Pendekar Lembah Naga Jilid 47 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Lembah Naga Jilid 47
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Sun Eng menahan isaknya, lalu dengan muka basah dia pun menoleh ke arah subo-nya, kemudian memandang wajah suhu-nya. "Subo... suhu... mengapa subo dan suhu... mau pula... menyelamatkan aku...?"

Bun Houw menelan ludah sebelum menjawab karena dia melihat isterinya tidak mampu menjawab pertanyaan itu. "Mengapa, Sun Eng?" Dia mencoba tersenyum. "Ingat, engkau adalah murid kami, bukan? Dan engkau adalah isteri Lie Seng keponakanku. Tentu saja kami datang menolongmu dari tangan orang-orang jahat itu."

"Suhu... subo... tidak benci kepadaku... dan menyetujui perjodohan antara aku dan koko Lie Seng...?"

"Sudahlah, Sun Eng, lupakan hal-hal yang telah lalu. Sekarang kami tahu betapa engkau seorang anak baik dan saling mencinta dengan Lie Seng. Tentu saja kami menyetujui...," kata Yap In Hong.

"Dan kami tidak membencimu, Sun Eng."

Sun Eng terisak, lalu menggunakan kedua tangannya menutupi mukanya.

"Akan tetapi... tiada gunanya... tiada gunanya..."

"Apa maksudmu, Eng-moi? Percayalah, ibu sendiri tidak akan menghalangi kita menikah! Aku tanggung..."

Akan tetapi Sun Eng menangis semakin mengguguk, maka Yap In Hong memberi isyarat kepada Lie Seng untuk membiarkan dahulu wanita itu, biar menangis untuk menuangkan semua perasaannya dan tidak boleh diajak bicara tentang perjodohan yang ternyata amat menyinggung perasaannya itu.

Memang benar sekali pendapat In Hong ini. Setelah dia dibiarkan menangis mengguguk beberapa lamanya, akhirnya tangisnya pun mereda dan dia mulai merintih karena seluruh tubuhnya terasa nyeri-nyeri, terutama sekali dua kakinya yang luka-luka bekas kebakar. Yap In Hong sudah mulai memberi obat luka kebakar, dicampur minyak lantas ditutupkan pada luka-luka itu dan dibalut. Obat itu amat manjur, karena rasa nyeri itu segera tertutup oleh rasa dingin yang melegakan hati.

"Subo, terima kasih...," kata Sun Eng lirih sambil memandang subo-nya yang sejak dulu dianggapnya seperti ibu sendiri.

In Hong tersenyum, teringat betapa dahulu di waktu masih kecilnya sering sekali Sun Eng mengucapkan kata-kata itu. Ahh, betapa buta manusia apa bila sedang dipengaruhi oleh kemarahan dan kebencian. Segala kebaikan orang yang sudah ribuan kali dilakukan akan lenyap begitu saja oleh satu perbuatan yang menyusahkan. Kini, sesudah tiada lagi benci dalam hati In Hong, baru nampak olehnya betapa selama menjadi muridnya, sebenarnya Sun Eng amat baik kepadanya!

Memang demikian! Mengapa kita begitu terbiasa sejak kecil untuk menyimpan segala hal yang terjadi di masa lalu? Mengapa kita selalu mengingat-ingat perbuatan orang lain yang merugikan kita sehingga menimbulkan kebencian? Mengapa kita tidak mau menghapus semua itu, semua ingatan tentang hal-hal yang terjadi pada masa lalu, menguburnya dan tidak pernah membongkarnya lagi, akan tetapi menujukan seluruh pandangan mata kita, seluruh hati dan pikiran kita, seluruh keadaan diri kita lahir batin kepada apa yang terjadi SAAT INI saja?

Mengapa kehidupan kita saat demi saat begitu tergantung kepada apa yang telah terjadi di masa lalu, yang mempengaruhi setiap gerak-gerik kita, setiap sikap kita terhadap orang lain? Kenapa kita harus menilai setiap orang lain dari perbuatan-perbuatannya yang lalu? Apakah keadaan manusia itu dapat ditentukan dari satu kali perbuatannya di masa lalu?

Mengapa ada benci di dalam hati kita? Mengapa kita mengotori diri sendiri dengan segala macam kebencian, permusuhan, rasa iri hati dan sebagainya itu? Mengapa kita tidak mau mendobrak dan memberontak terhadap semua ikatan masa lalu itu dan hidup BARU saat demi saat? Semua pertanyaan ini kiranya teramat penting untuk kita renungkan dan kita ajukan kepada diri sendiri!


Melihat betapa keadaan kekasihnya telah agak normal kembali, Lie Seng lalu menyiapkan bubur yang tadi sudah dimasak oleh In Hong, sesuap demi sesuap ke mulut kekasihnya. Sun Eng menerimanya seperti anak kecil, dengan pandangan mata tak lepas dari wajah kekasihnya, dengan mata yang masih berlinang air mata, akan tetapi dia tidak terisak lagi.

Sesudah Sun Eng selesai makan, dan Lie Seng bersama paman dan bibinya juga sudah makan pagi, barulah Lie Seng berkata, "Eng-moi, maukah engkau sekarang menceritakan segalanya kepadaku?"

Sun Eng mengangguk, lalu dengan suara tenang, karena memang hal ini sudah dipikirkan sejak tadi, dia bercerita secara singkat, "Koko, sebelumnya kau maafkanlah aku sebesar-besarnya bahwa aku sudah membuatmu banyak pusing dan berduka. Aku merasa sakit hati terhadap pangeran terkutuk itu setelah apa yang terjadi pada keluarga enci Mei Lan. Maka aku lalu menggunakan akal sehingga akhirnya aku berhasil menyelundup ke dalam istana Pangeran Ceng Han Houw sebagai... sebagai selirnya." Dia berhenti dan menatap wajah Lie Seng, akan tetapi wajah itu biasa saja karena memang sedikit banyak Lie Seng sudah menduga tentang hal itu.

"Akhirnya aku berhasil mendapatkan rahasianya. Ternyata pangeran itu bercita-cita untuk menggulingkan kedudukan sri baginda kaisar dan merampas tahta kerajaan."

"Ahh...?" Tiga orang itu berseru kaget dengan berbareng, tidak menyangka bahwa ke situ jalannya cerita yang akan mereka dengar.

Sun Eng lalu menceritakan tentang kedatangan Hai-liong-ong Phang Tek dan dua orang Mongol utusan dari Raja Sabutai yang membawa surat berisi rencana persekutuan antara Pangeran Ceng Han Houw dan Raja Sabutai, rencana penyerbuan mereka untuk merebut tahta kerajaan.

"Aku melihat kesempatan baik sekali, maka aku lalu melarikan surat itu berikut laporanku tentang fitnah yang dijatuhkan atas diri suhu dan subo, atas diri Yap Kun Liong locianpwe dan ibumu, koko. Semua itu lantas kularikan dan kuserahkan kepada Menteri Liang yang sebelumnya telah kuselidiki dan kutahu sebagai seorang menteri yang amat setia kepada kaisar. Aku menyerahkan itu dan mohon kepadanya agar secepatnya dilaporkan kepada kaisar. Sesudah itu aku bermaksud melarikan diri dari kota raja... akan tetapi... pangeran terkutuk itu menangkapku dan... dan aku disiksanya... disuruh mengaku di mana adanya surat-surat itu, akan tetapi sampai mati pun aku tidak sudi mengaku... biar mereka siksa aku, biar mereka bunuh aku..."

"Ah, muridku, engkau telah berjasa untuk kerajaan! Engkau sungguh mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi murid kami!" Cia Bun Houw berseru kagum dan girang, sekaligus juga bangga bahwa wanita ini adalah muridnya.

"Suhu terlalu memuji. Aku hanya seorang durhaka..."

"Eng-moi, jangan bicarakan hal itu lagi. Engkau sudah dimaafkan, dan engkau pun harus memaafkan kami. Sekarang tidak ada apa-apa lagi, engkau akan menjadi isteriku yang sah..."

Sepasang mata yang agak biru karena pukulan itu terbelalak, seolah-olah dia tak percaya akan apa yang baru didengarnya, kemudian dia menggelengkan kepalanya keras-keras. "Tidak mungkin, koko... tidak mungkin... aku... aku terlalu hina dan rendah untukmu..."

"Eng-moi, apakah engkau masih tetap tidak dapat melupakan sikap keluargaku yang lalu? Apakah engkau tetap bersakit hati dan tidak mau memaafkan?" Lie Seng memohon, "Aku mintakan maaf kepadamu untuk sikap ibuku yang lalu, Eng-moi,"

"Dan kami pun mengharapkan maafmu, muridku!" kata Yap In Hong.

"Ahhh, tidak... jangan salah sangka! Suhu dan subo, sikap suhu serta subo terhadapku memang sudah sepantasnya, aku bukan sakit hati kalau aku berkata bahwa aku... terlalu rendah dan hina bagimu, koko... lebih-lebih sekarang..."

"Bagiku, sekarang engkau makin agung, moi-moi, aku makin mencintamu..."

"Tidak! Jangan lupa, koko, aku sudah menyerahkan diriku kepada pangeran terkutuk itu, membiarkan dia mempermainkan diriku sebagai selirnya, bahkan aku sudah melayaninya sebagai selir terkasih selama hampir dua bulan..."

"Cukup! Aku tidak peduli dengan itu semua! Sekali waktu aku akan berhadapan dengan keparat itu. Aku tidak menyalahkan engkau, Eng-moi. Engkau melakukan hal itu karena engkau ingin mengorek rahasianya, dan engkau melakukan semua itu dengan perasaan tersiksa, demi menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai. Aku tahu benar akan hal itu!"

Wajah itu memandang dengan pucat lantas sepasang matanya meredup. "Koko, hal itu bukan apa-apa bagimu? Ahhh... tapi aku... aku telah mereka siksa... tahukah engkau apa yang dilakukan pangeran itu? Dia menyerahkan aku kepada Mongol brewok dan belasan anak buah pengawal, dan... dan mereka itu... mereka itu memperkosaku secara biadab, berganti-ganti sampai aku pingsan..."

"Jahanam mereka! Mereka semua telah kubunuh!" Lie Seng mengepal tinju dan matanya berubah merah.

"Nah, engkau tahu sekarang betapa diriku semakin kotor, koko. Aku tidak berharga sedikit pun juga lagi bagimu, aku... aku..."

"Jangan bicarakan lagi hal itu, Eng-moi. Aku tetap mencintamu. Dengar... jangan sampai engkau tidak percaya padaku, jangan memandangku seperti itu... aku mencintamu, bukan mencinta tubuhmu saja, aku akan tetap mencintamu biar pun engkau menjadi bagaimana pun juga!"

"Koko...!" Sun Eng menjerit, Lie Seng merangkul dan mereka berdua bertangisan. Yap In Hong dan Cia Bun Houw saling pandang lantas mata mereka juga basah. Belum pernah mereka menyaksikan cinta kasih antara pria dan wanita seperti kedua orang ini!

Perasaan hati Sun Eng seperti diremas-remas rasanya. Tadinya dia telah bertekat untuk mengorbankan diri bagi keluarga Lie Seng dan dia pun akan mati dengan hati tenteram, karena dia sudah melakukan sesuatu, berkorban bagi pria yang sangat dicinta dan yang amat mencintanya. Dia tidak akan menyesal mati, atau bahkan kalau sampai ditinggalkan oleh Lie Seng sekali pun. Akan tetapi, ternyata cinta kasih Lie Seng tetap kepadanya, biar pun dia sudah menyerahkan tubuhnya kepada Pangeran Ceng Han Houw, walau pun dia telah diperkosa begitu banyak orang secara amat menghina!

Dia menjadi serba salah sekarang! Mana mungkin dia hidup di samping Lie Seng kalau ada kenangan seperti itu? Dia bisa menjadi gila. Mengapa dia melakukan kegilaan semua itu? Memang berhasil, akan tetapi Lie Seng... tetap mencintanya dan akan merana.

"Koko...!" Dia hanya dapat mengeluh.

Dengan hati-hati mereka membawa pergi Sun Eng yang belum mampu berjalan sendiri karena sepasang telapak kakinya terluka berat. Mereka hanya melakukan perjalanan bila malam saja, sedangkan di waktu siang mereka bersembunyi. Mereka takut kalau-kalau akan tersusul oleh orang-orang yang mengejar mereka, yaitu anak buah Pangeran Ceng Han Houw. Bukan takut melawan, melainkan karena mereka harus melindungi Sun Eng yang masih luka dan lemah, maka tidak baik kalau menghadapi lawan-lawan tangguh.

Tiga hari kemudian, mereka bersembunyi di lereng gunung kecil, dalam sebuah goa yang cukup lebar. Keadaan Sun Eng sungguh mengkhawatirkan dan suami isteri pendekar itu merasa heran sekali. Mereka merasa yakin bahwa wanita bekas murid mereka itu tidak menderita luka di dalam tubuh lagi, akan tetapi kenapa kini menjadi semakin parah? Dan pada mukanya terbayang sinar kebiruan seperti orang keracunan!

Lie Seng sangat gelisah, berlutut di samping Sun Eng yang direbahkan di atas lantai goa bertilamkan daun-daun kering yang mereka kumpulkan, "Eng-moi, engkau kenapakah?"

"Koko...," dan Sun Eng tersenyum, "Hari ini adalah yang terakhir... aku... melihatmu..."

"Eng-moi...!"

"Sun Eng, apa artinya ucapanmu ini?!" Yap In Hong juga berseru kaget.

Mereka bertiga kemudian merubung Sun Eng yang kelihatan semakin payah, napasnya terengah-engah dan kadang-kadang menyeringai seperti sedang menahan rasa nyeri di ulu hatinya yang ditekannya dengan tangan.

"Hari... hari ini... aku akan mati... aku girang sekali..."

"Eng-moi...!"

"Aku girang karena berarti engkau akan bebas, koko. Aku tidak lagi membebanimu. Aku tidak patut kau cinta... aku kotor dan hina..."

"Eng-moi, ahhh, Eng-moi, jangan kau menyiksaku dengan kata-katamu itu..."

"Sun Eng, apa maksudmu bahwa hari ini engkau akan mati?" Cia Bun Houw juga turut bertanya sambil memandang tajam. "Apakah engkau keracunan?"

Sun Eng mengangguk. "Mereka telah mencekoki aku dengan racun cairan biru dan... dan Mongol brewok itu bilang... aku akan mati tiga hari kemudian..."

"Eng-moi...!" Lie Seng berteriak dan menangislah laki-laki gagah perkasa ini.

"Sun Eng, mengapa engkau tidak mengatakan kepada kami kemarin dulu?" Yap In Hong menegur dan wanita sakti ini meletakkan tangannya pada ulu hati muridnya, akan tetapi diam-diam dia terkejut sekali karena perasaan tangannya langsung bertemu dengan hawa yang amat dingin!

"Memang kusengaja... aku tidak layak hidup lagi... hanya menyusahkan dan menyeret Lie Seng koko ke pecomberan saja... aku harus mati akan tetapi aku... aku puas mati dalam pelukanmu, koko..."

"Eng-moi...!" Lie Seng cepat merangkulnya sambil menangis. "Paman, bibi... tolonglah..., tolonglah...!"

Bun Houw dan In Hong memeriksa nadi serta pernapasan Sun Eng, akan tetapi mereka hanya menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Racun ini hebat sekali, hawanya dingin tanda bahwa racun ini dari macam yang paling jahat. Apa lagi sekarang, andai kata kemarin dulu pun sulit untuk menyembuhkan bila tidak mendapatkan obat pemunahnya..."

"Koko, jangan berduka. Aku memang lebih senang mati... jika hidup di sampingmu, aku... aku akan selalu menyesal... aku bisa gila mengingat pengalamanku... koko, kau jangan berduka, kudoakan kau hidup bahagia... aku... aku..." Sun Eng terkulai dan pingsan.

Tiga orang pendekar itu berdaya upaya, akan tetapi Sun Eng tetap tidak sadar sampai menjelang tengah hari dia menghembuskan napas terakhir dalam pangkuan dan pelukan Lie Seng. Pemuda ini sudah kehabisan tangis, hanya termenung saja sambil memangku jenazah Sun Eng. Baru setelah dibujuk-bujuk oleh Cia Bun Houw dan Yap In Hong, dia mau melepaskan jenazah itu untuk dikubur di lereng bukit itu.

Setelah pemakaman selesai dan jenazah dalam peti sederhana yang mereka peroleh dari dusun di luar hutan itu mereka timbuni tanah, Lie Seng duduk bersila di depan makam, tidak bergerak seperti patung. Wajahnya pucat sekali dan pandang matanya kosong.

"Seng-ji, sudahlah, mari kita tinggalkan tempat ini," Cia Bun Houw berkata dengan suara membujuk.

"Benar pamanmu, Lie Seng. Mari kita pergi," Yap In Hong menyambung.

"Tiada gunanya dipikirkan lagi. Sun Eng sudah tidak ada, sudah mendahului kita."

"Pergilah kalian, paman beserta bibi. Tidak tahukah kalian bahwa seluruh kebahagiaanku, hidupku, segala-galanya, berada bersama Sun Eng? Biarkan aku sendiri disini dengannya dan jangan ganggu aku lagi... jangan ganggu aku lagi...!" Kalimat terakhir ini diucapkan dengan suara setengah berteriak.

Cia Bun Houw dan isterinya saling pandang, kemudian menarik napas panjang. Sejenak mereka memandang kepada pemuda yang duduk bersila di atas tanah itu, kemudian Cia Bun Houw memberi isyarat kepada isterinya dan mereka pergi meninggalkan Lie Seng. Setelah jauh dari tempat yang menjadi makam Sun Eng itu, Cia Bun Houw baru berkata kepada isterinya.

"Biarkan dia sendiri. Dalam keadaan seperti itu, sukarlah untuk menghiburnya. Aku hanya khawatir bahwa kedukaan akibat kehilangan kekasihnya itu akan membuat dia membenci keluarganya, karena jalan pikirannya tentu mengingat bahwa perjodohannya dengan Sun Eng sudah ditolak keluarganya, bahkan Sun Eng pun mengalami kematian karena hendak membela keluarganya."

“Apakah yang kau maksudkan keluarganya adalah kita berdua, Kun Liong koko dan enci Giok Keng?" Yap In Hong menegaskan. Suaminya mengangguk sambil menarik napas panjang.

"Dia sudah dewasa, biarkan dia mempertimbangkan semua itu. Dia harus sadar bahwa kita semua melakukan segalanya itu demi kebaikannya, dan andai kata hal itu salah, apa boleh buat karena kita menolak karena mengingat akan kepentingan Lie Seng."

Cia Bun Houw menarik napas panjang, kemudian berkata, "Isteriku, sekarang kita harus menyelidiki ke kota raja. Tidak mungkin apa yang sudah dilakukan oleh murid kita itu kita diamkan saja. Mendiang Sun Eng sudah memberi contoh kepada kita. Memang, dalam keadaan terfitnah seperti ini, kita tidak boleh lalu diam saja dan hanya bisa melarikan diri menjadi buronan. Kita tak boleh membiarkan saja dunia mengecap kita sebagai keluarga pemberontak, sehingga kelak anak kita pun dicap anak pemberontak! Kita harus berjuang membela diri, menerangkan duduknya perkara kepada fihak kerajaan. Dan sekarang hal itu telah dipelopori oleh Sun Eng. Kita harus menyelidiki kepada Menteri Liang itu, apakah surat-surat dari Sun Eng itu sudah disampaikan kepada kaisar dan bagaimana kemudian keputusan kaisar terhadap keluarga kita dan terhadap pangeran yang hendak berkhianat terhadap kerajaan itu."

Yap In Hong mengangguk. "Dan andai kata usaha Sun Eng gagal sehingga segala jerih payahnya yang sudah dikorbankan sampai kepada nyawanya itu hanya sia-sia, maka kita akan pergi menyerbu istana pangeran jahanam itu dan membunuhnya!"

"Aku pun berpikir demikian, sungguh pun hal itu bukan merupakan pekerjaan mudah. Mari kita pergi!"

Sepasang suami isteri pendekar sakti itu lalu kembali ke kota raja, mempergunakan ilmu mereka yang tinggi sehingga mereka dapat melakukan perjalanan cepat sekali dan pada senja hari mereka sudah tiba di kota raja. Dengan mudah mereka menyelinap memasuki kota raja tanpa diketahui oleh para penjaga.

Malam sudah tiba ketika suami isteri pendekar ini diterima oleh para pengawal di depan istana Menteri Liang. Karena maklum bahwa nama mereka sudah banyak dikenal orang akibat fitnah pemberontakan itu, maka Cia Bun Houw tidak mau memperkenalkan nama mereka, hanya berkata,

"Harap sampaikan kepada Liang-taijin bahwa kami adalah sahabat-sahabat wanita yang pada beberapa malam yang lalu datang menghadap, dan kami mohon menghadap Liang-taijin karena urusan penting sekali."

Mendengar ini, komandan jaga lalu bergegas melaporkan ke dalam, karena dia maklum bahwa wanita berbaju hitam yang datang menghadap menteri beberapa malam yang lalu adalah seorang yang amat penting serta membawa berita yang amat besar dan rahasia pula. Dan memang benar dugaannya, begitu Menteri Liang mendengar pelaporan itu, dia segera berkata, "Cepat persilakan mereka masuk ke ruangan tamu. Jaga supaya jangan sampai ada orang luar yang tahu akan kedatangan mereka!"

Cia Bun Houw dan Yap In Hong dipersilakan masuk dan diantar ke ruangan tamu. Di situ mereka baru ditinggalkan dan dipersilakan menanti sebentar, sedangkan para pengawal menjaga di luar. Cia Bun Houw dan isterinya yang ditinggal berdua saja di dalam kamar tunggu yang luas itu saling pandang, bersikap tenang karena mereka tidak khawatir akan sesuatu.

Tak lama kemudian, pintu dalam terbuka dan muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh tahun, bertubuh tinggi besar, berwajah lembut namun berwibawa, dan gerak-geriknya halus pada waktu dia memasuki kamar itu. Bun Houw dan In Hong cepat bangkit berdiri dan memandang, kemudian mereka cepat menjura dengan sikap hormat.

"Apakah kami berdua berhadapan dengan Menteri Liang yang terhormat?" Cia Bun Houw bertanya.

Pria tua itu memandang dengan penuh kagum, sebab dia dapat melihat bahwa dua orang tamunya itu bukanlah orang-orang sembarangan, walau pun pakaian mereka sederhana saja. "Benar, dan benarkah ji-wi masih sahabat dari lihiap yang memberikan surat-surat kepada kami...?"

"Betul, taijin. Bahkan terus terang saja, kami berdua adalah guru-guru mendiang Sun Eng itu."

"Mendiang...? Ahh, aku mendengar bahwa dia telah dapat lolos dilarikan teman-temannya dari istana Pangeran Ceng Han Houw..."

"Benar, kamilah yang melarikannya namun kami terlambat dan dia keracunan, siang tadi dia meninggal dunia," kata Yap In Hong.

"Ahhh...!"

"Justru karena kematiannya maka kami datang menghadap paduka, taijin. Murid kami itu telah berkorban untuk keselamatan keluarga Cin-ling-pai dan untuk keselamatan kerajaan yang terancam pemberontakan. Maka, kami ingin mendengar keterangan paduka tentang perkembangan usaha mendiang murid kami itu. Semoga usahanya yang gagah dan yang telah dilakukan dengan korban nyawanya itu tidak akan sia-sia belaka."

"Duduklah, taihiap, lihiap. Duduklah dan marilah kita bicara baik-baik. Sudah tentu begitu menerima laporan dari nona Sun Eng itu, aku cepat-cepat pergi, menghubungi Pangeran Hung Chih dan bersama beliau, pagi-pagi tadi kami sudah pergi menghadap kaisar. Terus terang saja, sri baginda kaisar sendiri dan kami para pejabat yang telah lama mengabdi kepada kerajaan ini, tahu belaka bahwa keluarga Cin-ling-pai, sejak mendiang Cia Keng Hong taihiap, adalah orang-orang gagah yang setia kepada negara, maka sri baginda dan kami semua sudah dapat menduga bahwa berita tentang pemberontakan mereka hanya fitnah belaka. Maka pelaporan nona Sun Eng itu kami percaya sepenuhnya, dan barulah sri baginda kaisar maklum alangkah jahatnya mereka yang menjatuhkan fitnah itu, yang ternyata hanya ditujukan untuk melemahkan kerajaan di samping urusan pribadi mereka sendiri yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai. Oleh karena itu, sri baginda kaisar sudah memberi kekuasaan kepada Pangeran Hung Chih untuk... ehh, nanti dulu, sebelum saya melanjutkan penuturan rahasia istana ini, harus kami ketahui siapa sebenarnya lihiap dan taihiap? Biar pun ji-wi sudah mengaku sebagai guru-guru nona Sun Eng, akan tetapi hal itu belum menjelaskan siapa ji-wi."

"Liang-taijin, nama kami tentu telah taijin kenal baik. Saya bernama Cia Bun Houw dan dia ini isteri saya, Yap In Hong."

"Ahhh...!" Sepasang mata tua itu terbelalak dan wajah yang lembut itu berseri-seri.

"Kami adalah dua orang di antara mereka yang dinamakan pemberontak dan buronan itu, taijin," sambung Yap In Hong.

Pembesar itu tertawa kemudian bangkit berdiri, memandang dengan kagum, lalu menjura. Tentu saja suami isteri pendekar itu cepat membalas.

"Ahh, mengapa aku begitu bodoh? Tentu saja! Aku sudah banyak mendengar nama ji-wi enghiong yang dulu pernah berjasa terhadap negara ketika menghadapi pemberontakan Sabutai! Juga nama besar pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng bukanlah nama asing bagi kami. Dan ji-wi berdua bersama mereka dituduh pemberontak! Betapa jahatnya! Duduklah, taihiap dan lihiap dan dengarkan penuturanku."

Menteri Liang lalu menceritakan keadaan di istana pada waktu itu, betapa kaisar tadinya menaruh kepercayaan kepada Pangeran Ceng Han Houw dari utara yang oleh mendiang ayahanda kaisar sekarang juga diakui sebagai puteranya dan juga kepercayaan kaisar terhadap Kim Hong Liu-nio karena selain wanita itu menjadi suci dari Pangeran Ceng Han Houw, juga wanita itu pernah menyelamatkan kaisar tua dari penyerangan Pangeran Ceng Su Liat yang memberontak.

"Sungguh tidak kami sangka bahwa mereka itu mempergunakan kekuasaan kaisar untuk menyerang Cin-ling-pai yang menjadi musuh utama dari Kim Hong Liu-nio yang hendak membalaskan sakit hati gurunya, yaitu Hek-hiat Mo-li. Ahhh, mereka itu sudah mengatur segala-galanya, dan secara diam-diam bersekutu dengan Raja Sabutai, bahkan dengan Pek-lian-kauw untuk memberontak."

"Lalu apa yang telah dilakukan oleh istana untuk menanggulangi bahaya ini, taijin?" tanya Cia Bun Houw.

"Sri baginda sudah membaca semua laporan mendiang nona Sun Eng dan beliau sudah memberi kekuasaan penuh kepada Pangeran Hung Chih untuk bertindak terhadap kaum pemberontak. Pertama-tama kaisar memerintahkan supaya tuduhan terhadap diri keluarga Cin-ling-pai dicabut. Maka mulai saat itu, keluarga Cin-ling-pai sudah bukan pemberontak atau buronan lagi dan hal ini oleh Pangeran Hung Chih akan diumumkan kepada seluruh kepala daerah."

Cia Bun Houw dan Yap In Hong saling pandang dengan girang sekali dan mereka segera bangkit berdiri, kemudian menjura dengan hormat. "Sungguh kami merasa gembira sekali dan banyak terima kasih atas bantuan paduka, juga bantuan Pangeran Hung Chih dan kemurahan sri baginda kaisar."

"Seyogianya kalau ji-wi berterima kasih kepada Sun Eng..." Menteri Liang menghentikan kata-katanya karena melihat wajah suami isteri itu tiba-tiba nampak berduka sekali, maka disambungnya segera, "Marilah ji-wi kami antar untuk menemui Pangeran Hung Chih agar dapat bicara lebih jelas lagi, dan mungkin sekali beliau hendak mohon bantuan ji-wi untuk menghadapi Pangeran Ceng Han Houw yang selain sangat lihai, juga mempunyai banyak teman-teman yang memiliki ilmu tinggi. Apa lagi karena sri baginda menghendaki supaya Pangeran Hung Chih menggunakan jalan yang halus agar jangan sampai terjadi perang saudara yang akan menggelisahkan rakyat."

Malam itu juga Cia Bun Houw dan isterinya diajak oleh Menteri Liang pergi menghadap Pangeran Hung Chih di istananya. Seperti juga Menteri Liang, pangeran ini menyambut suami isteri pendekar ini dengan girang sekali.

Suami isteri ini lalu mendengar dari pangeran yang pada saat itu merupakan orang yang amat berpengaruh di dalam istana, bahwa memang betul Pangeran Hung Chih ini hendak menggunakan jalan halus untuk menanggulangi Pangeran Ceng Han Houw.

"Semua gerak-geriknya telah diawasi dan walau pun tidak ada teguran langsung dari sri baginda kaisar, akan tetapi Ceng Han Houw yang telah kehilangan surat penting itu tentu akan bersikap hati-hati dan agaknya dia hendak melanjutkan cita-citanya untuk menjadi jago silat nomor satu di dunia. Melalui kang-ouw ini dia akan menghimpun kekuatan. Oleh karena itu, kami harap bantuan keluarga Cin-ling-pai untuk menentangnya di lapangan itu. Jangan sampai golongan sesat di bawah pimpinannya akan menguasai dunia persilatan, dalam urusan ini tentu saja ji-wi lebih mengerti bagaimana menanggulanginya dari pada kami. Kami tidak ingin mempergunakan kekuatan pasukan kalau tidak perlu sekali, agar jangan sampai menggelisahkan rakyat."

"Harap paduka jangan khawatir. Setelah hamba sekeluarga dibebaskan dari tuduhan dan dapat bergerak dengan leluasa, tidak menjadi buronan pemerintah lagi, kami tentu akan dapat serentak bangkit kemudian menentang Kim Hong Liu-nio dan Pangeran Ceng Han Houw," jawab Cia Bun Houw.

"Asal saja hal itu jangan dilakukan di kota raja," kata Pangeran Hung Chih. "Karena kalau para orang gagah menentangnya di kota raja, mau tak mau istana harus turun tangan dan dengan demikian berarti istana secara langsung menanganinya. Karena itu sebaiknya ji-wi mengajak semua orang gagah untuk waspada dan turun tangan menentangnya kalau dia beraksi di luar kota raja."

Sesudah saling bertukar pikiran dan menerima jamuan penghormatan yang diadakan oleh Pangeran Hung Chih, malam itu juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu meninggalkan kota raja. Mereka ingin cepat-cepat pergi ke Bun-cou untuk menyampaikan berita yang ada dua macam itu kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Dua macam berita duka dan berita gembira. Berita duka tentang tewasnya Sun Eng dan keadaan Lie Seng yang tenggelam dalam kedukaan besar, dan berita gembira mengenai dibebaskannya keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan memberontak.

********************

Sampai dua hari dua malam Lie Seng duduk bersila di depan makam Sun Eng itu, tidak pernah dia meninggalkan tempat itu. Kadang-kadang timbul di dalam hatinya untuk duduk terus di tempat itu sampai mati! Makin dikenang segala kebaikan Sun Eng, juga segala pengorbanannya, makin tertusuk rasa hatinya dan berkali-kali dia menangis seperti anak kecil di tempat yang sunyi itu.

Wajahnya sudah pucat sekali dan tubuhnya kurus dan lemah, pandang matanya kosong dan sayu, pakaiannya kusut dan rambutnya awut-awutan. Keadaan pemuda ini sungguh amat menyedihkan. Dia telah putus asa, tidak melihat lagi sinar dalam kehidupannya yang dianggapnya gelap pekat tanpa harapan. Semangat serta gairah hidupnya sudah lenyap terbawa pergi oleh Sun Eng.

Pada hari ke tiga, sejak semalam Lie Seng duduk bersila dengan mata dipejamkan dan berada dalam keadaan semedhi yang gelap. Dia tidak tahu betapa sejak tadi ada seorang hwesio tua menghampirinya, kemudian memandang kepada makam baru itu dan berdiri di depannya, kadang-kadang mengangguk-anggukkan kepala, kadang-kadang menggeleng-geleng, menarik napas panjang. Sampai lama hwesio tua itu berdiri di sana, memandang dengan sinar matanya yang lembut, wajahnya yang sangat tenang dan mengandung seri kebahagiaan.

Hwesio itu berjubah kuning. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, kepalanya yang tak berambut itu terlindung topi hwesio, tangan kirinya memegang tasbih dan pakaiannya amat sederhana dan kasar. Akan tetapi semua itu tidak mengurangi wibawa dan sikapnya yang agung.

"Omitohud... mengapa ada orang merusak diri sendiri seperti ini? Membunuh diri secara perlahan-lahan dengan membiarkan gelombang duka menyeretnya berlarut-larut...! Orang muda, apakah dengan membiarkan gelombang duka menghanyutkanmu ini kemudian kau mengharapkan yang mati akan dapat bangkit kembali?"

Suara itu amat halus dan karena dikeluarkan dengan penuh perasaan maka mengandung getaran kuat dan mampu menembus dinding semedhi, menyentuh kesadaran Lie Seng. Pemuda ini membuka mata dan mengangkat muka memandang hwesio tua itu, kemudian alisnya berkerut.

"Hwesio, pergilah, tak perlu kau berkhotbah di sini!" katanya dengan marah.

Tidak biasanya Lie Seng bersikap seperti ini, akan tetapi dia tidak peduli apa pun juga lagi. Dia sudah lupa diri, yang teringat hanyalah kedukaannya dan ini membuat dia kasar dan tidak bersahabat kepada siapa pun juga.

Hwesio tua itu tersenyum akan tetapi pandangan matanya penuh rasa iba. "Orang muda, pinceng tidak berkhotbah, pinceng justru merasa kasihan padamu, maka pinceng hendak mengingatkan bahwa tindakanmu yang terbuai oleh duka ini sungguh tidak tepat. Berduka atas kematian seseorang merupakan suatu kebodohan, dan tindakan menyeleweng dari pada kebenaran."

Pandang mata Lie Seng berapi karena marahnya ketika dia menatap wajah yang ramah itu. Dengan suara berat bernada kesal dia menjawab, "Bicara memang enak saja! Engkau tidak merasakan, karena itu engkau mudah saja mencela! Aku sudah kehilangan cahaya hidupku, kehilangan semua kebahagiaan dan harapan, maka perlu apa aku mempedulikan diri sendiri? Kalau aku harus mati, akan kuterima dengan rela! Pergilah, hwesio!"

Akan tetapi hwesio tua itu malah duduk bersila di hadapan Lie Seng, sikapnya tetap halus dan ramah. "Omitohud... kegelapan kini menguasai batinmu, orang muda. Engkau bilang bahwa pinceng tidak merasakan maka mudah mencela? Wahai orang muda, siapakah di dunia ini yang tak pernah mengalami kematian seseorang yang dikasihinya? Orang muda, barang kali engkau belum pernah mendengar dongeng tentang Sang Buddha pada waktu menghadapi kematian, dan kalau engkau sudah pernah mendengarnya, biarlah dongeng ini menjadi penyadar bagimu. Seorang wanita kematian anak tunggalnya. Siapa pun tahu bahwa cinta kasih seorang ibu terhadap anak tunggalnya adalah cinta kasih yang paling murni di antara segala macam cinta kasih di dunia ini. Maka berdukalah wanita itu dan dia pun pergi menghadap Sang Buddha, lalu memohon kepada Buddha untuk menghidupkan kembali anak tunggalnya. Dengan tenang Sang Buddha lalu menyuruh wanita itu supaya meminta segenggam gandum dari sebuah keluarga yang belum pernah kematian, karena hanya itulah obat yang dapat menghidupkan anaknya yang sudah mati. Ibu itu berkelana, akan tetapi biar pun dia akan pergi mengelilingi dunia, di mana ada keluarga yang belum pernah kematian anggota keluarganya? Akhirnya dia kembali kepada Sang Buddha dan insaf. Kematian adalah suatu hal yang wajar dalam kehidupan. Ada hidup tentu ada mati. Mengapa kematian harus didukakan benar? Bukankah kita semua akhirnya akan mati pula? Engkau dan pinceng pun tidak akan terluput dari kematian. Mengapa kini ada yang mati lantas engkau menyiksa diri dengan kedukaan? Apakah kedukaanmu itu akan dapat menghidupkannya kembali, orang muda?"

Perlahan-lahan ada sisa-sisa air mata menetes dari kedua mata Lie Seng. Tentu saja, dia pernah mendengar tentang cerita itu. Anehnya, kini keluar dari mulut hwesio itu, dengan suaranya yang halus lembut, cerita itu memiliki pengaruh yang lain, menembus sampai ke dasar hatinya dan membuat dia melihat kenyataan itu.

"Losuhu... losuhu tidak tahu orang yang mati ini adalah kekasih saya, isteri saya... saya bukan seorang cengeng, losuhu sudah biasa menghadapi kematian, akan tetapi dia ini... ahh, semasa hidupnya menderita demikian banyak kepahitan, dan selagi saya berusaha untuk membuatnya bahagia... dia sudah mengambil jalan pendek, dia mengorbankan diri demi keluarga saya, demi kerajaan... ahh, betapa tidak akan hancur hatiku, losuhu...?"

Hwesio tua itu mendengarkan dengan tenang dan sabar sampai Lie Seng berhenti bicara dan menunduk, memejamkan mata. Kemudian terdengar lagi suara hwesio itu, suaranya lantang namun lembut sekali. "Orang muda, pandanglah baik-baik dan sadarilah. Lihatlah dengan waspada, siapakah yang sedang kau tangisi itu? Siapakah yang kau kasihani itu? Di balik semua keteranganmu tadi, bukankah sebetulnya engkau hanya menangisi dirimu sendiri, engkau mengasihani dirimu sendiri?"

Lie Seng mengerutkan kedua alisnya, termenung sejenak lantas terkejut bukan kepalang. Dia mengangkat muka memandang kepada hwesio tua itu dengan mata terbelalak marah. "Berani kau menuduhku seperti itu...?"

"Tenang dan pandang sajalah, pandang dengan waspada dan jujur...," hwesio itu berkata sambil menggerakkan tangan. Sikapnya yang lembut halus itu seolah-olah membuyarkan kemarahan Lie Seng.

Orang muda ini duduk termenung, memandang kepada diri sendiri kemudian jantungnya berdebar tak karuan. Dia melihat, mula-mula secara samar-samar saja, akan tetapi makin lama menjadi semakin jelas dan timbullah keraguan besar. Benarkah dia berduka karena kasihan kepada Sun Eng? Ataukah tidak lebih condong karena kasihan pada diri sendiri? Dia tidak dapat menjawab. Dia bingung sekali dan kembali dia memandang kakek itu.

"Losuhu, mohon petunjuk...," akhirnya dia berkata.

"Orang muda, bukan maksud pinceng untuk mencelamu, namun untuk menyadarkanmu. Engkau sendiri tadi menceritakan betapa di dalam hidupnya kekasihmu menderita banyak kepahitan. Sekarang dia sudah meninggal, bukankah berarti dia setidaknya terbebas dari pada semua kepahitan-kepahitan itu? Maka, dengan alasan apa lagi engkau merasa iba kepadanya? Yang jelas, engkau menangis serta berduka karena merasa iba diri, karena engkau merasa kehilangan, karena engkau ditinggalkan dan merasa kesunyian. Tidakkah demikian?"

Lie Seng mengangguk-angguk, tak dapat membantah kebenaran kata-kata itu. Sekarang nampak nyata olehnya. Sun Eng hidup dalam keadaan sengsara karena menderita batin yang hebat. Sun Eng selalu menyesalkan penyelewengannya, yang membuatnya merasa rendah diri dan tak berharga menjadi isterinya. Apa lagi keluarga Cin-ling-pai menolaknya!

Kemudian, untuk mengangkat harga dirinya, Sun Eng sudah berkorban dan sungguh pun usahanya berhasil baik, namun dirinya sudah mengalami penghinaan yang membuat dia merasa dirinya menjadi semakin kotor! Apa bila Sun Eng tidak mati, sudah pasti Sun Eng akan semakin menderita karena merasa semakin tidak berharga baginya.

Bukankah kematian itu bahkan merupakan jalan keluar yang paling baik bagi Sun Eng? Mengapa dia harus menangisinya? Apakah dia ingin melihat Sun Eng tetap hidup dalam keadaan menderita batin yang hebat itu?

"Duka tidak dapat dihilangkan melalui hiburan, juga tak dapat dihilangkan melalui pelarian, orang muda. Yang penting kita membuka mata melihat kenyataan, jangan membiarkan duka sampai membutakan mata batin. Penglihatan yang terang dengan pengamatan yang waspada akan mendatangkan pengertian, dan hanya pengertian mendalam yang disertai kesadaran yang akan meniadakan duka yang tiada guna dan melemahkan lahir batin itu."

Untuk kurang lebih setengah jam lamanya Lie Seng mendengarkan suara kakek itu, suara yang lembut dan tenang, yang mendatangkan ketenangan dalam hatinya, yang membuat hatinya menjadi ringan dan lapang, yang membuat dia mulai berani memandang makam Sun Eng tanpa kepedihan hati. Akhirnya dia pun menjadi sadar benar-benar akan semua tindakannya yang hanya menurutkan kata hati dan perasaan yang terdorong oleh iba diri belaka. Dan tiba-tiba saja dia melihat masa depan yang cerah tanpa Sun Eng, yaitu masa depan menjadi seperti kakek ini, yang hidup bebas dalam arti yang seluas-luasnya. Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

"Losuhu, perkenankanlah teecu turut bersamamu mempelajari hidup dan masuk menjadi hwesio di kuil yang losuhu pimpin."

Hwesio tua itu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Orang muda, pinceng melihat bahwa engkau bukanlah orang muda sembarangan, namun seorang muda yang tentu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, bukan? Pinceng sendiri bukan ahli silat, namun pinceng dapat mengenali orang pandai. Siapakah namamu dan dari keluarga manakah engkau, orang muda?"

"Teecu bernama Lie Seng, ibu teecu adalah puteri dari mendiang kongkong Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai."

"Omitohud... sudah pinceng duga. Ternyata engkau adalah cucu pendekar sakti itu, dan sekarang engkau ingin menjadi hwesio? Ah, bukankah itu hanya merupakan pelarian saja bagimu, untuk menghibur hatimu yang sedang berduka dan putus asa? Masuk menjadi hwesio bukan hal yang main-main dan hanya untuk pelarian belaka, sicu."

"Teecu melihat masa depan yang gelap, suhu. Teecu penuh dendam dan sakit hati, kalau teecu melanjutkan hidup ini seperti biasa, tidak dapat dihindarkan lagi teecu tentu akan mengakibatkan kekerasaan dan banjir darah karena teecu tentu akan mengamuk untuk membalas kematian kekasih teecu."

Kakek itu mengangguk-angguk. "Pinceng sudah melihat hal itu, oleh karena itulah maka pinceng berusaha menyadarkanmu. Kalau memang masuk menjadi hwesio itu timbul dari tekadmu sendiri, karena kesadaranmu, maka terserah kepadamu. Pinceng memimpin Kuil Hok-seng-tong di kaki bukit sana. Marilah, sicu."

Lie Seng bangkit dan setelah sekali lagi meraba-raba makam Sun Eng dan mengucapkan selamat tinggal kepada kekasihnya itu, kini dengan hati ringan dan lapang, maka dia pun bangkit dan mengikuti hwesio tua itu turun gunung. Beberapa bulan kemudian, Lie Seng telah mencukur rambutnya dan berpakaian jubah lebar, menjadi hwesio yang secara tekun menekuni hidup dan kebatinan di dalam Kuil Hok-seng-tong di bukit sunyi sebelah selatan kota raja itu!

Alangkah banyaknya di antara kita yang seperti Lie Seng itu! Melarikan diri sendiri dari kenyataan hidup! Melarikan diri dari kepahitan hidup! Lantas mengejar-ngejar kemanisan hidup! Padahal, pelarian dari yang pahit dan pengejaran yang manis itu tak ada bedanya sama sekali.

Melarikan diri dari yang pahit lalu berlindung kepada sesuatu itu berarti juga mengejar kemanisan yang diharapkan akan bisa didapatkan dari tempat berlindung itu. Dan selama pengejaran akan sesuatu yang dianggap manis dan menyenangkan ini terjadi, maka kita akan terus menerus terseret ke dalam lingkaran setan yang tiada habisnya.

Pelarian tidak akan melenyapkan duka, pelarian tak akan melenyapkan kegelisahan dan rasa takut. Mungkin saja dapat mendatangkan hiburan sesaat, tetapi duka itu, rasa takut itu, tidak akan lenyap, hanya untuk sementara waktu terselubung saja oleh hiburan yang didatangkan oleh pelarian. Setiap saat akan muncul kembali!

Kita semua mengenal apa penyesalan itu, apa kekecewaan itu, dan apa rasa takut serta kedukaan itu. Mengapa kita selalu harus mencari hiburan di mana kita dapat berlindung untuk melarikan diri dari hal-hal yang tidak enak itu? Mengapa kita tidak pernah berani menghadapi semua itu, menghadapi mereka di waktu mereka itu timbul, menghadapinya dengan langsung, memandangnya kemudian menanggulanginya di saat mereka muncul sehingga mereka itu akan lenyap di saat itu juga dan tak akan pernah muncul kembali?

Penanggulangan ini bukanlah berarti mengusahakan supaya mereka lenyap, sama sekali bukan. Melainkan menghadapi duka pada saat duka itu menyerang kita, memandang dan menyelaminya secara langsung, mengenal luar dalam apa sesungguhnya duka itu! Tetapi sayang, kita selalu ingin senang, maka begitu timbul sesuatu yang tidak menyenangkan menurut anggapan kita, kita lalu melarikan diri.


********************

"Bi Cu...!"

Teriakan Sin Liong ini nyaring sekali karena memang dia kaget bukan main saat melihat betapa tubuh Bi Cu juga melayang dan meluncur turun. Sama sekali tidak disangkanya bahwa dara itu akan melakukan perbuatan senekat itu, menyusul dia terjatuh ke dalam jurang dengan meloncat. Apa bila dia sendiri yang terjatuh, tentu dia akan mencari akal untuk dapat terhindar dari ancaman maut, akan tetapi kini Bi Cu juga turut jatuh, maka seketika dia menjadi nanar dicekik rasa khawatir yang hebat.

Dia tadi terjatuh dalam keadaan terjengkang, maka tubuhnya terlentang. sedangkan Bi Cu yang meloncat itu menelungkup. Cepat Sin Liong menyambar tangan kiri Bi Cu dan dia berhasil menangkap pergelangan lengan kiri dara itu. Lalu dia merangkul pinggang Bi Cu dengan erat. Bi Cu juga merangkul sambil memejamkan mata karena ngeri.

"Sin Liong...!" isaknya.

Biar pun maklum bahwa mereka melayang ke dalam jurang yang seolah-olah tanpa dasar saking dalamnya, dan bahwa tubuh mereka tentu akan hancur lebur kalau menimpa dasar jurang, namun Sin Liong tak mau kehilangan semangat dan kesadarannya. Selagi masih hidup dia harus berdaya upaya menyelamatkan diri!

Dengan amat cepat kedua tangannya merenggut kancing baju di depan tubuhnya. Untung pinggang Bi Cu demikian ramping sehingga walau pun lengan kanannya sudah melingkari pinggang itu, tangan kanannya masih mampu mencapai depan bajunya. Sekali renggut, maka terlepaslah semua kancing bajunya dan kini dia memegangi kedua ujung baju yang terbuka itu dengan kedua tangannya, dibentangkan seperti sayap. Usahanya berhasil! Dia merasakan ada tekanan dari bawah seakan-akan luncuran mereka berdua agak tertahan sedikit, tidak lagi selaju tadi, sementara bajunya yang dibentangkan itu mengembang dan menangkap angin.

"Bi Cu, cepat buka bajumu... kembangkan bajumu seperti ini... seperti layar...!" teriaknya.

Bi Cu menghentikan isaknya. Mula-mula dia tidak mengerti kenapa dia disuruh membuka bajunya. Akan tetapi ketika dia memberanikan hati membuka mata dan melihat apa yang dilakukan Sin Liong, dia cepat menggerakkan kedua tangannya, dengan jari-jari gemetar dia merenggut bajunya. Segera dia merobek bajunya itu dan pada lain saat dia pun telah memegangi ujung kanan kiri bajunya yang dibentangkan.

Kembali ada tenaga menahan dari bawah sesudah baju itu dapat menangkap angin dan mengembang. Luncuran mereka tertahan dan tidak secepat tadi, akan tetapi tentu saja kedua layar itu tidak cukup kuat untuk menahan dan tubuh mereka masih terus meluncur ke bawah.

Sambil merangkul pinggang Bi Cu, Sin Liong miringkan tubuhnya lantas memandang ke bawah. Hampir pingsan dia karena pening ketika melihat bawah yang demikian dalamnya, akan tetapi dia menggoyang kepala mengusir kepeningan dan rasa ngeri. Dia melihat ada sebatang pohon yang tumbuh di dinding tebing itu. Pohon yang cukup besar. Itulah yang akan menolong kita, pikirnya. Kalau gagal mereka tentu akan tewas!

Dia segera mengerahkan tenaganya, menggerakkan kakinya sehingga tubuhnya bersama tubuh Bi Cu melayang agak mendekat dengan tebing. Pohon itu bagai melayang ke atas, makin lama semakin besar mendekati mereka. Memang berbahaya sekali. Kalau terlalu dekat dengan tebing tubuh mereka meluncur, membentur batu tebing sedikit saja, tentu mereka akan tewas sebelum tiba di dasar jurang.
Selanjutnya,

Pendekar Lembah Naga Jilid 47

Pendekar Lembah Naga Jilid 47
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Sun Eng menahan isaknya, lalu dengan muka basah dia pun menoleh ke arah subo-nya, kemudian memandang wajah suhu-nya. "Subo... suhu... mengapa subo dan suhu... mau pula... menyelamatkan aku...?"

Bun Houw menelan ludah sebelum menjawab karena dia melihat isterinya tidak mampu menjawab pertanyaan itu. "Mengapa, Sun Eng?" Dia mencoba tersenyum. "Ingat, engkau adalah murid kami, bukan? Dan engkau adalah isteri Lie Seng keponakanku. Tentu saja kami datang menolongmu dari tangan orang-orang jahat itu."

"Suhu... subo... tidak benci kepadaku... dan menyetujui perjodohan antara aku dan koko Lie Seng...?"

"Sudahlah, Sun Eng, lupakan hal-hal yang telah lalu. Sekarang kami tahu betapa engkau seorang anak baik dan saling mencinta dengan Lie Seng. Tentu saja kami menyetujui...," kata Yap In Hong.

"Dan kami tidak membencimu, Sun Eng."

Sun Eng terisak, lalu menggunakan kedua tangannya menutupi mukanya.

"Akan tetapi... tiada gunanya... tiada gunanya..."

"Apa maksudmu, Eng-moi? Percayalah, ibu sendiri tidak akan menghalangi kita menikah! Aku tanggung..."

Akan tetapi Sun Eng menangis semakin mengguguk, maka Yap In Hong memberi isyarat kepada Lie Seng untuk membiarkan dahulu wanita itu, biar menangis untuk menuangkan semua perasaannya dan tidak boleh diajak bicara tentang perjodohan yang ternyata amat menyinggung perasaannya itu.

Memang benar sekali pendapat In Hong ini. Setelah dia dibiarkan menangis mengguguk beberapa lamanya, akhirnya tangisnya pun mereda dan dia mulai merintih karena seluruh tubuhnya terasa nyeri-nyeri, terutama sekali dua kakinya yang luka-luka bekas kebakar. Yap In Hong sudah mulai memberi obat luka kebakar, dicampur minyak lantas ditutupkan pada luka-luka itu dan dibalut. Obat itu amat manjur, karena rasa nyeri itu segera tertutup oleh rasa dingin yang melegakan hati.

"Subo, terima kasih...," kata Sun Eng lirih sambil memandang subo-nya yang sejak dulu dianggapnya seperti ibu sendiri.

In Hong tersenyum, teringat betapa dahulu di waktu masih kecilnya sering sekali Sun Eng mengucapkan kata-kata itu. Ahh, betapa buta manusia apa bila sedang dipengaruhi oleh kemarahan dan kebencian. Segala kebaikan orang yang sudah ribuan kali dilakukan akan lenyap begitu saja oleh satu perbuatan yang menyusahkan. Kini, sesudah tiada lagi benci dalam hati In Hong, baru nampak olehnya betapa selama menjadi muridnya, sebenarnya Sun Eng amat baik kepadanya!

Memang demikian! Mengapa kita begitu terbiasa sejak kecil untuk menyimpan segala hal yang terjadi di masa lalu? Mengapa kita selalu mengingat-ingat perbuatan orang lain yang merugikan kita sehingga menimbulkan kebencian? Mengapa kita tidak mau menghapus semua itu, semua ingatan tentang hal-hal yang terjadi pada masa lalu, menguburnya dan tidak pernah membongkarnya lagi, akan tetapi menujukan seluruh pandangan mata kita, seluruh hati dan pikiran kita, seluruh keadaan diri kita lahir batin kepada apa yang terjadi SAAT INI saja?

Mengapa kehidupan kita saat demi saat begitu tergantung kepada apa yang telah terjadi di masa lalu, yang mempengaruhi setiap gerak-gerik kita, setiap sikap kita terhadap orang lain? Kenapa kita harus menilai setiap orang lain dari perbuatan-perbuatannya yang lalu? Apakah keadaan manusia itu dapat ditentukan dari satu kali perbuatannya di masa lalu?

Mengapa ada benci di dalam hati kita? Mengapa kita mengotori diri sendiri dengan segala macam kebencian, permusuhan, rasa iri hati dan sebagainya itu? Mengapa kita tidak mau mendobrak dan memberontak terhadap semua ikatan masa lalu itu dan hidup BARU saat demi saat? Semua pertanyaan ini kiranya teramat penting untuk kita renungkan dan kita ajukan kepada diri sendiri!


Melihat betapa keadaan kekasihnya telah agak normal kembali, Lie Seng lalu menyiapkan bubur yang tadi sudah dimasak oleh In Hong, sesuap demi sesuap ke mulut kekasihnya. Sun Eng menerimanya seperti anak kecil, dengan pandangan mata tak lepas dari wajah kekasihnya, dengan mata yang masih berlinang air mata, akan tetapi dia tidak terisak lagi.

Sesudah Sun Eng selesai makan, dan Lie Seng bersama paman dan bibinya juga sudah makan pagi, barulah Lie Seng berkata, "Eng-moi, maukah engkau sekarang menceritakan segalanya kepadaku?"

Sun Eng mengangguk, lalu dengan suara tenang, karena memang hal ini sudah dipikirkan sejak tadi, dia bercerita secara singkat, "Koko, sebelumnya kau maafkanlah aku sebesar-besarnya bahwa aku sudah membuatmu banyak pusing dan berduka. Aku merasa sakit hati terhadap pangeran terkutuk itu setelah apa yang terjadi pada keluarga enci Mei Lan. Maka aku lalu menggunakan akal sehingga akhirnya aku berhasil menyelundup ke dalam istana Pangeran Ceng Han Houw sebagai... sebagai selirnya." Dia berhenti dan menatap wajah Lie Seng, akan tetapi wajah itu biasa saja karena memang sedikit banyak Lie Seng sudah menduga tentang hal itu.

"Akhirnya aku berhasil mendapatkan rahasianya. Ternyata pangeran itu bercita-cita untuk menggulingkan kedudukan sri baginda kaisar dan merampas tahta kerajaan."

"Ahh...?" Tiga orang itu berseru kaget dengan berbareng, tidak menyangka bahwa ke situ jalannya cerita yang akan mereka dengar.

Sun Eng lalu menceritakan tentang kedatangan Hai-liong-ong Phang Tek dan dua orang Mongol utusan dari Raja Sabutai yang membawa surat berisi rencana persekutuan antara Pangeran Ceng Han Houw dan Raja Sabutai, rencana penyerbuan mereka untuk merebut tahta kerajaan.

"Aku melihat kesempatan baik sekali, maka aku lalu melarikan surat itu berikut laporanku tentang fitnah yang dijatuhkan atas diri suhu dan subo, atas diri Yap Kun Liong locianpwe dan ibumu, koko. Semua itu lantas kularikan dan kuserahkan kepada Menteri Liang yang sebelumnya telah kuselidiki dan kutahu sebagai seorang menteri yang amat setia kepada kaisar. Aku menyerahkan itu dan mohon kepadanya agar secepatnya dilaporkan kepada kaisar. Sesudah itu aku bermaksud melarikan diri dari kota raja... akan tetapi... pangeran terkutuk itu menangkapku dan... dan aku disiksanya... disuruh mengaku di mana adanya surat-surat itu, akan tetapi sampai mati pun aku tidak sudi mengaku... biar mereka siksa aku, biar mereka bunuh aku..."

"Ah, muridku, engkau telah berjasa untuk kerajaan! Engkau sungguh mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi murid kami!" Cia Bun Houw berseru kagum dan girang, sekaligus juga bangga bahwa wanita ini adalah muridnya.

"Suhu terlalu memuji. Aku hanya seorang durhaka..."

"Eng-moi, jangan bicarakan hal itu lagi. Engkau sudah dimaafkan, dan engkau pun harus memaafkan kami. Sekarang tidak ada apa-apa lagi, engkau akan menjadi isteriku yang sah..."

Sepasang mata yang agak biru karena pukulan itu terbelalak, seolah-olah dia tak percaya akan apa yang baru didengarnya, kemudian dia menggelengkan kepalanya keras-keras. "Tidak mungkin, koko... tidak mungkin... aku... aku terlalu hina dan rendah untukmu..."

"Eng-moi, apakah engkau masih tetap tidak dapat melupakan sikap keluargaku yang lalu? Apakah engkau tetap bersakit hati dan tidak mau memaafkan?" Lie Seng memohon, "Aku mintakan maaf kepadamu untuk sikap ibuku yang lalu, Eng-moi,"

"Dan kami pun mengharapkan maafmu, muridku!" kata Yap In Hong.

"Ahhh, tidak... jangan salah sangka! Suhu dan subo, sikap suhu serta subo terhadapku memang sudah sepantasnya, aku bukan sakit hati kalau aku berkata bahwa aku... terlalu rendah dan hina bagimu, koko... lebih-lebih sekarang..."

"Bagiku, sekarang engkau makin agung, moi-moi, aku makin mencintamu..."

"Tidak! Jangan lupa, koko, aku sudah menyerahkan diriku kepada pangeran terkutuk itu, membiarkan dia mempermainkan diriku sebagai selirnya, bahkan aku sudah melayaninya sebagai selir terkasih selama hampir dua bulan..."

"Cukup! Aku tidak peduli dengan itu semua! Sekali waktu aku akan berhadapan dengan keparat itu. Aku tidak menyalahkan engkau, Eng-moi. Engkau melakukan hal itu karena engkau ingin mengorek rahasianya, dan engkau melakukan semua itu dengan perasaan tersiksa, demi menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai. Aku tahu benar akan hal itu!"

Wajah itu memandang dengan pucat lantas sepasang matanya meredup. "Koko, hal itu bukan apa-apa bagimu? Ahhh... tapi aku... aku telah mereka siksa... tahukah engkau apa yang dilakukan pangeran itu? Dia menyerahkan aku kepada Mongol brewok dan belasan anak buah pengawal, dan... dan mereka itu... mereka itu memperkosaku secara biadab, berganti-ganti sampai aku pingsan..."

"Jahanam mereka! Mereka semua telah kubunuh!" Lie Seng mengepal tinju dan matanya berubah merah.

"Nah, engkau tahu sekarang betapa diriku semakin kotor, koko. Aku tidak berharga sedikit pun juga lagi bagimu, aku... aku..."

"Jangan bicarakan lagi hal itu, Eng-moi. Aku tetap mencintamu. Dengar... jangan sampai engkau tidak percaya padaku, jangan memandangku seperti itu... aku mencintamu, bukan mencinta tubuhmu saja, aku akan tetap mencintamu biar pun engkau menjadi bagaimana pun juga!"

"Koko...!" Sun Eng menjerit, Lie Seng merangkul dan mereka berdua bertangisan. Yap In Hong dan Cia Bun Houw saling pandang lantas mata mereka juga basah. Belum pernah mereka menyaksikan cinta kasih antara pria dan wanita seperti kedua orang ini!

Perasaan hati Sun Eng seperti diremas-remas rasanya. Tadinya dia telah bertekat untuk mengorbankan diri bagi keluarga Lie Seng dan dia pun akan mati dengan hati tenteram, karena dia sudah melakukan sesuatu, berkorban bagi pria yang sangat dicinta dan yang amat mencintanya. Dia tidak akan menyesal mati, atau bahkan kalau sampai ditinggalkan oleh Lie Seng sekali pun. Akan tetapi, ternyata cinta kasih Lie Seng tetap kepadanya, biar pun dia sudah menyerahkan tubuhnya kepada Pangeran Ceng Han Houw, walau pun dia telah diperkosa begitu banyak orang secara amat menghina!

Dia menjadi serba salah sekarang! Mana mungkin dia hidup di samping Lie Seng kalau ada kenangan seperti itu? Dia bisa menjadi gila. Mengapa dia melakukan kegilaan semua itu? Memang berhasil, akan tetapi Lie Seng... tetap mencintanya dan akan merana.

"Koko...!" Dia hanya dapat mengeluh.

Dengan hati-hati mereka membawa pergi Sun Eng yang belum mampu berjalan sendiri karena sepasang telapak kakinya terluka berat. Mereka hanya melakukan perjalanan bila malam saja, sedangkan di waktu siang mereka bersembunyi. Mereka takut kalau-kalau akan tersusul oleh orang-orang yang mengejar mereka, yaitu anak buah Pangeran Ceng Han Houw. Bukan takut melawan, melainkan karena mereka harus melindungi Sun Eng yang masih luka dan lemah, maka tidak baik kalau menghadapi lawan-lawan tangguh.

Tiga hari kemudian, mereka bersembunyi di lereng gunung kecil, dalam sebuah goa yang cukup lebar. Keadaan Sun Eng sungguh mengkhawatirkan dan suami isteri pendekar itu merasa heran sekali. Mereka merasa yakin bahwa wanita bekas murid mereka itu tidak menderita luka di dalam tubuh lagi, akan tetapi kenapa kini menjadi semakin parah? Dan pada mukanya terbayang sinar kebiruan seperti orang keracunan!

Lie Seng sangat gelisah, berlutut di samping Sun Eng yang direbahkan di atas lantai goa bertilamkan daun-daun kering yang mereka kumpulkan, "Eng-moi, engkau kenapakah?"

"Koko...," dan Sun Eng tersenyum, "Hari ini adalah yang terakhir... aku... melihatmu..."

"Eng-moi...!"

"Sun Eng, apa artinya ucapanmu ini?!" Yap In Hong juga berseru kaget.

Mereka bertiga kemudian merubung Sun Eng yang kelihatan semakin payah, napasnya terengah-engah dan kadang-kadang menyeringai seperti sedang menahan rasa nyeri di ulu hatinya yang ditekannya dengan tangan.

"Hari... hari ini... aku akan mati... aku girang sekali..."

"Eng-moi...!"

"Aku girang karena berarti engkau akan bebas, koko. Aku tidak lagi membebanimu. Aku tidak patut kau cinta... aku kotor dan hina..."

"Eng-moi, ahhh, Eng-moi, jangan kau menyiksaku dengan kata-katamu itu..."

"Sun Eng, apa maksudmu bahwa hari ini engkau akan mati?" Cia Bun Houw juga turut bertanya sambil memandang tajam. "Apakah engkau keracunan?"

Sun Eng mengangguk. "Mereka telah mencekoki aku dengan racun cairan biru dan... dan Mongol brewok itu bilang... aku akan mati tiga hari kemudian..."

"Eng-moi...!" Lie Seng berteriak dan menangislah laki-laki gagah perkasa ini.

"Sun Eng, mengapa engkau tidak mengatakan kepada kami kemarin dulu?" Yap In Hong menegur dan wanita sakti ini meletakkan tangannya pada ulu hati muridnya, akan tetapi diam-diam dia terkejut sekali karena perasaan tangannya langsung bertemu dengan hawa yang amat dingin!

"Memang kusengaja... aku tidak layak hidup lagi... hanya menyusahkan dan menyeret Lie Seng koko ke pecomberan saja... aku harus mati akan tetapi aku... aku puas mati dalam pelukanmu, koko..."

"Eng-moi...!" Lie Seng cepat merangkulnya sambil menangis. "Paman, bibi... tolonglah..., tolonglah...!"

Bun Houw dan In Hong memeriksa nadi serta pernapasan Sun Eng, akan tetapi mereka hanya menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Racun ini hebat sekali, hawanya dingin tanda bahwa racun ini dari macam yang paling jahat. Apa lagi sekarang, andai kata kemarin dulu pun sulit untuk menyembuhkan bila tidak mendapatkan obat pemunahnya..."

"Koko, jangan berduka. Aku memang lebih senang mati... jika hidup di sampingmu, aku... aku akan selalu menyesal... aku bisa gila mengingat pengalamanku... koko, kau jangan berduka, kudoakan kau hidup bahagia... aku... aku..." Sun Eng terkulai dan pingsan.

Tiga orang pendekar itu berdaya upaya, akan tetapi Sun Eng tetap tidak sadar sampai menjelang tengah hari dia menghembuskan napas terakhir dalam pangkuan dan pelukan Lie Seng. Pemuda ini sudah kehabisan tangis, hanya termenung saja sambil memangku jenazah Sun Eng. Baru setelah dibujuk-bujuk oleh Cia Bun Houw dan Yap In Hong, dia mau melepaskan jenazah itu untuk dikubur di lereng bukit itu.

Setelah pemakaman selesai dan jenazah dalam peti sederhana yang mereka peroleh dari dusun di luar hutan itu mereka timbuni tanah, Lie Seng duduk bersila di depan makam, tidak bergerak seperti patung. Wajahnya pucat sekali dan pandang matanya kosong.

"Seng-ji, sudahlah, mari kita tinggalkan tempat ini," Cia Bun Houw berkata dengan suara membujuk.

"Benar pamanmu, Lie Seng. Mari kita pergi," Yap In Hong menyambung.

"Tiada gunanya dipikirkan lagi. Sun Eng sudah tidak ada, sudah mendahului kita."

"Pergilah kalian, paman beserta bibi. Tidak tahukah kalian bahwa seluruh kebahagiaanku, hidupku, segala-galanya, berada bersama Sun Eng? Biarkan aku sendiri disini dengannya dan jangan ganggu aku lagi... jangan ganggu aku lagi...!" Kalimat terakhir ini diucapkan dengan suara setengah berteriak.

Cia Bun Houw dan isterinya saling pandang, kemudian menarik napas panjang. Sejenak mereka memandang kepada pemuda yang duduk bersila di atas tanah itu, kemudian Cia Bun Houw memberi isyarat kepada isterinya dan mereka pergi meninggalkan Lie Seng. Setelah jauh dari tempat yang menjadi makam Sun Eng itu, Cia Bun Houw baru berkata kepada isterinya.

"Biarkan dia sendiri. Dalam keadaan seperti itu, sukarlah untuk menghiburnya. Aku hanya khawatir bahwa kedukaan akibat kehilangan kekasihnya itu akan membuat dia membenci keluarganya, karena jalan pikirannya tentu mengingat bahwa perjodohannya dengan Sun Eng sudah ditolak keluarganya, bahkan Sun Eng pun mengalami kematian karena hendak membela keluarganya."

“Apakah yang kau maksudkan keluarganya adalah kita berdua, Kun Liong koko dan enci Giok Keng?" Yap In Hong menegaskan. Suaminya mengangguk sambil menarik napas panjang.

"Dia sudah dewasa, biarkan dia mempertimbangkan semua itu. Dia harus sadar bahwa kita semua melakukan segalanya itu demi kebaikannya, dan andai kata hal itu salah, apa boleh buat karena kita menolak karena mengingat akan kepentingan Lie Seng."

Cia Bun Houw menarik napas panjang, kemudian berkata, "Isteriku, sekarang kita harus menyelidiki ke kota raja. Tidak mungkin apa yang sudah dilakukan oleh murid kita itu kita diamkan saja. Mendiang Sun Eng sudah memberi contoh kepada kita. Memang, dalam keadaan terfitnah seperti ini, kita tidak boleh lalu diam saja dan hanya bisa melarikan diri menjadi buronan. Kita tak boleh membiarkan saja dunia mengecap kita sebagai keluarga pemberontak, sehingga kelak anak kita pun dicap anak pemberontak! Kita harus berjuang membela diri, menerangkan duduknya perkara kepada fihak kerajaan. Dan sekarang hal itu telah dipelopori oleh Sun Eng. Kita harus menyelidiki kepada Menteri Liang itu, apakah surat-surat dari Sun Eng itu sudah disampaikan kepada kaisar dan bagaimana kemudian keputusan kaisar terhadap keluarga kita dan terhadap pangeran yang hendak berkhianat terhadap kerajaan itu."

Yap In Hong mengangguk. "Dan andai kata usaha Sun Eng gagal sehingga segala jerih payahnya yang sudah dikorbankan sampai kepada nyawanya itu hanya sia-sia, maka kita akan pergi menyerbu istana pangeran jahanam itu dan membunuhnya!"

"Aku pun berpikir demikian, sungguh pun hal itu bukan merupakan pekerjaan mudah. Mari kita pergi!"

Sepasang suami isteri pendekar sakti itu lalu kembali ke kota raja, mempergunakan ilmu mereka yang tinggi sehingga mereka dapat melakukan perjalanan cepat sekali dan pada senja hari mereka sudah tiba di kota raja. Dengan mudah mereka menyelinap memasuki kota raja tanpa diketahui oleh para penjaga.

Malam sudah tiba ketika suami isteri pendekar ini diterima oleh para pengawal di depan istana Menteri Liang. Karena maklum bahwa nama mereka sudah banyak dikenal orang akibat fitnah pemberontakan itu, maka Cia Bun Houw tidak mau memperkenalkan nama mereka, hanya berkata,

"Harap sampaikan kepada Liang-taijin bahwa kami adalah sahabat-sahabat wanita yang pada beberapa malam yang lalu datang menghadap, dan kami mohon menghadap Liang-taijin karena urusan penting sekali."

Mendengar ini, komandan jaga lalu bergegas melaporkan ke dalam, karena dia maklum bahwa wanita berbaju hitam yang datang menghadap menteri beberapa malam yang lalu adalah seorang yang amat penting serta membawa berita yang amat besar dan rahasia pula. Dan memang benar dugaannya, begitu Menteri Liang mendengar pelaporan itu, dia segera berkata, "Cepat persilakan mereka masuk ke ruangan tamu. Jaga supaya jangan sampai ada orang luar yang tahu akan kedatangan mereka!"

Cia Bun Houw dan Yap In Hong dipersilakan masuk dan diantar ke ruangan tamu. Di situ mereka baru ditinggalkan dan dipersilakan menanti sebentar, sedangkan para pengawal menjaga di luar. Cia Bun Houw dan isterinya yang ditinggal berdua saja di dalam kamar tunggu yang luas itu saling pandang, bersikap tenang karena mereka tidak khawatir akan sesuatu.

Tak lama kemudian, pintu dalam terbuka dan muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh tahun, bertubuh tinggi besar, berwajah lembut namun berwibawa, dan gerak-geriknya halus pada waktu dia memasuki kamar itu. Bun Houw dan In Hong cepat bangkit berdiri dan memandang, kemudian mereka cepat menjura dengan sikap hormat.

"Apakah kami berdua berhadapan dengan Menteri Liang yang terhormat?" Cia Bun Houw bertanya.

Pria tua itu memandang dengan penuh kagum, sebab dia dapat melihat bahwa dua orang tamunya itu bukanlah orang-orang sembarangan, walau pun pakaian mereka sederhana saja. "Benar, dan benarkah ji-wi masih sahabat dari lihiap yang memberikan surat-surat kepada kami...?"

"Betul, taijin. Bahkan terus terang saja, kami berdua adalah guru-guru mendiang Sun Eng itu."

"Mendiang...? Ahh, aku mendengar bahwa dia telah dapat lolos dilarikan teman-temannya dari istana Pangeran Ceng Han Houw..."

"Benar, kamilah yang melarikannya namun kami terlambat dan dia keracunan, siang tadi dia meninggal dunia," kata Yap In Hong.

"Ahhh...!"

"Justru karena kematiannya maka kami datang menghadap paduka, taijin. Murid kami itu telah berkorban untuk keselamatan keluarga Cin-ling-pai dan untuk keselamatan kerajaan yang terancam pemberontakan. Maka, kami ingin mendengar keterangan paduka tentang perkembangan usaha mendiang murid kami itu. Semoga usahanya yang gagah dan yang telah dilakukan dengan korban nyawanya itu tidak akan sia-sia belaka."

"Duduklah, taihiap, lihiap. Duduklah dan marilah kita bicara baik-baik. Sudah tentu begitu menerima laporan dari nona Sun Eng itu, aku cepat-cepat pergi, menghubungi Pangeran Hung Chih dan bersama beliau, pagi-pagi tadi kami sudah pergi menghadap kaisar. Terus terang saja, sri baginda kaisar sendiri dan kami para pejabat yang telah lama mengabdi kepada kerajaan ini, tahu belaka bahwa keluarga Cin-ling-pai, sejak mendiang Cia Keng Hong taihiap, adalah orang-orang gagah yang setia kepada negara, maka sri baginda dan kami semua sudah dapat menduga bahwa berita tentang pemberontakan mereka hanya fitnah belaka. Maka pelaporan nona Sun Eng itu kami percaya sepenuhnya, dan barulah sri baginda kaisar maklum alangkah jahatnya mereka yang menjatuhkan fitnah itu, yang ternyata hanya ditujukan untuk melemahkan kerajaan di samping urusan pribadi mereka sendiri yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai. Oleh karena itu, sri baginda kaisar sudah memberi kekuasaan kepada Pangeran Hung Chih untuk... ehh, nanti dulu, sebelum saya melanjutkan penuturan rahasia istana ini, harus kami ketahui siapa sebenarnya lihiap dan taihiap? Biar pun ji-wi sudah mengaku sebagai guru-guru nona Sun Eng, akan tetapi hal itu belum menjelaskan siapa ji-wi."

"Liang-taijin, nama kami tentu telah taijin kenal baik. Saya bernama Cia Bun Houw dan dia ini isteri saya, Yap In Hong."

"Ahhh...!" Sepasang mata tua itu terbelalak dan wajah yang lembut itu berseri-seri.

"Kami adalah dua orang di antara mereka yang dinamakan pemberontak dan buronan itu, taijin," sambung Yap In Hong.

Pembesar itu tertawa kemudian bangkit berdiri, memandang dengan kagum, lalu menjura. Tentu saja suami isteri pendekar itu cepat membalas.

"Ahh, mengapa aku begitu bodoh? Tentu saja! Aku sudah banyak mendengar nama ji-wi enghiong yang dulu pernah berjasa terhadap negara ketika menghadapi pemberontakan Sabutai! Juga nama besar pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng bukanlah nama asing bagi kami. Dan ji-wi berdua bersama mereka dituduh pemberontak! Betapa jahatnya! Duduklah, taihiap dan lihiap dan dengarkan penuturanku."

Menteri Liang lalu menceritakan keadaan di istana pada waktu itu, betapa kaisar tadinya menaruh kepercayaan kepada Pangeran Ceng Han Houw dari utara yang oleh mendiang ayahanda kaisar sekarang juga diakui sebagai puteranya dan juga kepercayaan kaisar terhadap Kim Hong Liu-nio karena selain wanita itu menjadi suci dari Pangeran Ceng Han Houw, juga wanita itu pernah menyelamatkan kaisar tua dari penyerangan Pangeran Ceng Su Liat yang memberontak.

"Sungguh tidak kami sangka bahwa mereka itu mempergunakan kekuasaan kaisar untuk menyerang Cin-ling-pai yang menjadi musuh utama dari Kim Hong Liu-nio yang hendak membalaskan sakit hati gurunya, yaitu Hek-hiat Mo-li. Ahhh, mereka itu sudah mengatur segala-galanya, dan secara diam-diam bersekutu dengan Raja Sabutai, bahkan dengan Pek-lian-kauw untuk memberontak."

"Lalu apa yang telah dilakukan oleh istana untuk menanggulangi bahaya ini, taijin?" tanya Cia Bun Houw.

"Sri baginda sudah membaca semua laporan mendiang nona Sun Eng dan beliau sudah memberi kekuasaan penuh kepada Pangeran Hung Chih untuk bertindak terhadap kaum pemberontak. Pertama-tama kaisar memerintahkan supaya tuduhan terhadap diri keluarga Cin-ling-pai dicabut. Maka mulai saat itu, keluarga Cin-ling-pai sudah bukan pemberontak atau buronan lagi dan hal ini oleh Pangeran Hung Chih akan diumumkan kepada seluruh kepala daerah."

Cia Bun Houw dan Yap In Hong saling pandang dengan girang sekali dan mereka segera bangkit berdiri, kemudian menjura dengan hormat. "Sungguh kami merasa gembira sekali dan banyak terima kasih atas bantuan paduka, juga bantuan Pangeran Hung Chih dan kemurahan sri baginda kaisar."

"Seyogianya kalau ji-wi berterima kasih kepada Sun Eng..." Menteri Liang menghentikan kata-katanya karena melihat wajah suami isteri itu tiba-tiba nampak berduka sekali, maka disambungnya segera, "Marilah ji-wi kami antar untuk menemui Pangeran Hung Chih agar dapat bicara lebih jelas lagi, dan mungkin sekali beliau hendak mohon bantuan ji-wi untuk menghadapi Pangeran Ceng Han Houw yang selain sangat lihai, juga mempunyai banyak teman-teman yang memiliki ilmu tinggi. Apa lagi karena sri baginda menghendaki supaya Pangeran Hung Chih menggunakan jalan yang halus agar jangan sampai terjadi perang saudara yang akan menggelisahkan rakyat."

Malam itu juga Cia Bun Houw dan isterinya diajak oleh Menteri Liang pergi menghadap Pangeran Hung Chih di istananya. Seperti juga Menteri Liang, pangeran ini menyambut suami isteri pendekar ini dengan girang sekali.

Suami isteri ini lalu mendengar dari pangeran yang pada saat itu merupakan orang yang amat berpengaruh di dalam istana, bahwa memang betul Pangeran Hung Chih ini hendak menggunakan jalan halus untuk menanggulangi Pangeran Ceng Han Houw.

"Semua gerak-geriknya telah diawasi dan walau pun tidak ada teguran langsung dari sri baginda kaisar, akan tetapi Ceng Han Houw yang telah kehilangan surat penting itu tentu akan bersikap hati-hati dan agaknya dia hendak melanjutkan cita-citanya untuk menjadi jago silat nomor satu di dunia. Melalui kang-ouw ini dia akan menghimpun kekuatan. Oleh karena itu, kami harap bantuan keluarga Cin-ling-pai untuk menentangnya di lapangan itu. Jangan sampai golongan sesat di bawah pimpinannya akan menguasai dunia persilatan, dalam urusan ini tentu saja ji-wi lebih mengerti bagaimana menanggulanginya dari pada kami. Kami tidak ingin mempergunakan kekuatan pasukan kalau tidak perlu sekali, agar jangan sampai menggelisahkan rakyat."

"Harap paduka jangan khawatir. Setelah hamba sekeluarga dibebaskan dari tuduhan dan dapat bergerak dengan leluasa, tidak menjadi buronan pemerintah lagi, kami tentu akan dapat serentak bangkit kemudian menentang Kim Hong Liu-nio dan Pangeran Ceng Han Houw," jawab Cia Bun Houw.

"Asal saja hal itu jangan dilakukan di kota raja," kata Pangeran Hung Chih. "Karena kalau para orang gagah menentangnya di kota raja, mau tak mau istana harus turun tangan dan dengan demikian berarti istana secara langsung menanganinya. Karena itu sebaiknya ji-wi mengajak semua orang gagah untuk waspada dan turun tangan menentangnya kalau dia beraksi di luar kota raja."

Sesudah saling bertukar pikiran dan menerima jamuan penghormatan yang diadakan oleh Pangeran Hung Chih, malam itu juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu meninggalkan kota raja. Mereka ingin cepat-cepat pergi ke Bun-cou untuk menyampaikan berita yang ada dua macam itu kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Dua macam berita duka dan berita gembira. Berita duka tentang tewasnya Sun Eng dan keadaan Lie Seng yang tenggelam dalam kedukaan besar, dan berita gembira mengenai dibebaskannya keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan memberontak.

********************

Sampai dua hari dua malam Lie Seng duduk bersila di depan makam Sun Eng itu, tidak pernah dia meninggalkan tempat itu. Kadang-kadang timbul di dalam hatinya untuk duduk terus di tempat itu sampai mati! Makin dikenang segala kebaikan Sun Eng, juga segala pengorbanannya, makin tertusuk rasa hatinya dan berkali-kali dia menangis seperti anak kecil di tempat yang sunyi itu.

Wajahnya sudah pucat sekali dan tubuhnya kurus dan lemah, pandang matanya kosong dan sayu, pakaiannya kusut dan rambutnya awut-awutan. Keadaan pemuda ini sungguh amat menyedihkan. Dia telah putus asa, tidak melihat lagi sinar dalam kehidupannya yang dianggapnya gelap pekat tanpa harapan. Semangat serta gairah hidupnya sudah lenyap terbawa pergi oleh Sun Eng.

Pada hari ke tiga, sejak semalam Lie Seng duduk bersila dengan mata dipejamkan dan berada dalam keadaan semedhi yang gelap. Dia tidak tahu betapa sejak tadi ada seorang hwesio tua menghampirinya, kemudian memandang kepada makam baru itu dan berdiri di depannya, kadang-kadang mengangguk-anggukkan kepala, kadang-kadang menggeleng-geleng, menarik napas panjang. Sampai lama hwesio tua itu berdiri di sana, memandang dengan sinar matanya yang lembut, wajahnya yang sangat tenang dan mengandung seri kebahagiaan.

Hwesio itu berjubah kuning. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, kepalanya yang tak berambut itu terlindung topi hwesio, tangan kirinya memegang tasbih dan pakaiannya amat sederhana dan kasar. Akan tetapi semua itu tidak mengurangi wibawa dan sikapnya yang agung.

"Omitohud... mengapa ada orang merusak diri sendiri seperti ini? Membunuh diri secara perlahan-lahan dengan membiarkan gelombang duka menyeretnya berlarut-larut...! Orang muda, apakah dengan membiarkan gelombang duka menghanyutkanmu ini kemudian kau mengharapkan yang mati akan dapat bangkit kembali?"

Suara itu amat halus dan karena dikeluarkan dengan penuh perasaan maka mengandung getaran kuat dan mampu menembus dinding semedhi, menyentuh kesadaran Lie Seng. Pemuda ini membuka mata dan mengangkat muka memandang hwesio tua itu, kemudian alisnya berkerut.

"Hwesio, pergilah, tak perlu kau berkhotbah di sini!" katanya dengan marah.

Tidak biasanya Lie Seng bersikap seperti ini, akan tetapi dia tidak peduli apa pun juga lagi. Dia sudah lupa diri, yang teringat hanyalah kedukaannya dan ini membuat dia kasar dan tidak bersahabat kepada siapa pun juga.

Hwesio tua itu tersenyum akan tetapi pandangan matanya penuh rasa iba. "Orang muda, pinceng tidak berkhotbah, pinceng justru merasa kasihan padamu, maka pinceng hendak mengingatkan bahwa tindakanmu yang terbuai oleh duka ini sungguh tidak tepat. Berduka atas kematian seseorang merupakan suatu kebodohan, dan tindakan menyeleweng dari pada kebenaran."

Pandang mata Lie Seng berapi karena marahnya ketika dia menatap wajah yang ramah itu. Dengan suara berat bernada kesal dia menjawab, "Bicara memang enak saja! Engkau tidak merasakan, karena itu engkau mudah saja mencela! Aku sudah kehilangan cahaya hidupku, kehilangan semua kebahagiaan dan harapan, maka perlu apa aku mempedulikan diri sendiri? Kalau aku harus mati, akan kuterima dengan rela! Pergilah, hwesio!"

Akan tetapi hwesio tua itu malah duduk bersila di hadapan Lie Seng, sikapnya tetap halus dan ramah. "Omitohud... kegelapan kini menguasai batinmu, orang muda. Engkau bilang bahwa pinceng tidak merasakan maka mudah mencela? Wahai orang muda, siapakah di dunia ini yang tak pernah mengalami kematian seseorang yang dikasihinya? Orang muda, barang kali engkau belum pernah mendengar dongeng tentang Sang Buddha pada waktu menghadapi kematian, dan kalau engkau sudah pernah mendengarnya, biarlah dongeng ini menjadi penyadar bagimu. Seorang wanita kematian anak tunggalnya. Siapa pun tahu bahwa cinta kasih seorang ibu terhadap anak tunggalnya adalah cinta kasih yang paling murni di antara segala macam cinta kasih di dunia ini. Maka berdukalah wanita itu dan dia pun pergi menghadap Sang Buddha, lalu memohon kepada Buddha untuk menghidupkan kembali anak tunggalnya. Dengan tenang Sang Buddha lalu menyuruh wanita itu supaya meminta segenggam gandum dari sebuah keluarga yang belum pernah kematian, karena hanya itulah obat yang dapat menghidupkan anaknya yang sudah mati. Ibu itu berkelana, akan tetapi biar pun dia akan pergi mengelilingi dunia, di mana ada keluarga yang belum pernah kematian anggota keluarganya? Akhirnya dia kembali kepada Sang Buddha dan insaf. Kematian adalah suatu hal yang wajar dalam kehidupan. Ada hidup tentu ada mati. Mengapa kematian harus didukakan benar? Bukankah kita semua akhirnya akan mati pula? Engkau dan pinceng pun tidak akan terluput dari kematian. Mengapa kini ada yang mati lantas engkau menyiksa diri dengan kedukaan? Apakah kedukaanmu itu akan dapat menghidupkannya kembali, orang muda?"

Perlahan-lahan ada sisa-sisa air mata menetes dari kedua mata Lie Seng. Tentu saja, dia pernah mendengar tentang cerita itu. Anehnya, kini keluar dari mulut hwesio itu, dengan suaranya yang halus lembut, cerita itu memiliki pengaruh yang lain, menembus sampai ke dasar hatinya dan membuat dia melihat kenyataan itu.

"Losuhu... losuhu tidak tahu orang yang mati ini adalah kekasih saya, isteri saya... saya bukan seorang cengeng, losuhu sudah biasa menghadapi kematian, akan tetapi dia ini... ahh, semasa hidupnya menderita demikian banyak kepahitan, dan selagi saya berusaha untuk membuatnya bahagia... dia sudah mengambil jalan pendek, dia mengorbankan diri demi keluarga saya, demi kerajaan... ahh, betapa tidak akan hancur hatiku, losuhu...?"

Hwesio tua itu mendengarkan dengan tenang dan sabar sampai Lie Seng berhenti bicara dan menunduk, memejamkan mata. Kemudian terdengar lagi suara hwesio itu, suaranya lantang namun lembut sekali. "Orang muda, pandanglah baik-baik dan sadarilah. Lihatlah dengan waspada, siapakah yang sedang kau tangisi itu? Siapakah yang kau kasihani itu? Di balik semua keteranganmu tadi, bukankah sebetulnya engkau hanya menangisi dirimu sendiri, engkau mengasihani dirimu sendiri?"

Lie Seng mengerutkan kedua alisnya, termenung sejenak lantas terkejut bukan kepalang. Dia mengangkat muka memandang kepada hwesio tua itu dengan mata terbelalak marah. "Berani kau menuduhku seperti itu...?"

"Tenang dan pandang sajalah, pandang dengan waspada dan jujur...," hwesio itu berkata sambil menggerakkan tangan. Sikapnya yang lembut halus itu seolah-olah membuyarkan kemarahan Lie Seng.

Orang muda ini duduk termenung, memandang kepada diri sendiri kemudian jantungnya berdebar tak karuan. Dia melihat, mula-mula secara samar-samar saja, akan tetapi makin lama menjadi semakin jelas dan timbullah keraguan besar. Benarkah dia berduka karena kasihan kepada Sun Eng? Ataukah tidak lebih condong karena kasihan pada diri sendiri? Dia tidak dapat menjawab. Dia bingung sekali dan kembali dia memandang kakek itu.

"Losuhu, mohon petunjuk...," akhirnya dia berkata.

"Orang muda, bukan maksud pinceng untuk mencelamu, namun untuk menyadarkanmu. Engkau sendiri tadi menceritakan betapa di dalam hidupnya kekasihmu menderita banyak kepahitan. Sekarang dia sudah meninggal, bukankah berarti dia setidaknya terbebas dari pada semua kepahitan-kepahitan itu? Maka, dengan alasan apa lagi engkau merasa iba kepadanya? Yang jelas, engkau menangis serta berduka karena merasa iba diri, karena engkau merasa kehilangan, karena engkau ditinggalkan dan merasa kesunyian. Tidakkah demikian?"

Lie Seng mengangguk-angguk, tak dapat membantah kebenaran kata-kata itu. Sekarang nampak nyata olehnya. Sun Eng hidup dalam keadaan sengsara karena menderita batin yang hebat. Sun Eng selalu menyesalkan penyelewengannya, yang membuatnya merasa rendah diri dan tak berharga menjadi isterinya. Apa lagi keluarga Cin-ling-pai menolaknya!

Kemudian, untuk mengangkat harga dirinya, Sun Eng sudah berkorban dan sungguh pun usahanya berhasil baik, namun dirinya sudah mengalami penghinaan yang membuat dia merasa dirinya menjadi semakin kotor! Apa bila Sun Eng tidak mati, sudah pasti Sun Eng akan semakin menderita karena merasa semakin tidak berharga baginya.

Bukankah kematian itu bahkan merupakan jalan keluar yang paling baik bagi Sun Eng? Mengapa dia harus menangisinya? Apakah dia ingin melihat Sun Eng tetap hidup dalam keadaan menderita batin yang hebat itu?

"Duka tidak dapat dihilangkan melalui hiburan, juga tak dapat dihilangkan melalui pelarian, orang muda. Yang penting kita membuka mata melihat kenyataan, jangan membiarkan duka sampai membutakan mata batin. Penglihatan yang terang dengan pengamatan yang waspada akan mendatangkan pengertian, dan hanya pengertian mendalam yang disertai kesadaran yang akan meniadakan duka yang tiada guna dan melemahkan lahir batin itu."

Untuk kurang lebih setengah jam lamanya Lie Seng mendengarkan suara kakek itu, suara yang lembut dan tenang, yang mendatangkan ketenangan dalam hatinya, yang membuat hatinya menjadi ringan dan lapang, yang membuat dia mulai berani memandang makam Sun Eng tanpa kepedihan hati. Akhirnya dia pun menjadi sadar benar-benar akan semua tindakannya yang hanya menurutkan kata hati dan perasaan yang terdorong oleh iba diri belaka. Dan tiba-tiba saja dia melihat masa depan yang cerah tanpa Sun Eng, yaitu masa depan menjadi seperti kakek ini, yang hidup bebas dalam arti yang seluas-luasnya. Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

"Losuhu, perkenankanlah teecu turut bersamamu mempelajari hidup dan masuk menjadi hwesio di kuil yang losuhu pimpin."

Hwesio tua itu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Orang muda, pinceng melihat bahwa engkau bukanlah orang muda sembarangan, namun seorang muda yang tentu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, bukan? Pinceng sendiri bukan ahli silat, namun pinceng dapat mengenali orang pandai. Siapakah namamu dan dari keluarga manakah engkau, orang muda?"

"Teecu bernama Lie Seng, ibu teecu adalah puteri dari mendiang kongkong Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai."

"Omitohud... sudah pinceng duga. Ternyata engkau adalah cucu pendekar sakti itu, dan sekarang engkau ingin menjadi hwesio? Ah, bukankah itu hanya merupakan pelarian saja bagimu, untuk menghibur hatimu yang sedang berduka dan putus asa? Masuk menjadi hwesio bukan hal yang main-main dan hanya untuk pelarian belaka, sicu."

"Teecu melihat masa depan yang gelap, suhu. Teecu penuh dendam dan sakit hati, kalau teecu melanjutkan hidup ini seperti biasa, tidak dapat dihindarkan lagi teecu tentu akan mengakibatkan kekerasaan dan banjir darah karena teecu tentu akan mengamuk untuk membalas kematian kekasih teecu."

Kakek itu mengangguk-angguk. "Pinceng sudah melihat hal itu, oleh karena itulah maka pinceng berusaha menyadarkanmu. Kalau memang masuk menjadi hwesio itu timbul dari tekadmu sendiri, karena kesadaranmu, maka terserah kepadamu. Pinceng memimpin Kuil Hok-seng-tong di kaki bukit sana. Marilah, sicu."

Lie Seng bangkit dan setelah sekali lagi meraba-raba makam Sun Eng dan mengucapkan selamat tinggal kepada kekasihnya itu, kini dengan hati ringan dan lapang, maka dia pun bangkit dan mengikuti hwesio tua itu turun gunung. Beberapa bulan kemudian, Lie Seng telah mencukur rambutnya dan berpakaian jubah lebar, menjadi hwesio yang secara tekun menekuni hidup dan kebatinan di dalam Kuil Hok-seng-tong di bukit sunyi sebelah selatan kota raja itu!

Alangkah banyaknya di antara kita yang seperti Lie Seng itu! Melarikan diri sendiri dari kenyataan hidup! Melarikan diri dari kepahitan hidup! Lantas mengejar-ngejar kemanisan hidup! Padahal, pelarian dari yang pahit dan pengejaran yang manis itu tak ada bedanya sama sekali.

Melarikan diri dari yang pahit lalu berlindung kepada sesuatu itu berarti juga mengejar kemanisan yang diharapkan akan bisa didapatkan dari tempat berlindung itu. Dan selama pengejaran akan sesuatu yang dianggap manis dan menyenangkan ini terjadi, maka kita akan terus menerus terseret ke dalam lingkaran setan yang tiada habisnya.

Pelarian tidak akan melenyapkan duka, pelarian tak akan melenyapkan kegelisahan dan rasa takut. Mungkin saja dapat mendatangkan hiburan sesaat, tetapi duka itu, rasa takut itu, tidak akan lenyap, hanya untuk sementara waktu terselubung saja oleh hiburan yang didatangkan oleh pelarian. Setiap saat akan muncul kembali!

Kita semua mengenal apa penyesalan itu, apa kekecewaan itu, dan apa rasa takut serta kedukaan itu. Mengapa kita selalu harus mencari hiburan di mana kita dapat berlindung untuk melarikan diri dari hal-hal yang tidak enak itu? Mengapa kita tidak pernah berani menghadapi semua itu, menghadapi mereka di waktu mereka itu timbul, menghadapinya dengan langsung, memandangnya kemudian menanggulanginya di saat mereka muncul sehingga mereka itu akan lenyap di saat itu juga dan tak akan pernah muncul kembali?

Penanggulangan ini bukanlah berarti mengusahakan supaya mereka lenyap, sama sekali bukan. Melainkan menghadapi duka pada saat duka itu menyerang kita, memandang dan menyelaminya secara langsung, mengenal luar dalam apa sesungguhnya duka itu! Tetapi sayang, kita selalu ingin senang, maka begitu timbul sesuatu yang tidak menyenangkan menurut anggapan kita, kita lalu melarikan diri.


********************

"Bi Cu...!"

Teriakan Sin Liong ini nyaring sekali karena memang dia kaget bukan main saat melihat betapa tubuh Bi Cu juga melayang dan meluncur turun. Sama sekali tidak disangkanya bahwa dara itu akan melakukan perbuatan senekat itu, menyusul dia terjatuh ke dalam jurang dengan meloncat. Apa bila dia sendiri yang terjatuh, tentu dia akan mencari akal untuk dapat terhindar dari ancaman maut, akan tetapi kini Bi Cu juga turut jatuh, maka seketika dia menjadi nanar dicekik rasa khawatir yang hebat.

Dia tadi terjatuh dalam keadaan terjengkang, maka tubuhnya terlentang. sedangkan Bi Cu yang meloncat itu menelungkup. Cepat Sin Liong menyambar tangan kiri Bi Cu dan dia berhasil menangkap pergelangan lengan kiri dara itu. Lalu dia merangkul pinggang Bi Cu dengan erat. Bi Cu juga merangkul sambil memejamkan mata karena ngeri.

"Sin Liong...!" isaknya.

Biar pun maklum bahwa mereka melayang ke dalam jurang yang seolah-olah tanpa dasar saking dalamnya, dan bahwa tubuh mereka tentu akan hancur lebur kalau menimpa dasar jurang, namun Sin Liong tak mau kehilangan semangat dan kesadarannya. Selagi masih hidup dia harus berdaya upaya menyelamatkan diri!

Dengan amat cepat kedua tangannya merenggut kancing baju di depan tubuhnya. Untung pinggang Bi Cu demikian ramping sehingga walau pun lengan kanannya sudah melingkari pinggang itu, tangan kanannya masih mampu mencapai depan bajunya. Sekali renggut, maka terlepaslah semua kancing bajunya dan kini dia memegangi kedua ujung baju yang terbuka itu dengan kedua tangannya, dibentangkan seperti sayap. Usahanya berhasil! Dia merasakan ada tekanan dari bawah seakan-akan luncuran mereka berdua agak tertahan sedikit, tidak lagi selaju tadi, sementara bajunya yang dibentangkan itu mengembang dan menangkap angin.

"Bi Cu, cepat buka bajumu... kembangkan bajumu seperti ini... seperti layar...!" teriaknya.

Bi Cu menghentikan isaknya. Mula-mula dia tidak mengerti kenapa dia disuruh membuka bajunya. Akan tetapi ketika dia memberanikan hati membuka mata dan melihat apa yang dilakukan Sin Liong, dia cepat menggerakkan kedua tangannya, dengan jari-jari gemetar dia merenggut bajunya. Segera dia merobek bajunya itu dan pada lain saat dia pun telah memegangi ujung kanan kiri bajunya yang dibentangkan.

Kembali ada tenaga menahan dari bawah sesudah baju itu dapat menangkap angin dan mengembang. Luncuran mereka tertahan dan tidak secepat tadi, akan tetapi tentu saja kedua layar itu tidak cukup kuat untuk menahan dan tubuh mereka masih terus meluncur ke bawah.

Sambil merangkul pinggang Bi Cu, Sin Liong miringkan tubuhnya lantas memandang ke bawah. Hampir pingsan dia karena pening ketika melihat bawah yang demikian dalamnya, akan tetapi dia menggoyang kepala mengusir kepeningan dan rasa ngeri. Dia melihat ada sebatang pohon yang tumbuh di dinding tebing itu. Pohon yang cukup besar. Itulah yang akan menolong kita, pikirnya. Kalau gagal mereka tentu akan tewas!

Dia segera mengerahkan tenaganya, menggerakkan kakinya sehingga tubuhnya bersama tubuh Bi Cu melayang agak mendekat dengan tebing. Pohon itu bagai melayang ke atas, makin lama semakin besar mendekati mereka. Memang berbahaya sekali. Kalau terlalu dekat dengan tebing tubuh mereka meluncur, membentur batu tebing sedikit saja, tentu mereka akan tewas sebelum tiba di dasar jurang.
Selanjutnya,