Pendekar Lembah Naga Jilid 31

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Episode Pendekar Lembah Naga Jilid 31 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pendekar Lembah Naga Jilid 31

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Sin Liong berjungkir balik ketika turun ke atas tanah, akan tetapi dia melihat betapa Bi Cu sudah ditolong oleh Han Houw yang tadi dengan cekatan telah menyambut tubuh dara itu dengan tangkas. Sin Liong merasa bersyukur, akan tetapi betapa kaget hatinya ketika dia melihat Han Houw menangkap kedua lengan dara itu dan ditelikungnya ke belakang.

"Houw-ko... apa yang kau lakukan itu...?!" bentaknya.

Para anggota pasukan langsung mengurungnya dengan senjata ditodongkan, akan tetapi Han Houw membentak mereka, menyuruh mereka itu mundur. Kim Hong Liu-nio hanya memandang dengan senyum dingin, agaknya wanita ini sengaja membiarkan saja segala yang dilakukan oleh sute-nya yang juga merupakan junjungannya.

"Pangeran, sebaiknya kita bunuh saja bocah keparat ini!" kata Kim Hong Liu-nio perlahan sambil memandang kepada Sin Liong. Semenjak Han Houw menjadi pangeran di dalam istana Kerajaan Beng, suci ini menyebut pangeran terutama sekali di tempat umum.

Sambil tersenyum Han Houw menoleh kepada perempuan cantik itu. "Ehh, suci, apa kau lupa bahwa dia itu adik angkatku yang tercinta? Siapa yang berani membunuhnya akan berhadapan dengan aku sendiri! Bukankah begitu, Liong-te? Bukankah kita sudah saling bersumpah sebagai kakak beradik?"

"Memang benar, Houw-ko, akan tetapi sikapmu ini sungguh tidak dapat dinamakan sikap seorang kakak angkat yang baik. Hayo kau lepaskan Bi Cu."

"Nona ini? Ha-ha, dia ini cantik dan gagah pula, pantas kalau engkau jatuh cinta padanya, Liong-te..."

"Jangan bicara yang tidak-tidak!" Sin Liong langsung memotong dan wajahnya berubah merah sekali. Ada pun Bi Cu meronta-ronta hendak melepaskan kedua tangannya, akan tetapi tangan yang memegang kedua pergelangan tangannya itu terlalu kuat baginya.

"Ha-ha, engkau masih seperti dulu, Liong-te, kokoh kuat seperti batu karang, dingin beku seperti es di musim salju. Akan tetapi sekali api cinta membakar hatimu, engkau segera berkobar bagaikan lautan api. Ha-ha-ha! Liong-te, aku terpaksa menawan dia ini supaya engkau tidak melakukan kenekatan yang bukan-bukan. Jika engkau menyerah baik-baik, maka aku tidak akan mengganggu dia ini."

Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia memang suka terhadap Han Houw dan dia percaya kepada pangeran ini, akan tetapi dia juga tahu bahwa pangeran ini mempunyai watak aneh luar biasa dan kalau sudah hendak membunuh orang, agaknya sama seperti kalau membunuh ayam saja.

"Kau berjanji akan membebaskan dia?"

"Aku berjanji, asal engkau menyerah dan engkau penuhi pula permintaanku yang patut."

"Permintaanmu yang patut?" Sin Liong tersenyum mengejek.

"Benar-benar patut dan sudah semestinya. Akan kukatakan kepadamu nanti, akan tetapi agar tetap aman, engkau menyerah. Suci, totok dia dan Sin Liong, jika engkau melawan, maka nona ini akan kubunuh lebih dulu!"

Kim Hong Liu-nio tersenyum mengejek. "Apa sukarnya untuk merobohkan setan cilik ini, pangeran?" Sesudah berkata demikian, wanita itu menghampiri Sin Liong lantas tangan kirinya bergerak cepat sekali.

Kalau Sin Liong mau, tentu saja dia akan dapat mengelak atau menangkis, akan tetapi dia melihat sinar mata dari Han Houw dan dia tidak berani berkutik. Dia tahu betul bahwa sekali dia melawan, sekali pukul saja Han Houw akan mampu membunuh Bi Cu! Maka dia menyimpan tenaganya dan membiarkan dirinya ditotok. Begitu dua jari tangan Kim Hong Liu-nio mengenai tubuhnya, maka robohlah Sin Liong dalam keadaan lumpuh, tak mampu menggerakkan kaki tangannya.

"Ha-ha-ha, mari kita bicara baik-baik dalam rumah, Liong-te. Ringkus dia dan belenggu baik-baik, juga nona ini!"

Tiba-tiba Bi Cu merasa pundaknya ditekan dan dia pun mengeluh lirih, lalu terguling dan lumpuh karena dia telah ditotok pula oleh Han Houw. Para prajurit cepat mengikat kedua kaki tangan Sin Liong dan Bi Cu, mengikat kedua tangan ke belakang tubuh, kemudian beramai-ramai mereka menggotong kedua orang tawanan itu memasuki sebuah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah nelayan itu, karena ini adalah rumah kepala dusun itu.

Atas perintah Han Houw, Bi Cu yang dibelenggu kaki tangannya itu dibawa ke dalam sebuah kamar dan direbahkan ke atas pembaringan, sedangkan Sin Liong didudukkan di atas sebuah bangku ruangan luar, di mana terdapat sebuah meja dan Han Houw duduk di atas kursi di belakang meja itu dengan lagak bagai seorang hakim yang hendak mengadili seorang pesakitan.

Pangeran ini lalu melepaskan topinya karena hawa dalam rumah itu agak panas, bahkan juga melepaskan baju bulunya dan memakai pakaian biasa dari sutera tipis sehingga dia kelihatan lebih tampan. Sambil tersenyum dia lalu memandang kepada Sin Liong, lantas memberi isyarat dengan tangan agar para pengawal yang menjaga di ruangan itu pergi semua.

Tanpa diminta, Kim Hong Liu-nio yang tadinya duduk pula di sudut, mengangkat pundak kemudian pergi meninggalkan ruangan itu. Wanita ini maklum pula bahwa sang sute yang menjadi junjungannya itu ingin berbicara berdua saja dengan tawanannya, maka sebelum sute itu minta dia pergi, dia telah mendahuluinya meninggalkan ruangan. Meski pun Ceng Han Houw seorang pangeran yang sudah sepantasnya memerintah dia, namun dia selalu merasa tidak enak kalau diperintah pangeran yang menjadi sute-nya ini, apa lagi di depan para prajurit atau orang-orang lain.

Sin Liong masih dalam keadaan terbelenggu dan tertotok. Jika dia menghendaki, agaknya dia akan mampu membebaskan diri dari totokan itu, apa lagi dari belenggu yang baginya tidak banyak berarti itu.

Akan tetapi Sin Liong bukanlah orang yang bodoh untuk bertindak ceroboh. Dia pun tahu bahwa keselamatan Bi Cu terancam bahaya, maka dia berpura-pura tidak berdaya sambil memikirkan bagaimana cara sebaiknya untuk menolong Bi Cu dan pergi membebaskan diri dari Han Houw dan pasukannya. Untuk melawan dengan kekerasan, amat berbahaya bagi keselamatan Bi Cu. Dia sendiri tidak takut menghadapi Han Houw, Kim Hong Liu-nio dan pasukannya, akan tetapi bagaimana dengan Bi Cu? Apa artinya dia dapat lolos kalau dara itu tertawan!

Han Houw kini tertawa dengan sikapnya yang khas, tertawa dan tersenyum lepas hingga wajahnya semakin menarik dan tampan. Sepasang matanya yang tajam itu memandang wajah Sin Liong ketika dia tertawa.

"Ha-ha-ha, sungguh tak kuduga kita akan saling berhadapan seperti ini, kau terbelenggu seperti seorang musuh! Rasanya bagai mimpi saja, atau seperti sedang main sandiwara!" Kembali pangeran itu tertawa seperti orang yang merasa amat geli melihat peristiwa yang lucu.

"Hemm, aku sendiri juga merasa sangat heran, Houw-ko, kenapa engkau melakukan hal seperti ini kepadaku setelah dahulu engkau mengajakku untuk bersembahyang dan saling bersumpah menjadi kakak dan adik angkat," Sin Liong berkata dengan suara dan sikap dingin.

Han Houw mengangkat alis, membelalakkan mata dan mengembangkan dua lengannya. "Aih, kenapa engkau malah menyalahkan aku, Liong-te? Aku selalu baik kepadamu, akan tetapi pada suatu waktu yang lalu engkau bahkan pergi meninggalkan aku tanpa pamit! Kemudian engkau juga merendahkan namaku dengan menjadi seorang pelayan restoran di kota raja. Adik angkatku menjadi pelayan restoran, bukankah itu berarti engkau hendak menyeret namaku ke dalam lumpur? Bukan itu saja, malah keluarga Cia, termasuk ayah kandungmu, Cia Bun Houw itu, semua menjadi pemberontak, melawan pemerintah dan membunuh banyak orangnya pemerintah sehingga tentu saja sebagai keluarga dari Cia Bun Houw itu engkau ikut terseret! Dan sesudah engkau dikepung dan nyaris tenggelam akulah yang menolongmu! Nah, katakan salah siapa semua ini?"

Sin Liong tahu akan kelihaian kakak angkatnya ini memutar lidah, maka dia merasa tidak perlu untuk menanggapi.

"Sudahlah, Houw-ko, sekarang katakan apa kehendakmu setelah engkau menawan kami berdua?" Dia tahu bahwa tentu Han Houw ingin minta dia melakukan sesuatu yang amat penting bagi pangeran itu, dan sebagai sandera atau cara untuk memaksanya maka Bi Cu ditawan.

"Hemm, agaknya engkau tergesa-gesa ingin melihat dara itu bebas, Liong-te! Ah, sebagai kakak angkatmu, aku berhak pula mengetahui apakah dia itu patut menjadi calon iparku? Memang dia cantik manis, akan tetapi aku mendengar bahwa dia itu berjuluk Kim-gan Yan-cu dan menjadi pemimpin para pengemis! Engkau memilih seorang wanita pengemis untuk menjadi jodohmu? Ahh, apakah tidak ada wanita lain di dunia ini, Liong-te? Biar pun dia cantik manis, akan tetapi..."

"Sudahlah, Houw-ko, aku tidak mau berbantahan lagi. Dia bukan apa-apaku, dan karena bukan apa-apa itulah maka aku tidak ingin dia celaka karena aku. Kau bebaskan dia dan mari kita bicara baik-baik."

"Ha-ha-ha, engkau cinta padanya! Benar, aku dapat melihat ini! Sungguh heran, padahal kalau engkau menginginkan seorang isteri, aku dapat memilihkan salah seorang di antara puteri-puteri istana yang cantik-cantik. Akan tetapi kata orang, cinta memang buta! Dan karena engkau mencinta gadis itulah maka dia kutawan, karena hendak kutukar dengan sesuatu darimu."

"Lekas kau katakan, apakah kehendakmu, Pangeran Ceng Han Houw?!" bentak Sin Liong marah.

Pangeran itu mengerutkan alisnya mendengar sebutan itu. "Liong-te, apa engkau sudah melupakan dan hendak melanggar sumpah kita bahwa kita telah mengangkat saudara? Seorang gagah tidak akan melanggar janji dan sumpahnya sendiri!"

"Baikiah, Houw-ko, nah, lekas katakan, apakah kehendakmu sebenarnya?"

"Liong-te, kita adalah kakak dan adik angkat, maka sepatutnya harus duka sama dipikul dan suka sama dinikmati. Bukankah begitu? Nah, aku sangat tertarik akan kepandaianmu yang amat hebat itu, Liong-te. Maka, aku minta agar engkau suka menceritakan semua rahasia kepandaianmu itu, sebab menurut pengakuanmu, engkau adalah murid Ouwyang Bu Sek, akan tetapi kepandaianmu malah melebihi tingkat kepandaian Ouwyang Bu Sek, ini menurut penuturan Lam-hai Sam-lo. Nah, sekarang ceritakan terus terang kepadaku, dari mana engkau memperoleh kepandaian hebat itu? Kuharap engkau bersikap jujur!"

Sin Liong mengerutkan kedua alisnya. Tentu saja dalam keadaan biasa dia tidak akan mau membuka rahasia ini. Akan tetapi dia tahu bahwa keselamatan Bi Cu tergantung dari pertanyaan ini agaknya, maka dia menjadi bimbang.

"Dan engkau akan membebaskan gadis itu kalau aku menceritakannya kepadamu?"

"Tergantung dari sikapmu, Liong-te. Kalau engkau jujur, tentu saja akan kubebaskan dia. Aku tidak begitu gila untuk mengganggu gadis yang kau cinta."

Sin Liong marah mendengar ini, akan tetapi dia merasa tak perlu untuk berbantah tentang hal itu. "Baiklah, aku percaya bahwa engkau masih memiliki kegagahan untuk memegang janjimu."

Dulu pada saat melakukan perjalanan bersama pangeran itu, Sin Liong pernah bercerita bahwa dia dibimbing ilmu silat oleh Ouwyang Bu Sek, suheng-nya itu, dan bahwa dia tak pernah bertemu dengan gurunya yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, akan tetapi dia tak pernah memberi penjelasan lebih jauh tentang cara dia mempelajari ilmu-ilmu yang aneh itu. Dia tahu bahwa pangeran itu amat tertarik, bahkan sudah menyatakan ingin berguru kepada manusia dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw namun belum pernah dilihatnya sendiri itu, dan kini pangeran itu minta penjelasan.

"Seperti yang telah kuceritakan kepadamu dahulu, Houw-ko, aku mempelajari ilmu silat di bawah bimbingan dan petunjuk suheng Ouwyang Bu Sek. Sebetulnya dialah guruku, akan tetapi dia tidak mau disebut guru, minta disebut suheng karena katanya aku sebetulnya juga murid Bu Beng Hud-couw seperti dia! Akan tetapi, seperti telah kuceritakan padamu, aku sendiri selama hidupku belum pernah bertemu atau melihat suhu Bu Beng Hud-couw itu."

"Hemm...!" Han Houw mengerutkan alisnya karena merasa tidak puas dengan keterangan yang memang pernah didengarnya ini. "Tentu ada sesuatu yang menyebabkan Ouwyang Bu Sek tidak mau disebut guru, dan kenyataannya, kepandaianmu lebih tinggi dari pada dia. Sebagai sute-nya, apa lagi muridnya, tidak mungkin kepandaianmu dapat melampaui dia. Ceritakan terus terang, Liong-te."

Sin Liong menarik napas panjang. Tak mungkin dia menyembunyikan lagi. Pangeran ini terlampau cerdik, dan Bi Cu berada di tangannya. "Baiklah, Houw-ko. Sesungguhnya hal ini merupakan rahasia, akan tetapi apa boleh buat, kepadamu akan kuceritakan dengan terus terang. Suheng Ouwyang Bu Sek memiliki simpanan kitab-kitab dari suhu Bu Beng Hud-couw dan aku sudah mempelajari kitab-kitab itu, sedangkan suheng yang sudah tua tidak mau mempelajarinya, akan tetapi tentu saja aku mempelajarinya atas petunjuk dan bimbingannya."

"Ahhh...! Begitukah?" teriak Han Houw dengan girang. "Di mana adanya kitab-kitab itu?"

"Kitab-kitab itu telah dibakar oleh suheng."

"Ahhh...! Akan tetapi Ouwyang Bu Sek tentu masih menyimpan kitab-kitab lain atau minta kitab-kitab lain dari suhu-nya yang sangat luar biasa itu! Liong-te, sekarang engkau harus membawaku kepada Ouwyang Bu Sek dan membujuknya supaya dia suka menerimaku sebagai muridnya atau sute-nya, mempelajari ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw!"

Sin Liong terkejut bukan main, kemudian menggeleng kepalanya. "Hal itu tidak mungkin, Houw-ko!"

Wajah yang tampan itu menjadi muram. "Liong-te, engkau lupa bahwa aku adalah kakak angkatmu sendiri? Dan engkau tidak ingin membantuku untuk memenuhi cita-citaku, yaitu menjadi jagoan nomor satu di dunia ini?"

"Bukan begitu, Houw-ko. Akan tetapi aku tidak berani, karena suheng sudah memesan agar jangan bicara dengan orang lain tentang suhu dan kitab-kitab itu."

"Akan tetapi aku bukan orang lain! Aku adalah kakak angkatmu!"

"Houw-ko, kau mintalah yang lain akan tetapi jangan itu. Bagaimana kalau sampai suheng marah kepadaku?"

"Aku hanya ingin mewarisi ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, mengapa dia akan marah? Dan engkau akan membantuku hingga berhasil, hingga mau menerimaku dan memintakan ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, engkau harus membantuku!"

"Eh, apa maksudmu?" Sin Liong memandang tajam melihat sikap keras dan suara penuh ancaman itu.

"Mari kau lihat sendiri!" Han Houw lalu mengangkat tubuh Sin Liong, dibawanya masuk ke dalam kamar di mana terdapat Bi Cu yang masih terlentang dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya.

Dara itu memandang dengan mata terbelalak pada saat melihat Han Houw membawa Sin Liong masuk kemudian membelenggu kedua tangan Sin Liong pada tiang yang berada di dalam kamar itu. Gadis itu masih dalam keadaan setengah lumpuh oleh totokan sehingga hanya dapat menggerakkan tubuhnya sedikit saja, ada pun kedua pergelangan tangannya masih dibelenggu ke belakang punggungnya, demikian pula kedua pergelangan kakinya telah dibelenggu, sedangkan sepatunya telah dicopot dari kedua kakinya.

"Houw-ko, apa yang hendak kau lakukan ini?" tanya Sin Liong dengan wajah mengandung kekhawatiran.

Han Houw tersenyum dan menengok ke arah pembaringan di mana tubuh Bi Cu rebah terlentang. "Kau tentu tidak ingin melihat dia terganggu, bukan?"

"Maksudmu?!" Sin Liong membentak.

"Berjanjilah bahwa engkau hendak membantuku sampai aku diterima oleh Ouwyang Bu Sek!"

"Sejak tadi sudah kukatakan bahwa hal itu tak mungkin dapat kulakukan!" kata Sin Liong memancing, untuk melihat apa yang akan dilakukan pangeran itu kalau dia menolak.

"Kalau engkau menolak, maka terpaksa engkau akan melihat dia ini kuperkosa di depan matamu!"

Sin Liong terbelalak. "Tidak, tak mungkin engkau mau melakukan itu! Aku tidak percaya, hanya gertak kosong belaka!"

"Gertak kosong, ya? Nah, kau boleh lihat!"

Pangeran itu dengan tersenyum lalu melangkah menghampiri pembaringan di mana Bi Cu rebah terlentang dengan kedua mata terbelalak dan muka pucat. Kemudian setelah dekat, dengan cepat tangannya meraih ke arah dada Bi Cu.

Dara ini menjerit kemudian menggulingkan tubuhnya. Biar pun tubuhnya masih setengah lumpuh, tapi rasa takut mendatangkan tenaga tambahan dan tubuhnya dapat bergulingan menelungkup sehingga cengkeraman Han Houw kini mengenai leher bajunya.

"Breeetttt...!"

Sekali renggut saja baju Bi Cu sudah terobek berikut pakaian dalamnya sehingga nampak punggungnya yang telanjang, putih mulus.

"Jangan...! Houw-ko, jangan...! Aku menerima permintaanmu!" Sin Liong berseru.

Sekali renggut saja, kedua tangannya telah terlepas dari belenggu, demikian pula kedua kakinya. Akan tetapi, Han Houw juga sudah menubruk Bi Cu dan menaruh cengkeraman tangannya ke arah ubun-ubun kepala dara itu.

"Kau maju, dia mati!" katanya tenang.

Diam-diam pangeran ini terkejut dan kagum sekali melihat betapa pemuda itu sekaligus dapat membebaskan totokan dan juga dapat mematahkan belenggu kaki tangannya. Sin Liong tersentak kaget dan berdiri tak bergerak.

"Aku sudah berjanji kepadamu maka kau lepaskan gadis itu, Houw-ko!"

"Tidak, engkau harus bersumpah dulu bahwa engkau akan berusaha sampai aku berhasil diterima oleh Ouwyang Bu Sek menjadi muridnya."

"Baiklah, aku bersumpah untuk berusaha sampai engkau diterima menjadi muridnya dan sekarang kau lepaskan dia."

"Demi nama baik ayah dan ibu kandungmu!" Pangeran itu menyambung.

Sin Liong merasa penasaran sekali. Pangeran itu tidak percaya kepadanya!

"Baik, demi nama baik ayah dan ibu kandungku!"

Han Houw tertawa girang dan turun dari atas pembaringan. "Terima kasih, Liong-te. Aku memang sudah yakin engkau akan memenuhi permintaanku!"

"Dan sekarang, kau bebaskan dia!"

Han Houw bertepuk tangan dan muncullah lima orang pengawal. "Carikan pakaian untuk nona ini. Cepat!"

Lima orang pengawal itu memberi hormat dan cepat keluar. Tak lama kemudian mereka telah datang kembali membawa pakaian yang diminta itu, kemudian mereka keluar lagi.

"Nah, kau boleh bebaskan dia dan memberi pakaian ini untuk kekasihmu itu, Liong-te. Aku menanti di luar."

Setelah berkata demikian. Han Houw tersenyum dan melangkah keluar dari dalam kamar, sengaja menutupkan daun pintu dan membiarkan Sin Liong berdua saja dengan Bi Cu di dalam kamar itu.

Bi Cu tadi mendengarkan semua percakapan itu, akan tetapi dia tidak tahu betapa Sin Liong telah membikin putus semua belenggu kaki tangannya. Kini, dia merasa betapa Sin Liong melepaskan ikatan kedua tangan dan kakinya dan tiba-tiba dia merasa jalan betapa jalan darahnya mengalir kembali dengan normal sehingga dia dapat menggerakkan kaki tangannya. Bi Cu tidak tahu bahwa ketika melepaskan ikatan kedua pergelangan tangan tadi, seperti tidak sengaja jari tangan Sin Liong menekan punggung dan membebaskan totokan yang membuat Bi Cu lumpuh.

"Apa yang kau janjikan tadi, Sin Liong?" Bi Cu berbisik ketika dia sudah lepas dari ikatan.

Kini dia telah memakai baju yang diberikan oleh Han Houw tadi. Hanya bajunya saja yang dipakainya, karena celananya sendiri tidak ikut terobek. Dia tidak peduli betapa pakaian dalamnya juga ikut robek, dan dia hanya menutupi tubuhnya dengan baju itu yang cukup tebal, baju seorang wanita petani yang kuat.

"Tidak apa-apa, Bi Cu. Engkau sudah bebas maka cepatlah engkau pergi jauh-jauh dari tempat ini."

"Dan kau?"

"Aku tidak dapat ikut pergi."

"Kalau begitu aku tidak mau! Kita berdua mengalami mala petaka, kita senasib, mana mungkin sekarang aku harus menyelamatkan diri sendiri dan pergi meninggalkan engkau di tangan mereka yang jahat? Tidak, kita harus lari berdua, atau mati berdua. Mari kau ikut lari bersamaku!" Bi Cu menengok ke arah jendela dan memegang tangan Sin Liong hendak ditariknya untuk diajak lari.

"Engkau tidak mungkin bisa melarikan diri seperti itu, Bi Cu. Tempat ini sudah terkurung oleh pasukan. Engkau harus mengambil jalan dari pintu dan pergi biasa. Mereka tak akan mengganggumu karena sudah berjanji kepadaku."

"Tapi..." Bi Cu membantah dan dia meloncat ke tepi jendela, membuka daun jendela dan memandang keluar. Benar saja, di sana berdiri deretan pasukan yang berbaris rapi dan ketat, dengan senjata di tangan.

"Ihhhh...!" Dia menjerit lirih dan menutupkan kembali daun jendela. "Kau benar, banyak pasukan menjaga di sana."

"Sudahlah, Bi Cu, kau pergilah, mari kuantar keluar. Kita harus berpisah di sini sekarang, berpisah sementara. Aku harus ikut dengan mereka."

"Tapi..." Bi Cu kini memegang kedua tangan Sin Liong dan memandang wajah pemuda itu. "Kapan kita dapat saling jumpa kembali...?"

Sin Liong tersenyum. "Kita pasti berjumpa kembali kelak. Nah, sekarang kau pergilah dan hati-hatilah, Bi Cu, jangan bertualang dengan para pengemis itu, dan juga jangan mencari permusuhan karena di dunia ini banyak orang jahat yang lihai sekali. Mari kuantar kau keluar."

Mereka lalu melangkah keluar, dan ternyata Han Houw sudah menunggu di luar. Melihat pangeran ini, sepasang mata Bi Cu bersinar penuh kemarahan dan dua pipinya menjadi merah. Han Houw tersenyum, lalu menjura dengan lembut.

"Nona, harap engkau suka maafkan segala yang telah terjadi tadi, percayalah bahwa aku tetap menghormatmu sebagai kekasih adik angkatku..."

"Houw-ko! Hentikan ucapan seperti itu!" Sin Liong berseru marah.

Pangeran itu hanya tersenyum, lantas mengantar mereka keluar sampai di depan rumah, baru Bi Cu melihat bahwa di sana banyak sekali prajurit yang sudah mengepung rumah itu sehingga kalau menggunakan kekerasan untuk melarikan diri jelas amat sukar.

"Nah, pergilah engkau, Bi Cu dan selamat jalan," kata Sin Liong sambil melirik ke arah Kim Hong Liu-nio yang berdiri di samping.

"Tapi... tapi engkau...," Bi Cu berkata lirih.

"Jangan hiraukan aku, kita kelak akan saling jumpa kembali. Selamat jalan."

"Ha-ha-ha, perpisahan antara dua orang yang diam-diam sudah saling mencinta, betapa mengharukan!" kata Han Houw.

Hampir saja Sin Liong lupa diri dan sepasang tangannya sudah terkepal. Dia mendengar gerakan di sebelah kiri maka tahulah dia bahwa Kim Hong Liu-nio juga sudah siap untuk menerjang apa bila dia menyerang sang pangeran.

"Houw-ko, engkau harus berjanji lebih dulu bahwa engkau dan anak buahmu tidak akan mengganggu Bi Cu, kalau engkau tidak mau berjanji, sampai bagaimana pun aku tidak akan membawamu kepada Ouwyang Bu Sek!"

Melihat sikap pemuda ini kemudian mendengar suaranya yang keras serta mengandung ancaman, Han Houw lalu tersenyum dan berkata, mengangkat tangan kanannya dengan penuh lagak, "Baik, aku berjanji bahwa aku dan anak-anak buahku tak akan mengganggu nona ini." Suaranya lantang sehingga terdengar oleh semua prajurit. Barulah lega hati Sin Liong mendengar ini.

"Nah, pergilah, Bi Cu."

Nona itu nampak ragu-ragu, memandang kepada Sin Liong dengan khawatir, kemudian dia mengangguk dan berlari dari sana melewat jalan di mana berbaris pasukan di kanan kirinya. Setelah jauh, sebelum membelok, dia berhenti dan menengok, melihat Sin Liong masih berdiri mengikutinya dengan pandangan matanya, dan di sebelah Sin Liong berdiri pangeran itu dan wanita cantik yang amat lihai itu. Kemudian dia melanjutkan larinya dan membelok di tikungan jalan, lalu lenyap dari pandang mata Sin Liong yang menarik napas panjang karena hatinya merasa lega. Yang paling penting adalah keselamatan Bi Cu dan setelah dara itu bebas, barulah hatinya lega.

"Nah, kapan kita berangkat ke selatan?" tanyanya kepada Han Houw.

"Besok pagi-pagi, aku harus membereskan urusan di kota raja dulu dan berunding dengan suci."

Sin Liong tidak peduli lagi. Dia lalu memasuki kamar untuk beristirahat dan mencari jalan bagaimana sebaiknya menghadapi Ouwyang Bu Sek, karena dia sudah berjanji dan dia harus berhasil membuat Han Houw diterima sebagai murid suheng-nya itu.

********************

Setelah Kaisar Ceng Hwa naik tahta, keadaan di Kerajaan Beng-tiauw kelihatan tenteram dan tenang, atau setidaknya demikianlah laporan-laporan yang diterima oleh Kaisar Ceng Hwa dari para bawahannya. Kaisar Ceng Hwa masih terlalu muda ketika naik tahta, masih hijau dan kurang pengalaman sungguh pun dia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjadi kaisar yang baik.

Memang, semenjak para thaikam tidak lagi berkuasa di kota raja dan terutama di istana, yaitu semenjak Kaisar Ceng Tung kembali menduduki tahta kerajaan, keadaan di istana tidaklah seburuk ketika para thaikam masih merajalela. Akan tetapi, setelah Kaisar Ceng Hwa menduduki tahta kerajaan, para thaikam kecil yang tadinya hanya bertugas sebagai pelayan-pelayan di dalam istana, terutama di dalam bagian-bagian di mana tinggal para puteri, mulai beraksi mendekati raja muda itu. Kaisar Ceng Hwa memang masih hijau dan mudah tergelincir oleh sikap dan kata-kata yang manis menjilat-jilat.

Kim Hong Liu-nio yang dianggap sebagai seorang wanita yang berjasa besar di istana, sudah menyelamatkan Kaisar Ceng Hwa ketika masih menjadi pangeran, kini merupakan seorang tokoh yang amat disegani dan juga dihormati di istana. Bahkan wanita ini, seperti juga Pangeran Ceng Han Houw, memperoleh kekuasaan istimewa untuk memasuki istana setiap waktu, bahkan diperbolehkan pula untuk menghadap kaisar tanpa dipanggil!

Kesempatan ini sekarang dipergunakan sebaiknya oleh Kim Hong Liu-nio. Seperti telah diketahui, wanita yang usianya sudah tiga puluh lima tahun itu akhirnya jatuh cinta kepada seorang pria yang tadinya selalu dipandang rendah. Dia jatuh cinta kepada Panglima Lee Siang, bahkan dengan suka rela sudah menyerahkan diri, menyerahkan kehormatannya kepada pria yang dicinta itu. Akan tetapi, seperti yang sudah diceritakan di bagian depan, kekasihnya itu, Panglima Lee Siang, tidak dapat lama menjadi pria pertama yang berada dalam pelukannya. Lee Siang tewas di tangan Lie Seng!

Sejak saat itulah, bukan saja Kim Hong Liu-nio mendendam sakit hati yang amat besar kepada keluarga Cin-ling-pai, yang tadinya hanya ditentangnya karena dia diperintah oleh gurunya. Kini dia sendiri mempunyai dendam pribadi atas kematian kekasihnya.

Di samping dendam ini, juga ada sesuatu yang tumbuh di dalam hatinya. Kalau dahulu dia bersikap dingin dan membenci pria, semenjak ia menyerahkan dirinya kepada Lee Siang, semenjak dia menikmati belaian dan pencurahan kasih sayang seorang pria, sesudah dia merasakan permainan cinta antara dia dengan Lee Siang, wataknya kini ternyata sudah berubah sama sekali.

Sikap dan pandang matanya pada kaum pria telah mengalami perubahan besar, terutama terhadap pria-pria muda dan tampan, dan di dalam sinar mata itu terkandung gairah nafsu yang amat besar! Wanita ini merasa amat tersiksa oleh gairah yang mendesak-desak ini, membuat dirinya selalu kehausan, haus akan belaian dan kasih sayang seorang laki-laki!

Padahal, apa bila melihat kenyataan betapa tadinya wanita ini hanya merupakan seorang dayang di kerajaan kecil pimpinan Raja Sabutai, sekarang sudah menjadi seorang wanita terhormat di istana Kerajaan Beng yang sangat besar, hidup terhormat dan mulia, segala kehendaknya tentu terlaksana, tentu semua orang condong mengatakan bahwa dia telah mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan hidup! Akan tetapi nyatanya tidaklah demikian keadaannya!

Memang merupakan kenyataan seperti terbukti dari catatan sejarah jaman dahulu sampai keadaan hidup di dalam masyarakat modern sekarang ini, bahwa manusia selalu menilai kebahagiaan hidup manusia dengan ukuran harta benda, kedudukan, nama besar, dan lain-lain nilai yang dianggap menyenangkan jasmani dan perasaan belaka. Sudah menjadi pendapat umum yang sudah diterima bahwa orang yang berhasil mengumpulkan harta benda disebut maju, mulia, senang, bahagia dan sebagainya.

Kalau seorang mengatakan bahwa si Polan sekarang sudah maju, sudah mulia hidupnya, sudah senang, dan sebagainya, tidak salah lagi bahwa yang dimaksudkannya itu adalah bahwa si Polan telah berhasil mengumpulkan harta benda, telah menjadi kaya raya, atau disebut sudah makmur hidupnya! Bahkan perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan sosial, budaya, politik, agama sekali pun, disebut maju apa bila gedungnya bertambah gagah. Pendeknya, semua penilaian diukur dari dasar harta benda!

Akan tetapi benarkah kenyataannya demikian, yaitu bahwa manusia akan hidup bahagia bila sudah berhasil mengumpulkan banyak harta benda? Berbahagiakah manusia kalau sudah mempunyai kedudukan tinggi? Berbahagiakah manusia kalau sudah memperoleh kekuasaan besar atas manusia-manusia lain, bila sudah tenar namanya, dan sebagainya lagi itu? Bila kita mau membuka mata melihat kenyataannya dan tidak secara membuta mengikuti serta menerima saja anggapan dan pendapat umum yang sudah lapuk dan berkarat itu, kita akan melihat keadaan yang sama sekali tidak demikian!

Memang harus diakui bahwa semua kemuliaan duniawi itu, kedudukan, kekuasaan, harta benda, nama besar, dapat mendatangkan kesenangan, tapi setiap kesenangan itu selalu tak terpisahkan dari kesusahan. Demikian pula semua itu jika dianggap sebagai sumber kesenangan, maka kenyataannya menjadi pula sumber kesusahan!

Ada yang mengatakan tidak mungkin! Marilah kita melihat kenyataannya! Harta benda, kedudukan, nama tenar, dan sebagainya itu hanya nampaknya saja menyenangkan bagi yang belum memilikinya. Akan tetapi bagi yang telah memilikinya, kesenangannya sudah hambar dan tidak terasa lagi. Bila yang belum memilikinya hanya membayangkan segi senangnya saja, maka yang memilikinya telah bosan dengan segi senangnya, merasakan pula secara langsung segi kebalikannya, yaitu segi susahnya.

Misalnya yang mempunyai harta bisa saja sewaktu-waktu kehilangan hartanya itu, yang berkedudukan kehilangan kedudukannya, yang namanya tenar kehilangan ketenarannya, dan membayangkan semua kehilangan ini saja sudah merupakan siksaan batin terhadap si pemilik. Hal ini tentu saja tidak dapat dirasakan oleh mereka yang belum memilikinya, namun akan terasa kebenarannya oleh mereka yang telah memilikinya. Memiliki sesuatu itu, yang nampaknya menyenangkan, merupakan ikatan, sehingga yang memiliki selalu akan menjaga miliknya itu, karena hanya yang memiliki saja yang akan dapat kehilangan!

Apakah dengan kenyataan ini, lalu kita harus menyingkirkan semua milik itu, menolak harta benda, kedudukan, ketenaran dan sebagainya? Tentu saja tidak! Melainkan kita harus mengerti dan sadar bahwa semua itu hanya merupakan semacam pakaian saja bagi manusia, bukan merupakan keperluan mutlak bagi kehidupan! Sadar dan mengerti pula dengan membuka mata memandang penuh kewaspadaan bahwa semua itu, kalau sampai menjadi ikatan di mana kita melekatkan batin, akan berbalik menjadi siksaan karena menimbulkan rasa takut akan kehilangan, menimbulkan duka kalau semua itu sampai terlepas dari tangan kita!

Pengertian inilah yang akan membebaskan kita dari ikatan, sehingga sungguh pun kita memiliki harta benda, memiliki kedudukan, atau memiliki nama yang tenar, kita tak akan mabok, tidak akan terikat, mengerti bahwa semua itu hanyalah sesuatu yang tidak abadi, sesuatu yang fana, yang sekali waktu dapat saja terlepas dari kita.

Pengertian ini yang membebaskan, sehingga kita tidak terikat oleh semua itu, tidak lagi semua yang dianggap sumber kesenangan itu berakar dalam hati sanubari kita. Karena, kalau sampai berakar segala sumber kesenangan itu dalam batin kita, kemudian suatu waktu semua itu dicabut, maka akar-akarnya akan tercabut dan membuat batin kita terluka dan berdarah sehingga timbuilah duka!

Tak mungkin ada kebahagiaan tanpa adanya kebebasan! Bebas bukan berarti kita lalu menjadi apatis, menjadi lemah, menjadi pessimis, atau menjadi pemurung yang putus asa. Sama sekali bukan! Bebas berarti tidak terikat oleh apa pun juga! Tentu saja yang dimaksudkan adalah ikatan batin! Sekali kita terikat, maka muncullah duka.

Kita bisa saja menjadi seorang berharta, bisa saja menjadi seorang berkedudukan tinggi, menjadi seorang yang tenar namanya. Namun semua itu kita punyai tanpa kita miliki, atau lebih jelas kita mempunyai semua itu hanya lahir belaka, tidak mendalam menjadi ikatan batin.

Apakah kita dapat membebaskan diri seperti ini? Jawabannya hanya dapat ditemukan di dalam penghayatan, karena jawaban tanpa penghayatan di dalam hidup kita sehari-hari hanya akan menjadi teori kosong belaka, menjadi bahan perdebatan untuk menonjolkan diri sebagai orang yang sok tahu!


Hemm... pusing, kan? Semua gara-gara nafsu Kim Hong Liu-nio mendadak jadi gede!

Kim Hong Liu-nio memang sangat cerdik. Dia tahu bahwa dia sudah memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat, sebab itu dia pun tidak mau merendahkan diri menuruti gairah rangsangan nafsu yang dibangkitkan oleh mendiang Panglima Lee Siang dan kemudian dipelihara dan dipupuk oleh pikirannya sendiri yang menghidupkan kembali kenikmatan itu melalui kenang-kenangan. Dia dapat menahan diri dan menanti saat yang baik.

Kemudian, sesudah melihat kelemahan kaisar muda yang tampan itu, wanita ini berlaku amat cerdik dan mulailah dia mendekati kaisar dan mempergunakan kecantikannya untuk memikat kaisar muda itu melalui lirikan matanya yang jeli, senyuman bibirnya yang merah merekah, dan melalui suaranya yang merdu merayu!

Pada jaman itu, kehidupan kaum bangsawan, dan terutama sekali kaisar, pada umumnya memang tidak terpisahkan dari kehidupan bersenang-senang, terutama sekali kehidupan sex bagi kaum prianya. Bagi kaum pria bangsawan ini, kaum wanita dianggap sebagai benda hidup yang kedudukannya hanya sebagai penghibur kaum pria, sebagai hal yang selain menjadi sumber kesenangan juga menjadi sumber kebanggaan.

Pada jaman itu, agaknya kaum wanita menyadari dan menerima saja kedudukan itu, dan pada sebagian kaum wanita, yang terpenting bagi mereka hanyalah mendapatkan suami yang berkedudukan tinggi atau pun yang kaya raya! Bagi sebagian besar di antara kaum wanita di jaman itu, lebih baik menjadi isteri muda yang ke sekian belas atau ke sekian puluh dari seorang pria tua bangsawan atau hartawan dari pada menjadi isteri tunggal seorang pria muda yang miskin tanpa kedudukan! Inilah sebabnya mengapa kaum pria tua yang bangsawan atau hartawan, sangat mudahnya mempunyai koleksi kaum wanita yang menjadi isteri-isteri mudanya, menjadi pelayan-pelayan yang setia, dan setiap waktu bisa saja memperpanjang deretan bini muda!

Terutama sekali kaisar! Bagi hampir semua wanita pada jaman itu, menjadi selir kaisar merupakan anugerah seperti bintang jatuh dari langit! Bahkan menjadi dayang saja sudah merupakan kehormatan besar yang diimpikan oleh hampir setiap orang dara!

Ini adalah akibat dari pemujaan yang melampaui batas terhadap sang kaisar, sehingga setiap orang ibu menggambarkan kehebatan kaisar serta kehidupan di istana itu kepada puteri-puterinya sejak mereka masih kecil, menjejalkan kesenangan-kesenangan yang tak mungkin dapat mereka rasakan, seperti kesenangan-kesenangan di dalam sorga saja, ke dalam kepala-kepala kecil itu sehingga tentu saja bagi anak-anak perempuan itu semakin dewasa makin menariklah gambaran tentang kehidupan yang sangat mulia itu.

Dari dalam kamar-kamar indah mewah istana kaisar inilah lantas mengalir perkembangan kehidupan sex yang lalu dijadikan kitab-kitab ilmu senggama dan tersebar luas hingga ke seluruh dunia!

Kaisar Ceng Hwa pun tak terkecuali. Dia menjadi kaisar dalam usia sembilan belas tahun, sedang menginjak usia remaja yang berkembang sehingga dia begitu mudah diperhamba oleh kesenangan-kesenangan sex yang seolah-olah didorong-dorongkan kepadanya oleh para pejilat dalam istana. Bahkan ibunya sendiri, ibu suri, mendatangkan guru-guru yang khusus bertugas mengajarkan hal-hal mengenai hubungan pria dan wanita kepada kaisar muda ini, dan beberapa orang wanita muda yang cantik dan berpengalaman dipilih untuk mengajarkan hal-hal itu dalam praktek kepada sang kaisar muda.

Hal seperti ini bukan merupakan dongeng, melainkan merupakan kenyataan yang tercatat di dalam sejarah. Demikianlah, tidak mengherankan bila dalam waktu singkat saja Kaisar Ceng Hwa, seperti juga para kaisar ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya, telah jatuh menjadi seorang hamba nafsu birahinya sendiri! Mulailah dia mencari-cari, memilih-milih di antara para puteri dayang-dayang dan dara-dara yang cantik jelita untuk mengisi harem istana, untuk secara bergilir atau berkelompok menghiburnya, melayaninya, baik di taman mau pun di dalam kamar tidurnya.

Kemudian muncullah Kim Hong Liu-nio! Pada suatu senja, seorang pengawal melaporkan kepada kaisar bahwa wanita ini mohon menghadap. Ketika itu kaisar sedang bersenang-senang di dalam taman dengan ditemani oleh lima orang selirnya yang paling disukanya. Kaisar itu duduk di pinggir kolam ikan, memberi makan ikan-ikan emas, dibantu oleh dua orang selirnya sedangkan yang tiga orang lainnya memainkan alat musik yang-khim dan suling, melagukan nada-nada merdu dari lagu yang romantis sehingga suasana menjadi romantis sekali.

Mendengar bahwa Kim Hong Liu-nio minta menghadap, kaisar cepat-cepat memberi tahu kepada para pengawal agar wanita perkasa itu langsung saja memasuki taman, dan dia melepaskan rangkulannya pada dua orang selirnya, bahkan memberi isyarat kepada selir lain untuk menghentikan permainan mereka.

Lima orang selir itu sudah mengenal pula siapa adanya Kim Hong Liu-nio, maka mereka pun duduk dengan tenang dan hormat karena mereka tahu bahwa wanita ini mempunyai kedudukan yang tinggi dan terhormat, dikenal sebagai penyelamat nyawa kaisar!

Biasanya kaisar melihat Kim Hong Liu-nio sebagai seorang wanita yang gagah perkasa, yang menimbulkan kagum dan hormat. Belum pernah selama ini dia menggambarkan Kim Hong Liu-nio sebagai seorang wanita dengan daya tarik kewanitaannya, namun sebagai seorang pendekar wanita yang serba keras dan kokoh kuat di balik kecantikannya. Akan tetapi ketika itu dia belum begitu matang dalam penilaiannya terhadap wanita dan sudah lama dia tidak berjumpa dengan wanita itu.

Maka kini, ketika memandang Kim Hong Liu-nio memasuki pintu taman dan melangkah menghampiri tempat itu, sepasang matanya yang telah terbiasa menilai wanita, sekarang memandang penuh perhatian dan penilaian! Bukan hanya wajah yang cantik segar dihias rambut yang disanggul tinggi itu, melainkan juga pandang matanya menurun ke leher, ke arah dada yang membusung angkuh, kepada tubuh yang tegak namun tinggi semampai, pinggang yang amat ramping dan pinggul yang membesar, kemudian langkah yang begitu tegap namun mengandung kelembutan dan daya tarik yang menjanjikan kemesraan.

Kaisar muda itu tertegun dan kagum! Kiranya Kim Hong Liu-nio ini bukanlah seorang yang seperti yang digambarkan semula, seorang wanita penyembelih musuh yang kejam dan berdarah dingin, melainkan di samping itu juga seorang wanita cantik yang mempunyai kecantikan, kelembutan dan kehangatan dengan bentuk tubuh yang menggairahkan!

Begitu menghadap, Kim Hong Liu-nio segera memberi hormat, berlutut kemudian berkata, "Perkenankan hamba membicarakan sesuatu dengan paduka tanpa didengar oleh orang lain."

Kaisar Ceng Hwa tersenyum sambil matanya tidak pernah meninggalkan wajah dan tubuh wanita yang sedang berlutut di hadapannya itu. Nampak leher yang berkulit putih mulus dan berbentuk panjang seperti leher angsa yang jenjang. Lalu dia memberi isyarat kepada para selirnya untuk meninggalkan taman.

Para selir itu tidak berani membantah, dengan sikap hormat mereka segera meninggalkan taman, sambil berlari-lari kecil dengan langkah seperti penari-penari yang lemah gemulai, meninggalkan bau semerbak harum.

Kini mereka tinggal berdua saja. Para pengawal hanya menjaga di sebelah luar taman, sama sekali tidak berani memperlihatkan diri atau mengganggu kaisar.

"Nah, sekarang kita hanya berdua saja di sini, lihiap. Apa yang hendak kau bicarakan?" Kaisar berkata halus.

"Ampunkan hamba yang berani minta untuk berbicara empat mata dengan paduka, akan tetapi karena yang hamba hendak bicarakan ini mengenai para pemberontak yang amat berbahaya, maka sangat tidak baik apa bila sampai terdengar orang lain. Hamba hendak membicarakan mengenai empat orang pemberontak yang berhasil lolos itu, sri baginda, yaitu pemberontak Cia Bun Houw, Cia Giok Keng, Yap Kun Liong, dan Yap In Hong."

"Oohh, tentang mereka?" Kaisar yang muda itu tidak begitu tertarik.

Tentu saja dia sudah mendengar tentang adanya para pemberontak yang kabarnya telah melawan pasukan kerajaan, membunuh banyak pasukan termasuk Panglima Lee Siang. Akan tetapi dia yang setiap harinya hanya bersenang-senang, mana sempat memikirkan soal pemberontakan kecil yang lebih patut disebut pengacau-pengacau itu saja? Apa bila yang memberontak itu merupakan pasukan besar, tentu saja persoalannya menjadi lain.

Dia lebih tertarik untuk memandang ke arah dada yang menonjolkan dua bukit tertutup baju sutera dari wanita di depannya itu, dan ketika wanita itu bicara sambil menengadah, dia melihat wajah cantik dengan bibir yang amat manis bergerak-gerak terbuka, kadang-kadang sedikit memperlihatkan sebelah dalam mulut kecil yang merah. Hatinya tergerak dan darahnya bergolak.

Kim Hong Liu-nio dapat melihat keadaan kaisar yang muda dan tampan itu. Wanita ini melihat kesempatan baik sekali, maka dia lalu menangis dalam keadaaan masih berlutut, kemudian tanpa dapat dilihat kaisar saking cepatnya, dia telah melonggarkan bagian atas tubuhnya sehingga dari atas kaisar yang duduk itu dapat melihat melalui celah-celah baju itu sedikit bagian dari dadanya, lereng dua buah bukit yang membusung.

"Ahh, kenapa kau menangis, lihiap?" Kaisar itu kaget juga karena sama sekali tak pernah dia dapat membayangkan bahwa wanita yang gagah perkasa ini dapat menangis! Makin kelihatanlah sifat kewanitaan pendekar wanita ini, apa lagi melihat celah baju bagian atas itu.

"Hamba... hamba teringat akan kematian tunangan hamba, Panglima Lee Siang di tangan para pemberontak itu, sri baginda... maafkan hamba... hamba merasa berduka karena kini hamba menderita kesepian yang menyesak di dada..."

Kaisar Ceng Hwa memang sudah mendengar dari para pengawal penyelidik akan adanya hubungan antara wanita perkasa ini dengan Panglima Lee Siang, dia tahu bahwa ada main antara mereka berdua, akan tetapi mendengar pengakuan wanita itu, dia pura-pura kaget dan bertanya,

"Ahh, jadi engkau telah menjadi isteri mendiang Lee-ciangkun?"

Wajah Kim Hong Liu-nio menjadi kemerahan, terutama sekali kedua pipinya. Sama sekali bukan karena malu atau jengah, namun akibat pengerahan sinkang-nya yang mendorong darah lebih banyak naik ke mukanya dan hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah memiliki kepandaian tinggi.

"Belum, sri baginda... hamba belum menikah, akan tetapi dia sudah menjanjikan hal itu kepada hamba..." Walau pun matanya masih agak basah air mata, namun dia tersenyum malu-malu dan sepasang mata itu mengerling tajam.

Melihat ini, kaisar muda itu makin tertarik. "Sudahlah, jangan kau menangis, lihiap, dan kau ke sinilah, duduklah di sini agar lebih enak kita bicara."

Jantung Kim Hong Liu-nio berdebar keras, bukan karena takut melainkan karena tegang gembira melihat ada tanda-tanda usahanya menarik perhatian kaisar itu berhasil agaknya!

"Hamba... hamba mana berani...?"

"Aku yang memerintahkan, mengapa tidak berani? Ke sinilah!"

"Ba... baik, sri baginda..." Kim Hong Liu-nio bangkit berdiri, memberi hormat dan dengan kedua kaki jelas kelihatan gemetar dia melangkah maju ke depan kaisar, sampai dekat sekali.

Kaisar memegang tangan wanita itu lantas menariknya duduk di atas bangku bertilamkan kasur dan beludru lembut itu. Kaisar merasa betapa tangan itu selain gemetar, juga amat hangat dan mengeluarkan getaran yang sangat terasa sampai ke seluruh lengannya. Dia makin tertarik, apa lagi mencium bau harum yang keluar dari tubuh wanita itu.

"Hemmm, engkau sungguh cantik, lihiap...," bisik kaisar.

"Aihhhh... sri baginda..." Kim Hong Liu-nio mengeluh dan menunduk, nampak takut-takut seperti seekor kelinci dalam dekapan harimau.

Kaisar makin tertarik, dia meraih dan merangkul, kemudian memaksa wanita itu menoleh kepadanya dan mencium mulut Kim Hong Liu-nio. Beberapa lamanya kaisar menciumnya, kemudian kaisar melepaskan ciumannya dan matanya terbelalak. Selama dia mengenal wanita, belum pernah dia merasakan ciuman sehebat itu! Bukan saja wanita ini membalas ciumannya dengan penuh api menggelora, malah dia juga merasakan getaran yang amat menggoncangkan jantungnya.

Tanpa banyak cakap lagi, sri baginda kaisar bangkit dan menggandeng tangan wanita itu, diajak meninggalkan taman dan langsung masuk ke dalam kamar. Para selir yang melihat ini saling pandang dan diam-diam mereka pun merasa heran kenapa kaisar kini bersikap demikian mesra terhadap pendekar wanita itu! Namun, tentu saja tidak ada seorang di antara mereka berani membuka mulut, bahkan lalu berlutut membiarkan mereka berdua lewat. Para pengawal yang terdiri dari orang-orang kebiri sebab mereka adalah pengawal-pengawal di bagian keputren itu juga menunduk saja dengan sikap tegak.

Mulai saat itu, kaisar yang muda itu mengangkat Kim Hong Liu-nio sebagai kekasihnya yang baru dan dari wanita ini dia memperoleh pengalaman yang amat hebat dan belum pernah dia dapatkan dari wanita lain. Memang, dengan tenaga sinkang-nya yang sangat kuat, mudah saja bagi Kim Hong Liu-nio untuk mempermainkan kaisar muda itu sehingga menjadi tergila-gila kepadanya, walau pun usianya sudah tiga puluh lima tahun dan jauh lebih tua dibandingkan dengan para selir yang usianya belum ada dua puluh tahun itu.

Dan semenjak hari itu pula Kim Hong Liu-nio memperoleh ijin dari kaisar untuk memimpin pasukan-pasukan pilihan, untuk mengejar dan mencari musuh-musuhnya, yaitu keluarga Cia dan Yap yang menjadi buronan itu. Bahkan dia segera menyebar mata-mata untuk menyelidiki di mana mereka itu bersembunyi.

Untuk memperkuat dirinya karena dia tahu bahwa semua musuh-musuhnya itu memiliki kepandaian tinggi, Kim Hong Liu-nio segera mendatangkan gurunya, Hek-hiat Mo-li, yang kemudian menanti di kota raja dan siap untuk turun tangan kalau tempat sembunyi para pemberontak itu sudah dapat ditemukan.

Memang kekuasaan inilah yang diinginkan oleh Kim Hong Liu-nio. Dia pun tidak berambisi untuk memikat kaisar untuk selamanya. Dia tahu bahwa kaisar masih amat muda dan dia sendiri sudah jauh lebih tua sehingga tak mungkin dia akan dapat terus mempertahankan kaisar dalam pelukannya.

Karena itu, sesudah dia berhasil mendapatkan kepercayaan kaisar dan diberi kekuasaan menggunakan pasukan untuk menghadapi para musuh yang dicap pemberontak itu, dia sudah merasa puas dan hanya kadang-kadang saja dia memenuhi panggilan kaisar dan melayaninya. Tapi wanita ini lebih banyak pergi keluar kota raja sehingga akhirnya kaisar kembali kepada para selirnya yang muda-muda dan hal ini tentu saja menggirangkan hati para selir muda itu.

Di dalam keluarga kaisar terdapat seorang pangeran, yaitu kakak tiri dari kaisar muda itu. Pangeran ini sudah berusia hampir tiga puluh tahun, bernama Pangeran Hung Chih dan dia amat populer di antara para menteri-menteri tua yang setia. Pangeran ini merupakan calon kaisar ke dua setelah Ceng Hwa, dan memang dibandingkan dengan kaisar muda itu, dia lebih menaruh perhatian terhadap pemerintahan.

Pangeran Hung Chih inilah yang didukung oleh para menteri tua yang merasa tidak setuju ketika pemerintah memusuhi keluarga Cia di Cin-ling-pai. Mereka tahu bahwa keluarga itu sejak dahulu adalah keluarga pendekar-pendekar yang setia kepada kaisar. Mereka tahu benar bahwa keluarga itu dimusuhi gara-gara Kim Hong Liu-nio yang berhasil memikat kaisar, padahal wanita itu adalah seorang kepercayaan raja liar Sabutai!

Dengan jujur dan halus Pangeran Hung Chih sendiri yang mendekati kaisar yang menjadi adik tirinya itu dan memperingatkan kaisar agar tidak terlalu memberi kebebasan kepada Kim Hong Liu-nio yang mungkin saja menjadi mata-mata Raja Sabutai dan kelak hanya akan merugikan kerajaan sendiri.

"Ahhh, dia adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, bahkan dahulu pernah menyelamatkan nyawaku, mana mungkin dia mempunyai niat buruk? Lagi pula, dia minta pasukan untuk menangkap para pemberontak yang telah melawan pasukan kerajaan dan telah membunuh Lee-ciangkun, bukankah hal itu baik sekali?" demikian antara lain kaisar membantah.

Pangeran Hung Chih tidak berani mendesak. Betapa pun juga, peringatan dari pangeran ini telah membuat kaisar lebih berhati-hati dan kini jarang dia memanggil wanita itu untuk melayani dia bermain asmara.

Pagi yang cerah indah di lereng Bukit Bwee-hoa-san. Bukit ini, sesuai dengan namanya, penuh dengan bunga Bwee yang sedang mekar karena musim semi telah menjelang tiba. Memang amat sedap dipandang dan terasa nyaman di hati melihat bunga-bunga mekar di lereng yang subur dan berhawa sejuk itu, dengan ratusan ekor kupu-kupu beterbangan di sekitar bunga-bunga, mengepak-ngepakkan sayapnya yang beraneka warna itu dengan sibuknya. Di antara kupu-kupu yang memiliki warna bermacam-macam ini nampak pula beberapa ekor lebah yang gerakannya amat gesit terbang menyusup di antara daun-daun dan bunga sibuk mencari atau mengumpulkan madu.

Ada dua buah pondok kecil di lereng yang sunyi itu, agak terlindung oleh pohon-pohon besar di tepi hutan. Dua pondok kecil inilah yang menjadi tempat tinggal sementara, atau tempat persembunyian dari dua pasang suami isteri kakak beradik, yaitu Yap Kun Liong bersama Cia Giok Keng, dan Cia Bun Houw bersama Yap In Hong!

Sejak mereka melarikan diri dari penjara kota Po-teng di mana mereka ditawan, empat orang pendekar ini melarikan diri dan tinggal berpindah-pindah dari satu ke lain tempat sembunyi karena mereka maklum bahwa mereka terus dikejar-kejar pasukan pemerintah. Akhirnya, mereka tiba di lereng Bukit Bwee-hoa-san ini dan bersembunyi di tempat sunyi ini.

Sudah dua bulan mereka tinggal di tempat ini, dan mereka, terutama sekali Yap In Hong, merasa khawatir dengan keadaan mereka sebagai buronan itu karena kini nyonya muda ini sudah mengandung lima bulan! Seperti telah diceritakan di bagian depan, walau pun sudah belasan tahun dia melarikan diri bersama Cia Bun Houw dan sudah dianggap isteri pendekar itu, namun karena belum mendapat restu dari orang tua, kedua orang pendekar ini selalu tinggal terpisah, yaitu tidak pernah berkumpul sebadan seperti layaknya suami isteri.

Kemudian, sesudah lewat belasan tahun menahan derita ini, mereka menghadap ketua Cin-ling-pai ayah Cia Bun Houw dan mendapatkan restu dari kakek Cia Keng Hong yang telah menginsyafi kesalahannya dan merasa menyesal bahwa dengan kekerasan hatinya dia telah menyiksa batin puteranya sendiri dan mantunya.

Barulah mereka menjadi suami isteri dalam arti yang sebenarnya, dan baru sekarang Yap In Hong mengandung untuk pertama kalinya. Namun, dalam keadaan mengandung dia kini harus menjadi buronan, gara-gara fitnah yang dijatuhkan oleh Lee Siang yang hendak memenuhi permintaan Kim Hong Liu-nio, kekasihnya!

Pada pagi hari yang cerah itu, seperti biasa pendekar Yap Kun Liong dan pendekar Cia Bun Houw sedang bekerja di ladang sayur mereka tak jauh dari kedua pondok mereka itu. Untuk menghindarkan terlalu banyak hubungan dengan orang lain, kedua orang pendekar ini menanam sendiri berbagai macam sayur untuk kebutuhan makan sehari-hari mereka, sehingga mereka tidak perlu sering berbelanja ke bawah bukit, dan cukup hanya sebulan sekali saja berbelanja beras, bumbu, teh serta beberapa keperluan lain. Untuk lauk pauk cukup dengan tanaman sayur mereka sendiri dan daging binatang yang dapat mereka tangkap di dalam hutan-hutan di sekitar tempat itu.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.