Pendekar Lembah Naga Jilid 44

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Episode Pendekar Lembah Naga Jilid 44 Karya Kho Ping Hoo

Pendekar Lembah Naga Jilid 44

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
DIA menceritakan penyelewengannya pada saat dia masih menjadi murid Cia Bun Houw, betapa melihat kedua orang gurunya itu dalam keadaan pengasingan diri tidak melakukan hubungan suami isteri, membuat dia merasa kasihan terhadap Bun Houw dan dia sudah mencoba untuk merayu gurunya sendiri. Kemudian betapa dia terpikat oleh godaan kaum pria sehingga dalam kepatahan hatinya akibat dibenci oleh kedua gurunya, dia melakukan penyelewengan-penyelewengan dan akhirnya tidak diakui lagi sebagai murid suami isteri pendekar itu.

Kemudian, diceritakan pula tentang penyesalannya, mengenai usahanya menolong kedua gurunya itu sehingga dia pun bertemu dengan Lie Seng. Betapa dia sudah menceritakan semua pengalamannya itu kepada Lie Seng, kemudian mereka masing-masing berpisah selama satu tahun untuk menjajagi hati masing-masing dan akhirnya bertemu lagi tetapi cinta mereka bahkan semakin mendalam.

"Demikianlah, enci. Aku tahu akan keadaan diriku. Aku mengenal sepenuhnya siapa diriku, seorang murid murtad, seorang gadis tak tahu malu yang hina dan rendah. Aku pun tahu benar bahwa aku tidak pantas menjadi isteri Lie-koko, dan aku sudah menyatakan hal ini terus terang kepadanya. Akan tetapi, dia begitu mencintaku, enci, dan aku... kalau engkau masih percaya kepada hati yang sudah rusak ini, saat aku melihat betapa murni cintanya kepadaku, aku rela mati untuknya, enci. Ketika dia bentrok dengan keluarganya, dengan ibu kandungnya sendiri, mau rasanya aku membunuh diri. Akan tetapi aku tahu, cara itu bahkan akan membuat Lie-koko menjadi makin berduka saja, maka aku menuruti segala kehendaknya dan begitulah, kami berdua tiba di sini. Agaknya, sekarang nasib Lie-koko terletak dalam tangan enci..." Dan menangislah Sun Eng.

Sejenak Yap Mei Lan termenung, membiarkan gadis itu menangis. Dalam hatinya terjadi perang. Tentu saja dia tidak dapat menyalahkan ibu tirinya, atau ibu kandung Lie Seng yang kini menjadi isteri ayah kandungnya, juga tidak menyalahkan suami Isteri Cia Bun Houw. Siapa orangnya yang merasa senang melihat puteranya berjodoh dengan seorang gadis yang begitu rusak batinnya, yang telah menjadi permainan kaum pria, bahkan yang begitu tak tahu malu untuk menggoda dan mengajak main gila kepada suhu-nya sendiri?

Akan tetapi, mereka sudah saling mencinta di antara mereka berdua, dan terutama sekali dia tidak meragukan cinta wanita ini kepada sute-nya. Baginya, cinta kasih asmara adalah urusan dalam dari dua orang yang bersangkutan dan orang lain sama sekali tidak boleh menilainya, tidak boleh mencampurinya.

Tentu saja apa bila menurut suara hatinya sendiri, dia pun akan merasa kecewa melihat sute-nya berjodoh dengan seorang gadis yang sudah pernah menyeleweng seperti Sun Eng ini. Akan tetapi dia maklum bahwa campur tangan perasaannya ini tidaklah benar, setidaknya, tidak akan membahagiakan hati sute-nya. Maka dia menarik napas panjang.

"Sudahlah, adik Eng. Yang terpenting bagi kalian adalah isi hati kalian masing-masing. Tentu saja kami akan suka menolong kalian, terutama kekasihmu adalah sute-ku yang tersayang. Mari kita temui mereka dan kita bicarakan lebih lanjut." Mereka lalu keluar dan kembali ke ruangan tadi. Melihat kekasihnya masuk bersama suci-nya dengan kedua mata agak membengkak dan merah oleh tangis, maka mengertilah Lie Seng bahwa Sun Eng tentu telah menceritakan segala-galanya, termasuk penyelewengannya. Oleh karena itu dia cepat menyambut dan menggandeng tangan kekasihnya, meremas jari-jari tangan Sun Eng dan dari sentuhan ini seakan-akan dia sudah menghibur dan membesarkan hati kekasihnya itu. Kemudian mereka duduk mengelilingi meja seperti tadi.

Memang tepatlah pendapat Souw Kwi Beng yang dikatakan kepada Lie Seng tadi. Yap Mei Lan dengan rela dan senang hati mau menolong sute-nya dan dia setuju sepenuhnya apa bila suaminya memberi pekerjaan yang layak kepada sute-nya. Akan tetapi dia tidak berani kalau harus meresmikan pernikahan kedua orang muda itu.

"Hal itu tak mungkin bisa kami lakukan, sute. Harap sute memakluminya, ibu kandungmu masih ada, pamanmu masih ada, mana mungkin aku bersama suamiku berani bertindak demikian lancangnya untuk menjadi walimu dan meresmikan pernikahanmu? Hal itu tentu saja menjadi lain bila andai kata ibu kandungmu itu memberi kekuasaan dan persetujuan kepada kami. Harus engkau ingat bahwa ibu kandungmu berarti juga ibu tiriku, maka aku sama sekali tidak berani. Ayah tentu akan marah sekali kepadaku apa bila aku sampai berani selancang itu. Maka, kau maafkanlah kami berdua, sute."

Lie Seng dapat menerima alasan-alasan mereka itu dan demikianlah, mulai hari itu juga, Lie Seng diberi pekerjaan oleh Souw Kwi Beng. Karena perdagangan Kwi Beng meliputi perdagangan barang-barang hasil bumi yang diangkut dengan perahu-perahu, dan setiap hari banyak sekali perahu-perahu hilir mudik di pelabuhan Yen-tai, maka Lie Seng diberi tugas untuk mengawasi kelancaran pemuatan hasil bumi ke perahu-perahu itu, menjaga jangan sampai ada kecurangan. Selain pekerjaan, suami isteri yang kaya ini menyediakan pula sebuah rumah lengkap dengan segala perabotnya untuk Lie Seng dan Sun Eng.

Penyambutan yang amat baik ini makin mengharukan hati Sun Eng. Dia merasa semakin terpukul melihat kebaikan Mei Lan, suci dari kekasihnya. Semakin dia kagum kepada Lie Seng dan keluarganya, semakin dia merasa dirinya kecil dan tidak berharga, rendah dan tidak patut menjadi teman hidup seorang pendekar seperti Lie Seng! Oleh karena itu, biar pun pada lahirnya dia kelihatan berbahagia dan hidup sebagai suami isteri yang belum sah bersama Lie Seng, penuh dengan kemesraan dan cinta kasih, akan tetapi di dalam batinnya wanita muda ini selalu penuh dengan penyesalan terhadap diri sendiri!

Sudah menjadi kebiasaan kita pada umumnya, untuk selalu menilai perbuatan-perbuatan kita yang telah lalu, menimbulkan penyesalan, rasa takut, dan sebagainya. Bahkan telah kita terima sebagai sesuatu yang benar dan mutlak penting bahwa penyesalan terhadap perbuatan yang lampau dapat menyadarkan kita dan membuat kita tidak lagi melakukan perbuatan yang kita anggap keliru dan yang mendatangkan penyesalan itu. Akan tetapi, benarkah hal ini? Benarkah bahwa penyesalan dapat membersihkan kita dari perbuatan sesat di masa mendatang?

Penyesalan selalu datang kalau perbuatan itu SUDAH dilakukan. Dan biasanya, seperti yang dapat kita lihat setiap hari di sekeliling kita, di dalam kehidupan masyarakat, dalam kehidupan kita sendiri, penyesalan pun makin lama akan semakin menipis dan kemudian hilang. Sementara itu, perbuatan kita masih saja penuh dengan kesesatan! Lalu, setelah menilai dan mengingat, timbul penyesalan kembali.

Perbuatan sesat dan penyesalan hanya susul-menyusul belaka, seperti dalam lingkaran setan yang tak ada putus-putusnya, seperti kalau kita makan makanan yang pedas, yang terasa enak segar di mulut akan tetapi sebenarnya tidak baik bagi perut. Ketika makan sangatlah enaknya sehingga kita yang terlalu mementingkan keenakan itu tidak lagi ingat kepada perut kita sendiri. Baru sesudah perut kita sakit melilit-lilit, kita merasa menyesal dan sadar bahwa terlalu banyak makanan pedas itu tidak baik untuk perut. Akan tetapi, penyesalan ini dalam sedikit waktu sudah terlupa lagi apa bila kita menghadapi makanan pedas yang segar enak bagi mulut itu! Kenyataannya demikianlah!

Pengejaran kesenangan membuat kita buta dan baru sesudah kesenangan itu terdapat lalu timbullah hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti segala macam kesenangan yang memiliki muka ganda sehingga senang dan susah tidak terpisahkan, akhirnya timbul penyesalan! Jadi penyesalan itu pada hakekatnya timbul karena akibat dari kesenangan itu mendatangkan kesusahan kepada kita! Jadi bukanlah si perbuatan sesat itu sendiri yang kita sesalkan, melainkan si akibat yang buruk dari perbuatan yang mendatangkan kesenangan itu!

Semua ini akan nampak jelas sekali jika kita waspada terhadap segala gerak-gerik lahir batin kita sendiri, bila kita waspada terhadap segala sesuatu yang bergerak dalam pikiran kita. Kewaspadaan adalah kesadaran dan kesadaran adalah pengertian, dan pengertian ini akan melahirkan perbuatan yang spontan, perbuatan yang tidak lagi dikendalikan oleh pertimbangan dan penilaian pikiran.

Karena perbuatan yang dikendalikan oleh pikiran, oleh si aku, sudah pasti perbuatan itu berdasarkan untung rugi bagi si aku, dan perbuatan seperti ini sudah pasti menimbulkan konflik yang kemudian berakhir dengan kedukaan, termasuk penyesalan yang tidak ada gunanya itu. Kewaspadaan setiap saat terhadap diri sendirilah yang akan melenyapkan perbuatan-perbuatan sesat yang hanya terjadi dan hanya dilakukan dalam keadaan TAK SADAR. Bukan penyesalan yang melenyapkan kesesatan-kesesatan itu!

Yang amat penting untuk kita sadari adalah bahwa kewaspadaan setiap saat terhadap diri sendiri lahir batin ini haruslah tidak dikendalikan oleh si aku! Jadi yang ada hanyalah pengamatan saja, kewaspadaan saja, kesadaran akan diri sendiri tanpa ada aku yang mengamati, tanpa ada aku yang waspada dan sadar! Karena apa bila ada si aku yang mengatur serta mengendalikan semua kewaspadaan di dalam pengamatan itu, maka itu hanya permainan pikiran atau si aku yang tentu mengandung pamrih dalam pengamatan itu, pamrih untuk sesuatu, untuk mencapai sesuatu, entah yang sesuatu itu dinamakan kesenangan, kedamaian, kesucian dan sebagainya. Semua tindakan dari pikiran atau si aku yang selalu mengejar kesenangan pastilah menimbulkan konflik dan kesengsaraan.


Yap Mei Lan berdua suaminya, Souw Kwi Beng, sedang duduk di ruangan depan rumah mereka. Setelah Lie Seng bekerja di tempat pemuatan barang-barang hasil bumi, yaitu di pelabuhan, semakin banyaklah waktu bagi Kwi Beng untuk menemani isterinya di rumah. Sudah dua bulan lebih Lie Seng bekerja di situ dan suami isteri ini merasa senang dapat menolong Lie Seng yang tampak hidup cukup bahagia dengan Sun Eng, ada pun bantuan Lie Seng itu ternyata juga membuat pekerjaan Kwi Beng menjadi ringan.

Semenjak tadi suami isteri ini memandang kepada pemuda yang berdiri di atas jalan raya di depan rumah gedung mereka itu. Pemuda itu tampan dan gagah, bertubuh tinggi tegap, memakai jubah kulit macan dan sebuah topi yang indah dari bulu rubah dan dihiasi bulu burung yang berwarna biru keemasan.

"Waspadalah, sikap orang itu amat mencurigakan," bisik Yap Mei Lan kepada suaminya, namun pendekar wanita ini nampak tenang saja, pura-pura tidak melihat kepada pemuda itu akan tetapi biar pun tidak melihat langsung dari sudut matanya, dia selalu mengawasi gerak-geriknya.

Pemuda itu agaknya merasa bimbang, akan tetapi kemudian dia melangkah memasuki pekarangan yang luas dan ditumbuhi banyak pohon sehingga kelihatan teduh itu, dengan langkah tenang dan lebar menghampiri ruangan depan di mana suami isteri itu sedang duduk.

Melihat betapa pemuda yang dicurigai isterinya itu memasuki pekarangan rumah mereka, Souw Kwi Beng lalu bangkit dari tempat duduknya, melangkah keluar untuk menyambut. Pemuda ini mungkin seorang tamu, pikirnya.

Souw Kwi Beng adalah seorang saudagar yang mempunyai hubungan amat luas, bahkan dengan luar negeri, maka tidak mengherankan andai kata pemuda asing yang pakaiannya aneh dan menyolok itu mengunjunginya. Dia tidak curiga seperti isterinya dan menyambut kedatangan tamu itu dengan senyum lebar di wajahnya yang tampan.

"Selamat datang di tempat kami, saudara. Tidak tahu siapakah saudara ini, datang dari mana dan hendak mencari siapa?" tegur Souw Kwi Beng dengan sikap ramah.

Pemuda jangkung tegap itu sejenak memandang kepada Kwi Beng dengan sinar mata tertarik dan kagum akan ketampanan pria peranakan Portugis ini, kemudian dia menoleh ke arah Mei Lan yang juga sudah bangkit dari kursinya dan menuruni undak-undakan di depan rumahnya.

Ada sesuatu di dalam sinar mata pemuda ganteng itu yang membuat kedua pipi pendekar wanita ini menjadi kemerahan. Kedua mata yang mencorong itu mengandung kegairahan yang kurang ajar, pikirnya. Kalau hanya mata pria yang memandangnya dengan kagum saja, hal ini sudah biasa bagi Mei Lan, namun pandang mata ini aneh sekali, seolah-olah sinar mata itu memiliki kekuasaan untuk menelanjanginya, seolah-olah sinar mata itu bisa menggerayangi tubuhnya dan memandang tembus pakaian yang menutupi tubuhnya!

Pemuda tampan itu tidak menjawab pertanyaan yang diajukan secara sopan dan hormat oleh Souw Kwi Beng, melainkan kini dia memutar tubuh menghadapi Mei Lan, kemudian terdengar dia bertanya dengan suara langsung dan lantang, sedikit pun tak menunjukkan sikap sopan seperti patutnya seorang pria terhadap seorang wanita yang belum pernah dikenalnya.

"Apakah engkau yang bernama Yap Mei Lan?"

Tentu saja suami isteri itu terkejut dan juga merasa tidak senang, terutama sekali Mei Lan yang mukanya menjadi semakin merah, kini bukan merah karena jengah atau malu, akan tetapi merah karena marah.

"Aku adalah nyonya Souw Kwi Beng!"

Akan tetapi nampak pemuda itu telah menggerakkan tangannya dengan kesal. "Aku tidak ada urusan dengan Souw Kwi Beng, melainkan dengan Yap Mei Lan! Engkau orangnya, bukan?"

Mei Lan semakin marah dan dia sudah hendak menerjang dan menghajar pria kurang ajar ini, akan tetapi Kwi Beng sudah berdiri di dekatnya dan menyentuh lengannya, mencegah isterinya terburu nafsu, kemudian dia menghadapi pemuda itu.

"Kami tidak mengerti kenapa saudara yang tidak kami kenal bersikap seperti ini. Memang betul bahwa isteriku bernama Yap Mei Lan. Lalu saudara mau apa dan siapakah engkau?" Karena sikap orang itu, maka Kwi Beng juga menanggalkan penghormatannya.

Pemuda itu tertawa dan wajahnya memang tampan. "Bagus! Yap Mei Lan, engkau puteri dari Yap Kun Liong, bukan? Nah, aku datang untuk menangkapmu! Ayahmu dan bibimu adalah pemberontak-pemberontak buronan, maka engkau harus menjadi tawananku."

Makin kaget kedua orang suami isteri itu. "Siapakah engkau manusia sombong?" Yap Mei Lan bertanya dengan sinar mata tajam penuh selidik.

"Ha-ha, ingin mengenalku? Aku adalah Pangeran Ceng Han Houw dan sebaiknya engkau menyerah saja baik-baik. Engkau akan kutawan terlebih dahulu sebagai sandera dan baru sesudah seluruh keluarga Cin-ling-pai, para pemberontak buronan itu menyerah, engkau akan kubebaskan lagi."

Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng. Akan tetapi kekagetan Mei Lan ini disertai rasa marah yang makin hebat. Dia telah mendengar tentang pangeran ini, yang kabarnya adalah adik seperguruan dari Kim Hong Liu-nio yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai.

"Siapa sudi menyerah? Pertama, aku tidak bersalah apa pun terhadap pemerintah. Ke dua, aku tidak tahu apakah engkau ini benar seorang pangeran ataukah hanya pengacau saja karena engkau tidak membawa surat perintah atau kuasa atau pasukan. Dan ke tiga, andai kata benar engkau pangeran, aku pun tidak akan sudi menyerah karena aku tahu benar bahwa ayahku dan semua keluarga Cin-ling-pai bukanlah pemberontak!"

"Ha-ha-ha, apakah engkau menghendaki aku menggunakan kekerasan? Aku sebenarnya tidak suka mempergunakan kekerasan terhadap seorang wanita, apa lagi terhadap wanita secantik engkau..."

"Keparat sombong, tutup mulutmu yang kotor!" Yap Mei Lan sudah membentak dan dia pun telah menerjang dengan pukulan tangan kiri dari kepalan tangannya yang kecil tetapi yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu.

"Bagus! Aku girang sekali melawan orang-orang pandai dari Cin-ling-pai! Hayo keluarkan semua kepandaianmu!" kata Han Houw.

Dia memang gembira melihat betapa pukulan wanita ini sangat hebat, hal yang memang sudah disangkanya mengingat bahwa wanita cantik ini bukan orang sembarangan, namun puteri kandung dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Cepat dia mengelak, tetapi sebelum dia sempat membalas Mei Lan sudah menyerangnya bertubi-tubi, tubuhnya yang langsing itu bergerak demikian cepatnya, kadang-kadang berputar laksana gasing, tahu-tahu telah menyerang dari arah-arah lain sehingga wanita itu seakan-akan sudah mengubah dirinya menjadi banyak dan menyerang lawan dari semua jurusan!

"Bagus sekali...!" Han Houw menggerakkan kaki tangan, mengelak dan menangkis.

Memang hebat dan indah serangan-serangan yang dilakukan oleh Yap Mei Lan. Dia telah menggunakan Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) yang dahulu diwarisinya dari mendiang Bun Hwat Tosu, dan dia mengisi kedua lengannya itu dengan tenaga sakti Thian-te Sin-ciang yang diwarisinya dari mendiang Kok Beng Lama!

Tentu saja serangan-serangannya itu amat hebatnya, juga dibandingkan dengan Lie Seng, Mei Lan memiliki kelebihan. Lie Seng hanya mewarisi ilmu-ilmu dari Kok Beng Lama saja, sebaliknya Mei Lan mempunyai dua sumber dari ilmu-ilmunya, yaitu Kok Beng Lama dan Bun Hwat Tosu. Di samping itu, melihat bakatnya yang hebat, dia pun mewarisi khikang yang amat hebat dari Kok Beng Lama yang sengaja menurunkan ilmu ini kepada Mei Lan.

Di lain fihak, Yap Mei Lan amat terkejut ketika melihat betapa semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh pangeran itu! Lebih terkejut lagi dia ketika mereka beradu lengan, dia merasa tubuhnya tergetar hebat, tanda bahwa pangeran ini memiliki tenaga yang amat kuat!

Han Houw juga mengerti bahwa boleh dibilang semua anggota keluarga Cin-ling-pai, atau golongan mereka, mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi, maka biar pun sekarang yang dihadapinya hanya seorang wanita cantik yang kelihatan lemah lembut, dia sama sekali tak berani memandang ringan. Maka dia pun bersilat dengan cepat sambil mengerahkan tenaganya.

Dalam keadaan seperti itu, setiap bertemu dengan lawan pandai, kumatlah penyakit Han Houw. Dia ingin sekali menguras dan mengenal ilmu-ilmu lawan. Maka dalam menghadapi Mei Lan dia pun lebih banyak bertahan dari pada menyerang, karena lebih dulu dia ingin melihat lawannya mengeluarkan seluruh kepandaiannya, baru dia akan merobohkannya dan menawan wanita ini sebagai sandera.

Melihat betapa isterinya agaknya belum juga dapat mengalahkan pangeran itu, Souw Kwi Beng menjadi tidak sabar. Dia mengerti bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh kalau dibandingkan dengan tingkat isterinya atau pun pangeran itu, akan tetapi sebagai seorang suami, tidak mungkin dia mendiamkannya saja melihat isterinya berkelahi dengan orang lain.

Karena itu dia lalu mengeluarkan suara bentakan nyaring kemudian turunlah dia ke dalam gelanggang perkelahian itu. Begitu menerjang maju, dia mainkan ilmu silat yang diperoleh dari ibunya, yaitu Jit-goat Sin-ciang-hoat dan menggunakan tenaga Im-yang Sinkang. Dia menyerang dengan pukulan-pukulan keras, akan tetapi kadang kala diselingi pula dengan totokan-totokan yang disebut It-ci-san, yaitu totokan satu jari yang amat ampuh dan yang merupakan ilmu andalan dari ibunya.

"Hemm, bagus!" Pangeran Ceng Han Houw menjadi semakin gembira.

Dia melihat bahwa pria tampan ini tidak begitu hebat gerakan mau pun tenaganya, namun mempunyai ilmu silat yang aneh dan juga indah kuat. Mulailah dia dikeroyok dua dan Han Houw memang sudah memperoleh tingkat yang amat tinggi sehingga pengeroyokan dua orang suami isteri itu sama sekali tidak membuat dia terdesak. Bahkan kini mulailah dia mengeluarkan jurus-jurus serangan balasan yang membuat Mei Lan dan terutama sekali Kwi Beng, terdesak dan sering kali terpaksa meloncat jauh ke belakang karena memang hantaman pangeran itu berbahaya dan kuat bukan main.

Beberapa kali Mei Lan menyuruh suaminya mundur, akan tetapi Kwi Beng sama sekali tidak mau. Hal ini amat mengkhawatirkan hati Mei Lan. Dia pun tahu bahwa pangeran ini memang lihai bukan main dan dia mengerti sampai di mana tingkat kepandaian suaminya maka tentu saja melawan pangeran itu amat berbahaya bagi suaminya.

Tiba-tiba dia lalu mengerahkan khikang-nya dan mengeluarkan suara teriakan melengking nyaring yang menggetarkan keadaan di sekelilingnya. Kwi Beng sendiri sampai terhuyung dan meloncat ke belakang akibat tergetar oleh suara isterinya itu. Han Houw terkejut dan sejenak dia termangu, dan saat itu digunakan oleh Mei Lan untuk menerjangnya dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang.

"Plak-plak-plakkk!"

Han Houw terhuyung dan walau pun dia berhasil menangkis, namun serangan itu sangat hebatnya sehingga membuat dia lengah dan terdesak, terutama lengah karena lengking yang hebat tadi. Akan tetapi pangeran ini segera membuat gerakan aneh dan tahu-tahu tubuhnya sudah berjungkir balik dan tiba-tiba Mei Lan menjerit lantas cepat meloncat jauh ke belakang karena tanpa diduga-duganya, ada kaki yang menyerang ke arah ubun-ubun kepalanya dengan hebatnya karena pangeran itu tahu-tahu sudah berjungkir balik dengan aneh.

"Ha-ha-ha!" Han Houw tertawa dan dia pun meloncat dan berdiri seperti biasa lagi.

Untuk menghadapi suami isteri itu, dia tidak perlu menggunakan ilmu simpanannya. Kalau tadi dia terpaksa mempergunakan jurus Hok-te Sin-kun adalah karena dia terkejut hingga terdesak oleh pukulan-pukulan sakti wanita cantik itu.

"Lebih baik engkau menyerah saja, Yap Mei Lan, dan mengingat akan kecantikanmu, aku tentu akan bersikap manis kepadamu."

Wajah yang cantik itu menjadi semakin merah. "Manusia busuk!" bentaknya dan dia pun telah menerjang lagi, dibantu oleh suaminya yang juga marah karena pemuda itu bersikap dan berbicara kurang ajar kepada isterinya.

Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring, "Manusia dari mana berani mengacau di sini?" Bentakan itu disusul menyambarnya sesosok bayangan dan tahu-tahu Lie Seng sudah berada di situ dan pemuda ini menerjang dengan pukulan yang amat kuat ke arah dada Han Houw.

"Ehhh...!" Han Houw menarik tubuh ke belakang untuk mengelak karena dia mengenal pukulan ampuh.

Melihat Lie Seng sudah datang membantu, Souw Kwi Beng meloncat lantas menyerang dengan tendangan dari atas ke arah pundak kiri Han How. Akan tetapi pangeran ini sudah siap sedia, lengan kirinya menyampok dan begitu kaki Kwi Beng tertangkis, tubuhnya lalu terlempar dan terpelanting. Tentu dia akan terbanting keras kalau lengannya tidak segera disambar oleh Mei Lan.

Lie Seng terkejut bukan main melihat betapa mudahnya orang itu mengelak dari pukulan-pukulannya yang hebat tadi, dan alangkah mudahnya pula dia membuat tendangan Kwi Beng selain gagal juga membuat Kwi Beng terlempar. Tahulah dia bahwa lawan ini bukan orang sembarangan, apa lagi dia melihat sendiri betapi suci-nya dan suami suci-nya tidak mampu mengalahkannya.

"Pengacau, siapakah engkau?!" bentaknya.

"Sute, dia adalah Pangeran Ceng Han Houw, katanya datang untuk menangkap aku!" kata Mei Lan yang sudah siap untuk menggempur lagi.

Hatinya menjadi besar dengan kemunculan sute-nya karena dia maklum bahwa agaknya kepandaiannya sendiri tidak akan mampu menandingi lawan. Namun kalau sute-nya turut membantunya, dia yakin akan dapat mengalahkan pangeran yang benar-benar amat lihai ini.

Lie Seng terkejut dan alisnya yang tebal berkerut. Sejenak dia memandang pangeran itu penuh perhatian. Adiknya, Lie Ciauw Si dahulu pernah menyebut-nyebut nama pangeran ini, malah menurut adiknya, pangeran ini amat baik, memberi adiknya sebuah cincin yang sudah terbukti pula kekuasaannya karena cincin itu dulu mampu mengundurkan pasukan pemerintah!

"Benarkah engkau Pangeran Ceng Han Houw?" tanyanya meragu.

"Benar, dan siapakah engkau, kepandaianmu boleh juga."

Akan tetapi Lie Seng tidak ingin memperkenalkan diri atau berkenalan, malah sebaliknya dia menegur pangeran itu, "Kalau begitu, kenapa engkau hendak menangkap suci-ku ini? Apa salahnya?"

"Ha-ha-ha-ha, agaknya orang-orang Cin-ling-pai dan golongannya masih juga belum mau menginsyafi dosa-dosanya. Yap Mei Lan ini adalah puteri dari Yap Kun Liong, seorang pemberontak buruan. Aku hendak menangkapnya untuk sandera, agar para pemberontak itu suka menyerah."

"Hemm, mana ada aturan demikian? Bila memang hendak menangkap, mana surat kuasa atau surat perintah untuk menangkapnya? Keluarga Cin-ling-pai baru dituduh saja sebagai pemberontak, yang hanya merupakan fitnah belaka. Andai kata benar mereka melakukan hal-hal yang dianggap memberontak, apa hubungannya hal itu dengan suci? Jika hendak menangkap, harus ada surat kuasa atau surat perintah dan alasan-alasannya yang kuat mengapa dia hendak ditangkap?"

Melihat sikap yang tenang dan tegas dari pria muda yang gagah ini, Pangeran Ceng Han Houw merasa kagum sehingga dia meragu. "Siapakah engkau yang berani bicara seperti ini terhadap Pangeran Ceng Han Houw?"

"Aku orang biasa, yang menjunjung keadilan dan kebenaran. Aku Lie Seng, dan menurut penuturan adikku Ciauw Si, yang namanya Pangeran Ceng Han Houw adalah orang yang baik dan gagah, akan tetapi apa bila benar engkau pangeran itu dan kini engkau bersikap seperti ini, hendak menangkap orang secara membabi-buta, sungguh aku kecewa atas penuturan adikku itu!"

Han Houw terkejut. Ah, kiranya pria yang gagah ini adalah kakak kandung dari Ciauw Si? Sejenak dia termangu dan meragu. Dia merasa tidak enak kalau harus memperlihatkan kekerasan di depan kakak kandung Ciauw Si, dara yang tidak pernah dapat dilupakannya itu. Dia menarik napas panjang lalu berkata,

"Semua perbuatanku ini adalah tugasku sebagai pangeran, demi baktiku kepada negara. Akan tetapi kalau memang kalian menghendaki surat kuasa, tunggulah. Aku akan datang lagi membawa surat kuasa dan setelah demikian, kuharap kalian tak akan membangkang lagi karena aku pun tidak ingin menggunakan kekerasan!" Sesudah berkata demikian, dia menjura dan membalikkan tubuhnya lalu melangkah pergi meninggalkan halaman rumah itu.

Para tetangga yang berkerumun di depan melihat perkelahian itu pun lalu bubar karena mereka tak berani mencampuri. "Mari kita bicara di dalam!" kata Souw Kwi Beng kepada isterinya dan Lie Seng, suaranya mengandung kesungguhan dan diliputi kegelisahan.

Sesudah tiba di ruangan dalam, mereka bertiga lalu berunding dengan wajah serius dan suara penuh kesungguhan. "Pangeran itu benar-benar mempunyai kepandaian yang amat lihai, sute. Aku sendiri, terus terang saja, akan sukar untuk dapat mengalahkannya!"

Ucapan yang sejujurnya dari sang suci ini membuat Lie Seng terkejut sekali. Suci-nya itu mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi, bahkan masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya sendiri, akan tetapi sekarang suci-nya mengatakan bahwa dia tak mampu mengalahkan pangeran ini!

"Betapa pun juga kita akan melawannya, suci! Biarlah aku akan membantu suci, kurasa dengan majunya kita berdua, tidak mungkin dia akan mampu banyak berlagak!" kata Lie Seng, masih merasa terkejut.

Akan tetapi Souw Kwi Beng menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Hendaknya kalian berdua ingat bahwa yang kalian hadapi bukan seorang tokoh kang-ouw yang dapat dihadapi dengan tenaga dan ilmu silat. Akan tetapi kalau benar dia itu seorang pangeran yang memiliki kekuasaan besar, dan mengingat pula akan keadaan keluarga Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak buronan oleh pemerintah, kita harus berhati-hati. Kita tentu saja dapat melawan musuh-musuh dari dunia kang-ouw dengan tenaga dan kekerasan, akan tetapi tidak mungkin kita dapat melawan pemerintah.

Melihat wajah suaminya yang penuh kegelisahan itu, Mei Lan menjadi ikut khawatir. Jadi, bagaimana sekarang baiknya?" tanyanya sambil memandang kepada suaminya, maklum bahwa suaminya yang amat mencintanya itu sebenarnya mengkhawatirkan keselamatan dirinya, bukan keselamatan diri sendiri.

Selagi tiga orang itu saling pandang dengan wajah khawatir, tiba-tiba saja masuk seorang wanita setengah berlari-lari, mukanya pucat dan napasnya terengah. Wanita itu ternyata adalah Sun Eng, dan ketika melihat Lie Seng berada di situ bersama suci-nya dan suami suci-nya, Sun Eng mengeluh panjang dengan penuh kelapangan dada.

Ahhh... syukurlah kalian tidak apa-apa...," katanya terengah. Aku... aku tadi mendengar laporan bahwa kalian berkelahi... maka aku segera lari ke sini..."

Lie Seng sudah merangkul kekasihnya kemudian membawanya duduk menghadapi meja. Tenanglah, Eng-moi. Kami tidak apa-apa, dan memang ada urusan yang amat penting dan mengkhawatirkan. Kau dengarlah."

Lalu dengan singkat dia menceritakan mengenai kemunculan Pangeran Ceng Han Houw yang hendak menangkap Yap Mei Lan sebagai puteri pemberontak.

Tentu saja Sun Eng menjadi ikut gelisah sekali, dan dia yang pemberani dan berhati keras itu segera berkata, kenapa kita tidak cari saja pangeran busuk itu dan membunuhnya?"

"Ah, tak mungkin kita lakukan itu, Eng-moi. Engkau pun tahu betapa keluarga Cin-ling-pai telah difitnah, dituduh pemberontak. Jika kita sampai membunuh seorang pangeran tentu dosa itu akan semakin dibesar-besarkan. Selain itu, pangeran itu amat lihai, bahkan suci dan aku sendiri tidak dapat menandinginya."

"Ohhh...?! Sun Eng memandang pucat dan hampir tidak percaya bahwa ada pangeran yang memiliki kepandaian setinggi itu. Habis, bagaimana baiknya?"

"Itulah yang sedang kami bertiga rundingkan ketika engkau tiba tadi," jawab Lie Seng.

Kembali suasana menjadi hening, sunyi yang mencekam perasaan sebab mereka merasa tegang dan khawatir.

Kalau tidak boleh melawan, jadi... apakah kita harus melarikan diri?" akhirnya Yap Mei Lan berkata, hatinya penuh dengan rasa penasaran.

"Agaknya itulah satu-satunya jalan, kalau kita sudah dimusuhi pula oleh pemerintah, tidak ada jalan lain...," kata suaminya.

"Tapi, engkau sudah begitu royal dengan hadiah-hadiahmu kepada boleh di bilang semua pejabat dari yang terendah sampai yang tertinggi di Yen-tai ini! Hadiah yang kau berikan kepada mereka bahkan lebih besar dari pada gaji yang mereka terima!" isterinya mencela.

Souw Kwi Beng menarik napas panjang. Isteriku, memang hubungan kita dengan para pejabat di Yen-tai ini sudah sangat baik, dari mereka itu kita percaya akan memperoleh perlakukan baik. Akan tetapi, pangeran itu dari kota raja! Tentu kekuasaannya jauh lebih besar sehingga para pejabat di sini tentu tidak mampu menentangnya. Betapa pun juga, aku akan menghubungi mereka dan..."

Souw Kwi Beng menghentikan kata-katanya karena pada saat itu pula muncullah seorang pelayannya yang memberitahukan bahwa ada seorang tamu utusan Ciong-taijin mohon bertemu dengan tuan rumah. Empat orang itu saling pandang dan Kwi Beng lalu minta kepada pelayannya agar tamu itu langsung diantar masuk ke dalam ruangan itu.

Tidak lama kemudian, seorang laki-laki tua yang berpakaian biasa memasuki ruangan itu kemudian cepat dia memberi hormat kepada Souw Kwi Beng dan yang lain-lain. Kwi Beng mengenal orang ini sebagai orang kepercayaan Ciong-taijin, yaitu kepala daerah Yen-tai.

"Saya tidak dapat bicara banyak dan lama," kata orang itu sesudah dipersilakan duduk. Saya diutus oleh taijin supaya menyampaikan kepada Souw-wangwe (hartawan Souw) bahwa ada bahaya besar mengancam keluarga wangwe. Taijin hanya mengatakan bahwa Pangeran Ceng Han Houw yang merupakan seorang pemegang kekuasaan dari kaisar sendiri, telah memerintahkan kepada penjaga keamanan kota agar mengerahkan pasukan untuk mengawalnya menangkap keluarga wangwe! Taijin tidak dapat menolong, dan tidak berani berbuat apa-apa selain mengutus saya untuk memberi tahu. Taijin menganjurkan agar wangwe sekeluarga cepat-cepat pergi dari kota ini, dan kalau mungkin menyeberang lautan!"

Souw Kwi Beng yang sudah menduga akan hal itu mengucapkan terima kasih dan orang itu pun cepat-cepat pergi melalui pintu belakang.

"Hah, tidak urung begini jadinya," kata Souw Kwi Beng, Itulah jalan satu-satunya. Isteriku, cepatlah berkemas. Kita akan membawa barang-barang berharga saja dan terpaksa yang lain-lain kita tinggalkan pada orang-orang kita. Sebelum keadaan menjadi dingin, biarlah kita lari menyeberang ke selatan."

Yap Mei Lan nampak gelisah. Hhh, lalu... bagaimana dengan engkau, sute?"

"Suci, cihu benar. Kalian harus melarikan diri. Tidak mungkin melawan pemerintah. Kalian memiliki perahu-perahu besar dan membawa bekal kekayaan, pula, cihu memiliki banyak teman di luar negeri. Takut apa? Tentang aku..."

"Mari kalian ikut saja bersama kami!" kata Souw Kwi Beng.

Lie Seng menggelengkan kepala. “Terima kasih, cihu. Kalian sudah melimpahkan banyak kebaikan terhadap kami. Dan memang agaknya kami belum boleh hidup tenang. Kalian berangkatlah, sedangkan kami berdua akan mengambil jalan sendiri. Mari kubantu kalian berkemas, dan kau, Eng-moi... kau pulanglah dan berkemaslah sehingga kalau aku sudah selesai membantu suci sampai mereka berangkat, engkau sudah siap dan kita pun akan segera pergi hari ini juga."

Sun Eng memandang kepada Mei Lan yang juga memandangnya. Kedua orang wanita ini saling pandang dan biar pun keduanya adalah wanita-wanita perkasa yang tidak berwatak cengeng atau lemah, akan tetapi menghadapi perubahan hidup yang tiba-tiba itu mereka menjadi terharu dan akhirnya Sun Eng menubruk Mei Lan lalu keduanya berpelukan dan menangis.

"Enci, hati-hatilah di jalan...," Sun Eng berkata.

"Engkau pun berhati-hatilah, adik Eng... mari kau ikut ke kamar, engkau harus membawa bekal..."

Mei Lan menarik tangan Sun Eng memasuki kamarnya dan memberi banyak perhiasan-perhiasan berharga kepada Sun Eng yang menerimanya dengan hati terharu.

Akhirnya, dengan hati berat Sun Eng meninggalkan gedung itu untuk berkemas pula. Ada pun Lie Seng sibuk membantu suci-nya dan cihu-nya berkemas lalu mengangkuti barang-barang ke sebuah perahu besar milik Souw Kwi Beng yang sudah dipersiapkan. Kwi Beng mengumpulkan orang-orangnya kemudian menunjuk beberapa orang untuk menjadi wakil dalam mengatur perusahaannya.

Persiapan itu dilakukan secepatnya dan ketika lewat tengah hari berangkatlah perahu itu meninggalkan pelabuhan, melakukan pelayaran ke selatan. Lie Seng berdiri di pantai dan melambaikan tangan yang dibalas oleh suci-nya dan cihu-nya. Dia berdiri memandang sampai perahu itu hanya merupakan titik hitam.

Teringatlah dia kepada Sun Eng maka cepat dia berjalan pulang. Dia dan Sun Eng juga harus pergi secepatnya, karena kalau nanti pangeran itu mencari dan tidak menemukan Mei Lan dan Kwi Beng, tentu pangeran itu menjadi marah dan akan mencarinya.

Akan tetapi, ketika tiba di rumah dia melihat rumahnya sunyi dan kosong. Sun Eng tidak dapat ditemukan di dalam rumah itu. Memang dia melihat buntalan-buntalan, dan nampak bekas-bekas Sun Eng berkemas. Anehnya, perhiasan-perhiasan pemberian Yap Mei Lan pun ditinggalkan oleh Sun Eng dalam buntalan pakaiannya yang diletakkan di atas meja.

Jantung Lie Seng mulai berdebar penuh kekhawatiran ketika dia menemukan sesampul surat di atas buntalan pakaiannya. Dengan jari-jari gemetar dibukanya sampul surat itu dan wajahnya makin pucat ketika dia membaca surat tulisan tangan Sun Eng!

Kanda Lie Seng tercinta.

Terbuka kesempatan untuk melakukan sesuatu demi keselamatanmu serta keluargamu. Pangeran itulah yang menjadi sumber mala petaka bagi keluargamu. Maka tiba saatnya bagi kita untuk berpisah. Perkenankan aku menunjukkan harga diriku, koko. Aku harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai. Kalau aku gagal dengan menempuh jalan halus, akan kucoba membunuh pangeran itu. Selamat tinggal, koko, aku selamanya cinta padamu dan kenekatanku sekali ini pun karena cintaku kepadamu.

Yang mencinta selamanya, Sun Eng


"Eng-Moi...!" Lie Seng mengeluh.

Ingin dia menjerit, dan ingin dia mengejar, memaksa Sun Eng kembali kepadanya. Akan tetapi ke mana dia harus mencarinya? Apakah yang akan dilakukan oleh gadis itu?

Sejenak dia termangu, terduduk di atas kursi dengan muka pucat dan mata tak bersinar. Dia mengingat-ingat apa yang menyebabkan Sun Eng mengambil keputusan nekat seperti itu. Nekat dan berbahaya! Kemudian dia mengerti.

Selama ini Sun Eng merasa rendah diri, merasa tidak patut menjadi jodohnya, apa lagi melihat kebaikan yang dilimpahkan oleh Mei Lan dan suaminya kepada mereka berdua. Sekarang tiba-tiba saja muncul pangeran itu yang bukan hanya merupakan musuh besar keluarga Cin-ling-pai, juga pangeran ini yang menyebabkan keluarga Mei Lan terpaksa harus melarikan diri, bahkan menghancurkan pula kebahagiaan Sun Eng yang telah hidup aman tenteram bersama Lie Seng di Yen-tai. Inilah agaknya yang menjadi pendorong besar, dan memang seperti yang ditulis oleh Sun Eng, dia melihat kesempatan baik.

Akan tetapi, apa yang akan dilakukan? Membunuh pangeran itu? Ahhh, lamunan kosong belaka dan sama dengan membunuh diri! Lalu apa? Apa yang dilakukan oleh kekasihnya itu?

"Sun Eng...! Eng-moi...!" Lie Seng mengeluh.

Tanpa mempedulikan buntalan-buntalan itu, dia meloncat keluar dan dengan nekat dia lalu mencari keterangan di mana adanya Pangeran Ceng Han Houw! Dia harus mencari kekasihnya, harus mencegah kekasihnya berlaku nekat. Kalau perlu, dia akan melindungi Sun Eng dengan taruhan nyawanya!

Akan tetapi, dalam penyelidikannya dia mendengar bahwa pangeran itu sedang menjadi tamu agung di gedung Ciong-taijin, kepala daerah kota Yen-tai! Kemudian menurut hasil penyelidikannya pula, dia mendengar Sun Eng tidak berada di tempat itu. Hatinya merasa lega, akan tetapi segera dia merasa bingung kembali karena dia tidak tahu ke mana dia harus menyusul dan mencari Sun Eng.

Akhirnya dia mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja, karena menurut suratnya, Sun Eng hendak berusaha menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai. Ini berarti bahwa tentu kekasihnya itu akan pengi ke kota raja untuk berusaha menghapus fitnah terhadap nama keluarga Cin-ling-pai itu. Bahkan di dalam surat itu, Sun Eng mengatakan bahwa kalau usahanya gagal, maka dia akan mencoba untuk membunuh Pangeran Ceng Han Houw. Ke mana lagi perginya kekasihnya itu kalau tidak ke kota raja?

Akan tetapi, Lie Seng yang kini melakukan perjalanan cepat ke kota raja itu tidak tahu bahwa sesungguhnya Sun Eng masih berada di Yen-tai! Wanita ini setelah mengadakan pembicaraan dengan kekasihnya, Mei Lan dan Kwi Beng, ketika pulang ke rumahnya dan berkemas, tidak pernah dapat membendung mengalirnya air matanya.

Mei Lan dan Kwi Beng demikian baik kepadanya, dan sekarang mereka itu menghadapi mala petaka! Dan sekarang dia harus bertindak! Tak mungkin dia diam saja. Sekarang dia harus menunjukkan baktinya terhadap keluarga Lie Seng. Dia harus melakukan sesuatu untuk mengangkat namanya sendiri, harus melakukan perbuatan yang akan menariknya keluar pecomberan yang pernah diciptakannya akibat penyelewengan-penyelewengannya sehingga ibu kekasihnya tak sudi menerimanya sebagai mantu. Dia akan memperlihatkan kepada mereka bahwa biar pun dia pernah menyeleweng, namun dia masih mempunyai kegagahan, masih memiliki harga diri yang ditimbulkan oleh perbuatannya yang membela Cin-ling-pai dan kalau perlu dia akan berkorban nyawa!

Tentu saja hatinya seperti disayat-sayat rasanya kalau dia teringat kepada Lie Seng, pria yang dicintanya dan sangat mencintanya. Dia akan jauh dari pria itu, dia akan menderita rindu, dia akan merasa kehilangan cumbu rayu dan selangit kemesraan yang dinikmatinya bersama Lie Seng. Akan tetapi, dia mengeraskan hatinya, dia harus melakukan ini selagi terdapat kesempatan, karena kalau tidak, segala kemesraan dengan Lie Seng itu selalu akan tidak lengkap, selalu akan ternoda oleh rasa rendah diri!

Demikianlah, dia lalu mempersiapkan segala sesuatu untuk pria yang dicintanya, bahkan pemberian perhiasan dari Mei Lan ditinggalkan untuk kekasihnya. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kepergiannya demikian menghancurkan hati Lie Seng hingga pria ini pun sampai tidak mempedulikan lagi semua benda-benda itu, bahkan pergi tanpa membawa apa pun!

Sun Eng yang merupakan penduduk baru di Yen-tai, dengan mudahnya dapat melakukan penyelidikan dan terus membayangi Pangeran Ceng Han Houw, tanpa dicurigai orang lain karena dia memang belum mempunyai banyak kenalan. Dia melihat betapa pangeran itu membawa pasukan setempat menyerbu ke rumah Souw Kwi Beng, akan tetapi tentu saja kedua suami isteri itu telah lama meninggalkan rumah, bahkan telah lama meninggalkan pelabuhan. Para pegawai mereka yang diperiksa menyatakan dengan terus terang bahwa majikan mereka bersama nyonya majikan berlayar ke selatan.

Pangeran Ceng Han Houw menjadi sangat kecewa dan marah, akan tetapi karena dia tak membutuhkan para pengawal itu, dia hanya memesan kepada Ciong-taijin supaya terus mengawasi dan kalau sewaktu-waktu suami isteri itu pulang, harus segera ditangkap dan dibawa ke kota raja! Kemudian, atas petunjuk dari para pegawai, dia membawa pasukan menyerbu rumah Lie Seng di mana dia pun mendapatkan rumah kosong belaka karena Lie Seng dan kekasihnya juga sudah kabur entah ke mana.

Sun Eng menyaksikan semua ini dari tempat persembunyiannya dan dia terus mengikuti perjalanan pangeran itu. Han Houw tidak lama tinggal di Yen-tai. Pada keesokan harinya, dia menunggang kereta yang disediakan oleh Ciong-taijin, menuju ke arah utara karena dia hendak kembali ke kota raja.

Akan tetapi dua hari kemudian, pada saat kereta itu melewati sebuah hutan, dia melihat sesosok tubuh wanita menggeletak di tengah jalan liar itu. Tentu saja kusir kereta cepat menghentikan keretanya dan ketika Han Houw membuka tirai memandang, dia melihat tubuh wanita itu dan dia merasa tertarik sekali, apa lagi melihat betapa pakaian wanita itu robek-robek hingga nampaklah kulit paha yang putih mulus! Hal seperti ini tentu saja amat menarik mata pangeran itu.

Dia segera meloncat turun, kemudian dengan beberapa lompatan saja dia sudah tiba di dekat wanita itu menelungkup dalam keadaan lemas, masih hidup namun keadaannya amat memelas sekali, selain pakaiannya robek-robek, juga lengan dan kakinya lecet-lecet dan sepatunya juga bolong-bolong, rambutnya awut-awutan.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.