Pendekar Lembah Naga Jilid 35 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Lembah Naga Jilid 35
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SEMENTARA itu, Bun Houw, In Hong, Kun Liong dan Giok Keng yang melarikan diri juga terheran-heran melihat sikap Sin Liong. Kini mereka telah berhasil membebaskan diri dari pengejaran, dan sekarang sedang berjalan biasa karena In Hong masih terlampau lemah untuk melakukan perjalanan jauh sambil berlari cepat terus.

"Sungguh aku tidak mengerti anak itu!" kata Bun Houw sambil menggelengkan kepalanya. "Mula-mula dia melindungi iblis betina itu dan melawan kami, tapi kemudian dia berbalik melindungi kita dan melawan pasukan yang mengepung kita."

Yap Kun Liong menarik napas panjang. "Anak itu luar biasa sekali. Sekecil dia telah dapat memainkan Thai-kek Sin-kun dengan begitu baiknya, dan gerakan tangannya amat aneh, entah ilmu apa yang digunakannya ketika menangkis pukulan-pukulanmu tadi, Houw-te."

"Dia memiliki tenaga yang amat hebat pula...! Rasanya... rasanya... aku sendiri tidak akan mampu menandingi kekuatannya!"

Kata-kata Bun Houw ini membuat yang lain-lainnya terbelalak keheranan. Mereka semua tahu bahwa Bun Houw memiliki tenaga yang amat dahsyat dan pada jaman itu sukarlah mencari tokoh kang-ouw yang akan dapat menandinginya, akan tetapi sekarang pendekar ini mengaku bahwa dia kalah oleh seorang pemuda remaja! Tentu saja mereka menjadi terheran-heran akan tetapi juga bukan tidak percaya karena Bun Houw berbicara dengan serius.

"Betapa pun juga, kita harus berhati-hati kalau lain kali berjumpa dengan Sin Liong. Anak itu aneh dan kita tidak tahu bagaimana isi hatinya, sebentar menjadi lawan dan sebentar menjadi kawan," kata Yap In Hong.

Empat orang ini lalu berangkat menuju ke Propinsi Ce-kiang. Atas usul Yap In Hong dan suaminya, mereka akan bersembunyi di Bun-cou, yaitu di kota yang dulu menjadi tempat tinggal dia dan suaminya semenjak mereka berdua meninggalkan Cin-ling-san. Mereka pergi melakukan perjalanan seenaknya karena di antara mereka terdapat Cia Kong Liang, bayi yang baru berusia sebulan itu, putera dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong.

Biar pun sikap Sin Liong yang aneh itu mendatangkan keheranan dan dugaan-dugaan di dalam hati empat orang pendekar ini, tetapi diam-diam mulai tumbuh kebencian terhadap pemuda remaja itu. Terutama sekali dalam hati Bun Houw dan In Hong, karena bukankah anak itu yang mencegah mereka membunuh Kim Hong Liu-nio, musuh besar mereka, dan perbuatan anak itu mengakibatkan mereka harus kembali lari dari tempat tinggal mereka, karena Kim Hong Liu-nio masih hidup dan masih mengerahkan pasukan untuk mengejar mereka?

Sin Liong dianggap sebagai anak yang selain aneh akan tetapi juga merugikan, bahkan di lubuk hatinya, Bun Houw masih saja berpendapat bahwa gara-gara Sin Liong inilah maka ayahnya sampai meninggal dunia. Maka, sungguh pun kini di dalam sikap dan perbuatan Sin Liong itu terdapat dua hal yang berlawanan, di satu fihak merugikan karena pemuda itu menyelamatkan Kim Hong Liu-nio dan di lain fihak menguntungkan karena pemuda itu telah melindungi mereka dengan melawan pasukan, namun segi buruknya lebih menonjol dan ini menimbulkan rasa tidak suka kepada anak itu. Terutama sekali karena dalam diri pemuda remaja itu Bun Houw melihat seorang lawan yang amat berbahaya.

********************

Kita tinggalkan dulu empat orang pendekar bersama bayi yang melarikan diri dan mencari tempat persembunyian baru itu, dan meninggalkan Sin Liong yang kini mulai membayangi Kim Hong Liu-nio lagi untuk mencari kesempatan menemui wanita itu sendirian saja tanpa adanya pasukan yang melindunginya, untuk diajak bertanding dan membuat perhitungan. Sekarang mari kita ikuti perjalanan Ceng Han Houw, pangeran berdarah campuran yaitu ibunya Puteri Khamila adalah seorang puteri berbangsa Khitan sedangkan ayahnya, ayah kandungnya adalah mendiang Kaisar Ceng Tung.

Seperti sudah kita ketahui, Pangeran Ceng Han Houw atau yang oleh ayahnya yang sah, yaitu Raja Sabutai, diberi nama Pangeran Oguthai, atas bantuan Sin Liong telah berhasil menarik hati orang aneh yang sakti Ouwyang Bu Sek hingga diangkat menjadi sute-nya, menjadi murid Bu Beng Hud-couw yang dianggap sebagai guru besar di Himalaya, guru Ouwyang Bu Sek yang menulis kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi itu.

Dengan sangat tekunnya Ceng Han Houw membantu Ouwyang Bu Sek menterjemahkan kitab-kitab kuno yang tiga jilid banyaknya itu, menuliskannya menjadi belasan jilid dalam bahasa sekarang, kemudian di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek mulailah Han Houw mempelajari kitab-kitab itu yang ternyata memang mengandung pelajaran ilmu-ilmu yang aneh dan mukjijat. Berkat otaknya yang cerdas, sebentar saja Han Houw sudah berhasil menghafal isi kitab-kitab itu dan kini dia tekun sekali bersemedhi menurutkan petunjuk kitab-kitab itu, di dalam sebuah goa besar yang kosong.

Sesudah Han Houw mulai melatih diri dengan isi kitab-kitab itu, maka Ouwyang Bu Sek sendiri tak mampu lagi membimbingnya. Seperti diketahui, kakek ini hanya membimbing teorinya saja, sedangkan untuk membimbing prakteknya tentu saja dia tidak mampu lagi. Kakek ini sudah terlalu tua untuk melatih diri dengan ilmu-ilmu yang amat sukar itu, maka untuk latihan prakteknya, dia menyerahkan sang sute itu bergantung kepada semangat dan kemauannya sendiri karena dia sama sekali tidak mampu memberi petunjuk lagi.

"Suheng," pada suatu hari, setelah dia benar-benar sudah hafal dengan isi seluruh kitab yang belasan jilid banyaknya sebagai terjemahan dari tiga kitab asli itu, "aku telah menjadi murid dari suhu Bu Beng Hud-couw, akan tetapi bagaimana aku dapat bertemu dengan beliau? Apakah suheng mengetahui di mana beliau tinggal sehingga aku pun dapat pergi mencarinya di Himalaya sana?"

Ouwyang Bu Sek, si kakek cebol yang mempunyai tubuh seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar seperti orang dewasa itu terkekeh genit. "He-he-heh-heh, sute, engkau ini lucu bukan main! Mencari tempat tinggal suhu kita adalah hal yang mustahil selama kita masih hidup! Engkau harus mati lebih dulu untuk dapat mencari tempat tinggal suhu, heh-heh-heh!"

Tentu saja hati pangeran itu sebal sekali mendengar ucapan ini. Kebenciannya terhadap sang suheng itu masih menebal, apa lagi karena sikap suheng-nya yang sama sekali tak menghargai atau menghormatinya itu membuat dia bertambah benci.

Semua orang selalu menghormatinya dan menyembah-nyembahnya. Biar pun Sin Liong tidak menyembahnya, namun pemuda itu sedikitnya masih bersikap halus dan jujur, tidak seperti kakek ini yang kadang-kadang sikapnya menghina sekali! Hanya karena maklum akan kelihaian Ouwyang Bu Sek dan karena kecerdikannya saja, maka Han Houw selalu bersikap lembut dan taat kepada suheng-nya ini.

"Akan tetapi, suheng. Bukankah suheng sendiri dapat berhubungan dengan beliau? Andai kata kita memang tidak dapat mencari beliau di tempat tinggalnya, tetapi aku ingin sekali dapat berhubungan dengan beliau dan berjumpa dengan beliau."

"Heh-heh-heh, orang setingkat engkau ini mana mampu untuk berjumpa dengan beliau? Hanya orang setingkat akulah yang dapat bertemu dengan beliau."

"Harap suheng sudi memberikan petunjuk, dan aku akan berusaha untuk memungkinkan perjumpaanku dengan beliau."

"Guru kita itu sewaktu-waktu dapat saja berhubungan dengan kita apa bila memang kita mampu mengirim getaran yang kuat, sute. Akan tetapi, untuk apa engkau ingin bertemu dengan suhu?"

"Supaya hatiku tenang dan puas, suheng, dan juga aku ingin bertanya sesuatu mengenai pelaksanaan latihan ilmu-ilmu yang kuterima dari kitab-kitab suhu."

"Hemm... tidak mudah, dan kalau batinmu tidak kuat, dalam usaha mendatangkannya itu salah-salah engkau bisa gila atau mampus!"

Akan tetapi Ceng Han Houw adalah seorang pemuda yang berhati keras seperti baja, dan memiliki keberanian yang sangat luar biasa. Maka, ancaman mati itu sama sekali tidak membuat dia jeri, tidak membuat dia mundur. "Aku akan menghadapi bahaya itu apa bila suheng sudi memberi petunjuk."

"Heh-heh, kalau gila atau mati jangan salahkan aku, ya?"

Kalau saja dia tidak merasa yakin bahwa ilmunya belum dapat mengatasi kakek itu, tentu Han Houw sudah memakinya atau menyerangnya. Namun, dengan tenang dia berkata. "Aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa, juga tidak menyalahkan suheng."

Kini kakek itu kelihatan serius. Sejenak dia menentang tajam pandang mata sute-nya, lalu berkata, "Bila mana engkau sampai bisa berjumpa dengan suhu, hal itu sungguh sangat menguntungkanmu, sute. Ketahuilah bahwa sute Sin Liong sendiri tidak pernah bertemu dengan suhu."

Mendengar ini tentu saja hati Han Houw merasa girang bukan main, maka makin besar keinginan hatinya untuk bisa bertemu dengan orang tua yang disebut Bu Beng Hud-couw itu. "Aku akan berterima kasih sekali kepada suheng apa bila aku sampai dapat bertemu dengan suhu."

"Dengarkan baik-baik, sute. Untuk dapat berjumpa dengan suhu, pertama-tama engkau harus mengenal baik bagaimana bentuk bayangan beliau. Beginilah gambaran suhu itu. Beliau itu sudah tua sekali, tidak dapat ditaksir berapa usianya, mungkin tiga ratus tahun atau lebih. Rambutnya serta jenggotnya sudah putih semua, panjang sekali sampai ke pinggul dan perut, wajahnya penuh wibawa, pakaiannya serba putih dan amat sederhana, kakinya selalu telanjang, juga beliau selalu memegang sebatang tongkat bambu kuning. Nah, itulah gambaran beliau. Kalau engkau ingin bertemu, engkau harus bersemedhilah menurut petunjuk di dalam kitab itu, akan tetapi tujukan seluruh panca inderamu kepada bayangan beliau dan sebutlah namanya terus menerus hingga beliau datang. Jangan lupa buat api unggun di dalam goa, karena beliau biasanya datang melalui api dan asap. Nah, aku tidak bisa memberi penjelasan lebih jauh, lakukan saja apa yang kukatakan tadi, sute." Setelah berkata demikian, Ouwyang Bu Sek meninggalkan sute-nya.

Ceng Han Houw menjadi girang bukan main. Cepat dia membuat persiapan, memasuki goa kecil dimana dia biasa berlatih semedhi, membawa semua kitab-kitab terjemahannya, meletakkan kitab-kitab itu di dekatnya dan membuka halaman-halaman dimana dia masih merasa kurang mengerti dan hendak ditanyakannya secara langsung kepada suhu-nya karena suheng-nya sama sekali tidak mampu memberi petunjuk kepadanya dalam latihan praktek.

Dia membuat api unggun kecil di depannya, kemudian mulailah dia bersemedhi menurut petunjuk kitab, mengatur pernapasannya dan menyatukan panca indera merangkap kedua tangannya seperti menyembah di depan dada.

Karena sudah biasa berlatih semedhi seperti ini menurut petunjuk kitab-kitab yang sedang dipelajarinya, maka sebentar saja Han Houw telah tenggelam dan pikirannya sudah dapat dikumpulkan menjadi satu dengan panca inderanya, lalu bibirnya berbisik-bisik menyebut nama Bu Beng Hud-couw berulang-ulang.

Suara bisikan menyebut nama ini perlahan sekali sehingga hampir tidak terdengar di luar dirinya, namun suara itu terdengar jelas oleh telinganya dan suara ini terdengar aneh dan bergulung-gulung, seakan-akan merupakan sesuatu yang sambung menyambung lantas membubung ke atas, berupa tangga yang menuju ke tempat yang tak pernah dikenalnya.

Suara yang berulang-ulang ini membuat dia merasa seperti melayang-layang, terdengar makin lama semakin aneh. Dia tidak tahu lagi berapa lama dia sudah tekun bersemedhi seperti itu. Dia tak merasakan apa-apa lagi, tak mendengar apa-apa lagi kecuali suaranya yang terus menyebut-nyebut nama Bu Beng Hud-couw, yang seolah-olah bukan suaranya sendiri lagi, seolah-olah merupakan sesuatu yang terpisah darinya. Dia sama sekali tidak tahu apakah dia bersemedhi sudah satu jam, satu hari ataukah sudah sebulan!

Tiba-tiba saja tubuhnya terasa tergetar hebat dan dia merasa seperti membuka matanya karena ada sesuatu di depannya. Han Houw terkejut melihat bahwa di depannya, atau di atas api unggun yang masih bernyala kecil dan mengeluarkan asap putih, kini telah berdiri seorang kakek tua renta, persis seperti yang tergambar di dalam otaknya berdasarkan penuturan Ouwyang Bu Sek!

Kakek tua renta itu berdiri tak bergerak, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu kuning, persis seperti yang digambarkan oleh suheng-nya. Dalam kagetnya, Han Houw girang bukan main dan dia masih duduk bersila dengan kedua tangan dirangkap di depan dada, kemudian dia berkata dengan suara halus.

"Suhu, teecu mohon petunjuk...!" Ia lalu menyebutkan soal-soal dalam praktek latihannya yang mengalami kesukaran.

Kakek yang seperti bayangan, yang berdiri seperti menjadi sambungan asap putih yang mengepul dari api unggun itu, kelihatan diam saja. Han Houw mengulang kata-katanya sampai tiga kali. Kini kakek itu mengangkat tangan kirinya ke atas, seperti orang yang mempersilakan, mengangguk-angguk dan perlahan-lahan lenyap membuyar seperti asap tertiup angin.

Han Houw terkejut dan gelagapan seperti orang yang baru bangun dari tidur dan mimpi. Matanya mencari-cari namun kakek itu tidak kelihatan lagi, padahal tadi kakek itu berdiri jelas di depannya.

Dia menegok ke arah kitab-kitabnya dan cepat dia mengamati halaman-halaman kitab di mana terdapat bagian-bagian yang sukar baginya. Di bawah sinar api unggun dia meneliti dan membaca dan... betapa girang hatinya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa kini dia dapat mengerti hal-hal itu dengan jelasnya!

Keadaan seperti yang dialami oleh Han Houw ini bukan dongeng kosong belaka. Kiranya setiap orang pun akan dapat memperoleh pengalaman seperti itu, kalau saja dia memang percaya penuh dan tekun.

Orang yang mengosongkan pikiran dengan jalan mengulang-ulang kata-kata yang terus diucapkan dengan penuh pujaan akan berada dalam keadaan tersihir atau terpesona. Suara sendiri yang diulang-ulang itu mendatangkan pengaruh yang amat kuat menyihir diri-sendiri dan mengikat seluruh perhatian sendiri hingga dirinya dalam keadaan kosong sungguh pun kekosongan yang dipaksakan. Di dalam keadaan seperti ini, maka sesuatu yang dipujanya, yang diharapkan dan dipercayanya, tidak mengherankan bila betul-betul muncul di depannya, merupakan bayangan yang bukan lain adalah pantulan dari dalam batinnya sendiri.

Orang yang memuja Sang Buddha mungkin saja dapat berjumpa dengan bayangan yang sebenarnya merupakan pemantulan dari dalam hatinya, karena kepercayaan yang penuh, karena pemujaan yang tulus ikhlas ini membentuk bayangan atau gambaran dalam batin. Bayangan apa pun yang nampak oleh manusia, baik bayangan yang dinamakan setan mau pun bayangan dewa, nabi dan sebagainya, adalah bayangan yang terpantul dari dalam batin sendiri yang membentuk dan menyimpan gambaran bayangan itu. Hal ini amat jelas dan mudah dimengerti.

Seseorang yang mengaku pernah melihat setan umpamanya, pasti melihat setan seperti yang pernah didengarnya dari dongeng, dari buku dan dari cerita orang lain, atau pun dari khayalnya sendiri tentang setan. Begitu pula seseorang yang mengaku pernah bertemu dengan orang suci atau nabi, sudah pasti yang ditemuinya itu adalah orang suci atau nabi dari agamanya, atau dari kepercayaannya, seperti yang sudah pernah didengarnya dari dongeng, atau dilihatnya dalam gambar, dan sebagainya lagi. Tapi kita, yang haus hal-hal yang aneh, yang haus akan sesuatu yang dapat dijadikan pegangan, merasa sayang dan enggan melepaskan kepercayaan ini dan tidak mau atau tidak berani melihat kenyataan ini!

Sesudah merasa berjumpa dengan gurunya. Han Houw dengan mudah dapat mengerti pelajaran yang sedang dilatihnya. Hal ini pun tidaklah aneh karena pikiran yang kosong memang amat mudah menerima sesuatu dan pada saat itu Han Houw benar-benar dalam keadaan kosong sehingga begitu dia melihat halaman-halaman pelajaran yang tadinya dianggap sukar dimengerti itu, sekarang amat jelas dan mudah baginya.

Tentu saja dia menghubungkan ini dengan kemunculan bayangan suhu-nya yang secara gaib telah membimbingnya! Dia tidak sadar bahwa bayangan Bu Beng Hud-couw yang dijumpainya itu belum tentu sama dengan bayangan yang dilihat oleh Ouwyang Bu Sek, karena batin masing-masing membentuk bayangan yang tentu saja berbeda menurut selera masing-masing.

Keinginan akan sesuatu, betapa pun sesuatu itu dapat diberi sebutan luhur, suci, tinggi, sempurna dan sebagainya, tetap saja merupakan suatu keinginan yang timbul dari pikiran atau si aku yang ingin senang, ingin selamat, ingin terjamin dan tercapai keinginannya, baik keinginan dalam bentuk keenakan badan mau pun keenakan batin! Keinginan tetap merupakan keinginan dan keinginan ini lahir bermacam hal yang menjadi sumber segala konflik.

Keinginan berpusat pada pementingan diri, penonjolan si aku dan karenanya merupakan pengasingan diri yang amat picik. Semenjak kecil hingga tua kita selalu diperhamba oleh keinginan-keinginan kita. Yang berbeda hanya obyek dari keinginan-keinginan itu, ketika masih muda tentu keinginannya tertuju pada benda-benda duniawi untuk menyenangkan jasmani, lalu setelah tua dan bosan dengan semua kesenangan duniawi atau kenikmatan jasmani lalu berpindah kepada tujuan yang dinamakannya lebih tinggi, yaitu benda-benda rohani untuk menyenangkan batin, untuk menenteramkan batin, untuk keselamatan jiwa.

Namun, pada hakekatnya sama, yaitu si aku yang senang, ingin tenteram, ingin enak dan ingin terjamin! Dan selama batin masih dipenuhi keinginan ini, padahal keinginan ini hidup di alam khayal, sedangkan hidup ini berada di alam nyata maka kita akan terbuai terus oleh keinginan-keinginan itu yang melahirkan bermacam-macam khayal. Yang akan kita jumpai hanyalah bayangan-bayangan khayal kita sendiri belaka dan kita tak akan pernah dapat bersua dengan kenyataan yang suci murni!

Seorang tua akan mengatakan, "Aku tak butuh lagi dengan kesenangan dunia, aku ingin ketenangan batin, aku ingin kesempurnaan jiwa, aku tidak membutuhkan apa-apa lagi!" kata-katanya demikian, akan tetapi sesungguhnya pada dasarnya, keinginan itu masih menebal di dalam batin, yang berubah hanyalah tujuan keinginan itu saja.

Kalau dahulu yang dikejar adalah uang, kedudukan, kemuliaan, kesenangan jasmani, kini yang dikejar adalah kesenangan rohani atau apa yang dinamakan sesuatu yang lebih tinggi. Hasilnya pun akan sama saja!

Pada waktu mengejar uang, kedudukan dan sebagainya itu dia selalu bertemu dengan konflik, permusuhan, kepalsuan, kekecewaan, dan keserakahan yang tak kunjung habis, sekarang pun dia akan tetap berjumpa dengan semua itu! Karena yang dikejar adalah bayangannya sendiri!

Oleh karena itu, pertanyaan yang amat gawat dan penting perlu kita ajukan kepada diri sendiri masing-masing, yaitu: Dapatkah kita hidup bebas, dari segala macam keinginan? Dapatkah kita menghadapi apa adanya tanpa menginginkan hal-hal atau benda-benda yang tidak atau belum ada?

Segala sesuatu sudah ada pada apa adanya, namun mata kita seolah-olah buta, tidak melihat semua itu karena mata kita selalu ditujukan kepada hal-hal atau benda-benda yang tidak ada, kepada khayal-khayal kita, kepada gambaran-gambaran dari keinginan kita! Sama butanya dengan seorang penduduk di pegunungan yang tidak dapat melihat keindahan pada pegunungan karena dia gandrung akan bayangan keindahan lautan, dan sebaliknya seorang penduduk tepi laut yang tidak dapat melihat keindahan pemandangan tepi laut karena dia gandrung akan bayangan keindahan pemandangan di pegunungan! Sama butanya seperti seorang pemilik apel yang tidak dapat menikmati kelezatan buah apel itu karena dia membayangkan kenikmatan buah jeruk, dan pemilik jeruk yang tidak dapat menikmati kelezatan buah jeruknya karena dia membayangkan kelezatan buah apel!

Kita hidup dibuai lamunan, dibuai khayal belaka sehingga keadaan nyata tak tampak lagi, tak dapat dinikmati lagi, dan inilah yang menyebabkan mengapa kita selalu mengeluh dan mengatakan bahwa hidup adalah penuh derita dan kesengsaraan! Maka, dapatkah kita bebas dari segala macam keinginan itu kemudian hidup dalam saat ini, saat demi saat, menghadapi apa adanya dari saat ke saat penuh kewaspadaan?


Semenjak pengalamannya yang dianggapnya amat membahagiakan itu, Han Houw lalu berlatih amat tekunnya dan setiap kali menemui kesulitan dia lalu memanggil datangnya sang guru sehingga lama-kelamaan dia sudah menjadi terbiasa. Karena ketekunannya inilah maka tak lama kemudian, hanya dalam waktu beberapa bulan saja Han Houw telah dapat menguasai latihan ilmu-ilmu silat dari kitab-kitab yang diterimanya dari Ouwyang Bu Sek itu.

Dan memang hebat sekali hasilnya! Bukan saja pemuda bangsawan ini telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi yang amat aneh, tapi dengan latihan-latihan siulian dan menghimpun tenaga sakti yang amat kuat, jauh lebih kuat dari pada sebelum dia tekun belajar di dalam goa itu!

Berbedalah pemuda bangsawan ini dengan keadaannya beberapa bulan yang lalu ketika akhirnya dia mengambil keputusan untuk keluar dari goa tempat pertapaannya itu, dengan wajah yang agak pucat akibat banyak berpuasa, akan tetapi dengan sepasang mata yang mencorong aneh penuh kewibawaan, kekuatan! Berjilid-jilid kitab salinan dari tiga buah kitab itu dikempitnya dan dia lalu mencari-cari dengan matanya, karena dia ingin menemui suheng-nya Ouwyang Bu Sek.

Namun sunyi sekali di sekitar puncak Bukit Tai-yun-san itu. Goa-goa yang banyak berjajar di tempat itu, seperti mulut ternganga yang hitam gelap, atau seperti sarang lebah besar, tidak menampakkan kehidupan sama sekali. Sunyi dan mati.

Han Houw menggunakan tangannya melindungi kedua matanya dari sinar matahari yang menyilaukan. Setelah terlalu lama berada di dalam goa yang gelap, maka matanya tidak biasa menghadapi cahaya kemilauan yang amat terang itu sehingga menjadi silau.

Dengan mata setengah terpejam dia meneliti ke seluruh penjuru. Tidak nampak bayangan suheng-nya. Han Houw merasa jengkel sekali. Mendadak dia menggerakkan tubuhnya ke kiri, tangan kirinya menghantam, otomatis dia mengeluarkan jurus yang telah dilatihnya di dalam goa.

"Cuiiittt...!" Angin yang keluar dari tangan kirinya itu hebat bukan main, sampai dia sendiri terkejut mendengar suara bercuit nyaring itu.

"Byarrrr...!"

Batu besar yang berada di sebelah kirinya ambyar dan hancur lebur terkena pukulannya yang ampuh itu. Debu beterbangan dan Han Houw memandang dengan mata terbelalak, namun wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum. Bukan main girangnya.

Dia lalu bersilat, mengeluarkan jurus-jurus yang selama ini dilatihnya, dan akibatnya hebat bukan main. Bukan hanya terdengar suara bercuitan nyaring, namun muncul pula angin menyambar-nyambar, menggerakkan daun-daun pohon yang jauh, dan beberapa batang pohon sebesar orang, batu-batu sebesar kerbau, tumbang dan pecah terkena hantaman kedua tangannya yang menggunakan tenaga dahsyat itu. Makin tebal debu beterbangan di tempat sunyi itu.

"Desss...!"

Sebongkah batu sebesar kerbau bunting ditendangnya sehingga batu besar itu terlempar hingga jauh kemudian terbanting dan menggelundung turun ke dalam jurang. Sampai lama sunyi ketika batu ini meluncur ke bawah, kemudian terdengar suara keras sekali di bawah jurang ketika batu itu menimpa dasar jurang. Suara keras ini disusul gema suara panjang, seolah-olah setan penjaga gunung menjadi marah oleh gangguan manusia itu.

Han Houw merasa gembira dan bangga bukan main. Dia lalu mempergunakan ilmunya meringankan tubuh, mengerahkan tenaga yang selama ini dihimpunnya dalam semedhi menurut petunjuk ilmu-ilmu dalam kitab, dan tubuhnya lalu melesat dengan cepatnya ke depan. Han Houw terus berlari cepat ke arah puncak gunung yang tertinggi, kemudian dia sudah berdiri di atas batu besar di puncak gunung itu, dengan penuh kebanggaan dan dengan dada dibusungkan dia memandang jauh ke bawah.

Dia merasa seolah-olah dirinya telah menjadi seorang raja besar, atau menjadi dewa yang berkuasa penuh di gunung itu sedang memandang ke bawah, ke dunia yang akan berlutut di hadapan kakinya! Dia membayangkan betapa dia telah menjadi jagoan nomor satu di dunia ini dan seluruh dunia kang-ouw akan menyembahnya, seluruh dunia kang-ouw yang dianggap sebagai datuk-datuk persilatan, baik dari golongan hitam mau pun putih, berlutut menyembahnya sebagai jagoan nomor satu!

Bangga bukan main rasa hatinya, merasa seolah-olah dia menjadi seekor naga sakti yang beterbangan di atas bumi yang penuh dengan orang-orang yang ilmu kepandaiannya jauh berada di bawahnya! Akan tetapi dia harus lebih dulu membuktikan keunggulannya, dan dia akan menghadapi setiap orang yang dianggap terpandai di dunia ini!

Mendadak dia tertawa bergelak, wajahnya yang tampan dan agak pucat itu menentang langit, kedua tangannya dikepal dan kedua kakinya terpentang lebar di atas batu itu.

"Ha-ha-ha-ha! Sin Liong, aku akan membuktikan bahwa engkau pun tidak akan mampu menandingiku! Ha-ha-ha-ha!" Suara tawanya mengandung kekuatan khikang yang amat hebat sehingga bergema di bawah puncak.

Pada saat itu wajah yang tampan ini nampak mengerikan sekali, yang agak pucat dengan sepasang mata mencorong liar, seperti bukan mata orang waras lagi! Dia sudah memakai topinya, topi bulu yang indah, dan bulu burung penghias topinya itu bergerak-gerak tertiup angin.

Tiba-tiba saja wajah yang berseri itu nampak berubah. Matanya menjadi liar, alisnya yang tebal hitam itu berkerut dan bergerak-gerak, mulutnya yang manis itu cemberut dan dia menoleh ke belakang. Han Houw teringat akan tiga buah kitab itu!

Tiga buah kitab masih berada di tangan Ouwyang Bu Sek! Padahal, seluruh ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu-ilmu yang terkandung di dalam tiga buah kitab itu. Selama ini dia hanya membawa kitab-kitab terjemahan dari tiga buah kitab aslinya. Dan ini berarti bahwa seluruh kepandaiannya berada di tangan suheng-nya! Kalau ada orang lain yang kelak mempelajari ilmu-ilmu dari kitab itu, berarti kepandaiannya dapat ditandingi lain orang! Dia harus merampas kitab-kitab itu, dan menghancurkannya supaya tidak ada orang lain yang akan dapat mengetahui rahasia dari ilmu-ilmunya.

Teringat ini, dia lalu mengambil kitab-kitab terjemahan yang tadi dibawanya lari ke puncak gunung itu, dan satu demi satu kitab-kitab itu dicengkeramnya dengan kedua tangan dan dengan pengerahan sedikit tenaga saja kitab-kitab itu robek-robek dan remuk! Pecahan-pecahan kecil diterbangkan angin sesudah Han Houw melemparkan remukan kitab itu ke udara, tersebar ke mana-mana dan andai kata ada orang menemukan secuwil robekan, tak mungkin dia dapat membacanya.

Setelah mengikuti cuwilan-cuwilan kertas terakhir dengan pandang matanya dan merasa puas, Han Houw lantas melompat turun dari batu itu dan berlari seperti terbang cepatnya menuruni puncak tertinggi itu untuk kembali ke puncak di mana suheng-nya tinggal.

"Suheng...!" Han Houw berteriak. Suaranya melengking tinggi, penuh getaran, disambut oleh gema suara di empat penjuru.

"Suheng Ouwyang Bu Sek...!" Untuk kedua kalinya suaranya mendatangkan gelombang udara yang besar dan mencapai tempat jauh sekali.

Tidak lama kemudian, sebelum gelombang suara itu habis, terdengar jawaban dari jauh, namun suara itu terdengar dekat sekali, "Aku datang, sute...!"

Han Houw merasa girang karena dia mengenal suara kakek cebol itu. Dia lalu menunggu sambil berdiri tegak dan memasang wajah gelisah. Tidak lama kemudian, berbarengan dengan menyambarnya angin, muncullah kakek cebol lucu itu di hadapan Han Houw.

Ouwyang Bu Sek sejenak memandang sute-nya, dan melihat wajah yang agak pucat itu diam-diam dia terkejut dan kagum, karena dari wajah agak pucat kehijauan itu dia sudah dapat melihat adanya tenaga mukjijat di dalam diri sute-nya ini. Maka sambil tersenyum menyeringai sehingga memperlihatkan dua buah gigi besar di bagian atas mulutnya, dia bertanya,

"Bagaimana, sute? Engkau sudah berhasil...?"

Han Houw adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia maklum bahwa suheng-nya ini bukan seorang bodoh dan sudah memiliki ilmu yang tinggi sekali sehingga tidak mungkin dapat membohonginya dengan mengatakan bahwa dia tidak berhasil. Maka dia menarik napas panjang dan berkata,

"Dengan petunjuk suhu yang mulia, aku telah berhasil, suheng. Akan tetapi ada beberapa bagian yang masih memusingkan aku, dan aku ingin sekali melihat catatan dalam kitab aslinya karena aku khawatir kalau-kalau terjemahan itu kurang cocok. Aku harap suheng suka memperlihatkan kitab aslinya sekali lagi kepadaku untuk dapat kuperiksa kembali agar dapat kuatasi kesukaran itu, suheng."

Kakek itu terkekeh girang. "Aha, dari cahaya di wajahmu dan sinar matamu saja aku telah melihat perubahan besar pada dirimu, sute. Akan tetapi apa bila memang ada kesukaran, sebaiknya sekali lagi meneliti isi kitab, akan tetapi ingat, hanya satu kali lagi saja, sute. Mari kuambilkan..."

"Aku tidak mau membuat engkau lelah, suheng. Biarlah aku yang mengambilnya sendiri, katakan saja di mana suheng menyimpan kitab-kitab itu."

"Oho-ho, kalau tidak aku sendiri yang mengambil, siapa pun tidak boleh, sute, dan pula terlalu berbahaya untukmu... heh-heh, mari kau ikut..."

Han Houw tidak mau membantah lagi dan dia mempergunakan kekuatan batinnya untuk menekan kelegaan dan kegirangan hatinya sehingga pada wajahnya yang tampan itu tak nampak perubahan sesuatu.

Namun Han Houw terlalu memandang rendah kepada suheng-nya itu. Sedikit kilatan sinar matanya sudah cukup bagi kakek itu untuk menaruh curiga terhadap sute-nya ini. Akan tetapi kakek itu tidak berkata apa-apa, melainkan menyeringai dan berlari terus, cepat sekali dengan langkah-langkah kecil dari dua buah kakinya yang kecil telanjang itu.

Han Houw mengikuti dari belakang dan dengan girang dia memperoleh kenyataan bahwa dia dapat mengikuti suheng-nya itu dengan sangat mudahnya, berloncatan dari batu ke batu, melewati jurang-jurang menuju ke sebuah goa yang berada di lereng. Di depan goa besar sekali, kakek itu berhenti dan berkata,

"Di dalam goa inilah kusembunyikan kitab-kitab itu."

"Biar aku yang mengambilnya, suheng!"

"Ihhh, jangan! Berbahaya sekali. Kau tunggu di sini, biar aku yang mengambilnya." Tanpa menanti jawaban, kakek itu menyelinap masuk ke dalam goa.

Han Houw menanti di luar goa sambil menahan senyum. Peduli amat dia, malah sangat kebetulan kalau kakek itu yang mengambilkan untuknya, pikirnya.

Tak lama kemudian tampak kakek itu berjalan keluar sambil membawa sebuah peti hitam. Akan tetapi ketika dari tempat gelap kakek itu memandang wajah sute-nya dan melihat sinar mata sute-nya, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan nampak terkejut.

Pada saat itu pula terdengarlah suara orang dari jauh, "Ouwyang locianpwe, kami datang memenuhi undangan!"

"Celaka, ada orang datang! Kita tunda dahulu urusan kita ini!" kata kakek itu dan bagaikan setan dia sudah menghilang lagi ke dalam goa yang gelap.

Dengan cepat Han Houw membalikkan tubuhnya memandang ke arah datangnya suara, akan tetapi orang yang datang belum nampak olehnya. Ia merasa ada angin menyambar dari dalam goa dan cepat dia menoleh. Kiranya suheng-nya telah berada di sampingnya.

"Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah datang, mari kita temui mereka lebih dulu!" kata Ouwyang Bu Sek.

Mendengar disebutnya dua orang ini, Han Houw terkejut dan wajahnya berseri karena dia teringat akan Lie Ciauw Si, wanita yang telah menjatuhkan hatinya itu, yang ditemuinya di rumah dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu sebelum dia pergi untuk menemui suheng-nya ini beberapa bulan yang telah lalu. Maka tanpa banyak cakap dia mengikuti suheng-nya, kembali menuju ke puncak, yaitu ke tempat pertapaan suheng-nya di mana banyak terdapat goa-goa itu.

Mereka tidak perlu menanti lama karena kembali terdengar suara, kini lebih dekat lagi dari tempat itu, "Ouwyang locianpwe, kami dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah menghadap!"

Ouwyang Bu Sek lalu membuka mulutnya yang lebar, "Aku telah menunggu di sini, harap ji-wi pangcu naik saja dan jangan sungkan-sungkan!"

Dari bawah puncak tampaklah bayangan dua orang berlari naik dan dari gerakan mereka saja mudah diketahui bahwa kedua orang itu mempunyai kepandaian yang lumayan dan setelah dekat dengan Han Houw dapat mengenal dua orang itu. Mereka adalah Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok, dua orang pimpinan dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang di kota Yen-ping.

Ketika dua orang gagah itu melihat Han Houw berada di situ, berdiri di samping Ouwyang Bu Sek, mereka terkejut, heran akan tetapi juga girang. Cepat mereka itu memberi hormat kepada pangeran yang telah dikenalnya baik itu. Akan tetapi kedua orang ini pun merasa khawatir juga karena mereka teringat bahwa bagaimana pun baiknya, pangeran ini adalah adik kaisar, dan mereka berdua ingat bahwa mereka telah melakukan kesalahan terhadap kerajaan ole karena melindungi dan menyembunyikan empat orang pendekar Cin-ling-pai yang menjadi buronan.

Saat melihat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang gagah perkasa itu berlutut di hadapannya, Han Houw tersenyum dan mengangguk-angguk. Kemudian, dia menoleh kepada Ouwyang Bu Sek sambil berkata,

"Kalau suheng ada urusan dengan mereka, silakan."

Sejak tadi Ouwyang Bu Sek sudah melotot memandang kepada dua orang yang berlutut itu, kemudian dia membentak, "Kalian berdua berdirilah!"

Dua orang ketua itu lalu bangkit berdiri dengan sikap hormat, kemudian Sin-ciang Gu Kok Ban berkata, "Semalam locianpwe sudah mengundang kami berdua untuk datang ke sini, nah, kami sudah datang menghadap, tidak tahu ada urusan apakah locianpwe memanggil kami?"

Suara Ouwyang Bu Sek terdengar bengis pada saat dia membentak, "Ji-wi pangcu adalah orang-orang gagah dan sudah semenjak dulu Sin-ciang Tiat-thouw-pang terkenal sebagai perkumpulan orang gagah, maka harap suka bersikap jujur dan tidak membohong!"

Dua orang setengah tua yang gagah perkasa itu saling memandang, kemudian Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, berkepala botak dan muka bopeng, menggerakkan sebatang toya besinya yang berat itu sambil menegakkan kepalanya, menjawab dengan suaranya yang besar,

"Ouwyang locianpwe harap jangan memandang rendah kepada kami. Belum pernah kami membohong, apa lagi bersikap tidak jujur!"

"Bagus, bagus! Nah, kalau begitu lekas katakan ke mana larinya Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka?"

Seketika pucatlah wajah dua orang ketua itu. Mereka menatap wajah Ouwyang Bu Sek dan sejenak mereka tidak mampu menjawab.

"Kami... kami tidak tahu..." Akhirnya Sin-ciang Gu Kok Ban berkata.

"Ha-ha-ha-ha, sudah berbulan-bulan mereka tinggal di sarang Sin-ciang Tiat-thouw-pang, dan kini kalian menyatakan tidak tahu di mana adanya mereka. Aha, semenjak kapankah Sin-ciang Tiat-thouw-pang menjadi pelindung para pemberontak buronan?" kata kakek itu dengan nada mengejek.

Dua orang itu terkejut lantas keduanya otomatis memandang kepada Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran muda itu pun memandang kepada mereka dengan sinar matanya yang demikian tajam mencorong sehingga amat menyeramkan. Maka kini jawaban yang keluar dari mulut Gu Kok Ban bukan lagi ditujukan kepada Ouwyang Bu Sek, melainkan kepada sang pangeran itu.

"Tidak, mereka bukan pemberontak atau buronan. Bagi kami mereka adalah orang-orang gagah perkasa, pendekar-pendekar budiman dari Cin-ling-pai!"

"Hemmm, dan sejak kapan kalian bersahabat dengan orang-orang Cin-ling-pai?" kakek itu mendesak dengan suara mengandung kemarahan.

Kini Tiat-thouw Tong Siok yang menjawab, "Ouwyang locianpwe, kami bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw, siapakah yang boleh mengatur dan menentukan? Apa salahnya kalau kami bersahabat dengan mereka?"

Mata yang lebar itu makin terbelalak. "Hayo jawab, sejak kapan kalian bersahabat dengan orang-orang Cin-ling-pai?" Ouwyang Bu Sek mengulang pertanyaannya dan kini suaranya terdengar lambat-lambat penuh ancaman.

Sin-ciang Gu Kok Ban adalah seorang yang cerdik. Dalam saat terdesak itu dia segera memperoleh akal, maka dengan wajah tenang dia lalu menjawab, "Ouwyang locianpwe, ketahuilah bahwa kami menganggap keluarga Cin-ling-pai sebagai sahabat-sahabat baik sejak kami menerima pertolongan dari nona pendekar Lie Ciauw Si, cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai. Di antara empat orang itu, nyonya Yap Kun Liong adalah ibu kandung nona Lie Ciauw Si! Sesudah kami menerima budi Lie-lihiap yang pernah menyelamatkan kami, tentu saja kami menganggap keluarganya sebagai sahabat-sahabat kami." Ucapan ini tentu saja ditujukan kepada Pangeran Ceng Han Houw.

Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini tentu saja dapat menduga bahwa ada hubungan cinta kasih mesra di antara pangeran itu dengan Lie Ciauw Si, maka dia sengaja menyinggung-nyinggung nama nona itu di depan sang pangeran, Dan benar saja, sepasang matanya yang berpengalaman itu sudah dapat melihat perubahan pada wajah pangeran itu ketika dia menyebut nama Lie Ciauw Si.

Akan tetapi Ouwyang Bu Sek langsung membanting kakinya yang telanjang. "Kalian telah bersahabat dan melindungi orang-orang Cin-ling-pai! Namun sebaliknya, aku memusuhi orang-orang Cin-ling-pai, mereka semua itu adalah musuh-musuh besarku! Dan karena kalian melindungi musuh-musuhku, berarti kalian juga menjadi musuhku!"

"Ouwyang locianpwe..."

"Hayo cepat katakan, di mana adanya keluarga Cin-ling-pai itu sekarang?"

"Kami tidak tahu, locianpwe, malah andai kata kami tahu juga, kami takkan mengatakan kepada siapa pun juga. Kami bukanlah semacam kaum pengkhianat yang suka membikin celaka orang-orang gagah, apa lagi kami telah berhutang budi. Lebih baik mati dari pada mengkhianati mereka!" jawab Gu Kok Ban dengan sikap gagah.

Kakek yang cebol seperti kanak-kanak itu berjingkrak marah. "Setan! Kalau begitu kalian sudah bosan hidup!" Kakek itu melangkah maju dengan sikap mengancam.

Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu tentu saja sudah siap-siap untuk membela diri. Biar pun mereka maklum bahwa mereka berdua bukan tandingan kakek Ouwyang Bu Sek yang mereka tahu sangat lihai itu, namun tentu saja mereka tidak mau mati konyol begitu saja tanpa melawan. Sin-ciang Gu Kok Ban sudah melolos siang-kiam dari sarung pedangnya, lalu melintangkan sepasang pedang itu di depan dada, sedangkan Tiat-thouw Tong Siok juga sudah melintangkan toya besinya dengan sikap gagah.

"Bagus, ha-ha-ha, memang aku ingin melihat kalian melawan, aku tidak suka membunuh orang yang sama sekali tidak melawan!" Kakek cebol itu tertawa dan tiba-tiba tubuhnya sudah menerjang ke depan.

Tiat-thouw Tong Siok memapaki tubuh kakek cebol ini dengan toya besinya yang segera dihantamkannya ke arah kepala yang besar itu. Pukulan toyanya ini mendatangkan angin dahsyat dan jangankan hanya kepala orang, biar batu gunung yang keras pun pasti akan hancur bila mana tertimpa toya besi yang digerakkan dengan kekuatan gajah itu. Namun, kakek cebol itu sama sekali tak mengelak atau menangkis dan agaknya memang sengaja menerima hantaman toya itu dengan kepalanya yang besar den botak kelimis.

"Takkkk!"
Toya besi itu terpental, seakan-akan mengenai bola baja yang jauh lebih keras dari pada toya itu! Dan si cebol itu hanya terkekeh memperlihatkan mulutnya yang ompong dan dua buah giginya di bagian atas.

Tong Siok kaget dan juga penasaran, toyanya diputar lebih cepat dan mengirim serangan bertubi-tubi ke arah tubuh lawan. Terdengarlah suara bak-bik-buk seperti orang memukuli kasur yang dijemur ketika beberapa kali toya itu menghantam ke tubuh Ouwyang Bu Sek, akan tetapi kakek itu enak-enak saja dan setiap hantaman toya selalu membuat toya itu sendiri terpental!

"He-he-he, terima kasih untuk pijatan-pijatan itu, memang tubuhku beberapa hari ini agak pegal-pegal minta dipijati!" Ouwyang Bu Sek berkata.

Pada waktu toya itu terpental, Sin-ciang Gu Kok Ban langsung menerjang dengan siang-kiamnya. Nampak cahaya berkilat ketika sepasang pedang itu menggunting ke arah leher dan pinggang.

"Ehh... ohhh... pedangmu bisa merusak pakaianku!" Ouwyang Bu Sek berseru.

Tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas sehingga terbebas dari guntingan sepasang pedang itu, kemudian dari atas dia menukik dengan kepala di bawah dan dua kali dia membuang ludah.

"Cuhh! Cuhhh!" Dua sinar putih menyambar ke bawah cepat sekali.

Biar pun Sin-ciang Gu Kok Ban sudah mengelak, tetap saja pundaknya terkena ludah dan bajunya berlubang dan kulit pundaknya terasa nyeri sekali karena lecet dihantam air ludah itu! Hal ini tentu saja mengejutkan Gu Kok Ban yang cepat memutar sepasang pedangnya dibantu oleh Tong Siok yang menggerakkan toya besinya.

Terjadilah perkelahian yang amat hebat dan seru, akan tetapi juga lucu. Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Nama mereka sudah amat terkenal di dunia kang-ouw dan keduanya pun merupakan orang-orang pandai yang ditakuti karena memang mereka sudah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Namun, kali ini mereka berdua merasa dipermainkan oleh Ouwyang Bu Sek!

Biar pun keduanya memainkan senjata-senjata andalan mereka dan mengeroyok kakek cebol itu, namun si kakek cebol sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan tertawa-tawa sambil mengelak ke sana-sini, kadang kala berloncatan seperti kera menari-nari, kadang-kadang menggelinding dan bergulingan ke sana sini, kemudian meloncat dan membalas dengan tangkisan atau tamparan-tamparan yang membuat dua orang lawannya itu repot karena setiap tangkisan tentu membuat senjata mereka langsung terpental ada pun setiap tamparan harus mereka elakkan karena tak mungkin ditangkis tanpa membahayakan diri mereka!

Sesudah lewat lima puluh jurus yang penuh dengan main-main di fihak Ouwyang Bu Sek, tiba-tiba kakek itu meloncat jauh ke belakang sambil berkata, "Nah, cukuplah bagi kalian sehingga kalian akan mati sebagai orang-orang gagah yang mempertahankan diri! Kini bersiaplah untuk mampus!"

Tiba-tiba saja tubuh pendek kecil itu lenyap berubah menjadi bayangan yang cepat bukan main. Dua orang ketua itu cepat menyambut bayangan ini dengan senjata mereka.

"Plakkk!"

"Suuuttt...! Cring-cringgg!" Tahu-tahu toya besi itu sudah dirampas, demikian pula dengan sepasang siang-kiam itu!

Dengan lagak seperti anak kecil sedang main-main, Ouwyang Bu Sek saling mengadukan kedua pedang itu. Terdengar bunyi nyaring dan sepasang pedang itu patah menjadi empat potong lalu dilemparkan ke arah kaki Gu Kok Ban. Ada pun toya besi itu dia belit-belitkan ke lengan kirinya sampai melingkar-lingkar seperti ular, kemudian dilemparkannya pula di atas tanah, depan kaki Tong Siok. Kakek cebol itu lalu menyeringai, memandang mereka berdua yang berdiri dengan muka pucat.

"Heh-heh-heh, kalian masih tetap belum mau memberi tahu di mana adanya orang-orang Cin-ling-pai itu?" tanya Si Cebol yang amat lihai ini.

Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian terdengarlah Gu Kok Ban berkata dengan tarikan napas panjang.

"Kami sudah kalah, mau bunuh lakukanlah!"

"Kami lebih baik mati dari pada mengkhianati mereka!" sambung Tong Siok.

Biar pun mereka sudah merasa kalah, namun keduanya masih memasang kuda-kuda dan siap untuk membela diri sampai napas terakhir.

"Hemm, tolol kalian! Kalau tidak mengingat kegagahan kalian, apakah sekarang ini kalian belum menjadi bangkai? Kalian masih berkeras, terpaksa aku orang tua minta kalian yang muda-muda mendahului aku untuk mati!" Ouwyang Bu Sek sudah mengepal dua tinjunya dan alisnya berkerut, sikapnya mengancam.

"Tidak ada pilihan lain bagi kami!" kata Gu Kok Ban dengan sikap gagah.

"Keparat, kalau begitu mampuslah!"

Kembali tubuh kakek itu menerjang dengan cepat bukan kepalang. Gu Kok Ban dan Tong Siok telah siap-siap untuk membela diri secara mati-matian, akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tubuh kakek cebol itu terhenti di tengah-tengah, malah terpental kembali ke belakang karena dorongan tangan Han Houw yang sudah menghadang.

"Suheng, jangan bunuh mereka!" teriak pemuda ini sambil bertolak pinggang dan berdiri di antara mereka menghadapi kakek cebol itu.

Sejenak Ouwyang Bu Sek memandang terbelalak kepada sute-nya itu. Sute-nya itu telah berani menentangnya, bahkan tadi mendorongnya sehingga dia terjengkang ke belakang! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini! Pangeran itu yang telah diterimanya sebagai sute, yang telah dibimbingnya dengan susah payah untuk bisa menguasai ilmu-ilmu tinggi dari Bu Beng Hud-couw, kini berani mencampuri urusannya!

"Sute! Biar pun engkau seorang pangeran, tetapi engkau tidak boleh mencampuri urusan pribadiku!" bentaknya dengan penuh rasa penasaran melihat sikap sute-nya yang berdiri tegak dan tenang penuh keangkuhan itu.

"Bukan urusan pribadimu lagi, suheng!" Han Houw menjawab dengan tenang dan tegas, sikapnya penuh wibawa dan sepasang matanya mencorong, mengeluarkan cahaya aneh yang bahkan Ouwyang Bu Sek sendiri menjadi terkejut melihatnya. "Aku adalah seorang pangeran, karena itu tak mungkin aku membiarkan saja rakyatku dibunuh oleh siapa pun, termasuk engkau!"

"Eh, sute...!" Ouwyang Bu Sek hampir tak percaya sute-nya akan berani menentangnya, kemudian dia melanjutkan, "Ingatlah, justru karena engkau pangeran maka engkau harus tahu bahwa musuh-musuhku, yaitu orang-orang Cin-ling-pai itu, adalah musuh-musuhmu juga, musuh negara, pemberontak-pemberontak buronan!"

"Diam! Tentang pendirianku dalam menilai seseorang, tidak perlu dengan nasehatmu!"

"Sute! Bagaimana engkau berani bicara seperti itu terhadap aku? Aku suheng-mu, juga aku pembimbingmu..."

"Engkau seorang kakek tua bangka, dan aku pangeranmu, engkau harus taat kepadaku!" bentak Han Houw.

Kini marahlah Ouwyang Bu Sek. Selamanya belum pernah dia dihina orang seperti itu, apa lagi yang menghinanya itu adalah sute-nya, bahkan seperti juga muridnya sendiri!

"Keparat, engkau murid murtad! Hayo kembalikan semua ilmu yang pernah kau pelajari dariku! Aku harus membuntungi kedua tanganmu agar engkau tak dapat mempergunakan ilmu-ilmu itu!" bentak Ouwyang Bu Sek dan bagaikan seekor katak melompat, dia sudah menyerang Han Houw.

Hebat bukan main serangan Ouwyang Bu Sek ini! Dari kedua tangannya yang dipentang itu langsung menyambar hawa pukulan yang sangat dahsyat dan angin pukulan berputar menggerakkan daun-daun pohon, bahkan banyak pula daun pohon yang rontok, ada pun dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terpaksa harus cepat-cepat mundur karena mereka merasakan sambaran angin yang dingin dan seperti dapat mengiris kulit mereka! Angin yang berputar ini mengelilingi Han Houw seakan-akan menutup semua jalan keluar pemuda ini yang dipaksa harus menghadapi serangan langsung dari kakek yang sakti itu.

Han Houw terkejut bukan main. Dia terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri sesudah dia berhasil menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab itu dan menyaksikan kedahsyatan serangan kakek itu, dia merasa ngeri juga. Cepat dia mempergunakan ginkang-nya untuk mengelak ke kiri, akan tetapi pagar hawa pukulan itu menahannya dan terpaksa dia lalu menggerakkan kedua tangannya, mendorong ke depan menyambut kedua tangan kakek itu yang sudah bergerak menghantam ke depan.

"Dessss...!"

Pertemuan dua tenaga dahsyat ini membuat tubuh Ouwyang Bu Sek terpelanting ada pun tubuh Han Houw terlempar dan terjengkang ke belakang sampai beberapa kaki jauhnya! Dada pemuda itu terasa sesak, akan tetapi dia dapat segera melompat bangun kembali, lalu dengan kepala agak pening dia menghadapi kakek itu.

Ouwyang Bu Sek juga terbelalak karena tidak menyangka bahwa pemuda itu selain dapat menahan serangannya, bahkan sudah bisa membuat tubuhnya terpelanting, tanda bahwa pemuda itu sudah memperoleh tenaga dahsyat dan tidak kalah kuat olehnya! Tahulah dia bahwa pemuda ini sudah berhasil pula, seperti juga Sin Liong, mewarisi ilmu sakti dari Bu Beng Hud-couw. Dia merasa menyesal bukan main. Menyesal mengapa dia mempercaya pemuda bangsawan ini yang baru saja selesai belajar sudah berani menentangnya!

Kemarahan membuat wajah kakek itu menjadi merah sekali bagaikan udang direbus, dan kedua matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar mengerikan, wajahnya menjadi berubah menyeramkan. Biasanya kakek ini tertawa-tawa dengan lucu jenaka, menganggap segala peristiwa seperti lelucon saja, akan tetapi sekali ini dia benar-benar marah sehingga sinar matanya mengandung ancaman maut bagi Han Houw.

"Sekarang aku akan membunuhmu!" bentaknya dan suaranya yang sedikit parau saking marahnya itu mengandung getaran dahsyat hingga membuat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang menggigil.

Dua orang ketua yang gagah perkasa ini masih berdiri di situ seperti patung, tidak kuasa untuk bergerak karena merasa tegang dan khawatir terhadap pangeran itu, juga mereka merasa terheran-heran bagaimana pangeran ini tiba-tiba menjadi sute kakek sakti itu, dan sekarang bahkan berani pula menentang suheng-nya. Mereka merasa bahwa sepatutnya mereka membantu pangeran itu untuk mengeroyok Ouwyang Bu Sek, akan tetapi karena pertentangan itu adalah urusan antara suheng dan sute, berarti merupakan urusan dalam kekeluargaan perguruan mereka, tentu saja mereka tak berani lancang mencampuri, apa lagi sekarang mereka pun tahu bahwa kakek itu luar biasa lihainya dan bahwa kalau tadi dikehendaki, maka dalam beberapa jurus saja mereka tentu sudah roboh dan tewas, oleh karena itu bantuan mereka pun takkan banyak gunanya. Maka, mereka kini hanya berdiri memandang saja dengan hati penuh ketegangan.

Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati mereka ketika mereka melihat kakek cebol itu sudah mengangkat sebongkah batu gunung yang besar sekali, kemudian dengan gerakan dahsyat kakek itu sudah menerjang maju dan menimpakan batu sebesar gajah itu ke arah kepala sang pangeran yang masih tetap berdiri dengan sikap tenang. Mereka terbelalak dan membayangkan betapa tubuh pangeran itu akan remuk-remuk, karena selain batu itu besar dan amat berat, juga ditambah lagi dengan tenaga kakek itu yang amat kuat.

"Blarrrrr...!"

Debu mengepul tebal sehingga menutupi pandangan mata. Setelah debu lenyap, nampak oleh dua orang ketua itu bahwa batu besar itu sudah hancur berantakan, akan tetapi sang pangeran masih tetap berdiri tenang seperti tadi! Ternyata hantaman batu besar itu telah disambut dengan pukulan kedua tangannya yang menghancurkan batu!

Hampir saja kedua orang itu bersorak saking gembira dan kagumnya. Mereka tahu bahwa pangeran ini memang seorang pemuda yang lihai, akan tetapi sama sekali mereka tidak pernah membayangkan bahwa pemuda itu ternyata adalah sute dari Ouwyang Bu Sek dan memiliki kehebatan seperti itu!

Kini Ouwyang Bu Sek menjadi makin marah. Banyak batu-batu dilontarkan dan ditendang ke arah sute-nya, akan tetapi dengan sikap sangat tenang Han Houw memapaki semua serangan batu-batu besar itu, baik dengan tendangan atau pun hantaman dua tangannya sehingga batu-batu itu ada yang pecah berantakan ada pula yang terlempar kembali ke arah penyerangnya. Kemudian dengan lengking parau yang menggetarkan, Ouwyang Bu Sek menerjang ke depan, mulai menyerang dengan pukulan-pukulan beruntun dari kedua tangannya yang pendek namun yang mendatangkan desir angin bercuitan mengerikan.

Han Houw juga bergerak dan pemuda ini mainkan ilmu sliat yang aneh, dengan langkah-langkah panjang dan kedua kaki ringan sekali sebab dia hanya menggunakan ujung-ujung jari kakinya untuk melangkah, dengan tumit terangkat bagaikan seorang penari. Gerakan-gerakannya aneh, tetapi selalu dapat membawa tubuhnya terhindar dari pukulan-pukulan kakek itu, bahkan dia pun lalu membalas dengan pukulan-pukulan yang berupa tamparan-tamparan dengan lengan dilengkungkan.

"Bukk! Bukk!"

Dua kali kedua tangan pemuda itu tepat mengenai sasaran, pukulan pertama mengenai lambung dan pukulan kedua mengenai dada. Akan tetapi kakek itu agaknya sama sekali tidak merasakan pukulan itu, padahal Han Houw telah mengerahkan tenaganya memukul tadi! Tentu saja Han Houw terkejut bukan main dan barulah dia tahu bahwa suheng-nya itu memiliki ilmu kekebalan yang amat luar biasa dan dapat diandalkan.

Ouwyang Bu Sek malah tertawa mengerikan ketika menerima pukulan-pukulan itu dan dia menubruk ke depan. Han Houw yang agak terperanjat ketika melihat pukulannya seperti tak terasa oleh lawan, menjadi gugup sehingga kurang cepat bergerak, maka pundaknya kena disambar. Hanya keserempet saja, namun akibatnya membuat dia terpelanting dan pundaknya terasa nyeri bukan kepalang, hingga menyusup ke tulang-tulang rasa nyeri itu! Namun, dia sudah dapat meloncat memperbaiki kedudukannya sehingga desakan kakek itu dapat dipatahkannya.

Han Houw memainkan ilmu silat yang dilatihnya dari kitab pertama, ilmu silat aneh yang dimainkan dengan sepasang kaki berdiri di atas jari-jari kaki dengan tumit terangkat, dan karena kitab-kitab itu masih belum memiliki nama, maka Han Houw memilih sendiri dan menamakan ilmu silat ini Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Menalukkan Naga), sebab dia menganggap dirinya lebih lihai dari pada naga!

Dialah Pendekar Lembah Naga, dan teringat akan Sin Liong yang namanya berarti Naga Sakti, maka dia pun memilih nama itu untuk ilmu silatnya yang baru, tentu saja dengan maksud supaya ilmu ini dapat mengalahkan Sin Liong! Dari kitab ke dua dia memperoleh ilmu bersemedhi dan melatih pernapasan untuk mengumpulkan tenaga sakti, dan dari kitab ke tiga dia mendapatkan ilmu yang aneh, yang dimainkan dengan kepala di bawah, dan dia memberi nama Hok-te Sin-kun (Ilmu Silat Membalikkan Bumi) kepada ilmu ini.

Dengan ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang dia sudah menghadapi suheng-nya itu selama lima puluh jurus dan ilmu ini ternyata cukup tangguh sehingga dengan ilmu ini dia selalu dapat menghindarkan semua serangan Ouwyang Bu Sek. Akan tetapi semua pukulannya yang mengenai tubuh lawan tidak mampu membuat lawannya roboh, bahkan agaknya kakek itu tidak merasakan sama sekali! Dan dia malah terancam, karena dia tahu bahwa dalam hal tenaga sinkang, dia masih kalah jauh dan sekali dia terkena pukulan yang tepat, dia akan roboh!

Maka dicarinyalah akal, dan pemuda bangsawan yang cerdik ini mendadak meloncat jauh ke belakang sambil berseru, "Tua bangka, kalau engkau berani hayo kau kejar aku!"

Ouwyang Bu Sek sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Sampai lima puluh jurus dia tidak mampu merobohkan sute-nya ini! Sungguh sebuah hal yang mengejutkan dan memalukan sekali, apa lagi pertandingan itu ditonton oleh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang! Rusaklah nama besarnya, apa lagi kalau didengar oleh Lam-hai Sam-lo yang menjadi musuh lamanya, tentulah dia akan ditertawakan karena ketololannya, yaitu selain menerima sute yang durhaka, juga kini malah tidak mampu mengalahkan sute-nya sendiri itu!

Maka, begitu pangeran itu melarikan diri, tanpa banyak cakap lagi dia sudah melakukan pengejaran! Mereka berdua itu bergerak cepat sekali hingga sebentar saja mereka telah lenyap dan hanya nampak bayangan mereka berkejaran ke puncak bukit di sebelah barat.
Selanjutnya,

Pendekar Lembah Naga Jilid 35

Pendekar Lembah Naga Jilid 35
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SEMENTARA itu, Bun Houw, In Hong, Kun Liong dan Giok Keng yang melarikan diri juga terheran-heran melihat sikap Sin Liong. Kini mereka telah berhasil membebaskan diri dari pengejaran, dan sekarang sedang berjalan biasa karena In Hong masih terlampau lemah untuk melakukan perjalanan jauh sambil berlari cepat terus.

"Sungguh aku tidak mengerti anak itu!" kata Bun Houw sambil menggelengkan kepalanya. "Mula-mula dia melindungi iblis betina itu dan melawan kami, tapi kemudian dia berbalik melindungi kita dan melawan pasukan yang mengepung kita."

Yap Kun Liong menarik napas panjang. "Anak itu luar biasa sekali. Sekecil dia telah dapat memainkan Thai-kek Sin-kun dengan begitu baiknya, dan gerakan tangannya amat aneh, entah ilmu apa yang digunakannya ketika menangkis pukulan-pukulanmu tadi, Houw-te."

"Dia memiliki tenaga yang amat hebat pula...! Rasanya... rasanya... aku sendiri tidak akan mampu menandingi kekuatannya!"

Kata-kata Bun Houw ini membuat yang lain-lainnya terbelalak keheranan. Mereka semua tahu bahwa Bun Houw memiliki tenaga yang amat dahsyat dan pada jaman itu sukarlah mencari tokoh kang-ouw yang akan dapat menandinginya, akan tetapi sekarang pendekar ini mengaku bahwa dia kalah oleh seorang pemuda remaja! Tentu saja mereka menjadi terheran-heran akan tetapi juga bukan tidak percaya karena Bun Houw berbicara dengan serius.

"Betapa pun juga, kita harus berhati-hati kalau lain kali berjumpa dengan Sin Liong. Anak itu aneh dan kita tidak tahu bagaimana isi hatinya, sebentar menjadi lawan dan sebentar menjadi kawan," kata Yap In Hong.

Empat orang ini lalu berangkat menuju ke Propinsi Ce-kiang. Atas usul Yap In Hong dan suaminya, mereka akan bersembunyi di Bun-cou, yaitu di kota yang dulu menjadi tempat tinggal dia dan suaminya semenjak mereka berdua meninggalkan Cin-ling-san. Mereka pergi melakukan perjalanan seenaknya karena di antara mereka terdapat Cia Kong Liang, bayi yang baru berusia sebulan itu, putera dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong.

Biar pun sikap Sin Liong yang aneh itu mendatangkan keheranan dan dugaan-dugaan di dalam hati empat orang pendekar ini, tetapi diam-diam mulai tumbuh kebencian terhadap pemuda remaja itu. Terutama sekali dalam hati Bun Houw dan In Hong, karena bukankah anak itu yang mencegah mereka membunuh Kim Hong Liu-nio, musuh besar mereka, dan perbuatan anak itu mengakibatkan mereka harus kembali lari dari tempat tinggal mereka, karena Kim Hong Liu-nio masih hidup dan masih mengerahkan pasukan untuk mengejar mereka?

Sin Liong dianggap sebagai anak yang selain aneh akan tetapi juga merugikan, bahkan di lubuk hatinya, Bun Houw masih saja berpendapat bahwa gara-gara Sin Liong inilah maka ayahnya sampai meninggal dunia. Maka, sungguh pun kini di dalam sikap dan perbuatan Sin Liong itu terdapat dua hal yang berlawanan, di satu fihak merugikan karena pemuda itu menyelamatkan Kim Hong Liu-nio dan di lain fihak menguntungkan karena pemuda itu telah melindungi mereka dengan melawan pasukan, namun segi buruknya lebih menonjol dan ini menimbulkan rasa tidak suka kepada anak itu. Terutama sekali karena dalam diri pemuda remaja itu Bun Houw melihat seorang lawan yang amat berbahaya.

********************

Kita tinggalkan dulu empat orang pendekar bersama bayi yang melarikan diri dan mencari tempat persembunyian baru itu, dan meninggalkan Sin Liong yang kini mulai membayangi Kim Hong Liu-nio lagi untuk mencari kesempatan menemui wanita itu sendirian saja tanpa adanya pasukan yang melindunginya, untuk diajak bertanding dan membuat perhitungan. Sekarang mari kita ikuti perjalanan Ceng Han Houw, pangeran berdarah campuran yaitu ibunya Puteri Khamila adalah seorang puteri berbangsa Khitan sedangkan ayahnya, ayah kandungnya adalah mendiang Kaisar Ceng Tung.

Seperti sudah kita ketahui, Pangeran Ceng Han Houw atau yang oleh ayahnya yang sah, yaitu Raja Sabutai, diberi nama Pangeran Oguthai, atas bantuan Sin Liong telah berhasil menarik hati orang aneh yang sakti Ouwyang Bu Sek hingga diangkat menjadi sute-nya, menjadi murid Bu Beng Hud-couw yang dianggap sebagai guru besar di Himalaya, guru Ouwyang Bu Sek yang menulis kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi itu.

Dengan sangat tekunnya Ceng Han Houw membantu Ouwyang Bu Sek menterjemahkan kitab-kitab kuno yang tiga jilid banyaknya itu, menuliskannya menjadi belasan jilid dalam bahasa sekarang, kemudian di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek mulailah Han Houw mempelajari kitab-kitab itu yang ternyata memang mengandung pelajaran ilmu-ilmu yang aneh dan mukjijat. Berkat otaknya yang cerdas, sebentar saja Han Houw sudah berhasil menghafal isi kitab-kitab itu dan kini dia tekun sekali bersemedhi menurutkan petunjuk kitab-kitab itu, di dalam sebuah goa besar yang kosong.

Sesudah Han Houw mulai melatih diri dengan isi kitab-kitab itu, maka Ouwyang Bu Sek sendiri tak mampu lagi membimbingnya. Seperti diketahui, kakek ini hanya membimbing teorinya saja, sedangkan untuk membimbing prakteknya tentu saja dia tidak mampu lagi. Kakek ini sudah terlalu tua untuk melatih diri dengan ilmu-ilmu yang amat sukar itu, maka untuk latihan prakteknya, dia menyerahkan sang sute itu bergantung kepada semangat dan kemauannya sendiri karena dia sama sekali tidak mampu memberi petunjuk lagi.

"Suheng," pada suatu hari, setelah dia benar-benar sudah hafal dengan isi seluruh kitab yang belasan jilid banyaknya sebagai terjemahan dari tiga kitab asli itu, "aku telah menjadi murid dari suhu Bu Beng Hud-couw, akan tetapi bagaimana aku dapat bertemu dengan beliau? Apakah suheng mengetahui di mana beliau tinggal sehingga aku pun dapat pergi mencarinya di Himalaya sana?"

Ouwyang Bu Sek, si kakek cebol yang mempunyai tubuh seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar seperti orang dewasa itu terkekeh genit. "He-he-heh-heh, sute, engkau ini lucu bukan main! Mencari tempat tinggal suhu kita adalah hal yang mustahil selama kita masih hidup! Engkau harus mati lebih dulu untuk dapat mencari tempat tinggal suhu, heh-heh-heh!"

Tentu saja hati pangeran itu sebal sekali mendengar ucapan ini. Kebenciannya terhadap sang suheng itu masih menebal, apa lagi karena sikap suheng-nya yang sama sekali tak menghargai atau menghormatinya itu membuat dia bertambah benci.

Semua orang selalu menghormatinya dan menyembah-nyembahnya. Biar pun Sin Liong tidak menyembahnya, namun pemuda itu sedikitnya masih bersikap halus dan jujur, tidak seperti kakek ini yang kadang-kadang sikapnya menghina sekali! Hanya karena maklum akan kelihaian Ouwyang Bu Sek dan karena kecerdikannya saja, maka Han Houw selalu bersikap lembut dan taat kepada suheng-nya ini.

"Akan tetapi, suheng. Bukankah suheng sendiri dapat berhubungan dengan beliau? Andai kata kita memang tidak dapat mencari beliau di tempat tinggalnya, tetapi aku ingin sekali dapat berhubungan dengan beliau dan berjumpa dengan beliau."

"Heh-heh-heh, orang setingkat engkau ini mana mampu untuk berjumpa dengan beliau? Hanya orang setingkat akulah yang dapat bertemu dengan beliau."

"Harap suheng sudi memberikan petunjuk, dan aku akan berusaha untuk memungkinkan perjumpaanku dengan beliau."

"Guru kita itu sewaktu-waktu dapat saja berhubungan dengan kita apa bila memang kita mampu mengirim getaran yang kuat, sute. Akan tetapi, untuk apa engkau ingin bertemu dengan suhu?"

"Supaya hatiku tenang dan puas, suheng, dan juga aku ingin bertanya sesuatu mengenai pelaksanaan latihan ilmu-ilmu yang kuterima dari kitab-kitab suhu."

"Hemm... tidak mudah, dan kalau batinmu tidak kuat, dalam usaha mendatangkannya itu salah-salah engkau bisa gila atau mampus!"

Akan tetapi Ceng Han Houw adalah seorang pemuda yang berhati keras seperti baja, dan memiliki keberanian yang sangat luar biasa. Maka, ancaman mati itu sama sekali tidak membuat dia jeri, tidak membuat dia mundur. "Aku akan menghadapi bahaya itu apa bila suheng sudi memberi petunjuk."

"Heh-heh, kalau gila atau mati jangan salahkan aku, ya?"

Kalau saja dia tidak merasa yakin bahwa ilmunya belum dapat mengatasi kakek itu, tentu Han Houw sudah memakinya atau menyerangnya. Namun, dengan tenang dia berkata. "Aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa, juga tidak menyalahkan suheng."

Kini kakek itu kelihatan serius. Sejenak dia menentang tajam pandang mata sute-nya, lalu berkata, "Bila mana engkau sampai bisa berjumpa dengan suhu, hal itu sungguh sangat menguntungkanmu, sute. Ketahuilah bahwa sute Sin Liong sendiri tidak pernah bertemu dengan suhu."

Mendengar ini tentu saja hati Han Houw merasa girang bukan main, maka makin besar keinginan hatinya untuk bisa bertemu dengan orang tua yang disebut Bu Beng Hud-couw itu. "Aku akan berterima kasih sekali kepada suheng apa bila aku sampai dapat bertemu dengan suhu."

"Dengarkan baik-baik, sute. Untuk dapat berjumpa dengan suhu, pertama-tama engkau harus mengenal baik bagaimana bentuk bayangan beliau. Beginilah gambaran suhu itu. Beliau itu sudah tua sekali, tidak dapat ditaksir berapa usianya, mungkin tiga ratus tahun atau lebih. Rambutnya serta jenggotnya sudah putih semua, panjang sekali sampai ke pinggul dan perut, wajahnya penuh wibawa, pakaiannya serba putih dan amat sederhana, kakinya selalu telanjang, juga beliau selalu memegang sebatang tongkat bambu kuning. Nah, itulah gambaran beliau. Kalau engkau ingin bertemu, engkau harus bersemedhilah menurut petunjuk di dalam kitab itu, akan tetapi tujukan seluruh panca inderamu kepada bayangan beliau dan sebutlah namanya terus menerus hingga beliau datang. Jangan lupa buat api unggun di dalam goa, karena beliau biasanya datang melalui api dan asap. Nah, aku tidak bisa memberi penjelasan lebih jauh, lakukan saja apa yang kukatakan tadi, sute." Setelah berkata demikian, Ouwyang Bu Sek meninggalkan sute-nya.

Ceng Han Houw menjadi girang bukan main. Cepat dia membuat persiapan, memasuki goa kecil dimana dia biasa berlatih semedhi, membawa semua kitab-kitab terjemahannya, meletakkan kitab-kitab itu di dekatnya dan membuka halaman-halaman dimana dia masih merasa kurang mengerti dan hendak ditanyakannya secara langsung kepada suhu-nya karena suheng-nya sama sekali tidak mampu memberi petunjuk kepadanya dalam latihan praktek.

Dia membuat api unggun kecil di depannya, kemudian mulailah dia bersemedhi menurut petunjuk kitab, mengatur pernapasannya dan menyatukan panca indera merangkap kedua tangannya seperti menyembah di depan dada.

Karena sudah biasa berlatih semedhi seperti ini menurut petunjuk kitab-kitab yang sedang dipelajarinya, maka sebentar saja Han Houw telah tenggelam dan pikirannya sudah dapat dikumpulkan menjadi satu dengan panca inderanya, lalu bibirnya berbisik-bisik menyebut nama Bu Beng Hud-couw berulang-ulang.

Suara bisikan menyebut nama ini perlahan sekali sehingga hampir tidak terdengar di luar dirinya, namun suara itu terdengar jelas oleh telinganya dan suara ini terdengar aneh dan bergulung-gulung, seakan-akan merupakan sesuatu yang sambung menyambung lantas membubung ke atas, berupa tangga yang menuju ke tempat yang tak pernah dikenalnya.

Suara yang berulang-ulang ini membuat dia merasa seperti melayang-layang, terdengar makin lama semakin aneh. Dia tidak tahu lagi berapa lama dia sudah tekun bersemedhi seperti itu. Dia tak merasakan apa-apa lagi, tak mendengar apa-apa lagi kecuali suaranya yang terus menyebut-nyebut nama Bu Beng Hud-couw, yang seolah-olah bukan suaranya sendiri lagi, seolah-olah merupakan sesuatu yang terpisah darinya. Dia sama sekali tidak tahu apakah dia bersemedhi sudah satu jam, satu hari ataukah sudah sebulan!

Tiba-tiba saja tubuhnya terasa tergetar hebat dan dia merasa seperti membuka matanya karena ada sesuatu di depannya. Han Houw terkejut melihat bahwa di depannya, atau di atas api unggun yang masih bernyala kecil dan mengeluarkan asap putih, kini telah berdiri seorang kakek tua renta, persis seperti yang tergambar di dalam otaknya berdasarkan penuturan Ouwyang Bu Sek!

Kakek tua renta itu berdiri tak bergerak, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu kuning, persis seperti yang digambarkan oleh suheng-nya. Dalam kagetnya, Han Houw girang bukan main dan dia masih duduk bersila dengan kedua tangan dirangkap di depan dada, kemudian dia berkata dengan suara halus.

"Suhu, teecu mohon petunjuk...!" Ia lalu menyebutkan soal-soal dalam praktek latihannya yang mengalami kesukaran.

Kakek yang seperti bayangan, yang berdiri seperti menjadi sambungan asap putih yang mengepul dari api unggun itu, kelihatan diam saja. Han Houw mengulang kata-katanya sampai tiga kali. Kini kakek itu mengangkat tangan kirinya ke atas, seperti orang yang mempersilakan, mengangguk-angguk dan perlahan-lahan lenyap membuyar seperti asap tertiup angin.

Han Houw terkejut dan gelagapan seperti orang yang baru bangun dari tidur dan mimpi. Matanya mencari-cari namun kakek itu tidak kelihatan lagi, padahal tadi kakek itu berdiri jelas di depannya.

Dia menegok ke arah kitab-kitabnya dan cepat dia mengamati halaman-halaman kitab di mana terdapat bagian-bagian yang sukar baginya. Di bawah sinar api unggun dia meneliti dan membaca dan... betapa girang hatinya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa kini dia dapat mengerti hal-hal itu dengan jelasnya!

Keadaan seperti yang dialami oleh Han Houw ini bukan dongeng kosong belaka. Kiranya setiap orang pun akan dapat memperoleh pengalaman seperti itu, kalau saja dia memang percaya penuh dan tekun.

Orang yang mengosongkan pikiran dengan jalan mengulang-ulang kata-kata yang terus diucapkan dengan penuh pujaan akan berada dalam keadaan tersihir atau terpesona. Suara sendiri yang diulang-ulang itu mendatangkan pengaruh yang amat kuat menyihir diri-sendiri dan mengikat seluruh perhatian sendiri hingga dirinya dalam keadaan kosong sungguh pun kekosongan yang dipaksakan. Di dalam keadaan seperti ini, maka sesuatu yang dipujanya, yang diharapkan dan dipercayanya, tidak mengherankan bila betul-betul muncul di depannya, merupakan bayangan yang bukan lain adalah pantulan dari dalam batinnya sendiri.

Orang yang memuja Sang Buddha mungkin saja dapat berjumpa dengan bayangan yang sebenarnya merupakan pemantulan dari dalam hatinya, karena kepercayaan yang penuh, karena pemujaan yang tulus ikhlas ini membentuk bayangan atau gambaran dalam batin. Bayangan apa pun yang nampak oleh manusia, baik bayangan yang dinamakan setan mau pun bayangan dewa, nabi dan sebagainya, adalah bayangan yang terpantul dari dalam batin sendiri yang membentuk dan menyimpan gambaran bayangan itu. Hal ini amat jelas dan mudah dimengerti.

Seseorang yang mengaku pernah melihat setan umpamanya, pasti melihat setan seperti yang pernah didengarnya dari dongeng, dari buku dan dari cerita orang lain, atau pun dari khayalnya sendiri tentang setan. Begitu pula seseorang yang mengaku pernah bertemu dengan orang suci atau nabi, sudah pasti yang ditemuinya itu adalah orang suci atau nabi dari agamanya, atau dari kepercayaannya, seperti yang sudah pernah didengarnya dari dongeng, atau dilihatnya dalam gambar, dan sebagainya lagi. Tapi kita, yang haus hal-hal yang aneh, yang haus akan sesuatu yang dapat dijadikan pegangan, merasa sayang dan enggan melepaskan kepercayaan ini dan tidak mau atau tidak berani melihat kenyataan ini!

Sesudah merasa berjumpa dengan gurunya. Han Houw dengan mudah dapat mengerti pelajaran yang sedang dilatihnya. Hal ini pun tidaklah aneh karena pikiran yang kosong memang amat mudah menerima sesuatu dan pada saat itu Han Houw benar-benar dalam keadaan kosong sehingga begitu dia melihat halaman-halaman pelajaran yang tadinya dianggap sukar dimengerti itu, sekarang amat jelas dan mudah baginya.

Tentu saja dia menghubungkan ini dengan kemunculan bayangan suhu-nya yang secara gaib telah membimbingnya! Dia tidak sadar bahwa bayangan Bu Beng Hud-couw yang dijumpainya itu belum tentu sama dengan bayangan yang dilihat oleh Ouwyang Bu Sek, karena batin masing-masing membentuk bayangan yang tentu saja berbeda menurut selera masing-masing.

Keinginan akan sesuatu, betapa pun sesuatu itu dapat diberi sebutan luhur, suci, tinggi, sempurna dan sebagainya, tetap saja merupakan suatu keinginan yang timbul dari pikiran atau si aku yang ingin senang, ingin selamat, ingin terjamin dan tercapai keinginannya, baik keinginan dalam bentuk keenakan badan mau pun keenakan batin! Keinginan tetap merupakan keinginan dan keinginan ini lahir bermacam hal yang menjadi sumber segala konflik.

Keinginan berpusat pada pementingan diri, penonjolan si aku dan karenanya merupakan pengasingan diri yang amat picik. Semenjak kecil hingga tua kita selalu diperhamba oleh keinginan-keinginan kita. Yang berbeda hanya obyek dari keinginan-keinginan itu, ketika masih muda tentu keinginannya tertuju pada benda-benda duniawi untuk menyenangkan jasmani, lalu setelah tua dan bosan dengan semua kesenangan duniawi atau kenikmatan jasmani lalu berpindah kepada tujuan yang dinamakannya lebih tinggi, yaitu benda-benda rohani untuk menyenangkan batin, untuk menenteramkan batin, untuk keselamatan jiwa.

Namun, pada hakekatnya sama, yaitu si aku yang senang, ingin tenteram, ingin enak dan ingin terjamin! Dan selama batin masih dipenuhi keinginan ini, padahal keinginan ini hidup di alam khayal, sedangkan hidup ini berada di alam nyata maka kita akan terbuai terus oleh keinginan-keinginan itu yang melahirkan bermacam-macam khayal. Yang akan kita jumpai hanyalah bayangan-bayangan khayal kita sendiri belaka dan kita tak akan pernah dapat bersua dengan kenyataan yang suci murni!

Seorang tua akan mengatakan, "Aku tak butuh lagi dengan kesenangan dunia, aku ingin ketenangan batin, aku ingin kesempurnaan jiwa, aku tidak membutuhkan apa-apa lagi!" kata-katanya demikian, akan tetapi sesungguhnya pada dasarnya, keinginan itu masih menebal di dalam batin, yang berubah hanyalah tujuan keinginan itu saja.

Kalau dahulu yang dikejar adalah uang, kedudukan, kemuliaan, kesenangan jasmani, kini yang dikejar adalah kesenangan rohani atau apa yang dinamakan sesuatu yang lebih tinggi. Hasilnya pun akan sama saja!

Pada waktu mengejar uang, kedudukan dan sebagainya itu dia selalu bertemu dengan konflik, permusuhan, kepalsuan, kekecewaan, dan keserakahan yang tak kunjung habis, sekarang pun dia akan tetap berjumpa dengan semua itu! Karena yang dikejar adalah bayangannya sendiri!

Oleh karena itu, pertanyaan yang amat gawat dan penting perlu kita ajukan kepada diri sendiri masing-masing, yaitu: Dapatkah kita hidup bebas, dari segala macam keinginan? Dapatkah kita menghadapi apa adanya tanpa menginginkan hal-hal atau benda-benda yang tidak atau belum ada?

Segala sesuatu sudah ada pada apa adanya, namun mata kita seolah-olah buta, tidak melihat semua itu karena mata kita selalu ditujukan kepada hal-hal atau benda-benda yang tidak ada, kepada khayal-khayal kita, kepada gambaran-gambaran dari keinginan kita! Sama butanya dengan seorang penduduk di pegunungan yang tidak dapat melihat keindahan pada pegunungan karena dia gandrung akan bayangan keindahan lautan, dan sebaliknya seorang penduduk tepi laut yang tidak dapat melihat keindahan pemandangan tepi laut karena dia gandrung akan bayangan keindahan pemandangan di pegunungan! Sama butanya seperti seorang pemilik apel yang tidak dapat menikmati kelezatan buah apel itu karena dia membayangkan kenikmatan buah jeruk, dan pemilik jeruk yang tidak dapat menikmati kelezatan buah jeruknya karena dia membayangkan kelezatan buah apel!

Kita hidup dibuai lamunan, dibuai khayal belaka sehingga keadaan nyata tak tampak lagi, tak dapat dinikmati lagi, dan inilah yang menyebabkan mengapa kita selalu mengeluh dan mengatakan bahwa hidup adalah penuh derita dan kesengsaraan! Maka, dapatkah kita bebas dari segala macam keinginan itu kemudian hidup dalam saat ini, saat demi saat, menghadapi apa adanya dari saat ke saat penuh kewaspadaan?


Semenjak pengalamannya yang dianggapnya amat membahagiakan itu, Han Houw lalu berlatih amat tekunnya dan setiap kali menemui kesulitan dia lalu memanggil datangnya sang guru sehingga lama-kelamaan dia sudah menjadi terbiasa. Karena ketekunannya inilah maka tak lama kemudian, hanya dalam waktu beberapa bulan saja Han Houw telah dapat menguasai latihan ilmu-ilmu silat dari kitab-kitab yang diterimanya dari Ouwyang Bu Sek itu.

Dan memang hebat sekali hasilnya! Bukan saja pemuda bangsawan ini telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi yang amat aneh, tapi dengan latihan-latihan siulian dan menghimpun tenaga sakti yang amat kuat, jauh lebih kuat dari pada sebelum dia tekun belajar di dalam goa itu!

Berbedalah pemuda bangsawan ini dengan keadaannya beberapa bulan yang lalu ketika akhirnya dia mengambil keputusan untuk keluar dari goa tempat pertapaannya itu, dengan wajah yang agak pucat akibat banyak berpuasa, akan tetapi dengan sepasang mata yang mencorong aneh penuh kewibawaan, kekuatan! Berjilid-jilid kitab salinan dari tiga buah kitab itu dikempitnya dan dia lalu mencari-cari dengan matanya, karena dia ingin menemui suheng-nya Ouwyang Bu Sek.

Namun sunyi sekali di sekitar puncak Bukit Tai-yun-san itu. Goa-goa yang banyak berjajar di tempat itu, seperti mulut ternganga yang hitam gelap, atau seperti sarang lebah besar, tidak menampakkan kehidupan sama sekali. Sunyi dan mati.

Han Houw menggunakan tangannya melindungi kedua matanya dari sinar matahari yang menyilaukan. Setelah terlalu lama berada di dalam goa yang gelap, maka matanya tidak biasa menghadapi cahaya kemilauan yang amat terang itu sehingga menjadi silau.

Dengan mata setengah terpejam dia meneliti ke seluruh penjuru. Tidak nampak bayangan suheng-nya. Han Houw merasa jengkel sekali. Mendadak dia menggerakkan tubuhnya ke kiri, tangan kirinya menghantam, otomatis dia mengeluarkan jurus yang telah dilatihnya di dalam goa.

"Cuiiittt...!" Angin yang keluar dari tangan kirinya itu hebat bukan main, sampai dia sendiri terkejut mendengar suara bercuit nyaring itu.

"Byarrrr...!"

Batu besar yang berada di sebelah kirinya ambyar dan hancur lebur terkena pukulannya yang ampuh itu. Debu beterbangan dan Han Houw memandang dengan mata terbelalak, namun wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum. Bukan main girangnya.

Dia lalu bersilat, mengeluarkan jurus-jurus yang selama ini dilatihnya, dan akibatnya hebat bukan main. Bukan hanya terdengar suara bercuitan nyaring, namun muncul pula angin menyambar-nyambar, menggerakkan daun-daun pohon yang jauh, dan beberapa batang pohon sebesar orang, batu-batu sebesar kerbau, tumbang dan pecah terkena hantaman kedua tangannya yang menggunakan tenaga dahsyat itu. Makin tebal debu beterbangan di tempat sunyi itu.

"Desss...!"

Sebongkah batu sebesar kerbau bunting ditendangnya sehingga batu besar itu terlempar hingga jauh kemudian terbanting dan menggelundung turun ke dalam jurang. Sampai lama sunyi ketika batu ini meluncur ke bawah, kemudian terdengar suara keras sekali di bawah jurang ketika batu itu menimpa dasar jurang. Suara keras ini disusul gema suara panjang, seolah-olah setan penjaga gunung menjadi marah oleh gangguan manusia itu.

Han Houw merasa gembira dan bangga bukan main. Dia lalu mempergunakan ilmunya meringankan tubuh, mengerahkan tenaga yang selama ini dihimpunnya dalam semedhi menurut petunjuk ilmu-ilmu dalam kitab, dan tubuhnya lalu melesat dengan cepatnya ke depan. Han Houw terus berlari cepat ke arah puncak gunung yang tertinggi, kemudian dia sudah berdiri di atas batu besar di puncak gunung itu, dengan penuh kebanggaan dan dengan dada dibusungkan dia memandang jauh ke bawah.

Dia merasa seolah-olah dirinya telah menjadi seorang raja besar, atau menjadi dewa yang berkuasa penuh di gunung itu sedang memandang ke bawah, ke dunia yang akan berlutut di hadapan kakinya! Dia membayangkan betapa dia telah menjadi jagoan nomor satu di dunia ini dan seluruh dunia kang-ouw akan menyembahnya, seluruh dunia kang-ouw yang dianggap sebagai datuk-datuk persilatan, baik dari golongan hitam mau pun putih, berlutut menyembahnya sebagai jagoan nomor satu!

Bangga bukan main rasa hatinya, merasa seolah-olah dia menjadi seekor naga sakti yang beterbangan di atas bumi yang penuh dengan orang-orang yang ilmu kepandaiannya jauh berada di bawahnya! Akan tetapi dia harus lebih dulu membuktikan keunggulannya, dan dia akan menghadapi setiap orang yang dianggap terpandai di dunia ini!

Mendadak dia tertawa bergelak, wajahnya yang tampan dan agak pucat itu menentang langit, kedua tangannya dikepal dan kedua kakinya terpentang lebar di atas batu itu.

"Ha-ha-ha-ha! Sin Liong, aku akan membuktikan bahwa engkau pun tidak akan mampu menandingiku! Ha-ha-ha-ha!" Suara tawanya mengandung kekuatan khikang yang amat hebat sehingga bergema di bawah puncak.

Pada saat itu wajah yang tampan ini nampak mengerikan sekali, yang agak pucat dengan sepasang mata mencorong liar, seperti bukan mata orang waras lagi! Dia sudah memakai topinya, topi bulu yang indah, dan bulu burung penghias topinya itu bergerak-gerak tertiup angin.

Tiba-tiba saja wajah yang berseri itu nampak berubah. Matanya menjadi liar, alisnya yang tebal hitam itu berkerut dan bergerak-gerak, mulutnya yang manis itu cemberut dan dia menoleh ke belakang. Han Houw teringat akan tiga buah kitab itu!

Tiga buah kitab masih berada di tangan Ouwyang Bu Sek! Padahal, seluruh ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu-ilmu yang terkandung di dalam tiga buah kitab itu. Selama ini dia hanya membawa kitab-kitab terjemahan dari tiga buah kitab aslinya. Dan ini berarti bahwa seluruh kepandaiannya berada di tangan suheng-nya! Kalau ada orang lain yang kelak mempelajari ilmu-ilmu dari kitab itu, berarti kepandaiannya dapat ditandingi lain orang! Dia harus merampas kitab-kitab itu, dan menghancurkannya supaya tidak ada orang lain yang akan dapat mengetahui rahasia dari ilmu-ilmunya.

Teringat ini, dia lalu mengambil kitab-kitab terjemahan yang tadi dibawanya lari ke puncak gunung itu, dan satu demi satu kitab-kitab itu dicengkeramnya dengan kedua tangan dan dengan pengerahan sedikit tenaga saja kitab-kitab itu robek-robek dan remuk! Pecahan-pecahan kecil diterbangkan angin sesudah Han Houw melemparkan remukan kitab itu ke udara, tersebar ke mana-mana dan andai kata ada orang menemukan secuwil robekan, tak mungkin dia dapat membacanya.

Setelah mengikuti cuwilan-cuwilan kertas terakhir dengan pandang matanya dan merasa puas, Han Houw lantas melompat turun dari batu itu dan berlari seperti terbang cepatnya menuruni puncak tertinggi itu untuk kembali ke puncak di mana suheng-nya tinggal.

"Suheng...!" Han Houw berteriak. Suaranya melengking tinggi, penuh getaran, disambut oleh gema suara di empat penjuru.

"Suheng Ouwyang Bu Sek...!" Untuk kedua kalinya suaranya mendatangkan gelombang udara yang besar dan mencapai tempat jauh sekali.

Tidak lama kemudian, sebelum gelombang suara itu habis, terdengar jawaban dari jauh, namun suara itu terdengar dekat sekali, "Aku datang, sute...!"

Han Houw merasa girang karena dia mengenal suara kakek cebol itu. Dia lalu menunggu sambil berdiri tegak dan memasang wajah gelisah. Tidak lama kemudian, berbarengan dengan menyambarnya angin, muncullah kakek cebol lucu itu di hadapan Han Houw.

Ouwyang Bu Sek sejenak memandang sute-nya, dan melihat wajah yang agak pucat itu diam-diam dia terkejut dan kagum, karena dari wajah agak pucat kehijauan itu dia sudah dapat melihat adanya tenaga mukjijat di dalam diri sute-nya ini. Maka sambil tersenyum menyeringai sehingga memperlihatkan dua buah gigi besar di bagian atas mulutnya, dia bertanya,

"Bagaimana, sute? Engkau sudah berhasil...?"

Han Houw adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia maklum bahwa suheng-nya ini bukan seorang bodoh dan sudah memiliki ilmu yang tinggi sekali sehingga tidak mungkin dapat membohonginya dengan mengatakan bahwa dia tidak berhasil. Maka dia menarik napas panjang dan berkata,

"Dengan petunjuk suhu yang mulia, aku telah berhasil, suheng. Akan tetapi ada beberapa bagian yang masih memusingkan aku, dan aku ingin sekali melihat catatan dalam kitab aslinya karena aku khawatir kalau-kalau terjemahan itu kurang cocok. Aku harap suheng suka memperlihatkan kitab aslinya sekali lagi kepadaku untuk dapat kuperiksa kembali agar dapat kuatasi kesukaran itu, suheng."

Kakek itu terkekeh girang. "Aha, dari cahaya di wajahmu dan sinar matamu saja aku telah melihat perubahan besar pada dirimu, sute. Akan tetapi apa bila memang ada kesukaran, sebaiknya sekali lagi meneliti isi kitab, akan tetapi ingat, hanya satu kali lagi saja, sute. Mari kuambilkan..."

"Aku tidak mau membuat engkau lelah, suheng. Biarlah aku yang mengambilnya sendiri, katakan saja di mana suheng menyimpan kitab-kitab itu."

"Oho-ho, kalau tidak aku sendiri yang mengambil, siapa pun tidak boleh, sute, dan pula terlalu berbahaya untukmu... heh-heh, mari kau ikut..."

Han Houw tidak mau membantah lagi dan dia mempergunakan kekuatan batinnya untuk menekan kelegaan dan kegirangan hatinya sehingga pada wajahnya yang tampan itu tak nampak perubahan sesuatu.

Namun Han Houw terlalu memandang rendah kepada suheng-nya itu. Sedikit kilatan sinar matanya sudah cukup bagi kakek itu untuk menaruh curiga terhadap sute-nya ini. Akan tetapi kakek itu tidak berkata apa-apa, melainkan menyeringai dan berlari terus, cepat sekali dengan langkah-langkah kecil dari dua buah kakinya yang kecil telanjang itu.

Han Houw mengikuti dari belakang dan dengan girang dia memperoleh kenyataan bahwa dia dapat mengikuti suheng-nya itu dengan sangat mudahnya, berloncatan dari batu ke batu, melewati jurang-jurang menuju ke sebuah goa yang berada di lereng. Di depan goa besar sekali, kakek itu berhenti dan berkata,

"Di dalam goa inilah kusembunyikan kitab-kitab itu."

"Biar aku yang mengambilnya, suheng!"

"Ihhh, jangan! Berbahaya sekali. Kau tunggu di sini, biar aku yang mengambilnya." Tanpa menanti jawaban, kakek itu menyelinap masuk ke dalam goa.

Han Houw menanti di luar goa sambil menahan senyum. Peduli amat dia, malah sangat kebetulan kalau kakek itu yang mengambilkan untuknya, pikirnya.

Tak lama kemudian tampak kakek itu berjalan keluar sambil membawa sebuah peti hitam. Akan tetapi ketika dari tempat gelap kakek itu memandang wajah sute-nya dan melihat sinar mata sute-nya, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan nampak terkejut.

Pada saat itu pula terdengarlah suara orang dari jauh, "Ouwyang locianpwe, kami datang memenuhi undangan!"

"Celaka, ada orang datang! Kita tunda dahulu urusan kita ini!" kata kakek itu dan bagaikan setan dia sudah menghilang lagi ke dalam goa yang gelap.

Dengan cepat Han Houw membalikkan tubuhnya memandang ke arah datangnya suara, akan tetapi orang yang datang belum nampak olehnya. Ia merasa ada angin menyambar dari dalam goa dan cepat dia menoleh. Kiranya suheng-nya telah berada di sampingnya.

"Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah datang, mari kita temui mereka lebih dulu!" kata Ouwyang Bu Sek.

Mendengar disebutnya dua orang ini, Han Houw terkejut dan wajahnya berseri karena dia teringat akan Lie Ciauw Si, wanita yang telah menjatuhkan hatinya itu, yang ditemuinya di rumah dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu sebelum dia pergi untuk menemui suheng-nya ini beberapa bulan yang telah lalu. Maka tanpa banyak cakap dia mengikuti suheng-nya, kembali menuju ke puncak, yaitu ke tempat pertapaan suheng-nya di mana banyak terdapat goa-goa itu.

Mereka tidak perlu menanti lama karena kembali terdengar suara, kini lebih dekat lagi dari tempat itu, "Ouwyang locianpwe, kami dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah menghadap!"

Ouwyang Bu Sek lalu membuka mulutnya yang lebar, "Aku telah menunggu di sini, harap ji-wi pangcu naik saja dan jangan sungkan-sungkan!"

Dari bawah puncak tampaklah bayangan dua orang berlari naik dan dari gerakan mereka saja mudah diketahui bahwa kedua orang itu mempunyai kepandaian yang lumayan dan setelah dekat dengan Han Houw dapat mengenal dua orang itu. Mereka adalah Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok, dua orang pimpinan dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang di kota Yen-ping.

Ketika dua orang gagah itu melihat Han Houw berada di situ, berdiri di samping Ouwyang Bu Sek, mereka terkejut, heran akan tetapi juga girang. Cepat mereka itu memberi hormat kepada pangeran yang telah dikenalnya baik itu. Akan tetapi kedua orang ini pun merasa khawatir juga karena mereka teringat bahwa bagaimana pun baiknya, pangeran ini adalah adik kaisar, dan mereka berdua ingat bahwa mereka telah melakukan kesalahan terhadap kerajaan ole karena melindungi dan menyembunyikan empat orang pendekar Cin-ling-pai yang menjadi buronan.

Saat melihat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang gagah perkasa itu berlutut di hadapannya, Han Houw tersenyum dan mengangguk-angguk. Kemudian, dia menoleh kepada Ouwyang Bu Sek sambil berkata,

"Kalau suheng ada urusan dengan mereka, silakan."

Sejak tadi Ouwyang Bu Sek sudah melotot memandang kepada dua orang yang berlutut itu, kemudian dia membentak, "Kalian berdua berdirilah!"

Dua orang ketua itu lalu bangkit berdiri dengan sikap hormat, kemudian Sin-ciang Gu Kok Ban berkata, "Semalam locianpwe sudah mengundang kami berdua untuk datang ke sini, nah, kami sudah datang menghadap, tidak tahu ada urusan apakah locianpwe memanggil kami?"

Suara Ouwyang Bu Sek terdengar bengis pada saat dia membentak, "Ji-wi pangcu adalah orang-orang gagah dan sudah semenjak dulu Sin-ciang Tiat-thouw-pang terkenal sebagai perkumpulan orang gagah, maka harap suka bersikap jujur dan tidak membohong!"

Dua orang setengah tua yang gagah perkasa itu saling memandang, kemudian Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, berkepala botak dan muka bopeng, menggerakkan sebatang toya besinya yang berat itu sambil menegakkan kepalanya, menjawab dengan suaranya yang besar,

"Ouwyang locianpwe harap jangan memandang rendah kepada kami. Belum pernah kami membohong, apa lagi bersikap tidak jujur!"

"Bagus, bagus! Nah, kalau begitu lekas katakan ke mana larinya Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka?"

Seketika pucatlah wajah dua orang ketua itu. Mereka menatap wajah Ouwyang Bu Sek dan sejenak mereka tidak mampu menjawab.

"Kami... kami tidak tahu..." Akhirnya Sin-ciang Gu Kok Ban berkata.

"Ha-ha-ha-ha, sudah berbulan-bulan mereka tinggal di sarang Sin-ciang Tiat-thouw-pang, dan kini kalian menyatakan tidak tahu di mana adanya mereka. Aha, semenjak kapankah Sin-ciang Tiat-thouw-pang menjadi pelindung para pemberontak buronan?" kata kakek itu dengan nada mengejek.

Dua orang itu terkejut lantas keduanya otomatis memandang kepada Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran muda itu pun memandang kepada mereka dengan sinar matanya yang demikian tajam mencorong sehingga amat menyeramkan. Maka kini jawaban yang keluar dari mulut Gu Kok Ban bukan lagi ditujukan kepada Ouwyang Bu Sek, melainkan kepada sang pangeran itu.

"Tidak, mereka bukan pemberontak atau buronan. Bagi kami mereka adalah orang-orang gagah perkasa, pendekar-pendekar budiman dari Cin-ling-pai!"

"Hemmm, dan sejak kapan kalian bersahabat dengan orang-orang Cin-ling-pai?" kakek itu mendesak dengan suara mengandung kemarahan.

Kini Tiat-thouw Tong Siok yang menjawab, "Ouwyang locianpwe, kami bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw, siapakah yang boleh mengatur dan menentukan? Apa salahnya kalau kami bersahabat dengan mereka?"

Mata yang lebar itu makin terbelalak. "Hayo jawab, sejak kapan kalian bersahabat dengan orang-orang Cin-ling-pai?" Ouwyang Bu Sek mengulang pertanyaannya dan kini suaranya terdengar lambat-lambat penuh ancaman.

Sin-ciang Gu Kok Ban adalah seorang yang cerdik. Dalam saat terdesak itu dia segera memperoleh akal, maka dengan wajah tenang dia lalu menjawab, "Ouwyang locianpwe, ketahuilah bahwa kami menganggap keluarga Cin-ling-pai sebagai sahabat-sahabat baik sejak kami menerima pertolongan dari nona pendekar Lie Ciauw Si, cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai. Di antara empat orang itu, nyonya Yap Kun Liong adalah ibu kandung nona Lie Ciauw Si! Sesudah kami menerima budi Lie-lihiap yang pernah menyelamatkan kami, tentu saja kami menganggap keluarganya sebagai sahabat-sahabat kami." Ucapan ini tentu saja ditujukan kepada Pangeran Ceng Han Houw.

Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini tentu saja dapat menduga bahwa ada hubungan cinta kasih mesra di antara pangeran itu dengan Lie Ciauw Si, maka dia sengaja menyinggung-nyinggung nama nona itu di depan sang pangeran, Dan benar saja, sepasang matanya yang berpengalaman itu sudah dapat melihat perubahan pada wajah pangeran itu ketika dia menyebut nama Lie Ciauw Si.

Akan tetapi Ouwyang Bu Sek langsung membanting kakinya yang telanjang. "Kalian telah bersahabat dan melindungi orang-orang Cin-ling-pai! Namun sebaliknya, aku memusuhi orang-orang Cin-ling-pai, mereka semua itu adalah musuh-musuh besarku! Dan karena kalian melindungi musuh-musuhku, berarti kalian juga menjadi musuhku!"

"Ouwyang locianpwe..."

"Hayo cepat katakan, di mana adanya keluarga Cin-ling-pai itu sekarang?"

"Kami tidak tahu, locianpwe, malah andai kata kami tahu juga, kami takkan mengatakan kepada siapa pun juga. Kami bukanlah semacam kaum pengkhianat yang suka membikin celaka orang-orang gagah, apa lagi kami telah berhutang budi. Lebih baik mati dari pada mengkhianati mereka!" jawab Gu Kok Ban dengan sikap gagah.

Kakek yang cebol seperti kanak-kanak itu berjingkrak marah. "Setan! Kalau begitu kalian sudah bosan hidup!" Kakek itu melangkah maju dengan sikap mengancam.

Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu tentu saja sudah siap-siap untuk membela diri. Biar pun mereka maklum bahwa mereka berdua bukan tandingan kakek Ouwyang Bu Sek yang mereka tahu sangat lihai itu, namun tentu saja mereka tidak mau mati konyol begitu saja tanpa melawan. Sin-ciang Gu Kok Ban sudah melolos siang-kiam dari sarung pedangnya, lalu melintangkan sepasang pedang itu di depan dada, sedangkan Tiat-thouw Tong Siok juga sudah melintangkan toya besinya dengan sikap gagah.

"Bagus, ha-ha-ha, memang aku ingin melihat kalian melawan, aku tidak suka membunuh orang yang sama sekali tidak melawan!" Kakek cebol itu tertawa dan tiba-tiba tubuhnya sudah menerjang ke depan.

Tiat-thouw Tong Siok memapaki tubuh kakek cebol ini dengan toya besinya yang segera dihantamkannya ke arah kepala yang besar itu. Pukulan toyanya ini mendatangkan angin dahsyat dan jangankan hanya kepala orang, biar batu gunung yang keras pun pasti akan hancur bila mana tertimpa toya besi yang digerakkan dengan kekuatan gajah itu. Namun, kakek cebol itu sama sekali tak mengelak atau menangkis dan agaknya memang sengaja menerima hantaman toya itu dengan kepalanya yang besar den botak kelimis.

"Takkkk!"
Toya besi itu terpental, seakan-akan mengenai bola baja yang jauh lebih keras dari pada toya itu! Dan si cebol itu hanya terkekeh memperlihatkan mulutnya yang ompong dan dua buah giginya di bagian atas.

Tong Siok kaget dan juga penasaran, toyanya diputar lebih cepat dan mengirim serangan bertubi-tubi ke arah tubuh lawan. Terdengarlah suara bak-bik-buk seperti orang memukuli kasur yang dijemur ketika beberapa kali toya itu menghantam ke tubuh Ouwyang Bu Sek, akan tetapi kakek itu enak-enak saja dan setiap hantaman toya selalu membuat toya itu sendiri terpental!

"He-he-he, terima kasih untuk pijatan-pijatan itu, memang tubuhku beberapa hari ini agak pegal-pegal minta dipijati!" Ouwyang Bu Sek berkata.

Pada waktu toya itu terpental, Sin-ciang Gu Kok Ban langsung menerjang dengan siang-kiamnya. Nampak cahaya berkilat ketika sepasang pedang itu menggunting ke arah leher dan pinggang.

"Ehh... ohhh... pedangmu bisa merusak pakaianku!" Ouwyang Bu Sek berseru.

Tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas sehingga terbebas dari guntingan sepasang pedang itu, kemudian dari atas dia menukik dengan kepala di bawah dan dua kali dia membuang ludah.

"Cuhh! Cuhhh!" Dua sinar putih menyambar ke bawah cepat sekali.

Biar pun Sin-ciang Gu Kok Ban sudah mengelak, tetap saja pundaknya terkena ludah dan bajunya berlubang dan kulit pundaknya terasa nyeri sekali karena lecet dihantam air ludah itu! Hal ini tentu saja mengejutkan Gu Kok Ban yang cepat memutar sepasang pedangnya dibantu oleh Tong Siok yang menggerakkan toya besinya.

Terjadilah perkelahian yang amat hebat dan seru, akan tetapi juga lucu. Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Nama mereka sudah amat terkenal di dunia kang-ouw dan keduanya pun merupakan orang-orang pandai yang ditakuti karena memang mereka sudah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Namun, kali ini mereka berdua merasa dipermainkan oleh Ouwyang Bu Sek!

Biar pun keduanya memainkan senjata-senjata andalan mereka dan mengeroyok kakek cebol itu, namun si kakek cebol sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan tertawa-tawa sambil mengelak ke sana-sini, kadang kala berloncatan seperti kera menari-nari, kadang-kadang menggelinding dan bergulingan ke sana sini, kemudian meloncat dan membalas dengan tangkisan atau tamparan-tamparan yang membuat dua orang lawannya itu repot karena setiap tangkisan tentu membuat senjata mereka langsung terpental ada pun setiap tamparan harus mereka elakkan karena tak mungkin ditangkis tanpa membahayakan diri mereka!

Sesudah lewat lima puluh jurus yang penuh dengan main-main di fihak Ouwyang Bu Sek, tiba-tiba kakek itu meloncat jauh ke belakang sambil berkata, "Nah, cukuplah bagi kalian sehingga kalian akan mati sebagai orang-orang gagah yang mempertahankan diri! Kini bersiaplah untuk mampus!"

Tiba-tiba saja tubuh pendek kecil itu lenyap berubah menjadi bayangan yang cepat bukan main. Dua orang ketua itu cepat menyambut bayangan ini dengan senjata mereka.

"Plakkk!"

"Suuuttt...! Cring-cringgg!" Tahu-tahu toya besi itu sudah dirampas, demikian pula dengan sepasang siang-kiam itu!

Dengan lagak seperti anak kecil sedang main-main, Ouwyang Bu Sek saling mengadukan kedua pedang itu. Terdengar bunyi nyaring dan sepasang pedang itu patah menjadi empat potong lalu dilemparkan ke arah kaki Gu Kok Ban. Ada pun toya besi itu dia belit-belitkan ke lengan kirinya sampai melingkar-lingkar seperti ular, kemudian dilemparkannya pula di atas tanah, depan kaki Tong Siok. Kakek cebol itu lalu menyeringai, memandang mereka berdua yang berdiri dengan muka pucat.

"Heh-heh-heh, kalian masih tetap belum mau memberi tahu di mana adanya orang-orang Cin-ling-pai itu?" tanya Si Cebol yang amat lihai ini.

Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian terdengarlah Gu Kok Ban berkata dengan tarikan napas panjang.

"Kami sudah kalah, mau bunuh lakukanlah!"

"Kami lebih baik mati dari pada mengkhianati mereka!" sambung Tong Siok.

Biar pun mereka sudah merasa kalah, namun keduanya masih memasang kuda-kuda dan siap untuk membela diri sampai napas terakhir.

"Hemm, tolol kalian! Kalau tidak mengingat kegagahan kalian, apakah sekarang ini kalian belum menjadi bangkai? Kalian masih berkeras, terpaksa aku orang tua minta kalian yang muda-muda mendahului aku untuk mati!" Ouwyang Bu Sek sudah mengepal dua tinjunya dan alisnya berkerut, sikapnya mengancam.

"Tidak ada pilihan lain bagi kami!" kata Gu Kok Ban dengan sikap gagah.

"Keparat, kalau begitu mampuslah!"

Kembali tubuh kakek itu menerjang dengan cepat bukan kepalang. Gu Kok Ban dan Tong Siok telah siap-siap untuk membela diri secara mati-matian, akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tubuh kakek cebol itu terhenti di tengah-tengah, malah terpental kembali ke belakang karena dorongan tangan Han Houw yang sudah menghadang.

"Suheng, jangan bunuh mereka!" teriak pemuda ini sambil bertolak pinggang dan berdiri di antara mereka menghadapi kakek cebol itu.

Sejenak Ouwyang Bu Sek memandang terbelalak kepada sute-nya itu. Sute-nya itu telah berani menentangnya, bahkan tadi mendorongnya sehingga dia terjengkang ke belakang! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini! Pangeran itu yang telah diterimanya sebagai sute, yang telah dibimbingnya dengan susah payah untuk bisa menguasai ilmu-ilmu tinggi dari Bu Beng Hud-couw, kini berani mencampuri urusannya!

"Sute! Biar pun engkau seorang pangeran, tetapi engkau tidak boleh mencampuri urusan pribadiku!" bentaknya dengan penuh rasa penasaran melihat sikap sute-nya yang berdiri tegak dan tenang penuh keangkuhan itu.

"Bukan urusan pribadimu lagi, suheng!" Han Houw menjawab dengan tenang dan tegas, sikapnya penuh wibawa dan sepasang matanya mencorong, mengeluarkan cahaya aneh yang bahkan Ouwyang Bu Sek sendiri menjadi terkejut melihatnya. "Aku adalah seorang pangeran, karena itu tak mungkin aku membiarkan saja rakyatku dibunuh oleh siapa pun, termasuk engkau!"

"Eh, sute...!" Ouwyang Bu Sek hampir tak percaya sute-nya akan berani menentangnya, kemudian dia melanjutkan, "Ingatlah, justru karena engkau pangeran maka engkau harus tahu bahwa musuh-musuhku, yaitu orang-orang Cin-ling-pai itu, adalah musuh-musuhmu juga, musuh negara, pemberontak-pemberontak buronan!"

"Diam! Tentang pendirianku dalam menilai seseorang, tidak perlu dengan nasehatmu!"

"Sute! Bagaimana engkau berani bicara seperti itu terhadap aku? Aku suheng-mu, juga aku pembimbingmu..."

"Engkau seorang kakek tua bangka, dan aku pangeranmu, engkau harus taat kepadaku!" bentak Han Houw.

Kini marahlah Ouwyang Bu Sek. Selamanya belum pernah dia dihina orang seperti itu, apa lagi yang menghinanya itu adalah sute-nya, bahkan seperti juga muridnya sendiri!

"Keparat, engkau murid murtad! Hayo kembalikan semua ilmu yang pernah kau pelajari dariku! Aku harus membuntungi kedua tanganmu agar engkau tak dapat mempergunakan ilmu-ilmu itu!" bentak Ouwyang Bu Sek dan bagaikan seekor katak melompat, dia sudah menyerang Han Houw.

Hebat bukan main serangan Ouwyang Bu Sek ini! Dari kedua tangannya yang dipentang itu langsung menyambar hawa pukulan yang sangat dahsyat dan angin pukulan berputar menggerakkan daun-daun pohon, bahkan banyak pula daun pohon yang rontok, ada pun dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terpaksa harus cepat-cepat mundur karena mereka merasakan sambaran angin yang dingin dan seperti dapat mengiris kulit mereka! Angin yang berputar ini mengelilingi Han Houw seakan-akan menutup semua jalan keluar pemuda ini yang dipaksa harus menghadapi serangan langsung dari kakek yang sakti itu.

Han Houw terkejut bukan main. Dia terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri sesudah dia berhasil menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab itu dan menyaksikan kedahsyatan serangan kakek itu, dia merasa ngeri juga. Cepat dia mempergunakan ginkang-nya untuk mengelak ke kiri, akan tetapi pagar hawa pukulan itu menahannya dan terpaksa dia lalu menggerakkan kedua tangannya, mendorong ke depan menyambut kedua tangan kakek itu yang sudah bergerak menghantam ke depan.

"Dessss...!"

Pertemuan dua tenaga dahsyat ini membuat tubuh Ouwyang Bu Sek terpelanting ada pun tubuh Han Houw terlempar dan terjengkang ke belakang sampai beberapa kaki jauhnya! Dada pemuda itu terasa sesak, akan tetapi dia dapat segera melompat bangun kembali, lalu dengan kepala agak pening dia menghadapi kakek itu.

Ouwyang Bu Sek juga terbelalak karena tidak menyangka bahwa pemuda itu selain dapat menahan serangannya, bahkan sudah bisa membuat tubuhnya terpelanting, tanda bahwa pemuda itu sudah memperoleh tenaga dahsyat dan tidak kalah kuat olehnya! Tahulah dia bahwa pemuda ini sudah berhasil pula, seperti juga Sin Liong, mewarisi ilmu sakti dari Bu Beng Hud-couw. Dia merasa menyesal bukan main. Menyesal mengapa dia mempercaya pemuda bangsawan ini yang baru saja selesai belajar sudah berani menentangnya!

Kemarahan membuat wajah kakek itu menjadi merah sekali bagaikan udang direbus, dan kedua matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar mengerikan, wajahnya menjadi berubah menyeramkan. Biasanya kakek ini tertawa-tawa dengan lucu jenaka, menganggap segala peristiwa seperti lelucon saja, akan tetapi sekali ini dia benar-benar marah sehingga sinar matanya mengandung ancaman maut bagi Han Houw.

"Sekarang aku akan membunuhmu!" bentaknya dan suaranya yang sedikit parau saking marahnya itu mengandung getaran dahsyat hingga membuat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang menggigil.

Dua orang ketua yang gagah perkasa ini masih berdiri di situ seperti patung, tidak kuasa untuk bergerak karena merasa tegang dan khawatir terhadap pangeran itu, juga mereka merasa terheran-heran bagaimana pangeran ini tiba-tiba menjadi sute kakek sakti itu, dan sekarang bahkan berani pula menentang suheng-nya. Mereka merasa bahwa sepatutnya mereka membantu pangeran itu untuk mengeroyok Ouwyang Bu Sek, akan tetapi karena pertentangan itu adalah urusan antara suheng dan sute, berarti merupakan urusan dalam kekeluargaan perguruan mereka, tentu saja mereka tak berani lancang mencampuri, apa lagi sekarang mereka pun tahu bahwa kakek itu luar biasa lihainya dan bahwa kalau tadi dikehendaki, maka dalam beberapa jurus saja mereka tentu sudah roboh dan tewas, oleh karena itu bantuan mereka pun takkan banyak gunanya. Maka, mereka kini hanya berdiri memandang saja dengan hati penuh ketegangan.

Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati mereka ketika mereka melihat kakek cebol itu sudah mengangkat sebongkah batu gunung yang besar sekali, kemudian dengan gerakan dahsyat kakek itu sudah menerjang maju dan menimpakan batu sebesar gajah itu ke arah kepala sang pangeran yang masih tetap berdiri dengan sikap tenang. Mereka terbelalak dan membayangkan betapa tubuh pangeran itu akan remuk-remuk, karena selain batu itu besar dan amat berat, juga ditambah lagi dengan tenaga kakek itu yang amat kuat.

"Blarrrrr...!"

Debu mengepul tebal sehingga menutupi pandangan mata. Setelah debu lenyap, nampak oleh dua orang ketua itu bahwa batu besar itu sudah hancur berantakan, akan tetapi sang pangeran masih tetap berdiri tenang seperti tadi! Ternyata hantaman batu besar itu telah disambut dengan pukulan kedua tangannya yang menghancurkan batu!

Hampir saja kedua orang itu bersorak saking gembira dan kagumnya. Mereka tahu bahwa pangeran ini memang seorang pemuda yang lihai, akan tetapi sama sekali mereka tidak pernah membayangkan bahwa pemuda itu ternyata adalah sute dari Ouwyang Bu Sek dan memiliki kehebatan seperti itu!

Kini Ouwyang Bu Sek menjadi makin marah. Banyak batu-batu dilontarkan dan ditendang ke arah sute-nya, akan tetapi dengan sikap sangat tenang Han Houw memapaki semua serangan batu-batu besar itu, baik dengan tendangan atau pun hantaman dua tangannya sehingga batu-batu itu ada yang pecah berantakan ada pula yang terlempar kembali ke arah penyerangnya. Kemudian dengan lengking parau yang menggetarkan, Ouwyang Bu Sek menerjang ke depan, mulai menyerang dengan pukulan-pukulan beruntun dari kedua tangannya yang pendek namun yang mendatangkan desir angin bercuitan mengerikan.

Han Houw juga bergerak dan pemuda ini mainkan ilmu sliat yang aneh, dengan langkah-langkah panjang dan kedua kaki ringan sekali sebab dia hanya menggunakan ujung-ujung jari kakinya untuk melangkah, dengan tumit terangkat bagaikan seorang penari. Gerakan-gerakannya aneh, tetapi selalu dapat membawa tubuhnya terhindar dari pukulan-pukulan kakek itu, bahkan dia pun lalu membalas dengan pukulan-pukulan yang berupa tamparan-tamparan dengan lengan dilengkungkan.

"Bukk! Bukk!"

Dua kali kedua tangan pemuda itu tepat mengenai sasaran, pukulan pertama mengenai lambung dan pukulan kedua mengenai dada. Akan tetapi kakek itu agaknya sama sekali tidak merasakan pukulan itu, padahal Han Houw telah mengerahkan tenaganya memukul tadi! Tentu saja Han Houw terkejut bukan main dan barulah dia tahu bahwa suheng-nya itu memiliki ilmu kekebalan yang amat luar biasa dan dapat diandalkan.

Ouwyang Bu Sek malah tertawa mengerikan ketika menerima pukulan-pukulan itu dan dia menubruk ke depan. Han Houw yang agak terperanjat ketika melihat pukulannya seperti tak terasa oleh lawan, menjadi gugup sehingga kurang cepat bergerak, maka pundaknya kena disambar. Hanya keserempet saja, namun akibatnya membuat dia terpelanting dan pundaknya terasa nyeri bukan kepalang, hingga menyusup ke tulang-tulang rasa nyeri itu! Namun, dia sudah dapat meloncat memperbaiki kedudukannya sehingga desakan kakek itu dapat dipatahkannya.

Han Houw memainkan ilmu silat yang dilatihnya dari kitab pertama, ilmu silat aneh yang dimainkan dengan sepasang kaki berdiri di atas jari-jari kaki dengan tumit terangkat, dan karena kitab-kitab itu masih belum memiliki nama, maka Han Houw memilih sendiri dan menamakan ilmu silat ini Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Menalukkan Naga), sebab dia menganggap dirinya lebih lihai dari pada naga!

Dialah Pendekar Lembah Naga, dan teringat akan Sin Liong yang namanya berarti Naga Sakti, maka dia pun memilih nama itu untuk ilmu silatnya yang baru, tentu saja dengan maksud supaya ilmu ini dapat mengalahkan Sin Liong! Dari kitab ke dua dia memperoleh ilmu bersemedhi dan melatih pernapasan untuk mengumpulkan tenaga sakti, dan dari kitab ke tiga dia mendapatkan ilmu yang aneh, yang dimainkan dengan kepala di bawah, dan dia memberi nama Hok-te Sin-kun (Ilmu Silat Membalikkan Bumi) kepada ilmu ini.

Dengan ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang dia sudah menghadapi suheng-nya itu selama lima puluh jurus dan ilmu ini ternyata cukup tangguh sehingga dengan ilmu ini dia selalu dapat menghindarkan semua serangan Ouwyang Bu Sek. Akan tetapi semua pukulannya yang mengenai tubuh lawan tidak mampu membuat lawannya roboh, bahkan agaknya kakek itu tidak merasakan sama sekali! Dan dia malah terancam, karena dia tahu bahwa dalam hal tenaga sinkang, dia masih kalah jauh dan sekali dia terkena pukulan yang tepat, dia akan roboh!

Maka dicarinyalah akal, dan pemuda bangsawan yang cerdik ini mendadak meloncat jauh ke belakang sambil berseru, "Tua bangka, kalau engkau berani hayo kau kejar aku!"

Ouwyang Bu Sek sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Sampai lima puluh jurus dia tidak mampu merobohkan sute-nya ini! Sungguh sebuah hal yang mengejutkan dan memalukan sekali, apa lagi pertandingan itu ditonton oleh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang! Rusaklah nama besarnya, apa lagi kalau didengar oleh Lam-hai Sam-lo yang menjadi musuh lamanya, tentulah dia akan ditertawakan karena ketololannya, yaitu selain menerima sute yang durhaka, juga kini malah tidak mampu mengalahkan sute-nya sendiri itu!

Maka, begitu pangeran itu melarikan diri, tanpa banyak cakap lagi dia sudah melakukan pengejaran! Mereka berdua itu bergerak cepat sekali hingga sebentar saja mereka telah lenyap dan hanya nampak bayangan mereka berkejaran ke puncak bukit di sebelah barat.
Selanjutnya,