Pendekar Lembah Naga Jilid 46 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Lembah Naga Jilid 46
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SUARANYA penuh tantangan bahkan mengandung ejekan, karena hanya dengan mengejek dan menertawakan pangeran yang menjadi musuh besar Lie Seng dan keluarganya inilah yang dapat merupakan hiburan satu-satunya pada saat-saat terakhir dari hidupnya.

"Keparat!" Ceng Han Houw membentak dan dia mulai menempelkan obor bernyala itu ke telapak kaki kanan Sun Eng.

Tubuh Sun Eng tersentak kaget, matanya terbelalak serta mulutnya terbuka, akan tetapi dia menahan jeritnya. Asap yang mengeluarkan bau kulit terbakar mengepul, lantas tanpa dapat dihindari lagi Sun Eng menggerak-gerakkan kaki kanannya yang menderita nyeri luar biasa itu.

"Kau masih belum mau mengaku juga?" Pangeran itu menarik obornya.

Akan tetapi rasa nyeri masih tidak berkurang, kiut-miut rasanya, menyusup ke bawah kulit dan menjalar sampai ke ubun-ubun kepala. Keringat yang besar-besar keluar dari muka dan leher Sun Eng. Dia menggigit bibir dan menggeleng kepala, memukul-mukulkan kaki kanan ke atas pembaringan.

"Sun Eng, jika kaki kirimu juga kubakar, maka engkau tak akan dapat menahan nyerinya. Bakaran ke dua lebih nyeri lagi, maka sebaiknya engkau mengaku dan mengembalikan surat itu. Tidak akan ada faedahnya bila engkau berkeras kepala, pula surat itu tidak ada gunanya bagimu."

Dalam menderita kesakitan hebat, Sun Eng masih mencari hiburan, biar pun hanya dapat memukul musuh Lie Seng yang menyiksanya ini dengan kata-kata, "Memang bagiku tak ada gunanya, akan tetapi bagi sri baginda kaisar tentu berguna sekali!"

"Apa?!" Wajah Han Houw menjadi pucat sekali. "Kau... kau tentu tidak akan memberikan surat itu kepada kaisar! Engkau akan mampus lebih dulu sebelum sempat menyerahkan surat itu kepada... ehh, kepada siapa surat itu kau serahkan tadi? Hayo kau mengaku! Di mana surat itu?" Suara pangeran itu gemetar.

Diam-diam Sun Eng tersenyum. Pangeran itu sangat ketakutan! Akan tetapi dia terpaksa menggigit bibirnya lagi karena kini pangeran itu menyentuh telapak kaki kirinya dengan api obor.

"Ahhh...!" Sun Eng kembali tersentak, kepalanya terangkat ke atas dan mulutnya terbuka karena dia tidak mampu menahan rasa nyeri yang luar biasa itu. Matanya terbelalak dan biar pun dia masih mampu menahan sehingga tidak sampai menjerit-jerit, akan tetapi dari kerongkongannya keluar suara aneh, terengah-engah dan mukanya penuh dengan peluh yang memercik ke sana-sini karena kepalanya dan tubuhnya bergoyang-goyang. Bau kulit terbakar makin keras.

"Mengakulah! Siapa menerima surat itu?" Han Houw menghardik dan orang yang merasa gelisah ketakutan ini menjadi semakin bengis.

Akan tetapi Sun Eng hanya menggeleng-geleng kepalanya keras-keras. Rasa nyeri amat menusuk, dan sesudah secara bergantian Han Houw menyentuh telapak kaki kanan dan kiri dengan api, Sun Eng tidak kuat bertahan kemudian terkulai pingsan.

Han Houw menghentikan penyiksaannya dan memadamkan obor, menghentak-hentakkan kedua kakinya dan berjalan hilir-mudik di dalam kamar itu, kedua alisnya berkerut dan dia kelihatan bingung sekali. Lalu dia bertepuk tangan, memerintahkan pelayan yang muncul untuk memanggil para pembantunya.

Muncullah Hai-liong-ong Phang Tek beserta dua orang Mongol yang masih berada di situ. Tiga orang itu memandang kepada tubuh Sun Eng yang kini rebah menelungkup dalam keadaan pingsan dan kedua telapak kakinya yang tadinya putih kemerahan itu kini hitam melepuh, lalu mereka kembali memandang kepada sang pangeran.

"Celaka...!" Ceng Han Houw mengeluh. "Perempuan rendah itu tidak mau mengaku, akan tetapi dia memberi gambaran bahwa surat itu hendak disampaikan kepada kaisar!"

"Ahhh...!" Wajah tiga orang ini pun menjadi pucat dan saling pandang dengan bingung.

"Saat ini tentu belum sampai ke tangan kaisar, tidak mungkin malam hari ada yang dapat menyampaikan surat itu kepada kaisar. Akan tetapi kalau sampai besok... ahh, kita harus tahu di mana disembunyikan surat itu, atau kepada siapa surat itu diserahkan. Dia keras kepala, tidak mau mengaku...!" Han Houw menuding ke arah kedua kaki wanita itu. "Maka kalian kupanggil untuk merundingkan urusan ini. Bagaimana baiknya?"

"Satu-satunya jalan, dia harus dipaksa untuk mengaku agar kita dapat bergerak malam ini juga dan mencegah surat itu terjatuh ke tangan kaisar!" kata orang Mongol yang lebih muda, yang berusia empat puluh tahun dan bermata tajam namun mengandung kelicikan dan juga wajahnya menyeramkan karena penuh dengan brewok yang hitam dan sangat lebat, kasar seperti kawat-kawat baja.

Ada sesuatu pada sinar matanya yang membuat Hai-liong-ong sendiri bergidik. Orang ini kejam bukan main, pikir orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu, sungguh pun dia sendiri bukanlah orang yang baik atau tidak kejam.

"Dia keras kepala, dan sampai pingsan dia sama sekali tidak mau mengaku," kata Han Houw dengan sikap kehabisan akal.

"Paduka serahkan kepada hamba, dan hamba akan memaksa dia membuka mulut!" kata orang Mongol itu.

"Baiklah. Memang itu jalan yang terutama sekali. Apa bila engkau bisa menundukkannya dan memaksanya mengaku, itu baik sekali. Kalau tidak, siksa dia sampai mampus!" kata sang pangeran penuh geram.

"Lebih baik jangan sampai dia mati dahulu, mungkin dia masih dapat berguna untuk kita, pangeran. Dalam keadaan seperti ini, sebaiknya kalau paduka menahan kemarahan dan bersikap teliti," Hai-liong-ong memperhatikan.

"Pendapat itu benar sekali, pangeran," sambung orang Mongol yang lebih tua. "Wanita itu adalah satu-satunya orang yang dapat memungkinkan kita memperoleh kembali surat itu, maka tidak semestinya kalau cepat-cepat dibunuh. Boleh disiksa dan dipaksa mengaku, akan tetapi jangan sampai mati."

Ceng Han Houw mengangguk-angguk. "Memang aku terburu nafsu mengingat betapa dia telah mempermainkan aku, menipuku, malah mengkhianatiku dan membuat aku terancam bahaya begini hebat. Kau bawalah dia dan usahakan sekuatmu agar dia mau mengaku!" katanya kepada orang Mongol brewok itu.

"Harap paduka tidak perlu khawatir, hamba tahu bagaimana harus memperlakukan wanita yang bandel!" Orang Mongol itu tersenyum lebar, kemudian menghampiri pembaringan dan memondong tubuh yang pingsan itu. Sinar matanya berkilat ketika dia mencium bau sedap dari leher Sun Eng dan melihat tonjolan dada yang padat di balik baju dan yang tampak membusung akibat kedua lengan wanita itu ditelikung ke belakang punggung. Dia lalu melangkah dari dalam kamar itu sambil tersenyum dingin penuh kekejaman.

Sekarang Han Houw berunding dengan orang Mongol tua dan Hai-liong-ong Phang Tek. "Apa bila Gaulanu tidak berhasil memaksa wanita itu mengaku, sebaiknya malam ini juga, atau selambat-lambatnya besok pagi-pagi benar, sebelum surat itu jatuh ke tangan kaisar, paduka meninggalkan kota raja dan mengungsi ke utara sambil melihat perkembangannya kelak. Terlalu berbahaya kalau paduka berada di sini. Hamba akan mengawal paduka."

Hai-liong-ong Phang Tek menggelengkan kepalanya. "Hamba tidak setuju dengan usul itu, Pangeran. Andai kata benar surat itu jatuh ke tangan kaisar, paduka tak perlu gentar atau pun tergesa-gesa pergi, karena kepergian yang tergesa-gesa tanpa pamit itu bahkan akan menambah kecurigaan, seolah-olah paduka telah mengaku salah. Hamba kira, sri baginda kaisar tidak akan begitu mudah percaya laporan seorang wanita rendahan atau orang yang diberinya surat itu. Tentu sri baginda kaisar akan lebih mempercayai paduka dan andai kata pula kaisar menaruh curiga, tentu beliau akan bertanya dulu kepada paduka dan tidak akan melakukan tindakan ceroboh, mengingat bahwa paduka adalah saudara tiri!"

Han Houw mengangguk-angguk, dapat merasakan kebenaran pendapat ini. "Akan tetapi, bagaimana jika beliau memanggilku kemudian memeriksaku, bertanya tentang surat dari ayahanda Sabutai itu?" Akhirnya dia bimbang lagi dan di dalam suaranya membayangkan kegelisahan.

"Harap paduka tak perlu khawatir. Banyak sekali alasan yang dapat paduka pergunakan. Misalnya, menyangkal bahwa surat itu merupakan surat asli dari ayahanda paduka Raja Sabutai. Siapa yang dapat memastikan bahwa surat itu asli? Paduka dapat mengatakan bahwa paduka memiliki banyak musuh di dunia kang-ouw dan mungkin surat itu adalah surat palsu yang sengaja dibuat oleh musuh paduka untuk mengadu domba."

"Ahh, itu bagus sekali! Akal itu dapat dipakai, dan memang baik sekali! Engkau sungguh bijaksana, Phang-enghiong!" Sebutan itu menjadi bersifat menghormat dan wajah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu berseri.

"Bukan hanya itu saja, pangeran. Andai kata kaisar menaruh curiga, masih banyak waktu bagi paduka untuk bertindak waspada dan karena banyak teman-teman kang-ouw yang membantu paduka, maka apa sulitnya bagi paduka untuk menyembunyikan diri di sekitar sini tanpa harus melarikan diri ke utara? Dengan demikian baik atau buruknya akibat dari perbuatan selir paduka yang telah berkhianat itu, tetap saja gerakan paduka akan dapat dilanjutkan dengan baik!"

"Bagus! Wah, engkau akan kuangkat menjadi penasehat negara bila gerakanku berhasil!" teriak sang pangeran dengan girang.

Mereka lalu berunding terus dengan asyik sambil makan minum karena setelah menerima petunjuk-petunjuk dan nasehat-nasehat dari Hai-liong-ong Si Raja Naga Laut itu, kini sang pangeran tidak lagi segelisah tadi.

Sementara itu, di dalam kamar lain, juga di dalam istana pangeran itu akan tetapi jauh di belakang, terjadi peristiwa lain yang mengerikan. Dengan berbagai cara, dengan bujukan dan berpura-pura mengajak Sun Eng bersekutu, sampai kepada ancaman-ancaman yang paling menakutkan, orang Mongol yang bernama Gaulanu itu berusaha untuk membuat agar Sun Eng mau mengaku di mana surat itu disembunyikan atau kepada siapa surat itu diserahkannya. Namun semua bujukan itu tidak dijawab oleh Sun Eng yang sudah sadar.

"Nona, engkau adalah seorang wanita yang masih muda dan cantik," demikian Gaulanu mencoba kembali dengan lemah lembut, dengan suaranya yang agak kaku dan berlogat asing, "dan percayalah, aku, Gaulanu bukan orang yang tidak dapat mengagumi wanita muda dan cantik. Aku kasihan kepadamu, nona. Aku diperintahkan oleh pangeran untuk menyiksa, bahkan membunuhmu bila mana engkau tidak mau mengaku. Kenapa engkau berkeras kepala, nona? Mengakulah dan aku bersumpah untuk menyelamatkanmu."

"Aku tidak tahu...!" Sun Eng berkata singkat.

"Nona, kau tahu, kalau engkau menurut, aku bahkan akan mohon kepada pangeran agar engkau suka menjadi selirku. Kubawa engkau ke utara dan engkau akan hidup bahagia... hemmm, aku suka sekali kepadamu, nona."

"Tutup mulutmu dan kalau mau bunuh, lakukanlah!" Sun Eng menantang marah.

Habislah kesabaran Gaulanu, dan dia pun menyeringai, wajahnya yang penuh brewok itu nampak menyeramkan sekali. "Perempuan tidak tahu diri! Tahukah engkau, siksaan apa yang paling hebat bagi seorang wanita? Engkau pernah diperkosa? Ya? Pernah? Nah, aku akan memperkosamu, mempermainkanmu sesuka hatiku apa bila engkau tidak mau mengaku!"

Sun Eng memejamkan mata. Dia tahu apa artinya itu. Semenjak tadi dia memang sudah memperhitungkan kemungkinan itu. Tidak, dia akan menahan segala siksaan, termasuk perkosaan. Bukankah dia sudah membiarkan dirinya diperkosa berkali-kali oleh pangeran itu? Dia sudah kepalang berkorban, maka biarlah dia akan diapakan juga, akhirnya toh akan mati! Mati demi Lie Seng!

"Aku tak peduli!" bentaknya.

Wajah brewokan itu menyeringai. "Ha, kau kira hanya diperkosa satu kali saja? Hemmm, kau tidak tahu laki-laki apa Gaulanu ini. Aku akan memperkosamu sampai engkau tidak kuat bertahan lagi! Dan bila aku kewalahan, akan kupanggilkan pengawal-pengawal yang paling kuat untuk meggantikan aku, bergilir sampai engkau mati, ya, tidak akan berhenti sampai engkau tidak kuat!"

Akan tetapi Sun Eng sudah nekat, sudah menganggap dirinya mati dan dia memejamkan matanya tanpa mau menjawab lagi.

"Brettttt...!"

Sun Eng hanya memejamkan mata lebih keras lagi pada waktu merasa betapa bajunya dirobek-robek, kemudian celananya juga. Tubuhnya hanya menggeliat sedikit ketika dia merasa betapa tangan dan muka brewok itu menjelajahi tubuhnya dengan belaian yang amat kasar.

Selanjutnya, dengan seluruh kekuatan yang ada, Sun Eng mematikan perasaannya dan dia rebah terlentang dengan mata terpejam dan lemas seperti sudah menjadi mayat! Dia tidak merasa apa-apa lagi.

Entah berapa lamanya orang Mongol kasar itu mempermainkan tubuhnya. Dia tidak tahu, dia tidak peduli lagi, yang dipermainkan seakan-akan bukan tubuhnya lagi, perasaannya sudah mati dan dia matikan pada saat itu. Dia bahkan seperti dalam keadaan terlupa apa yang sedang terjadi atas dirinya, sampai mendadak pipinya ditampar keras, membuatnya sadar dan pipinya terasa panas.

"Plakkk!" Tamparan ini disambung sumpah serapah dari mulut Gaulanu.

"Phuihh, perempuan hina, perempuan rendah, mayat hidup! Lebih baik bercinta dengan mayat dari pada dengan perempuan macammu!" Dia melompat turun dari pembaringan, mengenakan pakaian lalu meninggalkan kamar itu sambil berkata, "Lihat saja sampai di mana engkau dapat bertahan! Walau pun engkau seperti mayat, akan tetapi mayat yang cantik sehingga tentu banyak di antara mereka yang suka, ha-ha-ha!"

Gaulanu keluar dari dalam kamar, akan tetapi tidak lama terdengar langkah orang. Sun Eng tidak mau menengok melainkan memejamkan mata dan mematikan rasa. Memang dia sudah tahu apa yang akan terjadi dan benar saja.

Ada tangan-tangan dan muka seperti srigala kelaparan menggerayanginya dan melakukan hal-hal yang sama sekali tak dirasakannya lagi. Bahkan dia tidak melihat siapa orangnya. Hal ini berulang-ulang terus. Tubuhnya sakit-sakit, lelah bukan main, lemas dan akhirnya dia tidak ingat apa-apa lagi!

Ketika air yang disiramkan ke kepalanya membuat Sun Eng siuman, dia mendengar suara Gaulanu memaki-maki, "Bedebah! Iblis betina! Benar-benar tidak mau mengaku. Biarkan dia begitu dan ikat pula kakinya, hanya lepaskan ikatan kakinya jika masih ada pengawal yang mau... ha-ha-ha, perempuan seperti dia tidak akan mati kalau hanya ditiduri! Tetapi jaga, jangan sampai dia terlepas, dan... awas pula, jangan sampai dia mati. Pangeran menghendaki dia tetap hidup!"

Gaulanu meninggalkan kamar itu, kemudian Sun Eng menjadi permainan tangan-tangan jahil dan cabul, akan tetapi kembali dia sudah terlelap ke dalam keadaan tidak sadar.

Malam makin larut dan suasana menjadi sunyi sekali. Kesunyian yang mengerikan kalau orang melihat keadaan di dalam kamar di mana Sun Eng bagaikan seekor domba yang direjang oleh banyak srigala buas! Bahkan lebih buas dari pada srigala, karena binatang buas apa pun juga di dunia ini membunuh mangsanya untuk dimakan, karena kebutuhan perut dan kebutuhan hidup, juga membunuh tanpa ada rasa benci. Sebaliknya, manusia dapat melakukan perbuatan yang lebih kejam dari pada pembunuhan.

Tengah malam telah lewat. Di dalam kamar tahanan itu Sun Eng masih terlentang di atas pembaringan dalam keadaan telanjang bulat. Agaknya kini sudah tidak ada lagi pengawal yang bergairah untuk memperkosa dirinya. Mungkin karena belasan orang pengawal yang sedang bertugas jaga itu sudah mendapatkan giliran semua.

Kini mereka makan minum sambil menggunakan perut dan dada Sun Eng sebagai tempat menaruh mangkok dan cawan arak! Kadang kala mereka memaksa mulut Sun Eng untuk dijejali daging atau dituangi arak, sampai Sun Eng terbatuk-batuk.

Muka wanita yang cantik itu kini sudah matang biru bekas tamparan, bekas gigitan dan belaian-belaian kasar. Para pengawal masih saja makan minum sambil tertawa-tawa dan bersenda-gurau. Tentu saja Sun Eng yang menjadi sumber dan bahan gurauan mereka yang kotor.

Sun Eng tidak mendengar semua itu, dia dalam keadaan hampir tidak sadar. Yang terasa olehnya hanyalah rasa nyeri yang luar biasa, yang datang bertalu-talu bersama detaknya jantung, bersama denyutnya darah. Setiap denyut darah mendatangkan rasa nyeri yang terasa menusuk-nusuk. Akan tetapi dia tidak mau mengeluh, bahkan makin mencurahkan perhatiannya kepada denyut darah yang bertalu-talu dan membawa perasaan nyeri yang sukar dilukiskan itu.

Rasa nyeri itu pun secara aneh tidak terasa lagi olehnya. Yang ada hanya rasa nyaman! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini apa bila tidak merasakannya sendiri. Inikah perasaan tubuh yang telah mati? Nyaman dan tidak ada rasa apa-apa, seperti nikmatnya keheningan?

Pangeran Ceng Han Houw sudah menerima laporan dari Gaulanu bahwa Sun Eng tetap tidak mau mengaku walau pun telah diperkosa secara bergantian, penderitaan yang tiada taranya bagi seorang wanita.

"Dia itu iblis, bukan manusia, pangeran! Kalau manusia, tentu dia sudah menyerah dan mengaku! Kalau tidak ingat akan pesan paduka agar jangan dia sampai mati, tentu akan hamba bunuh dia. Dia itu iblis, sungguh!"

Han Houw merasa heran mengapa ada perasaan marah dan tidak sedap di dalam hatinya ketika mendengar betapa Sun Eng diperkosa bergantian dan kini dalam keadaan terhina dan setengah mati. Akan tetapi juga ada perasaan kagum terhadap wanita itu.

Seorang wanita yang selain cantik manis, amat pandai dalam seni bermain cinta, seorang wanita yang penuh keberanian, cerdik bukan main, serta masih ditambah lagi berhati baja dan amat setia, entah kepada siapa kesetiaannya itu ditujukan. Sayang, sungguh sayang sekali, kesetiaan dan cintanya itu bukan ditujukan kepada dia. Mendapatkan cinta kasih seorang wanita seperti itu sungguh beruntung sekali!

Dengan hati kesal dia lantas menggerakkan tangan. "Sudahlah, engkau harus mengepalai penjagaan malam ini supaya jangan sampai dia lolos. Dan ini, kau minumkan kepadanya! Paksakan agar dia menghabiskan sebotol ini."

Gaulanu menerima botol kecil berisi cairan biru itu, lalu tersenyum menyeringai. "Dia akan mati seketika, pangeran? Mengapa tidak mempergunakan ini saja?" Dia mengacungkan tinjunya.

Sepasang mata pangeran itu menyambar dan Gaulanu cepat membungkuk.

"Mohon maaf, mohon ampun... bukan maksud hamba main-main..."

"Aku tahu," kata pangeran itu kesal. "Engkau tentu heran mengapa aku bersusah payah mempergunakan racun untuk membunuhnya. Akan tetapi racun ini baru membunuhnya dalam waktu tiga hari, dan pukulanmu akan mematikan seketika. Mengerti sekarang?"

Gaulanu mengangguk-angguk kemudian mengundurkan diri. Dengan kesal Han Houw lalu menyuruh kedua orang pembantunya yang lain meninggalkannya, lalu memanggil semua selir yang lain sehingga dia pun dapat melupakan kekecewaan hatinya terhadap Sun Eng dengan membenamkan diri dalam peluk rayu para selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik.

********************

Tiga bayangan yang gerakannya gesit dan cepat bagai bayangan setan saja berkelebatan di sekitar istana Pangeran Ceng Han How. Istana itu terjaga ketat oleh para pengawal, namun gerakan tiga sosok tubuh itu benar-benar hebat luar biasa, amat sukar diikuti oleh pandangan mata sehingga tiga sosok bayangan itu berhasil memasuki taman bunga, di samping istana tanpa diketahui seorang pun pengawal.

Hal ini tidaklah mengherankan karena tiga sosok bayangan itu adalah bayangan dari tiga orang pendekar sakti, terutama sekali dua orang di antara mereka, pasangan pria dan wanita yang tampan dan cantik, adalah sepasang suami isteri pendekar yang untuk jaman itu sukar ditemui tandingannya. Mereka itu adalah Lie Seng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong!

Seperti kita ketahui, Lie Seng menjadi gelisah sekali pada saat kekasihnya, atau isterinya yang belum dikawininya secara sah, Sun Eng, pergi meninggalkannya tanpa pamit, hanya meninggalkan surat yang membuat hatinya menjadi sangat gelisah karena kekasihnya itu hendak mendekati Pangeran Ceng Han Houw dan kalau perlu membunuhnya!

Lie Seng tahu betapa lihainya pangeran itu dan tahu pula bahwa kekasihnya itu sengaja hendak berkorban diri untuk menolong keluarga Cin-ling-pai dan hatinya menjadi semakin gelisah ketika dia mencari-cari kekasihnya itu tanpa hasil. Dia mencari sampai ke kota raja, akan tetapi tidak mendengar di mana adanya Sun Eng.

Tentu saja dia tidak tahu bahwa Sun Eng pergi bersama pangeran itu, ada pun dia sendiri telah lebih dahulu ke kota raja sehingga pada saat dia melakukan penyelidikan ke istana Pangeran Ceng Han Houw, pangeran itu tidak ada, demikian pula tidak ada didengarnya keterangan tentang kekasihnya.

Dalam keadaan bingung ini Lie Seng segera kembali ke selatan lalu dia mencari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, dua orang guru dari Sun Eng untuk membantunya. Juga untuk minta pertanggungan jawab mereka karena dia anggap bahwa mereka itulah yang menjadi sebab sehingga terjadinya semua ini! Kalau mereka tidak mempengaruhi ibunya sehingga tidak menyetujui dia berjodoh dengan Sun Eng, tentu sekarang Sun Eng sudah menjadi isterinya dengan sah dan tidak akan terjadi Sun Eng melakukan perbuatan nekat seperti itu!

Akhirnya dia dapat menemukan suami isteri pendekar sakti ini, juga ibu kandungnya dan Yap Kun Liong, di kota Bun-cou. Dia sudah menduga bahwa empat orang yang menjadi buronan itu tentu bersembunyi di Bun-cou, tempat di mana dulu Cia Bun Houw dan Yap In Hong bersembunyi, di mana mereka mengambil Sun Eng sebagai murid pula.

Ketika Lie Seng memperlihatkan surat peninggalan Sun Eng, semua pendekar itu merasa terkejut dan juga terharu. Demikian besar cinta kasih Sun Eng kepada Lie Seng sehingga untuk mengangkat harga dirinya, Sun Eng kini hendak melakukan perbuatan nekat yang sangat berbahaya dan mempertaruhkan nyawanya untuk menolong keluarga Cin-ling-pai.

"Saya tahu bahwa dia melakukan hal ini karena merasa rendah diri, karena menjadi isteri saya tanpa persetujuan keluarga, juga tidak secara sah! Kini dia hendak mengorbankan dirinya demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai! Paman Bun Houw, bagaimanakah kalau sudah begini? Apakah saya harus turun tangan sendiri di kota raja tanpa ada bantuan sedikit pun dari paman berdua bibi yang menjadi guru-guru dari Sun Eng, bahkan yang sedikit banyak ikut bertanggung jawab atas kejadian ini?"

Cia Bun Houw saling pandang dengan isterinya. Memang mereka pun menyadari bahwa mereka berdua telah mencegah keponakan ini menikah dengan Sun Eng. Akan tetapi hal itu mereka lakukan dengan penuh kesadaran bahwa Sun Eng memang tidak pantas untuk menjadi isteri keponakan mereka itu. Kini di dalam hati mereka tidak lagi membenci Sun Eng, bahkan merasa kasihan. Maka, mendengar penuturan Lie Seng, mereka merasa tak enak sekali.

"Lie Seng, biarlah aku menemanimu untuk pergi mencari Sun Eng di kota raja, dan kalau memang benar dia di sana dan terancam bahaya, kita berdua akan menyelamatkannya," kata Bun Houw dengan tenang.

"Aku pun akan ikut pergi," kata In Hong, juga dengan tenang.

Nyonya yang usianya sudah tiga puluh lima tahun ini merasa tidak enak sekali. Watak pendekarnya bangkit maka dia pun merasa betapa dia ikut mendesak bekas muridnya itu terdorong oleh rasa bencinya, dan kini, mendengar betapa bekas muridnya itu melakukan tindakan nekat demi menolong dia sekeluarga dengan taruhan nyawa, dia harus turut pula bertindak dan tak mungkin dia mendiamkannya saja. Karena itulah maka dia serta merta, tanpa keraguan lagi, menyatakan keinginannya hendak ikut pergi.

Mendengar penuturan puteranya tentang gadis yang ditolaknya untuk menjadi mantunya itu, sejak tadi Cia Giok Keng, ibu Lie Seng, termenung dan tidak dapat berkata apa pun. Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Dia memang merasa terharu mendengar gadis itu dengan nekat melakukan usaha untuk menyelamatkan mereka berempat, seolah-olah memasuki gua harimau, dan dia merasa berterima kasih sekali. Akan tetapi, di lain sudut hatinya, tetap terdapat perasaan tidak rela bila puteranya itu berjodoh dengan wanita yang pernah melakukan penyelewengan seperti yang sudah didengarnya dari adiknya dan adik iparnya. Dia terlalu mencintai puteranya untuk membiarkan puteranya ini menikah dengan seorang wanita yang rendah budi dan hina!

Seperti itulah macamnya cinta yang berada dalam batin kita! Kita menganggap bahwa perasaan seperti itu adalah cinta kasih yang murni, cinta terhadap anak yang diwujudkan dengan keinginan melihat anak itu berbahagia sesuai dengan keinginan kita! Kita selalu ingin mengatur kehidupan anak kita menurut selera kita, menurut pendapat kita, menurut pandangan kita. Kita merasa yakin bahwa anak kita akan berbahagia bila mana dia itu menurut kehendak kita melakukan ini, tidak melakukan itu.

Kita ingin mengatur anak kita sejak masih kecil, membentuknya seperti kita membentuk boneka dari lilin atau lempung. Tanpa kita sadari sendiri, kita telah menyiksa anak-anak kita sendiri dengan bentukan-bentukan itu. Kita ingin melihat anak kita yang masih kecil itu bersikap sopan santun, baik, cerdik, pintar, tahu aturan, pendiam dan sebagainya lagi, pendek kata, kita ingin melihat anak kita supaya menjadi anak teladan seperti yang kita cita-citakan dan gambarkan.

Oleh karena itu, sejak dia masih kecil, kita tekan dan didik dia supaya cocok dengan bentuk gambaran kita. Kita lupa, tidak sadar bahwa semua ini sama sekali bukanlah tindakan cinta kasih, sama sekali bukan terdorong oleh cinta kita kepada anak kita itu, melainkan terdorong oleh cinta kepada diri sendiri! Kita ingin mempergunakan anak kita sendiri sebagai jembatan untuk menikmati kesenangan berupa kebanggaan! Kitalah yang akan berbangga melihat anak kita begini dan begitu sesuai dengan kehendak kita! Kita akan senang sekali! Sama sekali kita tidak peduli apakah anak itu pun senang bersikap yang kita gariskan itu.

Sudah tentu saja dia tidak senang! Setiap orang anak ingin bebas, ingin bergembira-ria, ingin berloncatan, berteriak-teriak, bermain-main sesuka hatinya, bersama kawan-kawan sebaya. Tidak ada seorang pun anak kecil yang normal akan merasa suka menjadi anak teladan seperti yang digariskan oleh orang tua, duduk diam seperti patung di hadapan orang-orang tua yang sedang mengobrol, duduk dengan sopan, berbicara lemah lembut, tertawa pun diatur, bernyanyi apa bila disuruh nyanyi seperti yang sudah diajarkan oleh orang tua di rumah sehingga orang-orang tua lain akan merasa kagum! Tidak mungkin seorang anak suka bersikap seperti itu. Dia ingin bebas gembira. Tetapi apa daya, orang tua yang amat mencintanya itu mengajarkan lain, menghendaki lain.

Bukan hanya kepada anak kita yang masih kecil kita ingin mengatur, ingin membentuk, ingin agar anak itu hidup sesuai dengan kehendak kita, menurutkan garis yang kita buat untuk anak itu. Bahkan setelah anak itu dewasa sekali pun, selama kita masih mampu menguasai anak kita, maka kita akan selalu menjadikan anak kita sebagai jembatan untuk memperoleh kebanggaan dan kesenangan.

Semua ini mungkin tidak kita rasakan lagi, tidak kita insyafi lagi karena kita tidak sadar akan kenyataan hidup ini. Kita akan menganggap, bahwa semua itu kita lakukan demi cinta kita kepada anak kita itu! Inilah alasan yang paling kuat, merupakan alasan kuno dan tradisional yang dipakai oleh kita orang-orang tua yang selalu merasa benar dalam hal apa pun juga!

Bahkan jika anak kita sudah dewasa, dalam menentukan jodoh pun kita selalu mau ikut campur, berdiri paling depan untuk melakukan pemilihan, untuk menerima atau menolak pilihan anak kita berdasarkan penilaian kita, pendapat kita, selera kita sendiri. Pendapat dan selera anak kita, semenjak dia kecil, tidak kita perhatikan! Kita selalu menganggap bahwa selera dan keinginan anak kita itu salah belaka.

Semua sikap hidup ini mesti kita amati, mesti kita pandang sejujurnya, mesti kita sadari. Kita sudah tidak merasa keliru lagi karena kita sendiri pun diperlakukan demikian oleh orang tua kita semenjak kita masih kecil. Setiap orang tua akan senang sekali kalau anaknya menjadi seorang anak penurut dan setiap orang tua akan membenci anak yang tidak penurut, maka kita pun melanjutkan saja tradisi ini, sikap yang sudah mendarah daging selama ribuan tahun ini.

Maka, perlu kita mengenal diri sendiri, meneliti diri sendiri. SESUNGGUHNYAKAH KITA MENCINTA ANAK KITA? Ataukah yang kita namakan cinta itu sebenarnya bukan lain adalah cinta terhadap diri sendiri, atau keinginan kita untuk memperoleh kesenangan, kepuasan, kebanggaan melalui anak-anak kita itu? Sehingga kalau anak kita menurut dan menyenangkan hati kita, kita bilang cinta dan memuji-mujinya, sebaliknya kalau dia tidak menurut kita dan menyusahkan hati kita maka kita lalu membencinya, kita mengutuk dan memakinya sebagai anak tidak berbakti, anak durhaka, dan sebagainya lagi? Mungkinkah ada cinta bila mana kita masih mementingkan diri sendiri, mencari kesenangan untuk diri sendiri?

Nah, marilah para orang tua, kita mawas diri, kita membuka lebar mata kita, melihat yang palsu sebagai yang palsu tanpa mempedulikan apa kata tradisi dan apa kata pendapat umum! Karena urusan ini merupakan urusan kita sendiri, kita dengan anak kita, tak ada hubungannya sama sekali dengan pandangan si A, si B, atau si Umum sekali pun!

Dan kalau kita benar-benar mencinta anak kita, kita akan berhenti memperlakukan dia sebagai jembatan untuk mencari kepuasan bagi diri kita. Dan cinta kasih yang demikian ini akan menciptakan tindakan-tindakannya sendiri, dan cinta kasih sudah merupakan pendidikan yang terutama.


********************

Semenjak dahulu, ketika Lie Seng datang bersama Sun Eng lalu timbul keributan, secara diam-diam Yap Kun Liong sudah merasa kasihan terhadap Sun Eng dan diam-diam dia melihat kesalahan yang tidak disadari dari isterinya, dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, sikap mereka yang tidak semestinya terhadap Lie Seng dan Sun Eng.

Oleh karena itu, melihat kesediaan suami isteri pendekar itu untuk pergi ke kota raja dan menolong Sun Eng dari ancaman bahaya maut, dia segera berkata, "Memang tepat sekali apa bila kalian berdua menemani Seng-ji (anak Seng) pergi ke kota raja menolong murid kalian itu, sebab kota raja adalah tempat yang amat berbahaya dan untuk dapat menolong murid kalian dari tangan Pangeran Ceng Han How, agaknya hanya kalian berdua yang akan sanggup. Biarlah kami berdua menjaga serta melindungi anak kalian Kong Liang di sini."

Demikianlah, Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu pergi bersama Lie Seng, melakukan perjalanan secepatnya ke kota raja. Akan tetapi ternyata mereka datang terlambat karena tepat pada malam hari mereka menyusup ke istana Pangeran Ceng Han Houw, Sun Eng telah mengalami penyiksaan yang luar biasa hebatnya.

Baru lewat tengah malam tiga orang pendekar ini mendapat kesempatan untuk memasuki istana itu. In Hong yang memiliki gerakan bagaikan seekor burung rajawali itu menerkam seorang peronda di dekat taman, menotoknya hingga peronda itu sama sekaii tak mampu bergerak mau pun bersuara.

"Cepat kau katakan di mana adanya wanita bernama Sun Eng!" Lie Seng berbisik sambil mengancam penjaga itu dengan cengkeraman pada tengkuknya.

Jari-jari tangan Lie Seng dibuat keras seperti baja sehingga penjaga itu ketakutan bukan main. Ketika totokan pada lehernya dibuka dan dia dapat bersuara, dia menjawab dengan tubuh menggigil dan suara gemetar.
"Di... di... kamar tahanan... di belakang..."

"Hayo antar kami!" Lie Seng berbisik lagi, jantungnya berdebar tegang.

Dia tadi bertanya secara sembarangan saja karena tidak tahu harus mencari Sun Eng di mana. Dia telah mencari keterangan sebelum mereka menyusup ke dalam istana itu, dan dari keterangan yang diperolehnya dia pun mendengar bahwa Pangeran Ceng Han Houw mempunyai seorang selir baru, akan tetapi sumber keterangan itu tidak menyebut nama.

Karena itu, sesudah mengajukan pertanyaan secara untung-untungan itu dan mendengar bahwa Sun Eng telah berada di kamar tahanan, dia terkejut dan juga girang. Akhirnya dia memperoleh berita tentang Sun Eng, meski pun berita itu amat menggelisahkan hatinya.

Ketika akhirnya mereka bertiga tiba di tempat tahanan, lalu mengintai dari balik jendela, hampir saja Lie Seng menjerit. Dilihatnya tubuh Sun Eng telanjang bulat terlentang seperti telah mati, dan seorang Mongol brewok bersama para pengawal yang jumlahnya sebelas orang sedang duduk makan minum di situ sambil bersenda-gurau. Senda-gurau mereka itu kotor sekali dan semua ditujukan pada tubuh Sun Eng yang dijadikan semacam meja tempat menaruh mangkok dan cawan.

"Ngekkk!"

Sekali saja menggerakkan tangannya, tawanan itu telah dibunuh Lie Seng! Penjaga yang menjadi tawanan itu tewas tanpa sempat mengeluarkan suara dan kini, bagaikan seekor singa kelaparan, Lie Seng telah menerjang masuk melalui pintu dengan kemarahan yang sudah tak dapat ditahannya lagi.

Cia Bun Houw dan Yap In Hong amat terkejut melihat kecerobohan Lie Seng, akan tetapi mereka berdua dapat mengerti alangkah hancur hati Lie Seng menyaksikan kekasihnya diperlakukan seperti itu. Mereka sendiri pun merasa kasihan sekali melihat bekas murid itu, dan mereka pun ikut menyerbu, bahkan Bun Houw sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar keemasan sebab itu adalah Hong-cu-kiam, pedangnya yang tipis dan biasanya digulung seperti sabuk pinggang.

Lie Seng mengamuk dahsyat. Begitu masuk, sekali bergerak dia sudah membikin pecah kepala dua orang pengawal yang hanya sempat terbelalak saja kemudian roboh dengan kepala pecah terkena hantaman kedua tangan Lie Seng. Yap In Hong menendang roboh dua orang pengawal dan cepat sekali Bun Houw menerjang orang Mongol yang kelihatan tangguh itu.

Orang Mongol itu, Gaulanu, sudah meloncat berdiri dan menghunus goloknya, memutar golok dengan garang. Akan tetapi tiba-tiba saja ada cahaya emas menyambar. Dia cepat menangkis dengan goloknya sambil menggunakan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut penyerangnya.

Bun Houw cepat mengerahkan tenaganya ketika melihat golok itu menangkis pedangnya. Terdengar bunyi nyaring lantas golok itu patah. Pada saat tangan yang mencengkeram perutnya itu tiba, sinar emas menyambar dan lengan itu buntung sebatas siku!

Gaulanu mengeluarkan teriakan panjang. Akan tetapi Lie Seng sudah menubruknya dan menghantam dada orang ini dengan penuh kebencian, oleh karena orang inilah yang tadi mengeluarkan kata-kata menghina sekali kepada Sun Eng. Dia tahu atau dapat menduga bahwa agaknya orang ini yang memimpin para pengawal menghina Sun Eng, karena itu pukulannya dilakukan dengan sekuat tenaga, mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang, maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya.

"Desss...!"

Tubuh Gaulanu terjengkang, dari mulutnya menyembur darah segar kemudian dia pun terbanting dan tewas dengan tulang-tulang iga patah-patah.

"Eng-moi...!" Lie Seng sudah menubruk kekasihnya, melihat wajah yang matang biru itu, tubuh yang lunglai dan kain tilam yang berceceran darah. Dia lalu cepat menggulung tilam itu menutupi tubuh telanjang dari leher ke kaki, menggoyang-goyang pundak kekasihnya, memanggil-manggil namanya. Akan tetapi Sun Eng baru saja dicekoki cairan biru beracun dan dia masih pingsan.

Sementara itu, beberapa orang pengawal telah berteriak-teriak, akan tetapi segera mereka dirobohkan oleh Yap In Hong dan Cia Bun Houw. Dalam waktu singkat, semua pengawal yang berada di situ, mereka yang tadi mempermainkan tubuh Sun Eng dan memperkosa wanita ini secara bergantian dan kasar tanpa mengenal belas kasihan sedikit pun juga, kini telah roboh malang melintang menjadi mayat!

"Lie Seng, cepat kita pergi dari sini! Dukung dia dan bawa lari, kami melindungi!" kata Cia Bun Houw kepada keponakannya itu. Lie Seng segera memondong tubuh Sun Eng yang terbungkus kain tilam, lalu meloncatlah pemuda itu keluar kamar.

Benar saja, teriakan-terlakan dari para pengawal sebelum tewas tadi telah mendatangkan pengawal-pengawal lain, akan tetapi sekali ada cahaya emas berkelebat, maka tiga orang terdepan roboh ada pun yang lain menjadi terkejut sekali. Apa lagi karena mereka hanya melihat bayangan tiga orang yang tak dapat mereka lihat dengan jelas, karena selain tiga orang itu memadamkan semua lampu yang ada dengan pukulan-pukulan jarak jauh, juga gerakan mereka seperti terbang cepatnya, sukar diikuti pandangan mata. Hanya dengan beberapa lompatan saja, tiga orang yang melarikan tawanan itu sudah menghilang ke dalam kegelapan malam.

"Kejar...!"

"Pukul tanda bahaya!"

Sebagian dari pada mereka melakukan pengejaran, dan ada pula yang memukul tanda bahaya, dan keadaan di dalam istana itu menjadi kacau dan hiruk-pikuk. Pangeran Ceng Han Houw yang sedang tidur pulas kelelahan sesudah menghibur diri dan hatinya yang kecewa itu dengan para selirnya, terbangun dan cepat dia berpakaian lalu berlari keluar. Dia bertemu dengan Hai-liong-ong dan orang Mongol tua.

"Celaka, ada orang yang sudah melarikan tawanan dan semua penjaganya dibunuh!" kata Hai-liong-ong yang kemudian turut melakukan pengejaran, menyusul para pengawal yang telah lebih dulu mengejar. Akan tetapi dia hanya dapat menyusul para pengawal, ada pun bayangan tiga orang itu sudah lenyap dan tidak lagi diketahui ke arah mana mereka itu lari.

Tentu saja Pangeran Ceng Han Houw menjadi amat marah dan dia cepat memerintahkan para pengawalnya supaya terus mencari ke seluruh kota raja. Dia merasa benar-benar dipermainkan. Dia, yang menganggap diri sendiri paling pandai, paling lihai, kini didatangi tiga orang yang sudah membunuhi para pengawalnya dan melarikan tawanan tanpa dia dapat mencegahnya, bahkan mengetahui siapa mereka pun tidak karena tak ada seorang pun di antara para pengawalnya yang berhasil melihat ketiga orang yang mereka katakan bergerak seperti setan itu!

Tentu saja lenyapnya Sun Eng itu membuat dia khawatir sekali karena surat dari Raja Sabutai itu belum dapat diketahui berada di mana. Akan tetapi hatinya agak terhibur kalau dia teringat bahwa wanita itu telah dicekoki racun dan dalam waktu tiga hari akan mati.

Sementara itu, dengan mempergunakan ilmu kepandaian mereka, tidak berapa sulit bagi ketiga orang pendekar sakti itu untuk lolos dari kota raja membawa Sun Eng yang masih belum sadar juga. Akhirnya, menjelang pagi, mereka berhenti di dalam sebuah kuil tua di luar kota, di tepi sebuah hutan di sebelah selatan kota raja.

Setelah memeriksa keadaan Sun Eng, secara diam-diam Yap In Hong mengutuk di dalam hatinya. Sebagai seorang wanita, dia lebih dapat mengetahui apa yang telah dialami oleh Sun Eng, dia dapat menduga dan membayangkannya, dan dia bergidik membayangkan kekejaman yang melampaui batas itu.

Lie Seng terlampau berduka untuk dapat mengerti benar apa yang telah terjadi pada diri kekasihnya, biar pun dia dapat menduga bahwa Sun Eng tentu telah mengalami siksaan luar biasa dan bukan tidak mungkin mengalami perkosaan.

Yap In Hong membersihkan tubuh Sun Eng, lalu pergi mencari pakaian pada penduduk dusun di sebelah selatan hutan itu, kemudian mereka bertiga lalu mempergunakan tenaga sakti mereka untuk mengobati luka-luka dalam tubuh Sun Eng hingga akhirnya wanita itu mengeluh siuman.

Begitu siuman, Sun Eng langsung mengeluarkan rintihan seperti orang menangis. Semua orang menjadi terharu melihat dan mendengar ini, bahkan Lie Seng cepat merangkulnya dan ikut menangis.

"Eng-moi... ahhh, Eng-moi... mengapa kau lakukan semua ini...?" Dia meratap di dekat telinga kekasihnya.

Mendengar suara ini, sepasang mata itu bergerak perlahan, lalu terbuka. Sejenak mata itu kosong sebab kesadarannya masih belum sepenuhnya, akan tetapi perlahan-lahan melirik ke sana-sini hingga akhirnya pandang mata itu berhenti pada wajah Lie Seng yang berada di atasnya.

Kemudian, seperti digerakkan oleh sesuatu, sepasang mata yang agak membengkak dan kebiruan bekas pukulan itu terbelalak, bibir itu bergerak-gerak, akan tetapi agaknya sukar mengeluarkan suara, kemudian sepasang mata itu menjadi basah dan butiran-butiran air mata berjatuhan keluar! Sun Eng telah mengenali Lie Seng.

"Eng-moi...! Kau sudah selamat...!" Lie Seng berbisik penuh keharuan dan kasih sayang mendalam.

"Lie Seng koko... kau... kau..."

"Aku berada di sini, Eng-moi, dan kau dan aku tidak akan berpisah lagi!" kata pula Lie Seng dengan suara gemetar.

"Koko...!" Sekarang Sun Eng yang mulai teringat akan segala yang telah dialaminya, dan melihat bahwa dia belum mati bahkan bertemu dengan Lie Seng dalam keadaan seperti sekarang ini, langsung menjerit dengan jantung rasanya bagaikan disayat-sayat! Lie Seng merangkulnya, mendekapnya, menghiburnya, akan tetapi Sun Eng menangis terisak-isak.

"Sun Eng, sudahlah, kuatkan hatimu. Betapa pun juga, semuanya itu sudah berlalu dan sekarang engkau sudah aman bersama kami..." Yap In Hong yang keras hati itu pun tak dapat menahan runtuhnya air matanya dan dia memegang tangan bekas muridnya itu. Teringat dia betapa semenjak kecil Sun Eng ikut dengan dia dan betapa sudah sering dia tertawa gembira oleh kelincahan anak itu.
Selanjutnya,

Pendekar Lembah Naga Jilid 46

Pendekar Lembah Naga Jilid 46
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SUARANYA penuh tantangan bahkan mengandung ejekan, karena hanya dengan mengejek dan menertawakan pangeran yang menjadi musuh besar Lie Seng dan keluarganya inilah yang dapat merupakan hiburan satu-satunya pada saat-saat terakhir dari hidupnya.

"Keparat!" Ceng Han Houw membentak dan dia mulai menempelkan obor bernyala itu ke telapak kaki kanan Sun Eng.

Tubuh Sun Eng tersentak kaget, matanya terbelalak serta mulutnya terbuka, akan tetapi dia menahan jeritnya. Asap yang mengeluarkan bau kulit terbakar mengepul, lantas tanpa dapat dihindari lagi Sun Eng menggerak-gerakkan kaki kanannya yang menderita nyeri luar biasa itu.

"Kau masih belum mau mengaku juga?" Pangeran itu menarik obornya.

Akan tetapi rasa nyeri masih tidak berkurang, kiut-miut rasanya, menyusup ke bawah kulit dan menjalar sampai ke ubun-ubun kepala. Keringat yang besar-besar keluar dari muka dan leher Sun Eng. Dia menggigit bibir dan menggeleng kepala, memukul-mukulkan kaki kanan ke atas pembaringan.

"Sun Eng, jika kaki kirimu juga kubakar, maka engkau tak akan dapat menahan nyerinya. Bakaran ke dua lebih nyeri lagi, maka sebaiknya engkau mengaku dan mengembalikan surat itu. Tidak akan ada faedahnya bila engkau berkeras kepala, pula surat itu tidak ada gunanya bagimu."

Dalam menderita kesakitan hebat, Sun Eng masih mencari hiburan, biar pun hanya dapat memukul musuh Lie Seng yang menyiksanya ini dengan kata-kata, "Memang bagiku tak ada gunanya, akan tetapi bagi sri baginda kaisar tentu berguna sekali!"

"Apa?!" Wajah Han Houw menjadi pucat sekali. "Kau... kau tentu tidak akan memberikan surat itu kepada kaisar! Engkau akan mampus lebih dulu sebelum sempat menyerahkan surat itu kepada... ehh, kepada siapa surat itu kau serahkan tadi? Hayo kau mengaku! Di mana surat itu?" Suara pangeran itu gemetar.

Diam-diam Sun Eng tersenyum. Pangeran itu sangat ketakutan! Akan tetapi dia terpaksa menggigit bibirnya lagi karena kini pangeran itu menyentuh telapak kaki kirinya dengan api obor.

"Ahhh...!" Sun Eng kembali tersentak, kepalanya terangkat ke atas dan mulutnya terbuka karena dia tidak mampu menahan rasa nyeri yang luar biasa itu. Matanya terbelalak dan biar pun dia masih mampu menahan sehingga tidak sampai menjerit-jerit, akan tetapi dari kerongkongannya keluar suara aneh, terengah-engah dan mukanya penuh dengan peluh yang memercik ke sana-sini karena kepalanya dan tubuhnya bergoyang-goyang. Bau kulit terbakar makin keras.

"Mengakulah! Siapa menerima surat itu?" Han Houw menghardik dan orang yang merasa gelisah ketakutan ini menjadi semakin bengis.

Akan tetapi Sun Eng hanya menggeleng-geleng kepalanya keras-keras. Rasa nyeri amat menusuk, dan sesudah secara bergantian Han Houw menyentuh telapak kaki kanan dan kiri dengan api, Sun Eng tidak kuat bertahan kemudian terkulai pingsan.

Han Houw menghentikan penyiksaannya dan memadamkan obor, menghentak-hentakkan kedua kakinya dan berjalan hilir-mudik di dalam kamar itu, kedua alisnya berkerut dan dia kelihatan bingung sekali. Lalu dia bertepuk tangan, memerintahkan pelayan yang muncul untuk memanggil para pembantunya.

Muncullah Hai-liong-ong Phang Tek beserta dua orang Mongol yang masih berada di situ. Tiga orang itu memandang kepada tubuh Sun Eng yang kini rebah menelungkup dalam keadaan pingsan dan kedua telapak kakinya yang tadinya putih kemerahan itu kini hitam melepuh, lalu mereka kembali memandang kepada sang pangeran.

"Celaka...!" Ceng Han Houw mengeluh. "Perempuan rendah itu tidak mau mengaku, akan tetapi dia memberi gambaran bahwa surat itu hendak disampaikan kepada kaisar!"

"Ahhh...!" Wajah tiga orang ini pun menjadi pucat dan saling pandang dengan bingung.

"Saat ini tentu belum sampai ke tangan kaisar, tidak mungkin malam hari ada yang dapat menyampaikan surat itu kepada kaisar. Akan tetapi kalau sampai besok... ahh, kita harus tahu di mana disembunyikan surat itu, atau kepada siapa surat itu diserahkan. Dia keras kepala, tidak mau mengaku...!" Han Houw menuding ke arah kedua kaki wanita itu. "Maka kalian kupanggil untuk merundingkan urusan ini. Bagaimana baiknya?"

"Satu-satunya jalan, dia harus dipaksa untuk mengaku agar kita dapat bergerak malam ini juga dan mencegah surat itu terjatuh ke tangan kaisar!" kata orang Mongol yang lebih muda, yang berusia empat puluh tahun dan bermata tajam namun mengandung kelicikan dan juga wajahnya menyeramkan karena penuh dengan brewok yang hitam dan sangat lebat, kasar seperti kawat-kawat baja.

Ada sesuatu pada sinar matanya yang membuat Hai-liong-ong sendiri bergidik. Orang ini kejam bukan main, pikir orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu, sungguh pun dia sendiri bukanlah orang yang baik atau tidak kejam.

"Dia keras kepala, dan sampai pingsan dia sama sekali tidak mau mengaku," kata Han Houw dengan sikap kehabisan akal.

"Paduka serahkan kepada hamba, dan hamba akan memaksa dia membuka mulut!" kata orang Mongol itu.

"Baiklah. Memang itu jalan yang terutama sekali. Apa bila engkau bisa menundukkannya dan memaksanya mengaku, itu baik sekali. Kalau tidak, siksa dia sampai mampus!" kata sang pangeran penuh geram.

"Lebih baik jangan sampai dia mati dahulu, mungkin dia masih dapat berguna untuk kita, pangeran. Dalam keadaan seperti ini, sebaiknya kalau paduka menahan kemarahan dan bersikap teliti," Hai-liong-ong memperhatikan.

"Pendapat itu benar sekali, pangeran," sambung orang Mongol yang lebih tua. "Wanita itu adalah satu-satunya orang yang dapat memungkinkan kita memperoleh kembali surat itu, maka tidak semestinya kalau cepat-cepat dibunuh. Boleh disiksa dan dipaksa mengaku, akan tetapi jangan sampai mati."

Ceng Han Houw mengangguk-angguk. "Memang aku terburu nafsu mengingat betapa dia telah mempermainkan aku, menipuku, malah mengkhianatiku dan membuat aku terancam bahaya begini hebat. Kau bawalah dia dan usahakan sekuatmu agar dia mau mengaku!" katanya kepada orang Mongol brewok itu.

"Harap paduka tidak perlu khawatir, hamba tahu bagaimana harus memperlakukan wanita yang bandel!" Orang Mongol itu tersenyum lebar, kemudian menghampiri pembaringan dan memondong tubuh yang pingsan itu. Sinar matanya berkilat ketika dia mencium bau sedap dari leher Sun Eng dan melihat tonjolan dada yang padat di balik baju dan yang tampak membusung akibat kedua lengan wanita itu ditelikung ke belakang punggung. Dia lalu melangkah dari dalam kamar itu sambil tersenyum dingin penuh kekejaman.

Sekarang Han Houw berunding dengan orang Mongol tua dan Hai-liong-ong Phang Tek. "Apa bila Gaulanu tidak berhasil memaksa wanita itu mengaku, sebaiknya malam ini juga, atau selambat-lambatnya besok pagi-pagi benar, sebelum surat itu jatuh ke tangan kaisar, paduka meninggalkan kota raja dan mengungsi ke utara sambil melihat perkembangannya kelak. Terlalu berbahaya kalau paduka berada di sini. Hamba akan mengawal paduka."

Hai-liong-ong Phang Tek menggelengkan kepalanya. "Hamba tidak setuju dengan usul itu, Pangeran. Andai kata benar surat itu jatuh ke tangan kaisar, paduka tak perlu gentar atau pun tergesa-gesa pergi, karena kepergian yang tergesa-gesa tanpa pamit itu bahkan akan menambah kecurigaan, seolah-olah paduka telah mengaku salah. Hamba kira, sri baginda kaisar tidak akan begitu mudah percaya laporan seorang wanita rendahan atau orang yang diberinya surat itu. Tentu sri baginda kaisar akan lebih mempercayai paduka dan andai kata pula kaisar menaruh curiga, tentu beliau akan bertanya dulu kepada paduka dan tidak akan melakukan tindakan ceroboh, mengingat bahwa paduka adalah saudara tiri!"

Han Houw mengangguk-angguk, dapat merasakan kebenaran pendapat ini. "Akan tetapi, bagaimana jika beliau memanggilku kemudian memeriksaku, bertanya tentang surat dari ayahanda Sabutai itu?" Akhirnya dia bimbang lagi dan di dalam suaranya membayangkan kegelisahan.

"Harap paduka tak perlu khawatir. Banyak sekali alasan yang dapat paduka pergunakan. Misalnya, menyangkal bahwa surat itu merupakan surat asli dari ayahanda paduka Raja Sabutai. Siapa yang dapat memastikan bahwa surat itu asli? Paduka dapat mengatakan bahwa paduka memiliki banyak musuh di dunia kang-ouw dan mungkin surat itu adalah surat palsu yang sengaja dibuat oleh musuh paduka untuk mengadu domba."

"Ahh, itu bagus sekali! Akal itu dapat dipakai, dan memang baik sekali! Engkau sungguh bijaksana, Phang-enghiong!" Sebutan itu menjadi bersifat menghormat dan wajah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu berseri.

"Bukan hanya itu saja, pangeran. Andai kata kaisar menaruh curiga, masih banyak waktu bagi paduka untuk bertindak waspada dan karena banyak teman-teman kang-ouw yang membantu paduka, maka apa sulitnya bagi paduka untuk menyembunyikan diri di sekitar sini tanpa harus melarikan diri ke utara? Dengan demikian baik atau buruknya akibat dari perbuatan selir paduka yang telah berkhianat itu, tetap saja gerakan paduka akan dapat dilanjutkan dengan baik!"

"Bagus! Wah, engkau akan kuangkat menjadi penasehat negara bila gerakanku berhasil!" teriak sang pangeran dengan girang.

Mereka lalu berunding terus dengan asyik sambil makan minum karena setelah menerima petunjuk-petunjuk dan nasehat-nasehat dari Hai-liong-ong Si Raja Naga Laut itu, kini sang pangeran tidak lagi segelisah tadi.

Sementara itu, di dalam kamar lain, juga di dalam istana pangeran itu akan tetapi jauh di belakang, terjadi peristiwa lain yang mengerikan. Dengan berbagai cara, dengan bujukan dan berpura-pura mengajak Sun Eng bersekutu, sampai kepada ancaman-ancaman yang paling menakutkan, orang Mongol yang bernama Gaulanu itu berusaha untuk membuat agar Sun Eng mau mengaku di mana surat itu disembunyikan atau kepada siapa surat itu diserahkannya. Namun semua bujukan itu tidak dijawab oleh Sun Eng yang sudah sadar.

"Nona, engkau adalah seorang wanita yang masih muda dan cantik," demikian Gaulanu mencoba kembali dengan lemah lembut, dengan suaranya yang agak kaku dan berlogat asing, "dan percayalah, aku, Gaulanu bukan orang yang tidak dapat mengagumi wanita muda dan cantik. Aku kasihan kepadamu, nona. Aku diperintahkan oleh pangeran untuk menyiksa, bahkan membunuhmu bila mana engkau tidak mau mengaku. Kenapa engkau berkeras kepala, nona? Mengakulah dan aku bersumpah untuk menyelamatkanmu."

"Aku tidak tahu...!" Sun Eng berkata singkat.

"Nona, kau tahu, kalau engkau menurut, aku bahkan akan mohon kepada pangeran agar engkau suka menjadi selirku. Kubawa engkau ke utara dan engkau akan hidup bahagia... hemmm, aku suka sekali kepadamu, nona."

"Tutup mulutmu dan kalau mau bunuh, lakukanlah!" Sun Eng menantang marah.

Habislah kesabaran Gaulanu, dan dia pun menyeringai, wajahnya yang penuh brewok itu nampak menyeramkan sekali. "Perempuan tidak tahu diri! Tahukah engkau, siksaan apa yang paling hebat bagi seorang wanita? Engkau pernah diperkosa? Ya? Pernah? Nah, aku akan memperkosamu, mempermainkanmu sesuka hatiku apa bila engkau tidak mau mengaku!"

Sun Eng memejamkan mata. Dia tahu apa artinya itu. Semenjak tadi dia memang sudah memperhitungkan kemungkinan itu. Tidak, dia akan menahan segala siksaan, termasuk perkosaan. Bukankah dia sudah membiarkan dirinya diperkosa berkali-kali oleh pangeran itu? Dia sudah kepalang berkorban, maka biarlah dia akan diapakan juga, akhirnya toh akan mati! Mati demi Lie Seng!

"Aku tak peduli!" bentaknya.

Wajah brewokan itu menyeringai. "Ha, kau kira hanya diperkosa satu kali saja? Hemmm, kau tidak tahu laki-laki apa Gaulanu ini. Aku akan memperkosamu sampai engkau tidak kuat bertahan lagi! Dan bila aku kewalahan, akan kupanggilkan pengawal-pengawal yang paling kuat untuk meggantikan aku, bergilir sampai engkau mati, ya, tidak akan berhenti sampai engkau tidak kuat!"

Akan tetapi Sun Eng sudah nekat, sudah menganggap dirinya mati dan dia memejamkan matanya tanpa mau menjawab lagi.

"Brettttt...!"

Sun Eng hanya memejamkan mata lebih keras lagi pada waktu merasa betapa bajunya dirobek-robek, kemudian celananya juga. Tubuhnya hanya menggeliat sedikit ketika dia merasa betapa tangan dan muka brewok itu menjelajahi tubuhnya dengan belaian yang amat kasar.

Selanjutnya, dengan seluruh kekuatan yang ada, Sun Eng mematikan perasaannya dan dia rebah terlentang dengan mata terpejam dan lemas seperti sudah menjadi mayat! Dia tidak merasa apa-apa lagi.

Entah berapa lamanya orang Mongol kasar itu mempermainkan tubuhnya. Dia tidak tahu, dia tidak peduli lagi, yang dipermainkan seakan-akan bukan tubuhnya lagi, perasaannya sudah mati dan dia matikan pada saat itu. Dia bahkan seperti dalam keadaan terlupa apa yang sedang terjadi atas dirinya, sampai mendadak pipinya ditampar keras, membuatnya sadar dan pipinya terasa panas.

"Plakkk!" Tamparan ini disambung sumpah serapah dari mulut Gaulanu.

"Phuihh, perempuan hina, perempuan rendah, mayat hidup! Lebih baik bercinta dengan mayat dari pada dengan perempuan macammu!" Dia melompat turun dari pembaringan, mengenakan pakaian lalu meninggalkan kamar itu sambil berkata, "Lihat saja sampai di mana engkau dapat bertahan! Walau pun engkau seperti mayat, akan tetapi mayat yang cantik sehingga tentu banyak di antara mereka yang suka, ha-ha-ha!"

Gaulanu keluar dari dalam kamar, akan tetapi tidak lama terdengar langkah orang. Sun Eng tidak mau menengok melainkan memejamkan mata dan mematikan rasa. Memang dia sudah tahu apa yang akan terjadi dan benar saja.

Ada tangan-tangan dan muka seperti srigala kelaparan menggerayanginya dan melakukan hal-hal yang sama sekali tak dirasakannya lagi. Bahkan dia tidak melihat siapa orangnya. Hal ini berulang-ulang terus. Tubuhnya sakit-sakit, lelah bukan main, lemas dan akhirnya dia tidak ingat apa-apa lagi!

Ketika air yang disiramkan ke kepalanya membuat Sun Eng siuman, dia mendengar suara Gaulanu memaki-maki, "Bedebah! Iblis betina! Benar-benar tidak mau mengaku. Biarkan dia begitu dan ikat pula kakinya, hanya lepaskan ikatan kakinya jika masih ada pengawal yang mau... ha-ha-ha, perempuan seperti dia tidak akan mati kalau hanya ditiduri! Tetapi jaga, jangan sampai dia terlepas, dan... awas pula, jangan sampai dia mati. Pangeran menghendaki dia tetap hidup!"

Gaulanu meninggalkan kamar itu, kemudian Sun Eng menjadi permainan tangan-tangan jahil dan cabul, akan tetapi kembali dia sudah terlelap ke dalam keadaan tidak sadar.

Malam makin larut dan suasana menjadi sunyi sekali. Kesunyian yang mengerikan kalau orang melihat keadaan di dalam kamar di mana Sun Eng bagaikan seekor domba yang direjang oleh banyak srigala buas! Bahkan lebih buas dari pada srigala, karena binatang buas apa pun juga di dunia ini membunuh mangsanya untuk dimakan, karena kebutuhan perut dan kebutuhan hidup, juga membunuh tanpa ada rasa benci. Sebaliknya, manusia dapat melakukan perbuatan yang lebih kejam dari pada pembunuhan.

Tengah malam telah lewat. Di dalam kamar tahanan itu Sun Eng masih terlentang di atas pembaringan dalam keadaan telanjang bulat. Agaknya kini sudah tidak ada lagi pengawal yang bergairah untuk memperkosa dirinya. Mungkin karena belasan orang pengawal yang sedang bertugas jaga itu sudah mendapatkan giliran semua.

Kini mereka makan minum sambil menggunakan perut dan dada Sun Eng sebagai tempat menaruh mangkok dan cawan arak! Kadang kala mereka memaksa mulut Sun Eng untuk dijejali daging atau dituangi arak, sampai Sun Eng terbatuk-batuk.

Muka wanita yang cantik itu kini sudah matang biru bekas tamparan, bekas gigitan dan belaian-belaian kasar. Para pengawal masih saja makan minum sambil tertawa-tawa dan bersenda-gurau. Tentu saja Sun Eng yang menjadi sumber dan bahan gurauan mereka yang kotor.

Sun Eng tidak mendengar semua itu, dia dalam keadaan hampir tidak sadar. Yang terasa olehnya hanyalah rasa nyeri yang luar biasa, yang datang bertalu-talu bersama detaknya jantung, bersama denyutnya darah. Setiap denyut darah mendatangkan rasa nyeri yang terasa menusuk-nusuk. Akan tetapi dia tidak mau mengeluh, bahkan makin mencurahkan perhatiannya kepada denyut darah yang bertalu-talu dan membawa perasaan nyeri yang sukar dilukiskan itu.

Rasa nyeri itu pun secara aneh tidak terasa lagi olehnya. Yang ada hanya rasa nyaman! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini apa bila tidak merasakannya sendiri. Inikah perasaan tubuh yang telah mati? Nyaman dan tidak ada rasa apa-apa, seperti nikmatnya keheningan?

Pangeran Ceng Han Houw sudah menerima laporan dari Gaulanu bahwa Sun Eng tetap tidak mau mengaku walau pun telah diperkosa secara bergantian, penderitaan yang tiada taranya bagi seorang wanita.

"Dia itu iblis, bukan manusia, pangeran! Kalau manusia, tentu dia sudah menyerah dan mengaku! Kalau tidak ingat akan pesan paduka agar jangan dia sampai mati, tentu akan hamba bunuh dia. Dia itu iblis, sungguh!"

Han Houw merasa heran mengapa ada perasaan marah dan tidak sedap di dalam hatinya ketika mendengar betapa Sun Eng diperkosa bergantian dan kini dalam keadaan terhina dan setengah mati. Akan tetapi juga ada perasaan kagum terhadap wanita itu.

Seorang wanita yang selain cantik manis, amat pandai dalam seni bermain cinta, seorang wanita yang penuh keberanian, cerdik bukan main, serta masih ditambah lagi berhati baja dan amat setia, entah kepada siapa kesetiaannya itu ditujukan. Sayang, sungguh sayang sekali, kesetiaan dan cintanya itu bukan ditujukan kepada dia. Mendapatkan cinta kasih seorang wanita seperti itu sungguh beruntung sekali!

Dengan hati kesal dia lantas menggerakkan tangan. "Sudahlah, engkau harus mengepalai penjagaan malam ini supaya jangan sampai dia lolos. Dan ini, kau minumkan kepadanya! Paksakan agar dia menghabiskan sebotol ini."

Gaulanu menerima botol kecil berisi cairan biru itu, lalu tersenyum menyeringai. "Dia akan mati seketika, pangeran? Mengapa tidak mempergunakan ini saja?" Dia mengacungkan tinjunya.

Sepasang mata pangeran itu menyambar dan Gaulanu cepat membungkuk.

"Mohon maaf, mohon ampun... bukan maksud hamba main-main..."

"Aku tahu," kata pangeran itu kesal. "Engkau tentu heran mengapa aku bersusah payah mempergunakan racun untuk membunuhnya. Akan tetapi racun ini baru membunuhnya dalam waktu tiga hari, dan pukulanmu akan mematikan seketika. Mengerti sekarang?"

Gaulanu mengangguk-angguk kemudian mengundurkan diri. Dengan kesal Han Houw lalu menyuruh kedua orang pembantunya yang lain meninggalkannya, lalu memanggil semua selir yang lain sehingga dia pun dapat melupakan kekecewaan hatinya terhadap Sun Eng dengan membenamkan diri dalam peluk rayu para selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik.

********************

Tiga bayangan yang gerakannya gesit dan cepat bagai bayangan setan saja berkelebatan di sekitar istana Pangeran Ceng Han How. Istana itu terjaga ketat oleh para pengawal, namun gerakan tiga sosok tubuh itu benar-benar hebat luar biasa, amat sukar diikuti oleh pandangan mata sehingga tiga sosok bayangan itu berhasil memasuki taman bunga, di samping istana tanpa diketahui seorang pun pengawal.

Hal ini tidaklah mengherankan karena tiga sosok bayangan itu adalah bayangan dari tiga orang pendekar sakti, terutama sekali dua orang di antara mereka, pasangan pria dan wanita yang tampan dan cantik, adalah sepasang suami isteri pendekar yang untuk jaman itu sukar ditemui tandingannya. Mereka itu adalah Lie Seng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong!

Seperti kita ketahui, Lie Seng menjadi gelisah sekali pada saat kekasihnya, atau isterinya yang belum dikawininya secara sah, Sun Eng, pergi meninggalkannya tanpa pamit, hanya meninggalkan surat yang membuat hatinya menjadi sangat gelisah karena kekasihnya itu hendak mendekati Pangeran Ceng Han Houw dan kalau perlu membunuhnya!

Lie Seng tahu betapa lihainya pangeran itu dan tahu pula bahwa kekasihnya itu sengaja hendak berkorban diri untuk menolong keluarga Cin-ling-pai dan hatinya menjadi semakin gelisah ketika dia mencari-cari kekasihnya itu tanpa hasil. Dia mencari sampai ke kota raja, akan tetapi tidak mendengar di mana adanya Sun Eng.

Tentu saja dia tidak tahu bahwa Sun Eng pergi bersama pangeran itu, ada pun dia sendiri telah lebih dahulu ke kota raja sehingga pada saat dia melakukan penyelidikan ke istana Pangeran Ceng Han Houw, pangeran itu tidak ada, demikian pula tidak ada didengarnya keterangan tentang kekasihnya.

Dalam keadaan bingung ini Lie Seng segera kembali ke selatan lalu dia mencari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, dua orang guru dari Sun Eng untuk membantunya. Juga untuk minta pertanggungan jawab mereka karena dia anggap bahwa mereka itulah yang menjadi sebab sehingga terjadinya semua ini! Kalau mereka tidak mempengaruhi ibunya sehingga tidak menyetujui dia berjodoh dengan Sun Eng, tentu sekarang Sun Eng sudah menjadi isterinya dengan sah dan tidak akan terjadi Sun Eng melakukan perbuatan nekat seperti itu!

Akhirnya dia dapat menemukan suami isteri pendekar sakti ini, juga ibu kandungnya dan Yap Kun Liong, di kota Bun-cou. Dia sudah menduga bahwa empat orang yang menjadi buronan itu tentu bersembunyi di Bun-cou, tempat di mana dulu Cia Bun Houw dan Yap In Hong bersembunyi, di mana mereka mengambil Sun Eng sebagai murid pula.

Ketika Lie Seng memperlihatkan surat peninggalan Sun Eng, semua pendekar itu merasa terkejut dan juga terharu. Demikian besar cinta kasih Sun Eng kepada Lie Seng sehingga untuk mengangkat harga dirinya, Sun Eng kini hendak melakukan perbuatan nekat yang sangat berbahaya dan mempertaruhkan nyawanya untuk menolong keluarga Cin-ling-pai.

"Saya tahu bahwa dia melakukan hal ini karena merasa rendah diri, karena menjadi isteri saya tanpa persetujuan keluarga, juga tidak secara sah! Kini dia hendak mengorbankan dirinya demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai! Paman Bun Houw, bagaimanakah kalau sudah begini? Apakah saya harus turun tangan sendiri di kota raja tanpa ada bantuan sedikit pun dari paman berdua bibi yang menjadi guru-guru dari Sun Eng, bahkan yang sedikit banyak ikut bertanggung jawab atas kejadian ini?"

Cia Bun Houw saling pandang dengan isterinya. Memang mereka pun menyadari bahwa mereka berdua telah mencegah keponakan ini menikah dengan Sun Eng. Akan tetapi hal itu mereka lakukan dengan penuh kesadaran bahwa Sun Eng memang tidak pantas untuk menjadi isteri keponakan mereka itu. Kini di dalam hati mereka tidak lagi membenci Sun Eng, bahkan merasa kasihan. Maka, mendengar penuturan Lie Seng, mereka merasa tak enak sekali.

"Lie Seng, biarlah aku menemanimu untuk pergi mencari Sun Eng di kota raja, dan kalau memang benar dia di sana dan terancam bahaya, kita berdua akan menyelamatkannya," kata Bun Houw dengan tenang.

"Aku pun akan ikut pergi," kata In Hong, juga dengan tenang.

Nyonya yang usianya sudah tiga puluh lima tahun ini merasa tidak enak sekali. Watak pendekarnya bangkit maka dia pun merasa betapa dia ikut mendesak bekas muridnya itu terdorong oleh rasa bencinya, dan kini, mendengar betapa bekas muridnya itu melakukan tindakan nekat demi menolong dia sekeluarga dengan taruhan nyawa, dia harus turut pula bertindak dan tak mungkin dia mendiamkannya saja. Karena itulah maka dia serta merta, tanpa keraguan lagi, menyatakan keinginannya hendak ikut pergi.

Mendengar penuturan puteranya tentang gadis yang ditolaknya untuk menjadi mantunya itu, sejak tadi Cia Giok Keng, ibu Lie Seng, termenung dan tidak dapat berkata apa pun. Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Dia memang merasa terharu mendengar gadis itu dengan nekat melakukan usaha untuk menyelamatkan mereka berempat, seolah-olah memasuki gua harimau, dan dia merasa berterima kasih sekali. Akan tetapi, di lain sudut hatinya, tetap terdapat perasaan tidak rela bila puteranya itu berjodoh dengan wanita yang pernah melakukan penyelewengan seperti yang sudah didengarnya dari adiknya dan adik iparnya. Dia terlalu mencintai puteranya untuk membiarkan puteranya ini menikah dengan seorang wanita yang rendah budi dan hina!

Seperti itulah macamnya cinta yang berada dalam batin kita! Kita menganggap bahwa perasaan seperti itu adalah cinta kasih yang murni, cinta terhadap anak yang diwujudkan dengan keinginan melihat anak itu berbahagia sesuai dengan keinginan kita! Kita selalu ingin mengatur kehidupan anak kita menurut selera kita, menurut pendapat kita, menurut pandangan kita. Kita merasa yakin bahwa anak kita akan berbahagia bila mana dia itu menurut kehendak kita melakukan ini, tidak melakukan itu.

Kita ingin mengatur anak kita sejak masih kecil, membentuknya seperti kita membentuk boneka dari lilin atau lempung. Tanpa kita sadari sendiri, kita telah menyiksa anak-anak kita sendiri dengan bentukan-bentukan itu. Kita ingin melihat anak kita yang masih kecil itu bersikap sopan santun, baik, cerdik, pintar, tahu aturan, pendiam dan sebagainya lagi, pendek kata, kita ingin melihat anak kita supaya menjadi anak teladan seperti yang kita cita-citakan dan gambarkan.

Oleh karena itu, sejak dia masih kecil, kita tekan dan didik dia supaya cocok dengan bentuk gambaran kita. Kita lupa, tidak sadar bahwa semua ini sama sekali bukanlah tindakan cinta kasih, sama sekali bukan terdorong oleh cinta kita kepada anak kita itu, melainkan terdorong oleh cinta kepada diri sendiri! Kita ingin mempergunakan anak kita sendiri sebagai jembatan untuk menikmati kesenangan berupa kebanggaan! Kitalah yang akan berbangga melihat anak kita begini dan begitu sesuai dengan kehendak kita! Kita akan senang sekali! Sama sekali kita tidak peduli apakah anak itu pun senang bersikap yang kita gariskan itu.

Sudah tentu saja dia tidak senang! Setiap orang anak ingin bebas, ingin bergembira-ria, ingin berloncatan, berteriak-teriak, bermain-main sesuka hatinya, bersama kawan-kawan sebaya. Tidak ada seorang pun anak kecil yang normal akan merasa suka menjadi anak teladan seperti yang digariskan oleh orang tua, duduk diam seperti patung di hadapan orang-orang tua yang sedang mengobrol, duduk dengan sopan, berbicara lemah lembut, tertawa pun diatur, bernyanyi apa bila disuruh nyanyi seperti yang sudah diajarkan oleh orang tua di rumah sehingga orang-orang tua lain akan merasa kagum! Tidak mungkin seorang anak suka bersikap seperti itu. Dia ingin bebas gembira. Tetapi apa daya, orang tua yang amat mencintanya itu mengajarkan lain, menghendaki lain.

Bukan hanya kepada anak kita yang masih kecil kita ingin mengatur, ingin membentuk, ingin agar anak itu hidup sesuai dengan kehendak kita, menurutkan garis yang kita buat untuk anak itu. Bahkan setelah anak itu dewasa sekali pun, selama kita masih mampu menguasai anak kita, maka kita akan selalu menjadikan anak kita sebagai jembatan untuk memperoleh kebanggaan dan kesenangan.

Semua ini mungkin tidak kita rasakan lagi, tidak kita insyafi lagi karena kita tidak sadar akan kenyataan hidup ini. Kita akan menganggap, bahwa semua itu kita lakukan demi cinta kita kepada anak kita itu! Inilah alasan yang paling kuat, merupakan alasan kuno dan tradisional yang dipakai oleh kita orang-orang tua yang selalu merasa benar dalam hal apa pun juga!

Bahkan jika anak kita sudah dewasa, dalam menentukan jodoh pun kita selalu mau ikut campur, berdiri paling depan untuk melakukan pemilihan, untuk menerima atau menolak pilihan anak kita berdasarkan penilaian kita, pendapat kita, selera kita sendiri. Pendapat dan selera anak kita, semenjak dia kecil, tidak kita perhatikan! Kita selalu menganggap bahwa selera dan keinginan anak kita itu salah belaka.

Semua sikap hidup ini mesti kita amati, mesti kita pandang sejujurnya, mesti kita sadari. Kita sudah tidak merasa keliru lagi karena kita sendiri pun diperlakukan demikian oleh orang tua kita semenjak kita masih kecil. Setiap orang tua akan senang sekali kalau anaknya menjadi seorang anak penurut dan setiap orang tua akan membenci anak yang tidak penurut, maka kita pun melanjutkan saja tradisi ini, sikap yang sudah mendarah daging selama ribuan tahun ini.

Maka, perlu kita mengenal diri sendiri, meneliti diri sendiri. SESUNGGUHNYAKAH KITA MENCINTA ANAK KITA? Ataukah yang kita namakan cinta itu sebenarnya bukan lain adalah cinta terhadap diri sendiri, atau keinginan kita untuk memperoleh kesenangan, kepuasan, kebanggaan melalui anak-anak kita itu? Sehingga kalau anak kita menurut dan menyenangkan hati kita, kita bilang cinta dan memuji-mujinya, sebaliknya kalau dia tidak menurut kita dan menyusahkan hati kita maka kita lalu membencinya, kita mengutuk dan memakinya sebagai anak tidak berbakti, anak durhaka, dan sebagainya lagi? Mungkinkah ada cinta bila mana kita masih mementingkan diri sendiri, mencari kesenangan untuk diri sendiri?

Nah, marilah para orang tua, kita mawas diri, kita membuka lebar mata kita, melihat yang palsu sebagai yang palsu tanpa mempedulikan apa kata tradisi dan apa kata pendapat umum! Karena urusan ini merupakan urusan kita sendiri, kita dengan anak kita, tak ada hubungannya sama sekali dengan pandangan si A, si B, atau si Umum sekali pun!

Dan kalau kita benar-benar mencinta anak kita, kita akan berhenti memperlakukan dia sebagai jembatan untuk mencari kepuasan bagi diri kita. Dan cinta kasih yang demikian ini akan menciptakan tindakan-tindakannya sendiri, dan cinta kasih sudah merupakan pendidikan yang terutama.


********************

Semenjak dahulu, ketika Lie Seng datang bersama Sun Eng lalu timbul keributan, secara diam-diam Yap Kun Liong sudah merasa kasihan terhadap Sun Eng dan diam-diam dia melihat kesalahan yang tidak disadari dari isterinya, dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, sikap mereka yang tidak semestinya terhadap Lie Seng dan Sun Eng.

Oleh karena itu, melihat kesediaan suami isteri pendekar itu untuk pergi ke kota raja dan menolong Sun Eng dari ancaman bahaya maut, dia segera berkata, "Memang tepat sekali apa bila kalian berdua menemani Seng-ji (anak Seng) pergi ke kota raja menolong murid kalian itu, sebab kota raja adalah tempat yang amat berbahaya dan untuk dapat menolong murid kalian dari tangan Pangeran Ceng Han How, agaknya hanya kalian berdua yang akan sanggup. Biarlah kami berdua menjaga serta melindungi anak kalian Kong Liang di sini."

Demikianlah, Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu pergi bersama Lie Seng, melakukan perjalanan secepatnya ke kota raja. Akan tetapi ternyata mereka datang terlambat karena tepat pada malam hari mereka menyusup ke istana Pangeran Ceng Han Houw, Sun Eng telah mengalami penyiksaan yang luar biasa hebatnya.

Baru lewat tengah malam tiga orang pendekar ini mendapat kesempatan untuk memasuki istana itu. In Hong yang memiliki gerakan bagaikan seekor burung rajawali itu menerkam seorang peronda di dekat taman, menotoknya hingga peronda itu sama sekaii tak mampu bergerak mau pun bersuara.

"Cepat kau katakan di mana adanya wanita bernama Sun Eng!" Lie Seng berbisik sambil mengancam penjaga itu dengan cengkeraman pada tengkuknya.

Jari-jari tangan Lie Seng dibuat keras seperti baja sehingga penjaga itu ketakutan bukan main. Ketika totokan pada lehernya dibuka dan dia dapat bersuara, dia menjawab dengan tubuh menggigil dan suara gemetar.
"Di... di... kamar tahanan... di belakang..."

"Hayo antar kami!" Lie Seng berbisik lagi, jantungnya berdebar tegang.

Dia tadi bertanya secara sembarangan saja karena tidak tahu harus mencari Sun Eng di mana. Dia telah mencari keterangan sebelum mereka menyusup ke dalam istana itu, dan dari keterangan yang diperolehnya dia pun mendengar bahwa Pangeran Ceng Han Houw mempunyai seorang selir baru, akan tetapi sumber keterangan itu tidak menyebut nama.

Karena itu, sesudah mengajukan pertanyaan secara untung-untungan itu dan mendengar bahwa Sun Eng telah berada di kamar tahanan, dia terkejut dan juga girang. Akhirnya dia memperoleh berita tentang Sun Eng, meski pun berita itu amat menggelisahkan hatinya.

Ketika akhirnya mereka bertiga tiba di tempat tahanan, lalu mengintai dari balik jendela, hampir saja Lie Seng menjerit. Dilihatnya tubuh Sun Eng telanjang bulat terlentang seperti telah mati, dan seorang Mongol brewok bersama para pengawal yang jumlahnya sebelas orang sedang duduk makan minum di situ sambil bersenda-gurau. Senda-gurau mereka itu kotor sekali dan semua ditujukan pada tubuh Sun Eng yang dijadikan semacam meja tempat menaruh mangkok dan cawan.

"Ngekkk!"

Sekali saja menggerakkan tangannya, tawanan itu telah dibunuh Lie Seng! Penjaga yang menjadi tawanan itu tewas tanpa sempat mengeluarkan suara dan kini, bagaikan seekor singa kelaparan, Lie Seng telah menerjang masuk melalui pintu dengan kemarahan yang sudah tak dapat ditahannya lagi.

Cia Bun Houw dan Yap In Hong amat terkejut melihat kecerobohan Lie Seng, akan tetapi mereka berdua dapat mengerti alangkah hancur hati Lie Seng menyaksikan kekasihnya diperlakukan seperti itu. Mereka sendiri pun merasa kasihan sekali melihat bekas murid itu, dan mereka pun ikut menyerbu, bahkan Bun Houw sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar keemasan sebab itu adalah Hong-cu-kiam, pedangnya yang tipis dan biasanya digulung seperti sabuk pinggang.

Lie Seng mengamuk dahsyat. Begitu masuk, sekali bergerak dia sudah membikin pecah kepala dua orang pengawal yang hanya sempat terbelalak saja kemudian roboh dengan kepala pecah terkena hantaman kedua tangan Lie Seng. Yap In Hong menendang roboh dua orang pengawal dan cepat sekali Bun Houw menerjang orang Mongol yang kelihatan tangguh itu.

Orang Mongol itu, Gaulanu, sudah meloncat berdiri dan menghunus goloknya, memutar golok dengan garang. Akan tetapi tiba-tiba saja ada cahaya emas menyambar. Dia cepat menangkis dengan goloknya sambil menggunakan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut penyerangnya.

Bun Houw cepat mengerahkan tenaganya ketika melihat golok itu menangkis pedangnya. Terdengar bunyi nyaring lantas golok itu patah. Pada saat tangan yang mencengkeram perutnya itu tiba, sinar emas menyambar dan lengan itu buntung sebatas siku!

Gaulanu mengeluarkan teriakan panjang. Akan tetapi Lie Seng sudah menubruknya dan menghantam dada orang ini dengan penuh kebencian, oleh karena orang inilah yang tadi mengeluarkan kata-kata menghina sekali kepada Sun Eng. Dia tahu atau dapat menduga bahwa agaknya orang ini yang memimpin para pengawal menghina Sun Eng, karena itu pukulannya dilakukan dengan sekuat tenaga, mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang, maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya.

"Desss...!"

Tubuh Gaulanu terjengkang, dari mulutnya menyembur darah segar kemudian dia pun terbanting dan tewas dengan tulang-tulang iga patah-patah.

"Eng-moi...!" Lie Seng sudah menubruk kekasihnya, melihat wajah yang matang biru itu, tubuh yang lunglai dan kain tilam yang berceceran darah. Dia lalu cepat menggulung tilam itu menutupi tubuh telanjang dari leher ke kaki, menggoyang-goyang pundak kekasihnya, memanggil-manggil namanya. Akan tetapi Sun Eng baru saja dicekoki cairan biru beracun dan dia masih pingsan.

Sementara itu, beberapa orang pengawal telah berteriak-teriak, akan tetapi segera mereka dirobohkan oleh Yap In Hong dan Cia Bun Houw. Dalam waktu singkat, semua pengawal yang berada di situ, mereka yang tadi mempermainkan tubuh Sun Eng dan memperkosa wanita ini secara bergantian dan kasar tanpa mengenal belas kasihan sedikit pun juga, kini telah roboh malang melintang menjadi mayat!

"Lie Seng, cepat kita pergi dari sini! Dukung dia dan bawa lari, kami melindungi!" kata Cia Bun Houw kepada keponakannya itu. Lie Seng segera memondong tubuh Sun Eng yang terbungkus kain tilam, lalu meloncatlah pemuda itu keluar kamar.

Benar saja, teriakan-terlakan dari para pengawal sebelum tewas tadi telah mendatangkan pengawal-pengawal lain, akan tetapi sekali ada cahaya emas berkelebat, maka tiga orang terdepan roboh ada pun yang lain menjadi terkejut sekali. Apa lagi karena mereka hanya melihat bayangan tiga orang yang tak dapat mereka lihat dengan jelas, karena selain tiga orang itu memadamkan semua lampu yang ada dengan pukulan-pukulan jarak jauh, juga gerakan mereka seperti terbang cepatnya, sukar diikuti pandangan mata. Hanya dengan beberapa lompatan saja, tiga orang yang melarikan tawanan itu sudah menghilang ke dalam kegelapan malam.

"Kejar...!"

"Pukul tanda bahaya!"

Sebagian dari pada mereka melakukan pengejaran, dan ada pula yang memukul tanda bahaya, dan keadaan di dalam istana itu menjadi kacau dan hiruk-pikuk. Pangeran Ceng Han Houw yang sedang tidur pulas kelelahan sesudah menghibur diri dan hatinya yang kecewa itu dengan para selirnya, terbangun dan cepat dia berpakaian lalu berlari keluar. Dia bertemu dengan Hai-liong-ong dan orang Mongol tua.

"Celaka, ada orang yang sudah melarikan tawanan dan semua penjaganya dibunuh!" kata Hai-liong-ong yang kemudian turut melakukan pengejaran, menyusul para pengawal yang telah lebih dulu mengejar. Akan tetapi dia hanya dapat menyusul para pengawal, ada pun bayangan tiga orang itu sudah lenyap dan tidak lagi diketahui ke arah mana mereka itu lari.

Tentu saja Pangeran Ceng Han Houw menjadi amat marah dan dia cepat memerintahkan para pengawalnya supaya terus mencari ke seluruh kota raja. Dia merasa benar-benar dipermainkan. Dia, yang menganggap diri sendiri paling pandai, paling lihai, kini didatangi tiga orang yang sudah membunuhi para pengawalnya dan melarikan tawanan tanpa dia dapat mencegahnya, bahkan mengetahui siapa mereka pun tidak karena tak ada seorang pun di antara para pengawalnya yang berhasil melihat ketiga orang yang mereka katakan bergerak seperti setan itu!

Tentu saja lenyapnya Sun Eng itu membuat dia khawatir sekali karena surat dari Raja Sabutai itu belum dapat diketahui berada di mana. Akan tetapi hatinya agak terhibur kalau dia teringat bahwa wanita itu telah dicekoki racun dan dalam waktu tiga hari akan mati.

Sementara itu, dengan mempergunakan ilmu kepandaian mereka, tidak berapa sulit bagi ketiga orang pendekar sakti itu untuk lolos dari kota raja membawa Sun Eng yang masih belum sadar juga. Akhirnya, menjelang pagi, mereka berhenti di dalam sebuah kuil tua di luar kota, di tepi sebuah hutan di sebelah selatan kota raja.

Setelah memeriksa keadaan Sun Eng, secara diam-diam Yap In Hong mengutuk di dalam hatinya. Sebagai seorang wanita, dia lebih dapat mengetahui apa yang telah dialami oleh Sun Eng, dia dapat menduga dan membayangkannya, dan dia bergidik membayangkan kekejaman yang melampaui batas itu.

Lie Seng terlampau berduka untuk dapat mengerti benar apa yang telah terjadi pada diri kekasihnya, biar pun dia dapat menduga bahwa Sun Eng tentu telah mengalami siksaan luar biasa dan bukan tidak mungkin mengalami perkosaan.

Yap In Hong membersihkan tubuh Sun Eng, lalu pergi mencari pakaian pada penduduk dusun di sebelah selatan hutan itu, kemudian mereka bertiga lalu mempergunakan tenaga sakti mereka untuk mengobati luka-luka dalam tubuh Sun Eng hingga akhirnya wanita itu mengeluh siuman.

Begitu siuman, Sun Eng langsung mengeluarkan rintihan seperti orang menangis. Semua orang menjadi terharu melihat dan mendengar ini, bahkan Lie Seng cepat merangkulnya dan ikut menangis.

"Eng-moi... ahhh, Eng-moi... mengapa kau lakukan semua ini...?" Dia meratap di dekat telinga kekasihnya.

Mendengar suara ini, sepasang mata itu bergerak perlahan, lalu terbuka. Sejenak mata itu kosong sebab kesadarannya masih belum sepenuhnya, akan tetapi perlahan-lahan melirik ke sana-sini hingga akhirnya pandang mata itu berhenti pada wajah Lie Seng yang berada di atasnya.

Kemudian, seperti digerakkan oleh sesuatu, sepasang mata yang agak membengkak dan kebiruan bekas pukulan itu terbelalak, bibir itu bergerak-gerak, akan tetapi agaknya sukar mengeluarkan suara, kemudian sepasang mata itu menjadi basah dan butiran-butiran air mata berjatuhan keluar! Sun Eng telah mengenali Lie Seng.

"Eng-moi...! Kau sudah selamat...!" Lie Seng berbisik penuh keharuan dan kasih sayang mendalam.

"Lie Seng koko... kau... kau..."

"Aku berada di sini, Eng-moi, dan kau dan aku tidak akan berpisah lagi!" kata pula Lie Seng dengan suara gemetar.

"Koko...!" Sekarang Sun Eng yang mulai teringat akan segala yang telah dialaminya, dan melihat bahwa dia belum mati bahkan bertemu dengan Lie Seng dalam keadaan seperti sekarang ini, langsung menjerit dengan jantung rasanya bagaikan disayat-sayat! Lie Seng merangkulnya, mendekapnya, menghiburnya, akan tetapi Sun Eng menangis terisak-isak.

"Sun Eng, sudahlah, kuatkan hatimu. Betapa pun juga, semuanya itu sudah berlalu dan sekarang engkau sudah aman bersama kami..." Yap In Hong yang keras hati itu pun tak dapat menahan runtuhnya air matanya dan dia memegang tangan bekas muridnya itu. Teringat dia betapa semenjak kecil Sun Eng ikut dengan dia dan betapa sudah sering dia tertawa gembira oleh kelincahan anak itu.
Selanjutnya,