabaya. Bindinya terayun dengan derasnya. Namun Witantra berhasil menghindarinya. Ia sama sekali tidak menghiraukan lagi Ki Jagabaya, karena -orang itu sudah diserahkannya kepada Mahisa Bungalan.

Ketika Witantra bergeser meninggalkan Ki Jagabaya, orang itu berusaha memburunya. Namun Mahisa Bungalan telah menyerangnya, sehingga langkah Ki Jagabaya pun telah tertegun. Ia harus berusaha menghindari serangan Mahisa Bungalan.

Dengan demikian maka Witantra telah terlepas daripadanya. Dengan seksama ia pun memperhatikan medan yang menjadi riuh oleh pertempuran yang terjadi antara para pengikut Ki Buyut melawan para pengikut Ki Demung.

Sekilas Witantra tidak dapat mengenali mereka dengan cepat. Namun akhirnya ia dapat melihat orang-orang yang datang bersamanya di halaman itu. Dengan demikian, maka ia pun berhasil membedakan, yang manakah lawan dan yang manakah kawan.

Sejenak kemudian Witantra telah melibatkan diri ke dalam pertempuran itu. Sebenarnya ia tidak perlu mencari lawan, karena lawan itu telah datang sendiri. Sebelum ia menyerang siapapun juga, maka seseorang telah menyerangnya dengan canggah yang terjulur lurus mengarah ke leher.

“Senjata yang berbahaya” desis Witantra.

Untuk sesaat Witantra masih tetap berdiam diri, sehingga orang yang menyerangnya itu merasa. bahwa lawannya itu akan mampu menghindar. Lehernya akan terjepit oleh dua mata canggah yang tajam dan bahkan leher itu akan tergores di kedua sisi.

Tetapi dugaan itu ternyata keliru. Witantra menghindar tepat pada saatnya. Ia sengaja berbuat demikian sambil menyilangkan sebelah kakinya. Karena itu, terdorong oleh kekuatan sendiri, sementara kakinya terantuk kaki lawan, maka orang itu telah jatuh terjerembab.

Tetapi yang tidak terduga oleh Witantra, bahwa dalam keadaan yang demikian, seorang pengikut Ki Demung telah menginjak kepala orang itu. Tetapi ketika orang itu mengangkat pedang dan siap untuk menusuk punggung, Witantra mencegahnya, “Jangan kau bunuh orang itu. Ia masih kadang sendiri.”

Orang itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia mengurungkan niatnya untuk membunuh, meskipun kakinya yang menginjak kepala itu justru dihentakkannya, sehingga wajah orang itu seakan akan telah menghunjam ke dalam tanah.

Orang yang menginjakkan kakinya itu tidak dapat bertahan terlalu lama, karena orang-orang lain yang saling menyerang dan menghindar. Namun Witantra masih sempat mengangkat orang itu dan meletakkannya di pinggir halaman. Hidung orang itu ternyata telah berdarah, sementara senjatanya tertinggal di arena.

Pertempuran selanjutnya, sangat menggelisahkan para pengikut Ki Buyut. Namun demikian ketika di kedua belah pihak, senjata sudah mulai menyentuh kulit, maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit.

Dalam pada itu, Ki Buyut yang marah itu pun telah berusaha untuk segera menguasai lawannya. Ia sadar, bahwa pengaruh matanya tidak dapat menundukkan orang yang menempatkan dirinya sebagai lawannya itu. Karena itu, maka senjatanyalah yang kemudian akan menjinakkannya. Sejenak kemudian, Ki Buyut pun telah mengerahkan kemampuannya. Ia ingin dengan cepat menundukkan lawan nya yang dianggapnya telah sombong itu.

Namun dalam pada itu, Mahisa Agni lah yang justru berkata kepada Ki Buyut sambil menghindari serangan-serangan nya, “Ki Buyut. Sebaiknya kau hentikan tingkahmu yang sesat itu. Jika kau menyerah dan datang sendiri ke tempat Sang Akuwu dengan segala penyesalan, mungkin kau tidak akan mendapat hukuman terlalu berat. Bahkan mungkin dengan persetujuan orang-orang Kabuyutan ini, kau masih akan dapat diterima kembali. Namun, jika kami terpaksa memaksamu menyerah dan menghadap Akuwu, maka kesannya akan berbeda.”

“Persetan” geram Ki Buyut, “sebentar lagi kau akan mati. Mayatmu akan ditanam di halaman ini tanpa pertanda apapun juga. Demikian juga semua orang yang datang bersamamu. Dengan demikian akan lenyaplah segala keterangan tentang kalian.”

“Jangan mempermudah persoalan” jawab Mahisa Agni, “banyak orang yang mengetahui bahwa kami datang menghadap Ki Buyut. Jika kami tidak keluar dari halaman ini, mereka tentu akan mempersoalkannya.”

“Mudah sekali” berkata Ki Buyut, “mereka akan segera jatuh di bawah pengaruhku. Jika aku gagal, aku dapat mengancam mereka agar mereka tidak mengatakan sesuatu tentang kalian yang memasuki halaman ini dan tidak pernah keluar lagi. Aku akan dapat menakut-nakuti mereka dengan membunuh satu atau dua orang dan mengatakan kepada mereka, bahwa orang-orang itu telah berusaha berkhianat. Dengan demikian maka orang-orang lain pun akan menjadi ketakutan."

“Kau korbankan dua orang yang tidak bersalah?” bertanya Mahisa Agni.“

“Apa boleh buat” jawab Ki Buyut, “memang kebohongan yang pertama harus ditutup dengan kebohongan-kebohongan berikutnya. Kebohongan yang setengah-tengah dan ragu-ragu, akan segera dapat diketahui orang. Tetapi kebohongan yang mantap dan tegas, justru tidak akan menimbulkan kecurigaan orang lain."

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sambil menangkis serangan Ki Buyut itu masih sempat berkata, “Kau mendorong aku untuk bertindak lebih jauh.”

“Persetan” geram Ki Buyut sambil menyerang.

Tetapi serangan-serangannya sama sekali tidak mengenai sasaran. Mahisa Agni selalu menghindar dan menangkis serangan Ki Buyut. Namun sikap Ki Buyut yang kasar itu, membuat Mahisa Agni berkeinginan untuk menangkapnya saja dan menyerahkannya kepada Akuwu; karena nampaknya tidak ada lagi jalan yang dapat ditempuh untuk memberi peringatan sekedarnya kepada Ki Buyut.

Dalam pada itu, Ki Jagabaya yang marah telah berusaha membinasakan Mahisa Bungalan. Dengan kekuatan yang besar ia yakin akan dapat mengalahkan lawannya yang muda itu. Namun ternyata ia harus kecewa. Mahisa Bungalan yang masih muda dan kadang-kadang masih dibayangi oleh perasaannya saja, kadang-kadang dengan sengaja tidak mau menghindari serangan Ki Jagabaya. Ia justru berusaha membentur serangan itu dengan menangkisnya.

Dalam benturan- benturan itulah Ki Jagabaya hampir tidak percaya pada kenyataan yang dihadapinya. Anak muda itu ternyata memiliki kekuatan raksasa. Bahkan melampaui kekuatannya. Namun dalam pada itu, rasa-rasanya Ki Jagabaya tidak dapat mengakuinya. Ia justru berpikir, bahwa mungkinkah ia sudah melakukan satu kesalahan sehingga kekuatan lawannya yang muda-muda itu rasa-rasanya tidak dapat diimbanginya. Tetapi, setiap kali kenyataan itu telah terulang. Benturan senjata antara keduanya telah membuat tangan Ki Jagabaya itu merasa-pedih.

“Anak iblis” geramnya, “aku harus berhasil mengalahkannya” berkata Ki Jagabaya dalam hatinya.

Karena itu, maka ia tidak lagi bertumpu pada kekuatannya. Namun ia mencoba dengan kecepatan bergerak. Ia menyerang sambil berloncatan. Kadang-kadang justru menjauh. Namun tiba-tiba kakinya telah terjulur panjang dengan senjata teracung.

Tetapi ia sama sekali tidak berhasil. Lawannya justru dapat bergerak lebih cepat lagi. Mahisa Bungalan selalu dapat memotong serangan-serangannya yang dirasakannya telah dilakukan dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Dengan demikian. maka Ki Jagabaya, orang yang paling terpercaya di samping Ki Buyut sendiri, sama sekali tidak berdaya menghadapi Mahisa Bungalan. Bahkan kadang-kadang rasa-rasanya ia ingin mengumpat sampai ke langit. Anak muda itu seakan-akan hanya sekedar bermain-main saja. Namun dalam pada itu, anak itu telah berhasil melumpuhkannya.

Dibagian lain dari pertempuran itu, Witantra berusaha untuk menguasai arena, sehingga pertempuran itu tidak akan menjadi perang yang mengerikan. Ia berusaha untuk menengahi benturan-benturan yang sudah mendekati pembunuhan. Dalam kesibukan itu, ia masih sempat menyingkirkan beberapa orang yang terluka dan mendesak para pengikut Ki Buyut untuk mundur mendekati pendapa.

“Tidak ada gunanya kalian melawan” berkata Witantra.

Tetapi pertempuran itu berlangsung terus. Bagaimanapun juga, Witantra tidak akan dapat mencegah sama sekali, darah yang mengalir membasahi halaman. Namun dalam pada itu, segera dapat diketahui. bahwa Ki Buyut dan pengikutnya sudah hampir kehilangan kesempatan sama sekali.

Dalam pada itu, agaknya Mahisa Agni lah yang harus bertindak untuk menghentikan pertempuran itu. Ia sudah melihat beberapa orang terluka. Tetapi ia memang menghendaki, agar para pengikut Ki Buyut mengakui kelebihan Ki Demung, Ki Perapat dan para pengikutnya.

Meskipun ada juga para pengikut Ki Demung yang terluka, tetapi ternyata bahwa hadirnya Witantra di pertempuran itu, ia dapat mengatur, sehingga kekuatan Ki Demung dan pengikut-pengikutnya nampak jauh lebih tinggi dari para pengikut Ki Buyut.

Dalam pada itu, setelah Mahisa Agni menganggap cukup tekanan dan kegelisahan bagi para pengikut Ki Buyut, mulailah ia dengan lebih bersungguh-sungguh menekan Ki Buyut untuk menyerah.

Tetapi ternyata bahwa Ki Buyut benar-benar memiliki hati yang keras. Ia tidak menghiraukan peringatan-peringatan yang diberikan oleh Mahisa Agni. Bahkan setiap kesempatan yang diberikan oleh Mahisa Agni, dirasanya sebagai satu kelemahan. Karena itu, maka Ki Buyut justru bertempur lebih keras lagi.

Namun, akhirnya Mahisa Agni menganggap perlu segera mengakhiri pertempuran. Jika Ki Buyut sudah tidak berdaya, maka para pengikutnya yang telah merasa betapa beratnya tekanan lawannya, akan segera menyerah pula.

Demikianlah, maka Ki Buyut yang mengerahkan segenap kemampuannya, tiba-tiba merasa, serangan Mahisa Agni datang lebih seru. Sejenak ia masih dapat menilai kemampuan lawannya. Namun akhirnya Ki Buyut benar-benar menjadi bingung. Ia tidak mengerti, bagaimana mungkin senjata telah terlepas dari tangannya. Ketika ia berusaha untuk memungutnya, maka terasa sentuhan ujung pedang Mahisa Agni di lambungnya.

“Jangan Ki Buyut. Biarlah senjata itu terletak di situ” berkata Mahisa Agni.

Sejenak Ki Buyut tertegun. Namun tiba-tiba saja ia meloncat memungut senjatanya sambil berkata, “Jika kau ingin membunuh, bunuhlah aku.”

Namun, justru karena itu, Mahisa Agni tidak menekan ujung pedangnya sehingga menghunjam ke lambung. Ki Buyut yang agaknya justru ingin membunuh diri itu. Dibiarkannya Ki Buyut bersiap untuk menghadapinya lagi.

“Kenapa kau tidak membunuhku ketika aku memungut senjataku?” bertanya Ki Buyut.

Tetapi Mahisa Agni justru tertawa: Katanya, “Aku tidak mau melihat kau membunuh diri dengan cara demikian.”

“Persetan” geram Ki Buyut.

“Nah, setelah senjatamu berada di tanganmu lagi, kau mau apa?” bertanya Mahisa Agni.

Ki Buyut memandang wajah Mahisa Agni sejenak. Kemarahan yang tidak tertahankan telah membakar. jantungnya. Karena itu, maka ia pun segera meloncat menyerang dengan garangnya.

Mahisa Agni melangkah surut. Ketika senjata lawannya menebas mendatar, ia menghindar. Namun Ki Buyut tidak mau melepaskannya. Ia pun telah memburu dengan mengacukan senjatanya. Namun tiba-tiba saja terasa senjatanya bagaikan berputar ditangannya, Sehingga senjata itu tiba-tiba saja telah terlempar.

“Gila” geram Ki Buyut.

Namun seperti yang terdahulu, Ki Buyut tidak menghiraukan apapun lagi. Ia sama sekali tidak menghiraukan ancaman senjata Mahisa Agni. Karena itu, maka dengan serta merta, maka ia pun meloncat memungut senjatanya kembali. Mahisa Agni pun membiarkannya. Namun ketika dengan senjata itu Ki Buyut menyerangnya sekali lagi, maka senjatanya telah terlepas pula dari tangannya.

“Setan. Anak iblis” geram Ki Buyut.

Sementara Mahisa Agni tersenyum sambil berkata, “Apakah kau akan mengambil senjatamu lagi? Silahkan Ki Buyut. Aku tidak akan mengancammu lagi."

Ki Buyut benar-benar dibakar oleh kemarahan yang tidak ada taranya. Sekali lagi ia memungut senjatanya. Dan sekali lagi ia menyerang Mahisa Agni. Tetapi yang terjadi itu telah terulang, dan terulang lagi. Karena itu, akhirnya Ki Buyut itu menjadi putus asa. Ia sama sekali tidak dapat berbuat apapun juga. Mahisa Agni itu ternyata benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang tiada taranya, sehingga akhirnya Ki Buyut itu pun sadar bahwa Mahisa Agni memang bukan lawannya.

Dengan demikian ketika senjatanya sekali lagi terlepas, maka ia pun tidak berusaha untuk memungutnya lagi. Sambil berdiri tegak dan menengadahkan dadanya ia berkata, bunuhlah aku ki sanak.”

Tetapi Mahisa Agni menggeleng. Katanya, “Aku bukan seorang pembunuh. Aku hanya ingin menempatkan persoalan ini pada keadaan yang sewajarnya.”

“Apa yang kau maksud dengan keadaan yang sewajarnya itu?” bertanya Ki Buyut.

“Aku tidak akan mengadilimu. Sebaiknya kau menghadap Sang Akuwu. Aku tidak tahu, apa yang akan dilakukan atasmu” berkata Mahisa Agni.

“Persetan. Aku tidak mau. Lebih baik kau bunuh saja aku di sini” geram Ki Buyut.

“Bukan kewajibanku.” jawab Mahisa Agni, lalu, "sekarang aku minta kau menghentikan pertempuran itu. Kau dapat memerintahkan orang-orangmu berhenti melawan."

“Gila. Kenapa bukan orang-orang Ki Demung yang diperintahkan untuk berhenti bertempur.” geram Ki Buyut.

“Mereka akan berhenti jika orang-orang berhenti melawan” sahut Mahisa Agni.

“Tidak. Aku tidak mau memerintahkan mereka berhenti bertempur. Biarlah orang-orang Ki Demung habis terbunuh” jawab Ki Buyut.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kekerasan hati memancar di wajah Ki Buyut. Agaknya ia sama sekali tidak ingin berbuat sesuatu yang akan dapat membantu mempercepat penyelesaian pertempuran itu. Oleh karena itu maka Mahisa Agni pun menjawab, “Ki Buyut. Apa bila kau tidak mau memerintahkan orang-orangmu untuk berhenti bertempur, maka yang akan habis bukannya para pengikut Ki Demung dan Ki Perapat. Tetapi yang akan habis adalah pengikut-pengikutmu: Bebahu-bebahu yang kau angkat. yang sebenarnya bukan haknya.”

“Persetan. Bunuhlah semuanya. Aku tidak peduli.” jawab Ki Buyut, “kau dapat membunuh aku juga jika semuanya sudah terbunuh.”

Mahisa Agni menjadi termangu-mangu. Nampaknya Ki Buyut memang sulit untuk mengerti. Karena itu, maka Mahisa Agni itu pun berkata, “Baiklah Ki Buyut. Jika demikian, kita akan membiarkan pertempuran itu berlangsung. Biarlah di antara mereka mati sebanyak-banyaknya. Dan kematian itu nanti akan menjadi, pertimbangan Akuwu, betapa dahsyatnya pertempuran yang terjadi. Dan segala tanggung jawab akan dibebankan kepada Ki Buyut.”

“Persetan” jawab Ki Buyut, “aku sudah mati jika Akuwu itu mendapat laporan apa yang terjadi di Kabuyutan ini.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Tetapi ia menyadari, bahwa hal itu akan dapat terjadi. Ki Buyut itu mungkin sekali akan membunuh dirinya tanpa menghiraukan apapun yang dapat terjadi. Karena itu, maka Mahisa Agni harus mengambil sikap. Sebelum hal itu terjadi.

Adalah di luar dugaan Ki Buyut, bahwa tiba-tiba saja Mahisa Agni telah meloncat menggapainya. Dengan tangan sebelah, Mahisa, Agni telah menerkam tengkuk Ki Buyut. Satu hentakkan telah menekan urat di pangkal leher Ki Buyut.

Ki Buyut tidak tahu apa yang telah terjadi atas dirinya. Tetapi tiba-tiba saja ia merasa tubuhnya bagaikan lumpuh. Meskipun ia tidak tertidur, namun rasa-rasanya ia tidak dapat berbuat sesuatu. Bahkan berdiri pun ia tidak sanggup lagi. Mahisa Agni lah yang kemudian menolong memapahnya dan kemudian meletakkannya di pendapa, duduk sambil bersandar tiang.

“Ki Buyut” desis Mahisa Agni, “aku dapat membuatmu tidur dan tidak menyadari apa yang terjadi dengan satu pijitan yang lain. Tetapi aku pun dapat membuat urat-uratmu tidak bekerja sehingga kau seakan akan menjadi lumpuh. Duduklah, dan jagalah agar kau tidak terjatuh. Jika kau tidak berusaha untuk banyak bergerak, maka kau akan dapat bertahan duduk untuk beberapa lama.”

“Persetan. Licik” geram Ki Buyut.

“Jangan mengumpat begitu. Lebih baik.kau memerintahkan orang-orangmu berhenti bertempur sebelum korban akan jatuh lebih banyak lagi.” sahut Mahisa Agni. Lalu, “Semakin banyak korban yang jatuh, semakin berat tanggung jawabmu.”

“Kau yang harus bertanggung jawab” geram Ki Buyut.

“Aku akan pergi sebelum Akuwu datang. Ki Demung dan Ki Perapat lah yang akan menemui Akuwu, atau akan membawa kalian menghadapinya, jika Akuwu menghendaki. Ki Demung lah yang akan menjawab semua pertanyaan Akuwu tentang kalian dan tentang apa saja yang telah kalian lakukan di sini. Terakhir adalah usahamu melepaskan pemimpin perampok itu. Adalah tidak masuk akal jika seorang Buyut melepaskan seorang pemimpin perampok yang telah merampok di salah satu padukuhan yang terletak di dalam lingkungan Kabuyutannya.”

“Persetan. Aku tidak peduli” geram Ki Buyut.

“Baiklah. Dan perhatikan pertempuran itu. Kau lihat, bagaimana anak muda itu bermain main dengan Ki Jagabaya?” bertanya Mahisa Agni.

Ki Buyut tidak menjawab. Tetapi ia pun sempat memperhatikan apa yang terjadi dengan Ki Jagabaya. Agaknya Mahisa Bungalan dengan sengaja ingin menunjukkan kepada Ki Jagabaya bahwa kesombongannya sama sekali tidak seimbang dengan kemampuannya. Karena itu, maka setiap kali ujung senjata Mahisa Bungalan telah menyentuh kulitnya. Meskipun ujung senjata itu tidak mengoyak kulitnya itu, namun sentuhan itu telah meninggalkan luka betapa tipisnya, sehingga darah pun telah mengembun di luka itu.

Mahisa Bungalan yang masih muda itu, ternyata mampu menahan diri, justru setelah ia melihat keadaan lawannya. Meskipun kesombongan masih. nampak pada sikap dan kata-katanya, tetapi Ki Jagabaya tidak dapat mengelakkan kenyataan, bahwa tubuhnya telah berdarah di beberapa tempat. Lengannya, pundaknya, dadanya dan bahkan punggungnya.

“Menyerahlah” geram Mahisa Bungalan, “lihatlah, Ki Buyut sudah duduk di pendapa. Justru beristirahat dengan tenangnya melihat kau yang semakin banyak menitikkan darah. Kenapa kau tidak berhenti bertempur, menyerah dan beristirahat?”

Ki Jagabaya menggeram. Ia menghentakkan kemampuannya menyerang Mahisa Bungalan. Namun justru senjata anak muda itulah yang menyentuh lambungnya. Segores kecil. Tetapi menyakitkan. Bukan sakit pada luka itu. Tetapi justru sakit di hati Ki Jagabaya: yang sombong itu.

Sementara itu, Witantra lah yang masih sibuk bersama para pengikut Ki Demung. Setiap kali Witantra berusaha untuk menahan agar tidak terjadi pembunuhan-pembunuhan yang tidak perlu. Sementara ia pun sebenarnya menunggu sikap Ki Buyut dan Ki Jagabaya.

“Cepatlah bersikap Ki Buyut” berkata Mahisa Agni.

“Aku tidak peduli” jawab Ki Buyut.

“Baiklah” berkata Mahisa Agni, “aku akan turun ke arena. Ki Jagabaya dan orang-orangmu akan mati di sini. Sementara itu kau akan tetap hidup. Jika Akuwu tidak dapat datang, maka kau dalam keadaanmu akan dibawa menghadap untuk menerima hukuman yang akan kau jalani dalam keadaanmu sekarang. Tidak seorang pun yang akan dapat mengobati lumpuhmu jika bukan aku sendiri.”

Wajah Ki Buyut menjadi tegang. Tetapi ia masih tetap tidak berdaya untuk berbuat sesuatu. Seakan-akan seluruh tubuhnya memang sudah lumpuh.

“Pikirkanlah” berkata Mahisa Agni, “selebihnya kau harus mengetahui bahwa pada suatu saat kesabaranku akan sampai ke batas. Dan aku akan berbuat sesuatu yang tidak pernah kau duga sebelumnya. Terhadapmu dan juga terhadap orang-orangmu.”

Ki Buyut masih tetap berdiam diri. Sementara Mahisa Agni berkata selanjutnya, “Kau lihat orangmu yang paling kau percaya. Ia tidak berdaya sama sekali menghadapi anak muda itu. Lihatlah dengan seksama. Apakah kau kira anak muda itu benar-benar bertempur. Bukankah ia sedang bermain main? Seperti juga saudaraku yang seorang itu. Ia berada di antara mereka yang bertempur itu sekedar untuk melerai kekerasan-kekerasan yang tidak perlu. Tetapi jika sikapnya berubah, dapat kau bayangkan, apa yang akan terjadi.”

“Aku tidak peduli” Ki Buyut hampir berteriak.

“Baik” Mahisa Agni pun hampir berteriak. Lalu katanya kepada Mahisa Bungalan, “Mahisa Bungalan. Bawa lawanmu kemari dalam keadaan yang tidak diinginkannya sama sekali. Biarlah ia menjadi lumpuh dan tidak dapat berbuat apa-apa. Kemudian kita bertiga akan mengambil sikap terhadap orang-orang padukuhan ini.”

Perintah Mahisa Agni itu ternyata telah menggetarkan hati Ki Buyut yang semula telah membatu itu. Ketika Mahisa Bungalan kemudian mendesak Ki Jagabaya dan dengan putaran senjatanya anak muda itu berhasil melemparkan senjata Ki Jagabaya, maka tiba-tiba Ki Buyut pun berdesis perlahan, “Baiklah. Kami menyerah.”

“Bagus” sahut Mahisa Agni, “perintahkan kepada orang-orangmu sebelum mereka tertumpas habis dan semuanya itu akan menjadi tanggung jawabmu.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ketika melihat Mahisa Bungalan mengancam Ki Jagabaya dengan senjatanya, maka ia pun kemudian berkata, “Kita menyerah.”

Ki Jagabaya berpaling. Tetapi ia pun tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Sakit hatinya bagaikan meretakkan tulang-tulang di dadanya. Namun ia tidak dapat ingkar dari kenyataan yang dihadapinya. Bahwa orang-orang yang datang bersama Ki Demung telah memenangkan pertempuran itu. Kemampuan pengaruh sorot mata Ki Buyut tidak lagi dapat menguasai kesadaran pribadi mereka, sementara kepercayaan mereka terhadap senjata mereka pun hampir tidak berarti sama sekali. Meskipun jumlah mereka lebih banyak, tetapi Ki Demung dan orang-orangnya benar-benar telah berhasil menguasai mereka.

Dengan demikian, maka Ki Buyut dan orang-orangnya itu pun telah menyatakan menyerahkan diri. Mereka kemudian berkumpul di pendapa, sementara senjata mereka telah dikumpulkan pula. Mahisa Agni telah membebaskan Ki Buyut dari kelumpuhannya, meskipun ia masih harus mengawasinya, karena dalam keadaan tertentu, jika para pengikut Ki Demung lengah, pengaruh sorot mata Ki Buyut akan dapat menguasai mereka kembali.

Namun dalam pada itu, ternyata pertempuran itu telah mengakibatkan beberapa orang terluka. Bahkan ada beberapa di antara mereka yang menjadi parah. Dengan obat-obatan yang ada, Witantra telah berusaha menolong mereka, sehingga penderitaan mereka menjadi agak ringan.

Sementara Mahisa Agni berkata, “Hari ini kalian harus memanggil seorang tabib yang paling pandai di daerah ini, sehingga ia akan dapat mengobati mereka yang terluka sebaik-baiknya. Terlebih lebih mereka yang terluka parah dan tidak mampu lagi berbuat sesuatu.”

Sementara itu, Ki Buyut dan Ki Jagabaya duduk dengan kepala tunduk. Mereka seolah-olah sedang mengenang masa-masa lampau mereka. Saat-saat mereka mulai memanjat ke jenjang kekuasaan di Kabuyutan itu. Namun segalanya telah berakhir.

Ada semacam penyesalan menyelinap di hati Ki Buyut. Jika ia puas dengan keberuntungannya, bahwa ia telah berhasil memikat hati anak Ki Buyut tua dan kemudian menggantikannya. Seandainya ia puas dengan kedudukan itu dan kekuasaan yang diperoleh karena kedudukan itu. Tetapi segalanya sudah terjadi. Dan ia tidak akan dapat lari dari tanggung jawab. Apalagi tentang pemimpin perampok yang telah dilepaskannya itu.

Ki Demung lah yang kemudian memberikan beberapa keterangan tentang kehadirannya. Katanya, “Aku tidak sempat mengatakannya saat aku datang. Tetapi aku kira kalian semuanya telah mengetahui, kenapa aku datang bersama beberapa orang bersenjata, justru karena di rumah ini ada beberapa orang bersenjata pula.”

Ki Buyut sama sekali tidak menyahut. Bahkan kepalanya menjadi semakin tunduk. Dalam pada itu, Ki. Demung pun berkata selanjutnya, “Sebenarnya hati kami telah terbakar oleh kemarahan. Jika di sini tidak ada ketiga orang yang telah menolong kami menyelamatkan Kabuyutan ini, maka keadaan kita tentu sudah menjadi terlalu buruk. Tetapi kehadiran mereka telah berhasil membatasi keadaan.”

Ki Buyut hanya menarik nafas dalam-dalam. Dan Ki Demung pun melanjutkan, “Nah, segalanya terserah kepada kebijaksanaan Akuwu. Kami akan menghadap dan melaporkan apa yang telah terjadi di sini.”

Memang tidak ada pilihan lain. Ki Buyut pun tidak dapat mengelak lagi. Ketika ia bersama beberapa orang dipersilahkan masuk ke gandok dan diselarak dari luar, maka Ki Buyut itu pun kemudian duduk di sudut amben sambil berdesah panjang. Tetapi yang terjadi sudah terjadi.

Ki Demung masih minta agar Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan untuk tinggal beberapa saat lagi di Kabuyutan itu sampai segalanya dapat diselesaikan dengan Akuwu yang tentu akan mengambil sikap terhadap ,seorang Buyut yang telah berbelok dari jalur jalan yang seharusnya ditempuh.

Ketika semuanya telah dikemasi, maka Ki Demung dan Ki Perapat pun segera berangkat menghadap Akuwu untuk melaporkan apa yang telah terjadi di Kabuyutan mereka. sementara Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan masih tetap berada di kabuyutan itu.

Namun dalam pada itu, sambil menunggu Akuwu maka Mahisa Bungalan telah pergi mengambil pemimpin perampok yang telah tertangkap kembali, sementara orang lain telah berusaha memanggil tabib yang dapat menolong orang-orang yang terluka. Bahkan ada di antara mereka yang terluka berat.

Pemimpin perampok yang telah dibawa ke rumah Ki Buyut itu tidak dimasukkan ke dalam ruang yang sama. Tetapi ia dibawa ke ruang yang lain, sementara Mahisa Agni. Witantra dan Mahisa Bungalan dapat bertanya kepada mereka tentang orang yang disebut Rajawali Penakluk.

“Orang itu sudah lama meninggalkan kami” berkata pemimpin perampok itu.

Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan memang tidak dapat memaksa orang itu untuk dapat mengatakan sesuatu tentang Rajawali Penakluk. Mereka percaya bahwa Ki Dukut memang sudah meninggalkan para perampok yang pernah diharapkan akan dapat membantunya. Namun ia selalu mengalami kegagalan. Bahkan bersama orang-orang yang memiliki kemampuan dengan ilmu hitamnya pun, Ki Dukut tidak pernah dapat berhasil.

Karena itu, maka Mahisa Agni, Witantra-dan Mahisa Bungalan pun tidak memaksanya untuk berbicara lagi. Dibiarkannya pemimpin perampok itu untuk menunggu, apa yang diperintahkan oleh Akuwu.

Jarak antara padukuhan itu dengan Pakuwon tidak terlalu jauh, meskipun ternyata bahwa Ki Demung dan Ki Perapat tidak segera dapat menghadap dan harus bermalam satu malam.

Tetapi Ki Demung dan Ki Perapat tidak mencemaskan keadaan Kabuyutan mereka, karena di Kabuyutan itu masih ada orang-orang yang sebenarnya memang memiliki kemampuan yang luar biasa. Bahkan sulit untuk digambarkan.

Di Kabuyutan, Mahisa Agni telah mengambil sikap tertentu beberapa orang bebahu yang memang tidak terlibat, telah membantu Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan menguasai keadaan di Kabuyutan itu.

Peristiwa yang terjadi di rumah Ki Buyut itu memang tidak dapat dibatasi di dalam dinding halaman saja. Karena dalam waktu yang singkat berita itu telah menjalar sampai ke seluruh daerah Kabuyutan. Berita yang tidak jelas telah menjalar dari mulut ke mulut. Tetapi berita itu telah berkembang dan berubah sesuai dengan orang-orang yang meneruskan berita itu. Ada yang berpihak kepada Ki Buyut, dan menyiarkan berita, seolah-olah Ki Demung dan Ki Perapat telah merebut kedudukan Ki Buyut dibantu oleh beberapa orang tidak dikenal dan seorang pemimpin perampok yang sakti.

Tetapi orang lain mengatakan, bahwa Ki Buyut telah bersekutu dengan sekelompok perampok untuk merampok orang-orang di Kabuyutannya sendiri, sehingga Ki Demung dan Ki Perapat terpaksa bertindak. Sementara orang lain lagi mengatakan bahwa yang terjadi sebenarnya adalah perebutan kedudukan berdasarkan kepada kecurigaan yang tidak mendasar dan dendam yang sebenarnya sudah berakar sejak nenek moyang Ki Demung dengan keluarga Ki Buyut.

Karena itulah, maka para bebahu yang tidak terlibat pun segera memanggil setiap pemimpin padukuhan ke rumah Ki Buyut. Atas nama Ki Demung mereka memberikan panjelasan, apa yang sebenarnya telah terjadi.

“Jangan membuat tanggapan menurut selera kalian sendiri-sendiri” berkata seorang bebahu yang sudah lanjut usia, “kita harus mendudukkan peristiwa ini pada tempat yang sebenarnya. Ki Buyut harus kalian lihat sesuai dengan apa adanya”

Orang-orang yang memang tidak menyukainya cepat menyesuaikan diri dengan keterangan bebahu itu, sementara yang lain pun kemudian melihat satu kenyataan, bahwa Ki Buyut adalah seorang bekas perampok yang telah memanfaatkan kedudukannya untuk mencari keuntungan. Namun dengan sungguh-sungguh para bebahu berusaha menenangkan keadaan, sehingga akhirnya kegelisahan orang-orang di seluruh Kabuyutan itu pun dapat diredakan.

Namun dalam pada itu, semalam suntuk hampir semua laki-laki di Kabuyutan itu tidak ada yang sempat tidur. Mereka siap untuk berjaga-jaga di seluruh Kabuyutan. Di padukuhan-padukuhan besar dan kecil gardu-gardu perondan menjadi penuh. Anak-anak muda berkeliaran di mulut-mulut lorong, di gerbang-gerbang padukuhan dan tikungan- tikungan. Bagaimanapun juga mereka mencemaskan, bahwa ada juga beberapa pihak yang akan memancing keuntungan dalam keadaan yang keruh. Mungkin sekelompok perampok yang lain, mungkin orang-orang yang ingin melihat Ki Buyut bebas atau kemungkinan-kemungkinan yang tidak diketahui lainnya.

Sementara itu, Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan masih tetap berada di rumah Ki Buyut. Mereka menunggu Ki Demung dan Ki Perapat kembali dengan membawa sikap sesuai dengan keputusan Akuwu.

Di pagi harinya, barulah Ki Demung dan Ki Perapat sempat menghadap Akuwu. Mereka mengatakan apa yang telah terjadi di Kabuyutan mereka dan memberikan beberapa keterangan tentang Ki Buyut dan apa yang telah dilakukannya di saat-saat terakhir.

“Apakah kau tidak berbohong?” bertanya Akuwu.

“Ampun Sang Akuwu. Hamba telah mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di Kabuyutan kami” berkata, Ki Demung.

Akuwu yang masih muda itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun memanggil seorang Senapatinya sambil berkata “Bawalah dua orang pengawal. Lihatlah apa apa yang terjadi di Kabuyutan itu. Laporanmu akan menentukan keputusanku”

Ki Demung menarik nafas dalam-dalam. Ternyata masalahnya tidak dapat selesai secepat dugaannya. Namun bahwa Akuwu telah mengirimkan seorang Senapati, tentu akan memberikan gambaran yang sebenarnya.

Demikianlah, maka yang datang ke Kabuyutan itu sama sekali bukan Akuwu sendiri atau memerintahkan orang-orang Kabuyutan itu membawa Ki Buyut menghadap. Tetapi ia masih memerlukan untuk melihat persoalannya lewat seorang Senapatinya.

Namun ternyata Senapati itu telah melakukan tugasnya dengan cermat. Ia telah bertemu dengan Ki Buyut dan para pengikutnya. Berbicara dengan mereka dan berusaha melihat persoalannya dengan sudut pertimbangan seorang Senapati.

Dalam pada itu, Senapati itu masih sempat juga tersenyum sambil berkata kepada Ki Buyut di dalam ruang tertutup, namun yang dapat didengar oleh Mahisa Agni dan beberapa orang lain di luar bilik itu, “Jangan main-main Ki Buyut. Aku tahu, bahwa kau mempunyai kekuatan yang sangat berpengaruh pada tatapan matamu. Tetapi jangan mencoba mempengaruhi aku untuk melepaskanmu, karena dengan demikian akan berarti, bahwa aku akan kau adu dan kau benturkan kepada orang-orang padukuhan ini”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Kepalanyapun kemudian tertunduk lesu. Ia tidak berhasil mempergunakan sorot matanya untuk mempengaruhi Senapati yang memiliki kepribadian yang kuat itu. Karena itu, maka Senapati itupun justru menjadi lebih berhati-hati menghadapinya.

Setelah semua pertanyaan dijawab oleh Ki Buyut yang merasa tidak mampu mengelak lagi, maka Senapati itu pun telah diantar ke ruang yang lain untuk berbicara dengan pemimpin perampok yang telah berada di rumah Ki Buyut itu pula. Dari pemimpin perampok itu, Senapati itu pun mendapat beberapa penjelasan tentang Ki Buyut, dan apa saja yang pernah dilakukannya sebelumnya.

Dengan demikian, maka bahan laporan Senapati itu menjadi lengkap. Ia telah mengetahui apa yang pernah dilakukan oleh Ki Buyut sebelum ia mendapatkan kedudukan itu dan apa pula yang telah dilakukannya di saat-saat terakhir. Karena itu, maka Senapati itu merasa, bahwa tidak ada persoalan lagi yang harus dibicarakannya di Kabuyutan itu, sehingga ia merasa perlu untuk segera minta diri. Tetapi ternyata masih ada yang menarik perhatiannya. Senapati itu melihat, ada tiga orang yang tentu bukan orang dari Kabuyutan itu.

“Kami memang bukan orang-orang Kabuyutan ini” berkata Mahisa Agni.

“Jadi, siapakah kalian dan apakah kepentingan kalian di daerah ini?” bertanya Senapati itu kepada Mahisa Agni.

“Kami adalah pengembara. Kami mengembara dari satu tempat ke tempat lain sekedar untuk melihat-lihat keadaan” jawab Mahisa Agni.

Tetapi kalian tentu mempunyai tujuan. Di Kabuyutan ini kalian telah membantu membuka satu persoalan yang sangat menarik. Namun apakah kalian berbuat seperti ini pula di tempat yang lain? Atau kalian hanya sekedar ingin melihat satu perubahan terjadi di satu tempat?” bertanya Senapati itu.

“Tidak Ki Sanak” jawab Mahisa Agni “kami tidak pernah berbuat sesuatu jika kami tidak disentuh oleh satu peristiwa yang menurut penilaian kami kurang sewajarnya. Di Kabuyutan ini kami telah dicurigai. Namun justru karena itu, kami dapat menduga, bahwa sesuatu telah terjadi di daerah ini. Ternyata bahwa di daerah ini memang menjadi sasaran perampokan, yang justru telah menyangkut nama Ki Buyut itu sendiri”

Senapati itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja katanya “Kami tidak akan menolak keterangan itu. Meski pun kami dapat mempunyai dugaan yang lain, bahwa kalian adalah orang-orang yang mengembara, yang bertualang dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mendapatkan kepuasan dalam benturan-benturan yang terjadi di tempat-tempat yang kau datangi. Dengan demikian maka kalian akan mendapatkan keuntungan berupa apapun juga, misalnya upah dari mereka yang pernah merasa kau tolong. Dalam hal yang terjadi di Kabuyutan ini, misalnya, kau akan mendapat ucapan terima kasih dari orang-orang di Kabuyutan ini, khususnya dari Ki Demung dan pengikut-pengikutnya”

Witantra telah menggamit Mahisa Bungalan yang bergeser setapak, sehingga anak muda itu telah mengurungkan niatnya untuk menjawab. Yang menjawab adalah Mahisa Agni, “Ki Sanak. Sudahlah. Jangan berprasangka begitu. Sebaiknya kalian selesaikan tugas kalian di Kabuyutan ini. Setelah segalanya selesai, maka kami pun akan meninggalkan tempat ini. Sebenarnyalah bahwa kami tidak mengharapkan apapun juga dari Ki Demung dan semua orang Kabuyutan ini. Kami berbuat seperti yang kami lakukan, semata-mata karena kami merasa bahwa menjadi kewajiban setiap orang untuk saling membantu dalam keadaan yang pahit terutama. Karena pada suatu saat. akupun tentu memerlukan juga bantuan dari pihak yang sekarang masih belum aku kenal”

Senapati itu mengangguk-angguk. Namun katanya, “Baiklah. Tetapi aku minta kalian bersedia bersama kami menghadap Akuwu. Mungkin Akuwu mempunyai beberapa pertanyaan kepadamu dalam hubungan peristiwa di Kabuyutan ini”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Katanya, “Sudahlah Ki Sanak. Jangan memperpanjang persoalan. Kami merasa bahwa tugas kami sudah selesai. Biarlah kami pergi meninggalkan Kabuyutan ini, dan mungkin kami pun akan segera meninggalkan daerah Pakuwon ini. Seperti yang kami katakan, bahwa kami mengembara tanpa tujuan, semata-mata untuk melihat kehidupan mi dalam segala segi dan ujudnya”

Tetapi Senapati itu tersenyum. Katanya, “Memang menarik sekali. Tetapi sulit untuk dipercaya bahwa kalian telah berbuat sesuatu sehingga kalian mempertaruhkan nyawa kalian”

“Sebaiknya Ki Sanak tidak usah menghiraukan kami” jawab Mahisa Agni pula.

Senapati itu mengangguk-angguk. Tetapi wajahnya sama sekali tidak memberikan kesan keterbukaan hatinya. Sehingga dengan demikian maka Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar.

Dalam pada itu, Ki Demung yang merasakan pertolongan Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan, bukan saja karena mereka telah berhasil mengatasi pengaruh Ki Buyut dan orang-orangnya, juga karena mereka telah membantu menangkap pemimpin perampok yang akan dapat menjadi saksi utama dari persoalan yang sedang mereka hadapi di Kabuyutan itu, berusaha untuk memberikan keterangan.

“Sebenarnyalah mereka adalah orang-orang yang telah banyak berjasa dalam masalah ini, sehingga segalanya dapat menjadi jelas”

Senapati itupun mengangguk-angguk pula. Tetapi ia kemudian berkata, “Baiklah. Aku percaya bahwa kalian telah melakukan sesuatu yang menguntungkan di Kabuyutan ini. Mungkin orang-orang Kabuyutan ini pun tidak akan mengatakan bahwa mereka telah memberi kalian upah yang tinggi atas jasa-jasa kalian”

“Tidak” sahut Ki Perapat, “kami tidak memberikan ampun juga kepada mereka. Mereka datang tanpa kami minta dan mereka melakukan segalanya atas kehendak mereka sendiri”

Senapati itu tertawa, “Kalian adalah orang-orang Kabuyutan yang masih diselebungi oleh sifat-sifat kalian yang jujur dan tanpa prasangka apapun juga. Karena itu, kalian justru mudah dikelabui orang yang kemudian kalian anggap sebagai Buyut itu, ternyata telah menipu kalian untuk waktu yang cukup lama. Hal ini dapat terjadi karena kalian menanggapi perubahan keadaan dengan tanpa prasangka apapun juga. Dan nampaknya orang lain telah memanfaatkan sifat kalian itu sebaik-baiknya”

Ki Demung dan Ki Perapat mengerutkan keningnya. Sementara Senapati itu berbicara selanjutnya, “Ki Demung. Kalian dan setiap orang di Kabuyutan ini tentu merasa berhutang budi kepada ketiga orang ini. Dengan demikian perasaan itu akan mengikuti kalian seumur hidup kalian. Jika kalian mengupah seseorang, maka demikian upah kalian serahkan, maka persoalannya sudah selesai. Kalian sudah membeli apa yang kalian terima dari pihak lain. Tetapi dengan berhutang budi, maka kalian akan menjadi sumber pemerasan yang tidak ada kering-keringnya. Pada suatu saat mereka bertiga akan datang dan mengeluh karena sesuatu persoalan. Maka aku yakin bahkan pasti, bahwa kalian akan memberikan pertolongan yang berlebih-lebihan. Di saat lain, mereka akan datang pula dengan cara yang sama, sehingga mereka akan menerima pemberian kalian sebagai balas budi. Tetapi yang akan mereka lakukan adalah berulang-ulang dan bahkan berpuluh-puluh kali. Nah, apakah kira-kira yang akan terjadi di Kabuyutan ini”

Ki Demung dan Ki Perapat tidak menjawab. Tetapi mereka benar-benar memikirkan pendapat Senapati itu. Apalagi, ketika Senapati itu berkata, “Karena itu, sebaiknya orang-orang Kabuyutan ini tidak usah memikirkannya. Kami akan membawa ketiga orang ini menghadap Sang Akuwu”

“Tidak mungkin” tiba-tiba saja Mahisa Bungalan telah menjawab.

Tetapi Witantra menggamitnya sekali lagi sambil berdesis, “Biarlah diselesaikan oleh pamanmu Mahisa Agni”

Dalam pada itu, Senapati itupun berkata, “Biarlah Akuwu mengambil keputusan. Jika kalian memang tidak bersalah, maka kalian tentu akan dilepaskan. Tetapi jika penglihatan batin Akuwu yang tajam melihat, bahwa kalian memang bersalah dan apa lagi terbiasa melakukan pemerasan, maka kalian tentu akan menerima hukumannya. Tidak seorang pun yang dapat lolos dari tangannya. Meskipun Akuwu masih muda. tetapi ia memiliki kelebihan dari kebanyakan orang”

Mahisa Bungalan menjadi tegang. Namun ia masih tetap menahan hati. Seperti Witantra, maka ia pun akan menyerahkan semuanya kepada Mahisa Agni. Dalam pada itu, Mahisa Agni pun berpikir sejenak. Dipandanginya Ki Demung dan Ki Perapat berganti-ganti. Nampaknya mereka telah terpengaruh oleh kata-kata Senapati itu. Sehingga dengan demikian, mereka telah menjadi berprasangka terhadap Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan.

“Ki Sanak” berkata Senapati itu “jangan membantah lagi. Ikutilah kami menghadap Sang Akuwu”

Mahisa Bungalan terkejut ketika ia mendengar Mahisa Agni menjawab, “Baiklah. Kami tidak akan membantah lagi”

Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih atas kesediaan Ki Sanak. Bersiaplah. Kita akan segera berangkat”

Ketika Mahisa Bungalan beringsut, maka Mahisa Agni pun memberi isyarat kepadanya, agar ia tidak menolak. Betapapun beratnya perasaan Mahisa Bungalan, namun akhirnya ia pun terpaksa mengikuti keputusan yang sudah diambil oleh Mahisa Agni dan yang agaknya akan dilakukan pula oleh Witantra mengikuti Senapati itu menghadap Sang Akuwu.

Dengan demikian, maka Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan pun segera bersiap pula. Mereka membenahi kuda-kuda mereka dan diri mereka sendiri. Sementara Ki Demung dan Ki Perapat hanya memandangi mereka bertiga dengan hati yang gelisah dan penuh kebimbangan.

Dalam pada itu Mahisa Agni pun kemudian mendekatinya sambil tersenyum. Katanya, “Jangan gelisahkan kami. Kami sudah berusaha berbuat sebaik-baiknya bagi kalian. Tetapi ternyata yang kami lakukan itu masih harus diusut oleh Akuwu”

Ki Demung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun bergumam, “Percayalah. Akuwu tentu tidak akan menghukum orang yang tidak bersalah”

Mahisa Agni mengangguk. Jawabnya, “Tentu. Kami yakin, bahwa Akuwu akan bijaksana”

Namun dalam pada itu. Mahisa Bungalan menjadi semakin gelisah. Ia tidak mengerti sama sekali, kenapa Mahisa Agni menerima keputusan Senapati yang baginya sama sekali tidak bijaksana. Namun akhirnya, Mahisa Bungalan pun mengerti maksud Mahisa Agni ketika pamannya itu sempat membisikkan sesuatu ditelinganya. Meskipun demikian, ia masih belum dapat menerima sepenuhnya keputusan Mahisa Agni untuk mengikuti Senapati itu menghadap Akuwu.

“Jangan rendahkan wibawa Akuwu dihadapan orang-orang Kabuyutan yang sedang bergejolak itu” berkata Mahisa Agni, “karena itu, biarlah kita mengikutinya. Kita akan dapat memisahkan diri kapan saja kita kehendaki. Senapati dan pengawalnya itu tidak akan dapat mencegah kita lagi. Bahkan kita akan dapat kembali ke Kabuyutan dan minta diri kepada mereka untuk meninggalkan daerah ini”

Witantra mengangguk-angguk, tetapi Mahisa Bungalan hanya menundukkan kepalanya saja. Ia justru ingin menunjukkan kepada orang Kabuyutan, bahwa yang dilakukan oleh Senapati itu kurang adil. Namun demikian, ia tidak mau membantah pamannya, karena bagaimanapun juga Mahisa Agni mempunyai pengaruh yang kuat sekali terhadap dirinya, sebagaimana ayahnya sendiri.

Demikianlah maka ketiga orang itu pun mengikuti Senapati yang ingin membawanya kepada Akuwu. Senapati itu berkuda justru di belakang, sementara seorang pengawalnya berkuda disampingnya, sedangkan pengawalnya yang seorang lagi berkuda di paling depan, di antara oleh Mehisa Agni, Mahisa Bungalan dan Witantra.

“Jangan berbuat sesuatu yang dapat menyulitkan kalian” berkata Senapati itu setiap kali. Dan setiap kali pula Witantra menggamit Mahisa Bungalan apabila ia berpaling dengan wajah yang tegang.

“Kapan kita melepaskan diri dari keadaan yang menjemukan ini paman” desis Mahisa Bungalan.

Witantra tersenyum. Katanya, “Jangan tergesa-gesa. Waktu masih panjang. Perjalanan ini baru saja kita mulai”

“Tentu kita tidak akan menunggu sampai kita memasuki halaman istana Akuwu” gumam Mahisa Bungalan.

“Tentu tidak. Dihadapan kita itu adalah sebuah bulak panjang” berkata Witantra, “jika pamanmu Mahisa Agni setuju, biarlah kita menyimpang di bulak itu”

Di luar sadarnya Mahisa Bungalan telah berpaling. Justru karena itu, maka sikapnya telah menarik perhatian Senapati itu, sehingga ia pun mendekat sambil berkata, “Anak muda, sikapmu membuat aku curiga. Jangan kau anggap bahwa aku adalah sedungu orang-orang Kabuyutan itu, sehingga kau akan dapat berbuat apa saja yang kau kehendaki. Tetapi aku mengemban perintah Sang Akuwu untuk bertindak terhadap siapa pun yang menolak perintahku. Termasuk kalian, karena tidak ada satu sebab pun yang dapat menolong kalian dengan sikap khusus terhadap kalian”

Yang menjawab adalah Witantra, “Kami tidak akan berbuat apa-apa yang barangkali tidak sesuai dengan kehendakmu Ki Sanak. Kami sudah mengikut kalian sesuai dengan perintah kalian”

Tetapi Senapati itu menjawab, “Sikap kawanmu yang muda itu menyinggung perasaan kami. Ia tidak menerima hal ini dengan ikhlas dan penuh pengertian. Nampaknya ia melakukannya dengan terpaksa karena kalian berdua, yang tua-tua, bersedia melakukan perintahku”

“Apapun yang telah dilakukannya, tetapi kami semuanya telah mematuhi perintah kalian” jawab Mahisa Agni pula.

“Ada dua kemungkinan” berkata Senapati itu, “melakukan perintahku dengan ikhlas dan mengerti artinya, atau dibawah pengaruh kekuasaanku sehingga hal itu dilakukan dengan terpaksa”

“Bagi Ki Sanak, tidak ada bedanya, apakah kami mengikut Ki Sanak karena kami mengerti maksud Ki Sanak atau karena kami menghormati kekuasaan yang ada pada Ki Sanak”

“Ada bedanya Ki Sanak” jawab Senapati itu, “jika kalian melakukan dengan pengertian, maka sebenarnya kami tidak usah mengawasi kalian seperti mengawasi tawanan. Tetapi jika kalian melakukan perintahku karena kekuasaanku, maka kami harus mengawasi kalian yang setiap saat mungkin sekali akan melarikan diri. Sikap itu nampak pada anak muda itu. Nampaknya ia melakukan perintahku karena ia takut melihat kuasaku dan kemampuanku mempergunakan kekuasaanku. Karena itu, anak muda itu perlu diawasi. Mungkin saja ia tiba-tiba memacu kudanya dan melarikan diri, sehingga salah seorang dari kami harus mengejarnya. Tetapi jika demikian, maka nasibnya akan menjadi buruk. Ia akan diperlakukan dengan kasar, seperti kami memperlakukan para perampok”

Mahisa Bungalan menggeram. Namun karena mereka sudah memasuki bulak panjang, maka Mahisa Bungalan itu ternyata tidak lagi dapat menahan hatinya, sehingga iapun menjawab, “Jangan terlalu meremehkan kami”

Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Bahkan Mahisa Agni dan Witantra pun telah terkejut. Tetapi kata-kata itu sudah diucapkan oleh Mahisa Bungalan Bahkan katanya kemudian, “Kita sudah berada di bulak panjang”

“Anak muda” berkata Senapati itu dengan nada yang agak keras, “apakah kau mulai akan memberontak?”

“Kau sendirilah yang menggelitik aku untuk melakukan sesuatu” jawab Mahisa Bungalan.

“Diamlah” berkata Senapati itu, “pandanglah ke depan atau tundukkan kepalamu. Jangan membuat aku marah”

“Kau juga jangan membuat aku marah” sahut Mahisa Bungalan.

Pengawal yang berkuda di depan tiba-tiba saja telah berhenti dan memutar kudanya. Wajahnya yang gelap nampak semakin buram. Dengan nada berat ia berkata, “Kau membuat jantungku berdegup semakin cepat. Tetapi aku masih berusaha untuk menahan diri. Tetapi seandainya sekarang juga Senapati memerintahkan, aku akan membungkam mulutmu”

Wajah Mahisa Bungalan pun menjadi marah. Namun dalam pada itu ternyata Mahisa Agni dan Witantra tidak lagi mencegahnya. Kedua orang tua itu telah membiarkan Mahisa Bungalan menjadi marah karena tingkah laku Senapati itu. Sehingga anak muda itupun berkata, “Senapati. Sudah sampai saatnya aku menentukan sikap. Aku tidak mau kau perlakukan seperti ini”

“Gila” geram pengawal yang tangannya menjadi gemetar.

Senapati itu pun menjadi marah pula. Dengan suara bergetar ia berkata, “Apakah kau benar-benar akan memberontak? Mintalah pertimbangan kepada dua orang tua-tua ini”

Namun ternyata jawab Mahisa Agni telah mengejutkan Senapati itu pula, “Ki Sanak. Kau pun telah berbuat melampaui batas kesabarannya. Anak itu sudah menahan hati sejak ia mendengar niatmu untuk membawanya menghadap Akuwu. Akulah yang memaksanya agar ia menuruti perintahmu. Bukan karena kami merasa bahwa kami tidak akan dapat melepaskan diri dari kuasamu, tetapi kami masih menghormati kuasa Akuwu di hadapan orang-orang Kabuyutan yang sedang bergejolak itu. Jika kami menolak perintahmu, maka wibawa Akuwu pun akan tercemar. Karena itu, maka kami telah berusaha membantumu mengangkat wibawa Akuwu lewat seorang Senapatinya. Tetapi ternyata kau salah mengerti. Kau anggap kami terlalu tidak berarti, sehingga seperti yang dikatakan oleh anak muda itu, bahwa kau sudah menggelitiknya untuk mengambil sikap”

Wajah Senapati itu telah membara. Dengan suara lantang ia pun kemudian berkata, “Apakah dengan demikian berarti bahwa kalian bertiga melawan kami setelah kami tidak berada di Kabuyutan itu lagi”

Yang menjawab tegas adalah Mahisa Bungalan “Ya”

Senapati itu tidak menahan diri lagi. Dengan serta merta ia memerintahkan kepada pengawal-pengawalnya, “Tangkap mereka bertiga dan perlakukan mereka sebagai tawanan”

Kedua orang pengawal itupun segera menempatkan dirinya. Mereka masing-masing berada di tempat yang berseberangan. Yang seorang mula-mula berjalan di depan dan yang lain bersama Senapati berada di belakang. Sejenak kemudian kedua orang itu telah berloncatan turun dari kudanya. Agaknya mereka merasa lebih mudah bertindak atas ketiga orang yang dianggapnya akan memberontak itu.

Sikap Senapati itu benar-benar telah menyakitkan hati Mahisa Bungalan. Ia sama sekali tidak berbuat apa-apa. Ia hanya memerintahkan kedua orang pengawalnya untuk menangkap mereka bertiga. Karena itu, maka Mahisa Bungalan yang muda itu pun kemudian berkata lantang, “Paman. Silahkan keduanya menunggu. Biarlah aku sendiri melayani kedua orang pengawal yang sombong ini”

Kata-kata itu benar-benar menusuk jantung kedua orang pengawal itu. Salah seorang dari keduanya berkata, “Jika kami membunuhmu, tidak akan ada seorang pun yang dapat menyalahkan kami”

“Tetapi juga sebaliknya” sahut Mahisa Bungalan tidak kalah lantangnya, “tidak seorang pun dapat menangkap kami jika kami membunuh kalian bertiga”

Kemarahan kedua pengawal itu sudah sampai ke puncaknya. Setelah mereka menambatkan kudanya, maka mereka pun segera bersiap untuk bertindak.

Sementara itu Mahisa Bungalan pun telah turun pula dari kudanya dan menambatkannya pada sebatang perdu di pinggir jalan. Ia pun segera pula mempersiapkan diri menghadapi kedua orang pengawal yang datang dari sebelah menyebelah.

“Apakah kau benar-benar menantang kami berdua?” bertanya pengawal itu.

“Ya” jawab Mahisa Bungalan.

“Anak yang malang” desis pengawal yang lain, “sikapmu telah menjerumuskanmu ke dalam keadaan yang paling parah. Kau sudah pantas dihukum mati”

Mahisa Bungalan sama sekali tidak menjawab. Namun dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra tidak duduk saja di punggung kudanya. Tetapi mereka pun berloncatan turun pula dan menambatkan kuda mereka masing-masing.

Dalam pada itu, Senapati yang memerintahkan ketiga orang itu untuk mengikutinya menghadap Akuwu masih tetap duduk di atas punggung kudanya. Ia merasa yakin bahwa kedua orang pengawalnya yang terpilih itu akan sanggup mengatasi keadaan, meskipun seandainya ketiga orang itu bersama-sama akan bertempur melawan para pengawalnya itu.

Sejenak kemudian Mahisa Bungalan sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia berdiri di pinggir jalan, sementara kedua lawannya datang dari arah yang berbeda.

“Jangan hiraukan kedua orang pamannya” berkata Senapati yang masih di punggung kudanya, “jika mereka berusaha melarikan diri, aku sendiri yang akan menangkap mereka”

“Gila” Mahisa Bungalan menggeram. Ia menjadi jengkel karena kedua orang pamannya itu sama sekali tidak berbuat apa-apa meskipun mereka mendengar betapa Senapati itu telah merendahkan mereka.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan telah menumpahkan kejengkelannya kepada kedua orang pengawal itu. Ia berniat untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar seseorang yang tidak dapat diperlakukan demikian menyakitkan hati. Ketika kedua pengawal itu menjadi semakin dekat, maka Mahisa Bungalan pun telah bergeser. Ia menjulurkan tangannya menyerang seorang di antaranya. Hanya sekedar untuk memancing agar lawannya pun mulai bergerak menyerangnya.

Lawannya bergeser. Namun seperti yang diharap, dengan garangnya ia menyerang dengan kakinya yang mendatar mengarah ke lambung. Mahisa Bungalan yang jengkel itu tidak melepaskan kesempatan itu. Pada langkah-langkah pertama ia ingin membuktikan bahwa kedua pengawal itu tidak akan mampu berbuat apa-apa sama sekali. Karena itu, maka Mahisa Bungalan telah berbuat sesuatu yang mengejutkan. Bukan saja bagi pengawal yang sedang menyerang itu, tetapi juga kedua orang yang lain.

Sementara kaki pengawal itu terjulur, maka Mahisa Bungalan telah bergeser setapak. Dengan kecepatan yang tinggi, Mahisa Bungalan telah menangkap kaki pengawal itu. Kemudian dengan kekuatan yang menghentak ia melemparkan pengawal itu menghamtam kawannya.

Kedua pengawal itu sama sekali tidak menyangka, bahwa hal itu dapat dilakukan oleh Mahisa Bungalan. Karena itu, maka mereka tidak dapat mengelak sama sekali ketika keduanya harus berbenturan satu sama lain.

Senapati yang masih duduk di punggung kudanya itu pun terkejut. Bahwa hal itu dapat dilakukan oleh Mahisa Bungalan, telah menghentak jantungnya, sehingga darahnya pun bagaikan berhenti mengalir. Apalagi ketika kemudian ia melihat Mahisa Bungalan itu berdiri saja sambil bertolak pinggang menunggui kudua orang pengawal yang sedang berusaha untuk bangkit.

“Cepat” bentak Mahisa Bungalan, “berdiri dan lawan aku lagi”

Kedua pengawal itu pun kemudian meloncat berdiri. Dengan wajah yang merah membara mereka memandangi Mahisa Bungalan yang berdiri tegak.

“Kalian sudah mendapat bukti perlawanannya” berkata Senapati yang masih berada dipunggung kuda itu, “jangan ragu-ragu lagi. Kesalahan kalian adalah, bahwa kalian terlalu baik hati dan ragu-ragu. Mungkin kalian menganggap anak itu terlalu lemah sehingga kalian menjadi lengah, atau kalian masih mempunyai belas kasihan untuk bertindak dengan sungguh-sungguh”

“Ya. Ternyata anak itu benar-benar anak gila yang harus di selesaikan dengan cara yang keras” geram salah seorang pengawal itu.

“Kalian hanya dapat berbicara tanpa ujung pangkal” berkata Mahisa Bungalan, “sudah aku katakan, bahwa aku akan melawan perintah kalian. Kami mengikuti kalian sampai di bulak ini sekedar menolong agar kalian tidak kehilangan wibawa di hadapan rakyat padukuhan yang sedang berguncang itu. Setelah kita semuanya berada di tempat yang cukup jauh, dan di bulak panjang yang tidak banyak dilihat orang, maka kalian harus melihat satu kenyataan, bahwa kalian bagi kami memang tidak berarti apa-apa”

Kata-kata Mahisa Bungalan itu benar-benar menyakitkan hati. Karena itu kedua orang pengawal itu pun segera bersiap. Mereka maju selangkah demi selangkah mendekati Mahisa Bungalan.

Mahisa Bungalan bergeser. Ia sudah bersiap sepenuhnya ketika kedua orang itu mengambil arah. Bahkan kemudian Keduanya siap menyerang beruntun dari arah yang berbeda. Namun sikap mereka terlalu lugu bagi Mahisa Bungalan. Apa yang akan mereka lakukan dengan mudah dapat dilihat pada langkah-langkah mereka. Meskipun mereka nampak garang bagi orang lain, namun bagi Mahisa Bungalan, mereka adalah orang-orang yang terlalu sederhana.

Mereka terlalu percaya kepada kemampuan mereka bertempur sesuai dengan latihan-latihan yang mereka lakukan di dalam lingkungan para pengawal Akuwu. Bagi orang kebanyakan, bahkan bagi mereka yang baru mulai mengenal ilmu kanuragan, para pengawal itu adalah orang-orang yang ditakuti. Tetapi tidak ada artinya bagi Mahisa Bungalan.

Karena itu, ketika orang-orang itu mulai menyerang, maka niat Mahisa Bungalan untuk memperlakukan mereka dengan garang pun menjadi susut. Bahkan kemudian Mahisa Bungalan menganggap bahwa mereka adalah orang-orang yang sama sekali tidak mengerti, apa yang telah mereka lakukan.

“Aku tidak yakin, bahwa seorang demi seorang pengawal ini lebih baik dari pemimpin perampok yang tertangkap itu” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

Sebenarnyalah, bahwa kedua pengawal itu masih belum memiliki kemampuan setingkat dengan pemimpin perampok yang telah tertangkap kembali. Bahkan mungkin kedua pengawal ini akan kehilangan kepribadian mereka sendiri, jika mereka berhadapan dengan Ki Buyut yang memiliki kemampuan mempengarui orang lain lewat sorot matanya.

“Apakah Akuwu itu memiliki kewibawaan yang cukup dengan pengawal-pengawalnya yang terpilih seperti ini” bertanya Mahisa Bungalan kepada diri sendiri.

Tanpa sesadarnya, ia memandang sekilas kepada pamannya. Witantra. Pada mulanya Witantra itu pun seorang Senapati pada sebuah Pakuwon yang besar, Tumapel Yang kemudian berkembang dan bahkan Ken Arok telah menjadikan Pakuwon itu pusar dari sebuah pusat pemerintahan yang baru.

“Tetapi bagaimana dengan Pakuwon ini” desis Mahisa Bungalan.

Sejenak kemudian, maka pertempuran pun segera terjadi lagi. Kedua orang pengawal itu bertempur dengan tangkasnya. Mereka menyerang sambil berloncatan dengan senjata di dalam genggaman. Mereka mengacu-acukan pedang mereka. Dengan sungguh-sungguh mereka berusaha untuk mengenai lawannya. Bahkan nampaknya keduanya tidak lagi berusaha untuk mengekang diri dengan pedang mereka.

Tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang dapat mengenai Mahisa Bungalan. Bahkan menyentuh pakaiannya pun tidak. Keduanya tidak mampu mengimbangi kecepatan gerak anak muda itu. Tanpa senjata Mahisa Bungalan berhasil menghindari serangan-serangan kedua pengawal yang menurut mereka, adalah serangan-serangan yang sangat berbahaya.

Senapati yang duduk di punggung kuda itu akhirnya tidak dapat tinggal diam. Kedua orang pengawalnya sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa terhadap seorang saja di antara ketiga orang yang dianggapnya telah memberontak itu. Karena itu, maka Senapati itu pun menggeram sambil meloncat turun dari kudanya. Sambil mengikat kudanya pada sebatang pohon perdu. Senapati itu berkata, “Kalian memang tidak dapat dibelas kasihani. Bersiaplah untuk mati, karena jika aku sendiri sudah turun tangan, maka nasib kalian sulit untuk diramalkan”

“Benar Ki Sanak” jawab Mahisa Agni, “seperti nasib kami yang sulit diramalkan, nasib Ki Sanak pun sulit untuk diramalkan. Karena itu, sebaliknya Ki Sanak tidak usah mulai dengan kerja yang sia-sia. Dua orang pengawalmu yang terpecaya sama sekali tidak dapat mengalahkan seorang di antara kami, justru yang paling muda. Lalu, apakah yang kira-kira dapat kau lakukan menghadapi kami berdua?”

“Persetan” geram Senapati itu, “kau ternyata salah sangka. Kedua pengawalku itu memang tidak dapat mengalahkan seorang kawanmu. Tetapi jangan kau kira bahwa kalian berdua akan dapat mengalahkan aku seorang diri, karena sebenarnyalah kemampuanku berlipat sepuluh dari kedua orang pengawal itu”

“O” Mahisa Agni mengangguk-angguk, “benarkah Senapati dari satu Pakuwon memiliki kemampuan lipat sepuluh dari pengawalnya? Itukah agaknya maka Akuwu dari Tumapel yang kecil itu berhasil mengalahkan Kediri dan kemudian mengangkat dirinya menjadi seorang Maharaja yang Perkasa. He, apakah Pakuwon Ki Sanak yang memiliki Senapati yang tangguh akan berusaha juga untuk melatah Singasari”

Witantra yang tertawa berkata, “Jangan bermimpi Ki Sanak. Sudahlah. Marilah kita akhiri persoalan kita sampai di sini. Biarlah kami meneruskan perjalanan kami. Jangan ganggu kami, dan kami pun tidak akan mengganggu tugas Ki Sanak. Bukankah tugas Ki Sanak sudah Ki Sanak lakukan di Kabuyutan itu? Laporkan sajalah hasil tugas kalian kepada Akuwu”

“Gila” geram Senapati itu, “kenapa kau mengigau tentang Kediri, Tumapel dan Singasari” ia berhenti sejenak, lalu, “yang penting sekarang, aku akan menangkap kalian bertiga. Dan kalian akan dengan leluasa melakukan pekerjaan kalian dengan menghasut dan menimbulkan benturan benturan di Kabuyutan-Kabuyutan yang lain?” bertanya Senapati itu, “bukankah hanya kebetulan saja bahwa kau berdiri dipihak yang benar di kabuyutan itu. Tetapi mungkin di Kabuyutan yang lain kau tidak menghiraukan lagi, siapakah yang benar dan yang salah. Bagimu, benturan dan geseran yang terjadi, akan dapat memberikan keuntungan bagi kalian”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dipandangnya wajah Senapati yang tegang itu. Bahkan Senapati telah melangkah maju dengan tangan di hulu pedang.

“Menyerahlah” geramnya. Namun dalam pada itu Senapati itu terkejut karena ia melihat salah seorang pengawalnya yang bertempur melawan Mahisa Bungalan telah terpelanting jatuh meskipun senjatanya masih belum terlepas dari tangannya.

Mahisa Agni menarik nafas panjang, sementara Witantra tersenyum sambil berkata, “Ki Sanak. Apakah Ki Sanak tidak dapat melihat kanyataan itu? Apakah Ki Sanak sekedar berpegang kepada harga diri dan kewibawaan. Dengarlah, kami sudah menolong mempertahankan kewibawaan Ki Sanak dihadapan orang-orang Kabuyutan itu. Bagaimanakah kira-kira yang akan dikatakan oleh orang Kabuyutan itu jika mereka melihat seorang pengawalmu terpelanting jatuh justru dua orang sekaligus Bertempur melawan seorang di antara kami”

“Itu bukan ukuran” geram Senapati itu, “karena aku sendiri belum terlibat. Marilah, jangan banyak bicara. Jangan salahkan aku jika kalian akan mati. Aku mulai meskipun kalian tidak melawan”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya wajah Witantra yang menegang. Bahkan kemudian ia pun berkata kepada Witantra, “Marilah. Jika Senapati ini memang ingin menyakinkan dirinya tentang kita. Kita akan melayaninya dan menyakinkannya bahwa ia tidak dapat berbuat sesuatu atas kami. Ia harus melihat kenyataan, bahwa kami akan dapat melepaskan diri kapan saja kami kehendaki”

Senapati itu benar-benar tidak berbicara lagi. Namun nampaknya ia pun masih belum mempergunakan senjatanya. Dengan serta merta ia telah meloncat menyerang Mahisa Agni dengan tangannya yang terjulur lurus ke depan.

Mahisa Agni bergeser ke samping, sementara serangan itu tidak mengenai sasarannya. Namun ternyata Senapati itu mampu bergerak cepat. Demikian kakinya menjejak tanah, maka ia telah meloncat lagi menyerang. Bukan Mahisa Agni, tetapi Senapati itu telah menyerang Witantra.

Witantra agak terkejut juga. Tetapi ia pun sempat mengelak pula, sehingga serangan Senapati itu tidak mengenainya. Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra sama sekali tidak mempunyai minat untuk bermain-main terlalu lama. Karena itu, maka mereka seolah-olah telah bersepakat untuk segera mengakhiri pertempuran itu.

Karena itu, ketika Senapati itu menyerang sekali lagi, Mahisa Agni pun telah menghindarinya dan sekaligus menyerangnya. Dengan cepat dan keras. Senapati itu telah didorong ke arah Witantra dengan telapak tangannya.

Witantra pun mengerti, apa yang dimaksud oleh Mahisa Agni. Ia pun telah siap untuk menerima Senapati itu dengan telapak tangannya pula. Namun ternyata Senapati itu memiliki kecepatan bergerak pula. Ia sadar bahwa ia akan dipermainkan kedua lawannya. Karena itu. maka iapun menggeliat dan meloncat kesamping, sehingga ia tidak lagi terdorong kearah Witantra.

Mahisa Agni menarik nalas dalam-dalam. Ternyata Senapati itu tidak selemah yang diduganya. Bahkan kemudian mereka melihat Senapati itu telah bersiap menyerangnya kembali sambil berkata, “Kau telah menghina aku”

Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan. Nampaknya Senapati itu mengerti, bahwa Mahisa Agni dan Witantra ingin menyelesaikan pertempuran itu dengan cepat dan dengan cara yang sangat sederhana. Karena itu, maka Senapati itu pun menjadi sangat marah dan terhina.

Karena itulah, maka ia pun segera mempersiapkan dirinya. Betapapun juga ia merasa bahwa ia akan dapat melawan kedua orang itu. Meskipun ia merasa betapa kuatnya dorongan Mahisa Agni, namun ia masih belum melihat kekuatan yang sesungguhnya yang ada di dalam diri kedua orang lawannya yang sudah tua itu.

Sejenak kemudian dengan garangnya Senapati itu menyerang pula. Tetapi Mahisa Agni dan Witantra benar-benar menjadi jemu. Sementara Mahisa Agni bergeser setapak, maka Mahisa Bungalan telah melemparkan kedua lawannya, sehingga keduanya jatuh berguling di tanah. Senapati itu tidak sempat berbuat sesuatu, karena Mahisa Agni justru telah meloncat menyerangnya.

Demikian cepatnya, seningga Senapati itu tidak dapat berbuat sesuatu. Yang dapat dilakukannya adalah mencoba menangkis serangan Mahisa Agni itu. Sehingga dengan demikian telah terjadi benturan diantara keduanya.

Barulah Senapati itu merasa, betapa dahsyatnya tenaga lawan. Meskipun Mahisa Agni hanya mempergunakan sebagian kecil saja dari tenaganya, namun Senapati itu tidak mampu untuk mengimbanginya sehingga, ia telah terdorong beberapa langkah surut, dan bahkan telah kehilangan keseimbangannya. Tetapi sebelum ia terjatuh, Witantra terah meloncat menangkapnya dan membantunya untuk berdiri tegak.

“Setan alas” Senapati itu mengumpat. Sekaligus ia telah menyerang Witantra yang dirasanya terlalu sombong itu.

Witantra tidak menghindar. Tetapi Witantra menangkis serangan itu sehingga sekali lagi terjadi benturan. Sekali lagi Senapati itu dihentakkan oleh kekuatan yang tidak diduganya. Oleh kekuatannya sendiri yang seolah-olah telah membentur dinding baja, maka Senapati itu terdorong surut. Tangannya menjadi sakit, bahkan terasa tulang-tulangnya akan retak. Oleh dorongan kekuatan Witantra yang tidak terlalu besar, maka sekali lagi Senapati itu terhuyung-huyung. Namun Mahisa Agnilah yang telah menangkapnya, sehingga Senapati itu tidak terbanting jatuh.

Sekali lagi Senapati itu menhentakkan diri meloncat sambil mengumpat. Namun bagaimana juga, ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia menggeram sambil mencabut pedangnya, “Apa boleh buat. Kalian harus menebus kesombongan kalian dengan kematian. Tidak ada pilihan lain kecuali dengan ujung pedang”

“Sudahlah Ki Sanak” berkata Mahisa Agni, “kau harus melihat kenyataan ini. Bukan maksudku untuk menyombongkan diri, tetapi kau sama sekali tidak akan dapat melawan kami, Permainan senjata hanya akan berbahaya bagi Ki Sanak sendiri”

Senapati itu mengumpat semakin keras. Dengan senjata teracung ia berkata, “Jangan mencoba melawan. Mungkin kau memiliki kelebihan. Tetapi aku adalah seorang yang menguasai ilmu pedang sebaik-baiknya”

Witantra menjadi jengkel juga akhirnya. Tetapi ia masih berusaha mengekang diri. Bahkan kemudian ia masih mencoba berkata dengan nada rendah, “Ki Sanak. Lihat. Anak muda itu akan segera mengakhiri perkelahiannya. Kedua lawannya benar-benar sudah tidak berdaya. Apakah kau akan melawan kami bertiga?”

Senapati itu menjadi ragu-ragu, sementara Witantra melanjutkan, “Jangan sekedar berpegang pada harga diri. Kau harus melihat kenyataan ini”

Namun Senapati itu menggertakan giginya, “Aku tidak peduli. Aku akan membunuhmu”

Namun belum lagi ia berbuat sesuatu, ia melihat kedua kedua senjata pengawalnya sudah terlempar ke tanah, dan mereka telah terpelanting jatuh, sementara nafas mereka bagaikan berdesakan di lubang hidungnya. Meskipun demikian, sambil menghentakkan kakinya ia berkata, “Bersiaplah. Bersenjata atau tidak bersenjata, aku akan tetap membunuh kalian. Bertempurlah bersama-sama. Aku akan melawan kalian bertiga”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau bukan seorang prajurit lagi. Tetapi kau sekedar seorang yang keras kepala tanpa dapat mempertimbangkan peristiwa dengan nalar. Baiklah. Anak muda itu akan melawanmu”

Mahisa Agni pun kemudian berpaling kepada Mahisa Bungalan sambil berkata, “Kau dapat memungut sebuah dari senjata lawan-lawanmu yang terlempar itu. Lawanlah Senapati ini”

Mahisa Bungalan menarik nafas panjang. Dengan segan ia memungut sebilah pedang. Kemudian dengan langkah berat ia mendekat sambil berkata, “Kenapa harus aku?”

Mahisa Agni tersenyum. "Cepat, aku dan pamanmu akan bersiap di punggung kuda. Setelah kau selesaikan Senapati ini, susul kami berdua. Biarlah mereka bertiga kembali menghadap Akuwu dan berceritera tentang kita”

Senapati itu menjadi sangat marah. Sambil berteriak ia menyerang Mahisa Bungalan. Tetapi Mahisa Bungalan pun telah siap. Karena itu, maka ia mampu mengelakkan serangan itu dan membalas dengan serangan pula.

Dalam waktu sesaat. Senapati itu sudah berada dalam kesulitan, sementara Mahisa Agni dan Witantra benar-benar telah meloncat ke punggung kudanya. Katanya kepada Mahisa Bungalan, “Aku mendahuluimu. Tetapi aku tidak akan berpacu terlalu cepat”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi ia melihat lawannya semakin cepat. Bahkan ia masih berkata, “Tunggu paman. Aku hanya sebentar”

Senanapati itu benar-benar merasa terhina. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu selain mengumpat-umpat. Sebenarnyalah bahwa Mahisa Bungalan tidak merasa terlalu sulit untuk menyelesaikan pertempuran itu. Ketika ia menghentakkan serangannya, maka Senapati itu telah terdesak surut.

Karena Mahisa Bungalan memang ingin menyelesaikan pertempuran itu dengan segera, maka ia pun segera memburunya dan dengan kekuatan yang tidak terlawan oleh Senapati itu, iapun telah berhasil merenggut senjata lawannya sehingga terjatuh beberapa langkah dari padanya. Sementara itu, ia pun telah siap menyelesaikan pertempuran itu. Karena itu, maka demikian lawannya kehilangan senjatanya Mahisa Bungalan telah menyerangnya. Tidak dengan pedangnya, tetapi dengan kakinya.

Dalam kebingungan Senapati itu benar-benar tidak berdaya. Serangan Mahisa Bungalan yang cepat itu sama sekali tidak dapat dihindarinya. Karena itu, maka ia telah berusaha untuk menangkisnya. Namun kekuatan Mahisa Bungalan ternyata jauh melampaui kekuatannya. Dengan demikian, maka serangan Mahisa Bungalan itu telah membenturnya dan melontarkannya beberapa langkah. Kemudian tanpa dapat mempertahankan lagi keseimbangannya, Senapati itu pun jatuh terbanting.

Demikian kerasnya dorongan kekuatan Mahisa Bungalan, sehingga terasa seakan-akan tulang belakangnya telah patah. Ketika ia berusaha untuk segera bangkit, punggungnya terasa sakit sekali. Sehingga dengan demikian, maka sambil menyeringai ia sekali lagi mengumpat. Namun ia tidak berhasil untuk berdiri, seperti kedua pengawalnya, maka ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika Mahisa Bungalan kemudian pergi ke kudanya sambil berkata,

“jangan ganggu aku lagi. Aku akan menyusul kedua pamanku itu”

“Anak gila” geram Senapati itu “seluruh pengawal Pakuwon akan mencari kalian bertiga. Kalian akan dibunuh di alun-alun dan kepala kalian akan ditanjir dipintu gerbang kota pakuwon di tiga penjuru”

Mahisa Bungalan memandang Senapati yang masih menyeringai sambil duduk di tanah. Katanya kemudian, “Segeralah bangkit dan tinggalkan tempat ini. Jika ada satu dua orang petani menyaksikan kalian duduk di pinggir parit itu, mereka tentu akan bertanya”

“Anak setan” geram Senapati itu.

Mahisa Bungalan tidak menghiraukannya lagi. Namun ia pun segera meninggalkan tempat itu. Ketika sekali ia berpaling, maka ia. masih melihat Senapati itu mencoba untuk berdiri. Tetapi ia tidak mempedulikannya lagi. Dipacu kudanya menyusul Mahisa Agni dan Witantra yang masih belum terlalu jauh.

Sepeninggal ketiga orang itu. Senapati itu pun masih mengumpat-umpat. Dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit. Betapapun perasaan sakit mencengkam punggungnya, namun akhirnya iapun berdiri juga terbungkuk-bungkuk. Tetapi dalam pada itu, ia pun dengan serta merta mengumpati kedua orang pengawalnya,

“Bangkit, cepat tikus-tikus dungu.

Kedua pengawalnya masih menyeringai kasakitan. Bahkan seorang di antara keduanya rasa-rasanya tidak memiliki kesadaran sepenuhnya, meskipun ia tidak pingsan. Baru kemudian perlahan-lahan ia menyadari keadaannya. Namun perasaan sakitpun bagaikan menggigit-gigit tulang.

Ketika sekali lagi Senapatinya yang marah itu mengumpat, maka barulah ia sadar sepenuhnya, apakah yang sudah terjadi. Karena itu, dengan menahan rasa sakit, kedua orang pengawal itu pun mencoba untuk bangkit pula. Mula-mula mereka duduk di atas rerumputan di pinggir jalan bertelekan tangannya. Baru kemudian mereka mencoba untuk berdiri betapapun tubuhnya merasa sakit. Akhirnya kedua pengawal itu pun dapat berdiri tegak seperti Senapati itu pula.

“Kita akan menghadap Akuwu” berkata Senapati itu “kecuali melaporkan keadaan Kabuyutan itu, kita harus melaporkan tentang ketiga orang yang tentu akan sangat berbahaya bagi kita semuanya”

“Ya” sahut seorang pengawalnya “ketiga orang ini akan lebih berbahaya dari sekalompok perampok”

“Para Senapati dan para pengawal akan mencari di seluruh daerah Pakuwon. Aku akan mengusulkan untuk mencari ketiga orang itu dan menangkapnya hidup-hidup” berkata Senapati itu.

“Ya. Orang itu harus ditangkap hidup-hidup” berkata pengawal itu, namun kemudian, “tetapi siapakah yang sanggup menangkapnya. Para Senapati tentu tidak akan dapat mengimbangi kemampuannya”

“Omong kosong” teriak Senapati itu. Namun kemudian suaranya merendah, “orang-orang itu memang memiliki ilmu iblis. Mungkin Akuwu sendiri harus turun tangan. Jika Akuwu sendiri bersedia untuk menangkapnya, maka ketiga orang itu tidak akan mampu menghindar lagi”

“Tetapi apakah Akuwu bersedia melakukannya?” bertanya salah seorang pengawalnya.

Senapati itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu. Tetapi adalah kewajiban kita untuk menyampaikannya. Keputusan terakhir terserah kepada Akuwu”

“Ya, segalanya terserah kepada Akuwu” desis pengawalnya.

“Jangan terlalu lama. Jika mungkin, kita jangan kehilangan waktu. Masih ada kesempatan untuk mengejarnya” berkata Senapati itu “semua jalan keluar Pakuwon akan ditutup”

“Akan diperdengarkan isyarat tanda?” bertanya pengawalnya.

“Aku akan mengusulkan” jawab Senapati itu.

Kedua pengawal itu tidak menjawab. Namun ketiga Senapati itu pergi mengambil kudanya, keduanya pun segera melakukannya pula. Sambil menyeringai kesakitan mereka naik kepunggung kuda masing-masing. Dan sejenak kemudian kuda merekapun telah berpacu, meskipun perasaan sakit masih mencangkam. Ketiganya ingin segera menghadap Akuwu dan melaporkan apa yang terjadi.

Dengan kemarahan yang masih menghentak-hentak di dada, maka Senapati itu pun melaporkan apa yang dilihat, didengar dan dialaminya.

Akuwu yang masih muda itu pun mendengarkannya dengan penuh perhatian. Namun semakin lama terasa telinganya pun menjadi semakin panas. Senapati yang tidak berdaya menghadapi Mahisa Bungalan itu telah menceriterakan apa yang dialaminya dengan maksud tertentu, sehingga ada beberapa hal yang sengaja atau tidak sengaja tersisip di dalam ceriteranya.

Dengan marah Akuwu itupun kemudian berkata “Lepas dari salah atau tidak bersalah, tetapi menolak perintahmu, itu sudah merupakan satu tindak yang pantas mendapat hukuman”

“Ampun Sang Akuwu. Maksud hamba, bukan untuk menghukum mereka. Tetapi sekedar membawa mereka menghadap” berkata Senapati itu.

“Aku mengerti. Karena itu, maka aku menganggap mereka bersalah. Meskipun aku merasa heran bahwa kalian bertiga tidak mampu menangkap tiga orang yang meskipun mereka disebut orang yang luar biasa karena mereka berhasil menangkap pemimpin perampok yang melarikan diri itu” geram Akuwu yang muda itu.

“Satu kelengahan Sang Akuwu” desis Senapati itu, “hamba memang tidak menyangka sama sekali bahwa mereka akan melawan. Karena itu, maka mereka berhasil mendahului menyerang hamba dan kawan-kawan hamba. Kemudian mereka pun sempat melarikan diri”

“Perintahkan. Tangkap mereka” perintah Akuwu “bawa mereka menghadap kepadaku”

Senapati itu dengan serta merta menyahut “Apakah hamba harus memerintahkan untuk membunyikan isyarat? Bahkan isyarat tunda agar dengan cepat dapat diketahui oleh para penjaga di semua jalur jalan keluar dari Pakuwon ini."

Akuwu itu berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Baiklah. Isyarat itu tentu menjalar jauh lebih cepat dari derap kuda yang manapun juga. Seluruh Pakuwon harus ikut serta menangkap mereka”

Senapati itu pun kemudian mohon diri dari hadapan Akuwu. Sejenak kemudian, maka kenthongan yang menjadi pusat isyarat dari Pukuwon itu telah berbunyi. Isyarat yang berbunyi dengan irama dua ganda, kemudian disusul dengan tiga ganda. Setiap pengawal dan bahkan setiap orang di Pakuwon itu mengetahui, bahwa Akuwu menjatuhkan perintah untuk menutup semua perbatasan. Tidak seorang pun yang boleh keluar dari Pakuwon. Sehingga dengan demikian setiap orang mengetahui bahwa ada buruan yang gawat yang harus ditangkap.

Orang-orang yang mendengar isyarat itu terkejut. Namun setiap banjar padukuhan dan banjar kabuyutan telah menyahut isyarat itu dan menyambungnya, sehingga isyarat itu memang menjalar dengan cepat ke seluruh daerah Pakuwon. Padukuhan yang baru saja dijamah oleh perampok itu pun mendengar pula isyarat itu. Ki Demung dan Ki Perapat serta para pengikutnya pun mendengar pula, dan bahkan mereka yang berada di banjar teluh memukul isyarat itu pula.

Para pengawal yang tersebar di jalur jalan yang keluar dan masuk daerah Pakuwon itupun mendengar pula. Mereka pun segera bersiaga di pintu-pintu gerbang, untuk menutup sehingga tidak seorang pun dapat keluar dari Pakuwon.

Sementara itu, jalan-jalan padukuhan yang paling kecil pun terutama di perbatasan telah dijaga pula oleh anak-anak muda di padukuhan itu. Mereka justru lebih garang dari para pengawal. Mereka tidak hanya mencegah orang-orang yang keluar dari daerah Pakuwon. Tetapi mereka menangkap siapapun yang mereka curigai.

“Kami sekedar lewat” tangis seorang laki-laki tua.

“Jangan menangis seperti bayi. Tunggu sajalah di sini. Jika keadaan sudah baik, dan ternyata bukan kau yang diperlukan, maka kau akan kami lepaskan” jawab anak-anak muda.

“Kapan keadaan akan menjadi baik?” bertanya orang tua itu.

“Jika orang yang dicari sudah tertangkap, maka akan terdengar isyarat. Isyarat yang menyebutkan bahwa keadaan sudah menjadi baik dan buruan itu sudah tertangkap” jawab anak-anak muda.

Orang tua itu tidak berhasil melepaskan diri. Ia harus tunduk kepada anak-anak muda yang menjadi lebih garang dari para pengawal itu sendiri.

Dalam pada itu, selain para pangawal, anak-anak muda dan orang-orang di perbatasan yang menutup semua jalan keluar, maka beberapa kelompok pengawal terpilih pun telah meninggalkan pusat pemerintahan Pakuwon menjelajahi padukuhan. Setiap kelompok yang terdiri dari lima orang terpilih itu pun berusaha untuk menemukan tiga orang berkuda dan menangkapnya untuk membawa mereka menghadap Akuwu.

“Betapapun tinggi ilmunya, mereka tidak akan dapat menghadapi para pengawal terpilih” berkata Akuwu muda itu.

Namun Senapati yang melaporkan itu memperingatkan “Mereka memiliki ilmu iblis”

“Bukankah mereka menyerangmu dengan tiba-tiba di saat kalian lengah?” bertanya Akuwu itu, “itu tidak berarti apa-apa. Namun demikian jika perlu, maka para pengawal itu akan dapat minta bantuan para pengawal di perbatasan atau anak-anak muda di setiap padukuhan yang tentu telah bersiap-siap pula”

Senapati itu tidak membantah pula. Bahkan ia pun kemudian telah mendapat perintah-perintah pula untuk berkeliling daerah Selatan dari Kabuyutan itu.

Sementara itu, Ki Demung dan Ki Perapat menjadi gelisah. Ia mengetahui suasana yang kurang baik di saat-saat Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan dibawa oleh Senapati itu. Bahkan mereka pun menduga jauh melampaui peristiwa yang sebenarnya terjadi. Seolah-olah telah terjadi satu peristiwa berdarah, sehingga ketiga orang yang telah menolongnya itu menjadi buronan.

“Jika Akuwu sendiri bertindak, betapapun tinggi ilmu orang-orang itu, namun mereka tidak akan berdaya” desis Ki Demung.

“Kita sudah berhutang budi” sahut Ki Perapat.

Ki Demung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mengerti, apa yang sebaiknya dilakukan. Jika benar terjadi perselisihan antara orang-orang yang telah menolongnya itu dengan Akuwu, sudah barang tentu bahwa ia tidak akan dapat berpihak. Jika ia berusaha untuk membalas budi kepada ketiga orang yang tidak mereka kenal dengan pasti itu, maka akibatnya akan sangat pahit bagi mereka.

Bukan saja mereka dan beberapa orang yang mengetahui dengan pasti pertolongan yang telah diberikan oleh ketiga orang itu, namun seluruh Kabuyutan itu akan mengalami perlakukan yang kurang baik dari Akuwu. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain dari Ki Demung dan Ki Perapat selain tidak ikut campur dalam persoalan yang terjadi itu.

“Mudah-mudahan isyarat ini tidak ada hubungannya dengan ketiga orang itu” berkata Ki Demung.

“Mudah-mudahan” sahut Ki Perapat, “namun seandainya benar-benar ketiga orang itu harus ditangkap, beruntunglah kita, bahwa Kabuyutan ini tidak terletak di perbatasan.

“Tetapi bagaimana sikap kita jika ketiga orang itu datang kembali ke Kabuyutan ini dan minta perlindungan kepada kita, sementara persoalan Ki Buyut dan para perampok itu masih belum selesai. Bukankah Senapati yang datang kemari melihat keadaan itu akan dapat mengkaitkan segala peristiwa yang terjadi ini dengan ketiga orang yang dicurigainya itu? Memang masuk akal, agaknya sulit dimengerti bahwa seseorang telah mempertaruhkan nyawanya tanpa pamrih sama sekali” bertanya Ki Demung, seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri.

Tidak seorang pun yang menjawab. Mereka pun menjadi bingung, apakah yang harus mereka lakukan.

Dalam pada itu, Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan pun terkejut mendengar isyarat itu. Meskipun mereka tidak tahu pasti, arti dari suara kentongan yang bersahutan dan merambat dengan cepatnya itu, namun terasa bahwa mereka adalah sasaran dari suara isyarat itu.

“Senapati itu memang gila” geram Mahisa Bungalan “jika aku membuatnya pingsan, maka isyarat itu tentu tidak akan secepat ini menjalar keseluruh wilayah Pakuwon yang luas ini”

“Terlambat” desis Mahisa Agni “semua jalan tentu sudah ditutup”

“Tetapi jika maksud isyarat ini justru membuka semua jalan kaluar?” bertanya Witantra.

Mahisa Agni tersenyum. Ia mengerti, bahwa Witantra pun sebenarnya mempunyai dugaan yang sama. Isyarat itu ditujukan kepada mereka bertiga yang tentu dianggap telahi melawan kekuasaan Sang Akuwu.

“Apakah Akuwu ini juga memiliki jiwa yang bergejolak seperti Ken Arok?” desis Mahisa Agni.

“Mungkin” sahut Witantra “kadang-kadang seorang Akuwu memang memiliki kelebihan. Bahkan mungkin Akuwu itu tidak berdiri sendiri. Ia mungkin memiliki seorang guru yang akan dapat membantunya dalam keadaan yang paling sulit”

“Mudah-mudahan kita akan berhadapan dengan orang-orang yang mengerti tentang kita, agar kita tidak terpaksa membela diri” berkata Mahisa Agni, “karena kitapun sadar, bahwa kita tidak akan mungkin dapat melawan seisi Pakuwon ini. Setidak-tidaknya pengawal di seluruh Pakuwon ini."

“Jika demikian” berkata Mahisa Bungalan, “kita masih mempunyai waktu. Kita dapat berpacu menuju keperbatasan dimana pun juga, karena arah yang manapun akan dapat kita tempuh. Dengan demikian, kita hanya akan berhadapan dengan para pengawal di perbatasan yang jumlahnya tentu terbatas”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin kita dapat melakukannya. Tetapi mungkin dengan demikian kita harus membunuh para pengawal yang tidak tahu menahu persoalannya itu”

“Jadi bagaimana?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Kita bertemu dengan Akuwu” desis Mahisa Agni, “kita akan menyelesaikan persoalan ini dengan Akuwu. Kita berharap bahwa Akuwu adalah seorang laki-laki. Bahkan seandainya ada seseorang di belakangnya, gurunya misalnya. Atau orang lain sekalipun”

Mahisa Bungalan menarik nafas panjang. Ia mengerti, bahwa kedua orang pamannya itu adalah orang-orang yang jarang ada bandingnya. Mahisa Agni dan Witantra rasa-rasanya adalah dua orang yang mumpuni dalam ilmu kanuragan. Bahkan mereka memiliki kekuatan diluar batas jangkauan nalar manusia, seperti juga ayahnya, saudara seperguruan Witantra.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian menyambut, “Aku sependapat paman. Kita menemui Akuwu”

“Baiklah” sahut Witantra, “katakan kita akan menemui Akuwu. Tetapi apakah kita akan mencari Akuwu, atau kita membiarkan diri kita ditangkap dan dibawa menghadap?”

“Sama saja” jawab Mahisa Agni, “karena itu. Kita akan menuju ke Pakuwon. Seandainya di perjalanan kita bertemu dengan para pengawal yang mendapat tugas untuk menangkap kita, maka kita akan menyerah”

“Kita akan menyerah, sehingga kita akan dibawa sebagai tawanan?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Untuk sementara demikian” jawab Mahisa Agni, “apa salahnya jika kita akan digiring dengan tangan terikat. He, apakah ada tali pengikat yang tidak dapat diputuskan dengan ilmu bahkan seandainya kau diikat dengan janget sekalipun?”

Mahisa Bungalan menarik nafas panjang. Bagaimanapun juga, memang tidak menyenangkan jika ia akan digiring sebagai tawanan. Tangannya akan diikat bahkan mungkin ia akan diperlakukan dengan buruk sekali. Tetapi ia tidak membantah. Ia sadar, bahwa kedua orang tua itu nampaknya terlalu biasa mengalami perlakuan kasar dari kadang-kadang lebih condong disebut membiarkan dirinya tersiksa, bahkan justru menyiksa diri dengan perlakukan yang sangat tidak menyenangkan.

Dalam pada itu, maka Mahisa Agni diikuti oleh Witantra dan Mahisa Bungalan telah memutar haluan perjalanan mereka. Mereka justru menuju ke istana Akuwu yang menurut perhitungan mereka, justru sedang berusaha menangkap mereka bertiga, yang tentu karena laporan Senapati yang gagal membawa mereka menghadap itu.

Untuk beberapa lamanya, mereka menelusuri jalan mendakati pusat pemerintahan Pakuwon yang sedang dibayangi oleh isyarat yang mendebarkan itu. Namun mereka sama sekali tidak bertemu dengan pengawal yang sedang memburu mereka. Tetapi akhirnya yang mereka tunggu itupun datang. Ketika Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan sampai di tikungan, maka mereka pun melihat debu yang mengepul kelabu.

“Itulah agaknya mereka. Satu di antara beberapa kelompok pengawal yang sedang memburu kita” berkata Mahisa Agni.

“Sebenarnya aku segan menyerah begitu saja paman” desis Mahisa Bungalan.

Mahisa Agni tersenyum. Katanya “Apa salahnya”

“Kita masih belum mengetahui keadaan Pakuwon ini sedalam-dalamnya. Kita baru mengetahui kemampuan seorang saja dari Senapatinya yang tentu banyak jumlahnya. Mungkin Senapati yang lebih tua, bukan umurnya, tetapi jabatannya, memiliki kemampuan yang jauh lebih tinggi, sehingga kita benar-benar tidak akan dapat berbuat apa-apa”

“Jika ada di antara mereka yang berilmu tinggi” sahut Mahisa Agni, “pada umumnya mereka akan dapat berpikir bening. Meskipun ada juga perkecualiannya”

“Bukan sakedar perkecualian paman. Orang-orang berilmu hitam adalah orang-orang berilmu tinggi. Sementara itu Ki Dukut pun adalah orang yang berilmu tinggi pula. Apakah mereka orang-orang yang dapat berpikir bening?”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Jawabnya, “Kau benar Mahisa Bungalan. Tetapi sebaiknya kita melihat, apa yang akan terjadi. Bahkan kita akan dapat mengambil Keuntungan. Jika mungkin Akuwu akan dapat membantu kita dalam persoalan Ki Dukut yang sampai sekarang belum dapat kita ketemukan. Bukan saja Akuwu di sini, tetapi atas pengaruhnya, mungkin Akuwu di daerah tetangga pun akan dapat membantu pula”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi ia merasa bahwa yang mereka lakukan itu sama sekali tidak menyenangkan.

Dalam pada itu, sekelompok pengawal di hadapan mereka itu pun telah melihat ketiga orang itu pula. Senapati yang memimpin kelompok pengawal itu langsung menjadi curiga, ketika ia melihat ketiga orang itu. Seperti ciri-ciri yang didengarnya tentang tiga orang yang harus diburu dan ditangkap.

“Berhati-hatilah” berkata Senapati itu kepada para pengawalnya “mereka adalah orang-orang yang berbahaya”

Para pengawal itu pun segera bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan sebagian dari mereka telah memegang hulu pedangnya dan bersiap untuk menyerang. Tetapi Senapati yang memimpin para pengawal itu menjadi heran. Ketiga orang itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda yang mencurigakan. Bahkan sampai beberapa langkah di hadapan Senapati yang memimpin para pengawal itu, ketiganya masih tetap bersikap wajar.

Karena itu, maka Senapati yang memimpin para pengawal itu pun telah terpengaruh oleh sikap itu pula. Jika semula ia mendapat gambaran yang garang tentang ketiga orang itu, maka yang mereka jumpai ternyata agak berbeda.

Mahisa Agni yang berada di paling depan di antara ketiga orang yang bersamanya mengangguk hormat sambil bertanya, “Apakah aku bertemu dengan pasukan pengawal Pakuwon?”

“Ya Ki Sanak” jawab Senapati itu. Meskipun ia tersenyum tetapi sama sekali tidak melepaskan kewaspadaan. Apabila perlu ia dapat bertindak dengan cepat untuk mengatasi persoalan.

Namun Mahisa Agni ternyata bersikap wajar saja. Dengan nada datar ia bertanya, “Apakah kehadiran Ki Sanak ini ada hubungannya dengan isyarat yang bergema di seluruh padukuhan dan Kabuyutan?”

“Ya Ki Sanak” jawab Senapati itu yang kemudian iapun bertanya, “siapakah sebenarnya Ki Sanak bertiga ini?”

“Aku adalah perantau yang menjelajahi desa demi desa, padukuhan demi padukuhan dan Kabuyutan demi Kabuyutan sekedar untuk melihat, betapa luasnya bumi ciptaan Tuhan Yang Maha Agung ini, dan betapa aneka ragamnya isi dan warnanya”

“O” Senapati itu mangangguk-angguk, “sungguh menyenangkan jika mendapat kesempatan untuk melakukannya. Tetapi siapakah kalian bertiga. Maksudku, dari mana kalian datang, dan apakah kerja kalian sehari-hari? Tentu kalian bukan perantau seumur hidup yang tidak mempunyai lambaran penghidupan apapun juga”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kami adalah penghuni padepokan kecil di tempat terpencil. Kami hidup dalam lingkungan sawah dan pategalan. Namun juga dalam olah kajiwan sebagaimana kebiasaan orang-orang padepokan. Betapa rindunya kami mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Agung. Sehingga, kami pun telah memutuskan untuk melihat isi dari ciptaannya lebih banyak lagi”

Senapati itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Ki Sanak. Apakah dalam perjalanan perantauan Ki Sanak yang dibayangi oleh kerinduan itu, Ki Sanak benar-benar telah memuji nama Tuhan Yang Maha Agung atau justru yang terjadi adalah sebaliknya, misalnya benturan antara sesama titah Tuhan Yang Maha Agung sehingga sama sekali tidak membayangkan kerinduan itu sendiri”

“Maaf Ki Sanak” sahut Mahisa Agni “itulah kelemahan kami. Bahwa kami adalah manusia yang lemah hati. Betapa kerdilnya jiwa ini. sehingga bayangan kecemasan akan nasib buruk loluli memaksa kami untuk berusaha melindungi diri pada setiap kesempatan, seperti kamipun makan di setiap hari untuk mempertahankan hidup kami dan tidak menyerah semata-mata kepada nasib”

Senapati yang memimpin sekelompok pengawal itu pun mengerutkan keningnya. Dengan wajah berkerut ia berkata, “Jadi maksud Ki Sanak, apa yang telah Ki Sanak lakukan itu semata-mata karena Ki Sanak berusaha untuk melindungi diri sendiri. Juga barangkali jika Ki Sanak terpaksa melakukan kekerasan”

“Begitulah kira-kira Ki Sanak” jawab Mahisa Agni, “tetapi sepanjang masih dapat ditempuh cara lain, aku akan selalu mempergunakan cara lain”

“Jadi kau hanya melakukan kekerasan jika terpaksa?” bertanya Senapati itu pula.

“Benar Ki Sanak” jawab Mahisa Agni.

“Juga apa yang pernah kau lakukan terhadap utusan Akuwu? Aku mendapat laporan bahwa kalian telah melawan kehendak Akuwu lewat utusannya” berkata Senapati itu.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak akan mengingkarinya. Namun barangkali laporan yang sampai kepada Akuwu itu tidak seperti apa yang terjadi”

“Katakan apa yang telah terjadi” berkata Senapati itu.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun mengatakan seperti apa yang pernah di alami.

Senapati itu mengangguk-angguk, Katanya, “Jadi kau memang dengan sengaja ingin menghindari kekuasaan Akuwu?”

“Kami hanya ingin menyatakan bahwa kami tidak berbuat sesuatu yang pantas dipergunakan sebagai alasan untuk membawa kami menghadap Akuwu” sahut Mahisa Agni.

“Ki Sanak” berkata Senapati itu, “sekarang kami juga mendapat tugas untuk menangkap Ki Sanak dan membawa menghadap Akuwu. Apakah Ki Sanak juga akan melawan?”

Mahisa Agni menggeleng. Jawabnya, “Tidak Ki Sanak. Aku sekarang tidak akan melawan. Aku akan bersedia menghadap Akuwu dan memberikan penjelasan, sehingga salah paham ini tidak akan berkepanjangan lagi”

Senapati itu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Terima kasih Ki Sanak Ki Sanak telah memperingan tugasku dengan kesediaan itu. Sehingga dengan demikian aku tidak perlu mengambil satu tindakan apapun juga terhadap Ki Sanak”

“Mudah-mudahan niat kami untuk memberikan penjelasan itu dapat dimengerti” berkata Mahisa Agni.

“Marilah. Jika Ki Sanak sudah berniat untuk mengikuti kami, marilah. Tetapi apa yang Ki Sanak lakukan ini, jangan sekedar satu pancingan kelengahan kami semata-mata” berkata Senapati itu...