Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 07
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

Mahisa Agni terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun Kemudian katanya, “Bukankah Empu Nawamula sendiri pernah menyinggung akan hal itu”

Empu Nawamula mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Ya. Aku memang pernah mempersoalkan sebelumnya. Tetapi segalanya masih juga tergantung kepada Singatama”

“Paman” berkata Singatama kemudian, “mumpung hatiku sedang terang. Aku bersedia membersihkan diri. Bahkan aku mohon paman segera dapat melakukannya, sebelum aku mengambil keputusan lain. Jika kegelapan itu mencengkam jantungku lagi, mungkin aku akan kehilangan kesempatan itu”

Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Baiklah. Kita akan pergi ke Sanggar” Lalu katanya kepada Mahisa Agni, “Maaf Ki Sanak. Aku persilahkan Ki Sanak kembali ke pondok Ki Sanak. Aku akan berada di sanggar hanya dengan kemanakanku saja”

“Baik Empu” jawab Mahisa Agni, “nampaknya hal itu memang hanya penting bagi Empu dan Singatama saja”

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Agni pun telah kembali ke rumah yang dihuninya di padepokan itu. Sementara Singatama pergi ke Sanggar, maka Empu Nawamula telah memerintahkan para cantrik agar membangunkan kawan-kawan mereka.

“Kalian harus mengamati halaman dan kebun padepokan ini dengan baik. Baru saja ada orang memasuki kebun ini tanpa kalian ketahui. Bahkan bukan orang kebanyakan” berkata Empu Nawamula kepada para cantrik yang bertugas. Lalu, “Karena itu, panggillah semua cantrik dan beri mereka tugas malam ini. Mungkin orang itu kembali justru pada saat aku berada di sanggar. Dalam keadaan yang paling gawat, sebelumnya aku dapat keluar dari sanggar, maka ketiga muridku dan kedua anak muda yang bernama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu akan dapat membantu kalian”

“Baik Empu” jawab para cantrik yang sedang bertugas.

Demikianlah, ketika kemudian Empu Nawamula memasuki sanggar bersama Singatama, maka para cantrik di padepokan itupun telah dibangunkan. Mereka harus berjaga-jaga, karena baru saja ada orang yang memasuki halaman padepokan dengan maksud Buruk.

“Kita harus mengawasi seluruh halaman padepokan” berkata cantrik yang mendapat tugas dari Empu Nawamula.

Para cantrik itupun kemudian telah mengatur diri, termasuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka berada di setiap sudut halaman. Namun bagaimanapun juga, ada diantara para cantrik itu yang tidak dapat menahan matanya untuk tidak terpejam.

“He” Desis kawannya sambil menyentuhnya dengan sikunya.

“Mataku tidak dapat terbuka lagi” jawab cantrik itu

“Jika tiba-tiba datang seseorang merundukmu dan menusuk perutmu dengan pedang?” bertanya kawannya.

“Bukankah kau ada disitu” jawabnya.

“Anak setan” jawab kawannya “kau kira aku akan melindungimu? Aku akan lari karena ketakutan. Biar saja orang itu menusuk perutmu sampai tembus”

Cantrik yang mengantuk itu tertawa, katanya “Jangan marah, mari kita bergantian. Sekarang aku akan tidur. Nanti jika aku sudah bangun, kau dapat tidur”

“Nanti kapan kau akan bangun? Sesudah matahari terbit?” geram kawannya.

Cantrik itu masih tertawa. Tetapi justru dengan demikian, kantuknya menjadi berkurang, sehingga katanya, “Baiklah. Aku tidak akan tidur. Tetapi jika tanpa aku sengaja aku tertidur, itu bukan salahku”

“Sudah aku katakan. Jika kau tidur atau tertidur, aku akan pergi dan mencari kawan yang tidak tidur atau tertidur” jawab kawannya.

Cantrik itu bergeser. Tetapi iapun kemudian bangkit sambil berkata, “Aku akan tetap jaga sampai pagi. Lihat aku akan berjalan hilir mudik”

Kawannya tidak menyahut. Dibiarkannya saja kawannya itu berusaha untuk melawan kantuknya.

Dalam pada itu. Empu Pulung Geni yang ternyata harus mengakui kelebihan Empu Nawamula telah meninggalkan medan. Peristiwa yang serupa telah terulang kembali. Bagaimanapun juga, ternyata bahwa Empu Nawamula memiliki kelebihan dari Empu Pulung Geni. Apalagi jika Empu Nawamula itu berusaha membangunkan murid-muridnya dan seisi padepokan. Maka Empu Pulung Geni akan mengalami nasib yang sangat buruk. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi Empu Pulung Geni kecuali meninggalkan padepokan itu dengan hati yang sakit.

“Anak itu sudah berkhianat” geramnya, “selama ini aku pelihara anak itu dengan baik. Tetapi pada suatu saat, aku harus membunuhnya. Tidak ada hukuman yang lain dari kematian bagi seorang pengkhianat”

Empu Pulung Geni yang sudah jauh dari padepokan muridnya yang berkhianat itu berdiri dengan nafas yang berdesakkan. Dipandanginya arah padepokan yang ditinggalkannya. Ketika ia yakin, bahwa tidak seorang pun yang mengejarnya, maka ia pun dapat beristirahat.

“Semuanya sia-sia” geramnya, “aku bertempur melawan Empu Nawamula karena aku berusaha memenuhi permintaan anak itu. Tetapi pada saat yang paling menentukan ia telah berkhianat. Seandainya aku tahu, aku tentu sudah mencekiknya ketika ia merengek, minta agar aku menolongnya, membalas sakit hatinya dan sekaligus mengambil gadis itu”

Namun semuanya sudah terjadi. Dan Singatama memang sudah berkhianat terhadap gurunya. Empu Pulang Geni yang lelah itu pun kemudian duduk di atas sabuah batu yang besar. Ia bukan saja lelah wadagnya, tetapi hatinyapun rasa-rasanya hampir patah menghadapi pengkhianatan muridnya.

Tetapi Empu Pulung Geni terikat pada satu tugas lain yang lebih besar dari keterikatannya dengan muridnya. Akhirnya sambil menggeretakkan giginya ia berkata, “Apapun yang terjadi, pada suatu saat aku akan menghukumnya. Jika aku terpancang kepada itu, maka kesanggupanku untuk satu tugas yang lebih penting akan terbengkalai”

Karena itu, maka untuk sementara Empu Pulung Geni berusaha untuk melupakan sakit hatinya. Dengan luka di dalam dadanya, maka ia pun berkeputusan untuk kembali saja ke padepokannya.

“Masih ada beberapa orang yang setia kepadaku selain Singatama” geram Empu Pulung Geni.

Tetapi untuk beberapa saat Empu Pulung Geni masih tetap duduk di atas sebuah batu untuk menenangkan hatinya dan mengatur pernafasannya. Dalam pada itu, ketika langit menjadi merah maka Empu Pulung Geni pun telah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu. Kembali ke padepokannya.

Sementara itu, pada saat yang sama, Singatama duduk di dalam sanggar dengan tubuh gemetar, seperti orang kedinginan. Pamannya duduk di belakangnya sambil melekatkan kedua telapak tangannya pada punggungnya. Keduanya dengan wajah yang tegang berusaha untuk mencapai satu keseimbangan bagi Singatama yang telah melepaskan ilmu hitamnya.

Untuk beberapa saat, Singatama masih tetap menggigil. Namun beberapa saat kemudian, pernafasannya pun menjadi semakin teratur, dan tubuhnya tidak lagi berguncang-guncang oleh perubahan yang terjadi di dalam dirinya setelah ia mengosongkan diri dari ilmunya.

Tepat pada saat langit menjadi cerah, maka Empu Nawamula sudah selesai dengan tugasnya. Singatama benar-benar menjadi seorang anak muda yang baru. Seolah-olah baru dilahirkan kembali setelah beberapa tahun lamanya ia bertualang di dunia kelam.

“Berdirilah” berkata Empu Nawamula kemudian. Singatama kemudian bangkit berdiri. Tetapi hampir saja ia kehilangan keseimbangannya. Untunglah Empu Nawamula cepat menangkapnya dan membantunya berdiri tegak.

“Ada sesuatu yang asing di dalam diriku paman” berkata Singatama.

“Ya. Justru yang asing itu adalah pribadimu yang sebenarnya, yang sudah lama terselubung oleh ilmu hitammu. Kau memang merasa asing dengan dirimu sendiri, karena sudah terlalu lama kau kehilangan dirimu itu” berkata Empu Nawamula.

Singatama mulai menggerakkan tangan dan kakinya. Perlahan-lahan ia berjalan mengelilingi ruangan sanggar pamannya itu. Semakin lama langkahnya semakin mantap dan rasa-rasanya tenaganya pun telah pulih kembali.

“Kau telah kehilangan kemampuanmu untuk mempergunakan segala tenaga di dalam dirimu yang didorongkan oleh kekuatan ilmumu. Yang tersisa adalah tenaga wadagmu sewajarnya dan kemampuanmu dalam arti ketrampilan tubuhmu. Tetapi kau tidak akan dapat membangunkan kekuatan di luar kemampuan wajarmu dengan ilmumu”

Singatama menarik nafas dalam-dalam Ketika ia mencoba menggerakkan tangan dan kakinya, pamannya berkata, “Cobalah. Kau bukan tidak dapat berbuat apa-apa sama sekali”

Ternyata Singatama yang kemudian menggerakkan tangan dan kakinya masih juga mampu mengingat unsur unsur gerak dari ilmunya. Namun sebagai gerak wantah yang tidak mempunyai kekuatan pendukung selain tenaga wadagnya saja.

“Bagaimanapun juga, kau adalah kemanakanku” berkata Empu Nawamula.

Tetapi hal itu memang sudah dikehendaki. Singatama sama sekali tidak menyesal. Apalagi ia masih tetap mempunyai alat pelindung meskipun sekedar ketrampilan gerak tubuhnya saja.

“Mulai esok, jika kau kehendaki, kau akan dapat mempelajari ilmu yang lain dari ilmu yang pernah kau miliki” berkata pamannya.

“Aku akan melakukannya paman. Aku tidak mau kehilangan waktu terlalu banyak. Jika aku memerlukan waktu dua atau tiga tahun, untuk memiliki tataran ilmu yang akan paman berikan maka aku masih mempunyai kesempatan dalam umurku yang sekarang” berkata Singatama.

“Baiklah. Kau membuat aku merasa sangat berbahagia sekarang ini. Seolah-olah aku telah menemukan sesuatu yang sangat berharga yang pernah hilang sebelumnya”

Demikianlah, maka Singatama benar-benar bertekad untuk merubah cara hidupnya. Sejalan dengan hatinya yang ikhlas menanggalkan ilmu hitamnya, maka ia pun telah dengan berani minta maaf kepada Widati dan ayahnya atas tingkah lakunya.

“Aku tidak akan berharap apa-apa” berkata Singatama kepada Ki Buyut, “aku berusaha untuk menjadi orang baru. Meskipun aku tidak akan dapat melupakan perasaanku waktu itu, tetapi aku mulai mempergunakan nalarku”

“Terima kasih angger” jawah Ki Buyut, “mudah-mudahan dengan demikian, anakku akan mendapatkan ketenangan di dalam hidupnya”

“Ya Ki Buyut” sahut Singatama” sekali lagi aku berjanji, bahwa aku tidak akan mengganggunya lagi. Aku tidak akan mempunyai kemampuan untuk berbuat sesuatu, apalagi memaksakan kehendakku, karena aku sudah kehilangan ilmuku”

Mahisa Agni dan Witantra yang menyaksikannya, merasa tersentuh pula hatinya. Ia melihat kesungguhan pada Singatama untuk merubah cara hidupnya, sehingga ia telah banyak memberikan bukti kesungguhannya. Dengan demikian, maka Ki Buyut pun merasa lebih tenang untuk kembali ke Kabuyutannya yang sudah terlalu lama ditinggalkannya. Anak muda yang untuk beberapa lama menghantui anak gadisnya ternyata telah berubah sikap.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mendengar keputusan Singatama itu pun menjadi gembira. Dengan demikian, maka mereka tidak akan terikat untuk mengamati gadis itu saja. Mereka akan sempat melanjutkan perjalanan mereka untuk melihat-lihat hijaunya lembah-lembah yang membentang luas di tlatah Singasari.

Tetapi kedua anak muda itu masih mempunyai satu kewajiban untuk mengantarkan Widati kembali ke kabuyutannya. Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Mahisa Agni dan Witantrapun ingin juga kembali ke Singasari. Mereka akan berangkat bersama dengan Ki Buyut dan anak gadisnya yang akan diantar oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Pada hari yang sudah ditentukan, maka Ki Buyut pun telah bersiap-siap. Meskipun demikian, ada juga kecemasan di hati Ki Buyut meskipun Singatama telah merubah cara hidupnya. Jika diperjalanan itu mereka bertemu, secara kebetulan atau memang sudah direncanakan oleh Empu Pulung Geni, maka nasib anak gadisnya tentu akan menjadi sangat buruk.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menenangkan hati mereka. Dengan penuh kesungguhan Mahisa Pukat berkata, “Kami akan berbuat sejauh dapat kami lakukan”

Ki Buyut mengangguk-angguk meskipun ia masih juga meragukan. Tetapi bagaimanapun juga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mengatakannya, bahwa kedua orang pamannnya itu akan dapat menyelesaikan tanpa kesulitan seandainya mereka benar-benar bertemu dengan Empu Pulung Geni.

“Menurut pendapatku. Empu Pulung Geni telah meninggalkan tempat ini” berkata Empu Nawamula, “ia tidak akan telaten menunggui sesuatu yang tidak berkepastian, sejak muridnya telah meninggalkannya” Ki Buyut mengangguk-angguk. Ia percaya kepada Empu Nawamula. karena menurut pendapatnya, Empu Nawamula memiliki ketajaman penglihatan jauh melampaui penglihatannya atas peristiwa yang baru saja terjadi itu.

Dengan demikian, maka akhirnya Ki Buyut dan anak gadisnya itu pun telah meninggalkan padepokan Empu Nawamula kembali ke Kabuyutan mereka. Bersama mereka adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, serta Mahisa Agni dan Witantra. Ternyata di perjalanan mereka sama sekali tidak menjumpai hambatan apapun juga. Perjalanan yang tidak mereka selesaikan dalam sehari. Tetapi mereka masih harus bermalam di perjalanan yang cukup panjang itu.

Tetapi rasa-rasanya kegelisahan mereka telah jauh berkurang dari saat-saat sebelumnya, dengan demikian maka rasa-rasanya perjalanan mereka itu pun tidak merupakan perjalanan yang terlalu berat sebagaimana saat mereka berangkat. Bahkan ketika mereka harus bermalam di perjalanan. Widati merasakannya sebagai satu pengalaman yang menarik. Meskipun gelap malam membuatnya berdebar-debar, tetapi kehadiran orang-orang yang dapat dianggapnya sebagai pelindung yang meyakinkan, membuatnya menjadi lebih tenang.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyalakan perapian di dekat tempat mereka akan bermalam di perjalanan, maka Widati telah mendekatinya. “Hangatnya perapian ini” desisnya.

“Kau belum mengantuk?” bertanya Mahisa Murti.

Widati menggeleng. Katanya, “Suara burung hantu itu membuat aku tidak dapat tidur”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Burung hantu itu tidak dapat membuat bunyi yang lain. Dalam segala keadaan burung itu akan mengeluarkan bunyi yang sama”

Widati mengangguk-angguk. Tetapi ketika tidak dengan sengaja ia mengangkat wajahnya dan memandang ke dedaunan pepohonan yang berwarna kehitam-hitaman, maka kulitnya serasa telah meremang. Tanpa disadarinya ia telah bergeser mendekati Mahisa Murti sambil berdesis, “Dedaunan itu”

Mahisa Murti pun mengangkat wajahnya pula sambil bertanya, “Kenapa dengan dedaunan itu?”

“Menakutkan” jawab Widati.

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Jika demikian, jangan memandang dedaunan itu. Disiang hari dedaunan itu nampak hijau segar. Tetapi dalam gelap, warna hijaunya menjadi gelap juga”

Widati mengangguk. Katanya, “Cahaya api itu membuat warna dedaunan itu menjadi aneh. Seperti wajah-wajah raksasa”

Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Raksasa yang akan menelan kita”

“Ah” Widati beringsut semakin dekat.

"Jangan takut” berkata Mahisa Pukat kemudian, “lihat saja bintang-bintang yang bertaburan itu. Menyenangkan sekali. Tetapi sekaligus memperingatkan kita, betapa kecilnya kita manusia dihadapan luasnya alam yang tidak dapat di mengerti itu”

Widati mengangguk-angguk. Seleret nampak bintang yang berpindah tempat, meluncur dengan cepat.

Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra masih juga duduk berhincang dengan Ki Buyut beberapa langkah dari anak-anak muda yang duduk diperapian itu. Bagi Ki Buyut pengalaman yang baru saja terjadi itu merupakan satu pengalaman yang menggetarkan hati. Jika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat salah menilai lawan dan para cantrik yang berdiri di pihaknya, maka anak gadisnya akan ikut menjadi korban.

“Untunglah, semuanya telah lampau” desis Witantra.

“Ya. Tetapi rasa-rasanya masih ada yang menggelisahkan” jawab Ki Buyut. Tetapi kemudian, “Untunglah, bahwa tempat tinggalku tidak diketahui baik oleh Singatama maupun oleh gurunya. Apalagi saat ini Singatama telah merubah sikap”

Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Keduanya mengerti, bahwa Ki Buyut masih belum dapat menghapuskan kegelisahannya sepenuhnya. Tetapi beban yang memberati jantungnya telah banyak berkurang oleh sikap Singatama.

Karena itu, maka seterusnya Ki Buyut sempat berbicara tentang kehidupan di Kabuyutan. Tentang tanah pertanian. Tentang parit-parit. Tentang pegunungan dan hutan-hutan yang gersang.

“Masih banyak kesempatan Ki Buyut” berkata Mahisa Agni, “Kabuyutan itu masih akan dapat berkembang dengan baik. Kesulitan yang pernah mencengkam Kabuyutan itu menjadi pengalaman yang sangat berharga. Pengalaman itu ternyata telah dilengkapi dengan pengalaman Ki Buyut selama Ki Buyut berada di sebuah padepokan semu itu”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Kesulitan yang datang beruntun itu tentu terasa sangat berat bagi Kabuyutan kami. Tetapi seperti yang Ki Sanak katakan, mudah-mudahan di saat mendatang, kami dapat memperbaiki keadaan itu perlahan-lahan”

Mahisa Agni melihat kesungguhan di wajah Ki Buyut yang merasa sangat prihatin atas keadaan Kabuyutannya. Namun dengan kesungguhan pula ia berniat untuk mengejar kemunduran yang dialaminya itu. Beberapa saat mereka masih berbincang. Mereka sempat menyinggung para tawanan yang terluka dan masih berada padepokan.

Namun di antara mereka terdapat prajurit Singasari yang semula terluka pula, sehingga para prajurit itu akan dapat membantu mengawasi para tawanan yaryg ada suatu saat akan diambil oleh para prajurit dari Singasari.

Ketika malam menjadi semakin dalam, maka Ki Buyut pun beringsut setapak. Dibaringkannya tubuhnya di atas rerumputan kering yang sudah dipersiapkannya. Sementara Mahisa Agni dan Witantra pun telah berbaring pula beberapa langkah di sebelah Ki Buyut.

Namun dalam pada itu, yang masih tetap duduk dan berbicara tanpa berkeputusan adalah Mahisa Murti dan Widati. Agaknya mereka menemukan bahan pembicaraan yang sangat menarik.

Sementara Mahisa Pukat agaknya telah menjadi lelah dan beringsut semakin dekat dengan perapian. Sambil meletakkan dagunya di lututnya, ia bermain dengan sebatang ranting yang ujungnya sedang menyala. Seolah-olah ia tidak lagi menghiraukan, apa yang sedang dipercakapkan oleh Mahisa Murti.

Tetapi di luar sadarnya, seolah-olah dalam nyala api di hadapannya, telah membayang wajah seorang gadis pula. Gadis yang pernah dilihatnya di rumah Ki Raganiti. Paman Widati. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu memang memiliki beberapa persamaan dengan Widati. Itu adalah wajar sekali, karena keduanya adalah saudara sepupu.

“Persetan dengan gadis itu” desak Mahisa Pukat di dalam hatinya. Namun justru karena itu, setiap kali ia mengungkit bara di perapian yang menyala itu, rasa-rasanya wajah itu telah membayang. Semakin lama iustru semakin jelas.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian tidak dapat ingkar lagi, sebenarnya gadis yang dijumpainya di rumah Ki Raganiti itu telah meninggalkan secercah bekas dihatinya. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun tidak lagi berusaha mengusir bayangan yang setiap kali timbul dan seakan-akan menggodanya. Dibiarkannya saja bayangan itu bermain justru di angan-angannya.

Sementara itu, Mahisa Murti masih saja berbincang dengan Widati. Ada saja yang menarik untuk dibincarakan, sehingga keduanya sama sekali tidak merasa bahwa malam menjadi semakin kelam. Bahkan tanpa disadarinya, Mahisa Pukat ternyata telah tertidur dengan nyenyaknya di pinggir perapian sambil memegang sebuah ranting yang tidak lagi menyala ujungnya.

Mahisa Agni dan Witantra pun telah saling berdiam diri. Tanpa berjanji mereka agaknya telah membagi waktu. Justru ketika Mahisa Agni bangkit dan duduk di atas sebuah batu, Witantra telah berusaha untuk dapat memejamkan matanya barang sejenak.

Dalam pada itu, Ki Buyut pun ternyata tidak juga dapat tidur. Bagaimanapun juga, ia tidak begitu senang melihat anaknya berbincang seolah-olah tanpa akhir dengan Mahisa Murti. Meskipun pandangannya terhadap Mahisa Murti sudah berubah, namun rasa-rasanya sikap anaknya itu agak kurang pantas bagi seorang gadis.

Karena Widati masih saja duduk di sebelah perapian bersama Mahisa Murti, maka akhirnya Ki Buyut itupun berkata, “Widati. Malam telah lewat. Kau harus beristirahat. Kita masih akan menempuh perjalanan yang cukup panjang”

Widati mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian menyadari maksud ayahnya. Malam memang sudah larut. Dan ia masih saja berbicara dengan seorang anak muda. Karena itu, maka Widati pun kemudian bangkit sambil berdesis, “Aku harus beristirahat”

“Tidurlah. Besok perjalanan masih panjang” berkata Mahisa Murti.

Widati pun kemudian meninggalkan Mahisa Murti termangu-mangu sendiri. Perlahan-lahan ia mendekati ayahnya yang kemudian duduk sambil berkisar. Katanya, “Tidurlah”

Widatipun kemudian duduk bersandar sebuah batu yang besar sambil berkata, “Aku akan tidur di sini ayah”

“Berbaringlah agar kau dapat tidur dengan baik” berkata ayahnya.

“Sama saja bagiku. Sambil bersandar pun aku dapat tidur dengan nyenyak” jawab Widati.

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Wajah Widati nampak cerah di bayangan api perapian. Bahkan ketika ia pun kemudian tertidur, sebuah senyuman masih membayang di bibirnya. Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Iapun menjadi yakin, bahwa antara anak gadisnya dengan anak muda yang sebenarnya bernama Mahisa Murti itu telah terjalin satu hubungan yang rumit di dalam hati mereka. Namun akhirnya Ki Buyut itupun tertidur juga setelah ia yakin bahwa Widati pun telah tertidur pula.

Yang kemudian masih terbangun adalah Mahisa Agni dan Mahisa Murti yang duduk di dekat Mahisa Pukat terbaring. Sementara itu agaknya Witantra pun telah tertidur pula. Perlahan-lahan Mahisa Agni melangkah mendekati Mahisa Murti yang merenung. Sambil duduk di sebelah anak muda itu Mahisa Agni bertanya, “Kau tidak beristirahat Murti”

Mahisa Murti memandang wajah Mahisa Agni sekilas. Kemudian katanya, “Kita bergantian paman. Silahkan paman beristirahat. Nanti, pada saatnya aku mengantuk, aku akan membangunkan paman atau Mahisa Pukat atau paman Witantra”

Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Kau dapat bergantian dengan Mahisa Pukat. Aku akan bergantian dengan pamanmu Witantra. Tetapi jika kau ingin tidur, tidurlah. Biarlah aku duduk mengawasi keadaan. Nampaknya tidak ada sesuatu yang pantas di cemaskan di tempat ini”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Aku tidak mengantuk sekarang paman. Mungkin nanti sebentar”

Mahisa Agni menepuk bahu anak muda itu. Tetapi kemudian iapun bangkit dan berjalan mengelilingi orang-orang yang sedang tidur itu sebelum ia kembali duduk di atas sebuah batu. Mahisa Murti memandangi Mahisa Agni beberapa lama. Namun ia pun kemudian beringsut lebih dekat dari api. Dilontarkannya beberapa potong ranting kering ke dalam api itu, sehingga untuk sesaat, apipun melonjak semakin besar.

Lewat tengah malam, Witantra telah terbangun dengan sendirinya. Setelah mengeliat, maka ia pun kemudian duduk di sebelah Mahisa Agni sambil berkata, “Aku tertidur nyenyak sekali”

“Kau belum lama tertidur” jawab Mahisa Agni.

Namun Witantra menyahut sambil memandangi bintang-bintang dilangit, “Sudah cukup lama. Bintang-bintang telah bergeser terlalu jauh”

Mahis Agni menarik nafas dalam-dalam. Sambil menunjuk Mahisa Murti yang masih duduk di tepi perapian Mahisa Agni berkata, “Anak itu belum sempat tidur”

Witantra mengangguk. Jawabnya, “Ada sesuatu yang mengganggunya”

“Ya” jawah Mahisa Agni, “perasaannya sendiri”

Witantra tersenyum. Katanya, “Biarlah ia membangunkan Mahisa Pukat, agar ia dapat beristirahat barang sejenak”

Witantra pun kemudian bangkit mendekatinya, sementara Mahisa Agni pun kemudian berpindah duduk bersandarkan pohon yang tidak terlalu besar. Namun dengan demikian, ia pun sempat memejamkan mata menjelang dini hari. Witantra pun yang kemudian duduk di sebelah Mahisa Murti sambil berkata, “Sudah waktunya kau membangunkan Mahisa Pukat”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Baiklah paman. Aku akan beristirahat”

Mahisa Murti pun kemudian membangunkan Mahisa Pukat yang nampaknya sangat malas untuk membuka matanya. Namun akhirnya ia pun duduk pula sambil menggeliat.

“Aku akan tidur. Kau kawani paman Witantra” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat menggosok matanya. Ketika ia memandang berkeliling, dilihatnya Widati telah tertidur sambil bersandar sebongkah batu. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Tidurlah. Aku kawani paman Witantra”

Mahisa Murti pun kemudian beringsut selangkah. Sambil berdesah ia pun meletakkan kepalanya di atas setumpuk rerumputan kering.

Mahisa Pukat lah yang kemudian duduk di sebelah Witantra sambil berkata, “Mahisa Murti sedang diganggu oleh perasaannya sendiri terhadap gadis yang bersandar batu itu”

Witantra tersenyum. Katanya, “Hal yang wajar. Tetapi Mahisa Murti harus ingat, apa yang pernah terjadi atas Mahisa Bungalan sebelumnya. Hubungannya dengan gadis itu harus diaturnya sebaik-baiknya agar tidak menjeratnya ke dalam satu kesulitan”

“Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia teringat pada seorang gadis yang pernah dilihatnya dan telah meninggalkan kesan tersendiri pula dihatinya. “Apa pula kata paman Witantra jika ia mengetahuinya” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat menguap. Agaknya matanya masih saja ingin terpejam.

“Tidurlah” berkata Witantra sambil tersenyum, “aku akan berjaga-jaga”

“Ah” desis Mahisa Pukat yang melihat Mahisa Murti terbujur.

Witantra tidak mendesaknya. Namun ketika Mahisa Murti sudah tertidur, sekali lagi Witantra berkata, “Tidurlah”

Mahisa Pukat ragu-ragu. Namun akhirnya iapun beringsut untuk bersandar sebatang pohon pula. Katanya, “Aku tidak ingin tidur. Tetapi jika aku tertidur, justru karena paman mengijinkan”

Witantra tersenyum. Katanya, “Yah, tidurlah”

Mahisa Pukat pun kemudian tersenyum. Namun akhirnya matanyapun telah terpejam pula.

Tidak ada yang menarik terjadi malam itu, selain permainan perasaan anak-anak muda yang ada diantara iring-iringan yang sedang beristirahat itu. Nampaknya mereka tertidur sambil membawa angan-angan masing-masing. Ketika langit menjadi merah oleh cahaya fajar, maka mereka pun telah terbangun.

Ki Buyut telah mengantarkan anak gadisnya ke sebuah belik kecil yang tidak terlalu jauh dari perapian. Sejenak kemudian maka orang-orang yang berada di dalam sekelompok kecil itu pun sudah siap membenahi diri, sehingga merekapun telah siap untuk melanjutkan perjalanan.

“Marilah” berkata Mahisa Agni, “mumpung hari masih pagi”

Sejenak kemudian, iring-iringan itu pun mulai bergerak. Kuda-kuda merekapun telah menjadi segar. Dengan demikian perjalanan mereka pun menjadi lebih cepat. Apalagi jalan yang mereka tempuh kemudian adalah jalan yang lebih baik. Meskipun mereka kadang-kadang harus menyusup hutan-hutan kecil, namun perjalanan tidak lagi terasa terlalu berat.

Namun mereka tidak dapat menempuh perjalanan sepanjang hari tanpa beristirahat untuk makan dan minum. Bagi orang-orang yang terbiasa hidup dalam pengembaraan dan berada di dalam lingkungan olah kanuragan, hal itu tidak akan banyak terasa mengganggu. Tetapi tentu tidak bagi Widati dan Ki Buyut. Karena itu, ketika matahari yang terik menyengat ujung pepohonan, maka iring-iringan itu pun mendekati sebuah pasar yang telah menjadi sepi. Tetapi masih ada satu dua buah kedai yang melayani para pembelinya.

“Kita singgah sebentar” berkata Mahisa Murti yang mengetahui keadaan Widati.

Sebenarnya Mahisa Agni dan Witanta ingin memperingatkan Mahisa Murti karena, jumlah mereka agaknya akan dapat menarik perhatian. Tetapi mengingat keadaan Widati, maka keduanya akhirnya mengambil satu sikap yang lain.

“Mahisa Murti” berkata Mahisa Agni, “kau, Mahisa Pukat dan Ki Buyut serta anaknya, singgahlah di kedai itu. Biarlah aku menunggu di tempat yang terpisah, agar tidak terlalu menarik perhatian. Nampaknya jumlah kita terlalu banyak untuk sekelompok pejalan biasa”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Kemudian katanya kepada Mahisa Pukat perlahan-lahan, “Bagaimana pendapatmu?”

“Aku mengerti pendapat paman Mahisa Agni” berkata Mahisa Pukat, “karena itu, agaknya kami persilahkan paman Mahisa Agni dan paman Witantra untuk singgah di kedai yang satu, sedang kita akan singgah dikedai yang lain.

“Baiklah” berkata Mahisa Murti yang kemudian mendekati Ki Buyut sambil berkata, “marilah. Kita akan dapat singgah di kedai itu sebentar”

Ki Buyut tidak menolak. Ia tahu bahwa anak gadisnya benar-benar telah haus dan lapar. Karena itu, maka mereka pun telah menggeser arah kudanya, berbelok menuju ke pasar yang telah sepi itu. Tetapi ketika mereka memasuki sebuah kedai dan Mahisa Agni serta Witantra memasuki kedai yang lain, maka Ki Bayutpun telah bertanya, “Kenapa kedua pamanmu itu tidak bersama-sama dengan kita disini?”

Mahisa Murtilah yang berbisik ditelinga Ki Buyut, “Tidak apa-apa. Sekedar untuk mengurangi perhatian orang. Supaya mereka tidak bertanya-tanya, seolah-olah kita sedang mengungsi dengan anak cucu”

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil mengangguk-angguk. Sejenak kemudian, mereka pun telah duduk di dalam kedai itu. Meskipun pasar itu sudah sepi, tetapi masih ada juga beberapa orang yang berada di kedai itu. Agaknya di sudut pasar beberapa orang pandai besi masih sibuk menyelesaikan pekerjaannya.

Mahisa Agni dan Witantra yang berada di kedai yang lain, di luar sadar telah memperhatikan pandai besi itu. Bahkan Witantra telah bertanya kepada pemilik kedai itu, “Apakah sudah terbiasa bahwa pandai besi itu bekerja sehari penuh?”

“Tidak Ki Sanak” jawab pemilik kedai itu, “biasanya mereka selesai sebelum tengah hari. Jika masih ada pekerjaan, mereka akan mengerjakannya esok”

“Tetapi mereka hari ini bekerja terlalu keras” sahut Mahisa Agni.

“Mereka menerima pesanan khusus” jawab pemilik kedai itu.

“Apa?” bertanya Witantra.

“Mereka menerima pesanan lebih dari lima puluh kapak” jawab pemilik kedai itu.

“Kapak demikian banyak?” bertanya Witantra, “apakah mungkin yang memesan itu seorang pedagang yang akan menjualnya lagi di tempat lain yang masih belum memiliki seorang pandai besi pun?”

“Entahlah” jawab pemilik kedai itu, “aku tidak tahu”

Mahisa Agni dan Witantra mengerutkan keningnya ketika tiba-tiba saja seorang bertubuh tinggi tegap menjulurkan kepalanya di pintu belakang kedai itu sambil berkata, “Ya. Kau, memang tidak tahu apa-apa”

Pemilik kedai itu berpaling Orang itu berpegangan kedua uger-uger pintu belakang kedainya, sementara kepalanya terjulur ke dalam. Wajahnya yang keras membayangkan sikapnya yang agaknya juga cukup keras seperti wajahnya itu. Rasa-rasanya debar jantung pemilik Kedai itu menjadi semakin cepat. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab. Bahkan ia pun kemudian menyibukkan dirinya dengan melayani minuman Mahisa Agni dan Witantra.

Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun tidak berkata sepatahpun. Bahkan ketika pemilik kedai itu membuat minuman yang tidak mereka pesan, mereka pun tidak menolaknya, karena mereka mengerti, bahwa pemilik kedai itu menjadi sangat gelisah.

Untuk beberapa saat kedai itu menjadi sepi. Baik pemilik kedai itu, maupun Mahisa Agni dan Witantra, sama sekali tidak mengatakan sesuatu. Mereka sibuk dengan kepentingan mereka masing-masing. Pemilik kedai itu membenahi barang-barangnya yang tidak sedang dipakai, sedang Mahisa Agni dan Witantra sibuk dengan minuman hangatnya, meskipun yang mereka pesan bukan air sere seperti yang dihidangkan. Namun air sere dengan gula kelapa itu pun rasa-rasanya cukup segar. Apalagi bagi mereka yang agak kurang tidur di malam sebelumnya.

Dalam kesepian itu, ternyata ada dua orang berkuda lagi yang berhenti di depan kedai itu. Dua orang penunggangnya pun kemudian turun dan setelah menambatkan kudanya, memasuki kedai itu pula. Berbeda dengan orang yang masih berdiri di pintu belakang, orang yang memasuki kedai itu nampaknya lebih tertib, meskipun keduanya agaknya orang-orang yang sombong.

“Beri aku minuman dan makanan yang paling baik” berkata salan seorang dari kedua orang itu.

Pemilik warung itupun kemudian menjadi sibuk. Seperti yang dibuatnya untuk Mahisa Agni dan Witantra, maka ia pun telah membuat minuman air sere dengan gula kelapa bagi kedua orang tamunya yang baru itu. Baru kemudian pemilik kedai itu telah menghidangkan setambir makanan bagi mereka.

Tetapi seorang dari kedua orang tamu itu mengerutkan keningnya. Diamatinya mangkuk air sere itu dengan kerut di dahi. “Minuman apa ini?” ia bertanya.

“Air sere” jawab pemilik kedai itu.

Orang itu mencicipi air sere itu setitik. Namun tiba-tiba saja ia melemparkan mangkuk itu sambil membentak, “Gila. Kau beri minum apa aku he?”

Pemilik kedai itu terkejut bukan buatan. Air yang masih hangat itu telah terpercik ke tubuhnya. Sambil bergeser surut ia pun menjawab, “Itu adalah jenis minuman yang paling baik disini Ki Sanak”

“Kau gila” geram orang itu, “beri aku minuman yang lebih baik”

“Apa yang Ki Sanak maksudkan?” bertanya pemilik kedai itu termangu-mangu.

“Tuak. Beri aku tuak sebumbung” geram orang itu.

Pemilik kedai itu menjadi tegang. Dengan wajah cemas ia menjawab, “Maaf Ki Sanak. Aku tidak mnyediakan tuak di sini. Yang ada hanyalah minuman-minuman panas. Air sere, air salam dan barangkali dawet legen jika dikehendaki. Aku dapat memesan di kedai sebelah”

“Cukup” bentak orang itu, “beri aku tuak. He, kau dengar”

Pemilik kedai itu menjadi bingung. Sekali lagi ia mencoba menjelaskan, “Aku tidak mempunyai tuak Ki Sanak”

“Aku tidak peduli. Apakah kau akan membeli, atau mencuri atau merampok. Aku perlu tuak kau dengar”

Pemilik kedai itu menjadi gemetar. Ia tidak pernah menjumpai pembeli yang tidak mau tahu, apakah ia mempunyai persediaan jenis makanan atau minuman yang dikehendaki.

Kesan Mahisa Agni dan Witantra terhadap itu pun segera berubah. Jika semula mereka hanya menganggap dua orang itu agak sombong, namun akhirnya mereka pun melihat kekasaran orang yang tidak mereka kenal itu.

Selagi pemilik kedai itu termangu-mangu, maka salah seorang dari keduanya membentak sambil menghentakkan tangannya pada paga bambu di hadapannya, “Cepat, sebelum aku robohkan kedaimu ini”

Demikian kerasnya orang itu menghentakkan tangannya, sehingga mangkuk Mahisa Agni dan Witantra pun telah bergoncang, sehingga minuman hangat di dalamnya telah memercik pula ke tubuh mereka. Tetapi baik Mahisa Agni maupun Witantra masih tetap berdiam diri tanpa berbuat sesuatu menyaksikan sikap itu.

Namun dalam pada itu, yang tiba-tiba saja menyahut adalah orang yang berwajah kasar yang berdiri di pintu belakang itulah yang menyahut, “Kau jangan gila Ki Sanak. Kau sudah dengar bahwa di kedai ini tidak ada tuak?”

Kedua orang itu tiba-tiba saja telah berpaling. Dengan kerut di dahi, seorang diantara mereka bertanya, “Siapa kau?”

Tiba-tiba saja jawab orang itu mengejutkan Mahisa Agni dan Witantra, “Aku saudara pemilik kedai ini. Aku tidak senang melihat kesombonganmu seperti itu”

“Persetan” teriak yang seorang. Tetapi yang lain justru tertawa sambil berkata, “Kau orang gila juga seperti saudaramu pemilik warung ini. Kau jangan ikut campur he?”

Orang yang berdiri di pintu belakang itu melangkah masuk. Wajahnya yang garang menjadi semakin garang. Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra masih tetap berdiam diri. Namun keduanya mengerti, kenapa orang yang berdiri di pintu belakang itu telah ikut campur. Agaknya ia telah merasa tersinggung, seolah-olah kedua orang yang baru datang itu adalah orang-orang yang paling menakutkan di muka bumi. Sehingga dengan demikian, didorong oleh harga dirinya yang menghentak maka orang itupun telah ikut campur.

“Ki Sanak” berkata orang berwajah garang itu, “aku minta kalian secepatnya meninggalkan kedai ini sebelum aku mengambil sikap”

“Apa yang akan kau lakukan” bertanya salah seorang dari kedua orang itu.

“Mengusir kalian dari tempat ini. Siapa kalian?” jawab orang berwajah kasar itu.

Sekali lagi orang-orang itu tertawa. Salah seorang berkata, “Kau belum mengenal aku. Karena itu, kau berani berkata seperti itu”

Orang berwajah garang itu menggeram. Katanya "Sudah aku katakan, siapapun kalian, kalian harus pargi dari tempat ini”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Yang seorang kemudian berkata, “Apa boleh buat sebenarnya kita tidak ingin berbuat apa-apa disini. Tetapi orang ini telah menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kesulitan”

“Kau kira apa yang kau lakukan itu tidak apa-apa? bentak orang berwajah kasar, “kau telah berbuat seolah-olah kau tidak dibatasi oleh paugeran apapun. Apa yang ingin kau lakukan dapat kau lakukan. Kau minta apa yang tidak ada. Tetapi apa yang tidak ada itu harus ada. Bukankah itu satu perbuatan gila. Dengan tidak langsung kau sudah menantang aku yang melihat tingkah lakumu”

Seorang di antara kedua orang itu mengangkat bahunya. Sedangkan yang lain berkata, “Kita tidak mempunyai pilihan lain. Orang ini harus disingkirkan. Ia bukan saja akan menghalangi kita dalam permainan kecil-kecilan ini. Tetapi dalam langkah-langkah yang besar pun ia akan selalu ikut campur, ia merasa dirinya terlalu besar. Mungkin tukang-tukang kedai memang mempunyai orang-orang kasar untuk menakut-nakuti pencuri-pencuri kecil. Tetapi langkahnya kali ini telah menjerumuskannya ke dalam kesulitan yang sebenarnya”

“Cukup” teriak orang berwajah kasar itu, “aku bukan orang upahan. Bukan pula apa-apa. Jika aku ingin mengusir kalian, karena kesombongan kalian telah menyinggung harga diriku”

Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak keduanya terdiam. Namun tiba-tiba yang seorang berkata, “Marilah Ki Sanak. Aku ingin memperlihatkan kepadamu, bahwa aku dapat merobek mulutmu”

Orang berwajah kasar itu menggeram. Tetapi ia membiarkan kedua orang itu melangkah keluar. Agaknya keduanya ingin berada di tempat terbuka, apapun yang akan terjadi.

Orang berwajah garang itu pun kemudian menyusulnya. Ketika kedua orang itu berhenti di halaman kedai itu. maka orang berwajah garang itupun telah bersiap. Kemarahan telah membakar jantung orang berwajah garang itu karena sikap kedua orang yang menurut penilaiannya sangat sombong dan tidak tahu diri itu.

“Kau tetap pada pendirianmu?” bertanya salah seorang dari kedua orang itu.

“Ya. Aku muak melihat orang-orang gila seperti kalian berdua. Sangat menjengkelkan. Kalian minta apa yang tidak ada” geram orang berwajah kasar itu.

Dalam pada itu, salah seorang dari kedua orang itu melangkah maju sambil berkata, “Bersiaplah”

“Jangan hanya seorang” geram orang berwajah kasar itu “majulah bersama-sama”

Tetapi orang yang menghadapinya itu membentak, “Ternyata kau lebih sombong dari kami berdua. Cepat, jangan banyak bicara lagi”

Orang berwajah kasar itu memang tidak menunggu. Justru ia telah meloncat dan menyerang lawannya dengan garangnya. Sejenak kemudian perkelahian diantara keduanya telah terjadi. Semakin lama semakin sengit.

Dalam pada itu. Mahisa Agni dan Witantra pun telah bergeser. Tetapi mereka masih tetap berada di dalam kedai itu bersama pemilik kedai yang ketakutan.

“Aku akan menutup kedai ini” suara pemilik kedai itu menjadi gemetar.

“Jangan ditutup” sahut Mahisa Agni, “mereka akan menjadi semakin marah. Kedua orang itu akan dapat membakar kedaimu”

“Tetapi siapa pun yang memang, aku akan menjadi sasaran. Apalagi jika kedua orang itu nanti memaksa untuk mendapatkan tuak. Darimana aku harus mengambilnya” suara pemilik warung itu gemetar.

“Mudah-mudahan mereka menginginkan yang lain. Tetapi mereka tidak akan membakar kedaimu” berkata Witantra pula.

Tetapi pemilik kedai itu justru menjadi semakin ketakutan. Jika ia membiarkan kedainya terbuka, maka mungkin sekali orang-orang itu, siapa pun yang menang, akan membuat kedainya menjadi rusak. Tetapi jika ia menutupnya, seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni dan Witantra, mungkin kedai itu akan dibakar. Dalam kebimbangan itu, maka ia menyaksikan perkelahian yang semakin seru. Sementara salah seorang dari kedua orang yang datang kemudian itu memperhatikan perkelahian itu dengan seksama.

Dalam pada itu, ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berada di kedai lainpun mendengar hiruk-pikuk cli halaman kedai sebelah. Suara itu ternyata telah mengejutkan mereka. Mereka menyangka bahwa telah terjadi sesuatu dengan Mahisa Agni dan Witantra. Sehingga karena itu, maka keduanya telah meloncat keluar dari dalam kedai.

Tetapi mereka pun kemudian menyaksikan, bahwa dua orang sedang berkelahi. Diantara mereka bukannya Mahisa Agni atau Witantra. Tetapi orang lain. Sejenak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Tetapi karena mereka tidak melihat Mahisa Agni dan Witantra. Maka mereka pun kemudian bergeser surut.

Sementara orang-orang itu berkelahi semakin sengit, maka orang-orang yang tersisa di pasar itu pun menjadi ribut. Pandai besi yang masih bekerja itup un dengan cepat mengemasi barang-barangnya dan memadamkan perapiannya.

Dalam pada itu, pemilik kedai sebelah telah berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Masuklah, agar kalian tidak disandang ikut campur dalam persoalan yang tidak kalian ketahui”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi termangu-mangu. Mereka ingin tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi merekapun nampaknya tidak ingin ikut campur dalam persoalan yang tidak mereka mengerti. Apalagi nampaknya Mahisa Agni dan Witantra pun tidak ikut campur pula.

Dalam pada itu, pemilik kedai itupun berkata, “Silahkan masuk Ki Sanak. Aku akan menutup saja kedai ini. Jika perkelahian itu berkembang, maka lebih baik, kita sudah tidak berada di tempat ini”

“Maksudmu?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku akan menutup kedaiku dan kemudian pulang saja” berkata pemilik kedai itu. Lalu, “Aku juga ingin mempersilahkan Ki Sanak untuk meninggalkan tempat ini”

“Apakah perkelahian itu akan dapat berkembang?” bertanya Mahisa Pukat.

Pemilik kedai itu bergumam, “Silahkan masuk. Aku akan menutup kedaiku. Kita akan pergi lewat pintu belakang saja”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Keduanya pun kemudian masuk ke dalam kedai. Sementara itu, Ki Buyut dan Widati nampak menjadi cemas. Agaknya telah terjadi satu perselisihan yang gawat di antara orang-orang yang tidak mereka kenal.

Namun demikian, agaknya Mahisa Pukat masih belum puas bahwa pertanyaannya belum terjawab. Karena itu, maka sekali lagi ia bertanya, “Apakah pertempuran ini masih akan berkembang?"

“Mungkin sekali. Nampaknya salah satu pihak tidak seorang diri” jawab pemilik kedai itu.

“Ya. Nampaknya mereka berdua. Tetapi agaknya mereka bersikap jantan, sehingga mereka berkelahi seorang melawan seorang” berkata Mahisa Pukat pula.

“Tetapi jika kawannya kalah, maka yang seorang itu tentu akan mengambil sikap lain. Mungkin ia akan membantu, sehingga yang seorang itu akan berkelahi melawan dua orang. Padahal yang seorang itu pun tidak sendiri di daerah ini” jawab pemilik kedai itu.

“Apakah ia mempunyai kawan?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya. Mereka sudah lama berkeliaran di daerah ini. Mereka sedang memesan kapak kepada pandai besi di sudut pasar itu. Kapak penebang pohon” jawab pemilik kedai itu pula.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun mereka pun kemudian harus berkemas, ketika mereka melihat pemilik kedai itu bersiap-siap untuk pergi. Tetapi keterangan pemilik kedai itu memang menarik perhatiannya. Orang yang sedang bertempur itu, ternyata mempunyai banyak kawan. Sedang mereka berada di tempat itu untuk memesan sejumlah kapak penebang pohon.

“Marilah Ki Sanak” berkata pemilik kedai itu, “kita keluar lewat pintu belakang”

Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Murti bertanya, “Kita akan pergi kemana? Jika kita keluar dari kedai ini, apakah kita tidak justru menarik perhatian. Kuda-kuda kami ada di depan kedai ini”

Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Mereka sedang berkelahi. Mereka tidak akan memperhatikan kita”

“Tetapi saat kami mengambil kuda-kuda kami,“ sahut Mahisa Pukat.

Pemilik kedai itu mengerutkan keningnya. Kemudian iapun bertanya, “Jadi apa yang akan kalian lakukan?”

“Kami akan bersembunyi di dalam kedai ini sampai segalanya berakhir” jawab Mahisa Pukat.

Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sekali lagi aku katakan, perkelahian itu akan dapat berkembang”

“Tetapi mereka tidak akan menghiraukan kami yang ada di dalam kedaimu ini” jawab Mahisa Pukat.

Orang itu merenung sejenak. Namun akhirnya iapun berkata, “Baiklah. Kita akan tetap berada disini. Nampaknya mereka tidak akan mengganggu orang-orang lain yang tidak mencampuri persoalan mereka”

“Terima kasih” berkata Mahisa Murti, “namun demikian, agaknya menarik juga untuk mengintip mereka dari celah-celah dinding agar kita dapat mengikuti perkembangan yang terjadi”

Pemilik kedai itu tidak melarang dan tidak berkeberatan ketika kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk mengintip perkelahian itu. Meskipun mereka tidak dapat melihat dalam keseluruhan, tetapi mereka dapat melihat sebagian dari apa yang terjadi, sehingga mereka mendapat kesan, perkembangan dari perkelahian itu.

Ternyata perkelahian itu semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya memiliki kemampuan yang cukup, sehingga dengan demikian maka keduanya telah menunjukkan kelebihan mereka. Bukan saja kekuatan wadag mereka, tetapi juga kecepatan gerak dan kemampuan mereka mempergunakan unsur-unsur gerak yang membahayakan lawan.

Mahisa Agni dan Witantra masih memperhatikan pertempuran itu dengan seksama. Tetapi mereka sama sekali tidak memberikan kesan, bahwa mereka dapat mengetahui apa yang sedang mereka saksikan, yang mereka lakukan adalah, seolah-olah mereka menjadi cemas melihat perkembangan yang terjadi.

Tetapi pemilik kedai itu benar-benar tidak berani menutup kedainya, karena seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni dan Witantra, bahwa dengan demikian, mungkin sekali kedai itu justru akan dibakar.

Dalam pada itu, salah seorang di antara mereka yang datang kemudian, yang tidak terlibat dalam perkelahian itu, menyaksikan perkelahian itu dengan jantung yang berdebaran.

Namun dalam pada itu, orang-orang yang berada di dalam kedai itu terkejut, ketika tiba-tiba saja pintu belakang telah terbuka. Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan berdiri sambil memperhatikan seisi kedai itu.

“He, kau sedang mengintip?” bertanya orang itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Sementara itu orang itu pun berkata, “Kau sebenarnya tidak perlu mengintip. Marilah, kita akan melihat apa yang terjadi”

Hampir di luar sadarnya, Mahisa Pukat lah yang menjawab, “Kami menjadi ketakutan”

Orang itu tertawa. Katanya, “Jika kalian memang ketakutan, memang sebaiknya kalian bersembunyi di dalam kedai ini. Biar aku sendiri yang mendekat. Agaknya perkelahian itu memang sangat menarik untuk dilihat. Kalian akan dapat melanjutkan mengintip perkelahian itu”

Tidak seorang pun yang menjawab. Ketika orang itu pergi maka pemilik kedai itu dengan tergesa-gesa telah menutup kembali pintu belakang kedainya.

“Kau kenal orang itu?” bertanya Mahisa Murti.

“Orang itu adalah kawan dari orang yang sedang berkelahi itu. Aku tidak kenal mereka. Tetapi aku pernah melihat mereka. Agaknya mereka akan berada di tempat ini sampai pesanan mereka selesai” jawab pemilik kedai itu.

“Kapak-kapak itu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Ya” jawab pemilik kedai itu pula.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak bertanya lagi. Mereka telah berusaha untuk mengintip lagi, apakah yang akan terjadi di antara orang-orang yang sedang berkelahi itu.

Dalam pada itu, maka orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu pun telah mendekati arena perkelahian yang menjadi semakin seru. Dengan nada datar ia pun kemudian berkata, “Marilah kita menonton bersama-sama”

Orang yang datang berkuda berdua dengan orang yang sedang berkelahi itu termangu-mangu. Ternyata ada orang lain yang datang tanpa ragu-ragu. “Siapa kau?” bertanya orang itu.

“Aku kawan orang yang sedang berkelahi itu” jawab orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan. Lalu, “Kenapa kawanmu itu berkelahi dengan kawanku? Aku mendengar dari anak-anak yang berlari-lari ketakutan”

“Kawanmu telah mencampuri urusan kami” jawab orang itu.

“Urusan apa?” bertanya orang tinggi itu.

“Tidak apa-apa. Apakah kau juga akan turut campur?” bertanya orang berkuda itu.

“Hanya jika perlu. Jika tidak perlu, aku akan menonton saja di sini. Nampaknya perkelahian itu sangat sengit. Keduanya memiliki ilmu dan kemampuan yang seimbang. Jika kau merasa ilmumu setingkat dengan kawanmu itu, maka jika kita berkelahi, akan menjadi sangat seru pula. Siapa yang membuat kesalahan, akan tidak diampuni lagi. Nyawanya akan menjadi taruhan” orang bertubuh tinggi itu terdiam sejenak. Lalu, “He, apakah kau berniat demikian?”

“Anak setan” geram orang berkuda itu, “aku akan menunggu sejenak. Tetapi pada saatnya aku akan memperhatikan kesombonganmu itu”

Orang bertubuh tinggi itu tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Dalam pada itu, perkelahian itu pun sebenarnya menjadi semakin sengit. Keduanya saling mendesak. Mereka telah bertempur dengan mempergunakan senjata masing-masing. Sekali-sekali terdengar senjata itu berdentang. Namun kemudian senjata-senjata itu berputaran bagaikan baling-baling. Bahkan kadang-kadang terdengar senjata-senjata itu bagaikan bersuit nyaring jika tebasan mendatar serta ayunan serangan yang sangat keras membelah udara.

Sementara kedua orang itu berkelahi, kawannya yang datang bersama-sama berkuda itu menjadi heran. Di tempat yang terpencil dan sepi itu ada juga orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, hampir di luar sadarnya ia bertanya kepada orang bertubuh tinggi yang berdiri beberapa Langkah dari padanya, “He, apakah kau juga orang padukuhan ini?”

Orang bertubuh tinggi itu menggeleng. Sambil memperhatikan pertempuran itu ia berkata, “Aku bukan orang padukuhan ini. Demikian pula kawanku itu”

“Oh” orang berkuda itu mengangguk-angguk, “kenapa kalian berada disini?”

“Itu urusan kami. Tetapi mungkin ada baiknya kau mengetahui bahwa aku sedang menunggu pesanan kami pada pandai besi di sudut pasar itu. Tetapi karena salahmu, ia sekarang menjadi ketakutan dan menghentikan kerjanya, padahal aku tergesa-gesa. Dalam beberapa hari ini, pesananku harus sudah selesai” jawab orang bertubuh tinggi itu.

“Kau pesan apa?” bertanya orang berkuda itu.

“Bukan pula urusanmu” jawab orang bertubuh tinggi. Tetapi ia berkata, “Kami memesan kapak penebang kayu”

Orang berkuda itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya “He, kau memesan kapak. Kapak penebang kayu?”

“Ya, kenapa?” bertanya orang bertubuh tinggi itu.

“Tunggu. Apakah kau kawan orang yang bernama Sambu?” bertanya orang berkuda itu.

“Ya. Sambu adalah kawanku yang berkelahi itu” jawab orang bertubuh tinggi itu.

Sejenak orang berkuda itu termangu-mangu. Dipandanginya orang yang berkelahi itu dengan seksama. Sementara itu, orang bertubuh tinggi itu berkata, “Kau mendendam orang yang bernama Sambu? Ingat, aku adalah kawannya. Kawan baiknya”

Orang yang datang berkuda itu berdiri mematung. Di antaranya orang yang berkelahi yang disebut bernama Sambu itu. Sementara perkelahian itu sendiri menjadi semakin sengit. Namun tiba-tiba saja orang itu berteriak, “Hentikan. Hentikan permainan itu”

“Kenapa?” orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu bertanya dengan heran.

“Hentikan. Aku akan mengatakan sesuatu” orang itu masih saja berteriak.

Ternyata bahwa suaranya telah didengar oleh orang-orang yang berkelahi itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja mereka telah berloncatan mundur dan menghentikan perkelahian.

“Jangan bodoh” berkata orang yang menghentikan perkelahian itu. Lalu ia pun bertanya kepada orang berwajah kasar yang telah menghentikan perkelahian itu, “Kaukah yang bernama Sambu?”

Orang berwajah kasar itu termangu-mangu. Namun iapun menjawab, “Ya. Aku yang disebut orang Sambu”

Tiba-tiba orang berkuda itu tertawa. Iapun kemudian melangkah mendekati kawannya yang masih terengah-engah. Katanya, “Untunglah bahwa senjatamu belum tergores di kulitnya”

“Senjataku yang akan membelah jantungnya” jawab orang yang disebut bernama Sambu itu.

“Perkelahian ini tidak ada gunanya. Bukankah kita datang ke tempat ini untuk mencari Sambu. Orang itulah yang bernama Sambu” berkata orang yang tidak terlibat ke dalam perkelahian itu.

Kawannya mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang yang baru saja menjadi lawannya itu. Katanya, “Apakah benar, orang itu bernama Sambu?”

“Tidak ada dua atau tiga. Akulah Sambu itu” jawab orang berwajah kasar itu.

“Baiklah. Menilik ciri-cirimu, agaknya memang benar, bahwa kau bernama Sambu. Tetapi justru karena kau mengaku kadang pemilik kedai itulah, maka aku sama sekali tidak mengira, bahwa kaulah yang disebut Sambu itu” berkata orang berkuda itu.

“Sikapmu terlalu sombong. Seolah-olah kau dapat berbuat apa saja. Aku bukan sanak bukan kadang pemilik kedai itu. Tetapi di hadapanku membuat telingaku panas. Kau kira tidak ada orang lain yang dapat mengimbangi kejantananmu yang gila itu” jawab orang yang disebut Sambu.

“Baiklah. Marilah kita hentikan kesalah-pahaman ini. Kami adalah orang-orang dari Padepokan Mayang. Kami adalah murid Ki Ajar Trumadipa yang bergelar Ki Ajar Kembang Mayang” jawab salah seorang dari kedua orang berkuda itu.

Orang yang disebut Sambu itu menggeram. Katanya, “Kau memang orang-orang gila. Orang-orang padepokan Mayang memang orang-orang gila.. Kenapa kalian berlaku begitu sombong kepada pemilik kedai yang tidak berarti apa-apa itu?”

Orang padepokan Mayang itu tertawa. Salah seorang diantara mereka berkata, “Setiap orang harus mengerti, bahwa orang-orang padepokan Mayang tidak dapat dicegah untuk melakukan apa saja”

“Tetapi tidak menyombongkan diri dihadapanku” berkata orang yang bernama Sambu itu.

“Kita telah bertemu dalam keadaan yang khusus. Tetapi itu baik sekali bagi kami. Dengan demikian kami benar-benar mengetahui, bahwa orang-orang yang telah berada di daerah ini memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan” berkata salah seorang dari padepokan Mayang itu. Namun kemudian tiba-tiba saja ia bertanya, “Siapakah kedua orang yang berada di dalam kedai itu?”

“Aku tidak tahu. Dua orang pejalan yang singgah dan memesan minuman dan makanan” jawab orang yang disebut Sambu itu.

“Di kedai yang lain ada juga dua orang anak muda bersama seorang tua dan seorang gadis” berkata orang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu.

“Apa yang mereka lakukan?” bertanya orang padepokan Mayang.

“Mengintip. Mereka menjadi ketakutan karena perkelahian itu. Tetapi mereka ingin melihatnya. Kuda-kuda di depan kedai itu tentu kuda-kuda mereka” berkata orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu.

“Kuda yang bagus” berkata salah seorang dari padepokan Mayang.

“Ya. Kuda-kuda yang berada di depan kedai yang lain itu tentu kuda-kuda kedua orang yang berada di dalam kedai itu pula. He, apakah mereka secara kebetulan berhenti di kedua kedai itu, atau mereka memang bersama-sama datang ke tempat ini” bertanya Sambu kepada kawannya yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu.

“Aku tidak melihat mereka datang. Ketika aku melihat ke dalam kedai sebelah dari pintu butulan, aku melihat dua orang anak muda yang ketakutan itu mengintip” jawab orang yang bertubuh tinggi.

“Mereka bukan urusan kita” berkata Sambu kemudian, “nah, agaknya kalian membawa persoalan dari padepokan Mayang”

“Ya. Ada yang ingin kami katakan kepadamu dan rencana-rencana yang akan kita lakukan” jawab salah seorang dari kedua murid padepokan Mayang itu.

“Marilah. Singgahlah di pondok kami” berkata Sambu kemudian.

Namun salah seorang dari kedua murid padepokan Mayang itu berkata, “Kuda itu sangat menarik. Aku memerlukannya”

Sambu mengerutkan keningnya. Katanya, “Kalian memang suka membuat persoalan. Aku sama sekali tidak memerlukan kuda itu. Aku sudah mempunyai kuda yang baik yang selalu mengawani aku kemanapun aku pergi”

“Tetapi kudaku terlalu kecil. He, apakah anak-anak itu masih ketakutan di dalam kedai itu?” bertanya orang padepokan Mayang itu.

Tetapi tingkah laku orang-orang padepokan Mayang itu agaknya kurang sesuai dengan sikap Sambu sehingga katanya, “Kau telah memancing keributan. Aku merasa tersinggung dengan sikapmu. Mungkin aku adalah orang yang kasar dan kurang dapat berpikir tenang. Tetapi aku tidak akan berbuat seperti yang kau lakukan di warung itu. Ketika aku mendengar orang-orang di kedai itu berbicara tentang kapak, aku berusaha untuk memaksa mereka beralih ke masalah yang lain. Namun tiba-tiba saja kau datang dengan sikap yang memang memancing keributan. Sekarang kau akan membuat persoalan lagi dengan kuda-kuda itu”

“Jangan hiraukan aku” jawab orang padepokan Mayang itu, “kuda yang baik akan membantu tugas-tugas kita. Sebentar lagi kita harus mulai. Sebagian dari percobaan yang kita lakukan telah menunjukkan hasil yang baik. Karena itu, maka kita harus melakukannya di pegunungan di sekitar Kota Raja”

“Tetapi tidak ada hubungannya dengan kuda-kuda itu. Dengan kudamu, kau cukup rancak melakukan tugasmu” berkata Sambu.

“Biarlah aku mempertanggung-jawabkannya" berkata orang padepokan Mayang itu.

Sambu tidak menghiraukannya lagi. Iapun kemudian berjalan bersama kawannya yang bertubuh tinggi kekurusan dan orang padepokan Mayang yang seorang lagi. Sementara yang lain, benar-benar telah mendekati kuda yang terikat di depan kedai yang tutup itu.

“Kuda yang bagus” desis orang itu, “aku memang memerlukannya”

Ia pun kemudian mengikat kudanya sendiri pada sebuah patok di depan kedai itu. Kemudian iapun mendekati kuda yang tegar berwarna coklat kehitaman diantara tiga ekor kuda yang lain.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahis Pukat di dalam kedai itu menggeram, “Gila. Itu kudaku”

Mahisa Murti pun menjadi tegang. Sementara pemilik kedai itu berdesis, “Biarlah. Apakah artinya seekor kuda. Jika kita mencegahnya, mungkin nyawa kitalah yang akan mereka ambil. Sementara kuda itu akhirnya akan dibawanya juga”

“Tetapi aku tidak mau kehilangan” berkata Mahisa Pukat.

“Jangan” cegah pemilik kedai itu.

Tetapi Mahisa Pukat ternyata bersikap lain. Ia pun telah membuka selarak pintu dan pintu kedai itupun tiba-tiba telah terbuka. Sambil berdiri dimuka pintu ia berkata kepada orang yang sudah mulai melepas tali kudanya, “Itu kudaku”

Orang padepokan Mayang itupun terkejut. Bahkan kawan-kawannya yang lain, yang telah mendahuluinya pun terkejut pula. Karena itu maka mereka pun telah tertegun dan berpaling. Orang padepokan Mayang yang sudah terlanjur melepas tali kuda Mahisa Pukat itupun menjawab lantang, “Aku tahu, ini kudamu. Aku sengaja mengambilnya. Aku memerlukannya”

Wajah Mahisa Pukat menjadi merah. Dengan lantang pula ia menjawab, “He, apakah kau sama sekali tidak menghormati hak milik seseorang?”

“Aku menghormatinya. Tetapi keinginanku memang tidak dapat dicegah. Aku ingin membawanya. Dan karena itu, maka aku akan membawanya. Kau dapat memakai kudaku yang tidak kalah tegarnya dari kudamu”

“Jika kudamu tidak kalah baik dari kudaku, apa artinya perbuatanmu itu? Hanya sekedar memancing persoalan?” jawab Mahisa Pukat.

Orang yang bertubuh tinggi kekurusan itu menjadi heran. Ternyata anak muda itu tidak sedang ketakutan seperti yang disangkanya. Bahkan anak muda itu menunjukkan sikap yang berani dan tegas.

Orang padepokan Mayang itupun mulai menjadi marah. Dengan nada kasar ia berkata, “Jangan mencoba untuk mempertahankan kudamu. Aku dapat berbuat apa saja. Aku tidak mau diganggu. Apalagi dicegah untuk melakukan sesuatu”

“Aku tidak akan mengganggumu dan tidak akan mencegahmu melakukan apa saja. Tetapi tidak merugikan orang lain. Apalagi yang kau rugikan itu adalah aku sendiri” jawab Mahisa Pukat tanpa ragu-ragu.

“Jika kau merasa dirugikan, kau mau apa?” orang padepokan Mayang itupun telah kehilangan kesabaran.

Tetapi Mahisa Pukat tidak menjadi takut. Ia pun melangkah kedepan mendekati orang padepokan Mayang itu sambil berkata, “Lepaskan kudaku, jika kau tidak ingin terjadi keributan. Tetapi jika kau memang menghendaki keributan, aku akan melayanimu”

Jawaban Mahisa Pukat itu benar-benar tidak terduga. Karena itu kemarahan orang padepokan Mayang itu tidak terkendali lagi. Setiap kali ia memang tidak mau ditantang oleh siapapun juga, sehingga karena itu, maka setiap kali ia telah mempergunakan kekerasan.

Karena itu, maka ia pun telah melepaskan kuda yang diinginkannya itu. Dengan langkah satu-satu ia pun mendekati Mahisa Pukat pula sambil berkata, “Anak muda. Kau belum mengenal aku. Kau akan menyesal, jika kau mengetahui siapa aku”

Sekali lagi jawaban Mahisa Pukat membuat telinga orang itu menjadi panas, “Kaupun belum mengenal aku. Jika kau sudah mengenal aku, maka kau tidak akan berani menyentuh kudaku”

“Siapa kau?” teriak orang padepokan Mayang itu.

“Siapapun aku, aku akan membuktikan bahwa kau harus berjongkok dan minta ampun kepadaku” jawab Mahisa Pukat yang merasa sangat tersinggung oleh tingkah laku orang itu.

Mahisa Murti yang kemudian juga keluar dari kedai itu menarik nafas panjang melihat sikap Mahisa Pukat. Tetapi ia pun mengerti, bahwa Mahisa Pukat benar-benar menjadi marah. Orang itu benar-benar telah menghinanya dengan mengambil kudanya dengan paksa.

Tetapi orang itu pun tidak kalah marahnya. Dengan nada tinggi ia berteriak, “Jangan menentang orang-orang dari padepokan Mayang. Kami akan membunuh jika kami ingin membunuh. Jika kau lebih sayang kepada kudamu daripada kepada nyawamu, marilah. Mendekatlah”

“O, jadi kau orang dari padepokan Mayang. Padepokan yang tidak ada artinya sama sekali. Adalah menggelikan sekali bahwa seseorang dari Padepokan Mayang akan berani menentang orang dari Padepokan Mahesa” teriak Mahisa Pukat tanpa berpikir panjang.

Mahisa Murti hanya dapat menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak mencegahnya. Dalam kemarahan yang memuncak, Mahisa Pukat tidak akan mendengarkan pendapat orang lain.

Dalam pada itu, orang dari Padepokan Mayang itu pun menjadi sangat marah, sehingga ia tidak lagi dapat mengendalikan dirinya. Dengan gigi gemeretak ia mendekati Mahisa Pukat sambil berkata lantang, “Kaulah yang harus berjongkok dan minta ampun”

Tetapi Mahisa Pukat yang marah itu tidak menunggu terlalu lama. Tiba-tiba saja ia sudah bergeser maju. Tangannya terjulur lurus mengarah ke dada lawannya yang terkejut melihat sikapnya. Tetapi Mahisa Pukat masih belum benar-benar ingin menyakiti lawannya. Karena itu, maka ia masih membiarkan lawannya beringsut mengelak. Namun kemudian, keduanya benar-benar telah bersiap untuk bertempur.

Sambu kawannya dan orang Padepokan Mayang yang seorang lagi itupun terpaksa berhenti juga menyaksikan perkelahian itu. Namun menilik pada benturan yang pertama, mereka segera mengetahui, bahwa anak muda yang disangkanya ketakutan itu ternyata memiliki ilmu yang cukup tinggi. Karena itu, maka perkelahian itu segera menarik perhatian. Dengan demikian maka ketiga orang itu pun kemudian telah memperhatikan pertempuran itu dengan seksama.

“Gila” geram Sambu, “kenapa kau tadi mengatakan bahwa anak itu mengintip perkelahian dengan ketakutan?”

“Kesan yang aku dapat memang demikian” jawab kawannya yang bertubuh tinggi kekurusan, “tetapi ternyata aku keliru. Atau mereka dengan sengaja membuat kesan yang demikian”

“Jika demikian, maka kawannya yang seorang, mungkin juga dua orang berkuda yang lain yang datang bersamanya, juga orang-orang yang harus diperhitungkan” berkata Sambu kemudian.

Kawannya tidak menyahut. Tetapi sekilas dipandanginya Mahisa Murti yang berdiri termangu-mangu. Namun karena ketiga orang kawan orang Mayang yang berkelahi itu semakin mendekat, maka Mahisa Murti pun telah beringsut mendekat pula. Namun langkahnya tertegun ketika ia mendengar Ki Buyut berkata, “Jangan tinggalkan kami berdua”

Mahisa Murti memandanginya sejenak. Ki Buyut berdiri termangu-mangu dibelakang pintu. “Tutuplah pintu itu” berkata Mahisa Murti, “aku harus mendekatinya."

Ki Buyut tidak mencegahnya lagi. Tetapi Widati yang ketakutan itu pun beringsut mendekati ayahnya.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat yang marah itu pun bertempur semakin lama semakin garang. Lawannya, orang Padepokan Mayang itu berusaha untuk dengan segera mengakhiri pertempuran. Tetapi ia terbentur pada satu kenyataan, bahwa lawannya yang masih muda itu ternyata tidak semudah yang disangkanya untuk dikalahkannya.

“Anak iblis” geram orang padepokan Mayang itu, “semakin gila tingkah lakumu, semakin dalam kau akan menyesal, karena jalan kematianmu akan menjadi semakin sulit”

Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi ia bergerak semakin cepat, sehingga demikian mulut lawannya terkatup, ia telah terdorong dua langkah surut, karena tangan Mahisa Pukat menyentuh dadanya. Sekali lagi orang itu mengumpat. Dengan tergesa-gesa ia memperbaiki keseimbangannya. Ketika Mahisa Pukat menyerengnya, maka lawannya telah meloncat jauh-jauh menghindar untuk mengambil jarak dari anak muda yang bergerak cepat itu.

Sejenak kemudian, ketika orang Padepokan Mayang itu berhasil memperbaiki keadaannya, maka pertempurannya telah menjadi semakin sengit, karena serangan Mahisa Pukat datang bagaikan banjir bandang. Sambil mengumpat orang padepokan Mayang itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi anak muda yang dianggap penakut itu, benar-benar memiliki ilmu yang tinggi, yang dapat menggetarkan pertahanannya.

Sebenarnyalah, semakin lama orang padepokan Mayang itu menjadi semakin terdesak. Satu hal yang sama sekali tidak disangkanya. Jika semula ia harus melihat kenyataan, hadirnya Sambu dan kawannya, ia pun harus malihat kenyataan yang lain pula. Anak-anak muda yang memiliki kemampuan jauh di atas yang diduganya.

Seorang kawannya yang berdiri termangu-mangu bersama Sambu dan orang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu menjadi cemas melihat keadaan kawannya. Ia pun melihat, bahwa kawannya itu semakin lama menjadi semakin terdesak oleh anak muda yang mampu bergerak seperti burung sikatan. Tetapi setiap kali ia berniat melibatkan diri, maka ia pun harus memperhitungkan anak muda yang seorang lagi. Anak muda yang nampaknya juga mempunyai kemampuan seperti anak muda yang sedang bertempur itu.

Dalam pada itu, Sambu pun telah menggeram, “Sudah aku katakan. Orang itu memang senang mencari perkara. Jika ia tidak menjadi sangat tamak dan berniat untuk mengambil kuda itu, tidak akan mengalami kesulitan”

Kawannya yang berdiri di dekat Sambu itu menyahut, “Sudah menjadi kebiasaan kami untuk melakukan apa yang kami inginkan. Karena itu, maka sudah menjadi kewajiban kami untuk menyelamatkan saudara seperguruanku. Kuda itu harus didapatkannya dan anak muda itu akan mati di tangannya”

“Kau harus memperhitungkan yang seorang itu” berkata Sambu.

“Kami akan memilih mati daripada niat kami tidak terpenuhi” jawab orang padepokan Mayang itu.

“Hanya karena seekor kuda?” bertanya Sambu, “bukankah kalian mempunyai tugas yang lebih penting dari merampas seekor kuda?”

“Soalnya bukan seekor kuda. Tetapi orang-orang Padepokan Mayang tidak dapat dicegah semua kemauannya” jawab orang padepokan Mayang itu.

Sambu dan kawannya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat Sambu berkata, “Kalian memang orang-orang sombong yang tidak tahu diri. Kau minta pemilik kedai itu mengadakan apa yang tidak ada, dan tidak mungkin diadakannya. Sekarang kalian memaksa diri untuk mendapatkan seekor kuda dengan mengorbankan tugas-tugas kalian yang lebih besar dan lebih berarti. Aku tidak mengerti cara kalian berpikir”

“Karena kalian tidak mempunyai harga diri yang pantas” jawab orang padepokan Mayang itu.

“Coba katakan. Apakah dengan merampok seekor kuda itu kalian mempunyai harga diri?” bertanya Sambu.

Orang padepokan Mayang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, “Semua kehendak kami harus terjadi”

“Aku tidak turut campur dengan persoalanmu. Aku bukan ukuran perampok kuda yang tidak berarti”

Orang padepokan Mayang itu memandang Sambu dan kawannya dengan wajah yang tegang. Katanya, “Jadi kau tidak berpihak kepada kami? Bukankah aku datang ke tempat ini untuk mencarimu. Bukankah dengan demikian ada hubungan di antara kita?”

“Ya. Kita mempunyai hubungan dalam tugas besar kita. Bukan sebagai perampok kuda. Kita berbicara tentang kapak penebang kayu dan persiapan untuk satu kerja besar itu” jawab Sambu, “aku akan berpihak kepadamu dalam persoalan yang penting itu. Tetapi tidak dalam persoalan-persoalan yang tidak berarti seperti yang kalian lakukan itu”

Orang padepokan Mayang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia menggeram, “Persetan dengan pengecut seperti kalian. Aku akan berbuat sebaik-baiknya sebagaimana anak padepokan Mayang. Aku tidak mau harga diriku dinodai dengan penolakan atas kehendak kawanku untuk memiliki kuda itu”

“Sungguh-sungguh pikiran gila” geram Sambu. Tetapi ia tidak meninggalkan tempat itu. Bahkan ia masih menyaksikan pertempuran itu dengan seksama.

Sementara itu, maka orang padepokan Mayang yang tidak sedang bertempur itu pun mendekat. Wajahnya benar-benar menjadi tegang. Ia tidak mengingkari kenyataan, bahwa kawannya benar-benar telah terdesak.

Meskipun demikian, tidak ada niatnya untuk mengurungkan maksudnya memiliki kuda Mahisa Pukat. Orang itu masih berharap, bahwa anak muda yang berdiri di luar arena itu, tidak memiliki kemampuan seperti anak muda yang sedang bertempur itu. Bahkan orang itu menganggap bahwa dirinya memiliki kelebihan dari kawannya yang berkelahi melawan Mahisa Pukat itu.

Karena itu, maka ia telah bertekad untuk membantu kawannya apabila kawannya itu benar-benar terdesak, dengan perhitungan, bahwa anak muda yang seorang lagi akan ikut serta bertempur pula.

Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra pun termangu-mangu melihat persoalan yang telah berkisar itu. Semula pemilik kedai itu telah dapat menarik nafas lega ketika orang-orang yang berselisih itu mengakhiri perkelahian dan bahkan mereka pun telah beranjak pergi. Tetapi persoalannya justru berkembang lagi. Yang kemudian terlihat ke dalam perselisihan itu, adalah orang-orang yang sedang berada di kedai sebelah.

“Seharusnya anak-anak muda itu tidak melayaninya” berkata pemilik kedai itu.

“Orang itu akan mengambil kudanya” jawab Mahisa Agni.

“Ia tidak akan mengambilnya. Tetapi akan menukarnya. Bukankah dengan demikian akan lebih baik dari pada anak muda itu harus bertempur melawan orang-orang berilmu tinggi” berkata pemilik kedai itu. Lalu, “Dengan perkelahian itu, maka ia akan dapat bukan saja kehilangan kudanya. Tetapi juga nyawanya. Nampaknya kedua orang berkuda itu adalah orang-orang yang keras pada sikapnya disediakan tuak tanpa mengerti sama sekali, bahwa aku tidak akan dapat mengusahakannya dengan apapun juga”

Mahisa Agni dan Witantra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka tidak dapat menjawab bahwa sudah sewajarnya jika anak muda itu mempertahankan kuda mereka.

Dalam pada itu, perkelahian antara Mahisa Pukat dan salah seorang dari padepokan Mayang itu menjadi semakin seru. Tetapi juga menjadi semakin jelas, bahwa Mahisa Pukat akan dapat menguasai keadaan. Karena itu, maka kawannya yang seorangpun bergeser semakin dekat, la tidak dapat melihat kawannya dikalahkan dan kuda itu tidak akan dapat dimilikinya. Tetapi ia pun sadar, bahwa ia harus memperhitungkan anak muda yang juga bergeser semakin dekat itu.

“Anak setan” geram orang padepokan Mayang itu, “kawanmu telah menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kesulitan yang tidak akan dapat diatasinya”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun ia pun menjawabnya, “Kau benar-benar tidak tahu, atau sekedar pura-pura tidak tahu untuk membesarkan hatimu sendiri. Kawanmu menjadi semakin terdesak. Sebentar lagi, kawanmu itu akan kehabisan tenaga dan ia akan terkapar dengan lemahnya”

“Aku bunuh kawanmu” geram orang padepokan itu.

“Jika kau memasuki arena, kau pun akan mengalami nasib seperti kawanmu. Kehabisan nafas dan tenaga” jawab Mahisa Murti, “he, apakah kau tidak melihat, bahwa saudaraku itu tidak melakukan serangan-serangan yang dapat benar-benar membahayakan jiwa kawanmu itu. Meskipun saudaraku benar-benar marah karena terhina oleh tingkah kawanmu, tetapi pada dasarnya ia memang bukan pembunuh”

“Omong kosong. Kawankulah yang akan membunuhnya”

Mahisa Murti memandang orang itu sekilas. Kemudian kepada kedua orang yang lain, yang seorang di antaranya justru telah berkelahi melawan salah seorang dari kedua orang berkuda itu. Namun yang ternyata mereka adalah orang-orang yang harus saling berhubungan dalam tugas-tugas yang sangat menarik perhatian.

Tetapi agaknya kedua orang itu sama sekali tidak tertarik untuk ikut campur. Keduanya mengamati perkelahian itu dengan tegang. Tetapi keduanya tidak bergeser dari tempatnya ketika orang berkuda itu menjadi kecemasan.

Dalam pada itu, maka lawan Mahisa Pukat itu benar-benar tidak mempunyai banyak kesempatan lagi. Tenaganya menjadi semakin lemah dan nafasnyapun menjadi semakin tersengal-sengal di lubang hidungnya. Dengan demikian, kawannya dari padepokan Mayang itu menjadi gelisah. Ia dihadapkan pada satu kenyataan tentang kekalahan kawannya. Tetapi iapun tidak dapat mengingkari bahwa anak muda yang seorang itu akan ikut menentukan pula. jika ia turun ke arena.

Sekali-sekali orang padepokan Mayang itu berpaling kearah Sambu dan kawannya yang bertubuh tinggi kekurusan. Tetapi kedua orang itu tidak menghiraukannya. Agaknya mereka benar-benar berpegang kepada satu keputusan untuk tidak ikut campur dalam persoalan yang disebutnya perampokan seekor kuda.

“Persetan” geram orang padepokan Mayang itu di dalam hati, “aku tidak peduli apa yang terjadi. Aku tidak peduli apakah kedua orang gila itu akan membantuku. Aku harus menyelamatkan nama padepokan Mayang”

Karena itulah, maka tiba-tiba saja ia melangkah mendekati kawannya yang sudah benar-benar terdesak sambil berkata, “Kita bunuh anak itu. Kehendak orang-orang padepokan Mayang tidak boleh ditentang oleh siapapun juga”

Namun dalam pada itu. terdengar Sambu berteriak, “Jangan gila. Biarkan kawanmu itu berkelahi seorang lawan seorang. Kau bicara tentang harga diri. Tetapi berkelahi berpasangan menghadapi seorang lawan, agaknya perlu dipertimbangkan”

Mahisa Murti berpaling ke arah Sambu dan kawannya. Tetapi ia sadar, bahwa keberatan kedua orang berwajah kasar itu tentu tidak pada sifat kejantanan dan harga diri. Tetapi kedua orang itu mempunyai nalar yang lebih baik untuk memperhitungkan keadaan. Karena ternyata kedua orang itu pun sedang mengawasinya.

“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “kau dengar peringatan kawanmu itu? Mereka mengerti bahwa sebaiknya kau tidak usah bertempur berpasangan. Akibatnya hanya akan menambah kesulitan saja”

“Persetan” geram orang itu.

Sebenarnyalah ia memang tdiak mau berpikir lagi ia lebih memanjakan perasaannya. Bahkan agar ia tidak mengurungkan niatnya, maka dengan tergesa-gesa ia telah meloncat menyerang Mahisa Pukat.

Mahisa Murti tidak membiarkan Mahisa Pukat bertempur seorang diri melawan kedua orang lawannya. Meskipun Mahisa Pukat akan memenangkan perkelahian melawan seorang diantaranya, namun melawan dua orang bersama-sama, masih harus dipertimbangkan, apakah ia akan mampu melakukannya.

Namun ketika Mahisa Murti mendekat, terdengar Mahisa Pukat berkata, “Tunggu. Aku akan membuktikan bahwa kegilaan mereka berdua tidak ada gunanya. Karena itu, amati saja aku di luar arena sehingga kau dapat memberi kesempatan kepadaku untuk membuktikannya”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat benar-benar ingin melakukan seperti apa yang dikatakannya. Karena itu, maka tata geraknya pun tiba-tiba menjadi semakin cepat. Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti, betapapun kemarahan Mahisa Pukat menghentak jantungnya, tetapi ia masih sempat menahan diri untuk tidak melakukan satu perbuatan yang akan dapat menumbuhkan persoalan yang berkepanjangan.

Namun menghadapi dua orang yang bertempur berpasangan, Mahisa Pukat harus berbuat lain. Meskipun ia tidak berniat untuk mambunuh, namun jika hal yang demikian terjadi, adalah di luar kemampuannya untuk mencegahnya. Karena itu, tata geraknya pun kemudian telah mengejutkan lawannya. Lawannya yang pertama, yang telah kehilangan sebagian besar tenaganya, benar-benar tidak mampu lagi mengimbangi kecepatan gerak Mahisa Pukat.

Dalam keadaan yang tidak terduga, justru pada saat kehadiran kawannya, serangan Mahisa Pukat datang dengan serta merta. Kakinya terjulur lurus tepat mengenai dada, sehingga orang itu telah terdorong surut beberapa langkah. Bahkan tubuhnya kemudian tidak lagi dapat dikuasainya, sehigga orang itu telah terjatuh, meskipun dengan serta merta ia masih mampu untuk bangkit.

Mahisa Pukat tidak dapat memburunya. Karena lawannya yang baru telah menyerangnya pula. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah berloncatan dengan cepatnya menghadapi kedua lawannya. Tetapi seorang di antaranya benar-benar hampir tidak berdaya. Sehingga dengan demikian, maka Mahisa Pukat tidak hanya mengalami kesulitan dalam perkelahian itu. Namun demikian, karena ia mendapat lawan yang masih segar, maka ia pun harus berbuat sebaik-baiknya, agar ia dapat mengimbangi lawannya.

Dalam pada itu, Sambu berdiri termangu-mangu. Sekali-sekali terdengar ia mengumpat, “Orang gila itu telah membuat persoalan menjadi bertambah rumit”

“Apakah kita benar-benar akan diam saja?” bertanya orang yang bertubuh tinggi kekurusan.

Sambu tidak segera menjawab. Diperhatikannya pertempuran itu dengan seksama. Ia pun kemudian melihat, bahwa Mahisa Pukat yang muda itu berhasil mendesak kedua lawannya, orang-orang dari padepokan Mayang.

“Salah mereka sendiri” tiba-tiba saja Sambu bergumam.

“Tetapi jika keduanya kalah, apakah tidak akan berakibat buruk pula bagi kita” jawab orang yang tinggi kekurusan.

“Kenapa?” bertanya Sambu.

“Kedua orang itu dapat menganggap kita tidak bersahabat. Dengan demikian, maka hubungan kita untuk selanjutnya dengan orang-orang padepokan Mayang akan menjadi buruk. Padahal kita akan saling memerlukan dalam kerja yang besar itu bagi kepentingan Kediri” jawab orang yang bertubuh kurus.

“Aku sudah memperingatkan” jawab Sambu, “tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukan. Aku dapat melaporkan kepada para pemimpin di padepokan Mayang, bahwa kedua orang itu memang mempunyai tingkah yang tidak menguntungkan. Mereka selalu memancing persoalan. Bahkan aku sendiri sudah terpancing untuk melawan mereka, karena sikapnya yang sewenang-wenang. Mungkin kita juga pernah melakukannya. Tetapi tentu tidak akan sekarang keduanya, meskipun menilik ujud lahiriah, kita adalah orang-orang yang jauh lebih kasar dari orang-orang padepokan Mayang itu”

Tetapi kawannya itu masih berkata, “Mungkin para pemimpin padepokan Mayang itu mempercayai laporan kita. Tetapi mungkin mereka lebih percaya kepada orang-orangnya sendiri, sehingga sikap kita akan mereka gawat. Apalagi jika salah seorang dari mereka, atau bahkan kedua-duanya, terbunuh di sini”

Sambu menarik nafas dalam-dalam. Diamatinya perkelahian itu dengan seksama.

“Kita dapat bertempur melawan anak muda yang seorang” berkata kawan Sambu itu.

“Anak muda itu tentu memiliki kemampuan seperti anak muda yang sedang berkelahi itu. Anak muda yang berkelahi itu dapat melawan kedua orang padepokan Mayang itu” jawab Sambu.

“Ada bedanya,” jawab kawannya, “kita bertempur bersama. Kitapun mulai bersama. Tidak demikian dengan kedua orang padepokan Mayang itu. Seorang diantara mereka sudah terlalu lemah, sehingga seakan-akan anak muda itu bertempur melawan dua orang secara bergantian.”

Sambu mengerutkan kening. Sekali-kali dipandanginya Mahisa Murti yang memperhatikan perkelahian itu dengan seksama. Akan tetapi iapun merasa yakin, bahwa Mahisa Pukat akan menyelesaikan perkelahian itu dengan baik.

Tetapi tiba-tiba Mahisa Murti mengerutkan keningnya, ketika ia melihat salah seorang dari kedua lawan Mahisa Pukat itu berusaha untuk memulihkan tenaganya dengan mengatur pernafasannya sebaik-baiknya, sambil duduk di pinggiran arena, sementara yang seorang telah berusaha untuk mengikat Mahisa Pukat dalam suatu perkelahian, sehingga Mahisa Pukat tidak akan sempat mengganggu orang yang sedang memusatkan nalar budinya dan mengatur pernafasannya untuk mendapatkan kesegaran kembali.

Tapi Mahisa Murtipun kemudian tersenyum menyaksikan kebodohan itu. Karena dengan demikian yang lain pada saatnya akan merasa segar, namun kawannya yang bertempur terus itu akan menjadi kelelahan.

Dalam pada itu, Sambu masih menunggu. Agaknya ia masih saja ragu-ragu. Apakah sebaiknya ia melibatkan diri atau tidak. Namun dalam pada itu, sejenak kemudian, orang yang duduk mengatur pernafasannya itu telah bangkit, dan berdiri. Dengan langkah yang segar ia memasuki arena.

Tetapi sementara itu, kawannya yang memancing perkelahian dengan Mahisa Pukat itulah yang kelelahan. Ketika kawannya yang seolah-olah telah mendapatkan kekuatannya kembali itu memasuki arena, seolah-olah tenaganya telah terkuras habis pula.

Dengan demikian, maka Mahisa Pukat seakan-akan hanya melawan seorang pula dari keduanya. Meskipun yang seorang itu seakan-akan telah bertempur dengan tenaga yang utuh, tetapi kawannya hampir tidak mampu lagi untuk berloncatan.

Ketika terjadi lagi seperti terdahulu, Mahisa Murti harus berpikir cepat. Orang yang sudah kelelahan itulah yang kemudian duduk di luar arena perkelahian, sementara yang lainnya bertempur melawan Mahisa Pukat untuk mengikatnya, sehingga ia tidak dapat mengganggu yang sedang beristirahat, memusatkan nalar budinya dan mengatur pernafasannya untuk kesegaran tubuhnya.

“Gila” geram Mahisa Murti kemudian, dengan demikian maka setiap kali lawan Mahisa Pukat akan mendapat kesegaran baru di dalam tubuh mereka. Meskipun mereka tidak akan sempat bertempur berpasangan, namun pada suatu saat Mahisa Pukatlah yang akan kehabisan tenaga, sementara lawannya masih akan tetap segar meskipun bergantian. Karena itulah, maka Mahisa Murtipun akhirnya memutuskan untuk tidak tinggal diam, meskipun tidak dikehendaki oleh Mahisa Pukat.

Pada kesempatan itulah, maka sekali lagi kawan Sambu berkata, “Lihat, anak itu akan tampil pula ke arena”, ketika ia menyadari kelemahan yang akan terjadi pada kannya yang bertempur melawan kedua orang padepokan Mayang yang licik itu.

Sambu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun sadar, jika anak muda yang seorang itu ikut campur, maka kedua orang padepokan Mayang itu tidak akan dapat memenangkan pertempuran itu. Satu-satu mereka akan dilumpuhkan, apabila anak muda yang kanan melibatkan diri itu mempunyai kemampuan seperti anak muda yang sedang bertempur itu. Tetapi untuk beberapa saat, ia masih tetap berdiri di tempatnya.

Dalam pada itu maka Mahisa Murti telah berdiri di pinggir arena. Ia akan langsung berbuat sesuatu atas orang padepokan Mayang yang sedang mengatur pernafasannya untuk memulihkan setidak-tidaknya sebagian dari tenaganya, sehingga ia akan dapat melawan Mahisa Pukat dan memberi kesempatan kawannya yang lain untuk beristirahat.

Sementara itu tenaga Mahisa Pukat memang sudah terasa mulai surut. Meskipun ia belum menyadari arti dari usaha lawannya itu. Namun terasa nafasnya mulai berdebaran di lubang hidungnya, sementara tata geraknyapun menjadi lamban.

“Jangan ganggu aku” berkata Mahisa Pukat ketika ia melihat Mahisa Murti mendekat.

“Kau sudah terpancing oleh arus perasaanmu” berkata mahisa Murti, “kedua orang itu tidak akan dapat memenangkan perkelahian ini dalam keadaan wajar. Tetapi mereka mempunyai cara untuk membuatmu lelah dan kemudian dengan tidak sadar tenagamu akan terkuras habis."

Mahisa Pukat tidak menjawab. Akan tetapi ia mulai berpikir dan menilai lawan-lawannya. Sambil berloncatan mundur Mahisa Pukat berkata, ”Kau benar, aku merasa menjadi letih.”

“Karena itu, biarkan aku mencekik orang yang sedang duduk mengatur pernafasan ini,” berkata Mahisa Murti sambil mendekati orang yang sedang mengatur pernafasannya. Namun kemudian ia berkata, “Selesaikan lawanmu, aku akan menunggu orang ini selesai dengan pemulihan tenaganya.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Dibiarkannya Mahisa Murti berdiri beberapa langkah dari orang yang sedang mengatur pernafasannya itu.

Namun dalam pada itu, Sambu dan kawannya menjadi semakin gelisah. Ia tidak dapat membiarkan bencana itu terjadi atas orang-orang padepokan Mayang, meskipun hal itu terjadi karena pokal mereka sendiri. Bagaimanapun juga, kedua orang itu adalah orang-orang yang mendapat tugas untuk menghubungi mereka.

Dalam pada itu, dalam keadaan yang gawat, ketika orang yang sedang memulihkan tenaganya itu mulai bergerak, maka Sambupun tiba-tiba berkata, “Jangan ganggu orang itu, anak muda.”

Mahisa Murti memandangi kedua orang itu sejenak. Kemudian katanya, “Kenapa? Orang ini akan berkelahi berpasangan melawan saudaraku. Itu tidak adil. Biarlah kami berkelahi seorang lawan seorang. Saudaraku melawan lawannya yang sudah kelelahan itu. Aku akan melawan orang yang baru saja memulihkan tenaganya ini.”

“Jangan, lebih baik kau biarkan saudaramu bertempur secara jantan,” jawab orang yang bertubuh tinggi kekurusan.

“He, apa artinya kejantanan menurut kau Ki Sanak?” Bertanya Mahisa Murti. “Apakah maksudmu saudaraku harus bertempur melawan dua orang? Lalu bagaimana dengan kedua orang kawanmu itu? Apakah mereka kau sebut jantan?”

Sambu menggeretakkan giginya. Lalu katanya, “Baiklah aku akan mengatakan dengan bahasa yang lebih sederhana. Jangan kau campuri mereka. Jika kau memasuki arena, kami berduapun akan ikut campur pula. Kami berdua akan bertempur melawan kau, sementara kedua kawanku itu akan menyelesaikan kawanmu yang berusaha mempertahankan kudanya itu.”

Wajah Mahisa Murti menjadi merah mendengar kata-kata itu. Namun ia memang tidak dapat untuk berdiam diri saja tanpa berbuat sesuatu. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Aku sudah menduga, bahwa kalian memang tidak dapat untuk berdiam diri saja tanpa dapat memberikan arti yang wajar kepada sifat kejantanan seperti yang kau katakan. Tetapi baiklah. Apa boleh buat. Aku benar-benar akan bertempur.”

Sambu dan kawannya yang bertubuh tinggi itupun melangkah mendekat, sementara orang yang sedang memulihkan kekuatannya itu telah berdiri tegak pula.

“Kita memang akan bertempur,” geram mahisa Murti kemudian.

Sambu dan kawannya itu telah menjadi semakin dekat. Bahkan kedua telah bersiap-siap untuk menyerang Mahisa Murti yang bergeser selangkah.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja mereka mendengar suara di belakang mereka. “Itu tidak adil.”

Sambu dan kawannya berpaling. Mereka melihat dua orang yang berada di kedai sebelah berdiri termangu-mangu. “Apakah kau juga akan ikut bertempur?” Bertanya Sambu.

“Apa boleh buat. Jika kau mencampuri pula persoalan ini,” jawab Mahisa Agni.

“Ingat Ki Sanak,” berkata Sambu, kau sedang berhadapan dengan seorang yang terbiasa membunuh. Jangan bermain api, agar tanganmu tidak terbakar karenanya.”

“Aku sungguh-sungguh tidak dapat membiarkan ketidak adilan ini terjadi, apapun yang akan aku alami,” jawab Witantra.

“Persetan,” geram Sambu. “Seandainya kalian memiliki ilmu seperti anak-anak muda ini, namun kawanku banyak tersebar di sini. Aku dapat memberikan isyarat agar mereka datang kemari. Dengan demikian, maka kalian akan dicincang di sini dan nama kalian sama sekali tidak akan dikenal lagi oleh siapapun juga.”

“Itu bukan persoalanku,” jawab Witantra. “Yang paling penting aku harus bertindak untuk menentang ketidak adilan ini.”

Sambu menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga ia dapat melihat kedalaman wajah kedua orang itu, sehingga Sambupun mengetahui bahwa kedua orang itu memiliki kematangan yang lebih mapan dari kedua anak-anak muda itu.

Karena itu, maka iapun kemudian menggamit kawannya yang bertubuh tinggi kekurusan itu sambil berdesis, “Apa yang akan kita lakukan?”

“Memberikan isyarat kepada kawan-kawan kita,” jawab orang bertubuh tinggi kekurusan itu.

Sambu masih ragu-ragu. Bahkan kemudian ia memikirkan persoalan yang lebih besar dari sekedar persoalan seekor kuda. Maka iapun berkata, “Jika terjadi benturan di sini, maka persoalannya mungkin akan berkembang lebih luas. Mungkin mereka bukan orang-orang yang tidak memiliki kekuatan di belakang mereka. Apakah dengan demikian, yang sudah kita persiapkan untuk waktu yang lama itu akan terhambat hanya karena seekor kuda?”

Kawannya yang bertubuh kurus itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Jadi apakah kita akan membiarkan kawan-kawan kita itu mengalami cedera?”

“Mereka bukan pembunuh,” desis Sambu. “Apa bila kita biarkan mereka berkelahi maka mereka tidak akan menyelesaikan perkelahian itu dengan pembunuhan. Apalagi jika kita biarkan anak muda yang seorang lagi memasuki arena, maka kemungkinan terjadi pembunuhan akan lebih kecil lagi.”

Orang yang bertubuh tinggi kurus itu menghela nafas dalam-dalam. Katanya, “Terserah kepadamu.”

Karena itu maka Sambulah yang kemudian mengambil keputusan. Ia takkan mencampuri perkelahian itu. “Baiklah Ki Sanak,” berkata Sambu kemudian, “aku sependapat. Perkelahian itu harus adil. Karena itu aku tidak akan mencampuri persoalan mereka.”

Witantra menghela nafas dalam-dalam. Sementara itu mereka melihat orang yang telah berusaha memulihkan kekuatannya itupun tanpa menghiraukan orang-orang yang ada di sekitarnya telah memasuki medan dan melawan Mahisa Pukat. Sementara yang lainnya bergeser untuk beristirahat dan mengatur pernapasan untuk memulihkan kekuatannya.

Namun dalam pada itu, sebenarnyalah kekuatan Mahisa Pukat telah mulai susut. Karena itu ketika lawannya yang telah mendapatkan kembali sebagian besar dari kekuatannya itu turun ke arena, maka Mahisa Pukat mulai mengalami kesulitan untuk mengimbanginya.

Mahisa Murti yang melihat Mahisa Agni dan Witantra sudah hadir pula di arena, segera mengambil keputusan. Ia sadar, bahwa keduanya tentu tidak akan tinggal diam dalam keadaan yang paling gawat. Karena itu tanpa berpikir lebih panjang lagi, Mahisa Murti mendekati arena perkelahian itu sambil berkata, “Beristirahatlah seperti lawanmu itu. Aku akan menggantikanmu melawan orang ini.”

Mahisa Pukat memang tidak dapat ingkar lagi. Nafasnya menjadi semakin memburu oleh keletihan setelah ia harus bertempur melawan dua orang yang dengan licik berganti-ganti beristirahat dan memulihkan kekuatan mereka dengan mengatur nafas sebaik-baiknya. Karena itu, maka kehadiran Mahisa Murti tidak lagi dicegahnya. Namun demikian Mahisa Murti turun ke arena, maka sebenarnyalah bahwa mereka sudah dapat menduga akhir dari pertempuran itu.

Ternyata Sambu dan kawannya yang kekurus-kurusan itu benar-benar tidak berbuat apa-apa. Mereka sempat memikirkan tugas yang sebelumnya dibebankan kepada mereka.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Murtipun telah berhasil menguasai lawannya. Sambil mengumpat-umpat orang padepokan Mayang itu berusaha bertahan. Tetapi kemampuan Mahisa Murti memang melampaui kemampuannya, sebagaimana Mahisa Pukat.

Dalam pada itu. Mahisa Pukat sempat beristirahat sebagaimana dilakukan oleh lawannya yang seorang. Demikian orang padepokan Mayang itu siap tampil lagi di medan, maka Mahisa Pukat telah siap pula melawannya.

Sementara itu Mahisa Agni dan Witantra dengan sangat hati-hati mendekati Sambu dan kawannya. Dengan nada datar Mahisa Agni berkata “Kau telah berbuat dengan bijaksana. Ternyata bahwa kami salah menilai kalian. Aku kira kalian adalah orang-orang yang lebih kasar dari orang-orang yang bertempur itu. Ternyata bahwa kalian mempunyai penalaran yang lebih mapan.”

“Kau tidak usah memuji,” jawab Sambu, “aku hanya ingin mempersempit persoalan.”

“Itu adalah sikap yang bijaksana” desis Witantra.

Sambu justru menggeram. Rasa-rasanya ia ingin meloncat menerkam orang-orang itu. Tetapi ia masih berusaha untuk menahan diri, agar ia tidak harus menghadapi persoalan yang justru akan mengganggu tugas pokoknya. Sementara persoalan baru itu sama sekali tidak berarti.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mendapat kesempatan berkelahi seorang melawan seorang itupun segera dapat menguasai lawan-lawannya. Orang padepokan Mayang itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun mereka harus melihat satu kenyataan, bahwa mereka berdua tidak dapat mengalahkan kedua orang anak muda itu.

Bahkan pada suatu saat, orang yang bertempur melawan Mahisa Murti benar-benar telah tidak berdaya lagi. Ketika terjadi benturan kekuatan, maka orang itu terdorong beberapa langkah surut. Mahisa Murti yang melihat kesempatan itupun segera memburunya. Dengan satu sentuhan yang tepat mengenai dadanya, orang padepokan Mayang itu telah terlempar dan jatuh terbanting di tanah.

Demikian orang itu berusaha bangkit, Mahisa Murti telah berdiri di dekatnya. Dengan kaki renggang ia memandangi lawannya yang sudah menjadi sangat lemah itu. “Kau masih akan melawan?“ bertanya Mahisa Murti.

Lawannya itupun mengerang tertahan. Punggungnya serasa hendak patah, sementara tenaganya rasa-rasanya sudah terhisap habis sama sekali.

Dalam pada itu, Mahisa Pukatpun telah menyelesaikan perkelahiannya pula. Lawannya sama sekali tidak lagi berdaya untuk melawannya. Bahkan, untuk bangkitpun orang itu sudah tidak mampu lagi. “Katakan,“ bentak Mahisa Pukat, “apakah kau masih menginginkan kudaku?”

Terdengar orang itu mengumpat. Tetapi ia tidak menjawab.

“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti kemudian. “kita sudah menjawab bahwa kita tidak akan memberikan kuda kita kepada mereka.”

Mahisa Pukat memandang orang yang sudah tidak berdaya itu. Kemudian katanya, “Aku ingin mendengar jawabnya.”

Tetapi Mahisa Murti menjawab, “Ia tidak dapat berkata apa-apa. Tetapi yang jelas, kita tidak memberikannya.”

Mahisa Pukat menggeretakkan giginya. Tetapi iapun kemudian beringsut meninggalkan orang itu dan melangkah mendekati Mahisa Murti. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Meneruskan perjalanan,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun memandang Mahisa Agni dan Witantra berganti-ganti. Ketika keduanya mengangguk kecil, maka Mahisa Pukat pun menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu maka Mahisa Murtipun berkata, ”Marilah. Kita masih harus membayar makanan dan minuman.”

Demikianlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian meninggalkan kedua orang padepokan Mayang yang hampir pingsan itu. Mereka memasuki kedai untuk membayar harga makanan dan minuman yang telah mereka pesan bersama Ki Buyut dan Widati.

“Bagaimana?“ bertanya Ki Buyut yang kecemasan.

“Tidak apa-apa,” jawab Mahisa Pukat. “Orang itu tidak akan berbuat apa-apa lagi.”

Ki Buyut tidak bertanya lagi. Iapun sudah mengetahui bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyelesaikan lawan-lawan mereka, sementara orang-orang lain itu tidak berbuat sesuatu karena mereka harus memperhitungkan Mahisa Agni dan Witantra yang nampaknya akan ikut campur pula dalam persoalan itu.

Dalam pada itu, ketika Mahisa Agni dan Witantra pun telah membayar makanan dan minuman yang mereka pesan, maka merekapun telah meninggalkan kedai itu pula, sebagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bersama Ki Buyut dan Widati.

Sementara itu, demikian kelompok kecil itu menjauh, maka Sambu dan kawannya telah mendekati kedua orang padepokan Mayang yang hampir pingsan itu.

“Kalian orang-orang gila,” geram salah seorang dari orang padepokan Mayang itu. “Kalian ternyata benar-benar tidak mau membantu kami.”

“Kalianlah yang dungu,“ bentak Sambu “kau kira kita harus membunuh diri hari ini ketika kita sedang menyelesaikan sebagian pekerjaan kita?“

“Pengecut,“ bentak orang padepokan Mayang itu. “Kita yang akan membunuh mereka. Bukan kita yang akan mereka bunuh.”

“Kau tidak mau melihat kenyataan yang terjadi atas dirimu,“ bentak Sambu. “Apa yang bisa kau lakukan atas dua orang anak muda itu? Apakah kau mampu membunuh mereka, kemudian merampas kuda mereka seperti yang selalu kau katakan, bahwa orang-orang padepokan Mayang tidak mau ditentang kemauannya?“

Orang padepokan Mayang itu menggeram. Katanya, “Apa bila kalian memiliki sedikit saja kesetia-kawanan, maka kita akan sempat membunuh kedua anak muda itu.”

“Kau tidak memperhitungkan kedua orang tua yang berada di kedai sebelah, yang sudah menyatakan tekadnya untuk ikut campur pula jika kami berdua berusaha membantumu.“

“Bunuh mereka lebih dahulu“ teriak orang padepokan Mayang yang seorang.

“Orang dungu yang gila,” geram Sambu, “merekalah yang akan membunuh kita. Tetapi karena kami berdua tidak ikut campur, maka kedua anak muda itu tidak membunuhmu. Kau harus tahu, bahwa jika kami berdua membuat mereka semakin marah, maka mereka tidak akan dapat mengekang lagi”

“Perhitungan seorang pengecut” orang padepokan Mayang itu masih saja mengumpat.

“Ingat, jika bukan mereka, maka akupun dapat membunuhmu dengan cara pengecut, selagi kalian belum dapat melakukan perlawanan. Jika kalian membuat kami marah, maka kami akan mengambil satu sikap sesuai dengan tabiat kami yang sebenarnya. Kami dapat membuang mayat kalian dan mengapuskan segala macam kesan, bahwa kalian pernah datang ketempat ini” berkata Sambu.

Orang-orang padepokan Mayang itu masih mengumpat-umpat. Tetapi suaranya tidak lagi didengar oleh Sambu dan kawannya.

“Marilah. Bangkitlah dan kita pergi ke pondokku. Kudamu masih tetap kudamu yang kau anggap tidak cukup tegar dibandingkan dengan kuda anak muda itu. Dengan demikian, kau harus menyadari bahwa suatu ketika keinginan orang-orang padepokan Mayang tidak terpenuhi” berkata Sambu pula.

Sambu dan kawannya kemudian berusaha membantu kedua orang padepokan Mayang itu untuk bangkit.

“Aku perlu tuak,“ tiba-tiba saja yang seorang berdesis.

“Kau mulai gila lagi,“ bentak Sambu, “aku akan mencegahmu.”

Orang itu mengumpat. Tetapi ia tidak menjawab. Dalam pada itu, maka Sambu dan kawannya itu telah membantu orang-orang padepokan Mayang itu untuk bangkit dan menuntun mereka berjalan ke serambi kedai di sebelah.

“Beri aku air,” desis Sambu.

Dengan tergesa-gesa pemilik kedai yang ketakutan itupun lalu memberikan semangkuk air yang kemudian diminum oleh kedua orang padepokan Mayang yang tidak berdaya lagi itu. Dengan air yang beberapa teguk itu, maka kedua orang padepokan Mayang itu merasa tubuhnya menjadi segar. Perlahan-lahan mereka menggerakkan tangan dan kakinya. Kemudian bangkit perlahan-lahan.

Namun demikian mereka berdiri tegak, salah seorang diantara mereka berteriak, “Mana anak-anak muda itu?”

“Jangan mengigau. Seharusnya kesadaranmu menjadi semakin pulih” berkata Sambu.

“Aku tidak mengigau” jawab salah seorang diantara kedua orang padepokan Mayang itu.

“Jika demikian, maka kau memang ingin membunuh diri,” jawab Sambu. “Jika kau ingin berkelahi lagi, berarti bahwa kau akan mati”

“Persetan” geram orang itu.

“Sudahlah. Marilah, kita pergi ke pondokku,” kata Sambu, “kita beristirahat dan berbicara tentang sesuatu yang berarti bagi kita. Bukan pekerjaan yang hanya menimbulkan kesulitan saja”

Orang-orang padepokan Mayang itu termangu-mangu. Tapi ketika orang yang mengingini kuda Mahisa Pukat itu memandang patok-patok yang kini telah kosong, selain kudanya sendiri, ia mengumpat. Katanya, “Pada suatu saat aku akan benar-benar merampas kuda itu. Anak muda itu akan aku bunuh dan aku cincang sampai lumat.”

“Berbicaralah apa saja yang kau suka. Tetapi kami telah melihat satu kenyataan tentang kau dan anak-anak muda itu,” berkata Sambu “karena itu hentikan igauanmu tentang mereka. Kita dapat berbicara yang lain, yang lebih berarti bagi rencana besar kita.”

Orang padepokan Mayang itu masih mengumpat-umpat. Tetapi mereka tak dapat berbuat apa-apa. Karena itulah maka merekapun kemudian pergi meninggalkan tempat itu sambil menuntun kuda masing-masing menuju tempat tinggal Sambu selama berada di daerah itu.

Dalam pada itu, Mahisa Agni, Witantra, Mahisa Murti. Mahisa pukat dan Ki Buyut serta anak gadisnya telah menjadi semakin jauh saja. Akan tetapi mereka tidak henti-hentinya membicarakan orang-orang yang mereka temui di dekat pasar itu. Bukan saja perkelahian yang baru saja terjadi, tetapi yang penting bagi mereka justru apa yang dikerjakan oleh orang-orang kasar itu.

“Mereka memesan kapak penebang kayu,” berkata Witantra.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Kapak penebang kayu itupun segera dihubungkannya dengan keadaan yang pernah didengarnya tentang hutan yang menjadi gundul.

“Orang-orang itu memang wajib mendapat perhatian,” berkata Mahisa Agni. “Hutan-hutan yang gundul sebagaimana pernah dilihat oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, mungkin bukan hanya sekedar satu kebetulan, Bukan hanya karena beberapa orang kelaparan menebang dan kemudian menjual beberapa potong kayu bakar. Bukan pula orang-orang tamak yang menebang kemudian menjual kayu cendana yang tumbuh dan sebenarnya termasuk tanaman yang dilindungi di lereng-lereng pegunungan.”

“Ya,” kata Witantra “nampaknya memang demikian atau kedua-duanya. Mereka dengan perhitungan yang sangat cermat menebangi hutan-hutan di lereng bukit, sekaligus untuk mendapatkan hasil samping dari usahanya merupakan hutan itu. Karena itu maka yang paling parah adalah justru daerah hutan yang memiliki tanaman yang mempunyai nilai yang tinggi.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk Kemudian katanya, “Hal ini perlu mendapat perhatian khusus. Mungkin Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam pengembangannya akan dapat mengamati keadaan itu lebih seksama.”

“la akan kembali ke padepokan kecilku. Ia akan mendapatkan bahan-bahan yang cukup untuk mulai dengan pengamatannya. Mungkin Singatama yang telah menemukan kembali dirinya itu akan dapat membantu memberikan petunjuk-petunjuk yang berarti,” berkata Witantra.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Akan tetapi ia tidak dapat melepaskan pikirannya dari rencana orang-orang yang ditemuinya di pasar itu untuk membuat kapak yang demikian banyaknya. “Bahkan mungkin ada orang lain yang memesan kepada pande besi yang lainnya lagi,” berkata Mahis Agni di dalam hatinya.

Demikianlah, maka perjalanan kelompok kecil itupun semakin lama menjadi semakin jauh dari pasar yang mendebarkan itu. Widati yang cemas sekali-kali bertanya pula kepada ayahnya apakah yang sebenarnya telah terjadi.

”Aku tidak begitu pasti,” jawab Ki Buyut. Meskipun ia juga berusaha mendapat keterangan dari Mahisa Agni dan Witantra, namun ia tidak membuat anak gadisnya menjadi semakin gelisah. Karena itu ia tidak menjelaskan sebagaimana yang ia dengar sepenuhnya.

Tetapi serba sedikit Widati juga sudah mendengar, bahwa yang terjadi di pasar itu bukan satu peristiwa sepotong yang tidak ada hubungannya dengan persoalan yang lebih besar. Karena itu, bagaimanapun juga ayahnya berusaha untuk menyembunyikan persoalannya. Widati masih juga nampak gelisah.

Meskipun demikian ia tidak mendesak ayahnya sepanjang dalam perjalanan. Menurut pendapatnya, ayahnya akan dapat dimintanya untuk berbicara lebih banyak jika mereka sudah berada di rumahnya. Karena itu, maka Widatipun tidak bertanya lebih banyak lagi.

Perjalanan mereka selanjutnya. tidak lagi banyak diisi dengan pembicaraan-pembicaraan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berkuda di paling depan. Kemudian Ki Buyut dan anak gadisnya, Widati, sedangkan di paling belakang adalah Mahisa Agni dan Witantra. Perjalanan yang panjang itu akhirnya dapat mereka selesaikan juga. Dengan hati yang berdebar-dehar, Widati pun lalu memasuki padukuhan induk Kabuyutan Randumalang.

“Kita telah sampai ayah,” berkata Widati kepada ayahnya.

Ki Buyutpun menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Bersyukurlah kepada Yang Maha Agung. Kita telah sampai dengan selamat di rumah.”

Widati mengangguk kecil. Bahkan terasa pelupuk matanya menjadi panas.

Kedatangan mereka disambut dengan gembira oleh penghuni Kabuyutan Randumalang. Ki Jagabaya yang mulai merasa cemas karena kepergian yang terasa terlalu lama itupun menyambut kedatangan Ki Buyut dengan pernyataan syukur. “Ternyata kalian telah kembali,“ desis Ki Jagabaya kemudian.

Betapapun terasa kelelahan di tubuh Ki Buyut, namun sesaat ia berada di rumahnya, orang-orang di Kabuyutan seakan-akan telah dihentakkan oleh satu perintah, agar mereka datang ke rumah Ki Buyut. Dengan begitu maka di rumah Ki Buyut itu bagaikan telah dilangsungkan satu perhelatan. Ketika malam turun, maka lampu minyakpun telah terpasang di mana-mana. Ki Buyut tak dapat menolak. Orang-orang tua dan bebahu Kabuyutan dipersilahkan duduk di pendapa, sementara yang lain berada di halaman dan bahkan di jalan-jalan di seputar rumah Ki Buyut itu.

Di ruang dalam, Widati pun di kerumuni oleh perempuan-perempuan tua di Kabuyutannya. Merekapun menanyakan keselamatan Widati dan bertanya tentang pengalamannya. Dengan tersendat-sendat Widati berusaha untuk dapat memenuhinya biarpun yang bisa diceriterakannya hanya sebagian kecil saja dari segala peristiwa yang pernah dialaminya disepanjang perjalanan.

Malam itu di rumah Ki Demang benar-benar menjadi ramai, sehingga baik Ki Demang, Widati dan orang-orang yang datang bersamanya tidak sempat untuk beristirahat.

“Untunglah, semua kesulitan itu sudah teratasi,” berkata Ki Jagabaya, “dan Ki Buyut serta Widati pun telah memberikan sumbangan betapapun kecilnya untuk keberhasilan rencana itu dalam keseluruhan.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Kelelahan dan kantuk rasa-rasanya sudah tidak dapat lagi dielakkannya. Akan tetapi ia masih harus duduk dan menjawab berbagai pertanyaan yang kadang-kadang merupakan ulangan sampai tiga empat kali dari orang-orang yang pernah bertanya sebelumnya.

Tetapi akhirnya Ki Jagabaya pun sadar bahwa Ki Buyut benar-benar mengalami kelelahan. Karena itu maka iapun kemudian berusaha menutup pertemuan itu dengan memberikan sedikit penjelasan, bahwa Ki Buyut, anak gadisnya dan tamu-tamunya itu tentu sangat letih setelah menempuh perjalanan yang panjang. Dengan demikian, maka para tetangga dan orang-orang tua di Kabuyutan itupun segera minta diri, meskipun ada diantara mereka yang masih belum puas mendengarkan ceritera Ki Buyut tentang perjalanannya yang panjang.

“Biarlah besok Ki Buyut berceritera lagi,” kata Ki Jagabaya. “Sekarang beri kesempatan kepadanya untuk beristirahat.”

Sejenak kemudian maka rumah Ki Buyut itupun menjadi sepi, yang tinggal di pendapapun kemudian tinggal Ki Buyut serta tamu-tamunya. Karena itu, maka Ki Buyutpun kemudian mempersilahkan tamu-tamunya agar segera beristirahat di gandok yang telah disediakan.

Mahisa Agni, Witantra dan kedua orang anak muda anak Mahendra itupun kemudian segera masuk ke dalam bilik mereka. Sebuah amben yang besar yang dialasi dengan tikar pandan yang putih bersih telah tersedia di gandok itu.

Malam itu, keempat orang itupun telah tidur dengan nyenyaknya. Mereka merasa berada di tempat yang aman dan terlindung dari dinginnya udara malam. Demikian Mahisa Murti menyelarak pintu, maka iapun telah membaringkan dirinya disamping tiga orang lainnya. Kelelahan dan ketenangan merupakan dorongan yang membuat mereka tidur dengan nyenyaknya.

Betapapun nyenyaknya mereka tidur, tetapi ketika terdengar ayam jantan berkokok untuk ketiga kalinya di dini hari, ternyata Mahisa Agni dan Witantra sudah terbangun. Mereka pun kemudian dengan hati-hati bergeser dan duduk di bibir pembaringan yang besar itu.

“Aku akan ke pakiwan,” desis Mahisa Agni.

Witantra mengangguk. Katanya, “Kita bergantian. Silahkan.”

Sebenarnyalah keduanya bergantian pergi ke pakiwan, Ketika kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terbangun setelah fajar memerah di langit, maka Mahisa Agni dan Witantra telah selesai membersihkan diri.

“Aku terlambat bangun paman,” desis Mahisa Murti.

“Tidak,“ jawab Mahisa Agni, “matahari belum terbit.”

Mahisa Murti mengusap matanya. Namun kemudian iapun meloncat bangun diikuti oleh Mahisa Pukat.

“Kita bersiap-siap,” berkata Mahisa Agni kepada Witantra.

“Baiklah,” jawab Witantra. “Kita melanjutkan perjalanan hari ini.”

“Tetapi…“ potong Mahisa Murti, “bagaimana jika Ki Buyut masih ingin mempersilahkan kedua paman untuk beristirahat, dan baru besok melanjutkan perjalanan kembali Ke Singasari?“

Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan. Namun kemudian Mahisa Agni berkata, “Kita akan melihat suasana.”

Sebenarnyalah bahwa hari itu Ki Buyut berusaha untuk menahan agar Mahisa Agni dan Witantra tidak meninggalkan Kabuyutan mereka. Sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Ki Jagabaya, hari itu tentu masih banyak orang yang akan datang ke rumah Ki Buyut dan menanyakan apa saja yang telah terjadi selama Ki Buyut bersama anak gadisnya pergi meninggalkan Kabuyutannya.

Mahisa Agni dan Witantra tidak dapat menolak. Meskipun orang-orang Kabuyutan itu ingin mendengar Ki Buyut sendiri berceritera, tetapi kehadiran kedua orang itu seolah-olah akan dapat menjadi saksi, bahwa yang diceriterakan oleh Ki Buyut itu bukan sekedar ceritera ngayawara.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka para tetangga telah mulai berdatangan. Satu-satu mereka naik ke pendapa. Mereka masih belum puas dengan ceritera Ki Buyut semalam. Namun dalam pada itu, yang dapat hadir di pendapa itu, selain Ki Buyut, Mahisa Agni dan Witantra, hanyalah Mahisa Pukat. Agaknya Mahisa Murti tidak sempat ikut berbicara dengan mereka di pendapa itu.

Tidak banyak orang yang melihat, ternyata Mahisa Murti telah meninggalkan halaman rumah Ki Buyut bersama Widati. Mereka berjalan menyusuri jalan kecil yang kemudian muncul di daerah persawahan. Perlahan-lahan mereka menyusuri jalan setapak diantara hijaunya dedaunan dan kemudian mengikuti sehuah lorong sempit menuruni tebing sebuah sungai kecil.

“Oh“ langkah Widati tertegun. Ia melihat beberapa orang kawannya sedang mencuci. Tetapi ia tidak sempat melangkah surut. Kawan-kawannya telah melihatnya dan hampir berbareng mereka menyebut namanya.

“Widati. He, dengan siapa kau turun ke sungai hari ini?” bertanya seorang gadis bertubuh gemuk.

Kawan-kawannya tertawa. Sementara Widati hanya menundukkan wajahnya yang menjadi kemerah-merahan. Mahisa Murti sendiri menjadi bingung. Tetapi ia pun justru telah membeku di tempatnya.

“Marilah kemari. Jangan malu. Kami sudah mengenal kawanmu itu. Bukankah anak muda itu yang telah melepaskan padukuhan kita dari kerusuhan beberapa saat yang lalu?” kata seorang gadis bertubuh tinggi.

Widati justru mengangkat wajahnya. Meskipun tidak diucapkan, tetapi seolah-olah ia ingin bertanya, dari mana kawannya itu mengetahuinya.

“Seisi Kabuyutan ini sudah mengetahuinya,“ gadis bertubuh tinggi itu meneruskan. “Tetapi tidak banyak kawan-kawan kami yang berani menatap wajahnya untuk mengenalinya. Tetapi aku sempat mengenalnya dan aku tidak akan dapat melupakannya.”

“Ah kau ini,“ teriak seorang gadis berkulit kuning. Kawan-kawannyapun tertawa semakin riuh.

Wajah Widati serasa menjadi panas. Namun segalanya sudah terlanjur. Sehingga karena itu, maka iapun justru melang kah setapak maju sambil berkata, “Aku sedang mengantar tamu ayahku yang ingin melihat-lihat keadaan Kabuyutan ini.”

“Oh“ hampir berbarengan kawan-kawannya menyahut. Seorang diantara mereka berkata “Bagus Widati. Beri kesempatan ia melihat-lihat kami.”

Suara tertawa meledak sehingga dengan demikian terasa jantung Widati menjadi semakin berdebaran. Tetapi Mahisa Murti pun tidak dapat berbuat lain, kecuali menghanyutkan diri suasana itu. Karena itu, maka katanya “Ki Buyutlah yang menyuruh aku agar saat-saat begini turun ke sungai. Karena aku belum tahu letaknya, maka Widati lah yang telah mengantar aku.”

“Aneh sekali,” kata seorang gadis berkulit kehitam-hitaman. Katanya kemudian “Menurut pengetahuanku, kau sudah pernah berada di rumah Ki Buyut untuk beberapa lamanya. Tentu kau sudah mengenal semua jalan di Kabuyutan ini.”

“Ada gunanya juga berpura-pura tidak tahu,“ sahut seorang kawannya.

Yang lainpun tertawa pula dengan riuhnya. Mahisa Murti tidak lagi sempat mengelak. Bahkan iapun kemudian melangkah mendekat dan duduk di sebongkah batu padas. Katanya, “Aku menyerah.”

Gadis-gadis yang berada di sungai itu tertawa semakin riuh. Namun kemudian seorang diantara mereka berkata “He, jika kau berada disitu, maka pekerjaan kami tidak akan selesai.”

“Kenapa?“ bertanya Mahisa Murti.

“Kami sedang mencuci. Dan kamipun akan mencuci pakaian yang kami pakai sekarang,” jawab seorang gadis bertubuh gemuk.

“Ah, kau,“ kawannya yang berkulit kehitam-hitaman mencubitnya sehingga gadis gemuk itu mengaduh kecil.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berdiri sambil berkata, “Baiklah, aku akan pergi.”

Tetapi Widati menjadi bimbang. Apakah ia akan pergi bersama Mahisa Murti atau ia akan tinggal bersama kawan-kawannya. Tetapi agaknya kawan-kawannya mengetahui kebimbangan itu. Karena itu seorang gadis yang bertubuh tinggi berkata, “Widati, agaknya tamu ayahmu itu telah tersesat, sebaiknya kau tunjukkan jalan untuk kembali ke rumahmu.”

“Ah,” desis Widati, sementara kawan-kawannyapun tertawa pula.

Namun dalam pada itu, di luar pengetahuan gadis-gadis di tepian yang sedang mencuci itu, dua orang laki-laki berwajah kasar sedang memperhatikan mereka dengan seksama.

“Anak muda itu akan pergi,” desis yang seorang.

“Persetan. Seandainya ia ada disitu, apa salahnya?” jawab yang lain.

“Tetapi gadis yang baru datang itu akan pergi bersamanya. Nampaknya gadis itulah yang paling cantik,” desis yang seorang.

Namun kawannya tidak begitu menghiraukannya. Meskipun ia juga melihat bahwa gadis yang baru datang bersama anak muda itu namun yang kemudian meninggalkan tepian itu adalah gadis yang paling cantik. “Aku tidak memerlukan yang paling cantik. Yang manapun dapat aku ambil dan aku bawa ke hutan itu,“ katanya.

Yang satunya mengangguk-angguk. Dengan kening yang berkerut ia menjawab “Baiklah, akupun akan mengambil satu. Yang manapun juga. Tetapi bukan yang gemuk.”

Kawannya tersenyum. Kemudian katanya, “Kita tidak tahu, berapa lama lagi kita akan menunggu. Karena itu, agar aku tidak mati kesepian, aku akan mencari seorang kawan. Mungkin sepekan, dua pekan atau bahkan lebih.”

“Tetapi bagaimana kata orang-orang kita tentang gadis-gadis itu?“ bertanya yang lain.

“Jika mereka menghendaki, biarlah mereka mencari sendiri. Disini terdapat banyak gadis-gadis. Yang sering mencuci di pinggir kali, yang sering pergi ke sawah, bahkan mereka dapat mengambilnya di pasar-pasar” jawab kawannya. Lalu, “Kapak-kapak itu seharusnya sudah siap dan diberikan kepada kami disini, agar kami segera dapat mulai dengan kerja itu. Tapi menunggu adalah pekerjaan yang paling menjemukan sehingga aku memerlukan kawan. Bukan salahku jika aku mengambil satu dua orang gadis disini.”

Yang lain mengangguk-angguk. Lalu katanya “Marilah. Kita lakukan sekarang. Mereka tentu akan berteriak-teriak. Tetapi tidak ada orang yang akan mendengarnya.”

“Aku tidak takut seandainya ada orang yang mendengar sekalipun. Kita memang orang-orang yang dilahirkan untuk melakukan apa saja tanpa memikirkan akibatnya. Dan aku sudah siap untuk membunuh,” berkata kawannya.

Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun akhirnya yang seorang sudah berdiri sambil berkata, “Sebelum saat menebang pepohonan itu datang, maka gadis-gadis itu akan memberikan suasana tersendiri.“

Kawannyapun berdiri pula dan mengikutinya ketika yang lain melangkah menuruni tebing. Kedatangan mereka memang mengejutkan. Beberapa orang gadis terpekik kecil. Namun merekapun kemudian berpura-pura tidak melihat, apa yang terjadi. Mereka seakan-akan tidak melihat kedua orang itu turun ke sungai.

“Kita dapat memilih,“ gumam salah seorang dari dua orang kasar itu. “Ternyata disini ada berbagai macam jenis. Yang manis, yang cantik, yang tinggi atau yang kuning keputih-putihan. Atau yang manapun yang kau kehendaki.”

Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Aku akan mengambil dua.”

“Jangan persulit dirimu. Bagaimana kau akan membawanya? Mungkin kita terpaksa harus membuat mereka pingsan kemudian membawanya di atas pundak kita, karena jika tidak demikian, gadis-gadis itu akan berteriak-teriak di sepanjang jalan.”

“Alangkah segarnya mencuci pakaian pagi-pagi seperti ini,” berkata salah seorang laki-laki berwajah kasar itu.

Gadis-gadis itu mulai beringsut saling mendekati. Kini wajah mereka telah berubah sama sekali. Baru saja mereka tertawa gembira saat mereka mengganggu Widati. Namun tiba-tiba wajah-wajah itu membayangkan kecemasan yang ketakutan.

Kawannya mengangguk-angguk. Namun desisnya, “Aku menjadi bingung. Semua sangat menarik.”

“Gila. Cepat. Sebelum suasana berubah,” geram yang lain.

Kedua orang itupun kemudian mendekati gadis-gadis yang baru mencuci di pinggir sungai kecil itu. Dengan tanpa ragu-ragu keduanya berdiri beberapa langkah saja dari gadis-gadis itu sehingga gadis-gadis itu menjadi ketakutan.

“Kalian memang gadis-gadis cantik,” berkata orang berwajah kasar itu. Lalu “He, siapa diantara kalian yang bersedia membantu aku?”

Gadis-gadis itu menjadi semakin ketakutan.

“Kami di rumah sama sekali tidak mempunyai kawan seorang perempuanpun. Tidak ada yang dapat memasak untuk kami. Tidak ada yang dapat mencuci pakaian kami dan tidak ada yang dapat berdendang disaat-saat hati kami sedang risau. Nah, kedatangan kami membawa niat yang baik. Kami berdua ingin mengajak dua diantara kalian untuk tinggal bersama kami. Tidak terlalu jauh, sehingga setiap saat jika kalian inginkan, kalian dapat kembali kepada keluarga kalian, dan kami berdua akan mengambil dua orang lain sebagai gantinya,” berkata salah seorang dari keduanya.

Gadis-gadis itu menjadi semakin ketakutan. Sementara kedua orang itu sama sekali tidak berperasaan. Gadis-gadis yang sedang mencuci itupun bergeser semakin menjauh. Tetapi yang seorang diantara orang-orang berwajah kasar itu tertawa. “Jangan takut. Kalian tidak dapat mengelak. Kalian harus menuruti kehendak kami. He, soalnya sekarang, siapakah yang pertama-tama akan pergi bersama kami berdua.”

Ketakutan semakin mencekam hati gadis-gadis itu. Nampaknya Kabuyutan mereka yang untuk beberapa saat sudah mulai tenang itu, kini telah bergejolak kembali biarpun gadis-gadis itu tidak tahu, siapa lagi yang telah membuat kabuyutan mereka menjadi kisruh.

Tetapi gadis-gadis itu memang tidak berdaya. Dua orang berwajah kasar itu dapat berbuat apa saja atas mereka. Bahkan mereka akan dapat membunuh mereka semuanya tanpa kesulitan. Meskipun sungai kecil itu memang tidak terlampau jauh dari padukuhan induk, tetapi pada saat-saat yang demikian, sungai itu memang sepi. Dan gadis-gadis memilih saat-saat sepi itu untuk mencuci dan mandi beramai-ramai.

Namun saat yang mereka pilih pada hari itu telah menyulitkan mereka karena kehadiran orang-orang yang tidak mereka duga-duga sama sekali. Kedua orang kasar itu tidak saja mengganggu saat-saat mereka mencuci di pinggir sungai itu, bahkan mereka telah berniat untuk membawa dua orang diantara mereka.

Saat-saat berikutnya terjadi dengan cepat. Gadis-gadis itu memang tidak berdaya sama sekali. Dua orang berwajah kasar itu sempat memilih. Seorang gadis bertubuh tinggi ramping berwajah panjang dan yang seorang adalah gadis manis berkulit keputih-putihan.

“Kalian tidak dapat menolak. Ingat, aku dapat membunuh,” berkata orang-orang kasar itu.

Ketakutan yang sangat membuat gadis-gadis itu hampir pingsan. Namun sebenarnyalah mereka memang tidak dapat menolak keinginan kedua orang berwajah kasar itu kecuali jika mereka memang telah memilih kematian sebagai jalan lain untuk menghindarkan diri.

Pada saat itu Mahisa Murti dan Widati telah melangkah meninggalkan tepian. Akan tetapi mereka tidak tergesa-gesa pergi menjauh. Bahkan Mahisa Murti masih sempat bertanya kepada Widati, “Sampai kapan mereka akan mencuci pakaian itu?“

“Biasanya mereka berlama-lama disungai. Mereka tidak hanya mencuci, tetapi mereka akan mandi sambil bermain-main. Bahkan mereka akan menunggu cucian mereka kering agar mereka tidak usah membawa cucian basah kembali kerumah masing-masing” jawab Widati.

“Menunggu cucian kering memerlukan waktu yang lama,” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi menjemur pakaian di tepian jauh lebih cepat dari menjemur pakaian di halaman. Di tepian pakaian dapat dibentangkan diatas bebatuan” jawab Widati pula.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi keduanya masih belum beranjak terlalu jauh. Keduanyapun kemudian duduk diatas sebongkah batu menghadap ke tanah persawahan yang hijau segar. Sementara cahaya matahari pagi yang menjamah embun yang masih bergayutan memantulkan cahaya yang gemerlap. Akan tetapi tiba-tiba saja Mahisa Murti terkejut. Ia mendengar gadis-gadis di tepian itu menjerit. Karena Itu, maka tiba-tiba saja ia meloncat bangkit. “Ada apa?“

Widati menjadi tegang. Suaranya menjadi gemetar. “Entahlah”

“Marilah. Kita melihatnya” ajak Mahisa Murti.

Tetapi Widati menjadi takut. Dengan tidak dikehendakinya sendiri ia bergeser mendekati Mahisa Murti. ”Aku takut.”

“Kita tidak dapat membiarkan sesuatu terjadi atas gadis-gadis itu,” jawab Mahisa Murti.

Widati masih tetap ragu-ragu. Akan tetapi Mahisa Murtipun kemudian sudah menangkap tangan gadis itu dan membimbingnya. Widati tidak menolak. Dalam kecemasan ia tidak mempunyai tanggapan apapun juga atas Mahisa Murti yang kemudian menarik tangannya turun kembali ke tepian.

Demikian Mahisa Murti turun ke tepian, maka iapun melihat gadis-gadis itu berlari-larian. Seorang gadis yang bertubuh gemuk hampir saja melanggarnya, sehingga gadis yang ketakutan itu terkejut sambil berteriak lebih keras. Mahisa Murtipun kemudian melihat apa yang terjadi. Dua orang berwajah kasar sedang menarik tangan dua orang gadis. Seorang gadis bertubuh tinggi dan seorang lagi gadis berkulit keputih-putihan.

Jantung Mahisa Murti bagaikan berdentang semakin cepat. Ia pun kemudian melepaskan tangan Widati. Dengan tangkasnya ia meloncat ke tepian mendekati kedua orang yang berusaha membawa dua orang gadis yang sedang mencuci itu.

“Apa yang sedang kau lakukan?” bertanya Mahisa Murti.

“Persetan,” geram orang yang memegangi tangan gadis berkulit keputih-putihan. “Apa pedulimu?”

“Siapa kau dan apa maksudmu?“ bertanya Mahisa Murti pula.

“Anak gila. Kau sangka kedatanganmu akan dapat menolong mereka? Kau datang untuk mengantarkan nyawamu. Aku akan membunuhmu dan jika kau tidak membatalkan niatmu untuk turut campur daiam persoalan ini, aku justru akan membawa empat orang gadis sekaligus!” berkata orang berwajah kasar itu.

“Kau jangan menjadi gila,” jawab Mahisa Murti. “Kau telah melakukan sesuatu yang akan dapat mencelakai dirimu sendiri.”

“Kaulah yang akan mati. Jangan banyak bicara. Pergi atau mati disini,” geram orang kasar itu pula.

Mahisa Murti tidak melihat kemungkinan lain. Ia harus mempergunakan kekerasan untuk mencegah perbuatan mereka. Namun ia masih bertanya, “Siapa kalian sebenarnya?”

“Tidak ada gunanya kau mengetahui keadaan dan siapa kami,” jawab orang itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan hati-hati ia bergeser mendekati sambil berkata, “Baiklah. Jika kalian tak mau menyebut nama, kedudukan atau sebutan apapun, maka kalian tentu orang-orang yang tidak seharusnya berada disini. Karena itu, sebelum terjadi sesuatu, pergilah!”

“Anak iblis!” geram yang seorang. “Anak ingusan seperti kau masih juga berani sesorah. Pergilah cepat!”

“Aku adalah pengawal Kabuyutan ini. Salah seorang pengawal. Karena itu, aku memang berkewajiban untuk menjaga ketertiban dan ketenangan Kabuyutan ini,” berkata Mahisa Murti.

“Oh, anak yang tidak tahu diri. Apa artinya pengawal Kabuyutan? Kau harus mendengar tentang kami agar kau menjadi tahu diri. Kami adalah petugas-petugas dari Kediri untuk membayangi kekuasaan Singasari. Nah. kau tahu siapa kami? Sekarang pergilah!” geram orang itu dengan marah.

Tetapi Mahisa Murti tidak beranjak dari tempatnya, bahkan ia masih berkata “Inikah ciri-ciri orang Kediri? Omong kosong. Aku mengenal orang-orang Kediri dengan baik. Tidak seperti watak dan tingkahmu ini.”

Wajah kedua orang itu menjadi merah padam. Ternyata anak muda itu sama sekali tidak menjadi ketakutan mendengar bahwa mereka adalah petugas dari Kediri. Bahkan anak itu telah menyebut tentang orang-orang Kediri pula.

“Ki Sanak,” kata Mahisa Murti. “Sebaiknya kalian berterus terang saja tentang diri kalian. Dengan demikian kami akan dapat menentukan sikap yang paling baik.”

“Kami siapa?“ bertanya salah seorang dari kedua orang itu.

“Kami para pengawal Kabuyutan ini,” jawab Mahisa Murti.

“Persetan!” bentak orang itu. “Baiklah kalau memang kau ingin tahu. Aku adalah prajurit dari satu kekuatan yang akan membangun Kediri sebagaimana seharusnya. Kami akan menghancurkan Singasari dengan cara kami. Kau dengar itu? Nah, sekarang pergilah. Jangan ganggu kami!”

“Kalian masih saja mengigau,” jawab Mahisa Murti “aku belum jelas tentang kalian. Kalian dapat saja menyebut sesuatu yang kalian sendiri tidak mengetahuinya”

“Oh, anak setan!“ bentak yang seorang lagi. “Dengar! Kami akan menghancurkan Singasari dengan cara yang paling menarik. He, agaknya aku tidak perlu merahasiakannya. Tetapi akibat dari pada itu, kau harus mati,” orang itu berhenti sejenak, lalu tiba-tiba saja ia telah menyentuh tengkuk gadis yang dipeganginya.

Sentuhan itu telah membuat gadis itu menjadi pingsan. Dengan perlahan-lahan orang itu kemudian meletakkan gadis itu di tepian, sementara lainnya telah melakukan hal yang sama.

“Dengar anak muda,” kata orang itu. “Aku telah melepaskan gadis itu, sehingga kini aku menjadi leluasa untuk membunuhmu. Kami datang dengan tugas yang sangat menarik. Membuat bukit-bukit menjadi gundul. Kau tahu akibatnya? Banjir akan melanda Singasari di setiap musim hujan. Sementara di musim kering, sungai-sungai akan menjadi kering.”

Gadis-gadis yang lain menjadi sangat ketakutan, sehingga kaki mereka bagaikan menjadi bergeletar dan tidak mampu untuk membawa tubuh mereka meninggalkan tempat itu. Apalagi ketika mereka melihat kedua orang kawannya bagaikan menjadi pingsan hanya oleh sentuhan-sentuhan kecil di tubuhnya.

“Mereka dapat berbuat apa saja,” berkata gadis-gadis itu di dalam hatinya. Sementara mereka telah bertebaran di tebing sungai.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti sama sekali-tidak gentar menghadapi kedua orang itu. Tetapi pengakuan kedua orang itu benar-benar telah menarik perhatiannya. Di dalam perjalanan menuju ke Kabuyutan Randumalang itu ia bertemu dengan orang-orang yang memesan kapak penebang kayu. Kemudian mereka telah berhubungan dengan dua orang pendatang. Sementara di Kabuyutan Randumalang, Mahisa Murti bertemu dengan orang-orang yang mengaku mendapat tugas untuk menebangi pepohonan.

Namun dalam pada itu. Mahisa Murti masih ingin mendengar lebih banyak tentang orang itu. Karena itu katanya, “Apa artinya yang akan kalian kerjakan itu? Jika dengan demikian niat Kediri hendak menjatuhkan Singasari dengan cara itu, maka niat itu baru akan dapat terjadi pada anak cucumu”

“Kau memang bodoh, anak muda,” berkata orang itu. “Banjir bandang, kekeringan dan bencana lain akan mempermudah kehancuran Singasari oleh satu sergapan kekuatan. Memang rencana ini tidak akan selesai dalam satu dua tahun. Tetapi lima atau bahkan sampai sepuluh tahun. Tetapi itu akan terjadi tidak pada masa anak cucuku,” orang itu berhenti sejenak ketika kawannya mendekatinya.

“Tidak ada gunanya hal itu kau ceritakan kepada anak dungu itu,” berkata kawannya itu “tetapi karena ia sudah mendengar sebagian dari rencana itu, maka ia memang harus dibunuh. Sekarang bunuh saja anak itu, lalu kita pergi membawa gadis-gadis yang sedang tidur itu. Kita tak akan kesepian lagi. Jika saatnya tiba, kita akan menukarkannya dengan yang lain.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sudahlah Ki Sanak. Aku sudah tahu dengan jelas apa yang akan kau lakukan. Karena itu, maka kesimpulanku, tidak ada yang lebih baik dari menangkap kalian supaya dengan demikian kalian dapat mengungkapkan rencana yang akan kalian lakukan itu.”

“He!“ kedua orang itu saling berpandangan, “kau akan menangkap kami? He, apakah kau sudah menjadi gila?“

Tetapi Mahisa Murti justru mendekat sambil berkata, “Menyerah sajalah agar hukumanmu tidak terlalu berat. Katakan segalanya yang kalian ketahui tentang rencana itu. Mungkin kalian justru akan mendapat pengampunan.”

Kata-kata Mahisa Murti itu benar-benar telah membakar jantung kedua orang itu. Dengan kasar seorang diantaranya berkata, “Anak tidak tahu diri. Kau telah memilih satu keadaan yang paling buruk bagimu.”

Mahisa Murti tidak menjawab. Pada saat ia melihat orang itu bersiap, maka iapun telah mempersiapkan diri pula. Sebenarnyalah, salah seorang dari kedua orang itu telah menyerang Mahisa Murti dengan satu pukulan langsung mengarah ke wajahnya. Tetapi justru karena serangan itu terlalu langsung, maka dengan bergeser selangkah, Mahisa Murti sempat menghindari serangan itu sambil berkata, “Aku peringatkan sekali lagi. Atas nama para pengawal Kabuyutan, aku peringatkan agar kalian menyerah.”

“Anak setan!“ teriak orang itu sambil meloncat menerkam.

Sekali lagi Mahisa Murti mengelak. Sementara orang yang lain, begitu melihat serangan kawannya tak berhasil, dengan marah sekali langsung juga menyerangnya. Mahisa Murti berputar sambil bergeser. Kemudian dengan loncatan panjang ia mengambil jarak dari kedua lawannya. Dua orang itu benar-benar dibakar oleh kemarahan yang menghentak-hentak didadanya. Anak muda itu dapat menghindari serangan dari kedua orang yang datang berurutan itu.

Kedua orang itu kemudian berpencar. Agaknya mereka sudah tidak sabar lagi untuk bertindak. Karena itu, salah seorang dari mereka berkata “Kita habisi anak ini tanpa ampun.”

Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia bergeser mendekat.

Dalam pada itu, Widati dan gadis-gadis Kabuyutan itu menjadi sangat ketakutan. Mereka yang sudah berlari-larian itu berpencaran di tebing. Namun setapak demi setapak, mereka saling mendekati. Namun demikian ada pula diantara mereka yang benar-benar bagaikan menjadi lumpuh, sehingga untuk bergeserpun sudah tidak mungkin lagi.

Widati telah pernah melihat, setidak-tidaknya mendengar bahwa Mahisa Murti bertempur melawan orang-orang yang menakutkan. Akan tetapi hatinya menjadi berdebar-debar juga untuk menyaksikan anak muda itu berkelahi melawan dua orang sekaligus.

Dalam pada itu, sebenarnya kedua lawannya itu benar-benar ingin segera mengalahkan Mahisa Murti. Bahkan mereka benar-benar ingin membunuh. Serangan-serangan mereka mengarah kebagian tubuh Mahisa Murti yang berbahaya. Tetapi Mahisa Murti telah siap menghadapi kedua lawannya itu. Karena itu, maka iapun dengan tangkasnya berlompatan menghindari serangan-serangan yang datang beruntun dari kedua orang lawannya.

Namun kedua orang lawan Mahisa Murti itu adalah dua orang yang memiliki kemampuan yang cukup. Mereka adalah bagian dari orang-orang yang mendapat kepercayaan dari satu kelompok kekuatan di Kediri untuk berusaha bangkit menghadapi Singasari seperti yang pernah dilakukan oleh beberapa orang sebelumnya yang merasa tidak puas atas keadaan yang berlaku. Kediri merasa dirinya lebih berhak memerintah dari Singasari yang didirikan oleh seorang anak buruan di padang Karautan. Anak yang masa mudanya selalu dikejar-kejar karena melakukan kejahatan.

Karena itu, maka Mahisa Murti benar-benar harus mengerahkan ilmunya untuk melawan kedua orang itu. Namun bagaimanapun juga, bekal ilmu Mahisa Murti agaknya berhasil melindunginya dari kedua lawannya. Dengan cepat Mahisa Murti berhasil menghindari setiap serangan, dan bahkan kemudian justru menyerang dengan langkah yang tiba-tiba.

Tetapi kemudian terjadi sesuatu yang mendebarkan. Kedua orang yang merasa bahwa mereka tidak segera berhasil mengalahkan anak muda yang mengaku sebagai pengawal Kabuyutan itu, benar-benar tidak lagi berniat untuk mengekang diri. Mereka benar-benar akan membunuh dengan cara bagaimanapun juga. Karena itu, tiba-tiba salah seorang diantara mereka telah menarik senjata mereka. Sebilah parang yang besar dan panjang.

“Persetan!” geramnya “kau benar-benar anak iblis. Kau mampu melawan kami berdua. Tetapi itu adalah justru kebodohanmu, karena dengan demikian, aku akan benar-benar membunuhmu!“

Mahisa Murti memandang parang yang panjang besar itu. Bagaimanapun juga senjata itu tentu akan berpengaruh. la sendiri tidak membawa senjata apapun juga, karena ia sama sekali tidak mengira bahwa ia akan bertemu dengan dua orang yang harus dilawannya.

“Kita tidak dapat berbuat lain,” kata orang yang bersenjata parang itu kepada kawannya.

“Kita memang harus membunuhnya,“ sahut yang lain, lalu, “Kita memang tidak usah ragu-ragu. Kau yang sudah bersenjata, lakukanlah. Jika kau tidak berhasil, akulah yang akan mencincangnya sampai lumat.”

Mahisa Murti bergeser surut selangkah. Ia harus benar-benar mapan dalam menghadapi lawannya yang bersenjata itu.

Namun dalam pada itu, ketika orang bersenjata parang itu mulai menyerang, tiba-tiba saja telah timbul keheranan di hati Widati yang pernah mengalami peristiwa-peristiwa yang mendebarkan. Perlahan-lahan ia bergeser dari tempatnya supaya tidak menarik perhatian. Akan tetapi kemudian iapun telah menyelinap dan berlari ke padukuhan induk Kabuyutan Randumalang.

Kawan-kawannya yang melihat Widati melarikan diri, menjadi bertambah gelisah. Namun mereka tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya. Tetapi Widati tidak sekedar melarikan diri. Dengan nafas terengah-engah ia memasuki gerbang padukuhan induk.

“Ada apa?“ bertanya seseorang yang melihatnya.

Widati tidak sempat menjawab. Tetapi ia berlari terus menuju ke rumahnya. Kehadirannya benar-benar mengejutkan. Ki Buyut meloncat dari tempat duduknya dan berlari mendapatkan anak gadisnya yang terengah-engah.

“Ada apa, Widati?“ bertanya Ki Buyut.

Orang-orang yang berkumpul di pendapa itupun menjadi gelisah. Merekapun segera turun dan mengerumuni gadis yang ketakutan itu. Dengan nafas bekejaran, Widati bercerita dengan tersendat-sendat atas apa yang terjadi di tepian.

“Katakan dengan jelas,“ minta Ki Buyut. Lalu, “Ambil minum untuk anak ini.”

Tetapi Mahisa Pukat tidak menunggu Widati minum. Meskipun tidak begitu jelas, ia dapat mengerti bahwa telah terjadi sesuatu di tepian. Karena itu, tiba-tiba saja ia telah meloncat dan berlari meninggalkan halaman rumah Ki Buyut menuju ke sungai tempat gadis-gadis mencuci pakaiannya. Namun demikian anak muda itu masih sempat menyambar dua bilah pedang yang tergantung di dinding gandok rumah Ki Buyut di Randumalang. Tanpa menghiraukan apapun juga, Mahisa Pukat berlari sekencang-kencangnya. Ia dapat merasakan, bahwa bahaya yang gawat sedang mengancam Mahisa Murti.

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti telah mengalami satu keadaan yang sangat gawat. Ketika seorang saja dari lawannya yang menyerangnya, biarpun dengan pedang, dengan loncatan-loncatan panjang, Mahisa Murti berhasil menghindarinya. Dengan melingkari bebatuan, maka ia dapat mengelakkan diri dari ujung pedang lawannya.

Karena itu maka katanya “Jangan berteriak-teriak saja. Jika kau ingin melakukan, cepat lakukan!”

Kawannya mengumpat kasar. Namun tiba-tiba iapun telah mencabut goloknya. Golok itu tidak begitu panjang. Tetapi golok itu terlalu besar dan berat. Namun demikian, di tangan pemiliknya, golok itu bagaikan selembar daun yang tidak berbobot.

Namun dengan demikian, kegagalan demi kegagalan orang berpedang itu telah membuat kawannya menjadi kehilangan kesabaran. Dengan suara lantang ia berkata, “Aku tidak sabar. Akulah yang akan membunuh.”

Kawannya menggeram. Tetapi ia benar-benar tidak dapat segera membunuh anak muda itu. Mahisa Murti menjadi tegang, la harus menghadapi dua orang bersenjata. Namun ia sudah dengan sengaja melibatkan dirinya, sehingga karena itu. maka ia tidak akan dapat ingkar, akibat apapun yang akan di alaminya.

Ketika kedua orang itu meloncat mendekat, maka Mahisa Murti telah bergeser menjauh. Namun ia tertarik ketika ia melihat sebatang pohon yang besar. Sebatang pohon beringin yang tumbuh di atas tebing.

“Aku tidak dapat melawan kedua pucuk senjata itu dengan tanganku,” kata Mahisa Murti di dalam hatinya. “Jika demikian aku hanya akan dapat meloncat-loncat menghindar dan menjauhi mereka. Tetapi aku tidak akan dapat menyerang mereka.”

Karena itu, Mahisa Murti kemudian telah mengambil satu keputusan untuk mendapatkan senjata. Sebagaimana telah dipelajarinya, maka ia pun mampu mempergunakan apa saja yang didapatkannya untuk mempersenjatai diri dalam keadaan yang memaksa. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah meloncat meninggalkan kedua lawannya.

“Jangan lari!“ teriak salah seorang lawannya. “Ia harus dibunuh!”

Yang lain tidak menjawab. Tatapi ia pun segera meloncat memhuru Mahisa Murti yang memanjat tebing. Tetapi Mahisa Murti memang tidak akan melarikan diri. Ketika ia sudah berada diatas tebing maka ia pun segera meloncat meraih sebatang sulur pohon beringin yang tumbuh di tepian itu. Dihentakkannya sulur itu hingga patah pada pangkalnya. Mahisa Murti sempat menggulung sulur itu sebelum kedua lawannya menyusulnya. Kemudian mempergunakan sepanjang yang dikehendakinya.

Kedua lawannya tidak sempat menghiraukan bagaimana anak muda itu bisa menghentak dan memutuskan sulur pada pangkalnya. Keduanya tak sempat menghitung dan menilai, betapa besar tenaga anak muda itu. Apalagi mereka sudah terlalu bangga akan kekuatan mereka masing-masing, sehingga mereka tidak mau melihat kelebihan pada orang lain.

Ketika kedua orang itu telah berada di atas tebing pula, kemudian dengan amat hati-hati mendekatinya dari dua arah, Mahisa Murti sudah bersenjata, meskipun tidak lebih dari sulur sebatang pohon beringin. Namun ketika kedua orang itu menjadi semakin dekat, maka Mahisa Murti mulai memutar ujung sulur ditanganya. Sulur itu memang tidak terlalu besar. Tetapi kekuatan Mahisa Murti yang tersalur pada sulur itu akan dapat membuat sulur itu menjadi senjata yang sangat berbahaya.

Kedua lawan Mahisa Murti itu termangu-mangu. Mereka saling berpandangan sejenak. Namun kemudian merekapun telah mengambil keputusan untuk menyerang bersama-sama. Mahisa Murti yang memegang sulur ditangannya itu menjadi semakin mapan. Meskipun sulurnya tidak sekuat senjata kedua orang lawannya, tetapi Mahisa Murti akan dapat mempergunakannya sebaik-baiknya.

Demikianlah, ketika orang bersenjata pedang itu meloncat menyerang, Mahisa Murti sempat mengelak. Sementara itu, ia sempat memutar sulur di tangannya, sehingga ketika lawannya yang lain kemudian menyusul menyerangnya pula, Mahisa Murti justru sudah menyambarnya dengan ujung sulurnya yang lebih panjang dari golok yang berat itu.

Orang itu mengumpat. Ia terpaksa mengurungkan serangannya dan justru menggeliat untuk menghindarkan diri dari sambutan ujung sulur Mahisa Murti. Demikianlah, dua orang yang berwajah kasar itu telah bertempur melawan Mahisa Murti dengan garangnya. Keduanya berloncatan, menyerang berganti-ganti, bahkan beruntun.

Namun Mahisa Murti masih sempat melindungi dirinya dengan senjatanya yang cukup panjang, meskipun Mahisa Murti tidak berani membenturkan senjatanya pada senjata lawannya. Ketika lawannya pada satu kali sempat menangkis sulur Mahisa Murti dengan pedangnya, maka sulur itupun telah terpotong sejengkal pada ujungnya.

Demikianlah, pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Tetapi semakin lama Mahisa Murti memang menjadi semakin terdesak. Setiap kali sulurnya bersentuhan, maka ujungnya langsung terpenggal, sedangkan lawannya berusaha agar anak muda itu tidak sempat mencari sulur yang baru. Tetapi kecepatan gerak Mahisa Murti masih juga dapat menolongnya dari kegarangan kedua lawannya, sehingga untuk beberapa saat lamanya ia masih akan dapat bertahan menghadapi karena kedua orang itu.

Ternyata bahwa akhirnya Mahisa Murti harus menyadari, bahwa sulur itu hanya mampu memperpanjang perlawanannya menghadapi kedua orang yang garang itu. Betapapun juga, Mahisa Murti mengalami kesulitan untuk dapat menyerang kedua lawannya. Seandainya ia hanya melawan seorang saja diantara kedua lawannya, mungkin ia masih mempunyai kesempatan meskipun ia hanya bersenjata sulur saja. Tetapi menghadapi dua orang, maka ia benar-benar mengalami kesulitan. Tetapi Mahisa Murti tidak akan lari. Ia akan berbuat apa saja untuk memperpanjang perlawanannya.

Namun demikian, sebenarnya Mahisa Murti menjadi kecewa bahwa gadis-gadis di tepian itu tidak juga melarikan diri dalam kesempatan itu. Agaknya mereka benar-benar sudah dicengkam oleh ketakutan sehingga untuk bergerakpun sudah terlalu sulit. Karena itu, maka Mahisa Murti berusaha untuk memancing pertempuran itu semakin jauh dari gadis-gadis yang ketakutan itu. Jika pada suatu saat, pertempuran itu sudah tidak mereka lihat lagi, mungkin timbul keberanian mereka untuk meninggalkan tepian.

Meskipun demikian, Mahisa Murti tidak bisa mengabaikan dua orang gadis yang bagaikan tertidur nyenyak karena sentuhan jari kedua orang berwajah kasar itu. Meskipun yang lain dapat melarikan diri, tetapi dua orang itu akan tetap menjadi korban kegarangan kedua orang kasar itu.

“Kalau saja aku dapat bertahan cukup lama,” berkata Mahisa Murti dalam hatinya. Tetapi ternyata semakin lama keadaannyapun menjadi semakin sulit.

Kedua orang itu melihatnya dari arah yang berbeda. Apalagi ketika mereka menyadari bahwa mereka sudah terlalu lama berada di tepian. Dengan menghentakkan kekuatan serta kemampuan mereka, maka Mahisa Murti menjadi semakin terdesak. Yang dapat dilakukannya kemudian adalah meloncat-loncat menghindar dan berusaha memancing arena pertempuran semakin jauh dari tepian.

Tapi lawan-lawannyapun menyadarinya sehingga mereka berusaha untuk menahan agar Mahisa Murti tidak dapat bergeser semakin jauh. Keadaan Mahisa Murti semakin lama memang menjadi semakin sulit. Sehingga akhirnya ia benar-benar tidak dapat berbuat terlalu banyak.

“Bunuh saja anak ini selekasnya,” geram yang seorang.

Yang bersenjata parangpun menyahut, “Aku akan mencincangnya dan melemparkannya kepada gadis-gadis itu.”

Yang lain tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Menarik sekali. Aku sependapat.”

Mahisa Murti sama sekali tidak menyahut. Ia sedang memikirkan cara untuk melepaskan diri. Namun yang memungkinkannya hanyalah satu-satunya jalan, yaitu menghindar dari pertempuran itu. Tetapi ia tidak sampai hati melakukannya, karena gadis-gadis masih ada di tepian, terlebih-lebih lagi, dua diantaranya dalam keadaan tidak sadar.

Selagi Mahisa Murti berada dalam kesulitan yang hampir tidak teratasi, maka Mahisa Pukat berlari sekencangnya ke tepian. Demikian ia turun ke sungai, maka ia tidak segera dapat melihat seseorang. Baru kemudian ia melihat dua orang gadis yang tergolek diatas pasir.

Dengan ragu-ragu ia mendekatinya. Ternyata kedua orang gadis itu tidak mati. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia menebarkan pandangannya ke tebing, menyusuri batu-batu padas dan pepohonan perdu, kemudian ia melihat beberapa orang gadis yang tegang dengan tubuh menggigil dan wajah pucat ketakutan.

“Kau lihat saudaraku?“ bertanya Mahisa Pukat dengan serta merta.

Gadis-gadis itu bagaikan membeku. Namun ada diantara mereka yang masih mampu menggerakkan tangannya, menunjuk kearah sebatang pohon beringin di seberang. Mahisa Pukat mengerti, bahwa Mahisa Murti tentu di bawah pohon itu. Apalagi setelah ia memperhatikan dengan seksama, maka iapun dapat melihat suasana benturan kekuatan di sekitar pohon beringin itu, meskipun ia tidak melihat orang-orang yang bertempur itu.

Dengan sigapnya Mahisa Pukatpun segera meloncat ke seberang sambil berteriak, “Tinggalkan tempat ini. Kembalilah ke padukuhan.”

Akan tetapi gadis-gadis itu tidak segera bergerak. Baru sejenak kemudian mereka saling berpandangan dari kejauhan, lalu satu-satu mulai bergeser dan berdiri tegak. Kemudian merekapun berusaha untuk saling mendekati lebih rapat lagi. Meskipun demikian, hampir semua mata dari gadis-gadis itu tengah menatap kedua orang kawannya yang terbaring diam.

Pada saat mereka ingin melarikan diri, maka mereka telah dijalari oleh perasaan cemas atas kedua orang kawannya yang seakan-akan pingsan itu. Bahkan beberapa diantara mereka menganggap seolah-olah kedua kawannya itu akan segera mati jika tidak mendapatkan pertolongan. Namun untuk mendekati mereka, gadis-gadis itu masih saja merasa ketakutan.

Dalam keragu-raguan itu gadis-gadis itu terkejut mendengar suara lantang di atas tebing seberang. “Mahisa Murti. Bertahanlah!”

Suara itu memang mengejutkan. Mahisa Murti yang sudah terjepit oleh satu keadaan yang sangat gawat, tiba-tiba saja merasa dadanya menjadi lapang.

Kedua orang lawan Mahisa Murti juga mendengar suara itu. Dengan serta merta mereka pun telah berpaling. Ternyata mereka melihat seorang anak muda yang lain berdiri tegak diatas tebing sambil menjinjing dua buah pedang.

“Pengecut!” geram Mahisa Pukat. “Kalian berdua telah bertempur melawan seorang yang tidak bersenjata!”

“Persetan!” geram salah seorang dari kedua orang berwajah kasar itu. “Aku tidak peduli apa yang kau katakan. Tetapi jika kau ikut campur, maka kaupun akan aku bunuh pula. Siapapun juga kau!”

“Ia juga seorang pengawal Kabuyutan seperti aku,” jawab Mahisa Murti yang berdiri tegak dengan dada tengadah.

“Jangan banggakan kedudukan kalian sebagai pengawal,” berkata orang yang bersenjata pedang. “Sebentar lagi kalian akan mati!”

Mahisa Pukat justru tertawa. Ia tidak mengalami ketegangan seperti Mahisa Murti, meski pun sepanjang lorong saat ia berlari seperti dikejar setan, ia merasa gelisah juga.

“Jangan sesumbar,” kata Mahisa Pukat. Tanpa menghiraukan kedua orang itu ia berjalan mendekati Mahisa Murti. Katanya sambil menyerahkan pedang Mahisa Murti. “Ini senjata milikmu. Dengan pedang itu, kau akan dapat bertahan lebih baik lagi...”

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 07

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 07
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

Mahisa Agni terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun Kemudian katanya, “Bukankah Empu Nawamula sendiri pernah menyinggung akan hal itu”

Empu Nawamula mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Ya. Aku memang pernah mempersoalkan sebelumnya. Tetapi segalanya masih juga tergantung kepada Singatama”

“Paman” berkata Singatama kemudian, “mumpung hatiku sedang terang. Aku bersedia membersihkan diri. Bahkan aku mohon paman segera dapat melakukannya, sebelum aku mengambil keputusan lain. Jika kegelapan itu mencengkam jantungku lagi, mungkin aku akan kehilangan kesempatan itu”

Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Baiklah. Kita akan pergi ke Sanggar” Lalu katanya kepada Mahisa Agni, “Maaf Ki Sanak. Aku persilahkan Ki Sanak kembali ke pondok Ki Sanak. Aku akan berada di sanggar hanya dengan kemanakanku saja”

“Baik Empu” jawab Mahisa Agni, “nampaknya hal itu memang hanya penting bagi Empu dan Singatama saja”

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Agni pun telah kembali ke rumah yang dihuninya di padepokan itu. Sementara Singatama pergi ke Sanggar, maka Empu Nawamula telah memerintahkan para cantrik agar membangunkan kawan-kawan mereka.

“Kalian harus mengamati halaman dan kebun padepokan ini dengan baik. Baru saja ada orang memasuki kebun ini tanpa kalian ketahui. Bahkan bukan orang kebanyakan” berkata Empu Nawamula kepada para cantrik yang bertugas. Lalu, “Karena itu, panggillah semua cantrik dan beri mereka tugas malam ini. Mungkin orang itu kembali justru pada saat aku berada di sanggar. Dalam keadaan yang paling gawat, sebelumnya aku dapat keluar dari sanggar, maka ketiga muridku dan kedua anak muda yang bernama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu akan dapat membantu kalian”

“Baik Empu” jawab para cantrik yang sedang bertugas.

Demikianlah, ketika kemudian Empu Nawamula memasuki sanggar bersama Singatama, maka para cantrik di padepokan itupun telah dibangunkan. Mereka harus berjaga-jaga, karena baru saja ada orang yang memasuki halaman padepokan dengan maksud Buruk.

“Kita harus mengawasi seluruh halaman padepokan” berkata cantrik yang mendapat tugas dari Empu Nawamula.

Para cantrik itupun kemudian telah mengatur diri, termasuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka berada di setiap sudut halaman. Namun bagaimanapun juga, ada diantara para cantrik itu yang tidak dapat menahan matanya untuk tidak terpejam.

“He” Desis kawannya sambil menyentuhnya dengan sikunya.

“Mataku tidak dapat terbuka lagi” jawab cantrik itu

“Jika tiba-tiba datang seseorang merundukmu dan menusuk perutmu dengan pedang?” bertanya kawannya.

“Bukankah kau ada disitu” jawabnya.

“Anak setan” jawab kawannya “kau kira aku akan melindungimu? Aku akan lari karena ketakutan. Biar saja orang itu menusuk perutmu sampai tembus”

Cantrik yang mengantuk itu tertawa, katanya “Jangan marah, mari kita bergantian. Sekarang aku akan tidur. Nanti jika aku sudah bangun, kau dapat tidur”

“Nanti kapan kau akan bangun? Sesudah matahari terbit?” geram kawannya.

Cantrik itu masih tertawa. Tetapi justru dengan demikian, kantuknya menjadi berkurang, sehingga katanya, “Baiklah. Aku tidak akan tidur. Tetapi jika tanpa aku sengaja aku tertidur, itu bukan salahku”

“Sudah aku katakan. Jika kau tidur atau tertidur, aku akan pergi dan mencari kawan yang tidak tidur atau tertidur” jawab kawannya.

Cantrik itu bergeser. Tetapi iapun kemudian bangkit sambil berkata, “Aku akan tetap jaga sampai pagi. Lihat aku akan berjalan hilir mudik”

Kawannya tidak menyahut. Dibiarkannya saja kawannya itu berusaha untuk melawan kantuknya.

Dalam pada itu. Empu Pulung Geni yang ternyata harus mengakui kelebihan Empu Nawamula telah meninggalkan medan. Peristiwa yang serupa telah terulang kembali. Bagaimanapun juga, ternyata bahwa Empu Nawamula memiliki kelebihan dari Empu Pulung Geni. Apalagi jika Empu Nawamula itu berusaha membangunkan murid-muridnya dan seisi padepokan. Maka Empu Pulung Geni akan mengalami nasib yang sangat buruk. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi Empu Pulung Geni kecuali meninggalkan padepokan itu dengan hati yang sakit.

“Anak itu sudah berkhianat” geramnya, “selama ini aku pelihara anak itu dengan baik. Tetapi pada suatu saat, aku harus membunuhnya. Tidak ada hukuman yang lain dari kematian bagi seorang pengkhianat”

Empu Pulung Geni yang sudah jauh dari padepokan muridnya yang berkhianat itu berdiri dengan nafas yang berdesakkan. Dipandanginya arah padepokan yang ditinggalkannya. Ketika ia yakin, bahwa tidak seorang pun yang mengejarnya, maka ia pun dapat beristirahat.

“Semuanya sia-sia” geramnya, “aku bertempur melawan Empu Nawamula karena aku berusaha memenuhi permintaan anak itu. Tetapi pada saat yang paling menentukan ia telah berkhianat. Seandainya aku tahu, aku tentu sudah mencekiknya ketika ia merengek, minta agar aku menolongnya, membalas sakit hatinya dan sekaligus mengambil gadis itu”

Namun semuanya sudah terjadi. Dan Singatama memang sudah berkhianat terhadap gurunya. Empu Pulang Geni yang lelah itu pun kemudian duduk di atas sabuah batu yang besar. Ia bukan saja lelah wadagnya, tetapi hatinyapun rasa-rasanya hampir patah menghadapi pengkhianatan muridnya.

Tetapi Empu Pulung Geni terikat pada satu tugas lain yang lebih besar dari keterikatannya dengan muridnya. Akhirnya sambil menggeretakkan giginya ia berkata, “Apapun yang terjadi, pada suatu saat aku akan menghukumnya. Jika aku terpancang kepada itu, maka kesanggupanku untuk satu tugas yang lebih penting akan terbengkalai”

Karena itu, maka untuk sementara Empu Pulung Geni berusaha untuk melupakan sakit hatinya. Dengan luka di dalam dadanya, maka ia pun berkeputusan untuk kembali saja ke padepokannya.

“Masih ada beberapa orang yang setia kepadaku selain Singatama” geram Empu Pulung Geni.

Tetapi untuk beberapa saat Empu Pulung Geni masih tetap duduk di atas sebuah batu untuk menenangkan hatinya dan mengatur pernafasannya. Dalam pada itu, ketika langit menjadi merah maka Empu Pulung Geni pun telah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu. Kembali ke padepokannya.

Sementara itu, pada saat yang sama, Singatama duduk di dalam sanggar dengan tubuh gemetar, seperti orang kedinginan. Pamannya duduk di belakangnya sambil melekatkan kedua telapak tangannya pada punggungnya. Keduanya dengan wajah yang tegang berusaha untuk mencapai satu keseimbangan bagi Singatama yang telah melepaskan ilmu hitamnya.

Untuk beberapa saat, Singatama masih tetap menggigil. Namun beberapa saat kemudian, pernafasannya pun menjadi semakin teratur, dan tubuhnya tidak lagi berguncang-guncang oleh perubahan yang terjadi di dalam dirinya setelah ia mengosongkan diri dari ilmunya.

Tepat pada saat langit menjadi cerah, maka Empu Nawamula sudah selesai dengan tugasnya. Singatama benar-benar menjadi seorang anak muda yang baru. Seolah-olah baru dilahirkan kembali setelah beberapa tahun lamanya ia bertualang di dunia kelam.

“Berdirilah” berkata Empu Nawamula kemudian. Singatama kemudian bangkit berdiri. Tetapi hampir saja ia kehilangan keseimbangannya. Untunglah Empu Nawamula cepat menangkapnya dan membantunya berdiri tegak.

“Ada sesuatu yang asing di dalam diriku paman” berkata Singatama.

“Ya. Justru yang asing itu adalah pribadimu yang sebenarnya, yang sudah lama terselubung oleh ilmu hitammu. Kau memang merasa asing dengan dirimu sendiri, karena sudah terlalu lama kau kehilangan dirimu itu” berkata Empu Nawamula.

Singatama mulai menggerakkan tangan dan kakinya. Perlahan-lahan ia berjalan mengelilingi ruangan sanggar pamannya itu. Semakin lama langkahnya semakin mantap dan rasa-rasanya tenaganya pun telah pulih kembali.

“Kau telah kehilangan kemampuanmu untuk mempergunakan segala tenaga di dalam dirimu yang didorongkan oleh kekuatan ilmumu. Yang tersisa adalah tenaga wadagmu sewajarnya dan kemampuanmu dalam arti ketrampilan tubuhmu. Tetapi kau tidak akan dapat membangunkan kekuatan di luar kemampuan wajarmu dengan ilmumu”

Singatama menarik nafas dalam-dalam Ketika ia mencoba menggerakkan tangan dan kakinya, pamannya berkata, “Cobalah. Kau bukan tidak dapat berbuat apa-apa sama sekali”

Ternyata Singatama yang kemudian menggerakkan tangan dan kakinya masih juga mampu mengingat unsur unsur gerak dari ilmunya. Namun sebagai gerak wantah yang tidak mempunyai kekuatan pendukung selain tenaga wadagnya saja.

“Bagaimanapun juga, kau adalah kemanakanku” berkata Empu Nawamula.

Tetapi hal itu memang sudah dikehendaki. Singatama sama sekali tidak menyesal. Apalagi ia masih tetap mempunyai alat pelindung meskipun sekedar ketrampilan gerak tubuhnya saja.

“Mulai esok, jika kau kehendaki, kau akan dapat mempelajari ilmu yang lain dari ilmu yang pernah kau miliki” berkata pamannya.

“Aku akan melakukannya paman. Aku tidak mau kehilangan waktu terlalu banyak. Jika aku memerlukan waktu dua atau tiga tahun, untuk memiliki tataran ilmu yang akan paman berikan maka aku masih mempunyai kesempatan dalam umurku yang sekarang” berkata Singatama.

“Baiklah. Kau membuat aku merasa sangat berbahagia sekarang ini. Seolah-olah aku telah menemukan sesuatu yang sangat berharga yang pernah hilang sebelumnya”

Demikianlah, maka Singatama benar-benar bertekad untuk merubah cara hidupnya. Sejalan dengan hatinya yang ikhlas menanggalkan ilmu hitamnya, maka ia pun telah dengan berani minta maaf kepada Widati dan ayahnya atas tingkah lakunya.

“Aku tidak akan berharap apa-apa” berkata Singatama kepada Ki Buyut, “aku berusaha untuk menjadi orang baru. Meskipun aku tidak akan dapat melupakan perasaanku waktu itu, tetapi aku mulai mempergunakan nalarku”

“Terima kasih angger” jawah Ki Buyut, “mudah-mudahan dengan demikian, anakku akan mendapatkan ketenangan di dalam hidupnya”

“Ya Ki Buyut” sahut Singatama” sekali lagi aku berjanji, bahwa aku tidak akan mengganggunya lagi. Aku tidak akan mempunyai kemampuan untuk berbuat sesuatu, apalagi memaksakan kehendakku, karena aku sudah kehilangan ilmuku”

Mahisa Agni dan Witantra yang menyaksikannya, merasa tersentuh pula hatinya. Ia melihat kesungguhan pada Singatama untuk merubah cara hidupnya, sehingga ia telah banyak memberikan bukti kesungguhannya. Dengan demikian, maka Ki Buyut pun merasa lebih tenang untuk kembali ke Kabuyutannya yang sudah terlalu lama ditinggalkannya. Anak muda yang untuk beberapa lama menghantui anak gadisnya ternyata telah berubah sikap.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mendengar keputusan Singatama itu pun menjadi gembira. Dengan demikian, maka mereka tidak akan terikat untuk mengamati gadis itu saja. Mereka akan sempat melanjutkan perjalanan mereka untuk melihat-lihat hijaunya lembah-lembah yang membentang luas di tlatah Singasari.

Tetapi kedua anak muda itu masih mempunyai satu kewajiban untuk mengantarkan Widati kembali ke kabuyutannya. Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Mahisa Agni dan Witantrapun ingin juga kembali ke Singasari. Mereka akan berangkat bersama dengan Ki Buyut dan anak gadisnya yang akan diantar oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Pada hari yang sudah ditentukan, maka Ki Buyut pun telah bersiap-siap. Meskipun demikian, ada juga kecemasan di hati Ki Buyut meskipun Singatama telah merubah cara hidupnya. Jika diperjalanan itu mereka bertemu, secara kebetulan atau memang sudah direncanakan oleh Empu Pulung Geni, maka nasib anak gadisnya tentu akan menjadi sangat buruk.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menenangkan hati mereka. Dengan penuh kesungguhan Mahisa Pukat berkata, “Kami akan berbuat sejauh dapat kami lakukan”

Ki Buyut mengangguk-angguk meskipun ia masih juga meragukan. Tetapi bagaimanapun juga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mengatakannya, bahwa kedua orang pamannnya itu akan dapat menyelesaikan tanpa kesulitan seandainya mereka benar-benar bertemu dengan Empu Pulung Geni.

“Menurut pendapatku. Empu Pulung Geni telah meninggalkan tempat ini” berkata Empu Nawamula, “ia tidak akan telaten menunggui sesuatu yang tidak berkepastian, sejak muridnya telah meninggalkannya” Ki Buyut mengangguk-angguk. Ia percaya kepada Empu Nawamula. karena menurut pendapatnya, Empu Nawamula memiliki ketajaman penglihatan jauh melampaui penglihatannya atas peristiwa yang baru saja terjadi itu.

Dengan demikian, maka akhirnya Ki Buyut dan anak gadisnya itu pun telah meninggalkan padepokan Empu Nawamula kembali ke Kabuyutan mereka. Bersama mereka adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, serta Mahisa Agni dan Witantra. Ternyata di perjalanan mereka sama sekali tidak menjumpai hambatan apapun juga. Perjalanan yang tidak mereka selesaikan dalam sehari. Tetapi mereka masih harus bermalam di perjalanan yang cukup panjang itu.

Tetapi rasa-rasanya kegelisahan mereka telah jauh berkurang dari saat-saat sebelumnya, dengan demikian maka rasa-rasanya perjalanan mereka itu pun tidak merupakan perjalanan yang terlalu berat sebagaimana saat mereka berangkat. Bahkan ketika mereka harus bermalam di perjalanan. Widati merasakannya sebagai satu pengalaman yang menarik. Meskipun gelap malam membuatnya berdebar-debar, tetapi kehadiran orang-orang yang dapat dianggapnya sebagai pelindung yang meyakinkan, membuatnya menjadi lebih tenang.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyalakan perapian di dekat tempat mereka akan bermalam di perjalanan, maka Widati telah mendekatinya. “Hangatnya perapian ini” desisnya.

“Kau belum mengantuk?” bertanya Mahisa Murti.

Widati menggeleng. Katanya, “Suara burung hantu itu membuat aku tidak dapat tidur”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Burung hantu itu tidak dapat membuat bunyi yang lain. Dalam segala keadaan burung itu akan mengeluarkan bunyi yang sama”

Widati mengangguk-angguk. Tetapi ketika tidak dengan sengaja ia mengangkat wajahnya dan memandang ke dedaunan pepohonan yang berwarna kehitam-hitaman, maka kulitnya serasa telah meremang. Tanpa disadarinya ia telah bergeser mendekati Mahisa Murti sambil berdesis, “Dedaunan itu”

Mahisa Murti pun mengangkat wajahnya pula sambil bertanya, “Kenapa dengan dedaunan itu?”

“Menakutkan” jawab Widati.

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Jika demikian, jangan memandang dedaunan itu. Disiang hari dedaunan itu nampak hijau segar. Tetapi dalam gelap, warna hijaunya menjadi gelap juga”

Widati mengangguk. Katanya, “Cahaya api itu membuat warna dedaunan itu menjadi aneh. Seperti wajah-wajah raksasa”

Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Raksasa yang akan menelan kita”

“Ah” Widati beringsut semakin dekat.

"Jangan takut” berkata Mahisa Pukat kemudian, “lihat saja bintang-bintang yang bertaburan itu. Menyenangkan sekali. Tetapi sekaligus memperingatkan kita, betapa kecilnya kita manusia dihadapan luasnya alam yang tidak dapat di mengerti itu”

Widati mengangguk-angguk. Seleret nampak bintang yang berpindah tempat, meluncur dengan cepat.

Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra masih juga duduk berhincang dengan Ki Buyut beberapa langkah dari anak-anak muda yang duduk diperapian itu. Bagi Ki Buyut pengalaman yang baru saja terjadi itu merupakan satu pengalaman yang menggetarkan hati. Jika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat salah menilai lawan dan para cantrik yang berdiri di pihaknya, maka anak gadisnya akan ikut menjadi korban.

“Untunglah, semuanya telah lampau” desis Witantra.

“Ya. Tetapi rasa-rasanya masih ada yang menggelisahkan” jawab Ki Buyut. Tetapi kemudian, “Untunglah, bahwa tempat tinggalku tidak diketahui baik oleh Singatama maupun oleh gurunya. Apalagi saat ini Singatama telah merubah sikap”

Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Keduanya mengerti, bahwa Ki Buyut masih belum dapat menghapuskan kegelisahannya sepenuhnya. Tetapi beban yang memberati jantungnya telah banyak berkurang oleh sikap Singatama.

Karena itu, maka seterusnya Ki Buyut sempat berbicara tentang kehidupan di Kabuyutan. Tentang tanah pertanian. Tentang parit-parit. Tentang pegunungan dan hutan-hutan yang gersang.

“Masih banyak kesempatan Ki Buyut” berkata Mahisa Agni, “Kabuyutan itu masih akan dapat berkembang dengan baik. Kesulitan yang pernah mencengkam Kabuyutan itu menjadi pengalaman yang sangat berharga. Pengalaman itu ternyata telah dilengkapi dengan pengalaman Ki Buyut selama Ki Buyut berada di sebuah padepokan semu itu”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Kesulitan yang datang beruntun itu tentu terasa sangat berat bagi Kabuyutan kami. Tetapi seperti yang Ki Sanak katakan, mudah-mudahan di saat mendatang, kami dapat memperbaiki keadaan itu perlahan-lahan”

Mahisa Agni melihat kesungguhan di wajah Ki Buyut yang merasa sangat prihatin atas keadaan Kabuyutannya. Namun dengan kesungguhan pula ia berniat untuk mengejar kemunduran yang dialaminya itu. Beberapa saat mereka masih berbincang. Mereka sempat menyinggung para tawanan yang terluka dan masih berada padepokan.

Namun di antara mereka terdapat prajurit Singasari yang semula terluka pula, sehingga para prajurit itu akan dapat membantu mengawasi para tawanan yaryg ada suatu saat akan diambil oleh para prajurit dari Singasari.

Ketika malam menjadi semakin dalam, maka Ki Buyut pun beringsut setapak. Dibaringkannya tubuhnya di atas rerumputan kering yang sudah dipersiapkannya. Sementara Mahisa Agni dan Witantra pun telah berbaring pula beberapa langkah di sebelah Ki Buyut.

Namun dalam pada itu, yang masih tetap duduk dan berbicara tanpa berkeputusan adalah Mahisa Murti dan Widati. Agaknya mereka menemukan bahan pembicaraan yang sangat menarik.

Sementara Mahisa Pukat agaknya telah menjadi lelah dan beringsut semakin dekat dengan perapian. Sambil meletakkan dagunya di lututnya, ia bermain dengan sebatang ranting yang ujungnya sedang menyala. Seolah-olah ia tidak lagi menghiraukan, apa yang sedang dipercakapkan oleh Mahisa Murti.

Tetapi di luar sadarnya, seolah-olah dalam nyala api di hadapannya, telah membayang wajah seorang gadis pula. Gadis yang pernah dilihatnya di rumah Ki Raganiti. Paman Widati. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu memang memiliki beberapa persamaan dengan Widati. Itu adalah wajar sekali, karena keduanya adalah saudara sepupu.

“Persetan dengan gadis itu” desak Mahisa Pukat di dalam hatinya. Namun justru karena itu, setiap kali ia mengungkit bara di perapian yang menyala itu, rasa-rasanya wajah itu telah membayang. Semakin lama iustru semakin jelas.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian tidak dapat ingkar lagi, sebenarnya gadis yang dijumpainya di rumah Ki Raganiti itu telah meninggalkan secercah bekas dihatinya. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun tidak lagi berusaha mengusir bayangan yang setiap kali timbul dan seakan-akan menggodanya. Dibiarkannya saja bayangan itu bermain justru di angan-angannya.

Sementara itu, Mahisa Murti masih saja berbincang dengan Widati. Ada saja yang menarik untuk dibincarakan, sehingga keduanya sama sekali tidak merasa bahwa malam menjadi semakin kelam. Bahkan tanpa disadarinya, Mahisa Pukat ternyata telah tertidur dengan nyenyaknya di pinggir perapian sambil memegang sebuah ranting yang tidak lagi menyala ujungnya.

Mahisa Agni dan Witantra pun telah saling berdiam diri. Tanpa berjanji mereka agaknya telah membagi waktu. Justru ketika Mahisa Agni bangkit dan duduk di atas sebuah batu, Witantra telah berusaha untuk dapat memejamkan matanya barang sejenak.

Dalam pada itu, Ki Buyut pun ternyata tidak juga dapat tidur. Bagaimanapun juga, ia tidak begitu senang melihat anaknya berbincang seolah-olah tanpa akhir dengan Mahisa Murti. Meskipun pandangannya terhadap Mahisa Murti sudah berubah, namun rasa-rasanya sikap anaknya itu agak kurang pantas bagi seorang gadis.

Karena Widati masih saja duduk di sebelah perapian bersama Mahisa Murti, maka akhirnya Ki Buyut itupun berkata, “Widati. Malam telah lewat. Kau harus beristirahat. Kita masih akan menempuh perjalanan yang cukup panjang”

Widati mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian menyadari maksud ayahnya. Malam memang sudah larut. Dan ia masih saja berbicara dengan seorang anak muda. Karena itu, maka Widati pun kemudian bangkit sambil berdesis, “Aku harus beristirahat”

“Tidurlah. Besok perjalanan masih panjang” berkata Mahisa Murti.

Widati pun kemudian meninggalkan Mahisa Murti termangu-mangu sendiri. Perlahan-lahan ia mendekati ayahnya yang kemudian duduk sambil berkisar. Katanya, “Tidurlah”

Widatipun kemudian duduk bersandar sebuah batu yang besar sambil berkata, “Aku akan tidur di sini ayah”

“Berbaringlah agar kau dapat tidur dengan baik” berkata ayahnya.

“Sama saja bagiku. Sambil bersandar pun aku dapat tidur dengan nyenyak” jawab Widati.

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Wajah Widati nampak cerah di bayangan api perapian. Bahkan ketika ia pun kemudian tertidur, sebuah senyuman masih membayang di bibirnya. Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Iapun menjadi yakin, bahwa antara anak gadisnya dengan anak muda yang sebenarnya bernama Mahisa Murti itu telah terjalin satu hubungan yang rumit di dalam hati mereka. Namun akhirnya Ki Buyut itupun tertidur juga setelah ia yakin bahwa Widati pun telah tertidur pula.

Yang kemudian masih terbangun adalah Mahisa Agni dan Mahisa Murti yang duduk di dekat Mahisa Pukat terbaring. Sementara itu agaknya Witantra pun telah tertidur pula. Perlahan-lahan Mahisa Agni melangkah mendekati Mahisa Murti yang merenung. Sambil duduk di sebelah anak muda itu Mahisa Agni bertanya, “Kau tidak beristirahat Murti”

Mahisa Murti memandang wajah Mahisa Agni sekilas. Kemudian katanya, “Kita bergantian paman. Silahkan paman beristirahat. Nanti, pada saatnya aku mengantuk, aku akan membangunkan paman atau Mahisa Pukat atau paman Witantra”

Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Kau dapat bergantian dengan Mahisa Pukat. Aku akan bergantian dengan pamanmu Witantra. Tetapi jika kau ingin tidur, tidurlah. Biarlah aku duduk mengawasi keadaan. Nampaknya tidak ada sesuatu yang pantas di cemaskan di tempat ini”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Aku tidak mengantuk sekarang paman. Mungkin nanti sebentar”

Mahisa Agni menepuk bahu anak muda itu. Tetapi kemudian iapun bangkit dan berjalan mengelilingi orang-orang yang sedang tidur itu sebelum ia kembali duduk di atas sebuah batu. Mahisa Murti memandangi Mahisa Agni beberapa lama. Namun ia pun kemudian beringsut lebih dekat dari api. Dilontarkannya beberapa potong ranting kering ke dalam api itu, sehingga untuk sesaat, apipun melonjak semakin besar.

Lewat tengah malam, Witantra telah terbangun dengan sendirinya. Setelah mengeliat, maka ia pun kemudian duduk di sebelah Mahisa Agni sambil berkata, “Aku tertidur nyenyak sekali”

“Kau belum lama tertidur” jawab Mahisa Agni.

Namun Witantra menyahut sambil memandangi bintang-bintang dilangit, “Sudah cukup lama. Bintang-bintang telah bergeser terlalu jauh”

Mahis Agni menarik nafas dalam-dalam. Sambil menunjuk Mahisa Murti yang masih duduk di tepi perapian Mahisa Agni berkata, “Anak itu belum sempat tidur”

Witantra mengangguk. Jawabnya, “Ada sesuatu yang mengganggunya”

“Ya” jawah Mahisa Agni, “perasaannya sendiri”

Witantra tersenyum. Katanya, “Biarlah ia membangunkan Mahisa Pukat, agar ia dapat beristirahat barang sejenak”

Witantra pun kemudian bangkit mendekatinya, sementara Mahisa Agni pun kemudian berpindah duduk bersandarkan pohon yang tidak terlalu besar. Namun dengan demikian, ia pun sempat memejamkan mata menjelang dini hari. Witantra pun yang kemudian duduk di sebelah Mahisa Murti sambil berkata, “Sudah waktunya kau membangunkan Mahisa Pukat”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Baiklah paman. Aku akan beristirahat”

Mahisa Murti pun kemudian membangunkan Mahisa Pukat yang nampaknya sangat malas untuk membuka matanya. Namun akhirnya ia pun duduk pula sambil menggeliat.

“Aku akan tidur. Kau kawani paman Witantra” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat menggosok matanya. Ketika ia memandang berkeliling, dilihatnya Widati telah tertidur sambil bersandar sebongkah batu. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Tidurlah. Aku kawani paman Witantra”

Mahisa Murti pun kemudian beringsut selangkah. Sambil berdesah ia pun meletakkan kepalanya di atas setumpuk rerumputan kering.

Mahisa Pukat lah yang kemudian duduk di sebelah Witantra sambil berkata, “Mahisa Murti sedang diganggu oleh perasaannya sendiri terhadap gadis yang bersandar batu itu”

Witantra tersenyum. Katanya, “Hal yang wajar. Tetapi Mahisa Murti harus ingat, apa yang pernah terjadi atas Mahisa Bungalan sebelumnya. Hubungannya dengan gadis itu harus diaturnya sebaik-baiknya agar tidak menjeratnya ke dalam satu kesulitan”

“Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia teringat pada seorang gadis yang pernah dilihatnya dan telah meninggalkan kesan tersendiri pula dihatinya. “Apa pula kata paman Witantra jika ia mengetahuinya” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat menguap. Agaknya matanya masih saja ingin terpejam.

“Tidurlah” berkata Witantra sambil tersenyum, “aku akan berjaga-jaga”

“Ah” desis Mahisa Pukat yang melihat Mahisa Murti terbujur.

Witantra tidak mendesaknya. Namun ketika Mahisa Murti sudah tertidur, sekali lagi Witantra berkata, “Tidurlah”

Mahisa Pukat ragu-ragu. Namun akhirnya iapun beringsut untuk bersandar sebatang pohon pula. Katanya, “Aku tidak ingin tidur. Tetapi jika aku tertidur, justru karena paman mengijinkan”

Witantra tersenyum. Katanya, “Yah, tidurlah”

Mahisa Pukat pun kemudian tersenyum. Namun akhirnya matanyapun telah terpejam pula.

Tidak ada yang menarik terjadi malam itu, selain permainan perasaan anak-anak muda yang ada diantara iring-iringan yang sedang beristirahat itu. Nampaknya mereka tertidur sambil membawa angan-angan masing-masing. Ketika langit menjadi merah oleh cahaya fajar, maka mereka pun telah terbangun.

Ki Buyut telah mengantarkan anak gadisnya ke sebuah belik kecil yang tidak terlalu jauh dari perapian. Sejenak kemudian maka orang-orang yang berada di dalam sekelompok kecil itu pun sudah siap membenahi diri, sehingga merekapun telah siap untuk melanjutkan perjalanan.

“Marilah” berkata Mahisa Agni, “mumpung hari masih pagi”

Sejenak kemudian, iring-iringan itu pun mulai bergerak. Kuda-kuda merekapun telah menjadi segar. Dengan demikian perjalanan mereka pun menjadi lebih cepat. Apalagi jalan yang mereka tempuh kemudian adalah jalan yang lebih baik. Meskipun mereka kadang-kadang harus menyusup hutan-hutan kecil, namun perjalanan tidak lagi terasa terlalu berat.

Namun mereka tidak dapat menempuh perjalanan sepanjang hari tanpa beristirahat untuk makan dan minum. Bagi orang-orang yang terbiasa hidup dalam pengembaraan dan berada di dalam lingkungan olah kanuragan, hal itu tidak akan banyak terasa mengganggu. Tetapi tentu tidak bagi Widati dan Ki Buyut. Karena itu, ketika matahari yang terik menyengat ujung pepohonan, maka iring-iringan itu pun mendekati sebuah pasar yang telah menjadi sepi. Tetapi masih ada satu dua buah kedai yang melayani para pembelinya.

“Kita singgah sebentar” berkata Mahisa Murti yang mengetahui keadaan Widati.

Sebenarnya Mahisa Agni dan Witanta ingin memperingatkan Mahisa Murti karena, jumlah mereka agaknya akan dapat menarik perhatian. Tetapi mengingat keadaan Widati, maka keduanya akhirnya mengambil satu sikap yang lain.

“Mahisa Murti” berkata Mahisa Agni, “kau, Mahisa Pukat dan Ki Buyut serta anaknya, singgahlah di kedai itu. Biarlah aku menunggu di tempat yang terpisah, agar tidak terlalu menarik perhatian. Nampaknya jumlah kita terlalu banyak untuk sekelompok pejalan biasa”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Kemudian katanya kepada Mahisa Pukat perlahan-lahan, “Bagaimana pendapatmu?”

“Aku mengerti pendapat paman Mahisa Agni” berkata Mahisa Pukat, “karena itu, agaknya kami persilahkan paman Mahisa Agni dan paman Witantra untuk singgah di kedai yang satu, sedang kita akan singgah dikedai yang lain.

“Baiklah” berkata Mahisa Murti yang kemudian mendekati Ki Buyut sambil berkata, “marilah. Kita akan dapat singgah di kedai itu sebentar”

Ki Buyut tidak menolak. Ia tahu bahwa anak gadisnya benar-benar telah haus dan lapar. Karena itu, maka mereka pun telah menggeser arah kudanya, berbelok menuju ke pasar yang telah sepi itu. Tetapi ketika mereka memasuki sebuah kedai dan Mahisa Agni serta Witantra memasuki kedai yang lain, maka Ki Bayutpun telah bertanya, “Kenapa kedua pamanmu itu tidak bersama-sama dengan kita disini?”

Mahisa Murtilah yang berbisik ditelinga Ki Buyut, “Tidak apa-apa. Sekedar untuk mengurangi perhatian orang. Supaya mereka tidak bertanya-tanya, seolah-olah kita sedang mengungsi dengan anak cucu”

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil mengangguk-angguk. Sejenak kemudian, mereka pun telah duduk di dalam kedai itu. Meskipun pasar itu sudah sepi, tetapi masih ada juga beberapa orang yang berada di kedai itu. Agaknya di sudut pasar beberapa orang pandai besi masih sibuk menyelesaikan pekerjaannya.

Mahisa Agni dan Witantra yang berada di kedai yang lain, di luar sadar telah memperhatikan pandai besi itu. Bahkan Witantra telah bertanya kepada pemilik kedai itu, “Apakah sudah terbiasa bahwa pandai besi itu bekerja sehari penuh?”

“Tidak Ki Sanak” jawab pemilik kedai itu, “biasanya mereka selesai sebelum tengah hari. Jika masih ada pekerjaan, mereka akan mengerjakannya esok”

“Tetapi mereka hari ini bekerja terlalu keras” sahut Mahisa Agni.

“Mereka menerima pesanan khusus” jawab pemilik kedai itu.

“Apa?” bertanya Witantra.

“Mereka menerima pesanan lebih dari lima puluh kapak” jawab pemilik kedai itu.

“Kapak demikian banyak?” bertanya Witantra, “apakah mungkin yang memesan itu seorang pedagang yang akan menjualnya lagi di tempat lain yang masih belum memiliki seorang pandai besi pun?”

“Entahlah” jawab pemilik kedai itu, “aku tidak tahu”

Mahisa Agni dan Witantra mengerutkan keningnya ketika tiba-tiba saja seorang bertubuh tinggi tegap menjulurkan kepalanya di pintu belakang kedai itu sambil berkata, “Ya. Kau, memang tidak tahu apa-apa”

Pemilik kedai itu berpaling Orang itu berpegangan kedua uger-uger pintu belakang kedainya, sementara kepalanya terjulur ke dalam. Wajahnya yang keras membayangkan sikapnya yang agaknya juga cukup keras seperti wajahnya itu. Rasa-rasanya debar jantung pemilik Kedai itu menjadi semakin cepat. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab. Bahkan ia pun kemudian menyibukkan dirinya dengan melayani minuman Mahisa Agni dan Witantra.

Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun tidak berkata sepatahpun. Bahkan ketika pemilik kedai itu membuat minuman yang tidak mereka pesan, mereka pun tidak menolaknya, karena mereka mengerti, bahwa pemilik kedai itu menjadi sangat gelisah.

Untuk beberapa saat kedai itu menjadi sepi. Baik pemilik kedai itu, maupun Mahisa Agni dan Witantra, sama sekali tidak mengatakan sesuatu. Mereka sibuk dengan kepentingan mereka masing-masing. Pemilik kedai itu membenahi barang-barangnya yang tidak sedang dipakai, sedang Mahisa Agni dan Witantra sibuk dengan minuman hangatnya, meskipun yang mereka pesan bukan air sere seperti yang dihidangkan. Namun air sere dengan gula kelapa itu pun rasa-rasanya cukup segar. Apalagi bagi mereka yang agak kurang tidur di malam sebelumnya.

Dalam kesepian itu, ternyata ada dua orang berkuda lagi yang berhenti di depan kedai itu. Dua orang penunggangnya pun kemudian turun dan setelah menambatkan kudanya, memasuki kedai itu pula. Berbeda dengan orang yang masih berdiri di pintu belakang, orang yang memasuki kedai itu nampaknya lebih tertib, meskipun keduanya agaknya orang-orang yang sombong.

“Beri aku minuman dan makanan yang paling baik” berkata salan seorang dari kedua orang itu.

Pemilik warung itupun kemudian menjadi sibuk. Seperti yang dibuatnya untuk Mahisa Agni dan Witantra, maka ia pun telah membuat minuman air sere dengan gula kelapa bagi kedua orang tamunya yang baru itu. Baru kemudian pemilik kedai itu telah menghidangkan setambir makanan bagi mereka.

Tetapi seorang dari kedua orang tamu itu mengerutkan keningnya. Diamatinya mangkuk air sere itu dengan kerut di dahi. “Minuman apa ini?” ia bertanya.

“Air sere” jawab pemilik kedai itu.

Orang itu mencicipi air sere itu setitik. Namun tiba-tiba saja ia melemparkan mangkuk itu sambil membentak, “Gila. Kau beri minum apa aku he?”

Pemilik kedai itu terkejut bukan buatan. Air yang masih hangat itu telah terpercik ke tubuhnya. Sambil bergeser surut ia pun menjawab, “Itu adalah jenis minuman yang paling baik disini Ki Sanak”

“Kau gila” geram orang itu, “beri aku minuman yang lebih baik”

“Apa yang Ki Sanak maksudkan?” bertanya pemilik kedai itu termangu-mangu.

“Tuak. Beri aku tuak sebumbung” geram orang itu.

Pemilik kedai itu menjadi tegang. Dengan wajah cemas ia menjawab, “Maaf Ki Sanak. Aku tidak mnyediakan tuak di sini. Yang ada hanyalah minuman-minuman panas. Air sere, air salam dan barangkali dawet legen jika dikehendaki. Aku dapat memesan di kedai sebelah”

“Cukup” bentak orang itu, “beri aku tuak. He, kau dengar”

Pemilik kedai itu menjadi bingung. Sekali lagi ia mencoba menjelaskan, “Aku tidak mempunyai tuak Ki Sanak”

“Aku tidak peduli. Apakah kau akan membeli, atau mencuri atau merampok. Aku perlu tuak kau dengar”

Pemilik kedai itu menjadi gemetar. Ia tidak pernah menjumpai pembeli yang tidak mau tahu, apakah ia mempunyai persediaan jenis makanan atau minuman yang dikehendaki.

Kesan Mahisa Agni dan Witantra terhadap itu pun segera berubah. Jika semula mereka hanya menganggap dua orang itu agak sombong, namun akhirnya mereka pun melihat kekasaran orang yang tidak mereka kenal itu.

Selagi pemilik kedai itu termangu-mangu, maka salah seorang dari keduanya membentak sambil menghentakkan tangannya pada paga bambu di hadapannya, “Cepat, sebelum aku robohkan kedaimu ini”

Demikian kerasnya orang itu menghentakkan tangannya, sehingga mangkuk Mahisa Agni dan Witantra pun telah bergoncang, sehingga minuman hangat di dalamnya telah memercik pula ke tubuh mereka. Tetapi baik Mahisa Agni maupun Witantra masih tetap berdiam diri tanpa berbuat sesuatu menyaksikan sikap itu.

Namun dalam pada itu, yang tiba-tiba saja menyahut adalah orang yang berwajah kasar yang berdiri di pintu belakang itulah yang menyahut, “Kau jangan gila Ki Sanak. Kau sudah dengar bahwa di kedai ini tidak ada tuak?”

Kedua orang itu tiba-tiba saja telah berpaling. Dengan kerut di dahi, seorang diantara mereka bertanya, “Siapa kau?”

Tiba-tiba saja jawab orang itu mengejutkan Mahisa Agni dan Witantra, “Aku saudara pemilik kedai ini. Aku tidak senang melihat kesombonganmu seperti itu”

“Persetan” teriak yang seorang. Tetapi yang lain justru tertawa sambil berkata, “Kau orang gila juga seperti saudaramu pemilik warung ini. Kau jangan ikut campur he?”

Orang yang berdiri di pintu belakang itu melangkah masuk. Wajahnya yang garang menjadi semakin garang. Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra masih tetap berdiam diri. Namun keduanya mengerti, kenapa orang yang berdiri di pintu belakang itu telah ikut campur. Agaknya ia telah merasa tersinggung, seolah-olah kedua orang yang baru datang itu adalah orang-orang yang paling menakutkan di muka bumi. Sehingga dengan demikian, didorong oleh harga dirinya yang menghentak maka orang itupun telah ikut campur.

“Ki Sanak” berkata orang berwajah garang itu, “aku minta kalian secepatnya meninggalkan kedai ini sebelum aku mengambil sikap”

“Apa yang akan kau lakukan” bertanya salah seorang dari kedua orang itu.

“Mengusir kalian dari tempat ini. Siapa kalian?” jawab orang berwajah kasar itu.

Sekali lagi orang-orang itu tertawa. Salah seorang berkata, “Kau belum mengenal aku. Karena itu, kau berani berkata seperti itu”

Orang berwajah garang itu menggeram. Katanya "Sudah aku katakan, siapapun kalian, kalian harus pargi dari tempat ini”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Yang seorang kemudian berkata, “Apa boleh buat sebenarnya kita tidak ingin berbuat apa-apa disini. Tetapi orang ini telah menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kesulitan”

“Kau kira apa yang kau lakukan itu tidak apa-apa? bentak orang berwajah kasar, “kau telah berbuat seolah-olah kau tidak dibatasi oleh paugeran apapun. Apa yang ingin kau lakukan dapat kau lakukan. Kau minta apa yang tidak ada. Tetapi apa yang tidak ada itu harus ada. Bukankah itu satu perbuatan gila. Dengan tidak langsung kau sudah menantang aku yang melihat tingkah lakumu”

Seorang di antara kedua orang itu mengangkat bahunya. Sedangkan yang lain berkata, “Kita tidak mempunyai pilihan lain. Orang ini harus disingkirkan. Ia bukan saja akan menghalangi kita dalam permainan kecil-kecilan ini. Tetapi dalam langkah-langkah yang besar pun ia akan selalu ikut campur, ia merasa dirinya terlalu besar. Mungkin tukang-tukang kedai memang mempunyai orang-orang kasar untuk menakut-nakuti pencuri-pencuri kecil. Tetapi langkahnya kali ini telah menjerumuskannya ke dalam kesulitan yang sebenarnya”

“Cukup” teriak orang berwajah kasar itu, “aku bukan orang upahan. Bukan pula apa-apa. Jika aku ingin mengusir kalian, karena kesombongan kalian telah menyinggung harga diriku”

Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak keduanya terdiam. Namun tiba-tiba yang seorang berkata, “Marilah Ki Sanak. Aku ingin memperlihatkan kepadamu, bahwa aku dapat merobek mulutmu”

Orang berwajah kasar itu menggeram. Tetapi ia membiarkan kedua orang itu melangkah keluar. Agaknya keduanya ingin berada di tempat terbuka, apapun yang akan terjadi.

Orang berwajah garang itu pun kemudian menyusulnya. Ketika kedua orang itu berhenti di halaman kedai itu. maka orang berwajah garang itupun telah bersiap. Kemarahan telah membakar jantung orang berwajah garang itu karena sikap kedua orang yang menurut penilaiannya sangat sombong dan tidak tahu diri itu.

“Kau tetap pada pendirianmu?” bertanya salah seorang dari kedua orang itu.

“Ya. Aku muak melihat orang-orang gila seperti kalian berdua. Sangat menjengkelkan. Kalian minta apa yang tidak ada” geram orang berwajah kasar itu.

Dalam pada itu, salah seorang dari kedua orang itu melangkah maju sambil berkata, “Bersiaplah”

“Jangan hanya seorang” geram orang berwajah kasar itu “majulah bersama-sama”

Tetapi orang yang menghadapinya itu membentak, “Ternyata kau lebih sombong dari kami berdua. Cepat, jangan banyak bicara lagi”

Orang berwajah kasar itu memang tidak menunggu. Justru ia telah meloncat dan menyerang lawannya dengan garangnya. Sejenak kemudian perkelahian diantara keduanya telah terjadi. Semakin lama semakin sengit.

Dalam pada itu. Mahisa Agni dan Witantra pun telah bergeser. Tetapi mereka masih tetap berada di dalam kedai itu bersama pemilik kedai yang ketakutan.

“Aku akan menutup kedai ini” suara pemilik kedai itu menjadi gemetar.

“Jangan ditutup” sahut Mahisa Agni, “mereka akan menjadi semakin marah. Kedua orang itu akan dapat membakar kedaimu”

“Tetapi siapa pun yang memang, aku akan menjadi sasaran. Apalagi jika kedua orang itu nanti memaksa untuk mendapatkan tuak. Darimana aku harus mengambilnya” suara pemilik warung itu gemetar.

“Mudah-mudahan mereka menginginkan yang lain. Tetapi mereka tidak akan membakar kedaimu” berkata Witantra pula.

Tetapi pemilik kedai itu justru menjadi semakin ketakutan. Jika ia membiarkan kedainya terbuka, maka mungkin sekali orang-orang itu, siapa pun yang menang, akan membuat kedainya menjadi rusak. Tetapi jika ia menutupnya, seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni dan Witantra, mungkin kedai itu akan dibakar. Dalam kebimbangan itu, maka ia menyaksikan perkelahian yang semakin seru. Sementara salah seorang dari kedua orang yang datang kemudian itu memperhatikan perkelahian itu dengan seksama.

Dalam pada itu, ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berada di kedai lainpun mendengar hiruk-pikuk cli halaman kedai sebelah. Suara itu ternyata telah mengejutkan mereka. Mereka menyangka bahwa telah terjadi sesuatu dengan Mahisa Agni dan Witantra. Sehingga karena itu, maka keduanya telah meloncat keluar dari dalam kedai.

Tetapi mereka pun kemudian menyaksikan, bahwa dua orang sedang berkelahi. Diantara mereka bukannya Mahisa Agni atau Witantra. Tetapi orang lain. Sejenak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Tetapi karena mereka tidak melihat Mahisa Agni dan Witantra. Maka mereka pun kemudian bergeser surut.

Sementara orang-orang itu berkelahi semakin sengit, maka orang-orang yang tersisa di pasar itu pun menjadi ribut. Pandai besi yang masih bekerja itup un dengan cepat mengemasi barang-barangnya dan memadamkan perapiannya.

Dalam pada itu, pemilik kedai sebelah telah berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Masuklah, agar kalian tidak disandang ikut campur dalam persoalan yang tidak kalian ketahui”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi termangu-mangu. Mereka ingin tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi merekapun nampaknya tidak ingin ikut campur dalam persoalan yang tidak mereka mengerti. Apalagi nampaknya Mahisa Agni dan Witantra pun tidak ikut campur pula.

Dalam pada itu, pemilik kedai itupun berkata, “Silahkan masuk Ki Sanak. Aku akan menutup saja kedai ini. Jika perkelahian itu berkembang, maka lebih baik, kita sudah tidak berada di tempat ini”

“Maksudmu?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku akan menutup kedaiku dan kemudian pulang saja” berkata pemilik kedai itu. Lalu, “Aku juga ingin mempersilahkan Ki Sanak untuk meninggalkan tempat ini”

“Apakah perkelahian itu akan dapat berkembang?” bertanya Mahisa Pukat.

Pemilik kedai itu bergumam, “Silahkan masuk. Aku akan menutup kedaiku. Kita akan pergi lewat pintu belakang saja”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Keduanya pun kemudian masuk ke dalam kedai. Sementara itu, Ki Buyut dan Widati nampak menjadi cemas. Agaknya telah terjadi satu perselisihan yang gawat di antara orang-orang yang tidak mereka kenal.

Namun demikian, agaknya Mahisa Pukat masih belum puas bahwa pertanyaannya belum terjawab. Karena itu, maka sekali lagi ia bertanya, “Apakah pertempuran ini masih akan berkembang?"

“Mungkin sekali. Nampaknya salah satu pihak tidak seorang diri” jawab pemilik kedai itu.

“Ya. Nampaknya mereka berdua. Tetapi agaknya mereka bersikap jantan, sehingga mereka berkelahi seorang melawan seorang” berkata Mahisa Pukat pula.

“Tetapi jika kawannya kalah, maka yang seorang itu tentu akan mengambil sikap lain. Mungkin ia akan membantu, sehingga yang seorang itu akan berkelahi melawan dua orang. Padahal yang seorang itu pun tidak sendiri di daerah ini” jawab pemilik kedai itu.

“Apakah ia mempunyai kawan?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya. Mereka sudah lama berkeliaran di daerah ini. Mereka sedang memesan kapak kepada pandai besi di sudut pasar itu. Kapak penebang pohon” jawab pemilik kedai itu pula.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun mereka pun kemudian harus berkemas, ketika mereka melihat pemilik kedai itu bersiap-siap untuk pergi. Tetapi keterangan pemilik kedai itu memang menarik perhatiannya. Orang yang sedang bertempur itu, ternyata mempunyai banyak kawan. Sedang mereka berada di tempat itu untuk memesan sejumlah kapak penebang pohon.

“Marilah Ki Sanak” berkata pemilik kedai itu, “kita keluar lewat pintu belakang”

Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Murti bertanya, “Kita akan pergi kemana? Jika kita keluar dari kedai ini, apakah kita tidak justru menarik perhatian. Kuda-kuda kami ada di depan kedai ini”

Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Mereka sedang berkelahi. Mereka tidak akan memperhatikan kita”

“Tetapi saat kami mengambil kuda-kuda kami,“ sahut Mahisa Pukat.

Pemilik kedai itu mengerutkan keningnya. Kemudian iapun bertanya, “Jadi apa yang akan kalian lakukan?”

“Kami akan bersembunyi di dalam kedai ini sampai segalanya berakhir” jawab Mahisa Pukat.

Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sekali lagi aku katakan, perkelahian itu akan dapat berkembang”

“Tetapi mereka tidak akan menghiraukan kami yang ada di dalam kedaimu ini” jawab Mahisa Pukat.

Orang itu merenung sejenak. Namun akhirnya iapun berkata, “Baiklah. Kita akan tetap berada disini. Nampaknya mereka tidak akan mengganggu orang-orang lain yang tidak mencampuri persoalan mereka”

“Terima kasih” berkata Mahisa Murti, “namun demikian, agaknya menarik juga untuk mengintip mereka dari celah-celah dinding agar kita dapat mengikuti perkembangan yang terjadi”

Pemilik kedai itu tidak melarang dan tidak berkeberatan ketika kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk mengintip perkelahian itu. Meskipun mereka tidak dapat melihat dalam keseluruhan, tetapi mereka dapat melihat sebagian dari apa yang terjadi, sehingga mereka mendapat kesan, perkembangan dari perkelahian itu.

Ternyata perkelahian itu semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya memiliki kemampuan yang cukup, sehingga dengan demikian maka keduanya telah menunjukkan kelebihan mereka. Bukan saja kekuatan wadag mereka, tetapi juga kecepatan gerak dan kemampuan mereka mempergunakan unsur-unsur gerak yang membahayakan lawan.

Mahisa Agni dan Witantra masih memperhatikan pertempuran itu dengan seksama. Tetapi mereka sama sekali tidak memberikan kesan, bahwa mereka dapat mengetahui apa yang sedang mereka saksikan, yang mereka lakukan adalah, seolah-olah mereka menjadi cemas melihat perkembangan yang terjadi.

Tetapi pemilik kedai itu benar-benar tidak berani menutup kedainya, karena seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni dan Witantra, bahwa dengan demikian, mungkin sekali kedai itu justru akan dibakar.

Dalam pada itu, salah seorang di antara mereka yang datang kemudian, yang tidak terlibat dalam perkelahian itu, menyaksikan perkelahian itu dengan jantung yang berdebaran.

Namun dalam pada itu, orang-orang yang berada di dalam kedai itu terkejut, ketika tiba-tiba saja pintu belakang telah terbuka. Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan berdiri sambil memperhatikan seisi kedai itu.

“He, kau sedang mengintip?” bertanya orang itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Sementara itu orang itu pun berkata, “Kau sebenarnya tidak perlu mengintip. Marilah, kita akan melihat apa yang terjadi”

Hampir di luar sadarnya, Mahisa Pukat lah yang menjawab, “Kami menjadi ketakutan”

Orang itu tertawa. Katanya, “Jika kalian memang ketakutan, memang sebaiknya kalian bersembunyi di dalam kedai ini. Biar aku sendiri yang mendekat. Agaknya perkelahian itu memang sangat menarik untuk dilihat. Kalian akan dapat melanjutkan mengintip perkelahian itu”

Tidak seorang pun yang menjawab. Ketika orang itu pergi maka pemilik kedai itu dengan tergesa-gesa telah menutup kembali pintu belakang kedainya.

“Kau kenal orang itu?” bertanya Mahisa Murti.

“Orang itu adalah kawan dari orang yang sedang berkelahi itu. Aku tidak kenal mereka. Tetapi aku pernah melihat mereka. Agaknya mereka akan berada di tempat ini sampai pesanan mereka selesai” jawab pemilik kedai itu.

“Kapak-kapak itu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Ya” jawab pemilik kedai itu pula.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak bertanya lagi. Mereka telah berusaha untuk mengintip lagi, apakah yang akan terjadi di antara orang-orang yang sedang berkelahi itu.

Dalam pada itu, maka orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu pun telah mendekati arena perkelahian yang menjadi semakin seru. Dengan nada datar ia pun kemudian berkata, “Marilah kita menonton bersama-sama”

Orang yang datang berkuda berdua dengan orang yang sedang berkelahi itu termangu-mangu. Ternyata ada orang lain yang datang tanpa ragu-ragu. “Siapa kau?” bertanya orang itu.

“Aku kawan orang yang sedang berkelahi itu” jawab orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan. Lalu, “Kenapa kawanmu itu berkelahi dengan kawanku? Aku mendengar dari anak-anak yang berlari-lari ketakutan”

“Kawanmu telah mencampuri urusan kami” jawab orang itu.

“Urusan apa?” bertanya orang tinggi itu.

“Tidak apa-apa. Apakah kau juga akan turut campur?” bertanya orang berkuda itu.

“Hanya jika perlu. Jika tidak perlu, aku akan menonton saja di sini. Nampaknya perkelahian itu sangat sengit. Keduanya memiliki ilmu dan kemampuan yang seimbang. Jika kau merasa ilmumu setingkat dengan kawanmu itu, maka jika kita berkelahi, akan menjadi sangat seru pula. Siapa yang membuat kesalahan, akan tidak diampuni lagi. Nyawanya akan menjadi taruhan” orang bertubuh tinggi itu terdiam sejenak. Lalu, “He, apakah kau berniat demikian?”

“Anak setan” geram orang berkuda itu, “aku akan menunggu sejenak. Tetapi pada saatnya aku akan memperhatikan kesombonganmu itu”

Orang bertubuh tinggi itu tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Dalam pada itu, perkelahian itu pun sebenarnya menjadi semakin sengit. Keduanya saling mendesak. Mereka telah bertempur dengan mempergunakan senjata masing-masing. Sekali-sekali terdengar senjata itu berdentang. Namun kemudian senjata-senjata itu berputaran bagaikan baling-baling. Bahkan kadang-kadang terdengar senjata-senjata itu bagaikan bersuit nyaring jika tebasan mendatar serta ayunan serangan yang sangat keras membelah udara.

Sementara kedua orang itu berkelahi, kawannya yang datang bersama-sama berkuda itu menjadi heran. Di tempat yang terpencil dan sepi itu ada juga orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, hampir di luar sadarnya ia bertanya kepada orang bertubuh tinggi yang berdiri beberapa Langkah dari padanya, “He, apakah kau juga orang padukuhan ini?”

Orang bertubuh tinggi itu menggeleng. Sambil memperhatikan pertempuran itu ia berkata, “Aku bukan orang padukuhan ini. Demikian pula kawanku itu”

“Oh” orang berkuda itu mengangguk-angguk, “kenapa kalian berada disini?”

“Itu urusan kami. Tetapi mungkin ada baiknya kau mengetahui bahwa aku sedang menunggu pesanan kami pada pandai besi di sudut pasar itu. Tetapi karena salahmu, ia sekarang menjadi ketakutan dan menghentikan kerjanya, padahal aku tergesa-gesa. Dalam beberapa hari ini, pesananku harus sudah selesai” jawab orang bertubuh tinggi itu.

“Kau pesan apa?” bertanya orang berkuda itu.

“Bukan pula urusanmu” jawab orang bertubuh tinggi. Tetapi ia berkata, “Kami memesan kapak penebang kayu”

Orang berkuda itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya “He, kau memesan kapak. Kapak penebang kayu?”

“Ya, kenapa?” bertanya orang bertubuh tinggi itu.

“Tunggu. Apakah kau kawan orang yang bernama Sambu?” bertanya orang berkuda itu.

“Ya. Sambu adalah kawanku yang berkelahi itu” jawab orang bertubuh tinggi itu.

Sejenak orang berkuda itu termangu-mangu. Dipandanginya orang yang berkelahi itu dengan seksama. Sementara itu, orang bertubuh tinggi itu berkata, “Kau mendendam orang yang bernama Sambu? Ingat, aku adalah kawannya. Kawan baiknya”

Orang yang datang berkuda itu berdiri mematung. Di antaranya orang yang berkelahi yang disebut bernama Sambu itu. Sementara perkelahian itu sendiri menjadi semakin sengit. Namun tiba-tiba saja orang itu berteriak, “Hentikan. Hentikan permainan itu”

“Kenapa?” orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu bertanya dengan heran.

“Hentikan. Aku akan mengatakan sesuatu” orang itu masih saja berteriak.

Ternyata bahwa suaranya telah didengar oleh orang-orang yang berkelahi itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja mereka telah berloncatan mundur dan menghentikan perkelahian.

“Jangan bodoh” berkata orang yang menghentikan perkelahian itu. Lalu ia pun bertanya kepada orang berwajah kasar yang telah menghentikan perkelahian itu, “Kaukah yang bernama Sambu?”

Orang berwajah kasar itu termangu-mangu. Namun iapun menjawab, “Ya. Aku yang disebut orang Sambu”

Tiba-tiba orang berkuda itu tertawa. Iapun kemudian melangkah mendekati kawannya yang masih terengah-engah. Katanya, “Untunglah bahwa senjatamu belum tergores di kulitnya”

“Senjataku yang akan membelah jantungnya” jawab orang yang disebut bernama Sambu itu.

“Perkelahian ini tidak ada gunanya. Bukankah kita datang ke tempat ini untuk mencari Sambu. Orang itulah yang bernama Sambu” berkata orang yang tidak terlibat ke dalam perkelahian itu.

Kawannya mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang yang baru saja menjadi lawannya itu. Katanya, “Apakah benar, orang itu bernama Sambu?”

“Tidak ada dua atau tiga. Akulah Sambu itu” jawab orang berwajah kasar itu.

“Baiklah. Menilik ciri-cirimu, agaknya memang benar, bahwa kau bernama Sambu. Tetapi justru karena kau mengaku kadang pemilik kedai itulah, maka aku sama sekali tidak mengira, bahwa kaulah yang disebut Sambu itu” berkata orang berkuda itu.

“Sikapmu terlalu sombong. Seolah-olah kau dapat berbuat apa saja. Aku bukan sanak bukan kadang pemilik kedai itu. Tetapi di hadapanku membuat telingaku panas. Kau kira tidak ada orang lain yang dapat mengimbangi kejantananmu yang gila itu” jawab orang yang disebut Sambu.

“Baiklah. Marilah kita hentikan kesalah-pahaman ini. Kami adalah orang-orang dari Padepokan Mayang. Kami adalah murid Ki Ajar Trumadipa yang bergelar Ki Ajar Kembang Mayang” jawab salah seorang dari kedua orang berkuda itu.

Orang yang disebut Sambu itu menggeram. Katanya, “Kau memang orang-orang gila. Orang-orang padepokan Mayang memang orang-orang gila.. Kenapa kalian berlaku begitu sombong kepada pemilik kedai yang tidak berarti apa-apa itu?”

Orang padepokan Mayang itu tertawa. Salah seorang diantara mereka berkata, “Setiap orang harus mengerti, bahwa orang-orang padepokan Mayang tidak dapat dicegah untuk melakukan apa saja”

“Tetapi tidak menyombongkan diri dihadapanku” berkata orang yang bernama Sambu itu.

“Kita telah bertemu dalam keadaan yang khusus. Tetapi itu baik sekali bagi kami. Dengan demikian kami benar-benar mengetahui, bahwa orang-orang yang telah berada di daerah ini memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan” berkata salah seorang dari padepokan Mayang itu. Namun kemudian tiba-tiba saja ia bertanya, “Siapakah kedua orang yang berada di dalam kedai itu?”

“Aku tidak tahu. Dua orang pejalan yang singgah dan memesan minuman dan makanan” jawab orang yang disebut Sambu itu.

“Di kedai yang lain ada juga dua orang anak muda bersama seorang tua dan seorang gadis” berkata orang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu.

“Apa yang mereka lakukan?” bertanya orang padepokan Mayang.

“Mengintip. Mereka menjadi ketakutan karena perkelahian itu. Tetapi mereka ingin melihatnya. Kuda-kuda di depan kedai itu tentu kuda-kuda mereka” berkata orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu.

“Kuda yang bagus” berkata salah seorang dari padepokan Mayang.

“Ya. Kuda-kuda yang berada di depan kedai yang lain itu tentu kuda-kuda kedua orang yang berada di dalam kedai itu pula. He, apakah mereka secara kebetulan berhenti di kedua kedai itu, atau mereka memang bersama-sama datang ke tempat ini” bertanya Sambu kepada kawannya yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu.

“Aku tidak melihat mereka datang. Ketika aku melihat ke dalam kedai sebelah dari pintu butulan, aku melihat dua orang anak muda yang ketakutan itu mengintip” jawab orang yang bertubuh tinggi.

“Mereka bukan urusan kita” berkata Sambu kemudian, “nah, agaknya kalian membawa persoalan dari padepokan Mayang”

“Ya. Ada yang ingin kami katakan kepadamu dan rencana-rencana yang akan kita lakukan” jawab salah seorang dari kedua murid padepokan Mayang itu.

“Marilah. Singgahlah di pondok kami” berkata Sambu kemudian.

Namun salah seorang dari kedua murid padepokan Mayang itu berkata, “Kuda itu sangat menarik. Aku memerlukannya”

Sambu mengerutkan keningnya. Katanya, “Kalian memang suka membuat persoalan. Aku sama sekali tidak memerlukan kuda itu. Aku sudah mempunyai kuda yang baik yang selalu mengawani aku kemanapun aku pergi”

“Tetapi kudaku terlalu kecil. He, apakah anak-anak itu masih ketakutan di dalam kedai itu?” bertanya orang padepokan Mayang itu.

Tetapi tingkah laku orang-orang padepokan Mayang itu agaknya kurang sesuai dengan sikap Sambu sehingga katanya, “Kau telah memancing keributan. Aku merasa tersinggung dengan sikapmu. Mungkin aku adalah orang yang kasar dan kurang dapat berpikir tenang. Tetapi aku tidak akan berbuat seperti yang kau lakukan di warung itu. Ketika aku mendengar orang-orang di kedai itu berbicara tentang kapak, aku berusaha untuk memaksa mereka beralih ke masalah yang lain. Namun tiba-tiba saja kau datang dengan sikap yang memang memancing keributan. Sekarang kau akan membuat persoalan lagi dengan kuda-kuda itu”

“Jangan hiraukan aku” jawab orang padepokan Mayang itu, “kuda yang baik akan membantu tugas-tugas kita. Sebentar lagi kita harus mulai. Sebagian dari percobaan yang kita lakukan telah menunjukkan hasil yang baik. Karena itu, maka kita harus melakukannya di pegunungan di sekitar Kota Raja”

“Tetapi tidak ada hubungannya dengan kuda-kuda itu. Dengan kudamu, kau cukup rancak melakukan tugasmu” berkata Sambu.

“Biarlah aku mempertanggung-jawabkannya" berkata orang padepokan Mayang itu.

Sambu tidak menghiraukannya lagi. Iapun kemudian berjalan bersama kawannya yang bertubuh tinggi kekurusan dan orang padepokan Mayang yang seorang lagi. Sementara yang lain, benar-benar telah mendekati kuda yang terikat di depan kedai yang tutup itu.

“Kuda yang bagus” desis orang itu, “aku memang memerlukannya”

Ia pun kemudian mengikat kudanya sendiri pada sebuah patok di depan kedai itu. Kemudian iapun mendekati kuda yang tegar berwarna coklat kehitaman diantara tiga ekor kuda yang lain.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahis Pukat di dalam kedai itu menggeram, “Gila. Itu kudaku”

Mahisa Murti pun menjadi tegang. Sementara pemilik kedai itu berdesis, “Biarlah. Apakah artinya seekor kuda. Jika kita mencegahnya, mungkin nyawa kitalah yang akan mereka ambil. Sementara kuda itu akhirnya akan dibawanya juga”

“Tetapi aku tidak mau kehilangan” berkata Mahisa Pukat.

“Jangan” cegah pemilik kedai itu.

Tetapi Mahisa Pukat ternyata bersikap lain. Ia pun telah membuka selarak pintu dan pintu kedai itupun tiba-tiba telah terbuka. Sambil berdiri dimuka pintu ia berkata kepada orang yang sudah mulai melepas tali kudanya, “Itu kudaku”

Orang padepokan Mayang itupun terkejut. Bahkan kawan-kawannya yang lain, yang telah mendahuluinya pun terkejut pula. Karena itu maka mereka pun telah tertegun dan berpaling. Orang padepokan Mayang yang sudah terlanjur melepas tali kuda Mahisa Pukat itupun menjawab lantang, “Aku tahu, ini kudamu. Aku sengaja mengambilnya. Aku memerlukannya”

Wajah Mahisa Pukat menjadi merah. Dengan lantang pula ia menjawab, “He, apakah kau sama sekali tidak menghormati hak milik seseorang?”

“Aku menghormatinya. Tetapi keinginanku memang tidak dapat dicegah. Aku ingin membawanya. Dan karena itu, maka aku akan membawanya. Kau dapat memakai kudaku yang tidak kalah tegarnya dari kudamu”

“Jika kudamu tidak kalah baik dari kudaku, apa artinya perbuatanmu itu? Hanya sekedar memancing persoalan?” jawab Mahisa Pukat.

Orang yang bertubuh tinggi kekurusan itu menjadi heran. Ternyata anak muda itu tidak sedang ketakutan seperti yang disangkanya. Bahkan anak muda itu menunjukkan sikap yang berani dan tegas.

Orang padepokan Mayang itupun mulai menjadi marah. Dengan nada kasar ia berkata, “Jangan mencoba untuk mempertahankan kudamu. Aku dapat berbuat apa saja. Aku tidak mau diganggu. Apalagi dicegah untuk melakukan sesuatu”

“Aku tidak akan mengganggumu dan tidak akan mencegahmu melakukan apa saja. Tetapi tidak merugikan orang lain. Apalagi yang kau rugikan itu adalah aku sendiri” jawab Mahisa Pukat tanpa ragu-ragu.

“Jika kau merasa dirugikan, kau mau apa?” orang padepokan Mayang itupun telah kehilangan kesabaran.

Tetapi Mahisa Pukat tidak menjadi takut. Ia pun melangkah kedepan mendekati orang padepokan Mayang itu sambil berkata, “Lepaskan kudaku, jika kau tidak ingin terjadi keributan. Tetapi jika kau memang menghendaki keributan, aku akan melayanimu”

Jawaban Mahisa Pukat itu benar-benar tidak terduga. Karena itu kemarahan orang padepokan Mayang itu tidak terkendali lagi. Setiap kali ia memang tidak mau ditantang oleh siapapun juga, sehingga karena itu, maka setiap kali ia telah mempergunakan kekerasan.

Karena itu, maka ia pun telah melepaskan kuda yang diinginkannya itu. Dengan langkah satu-satu ia pun mendekati Mahisa Pukat pula sambil berkata, “Anak muda. Kau belum mengenal aku. Kau akan menyesal, jika kau mengetahui siapa aku”

Sekali lagi jawaban Mahisa Pukat membuat telinga orang itu menjadi panas, “Kaupun belum mengenal aku. Jika kau sudah mengenal aku, maka kau tidak akan berani menyentuh kudaku”

“Siapa kau?” teriak orang padepokan Mayang itu.

“Siapapun aku, aku akan membuktikan bahwa kau harus berjongkok dan minta ampun kepadaku” jawab Mahisa Pukat yang merasa sangat tersinggung oleh tingkah laku orang itu.

Mahisa Murti yang kemudian juga keluar dari kedai itu menarik nafas panjang melihat sikap Mahisa Pukat. Tetapi ia pun mengerti, bahwa Mahisa Pukat benar-benar menjadi marah. Orang itu benar-benar telah menghinanya dengan mengambil kudanya dengan paksa.

Tetapi orang itu pun tidak kalah marahnya. Dengan nada tinggi ia berteriak, “Jangan menentang orang-orang dari padepokan Mayang. Kami akan membunuh jika kami ingin membunuh. Jika kau lebih sayang kepada kudamu daripada kepada nyawamu, marilah. Mendekatlah”

“O, jadi kau orang dari padepokan Mayang. Padepokan yang tidak ada artinya sama sekali. Adalah menggelikan sekali bahwa seseorang dari Padepokan Mayang akan berani menentang orang dari Padepokan Mahesa” teriak Mahisa Pukat tanpa berpikir panjang.

Mahisa Murti hanya dapat menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak mencegahnya. Dalam kemarahan yang memuncak, Mahisa Pukat tidak akan mendengarkan pendapat orang lain.

Dalam pada itu, orang dari Padepokan Mayang itu pun menjadi sangat marah, sehingga ia tidak lagi dapat mengendalikan dirinya. Dengan gigi gemeretak ia mendekati Mahisa Pukat sambil berkata lantang, “Kaulah yang harus berjongkok dan minta ampun”

Tetapi Mahisa Pukat yang marah itu tidak menunggu terlalu lama. Tiba-tiba saja ia sudah bergeser maju. Tangannya terjulur lurus mengarah ke dada lawannya yang terkejut melihat sikapnya. Tetapi Mahisa Pukat masih belum benar-benar ingin menyakiti lawannya. Karena itu, maka ia masih membiarkan lawannya beringsut mengelak. Namun kemudian, keduanya benar-benar telah bersiap untuk bertempur.

Sambu kawannya dan orang Padepokan Mayang yang seorang lagi itupun terpaksa berhenti juga menyaksikan perkelahian itu. Namun menilik pada benturan yang pertama, mereka segera mengetahui, bahwa anak muda yang disangkanya ketakutan itu ternyata memiliki ilmu yang cukup tinggi. Karena itu, maka perkelahian itu segera menarik perhatian. Dengan demikian maka ketiga orang itu pun kemudian telah memperhatikan pertempuran itu dengan seksama.

“Gila” geram Sambu, “kenapa kau tadi mengatakan bahwa anak itu mengintip perkelahian dengan ketakutan?”

“Kesan yang aku dapat memang demikian” jawab kawannya yang bertubuh tinggi kekurusan, “tetapi ternyata aku keliru. Atau mereka dengan sengaja membuat kesan yang demikian”

“Jika demikian, maka kawannya yang seorang, mungkin juga dua orang berkuda yang lain yang datang bersamanya, juga orang-orang yang harus diperhitungkan” berkata Sambu kemudian.

Kawannya tidak menyahut. Tetapi sekilas dipandanginya Mahisa Murti yang berdiri termangu-mangu. Namun karena ketiga orang kawan orang Mayang yang berkelahi itu semakin mendekat, maka Mahisa Murti pun telah beringsut mendekat pula. Namun langkahnya tertegun ketika ia mendengar Ki Buyut berkata, “Jangan tinggalkan kami berdua”

Mahisa Murti memandanginya sejenak. Ki Buyut berdiri termangu-mangu dibelakang pintu. “Tutuplah pintu itu” berkata Mahisa Murti, “aku harus mendekatinya."

Ki Buyut tidak mencegahnya lagi. Tetapi Widati yang ketakutan itu pun beringsut mendekati ayahnya.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat yang marah itu pun bertempur semakin lama semakin garang. Lawannya, orang Padepokan Mayang itu berusaha untuk dengan segera mengakhiri pertempuran. Tetapi ia terbentur pada satu kenyataan, bahwa lawannya yang masih muda itu ternyata tidak semudah yang disangkanya untuk dikalahkannya.

“Anak iblis” geram orang padepokan Mayang itu, “semakin gila tingkah lakumu, semakin dalam kau akan menyesal, karena jalan kematianmu akan menjadi semakin sulit”

Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi ia bergerak semakin cepat, sehingga demikian mulut lawannya terkatup, ia telah terdorong dua langkah surut, karena tangan Mahisa Pukat menyentuh dadanya. Sekali lagi orang itu mengumpat. Dengan tergesa-gesa ia memperbaiki keseimbangannya. Ketika Mahisa Pukat menyerengnya, maka lawannya telah meloncat jauh-jauh menghindar untuk mengambil jarak dari anak muda yang bergerak cepat itu.

Sejenak kemudian, ketika orang Padepokan Mayang itu berhasil memperbaiki keadaannya, maka pertempurannya telah menjadi semakin sengit, karena serangan Mahisa Pukat datang bagaikan banjir bandang. Sambil mengumpat orang padepokan Mayang itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi anak muda yang dianggap penakut itu, benar-benar memiliki ilmu yang tinggi, yang dapat menggetarkan pertahanannya.

Sebenarnyalah, semakin lama orang padepokan Mayang itu menjadi semakin terdesak. Satu hal yang sama sekali tidak disangkanya. Jika semula ia harus melihat kenyataan, hadirnya Sambu dan kawannya, ia pun harus malihat kenyataan yang lain pula. Anak-anak muda yang memiliki kemampuan jauh di atas yang diduganya.

Seorang kawannya yang berdiri termangu-mangu bersama Sambu dan orang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu menjadi cemas melihat keadaan kawannya. Ia pun melihat, bahwa kawannya itu semakin lama menjadi semakin terdesak oleh anak muda yang mampu bergerak seperti burung sikatan. Tetapi setiap kali ia berniat melibatkan diri, maka ia pun harus memperhitungkan anak muda yang seorang lagi. Anak muda yang nampaknya juga mempunyai kemampuan seperti anak muda yang sedang bertempur itu.

Dalam pada itu, Sambu pun telah menggeram, “Sudah aku katakan. Orang itu memang senang mencari perkara. Jika ia tidak menjadi sangat tamak dan berniat untuk mengambil kuda itu, tidak akan mengalami kesulitan”

Kawannya yang berdiri di dekat Sambu itu menyahut, “Sudah menjadi kebiasaan kami untuk melakukan apa yang kami inginkan. Karena itu, maka sudah menjadi kewajiban kami untuk menyelamatkan saudara seperguruanku. Kuda itu harus didapatkannya dan anak muda itu akan mati di tangannya”

“Kau harus memperhitungkan yang seorang itu” berkata Sambu.

“Kami akan memilih mati daripada niat kami tidak terpenuhi” jawab orang padepokan Mayang itu.

“Hanya karena seekor kuda?” bertanya Sambu, “bukankah kalian mempunyai tugas yang lebih penting dari merampas seekor kuda?”

“Soalnya bukan seekor kuda. Tetapi orang-orang Padepokan Mayang tidak dapat dicegah semua kemauannya” jawab orang padepokan Mayang itu.

Sambu dan kawannya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat Sambu berkata, “Kalian memang orang-orang sombong yang tidak tahu diri. Kau minta pemilik kedai itu mengadakan apa yang tidak ada, dan tidak mungkin diadakannya. Sekarang kalian memaksa diri untuk mendapatkan seekor kuda dengan mengorbankan tugas-tugas kalian yang lebih besar dan lebih berarti. Aku tidak mengerti cara kalian berpikir”

“Karena kalian tidak mempunyai harga diri yang pantas” jawab orang padepokan Mayang itu.

“Coba katakan. Apakah dengan merampok seekor kuda itu kalian mempunyai harga diri?” bertanya Sambu.

Orang padepokan Mayang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, “Semua kehendak kami harus terjadi”

“Aku tidak turut campur dengan persoalanmu. Aku bukan ukuran perampok kuda yang tidak berarti”

Orang padepokan Mayang itu memandang Sambu dan kawannya dengan wajah yang tegang. Katanya, “Jadi kau tidak berpihak kepada kami? Bukankah aku datang ke tempat ini untuk mencarimu. Bukankah dengan demikian ada hubungan di antara kita?”

“Ya. Kita mempunyai hubungan dalam tugas besar kita. Bukan sebagai perampok kuda. Kita berbicara tentang kapak penebang kayu dan persiapan untuk satu kerja besar itu” jawab Sambu, “aku akan berpihak kepadamu dalam persoalan yang penting itu. Tetapi tidak dalam persoalan-persoalan yang tidak berarti seperti yang kalian lakukan itu”

Orang padepokan Mayang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia menggeram, “Persetan dengan pengecut seperti kalian. Aku akan berbuat sebaik-baiknya sebagaimana anak padepokan Mayang. Aku tidak mau harga diriku dinodai dengan penolakan atas kehendak kawanku untuk memiliki kuda itu”

“Sungguh-sungguh pikiran gila” geram Sambu. Tetapi ia tidak meninggalkan tempat itu. Bahkan ia masih menyaksikan pertempuran itu dengan seksama.

Sementara itu, maka orang padepokan Mayang yang tidak sedang bertempur itu pun mendekat. Wajahnya benar-benar menjadi tegang. Ia tidak mengingkari kenyataan, bahwa kawannya benar-benar telah terdesak.

Meskipun demikian, tidak ada niatnya untuk mengurungkan maksudnya memiliki kuda Mahisa Pukat. Orang itu masih berharap, bahwa anak muda yang berdiri di luar arena itu, tidak memiliki kemampuan seperti anak muda yang sedang bertempur itu. Bahkan orang itu menganggap bahwa dirinya memiliki kelebihan dari kawannya yang berkelahi melawan Mahisa Pukat itu.

Karena itu, maka ia telah bertekad untuk membantu kawannya apabila kawannya itu benar-benar terdesak, dengan perhitungan, bahwa anak muda yang seorang lagi akan ikut serta bertempur pula.

Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra pun termangu-mangu melihat persoalan yang telah berkisar itu. Semula pemilik kedai itu telah dapat menarik nafas lega ketika orang-orang yang berselisih itu mengakhiri perkelahian dan bahkan mereka pun telah beranjak pergi. Tetapi persoalannya justru berkembang lagi. Yang kemudian terlihat ke dalam perselisihan itu, adalah orang-orang yang sedang berada di kedai sebelah.

“Seharusnya anak-anak muda itu tidak melayaninya” berkata pemilik kedai itu.

“Orang itu akan mengambil kudanya” jawab Mahisa Agni.

“Ia tidak akan mengambilnya. Tetapi akan menukarnya. Bukankah dengan demikian akan lebih baik dari pada anak muda itu harus bertempur melawan orang-orang berilmu tinggi” berkata pemilik kedai itu. Lalu, “Dengan perkelahian itu, maka ia akan dapat bukan saja kehilangan kudanya. Tetapi juga nyawanya. Nampaknya kedua orang berkuda itu adalah orang-orang yang keras pada sikapnya disediakan tuak tanpa mengerti sama sekali, bahwa aku tidak akan dapat mengusahakannya dengan apapun juga”

Mahisa Agni dan Witantra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka tidak dapat menjawab bahwa sudah sewajarnya jika anak muda itu mempertahankan kuda mereka.

Dalam pada itu, perkelahian antara Mahisa Pukat dan salah seorang dari padepokan Mayang itu menjadi semakin seru. Tetapi juga menjadi semakin jelas, bahwa Mahisa Pukat akan dapat menguasai keadaan. Karena itu, maka kawannya yang seorangpun bergeser semakin dekat, la tidak dapat melihat kawannya dikalahkan dan kuda itu tidak akan dapat dimilikinya. Tetapi ia pun sadar, bahwa ia harus memperhitungkan anak muda yang juga bergeser semakin dekat itu.

“Anak setan” geram orang padepokan Mayang itu, “kawanmu telah menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kesulitan yang tidak akan dapat diatasinya”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun ia pun menjawabnya, “Kau benar-benar tidak tahu, atau sekedar pura-pura tidak tahu untuk membesarkan hatimu sendiri. Kawanmu menjadi semakin terdesak. Sebentar lagi, kawanmu itu akan kehabisan tenaga dan ia akan terkapar dengan lemahnya”

“Aku bunuh kawanmu” geram orang padepokan itu.

“Jika kau memasuki arena, kau pun akan mengalami nasib seperti kawanmu. Kehabisan nafas dan tenaga” jawab Mahisa Murti, “he, apakah kau tidak melihat, bahwa saudaraku itu tidak melakukan serangan-serangan yang dapat benar-benar membahayakan jiwa kawanmu itu. Meskipun saudaraku benar-benar marah karena terhina oleh tingkah kawanmu, tetapi pada dasarnya ia memang bukan pembunuh”

“Omong kosong. Kawankulah yang akan membunuhnya”

Mahisa Murti memandang orang itu sekilas. Kemudian kepada kedua orang yang lain, yang seorang di antaranya justru telah berkelahi melawan salah seorang dari kedua orang berkuda itu. Namun yang ternyata mereka adalah orang-orang yang harus saling berhubungan dalam tugas-tugas yang sangat menarik perhatian.

Tetapi agaknya kedua orang itu sama sekali tidak tertarik untuk ikut campur. Keduanya mengamati perkelahian itu dengan tegang. Tetapi keduanya tidak bergeser dari tempatnya ketika orang berkuda itu menjadi kecemasan.

Dalam pada itu, maka lawan Mahisa Pukat itu benar-benar tidak mempunyai banyak kesempatan lagi. Tenaganya menjadi semakin lemah dan nafasnyapun menjadi semakin tersengal-sengal di lubang hidungnya. Dengan demikian, kawannya dari padepokan Mayang itu menjadi gelisah. Ia dihadapkan pada satu kenyataan tentang kekalahan kawannya. Tetapi iapun tidak dapat mengingkari bahwa anak muda yang seorang itu akan ikut menentukan pula. jika ia turun ke arena.

Sekali-sekali orang padepokan Mayang itu berpaling kearah Sambu dan kawannya yang bertubuh tinggi kekurusan. Tetapi kedua orang itu tidak menghiraukannya. Agaknya mereka benar-benar berpegang kepada satu keputusan untuk tidak ikut campur dalam persoalan yang disebutnya perampokan seekor kuda.

“Persetan” geram orang padepokan Mayang itu di dalam hati, “aku tidak peduli apa yang terjadi. Aku tidak peduli apakah kedua orang gila itu akan membantuku. Aku harus menyelamatkan nama padepokan Mayang”

Karena itulah, maka tiba-tiba saja ia melangkah mendekati kawannya yang sudah benar-benar terdesak sambil berkata, “Kita bunuh anak itu. Kehendak orang-orang padepokan Mayang tidak boleh ditentang oleh siapapun juga”

Namun dalam pada itu. terdengar Sambu berteriak, “Jangan gila. Biarkan kawanmu itu berkelahi seorang lawan seorang. Kau bicara tentang harga diri. Tetapi berkelahi berpasangan menghadapi seorang lawan, agaknya perlu dipertimbangkan”

Mahisa Murti berpaling ke arah Sambu dan kawannya. Tetapi ia sadar, bahwa keberatan kedua orang berwajah kasar itu tentu tidak pada sifat kejantanan dan harga diri. Tetapi kedua orang itu mempunyai nalar yang lebih baik untuk memperhitungkan keadaan. Karena ternyata kedua orang itu pun sedang mengawasinya.

“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “kau dengar peringatan kawanmu itu? Mereka mengerti bahwa sebaiknya kau tidak usah bertempur berpasangan. Akibatnya hanya akan menambah kesulitan saja”

“Persetan” geram orang itu.

Sebenarnyalah ia memang tdiak mau berpikir lagi ia lebih memanjakan perasaannya. Bahkan agar ia tidak mengurungkan niatnya, maka dengan tergesa-gesa ia telah meloncat menyerang Mahisa Pukat.

Mahisa Murti tidak membiarkan Mahisa Pukat bertempur seorang diri melawan kedua orang lawannya. Meskipun Mahisa Pukat akan memenangkan perkelahian melawan seorang diantaranya, namun melawan dua orang bersama-sama, masih harus dipertimbangkan, apakah ia akan mampu melakukannya.

Namun ketika Mahisa Murti mendekat, terdengar Mahisa Pukat berkata, “Tunggu. Aku akan membuktikan bahwa kegilaan mereka berdua tidak ada gunanya. Karena itu, amati saja aku di luar arena sehingga kau dapat memberi kesempatan kepadaku untuk membuktikannya”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat benar-benar ingin melakukan seperti apa yang dikatakannya. Karena itu, maka tata geraknya pun tiba-tiba menjadi semakin cepat. Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti, betapapun kemarahan Mahisa Pukat menghentak jantungnya, tetapi ia masih sempat menahan diri untuk tidak melakukan satu perbuatan yang akan dapat menumbuhkan persoalan yang berkepanjangan.

Namun menghadapi dua orang yang bertempur berpasangan, Mahisa Pukat harus berbuat lain. Meskipun ia tidak berniat untuk mambunuh, namun jika hal yang demikian terjadi, adalah di luar kemampuannya untuk mencegahnya. Karena itu, tata geraknya pun kemudian telah mengejutkan lawannya. Lawannya yang pertama, yang telah kehilangan sebagian besar tenaganya, benar-benar tidak mampu lagi mengimbangi kecepatan gerak Mahisa Pukat.

Dalam keadaan yang tidak terduga, justru pada saat kehadiran kawannya, serangan Mahisa Pukat datang dengan serta merta. Kakinya terjulur lurus tepat mengenai dada, sehingga orang itu telah terdorong surut beberapa langkah. Bahkan tubuhnya kemudian tidak lagi dapat dikuasainya, sehigga orang itu telah terjatuh, meskipun dengan serta merta ia masih mampu untuk bangkit.

Mahisa Pukat tidak dapat memburunya. Karena lawannya yang baru telah menyerangnya pula. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah berloncatan dengan cepatnya menghadapi kedua lawannya. Tetapi seorang di antaranya benar-benar hampir tidak berdaya. Sehingga dengan demikian, maka Mahisa Pukat tidak hanya mengalami kesulitan dalam perkelahian itu. Namun demikian, karena ia mendapat lawan yang masih segar, maka ia pun harus berbuat sebaik-baiknya, agar ia dapat mengimbangi lawannya.

Dalam pada itu, Sambu berdiri termangu-mangu. Sekali-sekali terdengar ia mengumpat, “Orang gila itu telah membuat persoalan menjadi bertambah rumit”

“Apakah kita benar-benar akan diam saja?” bertanya orang yang bertubuh tinggi kekurusan.

Sambu tidak segera menjawab. Diperhatikannya pertempuran itu dengan seksama. Ia pun kemudian melihat, bahwa Mahisa Pukat yang muda itu berhasil mendesak kedua lawannya, orang-orang dari padepokan Mayang.

“Salah mereka sendiri” tiba-tiba saja Sambu bergumam.

“Tetapi jika keduanya kalah, apakah tidak akan berakibat buruk pula bagi kita” jawab orang yang tinggi kekurusan.

“Kenapa?” bertanya Sambu.

“Kedua orang itu dapat menganggap kita tidak bersahabat. Dengan demikian, maka hubungan kita untuk selanjutnya dengan orang-orang padepokan Mayang akan menjadi buruk. Padahal kita akan saling memerlukan dalam kerja yang besar itu bagi kepentingan Kediri” jawab orang yang bertubuh kurus.

“Aku sudah memperingatkan” jawab Sambu, “tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukan. Aku dapat melaporkan kepada para pemimpin di padepokan Mayang, bahwa kedua orang itu memang mempunyai tingkah yang tidak menguntungkan. Mereka selalu memancing persoalan. Bahkan aku sendiri sudah terpancing untuk melawan mereka, karena sikapnya yang sewenang-wenang. Mungkin kita juga pernah melakukannya. Tetapi tentu tidak akan sekarang keduanya, meskipun menilik ujud lahiriah, kita adalah orang-orang yang jauh lebih kasar dari orang-orang padepokan Mayang itu”

Tetapi kawannya itu masih berkata, “Mungkin para pemimpin padepokan Mayang itu mempercayai laporan kita. Tetapi mungkin mereka lebih percaya kepada orang-orangnya sendiri, sehingga sikap kita akan mereka gawat. Apalagi jika salah seorang dari mereka, atau bahkan kedua-duanya, terbunuh di sini”

Sambu menarik nafas dalam-dalam. Diamatinya perkelahian itu dengan seksama.

“Kita dapat bertempur melawan anak muda yang seorang” berkata kawan Sambu itu.

“Anak muda itu tentu memiliki kemampuan seperti anak muda yang sedang berkelahi itu. Anak muda yang berkelahi itu dapat melawan kedua orang padepokan Mayang itu” jawab Sambu.

“Ada bedanya,” jawab kawannya, “kita bertempur bersama. Kitapun mulai bersama. Tidak demikian dengan kedua orang padepokan Mayang itu. Seorang diantara mereka sudah terlalu lemah, sehingga seakan-akan anak muda itu bertempur melawan dua orang secara bergantian.”

Sambu mengerutkan kening. Sekali-kali dipandanginya Mahisa Murti yang memperhatikan perkelahian itu dengan seksama. Akan tetapi iapun merasa yakin, bahwa Mahisa Pukat akan menyelesaikan perkelahian itu dengan baik.

Tetapi tiba-tiba Mahisa Murti mengerutkan keningnya, ketika ia melihat salah seorang dari kedua lawan Mahisa Pukat itu berusaha untuk memulihkan tenaganya dengan mengatur pernafasannya sebaik-baiknya, sambil duduk di pinggiran arena, sementara yang seorang telah berusaha untuk mengikat Mahisa Pukat dalam suatu perkelahian, sehingga Mahisa Pukat tidak akan sempat mengganggu orang yang sedang memusatkan nalar budinya dan mengatur pernafasannya untuk mendapatkan kesegaran kembali.

Tapi Mahisa Murtipun kemudian tersenyum menyaksikan kebodohan itu. Karena dengan demikian yang lain pada saatnya akan merasa segar, namun kawannya yang bertempur terus itu akan menjadi kelelahan.

Dalam pada itu, Sambu masih menunggu. Agaknya ia masih saja ragu-ragu. Apakah sebaiknya ia melibatkan diri atau tidak. Namun dalam pada itu, sejenak kemudian, orang yang duduk mengatur pernafasannya itu telah bangkit, dan berdiri. Dengan langkah yang segar ia memasuki arena.

Tetapi sementara itu, kawannya yang memancing perkelahian dengan Mahisa Pukat itulah yang kelelahan. Ketika kawannya yang seolah-olah telah mendapatkan kekuatannya kembali itu memasuki arena, seolah-olah tenaganya telah terkuras habis pula.

Dengan demikian, maka Mahisa Pukat seakan-akan hanya melawan seorang pula dari keduanya. Meskipun yang seorang itu seakan-akan telah bertempur dengan tenaga yang utuh, tetapi kawannya hampir tidak mampu lagi untuk berloncatan.

Ketika terjadi lagi seperti terdahulu, Mahisa Murti harus berpikir cepat. Orang yang sudah kelelahan itulah yang kemudian duduk di luar arena perkelahian, sementara yang lainnya bertempur melawan Mahisa Pukat untuk mengikatnya, sehingga ia tidak dapat mengganggu yang sedang beristirahat, memusatkan nalar budinya dan mengatur pernafasannya untuk kesegaran tubuhnya.

“Gila” geram Mahisa Murti kemudian, dengan demikian maka setiap kali lawan Mahisa Pukat akan mendapat kesegaran baru di dalam tubuh mereka. Meskipun mereka tidak akan sempat bertempur berpasangan, namun pada suatu saat Mahisa Pukatlah yang akan kehabisan tenaga, sementara lawannya masih akan tetap segar meskipun bergantian. Karena itulah, maka Mahisa Murtipun akhirnya memutuskan untuk tidak tinggal diam, meskipun tidak dikehendaki oleh Mahisa Pukat.

Pada kesempatan itulah, maka sekali lagi kawan Sambu berkata, “Lihat, anak itu akan tampil pula ke arena”, ketika ia menyadari kelemahan yang akan terjadi pada kannya yang bertempur melawan kedua orang padepokan Mayang yang licik itu.

Sambu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun sadar, jika anak muda yang seorang itu ikut campur, maka kedua orang padepokan Mayang itu tidak akan dapat memenangkan pertempuran itu. Satu-satu mereka akan dilumpuhkan, apabila anak muda yang kanan melibatkan diri itu mempunyai kemampuan seperti anak muda yang sedang bertempur itu. Tetapi untuk beberapa saat, ia masih tetap berdiri di tempatnya.

Dalam pada itu maka Mahisa Murti telah berdiri di pinggir arena. Ia akan langsung berbuat sesuatu atas orang padepokan Mayang yang sedang mengatur pernafasannya untuk memulihkan setidak-tidaknya sebagian dari tenaganya, sehingga ia akan dapat melawan Mahisa Pukat dan memberi kesempatan kawannya yang lain untuk beristirahat.

Sementara itu tenaga Mahisa Pukat memang sudah terasa mulai surut. Meskipun ia belum menyadari arti dari usaha lawannya itu. Namun terasa nafasnya mulai berdebaran di lubang hidungnya, sementara tata geraknyapun menjadi lamban.

“Jangan ganggu aku” berkata Mahisa Pukat ketika ia melihat Mahisa Murti mendekat.

“Kau sudah terpancing oleh arus perasaanmu” berkata mahisa Murti, “kedua orang itu tidak akan dapat memenangkan perkelahian ini dalam keadaan wajar. Tetapi mereka mempunyai cara untuk membuatmu lelah dan kemudian dengan tidak sadar tenagamu akan terkuras habis."

Mahisa Pukat tidak menjawab. Akan tetapi ia mulai berpikir dan menilai lawan-lawannya. Sambil berloncatan mundur Mahisa Pukat berkata, ”Kau benar, aku merasa menjadi letih.”

“Karena itu, biarkan aku mencekik orang yang sedang duduk mengatur pernafasan ini,” berkata Mahisa Murti sambil mendekati orang yang sedang mengatur pernafasannya. Namun kemudian ia berkata, “Selesaikan lawanmu, aku akan menunggu orang ini selesai dengan pemulihan tenaganya.”

Mahisa Pukat tidak menjawab. Dibiarkannya Mahisa Murti berdiri beberapa langkah dari orang yang sedang mengatur pernafasannya itu.

Namun dalam pada itu, Sambu dan kawannya menjadi semakin gelisah. Ia tidak dapat membiarkan bencana itu terjadi atas orang-orang padepokan Mayang, meskipun hal itu terjadi karena pokal mereka sendiri. Bagaimanapun juga, kedua orang itu adalah orang-orang yang mendapat tugas untuk menghubungi mereka.

Dalam pada itu, dalam keadaan yang gawat, ketika orang yang sedang memulihkan tenaganya itu mulai bergerak, maka Sambupun tiba-tiba berkata, “Jangan ganggu orang itu, anak muda.”

Mahisa Murti memandangi kedua orang itu sejenak. Kemudian katanya, “Kenapa? Orang ini akan berkelahi berpasangan melawan saudaraku. Itu tidak adil. Biarlah kami berkelahi seorang lawan seorang. Saudaraku melawan lawannya yang sudah kelelahan itu. Aku akan melawan orang yang baru saja memulihkan tenaganya ini.”

“Jangan, lebih baik kau biarkan saudaramu bertempur secara jantan,” jawab orang yang bertubuh tinggi kekurusan.

“He, apa artinya kejantanan menurut kau Ki Sanak?” Bertanya Mahisa Murti. “Apakah maksudmu saudaraku harus bertempur melawan dua orang? Lalu bagaimana dengan kedua orang kawanmu itu? Apakah mereka kau sebut jantan?”

Sambu menggeretakkan giginya. Lalu katanya, “Baiklah aku akan mengatakan dengan bahasa yang lebih sederhana. Jangan kau campuri mereka. Jika kau memasuki arena, kami berduapun akan ikut campur pula. Kami berdua akan bertempur melawan kau, sementara kedua kawanku itu akan menyelesaikan kawanmu yang berusaha mempertahankan kudanya itu.”

Wajah Mahisa Murti menjadi merah mendengar kata-kata itu. Namun ia memang tidak dapat untuk berdiam diri saja tanpa berbuat sesuatu. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Aku sudah menduga, bahwa kalian memang tidak dapat untuk berdiam diri saja tanpa dapat memberikan arti yang wajar kepada sifat kejantanan seperti yang kau katakan. Tetapi baiklah. Apa boleh buat. Aku benar-benar akan bertempur.”

Sambu dan kawannya yang bertubuh tinggi itupun melangkah mendekat, sementara orang yang sedang memulihkan kekuatannya itu telah berdiri tegak pula.

“Kita memang akan bertempur,” geram mahisa Murti kemudian.

Sambu dan kawannya itu telah menjadi semakin dekat. Bahkan kedua telah bersiap-siap untuk menyerang Mahisa Murti yang bergeser selangkah.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja mereka mendengar suara di belakang mereka. “Itu tidak adil.”

Sambu dan kawannya berpaling. Mereka melihat dua orang yang berada di kedai sebelah berdiri termangu-mangu. “Apakah kau juga akan ikut bertempur?” Bertanya Sambu.

“Apa boleh buat. Jika kau mencampuri pula persoalan ini,” jawab Mahisa Agni.

“Ingat Ki Sanak,” berkata Sambu, kau sedang berhadapan dengan seorang yang terbiasa membunuh. Jangan bermain api, agar tanganmu tidak terbakar karenanya.”

“Aku sungguh-sungguh tidak dapat membiarkan ketidak adilan ini terjadi, apapun yang akan aku alami,” jawab Witantra.

“Persetan,” geram Sambu. “Seandainya kalian memiliki ilmu seperti anak-anak muda ini, namun kawanku banyak tersebar di sini. Aku dapat memberikan isyarat agar mereka datang kemari. Dengan demikian, maka kalian akan dicincang di sini dan nama kalian sama sekali tidak akan dikenal lagi oleh siapapun juga.”

“Itu bukan persoalanku,” jawab Witantra. “Yang paling penting aku harus bertindak untuk menentang ketidak adilan ini.”

Sambu menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga ia dapat melihat kedalaman wajah kedua orang itu, sehingga Sambupun mengetahui bahwa kedua orang itu memiliki kematangan yang lebih mapan dari kedua anak-anak muda itu.

Karena itu, maka iapun kemudian menggamit kawannya yang bertubuh tinggi kekurusan itu sambil berdesis, “Apa yang akan kita lakukan?”

“Memberikan isyarat kepada kawan-kawan kita,” jawab orang bertubuh tinggi kekurusan itu.

Sambu masih ragu-ragu. Bahkan kemudian ia memikirkan persoalan yang lebih besar dari sekedar persoalan seekor kuda. Maka iapun berkata, “Jika terjadi benturan di sini, maka persoalannya mungkin akan berkembang lebih luas. Mungkin mereka bukan orang-orang yang tidak memiliki kekuatan di belakang mereka. Apakah dengan demikian, yang sudah kita persiapkan untuk waktu yang lama itu akan terhambat hanya karena seekor kuda?”

Kawannya yang bertubuh kurus itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Jadi apakah kita akan membiarkan kawan-kawan kita itu mengalami cedera?”

“Mereka bukan pembunuh,” desis Sambu. “Apa bila kita biarkan mereka berkelahi maka mereka tidak akan menyelesaikan perkelahian itu dengan pembunuhan. Apalagi jika kita biarkan anak muda yang seorang lagi memasuki arena, maka kemungkinan terjadi pembunuhan akan lebih kecil lagi.”

Orang yang bertubuh tinggi kurus itu menghela nafas dalam-dalam. Katanya, “Terserah kepadamu.”

Karena itu maka Sambulah yang kemudian mengambil keputusan. Ia takkan mencampuri perkelahian itu. “Baiklah Ki Sanak,” berkata Sambu kemudian, “aku sependapat. Perkelahian itu harus adil. Karena itu aku tidak akan mencampuri persoalan mereka.”

Witantra menghela nafas dalam-dalam. Sementara itu mereka melihat orang yang telah berusaha memulihkan kekuatannya itupun tanpa menghiraukan orang-orang yang ada di sekitarnya telah memasuki medan dan melawan Mahisa Pukat. Sementara yang lainnya bergeser untuk beristirahat dan mengatur pernapasan untuk memulihkan kekuatannya.

Namun dalam pada itu, sebenarnyalah kekuatan Mahisa Pukat telah mulai susut. Karena itu ketika lawannya yang telah mendapatkan kembali sebagian besar dari kekuatannya itu turun ke arena, maka Mahisa Pukat mulai mengalami kesulitan untuk mengimbanginya.

Mahisa Murti yang melihat Mahisa Agni dan Witantra sudah hadir pula di arena, segera mengambil keputusan. Ia sadar, bahwa keduanya tentu tidak akan tinggal diam dalam keadaan yang paling gawat. Karena itu tanpa berpikir lebih panjang lagi, Mahisa Murti mendekati arena perkelahian itu sambil berkata, “Beristirahatlah seperti lawanmu itu. Aku akan menggantikanmu melawan orang ini.”

Mahisa Pukat memang tidak dapat ingkar lagi. Nafasnya menjadi semakin memburu oleh keletihan setelah ia harus bertempur melawan dua orang yang dengan licik berganti-ganti beristirahat dan memulihkan kekuatan mereka dengan mengatur nafas sebaik-baiknya. Karena itu, maka kehadiran Mahisa Murti tidak lagi dicegahnya. Namun demikian Mahisa Murti turun ke arena, maka sebenarnyalah bahwa mereka sudah dapat menduga akhir dari pertempuran itu.

Ternyata Sambu dan kawannya yang kekurus-kurusan itu benar-benar tidak berbuat apa-apa. Mereka sempat memikirkan tugas yang sebelumnya dibebankan kepada mereka.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Murtipun telah berhasil menguasai lawannya. Sambil mengumpat-umpat orang padepokan Mayang itu berusaha bertahan. Tetapi kemampuan Mahisa Murti memang melampaui kemampuannya, sebagaimana Mahisa Pukat.

Dalam pada itu. Mahisa Pukat sempat beristirahat sebagaimana dilakukan oleh lawannya yang seorang. Demikian orang padepokan Mayang itu siap tampil lagi di medan, maka Mahisa Pukat telah siap pula melawannya.

Sementara itu Mahisa Agni dan Witantra dengan sangat hati-hati mendekati Sambu dan kawannya. Dengan nada datar Mahisa Agni berkata “Kau telah berbuat dengan bijaksana. Ternyata bahwa kami salah menilai kalian. Aku kira kalian adalah orang-orang yang lebih kasar dari orang-orang yang bertempur itu. Ternyata bahwa kalian mempunyai penalaran yang lebih mapan.”

“Kau tidak usah memuji,” jawab Sambu, “aku hanya ingin mempersempit persoalan.”

“Itu adalah sikap yang bijaksana” desis Witantra.

Sambu justru menggeram. Rasa-rasanya ia ingin meloncat menerkam orang-orang itu. Tetapi ia masih berusaha untuk menahan diri, agar ia tidak harus menghadapi persoalan yang justru akan mengganggu tugas pokoknya. Sementara persoalan baru itu sama sekali tidak berarti.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mendapat kesempatan berkelahi seorang melawan seorang itupun segera dapat menguasai lawan-lawannya. Orang padepokan Mayang itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun mereka harus melihat satu kenyataan, bahwa mereka berdua tidak dapat mengalahkan kedua orang anak muda itu.

Bahkan pada suatu saat, orang yang bertempur melawan Mahisa Murti benar-benar telah tidak berdaya lagi. Ketika terjadi benturan kekuatan, maka orang itu terdorong beberapa langkah surut. Mahisa Murti yang melihat kesempatan itupun segera memburunya. Dengan satu sentuhan yang tepat mengenai dadanya, orang padepokan Mayang itu telah terlempar dan jatuh terbanting di tanah.

Demikian orang itu berusaha bangkit, Mahisa Murti telah berdiri di dekatnya. Dengan kaki renggang ia memandangi lawannya yang sudah menjadi sangat lemah itu. “Kau masih akan melawan?“ bertanya Mahisa Murti.

Lawannya itupun mengerang tertahan. Punggungnya serasa hendak patah, sementara tenaganya rasa-rasanya sudah terhisap habis sama sekali.

Dalam pada itu, Mahisa Pukatpun telah menyelesaikan perkelahiannya pula. Lawannya sama sekali tidak lagi berdaya untuk melawannya. Bahkan, untuk bangkitpun orang itu sudah tidak mampu lagi. “Katakan,“ bentak Mahisa Pukat, “apakah kau masih menginginkan kudaku?”

Terdengar orang itu mengumpat. Tetapi ia tidak menjawab.

“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti kemudian. “kita sudah menjawab bahwa kita tidak akan memberikan kuda kita kepada mereka.”

Mahisa Pukat memandang orang yang sudah tidak berdaya itu. Kemudian katanya, “Aku ingin mendengar jawabnya.”

Tetapi Mahisa Murti menjawab, “Ia tidak dapat berkata apa-apa. Tetapi yang jelas, kita tidak memberikannya.”

Mahisa Pukat menggeretakkan giginya. Tetapi iapun kemudian beringsut meninggalkan orang itu dan melangkah mendekati Mahisa Murti. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?“ bertanya Mahisa Pukat.

“Meneruskan perjalanan,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun memandang Mahisa Agni dan Witantra berganti-ganti. Ketika keduanya mengangguk kecil, maka Mahisa Pukat pun menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu maka Mahisa Murtipun berkata, ”Marilah. Kita masih harus membayar makanan dan minuman.”

Demikianlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian meninggalkan kedua orang padepokan Mayang yang hampir pingsan itu. Mereka memasuki kedai untuk membayar harga makanan dan minuman yang telah mereka pesan bersama Ki Buyut dan Widati.

“Bagaimana?“ bertanya Ki Buyut yang kecemasan.

“Tidak apa-apa,” jawab Mahisa Pukat. “Orang itu tidak akan berbuat apa-apa lagi.”

Ki Buyut tidak bertanya lagi. Iapun sudah mengetahui bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyelesaikan lawan-lawan mereka, sementara orang-orang lain itu tidak berbuat sesuatu karena mereka harus memperhitungkan Mahisa Agni dan Witantra yang nampaknya akan ikut campur pula dalam persoalan itu.

Dalam pada itu, ketika Mahisa Agni dan Witantra pun telah membayar makanan dan minuman yang mereka pesan, maka merekapun telah meninggalkan kedai itu pula, sebagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bersama Ki Buyut dan Widati.

Sementara itu, demikian kelompok kecil itu menjauh, maka Sambu dan kawannya telah mendekati kedua orang padepokan Mayang yang hampir pingsan itu.

“Kalian orang-orang gila,” geram salah seorang dari orang padepokan Mayang itu. “Kalian ternyata benar-benar tidak mau membantu kami.”

“Kalianlah yang dungu,“ bentak Sambu “kau kira kita harus membunuh diri hari ini ketika kita sedang menyelesaikan sebagian pekerjaan kita?“

“Pengecut,“ bentak orang padepokan Mayang itu. “Kita yang akan membunuh mereka. Bukan kita yang akan mereka bunuh.”

“Kau tidak mau melihat kenyataan yang terjadi atas dirimu,“ bentak Sambu. “Apa yang bisa kau lakukan atas dua orang anak muda itu? Apakah kau mampu membunuh mereka, kemudian merampas kuda mereka seperti yang selalu kau katakan, bahwa orang-orang padepokan Mayang tidak mau ditentang kemauannya?“

Orang padepokan Mayang itu menggeram. Katanya, “Apa bila kalian memiliki sedikit saja kesetia-kawanan, maka kita akan sempat membunuh kedua anak muda itu.”

“Kau tidak memperhitungkan kedua orang tua yang berada di kedai sebelah, yang sudah menyatakan tekadnya untuk ikut campur pula jika kami berdua berusaha membantumu.“

“Bunuh mereka lebih dahulu“ teriak orang padepokan Mayang yang seorang.

“Orang dungu yang gila,” geram Sambu, “merekalah yang akan membunuh kita. Tetapi karena kami berdua tidak ikut campur, maka kedua anak muda itu tidak membunuhmu. Kau harus tahu, bahwa jika kami berdua membuat mereka semakin marah, maka mereka tidak akan dapat mengekang lagi”

“Perhitungan seorang pengecut” orang padepokan Mayang itu masih saja mengumpat.

“Ingat, jika bukan mereka, maka akupun dapat membunuhmu dengan cara pengecut, selagi kalian belum dapat melakukan perlawanan. Jika kalian membuat kami marah, maka kami akan mengambil satu sikap sesuai dengan tabiat kami yang sebenarnya. Kami dapat membuang mayat kalian dan mengapuskan segala macam kesan, bahwa kalian pernah datang ketempat ini” berkata Sambu.

Orang-orang padepokan Mayang itu masih mengumpat-umpat. Tetapi suaranya tidak lagi didengar oleh Sambu dan kawannya.

“Marilah. Bangkitlah dan kita pergi ke pondokku. Kudamu masih tetap kudamu yang kau anggap tidak cukup tegar dibandingkan dengan kuda anak muda itu. Dengan demikian, kau harus menyadari bahwa suatu ketika keinginan orang-orang padepokan Mayang tidak terpenuhi” berkata Sambu pula.

Sambu dan kawannya kemudian berusaha membantu kedua orang padepokan Mayang itu untuk bangkit.

“Aku perlu tuak,“ tiba-tiba saja yang seorang berdesis.

“Kau mulai gila lagi,“ bentak Sambu, “aku akan mencegahmu.”

Orang itu mengumpat. Tetapi ia tidak menjawab. Dalam pada itu, maka Sambu dan kawannya itu telah membantu orang-orang padepokan Mayang itu untuk bangkit dan menuntun mereka berjalan ke serambi kedai di sebelah.

“Beri aku air,” desis Sambu.

Dengan tergesa-gesa pemilik kedai yang ketakutan itupun lalu memberikan semangkuk air yang kemudian diminum oleh kedua orang padepokan Mayang yang tidak berdaya lagi itu. Dengan air yang beberapa teguk itu, maka kedua orang padepokan Mayang itu merasa tubuhnya menjadi segar. Perlahan-lahan mereka menggerakkan tangan dan kakinya. Kemudian bangkit perlahan-lahan.

Namun demikian mereka berdiri tegak, salah seorang diantara mereka berteriak, “Mana anak-anak muda itu?”

“Jangan mengigau. Seharusnya kesadaranmu menjadi semakin pulih” berkata Sambu.

“Aku tidak mengigau” jawab salah seorang diantara kedua orang padepokan Mayang itu.

“Jika demikian, maka kau memang ingin membunuh diri,” jawab Sambu. “Jika kau ingin berkelahi lagi, berarti bahwa kau akan mati”

“Persetan” geram orang itu.

“Sudahlah. Marilah, kita pergi ke pondokku,” kata Sambu, “kita beristirahat dan berbicara tentang sesuatu yang berarti bagi kita. Bukan pekerjaan yang hanya menimbulkan kesulitan saja”

Orang-orang padepokan Mayang itu termangu-mangu. Tapi ketika orang yang mengingini kuda Mahisa Pukat itu memandang patok-patok yang kini telah kosong, selain kudanya sendiri, ia mengumpat. Katanya, “Pada suatu saat aku akan benar-benar merampas kuda itu. Anak muda itu akan aku bunuh dan aku cincang sampai lumat.”

“Berbicaralah apa saja yang kau suka. Tetapi kami telah melihat satu kenyataan tentang kau dan anak-anak muda itu,” berkata Sambu “karena itu hentikan igauanmu tentang mereka. Kita dapat berbicara yang lain, yang lebih berarti bagi rencana besar kita.”

Orang padepokan Mayang itu masih mengumpat-umpat. Tetapi mereka tak dapat berbuat apa-apa. Karena itulah maka merekapun kemudian pergi meninggalkan tempat itu sambil menuntun kuda masing-masing menuju tempat tinggal Sambu selama berada di daerah itu.

Dalam pada itu, Mahisa Agni, Witantra, Mahisa Murti. Mahisa pukat dan Ki Buyut serta anak gadisnya telah menjadi semakin jauh saja. Akan tetapi mereka tidak henti-hentinya membicarakan orang-orang yang mereka temui di dekat pasar itu. Bukan saja perkelahian yang baru saja terjadi, tetapi yang penting bagi mereka justru apa yang dikerjakan oleh orang-orang kasar itu.

“Mereka memesan kapak penebang kayu,” berkata Witantra.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Kapak penebang kayu itupun segera dihubungkannya dengan keadaan yang pernah didengarnya tentang hutan yang menjadi gundul.

“Orang-orang itu memang wajib mendapat perhatian,” berkata Mahisa Agni. “Hutan-hutan yang gundul sebagaimana pernah dilihat oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, mungkin bukan hanya sekedar satu kebetulan, Bukan hanya karena beberapa orang kelaparan menebang dan kemudian menjual beberapa potong kayu bakar. Bukan pula orang-orang tamak yang menebang kemudian menjual kayu cendana yang tumbuh dan sebenarnya termasuk tanaman yang dilindungi di lereng-lereng pegunungan.”

“Ya,” kata Witantra “nampaknya memang demikian atau kedua-duanya. Mereka dengan perhitungan yang sangat cermat menebangi hutan-hutan di lereng bukit, sekaligus untuk mendapatkan hasil samping dari usahanya merupakan hutan itu. Karena itu maka yang paling parah adalah justru daerah hutan yang memiliki tanaman yang mempunyai nilai yang tinggi.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk Kemudian katanya, “Hal ini perlu mendapat perhatian khusus. Mungkin Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam pengembangannya akan dapat mengamati keadaan itu lebih seksama.”

“la akan kembali ke padepokan kecilku. Ia akan mendapatkan bahan-bahan yang cukup untuk mulai dengan pengamatannya. Mungkin Singatama yang telah menemukan kembali dirinya itu akan dapat membantu memberikan petunjuk-petunjuk yang berarti,” berkata Witantra.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Akan tetapi ia tidak dapat melepaskan pikirannya dari rencana orang-orang yang ditemuinya di pasar itu untuk membuat kapak yang demikian banyaknya. “Bahkan mungkin ada orang lain yang memesan kepada pande besi yang lainnya lagi,” berkata Mahis Agni di dalam hatinya.

Demikianlah, maka perjalanan kelompok kecil itupun semakin lama menjadi semakin jauh dari pasar yang mendebarkan itu. Widati yang cemas sekali-kali bertanya pula kepada ayahnya apakah yang sebenarnya telah terjadi.

”Aku tidak begitu pasti,” jawab Ki Buyut. Meskipun ia juga berusaha mendapat keterangan dari Mahisa Agni dan Witantra, namun ia tidak membuat anak gadisnya menjadi semakin gelisah. Karena itu ia tidak menjelaskan sebagaimana yang ia dengar sepenuhnya.

Tetapi serba sedikit Widati juga sudah mendengar, bahwa yang terjadi di pasar itu bukan satu peristiwa sepotong yang tidak ada hubungannya dengan persoalan yang lebih besar. Karena itu, bagaimanapun juga ayahnya berusaha untuk menyembunyikan persoalannya. Widati masih juga nampak gelisah.

Meskipun demikian ia tidak mendesak ayahnya sepanjang dalam perjalanan. Menurut pendapatnya, ayahnya akan dapat dimintanya untuk berbicara lebih banyak jika mereka sudah berada di rumahnya. Karena itu, maka Widatipun tidak bertanya lebih banyak lagi.

Perjalanan mereka selanjutnya. tidak lagi banyak diisi dengan pembicaraan-pembicaraan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berkuda di paling depan. Kemudian Ki Buyut dan anak gadisnya, Widati, sedangkan di paling belakang adalah Mahisa Agni dan Witantra. Perjalanan yang panjang itu akhirnya dapat mereka selesaikan juga. Dengan hati yang berdebar-dehar, Widati pun lalu memasuki padukuhan induk Kabuyutan Randumalang.

“Kita telah sampai ayah,” berkata Widati kepada ayahnya.

Ki Buyutpun menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Bersyukurlah kepada Yang Maha Agung. Kita telah sampai dengan selamat di rumah.”

Widati mengangguk kecil. Bahkan terasa pelupuk matanya menjadi panas.

Kedatangan mereka disambut dengan gembira oleh penghuni Kabuyutan Randumalang. Ki Jagabaya yang mulai merasa cemas karena kepergian yang terasa terlalu lama itupun menyambut kedatangan Ki Buyut dengan pernyataan syukur. “Ternyata kalian telah kembali,“ desis Ki Jagabaya kemudian.

Betapapun terasa kelelahan di tubuh Ki Buyut, namun sesaat ia berada di rumahnya, orang-orang di Kabuyutan seakan-akan telah dihentakkan oleh satu perintah, agar mereka datang ke rumah Ki Buyut. Dengan begitu maka di rumah Ki Buyut itu bagaikan telah dilangsungkan satu perhelatan. Ketika malam turun, maka lampu minyakpun telah terpasang di mana-mana. Ki Buyut tak dapat menolak. Orang-orang tua dan bebahu Kabuyutan dipersilahkan duduk di pendapa, sementara yang lain berada di halaman dan bahkan di jalan-jalan di seputar rumah Ki Buyut itu.

Di ruang dalam, Widati pun di kerumuni oleh perempuan-perempuan tua di Kabuyutannya. Merekapun menanyakan keselamatan Widati dan bertanya tentang pengalamannya. Dengan tersendat-sendat Widati berusaha untuk dapat memenuhinya biarpun yang bisa diceriterakannya hanya sebagian kecil saja dari segala peristiwa yang pernah dialaminya disepanjang perjalanan.

Malam itu di rumah Ki Demang benar-benar menjadi ramai, sehingga baik Ki Demang, Widati dan orang-orang yang datang bersamanya tidak sempat untuk beristirahat.

“Untunglah, semua kesulitan itu sudah teratasi,” berkata Ki Jagabaya, “dan Ki Buyut serta Widati pun telah memberikan sumbangan betapapun kecilnya untuk keberhasilan rencana itu dalam keseluruhan.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Kelelahan dan kantuk rasa-rasanya sudah tidak dapat lagi dielakkannya. Akan tetapi ia masih harus duduk dan menjawab berbagai pertanyaan yang kadang-kadang merupakan ulangan sampai tiga empat kali dari orang-orang yang pernah bertanya sebelumnya.

Tetapi akhirnya Ki Jagabaya pun sadar bahwa Ki Buyut benar-benar mengalami kelelahan. Karena itu maka iapun kemudian berusaha menutup pertemuan itu dengan memberikan sedikit penjelasan, bahwa Ki Buyut, anak gadisnya dan tamu-tamunya itu tentu sangat letih setelah menempuh perjalanan yang panjang. Dengan demikian, maka para tetangga dan orang-orang tua di Kabuyutan itupun segera minta diri, meskipun ada diantara mereka yang masih belum puas mendengarkan ceritera Ki Buyut tentang perjalanannya yang panjang.

“Biarlah besok Ki Buyut berceritera lagi,” kata Ki Jagabaya. “Sekarang beri kesempatan kepadanya untuk beristirahat.”

Sejenak kemudian maka rumah Ki Buyut itupun menjadi sepi, yang tinggal di pendapapun kemudian tinggal Ki Buyut serta tamu-tamunya. Karena itu, maka Ki Buyutpun kemudian mempersilahkan tamu-tamunya agar segera beristirahat di gandok yang telah disediakan.

Mahisa Agni, Witantra dan kedua orang anak muda anak Mahendra itupun kemudian segera masuk ke dalam bilik mereka. Sebuah amben yang besar yang dialasi dengan tikar pandan yang putih bersih telah tersedia di gandok itu.

Malam itu, keempat orang itupun telah tidur dengan nyenyaknya. Mereka merasa berada di tempat yang aman dan terlindung dari dinginnya udara malam. Demikian Mahisa Murti menyelarak pintu, maka iapun telah membaringkan dirinya disamping tiga orang lainnya. Kelelahan dan ketenangan merupakan dorongan yang membuat mereka tidur dengan nyenyaknya.

Betapapun nyenyaknya mereka tidur, tetapi ketika terdengar ayam jantan berkokok untuk ketiga kalinya di dini hari, ternyata Mahisa Agni dan Witantra sudah terbangun. Mereka pun kemudian dengan hati-hati bergeser dan duduk di bibir pembaringan yang besar itu.

“Aku akan ke pakiwan,” desis Mahisa Agni.

Witantra mengangguk. Katanya, “Kita bergantian. Silahkan.”

Sebenarnyalah keduanya bergantian pergi ke pakiwan, Ketika kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terbangun setelah fajar memerah di langit, maka Mahisa Agni dan Witantra telah selesai membersihkan diri.

“Aku terlambat bangun paman,” desis Mahisa Murti.

“Tidak,“ jawab Mahisa Agni, “matahari belum terbit.”

Mahisa Murti mengusap matanya. Namun kemudian iapun meloncat bangun diikuti oleh Mahisa Pukat.

“Kita bersiap-siap,” berkata Mahisa Agni kepada Witantra.

“Baiklah,” jawab Witantra. “Kita melanjutkan perjalanan hari ini.”

“Tetapi…“ potong Mahisa Murti, “bagaimana jika Ki Buyut masih ingin mempersilahkan kedua paman untuk beristirahat, dan baru besok melanjutkan perjalanan kembali Ke Singasari?“

Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan. Namun kemudian Mahisa Agni berkata, “Kita akan melihat suasana.”

Sebenarnyalah bahwa hari itu Ki Buyut berusaha untuk menahan agar Mahisa Agni dan Witantra tidak meninggalkan Kabuyutan mereka. Sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Ki Jagabaya, hari itu tentu masih banyak orang yang akan datang ke rumah Ki Buyut dan menanyakan apa saja yang telah terjadi selama Ki Buyut bersama anak gadisnya pergi meninggalkan Kabuyutannya.

Mahisa Agni dan Witantra tidak dapat menolak. Meskipun orang-orang Kabuyutan itu ingin mendengar Ki Buyut sendiri berceritera, tetapi kehadiran kedua orang itu seolah-olah akan dapat menjadi saksi, bahwa yang diceriterakan oleh Ki Buyut itu bukan sekedar ceritera ngayawara.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka para tetangga telah mulai berdatangan. Satu-satu mereka naik ke pendapa. Mereka masih belum puas dengan ceritera Ki Buyut semalam. Namun dalam pada itu, yang dapat hadir di pendapa itu, selain Ki Buyut, Mahisa Agni dan Witantra, hanyalah Mahisa Pukat. Agaknya Mahisa Murti tidak sempat ikut berbicara dengan mereka di pendapa itu.

Tidak banyak orang yang melihat, ternyata Mahisa Murti telah meninggalkan halaman rumah Ki Buyut bersama Widati. Mereka berjalan menyusuri jalan kecil yang kemudian muncul di daerah persawahan. Perlahan-lahan mereka menyusuri jalan setapak diantara hijaunya dedaunan dan kemudian mengikuti sehuah lorong sempit menuruni tebing sebuah sungai kecil.

“Oh“ langkah Widati tertegun. Ia melihat beberapa orang kawannya sedang mencuci. Tetapi ia tidak sempat melangkah surut. Kawan-kawannya telah melihatnya dan hampir berbareng mereka menyebut namanya.

“Widati. He, dengan siapa kau turun ke sungai hari ini?” bertanya seorang gadis bertubuh gemuk.

Kawan-kawannya tertawa. Sementara Widati hanya menundukkan wajahnya yang menjadi kemerah-merahan. Mahisa Murti sendiri menjadi bingung. Tetapi ia pun justru telah membeku di tempatnya.

“Marilah kemari. Jangan malu. Kami sudah mengenal kawanmu itu. Bukankah anak muda itu yang telah melepaskan padukuhan kita dari kerusuhan beberapa saat yang lalu?” kata seorang gadis bertubuh tinggi.

Widati justru mengangkat wajahnya. Meskipun tidak diucapkan, tetapi seolah-olah ia ingin bertanya, dari mana kawannya itu mengetahuinya.

“Seisi Kabuyutan ini sudah mengetahuinya,“ gadis bertubuh tinggi itu meneruskan. “Tetapi tidak banyak kawan-kawan kami yang berani menatap wajahnya untuk mengenalinya. Tetapi aku sempat mengenalnya dan aku tidak akan dapat melupakannya.”

“Ah kau ini,“ teriak seorang gadis berkulit kuning. Kawan-kawannyapun tertawa semakin riuh.

Wajah Widati serasa menjadi panas. Namun segalanya sudah terlanjur. Sehingga karena itu, maka iapun justru melang kah setapak maju sambil berkata, “Aku sedang mengantar tamu ayahku yang ingin melihat-lihat keadaan Kabuyutan ini.”

“Oh“ hampir berbarengan kawan-kawannya menyahut. Seorang diantara mereka berkata “Bagus Widati. Beri kesempatan ia melihat-lihat kami.”

Suara tertawa meledak sehingga dengan demikian terasa jantung Widati menjadi semakin berdebaran. Tetapi Mahisa Murti pun tidak dapat berbuat lain, kecuali menghanyutkan diri suasana itu. Karena itu, maka katanya “Ki Buyutlah yang menyuruh aku agar saat-saat begini turun ke sungai. Karena aku belum tahu letaknya, maka Widati lah yang telah mengantar aku.”

“Aneh sekali,” kata seorang gadis berkulit kehitam-hitaman. Katanya kemudian “Menurut pengetahuanku, kau sudah pernah berada di rumah Ki Buyut untuk beberapa lamanya. Tentu kau sudah mengenal semua jalan di Kabuyutan ini.”

“Ada gunanya juga berpura-pura tidak tahu,“ sahut seorang kawannya.

Yang lainpun tertawa pula dengan riuhnya. Mahisa Murti tidak lagi sempat mengelak. Bahkan iapun kemudian melangkah mendekat dan duduk di sebongkah batu padas. Katanya, “Aku menyerah.”

Gadis-gadis yang berada di sungai itu tertawa semakin riuh. Namun kemudian seorang diantara mereka berkata “He, jika kau berada disitu, maka pekerjaan kami tidak akan selesai.”

“Kenapa?“ bertanya Mahisa Murti.

“Kami sedang mencuci. Dan kamipun akan mencuci pakaian yang kami pakai sekarang,” jawab seorang gadis bertubuh gemuk.

“Ah, kau,“ kawannya yang berkulit kehitam-hitaman mencubitnya sehingga gadis gemuk itu mengaduh kecil.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berdiri sambil berkata, “Baiklah, aku akan pergi.”

Tetapi Widati menjadi bimbang. Apakah ia akan pergi bersama Mahisa Murti atau ia akan tinggal bersama kawan-kawannya. Tetapi agaknya kawan-kawannya mengetahui kebimbangan itu. Karena itu seorang gadis yang bertubuh tinggi berkata, “Widati, agaknya tamu ayahmu itu telah tersesat, sebaiknya kau tunjukkan jalan untuk kembali ke rumahmu.”

“Ah,” desis Widati, sementara kawan-kawannyapun tertawa pula.

Namun dalam pada itu, di luar pengetahuan gadis-gadis di tepian yang sedang mencuci itu, dua orang laki-laki berwajah kasar sedang memperhatikan mereka dengan seksama.

“Anak muda itu akan pergi,” desis yang seorang.

“Persetan. Seandainya ia ada disitu, apa salahnya?” jawab yang lain.

“Tetapi gadis yang baru datang itu akan pergi bersamanya. Nampaknya gadis itulah yang paling cantik,” desis yang seorang.

Namun kawannya tidak begitu menghiraukannya. Meskipun ia juga melihat bahwa gadis yang baru datang bersama anak muda itu namun yang kemudian meninggalkan tepian itu adalah gadis yang paling cantik. “Aku tidak memerlukan yang paling cantik. Yang manapun dapat aku ambil dan aku bawa ke hutan itu,“ katanya.

Yang satunya mengangguk-angguk. Dengan kening yang berkerut ia menjawab “Baiklah, akupun akan mengambil satu. Yang manapun juga. Tetapi bukan yang gemuk.”

Kawannya tersenyum. Kemudian katanya, “Kita tidak tahu, berapa lama lagi kita akan menunggu. Karena itu, agar aku tidak mati kesepian, aku akan mencari seorang kawan. Mungkin sepekan, dua pekan atau bahkan lebih.”

“Tetapi bagaimana kata orang-orang kita tentang gadis-gadis itu?“ bertanya yang lain.

“Jika mereka menghendaki, biarlah mereka mencari sendiri. Disini terdapat banyak gadis-gadis. Yang sering mencuci di pinggir kali, yang sering pergi ke sawah, bahkan mereka dapat mengambilnya di pasar-pasar” jawab kawannya. Lalu, “Kapak-kapak itu seharusnya sudah siap dan diberikan kepada kami disini, agar kami segera dapat mulai dengan kerja itu. Tapi menunggu adalah pekerjaan yang paling menjemukan sehingga aku memerlukan kawan. Bukan salahku jika aku mengambil satu dua orang gadis disini.”

Yang lain mengangguk-angguk. Lalu katanya “Marilah. Kita lakukan sekarang. Mereka tentu akan berteriak-teriak. Tetapi tidak ada orang yang akan mendengarnya.”

“Aku tidak takut seandainya ada orang yang mendengar sekalipun. Kita memang orang-orang yang dilahirkan untuk melakukan apa saja tanpa memikirkan akibatnya. Dan aku sudah siap untuk membunuh,” berkata kawannya.

Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun akhirnya yang seorang sudah berdiri sambil berkata, “Sebelum saat menebang pepohonan itu datang, maka gadis-gadis itu akan memberikan suasana tersendiri.“

Kawannyapun berdiri pula dan mengikutinya ketika yang lain melangkah menuruni tebing. Kedatangan mereka memang mengejutkan. Beberapa orang gadis terpekik kecil. Namun merekapun kemudian berpura-pura tidak melihat, apa yang terjadi. Mereka seakan-akan tidak melihat kedua orang itu turun ke sungai.

“Kita dapat memilih,“ gumam salah seorang dari dua orang kasar itu. “Ternyata disini ada berbagai macam jenis. Yang manis, yang cantik, yang tinggi atau yang kuning keputih-putihan. Atau yang manapun yang kau kehendaki.”

Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Aku akan mengambil dua.”

“Jangan persulit dirimu. Bagaimana kau akan membawanya? Mungkin kita terpaksa harus membuat mereka pingsan kemudian membawanya di atas pundak kita, karena jika tidak demikian, gadis-gadis itu akan berteriak-teriak di sepanjang jalan.”

“Alangkah segarnya mencuci pakaian pagi-pagi seperti ini,” berkata salah seorang laki-laki berwajah kasar itu.

Gadis-gadis itu mulai beringsut saling mendekati. Kini wajah mereka telah berubah sama sekali. Baru saja mereka tertawa gembira saat mereka mengganggu Widati. Namun tiba-tiba wajah-wajah itu membayangkan kecemasan yang ketakutan.

Kawannya mengangguk-angguk. Namun desisnya, “Aku menjadi bingung. Semua sangat menarik.”

“Gila. Cepat. Sebelum suasana berubah,” geram yang lain.

Kedua orang itupun kemudian mendekati gadis-gadis yang baru mencuci di pinggir sungai kecil itu. Dengan tanpa ragu-ragu keduanya berdiri beberapa langkah saja dari gadis-gadis itu sehingga gadis-gadis itu menjadi ketakutan.

“Kalian memang gadis-gadis cantik,” berkata orang berwajah kasar itu. Lalu “He, siapa diantara kalian yang bersedia membantu aku?”

Gadis-gadis itu menjadi semakin ketakutan.

“Kami di rumah sama sekali tidak mempunyai kawan seorang perempuanpun. Tidak ada yang dapat memasak untuk kami. Tidak ada yang dapat mencuci pakaian kami dan tidak ada yang dapat berdendang disaat-saat hati kami sedang risau. Nah, kedatangan kami membawa niat yang baik. Kami berdua ingin mengajak dua diantara kalian untuk tinggal bersama kami. Tidak terlalu jauh, sehingga setiap saat jika kalian inginkan, kalian dapat kembali kepada keluarga kalian, dan kami berdua akan mengambil dua orang lain sebagai gantinya,” berkata salah seorang dari keduanya.

Gadis-gadis itu menjadi semakin ketakutan. Sementara kedua orang itu sama sekali tidak berperasaan. Gadis-gadis yang sedang mencuci itupun bergeser semakin menjauh. Tetapi yang seorang diantara orang-orang berwajah kasar itu tertawa. “Jangan takut. Kalian tidak dapat mengelak. Kalian harus menuruti kehendak kami. He, soalnya sekarang, siapakah yang pertama-tama akan pergi bersama kami berdua.”

Ketakutan semakin mencekam hati gadis-gadis itu. Nampaknya Kabuyutan mereka yang untuk beberapa saat sudah mulai tenang itu, kini telah bergejolak kembali biarpun gadis-gadis itu tidak tahu, siapa lagi yang telah membuat kabuyutan mereka menjadi kisruh.

Tetapi gadis-gadis itu memang tidak berdaya. Dua orang berwajah kasar itu dapat berbuat apa saja atas mereka. Bahkan mereka akan dapat membunuh mereka semuanya tanpa kesulitan. Meskipun sungai kecil itu memang tidak terlampau jauh dari padukuhan induk, tetapi pada saat-saat yang demikian, sungai itu memang sepi. Dan gadis-gadis memilih saat-saat sepi itu untuk mencuci dan mandi beramai-ramai.

Namun saat yang mereka pilih pada hari itu telah menyulitkan mereka karena kehadiran orang-orang yang tidak mereka duga-duga sama sekali. Kedua orang kasar itu tidak saja mengganggu saat-saat mereka mencuci di pinggir sungai itu, bahkan mereka telah berniat untuk membawa dua orang diantara mereka.

Saat-saat berikutnya terjadi dengan cepat. Gadis-gadis itu memang tidak berdaya sama sekali. Dua orang berwajah kasar itu sempat memilih. Seorang gadis bertubuh tinggi ramping berwajah panjang dan yang seorang adalah gadis manis berkulit keputih-putihan.

“Kalian tidak dapat menolak. Ingat, aku dapat membunuh,” berkata orang-orang kasar itu.

Ketakutan yang sangat membuat gadis-gadis itu hampir pingsan. Namun sebenarnyalah mereka memang tidak dapat menolak keinginan kedua orang berwajah kasar itu kecuali jika mereka memang telah memilih kematian sebagai jalan lain untuk menghindarkan diri.

Pada saat itu Mahisa Murti dan Widati telah melangkah meninggalkan tepian. Akan tetapi mereka tidak tergesa-gesa pergi menjauh. Bahkan Mahisa Murti masih sempat bertanya kepada Widati, “Sampai kapan mereka akan mencuci pakaian itu?“

“Biasanya mereka berlama-lama disungai. Mereka tidak hanya mencuci, tetapi mereka akan mandi sambil bermain-main. Bahkan mereka akan menunggu cucian mereka kering agar mereka tidak usah membawa cucian basah kembali kerumah masing-masing” jawab Widati.

“Menunggu cucian kering memerlukan waktu yang lama,” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi menjemur pakaian di tepian jauh lebih cepat dari menjemur pakaian di halaman. Di tepian pakaian dapat dibentangkan diatas bebatuan” jawab Widati pula.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi keduanya masih belum beranjak terlalu jauh. Keduanyapun kemudian duduk diatas sebongkah batu menghadap ke tanah persawahan yang hijau segar. Sementara cahaya matahari pagi yang menjamah embun yang masih bergayutan memantulkan cahaya yang gemerlap. Akan tetapi tiba-tiba saja Mahisa Murti terkejut. Ia mendengar gadis-gadis di tepian itu menjerit. Karena Itu, maka tiba-tiba saja ia meloncat bangkit. “Ada apa?“

Widati menjadi tegang. Suaranya menjadi gemetar. “Entahlah”

“Marilah. Kita melihatnya” ajak Mahisa Murti.

Tetapi Widati menjadi takut. Dengan tidak dikehendakinya sendiri ia bergeser mendekati Mahisa Murti. ”Aku takut.”

“Kita tidak dapat membiarkan sesuatu terjadi atas gadis-gadis itu,” jawab Mahisa Murti.

Widati masih tetap ragu-ragu. Akan tetapi Mahisa Murtipun kemudian sudah menangkap tangan gadis itu dan membimbingnya. Widati tidak menolak. Dalam kecemasan ia tidak mempunyai tanggapan apapun juga atas Mahisa Murti yang kemudian menarik tangannya turun kembali ke tepian.

Demikian Mahisa Murti turun ke tepian, maka iapun melihat gadis-gadis itu berlari-larian. Seorang gadis yang bertubuh gemuk hampir saja melanggarnya, sehingga gadis yang ketakutan itu terkejut sambil berteriak lebih keras. Mahisa Murtipun kemudian melihat apa yang terjadi. Dua orang berwajah kasar sedang menarik tangan dua orang gadis. Seorang gadis bertubuh tinggi dan seorang lagi gadis berkulit keputih-putihan.

Jantung Mahisa Murti bagaikan berdentang semakin cepat. Ia pun kemudian melepaskan tangan Widati. Dengan tangkasnya ia meloncat ke tepian mendekati kedua orang yang berusaha membawa dua orang gadis yang sedang mencuci itu.

“Apa yang sedang kau lakukan?” bertanya Mahisa Murti.

“Persetan,” geram orang yang memegangi tangan gadis berkulit keputih-putihan. “Apa pedulimu?”

“Siapa kau dan apa maksudmu?“ bertanya Mahisa Murti pula.

“Anak gila. Kau sangka kedatanganmu akan dapat menolong mereka? Kau datang untuk mengantarkan nyawamu. Aku akan membunuhmu dan jika kau tidak membatalkan niatmu untuk turut campur daiam persoalan ini, aku justru akan membawa empat orang gadis sekaligus!” berkata orang berwajah kasar itu.

“Kau jangan menjadi gila,” jawab Mahisa Murti. “Kau telah melakukan sesuatu yang akan dapat mencelakai dirimu sendiri.”

“Kaulah yang akan mati. Jangan banyak bicara. Pergi atau mati disini,” geram orang kasar itu pula.

Mahisa Murti tidak melihat kemungkinan lain. Ia harus mempergunakan kekerasan untuk mencegah perbuatan mereka. Namun ia masih bertanya, “Siapa kalian sebenarnya?”

“Tidak ada gunanya kau mengetahui keadaan dan siapa kami,” jawab orang itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan hati-hati ia bergeser mendekati sambil berkata, “Baiklah. Jika kalian tak mau menyebut nama, kedudukan atau sebutan apapun, maka kalian tentu orang-orang yang tidak seharusnya berada disini. Karena itu, sebelum terjadi sesuatu, pergilah!”

“Anak iblis!” geram yang seorang. “Anak ingusan seperti kau masih juga berani sesorah. Pergilah cepat!”

“Aku adalah pengawal Kabuyutan ini. Salah seorang pengawal. Karena itu, aku memang berkewajiban untuk menjaga ketertiban dan ketenangan Kabuyutan ini,” berkata Mahisa Murti.

“Oh, anak yang tidak tahu diri. Apa artinya pengawal Kabuyutan? Kau harus mendengar tentang kami agar kau menjadi tahu diri. Kami adalah petugas-petugas dari Kediri untuk membayangi kekuasaan Singasari. Nah. kau tahu siapa kami? Sekarang pergilah!” geram orang itu dengan marah.

Tetapi Mahisa Murti tidak beranjak dari tempatnya, bahkan ia masih berkata “Inikah ciri-ciri orang Kediri? Omong kosong. Aku mengenal orang-orang Kediri dengan baik. Tidak seperti watak dan tingkahmu ini.”

Wajah kedua orang itu menjadi merah padam. Ternyata anak muda itu sama sekali tidak menjadi ketakutan mendengar bahwa mereka adalah petugas dari Kediri. Bahkan anak itu telah menyebut tentang orang-orang Kediri pula.

“Ki Sanak,” kata Mahisa Murti. “Sebaiknya kalian berterus terang saja tentang diri kalian. Dengan demikian kami akan dapat menentukan sikap yang paling baik.”

“Kami siapa?“ bertanya salah seorang dari kedua orang itu.

“Kami para pengawal Kabuyutan ini,” jawab Mahisa Murti.

“Persetan!” bentak orang itu. “Baiklah kalau memang kau ingin tahu. Aku adalah prajurit dari satu kekuatan yang akan membangun Kediri sebagaimana seharusnya. Kami akan menghancurkan Singasari dengan cara kami. Kau dengar itu? Nah, sekarang pergilah. Jangan ganggu kami!”

“Kalian masih saja mengigau,” jawab Mahisa Murti “aku belum jelas tentang kalian. Kalian dapat saja menyebut sesuatu yang kalian sendiri tidak mengetahuinya”

“Oh, anak setan!“ bentak yang seorang lagi. “Dengar! Kami akan menghancurkan Singasari dengan cara yang paling menarik. He, agaknya aku tidak perlu merahasiakannya. Tetapi akibat dari pada itu, kau harus mati,” orang itu berhenti sejenak, lalu tiba-tiba saja ia telah menyentuh tengkuk gadis yang dipeganginya.

Sentuhan itu telah membuat gadis itu menjadi pingsan. Dengan perlahan-lahan orang itu kemudian meletakkan gadis itu di tepian, sementara lainnya telah melakukan hal yang sama.

“Dengar anak muda,” kata orang itu. “Aku telah melepaskan gadis itu, sehingga kini aku menjadi leluasa untuk membunuhmu. Kami datang dengan tugas yang sangat menarik. Membuat bukit-bukit menjadi gundul. Kau tahu akibatnya? Banjir akan melanda Singasari di setiap musim hujan. Sementara di musim kering, sungai-sungai akan menjadi kering.”

Gadis-gadis yang lain menjadi sangat ketakutan, sehingga kaki mereka bagaikan menjadi bergeletar dan tidak mampu untuk membawa tubuh mereka meninggalkan tempat itu. Apalagi ketika mereka melihat kedua orang kawannya bagaikan menjadi pingsan hanya oleh sentuhan-sentuhan kecil di tubuhnya.

“Mereka dapat berbuat apa saja,” berkata gadis-gadis itu di dalam hatinya. Sementara mereka telah bertebaran di tebing sungai.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti sama sekali-tidak gentar menghadapi kedua orang itu. Tetapi pengakuan kedua orang itu benar-benar telah menarik perhatiannya. Di dalam perjalanan menuju ke Kabuyutan Randumalang itu ia bertemu dengan orang-orang yang memesan kapak penebang kayu. Kemudian mereka telah berhubungan dengan dua orang pendatang. Sementara di Kabuyutan Randumalang, Mahisa Murti bertemu dengan orang-orang yang mengaku mendapat tugas untuk menebangi pepohonan.

Namun dalam pada itu. Mahisa Murti masih ingin mendengar lebih banyak tentang orang itu. Karena itu katanya, “Apa artinya yang akan kalian kerjakan itu? Jika dengan demikian niat Kediri hendak menjatuhkan Singasari dengan cara itu, maka niat itu baru akan dapat terjadi pada anak cucumu”

“Kau memang bodoh, anak muda,” berkata orang itu. “Banjir bandang, kekeringan dan bencana lain akan mempermudah kehancuran Singasari oleh satu sergapan kekuatan. Memang rencana ini tidak akan selesai dalam satu dua tahun. Tetapi lima atau bahkan sampai sepuluh tahun. Tetapi itu akan terjadi tidak pada masa anak cucuku,” orang itu berhenti sejenak ketika kawannya mendekatinya.

“Tidak ada gunanya hal itu kau ceritakan kepada anak dungu itu,” berkata kawannya itu “tetapi karena ia sudah mendengar sebagian dari rencana itu, maka ia memang harus dibunuh. Sekarang bunuh saja anak itu, lalu kita pergi membawa gadis-gadis yang sedang tidur itu. Kita tak akan kesepian lagi. Jika saatnya tiba, kita akan menukarkannya dengan yang lain.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sudahlah Ki Sanak. Aku sudah tahu dengan jelas apa yang akan kau lakukan. Karena itu, maka kesimpulanku, tidak ada yang lebih baik dari menangkap kalian supaya dengan demikian kalian dapat mengungkapkan rencana yang akan kalian lakukan itu.”

“He!“ kedua orang itu saling berpandangan, “kau akan menangkap kami? He, apakah kau sudah menjadi gila?“

Tetapi Mahisa Murti justru mendekat sambil berkata, “Menyerah sajalah agar hukumanmu tidak terlalu berat. Katakan segalanya yang kalian ketahui tentang rencana itu. Mungkin kalian justru akan mendapat pengampunan.”

Kata-kata Mahisa Murti itu benar-benar telah membakar jantung kedua orang itu. Dengan kasar seorang diantaranya berkata, “Anak tidak tahu diri. Kau telah memilih satu keadaan yang paling buruk bagimu.”

Mahisa Murti tidak menjawab. Pada saat ia melihat orang itu bersiap, maka iapun telah mempersiapkan diri pula. Sebenarnyalah, salah seorang dari kedua orang itu telah menyerang Mahisa Murti dengan satu pukulan langsung mengarah ke wajahnya. Tetapi justru karena serangan itu terlalu langsung, maka dengan bergeser selangkah, Mahisa Murti sempat menghindari serangan itu sambil berkata, “Aku peringatkan sekali lagi. Atas nama para pengawal Kabuyutan, aku peringatkan agar kalian menyerah.”

“Anak setan!“ teriak orang itu sambil meloncat menerkam.

Sekali lagi Mahisa Murti mengelak. Sementara orang yang lain, begitu melihat serangan kawannya tak berhasil, dengan marah sekali langsung juga menyerangnya. Mahisa Murti berputar sambil bergeser. Kemudian dengan loncatan panjang ia mengambil jarak dari kedua lawannya. Dua orang itu benar-benar dibakar oleh kemarahan yang menghentak-hentak didadanya. Anak muda itu dapat menghindari serangan dari kedua orang yang datang berurutan itu.

Kedua orang itu kemudian berpencar. Agaknya mereka sudah tidak sabar lagi untuk bertindak. Karena itu, salah seorang dari mereka berkata “Kita habisi anak ini tanpa ampun.”

Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia bergeser mendekat.

Dalam pada itu, Widati dan gadis-gadis Kabuyutan itu menjadi sangat ketakutan. Mereka yang sudah berlari-larian itu berpencaran di tebing. Namun setapak demi setapak, mereka saling mendekati. Namun demikian ada pula diantara mereka yang benar-benar bagaikan menjadi lumpuh, sehingga untuk bergeserpun sudah tidak mungkin lagi.

Widati telah pernah melihat, setidak-tidaknya mendengar bahwa Mahisa Murti bertempur melawan orang-orang yang menakutkan. Akan tetapi hatinya menjadi berdebar-debar juga untuk menyaksikan anak muda itu berkelahi melawan dua orang sekaligus.

Dalam pada itu, sebenarnya kedua lawannya itu benar-benar ingin segera mengalahkan Mahisa Murti. Bahkan mereka benar-benar ingin membunuh. Serangan-serangan mereka mengarah kebagian tubuh Mahisa Murti yang berbahaya. Tetapi Mahisa Murti telah siap menghadapi kedua lawannya itu. Karena itu, maka iapun dengan tangkasnya berlompatan menghindari serangan-serangan yang datang beruntun dari kedua orang lawannya.

Namun kedua orang lawan Mahisa Murti itu adalah dua orang yang memiliki kemampuan yang cukup. Mereka adalah bagian dari orang-orang yang mendapat kepercayaan dari satu kelompok kekuatan di Kediri untuk berusaha bangkit menghadapi Singasari seperti yang pernah dilakukan oleh beberapa orang sebelumnya yang merasa tidak puas atas keadaan yang berlaku. Kediri merasa dirinya lebih berhak memerintah dari Singasari yang didirikan oleh seorang anak buruan di padang Karautan. Anak yang masa mudanya selalu dikejar-kejar karena melakukan kejahatan.

Karena itu, maka Mahisa Murti benar-benar harus mengerahkan ilmunya untuk melawan kedua orang itu. Namun bagaimanapun juga, bekal ilmu Mahisa Murti agaknya berhasil melindunginya dari kedua lawannya. Dengan cepat Mahisa Murti berhasil menghindari setiap serangan, dan bahkan kemudian justru menyerang dengan langkah yang tiba-tiba.

Tetapi kemudian terjadi sesuatu yang mendebarkan. Kedua orang yang merasa bahwa mereka tidak segera berhasil mengalahkan anak muda yang mengaku sebagai pengawal Kabuyutan itu, benar-benar tidak lagi berniat untuk mengekang diri. Mereka benar-benar akan membunuh dengan cara bagaimanapun juga. Karena itu, tiba-tiba salah seorang diantara mereka telah menarik senjata mereka. Sebilah parang yang besar dan panjang.

“Persetan!” geramnya “kau benar-benar anak iblis. Kau mampu melawan kami berdua. Tetapi itu adalah justru kebodohanmu, karena dengan demikian, aku akan benar-benar membunuhmu!“

Mahisa Murti memandang parang yang panjang besar itu. Bagaimanapun juga senjata itu tentu akan berpengaruh. la sendiri tidak membawa senjata apapun juga, karena ia sama sekali tidak mengira bahwa ia akan bertemu dengan dua orang yang harus dilawannya.

“Kita tidak dapat berbuat lain,” kata orang yang bersenjata parang itu kepada kawannya.

“Kita memang harus membunuhnya,“ sahut yang lain, lalu, “Kita memang tidak usah ragu-ragu. Kau yang sudah bersenjata, lakukanlah. Jika kau tidak berhasil, akulah yang akan mencincangnya sampai lumat.”

Mahisa Murti bergeser surut selangkah. Ia harus benar-benar mapan dalam menghadapi lawannya yang bersenjata itu.

Namun dalam pada itu, ketika orang bersenjata parang itu mulai menyerang, tiba-tiba saja telah timbul keheranan di hati Widati yang pernah mengalami peristiwa-peristiwa yang mendebarkan. Perlahan-lahan ia bergeser dari tempatnya supaya tidak menarik perhatian. Akan tetapi kemudian iapun telah menyelinap dan berlari ke padukuhan induk Kabuyutan Randumalang.

Kawan-kawannya yang melihat Widati melarikan diri, menjadi bertambah gelisah. Namun mereka tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya. Tetapi Widati tidak sekedar melarikan diri. Dengan nafas terengah-engah ia memasuki gerbang padukuhan induk.

“Ada apa?“ bertanya seseorang yang melihatnya.

Widati tidak sempat menjawab. Tetapi ia berlari terus menuju ke rumahnya. Kehadirannya benar-benar mengejutkan. Ki Buyut meloncat dari tempat duduknya dan berlari mendapatkan anak gadisnya yang terengah-engah.

“Ada apa, Widati?“ bertanya Ki Buyut.

Orang-orang yang berkumpul di pendapa itupun menjadi gelisah. Merekapun segera turun dan mengerumuni gadis yang ketakutan itu. Dengan nafas bekejaran, Widati bercerita dengan tersendat-sendat atas apa yang terjadi di tepian.

“Katakan dengan jelas,“ minta Ki Buyut. Lalu, “Ambil minum untuk anak ini.”

Tetapi Mahisa Pukat tidak menunggu Widati minum. Meskipun tidak begitu jelas, ia dapat mengerti bahwa telah terjadi sesuatu di tepian. Karena itu, tiba-tiba saja ia telah meloncat dan berlari meninggalkan halaman rumah Ki Buyut menuju ke sungai tempat gadis-gadis mencuci pakaiannya. Namun demikian anak muda itu masih sempat menyambar dua bilah pedang yang tergantung di dinding gandok rumah Ki Buyut di Randumalang. Tanpa menghiraukan apapun juga, Mahisa Pukat berlari sekencang-kencangnya. Ia dapat merasakan, bahwa bahaya yang gawat sedang mengancam Mahisa Murti.

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti telah mengalami satu keadaan yang sangat gawat. Ketika seorang saja dari lawannya yang menyerangnya, biarpun dengan pedang, dengan loncatan-loncatan panjang, Mahisa Murti berhasil menghindarinya. Dengan melingkari bebatuan, maka ia dapat mengelakkan diri dari ujung pedang lawannya.

Karena itu maka katanya “Jangan berteriak-teriak saja. Jika kau ingin melakukan, cepat lakukan!”

Kawannya mengumpat kasar. Namun tiba-tiba iapun telah mencabut goloknya. Golok itu tidak begitu panjang. Tetapi golok itu terlalu besar dan berat. Namun demikian, di tangan pemiliknya, golok itu bagaikan selembar daun yang tidak berbobot.

Namun dengan demikian, kegagalan demi kegagalan orang berpedang itu telah membuat kawannya menjadi kehilangan kesabaran. Dengan suara lantang ia berkata, “Aku tidak sabar. Akulah yang akan membunuh.”

Kawannya menggeram. Tetapi ia benar-benar tidak dapat segera membunuh anak muda itu. Mahisa Murti menjadi tegang, la harus menghadapi dua orang bersenjata. Namun ia sudah dengan sengaja melibatkan dirinya, sehingga karena itu. maka ia tidak akan dapat ingkar, akibat apapun yang akan di alaminya.

Ketika kedua orang itu meloncat mendekat, maka Mahisa Murti telah bergeser menjauh. Namun ia tertarik ketika ia melihat sebatang pohon yang besar. Sebatang pohon beringin yang tumbuh di atas tebing.

“Aku tidak dapat melawan kedua pucuk senjata itu dengan tanganku,” kata Mahisa Murti di dalam hatinya. “Jika demikian aku hanya akan dapat meloncat-loncat menghindar dan menjauhi mereka. Tetapi aku tidak akan dapat menyerang mereka.”

Karena itu, Mahisa Murti kemudian telah mengambil satu keputusan untuk mendapatkan senjata. Sebagaimana telah dipelajarinya, maka ia pun mampu mempergunakan apa saja yang didapatkannya untuk mempersenjatai diri dalam keadaan yang memaksa. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah meloncat meninggalkan kedua lawannya.

“Jangan lari!“ teriak salah seorang lawannya. “Ia harus dibunuh!”

Yang lain tidak menjawab. Tatapi ia pun segera meloncat memhuru Mahisa Murti yang memanjat tebing. Tetapi Mahisa Murti memang tidak akan melarikan diri. Ketika ia sudah berada diatas tebing maka ia pun segera meloncat meraih sebatang sulur pohon beringin yang tumbuh di tepian itu. Dihentakkannya sulur itu hingga patah pada pangkalnya. Mahisa Murti sempat menggulung sulur itu sebelum kedua lawannya menyusulnya. Kemudian mempergunakan sepanjang yang dikehendakinya.

Kedua lawannya tidak sempat menghiraukan bagaimana anak muda itu bisa menghentak dan memutuskan sulur pada pangkalnya. Keduanya tak sempat menghitung dan menilai, betapa besar tenaga anak muda itu. Apalagi mereka sudah terlalu bangga akan kekuatan mereka masing-masing, sehingga mereka tidak mau melihat kelebihan pada orang lain.

Ketika kedua orang itu telah berada di atas tebing pula, kemudian dengan amat hati-hati mendekatinya dari dua arah, Mahisa Murti sudah bersenjata, meskipun tidak lebih dari sulur sebatang pohon beringin. Namun ketika kedua orang itu menjadi semakin dekat, maka Mahisa Murti mulai memutar ujung sulur ditanganya. Sulur itu memang tidak terlalu besar. Tetapi kekuatan Mahisa Murti yang tersalur pada sulur itu akan dapat membuat sulur itu menjadi senjata yang sangat berbahaya.

Kedua lawan Mahisa Murti itu termangu-mangu. Mereka saling berpandangan sejenak. Namun kemudian merekapun telah mengambil keputusan untuk menyerang bersama-sama. Mahisa Murti yang memegang sulur ditangannya itu menjadi semakin mapan. Meskipun sulurnya tidak sekuat senjata kedua orang lawannya, tetapi Mahisa Murti akan dapat mempergunakannya sebaik-baiknya.

Demikianlah, ketika orang bersenjata pedang itu meloncat menyerang, Mahisa Murti sempat mengelak. Sementara itu, ia sempat memutar sulur di tangannya, sehingga ketika lawannya yang lain kemudian menyusul menyerangnya pula, Mahisa Murti justru sudah menyambarnya dengan ujung sulurnya yang lebih panjang dari golok yang berat itu.

Orang itu mengumpat. Ia terpaksa mengurungkan serangannya dan justru menggeliat untuk menghindarkan diri dari sambutan ujung sulur Mahisa Murti. Demikianlah, dua orang yang berwajah kasar itu telah bertempur melawan Mahisa Murti dengan garangnya. Keduanya berloncatan, menyerang berganti-ganti, bahkan beruntun.

Namun Mahisa Murti masih sempat melindungi dirinya dengan senjatanya yang cukup panjang, meskipun Mahisa Murti tidak berani membenturkan senjatanya pada senjata lawannya. Ketika lawannya pada satu kali sempat menangkis sulur Mahisa Murti dengan pedangnya, maka sulur itupun telah terpotong sejengkal pada ujungnya.

Demikianlah, pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Tetapi semakin lama Mahisa Murti memang menjadi semakin terdesak. Setiap kali sulurnya bersentuhan, maka ujungnya langsung terpenggal, sedangkan lawannya berusaha agar anak muda itu tidak sempat mencari sulur yang baru. Tetapi kecepatan gerak Mahisa Murti masih juga dapat menolongnya dari kegarangan kedua lawannya, sehingga untuk beberapa saat lamanya ia masih akan dapat bertahan menghadapi karena kedua orang itu.

Ternyata bahwa akhirnya Mahisa Murti harus menyadari, bahwa sulur itu hanya mampu memperpanjang perlawanannya menghadapi kedua orang yang garang itu. Betapapun juga, Mahisa Murti mengalami kesulitan untuk dapat menyerang kedua lawannya. Seandainya ia hanya melawan seorang saja diantara kedua lawannya, mungkin ia masih mempunyai kesempatan meskipun ia hanya bersenjata sulur saja. Tetapi menghadapi dua orang, maka ia benar-benar mengalami kesulitan. Tetapi Mahisa Murti tidak akan lari. Ia akan berbuat apa saja untuk memperpanjang perlawanannya.

Namun demikian, sebenarnya Mahisa Murti menjadi kecewa bahwa gadis-gadis di tepian itu tidak juga melarikan diri dalam kesempatan itu. Agaknya mereka benar-benar sudah dicengkam oleh ketakutan sehingga untuk bergerakpun sudah terlalu sulit. Karena itu, maka Mahisa Murti berusaha untuk memancing pertempuran itu semakin jauh dari gadis-gadis yang ketakutan itu. Jika pada suatu saat, pertempuran itu sudah tidak mereka lihat lagi, mungkin timbul keberanian mereka untuk meninggalkan tepian.

Meskipun demikian, Mahisa Murti tidak bisa mengabaikan dua orang gadis yang bagaikan tertidur nyenyak karena sentuhan jari kedua orang berwajah kasar itu. Meskipun yang lain dapat melarikan diri, tetapi dua orang itu akan tetap menjadi korban kegarangan kedua orang kasar itu.

“Kalau saja aku dapat bertahan cukup lama,” berkata Mahisa Murti dalam hatinya. Tetapi ternyata semakin lama keadaannyapun menjadi semakin sulit.

Kedua orang itu melihatnya dari arah yang berbeda. Apalagi ketika mereka menyadari bahwa mereka sudah terlalu lama berada di tepian. Dengan menghentakkan kekuatan serta kemampuan mereka, maka Mahisa Murti menjadi semakin terdesak. Yang dapat dilakukannya kemudian adalah meloncat-loncat menghindar dan berusaha memancing arena pertempuran semakin jauh dari tepian.

Tapi lawan-lawannyapun menyadarinya sehingga mereka berusaha untuk menahan agar Mahisa Murti tidak dapat bergeser semakin jauh. Keadaan Mahisa Murti semakin lama memang menjadi semakin sulit. Sehingga akhirnya ia benar-benar tidak dapat berbuat terlalu banyak.

“Bunuh saja anak ini selekasnya,” geram yang seorang.

Yang bersenjata parangpun menyahut, “Aku akan mencincangnya dan melemparkannya kepada gadis-gadis itu.”

Yang lain tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Menarik sekali. Aku sependapat.”

Mahisa Murti sama sekali tidak menyahut. Ia sedang memikirkan cara untuk melepaskan diri. Namun yang memungkinkannya hanyalah satu-satunya jalan, yaitu menghindar dari pertempuran itu. Tetapi ia tidak sampai hati melakukannya, karena gadis-gadis masih ada di tepian, terlebih-lebih lagi, dua diantaranya dalam keadaan tidak sadar.

Selagi Mahisa Murti berada dalam kesulitan yang hampir tidak teratasi, maka Mahisa Pukat berlari sekencangnya ke tepian. Demikian ia turun ke sungai, maka ia tidak segera dapat melihat seseorang. Baru kemudian ia melihat dua orang gadis yang tergolek diatas pasir.

Dengan ragu-ragu ia mendekatinya. Ternyata kedua orang gadis itu tidak mati. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia menebarkan pandangannya ke tebing, menyusuri batu-batu padas dan pepohonan perdu, kemudian ia melihat beberapa orang gadis yang tegang dengan tubuh menggigil dan wajah pucat ketakutan.

“Kau lihat saudaraku?“ bertanya Mahisa Pukat dengan serta merta.

Gadis-gadis itu bagaikan membeku. Namun ada diantara mereka yang masih mampu menggerakkan tangannya, menunjuk kearah sebatang pohon beringin di seberang. Mahisa Pukat mengerti, bahwa Mahisa Murti tentu di bawah pohon itu. Apalagi setelah ia memperhatikan dengan seksama, maka iapun dapat melihat suasana benturan kekuatan di sekitar pohon beringin itu, meskipun ia tidak melihat orang-orang yang bertempur itu.

Dengan sigapnya Mahisa Pukatpun segera meloncat ke seberang sambil berteriak, “Tinggalkan tempat ini. Kembalilah ke padukuhan.”

Akan tetapi gadis-gadis itu tidak segera bergerak. Baru sejenak kemudian mereka saling berpandangan dari kejauhan, lalu satu-satu mulai bergeser dan berdiri tegak. Kemudian merekapun berusaha untuk saling mendekati lebih rapat lagi. Meskipun demikian, hampir semua mata dari gadis-gadis itu tengah menatap kedua orang kawannya yang terbaring diam.

Pada saat mereka ingin melarikan diri, maka mereka telah dijalari oleh perasaan cemas atas kedua orang kawannya yang seakan-akan pingsan itu. Bahkan beberapa diantara mereka menganggap seolah-olah kedua kawannya itu akan segera mati jika tidak mendapatkan pertolongan. Namun untuk mendekati mereka, gadis-gadis itu masih saja merasa ketakutan.

Dalam keragu-raguan itu gadis-gadis itu terkejut mendengar suara lantang di atas tebing seberang. “Mahisa Murti. Bertahanlah!”

Suara itu memang mengejutkan. Mahisa Murti yang sudah terjepit oleh satu keadaan yang sangat gawat, tiba-tiba saja merasa dadanya menjadi lapang.

Kedua orang lawan Mahisa Murti juga mendengar suara itu. Dengan serta merta mereka pun telah berpaling. Ternyata mereka melihat seorang anak muda yang lain berdiri tegak diatas tebing sambil menjinjing dua buah pedang.

“Pengecut!” geram Mahisa Pukat. “Kalian berdua telah bertempur melawan seorang yang tidak bersenjata!”

“Persetan!” geram salah seorang dari kedua orang berwajah kasar itu. “Aku tidak peduli apa yang kau katakan. Tetapi jika kau ikut campur, maka kaupun akan aku bunuh pula. Siapapun juga kau!”

“Ia juga seorang pengawal Kabuyutan seperti aku,” jawab Mahisa Murti yang berdiri tegak dengan dada tengadah.

“Jangan banggakan kedudukan kalian sebagai pengawal,” berkata orang yang bersenjata pedang. “Sebentar lagi kalian akan mati!”

Mahisa Pukat justru tertawa. Ia tidak mengalami ketegangan seperti Mahisa Murti, meski pun sepanjang lorong saat ia berlari seperti dikejar setan, ia merasa gelisah juga.

“Jangan sesumbar,” kata Mahisa Pukat. Tanpa menghiraukan kedua orang itu ia berjalan mendekati Mahisa Murti. Katanya sambil menyerahkan pedang Mahisa Murti. “Ini senjata milikmu. Dengan pedang itu, kau akan dapat bertahan lebih baik lagi...”