Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 06
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

PARA cantrik yang berjaga-jaga di tempat lain pun sebenarnya telah melihat kehadiran sepasukan berkuda mendekat. Tetapi seperti kawan-kawan mereka yang lain, maka mereka pun menjadi ragu-ragu. Dengan memberikan isyarat itu, maka mereka merasa bahwa kesalahan mereka menjadi semakin besar, sehingga hukuman yang akan dijatuhkan atas mereka pun menjadi semakin berat. Tetapi ternyata bahwa isyarat itu sudah berbunyi, siapa pun yang membunyikan.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera meneriakkan aba-aba. Mereka sadar, bahwa tanpa dorongan dari luar dirinya, para cantrik itu tidak akan berani berbuat apa-apa. karena itu, maka terdengar suara Mahisa Pukat lantang,

“Lihat, mereka sudah datang. Siapa yang masih ingin tetap hidup sebagai seorang yang bebas untuk menentukan pilihannya sendiri di dalam perjalanan hidupnya, marilah bersama-sama mempertahankan martabat kita sebagai manusia. Kita bukan seekor binatang yang akan selalu tunduk, betapapun tubuh kita selalu didera dengan cambuk dan tongkat. Tetapi kita adalah manusia sebagaimana meraka”

Para cantrik itu termangu-mangu. Namun kesibukan para prajurit yang datang di tempat itu dengan ujud sebagai orang kebanyakan telah mendorong mereka untuk berbuat sesuatu.

“Siapkan senjata kalian” teriak Mahisa Murti. “mereka sudah semakin dekat. Kecuali yang dengan sengaja ingin membunuh dirinya, biarlah mereka mulai meratapi nasibnya sejak sekarang”

Bagaimanapun juga, kata-kata dan sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta orang-orang yang datang bersama mereka telah membangunkan para cantrik itu dari ketakutan mereka. Karena itu, maka beberapa orang di antara mereka pun telah menggenggam hulu pedang mereka sambil menghentakkan perasaan sendiri, “Akupun seorang laki-laki”

Sikap itu ternyata berpengaruh atas kawan-kawan mereka. Seorang demi seorang mulai menengadahkan kepala mereka, sementara orang-orang berkuda itu pun menjadi semakin dekat.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menemui Ki Buyut Randumalang untuk mempersilahkannya berdiri di sebuah planggrangan bambu yang telah tersedia di sebelah pintu gerbang, agar mereka melihat dan tampak dari luar dinding apa yang mereka sebut padepokan itu.

“Aku takut ayah” desis Widati.

“Percayalah kepada mereka” jawab ayahnya, “nampaknya mereka bersungguh-sungguh. Bukan saja karena persoalan yang melibat dirimu, tetapi yang dilakukan oleh orang-orang ini adalah satu usaha yang lebih luas. Padepokan yang selalu melakukan tekanan terhadap lingkungan di sekitarnya itu memang tidak selayaknya lagi mendapat kesempatan untuk berkembang."

“Tetapi aku takut ayah” desis Widati kemudian, “jika ternyata mereka berhasil memecahkan dinding kayu ini ayah. Nampaknya dinding ini tidak terlalu kuat”

“Mudah-mudahan kita yang berada di dalam dinding kayu ini akan berhasil bukan saja bertahan, tetapi kemudian menangkap mereka dan memadamkan segala kegiatan mereka yang melawan hubungan antar sesama manusia itu” berkata ayahnya.

Namun bagaimanapun juga Widati masih tetap menggigil. Ia sadar, bahwa ia akan dipergunakan untuk memancing agar persoalan di antara kedua padepokan ini akan menjadi semakin masak untuk meledakkan satu pertempuran dan sekaligus meyakinkan para prajurit Singasari bahwa sifat dan watak orang-orang padepokan yang datang itu memang patut disesalkan dan bahkan sepantasnya untuk dihentikan.

Karena itu, maka sejenak kemudian, dengan tubuh yang gemetar Widati bersama ayahnya telah berdiri di atas sebuah pelanggrangan bambu di sebelah regol, sehingga mereka akan nampak oleh orang-orang yang berada di luar regol.

Sebenarnyalah, maka iring-iringan itu pun menjadi semakin dekat. Mereka langsung berkerumun di depan regol yang sudah tertutup rapat. Namun beberapa orang penghuni apa yang mereka sebut sebuah padepokan itu telah berada di sebelah menyebelah regol, berdiri di atas pelanggrangan yang memang sudah disiapkan.

Singatama yang melihat Widati ada di antara mereka itu pun menggeram. Dengan suara bergetar ia berkata, “Mereka memang sengaja menghina aku dan barangkali kita semuanya”

“Kenapa” bertanya gurunya.

“Perempuan itu adalah perempuan yang aku inginkan. Para cantrik aku perintahkan untuk mencari dan mengambil perempuan itu. Tetapi perempuan itu telah berada di antara para cantrik dan tidak pernah mereka serahkan kepadaku”

Dalam pada itu, Mahisa Murti yang berdiri di sebelah Widati itu pun kemudian berkata lantang, “He. Singatama. Kenapa kau datang kembali”

Singatama menggeram. Katanya, “Jangan terlalu sombong anak iblis. Aku datang untuk menyatakan kepada kalian, bahwa kalian adalah orang orang yang tidak tahu diri”

“Aku telah mengalahkanmu” berkata Mahisa Murti.

Wajah Singatama menjadi merah. Dengan suara bergetar oleh kemarahan yang memuncak ia berkata, “Sekarang aku datang untuk membuktikan bahwa aku adalah murid sebuah perguruan yang besar”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang tiba-tiba menurun, ia berkata, “Singatama. Aku sengaja membawa Widati sekarang ini, agar kau dapat mendengar sendiri sikapnya. Jika persoalan ini bermula dari hubungannya dengan Widati, maka aku kira, persoalan ini dapat dikembalikan kepada masalahnya tanpa menimbulkan korban yang sebenarnya tidak perlu”

“Apa maksudmu? Kau akan menyerahkan gadis itu kepadaku” bertanya Singatama.

“Masalahnya tidak pada menyerahkan atau tidak menyerahkan” jawab Mahisa Murti, “tetapi masalahnya adalah, apakah Widati bersedia atau tidak? Ia mempunyai wewenang untuk menentukan sikapnya. Mungkin ia akan menyatakan kesediaannya. Jika demikian maka tidak akan ada persoalan lagi di antara kita. Tetapi jika Widati menolak lamaranmu. Maka kau tidak akan dapat memaksanya”

“Persetan” geram Singatama, “ia akan menerima lamaranku. Ia memang sudah menerimanya. Tetapi mungkin kalian telah mengancamnya. Mungkin di belakang gadis itu sekarang, seseorang berdiri dengan ujung pedang di punggungnya”

“Jangan berbicara seperti orang dungu” jawab Mahisa Murti” berkatalah dengan wajar. Bukankah kita masih dapat menghargai pendapat seseorang? Apakah caramu itu akan merubah kebenaran atas sikap Widati?”

“Persetan” geram Singatama, “aku tidak peduli. Berikan gadis itu kepadaku. Kalian akan mendapat pengampunan”

“Inilah yang harus kau pertimbangkan” jawab Mahisa Murti, “apakah kau dapat bersikap lebih baik, atau kau memang termasuk seseorang yang selalu memaksakan pendapat terhadap orang lain. Bahkan telah melanggar hak menentukan sikap sebagaimana seorang gadis yang bernama Widati”

“Kau licik. Berikan gadis itu kepadaku. Ia akan menjawab, dengan jujur jika ia terlepas dari ancamanmu” teriak Singatama.

Wajah Widati menjadi tegang. Kemarahan dan ketakutan telah berbaur di dalam dirinya. Dalam pada itu, Singatama berkata, “Jangan memperpanjang persoalan. Serahkan gadis itu kepadaku”

“Kau yakin bahwa ia akan menerimamu dengan ikhlas?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku yakin” teriak Singatama lebih keras.

Sejenak Mahisa Murti merenung. Namun tiba-tiba katanya, “Baiklah. Aku akan menyerahkan gadis ini kepadamu”

Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Semua orang yang mendengarnya terkejut, termasuk Widati sendiri. Sehingga dengan serta merta ia telah berteriak di luar sadarnya, “Tidak. Aku tidak mau”

Jawaban itu telah mencengkam setiap jantung. Singatama yang berada di sebelah gurunya pun tercenung sejenak mendengar suara Widati yang melengking itu.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Widati telah memeluk ayahnya sambil berkata diantara isaknya, “Aku tidak mau ayah. Aku tidak mau”

Mahisa Pukat yang termangu-mangu telah melangkah mendekati Mahisa Murti dengan tatapan mata yang tegang. Hampir saja ia bertanya, apakah maksud Mahisa Murti sebenarnya.

Namun sementara itu, Mahisa Murti telah berkata, “Kata-kata itulah yang aku tunggu. Aku ingin membuktikan, bahwa dengan-serta merta gadis itu menolak untuk aku serahkan kepadamu. Nah, Singatama. Apakah kau tahu artinya?”

“Anak iblis” teriak Singatama, “kau licik. Kau sudah mempersiapkan permainan ini dengan sempurna. Kau ancam gadis itu untuk bermain sebaik-baiknya dalam peranannya sendiri”

“Kau masih juga bermimpi Singatama” jawab Mahisa Murti, “semuanya sudah jelas. Karena itu, aku minta kau kembali saja”

“Tidak. Aku akan menghancurkan kalian semuanya. Aku, atas persetujuan guru, akan membunuh kalian semua. Semalam senjata kami sudah dilekati oleh darah. Sekarang, senjata kami akan menjadi merah oleh darah kalian” geram Singatama

Dalam pada itu, maka guru Singatama pun bergeser selangkah maju. Dengan tenang ia berkata, “Aku puji kemampuan kalian mempermainkan perasaan muridku. Aku kagum atas kecerdikanmu anak muda. Tetapi apakah kau tidak berpendapat, bahwa sebaiknya, permainan ini diakhiri?”

“Siapa kau?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku adalah guru Singatama” jawab orang itu, “namaku tidak penting bagimu. Tetapi orang memberi aku panggilan yang aneh, yang sebenarnya aku kurang senang. Mereka menyebutku Pulung Geni. Aku tidak tahu apa artinya. Tetapi aku tidak menolak untuk dipanggil Empu Pulung Geni”

“Jadi kau guru Singatama. Dan kau telah terlibat pula dalam tindak kekerasan seperti ini” bertanya Mahisa Murti, “aku berharap bahwa kau akan berusaha untuk mencegah tindak sewenang-wenang dari muridmu. Tetapi kau justru melibatkan diri kedalamnya”

Orang yang disebut Empu Pulung Geni itu tertawa. Katanya, “Kau memang senang bergurau anak muda. Ada-ada saja yang kau ucapkan untuk memancing kegembiraan. Aku senang mendengar guraumu yang segar itu”

“Aku bersungguh-sungguh” Mahisa Murti lah yang kemudian hampir berteriak.

Tetapi orang yang disebut Empu Pulung Geni itu justru tertawa semakin keras. Wajah Mahisa Murti telah membara. Namun yang lebih tidak sabar lagi adalah Mahisa Pukat. Dengan lantang ia berteriak, “Kau sangka leluconmu itu baik?”

“Oh” guru Singatama itu masih tertawa, “kau jadi marah? Ternyata kau tidak mampu bergurau seperti kawanmu itu. Nampaknya kau bukan seorang periang. Tetapi seorang pemarah”

“Tutup mulutmu. Apa maumu sebenarnya” teriak Mahisa Pukat semakin keras”

Tetapi Empu Pulung Geni itu sama sekali tidak merubah sikapnya. Ia masih saja dengan tenang dan tertawa menanggapi sikap Mahisa Pukat. Katanya, “Sebenarnya kita dapat bersahabat. Terutama kawanmu yang pandai bergurau itu. Jika kalian menyerahkan gadis itu dan dua orang muridku yang kau tawan dengan sikap yang curang, maka persoalan di antara kita sudah selesai. Kalian bebas untuk kembali ke padepokan yang untuk sementara dipimpin oleh Empu Nawamula, tanpa perasaan takut untuk di hukum, meskipun tingkah laku kalian sampai saat ini memang perlu dipertimbangkan”

Kemarahan Mahisa Pukat telah tidak terkendali lagi. Justru karena itu, maka mulutnya bagaikan terbungkam. Tubuhnya bergetar dan sorot matanya bagaikan melontarkan api. Karena itu, maka Mahendra merasa perlu untuk menolong kedua anaknya itu. Kedua anak-anak muda yang telah terpancing oleh sikap orang yang disebut Pulung Geni itu. Karena itu, maka ia kemudian mendekati Mahisa Murti sambil berkata, “Tenanglah anak-anak. Jangan terbawa oleh arus perasaanmu. Biarlah aku mencoba menjawabnya.”

Ketika kemudian Mahendra berdiri pula disisi Mahisa Murti di atas sebuah pelanggrangan bambu, maka guru Singatama itu memandanginya dengan tajamnya. Bahkan kemudian dengan nada datar ia bertanya, “Siapa kau? Apakah kau juga akan turut campur?”

“Tidak Ki Sanak” jawab Mahendra, “aku hanya ingin menolong anak-anak ini untuk dapat mengendapkan perasaannya, agar ia dapat menjawab pertanyaanmu dengan baik”

Empu Pulung Geni menganguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Ajarilah anak-anak itu berpikir bening. Sebenarnya ia tidak dirugikan oleh tindakan Singatama, karena ia bukan keluarga gadis itu. Ia tidak bersangkut paut dan tidak wajib untuk ikut mencampurinya. Jika ia melepaskan diri dari keterlibatannya, maka ia tidak akan mengalami sesuatu yang akan dapat membuatnya menyesal”

Mahisa Murti sudah akan berteriak. Tetapi Mahendra mendahului, “Terima kasih Ki Sanak. Aku juga akan memberinya nasehat seperti itu. Tetapi manakah yang lebih baik. Tingkah laku anak-anak muda ini dengan muridmu yang bernama Singatama itu. Anak-anak ini melibatkan diri justru karena ia merasa tersinggung rasa keadilannya melihat tingkah laku muridmu yang bernama Singatama, karena Singatama telah memaksakan kehendaknya atas seorang gadis yang bernama Widati ini”

Empu Pulung Geni mengangguk-angguk. Katanya, “Pertanyaanmu tepat sekali Ki Sanak. Tetapi bagaimanakah jika kita bersetuju untuk tidak saling mengganggu. Soal hubungan antara Singatama dan gadis itu, biarlah diselesaikan oleh Singatama dan keluarganya”

“Jika hal itu terjadi, maka anak-anak muda ini merasa, bahwa mereka tidak bermanfaat bagi sesama di dalam hubungannya dengan sikap seseorang yang memaksakan kehendaknya atas orang lain” jawab Mahendra, lalu, “persoalan ini sebenarnya adalah persoalan manusia. Bukan persoalan yang dapat dibatasi antara dua belah pihak yang memaksakan kehendaknya dan yang tidak mempunyai kemampuan untuk menghindarkan diri dari paksaan itu, meskipun akibatnya adalah penderitaan”

“Jadi kalian benar-benar dengan sadar melibatkan diri kedalam persoalan ini” bertanya Empu Pulung Geni.

“Benar Ki Sanak” jawab Mahendra, “persoalannya tidak terbatas pada persoalan seorang gadis. Tetapi dengan demikian kami akan melihat pada pokok persoalannya. Kami tidak sependapat bahwa seseorang dibenarkan untuk memaksakan kehendaknya atas orang lain berdasarkan kepada kekuatan dan kekerasan. Yang nampak sekarang di sini adalah keinginan Singatama untuk mengambil gadis itu. Tetapi di tempat lain dan dalam kesempatan lain, kalian akan dapat berbuat jauh lebih banyak. Mungkin kalian ingin memaksakan kehendak kalian untuk mendapatkan perempuan, harta benda, kekuasaan dan akhirnya dunia ini ingin kau miliki”

Empu Pulung Geni mengangguk-angguk. Sementara itu, darah Singatama bagaikan sudah mendidih. Ia tidak mengerti, kenapa gurunya masih saja bersabar menghadapi orang-orang di dalam lingkungan dinding kayu itu.

“Baiklah Ki Sanak” berkata Empu Pulung Geni, “agaknya aku sudah tidak mempunyai pilihan lain. Soalnya bukan sekedar gadis itu. Tetapi kalian sudah menghina perguruan kami dengan menawan dua orang di antara kami. Apalagi jika keduanya ternyata telah kalian bunuh, maka kalian benar-benar akan menyesal”

“Jadi, apakah kalian ingin mengurungkan niat kalian” bertanya Mahendra.

“Tidak Ki Sanak” jawab guru Singatama itu dengan tenang, “kami akan membakar padepokanmu dan membunuh semua orang yang ada di dalam barak yang kau sebut padepokan itu. Kami akan mempergunakan darah kalian sebagai darah manusia yang pertama bagi sebuah upacara. Biasanya kami mempergunakan darah binatang. Tetapi pada saatnya, kami memang harus mempergunakan darah manusia”

Mahendra mengangguk-angguk. Sejenak ia memperhatikan orang-orang yang menebar di luar dinding apa yang di sebutnya padepokan itu.

“Jumlah mereka terlalu banyak bagi penghuni sebuah padepokan” berkata Mahendra di dalam hati.

“Apa yang sedang kau pikirkan Ki Sanak” tiba-tiba saja Empu Pulung Geni bertanya.

Dalam keadaan yang demikian Mahendra masih sempat tersenyum sambil menjawab, “Tidak apa-apa. Aku sedang menghitung orang-orangmu”

“Terlalu banyak” bertanya Empu Pulung Geni.

“Cukup untuk menghancurkannya hari ini” jawab Mahendra.

Anak-anak muda dikedua belah pihak sudah tidak telaten lagi mendengar pembicaraan itu. Namun Empu Pulung Geni masih dengan sareh berkata, “Anak-anak. Bersiaplah. Kita akan segera mulai”

Para Putut dan cantrik dari padepokan orang yang disebut Empu Pulung Geni itu pun segera mempersiapkan diri. Merekapun kemudian menebar di bagian depan apa yang disebut sebuah padepokan. Nampaknya mereka tidak akan mengalami kesulitan untuk memecah dinding kayu yang tidak begitu tinggi itu, atau bahkan meloncatinya.

Namun dalam pada itu, Mahendra pun telah memberikan isyarat kepada Mahisa Bungalan untuk bersiap. Mereka berada di belakang pintu regol yang tertutup. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah meninggalkan tempatnya berusaha untuk membangkitkan keberanian para cantrik yang masih saja ragu-ragu.

“Kita sudah berada di ujung tombak” berkata Mahisa Murti, “terserah kepada kita. Apakah kita akan membiarkan tombak itu menghunjam di perut kita, atau kita akan menghindarinya”

Ternyata dalam keadaan yang paling gawat, para cantrik itu sadar, bahwa mereka harus berusaha menyelamatkan jiwa mereka masing-masing. Karena itu, maka Mahisa Pukatpun berkata, “Nah, sekarang kalian bersiap di dalam dinding. Jika mereka meloncat ke dalam atau berusaha merusak dinding, maka adalah menjadi kewajiban kalian untuk menghalau mereka”

Dalam pada itu, maka Empu Pulung Geni pun kemudian berkata tanpa kesan kemarahan, bahkan lebih mirip dengan aba-aba dalam permainan, “Lakukanlah anak-anak, kalian dapat berbuat apa saja. Bahkan membakar padepokan itu sampai lebur menjadi abu. Jika Singatama masih menginginkan perempuan itu, biar perempuan itu sajalah yang hidup. Tetapi jaga, agar kalian dapat menyelamatkan kedua orang saudaramu yang tertawan. Tetapi jika keduanya sudah terbunuh, maka aku minta kedua anak muda yang menawannya itu kalian tangkap hidup-hidup. Jangan beri kesempatan mereka membunuh diri, karena keduanya adalah wadag yang paling baik untuk mengantarkan upacara”

Sikapnya memang sangat menarik perhatian. Tetap Mahendra pun sepenuhnya dapat menguasai dirinya, sehingga katanya kepada orang-orang yang berada di dalam dinding, “Bersiaplah. Permainan akan segera dimulai”

Sebenarnyalah kedua belah pihak sudah bersiap. Para murid Empu Pulung Geni sama sekali bersikap lain dari gurunya. Bahkan, mereka pun merasa heran, bahwa gurunya bersikap terlalu sabar menghadapi orang-orang di dalam padepokan itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja mereka telah bergerak dengan hentakan yang mengejutkan. Mereka berteriak bersama dalam nada yang tinggi, seolah-olah hendak meruntuhkan langit. Satu suasana yang jauh berbeda dengan sikap Empu Pulung Geni.

Namun Mahendra, Witantra dan Mahisa Agni pun segera dapat membaca sikap yang sebenarnya dari perguruan yang sedang mereka hadapi itu. Dalam pada itu, para cantrik pun segera bersiap di belakang dinding. Sementara Widati yang menggigil ketakutan dibimbing oleh ayahnya masuk ke dalam barak.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memerintahkan empat orang cantrik untuk mengamati gadis itu dan melindunginya jika di luar dugaan, satu atau dua orang menyusup sampai ke tempatnya. Sementara di lingkungan apa yang mereka namakan padepokan, lima orang cantrik selalu berjaga-jaga. Untuk ketenangan hati Mahisa Murti, maka seorang dari prajurit pilihan telah berada bersama dengan para cantrik itu.

Demikianlah, maka sejenak kemudian pertempuran itu pun telah berkobar. Para cantrik yang berada di dalam dinding dengan ujung tombak dan pedang berusaha mencegah saudara-saudara seperguruan Singatama untuk memasuki dinding. Dipimpin oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berdiri berseberangan di sebelah menyebelah regol, para cantrik yang merasa dirinya tidak mempunyai pilihan lain daripada mempertahankan hidupnya itu pun telah menentukan satu sikap yang pasti. Dengan demikian, maka benturan kekuatan pun tidak dapat dihindari lagi. Ujung-ujung senjata mulai berbicara di dinding apa yang disebut sebuah padepokan itu.

Namun dalam pada itu, adalah di luar dugaan guru Singatama yang disebut Empu Pulung Geni itu, ketika tiba- tiba saja pintu regol terbuka. Dengan serta merta, sekelompok orang dari dalam regol pun berlari-larian keluar dengan senjata telanjang di tangan. Mereka adalah para prajurit Singasari yang dipimpin langsung oleh Mahisa Bungalan.

Sergapan yang tiba-tiba itu benar-benar mengejutkan para pengikut Empu Pulung Geni. Sejenak, mereka justru menyibak karena senjata yang berputaran. Namun beberapa saat kemudian ternyata merekapun telah berhasil menguasai diri mereka kembali.

Mahisa Agni dan Witantra masih mengamati pertempuran itu dari dalam dinding, sementara Mahendra tidak sampai hati membiarkan Mahisa Bungalan keluar tanpa pengamatannya, apabila tiba-tiba saja ia harus berhadapan dengan Guru Singatama yang menurut perhitungan Mahendra, tentu seorang yang berilmu sangat tinggi.

Dalam pada itu, maka Mahisa Agni dan Witantra memperhatikan pertempuran itu dengan hati yang berdebar-debar. Di luar dugaan, maka Mahisa Agni pun berdesis, “Apakah kau yakin, bahwa yang kita hadapi sekarang ini sebuah padepokan?”

Witantra mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Memang mungkin sebuah padepokan. Tetapi sebuah padepokan yang khusus”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Sebuah padepokan yang memang sangat menarik perhatian. Padepokan yang memiliki sebuah kekuatan yang besar. Bahkan mungkin belum semua kekuatan dikerahkan.

Witantra tidak menjawab. Diamatinya pertempuran yang menjadi semakin dahsyat. Orang orang yang datang menyerang itu benar-benar orang-orang yang kasar dan keras. Namun mereka memang memiliki kelebihan dari sebuah padepokan biasa dan cantrik-cantriknya pun memiliki ilmu yang cukup baik. Lebih baik dari para cantrik di padepokan Empu Nawamula.

“Lebih baik dan lebih Banyak” berkata Witantra, “cantrik-cantrik dari padepokan Empu Nawamula ini masih dibayangi oleh ketakutan, sementara kemampuan mereka memang masih pada tataran permulaan”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Untunglah bahwa Mahisa Bungalan datang bersama sekelompok prajurit yang dapat membantu kedudukan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat”

“Tetapi yang sangat menarik adalah padepokan itu sendiri” berkata Witantra, “aku condong mempunyai dugaan, bahwa padepokan itu bukan sebuah padepokan yang biasa kita jumpai”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Sementara itu pertempuranpun menjadi semakin seru. Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kekuatannya.

Sebenarnyalah bahwa pasukan Empu Pulung Geni benar-benar merupakan sebuah pasukan yang sangat menggetarkan. Mereka bertempur dengan kasar dan keras. Mereka berteriak-teriak dengan liar dan mempergunakan cara apapun untuk menguasai lawannya. Namun prajurit Singasari di bawah pimpinan Mahisa Bungalan itupun memiliki pengalaman yang luas. Karena itu, maka mereka tidak menjadi bingung menghadapi pasukan Empu Pulung Geni.

Para Putut dari padepokan Empu Pulung Geni itu pun telah memencar. Mereka memimpin para cantrik dengan sasaran yang berbeda. Ada diantara mereka yang berusaha memasuki dinding. Tetapi sebagian dari mereka terpaksa bertempur menghadapi pasukan yang dipimpin oleh Mahisa Bungalan, yang justru keluar dari batas dinding apa yang disebut padepokan itu.

Namun dalam pada itu ternyata, bahwa usaha para pengikut Pulung Geni memasuki dinding padepokan itu, semakin lama menjadi semakin mendesak. Meskipun sebagian di antara mereka harus menghadapi sekelompok prajurit Singasari yang tidak mempergunakan ujud keprajuritannya, namun yang lain berhasil mengguncangkan pertahanan para cantrik dari padepokan yang dipimpin oleh Empu Nawamula. Ternyata bahwa para pengikut Empu Pulung Geni memang mempunyai kelebihan sehingga mereka memaksa para cantrik dari padepokan Empu Nawamula yang memang masih selalu dibayangi oleh keraguan dan ketakutan, untuk menjadi semakin berdebar-debar.

“Kita tidak dapat tinggal diam” berkata Mahisa Agni.

“Baiklah” jawab Witantra, “kita akan membagi diri. Aku disini dan kau berada di sebelah regol”

Dengan demikian, maka di sebelah menyebelah regol terdapat Mahisa Murti dan Mahisa Agni. Sementara di seberang yang lain Witantra dan Mahisa Pukat. Dengan mereka, maka para cantrik berusaha untuk mengusir lawan mereka yang berusaha untuk memanjat dan meloncat dinding.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih muda itu pun bertempur dengan sepenuh hati. Karena itu, lawan mereka yang secara kebetulan berhadapan dengan kedua anak muda itu disaat mereka berusaha memanjat dinding, terpaksa harus meloncat surut dengan luka di tubuh. Apalagi setelah Mahisa Agni dan Witantra ikut serta berusaha menghalau mereka, meskipun dengan cara yang agak berbeda dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Namun demikian, Mahisa Agni dan Witantra masih tetap mengamati cara yang dipergunakan oleh Empu Pulung Geni dan orang-orangnya untuk memecahkan apa yang disebut padepokan itu. Kekuatan yang ada pada Empu Pulung Geni benar-benar satu kekuatan yang besar. Seandainya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak disertai oleh Mahisa Bungalan dengan sekelompok pasukannya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan mengalami kesulitan.

Sementara itu, meskipun di pihak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah disertai sekelompok prajurit dibawah pimpinan Mahisa Bungalan, namun mereka tidak segera dapat menyelesaikan kewajiban mereka. Ternyata pertempuran itu menjadi semakin seru. Empu Pulung Geni ternyata mampu mempertahankan garis pertempuran dekat dengan dinding apa yang disebut padepokan itu.

Mahisa Agni dan Witantra masih saja berusaha untuk menilai lawan sambil berusaha mengusir mereka. Bahkan perkiraannya sampai pada satu kesimpulan, bahwa padepokan Empu Pulung Geni itu tentu bukan sekedar sebuah padepokan yang menurut laporan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dan yang telah disaksikannya sendiri, sering memaksakan kehendaknya atas orang Lain.

“Tentu lebih dari itu” berkata Manisa Agni di dalam hatinya sebagaimana pendapat Witantra.

Dalam pada itu, Empu Pulung Geni sendiri ternyata masih belum terjun kedalam peperangan. Ia memperhatikan dengan seksama apa ying terjadi. Dengan cermat ia mengamati tingkah laku para pengikutnya dan lawan-lawannya. Seorang Putut yang paling tua di dalam padepokannya, mendampinginya dengan senjata telanjang di tangan.

“Aneh” berkata Empu Pulung Geni, “aku tidak percaya bahwa yang bertempur di luar dinding itu juga para cantrik dari padepokan Singatama yang untuk sementara dipimpin oleh Empu Nawamula”

Putut yang berdiri di sampingnya itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat Empu. Mereka terlalu baik bagi seorang cantrik. Mereka lebih baik dari cantrik-cantrik kita. Bahkan jauh lebih baik”

Empu Pulung Geni mengerutkan keningnya ketika ia melihat, bagaimana Mahisa Bungalan bertempur menghadapi lawan-lawannya. “Anak muda itu aneh” berkata Empu Pulung Geni. Lalu, “Ia memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Jika kau biarkan ia bergerak, maka ia akan menjadi pembunuh yang tidak dapat dicegah lagi”

Putut itu mengangguk. Ia melihat dua orang putut yang lain bertempur di ujung-ujung arena. Sementara itu, Singatama sendiri tengah berusaha dengan sepenuh hati untuk dapat memasuki apa yang disebut padepokan itu. Agaknya Singatama berkeras hati untuk dapat mengambil gadis yang diinginkannya.

Tetapi memasuki apa yang disebut padepokan itu ternyata tidak terlalu mudah. Apalagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta Mahisa Agni dan Witantra berada di dinding itu pula.

Putut yang semula mendampingi Empu Pulung Geni itu pun kemudian berusaha mendekati Mahisa Bungalan. Sejenak ia memperhatikan anak muda itu. Namun kemudian ia pun bergeser maju sambil berdesis, “Kau luar biasa anak muda”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang yang menyapanya itu. Sementara Putut itu berkata pula, “Apakah kau termasuk salah seorang cantrik dari padepokan Nawamula?”

Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Ya. Aku adalah seorang cantrik”

Tetapi Putut itu tertawa. Katanya, “Kau jangan berbohong. Aku tahu, bahwa para cantrik tidak akan berani melakukan hal seperti ini tanpa orang lain berdiri di belakangnya. Agaknya kau termasuk salah seorang yang telah menghasut para cantrik itu untuk memberontak terhadap Singatama”

Mahisa Bungalan tidak segera menjawab. Dipandanginya Putut yang berdiri dihadapannya itu. Nampaknya orang itu memang cukup meyakinkan. “Siapa kau” tiba-tiba saja Mahisa Bungalan bertanya.

“Aku adalah salah seorang pembantu Empu Pulung Geni” jawab Putut itu, “aku adalah Putut tertua dari padepokannya. Aku mendapat perintah oleh Empu Pulung Geni, agar aku menghentikan tingkah lakumu yang sewenang-wenang”

“Oh” Mahisa Bungalan menjawab, “aku sama sekali tidak merasa berbuat sewenang-wenang. Aku berbuat wajar sebagaimana dilakukan oleh seseorang di peperangan. Jika kau sempat melihat, orang-orangmu telah bertempur dengan kasarnya. Bahkan liar dan tidak terkendali. Dengan demikian aku dapat melihat watak dari padepokanmu. Padepokan yang dipimpin oleh orang yang disebut Empu Pulung Geni itu”

Putut itu mengangguk-angguk. Katanya “Pengamatanmu tajam sekali Ki Sanak”

“Tingkah laku Empu Pulung Geni sama sekali bertentangan dengan wataknya yang sebenarnya. Demikian pula kau” berkata Mahisa Bungalan kemudian, “kesabaran kalian bukan kesabaran yang sebenarnya. Tetapi merupakan satu bagian dari perhitungan kalian yang cermat”

Putut itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar Ki Sanak. Tetapi bukan berarti bahwa pendapatmu itu akan mempengaruhi kami dalam keseluruhan. Kami memang kasar dan bahkan buas. Karena itu, kalian akan mati dan berkubur di tempat ini”

Mahisa Bungalan tidak menjawab, Tetapi ia pun segera bersiap untuk bertempur. Dalam pada itu, pertempuran pun telah menyala semakin besar dan seru. Senjata berdentangan dan darah pun mulai menitik dari luka.

Sementara itu, Mahendra yang berada di arena di luar regol apa yang di sebut padepokan itu, masih belum bertempur dengan sungguh-sungguh. Ia masih tetap berada di antara para prajurit Singasari yang memulas diri, sebagaimana orang kebanyakan. Namun Mahendra tetap mengawasi, apa yang akan dilakukan oleh Empu Pulung Geni.

Dalam pertempuran yang semakin sengit itu, Mahisa Bungalan telah terlibat kedalam pertempuran dengan Putut tertua dari perguruan Empu Pulung Geni. Ternyata Putut tertua itu memang memiliki ilmu yang tinggi. Ilmu yang bersumber dari alam yang gelap dengan ujud yang kasar dan keras. Tetapi Mahisa Bungalan telah membekali diri dengan ilmu yang mantap. Karena itu, sejenak kemudian mulai nampak bahwa Mahisa Bungalan mampu mengimbangi tingkat ilmu Putut tertua dari perguruan Empu Pulung Geni itu.

Sementara itu, para pengikut Empu Pulung Geni yang lain masih belum berhasil memasuki dinding padepokan. Para cantrik yang berada di dalam dinding, ternyata mulai dibasahi oleh keringat dan kepercayaan kepada diri sendiri. Karena itu, maka mereka pun bertempur semakin mantap. Mereka berusaha menghalau setiap orang yang berusaha meloncati dinding yang tidak begitu tinggi itu dipimpin oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Namun dalam pada itu. Empu Pulung Geni menjadi semakin cemas melihat perkembangan dari pertempuran itu. Karena itu, maka ia merasa wajib untuk segera ikut menerjunkan diri kedalam kobaran api pertempuran yang menjadi semakin menyala. Mahisa Bungalan menjadi semakin garang menghadapi lawannya. Sehingga sejenak kemudian, maka Putut tertua dari perguruan Pulung Geni itu semakin terdesak.

“Anak iblis” geram Putut itu di dalam hatinya, “anak ini memiliki ilmu yang tinggi”

Sebenarnyalah, meskipun Putut itu mengerahkan segenap kemampuannya, namun ia menjadi semakin terdesak pula, seperti para cantrik yang lain pun telah semakin terdesak pula oleh para prajurit Singasari, sementara kawan-kawan mereka masih belum berhasil memasuki halaman apa yang disebut padepokan itu.

Namun dalam pada itu, Widati benar-benar menjadi ketakutan. Ia merasa diumpankan untuk memancing perselisihan. Jika orang-orang di dalam lingkungan apa yang disebut padepokan itu gagal bertahan, maka ia akan menjadi barang rampasan yang jauh lebih tidak berharga dari apabila ia menerima lamaran Singatama.

Dengan hati yang berdebaran ia melihat para cantrik yang mengawalnya. Nampaknya para cantrik itu pun telah bersiaga sepenuhnya. Tetapi wajah mereka agak kurang meyakinkan, bahwa mereka pun siap menghadapi setiap kemungkinan.

Namun apabila di muka barak itu lewat seorang yang sebenarnya adalah prajurit Singasari yang mendapat tugas untuk membantu para cantrik mengawasinya, rasa-rasanya hatinya menjadi tenang. Sikap orang itu jauh lebih meyakinkan dari sikap para cantrik yang ada di sekitarnya. Tetapi tanpa para cantrik itu, hatinya tentu akan menjadi lebih ketakutan lagi.

Sementara itu, sorak dan teriakan di muka apa yang disebut padepokan itu menjadi semakin gemuruh. Orang- orang dari perguruan Pulung Geni bertempur sambil berteriak-teriak. Kadang-kadang kasar dan bahkan mengumpat-umpat.

Dalam pada itu, Empu Pulung Geni sudah menjadi semakin dekat dengan orang-orang yang sedang bertempur. Wajahnya kadang-kadang menegang. Namun kemudian wajah itu kembali menjadi tenang.

“Orang ini memang luar biasa” berkata Mahendra di dalam hatinya. Sehingga dengan demikian, maka Mahendra pun bergeser semakin mendekati orang yang disebut Empu Pulung Geni itu. Ketika Empu Pulung Geni berhenti sejenak sambil mengamati pertempuran, maka Mahendra bertempur beberapa langkah saja dari padanya tanpa menarik perhatiannya.

Sementara itu Singatama berusaha dengan sekuat-kuat kemampuannya untuk menembus pertahanan para cantrik dengan memecah dinding. Beberapa orang saudara seperguruannya telah berusaha untuk membantunya. Mereka berteriak-teriak memanggil nama dua orang saudara seperguruannya yang tertawan. Namun sebenarnyalah yang lebih penting bagi Singatama adalah Widati.

Tetapi mereka menghadapi perlawanan yang gigih dari para cantrik. Dengan berdiri di atas alas kayu dan bambu, para cantrik berusaha mengusir para pengikut Pulung Geni dengan senjata mereka.

Dalam pada itu, dua orang saudara seperguruan Singatama yang tertangkap, masih tetap di sekap dalam sebuah ruang di dalam barak itu diawasi oleh para cantrik yang berada di antara barak-barak itu bersama seorang prajurit Singasari yang ditugaskan bersama mereka di samping para cantrik yang menunggui Widati. Namun mereka merasa heran, bahwa mereka justru mendapat perawatan yang baik. Luka-luka mereka telah diobati dan mereka sama sekali tidak diperlakukan dengan kasar. Sekali-sekali mereka memang dibentak dan dimaki, Tetapi yang mereka alami itu sama sekali tidak berarti, sebagaimana mereka memperlakukan orang lain.

Justru karena itulah, telah timbul berbagai pertanyaan di dalam hati mereka tentang sikap dan tingkah laku mereka sendiri sebelumnya, yang mereka anggap sebagai sikap yang wajar dan akan dilakukan oleh setiap orang. Namun ternyata bahwa mereka telah menjumpai satu sikap dari sekelompok orang yang berbeda sekali dengan sikap mereka dan orang orang dilingkungan perguruan mereka.

Dalam ketegangan yang semakin memuncak, maka Empu Pulung Geni tidak dapat lagi menahan dirinya. Dengan pasti ia telah mencabut pedangnya. Pedang yang besar dan bertajam ganda. Pedang yang dibuat dengan khusus sebagaimana seseorang membuat keris.

Sikap Empu Pulung Geni memang menumbuhkan ketegangan tersendiri. Mahisa Agni dan Witantra sempat menyaksikannya, bagaimana Pulung Geni itu menarik pedangnya dan mengangkatnya di atas kepalanya. Pamor dari pedang itu nampak berkilat sesaat di antara kehitaman tubuh pedang itu sendiri.

“Bukan main” desis Witantra, sebagaimana Mahisa Agni dan Mahendra yang mengagumi ujud pedang Empu Pulung Geni itu.

“Pedang itu akan dapat membantai lawan-lawannya” berkata Mahendra di dalam hatinya. Karena itu, maka iapun bergeser semakin dekat. Ia merasa wajib untuk menghalangi pembantaian yang dapat dilakukan oleh Pulung Geni. Orang yang bersikap terlalu tenang dan dalam. Namun menilik pengamatan Mahendra, orang itu justru menyimpan sikap iblis di dalam dirinya.

Tetapi Mahendra yang bertempur di antara para prajurit yang menyamar sebagaimana kebanyakan orang itu tertegun ketika tiba-tiba saja ia melihat seseorang yang muncul dari balik gerumbul perdu. Agaknya pertempuran itu telah merampas segala perhatiannya, sehingga Mahendra tidak melihat kapan orang itu bersembunyi di belakang sebuah gerumbul yang tidak terlalu jauh dari ajang pertempuran itu.

“Empu Nawamula” desis Mahendra di dalam dirinya. Tetapi ia tidak menyebutnya, sementara agaknya Empu Nawamula juga tidak menduga, bahwa Mahendra berada di antara mereka yang bertempur itu. Karena itu. Empu Nawamula sama sekali tidak memperhatikan orang-orang yang sedang terlibat di dalam pertempuran. Perhatiannya sepenuhnya ditujukan kepada Empu Pulung Geni.

Dengan langkah yang mantap, Empu Nawamula mendekati Empu Pulung Geni yang agaknya terkejut pula melihat kehadiran orang itu. Dengan ragu-ragu ia memperhatikannya. Sementara itu langkah Empu Nawamula itupun menjadi semakin mantap.

Dalam pada itu, di luar sadarnya. Singatama telah melihat pula orang yang datang itu ketika dengan tidak sengaja ia berpaling kearah gurunya untuk menyatakan kekesalannya oleh kegagalannya untuk meloncati dinding yang tidak terlalu tinggi itu. Dengan demikian, maka di luar sadarnya pula ia telah memanggil pamannya, “Paman Nawamula”

Empu Nawamula memandang ke arah kemanakannya itu dengan sorot mata kemarahan. Tetapi ia tidak sempat berbicara kepada kemanakannya karena Empu Pulung Geni telah menegurnya, “Empu Nawamula. Kenapa Empu datang kemari?”

Empu Nawamula memandang Empu Pulung Geni dengan tajamnya. Kemudian katanya, “Aku ingin melihat bagaimana seorang guru memanjakan muridnya yang paling dikasihinya”

Wajah Empu Pulung Geni menjadi tegang. Tetapi sejenak kemudian ia tersenyum, “Aku tahu, bahwa muridku itu adalah kemanakan seorang Empu yang mumpuni. Karena itu, aku ingin membuat anak itu mumpuni pula seperti pamannya. Nampaknya usahaku hampir berhasil. Ia sudah memiliki ilmu yang barangkali sejajar dengan ilmu Empu. Hanya karena kemanakan Empu itu kurang berpengalaman, maka ia masih memerlukan waktu untuk mengetrapkan ilmunya sebagaimana seorang yang berilmu tinggi”

Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jadi menurutmu, Singatama telah memiliki ilmu sebagaimana aku miliki?”

“Ya” jawab Empu Pulung Genii singkat.

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah kau bermaksud mengatakan, bahwa dengan demikian maka kau, gurunya memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari ilmuku?”

“Aku tidak mengatakankannya. Tetapi kau dapat memperbandingkan sendiri. Ilmumu setingkat dengan ilmu muridku. Meskipun muridku yang bernama Singatama itu adalah muridku yang sangat aku kasihi karena ia memiliki kemungkinan masa depan yang sangat cerah, namun ia bukan muridku yang memiliki ilmu tertinggi saat ini” sahut Empu Pulung Geni.

“Bagus sekali” desis Empu Nawamula, “jika demikian sepantasnyalah bahwa aku harus berguru kepadamu untuk beberapa tahun, agar aku mampu mengimbangi muridmu yang terbaik”

“Aku tidak berkeberatan Empu. Tetapi minggirlah. Aku akan bertempur melawan orang-orang sombong ini” jawab Empu Pulung Geni.

Tetapi Empu Nawamula justru menjawab, “Tunggu Ki Sanak. Aku masih ingin berbicara tentang rencanaku untuk berguru. Apakah kau sama sekali tidak menaruh perhatian?”

“Jangan bicarakan sekarang justru dalam kesibukan seperti ini” jawab Empu Pulung Geni.

“Maksudku, apakah kau tidak ingin melihat, sampai di mana batas kemampuan calon muridmu. Dengan demikian kau akan dapat menentukan tingkat yang manakah yang akan kau pakai sebagai landasan untuk mulai dengan latihan-latihan olah kanuragan yang akan kau berikan. Atau Putut yang manakah yang paling pantas untuk menangani seseorang dalam tataran tertentu setelah kau mengetahuinya”

“Sudahlah” berkata Empu Pulung Geni, “katakan saja bahwa kau menantangku. Aku kira dengan demikian kerjaku akan lebih cepat selesai. Aku akan membunuhmu kemudian membunuh orang-orang yang sombong, yang aku kira adalah karena bujukanmu bahwa mereka telah meninggalkan padepokan”

“Kau salah Ki Sanak” jawab Empu Nawamula, “aku sama sekali tidak membujuk mereka. Tetapi aku tidak sampai hati membiarkan mereka akan menjadi sasaran ketamakanmu sehingga kau akan membantai mereka tanpa ampun”

“Itu adalah hukuman yang paling pantas buat mereka” sahut Empu Pulung Geni.

“Itulah sebabnya aku hadir di sini. Sudah sehari semalam aku menunggu di sekitar tempat ini. Aku yakin bahwa kau tentu akan datang untuk membantai para cantrik atas pengaduan muridmu. Tetapi lebih dari itu, kau tentu akan menunjukkan kemampuanmu untuk menakut-nakuti berbagai pihak, agar mereka tidak berani melawanmu, “ berkata Empu Nawamula.

“Sudahlah” geram Empu Pulung Geni, “jangan banyak bicara. Aku akan mulai. Dan kau akan terbunuh di sini. Jika kau mati, aku harus minta maaf kepada Singatama, karena kau adalah pamannya. Tetapi aku memang tidak mempunyai pilihan lain”

Empu Nawamula pun segera bersiap untuk menghadapi Empu Pulung Geni. Sementara itu, Singatama justru menjadi termangu-mangu. Ia akan menyaksikan gurunya dan pamannya akan bertempur untuk saling membunuh. Ia tahu, bahwa gurunya adalah orang yang mumpuni. Namun ia pun tahu, bahwa pamannya adalah orang yang pilih tanding. Tetapi menurut penilaiannya, gurunya adalah orang yang tidak terkalahkan.

Sejenak kemudian, maka keduanya pun telah bergeser. Sementara itu, Mahisa Bungalan yang tidak mengerti, siapakah yang datang, berusaha untuk membatasi diri. Ia membiarkan kedua orang itu menentukan sikap mereka masing-masing. Jika mereka akan bertempur, biarlah mereka bertempur. Ia sendiri masih mempunyai tugas untuk menyelesaikan para pengikut Empu Pulung Geni itu.

Yang kemudian memperhatikan kedua orang itu dengan seksama adalah Mahendra. Meskipun ia masih berada di antara mereka yang bertempur, tetapi ia mampu melakukannya.

Dalam pada itu, maka Empu Pulung Genipun segera bergeser mendekati lawannya. Ia sudah terlanjur membawa pedang di tangannya. Pedang yang memilki kelebihan dari pedang-pedang kebanyakan. Karena itu. Ia pun telah berniat untuk dengan pedangnya mengakhiri perlawanan Empu Nawamula.

“Aku tidak akan menyarungkan pedangku lagi sekedar untuk menjajagi kemampuan Empu gila ini” berkata Empu Pulung Geni dalam hatinya. Karena itu, maka sejenak kemudian, maka pedangnya pun telah terayun. Katanya, “Empu Nawamula. Menurut pendengaranku kau adalah seorang ahli membuat senjata. Karena itu, kau tentu dapat menilai pedangku ini. Pedang yang dibuat khusus dengan tuah yang khusus pula. Karena itu, sebelum Empu tersentuh oleh pedangku, sebaiknya Empu tidak meneruskan niat Empu untuk mencampuri perkara ini”

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Katanya, “Luwuk di tanganmu itu memang sebuah senjata yang luar biasa. Jarang aku melihat senjata segawat senjatamu. Pamornya bagaikan menyala, sementara tajamnya yang ganda kau ulasi dengan warangan yang berbahaya."

“Karena itu. minggirlah” berkata Empu Pulung Geni.

Tetapi Empu Nawamula tidak menghindar. Bahkan kemudian iapun telah menarik sebilah keris lewat di atas punggungnya. Sebilah keris yang tidak juga seperti kebanyakan keris. Keris itu terlalu besar dan panjang.

“Ki Sanak” berkata Empu Nawamula, “aku memang sudah menyiapkan senjata khusus untuk menghadapi senjatamu. Meskipun aku belum sempat mematangkan warangan pada kerisku seperti warangan pada luwukmu itu, tetapi sentuhan warangan kerisku ini cukup untuk mengantarkan menjelajahi daerah maut”

Empu Pulung Geni mengerutkan keningnya. Keris itu memang luar biasa. Bukan saja ukurannya yang teramat besar, tetapi juga buatannya dan keris itu seolah-olah memancarkan cahaya kebiru-biruan.

“Saat aku mulai dengan pembuatan keris ini” berkata Empu Nawamula, “aku telah mesu diri. Mengurangi makan dan minum. Juga mengurangi tidur dan beristirahat. Ternyata aku berhasil menyelesaikan keris ini dua hari yang lalu meskipun kelak masih harus aku matangkan lagi dengan berbagai laku. Tetapi saat ini keris ini sudah cukup untuk melawan luwukmu itu”

Empu Pulung Geni memandang lawannya dengan tajamnya. Namun tiba-tiba saja ia mengayunkan pedangnya. Tidak terlalu keras. Tetapi langsung mengarah ke kening Empu Nawamula.

Empu Nawamula terkejut. Karena itu dengan serta merta, ia menangkis serangan itu dengan kerisnya yang besar dan panjang. Ketika dua bilah senjata itu berbenturan, maka bunga api-pun telah memercik ke udara. Seolah-olah kedua bilah senjata itu telah menyala dan memercikkan api yang berwarna merah kebiruan.

Empu Pulung Geni melangkah surut. Dengan tegang diamatinya senjata Empu Nawamula. Senjata yang baru dua hari siap. Namun ternyata keris itu nampaknya telah menjadi sebilah keris yang cukup berbahaya.

Demikianlah kedua orang itupun segera terlibat kedalam satu pertempuran yang sengit. Empu Pulung Geni menyerang lawannya bagaikan badai yang menghantam tebing pegunungan. Beruntun, susul menyusul. Tetapi ternyata Empu Nawamula adalah seorang yang memiliki kecepatan bergerak yang mengagumkan. Betapapun dahsyatnya serangan Empu Pulung Geni, namun Empu Nawamula masih selalu dapat mengelakkannya, menangkis dan bahkan dengan cepat ia dapat membalas menyerang kembali.

Untuk beberapa saat keduanya berputaran, saling menyerang, desak mendesak. Keduanya memiliki kelebihan yang sulit dicari bandingnya. Sementara senjata di tangan mereka adalah senjata yang dapat dibanggakan.

Mahisa Bungalan yang sempat menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Ternyata keduanya adalah orang-orang yang luar biasa. Keduanya memiliki ilmu yang tinggi dan senjata yang jarang ada duanya.

Mahendra pun menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun menyaksikan pertempuran kedua orang itu, ia masih juga berdebar-debar.

Demikian pula Mahisa Agni dan Witantra yang masih berada di dalam lingkungan dinding apa yang disebut padepokan itu. Keduanya ternyata kagum juga melihat dua orang tua yang bertempur dengan senjata masing-masing yang memiliki kelebihan dari senjata lainnya.

Pertempuran itu telah menarik perhatian Singatama, sehingga seolah-olah ia menghentikan usahanya untuk meloncati dinding meskipun saudara-saudara seperguruannya tidak berbuat demikian. Ia tertarik untuk menyaksikan pertempuran antara guru dan pamannya. Pertempuran yang dalam waktu yang singkat telah meningkat menjadi sangat dahsyatnya.

Dalam pada itu, Empu Nawamula pun telah melawan Empu Pulung Geni dengan sangat hati-hati. Ia melihat sikap lawannya yang nampaknya tenang dan sabar menghadapi perkembangan keadaan. Tetapi sikap itu bukan sikapnya yang sebenarnya. Empu Pulung Geni telah berusaha mengekang diri dan mempergunakan nalarnya sebaik-baiknya menghadapi orang-orang yang dianggapnya sangat berbahaya. Namun dalam pertempuran yang menjadi semakin dahsyat itupun segera terasa, bahwa Empu Pulung Geni bukannya orang yang tenang dan sabar. Semakin lama, maka sikapnya pun semakin jelas, bahwa Empu Pulung Geni adalah orang yang kasar dan keras.

Sekali-sekali terdengar juga Empu Pulung Geni itu berteriak sambil mengayunkan pedangnya. Namun Empu Nawamula ternyata mampu mengimbangi kekasaran gerak lawannya dengan kecepatannya. Sehingga dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin lama semakin seru.

Dalam pada itu, pertempuran antara kedua orang Empu itu tidak luput dari perhatian Mahisa Bungalan. Meskipun ia sendiri masih harus bertempur dengan murid terpercaya dari perguruan Empu Pulung Geni itu, namun ia selalu berusaha untuk sekali-sekali dapat menilai apa yang telah terja di dengan dua orang tua itu.

Ternyata bahwa kemampuan keduanya cukup berimbang. Pertempuran itu semakin menjadi sengit. Senjata-senjata mereka berbenturan dan memercikkan bunga api. Kaki mereka berloncatan dengan cepat, sehingga seolah-olah tidak menyentuh tanah. Sementara angin putaran senjata mereka telah mengguncang dedaunan gerumbul di sekitar arena pertempuran.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam ketika ia hampir saja tergores ujung senjata lawannya. Namun dalam pada itu, ia pun segera mengambil satu sikap. Ia harus mempercepat usahanya untuk menyelesaikan pertempuran itu. Karena itu, maka dengan menggeretakkan giginya Mahisa Bungalan bertempur semakin cepat. Bahkan para prajuritnya pun telah ikut berbuat demikian pula.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan semakin mendesak lawannya dan bahkan kemudian dengan pasti telah menguasainya. Sedangkan para prajuritnya pun telah mendesak lawan-lawan mereka beberapa langkah surut. Dengan demikian, maka pengaruh pertempuran itu pun terasa pada mereka yang berusaha memecahkan dinding. Ketika kawan-kawan mereka terdesak, maka mereka yang ingin memecah dan meloncati dinding itu pun mulai menjadi gelisah.

Dalam keadaan yang demikian, ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memanfaatkan keadaan itu sebaik- baiknya. Dengan cermat mereka memperhitungkan kemungkinan untuk mengembangkan pertempuran itu. Karena itu, ketika pasukan lawan di luar dinding itu semakin terdesak oleh pasukan Mahisa Bungalan, maka Mahisa Murti pun telah meneriakkan aba-aba, agar para cantriklah yang kemudian memburu keluar dengan meloncati dinding.

“Kita mempunyai kesempatan lebih luas untuk melakukannya,“ teriak Mahisa Murti.

Para cantrik menjadi ragu-ragu. Tetapi Mahisa Murti telah mendahului meloncati dinding yang tidak begitu tinggi, justru keluar.

Mahisa Pukat melihat saudaranya telah meloncat keluar. Jika ia tidak berbuat serupa, maka Mahisa Murti akan mengalami kesulitan. Karena itu, maka iapun segera meloncat pula sambil memerintahkan para cantrik untuk melakukannya pula.

Dalam keragu-raguan, para cantrik menyaksikan beberapa orang lawan mulai mengepung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Betapapun juga mereka telah merasa terikat dalam sikap, sehingga sejenak kemudian ternyata beberapa orang cantrik pun telah berloncatan pula keluar dinding apa yang disebut padepokan itu. Bahkan akhirnya semua cantrik yang berada di dalam dinding itupun telah berada di luar. kecuali para cantrik yang harus mengawasi Widati, para cantrik yang harus mengamati seluruh padepokan itu bersama seorang prajurit, tetap berada di dalam halaman padepokan.

Dengan demikian, maka pertempuran yang sengit pun telah terjadi seluruhnya di luar dinding apa yang disebut padepokan itu. Kekuatan Mahisa Bungalan dan para prajuritnya ternyata sangat mempengaruhi medan. Di antara mereka justru telah menebar dan menyatu dengan para cantrik, sementara yang lain berusaha mendesak lawan-lawan mereka semula. Mahisa Agni dan Witantra pun sudah berada di luar dinding pula. Mereka berada di antara para cantrik. Namun semakin lama mereka menjadi semakin dekat dengan Mahendra.

“Ternyata keduanya adalah orang-orang yang tangguh” desis Witantra disamping Mahendra.

Mahendra berpaling sejenak kearah kedua Empu yang sedang bertempur itu. “Pulung Geni memang sangat berbahaya” desis Mahendra.

“Sesuai dengan niat Mahisa Bungalan” jawab Mahisa Agni, “mereka harus dihentikan. Kegiatan padepokan mereka pun harus dihentikan pula”

Dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin jelas. Apalagi ketika Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra ikut pula, meskipun tanpa menarik perhatian, karena mereka bertempur sebagaimana yang lain bertempur. Namun dengan caranya sendiri, ketiga orang itu telah berhasil memperlemah pertahanan lawan mereka.

Dalam pada itu. Empu Pulung Geni semakin lama menjadi semakin tidak dapat lagi mengendalikan diri. Wataknya yang sebenarnya akhirnya melonjak pula dalam ujudnya yang mendebarkan. Semakin lama Empu Pulung Geni itupun menjadi semakin garang. Teriakan-teriakannya menjadi semakin keras dan tingkah lakunya pun menjadi semakin keras dan kasar. Namun dengan demikian, ia menjadi semakin berbahaya pula. Kekuatannya bagaikan bertambah oleh hentakkan-hentakkan kekuatan dibarengi dengan teriakan-teriakan nyaring.

Tetapi Empu Nawamula pun telah meningkatkan kemampuannya pula sampai ke puncak. Ia menjadi semakin cepat bergerak. Dengan cekatan ia berusaha mengimbangi tingkah laku lawannya. Namun kemudian Empu Nawamula tidak lagi banyak membentur kekuatan Empu Pulung Geni yang bagaikan berlipat. Ia berusaha menghindari benturan-benturan langsung. Namun dengan cepat menyusup pertahanan lawan dengan serangan-serangan yang berbahaya.

Ternyata bahwa kedua tajam senjata kedua Empu itu masih belum berhasil menyentuh lawannya Keduanya adalah senjata yang luar biasa. Meskipun keduanya tentu membawa obat penawar racun, tetapi pengobatan itu tentu juga memerlukan waktu.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan serta para prajurit yang menyertainya menjadi semakin cepat mendesak lawan-lawan mereka. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Betapa garang dan kasarnya lawan-lawan mereka, namun ternyata bahwa mereka tidak dapat mengimbangi kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, seorang melawan seorang. Karena itulah, maka mereka berusaha untuk mengurung kedua anak muda itu dalam kepungan.

Singatama yang telah mengetahui tingkat kemampuan kedua anak muda itu, telah memimpin beberapa orang untuk bersamanya membatasi gerak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan senjata teracu beberapa orang bersama-sama telah mengepungnya. Namun dalam pada itu, di luar perhitungan mereka, maka dibagian lain dari arena itu, beberapa pengikut Empu Pulung Geni telah terdorong surut dengan luka di tubuh mereka. Meskipun luka-luka itu tidak terlalu parah, tetapi luka-luka itu telah memperlemah mereka.

Ternyata bahwa Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra telah melakukan hal yang serupa. Mereka melukai lawan-lawan mereka. Tidak terlalu parah, tetapi memaksa mereka menyingkir untuk mengobati luka mereka. Namun bagaimanapun juga, luka-luka itu telah menghambat perlawanan mereka, karena setiap kali, darah yang telah pampat pun akan mengalir lagi jika mereka terlalu banyak bergerak.

Dengan demikian, maka para cantrik dari padepokan yang untuk sementara dipimpin oleh Empu Nawamula, dan yang kemudian menyingkir kedalam apa yang mereka sebut padepokan itu, tidak lagi terlalu banyak mengalami kesulitan. Meskipun pada dasarnya secara pribadi, kemampuan saudara-saudara seperguruan Singatama lebih baik, tetapi dalam keseluruhan, ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta para cantrik itu mampu mendesak lawan mereka Apalagi Mahisa Bungalan dan para prajurit yang menyertainya.

Empu Pulung Geni yang bertempur melawan Empu Nawamula itupun akhirnya tidak dapat lagi mengingkari satu kenyataan, bahwa para pengikutnya ternyata tidak berhasil mengalahkan lawan-lawan mereka, apalagi menghancurkannya dan mengambil seorang gadis dari apa yang disebut padepokan itu dan sekaligus membebaskan dua orang diantara murid-muridnya yang tertawan.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan dan para prajuritnya benar-benar berusaha untuk melumpuhkan para pengikut Empu Pulung Geni. Meskipun mereka berusaha menghindari pembunuhan, karena mereka ingin menangkap lawan-lawan mereka hidup-hidup dan membawa mereka ke Singasari, namun kadang-kadang para prajurit itu tidak dapat menahan senjata mereka yang terlanjur menghunjam kedalam tubuh lawan, menggores jantung, sehingga lawan mereka itu pun kemudian terkapar tidak bernafas lagi.

Empu Pulung Geni hanya dapat mengumpat kasar. Ternyata ia tidak dapat mengalahkan Empu Nawamula dengan cepat. Bahkan kemudian ia harus mengakui, bahwa Empu Nawamula itu pun mampu mengimbangi kemampuannya. Kerisnya yang besar dapat mengimbangi pedang kebanggaannya, sehingga dengan demikian maka Empu Nawamula yang mampu bergerak dengan cepat itu, sama sekali tidak akan dapat didesaknya.

Menyadari keadaannya, serta keadaan para pengikutnya, maka Empu Pulung Geni harus cepat mengambil satu sikap. Jika ia terlambat, maka seluruh pengikut yang datang bersamanya itu akan dihancurkan oleh lawan yang ternyata memiliki banyak kelebihan.

Dengan demikian, maka tidak ada pilihan lain dari Empu Pulung Geni selain menghindar dari pertempuran. Karena itu, maka dalam satu kesempatan. Empu Pulung Geni telah meloncat meninggalkan lawannya sambil bersuit nyaring. Satu isyarat bagi para pengikutnya, bahwa mereka tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi.

Isyarat itu tidak perlu diulangi. Para pengikutnya yang kecemasan itu pun memang tidak lagi mempunyai harapan. Sehingga karena itu, maka dengan serta merta, para pengikutnya pun telah berloncatan untuk mencari kesempatan meninggalkan medan.

Tetapi Mahisa Bungalan dan para prajurit Singasari tidak membiarkan mereka terlepas. Karena itu. maka mereka pun telah berusaha untuk mencegah sejauh mungkin. Bahkan beberapa orang prajurit telah berusaha mengejar lawan-lawannya yang melarikan diri sampai jauh dari dinding apa yang disebut padepokan itu.

Namun dalam pada itu, ada juga diantara mereka yang berhasil lolos dari kejaran lawan-lawan mereka. Empu Pulung Geni sendiri berhasil lepas dari tangan Empu Nawamula. Bahkan ia masih sempat meneriakkan ancaman, “Empu, pada saatnya kau akan mati di tanganku”

Sementara itu, Singatama pun telah menghindarkan diri dari tangan Mahisa Murti. Meskipun demikian, banyak di antara mereka yang tidak lagi sempat melepaskan diri. Bagaimanapun juga, mereka terpaksa melepaskan senjata mereka dan menjadi tawanan.

Empu Nawamula yang semula berusaha untuk mengejar Empu Pulung Geni terpaksa menghentikan usahanya, sebagaimana beberapa orang prajurit Singasari. Beberapa orang, termasuk Empu Pulung Geni dan Singatama berhasil mencapai kuda-kuda mereka dan dengan kecepatan yang sangat tinggi, kuda-kuda itu berpacu menjauh.

Namun dalam pada itu. ternyata Mahisa Bungalan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berhasil menguasai sebagian besar dari lawan-lawan mereka, sehingga dengan demikian, maka mereka pun yakin bahwa kekuatan padepokan Empu Pulung Geni sudah lumpuh sama sekali.

“Ia harus membangun kekuatan baru untuk waktu yang lama” berkata Mahisa Bungalan kepada para prajuritnya.

Sementara itu, Empu Nawamula telah kembali mendekati apa yang disebut padepokan itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian menyongsongnya, setelah ia memerintahkan para cantrik untuk menguasai para tawanan sepenuhnya. Namun Empu Nawamula pun kemudian terkejut ketika ia melihat seseorang, yang pernah dikenalnya mendekatinya. Sambil tersenyum orang itupun berkata, “Kau memang luar biasa Empu”

“Mahendra” desis Empu Nawamula, “kau berada di sini!”

Mahendra pun tertawa sebagaimana Empu Nawamula. Katanya, “Aku memperhatikan, bagaimana kau bertempur melawan Empu Pulung Geni. Ternyata bahwa kau memiliki ilmu yang tidak ada duanya”

“Ah. Kau masih juga senang memuji” desis Empu Nawamula, “jika aku tahu kau ada disini, aku tidak akan memaksa diri untuk datang ke tempat ini. Bahkan mungkin kau berhasil menangkap orang yang menyebut dirinya Empu Pulung Geni itu”

“Tentu tidak” jawab. Mahendra, “ia bergerak terlalu cepat dan tidak terduga”

“Ia sempat mengancamku” jawab Empu Nawamula.

“Aku mendengar. Pada suatu saat ia akan membunuh Empu” berkata Mahendra.

“Karena itu, aku harus selalu berhati-hati. Nampaknya ia tidak bermain-main atau asal saja berteriak. Ia membawa dendam yang tidak ada taranya” berkata Mahisa Bungalan.

Empu Nawamula memandang anak muda itu sambil berkata, “Kau juga luar biasa anak muda. Siapakah kau sebenarnya? Kau tentu bukan seorang cantrik dari padepokanku”

“Oh” Mahendra lah yang menyahut. Lalu, “Aku memang ingin memperkenalkan beberapa orang yang datang bersamaku ke tempat ini. Anak ini bernama Mahisa Bungalan. Salah seorang dari tiga orang anakku yang ada di sini”

“O, jadi anak ini saudara angger Mahisa Murti dan Mahisa Pukat” sahut Empu Nawamula.

“Ya. Kakaknya” jawab Mahendra.

Empu Nawamula pun menganggukkan kepalanya, sementara Mahisa Bungalan mengangguk pula dengan hormatnya. Sementara itu, Mahendra pun berkata, “Selain anakku itu, aku datang bersama saudara-saudaraku. Mahisa Agni dan Witantra. Keduanya adalah orang-orang yang namanya pernah dikenal di Kediri, sebagai orang yang mendapat kekuasaan pada masa kekuasaan Sri Rajasa di Singasari”

Empu Nawamula pun telah mengangguk hormat pula sebagaimana Mahisa Agni dan Witantra. Sementara itu, Empu itu pun berkata, “Kedatanganku ternyata telah sia-sia. Aku kira aku telah berjasa menyelamatkan para cantrik dari kekasaran dan kebuasan Empu Pulung Geni dan pengikutnya. Ternyata apa yang aku lakukan tidak berarti apa-apa. Bahkan seandainya aku tidak hadir disini, Empu Pulung Geni tentu sudah dapat dibinasakan”

“Jangan diulang lagi” sahut Mahendra, “Marilah. Kita akan berbicara di dalam padepokan ini. Padepokan yang sejak esok pagi sudah tidak akan berarti lagi”

“Aku mempersilahkan kalian singgah di padepokanku. Meskipun tidak terlalu dekat, tetapi agaknya akan lebih baik daripada kalian berada di sini. Selebihnya, akan menenangkan hatiku, karena jika datang pembalasan dari Empu Pulung Geni, maka aku akan dapat berlindung di antara kalian.

Mahendra tertawa. Katanya, “Jangan Empu kira, kami tidak melihat apa yang terjadi. Tetapi kita akan dapat berbicara lebih panjang. Sekali lagi kami mempersilahkan Empu untuk singgah”

Empu Nawamula tidak menolak. Ia pun kemudian bersama dengan Mahendra memasuki regol apa yang dinamakannya padepokan diikuti oleh orang-orang lain. Ternyata bahwa Empu Nawamula kagum juga melihat apa yang disebut padepokan itu. Meskipun sederhana, tetapi nampak bahwa barak-barak yang ada di dalamnya cukup bersih dan terpelihara.

Dalam pada itu, Widati yang ketakutan, hampir menangis ketika ia mengetahui bahwa pertempuran telah selesai. Bahwa isi apa yang disebut padepokan itu berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Bahkan menangkap sebagian besar diantara mereka. Rasa-rasanya ia telah terbebas dari tajamnya ujung duri yang sudah melekat di jantungnya.

“Bersukurlah anakku” berkata ayahnya.

Namun demikian Widati masih juga berkata, “Tetapi bagaimana kemudian ayah. Apakah mereka telah benar- benar dilumpuhkan, dan tidak akan dapat bangkit kembali?”

Pertanyaan itu ternyata telah mendebarkan jantung ayahnya pula. Tetapi ia masih juga menjawab untuk menenangkan anaknya, “Tetapi setidak-tidaknya kau sekarang terlepas dari penderitaan yang paling pahit dan bahkan maut”

Widati tidak menjawab.

Dalam pada itu. Empu Nawamula pun kemudian telah duduk bersama dengan Mahendra, Mahisa Agni dan Witantra, sementara beberapa orang telah mengambil kudanya yang disembunyikannya di belakang sebuah gerumbul. Bahkan para cantrik itu dapat pula menangkap beberapa ekor kuda yang ditinggalkan oleh para pengikut Empu Pulung Geni atau para pengikut yang tertangkap. Tidak banyak yang dibicarakan oleh orang-orang tua itu. Namun mereka kemudian sepakat untuk meninggalkan tempat itu dan memasuki padepokan Empu Nawamula.

“Bagaimana jika ia kembali” bertanya Mahisa Murti.

“Mudah-mudahan tidak segera” jawab Empu Nawamula, “sementara itu para cantrik sudah mendapatkan ilmu kanuragan yang memadai. Selama ini, kanuragan seolah-olah sekedar untuk mengisi waktu mereka yang terluang saja. Bukan satu ilmu yang dituntut dengan sungguh-sungguh. Tetapi agaknya sekarang telah terbukti, bahwa mereka memerlukan ilmu yang lebih baik”

Namun dalam pada itu, mereka tidak sempat untuk berbicara terlalu panjang. Mereka pun segera dituntut uatuk mengobati para cantrik yang terluka. Bagaimanapun juga, dalam benturan kekuatan telah jatuh beberapa orang korban. Bahkan ada di antara mereka yang dengan berat hati harus dilepaskan untuk selama-lamanya.

Hari itu, orang-orang dari apa yang mereka sebut padepokan kecil itu telah bekerja dengan keras. Bukan saja para cantrik dari padepokan Empu Nawamula, tetapi mereka pun harus mengobati para pengikut Empu Pulung Geni, yang dengan heran telah mengalami perawatan yang tidak berbeda dengan lawan-lawan mereka.

“Mereka tidak membunuh kita” desis salah seorang dari mereka.

Tetapi kawannya menjawab, “Ini adalah pembunuhan yang paling keji. Mereka mengobati luka-luka kita. Tetapi sesudah kita sembuh mereka akan memerlukan kita dengan sangat kejam”

Kawannya mengerutkan keningnya. Tetapi menilik sikap lawan mereka yang telah menawan mereka, agaknya mereka mempunyai sikap yang lain dari lingkungan mereka sehari-hari. Meskipun demikian, mereka masih belum berani membayangkan, apa yang sebenarnya akan terjadi atas diri mereka.

Dalam pada itu, di tempat lain, Mahisa Bungalan telah berbincang dengan orang-orang tua, termasuk Empu Nawamula. Sebagaimana ia berangkat mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka Mahisa Bungalan telah berniat untuk membawa orang-orang yang berhasil ditangkap itu ke Singasari, “Mereka akan mendapat perlakuan sewajarnya dan dari mereka akan dapat di tarik satu keterangan yang lebih luas tentang padepokan mereka.”

“Silahkan” berkata Empu Nawamula, “tetapi tentu tidak dengan tergesa-gesa. Aku masih ingin mempersilahkan kalian untuk singgah”

“Ayah dan kedua paman akan singgah bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat” jawab Mahisa Bungalan, “tetapi kami akan membawa mereka kembali ke Singasari”

“Kenapa begitu tergesa-gesa” bertanya Empu Nawamula.

“Atas dasar perhitunganku, maka dalam waktu singkat Empu Pulung Geni tentu belum akan bertindak lagi. Karena itu, maka kami akan merasa aman untuk membawa para tawanan ke Singasari”

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, Mahendra lah yang menyahut, “Bagaimanapun juga, aku. tidak dapat melepaskan kau sendiri membawa orang-orangnya Empu Pulung Geni, nampaknya seorang yang sangat licik. Mungkin ia akan muncul dengan tiba-tiba. Karena itu, biarlah aku ikut pergi ke Singasari. Biarlah kakang Mahisa Agni dan Witantra tinggal bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk sementara”

Ternyata Empu Nawamula tidak dapat mencegahnya. Karena itu, maka Mahendra telah memutuskan untuk kembali ke Singasari menyertai Mahisa Bungalan, karena bagaimanapun juga, ia tidak sampai hati melepaskan anaknya yang akan membawa para tawanan para pengikut Empu Pulung Geni. Jika empu Pulung Geni tiba-tiba saja mengganggu iring-iringan itu, meskipun hanya dengan beberapa pengikutnya yang tersisa, maka Mahisa Bungalan akan mengalami kesulitan, karena menurut pengamatannya. Empu Pulung Geni adalah seseorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Apabila dengan kekejamanan dan keliarannya. Maka Empu Pulung Geni benar-benar seorang yang sangat berbahaya.

Dengan demikian, maka Mahendra pun kemudian telah bersiap-siap bersamaan Mahisa Bungalan dan para prajurit Singasari. Mereka akan berangkat ke Singasari dengan membawa para tawanan. Hanya mereka yang terluka parah, akan tinggal dan akan dibawa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ke padepokan Empu Nawamula. Pada saatnya, prajurit Singasari akan mengambil mereka dan mereka akan dikumpulkan kembali dengan kawan-kawan mereka.

Karena itulah, maka di hari berikutnya, Mahisa Bungalan telah meninggalkan apa yang disebut padepokan itu mendahului orang-orang lain yang akan singgah kepadepokan Empu Nawamula. Dengan cermat Mahisa Bungalan telah mengatur para prajuritnya yang akan membawa para tawanan kembali ke Singasari. Berbeda dengan saat mereka berangkat, maka agar perjalanan mereka tidak mengalami gangguan dan menarik perhatian, karena mereka membawa tawanan, maka Mahisa Bungalan telah memerintahkan mereka untuk mengenakan tanda-tanda keprajuritan mereka.

Mahisa Bungalan sendiri telah mengenakan pakaian keprajuritannya dengan pertanda kebesaran pasukannya. Ia telah memasang kelebet pada sepucuk tombak yang dipakainya sebagai tunggal. Ia berharap bahwa dengan demikian, maka mereka tidak akan mendapat banyak gangguan. Adalah wajar bahwa sepasukan prajurit Singasari telah membawa sejumlah tawanan.

Mungkin iring-iringan itu akan bertemu dengan sepasukan pengawal dari sebuah pasukan. Tanpa mengenakan pakaian keprajuritan Singasari, maka akan dapat timbul masalah antara mereka dengan para pengawal dari Pakuwon yang mencurigai mereka karena mereka telah membawa sekelompok orang yang tertawan.

Demikianlah, maka Mahisa Bungalan pun kemudian telah minta diri kepada paman-pamannya, kepada adik-adiknya dan kepada Empu Nawamula. Namun sementara itu, maka iapun telah menyatakan akan kembali ke padepokan Empu Nawamula untuk mengambil sisa para tawanan yang terluka parah.

Ketika iring-iringan itu meninggalkan apa yang disebut sebagai padepokan itu, maka Widati telah mengeluh disisi ayahnya. Dengan suara dalam ia berkata, “Apa yang dapat aku lakukan ayah. Seorang perwira prajurit itu pun masih harus memperhitungkan kehadiran Empu Pulung Geni. Apalagi aku. Bahkan kita. Singatama dapat saja setiap saat datang kerumah kita. Adalah sangat mengerikan jika ia datang bersama dengan gurunya yang terlepas dari tangan Empu Nawamula, bahkan menurut pendengaranku, ia masih juga sempat mengancam”

Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti kecemasan anak gadisnya. Namun dalam pada itu, ia berkata, “Singatama belum mengetahui, dimanakah rumah kita”

Widati mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil mengangguk ia berkata, “Ya ayah. Singatama belum tahu, di manakah rumah kita. Meskipun demikian, rasa-rasanya aku ngeri juga untuk kembali”

Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Setelah merenung sejenak maka ia pun berkata, “Widati. Sebenarnya aku agak berkeberatan untuk mengatakan. Tetapi terdorong oleh satu keinginan untuk mencari perlindungan. Bagaimana pendapatmu jika untuk sementara kita ikut bersama dengan orang-orang yang tinggal ini pergi ke padepokan Empu Nawamula?”

Widati menundukkan wajahnya. Sebenarnya ia senang sekali melakukannya. Kecuali ia akan mendapatkan perlindungan untuk sementara, juga karena ia mengetahui, bahwa anak muda yang sebenarnya bernama Mahisa Murti itu akan pergi ke Padepokan itu juga.

“Bagaimana pendapatmu Widati” bertanya ayahnya. Widati masih saja menunduk. “Katakan pendapatmu Widati” desak ayahnya.

Dengan nada dalam Widati menjawab, “Segalanya terserah kepada pertimbangan ayah. Mana yang baik bagi ayah, akupun menganggapnya baik juga”

Ayahnya mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, maka biarlah kita pergi ke padepokan itu. Pada suatu saat yang baik, kita akan kembali ke Kabuyutan kita”

Widati tidak menjawab lagi. Namun jantungnya menjadi berdebar-debar.

Demikianlah, maka ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta Mahisa Agni dan Witantra merasa tidak berkeberatan untuk pergi ke padepokan Empu Mawamula, maka mereka pun telah mengambil satu keputusan, bahwa setelah mereka selesai berkemas dan memungkinkan untuk meninggalkan tempat itu bersama mereka yang terluka, maka mereka akan pergi ke padepokan Empu Nawamula.

Sebagaimana di harap oleh Ki Buyut, maka Empu Nawamula itu pun telah mempersilahkannya pula untuk singgah. Sehingga tanpa diulangi, Ki Buyut menjawab, “Terima Kasih Empu. Meskipun sebenarnya aku ingin sekali segera kembali ke Kabuyutan yang sudah terlalu lama aku tinggalkan, namun rasa-rasanya ada semacam kecemasan bahwa Singatama akan menemukan tempat tinggal kami. Meskipun Singatama dan gurunya sudah tidak mempunyai kekuatan lagi bagi kalian, tetapi bagi kami, mereka tetap hantu yang sangat menakutkan”

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti, betapa Ki Buyut itu akan dibayangi oleh ketakutan selama Singatama atau Empu Pulung Geni masih berkeliaran. Karena itu maka katanya, “Kita harus menemukan pemecahan Ki Buyut. Tetapi baiklah Ki Buyut dan anak perempuan Ki Buyut berada bersama kami di padepokan untuk satu dua hari. Mungkin kita akan menemukan satu pemecahan yang paling baik”

Demikianlah, maka pada saat-saat kemudian, orang- orang seisi apa yang disebut padepokan itu telah mengemasi diri. Mereka juga mengobati yang terluka sebaik-baiknya, agar dalam waktu yang dekat, mereka dapat bersama-sama menempuh perjalanan menuju ke padepokan Empu Nawamula. Padepokan yang benar-benar sudah berujud padepokan.

Tetapi bagaimanapun juga Empu Nawamula selalu ingat, bahwa padepokan itu bukan haknya. Yang seharusnya memiliki padepokan itu adalah Singatama. Namun ia tidak akan sampai hati melepaskan padepokan itu kepada pemiliknya, selama Singatama masih diliputi oleh pikiran-pikirannya yang gelap.

“Mudah-mudahan pengalamannya kali ini akan berarti bagi hidupnya. Ia akan melihat, bahwa seseorang tidak akan dapat memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Karena di dunia ini ada kekuatan yang merasa wajib menghalangi tindakan sewenang wenang seperti itu” berkata Empu Nawamula di dalam hatinya.

Selama orang-orang seisi padepokan itu berkemas, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat menghubungi orang-orang padukuhan terdekat sebagaimana selalu dilakukannya. Ternyata bahwa orang-orang dipadukuhan itu pun menaruh perhatian atas peristiwa yang baru saja terjadi atas padepokan yang baru saja dibuka itu.

“Kami memperhatikan dari jauh apa yang telah terjadi” berkata salah seorang dari orang-orang padukuhan terdekat, “kami melihat sekelompok orang yang kemudian telah berkelahi dengan para penghuni padepokan itu”

“Ya” jawab Mahisa Murti, “mereka ingin merampas hak dan wewenang kami”

“Tetapi bukankah tidak terjadi sesuatu atas kalian” bertanya yang lain.

“Kami bersyukur, bahwa kami semuanya berhasil mengusir mereka. Meskipun demikian ada juga kawan-kawan kami yang terluka. Bahkan ada diantara kami yang menjadi sangat parah. Mudah-mudahan dengan segala usaha, mereka akan dapat tertolong dan dapat tetap bersama kami” sahut Mahisa Pukat.

“Tetapi kami lihat, sebagian dari kalian telah meninggalkan padepokan. Bahkan kami melihat satu pertanda dari satu lingkungan yang resmi, karena kami melihat kelebet pada tunggul yang dibawa oleh kawan-kawan kalian yang mendahului kalian” bertanya seorang yang sudah berambut putih, yang nampaknya memiliki pengalaman yang lebih banyak dari kawan-kawan mereka.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun akhirnya Mahisa Murti berkata, “Mereka membawa lawan-lawan kami yang tertangkap untuk menghadap para pemimpin keprajuritan di Singasari”

“Singasari” orang berambut putih itu berdesis, “apakah mereka prajurit Singasari?”

“Ya” jawab Mahisa Murti.

Orang berambut putih itu mengangguk-angguk. Di antara bibirnya terdengar ia bergumam, “Sukurlah. Kalian telah tertolong”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Agaknya orang berambut putih itu memiliki satu pengalamanan yang lebih luas dari tetangga-tetangganya, sehingga ia mengenali pertanda keprajuritan yang dibawa oleh Mahisa Bungalan.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengatakan pula kepada para penghuni padukuhan itu, bahwa pada satu saat yang pendek, apa yang disebutnya sebagai padepokan itu akan ditinggalkannya.

“Apakah kalian akan membuat padepokan yang lebih baik” bertanya salah seorang penghuni padukuhan itu.

“Ternyata seorang Empu yang baik telah memberikan kesempatan kepada kita untuk tinggal di padepokannya” jawab Mahisa Murti.

“Sukurlah. Kalian akan mendapat tempat yang lebih baik dari yang kalian huni sekarang ini” berkata yang lain.

Namun dalam pada itu, salah seorang dari mereka bertanya, “Lalu, apakah padepokan kalian itu akan kalian bongkar?”

Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Tidak. Justru kami ingin menyerahkan apa yang kami sebut padepokan itu kepada kalian. Terserah, apakah padepokan itu akan kalian pergunakan untuk apa? Mungkin untuk satu lingkungan peternakan, atau untuk kepentingan apapun juga”

“Oh” orang-orang padukuhan itu mengangguk-angguk. Dalam pada itu orang berambut putih itu berkata, “Terima kasih Ki Sanak. Kami akan menerima dengan senang hati. Ada satu hal yang barangkali dapat kami lakukan dengan apa yang pernah kalian sebut sebagai padepokan itu”

“Terserahlah kepada kalian” berkata Mahisa Pukat pula, “jika kami harus meninggalkannya, maka apa yang pernah kami anggap sebagai padepokan itu, tidak akan menjadi sia-sia”

Ternyata bahwa orang-orang padukuhan itu merasa berterima kasih juga kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Barak-barak di lingkungan apa yang disebutnya padepokan itu akan dapat dimanfaatkan oleh mereka.

Dalam pada itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih beberapa hari tinggal di padepokan mereka. Sementara itu mereka yang terluka parah pun menjadi berangsur baik. Tetapi ternyata bahwa ada diantara mereka, baik dari pihak kawan-kawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maupun diantara para pengikut Empu Pulung Geni yang tidak lagi dapat tertolong jiwanya. Karena itu, dengan hati yang sangat berat, para cantrik dari padepokan Empu Nawamula harus melepaskan kawan-kawan mereka untuk selama-lamanya.

Demikianlah, ketika saatnya tiba, maka seisi padepokan kecil itu telah siap untuk meninggalkan tempat itu. Mereka akan menempuh satu perjalanan yang cukup panjang, menuju ke sebuah padepokan yang pernah menjadi landasan langkah yang menentukan bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi perjalanan yang panjang itu merupakan satu langkah untuk menuju ke satu masa yang diharapkan akan menjadi lebih baik baik para cantrik yang akan kembali ke padepokan mereka semula.

Ternyata bahwa perjalanan itu sama sekali tidak mengalami hambatan. Meskipun para cantrik itu tetap bersiaga, karena Empu Pulung Geni yang terlepas dari tangkapan Empu Nawamula, bahkan yang sempat mengancamnya pula, akan dapat muncul setiap saat.

Dengan pasti iring-iringan itu mendekati padepokan yang untuk sementara dipimpin oleh Empu Nawamula. Meskipun mereka ternyata terhalang oleh gelapnya malam yang turun, namun iring-iringan itu sama sekali tidak berhenti untuk bermalam di perjalanan. Jika mereka harus berhenti, adalah sekedar untuk beristirahat. Tetapi mereka bertekad untuk mencapai tujuan.

Widati mengalami kelelahan yang membuat seluruh tubuhnya terasa sakit. Tetapi ia tidak mengeluh. Ia tidak mau menjadi hambatan yang dapat dipersalahkan apabila terjadi sesuatu di perjalanan mereka.

Ternyata bahwa mereka memasuki regol padepokan Empu Nawamula sebelum tengah malam. Perjalanan yang terhitung tidak terlampau cepat itu mereka selesaikan dengan hati yang lega. Seolah-olah mereka telah terlepas dari satu ancaman yang dapat mengganggu mereka setiap saat di perjalanan.

“Marilah” berkata Empu Nawamula, “inilah padepokan yang untuk sementara harus aku pimpin. Padepokan yang sebenarnya harus diwarisi oleh Singatama”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki regol itu dengan hati yang gelisah. Rasa-rasanya ada sesuatu yang membuat mereka menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka tidak melihat kelainan yang nampak pada saat-saat mereka memasuki regol, namun padepokan yang lenggang itu rasa-rasanya telah mencekam jantungnya.

Tetapi memang ada yang menarik perhatian. Pendapapa depokan itu masih diterangi oleh lampu minyak sebagaimana jika pendapa itu sedang dilangsungkan satu pertemuan atau jika ada tamu yang mengunjungi padepokan itu. Namun adalah menjadi kebiasaan, bahwa di malam hari yang telah larut, lampu itu akan dikecilkan.

“Apa ada seseorang yang mengunjungi padepokan ini” bertanya Empu Nawamula di dalam hatinya.

Dalam pada itu, ternyata bahwa satu diantara murid Empu Nawamula yang nampaknya mendapat giliran berjaga-jaga, telah melihat kehadiran iring-iringan itu. sehingga iapun telah menyosongnya. “Empu” desis orang itu.

“Ya, aku dan para cantrik” jawab Empu Nawamula.

“Silahkan Empu” berkata murid itu sambil menerima kendali kuda Empu Nawamula.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mendekatinya sambil bertanya, “Bukankah kalian dalam keadaan baik di padepokan ini?”

“Ya anak muda” jawab murid Empu Nawamula itu, “kami dalam keadaan baik. Justru kami mencemaskan keadaan kalian. Ternyata kalian telah kembali dengan selamat”

“Tetapi ada yang terpaksa kami lepaskan untuk selamanya” jawab Mahisa Pukat.

Murid Empu Nawamula itu memandangi gurunya dengan tajamnya. Sementara Empu Nawamula mengangguk sambil berdesis, “Kami tidak kuasa berbuat apapun juga atas takdir yang telah memungut mereka”

Murid empu Nawamula itu mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian terdengar suaranya lirih, “Memang ada seorang tamu di padepokan ini Empu”

“Siapa” bertanya Empu Nawamula.

“Singatama” jawab murid Empu Nawamula itu. Semua orang yang mendengar jawab itu terkejut. Mahisa Pukat telah terloncat mendekat sambil mengulang, “Singatama?”

“Ya anak muda. Ia datang seorang diri ke padepokan ini” jawab murid Empu Nawamula itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berpaling kearah Mahisa Agni dan Witantra, sementara Widati bergeser mendekati ayahnya dengan jantung yang berdebaran.

“Untuk apa ia datang kemari” bertanya Empu Nawamula.

“Empu dapat bertanya sendiri” jawab muridnya itu, “ia ada di dalam bilik di rumah induk. Aku tidak tahu. apakah ia sudah tidur atau belum”

Empu Nawamula memandang pendapa padepokan yang kosong itu. Namun ia tahu, bahwa di salah satu bilik di rumah induk itu terdapat seorang anak muda yang bernama Singatama. Sementara Empu Nawamula termangu-mangu, maka pintu pringgitan di belakang pendapa itupun terbuka. Seorang anak muda melangkah keluar perlahan-lahan. Singatama.

“Gila” geram Empu Nawamula, “apakah ia memang ingin membunuh diri?”

Empu Nawamula tiba-tiba saja telah melangkah dengan tergesa-gesa mendekati kemanakannya. Wajahnya menjadi tegang, dan sorot matanya memancarkan gejolak perasaannya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mengikutinya dan membiarkan kudanya di halaman. Namun seorang cantrik kemudian telah menarik kendali kuda itu dan mengikatnya pada patok-patok yang terdapat dihalaman. Demikian pula Mahisa Agni dan Witantra pun telah mengikat kuda-kuda mereka. Sementara itu, para cantrik menjadi sibuk. Sebagian mengikat kuda-kuda mereka, sedang yang lain mengawasi para tawanan dan membantu kawan-kawan mereka yang terluka.

Sesaat kemudian suasana dicengkam oleh ketegangan. Ketika Empu Nawamula sampai ke tangga pendapa, maka ia pun naik dengan wajah yang semakin tegang. “Kenapa kau berada disini Singatama” bertanya Empu Nawamula.

Singatama menundukkan kepalanya. Namun kemudian katanya, “Paman, aku persilahkan paman duduk sejenak. Aku akan mengatakan sesuatu yang barangkali memerlukan waktu untuk dicernakan”

Empu Nawamula menjadi ragu-ragu. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di pendapa pula.

“Mungkin keteranganku agak panjang paman” berkata Singatama.

Bagaimanapun juga, Singatama adalah kemanakannya. Apalagi agaknya Singatama tidak akan dapat berbuat curang karena kekuatannya sudah dihancurkan. Meskipun demikian Empu Nawamula itu berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Biarlah para cantrik itu berjaga-jaga”

“Aku tidak akan berbuat sesuatu paman” berkata Singatama yang agaknya mengetahui perasaan Empu Nawamula.

Empu Nawamula tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian duduk di atas tikar yang sudah terhampar, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memperingatkan kepada para cantrik untuk berhati-hati.

“Amati para tawanan sebaik-baiknya” berkata Mahisa Murti.

“Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Keadaan tubuh mereka belum memungkinkan” desis Witantra.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga, mereka memang tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa pengamatan.

Dalam pada itu, Empu Nawamula yang duduk di pendapa bersama Singatama telah bertanya, “Apa yang akan kau katakan?”

Singatama menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Aku menyesal paman. Ternyata bahwa karena sikapku, maka hal yang tidak perlu itu telah terjadi. Bahkan mengakibatkan beberapa orang korban jatuh dari kedua belah pihak”

Empu Nawamula mengerutkan keningnya. Sementara Singatama berkata selanjutnya, “Yang terjadi itu benar-benar telah menyentuh perasaanku. Seolah-olah hatiku menjadi terbuka, sehingga aku dapat melihat tembus ke masa laluku”

“Apa yang kau lihat” bertanya Empu Nawamula.

“Kegelapan” jawab Singatama, “aku sangat menyesal. Tetapi apakah masih ada kesempatan untuk memperbaiki ketelanjuran itu”

Empu Nawamula tidak menjawab. Dipandanginya kemanakannya seolah-olah ingin melihat sampai ke dasar jantung.

Namun dalam pada itu, tidak jauh dari padepokan itu, Empu Pulung Geni duduk di atas sebuah batu di dalam bayangan kelam sambil berkata di dalam hatinya, “Mudah-mudahan Singatama berhasil mengelabui hati pamannya. Dengan itu tidak boleh membakar jantungku sendiri. Aku harus mendapat kesempatan untuk membunuhnya, kapan saja”

Gejolak perasaan Empu Pulung Geni rasa-rasanya tidak dapat dikendalikan lagi. Tetapi Empu Pulung Geni sadar, bahwa ia harus mempergunakan nalarnya sebaik-baiknya. Dengan memperalat Singatama ia sudah membuat perhitungan yang mapan, bahwa Empu Nawamula harus dibunuhnya.

“Jangan kau racuni dengan cara apapun” pesan Empu Pulung Geni kepada Singatama, “aku sendiri harus dapat menghunjamkan pedangku ke jantungnya selagi jantungnya masih berdetak. Dengan demikian, maka tuah luwukku itu akan bertambah-tambah. Darah seorang yang memiliki ilmu yang setinggi ilmu Empu Nawamula, akan sangat berarti bagiku”

Dengan pesan itulah, Singatama memasuki padepokannya yang untuk sementara masih dipimpin oleh pamannya, Empu Nawamula. Sementara itu, Singatama masih duduk dengan kepala tunduk. Ternyata ia telah memainkan peranannya dengan baik sekali, sehingga akhirnya Empu Nawamula berkata “Aku akan melihat Singatama. Apakah yang kau katakan itu benar-benar memancar dari ketulusan hatimu”

“Aku tidak mempunyai kemampuan untuk mengatakannya paman” berkata Singatama kemudian, “tetapi aku berharap paman masih mempunyai sisa kepercayaan kepadaku”

“Baiktah” Empu Nawamula mengangguk-angguk, “aku sekarang datang bersama para cantrik. Kau harus dapat menyesuaikan dirimu, sehingga kau akan merasa satu dengan mereka. Jika masih ada tanda-tanda bahwa kau belum dapat melepaskan diri dari pengaruh ilmu hitammu, maka aku akan mengambil satu jalan yang paling baik. Jika kau benar-benar menghendaki dirimu terlepas dari cengkeraman ilmu terkutuk itu, maka aku akan menolongmu”

Singatama mengerutkan keningnya. Meskipun ia tidak benar-benar ingin melepaskan diri dari pengaruh gurunya, namun ia bertanya, “Apakah paman dapat berbuat demikian?”

“Tentu” jawab pamannya.

“Caranya” bertanya Singatama.

Empu Nawamula termangu-mangu. Tetapi nampaknya Singatama benar-benar tertarik kepada rencananya. Karena itu, maka iapun menjawab, “Aku dapat mengosongkan dirimu. Tetapi dengan demikian kau akan benar-benar menjadi kosong. Kau kehilangan semua kemampuanmu”

“Dan aku sama sekali menjadi orang yang tidak berarti?” bertanya Singatama.

“Untuk sementara” jawab Empu Nawamula, “karena sesudah itu, semisal sebuah jambangan yang kosong, maka jambangan itu akan dapat diisi dengan air yang baru. Menurut keinginan. Yang jernih atau justru yang lebih kotor”

Singatama mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi dengan demikian aku memerlukan waktu yang lama untuk dapat memulihkan kemampuanku”

Empu Nawamula mengangguk. Jawabnya, “Itu adalah satu ujian bagi kesungguhan hatimu. Kau memang memerlukan waktu dua atau tiga tahun untuk mempelajari dasar-dasar olah kanuragan yang baru. Tetapi tata gerak dasarnya memang tidak akan banyak berbeda. Yang lain adalah watak dan sifat gerak serta landasan ilmu itu sendiri sehingga kemampuan cadangan yang muncul di dalam diri kita mempunyai warna yang berbeda pula”

Singatama menganguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, seolah-olah memang memancar dari dasar jiwanya, “Paman. Seandainya aku tetap memilih ilmuku yang sekarang, tetapi aku sudah berjanji untuk melakukan hal-hal yang baik, apakah tidak akan sama saja artinya?”

“Memang agak berbeda Singatama” jawab pamannya, “meskipun kau mendasari tingkah lakumu kemudian dengan maksud baik, tetapi cara yang kau pergunakan masih saja caramu sekarang, mungkin sekali akan dapat berakibat sebaliknya. Untuk mencapai satu tujuan yang baik dengan mempergunakan segala cara, termasuk cara yang tidak baik, atau mempergunakan ilmu yang mempunyai watak dan sifat tidak baik, maka akibatnyapun akan dapat sebaliknya dari yang dikehendaki”

Singatama mengangguk-angguk. Namun katanya, “Baiklah paman. Aku akan memikirkannya. Tetapi yang sudah aku mulai adalah satu penyesalan. Mungkin aku akan mendapatkan satu cara. yang dapat merubah, bukan saja sifat dan watakku, tetapi juga sifat dan watak ilmuku”

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan melihat, apakah kau berhasil menaklukkan dirimu sendiri atau apakah lebih sulit menguasai dirinya sendiri daripada menguasai orang lain” Empu Nawamula berhenti sejenak, lalu, “Para cantrik sekarang telah kembali ke padepokan ini. Kau akan mendapatkan kawan-kawanmu kembali dengan sifatmu yang baru.”

“Aku tidak akan menempatkanmu di antara mereka dalam ujud lahiriah, karena sebenarnya kaulah yang memiliki padepokan ini. Tetapi secara batiniah, kau harus satu dengan para cantrik”

“Paman” berkata Singatama, “secara lahiriahpun, aku akan menyesuaikan diri dan menyatu dengan mereka. Aku akan tidur bersama mereka dan aku akan bekerja sebagaimana mereka bekerja”

Empu Nawamula memandangi kemanakannya sejenak. Lalu katanya, “Sukurlah. Baiklah, pergilah kepada mereka dan nyatakan dirimu sebagaimana kau kehendaki. Mereka masih berada di halaman untuk mendapatkan kepastian sikapmu”

Empu Nawamula pun kemudian mengajak Singatama berdiri di tangga pendapa. Dengan lantang ia berbicara kepada para cantrik, “Anak-anakku, para cantrik. Kau tentu masih menunggu, untuk mengetahui maksud kedatangan Singatama di padepokan ini. Kalian tentu mencurigainya dan bahkan mungkin ada yang mendendamnya. Baru saja kalian bertempur melawan Singatama dan kawan-kawannya beberapa saat lalu”

Para cantrik itu pun saling berpandangan. Mahesa Murti dan Mahisa Pukat merasa heran juga mendengar kata-kata Empu Nawamula, sementara Mahisa Agni dan Witantra mendengarkan keterangan itu dengan berdebar-debar.

Dalam pada itu. Empu Nawamula melanjutkan, “Para cantrik sebaiknya kalian mendengar sendiri, apa yang akan dikatakan oleh Singatama, sebagaimana dikatakan kepadaku”

Singatama mengerutkan keningnya. Kemudian iapun berdesis, “Biarlah paman saja yang mengatakannya”

“Katakanlah sendiri. Mereka akan mendengar langsung isi hatimu. Mereka akan menjadi saksi, apakah kau benar-benar mungucapkan kata-kata sebagaimana kau ucapkan di dalam hatimu itu” berkata Empu Nawamula Singatama termangu-mangu. Namun ia pun kemudian berdiri di tangga pendapa itu sambil memandangi para cantrik yang berdiri dalam keremangan malam.

Ternyata ada juga keragu-raguan dihati Singatama. Para cantrik itu akan menjadi saksi, apakah yang dikatakan itu benar-benar sebagaimana kata nuraninya. Justru karena Singatama sendiri menyadari, bahwa yang akan dikatakan itu justru bertentangan dengan kata hatinya yang sebenarnya, maka rasa-rasanya setiap pasang mata para cantrik itu menghujam langsung memandang ke arah jantungnya.

Namun dalam pada itu, perlahan-lahan Singatama berhasil mengatasi gejolak di dadanya. Dengan ragu-ragu ia mulai berkata, “Para cantrik. Aku mohon, kalian masih bersedia mendengarkan kata-kataku”

Tidak seorangpun yang bergerak. Seolah-olah semua telah membeku. Sementara itu Singatama melanjutkannya, “Telah aku katakan kepada paman Nawamula, bahwa aku berusaha untuk memandang satu kenyataan yang tidak dapat aku ingkari lagi”

Para cantrik mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh Singatama dengan jantung yang berdebar-debar. Sesaat kemudian, maka Singatama pun mulai mengatakan maksudnya, sebagimana dikatakannya kepada pamannya. Dengan nada yang meyakinkan, Singatama minta maaf kepada para cantrik dan berniat untuk hidup diantara mereka.

Ternyata bahwa Singatama bukan saja seorang yang garang dan bengis serta mementingkan dirinya sendiri. Ia pun mampu untuk membuat dirinya memelas dan beriba- iba. Sehingga dengan demikian, maka ia telah berhasil menyentuh hati para cantrik padepokan Empu Nawamula.

Namun dalam pada itu. Empu Nawamula Kemudian berkata, “Marilah, kita terima Singatama. Tetapi dengan sikap yang tidak mutlak. Maksudku, kita akan melihat, apakah ia benar-benar dapat dipercaya. Baru setelah kita yakin, maka kita akan menganggapnya sebagai seseorang yang memang pantas untuk memimpin padepokan ini, yang memang sebenarnya adalah haknya”

Para cantrik itu pun mengangguk-angguk. Sama sekali tidak terkilas di dalam angan-angan mereka, kepalsuan yang tersimpan di balik wajah Singatama yang memelas itu, yang seolah-olah telah menjadi putus asa dan kehilangan segala harapan untuk meneruskan sikapnya. Apalagi nampaknya Empu Nawamula pun mempercayainya, sehingga meskipun masih juga dengan sikap hati-hati, namun Empu Nawamula telah menerimanya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Empu Nawamula itupun berkata, “Baiklah. Kita semuanya memang letih sekarang ini. Karena itu, kembalilah ke tempat kalian semula. Kalian tentu masih dapat mengenali bilik dan barak kalian masing-masing. Kecuali beberapa orang yang kami anggap sebagai tamu”

Widati menjadi bardebar-debar. Agaknya Singatama belum melihatnya, karena ia berdiri di belakang ayahnya yang memang berada di dalam kegelapan. Namun dalam pada itu, Witantra pun berbisik di telinga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Bukahkan kau pernah berada di padepokan ini pula?”

“Ya paman” jawab Mahisa Murti.

“Kau sudah mempunyai tempat disini” bertanya Witantra pula.

“Sudah paman” jawab Mahisa Murti selanjutnya.

“Bawa kami ke bilik kalian. Biarlah kami tinggal bersama kalian saja” desis Mahisa Agni yang agaknya mengerti maksud Witantra.

Namun dalam pada itu. Mahisa Murti bertanya, “Tetapi bagaimana dengan Ki Buyut dan anak gadisnya?”

Witantra pun termangu-mangu. Pertanyaan itu tidak akan dapat dijawabnya. Tetapi sementara itu Empu Nawamula pun berkata, “Ada beberapa orang tamu yang kita terima sekarang ini. Di antaranya adalah Ki Buyut bersama anak gadisnya”

“Oh” Widati berpegangan baju ayahnya.

“Jangan takut Widati” berkata ayahnya, “segalanya masih akan dapat di atasi. Di sini ada dua orang anak muda yang nampaknya tidak terlalu mementingkan diri sendiri”

Widati mengerutkan keningnya. Ia masih ingat, bagaimana ayahnya melarangnya bergaul terlalu dekat dengan anak-anak muda yang belum diketahui lebih jauh lagi tentang sifat-sifatnya itu.

Singatama yang mendengar keterangan pamannya itu terkejut. Hanya ada seorang gadis yang diketahuinya berada di dalam apa yang disebut padepokan kecil itu. Gadis itu adalah Widati. Jika yang dimaksud gadis anak Ki Buyut itu adalah Widati, maka hal itu akan dapat merupakan satu masalah baru baginya, karena ia sama sekali tidak menyangka, bahwa gadis itu akan ikut pula ke padepokan Empu Nawamula itu.

Namun dalam pada itu, bagaimanapun juga Singatama masih berusaha untuk menguasai dirinya sendiri sebaik-baiknya. Betapapun jantungnya bergejolak, tetapi ia berusaha untuk tidak memberikan kesan yang demikian. Karena itu, ia sama sekali tidak menyahut. Bahkan ia berkata kepada pamannya tentang dirinya sendiri, seolah-olah tidak menghiraukan bahwa pamannya telah menyebut seorang gadis, “Paman, apakah aku boleh tetap berada di bilik di ruang dalam, atau aku harus berada di tempat lain?”

“Kau tetap berada disitu” berkata pamannya, “biarlah tamu-tamu kita berada di rumah sebelah”

Singatama mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa ia sudah dapat mengatasi gejolak perasaannya yang paling berat.

Dalam pada itu, para cantrik pun telah pergi ke bilik masing-masing, setelah mereka menempatkan kuda-kuda mereka di kandang, yang sebagian adalah kuda-kuda yang dapat mereka rampas dari kawan-kawan Singatama. Sementara beberapa orang yang bertugas, telah menempatkan para tawanan di tempat yang dengan tergesa-gesa disiapkan.

Mahisa Agni dan Witantra pun kemudian telah bersiap untuk mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ke dalam biliknya. Sementara Ki Buyut dan anak gadisnya telah dipersilahkan untuk berada di rumah sebelah. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tiba-tiba saja telah berpikir lain. Jika kedua pamannya itupun dapat dianggap tamu dan berada di rumah sebelah, maka keadaan Widati tentu akan menjadi lebih baik. Karena itu, maka ketika Empu Nawamula mempersilahkan mereka juga pergi kerumah sebelah, maka mereka pun tidak membantahnya.

Meskipun demikian, Mahisa Agni dan Witantra masih tetap dalam sikapnya yang sederhana. Bahkan Empu Nawamula sendiri belum dapat menjajagi, betapa tinggi sebenarnya ilmu kedua orang itu. Meskipun ia sudah mendengar beberapa hal tentang Mahisa Agni dan Witantra, namun dalam pertempuran yang baru saja terjadi, kedua orang itu sama sekali tidak menunjukkan satu kelebihan.

Namun di dalam hati Empu Nawamula itu pun berkata, “Juga Mahendra telah membaurkan diri dengan para cantrik yang para prajurit kebanyakan, sehingga aku tidak segera mengenalinya”

Bahkan dalam pada itu, Singatama memang agak kurang memperhatikan kehadiran kedua orang tamu itu. Menurut anggapan Singatama, maka keduanya dihormati, karena usia mereka yang tua, sebagaimana Ki Buyut yang hadir bersama anaknya. Meskipun Singatama pun kemudian mengetahui, bahkan kedua orang tua itu adalah paman Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Bahwa pamannya telah dapat menerimanya untuk tinggal bersamanya di padepokan itu, maka Singatama merasa tugasnya yang pertama telah dapat diselesaikannya dengan sebaik-baiknya. Sedang tugasnya yang berikut adalah mencari kesempatan untuk mempersilahkan gurunya dengan diam-diam memasuki padepokan itu dan membunuh dengan tangannya sendiri Empu Nawamula. Agaknya Empu Pulung Geni yang mendendam itu tidak lagi memilih cara yang baik dan jantan untuk menghadapi Empu Nawamula.

Sementara itu, Empu Pulung Geni masih saja berkeliaran di sekitar padepokan itu. Ia harus dapat meyakinkan diri, bahwa Singatama telah dapat diterima kembali oleh pamannya, dan bukan sebaliknya, bahwa Singatama mendapat bencana. Satu dua pengikutnya yang lepas dari tangan Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan para cantrik telah diperintahkannya untuk kembali ke padepokan dan mempersiapkan sisa orang yang ada untuk kerja berikutnya yang akan diberitahukan kemudian.

Ternyata bahwa di hari pertama, Singatama belum berhasil memberikan penjelasan kepada gurunya, karena ia masih merasa sulit untuk keluar dari padepokan. Tetapi ia sudah memberikan satu isyarat sebagaimana telah disepakati. Singatama telah meletakkan tiga buah batu di sisi kanan regol, berjajar.

Ketika pada malam hari yang gelap. Empu Pulung Geni lewat di jalan yang menjelujur di depan regol padepokan itu dengan sangat hati-hati, maka ia melihat isyarat itu. Meskipun ia belum dapat bertemu dan berbicara dengan Singatama, namun ia sudah dapat mengetahui bahwa Singatama telah berhasil.

“Sampai kapan aku harus menunggu” geram Empu Pulung Geni. Tetapi iapun menyadari, bahwa Singatama harus berhati-hati. Anak muda itu harus mendapatkan kesempatan yang sebaik-baiknya untuk melakukan kewajiban yang berat. Bukan saja di dalam langkah-langkah kewadagan untuk mengatur Empu Pulung Geni dapat memasuki bilik Empu Nawamula di malam hari, kemudian membangunkannya tetapi tidak memberinya kesempatan untuk melawan, sehingga dengan demikian Empu Nawamula dapat dibunuh dengan menyadari sepenuhnya bahwa pembunuhnya adalah Empu Pulung Geni. Tetapi Singatama harus berjuang untuk menindas perasaan segannya terhadap orang yang bernama Empu Nawamula itu, karena orang itu adalah pamannya sendiri.

“Aku yakin, Singatama akan dapat melakukannya” berkata Empu Pulung Geni kepada diri sendiri, “pekerjaan ini sebenarnya bukan satu kewajiban yang langsung berkaitan dengan kewajibanku. Tetapi aku harus melakukannya. Harga diriku telah dihancurkan oleh Empu Nawamula dan cantrik-cantriknya”

Karena itulah, maka ia telah berhasil mengekang diri. Menunggu sampai saatnya Singatama memberikan jalan baginya untuk dengan diam-diam memasuki bilik Empu Nawamula.

Dalam pada itu, Widati benar-benar merasa tersiksa untuk tinggal di padepokan itu. Tetapi sebagaimana dikatakan oleh ayahnya, kembali ke rumahnya pun sangat berbahaya. Mungkin Singatama benar-benar belum mengetahui rumah itu. Tetapi jika dugaan itu salah dan Singatama datang kepadanya, maka itu berarti malapetaka. Karena itu. maka untuk beberapa saat lamanya. Widati harus menekan perasaannya, karena ia masih harus tinggal di padepokan itu.

Sebenarnyalah, kehadiran Widati di padepokan itu telah menyiksa Singatama pula. Hampir saja ia tidak dapat menahan diri. Namun ketika ia menyadari, bahwa ia mendapat tugas dari gurunya dan sekaligus merasa bahwa dirinya terlalu kecil di hadapan Empu Nawamula. maka ia pun selalu berusaha untuk dapat mengendalikan dirinya.

Namun pada saat-saat tertentu. Singatama berusaha untuk berjalan lewat halaman depan rumah yang diperuntukkan bagi Widati, dengan harapan untuk dapat melihatnya barang sekilas. Tetapi ternyata bahwa Widati tidak pernah dijumpai berada di serambi depan maupun serambi samping. Sehingga dengan demikian, maka Singatama selalu menjadi kecewa. Namun bagaimanapun juga. Singatama berusaha untuk menahan perasaan kecewanya.

Dalam pada itu, dengan dorongan keinginan yang kuat untuk memenuhi perintah gurunya. Singatama selalu berusaha untuk bersikap baik. Tidak pernah ia memperlakukan para cantrik dengan kasar. Bahkan ia telah berada dalam satu lingkungan sikap dengan para cantrik. Singatama bekerja sebagaimana para cantrik bekerja. Dengan demikian, maka kepercayaan terhadap Singatama pun semakin lama menjadi semakin besar.

Empu Nawamula sendiri telah memberinya tugas yang semakin besar di antara para cantrik Apalagi Empu Nawamula masih tetap menganggap, bahwa Singatama memang berhak atas padepokan itu apabila saatnya dianggap tepat.

Dalam keadaan yang demikian itu. Ki Buyut yang melihat anak gadisnya selalu diliputi oleh kemurungan dan kecemasan, pada satu malam telah berbincang dengan Mahisa Agni dan Witantra. apakah yang sebaiknya dilakukannya.

“Apakah aku harus membawanya pulang?” bertanya Ki Buyut.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan ragu ia menjawab, “Bagaimana pendapat Ki Buyut tentang Singatama?”

“Aku jarang menemuinya. Tetapi menilik sikap Empu Nawamula, agaknya ada kemajuan berpikir pada anak itu. Agaknya ia benar-benar ingin memperbaiki hidupnya” jawab Ki Buyut.

“Aku juga menduga demikian” desis Witantra, “agaknya ia benar-benar telah menyesal”

“Bagaimana pendapat Ki Sanak, jika aku mengajak anakku pulang?” bertanya Ki Buyut "aku mempunyai beberapa pertimbangan. Pertama. Singatama agaknya belum pernah melihat rumahku. Kedua, ia sudah menyadari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya sebelumnya”

“Dalam waktu dekat ini?” bertanya Mahisa Agni.

“Bagaimana menurut pendapat Ki Sanak?” bertanya Ki Buyut.

Mahisa Agni termangu-mangu. Namun kemudian katanya. “Menurut penglihatanku, memang terdapat perubahan pada anak muda itu. Tetapi aku ingin menyarankan, agar Ki Buyut masih tetap berada di padepokan ini untuk beberapa hari. Jika kita sudah yakin benar, maka kita akan dapat menentukan sikap dengan mantap dan dengan hati yang tenang”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Kecemasan memang masih ada terselip di hatinya. Persoalan Singatama bukan persoalan yang dapat di tentukan oleh sikapnya satu dua hari saja. Meskipun nampaknya anak muda itu sudah menjadi jinak, tetapi pengaruh perasaan seorang anak muda terhadap seorang gadis kadang-kadang membuat seseorang tidak dapat dimengerti. Bahkan kadang-kadang seseorang telah melakukan sesuatu yang menurut pertimbangan nalar tidak akan pernah dilakukan.

Karena itu maka katanya, “Baiklah Ki Sanak. Aku akan tinggal di padepokan ini beberapa hari lagi. Meskipun aku sadar, bahwa orang-orang di Kabuyutanku tentu sedang menunggu aku, tetapi kecemasan itu agaknya telah mencegahku untuk tergesa-gesa kembali ke Kabuyutanku, betapapun Kabuyutanku menunggu kedatanganku”

Mahisa Agni dan Witantra menyadari betapa beratnya hati orang tua itu. Ia merasa bertanggung jawab atas satu wilayah yang ditinggalkannya. Tetapi ia tidak ingin membiarkan anaknya menemui kesulitan yang parah.

Dalam pada itu. Selagi Ki Buyut, Mahisa Agni dan Witantra sedang berbincang, ternyata sebuah bayangan telah melintas dengan cepat di kebun belakang padepokan itu. Ketika bayangan itu mencapai dinding padepokan, maka dengan ringannya bayangan itu meloncat naik dan kemudian turun di bagian luar dari padepokan.

Demikian bayangan itu hilang dibalik dinding, maka telah terdengar suara burung hantu berkumandang memecah kesepian malam. Namun suara burung itu bagaikan hanyut oleh angin malam yang sejuk, hilang tanpa gema. Yang kemudian terdengar adalah desir angin itu sendiri. Di luar dinding, bayangan itu tercenung membeku. Namun kemudian bayangan itu melintas diantara gerumbul-gerumbul perdu di luar dinding padepokan.

Dengan pasti bayangan itu menuju ke hutan yang tidak terlalu jauh dari padepokan itu. diantarai oleh sebuah bulak yang agak luas disambung dengan sebidang padang perdu yang tidak terlalu panjang. Demikian bayangan itu menginjak padang perdu, maka sekali lagi mengumandang suara burung hantu di kesenyapan malam.

Ternyata isyarat itu tidak sia-sia. Sejenak kemudian terdengar suara yang serupa. Suara burung hantu dari pinggir hutan yang tidak terlampau lebat itu. Arah suara itulah yang Kemudian dituju oleh bayangan yang keluar dari padepokan itu.

“Aku kau biarkan terlalu lama menunggu disini” berkata orang yang menirukan suara burung hantu di pinggir hutan itu. Lalu, “Hampir saja aku kehilangan kesabaran dan bertindak sendiri. Hari-hari rasanya terlalu panjang. Melampaui panjangnya tahun”

“Aku tidak dapat berbuat lebih cepat Guru” berkata orang yang datang itu, “Aku terikat oleh satu keadaan. Jika aku tergesa-gesa, mungkin aku justru akan mengalami kesulitan. Karena itu aku memilih terlambat, tetapi meyakinkan, daripada cepat tetapi gagal”

Orang yang berada di pinggir hutan itu mengangguk- angguk. Katanya kemudian, “Baiklah Singatama. Katakan, apa yang telah terjadi di padepokan itu. Apakah kau melihat satu kemungkinan untuk melakukan rencanaku semula”

Singatama menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku masih belum dapat mengatakan dengan pasti guru. Tetapi aku akan mencoba untuk berbuat sebaik- baiknya”

“Apakah ada kesulitan yang mungkin tidak dapat teratasi” bertanya gurunya.

“Guru” berkata Singatama, “kesulitan yang utama adalah datang dari diriku sendiri”

“Aku mengerti Singatama. Empu Nawamula adalah pamanmu” sahut Empu Pulung Geni.

“Guru. Tetapi ada kesulitan lain” jawab Singatama. Lalu, “di padepokan itu tinggal seorang gadis yang telah membuat hatiku selama ini gelisah. Gadis yang aku cari selama ini”

Empu Pulung Geni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Usahakan untuk mengekang perasaanmu. Kau harus dapat membedakan persoalan yang paling besar yang kita hadapi sekarang. Meskipun jika kita dapat menyelesaikan yang besar itu, yang kecilpun akan terlesaikan juga”

“Maksud guru” bertanya Singatama.

“Jika Nawamula telah dapat dilenyapkan, maka padepokan itu akan segera kau kuasai. Tidak seorangpun, yang akan berani menentangmu. Ayah gadis itu pun tidak”

“Bagaimana dengan dua orang anak muda yang ada di padepokan itu guru” bertanya Singatama

“Jangan risau. Aku akan membunuh mereka, demikian Nawamula terbunuh” jawab Empu Pulung Geni.

“Dan dua orang pamannya yang kini tinggal di padepokan itu pula” bertanya Singatama lebih lanjut.

“Apakah mereka memiliki kelebihan” Empu Pulung Geni justru bertanya.

Singatama merenung sejenak. Kemudian sambil menggeleng ia berkata, “Menurut penglihatanku, tidak ada lebihnya pada kedua orang itu. Ketika kita bertempur di luar apa yang disebut padepokan itu. kedua orang itu sama sekali tidak menunjukkan kelebihan apapun juga meskipun mereka ikut meloncat keluar dan bertempur di antara para cantrik”

Empu Pulung Geni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Semuanya akan dapat diselesaikan dengan baik. Aku akan membunuh Empu Nawamula. Kemudian orang-orang yang tidak berarti itu akan dengan mudah aku bantai pula. Tanpa mereka, apakah kesulitanmu untuk mengambil gadis itu. Sementara itu. kita akan dapat melakukan satu tugas yang memang dibebankan kepada kita”

Singatama mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Bukankah tugas itu tidak terlalu tergesa-gesa?”

“Memang tidak. Tugas ini termasuk satu tugas untuk satu tujuan yang jauh. Bukan untuk tujuan esok seperti keinginanmu mengambil gadis itu” jawab Empu Pulung Geni. “Karena itu, kita dapat menunggu. Tugas itu akan kita lakukan kemudian”

“Bukankah hutan itu tidak akan berubah. Bukit itu juga tidak akan lari. Sementara hujan baru akan turun di musim hujan mendatang”

“Aku mengerti Singatama” jawab Empu Pulung Geni, “tetapi jika kerja itu masih juga belum dimulai, maka kita masih belum dapat mengatakan, bahwa kita telah melaksanakan perintah itu”

Singatama menarik nafas dalam-dalam. Sementara Empu Pulung Geni berkata, “Pemerintahan Ranggawuni nampaknya terlalu kuat. Tetapi kita akan dapat merintis sejak sekarang untuk memperlemah kedudukannya. Kita tidak akan dapat mengimbangi kekuatan prajuritnya yang tersebar. Tetapi kita dapat memperlemah susunan dan kesejahteraan masyarakatnya”

Singatama mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berguman, “Satu kerja yang baru akan nampak hasilnya setelah satu keturunan lewat”

“Mungkin aku tidak akan dapat melihat hasilnya” berkata Empu Pulung Geni, “tetapi kau, anak cucuku, akan melihat, betapa Kediri dapat berdiri lagi dengan megahnya. Tidak lagi sebagai satu negara yang takluk di bawah pemerintahan apa yang sekarang disebut Singasari, satu perkembangan dari Pakuwon kecil yang disebut Tumapel”

Singatama mendengarkan dengan seksama ketika gurunya melanjutkan, “Jika hutan-hutan di lereng gunung dan perbukitan yang menghadap Kotaraja Singasari itu ditebang sampai gundul, maka Singasari akan ditimpa bencana. Bukan hanya sekali dua kali. Tetapi disetiap musim hujan. Banjir bandang dan kerusakan tanaman di sawah, di pategalan dan di kebun-kebun. Bendungan akan pecah dan jalan-jalan akan terputus. Dengan demikian, maka Singasari akan selalu terganggu oleh amukan alam yang tidak terkendali. Sementara itu, Kediri dapat bersiap-siap untuk menentukan satu saat bahwa Singasari akan dapat dihancurkan. Jika tidak pada masa pemerintahan sekarang, tentu pard masa pemerintahan berikutnya”

Singatama mengangguk-angguk. Tetapi saat itu ia tidak begitu tertarik kepada beban gurunya itu. Ia lebih memikirkan hari esok bagi dirinya sendiri. Jika gadis itu dapat segera diambilnya, maka ia akan merasa bahwa hidupnya menjadi lengkap.

Karena itu, maka katanya, “Jika demikian guru. Yang manakah yang akan guru lakukan lebih dahulu. Membunuh paman Nawamula dan mengambil gadis itu, atau bersiap- siap dengan pekerjaan guru yang sebenarnya dapat dilakukan dalam jangka panjang”

“Sudah aku katakan Singatama, aku akan membunuh Empu Nawamula itu dahulu. Sementara itu, gadis itu akan dapat kau ambil pula dari padepokan itu” jawab gurunya.

“Baiklah guru” sahut Singatama, “Aku akan mencari kesempatan itu. Tetapi kesempatan itu tidak terlalu mudah. Kadang kadang aku tidak tahu, dimanakah paman tidur. Mungkin di biliknya. Mungkin di sanggar, tetapi mungkin di perapiannya bersama dengan murid-murid khususnya”

“Kau harus dapat menunjukkan dengan tepat. Pada suatu saat jika kesempatan itu datang kau harus memberi isyarat. Tetapi kau harus berusaha, agar jangan terlalu lama. Pekerjaanku yang kemudian sudah menunggu. Pekerjaaan besar bagi masa mendatang itu. Sehingga dengan demikian, maka sebenarnya waktu kita tidak terlalu panjang” berkata gurunya kemudian.

Singatama mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan berusaha. Tetapi sudah barang tentu bukan sekedar menunjukkan dimana paman tidur. Seandainya pada saat itu guru berusaha untuk memasuki biliknya atau sanggarnya atau perapian, sementara paman Nawamula dapat melihat kehadiran guru, bukankah akibatnya justru akan mempersulit kedudukan guru”

“Aku mengerti dan aku tidak akan ingkar, bahwa aku tidak akan dapat membunuh Empu Nawamula jika ia sempat melawan. Tetapi kau tentu mempunyai akal. Mungkin kau akan dapat membuka pintu biliknya atau sanggarnya, sehingga mempermudah pekerjaanku. Aku harus berdiri disisinya. pada saat ia masih tidur. Aku akan membangunkannya dengan ujung pedangku di depan wajahnya, sehingga ia tidak mendapat kesempatan melawan, tetapi ia mengerti bahwa akulah yang datang untuk membalas dendam” geram Empu Pulung Geni.

Pekerjaan itu memang sulit. Tetapi Singatama yang sudah berhasil menyusup di lingkungan padepokan itu tentu akan mendapatkan satu cara untuk melakukannya. Apalagi menurut gurunya, sepeninggal Empu Nawamula, maka tidak akan ada lagi orang yang berarti, yang akan dapat mencegahnya mengambil gadis itu. Dua anak muda yang mengalahkannya itupun tentu tidak akan berarti apa-apa bagi gurunya. Murid-murid Empu Nawamula pun tidak akan berbahaya.”

Tetapi untuk mendapat kesempatan memberikan jalan kepada gurunya memasuki bilik atau sanggar pamannya itu adalah pekerjaan yang sangat berat meskipun ia bertekad untuk melakukannya.

Untuk beberapa saat lamanya, Singatama masih berbincang dengan gurunya. Namun kemudian katanya, “Baiklah guru. Aku akan kembali ke padepokan. Mudah-mudahan dalam waktu dekat aku dapat melakukannya. Sebenarnya akupun sudah terlalu lama menunggu satu kesempatan untuk mengambil gadis itu. Apalagi aku tahu, bahwa gadis itu tidak akan terlalu lama berada di padepokan. Pada suatu saat gadis itu tentu akan dibawa pulang oleh ayahnya”

“Bukankah itu akan lebih baik” berkata gurunya, “dengan sangat mudah kau akan dapat mengambilnya”

“Tetapi aku belum pernah tahu, dimanakah rumahnya” jawab Singatama, “justru pada saat para cantrik aku perintahkan untuk mengambil gadis itu atau untuk mengetahui tempatnya, mereka telah melakukan satu perbuatan yang terkutuk”

“Sudahlah” berkata gurunya, “jangan mengumpat. Kita semuanya telah melakukan satu kesalahan sehingga kita terjebak ke dalam satu kesulitan. Hampir semua orang kita tertawan. Tetapi justru karena itu, aku berharap kau akan dapat membantuku melepaskan dendam yang membara di jantung ini”

Singatama kemudian minta diri kepada gurunya yang akan tetap menunggu sampat kesempatan itu datang. “Tetapi guru jangan berada terlalu jauh dari padepokan itu” minta Singatama.

“Apakah setiap malam aku harus melakukannya? Mengintai kesempatan yang tidak pasti datangnya” bertanya Empu Pulung Geni.

“Tetapi jika kesempatan itu datang, dan guru tidak ada di tempat, maka kita harus menunggu lagi untuk satu kesempatan yang lain” berkata Singatama.

Gurunya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan berada di dekat padepokanmu. Tetapi kau harus berbuat lebih cepat”

Singatama menyanggupinya untuk berusaha. Karena itu, maka sejenak kemudian, anak muda itu pun telah meninggalkan gurunya, kembali ke padepokannya. Demikian Singatama sampai di luar dinding, maka ia pun berusaha untuk berbuat dengan sangat berhati-hati. Ketika ia yakin, bahwa tidak ada seseorang yang akan dapat melihatnya, maka ia pun telah meloncat dinding dibawah bayangan sebatang pohon yang rimbun. Kemudian dengan sangat hati-hati ia memasuki halaman belakang padepokannya.

Sejenak kemudian, Singatama sudah berada di dalam biliknya. Tidak seorangpun yang mengetahuinya bahwa ia telah meninggalkan padepokan itu untuk menemui gurunya dan berbicara tentang satu usaha untuk membunuh Empu Nawamula yang menganggap bahwa kemanakannya itu sudah menemukan kembali jalan menuju ke kehidupan yang sewajarnya, meskipun ia masih belum menyatakan sikapnya yang pasti tentang ilmu hitamnya yang harus ditanggalkannya.

Namun dalam pada itu pertemuannya dengan gurunya, telah mendorongnya untuk bekerja lebih giat. Segala usaha harus dilakukannya. Bukan saja karena kesetiaannya kepada gurunya, tetapi juga didorong oleh keinginannya untuk segera menguasai gadis yang bernama Widati itu. yang tidak diduganya, akan berada pula di padepokannya.

Malam berikutnya, Singatama sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengetahui dimana gurunya berada. Yang dilihatnya adalah orang-orang tua, paman kedua orang anak muda yang paling dibencinya itu berbincang di rumah sebelah bersama Ki Buyut, ayah Widati. Karena itu. malam itu Singatama sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa.

Namun di malam berikutnya, ia mendapat akal. Ketika senja turun, maka ia telah berkata kepada pamannya, “Paman, apakah paman mempunyai waktu barang beberapa saat malam nanti?”

“Untuk apa?” bertanya Empu Nawamula.

“Ada sesuatu yang ingin aku katakan” jawab Singatama, “tidak tentang apa-apa. Tetapi tentang diriku sendiri”

Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sekarang sudah tidak mempunyai pekerjaan apapun juga Singatama Jika kau ingin mengatakan sesuatu, marilah kita duduk di pendapa.

Singatama mengerut kau keningnya. Jawabnya, “Bagaimana jika malam nanti paman. Mungkin aku akan dapat mengatakan pengalamanku sendiri dengan leluasa. Tidak diganggu oleh hilir mudiknya para cantrik yang menyalakan lampu”

Empu Nawamula berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan menyediakan waktu bagimu”

“Terima kasih paman. Nanti tengah malam aku mohon paman bersedia mengatakan sesuatu tentang diriku sebagaimana paman kehendaki” berkata Singatama.

Empu Nawamula mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk. Ketika Singatama kemudian meninggalkannya, maka Empu Nawamula pun berdesis, “Apakah anak itu benar-benar ingin melepaskan ilmu hitamnya?”

Namun dalam pada itu, ternyata Singatama telah mempunyai rencananya sendiri. Karena itu, ketika malam menjadi semakin pekat, maka ia pun dengan mengendap- endap telah pergi ke kebun belakang. Dengan hati-hati sekali, ia pun kemudian meloncat keluar padepokan.

Sejenak ia menunggu. Ketika ia yakin, bahwa tidak ada seorang pun didekatnya. maka terdengar satu isyarat dari mulutnya. Suara burung hantu. Beberapa saat Singatama menunggu. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar suara yang sama dari arah kegelapan. Sejenak ia masih memperhatikan suara itu. Namun kemudian ternyata bahwa suara isyarat itu tentu suara gurunya. Karena itu. maka sekali lagi ia menyahut dengan suara burung hantu yang ngelangut.

Sebenarnyalah, seperti yang diharapkannya, ternyata gurunya telah mendekatinya. Dengan suara rendah hampir berbisik ia bertanya, “Apakah kesempatan itu sudah kau dapat sekarang?”

“Guru” berkata Singatama, “sulit untuk mengetahui dimana paman tidur. Seandainya aku mengetahuinya, maka untuk dapat memasuki tempat itupun agaknya terlalu sulit pula”

“Lalu. apa maksudnya memanggil aku sekarang” bertanya gurunya.

“Aku mempunyai satu cara. Jika guru sependapat” desis Singatama.

“Cara bagaimana” bertanya gurunya pula.

“Aku telah minta paman untuk berbicara berdua saja. Aku akan minta paman untuk berbicara di tempat yang sepi. Apakah kesempatan itu sudah cukup?” bertanya Singatama.

Empu Pulung Geni termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, “Agaknya kau belum mengerti. Bukankah dengan demikian aku masih harus berkelahi melawan Empu Nawamula? Apalagi di padepokannya. Dalam waktu sekejap, maka semua orang di dalam padepokan itu telah mengepungku”

“Bukan begitu guru” berkata Singatama, “selagi paman berbicara dengan sungguh-sungguh, guru dapat merunduknya. Dengan demikian, maka guru akan mendapat kesempatan untuk menguasainya lebih dahulu dan kemudian membunuhnya, setelah Empu Nawamula menyadari dengan siapa ia berhadapan”

Empu Pulung Geni mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi apakah kau benar-benar akan mendapat tempat yang menyendiri?”

“Aku akan mohon kepada paman Nawamula” berkata Singatama, “tetapi tidak disanggar."

“Jika terpaksa di sanggar? bertanya Empu Pulung Geni.

“Tidak apa-apa guru. Aku akan berusaha agar pintu sanggar tidak diselarak dari dalam. Jika Empu Nawamula menyadari, seseorang memasuki sanggar, maka aku akan lebih dahulu mengancamnya agar paman tidak bergerak. Tetapi aku mohon paman-cepat mengambil sikap sebelum perutku dibelah oleh paman Nawamula”

Empu Pulung Geni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pekerjaanku masih cukup banyak. Aku masih harus mencari tempat itu. Sementara itu para cantrik berkeliaran di halaman."

“Tidak guru” jawab Singatama, “di malam hari hanya tiga orang cantrik yang bertugas. Itu pun berada di halaman depan mengawasi regol. Sementara itu, guru tentu akan mendengar suaraku berbincang dengan paman Nawamula. sebagai isyarat dimana kami berada”

Empu Pulung Geni mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan mencoba. Tetapi kau harus cukup berhati-hati”

Singatama mengangguk-angguk. Ia pun menyadari bahwa pekerjaan itu bukannya pekerjaan yang mudah. Ia harus berbuat dengan hati-hati dan kesiagaan yang tinggi, sehingga bukan justru dirinyalah yang akan menjadi korban. Dalam pada itu, maka Singatama pun berkata, “Sudahlah guru. Aku akan kembali. Aku persilahkan guru memasuki halaman dan bersembunyi di tempat yang paling baik menurut pendapat guru”

“Aku belum mengetahui tempat-tempat yang terbaik untuk bersembunyi di kebun padepokanmu, karena aku belum pernah mengamati halaman dan kebun padepokanmu dengan baik” jawab Empu Pulung Geni.

“Nanti guru akan menemukannya. Pada tepat tengah malam, aku mohon paman Nawamula untuk berbicara berdua saja. saat itu tiba menurut pengamatan paman atas bintang-bintang, biarlah guru mulai mencari, dimana aku dan paman berbicara" berkata Singatama.

Empu Puiung Geni tidak menjawab. Ia pun kemudian meninggalkan gurunya dan meloncat memasuki kebun belakang. Namun dalam pada itu, gurunya pun telah mengikutinya pula. Karena tengah malam masih beberapa saat lagi, Singatama sempat kembali ke biliknya tanpa diketahui oleh orang lain. Karena itu, maka ia pun merasa bahwa rencananya tentu akan dapat dilakukannya. Tengah malam ia akan memanggil pamannya. Jika pamannya tidak berkeberatan, ia akan mengajak pamannya duduk di pinggir belumbang.

“Para cantrik tentu akan terkejut melihat paman Nawamula esok pagi terapung di belumbang itu menjadi mangsa ikan. Tetapi ikan-ikan itu pun akan mati, karena racun luwuk guru yang menyentuh paman Nawamula terlalu keras, sehingga ikan-ikan yang menggigit kulit pamanpun akan mati pula” berkata Singatama di dalam hatinya.

Demikianlah, rasa-rasanya malam merambat terlalu lambat. Singatama merasa terlalu lama menunggu. Ketika ia keluar dari biliknya dan pergi ke pendapa, maka dilihatnya seorang cantrik yang duduk terkantuk-kantuk, sementara dua orang yang lain sedang berjalan memutari halaman padepokan. Perlahan-lahan ia melangkah menuruni tangga pendapa. Dipandanginya bintang yang berhamburan di langit.

“Hampir tengah malam” ia berdesis. Namun kemudian, “tetapi paman dimana?”

Perlahan-lahan Singatama kembali masuk ke ruang dalam lewat pringgitan. Dilihatnya pintu butulan di bagian samping ruang dalam tertutup rapat. Singatama sendirilah yang menyelaraknya setelah ia memasuki ruang itu dengan diam-diam. Namun ternyata bahwa Singatama tidak perlu gelisah terlalu lama. Sejenak kemudian ia mendengar suara Empu Nawamula berbicara dengan cantrik yang sedang terkantuk-kantuk itu.

“Dua orang kawanku sedang nganglang Empu” lapor cantrik itu.

“Jangan lengah” berkata Empu Nawamula, “meskipun nampaknya tidak akan terjadi sesuatu, tetapi kau harus tetap berhati-hati”

“Ya Empu” jawab cantrik itu sambil berusaha membuka matanya lebar-lebar.

Ketika Empu Nawamula memasuki ruang dalam, Singatama sudah menunggunya. Ia duduk di sebuah amben di ruang tengah.

“Oh” sapa Empu Nawamula, “apakah kau bermaksud berbicara sekarang?”

“Ya paman. Aku rasa hari telah tengah malam” jawab Singatama.

“Baiklah. Kita dapat duduk di sini tanpa diganggu oleh siapapun juga” berkata Empu Nawamula.

Tetapi Singatama mengerutkan keningnya. Dipandanginya pintu pringgitan, seolah-olah ia ingin mengatakan bahwa di pendapa ada seorang cantrik padepokan. Tetapi Empu Nawamula yang seolah-olah mengetahui apa yang ingin dikatakannya itu justru berkata, “Cantrik itu tidak akan tahu, apa yang kita perbincangkan disini. Karena itu. Katakanlah”

Namun ternyata Singatama menggelengkan kepalanya. Katanya, “Paman, ada satu hal yang sangat penting yang ingin akan aku katakan. Satu rahasia yang sangat gawat tentang ilmu yang selama ini aku miliki. Yang menurut paman, ilmu itu harus dihapuskan. Hal itulah yang ingin aku perbincangkan dengan paman” berkata Singatama.

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, “Menurut pendapatmu, dimanakah sebaiknya kita berbicara agar tidak akan terganggu?”

“Di kebun, paman” jawab Singatama, “aku akan dapat memperagakan beberapa tata gerak yang mungkin perlu untuk memperjelas keteranganku”

Empu Nawamula termangu-mangu sejenak. Namun ia masih bertanya, “Di halaman belakang, di mana?”

“Bagaimana jika dipinggir belumbang” bertanya Singatama.

Empu Nawamula berpikir sejenak. Tetapi ia masih bertanya, “Kenapa di Pinggir belumbang?”

“Tidak apa-apa paman. Tetapi suasananya akan menyegarkan” jawab Singatama kemudian. Lalu, “Dengan demikian, pikiranku akan menjadi bertambah bening. Sehingga dengan demikian, apa yang ingin aku katakan akan dapat aku katakan dengan gamblang, sehingga tidak terjadi salah paham”

Empu Nawamula mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Kita akan pergi ke belumbang. Mudah-mudahan kolam itu akan benar-benar dapat memberikan kesegaran baru bagi kita”

Keduanya pun kemudian pergi ke belakang seperti yang diminta oleh Singatama. Dengan demikian, maka Singatama mengharap bahwa gurunya akan sempat merunduk Empu Nawamula. Dengan berlindung pada dedaunan dan rumpun-rumpun perdu, Empu Pulung Geni akan dapat mendekati pamannya yang sama sekali tidak menduga, bahwa seseorang akan merunduknya. Apalagi orang itu adalah Empu Pulung Geni. Seorang yang memiliki nama menggetarkan.

Tetapi rupa-rupanya Empu Pulung Geni telah kehilangan harga dirinya karena dendam yang membara di jantungnya. Ia lebih senang membunuh Empu Nawamula untuk melepaskan dendamnya daripada mempertahankan harga dirinya.

Dalam pada itu, Singatama pun telah membayangkannya, bahwa gurunya akan meloncat dari balik sebuah gerumbul yang rimbun sambil mengacukan pedangnya. Sementara Empu Nawamula terkejut dan berpaling, gurunya akan tertawa sambil berkata, “Aku Empu Pulung Geni yang sedang dibakar oleh api dendam. Sadarilah, bahwa akulah yang telah berhasil membunuhmu”

Empu Nawamula tidak akan sempat berbuat apa-apa. Pedang gurunya akan segera menghunjam ke tubuh Empu Nawamula, sehingga pamannya itu akan mati. Singatama menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, keduanya telah berada ditepi kolam. Empu Nawamula tidak akan sempat berbuat apa-apa. Pedang gurunya akan segera menghunjam ke tubuh Empu Nawamula, sehingga pamannya itu akan mati. Singatama menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, keduanya telah berada ditepi kolam.

“Kita duduk ditepi kolam paman” berkata Singatama.

Empu Nawamula merenung sejenak. Namun kemudian ia pun melangkah dekat ke tepi kolam dan duduk membelakangi air yang bening yang bergetar oleh dedaunan yang menguning yang runtuh dari dahannya.

“Kita duduk di sini paman” minta Singatama, “kenapa paman duduk terlalu menepi?”

Tetapi Empu Nawamula menjawab, “Wajah air itu terasa sangat menyegarkan. Aku akan duduk di sini. Kemarilah Singatama. Mendekatlah”

Singatama menjadi berdebar-debar. Pamannya duduk membelakangi air, sehingga sulit bagi Empu Pulung Geni untuk merunduknya dari belakang. “Gila” geram Singatama, “apakah paman menyadari niatku untuk menjebaknya?”

Tetapi pertanyaan itu telah dijawabnya sendiri, “Tentu tidak. Hanya satu kebetulan. Tetapi kebetulan yang pantas diumpati”

“Duduklah Singatama” pamannya kemudian mempersiapkan, “kita dapat berbincang disini tanpa diganggu orang lain. Kau dapat mengatakan apa saja yang ingin kau katakan tanpa didengar orang lain pula”

Namun dalam pada itu kegelisahan telah mencengkam jantung Singatama. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk merubah sikap duduk pamannya yang nampaknya memang sudah mapan sekali. Karena itu, maka perlahan-lahan Singatama pun duduk dihadapan pamannya. Dengan jantung yang berdebaran ia berusaha untuk mengatasi kesulitannya.

“Guru tentu mempunyai perhitungan sendiri” berkata Singatama di dalam hatinya, “jika ia merasa sulit untuk melakukannya sekarang, biarlah ia mengambil kesempatan yang lain. Aku akan berbicara dengan guru esok” Dengan demikian maka Singatama pun harus menyesuaikan diri. Meskipun rasa-rasanya ia sedang duduk di atas bara, tetapi ia bertahan untuk tetap duduk.

“Singatama” berkata pamannya, “apa yang ingin kau katakan? Katakanlah, agar persoalan ini cepat selesai”

“Paman” berkata Singatama, “bukankah paman pernah berkata bahwa mungkin sekali ilmuku dapat dilepaskan sehingga aku akan menjadi kosong dan bersih”

Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Benar Singatama. Ilmu hitammu memang dapat ditanggalkan. Kau akan menjadi bersih. Dengan demikian maka kau akan siap menempuh satu kehidupan baru”

Singatama mengangguk-angguk. Namun ia menjadi semakin gelisah. Apa yang akan di katakannya dan akan dilakukannya jika gurunya mengurungkan niatnya untuk membunuh Empu Nawamula karena keadaan yang tidak memungkinkan. Namun dalam pada itu, meskipun dengan tergagap, Singatama masih dapat menemukan bahan pembicaraan, “Paman. Sebenarnya aku ingin melakukannya. Tetapi bagaimanakah dengan aku pada masa-masa kosong itu? Apakah aku menjadi orang yang sama sekali tidak memiliki kemampuan membela diri?”

“Bukan begitu Singatama” berkata pamannya, “kau masih akan tetap memiliki ketrampilan dasar ilmu kanuragan. Tetapi benar-benar ketrampilan wadag. Kau tidak akan mampu membangkitkan tenaga cadanganmu, karena pada dasarnya, tenaga cadanganmu sudah terisi dengan watak ilmu hitam. Untuk sementara, kau memang banyak kehilangan. Tetapi kau akan dapat mulai dengan satu babak baru dalam hidupmu, khususnya dalam ilmu kanuragan”

Singatama mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Apakah paman tidak mempunyai satu cara pun yang dapat ditempuh selain mengosongkan diriku”

Empu Nawamula menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kau harus mengikhlaskan ilmumu. Tetapi dengan dasar ketrampilan wadagmu yang masih kau kuasai, maka kau akan dapat dengan cepat mengisi kekosongan itu dengan ilmu kanuragan dalam wataknya yang baru”

Singatama mengangguk-angguk. Namun kegelisahannya menjadi semakin memuncak ketika ia melihat pada gerumbul di arah samping Empu Nawamula bergerak. “Agaknya guru telah menemukan tempat ini” desis Singatama di dalam dirinya, “tetapi apakah guru dapat melakukan dari arah itu”

Tetapi Singatama berusaha untuk menenangkan dirinya. Katanya kepada diri sendiri, “Guru tahu apa yang baik dilakukannya”

Namun dalam pada itu, untuk sesaat Singatama telah terdiam. Keringatnya mulai membasahi keningnya. Sementara itu, Empu Nawamula pun berkata, “Singatama. Masih ada kesempatan. Ibarat orang yang tersesat, maka langkahmu masih belum terlalu jauh. Karena itu, kembalilah anakku”

Terasa sesuatu berdenyut di jantung Singatama. Dalam keadaan yang tegang itu, ia mendengar suara pamannya. Yang duduk dihadapannya itu memang pamannya. Saudara kandung orang tuanya. Tetapi Singatama bukan seorang anak yang dekat dengan orang tuanya. Bukan saja wadagnya, tetapi juga hatinya. Anak itu seakan-akan tidak lagi mempunyai satu ikatan yang mantap dengan ayah dan ibunya.

Namun dalam pada itu, suara Empu Nawamula didengarnya lagi, “Yang aku tidak tahu Singatama. Apakah yang sebenarnya kau cari dengan pengabdianmu kepada ilmu hitam itu. Jika kau ingin memiliki kemampuan yang tinggi, maka kau dapat melihat sendiri, bahwa ilmu gurumu bukan ilmu yang tidak terkalahkan. Karena itu, kenapa kau tidak mencari saja kemampuan ilmu kanuragan lewat jalan yang lebih baik”

Jantung Singatama menjadi semakin berdebaran. Disaat yang menegangkan itu, ia dapat membayangkan kembali, apa yang sudah terjadi atasnya. Sikap pamannya dan sikap orang-orang di padepokan itu. Disaat ia dianggap orang yang paling jahat, ia masih dapat diterima kembali oleh pamannya karena ia menyatakan diri untuk bertobat. Rasa-rasanya pamannya sama sekali tidak pernah mendendamnya. Jika pamannya membentaknya, marah dan mengancam itu adalah semata-mata sikapnya sebagai seorang tua.

Sekilas terbayang orang yang sudah tidak ada. Sepercik pertanyaan tiba-tiba saja mengguncang jantungnya, “Apakah ayahku meninggal terlalu cepat karena aku?”

Dalam pada itu. Empu Nawamula masih berkata selanjutnya, “Singatama. Sebenarnya kau tidak terlalu tergesa-gesa untuk mengambil satu sikap. Kau masih sempat memikirkannya. Dan kau akan menjadi semakin jelas melihat, langkah yang paling baik yang dapat kau tempuh. Kau masih muda. Menilik gelar lahiriah, kau masih akan memiliki hari depan yang panjang. Karena itu, bukankah kau masih mempunyai kesempatan untuk memilih. Memilih dengan tepat setelah kau pikirkan masak-masak”

Degup jantung Singatama terasa memukul dinding dadanya semakin keras. Pada saat yang demikian, Empu Pulung Geni menggeretakkan giginya. Sebenarnya ia menyadari, bahwa kedudukannya agak kurang menguntungkan, karena ia tidak dapat merunduk dari belakang. Tetapi harus dari samping. Namun didorong oleh dendamnya yang hampir meledakkan jantungnya serta mendengar keterangan Empu Nawamula yang akan dapat menggoyahkan kesetiaan Singatama yang muda itu, maka rasa-rasanya Empu Pulung Geni tidak lagi dapat menahan diri.

“Tingkat perbedaan ilmuku dengan ilmu Empu Nawamula tidak terlalu jauh. Kalau aku sempat meloncat dan mengancamnya, maka aku akan dapat menguasainya dengan sebaik-baiknya” berkata Empu Pulung Geni di dalam hatinya.

Karena itu, maka Empu Pulung Geni tidak lagi berniat menunda rencananya. Ia harus dapat membunuh Empu Nawamula. Baru ia akan dapat melakukan tugasnya dengan tenang, mengemban kewajiban yang disepakati oleh sekelompok orang-orang yang tidak puas dengan keadaan di atas Tanah Kediri dan Singasari

Tetapi Empu Pulung Geni masih menunggu satu kesempatan yang baik. Jika Empu Nawamula sedang dengan sungguh-sungguh memberikan petunjuk-petunjuk kepada Singatama, maka perhatiannya tentu akan tertuju kepada anak itu sepenuhnya.

Ternyata Empu Pulung Geni tidak perlu menunggu terlalu lama. Ketika Empu Nawamula sedang berbicara dengan sareh kata demi kata, kalimat demi kalimat, maka dorongan dendam di jantung Empu Pulung Geni tidak tertahankan lagi. Karena itu, maka iapun aaggra bersiap dengan hati-hati. Namun demikian, ternyata bahwa dedaunan di gerumbul tempatnya bersembunyi masih juga bergerak.

Tetapi untunglah, bahwa Empu Nawamula tidak melihatnya. Karena seperti yang diperhitungkan oleh Empu Pulung Geni, bahwa perhatiannya sepenuhnya tertuju kepada Singatama. Empu Pulung Geni masih menunggu sesaat. Ketika saat yang paling baik itu datang, maka iapun telah siap untuk meloncat.

Tetapi yang sesaat itu ternyata sangat menentukan. Yang sesaat itu telah memberikan kesempatan kepada Singatama yang bimbang untuk mengambil keputusan. Karena itu, ketika tiba-tiba saja ia melihat dedaunan yang bergoyang, maka dengan serta merta anak muda itu berteriak, “Paman, hati-hati”

Peringatan Singatama itu telah menyengat naluri Empu Nawamula. Dengan serta merta iapun telah meloncat tepat pada saat Empu Pulung Geni meloncat pula dari balik gerumbul sambil mengacungkan senjatanya. Tetapi Empu Nawamula sudah tidak ada lagi ditempatnya, sementara Singatama pun telah melenting berdiri dan meloncat menjauh. Empu Pulung Geni berdiri dengan wajah yang tegang Sorot matanya bagaikan menyala memandang Singatama yang berdiri termangu-mangu.

“Maaf guru” suaranya terbata-bata, “aku tidak dapat mengingkari perasaanku. Paman selalu memaafkan kesalahanku. Karena itu, aku tidak dapat membiarkannya mengalami bencana dengan satu keadaan yang tidak adil. Sekarang, terserah kepada guru dan paman. Aku tidak akan dapat ikut campur”

“Anak iblis” geram Pulung Geni, “kau telah berkhianat. Dan kau tahu, hukuman yang paling baik bagi seorang pengkhianat”

Terasa juga jantung Singatama bergetar. Ia tahu apa arti kata-kata gurunya. Ia tahu, bahwa di lingkungannya tidak pernah didengarnya kata pengampunan. Karena itu, maka iapun sadar, bahwa hukuman yang akan di bebankan kepadanya oleh gurunya tentulah hukuman mati.

Ternyata Singatama menjadi ngeri juga. la teringat kepada upacara yang setiap kali dilakukan. Sementara mereka masih mempergunakan tubuh seekor binatang untuk membasahi senjata mereka sebelum dipergunakan. Tetapi bagaimana jika dirinya, yang dianggap oleh gurunya itu sebagai seorang pengkhianat mengalami nasib seburuk seekor binatang?

Selagi Singatama dicengkam oleh kegelisahan, terdengar suara Empu Nawamula, “Pulung Geni. Apakah arti perbuatanmu itu? Bukankah dengan demikian kau telah mengotori harga dirimu dengan satu perbuatan yang licik sebagaimana dilakukan oleh para pengecut”

“Aku tidak peduli” geram Empu Pulung Geni, “jika muridku itu tidak berkhianat, kau telah mati oleh tanganku”

“Tetapi aku masih hidup sekarang ini” jawab Empu Nawamula, “kita telah berhadapan. Marilah. Kita akan mengulangi pertempuran diantara kita, seorang melawan seorang”

Memang tidak ada pilihan lain. Karena itu. maka Empu Pulung Geni pun segera bersiap, sementara Empu Nawamula pun telah memcabut senjatanya pula.

“Ikutlah bertempur bersama pamanmu pengkhianat” geram Empu Pulung Geni.

Tetapi Singatama melangkah surut sambil menjawab, “Tidak guru. Aku sama sekali tidak akan berani ikut campur”

“Jangan panggil lagi aku guru" bentak Empu Pulung Geni, “kau bukan lagi muridku”

Singatama tidak menyahut. Namun yang kemudian berbicara adalah Empu Nawamula, “Sudahlah. Jangan kau umpati lagi anak itu, kau sekarang berhadapan dengan aku. Marilah kita yang tua-tua ini membuat perhitungan”

Empu Pulung Geni sama sekali tidak menjawabnya lagi. Dengan serta-merta ia pun kemudian meloncat menyerang. Tetapi Empu Nawamula telah bersiap. Dengan demikian, maka ia pun masih sempat menghindar sambil berkata, “Ah. kau terlalu tergesa gesa”

Empu Pulung Geni tidak menghiraukannya, bahkan serangannya pun menjadi semakin cepat. Pedangnya menyambar mendatar. Ketika dengan kerisnya yang besar Empu Nawamula menangkisnya, maka pedang itu pun telah berputar dan mematuk kearah jantung.

Namun Empu Nawamula bergeser selangkah kesamping. Ujung pedang Empu Pulung Geni sama sekali tidak mengenainya. Bahkah Empu Pulung Geni lah yang kemudian harus meloncat surut, menghindari serangan Empu Nawamula.

Demikianlah perkelahian antara kedua orang itu pun semakin lama menjadi semakin cepat. Keduanya bergerak bagaikan tidak menyentuh tanah. Namun seperti yang pernah terjadi, maka Empu Pulung Geni memang tidak akan mampu mengimbangi kemampuan Empu Nawamula. Apalagi dengan kecemasan bahwa para cantrik dan seisi padepokan akan terbangun dan kemudian beramai-ramai mengepungnya.

Dalam pada itu. pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sulit untuk membatasi diri. Benturan senjata dan kadang-kadang hentakan yang tidak terkekang, telah menggetarkan sepinya malam di padepokan itu. Para cantrik yang berada di pendapa memang tidak segera mendengar pertempuran yang terjadi di kebun belakang, di dekat blumbang yang terpisah. Namun merekapun kemudian mendengar bunyi bentakan-bentakan yang aneh yang tidak segera mereka ketahui artinya.

Bukan hanya cantrik yang sedang berjaga-jaga, tetapi dirumah sebelah, Mahisa Agni dan Witantra pun telah mendengarnya pula. “Suara apa itu agaknya” desis Mahisa Agni.

Witantra bangkit dari pembaringannya. Sejenak ia memperhatikan suara yang lemah sekali menembus dinding. Namun Mahisa Agni pun kemudian bangkit pula sambil mengerutkan keningnya. Katanya, “Aku agak curiga”

“Ya. Kita lihat, apakah yang terjadi” sahut Witantra.

Sesaat kemudian keduanya segera membenahi diri dan keluar dari rumah itu. Mereka sama sekali tidak membangunkan Ki Buyut yang juga berada di rumah itu bersama anak perempuannya. Namun ketika keduanya akan meninggalkan rumah itu untuk melihat apakah yang telah terjadi, ternyata hampir berbareng keduanya tertegun

“Bagaimana dengan gadis itu” desis Mahisa Agni.

“Ia perlu diawasi. Mungkin terjadi sesuatu yang dapat mengancam keselamatannya,“ sahut Witantra.

“Tunggulah disini” berkata Mahisa Agni, “aku akan melihat apakah yang terjadi. Agaknya telah terjadi sesuatu yang perlu mendapat perhatian”

“Baiklah” berkata Witantra, “aku akan berada di dalam” Ketika Mahisa Agni meninggalkan tempatnya, Witantra justru kembali masuk ke dalam untuk mengamati keadaan, justru karena di rumah itu ada Widati.

Dengan tergesa-gesa Mahisa Agni menyusuri longkangan di antara barak-barak para cantrik. Tetapi ia tidak segera menemukan sesuatu. Apalagi suara yang mencurigakan itupun tiba-tiba saja tidak didengarnya lagi.

“Apa yang telah terjadi” bertanya Mahisa Agni kepada diri sendiri, “kemana suara itu tiba-tiba saja telah diam”

Tetapi ketajaman pendengaran Mahisa Agni telah membawanya untuk pergi ke belumbang. Suara itu agaknya bersumber dari pinggir blumbang. Meskipun suara itu sudah tidak terdengar lagi, namun Mahisa Agni tidak mengurungkan niatnya. Dengan hati-hati ia mendekati blumbang yang sudah menjadi sepi. Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat pepohonan perdu dan ranting-ranting yang berpotongan.

“Tentu telah terjadi pertempuran disini” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya. Sejenak Mahisa Agni termangu-mangu, ia menyesali kelengahannya bahwa ia sama sekali tidak mengetahui adanya pertempuran itu. Namun dengan demikian, maka Mahisa Agni menjadi semakin berhati-hati. Sesuatu akan dapat terjadi setiap saat.

"Untunglah bahwa Witantra tetap berada di rumah itu” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “mungkin gadis itulah yang menjadi sasaran."

Tetapi menilik bekas-bekas pertempuran itu. Mahisa Agni dapat mengambil kesimpulan, bahwa pertempuran itu terjadi antara orang-orang yang berilmu tinggi, meskipun hanya sebentar. Dalam keragu-raguan itu Mahisa Agni mendengar suara lamat-lamat, “Nampaknya dua orang sedang berbicara perlahan-lahan”

Karena itu, maka dengan sangat hati-hati Mahisa Agni pun mendekati suara itu. Mungkin suara itu akan dapat memberikan jawaban atas peristiwa yang terjadi di tepi belumbang itu. Ketika ternyata yang sedang berbicara itu adalah Empu Nawamula dengan Singatama.

Dengan nada rendah Singatama berkata, “Ampun paman. Sebenarnyalah, aku terlibat dalam kecurangan ini. Tetapi menurut pendapatku, guru memang hanya seorang diri”

“Tetapi nampaknya kau sudah menemukan satu keputusan yang akan sangat berarti bagi hidupmu kelak Singatama. Justru pada saat terakhir. Pada saat yang paling sulit bagimu. Jika saat itu kau tidak menemukan satu kebenaran tentang dirimu, mungkin akhir peristiwa ini akan berbeda” sahut Empu Nawamula.

“Tetapi yang aku lakukan tidak sebanding dengan kesalahan-kesalahan yang telah menodai hidupku” desis Singatama.

“Masih ada kesempatan. Sudah aku katakan” jawab Empu Nawam pula.

Mahisa Agni yang serba sedikit dapat menangkap peristiwa yang sedang terjadi. Namun demikian kakinya berdesir didedaunan yang runtuh di tanah, Empu Nawamula telah bergeser sambil mempersiapkan diri.

“Aku Empu” desis Mahisa Agni.

“Oh” Empu Nawamula menarik nafas panjang, “kenapa Ki Sanak berada disini?”

“Aku mendengar suara-suara yang mencurigakan” jawab Mahisa Agni.

“Jadi kau mendengarnya Ki Sanak?” bertanya Empu Nawamula.

Mahisa Agni menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Ya. Aku sedang pergi ke pakiwan ketika aku mendengar suara yang mencurigakan. Karena itu maka aku mencoba untuk melihat apa yang terjadi. Tetapi tiba-tiba suara itu telah terdiam dan ketika aku menelusuri kebun padepokan ini, aku telah menemukan kalian berdua”

Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sesuatu telah terjadi. Untunglah, bahwa Yang Maha Agung masih melindungi aku”

Dengan singkat, Empu Nawamula menceriterakan apa yang telah terjadi. Kemudian, “Ternyata seperti saat ia datang, maka dengan licik Empu Pulung Geni itu pun meninggalkan padepokan ini”

Mahisa Agni menjangguk-angguk. Dengan menyesal ia mengulangi, “Empu Pulung Geni itu berhasil meninggalkan padepokan ini”

“Ya. Aku tidak dapat menangkapnya. Ternyata ia memiliki kemampuan untuk berlari sangat cepat dan meloncati dinding Halaman padepokan ini. Aku menjadi ragu-ragu mengejarnya, karena menurut perhitunganku, kecepatanku berlari tidak akan dapat melebihinya”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi bahwa Empu Pulung Geni itu terlepas dari tangan Empu Nawamula, berarti bahwa bencana masih akan selalu mengintip padepokan itu. Tetapi ternyata bahwa Singatama telah menemukan satu kesadaran tentang dirinya. Pada saat yang tidak terduga-duga, Singatama merasa bahwa orang yang bernama Empu Nawamula itu adalah pamannya.

Ternyata bahwa setitik demi setitik, tetesan kasih sayang Empu Nawamula telah berhasil meluluhkan hati anak itu perlahan-lahan. Bahwa Empu Nawamula tidak menghukumnya dan bahkan menerimanya kembali sebagai kemanakannya, telah membuat goncangan di hati anak muda itu.

Hampir di luar sadarnya Mahisa Agnipun berkata, “Namun agaknya Empu telah mendapatkan gantinya. Angger Singatama telah menemukan dirinya yang selama ini hanyut dalam arus yang kelam. Bagi Empu Nawamula, hal itu tentu satu kurnia yang luar biasa”

“Ya Ki Sanak” jawab Empu Nawamula, “sekarang aku benar-benar telah menemukan kemanakanku yang hilang. Ia telah membuktikan, bahwa di dalam kegelapan hati, masih juga ada sumber cahaya yang dapat dikembangkannya. Akhirnya, hatinya telah menjadi terang kembali”

“Sukurlah” berkata Mahisa Agni, “namun masih ada satu tantangan bagi angger Singatama. Bagaimana dengan ilmu hitam yang telah ada di dalam diri”

Empu Nawamula mengerutkan kuningnya. Katanya kemudian, “Masih ada satu cara untuk mengatasinya. He, Ki Sanak, kau mengerti kesulitan itu...?”

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 06

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 06
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

PARA cantrik yang berjaga-jaga di tempat lain pun sebenarnya telah melihat kehadiran sepasukan berkuda mendekat. Tetapi seperti kawan-kawan mereka yang lain, maka mereka pun menjadi ragu-ragu. Dengan memberikan isyarat itu, maka mereka merasa bahwa kesalahan mereka menjadi semakin besar, sehingga hukuman yang akan dijatuhkan atas mereka pun menjadi semakin berat. Tetapi ternyata bahwa isyarat itu sudah berbunyi, siapa pun yang membunyikan.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera meneriakkan aba-aba. Mereka sadar, bahwa tanpa dorongan dari luar dirinya, para cantrik itu tidak akan berani berbuat apa-apa. karena itu, maka terdengar suara Mahisa Pukat lantang,

“Lihat, mereka sudah datang. Siapa yang masih ingin tetap hidup sebagai seorang yang bebas untuk menentukan pilihannya sendiri di dalam perjalanan hidupnya, marilah bersama-sama mempertahankan martabat kita sebagai manusia. Kita bukan seekor binatang yang akan selalu tunduk, betapapun tubuh kita selalu didera dengan cambuk dan tongkat. Tetapi kita adalah manusia sebagaimana meraka”

Para cantrik itu termangu-mangu. Namun kesibukan para prajurit yang datang di tempat itu dengan ujud sebagai orang kebanyakan telah mendorong mereka untuk berbuat sesuatu.

“Siapkan senjata kalian” teriak Mahisa Murti. “mereka sudah semakin dekat. Kecuali yang dengan sengaja ingin membunuh dirinya, biarlah mereka mulai meratapi nasibnya sejak sekarang”

Bagaimanapun juga, kata-kata dan sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta orang-orang yang datang bersama mereka telah membangunkan para cantrik itu dari ketakutan mereka. Karena itu, maka beberapa orang di antara mereka pun telah menggenggam hulu pedang mereka sambil menghentakkan perasaan sendiri, “Akupun seorang laki-laki”

Sikap itu ternyata berpengaruh atas kawan-kawan mereka. Seorang demi seorang mulai menengadahkan kepala mereka, sementara orang-orang berkuda itu pun menjadi semakin dekat.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menemui Ki Buyut Randumalang untuk mempersilahkannya berdiri di sebuah planggrangan bambu yang telah tersedia di sebelah pintu gerbang, agar mereka melihat dan tampak dari luar dinding apa yang mereka sebut padepokan itu.

“Aku takut ayah” desis Widati.

“Percayalah kepada mereka” jawab ayahnya, “nampaknya mereka bersungguh-sungguh. Bukan saja karena persoalan yang melibat dirimu, tetapi yang dilakukan oleh orang-orang ini adalah satu usaha yang lebih luas. Padepokan yang selalu melakukan tekanan terhadap lingkungan di sekitarnya itu memang tidak selayaknya lagi mendapat kesempatan untuk berkembang."

“Tetapi aku takut ayah” desis Widati kemudian, “jika ternyata mereka berhasil memecahkan dinding kayu ini ayah. Nampaknya dinding ini tidak terlalu kuat”

“Mudah-mudahan kita yang berada di dalam dinding kayu ini akan berhasil bukan saja bertahan, tetapi kemudian menangkap mereka dan memadamkan segala kegiatan mereka yang melawan hubungan antar sesama manusia itu” berkata ayahnya.

Namun bagaimanapun juga Widati masih tetap menggigil. Ia sadar, bahwa ia akan dipergunakan untuk memancing agar persoalan di antara kedua padepokan ini akan menjadi semakin masak untuk meledakkan satu pertempuran dan sekaligus meyakinkan para prajurit Singasari bahwa sifat dan watak orang-orang padepokan yang datang itu memang patut disesalkan dan bahkan sepantasnya untuk dihentikan.

Karena itu, maka sejenak kemudian, dengan tubuh yang gemetar Widati bersama ayahnya telah berdiri di atas sebuah pelanggrangan bambu di sebelah regol, sehingga mereka akan nampak oleh orang-orang yang berada di luar regol.

Sebenarnyalah, maka iring-iringan itu pun menjadi semakin dekat. Mereka langsung berkerumun di depan regol yang sudah tertutup rapat. Namun beberapa orang penghuni apa yang mereka sebut sebuah padepokan itu telah berada di sebelah menyebelah regol, berdiri di atas pelanggrangan yang memang sudah disiapkan.

Singatama yang melihat Widati ada di antara mereka itu pun menggeram. Dengan suara bergetar ia berkata, “Mereka memang sengaja menghina aku dan barangkali kita semuanya”

“Kenapa” bertanya gurunya.

“Perempuan itu adalah perempuan yang aku inginkan. Para cantrik aku perintahkan untuk mencari dan mengambil perempuan itu. Tetapi perempuan itu telah berada di antara para cantrik dan tidak pernah mereka serahkan kepadaku”

Dalam pada itu, Mahisa Murti yang berdiri di sebelah Widati itu pun kemudian berkata lantang, “He. Singatama. Kenapa kau datang kembali”

Singatama menggeram. Katanya, “Jangan terlalu sombong anak iblis. Aku datang untuk menyatakan kepada kalian, bahwa kalian adalah orang orang yang tidak tahu diri”

“Aku telah mengalahkanmu” berkata Mahisa Murti.

Wajah Singatama menjadi merah. Dengan suara bergetar oleh kemarahan yang memuncak ia berkata, “Sekarang aku datang untuk membuktikan bahwa aku adalah murid sebuah perguruan yang besar”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang tiba-tiba menurun, ia berkata, “Singatama. Aku sengaja membawa Widati sekarang ini, agar kau dapat mendengar sendiri sikapnya. Jika persoalan ini bermula dari hubungannya dengan Widati, maka aku kira, persoalan ini dapat dikembalikan kepada masalahnya tanpa menimbulkan korban yang sebenarnya tidak perlu”

“Apa maksudmu? Kau akan menyerahkan gadis itu kepadaku” bertanya Singatama.

“Masalahnya tidak pada menyerahkan atau tidak menyerahkan” jawab Mahisa Murti, “tetapi masalahnya adalah, apakah Widati bersedia atau tidak? Ia mempunyai wewenang untuk menentukan sikapnya. Mungkin ia akan menyatakan kesediaannya. Jika demikian maka tidak akan ada persoalan lagi di antara kita. Tetapi jika Widati menolak lamaranmu. Maka kau tidak akan dapat memaksanya”

“Persetan” geram Singatama, “ia akan menerima lamaranku. Ia memang sudah menerimanya. Tetapi mungkin kalian telah mengancamnya. Mungkin di belakang gadis itu sekarang, seseorang berdiri dengan ujung pedang di punggungnya”

“Jangan berbicara seperti orang dungu” jawab Mahisa Murti” berkatalah dengan wajar. Bukankah kita masih dapat menghargai pendapat seseorang? Apakah caramu itu akan merubah kebenaran atas sikap Widati?”

“Persetan” geram Singatama, “aku tidak peduli. Berikan gadis itu kepadaku. Kalian akan mendapat pengampunan”

“Inilah yang harus kau pertimbangkan” jawab Mahisa Murti, “apakah kau dapat bersikap lebih baik, atau kau memang termasuk seseorang yang selalu memaksakan pendapat terhadap orang lain. Bahkan telah melanggar hak menentukan sikap sebagaimana seorang gadis yang bernama Widati”

“Kau licik. Berikan gadis itu kepadaku. Ia akan menjawab, dengan jujur jika ia terlepas dari ancamanmu” teriak Singatama.

Wajah Widati menjadi tegang. Kemarahan dan ketakutan telah berbaur di dalam dirinya. Dalam pada itu, Singatama berkata, “Jangan memperpanjang persoalan. Serahkan gadis itu kepadaku”

“Kau yakin bahwa ia akan menerimamu dengan ikhlas?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku yakin” teriak Singatama lebih keras.

Sejenak Mahisa Murti merenung. Namun tiba-tiba katanya, “Baiklah. Aku akan menyerahkan gadis ini kepadamu”

Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Semua orang yang mendengarnya terkejut, termasuk Widati sendiri. Sehingga dengan serta merta ia telah berteriak di luar sadarnya, “Tidak. Aku tidak mau”

Jawaban itu telah mencengkam setiap jantung. Singatama yang berada di sebelah gurunya pun tercenung sejenak mendengar suara Widati yang melengking itu.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Widati telah memeluk ayahnya sambil berkata diantara isaknya, “Aku tidak mau ayah. Aku tidak mau”

Mahisa Pukat yang termangu-mangu telah melangkah mendekati Mahisa Murti dengan tatapan mata yang tegang. Hampir saja ia bertanya, apakah maksud Mahisa Murti sebenarnya.

Namun sementara itu, Mahisa Murti telah berkata, “Kata-kata itulah yang aku tunggu. Aku ingin membuktikan, bahwa dengan-serta merta gadis itu menolak untuk aku serahkan kepadamu. Nah, Singatama. Apakah kau tahu artinya?”

“Anak iblis” teriak Singatama, “kau licik. Kau sudah mempersiapkan permainan ini dengan sempurna. Kau ancam gadis itu untuk bermain sebaik-baiknya dalam peranannya sendiri”

“Kau masih juga bermimpi Singatama” jawab Mahisa Murti, “semuanya sudah jelas. Karena itu, aku minta kau kembali saja”

“Tidak. Aku akan menghancurkan kalian semuanya. Aku, atas persetujuan guru, akan membunuh kalian semua. Semalam senjata kami sudah dilekati oleh darah. Sekarang, senjata kami akan menjadi merah oleh darah kalian” geram Singatama

Dalam pada itu, maka guru Singatama pun bergeser selangkah maju. Dengan tenang ia berkata, “Aku puji kemampuan kalian mempermainkan perasaan muridku. Aku kagum atas kecerdikanmu anak muda. Tetapi apakah kau tidak berpendapat, bahwa sebaiknya, permainan ini diakhiri?”

“Siapa kau?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku adalah guru Singatama” jawab orang itu, “namaku tidak penting bagimu. Tetapi orang memberi aku panggilan yang aneh, yang sebenarnya aku kurang senang. Mereka menyebutku Pulung Geni. Aku tidak tahu apa artinya. Tetapi aku tidak menolak untuk dipanggil Empu Pulung Geni”

“Jadi kau guru Singatama. Dan kau telah terlibat pula dalam tindak kekerasan seperti ini” bertanya Mahisa Murti, “aku berharap bahwa kau akan berusaha untuk mencegah tindak sewenang-wenang dari muridmu. Tetapi kau justru melibatkan diri kedalamnya”

Orang yang disebut Empu Pulung Geni itu tertawa. Katanya, “Kau memang senang bergurau anak muda. Ada-ada saja yang kau ucapkan untuk memancing kegembiraan. Aku senang mendengar guraumu yang segar itu”

“Aku bersungguh-sungguh” Mahisa Murti lah yang kemudian hampir berteriak.

Tetapi orang yang disebut Empu Pulung Geni itu justru tertawa semakin keras. Wajah Mahisa Murti telah membara. Namun yang lebih tidak sabar lagi adalah Mahisa Pukat. Dengan lantang ia berteriak, “Kau sangka leluconmu itu baik?”

“Oh” guru Singatama itu masih tertawa, “kau jadi marah? Ternyata kau tidak mampu bergurau seperti kawanmu itu. Nampaknya kau bukan seorang periang. Tetapi seorang pemarah”

“Tutup mulutmu. Apa maumu sebenarnya” teriak Mahisa Pukat semakin keras”

Tetapi Empu Pulung Geni itu sama sekali tidak merubah sikapnya. Ia masih saja dengan tenang dan tertawa menanggapi sikap Mahisa Pukat. Katanya, “Sebenarnya kita dapat bersahabat. Terutama kawanmu yang pandai bergurau itu. Jika kalian menyerahkan gadis itu dan dua orang muridku yang kau tawan dengan sikap yang curang, maka persoalan di antara kita sudah selesai. Kalian bebas untuk kembali ke padepokan yang untuk sementara dipimpin oleh Empu Nawamula, tanpa perasaan takut untuk di hukum, meskipun tingkah laku kalian sampai saat ini memang perlu dipertimbangkan”

Kemarahan Mahisa Pukat telah tidak terkendali lagi. Justru karena itu, maka mulutnya bagaikan terbungkam. Tubuhnya bergetar dan sorot matanya bagaikan melontarkan api. Karena itu, maka Mahendra merasa perlu untuk menolong kedua anaknya itu. Kedua anak-anak muda yang telah terpancing oleh sikap orang yang disebut Pulung Geni itu. Karena itu, maka ia kemudian mendekati Mahisa Murti sambil berkata, “Tenanglah anak-anak. Jangan terbawa oleh arus perasaanmu. Biarlah aku mencoba menjawabnya.”

Ketika kemudian Mahendra berdiri pula disisi Mahisa Murti di atas sebuah pelanggrangan bambu, maka guru Singatama itu memandanginya dengan tajamnya. Bahkan kemudian dengan nada datar ia bertanya, “Siapa kau? Apakah kau juga akan turut campur?”

“Tidak Ki Sanak” jawab Mahendra, “aku hanya ingin menolong anak-anak ini untuk dapat mengendapkan perasaannya, agar ia dapat menjawab pertanyaanmu dengan baik”

Empu Pulung Geni menganguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Ajarilah anak-anak itu berpikir bening. Sebenarnya ia tidak dirugikan oleh tindakan Singatama, karena ia bukan keluarga gadis itu. Ia tidak bersangkut paut dan tidak wajib untuk ikut mencampurinya. Jika ia melepaskan diri dari keterlibatannya, maka ia tidak akan mengalami sesuatu yang akan dapat membuatnya menyesal”

Mahisa Murti sudah akan berteriak. Tetapi Mahendra mendahului, “Terima kasih Ki Sanak. Aku juga akan memberinya nasehat seperti itu. Tetapi manakah yang lebih baik. Tingkah laku anak-anak muda ini dengan muridmu yang bernama Singatama itu. Anak-anak ini melibatkan diri justru karena ia merasa tersinggung rasa keadilannya melihat tingkah laku muridmu yang bernama Singatama, karena Singatama telah memaksakan kehendaknya atas seorang gadis yang bernama Widati ini”

Empu Pulung Geni mengangguk-angguk. Katanya, “Pertanyaanmu tepat sekali Ki Sanak. Tetapi bagaimanakah jika kita bersetuju untuk tidak saling mengganggu. Soal hubungan antara Singatama dan gadis itu, biarlah diselesaikan oleh Singatama dan keluarganya”

“Jika hal itu terjadi, maka anak-anak muda ini merasa, bahwa mereka tidak bermanfaat bagi sesama di dalam hubungannya dengan sikap seseorang yang memaksakan kehendaknya atas orang lain” jawab Mahendra, lalu, “persoalan ini sebenarnya adalah persoalan manusia. Bukan persoalan yang dapat dibatasi antara dua belah pihak yang memaksakan kehendaknya dan yang tidak mempunyai kemampuan untuk menghindarkan diri dari paksaan itu, meskipun akibatnya adalah penderitaan”

“Jadi kalian benar-benar dengan sadar melibatkan diri kedalam persoalan ini” bertanya Empu Pulung Geni.

“Benar Ki Sanak” jawab Mahendra, “persoalannya tidak terbatas pada persoalan seorang gadis. Tetapi dengan demikian kami akan melihat pada pokok persoalannya. Kami tidak sependapat bahwa seseorang dibenarkan untuk memaksakan kehendaknya atas orang lain berdasarkan kepada kekuatan dan kekerasan. Yang nampak sekarang di sini adalah keinginan Singatama untuk mengambil gadis itu. Tetapi di tempat lain dan dalam kesempatan lain, kalian akan dapat berbuat jauh lebih banyak. Mungkin kalian ingin memaksakan kehendak kalian untuk mendapatkan perempuan, harta benda, kekuasaan dan akhirnya dunia ini ingin kau miliki”

Empu Pulung Geni mengangguk-angguk. Sementara itu, darah Singatama bagaikan sudah mendidih. Ia tidak mengerti, kenapa gurunya masih saja bersabar menghadapi orang-orang di dalam lingkungan dinding kayu itu.

“Baiklah Ki Sanak” berkata Empu Pulung Geni, “agaknya aku sudah tidak mempunyai pilihan lain. Soalnya bukan sekedar gadis itu. Tetapi kalian sudah menghina perguruan kami dengan menawan dua orang di antara kami. Apalagi jika keduanya ternyata telah kalian bunuh, maka kalian benar-benar akan menyesal”

“Jadi, apakah kalian ingin mengurungkan niat kalian” bertanya Mahendra.

“Tidak Ki Sanak” jawab guru Singatama itu dengan tenang, “kami akan membakar padepokanmu dan membunuh semua orang yang ada di dalam barak yang kau sebut padepokan itu. Kami akan mempergunakan darah kalian sebagai darah manusia yang pertama bagi sebuah upacara. Biasanya kami mempergunakan darah binatang. Tetapi pada saatnya, kami memang harus mempergunakan darah manusia”

Mahendra mengangguk-angguk. Sejenak ia memperhatikan orang-orang yang menebar di luar dinding apa yang di sebutnya padepokan itu.

“Jumlah mereka terlalu banyak bagi penghuni sebuah padepokan” berkata Mahendra di dalam hati.

“Apa yang sedang kau pikirkan Ki Sanak” tiba-tiba saja Empu Pulung Geni bertanya.

Dalam keadaan yang demikian Mahendra masih sempat tersenyum sambil menjawab, “Tidak apa-apa. Aku sedang menghitung orang-orangmu”

“Terlalu banyak” bertanya Empu Pulung Geni.

“Cukup untuk menghancurkannya hari ini” jawab Mahendra.

Anak-anak muda dikedua belah pihak sudah tidak telaten lagi mendengar pembicaraan itu. Namun Empu Pulung Geni masih dengan sareh berkata, “Anak-anak. Bersiaplah. Kita akan segera mulai”

Para Putut dan cantrik dari padepokan orang yang disebut Empu Pulung Geni itu pun segera mempersiapkan diri. Merekapun kemudian menebar di bagian depan apa yang disebut sebuah padepokan. Nampaknya mereka tidak akan mengalami kesulitan untuk memecah dinding kayu yang tidak begitu tinggi itu, atau bahkan meloncatinya.

Namun dalam pada itu, Mahendra pun telah memberikan isyarat kepada Mahisa Bungalan untuk bersiap. Mereka berada di belakang pintu regol yang tertutup. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah meninggalkan tempatnya berusaha untuk membangkitkan keberanian para cantrik yang masih saja ragu-ragu.

“Kita sudah berada di ujung tombak” berkata Mahisa Murti, “terserah kepada kita. Apakah kita akan membiarkan tombak itu menghunjam di perut kita, atau kita akan menghindarinya”

Ternyata dalam keadaan yang paling gawat, para cantrik itu sadar, bahwa mereka harus berusaha menyelamatkan jiwa mereka masing-masing. Karena itu, maka Mahisa Pukatpun berkata, “Nah, sekarang kalian bersiap di dalam dinding. Jika mereka meloncat ke dalam atau berusaha merusak dinding, maka adalah menjadi kewajiban kalian untuk menghalau mereka”

Dalam pada itu, maka Empu Pulung Geni pun kemudian berkata tanpa kesan kemarahan, bahkan lebih mirip dengan aba-aba dalam permainan, “Lakukanlah anak-anak, kalian dapat berbuat apa saja. Bahkan membakar padepokan itu sampai lebur menjadi abu. Jika Singatama masih menginginkan perempuan itu, biar perempuan itu sajalah yang hidup. Tetapi jaga, agar kalian dapat menyelamatkan kedua orang saudaramu yang tertawan. Tetapi jika keduanya sudah terbunuh, maka aku minta kedua anak muda yang menawannya itu kalian tangkap hidup-hidup. Jangan beri kesempatan mereka membunuh diri, karena keduanya adalah wadag yang paling baik untuk mengantarkan upacara”

Sikapnya memang sangat menarik perhatian. Tetap Mahendra pun sepenuhnya dapat menguasai dirinya, sehingga katanya kepada orang-orang yang berada di dalam dinding, “Bersiaplah. Permainan akan segera dimulai”

Sebenarnyalah kedua belah pihak sudah bersiap. Para murid Empu Pulung Geni sama sekali bersikap lain dari gurunya. Bahkan, mereka pun merasa heran, bahwa gurunya bersikap terlalu sabar menghadapi orang-orang di dalam padepokan itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja mereka telah bergerak dengan hentakan yang mengejutkan. Mereka berteriak bersama dalam nada yang tinggi, seolah-olah hendak meruntuhkan langit. Satu suasana yang jauh berbeda dengan sikap Empu Pulung Geni.

Namun Mahendra, Witantra dan Mahisa Agni pun segera dapat membaca sikap yang sebenarnya dari perguruan yang sedang mereka hadapi itu. Dalam pada itu, para cantrik pun segera bersiap di belakang dinding. Sementara Widati yang menggigil ketakutan dibimbing oleh ayahnya masuk ke dalam barak.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memerintahkan empat orang cantrik untuk mengamati gadis itu dan melindunginya jika di luar dugaan, satu atau dua orang menyusup sampai ke tempatnya. Sementara di lingkungan apa yang mereka namakan padepokan, lima orang cantrik selalu berjaga-jaga. Untuk ketenangan hati Mahisa Murti, maka seorang dari prajurit pilihan telah berada bersama dengan para cantrik itu.

Demikianlah, maka sejenak kemudian pertempuran itu pun telah berkobar. Para cantrik yang berada di dalam dinding dengan ujung tombak dan pedang berusaha mencegah saudara-saudara seperguruan Singatama untuk memasuki dinding. Dipimpin oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berdiri berseberangan di sebelah menyebelah regol, para cantrik yang merasa dirinya tidak mempunyai pilihan lain daripada mempertahankan hidupnya itu pun telah menentukan satu sikap yang pasti. Dengan demikian, maka benturan kekuatan pun tidak dapat dihindari lagi. Ujung-ujung senjata mulai berbicara di dinding apa yang disebut sebuah padepokan itu.

Namun dalam pada itu, adalah di luar dugaan guru Singatama yang disebut Empu Pulung Geni itu, ketika tiba- tiba saja pintu regol terbuka. Dengan serta merta, sekelompok orang dari dalam regol pun berlari-larian keluar dengan senjata telanjang di tangan. Mereka adalah para prajurit Singasari yang dipimpin langsung oleh Mahisa Bungalan.

Sergapan yang tiba-tiba itu benar-benar mengejutkan para pengikut Empu Pulung Geni. Sejenak, mereka justru menyibak karena senjata yang berputaran. Namun beberapa saat kemudian ternyata merekapun telah berhasil menguasai diri mereka kembali.

Mahisa Agni dan Witantra masih mengamati pertempuran itu dari dalam dinding, sementara Mahendra tidak sampai hati membiarkan Mahisa Bungalan keluar tanpa pengamatannya, apabila tiba-tiba saja ia harus berhadapan dengan Guru Singatama yang menurut perhitungan Mahendra, tentu seorang yang berilmu sangat tinggi.

Dalam pada itu, maka Mahisa Agni dan Witantra memperhatikan pertempuran itu dengan hati yang berdebar-debar. Di luar dugaan, maka Mahisa Agni pun berdesis, “Apakah kau yakin, bahwa yang kita hadapi sekarang ini sebuah padepokan?”

Witantra mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Memang mungkin sebuah padepokan. Tetapi sebuah padepokan yang khusus”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Sebuah padepokan yang memang sangat menarik perhatian. Padepokan yang memiliki sebuah kekuatan yang besar. Bahkan mungkin belum semua kekuatan dikerahkan.

Witantra tidak menjawab. Diamatinya pertempuran yang menjadi semakin dahsyat. Orang orang yang datang menyerang itu benar-benar orang-orang yang kasar dan keras. Namun mereka memang memiliki kelebihan dari sebuah padepokan biasa dan cantrik-cantriknya pun memiliki ilmu yang cukup baik. Lebih baik dari para cantrik di padepokan Empu Nawamula.

“Lebih baik dan lebih Banyak” berkata Witantra, “cantrik-cantrik dari padepokan Empu Nawamula ini masih dibayangi oleh ketakutan, sementara kemampuan mereka memang masih pada tataran permulaan”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Untunglah bahwa Mahisa Bungalan datang bersama sekelompok prajurit yang dapat membantu kedudukan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat”

“Tetapi yang sangat menarik adalah padepokan itu sendiri” berkata Witantra, “aku condong mempunyai dugaan, bahwa padepokan itu bukan sebuah padepokan yang biasa kita jumpai”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Sementara itu pertempuranpun menjadi semakin seru. Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kekuatannya.

Sebenarnyalah bahwa pasukan Empu Pulung Geni benar-benar merupakan sebuah pasukan yang sangat menggetarkan. Mereka bertempur dengan kasar dan keras. Mereka berteriak-teriak dengan liar dan mempergunakan cara apapun untuk menguasai lawannya. Namun prajurit Singasari di bawah pimpinan Mahisa Bungalan itupun memiliki pengalaman yang luas. Karena itu, maka mereka tidak menjadi bingung menghadapi pasukan Empu Pulung Geni.

Para Putut dari padepokan Empu Pulung Geni itu pun telah memencar. Mereka memimpin para cantrik dengan sasaran yang berbeda. Ada diantara mereka yang berusaha memasuki dinding. Tetapi sebagian dari mereka terpaksa bertempur menghadapi pasukan yang dipimpin oleh Mahisa Bungalan, yang justru keluar dari batas dinding apa yang disebut padepokan itu.

Namun dalam pada itu ternyata, bahwa usaha para pengikut Pulung Geni memasuki dinding padepokan itu, semakin lama menjadi semakin mendesak. Meskipun sebagian di antara mereka harus menghadapi sekelompok prajurit Singasari yang tidak mempergunakan ujud keprajuritannya, namun yang lain berhasil mengguncangkan pertahanan para cantrik dari padepokan yang dipimpin oleh Empu Nawamula. Ternyata bahwa para pengikut Empu Pulung Geni memang mempunyai kelebihan sehingga mereka memaksa para cantrik dari padepokan Empu Nawamula yang memang masih selalu dibayangi oleh keraguan dan ketakutan, untuk menjadi semakin berdebar-debar.

“Kita tidak dapat tinggal diam” berkata Mahisa Agni.

“Baiklah” jawab Witantra, “kita akan membagi diri. Aku disini dan kau berada di sebelah regol”

Dengan demikian, maka di sebelah menyebelah regol terdapat Mahisa Murti dan Mahisa Agni. Sementara di seberang yang lain Witantra dan Mahisa Pukat. Dengan mereka, maka para cantrik berusaha untuk mengusir lawan mereka yang berusaha untuk memanjat dan meloncat dinding.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih muda itu pun bertempur dengan sepenuh hati. Karena itu, lawan mereka yang secara kebetulan berhadapan dengan kedua anak muda itu disaat mereka berusaha memanjat dinding, terpaksa harus meloncat surut dengan luka di tubuh. Apalagi setelah Mahisa Agni dan Witantra ikut serta berusaha menghalau mereka, meskipun dengan cara yang agak berbeda dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Namun demikian, Mahisa Agni dan Witantra masih tetap mengamati cara yang dipergunakan oleh Empu Pulung Geni dan orang-orangnya untuk memecahkan apa yang disebut padepokan itu. Kekuatan yang ada pada Empu Pulung Geni benar-benar satu kekuatan yang besar. Seandainya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak disertai oleh Mahisa Bungalan dengan sekelompok pasukannya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan mengalami kesulitan.

Sementara itu, meskipun di pihak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah disertai sekelompok prajurit dibawah pimpinan Mahisa Bungalan, namun mereka tidak segera dapat menyelesaikan kewajiban mereka. Ternyata pertempuran itu menjadi semakin seru. Empu Pulung Geni ternyata mampu mempertahankan garis pertempuran dekat dengan dinding apa yang disebut padepokan itu.

Mahisa Agni dan Witantra masih saja berusaha untuk menilai lawan sambil berusaha mengusir mereka. Bahkan perkiraannya sampai pada satu kesimpulan, bahwa padepokan Empu Pulung Geni itu tentu bukan sekedar sebuah padepokan yang menurut laporan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dan yang telah disaksikannya sendiri, sering memaksakan kehendaknya atas orang Lain.

“Tentu lebih dari itu” berkata Manisa Agni di dalam hatinya sebagaimana pendapat Witantra.

Dalam pada itu, Empu Pulung Geni sendiri ternyata masih belum terjun kedalam peperangan. Ia memperhatikan dengan seksama apa ying terjadi. Dengan cermat ia mengamati tingkah laku para pengikutnya dan lawan-lawannya. Seorang Putut yang paling tua di dalam padepokannya, mendampinginya dengan senjata telanjang di tangan.

“Aneh” berkata Empu Pulung Geni, “aku tidak percaya bahwa yang bertempur di luar dinding itu juga para cantrik dari padepokan Singatama yang untuk sementara dipimpin oleh Empu Nawamula”

Putut yang berdiri di sampingnya itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat Empu. Mereka terlalu baik bagi seorang cantrik. Mereka lebih baik dari cantrik-cantrik kita. Bahkan jauh lebih baik”

Empu Pulung Geni mengerutkan keningnya ketika ia melihat, bagaimana Mahisa Bungalan bertempur menghadapi lawan-lawannya. “Anak muda itu aneh” berkata Empu Pulung Geni. Lalu, “Ia memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Jika kau biarkan ia bergerak, maka ia akan menjadi pembunuh yang tidak dapat dicegah lagi”

Putut itu mengangguk. Ia melihat dua orang putut yang lain bertempur di ujung-ujung arena. Sementara itu, Singatama sendiri tengah berusaha dengan sepenuh hati untuk dapat memasuki apa yang disebut padepokan itu. Agaknya Singatama berkeras hati untuk dapat mengambil gadis yang diinginkannya.

Tetapi memasuki apa yang disebut padepokan itu ternyata tidak terlalu mudah. Apalagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta Mahisa Agni dan Witantra berada di dinding itu pula.

Putut yang semula mendampingi Empu Pulung Geni itu pun kemudian berusaha mendekati Mahisa Bungalan. Sejenak ia memperhatikan anak muda itu. Namun kemudian ia pun bergeser maju sambil berdesis, “Kau luar biasa anak muda”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang yang menyapanya itu. Sementara Putut itu berkata pula, “Apakah kau termasuk salah seorang cantrik dari padepokan Nawamula?”

Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Ya. Aku adalah seorang cantrik”

Tetapi Putut itu tertawa. Katanya, “Kau jangan berbohong. Aku tahu, bahwa para cantrik tidak akan berani melakukan hal seperti ini tanpa orang lain berdiri di belakangnya. Agaknya kau termasuk salah seorang yang telah menghasut para cantrik itu untuk memberontak terhadap Singatama”

Mahisa Bungalan tidak segera menjawab. Dipandanginya Putut yang berdiri dihadapannya itu. Nampaknya orang itu memang cukup meyakinkan. “Siapa kau” tiba-tiba saja Mahisa Bungalan bertanya.

“Aku adalah salah seorang pembantu Empu Pulung Geni” jawab Putut itu, “aku adalah Putut tertua dari padepokannya. Aku mendapat perintah oleh Empu Pulung Geni, agar aku menghentikan tingkah lakumu yang sewenang-wenang”

“Oh” Mahisa Bungalan menjawab, “aku sama sekali tidak merasa berbuat sewenang-wenang. Aku berbuat wajar sebagaimana dilakukan oleh seseorang di peperangan. Jika kau sempat melihat, orang-orangmu telah bertempur dengan kasarnya. Bahkan liar dan tidak terkendali. Dengan demikian aku dapat melihat watak dari padepokanmu. Padepokan yang dipimpin oleh orang yang disebut Empu Pulung Geni itu”

Putut itu mengangguk-angguk. Katanya “Pengamatanmu tajam sekali Ki Sanak”

“Tingkah laku Empu Pulung Geni sama sekali bertentangan dengan wataknya yang sebenarnya. Demikian pula kau” berkata Mahisa Bungalan kemudian, “kesabaran kalian bukan kesabaran yang sebenarnya. Tetapi merupakan satu bagian dari perhitungan kalian yang cermat”

Putut itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar Ki Sanak. Tetapi bukan berarti bahwa pendapatmu itu akan mempengaruhi kami dalam keseluruhan. Kami memang kasar dan bahkan buas. Karena itu, kalian akan mati dan berkubur di tempat ini”

Mahisa Bungalan tidak menjawab, Tetapi ia pun segera bersiap untuk bertempur. Dalam pada itu, pertempuran pun telah menyala semakin besar dan seru. Senjata berdentangan dan darah pun mulai menitik dari luka.

Sementara itu, Mahendra yang berada di arena di luar regol apa yang di sebut padepokan itu, masih belum bertempur dengan sungguh-sungguh. Ia masih tetap berada di antara para prajurit Singasari yang memulas diri, sebagaimana orang kebanyakan. Namun Mahendra tetap mengawasi, apa yang akan dilakukan oleh Empu Pulung Geni.

Dalam pertempuran yang semakin sengit itu, Mahisa Bungalan telah terlibat kedalam pertempuran dengan Putut tertua dari perguruan Empu Pulung Geni. Ternyata Putut tertua itu memang memiliki ilmu yang tinggi. Ilmu yang bersumber dari alam yang gelap dengan ujud yang kasar dan keras. Tetapi Mahisa Bungalan telah membekali diri dengan ilmu yang mantap. Karena itu, sejenak kemudian mulai nampak bahwa Mahisa Bungalan mampu mengimbangi tingkat ilmu Putut tertua dari perguruan Empu Pulung Geni itu.

Sementara itu, para pengikut Empu Pulung Geni yang lain masih belum berhasil memasuki dinding padepokan. Para cantrik yang berada di dalam dinding, ternyata mulai dibasahi oleh keringat dan kepercayaan kepada diri sendiri. Karena itu, maka mereka pun bertempur semakin mantap. Mereka berusaha menghalau setiap orang yang berusaha meloncati dinding yang tidak begitu tinggi itu dipimpin oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Namun dalam pada itu. Empu Pulung Geni menjadi semakin cemas melihat perkembangan dari pertempuran itu. Karena itu, maka ia merasa wajib untuk segera ikut menerjunkan diri kedalam kobaran api pertempuran yang menjadi semakin menyala. Mahisa Bungalan menjadi semakin garang menghadapi lawannya. Sehingga sejenak kemudian, maka Putut tertua dari perguruan Pulung Geni itu semakin terdesak.

“Anak iblis” geram Putut itu di dalam hatinya, “anak ini memiliki ilmu yang tinggi”

Sebenarnyalah, meskipun Putut itu mengerahkan segenap kemampuannya, namun ia menjadi semakin terdesak pula, seperti para cantrik yang lain pun telah semakin terdesak pula oleh para prajurit Singasari, sementara kawan-kawan mereka masih belum berhasil memasuki halaman apa yang disebut padepokan itu.

Namun dalam pada itu, Widati benar-benar menjadi ketakutan. Ia merasa diumpankan untuk memancing perselisihan. Jika orang-orang di dalam lingkungan apa yang disebut padepokan itu gagal bertahan, maka ia akan menjadi barang rampasan yang jauh lebih tidak berharga dari apabila ia menerima lamaran Singatama.

Dengan hati yang berdebaran ia melihat para cantrik yang mengawalnya. Nampaknya para cantrik itu pun telah bersiaga sepenuhnya. Tetapi wajah mereka agak kurang meyakinkan, bahwa mereka pun siap menghadapi setiap kemungkinan.

Namun apabila di muka barak itu lewat seorang yang sebenarnya adalah prajurit Singasari yang mendapat tugas untuk membantu para cantrik mengawasinya, rasa-rasanya hatinya menjadi tenang. Sikap orang itu jauh lebih meyakinkan dari sikap para cantrik yang ada di sekitarnya. Tetapi tanpa para cantrik itu, hatinya tentu akan menjadi lebih ketakutan lagi.

Sementara itu, sorak dan teriakan di muka apa yang disebut padepokan itu menjadi semakin gemuruh. Orang- orang dari perguruan Pulung Geni bertempur sambil berteriak-teriak. Kadang-kadang kasar dan bahkan mengumpat-umpat.

Dalam pada itu, Empu Pulung Geni sudah menjadi semakin dekat dengan orang-orang yang sedang bertempur. Wajahnya kadang-kadang menegang. Namun kemudian wajah itu kembali menjadi tenang.

“Orang ini memang luar biasa” berkata Mahendra di dalam hatinya. Sehingga dengan demikian, maka Mahendra pun bergeser semakin mendekati orang yang disebut Empu Pulung Geni itu. Ketika Empu Pulung Geni berhenti sejenak sambil mengamati pertempuran, maka Mahendra bertempur beberapa langkah saja dari padanya tanpa menarik perhatiannya.

Sementara itu Singatama berusaha dengan sekuat-kuat kemampuannya untuk menembus pertahanan para cantrik dengan memecah dinding. Beberapa orang saudara seperguruannya telah berusaha untuk membantunya. Mereka berteriak-teriak memanggil nama dua orang saudara seperguruannya yang tertawan. Namun sebenarnyalah yang lebih penting bagi Singatama adalah Widati.

Tetapi mereka menghadapi perlawanan yang gigih dari para cantrik. Dengan berdiri di atas alas kayu dan bambu, para cantrik berusaha mengusir para pengikut Pulung Geni dengan senjata mereka.

Dalam pada itu, dua orang saudara seperguruan Singatama yang tertangkap, masih tetap di sekap dalam sebuah ruang di dalam barak itu diawasi oleh para cantrik yang berada di antara barak-barak itu bersama seorang prajurit Singasari yang ditugaskan bersama mereka di samping para cantrik yang menunggui Widati. Namun mereka merasa heran, bahwa mereka justru mendapat perawatan yang baik. Luka-luka mereka telah diobati dan mereka sama sekali tidak diperlakukan dengan kasar. Sekali-sekali mereka memang dibentak dan dimaki, Tetapi yang mereka alami itu sama sekali tidak berarti, sebagaimana mereka memperlakukan orang lain.

Justru karena itulah, telah timbul berbagai pertanyaan di dalam hati mereka tentang sikap dan tingkah laku mereka sendiri sebelumnya, yang mereka anggap sebagai sikap yang wajar dan akan dilakukan oleh setiap orang. Namun ternyata bahwa mereka telah menjumpai satu sikap dari sekelompok orang yang berbeda sekali dengan sikap mereka dan orang orang dilingkungan perguruan mereka.

Dalam ketegangan yang semakin memuncak, maka Empu Pulung Geni tidak dapat lagi menahan dirinya. Dengan pasti ia telah mencabut pedangnya. Pedang yang besar dan bertajam ganda. Pedang yang dibuat dengan khusus sebagaimana seseorang membuat keris.

Sikap Empu Pulung Geni memang menumbuhkan ketegangan tersendiri. Mahisa Agni dan Witantra sempat menyaksikannya, bagaimana Pulung Geni itu menarik pedangnya dan mengangkatnya di atas kepalanya. Pamor dari pedang itu nampak berkilat sesaat di antara kehitaman tubuh pedang itu sendiri.

“Bukan main” desis Witantra, sebagaimana Mahisa Agni dan Mahendra yang mengagumi ujud pedang Empu Pulung Geni itu.

“Pedang itu akan dapat membantai lawan-lawannya” berkata Mahendra di dalam hatinya. Karena itu, maka iapun bergeser semakin dekat. Ia merasa wajib untuk menghalangi pembantaian yang dapat dilakukan oleh Pulung Geni. Orang yang bersikap terlalu tenang dan dalam. Namun menilik pengamatan Mahendra, orang itu justru menyimpan sikap iblis di dalam dirinya.

Tetapi Mahendra yang bertempur di antara para prajurit yang menyamar sebagaimana kebanyakan orang itu tertegun ketika tiba-tiba saja ia melihat seseorang yang muncul dari balik gerumbul perdu. Agaknya pertempuran itu telah merampas segala perhatiannya, sehingga Mahendra tidak melihat kapan orang itu bersembunyi di belakang sebuah gerumbul yang tidak terlalu jauh dari ajang pertempuran itu.

“Empu Nawamula” desis Mahendra di dalam dirinya. Tetapi ia tidak menyebutnya, sementara agaknya Empu Nawamula juga tidak menduga, bahwa Mahendra berada di antara mereka yang bertempur itu. Karena itu. Empu Nawamula sama sekali tidak memperhatikan orang-orang yang sedang terlibat di dalam pertempuran. Perhatiannya sepenuhnya ditujukan kepada Empu Pulung Geni.

Dengan langkah yang mantap, Empu Nawamula mendekati Empu Pulung Geni yang agaknya terkejut pula melihat kehadiran orang itu. Dengan ragu-ragu ia memperhatikannya. Sementara itu langkah Empu Nawamula itupun menjadi semakin mantap.

Dalam pada itu, di luar sadarnya. Singatama telah melihat pula orang yang datang itu ketika dengan tidak sengaja ia berpaling kearah gurunya untuk menyatakan kekesalannya oleh kegagalannya untuk meloncati dinding yang tidak terlalu tinggi itu. Dengan demikian, maka di luar sadarnya pula ia telah memanggil pamannya, “Paman Nawamula”

Empu Nawamula memandang ke arah kemanakannya itu dengan sorot mata kemarahan. Tetapi ia tidak sempat berbicara kepada kemanakannya karena Empu Pulung Geni telah menegurnya, “Empu Nawamula. Kenapa Empu datang kemari?”

Empu Nawamula memandang Empu Pulung Geni dengan tajamnya. Kemudian katanya, “Aku ingin melihat bagaimana seorang guru memanjakan muridnya yang paling dikasihinya”

Wajah Empu Pulung Geni menjadi tegang. Tetapi sejenak kemudian ia tersenyum, “Aku tahu, bahwa muridku itu adalah kemanakan seorang Empu yang mumpuni. Karena itu, aku ingin membuat anak itu mumpuni pula seperti pamannya. Nampaknya usahaku hampir berhasil. Ia sudah memiliki ilmu yang barangkali sejajar dengan ilmu Empu. Hanya karena kemanakan Empu itu kurang berpengalaman, maka ia masih memerlukan waktu untuk mengetrapkan ilmunya sebagaimana seorang yang berilmu tinggi”

Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jadi menurutmu, Singatama telah memiliki ilmu sebagaimana aku miliki?”

“Ya” jawab Empu Pulung Genii singkat.

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah kau bermaksud mengatakan, bahwa dengan demikian maka kau, gurunya memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari ilmuku?”

“Aku tidak mengatakankannya. Tetapi kau dapat memperbandingkan sendiri. Ilmumu setingkat dengan ilmu muridku. Meskipun muridku yang bernama Singatama itu adalah muridku yang sangat aku kasihi karena ia memiliki kemungkinan masa depan yang sangat cerah, namun ia bukan muridku yang memiliki ilmu tertinggi saat ini” sahut Empu Pulung Geni.

“Bagus sekali” desis Empu Nawamula, “jika demikian sepantasnyalah bahwa aku harus berguru kepadamu untuk beberapa tahun, agar aku mampu mengimbangi muridmu yang terbaik”

“Aku tidak berkeberatan Empu. Tetapi minggirlah. Aku akan bertempur melawan orang-orang sombong ini” jawab Empu Pulung Geni.

Tetapi Empu Nawamula justru menjawab, “Tunggu Ki Sanak. Aku masih ingin berbicara tentang rencanaku untuk berguru. Apakah kau sama sekali tidak menaruh perhatian?”

“Jangan bicarakan sekarang justru dalam kesibukan seperti ini” jawab Empu Pulung Geni.

“Maksudku, apakah kau tidak ingin melihat, sampai di mana batas kemampuan calon muridmu. Dengan demikian kau akan dapat menentukan tingkat yang manakah yang akan kau pakai sebagai landasan untuk mulai dengan latihan-latihan olah kanuragan yang akan kau berikan. Atau Putut yang manakah yang paling pantas untuk menangani seseorang dalam tataran tertentu setelah kau mengetahuinya”

“Sudahlah” berkata Empu Pulung Geni, “katakan saja bahwa kau menantangku. Aku kira dengan demikian kerjaku akan lebih cepat selesai. Aku akan membunuhmu kemudian membunuh orang-orang yang sombong, yang aku kira adalah karena bujukanmu bahwa mereka telah meninggalkan padepokan”

“Kau salah Ki Sanak” jawab Empu Nawamula, “aku sama sekali tidak membujuk mereka. Tetapi aku tidak sampai hati membiarkan mereka akan menjadi sasaran ketamakanmu sehingga kau akan membantai mereka tanpa ampun”

“Itu adalah hukuman yang paling pantas buat mereka” sahut Empu Pulung Geni.

“Itulah sebabnya aku hadir di sini. Sudah sehari semalam aku menunggu di sekitar tempat ini. Aku yakin bahwa kau tentu akan datang untuk membantai para cantrik atas pengaduan muridmu. Tetapi lebih dari itu, kau tentu akan menunjukkan kemampuanmu untuk menakut-nakuti berbagai pihak, agar mereka tidak berani melawanmu, “ berkata Empu Nawamula.

“Sudahlah” geram Empu Pulung Geni, “jangan banyak bicara. Aku akan mulai. Dan kau akan terbunuh di sini. Jika kau mati, aku harus minta maaf kepada Singatama, karena kau adalah pamannya. Tetapi aku memang tidak mempunyai pilihan lain”

Empu Nawamula pun segera bersiap untuk menghadapi Empu Pulung Geni. Sementara itu, Singatama justru menjadi termangu-mangu. Ia akan menyaksikan gurunya dan pamannya akan bertempur untuk saling membunuh. Ia tahu, bahwa gurunya adalah orang yang mumpuni. Namun ia pun tahu, bahwa pamannya adalah orang yang pilih tanding. Tetapi menurut penilaiannya, gurunya adalah orang yang tidak terkalahkan.

Sejenak kemudian, maka keduanya pun telah bergeser. Sementara itu, Mahisa Bungalan yang tidak mengerti, siapakah yang datang, berusaha untuk membatasi diri. Ia membiarkan kedua orang itu menentukan sikap mereka masing-masing. Jika mereka akan bertempur, biarlah mereka bertempur. Ia sendiri masih mempunyai tugas untuk menyelesaikan para pengikut Empu Pulung Geni itu.

Yang kemudian memperhatikan kedua orang itu dengan seksama adalah Mahendra. Meskipun ia masih berada di antara mereka yang bertempur, tetapi ia mampu melakukannya.

Dalam pada itu, maka Empu Pulung Genipun segera bergeser mendekati lawannya. Ia sudah terlanjur membawa pedang di tangannya. Pedang yang memilki kelebihan dari pedang-pedang kebanyakan. Karena itu. Ia pun telah berniat untuk dengan pedangnya mengakhiri perlawanan Empu Nawamula.

“Aku tidak akan menyarungkan pedangku lagi sekedar untuk menjajagi kemampuan Empu gila ini” berkata Empu Pulung Geni dalam hatinya. Karena itu, maka sejenak kemudian, maka pedangnya pun telah terayun. Katanya, “Empu Nawamula. Menurut pendengaranku kau adalah seorang ahli membuat senjata. Karena itu, kau tentu dapat menilai pedangku ini. Pedang yang dibuat khusus dengan tuah yang khusus pula. Karena itu, sebelum Empu tersentuh oleh pedangku, sebaiknya Empu tidak meneruskan niat Empu untuk mencampuri perkara ini”

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Katanya, “Luwuk di tanganmu itu memang sebuah senjata yang luar biasa. Jarang aku melihat senjata segawat senjatamu. Pamornya bagaikan menyala, sementara tajamnya yang ganda kau ulasi dengan warangan yang berbahaya."

“Karena itu. minggirlah” berkata Empu Pulung Geni.

Tetapi Empu Nawamula tidak menghindar. Bahkan kemudian iapun telah menarik sebilah keris lewat di atas punggungnya. Sebilah keris yang tidak juga seperti kebanyakan keris. Keris itu terlalu besar dan panjang.

“Ki Sanak” berkata Empu Nawamula, “aku memang sudah menyiapkan senjata khusus untuk menghadapi senjatamu. Meskipun aku belum sempat mematangkan warangan pada kerisku seperti warangan pada luwukmu itu, tetapi sentuhan warangan kerisku ini cukup untuk mengantarkan menjelajahi daerah maut”

Empu Pulung Geni mengerutkan keningnya. Keris itu memang luar biasa. Bukan saja ukurannya yang teramat besar, tetapi juga buatannya dan keris itu seolah-olah memancarkan cahaya kebiru-biruan.

“Saat aku mulai dengan pembuatan keris ini” berkata Empu Nawamula, “aku telah mesu diri. Mengurangi makan dan minum. Juga mengurangi tidur dan beristirahat. Ternyata aku berhasil menyelesaikan keris ini dua hari yang lalu meskipun kelak masih harus aku matangkan lagi dengan berbagai laku. Tetapi saat ini keris ini sudah cukup untuk melawan luwukmu itu”

Empu Pulung Geni memandang lawannya dengan tajamnya. Namun tiba-tiba saja ia mengayunkan pedangnya. Tidak terlalu keras. Tetapi langsung mengarah ke kening Empu Nawamula.

Empu Nawamula terkejut. Karena itu dengan serta merta, ia menangkis serangan itu dengan kerisnya yang besar dan panjang. Ketika dua bilah senjata itu berbenturan, maka bunga api-pun telah memercik ke udara. Seolah-olah kedua bilah senjata itu telah menyala dan memercikkan api yang berwarna merah kebiruan.

Empu Pulung Geni melangkah surut. Dengan tegang diamatinya senjata Empu Nawamula. Senjata yang baru dua hari siap. Namun ternyata keris itu nampaknya telah menjadi sebilah keris yang cukup berbahaya.

Demikianlah kedua orang itupun segera terlibat kedalam satu pertempuran yang sengit. Empu Pulung Geni menyerang lawannya bagaikan badai yang menghantam tebing pegunungan. Beruntun, susul menyusul. Tetapi ternyata Empu Nawamula adalah seorang yang memiliki kecepatan bergerak yang mengagumkan. Betapapun dahsyatnya serangan Empu Pulung Geni, namun Empu Nawamula masih selalu dapat mengelakkannya, menangkis dan bahkan dengan cepat ia dapat membalas menyerang kembali.

Untuk beberapa saat keduanya berputaran, saling menyerang, desak mendesak. Keduanya memiliki kelebihan yang sulit dicari bandingnya. Sementara senjata di tangan mereka adalah senjata yang dapat dibanggakan.

Mahisa Bungalan yang sempat menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Ternyata keduanya adalah orang-orang yang luar biasa. Keduanya memiliki ilmu yang tinggi dan senjata yang jarang ada duanya.

Mahendra pun menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun menyaksikan pertempuran kedua orang itu, ia masih juga berdebar-debar.

Demikian pula Mahisa Agni dan Witantra yang masih berada di dalam lingkungan dinding apa yang disebut padepokan itu. Keduanya ternyata kagum juga melihat dua orang tua yang bertempur dengan senjata masing-masing yang memiliki kelebihan dari senjata lainnya.

Pertempuran itu telah menarik perhatian Singatama, sehingga seolah-olah ia menghentikan usahanya untuk meloncati dinding meskipun saudara-saudara seperguruannya tidak berbuat demikian. Ia tertarik untuk menyaksikan pertempuran antara guru dan pamannya. Pertempuran yang dalam waktu yang singkat telah meningkat menjadi sangat dahsyatnya.

Dalam pada itu, Empu Nawamula pun telah melawan Empu Pulung Geni dengan sangat hati-hati. Ia melihat sikap lawannya yang nampaknya tenang dan sabar menghadapi perkembangan keadaan. Tetapi sikap itu bukan sikapnya yang sebenarnya. Empu Pulung Geni telah berusaha mengekang diri dan mempergunakan nalarnya sebaik-baiknya menghadapi orang-orang yang dianggapnya sangat berbahaya. Namun dalam pertempuran yang menjadi semakin dahsyat itupun segera terasa, bahwa Empu Pulung Geni bukannya orang yang tenang dan sabar. Semakin lama, maka sikapnya pun semakin jelas, bahwa Empu Pulung Geni adalah orang yang kasar dan keras.

Sekali-sekali terdengar juga Empu Pulung Geni itu berteriak sambil mengayunkan pedangnya. Namun Empu Nawamula ternyata mampu mengimbangi kekasaran gerak lawannya dengan kecepatannya. Sehingga dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin lama semakin seru.

Dalam pada itu, pertempuran antara kedua orang Empu itu tidak luput dari perhatian Mahisa Bungalan. Meskipun ia sendiri masih harus bertempur dengan murid terpercaya dari perguruan Empu Pulung Geni itu, namun ia selalu berusaha untuk sekali-sekali dapat menilai apa yang telah terja di dengan dua orang tua itu.

Ternyata bahwa kemampuan keduanya cukup berimbang. Pertempuran itu semakin menjadi sengit. Senjata-senjata mereka berbenturan dan memercikkan bunga api. Kaki mereka berloncatan dengan cepat, sehingga seolah-olah tidak menyentuh tanah. Sementara angin putaran senjata mereka telah mengguncang dedaunan gerumbul di sekitar arena pertempuran.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam ketika ia hampir saja tergores ujung senjata lawannya. Namun dalam pada itu, ia pun segera mengambil satu sikap. Ia harus mempercepat usahanya untuk menyelesaikan pertempuran itu. Karena itu, maka dengan menggeretakkan giginya Mahisa Bungalan bertempur semakin cepat. Bahkan para prajuritnya pun telah ikut berbuat demikian pula.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan semakin mendesak lawannya dan bahkan kemudian dengan pasti telah menguasainya. Sedangkan para prajuritnya pun telah mendesak lawan-lawan mereka beberapa langkah surut. Dengan demikian, maka pengaruh pertempuran itu pun terasa pada mereka yang berusaha memecahkan dinding. Ketika kawan-kawan mereka terdesak, maka mereka yang ingin memecah dan meloncati dinding itu pun mulai menjadi gelisah.

Dalam keadaan yang demikian, ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memanfaatkan keadaan itu sebaik- baiknya. Dengan cermat mereka memperhitungkan kemungkinan untuk mengembangkan pertempuran itu. Karena itu, ketika pasukan lawan di luar dinding itu semakin terdesak oleh pasukan Mahisa Bungalan, maka Mahisa Murti pun telah meneriakkan aba-aba, agar para cantriklah yang kemudian memburu keluar dengan meloncati dinding.

“Kita mempunyai kesempatan lebih luas untuk melakukannya,“ teriak Mahisa Murti.

Para cantrik menjadi ragu-ragu. Tetapi Mahisa Murti telah mendahului meloncati dinding yang tidak begitu tinggi, justru keluar.

Mahisa Pukat melihat saudaranya telah meloncat keluar. Jika ia tidak berbuat serupa, maka Mahisa Murti akan mengalami kesulitan. Karena itu, maka iapun segera meloncat pula sambil memerintahkan para cantrik untuk melakukannya pula.

Dalam keragu-raguan, para cantrik menyaksikan beberapa orang lawan mulai mengepung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Betapapun juga mereka telah merasa terikat dalam sikap, sehingga sejenak kemudian ternyata beberapa orang cantrik pun telah berloncatan pula keluar dinding apa yang disebut padepokan itu. Bahkan akhirnya semua cantrik yang berada di dalam dinding itupun telah berada di luar. kecuali para cantrik yang harus mengawasi Widati, para cantrik yang harus mengamati seluruh padepokan itu bersama seorang prajurit, tetap berada di dalam halaman padepokan.

Dengan demikian, maka pertempuran yang sengit pun telah terjadi seluruhnya di luar dinding apa yang disebut padepokan itu. Kekuatan Mahisa Bungalan dan para prajuritnya ternyata sangat mempengaruhi medan. Di antara mereka justru telah menebar dan menyatu dengan para cantrik, sementara yang lain berusaha mendesak lawan-lawan mereka semula. Mahisa Agni dan Witantra pun sudah berada di luar dinding pula. Mereka berada di antara para cantrik. Namun semakin lama mereka menjadi semakin dekat dengan Mahendra.

“Ternyata keduanya adalah orang-orang yang tangguh” desis Witantra disamping Mahendra.

Mahendra berpaling sejenak kearah kedua Empu yang sedang bertempur itu. “Pulung Geni memang sangat berbahaya” desis Mahendra.

“Sesuai dengan niat Mahisa Bungalan” jawab Mahisa Agni, “mereka harus dihentikan. Kegiatan padepokan mereka pun harus dihentikan pula”

Dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin jelas. Apalagi ketika Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra ikut pula, meskipun tanpa menarik perhatian, karena mereka bertempur sebagaimana yang lain bertempur. Namun dengan caranya sendiri, ketiga orang itu telah berhasil memperlemah pertahanan lawan mereka.

Dalam pada itu. Empu Pulung Geni semakin lama menjadi semakin tidak dapat lagi mengendalikan diri. Wataknya yang sebenarnya akhirnya melonjak pula dalam ujudnya yang mendebarkan. Semakin lama Empu Pulung Geni itupun menjadi semakin garang. Teriakan-teriakannya menjadi semakin keras dan tingkah lakunya pun menjadi semakin keras dan kasar. Namun dengan demikian, ia menjadi semakin berbahaya pula. Kekuatannya bagaikan bertambah oleh hentakkan-hentakkan kekuatan dibarengi dengan teriakan-teriakan nyaring.

Tetapi Empu Nawamula pun telah meningkatkan kemampuannya pula sampai ke puncak. Ia menjadi semakin cepat bergerak. Dengan cekatan ia berusaha mengimbangi tingkah laku lawannya. Namun kemudian Empu Nawamula tidak lagi banyak membentur kekuatan Empu Pulung Geni yang bagaikan berlipat. Ia berusaha menghindari benturan-benturan langsung. Namun dengan cepat menyusup pertahanan lawan dengan serangan-serangan yang berbahaya.

Ternyata bahwa kedua tajam senjata kedua Empu itu masih belum berhasil menyentuh lawannya Keduanya adalah senjata yang luar biasa. Meskipun keduanya tentu membawa obat penawar racun, tetapi pengobatan itu tentu juga memerlukan waktu.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan serta para prajurit yang menyertainya menjadi semakin cepat mendesak lawan-lawan mereka. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Betapa garang dan kasarnya lawan-lawan mereka, namun ternyata bahwa mereka tidak dapat mengimbangi kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, seorang melawan seorang. Karena itulah, maka mereka berusaha untuk mengurung kedua anak muda itu dalam kepungan.

Singatama yang telah mengetahui tingkat kemampuan kedua anak muda itu, telah memimpin beberapa orang untuk bersamanya membatasi gerak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan senjata teracu beberapa orang bersama-sama telah mengepungnya. Namun dalam pada itu, di luar perhitungan mereka, maka dibagian lain dari arena itu, beberapa pengikut Empu Pulung Geni telah terdorong surut dengan luka di tubuh mereka. Meskipun luka-luka itu tidak terlalu parah, tetapi luka-luka itu telah memperlemah mereka.

Ternyata bahwa Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra telah melakukan hal yang serupa. Mereka melukai lawan-lawan mereka. Tidak terlalu parah, tetapi memaksa mereka menyingkir untuk mengobati luka mereka. Namun bagaimanapun juga, luka-luka itu telah menghambat perlawanan mereka, karena setiap kali, darah yang telah pampat pun akan mengalir lagi jika mereka terlalu banyak bergerak.

Dengan demikian, maka para cantrik dari padepokan yang untuk sementara dipimpin oleh Empu Nawamula, dan yang kemudian menyingkir kedalam apa yang mereka sebut padepokan itu, tidak lagi terlalu banyak mengalami kesulitan. Meskipun pada dasarnya secara pribadi, kemampuan saudara-saudara seperguruan Singatama lebih baik, tetapi dalam keseluruhan, ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta para cantrik itu mampu mendesak lawan mereka Apalagi Mahisa Bungalan dan para prajurit yang menyertainya.

Empu Pulung Geni yang bertempur melawan Empu Nawamula itupun akhirnya tidak dapat lagi mengingkari satu kenyataan, bahwa para pengikutnya ternyata tidak berhasil mengalahkan lawan-lawan mereka, apalagi menghancurkannya dan mengambil seorang gadis dari apa yang disebut padepokan itu dan sekaligus membebaskan dua orang diantara murid-muridnya yang tertawan.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan dan para prajuritnya benar-benar berusaha untuk melumpuhkan para pengikut Empu Pulung Geni. Meskipun mereka berusaha menghindari pembunuhan, karena mereka ingin menangkap lawan-lawan mereka hidup-hidup dan membawa mereka ke Singasari, namun kadang-kadang para prajurit itu tidak dapat menahan senjata mereka yang terlanjur menghunjam kedalam tubuh lawan, menggores jantung, sehingga lawan mereka itu pun kemudian terkapar tidak bernafas lagi.

Empu Pulung Geni hanya dapat mengumpat kasar. Ternyata ia tidak dapat mengalahkan Empu Nawamula dengan cepat. Bahkan kemudian ia harus mengakui, bahwa Empu Nawamula itu pun mampu mengimbangi kemampuannya. Kerisnya yang besar dapat mengimbangi pedang kebanggaannya, sehingga dengan demikian maka Empu Nawamula yang mampu bergerak dengan cepat itu, sama sekali tidak akan dapat didesaknya.

Menyadari keadaannya, serta keadaan para pengikutnya, maka Empu Pulung Geni harus cepat mengambil satu sikap. Jika ia terlambat, maka seluruh pengikut yang datang bersamanya itu akan dihancurkan oleh lawan yang ternyata memiliki banyak kelebihan.

Dengan demikian, maka tidak ada pilihan lain dari Empu Pulung Geni selain menghindar dari pertempuran. Karena itu, maka dalam satu kesempatan. Empu Pulung Geni telah meloncat meninggalkan lawannya sambil bersuit nyaring. Satu isyarat bagi para pengikutnya, bahwa mereka tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi.

Isyarat itu tidak perlu diulangi. Para pengikutnya yang kecemasan itu pun memang tidak lagi mempunyai harapan. Sehingga karena itu, maka dengan serta merta, para pengikutnya pun telah berloncatan untuk mencari kesempatan meninggalkan medan.

Tetapi Mahisa Bungalan dan para prajurit Singasari tidak membiarkan mereka terlepas. Karena itu. maka mereka pun telah berusaha untuk mencegah sejauh mungkin. Bahkan beberapa orang prajurit telah berusaha mengejar lawan-lawannya yang melarikan diri sampai jauh dari dinding apa yang disebut padepokan itu.

Namun dalam pada itu, ada juga diantara mereka yang berhasil lolos dari kejaran lawan-lawan mereka. Empu Pulung Geni sendiri berhasil lepas dari tangan Empu Nawamula. Bahkan ia masih sempat meneriakkan ancaman, “Empu, pada saatnya kau akan mati di tanganku”

Sementara itu, Singatama pun telah menghindarkan diri dari tangan Mahisa Murti. Meskipun demikian, banyak di antara mereka yang tidak lagi sempat melepaskan diri. Bagaimanapun juga, mereka terpaksa melepaskan senjata mereka dan menjadi tawanan.

Empu Nawamula yang semula berusaha untuk mengejar Empu Pulung Geni terpaksa menghentikan usahanya, sebagaimana beberapa orang prajurit Singasari. Beberapa orang, termasuk Empu Pulung Geni dan Singatama berhasil mencapai kuda-kuda mereka dan dengan kecepatan yang sangat tinggi, kuda-kuda itu berpacu menjauh.

Namun dalam pada itu. ternyata Mahisa Bungalan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berhasil menguasai sebagian besar dari lawan-lawan mereka, sehingga dengan demikian, maka mereka pun yakin bahwa kekuatan padepokan Empu Pulung Geni sudah lumpuh sama sekali.

“Ia harus membangun kekuatan baru untuk waktu yang lama” berkata Mahisa Bungalan kepada para prajuritnya.

Sementara itu, Empu Nawamula telah kembali mendekati apa yang disebut padepokan itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian menyongsongnya, setelah ia memerintahkan para cantrik untuk menguasai para tawanan sepenuhnya. Namun Empu Nawamula pun kemudian terkejut ketika ia melihat seseorang, yang pernah dikenalnya mendekatinya. Sambil tersenyum orang itupun berkata, “Kau memang luar biasa Empu”

“Mahendra” desis Empu Nawamula, “kau berada di sini!”

Mahendra pun tertawa sebagaimana Empu Nawamula. Katanya, “Aku memperhatikan, bagaimana kau bertempur melawan Empu Pulung Geni. Ternyata bahwa kau memiliki ilmu yang tidak ada duanya”

“Ah. Kau masih juga senang memuji” desis Empu Nawamula, “jika aku tahu kau ada disini, aku tidak akan memaksa diri untuk datang ke tempat ini. Bahkan mungkin kau berhasil menangkap orang yang menyebut dirinya Empu Pulung Geni itu”

“Tentu tidak” jawab. Mahendra, “ia bergerak terlalu cepat dan tidak terduga”

“Ia sempat mengancamku” jawab Empu Nawamula.

“Aku mendengar. Pada suatu saat ia akan membunuh Empu” berkata Mahendra.

“Karena itu, aku harus selalu berhati-hati. Nampaknya ia tidak bermain-main atau asal saja berteriak. Ia membawa dendam yang tidak ada taranya” berkata Mahisa Bungalan.

Empu Nawamula memandang anak muda itu sambil berkata, “Kau juga luar biasa anak muda. Siapakah kau sebenarnya? Kau tentu bukan seorang cantrik dari padepokanku”

“Oh” Mahendra lah yang menyahut. Lalu, “Aku memang ingin memperkenalkan beberapa orang yang datang bersamaku ke tempat ini. Anak ini bernama Mahisa Bungalan. Salah seorang dari tiga orang anakku yang ada di sini”

“O, jadi anak ini saudara angger Mahisa Murti dan Mahisa Pukat” sahut Empu Nawamula.

“Ya. Kakaknya” jawab Mahendra.

Empu Nawamula pun menganggukkan kepalanya, sementara Mahisa Bungalan mengangguk pula dengan hormatnya. Sementara itu, Mahendra pun berkata, “Selain anakku itu, aku datang bersama saudara-saudaraku. Mahisa Agni dan Witantra. Keduanya adalah orang-orang yang namanya pernah dikenal di Kediri, sebagai orang yang mendapat kekuasaan pada masa kekuasaan Sri Rajasa di Singasari”

Empu Nawamula pun telah mengangguk hormat pula sebagaimana Mahisa Agni dan Witantra. Sementara itu, Empu itu pun berkata, “Kedatanganku ternyata telah sia-sia. Aku kira aku telah berjasa menyelamatkan para cantrik dari kekasaran dan kebuasan Empu Pulung Geni dan pengikutnya. Ternyata apa yang aku lakukan tidak berarti apa-apa. Bahkan seandainya aku tidak hadir disini, Empu Pulung Geni tentu sudah dapat dibinasakan”

“Jangan diulang lagi” sahut Mahendra, “Marilah. Kita akan berbicara di dalam padepokan ini. Padepokan yang sejak esok pagi sudah tidak akan berarti lagi”

“Aku mempersilahkan kalian singgah di padepokanku. Meskipun tidak terlalu dekat, tetapi agaknya akan lebih baik daripada kalian berada di sini. Selebihnya, akan menenangkan hatiku, karena jika datang pembalasan dari Empu Pulung Geni, maka aku akan dapat berlindung di antara kalian.

Mahendra tertawa. Katanya, “Jangan Empu kira, kami tidak melihat apa yang terjadi. Tetapi kita akan dapat berbicara lebih panjang. Sekali lagi kami mempersilahkan Empu untuk singgah”

Empu Nawamula tidak menolak. Ia pun kemudian bersama dengan Mahendra memasuki regol apa yang dinamakannya padepokan diikuti oleh orang-orang lain. Ternyata bahwa Empu Nawamula kagum juga melihat apa yang disebut padepokan itu. Meskipun sederhana, tetapi nampak bahwa barak-barak yang ada di dalamnya cukup bersih dan terpelihara.

Dalam pada itu, Widati yang ketakutan, hampir menangis ketika ia mengetahui bahwa pertempuran telah selesai. Bahwa isi apa yang disebut padepokan itu berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Bahkan menangkap sebagian besar diantara mereka. Rasa-rasanya ia telah terbebas dari tajamnya ujung duri yang sudah melekat di jantungnya.

“Bersukurlah anakku” berkata ayahnya.

Namun demikian Widati masih juga berkata, “Tetapi bagaimana kemudian ayah. Apakah mereka telah benar- benar dilumpuhkan, dan tidak akan dapat bangkit kembali?”

Pertanyaan itu ternyata telah mendebarkan jantung ayahnya pula. Tetapi ia masih juga menjawab untuk menenangkan anaknya, “Tetapi setidak-tidaknya kau sekarang terlepas dari penderitaan yang paling pahit dan bahkan maut”

Widati tidak menjawab.

Dalam pada itu. Empu Nawamula pun kemudian telah duduk bersama dengan Mahendra, Mahisa Agni dan Witantra, sementara beberapa orang telah mengambil kudanya yang disembunyikannya di belakang sebuah gerumbul. Bahkan para cantrik itu dapat pula menangkap beberapa ekor kuda yang ditinggalkan oleh para pengikut Empu Pulung Geni atau para pengikut yang tertangkap. Tidak banyak yang dibicarakan oleh orang-orang tua itu. Namun mereka kemudian sepakat untuk meninggalkan tempat itu dan memasuki padepokan Empu Nawamula.

“Bagaimana jika ia kembali” bertanya Mahisa Murti.

“Mudah-mudahan tidak segera” jawab Empu Nawamula, “sementara itu para cantrik sudah mendapatkan ilmu kanuragan yang memadai. Selama ini, kanuragan seolah-olah sekedar untuk mengisi waktu mereka yang terluang saja. Bukan satu ilmu yang dituntut dengan sungguh-sungguh. Tetapi agaknya sekarang telah terbukti, bahwa mereka memerlukan ilmu yang lebih baik”

Namun dalam pada itu, mereka tidak sempat untuk berbicara terlalu panjang. Mereka pun segera dituntut uatuk mengobati para cantrik yang terluka. Bagaimanapun juga, dalam benturan kekuatan telah jatuh beberapa orang korban. Bahkan ada di antara mereka yang dengan berat hati harus dilepaskan untuk selama-lamanya.

Hari itu, orang-orang dari apa yang mereka sebut padepokan kecil itu telah bekerja dengan keras. Bukan saja para cantrik dari padepokan Empu Nawamula, tetapi mereka pun harus mengobati para pengikut Empu Pulung Geni, yang dengan heran telah mengalami perawatan yang tidak berbeda dengan lawan-lawan mereka.

“Mereka tidak membunuh kita” desis salah seorang dari mereka.

Tetapi kawannya menjawab, “Ini adalah pembunuhan yang paling keji. Mereka mengobati luka-luka kita. Tetapi sesudah kita sembuh mereka akan memerlukan kita dengan sangat kejam”

Kawannya mengerutkan keningnya. Tetapi menilik sikap lawan mereka yang telah menawan mereka, agaknya mereka mempunyai sikap yang lain dari lingkungan mereka sehari-hari. Meskipun demikian, mereka masih belum berani membayangkan, apa yang sebenarnya akan terjadi atas diri mereka.

Dalam pada itu, di tempat lain, Mahisa Bungalan telah berbincang dengan orang-orang tua, termasuk Empu Nawamula. Sebagaimana ia berangkat mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka Mahisa Bungalan telah berniat untuk membawa orang-orang yang berhasil ditangkap itu ke Singasari, “Mereka akan mendapat perlakuan sewajarnya dan dari mereka akan dapat di tarik satu keterangan yang lebih luas tentang padepokan mereka.”

“Silahkan” berkata Empu Nawamula, “tetapi tentu tidak dengan tergesa-gesa. Aku masih ingin mempersilahkan kalian untuk singgah”

“Ayah dan kedua paman akan singgah bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat” jawab Mahisa Bungalan, “tetapi kami akan membawa mereka kembali ke Singasari”

“Kenapa begitu tergesa-gesa” bertanya Empu Nawamula.

“Atas dasar perhitunganku, maka dalam waktu singkat Empu Pulung Geni tentu belum akan bertindak lagi. Karena itu, maka kami akan merasa aman untuk membawa para tawanan ke Singasari”

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, Mahendra lah yang menyahut, “Bagaimanapun juga, aku. tidak dapat melepaskan kau sendiri membawa orang-orangnya Empu Pulung Geni, nampaknya seorang yang sangat licik. Mungkin ia akan muncul dengan tiba-tiba. Karena itu, biarlah aku ikut pergi ke Singasari. Biarlah kakang Mahisa Agni dan Witantra tinggal bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk sementara”

Ternyata Empu Nawamula tidak dapat mencegahnya. Karena itu, maka Mahendra telah memutuskan untuk kembali ke Singasari menyertai Mahisa Bungalan, karena bagaimanapun juga, ia tidak sampai hati melepaskan anaknya yang akan membawa para tawanan para pengikut Empu Pulung Geni. Jika empu Pulung Geni tiba-tiba saja mengganggu iring-iringan itu, meskipun hanya dengan beberapa pengikutnya yang tersisa, maka Mahisa Bungalan akan mengalami kesulitan, karena menurut pengamatannya. Empu Pulung Geni adalah seseorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Apabila dengan kekejamanan dan keliarannya. Maka Empu Pulung Geni benar-benar seorang yang sangat berbahaya.

Dengan demikian, maka Mahendra pun kemudian telah bersiap-siap bersamaan Mahisa Bungalan dan para prajurit Singasari. Mereka akan berangkat ke Singasari dengan membawa para tawanan. Hanya mereka yang terluka parah, akan tinggal dan akan dibawa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ke padepokan Empu Nawamula. Pada saatnya, prajurit Singasari akan mengambil mereka dan mereka akan dikumpulkan kembali dengan kawan-kawan mereka.

Karena itulah, maka di hari berikutnya, Mahisa Bungalan telah meninggalkan apa yang disebut padepokan itu mendahului orang-orang lain yang akan singgah kepadepokan Empu Nawamula. Dengan cermat Mahisa Bungalan telah mengatur para prajuritnya yang akan membawa para tawanan kembali ke Singasari. Berbeda dengan saat mereka berangkat, maka agar perjalanan mereka tidak mengalami gangguan dan menarik perhatian, karena mereka membawa tawanan, maka Mahisa Bungalan telah memerintahkan mereka untuk mengenakan tanda-tanda keprajuritan mereka.

Mahisa Bungalan sendiri telah mengenakan pakaian keprajuritannya dengan pertanda kebesaran pasukannya. Ia telah memasang kelebet pada sepucuk tombak yang dipakainya sebagai tunggal. Ia berharap bahwa dengan demikian, maka mereka tidak akan mendapat banyak gangguan. Adalah wajar bahwa sepasukan prajurit Singasari telah membawa sejumlah tawanan.

Mungkin iring-iringan itu akan bertemu dengan sepasukan pengawal dari sebuah pasukan. Tanpa mengenakan pakaian keprajuritan Singasari, maka akan dapat timbul masalah antara mereka dengan para pengawal dari Pakuwon yang mencurigai mereka karena mereka telah membawa sekelompok orang yang tertawan.

Demikianlah, maka Mahisa Bungalan pun kemudian telah minta diri kepada paman-pamannya, kepada adik-adiknya dan kepada Empu Nawamula. Namun sementara itu, maka iapun telah menyatakan akan kembali ke padepokan Empu Nawamula untuk mengambil sisa para tawanan yang terluka parah.

Ketika iring-iringan itu meninggalkan apa yang disebut sebagai padepokan itu, maka Widati telah mengeluh disisi ayahnya. Dengan suara dalam ia berkata, “Apa yang dapat aku lakukan ayah. Seorang perwira prajurit itu pun masih harus memperhitungkan kehadiran Empu Pulung Geni. Apalagi aku. Bahkan kita. Singatama dapat saja setiap saat datang kerumah kita. Adalah sangat mengerikan jika ia datang bersama dengan gurunya yang terlepas dari tangan Empu Nawamula, bahkan menurut pendengaranku, ia masih juga sempat mengancam”

Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti kecemasan anak gadisnya. Namun dalam pada itu, ia berkata, “Singatama belum mengetahui, dimanakah rumah kita”

Widati mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil mengangguk ia berkata, “Ya ayah. Singatama belum tahu, di manakah rumah kita. Meskipun demikian, rasa-rasanya aku ngeri juga untuk kembali”

Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Setelah merenung sejenak maka ia pun berkata, “Widati. Sebenarnya aku agak berkeberatan untuk mengatakan. Tetapi terdorong oleh satu keinginan untuk mencari perlindungan. Bagaimana pendapatmu jika untuk sementara kita ikut bersama dengan orang-orang yang tinggal ini pergi ke padepokan Empu Nawamula?”

Widati menundukkan wajahnya. Sebenarnya ia senang sekali melakukannya. Kecuali ia akan mendapatkan perlindungan untuk sementara, juga karena ia mengetahui, bahwa anak muda yang sebenarnya bernama Mahisa Murti itu akan pergi ke Padepokan itu juga.

“Bagaimana pendapatmu Widati” bertanya ayahnya. Widati masih saja menunduk. “Katakan pendapatmu Widati” desak ayahnya.

Dengan nada dalam Widati menjawab, “Segalanya terserah kepada pertimbangan ayah. Mana yang baik bagi ayah, akupun menganggapnya baik juga”

Ayahnya mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, maka biarlah kita pergi ke padepokan itu. Pada suatu saat yang baik, kita akan kembali ke Kabuyutan kita”

Widati tidak menjawab lagi. Namun jantungnya menjadi berdebar-debar.

Demikianlah, maka ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta Mahisa Agni dan Witantra merasa tidak berkeberatan untuk pergi ke padepokan Empu Mawamula, maka mereka pun telah mengambil satu keputusan, bahwa setelah mereka selesai berkemas dan memungkinkan untuk meninggalkan tempat itu bersama mereka yang terluka, maka mereka akan pergi ke padepokan Empu Nawamula.

Sebagaimana di harap oleh Ki Buyut, maka Empu Nawamula itu pun telah mempersilahkannya pula untuk singgah. Sehingga tanpa diulangi, Ki Buyut menjawab, “Terima Kasih Empu. Meskipun sebenarnya aku ingin sekali segera kembali ke Kabuyutan yang sudah terlalu lama aku tinggalkan, namun rasa-rasanya ada semacam kecemasan bahwa Singatama akan menemukan tempat tinggal kami. Meskipun Singatama dan gurunya sudah tidak mempunyai kekuatan lagi bagi kalian, tetapi bagi kami, mereka tetap hantu yang sangat menakutkan”

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti, betapa Ki Buyut itu akan dibayangi oleh ketakutan selama Singatama atau Empu Pulung Geni masih berkeliaran. Karena itu maka katanya, “Kita harus menemukan pemecahan Ki Buyut. Tetapi baiklah Ki Buyut dan anak perempuan Ki Buyut berada bersama kami di padepokan untuk satu dua hari. Mungkin kita akan menemukan satu pemecahan yang paling baik”

Demikianlah, maka pada saat-saat kemudian, orang- orang seisi apa yang disebut padepokan itu telah mengemasi diri. Mereka juga mengobati yang terluka sebaik-baiknya, agar dalam waktu yang dekat, mereka dapat bersama-sama menempuh perjalanan menuju ke padepokan Empu Nawamula. Padepokan yang benar-benar sudah berujud padepokan.

Tetapi bagaimanapun juga Empu Nawamula selalu ingat, bahwa padepokan itu bukan haknya. Yang seharusnya memiliki padepokan itu adalah Singatama. Namun ia tidak akan sampai hati melepaskan padepokan itu kepada pemiliknya, selama Singatama masih diliputi oleh pikiran-pikirannya yang gelap.

“Mudah-mudahan pengalamannya kali ini akan berarti bagi hidupnya. Ia akan melihat, bahwa seseorang tidak akan dapat memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Karena di dunia ini ada kekuatan yang merasa wajib menghalangi tindakan sewenang wenang seperti itu” berkata Empu Nawamula di dalam hatinya.

Selama orang-orang seisi padepokan itu berkemas, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat menghubungi orang-orang padukuhan terdekat sebagaimana selalu dilakukannya. Ternyata bahwa orang-orang dipadukuhan itu pun menaruh perhatian atas peristiwa yang baru saja terjadi atas padepokan yang baru saja dibuka itu.

“Kami memperhatikan dari jauh apa yang telah terjadi” berkata salah seorang dari orang-orang padukuhan terdekat, “kami melihat sekelompok orang yang kemudian telah berkelahi dengan para penghuni padepokan itu”

“Ya” jawab Mahisa Murti, “mereka ingin merampas hak dan wewenang kami”

“Tetapi bukankah tidak terjadi sesuatu atas kalian” bertanya yang lain.

“Kami bersyukur, bahwa kami semuanya berhasil mengusir mereka. Meskipun demikian ada juga kawan-kawan kami yang terluka. Bahkan ada diantara kami yang menjadi sangat parah. Mudah-mudahan dengan segala usaha, mereka akan dapat tertolong dan dapat tetap bersama kami” sahut Mahisa Pukat.

“Tetapi kami lihat, sebagian dari kalian telah meninggalkan padepokan. Bahkan kami melihat satu pertanda dari satu lingkungan yang resmi, karena kami melihat kelebet pada tunggul yang dibawa oleh kawan-kawan kalian yang mendahului kalian” bertanya seorang yang sudah berambut putih, yang nampaknya memiliki pengalaman yang lebih banyak dari kawan-kawan mereka.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun akhirnya Mahisa Murti berkata, “Mereka membawa lawan-lawan kami yang tertangkap untuk menghadap para pemimpin keprajuritan di Singasari”

“Singasari” orang berambut putih itu berdesis, “apakah mereka prajurit Singasari?”

“Ya” jawab Mahisa Murti.

Orang berambut putih itu mengangguk-angguk. Di antara bibirnya terdengar ia bergumam, “Sukurlah. Kalian telah tertolong”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Agaknya orang berambut putih itu memiliki satu pengalamanan yang lebih luas dari tetangga-tetangganya, sehingga ia mengenali pertanda keprajuritan yang dibawa oleh Mahisa Bungalan.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengatakan pula kepada para penghuni padukuhan itu, bahwa pada satu saat yang pendek, apa yang disebutnya sebagai padepokan itu akan ditinggalkannya.

“Apakah kalian akan membuat padepokan yang lebih baik” bertanya salah seorang penghuni padukuhan itu.

“Ternyata seorang Empu yang baik telah memberikan kesempatan kepada kita untuk tinggal di padepokannya” jawab Mahisa Murti.

“Sukurlah. Kalian akan mendapat tempat yang lebih baik dari yang kalian huni sekarang ini” berkata yang lain.

Namun dalam pada itu, salah seorang dari mereka bertanya, “Lalu, apakah padepokan kalian itu akan kalian bongkar?”

Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Tidak. Justru kami ingin menyerahkan apa yang kami sebut padepokan itu kepada kalian. Terserah, apakah padepokan itu akan kalian pergunakan untuk apa? Mungkin untuk satu lingkungan peternakan, atau untuk kepentingan apapun juga”

“Oh” orang-orang padukuhan itu mengangguk-angguk. Dalam pada itu orang berambut putih itu berkata, “Terima kasih Ki Sanak. Kami akan menerima dengan senang hati. Ada satu hal yang barangkali dapat kami lakukan dengan apa yang pernah kalian sebut sebagai padepokan itu”

“Terserahlah kepada kalian” berkata Mahisa Pukat pula, “jika kami harus meninggalkannya, maka apa yang pernah kami anggap sebagai padepokan itu, tidak akan menjadi sia-sia”

Ternyata bahwa orang-orang padukuhan itu merasa berterima kasih juga kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Barak-barak di lingkungan apa yang disebutnya padepokan itu akan dapat dimanfaatkan oleh mereka.

Dalam pada itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih beberapa hari tinggal di padepokan mereka. Sementara itu mereka yang terluka parah pun menjadi berangsur baik. Tetapi ternyata bahwa ada diantara mereka, baik dari pihak kawan-kawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maupun diantara para pengikut Empu Pulung Geni yang tidak lagi dapat tertolong jiwanya. Karena itu, dengan hati yang sangat berat, para cantrik dari padepokan Empu Nawamula harus melepaskan kawan-kawan mereka untuk selama-lamanya.

Demikianlah, ketika saatnya tiba, maka seisi padepokan kecil itu telah siap untuk meninggalkan tempat itu. Mereka akan menempuh satu perjalanan yang cukup panjang, menuju ke sebuah padepokan yang pernah menjadi landasan langkah yang menentukan bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi perjalanan yang panjang itu merupakan satu langkah untuk menuju ke satu masa yang diharapkan akan menjadi lebih baik baik para cantrik yang akan kembali ke padepokan mereka semula.

Ternyata bahwa perjalanan itu sama sekali tidak mengalami hambatan. Meskipun para cantrik itu tetap bersiaga, karena Empu Pulung Geni yang terlepas dari tangkapan Empu Nawamula, bahkan yang sempat mengancamnya pula, akan dapat muncul setiap saat.

Dengan pasti iring-iringan itu mendekati padepokan yang untuk sementara dipimpin oleh Empu Nawamula. Meskipun mereka ternyata terhalang oleh gelapnya malam yang turun, namun iring-iringan itu sama sekali tidak berhenti untuk bermalam di perjalanan. Jika mereka harus berhenti, adalah sekedar untuk beristirahat. Tetapi mereka bertekad untuk mencapai tujuan.

Widati mengalami kelelahan yang membuat seluruh tubuhnya terasa sakit. Tetapi ia tidak mengeluh. Ia tidak mau menjadi hambatan yang dapat dipersalahkan apabila terjadi sesuatu di perjalanan mereka.

Ternyata bahwa mereka memasuki regol padepokan Empu Nawamula sebelum tengah malam. Perjalanan yang terhitung tidak terlampau cepat itu mereka selesaikan dengan hati yang lega. Seolah-olah mereka telah terlepas dari satu ancaman yang dapat mengganggu mereka setiap saat di perjalanan.

“Marilah” berkata Empu Nawamula, “inilah padepokan yang untuk sementara harus aku pimpin. Padepokan yang sebenarnya harus diwarisi oleh Singatama”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki regol itu dengan hati yang gelisah. Rasa-rasanya ada sesuatu yang membuat mereka menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka tidak melihat kelainan yang nampak pada saat-saat mereka memasuki regol, namun padepokan yang lenggang itu rasa-rasanya telah mencekam jantungnya.

Tetapi memang ada yang menarik perhatian. Pendapapa depokan itu masih diterangi oleh lampu minyak sebagaimana jika pendapa itu sedang dilangsungkan satu pertemuan atau jika ada tamu yang mengunjungi padepokan itu. Namun adalah menjadi kebiasaan, bahwa di malam hari yang telah larut, lampu itu akan dikecilkan.

“Apa ada seseorang yang mengunjungi padepokan ini” bertanya Empu Nawamula di dalam hatinya.

Dalam pada itu, ternyata bahwa satu diantara murid Empu Nawamula yang nampaknya mendapat giliran berjaga-jaga, telah melihat kehadiran iring-iringan itu. sehingga iapun telah menyosongnya. “Empu” desis orang itu.

“Ya, aku dan para cantrik” jawab Empu Nawamula.

“Silahkan Empu” berkata murid itu sambil menerima kendali kuda Empu Nawamula.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mendekatinya sambil bertanya, “Bukankah kalian dalam keadaan baik di padepokan ini?”

“Ya anak muda” jawab murid Empu Nawamula itu, “kami dalam keadaan baik. Justru kami mencemaskan keadaan kalian. Ternyata kalian telah kembali dengan selamat”

“Tetapi ada yang terpaksa kami lepaskan untuk selamanya” jawab Mahisa Pukat.

Murid Empu Nawamula itu memandangi gurunya dengan tajamnya. Sementara Empu Nawamula mengangguk sambil berdesis, “Kami tidak kuasa berbuat apapun juga atas takdir yang telah memungut mereka”

Murid empu Nawamula itu mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian terdengar suaranya lirih, “Memang ada seorang tamu di padepokan ini Empu”

“Siapa” bertanya Empu Nawamula.

“Singatama” jawab murid Empu Nawamula itu. Semua orang yang mendengar jawab itu terkejut. Mahisa Pukat telah terloncat mendekat sambil mengulang, “Singatama?”

“Ya anak muda. Ia datang seorang diri ke padepokan ini” jawab murid Empu Nawamula itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berpaling kearah Mahisa Agni dan Witantra, sementara Widati bergeser mendekati ayahnya dengan jantung yang berdebaran.

“Untuk apa ia datang kemari” bertanya Empu Nawamula.

“Empu dapat bertanya sendiri” jawab muridnya itu, “ia ada di dalam bilik di rumah induk. Aku tidak tahu. apakah ia sudah tidur atau belum”

Empu Nawamula memandang pendapa padepokan yang kosong itu. Namun ia tahu, bahwa di salah satu bilik di rumah induk itu terdapat seorang anak muda yang bernama Singatama. Sementara Empu Nawamula termangu-mangu, maka pintu pringgitan di belakang pendapa itupun terbuka. Seorang anak muda melangkah keluar perlahan-lahan. Singatama.

“Gila” geram Empu Nawamula, “apakah ia memang ingin membunuh diri?”

Empu Nawamula tiba-tiba saja telah melangkah dengan tergesa-gesa mendekati kemanakannya. Wajahnya menjadi tegang, dan sorot matanya memancarkan gejolak perasaannya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian mengikutinya dan membiarkan kudanya di halaman. Namun seorang cantrik kemudian telah menarik kendali kuda itu dan mengikatnya pada patok-patok yang terdapat dihalaman. Demikian pula Mahisa Agni dan Witantra pun telah mengikat kuda-kuda mereka. Sementara itu, para cantrik menjadi sibuk. Sebagian mengikat kuda-kuda mereka, sedang yang lain mengawasi para tawanan dan membantu kawan-kawan mereka yang terluka.

Sesaat kemudian suasana dicengkam oleh ketegangan. Ketika Empu Nawamula sampai ke tangga pendapa, maka ia pun naik dengan wajah yang semakin tegang. “Kenapa kau berada disini Singatama” bertanya Empu Nawamula.

Singatama menundukkan kepalanya. Namun kemudian katanya, “Paman, aku persilahkan paman duduk sejenak. Aku akan mengatakan sesuatu yang barangkali memerlukan waktu untuk dicernakan”

Empu Nawamula menjadi ragu-ragu. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di pendapa pula.

“Mungkin keteranganku agak panjang paman” berkata Singatama.

Bagaimanapun juga, Singatama adalah kemanakannya. Apalagi agaknya Singatama tidak akan dapat berbuat curang karena kekuatannya sudah dihancurkan. Meskipun demikian Empu Nawamula itu berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Biarlah para cantrik itu berjaga-jaga”

“Aku tidak akan berbuat sesuatu paman” berkata Singatama yang agaknya mengetahui perasaan Empu Nawamula.

Empu Nawamula tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian duduk di atas tikar yang sudah terhampar, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memperingatkan kepada para cantrik untuk berhati-hati.

“Amati para tawanan sebaik-baiknya” berkata Mahisa Murti.

“Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Keadaan tubuh mereka belum memungkinkan” desis Witantra.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga, mereka memang tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa pengamatan.

Dalam pada itu, Empu Nawamula yang duduk di pendapa bersama Singatama telah bertanya, “Apa yang akan kau katakan?”

Singatama menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Aku menyesal paman. Ternyata bahwa karena sikapku, maka hal yang tidak perlu itu telah terjadi. Bahkan mengakibatkan beberapa orang korban jatuh dari kedua belah pihak”

Empu Nawamula mengerutkan keningnya. Sementara Singatama berkata selanjutnya, “Yang terjadi itu benar-benar telah menyentuh perasaanku. Seolah-olah hatiku menjadi terbuka, sehingga aku dapat melihat tembus ke masa laluku”

“Apa yang kau lihat” bertanya Empu Nawamula.

“Kegelapan” jawab Singatama, “aku sangat menyesal. Tetapi apakah masih ada kesempatan untuk memperbaiki ketelanjuran itu”

Empu Nawamula tidak menjawab. Dipandanginya kemanakannya seolah-olah ingin melihat sampai ke dasar jantung.

Namun dalam pada itu, tidak jauh dari padepokan itu, Empu Pulung Geni duduk di atas sebuah batu di dalam bayangan kelam sambil berkata di dalam hatinya, “Mudah-mudahan Singatama berhasil mengelabui hati pamannya. Dengan itu tidak boleh membakar jantungku sendiri. Aku harus mendapat kesempatan untuk membunuhnya, kapan saja”

Gejolak perasaan Empu Pulung Geni rasa-rasanya tidak dapat dikendalikan lagi. Tetapi Empu Pulung Geni sadar, bahwa ia harus mempergunakan nalarnya sebaik-baiknya. Dengan memperalat Singatama ia sudah membuat perhitungan yang mapan, bahwa Empu Nawamula harus dibunuhnya.

“Jangan kau racuni dengan cara apapun” pesan Empu Pulung Geni kepada Singatama, “aku sendiri harus dapat menghunjamkan pedangku ke jantungnya selagi jantungnya masih berdetak. Dengan demikian, maka tuah luwukku itu akan bertambah-tambah. Darah seorang yang memiliki ilmu yang setinggi ilmu Empu Nawamula, akan sangat berarti bagiku”

Dengan pesan itulah, Singatama memasuki padepokannya yang untuk sementara masih dipimpin oleh pamannya, Empu Nawamula. Sementara itu, Singatama masih duduk dengan kepala tunduk. Ternyata ia telah memainkan peranannya dengan baik sekali, sehingga akhirnya Empu Nawamula berkata “Aku akan melihat Singatama. Apakah yang kau katakan itu benar-benar memancar dari ketulusan hatimu”

“Aku tidak mempunyai kemampuan untuk mengatakannya paman” berkata Singatama kemudian, “tetapi aku berharap paman masih mempunyai sisa kepercayaan kepadaku”

“Baiktah” Empu Nawamula mengangguk-angguk, “aku sekarang datang bersama para cantrik. Kau harus dapat menyesuaikan dirimu, sehingga kau akan merasa satu dengan mereka. Jika masih ada tanda-tanda bahwa kau belum dapat melepaskan diri dari pengaruh ilmu hitammu, maka aku akan mengambil satu jalan yang paling baik. Jika kau benar-benar menghendaki dirimu terlepas dari cengkeraman ilmu terkutuk itu, maka aku akan menolongmu”

Singatama mengerutkan keningnya. Meskipun ia tidak benar-benar ingin melepaskan diri dari pengaruh gurunya, namun ia bertanya, “Apakah paman dapat berbuat demikian?”

“Tentu” jawab pamannya.

“Caranya” bertanya Singatama.

Empu Nawamula termangu-mangu. Tetapi nampaknya Singatama benar-benar tertarik kepada rencananya. Karena itu, maka iapun menjawab, “Aku dapat mengosongkan dirimu. Tetapi dengan demikian kau akan benar-benar menjadi kosong. Kau kehilangan semua kemampuanmu”

“Dan aku sama sekali menjadi orang yang tidak berarti?” bertanya Singatama.

“Untuk sementara” jawab Empu Nawamula, “karena sesudah itu, semisal sebuah jambangan yang kosong, maka jambangan itu akan dapat diisi dengan air yang baru. Menurut keinginan. Yang jernih atau justru yang lebih kotor”

Singatama mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi dengan demikian aku memerlukan waktu yang lama untuk dapat memulihkan kemampuanku”

Empu Nawamula mengangguk. Jawabnya, “Itu adalah satu ujian bagi kesungguhan hatimu. Kau memang memerlukan waktu dua atau tiga tahun untuk mempelajari dasar-dasar olah kanuragan yang baru. Tetapi tata gerak dasarnya memang tidak akan banyak berbeda. Yang lain adalah watak dan sifat gerak serta landasan ilmu itu sendiri sehingga kemampuan cadangan yang muncul di dalam diri kita mempunyai warna yang berbeda pula”

Singatama menganguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, seolah-olah memang memancar dari dasar jiwanya, “Paman. Seandainya aku tetap memilih ilmuku yang sekarang, tetapi aku sudah berjanji untuk melakukan hal-hal yang baik, apakah tidak akan sama saja artinya?”

“Memang agak berbeda Singatama” jawab pamannya, “meskipun kau mendasari tingkah lakumu kemudian dengan maksud baik, tetapi cara yang kau pergunakan masih saja caramu sekarang, mungkin sekali akan dapat berakibat sebaliknya. Untuk mencapai satu tujuan yang baik dengan mempergunakan segala cara, termasuk cara yang tidak baik, atau mempergunakan ilmu yang mempunyai watak dan sifat tidak baik, maka akibatnyapun akan dapat sebaliknya dari yang dikehendaki”

Singatama mengangguk-angguk. Namun katanya, “Baiklah paman. Aku akan memikirkannya. Tetapi yang sudah aku mulai adalah satu penyesalan. Mungkin aku akan mendapatkan satu cara. yang dapat merubah, bukan saja sifat dan watakku, tetapi juga sifat dan watak ilmuku”

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan melihat, apakah kau berhasil menaklukkan dirimu sendiri atau apakah lebih sulit menguasai dirinya sendiri daripada menguasai orang lain” Empu Nawamula berhenti sejenak, lalu, “Para cantrik sekarang telah kembali ke padepokan ini. Kau akan mendapatkan kawan-kawanmu kembali dengan sifatmu yang baru.”

“Aku tidak akan menempatkanmu di antara mereka dalam ujud lahiriah, karena sebenarnya kaulah yang memiliki padepokan ini. Tetapi secara batiniah, kau harus satu dengan para cantrik”

“Paman” berkata Singatama, “secara lahiriahpun, aku akan menyesuaikan diri dan menyatu dengan mereka. Aku akan tidur bersama mereka dan aku akan bekerja sebagaimana mereka bekerja”

Empu Nawamula memandangi kemanakannya sejenak. Lalu katanya, “Sukurlah. Baiklah, pergilah kepada mereka dan nyatakan dirimu sebagaimana kau kehendaki. Mereka masih berada di halaman untuk mendapatkan kepastian sikapmu”

Empu Nawamula pun kemudian mengajak Singatama berdiri di tangga pendapa. Dengan lantang ia berbicara kepada para cantrik, “Anak-anakku, para cantrik. Kau tentu masih menunggu, untuk mengetahui maksud kedatangan Singatama di padepokan ini. Kalian tentu mencurigainya dan bahkan mungkin ada yang mendendamnya. Baru saja kalian bertempur melawan Singatama dan kawan-kawannya beberapa saat lalu”

Para cantrik itu pun saling berpandangan. Mahesa Murti dan Mahisa Pukat merasa heran juga mendengar kata-kata Empu Nawamula, sementara Mahisa Agni dan Witantra mendengarkan keterangan itu dengan berdebar-debar.

Dalam pada itu. Empu Nawamula melanjutkan, “Para cantrik sebaiknya kalian mendengar sendiri, apa yang akan dikatakan oleh Singatama, sebagaimana dikatakan kepadaku”

Singatama mengerutkan keningnya. Kemudian iapun berdesis, “Biarlah paman saja yang mengatakannya”

“Katakanlah sendiri. Mereka akan mendengar langsung isi hatimu. Mereka akan menjadi saksi, apakah kau benar-benar mungucapkan kata-kata sebagaimana kau ucapkan di dalam hatimu itu” berkata Empu Nawamula Singatama termangu-mangu. Namun ia pun kemudian berdiri di tangga pendapa itu sambil memandangi para cantrik yang berdiri dalam keremangan malam.

Ternyata ada juga keragu-raguan dihati Singatama. Para cantrik itu akan menjadi saksi, apakah yang dikatakan itu benar-benar sebagaimana kata nuraninya. Justru karena Singatama sendiri menyadari, bahwa yang akan dikatakan itu justru bertentangan dengan kata hatinya yang sebenarnya, maka rasa-rasanya setiap pasang mata para cantrik itu menghujam langsung memandang ke arah jantungnya.

Namun dalam pada itu, perlahan-lahan Singatama berhasil mengatasi gejolak di dadanya. Dengan ragu-ragu ia mulai berkata, “Para cantrik. Aku mohon, kalian masih bersedia mendengarkan kata-kataku”

Tidak seorangpun yang bergerak. Seolah-olah semua telah membeku. Sementara itu Singatama melanjutkannya, “Telah aku katakan kepada paman Nawamula, bahwa aku berusaha untuk memandang satu kenyataan yang tidak dapat aku ingkari lagi”

Para cantrik mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh Singatama dengan jantung yang berdebar-debar. Sesaat kemudian, maka Singatama pun mulai mengatakan maksudnya, sebagimana dikatakannya kepada pamannya. Dengan nada yang meyakinkan, Singatama minta maaf kepada para cantrik dan berniat untuk hidup diantara mereka.

Ternyata bahwa Singatama bukan saja seorang yang garang dan bengis serta mementingkan dirinya sendiri. Ia pun mampu untuk membuat dirinya memelas dan beriba- iba. Sehingga dengan demikian, maka ia telah berhasil menyentuh hati para cantrik padepokan Empu Nawamula.

Namun dalam pada itu. Empu Nawamula Kemudian berkata, “Marilah, kita terima Singatama. Tetapi dengan sikap yang tidak mutlak. Maksudku, kita akan melihat, apakah ia benar-benar dapat dipercaya. Baru setelah kita yakin, maka kita akan menganggapnya sebagai seseorang yang memang pantas untuk memimpin padepokan ini, yang memang sebenarnya adalah haknya”

Para cantrik itu pun mengangguk-angguk. Sama sekali tidak terkilas di dalam angan-angan mereka, kepalsuan yang tersimpan di balik wajah Singatama yang memelas itu, yang seolah-olah telah menjadi putus asa dan kehilangan segala harapan untuk meneruskan sikapnya. Apalagi nampaknya Empu Nawamula pun mempercayainya, sehingga meskipun masih juga dengan sikap hati-hati, namun Empu Nawamula telah menerimanya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Empu Nawamula itupun berkata, “Baiklah. Kita semuanya memang letih sekarang ini. Karena itu, kembalilah ke tempat kalian semula. Kalian tentu masih dapat mengenali bilik dan barak kalian masing-masing. Kecuali beberapa orang yang kami anggap sebagai tamu”

Widati menjadi bardebar-debar. Agaknya Singatama belum melihatnya, karena ia berdiri di belakang ayahnya yang memang berada di dalam kegelapan. Namun dalam pada itu, Witantra pun berbisik di telinga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Bukahkan kau pernah berada di padepokan ini pula?”

“Ya paman” jawab Mahisa Murti.

“Kau sudah mempunyai tempat disini” bertanya Witantra pula.

“Sudah paman” jawab Mahisa Murti selanjutnya.

“Bawa kami ke bilik kalian. Biarlah kami tinggal bersama kalian saja” desis Mahisa Agni yang agaknya mengerti maksud Witantra.

Namun dalam pada itu. Mahisa Murti bertanya, “Tetapi bagaimana dengan Ki Buyut dan anak gadisnya?”

Witantra pun termangu-mangu. Pertanyaan itu tidak akan dapat dijawabnya. Tetapi sementara itu Empu Nawamula pun berkata, “Ada beberapa orang tamu yang kita terima sekarang ini. Di antaranya adalah Ki Buyut bersama anak gadisnya”

“Oh” Widati berpegangan baju ayahnya.

“Jangan takut Widati” berkata ayahnya, “segalanya masih akan dapat di atasi. Di sini ada dua orang anak muda yang nampaknya tidak terlalu mementingkan diri sendiri”

Widati mengerutkan keningnya. Ia masih ingat, bagaimana ayahnya melarangnya bergaul terlalu dekat dengan anak-anak muda yang belum diketahui lebih jauh lagi tentang sifat-sifatnya itu.

Singatama yang mendengar keterangan pamannya itu terkejut. Hanya ada seorang gadis yang diketahuinya berada di dalam apa yang disebut padepokan kecil itu. Gadis itu adalah Widati. Jika yang dimaksud gadis anak Ki Buyut itu adalah Widati, maka hal itu akan dapat merupakan satu masalah baru baginya, karena ia sama sekali tidak menyangka, bahwa gadis itu akan ikut pula ke padepokan Empu Nawamula itu.

Namun dalam pada itu, bagaimanapun juga Singatama masih berusaha untuk menguasai dirinya sendiri sebaik-baiknya. Betapapun jantungnya bergejolak, tetapi ia berusaha untuk tidak memberikan kesan yang demikian. Karena itu, ia sama sekali tidak menyahut. Bahkan ia berkata kepada pamannya tentang dirinya sendiri, seolah-olah tidak menghiraukan bahwa pamannya telah menyebut seorang gadis, “Paman, apakah aku boleh tetap berada di bilik di ruang dalam, atau aku harus berada di tempat lain?”

“Kau tetap berada disitu” berkata pamannya, “biarlah tamu-tamu kita berada di rumah sebelah”

Singatama mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa ia sudah dapat mengatasi gejolak perasaannya yang paling berat.

Dalam pada itu, para cantrik pun telah pergi ke bilik masing-masing, setelah mereka menempatkan kuda-kuda mereka di kandang, yang sebagian adalah kuda-kuda yang dapat mereka rampas dari kawan-kawan Singatama. Sementara beberapa orang yang bertugas, telah menempatkan para tawanan di tempat yang dengan tergesa-gesa disiapkan.

Mahisa Agni dan Witantra pun kemudian telah bersiap untuk mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ke dalam biliknya. Sementara Ki Buyut dan anak gadisnya telah dipersilahkan untuk berada di rumah sebelah. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tiba-tiba saja telah berpikir lain. Jika kedua pamannya itupun dapat dianggap tamu dan berada di rumah sebelah, maka keadaan Widati tentu akan menjadi lebih baik. Karena itu, maka ketika Empu Nawamula mempersilahkan mereka juga pergi kerumah sebelah, maka mereka pun tidak membantahnya.

Meskipun demikian, Mahisa Agni dan Witantra masih tetap dalam sikapnya yang sederhana. Bahkan Empu Nawamula sendiri belum dapat menjajagi, betapa tinggi sebenarnya ilmu kedua orang itu. Meskipun ia sudah mendengar beberapa hal tentang Mahisa Agni dan Witantra, namun dalam pertempuran yang baru saja terjadi, kedua orang itu sama sekali tidak menunjukkan satu kelebihan.

Namun di dalam hati Empu Nawamula itu pun berkata, “Juga Mahendra telah membaurkan diri dengan para cantrik yang para prajurit kebanyakan, sehingga aku tidak segera mengenalinya”

Bahkan dalam pada itu, Singatama memang agak kurang memperhatikan kehadiran kedua orang tamu itu. Menurut anggapan Singatama, maka keduanya dihormati, karena usia mereka yang tua, sebagaimana Ki Buyut yang hadir bersama anaknya. Meskipun Singatama pun kemudian mengetahui, bahkan kedua orang tua itu adalah paman Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Bahwa pamannya telah dapat menerimanya untuk tinggal bersamanya di padepokan itu, maka Singatama merasa tugasnya yang pertama telah dapat diselesaikannya dengan sebaik-baiknya. Sedang tugasnya yang berikut adalah mencari kesempatan untuk mempersilahkan gurunya dengan diam-diam memasuki padepokan itu dan membunuh dengan tangannya sendiri Empu Nawamula. Agaknya Empu Pulung Geni yang mendendam itu tidak lagi memilih cara yang baik dan jantan untuk menghadapi Empu Nawamula.

Sementara itu, Empu Pulung Geni masih saja berkeliaran di sekitar padepokan itu. Ia harus dapat meyakinkan diri, bahwa Singatama telah dapat diterima kembali oleh pamannya, dan bukan sebaliknya, bahwa Singatama mendapat bencana. Satu dua pengikutnya yang lepas dari tangan Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan para cantrik telah diperintahkannya untuk kembali ke padepokan dan mempersiapkan sisa orang yang ada untuk kerja berikutnya yang akan diberitahukan kemudian.

Ternyata bahwa di hari pertama, Singatama belum berhasil memberikan penjelasan kepada gurunya, karena ia masih merasa sulit untuk keluar dari padepokan. Tetapi ia sudah memberikan satu isyarat sebagaimana telah disepakati. Singatama telah meletakkan tiga buah batu di sisi kanan regol, berjajar.

Ketika pada malam hari yang gelap. Empu Pulung Geni lewat di jalan yang menjelujur di depan regol padepokan itu dengan sangat hati-hati, maka ia melihat isyarat itu. Meskipun ia belum dapat bertemu dan berbicara dengan Singatama, namun ia sudah dapat mengetahui bahwa Singatama telah berhasil.

“Sampai kapan aku harus menunggu” geram Empu Pulung Geni. Tetapi iapun menyadari, bahwa Singatama harus berhati-hati. Anak muda itu harus mendapatkan kesempatan yang sebaik-baiknya untuk melakukan kewajiban yang berat. Bukan saja di dalam langkah-langkah kewadagan untuk mengatur Empu Pulung Geni dapat memasuki bilik Empu Nawamula di malam hari, kemudian membangunkannya tetapi tidak memberinya kesempatan untuk melawan, sehingga dengan demikian Empu Nawamula dapat dibunuh dengan menyadari sepenuhnya bahwa pembunuhnya adalah Empu Pulung Geni. Tetapi Singatama harus berjuang untuk menindas perasaan segannya terhadap orang yang bernama Empu Nawamula itu, karena orang itu adalah pamannya sendiri.

“Aku yakin, Singatama akan dapat melakukannya” berkata Empu Pulung Geni kepada diri sendiri, “pekerjaan ini sebenarnya bukan satu kewajiban yang langsung berkaitan dengan kewajibanku. Tetapi aku harus melakukannya. Harga diriku telah dihancurkan oleh Empu Nawamula dan cantrik-cantriknya”

Karena itulah, maka ia telah berhasil mengekang diri. Menunggu sampai saatnya Singatama memberikan jalan baginya untuk dengan diam-diam memasuki bilik Empu Nawamula.

Dalam pada itu, Widati benar-benar merasa tersiksa untuk tinggal di padepokan itu. Tetapi sebagaimana dikatakan oleh ayahnya, kembali ke rumahnya pun sangat berbahaya. Mungkin Singatama benar-benar belum mengetahui rumah itu. Tetapi jika dugaan itu salah dan Singatama datang kepadanya, maka itu berarti malapetaka. Karena itu. maka untuk beberapa saat lamanya. Widati harus menekan perasaannya, karena ia masih harus tinggal di padepokan itu.

Sebenarnyalah, kehadiran Widati di padepokan itu telah menyiksa Singatama pula. Hampir saja ia tidak dapat menahan diri. Namun ketika ia menyadari, bahwa ia mendapat tugas dari gurunya dan sekaligus merasa bahwa dirinya terlalu kecil di hadapan Empu Nawamula. maka ia pun selalu berusaha untuk dapat mengendalikan dirinya.

Namun pada saat-saat tertentu. Singatama berusaha untuk berjalan lewat halaman depan rumah yang diperuntukkan bagi Widati, dengan harapan untuk dapat melihatnya barang sekilas. Tetapi ternyata bahwa Widati tidak pernah dijumpai berada di serambi depan maupun serambi samping. Sehingga dengan demikian, maka Singatama selalu menjadi kecewa. Namun bagaimanapun juga. Singatama berusaha untuk menahan perasaan kecewanya.

Dalam pada itu, dengan dorongan keinginan yang kuat untuk memenuhi perintah gurunya. Singatama selalu berusaha untuk bersikap baik. Tidak pernah ia memperlakukan para cantrik dengan kasar. Bahkan ia telah berada dalam satu lingkungan sikap dengan para cantrik. Singatama bekerja sebagaimana para cantrik bekerja. Dengan demikian, maka kepercayaan terhadap Singatama pun semakin lama menjadi semakin besar.

Empu Nawamula sendiri telah memberinya tugas yang semakin besar di antara para cantrik Apalagi Empu Nawamula masih tetap menganggap, bahwa Singatama memang berhak atas padepokan itu apabila saatnya dianggap tepat.

Dalam keadaan yang demikian itu. Ki Buyut yang melihat anak gadisnya selalu diliputi oleh kemurungan dan kecemasan, pada satu malam telah berbincang dengan Mahisa Agni dan Witantra. apakah yang sebaiknya dilakukannya.

“Apakah aku harus membawanya pulang?” bertanya Ki Buyut.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan ragu ia menjawab, “Bagaimana pendapat Ki Buyut tentang Singatama?”

“Aku jarang menemuinya. Tetapi menilik sikap Empu Nawamula, agaknya ada kemajuan berpikir pada anak itu. Agaknya ia benar-benar ingin memperbaiki hidupnya” jawab Ki Buyut.

“Aku juga menduga demikian” desis Witantra, “agaknya ia benar-benar telah menyesal”

“Bagaimana pendapat Ki Sanak, jika aku mengajak anakku pulang?” bertanya Ki Buyut "aku mempunyai beberapa pertimbangan. Pertama. Singatama agaknya belum pernah melihat rumahku. Kedua, ia sudah menyadari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya sebelumnya”

“Dalam waktu dekat ini?” bertanya Mahisa Agni.

“Bagaimana menurut pendapat Ki Sanak?” bertanya Ki Buyut.

Mahisa Agni termangu-mangu. Namun kemudian katanya. “Menurut penglihatanku, memang terdapat perubahan pada anak muda itu. Tetapi aku ingin menyarankan, agar Ki Buyut masih tetap berada di padepokan ini untuk beberapa hari. Jika kita sudah yakin benar, maka kita akan dapat menentukan sikap dengan mantap dan dengan hati yang tenang”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Kecemasan memang masih ada terselip di hatinya. Persoalan Singatama bukan persoalan yang dapat di tentukan oleh sikapnya satu dua hari saja. Meskipun nampaknya anak muda itu sudah menjadi jinak, tetapi pengaruh perasaan seorang anak muda terhadap seorang gadis kadang-kadang membuat seseorang tidak dapat dimengerti. Bahkan kadang-kadang seseorang telah melakukan sesuatu yang menurut pertimbangan nalar tidak akan pernah dilakukan.

Karena itu maka katanya, “Baiklah Ki Sanak. Aku akan tinggal di padepokan ini beberapa hari lagi. Meskipun aku sadar, bahwa orang-orang di Kabuyutanku tentu sedang menunggu aku, tetapi kecemasan itu agaknya telah mencegahku untuk tergesa-gesa kembali ke Kabuyutanku, betapapun Kabuyutanku menunggu kedatanganku”

Mahisa Agni dan Witantra menyadari betapa beratnya hati orang tua itu. Ia merasa bertanggung jawab atas satu wilayah yang ditinggalkannya. Tetapi ia tidak ingin membiarkan anaknya menemui kesulitan yang parah.

Dalam pada itu. Selagi Ki Buyut, Mahisa Agni dan Witantra sedang berbincang, ternyata sebuah bayangan telah melintas dengan cepat di kebun belakang padepokan itu. Ketika bayangan itu mencapai dinding padepokan, maka dengan ringannya bayangan itu meloncat naik dan kemudian turun di bagian luar dari padepokan.

Demikian bayangan itu hilang dibalik dinding, maka telah terdengar suara burung hantu berkumandang memecah kesepian malam. Namun suara burung itu bagaikan hanyut oleh angin malam yang sejuk, hilang tanpa gema. Yang kemudian terdengar adalah desir angin itu sendiri. Di luar dinding, bayangan itu tercenung membeku. Namun kemudian bayangan itu melintas diantara gerumbul-gerumbul perdu di luar dinding padepokan.

Dengan pasti bayangan itu menuju ke hutan yang tidak terlalu jauh dari padepokan itu. diantarai oleh sebuah bulak yang agak luas disambung dengan sebidang padang perdu yang tidak terlalu panjang. Demikian bayangan itu menginjak padang perdu, maka sekali lagi mengumandang suara burung hantu di kesenyapan malam.

Ternyata isyarat itu tidak sia-sia. Sejenak kemudian terdengar suara yang serupa. Suara burung hantu dari pinggir hutan yang tidak terlampau lebat itu. Arah suara itulah yang Kemudian dituju oleh bayangan yang keluar dari padepokan itu.

“Aku kau biarkan terlalu lama menunggu disini” berkata orang yang menirukan suara burung hantu di pinggir hutan itu. Lalu, “Hampir saja aku kehilangan kesabaran dan bertindak sendiri. Hari-hari rasanya terlalu panjang. Melampaui panjangnya tahun”

“Aku tidak dapat berbuat lebih cepat Guru” berkata orang yang datang itu, “Aku terikat oleh satu keadaan. Jika aku tergesa-gesa, mungkin aku justru akan mengalami kesulitan. Karena itu aku memilih terlambat, tetapi meyakinkan, daripada cepat tetapi gagal”

Orang yang berada di pinggir hutan itu mengangguk- angguk. Katanya kemudian, “Baiklah Singatama. Katakan, apa yang telah terjadi di padepokan itu. Apakah kau melihat satu kemungkinan untuk melakukan rencanaku semula”

Singatama menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku masih belum dapat mengatakan dengan pasti guru. Tetapi aku akan mencoba untuk berbuat sebaik- baiknya”

“Apakah ada kesulitan yang mungkin tidak dapat teratasi” bertanya gurunya.

“Guru” berkata Singatama, “kesulitan yang utama adalah datang dari diriku sendiri”

“Aku mengerti Singatama. Empu Nawamula adalah pamanmu” sahut Empu Pulung Geni.

“Guru. Tetapi ada kesulitan lain” jawab Singatama. Lalu, “di padepokan itu tinggal seorang gadis yang telah membuat hatiku selama ini gelisah. Gadis yang aku cari selama ini”

Empu Pulung Geni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Usahakan untuk mengekang perasaanmu. Kau harus dapat membedakan persoalan yang paling besar yang kita hadapi sekarang. Meskipun jika kita dapat menyelesaikan yang besar itu, yang kecilpun akan terlesaikan juga”

“Maksud guru” bertanya Singatama.

“Jika Nawamula telah dapat dilenyapkan, maka padepokan itu akan segera kau kuasai. Tidak seorangpun, yang akan berani menentangmu. Ayah gadis itu pun tidak”

“Bagaimana dengan dua orang anak muda yang ada di padepokan itu guru” bertanya Singatama

“Jangan risau. Aku akan membunuh mereka, demikian Nawamula terbunuh” jawab Empu Pulung Geni.

“Dan dua orang pamannya yang kini tinggal di padepokan itu pula” bertanya Singatama lebih lanjut.

“Apakah mereka memiliki kelebihan” Empu Pulung Geni justru bertanya.

Singatama merenung sejenak. Kemudian sambil menggeleng ia berkata, “Menurut penglihatanku, tidak ada lebihnya pada kedua orang itu. Ketika kita bertempur di luar apa yang disebut padepokan itu. kedua orang itu sama sekali tidak menunjukkan kelebihan apapun juga meskipun mereka ikut meloncat keluar dan bertempur di antara para cantrik”

Empu Pulung Geni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Semuanya akan dapat diselesaikan dengan baik. Aku akan membunuh Empu Nawamula. Kemudian orang-orang yang tidak berarti itu akan dengan mudah aku bantai pula. Tanpa mereka, apakah kesulitanmu untuk mengambil gadis itu. Sementara itu. kita akan dapat melakukan satu tugas yang memang dibebankan kepada kita”

Singatama mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Bukankah tugas itu tidak terlalu tergesa-gesa?”

“Memang tidak. Tugas ini termasuk satu tugas untuk satu tujuan yang jauh. Bukan untuk tujuan esok seperti keinginanmu mengambil gadis itu” jawab Empu Pulung Geni. “Karena itu, kita dapat menunggu. Tugas itu akan kita lakukan kemudian”

“Bukankah hutan itu tidak akan berubah. Bukit itu juga tidak akan lari. Sementara hujan baru akan turun di musim hujan mendatang”

“Aku mengerti Singatama” jawab Empu Pulung Geni, “tetapi jika kerja itu masih juga belum dimulai, maka kita masih belum dapat mengatakan, bahwa kita telah melaksanakan perintah itu”

Singatama menarik nafas dalam-dalam. Sementara Empu Pulung Geni berkata, “Pemerintahan Ranggawuni nampaknya terlalu kuat. Tetapi kita akan dapat merintis sejak sekarang untuk memperlemah kedudukannya. Kita tidak akan dapat mengimbangi kekuatan prajuritnya yang tersebar. Tetapi kita dapat memperlemah susunan dan kesejahteraan masyarakatnya”

Singatama mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berguman, “Satu kerja yang baru akan nampak hasilnya setelah satu keturunan lewat”

“Mungkin aku tidak akan dapat melihat hasilnya” berkata Empu Pulung Geni, “tetapi kau, anak cucuku, akan melihat, betapa Kediri dapat berdiri lagi dengan megahnya. Tidak lagi sebagai satu negara yang takluk di bawah pemerintahan apa yang sekarang disebut Singasari, satu perkembangan dari Pakuwon kecil yang disebut Tumapel”

Singatama mendengarkan dengan seksama ketika gurunya melanjutkan, “Jika hutan-hutan di lereng gunung dan perbukitan yang menghadap Kotaraja Singasari itu ditebang sampai gundul, maka Singasari akan ditimpa bencana. Bukan hanya sekali dua kali. Tetapi disetiap musim hujan. Banjir bandang dan kerusakan tanaman di sawah, di pategalan dan di kebun-kebun. Bendungan akan pecah dan jalan-jalan akan terputus. Dengan demikian, maka Singasari akan selalu terganggu oleh amukan alam yang tidak terkendali. Sementara itu, Kediri dapat bersiap-siap untuk menentukan satu saat bahwa Singasari akan dapat dihancurkan. Jika tidak pada masa pemerintahan sekarang, tentu pard masa pemerintahan berikutnya”

Singatama mengangguk-angguk. Tetapi saat itu ia tidak begitu tertarik kepada beban gurunya itu. Ia lebih memikirkan hari esok bagi dirinya sendiri. Jika gadis itu dapat segera diambilnya, maka ia akan merasa bahwa hidupnya menjadi lengkap.

Karena itu, maka katanya, “Jika demikian guru. Yang manakah yang akan guru lakukan lebih dahulu. Membunuh paman Nawamula dan mengambil gadis itu, atau bersiap- siap dengan pekerjaan guru yang sebenarnya dapat dilakukan dalam jangka panjang”

“Sudah aku katakan Singatama, aku akan membunuh Empu Nawamula itu dahulu. Sementara itu, gadis itu akan dapat kau ambil pula dari padepokan itu” jawab gurunya.

“Baiklah guru” sahut Singatama, “Aku akan mencari kesempatan itu. Tetapi kesempatan itu tidak terlalu mudah. Kadang kadang aku tidak tahu, dimanakah paman tidur. Mungkin di biliknya. Mungkin di sanggar, tetapi mungkin di perapiannya bersama dengan murid-murid khususnya”

“Kau harus dapat menunjukkan dengan tepat. Pada suatu saat jika kesempatan itu datang kau harus memberi isyarat. Tetapi kau harus berusaha, agar jangan terlalu lama. Pekerjaanku yang kemudian sudah menunggu. Pekerjaaan besar bagi masa mendatang itu. Sehingga dengan demikian, maka sebenarnya waktu kita tidak terlalu panjang” berkata gurunya kemudian.

Singatama mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan berusaha. Tetapi sudah barang tentu bukan sekedar menunjukkan dimana paman tidur. Seandainya pada saat itu guru berusaha untuk memasuki biliknya atau sanggarnya atau perapian, sementara paman Nawamula dapat melihat kehadiran guru, bukankah akibatnya justru akan mempersulit kedudukan guru”

“Aku mengerti dan aku tidak akan ingkar, bahwa aku tidak akan dapat membunuh Empu Nawamula jika ia sempat melawan. Tetapi kau tentu mempunyai akal. Mungkin kau akan dapat membuka pintu biliknya atau sanggarnya, sehingga mempermudah pekerjaanku. Aku harus berdiri disisinya. pada saat ia masih tidur. Aku akan membangunkannya dengan ujung pedangku di depan wajahnya, sehingga ia tidak mendapat kesempatan melawan, tetapi ia mengerti bahwa akulah yang datang untuk membalas dendam” geram Empu Pulung Geni.

Pekerjaan itu memang sulit. Tetapi Singatama yang sudah berhasil menyusup di lingkungan padepokan itu tentu akan mendapatkan satu cara untuk melakukannya. Apalagi menurut gurunya, sepeninggal Empu Nawamula, maka tidak akan ada lagi orang yang berarti, yang akan dapat mencegahnya mengambil gadis itu. Dua anak muda yang mengalahkannya itupun tentu tidak akan berarti apa-apa bagi gurunya. Murid-murid Empu Nawamula pun tidak akan berbahaya.”

Tetapi untuk mendapat kesempatan memberikan jalan kepada gurunya memasuki bilik atau sanggar pamannya itu adalah pekerjaan yang sangat berat meskipun ia bertekad untuk melakukannya.

Untuk beberapa saat lamanya, Singatama masih berbincang dengan gurunya. Namun kemudian katanya, “Baiklah guru. Aku akan kembali ke padepokan. Mudah-mudahan dalam waktu dekat aku dapat melakukannya. Sebenarnya akupun sudah terlalu lama menunggu satu kesempatan untuk mengambil gadis itu. Apalagi aku tahu, bahwa gadis itu tidak akan terlalu lama berada di padepokan. Pada suatu saat gadis itu tentu akan dibawa pulang oleh ayahnya”

“Bukankah itu akan lebih baik” berkata gurunya, “dengan sangat mudah kau akan dapat mengambilnya”

“Tetapi aku belum pernah tahu, dimanakah rumahnya” jawab Singatama, “justru pada saat para cantrik aku perintahkan untuk mengambil gadis itu atau untuk mengetahui tempatnya, mereka telah melakukan satu perbuatan yang terkutuk”

“Sudahlah” berkata gurunya, “jangan mengumpat. Kita semuanya telah melakukan satu kesalahan sehingga kita terjebak ke dalam satu kesulitan. Hampir semua orang kita tertawan. Tetapi justru karena itu, aku berharap kau akan dapat membantuku melepaskan dendam yang membara di jantung ini”

Singatama kemudian minta diri kepada gurunya yang akan tetap menunggu sampat kesempatan itu datang. “Tetapi guru jangan berada terlalu jauh dari padepokan itu” minta Singatama.

“Apakah setiap malam aku harus melakukannya? Mengintai kesempatan yang tidak pasti datangnya” bertanya Empu Pulung Geni.

“Tetapi jika kesempatan itu datang, dan guru tidak ada di tempat, maka kita harus menunggu lagi untuk satu kesempatan yang lain” berkata Singatama.

Gurunya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan berada di dekat padepokanmu. Tetapi kau harus berbuat lebih cepat”

Singatama menyanggupinya untuk berusaha. Karena itu, maka sejenak kemudian, anak muda itu pun telah meninggalkan gurunya, kembali ke padepokannya. Demikian Singatama sampai di luar dinding, maka ia pun berusaha untuk berbuat dengan sangat berhati-hati. Ketika ia yakin, bahwa tidak ada seseorang yang akan dapat melihatnya, maka ia pun telah meloncat dinding dibawah bayangan sebatang pohon yang rimbun. Kemudian dengan sangat hati-hati ia memasuki halaman belakang padepokannya.

Sejenak kemudian, Singatama sudah berada di dalam biliknya. Tidak seorangpun yang mengetahuinya bahwa ia telah meninggalkan padepokan itu untuk menemui gurunya dan berbicara tentang satu usaha untuk membunuh Empu Nawamula yang menganggap bahwa kemanakannya itu sudah menemukan kembali jalan menuju ke kehidupan yang sewajarnya, meskipun ia masih belum menyatakan sikapnya yang pasti tentang ilmu hitamnya yang harus ditanggalkannya.

Namun dalam pada itu pertemuannya dengan gurunya, telah mendorongnya untuk bekerja lebih giat. Segala usaha harus dilakukannya. Bukan saja karena kesetiaannya kepada gurunya, tetapi juga didorong oleh keinginannya untuk segera menguasai gadis yang bernama Widati itu. yang tidak diduganya, akan berada pula di padepokannya.

Malam berikutnya, Singatama sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengetahui dimana gurunya berada. Yang dilihatnya adalah orang-orang tua, paman kedua orang anak muda yang paling dibencinya itu berbincang di rumah sebelah bersama Ki Buyut, ayah Widati. Karena itu. malam itu Singatama sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa.

Namun di malam berikutnya, ia mendapat akal. Ketika senja turun, maka ia telah berkata kepada pamannya, “Paman, apakah paman mempunyai waktu barang beberapa saat malam nanti?”

“Untuk apa?” bertanya Empu Nawamula.

“Ada sesuatu yang ingin aku katakan” jawab Singatama, “tidak tentang apa-apa. Tetapi tentang diriku sendiri”

Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sekarang sudah tidak mempunyai pekerjaan apapun juga Singatama Jika kau ingin mengatakan sesuatu, marilah kita duduk di pendapa.

Singatama mengerut kau keningnya. Jawabnya, “Bagaimana jika malam nanti paman. Mungkin aku akan dapat mengatakan pengalamanku sendiri dengan leluasa. Tidak diganggu oleh hilir mudiknya para cantrik yang menyalakan lampu”

Empu Nawamula berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan menyediakan waktu bagimu”

“Terima kasih paman. Nanti tengah malam aku mohon paman bersedia mengatakan sesuatu tentang diriku sebagaimana paman kehendaki” berkata Singatama.

Empu Nawamula mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk. Ketika Singatama kemudian meninggalkannya, maka Empu Nawamula pun berdesis, “Apakah anak itu benar-benar ingin melepaskan ilmu hitamnya?”

Namun dalam pada itu, ternyata Singatama telah mempunyai rencananya sendiri. Karena itu, ketika malam menjadi semakin pekat, maka ia pun dengan mengendap- endap telah pergi ke kebun belakang. Dengan hati-hati sekali, ia pun kemudian meloncat keluar padepokan.

Sejenak ia menunggu. Ketika ia yakin, bahwa tidak ada seorang pun didekatnya. maka terdengar satu isyarat dari mulutnya. Suara burung hantu. Beberapa saat Singatama menunggu. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar suara yang sama dari arah kegelapan. Sejenak ia masih memperhatikan suara itu. Namun kemudian ternyata bahwa suara isyarat itu tentu suara gurunya. Karena itu. maka sekali lagi ia menyahut dengan suara burung hantu yang ngelangut.

Sebenarnyalah, seperti yang diharapkannya, ternyata gurunya telah mendekatinya. Dengan suara rendah hampir berbisik ia bertanya, “Apakah kesempatan itu sudah kau dapat sekarang?”

“Guru” berkata Singatama, “sulit untuk mengetahui dimana paman tidur. Seandainya aku mengetahuinya, maka untuk dapat memasuki tempat itupun agaknya terlalu sulit pula”

“Lalu. apa maksudnya memanggil aku sekarang” bertanya gurunya.

“Aku mempunyai satu cara. Jika guru sependapat” desis Singatama.

“Cara bagaimana” bertanya gurunya pula.

“Aku telah minta paman untuk berbicara berdua saja. Aku akan minta paman untuk berbicara di tempat yang sepi. Apakah kesempatan itu sudah cukup?” bertanya Singatama.

Empu Pulung Geni termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, “Agaknya kau belum mengerti. Bukankah dengan demikian aku masih harus berkelahi melawan Empu Nawamula? Apalagi di padepokannya. Dalam waktu sekejap, maka semua orang di dalam padepokan itu telah mengepungku”

“Bukan begitu guru” berkata Singatama, “selagi paman berbicara dengan sungguh-sungguh, guru dapat merunduknya. Dengan demikian, maka guru akan mendapat kesempatan untuk menguasainya lebih dahulu dan kemudian membunuhnya, setelah Empu Nawamula menyadari dengan siapa ia berhadapan”

Empu Pulung Geni mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi apakah kau benar-benar akan mendapat tempat yang menyendiri?”

“Aku akan mohon kepada paman Nawamula” berkata Singatama, “tetapi tidak disanggar."

“Jika terpaksa di sanggar? bertanya Empu Pulung Geni.

“Tidak apa-apa guru. Aku akan berusaha agar pintu sanggar tidak diselarak dari dalam. Jika Empu Nawamula menyadari, seseorang memasuki sanggar, maka aku akan lebih dahulu mengancamnya agar paman tidak bergerak. Tetapi aku mohon paman-cepat mengambil sikap sebelum perutku dibelah oleh paman Nawamula”

Empu Pulung Geni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pekerjaanku masih cukup banyak. Aku masih harus mencari tempat itu. Sementara itu para cantrik berkeliaran di halaman."

“Tidak guru” jawab Singatama, “di malam hari hanya tiga orang cantrik yang bertugas. Itu pun berada di halaman depan mengawasi regol. Sementara itu, guru tentu akan mendengar suaraku berbincang dengan paman Nawamula. sebagai isyarat dimana kami berada”

Empu Pulung Geni mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan mencoba. Tetapi kau harus cukup berhati-hati”

Singatama mengangguk-angguk. Ia pun menyadari bahwa pekerjaan itu bukannya pekerjaan yang mudah. Ia harus berbuat dengan hati-hati dan kesiagaan yang tinggi, sehingga bukan justru dirinyalah yang akan menjadi korban. Dalam pada itu, maka Singatama pun berkata, “Sudahlah guru. Aku akan kembali. Aku persilahkan guru memasuki halaman dan bersembunyi di tempat yang paling baik menurut pendapat guru”

“Aku belum mengetahui tempat-tempat yang terbaik untuk bersembunyi di kebun padepokanmu, karena aku belum pernah mengamati halaman dan kebun padepokanmu dengan baik” jawab Empu Pulung Geni.

“Nanti guru akan menemukannya. Pada tepat tengah malam, aku mohon paman Nawamula untuk berbicara berdua saja. saat itu tiba menurut pengamatan paman atas bintang-bintang, biarlah guru mulai mencari, dimana aku dan paman berbicara" berkata Singatama.

Empu Puiung Geni tidak menjawab. Ia pun kemudian meninggalkan gurunya dan meloncat memasuki kebun belakang. Namun dalam pada itu, gurunya pun telah mengikutinya pula. Karena tengah malam masih beberapa saat lagi, Singatama sempat kembali ke biliknya tanpa diketahui oleh orang lain. Karena itu, maka ia pun merasa bahwa rencananya tentu akan dapat dilakukannya. Tengah malam ia akan memanggil pamannya. Jika pamannya tidak berkeberatan, ia akan mengajak pamannya duduk di pinggir belumbang.

“Para cantrik tentu akan terkejut melihat paman Nawamula esok pagi terapung di belumbang itu menjadi mangsa ikan. Tetapi ikan-ikan itu pun akan mati, karena racun luwuk guru yang menyentuh paman Nawamula terlalu keras, sehingga ikan-ikan yang menggigit kulit pamanpun akan mati pula” berkata Singatama di dalam hatinya.

Demikianlah, rasa-rasanya malam merambat terlalu lambat. Singatama merasa terlalu lama menunggu. Ketika ia keluar dari biliknya dan pergi ke pendapa, maka dilihatnya seorang cantrik yang duduk terkantuk-kantuk, sementara dua orang yang lain sedang berjalan memutari halaman padepokan. Perlahan-lahan ia melangkah menuruni tangga pendapa. Dipandanginya bintang yang berhamburan di langit.

“Hampir tengah malam” ia berdesis. Namun kemudian, “tetapi paman dimana?”

Perlahan-lahan Singatama kembali masuk ke ruang dalam lewat pringgitan. Dilihatnya pintu butulan di bagian samping ruang dalam tertutup rapat. Singatama sendirilah yang menyelaraknya setelah ia memasuki ruang itu dengan diam-diam. Namun ternyata bahwa Singatama tidak perlu gelisah terlalu lama. Sejenak kemudian ia mendengar suara Empu Nawamula berbicara dengan cantrik yang sedang terkantuk-kantuk itu.

“Dua orang kawanku sedang nganglang Empu” lapor cantrik itu.

“Jangan lengah” berkata Empu Nawamula, “meskipun nampaknya tidak akan terjadi sesuatu, tetapi kau harus tetap berhati-hati”

“Ya Empu” jawab cantrik itu sambil berusaha membuka matanya lebar-lebar.

Ketika Empu Nawamula memasuki ruang dalam, Singatama sudah menunggunya. Ia duduk di sebuah amben di ruang tengah.

“Oh” sapa Empu Nawamula, “apakah kau bermaksud berbicara sekarang?”

“Ya paman. Aku rasa hari telah tengah malam” jawab Singatama.

“Baiklah. Kita dapat duduk di sini tanpa diganggu oleh siapapun juga” berkata Empu Nawamula.

Tetapi Singatama mengerutkan keningnya. Dipandanginya pintu pringgitan, seolah-olah ia ingin mengatakan bahwa di pendapa ada seorang cantrik padepokan. Tetapi Empu Nawamula yang seolah-olah mengetahui apa yang ingin dikatakannya itu justru berkata, “Cantrik itu tidak akan tahu, apa yang kita perbincangkan disini. Karena itu. Katakanlah”

Namun ternyata Singatama menggelengkan kepalanya. Katanya, “Paman, ada satu hal yang sangat penting yang ingin akan aku katakan. Satu rahasia yang sangat gawat tentang ilmu yang selama ini aku miliki. Yang menurut paman, ilmu itu harus dihapuskan. Hal itulah yang ingin aku perbincangkan dengan paman” berkata Singatama.

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, “Menurut pendapatmu, dimanakah sebaiknya kita berbicara agar tidak akan terganggu?”

“Di kebun, paman” jawab Singatama, “aku akan dapat memperagakan beberapa tata gerak yang mungkin perlu untuk memperjelas keteranganku”

Empu Nawamula termangu-mangu sejenak. Namun ia masih bertanya, “Di halaman belakang, di mana?”

“Bagaimana jika dipinggir belumbang” bertanya Singatama.

Empu Nawamula berpikir sejenak. Tetapi ia masih bertanya, “Kenapa di Pinggir belumbang?”

“Tidak apa-apa paman. Tetapi suasananya akan menyegarkan” jawab Singatama kemudian. Lalu, “Dengan demikian, pikiranku akan menjadi bertambah bening. Sehingga dengan demikian, apa yang ingin aku katakan akan dapat aku katakan dengan gamblang, sehingga tidak terjadi salah paham”

Empu Nawamula mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Kita akan pergi ke belumbang. Mudah-mudahan kolam itu akan benar-benar dapat memberikan kesegaran baru bagi kita”

Keduanya pun kemudian pergi ke belakang seperti yang diminta oleh Singatama. Dengan demikian, maka Singatama mengharap bahwa gurunya akan sempat merunduk Empu Nawamula. Dengan berlindung pada dedaunan dan rumpun-rumpun perdu, Empu Pulung Geni akan dapat mendekati pamannya yang sama sekali tidak menduga, bahwa seseorang akan merunduknya. Apalagi orang itu adalah Empu Pulung Geni. Seorang yang memiliki nama menggetarkan.

Tetapi rupa-rupanya Empu Pulung Geni telah kehilangan harga dirinya karena dendam yang membara di jantungnya. Ia lebih senang membunuh Empu Nawamula untuk melepaskan dendamnya daripada mempertahankan harga dirinya.

Dalam pada itu, Singatama pun telah membayangkannya, bahwa gurunya akan meloncat dari balik sebuah gerumbul yang rimbun sambil mengacukan pedangnya. Sementara Empu Nawamula terkejut dan berpaling, gurunya akan tertawa sambil berkata, “Aku Empu Pulung Geni yang sedang dibakar oleh api dendam. Sadarilah, bahwa akulah yang telah berhasil membunuhmu”

Empu Nawamula tidak akan sempat berbuat apa-apa. Pedang gurunya akan segera menghunjam ke tubuh Empu Nawamula, sehingga pamannya itu akan mati. Singatama menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, keduanya telah berada ditepi kolam. Empu Nawamula tidak akan sempat berbuat apa-apa. Pedang gurunya akan segera menghunjam ke tubuh Empu Nawamula, sehingga pamannya itu akan mati. Singatama menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, keduanya telah berada ditepi kolam.

“Kita duduk ditepi kolam paman” berkata Singatama.

Empu Nawamula merenung sejenak. Namun kemudian ia pun melangkah dekat ke tepi kolam dan duduk membelakangi air yang bening yang bergetar oleh dedaunan yang menguning yang runtuh dari dahannya.

“Kita duduk di sini paman” minta Singatama, “kenapa paman duduk terlalu menepi?”

Tetapi Empu Nawamula menjawab, “Wajah air itu terasa sangat menyegarkan. Aku akan duduk di sini. Kemarilah Singatama. Mendekatlah”

Singatama menjadi berdebar-debar. Pamannya duduk membelakangi air, sehingga sulit bagi Empu Pulung Geni untuk merunduknya dari belakang. “Gila” geram Singatama, “apakah paman menyadari niatku untuk menjebaknya?”

Tetapi pertanyaan itu telah dijawabnya sendiri, “Tentu tidak. Hanya satu kebetulan. Tetapi kebetulan yang pantas diumpati”

“Duduklah Singatama” pamannya kemudian mempersiapkan, “kita dapat berbincang disini tanpa diganggu orang lain. Kau dapat mengatakan apa saja yang ingin kau katakan tanpa didengar orang lain pula”

Namun dalam pada itu kegelisahan telah mencengkam jantung Singatama. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk merubah sikap duduk pamannya yang nampaknya memang sudah mapan sekali. Karena itu, maka perlahan-lahan Singatama pun duduk dihadapan pamannya. Dengan jantung yang berdebaran ia berusaha untuk mengatasi kesulitannya.

“Guru tentu mempunyai perhitungan sendiri” berkata Singatama di dalam hatinya, “jika ia merasa sulit untuk melakukannya sekarang, biarlah ia mengambil kesempatan yang lain. Aku akan berbicara dengan guru esok” Dengan demikian maka Singatama pun harus menyesuaikan diri. Meskipun rasa-rasanya ia sedang duduk di atas bara, tetapi ia bertahan untuk tetap duduk.

“Singatama” berkata pamannya, “apa yang ingin kau katakan? Katakanlah, agar persoalan ini cepat selesai”

“Paman” berkata Singatama, “bukankah paman pernah berkata bahwa mungkin sekali ilmuku dapat dilepaskan sehingga aku akan menjadi kosong dan bersih”

Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Benar Singatama. Ilmu hitammu memang dapat ditanggalkan. Kau akan menjadi bersih. Dengan demikian maka kau akan siap menempuh satu kehidupan baru”

Singatama mengangguk-angguk. Namun ia menjadi semakin gelisah. Apa yang akan di katakannya dan akan dilakukannya jika gurunya mengurungkan niatnya untuk membunuh Empu Nawamula karena keadaan yang tidak memungkinkan. Namun dalam pada itu, meskipun dengan tergagap, Singatama masih dapat menemukan bahan pembicaraan, “Paman. Sebenarnya aku ingin melakukannya. Tetapi bagaimanakah dengan aku pada masa-masa kosong itu? Apakah aku menjadi orang yang sama sekali tidak memiliki kemampuan membela diri?”

“Bukan begitu Singatama” berkata pamannya, “kau masih akan tetap memiliki ketrampilan dasar ilmu kanuragan. Tetapi benar-benar ketrampilan wadag. Kau tidak akan mampu membangkitkan tenaga cadanganmu, karena pada dasarnya, tenaga cadanganmu sudah terisi dengan watak ilmu hitam. Untuk sementara, kau memang banyak kehilangan. Tetapi kau akan dapat mulai dengan satu babak baru dalam hidupmu, khususnya dalam ilmu kanuragan”

Singatama mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Apakah paman tidak mempunyai satu cara pun yang dapat ditempuh selain mengosongkan diriku”

Empu Nawamula menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kau harus mengikhlaskan ilmumu. Tetapi dengan dasar ketrampilan wadagmu yang masih kau kuasai, maka kau akan dapat dengan cepat mengisi kekosongan itu dengan ilmu kanuragan dalam wataknya yang baru”

Singatama mengangguk-angguk. Namun kegelisahannya menjadi semakin memuncak ketika ia melihat pada gerumbul di arah samping Empu Nawamula bergerak. “Agaknya guru telah menemukan tempat ini” desis Singatama di dalam dirinya, “tetapi apakah guru dapat melakukan dari arah itu”

Tetapi Singatama berusaha untuk menenangkan dirinya. Katanya kepada diri sendiri, “Guru tahu apa yang baik dilakukannya”

Namun dalam pada itu, untuk sesaat Singatama telah terdiam. Keringatnya mulai membasahi keningnya. Sementara itu, Empu Nawamula pun berkata, “Singatama. Masih ada kesempatan. Ibarat orang yang tersesat, maka langkahmu masih belum terlalu jauh. Karena itu, kembalilah anakku”

Terasa sesuatu berdenyut di jantung Singatama. Dalam keadaan yang tegang itu, ia mendengar suara pamannya. Yang duduk dihadapannya itu memang pamannya. Saudara kandung orang tuanya. Tetapi Singatama bukan seorang anak yang dekat dengan orang tuanya. Bukan saja wadagnya, tetapi juga hatinya. Anak itu seakan-akan tidak lagi mempunyai satu ikatan yang mantap dengan ayah dan ibunya.

Namun dalam pada itu, suara Empu Nawamula didengarnya lagi, “Yang aku tidak tahu Singatama. Apakah yang sebenarnya kau cari dengan pengabdianmu kepada ilmu hitam itu. Jika kau ingin memiliki kemampuan yang tinggi, maka kau dapat melihat sendiri, bahwa ilmu gurumu bukan ilmu yang tidak terkalahkan. Karena itu, kenapa kau tidak mencari saja kemampuan ilmu kanuragan lewat jalan yang lebih baik”

Jantung Singatama menjadi semakin berdebaran. Disaat yang menegangkan itu, ia dapat membayangkan kembali, apa yang sudah terjadi atasnya. Sikap pamannya dan sikap orang-orang di padepokan itu. Disaat ia dianggap orang yang paling jahat, ia masih dapat diterima kembali oleh pamannya karena ia menyatakan diri untuk bertobat. Rasa-rasanya pamannya sama sekali tidak pernah mendendamnya. Jika pamannya membentaknya, marah dan mengancam itu adalah semata-mata sikapnya sebagai seorang tua.

Sekilas terbayang orang yang sudah tidak ada. Sepercik pertanyaan tiba-tiba saja mengguncang jantungnya, “Apakah ayahku meninggal terlalu cepat karena aku?”

Dalam pada itu. Empu Nawamula masih berkata selanjutnya, “Singatama. Sebenarnya kau tidak terlalu tergesa-gesa untuk mengambil satu sikap. Kau masih sempat memikirkannya. Dan kau akan menjadi semakin jelas melihat, langkah yang paling baik yang dapat kau tempuh. Kau masih muda. Menilik gelar lahiriah, kau masih akan memiliki hari depan yang panjang. Karena itu, bukankah kau masih mempunyai kesempatan untuk memilih. Memilih dengan tepat setelah kau pikirkan masak-masak”

Degup jantung Singatama terasa memukul dinding dadanya semakin keras. Pada saat yang demikian, Empu Pulung Geni menggeretakkan giginya. Sebenarnya ia menyadari, bahwa kedudukannya agak kurang menguntungkan, karena ia tidak dapat merunduk dari belakang. Tetapi harus dari samping. Namun didorong oleh dendamnya yang hampir meledakkan jantungnya serta mendengar keterangan Empu Nawamula yang akan dapat menggoyahkan kesetiaan Singatama yang muda itu, maka rasa-rasanya Empu Pulung Geni tidak lagi dapat menahan diri.

“Tingkat perbedaan ilmuku dengan ilmu Empu Nawamula tidak terlalu jauh. Kalau aku sempat meloncat dan mengancamnya, maka aku akan dapat menguasainya dengan sebaik-baiknya” berkata Empu Pulung Geni di dalam hatinya.

Karena itu, maka Empu Pulung Geni tidak lagi berniat menunda rencananya. Ia harus dapat membunuh Empu Nawamula. Baru ia akan dapat melakukan tugasnya dengan tenang, mengemban kewajiban yang disepakati oleh sekelompok orang-orang yang tidak puas dengan keadaan di atas Tanah Kediri dan Singasari

Tetapi Empu Pulung Geni masih menunggu satu kesempatan yang baik. Jika Empu Nawamula sedang dengan sungguh-sungguh memberikan petunjuk-petunjuk kepada Singatama, maka perhatiannya tentu akan tertuju kepada anak itu sepenuhnya.

Ternyata Empu Pulung Geni tidak perlu menunggu terlalu lama. Ketika Empu Nawamula sedang berbicara dengan sareh kata demi kata, kalimat demi kalimat, maka dorongan dendam di jantung Empu Pulung Geni tidak tertahankan lagi. Karena itu, maka iapun aaggra bersiap dengan hati-hati. Namun demikian, ternyata bahwa dedaunan di gerumbul tempatnya bersembunyi masih juga bergerak.

Tetapi untunglah, bahwa Empu Nawamula tidak melihatnya. Karena seperti yang diperhitungkan oleh Empu Pulung Geni, bahwa perhatiannya sepenuhnya tertuju kepada Singatama. Empu Pulung Geni masih menunggu sesaat. Ketika saat yang paling baik itu datang, maka iapun telah siap untuk meloncat.

Tetapi yang sesaat itu ternyata sangat menentukan. Yang sesaat itu telah memberikan kesempatan kepada Singatama yang bimbang untuk mengambil keputusan. Karena itu, ketika tiba-tiba saja ia melihat dedaunan yang bergoyang, maka dengan serta merta anak muda itu berteriak, “Paman, hati-hati”

Peringatan Singatama itu telah menyengat naluri Empu Nawamula. Dengan serta merta iapun telah meloncat tepat pada saat Empu Pulung Geni meloncat pula dari balik gerumbul sambil mengacungkan senjatanya. Tetapi Empu Nawamula sudah tidak ada lagi ditempatnya, sementara Singatama pun telah melenting berdiri dan meloncat menjauh. Empu Pulung Geni berdiri dengan wajah yang tegang Sorot matanya bagaikan menyala memandang Singatama yang berdiri termangu-mangu.

“Maaf guru” suaranya terbata-bata, “aku tidak dapat mengingkari perasaanku. Paman selalu memaafkan kesalahanku. Karena itu, aku tidak dapat membiarkannya mengalami bencana dengan satu keadaan yang tidak adil. Sekarang, terserah kepada guru dan paman. Aku tidak akan dapat ikut campur”

“Anak iblis” geram Pulung Geni, “kau telah berkhianat. Dan kau tahu, hukuman yang paling baik bagi seorang pengkhianat”

Terasa juga jantung Singatama bergetar. Ia tahu apa arti kata-kata gurunya. Ia tahu, bahwa di lingkungannya tidak pernah didengarnya kata pengampunan. Karena itu, maka iapun sadar, bahwa hukuman yang akan di bebankan kepadanya oleh gurunya tentulah hukuman mati.

Ternyata Singatama menjadi ngeri juga. la teringat kepada upacara yang setiap kali dilakukan. Sementara mereka masih mempergunakan tubuh seekor binatang untuk membasahi senjata mereka sebelum dipergunakan. Tetapi bagaimana jika dirinya, yang dianggap oleh gurunya itu sebagai seorang pengkhianat mengalami nasib seburuk seekor binatang?

Selagi Singatama dicengkam oleh kegelisahan, terdengar suara Empu Nawamula, “Pulung Geni. Apakah arti perbuatanmu itu? Bukankah dengan demikian kau telah mengotori harga dirimu dengan satu perbuatan yang licik sebagaimana dilakukan oleh para pengecut”

“Aku tidak peduli” geram Empu Pulung Geni, “jika muridku itu tidak berkhianat, kau telah mati oleh tanganku”

“Tetapi aku masih hidup sekarang ini” jawab Empu Nawamula, “kita telah berhadapan. Marilah. Kita akan mengulangi pertempuran diantara kita, seorang melawan seorang”

Memang tidak ada pilihan lain. Karena itu. maka Empu Pulung Geni pun segera bersiap, sementara Empu Nawamula pun telah memcabut senjatanya pula.

“Ikutlah bertempur bersama pamanmu pengkhianat” geram Empu Pulung Geni.

Tetapi Singatama melangkah surut sambil menjawab, “Tidak guru. Aku sama sekali tidak akan berani ikut campur”

“Jangan panggil lagi aku guru" bentak Empu Pulung Geni, “kau bukan lagi muridku”

Singatama tidak menyahut. Namun yang kemudian berbicara adalah Empu Nawamula, “Sudahlah. Jangan kau umpati lagi anak itu, kau sekarang berhadapan dengan aku. Marilah kita yang tua-tua ini membuat perhitungan”

Empu Pulung Geni sama sekali tidak menjawabnya lagi. Dengan serta-merta ia pun kemudian meloncat menyerang. Tetapi Empu Nawamula telah bersiap. Dengan demikian, maka ia pun masih sempat menghindar sambil berkata, “Ah. kau terlalu tergesa gesa”

Empu Pulung Geni tidak menghiraukannya, bahkan serangannya pun menjadi semakin cepat. Pedangnya menyambar mendatar. Ketika dengan kerisnya yang besar Empu Nawamula menangkisnya, maka pedang itu pun telah berputar dan mematuk kearah jantung.

Namun Empu Nawamula bergeser selangkah kesamping. Ujung pedang Empu Pulung Geni sama sekali tidak mengenainya. Bahkah Empu Pulung Geni lah yang kemudian harus meloncat surut, menghindari serangan Empu Nawamula.

Demikianlah perkelahian antara kedua orang itu pun semakin lama menjadi semakin cepat. Keduanya bergerak bagaikan tidak menyentuh tanah. Namun seperti yang pernah terjadi, maka Empu Pulung Geni memang tidak akan mampu mengimbangi kemampuan Empu Nawamula. Apalagi dengan kecemasan bahwa para cantrik dan seisi padepokan akan terbangun dan kemudian beramai-ramai mengepungnya.

Dalam pada itu. pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sulit untuk membatasi diri. Benturan senjata dan kadang-kadang hentakan yang tidak terkekang, telah menggetarkan sepinya malam di padepokan itu. Para cantrik yang berada di pendapa memang tidak segera mendengar pertempuran yang terjadi di kebun belakang, di dekat blumbang yang terpisah. Namun merekapun kemudian mendengar bunyi bentakan-bentakan yang aneh yang tidak segera mereka ketahui artinya.

Bukan hanya cantrik yang sedang berjaga-jaga, tetapi dirumah sebelah, Mahisa Agni dan Witantra pun telah mendengarnya pula. “Suara apa itu agaknya” desis Mahisa Agni.

Witantra bangkit dari pembaringannya. Sejenak ia memperhatikan suara yang lemah sekali menembus dinding. Namun Mahisa Agni pun kemudian bangkit pula sambil mengerutkan keningnya. Katanya, “Aku agak curiga”

“Ya. Kita lihat, apakah yang terjadi” sahut Witantra.

Sesaat kemudian keduanya segera membenahi diri dan keluar dari rumah itu. Mereka sama sekali tidak membangunkan Ki Buyut yang juga berada di rumah itu bersama anak perempuannya. Namun ketika keduanya akan meninggalkan rumah itu untuk melihat apakah yang telah terjadi, ternyata hampir berbareng keduanya tertegun

“Bagaimana dengan gadis itu” desis Mahisa Agni.

“Ia perlu diawasi. Mungkin terjadi sesuatu yang dapat mengancam keselamatannya,“ sahut Witantra.

“Tunggulah disini” berkata Mahisa Agni, “aku akan melihat apakah yang terjadi. Agaknya telah terjadi sesuatu yang perlu mendapat perhatian”

“Baiklah” berkata Witantra, “aku akan berada di dalam” Ketika Mahisa Agni meninggalkan tempatnya, Witantra justru kembali masuk ke dalam untuk mengamati keadaan, justru karena di rumah itu ada Widati.

Dengan tergesa-gesa Mahisa Agni menyusuri longkangan di antara barak-barak para cantrik. Tetapi ia tidak segera menemukan sesuatu. Apalagi suara yang mencurigakan itupun tiba-tiba saja tidak didengarnya lagi.

“Apa yang telah terjadi” bertanya Mahisa Agni kepada diri sendiri, “kemana suara itu tiba-tiba saja telah diam”

Tetapi ketajaman pendengaran Mahisa Agni telah membawanya untuk pergi ke belumbang. Suara itu agaknya bersumber dari pinggir blumbang. Meskipun suara itu sudah tidak terdengar lagi, namun Mahisa Agni tidak mengurungkan niatnya. Dengan hati-hati ia mendekati blumbang yang sudah menjadi sepi. Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat pepohonan perdu dan ranting-ranting yang berpotongan.

“Tentu telah terjadi pertempuran disini” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya. Sejenak Mahisa Agni termangu-mangu, ia menyesali kelengahannya bahwa ia sama sekali tidak mengetahui adanya pertempuran itu. Namun dengan demikian, maka Mahisa Agni menjadi semakin berhati-hati. Sesuatu akan dapat terjadi setiap saat.

"Untunglah bahwa Witantra tetap berada di rumah itu” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “mungkin gadis itulah yang menjadi sasaran."

Tetapi menilik bekas-bekas pertempuran itu. Mahisa Agni dapat mengambil kesimpulan, bahwa pertempuran itu terjadi antara orang-orang yang berilmu tinggi, meskipun hanya sebentar. Dalam keragu-raguan itu Mahisa Agni mendengar suara lamat-lamat, “Nampaknya dua orang sedang berbicara perlahan-lahan”

Karena itu, maka dengan sangat hati-hati Mahisa Agni pun mendekati suara itu. Mungkin suara itu akan dapat memberikan jawaban atas peristiwa yang terjadi di tepi belumbang itu. Ketika ternyata yang sedang berbicara itu adalah Empu Nawamula dengan Singatama.

Dengan nada rendah Singatama berkata, “Ampun paman. Sebenarnyalah, aku terlibat dalam kecurangan ini. Tetapi menurut pendapatku, guru memang hanya seorang diri”

“Tetapi nampaknya kau sudah menemukan satu keputusan yang akan sangat berarti bagi hidupmu kelak Singatama. Justru pada saat terakhir. Pada saat yang paling sulit bagimu. Jika saat itu kau tidak menemukan satu kebenaran tentang dirimu, mungkin akhir peristiwa ini akan berbeda” sahut Empu Nawamula.

“Tetapi yang aku lakukan tidak sebanding dengan kesalahan-kesalahan yang telah menodai hidupku” desis Singatama.

“Masih ada kesempatan. Sudah aku katakan” jawab Empu Nawam pula.

Mahisa Agni yang serba sedikit dapat menangkap peristiwa yang sedang terjadi. Namun demikian kakinya berdesir didedaunan yang runtuh di tanah, Empu Nawamula telah bergeser sambil mempersiapkan diri.

“Aku Empu” desis Mahisa Agni.

“Oh” Empu Nawamula menarik nafas panjang, “kenapa Ki Sanak berada disini?”

“Aku mendengar suara-suara yang mencurigakan” jawab Mahisa Agni.

“Jadi kau mendengarnya Ki Sanak?” bertanya Empu Nawamula.

Mahisa Agni menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Ya. Aku sedang pergi ke pakiwan ketika aku mendengar suara yang mencurigakan. Karena itu maka aku mencoba untuk melihat apa yang terjadi. Tetapi tiba-tiba suara itu telah terdiam dan ketika aku menelusuri kebun padepokan ini, aku telah menemukan kalian berdua”

Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sesuatu telah terjadi. Untunglah, bahwa Yang Maha Agung masih melindungi aku”

Dengan singkat, Empu Nawamula menceriterakan apa yang telah terjadi. Kemudian, “Ternyata seperti saat ia datang, maka dengan licik Empu Pulung Geni itu pun meninggalkan padepokan ini”

Mahisa Agni menjangguk-angguk. Dengan menyesal ia mengulangi, “Empu Pulung Geni itu berhasil meninggalkan padepokan ini”

“Ya. Aku tidak dapat menangkapnya. Ternyata ia memiliki kemampuan untuk berlari sangat cepat dan meloncati dinding Halaman padepokan ini. Aku menjadi ragu-ragu mengejarnya, karena menurut perhitunganku, kecepatanku berlari tidak akan dapat melebihinya”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi bahwa Empu Pulung Geni itu terlepas dari tangan Empu Nawamula, berarti bahwa bencana masih akan selalu mengintip padepokan itu. Tetapi ternyata bahwa Singatama telah menemukan satu kesadaran tentang dirinya. Pada saat yang tidak terduga-duga, Singatama merasa bahwa orang yang bernama Empu Nawamula itu adalah pamannya.

Ternyata bahwa setitik demi setitik, tetesan kasih sayang Empu Nawamula telah berhasil meluluhkan hati anak itu perlahan-lahan. Bahwa Empu Nawamula tidak menghukumnya dan bahkan menerimanya kembali sebagai kemanakannya, telah membuat goncangan di hati anak muda itu.

Hampir di luar sadarnya Mahisa Agnipun berkata, “Namun agaknya Empu telah mendapatkan gantinya. Angger Singatama telah menemukan dirinya yang selama ini hanyut dalam arus yang kelam. Bagi Empu Nawamula, hal itu tentu satu kurnia yang luar biasa”

“Ya Ki Sanak” jawab Empu Nawamula, “sekarang aku benar-benar telah menemukan kemanakanku yang hilang. Ia telah membuktikan, bahwa di dalam kegelapan hati, masih juga ada sumber cahaya yang dapat dikembangkannya. Akhirnya, hatinya telah menjadi terang kembali”

“Sukurlah” berkata Mahisa Agni, “namun masih ada satu tantangan bagi angger Singatama. Bagaimana dengan ilmu hitam yang telah ada di dalam diri”

Empu Nawamula mengerutkan kuningnya. Katanya kemudian, “Masih ada satu cara untuk mengatasinya. He, Ki Sanak, kau mengerti kesulitan itu...?”