Pendekar Lembah Naga Jilid 32 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Lembah Naga Jilid 32
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PENDEKAR Yap Kun Liong kini sudah berusia lima puluh dua tahun, namun masih nampak muda dan gagah penuh semangat, sedangkan pendekar Cia Bun Houw yang berusia tiga puluh enam tahun itu kelihatan sehat gagah, biar pun di wajahnya yang tampan terbayang kekhawatiran. Tentu saja pendekar ini merasa amat gelisah bila mengingat akan keadaan isterinya yang mengandung pertama sudah harus menjadi buronan seperti itu.

Suara derap kaki kuda tunggal memecahkan kesunyian pagi hari yang tenteram itu. Dua orang pendekar itu terkejut, menunda cangkul masing-masing, saling pandang, kemudian mereka menoleh ke arah suara datangnya derap kaki kuda itu. Nampaklah oleh mereka seorang laki-laki berpakaian petani membalapkan kuda menuju ke sana, melalui sebuah lorong atau jalan setapak dengan cepat.

Tentu saja dua orang pendekar ini menjadi curiga karena walau pun orang itu berpakaian petani, namun cara orang itu duduk di atas kuda membuktikan bahwa orang itu adalah seorang ahli menunggang kuda dan tubuh orang itu yang duduk tegak jelas mengandung kekuatan terlatih. Maka begitu penunggang kuda itu melewati tempat kerja mereka dan terus membalap menuju ke arah pondok, dua orang pendekar ini pun cepat meninggalkan cangkul mereka di atas ladang, kemudian berlari mengejar. Tentu saja mereka tak begitu khawatir karena isteri mereka bukan orang-orang lemah, apa lagi yang datang berkunjung secara mencurigakan ini hanya satu orang saja.

Baru saja penunggang kuda itu meloncat turun dari kudanya di depan dua buah pondok itu, orang ini sudah berteriak dengan suara lantang. "Cia-taihiap! Yap-taihiap! Harap lekas keluar!"

Yang keluar adalah Cia Giok Keng dan Yap In Hong, dua orang pendekar wanita itu yang tadi telah mendengar suara derap kaki kuda dan sudah siap-siap. Dan pada saat itu juga, Cia Bun Houw dan Yap Kun Liong juga sudah berada di situ.

"Siapakah engkau dan mau apa?" Yap Kun Liong berkata dengan suara halus akan tetapi penuh wibawa.

Orang itu sejenak memandang kepada dua orang pendekar ini. Dia belum pernah bertemu muka dengan mereka, namun dia telah memperoleh gambaran jelas tentang wajah kedua orang pendekar itu, maka kini dia mengenal mereka dan cepat menjura dengan hormat.

"Harap ji-wi taihiap sudi memaafkan saya kalau saya mengganggu dan mengejutkan ji-wi. Kedatangan saya ini membawa berita penting sekali, yaitu bahwa pada hari ini juga akan ada pasukan yang datang menyerbu ke sini, maka harap ji-wi taihiap dan ji-wi lihiap dapat bersiap-siap untuk meninggalkan tempat ini."

Sekali menggerakkan tubuh dan tangan, Cia Bun Houw sudah mencengkeram leher baju orang itu tanpa dia mampu mengelak lagi. Tentu saja Bun Houw menggunakan gerakan ini untuk menguji dan dia tahu bahwa orang ini tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, karena reaksinya ketika dia bergerak jauh kurang dan amat terlambat. Maka dia lalu menghardik dengan suara mengancam untuk membikin takut orang itu agar jangan membohong.

"Siapa engkau?!"

Orang itu kelihatan tenang saja dan ini sudah membuktikan bahwa dia tidak mempunyai iktikad buruk. "Nama saya Lie Tek," jawabnya cepat.

"Mengapa engkau datang memperingatkan kami dan bagaimana engkau dapat mengenal kami?" tanya Bun Houw lagi tanpa melepaskan cengkeramannya.

"Harap Cia-taihiap tidak salah sangka. Biar pun saya belum pernah bertemu dengan ji-wi taihiap, namun kami semua sudah memperoleh gambaran cukup jelas tentang ji-wi. Saya adalah salah seorang di antara banyak mata-mata yang disebar oleh Pangeran Hung Chih untuk menyelamatkan ji-wi taihiap dari pengejaran pasukan yang dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio dan sekarang saya datang untuk memberi peringatan kepada ji-wi karena sudah pasti hari ini pasukan itu akan datang menyerbu karena tempat ini telah mereka ketahui."

Cia Bun Houw melepaskan cengkeramannya. Dengan tenang Yap Kun Liong lalu minta kepada orang yang mengaku bernama Lie Tek itu untuk bercerita selengkapnya tentang mereka yang mengaku mata-mata yang disebar oleh Pangeran Hung Chih.

Lie Tek, mata-mata itu lalu menceritakan secara singkat tentang diri Pangeran Hung Chih. Ternyata pangeran yang tidak setuju dengan sikap kaisar mengenai keluarga Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak, pada saat melihat betapa Kim Hong Liu-nio berhasil merayu kaisar lalu mendapatkan kekuasaan untuk mengerahkan pasukan mencari para pendekar yang buron itu dan diperkenankan pula menumpasnya, diam-diam telah berunding dengan para menteri tua hingga akhirnya mereka mengambil keputusan untuk secara diam-diam membantu para pendekar itu agar jangan sampai terdapat oleh para pengejarnya.

"Pangeran Hung Chih dan para menteri tua yakin akan kesetiaan keluarga Cia dan Yap, oleh karena itu beliau berusaha melindungi, sungguh pun tentu saja tidak berani secara berterang, karena Kim Hong Liu-nio telah memperoleh dukungan dari sri baginda sendiri." Demikian Lie Tek mengakhiri penuturannya secara singkat.

Empat orang pendekar yang mendengarkan menjadi terharu kemudian diam-diam mereka mencatat nama Pangeran Hung Chih sebagai seorang pangeran yang bersahabat.

"Kalau begitu, kami berterima kasih sekali dan maafkan sikapku, Lie-twako," kata Cia Bun Houw.

Mata-mata itu menjura dan berkata, "Saya telah menyampaikan tugas, harap ji-wi berdua dan lihiap berdua suka cepat meninggalkan tempat ini sebelum terlambat, dan saya pun tidak berani lama-lama tinggal di sini. Saya mohon diri, ji-wi taihiap!"

Cia Bun Houw dan Yap Kun Liong membalas penghormatan itu. Lie Tek lalu meloncat ke atas punggung kudanya, kemudian membalapkan kuda itu menuju lereng melalui arah yang berlawanan dengan ketika dia datang diikuti pandang mata keempat orang pendekar itu yang masih bersikap tenang.

Empat orang pendekar ini tidak tahu bahwa ketika Lie Tek tiba di sebuah tikungan di balik bukit, tiba-tiba muncul belasan orang mata-mata musuh, yaitu mata-mata dari pasukan Kim Hong Liu-nio. Dia ditangkap dan tidak mungkin dapat melawan menghadapi belasan orang itu. Dia disiksa agar mengaku, akan tetapi Lie Tek tetap menutup mulutnya sampai akhirnya dia mati dalam siksaan!

Kemudian para mata-mata ini cepat mengirim berita kepada Kim Hong Liu-nio yang lantas mengerahkan seratus orang lebih pasukan untuk mengepung dan menyerbu!

********************

Kita tinggalkan dulu keadaan empat orang pendekar yang terancam bahaya maut itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Lie Ciauw Si. Kita hanya mengetahui bahwa gadis puteri Cia Giok Keng atau adik dari Lie Seng ini telah meninggalkan Cin-ling-pai beberapa tahun yang lalu akibat melihat kakeknya berduka saja. Dia mengambil keputusan untuk mencari pamannya, Cia Bun Houw yang dia tahu menjadi penyebab dari kedukaan kongkong-nya.

Ketika itu Cia Bun Houw berdua Yap In Hong masih mengasingkan diri dalam kedukaan akibat kemarahan Cia Keng Hong yang tidak menyetujui perjodohan di antara mereka sehingga usaha Lie Ciauw Si mencari kedua orang ini sama sekali tidak pernah berhasil. Ciauw Si yang keras hati itu tidak mau kembali ke Cin-ling-pai sebelum bertemu dengan orang yang dicarinya.

Dia merantau sampai jauh ke barat, kemudian pada akhir-akhir ini dia pergi merantau ke selatan. Dia sudah menjelajahi dunia kang-ouw, bertanya-tanya ke sana-sini, namun tidak ada seorang pun tokoh kang-ouw yang dapat memberi keterangan kepadanya di mana gerangan adanya pendekar Cia Bun Houw, sungguh pun mereka itu tahu belaka siapa adanya pendekar putera ketua Cin-ling-pai itu.

Pada suatu hari Ciauw Si tiba di kota Yen-ping. Ketika sedang berjalan-jalan di sepanjang tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hokkian dan tiba di dekat sarang perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, secara kebetulan Ciauw Si melihat empat orang sedang ribut mulut.

Dia tidak mengenal empat orang itu, namun sangat tertarik karena melihat bahwa empat orang laki-laki tua itu bukanlah orang-orang biasa, hal ini dapat dilihat jelas dari sikap dan gerak-gerik mereka. Di tempat itu terdapat pula dua kelompok orang-orang yang sedang menonton, semuanya memperlihatkan sikap orang-orang yang ahli dalam ilmu silat, akan tetapi agaknya mereka merasa takut dan segan untuk mencampuri percekcokan itu.

Empat orang itu memang bukan orang-orang sembarangan. Yang sedang marah-marah adalah dua orang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang seorang tinggi besar dan mukanya brewok menyeramkan, tangannya memegang sebatang tongkat dan dengan tongkatnya ini beberapa kali dia menuding ke arah muka dua orang kakek yang dimarahi dan yang usianya kurang lebih lima puluh tahun.

Kakek ke dua yang marah juga berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya kecil pendek akan tetapi kepalanya gundul lonjong dan matanya tajam. Kakek ini menyeramkan sekali karena dia hanya memakai celana hitam hingga di bawah betis, sedangkan tubuh atasnya yang kurus itu telanjang sama sekali, seperti juga kedua kakinya. Suaranya lantang dan nyaring.

Kakek muka brewok itu bukan lain adalah Hai-liong-ong Phang Tek, sedangkan kakek ke dua yang tak berbaju adalah Kim-liong-ong Phang Sun. Seperti telah kita ketahui, mereka berdua adalah tokoh-tokoh besar di selatan yang terkenal dengan julukan Lam-hai Sam-to (Tiga Orang Tua Laut Selatan).

Tadinya mereka bertiga bersama dengan Hek-liong-ong Cu Bi Kun, namun seperti sudah diceritakan di bagian depan, orang ini telah tewas oleh Pangeran Ceng Han Houw ketika Cu Bi Kun bermaksud membunuh Sin Liong. Kemudian seperti yang telah diputuskan oleh Pangeran Ceng Han Houw, Lam-hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu kini menjadi tokoh terbesar di selatan, dan menjadi bengcu (pemimpin) dari dunia sesat di selatan!

Ada pun dua orang kakek berusia lima puluh tahun yang sedang menghadapi kemarahan dua orang bengcu ini adalah ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Telah kita ketahui bahwa ketika dalam pemilihan bengcu di selatan, memang sudah terjadi bentrokan antara kedua orang tokoh ini dengan Lam-hai Sam-lo, akan tetapi karena ketika itu fihak Sin-ciang Tiat-thouw-pang merasa kalah kuat, maka mereka ini lalu mundur dan mengalah. Akan tetapi mengapa kini dua orang bengcu itu marah-marah kepada pemimpin Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini?

Walau pun dia tidak mengenal empat orang itu, namun Ciauw Si amat tertarik, menduga bahwa tentu mereka itu merupakan tokoh-tokoh penting dalam kalangan kang-ouw, maka diam-diam dia pun mendengarkan dengan penuh perhatian.

Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, kepalanya botak dan mukanya bopeng terkenal lebih keras wataknya dari pada suheng-nya. Dengan kedua mata terbelalak lebar serta kemarahan yang tidak disembunyikan lagi dia berteriak, "Semenjak dahulu semua perkumpulan memberi sumbangan suka rela kepada bengcu sekuat kemampuan masing-masing. Sekarang bengcu menentukan jumlah seenak perut sendiri. Peraturan manakah ini?"

Kim-liong-ong Phang Sun yang kecil pendek dan bertelanjang baju itu tertawa mengejek dan berkata, "Eh-ehh, Tong Siok, berani engkau mengeluarkan suara macam itu? Setiap orang raja baru berhak menjatuhkan keputusan baru dan juga mengubah peraturan lama dengan peraturan baru! Kami pun demikian. Sebagai bengcu baru kami telah menjatuhkan keputusan bahwa tiap perkumpulan yang berlindung di bawah kami harus mengeluarkan pembayaran sesuai dengan yang sudah kami taksir dan keputusan kami inilah peraturan baru!"

Sebelum sute-nya sempat mengeluarkan kata-kata keras, Sin-ciang Gu Kok Ban sudah cepat berkata, "Harap ji-wi bengcu suka bersabar. Terus terang saja, perkumpulan kami agak mundur dan lemah dalam hal keuangan, maka harap ji-wi suka menerima seadanya dulu menurut kemampuan kami. Lain kali tenti kami akan berusaha memenuhi permintaan ji-wi seperti jumlah yang telah ditentukan itu."

"Pangcu," kata Hai-liong-ong Phang Tek. "Keputusan bengcu mana boleh diganggu gugat dan ditawar-tawar lagi? Kalau kami tidak melaksanakan keputusan kami sendiri, maka hal itu sungguh akan menurunkan wibawa kami dan mengacau ketertiban."

"Habis, kalau kami tidak sanggup membayar iuran paksaan ini, kalian mau apa?" bentak Tiat-thouw (Kepala Besi) Tong Siok penuh kemarahan, toya besinya sudah tergetar dalam genggaman tangannya.

"He-heh-heh!" Kim-liong-ong (Raja Naga Emas) Phang Sun, adik dari Phang Tek, tertawa mengejek. "Apa bila kalian tidak mau membayar, hanya ada dua kemungkinan. Pertama, Sin-ciang Tiat-thouw-pang harus mengganti ketuanya dengan orang yang lebih bijaksana dan dapat mentaati peraturan kami. Yang ke dua, bubarkan saja perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang agar tidak membikin kacau!"

"Kami tidak mau mengganti ketua, tidak mau membubarkan perkumpulan, juga tidak mau membayar uang paksa, kalian mau apa?" Tiat-thouw Tong Siok membentak, tidak keburu dicegah oleh Sin-ciang (Tangan Sakti) Gu Kok Ban.

"Bagus! Kalau begitu kami akan mengirim kalian berdua ke neraka!" kata Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) Phang Tek yang juga sudah marah menyaksikan sikap bandel dari dua orang ketua perkumpulan yang memang sejak dahulu menentangnya itu.

Kim-liong-ong Phang Sun sudah menerjang si muka bopeng Tong Siok. Kakek bertubuh kecil pendek ini bergerak dengan kecepatan kilat, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang dan tangannya yang kecil itu sudah bergerak menyambar ke arah kepala lawan.

Ciauw Si yang menonton terkejut sekali karena dia mengenal gerakan yang amat lihai dan pukulan si kakek kecil itu mengeluarkan suara bercuitan! Tong Siok adalah wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang berjuluk Si Kepala Besi, maka tentu saja kepandaiannya cukup hebat dan lebih dari itu, dia telah mengenal kesaktian lawan, maka dia tidak berani ceroboh, cepat dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan toya besinya diputar dalam serangan balasan yang dahsyat pula. Namun, sambil tertawa mengejek si kakek kecil itu menggerakkan tangan kiri menangkis.

"Ting-ting-cringgg...!"

Tiga kali tongkat besi bertemu dengan tangan kiri yang terlindung gelang emas sehingga terdengar suara berdencing nyaring dan tubuh wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terhuyung.

Pada saat itu pula, Hai-liong-ong Phang Tek juga sudah menyerang Gu Kok Ban dengan tongkatnya. Gu Kok Ban maklum akan kesaktian lawan, segera dia mencabut sepasang siang-kiamnya dan menyambut tongkat itu. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan hebat, karena Gu Kok Ban dan Tong Siok yang maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang lawan itu masih lebih tinggi, tetap melawan dan tidak mau mundur, bertekad untuk membela nama perkumpulan sampai napas terakhir!

Betapa pun nekatnya mereka itu, tetap saja mereka tak mampu membendung datangnya serangan lawan yang bertubi-tubi. Dua orang kakek yang memakai julukan raja naga itu memang mempunyai ginkang yang amat tinggi tingkatnya sehingga gerakan mereka jauh lebih cepat, membuat Gu Kok Ban dan Tong Siok menjadi repot sehingga harus memutar senjata mereka cepat-cepat untuk melindungi tubuh sendiri.

"Cinggg-cinggg...! Wuuuutttt...!"

Tong Siok terkejut bukan main. Selain toya besinya kena ditangkis, juga jari tangan kanan kakek kecil itu hampir saja menusuk pelipis kepalanya. Kalau dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan jari telunjuk itu mengenal pelipis, tentu kepalanya sudah berlubang dan nyawanya melayang. Akan tetapi si kecil tertawa dan menendang.

Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Tong Siok yang tinggi besar itu mencelat kemudian bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Namun dia tidak terluka, hanya terkejut dan meloncat bangun lagi dengan muka pucat!

Tetapi, sebelum dia menerjang lagi, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang dara yang cantik telah menyerang kakek kecil itu dengan amat hebatnya! Begitu menyerang, jari-jari tangan dara ini bercuitan menusuk dengan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah di bagian depan tubuh Kim-liong-ong!

"Ehh... ehhh...!" Kim-liong-ong Phang Sun kaget bukan main sebab semua tangkisannya luput karena jari tangan itu sudah ditarik kembali kemudian dengan kecepatan kilat telah menusuknya lagi. Terpaksa dia meloncat ke belakang, maklum akan bahayanya serangan nona yang baru datang ini.

Ternyata begitu menerjang Ciauw Si telah menggunakan jurus Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang ampuh. San-in Kun-hoat (Ilmu Awan Gunung) ini hanya mempunyai delapan jurus, akan tetapi setiap jurus merupakan gerakan yang amat hebat dan berbahaya sekali bagi lawan. Tadi Ciauw Si sudah menyerang dengan jurus ke lima yang disebut San-in Ci-tian (Awan Gunung Mengeluarkan Kilat), maka tentu saja Kim-liong-ong menjadi kaget bukan main.

Sebaliknya, Ciauw Si tidak heran melihat lawannya dapat menghindarkan diri karena dia memang maklum bahwa kakek pendek kecil ini amat lihai, maka dia pun lalu menerjang lagi, sekali ini mengatur langkah menurut Ilmu Thai-kek Sin-kun dan terus mengejar dan menghujankan serangan kepada Kim-liong-ong Phang Sun!

Terjadilah perkelahian yang lebih seru lagi dan diam-diam kakek kecil pendek itu terkejut bukan main karena dara cantik ini benar-benar memiliki dasar ilmu silat tinggi yang amat kokoh kuat dan bersih! Selagi dia menduga-duga siapa adanya dara ini, Tong Siok yang merasa beruntung sekali memperoleh bantuan seorang dara yang lihai sudah menerjang lagi dengan tongkat besi.

Tentu saja Kim-liong-ong menjadi sibuk juga dikeroyok dua oleh lawan yang pandai ini sehingga dia banyak main mundur, mengelak dan kadang-kadang menggunakan gelang emasnya untuk menangkis. Dua tangannya kini mengeluarkan hawa dingin yang berbau amis sebab kakek ini sudah mengerahkan ilmunya yang amat keji, yaitu pukulan-pukulan beracun!

Betapa pun juga, karena kini Ciauw Si yang melihat penggunaan ilmu pukulan beracun telah mencabut pedangnya, kakek kecil itu tetap terdesak hebat. Sinar pedang bergulung-gulung bagai seekor naga putih ketika Ciauw Si memutar pedang Pek-kong-kiam. Sesuai dengan namanya, pedangnya ini terbuat dari pada baja putih, pemberian dari kakeknya.

Di lain fihak, melihat datangnya bantuan seorang dara lihai di fihak musuh, Hai-liong-ong Phang Tek menjadi marah dan juga khawatir melihat adiknya terdesak. Dia mengeluarkan teriakan nyaring dan mendesak Gu Kok Ban dengan tongkatnya.

Didesak secara hebat itu, Gu Kok Ban menjadi gugup sehingga kakinya kena ditendang dan membuat dia terguling. Dengan girang Hai-liong-ong menubruk dengan tongkatnya, mengirim pukulan maut ke arah kepala lawan.

"Tranggg...!"

Tongkatnya terpental dan ternyata yang menangkisnya adalah cahaya putih yang diikuti pedang Pek-kong-kiam di tangan Ciauw Si. Dara yang bermata tajam ini melihat bahaya mengancam ketua pertama dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka dengan kecepatan kilat dia telah menyelamatkan nyawa orang itu. Gu Kok Ban meloncat bangun dan membalas serangan lawan dengan senjata siang-kiamnya, sekarang dibantu oleh dara itu sehingga Hai-liong-ong terpaksa harus memutar tongkat agar lolos dari ancaman maut.

Kini Hai-liong-ong yang dikeroyok dua itu terdesak hebat, akan tetapi sebaliknya Tong Siok yang ditinggalkan Ciauw Si terancam dan terdesak hebat oleh Kim-liong-ong, sampai Ciauw Si meloncat lagi membantu wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini! Demikianlah, perkelahian itu menjadi seru bukan main di mana Ciauw Si berloncatan ke sana-sini untuk membantu jika seorang di antara dua ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terdesak!

Munculnya dara ini benar-benar membuat para penonton, yang terdiri dari orang-orang Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan banyak pula orang-orang dari golongan sesat yang turut menyaksikan pertandingan itu, menjadi gempar! Mereka belum pernah melihat dara ini, dan sekali muncul dara ini telah berani main-main dengan Lam-hai Sam-lo.

Dan ternyata dara ini memiliki tingkat kepandaian yang hebat! Akan tetapi, mereka tidak berani turun tangan, karena mereka semua merasa jeri terhadap Lam-hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu.

Karena Ciauw Si harus membantu dua orang, maka tentu saja keadaan mereka bertiga tetap terdesak oleh dua orang kakek sakti itu dan jika dilanjutkan, agaknya tentu akhirnya seorang di antara mereka akan roboh oleh Lam-hai Sam-lo. Pada saat perkelahian sedang memuncak serunya, tiba-tiba terdengar teriakan halus,

"Lam-hai Sam-lo, kalian bikin ribut lagi? Mundurlah!"

Dua orang kakek itu memandang dan kaget bukan main melihat pemuda yang menegur mereka itu. Cepat mereka meloncat mundur dan menghampiri pemuda yang berpakaian indah itu, lalu menjatuhkan diri berlutut.

"Harap paduka mengampuni hamba, pangeran. Bukanlah hamba berdua, melainkan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang inilah yang membikin kacau!" kata Hai-liong-ong Phang Tek dengan muka ketakutan.

Yang muncul itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan Sin Liong! Seperti kita ketahui, dua orang muda ini melakukan perjalanan ke selatan untuk mencari Ouwyang Bu Sek, sesuai dengan janji Sin Liong untuk membawa Han Houw kepada suheng-nya itu untuk dapat berguru kepada kakek cebol botak itu. Mereka singgah di Yen-ping dan kebetulan melihat perkelahian itu.

Meski pun ada orang berlutut kepadanya dan minta ampun, namun pada saat itu sang pangeran sama sekali tidak memandang kepada mereka, melainkan memandang kepada Lie Ciauw Si yang berdiri dengan pedang Pek-kong-kiam di tangan, berdiri dengan sikap gagah. Keringat yang membasahi kening dan lehernya, dan rambut yang kusut terjurai di atas keningnya itu menambah manis dara ini, sehingga Han Houw memandang laksana orang terkena pesona, penuh kagum.

Ciauw Si sendiri merasa sangat terkejut melihat munculnya dua orang pemuda remaja itu dan terheran-heran sesudah melihat dua orang lawan tangguh itu berlutut dan menyebut pangeran kepada pemuda yang mengenakan topi bulu indah dan berpakaian mewah itu. Akan tetapi pada waktu melihat pemuda yang tampan gagah ini memandang kepadanya, dia merasa jantungnya berdebar dan cepat menundukkan mukanya.

Sesudah dara itu menundukkan mukanya, barulah Han Houw menyadari bahwa dia tadi telah memandang kepada gadis itu secara berlebihan. Cepat dia menarik napas panjang dan kini mengalihkan pandang matanya kepada Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong.

"Hemm, Ji-lo, apa lagi yang terjadi di sini? Kulihat engkau menyerang kedua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang."

"Pangeran, mereka itu melanggar peraturan yang telah hamba tetapkan sebagai bengcu baru atas pengangkatan paduka," kata Hai-liong-ong dengan harapan untuk mendapatkan dukungan dari pangeran ini.

Ceng Han Houw menoleh kepada Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Dua orang itu berdiri dengan sikap hormat.

"Benarkan ji-wi sengaja melakukan pengacauan dan menentang bengcu?"

"Sama sekali tidak, pangeran!" Gu Kok Ban menjawab tegas. "Biasanya, semenjak dulu, perkumpulan kami selalu memberi sumbangan secara suka rela kepada bengcu, sesuai dengan kemampuan kami. Akan tetapi, sekarang kedua orang bengcu baru menentukan jumlah sumbangan yang terlalu besar bagi kami sehingga tidak dapat terbayar. Kami telah minta kelonggaran akan tetapi mereka malah marah lalu mengandalkan kepandaian untuk menyerang kami. Untunglah ada lihiap ini yang datang menolong, kalau tidak tentu kami berdua telah tewas di tangan mereka."

"Hemm, benarkah itu, Ji-lo?" bentak pangeran.

"Mereka... mereka sengaja tidak mau taat...," Hai-liong-ong mencoba untuk membantah.

"Hemm, seorang pemimpin baru dapat disebut baik bila dia itu tidak hanya mementingkan diri sendiri belaka, akan tetapi memperhatikan keluh-kesah dan kesulitan anak buahnya! Kalian menyalahkan anak buah hanya karena urusan uang, apakah kalian masih kurang memperoleh upah dari kerajaan?"

"Ampun, pangeran... hamba hanya ingin menjalankan tata tertib..."

"Diam! Kalian tak boleh menjatuhkan keputusan dan peraturan seenak kalian sendiri saja. Setiap peraturan baru haruslah diundangkan dan lebih dulu disetujui oleh semua anggota dan semua perkumpulan yang berada dalam lingkungan kita. Mengertikah kalian?"

"Hamba... hamba mengerti!" jawab Hai-liong-ong.

"Syukur... kalau tidak, tentu kalian berdua akan mengalami nasib seperti Hek-liong-ong! Nah, lekas minta maaf kepada pimpinan Sin-ciang Tiat-thouw-pang!"

Dua orang kakek itu tidak berani membantah dan mereka lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Gu Kok Ban dan Tong Siok yang cepat membalas pula penghormatan itu.

"Juga kepada nona itu!" kata pula Han Houw.

Muka dua orang kakek itu menjadi merah. Mereka tidak mengenal nona ini, akan tetapi karena takut kalau-kalau pangeran menjadi semakin marah, mereka lalu menjura kepada Ciauw Si dan minta dimaafkan. Ciauw Si juga membalas penghormatan itu, karena dia sendiri tidak tahu bagaimana duduknya perkara, hanya tadi dia membela dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena melihat mereka didesak dan ditindas.

"Sekarang pergilah dan tunggu perintahku," kata Han Houw.

Dua orang kakek itu mengangguk, kembali memberi hormat dan tanpa sepatah pun kata mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu seperti dua ekor anjing yang dibentak oleh majikannya.

Melihat semuanya ini, Ciauw Si menjadi terkejut dan terheran-heran, juga amat kagum. Pemuda yang disebut pangeran itu masih demikian muda, akan tetapi dua orang seperti dua orang kakek tadi yang mempunyai kepandaian hebat sekali, bahkan setingkat dengan kepandaian tokoh-tokoh terbesar di dunia kang-ouw, bersikap demikian takut-takut dan tunduk kepada pangeran muda ini! Betapa besar pengaruh dan kekuasaan pangeran ini, pikirnya.

Akan tetapi dia tidak berani bertemu pandang secara langsung dengan Han Houw, karena setiap kali bertemu pandang dia melihat seolah-olah pandang mata pemuda bangsawan ini menembus dan menjenguk ke dalam hatinya. Ciauw Si merasa jantungnya berdebar aneh, dan tanpa disadarinya, kedua pipinya menjadi merah sekali. Walau pun dia sudah berusia dua puluh empat tahun dan merupakan seorang gadis yang cantik sekali, namun belum pernah dia jatuh cinta, belum pernah dia tergila-gila kepada seorang pria, dan baru sekali ini dia mempunyai perasaan yang aneh sekali ketika berhadapan dengan Pangeran muda ini!

Sekarang Han Houw menghadapi dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan Ciauw Si yang masih berdiri menundukkan muka dan pedang tadi telah disimpannya kembali ke dalam sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Sejenak Han Houw memandang wajah yang menunduk itu, kemudian berkata sambil tersenyum kepada Gu Kok Ban,

"Aihh, ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang boleh merasa beruntung sekali telah memperoleh seorang pembantu seperti nona ini yang amat lihai."

"Maaf, pangeran, sebenarnya kami selamanya belum pernah bertemu dengan lihiap ini, sama sekali tidak pernah mengenalnya dan baru sekarang kami bertemu dengan lihiap ini yang datang-datang langsung menolong kami. Bahkan kami belum sempat menghaturkan terima kasih kepadanya."

"Ahhh... sungguh mengagumkan! Kalau begitu nona tentu seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan budiman!" Han Houw memuji, sikapnya bagaikan orang yang lebih dewasa, padahal usia pangeran ini baru sekitar delapan belas atau sembilan belas tahun saja sedangkan nona itu sudah berusia dua puluh empat tahun.

Melihat betapa nona yang cantik dan gagah perkasa itu semakin menunduk mendengar pujian ini, Han Houw lalu berkata lagi, "Bolehkan kami mengetahui siapakah nama nona dan mengapa nona turun tangan membantu kedua ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang tidak nona kenal ini?"

Dengan jantung berdebar karena merasa sangat malu terhadap pangeran ini, suatu hal yang sangat mengherankan bagi Ciauw Si sendiri, gadis ini mengangkat mukanya yang menjadi kemerahan dan menjura kepada mereka semua dengan sekali gerakan saja, lalu berkata, suaranya halus,

"Namaku adalah Lie Ciauw Si dan maafkanlah apa bila aku lancang mencampuri urusan orang-orang lain yang sama sekali belum kukenal. Kalau tadi aku sampai turun tangan membantu ji-wi pangcu ini, adalah aku melihat mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh dua orang yang menyebut diri mereka bengcu tadi."

Semenjak kecil Ciauw Si ikut kakeknya dan hidup di kalangan orang-orang gagah, maka dia tidak biasa terikat oleh segala peraturan sopan santun, dan wataknya terbuka serta jujur. Itulah pula sebabnya mengapa di hadapan seorang pangeran, dia masih bersikap begitu bersahaja dan seakan-akan tidak menghormati pangeran itu yang biasanya selalu dihormati dan dijilat oleh sikap orang-orang di sekitarnya.

Sikap dara ini saja sudah menimbulkan perasaan suka yang sangat besar di dalam dada Han Houw. Sikap seperti itu pulalah yang diperlihatkan Sin Liong maka pangeran itu pun merasa suka kepadanya, dan kini, begitu berjumpa, memang hatinya sudah amat tertarik oleh wajah, tubuh, dan kegagahan Ciauw Si, maka sikap terbuka ini makin memperbesar rasa sukanya.

Dengan wajah berseri Han Houw berseru, "Ahhh, ternyata nona seorang pendekar yang gagah perkasa dan budiman, yang tanpa memandang bulu selalu akan membantu fihak tertindas. Sungguh kami merasa kagum sekali, nona Lie!"

"Dan kami berdua beserta seluruh anggota Sin-ciang Tiat-thouw-pang juga menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan lihiap," Gu Kok Ban berkata sambil menjura, lalu dia mempersilakan pangeran bersama Sin Liong yang sudah mereka kenal sebagai seorang pemuda luar biasa berilmu tinggi, juga Ciauw Si, untuk duduk di dalam.

Mula-mula Ciauw Si menolak. "Terima kasih, aku hanya kebetulan lewat saja dan setelah urusan ini selesai aku hendak melanjutkan perjalananku."

"Aihh, Lie-siocia, mengapa begitu sungkan? Setelah pertemuan yang amat kebetulan ini, agaknya kita sudah ditakdirkan untuk menjadi sahabat, apa lagi kalau mengingat bahwa baru saja nona sudah menyelamatkan nyawa ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka aku ikut mengharap agar nona sudi memenuhi undangan kami, dan berbicara di dalam untuk mempererat persahabatan," kata Han Houw.

Ciauw Si tersenyum dan tidak mampu menolak lagi. Gu Kok Ban dan Tong Siok dengan sibuk lalu memerintah anak buahnya agar mempersiapkan pesta kecil untuk menghormati pangeran, Sin Liong dan Ciauw Si.

"Perkenalkanlah, Lie-siocia, aku adalah Ceng Han Houw, adik tiri dari sri baginda kaisar dan aku adalah kuasanya dalam melakukan pemeriksaan ke daerah-daerah. Dan dia ini bernama Sin Liong, adik angkatku yang lihai!"

Han Houw tidak mau menyebutkan nama keturunan Sin Liong, sesuai dengan keinginan Sin Liong. Dia sedang berusaha mengambil hati dan menyenangkan Sin Liong, maka dia tak mau menyinggung perasaan adiknya itu. Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang juga memperkenalkan diri kepada Lie Ciauw Si yang dijamu dengan segala kehormatan itu.

Semenjak tiba di tempat itu, Sin Liong tidak pernah membuka mulut dan dia tidak begitu mempedulikan nona yang gagah perkasa itu karena memang tidak mengenalnya.

"Apa bila kami boleh mengetahui, Lie-lihiap murid dari perguruan manakah? Ilmu silatmu sungguh sangat lihai dan mengagumkan sekali, bahkan kami orang-orang tua yang bodoh tak dapat mengenalnya," kata Tong Siok dengan suaranya yang parau dan besar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, kepala botak dan mukanya yang bopeng kasar.

"Ah, ji-pangcu, ilmu silatku hanya hasil kupelajari dari sana-sini, tidak ada harganya untuk disebut," jawab dara itu secara sembarangan saja, dan jelas bahwa gadis ini memang tak ingin memperkenalkan perguruannya. Melihat ini, Pangeran Ceng Han Houw tertawa.

"Hemm, pangcu, banyak pendekar yang tidak ingin diketahui asal-usulnya, dan Lie-siocia ini agaknya juga termasuk seorang di antara para pendekar budiman yang penuh rahasia, maka janganlah bertanya tentang sumber kepandaiannya yang tinggi."

Mereka makan minum dan seperti biasanya, Han Houw pandai sekali bersikap ramah dan menyenangkan. Ada saja bahan percakapan bagi pangeran yang memang cerdik ini, apa lagi karena hatinya memang sangat tertarik kepada gadis itu, maka dia bersikap manis sekali sehingga diam-diam Ciauw Si makin tertarik.

Secara memutar dan tak langsung, seolah-olah bercerita sambil lalu saja, pangeran yang masih amat muda ini menyatakan betapa dia sangat dikasihi oleh sri baginda, dipercaya sekali sehingga memiliki kekuasaan besar di istana. Lalu diceritakannya tanpa disengaja agaknya, bahwa dia masih belum menemukan seorang wanita yang dianggapnya patut untuk mendampinginya.

"Sebagai seorang pangeran yang dekat dengan kaisar, tentu saja banyak gadis diberikan kepadaku," katanya sambil tersenyum dan menggerakkan kedua pundak seakan-akan dia terpaksa oleh keadaan itu, "akan tetapi sesungguhnya aku sudah merasa muak dengan wanita-wanita yang hanya pandai bersolek, bernyanyi atau menari itu, karena mereka itu adalah orang-orang lemah. Padahal sejak kecil aku paling suka akan kegagahan!"

"Ilmu kepandaian silat dari Pangeran Ceng Han Houw amat tinggi, lihiap," kata Tong Siok, bukan untuk menjilat tetapi berkata dengan sejujurnya karena dia pun sudah tahu bahwa pangeran ini memiliki kepandaian yang amat lihai.

Mendengar ini, semakin kagumlah hati Ciauw Si. Hebat pemuda bangsawan ini, pikirnya. Begitu tampan dan ganteng, gagah perkasa, berkedudukan tinggi, manis budi bahasanya pandai bergaul dan tidak sombong, dapat menguasai orang-orang kang-ouw yang gagah dan lihai, dan ternyata malah mempunyai kepandaian yang tinggi pula! Jarang menjumpai seorang pria seperti ini memang!

Agaknya Han Houw dapat menyelami isi pikiran gadis itu melalui sinar mata mereka yang saling bertemu. Kini Ciauw Si lebih berani menentang pandangan mata pangeran itu, dan beberapa kali dia merasa betapa pandang mata yang bersinar tajam itu penuh arti ketika bertemu dengan pandang matanya.

Juga sang pangeran merasa betapa gadis itu kini tidak mengelak lagi, bahkan berusaha untuk menyatakan perasaan melalui sinar mata dan senyum pada bibirnya yang indah itu. Maka bangkitlah Han Houw, menjura ke arah Ciauw Si, kemudian berkatalah pangeran ini dengan suaranya yang halus dan kata-katanya yang teratur rapi seperti layaknya seorang pangeran yang berpendidikan tinggi.

"Lie-siocia, sudah semenjak jaman dulu para pendekar selalu mengutamakan perkenalan melalui ilmu silat yang menjadi kebanggaannya dan yang dilatihnya semenjak kecil. Kini, biar pun kita telah saling berkenalan, namun rasanya masih belum puas hati ini kalau aku belum mengenal ilmu kepandaian nona secara langsung. Maka, berilah kehormatan dan kebahagiaan padaku untuk mengenal ilmu silatmu, nona!" Ini merupakan tantangan untuk adu ilmu, tantangan yang amat halus dan sopan.

Wajah Ciauw Si kembali menjadi kemerahan. Dia cepat-cepat membalas penghormatan pangeran itu, berdiri dengan sikap lemah gemulai.

"Ahh, mana aku berani, pangeran? Kepandaianku biasa saja, sebaliknya pangeran tentu memiliki kepandaian yang amat hebat, karena dengan kedudukan pangeran yang begitu tinggi, apa sulitnya mencari guru yang amat pandai! Pula, ilmu pukulan adalah permainan yang berbahaya, maka aku khawatir kalau-kalau tangan kita yang tidak bermata ini akan mendatangkan malapetaka."

Ini bukan penolakan mutlak, bukan pula tanda takut, bahkan mengandung kekhawatiran kalau sampai mencelakakan pangeran itu. Han Houw tersenyum, "Nona, jangan mengira aku tidak tahu bahwa nona sudah mencapai tingkat yang sedemikian tingginya sehingga di setiap ujung jari nona seakan-akan sudah bermata, mana mungkin melukai orang kalau tidak dikehendaki oleh nona sendiri? Marilah, harap nona tidak sungkan karena sungguh aku ingin sekali menyaksikan kelihaian nona."

"Kami pun berharap agar lihiap sudi membuka mata kami dengan ilmu lihiap yang tinggi dan agar pertemuan ini menjadi semakin menggembirakan," kata pula Sin-ciang Gu Kok Ban memuji. Diam-diam ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini pun ingin sekali menyaksikan sendiri kelihaian sang pangeran yang hanya pernah didengarnya saja.

Oleh karena pada dasarnya Ciauw Si memang ingin sekali menguji kepandaian silat dari pangeran yang amat menarik hatinya ini, akhirnya setelah semua orang kecuali Sin Liong membujuknya, dia lantas berkata, "Baiklah, pangeran, akan tetapi kuharap pangeran suka menaruh kasihan dan jangan menurunkan tangan besi."

"Ha-ha-ha, nona bisa saja merendah. Akulah yang mohon kemurahan nona agar jangan sampai aku roboh mengukur tanah dalam beberapa jurus saja. Nah, silakan, nona."

Han Houw sudah menjauhkan diri dari meja kursi, berdiri di tengah ruangan yang lebar itu menanti Ciauw Si. Dua orang ketua itu memandang penuh perhatian, ada pun Sin Liong yang tidak merasa tertarik karena dia sudah mengenal betul watak pangeran yang mata keranjang dan pandai merayu wanita itu merasa jemu dan juga tidak senang, melanjutkan makan minum dan nampaknya tidak mengacuhkan pertandingan adu ilmu itu.

"Mulailah, pangeran," Ciauw Si berkata setelah berhadapan dengan pangeran itu, segera memasang kuda-kuda dengan gagahnya dan tersenyum manis, matanya menyambarkan kerling maut yang membuat jantung Han Houw makin terguncang.

Memang kekuasaan cinta asmara benar-benar mengherankan. Sekali Ciauw Si terpikat, maka secara otomatis muncullah sifat-sifat kewanitaan yang penuh pikatan dalam dirinya, karena terbawa naluri kewanitaannya! Padahal biasanya, gadis pendekar ini lebih dikenal sebagai seorang wanita yang keras dan agak dingin bila menghadapi kaum pria, bahkan mudah marah kalau mendengar mulut pria mengeluarkan kata-kata yang menggoda, atau melihat pandang mata yang penuh kagum ditujukan kepadanya. Sekarang dia memasang kuda-kuda dengan gerakan indah dan mempersilakan lawannya sambil tersenyum manis!

"Ahhh, engkau terlampau sungkan, Lie-siocia. Biarlah aku bergerak lebih dulu, maafkan," Tiba-tiba Han Houw lalu bergerak maju dan mengirim serangan yang cukup cepat dan dia menggunakan tenaga sinkang-nya yang kuat. Memang pangeran ini ingin sekali menguji sendiri kepandaian dara yang telah menjatuhkan hatinya ini.

"Hiaattttt...!"

Dia menyusulkan serangan lain sehingga secara bertubi-tubi pangeran ini telah mengirim empat kali pukulan yang susul menyusul, sangat cepat dan angin pukulan sampai terasa oleh mereka yang duduk di depan meja. Dua orang ketua itu terkejut bukan main karena dari serangan pertama ini saja sudah membuktikan bahwa nama besar pangeran muda ini bukanlah nama kosong belaka.

"Haaaiiitttt...!"

Ciauw Si bergerak dengan amat indah, langkah-langkahnya teratur dan tubuhnya seperti menari-nari ketika dia mengelak secara beruntun dengan sangat mudahnya, seolah-olah serangan yang sangat cepat serta bertenaga itu bukan apa-apa baginya, dan dia masih sempat melempar kerling dan senyum.

Akan tetapi, pada saat itu Sin Liong tertegun di atas kursinya. Dia mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh gadis itu! Itulah langkah-langkah Thai-kek Sin-kun! Tidak salah lagi! Thai-kek Sin-kun yang dimainkan dengan amat baiknya oleh gadis itu. Mudahlah diduga bahwa tentu gadis itu menerima pelajaran Thai-kek Sin-kun dari tangan pertama!

Ada hubungan apakah antara gadis ini dengan mendiang kakeknya, atau dengan ayah kandungnya? Mulailah Sin Liong tertarik sekali dan sekarang dia pun mengikuti jalannya pertandingan itu dengan penuh perhatian.

Diam-diam Ceng Han Houw juga girang dan kagum sekali. Tepat dugaannya. Nona ini bukanlah seorang gadis kang-ouw biasa, bukan seorang ahli silat biasa. Jelas bahwa ilmu silatnya bersumber dari ilmu silat yang amat tinggi! Maka makin hebatlah dia melancarkan serangannya.

Akan tetapi semua serangan Han Houw dapat dielakkan atau ditangkis dengan baiknya oleh gadis itu! Bahkan ketika pangeran itu sengaja mengerahkan tenaga dan mengadu lengan untuk menguji tenaga lawannya, dia merasakan lengannya tergetar, tanda bahwa lengan halus itu penuh berisi tenaga sinkang pula! Makin kagum dan tertarik pula hatinya. Benar-benar seorang dara yang jarang terdapat, seorang gadis pilihan!

Di lain fihak, Ciauw Si juga terkejut dan kagum bukan main. Biar pun dia mengenal ilmu silat pangeran ini sebagai ilmu silat tingkat tinggi yang bersumber dari ilmu silat golongan sesat, namun harus diakuinya bahwa ilmu silat yang dimiliki pangeran itu amat hebat, dan tenaga sinkang-nya juga amat kuat! Kiranya pangeran ini benar-benar seorang yang lihai! Karena ingin memamerkan kepandaiannya, gadis itu tiba-tiba mengubah gerakannya dan tiba-tiba saja tubuhnya berputaran seperti gasing dan dengan gerakan ini dia menyerang lawan!

"Ehhhh...!" Pangeran Ceng Han Houw terkejut sekali.

Terpaksa dia main mundur dan bersikap waspada, dan karena tubuh gadis itu berpusing sedemikian cepatnya sambil keempat kaki tangannya kadang-kadang menyerang secara tiba-tiba, Han Houw tidak dapat mengandalkan kelincahan tubuh mengelak, namun harus menjaga diri dengan tangkisan-tangkisan cepat.

Kembali Sin Liong menahan napas. Itu adalah In-keng Hong-wi (Awan Mencipta Angin dan Hujan), jurus ke delapan dari San-in Kun-hoat! Jelaslah bahwa gadis ini memang ada hubungannya dengan Cin-ling-pai, tidak salah lagi!

Dengan jurus yang hebat ini, Pangeran Han Houw langsung terdesak. Pangeran ini cepat menggunakan langkah-langkah Pat-kwa-po maka barulah dia berhasil menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu.

"Hebat...!" serunya kagum ketika nona itu menghentikan serangannya dengan jurus luar biasa itu.

Tiba-tiba saja Ceng Han Houw melakukan dorongan kedua tangannya ke depan. Melihat betapa dahsyatnya serangan ini, dan terutama karena ingin menguji tenaga lawan, juga ada dorongan dari hatinya untuk mengadu telapak tangan dengan pangeran yang makin menarik hatinya itu, Ciauw Si cepat mendorongkan kedua tangannya pula.

"Plakkk!"

Dua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan untuk beberapa detik lamanya mereka saling dorong. Ciauw Si merasa betapa kuatnya lawan, dan dia hampir saja tidak mampu menahan ketika tiba-tiba pangeran itu mengurangi tenaganya sehingga kekuatan mereka berimbang.

Tentu saja Ciauw Si merasakan hal ini dan kini mereka merasakan betapa ada getaran-getaran halus menjalar melalui dua telapak tangan mereka yang saling melekat, getaran yang aneh dan terus menjalar sampai ke jantung, yang membuat pipi mereka berwarna merah sekali dan kedua mata mereka saling pandang bagaikan tidak mau berpisah lagi. Pandang mata yang mengandung kemesraan, dan getaran dari sentuhan telapak tangan itu berubah hangat dan nikmat, mendatangkan rasa malu kepada Ciauw Si yang cepat menarik kedua tangannya sambil berseru,

"Aku mengaku kalah...!"

Ceng Han Houw tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh nona terlampau merendah! Selama hidup belum pernah aku Pangeran Ceng Han Houw berjumpa dengan seorang yang demikian lihai seperti nona. Sungguh aku merasa takluk dan kagum sekali, Lie-siocia!"

"Pangeran terlalu memuji..." Ciauw Si tersipu malu, akan tetapi isi hatinya hanya dia yang tahu, girang dan bangga bukan main!

Mereka melanjutkan makan minum dan Sin Liong hanya mendengarkan saja ketika Han Houw dan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang memuji-muji Ciauw Si. Akan tetapi kini dia pun mulai memperhatikan nona itu karena dia amat tertarik melihat ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai dimainkan secara demikian baiknya oleh nona ini.

Ia teringat akan cucu perempuan yang pergi meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari Cia Bun Houw, ayahnya! Gadis inikah cucu kakeknya itu, keponakan dari ayah kandungnya? Agaknya, melihat ilmu silatnya, tidak akan salah lagi kalau gadis ini menerima semua ilmu yang dimainkannya tadi dari kakeknya secara langsung, karena melihat betapa sempurna dan baiknya dia memainkannya.

Sayang bahwa dahulu dia tidak begitu memperhatikan sehingga sama sekali lupa akan nama cucu kakeknya atau saudara misannya itu ketika kakeknya menyebutkan nama itu secara sambil lalu. Benarkah nona Lie Ciauw Si ini keponakan ayah kandungnya? Akan tetapi, oleh karena dia sendiri hendak menyembunyikan hubungan keluarga dengan fihak Cin-ling-pai, maka dia pun diam saja, hanya dia berkeputusan untuk memperhatikan gadis ini dan melindunginya dari mara bahaya!

"Eh, Liong-te, kenapa sejak tadi kau diam saja? Apakah engkau tidak kagum melihat ilmu kepandaian Lie-siocia yang demikian hebatnya?"

Sin Liong terkejut dan mukanya berubah merah ketika semua orang, juga nona cantik itu memandang kepadanya.

"Lie-siocia, engkau tidak tahu bahwa adik angkatku ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada tingkat ilmuku sendiri!" kata pula sang pangeran sambil tertawa kepada Ciauw Si.

Mendengar ini, terkejutlah Ciauw Si. Dia tadi sudah melihat pemuda remaja yang tampan dan pendiam itu, tetapi sama sekali tidak memperhatikannya. Namun sekarang pangeran itu menyatakan bahwa adik angkat pangeran ini mempunyai kepandaian lebih tinggi lagi! Padahal pangeran itu sendiri sudah memiliki kepandaian hebat!

Maka gadis ini memandang dengan kaget dan penuh keheranan kepada Sin Liong, lalu dia pun berkata, "Ahh, pengertianku dalam ilmu silat masih amat dangkal..."

Mendengar ini, Sin Liong merasa kasihan terhadap nona ini. Seorang nona yang gagah perkasa, tetapi di balik pandang mata yang membayangkan kekerasan hati itu terkandung keramahan dan agaknya nona ini sudah terdidik baik untuk merendahkan diri, maka dia cepat bangkit berdiri kemudian menjura. "Ilmu silat Lie-lihiap sungguh amat tinggi sekali! Sungguh aku merasa kagum."

Ciauw Si balas menjura dan mengucapkan terima kasih atas pujian itu. Kemudian atas bujukan fihak tuan rumah yang diperkuat oleh Pangeran Ceng Han Houw, akhirnya Ciauw Si merasa sungkan untuk menolak ketika dia dipersilakan untuk tinggal selama beberapa hari di situ.

Selain fihak tuan rumah amat ramah dan baik kepadanya, juga adanya pangeran itu di situ merupakan daya tarik yang sangat kuat karena diam-diam gadis ini ingin berkenalan lebih akrab dengan Han Houw. Sementara itu, diam-diam Sin Liong selalu mengamati dan menjaga agar dara itu jangan sampai diganggu siapa pun juga.

"Nona Lie Ciauw Si, aku tak perlu menyembunyikan perasaanku kepadamu lagi, aku jatuh cinta kepadamu, nona."

Hening sekali di dalam taman itu mengikuti ucapan Han Houw ini. Mereka duduk saling berdampingan di atas bangku panjang dalam taman di belakang rumah ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Semenjak tadi mereka duduk dalam taman bercakap-cakap dan setelah tinggal dua hari di situ, Ciauw Si sudah menjadi sahabat baik Han Houw. Mereka makin saling tertarik dan akhirnya, pada senja itu, ketika mereka duduk bercakap-cakap dalam taman, Han Houw dengan terus terang menyatakan cintanya!

Mendengar ucapan itu, Ciauw Si segera mengangkat muka memandang wajah pangeran itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Sekarang dia sudah bisa menguasai rasa malu dan sungkan terhadap pangeran yang selalu ramah dan manis budi kepadanya itu, dan saat mendengar pengakuan hati ini, dia ingin sekali meyakinkan dirinya bahwa pangeran itu bicara dari lubuk hatinya.

"Jangan kau ragu-ragu, nona, aku sungguh telah jatuh cinta kepadamu semenjak pertama kali berjumpa, aku kagum melihat kepandaian, kagum melihat kegagahanmu, dan kagum melihat kecantikanmu. Aku cinta padamu dan aku ingin dapat hidup bersamamu sebagai suami isteri."

Meski pun usianya baru sembilan belas tahun, namun Han Houw sudah memiliki banyak pengalaman dengan para wanita, maka mengaku cinta secara terang-terangan seperti itu bukan merupakan hal yang aneh baginya dan dapat dilakukannya dengan tenang-tenang saja! Tidak demikian dengan Ciauw Si. Walau pun usianya sudah dua puluh empat tahun, namun pengalaman ini merupakan yang pertama kali dalam hidupnya!

"Pangeran, sesungguhnyakah apa yang kau ucapkan tadi?" akhirnya terdengar Ciauw Si bertanya, suaranya halus tergetar karena hatinya merasa terharu.

Pangeran itu memegang tangan Ciauw Si, dan dari pertemuan antara kedua tangan itu kembali terdapat getaran halus yang langsung keluar dari perasaan hati mereka.

"Ciauw Si, apakah engkau tak percaya kepadaku? Pandanglah mataku dan engkau tentu dapat menjenguk hatiku melalui mataku. Sungguh mati, selama hidupku baru sekali ini aku jatuh cinta, walau pun sudah banyak wanita diberikan kepadaku sebagai selir. Belum pernah aku jatuh cinta kepada wanita seperti sekali ini, Ciauw Si. Aku cinta kepadamu, perlukah aku bersumpah?"

"Mungkinkah itu? Engkau adalah seorang pangeran yang berkedudukan tinggi sekali, ada pun aku... aku hanyalah seorang gadis..."

"Yang cantik dan manis, yang gagah perkasa, yang budiman, juga aku percaya dan yakin bahwa engkau adalah keturunan keluarga yang amat gagah perkasa!" sambung pangeran itu dan dengan penuh perasaan dia menggenggam tangan yang kecil hangat itu. Namun dengan lembut Ciauw Si menarik tangannya dari genggaman sang pangeran, kemudian menunduk dan alisnya berkerut.

"Tetapi, pangeran... hendaknya kau ingat baik-baik bahwa aku tentu jauh lebih... tua dari padamu! Ingat, usiaku sekarang sudah dua puluh empat tahun dan engkau tentu paling banyak dua puluh... dan..."

Akan tetapi Han Houw sudah merangkulnya dan membiarkan Ciauw Si terisak menangis di pundaknya. Dia mengelus rambut yang halus itu, mulutnya berbisik mesra dekat telinga Ciauw Si.

"Ciauw Si... kenapa engkau meragukan semua itu? Cinta kasih tidak mengenal usia, tidak mengenal kedudukan, bukan? Aku cinta padamu, berikut keadaanmu, kedudukanmu, dan usiamu. Aku mencinta engkau, karena engkau adalah engkau! Nah, apakah kini engkau masih ragu, Ciauw Si? Aku akan mengawinimu, bukan hanya menjadi selirku, aku akan mengambilmu sebagai isteri!"

"Tapi... tapi..."
Tiba-tiba saja Han Houw memegang kedua pundak gadis itu, lalu mendorongnya halus ke belakang sehingga mereka kini saling berhadapan, beradu pandang. "Dengar baik-baik, Ciauw Si! Aku cinta kepadamu, dan tidak ada hal-hal yang akan dapat menahan cintaku kepadamu, kecuali satu, yaitu apa bila engkau tidak dapat menerimanya! Akan tetapi, dari sikapmu, dari pandang matamu, dari suaramu, aku benar-benar yakin bahwa engkau pun cinta kepadaku, bukankah benar dugaanku, Ciauw Si?"

Sejenak mereka saling memandang dan perlahan-lahan ada dua butir air mata mengalir turun di atas kedua pipi yang agak pucat itu. Ciauw Si mengangguk, dan bibirnya berbisik lirih, "Aku... aku cinta padamu, pangeran..."

Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya, tidak dapat karena dengan cepat dan dibarengi seruan tertahan saking gembiranya Han Houw sudah menarik tubuh gadis itu ke dalam dekapannya, kemudian dia mencium bibir gadis itu dengan sepenuh hatinya!

Ciauw Si tersentak kaget. Selamanya baru sekarang dia mengalami ini dan kekagetan membuat tubuhnya menegang kaku, akan tetapi ketika dia merasakan ciuman mesra dari pria yang telah menjatuhkan hatinya itu, dia menjadi terharu lalu dia pun balas merangkul dan membiarkan dirinya hanyut dalam kemesraan yang timbul karena ciuman mesra itu.

Bagai dalam keadaan mimpi atau setengah sadar, Ciauw Si menyerah saja ketika dipeluk, dibelai, diciumi seluruh mukanya dan dia tenggelam ke dalam kemesraan yang membuat dirinya seperti mabuk. Setelah gelombang kegairahan yang menggelora itu agak mereda, Ciauw Si merebahkan kepala di atas dada pangeran itu dalam keadaan lemas laksana kehabisan tenaga.

Dia mendengar suara jantung pangeran itu yang berdentaman keras di dekat telinganya dan dia merasa sangat berbahagia, perasaan yang baru sekarang dirasakannya selama hidupnya. Jari-jari tangan yang membelai rambutnya itu terasa amat mesra, membuatnya memejamkan mata dengan hati merasa tenteram dan damai.

"Yakinkah engkau kini akan cinta kasih antara kita berdua, Ciauw Si? Lenyapkah sudah keraguanmu bahwa aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku, dan bahwa sebenarnya engkau pun mencintaku?"

"...aku yakin... demi Tuhan, aku yakin dan bahagia... aku tak ragu-ragu lagi, pangeran...," bisik gadis itu dengan suara menggetar dan bibir tersenyum penuh kebahagiaan. Ciuman-ciuman tadi masih membuatnya pening, namun kepeningan yang penuh nikmat, seperti orang mabuk arak yang baik.

"Kekasihku... calon isteriku yang baik, kalau begitu mari kau ikut bersamaku ke kamarku, akan kubuktikan kepadamu cinta kasihku yang mendalam, Ciauw Si..."

Akan tetapi, begitu mendengar kata-kata ini, secepat kilat Ciauw Si menarik tubuhnya dari pelukan pangeran itu, cepat meloncat ke belakang lalu memandang dengan mata berkilat kepada pangeran itu.

"Kau... kau..."

Pangeran Ceng Han Houw terkejut bukan main melihat perubahan pada diri kekasihnya ini. "Ciauw Si, mengapa kau? Kau kelihatan marah, kenapa?"

"Pangeran, seperti itukah cintamu?"

"Ehh...? Kenapa? Apa salahku kepadamu, Ciauw Si?"

Wajah itu menjadi merah dan suaranya terdengar kaku dan dingin, "Hemm, engkau masih bertanya lagi? Engkau... mengajakku ke kamarmu! Patutkah itu? Begitu kotor dan rendah cintamu!"

Kini pangeran itulah yang terbelalak. "Ahhh? Bagaimana ini? Apa salahnya bagi kita yang saling mencinta untuk menumpahkan dan membuktikan cinta kasih antara kita di dalam kamar? Apa kotornya dan apa rendahnya hal itu, Ciauw Si? Sungguh aku tak mengerti..."

"Hemmm, jangan pura-pura tidak mengerti, pangeran! Kau kira aku semacam perempuan yang mudah saja kau rayu kemudian kau bujuk untuk menyerahkan kehormatanku? Aku bukan perempuan murah seperti itu!"

"Ehh, ehhh... nanti dulu, Ciauw Si, mengapa engkau berpandangan demikian? Aku cinta padamu... dan kalau aku mengajakmu ke kamarku, itu adalah karena cintaku kepadamu, sama sekali bukan dengan maksud yang tidak baik. Apa salahnya bila kita mengadakan hubungan, setelah kita saling mencinta?"

Kini Ciauw Si yang menjadi bingung. Benar-benarkah pangeran itu tidak menganggap hal seperti itu kotor, rendah dan menghina wanita? "Pangeran, seorang wanita yang sopan dan bersih sampai mati tidak akan mau menyerahkan kehormatannya kepada pria mana pun, kecuali kepada laki-laki yang telah resmi menjadi suaminya!"

"Ahhh...!" Kini wajah pangeran itu berseri. "Ahh, maafkan aku, Ciauw Si! Engkau benar, sungguh aku sudah lupa diri. Hal ini adalah karena setiap kali orang menyerahkan wanita untuk menjadi selirku, tidak pernah ada upacara apa-apa. Maka aku pun menjadi terbiasa dan bebas! Aku girang, aku bangga bahwa engkau berbeda dengan mereka! Tentu saja! Aku bersumpah tidak akan menjamahmu lagi sebelum kita resmi menjadi pengantin! Kau maafkanlah aku, Ciauw Si, bukan maksudku untuk menghinamu, sungguh mati, bukan..."

Pelan-pelan muka yang merah padam itu mulai menjadi normal kembali dan amarahnya mereda. Akhirnya wanita itu duduk lagi di samping pangeran dan memegang tangannya.

"Kaulah yang harus memaafkan aku, pangeran. Aku tadi terkejut sekali maka aku menjadi marah ahhh, engkau memang mengejutkan aku dengan ajakan itu. Syukur engkau tidak berniat buruk, engkau tidak sengaja... percayalah, setelah kita resmi menjadi suami isteri, aku tentu bersedia menyerahkan segala-galanya kepadamu dengan tulus ikhlas dan rela, pangeran."

Sang pangeran lalu merangkul dan kembali Ciauw Si merebahkan kepalanya di atas dada pangeran itu. Perasaannya nyaman sekali, makin besar kebahagiaannya bahwa pangeran ini sungguh-sungguh amat mencinta kepadanya, bukan sekedar hendak mempermainkan dirinya!

Mereka berdua tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, sepasang mata selalu mengintai dan mata ini adalah mata Sin Liong! Sejak tadi pemuda ini selalu mendengarkan percakapan mereka. Tadi dia mengalami ketegangan, tetapi akhirnya dia merasa lega dan dia merasa heran mengapa pangeran itu sekali ini benar-benar jatuh cinta dan tidak mempunyai niat buruk terhadap dara itu. Dia pun tidak mengintai lebih jauh karena tahu bahwa gadis itu tidak memerlukan perlindungannya lagi. Maka pergilah dia dari tempat sembunyinya.

"Ciauw Si, sungguh sikapmu tadi juga sangat mengejutkan dan mengkhawatirkan hatiku, akan tetapi akhirnya aku malah merasa bangga sekali! Engkau adalah gadis idamanku, cantik, gagah perkasa, budiman, dan juga bukan wanita murahan! Ahhh, sungguh aneh sekali. Kita saling mencinta seperti ini, akan tetapi aku belum pernah mendengar riwayat dirimu! Ciauw Si, ceritakanlah tentang keluargamu agar aku tahu kepada siapa aku harus meminangmu kelak."

Dengan hati terasa nyaman gadis itu lalu menceritakan keadaannya, bahwa ibunya telah menjadi janda dan bahwa ibunya adalah puteri ketua Cin-ling-pai dan dia sendiri dididik ilmu silat oleh ketua Cin-ling-pai yaitu kakeknya. Bahwa dia sedang pergi meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari seorang pamannya, yaitu Cia Bun Houw yang amat dirindukan oleh kakeknya.

Dapatlah dibayangkan alangkah kaget hati Pangeran Ceng Han Houw mendengar bahwa gadis yang dicintanya itu adalah keponakan dari pendekar Cia Bun Houw, dan puteri dari pendekar wanita Cia Giok Keng yang pada saat itu sedang menjadi buronan! Akan tetapi hatinya terasa lega karena betapa pun juga, secara pribadi dia sama sekali tidak memiliki permusuhan apa pun dengan para pendekar itu. Yang memusuhi para pendekar she Cia dan Yap adalah Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, guru dan kakak seperguruannya, namun dia sendiri secara pribadi sama sekali tidak pernah bermusuhan dengan mereka. Apa lagi, gadis ini biar pun masih keluarga dari pendekar itu, nyatanya she Lie, bukan she Yap atau she Cia atau Tio! Maka tenanglah hatinya, bahkan dia merangkul dan berkata dengan suara penuh kebanggaan.

"Aihh! Kiranya engkau adalah cucu ketua Cin-ling-pai, bahkan muridnya! Pantas saja ilmu kepandaianmu demikian hebatnya, kekasihku," Dan dia mencium Ciauw Si yang merasa girang akan pujian itu.

Biar pun melakukan hubungan kelamin sebelum dia menikah merupakan pantangan keras bagi Ciauw Si, namun dia tidak dapat menolak ketika pangeran itu kembali mendekapnya, membelai dan menciuminya. Betapa pun juga, harus diakuinya bahwa ada gairah di dalam hatinya yang bernyala, bergelora dan yang mendorongnya untuk membalas penumpahan kasih sayang dari pangeran ini.

Sampai senja terganti malam gelap dan terdengar suara ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang mencari mereka, barulah mereka berdua bangkit dan sambil berpegangan tangan mereka pergi meninggalkan taman itu. Sambil melangkah perlahan-lahan, pangeran itu bertanya ke mana kekasihnya hendak pergi dan bagaimana dia dapat mengajukan pinangan.

"Sudah terlalu lama aku meninggalkan Cin-ling-pai," jawab Ciauw Si. "Dari sini aku akan kembali ke Cin-ling-san, kemudian aku akan pulang ke rumah ibuku di Sin-yang dan aku... aku akan menanti kunjunganmu di sana, pangeran."

Diam-diam hati pangeran itu terharu. Dia tidak berani menceritakan, akan tetapi dia dapat membayangkan betapa hati kekasihnya ini akan merana dan menderita pukulan hebat kalau mengetahui bahwa kakeknya, ketua Cin-ling-pai, telah meninggal dunia dan betapa ibunya kini telah menjadi buronan pemerintah!

"Baiklah, kekasihku, engkau tunggu saja. Kelak akan tiba waktunya aku mencarimu dan meminangmu dari ibumu. Sementara itu, jika engkau membutuhkan bantuanku, atau bila hendak mencariku, datanglah saja ke istana. Kalau engkau mengaku sebagai tunanganku atau sahabatku kemudian memperlihatkan cincin ini, tentu engkau akan diterima dengan kehormatan sebagai tamu agung."

Setelah berkata demikian, Pangeran Ceng Han Houw mencabut cincin yang dipakainya di jari manis tangan kirinya, sebuah cincin bermata mutiara yang amat indah, kemudian dia memegang tangan kanan Ciauw Si dan memasangkan cincinnya itu ke jari telunjuk Ciauw Si. Pas sekali!

Ciauw Si mencium cincin di jari tangannya itu dan barulah mereka memasuki ruangan di mana dua orang ketua telah menanti dan mereka itu memandang dengan wajah berseri. Sebagai orang-orang tua berpengalaman mereka maklum akan apa yang terjadi di antara dua orang muda itu. Sin Liong juga sudah menanti mereka di situ dan mereka lalu makan malam dengan penuh kegembiraan.

Pada keesokan harinya, Lie Ciauw Si melanjutkan perjalanannya, atau lebih tepat lagi, dia mengakhiri perjalanannya untuk kembali ke Cin-ling-san dengan hati ringan dan penuh kebahagiaan. Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw bersama Sin Liong lalu melanjutkan perjalanannya mencari Ouwyang Bu Sek.

********************

Sementara itu, dua pasang suami isteri pendekar di lereng bukit Bukit Bwee-hoa-san, Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong menjadi terkejut sekali ketika mereka mendengar suara bising dari pasukan kerajaan yang menyerbu ke lereng itu.

Terlambat, pikir mereka dan diam-diam mereka merasa kasihan kepada mata-mata yang menyampaikan berita kepada mereka tadi. Tentu sudah tertangkap. Akan tetapi, mereka tidak sempat memikirkan nasib mata-mata itu karena pasukan telah muncul dan mereka harus cepat bertindak.

Mengingat akan keadaan adiknya yang sedang mengandung, Kun Liong lantas menyuruh isterinya, Cia Giok Keng, menemani In Hong untuk lebih dahulu melarikan diri ke utara, sedangkan dia sendiri bersama Bun Houw akan menghadapi pasukan yang menyerbu dari selatan itu. Dua orang wanita pendekar itu mula-mula tidak setuju dan mereka ingin menghadapi musuh di samping suami mereka.

"Apa artinya empat orang dari kita menghadapi musuh yang ratusan orang, bahkan ribuan orang banyaknya?" bantah Kun Liong. "Tidak, kalian berdua harus pergi lebih dulu, apa lagi Hong-moi sedang mengandung, tidak baik untuk mempergunakan tenaga melakukan pertempuran."

"Apa yang dikatakan oleh Liong-ko itu sungguh tepat, dan kita tidak boleh ragu-ragu lagi," sambung Bun Houw. "Apa lagi kita bukanlah pemberontak, dan sama sekali tidak pernah terkandung di dalam hati kita hendak menentang pemerintah, apa lagi melawan pasukan kerajaan. Kita hanya membela diri, maka biarlah kalian melarikan diri lebih dahulu, kami berdua akan menahan mereka kemudian setelah mendapat kesempatan, kami pun tentu akan melarikan diri."

"Akan tetapi ke mana kami harus pergi?" Cia Giok Keng, nyonya muda yang masih amat bersemangat itu membantah.

In Hong yang di dalam hatinya juga tidak setuju, akan tetapi karena maklum bahwa dalam keadaan mengandung tak mungkin baginya untuk bisa mengerahkan tenaga sepenuhnya tanpa membahayakan kandungannya, hanya diam saja.

"Kau ajaklah Hong-moi lari ke rumah anak kita di Yen-tai, dan untuk sementara kalian bersembunyi di sana, kami akan menyusul kalian secepatnya," Kun Liong berkata dengan tergesa-gesa karena suara bising kini semakin mendekat. "Jangan lupa, hati-hatilah agar jangan sampai ada yang tahu bahwa kalian memasuki Yen-tai agar anak kita tidak sampai terbawa-bawa."

Karena kini pasukan kerajaan sudah datang dekat, dua orang nyonya itu tidak membuang waktu lagi dan cepat mereka melarikan diri ke utara, berlawanan dengan pasukan yang naik ke bukit dari selatan.

Biar pun sedang mengandung, tetapi karena tingkat kepandaiannya memang sudah amat tinggi, In Hong dapat melarikan diri dengan cepat tanpa membahayakan dirinya, tanpa mengerahkan tenaga banyak-banyak. Dengan cepat dua orang wanita perkasa ini sudah turun dari lereng Bukit Bwee-hoa-san.

Akan tetapi ketika mereka tiba di kaki bukit itu, tiba-tiba saja dari balik semak-semak dan pohon-pohon berlompatan keluar pasukan pemerintah yang agaknya sudah berjaga-jaga di tempat itu! Dalam waktu yang cepat sekali telah muncul puluhan orang prajurit, bahkan agaknya tak kurang dari seratus orang! Dan seorang perwira telah bergerak meneriakkan aba-aba kepada mereka untuk bergerak menangkap dua orang pendekar wanita itu!

Yap In Hong adalah seorang wanita yang cantik jelita meski pun dalam keadaan sedang mengandung lima bulan, sedangkan Cia Giok Keng, walau pun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, juga masih tampak cantik, maka para prajurit itu segera tersenyum dan menyeringai girang pada waktu menerima perintah yang dianggapnya menyenangkan dan sangat ringan itu.

Mereka seperti segerombolan srigala yang berebut saling mendahului hendak menerkam dua ekor kelinci. Akan tetapi begitu orang-orang pertama menerjang, ternyatalah bahwa yang disangka kelinci-kelinci gemuk itu adalah dua ekor singa betina yang amat liar dan hebat! Dua orang wanita itu langsung menggerakkan kaki tangan dan dalam segebrakan saja empat orang prajurit telah terlempar dan mengaduh-aduh, tak mampu bangkit berdiri lagi!

Gegerlah para pasukan itu dan baru teringat oleh mereka bahwa kedua orang wanita ini adalah pemberontak-pemberontak, buronan yang memiliki kepandaian amat tinggi! Maka mereka lalu mengurung dan menerjang dari semua jurusan. Terjadilah pertempuran yang hebat karena betapa pun juga, dua orang itu tidak mau menyerah begitu saja.

Sayang bahwa Yap In Hong sedang mengandung sehingga dia tidak berani mengerahkan tenaga sinkang terlalu kuat. Andai kata tidak demikian, tentu amukannya akan membuat seratus orang pasukan itu tidak berdaya, apa lagi ada Cia Giok Keng yang membantunya. Sekarang mereka dikepung rapat dan terdesak oleh serangan bertubi-tubi, biar pun tidak mudah pula bagi para prajurit itu untuk dapat merobohkan dua orang wanita perkasa ini.

"In Hong, larilah, biar aku menahan tikus-tikus ini!" kata Cia Giok Keng.

"Tidak, kita lari berdua, atau tinggal berdua!" In Hong berkata.

Mendadak Cia Giok Keng membentak ke arah para pengeroyoknya dengan suara lantang dan melengking tinggi, "Mundurlah kalian! Kami tidak ingin membunuh kalian! Akan tetapi kalau kalian mendesak, apa boleh buat, kami harus mempertahankan diri!"

Setelah berkata demikian, nyonya yang perkasa ini sudah mencabut pedangnya sehingga nampaklah sinar berkilauan putih. Nyonya itu sudah mencabut pedangnya yang sejak tadi tak pernah dipergunakan, yaitu Gin-hwa-kiam.

Memang kedua orang nyonya ini sudah beberapa kali menerima pesan dari suami-suami mereka bahwa mereka itu bukanlah pemberontak-pemberontak, oleh karena itu mereka tak boleh membunuh pasukan kerajaan yang hanya menerima perintah atasannya. Maka ketika dikeroyok tadi, mereka hanya mengandalkan kaki tangan untuk menjaga diri.

Menghadapi ancaman itu, tentu saja para prajurit tidak mau mundur, bahkan mereka kini pun mengeluarkan senjata masing-masing dan mengurung dua orang wanita itu dengan ketat.

"Lebih baik kalian berdua menyerah saja dari pada harus menghadapi kekerasan!" bentak seorang perwira.

"Majulah! Siapa maju lebih dulu akan mampus lebih dulu," In Hong yang sudah marah itu pun membentak.

Empat orang prajurit menyeringai, kemudian dengan tombak di tangan mereka menubruk ke arah nyonya cantik yang sedang mengandung ini. Akan tetapi nampak sinar hijau dan empat orang itu memekik ngeri dan roboh, tewas seketika karena mereka telah menjadi korban serangan Siang-tok-swa (Pasir Harum Beracun) yang dilepas oleh Yap In Hong tadi. Gegerlah para prajurit dan mereka itu segera menerjang dengan senjata mereka. Cia Giok Keng memutar pedangnya dan Yap In Hong juga melawan sambil kadang-kadang merobohkan beberapa orang dengan pasir beracun itu.

Tiba-tiba saja terdengar bentakan halus dari luar kepungan. "Ibu, jangan takut, aku datang membantumu!"

"Ciauw Si...!" Cia Giok Keng berseru dengan isak tertahan pada saat dia mengenal suara puterinya yang telah pergi untuk bertahun-tahun itu.

Kepungan itu mulai bobol dan rusak akibat mengamuknya Lie Ciauw Si dari sebelah luar. Dara ini marah bukan kepalang melihat ibunya terkepung, maka dia melempar-lemparkan para prajurit seperti orang melempar-lemparkan rumput kering saja!

Tingkat kepandaian Lie Ciauw Si memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibunya, dan walau pun dia tidak dapat dikatakan selihai In Hong, akan tetapi nyonya ini sedang mengandung sehingga tidak dapat mengeluarkan kepandaiannya.

Munculnya dara yang mengamuk hebat itu membuat para prajurit yang tadinya memang sudah sangat gentar menghadapi kedua orang nyonya yang benar-benar lihai itu menjadi kalang kabut.

"Ibu... bibi... lari...!" Ciauw Si berseru setelah berhasil membuka kepungan itu.

Mereka kemudian melarikan diri, In Hong di depan, dan Giok Keng bersama puterinya di belakang sambil menahan para prajurit yang mengejar mereka. Dengan menggunakan ilmu berlari cepat, dan ditambah lagi karena para pengawal pengejar itu sudah merasa gentar dan mereka menanti bala bantuan, akhirnya tiga orang wanita ini dapat melarikan diri dan tidak dapat disusul lagi oleh para prajurit.

Sementara itu, Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw juga sudah mengamuk ketika mereka dikurung oleh banyak sekali prajurit. Mereka tidak mau membunuh, hanya merobohkan para pengeroyok tanpa mengakibatkan luka parah. Memang mereka sengaja mengamuk hanya untuk menahan agar para prajurit tidak melakukan pengejaran kepada isteri-isteri mereka. Mereka melihat seorang nenek muka hitam beserta seorang wanita cantik yang berdiri di belakang pasukan, dan tahulah dua orang pendekar ini bahwa yang memimpin pengepungan ini bukan lain adalah musuh-musuh lama mereka, yaitu Hek-hiat Mo-li dan muridnya, Kim Hong Liu-nio yang lihai!

Melihat mereka, dua orang pendekar ini menjadi amat marah, akan tetapi juga kaget dan khawatir akan keselamatan isteri mereka yang telah lebih dulu melarikan diri. Dua orang wanita itu adalah orang-orang yang kejam dan cerdik, maka sebaiknya kalau mereka itu dipancing agar makin menjauhi arah larinya isteri mereka. Kun Liong lalu berteriak nyaring dan meloncat jauh sambil berseru.

"Bun Houw, lari...!"

Bun Houw tidak membantah dan meloncat, mengikuti kakak iparnya dan mereka berdua melarikan diri ke barat.

Memang sejak tadi Kim Hong Liu-nio sudah merasa amat heran melihat bahwa dua orang wanita isteri kedua orang pendekar tidak nampak. Tidak mungkin kedua orang wanita itu bersembunyi karena keduanya adalah wanita-wanita yang berkepandaian tinggi. Tentu mereka itu kebetulan sedang pergi, pikirnya. Maka ketika melihat dua orang pendekar itu melarikan diri, Kim Hong Liu-nio mengeluarkan aba-aba untuk melakukan pengejaran.

Dia maklum akan kelihaian kedua orang pendekar itu, maka walau pun dia dibantu oleh gurunya, dia tidak berani ceroboh turun tangan sendiri tanpa bantuan pasukan yang besar jumlahnya. Kim Hong Liu-nio mengira bahwa tentu dua orang pendekar itu akan memberi tahu isteri-isteri mereka untuk bersama-sama melawan pasukan atau bersama melarikan diri, maka dia mengajak gurunya untuk melakukan pengejaran.

Tentu saja Kun Liong dan Bun Houw bukan melarikan diri karena takut, melainkan untuk memancing mereka itu mengejar supaya isteri-isteri mereka sempat meloloskan diri dari Bwee-hoa-san. Mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa isteri-isteri mereka itu kini tengah menghadapi pengeroyokan para prajurit yang oleh Kim Hong Liu-nio memang telah ditugaskan untuk melakukan penjagaan di sekeliling bukit itu!

Setelah merasa cukup jauh meninggalkan Bwee-hoa-san dan tak lagi berlari terlalu cepat sehingga pasukan itu dapat mengikuti mereka terus, dua orang pendekar itu berhenti di luar sebuah hutan. Dengan bertolak pinggang mereka menanti datangnya pasukan yang masih dipimpin oleh nenek muka hitam dan muridnya itu. Setelah mereka tiba dekat, Cia Bun Houw lalu membentak dengan suara lantang berwibawa,

"Berhenti kalian semua! Sebagai prajurit-prajurit kerajaan, apakan kalian telah lupa bahwa keluarga Cin-ling-pai semenjak dahulu adalah keluarga pendekar yang selalu membantu pemerintah menghadapi para pemberontak? Mendiang ayahku, Cia Keng Hong, bahkan menjadi sahabat baik dari mendiang Panglima The Hoo! Kalau sekarang kami sekeluarga dianggap pemberontak, hal itu hanyalah fitnah semata! Dan pada suatu hari kami pasti akan dapat membongkar rahasia fitnah busuk ini!"

Melihat sikap pendekar yang amat gagah itu, dan juga mendengar ucapan itu, maka para prajurit, terutama mereka yang sudah lama mengenal nama besar keluarga Cin-ling-pai, nampak gentar. Dan benar saja, mereka berhenti bergerak dan hanya berdiri memandang kepada dua orang pendekar itu.

Melihat ini, Bun Houw dan Kun Liong cepat melompat ke depan dan masing-masing telah menerjang Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li! Dua orang wanita itu cepat menyambut serangan mereka dan dari mulut Hek-hiat Mo-li keluar suara meringkik yang aneh seperti seekor kuda marah, padahal nenek ini bermaksud tertawa karena hatinya gembira sekali memperoleh kesempatan untuk bertanding melawan seorang musuh-musuhnya! Memang nenek ini sudah pikun, namun dia masih lihai sekali ketika menyambut terjangan Yap Kun Liong.
Selanjutnya,

Pendekar Lembah Naga Jilid 32

Pendekar Lembah Naga Jilid 32
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PENDEKAR Yap Kun Liong kini sudah berusia lima puluh dua tahun, namun masih nampak muda dan gagah penuh semangat, sedangkan pendekar Cia Bun Houw yang berusia tiga puluh enam tahun itu kelihatan sehat gagah, biar pun di wajahnya yang tampan terbayang kekhawatiran. Tentu saja pendekar ini merasa amat gelisah bila mengingat akan keadaan isterinya yang mengandung pertama sudah harus menjadi buronan seperti itu.

Suara derap kaki kuda tunggal memecahkan kesunyian pagi hari yang tenteram itu. Dua orang pendekar itu terkejut, menunda cangkul masing-masing, saling pandang, kemudian mereka menoleh ke arah suara datangnya derap kaki kuda itu. Nampaklah oleh mereka seorang laki-laki berpakaian petani membalapkan kuda menuju ke sana, melalui sebuah lorong atau jalan setapak dengan cepat.

Tentu saja dua orang pendekar ini menjadi curiga karena walau pun orang itu berpakaian petani, namun cara orang itu duduk di atas kuda membuktikan bahwa orang itu adalah seorang ahli menunggang kuda dan tubuh orang itu yang duduk tegak jelas mengandung kekuatan terlatih. Maka begitu penunggang kuda itu melewati tempat kerja mereka dan terus membalap menuju ke arah pondok, dua orang pendekar ini pun cepat meninggalkan cangkul mereka di atas ladang, kemudian berlari mengejar. Tentu saja mereka tak begitu khawatir karena isteri mereka bukan orang-orang lemah, apa lagi yang datang berkunjung secara mencurigakan ini hanya satu orang saja.

Baru saja penunggang kuda itu meloncat turun dari kudanya di depan dua buah pondok itu, orang ini sudah berteriak dengan suara lantang. "Cia-taihiap! Yap-taihiap! Harap lekas keluar!"

Yang keluar adalah Cia Giok Keng dan Yap In Hong, dua orang pendekar wanita itu yang tadi telah mendengar suara derap kaki kuda dan sudah siap-siap. Dan pada saat itu juga, Cia Bun Houw dan Yap Kun Liong juga sudah berada di situ.

"Siapakah engkau dan mau apa?" Yap Kun Liong berkata dengan suara halus akan tetapi penuh wibawa.

Orang itu sejenak memandang kepada dua orang pendekar ini. Dia belum pernah bertemu muka dengan mereka, namun dia telah memperoleh gambaran jelas tentang wajah kedua orang pendekar itu, maka kini dia mengenal mereka dan cepat menjura dengan hormat.

"Harap ji-wi taihiap sudi memaafkan saya kalau saya mengganggu dan mengejutkan ji-wi. Kedatangan saya ini membawa berita penting sekali, yaitu bahwa pada hari ini juga akan ada pasukan yang datang menyerbu ke sini, maka harap ji-wi taihiap dan ji-wi lihiap dapat bersiap-siap untuk meninggalkan tempat ini."

Sekali menggerakkan tubuh dan tangan, Cia Bun Houw sudah mencengkeram leher baju orang itu tanpa dia mampu mengelak lagi. Tentu saja Bun Houw menggunakan gerakan ini untuk menguji dan dia tahu bahwa orang ini tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, karena reaksinya ketika dia bergerak jauh kurang dan amat terlambat. Maka dia lalu menghardik dengan suara mengancam untuk membikin takut orang itu agar jangan membohong.

"Siapa engkau?!"

Orang itu kelihatan tenang saja dan ini sudah membuktikan bahwa dia tidak mempunyai iktikad buruk. "Nama saya Lie Tek," jawabnya cepat.

"Mengapa engkau datang memperingatkan kami dan bagaimana engkau dapat mengenal kami?" tanya Bun Houw lagi tanpa melepaskan cengkeramannya.

"Harap Cia-taihiap tidak salah sangka. Biar pun saya belum pernah bertemu dengan ji-wi taihiap, namun kami semua sudah memperoleh gambaran cukup jelas tentang ji-wi. Saya adalah salah seorang di antara banyak mata-mata yang disebar oleh Pangeran Hung Chih untuk menyelamatkan ji-wi taihiap dari pengejaran pasukan yang dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio dan sekarang saya datang untuk memberi peringatan kepada ji-wi karena sudah pasti hari ini pasukan itu akan datang menyerbu karena tempat ini telah mereka ketahui."

Cia Bun Houw melepaskan cengkeramannya. Dengan tenang Yap Kun Liong lalu minta kepada orang yang mengaku bernama Lie Tek itu untuk bercerita selengkapnya tentang mereka yang mengaku mata-mata yang disebar oleh Pangeran Hung Chih.

Lie Tek, mata-mata itu lalu menceritakan secara singkat tentang diri Pangeran Hung Chih. Ternyata pangeran yang tidak setuju dengan sikap kaisar mengenai keluarga Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak, pada saat melihat betapa Kim Hong Liu-nio berhasil merayu kaisar lalu mendapatkan kekuasaan untuk mengerahkan pasukan mencari para pendekar yang buron itu dan diperkenankan pula menumpasnya, diam-diam telah berunding dengan para menteri tua hingga akhirnya mereka mengambil keputusan untuk secara diam-diam membantu para pendekar itu agar jangan sampai terdapat oleh para pengejarnya.

"Pangeran Hung Chih dan para menteri tua yakin akan kesetiaan keluarga Cia dan Yap, oleh karena itu beliau berusaha melindungi, sungguh pun tentu saja tidak berani secara berterang, karena Kim Hong Liu-nio telah memperoleh dukungan dari sri baginda sendiri." Demikian Lie Tek mengakhiri penuturannya secara singkat.

Empat orang pendekar yang mendengarkan menjadi terharu kemudian diam-diam mereka mencatat nama Pangeran Hung Chih sebagai seorang pangeran yang bersahabat.

"Kalau begitu, kami berterima kasih sekali dan maafkan sikapku, Lie-twako," kata Cia Bun Houw.

Mata-mata itu menjura dan berkata, "Saya telah menyampaikan tugas, harap ji-wi berdua dan lihiap berdua suka cepat meninggalkan tempat ini sebelum terlambat, dan saya pun tidak berani lama-lama tinggal di sini. Saya mohon diri, ji-wi taihiap!"

Cia Bun Houw dan Yap Kun Liong membalas penghormatan itu. Lie Tek lalu meloncat ke atas punggung kudanya, kemudian membalapkan kuda itu menuju lereng melalui arah yang berlawanan dengan ketika dia datang diikuti pandang mata keempat orang pendekar itu yang masih bersikap tenang.

Empat orang pendekar ini tidak tahu bahwa ketika Lie Tek tiba di sebuah tikungan di balik bukit, tiba-tiba muncul belasan orang mata-mata musuh, yaitu mata-mata dari pasukan Kim Hong Liu-nio. Dia ditangkap dan tidak mungkin dapat melawan menghadapi belasan orang itu. Dia disiksa agar mengaku, akan tetapi Lie Tek tetap menutup mulutnya sampai akhirnya dia mati dalam siksaan!

Kemudian para mata-mata ini cepat mengirim berita kepada Kim Hong Liu-nio yang lantas mengerahkan seratus orang lebih pasukan untuk mengepung dan menyerbu!

********************

Kita tinggalkan dulu keadaan empat orang pendekar yang terancam bahaya maut itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Lie Ciauw Si. Kita hanya mengetahui bahwa gadis puteri Cia Giok Keng atau adik dari Lie Seng ini telah meninggalkan Cin-ling-pai beberapa tahun yang lalu akibat melihat kakeknya berduka saja. Dia mengambil keputusan untuk mencari pamannya, Cia Bun Houw yang dia tahu menjadi penyebab dari kedukaan kongkong-nya.

Ketika itu Cia Bun Houw berdua Yap In Hong masih mengasingkan diri dalam kedukaan akibat kemarahan Cia Keng Hong yang tidak menyetujui perjodohan di antara mereka sehingga usaha Lie Ciauw Si mencari kedua orang ini sama sekali tidak pernah berhasil. Ciauw Si yang keras hati itu tidak mau kembali ke Cin-ling-pai sebelum bertemu dengan orang yang dicarinya.

Dia merantau sampai jauh ke barat, kemudian pada akhir-akhir ini dia pergi merantau ke selatan. Dia sudah menjelajahi dunia kang-ouw, bertanya-tanya ke sana-sini, namun tidak ada seorang pun tokoh kang-ouw yang dapat memberi keterangan kepadanya di mana gerangan adanya pendekar Cia Bun Houw, sungguh pun mereka itu tahu belaka siapa adanya pendekar putera ketua Cin-ling-pai itu.

Pada suatu hari Ciauw Si tiba di kota Yen-ping. Ketika sedang berjalan-jalan di sepanjang tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hokkian dan tiba di dekat sarang perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, secara kebetulan Ciauw Si melihat empat orang sedang ribut mulut.

Dia tidak mengenal empat orang itu, namun sangat tertarik karena melihat bahwa empat orang laki-laki tua itu bukanlah orang-orang biasa, hal ini dapat dilihat jelas dari sikap dan gerak-gerik mereka. Di tempat itu terdapat pula dua kelompok orang-orang yang sedang menonton, semuanya memperlihatkan sikap orang-orang yang ahli dalam ilmu silat, akan tetapi agaknya mereka merasa takut dan segan untuk mencampuri percekcokan itu.

Empat orang itu memang bukan orang-orang sembarangan. Yang sedang marah-marah adalah dua orang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang seorang tinggi besar dan mukanya brewok menyeramkan, tangannya memegang sebatang tongkat dan dengan tongkatnya ini beberapa kali dia menuding ke arah muka dua orang kakek yang dimarahi dan yang usianya kurang lebih lima puluh tahun.

Kakek ke dua yang marah juga berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya kecil pendek akan tetapi kepalanya gundul lonjong dan matanya tajam. Kakek ini menyeramkan sekali karena dia hanya memakai celana hitam hingga di bawah betis, sedangkan tubuh atasnya yang kurus itu telanjang sama sekali, seperti juga kedua kakinya. Suaranya lantang dan nyaring.

Kakek muka brewok itu bukan lain adalah Hai-liong-ong Phang Tek, sedangkan kakek ke dua yang tak berbaju adalah Kim-liong-ong Phang Sun. Seperti telah kita ketahui, mereka berdua adalah tokoh-tokoh besar di selatan yang terkenal dengan julukan Lam-hai Sam-to (Tiga Orang Tua Laut Selatan).

Tadinya mereka bertiga bersama dengan Hek-liong-ong Cu Bi Kun, namun seperti sudah diceritakan di bagian depan, orang ini telah tewas oleh Pangeran Ceng Han Houw ketika Cu Bi Kun bermaksud membunuh Sin Liong. Kemudian seperti yang telah diputuskan oleh Pangeran Ceng Han Houw, Lam-hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu kini menjadi tokoh terbesar di selatan, dan menjadi bengcu (pemimpin) dari dunia sesat di selatan!

Ada pun dua orang kakek berusia lima puluh tahun yang sedang menghadapi kemarahan dua orang bengcu ini adalah ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Telah kita ketahui bahwa ketika dalam pemilihan bengcu di selatan, memang sudah terjadi bentrokan antara kedua orang tokoh ini dengan Lam-hai Sam-lo, akan tetapi karena ketika itu fihak Sin-ciang Tiat-thouw-pang merasa kalah kuat, maka mereka ini lalu mundur dan mengalah. Akan tetapi mengapa kini dua orang bengcu itu marah-marah kepada pemimpin Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini?

Walau pun dia tidak mengenal empat orang itu, namun Ciauw Si amat tertarik, menduga bahwa tentu mereka itu merupakan tokoh-tokoh penting dalam kalangan kang-ouw, maka diam-diam dia pun mendengarkan dengan penuh perhatian.

Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, kepalanya botak dan mukanya bopeng terkenal lebih keras wataknya dari pada suheng-nya. Dengan kedua mata terbelalak lebar serta kemarahan yang tidak disembunyikan lagi dia berteriak, "Semenjak dahulu semua perkumpulan memberi sumbangan suka rela kepada bengcu sekuat kemampuan masing-masing. Sekarang bengcu menentukan jumlah seenak perut sendiri. Peraturan manakah ini?"

Kim-liong-ong Phang Sun yang kecil pendek dan bertelanjang baju itu tertawa mengejek dan berkata, "Eh-ehh, Tong Siok, berani engkau mengeluarkan suara macam itu? Setiap orang raja baru berhak menjatuhkan keputusan baru dan juga mengubah peraturan lama dengan peraturan baru! Kami pun demikian. Sebagai bengcu baru kami telah menjatuhkan keputusan bahwa tiap perkumpulan yang berlindung di bawah kami harus mengeluarkan pembayaran sesuai dengan yang sudah kami taksir dan keputusan kami inilah peraturan baru!"

Sebelum sute-nya sempat mengeluarkan kata-kata keras, Sin-ciang Gu Kok Ban sudah cepat berkata, "Harap ji-wi bengcu suka bersabar. Terus terang saja, perkumpulan kami agak mundur dan lemah dalam hal keuangan, maka harap ji-wi suka menerima seadanya dulu menurut kemampuan kami. Lain kali tenti kami akan berusaha memenuhi permintaan ji-wi seperti jumlah yang telah ditentukan itu."

"Pangcu," kata Hai-liong-ong Phang Tek. "Keputusan bengcu mana boleh diganggu gugat dan ditawar-tawar lagi? Kalau kami tidak melaksanakan keputusan kami sendiri, maka hal itu sungguh akan menurunkan wibawa kami dan mengacau ketertiban."

"Habis, kalau kami tidak sanggup membayar iuran paksaan ini, kalian mau apa?" bentak Tiat-thouw (Kepala Besi) Tong Siok penuh kemarahan, toya besinya sudah tergetar dalam genggaman tangannya.

"He-heh-heh!" Kim-liong-ong (Raja Naga Emas) Phang Sun, adik dari Phang Tek, tertawa mengejek. "Apa bila kalian tidak mau membayar, hanya ada dua kemungkinan. Pertama, Sin-ciang Tiat-thouw-pang harus mengganti ketuanya dengan orang yang lebih bijaksana dan dapat mentaati peraturan kami. Yang ke dua, bubarkan saja perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang agar tidak membikin kacau!"

"Kami tidak mau mengganti ketua, tidak mau membubarkan perkumpulan, juga tidak mau membayar uang paksa, kalian mau apa?" Tiat-thouw Tong Siok membentak, tidak keburu dicegah oleh Sin-ciang (Tangan Sakti) Gu Kok Ban.

"Bagus! Kalau begitu kami akan mengirim kalian berdua ke neraka!" kata Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) Phang Tek yang juga sudah marah menyaksikan sikap bandel dari dua orang ketua perkumpulan yang memang sejak dahulu menentangnya itu.

Kim-liong-ong Phang Sun sudah menerjang si muka bopeng Tong Siok. Kakek bertubuh kecil pendek ini bergerak dengan kecepatan kilat, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang dan tangannya yang kecil itu sudah bergerak menyambar ke arah kepala lawan.

Ciauw Si yang menonton terkejut sekali karena dia mengenal gerakan yang amat lihai dan pukulan si kakek kecil itu mengeluarkan suara bercuitan! Tong Siok adalah wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang berjuluk Si Kepala Besi, maka tentu saja kepandaiannya cukup hebat dan lebih dari itu, dia telah mengenal kesaktian lawan, maka dia tidak berani ceroboh, cepat dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan toya besinya diputar dalam serangan balasan yang dahsyat pula. Namun, sambil tertawa mengejek si kakek kecil itu menggerakkan tangan kiri menangkis.

"Ting-ting-cringgg...!"

Tiga kali tongkat besi bertemu dengan tangan kiri yang terlindung gelang emas sehingga terdengar suara berdencing nyaring dan tubuh wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terhuyung.

Pada saat itu pula, Hai-liong-ong Phang Tek juga sudah menyerang Gu Kok Ban dengan tongkatnya. Gu Kok Ban maklum akan kesaktian lawan, segera dia mencabut sepasang siang-kiamnya dan menyambut tongkat itu. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan hebat, karena Gu Kok Ban dan Tong Siok yang maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang lawan itu masih lebih tinggi, tetap melawan dan tidak mau mundur, bertekad untuk membela nama perkumpulan sampai napas terakhir!

Betapa pun nekatnya mereka itu, tetap saja mereka tak mampu membendung datangnya serangan lawan yang bertubi-tubi. Dua orang kakek yang memakai julukan raja naga itu memang mempunyai ginkang yang amat tinggi tingkatnya sehingga gerakan mereka jauh lebih cepat, membuat Gu Kok Ban dan Tong Siok menjadi repot sehingga harus memutar senjata mereka cepat-cepat untuk melindungi tubuh sendiri.

"Cinggg-cinggg...! Wuuuutttt...!"

Tong Siok terkejut bukan main. Selain toya besinya kena ditangkis, juga jari tangan kanan kakek kecil itu hampir saja menusuk pelipis kepalanya. Kalau dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan jari telunjuk itu mengenal pelipis, tentu kepalanya sudah berlubang dan nyawanya melayang. Akan tetapi si kecil tertawa dan menendang.

Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Tong Siok yang tinggi besar itu mencelat kemudian bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Namun dia tidak terluka, hanya terkejut dan meloncat bangun lagi dengan muka pucat!

Tetapi, sebelum dia menerjang lagi, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang dara yang cantik telah menyerang kakek kecil itu dengan amat hebatnya! Begitu menyerang, jari-jari tangan dara ini bercuitan menusuk dengan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah di bagian depan tubuh Kim-liong-ong!

"Ehh... ehhh...!" Kim-liong-ong Phang Sun kaget bukan main sebab semua tangkisannya luput karena jari tangan itu sudah ditarik kembali kemudian dengan kecepatan kilat telah menusuknya lagi. Terpaksa dia meloncat ke belakang, maklum akan bahayanya serangan nona yang baru datang ini.

Ternyata begitu menerjang Ciauw Si telah menggunakan jurus Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang ampuh. San-in Kun-hoat (Ilmu Awan Gunung) ini hanya mempunyai delapan jurus, akan tetapi setiap jurus merupakan gerakan yang amat hebat dan berbahaya sekali bagi lawan. Tadi Ciauw Si sudah menyerang dengan jurus ke lima yang disebut San-in Ci-tian (Awan Gunung Mengeluarkan Kilat), maka tentu saja Kim-liong-ong menjadi kaget bukan main.

Sebaliknya, Ciauw Si tidak heran melihat lawannya dapat menghindarkan diri karena dia memang maklum bahwa kakek pendek kecil ini amat lihai, maka dia pun lalu menerjang lagi, sekali ini mengatur langkah menurut Ilmu Thai-kek Sin-kun dan terus mengejar dan menghujankan serangan kepada Kim-liong-ong Phang Sun!

Terjadilah perkelahian yang lebih seru lagi dan diam-diam kakek kecil pendek itu terkejut bukan main karena dara cantik ini benar-benar memiliki dasar ilmu silat tinggi yang amat kokoh kuat dan bersih! Selagi dia menduga-duga siapa adanya dara ini, Tong Siok yang merasa beruntung sekali memperoleh bantuan seorang dara yang lihai sudah menerjang lagi dengan tongkat besi.

Tentu saja Kim-liong-ong menjadi sibuk juga dikeroyok dua oleh lawan yang pandai ini sehingga dia banyak main mundur, mengelak dan kadang-kadang menggunakan gelang emasnya untuk menangkis. Dua tangannya kini mengeluarkan hawa dingin yang berbau amis sebab kakek ini sudah mengerahkan ilmunya yang amat keji, yaitu pukulan-pukulan beracun!

Betapa pun juga, karena kini Ciauw Si yang melihat penggunaan ilmu pukulan beracun telah mencabut pedangnya, kakek kecil itu tetap terdesak hebat. Sinar pedang bergulung-gulung bagai seekor naga putih ketika Ciauw Si memutar pedang Pek-kong-kiam. Sesuai dengan namanya, pedangnya ini terbuat dari pada baja putih, pemberian dari kakeknya.

Di lain fihak, melihat datangnya bantuan seorang dara lihai di fihak musuh, Hai-liong-ong Phang Tek menjadi marah dan juga khawatir melihat adiknya terdesak. Dia mengeluarkan teriakan nyaring dan mendesak Gu Kok Ban dengan tongkatnya.

Didesak secara hebat itu, Gu Kok Ban menjadi gugup sehingga kakinya kena ditendang dan membuat dia terguling. Dengan girang Hai-liong-ong menubruk dengan tongkatnya, mengirim pukulan maut ke arah kepala lawan.

"Tranggg...!"

Tongkatnya terpental dan ternyata yang menangkisnya adalah cahaya putih yang diikuti pedang Pek-kong-kiam di tangan Ciauw Si. Dara yang bermata tajam ini melihat bahaya mengancam ketua pertama dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka dengan kecepatan kilat dia telah menyelamatkan nyawa orang itu. Gu Kok Ban meloncat bangun dan membalas serangan lawan dengan senjata siang-kiamnya, sekarang dibantu oleh dara itu sehingga Hai-liong-ong terpaksa harus memutar tongkat agar lolos dari ancaman maut.

Kini Hai-liong-ong yang dikeroyok dua itu terdesak hebat, akan tetapi sebaliknya Tong Siok yang ditinggalkan Ciauw Si terancam dan terdesak hebat oleh Kim-liong-ong, sampai Ciauw Si meloncat lagi membantu wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini! Demikianlah, perkelahian itu menjadi seru bukan main di mana Ciauw Si berloncatan ke sana-sini untuk membantu jika seorang di antara dua ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terdesak!

Munculnya dara ini benar-benar membuat para penonton, yang terdiri dari orang-orang Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan banyak pula orang-orang dari golongan sesat yang turut menyaksikan pertandingan itu, menjadi gempar! Mereka belum pernah melihat dara ini, dan sekali muncul dara ini telah berani main-main dengan Lam-hai Sam-lo.

Dan ternyata dara ini memiliki tingkat kepandaian yang hebat! Akan tetapi, mereka tidak berani turun tangan, karena mereka semua merasa jeri terhadap Lam-hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu.

Karena Ciauw Si harus membantu dua orang, maka tentu saja keadaan mereka bertiga tetap terdesak oleh dua orang kakek sakti itu dan jika dilanjutkan, agaknya tentu akhirnya seorang di antara mereka akan roboh oleh Lam-hai Sam-lo. Pada saat perkelahian sedang memuncak serunya, tiba-tiba terdengar teriakan halus,

"Lam-hai Sam-lo, kalian bikin ribut lagi? Mundurlah!"

Dua orang kakek itu memandang dan kaget bukan main melihat pemuda yang menegur mereka itu. Cepat mereka meloncat mundur dan menghampiri pemuda yang berpakaian indah itu, lalu menjatuhkan diri berlutut.

"Harap paduka mengampuni hamba, pangeran. Bukanlah hamba berdua, melainkan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang inilah yang membikin kacau!" kata Hai-liong-ong Phang Tek dengan muka ketakutan.

Yang muncul itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan Sin Liong! Seperti kita ketahui, dua orang muda ini melakukan perjalanan ke selatan untuk mencari Ouwyang Bu Sek, sesuai dengan janji Sin Liong untuk membawa Han Houw kepada suheng-nya itu untuk dapat berguru kepada kakek cebol botak itu. Mereka singgah di Yen-ping dan kebetulan melihat perkelahian itu.

Meski pun ada orang berlutut kepadanya dan minta ampun, namun pada saat itu sang pangeran sama sekali tidak memandang kepada mereka, melainkan memandang kepada Lie Ciauw Si yang berdiri dengan pedang Pek-kong-kiam di tangan, berdiri dengan sikap gagah. Keringat yang membasahi kening dan lehernya, dan rambut yang kusut terjurai di atas keningnya itu menambah manis dara ini, sehingga Han Houw memandang laksana orang terkena pesona, penuh kagum.

Ciauw Si sendiri merasa sangat terkejut melihat munculnya dua orang pemuda remaja itu dan terheran-heran sesudah melihat dua orang lawan tangguh itu berlutut dan menyebut pangeran kepada pemuda yang mengenakan topi bulu indah dan berpakaian mewah itu. Akan tetapi pada waktu melihat pemuda yang tampan gagah ini memandang kepadanya, dia merasa jantungnya berdebar dan cepat menundukkan mukanya.

Sesudah dara itu menundukkan mukanya, barulah Han Houw menyadari bahwa dia tadi telah memandang kepada gadis itu secara berlebihan. Cepat dia menarik napas panjang dan kini mengalihkan pandang matanya kepada Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong.

"Hemm, Ji-lo, apa lagi yang terjadi di sini? Kulihat engkau menyerang kedua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang."

"Pangeran, mereka itu melanggar peraturan yang telah hamba tetapkan sebagai bengcu baru atas pengangkatan paduka," kata Hai-liong-ong dengan harapan untuk mendapatkan dukungan dari pangeran ini.

Ceng Han Houw menoleh kepada Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Dua orang itu berdiri dengan sikap hormat.

"Benarkan ji-wi sengaja melakukan pengacauan dan menentang bengcu?"

"Sama sekali tidak, pangeran!" Gu Kok Ban menjawab tegas. "Biasanya, semenjak dulu, perkumpulan kami selalu memberi sumbangan secara suka rela kepada bengcu, sesuai dengan kemampuan kami. Akan tetapi, sekarang kedua orang bengcu baru menentukan jumlah sumbangan yang terlalu besar bagi kami sehingga tidak dapat terbayar. Kami telah minta kelonggaran akan tetapi mereka malah marah lalu mengandalkan kepandaian untuk menyerang kami. Untunglah ada lihiap ini yang datang menolong, kalau tidak tentu kami berdua telah tewas di tangan mereka."

"Hemm, benarkah itu, Ji-lo?" bentak pangeran.

"Mereka... mereka sengaja tidak mau taat...," Hai-liong-ong mencoba untuk membantah.

"Hemm, seorang pemimpin baru dapat disebut baik bila dia itu tidak hanya mementingkan diri sendiri belaka, akan tetapi memperhatikan keluh-kesah dan kesulitan anak buahnya! Kalian menyalahkan anak buah hanya karena urusan uang, apakah kalian masih kurang memperoleh upah dari kerajaan?"

"Ampun, pangeran... hamba hanya ingin menjalankan tata tertib..."

"Diam! Kalian tak boleh menjatuhkan keputusan dan peraturan seenak kalian sendiri saja. Setiap peraturan baru haruslah diundangkan dan lebih dulu disetujui oleh semua anggota dan semua perkumpulan yang berada dalam lingkungan kita. Mengertikah kalian?"

"Hamba... hamba mengerti!" jawab Hai-liong-ong.

"Syukur... kalau tidak, tentu kalian berdua akan mengalami nasib seperti Hek-liong-ong! Nah, lekas minta maaf kepada pimpinan Sin-ciang Tiat-thouw-pang!"

Dua orang kakek itu tidak berani membantah dan mereka lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Gu Kok Ban dan Tong Siok yang cepat membalas pula penghormatan itu.

"Juga kepada nona itu!" kata pula Han Houw.

Muka dua orang kakek itu menjadi merah. Mereka tidak mengenal nona ini, akan tetapi karena takut kalau-kalau pangeran menjadi semakin marah, mereka lalu menjura kepada Ciauw Si dan minta dimaafkan. Ciauw Si juga membalas penghormatan itu, karena dia sendiri tidak tahu bagaimana duduknya perkara, hanya tadi dia membela dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena melihat mereka didesak dan ditindas.

"Sekarang pergilah dan tunggu perintahku," kata Han Houw.

Dua orang kakek itu mengangguk, kembali memberi hormat dan tanpa sepatah pun kata mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu seperti dua ekor anjing yang dibentak oleh majikannya.

Melihat semuanya ini, Ciauw Si menjadi terkejut dan terheran-heran, juga amat kagum. Pemuda yang disebut pangeran itu masih demikian muda, akan tetapi dua orang seperti dua orang kakek tadi yang mempunyai kepandaian hebat sekali, bahkan setingkat dengan kepandaian tokoh-tokoh terbesar di dunia kang-ouw, bersikap demikian takut-takut dan tunduk kepada pangeran muda ini! Betapa besar pengaruh dan kekuasaan pangeran ini, pikirnya.

Akan tetapi dia tidak berani bertemu pandang secara langsung dengan Han Houw, karena setiap kali bertemu pandang dia melihat seolah-olah pandang mata pemuda bangsawan ini menembus dan menjenguk ke dalam hatinya. Ciauw Si merasa jantungnya berdebar aneh, dan tanpa disadarinya, kedua pipinya menjadi merah sekali. Walau pun dia sudah berusia dua puluh empat tahun dan merupakan seorang gadis yang cantik sekali, namun belum pernah dia jatuh cinta, belum pernah dia tergila-gila kepada seorang pria, dan baru sekali ini dia mempunyai perasaan yang aneh sekali ketika berhadapan dengan Pangeran muda ini!

Sekarang Han Houw menghadapi dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan Ciauw Si yang masih berdiri menundukkan muka dan pedang tadi telah disimpannya kembali ke dalam sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Sejenak Han Houw memandang wajah yang menunduk itu, kemudian berkata sambil tersenyum kepada Gu Kok Ban,

"Aihh, ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang boleh merasa beruntung sekali telah memperoleh seorang pembantu seperti nona ini yang amat lihai."

"Maaf, pangeran, sebenarnya kami selamanya belum pernah bertemu dengan lihiap ini, sama sekali tidak pernah mengenalnya dan baru sekarang kami bertemu dengan lihiap ini yang datang-datang langsung menolong kami. Bahkan kami belum sempat menghaturkan terima kasih kepadanya."

"Ahhh... sungguh mengagumkan! Kalau begitu nona tentu seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan budiman!" Han Houw memuji, sikapnya bagaikan orang yang lebih dewasa, padahal usia pangeran ini baru sekitar delapan belas atau sembilan belas tahun saja sedangkan nona itu sudah berusia dua puluh empat tahun.

Melihat betapa nona yang cantik dan gagah perkasa itu semakin menunduk mendengar pujian ini, Han Houw lalu berkata lagi, "Bolehkan kami mengetahui siapakah nama nona dan mengapa nona turun tangan membantu kedua ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang tidak nona kenal ini?"

Dengan jantung berdebar karena merasa sangat malu terhadap pangeran ini, suatu hal yang sangat mengherankan bagi Ciauw Si sendiri, gadis ini mengangkat mukanya yang menjadi kemerahan dan menjura kepada mereka semua dengan sekali gerakan saja, lalu berkata, suaranya halus,

"Namaku adalah Lie Ciauw Si dan maafkanlah apa bila aku lancang mencampuri urusan orang-orang lain yang sama sekali belum kukenal. Kalau tadi aku sampai turun tangan membantu ji-wi pangcu ini, adalah aku melihat mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh dua orang yang menyebut diri mereka bengcu tadi."

Semenjak kecil Ciauw Si ikut kakeknya dan hidup di kalangan orang-orang gagah, maka dia tidak biasa terikat oleh segala peraturan sopan santun, dan wataknya terbuka serta jujur. Itulah pula sebabnya mengapa di hadapan seorang pangeran, dia masih bersikap begitu bersahaja dan seakan-akan tidak menghormati pangeran itu yang biasanya selalu dihormati dan dijilat oleh sikap orang-orang di sekitarnya.

Sikap dara ini saja sudah menimbulkan perasaan suka yang sangat besar di dalam dada Han Houw. Sikap seperti itu pulalah yang diperlihatkan Sin Liong maka pangeran itu pun merasa suka kepadanya, dan kini, begitu berjumpa, memang hatinya sudah amat tertarik oleh wajah, tubuh, dan kegagahan Ciauw Si, maka sikap terbuka ini makin memperbesar rasa sukanya.

Dengan wajah berseri Han Houw berseru, "Ahhh, ternyata nona seorang pendekar yang gagah perkasa dan budiman, yang tanpa memandang bulu selalu akan membantu fihak tertindas. Sungguh kami merasa kagum sekali, nona Lie!"

"Dan kami berdua beserta seluruh anggota Sin-ciang Tiat-thouw-pang juga menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan lihiap," Gu Kok Ban berkata sambil menjura, lalu dia mempersilakan pangeran bersama Sin Liong yang sudah mereka kenal sebagai seorang pemuda luar biasa berilmu tinggi, juga Ciauw Si, untuk duduk di dalam.

Mula-mula Ciauw Si menolak. "Terima kasih, aku hanya kebetulan lewat saja dan setelah urusan ini selesai aku hendak melanjutkan perjalananku."

"Aihh, Lie-siocia, mengapa begitu sungkan? Setelah pertemuan yang amat kebetulan ini, agaknya kita sudah ditakdirkan untuk menjadi sahabat, apa lagi kalau mengingat bahwa baru saja nona sudah menyelamatkan nyawa ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka aku ikut mengharap agar nona sudi memenuhi undangan kami, dan berbicara di dalam untuk mempererat persahabatan," kata Han Houw.

Ciauw Si tersenyum dan tidak mampu menolak lagi. Gu Kok Ban dan Tong Siok dengan sibuk lalu memerintah anak buahnya agar mempersiapkan pesta kecil untuk menghormati pangeran, Sin Liong dan Ciauw Si.

"Perkenalkanlah, Lie-siocia, aku adalah Ceng Han Houw, adik tiri dari sri baginda kaisar dan aku adalah kuasanya dalam melakukan pemeriksaan ke daerah-daerah. Dan dia ini bernama Sin Liong, adik angkatku yang lihai!"

Han Houw tidak mau menyebutkan nama keturunan Sin Liong, sesuai dengan keinginan Sin Liong. Dia sedang berusaha mengambil hati dan menyenangkan Sin Liong, maka dia tak mau menyinggung perasaan adiknya itu. Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang juga memperkenalkan diri kepada Lie Ciauw Si yang dijamu dengan segala kehormatan itu.

Semenjak tiba di tempat itu, Sin Liong tidak pernah membuka mulut dan dia tidak begitu mempedulikan nona yang gagah perkasa itu karena memang tidak mengenalnya.

"Apa bila kami boleh mengetahui, Lie-lihiap murid dari perguruan manakah? Ilmu silatmu sungguh sangat lihai dan mengagumkan sekali, bahkan kami orang-orang tua yang bodoh tak dapat mengenalnya," kata Tong Siok dengan suaranya yang parau dan besar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, kepala botak dan mukanya yang bopeng kasar.

"Ah, ji-pangcu, ilmu silatku hanya hasil kupelajari dari sana-sini, tidak ada harganya untuk disebut," jawab dara itu secara sembarangan saja, dan jelas bahwa gadis ini memang tak ingin memperkenalkan perguruannya. Melihat ini, Pangeran Ceng Han Houw tertawa.

"Hemm, pangcu, banyak pendekar yang tidak ingin diketahui asal-usulnya, dan Lie-siocia ini agaknya juga termasuk seorang di antara para pendekar budiman yang penuh rahasia, maka janganlah bertanya tentang sumber kepandaiannya yang tinggi."

Mereka makan minum dan seperti biasanya, Han Houw pandai sekali bersikap ramah dan menyenangkan. Ada saja bahan percakapan bagi pangeran yang memang cerdik ini, apa lagi karena hatinya memang sangat tertarik kepada gadis itu, maka dia bersikap manis sekali sehingga diam-diam Ciauw Si makin tertarik.

Secara memutar dan tak langsung, seolah-olah bercerita sambil lalu saja, pangeran yang masih amat muda ini menyatakan betapa dia sangat dikasihi oleh sri baginda, dipercaya sekali sehingga memiliki kekuasaan besar di istana. Lalu diceritakannya tanpa disengaja agaknya, bahwa dia masih belum menemukan seorang wanita yang dianggapnya patut untuk mendampinginya.

"Sebagai seorang pangeran yang dekat dengan kaisar, tentu saja banyak gadis diberikan kepadaku," katanya sambil tersenyum dan menggerakkan kedua pundak seakan-akan dia terpaksa oleh keadaan itu, "akan tetapi sesungguhnya aku sudah merasa muak dengan wanita-wanita yang hanya pandai bersolek, bernyanyi atau menari itu, karena mereka itu adalah orang-orang lemah. Padahal sejak kecil aku paling suka akan kegagahan!"

"Ilmu kepandaian silat dari Pangeran Ceng Han Houw amat tinggi, lihiap," kata Tong Siok, bukan untuk menjilat tetapi berkata dengan sejujurnya karena dia pun sudah tahu bahwa pangeran ini memiliki kepandaian yang amat lihai.

Mendengar ini, semakin kagumlah hati Ciauw Si. Hebat pemuda bangsawan ini, pikirnya. Begitu tampan dan ganteng, gagah perkasa, berkedudukan tinggi, manis budi bahasanya pandai bergaul dan tidak sombong, dapat menguasai orang-orang kang-ouw yang gagah dan lihai, dan ternyata malah mempunyai kepandaian yang tinggi pula! Jarang menjumpai seorang pria seperti ini memang!

Agaknya Han Houw dapat menyelami isi pikiran gadis itu melalui sinar mata mereka yang saling bertemu. Kini Ciauw Si lebih berani menentang pandangan mata pangeran itu, dan beberapa kali dia merasa betapa pandang mata yang bersinar tajam itu penuh arti ketika bertemu dengan pandang matanya.

Juga sang pangeran merasa betapa gadis itu kini tidak mengelak lagi, bahkan berusaha untuk menyatakan perasaan melalui sinar mata dan senyum pada bibirnya yang indah itu. Maka bangkitlah Han Houw, menjura ke arah Ciauw Si, kemudian berkatalah pangeran ini dengan suaranya yang halus dan kata-katanya yang teratur rapi seperti layaknya seorang pangeran yang berpendidikan tinggi.

"Lie-siocia, sudah semenjak jaman dulu para pendekar selalu mengutamakan perkenalan melalui ilmu silat yang menjadi kebanggaannya dan yang dilatihnya semenjak kecil. Kini, biar pun kita telah saling berkenalan, namun rasanya masih belum puas hati ini kalau aku belum mengenal ilmu kepandaian nona secara langsung. Maka, berilah kehormatan dan kebahagiaan padaku untuk mengenal ilmu silatmu, nona!" Ini merupakan tantangan untuk adu ilmu, tantangan yang amat halus dan sopan.

Wajah Ciauw Si kembali menjadi kemerahan. Dia cepat-cepat membalas penghormatan pangeran itu, berdiri dengan sikap lemah gemulai.

"Ahh, mana aku berani, pangeran? Kepandaianku biasa saja, sebaliknya pangeran tentu memiliki kepandaian yang amat hebat, karena dengan kedudukan pangeran yang begitu tinggi, apa sulitnya mencari guru yang amat pandai! Pula, ilmu pukulan adalah permainan yang berbahaya, maka aku khawatir kalau-kalau tangan kita yang tidak bermata ini akan mendatangkan malapetaka."

Ini bukan penolakan mutlak, bukan pula tanda takut, bahkan mengandung kekhawatiran kalau sampai mencelakakan pangeran itu. Han Houw tersenyum, "Nona, jangan mengira aku tidak tahu bahwa nona sudah mencapai tingkat yang sedemikian tingginya sehingga di setiap ujung jari nona seakan-akan sudah bermata, mana mungkin melukai orang kalau tidak dikehendaki oleh nona sendiri? Marilah, harap nona tidak sungkan karena sungguh aku ingin sekali menyaksikan kelihaian nona."

"Kami pun berharap agar lihiap sudi membuka mata kami dengan ilmu lihiap yang tinggi dan agar pertemuan ini menjadi semakin menggembirakan," kata pula Sin-ciang Gu Kok Ban memuji. Diam-diam ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini pun ingin sekali menyaksikan sendiri kelihaian sang pangeran yang hanya pernah didengarnya saja.

Oleh karena pada dasarnya Ciauw Si memang ingin sekali menguji kepandaian silat dari pangeran yang amat menarik hatinya ini, akhirnya setelah semua orang kecuali Sin Liong membujuknya, dia lantas berkata, "Baiklah, pangeran, akan tetapi kuharap pangeran suka menaruh kasihan dan jangan menurunkan tangan besi."

"Ha-ha-ha, nona bisa saja merendah. Akulah yang mohon kemurahan nona agar jangan sampai aku roboh mengukur tanah dalam beberapa jurus saja. Nah, silakan, nona."

Han Houw sudah menjauhkan diri dari meja kursi, berdiri di tengah ruangan yang lebar itu menanti Ciauw Si. Dua orang ketua itu memandang penuh perhatian, ada pun Sin Liong yang tidak merasa tertarik karena dia sudah mengenal betul watak pangeran yang mata keranjang dan pandai merayu wanita itu merasa jemu dan juga tidak senang, melanjutkan makan minum dan nampaknya tidak mengacuhkan pertandingan adu ilmu itu.

"Mulailah, pangeran," Ciauw Si berkata setelah berhadapan dengan pangeran itu, segera memasang kuda-kuda dengan gagahnya dan tersenyum manis, matanya menyambarkan kerling maut yang membuat jantung Han Houw makin terguncang.

Memang kekuasaan cinta asmara benar-benar mengherankan. Sekali Ciauw Si terpikat, maka secara otomatis muncullah sifat-sifat kewanitaan yang penuh pikatan dalam dirinya, karena terbawa naluri kewanitaannya! Padahal biasanya, gadis pendekar ini lebih dikenal sebagai seorang wanita yang keras dan agak dingin bila menghadapi kaum pria, bahkan mudah marah kalau mendengar mulut pria mengeluarkan kata-kata yang menggoda, atau melihat pandang mata yang penuh kagum ditujukan kepadanya. Sekarang dia memasang kuda-kuda dengan gerakan indah dan mempersilakan lawannya sambil tersenyum manis!

"Ahhh, engkau terlampau sungkan, Lie-siocia. Biarlah aku bergerak lebih dulu, maafkan," Tiba-tiba Han Houw lalu bergerak maju dan mengirim serangan yang cukup cepat dan dia menggunakan tenaga sinkang-nya yang kuat. Memang pangeran ini ingin sekali menguji sendiri kepandaian dara yang telah menjatuhkan hatinya ini.

"Hiaattttt...!"

Dia menyusulkan serangan lain sehingga secara bertubi-tubi pangeran ini telah mengirim empat kali pukulan yang susul menyusul, sangat cepat dan angin pukulan sampai terasa oleh mereka yang duduk di depan meja. Dua orang ketua itu terkejut bukan main karena dari serangan pertama ini saja sudah membuktikan bahwa nama besar pangeran muda ini bukanlah nama kosong belaka.

"Haaaiiitttt...!"

Ciauw Si bergerak dengan amat indah, langkah-langkahnya teratur dan tubuhnya seperti menari-nari ketika dia mengelak secara beruntun dengan sangat mudahnya, seolah-olah serangan yang sangat cepat serta bertenaga itu bukan apa-apa baginya, dan dia masih sempat melempar kerling dan senyum.

Akan tetapi, pada saat itu Sin Liong tertegun di atas kursinya. Dia mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh gadis itu! Itulah langkah-langkah Thai-kek Sin-kun! Tidak salah lagi! Thai-kek Sin-kun yang dimainkan dengan amat baiknya oleh gadis itu. Mudahlah diduga bahwa tentu gadis itu menerima pelajaran Thai-kek Sin-kun dari tangan pertama!

Ada hubungan apakah antara gadis ini dengan mendiang kakeknya, atau dengan ayah kandungnya? Mulailah Sin Liong tertarik sekali dan sekarang dia pun mengikuti jalannya pertandingan itu dengan penuh perhatian.

Diam-diam Ceng Han Houw juga girang dan kagum sekali. Tepat dugaannya. Nona ini bukanlah seorang gadis kang-ouw biasa, bukan seorang ahli silat biasa. Jelas bahwa ilmu silatnya bersumber dari ilmu silat yang amat tinggi! Maka makin hebatlah dia melancarkan serangannya.

Akan tetapi semua serangan Han Houw dapat dielakkan atau ditangkis dengan baiknya oleh gadis itu! Bahkan ketika pangeran itu sengaja mengerahkan tenaga dan mengadu lengan untuk menguji tenaga lawannya, dia merasakan lengannya tergetar, tanda bahwa lengan halus itu penuh berisi tenaga sinkang pula! Makin kagum dan tertarik pula hatinya. Benar-benar seorang dara yang jarang terdapat, seorang gadis pilihan!

Di lain fihak, Ciauw Si juga terkejut dan kagum bukan main. Biar pun dia mengenal ilmu silat pangeran ini sebagai ilmu silat tingkat tinggi yang bersumber dari ilmu silat golongan sesat, namun harus diakuinya bahwa ilmu silat yang dimiliki pangeran itu amat hebat, dan tenaga sinkang-nya juga amat kuat! Kiranya pangeran ini benar-benar seorang yang lihai! Karena ingin memamerkan kepandaiannya, gadis itu tiba-tiba mengubah gerakannya dan tiba-tiba saja tubuhnya berputaran seperti gasing dan dengan gerakan ini dia menyerang lawan!

"Ehhhh...!" Pangeran Ceng Han Houw terkejut sekali.

Terpaksa dia main mundur dan bersikap waspada, dan karena tubuh gadis itu berpusing sedemikian cepatnya sambil keempat kaki tangannya kadang-kadang menyerang secara tiba-tiba, Han Houw tidak dapat mengandalkan kelincahan tubuh mengelak, namun harus menjaga diri dengan tangkisan-tangkisan cepat.

Kembali Sin Liong menahan napas. Itu adalah In-keng Hong-wi (Awan Mencipta Angin dan Hujan), jurus ke delapan dari San-in Kun-hoat! Jelaslah bahwa gadis ini memang ada hubungannya dengan Cin-ling-pai, tidak salah lagi!

Dengan jurus yang hebat ini, Pangeran Han Houw langsung terdesak. Pangeran ini cepat menggunakan langkah-langkah Pat-kwa-po maka barulah dia berhasil menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu.

"Hebat...!" serunya kagum ketika nona itu menghentikan serangannya dengan jurus luar biasa itu.

Tiba-tiba saja Ceng Han Houw melakukan dorongan kedua tangannya ke depan. Melihat betapa dahsyatnya serangan ini, dan terutama karena ingin menguji tenaga lawan, juga ada dorongan dari hatinya untuk mengadu telapak tangan dengan pangeran yang makin menarik hatinya itu, Ciauw Si cepat mendorongkan kedua tangannya pula.

"Plakkk!"

Dua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan untuk beberapa detik lamanya mereka saling dorong. Ciauw Si merasa betapa kuatnya lawan, dan dia hampir saja tidak mampu menahan ketika tiba-tiba pangeran itu mengurangi tenaganya sehingga kekuatan mereka berimbang.

Tentu saja Ciauw Si merasakan hal ini dan kini mereka merasakan betapa ada getaran-getaran halus menjalar melalui dua telapak tangan mereka yang saling melekat, getaran yang aneh dan terus menjalar sampai ke jantung, yang membuat pipi mereka berwarna merah sekali dan kedua mata mereka saling pandang bagaikan tidak mau berpisah lagi. Pandang mata yang mengandung kemesraan, dan getaran dari sentuhan telapak tangan itu berubah hangat dan nikmat, mendatangkan rasa malu kepada Ciauw Si yang cepat menarik kedua tangannya sambil berseru,

"Aku mengaku kalah...!"

Ceng Han Houw tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh nona terlampau merendah! Selama hidup belum pernah aku Pangeran Ceng Han Houw berjumpa dengan seorang yang demikian lihai seperti nona. Sungguh aku merasa takluk dan kagum sekali, Lie-siocia!"

"Pangeran terlalu memuji..." Ciauw Si tersipu malu, akan tetapi isi hatinya hanya dia yang tahu, girang dan bangga bukan main!

Mereka melanjutkan makan minum dan Sin Liong hanya mendengarkan saja ketika Han Houw dan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang memuji-muji Ciauw Si. Akan tetapi kini dia pun mulai memperhatikan nona itu karena dia amat tertarik melihat ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai dimainkan secara demikian baiknya oleh nona ini.

Ia teringat akan cucu perempuan yang pergi meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari Cia Bun Houw, ayahnya! Gadis inikah cucu kakeknya itu, keponakan dari ayah kandungnya? Agaknya, melihat ilmu silatnya, tidak akan salah lagi kalau gadis ini menerima semua ilmu yang dimainkannya tadi dari kakeknya secara langsung, karena melihat betapa sempurna dan baiknya dia memainkannya.

Sayang bahwa dahulu dia tidak begitu memperhatikan sehingga sama sekali lupa akan nama cucu kakeknya atau saudara misannya itu ketika kakeknya menyebutkan nama itu secara sambil lalu. Benarkah nona Lie Ciauw Si ini keponakan ayah kandungnya? Akan tetapi, oleh karena dia sendiri hendak menyembunyikan hubungan keluarga dengan fihak Cin-ling-pai, maka dia pun diam saja, hanya dia berkeputusan untuk memperhatikan gadis ini dan melindunginya dari mara bahaya!

"Eh, Liong-te, kenapa sejak tadi kau diam saja? Apakah engkau tidak kagum melihat ilmu kepandaian Lie-siocia yang demikian hebatnya?"

Sin Liong terkejut dan mukanya berubah merah ketika semua orang, juga nona cantik itu memandang kepadanya.

"Lie-siocia, engkau tidak tahu bahwa adik angkatku ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada tingkat ilmuku sendiri!" kata pula sang pangeran sambil tertawa kepada Ciauw Si.

Mendengar ini, terkejutlah Ciauw Si. Dia tadi sudah melihat pemuda remaja yang tampan dan pendiam itu, tetapi sama sekali tidak memperhatikannya. Namun sekarang pangeran itu menyatakan bahwa adik angkat pangeran ini mempunyai kepandaian lebih tinggi lagi! Padahal pangeran itu sendiri sudah memiliki kepandaian hebat!

Maka gadis ini memandang dengan kaget dan penuh keheranan kepada Sin Liong, lalu dia pun berkata, "Ahh, pengertianku dalam ilmu silat masih amat dangkal..."

Mendengar ini, Sin Liong merasa kasihan terhadap nona ini. Seorang nona yang gagah perkasa, tetapi di balik pandang mata yang membayangkan kekerasan hati itu terkandung keramahan dan agaknya nona ini sudah terdidik baik untuk merendahkan diri, maka dia cepat bangkit berdiri kemudian menjura. "Ilmu silat Lie-lihiap sungguh amat tinggi sekali! Sungguh aku merasa kagum."

Ciauw Si balas menjura dan mengucapkan terima kasih atas pujian itu. Kemudian atas bujukan fihak tuan rumah yang diperkuat oleh Pangeran Ceng Han Houw, akhirnya Ciauw Si merasa sungkan untuk menolak ketika dia dipersilakan untuk tinggal selama beberapa hari di situ.

Selain fihak tuan rumah amat ramah dan baik kepadanya, juga adanya pangeran itu di situ merupakan daya tarik yang sangat kuat karena diam-diam gadis ini ingin berkenalan lebih akrab dengan Han Houw. Sementara itu, diam-diam Sin Liong selalu mengamati dan menjaga agar dara itu jangan sampai diganggu siapa pun juga.

"Nona Lie Ciauw Si, aku tak perlu menyembunyikan perasaanku kepadamu lagi, aku jatuh cinta kepadamu, nona."

Hening sekali di dalam taman itu mengikuti ucapan Han Houw ini. Mereka duduk saling berdampingan di atas bangku panjang dalam taman di belakang rumah ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Semenjak tadi mereka duduk dalam taman bercakap-cakap dan setelah tinggal dua hari di situ, Ciauw Si sudah menjadi sahabat baik Han Houw. Mereka makin saling tertarik dan akhirnya, pada senja itu, ketika mereka duduk bercakap-cakap dalam taman, Han Houw dengan terus terang menyatakan cintanya!

Mendengar ucapan itu, Ciauw Si segera mengangkat muka memandang wajah pangeran itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Sekarang dia sudah bisa menguasai rasa malu dan sungkan terhadap pangeran yang selalu ramah dan manis budi kepadanya itu, dan saat mendengar pengakuan hati ini, dia ingin sekali meyakinkan dirinya bahwa pangeran itu bicara dari lubuk hatinya.

"Jangan kau ragu-ragu, nona, aku sungguh telah jatuh cinta kepadamu semenjak pertama kali berjumpa, aku kagum melihat kepandaian, kagum melihat kegagahanmu, dan kagum melihat kecantikanmu. Aku cinta padamu dan aku ingin dapat hidup bersamamu sebagai suami isteri."

Meski pun usianya baru sembilan belas tahun, namun Han Houw sudah memiliki banyak pengalaman dengan para wanita, maka mengaku cinta secara terang-terangan seperti itu bukan merupakan hal yang aneh baginya dan dapat dilakukannya dengan tenang-tenang saja! Tidak demikian dengan Ciauw Si. Walau pun usianya sudah dua puluh empat tahun, namun pengalaman ini merupakan yang pertama kali dalam hidupnya!

"Pangeran, sesungguhnyakah apa yang kau ucapkan tadi?" akhirnya terdengar Ciauw Si bertanya, suaranya halus tergetar karena hatinya merasa terharu.

Pangeran itu memegang tangan Ciauw Si, dan dari pertemuan antara kedua tangan itu kembali terdapat getaran halus yang langsung keluar dari perasaan hati mereka.

"Ciauw Si, apakah engkau tak percaya kepadaku? Pandanglah mataku dan engkau tentu dapat menjenguk hatiku melalui mataku. Sungguh mati, selama hidupku baru sekali ini aku jatuh cinta, walau pun sudah banyak wanita diberikan kepadaku sebagai selir. Belum pernah aku jatuh cinta kepada wanita seperti sekali ini, Ciauw Si. Aku cinta kepadamu, perlukah aku bersumpah?"

"Mungkinkah itu? Engkau adalah seorang pangeran yang berkedudukan tinggi sekali, ada pun aku... aku hanyalah seorang gadis..."

"Yang cantik dan manis, yang gagah perkasa, yang budiman, juga aku percaya dan yakin bahwa engkau adalah keturunan keluarga yang amat gagah perkasa!" sambung pangeran itu dan dengan penuh perasaan dia menggenggam tangan yang kecil hangat itu. Namun dengan lembut Ciauw Si menarik tangannya dari genggaman sang pangeran, kemudian menunduk dan alisnya berkerut.

"Tetapi, pangeran... hendaknya kau ingat baik-baik bahwa aku tentu jauh lebih... tua dari padamu! Ingat, usiaku sekarang sudah dua puluh empat tahun dan engkau tentu paling banyak dua puluh... dan..."

Akan tetapi Han Houw sudah merangkulnya dan membiarkan Ciauw Si terisak menangis di pundaknya. Dia mengelus rambut yang halus itu, mulutnya berbisik mesra dekat telinga Ciauw Si.

"Ciauw Si... kenapa engkau meragukan semua itu? Cinta kasih tidak mengenal usia, tidak mengenal kedudukan, bukan? Aku cinta padamu, berikut keadaanmu, kedudukanmu, dan usiamu. Aku mencinta engkau, karena engkau adalah engkau! Nah, apakah kini engkau masih ragu, Ciauw Si? Aku akan mengawinimu, bukan hanya menjadi selirku, aku akan mengambilmu sebagai isteri!"

"Tapi... tapi..."
Tiba-tiba saja Han Houw memegang kedua pundak gadis itu, lalu mendorongnya halus ke belakang sehingga mereka kini saling berhadapan, beradu pandang. "Dengar baik-baik, Ciauw Si! Aku cinta kepadamu, dan tidak ada hal-hal yang akan dapat menahan cintaku kepadamu, kecuali satu, yaitu apa bila engkau tidak dapat menerimanya! Akan tetapi, dari sikapmu, dari pandang matamu, dari suaramu, aku benar-benar yakin bahwa engkau pun cinta kepadaku, bukankah benar dugaanku, Ciauw Si?"

Sejenak mereka saling memandang dan perlahan-lahan ada dua butir air mata mengalir turun di atas kedua pipi yang agak pucat itu. Ciauw Si mengangguk, dan bibirnya berbisik lirih, "Aku... aku cinta padamu, pangeran..."

Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya, tidak dapat karena dengan cepat dan dibarengi seruan tertahan saking gembiranya Han Houw sudah menarik tubuh gadis itu ke dalam dekapannya, kemudian dia mencium bibir gadis itu dengan sepenuh hatinya!

Ciauw Si tersentak kaget. Selamanya baru sekarang dia mengalami ini dan kekagetan membuat tubuhnya menegang kaku, akan tetapi ketika dia merasakan ciuman mesra dari pria yang telah menjatuhkan hatinya itu, dia menjadi terharu lalu dia pun balas merangkul dan membiarkan dirinya hanyut dalam kemesraan yang timbul karena ciuman mesra itu.

Bagai dalam keadaan mimpi atau setengah sadar, Ciauw Si menyerah saja ketika dipeluk, dibelai, diciumi seluruh mukanya dan dia tenggelam ke dalam kemesraan yang membuat dirinya seperti mabuk. Setelah gelombang kegairahan yang menggelora itu agak mereda, Ciauw Si merebahkan kepala di atas dada pangeran itu dalam keadaan lemas laksana kehabisan tenaga.

Dia mendengar suara jantung pangeran itu yang berdentaman keras di dekat telinganya dan dia merasa sangat berbahagia, perasaan yang baru sekarang dirasakannya selama hidupnya. Jari-jari tangan yang membelai rambutnya itu terasa amat mesra, membuatnya memejamkan mata dengan hati merasa tenteram dan damai.

"Yakinkah engkau kini akan cinta kasih antara kita berdua, Ciauw Si? Lenyapkah sudah keraguanmu bahwa aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku, dan bahwa sebenarnya engkau pun mencintaku?"

"...aku yakin... demi Tuhan, aku yakin dan bahagia... aku tak ragu-ragu lagi, pangeran...," bisik gadis itu dengan suara menggetar dan bibir tersenyum penuh kebahagiaan. Ciuman-ciuman tadi masih membuatnya pening, namun kepeningan yang penuh nikmat, seperti orang mabuk arak yang baik.

"Kekasihku... calon isteriku yang baik, kalau begitu mari kau ikut bersamaku ke kamarku, akan kubuktikan kepadamu cinta kasihku yang mendalam, Ciauw Si..."

Akan tetapi, begitu mendengar kata-kata ini, secepat kilat Ciauw Si menarik tubuhnya dari pelukan pangeran itu, cepat meloncat ke belakang lalu memandang dengan mata berkilat kepada pangeran itu.

"Kau... kau..."

Pangeran Ceng Han Houw terkejut bukan main melihat perubahan pada diri kekasihnya ini. "Ciauw Si, mengapa kau? Kau kelihatan marah, kenapa?"

"Pangeran, seperti itukah cintamu?"

"Ehh...? Kenapa? Apa salahku kepadamu, Ciauw Si?"

Wajah itu menjadi merah dan suaranya terdengar kaku dan dingin, "Hemm, engkau masih bertanya lagi? Engkau... mengajakku ke kamarmu! Patutkah itu? Begitu kotor dan rendah cintamu!"

Kini pangeran itulah yang terbelalak. "Ahhh? Bagaimana ini? Apa salahnya bagi kita yang saling mencinta untuk menumpahkan dan membuktikan cinta kasih antara kita di dalam kamar? Apa kotornya dan apa rendahnya hal itu, Ciauw Si? Sungguh aku tak mengerti..."

"Hemmm, jangan pura-pura tidak mengerti, pangeran! Kau kira aku semacam perempuan yang mudah saja kau rayu kemudian kau bujuk untuk menyerahkan kehormatanku? Aku bukan perempuan murah seperti itu!"

"Ehh, ehhh... nanti dulu, Ciauw Si, mengapa engkau berpandangan demikian? Aku cinta padamu... dan kalau aku mengajakmu ke kamarku, itu adalah karena cintaku kepadamu, sama sekali bukan dengan maksud yang tidak baik. Apa salahnya bila kita mengadakan hubungan, setelah kita saling mencinta?"

Kini Ciauw Si yang menjadi bingung. Benar-benarkah pangeran itu tidak menganggap hal seperti itu kotor, rendah dan menghina wanita? "Pangeran, seorang wanita yang sopan dan bersih sampai mati tidak akan mau menyerahkan kehormatannya kepada pria mana pun, kecuali kepada laki-laki yang telah resmi menjadi suaminya!"

"Ahhh...!" Kini wajah pangeran itu berseri. "Ahh, maafkan aku, Ciauw Si! Engkau benar, sungguh aku sudah lupa diri. Hal ini adalah karena setiap kali orang menyerahkan wanita untuk menjadi selirku, tidak pernah ada upacara apa-apa. Maka aku pun menjadi terbiasa dan bebas! Aku girang, aku bangga bahwa engkau berbeda dengan mereka! Tentu saja! Aku bersumpah tidak akan menjamahmu lagi sebelum kita resmi menjadi pengantin! Kau maafkanlah aku, Ciauw Si, bukan maksudku untuk menghinamu, sungguh mati, bukan..."

Pelan-pelan muka yang merah padam itu mulai menjadi normal kembali dan amarahnya mereda. Akhirnya wanita itu duduk lagi di samping pangeran dan memegang tangannya.

"Kaulah yang harus memaafkan aku, pangeran. Aku tadi terkejut sekali maka aku menjadi marah ahhh, engkau memang mengejutkan aku dengan ajakan itu. Syukur engkau tidak berniat buruk, engkau tidak sengaja... percayalah, setelah kita resmi menjadi suami isteri, aku tentu bersedia menyerahkan segala-galanya kepadamu dengan tulus ikhlas dan rela, pangeran."

Sang pangeran lalu merangkul dan kembali Ciauw Si merebahkan kepalanya di atas dada pangeran itu. Perasaannya nyaman sekali, makin besar kebahagiaannya bahwa pangeran ini sungguh-sungguh amat mencinta kepadanya, bukan sekedar hendak mempermainkan dirinya!

Mereka berdua tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, sepasang mata selalu mengintai dan mata ini adalah mata Sin Liong! Sejak tadi pemuda ini selalu mendengarkan percakapan mereka. Tadi dia mengalami ketegangan, tetapi akhirnya dia merasa lega dan dia merasa heran mengapa pangeran itu sekali ini benar-benar jatuh cinta dan tidak mempunyai niat buruk terhadap dara itu. Dia pun tidak mengintai lebih jauh karena tahu bahwa gadis itu tidak memerlukan perlindungannya lagi. Maka pergilah dia dari tempat sembunyinya.

"Ciauw Si, sungguh sikapmu tadi juga sangat mengejutkan dan mengkhawatirkan hatiku, akan tetapi akhirnya aku malah merasa bangga sekali! Engkau adalah gadis idamanku, cantik, gagah perkasa, budiman, dan juga bukan wanita murahan! Ahhh, sungguh aneh sekali. Kita saling mencinta seperti ini, akan tetapi aku belum pernah mendengar riwayat dirimu! Ciauw Si, ceritakanlah tentang keluargamu agar aku tahu kepada siapa aku harus meminangmu kelak."

Dengan hati terasa nyaman gadis itu lalu menceritakan keadaannya, bahwa ibunya telah menjadi janda dan bahwa ibunya adalah puteri ketua Cin-ling-pai dan dia sendiri dididik ilmu silat oleh ketua Cin-ling-pai yaitu kakeknya. Bahwa dia sedang pergi meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari seorang pamannya, yaitu Cia Bun Houw yang amat dirindukan oleh kakeknya.

Dapatlah dibayangkan alangkah kaget hati Pangeran Ceng Han Houw mendengar bahwa gadis yang dicintanya itu adalah keponakan dari pendekar Cia Bun Houw, dan puteri dari pendekar wanita Cia Giok Keng yang pada saat itu sedang menjadi buronan! Akan tetapi hatinya terasa lega karena betapa pun juga, secara pribadi dia sama sekali tidak memiliki permusuhan apa pun dengan para pendekar itu. Yang memusuhi para pendekar she Cia dan Yap adalah Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, guru dan kakak seperguruannya, namun dia sendiri secara pribadi sama sekali tidak pernah bermusuhan dengan mereka. Apa lagi, gadis ini biar pun masih keluarga dari pendekar itu, nyatanya she Lie, bukan she Yap atau she Cia atau Tio! Maka tenanglah hatinya, bahkan dia merangkul dan berkata dengan suara penuh kebanggaan.

"Aihh! Kiranya engkau adalah cucu ketua Cin-ling-pai, bahkan muridnya! Pantas saja ilmu kepandaianmu demikian hebatnya, kekasihku," Dan dia mencium Ciauw Si yang merasa girang akan pujian itu.

Biar pun melakukan hubungan kelamin sebelum dia menikah merupakan pantangan keras bagi Ciauw Si, namun dia tidak dapat menolak ketika pangeran itu kembali mendekapnya, membelai dan menciuminya. Betapa pun juga, harus diakuinya bahwa ada gairah di dalam hatinya yang bernyala, bergelora dan yang mendorongnya untuk membalas penumpahan kasih sayang dari pangeran ini.

Sampai senja terganti malam gelap dan terdengar suara ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang mencari mereka, barulah mereka berdua bangkit dan sambil berpegangan tangan mereka pergi meninggalkan taman itu. Sambil melangkah perlahan-lahan, pangeran itu bertanya ke mana kekasihnya hendak pergi dan bagaimana dia dapat mengajukan pinangan.

"Sudah terlalu lama aku meninggalkan Cin-ling-pai," jawab Ciauw Si. "Dari sini aku akan kembali ke Cin-ling-san, kemudian aku akan pulang ke rumah ibuku di Sin-yang dan aku... aku akan menanti kunjunganmu di sana, pangeran."

Diam-diam hati pangeran itu terharu. Dia tidak berani menceritakan, akan tetapi dia dapat membayangkan betapa hati kekasihnya ini akan merana dan menderita pukulan hebat kalau mengetahui bahwa kakeknya, ketua Cin-ling-pai, telah meninggal dunia dan betapa ibunya kini telah menjadi buronan pemerintah!

"Baiklah, kekasihku, engkau tunggu saja. Kelak akan tiba waktunya aku mencarimu dan meminangmu dari ibumu. Sementara itu, jika engkau membutuhkan bantuanku, atau bila hendak mencariku, datanglah saja ke istana. Kalau engkau mengaku sebagai tunanganku atau sahabatku kemudian memperlihatkan cincin ini, tentu engkau akan diterima dengan kehormatan sebagai tamu agung."

Setelah berkata demikian, Pangeran Ceng Han Houw mencabut cincin yang dipakainya di jari manis tangan kirinya, sebuah cincin bermata mutiara yang amat indah, kemudian dia memegang tangan kanan Ciauw Si dan memasangkan cincinnya itu ke jari telunjuk Ciauw Si. Pas sekali!

Ciauw Si mencium cincin di jari tangannya itu dan barulah mereka memasuki ruangan di mana dua orang ketua telah menanti dan mereka itu memandang dengan wajah berseri. Sebagai orang-orang tua berpengalaman mereka maklum akan apa yang terjadi di antara dua orang muda itu. Sin Liong juga sudah menanti mereka di situ dan mereka lalu makan malam dengan penuh kegembiraan.

Pada keesokan harinya, Lie Ciauw Si melanjutkan perjalanannya, atau lebih tepat lagi, dia mengakhiri perjalanannya untuk kembali ke Cin-ling-san dengan hati ringan dan penuh kebahagiaan. Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw bersama Sin Liong lalu melanjutkan perjalanannya mencari Ouwyang Bu Sek.

********************

Sementara itu, dua pasang suami isteri pendekar di lereng bukit Bukit Bwee-hoa-san, Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong menjadi terkejut sekali ketika mereka mendengar suara bising dari pasukan kerajaan yang menyerbu ke lereng itu.

Terlambat, pikir mereka dan diam-diam mereka merasa kasihan kepada mata-mata yang menyampaikan berita kepada mereka tadi. Tentu sudah tertangkap. Akan tetapi, mereka tidak sempat memikirkan nasib mata-mata itu karena pasukan telah muncul dan mereka harus cepat bertindak.

Mengingat akan keadaan adiknya yang sedang mengandung, Kun Liong lantas menyuruh isterinya, Cia Giok Keng, menemani In Hong untuk lebih dahulu melarikan diri ke utara, sedangkan dia sendiri bersama Bun Houw akan menghadapi pasukan yang menyerbu dari selatan itu. Dua orang wanita pendekar itu mula-mula tidak setuju dan mereka ingin menghadapi musuh di samping suami mereka.

"Apa artinya empat orang dari kita menghadapi musuh yang ratusan orang, bahkan ribuan orang banyaknya?" bantah Kun Liong. "Tidak, kalian berdua harus pergi lebih dulu, apa lagi Hong-moi sedang mengandung, tidak baik untuk mempergunakan tenaga melakukan pertempuran."

"Apa yang dikatakan oleh Liong-ko itu sungguh tepat, dan kita tidak boleh ragu-ragu lagi," sambung Bun Houw. "Apa lagi kita bukanlah pemberontak, dan sama sekali tidak pernah terkandung di dalam hati kita hendak menentang pemerintah, apa lagi melawan pasukan kerajaan. Kita hanya membela diri, maka biarlah kalian melarikan diri lebih dahulu, kami berdua akan menahan mereka kemudian setelah mendapat kesempatan, kami pun tentu akan melarikan diri."

"Akan tetapi ke mana kami harus pergi?" Cia Giok Keng, nyonya muda yang masih amat bersemangat itu membantah.

In Hong yang di dalam hatinya juga tidak setuju, akan tetapi karena maklum bahwa dalam keadaan mengandung tak mungkin baginya untuk bisa mengerahkan tenaga sepenuhnya tanpa membahayakan kandungannya, hanya diam saja.

"Kau ajaklah Hong-moi lari ke rumah anak kita di Yen-tai, dan untuk sementara kalian bersembunyi di sana, kami akan menyusul kalian secepatnya," Kun Liong berkata dengan tergesa-gesa karena suara bising kini semakin mendekat. "Jangan lupa, hati-hatilah agar jangan sampai ada yang tahu bahwa kalian memasuki Yen-tai agar anak kita tidak sampai terbawa-bawa."

Karena kini pasukan kerajaan sudah datang dekat, dua orang nyonya itu tidak membuang waktu lagi dan cepat mereka melarikan diri ke utara, berlawanan dengan pasukan yang naik ke bukit dari selatan.

Biar pun sedang mengandung, tetapi karena tingkat kepandaiannya memang sudah amat tinggi, In Hong dapat melarikan diri dengan cepat tanpa membahayakan dirinya, tanpa mengerahkan tenaga banyak-banyak. Dengan cepat dua orang wanita perkasa ini sudah turun dari lereng Bukit Bwee-hoa-san.

Akan tetapi ketika mereka tiba di kaki bukit itu, tiba-tiba saja dari balik semak-semak dan pohon-pohon berlompatan keluar pasukan pemerintah yang agaknya sudah berjaga-jaga di tempat itu! Dalam waktu yang cepat sekali telah muncul puluhan orang prajurit, bahkan agaknya tak kurang dari seratus orang! Dan seorang perwira telah bergerak meneriakkan aba-aba kepada mereka untuk bergerak menangkap dua orang pendekar wanita itu!

Yap In Hong adalah seorang wanita yang cantik jelita meski pun dalam keadaan sedang mengandung lima bulan, sedangkan Cia Giok Keng, walau pun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, juga masih tampak cantik, maka para prajurit itu segera tersenyum dan menyeringai girang pada waktu menerima perintah yang dianggapnya menyenangkan dan sangat ringan itu.

Mereka seperti segerombolan srigala yang berebut saling mendahului hendak menerkam dua ekor kelinci. Akan tetapi begitu orang-orang pertama menerjang, ternyatalah bahwa yang disangka kelinci-kelinci gemuk itu adalah dua ekor singa betina yang amat liar dan hebat! Dua orang wanita itu langsung menggerakkan kaki tangan dan dalam segebrakan saja empat orang prajurit telah terlempar dan mengaduh-aduh, tak mampu bangkit berdiri lagi!

Gegerlah para pasukan itu dan baru teringat oleh mereka bahwa kedua orang wanita ini adalah pemberontak-pemberontak, buronan yang memiliki kepandaian amat tinggi! Maka mereka lalu mengurung dan menerjang dari semua jurusan. Terjadilah pertempuran yang hebat karena betapa pun juga, dua orang itu tidak mau menyerah begitu saja.

Sayang bahwa Yap In Hong sedang mengandung sehingga dia tidak berani mengerahkan tenaga sinkang terlalu kuat. Andai kata tidak demikian, tentu amukannya akan membuat seratus orang pasukan itu tidak berdaya, apa lagi ada Cia Giok Keng yang membantunya. Sekarang mereka dikepung rapat dan terdesak oleh serangan bertubi-tubi, biar pun tidak mudah pula bagi para prajurit itu untuk dapat merobohkan dua orang wanita perkasa ini.

"In Hong, larilah, biar aku menahan tikus-tikus ini!" kata Cia Giok Keng.

"Tidak, kita lari berdua, atau tinggal berdua!" In Hong berkata.

Mendadak Cia Giok Keng membentak ke arah para pengeroyoknya dengan suara lantang dan melengking tinggi, "Mundurlah kalian! Kami tidak ingin membunuh kalian! Akan tetapi kalau kalian mendesak, apa boleh buat, kami harus mempertahankan diri!"

Setelah berkata demikian, nyonya yang perkasa ini sudah mencabut pedangnya sehingga nampaklah sinar berkilauan putih. Nyonya itu sudah mencabut pedangnya yang sejak tadi tak pernah dipergunakan, yaitu Gin-hwa-kiam.

Memang kedua orang nyonya ini sudah beberapa kali menerima pesan dari suami-suami mereka bahwa mereka itu bukanlah pemberontak-pemberontak, oleh karena itu mereka tak boleh membunuh pasukan kerajaan yang hanya menerima perintah atasannya. Maka ketika dikeroyok tadi, mereka hanya mengandalkan kaki tangan untuk menjaga diri.

Menghadapi ancaman itu, tentu saja para prajurit tidak mau mundur, bahkan mereka kini pun mengeluarkan senjata masing-masing dan mengurung dua orang wanita itu dengan ketat.

"Lebih baik kalian berdua menyerah saja dari pada harus menghadapi kekerasan!" bentak seorang perwira.

"Majulah! Siapa maju lebih dulu akan mampus lebih dulu," In Hong yang sudah marah itu pun membentak.

Empat orang prajurit menyeringai, kemudian dengan tombak di tangan mereka menubruk ke arah nyonya cantik yang sedang mengandung ini. Akan tetapi nampak sinar hijau dan empat orang itu memekik ngeri dan roboh, tewas seketika karena mereka telah menjadi korban serangan Siang-tok-swa (Pasir Harum Beracun) yang dilepas oleh Yap In Hong tadi. Gegerlah para prajurit dan mereka itu segera menerjang dengan senjata mereka. Cia Giok Keng memutar pedangnya dan Yap In Hong juga melawan sambil kadang-kadang merobohkan beberapa orang dengan pasir beracun itu.

Tiba-tiba saja terdengar bentakan halus dari luar kepungan. "Ibu, jangan takut, aku datang membantumu!"

"Ciauw Si...!" Cia Giok Keng berseru dengan isak tertahan pada saat dia mengenal suara puterinya yang telah pergi untuk bertahun-tahun itu.

Kepungan itu mulai bobol dan rusak akibat mengamuknya Lie Ciauw Si dari sebelah luar. Dara ini marah bukan kepalang melihat ibunya terkepung, maka dia melempar-lemparkan para prajurit seperti orang melempar-lemparkan rumput kering saja!

Tingkat kepandaian Lie Ciauw Si memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibunya, dan walau pun dia tidak dapat dikatakan selihai In Hong, akan tetapi nyonya ini sedang mengandung sehingga tidak dapat mengeluarkan kepandaiannya.

Munculnya dara yang mengamuk hebat itu membuat para prajurit yang tadinya memang sudah sangat gentar menghadapi kedua orang nyonya yang benar-benar lihai itu menjadi kalang kabut.

"Ibu... bibi... lari...!" Ciauw Si berseru setelah berhasil membuka kepungan itu.

Mereka kemudian melarikan diri, In Hong di depan, dan Giok Keng bersama puterinya di belakang sambil menahan para prajurit yang mengejar mereka. Dengan menggunakan ilmu berlari cepat, dan ditambah lagi karena para pengawal pengejar itu sudah merasa gentar dan mereka menanti bala bantuan, akhirnya tiga orang wanita ini dapat melarikan diri dan tidak dapat disusul lagi oleh para prajurit.

Sementara itu, Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw juga sudah mengamuk ketika mereka dikurung oleh banyak sekali prajurit. Mereka tidak mau membunuh, hanya merobohkan para pengeroyok tanpa mengakibatkan luka parah. Memang mereka sengaja mengamuk hanya untuk menahan agar para prajurit tidak melakukan pengejaran kepada isteri-isteri mereka. Mereka melihat seorang nenek muka hitam beserta seorang wanita cantik yang berdiri di belakang pasukan, dan tahulah dua orang pendekar ini bahwa yang memimpin pengepungan ini bukan lain adalah musuh-musuh lama mereka, yaitu Hek-hiat Mo-li dan muridnya, Kim Hong Liu-nio yang lihai!

Melihat mereka, dua orang pendekar ini menjadi amat marah, akan tetapi juga kaget dan khawatir akan keselamatan isteri mereka yang telah lebih dulu melarikan diri. Dua orang wanita itu adalah orang-orang yang kejam dan cerdik, maka sebaiknya kalau mereka itu dipancing agar makin menjauhi arah larinya isteri mereka. Kun Liong lalu berteriak nyaring dan meloncat jauh sambil berseru.

"Bun Houw, lari...!"

Bun Houw tidak membantah dan meloncat, mengikuti kakak iparnya dan mereka berdua melarikan diri ke barat.

Memang sejak tadi Kim Hong Liu-nio sudah merasa amat heran melihat bahwa dua orang wanita isteri kedua orang pendekar tidak nampak. Tidak mungkin kedua orang wanita itu bersembunyi karena keduanya adalah wanita-wanita yang berkepandaian tinggi. Tentu mereka itu kebetulan sedang pergi, pikirnya. Maka ketika melihat dua orang pendekar itu melarikan diri, Kim Hong Liu-nio mengeluarkan aba-aba untuk melakukan pengejaran.

Dia maklum akan kelihaian kedua orang pendekar itu, maka walau pun dia dibantu oleh gurunya, dia tidak berani ceroboh turun tangan sendiri tanpa bantuan pasukan yang besar jumlahnya. Kim Hong Liu-nio mengira bahwa tentu dua orang pendekar itu akan memberi tahu isteri-isteri mereka untuk bersama-sama melawan pasukan atau bersama melarikan diri, maka dia mengajak gurunya untuk melakukan pengejaran.

Tentu saja Kun Liong dan Bun Houw bukan melarikan diri karena takut, melainkan untuk memancing mereka itu mengejar supaya isteri-isteri mereka sempat meloloskan diri dari Bwee-hoa-san. Mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa isteri-isteri mereka itu kini tengah menghadapi pengeroyokan para prajurit yang oleh Kim Hong Liu-nio memang telah ditugaskan untuk melakukan penjagaan di sekeliling bukit itu!

Setelah merasa cukup jauh meninggalkan Bwee-hoa-san dan tak lagi berlari terlalu cepat sehingga pasukan itu dapat mengikuti mereka terus, dua orang pendekar itu berhenti di luar sebuah hutan. Dengan bertolak pinggang mereka menanti datangnya pasukan yang masih dipimpin oleh nenek muka hitam dan muridnya itu. Setelah mereka tiba dekat, Cia Bun Houw lalu membentak dengan suara lantang berwibawa,

"Berhenti kalian semua! Sebagai prajurit-prajurit kerajaan, apakan kalian telah lupa bahwa keluarga Cin-ling-pai semenjak dahulu adalah keluarga pendekar yang selalu membantu pemerintah menghadapi para pemberontak? Mendiang ayahku, Cia Keng Hong, bahkan menjadi sahabat baik dari mendiang Panglima The Hoo! Kalau sekarang kami sekeluarga dianggap pemberontak, hal itu hanyalah fitnah semata! Dan pada suatu hari kami pasti akan dapat membongkar rahasia fitnah busuk ini!"

Melihat sikap pendekar yang amat gagah itu, dan juga mendengar ucapan itu, maka para prajurit, terutama mereka yang sudah lama mengenal nama besar keluarga Cin-ling-pai, nampak gentar. Dan benar saja, mereka berhenti bergerak dan hanya berdiri memandang kepada dua orang pendekar itu.

Melihat ini, Bun Houw dan Kun Liong cepat melompat ke depan dan masing-masing telah menerjang Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li! Dua orang wanita itu cepat menyambut serangan mereka dan dari mulut Hek-hiat Mo-li keluar suara meringkik yang aneh seperti seekor kuda marah, padahal nenek ini bermaksud tertawa karena hatinya gembira sekali memperoleh kesempatan untuk bertanding melawan seorang musuh-musuhnya! Memang nenek ini sudah pikun, namun dia masih lihai sekali ketika menyambut terjangan Yap Kun Liong.
Selanjutnya,