Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 05
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA MURTIdan Mahisa Pukat pun telah diberitahu pula, bahwa esok pagi mereka akan berangkat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapat masing-masing seekor kuda bagi perjalanan yang akan ditempuhnya.

Demikianlah, ketika fajar menyingsing Empu Nawamula sudah bersiap bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka akan menempuh perjalanan yang cukup panjang. Empu Nawamula telah mendapat petunjuk dari Singatama, arah mana yang harus ditempuhnya sehingga Empu itu akan sampai pada sebuah padukuhan tempat tinggal paman gadis yang telah menarik perhatian Singatama itu.

Namun agaknya dua orang cantrik yang telah ditunjuk untuk mengikuti perjalanan Empu Nawamula itu telah menarik perhatian Singatama. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah siap meloncat ke punggung kudanya, Singatama yang sudah berada di halaman padepokan itu pula telah mendekati keduanya. Diamatinya kedua anak muda itu seorang demi seorang. Dengan nada berat Singatama itu berkata, “Aku belum pernah melihat kedua anak ini”

“Keduanya orang baru di padepokan ini” sahut Empu Nawamula.

Singatama mengangguk-angguk. Katanya pula, “Selama aku berada di padepokan ini, agaknya keduanya bersembunyi saja. Atau sengaja menghindar. Atau barangkali aku tidak memperhatikannya”

“Keduanya bekerja seperti kawan-kawannya” jawab Empu Nawamula, “mungkin kau tidak memperhatikannya”

Singatama mengangguk-angguk. Disentuhnya pundak Mahisa Pukat. Katanya, “Nampaknya tubuhmu kuat seperti seekor banteng muda. He, kau juga seperti seekor anak gajah. Nampaknya kau mempunyai tenaga yang luar biasa. Tetapi kau tentu agak malas” katanya pula kepada Mahisa Murti.

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti hanya menundukkan kepalanya saja. Mereka berusaha untuk menahan diri agar tidak timbul persoalan baru diantara mereka.

“Mereka cukup rajin” berkata Empu Nawamuala, “untuk memberikan pengalaman kepada mereka, maka aku akan membawa mereka menempuh perjalanan ini”

“Nampaknya keduanya masih terlalu dungu” berkata Singatama, “tetapi terserah kepada paman, bahwa paman akan mengajak keduanya”

“Justru karena keduanya masih terlalu hijau, maka aku ingin menunjukkan kepada mereka, bahwa mereka harus menyesuaikan diri dengan kerasnya kehidupan” sahut Empu Nawamula.

“Tetapi jika paman menemui kesulitan di perjalanan, maka paman tidak dapat berharap, kedua anak-anak ingusan ini akan dapat membantu” desis Singatama.

“Mudah-mudahan perjalananku lancar” jawab Empu Nawamula.

***(ceritanya loncat: Emang dari sononya)***

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun merasakan perubahan suasana pertemuan itu. Ki Rangganiti tidak lagi bersikap kasar. Bahkan kemudian sikapnya menjadi ramah. Katanya selanjutnya, “Ia menganggap bahwa segala yang dikehendakinya tidak akan dapat di tentang”

“Dan anak itu menghendaki kemanakan Ki Rangganiti?” sahut Empu Nawamula.

“Ya, Ki Sanak. Ia menginginkan kemanakanku itu. Tetapi ia sama sekali tidak berbuat sebagaimana seharusnya. Ia tidak berkenalan dengan kemanakanku sebagai mana sewajarnya seorang anak muda berkenalan dengan seorang gadis. Tetapi Singatama mulai dengan mengganggu kemanakanku. Karena itu, maka aku terpaksa selalu mengawasinya. Setidak-tidaknya orang-orangku selalu bersamanya kemana ia pergi. Akhirnya aku menjadi cemas, bahwa pada suatu saat aku akan lengah, sehingga kemanakanku itu akan mengalami kesulitan yang gawat” berkata Ki Rangganiti dengan nada dalam.

“Ki Rangganiti” berkata Empu Nawamula kemudian, “ternyata yang aku dengar dari Singatama agak berbeda. Menurut Singatama. Ia sudah sepakat dengan kemanakan Ki Rangganiti. Tetapi Ki Rangganiti lah yang berkeberatan, karena Ki Rangganiti mempunyai perhitungan yang lain. Ki Rangganiti menghendaki Singatama berhubungan saja dengan anak gadis Ki Rangganiti sendiri.

“He” Ki Rangganiti terkejut. Lalu, “Anak itu sudah memutar balikkan kenyataan. Tetapi sekali lagi aku ingin bertanya, apakah Ki Sanak benar-benar tidak akan berbuat sesuatu melampaui seorang utusan? Jika Ki Sanak berpendirian bahwa kemanakan Ki Sanak itu sudah sepakat untuk hidup bersama dengan kemanakanku, selanjutnya Ki Sanak akan dapat memaksakan kehendak Ki Sanak untuk mengambil kemanakanku itu”

“Tidak Ki Rangganiti” jawab Empu Nawamula, “aku tetap seorang utusan yang tidak mempunyai kekuasaan lebih dari menyampaikan satu permohonan. Ditolak atau diterima, aku hanya dapat menyampaikan jawaban itu kepada yang berkepentingan”

Ki Rangganiti mengangguk-angguk, katanya, “Jika demikian, baiklah aku katakan, bahwa yang dikatakan oleh Singatama itu adalah satu ceritra ngayawara. Semuanya tidak benar. Aku memang mempunyai seorang anak gadis. Tetapi ia tidak akan aku perbolehkan, apalagi hidup bersama Singatama, berkenalan pun tidak akan aku ijinkan”

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Katanya, “Aku percaya kepada Ki Rangganiti. Aku mengerti, kenapa Ki Rangganiti mengambil satu keputusan untuk menyingkirkan kemanakannya Ki Rangganiti” Empu Nawamula berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apakah di tempatnya yang baru, anak gadis itu cukup mendapat perlindungan?”

"Sebenarnya keadaannya tidak jauh berbeda. Di sini pun perlindungan yang sebenarnya kurang memadai. Mungkin kami dapat mencegah usaha yang kasar dari Singatama sendiri dengan mengerahkan beberapa orang. Tetapi jika pada suatu saat, Singatama membawa kekuatan yang ada di belakangnya, mungkin kami tidak akan dapat bertahan. Justru karena itu, maka pertanggungan jawab atas gadis itu kepada ayahnya akan menjadi terlalu berat bagiku, sehingga akhirnya aku memutuskan untuk menyerahkan kembali anak itu kepada orang tuanya. Tetapi aku sudah berpesan, agar mereka berhati-hati mengawasi anak gadisnya. Mungkin untuk beberapa lamanya, Singatama tidak akan berhasil menemukan gadis itu. Tetapi jika ia masih selalu memburunya, mencarinya dengan segala cara, mungkin pada suatu saat ia akan menemukannya”

Empu Nawamula menarik nafa dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Kasihan gadis itu. Apakah rumah orang tuanya cukup jauh dari padukuhan ini?”

Wajah Ki Rangganiti menjadi tegang. Tiba-tiba ia berkata, “Aku sudah terpancing untuk mengatakan bahwa gadis itu ada pada orang tuanya. Itu satu kesalahan. Tetapi sudah tentu bahwa aku tidak akan mengatakan, di mana rumah orang tuanya. Maaf, bagaimanapun juga aku masih belum dapat mempercayai Ki Sanak sepenuhnya dalam hubungannya dengan Singatama”

“Aku mengerti Ki Rangganiti” jawab Empu Nawamula. “karena itu, baiklah aku tidak akan memaksa untuk mengetahui, dimana rumah orang tuanya”

“Ya. Aku tidak akan mengatakannya. Bahkan aku menyesal bahwa aku sudah mengatakannya, bahwa ia telah aku kirimkan kembali kepada orang tuanya. Namun baiklah aku katakan pula, bahwa perlindungan bagi gadis itu akan lebih baik justru setelah padukuhan ayahnya baru saja mengalami pergolakan. Dengan demikian, maka orang-orang padukuhan itu akan menjadi berhati-hati. Apalagi aku sudah memberikan beberapa keterangan tentang Singatama” berkata Ki Rangganiti.

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya sikap Ki Rangganiti, sehingga karena itu, maka beberapa saat Empu Nawamula tidak mengatakan sesuatu.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang menjadi gelisah. Adalah diluar kehendak mereka, jika tiba-tiba saja mereka telah teringat sesuatu. Pengalaman dari perjalanan mereka yang belum terlalu jauh itu. Karena itu, adalah juga diluar sadarnya, bahwa tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata, “Apakah gadis itu anak seorang Buyut?”

Wajah Ki Rangganiti tiba-tiba menjadi tegang. Dipandanginya Mahisa Murti dengan tajamnya. Bahkan kemudian dengan suara bergetar ia berkata, “Darimana kau tahu, bahwa ia anak seorang Buyut? Apakah dengan demikian berarti bahwa kau sudah mengadakan penyelidikan lebih jauh bagi kepentingan Singatama?”

Mahisa Murti terkejut mendengar pertanyaan itu. Baru kemudian ia sadar, bahwa ia telah menyebut sesuatu yang dapat menumbuhkan ketegangan baru. Tetapi ia sudah mengucapkannya. Bahkan kemudian Empu Nawamula pun memandanginya dengan tatapan mata keheranan.

“Coba katakan” berkata Ki Raganiti, “siapa yang mengatakan bahwa kemanakanku itu anak perempuan seorang buyut?”

Mahisa Murti menjadi gelisah. Tetapi Mahisa Pukatlah yang kemudian menyahut, “Ki Raganiti. Dalam pengembaraan kami, kami telah singgah di sebuah Kabuyutan. Anak perempuan Ki Buyut itu ternyata baru saja pulang dari rumah pamannya. Hal itulah yang telah mempengaruhi jalan pikiran kami, sehingga tidak sengaja saudaraku itu telah menyebut anak perempuan seorang Buyut”

“Coba katakan, anak Kabuyutan manakah yang kau maksud?” bertanya Ki Raganiti.

“Tentu saja tidak ada hubungannya dengan ceritera Ki Raganiti” jawab Mahisa Pukat, “Kabuyutan itu terletak ditempat yang cukup jauh”

“Nama Kabuyutan itu” Ki Raganiti tidak sabar.

“Randumalang” jawab Mahisa Pukat dengan jujur.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Keterangan Mahisa Pukat yang terus-terang itu justru telah membuatnya agak tenang. Sehingga dengan demikian, maka ia pun akan dapat mengatakan sebagaimana adanya.

Tetapi adalah di luar dugaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Jawaban Mahisa Pukat dengan menyebut nama Kabuyutan itu, telah membuat wajah Ki Raganiti menjadi semakin tegang. Bahkan kemudian dengan suara lantang ia berkata, “Anak-anak muda. Apakah kalian memang dengan sengaja ingin mempermainkan aku. Empu Nawamula telah mengatakan, bahwa ia hanya sekedar utusan. Semula aku mempercayainya. Tetapi ternyata bahwa kalian bertiga, datang dengan satu sikap pasti. Bahkan mungkin kalian telah berhasil menculik gadis itu untuk kepentingan Singatama, sehingga kehadiran kalian sekarang ini semata- mata adalah satu usaha penghinaan belaka”

Empu Nawrmula pun menjadi bingung. Bahkan kemudian ialah yang bertanya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Aku kurang mengerti, siapakah yang kalian sebutkan. Mungkin satu pengalaman dalam pengembaraan kalian sebelum kalian datang ke padepokanku”

“Ya Empu” jawab Mahisa Pukat, “kami memang singgah di Kabuyutan Randumalang”

“Jangan menganggap kami orang-orang yang sama sekali tidak berarti. Sudah aku katakan, bahwa aku sudah mempersiapkan orang-orangku. Sekarang, katakan. Apa maksud kalian sebenarnya datang kemari. Apakah kalian akan mengatakan, bahwa kalian telah berhasil menemukan gadis itu dan menculiknya? Atau kalian barangkali ingin memeras kami?”

“Jangan berprasangka terlalu buruk Ki Raganiti” berkata Empu Nawamula, “sebenarnyalah aku ingin mendengar, apa yang telah dijumpai oleh kedua orang anak muda ini.”

“Omong kosong” geram Ki Kaganiti, “bagaimana mungkin Ki Sanak masih akan bertanya kepada orang- orang dari padepokan Ki Sanak sendiri”

“Ki Raganiti” berkata Mahisa Murti kemudian, “baiklah aku menceriterakan apa yang aku ketahui tentang seorang gadis. Hal ini sama sekali belum pernah aku ceriterakan kepada Empu Nawamula di saat-saat aku berada di padepokan, karena kami berdua menganggap bahwa persoalan ini sama sekali tidak penting dan tidak ada hubungannya dengan kehadiran kami di padepokan Empu Nawamula”

Ki Raganiti mengerutkan keningnya, sementara Mahisa Murti menceriterakan perkenalannya dengan seorang gadis Randumalang yang bernama Widati. Ketegangan benar-benar mencengkam jantung Ki Raganiti. Namun menilik cara mengucapkan dan urutan ceriteranya, maka Mahisa Murti telah mengatakan dengan jujur.

“Ki Raganiti” berkata Mahisa Murti kemudian, “menilik sikap Ki Raganiti, maka aku dapat menduga, bahwa gadis yang Ki Raganiti maksudkan, adalah gadis yang aku sebutkan. Gadis yang meninggalkan rumah pamannya karena gangguan seorang anak muda yang tidak disukainya. Jika benar demikian, bahwa Widati yang dipanggil Ireng itu adalah kemanakan Ki Raganiti yang sedang bersembunyi di rumah orang tuanya, maka kami berdua minta maaf, karena kami tidak sengaja telah tersangkut ke dalam persoalan itu.

Ki Raganiti menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Empu Nawamulapun berkata, “Sebenarnyalah, bahwa aku sama sekali tidak mengetahui peristiwa yang pernah dialaminya”

Sejenak Ki Raganiti terdiam. Namun akhirnya ia berkata, “Sekali lagi aku telah salah sangka. Aku percaya akan keterangan anak-anak muda itu. Agaknya kalian memang pernah singgah di Randumalang”

“Ya” desis Mahisa Pukat, “kami berada di Randumalang justru pada saat Randumalang sedang bergejolak. Tetapi pada saat kami berada di Kabuyutan itu, maka pergolakan itu sudah berakhir. Sehingga beberapa hari kemudian aku melihat anak perempuan Ki Buyut itu telah berada di Kabuyutan”

Ki Raganiti mengangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnyalah Ki Sanak. Kemanakanku yang bernama Widati itulah yang telah menimbulkan persoalan dengan Singatama. Mudah-mudahan ayahnya mempunyai kekuatan untuk melindunginya, apabila pada suatu saat Singatama dapat menemukannya”

Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Di luar dugaannya, bahwa gadis yang dipersoalkan itu justru telah pernah ditemui oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Karena itulah, maka kedua anak muda itu pun mengetahuinya di mana gadis itu menyembunyikan diri dari pengamatan Singatama.

Namun dalam pada itu, Ki Raganiti bertanya, “Ki Sanak. Aku tidak dapat ingkar, bahwa gadis itulah yang sedang bersembunyi. Ternyata bahwa kedua anak muda itu telah menemukannya. Tentu saja, terserah kepada kalian, apakah kalian akan mengatakannya kepada Singatama atau tidak. Tetapi sudah tentu bahwa kami bertekad untuk menyelamatkan gadis itu dari tangan Singatama, dengan cara dan pengorbanan apapun juga”

Empu Nawamula mengangguk-angguk sambil bergumam, “Ki Raganiti. Singatama adalah kemanakanku. Sudah tentu bahwa aku tidak dapat mencuci tangan akan tingkah lakunya. Maksudku, bahwa aku tidak akan memenuhi segala keinginannya, tetapi adalah menjadi kewajibanku untuk mengekangnya, apabila ia sudah melakukan satu perbuatan yang dapat merugikan orang kami”

Ki Raganiti memandang wajah Empu Nawamula dengan tajamnya. Sejenak ia berusaha merenungi kata-kata Empu Nawamula. Baru kemudian ia berkata, “Jadi maksud Empu, bahwa niat Singatama itu harus dicegah”

“Jika benar seperti yang Ki Raganiti katakan, bahwa sebenarnya Widati itu tidak bersedia menerima Singatama untuk hidup bersama” berkata Empu Nawamula.

“Aku tidak mempunyai cara untuk membuktikannya. Tetapi mungkin kedua anak muda yang telah mengetahui tempatnya itu dapat bertanya langsung kepada gadis itu” jawab Ki Raganiti, “itu pun harus mendapat pengawasan sebaik-baiknya. Karena bagaimanapun juga, aku berkewajiban melindungi kemanakanku”

“Ki Raganiti” berkata Mahisa Murti kemudian, “aku menjadi saksi, bahwa Widati sama sekali tidak tertarik ke pada Singatama. Aku dapat memastikannya, karena gadis itu kembali kerumah orang tuanya, karena menghindarkan diri dari seorang anak muda. Menurut dugaanku, anak muda yang dimaksud adalah Singatama”

Empu Nawamula mengangguk-angguk, sementara Ki Raganiti berkata, “Apakah kau pernah mendengar pengakuannya itu?”

“Ya” jawab Mahisa Murti, “Widati pernah mengatakan kepadaku. Meskipun saat itu keterangannya tidak jelas, tetapi saat ini aku mampu menghubungkan persoalannya”

Ki Raganiti menarik nafas panjang. Katanya, “Empu. Bukankah sudah jelas”

“Ya Aku percaya kepada keterangan anak muda ini” jawab Empu Nawamula, “karena itu, maka aku berkesimpulan, bahwa aku harus mencegah Singatama. Sementara itu. Aku pun berkesimpulan, bahwa aku harus tetap merahasiakan tempat gadis itu”

Ki Raganiti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih Ki Sanak. Ternyata bahwa Ki Sanak dapat mengetahui kesulitan yang sedang kami alami”

“Baiklah Ki Raganiti” berkata Empu Nawamula, “aku akan kembali ke padepokan. Aku akan mengatakan kepada Singatama, bahwa lamaranku ditolak. Dan aku pun akan mengatakan, bahwa gadis itu berada di tempat yang jauh dan tidak diketahui, karena Ki Raganiti telah merahasiakannya”

“Mudah-mudahan Empu dapat mencegah tingkah laku anak muda yang selama ini telah sangat menggelisahkan keluarga kami” berkata Ki Raganiti.

“Aku akan berusaha” jawab Empu Nawamula. Lalu, “Sebaiknya kami minta diri. Kami akan dapat mengatur, apa yang sebaiknya kami lakukan di sepanjang perjalanan kami, sehingga saat kami sampai di padepokan, kami akan dapat menjawab segala pertanyaan Singatama dengan mapan”

“Jadi, apakah Empu akan kembali sekarang?” bertanya Ki Raganiti.

“Ya. Kami muhon diri” jawab Empu Nawamula.

Tetapi, ternyata Ki Raganiti menahannya. Katanya, “Hari menjadi malam. Sebaiknya Empu bermalam disini. Besok Empu dapat kembali setelah hari menjadi terang”

Empu Nawamula tidak dapat menolak. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun sama sekuli tidak berkeberatan. Dalam pada itu, Ki Raganiti yang kemudian mengetahui bahwa tamu-tamunya bukan orang yang harus dicurigai akan bertindak kasar, telah mengisyaratkan kepada pembantu-pembantunya untuk memberikan hidangan kepada tamu-tamunya.

Setelah berbicara beberapa lamanya tentang persoalan yang lain, yang tidak menyangkut gadis yang bernama Widati itu, dan yang berkisar pada kehidupan sehari-hari, maka pintu pringgitanpun terbuka. Seorang gadis dengan membawa nampan berisi mimuman dan makanan berjalan sambil bejongkok mendekati mereka yang sedang duduk berbincang.

“Ini adalah anak gadisku” berkata Ki Raganiti setelah gadis itu masuk kembali keruang dalam, “agaknya gadis inilah yang telah disebut-sebut oleh Singatama”

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Katanya, “Singatama memang mengatakannya, bahwa Ki Raganiti sebenarnya ingin menjodohkan anak gadis Ki Raganiti sendiri. Karena itu, Ki Raganiti telah menolak Singatama yang menginginkan gadis yang bernama Widati itu”

“Empu besok dapat bertanya langsung kepada anak gadisku. Ia memilih membunuh diri daripada harus menjadi isteri seorang anak muda yang bernama Singatama, sebagaimana akan dilakukan oleh Widati. Karena itu, maka aku harap Empu dapat menilai keterangan Singatama itu”

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Tetapi sebagaimana Ki Raganiti mempercayai keterangannya dan keterangan kedua anak muda yang bersamanya itu, maka Empu Nawamulapun percaya kepada keterangan Ki Raganiti.

Dalam pada itu, ketika malam menjadi larut, ketiga orang itupun kemudian dipersilahkan untuk beristirahat di gandok. Namun dalam pada itu, maka Empu Nawamula dan kedua orang anak muda yang menyertainya itupun melihat, bahwa di halaman itu telah bersiap-siap beberapa orang yang dapat bertindak apabila ketiga orang tamu Ki Raganiti itu berbuat sesuatu yang bersifat kekerasan.

Namun dalam pada itu, hampir semalam suntuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat memejamkan matanya. Gadis yang bernama Widati itu ternyata telah menimbulkan persoalan yang tidak pernah mereka duga sebelumnya. Sehingga jika Singatama benar-benar ingin memaksakan kehendaknya, maka Singatama itu tentu akan berhadapan dengan Mahisa Murti. Jika demikian maka Mahisa Pukatpun tidak akan melepaskan saudaranya itu berbuat sendiri.

Tetapi dalam pada itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum tahu pasti, betapa tinggi dan lengkapnya ilmu pertapa yang disebut sebagai guru Singatama. Bersumber ilmu yang hitam, orang itu tentu mempunyai kemampuan yang sangat tinggi. Meskipun tidak saling membicarakannya, kedua anak muda itu rasa-rasanya telah menjadi kanak-kanak kembali. Sebagaimana pada masa kanak-kanak mereka, jika mereka gagal untuk melakukan sesuatu, maka merekapun segera berlari kepada ayahnya untuk membantunya.

Namun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa bahwa mereka telah dibekali dengan ilmu yang lengkap oleh ayah mereka. Bahkan oleh Witantra dan Mahisa Agni. Karena itu, maka mereka tidak boleh lagi merengek seperti kanak-kanak. Mereka harus berusaha memecahkan masalah yang mereka hadapi.

“Tetapi dalam keadaan tertentu, apa salahnya jika ayah mengetahui persoalannya” berkata kedua anak muda itu didalam hatinya, karena menurut angan-angan mereka, pertapa yang mengangkat Singatama sebagai muridnya itu adalah seorang yang memiliki kemampuan yang luar biasa dalam kesesatan. Di samping orang itu tentu terdapat kekuatan yang mendukungnya. Satu lingkungan kekuatan hitam yang cukup besar.

Namun demikian, kedua anak muda itu masih harus menunggu perkembangan pesoalannya. Mereka tidak dapat berbuat tergesa-gesa. Baru ketika malam hampir menginjak dini hari, kedua anak muda itu dapat tertidur untuk beberapa saat. Tetapi tidak terlalu lama, karena sebentar kemudian, ayam jantan pun telah berkokok untuk yang terakhir kalinya di malam itu. Namun yang sebentar itu telah membuat mereka menjadi segar kembali.

Pagi-pagi benar Mahisa Pukat telah pergi ke pakiwan. Tetapi langkahnya tertegun, ketika ia melihat seseorang sedang mengambil air di sumur disebelah pakiwan. Namun Mahisa Pukat menjadi herdebar-debar ketika ia mendengar orang yang mengambil air itu menyapanya, “Apakah Ki Sanak akan pergi ke pakiwan?”

Mahisa Pukat termangu-mangu. Ternyata yang berada di sumur itu adalah gadis sang semalam menyuguhkan minuman dan makanan di pendapa. Dengan segan Mahisa Pukat pun menjawab pendek, “Ya”

"Silahkan” berkata gadis itu sambil melepaskan timba senggot yang sudah hampir ditariknya. Dengan menjinjing kelenting maka gadis itu pun meninggalkan sumur menuju ke pintu dapur di hagian belakang rumahnya yang di batasi oleh sebuah longkangan.

Mahisa Pukat memandangi gadis itu sampai hilang di balik pintu dapur yang masih diterangi dengan lampu minyak. Ia sudah melihat wajah gadis itu semalam. Rasa-rasanya ada sesuatu yang melekat di dalam angan-angannya tentang gadis itu.

“Ada beberapa persamaannya dengan Widati” gumam Mahisa Pukat diluar sadarnya. Tetapi Mahisa Pukat itu menggeleng. Ia berusaha untuk mengusir angan-angannya tentang gadis itu. Dengan sigapnya ia pun kemudian meraih senggot timba dan sejenak kemudian senggot itu pun telah berderit memanjang. Mahisa Pukat dengan cepat mengisi pakiwan itu sehingga penuh. Baru kemudian iapun mandi untuk membuat tubuhnya menjadi semakin segar.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Murtipun telah menyusulkan. Baru yang terakhir adalah Empu Nawamula. Ketika langit menjadi terang, maka ketiga orang itu pun telah bersiap Mereka ingin segera kembali ke padepokan dan memberitahukan kepada Singatama hasil pembicaraan mereka dengan Ki Raganiti. Mereka hanya akan mengatakan bahwa Ki Raganiti tetap tidak setuju dan menolak lamaran Singatama, sementara itu kemanakannya telah disembunyikan di tempat yang tidak diberitahukannya.

Namun demikian, Ki Raganiti masih menahannya barang sejenak untuk memberikan hidangan minuman dan makanan hangat di pagi-pagi yang sejuk. Baru kemudian Empu Nawamula bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah minta diri.

“Aku mohon maaf Empu” berkata Ki Raganiti, “mungkin keputusanku menolak lamaran kemanakan Empu itu akan menimbulkan persoalan dalam keluarga Empu”

“Aku akan mencoba mengatasinya Ki Raganiti” jawab Empu Nawamula, “agaknya itu memang menjadi kewajibanku”

Ki Raganiti menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa Singatama tidak akan begitu saja menerima keputusan atas lamarannya. Anak muda itu tentu akan menjadi marah. Dan tidak mustahil bahwa ia akan mengambil langkah-langkah tertentu yang akan dapat menimbulkan persoalan baru.

Dalam pada itu, ketika segalanya telah siap, maka Empu Nawamula dan kedua orang anak muda yang menyertainya itupun sekali lagi minta diri untuk kembali kepadepokannya.

Dalam pada itu, diluar dugaan, anak gadis Ki Raganiti itupun telah mengantarkan tamu-tamunya sampai ke regol. Bahkan ketika Mahisa Pukat memandanginya, gadis itu telah menatapnya pula, sehingga justru karena itu, maka keduanya cepat-cepat mengalihkan arah tatapan mata mereka ke kejauhan.

Sejenak kemudian, maka Empu Nawamula dan kedua orang cantrik yang khusus itu pun telah meninggalkan rumah Ki Raganiti dengan kesan tersendiri. Bahkan dengan demikian merekapun menjadi pasti, bahwa Singatama memang ingin memaksakan kehendaknya untuk memiliki seorang gadis yang bernama Widati, yang sejak beberapa saat lamanya telah disembunyikan di rumah orang tuanya dari penglihatan anak muda yang bernama Singatama.

“Apakah kira-kira yang akan dikatakan oleh kemanakan Empu itu” bertanya Mahisa murti.

Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang hijaunya pepohonan ia kemudian berdesis, “Banyak kemungkinan dapat terjadi. Tetapi yang pasti, ia akan tetap berusaha untuk memiliki gadis itu. Saat ini ia masih berusaha untuk mencari jalan yang paling baik. Ia minta aku untuk melamar gadis itu baginya. Tetapi agaknya ia akan dapat bertindak lebih keras. Ia akan dapat berhubungan dengan gurunya dan kekuatan di sekitarnya”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Pukatpun berkata, “Tetapi lingkungan Ki Buyut di Randumalang telah berubah”

“Apa yang berubah?” bertanya Empu Nawamula.

“Anak-anak muda di Randumalang tidak lagi terlalu lemah. Meskipun serba sedikit mereka telah memiliki dasar pengetahuan mempergunakan senjata yang setiap hari tentu akan mereka kembangkan sendiri” berkata Mahisa Pukat. “Justru karena itu, mereka akan dapat membantu melindungi anak gadis Ki Buyut yang terancam oleh Singatama itu”

“Mudah-mudahan” sahut Empu Nawamula sambil mengangguk-angguk, “tetapi jika Singatama datang bersama sepuluh orang dan gurunya, maka anak-anak muda Randumalang itu tidak akan banyak dapat berbuat banyak. Mungkin mereka sempat mengusir Singatama. Tetapi korban tentu akan terlalu banyak”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Memang mungkin sekali terjadi. Sepuluh orang yang garang apalagi guru Singatama yang bersumber pada ilmu hitam itu. tentu bukan lawan yang akan dapat diatasi oleh anak-anak muda Randumalang.

Sementara itu, mereka bertiga pun telah berpacu semakin lama semakin jauh. Sekali-sekali mereka harus beristirahat. Sehingga ketika matahari mulai merendah, mereka pun menjadi semakin mendekati padepokan mereka.

“Rasa-rasanya perjalanan kembali menjadi lebih pendek” berkata Mahisa Pukat.

“Tetapi bukankah jaraknya tidak berubah?” bertanya Empu Nawamula.

“Ya. Tentu tidak berubah” sahut Mahisa Pukat.

“Karena itu, perasaan kita bukanlah ukuran yang pasti. Yang terasa pendek, sebenarnya adalah panjang dan sebaliknya” berkata Empu Nawamula.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun sependapat, bahwa perasaan bukanlah alat pengukur yang baik. Juga terhadap kebenaran.

Dalam pada itu, semakin mereka mendekati padepokan, maka mereka pun menjadi berdebar-debar. Bahkan Empu Nawamula itupun berkata, “Ada beberapa kemungkinan terjadi di padepokan, ngger. Mungkin kita akan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mungkin kita akan mengumpat di dalam hati. Mungkin pula kita akan disakiti, jika tidak tubuh kita, adalah hati kita. Tetapi mungkin pula kita harus membela diri”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka berpendirian, bahwa mereka bukan sanak bukan kadang Singatama. Karena itu, maka mereka pun tidak akan membiarkan diri mereka disakiti. Apalagi mengalami nasib yang paling buruk dengan tanpa membela diri sama sekali. Karena itu, maka kedua anak muda itu pun telah mempersiapkan diri lahir dan batin. Mereka akan menghadapi segala kemungkinan dengah sikap dan landasan mereka.

Sebenarnyalah, bahwa ketika mereka bertiga melihat regol padepokan, maka jantung mereka serasa herdetak semakin cepat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tiba tiba saja, diluar kehendak mereka sendiri, keduanya berkuda sebelah menyebelah di belakang Empu Nawamula. Seolah- olah mereka telah berjanji di dalam diri mereka, bahwa apapun yang akan terjadi, keduanya akan menghadapi dengan tabah.

Sejenak kemudian, maka mereka bertiga pun telah sampai di depan regol padepokan. Meskipun padepokan itu adalah padepokan sendiri, tetapi ternyata bahwa Empu Nawamula telah berhenti di depan regol. Sekilas ia berpaling kepada kedua orang anak muda yang mengikutinya, seolah-olah ingin memberi mereka peringatan, agar mereka bersiap menghadapi segala kemungkinan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak, namun mereka pun benar-benar telah mempersiapkan diri mereka.

Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun telah menyentuh leher kudanya yang kemudian berjalan perlahan-lahan memasuki regol halaman padepokannya diikuti oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Demikian mereka memasuki halaman, maka dengan tergesa-gesa Singatama yang berada di pendapa, telah menyongsong mereka. Demikian Empu Nawamula meloncat turun diikuti oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, Singatama telah berteriak,

“Nah, bukankah paman berhasil? Apa kata kelinci tua itu? Dan bukankah paman telah diberitahu, dimana gadis itu bersembunyi?”

Empu Nawamula termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Biarlah aku duduk dahulu di pendapa. Biarlah nafasku senggang sehingga aku dapat berkata kalimat demi kalimat”

“Ah” desah Singatama, “paman mengada ada saja. Apa beratnya mengatakan satu dua kalimat?”

“Aku lelah sekali. Jika kau mendesak aku begitu, aku tidak akan mengatakannya sama sekali” jawab Empu Nawamula.

“Gila” geram Singatama, “setua paman masih juga merajuk”

Empu Nawamula tidak menjawab. Ia pun kemudian mencuci kakinya pada sebuah belanga yang tersedia di bawah ia sebatang pohon pacar kuning, demikian pula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Biarlah kakiku kering. Aku akan duduk di pendapa dan memberi tahukan hasil perjalananku” berkata Empu Nawamula.

“Berhasil atau tidak. Hanya itu jawab yang ingin aku dengar” teriak Singatama.

Tetapi Empu Nawamula tidak menghiraukannya. Ia pun kemudian melangkah mendekati pendapa. Di tangga pendapa ia duduk sambil membersihkan telapak kakinya yang basah dan dilekati oleh debu. Baru kemudian, Empu Nawamula itu pun bergeser ke tengah pendapa padepokan itu diikuti oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Rasa-rasanya Singatama sudah tidak telaten lagi. Demikian Empu Nawamula dan kedua anak muda itu mapan, maka sekali lagi ia bertanya mendesak, “Bagaimana hasil perjalanan paman? Aku tidak sabar lagi menunggu”

Dengan sareh Empu Nawamula berkata, “Singatama. Cobalah kau bersabar sedikit. Biarlah nafasku agak teratur. Baru saja aku datang dari perjalanan yang panjang”

“Sudahlah paman. Jika paman menjawab pertanyaanku, maka persoalannya menjadi jelas. Satu kalimat saja aku kira sudah cukup, sepanjang kalimat paman yang berisi keluhan tanpa akhir itu” potong Singatama.

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Aku akan mengatakan hasil perjalananku”

“Cepatlah” bentak Singatama.

Sikap Singatama itu membuat Empu Nawamula menjadi marah. Bagaimanapun juga ia menahan diri, tetapi bahwa kemanakannya itu telah membentaknya, rasa-rasanya jantungnya menjadi semakin cepat berdentang. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia menjawab, “Baiklah. Jika kau ingin cepat, dengarlah. Lamaranmu telah ditolak”

Jawaban itu bagaikan deru guntur yang menggelegar di langit. Wajah Singatama menjadi tegang. Namun kemudian warna merah telah membara di sorot matanya. “Apakah maksud paman?” anak muda itu bertanya.

“Sudah jelas. Seperti yang kau inginkan. Aku berkata apa adanya. Cepat dan satu kalimat” jawab Empu Nawamula.

Ketegangan di wajah Singatama menjadi semakin tajam. Tetapi ia pun mengerti, bahwa pamannya mulai kehilangan kesabaran. Karena itu, Singatama lah yang berusaha mengekang diri, karena ia tidak yakin akan jawaban pamannya. “Katakanlah sebaik-baiknya paman” pinta Singatama.

“Sudah aku katakan. Lamaranmu ditolak. Ki Raganiti tidak mau mengatakan di mana kemanakannya itu, dan ia pun mengatakan bahwa gadis itu lebih baik mati daripada menjadi isterimu” jawab Empu Nawamula.

Terasa jantung Singatama bagaikan disentuh api. Tetapi wajah dan kata-kata pamannya agaknya memang meyakinkan. Karena itu, maka ia pun kemudian bertanya, “Paman, apakah yang telah paman lakukan menghadapi sikap Ki Raganiti itu?”

“Apa yang dapat aku lakukan? Aku datang untuk melamar. Dan lamaran itu ditolak. Apa yang harus aku lakukan kecuali kembali dan mengabarkan kepadamu, bahwa lamaran itu ditolak?” jawab Empu Nawamula.

Singatama sekali tidak bersiap menghadapi sikap pamannya itu. Karena itu ia justru menjadi bingung. Tetapi sejenak kemudian, maka ia pun menggeram. Dengan nada kasar ia bertanya, “Dan paman tidak memaksa Ki Raganiti untuk menunjukkan dimana anak gadisnya? Paman dapat juga menerima penghinaan itu, bahwa lamaran paman telah ditolak tanpa kehadiran gadis itu sendiri?”

“Kau membohongi aku” jawab Empu Nawamula, “kau katakan bahwa sebenarnya gadis itu akan menerimamu. Tetapi sudah aku katakan, bahwa gadis itu lebih baik membunuh diri dari menerima lamaranmu”

“Gila” geram Singatama, “padukuhan itu memang harus dimusnahkan. Paman dapat melakukannya untuk membalas penghinaan itu”

“Kenapa aku berbuat demikian? Aku tidak berhak. Selebihnya ternyata padukuhan itu telah siap. Aku tidak tahu darimana asalnya. Tetapi sepasukan pengawal telah membayangi aku” berkata Empu Nawamula, “apa lagi yang dapat aku lakukan menghadapi orang seKabuyutan?”

Menghadapi sikap pamannya, Singatama justru menjadi bingung. Tetapi ia tidak dapat menerima jawaban seperti yang dikatakan pamannya itu. Bahkan kemudian, ia mulai menyesali sikap Empu Nawamula. Tetapi Singatama juga mengetahui, bahwa pamannya bukannya orang kebanyakan. Karena itu, jika ia ingin berbuat keras terhadap pamannya, maka ia harus memperhitungkan segala macam akibat yang dapat terjadi. Karena itu, maka Singatama itu pun berusaha untuk mendapatkan jalan yang paling baik. Dengan nada tinggi ia berkata,

“Paman, aku adalah kemanakan paman. Paman tentu mengerti, bahwa paman seharusnya berusaha membantuku. Juga dalam hubunganku dengan gadis itu”

“Aku sudah melakukan yang harus aku lakukan” jawab Empu Nawamula, “aku sudah datang melamar. Dan aku pun sudah menyampaikan jawabnya. Apalagi yang masih kurang. Sementara sikapmu sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang kemanakan. Kau bersikap terlalu kasar, dan menganggap aku sebagai budakmu yang harus tunduk kepada segala perintahmu”

Wajah Singatama menegang. Agaknya pamannya telah benar-benar menjadi marah. Tetapi sifatnya yang angkuh dan bahwa ia tidak pernah mengalami perlakuan yang demikian, masih juga menggelitik hatinya, sehingga kemudian iapun berkata, “Baiklah paman. Jika paman sudah merasa cukup berbuat untukku, maka aku akan berbuat sendiri”

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Empu Nawamula.

“Aku harus menemukan tempat persembunyian gadis itu. Sebenarnya aku ingin menghancurkan Kabuyutan itu. Sebenarnya aku ingin bantuan paman dan para cantrik di padepokan ini, disamping guruku dan cantrik-cantriknya. Aku yakin, bahwa betapapun besarnya kekuatan yang ada di Kabuyutan itu, kita akan dapat dengan mudah menghancurkannya” geram Singatama.

Empu Nawamula memandang kemanakannya dengan tatapan mata yang tajam. Dengan tajam pula ia bertanya, “Apa hubungannya penghancuran Kabuyutan itu dengan keinginanmu memperistri seorang gadis?”

“Orang-orang Kabuyutan itu ikut menghalangi niatku” jawab Singatama.

“Apa yang mereka lakukan?” bertanya Empu Nawamula pula.

“Bukankah paman mengatakan, bahwa mereka telah membayangi paman, sehingga paman tidak dapat berbuat apa-apa?” sahut Singatama.

“Ternyata nalarmu sudah keblinger. Mereka telah melakukan satu kewajiban yang seharusnya mereka lakukan? Mereka sama sekali tidak ikut campur dalam persoalanmu dengan gadis yang kau sebut-sebut itu. Tetapi adalah kewajiban mereka untuk membayangi orang yang dicurigai”

“Apakah paman dicurigai? Kenapa? Bukankah paman tidak melakukan sesuatu?” bertanya Singatama.

“Aku memang tidak melakukan sesuatu. Tetapi bahwa orang-orang di Kabuyutan itu mencurigai aku, tentu karena pokalmu sebelumnya. Jika kau berbuat baik dan sopan, tentu tidak akan terjadi anggapan yang buruk terhadapku. Tetapi dari mereka aku tahu, apa yang telah kau lakukan. Sikapmu telah memancing sikap seisi Kabuyutan itu. Karena aku adalah orang yang kau minta untuk datang ke rumah Ki Raganiti, maka tetangga-tetangganya menganggap bahwa aku akan bersikap seperti kau juga”

Wajah Singatama menjadi merah menyala. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu terhadap pamannya yang diketahuinya mempunyai kemampuan yang tinggi. Tetapi dengan demikian, dendamnya kepada pamannya yang sebenarnya sudah tertanam di hatinya itu menjadi mekar.

“Aku akan mengatakannya kepada guru, bahwa sikap paman sangat menjengkelkan” berkata Singatama didalam hatinya.

Namun dalam pada itu, ia masih juga berkata, “Paman. Jika demikian, maka aku akan mengambil jalanku sendiri. Seperti yang aku katakan, maka aku akan mencari tempat tinggal gadis itu. Aku akan mengambilnya. Disetujui atau tidak disetujui”

“Kau harus menghargainya sebagai seorang manusia seperti kau dan aku” berkata Empu Nawamula, “kau tidak dapat berbuat sewenang-wenang. Jika ia dan keluarganya menolak, maka kau tidak akan dapat berbuat apa-apa”

“Aku bukan seorang yang lunak hati seperti paman” berkata Singatama. Lalu, “Karena itu, aku akan bertindak lebih keras. Aku akan memerintahkan setiap cantrik di padepokan ini untuk menyebar. Aku akan membatasi kerja mereka sepekan. Mereka harus berkumpul dan melaporkan hasil perjalanan mereka untuk mencari seorang gadis yang aku inginkan. Jika semua cantrik masih belum mendapatkannya, maka aku akan menganggap semuanya bersalah, sehingga aku akan menghukum mereka menurut caraku. Aku mohon paman tidak ikut campur, karena cantrik yang berada di padepokan ini adalah cantrik-cantrik yang berada di bawah kuasaku. Paman hanya mewakili kuasaku di sini. Karena jika paman turut campur, maka aku cemas bahwa guruku pun akan ikut campur pula. Tentu hatiku tidak akan tenang melihat perselisihan antara paman dan guru, karena apapun yang akan terjadi atas paman, terasa sakit pula di hatiku”

“Terima kasih” berkata Empu Nawamula, “tetapi apakah dengan demikian kau bermaksud mengancam aku? Aku tahu bahwa gurumu adalah orang luar biasa. Orang yang tidak terkalahkan. Tetapi akupun bukan orang yang takut dikalahkan. Bahkan mati sekalipun dalam mempertahankan sikap”

Wajah Singatama menjadi tegang. Ia belum pernah melihat sikap pamannya sekeras itu. Bahkan pada saat-saat lampau, betapapun juga, pamannya masih menunjukkan sikap yang lunak dan cenderung memenuhi segala keinginannya. Tetapi agaknya Empu Nawamula telah benar-benar kehabisan kesabaran menghadapi kemanakannya. Apalagi ketika ternyata Singatama telah kehilangan dasar pertimbangan nalar dan martabat kemanusiaannya menghadapi gejolak perasaannya terhadap seorang gadis.

“Jika sekali ini aku juga memenuhi keinginannya, maka berarti bahwa akupun telah terlibat pada satu sikap yang salah terhadap kemanusiaan” berkata Empu Nawamula kepada diri sendiri. Sehingga dalam sikap yang demikian, sementara itu Singatama masih saja selala bersikap kasar, maka Empu Nawamula pun tidak lagi dapat bersikap lunak.

Namun dalam pada itu, Singatama bukannya mempertimbangkan sikap pamannya sebagai satu usaha pencegahan terhadap niatnya yang salah, namun justru sebaliknya. Singatama telah mendendam kepada pamannya dan sekaligus telah mengambil satu cara tersendiri untuk mendapatkan gadis yang disembunyikan itu.

Untuk langsung mengambil sikap terhadap Ki Raganiti, bahkan oleh gurunya sekalipun, Singatama memang masih harus membuat pertimbangan-pertimbangan. Mungkin Raganiti tidak memiliki kemampuan sama sekali dibandingkan dengan gurunya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Empu Nawamula, bahwa Ki Raganiti tidak berdiri sendiri. Apalagi gurunyapun telah mengatakan kepada Singatama, agar ia berusaha sejauh dapat dilakukannya, baru kemudian jika ia benar-benar gagal, gurunya akan turun memasuki persoalannya dengan langsung.

“Kau sudah dewasa” berkata gurunya persoalannya bukan persoalan yang rumit. Katakan kepada pamanmu. bahwa kau perlu gadis itu. Dan katakan kepada pamanmu, bahwa ia harus melamar untukmu”

Pamannya memang sudah melakukannya. Tetapi tidak seperti yang diharapkannya, bahwa pamannya akan dapat memaksa Ki Raganiti untuk menerima lamarannya, atau menunjukkan dimana gadis itu disembunyikan. Bahkan pamannya itu sama sekali tidak merasa gentar ketika ia menyebut-nyebut bahwa gurunya akan dapat mengambil satu sikap tertentu terhadapnya.

“Paman sudah kehilangan tanggung jawabnya sebagai wakil orang tuaku” berkata Singatama didalam hatinya, “seharusnya paman lebih baik bermusuhan dengan Ki Raganiti daripada dengan kemanakannya sendiri yang tentu akan dibantu oleh gurunya”

Tetapi sikap Empu Nawamula sudah jelas. Ia lebih senang menghadapi kemanakan dan guru kemanakannya itu daripada memaksakan kehendaknya kepada orang lain yang justru memerlukan perlindungan.

Dalam kesesakan nalar, Singatama itu berkata kepada diri sendiri, “Agaknya paman benar-benar ingin menyingkirkan aku, dan dengan demikian paman akan memiliki padepokan ini sepenuhnya. Paman telah membuat perapian untuk membuat keris di padepokan ini dan menerima cantrik-cantrik baru yang tentu akan berpihak kepadanya”

Justru karena itu, maka sikap Singatama pun menjadi semakin keras. Ia benar-benar ingin bertindak sebagaimana di katakannya. Ia akan memerintahkan semua cantrik untuk menyebar dan mencari gadis yang telah memikat hatinya, kemanakan Ki Raganiti yang memang bernama Widati. Karena itu, ketika Empu Nawamula benar-benar sudah bersikap keras, maka Singatama pun telah mengambil satu langkah yang sebenarnya sangat menyakiti hati Empu Nawamula.

Singatama yang marah itu pun telah mengumpulkan para cantrik tanpa persetujuan Empu Nawamula. Namun Empu Nawamula tidak mencegahnya. Ia sedang mencari cara yang paling baik untuk mengatasi persoalan yang justru terasa menjadi semakin panas.

“Pergilah kalian kemana saja” berkata Singatama, “kalian harus kembali dalam sepekan. Satu di antara kalian harus menemukan, dimana seorang gadis yang bernama Widati bersembunyi”

Para cantrik itu menjadi berdebar-debar. Mereka belum pernah melihat orang yang harus mereka cari, dan mereka sama sekali tidak mendapat petunjuk arah yang dapat menuntun mereka kemana mereka harus pergi.

Tetapi Singatama itu berkata, “Tidak ada alasan yang dapat kalian pergunakan untuk mengelak dari tugas ini. Jika dalam sepekan tidak seorang pun yang dapat menemukan orang yang aku kehendaki, maka kalian semuanya, seisi padepokan ini akan aku hukum. Kalian tidak akan dapat melawan aku, karena aku memiliki kekuatan yang tidak akan dapat kalian lawan. Sementara itu, siapa yang dengan sengaja melarikan diri dan tidak kembali ke padepokan ini, maka keluarganya akan mengalami nasib yang buruk, karena sebenarnyalah aku tahu tempat tinggal kalian dan keluarga kalian”

Perintah itu benar-benar telah menggelisahkan. Tetapi tidak seorang pun yang berani membantah. Dalam pada itu, satu-satu petunjuk yang mereka dapat adalah, bahwa gadis itu adalah kemanakan Ki Raganiti dan sedikit tentang ciri-ciri gadis yang harus mereka cari.

“Tidak masuk akal” berkata para cantrik di dalam hati. Tetapi mereka tidak berdaya untuk menolak. Jika mereka berani menyatakan pendapat mereka, maka mereka tentu akan dipukul oleh Singatama tanpa ampun.

Empu Nawamula sendiri tidak membantah atau mencegah perintah itu. Ia tahu, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menemukan gadis itu lebih dahulu sebelum perintah Singatama itu diberikan. Namun Empu Nawamula masih belum dapat membayangkan akhir dari persoalan yang bergejolak itu.

Sementara itu, kegelisahan para cantrik itu benar-benar telah menggelisahkan seisi padepokan. Para murid Empu Nawamula dan para pembantu yang lain yang hidup di padepokan itu, merasa sangat kasihan kepada para cantrik yang harus memikul tugas yang sangat berat dengan ancaman hukuman yang mendebarkan jantung. Tetapi mereka tidak akan dapat menolongnya.

Tetapi satu hal yang luput dari perhatian Singatama, bahwa mereka tidak mengenal Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebagaimana ia mengenal para cantrik yang lain. Ia tidak mengenal keluarganya, sehingga seandainya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu kemudian tidak kembali lagi ke padepokan, maka Singatama tidak akan dapat mencari keluarganya.

Namun seandainya ia menemukan keluarga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, apakah arti Singatama itu bagi Mahendra. Bahkan seandainya gurunya melibatkan diri sekalipun, maka Mahendra tentu tidak akan gentar. Dalam satu kesempatan, maka Empu Nawamula pun telah bertanya kepada kedua orang anak muda itu, apakah yang akan mereka lakukan.

“Kami menjadi bingung” jawab Mahisa Murti, “apakah yang sebaiknya kami lakukan menghadapi sikap Singatama itu. Jika kami tidak menemukan gadis itu, maka para cantrik yang lain akan mengalami satu penderitaan yang tentu akan sangat buruk. Singatama benar-benar seorang yang memiliki watak yang sulit dimengerti. Tetapi sudah barang tentu, untuk mengatakan tentang gadis itu kepada Singatama, akibatnya pun akan dapat menjadi sangat pahit bagi gadis itu”

Empu Nawamula itu pun menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Sayang, aku sama sekali tidak dapat memberikan takaran kemampuan guru Singatama itu. Bukan berarti bahwa aku menjadi cemas menghadapinya. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak takut menghadapi kekalahan. Tetapi jika terjadi demikian, maka aku tidak akan dapat melindungi siapapun juga yang akan mengalami nasib yang paling buruk”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun mereka pun masih juga belum mendapat gambaran, apakah yang sebaiknya dilakukan.

“Besok pagi kita harus berangkat. Waktu kita hanya sepekan. Apakah artinya yang sepekan itu bagi para cantrik” desis Mahisa Pukat.

“Kita akan berpikir semalam suntuk. Mudah-mudahan besok kita menemukan satu cara” berkata Mahisa Murti.

Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Kita akan berpikir semalam suntuk”

Sebenarnyalah mereka telah memikirkan cara yang paling baik untuk dilakukan. Tingkah laku Singatama bukan saja telah menyentuh rasa keadilan, tetapi adalah satu kebetulan bahwa gadis yang disebut-sebut itu adalah gadis yang bernama Widati, gadis yang mempunyai arti khusus bagi Mahisa Murti.

Tetapi yang lebih penting lagi, bahwa di belakang Singatama berdiri satu padepokan yang memiliki corak tersendiri. Satu padepokan yang dipimpin oleh seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi bersumber pada kekuatan hitam yang mengerikan. Persoalan yang menyangkut Widati hanyalah satu dari seribu persoalan yang dapat ditimbulkan oleh padepokan itu. Pada dasarnya segala macam tingkah laku yang menyimpang dari peradaban akan dapat terjadi.

Padepokan itu akan menjadi sumber yang akan mengalirkan sikap dan tingkah laku yang merugikan bebrayan manusia disekitarnya. Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganggap bahwa persoalannya sebenarnya tidak terbatas pada persoalan niat Singatama untuk mengambil Widati saja, tetapi menyangkut sikap isi padepokan itu dalam keseluruhan Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berada di serambi di depan perapian, sempat berbicara panjang tentang rencana yang akan mereka tempuh.

“Jika kita hanya memotong rencana Singatama kali ini, maka kita baru dapat membendung salah satu saluran yang bersumber dari padepokan itu. Padahal padepokan itu tentu akan mempunyai banyak sekali saluran yang akan mengalir ke sekitarnya dengan membawa arus air yang beracun” berkata Mahisa Murti.

“Sayang bahwa kita belum dapat menjajagi kekuatan yang tersimpan di dalam padepokan itu” berkata Mahisa Pukat.

“Tetapi bagaimanapun juga, kekuatan di padepokan itu mempunyai batas. Menurut pendengaran kita, hanya seorang sajalah yang perlu disegani. Pemimpin padepokan itu sendiri” berkata Mahisa Murti.

“Tentu ada beberapa orang putut yang mempunyai kemampuan yang pantas diperhitungkan” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Perhitungan Empu Nawamula memang pantas diperhatikan. Empu Nawamula sama sekali tidak menjadi gentar Tetapi jika terjadi sesuatu atasnya, maka akibatnya akan sangat buruk bagi orang-orang yang tersisa. Sehingga dengan demikian, maka Empu Nawamula perlu membuat perhitungan yang sebaik-baiknya”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Ketika ia melihat seorang cantrik berjalan ke pakiwan, maka ia pun berguman, “Anak itu tidak dapat tidur”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Seperti kita, ia juga gelisah karena perintah Singatama”

“Tentu banyak di antara para cantrik yang masih belum tertidur” berkata Mahisa Pukat.

“Ya. Dan kita tidak dapat membantu mereka” sahut Mahisa Murti.

Keduanya pun kemudian saling berdiam diri untuk beberapa saat. Mereka sedang merenungi, apa yang sebaiknya harus mereka lakukan. Waktu mereka tinggal sedikit. Esok, mereka akan menyampaikan pendapat mereka kepada Empu Nawamula, atau sebaliknya Empu Nawamulalah yang menemukan jalan yang paling baik untuk ditempuh.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata, “Mahisa Pukat. Apakah kita bersalah, jika seandainya kita melibatkan orang lain dalam persoalan ini. justru dalam satu usaha untuk menumpas langsung sumber dari tindakan yang dapat mengotori pergaulan manusia itu”

“Maksudmu, kita melaporkannya kepada prajurit Singasari atau katakanlah kepada kakang Mahisa Bungalan agar ia membawa prajurit segelar sepapan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Jika demikian, belum tentu usaha itu akan berhasil” jawab Mahisa Murti, “sebelum pasukan itu mengepung padepokan Singatama, mereka tentu sudah berhasil melarikan diri. Atau berusaha untuk menghapuskan segala macam jejak kejahatan mereka sehingga para prajurit di Singasari tidak akan dapat bertindak tanpa bukti yang kuat”

“Lalu apa maksudmu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kita melaksanakannya sendiri. Jika kami menyeret lingkungan keprajuritan dan kita tidak menunjukkan bukti- bukti yang cukup, maka justru kita akan dapat dituduh memfitnah sebuah padepokan” berkata Mahisa Murti.

“Ya. Dan apakah yang akan kita lakukan?” Mahisa Pukat tidak sabar.

“Kita menghubungi ayah” jawab Mahisa Murti.

“Ayah? Kita ajak ayah, paman Witantra, paman Mahisa Agni dan beberapa orang lainnya untuk menyerang padepokan itu?” bertanya Mahisa Pukat, “apakah kita dapat menyerang satu padepokan tanpa menunjukkan alasan yang kuat. Kita tidak mempunyai persoalan apapun juga. Tiba-tiba saja kita menyerangnya”

“Bukan kita yang menyerang. Biarlah mereka yang menyerang kita” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi ia menggeleng, “Aku tidak mengerti”

“Aku akan minta ayah dan sukurlah jika paman Witantra dan paman Mahisa Agni bersedia melaksanakannya, untuk menjebak guru Singatama itu” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Tetapi ia belum jelas maksud Mahisa Murti. Maka katanya, “Aku kurang mengerti. Bagaimana kau akan menjebak mereka”

“Kita bujuk semua cantrik yang besok akan keluar dari padepokan ini untuk berkumpul di sebuah padepokan baru. Kita minta ayah, paman Witantra dan paman Mahisa Agni untuk memimpin padepokan itu. Dengan demikian, maka padepokan yang baru itu akan menarik perhatian padepokan Singatama. Ia tentu akan marah karena para cantriknya telah kita himpun”

“Dalam waktu lima hari?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kita tidak perlu membuat sebuah padepokan yang sudah jadi. Kita akan memagari sebuah lingkungan di hutan. Kita bersama para cantrik akan membangun barak-barak untuk berteduh. Aku kira, tidak akan ada tenggang waktu lama, kita sudah berhasil memancing persoalan dengan padepokan Singatama” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi bagaimana sikap kita, jika ternyata guru Singatama tidak mengambil sikap apapun juga” berkata Mahisa Pukat.

“Kita bekerja bersama dengan Ki Raganiti dan Ki Buyut Randumalang” jawab Mahisa Murti.

“Caranya?” bertanya Mahisa Pukat pula.

“Jika kehadiran para cantrik di sini tidak dapat memancing persoalan, maka kita minta Ki Buyut Randumalang membawa anak gadisnya kemari. Memang perlu penjelasan. Tetapi untuk keselamatan gadis itu, dan lebih luas lagi, untuk keselamatan lingkungan hidup disekitar padepokan itu, aku kira mereka tidak akan berkeberatan” sahut Mahisa Murti.

“Satu kerja yang besar. Waktunya hanya lima hari. Aku kurang yakin, bahwa usaha ini akan berhasil” berkata Mahisa Pukat. Lalu, “Tetapi aku. tidak akan segan untuk mencobanya”

“Jika aku sependapat, kita temui Empu Nawamula. Kita akan melaporkan rencana ini. Jika Empu Nawamula setuju, kita akan melakukannya. Kita akan menghubungi para cantrik dan minta mereka berkumpul disatu tempat sepekan lagi. Sementara itu, kita akan minta ayah, paman Witantra dan paman Mahisa Agni atau salah seorang diantara mereka. Jika kita kemudian berhasil, kita akan menyerahkan para cantrik kembali kepada Empu Nawamula disini” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Rencana itu belum jelas dan belum terperinci. Tetapi Mahisa Pukat sudah mendapat gambaran akan ujudnya. Karena itu, maka ia pun sependapat untuk menyampaikannya kepada Empu Nawamula, untuk selanjutnya menghubungi para cantrik yang sedang gelisah. Dengan hati-hati kedua orang anak muda itu pun kemudian berusaha menghubungi Empu Nawamula. Dengan singkat mereka pun memberitahukan rencana mereka.

“Apa kalian akan sempat melakukannya hanya dalam waktu sepekan?” bertanya Empu Nawamula.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ada juga terasa nada keraguan, tetapi ia berkata, “Kami berdua akan berusaha sebaik-baiknya Empu. Tetapi sudah tentu, kami akan memohon untuk mendapat pinjaman dua ekor kuda”

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan mengusahakan dua ekor kuda. Jika Singatama menanyakannya, biarlah aku yang menjawabnya”

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murtipun bertanya, “Empu. Bagaimana pendapat Empu jika mulai saat ini kami akan menghubungi para cantrik?”

“Baiklah. Kalian tidak usah menghubungi semua cantrik. Kalian cukup mengatakannya kepada satu dua orang di antara mereka dengan pesan agar mereka menyampaikannya pula kepada kawan-kawan mereka”

“Tetapi apakah dengan cara demikian, tidak akan mungkin rencana ini sampai ke telinga Singatama?” bertanya Mahisa Pukat.

"Tidak. Tidak seorang pun di antara para cantrik yang tertarik untuk bekerja bersamanya” jawab Empu Nawamula.

Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun menjadi mantap. Seperti yang dikatakan oleh Empu Nawamula, maka mereka tidak lagi ingin menghubungi semua cantrik, karena dengan demikian maka bahayanya akan menjadi bertambah besar. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya menghubungi seorang cantrik yang kepanasan di dalam barak dan duduk di bawah sebatang pohon jambu.

“Kenapa kau tidak tidur?” bertanya Mahisa Murti.

“Udara panas sekali” jawab cantrik itu.

“Lebih panas lagi denyut jantung di dalam dada ini” desis Mahisa Pukat.

Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menanggapinya. Ada semacam ketakutan untuk mengatakan sesuai dengan perasaannya, karena cantrik itu sudah mengenal Singatama dengan baik. Namun dalam pada itu Mahisa Murtipun kemudian duduk di sebelahnya, sementara Mahisa Pukat duduk agak jauh dari keduanya mengamati keadaan di sekelilingnya.

Dengan hati-hati Mahisa Murti menyatakan rencananya. Dengan sungguh-sungguh cantrik itu pun mendengarkannya. Namun kemudian dengan nada cemas cantrik itu berkata, “Apa yang dapat kita lakukan? Setelah kita berkumpul, lalu apakah dengan demikian kita akan dapat menyelamatkan diri jika Singatama datang menghukum kita? Katakanlah, kita dapat melupakan kemungkinan Singatama mencari keluarga kita, karena waktu yang sepekan itu kita pergunakan untuk memberitahukan kepada keluarga kita agar menyingkir, tetapi apakah artinya kita sendiri berkumpul di satu tem-pat itu?”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya, “Kita akan menyusun kekuatan”

“Aku bukan pemimpin Ki Sanak” jawab cantrik itu, “jika kami melakukan seperti yang kau katakan, maka akan sama artinya bahwa kita akan bunuh diri”

Mahisa Murti termangu-mangu. Ia dapat mengerti jalan pikiran cantrik itu. Karena itu maka katanya, “Ki Sanak. Singatama bukan iblis yang tidak terkalahkan. Jika kita berani berbuat sesuatu bersama-sama, maka ia akan dapat kita tundukkan. Aku dan saudaraku telah bersepakat, bahwa kita semuanya tentu akan dapat mengalahkannya”

“Seandainya Singatama dapat kita kalahkan, bukankah berarti kita sudah mengundang gurunya untuk membantai kita semua?” berkata cantrik itu.

“Jika kita sendiri yang menghadapinya, memang benar. Tetapi kita percaya kepada Empu Nawamula” berkata Mahisa Murti ragu-ragu untuk menyebut nama itu. Tetapi kemudian, “Seandainya Empu Nawamula tidak mau melibatkan diri, karena Singatama adalah kemanakannya, maka aku mempunyai seorang paman yang memiliki ilmu yang tinggi”

Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau tidak dapat membayangkan, betapa tingginya ilmu Singatama dan apalagi gurunya”

“Tetapi kemampuan seseorang tetap terbatas” jawab Mahisa Murti, “aku yakin, bahwa pamanku dan kawan-kawannya akan dapat mengatasinya, jika kalian benar-benar berniat demikian. Jika kita berani mempertanggung jawabkan segala tindakan kita, maka kita akan berhasil. Seandainya tidak, kenapa kita takut mati? Aku orang baru disini. Tetapi aku tidak mau diperlakukan seperti kalian. Karena itu, aku akan memilih untuk melawan. Jika dengan demikian aku harus mati, apa boleh buat. Tetapi itu lebih baik bagi seorang laki-laki”

Cantrik itu termangu-mangu. Anak muda itu menyatakan satu sikap seorang laki-laki. “He, apakah aku bukan laki-laki?” cantrik itu bertanya kepada diri sendiri.

Sejenak cantrik itu berpikir. Sementara itu Mahisa Murti berkata, “Kita selama ini terlalu merasa kecil, sehingga kita tidak percaya bahwa di dalam diri kita pun tersimpan kemampuan yang dapat ikut menentukan hari depan kita sendiri. Seandainya kekuatan kita itu tidak berhasil memecah dinding yang membatasi hari depan kita, maka biarkan kita berkubur sebagai pejuang yang memperjuangkan masa depan kita sendiri”

Kata-kata cantrik itu benar-benar berpengaruh, sehingga akhirnya cantrik itu berdesis, “Kau dapat aku percaya?”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia mulai berpengharapan bahwa usahanya akan berhasil. Karena itu, maka Mahisa Murti pun menjadi semakin bergairah untuk mempengaruhinya. Katanya, “Aku menjadi taruhan. Jika harus bertaruh nyawa, maka biarlah aku yang pertama-tama”

“Baiklah” berkata cantrik itu. Lalu, “Sebenarnya akupun telah menjadi jemu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan. Rasa-rasanya aku ingin membebaskan diri. Kini baru aku sadar, bahwa bagi laki-laki memang ada pilihan lain dari ketakutan itu sendiri”

“Nah, percayalah” berkata Mahisa Murti kemudian, “di tempat yang akan kita tentukan kemudian, kita dapat bertemu dan berkumpul untuk menentukan langkah, maka alangkah baiknya. Kita akan dapat berbuat sesuatu sebagai sekelompok laki-laki yang mempunyai pribadi yang mantap. Bukan sekedar budak yang harus melakukan perintah tanpa mengetahui ujung dan pangkalnya. Bahkan lebih dari itu. Kita telah diperlakukan sebagai seekor kuda yang berlari kalau dilecuti”

Cantrik itu mengangguk-angguk. Jiwanya tiba-tiba saja telah bergejolak. Namun ia masih bertanya, “Tetapi bagaimana dengan kawan-kawan kita?”

“Kita harus memberitahukan kepada mereka sesuatu yang paling baik kita lakukan” jawab Mahisa Murti, “kita akan menentukan satu tempat untuk bertemu setelah sepekan. Bahkan sebelum itu. Kita akan berkumpul dan membuat satu padepokan baru. Tentu sikap itu akan menantang kemarahan Singatama. Tetapi bukankah kita tidak takut lagi menghadapinya. Lebih baik kita lebur menjadi debu daripada kita dianggap sebagai seekor binatang yang dapat diperlakukan sewenang-wenang?”

Cantrik itu menganguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti berkata, “Tentukan, dimana kita berkumpul. Dan beritahukan semua cantrik yang ada di padepokan ini. Besok pagi-pagi aku akan meninggalkan padepokan ini. Aku akan mencuri dua ekor kuda dan aku akan meninggalkan padepokan ini untuk mempersiapkan segala-galanya”

“Tetapi kau benar-benar dapat dipercaya?” cantrik itu masih bimbang.

“Aku orang baru di sini. Tetapi aku merasa bahwa tanpa berbuat sesuatu, kita akan benar-benar menjadi budak yang tidak lebih berharga dari debu” jawab Mahisa Murti.

“Baiklah. Jika demikian aku akan memberitahukan kepada para cantrik” jawab cantrik itu.

“Tetapi hati-hati. Jika ada seorang saja di antara para cantrik yang berkhianat, maka kita semuanya akan gagal. Sebelum aku keluar dari padepokan ini esok pagi, aku sudah harus membukukan kata-kataku bahwa aku lebih baik hancur menjadi debu daripada diperbudak oleh orang lain. Selama aku berada di sini, aku merasa alangkah damainya tempat ini. Tetapi kehadiran Singatama membuat aku menjadi orang yang liar dan berdarah panas seperti ini” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi apa gunanya kau mencuri kuda? Bukankah lebih baik kau pergi sebagaimana kami pergi. Dengan demikian kita tidak akan meninggalkan kesan apapun juga. Seolah-olah kita memang sedang melakukan tugas kita sebaik-baiknya” berkata cantrik itu.

“Tetapi tanpa kuda aku tidak akan dapat mencapai rumah orang yang aku harap dapat bekerja sama dengan kita” berkata Mahisa Murti, “waktu kita hanya sepekan”

Cantrik itu termangu-mangu. Namun ia pun kemudian berkata, “Terserahlah kepadamu. Tetapi jika kalian tertangkap esok pagi, aku akan menyesal sekali. Semua rencana tentu akan batal. Keberanian kita akan lenyap jika pada langkah pertama kita sudah gagal”

“Aku akan berusaha, agar aku tidak tertangkap” berkata Mahisa Murti.

Demikianlah, maka cantrik itupun telah menyatakan kesediaannya untuk melakukan rencana itu. Ia akan menghubungi cantri-cantrik yang lain. Setelah mereka menentukan tempat untuk bertemu setelah mereka meninggalkan padepokan itu dengan batas waktu sepekan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah meninggalkan cantrik itu.

Seperti yang telah dijanjikan, maka cantrik itu pun telah menghubungi seorang kawannya. Ia mulai menjajagi sikap kawannya itu. Namun akhirnya ia berhasil mengajak kawannya itu untuk melakukannya. Demikianlah keduanya mulai menghubungi kawannya yang lain, bertunda dan berurutan, sehingga akhirnya sebelum pagi mereka semuanya telah mendengar dan menyepakati rencana itu. Kejantanan mereka ternyata telah tergugah, sehingga mereka memang memilih untuk melawan Singatama daripada mereka harus menjalani kehidupan tidak lebih dari budak yang tidak berarti apa-apa selain diperlakukan sebagai seekor-binatang.

Dengan demikian, maka para cantrik itu pun tidak lagi dapat tidur nyenyak di sisa malam. Mereka sudah membayangkan, apa .yang akan terjadi setelah sepekan. Namun dalam pada itu, mereka telah berdoa, agar kedua anak muda yang akan melarikan diri dengan dua ekor kuda itu tidak tercium rencananya oleh Singatama, sehingga keduanya akan dapat mengalami nasib yang sangat buruk.

Seperti yang direncanakan, atas pengetahuan Empu Nawamula, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyiapkan dua ekor kuda. Mereka akan mempertanggung-jawabkan kedua ekor kuda itu. Keduanya tidak akan membebani kesulitan kepada Empu Nawamula jika Empu Nawamula yang harus mempertanggung-jawabkannya. Empu Nawamula mengagumi sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bukan saja keberanian mereka mengambil sikap, tetapi juga karena mereka siap untuk bertanggung jawab atas sikap mereka.

Dalam keheningan pagi, padepokan itu telah dikejutkan oleh derap kaki kuda. Dua ekor kuda berlari meninggalkan padepokan itu dengan dua orang penunggangnya. Demikian cepatnya berlalu, sehingga tidak seorangpun yang sempat mencegahnya.

Singatama dan orang-orang yang mengawalnya terkejut. Mereka berloncatan dari pembaringan dan berlari keluar. Tetapi keheningan telah kembali mencengkam padepokan itu. Dengan marah Singatama pun mengumpulkan semua cantrik. Ia ingin segera mengetahui, apakah ada diantara para cantrik itu yang meninggalkan padepokan. Singatama yang marah itu pun segera mengetahui, dua di antara para cantrik telah lenyap. Dua orang cantrik yang paling baru datang kepadepokan itu.

Jantung Singatama hampir meledak karenanya. Dengan nada lantang ia berteriak "Panggil paman Nawamula”

“Aku disini Singatama” jawab Empu Nawamula, “jangan berteriak-teriak begitu. Ada apa?”

Terasa sentuhan yang tajam di dadanya. Bagaimanapun juga orang tua itu mempunyai pengaruh yang besar atasnya. Bukan saja karena ia pamannya. Tetapi Singatama pun tahu bahwa pamannya adalah orang yang berilmu tinggi. Sehingga karena itu, maka ia pun harus menahan diri untuk tidak bertindak tergesa-gesa.

Namun dalam pada itu, ketika Empu Nawamula melangkah mendekatinya, Singatama itu bertanya, “Paman, apakah paman yang telah menerima kedua orang anak muda itu di padepokan ini?”

“Ya. Akulah yang telah menerimanya” jawab Empu Nawamula.

“Apakah paman mengetahui, dimana rumahnya dan siapa saja keluarganya?” bertanya Singatama pula.

Empu Nawamula menggeleng. Jawabnya, “Belum. Aku tidak mengenal kecuali kedua orang anak muda itu. Keduanya datang di padepokan ini untuk mohon perlindungan. Keduanya adalah perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal tertentu”

“Paman terlalu memanjakan mereka” bentak Singatama.

“Jangan membentak aku. Akulah yang lebih pantas membentakmu, karena akulah pengganti orang tuamu” sahut Empu Nawamula. Lalu katanya, “Ketahuilah. Selama keduanya berada di padepokan ini, keduanya menunjukkan sikap yang sangat baik. Mereka sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala seperti yang baru saja terjadi. Tetapi kedatanganmu dan sikapmu telah merubah segala-galanya. Agaknya keduanya tidak terbiasa mengalami kekerasan seperti yang kau lakukan”

Wajah Singatama menjadi merah. Tetapi sebelum ia menjawab Empu Nawamula telah berkata, “Apalagi perintah yang kau keluarkan untuk mencari seseorang yang tidak dikenal dengan batas waktu sepekan. Benar-benar satu perintah yang tidak masuk akal. Karena itulah agaknya mereka telah memilih untuk melarikan diri. Celakanya, mereka telah membawa dua ekor kuda yang paling baik dari padepokan ini”

Singatama menggeretakkan giginya. Dengan nada kesal ia berkata, “Persetan dengan kedua orang itu. Tetapi bahwa mereka telah membawa dua ekor kuda dari padepokan ini, aku tidak akan pernah melupakan. Jika pada suatu saat aku dapat menjumpai keduanya, maka aku tidak akan memaafkannya. Aku akan mengambil tindakan yang paling sesuai dengan kesalahan mereka”

“Terserah kepadamu. Jika kau tidak sedang berada di padepokan ini, maka aku dapat kau tuntut untuk mempertanggung-jawabkan hilangnya dua ekor kuda. Tetapi justru kau berada di sini, maka tanggung jawab itu tidak seluruhnya terletak di pundakku” berkata Empu Nawamula.

Singatama hampir tidak dapat mengendalikan dirinya. Tetapi ia masih tetap sadar, bahwa pamannya adalah orang yang berilmu tinggi. Karena itu, tiba-tiba ia telah menumpahkan kemarahannya kepada para cantrik. Katanya dengan keras,

“Persetan semuanya. Aku tidak mau melihat kelambatan yang akan dapat membuat aku semakin marah. Kalian, para cantrik yang dungu. Aku tidak mau melihat kau dengan bodoh berdiri membeku. Sekarang juga kalian harus pergi. Sepekan lagi kalian harus kembali. Siapa yang tidak kembali akan mengalami hukuman yang sangat berat. Tetapi jika tidak seorang pun diantara kalian yang membawa gadis yang aku kehendaki, maka aku tidak akan memaafkan kalian lagi. Tingkah laku kedua orang cantrik itu membuat kepalaku pening dan darahku mendidih”

Para cantrik itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka merasa bersyukur bahwa Singatama tidak berbuat sesuatu yang dapat membuat mereka dalam kesulitan.

“Cepat” teriak Singatama semakin keras. “Bersiaplah. Sebelum matahari terbit, kalian harus sudah meninggalkan padepokan ini. Jika aku masih melihat seseorang di padepokan ini, maka ia akan aku cekik sampai mati”

Perintah itu tidak diulangi. Para cantrik pun dengan tergesa-gesa telah pergi ke dalam barak mereka untuk membenahi diri dan barang-barang yang akan mereka bawa dalam perjalanan mereka yang lima hari. Sebagaimana mereka sepakati, maka mereka pun telah membawa senjata yang mereka punyai tanpa menimbulkan kecurigaan pada Singatama, karena para cantrik itu akan menempuh sebuah perjalanan yang mungkin akan menjumpai bahaya.

Seperti yang diperintahkan oleh Singatama, maka sebelum matahari terbit, mereka pun telah meninggalkan padepokan itu. Tetapi justru karena mereka meninggalkan padepokan sebelum matahari terbit dan dengan tergesa-gesa, maka mereka mendapat kesempatan lebih banyak untuk menentukan sikap mereka sebagaimana telah mereka bicarakan semalam.

Sambil meninggalkan padepokan, mereka sempat berbicara lebih mantap tentang rencana mereka. Sementara itu, mereka pun berusaha untuk mengelabui Singatama apabila ia melakukan pelacakan atas para cantrik dengan memencar diri barang semalam, sebelum mereka akan menuju ke satu tempat yang telah mereka sepakati.

Tetapi para cantrik itu tidak pergi sendiri-sendiri. Mereka telah membentuk kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari tiga orang. Bertiga mereka akan memencar dan akhirnya akan berkumpul kembali tanpa menghiraukan apakah gadis yang dicari oleh Singatama itu akan dapat ditemukan.

Yang penting bagi mereka, justru kesempatan untuk menghubungi keluarga mereka. Agaknya ada diantara para cantrik yang menganggap bahwa untuk sementara keluarga mereka sebaiknya menyingkir saja dari rumah mereka ke tempat yang tidak diberitahukan kepada para tetangga, agar mereka tidak menjadi sasaran kemarahan Singatama. Jika semuanya telah dapat diselesaikan, maka mereka akan kembali lagi ke tempat kediaman mereka semula.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah jauh meninggalkan padepokan. Kuda mereka berpacu dengan kecepatan yang tinggi. Sebagai pengembara, merekapun berusaha untuk mengenali jalan yang mereka tempuh, sehingga mereka akan dapat menemukan arah kembali ke rumahnya.

“Jarak kita dengan rumah kita belum terlalu jauh” berkata Mahisa Murti, “meskipun demikian, mungkin kita tidak akan dapat mencapai rumah kita pada malam ini”

“Kita akan bermalam di perjalanan” berkata Mahisa Pukat, “meskipun dengan seekor kuda, kita dapat mempersingkat jarak. Tetapi selambat-lambatnya esok kita sudah berada di rumah. Jika kita bermalam semalam, maka dihari berikutnya kita akan berangkat. Katakanlah kita akan bermalam lagi semalam di perjalanan. Maka kita telah mempergunakan tiga malam bagi perjalanan kita”

“Dengan demikian, kita masih mempunyai waktu untuk menyusun diri. Mudah-mudahan usaha ini berhasil, meskipun kita masih harus mengganggu ketenangan orang tua. Tetapi masalahnya adalah masalah yang penting, yang menyangkut peri kehidupan banyak orang” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Setidak-tidaknya kita sudah berusaha untuk dapat memberikan keterangan tentang orang-orang yang mempunyai sikap yang tidak terpuji itu. Mudah-mudahan ayah tidak menganggap bahwa ternyata kita masih terlalu kanak-kanak yang merengek dalam kesulitan”

Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia yakin, bahwa ayahnya tidak akan menganggapnya demikian. Persoalan yang dihadapimya saat itu memang persoalan yang cukup berat, karena mereka harus berhadapan dengan satu padepokan yang dipimpin oleh seseorang yang menurut pendengaran mereka mempunyai kemampuan yang sangat tinggi, meskipun bersumber pada ilmu hitam.

Demikianlah, kedua anak muda itu berpacu terus. Sekali-sekali mereka memang berhenti untuk memberi kesempatan kepada kuda mereka untuk beristirahat, minum dan makan secukupnya. Sementara kedua anak muda itu justru tidak merasa lapar sama sekali perlu untuk berhenti dan makan secukupnya, karena mereka harus mempertahankan keseimbangan tubuh mereka.

Ternyata kedua orang anak muda itu tidak mengalami hambatan di sepanjang perjalanan. Mereka memang harus bermalam di lereng sebuah bukit padas kecil yang gundul. Hanya ada satu dua batang pohon yang tumbuh di lerengnya. Namun di sebelah bukit itu mengalir sebatang sungai yang berair sangat bening.

Kedatangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengejutkan Mahendra. Karena itu maka dengan tergopoh-gopoh ia menyongsong kedua anaknya sambil bertanya langsung apakah ada sesuatu kesulitan di perjalanan mereka.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak tergesa-gesa. Justru karena sikapnya itu, maka Mahendrapun menjadi tenang. Baru setelah duduk, minum dan makan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mulai menceriterakan, dorongan apakah yang telah membawa mereka kembali kepada ayahnya setelah mereka menempuh perjalanan yang masih terhitung sangat pendek.

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Kalian telah mengambil langkah yang benar. Kalian memang tidak sepantasnya menghadapi satu kekuatan yang tidak kalian ketahui. Bahkan Empu Nawamula pun tidak dapat menentukan apakah ia akan dapat mengatasi atau tidak. Padahal menurut pengenalanku atas Empu itu, ia adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Semenntara itu, Mahisa Murtipun menceriterakan rencana mereka untuk memancing persoalan, sehingga ada alasan untuk melawan padepokan yang berilmu hitam itu. Yang akan dapat melakukan tindak sewenang-wenang terhadap pihak lain di sekitar daerah pengaruh padepokan itu, bahkan sampai ke tempat yang jauh.

“Satu contoh telah terjadi ayah” berkata Mahisa Pukat kemudian, “kesewenang-wenangan Singatama terhadap seorang gadis, anak Ki Buyut Randumalang. Jika keluarganya gagal melindunginya, maka ia akan mengalami nasib yang sangat buruk. Namun dalam pada itu, tentu kesewenang-wenangan yang lain akan mungkin saja terjadi, mereka sebaiknya menyingkir saja dari rumah mereka setempat yang tidak diberitahukan kepada para tetangga, agar mereka tidak menjadi sasaran kemarahan Singatama. Jika semuanya telah dapat diselesaikan, maka mereka akan kembali lagi ke tempat kediaman mereka semula”

Mahendra mendengarkan keterangan kedua anaknya itu dengan seksama. Sehingga dengan demikian, maka rasa keadilannya pun telah disentuh pula. Dengan demikian, maka ia pun merasa terpanggil untuk ikut bersama anak-anaknya itu menghadapi satu kekuatan hitam yang akan dapat mengguncangkan ketenangan hidup bebrayan.

Namun dalam pada itu, Mahisa Pukatpun bertanya, “Apakah ayah akan pergi sendiri atau seperti biasanya, ayah akan bertamasya bersama paman Witantra dan paman Mahisa Agni?”

“Paman-pamanpun sudah menjadi semakin tua. Tetapi jika aku mengajak mereka, aku kira merekapun tidak akan berkeberatan” berkata Mahendra.

“Waktu kita sangat sempit, ayah” berkata Mahisa Murti.

“Baiklah. Hari ini aku akan menghubungi paman-pamanmu. Jika mereka tidak sedang terlalu sibuk aku kira mereka tidak akan berkeberatan pergi bersamaku” berkata Mahendra. Namun kemudian iapun bertanya, “Tetapi, dapatkah kau mengatakan, apakah para pengikut guru Singatama itu jumlahnya terlalu banyak?”

“Itulah yang sulit aku katakan, ayah” jawab Mahisa Murti, “tetapi menurut pendengaranku, padepokan itu berkembang dengan cepat. Dengan demikian, maka padepokan itu telah berhasil menghimpun kekuatan yang semakin besar dalam landasan ilmu hitam. Justru karena orang-orang padepokan itu merasa bahwa hidup dan sikap mereka bebas tanpa kekang sama sekali, dan tidak ada kekuatan yang akan dapat menghalanginya, maka padepokan itu menjadi sangat menarik bagi orang-orang yang menganut cara hidup yang sesat”

“Tetapi bagaimana Singatama itu dapat terjerat?” bertanya Mahendra.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian menceriterakan hal itu sebagaimana mereka dengar dari Empu Nawamula. Sehingga orang tua Singatama sendiri menjadi kehilangan kesempatan untuk memberikan arah bagi sikap hidup anaknya.

Manendra mengangguk-angguk. Ia sudah mempunyai gambaran sikap dari satu lingkungan yang memang dapat membahayakan sesama. Sehingga karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan menghubungi kedua pamanmu. Kalian dapat beristirahat barang sejenak disini.

Demikianlah, maka Mahendra pun kemudian meninggalkan rumahnya untuk menghubungi Witantra dan Mahisa Agni. Agaknya kedua orang itu akan dapat diajak berbuat sesuatu menghadapi tingkah laku yang menyimpang dari sikap kewajaran hidup diantara sesama.

Sebenarnyalah yang diharapkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terpenuhi. Menjelang malam hari keduanya telah datang ke rumah Mahendra untuk memenuhi permintaannya.

Namun dalam pada itu, Witantra pun sempat berkelakar. Katanya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Ternyata pengembaraan kalian terlalu cepat berakhir”

“Tidak paman” jawab Mahisa Pukat, “jika tidak ada persoalan khusus, aku kira aku masih belum akan kembali Tetapi dalam hal ini. kami berdua merasa bahwa kami masih terlalu lemah untuk mengatasinya, sementara persoalannya kami anggap cukup besar untuk ditangani”

Witantra tersenyum. Katanya, “Sebenarnyalah kalian memang harus dapat menilai diri. Adalah tidak ada artinya sama sekali jika kalian memaksa diri untuk melakukan sesuatu yang sudah kalian ketahui, diluar kemampuan kalian untuk melakukannya. Karena itu, ketika ayah kalian mengatakan persoalannya kepadaku, maka akupun merasa tidak berkeberatan untuk pergi bersama kalian”

“Terima kasih, paman” berkata Mahisa Murti, “ternyata bahwa kami menghadapi satu keadaan yang belum dapat kami jajagi”

"Tetapi kalian sudah dapat memberikan sedikit gambaran tentang lingkungan yang akan kita hadapi” berkata Mahisa Agni. Lalu, “Karena itulah, maka ayahmu telah menghubungi kakakmu, Mahisa Bungalan pula”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan serta merta berpaling kepada ayahnya. Seolah-olah mereka ingin mendapat penjelasan, apakah benar ayahnya telah menghubungi Mahisa Bungalan yang sudah berada dilingkungan keprajuritan”

Mahendra yang dapat membaca pertanyaan yang terpancar pada sorot mata kedua anaknya itu pun berkata, “Ya. Aku sudah menghubungi kakakmu Mahisa Bungalan. Kakakmu sebagai seorang prajurit. Ia akan pergi bersama kami dalam tugasnya, karena jika kami menyelesaikan persoalan ini, kami tidak akan dapat berbuat sendiri. Kami juga harus menyerahkan orang-orang padepokan itu kepada para prajurit yang berwenang untuk mengambil tindakan selanjutnya”

“Tetapi kami dapat menyerahkan kepada Akuwu yang memerintah langsung daerah itu” berkata Mahisa Pukat.

“Kau tidak pernah menyebut-nyebut nama Akuwu. Kau juga tidak dapat menghubunginya untuk mengatasi persoalan itu. Sementara itu tidak akan ada salahnya, jika prajurit Singasari akan langsung mengambil tindakan, apabila mereka benar-benar melihat satu bukti pelanggaran yang dilakukan oleh padepokan itu. Bukan sekedar tuduhan atau dugaan, bahwa padepokan itu telah melanggar paugeran pergaulan antara sesama penghuni tlatah Singasari” jawab Mahendra.

“Tetapi mereka tidak akan terlalu bodoh untuk menjerumuskan diri mereka, jika mereka mengetahui bahwa mereka berhadapan dengan prajurit Singasari” sahut Mahisa Pukat, “dengan demikian kita justru tidak akan dapat berbuat apa-apa”

Mahendra tersenyum. Ia melihat sikap yang lugu dari kedua orang anaknya. Karena itu maka katanya, “Sudah tentu, Mahisa Bungalan tidak membawa pasukannya dalam ujudnya sebagai prajurit Singasari”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk Mereka mengerti maksud ayahnya, sementara merekapun menyadari, bahwa kekuatan padepokan yang akan mereka hadapi itu pun tidak akan dapat diabaikan. Mungkin di padepokan itu tinggal berpuluh-puluh orang yang memiliki ilmu yang setingkat dengan Singatama, atau bahkan ada di antara mereka yang telah melampauinya. Sehingga dengan demikian, maka para cantrik dari padepokan Empu Nawamula yang akan berkumpul itu tidak akan mampu berbuat sesuatu meskipun mereka akan berdiri disatu pihak dengan Mahendra, Witantra dan Mahisa Agni.

“Mungkin guru Singatama itu pun mempunyai satu dua orang kawan yang setingkat” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di dalam hati.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah ayah. Nampaknya memang lebih baik kita berjaga jaga menghadapi kekuatan di luar dugaan kita”

“Lebih baik kita menghadapi mereka dengan yakin” berkata Mahendra, “selebihnya, pasukan Singasari tentu juga berkewajiban untuk melakukannya”

Demikianlah maka mereka pun telah membenahi diri. Esok pagi mereka akan berangkat menuju ke tempat yang sudah disepakati oleh Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan para cantrik yang telah mendapat perintah untuk mencari seorang gadis yang bernama Widati.

Malam itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera dapat tidur lelap. Mereka merasa selalu gelisah. Seolah-olah mereka dibayangi oleh tingkah laku Singatama yang kasar dan memuakkan.

Di dinihari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah dikejutkan oleh derap kaki kuda memasuki halaman rumahnya. Ketika mereka menjenguk ke halaman, ternyata Mahisa Bungalan telah berada di halaman bersama sepuluh orang prajurit yartg berpakaian orang kebanyakan. Dengan tergesa gesa kedua anak muda itu telah menemui kakaknya. Dengan gembira pula Mahisa Bungalan mendengarkan kedua adiknya itu berbicara tentang rencananya.

“Aku sependapat dengan sikapmu” berkata Mahisa Bungalan, “padepokan yang mempunyai ciri-ciri demikian memang harus dihapuskan. Tetapi sudah tentu, bahwa kita tidak dapat menuduh tanpa dapat membuktikan. Karena itu, apa yang akan kalian lakukan akan dapat dengan langsung menjebak mereka, apabila benar-benar seperti yang kalian katakan, mereka adalah orang-orang yang tidak mengharap lagi kepentingan dan kebebasan orang lain”

Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka orang- orang yang akan melakukan perjalanan itu sudah siap untuk berangkat. Menjelang matahari terbit, maka mereka telah meninggalkan regol halaman.

Tetangga-tetangga Mahendra sudah tidak terkejut lagi jika di rumah itu nampak beberapa ekor kuda. Merekapun tahu, bahwa Mahisa Bungalan telah menjadi seorang prajurit, sehingga kawan-kawannya sering datang mengunjungi rumah itu. Atau kawan-kawan Mahendra sendiri dalam hubungan dengan pekerjaannya, saudagar wesi aji dan emas permata.

Dalam pada itu, iring-iringan itu tidak seterusnya menempuh perjalanan dalam satu kelompok. Agar tidak menarik banyak perhatian, maka mereka telah membagi diri dalam beberapa kelompok kecil. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berada di paling depan telah dengan sengaja membuat isyarat sehingga orang-orang lain yang mengikutinya akan tidak kehilangan jejak.

Seperti pada saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kembali ke rumahnya, maka perjalanan itupun harus disekat oleh pekatnya malam. Iring-iringan itu pun harus telah memilih satu tempat yang paling baik untuk bermalam. Ternyata tidak terjadi sesuatu yang dapat menghambat perjalahan mereka di hari berikutnya, sehingga mereka dapat berangkat pagi-pagi sebelum cahaya matahari menembus rimbunnya dedaunan hutan.

Dalam pada itu, agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat memilih jalan lain kecuali jalan yang pernah mereka lalui. Meskipun mereka tidak menerobos Kabuyutan Randumalang tetapi mereka telah melintas di padang perdu di daerah Kabuyutan Randumalang itu pula.

Namun dalam pada itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi cemas, bahwa pada suatu saat Widati akan dapat diketemukan oleh Singatama. Seandainya tidak oleh para cantrik di padepokan Empu Nawamula, tetapi oleh para cantrik di padepokan Singatama sendiri. Jika terjadi demikian, maka keadaan gadis itu akan menjadi semakin gawat.

Ketika hal itu disampaikannya kepada Mahendra, maka Mahendra pun berkata, “Apakah tidak sebaiknya gadis itu berada didalam perlindungan kita?”

“Apakah ayahnya akan mempercayai kita?” bertanya Mahisa Pukat.

“Bukankah kalian dapat menguraikan apa yang mungkin terjadi?” bertanya Mahisa Bungalan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun akhirnya mengambil satu keputusan untuk membagi diri. Mahisa Pukat akan meneruskan perjalanan ke tempat yang sudah disepakati oleh para cantrik, sementara Mahisa Murti akan menempuh perjalanan kembali ke Randumalang. Untuk meyakinkan Ki Buyut Randumalang, maka Mahisa Bungalan akan menyertainya bersama Mahisa Agni.

Demikianlah, maka sepuluh orang prajurit yang tidak mengenakan ciri-ciri keprajuritannya itu pun telah dibagi pula. Lima orang bersama Mahisa Pukat dan lima orang bersama Mahisa Murti.

Kedatangan Mahisa Murti di rumah Ki Buyut bersama beberapa orang telah mengejutkan. Bahkan Ki Buyut telah mempunyai prasangka buruk. Ia pernah menasehati anak gadisnya agar anaknya itu memilih kawan, apalagi yang nampaknya akan dapat menyentuh hatinya. Oleh karena itu maka Ki Buyut menganggap bahwa anaknya merasa dihalanginya, sehinga Mahisa Murti mengambil langkah-langkah tertentu untuk menembus batasan yang telah diberikannya kepada anak gadisnya.

Dengan cemas ia kemudian menerima Mahisa Murti dan beberapa orang yang bersama di pendapa. Dengan cemas pula ia menanyakan, apakah maksud kedatangan Mahisa Murti dan beberapa orang itu. Mahisa Murti melihat kecemasan di sorot mata Ki Buyut. Iapun mengerti, bahwa Ki Buyut yang merasa dirinya dan bahkan seisi Kabuyutannya itu terlalu lemah untuk menghadapi Mahisa Murti apalagi dengan beberapa orang yang tentu orang-orang pilihan, menemui kedatangannya dengan kecemasan.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah berusaha untuk menjelaskan, maksudnya dengan sangat hati-hati. Ia mulai dengan pertemuannya dengan seorang anak muda yang bernama Singatama.

“Aku berada di padepokannya. Dengan tidak kami rencanakan sebelumnya, kami telah bermalam di sebuah padepokan yang ditunggui oleh seorang Empu yang kami kenal. Namun ternyata bahwa padepokan itu adalah padepokan yang akan menjadi milik Singatama” berkata Mahisa Murti lebih lanjut.

Dengan terperinci Mahisa Murti menceriterakan pertemuannya dengan Ki Raganiti. Dari Ki Raganiti lah maka Mahisa Murti mengetahui semua persoalannya dengan jelas. Ternyata bahwa gadis yang disebut-sebut oleh Singatama itu adalah Widati.

Ki Buyut memang tidak segera mempercayainya. Tetapi karena Mahisa Murti dapat menjelaskan dengan lengkap dan terperinci, maka Ki Buyut mulai condong untuk mempercayainya bahwa yang dikatakan oleh Mahisa Murti itu benar. Namun untuk mempercayakan anak gadisnya kepada anak muda itu, Ki Buyut pun agaknya masih tetap ragu-ragu. Bagi Ki Buyut. Mahisa Murti adalah anak muda yang asing.

Karena itulah, maka Mahisa Murti tidak dapat menyembunyikan diri lagi terhadap Ki Buyut itu agar Ki Buyut dapat mempercayainya. Bahkan Mahisa Bungalan yang datang bersamanya kemudian menunjukkan timang keprajuritannya yang berada dibawah bajunya sambil berkata,

“Aku adalah seorang prajurit. Beberapa orang yang ada disini sekarang ini adalah prajurit Singasari pula. Kami sedang berusaha untuk mengamankan daerah ini dari tangan-tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian, ia masih juga meyakinkan, bahwa anaknya tidak akan menemui kesulitan, sehingga karena itu, maka katanya, “Baiklah Ki Sanak. Tetapi aku minta, agar aku diijinkan pergi bersama kalian. Aku dapat menyerahkan pemerintahan di Kabuyutan ini kepada para bebahu yang lain”

Mahisa Agni yang datang pula bersama Mahisa Murti sama sekali tidak merasa berkeberatan. Karena itu, maka katanya, “Bagi kami Ki Buyut, kesediaan Ki Buyut akan merupakan penghargaan bagi kami. Bahkan mungkin dalam keadaan yang sulit, Ki Buyut akan dapat memberikan banyak bantuan kepada kami”

“Ah. Ki Sanak tentu sudah mendengar dari anak muda ini, bahwa aku dan orang-orang Kabuyutan ini tidak berarti apa-apa didalam olah kanuragan” jawab Ki Buyut.

“Karena itu Ki Buyut” sahut Mahisa Murti, “Widati harus mendapat perlindungan yang cukup. Singatama akan dapat melakukan segala cara untuk mencapai maksudnya. Bahkan mungkin dengan cara yang paling kasar”

Dalam pada itu, maka Ki Buyut pun telah membenahi diri. Demikian pula dengan Widati. Meskipun Widati tertarik kepada Mahisa Murti, tetapi perjalanan itu membuatnya sangat berdebar-debar. Ia akan berada di dalam satu lingkungan yang tidak diketahuinya. Sekelompok laki-laki yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Meskipun ia akan pergi bersama ayahnya, tetapi ayahnya tentu tidak akan berarti apa-apa bagi orang-orang itu seandainya mereka bermaksud buruk.

Karena itu, maka ketika mereka mulai dengan perjalanannya, setelah Ki Buyut menyerahkan pemerintahan Kabuyutan itu kepada para bebahu yang lain, Widati tidak terpisah dengan sebilah patrem. Ia akan dapat mempergunakan senjata itu untuk mempertahankan diri. Tetapi juga untuk menghindarkan diri dan kepahitan yang akan dapat menerkamnya.

Dengan demikian, maka sebuah iring-iringan telah menelusuri jalan yang kadang kadang terasa sangat sulit. Terutama bagi Widati. Namun Mahisa Murti yang paling mengetahui, kemana mereka akan pergi, berkuda di paling depan dengan agak tergesa-gesa.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat telah mendekati tempat yang sudah mereka sepakati. Meskipun yang sepekan itu masih belum habis, ternyata sudah ada beberapa orang cantrik yang mendahului sampai ke tempat yang sudah mereka sepakati itu. Bahkan mereka telah mulai mencari lingkungan yang paling baik untuk disebut sebuah padepokan baru yang akan di kembangkan untuk memancing persoalan dengan sebuah padepokan yang memiliki sumber ilmu hitam.

Kedatangan Mahisa Pukat dengan beberapa orang yang belum mereka kenal, telah disambut oleh para cantrik dengan gembira. Namun mereka menjadi heran, bahwa diantara orang-orang yang datang itu, tidak terdapat Mahisa Murti.

“Ia akan segera menyusul” berkata Mahisa Pukat, “sementara kita akan membenahi diri”

“Kawan-kawan kita telah menemukan satu lingkungan yang baik bagi sebuah padepokan. Lingkungan yang sepi yang tidak banyak diketahui orang” berkata seorang cantrik.

“Dimana?” bertanya Mahisa Pukat.

“Beberapa ratus langkah dari tempat ini. Di tepi hutan yang tidak terlalu lebat. Kita akan mendapat banyak kesempatan untuk melakukan banyak kegiatan tanpa diketahui oleh Singatama” jawab cantrik itu.

Tetapi ternyata Mahisa Pukat tidak sependapat. Katanya, “Kau aneh. Kita tidak sedang bersembunyi. Kita justru sedang memancing persoalan. Karena itu, kita akan mencari tempat yang justru banyak di ketahui orang, sehingga berita tentang sebuah padepokan baru yang akan dibangun menjadi segera tersebar. Kita pun akan mengatakan kepada orang-orang yang kita jumpai, bahkan para pedagang yang akan kita hentikan karena kita memerlukan untuk membeli barang jualannya, akan kita beritahu, bahwa para cantrik dari padukuhan Empu Nawamula telah berpindah ke sebuah padukuhan baru yang sedang dipersiapkan”

Wajah para cantrik menjadi tegang. Beberapa orang di antara mereka saling berpandangan. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Kau benar. Kita memang tidak sedang bersembunyi. Semakin cepat persoalan ini selesai, akan menjadi semakin baik. Kita bukan binatang yang dapat diperlakukan sekehendak hati Singatama. Karena itu. segeralah terjadi. Mati atau mukti menurut pengertian kita, para cantrik yang ingin hidup tenang di padepokan sambil menuntut ilmu kejiwaan dan kenuragan”

Kawannya mengerutkan keningnya. Namun merekapun kemudian mengangguk-angguk. Bahkan beberapa orang bergumam, “Aku sependapat”

Dengan demikian, maka Mahisa Pukatlah yang kemudian bersama beberapa orang cantrik telah membicarakan tempat yang paling baik yang akan mereka buka untuk menjadi sebuah padepokan. Padepokan yang hanya akan mereka pergunakan beberapa saat saja.

Dalam pada itu, Mahendra, Witantra dan para prajurit Singasari segera mencari tempat untuk beristirahat, sementara Mahisa Pukat dan dua orang cantrik telah menyusuri tempat di sekeliling tempat peristirahatan itu untuk mereka jadikan satu lingkungan padepokan baru. Justru tempat yang banyak diketahui orang dan tidak tersembunyi.

Akhirnya mereka menemukan tempat itu. Memang sebuah padang perdu di tepi sebuah hutan kecil. Tetapi tidak jauh dari sebuah jalan yang menghubungkan satu padukuhan dengan padukuhan yang lain. Meskipun jalan itu tidak terlalu besar, tetapi satu dua orang yang lewat di jalan itu akan segera berceritera tentang sebuah padepokan baru. Ceritera itu akan segera tersebar sehingga akhirnya akan terdengar oleh Singatama atau orang-orangnya. Apalagi setelah ia menyadari, bahwa waktu yang sepekan itu telah habis dan orang-orangnya tidak segera kembali.

Tanpa menunggu Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat dan para cantrik telah mengambil satu keputusan. Mereka akan mulai membuat patok-patok kayu di sekeliling padang perdu. Mereka akan mengambil satu lingkungan yang tidak perlu terlalu luas. Di dalam pagar yang akan mereka buat. mereka akan mendirikan barak-barak yang akan mereka pergunakan untuk berteduh.

Ternyata bahwa perjalanan Mahisa Murti yang membawa Widati bersamanya telah terhambat, sehingga mereka harus bermalam semalam lagi di perjalanan. Dengan hati yang berdebar-debar Widati sama sekali tidak mau terpisah dari ayahnya dan tidak pula terpisah dari patrem yang diselipkan di ikat pinggangnya. Namun malam itu, mereka tidak mengalami sesuatu. Ketika matahari menyingsing, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke tempat yang sudah ditentukan.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat dan para cantrik, bahkan para prajurit yang datang bersama Mahisa Pukat dalam pakaian orang kebanyakan itu, telah membantu mereka pula. Yang mula-mula mereka kerjakan, adalah memotong beberapa batang pohon di hutan yang tidak begitu besar. Mereka mengambil batang dan dahan-dahan yang rampak, untuk membuat dinding disekeliling tanah yang mereka perlukan. Mereka memotong dahan-dahan itu setinggi orang, kemudian mereka tanam rapat sehingga merupakan dinding yang cukup kuat. Apalagi mereka telah mengikat batang dan dahan-dahan kayu itu dengan lulup.

Tetapi kerja itu ternyata adalah kerja yang besar. Kerja yang sangat melelahkan. Namun mereka bertekad untuk melanjutkan kerja itu, meskipun kemudian kerja itu tidak lagi terlalu rapi, karena mereka sadar, bahwa padepokan itu bukannya padepokan yang sebenarnya.

Ketika Mahisa Murti kemudian sampai ke tempat itu, maka orang-orang yang datang bersamanya itu pun segera membantu Mahisa Pukat. Dengan tidak terlalu menghiraukan mutu kerja yang mereka lakukan, mereka ingin segera memberikan kesan, bahwa mereka telah membuat satu lingkungan kehidupan tersendiri, yang kemudian akan mereka sebut dengan sebuah padepokan.

Pada saat padepokan itu mulai dikerjakan, maka waktu yang sepekan itu telah habis. Dengan berdebar-debar Singatama menunggu kedatangan para cantrik yang telah menyebar. Dihari pertama, Singatama menyangka, bahwa para cantrik masih berada di perjalanan kembali. Tetapi di hari kedua setelah batas waktu yang sepekan itu, belum juga ada seorang pun yang datang.

Singatama mulai menjadi gelisah. Tetapi ia masih tetap yakin bahwa tidak seorang pun dari para cantrik itu yang akan berani mengabaikan perintahnya, kecuali dua orang cantrik baru yang telah melarikan diri.

“Agaknya belum seorang pun yang menemukan gadis itu” berkata Singatama. Namun kemudian, “Tetapi dapat atau tidak dapat, mereka tentu akan kembali pada waktunya, meskipun mereka akan dihukum. Bahkan mungkin mereka dapat berharap, seorang kawannya telah berhasil menemukan gadis yang mereka cari”

Pada hari ketiga, kemarahan Singatama mulai membakar jantung. Dengan nada keras ia bertanya kepada Empu Nawamula, “Paman, kenapa para cantrik tidak seorangpun yang datang kembali setelah tiga hari berselang dari waktu yang telah aku berikan”

Tetapi jawab Empu Nawamula memang sangat mengecewakan, “Aku tidak tahu. Bukankah kau berhadapan langsung dengan para cantrik itu”

“Apakah mereka bersama-sama melarikan diri?” bertanya Singatama.

“Aku tidak tahu. Sebenarnya aku pun telah menanti-nanti. Kebun dan halaman padepokan ini telah menjadi sangat kotor. Kami yang tinggal tidak lagi mampu membersihkan halaman seluas ini” jawab Empu Nawamula.

“Persetan dengan kebun dan halaman” geram Singatama, “aku memerlukan laporan perjalanan mereka semuanya. Aku memerlukan keterangan tentang gadis itu”

Tetapi Empu Nawamula tidak membiarkannya membentak-bentak. Karena itu iapun menjawab, “Itu urusanmu. Bukan urusanku”

Singatama menggeram. Tetapi ia tidak berani membentak pamannya lagi. Jika pamannya benar-benar marah dan melakukan kekerasan, ia tidak akan dapat berbuat banyak. Karena itu, maka yang dilakukannya kemudian adalah menunggu barang satu dua hari. Jika dalam dua hari para cantrik tidak datang, bahkan seorang pun, maka jelaslah bagi Singatama, bahwa para cantrik itu memang melarikan diri.

“Aku akan menghukum keluarga mereka” geram Singatama, yang kemudian berkata kepada pengikutnya, “Kita akan memburu keluarga mereka. Jangan berbelas kasihan”

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai membuat barak-barak sederhana. Dengan kayu mereka ambil di hutan dan atap ilalang, maka beberapa gubug telah berdiri, sekedar untuk berteduh. Usaha mereka untuk menarik perhatian, ternyata tidak sia-sia. Beberapa orang yang lewat di jalan kecil tidak jauh dari sebuah padepokan kecil yang mereka bangun itu, telah saling memperbincangkannya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang dengan sengaja menghubungi orang-orang padukuhan untuk membeli makanan, telah mengatakan, bahwa mereka memang sedang menyiapkan sebuah padepokan.

“Kami akan segera menghubungi Ki Buyut di Kabuyutan ini” berkata Mahisa Murti.

“Kalian nampaknya aneh” berkata seorang penghuni padukuhan di ujung bulak, “kalian tidak membuka sebuah padepokan seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Mereka mempersiapkan sebuah padepokan untuk waktu yang lama. Mereka mengatur lingkungan dengan saksama. Mereka memerlukan tanah yang luas sebagai tanah garapan. Tetapi kalian membuat sebuah padepokan dengan tergesa-gesa dan seolah-olah sekedar gubug-gubug yang mirip dengan kandang ayam”

“Semuanya itu baru persiapan” jawab Mahisa Pukat, “dengan modal gubug-gubug kecil itu, kita akan mempersiapkan sebuah padepokan yang baik. Hutan kecil itu akan kami tebas dan akan kami jadikan daerah persawahan yang subur. sudah tentu dengan ijin Ki Buyut”

“Ki Buyut tentu tidak akan berkeberatan. Disini hutan masih sangat luas” jawab orang itu.

Dalam pada itu, dengan sengaja pula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengatakan, bahwa orang-orang yang ikut membangun padepokan itu adalah para cantrik dari sebuah padepokan yang dipimpin oleh Empu Nawamula dan kemenakannya yang bernama Singatama.

“Tetapi kami tidak ingin kembali lagi ke padepokan itu” berkata Mahisa Pukat, “kami ingin hidup di sini. Bahkan seorang adik perempuanku ikut pula bersama kami. Karena sebenarnyalah sebuah padepokan memerlukan perempuan untuk menyiapkan makanan dan minuman”

“Juga aneh” sahut orang padukuhan itu, “bukankah para cantrik harus mampu menanak nasi, memasak dengan membuat minuman?”

“Ia. Tetapi bukankah lebih baik hal itu dilakukan oleh seorang perempuan?” Selebihnya adik perempuanku memang sedang bersembunyi”

Dengan demikian, maka berita tentang padepokan baru itu segera tersebar. Bukan hanya di satu dua padukuhan. Tetapi telah tersebar semakin lama semakin luas. Dalam pada itu, meskipun letak padepokan itu tidak terlalu jauh dari sebuah sumber air dibawah sebatang pohon raksasa dipinggir hutan, tetapi mereka telah membuat sebuah sumur pula. Dengan demikian, maka padepokan itu telah dilengkapi dengan pemenuhan kebutuhan bagi satu lingkungan hidup, meskipun tidak disiapkan untuk seterusnya.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengatur diri sebaik-baiknya. Para cantrik harus tetap berhati-hati menghadapi perkembangan keadaan. Segalanya akan dapat berlangsung dengan cepat, sehingga memerlukan penanganan yang cepat pula.

Sebenarnyalah, yang diharapkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun segera terjadi. Berita tentang sebuah padepokan baru yang dihuni oleh para cantrik yang melarikan diri dari sebuah padepokan yang lain, telah terdengar oleh Singatama. Berita itu rasa-rasanya telah membuat darahnya mendidih. Jantungnya bagaikan berdentang semakin cepat.

“Orang-orang gila yang telah jemu hidup” geram Singatama, “aku harus menghukum mereka”

Kedua orang saudara seperguruan Singatama itu pun mempunyai tabiat yang serupa. Karena itu, berita itu rasa-rasanya telah mendorong mereka untuk segera mencari padepokan baru itu. Tetapi Empu Nawamula sempat bertanya kepada mereka, “Apa yang akan kalian lakukan?”

“Menghukum mereka” jawab Singatama, “yang melawan akan aku bunuh”

“Apakah kau kira para cantrik itu tidak mampu mengadakan perlawanan?” bertanya Empu Nawamula.

“Persetan dengan mereka” geram Singatama, “kami bertiga akan dapat membunuh mereka semua. Tidak seorang pun yang akan mampu menyelamatkan diri” kemudian hampir berteriak Singatama berkata, “Mereka memang sengaja menantang aku. Ternyata gadis yang mereka cari itu sudah dapat mereka ketemukan. Sekarang gadis itu berada di satu tempat yang mereka sebut dengan sebuah padepokan baru”

Empu Nawamula menarik nafas dalam-dal8am. Ia sudah mengerti rencana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun Empu Nawamula sebenarnya masih juga mencemaskan kedua anak muda itu. Jika seluruh padepokan yang dipimpin oleh guru Singatama itu bergerak, apakah padepokan baru itu akan mampu melawannya.

Namun, seperti Empu Nawamula sendiri, maka tekad untuk menghancurkan padepokan yang berlandaskan pada ilmu hitam itu merupakan bagian dari pengabdian mereka terhadap sesama. Karena itu, maka mereka memang tidak mempunyai pilihan lain daripada melawan dengan sepenuh kemampuan dan kekuatan. Karena itu, maka Empu Nawamula tidak lagi berbuat sesuatu. Dibiarkannya saja Singatama mengambil satu sikap.

Sebenarnyalah dengan darah yang serasa mendidih, Singatama dengan kedua orang saudara seperguruannya, benar-benar telah mencari padepokan baru yang didengarnya lewat orang-orang yang hilir mudik dari satu pasar kepasar yang lain yang mendengar berita itu sambung bersambung. Meskipun kedatangan Singatama itu memang diharapkan, namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut juga, ketika seorang cantrik dengan pucat melaporkan kepadanya, bahwa tiga orang berkuda telah datang.

“Siapa?” bertanya Mahisa Murti.

“Singatama dengan dua orang saudara seperguruannya” jawab cantrik itu dengan gemetar.

“He, kenapa kau menjadi pucat dan gemetar?” bertanya Mahisa Pukat tiba-tiba.

Cantrik itu tidak menjawab. Dalam pada itu, Mahisa Pukat pun tertawa sambil berkata, “Bukankah kau sudah bertekad untuk menjadi seorang laki-laki. Apapun yang terjadi tidak akan menggetarkan tekad itu”

Cantrik itu mengangguk. Namun mereka tidak mendapat kesempatan untuk berbicara lebih panjang. Sementara itu terdengar suara orang berteriak di luar pagar, “He, orang-orang gila. Apakah kalian benar-benar menantang aku?”

Para cantrik yang mendengar suara Singatama itu memang menjadi berdebar-debar. Bagaimanapun juga mereka tidak dapat menyembunyikan perasaan mereka. Mereka sudah terbiasa berada di bawah pengaruh ketakutan yang sangat terhadap anak muda itu.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membuka pintu regol yang ditutup rapat oleh para cantrik dan diselarak rangkap. Sambil berdiri di muka pintu Mahisa Murti berkata, “He, bukankah kau Singatama?”

“Ya. Aku Singatama. Kaukah cantrik yang telah mencuri dua ekor kuda dan melarikan diri di dini hari itu?” bertanya Singatama.

“Ya. Kami berdua memang telah melarikan diri. Tetapi kali ini kami sama sekali tidak akan melarikan diri” jawab Mahisa Pukat. Lalu, “saat itu pun sebenarnya kami tidak melarikan diri. Tetapi kami sedang menyiapkan satu rencana besar bagi kemanusiaan. Kami sedang mempersiapkan sebuah padepokan untuk menampung para cantrik yang tidak tahan lagi kau perlakukan dengan sewenang-wenang. Tetapi lebih dari itu, kami sedang menyiapkan sebuah perlawanan terhadap nafas kehidupan padepokanmu yang penuh dengan tingkah laku dan tindak tanduk yang bertentangan dengan peradaban manusia”

“Persetan” geram Singatama, “aku tidak perlu sesorahmu. Siapa yang akan melawan aku? Atau kalian ingin berkelahi berbareng? Marilah, dengan demikian maka tugasku akan segera selesai. Karena aku tahu, bahwa kalian telah menyembunyikan gadis yang aku cari itu disini”

Tetapi sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sangat mengejutkan Singatama. Keduanya sama sekali tidak menjadi gentar. Tetapi keduanya justru tertawa.

“Kau jangan mengumpat-umpat disini” berkata Mahisa Pukat, “kau sangka bahwa dengan demikian, kami akan menjadi ketakutan? Kami para cantrik telah bersepakat untuk tidak kembali lagi kepadamu, meskipun kami sudah berhasil menemukan gadis yang kau kehendaki? Kami telah membawanya ke tempat ini agar kau tidak akan dapat mengambilnya”

“Gila,” Singatama berteriak, “aku bunuh kau pertama. Kau orang baru di padepokan kami, sehingga kau tidak mengetahui tingkat kemampuan Singatama”

“Kau kira, kami akan silau melihat tingkat kemampuanmu? Baiklah. Jika kau ingin mengambil gadis itu, kau harus menempuh sayembara ini. Sayembara tanding. Jika kau berhasil mengalahkan kami para cantrik, maka kau akan dapat membawanya keluar dari padepokan kami” sahut Mahisa Pukat.

Kemarahan Singatama benar-benar telah membakar kepalanya. Dengan kemarahan yang meluap itu ia berteriak, “Bersiaplah untuk mati”

Singatama yang telah meloncat turun dari kudanya diikuti oleh kedua orang saudara seperguruannya itu setelah mengikatnya pada sebatang pohon perdu, telah melangkah mendekat sambil berkata, “Aku akan membakar padepokan ini”

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan mereka berdua telah melangkah keluar pintu regol padepokannya.

Namun dalam pada itu, dari dalam regol ia mendengar Mahendra berkata perlahan-lahan, “Jika mereka dapat kau kalahkan, beri kesempatan mereka menyampaikan persoalan ini kepada gurunya. Dengan demikian, kita berharap bahwa seisi padepokannya akan datang kemari."

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Tetapi mereka tidak menjawab.

Dalam pada itu, Singatama yang marah itu sempat juga menjadi heran. Yang keluar dari pagar kayu itu hanya dua orang saja. Dua orang cantrik yang telah melarikan diri dari padepokannya. “Jangan hanya kau berdua” teriak Singatama, “apalagi kalian adalah orang-orang baru yang tidak berarti. Biarlah semua cantrik datang mengerubutiku”

“Mereka hanya akan nonton” berkata Mahisa Murti.

Sebenarnyalah, beberapa orang cantrik telah berdiri berjajar di sebelah menyebelah regol di bagian dalam dengan alas kayu, batu atau dingklik-dingklik kecil. Mereka memang hanya akan menonton perkelahian yang akan terjadi.

Dengan menunjukkan kelebihan dua orang di antara para cantrik, maka mereka berharap, bahwa mereka akan dapat memancing kedatangan bukan saja kawan-kawan seperguruan Singatama, tetapi juga gurunya, yang merupakan sumber penyebaran ilmu yang tidak pantas bagi kehidupan manusia.

Kemarahan Singatama memang sudah tidak tertahankan lagi. Namun Mahisa Murti masih berkata, “Lihat Singatama. Kali ini dua orang diantara mereka akan menghadapimu. Kau dapat membayangkan. Jika mereka semuanya keluar dari padepokan ini, maka kau benar-benar akan menjadi sayatan kulit dan daging”

“Tutup mulutmu” geram Singatama, “kau jangan membual saja. Marilah, aku antarkan kau ke batas maut”

Mahisa Murti tidak menjawab lagi. Tetapi ia berkata kepada Mahisa Pukat, “Kau sajalah yang menjadi saksi. Aku sendiri akan menghadapi Singatama. Biarlah ia mengerti, bahwa tidak semua orang yang memasuki sebuah padepokan menjadi seorang cantrik akan dapat diperlakukan sewenang-wenang”

“Aku sobek mulutmu” geram Singatama.

“Yang penting bagiku, bukan menang atau kalah. Tetapi aku sudah menyatakan diriku. Aku tidak akan dapat diperlakukan sewenang-wenang. Mungkin kau akan dapat membunuh aku. Wadagku akan terbaring diam. Tetapi kau tidak akan dapat memperbudak jiwaku. Meskipun tubuhku dapat kau kuasai, tetapi kau tidak akan dapat mengikat kebebasan jiwaku” berkata Mahisa Murti.

Singatama tidak dapat menahan diri lagi. Dengan langkah panjang ia meloncat, langsung menyerang Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti memang sudah siap. Dengan sigapnya ia pun telah mengelakkan serangan itu, sehingga serangan Singatama sama sekali tidak menyentuh sasaran.

Dalam pada itu, kepala-kepala para cantrik dan orang-orang yang berada di balik pagar itupun menjadi semakin banyak bermunculan di balik pagar. Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra pun telah melihat perkelahian itu pula, sementara Mahisa Bungalan yang gelisah, berdiri di sebelah pintu. Seolah-olah ia sudah mempersiapkan diri untuk meloncat ke arena jika diperlukan. Dari sela-sela batang-batang kayu yang memagari padepokan itu, ia dapat melihat, apa yang telah terjadi diluar.

Mahisa Pukat pun menjadi tegang. Tetapi ia mempunyai kewajiban untuk mengawasi dua orang saudara seperguruan Singatama. Jika mereka melibatkan diri. maka Mahisa Pukat harus mencegahnya.

Sejenak kemudian, maka pertempuran antara Mahisa Murti dan Singatama itu pun menjadi semakin sengit. Keduanya adalah anak-anak muda, dan keduanya memiliki ilmu yang cukup tinggi meskipun bersumber dan berwarna lain.

Singatama yang marah itu bertempur semakin lama menjadi semakin kasar, sesuai dengan sifat ilmunya. Namun Mahisa Murti dengan cepat menyesuaikan diri. Ia melawan kekasaran lawannya dengan kemampuannya bergerak secepat burung sikatan.

Dalam pada itu, di dalam padepokan yang dibuat untuk menjebak Singatama dan perguruannya itu, seorang gadis sedang menggigil ketakutan. Ia tahu apa yang telah terjadi diluar. Seorang anak muda yang keras, kasar dan memiliki ilmu yang tinggi telah datang untuk mencarinya.

“Apakah orang-orang di dalam lingkungan pagar ini akan dapat mencegahnya ayah” bertanya Widati kepada ayahnya yang juga menjadi berdebar-debar.

“Diantara mereka terdapat beberapa orang prajurit Widati. Tanpa mereka, aku tidak akan membiarkan kau bersama dengan orang-orang yang belum aku kenal dengan baik” berkata Ki Buyut.

“Tetapi orang-orang di tempat ini berbuat baik ayah. Nampaknya mereka memegang satu paugeran yang teguh. Namun yang mencemaskan aku, apakah pada suatu saat, apabila anak muda yang kasar itu datang bersama kawan-kawannya, padepokan ini akan dapat melawan” bertanya Widati dengan suara bergetar.

“Anak itu hanya datang bertiga” jawab ayahnya.

“Sekarang mereka datang bertiga” berkata Widati, “tetapi aku tahu, ia adalah seorang murid dari satu perguruan yang besar. Jika kali ini ia harus menelan kekalahan, maka esok atau lusa mereka akan datang bersama banyak orang dan yang barangkali bersama dengan gurunya pula”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Hal itu memang mungkin terjadi. Tetapi untuk menenangkan anaknya ia berkata, “Widati, di padepokan bayangan ini terdapat sejumlah orang yang terdiri dari bermacam-macam latar belakang kehidupan. Ada di antara mereka benar-benar cantrik dari sebuah padepokan. Ada di antara mereka prajurit yang dalam tugas melindungi orang-orang yang diperlakukan sewenang-wenang, seperti yang mungkin terjadi atas dirimu. Dan ada di antara mereka adalah dua orang perantau yang pernah berada di Kabuyutan kita. Aku yakin bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan olah kanuragan”

Widati mengangguk-angguk. Tetapi ketika ayahnya bergeser gadis itu berkata, “Ayah, jangan pergi”

“Aku akan melihat apa yang terjadi di luar pagar” berkata ayahnya.

“Jangan tinggalkan aku sendirian” pinta anaknya.

Ki Buyut mengurungkan niatnya. Tetapi ia mengetahui bahwa yang berada di luar pagar adalah dua orang anak muda yang pernah berada di Kabuyutan mereka. Dua orang anak muda yang memang memiliki kemampuan yang tinggi. Sehingga dengan demikian maka mereka sama sekali tidak gentar menghadapi Singatama dengan dua orang seperguruannya.

Dalam pada itu, pertempuran antara Singatama dan Mahisa Murti itu pun menjadi semakin sengit. Keduanya mulai mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Singatama yang kasar itupun menjadi semakin kasar. Kedua tangannya kadang-kadang nampak mengembang sebagaimana juga dengan jari-jarinya. Dengan teriakan-teriakan yang keras ia menyerang dengan garangnya.

Tetapi Mahisa Murti mampu mengimbangi dgn kecapaian geraknya. Serangan-serangan Singatama yang keras dan kasar itu mampu dihindarinya. Bahkan serangan-serangan Mahisa Murti yang cepat, mampu menembus pertahanan Singatama, sehingga sekali dua kali, justru Mahisa Murti lah yang mulai mengenainya.

Singatama yang marah itu menggeram. Tata geraknya menjadi semakin kasar. Tanpa menghiraukan apapun juga, kekasarannya semakin menjadi-jadi. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Empu Nawamula, bahwa sebenarnyalah Mahisa Murti masih mempunyai kelebihan dari Singatama itu. Betapapun kasar dan liarnya serangan-serangan yang datang membadai, namun Mahisa Murti masih selalu dapat mengatasinya. Meskipun akhirnya serangan-serangan lawannya itu dapat mengenainya juga, namun Mahisa Murti masih mampu mengenai lawannya lebih banyak lagi.

Dalam pada itu, Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra mengikuti pertempuran itu dengan saksama. Meraka melihat sesuatu yang agak lain pada Mahisa Murti. Namun ketajaman pengamatannya segera mengetahui, bahwa ada unsur-unsur gerak yang baru terselip dalam tata gerak Mahisa Murti, tanpa merusakkan keseluruhan ilmunya. Bahkan seolah-oiah mampu mengisi kekurangan yang kadang-kadang terdapat di antara unsur-unsur gerak anak muda itu di dalam perkelahian yang cepat.

“Ia berhasil membuka diri atas pengalaman baru di dalam dunia kanuragan” berkata Mahisa Agni.

Witantra mengangguk-angguk. Katanya, “Sama sekali tidak merugikan. Tetapi justru berhasil meningkatkan kemampuannya dalam keseluruhan”

Mahendra tidak memberikan tanggapan sesuatu. Tetapi ia sependapat, bahwa dengan demikian, ilmu Mahisa Murti menjadi semakin lengkap.

Dalam pada itu, maka perkelahian yang seru itupun berlangsung semakin cepat. Keduanya bertempur dengan segenap kemampuan mereka. Namun dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa kemampuan Mahisa Murti memang lebih tinggi dari Singatama. Meskipun Singatama bertempur dengan garangnya, namun semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa ia mulai terdesak.

Sementara itu, kedua saudara seperguruannya memperhatikan pertempuran itu dengan seksama. Sekali-sekali terdengar keduanya mengumpat dengan kasarnya. Namun akhirnya keduanya pun dapat melihat, bahwa ilmu anak muda yang menyebut dirinya seorang di antara para cantrik itupun ternyata lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki oleh Singatama.

“Gila” geram salah seorang diantara kedua orang itu, “tentu ada sesuatu yang tidak wajar. Jika kedua orang itu benar-benar cantrik di padepokan Empu Nawamula, maka keduanya tidak akan dapat mengimbangi kemampuan Singatama.

Tetapi kenyataan yang mereka hadapi tidak demikian. Cantrik itu dapat mendesak Singatama, betapapun Singatama mengerahkan kemampuannya. Bahkan sekali- kali Singatama telah terdorong oleh serangan Mahisa Murti sehingga kadang-kadang Singatama harus berloncatan menjauh.

Namun semakin lama, kesulitan Singatama pun mendekati saat yang menentukan. Serangan Mahisa Murti menjadi semakin cepat. Sekali-sekali Singatama telah terdorong beberapa langkah oleh serangan Mahisa Murti yang mengenainya. Bahkan kadang-kadang terdengar Singatama mengeluh tertahan.

Mahisa Murti justru mempergunakan saat-saat yang demikian untuk menekan lawannya yang kasar itu. Ketika Singatama berusaha meloncat menghindar sejauh-jauhnya oleh serangan beruntun, Mahisa Murti telah memburunya. Demikian Singatama berhasil memperbaiki keadaannya, Mahisa Murti telah menyerangnya dengan kekuatan yang penuh. Singatama tidak sempat menghindar lagi. Karena itu, maka serangan Mahisa Murti itu telah melemparkannya beberapa langkah, sehingga Singatama itu pun jatuh berguling di tanah.

Kedua saudara seperguruannya memperhatikannya dengan jantung yang berdebaran. Namun mereka tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Dengan serta merta merekapun telah melangkah mendekat.

Mahisa Pukat yang mengamatinya pun tidak membiarkan mereka melibatkan diri dan bertiga bertempur melawan Mahisa Murti. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah melangkah maju pula sambil berkata, “Marilah, jika kalian ingin bermain-main pula, aku akan melayani kalian”

“Persetan” geram seorang di antara mereka, “aku tidak mau bermain-main. Aku akan mempertaruhkan nyawaku. Kita akan bertempur sampai mati”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Kedua saudara seperguruan Singatama itu langsung menarik senjatanya. Sebilah pedang yang panjang. Mahisa Pukatpun tidak mau bertempur tanpa senjata. Karena itu, maka ia pun telah menarik pedangnya pula. Pedang yang telah dipersiapkannya.

Tetapi dalam pada itu, keadaan Singatama benar-benar gawat ketika Mahisa Murti siap untuk menyerangnya selagi ia berusaha untuk bangkit. Karena itulah, maka salah seorang saudara seperguruannya tidak membiarkannya dihancurkan oleh cantrik yang ternyata memiliki kemampuan yang tinggi itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang Mahisa Murti dengan senjatanya. Mahisa Murti mengurungkan niatnya untuk menyerang. Ia harus memperhatikan serangan senjata lawannya yang baru itu.

Sementara itu, saudara seperguruan Singatama yang lain, telah dengan serta merta menyerang Mahisa Pukat yang sudah siap untuk melawannya. Karena itu, maka serangan lawannya itu sama sekali tidak membahayakannya. Bahkan dengan mudahnya ia mengelak dan bahkan dengan cepat pula, ia menjulurkan senjatanya mengarah ke lambung lawan.

Pada saat itu, Mahisa Murti tengah meloncat menghindari serangan pedang lawannya yang baru. Sementara itu Singatama pun telah bangkit pula. Betapa perasaan sakit di tubuhnya, namun ia masih mampu bangkit dan menggeram, “Orang itu memang harus dibunuh”

Semula Singatama masih ingin menunjukkan kelebihannya dengan bertempur tanpa senjata. Namun ternyata bahwa ia tidak mampu mengatasi kemampuan lawannya, sehingga karena itu, maka ia pun kemudian telah menarik senjatanya pula. Sebilah pedang sebagaimana kedua orang saudara seperguruannya.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat yang melihat Singatama juga menarik pedangnya dengan cepat berusaha untuk menyesuaikan diri. Meskipun kemudian Mahisa Murti juga menarik pedangnya, namun agaknya mereka harus menempatkan diri dalam kedudukan yang sama. Itulah sebabnya, maka Mahisa Pukat pun telah bergeser mendekati Mahisa Murti. Agaknya Mahisa Murtipun menyadari, hahwa ketiga orang saudara seperguruan itu memiliki ilmu yang berbahaya pula.

Karena itu, sebaiknya tidak seorang di antara mereka berdua yang harus bertempur melawan dua orang. Karena itu, maka mereka berdua, tanpa membicarakannya, telah berusaha untuk saling mendekat. Sehingga akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah bertempur berpasangan melawan tiga orang saudara seperguruan yang dipimpin oleh Singatama.

Tetapi sebenarnyalah Singatama sendiri sudah mulai menjadi letih. Tubuhnya terasa sakit di beberapa tempat, karena sentuhan serangan Mahisa Murti. Tulang-tulangnya serasa retak dan kulitnya menjadi bengkak-bengkak. Namun demikian, dengan senjata ditangan, ia masih tetap seorang yang berbahaya.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang memperhatikan pertempuran itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka telah memegang senjata di tangan masing-masing.

Demikianlah maka pertempuran itu menjadi semakin sengit. Singatama dan kedua orang saudara seperguruannya, bertempur dengan kasar. Senjata mereka berputar diantara teriakan-teriakan yang kasar.

Para cantrik yang berada di dalam pagar menyaksikan pertempuran itu dengan jantung berdebaran. Teriakan-teriakan Singatama dan kedua orang saudara seperguruannya, rasa-rasanya bagaikan menusuk hati. Bagaimanapun juga, mereka masih saja selalu dibayangi oleh kecemasan. Meskipun mereka sudah berusaha untuk tidak menjadi ketakutan, namun rasa-rasanya sikap ketiga orang saudara seperguruan itu benar-benar mengerikan.

Tetapi mereka pun melihat, bahwa dua orang perantau yang datang dan kemudian menyebut diri mereka cantrik juga bersama yang lain di padepokan Empu Nawamula itu, dan bahkan dalam latihan-latihan olah kanuragan keduanya tidak menunjukkan kelebihan dari para cantrik yang lain, ternyata berhasil mengimbangi kemampuan Singatama dan kedua saudara seperguruannya. Bahkan tiga orang saudara seperguruan itu tidak mampu mendesak dua orang lawannya yang masih sangat muda itu.

Sebenarnyalah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berbekal ilmu yang tinggi, mampu bertahan melawan Singatama dengan dua orang saudara seperguruannya. Bagaimanapun juga garangnya serangan mereka yang datang bagaikan prahara, namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berhasil melindungi diri mereka dengan rapatnya. Bahkan mereka pun sekali-sekali berhasil mendesak lawan-lawannya dengan serangan-serangan yang berbahaya.

Betapapun garang dan kasarnya Singatama dan kedua saudara seperguruannya, namun ternyata bahwa kecepatan gerak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membuat mereka kadang-kadang menjadi bingung dan kehilangan sasaran.

Dengan bertempur berpasangan, ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merupakan kekuatan yang sulit untuk dipatahkan. Sekali-sekali keduanya terlepas dari ikatan tata gerak berpasangan. Dalam kesempatan yang demikian keduanya justru berloncatan menyerang dengan senjata mereka yang bergetar dengan dahsyatnya.

Demikianlah, semakin lama semakin ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan berhasil menguasai ketiga orang lawannya. Singatama yang letih menjadi semakin letih. Tenaganya telah jauh susut, sementara tubuhnya terasa semakin lemah dan sakit-sakit.

Dalam keadaan yang gawat, serangan Mahisa Murti justru lebih banyak mengejarnya. Mahisa Murti yang menganggapnya sebagai pemimpin dari ketiga orang saudara seperguruan itu, berpendapat, apabila Singatama itu dapat dilumpuhkan, maka kedua orang saudara seperguruannya tidak akan banyak dapat berbuat. Karena itulah, maka serangan-serangan Mahisa Murti lebih banyak tertuju kepada Singatama daripada saudara-saudara seperguruannya.

Semula, Mahisa Pukat tidak begitu menyadari usaha Mahisa Murti. Namun akhirnya iapun mengetahuinya juga, sehingga karena itu, maka iapun telah melakukan hal yang serupa. Karena itulah, maka keadaan Singatama semakin lama menjadi semakin sulit. Meskipun kedua orang saudara seperguruannya telah bertempur dengan sepenuh kemampuan mereka, tetapi ternyata bahwa mereka tidak berhasil membendung serangan Mahisa Pukat dan Mahisa Murti yang datang bergelombang atas Singatama.

Dengan demikian, maka keadaan Singatama yang sudah menjadi sangat letih itu semakin lama menjadi semakin sulit. Bahkan akhirnya, ia tidak mampu lagi menghindari ujung senjata Mahisa Murti, sehingga terdengar ia mengeluh tertahan ketika ujung pedang Mahisa Murti menggores pundaknya. Singatama meloncat beberapa langkah surut. Kedua orang saudara seperguruannya telah mencoba untuk melindunginya.

Luka di pundak Singatama itu tidak terlalu dalam. Tetapi darah yang mengalir dari luka itu telah membuat hatinya menjadi kecut. Apalagi ia pun tidak dapat mengabaikan kesulitan yang semakin lama menjadi semakin mendesaknya bersama kedua orang saudara seperguruannya.

Sementara itu, selagi Singatama merenungi lukanya, serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah datang membadai, sehingga kedua orang lawannya pun telah terdesak surut. Bahkan tiba-tiba saja seorang diantara mereka mengumpat kasar ketika terasa segores luka di lengannya.

“Anak setan” geramnya. Tetapi lukanya itu kemudian telah mengalirkan darah.

Demikianlah ketiga saudara seperguruan itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Tidak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk bertahan lebih lama lagi. Serangan-serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat semakin lama menjadi justru semakin cepat.

Dalam keadaan yang demikian, ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah merubah sikap mereka. Keduanya tidak lagi bertempur berpasangan pada jarak dekat dan kadang-kadang beradu punggung. Tetapi keduanya justru telah berpencar. Keduanya menghadapi lawan mereka pada jarak beberapa langkah setelah ketiga orang lawan mereka menjadi sangat lemah.

Pada saat yang demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebenarnya mempunyai kesempatan yang cukup untuk segera mengakhiri pertempuran. Bahkan seandainya mereka ingin membunuh lawan mereka.

Menghadapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang kemudian berpencar, Singatama dan kedua orang saudara seperguruannya menjadi bingung. Apalagi ujung-ujung senjata kedua anak muda itu telah menyentuh tubuh mereka pula.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak melupakan tujuan mereka yang sebenarnya. Apalagi dengan kehadiran ayah dan paman-paman mereka. Bahkan Mahisa Bungalan dengan beberapa orang prajurit Singasari dalam tugas mereka.

Yang penting adalah memancing sekelompok orang dari sebuah padepokan yang telah menumbuhkan kegelisahan. Dengan kekalahan Singatama dan kedua orang saudara seperguruannya, maka orang-orang padepokan itu tentu akan menjadi marah. Mereka akan terjebak kedalam satu langkah yang dapat menjadi bukti tingkah laku mereka yang tidak menghormati hak dan kebebasan orang lain. Jika mereka memaksa untuk mengambil Widati yang berada di lingkungan padepokan baru itu, maka hal itu akan menjadi salah satu bukti bahwa mereka bertindak sewenang-wenang.

Dengan ilmu yang ada pada mereka, dan kelebihan mereka atas orang lain. ternyata telah mereka pergunakan untuk melawan hubungan antara sesama. Tetapi justru untuk menindas dengan tanpa menghiraukan peradaban. Karena itu, maka bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang penting bukannya satu kepuasan yang akan mereka peroleh dengan melumpuhkan Singatama. Tetapi mereka lebih mementingkan rencana mereka yang lebih besar.

Itulah sebabnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera mengakhiri pertempuran. Bahkan kemudian seolah-olah keduanya telah memberi kesempatan kepada Singatama dan saudara seperguruannya, atau salah seorang diantara mereka, untuk meninggalkan arena.

Dalam pada itu, Singatama memang melihat, bahwa tidak ada lagi kemungkinan baginya untuk memenangkan perkelahian itu. Setiap kali ia hanya dapat mengumpat. Tetapi justru ujung senjata lawannyalah yang telah menyentuh tubuhnya. Dengan demikian, maka tidak ada pilihan lain baginya, dari menyingkir sejauh-jauhnya. Jika ia masih tetap dapat hidup, maka kemungkinan-kemungkinan yang lain masih akan dapat terjadi. Mungkin ia mempunyai satu cara untuk dapat mengambil gadis yang telah membuatnya hampir gila itu.

Karena itulah, maka selagi kedua saudara seperguruannya sibuk melayani Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka dengan serta merta, Singatama telah melompat meninggalkan arena. Dengan sisa tenaganya ia berlari menuju ke kudanya yang tertambat.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sengaja tidak mengejarnya. Dibiarkannya Singatama melepaskan diri untuk menyampaikan persoalannya kepada gurunya sehingga akan dapat membangkitkan kemarahan seisi perguruannya.

Namun agaknya kedua orang saudara Singatama tidak mendapat kesempatan untuk lari. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak terlalu menahan mereka. Tetapi tubuh mereka memang telah terlalu letih. Luka-luka yang tergores di kulit mereka, lelah mengalirkan darah. Sehingga dengan demikian. rasa-rasanya mereka tidak lagi dapat melarikan diri. meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat membiarkannya.

Tetapi yang seorang itu sudah cukup. Namun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu masih berkata di dalam hati, “Mudah-mudahan Singatama dapat sampai ke padepokan”

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang terpaksa melukai lawannya, tidak ingin membuat mereka sama sekali tidak berdaya. Tetapi dalam perkelahian yang seru, mereka memang sulit untuk berbuat sebaik-baiknya, karena kemungkinan yang sebaliknya dapat terjadi. Bahkan bagaimanapun juga ujung senjata lawannya itu setajam ujung pedangnya pula

Dalam pada itu, kepergian Singatama telah menghentikan pertempuran yang sengit itu. Kedua orang saudara seperguruan Singatama tidak mampu lagi memberikan perlawanan, sehingga karena itu, maka merekapun telah melepaskan senjata mereka.

“Kalian menyerah?” bertanya Mahisa Murti.

Salah seorang dari kedua orang itu menjawab dengan nada dalam, “Ya. Kami menyerah”

“Baiklah” berkata Mahisa Murti, “masuklah kedalam halaman padepokan kami”

Kedua orang itu tidak membantah. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memungut senjata mereka, dan menggiring kedua orang itu memasuki halaman padepokan yang mereka bangun itu.

Beberapa orang cantrik yang melihat akhir dari perkelahian itu menjadi berdebar-debar. Singatama ternyata dapat dikalahkan. Bahkan dua orang anak muda itu berhasil mengalahkan tiga orang saudara seperguruan. Ketika kedua orang yang dikalahkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu memasuki regol, maka beberapa orang segera mengerumuninya.

Dengan wajah yang tegang, Mahisa Bungalan mendekati mereka sambil berkata, “Ternyata kalian bukan orang yang pantas disegani”

Kedua orang itu tidak menjawab. Mereka memang sudah kalah. Sementara tubuh mereka terasa sakit dan nyeri.

Dalam pada itu, Mahisa Agnilah yang berkata, “Biarlah luka-luka itu diobati”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian menyerahkan kedua orang itu kepada Mahisa Agni dan Witantra yang kemudian akan mengobati luka-luka mereka.

Namun dalam pada itu, ternyata beberapa orang cantrik justru menjadi cemas karena Singatama telah terlepas. Seorang cantrik dengan suara bergetar berkata ke pada Mahisa Murti, “Kenapa kau biarkan-orang itu pergi?"

“Kita sudah tangkap dua orang saudara seperguruannya” jawab Mahisa Murti.

“Tetapi ia akan mengatakannya kepada gurunya, kepada seisi padepokannya. Mereka akan segera datang dan menggilas kita yang berada disini” berkata cantrik itu.

“Kau sudah dijangkiti oleh ketakutanmu lagi” jawab Mahisa Murti

“Tetapi aku berkata sebenarnya” jawab cantrik itu.

“Bukankah kita dengan sengaja mengundang mereka untuk datang kemari? Kau tidak usah takut. Kau melihat sendiri, bahwa Singatama bukan orang yang tidak terkalahkan”

Cantrik itu mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya hatinya menjadi sangat cemas. Bahkan beberapa orang kawannyapun merasakan hal yang sama. Tetapi Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan orang-orang yang datang bersama mereka, sama sekali tidak menunjukkan kecemasan. Nampaknya mereka benar-benar telah siap menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu, sebenarnyalah dendam dihati Singatama telah membakar jantungnya. Ia tidak lagi kembali ke padepokannya yang untuk sementara dipimpin oleh pamannya Empu Nawamula, tetapi ia langsung kembali ke perguruannya. Singatama sadar, bahwa ia tidak dapat mencapai padepokannya dalam waktu dekat. Padepokannya memang cukup jauh. Tetapi kemarahan dan dendam yang menyala telah mendorongnya untuk berpacu secepat-cepatnya betapapun beberapa gores luka terdapat di tubuhnya.

Sementara itu, selagi Singatama memerlukan waktu dua malam untuk kembali lagi kepadepokan itu, apabila ia benar-benar ingin melakukannya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat berbicara dengan para cantrik. Mereka sempat mengungkit kembali harga diri mereka sebagai laki-laki.

“Apakah kalian akan kembali ke telapak kaki Singatama. Atau kalian ingin menghargai martabat kalian sendiri?” bertanya Mahisa Murti. Lalu, “Bukankah kita sudah bertekad. Dan kita sudah mulai melangkah”

Tetapi seorang cantrik berkata, “Tetapi kau sendiri telah membuat kami salah tebak. Kau bukan seseorang yang lemah seperti kami, sehingga kau mampu mempertahankan dirimu. Tetapi kami tidak memiliki ilmu seperti kau, meskipun di padepokan seolah-olah kau tidak lebih dari kami para cantrik”

“Itu bukan apa-apa” jawab Mahisa Pukat, “yang penting adalah keteguhan jiwa kita. Seandainya pendapat kalian itu benar, bahwa kami memiliki kelebihan dari kalian, tetapi jika kalian bersama-sama bergerak, maka kalianpun akan merupakan kekuatan yang tidak mudah dikalahkan, kecuali jika kalian memang berjiwa kelinci. Jika kalian sudah menjadi ketakutan sebelum kalian mulai, maka kalian benar-benar akan digilas oleh kawan-kawan dan saudara- saudara seperguruan Singatama. Apalagi jika gurunya akan datang bersamanya pula. Tetapi jika kalian menghadapinya dengan wajah tengadah, maka seandainya kalian harus mati, maka kalian mati sebagai laki-laki. Itu tentu lebih baik daripada kalian masih akan tetap hidup tetapi dalam tingkat martabat seekor lembu yang harus menarik pedati”

Para cantrik itu mengangguk-angguk. Jiwa kejantanan mereka tergugah kembali, meskipun mereka tidak dapat menyingkirkan kecemasan mereka seluruhnya.

Sementara itu, selain memberikan keteguhan jiwa para cantrik Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mengatur persiapan sebaik-baiknya dengan Mahisa Bungalan. Para cantrik selain harus bekerja sebagaimana dilakukan di padepokan, apalagi sebuah padepokan yang baru yang dibuat dengan tergesa-gesa di tempat yang kurang memenuhi persyaratan, merekapun harus mengawasi keadaan di sekitar pagar padepokan mereka.

Kecuali kegelisahan para cantrik, ternyata Widati pun menjadi sangat gelisah. Ia sadar, bahwa ia telah diumpankan untuk satu tujuan pengabdian. Namun bagaimanapun juga, ia tidak dapat melepaskan kepentingan pribadinya. Setelah beberapa hari ia berada di antara laki-laki yang tidak dikenalnya dengan baik kecuali ayahnya, maka kegelisahan-nyapun menjadi semakin meningkat pula. Apalagi ketika ia sadar, bahwa Singatama yang dikalahkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu dengan sengaja telah dibiarkan lepas untuk memancing kedatangan saudara-saudara seperguruannya.

“Ayah” berkata Widati kepada ayahnya, “apakah orang-orang itu tidak pernah mencemaskan keadaan kita seandainya yang datang kemudian ternyata tidak terlawan?”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku kurang tahu Widati. Tetapi menilik sikap dan tingkah laku mereka, nampaknya mereka adalah orang-orang yang berpengalaman. Mereka tentu memperhitungkan, bahwa sebesar-besarnya sebuah perguruan, maka kekuatan itu tidak akan dapat mengalahkan kekuatan yang mereka siapkan disini”

“Tetapi mereka belum tahu dan belum pernah menjajagi kekuatan yang tersimpan di perguruan anak muda yang bengis itu” sahut Widati.

“Kemungkinan yang salah itu memang ada Widati berkata Ki Buyut kemudian, “tetapi baiklah kita percayakan segalanya kepada orang-orang yang sudah jauh lebih berpengalaman dari kita sendiri. Apalagi menurut keterangan mereka, Singatama telah menyebarkan orang-orangnya untuk mencarimu. Jika kau dapat mereka ketemukan dari rumah, maka kau benar-benar tidak akan mendapat perlindungan yang memadai”

Widati mengerutkan keningnya. Namun ia pun mulai membayangkan, seandainya ia berada di Kabuyutan, sementara sekelompok orang yang dipimpin oleh Singatama itu datang untuk mengambilnya, maka keluarganya, bahkan orang se-Kabuyutan tidak akan dapat menyelamatkannya. Bahkan mungkin akan jatuh korban sia-sia.

Tetapi di padepokan yang dibuat dengan tergesa-gesa itu, ia berada dilingkungan orang-orang yang memang dengan sengaja bersiap menghadapi segala kemungkinan. Apalagi diantara mereka terdapat prajurit Singasari.

Dalam pada itu, sebenarnyalah kedatangan Singatama dalam keadaannya di padepokannya, telah menumbuhkan kegelisahan dan kemarahan. Apalagi ketika kemudian Singatama sempat mengatakan dengan tergesa-gesa dan gagap, apa yang telah terjadi dengan dua orang saudara seperguruannya.

Seorang Putut yang telah memiliki ilmu yang lebih baik dari Singatama itupun menggeram. Namun kemudian katanya, “Sebaiknya semuanya itu kau sampaikan langsung kepada guru. Mungkin guru dapat mengambil satu sikap”

Singatama mengangguk-angguk. Nampaknya ia memang sudah tidak sabar lagi. sehingga iapun bertanya, “Dimana guru?”

“Di sanggar. Pergilah. Guru baru beristirahat. Tetapi berita penting ini wajib segera didengarnya” jawab Putut itu.

Singatama pun kemudian pergi ke sanggar. Dengan ragu-ragu ia mengetuk pintu sanggar itu.

“Siapa?” bertanya seseorang dari dalam sanggar dengan suara yang dalam dan bergetar.

“Aku guru” jawab Singatama, “aku mempunyai persoalan yang penting untuk aku sampaikan kepada guru”

Terdengar langkah mendekati pintu. Kemudian, pintu itu pun telah dibuka. “Oh, Kau” desis seorang tua yang berada didalam sanggar itu, “masuklah. Kau tentu akan berceritera tentang kegagalan. Tetapi tidak apa. Aku memang ingin mendengarnya”

Singatama menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Sebenarnyalah aku memang ingin menyampaikan beberapa keluhan guru”

“Tentang gadis itu?” bertanya gurunya.

“Ya guru” jawab Singatama

“Katakanlah. Ceritera mengenai perempuan selalu menarik” berkata orang tua itu.

Singatama menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian duduk di sebuah amben kayu. Dengan wajah yang tegang ia berkata, “Aku terjebak guru”

“Terjebak? Apa maksudmu?” bertanya gurunya.

Singatama itu pun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi. Bahwa cantriknya telah berpindah kepadepokan lain. Bahwa Empu Nawamula sama sekali tidak menguntungkan baginya dan akhirnya ia pun menceriterakan apa yang telah terjadi di luar pagar sebuah padepokan baru, sehingga ia telah terluka sementara dua orang saudara seperguruannya telah tertawan.

Gurunya mendengarkan pengaduan Singatama dengan seksama. Dengan caranya Singatama sengaja membakar hati gurunya, karena jika gurunya kemudian marah dan berniat untuk membalas sakit hati perguruannya, maka Singatama berhadap bahwa padepokan baru itu tidak akan dapat bertahan. Sebenarnyalah bahwa Singatama berhasil menggelitik telinga gurunya. Apalagi ketika gurunya mendengar bahwa dua orang muridnya telah tertawan.

“Kenapa mereka tidak mati saja atau bersamamu menyingkir dari keadaan itu, tetapi untuk datang kembali dan menghancurkan apa yang kau sebut sebuah padepokan itu. Padepokan yang nampaknya sekedar pelarian cantrik-cantrikmu itu”

“Ya guru. Apa yang disebut padepokan itu sama sekali tidak memenuhi syarat sebuah padepokan. Halamannya dibatasi dengan pagar kayu yang dibuat dengan tergesa- gesa. Beberapa barak yang tidak lebih dari kandang ternak” jawab Singatama. Kemudian, “tetapi dengan bodoh, cantrik-cantrik dari padepokanku itu telah berada di tempat itu. Mereka mencoba menentang perintahku untuk mencari gadis yang bernama Widati itu. Yang ternyata bahwa gadis itu dapat diketemukan dan disembunyikan dalam tempat yang mereka sebut padepokan itu”

Gurunya mengangguk-angguk. Katanya, “Mereka sengaja mencari perkara. Mereka sengaja memancing persoalan dengan kita. Dengan demikian, maka sebenarnya yang terjadi itu adalah satu tantangan. Aku tidak percaya bahwa yang ada di tempat yang disebut padepokan itu hanyalah para cantrik. Tetapi tentu ada orang lain pula di sana. Mungkin pamanmu Empu Nawamula. Mungkin pula orang lain kawan pamanmu itu”

Singatama menganguk-ahgguk. Katanya, “Memang mungkin guru. Karena itu segalanya terserah kepada guru”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Meskipun sikapnya tetap tenang, tetapi nyala matanya menunjukkan gejolak jantungnya. Ceritera Singatama yang telah dibumbui dengan beberapa macam keterangan, telah membuatnya marah. Tetapi ternyata ia tidak tergesa-gesa. Ia masih bertanya kepada Singatama. keadaan dari apa yang disebut padepokan itu. Iapun bertanya tentang kemampuan dua orang yang telah mengalahkan tiga orang murid padepokan itu termasuk Singatama.

“Tidak ada orang lain yang menyaksikan perkelahian itu?” bertanya gurunya.

“Para cantrik, tetapi dari dalam pagar. Mereka menyaksikan dari balik pagar kayu” jawab Singatama

“Selain para cantrik?” desak gurunya.

Singatama termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Mungkin memang ada seperti yang guru katakan. Tetapi ketika pertempuran itu berlangsung, tidak ada seorangpun yang keluar dari lingkungan pagar dari apa yang mereka sebut padepokan itu”

Guru Singatama menganggu-angguk. Meskipun ia masih belum pasti, tetapi keterangan Singatama yang dengan sengaja ingin membakar kemarahan gurunya itu, berhasil mendorong gurunya untuk menentukan sikap. Katanya, “Kita akan pergi ke tempat itu”

“Kita semuanya, guru?” bertanya Singatama.

Gurunya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kau memperkecil arti gurumu. Apakah gurumu seorang diri dan kau sendiri tidak akan mengalahkan cantrik-cantrik dungu itu?”

“Cantrik-cantrik itu memang tidak berdaya. Aku bertiga akan sanggup melakukannya. Tetapi tiba-tiba saja ada orang baru yang juga menjadi cantrik dipadepokanku yang untuk sementara dipimpin oleh paman Empu Nawamula, yang ternyata memiliki kemampuan yang sangat tinggi” jawab Singatama.

“Kedua orang itu bukan apa-apa bagiku” berkata guru Singatama, “tetapi yang harus aku perhitungkan adalah kehadiran orang yang justru menjadi pendorong keadaan ini. Mungkin memang pamanmu Nawamula itu sendiri. Kedua cantrik itu agaknya memang dibuat oleh Nawamula. Aku tidak akan gentar, dan akupun yakin dapat mengalahkan Nawamula. Tetapi mungkin ia masih mempunyai tangan-tangan selain dua orang cantrik itu”

“Aku kurang tahu guru” jawab Singatama, “karena itu, maka kau kira kita lebih baik memperhitungkan kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi”

“Baiklah. Kita akan datang dengan kekuatan penuh. Aku akan membawa para Putut dan murid-muridku terbaik di sini” berkata guru Singatama.

Singatama menarik nafas dalam-dalam. Ia pun tersenyum dalam hati. Dengan demikian apa yang disebut padepokan itu tentu akan dapat dihancurkannya. Dengan demikian, maka selain ia dapat membela sakit hatinya, ia akan dapat membawa gadis yang telah membuatnya gelisah siang dan malam.

Demikianlah, maka guru Singatama itupun segera memerintahkan para muridnya bersiap. Kepada mereka, guru Singatama menceriterakan apa yang sudah terjadi.

“Dua orang di antara kita telah ditawan oleh para cantrik dungu itu. Mereka agaknya tidak dapat membayangkan, kekuatan apa saja yang tersimpan di padepokan ini” berkata guru Singatama.

Dengan nada marah, guru Singatama itu memberitahukan niatnya untuk datang ke tempat yang disebut padepokan itu, untuk membebaskan dua orang keluarga perguruannya dan sekaligus membalas sakit hati mereka.

“Aku tidak mau penghinaan seperti itu dimaafkan” berkata guru Singatama.

Para muridnya yang lainpun ternyata telah membakar pula hatinya. Mereka serentak menyatakan persetujuan mereka dengan sikap gurunya.

“Tetapi aku tidak akan tergesa-gesa berangkat hari ini” berkata gurunya, “aku harus mencari hubungan dengan pusat kekuatan kita. Darah dan api”

Demikianlah, maka Singatama tidak mendesak gurunya untuk segera berangkat. Ternyata gurunya akan mengadakan satu upacara sebelum berangkat.

“Kerja kita kali ini agaknya bersungguh-sungguh” berkata guru Singatama itu, “karena itu, kita harus bersungguh-sungguh pula. Kita akan menghadapi kekuatan yang belum kita ketahui dengan pasti. Mudah-mudahan kita akan mendapat petunjuk dari sumber kekuatan kita. Darah dan api”

Dengan demikian, maka keberangkatan mereka baru dapat dilakukan dikeesokan harinya, setelah pada malam harinya mereka mengadakan satu upacara. Sebagai kebiasaan mereka, maka para putut dan cantrik mempersiapkan sebuah perapian yang besar. Menjelang senja, dua orang diantara para putut telah pergi ke padukuhan yang terdekat. Mereka mengambil seekor kerbau jantan yang besar dan tanpa cacat. Mereka sama sekali tidak menghiraukan, apakah pemiliknya memberikan dengan ikhlas atau tidak. Setiap kali mereka mendatakan upacara, maka hal yang serupa itu mereka lakukan.

Ketika malam turun, maka segala peralatan sudah disiapkan. Api sudah dinyalakan, dan kerbau jantan yang besar itu diikat pada sebatang pohon dengan tali yang sangat kuat, sehingga tidak mungkin untuk melepaskan diri. Ketika api mulai dinyalakan, maka guru Singatama itu mulai membaca mantera. Suaranya meninggi seperti asap api yang menjulang ke langit. Kemudian menurun rendah. Tetapi tiba-tiba menghentak pula mengejutkan.

Sesaat kemudian, maka terdengar ia berkata, “Murid-murid dari perguruan api dan darah. Waktunya telah tiba. Persiapkan dirimu untuk menghadapi tugas yang berat. Mencuci kehinaan yang tercoreng diwajah perguruan ini. Sekarang, cucilah senjatamu dengan darah, dan sentuhlah api yang menyala dengan ujung senjatamu yang berdarah itu. Besok kita akan melakukan tugas suci dari perguruan ini. Sementara pedangku akan aku sucikan besok dengan darah musuh-musuhku”

Demikian guru Singatama itu terdiam, maka para putut-pun telah melangkah mendekati kerbau yang terikat dengan senjata telanjang diikuti oleh para cantrik yang lain. Peristiwa yang mengerikan itu selalu terjadi disetiap mereka melakukan upacara, sehingga kerbau itupun akan mati terkapar kehabisa darah. Sementara para putut dan cantrik telah kembali mengerumuni api sambil menyentuh lidah api yang menjilat dengan ujung senjata mereka yang basah oleh darah.

Dalam pada itu, Singatama sebagai murid terdekat dari gurunya itupun telah menyentuh lidah api itu dengan senjatanya pula, sehingga dengan demikian ia merasa bahwa senjatanya akan menjadi jauh lebih berbahaya dari sebelumnya. Apalagi ketika kemudian gurunya itu masih sekali lagi mengucapkan mantera-mantera sementara murid-muridnya masih melingkari api yang menyala sambil mengacungkan senjata masing-masing

Malam itu, para cantrik hampir tidak tertidur sama sekali. Upacara itu kemudian diakhiri dengan minum tuak sehingga hampir semua orang menjadi mabuk karenanya. Dalam keadaan mabuk itulah, baru seisi padepokan itu tertidur dengan gelisah.

Di pagi hari berikutnya, masih terasa kepala mereka menjadi pening. Namun rasa-rasanya mereka bagaikan mendapat kekuatan baru. Disaat mereka sudah siap untuk berangkat meninggalkan padepokan itu pun, guru mereka sekali lagi masih memberikan pesan-pesan yang dapat membakar jantung mereka.

Baru sejenak kemudian, maka mereka pun telah berloncatan ke punggung kuda dan sambil bersorak-sorak bagaikan hendak memecahkan langit mereka berangkat menuju ke tempat yang disebut sebuah padepokan yang baru. Ternyata merekapun tidak dapat mencapai sasaran di hari itu juga. Mereka harus bermalam semalam di perjalanan.

Ketika di hari berikutnya matahari terbit, maka iring-iringan itupun mulai bergerak lagi. Kuda kuda itu pun mulai berpacu menuju ke tempat dua orang diantara mereka sedang tertawan.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan berdebar-debar menunggu orang-orang yang mereka tunggu. Menurut perhitungan, maka saatnya telah lewat. Sehingga dengan demikian maka Mahisa Pukat yang hampir tidak sabar itu pun bergumam, “Apakah mereka tidak akan kembali lagi?”

“Kita akan menunggu barang satu dua hari lagi” sahut Mahisa Murti, “aku kira mereka sedang mempersiapkan diri. Mungkin mereka pun sedang menunggu satu dua orang di antara mereka yang pergi, atau karena persoalan-persoalan lain”

Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi keduanya tetap sadar, bahwa mereka tidak boleh lengah sama sekali. Setiap saat bahaya akan datang. Mungkin siang. Mungkin malam. Karena itu, tidak putus-putusnya setiap kejap mata, ada beberapa orang yang bertugas mengawasi keadaan. Mereka berada di sudut-sudut pagar halaman apa yang mereka sebut dengan padepokan itu.

Dalam pada itu, para cantrik yang semula adalah cantrik pada padepokan Singatama itu pun menjadi gelisah. Mereka harus melakukan sesuatu yang kurang pasti. Apalagi jika mereka membayangkan bahwa pada suatu saat, Singatama yang marah itu akan datang dengan seisi sebuah padepokan yang besar dengan para penghuninya yang keras dan kasar.

Meskipun pada saat-saat tertentu, hati mereka menjadi pasti, bahwa mereka tidak akan membiarkan diri mereka untuk diperbudak dengan cara yang paling pahit, namun pengaruh ketakutan yang sudah terlalu lama menekan jantung mereka, tidak dapat dengan mudah dihindarinya.

Demikianlah, saat yang mendebarkan itupun datang. Ketika dari kejauhan seorang cantrik yang bertugas di sudut apa yang mereka sebut padepokan itu melihat debu yang mengepul di udara, maka tiba-tiba saja tubuhnya menjadi gemetar. Ia tidak akan salah lagi, bahwa yang datang itu tentu sekelompok murid dari padepokan Singatama.

“Oh, jika yang datang itu gurunya, maka kami tentu akan di bantainya di sini” katanya didalam hati. Hampir saja ia tidak kuasa memberikan pertanda apapun juga. Namun seolah-olah di luar sadarnya, maka tangannya telah menyentuh kentongan kecil dengan sepotong carang bambu.

Suara kentongan itu hanya lirih saja. Tetapi dua orang prajurit Singasari yang kebetulan lewat disamping tempat cantrik itu berjaga-jaga telah mendengarnya. Karena itu, dengan tergesa-gesa iapun mendekati cantrik yang gemetar itu. Dengan lantang salah seorang prajurit itu bertanya, “Apa yang kau lakukan? Kau memberikan isyarat?”

Cantrik itu masih saja berdebar-debar. Bahkan semakin lama terasa menjadi semakin keras memukul dinding jantungnya. Tanpa mendapat jawaban dari cantrik itu, maka kedua orang prajurit itu pun melihat sekelompok orang-orang berkuda mendekati apa yang mereka sebut padepokan itu.

“Agaknya mereka telah datang” desis salah seorang dari mereka, “sebuah pasukan yang cukup besar”

“Itulah mereka” terdengar suara cantrik itu bergetar, “mereka datang untuk menghukum kita”

Kedua orang prajurit itu memandang cantrik itu dengan tajamnya. Namun mereka pun segera mengetahui, bahwa cantrik itu telah disentuh lagi oleh kecemasan yang sangat.

“Jangan biarkan lehermu ditebas oleh orang-orang itu” desis salah seorang prajurit.

“Mereka akan membunuh kita” berkata cantrik itu pula.

"Jika kita biarkan kepala kita dipenggalnya, maka mereka tentu akan melakukannya” jawab seorang diantara kedua prajurit itu, “tetapi aku tidak. Aku tidak akan membiarkan orang-orang itu memotong kepalaku. Karena itu, aku akan melakukannya sebelum mereka melakukan atasku”

Cantrik itu mengerutkan keningnya. Namun ia tersentuh juga oleh kata-kata itu. Apalagi ketika yang seorang lagi dari kedua prajurit itu berkata, “Kami bukan budak-budak yang setia dan memberikan jantung untuk ditusuk sampai lembus. Kami adalah laki-laki yang siap untuk mati, tetapi sebagai laki-laki. Bukan sebagai seekor kerbau yang dungu."

Cantrik itu tidak menjawab. Tetapi sulit baginya untuk dengan tiba-tiba merubah sikapnya. Meskipun demikian sikap para prajurit yan tidak dalam ujud dan pakaian prajurit itu agak membuatnya menjadi tenang.

Namun dalam pada itu, seorang di antara kedua prajurit Singasari itulah yang kemudian telah memukul isyarat, sehingga seisi apa yang mereka namakan sebuah padepokan itupun telah mendengarnya...

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 05

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 05
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA MURTIdan Mahisa Pukat pun telah diberitahu pula, bahwa esok pagi mereka akan berangkat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapat masing-masing seekor kuda bagi perjalanan yang akan ditempuhnya.

Demikianlah, ketika fajar menyingsing Empu Nawamula sudah bersiap bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka akan menempuh perjalanan yang cukup panjang. Empu Nawamula telah mendapat petunjuk dari Singatama, arah mana yang harus ditempuhnya sehingga Empu itu akan sampai pada sebuah padukuhan tempat tinggal paman gadis yang telah menarik perhatian Singatama itu.

Namun agaknya dua orang cantrik yang telah ditunjuk untuk mengikuti perjalanan Empu Nawamula itu telah menarik perhatian Singatama. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah siap meloncat ke punggung kudanya, Singatama yang sudah berada di halaman padepokan itu pula telah mendekati keduanya. Diamatinya kedua anak muda itu seorang demi seorang. Dengan nada berat Singatama itu berkata, “Aku belum pernah melihat kedua anak ini”

“Keduanya orang baru di padepokan ini” sahut Empu Nawamula.

Singatama mengangguk-angguk. Katanya pula, “Selama aku berada di padepokan ini, agaknya keduanya bersembunyi saja. Atau sengaja menghindar. Atau barangkali aku tidak memperhatikannya”

“Keduanya bekerja seperti kawan-kawannya” jawab Empu Nawamula, “mungkin kau tidak memperhatikannya”

Singatama mengangguk-angguk. Disentuhnya pundak Mahisa Pukat. Katanya, “Nampaknya tubuhmu kuat seperti seekor banteng muda. He, kau juga seperti seekor anak gajah. Nampaknya kau mempunyai tenaga yang luar biasa. Tetapi kau tentu agak malas” katanya pula kepada Mahisa Murti.

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti hanya menundukkan kepalanya saja. Mereka berusaha untuk menahan diri agar tidak timbul persoalan baru diantara mereka.

“Mereka cukup rajin” berkata Empu Nawamuala, “untuk memberikan pengalaman kepada mereka, maka aku akan membawa mereka menempuh perjalanan ini”

“Nampaknya keduanya masih terlalu dungu” berkata Singatama, “tetapi terserah kepada paman, bahwa paman akan mengajak keduanya”

“Justru karena keduanya masih terlalu hijau, maka aku ingin menunjukkan kepada mereka, bahwa mereka harus menyesuaikan diri dengan kerasnya kehidupan” sahut Empu Nawamula.

“Tetapi jika paman menemui kesulitan di perjalanan, maka paman tidak dapat berharap, kedua anak-anak ingusan ini akan dapat membantu” desis Singatama.

“Mudah-mudahan perjalananku lancar” jawab Empu Nawamula.

***(ceritanya loncat: Emang dari sononya)***

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun merasakan perubahan suasana pertemuan itu. Ki Rangganiti tidak lagi bersikap kasar. Bahkan kemudian sikapnya menjadi ramah. Katanya selanjutnya, “Ia menganggap bahwa segala yang dikehendakinya tidak akan dapat di tentang”

“Dan anak itu menghendaki kemanakan Ki Rangganiti?” sahut Empu Nawamula.

“Ya, Ki Sanak. Ia menginginkan kemanakanku itu. Tetapi ia sama sekali tidak berbuat sebagaimana seharusnya. Ia tidak berkenalan dengan kemanakanku sebagai mana sewajarnya seorang anak muda berkenalan dengan seorang gadis. Tetapi Singatama mulai dengan mengganggu kemanakanku. Karena itu, maka aku terpaksa selalu mengawasinya. Setidak-tidaknya orang-orangku selalu bersamanya kemana ia pergi. Akhirnya aku menjadi cemas, bahwa pada suatu saat aku akan lengah, sehingga kemanakanku itu akan mengalami kesulitan yang gawat” berkata Ki Rangganiti dengan nada dalam.

“Ki Rangganiti” berkata Empu Nawamula kemudian, “ternyata yang aku dengar dari Singatama agak berbeda. Menurut Singatama. Ia sudah sepakat dengan kemanakan Ki Rangganiti. Tetapi Ki Rangganiti lah yang berkeberatan, karena Ki Rangganiti mempunyai perhitungan yang lain. Ki Rangganiti menghendaki Singatama berhubungan saja dengan anak gadis Ki Rangganiti sendiri.

“He” Ki Rangganiti terkejut. Lalu, “Anak itu sudah memutar balikkan kenyataan. Tetapi sekali lagi aku ingin bertanya, apakah Ki Sanak benar-benar tidak akan berbuat sesuatu melampaui seorang utusan? Jika Ki Sanak berpendirian bahwa kemanakan Ki Sanak itu sudah sepakat untuk hidup bersama dengan kemanakanku, selanjutnya Ki Sanak akan dapat memaksakan kehendak Ki Sanak untuk mengambil kemanakanku itu”

“Tidak Ki Rangganiti” jawab Empu Nawamula, “aku tetap seorang utusan yang tidak mempunyai kekuasaan lebih dari menyampaikan satu permohonan. Ditolak atau diterima, aku hanya dapat menyampaikan jawaban itu kepada yang berkepentingan”

Ki Rangganiti mengangguk-angguk, katanya, “Jika demikian, baiklah aku katakan, bahwa yang dikatakan oleh Singatama itu adalah satu ceritra ngayawara. Semuanya tidak benar. Aku memang mempunyai seorang anak gadis. Tetapi ia tidak akan aku perbolehkan, apalagi hidup bersama Singatama, berkenalan pun tidak akan aku ijinkan”

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Katanya, “Aku percaya kepada Ki Rangganiti. Aku mengerti, kenapa Ki Rangganiti mengambil satu keputusan untuk menyingkirkan kemanakannya Ki Rangganiti” Empu Nawamula berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apakah di tempatnya yang baru, anak gadis itu cukup mendapat perlindungan?”

"Sebenarnya keadaannya tidak jauh berbeda. Di sini pun perlindungan yang sebenarnya kurang memadai. Mungkin kami dapat mencegah usaha yang kasar dari Singatama sendiri dengan mengerahkan beberapa orang. Tetapi jika pada suatu saat, Singatama membawa kekuatan yang ada di belakangnya, mungkin kami tidak akan dapat bertahan. Justru karena itu, maka pertanggungan jawab atas gadis itu kepada ayahnya akan menjadi terlalu berat bagiku, sehingga akhirnya aku memutuskan untuk menyerahkan kembali anak itu kepada orang tuanya. Tetapi aku sudah berpesan, agar mereka berhati-hati mengawasi anak gadisnya. Mungkin untuk beberapa lamanya, Singatama tidak akan berhasil menemukan gadis itu. Tetapi jika ia masih selalu memburunya, mencarinya dengan segala cara, mungkin pada suatu saat ia akan menemukannya”

Empu Nawamula menarik nafa dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Kasihan gadis itu. Apakah rumah orang tuanya cukup jauh dari padukuhan ini?”

Wajah Ki Rangganiti menjadi tegang. Tiba-tiba ia berkata, “Aku sudah terpancing untuk mengatakan bahwa gadis itu ada pada orang tuanya. Itu satu kesalahan. Tetapi sudah tentu bahwa aku tidak akan mengatakan, di mana rumah orang tuanya. Maaf, bagaimanapun juga aku masih belum dapat mempercayai Ki Sanak sepenuhnya dalam hubungannya dengan Singatama”

“Aku mengerti Ki Rangganiti” jawab Empu Nawamula. “karena itu, baiklah aku tidak akan memaksa untuk mengetahui, dimana rumah orang tuanya”

“Ya. Aku tidak akan mengatakannya. Bahkan aku menyesal bahwa aku sudah mengatakannya, bahwa ia telah aku kirimkan kembali kepada orang tuanya. Namun baiklah aku katakan pula, bahwa perlindungan bagi gadis itu akan lebih baik justru setelah padukuhan ayahnya baru saja mengalami pergolakan. Dengan demikian, maka orang-orang padukuhan itu akan menjadi berhati-hati. Apalagi aku sudah memberikan beberapa keterangan tentang Singatama” berkata Ki Rangganiti.

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya sikap Ki Rangganiti, sehingga karena itu, maka beberapa saat Empu Nawamula tidak mengatakan sesuatu.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang menjadi gelisah. Adalah diluar kehendak mereka, jika tiba-tiba saja mereka telah teringat sesuatu. Pengalaman dari perjalanan mereka yang belum terlalu jauh itu. Karena itu, adalah juga diluar sadarnya, bahwa tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata, “Apakah gadis itu anak seorang Buyut?”

Wajah Ki Rangganiti tiba-tiba menjadi tegang. Dipandanginya Mahisa Murti dengan tajamnya. Bahkan kemudian dengan suara bergetar ia berkata, “Darimana kau tahu, bahwa ia anak seorang Buyut? Apakah dengan demikian berarti bahwa kau sudah mengadakan penyelidikan lebih jauh bagi kepentingan Singatama?”

Mahisa Murti terkejut mendengar pertanyaan itu. Baru kemudian ia sadar, bahwa ia telah menyebut sesuatu yang dapat menumbuhkan ketegangan baru. Tetapi ia sudah mengucapkannya. Bahkan kemudian Empu Nawamula pun memandanginya dengan tatapan mata keheranan.

“Coba katakan” berkata Ki Raganiti, “siapa yang mengatakan bahwa kemanakanku itu anak perempuan seorang buyut?”

Mahisa Murti menjadi gelisah. Tetapi Mahisa Pukatlah yang kemudian menyahut, “Ki Raganiti. Dalam pengembaraan kami, kami telah singgah di sebuah Kabuyutan. Anak perempuan Ki Buyut itu ternyata baru saja pulang dari rumah pamannya. Hal itulah yang telah mempengaruhi jalan pikiran kami, sehingga tidak sengaja saudaraku itu telah menyebut anak perempuan seorang Buyut”

“Coba katakan, anak Kabuyutan manakah yang kau maksud?” bertanya Ki Raganiti.

“Tentu saja tidak ada hubungannya dengan ceritera Ki Raganiti” jawab Mahisa Pukat, “Kabuyutan itu terletak ditempat yang cukup jauh”

“Nama Kabuyutan itu” Ki Raganiti tidak sabar.

“Randumalang” jawab Mahisa Pukat dengan jujur.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Keterangan Mahisa Pukat yang terus-terang itu justru telah membuatnya agak tenang. Sehingga dengan demikian, maka ia pun akan dapat mengatakan sebagaimana adanya.

Tetapi adalah di luar dugaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Jawaban Mahisa Pukat dengan menyebut nama Kabuyutan itu, telah membuat wajah Ki Raganiti menjadi semakin tegang. Bahkan kemudian dengan suara lantang ia berkata, “Anak-anak muda. Apakah kalian memang dengan sengaja ingin mempermainkan aku. Empu Nawamula telah mengatakan, bahwa ia hanya sekedar utusan. Semula aku mempercayainya. Tetapi ternyata bahwa kalian bertiga, datang dengan satu sikap pasti. Bahkan mungkin kalian telah berhasil menculik gadis itu untuk kepentingan Singatama, sehingga kehadiran kalian sekarang ini semata- mata adalah satu usaha penghinaan belaka”

Empu Nawrmula pun menjadi bingung. Bahkan kemudian ialah yang bertanya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Aku kurang mengerti, siapakah yang kalian sebutkan. Mungkin satu pengalaman dalam pengembaraan kalian sebelum kalian datang ke padepokanku”

“Ya Empu” jawab Mahisa Pukat, “kami memang singgah di Kabuyutan Randumalang”

“Jangan menganggap kami orang-orang yang sama sekali tidak berarti. Sudah aku katakan, bahwa aku sudah mempersiapkan orang-orangku. Sekarang, katakan. Apa maksud kalian sebenarnya datang kemari. Apakah kalian akan mengatakan, bahwa kalian telah berhasil menemukan gadis itu dan menculiknya? Atau kalian barangkali ingin memeras kami?”

“Jangan berprasangka terlalu buruk Ki Raganiti” berkata Empu Nawamula, “sebenarnyalah aku ingin mendengar, apa yang telah dijumpai oleh kedua orang anak muda ini.”

“Omong kosong” geram Ki Kaganiti, “bagaimana mungkin Ki Sanak masih akan bertanya kepada orang- orang dari padepokan Ki Sanak sendiri”

“Ki Raganiti” berkata Mahisa Murti kemudian, “baiklah aku menceriterakan apa yang aku ketahui tentang seorang gadis. Hal ini sama sekali belum pernah aku ceriterakan kepada Empu Nawamula di saat-saat aku berada di padepokan, karena kami berdua menganggap bahwa persoalan ini sama sekali tidak penting dan tidak ada hubungannya dengan kehadiran kami di padepokan Empu Nawamula”

Ki Raganiti mengerutkan keningnya, sementara Mahisa Murti menceriterakan perkenalannya dengan seorang gadis Randumalang yang bernama Widati. Ketegangan benar-benar mencengkam jantung Ki Raganiti. Namun menilik cara mengucapkan dan urutan ceriteranya, maka Mahisa Murti telah mengatakan dengan jujur.

“Ki Raganiti” berkata Mahisa Murti kemudian, “menilik sikap Ki Raganiti, maka aku dapat menduga, bahwa gadis yang Ki Raganiti maksudkan, adalah gadis yang aku sebutkan. Gadis yang meninggalkan rumah pamannya karena gangguan seorang anak muda yang tidak disukainya. Jika benar demikian, bahwa Widati yang dipanggil Ireng itu adalah kemanakan Ki Raganiti yang sedang bersembunyi di rumah orang tuanya, maka kami berdua minta maaf, karena kami tidak sengaja telah tersangkut ke dalam persoalan itu.

Ki Raganiti menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Empu Nawamulapun berkata, “Sebenarnyalah, bahwa aku sama sekali tidak mengetahui peristiwa yang pernah dialaminya”

Sejenak Ki Raganiti terdiam. Namun akhirnya ia berkata, “Sekali lagi aku telah salah sangka. Aku percaya akan keterangan anak-anak muda itu. Agaknya kalian memang pernah singgah di Randumalang”

“Ya” desis Mahisa Pukat, “kami berada di Randumalang justru pada saat Randumalang sedang bergejolak. Tetapi pada saat kami berada di Kabuyutan itu, maka pergolakan itu sudah berakhir. Sehingga beberapa hari kemudian aku melihat anak perempuan Ki Buyut itu telah berada di Kabuyutan”

Ki Raganiti mengangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnyalah Ki Sanak. Kemanakanku yang bernama Widati itulah yang telah menimbulkan persoalan dengan Singatama. Mudah-mudahan ayahnya mempunyai kekuatan untuk melindunginya, apabila pada suatu saat Singatama dapat menemukannya”

Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Di luar dugaannya, bahwa gadis yang dipersoalkan itu justru telah pernah ditemui oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Karena itulah, maka kedua anak muda itu pun mengetahuinya di mana gadis itu menyembunyikan diri dari pengamatan Singatama.

Namun dalam pada itu, Ki Raganiti bertanya, “Ki Sanak. Aku tidak dapat ingkar, bahwa gadis itulah yang sedang bersembunyi. Ternyata bahwa kedua anak muda itu telah menemukannya. Tentu saja, terserah kepada kalian, apakah kalian akan mengatakannya kepada Singatama atau tidak. Tetapi sudah tentu bahwa kami bertekad untuk menyelamatkan gadis itu dari tangan Singatama, dengan cara dan pengorbanan apapun juga”

Empu Nawamula mengangguk-angguk sambil bergumam, “Ki Raganiti. Singatama adalah kemanakanku. Sudah tentu bahwa aku tidak dapat mencuci tangan akan tingkah lakunya. Maksudku, bahwa aku tidak akan memenuhi segala keinginannya, tetapi adalah menjadi kewajibanku untuk mengekangnya, apabila ia sudah melakukan satu perbuatan yang dapat merugikan orang kami”

Ki Raganiti memandang wajah Empu Nawamula dengan tajamnya. Sejenak ia berusaha merenungi kata-kata Empu Nawamula. Baru kemudian ia berkata, “Jadi maksud Empu, bahwa niat Singatama itu harus dicegah”

“Jika benar seperti yang Ki Raganiti katakan, bahwa sebenarnya Widati itu tidak bersedia menerima Singatama untuk hidup bersama” berkata Empu Nawamula.

“Aku tidak mempunyai cara untuk membuktikannya. Tetapi mungkin kedua anak muda yang telah mengetahui tempatnya itu dapat bertanya langsung kepada gadis itu” jawab Ki Raganiti, “itu pun harus mendapat pengawasan sebaik-baiknya. Karena bagaimanapun juga, aku berkewajiban melindungi kemanakanku”

“Ki Raganiti” berkata Mahisa Murti kemudian, “aku menjadi saksi, bahwa Widati sama sekali tidak tertarik ke pada Singatama. Aku dapat memastikannya, karena gadis itu kembali kerumah orang tuanya, karena menghindarkan diri dari seorang anak muda. Menurut dugaanku, anak muda yang dimaksud adalah Singatama”

Empu Nawamula mengangguk-angguk, sementara Ki Raganiti berkata, “Apakah kau pernah mendengar pengakuannya itu?”

“Ya” jawab Mahisa Murti, “Widati pernah mengatakan kepadaku. Meskipun saat itu keterangannya tidak jelas, tetapi saat ini aku mampu menghubungkan persoalannya”

Ki Raganiti menarik nafas panjang. Katanya, “Empu. Bukankah sudah jelas”

“Ya Aku percaya kepada keterangan anak muda ini” jawab Empu Nawamula, “karena itu, maka aku berkesimpulan, bahwa aku harus mencegah Singatama. Sementara itu. Aku pun berkesimpulan, bahwa aku harus tetap merahasiakan tempat gadis itu”

Ki Raganiti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih Ki Sanak. Ternyata bahwa Ki Sanak dapat mengetahui kesulitan yang sedang kami alami”

“Baiklah Ki Raganiti” berkata Empu Nawamula, “aku akan kembali ke padepokan. Aku akan mengatakan kepada Singatama, bahwa lamaranku ditolak. Dan aku pun akan mengatakan, bahwa gadis itu berada di tempat yang jauh dan tidak diketahui, karena Ki Raganiti telah merahasiakannya”

“Mudah-mudahan Empu dapat mencegah tingkah laku anak muda yang selama ini telah sangat menggelisahkan keluarga kami” berkata Ki Raganiti.

“Aku akan berusaha” jawab Empu Nawamula. Lalu, “Sebaiknya kami minta diri. Kami akan dapat mengatur, apa yang sebaiknya kami lakukan di sepanjang perjalanan kami, sehingga saat kami sampai di padepokan, kami akan dapat menjawab segala pertanyaan Singatama dengan mapan”

“Jadi, apakah Empu akan kembali sekarang?” bertanya Ki Raganiti.

“Ya. Kami muhon diri” jawab Empu Nawamula.

Tetapi, ternyata Ki Raganiti menahannya. Katanya, “Hari menjadi malam. Sebaiknya Empu bermalam disini. Besok Empu dapat kembali setelah hari menjadi terang”

Empu Nawamula tidak dapat menolak. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun sama sekuli tidak berkeberatan. Dalam pada itu, Ki Raganiti yang kemudian mengetahui bahwa tamu-tamunya bukan orang yang harus dicurigai akan bertindak kasar, telah mengisyaratkan kepada pembantu-pembantunya untuk memberikan hidangan kepada tamu-tamunya.

Setelah berbicara beberapa lamanya tentang persoalan yang lain, yang tidak menyangkut gadis yang bernama Widati itu, dan yang berkisar pada kehidupan sehari-hari, maka pintu pringgitanpun terbuka. Seorang gadis dengan membawa nampan berisi mimuman dan makanan berjalan sambil bejongkok mendekati mereka yang sedang duduk berbincang.

“Ini adalah anak gadisku” berkata Ki Raganiti setelah gadis itu masuk kembali keruang dalam, “agaknya gadis inilah yang telah disebut-sebut oleh Singatama”

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Katanya, “Singatama memang mengatakannya, bahwa Ki Raganiti sebenarnya ingin menjodohkan anak gadis Ki Raganiti sendiri. Karena itu, Ki Raganiti telah menolak Singatama yang menginginkan gadis yang bernama Widati itu”

“Empu besok dapat bertanya langsung kepada anak gadisku. Ia memilih membunuh diri daripada harus menjadi isteri seorang anak muda yang bernama Singatama, sebagaimana akan dilakukan oleh Widati. Karena itu, maka aku harap Empu dapat menilai keterangan Singatama itu”

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Tetapi sebagaimana Ki Raganiti mempercayai keterangannya dan keterangan kedua anak muda yang bersamanya itu, maka Empu Nawamulapun percaya kepada keterangan Ki Raganiti.

Dalam pada itu, ketika malam menjadi larut, ketiga orang itupun kemudian dipersilahkan untuk beristirahat di gandok. Namun dalam pada itu, maka Empu Nawamula dan kedua orang anak muda yang menyertainya itupun melihat, bahwa di halaman itu telah bersiap-siap beberapa orang yang dapat bertindak apabila ketiga orang tamu Ki Raganiti itu berbuat sesuatu yang bersifat kekerasan.

Namun dalam pada itu, hampir semalam suntuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat memejamkan matanya. Gadis yang bernama Widati itu ternyata telah menimbulkan persoalan yang tidak pernah mereka duga sebelumnya. Sehingga jika Singatama benar-benar ingin memaksakan kehendaknya, maka Singatama itu tentu akan berhadapan dengan Mahisa Murti. Jika demikian maka Mahisa Pukatpun tidak akan melepaskan saudaranya itu berbuat sendiri.

Tetapi dalam pada itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum tahu pasti, betapa tinggi dan lengkapnya ilmu pertapa yang disebut sebagai guru Singatama. Bersumber ilmu yang hitam, orang itu tentu mempunyai kemampuan yang sangat tinggi. Meskipun tidak saling membicarakannya, kedua anak muda itu rasa-rasanya telah menjadi kanak-kanak kembali. Sebagaimana pada masa kanak-kanak mereka, jika mereka gagal untuk melakukan sesuatu, maka merekapun segera berlari kepada ayahnya untuk membantunya.

Namun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa bahwa mereka telah dibekali dengan ilmu yang lengkap oleh ayah mereka. Bahkan oleh Witantra dan Mahisa Agni. Karena itu, maka mereka tidak boleh lagi merengek seperti kanak-kanak. Mereka harus berusaha memecahkan masalah yang mereka hadapi.

“Tetapi dalam keadaan tertentu, apa salahnya jika ayah mengetahui persoalannya” berkata kedua anak muda itu didalam hatinya, karena menurut angan-angan mereka, pertapa yang mengangkat Singatama sebagai muridnya itu adalah seorang yang memiliki kemampuan yang luar biasa dalam kesesatan. Di samping orang itu tentu terdapat kekuatan yang mendukungnya. Satu lingkungan kekuatan hitam yang cukup besar.

Namun demikian, kedua anak muda itu masih harus menunggu perkembangan pesoalannya. Mereka tidak dapat berbuat tergesa-gesa. Baru ketika malam hampir menginjak dini hari, kedua anak muda itu dapat tertidur untuk beberapa saat. Tetapi tidak terlalu lama, karena sebentar kemudian, ayam jantan pun telah berkokok untuk yang terakhir kalinya di malam itu. Namun yang sebentar itu telah membuat mereka menjadi segar kembali.

Pagi-pagi benar Mahisa Pukat telah pergi ke pakiwan. Tetapi langkahnya tertegun, ketika ia melihat seseorang sedang mengambil air di sumur disebelah pakiwan. Namun Mahisa Pukat menjadi herdebar-debar ketika ia mendengar orang yang mengambil air itu menyapanya, “Apakah Ki Sanak akan pergi ke pakiwan?”

Mahisa Pukat termangu-mangu. Ternyata yang berada di sumur itu adalah gadis sang semalam menyuguhkan minuman dan makanan di pendapa. Dengan segan Mahisa Pukat pun menjawab pendek, “Ya”

"Silahkan” berkata gadis itu sambil melepaskan timba senggot yang sudah hampir ditariknya. Dengan menjinjing kelenting maka gadis itu pun meninggalkan sumur menuju ke pintu dapur di hagian belakang rumahnya yang di batasi oleh sebuah longkangan.

Mahisa Pukat memandangi gadis itu sampai hilang di balik pintu dapur yang masih diterangi dengan lampu minyak. Ia sudah melihat wajah gadis itu semalam. Rasa-rasanya ada sesuatu yang melekat di dalam angan-angannya tentang gadis itu.

“Ada beberapa persamaannya dengan Widati” gumam Mahisa Pukat diluar sadarnya. Tetapi Mahisa Pukat itu menggeleng. Ia berusaha untuk mengusir angan-angannya tentang gadis itu. Dengan sigapnya ia pun kemudian meraih senggot timba dan sejenak kemudian senggot itu pun telah berderit memanjang. Mahisa Pukat dengan cepat mengisi pakiwan itu sehingga penuh. Baru kemudian iapun mandi untuk membuat tubuhnya menjadi semakin segar.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Murtipun telah menyusulkan. Baru yang terakhir adalah Empu Nawamula. Ketika langit menjadi terang, maka ketiga orang itu pun telah bersiap Mereka ingin segera kembali ke padepokan dan memberitahukan kepada Singatama hasil pembicaraan mereka dengan Ki Raganiti. Mereka hanya akan mengatakan bahwa Ki Raganiti tetap tidak setuju dan menolak lamaran Singatama, sementara itu kemanakannya telah disembunyikan di tempat yang tidak diberitahukannya.

Namun demikian, Ki Raganiti masih menahannya barang sejenak untuk memberikan hidangan minuman dan makanan hangat di pagi-pagi yang sejuk. Baru kemudian Empu Nawamula bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah minta diri.

“Aku mohon maaf Empu” berkata Ki Raganiti, “mungkin keputusanku menolak lamaran kemanakan Empu itu akan menimbulkan persoalan dalam keluarga Empu”

“Aku akan mencoba mengatasinya Ki Raganiti” jawab Empu Nawamula, “agaknya itu memang menjadi kewajibanku”

Ki Raganiti menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa Singatama tidak akan begitu saja menerima keputusan atas lamarannya. Anak muda itu tentu akan menjadi marah. Dan tidak mustahil bahwa ia akan mengambil langkah-langkah tertentu yang akan dapat menimbulkan persoalan baru.

Dalam pada itu, ketika segalanya telah siap, maka Empu Nawamula dan kedua orang anak muda yang menyertainya itupun sekali lagi minta diri untuk kembali kepadepokannya.

Dalam pada itu, diluar dugaan, anak gadis Ki Raganiti itupun telah mengantarkan tamu-tamunya sampai ke regol. Bahkan ketika Mahisa Pukat memandanginya, gadis itu telah menatapnya pula, sehingga justru karena itu, maka keduanya cepat-cepat mengalihkan arah tatapan mata mereka ke kejauhan.

Sejenak kemudian, maka Empu Nawamula dan kedua orang cantrik yang khusus itu pun telah meninggalkan rumah Ki Raganiti dengan kesan tersendiri. Bahkan dengan demikian merekapun menjadi pasti, bahwa Singatama memang ingin memaksakan kehendaknya untuk memiliki seorang gadis yang bernama Widati, yang sejak beberapa saat lamanya telah disembunyikan di rumah orang tuanya dari penglihatan anak muda yang bernama Singatama.

“Apakah kira-kira yang akan dikatakan oleh kemanakan Empu itu” bertanya Mahisa murti.

Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang hijaunya pepohonan ia kemudian berdesis, “Banyak kemungkinan dapat terjadi. Tetapi yang pasti, ia akan tetap berusaha untuk memiliki gadis itu. Saat ini ia masih berusaha untuk mencari jalan yang paling baik. Ia minta aku untuk melamar gadis itu baginya. Tetapi agaknya ia akan dapat bertindak lebih keras. Ia akan dapat berhubungan dengan gurunya dan kekuatan di sekitarnya”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Pukatpun berkata, “Tetapi lingkungan Ki Buyut di Randumalang telah berubah”

“Apa yang berubah?” bertanya Empu Nawamula.

“Anak-anak muda di Randumalang tidak lagi terlalu lemah. Meskipun serba sedikit mereka telah memiliki dasar pengetahuan mempergunakan senjata yang setiap hari tentu akan mereka kembangkan sendiri” berkata Mahisa Pukat. “Justru karena itu, mereka akan dapat membantu melindungi anak gadis Ki Buyut yang terancam oleh Singatama itu”

“Mudah-mudahan” sahut Empu Nawamula sambil mengangguk-angguk, “tetapi jika Singatama datang bersama sepuluh orang dan gurunya, maka anak-anak muda Randumalang itu tidak akan banyak dapat berbuat banyak. Mungkin mereka sempat mengusir Singatama. Tetapi korban tentu akan terlalu banyak”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Memang mungkin sekali terjadi. Sepuluh orang yang garang apalagi guru Singatama yang bersumber pada ilmu hitam itu. tentu bukan lawan yang akan dapat diatasi oleh anak-anak muda Randumalang.

Sementara itu, mereka bertiga pun telah berpacu semakin lama semakin jauh. Sekali-sekali mereka harus beristirahat. Sehingga ketika matahari mulai merendah, mereka pun menjadi semakin mendekati padepokan mereka.

“Rasa-rasanya perjalanan kembali menjadi lebih pendek” berkata Mahisa Pukat.

“Tetapi bukankah jaraknya tidak berubah?” bertanya Empu Nawamula.

“Ya. Tentu tidak berubah” sahut Mahisa Pukat.

“Karena itu, perasaan kita bukanlah ukuran yang pasti. Yang terasa pendek, sebenarnya adalah panjang dan sebaliknya” berkata Empu Nawamula.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun sependapat, bahwa perasaan bukanlah alat pengukur yang baik. Juga terhadap kebenaran.

Dalam pada itu, semakin mereka mendekati padepokan, maka mereka pun menjadi berdebar-debar. Bahkan Empu Nawamula itupun berkata, “Ada beberapa kemungkinan terjadi di padepokan, ngger. Mungkin kita akan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mungkin kita akan mengumpat di dalam hati. Mungkin pula kita akan disakiti, jika tidak tubuh kita, adalah hati kita. Tetapi mungkin pula kita harus membela diri”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka berpendirian, bahwa mereka bukan sanak bukan kadang Singatama. Karena itu, maka mereka pun tidak akan membiarkan diri mereka disakiti. Apalagi mengalami nasib yang paling buruk dengan tanpa membela diri sama sekali. Karena itu, maka kedua anak muda itu pun telah mempersiapkan diri lahir dan batin. Mereka akan menghadapi segala kemungkinan dengah sikap dan landasan mereka.

Sebenarnyalah, bahwa ketika mereka bertiga melihat regol padepokan, maka jantung mereka serasa herdetak semakin cepat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tiba tiba saja, diluar kehendak mereka sendiri, keduanya berkuda sebelah menyebelah di belakang Empu Nawamula. Seolah- olah mereka telah berjanji di dalam diri mereka, bahwa apapun yang akan terjadi, keduanya akan menghadapi dengan tabah.

Sejenak kemudian, maka mereka bertiga pun telah sampai di depan regol padepokan. Meskipun padepokan itu adalah padepokan sendiri, tetapi ternyata bahwa Empu Nawamula telah berhenti di depan regol. Sekilas ia berpaling kepada kedua orang anak muda yang mengikutinya, seolah-olah ingin memberi mereka peringatan, agar mereka bersiap menghadapi segala kemungkinan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak, namun mereka pun benar-benar telah mempersiapkan diri mereka.

Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun telah menyentuh leher kudanya yang kemudian berjalan perlahan-lahan memasuki regol halaman padepokannya diikuti oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Demikian mereka memasuki halaman, maka dengan tergesa-gesa Singatama yang berada di pendapa, telah menyongsong mereka. Demikian Empu Nawamula meloncat turun diikuti oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, Singatama telah berteriak,

“Nah, bukankah paman berhasil? Apa kata kelinci tua itu? Dan bukankah paman telah diberitahu, dimana gadis itu bersembunyi?”

Empu Nawamula termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Biarlah aku duduk dahulu di pendapa. Biarlah nafasku senggang sehingga aku dapat berkata kalimat demi kalimat”

“Ah” desah Singatama, “paman mengada ada saja. Apa beratnya mengatakan satu dua kalimat?”

“Aku lelah sekali. Jika kau mendesak aku begitu, aku tidak akan mengatakannya sama sekali” jawab Empu Nawamula.

“Gila” geram Singatama, “setua paman masih juga merajuk”

Empu Nawamula tidak menjawab. Ia pun kemudian mencuci kakinya pada sebuah belanga yang tersedia di bawah ia sebatang pohon pacar kuning, demikian pula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Biarlah kakiku kering. Aku akan duduk di pendapa dan memberi tahukan hasil perjalananku” berkata Empu Nawamula.

“Berhasil atau tidak. Hanya itu jawab yang ingin aku dengar” teriak Singatama.

Tetapi Empu Nawamula tidak menghiraukannya. Ia pun kemudian melangkah mendekati pendapa. Di tangga pendapa ia duduk sambil membersihkan telapak kakinya yang basah dan dilekati oleh debu. Baru kemudian, Empu Nawamula itu pun bergeser ke tengah pendapa padepokan itu diikuti oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Rasa-rasanya Singatama sudah tidak telaten lagi. Demikian Empu Nawamula dan kedua anak muda itu mapan, maka sekali lagi ia bertanya mendesak, “Bagaimana hasil perjalanan paman? Aku tidak sabar lagi menunggu”

Dengan sareh Empu Nawamula berkata, “Singatama. Cobalah kau bersabar sedikit. Biarlah nafasku agak teratur. Baru saja aku datang dari perjalanan yang panjang”

“Sudahlah paman. Jika paman menjawab pertanyaanku, maka persoalannya menjadi jelas. Satu kalimat saja aku kira sudah cukup, sepanjang kalimat paman yang berisi keluhan tanpa akhir itu” potong Singatama.

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Aku akan mengatakan hasil perjalananku”

“Cepatlah” bentak Singatama.

Sikap Singatama itu membuat Empu Nawamula menjadi marah. Bagaimanapun juga ia menahan diri, tetapi bahwa kemanakannya itu telah membentaknya, rasa-rasanya jantungnya menjadi semakin cepat berdentang. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia menjawab, “Baiklah. Jika kau ingin cepat, dengarlah. Lamaranmu telah ditolak”

Jawaban itu bagaikan deru guntur yang menggelegar di langit. Wajah Singatama menjadi tegang. Namun kemudian warna merah telah membara di sorot matanya. “Apakah maksud paman?” anak muda itu bertanya.

“Sudah jelas. Seperti yang kau inginkan. Aku berkata apa adanya. Cepat dan satu kalimat” jawab Empu Nawamula.

Ketegangan di wajah Singatama menjadi semakin tajam. Tetapi ia pun mengerti, bahwa pamannya mulai kehilangan kesabaran. Karena itu, Singatama lah yang berusaha mengekang diri, karena ia tidak yakin akan jawaban pamannya. “Katakanlah sebaik-baiknya paman” pinta Singatama.

“Sudah aku katakan. Lamaranmu ditolak. Ki Raganiti tidak mau mengatakan di mana kemanakannya itu, dan ia pun mengatakan bahwa gadis itu lebih baik mati daripada menjadi isterimu” jawab Empu Nawamula.

Terasa jantung Singatama bagaikan disentuh api. Tetapi wajah dan kata-kata pamannya agaknya memang meyakinkan. Karena itu, maka ia pun kemudian bertanya, “Paman, apakah yang telah paman lakukan menghadapi sikap Ki Raganiti itu?”

“Apa yang dapat aku lakukan? Aku datang untuk melamar. Dan lamaran itu ditolak. Apa yang harus aku lakukan kecuali kembali dan mengabarkan kepadamu, bahwa lamaran itu ditolak?” jawab Empu Nawamula.

Singatama sekali tidak bersiap menghadapi sikap pamannya itu. Karena itu ia justru menjadi bingung. Tetapi sejenak kemudian, maka ia pun menggeram. Dengan nada kasar ia bertanya, “Dan paman tidak memaksa Ki Raganiti untuk menunjukkan dimana anak gadisnya? Paman dapat juga menerima penghinaan itu, bahwa lamaran paman telah ditolak tanpa kehadiran gadis itu sendiri?”

“Kau membohongi aku” jawab Empu Nawamula, “kau katakan bahwa sebenarnya gadis itu akan menerimamu. Tetapi sudah aku katakan, bahwa gadis itu lebih baik membunuh diri dari menerima lamaranmu”

“Gila” geram Singatama, “padukuhan itu memang harus dimusnahkan. Paman dapat melakukannya untuk membalas penghinaan itu”

“Kenapa aku berbuat demikian? Aku tidak berhak. Selebihnya ternyata padukuhan itu telah siap. Aku tidak tahu darimana asalnya. Tetapi sepasukan pengawal telah membayangi aku” berkata Empu Nawamula, “apa lagi yang dapat aku lakukan menghadapi orang seKabuyutan?”

Menghadapi sikap pamannya, Singatama justru menjadi bingung. Tetapi ia tidak dapat menerima jawaban seperti yang dikatakan pamannya itu. Bahkan kemudian, ia mulai menyesali sikap Empu Nawamula. Tetapi Singatama juga mengetahui, bahwa pamannya bukannya orang kebanyakan. Karena itu, jika ia ingin berbuat keras terhadap pamannya, maka ia harus memperhitungkan segala macam akibat yang dapat terjadi. Karena itu, maka Singatama itu pun berusaha untuk mendapatkan jalan yang paling baik. Dengan nada tinggi ia berkata,

“Paman, aku adalah kemanakan paman. Paman tentu mengerti, bahwa paman seharusnya berusaha membantuku. Juga dalam hubunganku dengan gadis itu”

“Aku sudah melakukan yang harus aku lakukan” jawab Empu Nawamula, “aku sudah datang melamar. Dan aku pun sudah menyampaikan jawabnya. Apalagi yang masih kurang. Sementara sikapmu sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang kemanakan. Kau bersikap terlalu kasar, dan menganggap aku sebagai budakmu yang harus tunduk kepada segala perintahmu”

Wajah Singatama menegang. Agaknya pamannya telah benar-benar menjadi marah. Tetapi sifatnya yang angkuh dan bahwa ia tidak pernah mengalami perlakuan yang demikian, masih juga menggelitik hatinya, sehingga kemudian iapun berkata, “Baiklah paman. Jika paman sudah merasa cukup berbuat untukku, maka aku akan berbuat sendiri”

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Empu Nawamula.

“Aku harus menemukan tempat persembunyian gadis itu. Sebenarnya aku ingin menghancurkan Kabuyutan itu. Sebenarnya aku ingin bantuan paman dan para cantrik di padepokan ini, disamping guruku dan cantrik-cantriknya. Aku yakin, bahwa betapapun besarnya kekuatan yang ada di Kabuyutan itu, kita akan dapat dengan mudah menghancurkannya” geram Singatama.

Empu Nawamula memandang kemanakannya dengan tatapan mata yang tajam. Dengan tajam pula ia bertanya, “Apa hubungannya penghancuran Kabuyutan itu dengan keinginanmu memperistri seorang gadis?”

“Orang-orang Kabuyutan itu ikut menghalangi niatku” jawab Singatama.

“Apa yang mereka lakukan?” bertanya Empu Nawamula pula.

“Bukankah paman mengatakan, bahwa mereka telah membayangi paman, sehingga paman tidak dapat berbuat apa-apa?” sahut Singatama.

“Ternyata nalarmu sudah keblinger. Mereka telah melakukan satu kewajiban yang seharusnya mereka lakukan? Mereka sama sekali tidak ikut campur dalam persoalanmu dengan gadis yang kau sebut-sebut itu. Tetapi adalah kewajiban mereka untuk membayangi orang yang dicurigai”

“Apakah paman dicurigai? Kenapa? Bukankah paman tidak melakukan sesuatu?” bertanya Singatama.

“Aku memang tidak melakukan sesuatu. Tetapi bahwa orang-orang di Kabuyutan itu mencurigai aku, tentu karena pokalmu sebelumnya. Jika kau berbuat baik dan sopan, tentu tidak akan terjadi anggapan yang buruk terhadapku. Tetapi dari mereka aku tahu, apa yang telah kau lakukan. Sikapmu telah memancing sikap seisi Kabuyutan itu. Karena aku adalah orang yang kau minta untuk datang ke rumah Ki Raganiti, maka tetangga-tetangganya menganggap bahwa aku akan bersikap seperti kau juga”

Wajah Singatama menjadi merah menyala. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu terhadap pamannya yang diketahuinya mempunyai kemampuan yang tinggi. Tetapi dengan demikian, dendamnya kepada pamannya yang sebenarnya sudah tertanam di hatinya itu menjadi mekar.

“Aku akan mengatakannya kepada guru, bahwa sikap paman sangat menjengkelkan” berkata Singatama didalam hatinya.

Namun dalam pada itu, ia masih juga berkata, “Paman. Jika demikian, maka aku akan mengambil jalanku sendiri. Seperti yang aku katakan, maka aku akan mencari tempat tinggal gadis itu. Aku akan mengambilnya. Disetujui atau tidak disetujui”

“Kau harus menghargainya sebagai seorang manusia seperti kau dan aku” berkata Empu Nawamula, “kau tidak dapat berbuat sewenang-wenang. Jika ia dan keluarganya menolak, maka kau tidak akan dapat berbuat apa-apa”

“Aku bukan seorang yang lunak hati seperti paman” berkata Singatama. Lalu, “Karena itu, aku akan bertindak lebih keras. Aku akan memerintahkan setiap cantrik di padepokan ini untuk menyebar. Aku akan membatasi kerja mereka sepekan. Mereka harus berkumpul dan melaporkan hasil perjalanan mereka untuk mencari seorang gadis yang aku inginkan. Jika semua cantrik masih belum mendapatkannya, maka aku akan menganggap semuanya bersalah, sehingga aku akan menghukum mereka menurut caraku. Aku mohon paman tidak ikut campur, karena cantrik yang berada di padepokan ini adalah cantrik-cantrik yang berada di bawah kuasaku. Paman hanya mewakili kuasaku di sini. Karena jika paman turut campur, maka aku cemas bahwa guruku pun akan ikut campur pula. Tentu hatiku tidak akan tenang melihat perselisihan antara paman dan guru, karena apapun yang akan terjadi atas paman, terasa sakit pula di hatiku”

“Terima kasih” berkata Empu Nawamula, “tetapi apakah dengan demikian kau bermaksud mengancam aku? Aku tahu bahwa gurumu adalah orang luar biasa. Orang yang tidak terkalahkan. Tetapi akupun bukan orang yang takut dikalahkan. Bahkan mati sekalipun dalam mempertahankan sikap”

Wajah Singatama menjadi tegang. Ia belum pernah melihat sikap pamannya sekeras itu. Bahkan pada saat-saat lampau, betapapun juga, pamannya masih menunjukkan sikap yang lunak dan cenderung memenuhi segala keinginannya. Tetapi agaknya Empu Nawamula telah benar-benar kehabisan kesabaran menghadapi kemanakannya. Apalagi ketika ternyata Singatama telah kehilangan dasar pertimbangan nalar dan martabat kemanusiaannya menghadapi gejolak perasaannya terhadap seorang gadis.

“Jika sekali ini aku juga memenuhi keinginannya, maka berarti bahwa akupun telah terlibat pada satu sikap yang salah terhadap kemanusiaan” berkata Empu Nawamula kepada diri sendiri. Sehingga dalam sikap yang demikian, sementara itu Singatama masih saja selala bersikap kasar, maka Empu Nawamula pun tidak lagi dapat bersikap lunak.

Namun dalam pada itu, Singatama bukannya mempertimbangkan sikap pamannya sebagai satu usaha pencegahan terhadap niatnya yang salah, namun justru sebaliknya. Singatama telah mendendam kepada pamannya dan sekaligus telah mengambil satu cara tersendiri untuk mendapatkan gadis yang disembunyikan itu.

Untuk langsung mengambil sikap terhadap Ki Raganiti, bahkan oleh gurunya sekalipun, Singatama memang masih harus membuat pertimbangan-pertimbangan. Mungkin Raganiti tidak memiliki kemampuan sama sekali dibandingkan dengan gurunya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Empu Nawamula, bahwa Ki Raganiti tidak berdiri sendiri. Apalagi gurunyapun telah mengatakan kepada Singatama, agar ia berusaha sejauh dapat dilakukannya, baru kemudian jika ia benar-benar gagal, gurunya akan turun memasuki persoalannya dengan langsung.

“Kau sudah dewasa” berkata gurunya persoalannya bukan persoalan yang rumit. Katakan kepada pamanmu. bahwa kau perlu gadis itu. Dan katakan kepada pamanmu, bahwa ia harus melamar untukmu”

Pamannya memang sudah melakukannya. Tetapi tidak seperti yang diharapkannya, bahwa pamannya akan dapat memaksa Ki Raganiti untuk menerima lamarannya, atau menunjukkan dimana gadis itu disembunyikan. Bahkan pamannya itu sama sekali tidak merasa gentar ketika ia menyebut-nyebut bahwa gurunya akan dapat mengambil satu sikap tertentu terhadapnya.

“Paman sudah kehilangan tanggung jawabnya sebagai wakil orang tuaku” berkata Singatama didalam hatinya, “seharusnya paman lebih baik bermusuhan dengan Ki Raganiti daripada dengan kemanakannya sendiri yang tentu akan dibantu oleh gurunya”

Tetapi sikap Empu Nawamula sudah jelas. Ia lebih senang menghadapi kemanakan dan guru kemanakannya itu daripada memaksakan kehendaknya kepada orang lain yang justru memerlukan perlindungan.

Dalam kesesakan nalar, Singatama itu berkata kepada diri sendiri, “Agaknya paman benar-benar ingin menyingkirkan aku, dan dengan demikian paman akan memiliki padepokan ini sepenuhnya. Paman telah membuat perapian untuk membuat keris di padepokan ini dan menerima cantrik-cantrik baru yang tentu akan berpihak kepadanya”

Justru karena itu, maka sikap Singatama pun menjadi semakin keras. Ia benar-benar ingin bertindak sebagaimana di katakannya. Ia akan memerintahkan semua cantrik untuk menyebar dan mencari gadis yang telah memikat hatinya, kemanakan Ki Raganiti yang memang bernama Widati. Karena itu, ketika Empu Nawamula benar-benar sudah bersikap keras, maka Singatama pun telah mengambil satu langkah yang sebenarnya sangat menyakiti hati Empu Nawamula.

Singatama yang marah itu pun telah mengumpulkan para cantrik tanpa persetujuan Empu Nawamula. Namun Empu Nawamula tidak mencegahnya. Ia sedang mencari cara yang paling baik untuk mengatasi persoalan yang justru terasa menjadi semakin panas.

“Pergilah kalian kemana saja” berkata Singatama, “kalian harus kembali dalam sepekan. Satu di antara kalian harus menemukan, dimana seorang gadis yang bernama Widati bersembunyi”

Para cantrik itu menjadi berdebar-debar. Mereka belum pernah melihat orang yang harus mereka cari, dan mereka sama sekali tidak mendapat petunjuk arah yang dapat menuntun mereka kemana mereka harus pergi.

Tetapi Singatama itu berkata, “Tidak ada alasan yang dapat kalian pergunakan untuk mengelak dari tugas ini. Jika dalam sepekan tidak seorang pun yang dapat menemukan orang yang aku kehendaki, maka kalian semuanya, seisi padepokan ini akan aku hukum. Kalian tidak akan dapat melawan aku, karena aku memiliki kekuatan yang tidak akan dapat kalian lawan. Sementara itu, siapa yang dengan sengaja melarikan diri dan tidak kembali ke padepokan ini, maka keluarganya akan mengalami nasib yang buruk, karena sebenarnyalah aku tahu tempat tinggal kalian dan keluarga kalian”

Perintah itu benar-benar telah menggelisahkan. Tetapi tidak seorang pun yang berani membantah. Dalam pada itu, satu-satu petunjuk yang mereka dapat adalah, bahwa gadis itu adalah kemanakan Ki Raganiti dan sedikit tentang ciri-ciri gadis yang harus mereka cari.

“Tidak masuk akal” berkata para cantrik di dalam hati. Tetapi mereka tidak berdaya untuk menolak. Jika mereka berani menyatakan pendapat mereka, maka mereka tentu akan dipukul oleh Singatama tanpa ampun.

Empu Nawamula sendiri tidak membantah atau mencegah perintah itu. Ia tahu, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menemukan gadis itu lebih dahulu sebelum perintah Singatama itu diberikan. Namun Empu Nawamula masih belum dapat membayangkan akhir dari persoalan yang bergejolak itu.

Sementara itu, kegelisahan para cantrik itu benar-benar telah menggelisahkan seisi padepokan. Para murid Empu Nawamula dan para pembantu yang lain yang hidup di padepokan itu, merasa sangat kasihan kepada para cantrik yang harus memikul tugas yang sangat berat dengan ancaman hukuman yang mendebarkan jantung. Tetapi mereka tidak akan dapat menolongnya.

Tetapi satu hal yang luput dari perhatian Singatama, bahwa mereka tidak mengenal Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebagaimana ia mengenal para cantrik yang lain. Ia tidak mengenal keluarganya, sehingga seandainya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu kemudian tidak kembali lagi ke padepokan, maka Singatama tidak akan dapat mencari keluarganya.

Namun seandainya ia menemukan keluarga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, apakah arti Singatama itu bagi Mahendra. Bahkan seandainya gurunya melibatkan diri sekalipun, maka Mahendra tentu tidak akan gentar. Dalam satu kesempatan, maka Empu Nawamula pun telah bertanya kepada kedua orang anak muda itu, apakah yang akan mereka lakukan.

“Kami menjadi bingung” jawab Mahisa Murti, “apakah yang sebaiknya kami lakukan menghadapi sikap Singatama itu. Jika kami tidak menemukan gadis itu, maka para cantrik yang lain akan mengalami satu penderitaan yang tentu akan sangat buruk. Singatama benar-benar seorang yang memiliki watak yang sulit dimengerti. Tetapi sudah barang tentu, untuk mengatakan tentang gadis itu kepada Singatama, akibatnya pun akan dapat menjadi sangat pahit bagi gadis itu”

Empu Nawamula itu pun menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Sayang, aku sama sekali tidak dapat memberikan takaran kemampuan guru Singatama itu. Bukan berarti bahwa aku menjadi cemas menghadapinya. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak takut menghadapi kekalahan. Tetapi jika terjadi demikian, maka aku tidak akan dapat melindungi siapapun juga yang akan mengalami nasib yang paling buruk”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun mereka pun masih juga belum mendapat gambaran, apakah yang sebaiknya dilakukan.

“Besok pagi kita harus berangkat. Waktu kita hanya sepekan. Apakah artinya yang sepekan itu bagi para cantrik” desis Mahisa Pukat.

“Kita akan berpikir semalam suntuk. Mudah-mudahan besok kita menemukan satu cara” berkata Mahisa Murti.

Empu Nawamula menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Kita akan berpikir semalam suntuk”

Sebenarnyalah mereka telah memikirkan cara yang paling baik untuk dilakukan. Tingkah laku Singatama bukan saja telah menyentuh rasa keadilan, tetapi adalah satu kebetulan bahwa gadis yang disebut-sebut itu adalah gadis yang bernama Widati, gadis yang mempunyai arti khusus bagi Mahisa Murti.

Tetapi yang lebih penting lagi, bahwa di belakang Singatama berdiri satu padepokan yang memiliki corak tersendiri. Satu padepokan yang dipimpin oleh seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi bersumber pada kekuatan hitam yang mengerikan. Persoalan yang menyangkut Widati hanyalah satu dari seribu persoalan yang dapat ditimbulkan oleh padepokan itu. Pada dasarnya segala macam tingkah laku yang menyimpang dari peradaban akan dapat terjadi.

Padepokan itu akan menjadi sumber yang akan mengalirkan sikap dan tingkah laku yang merugikan bebrayan manusia disekitarnya. Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganggap bahwa persoalannya sebenarnya tidak terbatas pada persoalan niat Singatama untuk mengambil Widati saja, tetapi menyangkut sikap isi padepokan itu dalam keseluruhan Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berada di serambi di depan perapian, sempat berbicara panjang tentang rencana yang akan mereka tempuh.

“Jika kita hanya memotong rencana Singatama kali ini, maka kita baru dapat membendung salah satu saluran yang bersumber dari padepokan itu. Padahal padepokan itu tentu akan mempunyai banyak sekali saluran yang akan mengalir ke sekitarnya dengan membawa arus air yang beracun” berkata Mahisa Murti.

“Sayang bahwa kita belum dapat menjajagi kekuatan yang tersimpan di dalam padepokan itu” berkata Mahisa Pukat.

“Tetapi bagaimanapun juga, kekuatan di padepokan itu mempunyai batas. Menurut pendengaran kita, hanya seorang sajalah yang perlu disegani. Pemimpin padepokan itu sendiri” berkata Mahisa Murti.

“Tentu ada beberapa orang putut yang mempunyai kemampuan yang pantas diperhitungkan” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Perhitungan Empu Nawamula memang pantas diperhatikan. Empu Nawamula sama sekali tidak menjadi gentar Tetapi jika terjadi sesuatu atasnya, maka akibatnya akan sangat buruk bagi orang-orang yang tersisa. Sehingga dengan demikian, maka Empu Nawamula perlu membuat perhitungan yang sebaik-baiknya”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Ketika ia melihat seorang cantrik berjalan ke pakiwan, maka ia pun berguman, “Anak itu tidak dapat tidur”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Seperti kita, ia juga gelisah karena perintah Singatama”

“Tentu banyak di antara para cantrik yang masih belum tertidur” berkata Mahisa Pukat.

“Ya. Dan kita tidak dapat membantu mereka” sahut Mahisa Murti.

Keduanya pun kemudian saling berdiam diri untuk beberapa saat. Mereka sedang merenungi, apa yang sebaiknya harus mereka lakukan. Waktu mereka tinggal sedikit. Esok, mereka akan menyampaikan pendapat mereka kepada Empu Nawamula, atau sebaliknya Empu Nawamulalah yang menemukan jalan yang paling baik untuk ditempuh.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata, “Mahisa Pukat. Apakah kita bersalah, jika seandainya kita melibatkan orang lain dalam persoalan ini. justru dalam satu usaha untuk menumpas langsung sumber dari tindakan yang dapat mengotori pergaulan manusia itu”

“Maksudmu, kita melaporkannya kepada prajurit Singasari atau katakanlah kepada kakang Mahisa Bungalan agar ia membawa prajurit segelar sepapan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Jika demikian, belum tentu usaha itu akan berhasil” jawab Mahisa Murti, “sebelum pasukan itu mengepung padepokan Singatama, mereka tentu sudah berhasil melarikan diri. Atau berusaha untuk menghapuskan segala macam jejak kejahatan mereka sehingga para prajurit di Singasari tidak akan dapat bertindak tanpa bukti yang kuat”

“Lalu apa maksudmu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kita melaksanakannya sendiri. Jika kami menyeret lingkungan keprajuritan dan kita tidak menunjukkan bukti- bukti yang cukup, maka justru kita akan dapat dituduh memfitnah sebuah padepokan” berkata Mahisa Murti.

“Ya. Dan apakah yang akan kita lakukan?” Mahisa Pukat tidak sabar.

“Kita menghubungi ayah” jawab Mahisa Murti.

“Ayah? Kita ajak ayah, paman Witantra, paman Mahisa Agni dan beberapa orang lainnya untuk menyerang padepokan itu?” bertanya Mahisa Pukat, “apakah kita dapat menyerang satu padepokan tanpa menunjukkan alasan yang kuat. Kita tidak mempunyai persoalan apapun juga. Tiba-tiba saja kita menyerangnya”

“Bukan kita yang menyerang. Biarlah mereka yang menyerang kita” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi ia menggeleng, “Aku tidak mengerti”

“Aku akan minta ayah dan sukurlah jika paman Witantra dan paman Mahisa Agni bersedia melaksanakannya, untuk menjebak guru Singatama itu” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Tetapi ia belum jelas maksud Mahisa Murti. Maka katanya, “Aku kurang mengerti. Bagaimana kau akan menjebak mereka”

“Kita bujuk semua cantrik yang besok akan keluar dari padepokan ini untuk berkumpul di sebuah padepokan baru. Kita minta ayah, paman Witantra dan paman Mahisa Agni untuk memimpin padepokan itu. Dengan demikian, maka padepokan yang baru itu akan menarik perhatian padepokan Singatama. Ia tentu akan marah karena para cantriknya telah kita himpun”

“Dalam waktu lima hari?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kita tidak perlu membuat sebuah padepokan yang sudah jadi. Kita akan memagari sebuah lingkungan di hutan. Kita bersama para cantrik akan membangun barak-barak untuk berteduh. Aku kira, tidak akan ada tenggang waktu lama, kita sudah berhasil memancing persoalan dengan padepokan Singatama” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi bagaimana sikap kita, jika ternyata guru Singatama tidak mengambil sikap apapun juga” berkata Mahisa Pukat.

“Kita bekerja bersama dengan Ki Raganiti dan Ki Buyut Randumalang” jawab Mahisa Murti.

“Caranya?” bertanya Mahisa Pukat pula.

“Jika kehadiran para cantrik di sini tidak dapat memancing persoalan, maka kita minta Ki Buyut Randumalang membawa anak gadisnya kemari. Memang perlu penjelasan. Tetapi untuk keselamatan gadis itu, dan lebih luas lagi, untuk keselamatan lingkungan hidup disekitar padepokan itu, aku kira mereka tidak akan berkeberatan” sahut Mahisa Murti.

“Satu kerja yang besar. Waktunya hanya lima hari. Aku kurang yakin, bahwa usaha ini akan berhasil” berkata Mahisa Pukat. Lalu, “Tetapi aku. tidak akan segan untuk mencobanya”

“Jika aku sependapat, kita temui Empu Nawamula. Kita akan melaporkan rencana ini. Jika Empu Nawamula setuju, kita akan melakukannya. Kita akan menghubungi para cantrik dan minta mereka berkumpul disatu tempat sepekan lagi. Sementara itu, kita akan minta ayah, paman Witantra dan paman Mahisa Agni atau salah seorang diantara mereka. Jika kita kemudian berhasil, kita akan menyerahkan para cantrik kembali kepada Empu Nawamula disini” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Rencana itu belum jelas dan belum terperinci. Tetapi Mahisa Pukat sudah mendapat gambaran akan ujudnya. Karena itu, maka ia pun sependapat untuk menyampaikannya kepada Empu Nawamula, untuk selanjutnya menghubungi para cantrik yang sedang gelisah. Dengan hati-hati kedua orang anak muda itu pun kemudian berusaha menghubungi Empu Nawamula. Dengan singkat mereka pun memberitahukan rencana mereka.

“Apa kalian akan sempat melakukannya hanya dalam waktu sepekan?” bertanya Empu Nawamula.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ada juga terasa nada keraguan, tetapi ia berkata, “Kami berdua akan berusaha sebaik-baiknya Empu. Tetapi sudah tentu, kami akan memohon untuk mendapat pinjaman dua ekor kuda”

Empu Nawamula mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan mengusahakan dua ekor kuda. Jika Singatama menanyakannya, biarlah aku yang menjawabnya”

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murtipun bertanya, “Empu. Bagaimana pendapat Empu jika mulai saat ini kami akan menghubungi para cantrik?”

“Baiklah. Kalian tidak usah menghubungi semua cantrik. Kalian cukup mengatakannya kepada satu dua orang di antara mereka dengan pesan agar mereka menyampaikannya pula kepada kawan-kawan mereka”

“Tetapi apakah dengan cara demikian, tidak akan mungkin rencana ini sampai ke telinga Singatama?” bertanya Mahisa Pukat.

"Tidak. Tidak seorang pun di antara para cantrik yang tertarik untuk bekerja bersamanya” jawab Empu Nawamula.

Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun menjadi mantap. Seperti yang dikatakan oleh Empu Nawamula, maka mereka tidak lagi ingin menghubungi semua cantrik, karena dengan demikian maka bahayanya akan menjadi bertambah besar. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya menghubungi seorang cantrik yang kepanasan di dalam barak dan duduk di bawah sebatang pohon jambu.

“Kenapa kau tidak tidur?” bertanya Mahisa Murti.

“Udara panas sekali” jawab cantrik itu.

“Lebih panas lagi denyut jantung di dalam dada ini” desis Mahisa Pukat.

Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menanggapinya. Ada semacam ketakutan untuk mengatakan sesuai dengan perasaannya, karena cantrik itu sudah mengenal Singatama dengan baik. Namun dalam pada itu Mahisa Murtipun kemudian duduk di sebelahnya, sementara Mahisa Pukat duduk agak jauh dari keduanya mengamati keadaan di sekelilingnya.

Dengan hati-hati Mahisa Murti menyatakan rencananya. Dengan sungguh-sungguh cantrik itu pun mendengarkannya. Namun kemudian dengan nada cemas cantrik itu berkata, “Apa yang dapat kita lakukan? Setelah kita berkumpul, lalu apakah dengan demikian kita akan dapat menyelamatkan diri jika Singatama datang menghukum kita? Katakanlah, kita dapat melupakan kemungkinan Singatama mencari keluarga kita, karena waktu yang sepekan itu kita pergunakan untuk memberitahukan kepada keluarga kita agar menyingkir, tetapi apakah artinya kita sendiri berkumpul di satu tem-pat itu?”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya, “Kita akan menyusun kekuatan”

“Aku bukan pemimpin Ki Sanak” jawab cantrik itu, “jika kami melakukan seperti yang kau katakan, maka akan sama artinya bahwa kita akan bunuh diri”

Mahisa Murti termangu-mangu. Ia dapat mengerti jalan pikiran cantrik itu. Karena itu maka katanya, “Ki Sanak. Singatama bukan iblis yang tidak terkalahkan. Jika kita berani berbuat sesuatu bersama-sama, maka ia akan dapat kita tundukkan. Aku dan saudaraku telah bersepakat, bahwa kita semuanya tentu akan dapat mengalahkannya”

“Seandainya Singatama dapat kita kalahkan, bukankah berarti kita sudah mengundang gurunya untuk membantai kita semua?” berkata cantrik itu.

“Jika kita sendiri yang menghadapinya, memang benar. Tetapi kita percaya kepada Empu Nawamula” berkata Mahisa Murti ragu-ragu untuk menyebut nama itu. Tetapi kemudian, “Seandainya Empu Nawamula tidak mau melibatkan diri, karena Singatama adalah kemanakannya, maka aku mempunyai seorang paman yang memiliki ilmu yang tinggi”

Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau tidak dapat membayangkan, betapa tingginya ilmu Singatama dan apalagi gurunya”

“Tetapi kemampuan seseorang tetap terbatas” jawab Mahisa Murti, “aku yakin, bahwa pamanku dan kawan-kawannya akan dapat mengatasinya, jika kalian benar-benar berniat demikian. Jika kita berani mempertanggung jawabkan segala tindakan kita, maka kita akan berhasil. Seandainya tidak, kenapa kita takut mati? Aku orang baru disini. Tetapi aku tidak mau diperlakukan seperti kalian. Karena itu, aku akan memilih untuk melawan. Jika dengan demikian aku harus mati, apa boleh buat. Tetapi itu lebih baik bagi seorang laki-laki”

Cantrik itu termangu-mangu. Anak muda itu menyatakan satu sikap seorang laki-laki. “He, apakah aku bukan laki-laki?” cantrik itu bertanya kepada diri sendiri.

Sejenak cantrik itu berpikir. Sementara itu Mahisa Murti berkata, “Kita selama ini terlalu merasa kecil, sehingga kita tidak percaya bahwa di dalam diri kita pun tersimpan kemampuan yang dapat ikut menentukan hari depan kita sendiri. Seandainya kekuatan kita itu tidak berhasil memecah dinding yang membatasi hari depan kita, maka biarkan kita berkubur sebagai pejuang yang memperjuangkan masa depan kita sendiri”

Kata-kata cantrik itu benar-benar berpengaruh, sehingga akhirnya cantrik itu berdesis, “Kau dapat aku percaya?”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia mulai berpengharapan bahwa usahanya akan berhasil. Karena itu, maka Mahisa Murti pun menjadi semakin bergairah untuk mempengaruhinya. Katanya, “Aku menjadi taruhan. Jika harus bertaruh nyawa, maka biarlah aku yang pertama-tama”

“Baiklah” berkata cantrik itu. Lalu, “Sebenarnya akupun telah menjadi jemu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan. Rasa-rasanya aku ingin membebaskan diri. Kini baru aku sadar, bahwa bagi laki-laki memang ada pilihan lain dari ketakutan itu sendiri”

“Nah, percayalah” berkata Mahisa Murti kemudian, “di tempat yang akan kita tentukan kemudian, kita dapat bertemu dan berkumpul untuk menentukan langkah, maka alangkah baiknya. Kita akan dapat berbuat sesuatu sebagai sekelompok laki-laki yang mempunyai pribadi yang mantap. Bukan sekedar budak yang harus melakukan perintah tanpa mengetahui ujung dan pangkalnya. Bahkan lebih dari itu. Kita telah diperlakukan sebagai seekor kuda yang berlari kalau dilecuti”

Cantrik itu mengangguk-angguk. Jiwanya tiba-tiba saja telah bergejolak. Namun ia masih bertanya, “Tetapi bagaimana dengan kawan-kawan kita?”

“Kita harus memberitahukan kepada mereka sesuatu yang paling baik kita lakukan” jawab Mahisa Murti, “kita akan menentukan satu tempat untuk bertemu setelah sepekan. Bahkan sebelum itu. Kita akan berkumpul dan membuat satu padepokan baru. Tentu sikap itu akan menantang kemarahan Singatama. Tetapi bukankah kita tidak takut lagi menghadapinya. Lebih baik kita lebur menjadi debu daripada kita dianggap sebagai seekor binatang yang dapat diperlakukan sewenang-wenang?”

Cantrik itu menganguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti berkata, “Tentukan, dimana kita berkumpul. Dan beritahukan semua cantrik yang ada di padepokan ini. Besok pagi-pagi aku akan meninggalkan padepokan ini. Aku akan mencuri dua ekor kuda dan aku akan meninggalkan padepokan ini untuk mempersiapkan segala-galanya”

“Tetapi kau benar-benar dapat dipercaya?” cantrik itu masih bimbang.

“Aku orang baru di sini. Tetapi aku merasa bahwa tanpa berbuat sesuatu, kita akan benar-benar menjadi budak yang tidak lebih berharga dari debu” jawab Mahisa Murti.

“Baiklah. Jika demikian aku akan memberitahukan kepada para cantrik” jawab cantrik itu.

“Tetapi hati-hati. Jika ada seorang saja di antara para cantrik yang berkhianat, maka kita semuanya akan gagal. Sebelum aku keluar dari padepokan ini esok pagi, aku sudah harus membukukan kata-kataku bahwa aku lebih baik hancur menjadi debu daripada diperbudak oleh orang lain. Selama aku berada di sini, aku merasa alangkah damainya tempat ini. Tetapi kehadiran Singatama membuat aku menjadi orang yang liar dan berdarah panas seperti ini” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi apa gunanya kau mencuri kuda? Bukankah lebih baik kau pergi sebagaimana kami pergi. Dengan demikian kita tidak akan meninggalkan kesan apapun juga. Seolah-olah kita memang sedang melakukan tugas kita sebaik-baiknya” berkata cantrik itu.

“Tetapi tanpa kuda aku tidak akan dapat mencapai rumah orang yang aku harap dapat bekerja sama dengan kita” berkata Mahisa Murti, “waktu kita hanya sepekan”

Cantrik itu termangu-mangu. Namun ia pun kemudian berkata, “Terserahlah kepadamu. Tetapi jika kalian tertangkap esok pagi, aku akan menyesal sekali. Semua rencana tentu akan batal. Keberanian kita akan lenyap jika pada langkah pertama kita sudah gagal”

“Aku akan berusaha, agar aku tidak tertangkap” berkata Mahisa Murti.

Demikianlah, maka cantrik itupun telah menyatakan kesediaannya untuk melakukan rencana itu. Ia akan menghubungi cantri-cantrik yang lain. Setelah mereka menentukan tempat untuk bertemu setelah mereka meninggalkan padepokan itu dengan batas waktu sepekan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah meninggalkan cantrik itu.

Seperti yang telah dijanjikan, maka cantrik itu pun telah menghubungi seorang kawannya. Ia mulai menjajagi sikap kawannya itu. Namun akhirnya ia berhasil mengajak kawannya itu untuk melakukannya. Demikianlah keduanya mulai menghubungi kawannya yang lain, bertunda dan berurutan, sehingga akhirnya sebelum pagi mereka semuanya telah mendengar dan menyepakati rencana itu. Kejantanan mereka ternyata telah tergugah, sehingga mereka memang memilih untuk melawan Singatama daripada mereka harus menjalani kehidupan tidak lebih dari budak yang tidak berarti apa-apa selain diperlakukan sebagai seekor-binatang.

Dengan demikian, maka para cantrik itu pun tidak lagi dapat tidur nyenyak di sisa malam. Mereka sudah membayangkan, apa .yang akan terjadi setelah sepekan. Namun dalam pada itu, mereka telah berdoa, agar kedua anak muda yang akan melarikan diri dengan dua ekor kuda itu tidak tercium rencananya oleh Singatama, sehingga keduanya akan dapat mengalami nasib yang sangat buruk.

Seperti yang direncanakan, atas pengetahuan Empu Nawamula, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyiapkan dua ekor kuda. Mereka akan mempertanggung-jawabkan kedua ekor kuda itu. Keduanya tidak akan membebani kesulitan kepada Empu Nawamula jika Empu Nawamula yang harus mempertanggung-jawabkannya. Empu Nawamula mengagumi sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bukan saja keberanian mereka mengambil sikap, tetapi juga karena mereka siap untuk bertanggung jawab atas sikap mereka.

Dalam keheningan pagi, padepokan itu telah dikejutkan oleh derap kaki kuda. Dua ekor kuda berlari meninggalkan padepokan itu dengan dua orang penunggangnya. Demikian cepatnya berlalu, sehingga tidak seorangpun yang sempat mencegahnya.

Singatama dan orang-orang yang mengawalnya terkejut. Mereka berloncatan dari pembaringan dan berlari keluar. Tetapi keheningan telah kembali mencengkam padepokan itu. Dengan marah Singatama pun mengumpulkan semua cantrik. Ia ingin segera mengetahui, apakah ada diantara para cantrik itu yang meninggalkan padepokan. Singatama yang marah itu pun segera mengetahui, dua di antara para cantrik telah lenyap. Dua orang cantrik yang paling baru datang kepadepokan itu.

Jantung Singatama hampir meledak karenanya. Dengan nada lantang ia berteriak "Panggil paman Nawamula”

“Aku disini Singatama” jawab Empu Nawamula, “jangan berteriak-teriak begitu. Ada apa?”

Terasa sentuhan yang tajam di dadanya. Bagaimanapun juga orang tua itu mempunyai pengaruh yang besar atasnya. Bukan saja karena ia pamannya. Tetapi Singatama pun tahu bahwa pamannya adalah orang yang berilmu tinggi. Sehingga karena itu, maka ia pun harus menahan diri untuk tidak bertindak tergesa-gesa.

Namun dalam pada itu, ketika Empu Nawamula melangkah mendekatinya, Singatama itu bertanya, “Paman, apakah paman yang telah menerima kedua orang anak muda itu di padepokan ini?”

“Ya. Akulah yang telah menerimanya” jawab Empu Nawamula.

“Apakah paman mengetahui, dimana rumahnya dan siapa saja keluarganya?” bertanya Singatama pula.

Empu Nawamula menggeleng. Jawabnya, “Belum. Aku tidak mengenal kecuali kedua orang anak muda itu. Keduanya datang di padepokan ini untuk mohon perlindungan. Keduanya adalah perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal tertentu”

“Paman terlalu memanjakan mereka” bentak Singatama.

“Jangan membentak aku. Akulah yang lebih pantas membentakmu, karena akulah pengganti orang tuamu” sahut Empu Nawamula. Lalu katanya, “Ketahuilah. Selama keduanya berada di padepokan ini, keduanya menunjukkan sikap yang sangat baik. Mereka sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala seperti yang baru saja terjadi. Tetapi kedatanganmu dan sikapmu telah merubah segala-galanya. Agaknya keduanya tidak terbiasa mengalami kekerasan seperti yang kau lakukan”

Wajah Singatama menjadi merah. Tetapi sebelum ia menjawab Empu Nawamula telah berkata, “Apalagi perintah yang kau keluarkan untuk mencari seseorang yang tidak dikenal dengan batas waktu sepekan. Benar-benar satu perintah yang tidak masuk akal. Karena itulah agaknya mereka telah memilih untuk melarikan diri. Celakanya, mereka telah membawa dua ekor kuda yang paling baik dari padepokan ini”

Singatama menggeretakkan giginya. Dengan nada kesal ia berkata, “Persetan dengan kedua orang itu. Tetapi bahwa mereka telah membawa dua ekor kuda dari padepokan ini, aku tidak akan pernah melupakan. Jika pada suatu saat aku dapat menjumpai keduanya, maka aku tidak akan memaafkannya. Aku akan mengambil tindakan yang paling sesuai dengan kesalahan mereka”

“Terserah kepadamu. Jika kau tidak sedang berada di padepokan ini, maka aku dapat kau tuntut untuk mempertanggung-jawabkan hilangnya dua ekor kuda. Tetapi justru kau berada di sini, maka tanggung jawab itu tidak seluruhnya terletak di pundakku” berkata Empu Nawamula.

Singatama hampir tidak dapat mengendalikan dirinya. Tetapi ia masih tetap sadar, bahwa pamannya adalah orang yang berilmu tinggi. Karena itu, tiba-tiba ia telah menumpahkan kemarahannya kepada para cantrik. Katanya dengan keras,

“Persetan semuanya. Aku tidak mau melihat kelambatan yang akan dapat membuat aku semakin marah. Kalian, para cantrik yang dungu. Aku tidak mau melihat kau dengan bodoh berdiri membeku. Sekarang juga kalian harus pergi. Sepekan lagi kalian harus kembali. Siapa yang tidak kembali akan mengalami hukuman yang sangat berat. Tetapi jika tidak seorang pun diantara kalian yang membawa gadis yang aku kehendaki, maka aku tidak akan memaafkan kalian lagi. Tingkah laku kedua orang cantrik itu membuat kepalaku pening dan darahku mendidih”

Para cantrik itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka merasa bersyukur bahwa Singatama tidak berbuat sesuatu yang dapat membuat mereka dalam kesulitan.

“Cepat” teriak Singatama semakin keras. “Bersiaplah. Sebelum matahari terbit, kalian harus sudah meninggalkan padepokan ini. Jika aku masih melihat seseorang di padepokan ini, maka ia akan aku cekik sampai mati”

Perintah itu tidak diulangi. Para cantrik pun dengan tergesa-gesa telah pergi ke dalam barak mereka untuk membenahi diri dan barang-barang yang akan mereka bawa dalam perjalanan mereka yang lima hari. Sebagaimana mereka sepakati, maka mereka pun telah membawa senjata yang mereka punyai tanpa menimbulkan kecurigaan pada Singatama, karena para cantrik itu akan menempuh sebuah perjalanan yang mungkin akan menjumpai bahaya.

Seperti yang diperintahkan oleh Singatama, maka sebelum matahari terbit, mereka pun telah meninggalkan padepokan itu. Tetapi justru karena mereka meninggalkan padepokan sebelum matahari terbit dan dengan tergesa-gesa, maka mereka mendapat kesempatan lebih banyak untuk menentukan sikap mereka sebagaimana telah mereka bicarakan semalam.

Sambil meninggalkan padepokan, mereka sempat berbicara lebih mantap tentang rencana mereka. Sementara itu, mereka pun berusaha untuk mengelabui Singatama apabila ia melakukan pelacakan atas para cantrik dengan memencar diri barang semalam, sebelum mereka akan menuju ke satu tempat yang telah mereka sepakati.

Tetapi para cantrik itu tidak pergi sendiri-sendiri. Mereka telah membentuk kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari tiga orang. Bertiga mereka akan memencar dan akhirnya akan berkumpul kembali tanpa menghiraukan apakah gadis yang dicari oleh Singatama itu akan dapat ditemukan.

Yang penting bagi mereka, justru kesempatan untuk menghubungi keluarga mereka. Agaknya ada diantara para cantrik yang menganggap bahwa untuk sementara keluarga mereka sebaiknya menyingkir saja dari rumah mereka ke tempat yang tidak diberitahukan kepada para tetangga, agar mereka tidak menjadi sasaran kemarahan Singatama. Jika semuanya telah dapat diselesaikan, maka mereka akan kembali lagi ke tempat kediaman mereka semula.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah jauh meninggalkan padepokan. Kuda mereka berpacu dengan kecepatan yang tinggi. Sebagai pengembara, merekapun berusaha untuk mengenali jalan yang mereka tempuh, sehingga mereka akan dapat menemukan arah kembali ke rumahnya.

“Jarak kita dengan rumah kita belum terlalu jauh” berkata Mahisa Murti, “meskipun demikian, mungkin kita tidak akan dapat mencapai rumah kita pada malam ini”

“Kita akan bermalam di perjalanan” berkata Mahisa Pukat, “meskipun dengan seekor kuda, kita dapat mempersingkat jarak. Tetapi selambat-lambatnya esok kita sudah berada di rumah. Jika kita bermalam semalam, maka dihari berikutnya kita akan berangkat. Katakanlah kita akan bermalam lagi semalam di perjalanan. Maka kita telah mempergunakan tiga malam bagi perjalanan kita”

“Dengan demikian, kita masih mempunyai waktu untuk menyusun diri. Mudah-mudahan usaha ini berhasil, meskipun kita masih harus mengganggu ketenangan orang tua. Tetapi masalahnya adalah masalah yang penting, yang menyangkut peri kehidupan banyak orang” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Setidak-tidaknya kita sudah berusaha untuk dapat memberikan keterangan tentang orang-orang yang mempunyai sikap yang tidak terpuji itu. Mudah-mudahan ayah tidak menganggap bahwa ternyata kita masih terlalu kanak-kanak yang merengek dalam kesulitan”

Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia yakin, bahwa ayahnya tidak akan menganggapnya demikian. Persoalan yang dihadapimya saat itu memang persoalan yang cukup berat, karena mereka harus berhadapan dengan satu padepokan yang dipimpin oleh seseorang yang menurut pendengaran mereka mempunyai kemampuan yang sangat tinggi, meskipun bersumber pada ilmu hitam.

Demikianlah, kedua anak muda itu berpacu terus. Sekali-sekali mereka memang berhenti untuk memberi kesempatan kepada kuda mereka untuk beristirahat, minum dan makan secukupnya. Sementara kedua anak muda itu justru tidak merasa lapar sama sekali perlu untuk berhenti dan makan secukupnya, karena mereka harus mempertahankan keseimbangan tubuh mereka.

Ternyata kedua orang anak muda itu tidak mengalami hambatan di sepanjang perjalanan. Mereka memang harus bermalam di lereng sebuah bukit padas kecil yang gundul. Hanya ada satu dua batang pohon yang tumbuh di lerengnya. Namun di sebelah bukit itu mengalir sebatang sungai yang berair sangat bening.

Kedatangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengejutkan Mahendra. Karena itu maka dengan tergopoh-gopoh ia menyongsong kedua anaknya sambil bertanya langsung apakah ada sesuatu kesulitan di perjalanan mereka.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak tergesa-gesa. Justru karena sikapnya itu, maka Mahendrapun menjadi tenang. Baru setelah duduk, minum dan makan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mulai menceriterakan, dorongan apakah yang telah membawa mereka kembali kepada ayahnya setelah mereka menempuh perjalanan yang masih terhitung sangat pendek.

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Kalian telah mengambil langkah yang benar. Kalian memang tidak sepantasnya menghadapi satu kekuatan yang tidak kalian ketahui. Bahkan Empu Nawamula pun tidak dapat menentukan apakah ia akan dapat mengatasi atau tidak. Padahal menurut pengenalanku atas Empu itu, ia adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Semenntara itu, Mahisa Murtipun menceriterakan rencana mereka untuk memancing persoalan, sehingga ada alasan untuk melawan padepokan yang berilmu hitam itu. Yang akan dapat melakukan tindak sewenang-wenang terhadap pihak lain di sekitar daerah pengaruh padepokan itu, bahkan sampai ke tempat yang jauh.

“Satu contoh telah terjadi ayah” berkata Mahisa Pukat kemudian, “kesewenang-wenangan Singatama terhadap seorang gadis, anak Ki Buyut Randumalang. Jika keluarganya gagal melindunginya, maka ia akan mengalami nasib yang sangat buruk. Namun dalam pada itu, tentu kesewenang-wenangan yang lain akan mungkin saja terjadi, mereka sebaiknya menyingkir saja dari rumah mereka setempat yang tidak diberitahukan kepada para tetangga, agar mereka tidak menjadi sasaran kemarahan Singatama. Jika semuanya telah dapat diselesaikan, maka mereka akan kembali lagi ke tempat kediaman mereka semula”

Mahendra mendengarkan keterangan kedua anaknya itu dengan seksama. Sehingga dengan demikian, maka rasa keadilannya pun telah disentuh pula. Dengan demikian, maka ia pun merasa terpanggil untuk ikut bersama anak-anaknya itu menghadapi satu kekuatan hitam yang akan dapat mengguncangkan ketenangan hidup bebrayan.

Namun dalam pada itu, Mahisa Pukatpun bertanya, “Apakah ayah akan pergi sendiri atau seperti biasanya, ayah akan bertamasya bersama paman Witantra dan paman Mahisa Agni?”

“Paman-pamanpun sudah menjadi semakin tua. Tetapi jika aku mengajak mereka, aku kira merekapun tidak akan berkeberatan” berkata Mahendra.

“Waktu kita sangat sempit, ayah” berkata Mahisa Murti.

“Baiklah. Hari ini aku akan menghubungi paman-pamanmu. Jika mereka tidak sedang terlalu sibuk aku kira mereka tidak akan berkeberatan pergi bersamaku” berkata Mahendra. Namun kemudian iapun bertanya, “Tetapi, dapatkah kau mengatakan, apakah para pengikut guru Singatama itu jumlahnya terlalu banyak?”

“Itulah yang sulit aku katakan, ayah” jawab Mahisa Murti, “tetapi menurut pendengaranku, padepokan itu berkembang dengan cepat. Dengan demikian, maka padepokan itu telah berhasil menghimpun kekuatan yang semakin besar dalam landasan ilmu hitam. Justru karena orang-orang padepokan itu merasa bahwa hidup dan sikap mereka bebas tanpa kekang sama sekali, dan tidak ada kekuatan yang akan dapat menghalanginya, maka padepokan itu menjadi sangat menarik bagi orang-orang yang menganut cara hidup yang sesat”

“Tetapi bagaimana Singatama itu dapat terjerat?” bertanya Mahendra.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian menceriterakan hal itu sebagaimana mereka dengar dari Empu Nawamula. Sehingga orang tua Singatama sendiri menjadi kehilangan kesempatan untuk memberikan arah bagi sikap hidup anaknya.

Manendra mengangguk-angguk. Ia sudah mempunyai gambaran sikap dari satu lingkungan yang memang dapat membahayakan sesama. Sehingga karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan menghubungi kedua pamanmu. Kalian dapat beristirahat barang sejenak disini.

Demikianlah, maka Mahendra pun kemudian meninggalkan rumahnya untuk menghubungi Witantra dan Mahisa Agni. Agaknya kedua orang itu akan dapat diajak berbuat sesuatu menghadapi tingkah laku yang menyimpang dari sikap kewajaran hidup diantara sesama.

Sebenarnyalah yang diharapkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terpenuhi. Menjelang malam hari keduanya telah datang ke rumah Mahendra untuk memenuhi permintaannya.

Namun dalam pada itu, Witantra pun sempat berkelakar. Katanya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Ternyata pengembaraan kalian terlalu cepat berakhir”

“Tidak paman” jawab Mahisa Pukat, “jika tidak ada persoalan khusus, aku kira aku masih belum akan kembali Tetapi dalam hal ini. kami berdua merasa bahwa kami masih terlalu lemah untuk mengatasinya, sementara persoalannya kami anggap cukup besar untuk ditangani”

Witantra tersenyum. Katanya, “Sebenarnyalah kalian memang harus dapat menilai diri. Adalah tidak ada artinya sama sekali jika kalian memaksa diri untuk melakukan sesuatu yang sudah kalian ketahui, diluar kemampuan kalian untuk melakukannya. Karena itu, ketika ayah kalian mengatakan persoalannya kepadaku, maka akupun merasa tidak berkeberatan untuk pergi bersama kalian”

“Terima kasih, paman” berkata Mahisa Murti, “ternyata bahwa kami menghadapi satu keadaan yang belum dapat kami jajagi”

"Tetapi kalian sudah dapat memberikan sedikit gambaran tentang lingkungan yang akan kita hadapi” berkata Mahisa Agni. Lalu, “Karena itulah, maka ayahmu telah menghubungi kakakmu, Mahisa Bungalan pula”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan serta merta berpaling kepada ayahnya. Seolah-olah mereka ingin mendapat penjelasan, apakah benar ayahnya telah menghubungi Mahisa Bungalan yang sudah berada dilingkungan keprajuritan”

Mahendra yang dapat membaca pertanyaan yang terpancar pada sorot mata kedua anaknya itu pun berkata, “Ya. Aku sudah menghubungi kakakmu Mahisa Bungalan. Kakakmu sebagai seorang prajurit. Ia akan pergi bersama kami dalam tugasnya, karena jika kami menyelesaikan persoalan ini, kami tidak akan dapat berbuat sendiri. Kami juga harus menyerahkan orang-orang padepokan itu kepada para prajurit yang berwenang untuk mengambil tindakan selanjutnya”

“Tetapi kami dapat menyerahkan kepada Akuwu yang memerintah langsung daerah itu” berkata Mahisa Pukat.

“Kau tidak pernah menyebut-nyebut nama Akuwu. Kau juga tidak dapat menghubunginya untuk mengatasi persoalan itu. Sementara itu tidak akan ada salahnya, jika prajurit Singasari akan langsung mengambil tindakan, apabila mereka benar-benar melihat satu bukti pelanggaran yang dilakukan oleh padepokan itu. Bukan sekedar tuduhan atau dugaan, bahwa padepokan itu telah melanggar paugeran pergaulan antara sesama penghuni tlatah Singasari” jawab Mahendra.

“Tetapi mereka tidak akan terlalu bodoh untuk menjerumuskan diri mereka, jika mereka mengetahui bahwa mereka berhadapan dengan prajurit Singasari” sahut Mahisa Pukat, “dengan demikian kita justru tidak akan dapat berbuat apa-apa”

Mahendra tersenyum. Ia melihat sikap yang lugu dari kedua orang anaknya. Karena itu maka katanya, “Sudah tentu, Mahisa Bungalan tidak membawa pasukannya dalam ujudnya sebagai prajurit Singasari”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk Mereka mengerti maksud ayahnya, sementara merekapun menyadari, bahwa kekuatan padepokan yang akan mereka hadapi itu pun tidak akan dapat diabaikan. Mungkin di padepokan itu tinggal berpuluh-puluh orang yang memiliki ilmu yang setingkat dengan Singatama, atau bahkan ada di antara mereka yang telah melampauinya. Sehingga dengan demikian, maka para cantrik dari padepokan Empu Nawamula yang akan berkumpul itu tidak akan mampu berbuat sesuatu meskipun mereka akan berdiri disatu pihak dengan Mahendra, Witantra dan Mahisa Agni.

“Mungkin guru Singatama itu pun mempunyai satu dua orang kawan yang setingkat” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di dalam hati.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah ayah. Nampaknya memang lebih baik kita berjaga jaga menghadapi kekuatan di luar dugaan kita”

“Lebih baik kita menghadapi mereka dengan yakin” berkata Mahendra, “selebihnya, pasukan Singasari tentu juga berkewajiban untuk melakukannya”

Demikianlah maka mereka pun telah membenahi diri. Esok pagi mereka akan berangkat menuju ke tempat yang sudah disepakati oleh Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan para cantrik yang telah mendapat perintah untuk mencari seorang gadis yang bernama Widati.

Malam itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera dapat tidur lelap. Mereka merasa selalu gelisah. Seolah-olah mereka dibayangi oleh tingkah laku Singatama yang kasar dan memuakkan.

Di dinihari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah dikejutkan oleh derap kaki kuda memasuki halaman rumahnya. Ketika mereka menjenguk ke halaman, ternyata Mahisa Bungalan telah berada di halaman bersama sepuluh orang prajurit yartg berpakaian orang kebanyakan. Dengan tergesa gesa kedua anak muda itu telah menemui kakaknya. Dengan gembira pula Mahisa Bungalan mendengarkan kedua adiknya itu berbicara tentang rencananya.

“Aku sependapat dengan sikapmu” berkata Mahisa Bungalan, “padepokan yang mempunyai ciri-ciri demikian memang harus dihapuskan. Tetapi sudah tentu, bahwa kita tidak dapat menuduh tanpa dapat membuktikan. Karena itu, apa yang akan kalian lakukan akan dapat dengan langsung menjebak mereka, apabila benar-benar seperti yang kalian katakan, mereka adalah orang-orang yang tidak mengharap lagi kepentingan dan kebebasan orang lain”

Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka orang- orang yang akan melakukan perjalanan itu sudah siap untuk berangkat. Menjelang matahari terbit, maka mereka telah meninggalkan regol halaman.

Tetangga-tetangga Mahendra sudah tidak terkejut lagi jika di rumah itu nampak beberapa ekor kuda. Merekapun tahu, bahwa Mahisa Bungalan telah menjadi seorang prajurit, sehingga kawan-kawannya sering datang mengunjungi rumah itu. Atau kawan-kawan Mahendra sendiri dalam hubungan dengan pekerjaannya, saudagar wesi aji dan emas permata.

Dalam pada itu, iring-iringan itu tidak seterusnya menempuh perjalanan dalam satu kelompok. Agar tidak menarik banyak perhatian, maka mereka telah membagi diri dalam beberapa kelompok kecil. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berada di paling depan telah dengan sengaja membuat isyarat sehingga orang-orang lain yang mengikutinya akan tidak kehilangan jejak.

Seperti pada saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kembali ke rumahnya, maka perjalanan itupun harus disekat oleh pekatnya malam. Iring-iringan itu pun harus telah memilih satu tempat yang paling baik untuk bermalam. Ternyata tidak terjadi sesuatu yang dapat menghambat perjalahan mereka di hari berikutnya, sehingga mereka dapat berangkat pagi-pagi sebelum cahaya matahari menembus rimbunnya dedaunan hutan.

Dalam pada itu, agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat memilih jalan lain kecuali jalan yang pernah mereka lalui. Meskipun mereka tidak menerobos Kabuyutan Randumalang tetapi mereka telah melintas di padang perdu di daerah Kabuyutan Randumalang itu pula.

Namun dalam pada itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi cemas, bahwa pada suatu saat Widati akan dapat diketemukan oleh Singatama. Seandainya tidak oleh para cantrik di padepokan Empu Nawamula, tetapi oleh para cantrik di padepokan Singatama sendiri. Jika terjadi demikian, maka keadaan gadis itu akan menjadi semakin gawat.

Ketika hal itu disampaikannya kepada Mahendra, maka Mahendra pun berkata, “Apakah tidak sebaiknya gadis itu berada didalam perlindungan kita?”

“Apakah ayahnya akan mempercayai kita?” bertanya Mahisa Pukat.

“Bukankah kalian dapat menguraikan apa yang mungkin terjadi?” bertanya Mahisa Bungalan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun akhirnya mengambil satu keputusan untuk membagi diri. Mahisa Pukat akan meneruskan perjalanan ke tempat yang sudah disepakati oleh para cantrik, sementara Mahisa Murti akan menempuh perjalanan kembali ke Randumalang. Untuk meyakinkan Ki Buyut Randumalang, maka Mahisa Bungalan akan menyertainya bersama Mahisa Agni.

Demikianlah, maka sepuluh orang prajurit yang tidak mengenakan ciri-ciri keprajuritannya itu pun telah dibagi pula. Lima orang bersama Mahisa Pukat dan lima orang bersama Mahisa Murti.

Kedatangan Mahisa Murti di rumah Ki Buyut bersama beberapa orang telah mengejutkan. Bahkan Ki Buyut telah mempunyai prasangka buruk. Ia pernah menasehati anak gadisnya agar anaknya itu memilih kawan, apalagi yang nampaknya akan dapat menyentuh hatinya. Oleh karena itu maka Ki Buyut menganggap bahwa anaknya merasa dihalanginya, sehinga Mahisa Murti mengambil langkah-langkah tertentu untuk menembus batasan yang telah diberikannya kepada anak gadisnya.

Dengan cemas ia kemudian menerima Mahisa Murti dan beberapa orang yang bersama di pendapa. Dengan cemas pula ia menanyakan, apakah maksud kedatangan Mahisa Murti dan beberapa orang itu. Mahisa Murti melihat kecemasan di sorot mata Ki Buyut. Iapun mengerti, bahwa Ki Buyut yang merasa dirinya dan bahkan seisi Kabuyutannya itu terlalu lemah untuk menghadapi Mahisa Murti apalagi dengan beberapa orang yang tentu orang-orang pilihan, menemui kedatangannya dengan kecemasan.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah berusaha untuk menjelaskan, maksudnya dengan sangat hati-hati. Ia mulai dengan pertemuannya dengan seorang anak muda yang bernama Singatama.

“Aku berada di padepokannya. Dengan tidak kami rencanakan sebelumnya, kami telah bermalam di sebuah padepokan yang ditunggui oleh seorang Empu yang kami kenal. Namun ternyata bahwa padepokan itu adalah padepokan yang akan menjadi milik Singatama” berkata Mahisa Murti lebih lanjut.

Dengan terperinci Mahisa Murti menceriterakan pertemuannya dengan Ki Raganiti. Dari Ki Raganiti lah maka Mahisa Murti mengetahui semua persoalannya dengan jelas. Ternyata bahwa gadis yang disebut-sebut oleh Singatama itu adalah Widati.

Ki Buyut memang tidak segera mempercayainya. Tetapi karena Mahisa Murti dapat menjelaskan dengan lengkap dan terperinci, maka Ki Buyut mulai condong untuk mempercayainya bahwa yang dikatakan oleh Mahisa Murti itu benar. Namun untuk mempercayakan anak gadisnya kepada anak muda itu, Ki Buyut pun agaknya masih tetap ragu-ragu. Bagi Ki Buyut. Mahisa Murti adalah anak muda yang asing.

Karena itulah, maka Mahisa Murti tidak dapat menyembunyikan diri lagi terhadap Ki Buyut itu agar Ki Buyut dapat mempercayainya. Bahkan Mahisa Bungalan yang datang bersamanya kemudian menunjukkan timang keprajuritannya yang berada dibawah bajunya sambil berkata,

“Aku adalah seorang prajurit. Beberapa orang yang ada disini sekarang ini adalah prajurit Singasari pula. Kami sedang berusaha untuk mengamankan daerah ini dari tangan-tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian, ia masih juga meyakinkan, bahwa anaknya tidak akan menemui kesulitan, sehingga karena itu, maka katanya, “Baiklah Ki Sanak. Tetapi aku minta, agar aku diijinkan pergi bersama kalian. Aku dapat menyerahkan pemerintahan di Kabuyutan ini kepada para bebahu yang lain”

Mahisa Agni yang datang pula bersama Mahisa Murti sama sekali tidak merasa berkeberatan. Karena itu, maka katanya, “Bagi kami Ki Buyut, kesediaan Ki Buyut akan merupakan penghargaan bagi kami. Bahkan mungkin dalam keadaan yang sulit, Ki Buyut akan dapat memberikan banyak bantuan kepada kami”

“Ah. Ki Sanak tentu sudah mendengar dari anak muda ini, bahwa aku dan orang-orang Kabuyutan ini tidak berarti apa-apa didalam olah kanuragan” jawab Ki Buyut.

“Karena itu Ki Buyut” sahut Mahisa Murti, “Widati harus mendapat perlindungan yang cukup. Singatama akan dapat melakukan segala cara untuk mencapai maksudnya. Bahkan mungkin dengan cara yang paling kasar”

Dalam pada itu, maka Ki Buyut pun telah membenahi diri. Demikian pula dengan Widati. Meskipun Widati tertarik kepada Mahisa Murti, tetapi perjalanan itu membuatnya sangat berdebar-debar. Ia akan berada di dalam satu lingkungan yang tidak diketahuinya. Sekelompok laki-laki yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Meskipun ia akan pergi bersama ayahnya, tetapi ayahnya tentu tidak akan berarti apa-apa bagi orang-orang itu seandainya mereka bermaksud buruk.

Karena itu, maka ketika mereka mulai dengan perjalanannya, setelah Ki Buyut menyerahkan pemerintahan Kabuyutan itu kepada para bebahu yang lain, Widati tidak terpisah dengan sebilah patrem. Ia akan dapat mempergunakan senjata itu untuk mempertahankan diri. Tetapi juga untuk menghindarkan diri dan kepahitan yang akan dapat menerkamnya.

Dengan demikian, maka sebuah iring-iringan telah menelusuri jalan yang kadang kadang terasa sangat sulit. Terutama bagi Widati. Namun Mahisa Murti yang paling mengetahui, kemana mereka akan pergi, berkuda di paling depan dengan agak tergesa-gesa.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat telah mendekati tempat yang sudah mereka sepakati. Meskipun yang sepekan itu masih belum habis, ternyata sudah ada beberapa orang cantrik yang mendahului sampai ke tempat yang sudah mereka sepakati itu. Bahkan mereka telah mulai mencari lingkungan yang paling baik untuk disebut sebuah padepokan baru yang akan di kembangkan untuk memancing persoalan dengan sebuah padepokan yang memiliki sumber ilmu hitam.

Kedatangan Mahisa Pukat dengan beberapa orang yang belum mereka kenal, telah disambut oleh para cantrik dengan gembira. Namun mereka menjadi heran, bahwa diantara orang-orang yang datang itu, tidak terdapat Mahisa Murti.

“Ia akan segera menyusul” berkata Mahisa Pukat, “sementara kita akan membenahi diri”

“Kawan-kawan kita telah menemukan satu lingkungan yang baik bagi sebuah padepokan. Lingkungan yang sepi yang tidak banyak diketahui orang” berkata seorang cantrik.

“Dimana?” bertanya Mahisa Pukat.

“Beberapa ratus langkah dari tempat ini. Di tepi hutan yang tidak terlalu lebat. Kita akan mendapat banyak kesempatan untuk melakukan banyak kegiatan tanpa diketahui oleh Singatama” jawab cantrik itu.

Tetapi ternyata Mahisa Pukat tidak sependapat. Katanya, “Kau aneh. Kita tidak sedang bersembunyi. Kita justru sedang memancing persoalan. Karena itu, kita akan mencari tempat yang justru banyak di ketahui orang, sehingga berita tentang sebuah padepokan baru yang akan dibangun menjadi segera tersebar. Kita pun akan mengatakan kepada orang-orang yang kita jumpai, bahkan para pedagang yang akan kita hentikan karena kita memerlukan untuk membeli barang jualannya, akan kita beritahu, bahwa para cantrik dari padukuhan Empu Nawamula telah berpindah ke sebuah padukuhan baru yang sedang dipersiapkan”

Wajah para cantrik menjadi tegang. Beberapa orang di antara mereka saling berpandangan. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Kau benar. Kita memang tidak sedang bersembunyi. Semakin cepat persoalan ini selesai, akan menjadi semakin baik. Kita bukan binatang yang dapat diperlakukan sekehendak hati Singatama. Karena itu. segeralah terjadi. Mati atau mukti menurut pengertian kita, para cantrik yang ingin hidup tenang di padepokan sambil menuntut ilmu kejiwaan dan kenuragan”

Kawannya mengerutkan keningnya. Namun merekapun kemudian mengangguk-angguk. Bahkan beberapa orang bergumam, “Aku sependapat”

Dengan demikian, maka Mahisa Pukatlah yang kemudian bersama beberapa orang cantrik telah membicarakan tempat yang paling baik yang akan mereka buka untuk menjadi sebuah padepokan. Padepokan yang hanya akan mereka pergunakan beberapa saat saja.

Dalam pada itu, Mahendra, Witantra dan para prajurit Singasari segera mencari tempat untuk beristirahat, sementara Mahisa Pukat dan dua orang cantrik telah menyusuri tempat di sekeliling tempat peristirahatan itu untuk mereka jadikan satu lingkungan padepokan baru. Justru tempat yang banyak diketahui orang dan tidak tersembunyi.

Akhirnya mereka menemukan tempat itu. Memang sebuah padang perdu di tepi sebuah hutan kecil. Tetapi tidak jauh dari sebuah jalan yang menghubungkan satu padukuhan dengan padukuhan yang lain. Meskipun jalan itu tidak terlalu besar, tetapi satu dua orang yang lewat di jalan itu akan segera berceritera tentang sebuah padepokan baru. Ceritera itu akan segera tersebar sehingga akhirnya akan terdengar oleh Singatama atau orang-orangnya. Apalagi setelah ia menyadari, bahwa waktu yang sepekan itu telah habis dan orang-orangnya tidak segera kembali.

Tanpa menunggu Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat dan para cantrik telah mengambil satu keputusan. Mereka akan mulai membuat patok-patok kayu di sekeliling padang perdu. Mereka akan mengambil satu lingkungan yang tidak perlu terlalu luas. Di dalam pagar yang akan mereka buat. mereka akan mendirikan barak-barak yang akan mereka pergunakan untuk berteduh.

Ternyata bahwa perjalanan Mahisa Murti yang membawa Widati bersamanya telah terhambat, sehingga mereka harus bermalam semalam lagi di perjalanan. Dengan hati yang berdebar-debar Widati sama sekali tidak mau terpisah dari ayahnya dan tidak pula terpisah dari patrem yang diselipkan di ikat pinggangnya. Namun malam itu, mereka tidak mengalami sesuatu. Ketika matahari menyingsing, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke tempat yang sudah ditentukan.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat dan para cantrik, bahkan para prajurit yang datang bersama Mahisa Pukat dalam pakaian orang kebanyakan itu, telah membantu mereka pula. Yang mula-mula mereka kerjakan, adalah memotong beberapa batang pohon di hutan yang tidak begitu besar. Mereka mengambil batang dan dahan-dahan yang rampak, untuk membuat dinding disekeliling tanah yang mereka perlukan. Mereka memotong dahan-dahan itu setinggi orang, kemudian mereka tanam rapat sehingga merupakan dinding yang cukup kuat. Apalagi mereka telah mengikat batang dan dahan-dahan kayu itu dengan lulup.

Tetapi kerja itu ternyata adalah kerja yang besar. Kerja yang sangat melelahkan. Namun mereka bertekad untuk melanjutkan kerja itu, meskipun kemudian kerja itu tidak lagi terlalu rapi, karena mereka sadar, bahwa padepokan itu bukannya padepokan yang sebenarnya.

Ketika Mahisa Murti kemudian sampai ke tempat itu, maka orang-orang yang datang bersamanya itu pun segera membantu Mahisa Pukat. Dengan tidak terlalu menghiraukan mutu kerja yang mereka lakukan, mereka ingin segera memberikan kesan, bahwa mereka telah membuat satu lingkungan kehidupan tersendiri, yang kemudian akan mereka sebut dengan sebuah padepokan.

Pada saat padepokan itu mulai dikerjakan, maka waktu yang sepekan itu telah habis. Dengan berdebar-debar Singatama menunggu kedatangan para cantrik yang telah menyebar. Dihari pertama, Singatama menyangka, bahwa para cantrik masih berada di perjalanan kembali. Tetapi di hari kedua setelah batas waktu yang sepekan itu, belum juga ada seorang pun yang datang.

Singatama mulai menjadi gelisah. Tetapi ia masih tetap yakin bahwa tidak seorang pun dari para cantrik itu yang akan berani mengabaikan perintahnya, kecuali dua orang cantrik baru yang telah melarikan diri.

“Agaknya belum seorang pun yang menemukan gadis itu” berkata Singatama. Namun kemudian, “Tetapi dapat atau tidak dapat, mereka tentu akan kembali pada waktunya, meskipun mereka akan dihukum. Bahkan mungkin mereka dapat berharap, seorang kawannya telah berhasil menemukan gadis yang mereka cari”

Pada hari ketiga, kemarahan Singatama mulai membakar jantung. Dengan nada keras ia bertanya kepada Empu Nawamula, “Paman, kenapa para cantrik tidak seorangpun yang datang kembali setelah tiga hari berselang dari waktu yang telah aku berikan”

Tetapi jawab Empu Nawamula memang sangat mengecewakan, “Aku tidak tahu. Bukankah kau berhadapan langsung dengan para cantrik itu”

“Apakah mereka bersama-sama melarikan diri?” bertanya Singatama.

“Aku tidak tahu. Sebenarnya aku pun telah menanti-nanti. Kebun dan halaman padepokan ini telah menjadi sangat kotor. Kami yang tinggal tidak lagi mampu membersihkan halaman seluas ini” jawab Empu Nawamula.

“Persetan dengan kebun dan halaman” geram Singatama, “aku memerlukan laporan perjalanan mereka semuanya. Aku memerlukan keterangan tentang gadis itu”

Tetapi Empu Nawamula tidak membiarkannya membentak-bentak. Karena itu iapun menjawab, “Itu urusanmu. Bukan urusanku”

Singatama menggeram. Tetapi ia tidak berani membentak pamannya lagi. Jika pamannya benar-benar marah dan melakukan kekerasan, ia tidak akan dapat berbuat banyak. Karena itu, maka yang dilakukannya kemudian adalah menunggu barang satu dua hari. Jika dalam dua hari para cantrik tidak datang, bahkan seorang pun, maka jelaslah bagi Singatama, bahwa para cantrik itu memang melarikan diri.

“Aku akan menghukum keluarga mereka” geram Singatama, yang kemudian berkata kepada pengikutnya, “Kita akan memburu keluarga mereka. Jangan berbelas kasihan”

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai membuat barak-barak sederhana. Dengan kayu mereka ambil di hutan dan atap ilalang, maka beberapa gubug telah berdiri, sekedar untuk berteduh. Usaha mereka untuk menarik perhatian, ternyata tidak sia-sia. Beberapa orang yang lewat di jalan kecil tidak jauh dari sebuah padepokan kecil yang mereka bangun itu, telah saling memperbincangkannya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang dengan sengaja menghubungi orang-orang padukuhan untuk membeli makanan, telah mengatakan, bahwa mereka memang sedang menyiapkan sebuah padepokan.

“Kami akan segera menghubungi Ki Buyut di Kabuyutan ini” berkata Mahisa Murti.

“Kalian nampaknya aneh” berkata seorang penghuni padukuhan di ujung bulak, “kalian tidak membuka sebuah padepokan seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Mereka mempersiapkan sebuah padepokan untuk waktu yang lama. Mereka mengatur lingkungan dengan saksama. Mereka memerlukan tanah yang luas sebagai tanah garapan. Tetapi kalian membuat sebuah padepokan dengan tergesa-gesa dan seolah-olah sekedar gubug-gubug yang mirip dengan kandang ayam”

“Semuanya itu baru persiapan” jawab Mahisa Pukat, “dengan modal gubug-gubug kecil itu, kita akan mempersiapkan sebuah padepokan yang baik. Hutan kecil itu akan kami tebas dan akan kami jadikan daerah persawahan yang subur. sudah tentu dengan ijin Ki Buyut”

“Ki Buyut tentu tidak akan berkeberatan. Disini hutan masih sangat luas” jawab orang itu.

Dalam pada itu, dengan sengaja pula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengatakan, bahwa orang-orang yang ikut membangun padepokan itu adalah para cantrik dari sebuah padepokan yang dipimpin oleh Empu Nawamula dan kemenakannya yang bernama Singatama.

“Tetapi kami tidak ingin kembali lagi ke padepokan itu” berkata Mahisa Pukat, “kami ingin hidup di sini. Bahkan seorang adik perempuanku ikut pula bersama kami. Karena sebenarnyalah sebuah padepokan memerlukan perempuan untuk menyiapkan makanan dan minuman”

“Juga aneh” sahut orang padukuhan itu, “bukankah para cantrik harus mampu menanak nasi, memasak dengan membuat minuman?”

“Ia. Tetapi bukankah lebih baik hal itu dilakukan oleh seorang perempuan?” Selebihnya adik perempuanku memang sedang bersembunyi”

Dengan demikian, maka berita tentang padepokan baru itu segera tersebar. Bukan hanya di satu dua padukuhan. Tetapi telah tersebar semakin lama semakin luas. Dalam pada itu, meskipun letak padepokan itu tidak terlalu jauh dari sebuah sumber air dibawah sebatang pohon raksasa dipinggir hutan, tetapi mereka telah membuat sebuah sumur pula. Dengan demikian, maka padepokan itu telah dilengkapi dengan pemenuhan kebutuhan bagi satu lingkungan hidup, meskipun tidak disiapkan untuk seterusnya.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengatur diri sebaik-baiknya. Para cantrik harus tetap berhati-hati menghadapi perkembangan keadaan. Segalanya akan dapat berlangsung dengan cepat, sehingga memerlukan penanganan yang cepat pula.

Sebenarnyalah, yang diharapkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun segera terjadi. Berita tentang sebuah padepokan baru yang dihuni oleh para cantrik yang melarikan diri dari sebuah padepokan yang lain, telah terdengar oleh Singatama. Berita itu rasa-rasanya telah membuat darahnya mendidih. Jantungnya bagaikan berdentang semakin cepat.

“Orang-orang gila yang telah jemu hidup” geram Singatama, “aku harus menghukum mereka”

Kedua orang saudara seperguruan Singatama itu pun mempunyai tabiat yang serupa. Karena itu, berita itu rasa-rasanya telah mendorong mereka untuk segera mencari padepokan baru itu. Tetapi Empu Nawamula sempat bertanya kepada mereka, “Apa yang akan kalian lakukan?”

“Menghukum mereka” jawab Singatama, “yang melawan akan aku bunuh”

“Apakah kau kira para cantrik itu tidak mampu mengadakan perlawanan?” bertanya Empu Nawamula.

“Persetan dengan mereka” geram Singatama, “kami bertiga akan dapat membunuh mereka semua. Tidak seorang pun yang akan mampu menyelamatkan diri” kemudian hampir berteriak Singatama berkata, “Mereka memang sengaja menantang aku. Ternyata gadis yang mereka cari itu sudah dapat mereka ketemukan. Sekarang gadis itu berada di satu tempat yang mereka sebut dengan sebuah padepokan baru”

Empu Nawamula menarik nafas dalam-dal8am. Ia sudah mengerti rencana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun Empu Nawamula sebenarnya masih juga mencemaskan kedua anak muda itu. Jika seluruh padepokan yang dipimpin oleh guru Singatama itu bergerak, apakah padepokan baru itu akan mampu melawannya.

Namun, seperti Empu Nawamula sendiri, maka tekad untuk menghancurkan padepokan yang berlandaskan pada ilmu hitam itu merupakan bagian dari pengabdian mereka terhadap sesama. Karena itu, maka mereka memang tidak mempunyai pilihan lain daripada melawan dengan sepenuh kemampuan dan kekuatan. Karena itu, maka Empu Nawamula tidak lagi berbuat sesuatu. Dibiarkannya saja Singatama mengambil satu sikap.

Sebenarnyalah dengan darah yang serasa mendidih, Singatama dengan kedua orang saudara seperguruannya, benar-benar telah mencari padepokan baru yang didengarnya lewat orang-orang yang hilir mudik dari satu pasar kepasar yang lain yang mendengar berita itu sambung bersambung. Meskipun kedatangan Singatama itu memang diharapkan, namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut juga, ketika seorang cantrik dengan pucat melaporkan kepadanya, bahwa tiga orang berkuda telah datang.

“Siapa?” bertanya Mahisa Murti.

“Singatama dengan dua orang saudara seperguruannya” jawab cantrik itu dengan gemetar.

“He, kenapa kau menjadi pucat dan gemetar?” bertanya Mahisa Pukat tiba-tiba.

Cantrik itu tidak menjawab. Dalam pada itu, Mahisa Pukat pun tertawa sambil berkata, “Bukankah kau sudah bertekad untuk menjadi seorang laki-laki. Apapun yang terjadi tidak akan menggetarkan tekad itu”

Cantrik itu mengangguk. Namun mereka tidak mendapat kesempatan untuk berbicara lebih panjang. Sementara itu terdengar suara orang berteriak di luar pagar, “He, orang-orang gila. Apakah kalian benar-benar menantang aku?”

Para cantrik yang mendengar suara Singatama itu memang menjadi berdebar-debar. Bagaimanapun juga mereka tidak dapat menyembunyikan perasaan mereka. Mereka sudah terbiasa berada di bawah pengaruh ketakutan yang sangat terhadap anak muda itu.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membuka pintu regol yang ditutup rapat oleh para cantrik dan diselarak rangkap. Sambil berdiri di muka pintu Mahisa Murti berkata, “He, bukankah kau Singatama?”

“Ya. Aku Singatama. Kaukah cantrik yang telah mencuri dua ekor kuda dan melarikan diri di dini hari itu?” bertanya Singatama.

“Ya. Kami berdua memang telah melarikan diri. Tetapi kali ini kami sama sekali tidak akan melarikan diri” jawab Mahisa Pukat. Lalu, “saat itu pun sebenarnya kami tidak melarikan diri. Tetapi kami sedang menyiapkan satu rencana besar bagi kemanusiaan. Kami sedang mempersiapkan sebuah padepokan untuk menampung para cantrik yang tidak tahan lagi kau perlakukan dengan sewenang-wenang. Tetapi lebih dari itu, kami sedang menyiapkan sebuah perlawanan terhadap nafas kehidupan padepokanmu yang penuh dengan tingkah laku dan tindak tanduk yang bertentangan dengan peradaban manusia”

“Persetan” geram Singatama, “aku tidak perlu sesorahmu. Siapa yang akan melawan aku? Atau kalian ingin berkelahi berbareng? Marilah, dengan demikian maka tugasku akan segera selesai. Karena aku tahu, bahwa kalian telah menyembunyikan gadis yang aku cari itu disini”

Tetapi sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sangat mengejutkan Singatama. Keduanya sama sekali tidak menjadi gentar. Tetapi keduanya justru tertawa.

“Kau jangan mengumpat-umpat disini” berkata Mahisa Pukat, “kau sangka bahwa dengan demikian, kami akan menjadi ketakutan? Kami para cantrik telah bersepakat untuk tidak kembali lagi kepadamu, meskipun kami sudah berhasil menemukan gadis yang kau kehendaki? Kami telah membawanya ke tempat ini agar kau tidak akan dapat mengambilnya”

“Gila,” Singatama berteriak, “aku bunuh kau pertama. Kau orang baru di padepokan kami, sehingga kau tidak mengetahui tingkat kemampuan Singatama”

“Kau kira, kami akan silau melihat tingkat kemampuanmu? Baiklah. Jika kau ingin mengambil gadis itu, kau harus menempuh sayembara ini. Sayembara tanding. Jika kau berhasil mengalahkan kami para cantrik, maka kau akan dapat membawanya keluar dari padepokan kami” sahut Mahisa Pukat.

Kemarahan Singatama benar-benar telah membakar kepalanya. Dengan kemarahan yang meluap itu ia berteriak, “Bersiaplah untuk mati”

Singatama yang telah meloncat turun dari kudanya diikuti oleh kedua orang saudara seperguruannya itu setelah mengikatnya pada sebatang pohon perdu, telah melangkah mendekat sambil berkata, “Aku akan membakar padepokan ini”

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan mereka berdua telah melangkah keluar pintu regol padepokannya.

Namun dalam pada itu, dari dalam regol ia mendengar Mahendra berkata perlahan-lahan, “Jika mereka dapat kau kalahkan, beri kesempatan mereka menyampaikan persoalan ini kepada gurunya. Dengan demikian, kita berharap bahwa seisi padepokannya akan datang kemari."

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Tetapi mereka tidak menjawab.

Dalam pada itu, Singatama yang marah itu sempat juga menjadi heran. Yang keluar dari pagar kayu itu hanya dua orang saja. Dua orang cantrik yang telah melarikan diri dari padepokannya. “Jangan hanya kau berdua” teriak Singatama, “apalagi kalian adalah orang-orang baru yang tidak berarti. Biarlah semua cantrik datang mengerubutiku”

“Mereka hanya akan nonton” berkata Mahisa Murti.

Sebenarnyalah, beberapa orang cantrik telah berdiri berjajar di sebelah menyebelah regol di bagian dalam dengan alas kayu, batu atau dingklik-dingklik kecil. Mereka memang hanya akan menonton perkelahian yang akan terjadi.

Dengan menunjukkan kelebihan dua orang di antara para cantrik, maka mereka berharap, bahwa mereka akan dapat memancing kedatangan bukan saja kawan-kawan seperguruan Singatama, tetapi juga gurunya, yang merupakan sumber penyebaran ilmu yang tidak pantas bagi kehidupan manusia.

Kemarahan Singatama memang sudah tidak tertahankan lagi. Namun Mahisa Murti masih berkata, “Lihat Singatama. Kali ini dua orang diantara mereka akan menghadapimu. Kau dapat membayangkan. Jika mereka semuanya keluar dari padepokan ini, maka kau benar-benar akan menjadi sayatan kulit dan daging”

“Tutup mulutmu” geram Singatama, “kau jangan membual saja. Marilah, aku antarkan kau ke batas maut”

Mahisa Murti tidak menjawab lagi. Tetapi ia berkata kepada Mahisa Pukat, “Kau sajalah yang menjadi saksi. Aku sendiri akan menghadapi Singatama. Biarlah ia mengerti, bahwa tidak semua orang yang memasuki sebuah padepokan menjadi seorang cantrik akan dapat diperlakukan sewenang-wenang”

“Aku sobek mulutmu” geram Singatama.

“Yang penting bagiku, bukan menang atau kalah. Tetapi aku sudah menyatakan diriku. Aku tidak akan dapat diperlakukan sewenang-wenang. Mungkin kau akan dapat membunuh aku. Wadagku akan terbaring diam. Tetapi kau tidak akan dapat memperbudak jiwaku. Meskipun tubuhku dapat kau kuasai, tetapi kau tidak akan dapat mengikat kebebasan jiwaku” berkata Mahisa Murti.

Singatama tidak dapat menahan diri lagi. Dengan langkah panjang ia meloncat, langsung menyerang Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti memang sudah siap. Dengan sigapnya ia pun telah mengelakkan serangan itu, sehingga serangan Singatama sama sekali tidak menyentuh sasaran.

Dalam pada itu, kepala-kepala para cantrik dan orang-orang yang berada di balik pagar itupun menjadi semakin banyak bermunculan di balik pagar. Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra pun telah melihat perkelahian itu pula, sementara Mahisa Bungalan yang gelisah, berdiri di sebelah pintu. Seolah-olah ia sudah mempersiapkan diri untuk meloncat ke arena jika diperlukan. Dari sela-sela batang-batang kayu yang memagari padepokan itu, ia dapat melihat, apa yang telah terjadi diluar.

Mahisa Pukat pun menjadi tegang. Tetapi ia mempunyai kewajiban untuk mengawasi dua orang saudara seperguruan Singatama. Jika mereka melibatkan diri. maka Mahisa Pukat harus mencegahnya.

Sejenak kemudian, maka pertempuran antara Mahisa Murti dan Singatama itu pun menjadi semakin sengit. Keduanya adalah anak-anak muda, dan keduanya memiliki ilmu yang cukup tinggi meskipun bersumber dan berwarna lain.

Singatama yang marah itu bertempur semakin lama menjadi semakin kasar, sesuai dengan sifat ilmunya. Namun Mahisa Murti dengan cepat menyesuaikan diri. Ia melawan kekasaran lawannya dengan kemampuannya bergerak secepat burung sikatan.

Dalam pada itu, di dalam padepokan yang dibuat untuk menjebak Singatama dan perguruannya itu, seorang gadis sedang menggigil ketakutan. Ia tahu apa yang telah terjadi diluar. Seorang anak muda yang keras, kasar dan memiliki ilmu yang tinggi telah datang untuk mencarinya.

“Apakah orang-orang di dalam lingkungan pagar ini akan dapat mencegahnya ayah” bertanya Widati kepada ayahnya yang juga menjadi berdebar-debar.

“Diantara mereka terdapat beberapa orang prajurit Widati. Tanpa mereka, aku tidak akan membiarkan kau bersama dengan orang-orang yang belum aku kenal dengan baik” berkata Ki Buyut.

“Tetapi orang-orang di tempat ini berbuat baik ayah. Nampaknya mereka memegang satu paugeran yang teguh. Namun yang mencemaskan aku, apakah pada suatu saat, apabila anak muda yang kasar itu datang bersama kawan-kawannya, padepokan ini akan dapat melawan” bertanya Widati dengan suara bergetar.

“Anak itu hanya datang bertiga” jawab ayahnya.

“Sekarang mereka datang bertiga” berkata Widati, “tetapi aku tahu, ia adalah seorang murid dari satu perguruan yang besar. Jika kali ini ia harus menelan kekalahan, maka esok atau lusa mereka akan datang bersama banyak orang dan yang barangkali bersama dengan gurunya pula”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Hal itu memang mungkin terjadi. Tetapi untuk menenangkan anaknya ia berkata, “Widati, di padepokan bayangan ini terdapat sejumlah orang yang terdiri dari bermacam-macam latar belakang kehidupan. Ada di antara mereka benar-benar cantrik dari sebuah padepokan. Ada di antara mereka prajurit yang dalam tugas melindungi orang-orang yang diperlakukan sewenang-wenang, seperti yang mungkin terjadi atas dirimu. Dan ada di antara mereka adalah dua orang perantau yang pernah berada di Kabuyutan kita. Aku yakin bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan olah kanuragan”

Widati mengangguk-angguk. Tetapi ketika ayahnya bergeser gadis itu berkata, “Ayah, jangan pergi”

“Aku akan melihat apa yang terjadi di luar pagar” berkata ayahnya.

“Jangan tinggalkan aku sendirian” pinta anaknya.

Ki Buyut mengurungkan niatnya. Tetapi ia mengetahui bahwa yang berada di luar pagar adalah dua orang anak muda yang pernah berada di Kabuyutan mereka. Dua orang anak muda yang memang memiliki kemampuan yang tinggi. Sehingga dengan demikian maka mereka sama sekali tidak gentar menghadapi Singatama dengan dua orang seperguruannya.

Dalam pada itu, pertempuran antara Singatama dan Mahisa Murti itu pun menjadi semakin sengit. Keduanya mulai mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Singatama yang kasar itupun menjadi semakin kasar. Kedua tangannya kadang-kadang nampak mengembang sebagaimana juga dengan jari-jarinya. Dengan teriakan-teriakan yang keras ia menyerang dengan garangnya.

Tetapi Mahisa Murti mampu mengimbangi dgn kecapaian geraknya. Serangan-serangan Singatama yang keras dan kasar itu mampu dihindarinya. Bahkan serangan-serangan Mahisa Murti yang cepat, mampu menembus pertahanan Singatama, sehingga sekali dua kali, justru Mahisa Murti lah yang mulai mengenainya.

Singatama yang marah itu menggeram. Tata geraknya menjadi semakin kasar. Tanpa menghiraukan apapun juga, kekasarannya semakin menjadi-jadi. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Empu Nawamula, bahwa sebenarnyalah Mahisa Murti masih mempunyai kelebihan dari Singatama itu. Betapapun kasar dan liarnya serangan-serangan yang datang membadai, namun Mahisa Murti masih selalu dapat mengatasinya. Meskipun akhirnya serangan-serangan lawannya itu dapat mengenainya juga, namun Mahisa Murti masih mampu mengenai lawannya lebih banyak lagi.

Dalam pada itu, Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra mengikuti pertempuran itu dengan saksama. Meraka melihat sesuatu yang agak lain pada Mahisa Murti. Namun ketajaman pengamatannya segera mengetahui, bahwa ada unsur-unsur gerak yang baru terselip dalam tata gerak Mahisa Murti, tanpa merusakkan keseluruhan ilmunya. Bahkan seolah-oiah mampu mengisi kekurangan yang kadang-kadang terdapat di antara unsur-unsur gerak anak muda itu di dalam perkelahian yang cepat.

“Ia berhasil membuka diri atas pengalaman baru di dalam dunia kanuragan” berkata Mahisa Agni.

Witantra mengangguk-angguk. Katanya, “Sama sekali tidak merugikan. Tetapi justru berhasil meningkatkan kemampuannya dalam keseluruhan”

Mahendra tidak memberikan tanggapan sesuatu. Tetapi ia sependapat, bahwa dengan demikian, ilmu Mahisa Murti menjadi semakin lengkap.

Dalam pada itu, maka perkelahian yang seru itupun berlangsung semakin cepat. Keduanya bertempur dengan segenap kemampuan mereka. Namun dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa kemampuan Mahisa Murti memang lebih tinggi dari Singatama. Meskipun Singatama bertempur dengan garangnya, namun semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa ia mulai terdesak.

Sementara itu, kedua saudara seperguruannya memperhatikan pertempuran itu dengan seksama. Sekali-sekali terdengar keduanya mengumpat dengan kasarnya. Namun akhirnya keduanya pun dapat melihat, bahwa ilmu anak muda yang menyebut dirinya seorang di antara para cantrik itupun ternyata lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki oleh Singatama.

“Gila” geram salah seorang diantara kedua orang itu, “tentu ada sesuatu yang tidak wajar. Jika kedua orang itu benar-benar cantrik di padepokan Empu Nawamula, maka keduanya tidak akan dapat mengimbangi kemampuan Singatama.

Tetapi kenyataan yang mereka hadapi tidak demikian. Cantrik itu dapat mendesak Singatama, betapapun Singatama mengerahkan kemampuannya. Bahkan sekali- kali Singatama telah terdorong oleh serangan Mahisa Murti sehingga kadang-kadang Singatama harus berloncatan menjauh.

Namun semakin lama, kesulitan Singatama pun mendekati saat yang menentukan. Serangan Mahisa Murti menjadi semakin cepat. Sekali-sekali Singatama telah terdorong beberapa langkah oleh serangan Mahisa Murti yang mengenainya. Bahkan kadang-kadang terdengar Singatama mengeluh tertahan.

Mahisa Murti justru mempergunakan saat-saat yang demikian untuk menekan lawannya yang kasar itu. Ketika Singatama berusaha meloncat menghindar sejauh-jauhnya oleh serangan beruntun, Mahisa Murti telah memburunya. Demikian Singatama berhasil memperbaiki keadaannya, Mahisa Murti telah menyerangnya dengan kekuatan yang penuh. Singatama tidak sempat menghindar lagi. Karena itu, maka serangan Mahisa Murti itu telah melemparkannya beberapa langkah, sehingga Singatama itu pun jatuh berguling di tanah.

Kedua saudara seperguruannya memperhatikannya dengan jantung yang berdebaran. Namun mereka tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Dengan serta merta merekapun telah melangkah mendekat.

Mahisa Pukat yang mengamatinya pun tidak membiarkan mereka melibatkan diri dan bertiga bertempur melawan Mahisa Murti. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah melangkah maju pula sambil berkata, “Marilah, jika kalian ingin bermain-main pula, aku akan melayani kalian”

“Persetan” geram seorang di antara mereka, “aku tidak mau bermain-main. Aku akan mempertaruhkan nyawaku. Kita akan bertempur sampai mati”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Kedua saudara seperguruan Singatama itu langsung menarik senjatanya. Sebilah pedang yang panjang. Mahisa Pukatpun tidak mau bertempur tanpa senjata. Karena itu, maka ia pun telah menarik pedangnya pula. Pedang yang telah dipersiapkannya.

Tetapi dalam pada itu, keadaan Singatama benar-benar gawat ketika Mahisa Murti siap untuk menyerangnya selagi ia berusaha untuk bangkit. Karena itulah, maka salah seorang saudara seperguruannya tidak membiarkannya dihancurkan oleh cantrik yang ternyata memiliki kemampuan yang tinggi itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang Mahisa Murti dengan senjatanya. Mahisa Murti mengurungkan niatnya untuk menyerang. Ia harus memperhatikan serangan senjata lawannya yang baru itu.

Sementara itu, saudara seperguruan Singatama yang lain, telah dengan serta merta menyerang Mahisa Pukat yang sudah siap untuk melawannya. Karena itu, maka serangan lawannya itu sama sekali tidak membahayakannya. Bahkan dengan mudahnya ia mengelak dan bahkan dengan cepat pula, ia menjulurkan senjatanya mengarah ke lambung lawan.

Pada saat itu, Mahisa Murti tengah meloncat menghindari serangan pedang lawannya yang baru. Sementara itu Singatama pun telah bangkit pula. Betapa perasaan sakit di tubuhnya, namun ia masih mampu bangkit dan menggeram, “Orang itu memang harus dibunuh”

Semula Singatama masih ingin menunjukkan kelebihannya dengan bertempur tanpa senjata. Namun ternyata bahwa ia tidak mampu mengatasi kemampuan lawannya, sehingga karena itu, maka ia pun kemudian telah menarik senjatanya pula. Sebilah pedang sebagaimana kedua orang saudara seperguruannya.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat yang melihat Singatama juga menarik pedangnya dengan cepat berusaha untuk menyesuaikan diri. Meskipun kemudian Mahisa Murti juga menarik pedangnya, namun agaknya mereka harus menempatkan diri dalam kedudukan yang sama. Itulah sebabnya, maka Mahisa Pukat pun telah bergeser mendekati Mahisa Murti. Agaknya Mahisa Murtipun menyadari, hahwa ketiga orang saudara seperguruan itu memiliki ilmu yang berbahaya pula.

Karena itu, sebaiknya tidak seorang di antara mereka berdua yang harus bertempur melawan dua orang. Karena itu, maka mereka berdua, tanpa membicarakannya, telah berusaha untuk saling mendekat. Sehingga akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah bertempur berpasangan melawan tiga orang saudara seperguruan yang dipimpin oleh Singatama.

Tetapi sebenarnyalah Singatama sendiri sudah mulai menjadi letih. Tubuhnya terasa sakit di beberapa tempat, karena sentuhan serangan Mahisa Murti. Tulang-tulangnya serasa retak dan kulitnya menjadi bengkak-bengkak. Namun demikian, dengan senjata ditangan, ia masih tetap seorang yang berbahaya.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang memperhatikan pertempuran itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka telah memegang senjata di tangan masing-masing.

Demikianlah maka pertempuran itu menjadi semakin sengit. Singatama dan kedua orang saudara seperguruannya, bertempur dengan kasar. Senjata mereka berputar diantara teriakan-teriakan yang kasar.

Para cantrik yang berada di dalam pagar menyaksikan pertempuran itu dengan jantung berdebaran. Teriakan-teriakan Singatama dan kedua orang saudara seperguruannya, rasa-rasanya bagaikan menusuk hati. Bagaimanapun juga, mereka masih saja selalu dibayangi oleh kecemasan. Meskipun mereka sudah berusaha untuk tidak menjadi ketakutan, namun rasa-rasanya sikap ketiga orang saudara seperguruan itu benar-benar mengerikan.

Tetapi mereka pun melihat, bahwa dua orang perantau yang datang dan kemudian menyebut diri mereka cantrik juga bersama yang lain di padepokan Empu Nawamula itu, dan bahkan dalam latihan-latihan olah kanuragan keduanya tidak menunjukkan kelebihan dari para cantrik yang lain, ternyata berhasil mengimbangi kemampuan Singatama dan kedua saudara seperguruannya. Bahkan tiga orang saudara seperguruan itu tidak mampu mendesak dua orang lawannya yang masih sangat muda itu.

Sebenarnyalah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berbekal ilmu yang tinggi, mampu bertahan melawan Singatama dengan dua orang saudara seperguruannya. Bagaimanapun juga garangnya serangan mereka yang datang bagaikan prahara, namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berhasil melindungi diri mereka dengan rapatnya. Bahkan mereka pun sekali-sekali berhasil mendesak lawan-lawannya dengan serangan-serangan yang berbahaya.

Betapapun garang dan kasarnya Singatama dan kedua saudara seperguruannya, namun ternyata bahwa kecepatan gerak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membuat mereka kadang-kadang menjadi bingung dan kehilangan sasaran.

Dengan bertempur berpasangan, ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merupakan kekuatan yang sulit untuk dipatahkan. Sekali-sekali keduanya terlepas dari ikatan tata gerak berpasangan. Dalam kesempatan yang demikian keduanya justru berloncatan menyerang dengan senjata mereka yang bergetar dengan dahsyatnya.

Demikianlah, semakin lama semakin ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan berhasil menguasai ketiga orang lawannya. Singatama yang letih menjadi semakin letih. Tenaganya telah jauh susut, sementara tubuhnya terasa semakin lemah dan sakit-sakit.

Dalam keadaan yang gawat, serangan Mahisa Murti justru lebih banyak mengejarnya. Mahisa Murti yang menganggapnya sebagai pemimpin dari ketiga orang saudara seperguruan itu, berpendapat, apabila Singatama itu dapat dilumpuhkan, maka kedua orang saudara seperguruannya tidak akan banyak dapat berbuat. Karena itulah, maka serangan-serangan Mahisa Murti lebih banyak tertuju kepada Singatama daripada saudara-saudara seperguruannya.

Semula, Mahisa Pukat tidak begitu menyadari usaha Mahisa Murti. Namun akhirnya iapun mengetahuinya juga, sehingga karena itu, maka iapun telah melakukan hal yang serupa. Karena itulah, maka keadaan Singatama semakin lama menjadi semakin sulit. Meskipun kedua orang saudara seperguruannya telah bertempur dengan sepenuh kemampuan mereka, tetapi ternyata bahwa mereka tidak berhasil membendung serangan Mahisa Pukat dan Mahisa Murti yang datang bergelombang atas Singatama.

Dengan demikian, maka keadaan Singatama yang sudah menjadi sangat letih itu semakin lama menjadi semakin sulit. Bahkan akhirnya, ia tidak mampu lagi menghindari ujung senjata Mahisa Murti, sehingga terdengar ia mengeluh tertahan ketika ujung pedang Mahisa Murti menggores pundaknya. Singatama meloncat beberapa langkah surut. Kedua orang saudara seperguruannya telah mencoba untuk melindunginya.

Luka di pundak Singatama itu tidak terlalu dalam. Tetapi darah yang mengalir dari luka itu telah membuat hatinya menjadi kecut. Apalagi ia pun tidak dapat mengabaikan kesulitan yang semakin lama menjadi semakin mendesaknya bersama kedua orang saudara seperguruannya.

Sementara itu, selagi Singatama merenungi lukanya, serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah datang membadai, sehingga kedua orang lawannya pun telah terdesak surut. Bahkan tiba-tiba saja seorang diantara mereka mengumpat kasar ketika terasa segores luka di lengannya.

“Anak setan” geramnya. Tetapi lukanya itu kemudian telah mengalirkan darah.

Demikianlah ketiga saudara seperguruan itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Tidak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk bertahan lebih lama lagi. Serangan-serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat semakin lama menjadi justru semakin cepat.

Dalam keadaan yang demikian, ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah merubah sikap mereka. Keduanya tidak lagi bertempur berpasangan pada jarak dekat dan kadang-kadang beradu punggung. Tetapi keduanya justru telah berpencar. Keduanya menghadapi lawan mereka pada jarak beberapa langkah setelah ketiga orang lawan mereka menjadi sangat lemah.

Pada saat yang demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebenarnya mempunyai kesempatan yang cukup untuk segera mengakhiri pertempuran. Bahkan seandainya mereka ingin membunuh lawan mereka.

Menghadapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang kemudian berpencar, Singatama dan kedua orang saudara seperguruannya menjadi bingung. Apalagi ujung-ujung senjata kedua anak muda itu telah menyentuh tubuh mereka pula.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak melupakan tujuan mereka yang sebenarnya. Apalagi dengan kehadiran ayah dan paman-paman mereka. Bahkan Mahisa Bungalan dengan beberapa orang prajurit Singasari dalam tugas mereka.

Yang penting adalah memancing sekelompok orang dari sebuah padepokan yang telah menumbuhkan kegelisahan. Dengan kekalahan Singatama dan kedua orang saudara seperguruannya, maka orang-orang padepokan itu tentu akan menjadi marah. Mereka akan terjebak kedalam satu langkah yang dapat menjadi bukti tingkah laku mereka yang tidak menghormati hak dan kebebasan orang lain. Jika mereka memaksa untuk mengambil Widati yang berada di lingkungan padepokan baru itu, maka hal itu akan menjadi salah satu bukti bahwa mereka bertindak sewenang-wenang.

Dengan ilmu yang ada pada mereka, dan kelebihan mereka atas orang lain. ternyata telah mereka pergunakan untuk melawan hubungan antara sesama. Tetapi justru untuk menindas dengan tanpa menghiraukan peradaban. Karena itu, maka bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang penting bukannya satu kepuasan yang akan mereka peroleh dengan melumpuhkan Singatama. Tetapi mereka lebih mementingkan rencana mereka yang lebih besar.

Itulah sebabnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera mengakhiri pertempuran. Bahkan kemudian seolah-olah keduanya telah memberi kesempatan kepada Singatama dan saudara seperguruannya, atau salah seorang diantara mereka, untuk meninggalkan arena.

Dalam pada itu, Singatama memang melihat, bahwa tidak ada lagi kemungkinan baginya untuk memenangkan perkelahian itu. Setiap kali ia hanya dapat mengumpat. Tetapi justru ujung senjata lawannyalah yang telah menyentuh tubuhnya. Dengan demikian, maka tidak ada pilihan lain baginya, dari menyingkir sejauh-jauhnya. Jika ia masih tetap dapat hidup, maka kemungkinan-kemungkinan yang lain masih akan dapat terjadi. Mungkin ia mempunyai satu cara untuk dapat mengambil gadis yang telah membuatnya hampir gila itu.

Karena itulah, maka selagi kedua saudara seperguruannya sibuk melayani Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka dengan serta merta, Singatama telah melompat meninggalkan arena. Dengan sisa tenaganya ia berlari menuju ke kudanya yang tertambat.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sengaja tidak mengejarnya. Dibiarkannya Singatama melepaskan diri untuk menyampaikan persoalannya kepada gurunya sehingga akan dapat membangkitkan kemarahan seisi perguruannya.

Namun agaknya kedua orang saudara Singatama tidak mendapat kesempatan untuk lari. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak terlalu menahan mereka. Tetapi tubuh mereka memang telah terlalu letih. Luka-luka yang tergores di kulit mereka, lelah mengalirkan darah. Sehingga dengan demikian. rasa-rasanya mereka tidak lagi dapat melarikan diri. meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat membiarkannya.

Tetapi yang seorang itu sudah cukup. Namun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu masih berkata di dalam hati, “Mudah-mudahan Singatama dapat sampai ke padepokan”

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang terpaksa melukai lawannya, tidak ingin membuat mereka sama sekali tidak berdaya. Tetapi dalam perkelahian yang seru, mereka memang sulit untuk berbuat sebaik-baiknya, karena kemungkinan yang sebaliknya dapat terjadi. Bahkan bagaimanapun juga ujung senjata lawannya itu setajam ujung pedangnya pula

Dalam pada itu, kepergian Singatama telah menghentikan pertempuran yang sengit itu. Kedua orang saudara seperguruan Singatama tidak mampu lagi memberikan perlawanan, sehingga karena itu, maka merekapun telah melepaskan senjata mereka.

“Kalian menyerah?” bertanya Mahisa Murti.

Salah seorang dari kedua orang itu menjawab dengan nada dalam, “Ya. Kami menyerah”

“Baiklah” berkata Mahisa Murti, “masuklah kedalam halaman padepokan kami”

Kedua orang itu tidak membantah. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memungut senjata mereka, dan menggiring kedua orang itu memasuki halaman padepokan yang mereka bangun itu.

Beberapa orang cantrik yang melihat akhir dari perkelahian itu menjadi berdebar-debar. Singatama ternyata dapat dikalahkan. Bahkan dua orang anak muda itu berhasil mengalahkan tiga orang saudara seperguruan. Ketika kedua orang yang dikalahkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu memasuki regol, maka beberapa orang segera mengerumuninya.

Dengan wajah yang tegang, Mahisa Bungalan mendekati mereka sambil berkata, “Ternyata kalian bukan orang yang pantas disegani”

Kedua orang itu tidak menjawab. Mereka memang sudah kalah. Sementara tubuh mereka terasa sakit dan nyeri.

Dalam pada itu, Mahisa Agnilah yang berkata, “Biarlah luka-luka itu diobati”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian menyerahkan kedua orang itu kepada Mahisa Agni dan Witantra yang kemudian akan mengobati luka-luka mereka.

Namun dalam pada itu, ternyata beberapa orang cantrik justru menjadi cemas karena Singatama telah terlepas. Seorang cantrik dengan suara bergetar berkata ke pada Mahisa Murti, “Kenapa kau biarkan-orang itu pergi?"

“Kita sudah tangkap dua orang saudara seperguruannya” jawab Mahisa Murti.

“Tetapi ia akan mengatakannya kepada gurunya, kepada seisi padepokannya. Mereka akan segera datang dan menggilas kita yang berada disini” berkata cantrik itu.

“Kau sudah dijangkiti oleh ketakutanmu lagi” jawab Mahisa Murti

“Tetapi aku berkata sebenarnya” jawab cantrik itu.

“Bukankah kita dengan sengaja mengundang mereka untuk datang kemari? Kau tidak usah takut. Kau melihat sendiri, bahwa Singatama bukan orang yang tidak terkalahkan”

Cantrik itu mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya hatinya menjadi sangat cemas. Bahkan beberapa orang kawannyapun merasakan hal yang sama. Tetapi Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan orang-orang yang datang bersama mereka, sama sekali tidak menunjukkan kecemasan. Nampaknya mereka benar-benar telah siap menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu, sebenarnyalah dendam dihati Singatama telah membakar jantungnya. Ia tidak lagi kembali ke padepokannya yang untuk sementara dipimpin oleh pamannya Empu Nawamula, tetapi ia langsung kembali ke perguruannya. Singatama sadar, bahwa ia tidak dapat mencapai padepokannya dalam waktu dekat. Padepokannya memang cukup jauh. Tetapi kemarahan dan dendam yang menyala telah mendorongnya untuk berpacu secepat-cepatnya betapapun beberapa gores luka terdapat di tubuhnya.

Sementara itu, selagi Singatama memerlukan waktu dua malam untuk kembali lagi kepadepokan itu, apabila ia benar-benar ingin melakukannya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat berbicara dengan para cantrik. Mereka sempat mengungkit kembali harga diri mereka sebagai laki-laki.

“Apakah kalian akan kembali ke telapak kaki Singatama. Atau kalian ingin menghargai martabat kalian sendiri?” bertanya Mahisa Murti. Lalu, “Bukankah kita sudah bertekad. Dan kita sudah mulai melangkah”

Tetapi seorang cantrik berkata, “Tetapi kau sendiri telah membuat kami salah tebak. Kau bukan seseorang yang lemah seperti kami, sehingga kau mampu mempertahankan dirimu. Tetapi kami tidak memiliki ilmu seperti kau, meskipun di padepokan seolah-olah kau tidak lebih dari kami para cantrik”

“Itu bukan apa-apa” jawab Mahisa Pukat, “yang penting adalah keteguhan jiwa kita. Seandainya pendapat kalian itu benar, bahwa kami memiliki kelebihan dari kalian, tetapi jika kalian bersama-sama bergerak, maka kalianpun akan merupakan kekuatan yang tidak mudah dikalahkan, kecuali jika kalian memang berjiwa kelinci. Jika kalian sudah menjadi ketakutan sebelum kalian mulai, maka kalian benar-benar akan digilas oleh kawan-kawan dan saudara- saudara seperguruan Singatama. Apalagi jika gurunya akan datang bersamanya pula. Tetapi jika kalian menghadapinya dengan wajah tengadah, maka seandainya kalian harus mati, maka kalian mati sebagai laki-laki. Itu tentu lebih baik daripada kalian masih akan tetap hidup tetapi dalam tingkat martabat seekor lembu yang harus menarik pedati”

Para cantrik itu mengangguk-angguk. Jiwa kejantanan mereka tergugah kembali, meskipun mereka tidak dapat menyingkirkan kecemasan mereka seluruhnya.

Sementara itu, selain memberikan keteguhan jiwa para cantrik Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mengatur persiapan sebaik-baiknya dengan Mahisa Bungalan. Para cantrik selain harus bekerja sebagaimana dilakukan di padepokan, apalagi sebuah padepokan yang baru yang dibuat dengan tergesa-gesa di tempat yang kurang memenuhi persyaratan, merekapun harus mengawasi keadaan di sekitar pagar padepokan mereka.

Kecuali kegelisahan para cantrik, ternyata Widati pun menjadi sangat gelisah. Ia sadar, bahwa ia telah diumpankan untuk satu tujuan pengabdian. Namun bagaimanapun juga, ia tidak dapat melepaskan kepentingan pribadinya. Setelah beberapa hari ia berada di antara laki-laki yang tidak dikenalnya dengan baik kecuali ayahnya, maka kegelisahan-nyapun menjadi semakin meningkat pula. Apalagi ketika ia sadar, bahwa Singatama yang dikalahkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu dengan sengaja telah dibiarkan lepas untuk memancing kedatangan saudara-saudara seperguruannya.

“Ayah” berkata Widati kepada ayahnya, “apakah orang-orang itu tidak pernah mencemaskan keadaan kita seandainya yang datang kemudian ternyata tidak terlawan?”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku kurang tahu Widati. Tetapi menilik sikap dan tingkah laku mereka, nampaknya mereka adalah orang-orang yang berpengalaman. Mereka tentu memperhitungkan, bahwa sebesar-besarnya sebuah perguruan, maka kekuatan itu tidak akan dapat mengalahkan kekuatan yang mereka siapkan disini”

“Tetapi mereka belum tahu dan belum pernah menjajagi kekuatan yang tersimpan di perguruan anak muda yang bengis itu” sahut Widati.

“Kemungkinan yang salah itu memang ada Widati berkata Ki Buyut kemudian, “tetapi baiklah kita percayakan segalanya kepada orang-orang yang sudah jauh lebih berpengalaman dari kita sendiri. Apalagi menurut keterangan mereka, Singatama telah menyebarkan orang-orangnya untuk mencarimu. Jika kau dapat mereka ketemukan dari rumah, maka kau benar-benar tidak akan mendapat perlindungan yang memadai”

Widati mengerutkan keningnya. Namun ia pun mulai membayangkan, seandainya ia berada di Kabuyutan, sementara sekelompok orang yang dipimpin oleh Singatama itu datang untuk mengambilnya, maka keluarganya, bahkan orang se-Kabuyutan tidak akan dapat menyelamatkannya. Bahkan mungkin akan jatuh korban sia-sia.

Tetapi di padepokan yang dibuat dengan tergesa-gesa itu, ia berada dilingkungan orang-orang yang memang dengan sengaja bersiap menghadapi segala kemungkinan. Apalagi diantara mereka terdapat prajurit Singasari.

Dalam pada itu, sebenarnyalah kedatangan Singatama dalam keadaannya di padepokannya, telah menumbuhkan kegelisahan dan kemarahan. Apalagi ketika kemudian Singatama sempat mengatakan dengan tergesa-gesa dan gagap, apa yang telah terjadi dengan dua orang saudara seperguruannya.

Seorang Putut yang telah memiliki ilmu yang lebih baik dari Singatama itupun menggeram. Namun kemudian katanya, “Sebaiknya semuanya itu kau sampaikan langsung kepada guru. Mungkin guru dapat mengambil satu sikap”

Singatama mengangguk-angguk. Nampaknya ia memang sudah tidak sabar lagi. sehingga iapun bertanya, “Dimana guru?”

“Di sanggar. Pergilah. Guru baru beristirahat. Tetapi berita penting ini wajib segera didengarnya” jawab Putut itu.

Singatama pun kemudian pergi ke sanggar. Dengan ragu-ragu ia mengetuk pintu sanggar itu.

“Siapa?” bertanya seseorang dari dalam sanggar dengan suara yang dalam dan bergetar.

“Aku guru” jawab Singatama, “aku mempunyai persoalan yang penting untuk aku sampaikan kepada guru”

Terdengar langkah mendekati pintu. Kemudian, pintu itu pun telah dibuka. “Oh, Kau” desis seorang tua yang berada didalam sanggar itu, “masuklah. Kau tentu akan berceritera tentang kegagalan. Tetapi tidak apa. Aku memang ingin mendengarnya”

Singatama menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Sebenarnyalah aku memang ingin menyampaikan beberapa keluhan guru”

“Tentang gadis itu?” bertanya gurunya.

“Ya guru” jawab Singatama

“Katakanlah. Ceritera mengenai perempuan selalu menarik” berkata orang tua itu.

Singatama menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian duduk di sebuah amben kayu. Dengan wajah yang tegang ia berkata, “Aku terjebak guru”

“Terjebak? Apa maksudmu?” bertanya gurunya.

Singatama itu pun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi. Bahwa cantriknya telah berpindah kepadepokan lain. Bahwa Empu Nawamula sama sekali tidak menguntungkan baginya dan akhirnya ia pun menceriterakan apa yang telah terjadi di luar pagar sebuah padepokan baru, sehingga ia telah terluka sementara dua orang saudara seperguruannya telah tertawan.

Gurunya mendengarkan pengaduan Singatama dengan seksama. Dengan caranya Singatama sengaja membakar hati gurunya, karena jika gurunya kemudian marah dan berniat untuk membalas sakit hati perguruannya, maka Singatama berhadap bahwa padepokan baru itu tidak akan dapat bertahan. Sebenarnyalah bahwa Singatama berhasil menggelitik telinga gurunya. Apalagi ketika gurunya mendengar bahwa dua orang muridnya telah tertawan.

“Kenapa mereka tidak mati saja atau bersamamu menyingkir dari keadaan itu, tetapi untuk datang kembali dan menghancurkan apa yang kau sebut sebuah padepokan itu. Padepokan yang nampaknya sekedar pelarian cantrik-cantrikmu itu”

“Ya guru. Apa yang disebut padepokan itu sama sekali tidak memenuhi syarat sebuah padepokan. Halamannya dibatasi dengan pagar kayu yang dibuat dengan tergesa- gesa. Beberapa barak yang tidak lebih dari kandang ternak” jawab Singatama. Kemudian, “tetapi dengan bodoh, cantrik-cantrik dari padepokanku itu telah berada di tempat itu. Mereka mencoba menentang perintahku untuk mencari gadis yang bernama Widati itu. Yang ternyata bahwa gadis itu dapat diketemukan dan disembunyikan dalam tempat yang mereka sebut padepokan itu”

Gurunya mengangguk-angguk. Katanya, “Mereka sengaja mencari perkara. Mereka sengaja memancing persoalan dengan kita. Dengan demikian, maka sebenarnya yang terjadi itu adalah satu tantangan. Aku tidak percaya bahwa yang ada di tempat yang disebut padepokan itu hanyalah para cantrik. Tetapi tentu ada orang lain pula di sana. Mungkin pamanmu Empu Nawamula. Mungkin pula orang lain kawan pamanmu itu”

Singatama menganguk-ahgguk. Katanya, “Memang mungkin guru. Karena itu segalanya terserah kepada guru”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Meskipun sikapnya tetap tenang, tetapi nyala matanya menunjukkan gejolak jantungnya. Ceritera Singatama yang telah dibumbui dengan beberapa macam keterangan, telah membuatnya marah. Tetapi ternyata ia tidak tergesa-gesa. Ia masih bertanya kepada Singatama. keadaan dari apa yang disebut padepokan itu. Iapun bertanya tentang kemampuan dua orang yang telah mengalahkan tiga orang murid padepokan itu termasuk Singatama.

“Tidak ada orang lain yang menyaksikan perkelahian itu?” bertanya gurunya.

“Para cantrik, tetapi dari dalam pagar. Mereka menyaksikan dari balik pagar kayu” jawab Singatama

“Selain para cantrik?” desak gurunya.

Singatama termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Mungkin memang ada seperti yang guru katakan. Tetapi ketika pertempuran itu berlangsung, tidak ada seorangpun yang keluar dari lingkungan pagar dari apa yang mereka sebut padepokan itu”

Guru Singatama menganggu-angguk. Meskipun ia masih belum pasti, tetapi keterangan Singatama yang dengan sengaja ingin membakar kemarahan gurunya itu, berhasil mendorong gurunya untuk menentukan sikap. Katanya, “Kita akan pergi ke tempat itu”

“Kita semuanya, guru?” bertanya Singatama.

Gurunya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kau memperkecil arti gurumu. Apakah gurumu seorang diri dan kau sendiri tidak akan mengalahkan cantrik-cantrik dungu itu?”

“Cantrik-cantrik itu memang tidak berdaya. Aku bertiga akan sanggup melakukannya. Tetapi tiba-tiba saja ada orang baru yang juga menjadi cantrik dipadepokanku yang untuk sementara dipimpin oleh paman Empu Nawamula, yang ternyata memiliki kemampuan yang sangat tinggi” jawab Singatama.

“Kedua orang itu bukan apa-apa bagiku” berkata guru Singatama, “tetapi yang harus aku perhitungkan adalah kehadiran orang yang justru menjadi pendorong keadaan ini. Mungkin memang pamanmu Nawamula itu sendiri. Kedua cantrik itu agaknya memang dibuat oleh Nawamula. Aku tidak akan gentar, dan akupun yakin dapat mengalahkan Nawamula. Tetapi mungkin ia masih mempunyai tangan-tangan selain dua orang cantrik itu”

“Aku kurang tahu guru” jawab Singatama, “karena itu, maka kau kira kita lebih baik memperhitungkan kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi”

“Baiklah. Kita akan datang dengan kekuatan penuh. Aku akan membawa para Putut dan murid-muridku terbaik di sini” berkata guru Singatama.

Singatama menarik nafas dalam-dalam. Ia pun tersenyum dalam hati. Dengan demikian apa yang disebut padepokan itu tentu akan dapat dihancurkannya. Dengan demikian, maka selain ia dapat membela sakit hatinya, ia akan dapat membawa gadis yang telah membuatnya gelisah siang dan malam.

Demikianlah, maka guru Singatama itupun segera memerintahkan para muridnya bersiap. Kepada mereka, guru Singatama menceriterakan apa yang sudah terjadi.

“Dua orang di antara kita telah ditawan oleh para cantrik dungu itu. Mereka agaknya tidak dapat membayangkan, kekuatan apa saja yang tersimpan di padepokan ini” berkata guru Singatama.

Dengan nada marah, guru Singatama itu memberitahukan niatnya untuk datang ke tempat yang disebut padepokan itu, untuk membebaskan dua orang keluarga perguruannya dan sekaligus membalas sakit hati mereka.

“Aku tidak mau penghinaan seperti itu dimaafkan” berkata guru Singatama.

Para muridnya yang lainpun ternyata telah membakar pula hatinya. Mereka serentak menyatakan persetujuan mereka dengan sikap gurunya.

“Tetapi aku tidak akan tergesa-gesa berangkat hari ini” berkata gurunya, “aku harus mencari hubungan dengan pusat kekuatan kita. Darah dan api”

Demikianlah, maka Singatama tidak mendesak gurunya untuk segera berangkat. Ternyata gurunya akan mengadakan satu upacara sebelum berangkat.

“Kerja kita kali ini agaknya bersungguh-sungguh” berkata guru Singatama itu, “karena itu, kita harus bersungguh-sungguh pula. Kita akan menghadapi kekuatan yang belum kita ketahui dengan pasti. Mudah-mudahan kita akan mendapat petunjuk dari sumber kekuatan kita. Darah dan api”

Dengan demikian, maka keberangkatan mereka baru dapat dilakukan dikeesokan harinya, setelah pada malam harinya mereka mengadakan satu upacara. Sebagai kebiasaan mereka, maka para putut dan cantrik mempersiapkan sebuah perapian yang besar. Menjelang senja, dua orang diantara para putut telah pergi ke padukuhan yang terdekat. Mereka mengambil seekor kerbau jantan yang besar dan tanpa cacat. Mereka sama sekali tidak menghiraukan, apakah pemiliknya memberikan dengan ikhlas atau tidak. Setiap kali mereka mendatakan upacara, maka hal yang serupa itu mereka lakukan.

Ketika malam turun, maka segala peralatan sudah disiapkan. Api sudah dinyalakan, dan kerbau jantan yang besar itu diikat pada sebatang pohon dengan tali yang sangat kuat, sehingga tidak mungkin untuk melepaskan diri. Ketika api mulai dinyalakan, maka guru Singatama itu mulai membaca mantera. Suaranya meninggi seperti asap api yang menjulang ke langit. Kemudian menurun rendah. Tetapi tiba-tiba menghentak pula mengejutkan.

Sesaat kemudian, maka terdengar ia berkata, “Murid-murid dari perguruan api dan darah. Waktunya telah tiba. Persiapkan dirimu untuk menghadapi tugas yang berat. Mencuci kehinaan yang tercoreng diwajah perguruan ini. Sekarang, cucilah senjatamu dengan darah, dan sentuhlah api yang menyala dengan ujung senjatamu yang berdarah itu. Besok kita akan melakukan tugas suci dari perguruan ini. Sementara pedangku akan aku sucikan besok dengan darah musuh-musuhku”

Demikian guru Singatama itu terdiam, maka para putut-pun telah melangkah mendekati kerbau yang terikat dengan senjata telanjang diikuti oleh para cantrik yang lain. Peristiwa yang mengerikan itu selalu terjadi disetiap mereka melakukan upacara, sehingga kerbau itupun akan mati terkapar kehabisa darah. Sementara para putut dan cantrik telah kembali mengerumuni api sambil menyentuh lidah api yang menjilat dengan ujung senjata mereka yang basah oleh darah.

Dalam pada itu, Singatama sebagai murid terdekat dari gurunya itupun telah menyentuh lidah api itu dengan senjatanya pula, sehingga dengan demikian ia merasa bahwa senjatanya akan menjadi jauh lebih berbahaya dari sebelumnya. Apalagi ketika kemudian gurunya itu masih sekali lagi mengucapkan mantera-mantera sementara murid-muridnya masih melingkari api yang menyala sambil mengacungkan senjata masing-masing

Malam itu, para cantrik hampir tidak tertidur sama sekali. Upacara itu kemudian diakhiri dengan minum tuak sehingga hampir semua orang menjadi mabuk karenanya. Dalam keadaan mabuk itulah, baru seisi padepokan itu tertidur dengan gelisah.

Di pagi hari berikutnya, masih terasa kepala mereka menjadi pening. Namun rasa-rasanya mereka bagaikan mendapat kekuatan baru. Disaat mereka sudah siap untuk berangkat meninggalkan padepokan itu pun, guru mereka sekali lagi masih memberikan pesan-pesan yang dapat membakar jantung mereka.

Baru sejenak kemudian, maka mereka pun telah berloncatan ke punggung kuda dan sambil bersorak-sorak bagaikan hendak memecahkan langit mereka berangkat menuju ke tempat yang disebut sebuah padepokan yang baru. Ternyata merekapun tidak dapat mencapai sasaran di hari itu juga. Mereka harus bermalam semalam di perjalanan.

Ketika di hari berikutnya matahari terbit, maka iring-iringan itupun mulai bergerak lagi. Kuda kuda itu pun mulai berpacu menuju ke tempat dua orang diantara mereka sedang tertawan.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan berdebar-debar menunggu orang-orang yang mereka tunggu. Menurut perhitungan, maka saatnya telah lewat. Sehingga dengan demikian maka Mahisa Pukat yang hampir tidak sabar itu pun bergumam, “Apakah mereka tidak akan kembali lagi?”

“Kita akan menunggu barang satu dua hari lagi” sahut Mahisa Murti, “aku kira mereka sedang mempersiapkan diri. Mungkin mereka pun sedang menunggu satu dua orang di antara mereka yang pergi, atau karena persoalan-persoalan lain”

Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi keduanya tetap sadar, bahwa mereka tidak boleh lengah sama sekali. Setiap saat bahaya akan datang. Mungkin siang. Mungkin malam. Karena itu, tidak putus-putusnya setiap kejap mata, ada beberapa orang yang bertugas mengawasi keadaan. Mereka berada di sudut-sudut pagar halaman apa yang mereka sebut dengan padepokan itu.

Dalam pada itu, para cantrik yang semula adalah cantrik pada padepokan Singatama itu pun menjadi gelisah. Mereka harus melakukan sesuatu yang kurang pasti. Apalagi jika mereka membayangkan bahwa pada suatu saat, Singatama yang marah itu akan datang dengan seisi sebuah padepokan yang besar dengan para penghuninya yang keras dan kasar.

Meskipun pada saat-saat tertentu, hati mereka menjadi pasti, bahwa mereka tidak akan membiarkan diri mereka untuk diperbudak dengan cara yang paling pahit, namun pengaruh ketakutan yang sudah terlalu lama menekan jantung mereka, tidak dapat dengan mudah dihindarinya.

Demikianlah, saat yang mendebarkan itupun datang. Ketika dari kejauhan seorang cantrik yang bertugas di sudut apa yang mereka sebut padepokan itu melihat debu yang mengepul di udara, maka tiba-tiba saja tubuhnya menjadi gemetar. Ia tidak akan salah lagi, bahwa yang datang itu tentu sekelompok murid dari padepokan Singatama.

“Oh, jika yang datang itu gurunya, maka kami tentu akan di bantainya di sini” katanya didalam hati. Hampir saja ia tidak kuasa memberikan pertanda apapun juga. Namun seolah-olah di luar sadarnya, maka tangannya telah menyentuh kentongan kecil dengan sepotong carang bambu.

Suara kentongan itu hanya lirih saja. Tetapi dua orang prajurit Singasari yang kebetulan lewat disamping tempat cantrik itu berjaga-jaga telah mendengarnya. Karena itu, dengan tergesa-gesa iapun mendekati cantrik yang gemetar itu. Dengan lantang salah seorang prajurit itu bertanya, “Apa yang kau lakukan? Kau memberikan isyarat?”

Cantrik itu masih saja berdebar-debar. Bahkan semakin lama terasa menjadi semakin keras memukul dinding jantungnya. Tanpa mendapat jawaban dari cantrik itu, maka kedua orang prajurit itu pun melihat sekelompok orang-orang berkuda mendekati apa yang mereka sebut padepokan itu.

“Agaknya mereka telah datang” desis salah seorang dari mereka, “sebuah pasukan yang cukup besar”

“Itulah mereka” terdengar suara cantrik itu bergetar, “mereka datang untuk menghukum kita”

Kedua orang prajurit itu memandang cantrik itu dengan tajamnya. Namun mereka pun segera mengetahui, bahwa cantrik itu telah disentuh lagi oleh kecemasan yang sangat.

“Jangan biarkan lehermu ditebas oleh orang-orang itu” desis salah seorang prajurit.

“Mereka akan membunuh kita” berkata cantrik itu pula.

"Jika kita biarkan kepala kita dipenggalnya, maka mereka tentu akan melakukannya” jawab seorang diantara kedua prajurit itu, “tetapi aku tidak. Aku tidak akan membiarkan orang-orang itu memotong kepalaku. Karena itu, aku akan melakukannya sebelum mereka melakukan atasku”

Cantrik itu mengerutkan keningnya. Namun ia tersentuh juga oleh kata-kata itu. Apalagi ketika yang seorang lagi dari kedua prajurit itu berkata, “Kami bukan budak-budak yang setia dan memberikan jantung untuk ditusuk sampai lembus. Kami adalah laki-laki yang siap untuk mati, tetapi sebagai laki-laki. Bukan sebagai seekor kerbau yang dungu."

Cantrik itu tidak menjawab. Tetapi sulit baginya untuk dengan tiba-tiba merubah sikapnya. Meskipun demikian sikap para prajurit yan tidak dalam ujud dan pakaian prajurit itu agak membuatnya menjadi tenang.

Namun dalam pada itu, seorang di antara kedua prajurit Singasari itulah yang kemudian telah memukul isyarat, sehingga seisi apa yang mereka namakan sebuah padepokan itupun telah mendengarnya...