Pendekar Lembah Naga Jilid 52 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Lembah Naga Jilid 52
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
DIAM-DIAM Ciauw Si terkejut dan dia mengerutkan alisnya. Bocah ini sungguh memiliki watak angkuh, pikirnya. Akan tetapi dia tidak mendesak, juga tidak menegur karena dia segera dapat menduga bahwa tentu ada rahasia yang mungkin menyakitkan hati anak itu sehingga dia berkukuh tidak mau mengaku sebagai keluarga Cin-ling-pai. Di samping itu, mana mungkin dia mau menerima pengakuan itu demikian saja bahwa anak itu adalah putera kandung pamannya kalau pamannya Cia Bun Houw itu sendiri tidak pernah mau mengakui hal itu?

Bi Cu yang merasa tidak enak mendengar percakapan itu dan melihat betapa kekasihnya seperti orang yang tidak senang kalau disinggung soal keturunannya, padahal selama ini Lie Ciauw Si demikian ramah dan baiknya, tiba-tiba segera berkata,

"Ahh, apa sih artinya keturunan? Bagiku, meski Sin Liong itu putera raja atau anak pengemis sekali pun sama saja. Menilai manusia bukan dari keturunannya, atau kedudukannya, atau keluarganya atau kekayaan melainkan kepandaiannya, bukan?"

Oleh karena ucapan ini dikeluarkan dengan suara yang terbuka dan jujur, disertai dengan wajah yang cerah dan berseri, maka mereka semua yang mendengarnya menjadi kagum dan tersenyum, juga seketika mengusir suasana yang tidak enak yang ditimbulkan oleh percakapan antara Ciauw Si dan Sin Liong tentang keturunan itu tadi.

"Ha-ha-ha-ha, memang tepat sekali ucapan nona Bhe. Ucapan itu sekaligus membuktikan bahwa cintanya terhadapmu sungguh tidak terbatas, Liong-te! Biarlah aku mengucapkan selamat kepada kalian berdua!"

Tentu saja Sin Liong dan Bi Cu menerima ucapan selamat dengan minum arak ini dengan hati girang dan balas menghormat. Sin Liong adalah seorang pemuda yang jujur dan tidak mempunyai prasangka-prasangka buruk. Oleh karena itu, dengan adanya Ciauw Si di situ, juga melihat betapa sikap Bi Cu terhadap Ciauw Si demikian akrab, melihat pula sikap pangeran yang demikian halus dan ramah, yang bicara seperti seorang pahlawan pejuang yang hendak memperjuangkan nasib rakyat dan hendak menentang kelaliman kaisar, maka dia pun kena dibujuk.

Dia sanggup untuk membantu Ceng Han Houw ikut mengatur dan menjaga terlaksananya pemilihan bengcu itu, dan diam-diam dia pun tidak memiliki maksud untuk ikut memasuki pemilihan itu. Dia hanya ingin melihat apa yang akan terjadi dan akan membiarkan kakak angkatnya itu menjadi bengcu dan berhasil merebut julukan jago nomor satu di dunia. Dia sendiri sama sekali tidak tertarik dan tidak ingin disebut apa-apa.

Mereka berempat kemudian makan minum dalam suasana yang cukup menggembirakan! Secara diam-diam Sin Liong merasa heran, mengapa pangeran itu tidak mengajak para pembantu lainnya untuk turut pula berpesta. Dan dia pun masih bingung apa yang akan dilakukannya apa bila dia melihat musuh-musuhnya, Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li berada di situ.

Melihat tiba-tiba wajah pemuda itu kelihatan murung dan alisnya berkerut, Pangeran Ceng Han Houw yang cerdik itu agaknya sudah dapat menduga karena melihat adik angkatnya mencari-cari dengan pandang mata, kemudian nampak termenung dan muram wajahnya.

"Liong-te setelah engkau mendengarkan semua keteranganku, maka engkau tentu sudah mengerti sekarang bahwa kita menghadapi sebuah perjuangan yang sangat penting, yang membutuhkan penghimpunan tenaga yang kuat serta kerja sama yang erat. Oleh karena itu, agaknya engkau tentu tahu pula bahwa dalam keadaan seperti ini, di mana kita amat membutuhkan kerja sama dari semua golongan rakyat untuk menentang kelaliman, maka semua urusan pribadi haruslah dikesampingkan lebih dulu."

Sin Liong memandang wajah pangeran itu dengan pandang matanya yang mencorong tajam. "Houw-ko, apa maksudmu dengan ucapan itu?"

"Liong-te, aku tahu bahwa engkau mempunyai musuh-musuh pribadi, dan terus terang saja, agaknya akan timbul perkelahian bila mana engkau bertemu dengan suci Kim Hong Liu-nio dan subo Hek-hiat Mo-li. Aku tidak akan mencampuri urusan itu karena aku tidak mempunyai sangkut-paut dengan urusan pribadi itu. Bahkan isteriku sendiri, Lie Ciauw Si ini, tentu saja juga bermusuhan dengan mereka berdua. Namun, dalam keadaan seperti sekarang ini, kuharap engkau tak akan menimbulkan keributan di sini dengan menyerang mereka, karena hal ini akan memberi contoh yang buruk sekali kepada semua pembantu kita dan hanya akan melemahkan kedudukan kita yang sedang menyusun kekuatan dan kerja sama ini. Mengertikah engkau maksudku, Liong-te?"

Diam-diam Sin Liong terkejut. Pangeran ini sungguh sangat cerdik dan berpemandangan tajam sehingga bisa tepat sekali membicarakan apa yang sedang dipikirkannya. Dia lalu mengangguk dan berkata. "Aku berjanji tidak akan membikin ribut, Houw-ko. Akan tetapi dengan syarat bahwa mereka pun tak boleh mengganggu aku dan Bi Cu seujung rambut pun."

Pangeran itu tersenyum dan diam-diam dia pun kagum. Kini Sin Liong benar-benar telah menjadi seorang dewasa yang gagah dan bersikap keras, bukan seperti anak-anak lagi. Maka dia akan bertindak hati-hati menghadapi orang yang dia tahu merupakan saingan paling berat baginya ini.

"Baik, akan kuperingatkan mereka, Liong-te. Sekarang, karena Liong-te baru saja tiba dan tentu lelah, kami persilakan Liong-te dan nona Bhe Bi Cu mengaso. Kamar kalian sudah dipersiapkan, tak jauh dari kamar kami."

Mendadak wajah Sin Liong menjadi merah sekali dan cepat dia berkata, "Houw-ko, kami berdua memang saling mencinta, hal itu hanya Thian saja yang mengetahui. Akan tetapi kami belum menjadi suami isteri maka tidak mungkin kami tinggal sekamar!"

"Aku akan tinggal di dalam kamarku sendiri yang biasa saja!" Bi Cu juga cepat berkata, mukanya merah sekali dan dia menunduk.

"Akan tetapi harap Houw-ko berbaik hati untuk memberi sebuah kamar untukku yang tidak berjauhan dari kamar Bi Cu." Sin Liong tidak mengatakan bahwa dia ingin menjaga dan melindungi kekasihnya itu, akan tetapi hal ini sudah dimengerti oleh semua orang.

"Baik, baik, tentu saja akan kuatur itu. Maafkan, Liong-te, aku lupa betapa engkau adalah seorang laki-laki sejati dan bahwa kalian belum menikah," pangeran itu berkata sambil tertawa, teringat betapa dahulu Sin Liong sangat takut terhadap wanita, dan sampai kini pun, walau pun sudah sama-sama saling mencinta, tetap saja dia tidak mau melakukan "pelanggaran". Tentu saja bagi Ceng Han Houw, hal ini dianggapnya sebagai suatu sikap kekanak-kanakan dan hijau.

Pangeran itu memberi kesempatan kepada Sin Liong dan Bi Cu untuk bicara empat mata, maka dia lalu mengajak Ciauw Si masuk, Bi Cu lalu mengajak Sin Liong pergi ke sebuah taman di Istana Lembah Naga itu, sebuah taman yang indah dan terawat baik, berbeda dari dahulu ketika dia masih tinggal di situ.

Setelah mereka berada berdua saja di dalam taman itu, Sin Liong dan Bi Cu tidak dapat menahan lagi kerinduan hati masing-masing maka mereka pun saling rangkul dan saling berciuman sampai hampir kehabisan napas. Dan akhirnya, gelora hati yang rindu itu agak mereda dan mereka duduk berdampingan di atas sebuah bangku panjang, dekat kolam ikan di dalam taman itu.

"Sin Liong, aku merasa seperti hidup kembali melihat engkau datang. Untung aku belum mengambil keputusan nekat untuk bunuh diri."

"Ihh!" Sin Liong terkejut dan merasa ngeri. "Jangan sekali-kali engkau melakukan hal itu, Bi Cu. Selama hayat masih dikandung badan, kita tidak boleh putus asa, dalam keadaan apa pun juga. Lupakah akan cengkeraman maut terhadap diri kita di jurang itu? Buktinya kita berdua masih dapat menyelamatkan diri. Pula, bukankah engkau di sini diperlakukan dengan baik dan patut sebagai tamu?"

"Memang betul, akan tetapi aku diculik! Dan aku dipisahkan darimu, Sin Liong! Jangankan baru tinggal di istana macam ini, biar disuruh tinggal di sorga sekali pun, tanpa engkau di sampingku, lebih baik aku berada di dalam jurang seperti dulu itu asal bersamamu."

Sin Liong merasa terharu sekali lantas memegang tangan Bi Cu. Jari-jari tangan mereka saling genggam dengan getaran perasaan yang amat mesra. "Kita tak akan berpisah lagi untuk selamanya, Bi Cu. Percayalah bahwa aku pun tidak akan mau hidup tanpa engkau di dekatku."

Bi Cu menarik napas panjang penuh bahagia dan dia menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya. Sampai lama mereka duduk diam seperti itu, sama sekali tanpa berkata-kata karena kata-kata sudah tak ada artinya lagi dalam keadaan seperti itu. Kata-kata bahkan dapat membuyarkan perasaan dan mengurangi kemesraan yang terasa sekali sampai di sanubari dalam keadaan hening tetapi sadar sepenuhnya akan kehadiran masing-masing itu.

Akhirnya Bi Cu berbisik, "Sin Liong, hatiku merasa tidak enak kalau kita berada di sini. Bagaimana pun baiknya pangeran ini, akan tetapi jelas bahwa dia hendak menggunakan engkau maka dia menyuruh orangnya menculikku."

"Akan tetapi, dia sekarang telah berubah sejak menikah dengan..."

"Enci Ciauw Si? Ahh, kau tahu, enci Ciauw Si sendiri agaknya pun merasa tidak enak dan tidak suka dengan gerakan dari suaminya itu. Memberontak! Phuh..."

"Bukan memberontak, Bi Cu, melainkan berjuang melawan kelaliman kaisar..."

"Itu kan alasannya! Betapa pun juga, aku merasa tidak enak dan tidak suka, Sin Liong. Perlu apa kita turut campur dengan segala macam gerakan itu? Lebih baik mari kita pergi saja meninggalkan tempat ini!"

Sin Liong menggelengkan kepala. "Tidak mungkin, Bi Cu. Berbahaya sekali..."

"Tapi Sin Liong, dengan kepandaianmu yang demikian tinggi... ehhh, kau tahu, pangeran sendiri memujimu di hadapanku, mengatakan bahwa di dunia ini hanya engkaulah yang memiliki kepandaian yang hampir setingkat dengan kepandaiannya!"

Sin Liong menggelengkan kepala. "Apa dayaku jika menghadapi penjagaan ribuan orang pasukan? Kau tahu, sekarang Lembah Naga sudah terkurung oleh ribuan orang pasukan. Memang mungkin bagiku sendiri untuk lolos melalui hutan-hutan lebat yang dulu menjadi tempatku bermain-main pada saat aku masih kecil. Akan tetapi membawamu bersamaku berarti akan menyeret engkau ke dalam bahaya besar. Tidak, aku tidak akan melakukan hal itu, Bi Cu. Lebih baik kita bersabar, tinggal di sini dahulu melihat perkembangan dan melihat gelagatnya. Kurasa enci Ciauw Si bukanlah seorang wanita lemah. Dia seorang pendekar wanita keturunan Cin-ling-pai, mungkin saja dia mencinta pangeran, akan tetapi kalau dia dibawa sesat, apa lagi memberontak terhadap kerajaan begitu saja dengan niat memperebutkan kedudukan, pasti dia tidak akan mau." Dia berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, "Biar pun aku sudah berjanji kepada pangeran untuk membantu, akan tetapi hanya membantu melakukan penjagaan dan dalam menghimpun orang-orang kang-ouw serta melakukan pemilihan bengcu, bukan membantunya untuk memberontak. Aku tidak sudi kalau harus membantu dia melakukan kejahatan."

Kedua orang muda ini tentu saja tidak tahu akan segala kepalsuan yang terjadi di dalam dunia ini. Tiap pemberontakan, tiap pembaharuan, tiap gerakan untuk menumbangkan yang lama kemudian menggantikan dengan yang baru, sudah tentu saja didasari oleh kelemahan-kelemahan dan cacat-cacat dari yang lama, yang akan diberontak itu.

Dan yang memberontak, yang baru ini, tentu mengeluarkan janji-janji yang muluk-muluk. Karena, tidak mungkin pemberontakan dan pembaharuan dapat berjalan lancar dan bisa berhasil tanpa adanya bantuan rakyat. Rakyat harus diberi janji-janji muluk, menonjolkan kelemahan dan cacat-cacat yang hendak dirobohkan dan mengemukakan janji-janji dan kebaikan-kebaikan dari yang memberontak.

Semua ini hanya merupakan siasat belaka. Atau mungkin juga janji-janji itu dikeluarkan dengan hati murni oleh para pimpinan. Akan tetapi sayang, begitu maksudnya tercapai sudah, maka mereka yang duduk di kursi pimpinan menjadi mabuk kemenangan lantas sama sekali melupakan atau memang sengaja tidak mau ingat lagi akan janji-janji yang telah dikeluarkan ketika mereka mendorong rakyat untuk mem¬bantu gerakan mereka itu.

Dan hal seperti ini terus menerus berulang. Yang berhasil dan menang kemudian harus menghadapi lagi golongan baru yang hendak menumbangkannya, dengan janji-janji yang sama pula, dengan penonjolan-penonjolan kesalahan dari yang sedang berkuasa, persis seperti ketika pemberontakan atau pergolakan pertama atau terdahulu itu terjadi. Dan yang menyedihkan sekali, rakyat pun selalu menurut saja dan dapat saja dimakan oleh propaganda dan dibodohi oleh janji-janji muluk yang tak kunjung terpenuhi itu!

Kapankah di dunia ini muncul pemimpin-pemimpin yang memimpin rakyat berdasarkan cinta kasih, kasih sayang dan sama sekali tidak mendasarkannya untuk memenuhi atau mencapai ambisi pribadi, mengejar-ngejar kemuliaan, kekayaan dan kesenangan pribadi? Kapankah segala semboyan dan anjuran mengenai hal-hal yang baik itu bukan hanya menjadi semboyan kosong belaka melainkan dihayati dalam kehidupan sehari-hari oleh mereka yang mengeluarkan semboyan itu sendiri, oleh para pemimpin rakyat sehingga tanpa dianjurkan lagi rakyat sudah akan dapat melihatnya dan otomatis akan bersikap dan berwatak sama dengan para pemimpinnya?

Pemimpin sama dengan ayah dan rakyat sama dengan anak. Setiap perbuatan ayahnya merupakan pendidikan langsung bagi sang anak. Sebaliknya apa gunanya seorang ayah gembar-gembor melarang anaknya melakukan sesuatu kalau dia sendiri melakukannya? Atau apa gunanya para pemimpin menganjurkan rakyat melakukan ini atau pun itu kalau mereka sendiri tidak melakukannya? Yang penting dalam hidup ini adalah penghayatan, atau kelakuan sehari-hari yang dapat dilihat, bukan kata-kata kosong yang dapat saja dikeluarkan oleh lidah yang tak bertulang.

Demikianlah, diam-diam Sin Liong dan Bi Cu merasa tak senang tinggal di Lembah Naga sebagai tamu-tamu agung dari Pangeran Ceng Han Houw, dan mereka merasa khawatir, akan tetapi mereka tidak berdaya karena tempat itu dijaga oleh ribuan orang pasukan. Dan kecuali mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua, secara diam-diam Sin Liong juga amat berprihatin akan nasib Lie Ciauw Si yang telah menyerahkan diri menjadi isteri pangeran itu berdasarkan cinta kasih.

Bahkan dia telah mendengar dari Bi Cu yang juga mendengar dari Ciauw Si sendiri bahwa wanita gagah itu menikah dengan Ceng Han Houw tanpa persetujuan keluarga, bahkan tidak disaksikan orang lain karena mereka menikah diam-diam di kuil!

********************

Menerima kebaikan orang lain merupakan hal yang mendatangkan perasaan tidak enak kepada seseorang kalau dia tidak mampu untuk melakukan sesuatu sebagai imbalan atau balasan. Demikian pula dengan Sin Liong. Dia merasa tidak enak sekali karena di dalam Istana Lembah Naga itu dia diperlakukan dengan amat baiknya oleh Pangeran Ceng Han Houw. Bahkan semua komandan pengawal menghormatinya dan memandangnya sebagai adik angkat, keluarga dan juga orang terpercaya dari sang pangeran!

Dan memang demikianlah. Sin Liong boleh pergi ke mana pun juga di seluruh daerah itu, akan tetapi tentu saja kalau sendirian. Apa bila dia mengajak Bi Cu, maka mendadak saja penjagaan lalu diperketat dan tempat itu dikurung sehingga tahulah dia bahwa pangeran menghendaki agar Bi Cu tetap tinggal di istana sebagai sandera!

Betapa pun juga, Sin Liong sudah membawa Bi Cu berjalan-jalan, keluar masuk hutan dan menunjukkan tempat-tempat di mana dia ketika kecil bermain-main, bahkan dia juga pergi bersama Bi Cu ke dalam hutan di mana dulu dia dipelihara oleh monyet betina besar.

Dia sempat bertemu pula dengan rombongan monyet-monyet, akan tetapi tentu saja tidak ada seekor pun monyet yang mengenalnya. Padahal dulu, hampir semua monyet di hutan itu mengenalnya, bahkan mentaati perintahnya.

Akan tetapi dia pun cukup cerdik untuk mengetahui bahwa tak mungkinlah baginya untuk melarikan diri bersama Bi Cu dari tempat itu karena sudah terkepung oleh anak buah pangeran, kecuali kalau dia mau mengambil jalan liar melalui hutan-hutan lagi yang tentu akan menghadapi bahaya-bahaya lain lagi yang tidak mau dia menempuhnya karena dia tidak mau membawa kekasihnya ke dalam bahaya.

Karena tidak mau kalau hanya makan tidur saja, maka mulailah Sin Liong ikut melakukan penjagaan. Waktu pertemuan besar antara orang-orang kang-ouw masih sebulan lagi dan selama itu seluruh lembah dijaga. Sin Liong sering kali melakukan perondaan di sekeliling lembah yang sangat sunyi itu, kadang-kadang dia membayangkan apa yang akan terjadi di lembah itu.

Sudah beberapa kali dia mengajak Bi Cu mengunjungi kuburan ibu kandungnya, sebuah makam sederhana, kemudian di situ dia bersembahyang bersama Bi Cu. Kepada Bi Cu dia menceritakan terus terang semua riwayat mengenai ibunya yang sebelah tangannya buntung, tentang dirinya yang sesungguhnya adalah putera ibunya yang bernama Liong Si Kwi dan pendekar Cia Bun Houw.

"Aku tidak tahu apakah yang terjadi dengan ibu kandungku dan ayah kandungku itu. Akan tetapi jelaslah bahwa aku terlahir akibat hubungan antara ibu kandungku dengan Cia Bun Houw. Akan tetapi, melihat bahwa ibuku kemudian menjadi isteri paman Kui Hok Boan dan Cia Bun Houw menikah dengan wanita lain, pendekar wanita Yap In Hong itu, maka kuduga bahwa hubungan itu tentu hubungan gelap. Buktinya sampai sekarang menurut enci Ciauw Si, seluruh keluarga Cin-ling-pai tidak ada yang mengetahuinya. Biar pun aku putera pendekar Cia Bun Houw, akan tetapi agaknya... aku hanyalah anak gelap..."

Bi Cu merangkul kemudian mencium muka yang muram itu. "Sin Liong, baik engkau anak terang, anak gelap atau setengah gelap, bagiku sama saja. Aku sudah bilang, aku tidak peduli engkau ini anak pendekar Cia Bun Houw, anak raja, anak jembel, anak malaikat atau anak setan! Maka, tidak perlu engkau bermuram seperti ini!" Tentu saja Sin Liong lalu tersenyum dan wajahnya menjadi cerah kembali.

Sudah beberapa kali semenjak dia dan Bi Cu berada di Lembah Naga, dia mengajak Bi Cu untuk mengunjungi makam ibunya dan pada senja hari itu dia pun baru saja kembali dari makam ibu kandungnya seorang diri. Dia pun ingin sekali tahu apa yang sebenarnya telah terjadi antara mendiang ibu kandungnya dan pendekar Cia Bun Houw.

Sayang ibunya tidak sempat bercerita kepadanya tentang hal itu. Dan agaknya pendekar Cia Bun Houw juga merahasiakannya, tidak pernah menceritakannya kepada siapa pun juga. Buktinya keluarga Cin-ling-pai tidak ada yang tahu! Dan dia pun tidak sudi bertanya kepada pendekar itu atau mengaku bahwa dia puteranya. Dia tidak mau mengemis belas kasihan dan kasih sayang dari pendekar yang menjadi ayah kandungnya itu atau pun dari siapa juga. Kecuali dari Bi Cu agaknya!

Terhadap Bi Cu, apa pun akan dilakukannya, tanpa kecuali! Hemmm, kalau pendekar itu mau mengakuinya sebagai putera, baik. Jika tidak mau, dia pun tidak butuh menjadi anak pendekar! Dan dia tersenyum girang mengingat akan sikap Bi Cu terhadapnya. Dara itu mencintanya, mencinta dirinya tanpa kecuali, tidak mempedulikan dia itu keturunan siapa. Sedikit kekecewaan dan kedukaan tentang ayah kandungnya itu segera lenyap ketika dia teringat Bi Cu yang mencinta dirinya, bukan keturunannya.

Senja telah mendatang dan biar pun cuaca mulai menyuram, karena cahaya matahari yang mulai bersembunyi di balik puncak itu sudah amat lemah, namun pandang matanya yang tajam masih dapat melihat dan merasakan adanya sesuatu yang tidak beres ketika dia memasuki sebuah hutan kecil di luar Lembah Naga menuju pulang itu. Biasanya, di situ tentu ada belasan orang penjaga yang melakukan penjagaan sambil bersembunyi.

Tadi saat pergi menuju ke makam ibunya, dia masih tersenyum melihat gerakan-gerakan mereka. Para penjaga yang melakukan penjagaan bersembunyi itu hanya berguna untuk menjaga musuh-musuh biasa, akan tetapi kalau yang masuk itu orang pandai, tentu orang itu dapat melihat gerakan-gerakan mereka, pikirnya.

Akan tetapi sekarang, tidak ada gerakan sedikit pun juga. Suasana di tepi hutan itu sunyi bukan main, sunyi dan mati! Timbil kecurigaannya karena biasanya, setiap tempat selalu dijaga siang dan malam secara bergilir. Penjagaan yang merupakan sebuah hutan di tepi Lembah Naga merupakan jalan masuk ke lembah itu tidak terjaga? Ke manakah perginya semua penjaga di situ yang jumlahnya belasan orang itu?

Sebagai orang yang oleh pangeran dipercaya untuk melakukan perondaan dan menjaga keamanan lembah itu, Sin Liong merasa berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan dan kalau perlu menegur komandan penjaga di hutan itu yang dianggapnya lengah sekali.

Dengan gerakan ringan sekali Sin Liong lalu meloncat ke arah sebatang pohon tinggi dan dari puncak pohon itu dia lantas meneliti ke bawah, untuk melihat ke mana perginya para penjaga itu. Dan tiba-tiba saja dia menahan seruan heran ketika melihat tubuh beberapa orang penjaga malang-melintang di belakang semak-semak seperti orang tidur nyenyak, ataukah sudah tewas?

Cepat dia meloncat turun dan lari ke tempat itu. Ternyata nampak belasan orang penjaga yang biasanya menjaga di bagian itu rebah malang-melintang, sama sekali bukan tertidur nyenyak atau mati, melainkan tidak sadar dalam keadaan tertotok semua!

Ada musuh yang menyelundup masuk! Musuh yang lihai sekali, karena hanya musuh lihai saja yang berani merobohkan para penjaga hanya dengan totokan dan tidak membunuh mereka! Sin Liong tidak mau membuang waktu lagi dan cepat dia lalu berkelebat masuk ke dalam hutan kecil itu dan kembali tak lama kemudian dia sudah memeriksa keadaan sekeliling dengan meloncat dan memanjat ke puncak pohon yang tinggi.

Akhirnya dia melihat gerakan dua orang yang cepat sekali di tengah hutan. Agaknya dua orang itulah musuh yang menyelundup, dan agaknya kedua orang itu sedang menunggu malam gelap untuk melanjutkan gerakan mereka, tentu saja untuk menyelundup ke Istana Lembah Naga. Sin Liong lalu meloncat turun dan cepat sekali dia lalu menuju ke tempat itu, berindap-indap dengan hati-hati, akan tetapi cepat bukan main.

Mereka itu adalah seorang pria dan seorang wanita. Kini keduanya sedang duduk bersila di atas rumput, dan tampaknya berunding sambil berbisik-bisik. Sin Liong mendekati dan mengintai, ingin melihat siapa adanya mereka itu. Kedua orang itu dari belakang kelihatan belum tua benar.

Akan tetapi, tanpa menoleh tiba-tiba saja wanita itu telah menggerakkan tangan kirinya ke belakang dan nampak sinar hijau menyambar ke arah rumpun semak-semak di belakang mana Sin Liong mengintai! Itulah Siang-tok-swa (Pasir Beracun Harum), senjata rahasia yang amat berbahaya!

Sin Liong mengenal bahaya, maka dia pun meloncat berdiri dan mengelak ketika sinar hijau itu menyambar. Akan tetapi tiba-tiba wanita yang tadinya duduk bersila itu tahu-tahu sudah melayang ke arahnya dan menyerangnya sambil membentak,

"Robohlah!"

Akan tetapi tentu saja Sin Liong tidak demikian mudah dirobohkan walau pun dia merasa terkejut bukan main menyaksikan kelihaian wanita yang cantik ini. Dia lalu menggerakkan tangan menangkis sambil mengerahkan tenaga.

"Dukkk!"

"Iihhhh...!" Wanita itu agak terhuyung sambil mengeluarkan seruan tertahan, karena dia merasa terkejut dan heran betapa pemuda itu bukan hanya mampu menangkis, bahkan tangkisannya sedemikian kuatnya, membuat dia hampir terhuyung.

Mendadak Sin Liong merasa betapa ada angin yang dahsyat menyambar dari samping. Tahulah dia bahwa ada orang pandai yang menyerangnya. Tentu pria tadi, pikirnya, maka sambil memutar kakinya, dia pun menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkang karena dia tahu bahwa pukulan ini hebat sekali.

"Dessss...!"

Dan akibatnya, keduanya terpental ke belakang dan keduanya sama-sama terkejut. Apa lagi ketika mereka saling mengenal. Sin Liong memandang terbelalak kepada pria gagah perkasa yang ternyata bukan lain adalah ayah kandungnya sendiri, Cia Bun Houw! Maka sekarang dia teringat bahwa wanita itu adalah Yap In Hong, yaitu ibu tirinya, isteri ayah kandungnya!

Pada fihak Cia Bun Houw, dia pun mengenal pemuda ini dan alisnya berkerut, mukanya berubah merah karena dia teringat betapa pemuda yang pernah dikasihi oleh mendiang ayahnya itu, bahkan yang sudah mewarisi semua ilmu dari ayahnya, ternyata merupakan pemuda yang tidak berbudi, yang telah menghalangi dia dan isterinya membunuh musuh besar mereka, Kim Hong Liu-nio. Dan sekarang, pemuda ini agaknya malah membantu Pangeran Ceng Han Houw!

"Engkau...?!" Cia Bun Houw membentak.

Mendengar ini, Yap In Hong juga menunda serangan lanjutannya. Dia memandang dan sekarang pun dia teringat kepada Sin Liong.

"Ehh, kiranya setan cilik ini berada di sini?" Dia pun membentak marah.

Sin Liong menghadapi mereka dan memandang tajam. Dia khawatir sekali melihat ayah kandungnya berkeliaran di situ. Akan tetapi dia pun merasa tak senang melihat ibu tirinya, apa lagi setelah mendengar dia disebut setan cilik!

"Harap ji-wi segera pergi dari sini!" katanya kemudian. "Di sini amat berbahaya."

Cia Bun Houw sudah merasa penasaran sekali. "Dan engkau sendiri?"

"Aku... adalah penjaga di sini, maka aku tahu betapa bahayanya tempat ini."

"Bocah lancang!" Cia Bun Houw membentak marah. "Apakah kau kira, kalau engkau yang berjaga, aku lalu merasa takut padamu?"

"Bocah setan ini memang perlu dihajar!" Yap In Hong berseru karena dia pun merasa betapa anak ini amat buruk wataknya, tidak mengenal budi yang sudah dilimpahkan oleh ketua Cin-ling-pai, yaitu mendiang ayah mertuanya. Sepatutnya Sin Liong ingat budi dan membantu Cin-ling-pai, bukan malah membantu pangeran pemberontak itu!

Sin Liong juga marah, merasa direndahkan, akan tetapi dia menahan sabar dan hanya menggerak-gerakkan kedua tangannya. "Pergilah... pergilah...!"

"Engkau yang pergi ke neraka, bocah murtad!" Cia Bun Houw membentak dan dia sudah menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah kepala Sin Liong.
Akan tetapi, dengan sigap dan cepatnya Sin Liong mengelak, lalu memutar tubuhnya dan tahu-tahu dia pun sudah menyerang, bukan kepada ayah kandungnya, melainkan kepada Yap In Hong, dengan pukulan tangan kiri yang cepat dan dahsyat.

Namun Yap In Hong adalah seorang wanita pendekar sakti yang berilmu tinggi, maka dengan cepat dia dapat menangkis pukulan itu. Lalu terjadilah perkelahian yang seru dan membuat suami isteri pendekar sakti itu terheran-heran tiada habisnya.

Pemuda itu ternyata mampu menghadapi pengeroyokan mereka! Bahkan sama sekali tak pernah terdesak, dan membalas setiap serangan dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat dan ampuhnya! Bahkan pemuda itu juga dapat mainkan Thai-kek Sin-kun dengan amat baiknya, dan menangkis tenaga pukulan Thian-te Sin-ciang dengan tenaga pukulan Thian-te Sin-ciang pula yang tidak kalah kuatnya!

Bahkan ketika kedua orang suami isteri yang amat lihal itu mendesaknya dengan gerakan cepat, Sin Liong sudah melindungi tubuhnya dengan kekebalan menurut ajaran mendiang Kok Beng Lama dan juga mengerahkan Thi-khi I-beng untuk menyedot tenaga dua orang pengeroyoknya! Dua orang suami isteri itu berkali-kali mengeluarkan seruan kaget sekali. Mereka teringat akan kehebatan Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong, karena kehebatan kedua orang kakek sakti itu seolah-olah telah pindah ke dalam diri anak ini!

Tentu saja Sin Liong harus mengerahkan seluruh tenaga yang ada di dalam tubuhnya dan mengeluarkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya untuk menghadapi pengeroyokan dua orang yang demikian saktinya. Hanya dia belum mau mempergunakan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw karena bagaimana pun juga, dia hanya membela diri dan membalas serangan dengan ilmu-ilmu yang didapatnya dari Kok Beng Lama serta Cia Keng Hong sehingga boleh dibilang bahwa pemuda ini menghidapi dua orang lawannya dengan ilmu-ilmu yang sama!

Maka mereka itu seolah-olah hanya berlatih saja, sungguh pun sebenarnya, sama sekali bukan demikian karena suami isteri yang merasa penasaran itu mendesak dengan hebat. Apa lagi setelah lewat lima puluh jurus kedua orang suami isteri yang lihai itu sama sekali belum mampu merobohkan Sin Liong!

Mereka berdua adalah pendekar-pendekar besar sehingga biar pun kelihatannya mereka mengeroyok Sin Liong dengan dahsyat, namun mereka selalu mengendalikan serangan mereka sehingga kalau saja Sin Liong sampai terkena pukulan, tentu saja bukan pukulan mematikan.

Diam-diam Sin Liong juga merasa kagum bukan kepalang. Ayah kandungnya ini memang hebat, dan ibu tirinya pun hebat. Melawan mereka satu lawan satu saja kiranya amat sulit baginya untuk mendapat kemenangan, apa lagi harus melayani dua sekaligus. Entahlah kalau dia mempergunakan ilmunya Hok-mo Cap-sha-ciang.

Akan tetapi dia merasa tidak enak dan malu kalau harus menggunakan ilmu ini kepada mereka, sungguh pun di dalam gerakannya itu sudah dibantu oleh kemajuan yang didapat ketika dia mempelajari ilmu peninggalan Bu Beng Hud-couw itu.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan muncullah puluhan orang prajurit yang dipimpin oleh seorang kakek tinggi besar yang bukan lain adalah Hai-liong-ong Phang Tek, yaitu orang pertama dari Lam-hai Sam-lo! Mereka adalah pasukan penjaga dari sekitar hutan itu yang tertarik oleh perkelahian itu dan segera memasuki hutan dipimpin oleh kakek itu.

Melihat hal ini, Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut. Mereka datang untuk menyelidiki Lembah Naga, sesuai dengan perintah dari Pangeran Hung Chih. Akan tetapi kini mereka sudah ketahuan.

Menghadapi Sin Liong seorang saja sudah cukup berat, apa lagi kalau muncul puluhan orang penjaga. Mereka tidak takut, akan tetapi maklum pula bahwa tidak mungkin mereka berdua saja harus melawan ribuan pasukan yang berada di daerah itu.

Maka Cia Bun Houw mengeluarkan suara melengking nyaring yang menjadi isyarat bagi isterinya untuk melarikan diri. Suara lengkingan dahsyat itu amat luar biasa, mengandung tenaga khikang kuat sehingga beberapa orang pengawal terguling roboh.

Melihat kedua orang itu melarikan diri, Sin Liong tidak mengejar dan membiarkan pasukan pengawal mengejar mereka, yakin bahwa tak mungkin pasukan pengawal itu akan mampu menyusul suami isteri pendekar yang sakti itu. Sementara itu, Hai-liong-ong Phang Tek yang juga tahu akan kelihaian suami isteri itu sehingga merasa jeri untuk pergi mengejar sendirian saja, lantas tersenyum kepada Sin Liong dan menjura sambil berkata, suaranya ramah.

"Senang sekali dapat bertemu dan bekerja sama dengan taihiap."

Sin Liong tidak menjadi bangga dan senang mendengar disebut taihiap itu, yang dia tahu dilakukan oleh kakek ini untuk menghormatinya karena kakek ini tentu sudah tahu bahwa dia dianggap adik angkat atau bahkan keluarga pangeran. Dia tidak tahu bahwa memang kakek ini merasa kagum bukan main melihat dia mampu menandingi pengeroyokan dua orang suami isteri yang terkenal sebagai pendekar-pendekar terbesar di masa itu. Tanpa menjawab, Sin Liong hanya mengangguk kemudian memutar tubuhnya dan pergi dari situ untuk kembali ke kamarnya di Istana Lembah Naga.

Bi Cu telah menyambutnya. Dara ini tidak mau makan malam sebelum Sin Liong pulang dan begitu kekasihnya datang, dia menyambut dengan teguran, "Sin Liong, ke mana saja engkau sampai malam begini? Hatiku merasa gelisah selalu."

Sin Liong lalu menceritakan pertemuannya dengan suami isteri pendekar itu, betapa dia bertempur melawan mereka sehingga kemudian pasukan datang dan kedua suami isteri itu melarikan diri.

"Ahh, ayah kandungmu dan ibu tirimu?" Bi Cu bertanya kaget sekali.

Sin Liong mengangguk dan alisnya berkerut, hatinya gelisah. Tidak disangkanya dia akan bertemu dengan keluarga Cin-ling-pai di tempat itu. Tanpa banyak cakap dia lalu makan malam bersama Bi Cu. Baru saja selesai makan malam, Pangeran Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si mengunjungi mereka.

"Liong-te, aku mendengar dari pasukan penjaga bahwa senja tadi ayah kandungmu dan ibu tirimu muncul..."

"Harap engkau tidak menyebut-nyebut mengenai ayah kandung dan ibu tiri, Houw-ko!" Sin Liong menegur, merasa tidak senang orang bicara seperti itu. Namun kalau Bi Cu yang menyebutnya, hal itu lain lagi!

"Ahh, baiklah. Dan memang sikapmu tadi membuktikan bahwa engkau tidak menganggap mereka ayah dan ibu tiri, Liong-te. Suami isteri perkasa, pasangan pendekar yang paling hebat pada masa ini sudah memberi kehormatan kepadaku dan muncul di sini. Mengapa engkau menerima dan menyambut mereka dengan kepalan, Liong-te? Bukankah engkau tahu bahwa kita membutuhkan tenaga mereka? Mengapa engkau tidak menerima mereka secara baik-baik dan mempersilakan mereka masuk sebagai tamu-tamu agung? Engkau tahu, mereka itu adalah paman dan bibi isteriku, berarti paman dan bibiku sendiri. Kenapa engkau malah menyambut mereka sebagai musuh?"

Sin Liong merasa bingung dengan sikap pangeran ini. Kata-katanya penuh teguran dan penyesalan, akan tetapi pandang mata pangeran itu membayangkan hati yang gembira! Dia sudah mengenal baik sinar mata pangeran itu, maka dia tahu bahwa kalau pangeran itu benar-benar sedang marah, tidak seperti itulah sinar matanya. Dan memang benarlah.

Han Houw merasa sangat kecewa mendengar keluarga Cin-ling-pai yang diharapkannya untuk dapat menjadi sekutunya itu datang sebagai musuh, akan tetapi di samping itu dia pun gembira melihat bukti kenyataan bahwa Sin Liong benar-benar hendak membelanya dan setia padanya sehingga pemuda ini tidak segan-segan untuk melawan ayah kandung sendiri untuk menjaga keamanan di situ! Tentu saja dia tidak tahu bahwa perkelahian itu bukan disebabkan oleh hal itu, tetapi karena Sin Liong didesak dan diserang oleh mereka.

Juga Lie Ciauw Si segera berkata, suaranya halus akan tetapi mengandung teguran dan penyesalan, "Liong-te, kenapa engkau tidak memberitahukan mereka bahwa aku berada di sini dan bahwa aku ingin sekali bertemu dan bicara dengan paman Bun Houw dan bibi In Hong? Ahhh, aku sudah mengutus orang untuk menyampaikan surat kepada keluarga kami, keluarga Cin-ling-pai, tapi begitu paman dan bibi muncul, engkau malah menyerang mereka."

Sin Liong tahu benar bahwa apa yang keluar dari mulut kakak misannya ini memang jujur dan sebenarnya, berbeda dengan ucapan pangeran yang tentunya mengandung hal-hal tersembunyi yang tidak dipercayanya. Karena itu diam-diam dia merasa lega bahwa ayah kandungnya itu telah pergi dari Lembah Naga dan berarti lolos dari ancaman bahaya yang dia tidak dapat membayangkan bagaimana.

"Maafkan, Houw-ko dan lihiap." Dia tetap tidak mau menyebut piauw-ci kepada Lie Ciauw Si, melainkan menyebut lihiap karena kalau dia menyebut piauw-ci, sama artinya bahwa dia menerima Cin-ling-pai sebagai keluarganya. Padahal, dia tidak akan mengemis akan hal itu. "Akan tetapi ketika aku melihat betapa mereka berdua merobohkan belasan orang penjaga dengan totokan, aku menjadi sangat curiga lantas menyerang mereka. Terjadilah perkelahian, kemudian muncul Hai-liong-ong Phang Tek bersama pasukan penjaga, dan mereka melarikan diri."

"Sudahlah," pangeran menarik napas panjang seperti orang menyesal, padahal hatinya terasa lega karena betapa pun juga, dia agak jeri terhadap suami isteri itu. "Semua itu terjadi karena salah sangka. Kelak kalau mereka muncul dalam pertemuan rapat besar orang-orang kang-ouw, tentu akan dapat kita terangkan duduknya perkara dan aku akan mohon maaf kepada paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong!" Pangeran itu menyebut kedua nama ini dengan paman dan bibi, suaranya demikian sungguh-sungguh dan mesra seolah-olah dia memang sudah menerima suami isteri itu menjadi keluarganya.

Hal ini menggirangkan hati Ciauw Si, akan tetapi malah menimbulkan curiga di dalam hati Sin Liong. Pemuda ini tahu bahwa sang pangeran menganggap suami isteri itu sebagai saingan besar untuk memperebutkan julukan jagoan nomor satu di dunia!

Aku harus waspada, pikir Sin Liong. Bukan waspada menjaga keamanan Lembah Naga, melainkan waspada mengamati gerak-gerik pangeran itu untuk menjaga keselamatan Bi Cu dan dirinya sendiri, dan kalau mungkin keselamatan Ciauw Si!

Bagaimanakah suami isteri pendekar itu tiba-tiba dapat muncul di Lembah Naga? Seperti telah kita ketahui, Cia Bun Houw dan isterinya, Yap In Hong, bersama dengan Lie Seng pergi ke kota raja dan mereka bertiga berhasil melarikan Sun Eng dari dalam tahanan di ista¬na Pageran Ceng Han Houw.

Akan tetapi, Sun Eng tidak dapat ditolong dan akhirnya meninggal dunia, sedangkan Lie Seng yang merasa sangat berduka itu akhirnya lalu mengikuti seorang hwesio tua untuk mengasingkan diri dari dunia ramai dan masuk menjadi seorang hwesio yang tidak lagi mencampuri urusan duniawi!

Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu kembali ke kota raja dan berhasil menemui Pangeran Hung Chih, dan mereka pun menerima berita baik sekali, yaitu bahwa mereka sekeluarga Cin-ling-pai sudah dibebaskan dari pada tuduhan memberontak dan tidak menjadi buruan pemerintah lagi.

Dengan girang mereka lalu menyampaikan berita ini kepada kedua orang kakak mereka, yaitu suami isteri Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng yang masih bersembunyi di selatan. Mereka berdua kemudian menitipkan putera mereka dalam asuhan suami isteri yang lebih tua itu karena mereka telah berjanji pada Pangeran Hung Chih untuk membantu pangeran itu menghadapi usaha pemberontakan Ceng Han Houw.

Demikianlah, kedatangan mereka ke utara itu adalah dalam rangka tugas ini, yaitu untuk melakukan penyelidikan mengenai kegiatan pangeran peranakan Mongol itu. Tak mereka sangka, mereka telah dipergoki oleh Sin Liong!

Sesudah berhasil melarikan diri keluar dari Lembah Naga, suami isteri ini lalu mengirim laporan mengenai Lembah Naga yang kini terjaga oleh ribuan orang pasukan Mongol dan bangsa-bangsa utara lainnya itu secara panjang lebar, kemudian mengutus salah seorang di antara para penyelidik untuk membawa laporan itu ke sebelah dalam Tembok Besar.

Sementara itu, mereka berdua masih terus menanti di luar Lembah Naga untuk mengikuti perkembangan usaha Pangeran Ceng Han Houw mengadakan pertemuan besar dengan tokoh-tokoh kang-ouw. Sering kali mereka membicarakan tentang Sin Liong.

"Bocah setan itu benar-benar lihai sekali," kata Yap In Hong. "Sungguh luar biasa bocah seperti itu bisa memiliki semua ilmu-ilmu Cin-ling-pai sedemikian sempurnanya. Dia telah mewarisi semua kepandaian mendiang suhu Kok Beng Lama!"

"Dan juga kepandaian mendiang ayah!" kata Bun Houw sambil menarik napas panjang. "Sebagai putera tunggal ayah aku sendiri tidak mewarisi Thi-khi I-beng, demikian juga enci Giok Keng sebagai puteri tunggalnya pun tidak. Yang mewarisi hanya kakanda Yap Kun Liong seorang. Akan tetapi siapa kira, bocah setan itu sekarang mewarisinya, dan dapat mempergunakannya dengan mahir sekali!"

"Dia telah menggabungkan ilmu-ilmu dua orang guru besar secara hebat. Tentu dia akan merupakan lawan yang tangguh sekali!"

"Memang benar. Sungguh aku tidak mengerti mengapa suhu Kok Beng Lama dan ayahku menurunkan semua ilmu mereka kepada bocah tak berbudi itu sehingga kini semua ilmu kita digunakan untuk melawan kita sendiri dan membela pangeran pemberontak. Sungguh penasaran sekali. Kalau saja mendiang ayah dan mendiang suhu Kok Beng Lama dapat melihat hal ini, tentu mereka berdua akan merasa menyesal sekali."

"Sudahlah, kita tidak perlu gelisah dan khawatir. Bagaimana pun juga, dia masih sangat muda dan belum berpengalaman. Mungkin saja dia kena terbujuk oleh pangeran itu, siapa tahu? Kita belum melihat benar bagaimana isi hati anak yang aneh dan keras hati itu. Agaknya tidak mungkin kalau kedua orang tua yang bijaksana itu sampai salah mengenal orang. Kita lihat saja bagaimana perkembangan selanjutnya di Lembah Naga."

Cia Bun Houw menyetujui pendapat isterinya ini dan mereka menanti sambil memasang matadengan waspada, menanti perkembangan dan datangnya hari pertemuan para tokoh kang-ouw di Lembah Naga yang undangannya sudah disebar oleh kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw beberapa bulan sebelumnya.

Semua tokoh kang-ouw yang merasa berkepandaian diundang, tanpa menentukan siapa orangnya. Dalam undangan yang disebar itu dikemukakan bahwa di dalam pertemuan itu akan dipilih seorang bengcu yang akan memimpin seluruh dunia kang-ouw sebagai jago nomor satu di dunia ini!

Suami isteri ini maklum bahwa tentu semua tokoh kang-ouw akan tertarik oleh undangan istimewa ini dan Lembah Naga akan menjadi ramai bukan main. Akan tetapi mereka pun tahu bahwa akan terjadi keramaian lainnya yang sama sekali tak akan terduga-duga oleh Pangeran Ceng Han Houw si pemberontak itu. Kini mereka menanti saat penentuan itu dengan tenang dan waspada.

********************

Selanjutnya,

Pendekar Lembah Naga Jilid 52

Pendekar Lembah Naga Jilid 52
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
DIAM-DIAM Ciauw Si terkejut dan dia mengerutkan alisnya. Bocah ini sungguh memiliki watak angkuh, pikirnya. Akan tetapi dia tidak mendesak, juga tidak menegur karena dia segera dapat menduga bahwa tentu ada rahasia yang mungkin menyakitkan hati anak itu sehingga dia berkukuh tidak mau mengaku sebagai keluarga Cin-ling-pai. Di samping itu, mana mungkin dia mau menerima pengakuan itu demikian saja bahwa anak itu adalah putera kandung pamannya kalau pamannya Cia Bun Houw itu sendiri tidak pernah mau mengakui hal itu?

Bi Cu yang merasa tidak enak mendengar percakapan itu dan melihat betapa kekasihnya seperti orang yang tidak senang kalau disinggung soal keturunannya, padahal selama ini Lie Ciauw Si demikian ramah dan baiknya, tiba-tiba segera berkata,

"Ahh, apa sih artinya keturunan? Bagiku, meski Sin Liong itu putera raja atau anak pengemis sekali pun sama saja. Menilai manusia bukan dari keturunannya, atau kedudukannya, atau keluarganya atau kekayaan melainkan kepandaiannya, bukan?"

Oleh karena ucapan ini dikeluarkan dengan suara yang terbuka dan jujur, disertai dengan wajah yang cerah dan berseri, maka mereka semua yang mendengarnya menjadi kagum dan tersenyum, juga seketika mengusir suasana yang tidak enak yang ditimbulkan oleh percakapan antara Ciauw Si dan Sin Liong tentang keturunan itu tadi.

"Ha-ha-ha-ha, memang tepat sekali ucapan nona Bhe. Ucapan itu sekaligus membuktikan bahwa cintanya terhadapmu sungguh tidak terbatas, Liong-te! Biarlah aku mengucapkan selamat kepada kalian berdua!"

Tentu saja Sin Liong dan Bi Cu menerima ucapan selamat dengan minum arak ini dengan hati girang dan balas menghormat. Sin Liong adalah seorang pemuda yang jujur dan tidak mempunyai prasangka-prasangka buruk. Oleh karena itu, dengan adanya Ciauw Si di situ, juga melihat betapa sikap Bi Cu terhadap Ciauw Si demikian akrab, melihat pula sikap pangeran yang demikian halus dan ramah, yang bicara seperti seorang pahlawan pejuang yang hendak memperjuangkan nasib rakyat dan hendak menentang kelaliman kaisar, maka dia pun kena dibujuk.

Dia sanggup untuk membantu Ceng Han Houw ikut mengatur dan menjaga terlaksananya pemilihan bengcu itu, dan diam-diam dia pun tidak memiliki maksud untuk ikut memasuki pemilihan itu. Dia hanya ingin melihat apa yang akan terjadi dan akan membiarkan kakak angkatnya itu menjadi bengcu dan berhasil merebut julukan jago nomor satu di dunia. Dia sendiri sama sekali tidak tertarik dan tidak ingin disebut apa-apa.

Mereka berempat kemudian makan minum dalam suasana yang cukup menggembirakan! Secara diam-diam Sin Liong merasa heran, mengapa pangeran itu tidak mengajak para pembantu lainnya untuk turut pula berpesta. Dan dia pun masih bingung apa yang akan dilakukannya apa bila dia melihat musuh-musuhnya, Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li berada di situ.

Melihat tiba-tiba wajah pemuda itu kelihatan murung dan alisnya berkerut, Pangeran Ceng Han Houw yang cerdik itu agaknya sudah dapat menduga karena melihat adik angkatnya mencari-cari dengan pandang mata, kemudian nampak termenung dan muram wajahnya.

"Liong-te setelah engkau mendengarkan semua keteranganku, maka engkau tentu sudah mengerti sekarang bahwa kita menghadapi sebuah perjuangan yang sangat penting, yang membutuhkan penghimpunan tenaga yang kuat serta kerja sama yang erat. Oleh karena itu, agaknya engkau tentu tahu pula bahwa dalam keadaan seperti ini, di mana kita amat membutuhkan kerja sama dari semua golongan rakyat untuk menentang kelaliman, maka semua urusan pribadi haruslah dikesampingkan lebih dulu."

Sin Liong memandang wajah pangeran itu dengan pandang matanya yang mencorong tajam. "Houw-ko, apa maksudmu dengan ucapan itu?"

"Liong-te, aku tahu bahwa engkau mempunyai musuh-musuh pribadi, dan terus terang saja, agaknya akan timbul perkelahian bila mana engkau bertemu dengan suci Kim Hong Liu-nio dan subo Hek-hiat Mo-li. Aku tidak akan mencampuri urusan itu karena aku tidak mempunyai sangkut-paut dengan urusan pribadi itu. Bahkan isteriku sendiri, Lie Ciauw Si ini, tentu saja juga bermusuhan dengan mereka berdua. Namun, dalam keadaan seperti sekarang ini, kuharap engkau tak akan menimbulkan keributan di sini dengan menyerang mereka, karena hal ini akan memberi contoh yang buruk sekali kepada semua pembantu kita dan hanya akan melemahkan kedudukan kita yang sedang menyusun kekuatan dan kerja sama ini. Mengertikah engkau maksudku, Liong-te?"

Diam-diam Sin Liong terkejut. Pangeran ini sungguh sangat cerdik dan berpemandangan tajam sehingga bisa tepat sekali membicarakan apa yang sedang dipikirkannya. Dia lalu mengangguk dan berkata. "Aku berjanji tidak akan membikin ribut, Houw-ko. Akan tetapi dengan syarat bahwa mereka pun tak boleh mengganggu aku dan Bi Cu seujung rambut pun."

Pangeran itu tersenyum dan diam-diam dia pun kagum. Kini Sin Liong benar-benar telah menjadi seorang dewasa yang gagah dan bersikap keras, bukan seperti anak-anak lagi. Maka dia akan bertindak hati-hati menghadapi orang yang dia tahu merupakan saingan paling berat baginya ini.

"Baik, akan kuperingatkan mereka, Liong-te. Sekarang, karena Liong-te baru saja tiba dan tentu lelah, kami persilakan Liong-te dan nona Bhe Bi Cu mengaso. Kamar kalian sudah dipersiapkan, tak jauh dari kamar kami."

Mendadak wajah Sin Liong menjadi merah sekali dan cepat dia berkata, "Houw-ko, kami berdua memang saling mencinta, hal itu hanya Thian saja yang mengetahui. Akan tetapi kami belum menjadi suami isteri maka tidak mungkin kami tinggal sekamar!"

"Aku akan tinggal di dalam kamarku sendiri yang biasa saja!" Bi Cu juga cepat berkata, mukanya merah sekali dan dia menunduk.

"Akan tetapi harap Houw-ko berbaik hati untuk memberi sebuah kamar untukku yang tidak berjauhan dari kamar Bi Cu." Sin Liong tidak mengatakan bahwa dia ingin menjaga dan melindungi kekasihnya itu, akan tetapi hal ini sudah dimengerti oleh semua orang.

"Baik, baik, tentu saja akan kuatur itu. Maafkan, Liong-te, aku lupa betapa engkau adalah seorang laki-laki sejati dan bahwa kalian belum menikah," pangeran itu berkata sambil tertawa, teringat betapa dahulu Sin Liong sangat takut terhadap wanita, dan sampai kini pun, walau pun sudah sama-sama saling mencinta, tetap saja dia tidak mau melakukan "pelanggaran". Tentu saja bagi Ceng Han Houw, hal ini dianggapnya sebagai suatu sikap kekanak-kanakan dan hijau.

Pangeran itu memberi kesempatan kepada Sin Liong dan Bi Cu untuk bicara empat mata, maka dia lalu mengajak Ciauw Si masuk, Bi Cu lalu mengajak Sin Liong pergi ke sebuah taman di Istana Lembah Naga itu, sebuah taman yang indah dan terawat baik, berbeda dari dahulu ketika dia masih tinggal di situ.

Setelah mereka berada berdua saja di dalam taman itu, Sin Liong dan Bi Cu tidak dapat menahan lagi kerinduan hati masing-masing maka mereka pun saling rangkul dan saling berciuman sampai hampir kehabisan napas. Dan akhirnya, gelora hati yang rindu itu agak mereda dan mereka duduk berdampingan di atas sebuah bangku panjang, dekat kolam ikan di dalam taman itu.

"Sin Liong, aku merasa seperti hidup kembali melihat engkau datang. Untung aku belum mengambil keputusan nekat untuk bunuh diri."

"Ihh!" Sin Liong terkejut dan merasa ngeri. "Jangan sekali-kali engkau melakukan hal itu, Bi Cu. Selama hayat masih dikandung badan, kita tidak boleh putus asa, dalam keadaan apa pun juga. Lupakah akan cengkeraman maut terhadap diri kita di jurang itu? Buktinya kita berdua masih dapat menyelamatkan diri. Pula, bukankah engkau di sini diperlakukan dengan baik dan patut sebagai tamu?"

"Memang betul, akan tetapi aku diculik! Dan aku dipisahkan darimu, Sin Liong! Jangankan baru tinggal di istana macam ini, biar disuruh tinggal di sorga sekali pun, tanpa engkau di sampingku, lebih baik aku berada di dalam jurang seperti dulu itu asal bersamamu."

Sin Liong merasa terharu sekali lantas memegang tangan Bi Cu. Jari-jari tangan mereka saling genggam dengan getaran perasaan yang amat mesra. "Kita tak akan berpisah lagi untuk selamanya, Bi Cu. Percayalah bahwa aku pun tidak akan mau hidup tanpa engkau di dekatku."

Bi Cu menarik napas panjang penuh bahagia dan dia menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya. Sampai lama mereka duduk diam seperti itu, sama sekali tanpa berkata-kata karena kata-kata sudah tak ada artinya lagi dalam keadaan seperti itu. Kata-kata bahkan dapat membuyarkan perasaan dan mengurangi kemesraan yang terasa sekali sampai di sanubari dalam keadaan hening tetapi sadar sepenuhnya akan kehadiran masing-masing itu.

Akhirnya Bi Cu berbisik, "Sin Liong, hatiku merasa tidak enak kalau kita berada di sini. Bagaimana pun baiknya pangeran ini, akan tetapi jelas bahwa dia hendak menggunakan engkau maka dia menyuruh orangnya menculikku."

"Akan tetapi, dia sekarang telah berubah sejak menikah dengan..."

"Enci Ciauw Si? Ahh, kau tahu, enci Ciauw Si sendiri agaknya pun merasa tidak enak dan tidak suka dengan gerakan dari suaminya itu. Memberontak! Phuh..."

"Bukan memberontak, Bi Cu, melainkan berjuang melawan kelaliman kaisar..."

"Itu kan alasannya! Betapa pun juga, aku merasa tidak enak dan tidak suka, Sin Liong. Perlu apa kita turut campur dengan segala macam gerakan itu? Lebih baik mari kita pergi saja meninggalkan tempat ini!"

Sin Liong menggelengkan kepala. "Tidak mungkin, Bi Cu. Berbahaya sekali..."

"Tapi Sin Liong, dengan kepandaianmu yang demikian tinggi... ehhh, kau tahu, pangeran sendiri memujimu di hadapanku, mengatakan bahwa di dunia ini hanya engkaulah yang memiliki kepandaian yang hampir setingkat dengan kepandaiannya!"

Sin Liong menggelengkan kepala. "Apa dayaku jika menghadapi penjagaan ribuan orang pasukan? Kau tahu, sekarang Lembah Naga sudah terkurung oleh ribuan orang pasukan. Memang mungkin bagiku sendiri untuk lolos melalui hutan-hutan lebat yang dulu menjadi tempatku bermain-main pada saat aku masih kecil. Akan tetapi membawamu bersamaku berarti akan menyeret engkau ke dalam bahaya besar. Tidak, aku tidak akan melakukan hal itu, Bi Cu. Lebih baik kita bersabar, tinggal di sini dahulu melihat perkembangan dan melihat gelagatnya. Kurasa enci Ciauw Si bukanlah seorang wanita lemah. Dia seorang pendekar wanita keturunan Cin-ling-pai, mungkin saja dia mencinta pangeran, akan tetapi kalau dia dibawa sesat, apa lagi memberontak terhadap kerajaan begitu saja dengan niat memperebutkan kedudukan, pasti dia tidak akan mau." Dia berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, "Biar pun aku sudah berjanji kepada pangeran untuk membantu, akan tetapi hanya membantu melakukan penjagaan dan dalam menghimpun orang-orang kang-ouw serta melakukan pemilihan bengcu, bukan membantunya untuk memberontak. Aku tidak sudi kalau harus membantu dia melakukan kejahatan."

Kedua orang muda ini tentu saja tidak tahu akan segala kepalsuan yang terjadi di dalam dunia ini. Tiap pemberontakan, tiap pembaharuan, tiap gerakan untuk menumbangkan yang lama kemudian menggantikan dengan yang baru, sudah tentu saja didasari oleh kelemahan-kelemahan dan cacat-cacat dari yang lama, yang akan diberontak itu.

Dan yang memberontak, yang baru ini, tentu mengeluarkan janji-janji yang muluk-muluk. Karena, tidak mungkin pemberontakan dan pembaharuan dapat berjalan lancar dan bisa berhasil tanpa adanya bantuan rakyat. Rakyat harus diberi janji-janji muluk, menonjolkan kelemahan dan cacat-cacat yang hendak dirobohkan dan mengemukakan janji-janji dan kebaikan-kebaikan dari yang memberontak.

Semua ini hanya merupakan siasat belaka. Atau mungkin juga janji-janji itu dikeluarkan dengan hati murni oleh para pimpinan. Akan tetapi sayang, begitu maksudnya tercapai sudah, maka mereka yang duduk di kursi pimpinan menjadi mabuk kemenangan lantas sama sekali melupakan atau memang sengaja tidak mau ingat lagi akan janji-janji yang telah dikeluarkan ketika mereka mendorong rakyat untuk mem¬bantu gerakan mereka itu.

Dan hal seperti ini terus menerus berulang. Yang berhasil dan menang kemudian harus menghadapi lagi golongan baru yang hendak menumbangkannya, dengan janji-janji yang sama pula, dengan penonjolan-penonjolan kesalahan dari yang sedang berkuasa, persis seperti ketika pemberontakan atau pergolakan pertama atau terdahulu itu terjadi. Dan yang menyedihkan sekali, rakyat pun selalu menurut saja dan dapat saja dimakan oleh propaganda dan dibodohi oleh janji-janji muluk yang tak kunjung terpenuhi itu!

Kapankah di dunia ini muncul pemimpin-pemimpin yang memimpin rakyat berdasarkan cinta kasih, kasih sayang dan sama sekali tidak mendasarkannya untuk memenuhi atau mencapai ambisi pribadi, mengejar-ngejar kemuliaan, kekayaan dan kesenangan pribadi? Kapankah segala semboyan dan anjuran mengenai hal-hal yang baik itu bukan hanya menjadi semboyan kosong belaka melainkan dihayati dalam kehidupan sehari-hari oleh mereka yang mengeluarkan semboyan itu sendiri, oleh para pemimpin rakyat sehingga tanpa dianjurkan lagi rakyat sudah akan dapat melihatnya dan otomatis akan bersikap dan berwatak sama dengan para pemimpinnya?

Pemimpin sama dengan ayah dan rakyat sama dengan anak. Setiap perbuatan ayahnya merupakan pendidikan langsung bagi sang anak. Sebaliknya apa gunanya seorang ayah gembar-gembor melarang anaknya melakukan sesuatu kalau dia sendiri melakukannya? Atau apa gunanya para pemimpin menganjurkan rakyat melakukan ini atau pun itu kalau mereka sendiri tidak melakukannya? Yang penting dalam hidup ini adalah penghayatan, atau kelakuan sehari-hari yang dapat dilihat, bukan kata-kata kosong yang dapat saja dikeluarkan oleh lidah yang tak bertulang.

Demikianlah, diam-diam Sin Liong dan Bi Cu merasa tak senang tinggal di Lembah Naga sebagai tamu-tamu agung dari Pangeran Ceng Han Houw, dan mereka merasa khawatir, akan tetapi mereka tidak berdaya karena tempat itu dijaga oleh ribuan orang pasukan. Dan kecuali mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua, secara diam-diam Sin Liong juga amat berprihatin akan nasib Lie Ciauw Si yang telah menyerahkan diri menjadi isteri pangeran itu berdasarkan cinta kasih.

Bahkan dia telah mendengar dari Bi Cu yang juga mendengar dari Ciauw Si sendiri bahwa wanita gagah itu menikah dengan Ceng Han Houw tanpa persetujuan keluarga, bahkan tidak disaksikan orang lain karena mereka menikah diam-diam di kuil!

********************

Menerima kebaikan orang lain merupakan hal yang mendatangkan perasaan tidak enak kepada seseorang kalau dia tidak mampu untuk melakukan sesuatu sebagai imbalan atau balasan. Demikian pula dengan Sin Liong. Dia merasa tidak enak sekali karena di dalam Istana Lembah Naga itu dia diperlakukan dengan amat baiknya oleh Pangeran Ceng Han Houw. Bahkan semua komandan pengawal menghormatinya dan memandangnya sebagai adik angkat, keluarga dan juga orang terpercaya dari sang pangeran!

Dan memang demikianlah. Sin Liong boleh pergi ke mana pun juga di seluruh daerah itu, akan tetapi tentu saja kalau sendirian. Apa bila dia mengajak Bi Cu, maka mendadak saja penjagaan lalu diperketat dan tempat itu dikurung sehingga tahulah dia bahwa pangeran menghendaki agar Bi Cu tetap tinggal di istana sebagai sandera!

Betapa pun juga, Sin Liong sudah membawa Bi Cu berjalan-jalan, keluar masuk hutan dan menunjukkan tempat-tempat di mana dia ketika kecil bermain-main, bahkan dia juga pergi bersama Bi Cu ke dalam hutan di mana dulu dia dipelihara oleh monyet betina besar.

Dia sempat bertemu pula dengan rombongan monyet-monyet, akan tetapi tentu saja tidak ada seekor pun monyet yang mengenalnya. Padahal dulu, hampir semua monyet di hutan itu mengenalnya, bahkan mentaati perintahnya.

Akan tetapi dia pun cukup cerdik untuk mengetahui bahwa tak mungkinlah baginya untuk melarikan diri bersama Bi Cu dari tempat itu karena sudah terkepung oleh anak buah pangeran, kecuali kalau dia mau mengambil jalan liar melalui hutan-hutan lagi yang tentu akan menghadapi bahaya-bahaya lain lagi yang tidak mau dia menempuhnya karena dia tidak mau membawa kekasihnya ke dalam bahaya.

Karena tidak mau kalau hanya makan tidur saja, maka mulailah Sin Liong ikut melakukan penjagaan. Waktu pertemuan besar antara orang-orang kang-ouw masih sebulan lagi dan selama itu seluruh lembah dijaga. Sin Liong sering kali melakukan perondaan di sekeliling lembah yang sangat sunyi itu, kadang-kadang dia membayangkan apa yang akan terjadi di lembah itu.

Sudah beberapa kali dia mengajak Bi Cu mengunjungi kuburan ibu kandungnya, sebuah makam sederhana, kemudian di situ dia bersembahyang bersama Bi Cu. Kepada Bi Cu dia menceritakan terus terang semua riwayat mengenai ibunya yang sebelah tangannya buntung, tentang dirinya yang sesungguhnya adalah putera ibunya yang bernama Liong Si Kwi dan pendekar Cia Bun Houw.

"Aku tidak tahu apakah yang terjadi dengan ibu kandungku dan ayah kandungku itu. Akan tetapi jelaslah bahwa aku terlahir akibat hubungan antara ibu kandungku dengan Cia Bun Houw. Akan tetapi, melihat bahwa ibuku kemudian menjadi isteri paman Kui Hok Boan dan Cia Bun Houw menikah dengan wanita lain, pendekar wanita Yap In Hong itu, maka kuduga bahwa hubungan itu tentu hubungan gelap. Buktinya sampai sekarang menurut enci Ciauw Si, seluruh keluarga Cin-ling-pai tidak ada yang mengetahuinya. Biar pun aku putera pendekar Cia Bun Houw, akan tetapi agaknya... aku hanyalah anak gelap..."

Bi Cu merangkul kemudian mencium muka yang muram itu. "Sin Liong, baik engkau anak terang, anak gelap atau setengah gelap, bagiku sama saja. Aku sudah bilang, aku tidak peduli engkau ini anak pendekar Cia Bun Houw, anak raja, anak jembel, anak malaikat atau anak setan! Maka, tidak perlu engkau bermuram seperti ini!" Tentu saja Sin Liong lalu tersenyum dan wajahnya menjadi cerah kembali.

Sudah beberapa kali semenjak dia dan Bi Cu berada di Lembah Naga, dia mengajak Bi Cu untuk mengunjungi makam ibunya dan pada senja hari itu dia pun baru saja kembali dari makam ibu kandungnya seorang diri. Dia pun ingin sekali tahu apa yang sebenarnya telah terjadi antara mendiang ibu kandungnya dan pendekar Cia Bun Houw.

Sayang ibunya tidak sempat bercerita kepadanya tentang hal itu. Dan agaknya pendekar Cia Bun Houw juga merahasiakannya, tidak pernah menceritakannya kepada siapa pun juga. Buktinya keluarga Cin-ling-pai tidak ada yang tahu! Dan dia pun tidak sudi bertanya kepada pendekar itu atau mengaku bahwa dia puteranya. Dia tidak mau mengemis belas kasihan dan kasih sayang dari pendekar yang menjadi ayah kandungnya itu atau pun dari siapa juga. Kecuali dari Bi Cu agaknya!

Terhadap Bi Cu, apa pun akan dilakukannya, tanpa kecuali! Hemmm, kalau pendekar itu mau mengakuinya sebagai putera, baik. Jika tidak mau, dia pun tidak butuh menjadi anak pendekar! Dan dia tersenyum girang mengingat akan sikap Bi Cu terhadapnya. Dara itu mencintanya, mencinta dirinya tanpa kecuali, tidak mempedulikan dia itu keturunan siapa. Sedikit kekecewaan dan kedukaan tentang ayah kandungnya itu segera lenyap ketika dia teringat Bi Cu yang mencinta dirinya, bukan keturunannya.

Senja telah mendatang dan biar pun cuaca mulai menyuram, karena cahaya matahari yang mulai bersembunyi di balik puncak itu sudah amat lemah, namun pandang matanya yang tajam masih dapat melihat dan merasakan adanya sesuatu yang tidak beres ketika dia memasuki sebuah hutan kecil di luar Lembah Naga menuju pulang itu. Biasanya, di situ tentu ada belasan orang penjaga yang melakukan penjagaan sambil bersembunyi.

Tadi saat pergi menuju ke makam ibunya, dia masih tersenyum melihat gerakan-gerakan mereka. Para penjaga yang melakukan penjagaan bersembunyi itu hanya berguna untuk menjaga musuh-musuh biasa, akan tetapi kalau yang masuk itu orang pandai, tentu orang itu dapat melihat gerakan-gerakan mereka, pikirnya.

Akan tetapi sekarang, tidak ada gerakan sedikit pun juga. Suasana di tepi hutan itu sunyi bukan main, sunyi dan mati! Timbil kecurigaannya karena biasanya, setiap tempat selalu dijaga siang dan malam secara bergilir. Penjagaan yang merupakan sebuah hutan di tepi Lembah Naga merupakan jalan masuk ke lembah itu tidak terjaga? Ke manakah perginya semua penjaga di situ yang jumlahnya belasan orang itu?

Sebagai orang yang oleh pangeran dipercaya untuk melakukan perondaan dan menjaga keamanan lembah itu, Sin Liong merasa berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan dan kalau perlu menegur komandan penjaga di hutan itu yang dianggapnya lengah sekali.

Dengan gerakan ringan sekali Sin Liong lalu meloncat ke arah sebatang pohon tinggi dan dari puncak pohon itu dia lantas meneliti ke bawah, untuk melihat ke mana perginya para penjaga itu. Dan tiba-tiba saja dia menahan seruan heran ketika melihat tubuh beberapa orang penjaga malang-melintang di belakang semak-semak seperti orang tidur nyenyak, ataukah sudah tewas?

Cepat dia meloncat turun dan lari ke tempat itu. Ternyata nampak belasan orang penjaga yang biasanya menjaga di bagian itu rebah malang-melintang, sama sekali bukan tertidur nyenyak atau mati, melainkan tidak sadar dalam keadaan tertotok semua!

Ada musuh yang menyelundup masuk! Musuh yang lihai sekali, karena hanya musuh lihai saja yang berani merobohkan para penjaga hanya dengan totokan dan tidak membunuh mereka! Sin Liong tidak mau membuang waktu lagi dan cepat dia lalu berkelebat masuk ke dalam hutan kecil itu dan kembali tak lama kemudian dia sudah memeriksa keadaan sekeliling dengan meloncat dan memanjat ke puncak pohon yang tinggi.

Akhirnya dia melihat gerakan dua orang yang cepat sekali di tengah hutan. Agaknya dua orang itulah musuh yang menyelundup, dan agaknya kedua orang itu sedang menunggu malam gelap untuk melanjutkan gerakan mereka, tentu saja untuk menyelundup ke Istana Lembah Naga. Sin Liong lalu meloncat turun dan cepat sekali dia lalu menuju ke tempat itu, berindap-indap dengan hati-hati, akan tetapi cepat bukan main.

Mereka itu adalah seorang pria dan seorang wanita. Kini keduanya sedang duduk bersila di atas rumput, dan tampaknya berunding sambil berbisik-bisik. Sin Liong mendekati dan mengintai, ingin melihat siapa adanya mereka itu. Kedua orang itu dari belakang kelihatan belum tua benar.

Akan tetapi, tanpa menoleh tiba-tiba saja wanita itu telah menggerakkan tangan kirinya ke belakang dan nampak sinar hijau menyambar ke arah rumpun semak-semak di belakang mana Sin Liong mengintai! Itulah Siang-tok-swa (Pasir Beracun Harum), senjata rahasia yang amat berbahaya!

Sin Liong mengenal bahaya, maka dia pun meloncat berdiri dan mengelak ketika sinar hijau itu menyambar. Akan tetapi tiba-tiba wanita yang tadinya duduk bersila itu tahu-tahu sudah melayang ke arahnya dan menyerangnya sambil membentak,

"Robohlah!"

Akan tetapi tentu saja Sin Liong tidak demikian mudah dirobohkan walau pun dia merasa terkejut bukan main menyaksikan kelihaian wanita yang cantik ini. Dia lalu menggerakkan tangan menangkis sambil mengerahkan tenaga.

"Dukkk!"

"Iihhhh...!" Wanita itu agak terhuyung sambil mengeluarkan seruan tertahan, karena dia merasa terkejut dan heran betapa pemuda itu bukan hanya mampu menangkis, bahkan tangkisannya sedemikian kuatnya, membuat dia hampir terhuyung.

Mendadak Sin Liong merasa betapa ada angin yang dahsyat menyambar dari samping. Tahulah dia bahwa ada orang pandai yang menyerangnya. Tentu pria tadi, pikirnya, maka sambil memutar kakinya, dia pun menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkang karena dia tahu bahwa pukulan ini hebat sekali.

"Dessss...!"

Dan akibatnya, keduanya terpental ke belakang dan keduanya sama-sama terkejut. Apa lagi ketika mereka saling mengenal. Sin Liong memandang terbelalak kepada pria gagah perkasa yang ternyata bukan lain adalah ayah kandungnya sendiri, Cia Bun Houw! Maka sekarang dia teringat bahwa wanita itu adalah Yap In Hong, yaitu ibu tirinya, isteri ayah kandungnya!

Pada fihak Cia Bun Houw, dia pun mengenal pemuda ini dan alisnya berkerut, mukanya berubah merah karena dia teringat betapa pemuda yang pernah dikasihi oleh mendiang ayahnya itu, bahkan yang sudah mewarisi semua ilmu dari ayahnya, ternyata merupakan pemuda yang tidak berbudi, yang telah menghalangi dia dan isterinya membunuh musuh besar mereka, Kim Hong Liu-nio. Dan sekarang, pemuda ini agaknya malah membantu Pangeran Ceng Han Houw!

"Engkau...?!" Cia Bun Houw membentak.

Mendengar ini, Yap In Hong juga menunda serangan lanjutannya. Dia memandang dan sekarang pun dia teringat kepada Sin Liong.

"Ehh, kiranya setan cilik ini berada di sini?" Dia pun membentak marah.

Sin Liong menghadapi mereka dan memandang tajam. Dia khawatir sekali melihat ayah kandungnya berkeliaran di situ. Akan tetapi dia pun merasa tak senang melihat ibu tirinya, apa lagi setelah mendengar dia disebut setan cilik!

"Harap ji-wi segera pergi dari sini!" katanya kemudian. "Di sini amat berbahaya."

Cia Bun Houw sudah merasa penasaran sekali. "Dan engkau sendiri?"

"Aku... adalah penjaga di sini, maka aku tahu betapa bahayanya tempat ini."

"Bocah lancang!" Cia Bun Houw membentak marah. "Apakah kau kira, kalau engkau yang berjaga, aku lalu merasa takut padamu?"

"Bocah setan ini memang perlu dihajar!" Yap In Hong berseru karena dia pun merasa betapa anak ini amat buruk wataknya, tidak mengenal budi yang sudah dilimpahkan oleh ketua Cin-ling-pai, yaitu mendiang ayah mertuanya. Sepatutnya Sin Liong ingat budi dan membantu Cin-ling-pai, bukan malah membantu pangeran pemberontak itu!

Sin Liong juga marah, merasa direndahkan, akan tetapi dia menahan sabar dan hanya menggerak-gerakkan kedua tangannya. "Pergilah... pergilah...!"

"Engkau yang pergi ke neraka, bocah murtad!" Cia Bun Houw membentak dan dia sudah menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah kepala Sin Liong.
Akan tetapi, dengan sigap dan cepatnya Sin Liong mengelak, lalu memutar tubuhnya dan tahu-tahu dia pun sudah menyerang, bukan kepada ayah kandungnya, melainkan kepada Yap In Hong, dengan pukulan tangan kiri yang cepat dan dahsyat.

Namun Yap In Hong adalah seorang wanita pendekar sakti yang berilmu tinggi, maka dengan cepat dia dapat menangkis pukulan itu. Lalu terjadilah perkelahian yang seru dan membuat suami isteri pendekar sakti itu terheran-heran tiada habisnya.

Pemuda itu ternyata mampu menghadapi pengeroyokan mereka! Bahkan sama sekali tak pernah terdesak, dan membalas setiap serangan dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat dan ampuhnya! Bahkan pemuda itu juga dapat mainkan Thai-kek Sin-kun dengan amat baiknya, dan menangkis tenaga pukulan Thian-te Sin-ciang dengan tenaga pukulan Thian-te Sin-ciang pula yang tidak kalah kuatnya!

Bahkan ketika kedua orang suami isteri yang amat lihal itu mendesaknya dengan gerakan cepat, Sin Liong sudah melindungi tubuhnya dengan kekebalan menurut ajaran mendiang Kok Beng Lama dan juga mengerahkan Thi-khi I-beng untuk menyedot tenaga dua orang pengeroyoknya! Dua orang suami isteri itu berkali-kali mengeluarkan seruan kaget sekali. Mereka teringat akan kehebatan Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong, karena kehebatan kedua orang kakek sakti itu seolah-olah telah pindah ke dalam diri anak ini!

Tentu saja Sin Liong harus mengerahkan seluruh tenaga yang ada di dalam tubuhnya dan mengeluarkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya untuk menghadapi pengeroyokan dua orang yang demikian saktinya. Hanya dia belum mau mempergunakan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw karena bagaimana pun juga, dia hanya membela diri dan membalas serangan dengan ilmu-ilmu yang didapatnya dari Kok Beng Lama serta Cia Keng Hong sehingga boleh dibilang bahwa pemuda ini menghidapi dua orang lawannya dengan ilmu-ilmu yang sama!

Maka mereka itu seolah-olah hanya berlatih saja, sungguh pun sebenarnya, sama sekali bukan demikian karena suami isteri yang merasa penasaran itu mendesak dengan hebat. Apa lagi setelah lewat lima puluh jurus kedua orang suami isteri yang lihai itu sama sekali belum mampu merobohkan Sin Liong!

Mereka berdua adalah pendekar-pendekar besar sehingga biar pun kelihatannya mereka mengeroyok Sin Liong dengan dahsyat, namun mereka selalu mengendalikan serangan mereka sehingga kalau saja Sin Liong sampai terkena pukulan, tentu saja bukan pukulan mematikan.

Diam-diam Sin Liong juga merasa kagum bukan kepalang. Ayah kandungnya ini memang hebat, dan ibu tirinya pun hebat. Melawan mereka satu lawan satu saja kiranya amat sulit baginya untuk mendapat kemenangan, apa lagi harus melayani dua sekaligus. Entahlah kalau dia mempergunakan ilmunya Hok-mo Cap-sha-ciang.

Akan tetapi dia merasa tidak enak dan malu kalau harus menggunakan ilmu ini kepada mereka, sungguh pun di dalam gerakannya itu sudah dibantu oleh kemajuan yang didapat ketika dia mempelajari ilmu peninggalan Bu Beng Hud-couw itu.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan muncullah puluhan orang prajurit yang dipimpin oleh seorang kakek tinggi besar yang bukan lain adalah Hai-liong-ong Phang Tek, yaitu orang pertama dari Lam-hai Sam-lo! Mereka adalah pasukan penjaga dari sekitar hutan itu yang tertarik oleh perkelahian itu dan segera memasuki hutan dipimpin oleh kakek itu.

Melihat hal ini, Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut. Mereka datang untuk menyelidiki Lembah Naga, sesuai dengan perintah dari Pangeran Hung Chih. Akan tetapi kini mereka sudah ketahuan.

Menghadapi Sin Liong seorang saja sudah cukup berat, apa lagi kalau muncul puluhan orang penjaga. Mereka tidak takut, akan tetapi maklum pula bahwa tidak mungkin mereka berdua saja harus melawan ribuan pasukan yang berada di daerah itu.

Maka Cia Bun Houw mengeluarkan suara melengking nyaring yang menjadi isyarat bagi isterinya untuk melarikan diri. Suara lengkingan dahsyat itu amat luar biasa, mengandung tenaga khikang kuat sehingga beberapa orang pengawal terguling roboh.

Melihat kedua orang itu melarikan diri, Sin Liong tidak mengejar dan membiarkan pasukan pengawal mengejar mereka, yakin bahwa tak mungkin pasukan pengawal itu akan mampu menyusul suami isteri pendekar yang sakti itu. Sementara itu, Hai-liong-ong Phang Tek yang juga tahu akan kelihaian suami isteri itu sehingga merasa jeri untuk pergi mengejar sendirian saja, lantas tersenyum kepada Sin Liong dan menjura sambil berkata, suaranya ramah.

"Senang sekali dapat bertemu dan bekerja sama dengan taihiap."

Sin Liong tidak menjadi bangga dan senang mendengar disebut taihiap itu, yang dia tahu dilakukan oleh kakek ini untuk menghormatinya karena kakek ini tentu sudah tahu bahwa dia dianggap adik angkat atau bahkan keluarga pangeran. Dia tidak tahu bahwa memang kakek ini merasa kagum bukan main melihat dia mampu menandingi pengeroyokan dua orang suami isteri yang terkenal sebagai pendekar-pendekar terbesar di masa itu. Tanpa menjawab, Sin Liong hanya mengangguk kemudian memutar tubuhnya dan pergi dari situ untuk kembali ke kamarnya di Istana Lembah Naga.

Bi Cu telah menyambutnya. Dara ini tidak mau makan malam sebelum Sin Liong pulang dan begitu kekasihnya datang, dia menyambut dengan teguran, "Sin Liong, ke mana saja engkau sampai malam begini? Hatiku merasa gelisah selalu."

Sin Liong lalu menceritakan pertemuannya dengan suami isteri pendekar itu, betapa dia bertempur melawan mereka sehingga kemudian pasukan datang dan kedua suami isteri itu melarikan diri.

"Ahh, ayah kandungmu dan ibu tirimu?" Bi Cu bertanya kaget sekali.

Sin Liong mengangguk dan alisnya berkerut, hatinya gelisah. Tidak disangkanya dia akan bertemu dengan keluarga Cin-ling-pai di tempat itu. Tanpa banyak cakap dia lalu makan malam bersama Bi Cu. Baru saja selesai makan malam, Pangeran Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si mengunjungi mereka.

"Liong-te, aku mendengar dari pasukan penjaga bahwa senja tadi ayah kandungmu dan ibu tirimu muncul..."

"Harap engkau tidak menyebut-nyebut mengenai ayah kandung dan ibu tiri, Houw-ko!" Sin Liong menegur, merasa tidak senang orang bicara seperti itu. Namun kalau Bi Cu yang menyebutnya, hal itu lain lagi!

"Ahh, baiklah. Dan memang sikapmu tadi membuktikan bahwa engkau tidak menganggap mereka ayah dan ibu tiri, Liong-te. Suami isteri perkasa, pasangan pendekar yang paling hebat pada masa ini sudah memberi kehormatan kepadaku dan muncul di sini. Mengapa engkau menerima dan menyambut mereka dengan kepalan, Liong-te? Bukankah engkau tahu bahwa kita membutuhkan tenaga mereka? Mengapa engkau tidak menerima mereka secara baik-baik dan mempersilakan mereka masuk sebagai tamu-tamu agung? Engkau tahu, mereka itu adalah paman dan bibi isteriku, berarti paman dan bibiku sendiri. Kenapa engkau malah menyambut mereka sebagai musuh?"

Sin Liong merasa bingung dengan sikap pangeran ini. Kata-katanya penuh teguran dan penyesalan, akan tetapi pandang mata pangeran itu membayangkan hati yang gembira! Dia sudah mengenal baik sinar mata pangeran itu, maka dia tahu bahwa kalau pangeran itu benar-benar sedang marah, tidak seperti itulah sinar matanya. Dan memang benarlah.

Han Houw merasa sangat kecewa mendengar keluarga Cin-ling-pai yang diharapkannya untuk dapat menjadi sekutunya itu datang sebagai musuh, akan tetapi di samping itu dia pun gembira melihat bukti kenyataan bahwa Sin Liong benar-benar hendak membelanya dan setia padanya sehingga pemuda ini tidak segan-segan untuk melawan ayah kandung sendiri untuk menjaga keamanan di situ! Tentu saja dia tidak tahu bahwa perkelahian itu bukan disebabkan oleh hal itu, tetapi karena Sin Liong didesak dan diserang oleh mereka.

Juga Lie Ciauw Si segera berkata, suaranya halus akan tetapi mengandung teguran dan penyesalan, "Liong-te, kenapa engkau tidak memberitahukan mereka bahwa aku berada di sini dan bahwa aku ingin sekali bertemu dan bicara dengan paman Bun Houw dan bibi In Hong? Ahhh, aku sudah mengutus orang untuk menyampaikan surat kepada keluarga kami, keluarga Cin-ling-pai, tapi begitu paman dan bibi muncul, engkau malah menyerang mereka."

Sin Liong tahu benar bahwa apa yang keluar dari mulut kakak misannya ini memang jujur dan sebenarnya, berbeda dengan ucapan pangeran yang tentunya mengandung hal-hal tersembunyi yang tidak dipercayanya. Karena itu diam-diam dia merasa lega bahwa ayah kandungnya itu telah pergi dari Lembah Naga dan berarti lolos dari ancaman bahaya yang dia tidak dapat membayangkan bagaimana.

"Maafkan, Houw-ko dan lihiap." Dia tetap tidak mau menyebut piauw-ci kepada Lie Ciauw Si, melainkan menyebut lihiap karena kalau dia menyebut piauw-ci, sama artinya bahwa dia menerima Cin-ling-pai sebagai keluarganya. Padahal, dia tidak akan mengemis akan hal itu. "Akan tetapi ketika aku melihat betapa mereka berdua merobohkan belasan orang penjaga dengan totokan, aku menjadi sangat curiga lantas menyerang mereka. Terjadilah perkelahian, kemudian muncul Hai-liong-ong Phang Tek bersama pasukan penjaga, dan mereka melarikan diri."

"Sudahlah," pangeran menarik napas panjang seperti orang menyesal, padahal hatinya terasa lega karena betapa pun juga, dia agak jeri terhadap suami isteri itu. "Semua itu terjadi karena salah sangka. Kelak kalau mereka muncul dalam pertemuan rapat besar orang-orang kang-ouw, tentu akan dapat kita terangkan duduknya perkara dan aku akan mohon maaf kepada paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong!" Pangeran itu menyebut kedua nama ini dengan paman dan bibi, suaranya demikian sungguh-sungguh dan mesra seolah-olah dia memang sudah menerima suami isteri itu menjadi keluarganya.

Hal ini menggirangkan hati Ciauw Si, akan tetapi malah menimbulkan curiga di dalam hati Sin Liong. Pemuda ini tahu bahwa sang pangeran menganggap suami isteri itu sebagai saingan besar untuk memperebutkan julukan jagoan nomor satu di dunia!

Aku harus waspada, pikir Sin Liong. Bukan waspada menjaga keamanan Lembah Naga, melainkan waspada mengamati gerak-gerik pangeran itu untuk menjaga keselamatan Bi Cu dan dirinya sendiri, dan kalau mungkin keselamatan Ciauw Si!

Bagaimanakah suami isteri pendekar itu tiba-tiba dapat muncul di Lembah Naga? Seperti telah kita ketahui, Cia Bun Houw dan isterinya, Yap In Hong, bersama dengan Lie Seng pergi ke kota raja dan mereka bertiga berhasil melarikan Sun Eng dari dalam tahanan di ista¬na Pageran Ceng Han Houw.

Akan tetapi, Sun Eng tidak dapat ditolong dan akhirnya meninggal dunia, sedangkan Lie Seng yang merasa sangat berduka itu akhirnya lalu mengikuti seorang hwesio tua untuk mengasingkan diri dari dunia ramai dan masuk menjadi seorang hwesio yang tidak lagi mencampuri urusan duniawi!

Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu kembali ke kota raja dan berhasil menemui Pangeran Hung Chih, dan mereka pun menerima berita baik sekali, yaitu bahwa mereka sekeluarga Cin-ling-pai sudah dibebaskan dari pada tuduhan memberontak dan tidak menjadi buruan pemerintah lagi.

Dengan girang mereka lalu menyampaikan berita ini kepada kedua orang kakak mereka, yaitu suami isteri Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng yang masih bersembunyi di selatan. Mereka berdua kemudian menitipkan putera mereka dalam asuhan suami isteri yang lebih tua itu karena mereka telah berjanji pada Pangeran Hung Chih untuk membantu pangeran itu menghadapi usaha pemberontakan Ceng Han Houw.

Demikianlah, kedatangan mereka ke utara itu adalah dalam rangka tugas ini, yaitu untuk melakukan penyelidikan mengenai kegiatan pangeran peranakan Mongol itu. Tak mereka sangka, mereka telah dipergoki oleh Sin Liong!

Sesudah berhasil melarikan diri keluar dari Lembah Naga, suami isteri ini lalu mengirim laporan mengenai Lembah Naga yang kini terjaga oleh ribuan orang pasukan Mongol dan bangsa-bangsa utara lainnya itu secara panjang lebar, kemudian mengutus salah seorang di antara para penyelidik untuk membawa laporan itu ke sebelah dalam Tembok Besar.

Sementara itu, mereka berdua masih terus menanti di luar Lembah Naga untuk mengikuti perkembangan usaha Pangeran Ceng Han Houw mengadakan pertemuan besar dengan tokoh-tokoh kang-ouw. Sering kali mereka membicarakan tentang Sin Liong.

"Bocah setan itu benar-benar lihai sekali," kata Yap In Hong. "Sungguh luar biasa bocah seperti itu bisa memiliki semua ilmu-ilmu Cin-ling-pai sedemikian sempurnanya. Dia telah mewarisi semua kepandaian mendiang suhu Kok Beng Lama!"

"Dan juga kepandaian mendiang ayah!" kata Bun Houw sambil menarik napas panjang. "Sebagai putera tunggal ayah aku sendiri tidak mewarisi Thi-khi I-beng, demikian juga enci Giok Keng sebagai puteri tunggalnya pun tidak. Yang mewarisi hanya kakanda Yap Kun Liong seorang. Akan tetapi siapa kira, bocah setan itu sekarang mewarisinya, dan dapat mempergunakannya dengan mahir sekali!"

"Dia telah menggabungkan ilmu-ilmu dua orang guru besar secara hebat. Tentu dia akan merupakan lawan yang tangguh sekali!"

"Memang benar. Sungguh aku tidak mengerti mengapa suhu Kok Beng Lama dan ayahku menurunkan semua ilmu mereka kepada bocah tak berbudi itu sehingga kini semua ilmu kita digunakan untuk melawan kita sendiri dan membela pangeran pemberontak. Sungguh penasaran sekali. Kalau saja mendiang ayah dan mendiang suhu Kok Beng Lama dapat melihat hal ini, tentu mereka berdua akan merasa menyesal sekali."

"Sudahlah, kita tidak perlu gelisah dan khawatir. Bagaimana pun juga, dia masih sangat muda dan belum berpengalaman. Mungkin saja dia kena terbujuk oleh pangeran itu, siapa tahu? Kita belum melihat benar bagaimana isi hati anak yang aneh dan keras hati itu. Agaknya tidak mungkin kalau kedua orang tua yang bijaksana itu sampai salah mengenal orang. Kita lihat saja bagaimana perkembangan selanjutnya di Lembah Naga."

Cia Bun Houw menyetujui pendapat isterinya ini dan mereka menanti sambil memasang matadengan waspada, menanti perkembangan dan datangnya hari pertemuan para tokoh kang-ouw di Lembah Naga yang undangannya sudah disebar oleh kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw beberapa bulan sebelumnya.

Semua tokoh kang-ouw yang merasa berkepandaian diundang, tanpa menentukan siapa orangnya. Dalam undangan yang disebar itu dikemukakan bahwa di dalam pertemuan itu akan dipilih seorang bengcu yang akan memimpin seluruh dunia kang-ouw sebagai jago nomor satu di dunia ini!

Suami isteri ini maklum bahwa tentu semua tokoh kang-ouw akan tertarik oleh undangan istimewa ini dan Lembah Naga akan menjadi ramai bukan main. Akan tetapi mereka pun tahu bahwa akan terjadi keramaian lainnya yang sama sekali tak akan terduga-duga oleh Pangeran Ceng Han Houw si pemberontak itu. Kini mereka menanti saat penentuan itu dengan tenang dan waspada.

********************

Selanjutnya,