Panasnya Bunga Mekar Jilid 21 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 04: Panasnya Bunga Mekar Jilid 21
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

“TIDAK Ki Sanak” jawab Mahisa Agni, “kami benar-benar ingin menghadap Akuwu untuk memberikan penjelasan seperti yang sudah aku katakan”

“Terima kasih. Marilah kita berangkat. Silahkan Ki Sanak bertiga berada di depan” jawab Senapati itu.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan isyarat ia mengajak Witantra dan Mahisa Bungalan mengikutinya. Keduanya pun segera mengerti apa yang dimaksud oleh Mahisa Agni sehingga keduanya pun segera mengikutinya. Para pengawal itu pun menyibak ketika Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan melewati mereka menuju ke istana Akuwu.

“Aku belum pernah melihat istana Akuwu” berkata Mahisa Agni.

Senapati itu tersenyum. Katanya, “Marilah. Aku akan berada di samping kalian”

Demikianlah Senapati itu telah mengambil tempat di samping Mahisa Agni. Di belakang mereka adalah Witantra dan Mahisa Bungalan. Baru kemudian di belakang mereka, para pengawal yang selalu bersiaga. Namun melihat sikap dan tingkah laku ketiga orang itu, maka mereka pun mulai ragu-ragu dengan laporan yang pernah mereka dengar. Meskipun demikian, mereka tidak boleh lengah. Ketiga orang itu dapat saja bersikap dan berlaku pura-pura. Namun yang pada suatu saat akan berbuat sesuatu yang sangat mengejutkan.

Tetapi Mahisa Agni Witantra dan Mahisa Bungalan sudah bertekad untuk tidak berbuat apa-apa dan menghadap Akuwu. Karena itu maka mereka pun sama sekali tidak menumbuhkan kecurigaan apapun juga. Mereka dengan tenang duduk di atas punggung kuda, sementara kuda mereka berjalan dengan kecepatan sedang di atas jalan yang menuju ke istana Akuwu.

Perjalanan itu tidak terlalu panjang. Sesat kemudian mereka sudah melihat istana Akuwu yang cukup megah. Di pintu gerbang terdapat dua orang pengawal yang berjaga-jaga di sebelah menyebelah. Namun ketiga orang itu nampaknya dengan patuh mengikuti perintah Senapati yang membawanya. Bukan karena ketiganya diperlakukan dengan kasar. Nampaknya Sanapati yang membawanya itu cukup berlaku baik terhadap ketiga orang itu. Tidak ada kesan sama sekali bahwa ketiganya telah melakukan perlawanan.

“Mungkin mereka tidak berani berbuat sesuatu melihat sekelompok pengawal yang kuat. sehingga mereka terpaksa bersikap seperti seekor tikus di hadapan seekor kucing yang garang“ desis beberapa orang.

Kedatangan Senapati yang membawa ketiga orang itu pun sempat membuat para pengawal di halaman istana Akuwu itu bersiap-siap. Namun seperti pengawal yang mengiringi ketiga orang itu, maka sama sekali tidak terdapat kesan yang mencurigakan pada ketiga orang itu. Ketiganya duduk di atas punggung kuda dengan kepala tunduk. Wajah mereka tidak membayangkan kekasaran dan apalagi keliaran.

Tetapi juga seperti para pengawal yang mengiringi ketiga orang itu, bahwa mereka tidak boleh lengah. Sesuatu yang tidak mereka, duga sebelumnya akan dapat terjadi dan akibatnya sangat menyakitkan hati. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka pun menduga, bahwa sikap itu adalah sekedar sikap pura-pura, atau suatu cara untuk maksud tertentu.

Dalam pada itu, demikian iring-iringan itu memasuki halaman, mereka pun segera berloncatan turun. Bukan saja ketiga orang yang dibawa untuk di hadapkan Akuwu, tetapi juga para pengawal itu sendiri. Para pengawal yang berada di sebelah menyebalah pintu gerbang, maupun para pengamal yang berada di gardu di dalam lingkungan dinding halaman itu pun telah bersiaga sepenuhnya.

Namun dalam pada itu, baik para pengawal yang membawa ketiga orang itu, maupun para pengawal yang berada di halaman, bahkan Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalah sendiri pun terkejut pula. Ternyata Akuwu yang berdiri di tangga depan istananya berkata lantang, “Biarkan mereka. Kenapa ketiga orang itu harus dikawal dan dijaga seperti sekelompok perampok yang menggemparkan Pakuwon?”

Tidak seorang pun yang mengetahui maksud Akuwu. Apalagi ketika Akuwu itu berkata, “Biarkan mereka bertiga menghadap. Kalian para pengawal tidak perlu menganggap ketiganya sebagai orang yang menakutkan. Mereka bagiku adalah orang-orang kebanyakan. Jika mereka mempunyai sekedar ilmu, bukan berarti bahwa kalian harus menjaganya dengan pasukan segelar sepapan”

Para pengawal itu pun termangu-mangu. Namun, justru Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan lah yang mulai mengerti maksud Akuwu itu. Namun mereka masih tetap menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh Akuwu itu selanjutnya.

Dalam pada itu, Akuwu pun berkata, “Lakukanlah tugas kalian sebagaimana seharusnya. Biarkan ketiga orang ini. Mereka tidak akan berbuat apa-apa. Aku ada disini”

Dengan demikian, barulah para pengawal itu mengerti. Akuwu sendiri telah mengawasi mereka bertiga, sehingga mereka bertiga tidak akan sempat berbuat apa-apa di depan Akuwu yang masih muda itu.

Meskipun demikian, para pengawal itu tidak meninggalkan halaman. Meskipun mereka menepi dan di antara mereka masuk kembali ke dalam gardu pengawal yang bertugas di halaman, namun sebagian dari mereka masih tetap mengawasi ketiga orang yang berdiri di halaman itu.

“Terimalah kuda mereka” berkata Akuwu lantang.

Tiga orang pengawal telah mendekati Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan. Mereka menerima kendali kuda mereka dan menambatkan di pinggir halaman istana Akuwu yang cukup luas itu.

“Ki Sanak” berkata Akuwu kepada ketiga orang yang berdiri termangu-mangu di halaman, “aku sudah mendengar segala sesuatu mengenai Ki Sanak. Aku pun telah menerima laporan, bahwa Ki Sanak adalah orang-orang yang pilih tanding”

Ketiga orang yang berdiri dihalaman itu pun menjadi semakin menyadari sikap Akuwu itu, sehingga dengan demikian, maka mereka pun mulai dapat menduga, apa yang akan dilakukan oleh Akuwu yang masih muda itu.

Sejenak ketiga orang dihalaman itu menilai Akuwu yang sedang berdiri tegak di tangga istananya. Mahisa Agni dan Witantra mulai memperbandingkan Akuwu itu dengan Akuwu Tumapel pada masa mudanya. Akuwu Tunggul Ametung yang dianggap sebagai seorang yang tidak ada duanya di Tumapel. Namun akhirnya ia terbunuh oleh Ken Arok. Ken Arok yang disebut sebagai kekasih dewa-dewa. Tetapi Ken Arok pun bukannya manusia yang tidak terkalahkan. Pada suatu saat Ken Arok pun telah terbunuh.

“Memang mungkin sekali bahwa seorang Akuwu memiliki kemampuan yang tidak ada bandingnya“ berkata Mahisa Agni di dalam-hatinya.

Namun, Mahisa Agni, dan Witantra itu pun meyakini, bahwa Mahisa Bungalan yang masih semuda Akuwu itu, juga memiliki kemampuan yang sulit dicari bandingnya.

“Ki Sanak” berkata Akuwu itu kemudian, “menurut laporan yang aku terima, kalian telah berhasil menangkap sekelompok perampok yang merampok di sebelah padukuhan”

“Bukan begitu Sang Akuwu” jawab Mahisa Agni, “yang hamba ketahui, hamba sekedar membantu, apa yang telah dilakukan oleh rakyat padukuhan itu sendiri. Sama sekali hamba dan kedua kadang hamba ini tidak merasa menangkap perampok-perampok itu”

Akuwu mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian, “Baiklah. Jika kalian merasa bahwa kalian tidak menangkap para perampok itu, karena mereka telah ditangkap oleh rakyat padukuhan itu sendiri, namun bukankah kalian berhasil menangkap pemimpin perampok yang telah melarikan diri?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hamba Akuwu. Tetapi itu pun satu kebetulan”

“Ternyata kalian adalah orang-orang yang suka merendahkan diri. Aku tidak tahu, apakah kalian benar-benar orang yang rendah hati, atau sekedar berusaha mengurangi kesalahan yang pernah kalian lakukan” berkata Akuwu kemudian, “He Ki Sanak. Kau ternyata telah menghindarkan seorang Senapati yang sedang mengemban tugas. Kau telah melawannya dan bahkan mengalahkannya. Luar biasa. Bukankah itu satu pameran kekuatan yang mengagumkan? Aku yang tidak melihat bagaimana kau melakukannya menjadi kagum”

“Hamba mohon maaf, Sang Akuwu” jawab Mahisa Agni, “bukan maksud kami untuk menentang perintah Sang Akuwu. Tetapi sebenarnyalah, bahwa kami merasa tidak bersalah. Dengan demikian maka tidak sepantasnya kami ditangkap dan dibawa menghadap Akuwu”

“Salah atau tidak salah, perintahku harus ditaati,“ bentak Akuwu muda itu.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia berhadapan dengan Akuwu yang masih muda, yang baru seumur Mahisa Bungalan. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk menjaga, agar jawaban-jawabannya tidak menyinggung perasaannya.

Dalam pada itu, maka Mahisa Bungalan menjawab, “Sekarang hamba telah menghadap Akuwu”

“Sudah terlambat” jawab Akuwu, “kau sudah dianggap bersalah karena telah menolak perintahku yang pertama, yang aku limpahkan lewat seorang Senapatiku”

Sementara itu, Mahisa Bungalan berdesis, “Apa boleh buat.“

“Tunggulah” bisik Witantra.

Tetapi rasa-rasanya Mahisa Bungalan sudah tidak sabar lagi. Meskipun seandainya ia harus bertempur melawan pengawal di seluruh pakuwon, agaknya akan lebih baik daripada menyerah begitu saja. Bahkan dengan akibat apapun juga.

Sementara itu, maka Mahisa Agni pun bertanya, “Jadi, apakah yang seharusnya kami lakukan Sang Akuwu?“

“Kalian harus dihukum sesuai dengan kesalahan kalian” jawab Akuwu, “kesalahan kalian adalah kesalahan yang berat, karena kalian telah melawan perintahku.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dengan dada tengadah ia berkata, “Hukuman apakah yang akan kami terima?”

“Seharusnya kalian menerima hukuman yang paling berat yang dapat dibebankan kepada seseorang. Kalian harus dihukum mati karena kalian telah memberontak.”

Sekali lagi Witantra menggamit Mahisa Bungalan yang bergerak setapak maju. Sementara Mahisa Agni berkata, “Hukuman mati adalah hukuman bagi seorang pengkhianat. Tetapi kami bukan pengkhianat. Jika kami menentang perintah Sang Akuwu, bukan berarti kami berkhianat, karena kami memang bukan penghuni Pakuwon ini.”

“Cukup” geram Akuwu muda itu, “siapa pun kalian, ternyata kalian berada di daerahku sekarang ini. Yang kau lakukan terjadi di daerah kekuasaanku.”

“Tetapi Akuwu tidak memikirkan akibatnya” jawab Mahisa Agni, “bahwa kami bukan orang kabur kanginan. Kami adalah orang yang memiliki tempat tinggal. Kami adalah orang yang berada di bawah satu kekuasaan seperti kekuasaan Akuwu di sini. Kami adalah orang-orang yang berada di bawah satu sayap perlindungan. Jika kami mati di sini, maka itu bukan satu penyelesaian yang baik bagi Pakuwon ini. Aku yakin, bahwa aku tidak berdiri sendiri. Aku yakin, bahwa akan timbul perselisihan yang menuntut korban demi korban. Kematian demi kematian karena peperangan.”

“Aku tidak peduli” teriak Akuwu itu.

“Kecuali jika kita bersikap jantan” berkata Mahisa Agni kemudian.

Akuwu itu mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia bertanya, “apa maksudmu?”

“Jika Akuwu menghukum mati kami bertiga, maka hal itu akan memberikan kesan ketidak adilan. Terutama bagi lingkungan kami. Bagi orang-orang yang merasa mempunyai kewajiban untuk melindungi kami. Tetapi jika kami mati dalam arena perang tanding, maka tidak seorang pun yang akan merasa tersinggung karenanya. Karena kami mati sebagai seorang laki-laki.“

“Gila. Kau menantang aku, he?” teriak Akuwu yang masih muda itu, “aku akan membuka arena perang tanding. Siapa yang akan maju di antara kalian. Aku akan melawan kalian seorang demi seorang. Membunuh orang yang pertama sebagai pelaksanaan hukuman mati yang harus kalian alami. Namun aku akan melakukannya dengan sikap jantan. Kemudian orang yang kedua dan yang ketiga. Jangan kalian sangka, bahwa karena kalian dapat mengelabui seorang Senapatiku, maka kalian merasa bahwa kalian memiliki ilmu yang linuwih di hadapanku.”

“Bagus” Mahisa Bungalan sudah tidak dapat dicegah lagi. Sambil melangkah maju ia berkata, “Kita masih sama-sama muda. Biarlah aku orang yang pertama melayani perang tanding”

“Persetan” geram Akuwu. Lalu katanya kepada para pengawalnya, “Aku akan melakukan perang tanding. Tidak seorang pun di antara kalian yang aku perkenankan untuk mencampurinya”

Para Senapati yang berada di halaman itu saling berpandangan. Namun mereka pun mengerti, bahwa Akuwu benar-benar akan melakukan perang tanding. Sementara itu, maka para Senapati dan pengawal pun menganggap bahwa ketiga orang itu telah melakukan langkah yang salah. Jika mereka menanggapi jatuhnya hukuman itu dengan cara yang lain, maka Akuwu pun tentu akan bersikap lain. Jika ketiga orang itu bersedia mohon ampun, maka biasanya Akuwu akan mengampuninya. Meskipun masih juga ada hukuman yang harus mereka jalani, tetapi hukuman itu tentu akan jauh lebih ringan dari hukuman mati.

Namun ketiga orang itu ternyata justru telah menantang Akuwu, sehingga Akuwu benar-benar menjadi marah. Dalam perang tanding, Akuwu mungkin akan benar-benar membunuh lawannya. Karena bagi mereka, Akuwu adalah seorang yang tidak dapat dikalahkan. Apalagi pada saat itu, guru Akuwu yang luar biasa itu, berada di istana itu juga.

Sebenarnyalah, seorang tua yang berambut putih, berdiri di pintu seketheng sambil menahan nafasnya. Ia melihat suasana yang panas di halaman. Namun ia pun melihat, bahwa ketiga orang yang berdiri di halaman itu memang bukannya orang kebanyakan, sehingga perang tanding itu telah mendebarkannya pula. Tetapi ia tidak dapat mancegahnya. Akuwu sudah menjatuhkan keputusan untuk melakukan perang tanding. Dan apa yang dikatakan olah Akuwu itu, tentu harus dilaksanakan”

Dalam pada itu, Para pengawal pun telah berada dalam satu lingkaran yang luas di halaman. Di tengah-tengah lingkaran itu, Akuwu akan melakukan perang tanding. Yang pertama-tama akan memasuki arena dari ketiga orang yang telah ditangkap itu adalah orang yang paling muda.

Sejenak kemudian Akuwu telah turun pula ke arena. Ia sama sekali tidak memegang senjata apapun, namun ketika Mahisa Bungalan memasuki arena itu pula, ia berkata, “Ambillah senjata apapun yang kau kehendaki”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. dengan, demikian ia sadar, bahwa ia berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu yang tinggi dengan ilmu puncaknya yang pantas di banggakan. Tetapi sebagai murid Mahisa Agni, dan sekaligus Witantra dan ayahnya pula, maka Mahisa Bungalan pun memiliki ilmu pamungkas. Ia akan dapat melepaskan ilmu itu dalam saat yang paling gawat.

Sejenak kemudian, kedua orang-orang muda itu sudah berhadapan. Akuwu yang dengan dada tengadah berdiri di bawah tangga istananya berkata, “Nah, kau masih mempunyai kesempatan. Apakah kau akan terus, atau mundur”

Tetapi jawab Mahisa Bungalan, “Kau kira aku lebih senang berjongkok untuk menjalani hukuman mati daripada aku harus berada di tengah-tengah arena ini? Jika aku mati di arena, maka aku mati sebagai laki-laki. Bukan sebagai seorang perampok yang dipenggal kepalanya. Tetapi lebih parah dari itu. Pakuwon ini tentu akan dilanda banjir bandang. Kematian demi kematian akan datang. Kau sangka kekuatan pengawal di Pakuwon mu ini tidak terbatas sehingga akan dapat melawan siapapun?"

“Jangan mengigau” desis Akuwu itu, “ambil senjata dan lawan aku”

“Aku bukan pengecut” jawab Mahisa Bungalan, “jika kau tidak bersenjata, aku pun tidak akan bersenjata”

“Tanganku melampaui jenis senjata apapun” jawab Akuwu.

“Tetapi tidak akan mampu melukai kulitku“ jawab Mahisa Bungatan yang menjadi panas.

Akuwu yang masih muda itu menggeram. Katanya, “Bersiaplah. Aku akan mulai”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Ia pun kemudian mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Ketika Akuwu itu bergeser, maka Mahisa Bungalan pun bergeser. Mahisa Buugalan sadar sepenuhnya, bahwa Akuwu itu bukan sekedar seperti Ki Buyut yang memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain yang tidak berpribadi kuat. dengan sorot matanya. Bukan pula Sanapati yang sombong. tetapi tidak mempunyai bekal ilmu. Tetapi agaknya Akuwu benar-benar memiliki kemampuan yang tinggi.

Sejenak kemudian, Akuwu itu pun mulai bergerak. Tangannya mulai terjulur, sementara Mahisa Bungalan pun telah bergeser setapak surut. Demikianlah, maka sesaat kemudian, perang tanding di antara keduanya pun telah mulai menyala di halaman itu. Ternyata Akuwu itu pun menyadari, bahwa lawannya memiliki kekuatan yang cukup membekali keberaniannya. Namun Akuwu tidak menduga, bahwa kemampuan anak muda yang telah memasuki arena itu, benar-benar ilmu pada tingkatan yang tinggi.

Sejenak kemudian, Akuwu mulai merasa betapa langkah-langkah anak muda itu kadang-kadang mengejutkannya. Kecepatannya bergerak melampaui perhitungannya. Sehingga karena itulah, maka Akuwu itu pun telah meningkatkan kamampuannya pada tataran tertinggi. Ia mulai menambah tenaga cadangannya untuk berusaha menekan lawarnya. Namun ia menjadi berdebar-debar, bahwa ilmu yang telah sampai pada tataran tertinggi itu sama sekali tidak menggetarkan lawannya. Bahkan lawannya itu seolah-olah menjadi semakin gairah.

“Anak gila” geram Akuwu, “apakah ia tidak menyadari keadaannya. Atau akulah yang tidak menyadarinya”

Dalam pada itu, Akuwu pun telah meningkatkan pula tenaga cadangannya. Dengan demikian maka kecepatannya bergerak pun menjadi semakin bertambah. Karena seolah-olah tidak lagi berjejak di atas tanah, sehingga para pengawalnya menjadi semakin kagum.

Namun, yang dilakukan itu sama sekali tidak membingungkan Mahisa Bungalan. Ia masih mampu mengimbangi kecepatan gerak dan kekuatan lawannya. Bahkan ketika Akuwu itu sempat menyerangnya dengan ayunan tangan mendatar menyamping, Mahisa Bungalan tidak mengelak. Bahkan dengan sengaja ia telah menangkis serangan itu, sehingga telah terjadi benturan kekuatan di antara keduanya.

Namun Mahisa Bungalan pun terkejut karenanya. Tangannya merasa sakit. Ternyata Akuwu itu telah meningkatkan pula tenaga cadangannya, sehingga ia hampir mengerahkan segenap kekuatannya. Tetapi Akuwu pun terkejut pula mengalami benturan itu. Ternyata perasaan pedih yang sangat telah menggigit tangannya yang membentur tangan Mahisa Bungalan. Bahkan rasa-rasanya dagingnya menjadi lumat karenanya dan tulangnya bagaikan menjadi retak.

“Luar biasa” geram Akuwu itu di dalam hatinya. Dengan demikian Akuwu pun semakin menyadari, bahwa ia benar-benar berhadapan dengan seorang anak muda yang berilmu tinggi. Namun demikian Akuwu masih mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri.

Sejenak kemudian, perang tanding itu pun menjadi semakin sengit. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka sampai pada tataran yang menentukan. Akuwu yang ternyata terbentur pada lawan yang kuat itu, tidak lagi mengekang dirinya. Bahkan ia telah bergumam kepada diri sendiri, “Orang ini memang pantas dihukum mati”

Oleh pikiran itu, maka Akuwu itu pun telah sampai kepada satu keputusan untuk menyelesaikan pertempuran itu. Ia tidak lagi ragu-ragu untuk menghantam lawannya dengan ilmu pemungkasnya meskipun dengan demikian lawannya akan menjadi lumat. Apalagi ia memang sudah mengatakan, bahwa orang itu harus dihukum mati. Karena Akuwu yang masih muda itu tidak melihat kesempatan lain, maka ia pun menentukan sikap. Sesaat ia menghentakkan tenaga cadangannya dan berusaha mendesak lawannya. Namun sejenak kemudian, Akuwu itu meloncat surut.

Mahisa Bungalan terkejut melihat sikapnya. Bahkan kemudian jantungnya menjadi berguncang ketika ia melihat Akuwu itu bersikap. Mahisa Bungalan sadar, bahwa Akuwu itu akan melepaskan ilmu pamungkasnya. Ilmu yang tentu jarang ada bandingnya. Sehingga karena itu maka Mahisa Bungalan tidak akan membiarkan dirinya menjadi lumat. Ia adalah seorang anak muda yang memiliki lambaran ilmu dari orang-orang tua yang menuntunnya. Meskipun ilmu itu belum sempurna, namun ilmu itu akan dapat melindungi dari kehancuran mutlak.

Mahisa Agni, Witantra dan orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin tegang. Mahisa Agni dan Witantra segera mengetahui, bahwa Akuwu itu telah sampai ke puncak ilmunya. Sementara orang-orang yang mengelilingi arena, para pengawal dan Senapati, telah mengenal, bahwa tidak seorang pun yang pernah berhasil menyelamatkan diri dari sentuhan ilmu yang dahsyat itu. Hanya dalam keadaan yang tidak terkendali saja Akuwu itu mempergunakan ilmunya. Karena itu, maka Akuwu jarang sekali mempergunakannya. Jika ia mempergunakan untuk menghadapi Mahisa Bungalan, adalah karena ia tidak mampu lagi untuk mengalahkan dengan kemampuan ilmunya sewajarnya.

Dalam pada itu, orang tua yang menyaksikan pertempuran itu di belakang para pengawal itu pun menjadi tegang. Tetapi ia tidak sempat berbuat apa-apa. Dalam waktu yang singkat, Akuwu telah mangetrapkan ilmu pamungkasnya, sementara Mahisa Bungalan yang tidak mau menjadi lumat itu pun telah melakukan hal yang serupa.

Sejenak kemudian, arena itu telah dicengkam oleh ketegangan yang memuncak. Seperti petir meloncat di langit. Akuwu itu menyambar lawannya dengan ilmu puncaknya. Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan pun telah merendahkan dirinya pada lututnya, menyilangkan tangannya didadanya. Ketika tangan Akuwu itu terayun, maka Mahisa Bungalan mengangkat kedua tangannya yang bersilang, menangkis-serangan Akuwu yang mempergunakan segenap kekuatan ilmu puncaknya.

Yang terjadi adalah benturan yang dahsyat. Mahisa Bungalan telah terlempar beberapa langkah surut. Bahkan ia telah tidak berhasil mempertahankan keseimbangan. Meskipun ia masih dapat menguasai dirinya, namun ia telah terhuyung-huyung dan jatuh pada lututnya. Dengan susah payah berusaha agar ia tetap menyadari keadaannya. Ia tidak mau kehilangan pengamatan diri, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk mempertahankan diri. Yang terjadi adalah benar-benar pertempuran antara hidup dan mati. Jika ia kehilangan kesadarannya, maka lawannya tentu akan dengan mudah membunuhnya. Namun jika ia masih tetap berhasil menguasai dirinya, betapapun lemahnya, ia masih akan mampu membela diri.

Karena itu, meskipun Mahisa Bungalan tidak tergesa-gesa meloncat berdiri, namun ia tetap menyadari keadaannya. Bahkan ia justru sempat beristirahat untuk mengatur pernafasannya. Namun ketika ia mengangkat kepalanya, dilihatnya lawannya tidak lagi berdiri di arena. Baru kemudian ia mengerti, bahwa Akuwu yang membentur kekuatannya itu pun telah terlempar beberapa langkah surut. Bahkan ternyata keadaannya lebih parah dari Mahisa Bungalan yang masih sempat bertahan pada lututnya. Dalam pada itu, Akuwu yang masih muda itu telah terbaring di tanah. Pingsan.

Sementara itu, orang tua berambut putih yang memperhatikan pertempuran itu dengan saksama, telah menyibak beberapa orang pengawal. Dengan langkah yang tenang, orang tua itu mendekati Akuwu yang terbaring diam. Kemudian ia pun berjongkok disisi Akuwu yang sedang pingsan itu.

Beberapa orang Senapati telah mengerumuninya dan berjongkok pula di seputarnya. Sejenak mereka memperhatikan, apa yang dilakukan oleh orang tua itu. Dengan sebuah bubuk yang dicairkan dengan air yang diambil oleh salah seorang pengawal, orang tua itu mengusap kening dan dahi Akuwu, Kemudian setitik air bersih telah diteteskan ke bibirnya pula.

“Ia akan segera sadar” desis orang tua itu.

Dalam pada itu, beberapa orang Senapati pun telah berbisik yang satu dengan yang lain, “Kita tangkap, orang itu”

“Ya. Kita tangkap orang itu” sahut yang lain.

Dalam pada itu, beberapa orang Senapati pun telah melangkah maju kearena, sementara Mahisa Agni dan Witantra telah membantu Mahisa Bungalan membenahi dirinya dan mengatur pernafasannya. Agaknya anak muda itu tidak mengalami kesulitan meskipun ia menjadi sangat letih.

“Kalian harus kami tangkap” desis seorang Senapati.

Namun sebelum Muhisa Agni menjawab, orang tua berambut putih itu mencegah para Senapati. Katanya, “Jangan berlaku licik. Yang terjadi adalah perang tanding sehingga akhir dari perang tanding ini harus kalian terima sebagai satu kenyataan.

“Dan orang-orang itu tidak menerima hukumannya?” bertanya para Senapati.

Orang tua itu pun kemudian bangkit sambil berdesis, “Layani Akuwu yang pingsan itu. Ia akan segera sadar. Biarlah aku menyelesaikan persoalan ini dengan orang-orang itu. Mereka bukannya tidak dihukum. Tetapi kita harus mempergunakan cara yang sudah disepakati untuk menghukum mereka. Aku pun akan melakukan perang tanding”

Mahisa Bungalan yang masih dalam keadaan letih itu pun sempat menjawab, “Bagus. Beri kesempatan aku mengatur pernafasanku. Aku akan memasuki arena perang tanding”

Tetapi Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Beristirahatlah. Biarlah Orang tua yang bermain-main dengan orang tua pula”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Sementara itu Mahisa Agni berkata, “Biarlah aku melawannya”

“Kau atau aku?“ bertanya Witantra. Percakapan itu ternyata telah menyinggung perasaan orang berambut putih yang menantang perang tanding itu Dengan suara lantang ia berkata, “Majulah berdua. Aku adalah guru Akuwu yang dapat dikalahkan anak muda itu, meskipun ia sendiri sudah tidak mampu lagi berbuat sesuatu”

Mahisa Bungalan akan menjawab. Tetapi Witantra menggamitnya. Sementara Mahisa Agni lah yang kemudian menjawab, “Jangan begitu Ki Sanak. Jika kita setuju untuk melakukan perang tanding, maka yang akan berlangsung adalah perang tanding apapun akibatnya”

“Bagus” jawab orang berambut putih itu, “kita akan melakukan perang tanding. Tantanganmu itu adalah satu kesalahan besar bagimu, sehingga menjerumuskan kalian bertiga kedalam keadaan yang paling parah. Sebenarnya Akuwu bukan orang yang sangat kejam untuk membunuh orang-orang yang telah pasrah. Mungkin kau akan mendapat pengampunan jika kau memohonnya. Tetapi dengan sombong kau menantang perang tanding”

“Akuwu sudah aku kalahkan” geram Mahisa Bungalan.

“Belum” jawab orang itu.

“Sudah. Jika tidak ada batas dalam perang tanding ini, aku sekarang dapat mendekatinya dan mencekiknya sampai mati, apa bila perang tanding ini dinyatakan sampai mati. Jika keadaan yang terjadi sebaliknya, mungkin Akuwu akan membunuhnya. Tetapi yang terjadi sekarang aku tidak membunuhnya. Tetapi aku menang atas Akuwu itu. Jika kau jujur, kau akan mengakuinya”

Orang tua itu menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat ingkar, karena yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan itu memang sebenarnya demikian. Namun dalam pada itu, dengan gigi gemeretak orang tua itu berkata, “Aku akan menebus kekalahan ini. Aku akan bertempur sampai mati”

“Jangan begitu Ki Sanak” sahut Mahisa Agni dengan serta merta, “kita akan bertempur dengan jantan. Kita akan mengakui, kekalahan yang mungkin akan kita derita. Tetapi bukan berarti bahwa kita akan membunuh diri”

“Terserah kepada kalian” jawab orang berambut putih itu, “tetapi aku adalah guru Akuwu yang telah menjatuhkan hukuman mati atas kalian tanpa mendapat kesempatan untuk memberikan pengampunan. Karena itu, maka dalam perang tanding ini, aku sekaligus akan melaksanakan hukuman mati itu, Aku akan membunuh lawan-lawanku seperti yang dimaksud oleh Akuwu”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau terlalu terpengaruh oleh perasaanmu Ki Sanak. Seharusnya orang-orang yang sudah setua kita, akan dapat berpikir dengan lebih mengendap. Namun agaknya kau mempunyai sedikit kelainan dengan orang-orang yang aku maksudkan”

“Jangan banyak berbicara“ potong orang berambut putih itu, “cepat, siapakah yang akan mati lebih dahulu. Tentu bukan anak muda itu. Ia terlalu cepat mati. Karena itu, ia akan mandapat giliran yang terakhir”

“Baiklah” jawab Mahisa Agni, “jika kau berkeras untuk melakukannya, aku tidak berkeberatan. Marilah aku layani kau bermain-main”

Orang berambut putih itu pun kemudian maju beberapa langkah. Namun dalam pada itu, ia sempat berpaling ketika ia mendengar desah Akuwu yang mulai menyadari keadaannya.

“Minggirlah” berkata orang berambut putih itu, “aku akan melaksanakan hukuman yang sudah Akuwu jatuhkan atas orang-orang ini. Aku akan mempergunakan cara yang telah dipilihnya”

“Terserahlah kepada guru” desis Akuwu. itu, yang kemudian dibantu oleh beberapa orang pengawal menepi.

Sejenak kemudian orang berambut putih itu sudah berhadapan dengan Mahisa Agni, sementara Witantra berdiri di sebelah Mahisa Bungalan yang masih letih. Namun kekuatannya berangsur-angsur telah pulih kembali.

“Ki Sanak” berkata orang berambut putih, “kita akan segera mulai. Jangan menyesal, bahwa kalian telah menjadi korban kesombongan kalian sendiri”

“Aku tidak akan menyesal” jawab Mahisa Agni, “aku sudah memasuki daerah ini dengan maksud baik, dan kami bertiga sudah berusaha membantu orang-orangmu yang mengalami kesulitan. Tetapi inilah hadiah yang aku terima. Karena itu, maka biarlah kami bukan saja mempertahankan diri, tetapi kami berhak mempertahankan sikap adil yang telah kalian korbankan sekedar karena harga diri”

“Cukup“ geram orang berambut putih itu ”apakah kau akan mempergunakan senjata?”

”Sebagaimana yang kau lakukan. Jika kau yakin dengan tanganmu, aku pun akan mempergunakan tanganku. Aku mengerti bahwa kau akan mempergunakan ilmu pamungkasnya, seperti yang nampak pada Akuwu itu, tetapi dalam tataran yang lebih tinggi”

Orang berambut putih itu menggeram. Tetapi ia pun mengerti bahwa orang yang menghadapinya diarena itu dengan penuh kesadaran menghadapinya. Sejenak kemudian, maka kedua orang tua itu sudah barhadapan. Mahisa Agni yang tidak bermimpi untuk berhadapan dengan seseorang dalam perang tanding, merasa dirinya tidak mempunyai pilihan laia Karena ia tidak akan menyerahkan lawannya kepada Witantra yang tentu dalam keadaan yang serupa dengan dirinya.

Karena itu, maka betapapun rasa segan membayanginya, ia harus menghadapi orang berambut putih itu dalam satu perang tanding. Namun ternyata orang berambut putih itu masih merasa perlu menjajagi kemampuan lawannya. Tidak seperti yang diduga oleh Mahisa Agni, bahwa ia akan langsung mempergunakan ilmu pamungkasnya. Namun orang berrambut putih itu telah menyerang Mahisa Agni dengan kemampuan wajarnya. .

Keduanya pun kemudian mulai bertempur dengan ketrampilan jasmaniah mereka. Ternyata kedua orang, tua itu masih mampu bergerak cepat sehingga para pengawal yang menyaksikannya menjadi heran dan kadang-kadang bingung. Mereka kadang-kadang kehilangan pengamatan atas kedua lawannya. Tiba-tiba saja pada saat-saat yang tidak terduga, keduanya berada di tempat yang justru berlawanan dari penglihatan orang-orang yang berdiri di pinggir arena itu.

Demikianlah pertempuran itii semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya bergerak semakin cepat. Namun kemudian keduanya tidak saja mempergunakan tenaga wantah, tetapi keduanya mulai mempergunakan tenaga cadangan masing-masing, sehingga pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Benturan-benturan yang terjadi menjadi semakin seru, sehingga orang-orang yang menyaksikan itu mulai melihat benturan-benturan kekuatan yang tidak mereka mengerti. Meskipun keduanya tidak bersenjata, namun kedua tangan mereka ternyata memiliki kemampuan melampaui senjata yang betapapun kuatnya. Agaknya bindi sebesar paha sekalipun tidak akan dapat mematahkan kekuatan tangan mereka.

Dalam pada itu, orang berembut putih itu telah mengerahkan segenap tenaganya. Bahkan tenaga cadangannya. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin cepat bergerak dan semakin kuat. Tetapi ia tidak berhasil mendesak Mahisa Agni, karena Mahisa Agni pun telah meningkatkan kemampuannya pula. Bahkan akhirnya Mahisa Agni pun sempat menilai kekuatan dan kemampuan lawannya. Ketika orang berambut putih itu tidak lagi meningkatkan serangan-serangannya pada kekuatan dan kecepatan gerak, tahulah Mahisa Agni bahwa orang itu sudah sampai dipuncak.

“Jika ia akan meningkat lagi, ia akan mempergunakan ilmu puncaknya” berkata Mahisa Agni didalam hatinya.

Karena itulah, maka ia pun harus berhati-hati. Setiap saat orang itu akan dapat melontarkan ilmu puncaknya. Namun dalam pada itu, yang semula tidak begitu jelas nampak di saat Akuwu bertempur melawan Mahisa Bungalan, maka pada tata gerak orang berambut putih itu pun mulai nampak semakin jelas. Menurut penilaian Mahisa Agni dan juga penilaian Witantra yang berdiri di luar arena, Akuwu adalah murid orang berambut putih itu yang telah menerima segala macam ilmunya dengan tuntas. Meskipun kematangan ilmu Akuwu itu masih harus dikembangkan, tetapi menurut penglihatan Mahisa Agni dan Witantra. Akuwu itu sudah mencerminkan kemampuan gurunya.

Namun demikian, Mahisa Agni masih belum sampai hati melepaskan Mahisa Bungalan melawan orang itu, seandainya sejak semula ilmu itu sudah dapat dijajaginya. Dalam pada itu, yang nampak pada Mahisa Agni dan Witantra adalah beberapa persamaan antara tata gerak orang berambut putih itu dengan ilmu seseorang yang pernah dikenalnya.

“Ilmu ini tentu satu keturunan dengan ilmu Ki Dukut Pakering” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “meskipun ada beberapa perkembangan yang agak lain”

Pada murid-murid Ki Dukut, tata gerak ini masih nampak jelas. Tetapi agaknya tidak pada Akuwu yang pingsan itu. Meskipun Mahisa Agni tidak tahu sebabnya, namun pada Akuwu itu tata gerak itu mulai kabur, meskipun setelah diamati dengan seksama, tata gerak itu masih nampak juga pada jiwanya. Tetapi jika Mahisa Agni tidak melihat tata gerak orang berambut putih itu, maka sulit untuk mencari hubungan tata gerak Akuwu itu dengan murid-murid Ki Dukut Pakering.

Justru karena itu, maka Mahisa Agni pun menjadi semakin tertarik melihat kemampuan lawannya. Ketika batas kemampuan orang berambut putih itu sudah tidak meningkat lagi, sementara orang itu masih belum dapat menguasai lawannya, seperti yang diduga oleh Mahisa Agni, maka orang itu pun segera mempersiapkan ilmu pamungkasnya.

Mahisa Agni tidak terkejut melihatnya. Ia pun akan dapat melawan ilmu itu dengan ilmunya, dan Mahisa Agni pun yakin, bahwa ia akan dapat mengatasinya, setidak-tidaknya mengimbanginya. Namun sebelum orang itu sampai kepada ilmu puncaknya, Mahisa Agni berkata, “Sudahlah Ki Sanak. Yang akan terjadi telah tercermin pada muridmu. Jika kau mempergunakan ilmu Puncakmu, dan aku pun akan melawan dengan ilmuku. Benturan akan terjadi. Kita masing-masing akan terlempar dan menjadi-sangat letih. Setelah itu, perlahan-lahan kita berusaha memulihkan kekuatan kita masing-masing. Jika kita masih belum puas, benturan yang serupa akan terjadi, meskipun lebih lemah”

“Kau tidak akan dapat menahan ilmu pamungkasku” geram orang berambut putih.

“Muridku dapat melakukannya atas muridmu. Bahkan kau dapat melihat keseimbangan di antara keduanya” jawab Mahisa Agni.

“Apakah kau takut melawan ilmuku?“ bertanya orang itu.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sebelumnya ia menduga bahwa orang tua itu tidak akan sekeras Akuwu yang masih muda. Namun ia masih harus membuktikannya. Karena itu, maka Mahisa Agni masih mencobanya lagi. Katanya, “Ki Sanak. Kita adalah orang-orang tua. Apakah kita masih juga tidak mampu melihat kenyataan, bahwa jika kita masing-masing harus melepaskan ilmu pamungkas, semuanya itu tidak akan ada artinya selain membuang-buang tenaga, waktu dan barangkali kita akan mengalami luka-luka dan kesakitan. Sementara persoalan kita tidak akan dapat diselesaikan dengan cara itu, karena masalahnya adalah harga diri. Kadang-kadang kita menilai harga diri kita satria dengan nyawa kita”

Ternyata orang berambut putih itu mulai merenung. Karena itu Mahisa Agni mulai berharap bahwa orang itu akan mendengarkannya.

“Ki Sanak. Seumur kita ini sudah bukan waktunya lagi untuk berlagak dihadapan banyak orang, apakah Ilmu kita dikagumi orang lain atau tidak. Jika mereka sudah melihat, kita melepaskan ilmunya, maka mereka tentu akan dapat menduga, betapa kemampuan gurunya, meskipun bukan mutlak bahwa jika muridnya mempunyai kemampuan selapis lebih tinggi, maka gurunya pun demikian pula”

Orang berambut putih itu mulai mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Aku sependapat Ki Sanak. Tidak ada gunanya kita melepaskan ilmu pamungkas kita masing-masing. Kau benar, bahwa hal itu tidak akan ada gunanya” berkata orang berambut putih itu.

Dalam pada itu, Akuwu terkejut mendengar keputusan gurunya. Karena itu, maka dengan nada tinggi ia bertanya, “Guru akan membiarkan mereka?”

“Bukan maksudku. Tetapi apakah kita akan dapat mengingkari kenyataan? Kita bertempur untuk mempertahankan harga diri. Apakah kita akan mengorbankan harga diri dengan memerintahkan semua pengawal di Pakuwon ini untuk bergerak?“ bertanya gurunya.

“Apakah guru tidak dapat membunuhnya saja?“ bertanya Akuwu.

Ternyata gurunya menggeleng. Katanya, “Aku tidak akan dapat membunuhnya meskipun dengan ilmu puncak yang ada padaku. Ia pun memiliki kemampuan yang akan dapat mengimbangi kemampuanku sehingga yang akan terjadi, adalah satu benturan yang tidak ada artinya”

“Jadi bagaimana dengan mereka Guru?“ bertanya Akuwu.

“Mereka tidak dapat kita kalahkan dalam perang tanding” jawab gurunya, “karena itu. Maka kita tidak akan dapat menghukumnya dengan cara lain apabila kita tetap berpegang pada harga diri kita”

Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Tubuhnya masih terasa sakit. Namun selangkah ia maju mendekati gurunya sambil bertanya, “Jadi, persoalan ini sudah selesai sampai disini?”

“Ya” jawab gurunya, “aku kira demikian”

“Tetapi aku Akuwu di sini” berkata Akuwu itu.

“Justru karena itu, pakailah kebijaksanaan. Berikan contoh sikap perwira kepada para pengawalmu” jawab gurunya.

Wajah Akuwu menjadi tegang. Ia merasa tersinggung oleh keadaan itu. Namun ia tidak dapat menentang gurunya. Bahkan hatinya pun mulai mengerti dan merasa arti kata-kata gurunya. Namun kedudukannya sebagai Akuwu telah mempersulit keadaannya di hadapan para pengawalnya, seolah-olah ia tidak mampu menjatuhkah hukuman terhadap orang yang bersalah.

Agaknya Mahisa Agni dapat melihat gejolak perasaan Akuwu itu. Karena itu, maka berusaha untuk membantunya mengatasi perasaannya. “Akuwu” berkata Mahisa Agni kemudian, “mungkin yang terjadi ini tidak sesuai dengan tuntunan keadilan bagi Akuwu yang menganggap kami bersalah. Tetapi Akuwu pun tidak akan dapat ingkar akan kesediaan Akuwu untuk berperang tanding. Mungkin Akuwu dapat mengambil keputusan lain, tetapi itu pun akan kurang bijaksana."

“Kebijaksanaan Akuwu tidak dapat digugat“ geram Akuwu.

“Jika demikian, baiklah Akuwu“ jawab Mahisa Agni, “jika Akuwu masih merasa belum memenuhi kewajiban keadilan Akuwu atas orang yang bersalah, sementara Akuwu sudah terikat kepada kesediaan Akuwu untuk berperang tanding, maka cobalah Akuwu menuntut pada peradilan yang lebih tinggi”

“Apa maksudmu?“ bertanya Akuwu.

“Jika Akuwu mengakui kekuasaan Singasari, ajukan masalah ini kepada peradilan di Singasari, karena aku adalah orang yang pantas mendapat peradilan di Singasari” jawab Mahisa Agni.

Akuwu itu menjadi tegang sejenak. Tiba-tiba saja ia berdesis, “Siapa kau sebenarnya?”

“Aku adalah salah satu dari hamba istana Singasari. Kami berdua yang tua-tua ini adalah wulu cumbu Mahaprabu di Singasari” jawab Mahisa Agni.

Wajah Akuwu, menjadi semakin tegang. Terdengar suaranya bergetar, “Sapakah kau berkata sebenarnya?”

“Bertanyalah kepada para tetua di Singasari” sahut Mahisa Agni. Namun tiba-tiba, “Tetapi Akuwu, apakah Akuwu tidak pernah datang menghadap ke Singasari?”

“Ia belum lama menjabat Akuwu” jawab gurunya, “Ayahandanya baru saja meninggal. Kemudian ia pun diangkat menjadi penggantinya sambil menunggu pengesahan dari Singasari”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Pada suatu saat, di hari pasowanan, kau dapat mencari aku di Singasari. Aku yang sudah tua, jarang sekali hadir dipaseban. Tetapi di waktu-waktu khusus Maha Prabu di Singasari memanggil kami berdua”

Orang tua berambut putih itu menjadi berdebar-debar. Jika kedua orang itu adalah benar-benar orang-orang yang dekat dengan Maha Prabu di Singasari, maka persoalan akan dapat berkembang jika keduanya merasa terhina dengan perlakukan Akuwu terhadap mereka.

Namun dalam pada itu, Mahisa Agni berkata, “Lupakan apa yang telah terjadi, jika kalian mengakui apa yang aku katakan”

Tetapi nampaknya Akuwu yang muda itu tidak segera dapat mempercayainya. Masih nampak keragu-raguan memancar pada sorot matanya.

Namun orang berambut putih itu kemudian berkata, “Jika demikian, kami mengucapkan terima kasih. Karena itulah agaknya maka agaknya tuan-tuan dapat berlaku bijaksana. Kami mohon maaf atas segala tingkah laku kami. Beruntunglah bahwa aku masih mendengar peringatan tuan. Jika tidak, dan aku memaksa diri untuk membenturkan ilmuku, maka aku kira aku tidak akan dapat bangkit lagi selama-lamanya”

“Mungkin yang terjadi sebaliknya” jawab Mahisa Agni ”karena itu, aku aku kira perbuatan yang demikian akan menyia-nyiakan segalanya”

“Tentu akulah yang akan menjadi debu” desis orang berambut putih itu. Lalu katanya, “Jika demikian. perkenankanlah kami mempersilahkan tuan naik ke pendapa”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya para pengawal yang berdiri termangu-mangu. Senapati yang pernah dikalahkan oleh Mahisa Bungalan, yang juga berada dihalaman itu, berusaha untuk bersembunyi dibalik punggung kawannya.

“Pantas aku dianggapnya sebagai permainan saja” berkata Senapati itu di dalam hatinya, “ternyata mereka adalah orang-orang dalam istana Singasari”

Akuwu yang muda itu pun tidak dapat berbuat lain. Gurunya telah menentukan satu sikap terhadap ketiga orang itu. Karena itu, maka ia pun tidak dapat mengelak lagi.

Sejenak kemudian ketiga orang itu telah berada di pendapa Agung istana Akuwu yang tidak siap untuk menerima mereka. Suasana yang canggung dan kaku mewarnai pertemuan itu. Namun orang berambut putih itu agaknya berusaha untuk mengisi kekosongan dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah.

“Apakah tuan-tuan telah lama berada di istana Singasari?” bertanya orang berambut putih itu pula.

Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Saudaraku ini mengabdi bukan saja setelah Singasari berdiri. Tetapi sejak Akuwu Tunggul Ametung memerintah Pakuwon Tumapel”

“Sejak Akuwu Tunggul Ametung?“ orang berambut putih itu merasa heran, “sudah lama sekali”

“Kami pun sudah terlalu tua sekarang” jawab Witantra, “sudah tentu waktu aku menghamba di Tumapel aku masih sangat muda”

Orang berambut putih itu mengangguk-angguk. Sementara Witantra pun kemudian berkata, “Karena itu. Ki Sanak, jangan terlalu berprihatin atas keadaan ini. Aku percaya. Bahwa Akuwu yang masih muda itu, masih belum dapat mengendalikan dirinya sebagaimana orang-orang tua. Tetapi jangan merasa direndahkan dengan sikap kami. Bukan maksud kami menyombongkan diri, tetapi jika kami mengaku bahwa kami orang-orang dalam istana Singasari semata-mata untuk memberitahukan kepada Ki Sanak, terutama kepada Akuwu yang masih muda itu, bahwa yang kalian alami bukannya satu penghinaan”

Akuwu yang masih muda itu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa setelah ia sempat merenungi apa yang telah terjadi, dan orang-orang sedang dihadapinya, maka mulailah ia menyadari keadaannya.

Sementara itu orang berambut putih itu berkata, “Demikianlah memang yang terjadi di dalam hati kami. Setelah kami mengetahui siapakah tuan-tuan ini, maka kami pun justru telah menyesali perbuatan kami. Kami sama sekali merasa terhina, sementara kewibawaan Akuwu pun tidak tersinggung karenanya. Justru karena yang hadir di sini adalah orang-orang dalam istana Singasari” Orang itu berhenti sejenak, lalu, “tuan-tuan, jika tuan yang seorang ini telah berada di istana sejak masa pemerintahan Tumapel, bagaimana dengan tuan yang seorang lagi?”

“Aku pun berada di istana sejak masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung” jawab Mahisa Agni.

Namun Witantra telah menambah, “Sama sekali aku beritahukan agar kalian mendapat gambaran yang benar tentang kami bertiga, sehingga tidak akan menyesal bahwa kalian telah melepaskan kami dan tidak menjatuhkan hukuman. Orang ini adalah saudara tua puteri yang menurunkan Maha Prabu di Singasari sekarang ini”

“Jadi?“ orang berambut putih itu terkejut. Demikian juga Akuwu yang masih muda itu.

Meskipun Mahisa Agni menggamitnya, namun Witantra berkata selanjutnya, “Ia adalah saudara tua puteri Ken Dedes”

“Puteri Ken Dedes, isteri Akuwu Tunggul Ametung, yang kemudian menjadi permaisuri di Singasari pada masa pemerintahan Sri Rangga Rajasa Sang Amurwabhumi?” bertanya orang berambut putih itu.

Witantra mengangguk sambil tersenyum. Jawabnya, “Ya Ki Sanak. Tetapi sudahlah, Jangan kau hiraukan. Mungkin ada masalah lagi yang dapat kita bicarakan”

Wajah-wajah nampak menjadi tegang. Orang berambut putih itu pun menjadi tegang, seperti juga Akuwu yang masih muda itu. Beberapa orang Senapati terpenting yang ikut duduk bersama mereka pun menjadi tegang pula dengan jantung yang berdebar-debar.

Hampir setiap orang pernah mendengar tentang Akuwu Tumapel yang terbunuh oleh hambanya yang bernama Kebo Ijo, yang kemudian digantikan oleh seorang anak muda yang disebut sebagai keturunan Dewa Brahma. Yang kemudian berhasil mengalahkan Kediri dan mendirikan Singasari sebagai pusat pemerintahan. Dalam urutan peristiwa itu, tersebut juga seorang puteri yang bernama Ken Dedes.

Dalam pada itu, ternyata kecuali keheranan dan ketegangan yang mencengkam, maka Akuwu, gurunya dan para Senapati itu pun merasa, adalah satu tindakan yang tergesa-gesa bahwa mereka telah menangkap dan bahkan mengadili orang-orang itu sebelum mereka dengan sungguh-sungguh menelusuri segala peristiwa yang terjadi dan yang telah mereka lakukan.

Tetapi dengan demikian usaha Mahisa Agni telah berhasil. Bahwa orang-orang yang mengadilinya itu memang harus mencabut keputusannya tanpa mengorbankan wibawanya, karena sebagaimana menjadi satu sikap, bahwa sabda pandita ratu, sekali sudah diucapkan maka tidak akan dapat dicabut lagi. Namun menghadapi ketiga orang yang ternyata bukan orang kebanyakan itu, mereka tidak dapat berbuat lain, karena mereka tidak ingin berurusan dengan Singasari.

Sementara orang-orang yang keheran-heranan itu masih, termangu-mangu, maka Witantra pun berkata, “Sudahlah. Jangan hiraukan lagi, Kecuali jika masih ada keragu-raguan antara kalian”

“Tidak. Tidak tuan” berkata orang berambut putih itu, “aku percaya bahwa tuan-tuan adalah para pemimpin tertinggi di Singasari. Hal itu ternyata nampak pada kebijaksanaan tuan. Tuan berusaha menghindari benturan kekerasan, karena tuan-tuan tidak ingin membunuh aku. meskipun akan dapat tuan lakukan jika tuan menghendaki. Itu adalah cermin dari satu sikap seorang pemimpin sejati. Justru bukan dengan kekuasan yang ada pada tuan, tetapi dengan sikap yang bijaksana”

“Jangan memuji” jawab Mahisa Agni, “jika kalian mempercayai kami, kami harap bahwa kalian melupakan saja peristiwa yang baru saja terjadi”

“Terima kasih tuan. Jika tuan berkenan memaafkan segala kelancangan kami” jawab orang berambut putih itu.

“Sudahlah” berkata Mahisa Agni, “mungkin ada sesuatu yang lebih penting dibicarakan sekarang ini. Tetapi aku kira, persoalannya terlalu khusus, sehingga aku hanya ingin berbicara dengan Akuwu dan Gurunya”

Akuwu yang masih muda itu menjadi berdebar-debar. Langkahnya yang salah itu memang dapat menggoyahkan kedudukannya. Sementara itu permintaan Mahisa Agni untuk berbicara hanya dengan Akuwu dan gurunya, membuatnya semakin gelisah.

Dalam pada itu, orang berambut putih itu pun minta kepada orang-orang lain yang hadir untuk sementara meninggalkan pertemuan itu, agar mereka dapat berbicara dengan leluasa.

Ketika yang tinggal hanya Akuwu dan orang berambut putih itu, maka Mahisa Agni pun kemudian bertanya, “Ki Sanak. Aku minta maaf. Bahwa mungkin sekali pengamatanku keliru. Atau mungkin ada persoalan khusus yang tidak aku ketahui”

Ketika Mahisa Agni berhenti sajenak, Akuwu dan gurunya itu menjadi semakin berdebar-debar.

“Apakah Ki Sanak mengenal atau mengetahui seseorang yang bernama Ki Dukut Pakering?“ bertanya Mahisa Agni kemudian.

Orang berambut putih itu menjadi tegang sejenak. Namun kemudian katanya, “Tuan. Agaknya aku memang tidak pantas untuk berbohong kepada tuan. Karena itu, aku tidak akan ingkar, bahwa aku masih mempunyai hubungan dengan orang yang bernama Ki Dukut Pakering. Bukan maksud kami untuk mengaku justru karena Ki Dukut mempunyai kedudukan yang baik di Kediri, karena kebetulan ia menjadi seorang yang mendapat kepercayaan untuk mengasuh dua orang Pangeran kakak beradik”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih Ki Sanak. Dengan demikian, maka ternyata bahwa Ki Sanak sudah cukup lama tidak bertemu dengan Ki Dukut Pakering dan bahkan tidak mendengar kabar beritanya”

“Kenapa?“ orang berambut putih itu menjadi heran.

“Tetapi apakah Ki Sanak dapat mengatakan hubungan antara Ki Sanak dan orang yang bernama Ki Dukut itu?” bertanya Mahisa Agni.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian. katanya, “Pertanyaan tuan membuat aku menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi baiklah. Aku harus memberi penjelasan seperti yang sebenarnya aku mengerti”

“Terima kasih” desis Mahisa Agni.

“Aku memang masih mempunyai sangkut paut dengan Ki Dukut Pakering. Seperti yang aku katakan, bukan karena aku mengaku-aku karena kedudukannya. Tetapi ia memang seorang yang memiliki saluran ilmu seperti yang aku miliki. Ketajaman penglihatan tuan, semakin meyakini aku, bahwa tuan adalah orang yang luar biasa”

“Sudahlah. Jangan memuji. Tetapi bagaimana dengan Ki Dukut itu?“ potong Mahisa Agni.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tuan. Ki Dukut adalah murid yang terpercaya dari seorang guru yang pilih tanding. Tetapi yang sudah beberapa lama meninggal. Sementara aku adalah murid dari saudara seperguruan dari guru Ki Dukut itu. Karena itu, mungkin tuan melihat beberapa persamaan antara unsur gerak Ki Dukut, karena kami memang bersumber dari perguruan yang sama, Namun dalam perkembangannya, pengaruh pengalaman dan pengamatan setiap murid, maka nampak ada kelainan yang juga semakin berkembang. Sejauh makin jauh hubungan diantara kami maka semakin jauh pula perbedaan-perbedaan yang ada di antara kami”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya apa yang dikatakan oleh orang berambut putih itu. Namun dalam pada itu, Mahisa Agni pun semakin yakin bahwa orang itu tentu sudah lama tidak pernah berhubungan lagi dengan Ki Dukut, sehingga ia tidak mengerti, apa yang telah terjadi atasnya.

Namun dalam pada itu, Mahisa Agni menganggap perlu untuk memberitahukan hal itu kepada Akuwu dan gurunya segala sesuatu mangenai Ki Dukut Pakering, agar keduanya tidak dapat dibujuknya untuk membantunya melakukan kejahatan lebih jauh lagi. Ketika Mahisa Agni berbisik ditelinga Witantra, maka Witantra pun mengangguk menyetujuinya.

“Memang ada baiknya” desis Witantra.

Akuwu dan gurunya termangu-mangu sejenak. Mereka melihat Mahisa Agni dan Witantra berbicara.. Justru karena itu mereka tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, maka keduanya menjadi semakin berdebar-debar.

“Ki Sanak” berkata Mahisa Agni kemudian, “aku minta maaf, bahwa aku akan memberikan beberapa keterangan tentang Ki Dukut. Aku tidak akan mengatakan apa-apa jika aku tidak mengetahui bahwa kaliah masih mempunyai sangkut paut dengan Ki Dukut. Namun agaknya keteranganku akan sedikit mengecewakan bagi kalian”

“Kami menjadi berdebar-debar” berkata orang berambut putih itu.

Sejenak kemudian maka Mahisa Agni pun mulai berceritera tentang Ki Dukut. Tentang tingkah lakunya dan tentang ketamakannya. sehingga ia berhasil mangadu kedua Pangeran kakak beradik yang menjadi muridnya itu.

Ternyata berita itu telah mengejutkan. Apalagi ketika Mahisa Agni mengatakan, bahwa Ki Dukut telah menghubungi beberapa pihak. Mula-mula perampok-perampok yang bertebaran di daerah yang jauh dari tangan-tangan para prajurit Singasari dan para pengawal di Kediri. Namun usahanya sama sekali tidak berhasil. Kemudian ia telah menghubungi orang-orang dari lingkungan mereka yang berilmu hitam.

“Ki Dukut ternyata telah mempergunakan gelar Rajawali Penakluk” berkata Mahisa Agni kemudian, “agaknya ia ingin menakut-nakuti perampok-perampok yang bertebaran. Namun ternyata ia memang berhasil menghimpunnya”

“Bukan main” desis orang berambut putih itu, “kami sudah pernah mendengar seorang pemimpin perampok yang sangat disegani yang mempergunakan gelar Rajawali Penakluk”

“Itulah Ki Dukut Pakering” desis Mahisa Agni.

“Kami hampir tidak percaya atas berita ini” desis Akuwu, “tetapi seperti yang sudah kami katakan, kami percaya kepada tuan-tuan”

“Karena itu Akuwu” berkata Mahisa Agni, “mungkin Akuwu pernah mendengar kejahatan yang merambah daerah kekuasaan Akuwu yang tidak langsung mempunyai sangkut paut dengan Ki Dukut Pakering”

“Memang mungkin tuan” jawab Akuwu itu.

“Mungkin ia hadir dalam ujud yang berbeda“ berkata Mahisa Agni, Lalu, “Akuwu, sebenarnyalah bahwa perampok yang baru saja ditangkap beramai-ramai itu pun mempunyai hubungan dengan Ki Dukut pada mulanya. Ketika Ki Dukut mencari pendukung dari para perampok-perampok yang tersebar. Namun yang ternyata tidak memenuhi keinginannya”

“Dari mana tuan tahu?“ bertanya orang berambut putih itu.

“Mereka menyebut-nyebut Rajawali Penakluk, meskipun sudah lama orang yang menamakan dirinya Rajawali itu tidak kunjung datang” jawab Mahisa Agni.

Akuwu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Kami sekarang menjadi semakin gamblang. Kami masih harus mohon maaf berulang-kali”

“Sudahlah, jangan diulang lagi. Yang penting, Akuwu aku monon berhati-hati. Mungkin pada suatu saat Ki Dukut akan datang kemari jika ia sadar, bahwa guru Akuwu masih mempunyai hubungan perguruan” berkata Mahisa Agni kemudian.

“Terima kasih” desis Akuwu itu, “kami sangat berterima kasih atas segala keterangan yang sudah tuan berikan. Kami akan berhati-hati menghadapi segala kemungkinan”

“Ya. Mudah-mudahan orang itu tidak datang lagi kemari“ berkata Mahisa Agni. Tetapi kemudian katanya, “Namun Akuwu, pada suatu masa Ki Dukut pernah juga mohon bantuan beberapa orang pemimpin padepokan. Mungkin satu dua diantara mereka berada didalam wilayah kekuasaan Akuwu. Karena itu, maka agaknya masih perlu bagi Akuwu untuk mengumpulkan keterangan tentang kemungkinan yang tidak diharapkan, mungkin kemarahan Ki Dukut terhadap para pemimpin padepokan yang tidak bersedia membantunya dengan sepenuh hati”

Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Kami akan melakukannya”

“Terima kasih“ berkata Mahisa Agni. Lalu, “agaknya keterangan yang aku harapkan tentang Ki Dukut masih belum dapat terpenuhi, karena sebenarnyalah aku ingin mencarinya dan berbicara dengan orang itu dengan cara apapun juga. Karena itu, maka agaknya masalah-masalah yang timbul pada kami bertiga telah tidak akan berkepanjangan”

“Ya, ya tuan” jawab Akuwu yang masih muda itu, “segalanya sudah jelas, Kami mohon maaf”

“Kami pun mohon maaf” jawab Mahisa Agni. Lalu, “kami akan mohon diri. Kami harap masalah Ki Buyut dan para perampok itu dapat diselesaikan sebaik-baiknya. Salam kami kepada para penghuni Kabuyutan itu”

Orang berambut putih itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Kami akan menemui para pemimpin Kabuyutan itu menjelaskan apa yang telah terjadi, dan siapakah tuan-tuan itu sebenarnya”

“Itu tidak perlu” jawab Mahisa Agni.

”Tetapi jika tuan tidak berkeberatan, biarlah mereka pun mengetahui, kenapa kami tidak bertindak lebih jauh atas tuan-tuan, karena sebenarnyalah bahwa kami tidak mempunyai wewenang untuk melakukannya, “jawab terang berambut putih itu.

Mahisa Agni tersenyum. Karena itu, maka ia tidak menolaknya lagi. Katanya, “Silahkan Ki Sanak. Nampaknya ada juga baiknya bagi Akuwu”

Kemudian sekali lagi Mahisa Agni mohon diri sambil berpesan, bahwa Ki Dukut itu harus dihadapi jika ia memang berada di daerah kekuasaan Akuwu ”Untunglah di sini ada seseorang yang mampu mengimbanginya sehingga karena, itu, maka jika terjadi sesuatu, daerah ini tidak akan terlalu mengalami kecemasan” berkata Mahisa Agni.

“Setidak-tidaknya, kami mempunyai sepasukan pengawal. Betapapun tinggi ilmunya, jika kami serentak menghadapinya, maka ia akan kehilangan kesempatan” jawab orang berambut putih itu.

Demikianlah, maka Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan itu pun telah meninggalkan Pakuwon itu. Meskipun ada juga kejengkelan di hati Mahisa Bungalan, namun ia harus menerima segalanya yang telah terjadi.

“Sebenarnya aku ingin melihat orang tua itu membentur ilmu paman Mahisa Agni” berkata Mahisa Bungalan di dalam hati, “dengan demikian ia akan yakin, tanpa memberi penjelasan panjang lebar. Dan dengan demikian, orang-orang Pakuwon itu tidak akan dapat menghindari satu penyesalan atas kesombongan mereka”

Tetapi Mahisa Agni ternyata mengambil sikap lain. Ia telah berusaha mencegah benturan yang terjadi, sehingga orang-orang yang berada di seputar arena tidak dapat melihat satu bukti bahwa guru Akuwu muda itu sama sekali tidak berarti bagi Mahisa Agni.

Namun Mahisa Bungalan pun kemudian berdesis di dalam hati, “Mungkin paman Mahisa Agni menjadi cemas, jika orang itu mati” Meskipun perasaan itu masih saja bergejolak, namun Mahisa Bungalan tidak mengatakannya kepada Mahisa Agni maupun kepada Witantra.

Dalam pada itu, sepeninggal Mahesa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan, maka Akuwu pun menjadi gelisah. Ia menjadi cemas bahwa sikapnya itu akan dapat mempengaruhi kedudukannya yang masih harus mendapat pengesahan dari Singasari.

“Tetapi nampaknya mereka bukan pendendam” berkata gurunya, “karena itu, mereka tidak akan mempergunakan peristiwa ini sebagai alasan untuk menggagalkan kedudukanmu”

Akuwu yang masih muda itu mengangguk-angguk. Katanya. "Mudah-mudahan. Tetapi yang termuda di antara mereka itu nampaknya mempunyai sikap tersendiri”

“Itu hanya karena kemudaannya saja“ jawab gurunya, “tetapi ia pun orang baik seperti juga kedua orang yang lain” gurunya berhenti sejenak, lalu, “sebaiknya kau tidak memikirkannya. Lebih baik kita menyelesaikan masalah Kabuyutan yang telah menjadi ribut itu”

“Aku akan pergi sendiri ke Kabuyutan itu“ berkata Akuwu yang masih muda itu.

“Pergilah. Tetapi jangan tergesa-gesa mengambil satu sikap jika kau belum yakin akan sikap itu. Kau akan melihat bukan saja sekelompok perampok yang tertangkap, tetapi kau akan mengalami persoalan lain. Beberapa orang yang kebetulan memegang jabatan di Kabuyutan itu, termasuk Ki Buyut sendiri, justru adalah orang-orang yang telah mengacaukan Kabuyutan itu”

“Ya guru” jawab Akuwu, “aku akan melihat segalanya” Demikianlah, maka Akuwu itu pun segera berkemas. Tubuhnya masih terasa nyeri dibeberapa bagian. Tetapi ia merasa bahwa ia telah pulih kembali.

Beberapa orang Senapati dan pengawal telah diperintahkannya untuk mengikutinya, karena mereka akan membawa para perampok itu untuk mendapatkan pengadilan. Tetapi juga para pemimpin Kabuyutan yang telah melakukan kecurangan itu harus mendapatkan hukumannya. Sejenak kemudian, maka kuda pun telah berderap meninggalkan istana Akuwu yang masih muda itu. Diiringi oleh para pengawal lengkap dengan tanda-tanda kebesaran seorang Akuwu, mereka telah menyusuri jalan-jalan menuju Kabuyutan yang sedang diselubungi oleh kabut yang suram itu.

Kedatangan, Akuwu telah mengejutkan beberapa orang di padukuhan itu. Sementara itu mereka baru saja dikejutkan oleh isyarat yang mendebarkan. Justru setelah tiga orang yang telah menolong mereka dibawa oleh seorang Senapati yang mendapat limpahan kekuasaan dari Sang Akuwu. Dengan hati yang berdebar-debar, maka Ki Demung dan Ki Perapat telah menyambut kedatangan Akuwu yang masih muda itu di rumah Ki Buyut yang justru sedang berada didalam tahanan itu.

Namun mereka menjadi semakin gelisah ketika mereka melihat wajah Akuwu muda itu nampak gelap. Meskipun demikian, Ki Demung telah memberanikan diri untuk mengucapkan selamat datang kepada Akuwu itu. Tetapi jawaban Akuwu memang mendebarkan. Katanya tanpa menanggapi kata-kata Ki Demung, “Bawa Ki Buyut kemari, aku ingin berbicara”

Ki Demung pun kemudian telah mengambil Ki Buyut dari biliknya dan membawanya menghadap Akuwu yang masih muda itu. Dengan hati berdebar-debar, maka Ki Demung pun kemudian berkata, “Sang Akuwu, inilah Ki Buyut yang tuanku kehendaki menghadap”

Akuwu yang masih muda itu mengangguk-angguk. Kegelisahannya karena sikapnya yang terlanjur atas Mahisa Agni, membuatnya berwajah muram dan bersikap keras terhadap siapapun. “Kaukah yang telah membuat Kabuyutanmu sendiri menjadi kisruh?“ bertanya Akuwu dengan nada keras pula.

Ki Buyut mengangkat wajahnya. Untuk beberapa saat ia memandang wajah Sang Akuwu yang masih muda itu. Baru kemudian ia menjawab, “Ampun Akuwu. Hambalah Buyut dipadukuhan ini”

Ki Demung dan Ki Perapat pun menjadi gelisah. Beberapa orang lain pun menjadi gelisah pula. Apalagi ketika, pertanyaan Akuwu menurun, “Apakah benar kau telah melakukan suatu perbuatan tercela, seperti yang dilaporkan oleh seorang Senapati yang aku utus datang kemari?”

“Sebenarnyalah, bahwa hamba tidak ingin merusakkan kesejahteraan yang sudah hamba rintis di atas tanah Kabuyutan ini tuanku“ jawab Ki Buyut.

Orang-orang yang ikut hadir itu pun menjadi semakin berdebar ketika mereka mendengar Akuwu bertanya, “Jadi, bagaimana menurut pendapatmu, bahwa beberapa pihak di Kabuyutan ini menganggap bahwa kau telah melakukan kesalahan. Bahkan kau telah bekerja bersama dengan, sekelompok perampok justru untuk merampok orang-orang yang berada di Kabuyutanmu sendiri”

Sekali lagi Ki Buyut menatap mata Akuwu yang masih muda itu. Kemudian sambil tersenyum Ki Buyut berkata, “Sebagaimana penilaian tuanku”

Akuwu itu pun kemudian memandang Ki Demung, Ki Perapat dan beberapa orang lain yang berada di tempat itu. Dengan suara lantang ia bertanya, “He, apakah benar tuduhan kalian tentang Ki Buyut ini he?“

Ki Demung menjadi sangat gelisah. Dengan suara bergetar ia mencoba menjelaskan, “Seorang Senapati tuanku telah datang untuk memeriksa keadaan di Kabuyutan ini. Senapati itu akan dapat menjadi saksi, apa yang telah terjadi”

“Kau sendiri yakin?“ tiba-tiba saja Akuwu itu justru membentak.

Ki Demung menjadi semakin gelisah. Ia mengerti, tatapan mata Ki Buyut itu dapat memberikan pengaruh Kepada orang lain yang tidak menyadari keadaannya, seperti ia sendiri pernah mengalami. “Jika saja ketiga orang itu masih berada disini” berkata Ki Demung didalam hatinya. Namun ia pun kemudian menjadi berdebar, karena ketiga orang itu telah dibawa oleh Senapati menehadap Akuwu.

Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba saja Akuwu mendesak dengan nada keras, “Apakah kau yakin?"

Ki Demung telah terdesak. Tidak ada kesampatan lagi untuk barpikir. Karena itu, ia pun kemudian menjawab, “Ampun Akuwu, hamba yakin bahwa Ki Buyut telah dengan sengaja ingin mengambil keuntungan lagi dirinya sendiri dari Kabuyutan ini, yang bahkan telah sampai hati melakukan tindakan yang paling keji, dengan memberikan kesempatan perampokan di daerah kekuasaannya”

Akuwu mengerutkan keningnya. Sekilas ia memancang wajah Ki Buyut yang memandanginya pula. Lalu tiba-tiba ia bertanya kepada Ki Demung, “Apakah yang kau lakukan itu bukan sekedar karena pengaruh tiga orang yang baru saja berada di Kabuyutan ini?”

Jantung Ki Buyut menjadi semakin berdebar-debar. Namun ia pun menjawab, “Tidak Sang Akuwu. Tetapi mereka memang, telah membantu kami menangkap orang-orang yang kami anggap bersalah”

“Apakah kau berkata sebenarnya?“ desak Akuwu pula.

“Ya. Hamba yakin” akhirnya suara Ki Demung justru menjadi semakin tegas, justru pada saat kecurigaannya atas pengaruh tatapan mata Ki Buyut terhadap Akuwu yang menjadi semakin kuat.

Bahkan Ki Perapat pun akhirnya tidak dapat tinggal diam. Dengan mantap ia pun berkata, “Hamba pun berpendirian demikian tuanku, sebagaimana sikap orang-orang padukuhan ini pada umumnya”

Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang Ki Buyut maka Ki Buyut pun memandanginya pula dengan tajamnya. Sejenak suasana menjadi tegang. Ki Damung, Ki Perapat dan orang-orang yang berada ditempat itu banar-banar talah dicengkam oleh kegelisahan. Jika Ki Buyut berhasil mempengaruhi Akuwu dengan tatapan matanya, maka segalanya akan pecah berserakkan.

“Akuwu masih sangat muda” berkata Ki Demung di dalam hatinya, “mungkin sekali ia belum menemukan kepribadiannya dengan mantap, meskipun ia memiliki ilmu yang tinggi”

Namun kemudian Akuwu itu pun mengangguk-angukan kepalanya sambil berkata, “Sekarang aku telah melihat sendiri apa’ yang terjadi. Aku mengerti, dan aku percaya, bahwa Ki Buyut telah melakukan satu kasalahan yang tidak ada taranya, justru bagi satu daerah kekuasaannya sendiri”

“Tuanku“ Ki Buyut itu terkejut. Dengan tajamnya, ia masih saja menatap mata Akuwu yang memandanginya.

Namun tiba-tiba saja Akuwu berkata, “Jangan mencoba berbuat deksura seperti itu. Jangan kau sangka, aku tidak tahu, apa yang kau lakukan selama ini. Kau kira aku adalah anak-anak yang tidak kuasa mencari keseimbangan. Di dalam diriku sendiri dengan tatapan matamu itu? Aku memang ingin mencoba, apakah kau berlaku jujur atau tidak”

“Ampun tuanku” desis Ki Buyut yang kemudian telah menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Akuwu yang masih muda itu memandang Ki Buyut yang tertunduk. Dengan suara lantang ia berkata, “Ki Buyut. Aku sudah berusaha menahan diri. Hampir saja aku meloncat mencekikmu, ketika aku merasa yakin kau mencoba mempengaruhi aku. Tetapi aku bertahan untuk mengetahui betapa beraninya kau menghina aku dihadapan sekian banyak orang”

Ki Buyut semakin manunduk sehingga kepalanya hampir menyentuh lantai. Dangan suara gemetar ia barkata, “Ampun tuanku. Betapa bodohnya hamba yang berani berbuat demikian di hadapan Akuwu”

“Nah, sebaiknya kau katakan, apa yang sudah kau lakukan di sini” berkata Akuwu kemudian.

Ki Buyut menjadi ragu-ragu.

“Katakan dihadapan orang banyak, sebagaimana kau mencoba merendahkan martabatku dihadapan sekian banyak orang dengan usahamu mempengaruhi aku dengan tatapan matamu” tiba-tiba saja Akuwu yang masih muda itu membentak.

Ki Buyut bergesar setapak surut. Ketakutan yang sangat telah mencengkam jantungnya, sehingga ia pun kemudian mengatakan apa yang sebanarnya telah dilakukannya dihadapan Akuwu dan dihadapan beberapa orang bebahu yang hadir di tempat itu.

Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Pengakuanmu sudah cukup. Kau tidak akan terlepas dari hukuman yang berat. Aku sendirilah yang akan mengetrapkan hukuman itu”

“Ampun tuanku, hamba mohon ampun, “suara Ki Buyut itu menjadi semakin gemetar.

Akuwu tidak menghiraukannya, seolah-olah ia tidak mendengarnya. Kemudian diperintahkannya mamanggil pamimpin perampok yang sudah tertawan pula. “Bawa mereka bersama para perampok yang lain“ perintah-Akuwu, “aku sendiri akan mengadili mereka esok pagi. Tetapi berhati-hatilah. Ki Buyut yang sempat mengacaukan daerah pamerintahannya sendiri itu senang bermain-main dengan ilmu sihir. Ia dapat mempengaruhi dengan tatapan matanya. Asal itu kalian sadari, kalian tidak akan terpengaruh sama sekali”

Ki Buyut tidak dapat ingkar lagi. Maka para Senopati dan pengawal yang mengikuti Akuwu telah melakukan tugas mereka. Mereka telah mempersiapkan pemimpin perampok dan Ki Buyut untuk dibawa ke Pakuwon, sementara beberapa orang pangawal telah mengambil para perampok yang tartawan pula.

Sementara itu, Ki Demung dan Ki merapat telah di panggil menghadap sacara khusus untuk didengar keterangannya tentang Kabuyutan itu dan terutama tentang tiga orang yang baru saja berada di daerah Kabuyutan itu dan telah membantu meraka mengatasi perampokan yang justru mendapat perlindungan dari Ki Buyut.

“Aku telah melakukan satu kesalahan” berkata Akuwu berterus terang. Lalu, “Aku telah terpengaruh oleh sikap Senapti dan para pengawal”

Ki Demung dan Ki Perapat mengangguk-angguk. Katika Akuwu itu menceriterakan apa yang telah terjadi, maka Ki Demung dan Ki Perapat itu menarik nafas dalam!

“Syukurlah jika sagalanya telah dapat diselesaikan dengan baik” berkata Ki Demung, “hamba pun yakin sejak semula, bahwa ketiganya adalah orang-orang yang memang barbuat kebaikan tanpa pamrih”

“Ya. Dan sekarang segalanya terserah kepada kalian” berkata Akuwu, “Ki Buyut tidak akan mendapat kan kedudukannya kembali, karena aku tidak yakin, hukuman yang betapapun beratnya akan dapat menyembuhkannya. Karana itu, maka kalianlah yang wajib melakukan sagala usaha untuk memperbaiki keadaan padukuhan-padukuhan yang termasuk dalam daerah Kabuyutan ini”

Perintah Akuwu itu sudah tegas. Karena itu, maka Ki Demung dan Ki Perapat merasa mendapat beban tanggung jawab bagi padukuhan-padukuhan yang tergabung dalam satu Kabuyutan.

Setelah memberikan beberapa penjalasan, maka Akuwu yang telah melihat sendiri keadaan di Kabuyutan itu pun sagera minta diri untuk kembali. Perintahnya pun telah dipertegas pula, menyerahkan sagala sesuatunya kepada Ki Demung dan Ki Perapat.

“Siapa yang menentang kebijaksanaan ini. berarti menentang keputusanku” berkata Akuwu yang masih muda itu.

Sapeninggal Akuwu itu, maka Ki Demung dan Ki Perapat telah mengumpulkan orang-orang terpenting untuk membicarakan kemungkinan menentukan sikap mengulasi kekosongan karena Ki Buyut yang terpaksa dibawa oleh para pengawal Sang Akuwu.

Adalah diluar dugaan mareka, bahwa tiba-tiba saja Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan telah singgah di Kabuyutan mereka. Kedatangan ketiga orang itu ternyata telah disambut dengan sikap yang jauh berbeda dengan sikap mereka sebelumnya, meskipun sebelumnya mereka juga menunjukkan sikap yang baik.

“Kami mohon maaf tuanku” berkata Ki Demung, “kami yang bodoh sama sekali tidak mengetahui siapakah tuanku sabenarnya”

Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan justru menjadi enggan untuk tinggal di Kabuyutan itu karena sikap mereka. Karena itulah, maka mereka pun hanya sekedar memberikan beberapa petunjuk saja, kemudian mereka minta diri untuk melanjutkan perjalanan.

”Agaknya Akuwu telah datang kemari dan berceritera tentang kami” berkata Mahisa Agni.

“Ya tuanku” jawab Ki Demung.

“Baiklah. Lakukanlah pesan Akuwu sebaik-baiknya. Kami akan melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan lain kali kami akan dapat singgah lagi” berkata Mahisa Agni.

Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan tidak dapat mereka tahan lagi untuk bermalam barang satu malam. Ketiganya kemudian meninggalkan bukan saja Kabuyutan itu, tetapi mereka telah melintasi batas dari Kabuyutan yang terbentang di dalam daerah Pakuwon. Mereka tidak lagi diganggu di perjalanan setelah ada isyarat bahwa keadaan telah dapat dikuasai. Meskipun masih ada bekas-bekas kesiagaan, tetapi tidak ada lagi yang menegur mereka dan apalagi berusaha menahan mereka meski sebagian besar orang-orang di sepanjang jalan tidak mengenal mereka.

Sejak hari itu, maka mereka telah mulai lagi dengan satu pengembaraan. Meskipun mereka telah bertemu dengan orang-orang yang pernah mengenal nama Rajawali Penakluk dan orang yang memiliki sumber ilmu yang sama dengan Ki Dukut, namun mereka sama sekali tidak mendapat keterangan tentang Ki Dukut itu sendiri.

Dalam pada itu, maka mulailah Mahisa Bungalan teringat lagi kepada sebuah padukuhan kecil yang pernah dikunjunginya dalam pengembaraannya seorang diri. Teringatlah ia kepada padepokan Kenanga dan seorang yang bernama Ki Selabajra. Ia pun teringat pula pada seorang gadis yang mempunyai arti tersendiri di dalam hatinya, Ken Padmi. Namun kemudian Mahisa Bungalan itu pun mengerutkan keningnya. Di padepokan itu, atau setidak-tidaknya dekat dari padepokan itu terdapat seseorang yang bernama Marwantaka.

Mahisa Bungalan sama sekali tidak menjadi gentar. karena nama itu. Tetapi jika kehadirannya di padepokan itu telah menumbuhkan persoalan baru, sebagaimana telah pernah terjadi, maka hal itu sama sekali tidak dikehendakinya. Meskipun demikian, diluar kehendaknya maka mereka telah menelusuri jalan menuju ke padepokan kecil itu. Jalan itu memang panjang, namun rasa-rasanya tidak akan menjadi hambatan. Apalagi Mahisa Agni dan Witantra sama sekali tidak berbicara tentang arah. Mereka menelusuri jalan yang manapun juga sambil mendengarkan orang berbicara tentang keadaan mereka. Barangkali mereka mendengar seseorang menyebut nama Ki Dukut Pakering.

Tetapi rasa-rasanya Mahisa Bungalan seperti orang yang terbangun dari mimpinya ketika tiba-tiba saja ia berada di ujung bulak panjang menghadap ke sebuah padepokan di kejauhan. Seolah-olah ia telah terlempar begitu saja ke sebuah padepokan yang pernah dihuninya meskipun hanya sangat singkat. Watu Kendeng. Di luar sadarnya pula Mahisa Bungalan telah menarik kandali kudanya, sehingga dengan demikian maka Mahisa Agni dan Witantra pun telah berbuat serupa pula dan berhenti di belakang Mahisa Bungalan.

“Apa yang kau lihat?“ bertanya Mahisa Agni, “apakah kau melihat Ki Dukut berlari-lari di pategalan?”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun menjawab, “Di depan kita adalah padepokan Watu Kendeng”

“Kau mengenal padepokan itu?“ bertanya Mahisa Agni.

“Aku pernah tinggal di padepokan itu dalam satu pengembaraan” jawab Mahisa Bungalan.

“Apakah kita akan singgah?“ bertanya Mahisa Agni.

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Baru sejenak kemudian ia menjawab, “Apakah ada keuntungannya kita singgah?“

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Terasa pertanyaan itu agak janggal. Meskipun demikian Mahisa Agni menjawab juga, “Kita telah singgah di banyak padukuhan. Di kedai-kedai atau bahkan kadang-kadang kita berbicara dengan orang-orang yang tidak kita kenal dan justru mencurigai kita. Tetapi jika kita sudah kenal isi padepokan itu, bukankah kita akan dapat berbicara dengan mereka. Syukur jika mereka pernah mendengar sesuatu tentang Ki Dukut. Tetapi jika tidak, kita dapat mempererat hubungan yang sudah lama kau mulai”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Beberapa padepokan di sekitar daerah ini pernah dikunjungi oleh Ki Dukut. Beberapa di antara mereka kita temui di padepokan Ki Kasang Jati, saat mereka dikelabui oleh keterangan palsu Ki Dukut Pakering”

“Dan kita pernah mencemaskan, bahwa dendam Ki Dukut akan membakar daerah ini” desis Witantra.

“Ya” jawab Mahisa Bungalan.

“Jika demikian, alangkah baiknya jika kita singgah” berkata Wjlantra kemudian.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam Padepokan itu memberikan satu kenangan tersendiri. Ki Watu Kendeng pernah menganggapnya sebagai anak sendiri. “Baiklah” berkata Mahisa Bungalan kemudian, “kita akaa singgah di padepokan kecil itu. Mudah-mudahan segalanya belum berubah. Aku sudah lama tidak mengunjunginya”

Demikianlan maka ketiga orang itu pun kemudian berkuda perlahan-lahan melintasi bulak panjang. Sabuah padukuhan yang besar yang terletak beberapa puluh tonggak dari bulak itu nampak sepi. Namun demikian, ada juga satu dua orang yang masih nampak berada di sawah mereka.

“Padepokan itu berada di luar Kabuyutan yang meliputi padukuhan yang cukup besar itu” berkata Mahisa Bungalan.

“Ya. seperti pada umumnya padepokan” desis Witantra, “namun demikian, bukankah selalu ada hubungan timbal balik antara padepokan itu dengan Kabuyutan ini?”

“Ya” jawab Mahisa Bungalan yang menjadi semakin berdebar ketika mereka menjadi samakin mendekati padepokan itu. Padepokan yang dilingkari dengan dinding batu yang cukup tinggi.

Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu pun telah berada di pintu gerbang padepokan yang tertutup meskipun tidak terlalu rapat. Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan kemudian meloncat turun dari kudanya dan perlahah-lahan mendorong pintu gerbang itu.

Tetapi, Mahisa Bungalan terkejut ketika ia melihat beberapa orang cantrik yang telah siap dengan senjata, di tangan. Demikian pintu itu terbuka, maka senjata-senjata itu pun telah teracu kepada Mahisa Bungalan. Mahisa Bungalan mundur selangkah. Tetapi ia sama sekali tidak menanggapi hulu senjatanya. Apalagi ketika ia melihat seorang di antara para cantrik itu pernah dikenalnya.

Namun agaknya cantrik itu pun telah mengenalnya pula. Karena itu, maka ia pun melangkah ke depan. Senjatanya pun tertunduk ketika ia bertanya, “Apakah aku berhadapan dengan Mahisa Bungalan”

“Ya” jawab Mahisa Bungalan, “kau masih mengenal aku?“

“Tentu, tentu” jawab orang itu. Lalu ”Marilah, masuklah. Dengan siapa kau datang? Dangan ayahmu?“

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun menggeleng sambil menjawab, “Bukan, bukan ayahku. Tatapi keduanya adalah pamanku”

Dengan gembira Ki Watu Kendeng menerima ketiga tamunya. “Marilah. Kami persilahkan kalian masuk“ cantrik itu mempersilahkan.

Dalam pada itu, cantrik itu pun segera menghadap Ki Watu Kendeng dan melaporkan, siapakah ketiga orang yang telah memasuki regol halaman.

“Mahisa Bungalan. Jadi Mahisa Bungalan benar? telah datang ke padepokan ini” bertanya Ki Watu Kendeng.

“Ya. Bersama kedua orang pamannya” jawab cantrik itu.

Ki Watu Kendeng pun dengan tergesa-gesa telah menyongsong ketiga orang tamunya. Setelah menyerahkan kuda mereka kepada cantrik yang berada di halaman, maka ketiganya pun telah dipersilahkan naik ke pendapa. Dengan gembira Ki Watu Kendeng menerima ketiga tamunya. Setelah mengucapkan salamat datang dan saling bertanya tentang keselamatan masing-masing, maka Ki Watu Kendeng itu pun berkata, “Aku tidak menyangka, bahwa suara perenjak di halaman samping rumah itu telah menuntun Ki Sanak berdua serta angger Mahisa Bungalan datang ke padepokan yang sangat jauh ini”

“Bukankah aku pernah barjanji untuk datang“ sahut Mahisa Bungalan.

“Ya. Dan sekarang kau telah memenuhi janji” desis Ki Watu Kendeng.

Sesaat pembicaraan berkisar tentang keadaan padepokan itu selama saat-saat terakhir. Sawah yang semakin subur dan hasil panenan yang terlimpah.

Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan pun berkata, “Selain kesuburan yang meningkat, nampaknya pengawalan pun telah meningkat pula”

Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Katanya, “Ah, agaknya hal itu bukannya satu kebanggaan bagi kami.

“Apa yang telah terjadi?“ bertanya Mahisa Agni.

Ki Watu Kendeng termangu-mangu sejenak. Namun katanya kamudian, “Ah, kalian baru saja datang. Biarlah kalian beristirahat barang satu dua hari. Nanti kalian akan mendengar sendiri, apa telah terjadi di daerah ini”

”Tetapi, alangkah gelisahnya kami selama satu dua hari itu” sahut Mahisa Bungalan, “aku kira lebih baik bagi kami untuk mendengarkannya sakarang. Baik atau buruk, tetapi kami tidak lagi gelisah dan dicengkam oleh perasaan ingin tahu”

Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Tetapi sebaiknya setelah kalian sempat meneguk minuman yang akan dihidangkan."

Ketiga orang tamu itu pun tidak memaksa. Mereka harus bersabar menunggu minuman dan makanan dihidangkan. Baru kemudian Ki Watu Kendeng berkata, “Adalah diluar keinginan kita semuanya, para penghuni padepokan yang berada di sekitar daerah ini bahwa harus terjadi perpecahan yang gawat di antara kami”

“Perpecahan yang bagaimana?“ bertanya Witantra.

Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Bunga itu sedang mekar. Namun rasa-rasanya mekarnya bunga itu telah memanasi udara sekitarnya”

Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Sementara itu, Ki Watu Kendeng dengan serta merta berkata, “Tetapi bukan salahnya bunga itu sendiri”

Tiba-tiba saja diluar sadarnya Mahisa Bungalan berdesis, “Apakah yang Ki Watu Kendeng maksudkan adalah Ken Padmi?“

“Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita yang berada di padepokan ini pun telah merasakan panasnya bunga yang sedang mekar itu”

“Apa yang talah terjadi?“ Mahisa Bungalan mendesak.

“Aku pun tidak ingin menyalahkan angger. Tetapi jika semuanya telah diselesaikan saat itu, aku kira tidak akan terjadi kesibukan seperti sekarang ini, sehingga padepokan yang sudah tidak bersangkut paut ini pun selalu bersiaga menghadapi segala kemungkinan”

“Ya. Tetapi apa yang telah terjadi?“ desak Mahisa Bungalan yang tidak sabar lagi.

Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah Mahisa Bungalan yang tegang. Kemudian wajah kedua orang yang disebut sebagai pamannya itu.

Mahisa Agni dan Witantra pun menunggu keterangan Ki Watu Kendeng itu dengan berdebar-debar. Serba sedikit keduanya pernah juga mendengar pengakuan Mahissa Bungalan tentang seorang gadis Padepokan yang-bernama Ken Padmi. Keduanya pun mengetahui bahwa pengembaraan Mahisa Bungalan itu ada hubungan dengan sentuhan perasaannya atas gadis itu. Karena itu, maka seperti Mahisa Bungalan, keduanya pun segera ingin tahu, apa yang telah terjadi.

“Angger Mahisa Bungalan” berkata Ki Watu Kendeng, “sepeninggalmu, ada beberapa orang telah mencoba merebut hati gadis padepokan Kenanga itu. Gemak Werdi tidak dapat bertahan terlalu lama. Kemudian hadir seorang anak muda yang kaya raya, yang tinggal tidak terlalu jauh dari padepokan itu, Seorang anak muda yang gagah dan tampan dihiasai dengan kekayaan yang melimpah. Tetapi anak muda itu nampaknya terlalu kasar sikap dan tingkah lakunya. Dianggapnya gadis padepokan itu dapat diperlakukan dengan sekehendak hatinya dengan uangnya yang melimpah”

“Marwantaka?“ potong Mahisa Bungalan.

“Bukan. Bukan ngger” jawab Ki Watu Kendeng, “Marwantaka datang kemudian. Ia sempat tinggal di padepokan Kenanga. Bahkan masih ada nama-nama lain yang dapat disebut. Tetapi pertentangan yang paling tajam justru terjadi pada Marwantaka dan anak orang kaya raya itu”

“Siapakah namanya?“ bertanya Mahisa Bungalan.

“Wiranata” jawab Ki Watu Kendeng. "Lalu persaingan antara kedua anak muda itu telah memuncak. Marwantaka memang mempunyai kekuatan dengan padepokannya, gurunya dan orang-orang lain yang mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung. Sementara Wiranata yang merasa dirinya pernah berguru kepada seseorang yang pilih tanding itu pun telah menghimpun kekuatan pula. Dengan uangnya ia tidak sulit mendapatkan kawan untuk memusuhi Marwantaka”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, “Lalu apakah hubungannya dengan padepokan ini?”

Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Selabajra menjadi kebingungan. Kedua belah pihak yang sudah menghimpun kekuatan itu telah mengancam padepokan Kenanga. Jika padepokan Kenanga menolak, maka yang akan terjadi adalah pertumpahan darah. Karena kegelisahannya dan pemecahan yang sampai saat ini belum ditemukan, maka Ki Selabajra minta, agar aku dapat membantunya. Setidak-tidaknya untuk ikut serta melindungi padepokan Kenanga dari kemusnahan”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, “Dengan demikian Watu Kendeng terpaksa berhadapan pula dengan kedua belah pihak yang sedang bermusuhan itu”

Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak dapat ingkar. Meskipun hubungan antara Watu Kendeng dengan Padepokan Kananga pernah diwarnai dengan sikap keluargaku yang buram, namun aku tidak dapat menolak permintaannya. Aku berusaha untuk membantunya”

“Apa yang akan dilakukan oleh padepokan ini?“ bertanya Mahisa Bungalan.

“Keadaan padepokan Kenanga memang sudah parah. Ada orang-orang lain yang sebenarnya terlibat. Tetapi mereka yang tidak dapat dengan terang-terangan melontarkan kekuasannya karena gadis Padepokan itu menolaknya, telah menyiramkan minyak ke dalam api. Mereka seolah-olah ingin melihat, padepokan Kenanga itu mengalami bencana justru karena gadis itu” berkata Ki Watu Kendeng. Lalu, “Dengan demikian ada dua kemungkinan yang dapat dilakukan. Apakah kami dari Watu Kendeng untuk sementara berada di padepokan Kenanga, atau para penghuni padepokan Kenanga untuk sementara berada di Watu Kendeng”

“Apakah itu satu penyelesaian?“ bertanya Mahisa Bungalan.

“Penyelesaian sementara. Jika pertentangan antara Marwantaka dan Wiranata mereda, atau salah satu di antara mereka telah menarik niatnya, maka aku kira keadaan akan menjadi tenang kembali” jawab Ki Watu Kendeng.

“Dan Ken Padmi akan menerima salah seorang dari keduanya?“ Mahisa Bungalan bertanya dengan serta merta.

“Aku tidak tahu“ jawab Ki watu Kendeng, “tetapi gadis itu sudah waktunya mengakhiri masa gadisnya. Ia tidak dapat terus menerus mendekap diri dalam kerinduannya atas satu masa yang tidak akan kunjung datang”

“Apakah maksud Ki Watu Kendeng?“ bertanya Mahisa Bungalan.

Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak dapat mengatakan apa-apa ngger. Tetapi demikianlah keadaan kami sekarang. Kami memang sedang menunggu keputusan terakhir dari Ki Selabajra. Dan kami pun telah bersedia untuk memenuhinya, seandainya Ki Selabajra minta kami datang kepadepokannya untuk melindungi Ken Padmi dan tindakan kekerasan. Dan kami di sini pun telah siap menerima mereka, seandainya mereka merasa lebih tenang berada disini”

Wajah Mahisa Bungalan menjadi tegang. Di luar sadarnya ia berpaling kepada kedua pamannya, seolah-olah minta pertimbangan mereka. Ki Watu Kendeng pun nampaknya berpengharapan, bahwa kehadiran mereka akan membantu mengatasi keadaan. Namun ia merasa kecewa, bahwa Mahisa Bungalah tidak datang bersama ayahnya.

“Ki Watu Kendeng“ berkata Mahisa Agni kemudian, “apakah keadaan yang gawat itu memang sudah mendesak?”

“Aku kira memang demikian” jawab Ki Watu Kendeng, ”tetapi aku masih menunggu hubungan dengan Ki Selabajra”

Mahisa Bungalan manjadi berdebar-debar. Ternyata ia hadir pada waktu padepokan itu memerlukannya. Akan tetapi ia tidak tahu, bagaimanakah tanggapan yang bernama Ken Padmi itu sendiri. Apakah gadis itu merasa bahwa kehadirannya akan dapat menjernihkan suasana, atau justru sebaliknya.

Dalam pada itu, maka Ki Watu Kendeng itu pun berkata, “Angger Mahisa Bungalan. Jika angger masih mempunyai sisa-sisa kenangan masa-masa yang pernah angger alami di daerah ini. Aku ingin mohon agar angger dan kedua paman angger ini untuk tinggal di Watu Kendeng barang satu dua hari. Mungkin dalam waktu satu dua hari itu, akan datang kabar dari padepokan Kenanga yang sudah dibayangi bleh keadaan yang gawat itu”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia memandangi kedua pamannya yang duduk termangu-mangu.

Witantra yang melihat kegelisahan di wajah Mahisa Bungalan itu pun berkata, “Ki Watu Kendeng. Agaknya kami tidak berkeberatan untuk memenuhi permintaan itu. Mudah-mudahan segalanya justru akan menjadi baik, dan tidak sebaliknya”

”Ya, ya Ki Sanak” desis Ki Watu Kendeng, “namun nampaknya kedua orang anak muda itu bagaikan telah kehilangan akal dan pertimbangan. Nama-nama lain pun segera menghindar ketika keduanya tidak lagi bersikap wajar. Kedua belah pihak telah berhubungan dengan orang-orang terkuat pada masa sekarang. Yang satu lewat hubungan perguruan, sedangkan yang lain karena-uangnya yang melimpah, sehingga dengan uang itu, ia akan berusaha untuk berbuat apa saja”

“Baiklah” sahut Mahisa Agni pula, “kami akan tinggal satu atau dua malam di sini. Agaknya memang lebih baik kami berada disini, daripada kami langsung berada di Padepokan Kenanga”

“Ya, ya Ki Sanak” jawab Ki Watu Kendeng dengan serta merta, “padepokan ini memang pernah juga mempunyai hubungan khusus dengan padepokan Kenanga. Aku tidak tahu, bahwa justru padepokan inilah yang akan menemukan jalan pemecahan”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia hanya menundukkan kepalanya saja.

“Jika demikian Ki Sanak” berkata Ki Watu Kendeng kemudian, “aku ingin mampersilahkan Ki Sanak untuk berada di padepokan ini sebagaimana Ki Sanak berada di rumah sendiri. Kami akan menyediakan bilik Ki Sanak bertiga, karena agaknya Ki Sanak juga memerlukan waktu untuk beristirahat”

Dengan demikian, maka Mahisa Agni Witantra dan Mahisa Bungalan telah singgah di padepokan Watu Kendeng itu untuk beberapa hari. Dengan gelisah Mahisa Bungalan menunggu berita terakhir dari padepokan Kenanga. Jika keadaan menjadi semakin buruk, maka ia harus cepat bertindak. Ia tidak menghiraukan lagi, bagaimanakah tanggapan Ken Padmi kemudian. Namun gadis itu harus diselamatkan dari keserakahan kedua orang anak muda yang tidak tahu diri itu.

Dalam pada itu, dihari berikutnya, padepokan itu telah dikejutkan oleh kehadiran beberapa orang berkuda. Seperti saat-saat Mahisa Bungalan dan kedua pamannya datang, maka para penjaga di regol padepokan telah menghentikan orang-orang berkuda itu sambil mengacukan senjata mereka.

“Jangan gila” bentak pemimpin orang-orang berkuda itu, “aku akan bertemu dengan Ki Watu Kandeng”

“Siapakan kalian?“ bertanya cantrik yang menjaga gerbang itu.

“Minggir. Aku akan bertemu dengan Ki Watu Kendeng“ sekali lagi orang itu membentak.

“Tetapi sebut, siapakah kalian dan apakah kepentingan kalian“ cantrik itu masih bertanya.

“Jangan banyak bicara“ orang itu semakin marah, “kami dapat memenggal leher kalian dalam satu ayunan pedang. Aku akan bertemu dengan Ki Watu Kendeng. Kau dengar”

Para cantrik itu termangu-mangu. Namun dalam pada itu, Ki Watu Kendeng yang duduk di pendapa bersama Mahisa Aghi. Witantra dan Mahisa Bungalan pun telah berdiri pula.

Sementara itu Mahisa Agni berdesis, “Terima sajalah. Mungkin ada persoalan yang dapat melengkapi gambaran kita tentang persoalan yang sadang dihadapi oleh padepokan Kananga”

Ki Watu Kandeng pun mengangguk. Kemudian ia pun bertepuk tiga Kali. Para cantrik di regol itu sudah terbiasa. Ki Watu Kendeng telah memberikan isyarat agar mereka dibiarkan masuk. Karena itu, maka para cantrik itu pun segera menyibak. Tanpa turun dari kudanya, orang-orang itu pun memasuki halaman.

Dengan nada kasar orang yang memimpin iring-iringan itu bertanya lantang, “Siapakah di antara kalian yang bernama Ki Watu Kendeng”

Ki Watu Kandeng pun melangkah maju. Dengan nada datar ia berkata, “Marilah Ki Sanak. Aku ingin mempersilahkan Ki Sanak untuk duduk barang sebentar. Kita akan dapat berbicara dengan baik dan tidak tergesa-gesa”

“Aku memang tergesa-gesa” jawab orang berkuda itu. “kaukah yang bernama Ki Watu Kendeng?”

“Ya Ki Sanak” jawab Ki Watu Kendeng.

“Baiklah. Aku tidak perlu duduk. Aku hanya ingin menyampaikan pesan angger Wiranata” berkata orang berkuda itu.

“Angger Wiranata?“ Ki Watu Kendeng mengulangi.

“Ya” sahut orang berkuda itu, “dalam persoalan yang timbul antara angger Wiranata, Marwantaka dan Ki Selabajra, padepokan ini jangan turut campur. Aku mendengar, bahwa Ki Selabajra telah menghubungi kalian untuk membantu melindungi Ken Padmi. Itu tidak perlu sama sekali, karena angger Wiranata sanggup melakukan sendiri”

Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “jadi Ki Sanak ini utusan angger Wiranata?”

Wajah orang-orang itu menegang. Nampaknya Ki Watu Kendeng masih tetap tenang. Karena itu, maka pemimpin mereka itu pun sekali lagi mambentak ”Sudah aku katakan. Kami adalah utusan angger Wiranata. Kami adalah utusan-utusan yang memiliki kekuasaan atas namanya. Kami mendapat wewenang untuk berbuat apa saja bagi kepentingan angger Wiranata”

Tetapi Ki Watu Kendeng masih tetap tenang. Apalagi di padepokan itu ada Mahisa Bungalan dan kedua pamannya, yang agaknya juga memiliki kemampuan seperti Mahisa Bungalan. Bahkan katanya kemudian, “Jangan mengancam Ki Sanak. Jika Ki Sanak memang utusan dari angger Wiranata, maka pesannya yang disampaikan lewat Ki Sanak sudah kami terima. Itu saja”

“Jangan sombong” berkata orang itu, “kau tidak hanya menarima pesannya. Tetapi kau harus mamatuhinya. Jika kau melanggar pesan itu, berarti bahwa kau telah menentang angger Wiranata. Dangan demikian maka angger Wiranata akan dapat melakukan apa saja yang dianggapnya baik”

“Terserahlah” berkata Ki Watu Kendeng ”Kami akan manentukan sikap sesuai dengan kapentingan kami. Mungkin sekali nanti, atau besok atau kapan pun. angger Marwantaka pun akan mengirimkan utusan pula kemari, Mengancam dan menakut-nakuti seperti yang Ki Sanak lakukan. Justru karena itu, kami akan menentukan sikap menurut kepentingan kami sendiri”

“Persetan” geram orang itu, “kau jangan sombong Ki Watu Kendeng. Apakah arti padepokan kecilmu ini. Dengan sekali renggut, maka padepokan ini tidak akan dapat kalian kenali lagi. Kami dapat membuatnya menjadi karang abang”

Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang mudah untuk melakukannya. Merusak memang jauh lebih mudah dari saat-saat membuatnya. Tetapi ingat, bahwa kami akan mempertahankan milik kami dengan segenap kekuatan yang ada pada kami. Jika padepokan ini lumat menjadi debu, maka seisinya pun akan hancur pula menjadi debu”

“Persetan“ orang itu hampir berteriak, “jadi kalian tidak mau mendengar pesan ini?“

“Kami sudah mendengarnya” jawab Ki Watu Kendeng, “tetapi selanjutnya tergantung kepada kami”

“Kalian akan menyesal. Sayang, aku sekarang tidak diperkenankan untuk menghancurkan padepokan ini. Angger Wiranata masih mempertimbangkan banyak hal atas kemuliaan hatinya” berkata orang itu dengan lantang.

Namun Ki Watu Kendeng menjawab, “Bukankah kau utusan angger Wiranata dengan membuat kuasa atas namanya untuk berbuat apa saja?”

“Tetapi masih dalam batas-batas belas kasihannya” bentak orang itu. Namun kemudian, “Tetapi kalian terlalu sombong. Kalian akan menyesal pada saatnya”

Ki Watu Kendeng tidak sempat menjawab. Orang itu pun. kemudian memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk meninggalkan padepokan itu. Namun orang itu masih sempat berkata dan mengancam, “Kami akan datang lagi dengan kuasa yang lebih lengkap. Padepokan ini akan menjadi abu”

Ki Watu Kendeng tidak menjawab. Dipandanginya saja orang itu meninggalkan halaman padepokannya. Demikian orang-orang itu hilang di balik regol, maka seorang cantrik telah menutup regol itu meskipun tidak menyelaraknya.

Sementara Ki Watu Kendeng menarik nafas. sambil berkata, “Nah, angger Mahisa Bungalan. Kau sudah melihat sendiri, betapa panasnya bunga yang sedang mekar di padepokan Kenanga itu”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya suasana akan menjadi samakin panas”

“Ya. Dan Ki Selabajra akan menjadi semakin cemas menghadapi ancaman dari kedua belah pihak” jawab Ki Watu Kendeng, “sebagaimana kau lihat, padepokan ini yang tidak tersangkut langsung telah mendapat ancaman-ancaman yang mendebarkan. Apalagi padepokan Kenanga yang langsung menyimpan bunga yang sedang mekar itu sendiri”

“Jika perlu, kami akan melihatnya” berkata Witantra, “mungkin padepokan itu memang memerlukan bantuan betapapun kecilnya”

“Ya Ki Sanak. Tetapi aku masih akan menunggu sampai besok. Jika Ki Selabajra tidak mengirimkan utusan, karena mungkin setiap orang yang keluar dari padepokan itu telah dihalangi, maka kamilah yang akan mengirimkan isyarat” berkata Ki Watu Kendeng.

Karena itu, maka Mahisa Agni. Witantra dan Mahis Bungalan merasa perlu untuk tetap tinggal di padepokan ifu sambil menunggu perkembangan keadaan.

Demikianlah, ternyata seperti yang diperhitungkan oleh Ki Watu Kendeng. Dihari berikutnya, telah datang dua orang cantrik dari padepokan Kenanga. Mereka membawa pesan dari Ki Selabajra tentang keadaan padepokan Kenanga. Namun seperti yang dikehendaki oleh Mahisa Bunga Bungalan sendiri, maka Ki Watu Kendeng sama sekali tidak mengatakan kepada utusan padepokan Kenanga itu, bahwa Mahisa Bungalan dan kedua orang pamannya berada di Watu Kendeng.

“Keadaan memang sudah gawat sekali Ki Watu Kendeng” berkata utusan itu, “bahkan dari kedua belah pihak telah timbul ancaman, jika Ki Selabajra menyerahkan Ken Padmi kepada pihak yang lain, maka padepokan Kenanga akan menjadi debu. Bahkan di saat-saat terakhir, agaknya kedua belah pihak sudah bersiap untuk mengambil Ken Padmi dengan kekerasan”

“Jadi, apakah Ki Selabajra minta agar kami datang ke padepokan kecil itu?“ bertanya Ki Watu Kendeng.

Utusan Ki Selabajra itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya dengan nada rendah, “Ki Selabajra menjadi bimbang menghadapi keadaan. Sebenarnyalah bahwa kehadiran Ki Watu Kendeng akan sedikit memberikan ketenangan. Tetapi jika demikian, Ki Watu Kendeng akan terlibat langsung dalam persoalan ini, sehingga Ki Watu Kendeng akan dimusuhi oleh kedua belah pihak itu. Akibatnya akan dapat merugikan padepokan ini”

“Tetapi bukankah sudah sewajarnya jika kami Saling menolong. Akibat itu adalah wajar sekali. Namun sudah barang tentu kami tidak akan dapat tinggal diam jika kami mengetahui, bahwa keadaan Ki Selabajra menjadi sangat gawat” berkata Ki Watu Kendeng.

"Demikianlah Ki Watu Kendeng. Ki Selabajra pun berpesan, bahkan segala sesuatu pun terserah kepada Ki Watu Kendeng. Kami memang menyampaikan keluhan kepada Ki Watu Kendeng, namun segalanya memang harus dipertimbangkan dengan kemungkinan yang akan dapat terjadi atas padepokan ini sendiri”

Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Katanya, “Sudahlah. Aku mengerti maksud Ki Selabajra. Ia memang tidak ingin merugikan orang lain. Namun sudah barang tentu bahwa kami akan membuat pertimbangan-pertimbangan tersendiri”

“Segalanya terserah kepada Ki Watu Kendeng. Selanjutnya kami mendapat pesan untuk segera kembali, karena setiap orang diperlukan di padepokan Kenanga pada saat ini” berkata utusan itu.

Ki Watu Kendeng tidak menahannya. Namun ia berpesan, bahwa ia akan mengatur padepokannya sebaik-baiknya. Mungkin ia akan mengambil keputusan untuk datang kepadepokan Kenanga. Namun ia memang harus membuat perhitungan tentang padepokannya sendiri.

Demikianlah maka utusan itu pun segera minta diri. Seperti pesan Ki Selabajra bahwa ia harus segera berada di padepokan Kenanga kembali, karena keadaan yang menjadi semakin gawat.

Sepeninggal utusan itu, maka Ki Watu Kendeng pun segera berbicara dengan Mahisa Bungalan, Witantra dan Mahisa Agni. Apakah yang sebaiknya dilakukan.

“Persoalan ini memang berat bagi Ki Watu Kendeng. Jika Ki Watu Kendeng pergi, maka padepokan ini akan dapat menjadi sasaran kemarahan mereka justru pada saat-saat Ki Watu Kendeng tidak berada di padepokan” berkata Mahisa Agni.

“Tetapi aku juga tidak sampai hati untuk membiarkan padepokan Kenanga menjadi karang abang. Aku mengerti bahwa kekuatan padepokan Kenanga sendiri atau Watu Kendeng sendiri, tidak akan mampu membendung kekuatan salah satu pihak yang sedang bermusuhan itu” jawab Ki Watu Kendeng

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Bungalan. bertanya, “Ki Watu Kendeng, apakah salah seorang dari kedua anak-anak muda itu memiliki kelebihan? Aku pernah bertemu dengan anak muda yang bernama Marwantaka. Tetapi aku belum pernah mengenal Wiranata”

Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Keduanya sebenarnya bukan anak muda yang dapat dibanggakan dalam olah kanuragan. Mereka memang memiliki ilmu, tetapi tidak terlalu tinggi, sebagaimana anak-anak padepokan yang lain”

“Apakah kedua anak-anak muda itu memiliki ilmu yang seimbang?“ bertanya Mahisa Bungalan.

“Kira-kira memang demikian. Tetapi aku kira Marwantaka mempunyai pengalaman yang lebih luas” jawab Ki Watu Kendeng.

“Dan bagaimana dengan Ken Padmi sendiri?” bertanya Mahisa Bungalan pula, “meskipun ia seorang gadis, tetapi bukankah ia juga mempelajari ilmu kanuragan dari ayahnya sendiri?”

“Ya. Tetapi apa artinya Ken Padmi sendiri. Pada saat-saat terakhir, justru ketika perasaan kecewa menggigit jantungnya semakin pedih, ia telah menenggelamkan diri ke dalam sanggarnya. Kadang-kadang justru di luar pengamatan ayahnya. Menurut pendengaranku, ilmunya meningkat dengan pesat, karena ia menumpahkan segenap kekesalan, kekecewaan dan harapan kepada ilmunya” berkata Ki Watu Kendeng.

“Bagus,“ desis Mahisa Bungalan tiba-tiba.

“Kenapa?“ bertanya Ki Watu Kendeng, “betapa tinggi ilmu Ken Padmi itu sendiri, ia tidak akan mampu melawan kekuatan yang akan melanda padepokannya. Baik Marwantaka maupun Wiranata akan datang dengan kekuatan yang tidak akan dapat diimbangi oleh padepokan Kenanga sendiri. Jumlah orang yang lebih banyak akan ikut menentukan. Apalagi di antara mereka tentu terdapat orang-orang yang lebih kuat dari kedua anak muda itu sendiri, sehingga kemampuan Ken Padmi bahkan Ki Selabajra sendiri tidak akan memadai”

“Maksudku bukan demikian“ berkata Mahisa Bungalan, “Ki Watu Kendeng dapat memberikan saran kepada Ken Padmi untuk mengambil jalan tersendiri. Jalan yang barangkali akan dapat menyelamatkan padepokan Kenanga dan juga padepokan Watu Kendeng, karena untuk selanjutnya tidak akan terjadi pertentangan yang akan dapat menimbulkan peperangan”

“Apakah yang kau maksud?“ justru Mahisa Agni lah yang bertanya.

“Paman” berkata Mahisa Bungalan, “Ken Padmi dapat menempuh satu cara. Sayembara tanding. Siapa yang dapat mengalahkan gadis itu, maka ialah yang akan menjadi suaminya”

“Ah” itu berbahaya sekali” jawab Ki Watu Kedeng dengan serta merta.

“Maksudku, hanya diantara keduanya. Marwantaka dan Wiranata” jawab Mahisa Bungalan, “aku pernah mengukur kemampuan Marwantaka. Ia, tidak terlalu berbahaya meskipun ia keras kepala”

Namun nampaknya. Ki Watu Kendeng masih belum dapat mengerti maksud yang sebenarnya dari Mahisa Bungalan. Sehingga karena itu maka Mahisa Bungalan pun berkata, “Ki Watu Kendeng. Aku pernah menjajagi kemampuan Marwantaka. Aku mencoba untuk menundukkannya tanpa menyakitinya saat itu. Aku berusaha memeras tenaganya sehingga ia kelelahan. Tetapi ia memang keras kepala. Namun demikian, aku kira Ken Padmi akan dapat mengimbangi kemampuannya. Apalagi jika Wiranata itu tidak lebih baik dari Marwantaka”

Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Tetapi itu mengandung kemungkinan yang sangat berbahaya ngger. Jika Ken Padmi kalah?”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia bertanya, “Baiklah Ki Watu Kendeng berusaha mencari keterangan, apakah selama ini Marwantaka meningkatkan ilmunya. Jika tidak ada usaha itu, maka aku yakin, Ken Padmi akan dapat menang. Tetapi masih ada satu syarat, sayembara tanding itu di selenggarakan barang satu bulan lagi”

“Satu bulan lagi? Jika terjadi sesuatu sebelum satu bulan? Satu bulan adalah waktu yang lama bagi Marwantaka dan Wiranata” jawab Ki Watu Kendeng.

Mahisa Agni dan Witantra yang juga kurang mengetahui maksud Mahisa Bungalan hanya dapat mendengarkannya saja. Sementara Mahisa Bungalan meneruskan, “Mereka akan menunggu, asal ada kepastian waktu. Satu bulan lagi, akan diadakan sayembara tanding, khusus bagi Marwantaka dan Wiranata. Siapa yang dapat mengalahkan Ken Padmi, akan dapat di terima menjadi suaminya. Tetapi sudah barang tentu, hal itu tidak perlu diberitahukan kepada keduanya, kecuali kepastian waktunya saja”

“Aku kurang mengerti” desis Ki Watu Kendeng.

“Jika keduanya mengetahui bahwa akan diadakan sayembara tanding, maka keduanya pun akan meningkatkan ilmunya” berkata Mahisa Bungalan, “yang diberitahukan kepadanya, adalah, bahwa satu bulan lagi, Ken Padmi akan menentukan sikapnya terhadap keduanya”

Ki Watu Kendeng termangu-mangu. Namun kemudian-ia. berkata, “Aku akan pergi kepadepokan Kenanga. Aku akan menyampaikannya kepada Ki Selabajra. Jika ia sependapat, dan kemudian kedua anak muda itu dapat bersabar menunggu, mungkin hal itu akan dapat diterapkan. Tetapi sudah tentu bahwa akan timbul kecurigaan, mungkin kedua anak muda itu menganggap, bahwa selama satu bulan itu, Ki Selabajra akan mencari perlindungan kepada pihak yang lain”

“Ki Watu Kendeng dapat mencobanya” sahut Mahisa Bungalan "aku kira, kedua pamanku tidak akan berkeberatan untuk ikut bersama Ki Watu Kendeng kepadepokan Kenanga, sementara aku akan menjaga padepokan Watu Kendeng”

“Rencanamu rumit Mahisa Bungalan” desis Mahisa Agni.

“Tidak paman. Rencanaku sederhana sekali“ jawab Mahisa Bungalan, “tegasnya, Ki Selabajra minta waktu berpikir sebulan lagi agar Ken Padmi dapat menentukan pilihan. Kemudian setelah satu bulan diumumkan sayembara tanding. Dan kenapa aku mohon paman berdua untuk pergi ke padepokan Kenanga tanpa aku? Paman berdua seolah-olah tidak mengenal aku sebelumnya. Dan paman berdua akan membentuk gadis itu, agar gadis itu benar-benar tidak akan dapat dikalahkan oleh Marwantaka maupun Wiranata. Satu bulan adalah waktu yang sangat sempit. Tetapi ia sudah memiliki dasar, sehingga aku yakin ia akan dapat mangatasi keduanya. Dan selama itu, maka biarlah, tidak seorang pun yang memberitahukan bahwa aku berada disini”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam, sementara Witantra mengangguk-angguk sambil berguman, “Aku mengerti maksudmu Mahisa Bungalan. Namun yang harus kami lakukan berdua adalah satu tugas yang berat. Jika pada saatnya Ken Padmi tidak dapat mengalahkan keduanya, atau karena sesuatu hal ia telah dengan sengaja mengalah kepada salah seorang dari keduanya, karena ia memang berniat demikian, maka kau tentu akan menyalahkan kami”

“Tidak, tentu tidak” jawab Mahisa Bungalan dengan serta merta, “aku yakin paman aku dapat membentuknya menjadi seorang gadis yang pilih tanding. Tetapi jika ia memang sengaja mengalah, itu adalah persoalannya. Aku tidak akan mempedulikannya lagi, apa yang akan terjadi dengan gadis itu dan dengan seisi padepokan Kenanga”

Namun Witantra dan Mahisa Agni justru tersenyum. Dengan nada datar Mahisa Agni berkata, “Jangan cepat marah anak muda. Segala usaha akan kami lakukan”

Mahisa Bungalan memandang pamannya sekilas. Namun Kemudian ia menundukkan kepalanya. Rasa-rasanya wajahnya menjadi panas. Ia sudah terlanjur disengat oleh perasaannya, sehingga pamannya tentu dapat membaca apa yang sebenarnya bergejolak di dalam hatinya.

Bahkan kemudian ternyata Ki Watu Kendeng yang akhirnya dapat mengerti juga persoalannya, telah tertawa pula, meskipun ia tidak mengatakan sesuatu. Ia takut, jika yang dikatakannya justru akan menyinggung perasaan, anak muda itu.

Demikianlah, maka mereka pun memutuskan untuk segera berbuat sesuatu seperti yang di direncanakan oleh Mahisa Bungalan. Bahkan mereka tidak akan memperpanjang waktu. Di keesokan harinya, Ki Watu Kendeng akan pergi ke padepokan Kenanga bersama Mahisa Agni dan Witantra, yang mengemban tugas yang cukup berat.

Dalam pada itu, Ki Watu Kendeng pun telah mangatur padepokannya menjelang keberangkatannya. Diserahkannya segalanya kepada Mahisa Bungalan. Ki Watu Kendeng. Ia tahu benar, bahwa Mahisa Bungalan adalah seseorang yang memiliki kemampuan yang tinggi, melampaui kemampuannya.

Pada saatnya, maka Ki Watu Kendeng bersama Mahisa Agni dan Witantra telah pergi ke padepokan Kenanga. Mereka ingin mencoba memenuhi permintaan Mahisa Bungalan, kecuali jika kedua anak muda itu tidak sabar lagi dan mengambil sikap tersendiri. Namun ternyata perjalanan mereka terganggu Ketika mereka mendekati padepokan Kenanga, maka beberapa orang berkuda telah mencegat mereka.

“Ki Watu Kendeng” berkata salah seorang dari mereka, “apakah Ki Watu Kendeng akan pergi ke padepokan Kenanga?”

Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengenali orang itu. Tetapi rasa-rasanya ia memang belum mengenalnya meskipun agaknya orang itu mengenalnya dengan baik. Namun dalam pada itu, Ki Watu Kendeng itu pun menjawab ”Ya Ki Sanak. Aku memang akan pergi ke padepokaan Kenanga”

“Untuk apa?“ bertanya orang itu, “apakah Ki Watu Kendeng akan melibatkan diri ke dalam persoalan yang kini sedang kemelut di padepokan Kenanga itu?“

Ki Watu Kendeng menggeleng. Jawabnya, “Aku hanya bertiga. Tentu aku dan kedua orang cantrik tua ini tidak akan dapat berbuat apa-apa. Yang ingin aku lakukan hanya sekedar memberikan sedikit pertimbangan jika diperlukan oleh Ki Selabajra. Kami adalah dua orang sahabat yang baik. Karena itu, ketika, aku mendengar, bahwa padepokan Kenanga sedang mengalami kebingungan, aku memerlukan untuk sekedar menengoknya”

Orang-orang berkuda itu memandang Mahisa Agni dan Witantra yang disebutnya sebagai dua orang cantrik tua. Karena keduanya tidak berbuat apa-apa maka mereka tidak memperhatikannya lagi.

Namun sementara itu, Ki Watu Kendeng sempat bertanya, “Tetapi siapakah Ki Sanak ini?“

“Kami adalah kawan-kawan Marwantaka” jawab orang itu, “kami merasa wajib untuk berbuat sebagai seorang kawan yang baik dalam persoalannya menghadapi anak gila yang menganggap bahwa ia dengan kekayaannya akan dapat membeli segalanya yang diinginkannya. Termasuk gadis yang sudah mengikat janji dengan Marwantaka itu. Tetapi kami ingin membuktikan, bahwa kesetia-kawanan kami nilainya lebih tinggi dari uang yang betapapun banyaknya yang telah dikeluarkan oleh Wiranata untuk mengupah penjahat-penjahat kecil yang tidak berarti apa-apa itu”

Ki Watu Kendeng hanya dapat mengangguk-angguk saja. Namun kemudian ia pun segera minta diri untuk melanjutkan perjalanannya. Katanya, “Sebagaimana yang aku katakan, aku hanya akan berusaha untuk meringankan beban perasaannya”

“Katakan kepadanya” berkata orang itu, “jika dengan cepat ia menentukan sikap, segalanya akan selesai, Marwantaka akan sanggup melindungi anak gadisnya, karena kami sudah berjanji dalam kesetia-kawanan kami terhadapnya. Bahkan kami telah bersedia untuk melakukan apa saja sampai batas hidup kami”

Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah. Aku dapat menyampaikannya. Tetapi segala keputusan terakhir ada padanya”

Ki Watu Kendeng, Mahisa Agni dan Witantra segera melanjutkan perjalanan menuju ke padepokan Kenanga.

Kedatangan mereka ke padepokan itu, ternyata telah dlsambut dengan kegembiraan. Bahkan rasa-rasanya seisi padepokan telah mendapat angin yang segar setelah untuk beberapa lamanya mereka tercekik dalam kegelisahan.

“Marilah, silahkah” berkata Ki Selabajra dengan gagap oleh getar perasaannya.

Demikianlah maka kedatangan Ki Watu Kendeng telah membawa udara baru di padepokan itu. Ken Padmi yang kemudian menyuguhkan hidangan nampak agak pucat dan kurus. Namun sekilas Mahisa Agni dan Witantra melihat gadis itu. mereka pun berkata di dalam hatinya, “Tidak mustahil bahwa Mahisa Bungalan telah tertarik kepadanya. Gadis itu memang cantik sekali. Seperti yang dikatakan oleh Ki Watu Kendeng, ibarat bunga, maka bunga itu sedang mekar. Dan agaknya justru telah membakar udara di sekitarnya”

Untuk beberapa saat lamanya mereka saling berbicara tentang keselamatan mereka. Sebagaimana pesan Mahisa Bungalan, maka Ki Watu Kendeng tidak memperkenalkan kedua orang yang menyertainya itu sebagai paman Mahisa Bungalan. Tetapi mereka adalah cantrik-cantrik tertua di padepokan Watu Kendeng. Namun ketika pembicaraan mereka sampai kepada masalah terpenting bagi padepokan Kenanga, maka Ki Watu Kendeng pun minta waktu untuk dapat berbicara khusus dengan Ki Selabajra.

“Tidak perlu sekarang” desis Ki Watu Kendeng, “mungkin nanti sore atau malam hari”

Demikianlah, ketika tiba saatnya, maka Ki Watu Kendeng pun telah berbicara langsung khusus dengan Ki Selabajra di ruang dalam menjelang tehgah malam. Di saat padepokan itu telah tertidur nyenyak. Ki Watu Kendeng telah menyampaikan rencana yang dibuat oleh Mahisa Bungalan. Tetapi ternyata bahwa atas persetujuan Mahisa Agni dan Witantra, Ki Watu Kendeng telah merubah sedikit pesan Mahisa Bungalan.

Kepada Ki Selabajra Ki Watu Kendeng mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia tidak merahasiakan bahwa Mahisa Bungalan, sudah berada di padepokan Watu Kendeng, sementara kedua orang yang menyertainya itu adalah pamannya. Namun Ki Watu Kendeng mohon agar Ken Padmi tidak mengetahui akan hal itu, agar gadis itu tidak dengan tergesa-gesa mengambil sikap, justru karena harga dirinya.

Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada dalam, “Terima kasih. Nampaknya pada saat yang paling gelap, aku telah mendapatkan sepercik sinar yang dapat menuntun aku mencari jalan keluar”

Ternyata Ki Selabajra sama sekali tidak berkeberatan dengan usul Mahisa Bungalan itu. Meskipun ia belum yakin apakah kedua orang anak muda itu bersedia menunggu keputusan Ken Padmi yang masih akan diberikan sebulan lagi.

“Tetapi jika aku memberikan batasan waktu, aku kira mereka akan menunggu” berkata Ki Selabajra., “Selama ini mereka condong untuk mengambil sikap sendiri-sendiri, karena masih belum ada kepastian apapun juga yang dapat aku berikan kepada mereka”

“Kecuali jika mereka menolak” berkata Ki Watu Kendeng.

“Itu soal lain berkata Ki Selabajra, “jika demikian, kita tentu akan mempertahankan apa saja”

“Kita wajib mencobanya“ berkata Mahisa Agni.

“Besok aku akan menghubungi keduanya setelah aku mendapat kepastian kesanggupan Ken Padmi” berkata Ki Selabajra.

Demikianlah. Maka pagi-pagi benar, Ki Selabajra sudah memanggil Ken Padmi untuk berbicara langsung dengan Ki Watu kendeng. Mahisa Agni dan Witantra yang hadir juga, telah disebut oleh Ki Watu Kendeng sebagai cantriknya yang tertua.

“Ken Padmi“ berkata Ki Watu Kendeng, “kau bagiku sudah tidak ubahnya seperti anakku sendiri. Aku memang pernah termimpi, bahwa kau akan menjadi anakku. Namun aku mohon, bahwa kau pun tidak berkeberatan jika aku tetap menganggapmu sebagai anak sendiri” Ki Watu Kendeng berhenti sejenak, sementara Ken Padmi bagaimana dihadapkan kepada satu teka-teki. Kemudian Ki Watu Kendeng melanjutkannya, “Karena itu, kegelisahan yang sekarang ini sedang menyelimuti padepokan Kenanga adalah sama dengan kegelisahanku sendiri. Karena itu, maka jika kau tidak berkeberatan Ken Padmi, aku ingin memberikan beberapa pendapat, mudah-mudahan akan dapat membantu menjernihkan keadaan”

Ken Padmi hanya menundukkan wajahnya saja. Ki Watu Kendeng pun kemudian menyampaikan rencana yang dipesankan oleh Mahisa Bungalan, agar dalam waktu satu bulan lagi ia bersedia menyelenggarakan sayembara tanding. Ken Padmi mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya wajah ayahnya. Rasa-rasanya ada sesuatu yang ingin dikatakannya, namun ia tidak dapat mengucapkannya.

“Ken Padmi” berkata Ki Selabajra, “apakah kau berkeberatan? Apakah kau memang sudah memilih salah seorang di antara keduanya? Atau satu keputusan yang lain”

“Tidak ayah“ jawabnya dengan serta merta, “aku tidak dapat menerima keduanya. Karena itu, apakah kau dapat meyakini diriku sendiri, bahwa aku akan dapat mengalahkan keduanya?”

Ki Watu Kendeng pun menjelaskan, kenapa Ken Padmi memerlukan waktu satu bulan lagi. Sementara itu ia akan dapat mematangkan ilmunya, sedangkan kedua anak muda itu tidak mengetahui rencana itu, sehingga mereka tidak mempersiapkan diri mereka.

“Tetapi mereka sudah memiliki ilmu itu” jawab Ken Padmi

“Ilmunya sekarang tidak lebih baik dari ilmu yang kau miliki” jawab Ki Watu Kendeng, “bukankah selama ini, kau mengisi waktumu untuk melupakan kegelisahanmu dengan menempa diri di dalam sanggar”

“Tetapi apakah itu dapat dijadikan pegangan, bahwa aku akan dapat melawan Keduanya?“ bertanya Ken Padmi ragu-ragu.

“Ken Padmi” berkata Ki Watu Kendeng ”aku memang ingin membantumu. Aku telah mengajak kedua orang cantrikku yang tertua. Mereka akan dapat membantumu dalam sebulan ini, sehingga kau akan dapat meyakinkan, dirimu”

Ken Padmi mengerutkan keningnya Dipandanginya kedua orang tua itu berganti-ganti. Mereka hanyalah seorang cantrik. Apa artinya bagi perkembangan ilmunya? Sedangkan Ken Padmi tahu, bahwa Ki Watu Kendeng adalah seorang yang tidak lebih baik dari ayahnya sendiri. Ki Selabajra. Namun untuk menanyakannya, ia segan bahwa hal itu akan dapat menyinggung perasaan kedua orang cantrik itu.

Tetapi sementara ia termangu-mangu, maka Ki Selabajra lah yang berbicara, “Cobalah Ken Padmi. Cobalah barang satu dua hari. Baru kemudian kau memutuskannya”

Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah ayah. Aku akan mencoba satu dua hari. Baru kemudian aku akan memberikan jawaban”

Demikian, maka untuk satu dua hari Ki Watu Kendeng akan berada di padepokan Kenanga, sementara Mahisa Agni dan Witantra akan berusaha untuk meningkatkan ilmu gadis yang sedang dibayangi oleh kegelisahan itu. Sehingga tubuhnya menjadi kian kurus dan wajahnya kian menjadi pucat.

Di hari pertama Ken Padmi berada di sanggar bersama-dengan Mahisa Agni dan Witantra, ia telah dikejutkan melihat kemampuan kedua orang itu. Dengan sengaja Mahisa Agni dan Witantra menunjukkan sesuatu yang dapat mengejutkan gadis itu, agar ia percaya bahwa kedua orang itu akan dapat membentuknya menjadi seorang gadis yang akan mampu menghadapi kedua orang anak muda yang membuatnya selalu gelisah dan cemas.

Meskipun yang ditunjukkan oleh Mahisa Agni dan Witantra itu hanya sebagian kecil saja dari seluruh kemampuannnya, namun jantung Ken Padmi telah benar-benar tergetar. Karena itulah, maka ia pun telah bertekad untuk melakukan rencana seperti yang disampaikan oleh Ki Watu Kendeng. Ia akan menempa diri dalam waktu sebulan, kemudian menantang kedua ajak muda itu dalam sayembara tanding.

Sejak hari yang pertama, maka Ken Padmi telah menenggelamkan diri ke dalam latihan-latihan yang lebih berat. Ketika di hari ketiga Mahisa Agni dan Witantra mengantar Ki Watu Kendeng kembali ke padepokannya, rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggu.

Tetapi Mahisa Agni dan Witantra telah berjanji kembali, ke padepokan Kenanga meskipun sampai jauh malam. Mereka tidak sampai hati melepaskan Ki Watu Kendeng kembali seorang sendiri. Segala kemungkinan dapat terjadi disepanjang jalan. Namun ternyata bahwa mereka tidak mengalami sesuatu di perjalanan. Pada saat mereka kembali ki Watu Kendeng, dan pada saat Mahisa Agni dan Witantra kembali lagi ke Padepokan Kenanga.

Sementara itu, Ken Padmi sama sekali tidak membuang waktunya sama sekali. Demikian kedua orang cantrik tua itu datang, maka ia pun telah siap beralih di sanggarnya. “Marilah paman” ajak Ken Padmi, “waktuku sudah terbuang sehari penuh selama paman berdua mengantar paman Watu Kendeng”

Mahisa Agni tersenyum ketika Ki Selabajra menyahut, “Biarlah kedua pamanmu itu beristirahat. Kau masih mempunyai banyak waktu”

Ken Padmi masih akan membantah, tetapi ayahnya berkata, “Kedua pamanmu akan makan lebih dahulu. Kemudian beristirahat sebentar. Baru, kau akan mulai dengan latihan-latihanmu”

Demikianlah setelah beristirahat sebentar setelah makan, maka Mahisa Agni dan Witantra telah mengajak Ken Padmi masuk ke dalam sanggar. Ki Selabajra yang ingin melihat kemajuan anak gadisnya itu pun lelah mengikutinya pula.

Tetapi nampaknya Mahisa Agni mulai dengan cara yang agak berbeda dari cara yang sudah dilakukannya sejak tiga hari yang lalu. Ketika Ken Padmi sudah siap, maka Mahisa Agni pun berkata, “Ken Padmi. Untuk berlatih kanuragan, kita sebenarnya tidak harus selalu memeras tenaga, Kita dapat berlatih dengan cara yang sedikit berbeda. Kali ini kita akan mulai dengan latihan ketrampilan dan kecepatan bergerak”

Ken Padmi mengerutkan keningnya, ia tidak mengerti maksud Mahisa Agni yang kemudian berkata kepada Ki Selabajra, “Apakah ada sebuah amben bambu yang dapat kami pinjam?”

“Untuk apa?“ bertanya Ki Selabajra.

“Untuk Ken Padmi” jawab Mahisa Agni.

“O” Selabaira pun mengangguk-angguk. Ia pun kemudian menyuruh dua orang cantrik untuk membawa sebuah amben bambu ke dalam sanggar, tanpa mengetahui gunanya sama sekali.

Malam itu. Ken Padmi berlatih di atas sebuah amben bambu. Mula-mula ia ragu-ragu. Dengan hati-hati ia berdiri di atas amben itu. Kemudian dengan hati-hati pula ia mulai bergerak. Ketika amben itu berderit maka Ken Padmi manghentikan geraknya.

Ternyata latihan yang dilakukan itu membuatnya lebih cepat letih meskipun ia bergerak jauh lebih lamban dari latihan-latihan sebelumnya. Dengan tuntunan Mahisa Agni dan Witantra, Ken Padmi mulai berusaha untuk mengatur langkah dan tata geraknya, sehingga seolah-olah ia menjadi lebih ringan karenanya.

Dalam pada itu, sepeninggal Ki Watu Kendeng, maka Ki Selabajra benar-benar telah menghubungi kedua anak muda yang ingin mengambil Ken Padmi. Dengan hati-hati, ia mencoba menjelaskan permintaan Ken Padmi untuk menunggu sampai sebulan lagi. Ketika ia berada di padepokan anak muda yang bernama Marwantaka, maka Ki Selabajra hampir saja tidak dapat menguasai diri. Di Padepokan itu ternyata terdapat beberapa orang bukan saja anak-anak muda dari padepokan-padepokan lain, tetapi juga orang-orang tua yang merasa memiliki ilmu yang cukup.

“Jangan mempermainkan aku” geram Marwantaka apakah Ki Selabajra masih bermimpi untuk mendapat menantu anak gila yang merasa dirinya mempunyai ketrampilan yang tiada terlawan itu?”

“Jangan begitu ngger” jawab Ki Selabajra, “marilah kita berbicara menurut keadaan yang kita hadapi sekarang”

"Apakah dalam waktu sebulan ini Ki Watu Kendeng berniat untuk pergi ke padepokan Ki Kasang Jati?“ bertanya anak muda itu.

“Tidak. Aku tidak akan pergi kemana-mana” jawab Ki Watu Kendeng, “aku ingin menunggui anak gadisku. Mudah-mudahan dalam waktu satu bulan ini, keheningan budinya dapat menuntunnya kepada pilihan yang benar”

”Sebenarnya tidak ada gunanya” jawab Marwantaka, aku tidak ingin menunggu Ken Padmi memilih agar aku tidak perlu berbuat sesuatu dengan kasar”“

“Jadi maksudmu?“ bertanya Ki Selabajra.

“Tidak ada pilihan lain” jawab Marwantaka.

“Ketahuilah” berkata Ki Selabajra, “Wiranata juga bersikap seperti itu”

"Aku tidak peduli. Tetapi jika Ki Selabajra merasa tidak mampu melawannya, serahkan kepadaku. Jika Ken Padmi telah berada ditanganku. maka aku akan sanggup melindunginya”

Jantungnya Ki Selabajra rasa-rasanya berdetak semakin cepat. Tetapi ia masih menahan dirinya, katanya, “Sudahlah. Aku hanya akan menyampaikan pesan itu saja. Ken Padmi berharap kau menunggu satu bulan saja. Ia akan memberikan kepastian”

“Jika aku kemudian menunggu, semata-mata karena aku menghormatinya. Tetapi aku tidak akan mengorbankan kepentingan” berkata Marwantaka.

Betapa jantung Ki Selabajra bergejolak, tetapi ia harus menelan kepahitan itu, karena ia yakin, bahwa rencana anaknya dengan satu bulan lagi akan segera terjadi. Dalam pada itu, Wiranata hampir bersikap serupa. Tetapi nampaknya anak muda ini lebih yakin akan berhasil.

Sementara itu, Mahisa Bungalan dengan gelisah menunggu Mahisa Agni dan Witantra yang rasa-rasanya telah meninggalkannya hampir satu bulan. Dicobanya untuk mengisi waktunya dengan berlatih sendiri, tetapi ia pun segera menjadi jemu oleh kegelisahan.

Dalam pada itu, semakin lama Ken Padmi menjadi semakin mapan, ia mulai merasa, bahwa loncatan-loncatannya menjadi semakin cepat sementara tubuhnya rasa-rasanya menjadi semakin ringan.

“Jangan ragu-ragu” desis Witantra, “gerak kakimu bertumpu pada pergelangan kaki dan lutut. Amben itu sudah tidak berderik lagi”

Ken Padmi menjadi semakin mantap. Karena itu maka ia pun bergerak semakin cepat. Ia mempergunakan beberapa malam untuk melakukan latihan-latihan yang demikian. Disiang hari ia berlatih dengan cara yang lain. Mahisa Agni dan Witantra memberikan tuntunan untuk memperkaya unsur gerak yang dimilikinya tanpa merusak pegangannya atas ilmu dasarnya. Ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya sendiri.

Setelah mengamati beberapa saat, kemampuan dasar Ken Padmi, maka Mahisa Agni dan Witantra telah berusaha mengembangkannya, sehingga gadis itu menjadi semakin kaya akan unsur-unsur garak dan tanggapan atas sikap lawan. Disamping kecepatan geraknya yang menjadi semakin meningkat karena dengan latihan-latihan yang berat, maka tubuhnya rasa-rasanya memang menjadi semakin ringan apabila ia sudah mulai berloncatan.

Di pekan berikutnya, ternyata Mahisa Agni dan Witantra telah mempergunakan cara yang berbeda pula. Di dalam sanggar itu telah ditanam beberapa batang tonggak bambu petung yang dipotong tepat pada ruas-ruasnya setinggi tubuh Ken Padmi sendiri. Ken Padmi sudah menduga, apa yang harus dilakukannya kemudian. Dengan dasar kemampuan yang ada, maka ia haras berlatih di atas tonggak-tonggak bambu itu. Seperti saat-saat ia latihan untuk pertama kali di atas amben, maka geraknya pun menjadi sangat lamban. Tetapi semakin lama langkahnya pun menjadi semakin mantap.

Setelah tiga hari ia melakukannya, maka pada hari berikutnya, ia harus berlatih bertempur melawan Mahisa Agni. Kemudian melawan dua orang sekaligus. Latihan-latihan yang berat dan tidak mengenal letih, itu benar-benar telah menempa Ken Padmi menjadi seorang gadis yang memiliki ilmu yang semakin matang. Dengan dasar ilmu yang ada padanya, maka kemampuannya telah berkembang sangat pesat.

Karena waktu yang sempit, maka Mahisa Agni dan Witantra tidak menitik beratkan latihan-latihan Ken Padmi pada peningkatan kekuatannya, tetapi pada kecepatan gerak dan ketrampilan, serta kekayaan unsur-unsur gerak. Kecerdasan gadis itu ternyata sangat membantu. Sehingga dalam latihan-latihannya kemudian, Ken Padmi telah berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan dari serangan yang tiba-tiba dan tidak terduga-duga.

Pada pekan ketiga, maka Ken Padmi tenggelam dalam latihan-latihan yang semakin berat, la harus berlatih dalam perkelahian yang seolah-olah bersungguh-sungguh. Bahkan pada saat-saat terakhir ia harus bertempur melawan Mahisa Agni dan Witantra sekaligus.

Latihan-latihan yang demikian memberi kesempatan kepada Ken Padmi untuk menyesuaikan ilmunya dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapinya jika benar-benar harus berkelahi melawan kedua orang anak muda yang ingin mengambilnya itu. Bahkan Mahisa Agni dan Witantra telah mengembangkan pula kemampuan. Ken Padmi mempergunakan tenaga cadangannya, sehingga meskipun tidak secara khusus, karena kesempitan waktu, Mahisa Agni dan Witantra telah berhasil meningkatkan kemampuan gadis itu membangunkan tenaga cadangannya yang dengan sendirinya seolah-olah kekuatan Ken Padmi pun menjadi semakin berkembang pula.

Untuk melatih daya tahan gadis itu, maka pada saat-saat tertentu, baik Mahisa Agni maupun Witantra telah benar-benar menyentuh tubuh gadis itu dalam serangan-serangan yang cepat dan tidak terelakkan. Meskipun sekali-sekali Ken Padmi harus menyeringai menahan sakit, namun ia sadar sepenuhnya, bahwa di dalam perkelahian yang sesungguhnya ia pun akan mungkin sekali dikenai oleh lawannya.

Demikianlah, kemampuan Ken Padmi telah benar-benar berkembang. Ki Selabajra merasa, bahwa cara yang telah dipergunakannya telah jauh ketinggalan dari cara-cara yang dipergunakan oleh Mahisa Agni dan Witantra, yang hanya dalam waktu yang singkat telah mampu meningkatkan ilmu anak gadisnya berlipat ganda.

Ken Padmi menjadi semakin kaya akan unsur-unsur gerak. Ia pun menjadi lebih cepat menanggapi keadaan. Nalurinya pun menjadi bertambah tajam. Dan kekuatannya pun seakan-akan menjadi berlipat karena kesanggupannya mempergunakan tenaga cadangannya. Sementara daya tahannya pun menjadi semakin kuat.

Pada pekan terakhir, rasa-rasanya Ken Padmi sudah menjadi seorang yang lain dari saat-saat ia mulai berlatih di bawah bimbingan kedua orang yang disebutnya sebagai cantrik-cantrik tua itu. Atas persetujuan Ki Selabajra, maka di saat-saat padepokan itu telah menjadi sepi, maka Ken Padmi berlatih di halaman belakang padepokannya. Sanggar itu rasa-rasanya menjadi sempit. Sehingga ia memerlukan tempat yang lain.

Mahisa Agni dan Witantra sengaja menuntun Ken Padmi di arena yang luas. Dengan demikian, maka Ken Padmi akan dengan mudah ditunjukkan, bagaimana ia harus mengembalikan tenaga dan pernafasannya. Karena arena yang luas akan lebih banyak memerlukan tenaga dan kekuatannya.

“Meskipun tidak akan dipergunakan” berkata Mahisa Agni pada suatu malam, “ada baiknya kau berlatih mempergunakan senjata pada sebagian waktumu”

Sudah barang tentu Ken Padmi tidak menolak. Ia pun sudah mempunyai dasar ilmu pedang dan jenis-jenis senjata yang lain, sehingga Mahisa Agni dan Witantra pun tinggal mengembangkannya.

Menjelang akhir dari pekan ke empat, Mahisa Agni dan Witantra masih sempat menyempurnakan semua yang pernah diberikan kepada Ken Padmi. Kecepatan dan ketrampilan bergerak, mengenali kembali sifat dan watak unsur-unsur gerak, mengembangkan tenaga cadangan dan ketahanan tubuhnya. Juga ketrampilan mempergunakan senjata dan kemampuan menanggapi keadaan serta mengambil keputusan yang cepat dan tepat dalam keadaan yang tidak terduga...

Panasnya Bunga Mekar Jilid 21

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 04: Panasnya Bunga Mekar Jilid 21
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

“TIDAK Ki Sanak” jawab Mahisa Agni, “kami benar-benar ingin menghadap Akuwu untuk memberikan penjelasan seperti yang sudah aku katakan”

“Terima kasih. Marilah kita berangkat. Silahkan Ki Sanak bertiga berada di depan” jawab Senapati itu.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan isyarat ia mengajak Witantra dan Mahisa Bungalan mengikutinya. Keduanya pun segera mengerti apa yang dimaksud oleh Mahisa Agni sehingga keduanya pun segera mengikutinya. Para pengawal itu pun menyibak ketika Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan melewati mereka menuju ke istana Akuwu.

“Aku belum pernah melihat istana Akuwu” berkata Mahisa Agni.

Senapati itu tersenyum. Katanya, “Marilah. Aku akan berada di samping kalian”

Demikianlah Senapati itu telah mengambil tempat di samping Mahisa Agni. Di belakang mereka adalah Witantra dan Mahisa Bungalan. Baru kemudian di belakang mereka, para pengawal yang selalu bersiaga. Namun melihat sikap dan tingkah laku ketiga orang itu, maka mereka pun mulai ragu-ragu dengan laporan yang pernah mereka dengar. Meskipun demikian, mereka tidak boleh lengah. Ketiga orang itu dapat saja bersikap dan berlaku pura-pura. Namun yang pada suatu saat akan berbuat sesuatu yang sangat mengejutkan.

Tetapi Mahisa Agni Witantra dan Mahisa Bungalan sudah bertekad untuk tidak berbuat apa-apa dan menghadap Akuwu. Karena itu maka mereka pun sama sekali tidak menumbuhkan kecurigaan apapun juga. Mereka dengan tenang duduk di atas punggung kuda, sementara kuda mereka berjalan dengan kecepatan sedang di atas jalan yang menuju ke istana Akuwu.

Perjalanan itu tidak terlalu panjang. Sesat kemudian mereka sudah melihat istana Akuwu yang cukup megah. Di pintu gerbang terdapat dua orang pengawal yang berjaga-jaga di sebelah menyebelah. Namun ketiga orang itu nampaknya dengan patuh mengikuti perintah Senapati yang membawanya. Bukan karena ketiganya diperlakukan dengan kasar. Nampaknya Sanapati yang membawanya itu cukup berlaku baik terhadap ketiga orang itu. Tidak ada kesan sama sekali bahwa ketiganya telah melakukan perlawanan.

“Mungkin mereka tidak berani berbuat sesuatu melihat sekelompok pengawal yang kuat. sehingga mereka terpaksa bersikap seperti seekor tikus di hadapan seekor kucing yang garang“ desis beberapa orang.

Kedatangan Senapati yang membawa ketiga orang itu pun sempat membuat para pengawal di halaman istana Akuwu itu bersiap-siap. Namun seperti pengawal yang mengiringi ketiga orang itu, maka sama sekali tidak terdapat kesan yang mencurigakan pada ketiga orang itu. Ketiganya duduk di atas punggung kuda dengan kepala tunduk. Wajah mereka tidak membayangkan kekasaran dan apalagi keliaran.

Tetapi juga seperti para pengawal yang mengiringi ketiga orang itu, bahwa mereka tidak boleh lengah. Sesuatu yang tidak mereka, duga sebelumnya akan dapat terjadi dan akibatnya sangat menyakitkan hati. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka pun menduga, bahwa sikap itu adalah sekedar sikap pura-pura, atau suatu cara untuk maksud tertentu.

Dalam pada itu, demikian iring-iringan itu memasuki halaman, mereka pun segera berloncatan turun. Bukan saja ketiga orang yang dibawa untuk di hadapkan Akuwu, tetapi juga para pengawal itu sendiri. Para pengawal yang berada di sebelah menyebalah pintu gerbang, maupun para pengamal yang berada di gardu di dalam lingkungan dinding halaman itu pun telah bersiaga sepenuhnya.

Namun dalam pada itu, baik para pengawal yang membawa ketiga orang itu, maupun para pengawal yang berada di halaman, bahkan Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalah sendiri pun terkejut pula. Ternyata Akuwu yang berdiri di tangga depan istananya berkata lantang, “Biarkan mereka. Kenapa ketiga orang itu harus dikawal dan dijaga seperti sekelompok perampok yang menggemparkan Pakuwon?”

Tidak seorang pun yang mengetahui maksud Akuwu. Apalagi ketika Akuwu itu berkata, “Biarkan mereka bertiga menghadap. Kalian para pengawal tidak perlu menganggap ketiganya sebagai orang yang menakutkan. Mereka bagiku adalah orang-orang kebanyakan. Jika mereka mempunyai sekedar ilmu, bukan berarti bahwa kalian harus menjaganya dengan pasukan segelar sepapan”

Para pengawal itu pun termangu-mangu. Namun, justru Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan lah yang mulai mengerti maksud Akuwu itu. Namun mereka masih tetap menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh Akuwu itu selanjutnya.

Dalam pada itu, Akuwu pun berkata, “Lakukanlah tugas kalian sebagaimana seharusnya. Biarkan ketiga orang ini. Mereka tidak akan berbuat apa-apa. Aku ada disini”

Dengan demikian, barulah para pengawal itu mengerti. Akuwu sendiri telah mengawasi mereka bertiga, sehingga mereka bertiga tidak akan sempat berbuat apa-apa di depan Akuwu yang masih muda itu.

Meskipun demikian, para pengawal itu tidak meninggalkan halaman. Meskipun mereka menepi dan di antara mereka masuk kembali ke dalam gardu pengawal yang bertugas di halaman, namun sebagian dari mereka masih tetap mengawasi ketiga orang yang berdiri di halaman itu.

“Terimalah kuda mereka” berkata Akuwu lantang.

Tiga orang pengawal telah mendekati Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan. Mereka menerima kendali kuda mereka dan menambatkan di pinggir halaman istana Akuwu yang cukup luas itu.

“Ki Sanak” berkata Akuwu kepada ketiga orang yang berdiri termangu-mangu di halaman, “aku sudah mendengar segala sesuatu mengenai Ki Sanak. Aku pun telah menerima laporan, bahwa Ki Sanak adalah orang-orang yang pilih tanding”

Ketiga orang yang berdiri dihalaman itu pun menjadi semakin menyadari sikap Akuwu itu, sehingga dengan demikian, maka mereka pun mulai dapat menduga, apa yang akan dilakukan oleh Akuwu yang masih muda itu.

Sejenak ketiga orang dihalaman itu menilai Akuwu yang sedang berdiri tegak di tangga istananya. Mahisa Agni dan Witantra mulai memperbandingkan Akuwu itu dengan Akuwu Tumapel pada masa mudanya. Akuwu Tunggul Ametung yang dianggap sebagai seorang yang tidak ada duanya di Tumapel. Namun akhirnya ia terbunuh oleh Ken Arok. Ken Arok yang disebut sebagai kekasih dewa-dewa. Tetapi Ken Arok pun bukannya manusia yang tidak terkalahkan. Pada suatu saat Ken Arok pun telah terbunuh.

“Memang mungkin sekali bahwa seorang Akuwu memiliki kemampuan yang tidak ada bandingnya“ berkata Mahisa Agni di dalam-hatinya.

Namun, Mahisa Agni, dan Witantra itu pun meyakini, bahwa Mahisa Bungalan yang masih semuda Akuwu itu, juga memiliki kemampuan yang sulit dicari bandingnya.

“Ki Sanak” berkata Akuwu itu kemudian, “menurut laporan yang aku terima, kalian telah berhasil menangkap sekelompok perampok yang merampok di sebelah padukuhan”

“Bukan begitu Sang Akuwu” jawab Mahisa Agni, “yang hamba ketahui, hamba sekedar membantu, apa yang telah dilakukan oleh rakyat padukuhan itu sendiri. Sama sekali hamba dan kedua kadang hamba ini tidak merasa menangkap perampok-perampok itu”

Akuwu mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian, “Baiklah. Jika kalian merasa bahwa kalian tidak menangkap para perampok itu, karena mereka telah ditangkap oleh rakyat padukuhan itu sendiri, namun bukankah kalian berhasil menangkap pemimpin perampok yang telah melarikan diri?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hamba Akuwu. Tetapi itu pun satu kebetulan”

“Ternyata kalian adalah orang-orang yang suka merendahkan diri. Aku tidak tahu, apakah kalian benar-benar orang yang rendah hati, atau sekedar berusaha mengurangi kesalahan yang pernah kalian lakukan” berkata Akuwu kemudian, “He Ki Sanak. Kau ternyata telah menghindarkan seorang Senapati yang sedang mengemban tugas. Kau telah melawannya dan bahkan mengalahkannya. Luar biasa. Bukankah itu satu pameran kekuatan yang mengagumkan? Aku yang tidak melihat bagaimana kau melakukannya menjadi kagum”

“Hamba mohon maaf, Sang Akuwu” jawab Mahisa Agni, “bukan maksud kami untuk menentang perintah Sang Akuwu. Tetapi sebenarnyalah, bahwa kami merasa tidak bersalah. Dengan demikian maka tidak sepantasnya kami ditangkap dan dibawa menghadap Akuwu”

“Salah atau tidak salah, perintahku harus ditaati,“ bentak Akuwu muda itu.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia berhadapan dengan Akuwu yang masih muda, yang baru seumur Mahisa Bungalan. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk menjaga, agar jawaban-jawabannya tidak menyinggung perasaannya.

Dalam pada itu, maka Mahisa Bungalan menjawab, “Sekarang hamba telah menghadap Akuwu”

“Sudah terlambat” jawab Akuwu, “kau sudah dianggap bersalah karena telah menolak perintahku yang pertama, yang aku limpahkan lewat seorang Senapatiku”

Sementara itu, Mahisa Bungalan berdesis, “Apa boleh buat.“

“Tunggulah” bisik Witantra.

Tetapi rasa-rasanya Mahisa Bungalan sudah tidak sabar lagi. Meskipun seandainya ia harus bertempur melawan pengawal di seluruh pakuwon, agaknya akan lebih baik daripada menyerah begitu saja. Bahkan dengan akibat apapun juga.

Sementara itu, maka Mahisa Agni pun bertanya, “Jadi, apakah yang seharusnya kami lakukan Sang Akuwu?“

“Kalian harus dihukum sesuai dengan kesalahan kalian” jawab Akuwu, “kesalahan kalian adalah kesalahan yang berat, karena kalian telah melawan perintahku.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dengan dada tengadah ia berkata, “Hukuman apakah yang akan kami terima?”

“Seharusnya kalian menerima hukuman yang paling berat yang dapat dibebankan kepada seseorang. Kalian harus dihukum mati karena kalian telah memberontak.”

Sekali lagi Witantra menggamit Mahisa Bungalan yang bergerak setapak maju. Sementara Mahisa Agni berkata, “Hukuman mati adalah hukuman bagi seorang pengkhianat. Tetapi kami bukan pengkhianat. Jika kami menentang perintah Sang Akuwu, bukan berarti kami berkhianat, karena kami memang bukan penghuni Pakuwon ini.”

“Cukup” geram Akuwu muda itu, “siapa pun kalian, ternyata kalian berada di daerahku sekarang ini. Yang kau lakukan terjadi di daerah kekuasaanku.”

“Tetapi Akuwu tidak memikirkan akibatnya” jawab Mahisa Agni, “bahwa kami bukan orang kabur kanginan. Kami adalah orang yang memiliki tempat tinggal. Kami adalah orang yang berada di bawah satu kekuasaan seperti kekuasaan Akuwu di sini. Kami adalah orang-orang yang berada di bawah satu sayap perlindungan. Jika kami mati di sini, maka itu bukan satu penyelesaian yang baik bagi Pakuwon ini. Aku yakin, bahwa aku tidak berdiri sendiri. Aku yakin, bahwa akan timbul perselisihan yang menuntut korban demi korban. Kematian demi kematian karena peperangan.”

“Aku tidak peduli” teriak Akuwu itu.

“Kecuali jika kita bersikap jantan” berkata Mahisa Agni kemudian.

Akuwu itu mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia bertanya, “apa maksudmu?”

“Jika Akuwu menghukum mati kami bertiga, maka hal itu akan memberikan kesan ketidak adilan. Terutama bagi lingkungan kami. Bagi orang-orang yang merasa mempunyai kewajiban untuk melindungi kami. Tetapi jika kami mati dalam arena perang tanding, maka tidak seorang pun yang akan merasa tersinggung karenanya. Karena kami mati sebagai seorang laki-laki.“

“Gila. Kau menantang aku, he?” teriak Akuwu yang masih muda itu, “aku akan membuka arena perang tanding. Siapa yang akan maju di antara kalian. Aku akan melawan kalian seorang demi seorang. Membunuh orang yang pertama sebagai pelaksanaan hukuman mati yang harus kalian alami. Namun aku akan melakukannya dengan sikap jantan. Kemudian orang yang kedua dan yang ketiga. Jangan kalian sangka, bahwa karena kalian dapat mengelabui seorang Senapatiku, maka kalian merasa bahwa kalian memiliki ilmu yang linuwih di hadapanku.”

“Bagus” Mahisa Bungalan sudah tidak dapat dicegah lagi. Sambil melangkah maju ia berkata, “Kita masih sama-sama muda. Biarlah aku orang yang pertama melayani perang tanding”

“Persetan” geram Akuwu. Lalu katanya kepada para pengawalnya, “Aku akan melakukan perang tanding. Tidak seorang pun di antara kalian yang aku perkenankan untuk mencampurinya”

Para Senapati yang berada di halaman itu saling berpandangan. Namun mereka pun mengerti, bahwa Akuwu benar-benar akan melakukan perang tanding. Sementara itu, maka para Senapati dan pengawal pun menganggap bahwa ketiga orang itu telah melakukan langkah yang salah. Jika mereka menanggapi jatuhnya hukuman itu dengan cara yang lain, maka Akuwu pun tentu akan bersikap lain. Jika ketiga orang itu bersedia mohon ampun, maka biasanya Akuwu akan mengampuninya. Meskipun masih juga ada hukuman yang harus mereka jalani, tetapi hukuman itu tentu akan jauh lebih ringan dari hukuman mati.

Namun ketiga orang itu ternyata justru telah menantang Akuwu, sehingga Akuwu benar-benar menjadi marah. Dalam perang tanding, Akuwu mungkin akan benar-benar membunuh lawannya. Karena bagi mereka, Akuwu adalah seorang yang tidak dapat dikalahkan. Apalagi pada saat itu, guru Akuwu yang luar biasa itu, berada di istana itu juga.

Sebenarnyalah, seorang tua yang berambut putih, berdiri di pintu seketheng sambil menahan nafasnya. Ia melihat suasana yang panas di halaman. Namun ia pun melihat, bahwa ketiga orang yang berdiri di halaman itu memang bukannya orang kebanyakan, sehingga perang tanding itu telah mendebarkannya pula. Tetapi ia tidak dapat mancegahnya. Akuwu sudah menjatuhkan keputusan untuk melakukan perang tanding. Dan apa yang dikatakan olah Akuwu itu, tentu harus dilaksanakan”

Dalam pada itu, Para pengawal pun telah berada dalam satu lingkaran yang luas di halaman. Di tengah-tengah lingkaran itu, Akuwu akan melakukan perang tanding. Yang pertama-tama akan memasuki arena dari ketiga orang yang telah ditangkap itu adalah orang yang paling muda.

Sejenak kemudian Akuwu telah turun pula ke arena. Ia sama sekali tidak memegang senjata apapun, namun ketika Mahisa Bungalan memasuki arena itu pula, ia berkata, “Ambillah senjata apapun yang kau kehendaki”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. dengan, demikian ia sadar, bahwa ia berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu yang tinggi dengan ilmu puncaknya yang pantas di banggakan. Tetapi sebagai murid Mahisa Agni, dan sekaligus Witantra dan ayahnya pula, maka Mahisa Bungalan pun memiliki ilmu pamungkas. Ia akan dapat melepaskan ilmu itu dalam saat yang paling gawat.

Sejenak kemudian, kedua orang-orang muda itu sudah berhadapan. Akuwu yang dengan dada tengadah berdiri di bawah tangga istananya berkata, “Nah, kau masih mempunyai kesempatan. Apakah kau akan terus, atau mundur”

Tetapi jawab Mahisa Bungalan, “Kau kira aku lebih senang berjongkok untuk menjalani hukuman mati daripada aku harus berada di tengah-tengah arena ini? Jika aku mati di arena, maka aku mati sebagai laki-laki. Bukan sebagai seorang perampok yang dipenggal kepalanya. Tetapi lebih parah dari itu. Pakuwon ini tentu akan dilanda banjir bandang. Kematian demi kematian akan datang. Kau sangka kekuatan pengawal di Pakuwon mu ini tidak terbatas sehingga akan dapat melawan siapapun?"

“Jangan mengigau” desis Akuwu itu, “ambil senjata dan lawan aku”

“Aku bukan pengecut” jawab Mahisa Bungalan, “jika kau tidak bersenjata, aku pun tidak akan bersenjata”

“Tanganku melampaui jenis senjata apapun” jawab Akuwu.

“Tetapi tidak akan mampu melukai kulitku“ jawab Mahisa Bungatan yang menjadi panas.

Akuwu yang masih muda itu menggeram. Katanya, “Bersiaplah. Aku akan mulai”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Ia pun kemudian mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Ketika Akuwu itu bergeser, maka Mahisa Bungalan pun bergeser. Mahisa Buugalan sadar sepenuhnya, bahwa Akuwu itu bukan sekedar seperti Ki Buyut yang memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain yang tidak berpribadi kuat. dengan sorot matanya. Bukan pula Sanapati yang sombong. tetapi tidak mempunyai bekal ilmu. Tetapi agaknya Akuwu benar-benar memiliki kemampuan yang tinggi.

Sejenak kemudian, Akuwu itu pun mulai bergerak. Tangannya mulai terjulur, sementara Mahisa Bungalan pun telah bergeser setapak surut. Demikianlah, maka sesaat kemudian, perang tanding di antara keduanya pun telah mulai menyala di halaman itu. Ternyata Akuwu itu pun menyadari, bahwa lawannya memiliki kekuatan yang cukup membekali keberaniannya. Namun Akuwu tidak menduga, bahwa kemampuan anak muda yang telah memasuki arena itu, benar-benar ilmu pada tingkatan yang tinggi.

Sejenak kemudian, Akuwu mulai merasa betapa langkah-langkah anak muda itu kadang-kadang mengejutkannya. Kecepatannya bergerak melampaui perhitungannya. Sehingga karena itulah, maka Akuwu itu pun telah meningkatkan kamampuannya pada tataran tertinggi. Ia mulai menambah tenaga cadangannya untuk berusaha menekan lawarnya. Namun ia menjadi berdebar-debar, bahwa ilmu yang telah sampai pada tataran tertinggi itu sama sekali tidak menggetarkan lawannya. Bahkan lawannya itu seolah-olah menjadi semakin gairah.

“Anak gila” geram Akuwu, “apakah ia tidak menyadari keadaannya. Atau akulah yang tidak menyadarinya”

Dalam pada itu, Akuwu pun telah meningkatkan pula tenaga cadangannya. Dengan demikian maka kecepatannya bergerak pun menjadi semakin bertambah. Karena seolah-olah tidak lagi berjejak di atas tanah, sehingga para pengawalnya menjadi semakin kagum.

Namun, yang dilakukan itu sama sekali tidak membingungkan Mahisa Bungalan. Ia masih mampu mengimbangi kecepatan gerak dan kekuatan lawannya. Bahkan ketika Akuwu itu sempat menyerangnya dengan ayunan tangan mendatar menyamping, Mahisa Bungalan tidak mengelak. Bahkan dengan sengaja ia telah menangkis serangan itu, sehingga telah terjadi benturan kekuatan di antara keduanya.

Namun Mahisa Bungalan pun terkejut karenanya. Tangannya merasa sakit. Ternyata Akuwu itu telah meningkatkan pula tenaga cadangannya, sehingga ia hampir mengerahkan segenap kekuatannya. Tetapi Akuwu pun terkejut pula mengalami benturan itu. Ternyata perasaan pedih yang sangat telah menggigit tangannya yang membentur tangan Mahisa Bungalan. Bahkan rasa-rasanya dagingnya menjadi lumat karenanya dan tulangnya bagaikan menjadi retak.

“Luar biasa” geram Akuwu itu di dalam hatinya. Dengan demikian Akuwu pun semakin menyadari, bahwa ia benar-benar berhadapan dengan seorang anak muda yang berilmu tinggi. Namun demikian Akuwu masih mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri.

Sejenak kemudian, perang tanding itu pun menjadi semakin sengit. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka sampai pada tataran yang menentukan. Akuwu yang ternyata terbentur pada lawan yang kuat itu, tidak lagi mengekang dirinya. Bahkan ia telah bergumam kepada diri sendiri, “Orang ini memang pantas dihukum mati”

Oleh pikiran itu, maka Akuwu itu pun telah sampai kepada satu keputusan untuk menyelesaikan pertempuran itu. Ia tidak lagi ragu-ragu untuk menghantam lawannya dengan ilmu pemungkasnya meskipun dengan demikian lawannya akan menjadi lumat. Apalagi ia memang sudah mengatakan, bahwa orang itu harus dihukum mati. Karena Akuwu yang masih muda itu tidak melihat kesempatan lain, maka ia pun menentukan sikap. Sesaat ia menghentakkan tenaga cadangannya dan berusaha mendesak lawannya. Namun sejenak kemudian, Akuwu itu meloncat surut.

Mahisa Bungalan terkejut melihat sikapnya. Bahkan kemudian jantungnya menjadi berguncang ketika ia melihat Akuwu itu bersikap. Mahisa Bungalan sadar, bahwa Akuwu itu akan melepaskan ilmu pamungkasnya. Ilmu yang tentu jarang ada bandingnya. Sehingga karena itu maka Mahisa Bungalan tidak akan membiarkan dirinya menjadi lumat. Ia adalah seorang anak muda yang memiliki lambaran ilmu dari orang-orang tua yang menuntunnya. Meskipun ilmu itu belum sempurna, namun ilmu itu akan dapat melindungi dari kehancuran mutlak.

Mahisa Agni, Witantra dan orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin tegang. Mahisa Agni dan Witantra segera mengetahui, bahwa Akuwu itu telah sampai ke puncak ilmunya. Sementara orang-orang yang mengelilingi arena, para pengawal dan Senapati, telah mengenal, bahwa tidak seorang pun yang pernah berhasil menyelamatkan diri dari sentuhan ilmu yang dahsyat itu. Hanya dalam keadaan yang tidak terkendali saja Akuwu itu mempergunakan ilmunya. Karena itu, maka Akuwu jarang sekali mempergunakannya. Jika ia mempergunakan untuk menghadapi Mahisa Bungalan, adalah karena ia tidak mampu lagi untuk mengalahkan dengan kemampuan ilmunya sewajarnya.

Dalam pada itu, orang tua yang menyaksikan pertempuran itu di belakang para pengawal itu pun menjadi tegang. Tetapi ia tidak sempat berbuat apa-apa. Dalam waktu yang singkat, Akuwu telah mangetrapkan ilmu pamungkasnya, sementara Mahisa Bungalan yang tidak mau menjadi lumat itu pun telah melakukan hal yang serupa.

Sejenak kemudian, arena itu telah dicengkam oleh ketegangan yang memuncak. Seperti petir meloncat di langit. Akuwu itu menyambar lawannya dengan ilmu puncaknya. Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan pun telah merendahkan dirinya pada lututnya, menyilangkan tangannya didadanya. Ketika tangan Akuwu itu terayun, maka Mahisa Bungalan mengangkat kedua tangannya yang bersilang, menangkis-serangan Akuwu yang mempergunakan segenap kekuatan ilmu puncaknya.

Yang terjadi adalah benturan yang dahsyat. Mahisa Bungalan telah terlempar beberapa langkah surut. Bahkan ia telah tidak berhasil mempertahankan keseimbangan. Meskipun ia masih dapat menguasai dirinya, namun ia telah terhuyung-huyung dan jatuh pada lututnya. Dengan susah payah berusaha agar ia tetap menyadari keadaannya. Ia tidak mau kehilangan pengamatan diri, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk mempertahankan diri. Yang terjadi adalah benar-benar pertempuran antara hidup dan mati. Jika ia kehilangan kesadarannya, maka lawannya tentu akan dengan mudah membunuhnya. Namun jika ia masih tetap berhasil menguasai dirinya, betapapun lemahnya, ia masih akan mampu membela diri.

Karena itu, meskipun Mahisa Bungalan tidak tergesa-gesa meloncat berdiri, namun ia tetap menyadari keadaannya. Bahkan ia justru sempat beristirahat untuk mengatur pernafasannya. Namun ketika ia mengangkat kepalanya, dilihatnya lawannya tidak lagi berdiri di arena. Baru kemudian ia mengerti, bahwa Akuwu yang membentur kekuatannya itu pun telah terlempar beberapa langkah surut. Bahkan ternyata keadaannya lebih parah dari Mahisa Bungalan yang masih sempat bertahan pada lututnya. Dalam pada itu, Akuwu yang masih muda itu telah terbaring di tanah. Pingsan.

Sementara itu, orang tua berambut putih yang memperhatikan pertempuran itu dengan saksama, telah menyibak beberapa orang pengawal. Dengan langkah yang tenang, orang tua itu mendekati Akuwu yang terbaring diam. Kemudian ia pun berjongkok disisi Akuwu yang sedang pingsan itu.

Beberapa orang Senapati telah mengerumuninya dan berjongkok pula di seputarnya. Sejenak mereka memperhatikan, apa yang dilakukan oleh orang tua itu. Dengan sebuah bubuk yang dicairkan dengan air yang diambil oleh salah seorang pengawal, orang tua itu mengusap kening dan dahi Akuwu, Kemudian setitik air bersih telah diteteskan ke bibirnya pula.

“Ia akan segera sadar” desis orang tua itu.

Dalam pada itu, beberapa orang Senapati pun telah berbisik yang satu dengan yang lain, “Kita tangkap, orang itu”

“Ya. Kita tangkap orang itu” sahut yang lain.

Dalam pada itu, beberapa orang Senapati pun telah melangkah maju kearena, sementara Mahisa Agni dan Witantra telah membantu Mahisa Bungalan membenahi dirinya dan mengatur pernafasannya. Agaknya anak muda itu tidak mengalami kesulitan meskipun ia menjadi sangat letih.

“Kalian harus kami tangkap” desis seorang Senapati.

Namun sebelum Muhisa Agni menjawab, orang tua berambut putih itu mencegah para Senapati. Katanya, “Jangan berlaku licik. Yang terjadi adalah perang tanding sehingga akhir dari perang tanding ini harus kalian terima sebagai satu kenyataan.

“Dan orang-orang itu tidak menerima hukumannya?” bertanya para Senapati.

Orang tua itu pun kemudian bangkit sambil berdesis, “Layani Akuwu yang pingsan itu. Ia akan segera sadar. Biarlah aku menyelesaikan persoalan ini dengan orang-orang itu. Mereka bukannya tidak dihukum. Tetapi kita harus mempergunakan cara yang sudah disepakati untuk menghukum mereka. Aku pun akan melakukan perang tanding”

Mahisa Bungalan yang masih dalam keadaan letih itu pun sempat menjawab, “Bagus. Beri kesempatan aku mengatur pernafasanku. Aku akan memasuki arena perang tanding”

Tetapi Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Beristirahatlah. Biarlah Orang tua yang bermain-main dengan orang tua pula”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Sementara itu Mahisa Agni berkata, “Biarlah aku melawannya”

“Kau atau aku?“ bertanya Witantra. Percakapan itu ternyata telah menyinggung perasaan orang berambut putih yang menantang perang tanding itu Dengan suara lantang ia berkata, “Majulah berdua. Aku adalah guru Akuwu yang dapat dikalahkan anak muda itu, meskipun ia sendiri sudah tidak mampu lagi berbuat sesuatu”

Mahisa Bungalan akan menjawab. Tetapi Witantra menggamitnya. Sementara Mahisa Agni lah yang kemudian menjawab, “Jangan begitu Ki Sanak. Jika kita setuju untuk melakukan perang tanding, maka yang akan berlangsung adalah perang tanding apapun akibatnya”

“Bagus” jawab orang berambut putih itu, “kita akan melakukan perang tanding. Tantanganmu itu adalah satu kesalahan besar bagimu, sehingga menjerumuskan kalian bertiga kedalam keadaan yang paling parah. Sebenarnya Akuwu bukan orang yang sangat kejam untuk membunuh orang-orang yang telah pasrah. Mungkin kau akan mendapat pengampunan jika kau memohonnya. Tetapi dengan sombong kau menantang perang tanding”

“Akuwu sudah aku kalahkan” geram Mahisa Bungalan.

“Belum” jawab orang itu.

“Sudah. Jika tidak ada batas dalam perang tanding ini, aku sekarang dapat mendekatinya dan mencekiknya sampai mati, apa bila perang tanding ini dinyatakan sampai mati. Jika keadaan yang terjadi sebaliknya, mungkin Akuwu akan membunuhnya. Tetapi yang terjadi sekarang aku tidak membunuhnya. Tetapi aku menang atas Akuwu itu. Jika kau jujur, kau akan mengakuinya”

Orang tua itu menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat ingkar, karena yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan itu memang sebenarnya demikian. Namun dalam pada itu, dengan gigi gemeretak orang tua itu berkata, “Aku akan menebus kekalahan ini. Aku akan bertempur sampai mati”

“Jangan begitu Ki Sanak” sahut Mahisa Agni dengan serta merta, “kita akan bertempur dengan jantan. Kita akan mengakui, kekalahan yang mungkin akan kita derita. Tetapi bukan berarti bahwa kita akan membunuh diri”

“Terserah kepada kalian” jawab orang berambut putih itu, “tetapi aku adalah guru Akuwu yang telah menjatuhkan hukuman mati atas kalian tanpa mendapat kesempatan untuk memberikan pengampunan. Karena itu, maka dalam perang tanding ini, aku sekaligus akan melaksanakan hukuman mati itu, Aku akan membunuh lawan-lawanku seperti yang dimaksud oleh Akuwu”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau terlalu terpengaruh oleh perasaanmu Ki Sanak. Seharusnya orang-orang yang sudah setua kita, akan dapat berpikir dengan lebih mengendap. Namun agaknya kau mempunyai sedikit kelainan dengan orang-orang yang aku maksudkan”

“Jangan banyak berbicara“ potong orang berambut putih itu, “cepat, siapakah yang akan mati lebih dahulu. Tentu bukan anak muda itu. Ia terlalu cepat mati. Karena itu, ia akan mandapat giliran yang terakhir”

“Baiklah” jawab Mahisa Agni, “jika kau berkeras untuk melakukannya, aku tidak berkeberatan. Marilah aku layani kau bermain-main”

Orang berambut putih itu pun kemudian maju beberapa langkah. Namun dalam pada itu, ia sempat berpaling ketika ia mendengar desah Akuwu yang mulai menyadari keadaannya.

“Minggirlah” berkata orang berambut putih itu, “aku akan melaksanakan hukuman yang sudah Akuwu jatuhkan atas orang-orang ini. Aku akan mempergunakan cara yang telah dipilihnya”

“Terserahlah kepada guru” desis Akuwu. itu, yang kemudian dibantu oleh beberapa orang pengawal menepi.

Sejenak kemudian orang berambut putih itu sudah berhadapan dengan Mahisa Agni, sementara Witantra berdiri di sebelah Mahisa Bungalan yang masih letih. Namun kekuatannya berangsur-angsur telah pulih kembali.

“Ki Sanak” berkata orang berambut putih, “kita akan segera mulai. Jangan menyesal, bahwa kalian telah menjadi korban kesombongan kalian sendiri”

“Aku tidak akan menyesal” jawab Mahisa Agni, “aku sudah memasuki daerah ini dengan maksud baik, dan kami bertiga sudah berusaha membantu orang-orangmu yang mengalami kesulitan. Tetapi inilah hadiah yang aku terima. Karena itu, maka biarlah kami bukan saja mempertahankan diri, tetapi kami berhak mempertahankan sikap adil yang telah kalian korbankan sekedar karena harga diri”

“Cukup“ geram orang berambut putih itu ”apakah kau akan mempergunakan senjata?”

”Sebagaimana yang kau lakukan. Jika kau yakin dengan tanganmu, aku pun akan mempergunakan tanganku. Aku mengerti bahwa kau akan mempergunakan ilmu pamungkasnya, seperti yang nampak pada Akuwu itu, tetapi dalam tataran yang lebih tinggi”

Orang berambut putih itu menggeram. Tetapi ia pun mengerti bahwa orang yang menghadapinya diarena itu dengan penuh kesadaran menghadapinya. Sejenak kemudian, maka kedua orang tua itu sudah barhadapan. Mahisa Agni yang tidak bermimpi untuk berhadapan dengan seseorang dalam perang tanding, merasa dirinya tidak mempunyai pilihan laia Karena ia tidak akan menyerahkan lawannya kepada Witantra yang tentu dalam keadaan yang serupa dengan dirinya.

Karena itu, maka betapapun rasa segan membayanginya, ia harus menghadapi orang berambut putih itu dalam satu perang tanding. Namun ternyata orang berambut putih itu masih merasa perlu menjajagi kemampuan lawannya. Tidak seperti yang diduga oleh Mahisa Agni, bahwa ia akan langsung mempergunakan ilmu pamungkasnya. Namun orang berrambut putih itu telah menyerang Mahisa Agni dengan kemampuan wajarnya. .

Keduanya pun kemudian mulai bertempur dengan ketrampilan jasmaniah mereka. Ternyata kedua orang, tua itu masih mampu bergerak cepat sehingga para pengawal yang menyaksikannya menjadi heran dan kadang-kadang bingung. Mereka kadang-kadang kehilangan pengamatan atas kedua lawannya. Tiba-tiba saja pada saat-saat yang tidak terduga, keduanya berada di tempat yang justru berlawanan dari penglihatan orang-orang yang berdiri di pinggir arena itu.

Demikianlah pertempuran itii semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya bergerak semakin cepat. Namun kemudian keduanya tidak saja mempergunakan tenaga wantah, tetapi keduanya mulai mempergunakan tenaga cadangan masing-masing, sehingga pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Benturan-benturan yang terjadi menjadi semakin seru, sehingga orang-orang yang menyaksikan itu mulai melihat benturan-benturan kekuatan yang tidak mereka mengerti. Meskipun keduanya tidak bersenjata, namun kedua tangan mereka ternyata memiliki kemampuan melampaui senjata yang betapapun kuatnya. Agaknya bindi sebesar paha sekalipun tidak akan dapat mematahkan kekuatan tangan mereka.

Dalam pada itu, orang berembut putih itu telah mengerahkan segenap tenaganya. Bahkan tenaga cadangannya. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin cepat bergerak dan semakin kuat. Tetapi ia tidak berhasil mendesak Mahisa Agni, karena Mahisa Agni pun telah meningkatkan kemampuannya pula. Bahkan akhirnya Mahisa Agni pun sempat menilai kekuatan dan kemampuan lawannya. Ketika orang berambut putih itu tidak lagi meningkatkan serangan-serangannya pada kekuatan dan kecepatan gerak, tahulah Mahisa Agni bahwa orang itu sudah sampai dipuncak.

“Jika ia akan meningkat lagi, ia akan mempergunakan ilmu puncaknya” berkata Mahisa Agni didalam hatinya.

Karena itulah, maka ia pun harus berhati-hati. Setiap saat orang itu akan dapat melontarkan ilmu puncaknya. Namun dalam pada itu, yang semula tidak begitu jelas nampak di saat Akuwu bertempur melawan Mahisa Bungalan, maka pada tata gerak orang berambut putih itu pun mulai nampak semakin jelas. Menurut penilaian Mahisa Agni dan juga penilaian Witantra yang berdiri di luar arena, Akuwu adalah murid orang berambut putih itu yang telah menerima segala macam ilmunya dengan tuntas. Meskipun kematangan ilmu Akuwu itu masih harus dikembangkan, tetapi menurut penglihatan Mahisa Agni dan Witantra. Akuwu itu sudah mencerminkan kemampuan gurunya.

Namun demikian, Mahisa Agni masih belum sampai hati melepaskan Mahisa Bungalan melawan orang itu, seandainya sejak semula ilmu itu sudah dapat dijajaginya. Dalam pada itu, yang nampak pada Mahisa Agni dan Witantra adalah beberapa persamaan antara tata gerak orang berambut putih itu dengan ilmu seseorang yang pernah dikenalnya.

“Ilmu ini tentu satu keturunan dengan ilmu Ki Dukut Pakering” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “meskipun ada beberapa perkembangan yang agak lain”

Pada murid-murid Ki Dukut, tata gerak ini masih nampak jelas. Tetapi agaknya tidak pada Akuwu yang pingsan itu. Meskipun Mahisa Agni tidak tahu sebabnya, namun pada Akuwu itu tata gerak itu mulai kabur, meskipun setelah diamati dengan seksama, tata gerak itu masih nampak juga pada jiwanya. Tetapi jika Mahisa Agni tidak melihat tata gerak orang berambut putih itu, maka sulit untuk mencari hubungan tata gerak Akuwu itu dengan murid-murid Ki Dukut Pakering.

Justru karena itu, maka Mahisa Agni pun menjadi semakin tertarik melihat kemampuan lawannya. Ketika batas kemampuan orang berambut putih itu sudah tidak meningkat lagi, sementara orang itu masih belum dapat menguasai lawannya, seperti yang diduga oleh Mahisa Agni, maka orang itu pun segera mempersiapkan ilmu pamungkasnya.

Mahisa Agni tidak terkejut melihatnya. Ia pun akan dapat melawan ilmu itu dengan ilmunya, dan Mahisa Agni pun yakin, bahwa ia akan dapat mengatasinya, setidak-tidaknya mengimbanginya. Namun sebelum orang itu sampai kepada ilmu puncaknya, Mahisa Agni berkata, “Sudahlah Ki Sanak. Yang akan terjadi telah tercermin pada muridmu. Jika kau mempergunakan ilmu Puncakmu, dan aku pun akan melawan dengan ilmuku. Benturan akan terjadi. Kita masing-masing akan terlempar dan menjadi-sangat letih. Setelah itu, perlahan-lahan kita berusaha memulihkan kekuatan kita masing-masing. Jika kita masih belum puas, benturan yang serupa akan terjadi, meskipun lebih lemah”

“Kau tidak akan dapat menahan ilmu pamungkasku” geram orang berambut putih.

“Muridku dapat melakukannya atas muridmu. Bahkan kau dapat melihat keseimbangan di antara keduanya” jawab Mahisa Agni.

“Apakah kau takut melawan ilmuku?“ bertanya orang itu.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sebelumnya ia menduga bahwa orang tua itu tidak akan sekeras Akuwu yang masih muda. Namun ia masih harus membuktikannya. Karena itu, maka Mahisa Agni masih mencobanya lagi. Katanya, “Ki Sanak. Kita adalah orang-orang tua. Apakah kita masih juga tidak mampu melihat kenyataan, bahwa jika kita masing-masing harus melepaskan ilmu pamungkas, semuanya itu tidak akan ada artinya selain membuang-buang tenaga, waktu dan barangkali kita akan mengalami luka-luka dan kesakitan. Sementara persoalan kita tidak akan dapat diselesaikan dengan cara itu, karena masalahnya adalah harga diri. Kadang-kadang kita menilai harga diri kita satria dengan nyawa kita”

Ternyata orang berambut putih itu mulai merenung. Karena itu Mahisa Agni mulai berharap bahwa orang itu akan mendengarkannya.

“Ki Sanak. Seumur kita ini sudah bukan waktunya lagi untuk berlagak dihadapan banyak orang, apakah Ilmu kita dikagumi orang lain atau tidak. Jika mereka sudah melihat, kita melepaskan ilmunya, maka mereka tentu akan dapat menduga, betapa kemampuan gurunya, meskipun bukan mutlak bahwa jika muridnya mempunyai kemampuan selapis lebih tinggi, maka gurunya pun demikian pula”

Orang berambut putih itu mulai mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Aku sependapat Ki Sanak. Tidak ada gunanya kita melepaskan ilmu pamungkas kita masing-masing. Kau benar, bahwa hal itu tidak akan ada gunanya” berkata orang berambut putih itu.

Dalam pada itu, Akuwu terkejut mendengar keputusan gurunya. Karena itu, maka dengan nada tinggi ia bertanya, “Guru akan membiarkan mereka?”

“Bukan maksudku. Tetapi apakah kita akan dapat mengingkari kenyataan? Kita bertempur untuk mempertahankan harga diri. Apakah kita akan mengorbankan harga diri dengan memerintahkan semua pengawal di Pakuwon ini untuk bergerak?“ bertanya gurunya.

“Apakah guru tidak dapat membunuhnya saja?“ bertanya Akuwu.

Ternyata gurunya menggeleng. Katanya, “Aku tidak akan dapat membunuhnya meskipun dengan ilmu puncak yang ada padaku. Ia pun memiliki kemampuan yang akan dapat mengimbangi kemampuanku sehingga yang akan terjadi, adalah satu benturan yang tidak ada artinya”

“Jadi bagaimana dengan mereka Guru?“ bertanya Akuwu.

“Mereka tidak dapat kita kalahkan dalam perang tanding” jawab gurunya, “karena itu. Maka kita tidak akan dapat menghukumnya dengan cara lain apabila kita tetap berpegang pada harga diri kita”

Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Tubuhnya masih terasa sakit. Namun selangkah ia maju mendekati gurunya sambil bertanya, “Jadi, persoalan ini sudah selesai sampai disini?”

“Ya” jawab gurunya, “aku kira demikian”

“Tetapi aku Akuwu di sini” berkata Akuwu itu.

“Justru karena itu, pakailah kebijaksanaan. Berikan contoh sikap perwira kepada para pengawalmu” jawab gurunya.

Wajah Akuwu menjadi tegang. Ia merasa tersinggung oleh keadaan itu. Namun ia tidak dapat menentang gurunya. Bahkan hatinya pun mulai mengerti dan merasa arti kata-kata gurunya. Namun kedudukannya sebagai Akuwu telah mempersulit keadaannya di hadapan para pengawalnya, seolah-olah ia tidak mampu menjatuhkah hukuman terhadap orang yang bersalah.

Agaknya Mahisa Agni dapat melihat gejolak perasaan Akuwu itu. Karena itu, maka berusaha untuk membantunya mengatasi perasaannya. “Akuwu” berkata Mahisa Agni kemudian, “mungkin yang terjadi ini tidak sesuai dengan tuntunan keadilan bagi Akuwu yang menganggap kami bersalah. Tetapi Akuwu pun tidak akan dapat ingkar akan kesediaan Akuwu untuk berperang tanding. Mungkin Akuwu dapat mengambil keputusan lain, tetapi itu pun akan kurang bijaksana."

“Kebijaksanaan Akuwu tidak dapat digugat“ geram Akuwu.

“Jika demikian, baiklah Akuwu“ jawab Mahisa Agni, “jika Akuwu masih merasa belum memenuhi kewajiban keadilan Akuwu atas orang yang bersalah, sementara Akuwu sudah terikat kepada kesediaan Akuwu untuk berperang tanding, maka cobalah Akuwu menuntut pada peradilan yang lebih tinggi”

“Apa maksudmu?“ bertanya Akuwu.

“Jika Akuwu mengakui kekuasaan Singasari, ajukan masalah ini kepada peradilan di Singasari, karena aku adalah orang yang pantas mendapat peradilan di Singasari” jawab Mahisa Agni.

Akuwu itu menjadi tegang sejenak. Tiba-tiba saja ia berdesis, “Siapa kau sebenarnya?”

“Aku adalah salah satu dari hamba istana Singasari. Kami berdua yang tua-tua ini adalah wulu cumbu Mahaprabu di Singasari” jawab Mahisa Agni.

Wajah Akuwu, menjadi semakin tegang. Terdengar suaranya bergetar, “Sapakah kau berkata sebenarnya?”

“Bertanyalah kepada para tetua di Singasari” sahut Mahisa Agni. Namun tiba-tiba, “Tetapi Akuwu, apakah Akuwu tidak pernah datang menghadap ke Singasari?”

“Ia belum lama menjabat Akuwu” jawab gurunya, “Ayahandanya baru saja meninggal. Kemudian ia pun diangkat menjadi penggantinya sambil menunggu pengesahan dari Singasari”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Pada suatu saat, di hari pasowanan, kau dapat mencari aku di Singasari. Aku yang sudah tua, jarang sekali hadir dipaseban. Tetapi di waktu-waktu khusus Maha Prabu di Singasari memanggil kami berdua”

Orang tua berambut putih itu menjadi berdebar-debar. Jika kedua orang itu adalah benar-benar orang-orang yang dekat dengan Maha Prabu di Singasari, maka persoalan akan dapat berkembang jika keduanya merasa terhina dengan perlakukan Akuwu terhadap mereka.

Namun dalam pada itu, Mahisa Agni berkata, “Lupakan apa yang telah terjadi, jika kalian mengakui apa yang aku katakan”

Tetapi nampaknya Akuwu yang muda itu tidak segera dapat mempercayainya. Masih nampak keragu-raguan memancar pada sorot matanya.

Namun orang berambut putih itu kemudian berkata, “Jika demikian, kami mengucapkan terima kasih. Karena itulah agaknya maka agaknya tuan-tuan dapat berlaku bijaksana. Kami mohon maaf atas segala tingkah laku kami. Beruntunglah bahwa aku masih mendengar peringatan tuan. Jika tidak, dan aku memaksa diri untuk membenturkan ilmuku, maka aku kira aku tidak akan dapat bangkit lagi selama-lamanya”

“Mungkin yang terjadi sebaliknya” jawab Mahisa Agni ”karena itu, aku aku kira perbuatan yang demikian akan menyia-nyiakan segalanya”

“Tentu akulah yang akan menjadi debu” desis orang berambut putih itu. Lalu katanya, “Jika demikian. perkenankanlah kami mempersilahkan tuan naik ke pendapa”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya para pengawal yang berdiri termangu-mangu. Senapati yang pernah dikalahkan oleh Mahisa Bungalan, yang juga berada dihalaman itu, berusaha untuk bersembunyi dibalik punggung kawannya.

“Pantas aku dianggapnya sebagai permainan saja” berkata Senapati itu di dalam hatinya, “ternyata mereka adalah orang-orang dalam istana Singasari”

Akuwu yang muda itu pun tidak dapat berbuat lain. Gurunya telah menentukan satu sikap terhadap ketiga orang itu. Karena itu, maka ia pun tidak dapat mengelak lagi.

Sejenak kemudian ketiga orang itu telah berada di pendapa Agung istana Akuwu yang tidak siap untuk menerima mereka. Suasana yang canggung dan kaku mewarnai pertemuan itu. Namun orang berambut putih itu agaknya berusaha untuk mengisi kekosongan dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah.

“Apakah tuan-tuan telah lama berada di istana Singasari?” bertanya orang berambut putih itu pula.

Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Saudaraku ini mengabdi bukan saja setelah Singasari berdiri. Tetapi sejak Akuwu Tunggul Ametung memerintah Pakuwon Tumapel”

“Sejak Akuwu Tunggul Ametung?“ orang berambut putih itu merasa heran, “sudah lama sekali”

“Kami pun sudah terlalu tua sekarang” jawab Witantra, “sudah tentu waktu aku menghamba di Tumapel aku masih sangat muda”

Orang berambut putih itu mengangguk-angguk. Sementara Witantra pun kemudian berkata, “Karena itu. Ki Sanak, jangan terlalu berprihatin atas keadaan ini. Aku percaya. Bahwa Akuwu yang masih muda itu, masih belum dapat mengendalikan dirinya sebagaimana orang-orang tua. Tetapi jangan merasa direndahkan dengan sikap kami. Bukan maksud kami menyombongkan diri, tetapi jika kami mengaku bahwa kami orang-orang dalam istana Singasari semata-mata untuk memberitahukan kepada Ki Sanak, terutama kepada Akuwu yang masih muda itu, bahwa yang kalian alami bukannya satu penghinaan”

Akuwu yang masih muda itu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa setelah ia sempat merenungi apa yang telah terjadi, dan orang-orang sedang dihadapinya, maka mulailah ia menyadari keadaannya.

Sementara itu orang berambut putih itu berkata, “Demikianlah memang yang terjadi di dalam hati kami. Setelah kami mengetahui siapakah tuan-tuan ini, maka kami pun justru telah menyesali perbuatan kami. Kami sama sekali merasa terhina, sementara kewibawaan Akuwu pun tidak tersinggung karenanya. Justru karena yang hadir di sini adalah orang-orang dalam istana Singasari” Orang itu berhenti sejenak, lalu, “tuan-tuan, jika tuan yang seorang ini telah berada di istana sejak masa pemerintahan Tumapel, bagaimana dengan tuan yang seorang lagi?”

“Aku pun berada di istana sejak masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung” jawab Mahisa Agni.

Namun Witantra telah menambah, “Sama sekali aku beritahukan agar kalian mendapat gambaran yang benar tentang kami bertiga, sehingga tidak akan menyesal bahwa kalian telah melepaskan kami dan tidak menjatuhkan hukuman. Orang ini adalah saudara tua puteri yang menurunkan Maha Prabu di Singasari sekarang ini”

“Jadi?“ orang berambut putih itu terkejut. Demikian juga Akuwu yang masih muda itu.

Meskipun Mahisa Agni menggamitnya, namun Witantra berkata selanjutnya, “Ia adalah saudara tua puteri Ken Dedes”

“Puteri Ken Dedes, isteri Akuwu Tunggul Ametung, yang kemudian menjadi permaisuri di Singasari pada masa pemerintahan Sri Rangga Rajasa Sang Amurwabhumi?” bertanya orang berambut putih itu.

Witantra mengangguk sambil tersenyum. Jawabnya, “Ya Ki Sanak. Tetapi sudahlah, Jangan kau hiraukan. Mungkin ada masalah lagi yang dapat kita bicarakan”

Wajah-wajah nampak menjadi tegang. Orang berambut putih itu pun menjadi tegang, seperti juga Akuwu yang masih muda itu. Beberapa orang Senapati terpenting yang ikut duduk bersama mereka pun menjadi tegang pula dengan jantung yang berdebar-debar.

Hampir setiap orang pernah mendengar tentang Akuwu Tumapel yang terbunuh oleh hambanya yang bernama Kebo Ijo, yang kemudian digantikan oleh seorang anak muda yang disebut sebagai keturunan Dewa Brahma. Yang kemudian berhasil mengalahkan Kediri dan mendirikan Singasari sebagai pusat pemerintahan. Dalam urutan peristiwa itu, tersebut juga seorang puteri yang bernama Ken Dedes.

Dalam pada itu, ternyata kecuali keheranan dan ketegangan yang mencengkam, maka Akuwu, gurunya dan para Senapati itu pun merasa, adalah satu tindakan yang tergesa-gesa bahwa mereka telah menangkap dan bahkan mengadili orang-orang itu sebelum mereka dengan sungguh-sungguh menelusuri segala peristiwa yang terjadi dan yang telah mereka lakukan.

Tetapi dengan demikian usaha Mahisa Agni telah berhasil. Bahwa orang-orang yang mengadilinya itu memang harus mencabut keputusannya tanpa mengorbankan wibawanya, karena sebagaimana menjadi satu sikap, bahwa sabda pandita ratu, sekali sudah diucapkan maka tidak akan dapat dicabut lagi. Namun menghadapi ketiga orang yang ternyata bukan orang kebanyakan itu, mereka tidak dapat berbuat lain, karena mereka tidak ingin berurusan dengan Singasari.

Sementara orang-orang yang keheran-heranan itu masih, termangu-mangu, maka Witantra pun berkata, “Sudahlah. Jangan hiraukan lagi, Kecuali jika masih ada keragu-raguan antara kalian”

“Tidak. Tidak tuan” berkata orang berambut putih itu, “aku percaya bahwa tuan-tuan adalah para pemimpin tertinggi di Singasari. Hal itu ternyata nampak pada kebijaksanaan tuan. Tuan berusaha menghindari benturan kekerasan, karena tuan-tuan tidak ingin membunuh aku. meskipun akan dapat tuan lakukan jika tuan menghendaki. Itu adalah cermin dari satu sikap seorang pemimpin sejati. Justru bukan dengan kekuasan yang ada pada tuan, tetapi dengan sikap yang bijaksana”

“Jangan memuji” jawab Mahisa Agni, “jika kalian mempercayai kami, kami harap bahwa kalian melupakan saja peristiwa yang baru saja terjadi”

“Terima kasih tuan. Jika tuan berkenan memaafkan segala kelancangan kami” jawab orang berambut putih itu.

“Sudahlah” berkata Mahisa Agni, “mungkin ada sesuatu yang lebih penting dibicarakan sekarang ini. Tetapi aku kira, persoalannya terlalu khusus, sehingga aku hanya ingin berbicara dengan Akuwu dan Gurunya”

Akuwu yang masih muda itu menjadi berdebar-debar. Langkahnya yang salah itu memang dapat menggoyahkan kedudukannya. Sementara itu permintaan Mahisa Agni untuk berbicara hanya dengan Akuwu dan gurunya, membuatnya semakin gelisah.

Dalam pada itu, orang berambut putih itu pun minta kepada orang-orang lain yang hadir untuk sementara meninggalkan pertemuan itu, agar mereka dapat berbicara dengan leluasa.

Ketika yang tinggal hanya Akuwu dan orang berambut putih itu, maka Mahisa Agni pun kemudian bertanya, “Ki Sanak. Aku minta maaf. Bahwa mungkin sekali pengamatanku keliru. Atau mungkin ada persoalan khusus yang tidak aku ketahui”

Ketika Mahisa Agni berhenti sajenak, Akuwu dan gurunya itu menjadi semakin berdebar-debar.

“Apakah Ki Sanak mengenal atau mengetahui seseorang yang bernama Ki Dukut Pakering?“ bertanya Mahisa Agni kemudian.

Orang berambut putih itu menjadi tegang sejenak. Namun kemudian katanya, “Tuan. Agaknya aku memang tidak pantas untuk berbohong kepada tuan. Karena itu, aku tidak akan ingkar, bahwa aku masih mempunyai hubungan dengan orang yang bernama Ki Dukut Pakering. Bukan maksud kami untuk mengaku justru karena Ki Dukut mempunyai kedudukan yang baik di Kediri, karena kebetulan ia menjadi seorang yang mendapat kepercayaan untuk mengasuh dua orang Pangeran kakak beradik”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih Ki Sanak. Dengan demikian, maka ternyata bahwa Ki Sanak sudah cukup lama tidak bertemu dengan Ki Dukut Pakering dan bahkan tidak mendengar kabar beritanya”

“Kenapa?“ orang berambut putih itu menjadi heran.

“Tetapi apakah Ki Sanak dapat mengatakan hubungan antara Ki Sanak dan orang yang bernama Ki Dukut itu?” bertanya Mahisa Agni.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian. katanya, “Pertanyaan tuan membuat aku menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi baiklah. Aku harus memberi penjelasan seperti yang sebenarnya aku mengerti”

“Terima kasih” desis Mahisa Agni.

“Aku memang masih mempunyai sangkut paut dengan Ki Dukut Pakering. Seperti yang aku katakan, bukan karena aku mengaku-aku karena kedudukannya. Tetapi ia memang seorang yang memiliki saluran ilmu seperti yang aku miliki. Ketajaman penglihatan tuan, semakin meyakini aku, bahwa tuan adalah orang yang luar biasa”

“Sudahlah. Jangan memuji. Tetapi bagaimana dengan Ki Dukut itu?“ potong Mahisa Agni.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tuan. Ki Dukut adalah murid yang terpercaya dari seorang guru yang pilih tanding. Tetapi yang sudah beberapa lama meninggal. Sementara aku adalah murid dari saudara seperguruan dari guru Ki Dukut itu. Karena itu, mungkin tuan melihat beberapa persamaan antara unsur gerak Ki Dukut, karena kami memang bersumber dari perguruan yang sama, Namun dalam perkembangannya, pengaruh pengalaman dan pengamatan setiap murid, maka nampak ada kelainan yang juga semakin berkembang. Sejauh makin jauh hubungan diantara kami maka semakin jauh pula perbedaan-perbedaan yang ada di antara kami”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya apa yang dikatakan oleh orang berambut putih itu. Namun dalam pada itu, Mahisa Agni pun semakin yakin bahwa orang itu tentu sudah lama tidak pernah berhubungan lagi dengan Ki Dukut, sehingga ia tidak mengerti, apa yang telah terjadi atasnya.

Namun dalam pada itu, Mahisa Agni menganggap perlu untuk memberitahukan hal itu kepada Akuwu dan gurunya segala sesuatu mangenai Ki Dukut Pakering, agar keduanya tidak dapat dibujuknya untuk membantunya melakukan kejahatan lebih jauh lagi. Ketika Mahisa Agni berbisik ditelinga Witantra, maka Witantra pun mengangguk menyetujuinya.

“Memang ada baiknya” desis Witantra.

Akuwu dan gurunya termangu-mangu sejenak. Mereka melihat Mahisa Agni dan Witantra berbicara.. Justru karena itu mereka tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, maka keduanya menjadi semakin berdebar-debar.

“Ki Sanak” berkata Mahisa Agni kemudian, “aku minta maaf, bahwa aku akan memberikan beberapa keterangan tentang Ki Dukut. Aku tidak akan mengatakan apa-apa jika aku tidak mengetahui bahwa kaliah masih mempunyai sangkut paut dengan Ki Dukut. Namun agaknya keteranganku akan sedikit mengecewakan bagi kalian”

“Kami menjadi berdebar-debar” berkata orang berambut putih itu.

Sejenak kemudian maka Mahisa Agni pun mulai berceritera tentang Ki Dukut. Tentang tingkah lakunya dan tentang ketamakannya. sehingga ia berhasil mangadu kedua Pangeran kakak beradik yang menjadi muridnya itu.

Ternyata berita itu telah mengejutkan. Apalagi ketika Mahisa Agni mengatakan, bahwa Ki Dukut telah menghubungi beberapa pihak. Mula-mula perampok-perampok yang bertebaran di daerah yang jauh dari tangan-tangan para prajurit Singasari dan para pengawal di Kediri. Namun usahanya sama sekali tidak berhasil. Kemudian ia telah menghubungi orang-orang dari lingkungan mereka yang berilmu hitam.

“Ki Dukut ternyata telah mempergunakan gelar Rajawali Penakluk” berkata Mahisa Agni kemudian, “agaknya ia ingin menakut-nakuti perampok-perampok yang bertebaran. Namun ternyata ia memang berhasil menghimpunnya”

“Bukan main” desis orang berambut putih itu, “kami sudah pernah mendengar seorang pemimpin perampok yang sangat disegani yang mempergunakan gelar Rajawali Penakluk”

“Itulah Ki Dukut Pakering” desis Mahisa Agni.

“Kami hampir tidak percaya atas berita ini” desis Akuwu, “tetapi seperti yang sudah kami katakan, kami percaya kepada tuan-tuan”

“Karena itu Akuwu” berkata Mahisa Agni, “mungkin Akuwu pernah mendengar kejahatan yang merambah daerah kekuasaan Akuwu yang tidak langsung mempunyai sangkut paut dengan Ki Dukut Pakering”

“Memang mungkin tuan” jawab Akuwu itu.

“Mungkin ia hadir dalam ujud yang berbeda“ berkata Mahisa Agni, Lalu, “Akuwu, sebenarnyalah bahwa perampok yang baru saja ditangkap beramai-ramai itu pun mempunyai hubungan dengan Ki Dukut pada mulanya. Ketika Ki Dukut mencari pendukung dari para perampok-perampok yang tersebar. Namun yang ternyata tidak memenuhi keinginannya”

“Dari mana tuan tahu?“ bertanya orang berambut putih itu.

“Mereka menyebut-nyebut Rajawali Penakluk, meskipun sudah lama orang yang menamakan dirinya Rajawali itu tidak kunjung datang” jawab Mahisa Agni.

Akuwu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Kami sekarang menjadi semakin gamblang. Kami masih harus mohon maaf berulang-kali”

“Sudahlah, jangan diulang lagi. Yang penting, Akuwu aku monon berhati-hati. Mungkin pada suatu saat Ki Dukut akan datang kemari jika ia sadar, bahwa guru Akuwu masih mempunyai hubungan perguruan” berkata Mahisa Agni kemudian.

“Terima kasih” desis Akuwu itu, “kami sangat berterima kasih atas segala keterangan yang sudah tuan berikan. Kami akan berhati-hati menghadapi segala kemungkinan”

“Ya. Mudah-mudahan orang itu tidak datang lagi kemari“ berkata Mahisa Agni. Tetapi kemudian katanya, “Namun Akuwu, pada suatu masa Ki Dukut pernah juga mohon bantuan beberapa orang pemimpin padepokan. Mungkin satu dua diantara mereka berada didalam wilayah kekuasaan Akuwu. Karena itu, maka agaknya masih perlu bagi Akuwu untuk mengumpulkan keterangan tentang kemungkinan yang tidak diharapkan, mungkin kemarahan Ki Dukut terhadap para pemimpin padepokan yang tidak bersedia membantunya dengan sepenuh hati”

Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Kami akan melakukannya”

“Terima kasih“ berkata Mahisa Agni. Lalu, “agaknya keterangan yang aku harapkan tentang Ki Dukut masih belum dapat terpenuhi, karena sebenarnyalah aku ingin mencarinya dan berbicara dengan orang itu dengan cara apapun juga. Karena itu, maka agaknya masalah-masalah yang timbul pada kami bertiga telah tidak akan berkepanjangan”

“Ya, ya tuan” jawab Akuwu yang masih muda itu, “segalanya sudah jelas, Kami mohon maaf”

“Kami pun mohon maaf” jawab Mahisa Agni. Lalu, “kami akan mohon diri. Kami harap masalah Ki Buyut dan para perampok itu dapat diselesaikan sebaik-baiknya. Salam kami kepada para penghuni Kabuyutan itu”

Orang berambut putih itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Kami akan menemui para pemimpin Kabuyutan itu menjelaskan apa yang telah terjadi, dan siapakah tuan-tuan itu sebenarnya”

“Itu tidak perlu” jawab Mahisa Agni.

”Tetapi jika tuan tidak berkeberatan, biarlah mereka pun mengetahui, kenapa kami tidak bertindak lebih jauh atas tuan-tuan, karena sebenarnyalah bahwa kami tidak mempunyai wewenang untuk melakukannya, “jawab terang berambut putih itu.

Mahisa Agni tersenyum. Karena itu, maka ia tidak menolaknya lagi. Katanya, “Silahkan Ki Sanak. Nampaknya ada juga baiknya bagi Akuwu”

Kemudian sekali lagi Mahisa Agni mohon diri sambil berpesan, bahwa Ki Dukut itu harus dihadapi jika ia memang berada di daerah kekuasaan Akuwu ”Untunglah di sini ada seseorang yang mampu mengimbanginya sehingga karena, itu, maka jika terjadi sesuatu, daerah ini tidak akan terlalu mengalami kecemasan” berkata Mahisa Agni.

“Setidak-tidaknya, kami mempunyai sepasukan pengawal. Betapapun tinggi ilmunya, jika kami serentak menghadapinya, maka ia akan kehilangan kesempatan” jawab orang berambut putih itu.

Demikianlah, maka Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan itu pun telah meninggalkan Pakuwon itu. Meskipun ada juga kejengkelan di hati Mahisa Bungalan, namun ia harus menerima segalanya yang telah terjadi.

“Sebenarnya aku ingin melihat orang tua itu membentur ilmu paman Mahisa Agni” berkata Mahisa Bungalan di dalam hati, “dengan demikian ia akan yakin, tanpa memberi penjelasan panjang lebar. Dan dengan demikian, orang-orang Pakuwon itu tidak akan dapat menghindari satu penyesalan atas kesombongan mereka”

Tetapi Mahisa Agni ternyata mengambil sikap lain. Ia telah berusaha mencegah benturan yang terjadi, sehingga orang-orang yang berada di seputar arena tidak dapat melihat satu bukti bahwa guru Akuwu muda itu sama sekali tidak berarti bagi Mahisa Agni.

Namun Mahisa Bungalan pun kemudian berdesis di dalam hati, “Mungkin paman Mahisa Agni menjadi cemas, jika orang itu mati” Meskipun perasaan itu masih saja bergejolak, namun Mahisa Bungalan tidak mengatakannya kepada Mahisa Agni maupun kepada Witantra.

Dalam pada itu, sepeninggal Mahesa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan, maka Akuwu pun menjadi gelisah. Ia menjadi cemas bahwa sikapnya itu akan dapat mempengaruhi kedudukannya yang masih harus mendapat pengesahan dari Singasari.

“Tetapi nampaknya mereka bukan pendendam” berkata gurunya, “karena itu, mereka tidak akan mempergunakan peristiwa ini sebagai alasan untuk menggagalkan kedudukanmu”

Akuwu yang masih muda itu mengangguk-angguk. Katanya. "Mudah-mudahan. Tetapi yang termuda di antara mereka itu nampaknya mempunyai sikap tersendiri”

“Itu hanya karena kemudaannya saja“ jawab gurunya, “tetapi ia pun orang baik seperti juga kedua orang yang lain” gurunya berhenti sejenak, lalu, “sebaiknya kau tidak memikirkannya. Lebih baik kita menyelesaikan masalah Kabuyutan yang telah menjadi ribut itu”

“Aku akan pergi sendiri ke Kabuyutan itu“ berkata Akuwu yang masih muda itu.

“Pergilah. Tetapi jangan tergesa-gesa mengambil satu sikap jika kau belum yakin akan sikap itu. Kau akan melihat bukan saja sekelompok perampok yang tertangkap, tetapi kau akan mengalami persoalan lain. Beberapa orang yang kebetulan memegang jabatan di Kabuyutan itu, termasuk Ki Buyut sendiri, justru adalah orang-orang yang telah mengacaukan Kabuyutan itu”

“Ya guru” jawab Akuwu, “aku akan melihat segalanya” Demikianlah, maka Akuwu itu pun segera berkemas. Tubuhnya masih terasa nyeri dibeberapa bagian. Tetapi ia merasa bahwa ia telah pulih kembali.

Beberapa orang Senapati dan pengawal telah diperintahkannya untuk mengikutinya, karena mereka akan membawa para perampok itu untuk mendapatkan pengadilan. Tetapi juga para pemimpin Kabuyutan yang telah melakukan kecurangan itu harus mendapatkan hukumannya. Sejenak kemudian, maka kuda pun telah berderap meninggalkan istana Akuwu yang masih muda itu. Diiringi oleh para pengawal lengkap dengan tanda-tanda kebesaran seorang Akuwu, mereka telah menyusuri jalan-jalan menuju Kabuyutan yang sedang diselubungi oleh kabut yang suram itu.

Kedatangan, Akuwu telah mengejutkan beberapa orang di padukuhan itu. Sementara itu mereka baru saja dikejutkan oleh isyarat yang mendebarkan. Justru setelah tiga orang yang telah menolong mereka dibawa oleh seorang Senapati yang mendapat limpahan kekuasaan dari Sang Akuwu. Dengan hati yang berdebar-debar, maka Ki Demung dan Ki Perapat telah menyambut kedatangan Akuwu yang masih muda itu di rumah Ki Buyut yang justru sedang berada didalam tahanan itu.

Namun mereka menjadi semakin gelisah ketika mereka melihat wajah Akuwu muda itu nampak gelap. Meskipun demikian, Ki Demung telah memberanikan diri untuk mengucapkan selamat datang kepada Akuwu itu. Tetapi jawaban Akuwu memang mendebarkan. Katanya tanpa menanggapi kata-kata Ki Demung, “Bawa Ki Buyut kemari, aku ingin berbicara”

Ki Demung pun kemudian telah mengambil Ki Buyut dari biliknya dan membawanya menghadap Akuwu yang masih muda itu. Dengan hati berdebar-debar, maka Ki Demung pun kemudian berkata, “Sang Akuwu, inilah Ki Buyut yang tuanku kehendaki menghadap”

Akuwu yang masih muda itu mengangguk-angguk. Kegelisahannya karena sikapnya yang terlanjur atas Mahisa Agni, membuatnya berwajah muram dan bersikap keras terhadap siapapun. “Kaukah yang telah membuat Kabuyutanmu sendiri menjadi kisruh?“ bertanya Akuwu dengan nada keras pula.

Ki Buyut mengangkat wajahnya. Untuk beberapa saat ia memandang wajah Sang Akuwu yang masih muda itu. Baru kemudian ia menjawab, “Ampun Akuwu. Hambalah Buyut dipadukuhan ini”

Ki Demung dan Ki Perapat pun menjadi gelisah. Beberapa orang lain pun menjadi gelisah pula. Apalagi ketika, pertanyaan Akuwu menurun, “Apakah benar kau telah melakukan suatu perbuatan tercela, seperti yang dilaporkan oleh seorang Senapati yang aku utus datang kemari?”

“Sebenarnyalah, bahwa hamba tidak ingin merusakkan kesejahteraan yang sudah hamba rintis di atas tanah Kabuyutan ini tuanku“ jawab Ki Buyut.

Orang-orang yang ikut hadir itu pun menjadi semakin berdebar ketika mereka mendengar Akuwu bertanya, “Jadi, bagaimana menurut pendapatmu, bahwa beberapa pihak di Kabuyutan ini menganggap bahwa kau telah melakukan kesalahan. Bahkan kau telah bekerja bersama dengan, sekelompok perampok justru untuk merampok orang-orang yang berada di Kabuyutanmu sendiri”

Sekali lagi Ki Buyut menatap mata Akuwu yang masih muda itu. Kemudian sambil tersenyum Ki Buyut berkata, “Sebagaimana penilaian tuanku”

Akuwu itu pun kemudian memandang Ki Demung, Ki Perapat dan beberapa orang lain yang berada di tempat itu. Dengan suara lantang ia bertanya, “He, apakah benar tuduhan kalian tentang Ki Buyut ini he?“

Ki Demung menjadi sangat gelisah. Dengan suara bergetar ia mencoba menjelaskan, “Seorang Senapati tuanku telah datang untuk memeriksa keadaan di Kabuyutan ini. Senapati itu akan dapat menjadi saksi, apa yang telah terjadi”

“Kau sendiri yakin?“ tiba-tiba saja Akuwu itu justru membentak.

Ki Demung menjadi semakin gelisah. Ia mengerti, tatapan mata Ki Buyut itu dapat memberikan pengaruh Kepada orang lain yang tidak menyadari keadaannya, seperti ia sendiri pernah mengalami. “Jika saja ketiga orang itu masih berada disini” berkata Ki Demung didalam hatinya. Namun ia pun kemudian menjadi berdebar, karena ketiga orang itu telah dibawa oleh Senapati menehadap Akuwu.

Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba saja Akuwu mendesak dengan nada keras, “Apakah kau yakin?"

Ki Demung telah terdesak. Tidak ada kesampatan lagi untuk barpikir. Karena itu, ia pun kemudian menjawab, “Ampun Akuwu, hamba yakin bahwa Ki Buyut telah dengan sengaja ingin mengambil keuntungan lagi dirinya sendiri dari Kabuyutan ini, yang bahkan telah sampai hati melakukan tindakan yang paling keji, dengan memberikan kesempatan perampokan di daerah kekuasaannya”

Akuwu mengerutkan keningnya. Sekilas ia memancang wajah Ki Buyut yang memandanginya pula. Lalu tiba-tiba ia bertanya kepada Ki Demung, “Apakah yang kau lakukan itu bukan sekedar karena pengaruh tiga orang yang baru saja berada di Kabuyutan ini?”

Jantung Ki Buyut menjadi semakin berdebar-debar. Namun ia pun menjawab, “Tidak Sang Akuwu. Tetapi mereka memang, telah membantu kami menangkap orang-orang yang kami anggap bersalah”

“Apakah kau berkata sebenarnya?“ desak Akuwu pula.

“Ya. Hamba yakin” akhirnya suara Ki Demung justru menjadi semakin tegas, justru pada saat kecurigaannya atas pengaruh tatapan mata Ki Buyut terhadap Akuwu yang menjadi semakin kuat.

Bahkan Ki Perapat pun akhirnya tidak dapat tinggal diam. Dengan mantap ia pun berkata, “Hamba pun berpendirian demikian tuanku, sebagaimana sikap orang-orang padukuhan ini pada umumnya”

Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang Ki Buyut maka Ki Buyut pun memandanginya pula dengan tajamnya. Sejenak suasana menjadi tegang. Ki Damung, Ki Perapat dan orang-orang yang berada ditempat itu banar-banar talah dicengkam oleh kegelisahan. Jika Ki Buyut berhasil mempengaruhi Akuwu dengan tatapan matanya, maka segalanya akan pecah berserakkan.

“Akuwu masih sangat muda” berkata Ki Demung di dalam hatinya, “mungkin sekali ia belum menemukan kepribadiannya dengan mantap, meskipun ia memiliki ilmu yang tinggi”

Namun kemudian Akuwu itu pun mengangguk-angukan kepalanya sambil berkata, “Sekarang aku telah melihat sendiri apa’ yang terjadi. Aku mengerti, dan aku percaya, bahwa Ki Buyut telah melakukan satu kasalahan yang tidak ada taranya, justru bagi satu daerah kekuasaannya sendiri”

“Tuanku“ Ki Buyut itu terkejut. Dengan tajamnya, ia masih saja menatap mata Akuwu yang memandanginya.

Namun tiba-tiba saja Akuwu berkata, “Jangan mencoba berbuat deksura seperti itu. Jangan kau sangka, aku tidak tahu, apa yang kau lakukan selama ini. Kau kira aku adalah anak-anak yang tidak kuasa mencari keseimbangan. Di dalam diriku sendiri dengan tatapan matamu itu? Aku memang ingin mencoba, apakah kau berlaku jujur atau tidak”

“Ampun tuanku” desis Ki Buyut yang kemudian telah menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Akuwu yang masih muda itu memandang Ki Buyut yang tertunduk. Dengan suara lantang ia berkata, “Ki Buyut. Aku sudah berusaha menahan diri. Hampir saja aku meloncat mencekikmu, ketika aku merasa yakin kau mencoba mempengaruhi aku. Tetapi aku bertahan untuk mengetahui betapa beraninya kau menghina aku dihadapan sekian banyak orang”

Ki Buyut semakin manunduk sehingga kepalanya hampir menyentuh lantai. Dangan suara gemetar ia barkata, “Ampun tuanku. Betapa bodohnya hamba yang berani berbuat demikian di hadapan Akuwu”

“Nah, sebaiknya kau katakan, apa yang sudah kau lakukan di sini” berkata Akuwu kemudian.

Ki Buyut menjadi ragu-ragu.

“Katakan dihadapan orang banyak, sebagaimana kau mencoba merendahkan martabatku dihadapan sekian banyak orang dengan usahamu mempengaruhi aku dengan tatapan matamu” tiba-tiba saja Akuwu yang masih muda itu membentak.

Ki Buyut bergesar setapak surut. Ketakutan yang sangat telah mencengkam jantungnya, sehingga ia pun kemudian mengatakan apa yang sebanarnya telah dilakukannya dihadapan Akuwu dan dihadapan beberapa orang bebahu yang hadir di tempat itu.

Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Pengakuanmu sudah cukup. Kau tidak akan terlepas dari hukuman yang berat. Aku sendirilah yang akan mengetrapkan hukuman itu”

“Ampun tuanku, hamba mohon ampun, “suara Ki Buyut itu menjadi semakin gemetar.

Akuwu tidak menghiraukannya, seolah-olah ia tidak mendengarnya. Kemudian diperintahkannya mamanggil pamimpin perampok yang sudah tertawan pula. “Bawa mereka bersama para perampok yang lain“ perintah-Akuwu, “aku sendiri akan mengadili mereka esok pagi. Tetapi berhati-hatilah. Ki Buyut yang sempat mengacaukan daerah pamerintahannya sendiri itu senang bermain-main dengan ilmu sihir. Ia dapat mempengaruhi dengan tatapan matanya. Asal itu kalian sadari, kalian tidak akan terpengaruh sama sekali”

Ki Buyut tidak dapat ingkar lagi. Maka para Senopati dan pengawal yang mengikuti Akuwu telah melakukan tugas mereka. Mereka telah mempersiapkan pemimpin perampok dan Ki Buyut untuk dibawa ke Pakuwon, sementara beberapa orang pangawal telah mengambil para perampok yang tartawan pula.

Sementara itu, Ki Demung dan Ki merapat telah di panggil menghadap sacara khusus untuk didengar keterangannya tentang Kabuyutan itu dan terutama tentang tiga orang yang baru saja berada di daerah Kabuyutan itu dan telah membantu meraka mengatasi perampokan yang justru mendapat perlindungan dari Ki Buyut.

“Aku telah melakukan satu kesalahan” berkata Akuwu berterus terang. Lalu, “Aku telah terpengaruh oleh sikap Senapti dan para pengawal”

Ki Demung dan Ki Perapat mengangguk-angguk. Katika Akuwu itu menceriterakan apa yang telah terjadi, maka Ki Demung dan Ki Perapat itu menarik nafas dalam!

“Syukurlah jika sagalanya telah dapat diselesaikan dengan baik” berkata Ki Demung, “hamba pun yakin sejak semula, bahwa ketiganya adalah orang-orang yang memang barbuat kebaikan tanpa pamrih”

“Ya. Dan sekarang segalanya terserah kepada kalian” berkata Akuwu, “Ki Buyut tidak akan mendapat kan kedudukannya kembali, karena aku tidak yakin, hukuman yang betapapun beratnya akan dapat menyembuhkannya. Karana itu, maka kalianlah yang wajib melakukan sagala usaha untuk memperbaiki keadaan padukuhan-padukuhan yang termasuk dalam daerah Kabuyutan ini”

Perintah Akuwu itu sudah tegas. Karena itu, maka Ki Demung dan Ki Perapat merasa mendapat beban tanggung jawab bagi padukuhan-padukuhan yang tergabung dalam satu Kabuyutan.

Setelah memberikan beberapa penjalasan, maka Akuwu yang telah melihat sendiri keadaan di Kabuyutan itu pun sagera minta diri untuk kembali. Perintahnya pun telah dipertegas pula, menyerahkan sagala sesuatunya kepada Ki Demung dan Ki Perapat.

“Siapa yang menentang kebijaksanaan ini. berarti menentang keputusanku” berkata Akuwu yang masih muda itu.

Sapeninggal Akuwu itu, maka Ki Demung dan Ki Perapat telah mengumpulkan orang-orang terpenting untuk membicarakan kemungkinan menentukan sikap mengulasi kekosongan karena Ki Buyut yang terpaksa dibawa oleh para pengawal Sang Akuwu.

Adalah diluar dugaan mareka, bahwa tiba-tiba saja Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan telah singgah di Kabuyutan mereka. Kedatangan ketiga orang itu ternyata telah disambut dengan sikap yang jauh berbeda dengan sikap mereka sebelumnya, meskipun sebelumnya mereka juga menunjukkan sikap yang baik.

“Kami mohon maaf tuanku” berkata Ki Demung, “kami yang bodoh sama sekali tidak mengetahui siapakah tuanku sabenarnya”

Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan justru menjadi enggan untuk tinggal di Kabuyutan itu karena sikap mereka. Karena itulah, maka mereka pun hanya sekedar memberikan beberapa petunjuk saja, kemudian mereka minta diri untuk melanjutkan perjalanan.

”Agaknya Akuwu telah datang kemari dan berceritera tentang kami” berkata Mahisa Agni.

“Ya tuanku” jawab Ki Demung.

“Baiklah. Lakukanlah pesan Akuwu sebaik-baiknya. Kami akan melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan lain kali kami akan dapat singgah lagi” berkata Mahisa Agni.

Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan tidak dapat mereka tahan lagi untuk bermalam barang satu malam. Ketiganya kemudian meninggalkan bukan saja Kabuyutan itu, tetapi mereka telah melintasi batas dari Kabuyutan yang terbentang di dalam daerah Pakuwon. Mereka tidak lagi diganggu di perjalanan setelah ada isyarat bahwa keadaan telah dapat dikuasai. Meskipun masih ada bekas-bekas kesiagaan, tetapi tidak ada lagi yang menegur mereka dan apalagi berusaha menahan mereka meski sebagian besar orang-orang di sepanjang jalan tidak mengenal mereka.

Sejak hari itu, maka mereka telah mulai lagi dengan satu pengembaraan. Meskipun mereka telah bertemu dengan orang-orang yang pernah mengenal nama Rajawali Penakluk dan orang yang memiliki sumber ilmu yang sama dengan Ki Dukut, namun mereka sama sekali tidak mendapat keterangan tentang Ki Dukut itu sendiri.

Dalam pada itu, maka mulailah Mahisa Bungalan teringat lagi kepada sebuah padukuhan kecil yang pernah dikunjunginya dalam pengembaraannya seorang diri. Teringatlah ia kepada padepokan Kenanga dan seorang yang bernama Ki Selabajra. Ia pun teringat pula pada seorang gadis yang mempunyai arti tersendiri di dalam hatinya, Ken Padmi. Namun kemudian Mahisa Bungalan itu pun mengerutkan keningnya. Di padepokan itu, atau setidak-tidaknya dekat dari padepokan itu terdapat seseorang yang bernama Marwantaka.

Mahisa Bungalan sama sekali tidak menjadi gentar. karena nama itu. Tetapi jika kehadirannya di padepokan itu telah menumbuhkan persoalan baru, sebagaimana telah pernah terjadi, maka hal itu sama sekali tidak dikehendakinya. Meskipun demikian, diluar kehendaknya maka mereka telah menelusuri jalan menuju ke padepokan kecil itu. Jalan itu memang panjang, namun rasa-rasanya tidak akan menjadi hambatan. Apalagi Mahisa Agni dan Witantra sama sekali tidak berbicara tentang arah. Mereka menelusuri jalan yang manapun juga sambil mendengarkan orang berbicara tentang keadaan mereka. Barangkali mereka mendengar seseorang menyebut nama Ki Dukut Pakering.

Tetapi rasa-rasanya Mahisa Bungalan seperti orang yang terbangun dari mimpinya ketika tiba-tiba saja ia berada di ujung bulak panjang menghadap ke sebuah padepokan di kejauhan. Seolah-olah ia telah terlempar begitu saja ke sebuah padepokan yang pernah dihuninya meskipun hanya sangat singkat. Watu Kendeng. Di luar sadarnya pula Mahisa Bungalan telah menarik kandali kudanya, sehingga dengan demikian maka Mahisa Agni dan Witantra pun telah berbuat serupa pula dan berhenti di belakang Mahisa Bungalan.

“Apa yang kau lihat?“ bertanya Mahisa Agni, “apakah kau melihat Ki Dukut berlari-lari di pategalan?”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun menjawab, “Di depan kita adalah padepokan Watu Kendeng”

“Kau mengenal padepokan itu?“ bertanya Mahisa Agni.

“Aku pernah tinggal di padepokan itu dalam satu pengembaraan” jawab Mahisa Bungalan.

“Apakah kita akan singgah?“ bertanya Mahisa Agni.

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Baru sejenak kemudian ia menjawab, “Apakah ada keuntungannya kita singgah?“

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Terasa pertanyaan itu agak janggal. Meskipun demikian Mahisa Agni menjawab juga, “Kita telah singgah di banyak padukuhan. Di kedai-kedai atau bahkan kadang-kadang kita berbicara dengan orang-orang yang tidak kita kenal dan justru mencurigai kita. Tetapi jika kita sudah kenal isi padepokan itu, bukankah kita akan dapat berbicara dengan mereka. Syukur jika mereka pernah mendengar sesuatu tentang Ki Dukut. Tetapi jika tidak, kita dapat mempererat hubungan yang sudah lama kau mulai”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Beberapa padepokan di sekitar daerah ini pernah dikunjungi oleh Ki Dukut. Beberapa di antara mereka kita temui di padepokan Ki Kasang Jati, saat mereka dikelabui oleh keterangan palsu Ki Dukut Pakering”

“Dan kita pernah mencemaskan, bahwa dendam Ki Dukut akan membakar daerah ini” desis Witantra.

“Ya” jawab Mahisa Bungalan.

“Jika demikian, alangkah baiknya jika kita singgah” berkata Wjlantra kemudian.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam Padepokan itu memberikan satu kenangan tersendiri. Ki Watu Kendeng pernah menganggapnya sebagai anak sendiri. “Baiklah” berkata Mahisa Bungalan kemudian, “kita akaa singgah di padepokan kecil itu. Mudah-mudahan segalanya belum berubah. Aku sudah lama tidak mengunjunginya”

Demikianlan maka ketiga orang itu pun kemudian berkuda perlahan-lahan melintasi bulak panjang. Sabuah padukuhan yang besar yang terletak beberapa puluh tonggak dari bulak itu nampak sepi. Namun demikian, ada juga satu dua orang yang masih nampak berada di sawah mereka.

“Padepokan itu berada di luar Kabuyutan yang meliputi padukuhan yang cukup besar itu” berkata Mahisa Bungalan.

“Ya. seperti pada umumnya padepokan” desis Witantra, “namun demikian, bukankah selalu ada hubungan timbal balik antara padepokan itu dengan Kabuyutan ini?”

“Ya” jawab Mahisa Bungalan yang menjadi semakin berdebar ketika mereka menjadi samakin mendekati padepokan itu. Padepokan yang dilingkari dengan dinding batu yang cukup tinggi.

Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu pun telah berada di pintu gerbang padepokan yang tertutup meskipun tidak terlalu rapat. Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan kemudian meloncat turun dari kudanya dan perlahah-lahan mendorong pintu gerbang itu.

Tetapi, Mahisa Bungalan terkejut ketika ia melihat beberapa orang cantrik yang telah siap dengan senjata, di tangan. Demikian pintu itu terbuka, maka senjata-senjata itu pun telah teracu kepada Mahisa Bungalan. Mahisa Bungalan mundur selangkah. Tetapi ia sama sekali tidak menanggapi hulu senjatanya. Apalagi ketika ia melihat seorang di antara para cantrik itu pernah dikenalnya.

Namun agaknya cantrik itu pun telah mengenalnya pula. Karena itu, maka ia pun melangkah ke depan. Senjatanya pun tertunduk ketika ia bertanya, “Apakah aku berhadapan dengan Mahisa Bungalan”

“Ya” jawab Mahisa Bungalan, “kau masih mengenal aku?“

“Tentu, tentu” jawab orang itu. Lalu ”Marilah, masuklah. Dengan siapa kau datang? Dangan ayahmu?“

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun menggeleng sambil menjawab, “Bukan, bukan ayahku. Tatapi keduanya adalah pamanku”

Dengan gembira Ki Watu Kendeng menerima ketiga tamunya. “Marilah. Kami persilahkan kalian masuk“ cantrik itu mempersilahkan.

Dalam pada itu, cantrik itu pun segera menghadap Ki Watu Kendeng dan melaporkan, siapakah ketiga orang yang telah memasuki regol halaman.

“Mahisa Bungalan. Jadi Mahisa Bungalan benar? telah datang ke padepokan ini” bertanya Ki Watu Kendeng.

“Ya. Bersama kedua orang pamannya” jawab cantrik itu.

Ki Watu Kendeng pun dengan tergesa-gesa telah menyongsong ketiga orang tamunya. Setelah menyerahkan kuda mereka kepada cantrik yang berada di halaman, maka ketiganya pun telah dipersilahkan naik ke pendapa. Dengan gembira Ki Watu Kendeng menerima ketiga tamunya. Setelah mengucapkan salamat datang dan saling bertanya tentang keselamatan masing-masing, maka Ki Watu Kendeng itu pun berkata, “Aku tidak menyangka, bahwa suara perenjak di halaman samping rumah itu telah menuntun Ki Sanak berdua serta angger Mahisa Bungalan datang ke padepokan yang sangat jauh ini”

“Bukankah aku pernah barjanji untuk datang“ sahut Mahisa Bungalan.

“Ya. Dan sekarang kau telah memenuhi janji” desis Ki Watu Kendeng.

Sesaat pembicaraan berkisar tentang keadaan padepokan itu selama saat-saat terakhir. Sawah yang semakin subur dan hasil panenan yang terlimpah.

Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan pun berkata, “Selain kesuburan yang meningkat, nampaknya pengawalan pun telah meningkat pula”

Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Katanya, “Ah, agaknya hal itu bukannya satu kebanggaan bagi kami.

“Apa yang telah terjadi?“ bertanya Mahisa Agni.

Ki Watu Kendeng termangu-mangu sejenak. Namun katanya kamudian, “Ah, kalian baru saja datang. Biarlah kalian beristirahat barang satu dua hari. Nanti kalian akan mendengar sendiri, apa telah terjadi di daerah ini”

”Tetapi, alangkah gelisahnya kami selama satu dua hari itu” sahut Mahisa Bungalan, “aku kira lebih baik bagi kami untuk mendengarkannya sakarang. Baik atau buruk, tetapi kami tidak lagi gelisah dan dicengkam oleh perasaan ingin tahu”

Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Tetapi sebaiknya setelah kalian sempat meneguk minuman yang akan dihidangkan."

Ketiga orang tamu itu pun tidak memaksa. Mereka harus bersabar menunggu minuman dan makanan dihidangkan. Baru kemudian Ki Watu Kendeng berkata, “Adalah diluar keinginan kita semuanya, para penghuni padepokan yang berada di sekitar daerah ini bahwa harus terjadi perpecahan yang gawat di antara kami”

“Perpecahan yang bagaimana?“ bertanya Witantra.

Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Bunga itu sedang mekar. Namun rasa-rasanya mekarnya bunga itu telah memanasi udara sekitarnya”

Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Sementara itu, Ki Watu Kendeng dengan serta merta berkata, “Tetapi bukan salahnya bunga itu sendiri”

Tiba-tiba saja diluar sadarnya Mahisa Bungalan berdesis, “Apakah yang Ki Watu Kendeng maksudkan adalah Ken Padmi?“

“Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita yang berada di padepokan ini pun telah merasakan panasnya bunga yang sedang mekar itu”

“Apa yang talah terjadi?“ Mahisa Bungalan mendesak.

“Aku pun tidak ingin menyalahkan angger. Tetapi jika semuanya telah diselesaikan saat itu, aku kira tidak akan terjadi kesibukan seperti sekarang ini, sehingga padepokan yang sudah tidak bersangkut paut ini pun selalu bersiaga menghadapi segala kemungkinan”

“Ya. Tetapi apa yang telah terjadi?“ desak Mahisa Bungalan yang tidak sabar lagi.

Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah Mahisa Bungalan yang tegang. Kemudian wajah kedua orang yang disebut sebagai pamannya itu.

Mahisa Agni dan Witantra pun menunggu keterangan Ki Watu Kendeng itu dengan berdebar-debar. Serba sedikit keduanya pernah juga mendengar pengakuan Mahissa Bungalan tentang seorang gadis Padepokan yang-bernama Ken Padmi. Keduanya pun mengetahui bahwa pengembaraan Mahisa Bungalan itu ada hubungan dengan sentuhan perasaannya atas gadis itu. Karena itu, maka seperti Mahisa Bungalan, keduanya pun segera ingin tahu, apa yang telah terjadi.

“Angger Mahisa Bungalan” berkata Ki Watu Kendeng, “sepeninggalmu, ada beberapa orang telah mencoba merebut hati gadis padepokan Kenanga itu. Gemak Werdi tidak dapat bertahan terlalu lama. Kemudian hadir seorang anak muda yang kaya raya, yang tinggal tidak terlalu jauh dari padepokan itu, Seorang anak muda yang gagah dan tampan dihiasai dengan kekayaan yang melimpah. Tetapi anak muda itu nampaknya terlalu kasar sikap dan tingkah lakunya. Dianggapnya gadis padepokan itu dapat diperlakukan dengan sekehendak hatinya dengan uangnya yang melimpah”

“Marwantaka?“ potong Mahisa Bungalan.

“Bukan. Bukan ngger” jawab Ki Watu Kendeng, “Marwantaka datang kemudian. Ia sempat tinggal di padepokan Kenanga. Bahkan masih ada nama-nama lain yang dapat disebut. Tetapi pertentangan yang paling tajam justru terjadi pada Marwantaka dan anak orang kaya raya itu”

“Siapakah namanya?“ bertanya Mahisa Bungalan.

“Wiranata” jawab Ki Watu Kendeng. "Lalu persaingan antara kedua anak muda itu telah memuncak. Marwantaka memang mempunyai kekuatan dengan padepokannya, gurunya dan orang-orang lain yang mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung. Sementara Wiranata yang merasa dirinya pernah berguru kepada seseorang yang pilih tanding itu pun telah menghimpun kekuatan pula. Dengan uangnya ia tidak sulit mendapatkan kawan untuk memusuhi Marwantaka”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, “Lalu apakah hubungannya dengan padepokan ini?”

Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Selabajra menjadi kebingungan. Kedua belah pihak yang sudah menghimpun kekuatan itu telah mengancam padepokan Kenanga. Jika padepokan Kenanga menolak, maka yang akan terjadi adalah pertumpahan darah. Karena kegelisahannya dan pemecahan yang sampai saat ini belum ditemukan, maka Ki Selabajra minta, agar aku dapat membantunya. Setidak-tidaknya untuk ikut serta melindungi padepokan Kenanga dari kemusnahan”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, “Dengan demikian Watu Kendeng terpaksa berhadapan pula dengan kedua belah pihak yang sedang bermusuhan itu”

Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak dapat ingkar. Meskipun hubungan antara Watu Kendeng dengan Padepokan Kananga pernah diwarnai dengan sikap keluargaku yang buram, namun aku tidak dapat menolak permintaannya. Aku berusaha untuk membantunya”

“Apa yang akan dilakukan oleh padepokan ini?“ bertanya Mahisa Bungalan.

“Keadaan padepokan Kenanga memang sudah parah. Ada orang-orang lain yang sebenarnya terlibat. Tetapi mereka yang tidak dapat dengan terang-terangan melontarkan kekuasannya karena gadis Padepokan itu menolaknya, telah menyiramkan minyak ke dalam api. Mereka seolah-olah ingin melihat, padepokan Kenanga itu mengalami bencana justru karena gadis itu” berkata Ki Watu Kendeng. Lalu, “Dengan demikian ada dua kemungkinan yang dapat dilakukan. Apakah kami dari Watu Kendeng untuk sementara berada di padepokan Kenanga, atau para penghuni padepokan Kenanga untuk sementara berada di Watu Kendeng”

“Apakah itu satu penyelesaian?“ bertanya Mahisa Bungalan.

“Penyelesaian sementara. Jika pertentangan antara Marwantaka dan Wiranata mereda, atau salah satu di antara mereka telah menarik niatnya, maka aku kira keadaan akan menjadi tenang kembali” jawab Ki Watu Kendeng.

“Dan Ken Padmi akan menerima salah seorang dari keduanya?“ Mahisa Bungalan bertanya dengan serta merta.

“Aku tidak tahu“ jawab Ki watu Kendeng, “tetapi gadis itu sudah waktunya mengakhiri masa gadisnya. Ia tidak dapat terus menerus mendekap diri dalam kerinduannya atas satu masa yang tidak akan kunjung datang”

“Apakah maksud Ki Watu Kendeng?“ bertanya Mahisa Bungalan.

Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak dapat mengatakan apa-apa ngger. Tetapi demikianlah keadaan kami sekarang. Kami memang sedang menunggu keputusan terakhir dari Ki Selabajra. Dan kami pun telah bersedia untuk memenuhinya, seandainya Ki Selabajra minta kami datang kepadepokannya untuk melindungi Ken Padmi dan tindakan kekerasan. Dan kami di sini pun telah siap menerima mereka, seandainya mereka merasa lebih tenang berada disini”

Wajah Mahisa Bungalan menjadi tegang. Di luar sadarnya ia berpaling kepada kedua pamannya, seolah-olah minta pertimbangan mereka. Ki Watu Kendeng pun nampaknya berpengharapan, bahwa kehadiran mereka akan membantu mengatasi keadaan. Namun ia merasa kecewa, bahwa Mahisa Bungalah tidak datang bersama ayahnya.

“Ki Watu Kendeng“ berkata Mahisa Agni kemudian, “apakah keadaan yang gawat itu memang sudah mendesak?”

“Aku kira memang demikian” jawab Ki Watu Kendeng, ”tetapi aku masih menunggu hubungan dengan Ki Selabajra”

Mahisa Bungalan manjadi berdebar-debar. Ternyata ia hadir pada waktu padepokan itu memerlukannya. Akan tetapi ia tidak tahu, bagaimanakah tanggapan yang bernama Ken Padmi itu sendiri. Apakah gadis itu merasa bahwa kehadirannya akan dapat menjernihkan suasana, atau justru sebaliknya.

Dalam pada itu, maka Ki Watu Kendeng itu pun berkata, “Angger Mahisa Bungalan. Jika angger masih mempunyai sisa-sisa kenangan masa-masa yang pernah angger alami di daerah ini. Aku ingin mohon agar angger dan kedua paman angger ini untuk tinggal di Watu Kendeng barang satu dua hari. Mungkin dalam waktu satu dua hari itu, akan datang kabar dari padepokan Kenanga yang sudah dibayangi bleh keadaan yang gawat itu”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia memandangi kedua pamannya yang duduk termangu-mangu.

Witantra yang melihat kegelisahan di wajah Mahisa Bungalan itu pun berkata, “Ki Watu Kendeng. Agaknya kami tidak berkeberatan untuk memenuhi permintaan itu. Mudah-mudahan segalanya justru akan menjadi baik, dan tidak sebaliknya”

”Ya, ya Ki Sanak” desis Ki Watu Kendeng, “namun nampaknya kedua orang anak muda itu bagaikan telah kehilangan akal dan pertimbangan. Nama-nama lain pun segera menghindar ketika keduanya tidak lagi bersikap wajar. Kedua belah pihak telah berhubungan dengan orang-orang terkuat pada masa sekarang. Yang satu lewat hubungan perguruan, sedangkan yang lain karena-uangnya yang melimpah, sehingga dengan uang itu, ia akan berusaha untuk berbuat apa saja”

“Baiklah” sahut Mahisa Agni pula, “kami akan tinggal satu atau dua malam di sini. Agaknya memang lebih baik kami berada disini, daripada kami langsung berada di Padepokan Kenanga”

“Ya, ya Ki Sanak” jawab Ki Watu Kendeng dengan serta merta, “padepokan ini memang pernah juga mempunyai hubungan khusus dengan padepokan Kenanga. Aku tidak tahu, bahwa justru padepokan inilah yang akan menemukan jalan pemecahan”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia hanya menundukkan kepalanya saja.

“Jika demikian Ki Sanak” berkata Ki Watu Kendeng kemudian, “aku ingin mampersilahkan Ki Sanak untuk berada di padepokan ini sebagaimana Ki Sanak berada di rumah sendiri. Kami akan menyediakan bilik Ki Sanak bertiga, karena agaknya Ki Sanak juga memerlukan waktu untuk beristirahat”

Dengan demikian, maka Mahisa Agni Witantra dan Mahisa Bungalan telah singgah di padepokan Watu Kendeng itu untuk beberapa hari. Dengan gelisah Mahisa Bungalan menunggu berita terakhir dari padepokan Kenanga. Jika keadaan menjadi semakin buruk, maka ia harus cepat bertindak. Ia tidak menghiraukan lagi, bagaimanakah tanggapan Ken Padmi kemudian. Namun gadis itu harus diselamatkan dari keserakahan kedua orang anak muda yang tidak tahu diri itu.

Dalam pada itu, dihari berikutnya, padepokan itu telah dikejutkan oleh kehadiran beberapa orang berkuda. Seperti saat-saat Mahisa Bungalan dan kedua pamannya datang, maka para penjaga di regol padepokan telah menghentikan orang-orang berkuda itu sambil mengacukan senjata mereka.

“Jangan gila” bentak pemimpin orang-orang berkuda itu, “aku akan bertemu dengan Ki Watu Kandeng”

“Siapakan kalian?“ bertanya cantrik yang menjaga gerbang itu.

“Minggir. Aku akan bertemu dengan Ki Watu Kendeng“ sekali lagi orang itu membentak.

“Tetapi sebut, siapakah kalian dan apakah kepentingan kalian“ cantrik itu masih bertanya.

“Jangan banyak bicara“ orang itu semakin marah, “kami dapat memenggal leher kalian dalam satu ayunan pedang. Aku akan bertemu dengan Ki Watu Kendeng. Kau dengar”

Para cantrik itu termangu-mangu. Namun dalam pada itu, Ki Watu Kendeng yang duduk di pendapa bersama Mahisa Aghi. Witantra dan Mahisa Bungalan pun telah berdiri pula.

Sementara itu Mahisa Agni berdesis, “Terima sajalah. Mungkin ada persoalan yang dapat melengkapi gambaran kita tentang persoalan yang sadang dihadapi oleh padepokan Kananga”

Ki Watu Kandeng pun mengangguk. Kemudian ia pun bertepuk tiga Kali. Para cantrik di regol itu sudah terbiasa. Ki Watu Kendeng telah memberikan isyarat agar mereka dibiarkan masuk. Karena itu, maka para cantrik itu pun segera menyibak. Tanpa turun dari kudanya, orang-orang itu pun memasuki halaman.

Dengan nada kasar orang yang memimpin iring-iringan itu bertanya lantang, “Siapakah di antara kalian yang bernama Ki Watu Kendeng”

Ki Watu Kandeng pun melangkah maju. Dengan nada datar ia berkata, “Marilah Ki Sanak. Aku ingin mempersilahkan Ki Sanak untuk duduk barang sebentar. Kita akan dapat berbicara dengan baik dan tidak tergesa-gesa”

“Aku memang tergesa-gesa” jawab orang berkuda itu. “kaukah yang bernama Ki Watu Kendeng?”

“Ya Ki Sanak” jawab Ki Watu Kendeng.

“Baiklah. Aku tidak perlu duduk. Aku hanya ingin menyampaikan pesan angger Wiranata” berkata orang berkuda itu.

“Angger Wiranata?“ Ki Watu Kendeng mengulangi.

“Ya” sahut orang berkuda itu, “dalam persoalan yang timbul antara angger Wiranata, Marwantaka dan Ki Selabajra, padepokan ini jangan turut campur. Aku mendengar, bahwa Ki Selabajra telah menghubungi kalian untuk membantu melindungi Ken Padmi. Itu tidak perlu sama sekali, karena angger Wiranata sanggup melakukan sendiri”

Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “jadi Ki Sanak ini utusan angger Wiranata?”

Wajah orang-orang itu menegang. Nampaknya Ki Watu Kendeng masih tetap tenang. Karena itu, maka pemimpin mereka itu pun sekali lagi mambentak ”Sudah aku katakan. Kami adalah utusan angger Wiranata. Kami adalah utusan-utusan yang memiliki kekuasaan atas namanya. Kami mendapat wewenang untuk berbuat apa saja bagi kepentingan angger Wiranata”

Tetapi Ki Watu Kendeng masih tetap tenang. Apalagi di padepokan itu ada Mahisa Bungalan dan kedua pamannya, yang agaknya juga memiliki kemampuan seperti Mahisa Bungalan. Bahkan katanya kemudian, “Jangan mengancam Ki Sanak. Jika Ki Sanak memang utusan dari angger Wiranata, maka pesannya yang disampaikan lewat Ki Sanak sudah kami terima. Itu saja”

“Jangan sombong” berkata orang itu, “kau tidak hanya menarima pesannya. Tetapi kau harus mamatuhinya. Jika kau melanggar pesan itu, berarti bahwa kau telah menentang angger Wiranata. Dangan demikian maka angger Wiranata akan dapat melakukan apa saja yang dianggapnya baik”

“Terserahlah” berkata Ki Watu Kendeng ”Kami akan manentukan sikap sesuai dengan kapentingan kami. Mungkin sekali nanti, atau besok atau kapan pun. angger Marwantaka pun akan mengirimkan utusan pula kemari, Mengancam dan menakut-nakuti seperti yang Ki Sanak lakukan. Justru karena itu, kami akan menentukan sikap menurut kepentingan kami sendiri”

“Persetan” geram orang itu, “kau jangan sombong Ki Watu Kendeng. Apakah arti padepokan kecilmu ini. Dengan sekali renggut, maka padepokan ini tidak akan dapat kalian kenali lagi. Kami dapat membuatnya menjadi karang abang”

Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang mudah untuk melakukannya. Merusak memang jauh lebih mudah dari saat-saat membuatnya. Tetapi ingat, bahwa kami akan mempertahankan milik kami dengan segenap kekuatan yang ada pada kami. Jika padepokan ini lumat menjadi debu, maka seisinya pun akan hancur pula menjadi debu”

“Persetan“ orang itu hampir berteriak, “jadi kalian tidak mau mendengar pesan ini?“

“Kami sudah mendengarnya” jawab Ki Watu Kendeng, “tetapi selanjutnya tergantung kepada kami”

“Kalian akan menyesal. Sayang, aku sekarang tidak diperkenankan untuk menghancurkan padepokan ini. Angger Wiranata masih mempertimbangkan banyak hal atas kemuliaan hatinya” berkata orang itu dengan lantang.

Namun Ki Watu Kendeng menjawab, “Bukankah kau utusan angger Wiranata dengan membuat kuasa atas namanya untuk berbuat apa saja?”

“Tetapi masih dalam batas-batas belas kasihannya” bentak orang itu. Namun kemudian, “Tetapi kalian terlalu sombong. Kalian akan menyesal pada saatnya”

Ki Watu Kendeng tidak sempat menjawab. Orang itu pun. kemudian memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk meninggalkan padepokan itu. Namun orang itu masih sempat berkata dan mengancam, “Kami akan datang lagi dengan kuasa yang lebih lengkap. Padepokan ini akan menjadi abu”

Ki Watu Kendeng tidak menjawab. Dipandanginya saja orang itu meninggalkan halaman padepokannya. Demikian orang-orang itu hilang di balik regol, maka seorang cantrik telah menutup regol itu meskipun tidak menyelaraknya.

Sementara Ki Watu Kendeng menarik nafas. sambil berkata, “Nah, angger Mahisa Bungalan. Kau sudah melihat sendiri, betapa panasnya bunga yang sedang mekar di padepokan Kenanga itu”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya suasana akan menjadi samakin panas”

“Ya. Dan Ki Selabajra akan menjadi semakin cemas menghadapi ancaman dari kedua belah pihak” jawab Ki Watu Kendeng, “sebagaimana kau lihat, padepokan ini yang tidak tersangkut langsung telah mendapat ancaman-ancaman yang mendebarkan. Apalagi padepokan Kenanga yang langsung menyimpan bunga yang sedang mekar itu sendiri”

“Jika perlu, kami akan melihatnya” berkata Witantra, “mungkin padepokan itu memang memerlukan bantuan betapapun kecilnya”

“Ya Ki Sanak. Tetapi aku masih akan menunggu sampai besok. Jika Ki Selabajra tidak mengirimkan utusan, karena mungkin setiap orang yang keluar dari padepokan itu telah dihalangi, maka kamilah yang akan mengirimkan isyarat” berkata Ki Watu Kendeng.

Karena itu, maka Mahisa Agni. Witantra dan Mahis Bungalan merasa perlu untuk tetap tinggal di padepokan ifu sambil menunggu perkembangan keadaan.

Demikianlah, ternyata seperti yang diperhitungkan oleh Ki Watu Kendeng. Dihari berikutnya, telah datang dua orang cantrik dari padepokan Kenanga. Mereka membawa pesan dari Ki Selabajra tentang keadaan padepokan Kenanga. Namun seperti yang dikehendaki oleh Mahisa Bunga Bungalan sendiri, maka Ki Watu Kendeng sama sekali tidak mengatakan kepada utusan padepokan Kenanga itu, bahwa Mahisa Bungalan dan kedua orang pamannya berada di Watu Kendeng.

“Keadaan memang sudah gawat sekali Ki Watu Kendeng” berkata utusan itu, “bahkan dari kedua belah pihak telah timbul ancaman, jika Ki Selabajra menyerahkan Ken Padmi kepada pihak yang lain, maka padepokan Kenanga akan menjadi debu. Bahkan di saat-saat terakhir, agaknya kedua belah pihak sudah bersiap untuk mengambil Ken Padmi dengan kekerasan”

“Jadi, apakah Ki Selabajra minta agar kami datang ke padepokan kecil itu?“ bertanya Ki Watu Kendeng.

Utusan Ki Selabajra itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya dengan nada rendah, “Ki Selabajra menjadi bimbang menghadapi keadaan. Sebenarnyalah bahwa kehadiran Ki Watu Kendeng akan sedikit memberikan ketenangan. Tetapi jika demikian, Ki Watu Kendeng akan terlibat langsung dalam persoalan ini, sehingga Ki Watu Kendeng akan dimusuhi oleh kedua belah pihak itu. Akibatnya akan dapat merugikan padepokan ini”

“Tetapi bukankah sudah sewajarnya jika kami Saling menolong. Akibat itu adalah wajar sekali. Namun sudah barang tentu kami tidak akan dapat tinggal diam jika kami mengetahui, bahwa keadaan Ki Selabajra menjadi sangat gawat” berkata Ki Watu Kendeng.

"Demikianlah Ki Watu Kendeng. Ki Selabajra pun berpesan, bahkan segala sesuatu pun terserah kepada Ki Watu Kendeng. Kami memang menyampaikan keluhan kepada Ki Watu Kendeng, namun segalanya memang harus dipertimbangkan dengan kemungkinan yang akan dapat terjadi atas padepokan ini sendiri”

Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Katanya, “Sudahlah. Aku mengerti maksud Ki Selabajra. Ia memang tidak ingin merugikan orang lain. Namun sudah barang tentu bahwa kami akan membuat pertimbangan-pertimbangan tersendiri”

“Segalanya terserah kepada Ki Watu Kendeng. Selanjutnya kami mendapat pesan untuk segera kembali, karena setiap orang diperlukan di padepokan Kenanga pada saat ini” berkata utusan itu.

Ki Watu Kendeng tidak menahannya. Namun ia berpesan, bahwa ia akan mengatur padepokannya sebaik-baiknya. Mungkin ia akan mengambil keputusan untuk datang kepadepokan Kenanga. Namun ia memang harus membuat perhitungan tentang padepokannya sendiri.

Demikianlah maka utusan itu pun segera minta diri. Seperti pesan Ki Selabajra bahwa ia harus segera berada di padepokan Kenanga kembali, karena keadaan yang menjadi semakin gawat.

Sepeninggal utusan itu, maka Ki Watu Kendeng pun segera berbicara dengan Mahisa Bungalan, Witantra dan Mahisa Agni. Apakah yang sebaiknya dilakukan.

“Persoalan ini memang berat bagi Ki Watu Kendeng. Jika Ki Watu Kendeng pergi, maka padepokan ini akan dapat menjadi sasaran kemarahan mereka justru pada saat-saat Ki Watu Kendeng tidak berada di padepokan” berkata Mahisa Agni.

“Tetapi aku juga tidak sampai hati untuk membiarkan padepokan Kenanga menjadi karang abang. Aku mengerti bahwa kekuatan padepokan Kenanga sendiri atau Watu Kendeng sendiri, tidak akan mampu membendung kekuatan salah satu pihak yang sedang bermusuhan itu” jawab Ki Watu Kendeng

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Bungalan. bertanya, “Ki Watu Kendeng, apakah salah seorang dari kedua anak-anak muda itu memiliki kelebihan? Aku pernah bertemu dengan anak muda yang bernama Marwantaka. Tetapi aku belum pernah mengenal Wiranata”

Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Keduanya sebenarnya bukan anak muda yang dapat dibanggakan dalam olah kanuragan. Mereka memang memiliki ilmu, tetapi tidak terlalu tinggi, sebagaimana anak-anak padepokan yang lain”

“Apakah kedua anak-anak muda itu memiliki ilmu yang seimbang?“ bertanya Mahisa Bungalan.

“Kira-kira memang demikian. Tetapi aku kira Marwantaka mempunyai pengalaman yang lebih luas” jawab Ki Watu Kendeng.

“Dan bagaimana dengan Ken Padmi sendiri?” bertanya Mahisa Bungalan pula, “meskipun ia seorang gadis, tetapi bukankah ia juga mempelajari ilmu kanuragan dari ayahnya sendiri?”

“Ya. Tetapi apa artinya Ken Padmi sendiri. Pada saat-saat terakhir, justru ketika perasaan kecewa menggigit jantungnya semakin pedih, ia telah menenggelamkan diri ke dalam sanggarnya. Kadang-kadang justru di luar pengamatan ayahnya. Menurut pendengaranku, ilmunya meningkat dengan pesat, karena ia menumpahkan segenap kekesalan, kekecewaan dan harapan kepada ilmunya” berkata Ki Watu Kendeng.

“Bagus,“ desis Mahisa Bungalan tiba-tiba.

“Kenapa?“ bertanya Ki Watu Kendeng, “betapa tinggi ilmu Ken Padmi itu sendiri, ia tidak akan mampu melawan kekuatan yang akan melanda padepokannya. Baik Marwantaka maupun Wiranata akan datang dengan kekuatan yang tidak akan dapat diimbangi oleh padepokan Kenanga sendiri. Jumlah orang yang lebih banyak akan ikut menentukan. Apalagi di antara mereka tentu terdapat orang-orang yang lebih kuat dari kedua anak muda itu sendiri, sehingga kemampuan Ken Padmi bahkan Ki Selabajra sendiri tidak akan memadai”

“Maksudku bukan demikian“ berkata Mahisa Bungalan, “Ki Watu Kendeng dapat memberikan saran kepada Ken Padmi untuk mengambil jalan tersendiri. Jalan yang barangkali akan dapat menyelamatkan padepokan Kenanga dan juga padepokan Watu Kendeng, karena untuk selanjutnya tidak akan terjadi pertentangan yang akan dapat menimbulkan peperangan”

“Apakah yang kau maksud?“ justru Mahisa Agni lah yang bertanya.

“Paman” berkata Mahisa Bungalan, “Ken Padmi dapat menempuh satu cara. Sayembara tanding. Siapa yang dapat mengalahkan gadis itu, maka ialah yang akan menjadi suaminya”

“Ah” itu berbahaya sekali” jawab Ki Watu Kedeng dengan serta merta.

“Maksudku, hanya diantara keduanya. Marwantaka dan Wiranata” jawab Mahisa Bungalan, “aku pernah mengukur kemampuan Marwantaka. Ia, tidak terlalu berbahaya meskipun ia keras kepala”

Namun nampaknya. Ki Watu Kendeng masih belum dapat mengerti maksud yang sebenarnya dari Mahisa Bungalan. Sehingga karena itu maka Mahisa Bungalan pun berkata, “Ki Watu Kendeng. Aku pernah menjajagi kemampuan Marwantaka. Aku mencoba untuk menundukkannya tanpa menyakitinya saat itu. Aku berusaha memeras tenaganya sehingga ia kelelahan. Tetapi ia memang keras kepala. Namun demikian, aku kira Ken Padmi akan dapat mengimbangi kemampuannya. Apalagi jika Wiranata itu tidak lebih baik dari Marwantaka”

Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Tetapi itu mengandung kemungkinan yang sangat berbahaya ngger. Jika Ken Padmi kalah?”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia bertanya, “Baiklah Ki Watu Kendeng berusaha mencari keterangan, apakah selama ini Marwantaka meningkatkan ilmunya. Jika tidak ada usaha itu, maka aku yakin, Ken Padmi akan dapat menang. Tetapi masih ada satu syarat, sayembara tanding itu di selenggarakan barang satu bulan lagi”

“Satu bulan lagi? Jika terjadi sesuatu sebelum satu bulan? Satu bulan adalah waktu yang lama bagi Marwantaka dan Wiranata” jawab Ki Watu Kendeng.

Mahisa Agni dan Witantra yang juga kurang mengetahui maksud Mahisa Bungalan hanya dapat mendengarkannya saja. Sementara Mahisa Bungalan meneruskan, “Mereka akan menunggu, asal ada kepastian waktu. Satu bulan lagi, akan diadakan sayembara tanding, khusus bagi Marwantaka dan Wiranata. Siapa yang dapat mengalahkan Ken Padmi, akan dapat di terima menjadi suaminya. Tetapi sudah barang tentu, hal itu tidak perlu diberitahukan kepada keduanya, kecuali kepastian waktunya saja”

“Aku kurang mengerti” desis Ki Watu Kendeng.

“Jika keduanya mengetahui bahwa akan diadakan sayembara tanding, maka keduanya pun akan meningkatkan ilmunya” berkata Mahisa Bungalan, “yang diberitahukan kepadanya, adalah, bahwa satu bulan lagi, Ken Padmi akan menentukan sikapnya terhadap keduanya”

Ki Watu Kendeng termangu-mangu. Namun kemudian-ia. berkata, “Aku akan pergi kepadepokan Kenanga. Aku akan menyampaikannya kepada Ki Selabajra. Jika ia sependapat, dan kemudian kedua anak muda itu dapat bersabar menunggu, mungkin hal itu akan dapat diterapkan. Tetapi sudah tentu bahwa akan timbul kecurigaan, mungkin kedua anak muda itu menganggap, bahwa selama satu bulan itu, Ki Selabajra akan mencari perlindungan kepada pihak yang lain”

“Ki Watu Kendeng dapat mencobanya” sahut Mahisa Bungalan "aku kira, kedua pamanku tidak akan berkeberatan untuk ikut bersama Ki Watu Kendeng kepadepokan Kenanga, sementara aku akan menjaga padepokan Watu Kendeng”

“Rencanamu rumit Mahisa Bungalan” desis Mahisa Agni.

“Tidak paman. Rencanaku sederhana sekali“ jawab Mahisa Bungalan, “tegasnya, Ki Selabajra minta waktu berpikir sebulan lagi agar Ken Padmi dapat menentukan pilihan. Kemudian setelah satu bulan diumumkan sayembara tanding. Dan kenapa aku mohon paman berdua untuk pergi ke padepokan Kenanga tanpa aku? Paman berdua seolah-olah tidak mengenal aku sebelumnya. Dan paman berdua akan membentuk gadis itu, agar gadis itu benar-benar tidak akan dapat dikalahkan oleh Marwantaka maupun Wiranata. Satu bulan adalah waktu yang sangat sempit. Tetapi ia sudah memiliki dasar, sehingga aku yakin ia akan dapat mangatasi keduanya. Dan selama itu, maka biarlah, tidak seorang pun yang memberitahukan bahwa aku berada disini”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam, sementara Witantra mengangguk-angguk sambil berguman, “Aku mengerti maksudmu Mahisa Bungalan. Namun yang harus kami lakukan berdua adalah satu tugas yang berat. Jika pada saatnya Ken Padmi tidak dapat mengalahkan keduanya, atau karena sesuatu hal ia telah dengan sengaja mengalah kepada salah seorang dari keduanya, karena ia memang berniat demikian, maka kau tentu akan menyalahkan kami”

“Tidak, tentu tidak” jawab Mahisa Bungalan dengan serta merta, “aku yakin paman aku dapat membentuknya menjadi seorang gadis yang pilih tanding. Tetapi jika ia memang sengaja mengalah, itu adalah persoalannya. Aku tidak akan mempedulikannya lagi, apa yang akan terjadi dengan gadis itu dan dengan seisi padepokan Kenanga”

Namun Witantra dan Mahisa Agni justru tersenyum. Dengan nada datar Mahisa Agni berkata, “Jangan cepat marah anak muda. Segala usaha akan kami lakukan”

Mahisa Bungalan memandang pamannya sekilas. Namun Kemudian ia menundukkan kepalanya. Rasa-rasanya wajahnya menjadi panas. Ia sudah terlanjur disengat oleh perasaannya, sehingga pamannya tentu dapat membaca apa yang sebenarnya bergejolak di dalam hatinya.

Bahkan kemudian ternyata Ki Watu Kendeng yang akhirnya dapat mengerti juga persoalannya, telah tertawa pula, meskipun ia tidak mengatakan sesuatu. Ia takut, jika yang dikatakannya justru akan menyinggung perasaan, anak muda itu.

Demikianlah, maka mereka pun memutuskan untuk segera berbuat sesuatu seperti yang di direncanakan oleh Mahisa Bungalan. Bahkan mereka tidak akan memperpanjang waktu. Di keesokan harinya, Ki Watu Kendeng akan pergi ke padepokan Kenanga bersama Mahisa Agni dan Witantra, yang mengemban tugas yang cukup berat.

Dalam pada itu, Ki Watu Kendeng pun telah mangatur padepokannya menjelang keberangkatannya. Diserahkannya segalanya kepada Mahisa Bungalan. Ki Watu Kendeng. Ia tahu benar, bahwa Mahisa Bungalan adalah seseorang yang memiliki kemampuan yang tinggi, melampaui kemampuannya.

Pada saatnya, maka Ki Watu Kendeng bersama Mahisa Agni dan Witantra telah pergi ke padepokan Kenanga. Mereka ingin mencoba memenuhi permintaan Mahisa Bungalan, kecuali jika kedua anak muda itu tidak sabar lagi dan mengambil sikap tersendiri. Namun ternyata perjalanan mereka terganggu Ketika mereka mendekati padepokan Kenanga, maka beberapa orang berkuda telah mencegat mereka.

“Ki Watu Kendeng” berkata salah seorang dari mereka, “apakah Ki Watu Kendeng akan pergi ke padepokan Kenanga?”

Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengenali orang itu. Tetapi rasa-rasanya ia memang belum mengenalnya meskipun agaknya orang itu mengenalnya dengan baik. Namun dalam pada itu, Ki Watu Kendeng itu pun menjawab ”Ya Ki Sanak. Aku memang akan pergi ke padepokaan Kenanga”

“Untuk apa?“ bertanya orang itu, “apakah Ki Watu Kendeng akan melibatkan diri ke dalam persoalan yang kini sedang kemelut di padepokan Kenanga itu?“

Ki Watu Kendeng menggeleng. Jawabnya, “Aku hanya bertiga. Tentu aku dan kedua orang cantrik tua ini tidak akan dapat berbuat apa-apa. Yang ingin aku lakukan hanya sekedar memberikan sedikit pertimbangan jika diperlukan oleh Ki Selabajra. Kami adalah dua orang sahabat yang baik. Karena itu, ketika, aku mendengar, bahwa padepokan Kenanga sedang mengalami kebingungan, aku memerlukan untuk sekedar menengoknya”

Orang-orang berkuda itu memandang Mahisa Agni dan Witantra yang disebutnya sebagai dua orang cantrik tua. Karena keduanya tidak berbuat apa-apa maka mereka tidak memperhatikannya lagi.

Namun sementara itu, Ki Watu Kendeng sempat bertanya, “Tetapi siapakah Ki Sanak ini?“

“Kami adalah kawan-kawan Marwantaka” jawab orang itu, “kami merasa wajib untuk berbuat sebagai seorang kawan yang baik dalam persoalannya menghadapi anak gila yang menganggap bahwa ia dengan kekayaannya akan dapat membeli segalanya yang diinginkannya. Termasuk gadis yang sudah mengikat janji dengan Marwantaka itu. Tetapi kami ingin membuktikan, bahwa kesetia-kawanan kami nilainya lebih tinggi dari uang yang betapapun banyaknya yang telah dikeluarkan oleh Wiranata untuk mengupah penjahat-penjahat kecil yang tidak berarti apa-apa itu”

Ki Watu Kendeng hanya dapat mengangguk-angguk saja. Namun kemudian ia pun segera minta diri untuk melanjutkan perjalanannya. Katanya, “Sebagaimana yang aku katakan, aku hanya akan berusaha untuk meringankan beban perasaannya”

“Katakan kepadanya” berkata orang itu, “jika dengan cepat ia menentukan sikap, segalanya akan selesai, Marwantaka akan sanggup melindungi anak gadisnya, karena kami sudah berjanji dalam kesetia-kawanan kami terhadapnya. Bahkan kami telah bersedia untuk melakukan apa saja sampai batas hidup kami”

Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah. Aku dapat menyampaikannya. Tetapi segala keputusan terakhir ada padanya”

Ki Watu Kendeng, Mahisa Agni dan Witantra segera melanjutkan perjalanan menuju ke padepokan Kenanga.

Kedatangan mereka ke padepokan itu, ternyata telah dlsambut dengan kegembiraan. Bahkan rasa-rasanya seisi padepokan telah mendapat angin yang segar setelah untuk beberapa lamanya mereka tercekik dalam kegelisahan.

“Marilah, silahkah” berkata Ki Selabajra dengan gagap oleh getar perasaannya.

Demikianlah maka kedatangan Ki Watu Kendeng telah membawa udara baru di padepokan itu. Ken Padmi yang kemudian menyuguhkan hidangan nampak agak pucat dan kurus. Namun sekilas Mahisa Agni dan Witantra melihat gadis itu. mereka pun berkata di dalam hatinya, “Tidak mustahil bahwa Mahisa Bungalan telah tertarik kepadanya. Gadis itu memang cantik sekali. Seperti yang dikatakan oleh Ki Watu Kendeng, ibarat bunga, maka bunga itu sedang mekar. Dan agaknya justru telah membakar udara di sekitarnya”

Untuk beberapa saat lamanya mereka saling berbicara tentang keselamatan mereka. Sebagaimana pesan Mahisa Bungalan, maka Ki Watu Kendeng tidak memperkenalkan kedua orang yang menyertainya itu sebagai paman Mahisa Bungalan. Tetapi mereka adalah cantrik-cantrik tertua di padepokan Watu Kendeng. Namun ketika pembicaraan mereka sampai kepada masalah terpenting bagi padepokan Kenanga, maka Ki Watu Kendeng pun minta waktu untuk dapat berbicara khusus dengan Ki Selabajra.

“Tidak perlu sekarang” desis Ki Watu Kendeng, “mungkin nanti sore atau malam hari”

Demikianlah, ketika tiba saatnya, maka Ki Watu Kendeng pun telah berbicara langsung khusus dengan Ki Selabajra di ruang dalam menjelang tehgah malam. Di saat padepokan itu telah tertidur nyenyak. Ki Watu Kendeng telah menyampaikan rencana yang dibuat oleh Mahisa Bungalan. Tetapi ternyata bahwa atas persetujuan Mahisa Agni dan Witantra, Ki Watu Kendeng telah merubah sedikit pesan Mahisa Bungalan.

Kepada Ki Selabajra Ki Watu Kendeng mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia tidak merahasiakan bahwa Mahisa Bungalan, sudah berada di padepokan Watu Kendeng, sementara kedua orang yang menyertainya itu adalah pamannya. Namun Ki Watu Kendeng mohon agar Ken Padmi tidak mengetahui akan hal itu, agar gadis itu tidak dengan tergesa-gesa mengambil sikap, justru karena harga dirinya.

Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada dalam, “Terima kasih. Nampaknya pada saat yang paling gelap, aku telah mendapatkan sepercik sinar yang dapat menuntun aku mencari jalan keluar”

Ternyata Ki Selabajra sama sekali tidak berkeberatan dengan usul Mahisa Bungalan itu. Meskipun ia belum yakin apakah kedua orang anak muda itu bersedia menunggu keputusan Ken Padmi yang masih akan diberikan sebulan lagi.

“Tetapi jika aku memberikan batasan waktu, aku kira mereka akan menunggu” berkata Ki Selabajra., “Selama ini mereka condong untuk mengambil sikap sendiri-sendiri, karena masih belum ada kepastian apapun juga yang dapat aku berikan kepada mereka”

“Kecuali jika mereka menolak” berkata Ki Watu Kendeng.

“Itu soal lain berkata Ki Selabajra, “jika demikian, kita tentu akan mempertahankan apa saja”

“Kita wajib mencobanya“ berkata Mahisa Agni.

“Besok aku akan menghubungi keduanya setelah aku mendapat kepastian kesanggupan Ken Padmi” berkata Ki Selabajra.

Demikianlah. Maka pagi-pagi benar, Ki Selabajra sudah memanggil Ken Padmi untuk berbicara langsung dengan Ki Watu kendeng. Mahisa Agni dan Witantra yang hadir juga, telah disebut oleh Ki Watu Kendeng sebagai cantriknya yang tertua.

“Ken Padmi“ berkata Ki Watu Kendeng, “kau bagiku sudah tidak ubahnya seperti anakku sendiri. Aku memang pernah termimpi, bahwa kau akan menjadi anakku. Namun aku mohon, bahwa kau pun tidak berkeberatan jika aku tetap menganggapmu sebagai anak sendiri” Ki Watu Kendeng berhenti sejenak, sementara Ken Padmi bagaimana dihadapkan kepada satu teka-teki. Kemudian Ki Watu Kendeng melanjutkannya, “Karena itu, kegelisahan yang sekarang ini sedang menyelimuti padepokan Kenanga adalah sama dengan kegelisahanku sendiri. Karena itu, maka jika kau tidak berkeberatan Ken Padmi, aku ingin memberikan beberapa pendapat, mudah-mudahan akan dapat membantu menjernihkan keadaan”

Ken Padmi hanya menundukkan wajahnya saja. Ki Watu Kendeng pun kemudian menyampaikan rencana yang dipesankan oleh Mahisa Bungalan, agar dalam waktu satu bulan lagi ia bersedia menyelenggarakan sayembara tanding. Ken Padmi mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya wajah ayahnya. Rasa-rasanya ada sesuatu yang ingin dikatakannya, namun ia tidak dapat mengucapkannya.

“Ken Padmi” berkata Ki Selabajra, “apakah kau berkeberatan? Apakah kau memang sudah memilih salah seorang di antara keduanya? Atau satu keputusan yang lain”

“Tidak ayah“ jawabnya dengan serta merta, “aku tidak dapat menerima keduanya. Karena itu, apakah kau dapat meyakini diriku sendiri, bahwa aku akan dapat mengalahkan keduanya?”

Ki Watu Kendeng pun menjelaskan, kenapa Ken Padmi memerlukan waktu satu bulan lagi. Sementara itu ia akan dapat mematangkan ilmunya, sedangkan kedua anak muda itu tidak mengetahui rencana itu, sehingga mereka tidak mempersiapkan diri mereka.

“Tetapi mereka sudah memiliki ilmu itu” jawab Ken Padmi

“Ilmunya sekarang tidak lebih baik dari ilmu yang kau miliki” jawab Ki Watu Kendeng, “bukankah selama ini, kau mengisi waktumu untuk melupakan kegelisahanmu dengan menempa diri di dalam sanggar”

“Tetapi apakah itu dapat dijadikan pegangan, bahwa aku akan dapat melawan Keduanya?“ bertanya Ken Padmi ragu-ragu.

“Ken Padmi” berkata Ki Watu Kendeng ”aku memang ingin membantumu. Aku telah mengajak kedua orang cantrikku yang tertua. Mereka akan dapat membantumu dalam sebulan ini, sehingga kau akan dapat meyakinkan, dirimu”

Ken Padmi mengerutkan keningnya Dipandanginya kedua orang tua itu berganti-ganti. Mereka hanyalah seorang cantrik. Apa artinya bagi perkembangan ilmunya? Sedangkan Ken Padmi tahu, bahwa Ki Watu Kendeng adalah seorang yang tidak lebih baik dari ayahnya sendiri. Ki Selabajra. Namun untuk menanyakannya, ia segan bahwa hal itu akan dapat menyinggung perasaan kedua orang cantrik itu.

Tetapi sementara ia termangu-mangu, maka Ki Selabajra lah yang berbicara, “Cobalah Ken Padmi. Cobalah barang satu dua hari. Baru kemudian kau memutuskannya”

Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah ayah. Aku akan mencoba satu dua hari. Baru kemudian aku akan memberikan jawaban”

Demikian, maka untuk satu dua hari Ki Watu Kendeng akan berada di padepokan Kenanga, sementara Mahisa Agni dan Witantra akan berusaha untuk meningkatkan ilmu gadis yang sedang dibayangi oleh kegelisahan itu. Sehingga tubuhnya menjadi kian kurus dan wajahnya kian menjadi pucat.

Di hari pertama Ken Padmi berada di sanggar bersama-dengan Mahisa Agni dan Witantra, ia telah dikejutkan melihat kemampuan kedua orang itu. Dengan sengaja Mahisa Agni dan Witantra menunjukkan sesuatu yang dapat mengejutkan gadis itu, agar ia percaya bahwa kedua orang itu akan dapat membentuknya menjadi seorang gadis yang akan mampu menghadapi kedua orang anak muda yang membuatnya selalu gelisah dan cemas.

Meskipun yang ditunjukkan oleh Mahisa Agni dan Witantra itu hanya sebagian kecil saja dari seluruh kemampuannnya, namun jantung Ken Padmi telah benar-benar tergetar. Karena itulah, maka ia pun telah bertekad untuk melakukan rencana seperti yang disampaikan oleh Ki Watu Kendeng. Ia akan menempa diri dalam waktu sebulan, kemudian menantang kedua ajak muda itu dalam sayembara tanding.

Sejak hari yang pertama, maka Ken Padmi telah menenggelamkan diri ke dalam latihan-latihan yang lebih berat. Ketika di hari ketiga Mahisa Agni dan Witantra mengantar Ki Watu Kendeng kembali ke padepokannya, rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggu.

Tetapi Mahisa Agni dan Witantra telah berjanji kembali, ke padepokan Kenanga meskipun sampai jauh malam. Mereka tidak sampai hati melepaskan Ki Watu Kendeng kembali seorang sendiri. Segala kemungkinan dapat terjadi disepanjang jalan. Namun ternyata bahwa mereka tidak mengalami sesuatu di perjalanan. Pada saat mereka kembali ki Watu Kendeng, dan pada saat Mahisa Agni dan Witantra kembali lagi ke Padepokan Kenanga.

Sementara itu, Ken Padmi sama sekali tidak membuang waktunya sama sekali. Demikian kedua orang cantrik tua itu datang, maka ia pun telah siap beralih di sanggarnya. “Marilah paman” ajak Ken Padmi, “waktuku sudah terbuang sehari penuh selama paman berdua mengantar paman Watu Kendeng”

Mahisa Agni tersenyum ketika Ki Selabajra menyahut, “Biarlah kedua pamanmu itu beristirahat. Kau masih mempunyai banyak waktu”

Ken Padmi masih akan membantah, tetapi ayahnya berkata, “Kedua pamanmu akan makan lebih dahulu. Kemudian beristirahat sebentar. Baru, kau akan mulai dengan latihan-latihanmu”

Demikianlah setelah beristirahat sebentar setelah makan, maka Mahisa Agni dan Witantra telah mengajak Ken Padmi masuk ke dalam sanggar. Ki Selabajra yang ingin melihat kemajuan anak gadisnya itu pun lelah mengikutinya pula.

Tetapi nampaknya Mahisa Agni mulai dengan cara yang agak berbeda dari cara yang sudah dilakukannya sejak tiga hari yang lalu. Ketika Ken Padmi sudah siap, maka Mahisa Agni pun berkata, “Ken Padmi. Untuk berlatih kanuragan, kita sebenarnya tidak harus selalu memeras tenaga, Kita dapat berlatih dengan cara yang sedikit berbeda. Kali ini kita akan mulai dengan latihan ketrampilan dan kecepatan bergerak”

Ken Padmi mengerutkan keningnya, ia tidak mengerti maksud Mahisa Agni yang kemudian berkata kepada Ki Selabajra, “Apakah ada sebuah amben bambu yang dapat kami pinjam?”

“Untuk apa?“ bertanya Ki Selabajra.

“Untuk Ken Padmi” jawab Mahisa Agni.

“O” Selabaira pun mengangguk-angguk. Ia pun kemudian menyuruh dua orang cantrik untuk membawa sebuah amben bambu ke dalam sanggar, tanpa mengetahui gunanya sama sekali.

Malam itu. Ken Padmi berlatih di atas sebuah amben bambu. Mula-mula ia ragu-ragu. Dengan hati-hati ia berdiri di atas amben itu. Kemudian dengan hati-hati pula ia mulai bergerak. Ketika amben itu berderit maka Ken Padmi manghentikan geraknya.

Ternyata latihan yang dilakukan itu membuatnya lebih cepat letih meskipun ia bergerak jauh lebih lamban dari latihan-latihan sebelumnya. Dengan tuntunan Mahisa Agni dan Witantra, Ken Padmi mulai berusaha untuk mengatur langkah dan tata geraknya, sehingga seolah-olah ia menjadi lebih ringan karenanya.

Dalam pada itu, sepeninggal Ki Watu Kendeng, maka Ki Selabajra benar-benar telah menghubungi kedua anak muda yang ingin mengambil Ken Padmi. Dengan hati-hati, ia mencoba menjelaskan permintaan Ken Padmi untuk menunggu sampai sebulan lagi. Ketika ia berada di padepokan anak muda yang bernama Marwantaka, maka Ki Selabajra hampir saja tidak dapat menguasai diri. Di Padepokan itu ternyata terdapat beberapa orang bukan saja anak-anak muda dari padepokan-padepokan lain, tetapi juga orang-orang tua yang merasa memiliki ilmu yang cukup.

“Jangan mempermainkan aku” geram Marwantaka apakah Ki Selabajra masih bermimpi untuk mendapat menantu anak gila yang merasa dirinya mempunyai ketrampilan yang tiada terlawan itu?”

“Jangan begitu ngger” jawab Ki Selabajra, “marilah kita berbicara menurut keadaan yang kita hadapi sekarang”

"Apakah dalam waktu sebulan ini Ki Watu Kendeng berniat untuk pergi ke padepokan Ki Kasang Jati?“ bertanya anak muda itu.

“Tidak. Aku tidak akan pergi kemana-mana” jawab Ki Watu Kendeng, “aku ingin menunggui anak gadisku. Mudah-mudahan dalam waktu satu bulan ini, keheningan budinya dapat menuntunnya kepada pilihan yang benar”

”Sebenarnya tidak ada gunanya” jawab Marwantaka, aku tidak ingin menunggu Ken Padmi memilih agar aku tidak perlu berbuat sesuatu dengan kasar”“

“Jadi maksudmu?“ bertanya Ki Selabajra.

“Tidak ada pilihan lain” jawab Marwantaka.

“Ketahuilah” berkata Ki Selabajra, “Wiranata juga bersikap seperti itu”

"Aku tidak peduli. Tetapi jika Ki Selabajra merasa tidak mampu melawannya, serahkan kepadaku. Jika Ken Padmi telah berada ditanganku. maka aku akan sanggup melindunginya”

Jantungnya Ki Selabajra rasa-rasanya berdetak semakin cepat. Tetapi ia masih menahan dirinya, katanya, “Sudahlah. Aku hanya akan menyampaikan pesan itu saja. Ken Padmi berharap kau menunggu satu bulan saja. Ia akan memberikan kepastian”

“Jika aku kemudian menunggu, semata-mata karena aku menghormatinya. Tetapi aku tidak akan mengorbankan kepentingan” berkata Marwantaka.

Betapa jantung Ki Selabajra bergejolak, tetapi ia harus menelan kepahitan itu, karena ia yakin, bahwa rencana anaknya dengan satu bulan lagi akan segera terjadi. Dalam pada itu, Wiranata hampir bersikap serupa. Tetapi nampaknya anak muda ini lebih yakin akan berhasil.

Sementara itu, Mahisa Bungalan dengan gelisah menunggu Mahisa Agni dan Witantra yang rasa-rasanya telah meninggalkannya hampir satu bulan. Dicobanya untuk mengisi waktunya dengan berlatih sendiri, tetapi ia pun segera menjadi jemu oleh kegelisahan.

Dalam pada itu, semakin lama Ken Padmi menjadi semakin mapan, ia mulai merasa, bahwa loncatan-loncatannya menjadi semakin cepat sementara tubuhnya rasa-rasanya menjadi semakin ringan.

“Jangan ragu-ragu” desis Witantra, “gerak kakimu bertumpu pada pergelangan kaki dan lutut. Amben itu sudah tidak berderik lagi”

Ken Padmi menjadi semakin mantap. Karena itu maka ia pun bergerak semakin cepat. Ia mempergunakan beberapa malam untuk melakukan latihan-latihan yang demikian. Disiang hari ia berlatih dengan cara yang lain. Mahisa Agni dan Witantra memberikan tuntunan untuk memperkaya unsur gerak yang dimilikinya tanpa merusak pegangannya atas ilmu dasarnya. Ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya sendiri.

Setelah mengamati beberapa saat, kemampuan dasar Ken Padmi, maka Mahisa Agni dan Witantra telah berusaha mengembangkannya, sehingga gadis itu menjadi semakin kaya akan unsur-unsur garak dan tanggapan atas sikap lawan. Disamping kecepatan geraknya yang menjadi semakin meningkat karena dengan latihan-latihan yang berat, maka tubuhnya rasa-rasanya memang menjadi semakin ringan apabila ia sudah mulai berloncatan.

Di pekan berikutnya, ternyata Mahisa Agni dan Witantra telah mempergunakan cara yang berbeda pula. Di dalam sanggar itu telah ditanam beberapa batang tonggak bambu petung yang dipotong tepat pada ruas-ruasnya setinggi tubuh Ken Padmi sendiri. Ken Padmi sudah menduga, apa yang harus dilakukannya kemudian. Dengan dasar kemampuan yang ada, maka ia haras berlatih di atas tonggak-tonggak bambu itu. Seperti saat-saat ia latihan untuk pertama kali di atas amben, maka geraknya pun menjadi sangat lamban. Tetapi semakin lama langkahnya pun menjadi semakin mantap.

Setelah tiga hari ia melakukannya, maka pada hari berikutnya, ia harus berlatih bertempur melawan Mahisa Agni. Kemudian melawan dua orang sekaligus. Latihan-latihan yang berat dan tidak mengenal letih, itu benar-benar telah menempa Ken Padmi menjadi seorang gadis yang memiliki ilmu yang semakin matang. Dengan dasar ilmu yang ada padanya, maka kemampuannya telah berkembang sangat pesat.

Karena waktu yang sempit, maka Mahisa Agni dan Witantra tidak menitik beratkan latihan-latihan Ken Padmi pada peningkatan kekuatannya, tetapi pada kecepatan gerak dan ketrampilan, serta kekayaan unsur-unsur gerak. Kecerdasan gadis itu ternyata sangat membantu. Sehingga dalam latihan-latihannya kemudian, Ken Padmi telah berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan dari serangan yang tiba-tiba dan tidak terduga-duga.

Pada pekan ketiga, maka Ken Padmi tenggelam dalam latihan-latihan yang semakin berat, la harus berlatih dalam perkelahian yang seolah-olah bersungguh-sungguh. Bahkan pada saat-saat terakhir ia harus bertempur melawan Mahisa Agni dan Witantra sekaligus.

Latihan-latihan yang demikian memberi kesempatan kepada Ken Padmi untuk menyesuaikan ilmunya dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapinya jika benar-benar harus berkelahi melawan kedua orang anak muda yang ingin mengambilnya itu. Bahkan Mahisa Agni dan Witantra telah mengembangkan pula kemampuan. Ken Padmi mempergunakan tenaga cadangannya, sehingga meskipun tidak secara khusus, karena kesempitan waktu, Mahisa Agni dan Witantra telah berhasil meningkatkan kemampuan gadis itu membangunkan tenaga cadangannya yang dengan sendirinya seolah-olah kekuatan Ken Padmi pun menjadi semakin berkembang pula.

Untuk melatih daya tahan gadis itu, maka pada saat-saat tertentu, baik Mahisa Agni maupun Witantra telah benar-benar menyentuh tubuh gadis itu dalam serangan-serangan yang cepat dan tidak terelakkan. Meskipun sekali-sekali Ken Padmi harus menyeringai menahan sakit, namun ia sadar sepenuhnya, bahwa di dalam perkelahian yang sesungguhnya ia pun akan mungkin sekali dikenai oleh lawannya.

Demikianlah, kemampuan Ken Padmi telah benar-benar berkembang. Ki Selabajra merasa, bahwa cara yang telah dipergunakannya telah jauh ketinggalan dari cara-cara yang dipergunakan oleh Mahisa Agni dan Witantra, yang hanya dalam waktu yang singkat telah mampu meningkatkan ilmu anak gadisnya berlipat ganda.

Ken Padmi menjadi semakin kaya akan unsur-unsur gerak. Ia pun menjadi lebih cepat menanggapi keadaan. Nalurinya pun menjadi bertambah tajam. Dan kekuatannya pun seakan-akan menjadi berlipat karena kesanggupannya mempergunakan tenaga cadangannya. Sementara daya tahannya pun menjadi semakin kuat.

Pada pekan terakhir, rasa-rasanya Ken Padmi sudah menjadi seorang yang lain dari saat-saat ia mulai berlatih di bawah bimbingan kedua orang yang disebutnya sebagai cantrik-cantrik tua itu. Atas persetujuan Ki Selabajra, maka di saat-saat padepokan itu telah menjadi sepi, maka Ken Padmi berlatih di halaman belakang padepokannya. Sanggar itu rasa-rasanya menjadi sempit. Sehingga ia memerlukan tempat yang lain.

Mahisa Agni dan Witantra sengaja menuntun Ken Padmi di arena yang luas. Dengan demikian, maka Ken Padmi akan dengan mudah ditunjukkan, bagaimana ia harus mengembalikan tenaga dan pernafasannya. Karena arena yang luas akan lebih banyak memerlukan tenaga dan kekuatannya.

“Meskipun tidak akan dipergunakan” berkata Mahisa Agni pada suatu malam, “ada baiknya kau berlatih mempergunakan senjata pada sebagian waktumu”

Sudah barang tentu Ken Padmi tidak menolak. Ia pun sudah mempunyai dasar ilmu pedang dan jenis-jenis senjata yang lain, sehingga Mahisa Agni dan Witantra pun tinggal mengembangkannya.

Menjelang akhir dari pekan ke empat, Mahisa Agni dan Witantra masih sempat menyempurnakan semua yang pernah diberikan kepada Ken Padmi. Kecepatan dan ketrampilan bergerak, mengenali kembali sifat dan watak unsur-unsur gerak, mengembangkan tenaga cadangan dan ketahanan tubuhnya. Juga ketrampilan mempergunakan senjata dan kemampuan menanggapi keadaan serta mengambil keputusan yang cepat dan tepat dalam keadaan yang tidak terduga...