Pendekar Lembah Naga Jilid 36 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Lembah Naga Jilid 36
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Gu Kok Ban dan Tong Siok saling pandang, menghapus keringat dingin dan mereka itu merasa tertarik sekali. Tanpa bicara mereka seperti sudah tahu dan keduanya pun lalu lari mengejar pula sebab mereka ingin sekali melihat bagaimana kesudahan dari pertandingan yang amat seru dan hebat itu.

Ketika dua orang itu tiba di atas puncak di tepi sebuah jurang yang amat dalam, mereka melihat pangeran itu sudah bertanding lagi dengan sangat seru dan hebatnya melawan kakek cebol itu. Dua orang ketua itu melongo saking herannya melihat cara pangeran itu bersilat karena kini pangeran itu sudah berdiri jungkir balik dengan kepala di bawah dan kedua kakinya di atas! Kedua kakinya itu melakukan gerakan tendangan dan tangkisan, dibantu oleh kedua tangan dari bawah yang menyerang ke arah kaki dan perut Ouwyang Bu Sek.

Itulah ilmu silat aneh yang diberi nama Hok-te Sin-kun (Silat Sakti Membalikkan Bumi) oleh Han Houw. Dan memang ilmu ini aneh dan dahsyat bukan kepalang. Setelah dalam keadaan jungkir balik seperti itu, ternyata tenaga yang keluar dari kaki mau pun tangan pangeran itu jauh lebih besar dari pada tadi sehingga Ouwyang Bu Sek sendiri merasa amat terkejut karena setiap kali tangannya bertemu dengan kaki pemuda itu, dia merasa tubuhnya tergetar hubat. Namun, biar dia lebih sering menerima tendangan aneh dari kaki yang berada di atas itu, dengan mengandalkan kekebalannya yang luar biasa, dia selalu dapat menahan diri sehingga tidak sampai terluka, biar pun kini kekuatan aneh dari kedua kaki itu dapat membuatnya terhuyung, bahkan kadang-kadang terpelanting.

Perkelahian itu seru bukan kepalang. Terdengar kakek tua renta itu telah terengah-engah karena dia merasa lelah sekali. Betapa pun juga, dia harus mengakui bahwa sute-nya ini mempunyai ilmu-ilmu aneh dari kitab-kitab yang hanya dia ketahui teorinya belaka, namun dia sama sekali tidak pernah ikut melatih ilmu itu sehingga sekarang pada saat sute-nya menggunakan ilmu-ilmu itu untuk menyerangnya, dia menjadi repot sekali. Lebih dari itu, usianya yang amat tua membuat daya tahannya telah banyak berkurang, terutama sekali napasnya.

Dia sudah mandi keringat dan napasnya memburu sedangkan sute-nya itu masih segar dan serangan-serangannya semakin hebat saja. Akan tetapi, dengan mengandalkan ilmu kekebalannya, kakek itu masih terus dapat mendesak Han Houw dan sudah beberapa kali pemuda ini terkena pukulannya sehingga pemuda itu pun menderita luka-luka yang biar pun tidak berbahaya namun cukup membuat gerakannya semakin lemah.

Setiap pukulan pemuda itu tidak mendatangkan bahaya bagi kakek cebol yang terlindung kekebalan hebat itu, sebaliknya pukulan kakek itu selalu membuat Han Houw menderita. Karena itu, apa bila dilanjutkan agaknya Han Houw yang akhirnya akan harus mengakui keunggulan lawan.

Hal ini pun diketahui dengan baik oleh pangeran itu sebelum dia melarikan diri ke puncak ini tadi. Maka pangeran yang cerdik itu sengaja memancing suheng-nya sehingga mereka mengadakan pertempuran di tepi jurang yang amat dalam, di mana tadi dia menyebarkan robek-robekan kitab terjemahannya. Semenjak tadi dia memang sudah mengatur siasat dan tidak cepat-cepat menjalankan siasatnya itu agar kakek itu lengah.

Sesudah di tempat ini mereka melakukan perkelahian mendekati seratus jurus lamanya, barulah diam-diam Han Houw menanti kesempatan baik. Dengan ilmu silat aneh Hok-te Sin-kun, dia masih terus melakukan perlawanan dan diam-diam dia mendesak kakek itu mendekati jurang.

Sesudah memperhitungkan dengan matang, tiba-tiba terdengar pemuda itu mengeluarkan seruan lengkingan panjang dan menggetarkan, sehingga dua orang ketua dari Sin-ciang Tiat-touw-pang yang menonton sambil bersembunyi di balik batu terkejut bukan main dan otomatis mereka cepat menutupi dua telinga dengan telapak tangan sambil memandang dengan mata terbelalak.

Dan tiba-tiba saja tubuh yang berjungkir balik dari pangeran itu membuat loncatan kilat ke samping! Dengan gerakan indah, kakinya meluncur dan selagi tubuhnya masih melayang, kaki kirinya menendang secepat kilat, tepat mengenai dada Ouwyang Bu Sek yang berdiri membelakangi jurang.

"Blukkk!"

Kaki itu mengenai dada sedemikian kerasnya sehingga tubuh kakek itu terjengkang.

"Hukkkk...! Crotttt...!"

Dari mulut kakek yang terbuka itu menyembur darah segar. Kakek itu terkejut dan dengan tubuh terjengkang dia menggunakan kakinya yang pendek dan telanjang untuk melangkah mundur dan tentu saja tubuhnya terguling ke belakang karena kakinya menginjak tempat kosong. Terdengar teriakan mengerikan dan menyayat hati ketika tubuh kakek cebol itu melayang ke dalam jurang yang luar biasa dalamnya itu.

Han Houw cepat lari mendekati tepi jurang dan menjenguk ke bawah. Dia masih sempat melihat tubuh suheng-nya itu sudah terbanting ke dasar jurang, terguling-guling makin ke bawah, lalu diam menelungkup. Walau pun dari tempat yang tinggi itu tidak dapat dilihat jelas, namun tak dapat disangsikan lagi bahwa tubuh itu tentu telah remuk-remuk terjatuh dari tempat setinggi itu.

Han Houw menarik napas lega. Baru terasa olehnya betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit sebagai akibat hantaman-hantaman yang telah diterimanya dalam perkelahian yang amat seru itu tadi.

"Pangeran, kepandaian paduka sungguh amat hebat mengagumkan!"

"Dan hamba berdua berterima kasih atas pertolongan paduka tadi."

Han Houw lantas membalikkan tubuhnya memandang. Dua orang ketua itu telah berlutut menghadapnya dengan sikap sangat hormat dan memandang dengan penuh kekaguman. Sejenak dia merasa bangga sekali. Memang patut dibanggakan bahwa dia telah berhasil mengalahkan Ouwyang Bu Sek yang dianggap orang sebagai manusia sakti sukar dicari tandingannya, malah Lam-hai Sam-lo sendiri pun pernah dikalahkan oleh kakek itu. Akan tetapi tiba-tiba dia mengerutkan alisnya, lalu dia melangkah maju.

"Gu-pangcu dan Tong-pangcu, berdirilah, aku ingin bertanya kepada kalian."

Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bangkit berdiri dan memandang pangeran itu dengan wajah berseri dan penuh kagum. Mereka sama sekali tidak menduga, bahkan hampir tidak dapat percaya betapa seorang pemuda bangsawan seperti ini sudah berhasil mempunyai ilmu kepandaian sehebat itu sehingga sanggup mengalahkan seorang datuk persilatan seperti Ouwyang Bu Sek.

Setelah dua orang itu berdiri di depannya, Han Houw lalu bertanya, "Bagaimana kabarnya dengan nona Lie Ciauw Si? Di manakah dia sekarang?"

Berserilah wajah dua orang ketua itu. Memang mereka sudah dapat menduga apa yang terjadi antara pangeran yang tampan ini dengan pendekar wanita muda yang cantik itu.

"Sudah lama hamba tak berjumpa dengan Lie-lihiap, pangeran. Akan tetapi yang terakhir hamba mendengar bahwa Lie-lihiap hendak pergi ke kota raja untuk mencari dan ingin menghadap paduka," kata Gu Kok Ban sambil tersenyum.

Senang hati Han Houw mendengar kata-kata ini, kemudian dia bertanya, "Dan benarkah seperti yang dikatakan oleh Ouwyang Bu Sek bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai bersembunyi di tempat kalian?"

Mendengar pertanyaan ini, hati dua orang itu sangat terkejut. Akan tetapi ketika mereka memandang wajah pangeran itu, nampak pangeran itu bersikap biasa saja, tidak terlihat marah sehingga hati mereka menjadi besar kembali.

"Memang benar, pangeran. Untuk beberapa bulan mereka menjadi tamu hamba, karena isteri dari Cia Bun Houw taihiap sedang mengandung dan setelah melahirkan, mereka itu lalu pindah."

"Tidak tahukah kalian bahwa mereka adalah orang-orang yang dianggap pemberontak-pemberontak yang menjadi buruan pemerintah?"

Gu Kok Ban memandang kepada Tong Siok dengan muka pucat, namun kemudian dia menghadapi pangeran itu sambil berkata cepat, "Hamba tahu... akan tetapi sesungguhnya mereka itu bukanlah pemberontak, pangeran. Justru untuk inilah maka Lie-lihiap pergi ke kota raja untuk menghadap paduka, untuk mohon kebijaksanaan paduka untuk menolong empat orang pendekar itu supaya terbebas dari tuduhan memberontak. Mereka itu hanya difitnah, sebab semua orang kang-ouw pun tahu belaka betapa semenjak dulu, semenjak ketua Cin-ling-pai mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, Cin-ling-pai merupakan suatu perkumpulan orang-orang gagah yang selalu membantu pemerintah dalam membasmi para pemberontak."

Disebutnya nama Lie Ciauw Si membuat wajah Han Houw kembali nampak berseri-seri sehingga melegakan hati kedua orang itu. Kini dengan suara halus Han Houw bertanya, "Sekarang di manakah adanya empat orang pendekar itu?"

Kembali Gu Kok Ban memandang dengan hati khawatir. "Pangeran... seorang di antara mereka adalah... ibu kandung dari Lie-lihiap..."

Han Houw mengerutkan alisnya dan berkata tidak sabar. "Aku tahu, dan aku pun bertanya untuk pergi menemui mereka secara baik-baik agar bisa mengusahakan kebebasan untuk mereka..."

"Ahh, terima kasih, pangeran...!" Mereka berdua berkata dengan girang sekali.

"Katakanlah, di mana adanya mereka kini?"

"Tadinya mereka meninggalkan tempat hamba untuk pindah ke dalam sebuah dusun di lereng sebuah bukit, tidak jauh dari tempat kami. Akan tetapi, entah bagaimana, sebulan kemudian ada pasukan menyerbu tempat mereka sehingga mereka itu terpaksa kembali melarikan diri lagi...," ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu kelihatan berduka.

"Ke mana mereka melarikan diri? Di mana mereka sekarang?"

"Tadinya hamba juga tidak mengetahuinya, pangeran. Akan tetapi dari para penyelidik, yaitu para anggota yang hamba suruh mencari keterangan, hamba..."

"Suheng...!" Tiba-tiba saja terdengar Tong Siok memanggil kakaknya dengan nada suara memperingatkan sehingga Gu Kok Ban tidak berani melanjutkan keterangannya, namun memandang kepada pangeran itu dengan keraguan yang mulai timbul.

Han Houw mengerutkan alisnya, lantas menoleh kepada Tong Siok, sepasang matanya mencorong mengeluarkan sinar berkilat.

"Ji-wi pangcu! Apakah kalian masih tak percaya kepadaku? Aku telah membunuh suheng sendiri karena dia memusuhi mereka! Aku ingin melindungi ibu kandung nona Lie Ciauw Si!"

Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian Gu Kok Ban melanjutkan keterangannya, sekarang tak peduli lagi akan pandangan mata sute-nya yang masih merasa khawatir itu. "Menurut keterangan dari para penyelidik, mereka melarikan diri ke Propinsi Ce-kiang dan tinggal di kota Bun-cou..."

Tiba-tiba sepasang mata Gu Kok Ban terbelalak lebar, mukanya pucat melihat sepasang mata yang mencorong aneh itu dan begitu tangan Han Houw bergerak memukul, Gu Kok Ban yang mencoba menangkis itu masih tidak mampu menghindarkan hantaman itu.

"Desss...!"

Dadanya terpukul dan tubuhnya terlempar ke dalam jurang. Teriakannya yang menyayat hati bergema sampai lama ketika tubuhnya melayang turun ke bawah seperti yang dialami oleh Ouwyang Bu Sek tadi.

Wajah Tong Siok berubah menjadi pucat sekali, akan tetapi perlahan-lahan kulit mukanya yang bopeng itu berubah merah, matanya mengeluarkan sinar kebencian dan telunjuknya menuding ke arah muka Han Houw, "Kau manusia iblis berhati keji, ternyata kecurigaanku benar, engkau adalah seorang manusia laknat! Engkau bukan hanya membunuh suheng sendiri, akan tetapi juga membunuh suheng-ku dan hatimu palsu. Orang macam engkau ini kelak akan menjadi hantu neraka...!"

Han Houw tersenyum. "Engkaulah yang lebih dulu akan pergi ke neraka!" katanya sambil melangkah maju hendak memukul.

Akan tetapi Tiat-thouw Tong Siok sudah nekat, karena itu dia sudah mendahului gerakan pangeran itu. Sambil berteriak dahsyat dia lalu menerjang ke depan dengan kepala lebih dahulu, seperti seekor lembu jantan yang marah menyerang harimau.

Serudukan kepala ini tak boleh dipandang ringan, sebab ini merupakan serangan andalan ketua nomor dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini. Julukannya adalah Tiat-thouw atau Si Kepala Besi dan serudukan kepalanya itu dapat menghancurkan batu!

Namun Han Houw yang percaya akan kepandaian dan kekuatannya sendiri tidak menjadi gentar, bahkan tidak mengelak melainkan tetap berdiri tegak sambil tersenyum mengejek, kemudian tangan kirinya meluncur ke depan, menyambut kepala botak yang menyeruduk ke arah perutnya itu.

"Desss...!"

Terdengar suara keras seperti benda keras pecah, kemudian tubuh Tiat-thouw Tong Siok itu terlempar ke belakang dan langsung melayang turun ke dalam jurang dengan kepala retak-retak sehingga sebelum tubuhnya terbanting di dasar jurang, dia sudah tewas dan tidak terdengar jeritan mengerikan ketika dia terpelanting itu.

Sejenak Pangeran Ceng Han Houw berdiri dan memandang ke bawah jurang. Dia tidak merasa menyesal telah membunuh tiga orang itu. Pertama, dia memang ingin membunuh Ouwyang Bu Sek untuk menguasai kitab-kitab peninggalan Bu Beng Hud-couw itu. Ke dua, dia harus membunuh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena mereka ini sudah menyaksikan betapa dia sudah membunuh suheng sendiri sehingga kelak mereka dapat menyebar berita yang sangat tidak baik untuknya itu ke dunia kang-ouw, dan selain dari itu, dua orang itu telah memperlihatkan sikap tidak setia kepada pemerintah sehingga berani melindungi orang-orang buruan pemerintah. Mereka itu patut dihukum!

Setelah merasa yakin bahwa tiga tubuh yang rebah di dasar jurang itu sudah tewas dan tidak bergerak-gerak lagi, Han Houw baru membalikkan tubuhnya, meninggalkan puncak bukit itu menuju ke goa di mana Ouwyang Bu Sek menyimpan peti hitam tempat tiga buah kitab yang ingin diambilnya agar jangan sampai terjatuh ke tangan orang lain itu.

Goa yang besar dan gelap itu nampak menyeramkan, seolah-olah di dalamnya terdapat bahaya yang mengintai keselamatan siapa saja yang berani memasukinya. Tetapi dengan kepandaiannya yang amat tinggi, Ceng Han Houw tidak ragu-ragu lagi melangkah masuk kemudian dengan sangat hati-hati dia menggerakkan kedua kakinya, perlahan-lahan dan berindap-indap penuh kewaspadaan memasuki sebelah dalam yang amat gelap. Apa bila suheng-nya dapat memasuki goa itu untuk mengambil peti hitam, mengapa dia tidak?

Tiba-tiba saja dia mendengar suara mendesir dari kanan kiri, maka secepat kilat dia pun menggerakkan kedua tangannya ke kanan kiri untuk melindungi diri sambil mengerahkan sinkang pada tubuhnya. Bagaikan bermata, kedua tangannya itu dengan cekatan sudah menangkap dua batang anak panah yang menyambar dari kanan kiri dan mengeluarkan suara mendesir tadi! Kiranya dia sudah menginjak alat rahasia yang dipasang sehingga anak panah dari kanan kiri itu meluncur sendiri menyerang siapa saja yang berani masuk goa dan menginjak jebakan yang tidak nampak itu!

Han Houw mendengus dan melemparkan dua batang anak panah itu keluar, kemudian dia melangkah terus dengan beraninya. Setelah agak dalam, nampak cahaya menembus dari celah terbuka di atas goa. Remang-remang nampaklah olehnya sebuah peti hitam di sudut ruangan goa itu setelah berbelok ke kiri. Hatinya girang sekali, akan tetapi dia tetap berhati-hali, tidak mau menjadi lengah karena kegirangannya. Dengan waspada dia terus melangkah mendekati tempat peti itu tergeletak.

Han Houw kemudian menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Kedua telapak tangan itu mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan uap, barulah dia mengambil peti itu dengan kedua tangannya. Ternyata tidak terjadi sesuatu dan cepat dia membawa peti itu ke luar goa.

Setelah tiba di luar, di tempat yang terang, dia menurunkan peti dan melihat betapa kedua telapak tangannya penuh hangus. Untung bahwa tadi dia telah melindungi kedua telapak tangannya dengan hawa panas dari pengerahan sinkang-nya, apa bila tidak tentu kedua telapak tangannya akan terkena racun jahat yang dioles-oleskan pada peti itu. Kini racun itu menjadi hangus sebab hawa panas yang melindungi kedua telapak tangannya. Setelah membersihkan kedua telapak tangannya, Han Houw lalu membuka tutup peti itu.

"Sssssttt...!"

Nampak segaris sinar merah menyambar dan seekor ular merah sudah meloncat keluar dan langsung menyerang ke arah lehernya! Namun, dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya, dia sudah menyumpit leher ular itu, lalu mengerahkan tenaga pada kedua jari itu.

"Krekkk!"

Terdengar suara dan tulang leher ular itu pun patah. Dia melemparkan bangkai ular yang masih berkelojotan dan melingkar-lingkar, kemudian memandang ke dalam peti yang baru saja dibukanya.

"Jahanam!" Dia mengutuk karena ternyata peti sama sekali kosong!

Dia merasa tertipu dan dengan marah dia masuk lagi ke dalam goa, mencari-cari. Namun goa itu kosong tak ada apa-apanya lagi. Dengan hati penasaran Han Houw lalu membuat obor dan memeriksa seluruh bagian dalam goa. Namun hasilnya nihil, tidak ada apa pun di dalam goa itu. Dia memeriksa peti, menghantamnya sampai berkeping-keping, namun juga selain ular merah yang kini telah mati, peti itu tidak berisi apa-apa lagi.

"Ouwyang Bu Sek tua bangka keparat!" Dia memaki-maki dan mencari-cari keluar masuk semua goa di tempat itu. Tetap tidak ada hasilnya. Tiga buah kitab kuno itu ternyata telah hilang! Tentu disembunyikan oleh Ouwyang Bu Sek di suatu tempat, akan tetapi setelah kakek itu tewas, siapa pula yang mengetahui di mana adanya kitab-kitab itu?

Sampai sore dia mencari-cari tanpa hasil dan menjelang senja dia melihat beberapa belas orang menuruni jurang di mana terdapat mayat Ouwyang Bu Sek, Gu Kok Ban dan Tong Siok. Dari tempat yang tidak kelihatan oleh mereka, Han Houw mengintai dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu adalah para anggota Sin-ciang Tiat-thouw-pang.

Diam-diam dia tersenyum mendengar kata-kata mereka. Mereka itu tentu mengira bahwa dua orang ketua mereka telah bertanding melawan Ouwyang Bu Sek sehingga akibatnya mereka bertiga tewas semua atau mati sampyuh. Lebih baik begitu saja, pikirnya lantas diam-diam dia meninggalkan puncak pegunungan itu.

********************

Kuil di puncak bukit itu demikian besar, dikelilingi pagar tembok tebal yang berlapis-lapis bagaikan benteng saja kuatnya. Memang, kuil Siauw-lim-si adalah sebuah kuil yang amat besar dan kokoh kuat lagi kuno sekali. Kuil Siauw-lim-si sangat terkenal semenjak jaman dulu karena kuil inilah yang menampung para pendeta Buddha dari See-thian (India), dan kuil ini pula yang menyebar luaskan pelajaran Agama Buddha ke seluruh Tiongkok.

Selain sebagai tempat perkumpulan para tokoh Buddha dan menjadi pusat keagamaan itu, juga Siauw-lim-si mempunyai nama yang amat terkenal sebagai perkumpulan agama yang menghasilkan banyak sekali ahli-ahli silat yang pandai sehingga nama Siauw-lim-pai (partai Siauw-lim) sangat terkenal di dunia kang-ouw sebagai gudang ilmu silat dan para pendekar Siauw-lim-pai memiliki ilmu silat murni yang amat kuat dan disegani.

Bahkan menurut dongeng dari mulut ke mulut, kuil Siauw-lim-si merupakan sumber dan asal dari segala ilmu silat, yaitu ketika Tat Mo Couwsu, seorang pendeta Agama Buddha menciptakan gerakan-gerakan yang mula-mula hanya ditujukan untuk menyehatkan tubuh namun kemudian berkembang menjadi gerakan-gerakan ilmu bela diri yang amat hebat.

Sumber ilmu menggerakkan tubuh sebagai seni bela diri ini kemudian berkembang sangat luas, mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan keadaan setempat dan tumbuhlah bermacam-macam ilmu silat yang sesungguhnya bersumber satu. Namun, yang dianggap paling asli sampai sekarang adalah ilmu silat yang diajarkan oleh Siauw-lim-pai sehingga nama ini selalu didengung-dengungkan sebagai gudangnya ahli silat yang paling kuat.

Memang patut kalau Kuil Siauw-lim-si itu dikabarkan sebagai tempat orang-orang pandai. Bangunannya kuno dan kokoh kuat sehingga menimbulkan suasana keramat dan angker. Apa lagi karena sebagai pusat keagamaan di dalam kuil itu setiap hari diadakan upacara-upacara keagamaan dan hio mengepul terus setiap saat hingga dari jarak jauh saja sudah tercium bau harum dupa, maka suasananya menjadi semakin agung dan mendatangkan perasaan hormat akan sesuatu yang penuh rahasia bagi manusia.

Kuil besar itu tidak pernah sunyi. Kalau bukan suara orang membaca doa atau membaca ayat-ayat suci dari kitab, maka tentu ada nyanyi-nyanyian pujian. Ini suasana di bagian kuilnya. Ada pun di bagian belakang atau samping kanan kiri, selalu terdengar bentakan-bentakan orang yang berlatih silat!

Kompleks kuil itu memang amat luas. Kuilnya sendiri berada di tengah depan merupakan bangunan induk, akan tetapi di kanan kiri dan belakang kuil terdapat bangunan-bangunan kecil lainnya yang menjadi tempat tinggal para hwesio beserta para murid Siauw-lim-pai. Tidak kurang dari lima puluh orang pendeta dan murid-murid Siauw-lim-pai yang setiap hari berada di tempat itu.

Sedangkan murid-murid Siauw-lim-pai yang sudah keluar dari tempat penggemblengan ini dan tersebar di seluruh negeri berjumlah ratusan, bahkan ribuan orang. Ada yang menjadi ketua kuil-kuil kecil, ada yang menjadi pendeta-pendeta pengembara untuk menyebarkan agama.

Ada pula yang menjadi orang-orang biasa, pedagang, sasterawan, piauwsu, buruh-buruh kasar, petani atau nelayan. Mereka adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang tidak masuk menjadi hwesio sehingga tidak bertugas mengembangkan agama, melainkan terikat oleh peraturan-peraturan Siauw-lim-pai yang mengharuskan para murid itu agar supaya hidup sebagai orang-orang gagah yang menjunjung tinggi nama baik Siauw-lim-pai dan dilarang keras menggunakan kepandaiannya yang didapatkan dari Siauw-lim-pai untuk melakukan kejahatan.

Memang pada waktu itu jarang sekali menemukan seorang murid Siauw-lim-pai menjadi penjahat. Kalau sampai terdengar ada seorang murid Siauw-lim-pai menyeleweng, maka perguruan ini sudah pasti akan mengutus murid yang lebih pandai untuk menangkap dan menghukum, kalau perlu membunuh murid yang menyeleweng. Sedikitnya, setiap murid yang menyeleweng tentu akan dikeluarkan dari perguruan itu, tidak diakui sebagai murid lagi dan jika ketahuan menggunakan ilmu dari Siauw-lim-pai untuk melakukan kejahatan, tentu akan ditentang dan dimusuhi.

Karena peraturan yang sangat keras inilah maka nama Siauw-lim-pai amat disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan. Namanya senantiasa bersih, bahkan di dalam pergolakan-pergolakan antara golongan-golongan yang memperebutkan kekuasaan di kota raja, fihak Siauw-lim-pai selalu menjauhkan diri dan tidak mau tersangkut.

Pagi hari itu cerah sekali. Matahari bagai berseri di angkasa timur, melimpahkan cahaya kehidupan ke permukaan bumi. Di pagi hari seindah itu nampak wajah para hwesio yang serius namun berseri, seolah-olah mereka ini dapat pula merasakan kecerahan pagi yang sehat itu.

Beberapa orang hwesio hilir-mudik melakukan tugas pekerjaan masing-masing di kuil, ada yang membersihkan semua perabot dan alat sembahyang, ada pula yang membersihkan lantai, menyapu halaman depan, pekarangan, atau menyirami bunga-bunga dan tumbuh-tumbuhan yang mereka tanam di sekitar bangunan itu. Ada yang sibuk menimba air dari sumber di bawah puncak lalu memikul air itu ke dalam kuil melalui pintu samping supaya tidak membasahi lantai kuil, ada pula hwesio-hwesio tingkatan tua yang sepagi itu sudah melakukan upacara sembahyang. Beberapa hwesio membaca kitab dengan suara yang menggetar penuh penghambaan diri, tetapi ada pula yang sedang bersemedhi di sebelah dalam, mengheningkan cipta, sama sekali tidak bergerak seolah-olah sudah menjadi arca seperti yang banyak terdapat di dalam kuil.

Di samping kegiatan yang tenang dan tenteram ini, terdengar pula suara murid-murid yang sedang berlatih silat, bertelanjang dada membiarkan cahaya matahari memandikan tubuh mereka karena sinar itu amat berguna bagi kesehatan tubuh mereka. Ada yang bergerak silat dengan pengerahan tenaga sehingga otot-otot di tubuh mereka menggembung dan kelihatan kuat bukan main penuh kejantanan, ada pula yang gerakannya lemah gemulai seperti seorang penari dan agaknya sama sekali tidak mengandung tenaga.

Memang Siauw-lim-pai adalah gudang ilmu silat, dari ilmu silat yang sifatnya keras hingga yang sifatnya lunak, dan ilmu-ilmu silat yang gerakannya diilhami oleh gerakan binatang-binatang buas.

Setiap pagi para anak murid tingkat terendah tentu berkumpul di dalam taman itu, di mana terdapat lapangan yang luas dan memang diadakan untuk tempat berlatih silat di bawah sinar matahari. Di sebelah dalam terdapat pula ruangan belajar silat, yaitu di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dan di sini diajarkan jurus-jurus yang lebih tinggi dan di lian-bu-thia ini lengkap pula terdapat senjata-senjata yang delapan belas macam banyaknya.

Pagi hari itu, seperti biasa, sudah mulai nampak beberapa orang tamu yang datang untuk melakukan sembahyang. Bermacam-macam keperluan pribadi mereka yang datang untuk bersembahyang. Ada yang bermaksud hendak minta sesuatu, agar sesuatu yang mereka citakan akan segera terkabul, di antaranya ingin mempunyai anak, ingin segera mendapat jodoh, ingin agar dagangannya laris, ingin agar mendapatkan kenaikan pangkat, ingin agar ujiannya lulus, dan sebagainya.

Ada pula yang datang dengan wajah berseri untuk membayar kaul seperti yang dijanjikan. Banyak di antara mereka para peminta-minta ini yang dalam permintaannya selalu disertai janji-janji kepada yang mereka minta, janji-janji bahwa kalau sampai permintaan mereka berhasil, maka mereka akan melakukan ini atau itu, pendeknya melakukan sesuatu untuk menyenangkan yang diminta, sebagai semacam imbalan!

Memang demikianlah keadaan hidup kita semenjak jaman kuno dulu sampai pada jaman modern sekarang ini! Segala macam hubungan kita dengan apa pun dan dengan siapa pun, selalu didasari jual beli, rugi untung seperti itulah! Tidak ada lagi sinar cinta kasih di dalam batin kita, yang ada hanyalah perhitungan jual beli seperti itu.

Kita bersikap baik kepada sesama manusia hanya dengan dasar jual beli pula, kita baik sebagai pemberian sesuatu untuk memperoleh kebaikan pula yang lebih besar dari pada yang kita berikan sehingga hal itu akan menguntungkan! Kita menyembah seseorang atau sesuatu yang kita anggap lebih tinggi hanya dengan dasar keuntungan ini pula!

Kita menyembah-nyembah sesuatu yang baik atau yang kita anggap baik terhadap kita, dan kita mengutuk atau membenci sesuatu yang kita anggap tidak baik kepada kita! Inilah kenyataannya dalam kehidupan kita yang serba palsu ini.

Cahaya matahari itu memberkati dan menghidupkan bagi siapa pun juga, tanpa memilih apakah yang menerima itu baik atau buruk, tinggi atau rendah, agung atau hina! Cahaya matahari itu juga mendatangkan panas terhadap siapa pun juga, mulai dari raja sampai pengemis tanpa pandang bulu!

Tapi kita kehilangan sinar cinta kasih itu! Kita hanya suka dan cinta kepada orang-orang tertentu saja, yang menyenangkan kita, yang kita anggap baik terhadap kita. Sebaliknya kita membenci kepada orang-orang tertentu yang kita anggap merugikan lahir atau batin kepada kita.

Di antara para tamu yang memasuki kuil dengan membawa alat-alat sembahyang, terlihat seorang pemuda tampan. Pakaiannya sudah kumal, tanda bahwa lama dia tidak berganti pakaian, namun jelas nampak bahwa pakaian itu adalah pakaian yang mahal dan indah, juga topinya dan jubahnya yang terbuat dari kulit binatang berbulu itu menunjukkan bahwa pemakainya adalah seorang hartawan.

Tidak seperti para tamu lainnya, pemuda ini tidak membawa apa-apa, bertangan kosong saja dan dia memasuki halaman kuil dengan langkah-langkah tenang disertai sikap yang agung, bahkan dia tidak pedulian terhadap orang-orang lain yang memasuki halaman itu.

Pemuda ini adalah Ceng Han Houw. Mau apa pangeran ini muncul di Kuil Siauw-lim-si? Setelah Ceng Han Houw berhasil membunuh Ouwyang Bu Sek beserta dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, memang tadinya dia hendak cepat-cepat pulang ke kota raja, kembali ke istana yang sudah terlalu lama ditinggalkannya itu, apa lagi dia sudah merasa rindu sekali kepada Lie Ciauw Si dan hendak mencari dara yang dicintainya itu.

Akan tetapi, di samping itu timbul keinginannya untuk mulai memperkenalkan diri kepada dunia kang-ouw bahwa dialah satu-satunya jagoan tanpa tandingan di dunia ini! Dia ingin menguji kepandaian para tokoh kang-ouw dan hatinya belum puas kalau dia tidak dapat merobohkan mereka semua satu demi satu hingga akhirnya dunia akan mengakui bahwa dialah juaranya!

Untuk menguji diri sendiri, juga sebagai langkah pertama, maka yang paling tepat adalah mendatangi Siauw-lim-pai lantas menantang ketuanya untuk mengadu ilmu silat! Dia tahu bahwa Siauw-lim-pai merupakan mercu suar dalam dunia persilatan, maka menjatuhkan Siauw-lim-pai tentu akan membuat namanya terkenal hingga dunia persilatan akan geger karenanya. Jadi kedatangannya di pagi hari ini, bersama dengan para tamu yang hendak bersembahyang ke kuil itu, adalah hendak mencari dan menantang ketua Siauw-lim-pai untuk mengadu ilmu!

Melihat keadaan pemuda ini lain dari pada para tamu yang sudah biasa bersembahyang, tanpa membawa apa-apa, dan kelihatan mencari-cari dengan pandang matanya, seorang hwesio tinggi kurus yang bertugas melayani para tamu cepat-cepat menghampirinya dan memberi hormat sambil bertanya,

"Apakah kongcu hendak bersembahyang ataukah ada keperluan lain?"
Han Houw memandang wajah hwesio ini dan ketika melihat bahwa di wajah itu terdapat ketenangan besar, maka dia merasa kagum. Hwesio ini tentu kedudukannya rendah saja namun ada ketenangan yang mengagumkun pada dirinya. Maka dia pun cepat membalas penghormatan itu dan berkata,

"Saya datang bukan untuk bersembahyang melainkan untuk minta bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai."

Hwesio yang usianya tiga puluh tahun itu kelihatan tercengang. Jarang ada orang datang dengan maksud ingin bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai, apa lagi yang datang hanya seorang pemuda seperti ini, bukan seorang tokoh kang-ouw yang terkenal. Dia kemudian memandang penuh sangsi, akan tetapi akhirnya menjawab juga,

"Kongcu, tidak mudah untuk dapat bertemu dengan ketua, untuk itu kongcu harus terlebih dulu mendaftarkan diri dan menyebutkan nama, tempat tinggal dan maksud kedatangan kongcu."

Han Houw mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang. Kadang kala dia lupa bahwa tidak semua orang tahu bahwa dia adalah seorang pangeran yang berpengaruh serta memiliki kedudukan tinggi sehingga sikap orang yang kurang menghormatinya bisa mendatangkan perasaan tidak senang di dalam hatinya. Ingin dia membentak serta memaki hwesio itu, akan tetapi dia tahu bahwa dia berada di tempat yang berbahaya, bahwa kini dia sudah memasuki goa naga dan harimau, maka dia harus bersikap hati-hati.

"Hwesio, katakanlah bahwa aku Pangeran Ceng Han Houw dari kota raja ingin bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai."

Biar pun ucapan ini dikeluarkan dengan suara halus akan tetapi seketika wajah hwesio itu menjadi pucat. Ketenangannya membuat sejenak dia hanya melongo memandangi tamu itu dari kepala sampai ke kaki, agaknya sukar baginya untuk percaya, akan tetapi juga timbul semacam perasaan gelisah dan takut kalau-kalau pemuda ini benar-benar seorang pangeran dan dia telah bersikap kurang selayaknya!

Kalau benar pangeran, mengapa datang sendirian tanpa pengawal dan pakaiannya sudah agak kotor begitu? Mungkin dalam penyamaran, pikir hwesio itu dan karena dia tidak tahu bagaimana harus bersikap, maka dia hanya memberi hormat dengan membungkuk lantas berkata dengan suara ragu-ragu.

"Baiklah, akan pinceng laporkan ke dalam... silakan duduk menanti di ruang tamu..."

Han Houw mengangguk, mengikuti hwesio itu pergi memasuki ruang tamu, lalu duduk di atas sebuah bangku menanti kembalinya hwesio tadi yang segera bergegas pergi untuk melaporkan kedatangan pemuda yang mengaku pangeran itu.

Han Houw memandangi tulisan-tulisan dengan huruf-huruf indah dan gagah, juga lukisan-lukisan yang menghias dinding ruang tamu itu. Di istana kaisar dia sudah melihat banyak lukisan dan tulisan indah, akan tetapi baru sekarang dia melihat lukisan dan tulisan serta suasana yang semuanya membayangkan kegagahan dan juga kedamaian seperti dalam ruangan tamu itu. Diam-diam dia kagum.

Tidak bohonglah suara di dunia kang-ouw yang mengatakan bahwa Siauw-lim-pai adalah gudangnya ilmu silat, sastera dan agama. Sekarang makin besar keinginan hatinya untuk menundukkan ketua Siauw-lim-pai, karena sekali dia berhasil mengalahkan ketua Siauw-lim-pai, namanya tentu akan menjulang tinggi sekali!

Akan tetapi terlalu lama hwesio tadi pergi. Kesabaran Han Houw hampir habis. Dia tidak tahu betapa berita tentang kedatangannya itu menimbulkan kehebohan di sebelah dalam kuil, di antara para pimpinan Siauw-lim-pai.

Pada waktu itu, yang menjadi ketua dari Siauw-lim-pai adalah Thian Khi Hwesio, seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih. Akan tetapi kakek ini tidak terlampau mencampuri urusan dari kuil sebab dia sibuk mengembangkan agama Buddha dengan jalan merantau, mendatangi kuil-kuil cabang Siauw-lim-si di seluruh negeri, di samping untuk mengamati perkembangan agama juga untuk melihat sendiri agar tidak ada anak murid Siauw-lim-si yang menyelewengkan pelajaran. Untuk urusan di kuil, baik itu mengenai agama mau pun mengenai pelajaran sastera, silat serta hubungan dengan orang luar, diserahkan kepada tiga orang murid utamanya.

Yang pertama adalah Thian Sun Hwesio, yang bertubuh gemuk seperti patung Ji-lai-hud, dengan muka yang bulat lebar, sepasang mata yang lebih banyak menunduk setengah terpejam, gerak-gerik yang halus pendiam. Sesuai dengan sifatnya, Thian Sun Hwesio ini mewakili suhu-nya untuk mengepalai bagian keagamaan, selain menjadi ketua kuil juga dialah yang menjadi guru besar pelajaran agama.

Yang ke dua ialah Thian Bi Hwesio, berusia lima puluh tahun, beberapa tahun lebih muda dibandingkan Thian Sun Hwesio, dan hwesio ini bertubuh menyeramkan, tinggi besar dan berkulit hitam, nampak kokoh kuat seperti batu karang, dengan mata yang lebar menatap tajam, sikapnya kaku dan kata-katanya parau nyaring, wataknya jujur dan penuh disiplin. Hwesio inilah yang diserahi tugas mengajar ilmu silat kepada para murid.

Ada pun hwesio ke tiga ialah Thian Bun Hwesio, berusia lima puluh tahun pula, bertubuh tinggi kurus, sikapnya ramah sekali dan gerak-geriknya pun halus. Hwesio ini mengepalai bagian pelajaran sastera dan dia pula yang bertugas menerima tamu serta berhubungan dengan orang luar.

Sebagai murid-murid utama dari Thian Khi Hwesio, tentu saja ilmu kepandaian silat dari tiga orang hwesio ini sudah tinggi dan mereka itu memiliki keistimewaan masing-masing. Di samping tiga orang hwesio sebagai murid utama ini tentu saja masih terdapat belasan orang hwesio pandai yang setingkat lebih rendah dari pada mereka bertiga, namun bagi orang luar, tiap orang hwesio Siauw-lim-si, mulai dari tukang membersihkan lantai sampai tukang kebun, rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh.

Pada saat hwesio yang tadi menerima Han Houw melapor ke dalam, para hwesio yang tadinya dalam keadaan tenang seperti biasanya itu, menjadi panik. Siapa orangnya tidak menjadi panik apa bila mendengar bahwa pangeran istana kerajaan menjadi tamu secara begitu tiba-tiba? Seorang pangeran adalah seorang yang amat tinggi kedudukannya, tidak boleh disamakan dengan pembesar-pembesar biasa setempat. Maka para hwesio itu lalu melapor kepada Thian Bun Hwesio.

Hwesio tinggi kurus ini juga terkejut dan karena Thian Sun Hwesio pada saat itu sedang bersemedhi dan tak boleh diganggu, maka Thian Bun Hwesio lalu mengajak suheng-nya, Thian Bi Hwesio yang tinggi besar untuk menemaninya menyambut tamu agung itu.

Han Houw sudah hampir hilang sabar dan dia merasa jengkel juga ketika akhirnya pintu sebelah dalam itu terbuka lalu muncul dua orang hwesio tua dari dalam. Dia tinggal duduk saja dengan sikap angkuh, matanya yang mencorong menatap kepada dua orang hwesio itu.

Thian Bun Hwesio dan Thian Bi Hwesio juga memandang dan diam-diam mereka terkejut melihat mata yang mencorong dari pemuda itu. Sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi tentu saja mereka mengerti apa artinya sepasang mata yang mengeluarkan cahaya mencorong itu dan mereka terheran-heran, juga menduga-duga. Mungkinkah ada seorang pangeran istana yang memiliki sinkang sedemikian kuatnya sehingga kekuatan itu sampai nampak pada sepasang matanya yang mencorong seperti mata naga? Ataukah hanya kebetulan saja?

Dua orang hwesio itu cepat memberi hormat dengan membungkukkan tubuh, lalu dengan suara halus dan muka ramah Thian Bun Hwesio kemudian berkata, "Harap paduka sudi memaafkan pinceng sekalian karena tidak tahu akan kunjungan yang terhormat ini, maka pinceng terlambat menyambut dan tidak ada persiapan. Tentu saja pinceng sekalian amat terkejut dan heran mendengar kunjungan seorang pangeran yang mulia tanpa pengiring dan berita terlebih dahulu." Dalam kata-kata ini terkandung pertanyaan-pertanyaan karena keganjilan kunjungan itu.

Han Houw juga mengetahui akan keanehan kunjungannya sebagai seorang pangeran ini, akan tetapi dia tidak peduli dan dia langsung bertanya, "Siapakah di antara ji-wi locianpwe ini yang menjadi ketua Siauw-lim-pai? Aku hanya ingin bertemu dan bicara kepadanya."

Dua orang hwesio itu saling lirik. Pemuda ini menyebut mereka Locianpwe, sebutan yang biasanya hanya dilakukan di kalangan persilatan sebagai tanda menghormat orang yang tingkat tinggi, orana-orang biasa tentu akan menyebut mereka losuhu saja, sebutan bagi para pendeta. Hal ini tentu saja semakin membingungkan sehingga menimbulkan banyak dugaan. Apakah pangeran ini seorang ahli silat? Melihat kedua matanya yang mencorong dan mendengar sebutan itu, sangat boleh jadi.

Thian Bun Hwesio menjura dengan penuh hormat. "Harap paduka sudi memaafkan kami, pada saat ini, suhu kami tidak berada di sini."

"Bukankah ketua Siauw-lim-pai bernama Thian Khi Hwesio? Ke manakah beliau pergi?"

Tidak mengherankan kalau orang mengenal nama ketua Siauw-lim-pai atau guru mereka. Akan tetapi pemuda yang mengaku pangeran ini berkeras hendak menemui guru mereka, inilah yang mengherankan. Akan tetapi, benarkah pemuda ini seorang pangeran? Hal ini harus dibuktikannya lebih dulu.

"Suhu Thian Khi Hwesio sedang mengadakan perjalanan ke selatan, akan tetapi setahu kami, suhu tidak pernah berurusan dengan fihak istana kerajaan. Oleh karena itu, apa bila memang ada urusan dari istana, kiranya paduka dapat mengurus hal itu dengan pinceng sebagai murid dan sebagai wakilnya. Pinceng Thian Bun Hwesio dan ini suheng Thian Bi Hwesio adalah murid-murid beliau yang telah mendapat wewenang untuk mewakili beliau mengurus segala sesuatu atas nama Siauw-lim-pai. Tidak tahu ada hal penting apakah seorang pangeran kerajaan seperti paduka sampai datang mencari suhu?"

Ucapan yang panjang lebar itu jelas berbau kecurigaan namun dia tidak peduli. Dengan nada suara dingin dia berkata, "Aku Pangeran Ceng Han Houw adalah adik Kaisar Ceng Hwa. Ji-wi locianpwe mau percaya atau tidak terserah. Akan tetapi kedatanganku ini tidak membawa urusan kerajaan, melainkan urusan pribadi dengan ketua Siauw-lim-pai, Thian Khi Hwesio."

Lega rasa hati Thian Bun Hwesio mendengar ini. Tadinya dia khawatir kalau-kalau ada urusan dengan pemerintah dan ini tentu saja akan melibatkan Siauw-lim-pai dalam urusan yang amat tidak enak. Kiranya pemuda tampan yang mengaku pangeran ini datang untuk urusan pribadi dan melihat keadaan dan sikapnya, sangat boleh jadi kalau pangeran ini hendak minta belajar silat dari ketua Siauw-lim-pai!

Tentu itulah kehendaknya, karena memang tidak jarang ada putera-putera bangsawan, bahkan dari istana, yang datang untuk mempelajari ilmu silat dari Siauw-lim-pai. Sikapnya menjadi makin ramah karena kelapangan hatinya.

Pada saat itu pula, seorang hwesio yang memang tadi sudah dipesan, datang membawa cangkir-cangkir teh yang dihidangkannya ke atas meja. Thian Bun Hwesio dengan ramah mempersilakan tamunya minum. Kemudian dia berkata dengan wajah berseri,

"Bila mana paduka mempunyai urusan pribadi, dapat paduka sampaikan kepada pinceng. Andai kata suhu sedang ada di sini pun, tentu pelaksanaannya akan suhu berikan kepada pinceng. Ada keperluan apakah gerangan yang membuat paduka jauh-jauh datang ke kuil Siauw-lim-si kami?"

Mendengar ini, Han Houw yang telah minum teh yang dihidangkan itu, kini memandang kepada mereka berdua penuh perhatian, terutama Thian Bi Hwesio yang bertubuh tinggi besar dan bersikap kereng dan pendiam itu. Kemudian dia mengajukan pertanyaan yang membuat kedua orang hwesio itu terkejut, "Apakah ji-wi locianpwe yang mewakili ketua Siauw-lim-pai merupakan murid-murid utama?"

Thian Bun Hwesio hanya mengangguk.

"Ahhh, kalau begitu tentu ji-wi memiliki ilmu silat yang paling tinggi di antara semua murid Siauw-lim-pai?"

Thian Bun Hwesio tersenyum. "Ahh, orang-orang yang lemah seperti kami ini mana berani mengatakan memiliki kepandaian tinggi? Siauw-lim-pai amat luas dan mempunyai ribuan orang murid yang tersebar di seluruh negeri, maka sulit untuk mengukur siapa yang lebih tinggi kepandaiannya. Bahkan suhu sendiri tentu tidak berani menganggap diri terpandai di antara para murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi kalau hanya di kuil ini, tentu saja suhu yang paling pandai dan pinceng sekalian adalah murid-murid utamanya."

"Bagus sekali! Jika begitu ji-wi locianpwe merupakan orang yang terpandai di sini setelah ketua Siauw-lim-pai!" Han Houw berkata girang.

Kenyataan ini menggirangkan hatinya yang tadi kecewa mendengar bahwa ketua Siauw-lim-pai sedang pergi. Setidaknya kalau dia sudah mampu menghadapi murid-murid utama Siauw-lim-pai, sudah cukuplah sebagai langkah-langkah pertama menuju kepada sebutan Jagoan Nomor Satu di dunia!
Selanjutnya,

Pendekar Lembah Naga Jilid 36

Pendekar Lembah Naga Jilid 36
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Gu Kok Ban dan Tong Siok saling pandang, menghapus keringat dingin dan mereka itu merasa tertarik sekali. Tanpa bicara mereka seperti sudah tahu dan keduanya pun lalu lari mengejar pula sebab mereka ingin sekali melihat bagaimana kesudahan dari pertandingan yang amat seru dan hebat itu.

Ketika dua orang itu tiba di atas puncak di tepi sebuah jurang yang amat dalam, mereka melihat pangeran itu sudah bertanding lagi dengan sangat seru dan hebatnya melawan kakek cebol itu. Dua orang ketua itu melongo saking herannya melihat cara pangeran itu bersilat karena kini pangeran itu sudah berdiri jungkir balik dengan kepala di bawah dan kedua kakinya di atas! Kedua kakinya itu melakukan gerakan tendangan dan tangkisan, dibantu oleh kedua tangan dari bawah yang menyerang ke arah kaki dan perut Ouwyang Bu Sek.

Itulah ilmu silat aneh yang diberi nama Hok-te Sin-kun (Silat Sakti Membalikkan Bumi) oleh Han Houw. Dan memang ilmu ini aneh dan dahsyat bukan kepalang. Setelah dalam keadaan jungkir balik seperti itu, ternyata tenaga yang keluar dari kaki mau pun tangan pangeran itu jauh lebih besar dari pada tadi sehingga Ouwyang Bu Sek sendiri merasa amat terkejut karena setiap kali tangannya bertemu dengan kaki pemuda itu, dia merasa tubuhnya tergetar hubat. Namun, biar dia lebih sering menerima tendangan aneh dari kaki yang berada di atas itu, dengan mengandalkan kekebalannya yang luar biasa, dia selalu dapat menahan diri sehingga tidak sampai terluka, biar pun kini kekuatan aneh dari kedua kaki itu dapat membuatnya terhuyung, bahkan kadang-kadang terpelanting.

Perkelahian itu seru bukan kepalang. Terdengar kakek tua renta itu telah terengah-engah karena dia merasa lelah sekali. Betapa pun juga, dia harus mengakui bahwa sute-nya ini mempunyai ilmu-ilmu aneh dari kitab-kitab yang hanya dia ketahui teorinya belaka, namun dia sama sekali tidak pernah ikut melatih ilmu itu sehingga sekarang pada saat sute-nya menggunakan ilmu-ilmu itu untuk menyerangnya, dia menjadi repot sekali. Lebih dari itu, usianya yang amat tua membuat daya tahannya telah banyak berkurang, terutama sekali napasnya.

Dia sudah mandi keringat dan napasnya memburu sedangkan sute-nya itu masih segar dan serangan-serangannya semakin hebat saja. Akan tetapi, dengan mengandalkan ilmu kekebalannya, kakek itu masih terus dapat mendesak Han Houw dan sudah beberapa kali pemuda ini terkena pukulannya sehingga pemuda itu pun menderita luka-luka yang biar pun tidak berbahaya namun cukup membuat gerakannya semakin lemah.

Setiap pukulan pemuda itu tidak mendatangkan bahaya bagi kakek cebol yang terlindung kekebalan hebat itu, sebaliknya pukulan kakek itu selalu membuat Han Houw menderita. Karena itu, apa bila dilanjutkan agaknya Han Houw yang akhirnya akan harus mengakui keunggulan lawan.

Hal ini pun diketahui dengan baik oleh pangeran itu sebelum dia melarikan diri ke puncak ini tadi. Maka pangeran yang cerdik itu sengaja memancing suheng-nya sehingga mereka mengadakan pertempuran di tepi jurang yang amat dalam, di mana tadi dia menyebarkan robek-robekan kitab terjemahannya. Semenjak tadi dia memang sudah mengatur siasat dan tidak cepat-cepat menjalankan siasatnya itu agar kakek itu lengah.

Sesudah di tempat ini mereka melakukan perkelahian mendekati seratus jurus lamanya, barulah diam-diam Han Houw menanti kesempatan baik. Dengan ilmu silat aneh Hok-te Sin-kun, dia masih terus melakukan perlawanan dan diam-diam dia mendesak kakek itu mendekati jurang.

Sesudah memperhitungkan dengan matang, tiba-tiba terdengar pemuda itu mengeluarkan seruan lengkingan panjang dan menggetarkan, sehingga dua orang ketua dari Sin-ciang Tiat-touw-pang yang menonton sambil bersembunyi di balik batu terkejut bukan main dan otomatis mereka cepat menutupi dua telinga dengan telapak tangan sambil memandang dengan mata terbelalak.

Dan tiba-tiba saja tubuh yang berjungkir balik dari pangeran itu membuat loncatan kilat ke samping! Dengan gerakan indah, kakinya meluncur dan selagi tubuhnya masih melayang, kaki kirinya menendang secepat kilat, tepat mengenai dada Ouwyang Bu Sek yang berdiri membelakangi jurang.

"Blukkk!"

Kaki itu mengenai dada sedemikian kerasnya sehingga tubuh kakek itu terjengkang.

"Hukkkk...! Crotttt...!"

Dari mulut kakek yang terbuka itu menyembur darah segar. Kakek itu terkejut dan dengan tubuh terjengkang dia menggunakan kakinya yang pendek dan telanjang untuk melangkah mundur dan tentu saja tubuhnya terguling ke belakang karena kakinya menginjak tempat kosong. Terdengar teriakan mengerikan dan menyayat hati ketika tubuh kakek cebol itu melayang ke dalam jurang yang luar biasa dalamnya itu.

Han Houw cepat lari mendekati tepi jurang dan menjenguk ke bawah. Dia masih sempat melihat tubuh suheng-nya itu sudah terbanting ke dasar jurang, terguling-guling makin ke bawah, lalu diam menelungkup. Walau pun dari tempat yang tinggi itu tidak dapat dilihat jelas, namun tak dapat disangsikan lagi bahwa tubuh itu tentu telah remuk-remuk terjatuh dari tempat setinggi itu.

Han Houw menarik napas lega. Baru terasa olehnya betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit sebagai akibat hantaman-hantaman yang telah diterimanya dalam perkelahian yang amat seru itu tadi.

"Pangeran, kepandaian paduka sungguh amat hebat mengagumkan!"

"Dan hamba berdua berterima kasih atas pertolongan paduka tadi."

Han Houw lantas membalikkan tubuhnya memandang. Dua orang ketua itu telah berlutut menghadapnya dengan sikap sangat hormat dan memandang dengan penuh kekaguman. Sejenak dia merasa bangga sekali. Memang patut dibanggakan bahwa dia telah berhasil mengalahkan Ouwyang Bu Sek yang dianggap orang sebagai manusia sakti sukar dicari tandingannya, malah Lam-hai Sam-lo sendiri pun pernah dikalahkan oleh kakek itu. Akan tetapi tiba-tiba dia mengerutkan alisnya, lalu dia melangkah maju.

"Gu-pangcu dan Tong-pangcu, berdirilah, aku ingin bertanya kepada kalian."

Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bangkit berdiri dan memandang pangeran itu dengan wajah berseri dan penuh kagum. Mereka sama sekali tidak menduga, bahkan hampir tidak dapat percaya betapa seorang pemuda bangsawan seperti ini sudah berhasil mempunyai ilmu kepandaian sehebat itu sehingga sanggup mengalahkan seorang datuk persilatan seperti Ouwyang Bu Sek.

Setelah dua orang itu berdiri di depannya, Han Houw lalu bertanya, "Bagaimana kabarnya dengan nona Lie Ciauw Si? Di manakah dia sekarang?"

Berserilah wajah dua orang ketua itu. Memang mereka sudah dapat menduga apa yang terjadi antara pangeran yang tampan ini dengan pendekar wanita muda yang cantik itu.

"Sudah lama hamba tak berjumpa dengan Lie-lihiap, pangeran. Akan tetapi yang terakhir hamba mendengar bahwa Lie-lihiap hendak pergi ke kota raja untuk mencari dan ingin menghadap paduka," kata Gu Kok Ban sambil tersenyum.

Senang hati Han Houw mendengar kata-kata ini, kemudian dia bertanya, "Dan benarkah seperti yang dikatakan oleh Ouwyang Bu Sek bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai bersembunyi di tempat kalian?"

Mendengar pertanyaan ini, hati dua orang itu sangat terkejut. Akan tetapi ketika mereka memandang wajah pangeran itu, nampak pangeran itu bersikap biasa saja, tidak terlihat marah sehingga hati mereka menjadi besar kembali.

"Memang benar, pangeran. Untuk beberapa bulan mereka menjadi tamu hamba, karena isteri dari Cia Bun Houw taihiap sedang mengandung dan setelah melahirkan, mereka itu lalu pindah."

"Tidak tahukah kalian bahwa mereka adalah orang-orang yang dianggap pemberontak-pemberontak yang menjadi buruan pemerintah?"

Gu Kok Ban memandang kepada Tong Siok dengan muka pucat, namun kemudian dia menghadapi pangeran itu sambil berkata cepat, "Hamba tahu... akan tetapi sesungguhnya mereka itu bukanlah pemberontak, pangeran. Justru untuk inilah maka Lie-lihiap pergi ke kota raja untuk menghadap paduka, untuk mohon kebijaksanaan paduka untuk menolong empat orang pendekar itu supaya terbebas dari tuduhan memberontak. Mereka itu hanya difitnah, sebab semua orang kang-ouw pun tahu belaka betapa semenjak dulu, semenjak ketua Cin-ling-pai mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, Cin-ling-pai merupakan suatu perkumpulan orang-orang gagah yang selalu membantu pemerintah dalam membasmi para pemberontak."

Disebutnya nama Lie Ciauw Si membuat wajah Han Houw kembali nampak berseri-seri sehingga melegakan hati kedua orang itu. Kini dengan suara halus Han Houw bertanya, "Sekarang di manakah adanya empat orang pendekar itu?"

Kembali Gu Kok Ban memandang dengan hati khawatir. "Pangeran... seorang di antara mereka adalah... ibu kandung dari Lie-lihiap..."

Han Houw mengerutkan alisnya dan berkata tidak sabar. "Aku tahu, dan aku pun bertanya untuk pergi menemui mereka secara baik-baik agar bisa mengusahakan kebebasan untuk mereka..."

"Ahh, terima kasih, pangeran...!" Mereka berdua berkata dengan girang sekali.

"Katakanlah, di mana adanya mereka kini?"

"Tadinya mereka meninggalkan tempat hamba untuk pindah ke dalam sebuah dusun di lereng sebuah bukit, tidak jauh dari tempat kami. Akan tetapi, entah bagaimana, sebulan kemudian ada pasukan menyerbu tempat mereka sehingga mereka itu terpaksa kembali melarikan diri lagi...," ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu kelihatan berduka.

"Ke mana mereka melarikan diri? Di mana mereka sekarang?"

"Tadinya hamba juga tidak mengetahuinya, pangeran. Akan tetapi dari para penyelidik, yaitu para anggota yang hamba suruh mencari keterangan, hamba..."

"Suheng...!" Tiba-tiba saja terdengar Tong Siok memanggil kakaknya dengan nada suara memperingatkan sehingga Gu Kok Ban tidak berani melanjutkan keterangannya, namun memandang kepada pangeran itu dengan keraguan yang mulai timbul.

Han Houw mengerutkan alisnya, lantas menoleh kepada Tong Siok, sepasang matanya mencorong mengeluarkan sinar berkilat.

"Ji-wi pangcu! Apakah kalian masih tak percaya kepadaku? Aku telah membunuh suheng sendiri karena dia memusuhi mereka! Aku ingin melindungi ibu kandung nona Lie Ciauw Si!"

Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian Gu Kok Ban melanjutkan keterangannya, sekarang tak peduli lagi akan pandangan mata sute-nya yang masih merasa khawatir itu. "Menurut keterangan dari para penyelidik, mereka melarikan diri ke Propinsi Ce-kiang dan tinggal di kota Bun-cou..."

Tiba-tiba sepasang mata Gu Kok Ban terbelalak lebar, mukanya pucat melihat sepasang mata yang mencorong aneh itu dan begitu tangan Han Houw bergerak memukul, Gu Kok Ban yang mencoba menangkis itu masih tidak mampu menghindarkan hantaman itu.

"Desss...!"

Dadanya terpukul dan tubuhnya terlempar ke dalam jurang. Teriakannya yang menyayat hati bergema sampai lama ketika tubuhnya melayang turun ke bawah seperti yang dialami oleh Ouwyang Bu Sek tadi.

Wajah Tong Siok berubah menjadi pucat sekali, akan tetapi perlahan-lahan kulit mukanya yang bopeng itu berubah merah, matanya mengeluarkan sinar kebencian dan telunjuknya menuding ke arah muka Han Houw, "Kau manusia iblis berhati keji, ternyata kecurigaanku benar, engkau adalah seorang manusia laknat! Engkau bukan hanya membunuh suheng sendiri, akan tetapi juga membunuh suheng-ku dan hatimu palsu. Orang macam engkau ini kelak akan menjadi hantu neraka...!"

Han Houw tersenyum. "Engkaulah yang lebih dulu akan pergi ke neraka!" katanya sambil melangkah maju hendak memukul.

Akan tetapi Tiat-thouw Tong Siok sudah nekat, karena itu dia sudah mendahului gerakan pangeran itu. Sambil berteriak dahsyat dia lalu menerjang ke depan dengan kepala lebih dahulu, seperti seekor lembu jantan yang marah menyerang harimau.

Serudukan kepala ini tak boleh dipandang ringan, sebab ini merupakan serangan andalan ketua nomor dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini. Julukannya adalah Tiat-thouw atau Si Kepala Besi dan serudukan kepalanya itu dapat menghancurkan batu!

Namun Han Houw yang percaya akan kepandaian dan kekuatannya sendiri tidak menjadi gentar, bahkan tidak mengelak melainkan tetap berdiri tegak sambil tersenyum mengejek, kemudian tangan kirinya meluncur ke depan, menyambut kepala botak yang menyeruduk ke arah perutnya itu.

"Desss...!"

Terdengar suara keras seperti benda keras pecah, kemudian tubuh Tiat-thouw Tong Siok itu terlempar ke belakang dan langsung melayang turun ke dalam jurang dengan kepala retak-retak sehingga sebelum tubuhnya terbanting di dasar jurang, dia sudah tewas dan tidak terdengar jeritan mengerikan ketika dia terpelanting itu.

Sejenak Pangeran Ceng Han Houw berdiri dan memandang ke bawah jurang. Dia tidak merasa menyesal telah membunuh tiga orang itu. Pertama, dia memang ingin membunuh Ouwyang Bu Sek untuk menguasai kitab-kitab peninggalan Bu Beng Hud-couw itu. Ke dua, dia harus membunuh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena mereka ini sudah menyaksikan betapa dia sudah membunuh suheng sendiri sehingga kelak mereka dapat menyebar berita yang sangat tidak baik untuknya itu ke dunia kang-ouw, dan selain dari itu, dua orang itu telah memperlihatkan sikap tidak setia kepada pemerintah sehingga berani melindungi orang-orang buruan pemerintah. Mereka itu patut dihukum!

Setelah merasa yakin bahwa tiga tubuh yang rebah di dasar jurang itu sudah tewas dan tidak bergerak-gerak lagi, Han Houw baru membalikkan tubuhnya, meninggalkan puncak bukit itu menuju ke goa di mana Ouwyang Bu Sek menyimpan peti hitam tempat tiga buah kitab yang ingin diambilnya agar jangan sampai terjatuh ke tangan orang lain itu.

Goa yang besar dan gelap itu nampak menyeramkan, seolah-olah di dalamnya terdapat bahaya yang mengintai keselamatan siapa saja yang berani memasukinya. Tetapi dengan kepandaiannya yang amat tinggi, Ceng Han Houw tidak ragu-ragu lagi melangkah masuk kemudian dengan sangat hati-hati dia menggerakkan kedua kakinya, perlahan-lahan dan berindap-indap penuh kewaspadaan memasuki sebelah dalam yang amat gelap. Apa bila suheng-nya dapat memasuki goa itu untuk mengambil peti hitam, mengapa dia tidak?

Tiba-tiba saja dia mendengar suara mendesir dari kanan kiri, maka secepat kilat dia pun menggerakkan kedua tangannya ke kanan kiri untuk melindungi diri sambil mengerahkan sinkang pada tubuhnya. Bagaikan bermata, kedua tangannya itu dengan cekatan sudah menangkap dua batang anak panah yang menyambar dari kanan kiri dan mengeluarkan suara mendesir tadi! Kiranya dia sudah menginjak alat rahasia yang dipasang sehingga anak panah dari kanan kiri itu meluncur sendiri menyerang siapa saja yang berani masuk goa dan menginjak jebakan yang tidak nampak itu!

Han Houw mendengus dan melemparkan dua batang anak panah itu keluar, kemudian dia melangkah terus dengan beraninya. Setelah agak dalam, nampak cahaya menembus dari celah terbuka di atas goa. Remang-remang nampaklah olehnya sebuah peti hitam di sudut ruangan goa itu setelah berbelok ke kiri. Hatinya girang sekali, akan tetapi dia tetap berhati-hali, tidak mau menjadi lengah karena kegirangannya. Dengan waspada dia terus melangkah mendekati tempat peti itu tergeletak.

Han Houw kemudian menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Kedua telapak tangan itu mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan uap, barulah dia mengambil peti itu dengan kedua tangannya. Ternyata tidak terjadi sesuatu dan cepat dia membawa peti itu ke luar goa.

Setelah tiba di luar, di tempat yang terang, dia menurunkan peti dan melihat betapa kedua telapak tangannya penuh hangus. Untung bahwa tadi dia telah melindungi kedua telapak tangannya dengan hawa panas dari pengerahan sinkang-nya, apa bila tidak tentu kedua telapak tangannya akan terkena racun jahat yang dioles-oleskan pada peti itu. Kini racun itu menjadi hangus sebab hawa panas yang melindungi kedua telapak tangannya. Setelah membersihkan kedua telapak tangannya, Han Houw lalu membuka tutup peti itu.

"Sssssttt...!"

Nampak segaris sinar merah menyambar dan seekor ular merah sudah meloncat keluar dan langsung menyerang ke arah lehernya! Namun, dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya, dia sudah menyumpit leher ular itu, lalu mengerahkan tenaga pada kedua jari itu.

"Krekkk!"

Terdengar suara dan tulang leher ular itu pun patah. Dia melemparkan bangkai ular yang masih berkelojotan dan melingkar-lingkar, kemudian memandang ke dalam peti yang baru saja dibukanya.

"Jahanam!" Dia mengutuk karena ternyata peti sama sekali kosong!

Dia merasa tertipu dan dengan marah dia masuk lagi ke dalam goa, mencari-cari. Namun goa itu kosong tak ada apa-apanya lagi. Dengan hati penasaran Han Houw lalu membuat obor dan memeriksa seluruh bagian dalam goa. Namun hasilnya nihil, tidak ada apa pun di dalam goa itu. Dia memeriksa peti, menghantamnya sampai berkeping-keping, namun juga selain ular merah yang kini telah mati, peti itu tidak berisi apa-apa lagi.

"Ouwyang Bu Sek tua bangka keparat!" Dia memaki-maki dan mencari-cari keluar masuk semua goa di tempat itu. Tetap tidak ada hasilnya. Tiga buah kitab kuno itu ternyata telah hilang! Tentu disembunyikan oleh Ouwyang Bu Sek di suatu tempat, akan tetapi setelah kakek itu tewas, siapa pula yang mengetahui di mana adanya kitab-kitab itu?

Sampai sore dia mencari-cari tanpa hasil dan menjelang senja dia melihat beberapa belas orang menuruni jurang di mana terdapat mayat Ouwyang Bu Sek, Gu Kok Ban dan Tong Siok. Dari tempat yang tidak kelihatan oleh mereka, Han Houw mengintai dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu adalah para anggota Sin-ciang Tiat-thouw-pang.

Diam-diam dia tersenyum mendengar kata-kata mereka. Mereka itu tentu mengira bahwa dua orang ketua mereka telah bertanding melawan Ouwyang Bu Sek sehingga akibatnya mereka bertiga tewas semua atau mati sampyuh. Lebih baik begitu saja, pikirnya lantas diam-diam dia meninggalkan puncak pegunungan itu.

********************

Kuil di puncak bukit itu demikian besar, dikelilingi pagar tembok tebal yang berlapis-lapis bagaikan benteng saja kuatnya. Memang, kuil Siauw-lim-si adalah sebuah kuil yang amat besar dan kokoh kuat lagi kuno sekali. Kuil Siauw-lim-si sangat terkenal semenjak jaman dulu karena kuil inilah yang menampung para pendeta Buddha dari See-thian (India), dan kuil ini pula yang menyebar luaskan pelajaran Agama Buddha ke seluruh Tiongkok.

Selain sebagai tempat perkumpulan para tokoh Buddha dan menjadi pusat keagamaan itu, juga Siauw-lim-si mempunyai nama yang amat terkenal sebagai perkumpulan agama yang menghasilkan banyak sekali ahli-ahli silat yang pandai sehingga nama Siauw-lim-pai (partai Siauw-lim) sangat terkenal di dunia kang-ouw sebagai gudang ilmu silat dan para pendekar Siauw-lim-pai memiliki ilmu silat murni yang amat kuat dan disegani.

Bahkan menurut dongeng dari mulut ke mulut, kuil Siauw-lim-si merupakan sumber dan asal dari segala ilmu silat, yaitu ketika Tat Mo Couwsu, seorang pendeta Agama Buddha menciptakan gerakan-gerakan yang mula-mula hanya ditujukan untuk menyehatkan tubuh namun kemudian berkembang menjadi gerakan-gerakan ilmu bela diri yang amat hebat.

Sumber ilmu menggerakkan tubuh sebagai seni bela diri ini kemudian berkembang sangat luas, mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan keadaan setempat dan tumbuhlah bermacam-macam ilmu silat yang sesungguhnya bersumber satu. Namun, yang dianggap paling asli sampai sekarang adalah ilmu silat yang diajarkan oleh Siauw-lim-pai sehingga nama ini selalu didengung-dengungkan sebagai gudangnya ahli silat yang paling kuat.

Memang patut kalau Kuil Siauw-lim-si itu dikabarkan sebagai tempat orang-orang pandai. Bangunannya kuno dan kokoh kuat sehingga menimbulkan suasana keramat dan angker. Apa lagi karena sebagai pusat keagamaan di dalam kuil itu setiap hari diadakan upacara-upacara keagamaan dan hio mengepul terus setiap saat hingga dari jarak jauh saja sudah tercium bau harum dupa, maka suasananya menjadi semakin agung dan mendatangkan perasaan hormat akan sesuatu yang penuh rahasia bagi manusia.

Kuil besar itu tidak pernah sunyi. Kalau bukan suara orang membaca doa atau membaca ayat-ayat suci dari kitab, maka tentu ada nyanyi-nyanyian pujian. Ini suasana di bagian kuilnya. Ada pun di bagian belakang atau samping kanan kiri, selalu terdengar bentakan-bentakan orang yang berlatih silat!

Kompleks kuil itu memang amat luas. Kuilnya sendiri berada di tengah depan merupakan bangunan induk, akan tetapi di kanan kiri dan belakang kuil terdapat bangunan-bangunan kecil lainnya yang menjadi tempat tinggal para hwesio beserta para murid Siauw-lim-pai. Tidak kurang dari lima puluh orang pendeta dan murid-murid Siauw-lim-pai yang setiap hari berada di tempat itu.

Sedangkan murid-murid Siauw-lim-pai yang sudah keluar dari tempat penggemblengan ini dan tersebar di seluruh negeri berjumlah ratusan, bahkan ribuan orang. Ada yang menjadi ketua kuil-kuil kecil, ada yang menjadi pendeta-pendeta pengembara untuk menyebarkan agama.

Ada pula yang menjadi orang-orang biasa, pedagang, sasterawan, piauwsu, buruh-buruh kasar, petani atau nelayan. Mereka adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang tidak masuk menjadi hwesio sehingga tidak bertugas mengembangkan agama, melainkan terikat oleh peraturan-peraturan Siauw-lim-pai yang mengharuskan para murid itu agar supaya hidup sebagai orang-orang gagah yang menjunjung tinggi nama baik Siauw-lim-pai dan dilarang keras menggunakan kepandaiannya yang didapatkan dari Siauw-lim-pai untuk melakukan kejahatan.

Memang pada waktu itu jarang sekali menemukan seorang murid Siauw-lim-pai menjadi penjahat. Kalau sampai terdengar ada seorang murid Siauw-lim-pai menyeleweng, maka perguruan ini sudah pasti akan mengutus murid yang lebih pandai untuk menangkap dan menghukum, kalau perlu membunuh murid yang menyeleweng. Sedikitnya, setiap murid yang menyeleweng tentu akan dikeluarkan dari perguruan itu, tidak diakui sebagai murid lagi dan jika ketahuan menggunakan ilmu dari Siauw-lim-pai untuk melakukan kejahatan, tentu akan ditentang dan dimusuhi.

Karena peraturan yang sangat keras inilah maka nama Siauw-lim-pai amat disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan. Namanya senantiasa bersih, bahkan di dalam pergolakan-pergolakan antara golongan-golongan yang memperebutkan kekuasaan di kota raja, fihak Siauw-lim-pai selalu menjauhkan diri dan tidak mau tersangkut.

Pagi hari itu cerah sekali. Matahari bagai berseri di angkasa timur, melimpahkan cahaya kehidupan ke permukaan bumi. Di pagi hari seindah itu nampak wajah para hwesio yang serius namun berseri, seolah-olah mereka ini dapat pula merasakan kecerahan pagi yang sehat itu.

Beberapa orang hwesio hilir-mudik melakukan tugas pekerjaan masing-masing di kuil, ada yang membersihkan semua perabot dan alat sembahyang, ada pula yang membersihkan lantai, menyapu halaman depan, pekarangan, atau menyirami bunga-bunga dan tumbuh-tumbuhan yang mereka tanam di sekitar bangunan itu. Ada yang sibuk menimba air dari sumber di bawah puncak lalu memikul air itu ke dalam kuil melalui pintu samping supaya tidak membasahi lantai kuil, ada pula hwesio-hwesio tingkatan tua yang sepagi itu sudah melakukan upacara sembahyang. Beberapa hwesio membaca kitab dengan suara yang menggetar penuh penghambaan diri, tetapi ada pula yang sedang bersemedhi di sebelah dalam, mengheningkan cipta, sama sekali tidak bergerak seolah-olah sudah menjadi arca seperti yang banyak terdapat di dalam kuil.

Di samping kegiatan yang tenang dan tenteram ini, terdengar pula suara murid-murid yang sedang berlatih silat, bertelanjang dada membiarkan cahaya matahari memandikan tubuh mereka karena sinar itu amat berguna bagi kesehatan tubuh mereka. Ada yang bergerak silat dengan pengerahan tenaga sehingga otot-otot di tubuh mereka menggembung dan kelihatan kuat bukan main penuh kejantanan, ada pula yang gerakannya lemah gemulai seperti seorang penari dan agaknya sama sekali tidak mengandung tenaga.

Memang Siauw-lim-pai adalah gudang ilmu silat, dari ilmu silat yang sifatnya keras hingga yang sifatnya lunak, dan ilmu-ilmu silat yang gerakannya diilhami oleh gerakan binatang-binatang buas.

Setiap pagi para anak murid tingkat terendah tentu berkumpul di dalam taman itu, di mana terdapat lapangan yang luas dan memang diadakan untuk tempat berlatih silat di bawah sinar matahari. Di sebelah dalam terdapat pula ruangan belajar silat, yaitu di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dan di sini diajarkan jurus-jurus yang lebih tinggi dan di lian-bu-thia ini lengkap pula terdapat senjata-senjata yang delapan belas macam banyaknya.

Pagi hari itu, seperti biasa, sudah mulai nampak beberapa orang tamu yang datang untuk melakukan sembahyang. Bermacam-macam keperluan pribadi mereka yang datang untuk bersembahyang. Ada yang bermaksud hendak minta sesuatu, agar sesuatu yang mereka citakan akan segera terkabul, di antaranya ingin mempunyai anak, ingin segera mendapat jodoh, ingin agar dagangannya laris, ingin agar mendapatkan kenaikan pangkat, ingin agar ujiannya lulus, dan sebagainya.

Ada pula yang datang dengan wajah berseri untuk membayar kaul seperti yang dijanjikan. Banyak di antara mereka para peminta-minta ini yang dalam permintaannya selalu disertai janji-janji kepada yang mereka minta, janji-janji bahwa kalau sampai permintaan mereka berhasil, maka mereka akan melakukan ini atau itu, pendeknya melakukan sesuatu untuk menyenangkan yang diminta, sebagai semacam imbalan!

Memang demikianlah keadaan hidup kita semenjak jaman kuno dulu sampai pada jaman modern sekarang ini! Segala macam hubungan kita dengan apa pun dan dengan siapa pun, selalu didasari jual beli, rugi untung seperti itulah! Tidak ada lagi sinar cinta kasih di dalam batin kita, yang ada hanyalah perhitungan jual beli seperti itu.

Kita bersikap baik kepada sesama manusia hanya dengan dasar jual beli pula, kita baik sebagai pemberian sesuatu untuk memperoleh kebaikan pula yang lebih besar dari pada yang kita berikan sehingga hal itu akan menguntungkan! Kita menyembah seseorang atau sesuatu yang kita anggap lebih tinggi hanya dengan dasar keuntungan ini pula!

Kita menyembah-nyembah sesuatu yang baik atau yang kita anggap baik terhadap kita, dan kita mengutuk atau membenci sesuatu yang kita anggap tidak baik kepada kita! Inilah kenyataannya dalam kehidupan kita yang serba palsu ini.

Cahaya matahari itu memberkati dan menghidupkan bagi siapa pun juga, tanpa memilih apakah yang menerima itu baik atau buruk, tinggi atau rendah, agung atau hina! Cahaya matahari itu juga mendatangkan panas terhadap siapa pun juga, mulai dari raja sampai pengemis tanpa pandang bulu!

Tapi kita kehilangan sinar cinta kasih itu! Kita hanya suka dan cinta kepada orang-orang tertentu saja, yang menyenangkan kita, yang kita anggap baik terhadap kita. Sebaliknya kita membenci kepada orang-orang tertentu yang kita anggap merugikan lahir atau batin kepada kita.

Di antara para tamu yang memasuki kuil dengan membawa alat-alat sembahyang, terlihat seorang pemuda tampan. Pakaiannya sudah kumal, tanda bahwa lama dia tidak berganti pakaian, namun jelas nampak bahwa pakaian itu adalah pakaian yang mahal dan indah, juga topinya dan jubahnya yang terbuat dari kulit binatang berbulu itu menunjukkan bahwa pemakainya adalah seorang hartawan.

Tidak seperti para tamu lainnya, pemuda ini tidak membawa apa-apa, bertangan kosong saja dan dia memasuki halaman kuil dengan langkah-langkah tenang disertai sikap yang agung, bahkan dia tidak pedulian terhadap orang-orang lain yang memasuki halaman itu.

Pemuda ini adalah Ceng Han Houw. Mau apa pangeran ini muncul di Kuil Siauw-lim-si? Setelah Ceng Han Houw berhasil membunuh Ouwyang Bu Sek beserta dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, memang tadinya dia hendak cepat-cepat pulang ke kota raja, kembali ke istana yang sudah terlalu lama ditinggalkannya itu, apa lagi dia sudah merasa rindu sekali kepada Lie Ciauw Si dan hendak mencari dara yang dicintainya itu.

Akan tetapi, di samping itu timbul keinginannya untuk mulai memperkenalkan diri kepada dunia kang-ouw bahwa dialah satu-satunya jagoan tanpa tandingan di dunia ini! Dia ingin menguji kepandaian para tokoh kang-ouw dan hatinya belum puas kalau dia tidak dapat merobohkan mereka semua satu demi satu hingga akhirnya dunia akan mengakui bahwa dialah juaranya!

Untuk menguji diri sendiri, juga sebagai langkah pertama, maka yang paling tepat adalah mendatangi Siauw-lim-pai lantas menantang ketuanya untuk mengadu ilmu silat! Dia tahu bahwa Siauw-lim-pai merupakan mercu suar dalam dunia persilatan, maka menjatuhkan Siauw-lim-pai tentu akan membuat namanya terkenal hingga dunia persilatan akan geger karenanya. Jadi kedatangannya di pagi hari ini, bersama dengan para tamu yang hendak bersembahyang ke kuil itu, adalah hendak mencari dan menantang ketua Siauw-lim-pai untuk mengadu ilmu!

Melihat keadaan pemuda ini lain dari pada para tamu yang sudah biasa bersembahyang, tanpa membawa apa-apa, dan kelihatan mencari-cari dengan pandang matanya, seorang hwesio tinggi kurus yang bertugas melayani para tamu cepat-cepat menghampirinya dan memberi hormat sambil bertanya,

"Apakah kongcu hendak bersembahyang ataukah ada keperluan lain?"
Han Houw memandang wajah hwesio ini dan ketika melihat bahwa di wajah itu terdapat ketenangan besar, maka dia merasa kagum. Hwesio ini tentu kedudukannya rendah saja namun ada ketenangan yang mengagumkun pada dirinya. Maka dia pun cepat membalas penghormatan itu dan berkata,

"Saya datang bukan untuk bersembahyang melainkan untuk minta bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai."

Hwesio yang usianya tiga puluh tahun itu kelihatan tercengang. Jarang ada orang datang dengan maksud ingin bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai, apa lagi yang datang hanya seorang pemuda seperti ini, bukan seorang tokoh kang-ouw yang terkenal. Dia kemudian memandang penuh sangsi, akan tetapi akhirnya menjawab juga,

"Kongcu, tidak mudah untuk dapat bertemu dengan ketua, untuk itu kongcu harus terlebih dulu mendaftarkan diri dan menyebutkan nama, tempat tinggal dan maksud kedatangan kongcu."

Han Houw mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang. Kadang kala dia lupa bahwa tidak semua orang tahu bahwa dia adalah seorang pangeran yang berpengaruh serta memiliki kedudukan tinggi sehingga sikap orang yang kurang menghormatinya bisa mendatangkan perasaan tidak senang di dalam hatinya. Ingin dia membentak serta memaki hwesio itu, akan tetapi dia tahu bahwa dia berada di tempat yang berbahaya, bahwa kini dia sudah memasuki goa naga dan harimau, maka dia harus bersikap hati-hati.

"Hwesio, katakanlah bahwa aku Pangeran Ceng Han Houw dari kota raja ingin bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai."

Biar pun ucapan ini dikeluarkan dengan suara halus akan tetapi seketika wajah hwesio itu menjadi pucat. Ketenangannya membuat sejenak dia hanya melongo memandangi tamu itu dari kepala sampai ke kaki, agaknya sukar baginya untuk percaya, akan tetapi juga timbul semacam perasaan gelisah dan takut kalau-kalau pemuda ini benar-benar seorang pangeran dan dia telah bersikap kurang selayaknya!

Kalau benar pangeran, mengapa datang sendirian tanpa pengawal dan pakaiannya sudah agak kotor begitu? Mungkin dalam penyamaran, pikir hwesio itu dan karena dia tidak tahu bagaimana harus bersikap, maka dia hanya memberi hormat dengan membungkuk lantas berkata dengan suara ragu-ragu.

"Baiklah, akan pinceng laporkan ke dalam... silakan duduk menanti di ruang tamu..."

Han Houw mengangguk, mengikuti hwesio itu pergi memasuki ruang tamu, lalu duduk di atas sebuah bangku menanti kembalinya hwesio tadi yang segera bergegas pergi untuk melaporkan kedatangan pemuda yang mengaku pangeran itu.

Han Houw memandangi tulisan-tulisan dengan huruf-huruf indah dan gagah, juga lukisan-lukisan yang menghias dinding ruang tamu itu. Di istana kaisar dia sudah melihat banyak lukisan dan tulisan indah, akan tetapi baru sekarang dia melihat lukisan dan tulisan serta suasana yang semuanya membayangkan kegagahan dan juga kedamaian seperti dalam ruangan tamu itu. Diam-diam dia kagum.

Tidak bohonglah suara di dunia kang-ouw yang mengatakan bahwa Siauw-lim-pai adalah gudangnya ilmu silat, sastera dan agama. Sekarang makin besar keinginan hatinya untuk menundukkan ketua Siauw-lim-pai, karena sekali dia berhasil mengalahkan ketua Siauw-lim-pai, namanya tentu akan menjulang tinggi sekali!

Akan tetapi terlalu lama hwesio tadi pergi. Kesabaran Han Houw hampir habis. Dia tidak tahu betapa berita tentang kedatangannya itu menimbulkan kehebohan di sebelah dalam kuil, di antara para pimpinan Siauw-lim-pai.

Pada waktu itu, yang menjadi ketua dari Siauw-lim-pai adalah Thian Khi Hwesio, seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih. Akan tetapi kakek ini tidak terlampau mencampuri urusan dari kuil sebab dia sibuk mengembangkan agama Buddha dengan jalan merantau, mendatangi kuil-kuil cabang Siauw-lim-si di seluruh negeri, di samping untuk mengamati perkembangan agama juga untuk melihat sendiri agar tidak ada anak murid Siauw-lim-si yang menyelewengkan pelajaran. Untuk urusan di kuil, baik itu mengenai agama mau pun mengenai pelajaran sastera, silat serta hubungan dengan orang luar, diserahkan kepada tiga orang murid utamanya.

Yang pertama adalah Thian Sun Hwesio, yang bertubuh gemuk seperti patung Ji-lai-hud, dengan muka yang bulat lebar, sepasang mata yang lebih banyak menunduk setengah terpejam, gerak-gerik yang halus pendiam. Sesuai dengan sifatnya, Thian Sun Hwesio ini mewakili suhu-nya untuk mengepalai bagian keagamaan, selain menjadi ketua kuil juga dialah yang menjadi guru besar pelajaran agama.

Yang ke dua ialah Thian Bi Hwesio, berusia lima puluh tahun, beberapa tahun lebih muda dibandingkan Thian Sun Hwesio, dan hwesio ini bertubuh menyeramkan, tinggi besar dan berkulit hitam, nampak kokoh kuat seperti batu karang, dengan mata yang lebar menatap tajam, sikapnya kaku dan kata-katanya parau nyaring, wataknya jujur dan penuh disiplin. Hwesio inilah yang diserahi tugas mengajar ilmu silat kepada para murid.

Ada pun hwesio ke tiga ialah Thian Bun Hwesio, berusia lima puluh tahun pula, bertubuh tinggi kurus, sikapnya ramah sekali dan gerak-geriknya pun halus. Hwesio ini mengepalai bagian pelajaran sastera dan dia pula yang bertugas menerima tamu serta berhubungan dengan orang luar.

Sebagai murid-murid utama dari Thian Khi Hwesio, tentu saja ilmu kepandaian silat dari tiga orang hwesio ini sudah tinggi dan mereka itu memiliki keistimewaan masing-masing. Di samping tiga orang hwesio sebagai murid utama ini tentu saja masih terdapat belasan orang hwesio pandai yang setingkat lebih rendah dari pada mereka bertiga, namun bagi orang luar, tiap orang hwesio Siauw-lim-si, mulai dari tukang membersihkan lantai sampai tukang kebun, rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh.

Pada saat hwesio yang tadi menerima Han Houw melapor ke dalam, para hwesio yang tadinya dalam keadaan tenang seperti biasanya itu, menjadi panik. Siapa orangnya tidak menjadi panik apa bila mendengar bahwa pangeran istana kerajaan menjadi tamu secara begitu tiba-tiba? Seorang pangeran adalah seorang yang amat tinggi kedudukannya, tidak boleh disamakan dengan pembesar-pembesar biasa setempat. Maka para hwesio itu lalu melapor kepada Thian Bun Hwesio.

Hwesio tinggi kurus ini juga terkejut dan karena Thian Sun Hwesio pada saat itu sedang bersemedhi dan tak boleh diganggu, maka Thian Bun Hwesio lalu mengajak suheng-nya, Thian Bi Hwesio yang tinggi besar untuk menemaninya menyambut tamu agung itu.

Han Houw sudah hampir hilang sabar dan dia merasa jengkel juga ketika akhirnya pintu sebelah dalam itu terbuka lalu muncul dua orang hwesio tua dari dalam. Dia tinggal duduk saja dengan sikap angkuh, matanya yang mencorong menatap kepada dua orang hwesio itu.

Thian Bun Hwesio dan Thian Bi Hwesio juga memandang dan diam-diam mereka terkejut melihat mata yang mencorong dari pemuda itu. Sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi tentu saja mereka mengerti apa artinya sepasang mata yang mengeluarkan cahaya mencorong itu dan mereka terheran-heran, juga menduga-duga. Mungkinkah ada seorang pangeran istana yang memiliki sinkang sedemikian kuatnya sehingga kekuatan itu sampai nampak pada sepasang matanya yang mencorong seperti mata naga? Ataukah hanya kebetulan saja?

Dua orang hwesio itu cepat memberi hormat dengan membungkukkan tubuh, lalu dengan suara halus dan muka ramah Thian Bun Hwesio kemudian berkata, "Harap paduka sudi memaafkan pinceng sekalian karena tidak tahu akan kunjungan yang terhormat ini, maka pinceng terlambat menyambut dan tidak ada persiapan. Tentu saja pinceng sekalian amat terkejut dan heran mendengar kunjungan seorang pangeran yang mulia tanpa pengiring dan berita terlebih dahulu." Dalam kata-kata ini terkandung pertanyaan-pertanyaan karena keganjilan kunjungan itu.

Han Houw juga mengetahui akan keanehan kunjungannya sebagai seorang pangeran ini, akan tetapi dia tidak peduli dan dia langsung bertanya, "Siapakah di antara ji-wi locianpwe ini yang menjadi ketua Siauw-lim-pai? Aku hanya ingin bertemu dan bicara kepadanya."

Dua orang hwesio itu saling lirik. Pemuda ini menyebut mereka Locianpwe, sebutan yang biasanya hanya dilakukan di kalangan persilatan sebagai tanda menghormat orang yang tingkat tinggi, orana-orang biasa tentu akan menyebut mereka losuhu saja, sebutan bagi para pendeta. Hal ini tentu saja semakin membingungkan sehingga menimbulkan banyak dugaan. Apakah pangeran ini seorang ahli silat? Melihat kedua matanya yang mencorong dan mendengar sebutan itu, sangat boleh jadi.

Thian Bun Hwesio menjura dengan penuh hormat. "Harap paduka sudi memaafkan kami, pada saat ini, suhu kami tidak berada di sini."

"Bukankah ketua Siauw-lim-pai bernama Thian Khi Hwesio? Ke manakah beliau pergi?"

Tidak mengherankan kalau orang mengenal nama ketua Siauw-lim-pai atau guru mereka. Akan tetapi pemuda yang mengaku pangeran ini berkeras hendak menemui guru mereka, inilah yang mengherankan. Akan tetapi, benarkah pemuda ini seorang pangeran? Hal ini harus dibuktikannya lebih dulu.

"Suhu Thian Khi Hwesio sedang mengadakan perjalanan ke selatan, akan tetapi setahu kami, suhu tidak pernah berurusan dengan fihak istana kerajaan. Oleh karena itu, apa bila memang ada urusan dari istana, kiranya paduka dapat mengurus hal itu dengan pinceng sebagai murid dan sebagai wakilnya. Pinceng Thian Bun Hwesio dan ini suheng Thian Bi Hwesio adalah murid-murid beliau yang telah mendapat wewenang untuk mewakili beliau mengurus segala sesuatu atas nama Siauw-lim-pai. Tidak tahu ada hal penting apakah seorang pangeran kerajaan seperti paduka sampai datang mencari suhu?"

Ucapan yang panjang lebar itu jelas berbau kecurigaan namun dia tidak peduli. Dengan nada suara dingin dia berkata, "Aku Pangeran Ceng Han Houw adalah adik Kaisar Ceng Hwa. Ji-wi locianpwe mau percaya atau tidak terserah. Akan tetapi kedatanganku ini tidak membawa urusan kerajaan, melainkan urusan pribadi dengan ketua Siauw-lim-pai, Thian Khi Hwesio."

Lega rasa hati Thian Bun Hwesio mendengar ini. Tadinya dia khawatir kalau-kalau ada urusan dengan pemerintah dan ini tentu saja akan melibatkan Siauw-lim-pai dalam urusan yang amat tidak enak. Kiranya pemuda tampan yang mengaku pangeran ini datang untuk urusan pribadi dan melihat keadaan dan sikapnya, sangat boleh jadi kalau pangeran ini hendak minta belajar silat dari ketua Siauw-lim-pai!

Tentu itulah kehendaknya, karena memang tidak jarang ada putera-putera bangsawan, bahkan dari istana, yang datang untuk mempelajari ilmu silat dari Siauw-lim-pai. Sikapnya menjadi makin ramah karena kelapangan hatinya.

Pada saat itu pula, seorang hwesio yang memang tadi sudah dipesan, datang membawa cangkir-cangkir teh yang dihidangkannya ke atas meja. Thian Bun Hwesio dengan ramah mempersilakan tamunya minum. Kemudian dia berkata dengan wajah berseri,

"Bila mana paduka mempunyai urusan pribadi, dapat paduka sampaikan kepada pinceng. Andai kata suhu sedang ada di sini pun, tentu pelaksanaannya akan suhu berikan kepada pinceng. Ada keperluan apakah gerangan yang membuat paduka jauh-jauh datang ke kuil Siauw-lim-si kami?"

Mendengar ini, Han Houw yang telah minum teh yang dihidangkan itu, kini memandang kepada mereka berdua penuh perhatian, terutama Thian Bi Hwesio yang bertubuh tinggi besar dan bersikap kereng dan pendiam itu. Kemudian dia mengajukan pertanyaan yang membuat kedua orang hwesio itu terkejut, "Apakah ji-wi locianpwe yang mewakili ketua Siauw-lim-pai merupakan murid-murid utama?"

Thian Bun Hwesio hanya mengangguk.

"Ahhh, kalau begitu tentu ji-wi memiliki ilmu silat yang paling tinggi di antara semua murid Siauw-lim-pai?"

Thian Bun Hwesio tersenyum. "Ahh, orang-orang yang lemah seperti kami ini mana berani mengatakan memiliki kepandaian tinggi? Siauw-lim-pai amat luas dan mempunyai ribuan orang murid yang tersebar di seluruh negeri, maka sulit untuk mengukur siapa yang lebih tinggi kepandaiannya. Bahkan suhu sendiri tentu tidak berani menganggap diri terpandai di antara para murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi kalau hanya di kuil ini, tentu saja suhu yang paling pandai dan pinceng sekalian adalah murid-murid utamanya."

"Bagus sekali! Jika begitu ji-wi locianpwe merupakan orang yang terpandai di sini setelah ketua Siauw-lim-pai!" Han Houw berkata girang.

Kenyataan ini menggirangkan hatinya yang tadi kecewa mendengar bahwa ketua Siauw-lim-pai sedang pergi. Setidaknya kalau dia sudah mampu menghadapi murid-murid utama Siauw-lim-pai, sudah cukuplah sebagai langkah-langkah pertama menuju kepada sebutan Jagoan Nomor Satu di dunia!
Selanjutnya,