Pendekar Lembah Naga Jilid 43 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Lembah Naga Jilid 43
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PANGERAN itu terkejut bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa ‘pemuda remaja’ yang membantu Sin Liong itu memiliki tenaga lontaran yang demikian kuatnya! Maka gentarlah hatinya. Melawan Sin Liong saja masih belum tentu dia menang, apa lagi kalau Sin Liong dibantu oleh seorang kawan yang demikian tangguh pula. Kalau dia maju dikeroyok dua, agaknya sukar baginya untuk menang dan kalau kalah sungguh amat memalukan. Maka dia lalu melompat pergi, mengandalkan keremangan cuaca dan tebalnya debu. Dari jauh dia ‘mengirim’ suara melalui khikang,

"Sin Liong, lain kali kita lanjutkan pertandingan ini!"

Sin Liong tentu saja tidak menjawab dan juga tidak mengejar, hatinya merasa lega bukan main dan dia mengusap keringat dari leher serta dahinya, mempergunakan ujung lengan bajunya. Bi Cu menghampirinya dan memegang lengannya. Sejenak mereka hanya saling berpandangan di antara keremangan senja yang mulai terganti oleh malam.

"Aihhh... Sin Liong, tidak kusangka... engkau ternyata memiliki ilmu kepandaian silat yang hebat!" akhirnya Bi Cu berkata dan suaranya terdengar gemetar, mukanya agak pucat dan napasnya memburu.

Sin Liong tersenyum dan menyentuh pundaknya. "Kau kenapakah?"

"Aku tadi menonton dari balik pohon, wah, bukan main gelisah hatiku. Ingin membantu namun tak mungkin, kalian bertanding sedemikian cepatnya sehingga untuk melihat mana engkau dan mana lawanmu pun tidak mungkin bagiku. Aku... aku sudah siap dengan batu itu, kemudian kulihat dia meloncat mundur. Nah, baru aku berani menyambitkan batu itu sekuat tenagaku."

"Dan kau berhasil mengusirnya, Bi Cu. Sekarang ini, engkaulah yang menolongku!" Sin Liong berkata.

"Hemm, jangan kau berpura-pura lagi. Aku sudah menyaksikan betapa engkau melawan musuh dan engkau hebat, aku malah tak mampu mengikuti gerakanmu. Dan lontaranku tadi, entah bagaimana, batu itu sangat berat dan aku merasa khawatir tidak akan dapat mencapainya. Dan dia begitu hebat, Sin Liong... hiiih, ngeri aku melihat betapa dia yang berjungkir balik mampu menghancurkan batu sebesar itu. Aku tahu bahwa kepandaianku tidak ada seperseratusnya orang itu, jadi tak mungkin dia lari karena aku. Sin Liong, siapa sih dia?"

"Apa kau tidak mengenalnya? Dia itu Pangeran Ceng Han Houw..."

"Ah...! Begitu lihaikah dia? Cuaca remang-remang dan dia bergerak sedemikian cepatnya sehingga aku tidak dapat mengenalnya. Berbeda dengan engkau. Hanya melihat sebuah tanganmu atau sebuah kakimu yang kadang-kadang nampak di antara bayangan kalian yang menjadi satu saja sudah cukup bagiku untuk mengetahui bahwa di antara dua orang yang bertanding itu adalah engkau. Engkau hebat sekali, Sin Liong..."

"Sudahlah, buktinya kalau tidak ada engkau, belum tentu aku sanggup mengalahkan dan mengusir dia. Mari kita cepat pergi dari sini. Dengan adanya orang seperti dia di sini, kita tidak akan pernah aman kalau belum pergi sejauhnya dari dia." Sin Liong lalu mengambil bungkusan roti dan sebotol arak, juga pakaian untuk Bi Cu yang tadi ditaruhnya di bawah pohon. "Ini makanan kita, kita makan sambil berjalan saja, dan ini pakaian serta sepatu untukmu, Bi Cu."

"Kau... baik sekali, Sin Liong, terima kasih..."

Akan tetapi Sin Liong yang masih tetap mengkhawatirkan kalau-kalau Han Houw muncul dan mengganggunya lagi, langsung mengajak Bi Cu melanjutkan perjalanan, menyusup makin dalam di hutan itu dan karena tadi Han Houw lari ke timur, maka dia pun mengajak Bi Cu lari ke barat. Dia baru saja datang dari dusun di sebelah barat, maka dia sudah agak mengenal jalan dan biar pun cuaca menjadi semakin gelap, dapat juga mereka maju sampai akhirnya mereka tiba di tepi hutan dan mereka terpaksa berhenti karena malam yang gelap telah tiba.

Mereka makan roti dan minum arak. Bi Cu menukar pakaiannya yang terlampau besar dengan pakaian yang diperoleh Sin Liong dari dalam dusun. Setelah berganti pakaian, dia mendekati Sin Liong yang membuat api unggun, duduk dan memandang pemuda itu.

"Sin Liong, bagaimana engkau bisa memilih pakaian yang begini pas ukurannya dengan tubuhku?" tanyanya sambil mengamati pakaian yang dipakainya itu di bawah cahaya api unggun, pakaian gadis petani yang sederhana, namun masih baru.

"Mudah saja, aku membelinya dari seorang gadis yang mempunyai bentuk tubuh seperti tubuhmu."

"Engkau memang pintar. Tapi sepatu ini. Bagaimana bisa pas sekali?"

"Aku... pernah memperhatikan kakimu, dan bayangan ukuran kakimu masih teringat jelas olehku sehingga mudah bagiku untuk mencarikan yang cocok."

"Eh, mengapa engkau memperhatikan kakiku?" tanya Bi Cu dengan polos, tanpa maksud apa-apa, hanya memang karena heran mendengar ada orang memperhatikan kakinya. "Kau maksudkan ketika kedua kakiku tidak bersepatu?"

"Kenapa, ya? Mungkin karena melihat kaki tidak bersepatu merupakan hal yang aneh dan kakimu... kakimu begitu mungil..."

"Ihh! Jangan ceriwis kau...!" Bi Cu kini menundukkan mukanya karena dia tidak sanggup menentang pandang mata Sin Liong dan ada perasaan aneh menyelinap di hatinya yang berdebar-debar.

"Kau bertanya, aku menjawab sejujurnya dan kau marah..."

"Sudahlah, aku mau tidur. Nanti tengah malam kau gugah aku, biar aku yang bergantian menjaga dan engkau tidur."

Akan tetapi tentu saja Sin Liong tidak pernah menggugahnya dan ketika pada keesokan harinya Bi Cu terbangun dari tidurnya, dia marah-marah.

"Mengapa engkau tidak mau menggugahku semalam? Kau membiarkan aku tidur pulas sampai pagi! Kau... kau sungguh kejam!"

"Aku...? Kejam...? Hee, apa maksudmu?" Sin Liong bertanya, merasa bingung karena tak mengerti apa yang menyebabkan Bi Cu mengatakannya kejam.

"Kau membiarkan aku tidur semalaman dan kau berjaga semalam suntuk, membikin aku sungguh merasa tidak enak hati, bukankah itu kejam?"

Sin Liong tercengang, lalu dia tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, aku kejam dan kau maafkan aku, Bi Cu."

Bi Cu menatap wajah pemuda itu, kemudian dia menghampirinya dan memegang kedua tangan Sin Liong. "Sin Liong, betapa jahatnya aku, ya? Betapa kurang penerimanya aku ini! Engkau sudah berjaga semalam suntuk, aku tidak berterima kasih malah memakimu kejam!"

Tentu saja Sin Liong menjadi semakin bingung, tetapi dia hanya senyum-senyum gugup saja.

"Ti... tidak, Bi Cu, kau tidak jahat."

"Kau heran mengapa aku marah dan menyebutmu kejam? Aku marah karena demi aku engkau menderita. Aku marah terhadap diriku sendiri yang tidur seperti mayat saja, tidak bisa bangun untuk menggantikanmu. Aku memang kejam karena memang engkau kejam, bukan kejam terhadap diriku melainkan kejam kepada dirimu sendiri. Ahh, kau maafkan aku, Sin Liong."

Senyum Sin Liong melebar, hatinya senang sekali. Bi Cu memang seorang dara istimewa! "Sudahlah, Bi Cu, tidak perlu dipersoalkan lagi urusan kecil ini. Sudah sepatutnya kalau aku yang berjaga, karena aku seorang laki-laki."

"Dan kepandaianmu hebat sekali. Aku mengerti sekarang, apa bila aku yang berjaga dan tiba-tiba muncul pangeran siluman itu, maka akan celakalah kita..."

"Hayo kita melanjutkan perjalanan, Bi Cu. Hatiku merasa tak enak sekali, karena aku tahu bahwa pangeran itu tentu tidak akan mau sudah begitu saja."

Mereka bangkit berdiri dan pada saat itu terdengar suara suitan-suitan di segala penjuru, disusul ramainya suara derap kaki manusia dan kuda yang banyak sekali! Wajah Bi Cu menjadi pucat dan dia sudah memegang tangan Sin Liong.

Pemuda ini merasa betapa tangan dara itu gemetar, maka dia segera menggenggamnya dan berbisik, "Jangan takut, ada aku di sini."

"Tapi... mereka itu... tentu pasukan pemerintah, pasukan yang besar jumlahnya!" Suara Bi Cu juga gemetar.

"Bi Cu, bukankah kita ada berdua? Mati hidup kita hadapi bersama, bukan?"

Ucapan ini seperti meniupkan api ke dalam semangat Bi Cu, membuat matanya langsung bersinar-sinar dan matanya kemerahan. Dia pun menggenggam keras tangan pemuda itu lantas dia pun berkata, "Engkau benar! Mari kita hadapi mereka! Aku akan mati dengan senyum kalau bersamamu Sin Liong!"

Ucapan dalam saat yang berbahaya itu amat menusuk perasaan Sin Liong, membuat dia terdorong untuk merangkul kemudian mendekap kepala dara itu ke dadanya! Bi Cu juga mandah saja sehingga keduanya seolah-olah tenggelam ke dalam keadaan lain, ke dalam dunia lain dan tidak merasa sama sekali akan datangnya bahaya.

"Kejar, cari dan tangkap mereka!" Tiba-tiba terdengar suara yang sangat dikenal oleh Sin Liong. Suara itu adalah suara Ceng Han Houw, masih amat jauh namun sudah terdengar olehnya karena suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang yang amat kuat sehingga bergema di seluruh hutan. Mereka berdua sudah berada di sebelah barat hutan.

Suara teriakan itu menyadarkan mereka berdua. Sin Liong cepat menggandeng tangan Bi Cu sambil menunjuk ke depan, ke arah utara. "Lihat, ke sanalah kita harus pergi!"

Wajah Bi Cu berubah pucat. "Tapi... itu adalah daerah pegunungan yang amat sulit, amat terjal dan penuh tempat liar. Lihat, dari sini pun nampak jurang-jurang dalam!"

"Justru itulah merupakan tempat yang amat baik untuk melarikan diri dan bersembunyi. Kalau ke barat, apa lagi melalui dusun-dusun dan tanah datar, sangat sukar untuk dapat menyembunyikan diri, lagi pula mereka mengejar dengan berkuda."

Bi Cu tidak membantah lagi dan dia lalu ikut berlari digandeng oleh Sin Liong menuju ke bukit di sebelah utara. Benar saja, daerah ini amat sukar untuk dilalui, baru naik sedikit ke lerengnya, mereka sudah harus berloncatan dari batu ke batu dan mendaki tebing-tebing yang sangat sukar karena selain terjal, juga tebing-tebing ini hanya terdiri dari batu-batu gunung yang kasar dan licin. Tidak ada jalan umum, bahkan tak ada jalan setapak di situ karena daerah liar ini tidak pernah dilalui manusia.

Melihat Bi Cu kesukaran untuk melalui tebing yang amat terjal itu, Sin Liong berkata, "Bi Cu, sebaiknya engkau kugendong saja. Marilah!"

Akan tetapi Bi Cu memandang ragu. "Tempat ini amat berbahaya, kenapa engkau justru mengambil jalan ini, Sin Liong?"

"Sengaja kuambil jalan ini agar para prajurit yang mengejar tidak dapat melaluinya. Paling banyak hanya pangeran sendiri saja yang dapat melanjutkan pengejaran, dan jika hanya ada seorang lawan saja, aku masih dapat menanggulanginya. Marilah, Bi Cu, jangan kau khawatir, mari kugendong agar lebih cepat kita dapat pergi."

Bi Cu menggeleng kepala dan memandang ke bawah, bergidik ngeri karena dia melihat betapa di sebelah bawah nampak jurang yang amat dalam!

"Tempat ini begitu berbahaya, berjalan sendirian saja sudah sangat sukar, apa lagi harus menggendongku! Tidak, aku tidak mau membikin kau terancam bahaya jatuh...!"

Sin Liong tersenyum lebar. Kembali dara itu menolak demi keselamatannya, bukan demi keselamatan dara itu sendiri! Dan hal ini amat menyenangkan hatinya.

Tiba-tiba saja terdengar suara berdesing dan nampak cahaya hitam berkelebat. Sin Liong terkejut, akan tetapi dia telah berhasil memukul benda hitam yang menyambar itu dengan tangannya dan benda itu ternyata adalah sepotong batu sebesar kepalan tangan yang meluncur dari bawah.

"Sin Liong, engkau hendak lari ke mana?!" Terdengar bentakan.

Pada saat Sin Liong menoleh, jauh di bawah sana dia melihat bayangan beberapa orang, sedangkan yang berteriak itu bukan lain adalah Ceng Han Houw! Ketika Sin Liong dapat mengenal empat orang lain yang datang bersama Han Houw, dia makin terkejut. Mereka itu adalah Kim Hong Liu-nio, Hai-liong-ong Phang Tek, Kim-liong-ong Phang Sun, beserta seorang yang berpakaian panglima! Ternyata ada lima orang pandai yang mengejarnya dan lemparan batu dari tempat sedemikian jauhnya namun masih dapat menyambarnya dengan sangat tepat dan cepat saja sudah membuktikan bahwa lima orang itu sungguh merupakan lawan yang amat berat.

"Celaka, mereka telah menemukan jejak kita!" Sin Liong berkata dan tanpa banyak cakap dia menyambar pinggang Bi Cu, diangkat serta dipanggulnya tubuh dara itu lalu dia pun berloncatan naik dengan cepatnya, seperti seekor monyet memanjat saja.

"Maaf, Bi Cu, tidak ada lain jalan!" katanya.

Bi Cu terbelalak, kemudian dia memejamkan mata saking ngerinya dibawa berloncatan secepat itu. Diam-diam dia merasa ngeri dan takut, akan tetapi juga kagum bukan main menyaksikan betapa cekatan dan hebat ilmu ginkang dari pemuda yang tadinya dia kira adalah Sin Liong yang dahulu, yang ilmu silatnya jauh di bawah tingkatannya karena dia sendiri sudah menjadi murid mendiang Hwa-i Sin-kai! Apa bila dia ingat betapa dia selalu hendak melindungi Sin Liong selama ini!

Kedua pipinya berubah merah dan dia pun lalu berbisik. "Sin Liong, biarkan aku berada di belakangmu saja, sehingga aku dapat merangkul kedua pundakmu dan kau tidak perlu memondongku dengan sebelah lengan."

Sin Liong merasa girang. Memang sebaiknya begitu sehingga dengan Bi Cu di belakang, dia dapat berlari lebih cepat, dan dapat mengandalkan kedua tangannya untuk membela diri kalau perlu. Maka dia berhenti, menurunkan Bi Cu kemudian dia menggendong Bi Cu di punggungnya.

Dara itu merangkul lehernya dari belakang sambil mempergunakan kedua kakinya untuk merangkul pinggangnya. Berdebar juga jantung Sin Liong merasakan betapa tubuh dara itu dengan hangat melekat di tubuh belakangnya, akan tetapi cepat dusirnya bayangan ini dan dia berlari terus. Akan tetapi lima orang pengejarnya mengerahkan ginkang mereka dengan secepatnya.

Tentu saja Sin Liong sama sekali belum mengenal daerah ini, dan dia terus memanjat puncak bukit itu dengan harapan akan dapat melarikan diri dari atas puncak itu ke daerah lain dan terbebas dari para pengejarnya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika akhirnya dia tiba di puncak bukit itu, puncak itu merupakan batu datar yang luasnya hanya beberapa tombak saja!

Puncak itu dikelilingi oleh jurang-jurang yang dalamnya tak dapat diukur lagi karena dari situ memandang ke bawah tidak kelihatan dasarnya, hanya nampak tonjolan batu-batu di sepanjang tebing itu seolah-olah sekeliling puncak itu yang ada hanya mulut maut yang terbuka lebar!

Jalan naik satu-satunya hanya melewati jalan yang digunakannya tadi, dengan memanjat melalui dinding batu-batu bertumpuk-tumpuk. Dari puncak itu tak mungkin bisa melarikan diri ke lain tempat, kecuali kembali lagi melalui jalan tadi! Padahal, ketika dia menengok ke bawah, dia melihat Han Houw dan empat orang temannya sudah mulai medaki puncak itu!

"Wah, tidak ada jalan lari lagi!" katanya kepada Bi Cu yang menjadi pucat dan merasa khawatir sekali. "Satu-satunya jalan hanyalah melawan mereka. Bi Cu, jangan khawatir, aku akan melawan mereka mati-matian. Belum tentu aku akan kalah oleh mereka. Kurasa di antara mereka, yang terlihai adalah Pangeran Ceng Han Houw. Kau jangan ikut-ikut, kau tunggulah saja di sudut sana, berlindung di balik batu itu."

"Tapi... tapi... aku harus membantumu!"

"Bi Cu, terus terang saja, tingkat kepandaianmu masih jauh sekali selisihnya dengan ilmu kepandaian mereka. Sekali maju, berarti engkau menyerahkan nyawa untuk mati sia-sia. Apa artinya lagi aku melawan bila sampai engkau menyerahkan nyawa dan mati konyol? Tidak, Bi Cu. Kau sembunyi di balik batu itu dan aku akan melawan mereka mati-matian."

"Kalau kau kalah...?"

Sin Liong menggerakkan pundak. "Yah, yang ada hanya menang atau kalah. Kalau aku kalah dan tewas..."

"Aku akan mati bersamamu, Sin Liong!" seru Bi Cu.

"Aku tak akan kalah, akan tetapi kau penuhilah permintaanku, jangan kau keluar dari balik batu itu. Maukah kau berjanji?" Sin Liong memegang kedua pundak dara itu.

Karena dia maklum bahwa menghadapi lima orang itu benar-benar merupakan penentuan mati hidupnya dan dia meragu untuk dapat menangkan mereka berlima, saat memegang kedua pundak dara itu dia merasa bahwa seolah-olah dia tengah berpamit untuk berpisah, perpisahan terakhir dan selamanya!

Hal ini menimbulkan keharuan hatinya, maka dia lalu menunduk dan mencium dahi yang halus dan basah karena peluh itu. Bi Cu memejamkan matanya, merangkul dan terisak, kemudian dia melepaskan diri dan berlari ke sudut tanah atau batu datar itu, bersembunyi di balik sebuah batu besar yang berada di sudut.

Legalah hati Sin Liong. Kalau dia menang itulah yang dlharapkannya. Akan tetapi andai kata dia kalah dan tewas, dia masih mempunyai harapan mudah-mudahan mereka tidak melihat Bi Cu dan dara itu akan ditinggalkan dan akan dapat lolos dari tempat itu dengan selamat. Dia lalu menanti dan berdiri tegak, sikapnya tenang sekali.

Tidak terlalu lama dia menanti. Ceng Han Houw muncul dengan lompatan terakhir ke atas puncak batu datar itu, muka dan lehernya penuh keringat sebab pengejaran tadi dilakukan dengan sekuat tenaga dan memang pendakian puncak itu amat melelahkan. Akan tetapi wajahnya berseri dan sepasang matanya bersinar-sinar pada saat dia melihat Sin Liong berada di situ. Tadinya dia sudah khawatir pemuda itu dapat meloloskan diri.

Dekat di belakangnya muncul pula Kim Hong Liu-nio, wanita yang masih tetap nampak muda den cantik sekali itu. Kayu papan berbentuk salib masih ada juga di punggungnya. Sesudah kematian Lee Siang, pria pertama yang dicintanya, dia memakai lagi papan itu untuk membasmi keluarga Cia, Yap dan Tio, terutama keluarga Cin-ling-pai, bukan hanya untuk membalas musuh-musuh gurunya sekarang, namun juga untuk membalas kematian kekasihnya itu.

Kemudian muncul pula tiga orang pembantu Han Houw itu, yaitu Lam-hai Sam-lo yang kini hanya tinggal dua orang lagi, yaitu Hai-liong-ong Phang Tek den Kim-liong-ong Phang Sun, karena orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo, yaitu Hek-liong-ong Cu Bi Kun, dulu telah dibunuh oleh Han Houw sendiri ketika pangeran ini hendak ‘melindungi’ Sin Liong.

Mereka berlima berdiri berhadapan dengan Sin Liong, bagaikan lima ekor harimau yang menghadapi seekor kelinci yang sudah tidak dapat melarikan diri lagi. Han Houw tertawa.

"Ha-ha-ha-ha! Liong-te, tidak kau sangka, ya? Engkau terjebak di tempat ini, sama sekali tidak ada jalan keluar!" Pangeran itu memandang ke sekelilingnya, kemudian kepada Sin Liong lagi dengan wajah berseri membayangkan kemenangan.

"Pangeran, engkau dahulu yang minta kepadaku untuk menjadi saudara angkat, bahkan hingga sekarang pun engkau masih menyebutku adik Liong. Akan tetapi sekarang engkau mengejar-ngejarku, selalu menggangguku, bahkan menghendaki nyawaku. Apa artinya semua ini?" Pertanyaan ini diajukan oleh Sin Liong karena memang dia penasaran, bukan dengan maksud untuk minta dikasihani.

Mendengar pertanyaan ini, pangeran itu tertawa lagi. Agaknya dia tidak ingin cepat-cepat menyerang Sin Liong, tidak ingin cepat-cepat menghabisi korbannya itu, bagaikan seekor kucing ingin lebih dulu mempermainkan sang tikus sebelum diterkam, untuk memuaskan hatinya.

Dia sudah begitu pasti bahwa sekali ini pemuda yang merupakan lawan amat tangguhnya itu tidak akan dapat lolos lagi. Dia sendiri, walau pun belum tentu kalah oleh Sin Liong, namun mungkin mengalami kesukaran merobohkan adik angkatnya itu, apa lagi kalau Sin Liong dibantu oleh orang pandai. Akan tetapi kini di situ terdapat suci-nya, dua orang dari Lam-hai Sam-lo yang pandai, dan seorang panglimanya yang cukup tangguh.

Sin Liong tak dapat lari ke mana-mana lagi, karena puncak itu ternyata merupakan jalan buntu! Dan pembantu Sin Liong yang pandai semalam itu agaknya kini sudah tidak ada lagi.

"Sin Liong, dua pertanyaanmu itu sudah demikian jelas, perlukah kujelaskan lagi? Akan tetapi biarlah, supaya jangan sampai engkau mati penasaran sehingga arwahmu menjadi setan, dengarkan baik-baik. Aku mengangkatmu menjadi adik adalah karena aku tertarik melihat keberanianmu, tertarik terutama sekali melihat ilmu silatmu hingga aku juga ingin sekali mempelajarinya. Di dalam hal ini aku berhasil, bahkan aku mewarisi ilmu-ilmu dari suhu yang lebih ampuh dibandingkan ilmu-ilmu yang kau kuasai. Kemudian, kenapa aku mengejar-ngejarmu dan ingin membunuhmu? Jelas pula! Engkau adalah putera dari Cia Bun Houw, cucu dari ketua Cin-ling-pai. Ini saja sudah cukup bagiku untuk menangkap atau membunuhmu karena engkau adalah keturunan pemberontak yang dikejar-kejar oleh pemerintah. Kemudian, engkau menjadi penghalang bagiku untuk mencapai gelar jagoan nomor satu di dunia dan gelar Pendekar Lembah Naga. Oleh karena itulah maka engkau harus mati, Sin Liong. Dan dalam persoalan ke dua ini pun aku berhasil, karena sekarang ini engkau sudah tersudut dan tidak akan mampu lari lagi! Ha-ha-ha!"

"Manusia she Cia, telah kupersiapkan hio untuk menyembahyangi arwahmu!" terdengar Kim Hong Liu-nio berkata halus, akan tetapi di dalam suaranya itu terkandung kekejaman yang amat mengerikan dan mendirikan bulu roma.

"Bocah setan, engkau harus membayar nyawa saudara kami Hek-liong-ong!" terdengar Phang Tek orang pertama dari Lam-hai Sam-lo berkata, sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun yang tetap bertelanjang tubuh bagian atas itu menyeringai saja.

Mendengar ini, Sin Liong mengerutkan alisnya lalu memandang kepada Han Houw, akan tetapi pangeran itu hanya tersenyum-senyum saja. Tahulah dia bahwa pangeran itu telah bertindak curang, mengabarkan kepada dua orang dari Lam-hai Sam-lo itu bahwa dialah yang membunuh Hek-liong-ong, padahal jelas bahwa pembunuhnya adalah pangeran itu sendiri.

Akan tetapi, dia tahu bahwa membantah pun tidak akan ada gunanya. Dua orang kakek itu tentu lebih percaya kepada sang pangeran dari pada kepadanya, maka dia pun diam saja dan hanya sepasang matanya makin mencorong penuh kegeraman.

"Cia Sin Liong, aku harus menangkapmu sebagai pemberontak yang buron!" panglima yang bertubuh tinggi besar itu membentak pula.

Pada saat itu pula terdengar sedikit suara di balik batu besar dan semua mata ditujukan ke sana. Ternyata Bi Cu yang tadinya bersembunyi tanpa bergerak, mendengar semua ucapan itu menjadi sedemikian kagetnya sehingga tak tertahankan lagi dia bergerak untuk mengintai.

Hati siapa yang tidak akan menjadi terkejut mendengar bahwa Sin Liong, pemuda yang di waktu kecilnya terlunta-lunta itu adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai yang namanya sudah menggetarkan langit dan bumi? Mendengar kenyataan yang amat mengejutkan sekaligus mengherankan ini membuat dia merasa bangga akan tetapi juga sangat khawatir akan keselamatan Sin Liong, maka dia bergerak dan hendak mengintai. Tak disangkanya, lima orang yang datang mengancam Sin Liong kesemuanya adalah orang-orang yang sudah mempunyai ilmu sedemikian tingginya sehingga sedikit gerakannya itu saja sudah dapat ditangkap oleh pendengaran mereka!

"Chan-ciangkun, kau tangkap orang di belakang batu itu!" Han Houw berseru keras.

"Baik, pangeran!"

Panglima she Chan itu bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan sepasang matanya lebar. Dalam pakaian perang itu dia nampak gagah perkasa seperti tokoh cerita Sam-kok yang bernama Thio Hwi. Agaknya dia gembira menerima perintah ini, seolah-olah memperoleh kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian dan membuat jasa.

Sementara itu, ketika mendengar perintah ini, tahulah Bi Cu bahwa dia sudah ketahuan dan percuma saja bersembunyi terus. Dia tidak takut karena memang tadinya dia tidak ingin bersembunyi, melainkan hendak menghadapi bencana di samping Sin Liong! Apa lagi sekarang dia telah mengetahui bahwa Sin Liong adalah keturunan Cin-ling-pai, maka hatinya menjadi semakin besar dan tidak takut mati!

Muncullah dara itu dari balik batu besar dan melihat dara ini, Chan-ciangkun terbelalak dan merasa heran, bingung, juga kecewa. Mana mungkin dia, seorang panglima besar, seorang laki-laki gagah perkasa, harus menghadapi seorang dara remaja seperti itu?

Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw juga terkejut, kemudian tertawa bergelak sesudah mengenal gadis itu. "Ha-ha-ha, Cia Sin Liong yang terkenal sebagai pria alim itu ternyata secara diam-diam di mana-mana disertai wanita cantik! Tangkap dia, Chan-ciangkun!"

Karena perintah itu diulangi, terpaksa Chan-ciangkun cepat menubruk ke depan hendak menangkap Bi Cu. Karena gerakannya memang cepat sekali, maka sekali sambar saja dia sudah berhasil menangkap pergelangan tangan kiri Bi Cu.

"Kerbau bau, lepaskan aku!" bentak Bi Cu dan tangannya bergerak menampar.

"Plakk!" Pipi yang lebar dari panglima itu sudah kena ditampar oleh tangan kanan Bi Cu.

Tentu saja Chan-ciangkun menjadi marah bukan kepalang. Dia dimaki kerbau busuk dan bahkan pipinya ditampar oleh bocah ini!

"Perempuan liar kau!" Tangannya bergerak dan muka Bi Cu sudah ditamparnya sehingga Bi Cu terpelanting dan untung tubuhnya menabrak batu besar, kalau tidak tentu dia akan terguling ke dalam jurang yang berada di dekat batu besar itu!

"Keparat!" Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Sin Liong sudah tiba di depan si panglima yang sudah hendak mengejar kembali, entah untuk memukul lagi atau menangkap.

Melihat pemuda itu sudah berada di depannya, Chan-ciangkun yang marah dan merasa malu itu menimpakan kemarahannya kepada Sin Liong dan memang dia ingin membuat jasa, maka dia pun langsung menghantamkan kedua tangan secara bertubi-tubi ke arah kepala dan perut Sin Liong. Serangannya ini cepat dan amat kuatnya karena memang dia seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang telah melatih kedua lengannya hingga menjadi matang biru dan luar biasa kerasnya.

Akan tetapi, Sin Liong yang sudah marah sekali melihat betapa Bi Cu ditampar oleh pria ini, sudah menggerakkan kedua lengan menyambar sambil mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang.

"Krekk! Krekk!"

Panglima Chan mengeluarkan rintihan yang bercampur teriakan kaget. Dua pergelangan lengannya patah ketika bertemu dengan lengan pemuda itu dan selagi dia terbelalak itu Sin Liong sudah menggerakkan tangan menampar dengan punggung tangan kiri.

"Desss…!"

Tubuh perwira tinggi itu terpelanting lantas terbanting keras. Dia tidak dapat bangun lagi karena sudah pingsan setelah terkena tamparan keras yang membuat tulang rahangnya retak-retak itu!

Akan tetapi, pada saat itu, Han Houw dan tiga orang temannya sudah berlompatan dekat dan pada waktu Sin Liong merobohkan Chan-ciangkun, atas isyarat Han Houw, mereka berempat secara berbareng telah melakukan serangan yang amat dahsyatnya kepada Sin Liong!

Han Houw yang sudah maklum akan kelihaian adik angkat itu, sudah berjungkir balik dan menggunakan ilmu Hok-te Sin-kun, kepalanya menjadi kaki dan kedua kakinya mengirim tendangan-tendangan aneh dibantu oleh kedua tangan yang melakukan pukulan-pukulan jarak jauh dari bawah. Sementara itu, Kim Hong Liu-nio sudah menyerang pula dengan sabuk merahnya, melakukan totokan ke arah sembilan jalan darah terpenting dari tubuh lawan bagian depan secara bertubi-tubi.

Hai-liong-ong Phang Tek yang bermuka hitam sudah menerjang dengan pedangnya yang ganas, dengan Ilmu Pedang Liong-jiauw Kiam-sut, ada pun si kecil pendek Kim-liong-ong Phang Sun telah mengandalkan ginkang-nya, meloncat tinggi lantas menyerang dari atas mempergunakan pukulan dengan tangan kirinya yang bergelang emas tebal! Dalam satu gebrakan ini Sin Liong menghadapi empat lawan yang menyerangnya sekaligus, masing-masing menggunakan serangan yang amat berbahaya dan dahsyat!

Tentu saja Sin Liong terkejut sekali. Dia sudah mengisi kedua lengannya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang membuat kedua lengan itu kebal terhadap senjata tajam. Sinar merah sabuk Kim Hong Liu-nio ditamparnya dengan jari tangan sehingga ujung sabuk itu membalik, lantas pedang Hai-liong-ong Phang Tek dan pukulan Kim-liong-ong Phang Sun ditangkisnya pula dengan kedua tangannya sehingga membuat pedang itu menyeleweng dan Phang Sun yang tertangkis pukulannya itu mencelat ke belakang.

Akan tetapi, pada saat itu kedua kaki Han Houw sudah melakukan tendangan-tendangan aneh dalam keadaan jungkir balik! Sin Liong cepat menggunakan kedua tangannya untuk menangkis dan mengelak, dan dia merasa betapa dari kedua kaki itu menyambar hawa yang aneh dan kuat bukan main. Tahulah dia bahwa ilmu ini aneh sekali.

Selagi dia hendak menggunakan ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang, tiga orang yang lain telah menerjangnya lagi. Maka sibuklah Sin Liong mengelak dan menangkis. Pada saat itu Han Houw mengeluarkan suara nyaring melengking lantas tubuhnya yang berjungkir balik itu kembali menerjang maju. Kakinya bergerak aneh ke arah Sin Liong yang sedang sibuk menghadapi serbuan tiga orang lihai itu.

Sekali ini Sin Liong menjadi sibuk juga, jalan satu-satunya hanya meloncat ke belakang, akan tetapi di belakangnya, hanya sejauh satu tombak, adalah jurang yang amat dalam. Maka terpaksa sekali dia menangkis lagi, berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, lalu dia membentak dengan suara keras, kedua tangannya didorongkan ke depan, sekaligus menangkis serangan empat orang itu. Hawa yang sangat dahsyat menyambar dari kedua telapak tangannya, menangkis semua serangan itu.

Terjadilah pertemuan tenaga yang amat dahsyatnya dan akibatnya, tubuh Han Houw yang berjungkir balik itu terlempar seperti layang-layang putus talinya, juga Kim Hong Liu-nio terhuyung ke belakang, dan kedua orang Lam-hai Sam-lo itu terjengkang dan bergulingan, mereka seperti dilanda angin taufan yang amat kuat. Akan tetapi, menghadapi gempuran tenaga empat orang yang disatukan itu, Sin Liong sendiri terlempar ke belakang dan tak dapat dihindarkan lagi tubuhnya melayang ke dalam jurang!

"Sin Liong, aku ikut...!" Bi Cu menjerit, meloncat ke tepi jurang lalu tanpa ragu-ragu lagi dia meloncat turun! Karena dia meloncat dengan mempergunakan tenaga, maka tenaga loncatan itu menambah cepatnya tenaga luncuran tubuhnya sehingga dia dapat menyusul tubuh Sin Liong.

"Bi Cu...!" Sin Liong yang jatuh dalam keadaan telentang itu berteriak kaget melihat tubuh Bi Cu juga jatuh menyusulnya.

Empat orang itu merangkak bangun dan berlari ke tepi jurang. Melihat tubuh kedua orang itu meluncur turun dengan amat cepatnya, kematian tak dapat disangsikan lagi pasti akan menyambut mereka berdua di bawah sana. Pangeran Ceng Han Houw tertawa bergelak sambil memandang langit.

"Ha-ha-ha! Selamat jalan, Cia Sin Liong! Ha-ha-ha, sekarang akulah Pendekar Lembah Naga! Inilah Pendekar Lembah Naga!" Han Houw menepuk-nepuk dadanya sendiri sambil tertawa-tawa.

Baru sekarang terasa benar bahwa betapa sesungguhnya dia amat membenci Sin Liong, semenjak permulaan. Benci yang timbul karena iri hati. Meski pun dia seorang pangeran, namun dia iri melihat betapa pemuda itu demikian gagah berani, demikian jujur, demikian setia, dan keturunan dari para pendekar besar dari Cin-ling-pai pula. Dia merasa iri, apa lagi setelah dia tahu bahwa Sin Liong mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi!

Kini satu-satunya saingan baginya telah lenyap! Dia selalu merasa rendah diri kalau dekat dengan Sin Liong! Pemuda itu begitu alim, tidak dapat digoda nafsu birahi, begitu tenang dan dapat menguasai perasaan dan keadaan. Kini telah tiada, telah hancur lebur di dasar jurang yang tak nampak itu.

********************

"Sudahlah, jangan kau menangis saja. Hatiku menjadi makin bingung dan kacau kalau engkau menangis."

Mereka duduk di dalam sebuah kuil tua. Sun Eng menangis sambil menyandarkan kepala di dada Lie Seng yang merangkulnya dan mengelus rambutnya yang hitam dan halus itu.

Akan tetapi Sun Eng menangis makin sedih. "Betapa tidak akan hancur dan terharu rasa hatiku, koko..." Dia masih terisak-isak. "Melihat ada seorang pria di dunia yang kotor ini, pria seperti engkau yang begini mencintaku... dan aku... aku seorang hina yang ternyata sekarang malah membuat hidupmu menderita, menjauhkan engkau dari keluargamu, dari ibu kandungmu... aku merasa berdosa kepadamu, koko..."

"Sudahlah, Eng-moi, berapa kali engkau mengemukakan hal itu? Aku sudah bilang, aku tidak peduli semua itu! Yang terpenting dalam hidupku hanya engkau seorang, Eng-moi! Biar keluargaku sendiri, biar ibu kandungku sendiri, kalau pendapatnya tidak tepat, ingin menghina dan memburukkanmu, biarlah aku menjauhkan diri dari mereka."

Sun Eng merangkul dan mereka berangkulan. Lie Seng menciumi wajah kekasihnya itu, matanya yang basah air mata, bibirnya yang menyambutnya dengan penuh kemesraan dan terbuka sehingga sejenak mereka tenggelam ke dalam perasaan cinta asmara yang menggelora. Tak pernah kedua orang ini merasa bosan untuk bermesraan, di mana saja dan kapan saja. Cinta mereka makin berakar mendalam.

"Hanya maut yang akan dapat memisahkan kita, Eng-moi!"

Sun Eng memegang tangan Lie Seng, lalu menciumi jari-jari tangan itu dengan hati penuh perasaan terharu dan bersyukur. "Lie-koko, engkau dari keluarga besar, engkau cucu dari pendekar sakti, ketua Cin-ling-pai, dan seluruh keluargamu terdiri dari pendekar-pendekar kenamaan, dan engkau... engkau sudah mengangkat aku dari jurang kehinaan ke tempat yang amat tinggi, terlampau tinggi untukku..."

"Sudahlah, Eng-moi, jangan merendahkan diri sendiri."

"Tidak, koko, akan tetapi aku selalu merasa rendah diri bila aku tidak melakukan sesuatu untukmu, untuk keluargamu, bukan untuk mengangkat diriku, melainkan setidaknya untuk mengimbangi selisih yang begini jauh antara engkau dan aku..."

Lie Seng mengecup bibir itu lantas bertanya dengan suara main-main, "Habis, apa yang akan kau lakukan, sayang?"

"Entahlah, koko, entahlah. Akan tetapi aku harus melakukan sesuatu demi engkau, demi keluargamu. Harus!" Wanita yang masih basah kedua matanya itu mengepal tinju, akan tetapi dia segera tenggelam lagi ke dalam pelukan dan cumbu rayu Lie Seng.

Lama setelah gelora asmara yang bergelombang menenggelamkan mereka agak mereda, mereka sudah duduk kembali, Lie Seng menyandarkan tubuhnya pada dinding kuil tua itu, sedangkan Sun Eng bersandar kepadanya dengan kedua mata dipejamkan.

"Lie-koko, setelah aku mengakibatkan engkau terpisah dari keluargamu, lalu ke mana kita sekarang hendak pergi?" terdengar Sun Eng bertanya halus.

"Kita akan ke Yen-tai!"

"Yen-tai di timur itu, di pantai?"

"Benar, Eng-moi, kita ke sana."

"Mau apa ke sana, koko? Ke rumah siapa?"

"Aku mempunyai seorang suci (kakak seperguruan) di sana, Eng-moi. Dia sudah menikah dan kini tinggal bersama suaminya di sana. Suaminya seorang pengusaha besar, maka biarlah kita ke sana, aku akan minta bantuan suci supaya bisa mendapatkan pekerjaan di sana."

Sun Eng girang sekali dan dia banyak bertanya tentang suci dari kekasihnya itu. Lie Seng lalu menceritakan siapa suci-nya itu. "Dia adalah puteri dari paman Yap Kun Liong, dia lihal sekali, dan suaminya juga seorang pendekar muda, peranakan Portugis akan tetapi baik hati dan gagah perkasa karena ibunya dahulu adalah seorang pendekar wanita yang kenamaan."

Sesudah banyak bercerita mengenai Souw Kwi Beng dan Yap Mei Lan, Lie Seng lalu mengajak kekasihnya melanjutkan perjalanan menuju ke Yen-tai. Semakin kagum sajalah hati Sun Eng mendengar penuturan itu. Kiranya, semua keluarga kekasihnya terdiri dari orang-orang hebat belaka, pendekar-pendekar kenamaan.

Mengingat akan semua ini, makin menyesal hatinya, mengapa dia sebagai murid suami isteri pendekar Cia Bun Houw dan Yap In Hong sampai menyeleweng! Andai kata tidak tentu dia pun akan termasuk ‘keluarga besar’ dari para pendekar itu, sebagai cucu murid ketua atau pendiri Cin-ling-pai! Dia semakin merasa bahwa dengan masuknya ke dalam lingkungan keluarga perkasa itu sebagai kekasih Lie Seng, dia merupakan satu-satunya kambing hitam buruk di antara domba-domba berbulu tebal putih yang bersih dan indah! Namun sikap yang amat mencinta dari Lie Seng, terutama sekali perasaan hatinya sendiri terhadap pemuda ini, membuat dia berani melanjutkan perjalanan bersama kekasihnya, biar pun hatinya merasa tidak enak dan merasa rendah diri.

Tentu saja Yap Mei Lan menyambut kedatangan sute-nya itu dengan hati girang sekali. Demikian pula Souw Kwi Beng menyambut Lie Seng dengan gembira. Lie Seng dan Sun Eng dipersilakan masuk kemudian suami isteri muda yang kaya raya itu menjamu mereka dengan hidangan lezat dalam suasana meriah, karena Yap Mei Lan gembira sekali akan kedatangan sute-nya. Bagaimana pun juga, Lie Seng bukan hanya sute-nya, akan tetapi lebih dari itu malah adik, yaitu termasuk adik tirinya. Bukankah ibu kandung sute-nya itu, kini menjadi isteri dari ayah kandungnya sendiri?

"Bagaimana kabarnya dengan ayahku, sute? Dan juga bagaimana dengan ibumu? Juga bibi In Hong dan paman Bun Houw?" pada saat mereka makan minum sambil bercakap-cakap, Mei Lan tak dapat menahan diri lagi lalu menanyakan keadaan empat orang yang menjadi buruan pemerintah itu, dengan alis berkerut dan wajah khawatir.

Berdebar rasa jantung Lie Seng dan Sun Eng. Memang sejak tadi Lie Seng sudah hendak menceritakan mengenai keadaannya dan mengenai perselisihannya dengan keluarganya tentang diri Sun Eng. Tadi hanya secara sepintas lalu ketika dia dan Sun Eng datang, dia memperkenalkan kekasihnya itu sebagai seorang sahabat sehingga suami isteri muda itu hanya tahu bahwa gadis ini bernama Sun Eng dan hanya menduga, melihat sikap serta gerak-gerik dua orang muda itu, bahwa agaknya ada apa-apa di dalam persahabatan itu. Kini Mei Lan menanyakan tentang ibunya!

"Mereka... mereka semua baik-baik saja, suci. Kini mereka tinggal dalam keadaan aman di Yen-ping..."

"Ehhh...?" Yap Mei Lan kelihatan heran kemudian saling pandang dengan suaminya yang tampan dan yang semenjak tadi hanya mendengarkan saja. Souw Kwi Beng mengerutkan alisnya memandang Lie Seng dengan penuh selidik, lalu dia pun ikut bicara.

"Seng-te, sejak kapankah engkau berjumpa dengan ayah mertuaku?"

"Kurang lebih tiga bulan kami berdua baru meninggalkan Yen-ping dan mereka berempat masih berada di sana dengan aman... ehhh, ada apakah?" Lie Seng bertanya, hatinya terasa tidak enak.

"Ah, kalau begitu engkau belum tahu, sute," kata Mei Lan. "Mereka sekarang telah pindah lagi, sesudah mereka diserbu musuh di Yen-ping. Baru saja kami menerima berita dari ayah tentang hal itu." Mei Lan lalu menceritakan berita yang didengarnya dari Yap Kun Liong.

Ternyata keluarga pendekar yang telah meninggalkan Yen-ping lalu diam-diam melarikan diri dan bersembunyi di kota Bun-cou di Propinsi Ce-kiang itu diam-diam mengirim berita kepada Yap Mei Lan dan suaminya.

"Mereka diserbu musuh? Ahh, lalu... mereka kini berada di mana?"

"Di Bun-cou, di Propinsi Ce-kiang."

Mei Lan lalu menceritakan lagi dengan jelas dan Lie Seng mendengarkan dengan tangan dikepal.

"Kalau aku tahu, tentu aku tidak akan pergi dan akan membantu mereka menghadapi musuh!" katanya.

Diam-diam Sun Eng merasa gelisah sekali sekaligus juga menyesal, karena kekasihnya itu terpaksa meninggalkan keluarganya demi dia!

"Sudahlah, sute. Mereka kini sudah selamat dan karena berada di tempat yang semakin jauh dari kota raja, agaknya di selatan itu mereka dapat hidup aman. Aku sudah mengirim perbekalan dan uang kepada mereka, melalui orang kepercayaan suamiku yang sedang mengadakan pelayaran ke selatan. Lalu, engkau sendiri bersama adik Sun Eng ini, ada keperluan apakah kalian datang ke sini? Ataukah hanya untuk menengok suci-mu ini?"

Lie Seng menarik napas panjang. Sekarang saat yang digelisahkan sudah tiba, dia harus menceritakan semuanya kalau dia menghendaki tinggal bersama kekasihnya di Yen-tai ini.

"Sebetulnya amat sulit bagiku menceritakan semua ini, suci. Akan tetapi karena agaknya aku telah terpencil dan hanya engkaulah satu-satunya orang yang dapat kuharapkan akan mau mengerti keadaanku, maka aku sengaja datang mengunjungimu, suci, harap engkau berdua suamimu suka berbelas kasihan kepadaku."

Tentu saja Mei Lan terkejut bukan main mendengar kata-kata sute-nya yang dikeluarkan dengan nada berduka itu. "Sute, apakah yang sudah terjadi? Tentu saja aku akan suka membantu sedapat mungkin!"

Tentu saja agak berat bagi Lie Seng untuk menceritakan urusannya dengan Sun Eng dan melihat keraguannya itu, Souw Kwi Beng yang tahu diri lalu berkata, "Lie-te, kalau engkau merasa sungkan dan ragu untuk bercerita di hadapanku, biarlah aku mengundurkan diri dulu..."

"Ah, tidak... tidak sama sekali, suci-hu (kakak ipar)," Kemudian dia menoleh kepada Sun Eng lalu berkata, "Eng-moi, sebaiknya engkaulah yang bercerita kepada suci Yap Mei Lan, dan aku yang bercerita kepada suci-hu Souw Kwi Beng."

Sun Eng balas memandang kemudian dia mengangguk. Melihat ini, Mei Lan lalu bangkit dari duduknya, memegang tangan Sun Eng sambil berkata, "Marilah, adik Sun Eng, kita bicara di dalam."

Dua orang wanita itu lalu meninggalkan ruangan itu dan masuk ke dalam kamar Mei Lan. Sesudah mereka pergi, Lie Seng merasa lebih leluasa dan berceritalah dia kepada Souw Kwi Beng tentang hubungannya dengan Sun Eng, bahwa ibu kandungnya dan pamannya telah menyatakan tidak setuju dengan perjodohan mereka.

"Mereka itu tidak setuju karena Eng-moi tadinya adalah murid dari paman Cia Bun Houw dan menurut paman, Eng-moi pernah menyeleweng, pernah tergoda oleh kaum pria. Ibu tak setuju aku menikah dengan seorang gadis yang bukan perawan lagi. Itulah persoalan kami, cihu, sehingga terpaksa aku bersama Eng-moi pergi meninggalkan mereka. Karena tidak tahu harus pergi ke mana lagi, maka aku mengajaknya ke sini dengan harapan cihu suka menolongku dan memberi pekerjaan agar aku bersama Eng-moi dapat hidup di kota ini dan kalau mungkin, kuharap suci dan cihu dapat meresmikan pernikahan kami."

Souw Kwi Beng mengangguk-angguk dan kedua alisnya yang tebal berkerut. Dia sendiri merasa kecewa mendengar bahwa kekasih Lie Seng adalah seorang wanita yang pernah tergoda oleh kaum pria! Dia masih belum dapat membayangkan sampai berapa jauhnya kata ‘menggoda’ itu, akan tetapi kalau sampai gadis itu tidak perawan lagi, tentu godaan dan penyelewengan itu sudah terlalu mendalam. Namun, cinta kasih memang aneh dan dia sendiri tidak berani mencampuri.

"Tentu saja aku sanggup menolongmu dengan pekerjaan yang kau perlukan, dan supaya engkau dapat tinggal di kota ini pun bukan hal yang sukar dan dapat kuatur sebaiknya. Hanya mengenai peresmian pernikahanmu, hemm... agaknya hal itu amat sukar. Kurasa suci-mu juga akan sependapat denganku bahwa kami tentu saja takkan berani bertindak selancang itu, melampaui ibu kandungmu serta ayah kandung isteriku untuk meresmikan pernikahanmu, seakan-akan mereka orang-orang tua itu kini sudah tidak ada saja. Tidak, Seng-te, kurasa hal ini tidak mungkin."

Lie Seng menarik napas panjang. "Andai kata tak mungkin pun tak mengapa. Kami telah mengambil keputusan untuk hidup bersama, dinikahkan secara resmi atau pun tidak, bagi kami sama saja!" Ucapan ini mengandung kepedihan hati akan tetapi juga mengandung keputusan nekat.

Sementara itu, di dalam sebuah kamar, Sun Eng juga bercerita kepada Mei Lan. Akan tetapi berbeda dengan cerita Lie Seng, wanita ini menceritakan segalanya tanpa ditutup-tutupi lagi.
Selanjutnya,

Pendekar Lembah Naga Jilid 43

Pendekar Lembah Naga Jilid 43
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PANGERAN itu terkejut bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa ‘pemuda remaja’ yang membantu Sin Liong itu memiliki tenaga lontaran yang demikian kuatnya! Maka gentarlah hatinya. Melawan Sin Liong saja masih belum tentu dia menang, apa lagi kalau Sin Liong dibantu oleh seorang kawan yang demikian tangguh pula. Kalau dia maju dikeroyok dua, agaknya sukar baginya untuk menang dan kalau kalah sungguh amat memalukan. Maka dia lalu melompat pergi, mengandalkan keremangan cuaca dan tebalnya debu. Dari jauh dia ‘mengirim’ suara melalui khikang,

"Sin Liong, lain kali kita lanjutkan pertandingan ini!"

Sin Liong tentu saja tidak menjawab dan juga tidak mengejar, hatinya merasa lega bukan main dan dia mengusap keringat dari leher serta dahinya, mempergunakan ujung lengan bajunya. Bi Cu menghampirinya dan memegang lengannya. Sejenak mereka hanya saling berpandangan di antara keremangan senja yang mulai terganti oleh malam.

"Aihhh... Sin Liong, tidak kusangka... engkau ternyata memiliki ilmu kepandaian silat yang hebat!" akhirnya Bi Cu berkata dan suaranya terdengar gemetar, mukanya agak pucat dan napasnya memburu.

Sin Liong tersenyum dan menyentuh pundaknya. "Kau kenapakah?"

"Aku tadi menonton dari balik pohon, wah, bukan main gelisah hatiku. Ingin membantu namun tak mungkin, kalian bertanding sedemikian cepatnya sehingga untuk melihat mana engkau dan mana lawanmu pun tidak mungkin bagiku. Aku... aku sudah siap dengan batu itu, kemudian kulihat dia meloncat mundur. Nah, baru aku berani menyambitkan batu itu sekuat tenagaku."

"Dan kau berhasil mengusirnya, Bi Cu. Sekarang ini, engkaulah yang menolongku!" Sin Liong berkata.

"Hemm, jangan kau berpura-pura lagi. Aku sudah menyaksikan betapa engkau melawan musuh dan engkau hebat, aku malah tak mampu mengikuti gerakanmu. Dan lontaranku tadi, entah bagaimana, batu itu sangat berat dan aku merasa khawatir tidak akan dapat mencapainya. Dan dia begitu hebat, Sin Liong... hiiih, ngeri aku melihat betapa dia yang berjungkir balik mampu menghancurkan batu sebesar itu. Aku tahu bahwa kepandaianku tidak ada seperseratusnya orang itu, jadi tak mungkin dia lari karena aku. Sin Liong, siapa sih dia?"

"Apa kau tidak mengenalnya? Dia itu Pangeran Ceng Han Houw..."

"Ah...! Begitu lihaikah dia? Cuaca remang-remang dan dia bergerak sedemikian cepatnya sehingga aku tidak dapat mengenalnya. Berbeda dengan engkau. Hanya melihat sebuah tanganmu atau sebuah kakimu yang kadang-kadang nampak di antara bayangan kalian yang menjadi satu saja sudah cukup bagiku untuk mengetahui bahwa di antara dua orang yang bertanding itu adalah engkau. Engkau hebat sekali, Sin Liong..."

"Sudahlah, buktinya kalau tidak ada engkau, belum tentu aku sanggup mengalahkan dan mengusir dia. Mari kita cepat pergi dari sini. Dengan adanya orang seperti dia di sini, kita tidak akan pernah aman kalau belum pergi sejauhnya dari dia." Sin Liong lalu mengambil bungkusan roti dan sebotol arak, juga pakaian untuk Bi Cu yang tadi ditaruhnya di bawah pohon. "Ini makanan kita, kita makan sambil berjalan saja, dan ini pakaian serta sepatu untukmu, Bi Cu."

"Kau... baik sekali, Sin Liong, terima kasih..."

Akan tetapi Sin Liong yang masih tetap mengkhawatirkan kalau-kalau Han Houw muncul dan mengganggunya lagi, langsung mengajak Bi Cu melanjutkan perjalanan, menyusup makin dalam di hutan itu dan karena tadi Han Houw lari ke timur, maka dia pun mengajak Bi Cu lari ke barat. Dia baru saja datang dari dusun di sebelah barat, maka dia sudah agak mengenal jalan dan biar pun cuaca menjadi semakin gelap, dapat juga mereka maju sampai akhirnya mereka tiba di tepi hutan dan mereka terpaksa berhenti karena malam yang gelap telah tiba.

Mereka makan roti dan minum arak. Bi Cu menukar pakaiannya yang terlampau besar dengan pakaian yang diperoleh Sin Liong dari dalam dusun. Setelah berganti pakaian, dia mendekati Sin Liong yang membuat api unggun, duduk dan memandang pemuda itu.

"Sin Liong, bagaimana engkau bisa memilih pakaian yang begini pas ukurannya dengan tubuhku?" tanyanya sambil mengamati pakaian yang dipakainya itu di bawah cahaya api unggun, pakaian gadis petani yang sederhana, namun masih baru.

"Mudah saja, aku membelinya dari seorang gadis yang mempunyai bentuk tubuh seperti tubuhmu."

"Engkau memang pintar. Tapi sepatu ini. Bagaimana bisa pas sekali?"

"Aku... pernah memperhatikan kakimu, dan bayangan ukuran kakimu masih teringat jelas olehku sehingga mudah bagiku untuk mencarikan yang cocok."

"Eh, mengapa engkau memperhatikan kakiku?" tanya Bi Cu dengan polos, tanpa maksud apa-apa, hanya memang karena heran mendengar ada orang memperhatikan kakinya. "Kau maksudkan ketika kedua kakiku tidak bersepatu?"

"Kenapa, ya? Mungkin karena melihat kaki tidak bersepatu merupakan hal yang aneh dan kakimu... kakimu begitu mungil..."

"Ihh! Jangan ceriwis kau...!" Bi Cu kini menundukkan mukanya karena dia tidak sanggup menentang pandang mata Sin Liong dan ada perasaan aneh menyelinap di hatinya yang berdebar-debar.

"Kau bertanya, aku menjawab sejujurnya dan kau marah..."

"Sudahlah, aku mau tidur. Nanti tengah malam kau gugah aku, biar aku yang bergantian menjaga dan engkau tidur."

Akan tetapi tentu saja Sin Liong tidak pernah menggugahnya dan ketika pada keesokan harinya Bi Cu terbangun dari tidurnya, dia marah-marah.

"Mengapa engkau tidak mau menggugahku semalam? Kau membiarkan aku tidur pulas sampai pagi! Kau... kau sungguh kejam!"

"Aku...? Kejam...? Hee, apa maksudmu?" Sin Liong bertanya, merasa bingung karena tak mengerti apa yang menyebabkan Bi Cu mengatakannya kejam.

"Kau membiarkan aku tidur semalaman dan kau berjaga semalam suntuk, membikin aku sungguh merasa tidak enak hati, bukankah itu kejam?"

Sin Liong tercengang, lalu dia tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, aku kejam dan kau maafkan aku, Bi Cu."

Bi Cu menatap wajah pemuda itu, kemudian dia menghampirinya dan memegang kedua tangan Sin Liong. "Sin Liong, betapa jahatnya aku, ya? Betapa kurang penerimanya aku ini! Engkau sudah berjaga semalam suntuk, aku tidak berterima kasih malah memakimu kejam!"

Tentu saja Sin Liong menjadi semakin bingung, tetapi dia hanya senyum-senyum gugup saja.

"Ti... tidak, Bi Cu, kau tidak jahat."

"Kau heran mengapa aku marah dan menyebutmu kejam? Aku marah karena demi aku engkau menderita. Aku marah terhadap diriku sendiri yang tidur seperti mayat saja, tidak bisa bangun untuk menggantikanmu. Aku memang kejam karena memang engkau kejam, bukan kejam terhadap diriku melainkan kejam kepada dirimu sendiri. Ahh, kau maafkan aku, Sin Liong."

Senyum Sin Liong melebar, hatinya senang sekali. Bi Cu memang seorang dara istimewa! "Sudahlah, Bi Cu, tidak perlu dipersoalkan lagi urusan kecil ini. Sudah sepatutnya kalau aku yang berjaga, karena aku seorang laki-laki."

"Dan kepandaianmu hebat sekali. Aku mengerti sekarang, apa bila aku yang berjaga dan tiba-tiba muncul pangeran siluman itu, maka akan celakalah kita..."

"Hayo kita melanjutkan perjalanan, Bi Cu. Hatiku merasa tak enak sekali, karena aku tahu bahwa pangeran itu tentu tidak akan mau sudah begitu saja."

Mereka bangkit berdiri dan pada saat itu terdengar suara suitan-suitan di segala penjuru, disusul ramainya suara derap kaki manusia dan kuda yang banyak sekali! Wajah Bi Cu menjadi pucat dan dia sudah memegang tangan Sin Liong.

Pemuda ini merasa betapa tangan dara itu gemetar, maka dia segera menggenggamnya dan berbisik, "Jangan takut, ada aku di sini."

"Tapi... mereka itu... tentu pasukan pemerintah, pasukan yang besar jumlahnya!" Suara Bi Cu juga gemetar.

"Bi Cu, bukankah kita ada berdua? Mati hidup kita hadapi bersama, bukan?"

Ucapan ini seperti meniupkan api ke dalam semangat Bi Cu, membuat matanya langsung bersinar-sinar dan matanya kemerahan. Dia pun menggenggam keras tangan pemuda itu lantas dia pun berkata, "Engkau benar! Mari kita hadapi mereka! Aku akan mati dengan senyum kalau bersamamu Sin Liong!"

Ucapan dalam saat yang berbahaya itu amat menusuk perasaan Sin Liong, membuat dia terdorong untuk merangkul kemudian mendekap kepala dara itu ke dadanya! Bi Cu juga mandah saja sehingga keduanya seolah-olah tenggelam ke dalam keadaan lain, ke dalam dunia lain dan tidak merasa sama sekali akan datangnya bahaya.

"Kejar, cari dan tangkap mereka!" Tiba-tiba terdengar suara yang sangat dikenal oleh Sin Liong. Suara itu adalah suara Ceng Han Houw, masih amat jauh namun sudah terdengar olehnya karena suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang yang amat kuat sehingga bergema di seluruh hutan. Mereka berdua sudah berada di sebelah barat hutan.

Suara teriakan itu menyadarkan mereka berdua. Sin Liong cepat menggandeng tangan Bi Cu sambil menunjuk ke depan, ke arah utara. "Lihat, ke sanalah kita harus pergi!"

Wajah Bi Cu berubah pucat. "Tapi... itu adalah daerah pegunungan yang amat sulit, amat terjal dan penuh tempat liar. Lihat, dari sini pun nampak jurang-jurang dalam!"

"Justru itulah merupakan tempat yang amat baik untuk melarikan diri dan bersembunyi. Kalau ke barat, apa lagi melalui dusun-dusun dan tanah datar, sangat sukar untuk dapat menyembunyikan diri, lagi pula mereka mengejar dengan berkuda."

Bi Cu tidak membantah lagi dan dia lalu ikut berlari digandeng oleh Sin Liong menuju ke bukit di sebelah utara. Benar saja, daerah ini amat sukar untuk dilalui, baru naik sedikit ke lerengnya, mereka sudah harus berloncatan dari batu ke batu dan mendaki tebing-tebing yang sangat sukar karena selain terjal, juga tebing-tebing ini hanya terdiri dari batu-batu gunung yang kasar dan licin. Tidak ada jalan umum, bahkan tak ada jalan setapak di situ karena daerah liar ini tidak pernah dilalui manusia.

Melihat Bi Cu kesukaran untuk melalui tebing yang amat terjal itu, Sin Liong berkata, "Bi Cu, sebaiknya engkau kugendong saja. Marilah!"

Akan tetapi Bi Cu memandang ragu. "Tempat ini amat berbahaya, kenapa engkau justru mengambil jalan ini, Sin Liong?"

"Sengaja kuambil jalan ini agar para prajurit yang mengejar tidak dapat melaluinya. Paling banyak hanya pangeran sendiri saja yang dapat melanjutkan pengejaran, dan jika hanya ada seorang lawan saja, aku masih dapat menanggulanginya. Marilah, Bi Cu, jangan kau khawatir, mari kugendong agar lebih cepat kita dapat pergi."

Bi Cu menggeleng kepala dan memandang ke bawah, bergidik ngeri karena dia melihat betapa di sebelah bawah nampak jurang yang amat dalam!

"Tempat ini begitu berbahaya, berjalan sendirian saja sudah sangat sukar, apa lagi harus menggendongku! Tidak, aku tidak mau membikin kau terancam bahaya jatuh...!"

Sin Liong tersenyum lebar. Kembali dara itu menolak demi keselamatannya, bukan demi keselamatan dara itu sendiri! Dan hal ini amat menyenangkan hatinya.

Tiba-tiba saja terdengar suara berdesing dan nampak cahaya hitam berkelebat. Sin Liong terkejut, akan tetapi dia telah berhasil memukul benda hitam yang menyambar itu dengan tangannya dan benda itu ternyata adalah sepotong batu sebesar kepalan tangan yang meluncur dari bawah.

"Sin Liong, engkau hendak lari ke mana?!" Terdengar bentakan.

Pada saat Sin Liong menoleh, jauh di bawah sana dia melihat bayangan beberapa orang, sedangkan yang berteriak itu bukan lain adalah Ceng Han Houw! Ketika Sin Liong dapat mengenal empat orang lain yang datang bersama Han Houw, dia makin terkejut. Mereka itu adalah Kim Hong Liu-nio, Hai-liong-ong Phang Tek, Kim-liong-ong Phang Sun, beserta seorang yang berpakaian panglima! Ternyata ada lima orang pandai yang mengejarnya dan lemparan batu dari tempat sedemikian jauhnya namun masih dapat menyambarnya dengan sangat tepat dan cepat saja sudah membuktikan bahwa lima orang itu sungguh merupakan lawan yang amat berat.

"Celaka, mereka telah menemukan jejak kita!" Sin Liong berkata dan tanpa banyak cakap dia menyambar pinggang Bi Cu, diangkat serta dipanggulnya tubuh dara itu lalu dia pun berloncatan naik dengan cepatnya, seperti seekor monyet memanjat saja.

"Maaf, Bi Cu, tidak ada lain jalan!" katanya.

Bi Cu terbelalak, kemudian dia memejamkan mata saking ngerinya dibawa berloncatan secepat itu. Diam-diam dia merasa ngeri dan takut, akan tetapi juga kagum bukan main menyaksikan betapa cekatan dan hebat ilmu ginkang dari pemuda yang tadinya dia kira adalah Sin Liong yang dahulu, yang ilmu silatnya jauh di bawah tingkatannya karena dia sendiri sudah menjadi murid mendiang Hwa-i Sin-kai! Apa bila dia ingat betapa dia selalu hendak melindungi Sin Liong selama ini!

Kedua pipinya berubah merah dan dia pun lalu berbisik. "Sin Liong, biarkan aku berada di belakangmu saja, sehingga aku dapat merangkul kedua pundakmu dan kau tidak perlu memondongku dengan sebelah lengan."

Sin Liong merasa girang. Memang sebaiknya begitu sehingga dengan Bi Cu di belakang, dia dapat berlari lebih cepat, dan dapat mengandalkan kedua tangannya untuk membela diri kalau perlu. Maka dia berhenti, menurunkan Bi Cu kemudian dia menggendong Bi Cu di punggungnya.

Dara itu merangkul lehernya dari belakang sambil mempergunakan kedua kakinya untuk merangkul pinggangnya. Berdebar juga jantung Sin Liong merasakan betapa tubuh dara itu dengan hangat melekat di tubuh belakangnya, akan tetapi cepat dusirnya bayangan ini dan dia berlari terus. Akan tetapi lima orang pengejarnya mengerahkan ginkang mereka dengan secepatnya.

Tentu saja Sin Liong sama sekali belum mengenal daerah ini, dan dia terus memanjat puncak bukit itu dengan harapan akan dapat melarikan diri dari atas puncak itu ke daerah lain dan terbebas dari para pengejarnya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika akhirnya dia tiba di puncak bukit itu, puncak itu merupakan batu datar yang luasnya hanya beberapa tombak saja!

Puncak itu dikelilingi oleh jurang-jurang yang dalamnya tak dapat diukur lagi karena dari situ memandang ke bawah tidak kelihatan dasarnya, hanya nampak tonjolan batu-batu di sepanjang tebing itu seolah-olah sekeliling puncak itu yang ada hanya mulut maut yang terbuka lebar!

Jalan naik satu-satunya hanya melewati jalan yang digunakannya tadi, dengan memanjat melalui dinding batu-batu bertumpuk-tumpuk. Dari puncak itu tak mungkin bisa melarikan diri ke lain tempat, kecuali kembali lagi melalui jalan tadi! Padahal, ketika dia menengok ke bawah, dia melihat Han Houw dan empat orang temannya sudah mulai medaki puncak itu!

"Wah, tidak ada jalan lari lagi!" katanya kepada Bi Cu yang menjadi pucat dan merasa khawatir sekali. "Satu-satunya jalan hanyalah melawan mereka. Bi Cu, jangan khawatir, aku akan melawan mereka mati-matian. Belum tentu aku akan kalah oleh mereka. Kurasa di antara mereka, yang terlihai adalah Pangeran Ceng Han Houw. Kau jangan ikut-ikut, kau tunggulah saja di sudut sana, berlindung di balik batu itu."

"Tapi... tapi... aku harus membantumu!"

"Bi Cu, terus terang saja, tingkat kepandaianmu masih jauh sekali selisihnya dengan ilmu kepandaian mereka. Sekali maju, berarti engkau menyerahkan nyawa untuk mati sia-sia. Apa artinya lagi aku melawan bila sampai engkau menyerahkan nyawa dan mati konyol? Tidak, Bi Cu. Kau sembunyi di balik batu itu dan aku akan melawan mereka mati-matian."

"Kalau kau kalah...?"

Sin Liong menggerakkan pundak. "Yah, yang ada hanya menang atau kalah. Kalau aku kalah dan tewas..."

"Aku akan mati bersamamu, Sin Liong!" seru Bi Cu.

"Aku tak akan kalah, akan tetapi kau penuhilah permintaanku, jangan kau keluar dari balik batu itu. Maukah kau berjanji?" Sin Liong memegang kedua pundak dara itu.

Karena dia maklum bahwa menghadapi lima orang itu benar-benar merupakan penentuan mati hidupnya dan dia meragu untuk dapat menangkan mereka berlima, saat memegang kedua pundak dara itu dia merasa bahwa seolah-olah dia tengah berpamit untuk berpisah, perpisahan terakhir dan selamanya!

Hal ini menimbulkan keharuan hatinya, maka dia lalu menunduk dan mencium dahi yang halus dan basah karena peluh itu. Bi Cu memejamkan matanya, merangkul dan terisak, kemudian dia melepaskan diri dan berlari ke sudut tanah atau batu datar itu, bersembunyi di balik sebuah batu besar yang berada di sudut.

Legalah hati Sin Liong. Kalau dia menang itulah yang dlharapkannya. Akan tetapi andai kata dia kalah dan tewas, dia masih mempunyai harapan mudah-mudahan mereka tidak melihat Bi Cu dan dara itu akan ditinggalkan dan akan dapat lolos dari tempat itu dengan selamat. Dia lalu menanti dan berdiri tegak, sikapnya tenang sekali.

Tidak terlalu lama dia menanti. Ceng Han Houw muncul dengan lompatan terakhir ke atas puncak batu datar itu, muka dan lehernya penuh keringat sebab pengejaran tadi dilakukan dengan sekuat tenaga dan memang pendakian puncak itu amat melelahkan. Akan tetapi wajahnya berseri dan sepasang matanya bersinar-sinar pada saat dia melihat Sin Liong berada di situ. Tadinya dia sudah khawatir pemuda itu dapat meloloskan diri.

Dekat di belakangnya muncul pula Kim Hong Liu-nio, wanita yang masih tetap nampak muda den cantik sekali itu. Kayu papan berbentuk salib masih ada juga di punggungnya. Sesudah kematian Lee Siang, pria pertama yang dicintanya, dia memakai lagi papan itu untuk membasmi keluarga Cia, Yap dan Tio, terutama keluarga Cin-ling-pai, bukan hanya untuk membalas musuh-musuh gurunya sekarang, namun juga untuk membalas kematian kekasihnya itu.

Kemudian muncul pula tiga orang pembantu Han Houw itu, yaitu Lam-hai Sam-lo yang kini hanya tinggal dua orang lagi, yaitu Hai-liong-ong Phang Tek den Kim-liong-ong Phang Sun, karena orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo, yaitu Hek-liong-ong Cu Bi Kun, dulu telah dibunuh oleh Han Houw sendiri ketika pangeran ini hendak ‘melindungi’ Sin Liong.

Mereka berlima berdiri berhadapan dengan Sin Liong, bagaikan lima ekor harimau yang menghadapi seekor kelinci yang sudah tidak dapat melarikan diri lagi. Han Houw tertawa.

"Ha-ha-ha-ha! Liong-te, tidak kau sangka, ya? Engkau terjebak di tempat ini, sama sekali tidak ada jalan keluar!" Pangeran itu memandang ke sekelilingnya, kemudian kepada Sin Liong lagi dengan wajah berseri membayangkan kemenangan.

"Pangeran, engkau dahulu yang minta kepadaku untuk menjadi saudara angkat, bahkan hingga sekarang pun engkau masih menyebutku adik Liong. Akan tetapi sekarang engkau mengejar-ngejarku, selalu menggangguku, bahkan menghendaki nyawaku. Apa artinya semua ini?" Pertanyaan ini diajukan oleh Sin Liong karena memang dia penasaran, bukan dengan maksud untuk minta dikasihani.

Mendengar pertanyaan ini, pangeran itu tertawa lagi. Agaknya dia tidak ingin cepat-cepat menyerang Sin Liong, tidak ingin cepat-cepat menghabisi korbannya itu, bagaikan seekor kucing ingin lebih dulu mempermainkan sang tikus sebelum diterkam, untuk memuaskan hatinya.

Dia sudah begitu pasti bahwa sekali ini pemuda yang merupakan lawan amat tangguhnya itu tidak akan dapat lolos lagi. Dia sendiri, walau pun belum tentu kalah oleh Sin Liong, namun mungkin mengalami kesukaran merobohkan adik angkatnya itu, apa lagi kalau Sin Liong dibantu oleh orang pandai. Akan tetapi kini di situ terdapat suci-nya, dua orang dari Lam-hai Sam-lo yang pandai, dan seorang panglimanya yang cukup tangguh.

Sin Liong tak dapat lari ke mana-mana lagi, karena puncak itu ternyata merupakan jalan buntu! Dan pembantu Sin Liong yang pandai semalam itu agaknya kini sudah tidak ada lagi.

"Sin Liong, dua pertanyaanmu itu sudah demikian jelas, perlukah kujelaskan lagi? Akan tetapi biarlah, supaya jangan sampai engkau mati penasaran sehingga arwahmu menjadi setan, dengarkan baik-baik. Aku mengangkatmu menjadi adik adalah karena aku tertarik melihat keberanianmu, tertarik terutama sekali melihat ilmu silatmu hingga aku juga ingin sekali mempelajarinya. Di dalam hal ini aku berhasil, bahkan aku mewarisi ilmu-ilmu dari suhu yang lebih ampuh dibandingkan ilmu-ilmu yang kau kuasai. Kemudian, kenapa aku mengejar-ngejarmu dan ingin membunuhmu? Jelas pula! Engkau adalah putera dari Cia Bun Houw, cucu dari ketua Cin-ling-pai. Ini saja sudah cukup bagiku untuk menangkap atau membunuhmu karena engkau adalah keturunan pemberontak yang dikejar-kejar oleh pemerintah. Kemudian, engkau menjadi penghalang bagiku untuk mencapai gelar jagoan nomor satu di dunia dan gelar Pendekar Lembah Naga. Oleh karena itulah maka engkau harus mati, Sin Liong. Dan dalam persoalan ke dua ini pun aku berhasil, karena sekarang ini engkau sudah tersudut dan tidak akan mampu lari lagi! Ha-ha-ha!"

"Manusia she Cia, telah kupersiapkan hio untuk menyembahyangi arwahmu!" terdengar Kim Hong Liu-nio berkata halus, akan tetapi di dalam suaranya itu terkandung kekejaman yang amat mengerikan dan mendirikan bulu roma.

"Bocah setan, engkau harus membayar nyawa saudara kami Hek-liong-ong!" terdengar Phang Tek orang pertama dari Lam-hai Sam-lo berkata, sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun yang tetap bertelanjang tubuh bagian atas itu menyeringai saja.

Mendengar ini, Sin Liong mengerutkan alisnya lalu memandang kepada Han Houw, akan tetapi pangeran itu hanya tersenyum-senyum saja. Tahulah dia bahwa pangeran itu telah bertindak curang, mengabarkan kepada dua orang dari Lam-hai Sam-lo itu bahwa dialah yang membunuh Hek-liong-ong, padahal jelas bahwa pembunuhnya adalah pangeran itu sendiri.

Akan tetapi, dia tahu bahwa membantah pun tidak akan ada gunanya. Dua orang kakek itu tentu lebih percaya kepada sang pangeran dari pada kepadanya, maka dia pun diam saja dan hanya sepasang matanya makin mencorong penuh kegeraman.

"Cia Sin Liong, aku harus menangkapmu sebagai pemberontak yang buron!" panglima yang bertubuh tinggi besar itu membentak pula.

Pada saat itu pula terdengar sedikit suara di balik batu besar dan semua mata ditujukan ke sana. Ternyata Bi Cu yang tadinya bersembunyi tanpa bergerak, mendengar semua ucapan itu menjadi sedemikian kagetnya sehingga tak tertahankan lagi dia bergerak untuk mengintai.

Hati siapa yang tidak akan menjadi terkejut mendengar bahwa Sin Liong, pemuda yang di waktu kecilnya terlunta-lunta itu adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai yang namanya sudah menggetarkan langit dan bumi? Mendengar kenyataan yang amat mengejutkan sekaligus mengherankan ini membuat dia merasa bangga akan tetapi juga sangat khawatir akan keselamatan Sin Liong, maka dia bergerak dan hendak mengintai. Tak disangkanya, lima orang yang datang mengancam Sin Liong kesemuanya adalah orang-orang yang sudah mempunyai ilmu sedemikian tingginya sehingga sedikit gerakannya itu saja sudah dapat ditangkap oleh pendengaran mereka!

"Chan-ciangkun, kau tangkap orang di belakang batu itu!" Han Houw berseru keras.

"Baik, pangeran!"

Panglima she Chan itu bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan sepasang matanya lebar. Dalam pakaian perang itu dia nampak gagah perkasa seperti tokoh cerita Sam-kok yang bernama Thio Hwi. Agaknya dia gembira menerima perintah ini, seolah-olah memperoleh kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian dan membuat jasa.

Sementara itu, ketika mendengar perintah ini, tahulah Bi Cu bahwa dia sudah ketahuan dan percuma saja bersembunyi terus. Dia tidak takut karena memang tadinya dia tidak ingin bersembunyi, melainkan hendak menghadapi bencana di samping Sin Liong! Apa lagi sekarang dia telah mengetahui bahwa Sin Liong adalah keturunan Cin-ling-pai, maka hatinya menjadi semakin besar dan tidak takut mati!

Muncullah dara itu dari balik batu besar dan melihat dara ini, Chan-ciangkun terbelalak dan merasa heran, bingung, juga kecewa. Mana mungkin dia, seorang panglima besar, seorang laki-laki gagah perkasa, harus menghadapi seorang dara remaja seperti itu?

Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw juga terkejut, kemudian tertawa bergelak sesudah mengenal gadis itu. "Ha-ha-ha, Cia Sin Liong yang terkenal sebagai pria alim itu ternyata secara diam-diam di mana-mana disertai wanita cantik! Tangkap dia, Chan-ciangkun!"

Karena perintah itu diulangi, terpaksa Chan-ciangkun cepat menubruk ke depan hendak menangkap Bi Cu. Karena gerakannya memang cepat sekali, maka sekali sambar saja dia sudah berhasil menangkap pergelangan tangan kiri Bi Cu.

"Kerbau bau, lepaskan aku!" bentak Bi Cu dan tangannya bergerak menampar.

"Plakk!" Pipi yang lebar dari panglima itu sudah kena ditampar oleh tangan kanan Bi Cu.

Tentu saja Chan-ciangkun menjadi marah bukan kepalang. Dia dimaki kerbau busuk dan bahkan pipinya ditampar oleh bocah ini!

"Perempuan liar kau!" Tangannya bergerak dan muka Bi Cu sudah ditamparnya sehingga Bi Cu terpelanting dan untung tubuhnya menabrak batu besar, kalau tidak tentu dia akan terguling ke dalam jurang yang berada di dekat batu besar itu!

"Keparat!" Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Sin Liong sudah tiba di depan si panglima yang sudah hendak mengejar kembali, entah untuk memukul lagi atau menangkap.

Melihat pemuda itu sudah berada di depannya, Chan-ciangkun yang marah dan merasa malu itu menimpakan kemarahannya kepada Sin Liong dan memang dia ingin membuat jasa, maka dia pun langsung menghantamkan kedua tangan secara bertubi-tubi ke arah kepala dan perut Sin Liong. Serangannya ini cepat dan amat kuatnya karena memang dia seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang telah melatih kedua lengannya hingga menjadi matang biru dan luar biasa kerasnya.

Akan tetapi, Sin Liong yang sudah marah sekali melihat betapa Bi Cu ditampar oleh pria ini, sudah menggerakkan kedua lengan menyambar sambil mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang.

"Krekk! Krekk!"

Panglima Chan mengeluarkan rintihan yang bercampur teriakan kaget. Dua pergelangan lengannya patah ketika bertemu dengan lengan pemuda itu dan selagi dia terbelalak itu Sin Liong sudah menggerakkan tangan menampar dengan punggung tangan kiri.

"Desss…!"

Tubuh perwira tinggi itu terpelanting lantas terbanting keras. Dia tidak dapat bangun lagi karena sudah pingsan setelah terkena tamparan keras yang membuat tulang rahangnya retak-retak itu!

Akan tetapi, pada saat itu, Han Houw dan tiga orang temannya sudah berlompatan dekat dan pada waktu Sin Liong merobohkan Chan-ciangkun, atas isyarat Han Houw, mereka berempat secara berbareng telah melakukan serangan yang amat dahsyatnya kepada Sin Liong!

Han Houw yang sudah maklum akan kelihaian adik angkat itu, sudah berjungkir balik dan menggunakan ilmu Hok-te Sin-kun, kepalanya menjadi kaki dan kedua kakinya mengirim tendangan-tendangan aneh dibantu oleh kedua tangan yang melakukan pukulan-pukulan jarak jauh dari bawah. Sementara itu, Kim Hong Liu-nio sudah menyerang pula dengan sabuk merahnya, melakukan totokan ke arah sembilan jalan darah terpenting dari tubuh lawan bagian depan secara bertubi-tubi.

Hai-liong-ong Phang Tek yang bermuka hitam sudah menerjang dengan pedangnya yang ganas, dengan Ilmu Pedang Liong-jiauw Kiam-sut, ada pun si kecil pendek Kim-liong-ong Phang Sun telah mengandalkan ginkang-nya, meloncat tinggi lantas menyerang dari atas mempergunakan pukulan dengan tangan kirinya yang bergelang emas tebal! Dalam satu gebrakan ini Sin Liong menghadapi empat lawan yang menyerangnya sekaligus, masing-masing menggunakan serangan yang amat berbahaya dan dahsyat!

Tentu saja Sin Liong terkejut sekali. Dia sudah mengisi kedua lengannya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang membuat kedua lengan itu kebal terhadap senjata tajam. Sinar merah sabuk Kim Hong Liu-nio ditamparnya dengan jari tangan sehingga ujung sabuk itu membalik, lantas pedang Hai-liong-ong Phang Tek dan pukulan Kim-liong-ong Phang Sun ditangkisnya pula dengan kedua tangannya sehingga membuat pedang itu menyeleweng dan Phang Sun yang tertangkis pukulannya itu mencelat ke belakang.

Akan tetapi, pada saat itu kedua kaki Han Houw sudah melakukan tendangan-tendangan aneh dalam keadaan jungkir balik! Sin Liong cepat menggunakan kedua tangannya untuk menangkis dan mengelak, dan dia merasa betapa dari kedua kaki itu menyambar hawa yang aneh dan kuat bukan main. Tahulah dia bahwa ilmu ini aneh sekali.

Selagi dia hendak menggunakan ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang, tiga orang yang lain telah menerjangnya lagi. Maka sibuklah Sin Liong mengelak dan menangkis. Pada saat itu Han Houw mengeluarkan suara nyaring melengking lantas tubuhnya yang berjungkir balik itu kembali menerjang maju. Kakinya bergerak aneh ke arah Sin Liong yang sedang sibuk menghadapi serbuan tiga orang lihai itu.

Sekali ini Sin Liong menjadi sibuk juga, jalan satu-satunya hanya meloncat ke belakang, akan tetapi di belakangnya, hanya sejauh satu tombak, adalah jurang yang amat dalam. Maka terpaksa sekali dia menangkis lagi, berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, lalu dia membentak dengan suara keras, kedua tangannya didorongkan ke depan, sekaligus menangkis serangan empat orang itu. Hawa yang sangat dahsyat menyambar dari kedua telapak tangannya, menangkis semua serangan itu.

Terjadilah pertemuan tenaga yang amat dahsyatnya dan akibatnya, tubuh Han Houw yang berjungkir balik itu terlempar seperti layang-layang putus talinya, juga Kim Hong Liu-nio terhuyung ke belakang, dan kedua orang Lam-hai Sam-lo itu terjengkang dan bergulingan, mereka seperti dilanda angin taufan yang amat kuat. Akan tetapi, menghadapi gempuran tenaga empat orang yang disatukan itu, Sin Liong sendiri terlempar ke belakang dan tak dapat dihindarkan lagi tubuhnya melayang ke dalam jurang!

"Sin Liong, aku ikut...!" Bi Cu menjerit, meloncat ke tepi jurang lalu tanpa ragu-ragu lagi dia meloncat turun! Karena dia meloncat dengan mempergunakan tenaga, maka tenaga loncatan itu menambah cepatnya tenaga luncuran tubuhnya sehingga dia dapat menyusul tubuh Sin Liong.

"Bi Cu...!" Sin Liong yang jatuh dalam keadaan telentang itu berteriak kaget melihat tubuh Bi Cu juga jatuh menyusulnya.

Empat orang itu merangkak bangun dan berlari ke tepi jurang. Melihat tubuh kedua orang itu meluncur turun dengan amat cepatnya, kematian tak dapat disangsikan lagi pasti akan menyambut mereka berdua di bawah sana. Pangeran Ceng Han Houw tertawa bergelak sambil memandang langit.

"Ha-ha-ha! Selamat jalan, Cia Sin Liong! Ha-ha-ha, sekarang akulah Pendekar Lembah Naga! Inilah Pendekar Lembah Naga!" Han Houw menepuk-nepuk dadanya sendiri sambil tertawa-tawa.

Baru sekarang terasa benar bahwa betapa sesungguhnya dia amat membenci Sin Liong, semenjak permulaan. Benci yang timbul karena iri hati. Meski pun dia seorang pangeran, namun dia iri melihat betapa pemuda itu demikian gagah berani, demikian jujur, demikian setia, dan keturunan dari para pendekar besar dari Cin-ling-pai pula. Dia merasa iri, apa lagi setelah dia tahu bahwa Sin Liong mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi!

Kini satu-satunya saingan baginya telah lenyap! Dia selalu merasa rendah diri kalau dekat dengan Sin Liong! Pemuda itu begitu alim, tidak dapat digoda nafsu birahi, begitu tenang dan dapat menguasai perasaan dan keadaan. Kini telah tiada, telah hancur lebur di dasar jurang yang tak nampak itu.

********************

"Sudahlah, jangan kau menangis saja. Hatiku menjadi makin bingung dan kacau kalau engkau menangis."

Mereka duduk di dalam sebuah kuil tua. Sun Eng menangis sambil menyandarkan kepala di dada Lie Seng yang merangkulnya dan mengelus rambutnya yang hitam dan halus itu.

Akan tetapi Sun Eng menangis makin sedih. "Betapa tidak akan hancur dan terharu rasa hatiku, koko..." Dia masih terisak-isak. "Melihat ada seorang pria di dunia yang kotor ini, pria seperti engkau yang begini mencintaku... dan aku... aku seorang hina yang ternyata sekarang malah membuat hidupmu menderita, menjauhkan engkau dari keluargamu, dari ibu kandungmu... aku merasa berdosa kepadamu, koko..."

"Sudahlah, Eng-moi, berapa kali engkau mengemukakan hal itu? Aku sudah bilang, aku tidak peduli semua itu! Yang terpenting dalam hidupku hanya engkau seorang, Eng-moi! Biar keluargaku sendiri, biar ibu kandungku sendiri, kalau pendapatnya tidak tepat, ingin menghina dan memburukkanmu, biarlah aku menjauhkan diri dari mereka."

Sun Eng merangkul dan mereka berangkulan. Lie Seng menciumi wajah kekasihnya itu, matanya yang basah air mata, bibirnya yang menyambutnya dengan penuh kemesraan dan terbuka sehingga sejenak mereka tenggelam ke dalam perasaan cinta asmara yang menggelora. Tak pernah kedua orang ini merasa bosan untuk bermesraan, di mana saja dan kapan saja. Cinta mereka makin berakar mendalam.

"Hanya maut yang akan dapat memisahkan kita, Eng-moi!"

Sun Eng memegang tangan Lie Seng, lalu menciumi jari-jari tangan itu dengan hati penuh perasaan terharu dan bersyukur. "Lie-koko, engkau dari keluarga besar, engkau cucu dari pendekar sakti, ketua Cin-ling-pai, dan seluruh keluargamu terdiri dari pendekar-pendekar kenamaan, dan engkau... engkau sudah mengangkat aku dari jurang kehinaan ke tempat yang amat tinggi, terlampau tinggi untukku..."

"Sudahlah, Eng-moi, jangan merendahkan diri sendiri."

"Tidak, koko, akan tetapi aku selalu merasa rendah diri bila aku tidak melakukan sesuatu untukmu, untuk keluargamu, bukan untuk mengangkat diriku, melainkan setidaknya untuk mengimbangi selisih yang begini jauh antara engkau dan aku..."

Lie Seng mengecup bibir itu lantas bertanya dengan suara main-main, "Habis, apa yang akan kau lakukan, sayang?"

"Entahlah, koko, entahlah. Akan tetapi aku harus melakukan sesuatu demi engkau, demi keluargamu. Harus!" Wanita yang masih basah kedua matanya itu mengepal tinju, akan tetapi dia segera tenggelam lagi ke dalam pelukan dan cumbu rayu Lie Seng.

Lama setelah gelora asmara yang bergelombang menenggelamkan mereka agak mereda, mereka sudah duduk kembali, Lie Seng menyandarkan tubuhnya pada dinding kuil tua itu, sedangkan Sun Eng bersandar kepadanya dengan kedua mata dipejamkan.

"Lie-koko, setelah aku mengakibatkan engkau terpisah dari keluargamu, lalu ke mana kita sekarang hendak pergi?" terdengar Sun Eng bertanya halus.

"Kita akan ke Yen-tai!"

"Yen-tai di timur itu, di pantai?"

"Benar, Eng-moi, kita ke sana."

"Mau apa ke sana, koko? Ke rumah siapa?"

"Aku mempunyai seorang suci (kakak seperguruan) di sana, Eng-moi. Dia sudah menikah dan kini tinggal bersama suaminya di sana. Suaminya seorang pengusaha besar, maka biarlah kita ke sana, aku akan minta bantuan suci supaya bisa mendapatkan pekerjaan di sana."

Sun Eng girang sekali dan dia banyak bertanya tentang suci dari kekasihnya itu. Lie Seng lalu menceritakan siapa suci-nya itu. "Dia adalah puteri dari paman Yap Kun Liong, dia lihal sekali, dan suaminya juga seorang pendekar muda, peranakan Portugis akan tetapi baik hati dan gagah perkasa karena ibunya dahulu adalah seorang pendekar wanita yang kenamaan."

Sesudah banyak bercerita mengenai Souw Kwi Beng dan Yap Mei Lan, Lie Seng lalu mengajak kekasihnya melanjutkan perjalanan menuju ke Yen-tai. Semakin kagum sajalah hati Sun Eng mendengar penuturan itu. Kiranya, semua keluarga kekasihnya terdiri dari orang-orang hebat belaka, pendekar-pendekar kenamaan.

Mengingat akan semua ini, makin menyesal hatinya, mengapa dia sebagai murid suami isteri pendekar Cia Bun Houw dan Yap In Hong sampai menyeleweng! Andai kata tidak tentu dia pun akan termasuk ‘keluarga besar’ dari para pendekar itu, sebagai cucu murid ketua atau pendiri Cin-ling-pai! Dia semakin merasa bahwa dengan masuknya ke dalam lingkungan keluarga perkasa itu sebagai kekasih Lie Seng, dia merupakan satu-satunya kambing hitam buruk di antara domba-domba berbulu tebal putih yang bersih dan indah! Namun sikap yang amat mencinta dari Lie Seng, terutama sekali perasaan hatinya sendiri terhadap pemuda ini, membuat dia berani melanjutkan perjalanan bersama kekasihnya, biar pun hatinya merasa tidak enak dan merasa rendah diri.

Tentu saja Yap Mei Lan menyambut kedatangan sute-nya itu dengan hati girang sekali. Demikian pula Souw Kwi Beng menyambut Lie Seng dengan gembira. Lie Seng dan Sun Eng dipersilakan masuk kemudian suami isteri muda yang kaya raya itu menjamu mereka dengan hidangan lezat dalam suasana meriah, karena Yap Mei Lan gembira sekali akan kedatangan sute-nya. Bagaimana pun juga, Lie Seng bukan hanya sute-nya, akan tetapi lebih dari itu malah adik, yaitu termasuk adik tirinya. Bukankah ibu kandung sute-nya itu, kini menjadi isteri dari ayah kandungnya sendiri?

"Bagaimana kabarnya dengan ayahku, sute? Dan juga bagaimana dengan ibumu? Juga bibi In Hong dan paman Bun Houw?" pada saat mereka makan minum sambil bercakap-cakap, Mei Lan tak dapat menahan diri lagi lalu menanyakan keadaan empat orang yang menjadi buruan pemerintah itu, dengan alis berkerut dan wajah khawatir.

Berdebar rasa jantung Lie Seng dan Sun Eng. Memang sejak tadi Lie Seng sudah hendak menceritakan mengenai keadaannya dan mengenai perselisihannya dengan keluarganya tentang diri Sun Eng. Tadi hanya secara sepintas lalu ketika dia dan Sun Eng datang, dia memperkenalkan kekasihnya itu sebagai seorang sahabat sehingga suami isteri muda itu hanya tahu bahwa gadis ini bernama Sun Eng dan hanya menduga, melihat sikap serta gerak-gerik dua orang muda itu, bahwa agaknya ada apa-apa di dalam persahabatan itu. Kini Mei Lan menanyakan tentang ibunya!

"Mereka... mereka semua baik-baik saja, suci. Kini mereka tinggal dalam keadaan aman di Yen-ping..."

"Ehhh...?" Yap Mei Lan kelihatan heran kemudian saling pandang dengan suaminya yang tampan dan yang semenjak tadi hanya mendengarkan saja. Souw Kwi Beng mengerutkan alisnya memandang Lie Seng dengan penuh selidik, lalu dia pun ikut bicara.

"Seng-te, sejak kapankah engkau berjumpa dengan ayah mertuaku?"

"Kurang lebih tiga bulan kami berdua baru meninggalkan Yen-ping dan mereka berempat masih berada di sana dengan aman... ehhh, ada apakah?" Lie Seng bertanya, hatinya terasa tidak enak.

"Ah, kalau begitu engkau belum tahu, sute," kata Mei Lan. "Mereka sekarang telah pindah lagi, sesudah mereka diserbu musuh di Yen-ping. Baru saja kami menerima berita dari ayah tentang hal itu." Mei Lan lalu menceritakan berita yang didengarnya dari Yap Kun Liong.

Ternyata keluarga pendekar yang telah meninggalkan Yen-ping lalu diam-diam melarikan diri dan bersembunyi di kota Bun-cou di Propinsi Ce-kiang itu diam-diam mengirim berita kepada Yap Mei Lan dan suaminya.

"Mereka diserbu musuh? Ahh, lalu... mereka kini berada di mana?"

"Di Bun-cou, di Propinsi Ce-kiang."

Mei Lan lalu menceritakan lagi dengan jelas dan Lie Seng mendengarkan dengan tangan dikepal.

"Kalau aku tahu, tentu aku tidak akan pergi dan akan membantu mereka menghadapi musuh!" katanya.

Diam-diam Sun Eng merasa gelisah sekali sekaligus juga menyesal, karena kekasihnya itu terpaksa meninggalkan keluarganya demi dia!

"Sudahlah, sute. Mereka kini sudah selamat dan karena berada di tempat yang semakin jauh dari kota raja, agaknya di selatan itu mereka dapat hidup aman. Aku sudah mengirim perbekalan dan uang kepada mereka, melalui orang kepercayaan suamiku yang sedang mengadakan pelayaran ke selatan. Lalu, engkau sendiri bersama adik Sun Eng ini, ada keperluan apakah kalian datang ke sini? Ataukah hanya untuk menengok suci-mu ini?"

Lie Seng menarik napas panjang. Sekarang saat yang digelisahkan sudah tiba, dia harus menceritakan semuanya kalau dia menghendaki tinggal bersama kekasihnya di Yen-tai ini.

"Sebetulnya amat sulit bagiku menceritakan semua ini, suci. Akan tetapi karena agaknya aku telah terpencil dan hanya engkaulah satu-satunya orang yang dapat kuharapkan akan mau mengerti keadaanku, maka aku sengaja datang mengunjungimu, suci, harap engkau berdua suamimu suka berbelas kasihan kepadaku."

Tentu saja Mei Lan terkejut bukan main mendengar kata-kata sute-nya yang dikeluarkan dengan nada berduka itu. "Sute, apakah yang sudah terjadi? Tentu saja aku akan suka membantu sedapat mungkin!"

Tentu saja agak berat bagi Lie Seng untuk menceritakan urusannya dengan Sun Eng dan melihat keraguannya itu, Souw Kwi Beng yang tahu diri lalu berkata, "Lie-te, kalau engkau merasa sungkan dan ragu untuk bercerita di hadapanku, biarlah aku mengundurkan diri dulu..."

"Ah, tidak... tidak sama sekali, suci-hu (kakak ipar)," Kemudian dia menoleh kepada Sun Eng lalu berkata, "Eng-moi, sebaiknya engkaulah yang bercerita kepada suci Yap Mei Lan, dan aku yang bercerita kepada suci-hu Souw Kwi Beng."

Sun Eng balas memandang kemudian dia mengangguk. Melihat ini, Mei Lan lalu bangkit dari duduknya, memegang tangan Sun Eng sambil berkata, "Marilah, adik Sun Eng, kita bicara di dalam."

Dua orang wanita itu lalu meninggalkan ruangan itu dan masuk ke dalam kamar Mei Lan. Sesudah mereka pergi, Lie Seng merasa lebih leluasa dan berceritalah dia kepada Souw Kwi Beng tentang hubungannya dengan Sun Eng, bahwa ibu kandungnya dan pamannya telah menyatakan tidak setuju dengan perjodohan mereka.

"Mereka itu tidak setuju karena Eng-moi tadinya adalah murid dari paman Cia Bun Houw dan menurut paman, Eng-moi pernah menyeleweng, pernah tergoda oleh kaum pria. Ibu tak setuju aku menikah dengan seorang gadis yang bukan perawan lagi. Itulah persoalan kami, cihu, sehingga terpaksa aku bersama Eng-moi pergi meninggalkan mereka. Karena tidak tahu harus pergi ke mana lagi, maka aku mengajaknya ke sini dengan harapan cihu suka menolongku dan memberi pekerjaan agar aku bersama Eng-moi dapat hidup di kota ini dan kalau mungkin, kuharap suci dan cihu dapat meresmikan pernikahan kami."

Souw Kwi Beng mengangguk-angguk dan kedua alisnya yang tebal berkerut. Dia sendiri merasa kecewa mendengar bahwa kekasih Lie Seng adalah seorang wanita yang pernah tergoda oleh kaum pria! Dia masih belum dapat membayangkan sampai berapa jauhnya kata ‘menggoda’ itu, akan tetapi kalau sampai gadis itu tidak perawan lagi, tentu godaan dan penyelewengan itu sudah terlalu mendalam. Namun, cinta kasih memang aneh dan dia sendiri tidak berani mencampuri.

"Tentu saja aku sanggup menolongmu dengan pekerjaan yang kau perlukan, dan supaya engkau dapat tinggal di kota ini pun bukan hal yang sukar dan dapat kuatur sebaiknya. Hanya mengenai peresmian pernikahanmu, hemm... agaknya hal itu amat sukar. Kurasa suci-mu juga akan sependapat denganku bahwa kami tentu saja takkan berani bertindak selancang itu, melampaui ibu kandungmu serta ayah kandung isteriku untuk meresmikan pernikahanmu, seakan-akan mereka orang-orang tua itu kini sudah tidak ada saja. Tidak, Seng-te, kurasa hal ini tidak mungkin."

Lie Seng menarik napas panjang. "Andai kata tak mungkin pun tak mengapa. Kami telah mengambil keputusan untuk hidup bersama, dinikahkan secara resmi atau pun tidak, bagi kami sama saja!" Ucapan ini mengandung kepedihan hati akan tetapi juga mengandung keputusan nekat.

Sementara itu, di dalam sebuah kamar, Sun Eng juga bercerita kepada Mei Lan. Akan tetapi berbeda dengan cerita Lie Seng, wanita ini menceritakan segalanya tanpa ditutup-tutupi lagi.
Selanjutnya,