Pendekar Lembah Naga Jilid 53 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Lembah Naga Jilid 53
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SUDAH terlampau lama kita meninggalkan keadaan Tee Beng Sin si pemuda gemuk yang gagah perkasa itu. Sesudah kita mengetahui bahwa yang memiliki she (nama keturunan) Tee adalah ibu kandungnya yang kini telah menjadi nikouw, sedangkan ayah kandungnya sesungguhnya adalah Kui Hok Boan, maka nama lengkapnya tentu saja bukan Tee Beng Sin melainkan Kui Beng Sin! Bagi Beng Sin hal ini merupakan kenyataan pahit karena sesungguhnya dia mulai merasa tidak suka terhadap orang yang ternyata adalah ayah kandungnya sendiri itu!

Sesudah dia bertemu dengan ibu kandungnya yang telah menjadi seorang nikouw dalam kuil dan tidak mau mengakui lagi sebagai Tee Cui Hwa dan mengatakan bahwa Tee Cui Hwa telah mati dan bahwa dia adalah Thian Sin Nikouw, dengan hati perih sekali ibunya menceritakan tentang riwayat ayah kandungnya yang busuk! Akan tetapi ada juga sedikit hiburan di dalam hatinya, yaitu bahwa ibunya itu melalui kata-kata Thian Sin Nikouw, telah menyetujui perjodohannya dengan puteri Ciok-piauwsu yang baik budi dan gagah itu.

Dia tidak lagi mengharapkan ayah kandungnya yang sudah ditinggalkannya. Dia tidak lagi dapat mengharapkan perjodohan dengan salah seorang di antara dua puteri kembar ayah kandungnya itu, karena Lan dan Lin ternyata adalah adik-adik tirinya sendiri, satu ayah berlainan ibu! Maka dengan besar hati dia pergi meninggalkan ibunya dan berangkatlah pemuda gemuk yang berwatak gembira ini menuju ke Su-couw di Ho-nan, di mana dia tahu keluarga Ciok, terutama sekali Ciok Siu Lan dara yang manis itu, sudah menantinya dengan penuh harapan.

Apa yang dibayangkannya itu memang benar. Ketika dia tiba di rumah calon mertuanya itu, dia disambut dengan gembira dan amat meriah. Siu Lan, dara itu, tidak mengeluarkan sepatah kata pun, akan tetapi wajah yang manis itu menjadi cerah bukan main, sepasang matanya yang bening itu berkaca-kaca, basah dan berkilauan, mulutnya yang mungil itu mengulum senyum dan setelah mengerling dan tersenyum malu-malu kepada Beng Sin, memberi hormat, dia lantas melarikan diri dengan langkah-langkah kecil ke dalam rumah, membanting dirinya di atas pembaringan dalam kamarnya dan... menangis karena girang!

Ciok-piauwsu dan isterinya, calon ayah dan ibu mertua Beng Sin, menyambut pemuda itu dengan girang, dan mereka lalu mendengarkan dengan wajah serius pada saat Beng Sin menceritakan segala yang sudah dialaminya. Pemuda ini merasa bahwa apa bila dia mau menjadi keluarga mereka ini, dia harus menceritakan segala keadaannya. Tentu saja dia tidak mau menceritakan keburukan ayah kandung sendiri.

Dan yang mula-mula sekali dikatakannya adalah, "Saya telah membunuh kakak tiri saya sendiri..."

Tentu saja pengakuan ini mengejutkan Ciok-piauwsu serta isterinya. Akan tetapi setelah Beng Sin menceritakan segalanya, tentang perbuatan Siong Bu yang mencelakakan Lan Lan dan Lin Lin, juga tentang pertempuran yang terjadi di antara mereka karena marah, kemudian tentang kematian Siong Bu dalam perkelahian itu, Ciok-piauwsu menarik napas panjang dan berkata,

"Engkau tak bersalah dalam hal itu. Tewas dalam perkelahian memperebutkan kebenaran adalah sudah jamak."

Besar hatinya mendengar pendapat calon ayah mertuanya ini, Beng Sin lalu menceritakan segala-galanya. Betapa ayah dan ibunya sudah berpisah, dan ibunya kini menjadi nikouw dan tak mau lagi mencampuri urusan duniawi. Betapa dia sendiri menjadi bentrok dengan ayahnya karena peristiwa kematian kakak tirinya itu, maka dia sendiri tidak ingin kembali kepada ayah kandungnya. Betapa ibunya, sebagai seorang nikouw, merestui perjodohan yang diusulkan oleh keluarga Ciok.

Semua itu didengarkan oleh suami isteri dengan penuh kesungguhan hati dan juga rasa kagum. Pemuda calon menantunya ini benar-benar seorang yang sangat jujur, tidak mau menutupi segala keburukan keluarganya sendiri. Masih jauh lebih baik memiliki seorang mantu yang jujur seperti ini dari pada kalau menyembunyikan dan merahasiakan segala kebusukan keluarganya. Dengan bersikap jujur seperti itu, Beng Sin sudah membuktikan bahwa dia tidaklah busuk seperti kakak tirinya atau ayah kandungnya sendiri!

"Saya sendiri sungguh mati tak pernah dapat mengerti kenapa ayah kandung dan kakak tiri saya begitu tega untuk mencelakakan Lan-moi dan Lin-moi, mau menyerahkan mereka kepada pangeran keparat itu!" Akhirnya Beng Sin berkata sambil mengepal tinjunya. "Apa bila saya berkepandaian, tentu akan saya tolong Lan-moi dan Lin-moi! Akan tetapi apa daya saya terhadap seorang seperti pangeran itu?"

"Tenangkan hatimu, Beng Sin," kata calon ayah mertuanya. "Kini kedua orang adikmu itu telah selamat."

"Ehhh? Bagaimana... ehh, gak-hu (ayah mertua) bisa tahu...?" Biar pun agak malu-malu, dia tak ragu-ragu lagi menyebut ayah mertua sehingga menggirangkan hati Ciok-piauwsu.

"Mereka telah diselamatkan oleh kakak tiri mereka yang bernama Liong begitu, demikian menurut pendengaranku, dan mereka kini bahkan telah kembali ke rumah Ciang-piauwsu ketua Hek-eng Piauwkiok yang menganggap mereka seperti anak sendiri, bahkan mereka datang bersama ayah mereka."

Muka yang gemuk itu memandang dengan mulut melongo, merasa terheran-heran akan tetapi juga girang sekali mendengar bahwa Lan Lan dan Lin Lin selamat.

"Ahh, tentu Sin Liong yang menyelamatkan mereka! Sin Liong hebat sekali! Dan mereka berada di kota ini? Bersama ayah?" Pertanyaan terakhir ini bernada tak senang.

"Benar, dan mereka kini sudah membeli rumah sendiri. Engkau harus cepat mengunjungi ayahmu beserta adik-adikmu itu, Beng Sin. Kami girang bahwa engkau dapat berkumpul dengan keluargamu yang kini telah pindah ke sini. Sungguh kebetulan sekali dan mudah untuk mengesahkan perjodohan antara engkau dan Siu Lan."

Akan tetapi wajah yang gemuk dan bulat itu menjadi muram dan dia menggeleng kepala. "Saya tidak akan mengunjungi ayah..."

Suami isteri itu saling pandang, kemudian Ciok-piauwsu pun berkata dengan nada suara bersungguh-sungguh, "Beng Sin, kami mengharap engkau tidak mengecewakan hati kami dengan melesetnya pandangan kami tentang dirimu. Kami sudah memandangmu sebagai seorang pemuda gagah perkasa yang baik budi serta bijaksana. Akan tetapi, semua itu akan menjadi tak ada gunanya bila sekarang engkau hendak bersikap murtad dan kejam terhadap ayah kandung sendiri."

"Akan tetapi, gak-hu..., hanya saya yang tahu betapa jahatnya dia... betapa kejamnya... ahh, sudah terlalu banyak hal keji dilakukan ayah... saya merasa malu sendiri... bahkan puteri-puterinya sendiri pun ingin diserahkan kepada pangeran itu, seperti domba-domba diserahkan kepada jagal untuk disembelih..."

"Cukup, Beng Sin!" Tiba-tiba Ciok-piauwsu berkata dengan suara keras dan tegas. "Kami tidak ingin mendengar keburukan-keburukan orang, apa lagi kalau orang itu adalah ayah kandungmu. Betapa pun banyaknya penyelewengan yang pernah dilakukannya, apakah engkau sebagai puteranya tidak menaruh hati kasihan dan tak mau memaafkannya? Dia sekarang... ahhh, sakit parah..."

"Ahhh...?" Beng Sin terkejut.

"Benar, Beng Sin," sambung ibu mertuanya. "Ayahmu itu sedang menderita penyakit yang payah, maka sebaiknya kalau engkau cepat menengoknya agar hati orang tua itu terhibur. Juga, kasihan dua orang adikmu itu yang merasa bingung melihat ayah mereka sakit."

Mendengar betapa Kui Hok Boan sakit payah, dan kedua orang gadis kembar itu menjadi bingung, timbul rasa kasihan di dalam hati Beng Sin. Betapa pun juga, ayah kandungnya atau bukan, Kui Hok Boan adalah orang yang telah melimpahkan banyak budi kebaikan kepadanya. Dan dia sangat menyayang dua orang dara kembar itu, bahkan dia pernah jatuh hati kepada Lin Lin sebagai seorang pria yang mencinta wanita, sungguh pun kini cintanya itu berubah menjadi cinta seorang kakak terhadap seorang adiknya.

"Baik, saya akan pergi mengunjungi mereka."

Giranglah hati ayah dan ibu mertua ini dan mereka lalu menunjukkan jalan ke arah rumah tinggal Lan Lan, Lin Lin, dan ayah mereka. Dengan jantung berdebar Beng Sin menuju ke rumah yang cukup besar itu. Kiranya, dengan bantuan keluarga Ciang-piauwsu, Kui Hok Boan kini membeli sebuah rumah, tentu saja yang mengurusnya adalah Ciang-piauwsu bersama Kui Lan dan Kui Lin, dan tinggal di rumah ini.

Kui Lan dan Kui Lin menggunakan uang hasil penjualan perhiasan untuk membeli rumah dan perabot-perabot rumah, kemudian sisa harta mereka itu mereka serahkan kepada ayah angkat mereka, Ciang-piauwsu ketua Hek-eng Piauwkiok, untuk dijalankan hingga modal itu dapat menghasilkan keuntungan sehingga tak akan habis dimakan menganggur begitu saja.

Ketika Kui Lan dan Kui Lin melihat siapa orangnya yang datang berkunjung, keduanya menjadi girang dan juga terharu. Mereka menubruk dan memegangi kedua tangan Beng Sin sambil menangis.

"Sin-ko...!" Kui Lan terisak.

"Sin-ko, kenapa baru sekarang kau muncul?" Kui Lin juga menangis.

Beng Sin tidak dapat menahan runtuhnya beberapa butir air matanya melihat dua orang dara kembar yang amat disayangnya ini. "Lan-moi... Lin-moi... terima kasih kepada Thian bahwa kalian dalam selamat...," katanya berulang-ulang.

Dia terharu sekali memandang wajah Kui Lan yang ternyata sekarang adalah adik tirinya, sedarah dengan dia, seayah!

"Kami diselamatkan oleh Liong-koko," kata Kui Lan.

"Dan Liong-koko yang menyuruh kami membawa ayah pindah ke sini," sambung Kui Lin.

Sukar bagi mulut Beng Sin untuk bertanya mengenai ayahnya. Ahhh, sudah tahukah dua orang dara kembar ini bahwa dia adalah saudara sedarah dengan mereka? Dan sudah dengarkah mereka mengenai kematian Siong Bu? Yang paling buruk harus dibicarakan lebih dulu, pikirnya, maka dia lalu berkata,

"Lan-moi dan Lin-moi, aku... aku telah... membunuh Bu-ko..."

Dua orang dara itu mengangguk dan mengusap air mata, "Kami sudah mendengar semua itu dari Liong-koko, Sin-ko," kata Kui Lan.

"Bukan salahmu, Sin-ko, Bu-ko memang jahat dan dia tewas dalam perkelahian karena engkau membela kami... ahh, kami sudah tahu akan semua itu dari Liong-koko dan dari... dari ayah..."

"Kami berdua sudah tahu bahwa engkau adalah putera kandung ayah pula, seperti juga mendiang Bu-ko. Ah, kami sudah mendengar banyak, Sin-ko... tentang ayah... dia... dia..." Kui Lan tak dapat melanjutkan kata-katanya dan menangis.

Dari kata-kata ayah mereka yang sering mengigau dan bicara sendiri itu, maka akhirnya keluarlah semua rahasia Kui Hok Boan dan tahulah kedua orang dara kembar itu betapa ayahnya dahulu adalah seorang yang amat kejam dan jahat, yang telah menganiaya dan merusak banyak sekali wanita. Ayah mereka adalah seorang lelaki mata keranjang yang suka merayu dan menyia-nyiakan wanita yang sudah menjadi korbannya. Bahkan mereka tahu pula bahwa pembunuh ayah Bhe Bi Cu, teman Sin Liong itu, juga ternyata adalah ayah mereka sendiri.

Beng Sin mengangguk-angguk. Agak ringan hatinya setelah mendengar bahwa dua orang adiknya ini pun sudah tahu segala hal mengenai ayah mereka. "Bagaimana... ayah...?" tanyanya dengan kaku karena dia masih belum dapat menerima kenyataan bahwa Kui Hok Boan adalah ayah kandungnya sendiri. "Aku mendengar dari keluarga Ciok bahwa dia sakit payah?"

Kui Lan hanya mengangguk, akan tetapi Kui Lin menerangkan, "tubuhnya tidak apa-apa, Sin-ko. Jasmaninya tidak sakit akan tetapi..."

"Tetapi bagaimana?" Beng Sin mendesak, alisnya berkerut dan jantungnya berdebar, dia hampir merasa dapat mengerti.

"Pikirannya... batinnya terpukul hebat dan dia... dia..."

"Seperti anak kecil, atau seperti orang bingung, selalu dalam keadaan duka dan sesal. Sungguh kasihan sekali dia, Sin-ko," Kui Lan menyambung.

Beng Sin lalu diantar oleh dua orang adiknya, digandeng di kanan kiri, menuju ke dalam dan dengan hati-hati Kui Lan membuka kamar ayahnya.

Terharu bukan main hati pemuda gemuk yang memang berbudi ini ketika melihat orang tua itu. Kui Hok Boan yang dahulu terkenal sebagai seorang pria tampan dengan pakaian yang selalu rapi itu kini bagaikan seorang jembel tua saja. Pakaiannya kusut, rambutnya kusut, tubuhnya kurus kering, matanya sayu dan walau pun kamar itu lengkap dengan pembaringan dan kursi, namun orang tua itu rebah di atas lantai kamar! Dia menoleh dan ketika bertemu pandang dengan Beng Sin, dia bangkit duduk dan melebarkan matanya.

"Ayah, ini Sin-ko datang menjenguk," kata Kui Lan.

"Ayah, ini kakak Beng Sin. Lupakah ayah kepadanya?" Kui Lin mengingatkan.

"Beng Sin... Beng Sin... anakku...," kata orang tua itu lirih seperti berbisik.

Beng Sin tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan orang tua itu sambil menitikkan air mata. "Ayah...!" Dia tidak mampu bicara apa-apa lagi kecuali menyebut ayah kepada orang tua itu. Mau bicara apakah?

"Beng Sin, engkau anakku... ya, engkau telah membunuh Siong Bu! Kenapa engkau tidak membunuh aku sekalian? Bunuhlah aku, Beng Sin, seperti aku sudah membunuh ibumu, Tee Cui Hwa, seperti aku telah membunuh ibu Siong Bu, Kwan Siang Li, seperti aku telah membunuh Liong Si Kwi. Ya, ibu-ibu kalian sudah mati di tanganku semua... hu-huk, mati karena aku... bunuhlah aku... hu-huk-huhhhh..." dan orang tua itu pun menangis seperti anak kecil!

Beng Sin terkejut dan memandang dengan muka pucat. Kui Lin lalu menarik tangan Beng Sin, diajaknya bangun dan mereka lalu meninggalkan orang tua itu. Kui Lan menutupkan kembali daun pintu kamar itu perlahan-lahan. Suara isak tangis orang tua itu masih terus terdengar.

"Dia selalu begitu...," kata Kui Lin berbisik. "Jika ditanggapi malah semakin menjadi-jadi. Sebaiknya didiamkan dan dia akan tertidur."

Beng Sin menggeleng-geleng kepalanya. "Sungguh kasihan sekali ayah kita... dia harus menderita batin seperti itu..."

"Itukah hukum karma? Siapa menanam bibitnya dia akan memetik buahnya?" kata Kui Lin meragu.

"Betapa pun juga, itu merupakan pelajaran bagi kita semua. Ayah kita pernah melakukan kesesatan dalam kehidupannya, biarlah itu memperingatkan kita supaya kita tidak sampai melakukan penyelewengan dan menjadi sesat," kata Kui Lan.

Memang tiga orang anak dari Kui Hok Boan ini tadinya merasa tidak senang akan segala perbuatan jahat ayah kandung mereka dan ada perasaan benci dalam hati mereka. Akan tetapi sesudah menyaksikan keadaan ayah mereka yang sedemikian mengenaskan, lebih menyedihkan dari pada mati sendiri, hidup akan tetapi menderita dalam kedukaan dan penyesalan yang tiada habisnya, timbullah rasa iba.

Apakah artinya segala penyesalan setelah terlambat? Dan apakah gunanya penyesalan? Penyesalan dianggap benar oleh umum karena penyesalan akan membuat orang sadar kembali. Akan tetapi benarkah demikian? Ataukah penyesalan sekedar menjadi hiburan saja bagi si pelaku, hiburan untuk menutupi batinnya yang menderita karena perbuatan dirinya sendiri?

Betapa seringnya kita menyesal, tetapi betapa seringnya pula perbuatan yang sama kita lakukan dan kita ulang kembali! Orang yang berbatin lemah dan tumpul selalu berada di dalam keadaan tidak waspada dan tidak sadar, sehingga mudah saja dibuai bayangan kesenangan, dan kalau sudah menghadapi kesenangannya, maka tidak teringat apa-apa lagi, tidak teringat akan akibatnya.

Orang yang batinnya lemah dan tumpul seperti itu hanya mementingkan kesenangan. Sesudah kesenangan yang dinikmatinya itu kemudian mendatangkan akibat yang tidak menyenangkan, barulah dia merasa menyesal! Coba andai kata tidak ada akibat yang mendatangkan derita, apakah dia akan menyesali perbuatannya mengejar kesenangan itu? Tentu saja tidak!

Sama halnya dengan orang makan sambal. Setiap kali habis makan, lantas kepedasan dan menyesal, menyatakan tobat dan kapok. Akan tetapi di lain saat dia sudah makan sambal lagi!

Demikian pula orang yang melakukan penyelewengan, menyesal dan menangis, bertobat melalui mulut kepada Tuhan. Namun begitu berhadapan dengan bayangan kesenangan yang sama, maka perbuatan itu akan diulang untuk kemudian menyesal dan bertobat kembali. Bila kita mau membuka mata melihat kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, dapatkah kita menyangkal kenyataan yang benar ini?

Bukan penyesalan yang kita perlukan dalam hidup. Yang terpenting adalah kewaspadaan dan kesadaran yang timbul karena mengamati diri sendiri setiap saat. Pengamatan inilah yang kemudian menimbulkan kebijaksanaan serta kecerdasan, yang akan meniadakan penyelewengan dan kesesatan. Dan bila tidak ada penyelewengan dan kesesatan, tidak perlu lagi ada penyesalan dan bertobat.

Kalau pun kecerdasan dan kebijaksanaan yang timbul dari kewaspadaan melihat bahwa apa yang kita lakukan tidak benar, maka seketika itu juga kita menghentikan perbuatan tidak benar itu dan selesai sampai di sana saja. Tidak ada penyesalan, juga tidak ada kerinduan terhadap perbuatan yang lalu itu. Yang lampau sudah mati, sudah habis dan kewaspadaan adalah sekarang, saat ini, saat demi saat. Hidup adalah saat demi saat, bukan kemarin, bukan esok. Akan tetapi sekarang. Karena itu hidup waspada dan sadar adalah sekarang ini!

Yang teramat penting dalam hidup adalah sekarang ini. Sekarang benar! Apakah benar itu? Tidak dapat diterangkan, karena yang dapat diterangkan hanyalah benarnya sendiri, benarnya masing-masing, maka terjadilah perebutan kebenaran sendiri-sendiri, dan jelas hal ini adalah tidak benar lagi! Akan tetapi, apa pun yang kita lakukan, apa bila didasari dengan cinta kasih, maka benarlah itu! Dan cinta kasih tak akan ada selama di situ ada si aku yang ingin benar, ingin senang, ingin baik dan sebagainya.


Melihat keadaan ayahnya, Beng Sin minta kepada calon mertuanya supaya pernikahan diundurkan, menanti sampai ayahnya sembuh atau setidaknya agak normal keadaannya. Karena pada waktu itu, ketika mendengar laporan anak-anaknya tentang perjodohan itu, dia hanya mengangguk saja atau menangis!

********************

Beberapa hari sebelum hari yang ditetapkan untuk pertemuan para tokoh kang-ouw itu tiba, daerah di Lembah Naga sudah dibanjiri oleh banyak orang kang-ouw. Juga banyak partai-partai persilatan yang mengutus rombongan anak murid untuk datang berkunjung, bukan untuk memperebutkan kedudukan bengcu atau jago nomor satu di dunia, namun untuk menyaksikan pemilihan itu dan untuk melihat siapa yang akan menjadi bengcu.

Tentu saja para utusan itu diberi wewenang untuk menentang kalau pemilihan itu kurang tepat, dan tentu saja mereka pun boleh turun tangan jika untuk membela nama partainya sendiri. Partai-partai persilatan yang termasuk golongan putih atau golongan bersih tentu sudah memesan kepada para utusannya agar tidak mencari permusuhan, dan membuka mata dan telinga dengan waspada menyaksikan perkembangan pemilihan bengcu itu.

Selain tokoh-tokoh kang-ouw perorangan, baik dari golongan hitam mau pun putih, maka nampak bendera-bendera yang dibawa oleh rombongan anak murid dari partai persilatan Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai, dan bahkan Siauw-lim-pai juga tidak ketinggalan mengutus rombongannya. Di samping empat partai besar ini, masih terdapat pula banyak partai-partai kecil.

Di antara banyak orang itu, yang jumlahnya hampir ada dua ratus orang, terdapat empat orang pendekar atau dua pasangan suami isteri yang berpakaian sederhana, akan tetapi apa bila para tokoh kang-ouw itu mendengar nama mereka, tentu orang-orang itu akan menjadi gempar. Dua pasangan suami isteri ini adalah Yap Kun Liong bersama Cia Giok Keng, dan Cia Bun Houw bersama Yap In Hong.

Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut bukan kepalang ketika mereka bertemu dengan kakak-kakak mereka itu dan mendengar bahwa kakak-kakak mereka itu menerima surat dari Lie Ciauw Si bahwa kini dara itu sudah menikah dengan Pangeran Ceng Han Houw dengan upacara pernikahan di kuil tanpa disaksikan keluarga!

Karena pangeran berada dalam keadaan terancam bahaya dan terdesak, maka kami pun terpaksa mengambil keputusan menikah di kuil, demikian antara lain bunyi surat Ciauw Si. Selain mohon maaf kepada ibu kandungnya, juga dara itu menyatakan bahwa dia dengan sang pangeran sudah saling mencinta dan hanya kematian sajalah yang akan mampu memisahkan mereka satu dari yang lain.

"Aihh, mengapa anak-anakku begitu bodoh...," keluh Cia Giok Keng, keluhan yang sudah dikeluarkan berkali-kali. Hati ibu ini berduka sekali mengingat akan nasib Lie Seng dan Lie Ciauw Si, dua orang anaknya yang dianggap keliru memilih jodoh.

Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong merasa penasaran sekali mengapa Ciauw Si dapat terpikat oleh pangeran pemberontak murid dari Hek-hiat Mo-li itu. Hanya Yap Kun Liong seorang yang tidak mengeluarkan kata-kata, akan tetapi di dalam hatinya pendekar yang sudah matang oleh gemblengan pengalaman hidup ini mengerti apa artinya orang jatuh cinta dan dia sama sekali tidak dapat menyalahkan Lie Seng mau pun Lie Ciauw Si.

"Lalu apa yang harus kita lakukan, enci Keng?" Cia Bun Houw bertanya kepada enci-nya, "Kita datang ke Lembah Naga ini sebagai utusan kerajaan untuk menyelidiki dan kalau perlu menentang gerakan Ceng Han Houw, namun ternyata pangeran itu sudah menjadi mantumu dan Ciauw Si berada di fihaknya sebagai isterinya!"

Memang amat sukar untuk mengambil keputusan, menghadapi keadaan seperti itu. Akan tetapi dengan suara gemetar tanda bahwa hatinya terguncang hebat, Cia Giok Keng yang kini mulai nampak tua dalam usianya yang lima puluh tahun itu, berkata lantang,

"Biar anak sendiri sekali pun, kalau salah harus kita tentang, dan biar bukan orang sendiri, kalau benar juga haruslah kita bela!"

Yap Kun Liong merasa kasihan sekali kepada isterinya yang tercinta ini. Dia lalu berkata dengan suara yang halus, "Kita lihat saja bagaimana keadaannya nanti dan bagaimana perkembangannya. Sama sekali kita tidak boleh hanya menuruti dorongan perasaan hati. Seorang gagah harus adil dan bijaksana, oleh karena itu kita harus waspada dan dapat mengambil tindakan yang setepat-tepatnya. Menyalahkan atau membenarkan orang lain menurutkan perasaan hati sendiri sering kali menyesatkan."

Tiga orang pendekar lainnya mengangguk dan secara diam-diam membenarkan ucapan itu. Memang teringat oleh mereka betapa keluarga Cin-ling-pai semenjak dahulu dilanda kekecewaan-kekecewaan dan penyesalan-penyesalan, bahkan nyaris dilanda oleh bahaya perpecahan akibat pandangan-pandangan yang terlalu menurutkan perasaan hati sendiri.

Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng sudah mengalami pahit getirnya akibat dari pandangan seperti itu. Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong sudah pula merasakan betapa sampai bertahun-tahun mereka harus pergi meninggalkan keluarga Cin-ling-pai akibat pandangan mendiang ayah Bun Houw yang menentang perjodohan itu.

Kemudian, terjadi pula pada diri Lie Seng yang memilih jodoh yang tidak disetujui oleh ibu kandungnya dan keluarganya. Kini terulang kembali oleh Ciauw Si! Dan justru apa yang dilakukan oleh Ciauw Si merupakan puncaknya, yang terhebat di antara semua keturunan Cin-ling-pai. Ciauw Si memilih orang yang justru merupakan musuh keluarga Cin-ling-pai sebagai jodohnya, dan bahkan kini menjadi musuh kerajaan, menjadi pemberontak besar! Benar-benar sukar bagi mereka membayangkan kemungkinan seperti ini.

Lembah Naga menjadi ramai dan kini tampaklah barisan penjaga yang berpakaian indah dan bersenjata lengkap memenuhi kedua tepi jalan semenjak dari luar daerah sampai ke daerah Lembah Naga, berdiri dengan hormatnya menyambut para tokoh kang-ouw yang berbondong-bondong memasuki daerah itu. Orang-orang kang-ouw itu diam-diam terkejut juga menyaksikan betapa tempat itu telah terjaga sedemikian kuatnya oleh pasukan yang ratusan orang jumlahnya, bahkan mungkin tidak kurang dari seribu orang!

Dan ketika mereka tiba di Istana Lembah Naga, ternyata tempat itu sudah dihias dengan meriah seperti hendak mengadakan pesta besar. Ruangan depan yang sangat luas dan dapat menampung seribu orang itu dihias dan nampak meja kursi dijajar rapi, sedangkan bagian tengahnya dibiarkan kosong.

Pangeran Ceng Han Houw memang amat cerdik. Dia segera tahu dari para penyelidiknya siapa-siapa yang datang menghadiri rapat itu, karena itu dia pun sengaja menyuruh para pembantunya yang tidak terkenal untuk menyambut di depan istana dan mempersilakan semua tamu itu duduk ke ruangan depan. Dengan demikian, maka di antara para tamu itu tidak ada yang merasa sungkan.

Apa lagi dia pun mendapat kabar bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai yang tadinya menjadi buronan pemerintah itu juga datang! Apa bila dia sendiri yang maju menyambut, tentu dia harus memberi hormat kepada ibu kandung Ciauw Si dan keluarganya, dan dia belum dapat membayangkan bagaimana sikap mereka setelah mendengar bahwa Ciauw Si menjadi isterinya.

Dan tindakannya ini melegakan hati banyak tamu, terutama sekali empat orang pendekar Cin-ling-pai itu yang juga belum dapat menentukan bagaimana sikap mereka seandainya pangeran itu sendiri yang menyambut. Mereka menyusup di antara banyak tamu lantas memilih tempat duduk agak di sebelah luar sehingga tidak terlalu menyolok.

Ketika empat orang pendekar Cin-ling-pai ini sudah mengambil tempat duduk dan mereka mencari-cari dengan pandang mata mereka, tidak atau belum nampak adanya Pangeran Ceng Han Houw atau Lie Ciauw Si. Bahkan juga Sin Liong tidak nampak.

Memang mereka masih berada di dalam istana, mereka berempat, yaitu Ceng Han Houw, Lie Ciauw Si, Sin Liong dan Bi Cu. Baru saja Pangeran Ceng Han Houw mengumpulkan pembantu-pembantunya yang lain, yaitu Kim Hong Liu-nio, Hek-hiat Mo-li, Hai-liong-ong Phang Tek dan yang lain-lain, memberi perintah-perintah kepada mereka. Barulah dia kini mengadakan perundingan dengan isterinya, yang dihadiri oleh Sin Liong dan Bi Cu.

Wajah Ciauw Si nampak agak pucat. Jelas bahwa dia merasa gelisah sekali mendengar bahwa ibu kandungnya hadir pula di situ bersama ayah tirinya, paman dan bibinya.

"Aku... aku bingung sekali, tidak tahu bagaimana harus bertemu dengan ibuku," katanya "Bagaimana kalau beliau dipersilakan masuk saja sehingga aku dapat menghadapnya di sini?"

Ceng Han Houw menggelengkan kepala. "Kurasa hal itu kurang bijaksana, Si-moi. Ingat bahwa beliau pada saat ini menjadi tamu agung di antara orang-orang kang-ouw, maka kalau dipersilakan masuk, tentu beliau merasa tersinggung karena tentu akan menjadi bahan percakapan para tamu lain. Biarlah urusan pribadi dapat kita selesaikan kemudian, Si-moi. Yang paling penting sekarang kita harus menyelesaikan urusan perjuangan seperti yang sebelumnya telah kita rundingkan bersama. Kita berdua, dan ditemani oleh Liong-te, harus keluar menyambut tamu." Pangeran itu sejenak memandang isterinya yang sudah berpakaian indah. "Kulihat engkau sudah siap, Si-moi, dan engkau juga, Liong-te. Kalian menemaniku keluar, sebagai isteriku dan sebagai adik angkatku, juga sebagai pembantu-pembantuku yang paling dapat kuandalkan. Hanya kalian yang mendampingi aku keluar. Harap kau tinggal di dalam istana, nona Bhe, karena selain kurang baik memperkenalkan engkau sebagai tunangan Liong-te, juga kami menghadapi orang-orang yang mempunyai kepandaian tinggi dan berbahaya sekali, maka lebih aman kalau berada di sini saja."

Bi Cu tidak menjawab melainkan memandang kepada Sin Liong. Jelas bahwa dia sudah menyerahkan keputusannya kepada kekasihnya itu. Sin Liong memandang Bi Cu, lantas mengangguk.

"Memang sebaiknya engkau menunggu di dalam, Bi Cu. Di luar berbahaya kalau sampai terjadi keributan, tetapi kuharap saja tidak demikian," katanya sambil melirik kepada sang pangeran yang hanya tersenyum.

Mendengar ucapan ini, Bi Cu mengangguk. "Baiklah, sungguh pun aku akan merasa jauh lebih aman apa bila berada di dekatmu, Sin Liong. Akan tetapi aku pun tidak mau menjadi pengganggu kalian."

Sesudah berkata demikian, Bi Cu bangkit dari kursinya dan kembali ke dalam kamarnya. Jelas bahwa dia kecewa sekali, akan tetapi Sin Liong merasa bahwa memang lebih baik kalau Bi Cu tinggal di kamarnya, dari pada harus menghadapi peristiwa besar itu, di mana dia harus waspada dan siap untuk turun tangan apa bila perlu, sedangkan kalau Bi Cu berada di depan, dia kurang leluasa karena harus melindungi kekasihnya itu.

Dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Sin Liong dan Ciauw Si lalu berjalan keluar mengapit sang pangeran yang tampak tenang-tenang saja, malah senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya. Ciauw Si berjalan di sebelah kanannya, ada pun Sin Liong berjalan di sebelah kirinya.

Semua tamu mengangkat kepala memandang ke dalam ketika terdengar pengumuman keras dari seorang komandan yang berpakaian gagah bahwa sang pangeran akan keluar menyambut para tamu yang terhormat. Pintu sebelah dalam ruangan itu terbuka lebar dan muncullah tiga orang muda itu yang membuat para tamu terbelalak penuh kagum.

Pangeran Ceng Han Houw kelihatan gagah dan tampan sekali dalam pakaiannya yang serba indah, pakaian seorang pangeran dari sutera biru dengan baju tertutup mantel bulu yang amat indah. Sebuah topi bulu yang sama dengan mantelnya itu menutupi kepalanya, dihias dengan sehelai bulu burung yang berwarna merah.

Dia berjalan tegak dan halus, pandang matanya bersinar-sinar, menyambar-nyambar ke ruangan yang luas itu, mulutnya tersenyum dan sedikit pun dia tidak kelihatan canggung atau gugup, Sikap seorang pangeran tulen, juga sikap seorang yang gagah perkasa.

Lie Ciauw Si nampak cantik sekali dalam pakaiannya yang juga mewah dan indah sekali. Wajahnya gemilang dan jelita sekali, dan dia pun melangkah dengan sikap tenang dan gagah di samping suaminya. Sungguh seorang puteri yang cantik jelita dan agung, dan kelihatan begitu serasi dengan pangeran di sampingnya.
Betapa pun juga, karena maklum bahwa di antara ratusan pasang mata yang menatapnya itu terdapat sepasang mata ibunya, jantung Ciauw Si terasa berdebar kencang.

Cia Giok Keng tak dapat menahan diri dan dia cepat-cepat mengusap air matanya dengan sapu tangan pada saat melihat puterinya demikian cantik dan agungnya di samping sang pangeran. Harus diakui bahwa pilihan puterinya itu memang tidaklah keliru. Pangeran itu amat tampan dan gagah. Akan tetapi, apa bila dia mengingat bahwa pangeran itu adalah seorang pemberontak, dan bahkan murid dari musuh besar Cin-ling-pai, hatinya seperti ditusuk.

Tiba-tiba dia merasa tangannya digenggam tangan lain dengan halus dan mesra. Tahulah dia bahwa tangan suaminya yang menggenggam tangannya itu, maka dia menarik napas panjang dan dapat menahan perasaannya, dapat memandang pula dan air matanya pun berhenti mengalir.

Empat orang pendekar ini mengerutkan alisnya ketika melihat Sin Liong juga berjalan di samping kiri sang pangeran. Hati mereka diliputi perasaan marah, bahkan Yap Kun Liong yang biasanya tak mudah marah dan memiliki pandangan yang luas itu pun mengerutkan alisnya. Sungguh dia tidak dapat mengerti mengapa anak itu bisa diperalat oleh Pangeran Ceng Han Houw.

Bukankah anak itu pernah menjadi pilihan orang-orang sakti seperti mendiang Cia Keng Hong dan mendiang Kok Beng Lama? Mungkinkah dua orang sakti itu salah pilih dan di dalam tubuh anak yang berbakat ini terdapat batin yang rendah?

Dia bergidik melihat sepasang mata anak muda itu yang mencorong, bahkan lebih tajam dari pada sinar mata sang pangeran sendiri, ada pun wajah pemuda itu membayangkan keteguhan dan kekerasan hati. Bagaimana mungkin wajah seperti itu kini dimiliki seorang yang dapat diperalat sedemikian mudahnya oleh pemberontak ini?

Dari tempat duduk para tamu, semua orang dapat melihat pangeran bersama dua orang pendampingnya itu, karena memang tempat itu lebih tinggi. Sesudah pangeran bersama Ciauw Si dan Sin Liong mengangguk ke arah tamu, mereka lalu duduk di kursi-kursi yang sudah disediakan, yaitu di bagian dalam ruangan dan kurang lebih satu meter lebih tinggi dari pada tempat duduk para tamu.

Dari tempat duduknya pangeran menyapu seluruh tamu dengan sinar matanya dan dia dapat melihat keluarga Cin-ling-pai di sebelah luar, akan tetapi dia pura-pura tidak melihat mereka, sungguh pun hatinya merasa gembira sekali. Kalau saja dia mampu membujuk mereka itu membantunya, tentu kedudukannya akan menjadi semakin kuat. Selain itu, andai kata tidak berhasil sekali pun, dia akan dapat membuktikan bahwa dia lebih lihai dari pada mereka sehingga julukan jago nomor satu di dunia patut dia miliki!

Akan tetapi, Ciauw Si yang memang merasa ngeri untuk bertemu pandang dengan ibu kandungnya di tempat penuh orang itu, lebih banyak menunduk dan membatasi pandang matanya agar jangan sampai bentrok dengan pandang mata ibu kandungnya. Sebaliknya, dengan berani Sin Liong juga menyapukan pandang matanya ke arah semua tamu, dan dia melihat betapa empat pasang sinar mata keluarga Cin-ling-pai memandang padanya dengan marah.

Dia pun mengerti akan isi hati mereka, akan tetapi, dia tidak peduli. Kalian akan melihat bahwa aku bukan membantu pangeran ini, melainkan melindungi Bi Cu, pikirnya.

Kini semua tamu sudah berkumpul semua dan ternyata jumlah mereka tidak kurang dari tiga ratus orang! Namun ruangan yang luas itu sama sekali tidak kelihatan penuh, bahkan masih tampak kursi yang kosong di sebelah luar. Semua tamu merasa tegang dan juga gembira.

Ruangan itu selain luas dan sejuk karena memperoleh angin dari luar yang terbuka, juga dihias indah dan megah. Pilar-pilarnya yang besar itu dicat putih, dan dihias kertas-kertas kembang. Langit-langitnya juga penuh dengan kertas-kertas berwarna dan lampu-lampu teng bermacam-macam bentuk dan warna. Kain-kain sutera warna-warni menghias pula tempat yang luas itu. Kursi-kursinya terbuat dari kayu yang terukir halus, demikian pula meja-mejanya. Guci-guci kuno terdapat di sudut-sudut dengan ukiran arca-arca binatang yang seperti hidup.

Ketika para pelayan datang menyuguhkan arak yang amat baik dengan guci-guci perak, para tamu menjadi semakin gembira. Setiap orang tamu menerima sebuah cawan perak yang terukir indah, maka mulailah mereka minum arak sehingga ruangan itu penuh bau arak yang sedap.

Setelah melihat semua tamu sudah menerima hidangan arak, Pangeran Ceng Han Houw lalu bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi sedang itu kelihatan tegak lurus dan nampak wajahnya yang tampan berseri-seri. Tiba-tiba terdengar suara mengguntur dari komandan jaga yang juga bertugas sebagai pengatur tata tertib,

"Silakan cu-wi menaruh perhatian, sang pangeran hendak bicara!"

Sebetulnya tidak perlu komandan ini berteriak karena semua tamu sudah memandang ke arah pangeran itu, dan semua suara berisik telah berhenti. Suasana menjadi sunyi sekali, semua mata kini ditujukan kepada orang yang sudah berani mengundang seluruh kaum kang-ouw tanpa pilih bulu itu.

Biasanya pertemuan orang kang-ouw hanya dihadiri oleh golongan mereka sendiri. Andai kata partai Siauw-lim-pai yang mengadakan pertemuan hendak membicarakan keadaan masyarakat, atau juga membicarakan soal persilatan, tentu yang diundang oleh partai itu hanyalah partai-partai bersih lainnya atau tokoh-tokoh golongan bersih, sama sekali tidak akan mengundang tokoh-tokoh sesat. Sebaliknya, golongan sesat pun kalau mengadakan pertemuan tentu tidak akan mengundang golongan bersih yang mereka anggap sebagai orang-orang sombong dan selalu menentang mereka.

Akan tetapi sekali ini, Pangeran Ceng Han Houw mengundang semua golongan, pendek kata, dunia persilatan tanpa membedakan antara yang mana pun juga! Tentu saja hal ini amat menarik, apa lagi ketika di dalam undangan itu disebutkan pula bahwa pertemuan itu dimaksudkan untuk memilih jago silat nomor satu di dunia!

Mereka sudah mendengar pula akan sepak terjang pangeran itu yang telah menundukkan tidak sedikit tokoh-tokoh persilatan, bahkan sudah berani menantang ketua Siauw-lim-pai dan mengalahkan tokoh-tokohnya! Mereka mendengar berita bahwa pangeran ini memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa!

"Cu-wi yang mulia," terdengar suara pangeran itu, suaranya halus dan diucapkan secara perlahan saja akan tetapi dapat terdengar sampai jauh di luar ruangan itu karena dia telah mengerahkan tenaga khikang-nya sehingga pidato itu sekaligus merupakan demonstrasi kekuatan khikang-nya yang mengagumkan semua orang,

"Kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran cu-wi. Seperti yang telah kami sebutkan di dalam surat selebaran atau undangan, pertemuan ini dimaksudkan untuk mengadakan pemilihan bengcu. Mengapa kita harus memilih seorang bengcu yang akan memimpin pergerakan seluruh rakyat jelata? Tentu cu-wi sudah mendengar akan tindakan-tindakan pemerintah yang kurang bijaksana! Semua orang tahu belaka betapa kaisar telah berlaku lalim, dengan menjatuhkan tuduhan memberontak terhadap orang-orang gagah perkasa! Juga akhir-akhir ini banyak pejabat tinggi yang bijaksana sudah ditangkapi, dan banyak perkumpulan-perkumpulan orang gagah di selatan yang telah diobrak-abrik oleh pasukan pemerintah! Oleh karena itu, kita orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan harus bertindak, menghimpun kekuatan untuk menentang kelaliman ini. Dan hal ini baru dapat dilaksanakan dengan baik apa bila kita mempunyai seorang bengcu yang bijaksana dan tangguh! Maka dari itu, kita berkumpul semua ini untuk lebih dulu memilih seorang yang mempunyai ilmu kepandaian silat paling tinggi, merupakan seorang yang paling lihai dan paling tangguh sehingga boleh disebut sebagai jago silat nomor satu di dunia dan dialah yang patut kita angkat menjadi seorang bengcu!"

Tiba-tiba terdengar suara nyaring berseru, "Kami tidak setuju...!"

Dan seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap berwajah tampan gagah seperti tokoh Si Jin Kui, berpakaian sederhana telah bangkit dari kursinya sambil mengacungkan kepalan tangan kanan ke atas. Semua orang tentu saja amat terkejut lantas menoleh kepadanya. Kiranya pemuda itu berdiri di antara kelompok yang membawa bendera Siauw-lim-pai.

Pangeran Ceng Han Houw ikut memandang dan tersenyum tenang. "Setiap orang tamu berhak untuk berbicara. Harap enghiong (orang gagah) yang bicara memperkenalkan diri sebelum mengemukakan alasannya tidak setuju!"

Dengan sinar mata berapi-api, pemuda Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu memandang kepada pangeran yang masih berdiri tenang, sedikit pun tak nampak gentar oleh wibawa pangeran itu, dan terdengar dia menjawab lantang.

"Saya bernama Ciu Khai Sun sebagai murid dan utusan Siauw-lim-pai kami. Atas nama Siauw-lim-pai saya menyatakan tak setuju dengan apa yang dikemukakan oleh pangeran tadi. Memilih seorang bengcu tentu saja tidak dapat disamakan dengan memilih seorang kepala tukang pukul. Seorang bengcu adalah pemimpin rakyat, karena itu dia harus dipilih berdasarkan kebijaksanaannya dan cinta kasihnya terhadap rakyat, bukannya diukur dari kepandaiannya bersilat. Kalau memilih kepala tukang pukul tentu saja dipilih yang paling kuat."

Terdengar suara tawa di sana-sini yang disambut oleh tepuk tangan menyambut ucapan lantang dari pemuda Siauw-lim-pai ini. Pangeran Ceng Han Houw juga tersenyum lebar dan mengangkat kedua tangan ke atas minta agar suasana menjadi tenang kembali.

"Harap Ciu-enghiong suka melanjutkan," katanya tenang.

"Kami fihak Siauw-lim-pai juga tidak setuju kalau memilih bencu mengingat akan keadaan negara, apa lagi kalau dipergunakan untuk menentang pemerintah! Itu namanya berbau pemberontakan. Bengcu di kalangan persilatan adalah seorang bijaksana yang tentu akan mencegah bentrokan-bentrokan, mengambil kebijaksanaan dengan musyawarah apa bila terjadi kesalah pahaman, bukan sekali-kali menuntun kita semua dalam pemberontakan terhadap pemerintah." Sesudah berkata demikian, pemuda gagah itu berhenti sebentar, memandang ke kanan kiri kemudian berkata kembali. "Hanya itulah pernyataan kami yang tidak setuju." Suasana menjadi berisik kembali karena para tamu berbisik-bisik dan saling bicara sendiri.

"Cu-wi harap tenang!" tiba-tiba saja terdengar suara pangeran itu yang mengatasi semua suara berisik.
Selanjutnya,

Pendekar Lembah Naga Jilid 53

Pendekar Lembah Naga Jilid 53
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SUDAH terlampau lama kita meninggalkan keadaan Tee Beng Sin si pemuda gemuk yang gagah perkasa itu. Sesudah kita mengetahui bahwa yang memiliki she (nama keturunan) Tee adalah ibu kandungnya yang kini telah menjadi nikouw, sedangkan ayah kandungnya sesungguhnya adalah Kui Hok Boan, maka nama lengkapnya tentu saja bukan Tee Beng Sin melainkan Kui Beng Sin! Bagi Beng Sin hal ini merupakan kenyataan pahit karena sesungguhnya dia mulai merasa tidak suka terhadap orang yang ternyata adalah ayah kandungnya sendiri itu!

Sesudah dia bertemu dengan ibu kandungnya yang telah menjadi seorang nikouw dalam kuil dan tidak mau mengakui lagi sebagai Tee Cui Hwa dan mengatakan bahwa Tee Cui Hwa telah mati dan bahwa dia adalah Thian Sin Nikouw, dengan hati perih sekali ibunya menceritakan tentang riwayat ayah kandungnya yang busuk! Akan tetapi ada juga sedikit hiburan di dalam hatinya, yaitu bahwa ibunya itu melalui kata-kata Thian Sin Nikouw, telah menyetujui perjodohannya dengan puteri Ciok-piauwsu yang baik budi dan gagah itu.

Dia tidak lagi mengharapkan ayah kandungnya yang sudah ditinggalkannya. Dia tidak lagi dapat mengharapkan perjodohan dengan salah seorang di antara dua puteri kembar ayah kandungnya itu, karena Lan dan Lin ternyata adalah adik-adik tirinya sendiri, satu ayah berlainan ibu! Maka dengan besar hati dia pergi meninggalkan ibunya dan berangkatlah pemuda gemuk yang berwatak gembira ini menuju ke Su-couw di Ho-nan, di mana dia tahu keluarga Ciok, terutama sekali Ciok Siu Lan dara yang manis itu, sudah menantinya dengan penuh harapan.

Apa yang dibayangkannya itu memang benar. Ketika dia tiba di rumah calon mertuanya itu, dia disambut dengan gembira dan amat meriah. Siu Lan, dara itu, tidak mengeluarkan sepatah kata pun, akan tetapi wajah yang manis itu menjadi cerah bukan main, sepasang matanya yang bening itu berkaca-kaca, basah dan berkilauan, mulutnya yang mungil itu mengulum senyum dan setelah mengerling dan tersenyum malu-malu kepada Beng Sin, memberi hormat, dia lantas melarikan diri dengan langkah-langkah kecil ke dalam rumah, membanting dirinya di atas pembaringan dalam kamarnya dan... menangis karena girang!

Ciok-piauwsu dan isterinya, calon ayah dan ibu mertua Beng Sin, menyambut pemuda itu dengan girang, dan mereka lalu mendengarkan dengan wajah serius pada saat Beng Sin menceritakan segala yang sudah dialaminya. Pemuda ini merasa bahwa apa bila dia mau menjadi keluarga mereka ini, dia harus menceritakan segala keadaannya. Tentu saja dia tidak mau menceritakan keburukan ayah kandung sendiri.

Dan yang mula-mula sekali dikatakannya adalah, "Saya telah membunuh kakak tiri saya sendiri..."

Tentu saja pengakuan ini mengejutkan Ciok-piauwsu serta isterinya. Akan tetapi setelah Beng Sin menceritakan segalanya, tentang perbuatan Siong Bu yang mencelakakan Lan Lan dan Lin Lin, juga tentang pertempuran yang terjadi di antara mereka karena marah, kemudian tentang kematian Siong Bu dalam perkelahian itu, Ciok-piauwsu menarik napas panjang dan berkata,

"Engkau tak bersalah dalam hal itu. Tewas dalam perkelahian memperebutkan kebenaran adalah sudah jamak."

Besar hatinya mendengar pendapat calon ayah mertuanya ini, Beng Sin lalu menceritakan segala-galanya. Betapa ayah dan ibunya sudah berpisah, dan ibunya kini menjadi nikouw dan tak mau lagi mencampuri urusan duniawi. Betapa dia sendiri menjadi bentrok dengan ayahnya karena peristiwa kematian kakak tirinya itu, maka dia sendiri tidak ingin kembali kepada ayah kandungnya. Betapa ibunya, sebagai seorang nikouw, merestui perjodohan yang diusulkan oleh keluarga Ciok.

Semua itu didengarkan oleh suami isteri dengan penuh kesungguhan hati dan juga rasa kagum. Pemuda calon menantunya ini benar-benar seorang yang sangat jujur, tidak mau menutupi segala keburukan keluarganya sendiri. Masih jauh lebih baik memiliki seorang mantu yang jujur seperti ini dari pada kalau menyembunyikan dan merahasiakan segala kebusukan keluarganya. Dengan bersikap jujur seperti itu, Beng Sin sudah membuktikan bahwa dia tidaklah busuk seperti kakak tirinya atau ayah kandungnya sendiri!

"Saya sendiri sungguh mati tak pernah dapat mengerti kenapa ayah kandung dan kakak tiri saya begitu tega untuk mencelakakan Lan-moi dan Lin-moi, mau menyerahkan mereka kepada pangeran keparat itu!" Akhirnya Beng Sin berkata sambil mengepal tinjunya. "Apa bila saya berkepandaian, tentu akan saya tolong Lan-moi dan Lin-moi! Akan tetapi apa daya saya terhadap seorang seperti pangeran itu?"

"Tenangkan hatimu, Beng Sin," kata calon ayah mertuanya. "Kini kedua orang adikmu itu telah selamat."

"Ehhh? Bagaimana... ehh, gak-hu (ayah mertua) bisa tahu...?" Biar pun agak malu-malu, dia tak ragu-ragu lagi menyebut ayah mertua sehingga menggirangkan hati Ciok-piauwsu.

"Mereka telah diselamatkan oleh kakak tiri mereka yang bernama Liong begitu, demikian menurut pendengaranku, dan mereka kini bahkan telah kembali ke rumah Ciang-piauwsu ketua Hek-eng Piauwkiok yang menganggap mereka seperti anak sendiri, bahkan mereka datang bersama ayah mereka."

Muka yang gemuk itu memandang dengan mulut melongo, merasa terheran-heran akan tetapi juga girang sekali mendengar bahwa Lan Lan dan Lin Lin selamat.

"Ahh, tentu Sin Liong yang menyelamatkan mereka! Sin Liong hebat sekali! Dan mereka berada di kota ini? Bersama ayah?" Pertanyaan terakhir ini bernada tak senang.

"Benar, dan mereka kini sudah membeli rumah sendiri. Engkau harus cepat mengunjungi ayahmu beserta adik-adikmu itu, Beng Sin. Kami girang bahwa engkau dapat berkumpul dengan keluargamu yang kini telah pindah ke sini. Sungguh kebetulan sekali dan mudah untuk mengesahkan perjodohan antara engkau dan Siu Lan."

Akan tetapi wajah yang gemuk dan bulat itu menjadi muram dan dia menggeleng kepala. "Saya tidak akan mengunjungi ayah..."

Suami isteri itu saling pandang, kemudian Ciok-piauwsu pun berkata dengan nada suara bersungguh-sungguh, "Beng Sin, kami mengharap engkau tidak mengecewakan hati kami dengan melesetnya pandangan kami tentang dirimu. Kami sudah memandangmu sebagai seorang pemuda gagah perkasa yang baik budi serta bijaksana. Akan tetapi, semua itu akan menjadi tak ada gunanya bila sekarang engkau hendak bersikap murtad dan kejam terhadap ayah kandung sendiri."

"Akan tetapi, gak-hu..., hanya saya yang tahu betapa jahatnya dia... betapa kejamnya... ahh, sudah terlalu banyak hal keji dilakukan ayah... saya merasa malu sendiri... bahkan puteri-puterinya sendiri pun ingin diserahkan kepada pangeran itu, seperti domba-domba diserahkan kepada jagal untuk disembelih..."

"Cukup, Beng Sin!" Tiba-tiba Ciok-piauwsu berkata dengan suara keras dan tegas. "Kami tidak ingin mendengar keburukan-keburukan orang, apa lagi kalau orang itu adalah ayah kandungmu. Betapa pun banyaknya penyelewengan yang pernah dilakukannya, apakah engkau sebagai puteranya tidak menaruh hati kasihan dan tak mau memaafkannya? Dia sekarang... ahhh, sakit parah..."

"Ahhh...?" Beng Sin terkejut.

"Benar, Beng Sin," sambung ibu mertuanya. "Ayahmu itu sedang menderita penyakit yang payah, maka sebaiknya kalau engkau cepat menengoknya agar hati orang tua itu terhibur. Juga, kasihan dua orang adikmu itu yang merasa bingung melihat ayah mereka sakit."

Mendengar betapa Kui Hok Boan sakit payah, dan kedua orang gadis kembar itu menjadi bingung, timbul rasa kasihan di dalam hati Beng Sin. Betapa pun juga, ayah kandungnya atau bukan, Kui Hok Boan adalah orang yang telah melimpahkan banyak budi kebaikan kepadanya. Dan dia sangat menyayang dua orang dara kembar itu, bahkan dia pernah jatuh hati kepada Lin Lin sebagai seorang pria yang mencinta wanita, sungguh pun kini cintanya itu berubah menjadi cinta seorang kakak terhadap seorang adiknya.

"Baik, saya akan pergi mengunjungi mereka."

Giranglah hati ayah dan ibu mertua ini dan mereka lalu menunjukkan jalan ke arah rumah tinggal Lan Lan, Lin Lin, dan ayah mereka. Dengan jantung berdebar Beng Sin menuju ke rumah yang cukup besar itu. Kiranya, dengan bantuan keluarga Ciang-piauwsu, Kui Hok Boan kini membeli sebuah rumah, tentu saja yang mengurusnya adalah Ciang-piauwsu bersama Kui Lan dan Kui Lin, dan tinggal di rumah ini.

Kui Lan dan Kui Lin menggunakan uang hasil penjualan perhiasan untuk membeli rumah dan perabot-perabot rumah, kemudian sisa harta mereka itu mereka serahkan kepada ayah angkat mereka, Ciang-piauwsu ketua Hek-eng Piauwkiok, untuk dijalankan hingga modal itu dapat menghasilkan keuntungan sehingga tak akan habis dimakan menganggur begitu saja.

Ketika Kui Lan dan Kui Lin melihat siapa orangnya yang datang berkunjung, keduanya menjadi girang dan juga terharu. Mereka menubruk dan memegangi kedua tangan Beng Sin sambil menangis.

"Sin-ko...!" Kui Lan terisak.

"Sin-ko, kenapa baru sekarang kau muncul?" Kui Lin juga menangis.

Beng Sin tidak dapat menahan runtuhnya beberapa butir air matanya melihat dua orang dara kembar yang amat disayangnya ini. "Lan-moi... Lin-moi... terima kasih kepada Thian bahwa kalian dalam selamat...," katanya berulang-ulang.

Dia terharu sekali memandang wajah Kui Lan yang ternyata sekarang adalah adik tirinya, sedarah dengan dia, seayah!

"Kami diselamatkan oleh Liong-koko," kata Kui Lan.

"Dan Liong-koko yang menyuruh kami membawa ayah pindah ke sini," sambung Kui Lin.

Sukar bagi mulut Beng Sin untuk bertanya mengenai ayahnya. Ahhh, sudah tahukah dua orang dara kembar ini bahwa dia adalah saudara sedarah dengan mereka? Dan sudah dengarkah mereka mengenai kematian Siong Bu? Yang paling buruk harus dibicarakan lebih dulu, pikirnya, maka dia lalu berkata,

"Lan-moi dan Lin-moi, aku... aku telah... membunuh Bu-ko..."

Dua orang dara itu mengangguk dan mengusap air mata, "Kami sudah mendengar semua itu dari Liong-koko, Sin-ko," kata Kui Lan.

"Bukan salahmu, Sin-ko, Bu-ko memang jahat dan dia tewas dalam perkelahian karena engkau membela kami... ahh, kami sudah tahu akan semua itu dari Liong-koko dan dari... dari ayah..."

"Kami berdua sudah tahu bahwa engkau adalah putera kandung ayah pula, seperti juga mendiang Bu-ko. Ah, kami sudah mendengar banyak, Sin-ko... tentang ayah... dia... dia..." Kui Lan tak dapat melanjutkan kata-katanya dan menangis.

Dari kata-kata ayah mereka yang sering mengigau dan bicara sendiri itu, maka akhirnya keluarlah semua rahasia Kui Hok Boan dan tahulah kedua orang dara kembar itu betapa ayahnya dahulu adalah seorang yang amat kejam dan jahat, yang telah menganiaya dan merusak banyak sekali wanita. Ayah mereka adalah seorang lelaki mata keranjang yang suka merayu dan menyia-nyiakan wanita yang sudah menjadi korbannya. Bahkan mereka tahu pula bahwa pembunuh ayah Bhe Bi Cu, teman Sin Liong itu, juga ternyata adalah ayah mereka sendiri.

Beng Sin mengangguk-angguk. Agak ringan hatinya setelah mendengar bahwa dua orang adiknya ini pun sudah tahu segala hal mengenai ayah mereka. "Bagaimana... ayah...?" tanyanya dengan kaku karena dia masih belum dapat menerima kenyataan bahwa Kui Hok Boan adalah ayah kandungnya sendiri. "Aku mendengar dari keluarga Ciok bahwa dia sakit payah?"

Kui Lan hanya mengangguk, akan tetapi Kui Lin menerangkan, "tubuhnya tidak apa-apa, Sin-ko. Jasmaninya tidak sakit akan tetapi..."

"Tetapi bagaimana?" Beng Sin mendesak, alisnya berkerut dan jantungnya berdebar, dia hampir merasa dapat mengerti.

"Pikirannya... batinnya terpukul hebat dan dia... dia..."

"Seperti anak kecil, atau seperti orang bingung, selalu dalam keadaan duka dan sesal. Sungguh kasihan sekali dia, Sin-ko," Kui Lan menyambung.

Beng Sin lalu diantar oleh dua orang adiknya, digandeng di kanan kiri, menuju ke dalam dan dengan hati-hati Kui Lan membuka kamar ayahnya.

Terharu bukan main hati pemuda gemuk yang memang berbudi ini ketika melihat orang tua itu. Kui Hok Boan yang dahulu terkenal sebagai seorang pria tampan dengan pakaian yang selalu rapi itu kini bagaikan seorang jembel tua saja. Pakaiannya kusut, rambutnya kusut, tubuhnya kurus kering, matanya sayu dan walau pun kamar itu lengkap dengan pembaringan dan kursi, namun orang tua itu rebah di atas lantai kamar! Dia menoleh dan ketika bertemu pandang dengan Beng Sin, dia bangkit duduk dan melebarkan matanya.

"Ayah, ini Sin-ko datang menjenguk," kata Kui Lan.

"Ayah, ini kakak Beng Sin. Lupakah ayah kepadanya?" Kui Lin mengingatkan.

"Beng Sin... Beng Sin... anakku...," kata orang tua itu lirih seperti berbisik.

Beng Sin tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan orang tua itu sambil menitikkan air mata. "Ayah...!" Dia tidak mampu bicara apa-apa lagi kecuali menyebut ayah kepada orang tua itu. Mau bicara apakah?

"Beng Sin, engkau anakku... ya, engkau telah membunuh Siong Bu! Kenapa engkau tidak membunuh aku sekalian? Bunuhlah aku, Beng Sin, seperti aku sudah membunuh ibumu, Tee Cui Hwa, seperti aku telah membunuh ibu Siong Bu, Kwan Siang Li, seperti aku telah membunuh Liong Si Kwi. Ya, ibu-ibu kalian sudah mati di tanganku semua... hu-huk, mati karena aku... bunuhlah aku... hu-huk-huhhhh..." dan orang tua itu pun menangis seperti anak kecil!

Beng Sin terkejut dan memandang dengan muka pucat. Kui Lin lalu menarik tangan Beng Sin, diajaknya bangun dan mereka lalu meninggalkan orang tua itu. Kui Lan menutupkan kembali daun pintu kamar itu perlahan-lahan. Suara isak tangis orang tua itu masih terus terdengar.

"Dia selalu begitu...," kata Kui Lin berbisik. "Jika ditanggapi malah semakin menjadi-jadi. Sebaiknya didiamkan dan dia akan tertidur."

Beng Sin menggeleng-geleng kepalanya. "Sungguh kasihan sekali ayah kita... dia harus menderita batin seperti itu..."

"Itukah hukum karma? Siapa menanam bibitnya dia akan memetik buahnya?" kata Kui Lin meragu.

"Betapa pun juga, itu merupakan pelajaran bagi kita semua. Ayah kita pernah melakukan kesesatan dalam kehidupannya, biarlah itu memperingatkan kita supaya kita tidak sampai melakukan penyelewengan dan menjadi sesat," kata Kui Lan.

Memang tiga orang anak dari Kui Hok Boan ini tadinya merasa tidak senang akan segala perbuatan jahat ayah kandung mereka dan ada perasaan benci dalam hati mereka. Akan tetapi sesudah menyaksikan keadaan ayah mereka yang sedemikian mengenaskan, lebih menyedihkan dari pada mati sendiri, hidup akan tetapi menderita dalam kedukaan dan penyesalan yang tiada habisnya, timbullah rasa iba.

Apakah artinya segala penyesalan setelah terlambat? Dan apakah gunanya penyesalan? Penyesalan dianggap benar oleh umum karena penyesalan akan membuat orang sadar kembali. Akan tetapi benarkah demikian? Ataukah penyesalan sekedar menjadi hiburan saja bagi si pelaku, hiburan untuk menutupi batinnya yang menderita karena perbuatan dirinya sendiri?

Betapa seringnya kita menyesal, tetapi betapa seringnya pula perbuatan yang sama kita lakukan dan kita ulang kembali! Orang yang berbatin lemah dan tumpul selalu berada di dalam keadaan tidak waspada dan tidak sadar, sehingga mudah saja dibuai bayangan kesenangan, dan kalau sudah menghadapi kesenangannya, maka tidak teringat apa-apa lagi, tidak teringat akan akibatnya.

Orang yang batinnya lemah dan tumpul seperti itu hanya mementingkan kesenangan. Sesudah kesenangan yang dinikmatinya itu kemudian mendatangkan akibat yang tidak menyenangkan, barulah dia merasa menyesal! Coba andai kata tidak ada akibat yang mendatangkan derita, apakah dia akan menyesali perbuatannya mengejar kesenangan itu? Tentu saja tidak!

Sama halnya dengan orang makan sambal. Setiap kali habis makan, lantas kepedasan dan menyesal, menyatakan tobat dan kapok. Akan tetapi di lain saat dia sudah makan sambal lagi!

Demikian pula orang yang melakukan penyelewengan, menyesal dan menangis, bertobat melalui mulut kepada Tuhan. Namun begitu berhadapan dengan bayangan kesenangan yang sama, maka perbuatan itu akan diulang untuk kemudian menyesal dan bertobat kembali. Bila kita mau membuka mata melihat kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, dapatkah kita menyangkal kenyataan yang benar ini?

Bukan penyesalan yang kita perlukan dalam hidup. Yang terpenting adalah kewaspadaan dan kesadaran yang timbul karena mengamati diri sendiri setiap saat. Pengamatan inilah yang kemudian menimbulkan kebijaksanaan serta kecerdasan, yang akan meniadakan penyelewengan dan kesesatan. Dan bila tidak ada penyelewengan dan kesesatan, tidak perlu lagi ada penyesalan dan bertobat.

Kalau pun kecerdasan dan kebijaksanaan yang timbul dari kewaspadaan melihat bahwa apa yang kita lakukan tidak benar, maka seketika itu juga kita menghentikan perbuatan tidak benar itu dan selesai sampai di sana saja. Tidak ada penyesalan, juga tidak ada kerinduan terhadap perbuatan yang lalu itu. Yang lampau sudah mati, sudah habis dan kewaspadaan adalah sekarang, saat ini, saat demi saat. Hidup adalah saat demi saat, bukan kemarin, bukan esok. Akan tetapi sekarang. Karena itu hidup waspada dan sadar adalah sekarang ini!

Yang teramat penting dalam hidup adalah sekarang ini. Sekarang benar! Apakah benar itu? Tidak dapat diterangkan, karena yang dapat diterangkan hanyalah benarnya sendiri, benarnya masing-masing, maka terjadilah perebutan kebenaran sendiri-sendiri, dan jelas hal ini adalah tidak benar lagi! Akan tetapi, apa pun yang kita lakukan, apa bila didasari dengan cinta kasih, maka benarlah itu! Dan cinta kasih tak akan ada selama di situ ada si aku yang ingin benar, ingin senang, ingin baik dan sebagainya.


Melihat keadaan ayahnya, Beng Sin minta kepada calon mertuanya supaya pernikahan diundurkan, menanti sampai ayahnya sembuh atau setidaknya agak normal keadaannya. Karena pada waktu itu, ketika mendengar laporan anak-anaknya tentang perjodohan itu, dia hanya mengangguk saja atau menangis!

********************

Beberapa hari sebelum hari yang ditetapkan untuk pertemuan para tokoh kang-ouw itu tiba, daerah di Lembah Naga sudah dibanjiri oleh banyak orang kang-ouw. Juga banyak partai-partai persilatan yang mengutus rombongan anak murid untuk datang berkunjung, bukan untuk memperebutkan kedudukan bengcu atau jago nomor satu di dunia, namun untuk menyaksikan pemilihan itu dan untuk melihat siapa yang akan menjadi bengcu.

Tentu saja para utusan itu diberi wewenang untuk menentang kalau pemilihan itu kurang tepat, dan tentu saja mereka pun boleh turun tangan jika untuk membela nama partainya sendiri. Partai-partai persilatan yang termasuk golongan putih atau golongan bersih tentu sudah memesan kepada para utusannya agar tidak mencari permusuhan, dan membuka mata dan telinga dengan waspada menyaksikan perkembangan pemilihan bengcu itu.

Selain tokoh-tokoh kang-ouw perorangan, baik dari golongan hitam mau pun putih, maka nampak bendera-bendera yang dibawa oleh rombongan anak murid dari partai persilatan Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai, dan bahkan Siauw-lim-pai juga tidak ketinggalan mengutus rombongannya. Di samping empat partai besar ini, masih terdapat pula banyak partai-partai kecil.

Di antara banyak orang itu, yang jumlahnya hampir ada dua ratus orang, terdapat empat orang pendekar atau dua pasangan suami isteri yang berpakaian sederhana, akan tetapi apa bila para tokoh kang-ouw itu mendengar nama mereka, tentu orang-orang itu akan menjadi gempar. Dua pasangan suami isteri ini adalah Yap Kun Liong bersama Cia Giok Keng, dan Cia Bun Houw bersama Yap In Hong.

Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut bukan kepalang ketika mereka bertemu dengan kakak-kakak mereka itu dan mendengar bahwa kakak-kakak mereka itu menerima surat dari Lie Ciauw Si bahwa kini dara itu sudah menikah dengan Pangeran Ceng Han Houw dengan upacara pernikahan di kuil tanpa disaksikan keluarga!

Karena pangeran berada dalam keadaan terancam bahaya dan terdesak, maka kami pun terpaksa mengambil keputusan menikah di kuil, demikian antara lain bunyi surat Ciauw Si. Selain mohon maaf kepada ibu kandungnya, juga dara itu menyatakan bahwa dia dengan sang pangeran sudah saling mencinta dan hanya kematian sajalah yang akan mampu memisahkan mereka satu dari yang lain.

"Aihh, mengapa anak-anakku begitu bodoh...," keluh Cia Giok Keng, keluhan yang sudah dikeluarkan berkali-kali. Hati ibu ini berduka sekali mengingat akan nasib Lie Seng dan Lie Ciauw Si, dua orang anaknya yang dianggap keliru memilih jodoh.

Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong merasa penasaran sekali mengapa Ciauw Si dapat terpikat oleh pangeran pemberontak murid dari Hek-hiat Mo-li itu. Hanya Yap Kun Liong seorang yang tidak mengeluarkan kata-kata, akan tetapi di dalam hatinya pendekar yang sudah matang oleh gemblengan pengalaman hidup ini mengerti apa artinya orang jatuh cinta dan dia sama sekali tidak dapat menyalahkan Lie Seng mau pun Lie Ciauw Si.

"Lalu apa yang harus kita lakukan, enci Keng?" Cia Bun Houw bertanya kepada enci-nya, "Kita datang ke Lembah Naga ini sebagai utusan kerajaan untuk menyelidiki dan kalau perlu menentang gerakan Ceng Han Houw, namun ternyata pangeran itu sudah menjadi mantumu dan Ciauw Si berada di fihaknya sebagai isterinya!"

Memang amat sukar untuk mengambil keputusan, menghadapi keadaan seperti itu. Akan tetapi dengan suara gemetar tanda bahwa hatinya terguncang hebat, Cia Giok Keng yang kini mulai nampak tua dalam usianya yang lima puluh tahun itu, berkata lantang,

"Biar anak sendiri sekali pun, kalau salah harus kita tentang, dan biar bukan orang sendiri, kalau benar juga haruslah kita bela!"

Yap Kun Liong merasa kasihan sekali kepada isterinya yang tercinta ini. Dia lalu berkata dengan suara yang halus, "Kita lihat saja bagaimana keadaannya nanti dan bagaimana perkembangannya. Sama sekali kita tidak boleh hanya menuruti dorongan perasaan hati. Seorang gagah harus adil dan bijaksana, oleh karena itu kita harus waspada dan dapat mengambil tindakan yang setepat-tepatnya. Menyalahkan atau membenarkan orang lain menurutkan perasaan hati sendiri sering kali menyesatkan."

Tiga orang pendekar lainnya mengangguk dan secara diam-diam membenarkan ucapan itu. Memang teringat oleh mereka betapa keluarga Cin-ling-pai semenjak dahulu dilanda kekecewaan-kekecewaan dan penyesalan-penyesalan, bahkan nyaris dilanda oleh bahaya perpecahan akibat pandangan-pandangan yang terlalu menurutkan perasaan hati sendiri.

Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng sudah mengalami pahit getirnya akibat dari pandangan seperti itu. Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong sudah pula merasakan betapa sampai bertahun-tahun mereka harus pergi meninggalkan keluarga Cin-ling-pai akibat pandangan mendiang ayah Bun Houw yang menentang perjodohan itu.

Kemudian, terjadi pula pada diri Lie Seng yang memilih jodoh yang tidak disetujui oleh ibu kandungnya dan keluarganya. Kini terulang kembali oleh Ciauw Si! Dan justru apa yang dilakukan oleh Ciauw Si merupakan puncaknya, yang terhebat di antara semua keturunan Cin-ling-pai. Ciauw Si memilih orang yang justru merupakan musuh keluarga Cin-ling-pai sebagai jodohnya, dan bahkan kini menjadi musuh kerajaan, menjadi pemberontak besar! Benar-benar sukar bagi mereka membayangkan kemungkinan seperti ini.

Lembah Naga menjadi ramai dan kini tampaklah barisan penjaga yang berpakaian indah dan bersenjata lengkap memenuhi kedua tepi jalan semenjak dari luar daerah sampai ke daerah Lembah Naga, berdiri dengan hormatnya menyambut para tokoh kang-ouw yang berbondong-bondong memasuki daerah itu. Orang-orang kang-ouw itu diam-diam terkejut juga menyaksikan betapa tempat itu telah terjaga sedemikian kuatnya oleh pasukan yang ratusan orang jumlahnya, bahkan mungkin tidak kurang dari seribu orang!

Dan ketika mereka tiba di Istana Lembah Naga, ternyata tempat itu sudah dihias dengan meriah seperti hendak mengadakan pesta besar. Ruangan depan yang sangat luas dan dapat menampung seribu orang itu dihias dan nampak meja kursi dijajar rapi, sedangkan bagian tengahnya dibiarkan kosong.

Pangeran Ceng Han Houw memang amat cerdik. Dia segera tahu dari para penyelidiknya siapa-siapa yang datang menghadiri rapat itu, karena itu dia pun sengaja menyuruh para pembantunya yang tidak terkenal untuk menyambut di depan istana dan mempersilakan semua tamu itu duduk ke ruangan depan. Dengan demikian, maka di antara para tamu itu tidak ada yang merasa sungkan.

Apa lagi dia pun mendapat kabar bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai yang tadinya menjadi buronan pemerintah itu juga datang! Apa bila dia sendiri yang maju menyambut, tentu dia harus memberi hormat kepada ibu kandung Ciauw Si dan keluarganya, dan dia belum dapat membayangkan bagaimana sikap mereka setelah mendengar bahwa Ciauw Si menjadi isterinya.

Dan tindakannya ini melegakan hati banyak tamu, terutama sekali empat orang pendekar Cin-ling-pai itu yang juga belum dapat menentukan bagaimana sikap mereka seandainya pangeran itu sendiri yang menyambut. Mereka menyusup di antara banyak tamu lantas memilih tempat duduk agak di sebelah luar sehingga tidak terlalu menyolok.

Ketika empat orang pendekar Cin-ling-pai ini sudah mengambil tempat duduk dan mereka mencari-cari dengan pandang mata mereka, tidak atau belum nampak adanya Pangeran Ceng Han Houw atau Lie Ciauw Si. Bahkan juga Sin Liong tidak nampak.

Memang mereka masih berada di dalam istana, mereka berempat, yaitu Ceng Han Houw, Lie Ciauw Si, Sin Liong dan Bi Cu. Baru saja Pangeran Ceng Han Houw mengumpulkan pembantu-pembantunya yang lain, yaitu Kim Hong Liu-nio, Hek-hiat Mo-li, Hai-liong-ong Phang Tek dan yang lain-lain, memberi perintah-perintah kepada mereka. Barulah dia kini mengadakan perundingan dengan isterinya, yang dihadiri oleh Sin Liong dan Bi Cu.

Wajah Ciauw Si nampak agak pucat. Jelas bahwa dia merasa gelisah sekali mendengar bahwa ibu kandungnya hadir pula di situ bersama ayah tirinya, paman dan bibinya.

"Aku... aku bingung sekali, tidak tahu bagaimana harus bertemu dengan ibuku," katanya "Bagaimana kalau beliau dipersilakan masuk saja sehingga aku dapat menghadapnya di sini?"

Ceng Han Houw menggelengkan kepala. "Kurasa hal itu kurang bijaksana, Si-moi. Ingat bahwa beliau pada saat ini menjadi tamu agung di antara orang-orang kang-ouw, maka kalau dipersilakan masuk, tentu beliau merasa tersinggung karena tentu akan menjadi bahan percakapan para tamu lain. Biarlah urusan pribadi dapat kita selesaikan kemudian, Si-moi. Yang paling penting sekarang kita harus menyelesaikan urusan perjuangan seperti yang sebelumnya telah kita rundingkan bersama. Kita berdua, dan ditemani oleh Liong-te, harus keluar menyambut tamu." Pangeran itu sejenak memandang isterinya yang sudah berpakaian indah. "Kulihat engkau sudah siap, Si-moi, dan engkau juga, Liong-te. Kalian menemaniku keluar, sebagai isteriku dan sebagai adik angkatku, juga sebagai pembantu-pembantuku yang paling dapat kuandalkan. Hanya kalian yang mendampingi aku keluar. Harap kau tinggal di dalam istana, nona Bhe, karena selain kurang baik memperkenalkan engkau sebagai tunangan Liong-te, juga kami menghadapi orang-orang yang mempunyai kepandaian tinggi dan berbahaya sekali, maka lebih aman kalau berada di sini saja."

Bi Cu tidak menjawab melainkan memandang kepada Sin Liong. Jelas bahwa dia sudah menyerahkan keputusannya kepada kekasihnya itu. Sin Liong memandang Bi Cu, lantas mengangguk.

"Memang sebaiknya engkau menunggu di dalam, Bi Cu. Di luar berbahaya kalau sampai terjadi keributan, tetapi kuharap saja tidak demikian," katanya sambil melirik kepada sang pangeran yang hanya tersenyum.

Mendengar ucapan ini, Bi Cu mengangguk. "Baiklah, sungguh pun aku akan merasa jauh lebih aman apa bila berada di dekatmu, Sin Liong. Akan tetapi aku pun tidak mau menjadi pengganggu kalian."

Sesudah berkata demikian, Bi Cu bangkit dari kursinya dan kembali ke dalam kamarnya. Jelas bahwa dia kecewa sekali, akan tetapi Sin Liong merasa bahwa memang lebih baik kalau Bi Cu tinggal di kamarnya, dari pada harus menghadapi peristiwa besar itu, di mana dia harus waspada dan siap untuk turun tangan apa bila perlu, sedangkan kalau Bi Cu berada di depan, dia kurang leluasa karena harus melindungi kekasihnya itu.

Dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Sin Liong dan Ciauw Si lalu berjalan keluar mengapit sang pangeran yang tampak tenang-tenang saja, malah senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya. Ciauw Si berjalan di sebelah kanannya, ada pun Sin Liong berjalan di sebelah kirinya.

Semua tamu mengangkat kepala memandang ke dalam ketika terdengar pengumuman keras dari seorang komandan yang berpakaian gagah bahwa sang pangeran akan keluar menyambut para tamu yang terhormat. Pintu sebelah dalam ruangan itu terbuka lebar dan muncullah tiga orang muda itu yang membuat para tamu terbelalak penuh kagum.

Pangeran Ceng Han Houw kelihatan gagah dan tampan sekali dalam pakaiannya yang serba indah, pakaian seorang pangeran dari sutera biru dengan baju tertutup mantel bulu yang amat indah. Sebuah topi bulu yang sama dengan mantelnya itu menutupi kepalanya, dihias dengan sehelai bulu burung yang berwarna merah.

Dia berjalan tegak dan halus, pandang matanya bersinar-sinar, menyambar-nyambar ke ruangan yang luas itu, mulutnya tersenyum dan sedikit pun dia tidak kelihatan canggung atau gugup, Sikap seorang pangeran tulen, juga sikap seorang yang gagah perkasa.

Lie Ciauw Si nampak cantik sekali dalam pakaiannya yang juga mewah dan indah sekali. Wajahnya gemilang dan jelita sekali, dan dia pun melangkah dengan sikap tenang dan gagah di samping suaminya. Sungguh seorang puteri yang cantik jelita dan agung, dan kelihatan begitu serasi dengan pangeran di sampingnya.
Betapa pun juga, karena maklum bahwa di antara ratusan pasang mata yang menatapnya itu terdapat sepasang mata ibunya, jantung Ciauw Si terasa berdebar kencang.

Cia Giok Keng tak dapat menahan diri dan dia cepat-cepat mengusap air matanya dengan sapu tangan pada saat melihat puterinya demikian cantik dan agungnya di samping sang pangeran. Harus diakui bahwa pilihan puterinya itu memang tidaklah keliru. Pangeran itu amat tampan dan gagah. Akan tetapi, apa bila dia mengingat bahwa pangeran itu adalah seorang pemberontak, dan bahkan murid dari musuh besar Cin-ling-pai, hatinya seperti ditusuk.

Tiba-tiba dia merasa tangannya digenggam tangan lain dengan halus dan mesra. Tahulah dia bahwa tangan suaminya yang menggenggam tangannya itu, maka dia menarik napas panjang dan dapat menahan perasaannya, dapat memandang pula dan air matanya pun berhenti mengalir.

Empat orang pendekar ini mengerutkan alisnya ketika melihat Sin Liong juga berjalan di samping kiri sang pangeran. Hati mereka diliputi perasaan marah, bahkan Yap Kun Liong yang biasanya tak mudah marah dan memiliki pandangan yang luas itu pun mengerutkan alisnya. Sungguh dia tidak dapat mengerti mengapa anak itu bisa diperalat oleh Pangeran Ceng Han Houw.

Bukankah anak itu pernah menjadi pilihan orang-orang sakti seperti mendiang Cia Keng Hong dan mendiang Kok Beng Lama? Mungkinkah dua orang sakti itu salah pilih dan di dalam tubuh anak yang berbakat ini terdapat batin yang rendah?

Dia bergidik melihat sepasang mata anak muda itu yang mencorong, bahkan lebih tajam dari pada sinar mata sang pangeran sendiri, ada pun wajah pemuda itu membayangkan keteguhan dan kekerasan hati. Bagaimana mungkin wajah seperti itu kini dimiliki seorang yang dapat diperalat sedemikian mudahnya oleh pemberontak ini?

Dari tempat duduk para tamu, semua orang dapat melihat pangeran bersama dua orang pendampingnya itu, karena memang tempat itu lebih tinggi. Sesudah pangeran bersama Ciauw Si dan Sin Liong mengangguk ke arah tamu, mereka lalu duduk di kursi-kursi yang sudah disediakan, yaitu di bagian dalam ruangan dan kurang lebih satu meter lebih tinggi dari pada tempat duduk para tamu.

Dari tempat duduknya pangeran menyapu seluruh tamu dengan sinar matanya dan dia dapat melihat keluarga Cin-ling-pai di sebelah luar, akan tetapi dia pura-pura tidak melihat mereka, sungguh pun hatinya merasa gembira sekali. Kalau saja dia mampu membujuk mereka itu membantunya, tentu kedudukannya akan menjadi semakin kuat. Selain itu, andai kata tidak berhasil sekali pun, dia akan dapat membuktikan bahwa dia lebih lihai dari pada mereka sehingga julukan jago nomor satu di dunia patut dia miliki!

Akan tetapi, Ciauw Si yang memang merasa ngeri untuk bertemu pandang dengan ibu kandungnya di tempat penuh orang itu, lebih banyak menunduk dan membatasi pandang matanya agar jangan sampai bentrok dengan pandang mata ibu kandungnya. Sebaliknya, dengan berani Sin Liong juga menyapukan pandang matanya ke arah semua tamu, dan dia melihat betapa empat pasang sinar mata keluarga Cin-ling-pai memandang padanya dengan marah.

Dia pun mengerti akan isi hati mereka, akan tetapi, dia tidak peduli. Kalian akan melihat bahwa aku bukan membantu pangeran ini, melainkan melindungi Bi Cu, pikirnya.

Kini semua tamu sudah berkumpul semua dan ternyata jumlah mereka tidak kurang dari tiga ratus orang! Namun ruangan yang luas itu sama sekali tidak kelihatan penuh, bahkan masih tampak kursi yang kosong di sebelah luar. Semua tamu merasa tegang dan juga gembira.

Ruangan itu selain luas dan sejuk karena memperoleh angin dari luar yang terbuka, juga dihias indah dan megah. Pilar-pilarnya yang besar itu dicat putih, dan dihias kertas-kertas kembang. Langit-langitnya juga penuh dengan kertas-kertas berwarna dan lampu-lampu teng bermacam-macam bentuk dan warna. Kain-kain sutera warna-warni menghias pula tempat yang luas itu. Kursi-kursinya terbuat dari kayu yang terukir halus, demikian pula meja-mejanya. Guci-guci kuno terdapat di sudut-sudut dengan ukiran arca-arca binatang yang seperti hidup.

Ketika para pelayan datang menyuguhkan arak yang amat baik dengan guci-guci perak, para tamu menjadi semakin gembira. Setiap orang tamu menerima sebuah cawan perak yang terukir indah, maka mulailah mereka minum arak sehingga ruangan itu penuh bau arak yang sedap.

Setelah melihat semua tamu sudah menerima hidangan arak, Pangeran Ceng Han Houw lalu bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi sedang itu kelihatan tegak lurus dan nampak wajahnya yang tampan berseri-seri. Tiba-tiba terdengar suara mengguntur dari komandan jaga yang juga bertugas sebagai pengatur tata tertib,

"Silakan cu-wi menaruh perhatian, sang pangeran hendak bicara!"

Sebetulnya tidak perlu komandan ini berteriak karena semua tamu sudah memandang ke arah pangeran itu, dan semua suara berisik telah berhenti. Suasana menjadi sunyi sekali, semua mata kini ditujukan kepada orang yang sudah berani mengundang seluruh kaum kang-ouw tanpa pilih bulu itu.

Biasanya pertemuan orang kang-ouw hanya dihadiri oleh golongan mereka sendiri. Andai kata partai Siauw-lim-pai yang mengadakan pertemuan hendak membicarakan keadaan masyarakat, atau juga membicarakan soal persilatan, tentu yang diundang oleh partai itu hanyalah partai-partai bersih lainnya atau tokoh-tokoh golongan bersih, sama sekali tidak akan mengundang tokoh-tokoh sesat. Sebaliknya, golongan sesat pun kalau mengadakan pertemuan tentu tidak akan mengundang golongan bersih yang mereka anggap sebagai orang-orang sombong dan selalu menentang mereka.

Akan tetapi sekali ini, Pangeran Ceng Han Houw mengundang semua golongan, pendek kata, dunia persilatan tanpa membedakan antara yang mana pun juga! Tentu saja hal ini amat menarik, apa lagi ketika di dalam undangan itu disebutkan pula bahwa pertemuan itu dimaksudkan untuk memilih jago silat nomor satu di dunia!

Mereka sudah mendengar pula akan sepak terjang pangeran itu yang telah menundukkan tidak sedikit tokoh-tokoh persilatan, bahkan sudah berani menantang ketua Siauw-lim-pai dan mengalahkan tokoh-tokohnya! Mereka mendengar berita bahwa pangeran ini memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa!

"Cu-wi yang mulia," terdengar suara pangeran itu, suaranya halus dan diucapkan secara perlahan saja akan tetapi dapat terdengar sampai jauh di luar ruangan itu karena dia telah mengerahkan tenaga khikang-nya sehingga pidato itu sekaligus merupakan demonstrasi kekuatan khikang-nya yang mengagumkan semua orang,

"Kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran cu-wi. Seperti yang telah kami sebutkan di dalam surat selebaran atau undangan, pertemuan ini dimaksudkan untuk mengadakan pemilihan bengcu. Mengapa kita harus memilih seorang bengcu yang akan memimpin pergerakan seluruh rakyat jelata? Tentu cu-wi sudah mendengar akan tindakan-tindakan pemerintah yang kurang bijaksana! Semua orang tahu belaka betapa kaisar telah berlaku lalim, dengan menjatuhkan tuduhan memberontak terhadap orang-orang gagah perkasa! Juga akhir-akhir ini banyak pejabat tinggi yang bijaksana sudah ditangkapi, dan banyak perkumpulan-perkumpulan orang gagah di selatan yang telah diobrak-abrik oleh pasukan pemerintah! Oleh karena itu, kita orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan harus bertindak, menghimpun kekuatan untuk menentang kelaliman ini. Dan hal ini baru dapat dilaksanakan dengan baik apa bila kita mempunyai seorang bengcu yang bijaksana dan tangguh! Maka dari itu, kita berkumpul semua ini untuk lebih dulu memilih seorang yang mempunyai ilmu kepandaian silat paling tinggi, merupakan seorang yang paling lihai dan paling tangguh sehingga boleh disebut sebagai jago silat nomor satu di dunia dan dialah yang patut kita angkat menjadi seorang bengcu!"

Tiba-tiba terdengar suara nyaring berseru, "Kami tidak setuju...!"

Dan seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap berwajah tampan gagah seperti tokoh Si Jin Kui, berpakaian sederhana telah bangkit dari kursinya sambil mengacungkan kepalan tangan kanan ke atas. Semua orang tentu saja amat terkejut lantas menoleh kepadanya. Kiranya pemuda itu berdiri di antara kelompok yang membawa bendera Siauw-lim-pai.

Pangeran Ceng Han Houw ikut memandang dan tersenyum tenang. "Setiap orang tamu berhak untuk berbicara. Harap enghiong (orang gagah) yang bicara memperkenalkan diri sebelum mengemukakan alasannya tidak setuju!"

Dengan sinar mata berapi-api, pemuda Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu memandang kepada pangeran yang masih berdiri tenang, sedikit pun tak nampak gentar oleh wibawa pangeran itu, dan terdengar dia menjawab lantang.

"Saya bernama Ciu Khai Sun sebagai murid dan utusan Siauw-lim-pai kami. Atas nama Siauw-lim-pai saya menyatakan tak setuju dengan apa yang dikemukakan oleh pangeran tadi. Memilih seorang bengcu tentu saja tidak dapat disamakan dengan memilih seorang kepala tukang pukul. Seorang bengcu adalah pemimpin rakyat, karena itu dia harus dipilih berdasarkan kebijaksanaannya dan cinta kasihnya terhadap rakyat, bukannya diukur dari kepandaiannya bersilat. Kalau memilih kepala tukang pukul tentu saja dipilih yang paling kuat."

Terdengar suara tawa di sana-sini yang disambut oleh tepuk tangan menyambut ucapan lantang dari pemuda Siauw-lim-pai ini. Pangeran Ceng Han Houw juga tersenyum lebar dan mengangkat kedua tangan ke atas minta agar suasana menjadi tenang kembali.

"Harap Ciu-enghiong suka melanjutkan," katanya tenang.

"Kami fihak Siauw-lim-pai juga tidak setuju kalau memilih bencu mengingat akan keadaan negara, apa lagi kalau dipergunakan untuk menentang pemerintah! Itu namanya berbau pemberontakan. Bengcu di kalangan persilatan adalah seorang bijaksana yang tentu akan mencegah bentrokan-bentrokan, mengambil kebijaksanaan dengan musyawarah apa bila terjadi kesalah pahaman, bukan sekali-kali menuntun kita semua dalam pemberontakan terhadap pemerintah." Sesudah berkata demikian, pemuda gagah itu berhenti sebentar, memandang ke kanan kiri kemudian berkata kembali. "Hanya itulah pernyataan kami yang tidak setuju." Suasana menjadi berisik kembali karena para tamu berbisik-bisik dan saling bicara sendiri.

"Cu-wi harap tenang!" tiba-tiba saja terdengar suara pangeran itu yang mengatasi semua suara berisik.
Selanjutnya,