Pendekar Lembah Naga Jilid 30 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Lembah Naga Jilid 30
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
MALAM itu Lan Lan menginap dalam kamar sebuah hotel di kota raja dan pada keesokan harinya, sesudah matahari naik tinggi, barulah dia mengunjungi rumah komandan Kwan yang telah dikenalnya sebab komandan itu merupakan sahabat ayahnya. Telah beberapa kali dia mengunjungi rumah keluarga komandan Kwan itu, bahkan sering pula komandan Kwan datang berkunjung ke rumah mereka.

Kwan-ciangkun sendiri yang menyambut kedatangannya, dan kebetulan Kwan-ciangkun bertemu dengan dara ini di depan rumah karena komandan itu hendak pergi ke tempat kerjanya.

"Ehh, nona Kui Lin..."

"Aku Kui Lan, ciangkun."

"Ahh, ha-ha-ha-ha, maaf, sudah beberapa tahun berkenalan, tetap saja aku masih belum mampu membedakan di antara kalian berdua." Komandan yang bertubuh tinggi besar itu tertawa. "Dengan siapa nona datang? Dan bagaimana kabar ayahmu?"

"Aku datang sendirian saja, ciangkun. Aku disuruh oleh ayah untuk mengantarkan sebuah surat untuk Kwan-ciangkun."

"Ahh, agaknya penting. Untung aku belum pergi, mari silakan duduk di dalam nona."

"Terima kasih, ciangkun. Aku hanya mengantar surat saja dan akan terus kembali, karena banyak pekerjaan menanti di rumah."

"Kalau begitu, biar kubaca dulu surat ayahmu, barang kali membutuhkan balasan."

Komandan itu lalu merobek sampul dan mengeluarkan isinya, cepat membaca surat itu. Wajahnya berubah, matanya terbelalak lantas dia memandang kepada Kui Lan dengan mata bersinar-sinar. "Ahh, ternyata urusan yang sangat penting sekali! Aku harus segera melaporkan ke atasan dan mengumpulkan pasukan! Dan kebetulan sekali dia berada di kota raja..."

"Kwan-ciangkun, kalau tidak ada balasannya, aku minta pamit sekarang saja."

"Baik, baik... tidak perlu balasan, hanya katakan saja kepada ayahmu bahwa aku sudah menerima suratnya dan semua akan beres! Begitu saja...!" Perwira itu nampak gugup dan tergesa-gesa.

Lan Lan juga tidak mau ambil pusing lagi siapa yang dimaksudkan ‘dia’ oleh perwira itu. Dia memberi hormat lalu keluar dari pekarangan rumah itu, kembali ke hotelnya dan tak lama kemudian dia sudah membedal kudanya keluar kota raja, kembali menuju ke dusun tempat tinggalnya.

Kwan-ciangkun itu adalah seorang kepala atau komandan dari pasukan pengawal istana. Dia bersahabat dengan sasterawan she Kui yang merupakan orang terkaya di dusunnya, dan di samping itu, juga komandan ini tahu bahwa Kui Hok Boan adalah seorang hartawan yang mempunyai ilmu silat tinggi. Persahabatan di antara kedua orang itu mendatangkan keuntungan timbal balik.

Bagi Kwan-ciangkun tentu saja dia mendapat untung berupa pemberian hadiah-hadiah di samping dia pun mendapatkan seorang kawan yang pandai dalam ilmu silat mau pun ilmu surat sehingga enak untuk diajak berbincang-bincang, malah dalam ilmu silat, dia banyak memperoleh petunjuk dari hartawan she Kui itu.

Di fihak Kui Hok Boan, tentu saja dia merasa amat bangga mempunyai seorang sahabat yang menjadi komandan pasukan pengawal di istana karena selain hal ini mendatangkan kehormatan baginya, juga dia akan mudah memperoleh bantuan seorang ‘dalam’ apa bila terjadi sesuatu atau apa bila dia membutuhkan sesuatu dari fihak yang berkuasa.

Maka, begitu menerima surat dari sahabatnya itu, Kwan-ciangkun percaya sepenuhnya dan dia merasa girang sekali karena dengan menangkap pemberontak buronan itu, atau lebih tepat lagi putera dari pemberontak terkenal Cia Bun Houw, berarti dia akan membuat jasa yang besar.

Segera dia berlari-lari melapor ke atasannya, yaitu panglima pasukan keamanan di kota raja dan gegerlah keadaan di dalam benteng itu. Panglima itu segera menghubungi Kim Hong Liu-nio karena wanita ini yang pertama kali menyiarkan bahwa bocah yang tadinya bekerja sebagai pelayan di rumah makan itu adalah putera pendekar sakti Cia Bun Houw yang menjadi buronan dan bocah itu bernama Cia Sin Liong.

Pemilik rumah makan telah ditangkap, disiksa untuk mengaku dan menceritakan keadaan Sin Liong, akan tetapi majikan rumah makan yang sial itu dalam keadaan setengah mati tetap mengatakan bahwa dia mengenal pemuda itu sebagai A-sin.

Pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Kwan Heng Lai atau Kwan-ciangkun, ditemani pula oleh Kim Hong Liu-nio, langsung berangkat melakukan pengejaran ke dusun kecil itu dengan menunggang kuda. Orang-orang pada sepanjang perjalanan memandang dengan takut-takut dan hati heran melihat pasukan yang bersenjata lengkap, berwajah serius dan melakukan perjalanan tergesa-gesa ini. Tentu ada sesuatu yang tidak beres, pikir mereka dan mereka merasa ngeri membayangkan dusun yang dijadikan sasaran oleh pasukan itu. Biasanya, tiap kali ada pasukan melakukan pembersihan di suatu dusun, akan terjadi hal-hal yang mengerikan.

********************

Apakah yang terjadi dengan Sin Liong dan Bi Cu di rumah keluarga Kui? Seperti sudah kita ketahui, setelah Lan Lan dan Lin Lin pergi memenuhi perintah ayah mereka untuk menyerahkan surat malam itu juga kepada komandan Kwan di kota raja, Sin Liong dan Bi Cu dilayani oleh Kui Hok Boan sendiri yang memperlihatkan pedang buatan mendiang Bhe Coan kepada Bi Cu.

Selagi mereka bercakap-cakap itu, muncullah pelayan wanita yang membawa hidangan. Melihat ini, Sin Liong dan Bi Cu menjadi sungkan dan kikuk.

"Ahh, harap paman tidak usah repot-repot," kata Sin Liong melihat betapa Kui Hok Boan sendiri yang menemani mereka untuk makan minum.

"Sama sekali tidak. Hari sudah malam, sudah tiba waktunya makan malam. Mari silakan, aku sendiri sudah makan tadi. Mari silakan, nona Bhe."

Melihat kedua orang muda itu kelihatan sungkan-sungkan dan kikuk, Kui Hok Boan lalu bangkit berdiri dan berkata, "Harap kalian berdua makan yang enak, aku akan pergi dulu melakukan sesuatu di dalam. Silakan dan harap makan secukupnya, yang kenyang dan jangan malu-malu. Itu araknya harap diminum, arak wangi yang tidak keras."

Dengan ramah Kui Hok Boan mempersilakan dua orang tamunya, lantas dia mengangguk dan meninggalkan dua orang muda remaja itu. Sesudah Kui Hok Boan pergi, barulah Sin Liong dan Bi Cu tidak merasa kikuk lagi dan karena perut mereka memang sudah lapar, mereka berdua lalu mulai makan.

"Kau suka minum arak?" tanya Sin Liong sambil mengangkat guci untuk dituangkan ke dalam cawan yang tersedia. Bi Cu menggelengkan kepalanya.

"Kami kaum pengemis, mana biasa minum arak?" kata Bi Cu sambil tersenyum. "Pula, mendiang suhu mengatakan bahwa arak berhawa panas, hanya tepat untuk orang-orang tua yang memerlukan bantuan hawa panas supaya memperlancar jalan darah mereka. Tidak, aku tidak biasa minum."

Sin Liong meletakkan kembali guci arak itu ke atas meja. "Aku sendiri juga tidak begitu suka minuman arak. Terlalu banyak arak bisa memabukkan, dan saat-saat seperti ini kita berdua perlu selalu waspada dan sadar."

Mereka lalu makan secukupnya dan minum air teh, sama sekali tidak menyentuh arak di dalam guci. Selagi makan minum, dengan diam-diam Sin Liong memperhatikan ke arah pintu yang menembus ke dalam. Walau pun matanya tidak dapat menembus daun pintu, tapi pendengarannya yang amat tajam berkat kepandaiannya yang tinggi dan sinkang-nya yang kuat, dapat menangkap suara orang di balik daun pintu.

Mula-mula dia menduga bahwa tentu orang itu adalah pelayan yang siap untuk melayani mereka, akan tetapi makin lama dia semakin merasa curiga. Kalau dia pelayan, mengapa bersembunyi di balik pintu? Dan orang itu mempunyai kepandaian tinggi, saat mendekati pintu, langkah kakinya demikian ringan dan sesudah kini bersembunyi di balik pintu, tidak mengeluarkan suara apa-apa kecuali pernapasannya. Suara pernapasan ini sudah cukup bagi pendengaran Sin Liong untuk mengetahui bahwa di balik pintu itu ada orang sedang bersembunyi, agaknya mengintai dan mendengarkan.

Akan tetapi ia pura-pura tidak melihatnya dan melanjutkan makan minum dengan tenang. Bi Cu yang tidak begitu banyak makannya telah meletakkan mangkok dan sumpit di atas meja ketika Sin Liong masih melanjutkan makan. Pada saat itu, pintu terbuka dan sambil makan bakso dari mangkoknya Sin Liong melirik. Ternyata orang yang bersembunyi di balik daun pintu tadi adalah Kui Hok Boan sendiri!

Orang ini masuk sambil mencoba tersenyum, akan tetapi pandang matanya jelas nampak kecewa. "Silakan makan sekenyangnya, nona. Mengapa nona tidak makan?" Dia berkata mempersilakan sambil menghampiri meja.

"Terima kasih, aku sudah makan cukup," Bi Cu berkata, sedangkan Sin Liong masih terus melanjutkan makannya.

Kui Hok Boan duduk. "Ah, nona Bhe, kenapa makan hanya sedikit? Dan ini... ah, kenapa arak dalam guci masih penuh? Apakah kalian tidak mau minum arak yang kusuguhkan?"

"Terima kash paman, kami berdua tidak biasa minum arak," Sin Liong menjawab sambil meletakkan sumpit dan mangkoknya yang kini telah kosong.

"Ahh, bila terlalu banyak minum arak memang bisa mabuk dan tak baik untuk kesehatan. Akan tetapi kalau hanya dua tiga cawan saja, bahkan sangat baik bagi kesehatan. Orang bijaksana selalu berkata bahwa sedikit arak menjadi obat, terlampau banyak arak menjadi racun. Nah, sekarang, mengingat akan kegembiraan pertemuan antara kita, apa salahnya kalian minum barang dua tiga cawan? Nona, engkau adalah seorang murid dari mendiang Hwa-i Sin-kai yang sejak dahulu kukagumi. Kini, bertemu dengan muridnya, perkenankan aku mengucapkan selamat datang dan hormatku kepada mendiang gurumu dan engkau sebagai wakil beliau!" Kui Hok Boan menuangkan arak ke dalam cawan di hadapan dara remaja itu.

Bi Cu merasa bingung akan tetapi tentu saja sulit baginya untuk menolak. Menolak berarti tidak menghormati tuan rumah yang sudah begitu baik hati.

"Aku tidak biasa minum arak, paman, tapi jika hanya secawan saja bolehlah," jawabnya. Ia kemudian mengangkat cawan itu dan meneguk arak dalam cawan sedikit demi sedikit, khawatir tersedak. Akhirnya arak itu pun habis dan Kui Hok Boan tertawa gembira.

"Secawan tadi adalah untuk selamat datang, kini secawan arak penghormatanku kepada mendiang suhu-mu belum kau minum." Dia menuangkan lagi secawan.

Bi Cu tersenyum. "Ahh, paman terlampau mendesak. Akan tetapi aku hanya mau minum secawan lagi kalau paman berjanji tidak akan menambahkan lagi. Yang secawan ini tadi saja sudah membuat perut terasa panas."

"Baik, cukup secawan lagi, minumlah, nona Bhe."

Bi Cu menerima secawan arak itu dan meminumnya lagi. Sin Liong memandang penuh perhatian ketika Bi Cu minum arak itu dan hatinya merasa lega sesudah dara remaja itu menghabiskan dua cawan arak tanpa ada terjadi sesuatu yang mencurigakan. Wajah yang manis dan berkulit halus putih itu sekarang mulai menjadi kemerahan, menambah cantiknya Bi Cu.

"Dan kini untuk kembalimu kepada keluarga kita, Liong-ji, untuk pertemuan yang sungguh menggembirakan ini, aku ingin memberikan selamat kepadamu dengan tiga cawan arak, harap kau suka menerimanya!"

Kui Hok Boan segera menuangkan arak ke dalam cawan Sin Liong sampai tiga kali, dan tanpa ragu-ragu Sin Liong meneguk tiga cawan arak itu ke dalam kerongkongannya. Dia merasa ada hawa aneh bersama arak itu, dan cepat dia lalu mengerahkan sinkang Thi-khi I-beng, Dengan hawa Thi-khi I-beng yang amat kuat dia dapat menekan dan menguasai hawa asing di dalam perutnya itu sehingga hawa itu tak sampai menjalar ke mana-mana! Penggunaan ilmu yang luar biasa ini tentu saja tidak diketahui oleh Bi Cu atau Kui Hok Boan sendiri.

Tak lama kemudian Bi Cu kelihatan mengantuk sekali, beberapa kali dia menutupi mulut dengan punggung tangan ketika dia menahan kuapnya.

"Ahh, nona Bhe kelihatan sudah lelah. Kalau mau tidur, silakan, nona, telah dipersiapkan dua buah kamar untuk kalian. Mari ikut bersamaku, mari Sin Liong, engkau pun agaknya perlu mengaso."

Sebetulnya Sin Liong belum merasa lelah atau mengantuk, akan tetapi melihat keadaaan Bi Cu dia pun berpura-pura mengantuk dan menguap. Dua orang muda itu lalu mengikuti Hok Boan masuk ke dalam dan diam-diam Sin Liong memperhatikan Bi Cu.

Sungguh tidak wajar jika Bi Cu demikian mengantuk dan lelah, padahal tadi masih segar-bugar. Sekarang dara remaja itu hampir tidak kuat melangkah lagi sehingga terpaksa dia memegangi tangannya.

Begitu sampai di depan pintu kamar dan ditunjukkan oleh Kui Hok Boan bahwa itu adalah kamar untuknya, Bi Cu langsung berlari masuk dan menjatuhkan diri di atas pembaringan, dan terus saja dia pulas! Melihat ini, Kui Hok Boan tertawa.

"Ahh, kasihan, dia sudah sangat lelah," katanya sambil menutupkan daun pintunya. "Kau pun tentu amat lelah, Sin Liong."

Sin Liong mengangguk, masih terheran-heran melihat keadaan Bi Cu tadi. "Aku mengaso juga, paman," katanya sambil memasuki kamarnya yang berada di sebelah kamar Bi Cu.

Dia mendengar betapa langkah kaki pamannya meninggalkan kamar itu, maka Sin Liong cepat menutupkan pintu kamarnya, duduk bersila dan mengerahkan hawa sakti di dalam tubuhnya yang telah menekan dan menguasai hawa aneh yang masuk melalui arak tadi, kini memaksa hawa itu keluar dari mulutnya. Setelah semua hawa asing itu habis, barulah dia berani bernapas seperti biasa dan dia mencium bau harum yang aneh.

Diam-diam dia terkejut dan curiga sekali. Benarkah dugaannya bahwa pamannya bermain curang dan membius dia dan Bi Cu melalui arak tadi? Melihat keadaan Bi Cu, sudah jelas tentulah demikian, dan hawa aneh tadi tentu akan membuat dia pulas pula seperti Bi Cu kalau saja tidak dikuasainya dengan Thi-khi I-beng.

Dia segera menghampiri dinding pemisah kamarnya dan kamar Bi Cu, lalu menempelkan telinganya pada dinding itu dan mengerahkan tenaga saktinya untuk mendengarkan. Dia dapat menangkap lapat-lapat suara pernapasan Bi Cu maka tahulah dia bahwa gadis itu masih tidur pulas. Hatinya merasa lega dan dia pun lalu duduk bersila, sama sekali tidak berani tidur, hanya mendengarkan keadaan di sekitarnya, terutama dari arah kamar Bi Cu.

Kurang lebih satu jam kemudian dia mendengar ada suara bisik-bisik dari luar kamarnya, suara bisik-bisik dari tiga orang laki-laki. Dia tidak mampu menangkap kata-kata mereka karena mereka itu berbisik-bisik lirih sekali, akan tetapi dia tahu bahwa yang berbicara itu adalah Kui Hok Boan bersama dua orang laki-laki yang tidak dikenalnya. Mendengar nada suara mereka, tentu dua orang itu adalah laki-laki yang masih muda.

Akan tetapi sebentar saja mereka itu berbisik-bisik, lalu keadaan menjadi sunyi lagi dan terdengarlah bunyi langkah seorang di antara mereka menjauh. Hanya seorang saja yang pergi! Berarti bahwa ada dua orang lain yang tadi datang bersama Kui Hok Boan, tinggal di sekitar luar kamarnya dan kamar Bi Cu! Hati Sin Liong terguncang dan dia pun makin bercuriga. Apakah artinya semua ini?

Sin Liong tetap duduk bersila dengan penuh perhatian ke arah sekelilingnya, namun tidak terjadi sesuatu. Menjelang tengah malam, tiba-tiba saja seluruh urat syaraf pada tubuhnya menegang.

Terdengar suara langkah orang berindap-indap ke arah jendela kamarnya yang berada di belakang, berlawanan dengan pintu kamar. Kemudian, langkah orang ini berhenti di luar jendela kamarnya, kemudian terdengar daun jendela kamar itu bergerak dibuka orang dari luar!

Sin Liong tetap diam saja, menunggu sampai daun jendela itu terbuka dan orang yang membongkar daun jendela itu masuk. Begitu dia melihat bayangan hitam meloncat dan berkelebat masuk dari jendela yang sudah terbuka, dia pun meloncat dan sebelum orang itu mampu bergerak, dia sudah menangkap lengannya. Lengan yang kecil halus!

"Siapa kau...?"

"Sssttt... Liong-ko, aku Lin Lin...!" bisik orang itu yang menyeringai karena lengannya yang dipegang itu terasa nyeri sekali.

"Ehh, adik Lin...? Mengapa kau...?"

"Ssttt, jangan keras-keras... dengarlah baik-baik, Liong-ko. Kau harus cepat pergi dari sini bersama enci Bi Cu, sekarang juga. Cepat... segera akan datang pasukan dari kota raja untuk menangkap kalian...!" suara itu terisak dan ditahannya.

"Hemm, dari mana kau tahu? Siapa yang memberi tahu kepada pasukan kota raja bahwa kami berada di sini?" Sin Liong berbisik dan masih memegang lengan adik tirinya itu akan tetapi dia tidak mempergunakan tenaga lagi.

"...ayah..."

Sin Liong melepaskan pegangannya dan melangkah mundur, menatap wajah adik tirinya dalam kegelapan remang-remang itu. "Dan kalian disuruh ke kota raja untuk melaporkan kehadiran kami...?" Dia berhenti sebentar masih tidak mau percaya. "Mengapa kau... kau sekarang memberi tahu kepadaku...?"

Lin Lin menjadi tak sabar atas sikap Sin Liong yang tak mau cepat-cepat pergi melarikan diri itu. "Dengar, Liong-ko," bisiknya sambil mendekat. "Kami disuruh antar surat kepada Kwan-ciangkun di kota raja. Karena curiga, kami membukanya di jalan dan baru kami tahu bahwa ayah melaporkan engkau. Kami tidak berani membangkang, maka enci Lan melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan aku diam-diam kembali untuk memberi tahu kepadamu. Nah, kau cepat ajak enci Bi Cu pergi sebelum terlambat!"

"Bi Cu... ahh, kami pun tadi telah disuguhi arak yang agaknya mengandung obat bius..."

"Ahhh... aku menyesal sekali, Liong-ko, ayahku..." Lin Lin tak melanjutkan kata-katanya.

Sin Liong merangkulnya kemudian mencium pipinya. "Lin Lin, kalian baik sekali, aku cinta kepadamu dan kepada Lan-moi..." Dia melepaskan rangkulannya. "Sekarang juga aku akan pergi, akan kuambil Bi Cu dari kamarnya." Dia lalu melangkah hendak keluar melalui jendela itu.

"Liong-ko...!" Lin Lin berbisik.

Sin Liong menoleh."Kau... harap kau maafkan ayahku...!"

"Hemmm...!" Sin Liong mendengus marah, teringat akan pengkhianatan ayah tirinya.

"Demi aku, demi enci Lan...!"

Hening sejenak, kemudian terdengar Sin Liong menarik napas panjang. "Baiklah, Lin-moi, jangan khawatir, akan kulupakan saja apa yang diperbuat oleh ayahmu malam ini."

"Nanti dulu, Liong-ko. Di depan pintu kamar enci Bi Cu dan di depan kamar ini terdapat penjaga-penjaga, mungkin Bu-ko dan Sin-ko juga diperintah oleh ayah untuk melakukan penjagaan. Biarlah kupancing mereka agar melepaskan perhatian dari kamar enci Bi Cu. Kalau engkau nanti sudah mendengar suara kami bercakap-cakap, nah, kau baru boleh memasuki kamar enci Bi Cu dari jendela belakang."

"Baik, Lin-moi, dan terima kasih."

"Akan tetapi, bagaimana selanjutnya engkau akan melarikan diri membawa enci Bi Cu? Bagaimana jika engkau dikejar-kejar kemudian tertawan?" Suara Lin Lin terdengar penuh kegelisahan.

"Serahkan saja kepadaku...!" Sin Liong lalu ke luar dari jendela, didahului oleh Lin Lin.

Dara itu kemudian menyelinap melalui jalan memutar, ada pun Sin Liong berindap-indap mendekati kamar Bi Cu. Memang benar, dia melihat beberapa bayangan orang bergerak dan menjaga di sekitar kamarnya dan kamar Bi Cu, maka dia mendekam di tempat gelap, mendengarkan.

Tak lama kemudian dia mendengar suara seorang laki-laki, suara seorang muda yang dia tahu tentu seorang di antara keponakan Kui Hok Boan, menegur Lin Lin.

"Heiii, Lin-moi... engkau sudah pulang? Mana Lan-moi?"

"Aku... aku pulang lebih dulu, tadi perutku sakit, enci Lan melanjutkan perjalanan seorang diri..." terdengar suara Lin Lin menjawab. "Mengapa engkau belum tidur, Sin-ko? Mana ayah?"

"Ayah sudah tidur, aku dan Bu-ko ditugaskan menjaga..."

"Lin-moi, mengapa engkau pulang malam-malam? Bukankah engkau dan Lan-moi ke kota raja?" terdengar suara laki-laki lain dan tahulah Sin Liong bahwa laki-laki ini tentu Kwan Siong Bu dan yang tadi adalah Tee Beng Sin.

Betapa inginnya untuk keluar dan menjumpai mereka, akan tetapi teringat akan keadaan dirinya yang terancam, apa lagi Bi Cu yang mungkin masih tertidur nyenyak karena obat bius, dia menekan keinginan ini dan selagi mereka bercakap-cakap, cepat dia menyelinap menghampiri jendela kamar Bi Cu.

Mudah saja baginya membuka daun jendela itu tanpa mengeluarkan suara dan dia cepat meloncat ke dalam. Kamar itu remang-remang gelap seperti keadaan kamarnya tadi, tapi matanya yang amat tajam dapat melihat Bi Cu rebah miring di atas pembaringan dengan pakaian masih lengkap seperti ketika makan minum tadi.

Dia menghampiri dan ternyata dara itu masih tidur nyenyak sekali. Dia mengguncangnya beberapa kali, akan tetapi Bi Cu bagaikan dalam keadaan pingsan saja, sama sekali tidak bergerak. Maka tanpa ragu-ragu dia lantas memanggul tubuh Bi Cu pada pundak kirinya, merangkul dengan lengan kiri dan dibawanya ke luar dari dalam kamar melalui jendela!

Sin Liong mempergunakan kesempatan selagi Lin Lin mengalihkan perhatian dua orang muda serta para penjaga itu, menjauhi kamar ke sebelah belakang bangunan, kemudian dengan kepandaiannya yang tinggi dia lalu meloncat ke atas genteng tanpa menimbulkan sedikit pun suara, lantas berlarilah Sin Liong membawa tubuh Bi Cu yang masih belum sadar itu, menjauhi dusun itu.

Karena dia sudah tahu bahwa pasukan kerajaan tentu akan melakukan pengejaran, maka dia melarikan diri menuju ke barat di mana nampak pegunungan dari jauh. Dia harus pergi bersama Bi Cu ke utara, akan tetapi tidak boleh sekali-kali melewati kota raja, maka dia cepat mengambil jalan memutar, melalui sebelah barat kota raja di mana terdapat banyak pegunungan liar, kemudian baru ke utara.

Walau pun Sin Liong telah mempunyai ilmu kepandaian yang sangat tinggi dan dia dapat mempergunakan ginkang-nya untuk berlari cepat sekali, tapi malam itu amat gelap hanya diterangi bintang-bintang yang bertaburan di langit. Apa lagi dia harus memanggul tubuh Bi Cu, dan dia lari melalui jalan-jalan liar, maka tentu saja dia harus berhati-hati dan tidak dapat berlari cepat. Bagaimana pun juga, karena pandainya Lin Lin memancing perhatian para penjaga, tidak ada seorang pun dalam rumah keluarga Kui yang mengetahui bahwa dua ekor burung itu telah terbang dari sarangnya!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kui Hok Boan sudah bangun dari tidurnya dan segera dia pergi menuju ke kamar dua orang tamu itu. Hatinya lega melihat betapa Siong Bu dan Beng Sin bersama para penjaga masih berada di depan kedua kamar itu, akan tetapi Kui Hok Boan merasa heran melihat Lin Lin ikut pula menjaga di situ!

"Ehh, engkau sudah pulang? Mana Lan Lan?"

"Ayah, aku pulang lebih dulu. Di tengah perjalanan aku merasa sakit perut dan terpaksa aku kembali malam tadi, sedangkah enci Lan seorang diri melanjutkan perjalanan ke kota raja."

"Hemm, dan sekarang bagaimana sakit perutmu?" ayah ini bertanya sambil memandang wajah puterinya itu yang agak pucat, dan hal ini adalah karena semalam suntuk Lin Lin tidak tidur dan juga diam-diam merasa gelisah. "Mengapa engkau tidak tidur semalam dan ikut berjaga di sini kalau perutmu sakit?"

"Sekarang perutku sudah sembuh, ayah, dan aku memang turut berjaga bersama Bu-ko dan Sin-ko."

Ayah itu termenung sambil mengerutkan alisnya. "Mengapa Lan Lan belum juga pulang? Apa bila dia langsung ke rumah Kwan-ciangkun, seharusnya dia sudah pulang bersama pasukan..."

"Mungkin enci Lan merasa lelah dan bermalam di kota raja, ayah," kata Lin Lin dan Hok Boan mengangguk.

Akan tetapi tetap saja dia tidak merasa puas karena dianggapnya pengiriman pasukan dari kota raja amat lambat. Mestinya pagi-pagi sudah tiba di sini. Kalau pasukan sudah datang dan menangkap Sin Liong dan Bi Cu, baru dia merasa lega. Makin diperpanjang waktunya, makin gelisahlah dia.

Tentu saja dia tidak takut dua orang itu akan mampu melarikan diri, karena kepandaian dua orang muda seperti itu tentu tidak ada artinya baginya, akan tetapi betapa pun juga dia merasa sungkan dan tidak enak terhadap Sin Liong. Maka semakin cepat perkara ini selesai, semakin baiklah. Untuk menenangkan hatinya, dia menghampri kamar Sin Liong lalu mengetuk daun pintu kamar itu.

“Tuk-tuk-tukk…!”

"Liong-ji...! Sin Liong...! Sin Liong...!"

Tidak ada jawaban dari dalam kamar dan Kui Hok Boan menoleh sambil menyeringai, lalu berkata kepada para penjaga itu, "Dia masih tidur nyenyak!"

Kembali dia mencoba dengan ketukan dan panggilan di depan pintu kamar Bi Cu, akan tetapi hasilnya sama saja, tidak ada jawaban dari balik kamar yang tertutup pintunya itu.

"Biarkan mereka tidur, kalian jaga di sini dan jangan lengah sampai pasukan datang," kata Kui Hok Boan dengan hati lega. "Lin Lin, kau agak pucat, hayo kau mengaso ke kamarmu sana. Atau sebaiknya kau makan pagi dulu, baru mengaso."

"Aku ingin ikut berjaga di sini, ayah. Nanti jika sudah lelah, aku baru akan pergi mengaso. Aku menanti kembalinya enci Lan."

Kui Hok Boan mengangguk dan memasuki kamarnya kembali. Hatinya lega. Betapa pun juga, dua orang bocah itu tidak akan melarikan diri. Kalau perlu, sebelum pasukan datang, dan mereka itu hendak melarikan diri, dia dapat menggunakan kekerasan untuk menahan atau menangkap mereka, biar pun kalau bisa, jangan dia yang melakukan penangkapan, biar Kwan-ciangkun bersama pasukannya agar jangan terlampau kentara dia memusuhi mereka itu.

Matahari telah naik tinggi ketika terdengar derap kaki kuda dan Lan Lan muncul dengan muka agak pucat. Kui Hok Boan cepat-cepat menyambut kedatangan puterinya ini dan langsung bertanya,

"Bagaimana?"

Lin Lin juga sudah menyambut kakaknya dan kini mereka berdua berdiri berdampingan di depan ayah mereka dan keduanya memandang kepada Kui Hok Boan dengan sinar mata mengandung kemarahan.

"Ayah sungguh keterlaluan!" tiba-tiba Lan Lan berkata.

"Bagaimana ayah sampai bisa bertindak sekejam itu?" kata pula Lin Lin yang kini berubah sikapnya, tidak pendiam dan pura-pura tidak tahu seperti malam tadi ketika baru pulang sendirian. Kini dia bersikap seperti Lan Lan, menentang ayah mereka.

"Eh, ehh, mengapa kalian ini? Apa maksud kalian?" Kui Hok Boan membentak, pura-pura tidak mengerti.

"Ayah mengirim surat kepada Kwan-ciangkun selagi Liong-ko berada di sini. Apa maksud ayah?" kata Lin Lin.

"Ahhh... bukankah kalian sudah kuberi tahu? Supaya Kwan-ciangkun tidak datang ke sini dan..."

"Ayah tidak perlu membohongi kami!" teriak Lan Lan marah. "Ayah melaporkan kehadiran Liong-koko kemudian menyuruh Kwan-ciangkun membawa pasukan datang ke sini untuk menangkap Liong-ko dan enci Bi Cu!"

Kui Hok Boan menarik napas panjang dan tersenyum, mengangguk-angguk. "Ah, kiranya Kwan-ciangkun telah memberi tahu kepadamu, Lan Lan? Hal itu lebih baik lagi. Memang kalian harus tahu, kita tidak mungkin dapat melindungi pemberontak-pemberontak! Selain hal itu amat membahayakan kita, juga memberontak merupakan perbuatan yang sangat berdosa. Kita sebagai rakyat yang baik harus menentang pemberontak-pemberontak, dan mengingat bahwa Sin Liong dengan Bi Cu merupakan keturunan dan murid pemberontak, juga menjadi buronan pemerintah, sudah seharusnya kalau kita melaporkan agar mereka ditangkap."

"Ayah sungguh kejam! Betapa pun juga Liong-koko adalah saudara kami, saudara seibu, sekandung! Kami tak dapat membiarkan dia celaka oleh ayah!" Lan Lan berseru.

"Kami tidak bisa mendiamkan saja ayah melakukan tindakan rendah dan kejam!" Lin Lin menyambung.

"Lan dan Lin! Tahan mulut kalian itu! Ini adalah urusan pribadiku, kalian berdua tidak usah ikut campur. Aku tidak ingin kalian ikut campur, karena itu aku tidak memberi tahu kepada kalian ketika aku mengutus kalian mengirimkan surat kepada Kwan-ciangkun. Akan tetapi Kwan-ciangkun sudah memberi tahu kepadamu, Lan Lan, maka engkau harus mengerti bahwa perbuatan ayahmu ini..."

"Kami tidak tahu dari Kwan-ciangkun! Kami tahu sendiri!" potong Lan Lan dengan berani.

"Dan aku telah membebaskan Liong-ko!" sambung Lin Lin.

Mendengar ini, terkejutlah Kui Hok Boan. Sejenak dia memandang kepada kedua orang puterinya dengan mata terbelalak dan bingung, kemudian dia berlari ke tempat dua orang tamu itu tidur. Siong Bu, Beng Sin dan para penjaga terkejut melihat Hok Boan datang berlari-lari diikuti oleh dua orang dara kembar itu, dan lebih terkejut lagi ketika melihat Hok Boan mendobrak pintu kamar Sin Liong.

"Krakkkk!"

Pintu itu jebol dan terbuka memperlihatkan kamar yang kosong! Kui Hok Boan berlari ke kamar Bi Cu, cepat dibukanya daun pintu dengan kasar dan ternyata kamar itu pun telah kosong.

"Keparat...!" Kui Hok Bean menyumpah-nyumpah, kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadapi dua orang puterinya dengan mata mendelik saking marahnya. "Hayo kalian katakan, apa artinya semua ini!" bentaknya marah.

Akan tetapi kedua orang dara itu menentang pandang mata ayah mereka dengan berani, kemudian Lan Lan berkata lantang, "Kami tidak ingin melihat ayah melakukan perbuatan yang khianat dan kejam, maka kemarin kami berdua lalu berpisah, membagi tugas. Aku melanjutkan perjalanan ke kota raja, dan baru pagi tadi aku menyampaikan surat kepada Kwan-ciangkun..."

"Dan aku cepat kembali ke sini untuk memperingatkan Liong-ko sehingga dia dapat pergi melarikan enci Bi Cu!" sambung Lin Lin.

Kemarahan Kui Hok Boan mencapai puncaknya mendengar ucapan dua orang puterinya itu. "Keparat! Kalian berdua anak-anak durhaka!" bentaknya lantas tangannya bergerak cepat menampar ke depan dua kali.

"Plak! Plak!"

Tubuh Lan Lan dan Lin Lin terpelanting dan pipi mereka menjadi biru membengkak oleh tamparan ayah mereka yang amat keras tadi.

"Ayah boleh membunuh kami!" teriak Lan Lan sambil bangun kembali.

"Lebih baik mati dari pada menjadi pengkhianat kejam!" teriak Pula Lin Lin.

"Jahanam, kalian berani melawan ayah sendiri? Kalian sudah bosan hidup?" Kemarahan Kui Hok Boan membuat dia mata gelap.

Dia telah melangkah maju lagi, siap untuk menghajar. Akan tetapi pada saat itu pula dua orang pemuda cepat maju menghadang dan berlutut di depan Hok Boan. Yang seorang adalah Kwan Siong Bu yang berwajah tampan dan berpakaian rapi, sedangkan pemuda yang ke dua adalah Tee Beng Sin yang berwajah ramah dan bertubuh gendut.

"Harap paman sudi mengampuni adik Lan dan adik Lin, dan... saya bersedia menerima hukuman mewakili mereka..." kata Tee Beng Sin, pemuda gendut itu dengan gerak-gerik dan suara yang lucu sungguh pun dia tidak bermaksud untuk melucu.

"Saya juga mintakan ampun untuk Lan-moi dan Lin-moi. Harap paman jangan khawatir, sekarang juga saya akan mengejar mereka berdua. Agaknya mereka belum lari jauh!" Kwan Siong Bu penuh semangat.

Tiba-tiba saja terdengar suara tawa, kemudian disusul kata-kata nyaring, "Wah, sungguh mengagumkan sekali dua tangkai bunga kembar itu, demikian cantik dan gagah perkasa, pantas menjadi adik-adik Liong-te!"

Semua orang terkejut dan menengok. Betapa kaget dan heran hati mereka ketika mereka semua melihat adanya dua orang yang tahu-tahu telah berdiri di situ, padahal mereka tadi tidak mendengar suara apa pun. Dari mana datangnya kedua orang ini, dan bagaimana mereka bisa masuk tanpa menimbulkan suara sedikit pun.

Yang seorang adalah pemuda tampan sekali, tampan dan gagah, pakaiannya juga amat indah dan mewah, kepalanya terlindung topi bulu burung berwarna kuning emas. Pemuda inilah yang tadi mengeluarkan suara dan sikapnya amat berwibawa dan angkuh.

Orang ke dua adalah seorang wanita yang juga amat cantik jelita. Pakaiannya mewah, kedua lengan tangannya memakai gelang emas, pedang panjang tergantung di pinggang kiri sedangkan di punggungnya tergendong papan kayu salib.

Kui Hok Boan terkejut setengah mati ketika mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Kim Hong Liu-nio, ada pun pemuda tampan gagah itu adalah Pangeran Ceng Han Houw! Juga Lan Lan dan Lin Lin mengenal wanita ini. Mana mungkin mereka dapat melupakan wanita yang telah membunuh ibu kandung mereka itu?

Maka, dengan kemarahan yang meluap-luap kedua orang dara kembar ini mengeluarkan teriakan nyaring dan bagaikan menerima komando saja, keduanya itu dengan berbareng telah meloncat ke depan sambil mencabut pedang mereka, kemudian serentak mereka menyerang Kim Hong Liu-nio dengan pedang! Serangan mereka dilakukan dengan ganas karena terdorong oleh kemarahan melihat musuh besar ini.

"Lan dan Lin, jangan...!" Kui Hok Boan berseru kaget.

Akan tetapi kedua orang anak perempuan itu tidak mempedulikan seruan ayah mereka. Bahkan mereka makin gemas saat mendengar larangan ayah mereka itu, teringat betapa dahulu pun ayah mereka ini sama sekali tidak pernah berdaya upaya untuk membalaskan kematian ibu kandung mereka. Dengan nekat mereka menyerang terus biar pun serangan pertama mereka tadi dengan amat mudahnya telah dielakkan oleh Kim Hong Liu-nio.

"Iblis betina keji!" bentak Lan Lan.

"Kau harus menebus kematian ibu!" bentak Lin Lin.

"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Sungguh bersemangat dan menarik sekali!" Ceng Han Houw tertawa girang melihat keganasan dua orang dara kembar itu yang menyerang suci-nya.

"Hemm, pergilah kalian!" bentak Kim Hong Liu-nio.

Dua tangannya bergerak cepat, lengan kiri yang dihias banyak gelang itu menangkis dua kali ke arah pedang sehingga dua batang pedang itu terlepas dari pegangan pemiliknya lantas terpental jauh, sedangkan tamparan perlahan dengan tangan kanan membuat dua orang dara kembar itu terpelanting ke kanan kiri!

"Berani kau merobohkan mereka?!" bentak Kwan Siong Bu marah.

"Engkau wanita kejam!" bentak pula Tee Beng Sin.

Dua orang pemuda ini sudah menerjang maju untuk membela Lan Lan dan Lin Lin. Siong Bu telah mencabut pedangnya, sedangkan Beng Sin juga sudah mengayun golok besar di tangannya.

"Siong Bu! Beng Sin! Mundur kalian!" bentak Kui Hok Boan.

Dua orang pemuda itu terkejut, meragu saling pandang, kemudian melangkah mundur, tidak jadi melanjutkan serangan mereka. Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin sudah bangkit kembali dan biar pun mereka sudah tidak memegang senjata, mereka masih nekat, maju menerjang dan menyerang dengan tangan kosong.

"Lan dan Lin, jangan kurang ajar kalian!" kembali Kui Hok Boan membentak.

Akan tetapi kedua orang dara kembar itu sama sekali tidak mempedulikannya, melainkan terus menyerang dengan pukulan-pukulan yang dahsyat.

"Heiiittt!!" Lan Lan menghantamkan kepalan kanannya ke arah muka musuh besarnya itu.

"Hiaaaaattt!" Lin Lin juga menyerang, menonjok ke arah ulu hati dengan sekuat tenaga.

"Hemm, kalian menjemukan!" bentak Kim Hong Liu-nio sambil menggeser kaki miringkan tubuhnya.

"Plak! Plak!"

Dua kali tangannya bergerak dan ternyata dia telah menotok pundak kedua orang lawan itu. Lan Lan dan Lin Lin mengeluh dan roboh terguling, tidak mampu bergerak lagi.

"Kalian ini bocah-bocah lancang berani menyerangku? Nah, bersiaplah untuk mati!"

"Kouwnio... harap ampunkan mereka...!" Kui Hok Boan meratap!

Lelaki ini memang mempunyai watak pengecut. Karena tahu bahwa wanita itu lihai sekali dan dia tak akan mampu untuk menandinginya, maka dia tidak berani berkutik dan hanya meratap minta ampun melihat nyawa dua orang puterinya terancam bahaya.

Kim Hong Liu-nio menoleh sambil tersenyum mengejek, "Orang she Kui, engkau hendak membela mereka? Majulah!"

"Tidak... tidak... harap kouwnio ampunkan kami..."

Akan tetapi Kim Hong Liu-nio yang merasa dihina oleh dua orang dara kembar itu tidak mempedulikan ratapan ini, dia melangkah maju mengangkat tangan kirinya ke atas dan menampar ke arah kepala Lan Lan dan Lin Lin.

"Plakk!" Sebuah tangan menangkis tamparannya.

"Aihh, suci, jangan bunuh mereka! Mereka ini amat menarik, sayang kalau dibunuh. Wah, sungguh manis dan serupa benar. Amat menarik! Sukar mengenal mana enci mana adik, dan andai kata diberi tahupun aku akan lupa lagi, ha-ha-ha! Kelak aku akan minta kepada Sin Liong agar kedua adiknya ini diserahkan kepadaku."

Aneh sekali, Kim Hong Liu-nio tidak jadi melanjutkan niatnya membunuh dua orang dara kembar itu setelah dicegah oleh sute-nya. Dan pada saat itu terdengar derap kaki banyak kuda, dan muncullah Kwan-ciangkun memasuki ruangan itu.

"Hee, Kui-sicu, di mana buronan-buronan itu?" begitu memasuki ruangan, Kwan-ciangkun berseru kepada Kui Hok Boan. "Ah, kiranya paduka telah mendahului ke sini, pangeran?" Dia memberi hormat kepada Ceng Han Houw, kemudian memberi hormat pula kepada Kim Hong Liu-nio sambil berkata, "Dengan adanya lihiap dan pangeran di sini sebetulnya tak perlu lagi mengerahkan pasukan menangkap dua orang buronan pemberontak kecil, ha-ha-ha!"

Ketika melihat munculnya sahabatnya ini, maka legalah hati Kui Hok Boan. "Wah, celaka, Kwan-ciangkun, tadi malam kedua orang itu telah berhasil meloloskan diri dan melarikan diri!"

"Ahhh...?!" Kwan-ciangkun berseru kaget.

"Ha-ha-ha, berkat ketangkasan dua orang dara kembar yang cantik dan gagah ini!" kata Han Houw.

"Orang she Kui, ke mana larinya mereka?"

Pertanyaan yang diajukan oleh Kim Hong Liu-nio dengan suara dingin ini membuat Kui Hok Boan gelagapan. "Mereka dan saya kemarin berbicara tentang Lembah Naga, sudah pasti mereka itu lari menuju ke utara. Saya... saya berani bertaruh nyawa bahwa mereka pasti melarikan diri ke utara."

"Jika lari ke utara, tentu bertemu dengan pasukan kami di jalan!" bantah Kwan-ciangkun.

"Hemm, mereka itu tentu tidak berani melalui kota raja! Mengapa engkau begitu bodoh? Hayo, coba engkau pergunakan pikiranmu, ke mana kiranya kedua orang buronan itu lari, Kwan-ciangkun?" Han Houw bertanya sambil mentertawakan perwira itu.

Perwira she Kwan itu kelihatan bingung, mukanya berubah merah dan sikapnya gugup. "Menurut penuturan Kui-sicu, agaknya mereka melarikan diri ke utara, akan tetapi kalau ke utara tentu bertemu dengan pasukan kita... maka agaknya... ehh, mereka itu tidak lari ke utara, pangeran."

"Ha-ha-ha, jawabanmu itu bodoh sekali, Kwan-ciangkun. Dan aku tahu bahwa Sin Liong sangat cerdik. Coba bayangkan seandainya engkau menjadi dia. Engkau tahu bahwa dari utara datang serombongan pasukan seperti diceritakan oleh dua adik tiri yang manis itu, padahal engkau hendak melarikan diri ke utara, maka jalan mana yang akan kau ambil? Melarikan diri ke utara sudah pasti tak mungkin melalui selatan, hanya bisa melalui barat atau timur. Dan karena engkau tahu bahwa pasukan tentu akan melakukan pengejaran, maka jurusan mana yang akan kau ambil? Bila melalui timur berarti melalui dusun-dusun dan kota-kota terbuka, sedangkan melalui barat berarti melalui daerah pegunungan dan hutan-hutan."

Wajah Kwan-ciangkun berseri. "Ahh, kalau begitu mereka tentu lari menuju ke barat!"

Pangeran Ceng Han Houw juga tertawa mengejek. "Kalau begitu, mengapa engkau tidak lekas mengejarnya?"

Perwira itu memberi hormat. "Terima kasih, pangeran!" lalu dia mengeluarkan aba-aba dan tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda pasukan itu membalap ke arah barat.

Kim Hong Liu-nio menghampiri Kui Hok Boan, memandang sejenak lalu berkata dengan suara dingin, "Hemm, orang she Kui, kembali engkau melibatkan dirimu, dahulu dengan isteri orang she Cia dan kini malah dengan puteranya."

"Akan tetapi, kouwnio, saya sudah berusaha untuk menghubungi Kwan-ciangkun supaya menangkap mereka...," Kui Hok Boan membantah dengan wajah pucat.

"Dan siapa yang memberi tahu mereka sehingga lolos? Dua orang puterimu ini, bukan? Seharusnya kubunuh mereka, akan tetapi karena pangeran sayang pada mereka, maka engkau ayahnya yang sepatutnya menjadi gantinya!" Wajah Kui Hok Boan semakin pucat, dan terdengar Ceng Han Houw tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, suci, hayo potong saja hidungnya atau sepasang telinganya!"

Orang she Kui itu makin ketakutan. Dia tahu bahwa melawan wanita itu akan sia-sia saja, kepandaiannya masih terlalu jauh untuk dapat menandinginya, dan dia tidak melihat jalan lain untuk menyelamatkan dirinya, apa lagi sesudah melihat betapa Kwan-ciangkun tadi sangat takut kepada pemuda tampan yang disebut pangeran ini. Kedua kakinya menjadi lemas dan dia menjatuhkan dirinya, berlutut di depan dua orang itu!

"Ampunkan hamba... ampunkan hamba..." ratapnya.

Lan Lan dan Lin Lin yang sudah mengambil kembali pedang mereka yang tadi terlempar, tiba-tiba melompat ke depan ayah mereka dengan pedang di tangan.

"Jangan membunuh ayah kami!" bentak Lan Lan.

"Kalau kami yang bersalah, hukumlah kami, ayah kami tidak bersalah!" bentak Lin Lin.

Dua orang dara kembar itu berdiri berdampingan dengan pedang di tangan, wajah mereka yang cantik itu memerah dan mereka siap bertanding mati-matian untuk melindungi ayah mereka.

Melihat betapa sang ayah berlutut minta ampun dengan wajah pucat namun sebaliknya dua orang anak kembar itu berdiri menentang dan melindungi ayah mereka dengan wajah merah, Ceng Han Houw bertepuk tangan memuji.

"Ha-ha-ha, sungguh mengherankan sekali seekor ular tanah yang merayap dapat memiliki dua orang anak seperti sepasang naga terbang di angkasa! Betapa gagahnya, alangkah cantiknya. Suci, biarkan aku menghadapi mereka!"

Sambil tersenyum manis pangeran itu melangkah maju mendekati sepasang dara kembar itu, memandang mereka penuh kagum. "Nona berdua sungguh manis dan gagah sekali, benarkah kalian hendak melindungi ayah kalian?"

"Akan kami bela sampai mati!" Lan Lan menjawab tegas sambil memandang pangeran itu dengan mata bersinar penuh ketekadan.

"Hemm, kalian hebat! Dari pada menggunakan kekerasan, bukankah lebih baik kalian ikut bersamaku menjadi kekasihku dan kami akan mengampuni ayah kalian?"

"Tidak sudi!" bentak Lin Lin marah.

"Lebih baik kami mati!" teriak pula Lan Lan.

Han Houw menoleh kepada suci-nya yang memandang dengan wajah dingin saja. "Lihat, suci, betapa gagahnya mereka ini! Sayang masih terlampau muda, seperti bunga belum mekar benar. Beri waktu satu dua tahun lagi dan mereka akan menjadi sepasang bunga yang semerbak harum dan hebat!" Kemudian pangeran ini kembali menghadapi Lan Lan dan Lin Lin. "Engkau belum tahu aku siapa, maka biarlah kita saling berkenalan melalui pertandingan. Nah, aku akan membunuh ayah kalian, kalian boleh membelanya!"

Dengan tertawanya yang memikat Han Houw lalu menggertak hendak memukul Kui Hok Boan. Melihat ini Lan Lan dan Lin Lin langsung menerjangnya dan menyerang dengan pedang mereka, bukan hanya untuk mencegah pangeran itu mengganggu ayah mereka melainkan juga untuk merobohkan pangeran yang ceriwis itu.

Akan tetapi, dengan sangat mudahnya Han Houw menghindarkan sambaran dua batang pedang itu sambil tertawa-tawa menggoda. Lan Lan dan Lin Lin menjadi makin marah dan mereka sudah nekat hendak mengadu nyawa. Hati kedua orang dara kembar ini sudah merasa sakit bukan main, bukan hanya sakit karena melihat penghinaan-penghinaan dua orang ini, terutama sekali sakit melihat sikap ayah mereka yang mereka anggap sangat pengecut dan memalukan itu.

Melihat ayahnya berlutut sambil meratap-ratap minta ampun, mereka tak dapat menahan rasa jijik dan malu, maka mereka nekat maju menentang dua orang itu biar pun mereka cukup maklum bahwa mereka, terutama wanita iblis musuh besar mereka itu, mempunyai kepandaian yang sangat lihai. Kini, melihat pangeran itu bermaksud kurang ajar terhadap mereka, Lan Lan dan Lin Lin sudah menyerangnya dengan nekat dan mati-matian, sambil mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga mereka.

Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa pangeran ini memiliki kepandaian yang amat hebat pula! Betapa pun mereka menyerang dengan ganasnya, namun tak pernah ujung pedang mereka dapat menyentuh tubuh pengeran itu yang hanya berloncatan ke sana-sini sambil tersenyum girang seperti seekor harimau yang mempermainkan dua ekor kelinci sebelum diterkamnya!

"Ha-ha-ha, cukuplah, kalian berdua benar-benar memiliki semangat berkobar-kobar, kelak akan menjadi kekasih yang menyenangkan sekali!" kata pangeran itu.

Akan tetapi ucapan ini bahkan makin mengobarkan api kemarahan di hati sepasang dara kembar itu, maka sambil berseru nyaring mereka menusukkan pedang mereka ke arah dada pangeran itu dengan kekuatan sepenuhnya. Tiba-tiba saja dua tangan pangeran itu bergerak mendahului.

"Tukk! Tukk!"

Jari tangan kanan kiri sudah berhasil menotok pundak kiri dua orang dara itu dan di lain saat dia sudah menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang sehingga Lan Lan dan Lin Lin tidak mampu berkutik lagi.

Ketika Lan Lan dan Lin Lin hendak menggerakkan tangan kiri, ternyata lengan kiri mereka sudah lumpuh tertotok, dan pada saat itu, sambil tersenyum Han Houw lantas melangkah maju dan mencium pipi dua orang dara kembar itu bergantian. Lan Lan dan Lin Lin hanya mampu menarik muka mereka untuk mengelak, akan tetapi tetap saja pipi mereka kena dicium!

"Lepaskan mereka!" Siong Bu meloncat ke depan diikuti oleh Beng Sin.

"Siong Bu! Beng Sin, jangan lancang. Mundur kalian!" bentak Kui Hok Boan yang masih berlutut.

Dua orang muda itu kembali menahan kemarahan mereka dan tidak jadi bergerak, malah mundur kembali. Sementara itu, Han Houw sudah menepuk pundak kanan Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang dara itu mengeluh lirih dan roboh dengan tubuh lemas!

"Ha-ha-ha, menyenangkan sekali! Eh, orang she Kui, aku mengampunkan engkau, akan tetapi engkau harus berjanji bahwa setahun lagi engkau akan menyerahkan kedua orang puterimu ini kepadaku. Antarkan saja ke istana dan cari aku, Pangeran Ceng Han Houw. Mengertikah engkau?"

Kui Hok Boan yang masih berlutut itu mengangguk-angguk. "Hamba mengerti dan hamba menghaturkan terima kasih atas anugerah ini, pangeran!" Dan memang orang she Kui itu girang bukan main. Kalau dua orang puterinya menjadi isteri pangeran, maka tentu saja derajatnya akan naik tinggi sekali!

"Suci, hayo kita cepat mengejar Sin Liong!" Han Houw berkata dan sekali berkelebat, dia lenyap dari situ. Kim Hong Liu-nio mendengus ke arah Kui Hok Boan, lalu berkelebat pula dan lenyap!

Kui Hok Boan, Siong Bu dan Beng Sin melongo keheranan dan bergidik melihat kelihaian dua orang yang seperti iblis itu. Kui Hok Boan lalu menghampiri dua orang puterinya dan membebaskan totokan atas diri mereka. Setelah dua orang puterinya itu bangkit berdiri, Kui Hok Boan mengelus jenggotnya memandang kepada mereka.

"Bagus sekali nasib kita, terutama sekali nasibmu, Lan dan Lin, kalian menjadi tunangan seorang pangeran."

Lan Lan dan Lin Lin memandang kepada ayah mereka dengan sepasang mata terbelalak, seolah-olah ditampar karena mereka sungguh tidak mengerti mengapa ayahnya bersikap serendah itu. Mereka mengeluh dan berlari memasuki rumah sambil menangis!

Kui Hok Boan menyangka bahwa mereka itu seperti biasanya anak-anak perawan kalau mendengar tentang perjodohan mereka, merasa malu dan menangis, maka dia mengikuti mereka dengan suara ketawa puas.

"Paman, sebaiknya paman membawa Lan-moi beserta Lin-moi dan cepat pergi dari sini!" tiba-tiba Kwan Siong Bu berkata.

Kui Hok Boan menghentikan tawanya dan memandang heran. "Ehh, kenapa?"

"Bu-ko benar, paman. Sebelum mereka itu datang lagi, sebaiknya paman dan kedua adik sudah pergi dari sini dan Lan-moi berdua Lin-moi tidak akan menjadi korban!"

"Eh, ehh, apakah kalian sudah menjadi gila? Lan Lan dan Lin Lin akan menjadi isteri atau setidaknya selir-selir seorang pangeran! Itu merupakan suatu kehormatan besar! Mereka akan hidup mulia dan mewah dalam istana, dan aku... aku akan disebut mertua pangeran. Ha-ha-ha, siapa kira kemuliaan akan kudapatkan melalui kedua anak kembarku itu!"

Siong Bu dan Beng Sin saling pandang dan muka mereka menjadi pucat. "Akan tetapi, paman! Lan-moi dan Lin-moi akan menjadi permainan pangeran keparat itu!" Siong Bu berseru.

"Dan mereka berdua tidak sudi menjadi permainan pangeran itu!" sambung Beng Sin.

Kui Hok Boan memandang kepada mereka berdua dengan alis berkerut. "Hal ini bukan urusan kalian dan kalian tidak usah mencampuri! Dan lain kali, tanpa perintahku, kalian tidak boleh lancang hendak turun tangan. Apa kalian sangka kalian akan dapat menang melawan pangeran dan suci-nya itu? Mereka adalah orang-orang sakti, selain sakti juga berkedudukan tinggi di istana! Menjadi musuh pangeran jelas celaka, sama saja dengan bunuh diri. Akan tetapi menjadi mertuanya, hemmm, bahkan derajat kalian sendiri akan ikut terangkat! Pergilah!"

Dua orang pemuda itu dengan wajah pucat lalu pergi meninggalkan Kui Hok Boan yang masih berseri-seri membayangkan betapa bahaya maut yang baru saja mengancam dia sekeluarga berubah menjadi berkah yang sama sekali tak pernah dimimpikannya! Menjadi mertua pangeran! Bayangkan saja!

Akan tetapi, bayangan-bayangan muluk dari Kui Hok Boan ini pada keesokan harinya berubah menjadi kebingungan dan kemarahan ketika melihat kedua orang puterinya tidak berada di dalam kamar mereka. Kamar itu sudah kosong dan dua orang puterinya telah lolos dan pergi meninggalkan rumah dengan membawa beberapa potong pakaian serta uang bekal, tanpa meninggalkan surat atau jejak.

Lan Lan dan Lin Lin sudah lolos dan pergi dari rumah itu karena mereka merasa muak dengan sikap ayah mereka, dan terutama sekali karena mereka tak sudi diserahkan oleh ayahnya kepada pangeran itu! Mereka berdua mengambil keputusan untuk minggat dan mencari Sin Liong karena dari pada ikut dengan ayah mereka yang berwatak pengecut, pengkhianat dan penjilat itu, mereka lebih suka ikut merantau bersama kakak tiri mereka!

Tentu saja Kui Hok Boan menjadi bingung dan panik bagaikan kebakaran jenggot! Bukan saja dia sudah kehilangan dua orang puteri yang dicintanya, akan tetapi juga kehilangan bayangan muluk itu, dan terutama sekali dia akan terancam bahaya dari pihak pangeran itu dan suci-nya bila mana sampai dia tidak dapat menemukan kembali dua orang puteri mereka.

"Siong Bu! Beng Sin! Apa kerja kalian ini sampai tidak tahu mereka itu melarikan diri? Hayo kalian pergi mencari mereka sampai dapat! Dan jangan pulang kalau belum berhasil menemukan mereka!" bentaknya dengan marah kepada dua orang pemuda itu.

Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin lalu membawa senjata dan pakaian, berangkat mencari dua dara kembar itu dan supaya lebih cepat bisa berhasil, mereka lalu berpencar, Siong Bu mengejar ke barat dan Beng Sin mengejar ke timur. Tinggal Kui Hok Boan seorang diri dan dia duduk termenung di depan rumah, wajahnya muram membayangkan kedukaan, kekecewaan dan kekhawatiran.

Setiap keinginan untuk menyenangkan diri sendiri SELALU mendatangkan pertentangan, kebencian dan kesengsaraan! Keinginan untuk menyenangkan diri sendiri ini dapat saja berselubung dengan pakaian atau istilah yang lebih tinggi, lebih halus atau lebih mulia, seperti demi kebahagiaan anak, demi kemajuan golongan, demi partai, demi agama, atau demi bangsa. Padahal, semua itu hanya berintikan ‘demi aku’ yang berarti pengejaran keinginan untuk senang pribadi itulah!

Di mana terdapat pamrih menyenangkan diri sendiri, di situ sudah pasti TIDAK ADA cinta kasih! Pamrih menyenangkan diri pribadi meniadakan cinta kasih, karena demi untuk mencapai kesenangan itu segala sesuatu adalah benar atau salah disesuaikan dengan tujuan mencapai kesenangan itu. Dan siapa pun juga orangnya, yang menjadi perintang untuk mencapai kesenangan bagi diri sendiri, sudah pasti akan ditentang, dibenci dan dimusuhi. Maka terjadilah pertentangan, permusuhan, kebencian, yang kesemuanya itu merupakan pintu-pintu yang lebar menuju jurang kesengsaraan.

Seperti juga Kui Hok Boan dalam menghadapi perkara itu. Bisa saja dia mengemukakan alasan bahwa kalau sampai kedua orang puterinya menjadi isteri atau selir pangeran, tentu dua orang puterinya itu akan berbahagia hidupnya. Seolah-olah kebahagiaan kedua orang puterinya itu dialah yang menentukan! Dan bila dua orang puterinya itu menentang, dia lalu menjadi marah, benci, duka, kecewa! Inikah yang dinamakan cinta kasih orang tua terhadap anaknya?

Betapa banyaknya orang tua yang baik disadarinya mau pun tidak, bertindak seperti Kui Hok Boan ini, dan toh masih merasa benar selalu. Benarnya sendiri! Orang tua seperti ini selalu menganggap bahwa dia LEBIH MENGERTI, lebih berpengalaman, lebih ini dan itu sehingga dia berhak menentukan jalan hidup anaknya menurut dia, dan kalau anaknya menurut tentu akan berbahagia! Semua diaturnya, dengan alasan demi anaknya demi kebahagiaan anaknya, akan tetapi kalau si anak menolak dia lantas menjadi marah dan membenci anaknya!

Inikah cinta kasih? Yang setiap saat berubah menjadi benci bila keinginannya dibantah? Betapa bodohnya, betapa butanya! Bukankah orang yang mencinta akan merasa turut berbahagia kalau melihat orang yang dicintanya itu berbahagia dan turut berduka kalau melihat orang yang dicintanya itu sengsara? Cinta yang menuntut kesenangan untuk diri pribadi sama sekali bukan cinta, melainkan nafsu memuaskan diri sendiri belaka.

Orang bisa saja, dan semua ini adalah karena lihainya sang pikiran, lihainya sang aku, menyelubungi pula si aku yang ingin senang sendiri itu dengan istilah yang muluk-muluk, seperti pengorbanan. Cinta adalah pengorbanan, katanya. Padahal, orang yang merasa telah berkorban diri demi cinta juga menginginkan kesenangan melalui pengorbanan itu, yang menimbulkan bangga diri merasa suci, dan sebagainya lagi yang tak lain tak bukan juga merupakan kesenangan, yang dikejar. Dan semua bentuk kesenangan, yang kasar, yang halus, yang rendah, yang tinggi, selalu pasti dibayangi oleh kekecewaan, kebosanan dan kedukaan.

Orang tua yang bijaksana tak akan mengekang anaknya, tidak akan menekan anaknya, tidak akan mempergunakan anaknya untuk menyenangkan diri sendiri, membanggakan diri sendiri, tidak akan memperalat si anak untuk mendatangkan kepuasan, kebanggaan, atau kesenangan bagi diri sendiri. Tidak mengekang, bukanlah berarti acuh tak acuh, bukan berarti tidak peduli kepada si anak. Sebaliknya malah.

Cinta kasih selalu diikuti perhatian yang menyeluruh! Perhatian terhadap si anak, bukan terhadap keinginan diri sendiri! Kalau di sini ada keinginan, maka satu-satunya keinginan hanyalah melihat anaknya menjadi seorang manusia yang bahagia, benar dan bajik, di samping pelajaran-pelajaran yang menjadi syarat dalam kehidupan di dunia ramai.

Sungguh patut disayangkan betapa hampir saja sebagian orang tua hanya ingin melihat anaknya menjadi orang yang berhasil, dalam arti kata menjadi kaya raya, berkedudukan tinggi, dihormati, tidak kalah oleh orang-orang lain, dan sebagainya lagi. Padahal, jelas nampak bahwa kebahagiaan bukan terletak dalam kesemuanya itu.


********************

"Eh, di manakah aku...?" Bi Cu membuka matanya dan ketika dia melihat bahwa dirinya berada di dalam pondongan Sin Liong, dia cepat meronta.

Sin Liong melepaskannya dan mereka berdiri saling pandang. Malam sudah berganti pagi biar pun sang matahari sendiri masih belum nampak cahayanya telah menciptakan sinar kuning keemasan yang cerah di permukaan bumi.

"Di mana kita...? Dan mengapa engkau memondongku ke tempat ini, Sin Liong?" Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada menegur dan pandang matanya penuh tuntutan.

"Ahh, engkau tidak tahu, Bi Cu. Semalam suntuk aku terpaksa berlari-lari memondongmu sampai ke sini akibat dikejar-kejar orang!" Sin Liong pura-pura mengomel dan memijit-mijit lengan kirinya yang memondong tadi.

"Semalam suntuk dikejar-kejar orang? Dan aku terus kau pondong? Aihhh, sungguh luar biasa sekali! Kenapa aku tidak terbangun? Padahal biasanya, walau pun aku sedang tidur nyenyak sekali, sedikit suara nyaring saja sudah cukup untuk membangunkan aku, apa lagi sampai dipondong dan dibawa lari semalaman suntuk! Aneh sekali!" Dara remaja itu memijit-mijit pelipisnya. "Dan aku masih merasa pening..."

"Tidak aneh karena engkau telah menjadi korban minuman yang mengandung obat bius."

"Aku? Dibius? Ahh, Sin Liong, apakah yang sudah terjadi? Bukankah kita tadinya menjadi tamu dari ayah tirimu... ahh, kini ingat aku! Apakah kau maksudkan arak itu mengandung obat bius?" Sepasang mata itu terbelalak dan bersinar-sinar demikian tajam seolah-olah dapat menembus dada Sin Liong.

Sin Liong menarik napas panjang, teringat akan pengkhianatan Kui Hok Boan dan juga pertolongan kedua orang adik tirinya. Sepanjang malam ketika dia melarikan diri, dua hal ini selalu terbayang di dalam ingatannya, membuat dia terheran-heran dan bingung. Ayah tirinya mengkhianatinya akan tetapi puteri-puteri ayah tirinya itu demikian baik kepadanya. Tidak tahu dia apakah hal itu akan membuat dia menangis atau tertawa!

"Bi Cu, dugaanmu benar. Arak yang disuguhkan kepada kita itu mengandung obat bius, sebab itu setelah minum beberapa cawan engkau lalu terbius dan tidur nyenyak semalam suntuk hingga engkau bahkan tak merasa bahwa engkau kubawa lari sepanjang malam."

"Akan tetapi... engkau sendiri kulihat juga minum arak itu, kenapa engkau tidak terbius?"

Gadis ini terlampau cerdas, kalau dia tidak berhati-hati, mana dia dapat menyembunyikan kepandaiannya? Matanya terlalu awas, otaknya terlalu tajam!

"Ah, aku pun tadinya sudah terbius dan sudah merasa pening ketika kita bersama menuju ke kamar kita masing-masing, akan tetapi belum kuceritakan kepadamu bahwa di dalam perantauanku, aku pernah bekerja kepada toko obat sehingga aku tahu gejalanya ketika itu. Karena pening itu aku dapat menduga bahwa aku minum obat bius, maka aku cepat menelan pil penawar racun yang kebetulan hanya tinggal sebuah dan selama ini kusimpan dalam saku baju. Pil itu menawarkan racun obat bius itu sehingga aku tidak sampai tidur nyenyak seperti engkau, Bi Cu."

"Ahh, engkau licik akan tetapi ceroboh, Sin Liong. Semestinya dalam keadaan seperti itu lebih baik kalau engkau memberikan obat itu kepadaku sehingga bukan aku yang terbius, melainkan engkau."

"Ehh? Kenapa begitu?"

"Kalau engkau yang terbius dan aku masih sadar, bukankah aku dapat melindungimu apa bila ada bahaya mengancam? Dalam keadaan semacam itu yang lebih kuat berkewajiban menghadapi bahaya yang mengancam."

Sin Liong tersenyum. "Baiklah, lain kali akan kuingat kata-katamu itu, Bi Cu."

"Sudahlah, buktinya engkau juga berhasil menyelamatkan diri kita, hanya kasihan, engkau harus memondongku semalam suntuk, tentu pegal-pegal rasa lenganmu."

Sin Liong memijit-mijit lengannya. "Seperti hampir patah rasanya!"

Akan tetapi sekarang teringat olehnya betapa hangat dan lunak tubuh yang dipondongnya semalam itu, biar pun ketika melarikan diri dia tidak ingat sama sekali akan hal itu, dan baru sekarang dia teringat yang membuat jantungnya berdebar aneh.

"Akan tetapi... mengapa ayah tirimu itu membius kita, Sin Liong? Padahal dia begitu baik dan ramah..." Bi Cu tiba-tiba menahan kata-katanya karena teringat kini betapa sinar mata tuan rumah itu amat kurang ajar seperti hendak menelanjanginya, sinar mata yang seperti dapat dia rasakan menjelajahi tubuhnya, sinar mata cabul!

Kembali Sin Liong menarik napas panjang. Inilah bagian-bagian yang paling sukar dalam pertanyaan-pertanyaan Bi Cu, dan dia tidak boleh berbohong. "Bi Cu, Kui Hok Boan itu hendak menangkap kita, hendak menyerahkan kita kepada pasukan pemerintah, bahkan dia telah mengirim surat kepada seorang perwira di kota raja, memberi tahukan mengenai adanya kita di rumahnya."

"Ahhh, sungguh jahat!" teriak Bi Cu. "Sungguh sikap manisnya itu hanya sebagai topeng domba di balik muka srigala! Akan tetapi... bagaimana engkau kemudian bisa mengetahui pengkhianatannya itu dan dapat melarikan diri, bahkan membawa aku yang masih terbius nyenyak?" Gadis itu memandang penuh perhatian pada wajah Sin Liong, seperti hendak menyelidiki keadaan pemuda itu.

"Kalau tidak ada Lan-moi dan Lin-moi, tentu sekarang kita sudah tertawan oleh pasukan kerajaan, Bi Cu. Tadi malam, tanpa diketahui orang lain Lin-moi memasuki kamarku lewat jendela lantas dia menceritakan semuanya. Dia bersama Lan-moi disuruh mengantarkan surat oleh ayah mereka untuk seorang perwira di kota raja. Karena merasa curiga mereka berdua membuka surat itu di tengah jalan maka tahulah mereka bahwa surat itu berisi pemberi tahuan bahwa kita berada di rumah mereka. Karena tidak berani membangkang, Lan-moi melanjutkan perjalanan ke kota raja, akan tetapi surat itu baru akan diserahkan pagi hari tadi, sedangkan Lin-moi bertugas pulang untuk memberi tahu kepada kita. Nah, setelah mendengar penuturan Lin-moi itu, aku lalu memasuki kamarmu lewat jendela dan membawamu kabur dari sana, dibantu oleh Lin-moi yang menarik perhatian para penjaga sehingga mudah bagiku untuk berlari keluar."

"Hebat sekali! Adik-adik tirimu itu sungguh manis dan gagah, Sin Liong, aku makin suka kepada mereka! Sungguh aneh, ayah tirimu itu demikian curang, akan tetapi sebaliknya anak-anaknya demikian baik. Bagaimana ini?"

Sin Liong menggelengkan kepala. "Aku sendiri pun tak mengerti, semalam suntuk dua hal yang berlawanan itu menghantui pikiranku."

"Aihhh, aku tahu! Tentu saja begitu..." Tiba-tiba Bi Cu berseru dan wajahnya berseri-seri, sikapnya seperti orang yang baru saja dapat memecahkan suatu teka-teki yang sulit.

"Apa yang kau tahu? Bagaimana?"

"Tentu saja! Ayah tirimu itu seorang yang curang dan khianat, pendeknya seorang yang jahat! Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin tidak menuruti watak ayah mereka, tetapi mewarisi watak gagah dan baik dari mendiang ibumu! Tentu saja begitu, maka mereka demikian baik."

Sin Liong mengangguk-angguk, dan dia dapat percaya pendapat ini, juga hatinya girang sebab ucapan Bi Cu itu sekaligus memuji-muji ibunya yang dikatakannya gagah dan baik, padahal Bi Cu belum pernah bertemu dengan ibunya.

"Sin Liong, marilah kita kembali ke sana. Aku harus menghajar ayah tirimu yang curang dan jahat itu!" tiba-tiba Bi Cu berkata sambil mengepal tinjunya.

Diam-diam Sin Liong tersenyum dalam hati melihat lagak ini. Dia tahu bahwa kepandaian Bi Cu masih jauh untuk dapat menandingi kepandaian ayah tirinya.

"Mana mungkin itu, Bi Cu? Sekarang pun agaknya sudah ada pasukan yang menuju ke dusun itu, bahkan setelah menerima penjelasan, tentu akan mengejar kita ke sini."

"Ohh! Kalau begitu, bagaimana baiknya? Di mana kita ini sekarang, dan hendak pergi ke mana?"

"Aku sengaja mengambil jalan pegunungan yang penuh hutan liar ini, Bi Cu. Aku berlari menuju ke barat dan setelah sampai di sini, kita menyusuri pegunungan ini membelok ke utara. Kita akan pergi ke Lembah Naga dan ke tempat tinggal mendiang ayahmu untuk menyelidiki kematian ayahmu, tanpa melewati kota raja."

"Baik, dan aku berterima kasih kepadamu, Sin Liong," Bi Cu memegang lengan pemuda itu. "Percayalah, kalau ada kesempatan, aku akan membalas pertolonganmu itu, dan aku tidak akan ogah untuk menggendongmu semalam suntuk!"

"Wah, kalau bisa jangan terjadi hal itu. Sebagai seorang laki-laki yang digendong seorang wanita, aku pasti akan ditertawakan orang,." Sin Liong menjawab. "Mari kita melanjutkan perjalanan. Di depan itu ada hutan besar, kita memasuki hutan dan mencari sesuatu yang dapat dimakan."

Demikianlah, pemuda dan pemudi remaja ini lalu melanjutkan perjalanan mereka, masuk keluar hutan, naik turun gunung dan jurang-jurang karena mereka melalui jalan liar yang sama sekali tidak mereka kenal. Penunjuk jalan mereka hanyalah matahari. Mereka tahu arah utara, yaitu jika pagi hari matahari berada di sebelah kanan mereka dan pada sore hari matahari berada di sebelah kiri mereka.

Kadang-kadang mereka melewati dusun pegunungan dan di setiap dusun mereka diterima dengan ramah dan baik oleh para penghuni dusun yang rata-rata berwatak polos, jujur dan penuh peri kemanusiaan itu. Akan tetapi Sin Liong dan Bi Cu yang masih hijau dan belum berpengalaman dalam taktik sebagai buronan itu tidak tahu bahwa justru di dusun-dusun inilah mereka meninggalkan jejak yang sangat jelas! Para pemburu mereka tentu akan mudah mencari keterangan tentang mereka di dusun-dusun ini, dan tentu para penghuni dusun yang jujur itu akan menceritakan kepada siapa pun juga tentang mereka berdua!

Mereka telah melakukan perjalanan beberapa hari lamanya dan mereka sudah melewati batas Propinsi Ho-pei dan Shen-si, melalui kaki Pegunungan Tai-hang-san. Pada hari itu, pagi-pagi sekali mereka telah tiba di depan sebatang sungai yang besar dan karena pada waktu itu banyak turun hujan, maka air sungai meluap dan membanjir! Tidak nampak satu pun perahu di sekitar tempat itu, maka dua orang muda itu berdiri di tepi pantai dengan bimbang ragu dan bingung.

"Wah, mengapa sungai ini menghalangi perjalanan kita?" Bi Cu mengomel dan bersungut-sungut.

"Aihh, Bi Cu, engkau sungguh tidak adil apa bila menyalahkan sungai ini. Sudah beratus tahun, mungkin ribuan tahun lamanya, sungai ini tentu sudah berada di sini dan mengalir tiada hentinya. Dan hari ini, kita yang muncul di sini. Mengapa kau menyalahkan dia yang tidak berdosa? Lebih tepat menyalahkan kita yang mengambil jalan sampai di sini."

Bi Cu semakin cemberut. "Menyalahkan sungai tidak benar, menyalahkan diri sendiri pun apa gunanya? Sekarang ini bagaimana? Menyeberang sungai ini tanpa perahu, sungguh tidak mungkin!"

"Heran mengapa tidak ada perahu di sini?" Sin Liong menoleh ke kanan kiri.

"Tidak heran! Sungai banjir begini, tentu para nelayan sudah pergi. Mau apa berperahu di tempat berbahaya begini? Ikan-ikan pun tentu pada sembunyi, dan tidak ada pelancong yang begitu gila untuk menyeberang. Tentu perahu-perahu itu sudah ditarik ke darat oleh para nelayan agar jangan diseret pergi oleh air bah."

"Wah-wah, agaknya engkau mengerti betul tentang kehidupan nelayan."

"Tentu saja! Suhu pernah mengajakku hidup beberapa bulan di perkampungan nelayan dan aku malah pernah membantu mereka mencari ikan."

"Kalau begitu engkau tentu pandai berenang?"

"Tentu saja!"

"Wah, engkau ini gadis si segala bisa!"

"Apa engkau tidak pandai berenang, Sin Liong?"

Tentu saja Sin Liong dapat berenang dengan baik, karena ketika dia hidup secara liar di dalam hutan pun dia sudah sering kali mandi di telaga kecil di dalam hutan yang cukup dalam. Akan tetapi dia menggelengkan kepala dan merenungi sungai itu, seperti hendak mengukur dan menaksir dengan pandang matanya apakah mungkin menyeberangi sungai lebar yang sedang banjir itu dengan cara berenang.

"Bi Cu, apakah engkau dapat berenang menyeberangi sungai ini?"

"Hanya orang gila yang akan berenang menyeberangi sungai banjir seperti ini! Dia tentu akan hanyut dan tewas. Tidak, kurasa aku tak akan mampu menyeberanginya, Sin Liong. Lebih baik kita mencari perahu. Kalau kita menyusuri tepi sungai, tentu akhirnya kita akan bertemu orang yang mempunyai perahu."

Sin Liong setuju dan mereka berdua lalu berjalan mengikuti aliran sungai yang menuju ke timur itu. Setelah matahari naik tinggi, mereka tiba di sebuah perkampungan nelayan dan benar seperti diduga oleh Bi Cu tadi, perahu-perahu nelayan itu mereka ungsikan sampai jauh ke daratan supaya jangan terseret oleh banjir, dan setiap perahu itu dicancang pada sebatang pohon.

Giranglah hati mereka berdua melihat ini, lantas dengan wajah berseri mereka berlari-lari menghampiri sebuah rumah yang berada pada barisan pertama. Sin Liong menghampiri daun pintu rumah itu dan mengetuknya. Ketukan itu seperti aba-aba saja karena serentak muncullah banyak orang dengan pakaian seragam. Pasukan tentara kerajaan! Melihat ini, Bi Cu mengeluarkan jerit tertahan.

"Ha, inilah mereka, buronan-buronan itu!" teriak seorang anggota pasukan.

"Tangkap mereka!" bentak seorang perwira.

"Bi Cu, lari...!" Sin Liong berseru, cepat menggandeng tangan gadis itu dan melarikan diri menjauhi dusun.

Hanya sebentar saja Bi Cu menjadi gugup. Dia lalu teringat bahwa dialah yang lebih kuat dari pada Sin Liong, maka dialah yang sepatutnya memimpin untuk menyelamatkan diri mereka berdua.

"Lekas... ke sungai...! Tak mungkin lari...!" katanya dan memang kini terdengar derap kaki kuda yang ditunggangi para anggota pasukan itu. Kini Bi Cu yang berbalik menarik tangan Sin Liong diajak lari menuju ke sungai.

Setelah tiba di tepi sungai Sin Liong berkata, "Tapi... tapi... mana mungkin kita berenang di air yang deras itu...?"

"Kita terpaksa, hanya jalan satu-satunya. Lihat, mereka sudah dekat! Hayo cepat!" Bi Cu menarik tangan Sin Liong dan keduanya terjun ke dalam air sungai!

Gelagapan juga Sin Liong ketika terseret arus air yang amat kuat. Bi Cu menggerakkan kaki tangan melawan arus sambil berusaha menarik pundak baju Sin Liong. Akan tetapi pada saat itu pula beberapa orang tentara telah meloncat turun dari atas punggung kuda mereka, memegang busur berikut anak panah, lalu mereka menyerang dua orang yang melarikan diri itu dengan anak panah.

Melihat ini, Sin Liong cepat menggerakkan tangan dan kaki untuk menangkis dan setiap anak panah yang datang menyambar tepat ke arah mereka, bisa diruntuhkannya dengan gerakan ini. Akan tetapi, gerakannya itu membuat Bi Cu menjadi sibuk bukan main. Dara ini tidak melihat adanya serangan itu karena dia sibuk melawan arus.

"Ahh... ehhh... kau jangan meronta-ronta... kau menurut sajalah kutarik... aku pasti akan menyelamatkanmu, Sin Liong...!" Bi Cu berkata dengan terengah-engah dan menarik Sin Liong makin ke tengah.

Arus air sungai itu makin deras dan kuat bukan main. Sin Liong merasakan hal ini dan dia terkejut bukan main. Bahaya di air ini ternyata lebih besar dari pada bahaya yang menanti di darat. Kenapa dia tadi menurut saja pada waktu ditarik oleh Bi Cu? Kenapa dia masih bersikeras untuk menyembunyikan kepandaiannya? Apa bila dia tadi berada di darat, dia masih mampu memanggul Bi Cu untuk melarikan diri dan serangan-serangan anak panah itu tidak ada artinya baginya. Namun, kini sudah terlanjur dan dia harus melawan arus air yang amat kuat itu.

"Menyelamlah... kita menyelam... itu mereka membawa anak panah...!" baru sekarang Bi Cu melihat pasukan anak panah itu berjajar di tepi sungai.

Bi Cu berusaha untuk menarik Sin Liong menyelam, dan Sin Liong tetap meronta untuk menangkisi anak panah yang menyambar-nyambar. Rontaannya ini membuat Bi Cu amat kewalahan dan akhirnya mereka terseret oleh arus air yang kuat hingga bergulingan dan gelagapan!

Sin Liong timbul kembali dan bisa melihat seorang pemuda berpakaian mewah di pantai. Agaknya pemuda itu mencegah pasukan anak panah untuk melakukan serangan, karena pemuda itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan tak jauh dari pemuda itu berdiri Kim Hong Liu-nio!

"Sin Liong... ah... hauppp...!" Bi Cu meraih-raih sehingga akhirnya mereka dapat saling berpegangan lagi.

"Jangan pergunakan anak panah, tapi tangkap mereka hidup-hidup!" terdengar Han Houw berseru. Kemudian dia berteriak pula, "Liong-te, mengapa kau membunuh diri? Aku akan menolongmu, jangan khawatir, tidak akan ada yang mengganggumu. Kau tangkaplah tali ini!" Han Houw segera melontarkan sehelai tali panjang dan tali itu meluncur cepat sekali, ujungnya terjatuh di dekat Sin Liong.

"Tidak... jangan pegang tali itu... mereka akan membunuhmu...!" Bi Cu membantah sambil merangkul Sin Liong, mencegah pemuda itu memegang ujung tali.

Karena ini, ujung tali itu terbawa hanyut oleh air sehingga terpaksa Han Houw menariknya kembali, menggulungnya dan kembali dia memutar-mutar tali di atas kepalanya.

"Liong-te, kau tangkap ujung tali, jangan khawatir, aku akan melindungimu!"

Tali itu dilemparkan dengan sangat kuatnya dan kini tepat mengenai tubuh Sin Liong yang cepat menangkapnya.

"Jangan, Sin Liong...!"

"Tidak apa-apa, Bi Cu. Dia adalah kakak angkatku, lebih baik kita di darat dari pada mati konyol di air. Di darat, setidaknya kita bisa membela diri." Kemudian ditambahnya sambil tersenyum, sengaja memanaskan hati gadis yang wataknya keras ini, "Apakah engkau takut menghadapi mereka di darat?"

"Aku?! Takut?!" Bi Cu membentak. "Hayo kita mendarat!"

Sin Liong saling berpegang tangan dengan Bi Cu, ada pun tangannya yang sebelah lagi memegangi ujung tali yang dia libatkan pada lengannya. Kini tali itu ditarik oleh Han Houw ke pinggir. Akan tetapi saking derasnya air, dua orang muda itu masih terbanting-banting dan terguling-guling.

Sesudah mereka tiba dalam jarak sekitar tiga meter dari tepi sungai, tiba-tiba Han Houw mengeluarkan seruan keras dan membetot tali itu sekuat tenaga. Karena tali itu melibat lengan Sin Liong, maka pemuda ini tertarik dan melayang ke atas bersama Bi Cu yang saling berpegang tangan dengan dia!
Selanjutnya,

Pendekar Lembah Naga Jilid 30

Pendekar Lembah Naga Jilid 30
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
MALAM itu Lan Lan menginap dalam kamar sebuah hotel di kota raja dan pada keesokan harinya, sesudah matahari naik tinggi, barulah dia mengunjungi rumah komandan Kwan yang telah dikenalnya sebab komandan itu merupakan sahabat ayahnya. Telah beberapa kali dia mengunjungi rumah keluarga komandan Kwan itu, bahkan sering pula komandan Kwan datang berkunjung ke rumah mereka.

Kwan-ciangkun sendiri yang menyambut kedatangannya, dan kebetulan Kwan-ciangkun bertemu dengan dara ini di depan rumah karena komandan itu hendak pergi ke tempat kerjanya.

"Ehh, nona Kui Lin..."

"Aku Kui Lan, ciangkun."

"Ahh, ha-ha-ha-ha, maaf, sudah beberapa tahun berkenalan, tetap saja aku masih belum mampu membedakan di antara kalian berdua." Komandan yang bertubuh tinggi besar itu tertawa. "Dengan siapa nona datang? Dan bagaimana kabar ayahmu?"

"Aku datang sendirian saja, ciangkun. Aku disuruh oleh ayah untuk mengantarkan sebuah surat untuk Kwan-ciangkun."

"Ahh, agaknya penting. Untung aku belum pergi, mari silakan duduk di dalam nona."

"Terima kasih, ciangkun. Aku hanya mengantar surat saja dan akan terus kembali, karena banyak pekerjaan menanti di rumah."

"Kalau begitu, biar kubaca dulu surat ayahmu, barang kali membutuhkan balasan."

Komandan itu lalu merobek sampul dan mengeluarkan isinya, cepat membaca surat itu. Wajahnya berubah, matanya terbelalak lantas dia memandang kepada Kui Lan dengan mata bersinar-sinar. "Ahh, ternyata urusan yang sangat penting sekali! Aku harus segera melaporkan ke atasan dan mengumpulkan pasukan! Dan kebetulan sekali dia berada di kota raja..."

"Kwan-ciangkun, kalau tidak ada balasannya, aku minta pamit sekarang saja."

"Baik, baik... tidak perlu balasan, hanya katakan saja kepada ayahmu bahwa aku sudah menerima suratnya dan semua akan beres! Begitu saja...!" Perwira itu nampak gugup dan tergesa-gesa.

Lan Lan juga tidak mau ambil pusing lagi siapa yang dimaksudkan ‘dia’ oleh perwira itu. Dia memberi hormat lalu keluar dari pekarangan rumah itu, kembali ke hotelnya dan tak lama kemudian dia sudah membedal kudanya keluar kota raja, kembali menuju ke dusun tempat tinggalnya.

Kwan-ciangkun itu adalah seorang kepala atau komandan dari pasukan pengawal istana. Dia bersahabat dengan sasterawan she Kui yang merupakan orang terkaya di dusunnya, dan di samping itu, juga komandan ini tahu bahwa Kui Hok Boan adalah seorang hartawan yang mempunyai ilmu silat tinggi. Persahabatan di antara kedua orang itu mendatangkan keuntungan timbal balik.

Bagi Kwan-ciangkun tentu saja dia mendapat untung berupa pemberian hadiah-hadiah di samping dia pun mendapatkan seorang kawan yang pandai dalam ilmu silat mau pun ilmu surat sehingga enak untuk diajak berbincang-bincang, malah dalam ilmu silat, dia banyak memperoleh petunjuk dari hartawan she Kui itu.

Di fihak Kui Hok Boan, tentu saja dia merasa amat bangga mempunyai seorang sahabat yang menjadi komandan pasukan pengawal di istana karena selain hal ini mendatangkan kehormatan baginya, juga dia akan mudah memperoleh bantuan seorang ‘dalam’ apa bila terjadi sesuatu atau apa bila dia membutuhkan sesuatu dari fihak yang berkuasa.

Maka, begitu menerima surat dari sahabatnya itu, Kwan-ciangkun percaya sepenuhnya dan dia merasa girang sekali karena dengan menangkap pemberontak buronan itu, atau lebih tepat lagi putera dari pemberontak terkenal Cia Bun Houw, berarti dia akan membuat jasa yang besar.

Segera dia berlari-lari melapor ke atasannya, yaitu panglima pasukan keamanan di kota raja dan gegerlah keadaan di dalam benteng itu. Panglima itu segera menghubungi Kim Hong Liu-nio karena wanita ini yang pertama kali menyiarkan bahwa bocah yang tadinya bekerja sebagai pelayan di rumah makan itu adalah putera pendekar sakti Cia Bun Houw yang menjadi buronan dan bocah itu bernama Cia Sin Liong.

Pemilik rumah makan telah ditangkap, disiksa untuk mengaku dan menceritakan keadaan Sin Liong, akan tetapi majikan rumah makan yang sial itu dalam keadaan setengah mati tetap mengatakan bahwa dia mengenal pemuda itu sebagai A-sin.

Pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Kwan Heng Lai atau Kwan-ciangkun, ditemani pula oleh Kim Hong Liu-nio, langsung berangkat melakukan pengejaran ke dusun kecil itu dengan menunggang kuda. Orang-orang pada sepanjang perjalanan memandang dengan takut-takut dan hati heran melihat pasukan yang bersenjata lengkap, berwajah serius dan melakukan perjalanan tergesa-gesa ini. Tentu ada sesuatu yang tidak beres, pikir mereka dan mereka merasa ngeri membayangkan dusun yang dijadikan sasaran oleh pasukan itu. Biasanya, tiap kali ada pasukan melakukan pembersihan di suatu dusun, akan terjadi hal-hal yang mengerikan.

********************

Apakah yang terjadi dengan Sin Liong dan Bi Cu di rumah keluarga Kui? Seperti sudah kita ketahui, setelah Lan Lan dan Lin Lin pergi memenuhi perintah ayah mereka untuk menyerahkan surat malam itu juga kepada komandan Kwan di kota raja, Sin Liong dan Bi Cu dilayani oleh Kui Hok Boan sendiri yang memperlihatkan pedang buatan mendiang Bhe Coan kepada Bi Cu.

Selagi mereka bercakap-cakap itu, muncullah pelayan wanita yang membawa hidangan. Melihat ini, Sin Liong dan Bi Cu menjadi sungkan dan kikuk.

"Ahh, harap paman tidak usah repot-repot," kata Sin Liong melihat betapa Kui Hok Boan sendiri yang menemani mereka untuk makan minum.

"Sama sekali tidak. Hari sudah malam, sudah tiba waktunya makan malam. Mari silakan, aku sendiri sudah makan tadi. Mari silakan, nona Bhe."

Melihat kedua orang muda itu kelihatan sungkan-sungkan dan kikuk, Kui Hok Boan lalu bangkit berdiri dan berkata, "Harap kalian berdua makan yang enak, aku akan pergi dulu melakukan sesuatu di dalam. Silakan dan harap makan secukupnya, yang kenyang dan jangan malu-malu. Itu araknya harap diminum, arak wangi yang tidak keras."

Dengan ramah Kui Hok Boan mempersilakan dua orang tamunya, lantas dia mengangguk dan meninggalkan dua orang muda remaja itu. Sesudah Kui Hok Boan pergi, barulah Sin Liong dan Bi Cu tidak merasa kikuk lagi dan karena perut mereka memang sudah lapar, mereka berdua lalu mulai makan.

"Kau suka minum arak?" tanya Sin Liong sambil mengangkat guci untuk dituangkan ke dalam cawan yang tersedia. Bi Cu menggelengkan kepalanya.

"Kami kaum pengemis, mana biasa minum arak?" kata Bi Cu sambil tersenyum. "Pula, mendiang suhu mengatakan bahwa arak berhawa panas, hanya tepat untuk orang-orang tua yang memerlukan bantuan hawa panas supaya memperlancar jalan darah mereka. Tidak, aku tidak biasa minum."

Sin Liong meletakkan kembali guci arak itu ke atas meja. "Aku sendiri juga tidak begitu suka minuman arak. Terlalu banyak arak bisa memabukkan, dan saat-saat seperti ini kita berdua perlu selalu waspada dan sadar."

Mereka lalu makan secukupnya dan minum air teh, sama sekali tidak menyentuh arak di dalam guci. Selagi makan minum, dengan diam-diam Sin Liong memperhatikan ke arah pintu yang menembus ke dalam. Walau pun matanya tidak dapat menembus daun pintu, tapi pendengarannya yang amat tajam berkat kepandaiannya yang tinggi dan sinkang-nya yang kuat, dapat menangkap suara orang di balik daun pintu.

Mula-mula dia menduga bahwa tentu orang itu adalah pelayan yang siap untuk melayani mereka, akan tetapi makin lama dia semakin merasa curiga. Kalau dia pelayan, mengapa bersembunyi di balik pintu? Dan orang itu mempunyai kepandaian tinggi, saat mendekati pintu, langkah kakinya demikian ringan dan sesudah kini bersembunyi di balik pintu, tidak mengeluarkan suara apa-apa kecuali pernapasannya. Suara pernapasan ini sudah cukup bagi pendengaran Sin Liong untuk mengetahui bahwa di balik pintu itu ada orang sedang bersembunyi, agaknya mengintai dan mendengarkan.

Akan tetapi ia pura-pura tidak melihatnya dan melanjutkan makan minum dengan tenang. Bi Cu yang tidak begitu banyak makannya telah meletakkan mangkok dan sumpit di atas meja ketika Sin Liong masih melanjutkan makan. Pada saat itu, pintu terbuka dan sambil makan bakso dari mangkoknya Sin Liong melirik. Ternyata orang yang bersembunyi di balik daun pintu tadi adalah Kui Hok Boan sendiri!

Orang ini masuk sambil mencoba tersenyum, akan tetapi pandang matanya jelas nampak kecewa. "Silakan makan sekenyangnya, nona. Mengapa nona tidak makan?" Dia berkata mempersilakan sambil menghampiri meja.

"Terima kasih, aku sudah makan cukup," Bi Cu berkata, sedangkan Sin Liong masih terus melanjutkan makannya.

Kui Hok Boan duduk. "Ah, nona Bhe, kenapa makan hanya sedikit? Dan ini... ah, kenapa arak dalam guci masih penuh? Apakah kalian tidak mau minum arak yang kusuguhkan?"

"Terima kash paman, kami berdua tidak biasa minum arak," Sin Liong menjawab sambil meletakkan sumpit dan mangkoknya yang kini telah kosong.

"Ahh, bila terlalu banyak minum arak memang bisa mabuk dan tak baik untuk kesehatan. Akan tetapi kalau hanya dua tiga cawan saja, bahkan sangat baik bagi kesehatan. Orang bijaksana selalu berkata bahwa sedikit arak menjadi obat, terlampau banyak arak menjadi racun. Nah, sekarang, mengingat akan kegembiraan pertemuan antara kita, apa salahnya kalian minum barang dua tiga cawan? Nona, engkau adalah seorang murid dari mendiang Hwa-i Sin-kai yang sejak dahulu kukagumi. Kini, bertemu dengan muridnya, perkenankan aku mengucapkan selamat datang dan hormatku kepada mendiang gurumu dan engkau sebagai wakil beliau!" Kui Hok Boan menuangkan arak ke dalam cawan di hadapan dara remaja itu.

Bi Cu merasa bingung akan tetapi tentu saja sulit baginya untuk menolak. Menolak berarti tidak menghormati tuan rumah yang sudah begitu baik hati.

"Aku tidak biasa minum arak, paman, tapi jika hanya secawan saja bolehlah," jawabnya. Ia kemudian mengangkat cawan itu dan meneguk arak dalam cawan sedikit demi sedikit, khawatir tersedak. Akhirnya arak itu pun habis dan Kui Hok Boan tertawa gembira.

"Secawan tadi adalah untuk selamat datang, kini secawan arak penghormatanku kepada mendiang suhu-mu belum kau minum." Dia menuangkan lagi secawan.

Bi Cu tersenyum. "Ahh, paman terlampau mendesak. Akan tetapi aku hanya mau minum secawan lagi kalau paman berjanji tidak akan menambahkan lagi. Yang secawan ini tadi saja sudah membuat perut terasa panas."

"Baik, cukup secawan lagi, minumlah, nona Bhe."

Bi Cu menerima secawan arak itu dan meminumnya lagi. Sin Liong memandang penuh perhatian ketika Bi Cu minum arak itu dan hatinya merasa lega sesudah dara remaja itu menghabiskan dua cawan arak tanpa ada terjadi sesuatu yang mencurigakan. Wajah yang manis dan berkulit halus putih itu sekarang mulai menjadi kemerahan, menambah cantiknya Bi Cu.

"Dan kini untuk kembalimu kepada keluarga kita, Liong-ji, untuk pertemuan yang sungguh menggembirakan ini, aku ingin memberikan selamat kepadamu dengan tiga cawan arak, harap kau suka menerimanya!"

Kui Hok Boan segera menuangkan arak ke dalam cawan Sin Liong sampai tiga kali, dan tanpa ragu-ragu Sin Liong meneguk tiga cawan arak itu ke dalam kerongkongannya. Dia merasa ada hawa aneh bersama arak itu, dan cepat dia lalu mengerahkan sinkang Thi-khi I-beng, Dengan hawa Thi-khi I-beng yang amat kuat dia dapat menekan dan menguasai hawa asing di dalam perutnya itu sehingga hawa itu tak sampai menjalar ke mana-mana! Penggunaan ilmu yang luar biasa ini tentu saja tidak diketahui oleh Bi Cu atau Kui Hok Boan sendiri.

Tak lama kemudian Bi Cu kelihatan mengantuk sekali, beberapa kali dia menutupi mulut dengan punggung tangan ketika dia menahan kuapnya.

"Ahh, nona Bhe kelihatan sudah lelah. Kalau mau tidur, silakan, nona, telah dipersiapkan dua buah kamar untuk kalian. Mari ikut bersamaku, mari Sin Liong, engkau pun agaknya perlu mengaso."

Sebetulnya Sin Liong belum merasa lelah atau mengantuk, akan tetapi melihat keadaaan Bi Cu dia pun berpura-pura mengantuk dan menguap. Dua orang muda itu lalu mengikuti Hok Boan masuk ke dalam dan diam-diam Sin Liong memperhatikan Bi Cu.

Sungguh tidak wajar jika Bi Cu demikian mengantuk dan lelah, padahal tadi masih segar-bugar. Sekarang dara remaja itu hampir tidak kuat melangkah lagi sehingga terpaksa dia memegangi tangannya.

Begitu sampai di depan pintu kamar dan ditunjukkan oleh Kui Hok Boan bahwa itu adalah kamar untuknya, Bi Cu langsung berlari masuk dan menjatuhkan diri di atas pembaringan, dan terus saja dia pulas! Melihat ini, Kui Hok Boan tertawa.

"Ahh, kasihan, dia sudah sangat lelah," katanya sambil menutupkan daun pintunya. "Kau pun tentu amat lelah, Sin Liong."

Sin Liong mengangguk, masih terheran-heran melihat keadaan Bi Cu tadi. "Aku mengaso juga, paman," katanya sambil memasuki kamarnya yang berada di sebelah kamar Bi Cu.

Dia mendengar betapa langkah kaki pamannya meninggalkan kamar itu, maka Sin Liong cepat menutupkan pintu kamarnya, duduk bersila dan mengerahkan hawa sakti di dalam tubuhnya yang telah menekan dan menguasai hawa aneh yang masuk melalui arak tadi, kini memaksa hawa itu keluar dari mulutnya. Setelah semua hawa asing itu habis, barulah dia berani bernapas seperti biasa dan dia mencium bau harum yang aneh.

Diam-diam dia terkejut dan curiga sekali. Benarkah dugaannya bahwa pamannya bermain curang dan membius dia dan Bi Cu melalui arak tadi? Melihat keadaan Bi Cu, sudah jelas tentulah demikian, dan hawa aneh tadi tentu akan membuat dia pulas pula seperti Bi Cu kalau saja tidak dikuasainya dengan Thi-khi I-beng.

Dia segera menghampiri dinding pemisah kamarnya dan kamar Bi Cu, lalu menempelkan telinganya pada dinding itu dan mengerahkan tenaga saktinya untuk mendengarkan. Dia dapat menangkap lapat-lapat suara pernapasan Bi Cu maka tahulah dia bahwa gadis itu masih tidur pulas. Hatinya merasa lega dan dia pun lalu duduk bersila, sama sekali tidak berani tidur, hanya mendengarkan keadaan di sekitarnya, terutama dari arah kamar Bi Cu.

Kurang lebih satu jam kemudian dia mendengar ada suara bisik-bisik dari luar kamarnya, suara bisik-bisik dari tiga orang laki-laki. Dia tidak mampu menangkap kata-kata mereka karena mereka itu berbisik-bisik lirih sekali, akan tetapi dia tahu bahwa yang berbicara itu adalah Kui Hok Boan bersama dua orang laki-laki yang tidak dikenalnya. Mendengar nada suara mereka, tentu dua orang itu adalah laki-laki yang masih muda.

Akan tetapi sebentar saja mereka itu berbisik-bisik, lalu keadaan menjadi sunyi lagi dan terdengarlah bunyi langkah seorang di antara mereka menjauh. Hanya seorang saja yang pergi! Berarti bahwa ada dua orang lain yang tadi datang bersama Kui Hok Boan, tinggal di sekitar luar kamarnya dan kamar Bi Cu! Hati Sin Liong terguncang dan dia pun makin bercuriga. Apakah artinya semua ini?

Sin Liong tetap duduk bersila dengan penuh perhatian ke arah sekelilingnya, namun tidak terjadi sesuatu. Menjelang tengah malam, tiba-tiba saja seluruh urat syaraf pada tubuhnya menegang.

Terdengar suara langkah orang berindap-indap ke arah jendela kamarnya yang berada di belakang, berlawanan dengan pintu kamar. Kemudian, langkah orang ini berhenti di luar jendela kamarnya, kemudian terdengar daun jendela kamar itu bergerak dibuka orang dari luar!

Sin Liong tetap diam saja, menunggu sampai daun jendela itu terbuka dan orang yang membongkar daun jendela itu masuk. Begitu dia melihat bayangan hitam meloncat dan berkelebat masuk dari jendela yang sudah terbuka, dia pun meloncat dan sebelum orang itu mampu bergerak, dia sudah menangkap lengannya. Lengan yang kecil halus!

"Siapa kau...?"

"Sssttt... Liong-ko, aku Lin Lin...!" bisik orang itu yang menyeringai karena lengannya yang dipegang itu terasa nyeri sekali.

"Ehh, adik Lin...? Mengapa kau...?"

"Ssttt, jangan keras-keras... dengarlah baik-baik, Liong-ko. Kau harus cepat pergi dari sini bersama enci Bi Cu, sekarang juga. Cepat... segera akan datang pasukan dari kota raja untuk menangkap kalian...!" suara itu terisak dan ditahannya.

"Hemm, dari mana kau tahu? Siapa yang memberi tahu kepada pasukan kota raja bahwa kami berada di sini?" Sin Liong berbisik dan masih memegang lengan adik tirinya itu akan tetapi dia tidak mempergunakan tenaga lagi.

"...ayah..."

Sin Liong melepaskan pegangannya dan melangkah mundur, menatap wajah adik tirinya dalam kegelapan remang-remang itu. "Dan kalian disuruh ke kota raja untuk melaporkan kehadiran kami...?" Dia berhenti sebentar masih tidak mau percaya. "Mengapa kau... kau sekarang memberi tahu kepadaku...?"

Lin Lin menjadi tak sabar atas sikap Sin Liong yang tak mau cepat-cepat pergi melarikan diri itu. "Dengar, Liong-ko," bisiknya sambil mendekat. "Kami disuruh antar surat kepada Kwan-ciangkun di kota raja. Karena curiga, kami membukanya di jalan dan baru kami tahu bahwa ayah melaporkan engkau. Kami tidak berani membangkang, maka enci Lan melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan aku diam-diam kembali untuk memberi tahu kepadamu. Nah, kau cepat ajak enci Bi Cu pergi sebelum terlambat!"

"Bi Cu... ahh, kami pun tadi telah disuguhi arak yang agaknya mengandung obat bius..."

"Ahhh... aku menyesal sekali, Liong-ko, ayahku..." Lin Lin tak melanjutkan kata-katanya.

Sin Liong merangkulnya kemudian mencium pipinya. "Lin Lin, kalian baik sekali, aku cinta kepadamu dan kepada Lan-moi..." Dia melepaskan rangkulannya. "Sekarang juga aku akan pergi, akan kuambil Bi Cu dari kamarnya." Dia lalu melangkah hendak keluar melalui jendela itu.

"Liong-ko...!" Lin Lin berbisik.

Sin Liong menoleh."Kau... harap kau maafkan ayahku...!"

"Hemmm...!" Sin Liong mendengus marah, teringat akan pengkhianatan ayah tirinya.

"Demi aku, demi enci Lan...!"

Hening sejenak, kemudian terdengar Sin Liong menarik napas panjang. "Baiklah, Lin-moi, jangan khawatir, akan kulupakan saja apa yang diperbuat oleh ayahmu malam ini."

"Nanti dulu, Liong-ko. Di depan pintu kamar enci Bi Cu dan di depan kamar ini terdapat penjaga-penjaga, mungkin Bu-ko dan Sin-ko juga diperintah oleh ayah untuk melakukan penjagaan. Biarlah kupancing mereka agar melepaskan perhatian dari kamar enci Bi Cu. Kalau engkau nanti sudah mendengar suara kami bercakap-cakap, nah, kau baru boleh memasuki kamar enci Bi Cu dari jendela belakang."

"Baik, Lin-moi, dan terima kasih."

"Akan tetapi, bagaimana selanjutnya engkau akan melarikan diri membawa enci Bi Cu? Bagaimana jika engkau dikejar-kejar kemudian tertawan?" Suara Lin Lin terdengar penuh kegelisahan.

"Serahkan saja kepadaku...!" Sin Liong lalu ke luar dari jendela, didahului oleh Lin Lin.

Dara itu kemudian menyelinap melalui jalan memutar, ada pun Sin Liong berindap-indap mendekati kamar Bi Cu. Memang benar, dia melihat beberapa bayangan orang bergerak dan menjaga di sekitar kamarnya dan kamar Bi Cu, maka dia mendekam di tempat gelap, mendengarkan.

Tak lama kemudian dia mendengar suara seorang laki-laki, suara seorang muda yang dia tahu tentu seorang di antara keponakan Kui Hok Boan, menegur Lin Lin.

"Heiii, Lin-moi... engkau sudah pulang? Mana Lan-moi?"

"Aku... aku pulang lebih dulu, tadi perutku sakit, enci Lan melanjutkan perjalanan seorang diri..." terdengar suara Lin Lin menjawab. "Mengapa engkau belum tidur, Sin-ko? Mana ayah?"

"Ayah sudah tidur, aku dan Bu-ko ditugaskan menjaga..."

"Lin-moi, mengapa engkau pulang malam-malam? Bukankah engkau dan Lan-moi ke kota raja?" terdengar suara laki-laki lain dan tahulah Sin Liong bahwa laki-laki ini tentu Kwan Siong Bu dan yang tadi adalah Tee Beng Sin.

Betapa inginnya untuk keluar dan menjumpai mereka, akan tetapi teringat akan keadaan dirinya yang terancam, apa lagi Bi Cu yang mungkin masih tertidur nyenyak karena obat bius, dia menekan keinginan ini dan selagi mereka bercakap-cakap, cepat dia menyelinap menghampiri jendela kamar Bi Cu.

Mudah saja baginya membuka daun jendela itu tanpa mengeluarkan suara dan dia cepat meloncat ke dalam. Kamar itu remang-remang gelap seperti keadaan kamarnya tadi, tapi matanya yang amat tajam dapat melihat Bi Cu rebah miring di atas pembaringan dengan pakaian masih lengkap seperti ketika makan minum tadi.

Dia menghampiri dan ternyata dara itu masih tidur nyenyak sekali. Dia mengguncangnya beberapa kali, akan tetapi Bi Cu bagaikan dalam keadaan pingsan saja, sama sekali tidak bergerak. Maka tanpa ragu-ragu dia lantas memanggul tubuh Bi Cu pada pundak kirinya, merangkul dengan lengan kiri dan dibawanya ke luar dari dalam kamar melalui jendela!

Sin Liong mempergunakan kesempatan selagi Lin Lin mengalihkan perhatian dua orang muda serta para penjaga itu, menjauhi kamar ke sebelah belakang bangunan, kemudian dengan kepandaiannya yang tinggi dia lalu meloncat ke atas genteng tanpa menimbulkan sedikit pun suara, lantas berlarilah Sin Liong membawa tubuh Bi Cu yang masih belum sadar itu, menjauhi dusun itu.

Karena dia sudah tahu bahwa pasukan kerajaan tentu akan melakukan pengejaran, maka dia melarikan diri menuju ke barat di mana nampak pegunungan dari jauh. Dia harus pergi bersama Bi Cu ke utara, akan tetapi tidak boleh sekali-kali melewati kota raja, maka dia cepat mengambil jalan memutar, melalui sebelah barat kota raja di mana terdapat banyak pegunungan liar, kemudian baru ke utara.

Walau pun Sin Liong telah mempunyai ilmu kepandaian yang sangat tinggi dan dia dapat mempergunakan ginkang-nya untuk berlari cepat sekali, tapi malam itu amat gelap hanya diterangi bintang-bintang yang bertaburan di langit. Apa lagi dia harus memanggul tubuh Bi Cu, dan dia lari melalui jalan-jalan liar, maka tentu saja dia harus berhati-hati dan tidak dapat berlari cepat. Bagaimana pun juga, karena pandainya Lin Lin memancing perhatian para penjaga, tidak ada seorang pun dalam rumah keluarga Kui yang mengetahui bahwa dua ekor burung itu telah terbang dari sarangnya!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kui Hok Boan sudah bangun dari tidurnya dan segera dia pergi menuju ke kamar dua orang tamu itu. Hatinya lega melihat betapa Siong Bu dan Beng Sin bersama para penjaga masih berada di depan kedua kamar itu, akan tetapi Kui Hok Boan merasa heran melihat Lin Lin ikut pula menjaga di situ!

"Ehh, engkau sudah pulang? Mana Lan Lan?"

"Ayah, aku pulang lebih dulu. Di tengah perjalanan aku merasa sakit perut dan terpaksa aku kembali malam tadi, sedangkah enci Lan seorang diri melanjutkan perjalanan ke kota raja."

"Hemm, dan sekarang bagaimana sakit perutmu?" ayah ini bertanya sambil memandang wajah puterinya itu yang agak pucat, dan hal ini adalah karena semalam suntuk Lin Lin tidak tidur dan juga diam-diam merasa gelisah. "Mengapa engkau tidak tidur semalam dan ikut berjaga di sini kalau perutmu sakit?"

"Sekarang perutku sudah sembuh, ayah, dan aku memang turut berjaga bersama Bu-ko dan Sin-ko."

Ayah itu termenung sambil mengerutkan alisnya. "Mengapa Lan Lan belum juga pulang? Apa bila dia langsung ke rumah Kwan-ciangkun, seharusnya dia sudah pulang bersama pasukan..."

"Mungkin enci Lan merasa lelah dan bermalam di kota raja, ayah," kata Lin Lin dan Hok Boan mengangguk.

Akan tetapi tetap saja dia tidak merasa puas karena dianggapnya pengiriman pasukan dari kota raja amat lambat. Mestinya pagi-pagi sudah tiba di sini. Kalau pasukan sudah datang dan menangkap Sin Liong dan Bi Cu, baru dia merasa lega. Makin diperpanjang waktunya, makin gelisahlah dia.

Tentu saja dia tidak takut dua orang itu akan mampu melarikan diri, karena kepandaian dua orang muda seperti itu tentu tidak ada artinya baginya, akan tetapi betapa pun juga dia merasa sungkan dan tidak enak terhadap Sin Liong. Maka semakin cepat perkara ini selesai, semakin baiklah. Untuk menenangkan hatinya, dia menghampri kamar Sin Liong lalu mengetuk daun pintu kamar itu.

“Tuk-tuk-tukk…!”

"Liong-ji...! Sin Liong...! Sin Liong...!"

Tidak ada jawaban dari dalam kamar dan Kui Hok Boan menoleh sambil menyeringai, lalu berkata kepada para penjaga itu, "Dia masih tidur nyenyak!"

Kembali dia mencoba dengan ketukan dan panggilan di depan pintu kamar Bi Cu, akan tetapi hasilnya sama saja, tidak ada jawaban dari balik kamar yang tertutup pintunya itu.

"Biarkan mereka tidur, kalian jaga di sini dan jangan lengah sampai pasukan datang," kata Kui Hok Boan dengan hati lega. "Lin Lin, kau agak pucat, hayo kau mengaso ke kamarmu sana. Atau sebaiknya kau makan pagi dulu, baru mengaso."

"Aku ingin ikut berjaga di sini, ayah. Nanti jika sudah lelah, aku baru akan pergi mengaso. Aku menanti kembalinya enci Lan."

Kui Hok Boan mengangguk dan memasuki kamarnya kembali. Hatinya lega. Betapa pun juga, dua orang bocah itu tidak akan melarikan diri. Kalau perlu, sebelum pasukan datang, dan mereka itu hendak melarikan diri, dia dapat menggunakan kekerasan untuk menahan atau menangkap mereka, biar pun kalau bisa, jangan dia yang melakukan penangkapan, biar Kwan-ciangkun bersama pasukannya agar jangan terlampau kentara dia memusuhi mereka itu.

Matahari telah naik tinggi ketika terdengar derap kaki kuda dan Lan Lan muncul dengan muka agak pucat. Kui Hok Boan cepat-cepat menyambut kedatangan puterinya ini dan langsung bertanya,

"Bagaimana?"

Lin Lin juga sudah menyambut kakaknya dan kini mereka berdua berdiri berdampingan di depan ayah mereka dan keduanya memandang kepada Kui Hok Boan dengan sinar mata mengandung kemarahan.

"Ayah sungguh keterlaluan!" tiba-tiba Lan Lan berkata.

"Bagaimana ayah sampai bisa bertindak sekejam itu?" kata pula Lin Lin yang kini berubah sikapnya, tidak pendiam dan pura-pura tidak tahu seperti malam tadi ketika baru pulang sendirian. Kini dia bersikap seperti Lan Lan, menentang ayah mereka.

"Eh, ehh, mengapa kalian ini? Apa maksud kalian?" Kui Hok Boan membentak, pura-pura tidak mengerti.

"Ayah mengirim surat kepada Kwan-ciangkun selagi Liong-ko berada di sini. Apa maksud ayah?" kata Lin Lin.

"Ahhh... bukankah kalian sudah kuberi tahu? Supaya Kwan-ciangkun tidak datang ke sini dan..."

"Ayah tidak perlu membohongi kami!" teriak Lan Lan marah. "Ayah melaporkan kehadiran Liong-koko kemudian menyuruh Kwan-ciangkun membawa pasukan datang ke sini untuk menangkap Liong-ko dan enci Bi Cu!"

Kui Hok Boan menarik napas panjang dan tersenyum, mengangguk-angguk. "Ah, kiranya Kwan-ciangkun telah memberi tahu kepadamu, Lan Lan? Hal itu lebih baik lagi. Memang kalian harus tahu, kita tidak mungkin dapat melindungi pemberontak-pemberontak! Selain hal itu amat membahayakan kita, juga memberontak merupakan perbuatan yang sangat berdosa. Kita sebagai rakyat yang baik harus menentang pemberontak-pemberontak, dan mengingat bahwa Sin Liong dengan Bi Cu merupakan keturunan dan murid pemberontak, juga menjadi buronan pemerintah, sudah seharusnya kalau kita melaporkan agar mereka ditangkap."

"Ayah sungguh kejam! Betapa pun juga Liong-koko adalah saudara kami, saudara seibu, sekandung! Kami tak dapat membiarkan dia celaka oleh ayah!" Lan Lan berseru.

"Kami tidak bisa mendiamkan saja ayah melakukan tindakan rendah dan kejam!" Lin Lin menyambung.

"Lan dan Lin! Tahan mulut kalian itu! Ini adalah urusan pribadiku, kalian berdua tidak usah ikut campur. Aku tidak ingin kalian ikut campur, karena itu aku tidak memberi tahu kepada kalian ketika aku mengutus kalian mengirimkan surat kepada Kwan-ciangkun. Akan tetapi Kwan-ciangkun sudah memberi tahu kepadamu, Lan Lan, maka engkau harus mengerti bahwa perbuatan ayahmu ini..."

"Kami tidak tahu dari Kwan-ciangkun! Kami tahu sendiri!" potong Lan Lan dengan berani.

"Dan aku telah membebaskan Liong-ko!" sambung Lin Lin.

Mendengar ini, terkejutlah Kui Hok Boan. Sejenak dia memandang kepada kedua orang puterinya dengan mata terbelalak dan bingung, kemudian dia berlari ke tempat dua orang tamu itu tidur. Siong Bu, Beng Sin dan para penjaga terkejut melihat Hok Boan datang berlari-lari diikuti oleh dua orang dara kembar itu, dan lebih terkejut lagi ketika melihat Hok Boan mendobrak pintu kamar Sin Liong.

"Krakkkk!"

Pintu itu jebol dan terbuka memperlihatkan kamar yang kosong! Kui Hok Boan berlari ke kamar Bi Cu, cepat dibukanya daun pintu dengan kasar dan ternyata kamar itu pun telah kosong.

"Keparat...!" Kui Hok Bean menyumpah-nyumpah, kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadapi dua orang puterinya dengan mata mendelik saking marahnya. "Hayo kalian katakan, apa artinya semua ini!" bentaknya marah.

Akan tetapi kedua orang dara itu menentang pandang mata ayah mereka dengan berani, kemudian Lan Lan berkata lantang, "Kami tidak ingin melihat ayah melakukan perbuatan yang khianat dan kejam, maka kemarin kami berdua lalu berpisah, membagi tugas. Aku melanjutkan perjalanan ke kota raja, dan baru pagi tadi aku menyampaikan surat kepada Kwan-ciangkun..."

"Dan aku cepat kembali ke sini untuk memperingatkan Liong-ko sehingga dia dapat pergi melarikan enci Bi Cu!" sambung Lin Lin.

Kemarahan Kui Hok Boan mencapai puncaknya mendengar ucapan dua orang puterinya itu. "Keparat! Kalian berdua anak-anak durhaka!" bentaknya lantas tangannya bergerak cepat menampar ke depan dua kali.

"Plak! Plak!"

Tubuh Lan Lan dan Lin Lin terpelanting dan pipi mereka menjadi biru membengkak oleh tamparan ayah mereka yang amat keras tadi.

"Ayah boleh membunuh kami!" teriak Lan Lan sambil bangun kembali.

"Lebih baik mati dari pada menjadi pengkhianat kejam!" teriak Pula Lin Lin.

"Jahanam, kalian berani melawan ayah sendiri? Kalian sudah bosan hidup?" Kemarahan Kui Hok Boan membuat dia mata gelap.

Dia telah melangkah maju lagi, siap untuk menghajar. Akan tetapi pada saat itu pula dua orang pemuda cepat maju menghadang dan berlutut di depan Hok Boan. Yang seorang adalah Kwan Siong Bu yang berwajah tampan dan berpakaian rapi, sedangkan pemuda yang ke dua adalah Tee Beng Sin yang berwajah ramah dan bertubuh gendut.

"Harap paman sudi mengampuni adik Lan dan adik Lin, dan... saya bersedia menerima hukuman mewakili mereka..." kata Tee Beng Sin, pemuda gendut itu dengan gerak-gerik dan suara yang lucu sungguh pun dia tidak bermaksud untuk melucu.

"Saya juga mintakan ampun untuk Lan-moi dan Lin-moi. Harap paman jangan khawatir, sekarang juga saya akan mengejar mereka berdua. Agaknya mereka belum lari jauh!" Kwan Siong Bu penuh semangat.

Tiba-tiba saja terdengar suara tawa, kemudian disusul kata-kata nyaring, "Wah, sungguh mengagumkan sekali dua tangkai bunga kembar itu, demikian cantik dan gagah perkasa, pantas menjadi adik-adik Liong-te!"

Semua orang terkejut dan menengok. Betapa kaget dan heran hati mereka ketika mereka semua melihat adanya dua orang yang tahu-tahu telah berdiri di situ, padahal mereka tadi tidak mendengar suara apa pun. Dari mana datangnya kedua orang ini, dan bagaimana mereka bisa masuk tanpa menimbulkan suara sedikit pun.

Yang seorang adalah pemuda tampan sekali, tampan dan gagah, pakaiannya juga amat indah dan mewah, kepalanya terlindung topi bulu burung berwarna kuning emas. Pemuda inilah yang tadi mengeluarkan suara dan sikapnya amat berwibawa dan angkuh.

Orang ke dua adalah seorang wanita yang juga amat cantik jelita. Pakaiannya mewah, kedua lengan tangannya memakai gelang emas, pedang panjang tergantung di pinggang kiri sedangkan di punggungnya tergendong papan kayu salib.

Kui Hok Boan terkejut setengah mati ketika mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Kim Hong Liu-nio, ada pun pemuda tampan gagah itu adalah Pangeran Ceng Han Houw! Juga Lan Lan dan Lin Lin mengenal wanita ini. Mana mungkin mereka dapat melupakan wanita yang telah membunuh ibu kandung mereka itu?

Maka, dengan kemarahan yang meluap-luap kedua orang dara kembar ini mengeluarkan teriakan nyaring dan bagaikan menerima komando saja, keduanya itu dengan berbareng telah meloncat ke depan sambil mencabut pedang mereka, kemudian serentak mereka menyerang Kim Hong Liu-nio dengan pedang! Serangan mereka dilakukan dengan ganas karena terdorong oleh kemarahan melihat musuh besar ini.

"Lan dan Lin, jangan...!" Kui Hok Boan berseru kaget.

Akan tetapi kedua orang anak perempuan itu tidak mempedulikan seruan ayah mereka. Bahkan mereka makin gemas saat mendengar larangan ayah mereka itu, teringat betapa dahulu pun ayah mereka ini sama sekali tidak pernah berdaya upaya untuk membalaskan kematian ibu kandung mereka. Dengan nekat mereka menyerang terus biar pun serangan pertama mereka tadi dengan amat mudahnya telah dielakkan oleh Kim Hong Liu-nio.

"Iblis betina keji!" bentak Lan Lan.

"Kau harus menebus kematian ibu!" bentak Lin Lin.

"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Sungguh bersemangat dan menarik sekali!" Ceng Han Houw tertawa girang melihat keganasan dua orang dara kembar itu yang menyerang suci-nya.

"Hemm, pergilah kalian!" bentak Kim Hong Liu-nio.

Dua tangannya bergerak cepat, lengan kiri yang dihias banyak gelang itu menangkis dua kali ke arah pedang sehingga dua batang pedang itu terlepas dari pegangan pemiliknya lantas terpental jauh, sedangkan tamparan perlahan dengan tangan kanan membuat dua orang dara kembar itu terpelanting ke kanan kiri!

"Berani kau merobohkan mereka?!" bentak Kwan Siong Bu marah.

"Engkau wanita kejam!" bentak pula Tee Beng Sin.

Dua orang pemuda ini sudah menerjang maju untuk membela Lan Lan dan Lin Lin. Siong Bu telah mencabut pedangnya, sedangkan Beng Sin juga sudah mengayun golok besar di tangannya.

"Siong Bu! Beng Sin! Mundur kalian!" bentak Kui Hok Boan.

Dua orang pemuda itu terkejut, meragu saling pandang, kemudian melangkah mundur, tidak jadi melanjutkan serangan mereka. Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin sudah bangkit kembali dan biar pun mereka sudah tidak memegang senjata, mereka masih nekat, maju menerjang dan menyerang dengan tangan kosong.

"Lan dan Lin, jangan kurang ajar kalian!" kembali Kui Hok Boan membentak.

Akan tetapi kedua orang dara kembar itu sama sekali tidak mempedulikannya, melainkan terus menyerang dengan pukulan-pukulan yang dahsyat.

"Heiiittt!!" Lan Lan menghantamkan kepalan kanannya ke arah muka musuh besarnya itu.

"Hiaaaaattt!" Lin Lin juga menyerang, menonjok ke arah ulu hati dengan sekuat tenaga.

"Hemm, kalian menjemukan!" bentak Kim Hong Liu-nio sambil menggeser kaki miringkan tubuhnya.

"Plak! Plak!"

Dua kali tangannya bergerak dan ternyata dia telah menotok pundak kedua orang lawan itu. Lan Lan dan Lin Lin mengeluh dan roboh terguling, tidak mampu bergerak lagi.

"Kalian ini bocah-bocah lancang berani menyerangku? Nah, bersiaplah untuk mati!"

"Kouwnio... harap ampunkan mereka...!" Kui Hok Boan meratap!

Lelaki ini memang mempunyai watak pengecut. Karena tahu bahwa wanita itu lihai sekali dan dia tak akan mampu untuk menandinginya, maka dia tidak berani berkutik dan hanya meratap minta ampun melihat nyawa dua orang puterinya terancam bahaya.

Kim Hong Liu-nio menoleh sambil tersenyum mengejek, "Orang she Kui, engkau hendak membela mereka? Majulah!"

"Tidak... tidak... harap kouwnio ampunkan kami..."

Akan tetapi Kim Hong Liu-nio yang merasa dihina oleh dua orang dara kembar itu tidak mempedulikan ratapan ini, dia melangkah maju mengangkat tangan kirinya ke atas dan menampar ke arah kepala Lan Lan dan Lin Lin.

"Plakk!" Sebuah tangan menangkis tamparannya.

"Aihh, suci, jangan bunuh mereka! Mereka ini amat menarik, sayang kalau dibunuh. Wah, sungguh manis dan serupa benar. Amat menarik! Sukar mengenal mana enci mana adik, dan andai kata diberi tahupun aku akan lupa lagi, ha-ha-ha! Kelak aku akan minta kepada Sin Liong agar kedua adiknya ini diserahkan kepadaku."

Aneh sekali, Kim Hong Liu-nio tidak jadi melanjutkan niatnya membunuh dua orang dara kembar itu setelah dicegah oleh sute-nya. Dan pada saat itu terdengar derap kaki banyak kuda, dan muncullah Kwan-ciangkun memasuki ruangan itu.

"Hee, Kui-sicu, di mana buronan-buronan itu?" begitu memasuki ruangan, Kwan-ciangkun berseru kepada Kui Hok Boan. "Ah, kiranya paduka telah mendahului ke sini, pangeran?" Dia memberi hormat kepada Ceng Han Houw, kemudian memberi hormat pula kepada Kim Hong Liu-nio sambil berkata, "Dengan adanya lihiap dan pangeran di sini sebetulnya tak perlu lagi mengerahkan pasukan menangkap dua orang buronan pemberontak kecil, ha-ha-ha!"

Ketika melihat munculnya sahabatnya ini, maka legalah hati Kui Hok Boan. "Wah, celaka, Kwan-ciangkun, tadi malam kedua orang itu telah berhasil meloloskan diri dan melarikan diri!"

"Ahhh...?!" Kwan-ciangkun berseru kaget.

"Ha-ha-ha, berkat ketangkasan dua orang dara kembar yang cantik dan gagah ini!" kata Han Houw.

"Orang she Kui, ke mana larinya mereka?"

Pertanyaan yang diajukan oleh Kim Hong Liu-nio dengan suara dingin ini membuat Kui Hok Boan gelagapan. "Mereka dan saya kemarin berbicara tentang Lembah Naga, sudah pasti mereka itu lari menuju ke utara. Saya... saya berani bertaruh nyawa bahwa mereka pasti melarikan diri ke utara."

"Jika lari ke utara, tentu bertemu dengan pasukan kami di jalan!" bantah Kwan-ciangkun.

"Hemm, mereka itu tentu tidak berani melalui kota raja! Mengapa engkau begitu bodoh? Hayo, coba engkau pergunakan pikiranmu, ke mana kiranya kedua orang buronan itu lari, Kwan-ciangkun?" Han Houw bertanya sambil mentertawakan perwira itu.

Perwira she Kwan itu kelihatan bingung, mukanya berubah merah dan sikapnya gugup. "Menurut penuturan Kui-sicu, agaknya mereka melarikan diri ke utara, akan tetapi kalau ke utara tentu bertemu dengan pasukan kita... maka agaknya... ehh, mereka itu tidak lari ke utara, pangeran."

"Ha-ha-ha, jawabanmu itu bodoh sekali, Kwan-ciangkun. Dan aku tahu bahwa Sin Liong sangat cerdik. Coba bayangkan seandainya engkau menjadi dia. Engkau tahu bahwa dari utara datang serombongan pasukan seperti diceritakan oleh dua adik tiri yang manis itu, padahal engkau hendak melarikan diri ke utara, maka jalan mana yang akan kau ambil? Melarikan diri ke utara sudah pasti tak mungkin melalui selatan, hanya bisa melalui barat atau timur. Dan karena engkau tahu bahwa pasukan tentu akan melakukan pengejaran, maka jurusan mana yang akan kau ambil? Bila melalui timur berarti melalui dusun-dusun dan kota-kota terbuka, sedangkan melalui barat berarti melalui daerah pegunungan dan hutan-hutan."

Wajah Kwan-ciangkun berseri. "Ahh, kalau begitu mereka tentu lari menuju ke barat!"

Pangeran Ceng Han Houw juga tertawa mengejek. "Kalau begitu, mengapa engkau tidak lekas mengejarnya?"

Perwira itu memberi hormat. "Terima kasih, pangeran!" lalu dia mengeluarkan aba-aba dan tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda pasukan itu membalap ke arah barat.

Kim Hong Liu-nio menghampiri Kui Hok Boan, memandang sejenak lalu berkata dengan suara dingin, "Hemm, orang she Kui, kembali engkau melibatkan dirimu, dahulu dengan isteri orang she Cia dan kini malah dengan puteranya."

"Akan tetapi, kouwnio, saya sudah berusaha untuk menghubungi Kwan-ciangkun supaya menangkap mereka...," Kui Hok Boan membantah dengan wajah pucat.

"Dan siapa yang memberi tahu mereka sehingga lolos? Dua orang puterimu ini, bukan? Seharusnya kubunuh mereka, akan tetapi karena pangeran sayang pada mereka, maka engkau ayahnya yang sepatutnya menjadi gantinya!" Wajah Kui Hok Boan semakin pucat, dan terdengar Ceng Han Houw tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, suci, hayo potong saja hidungnya atau sepasang telinganya!"

Orang she Kui itu makin ketakutan. Dia tahu bahwa melawan wanita itu akan sia-sia saja, kepandaiannya masih terlalu jauh untuk dapat menandinginya, dan dia tidak melihat jalan lain untuk menyelamatkan dirinya, apa lagi sesudah melihat betapa Kwan-ciangkun tadi sangat takut kepada pemuda tampan yang disebut pangeran ini. Kedua kakinya menjadi lemas dan dia menjatuhkan dirinya, berlutut di depan dua orang itu!

"Ampunkan hamba... ampunkan hamba..." ratapnya.

Lan Lan dan Lin Lin yang sudah mengambil kembali pedang mereka yang tadi terlempar, tiba-tiba melompat ke depan ayah mereka dengan pedang di tangan.

"Jangan membunuh ayah kami!" bentak Lan Lan.

"Kalau kami yang bersalah, hukumlah kami, ayah kami tidak bersalah!" bentak Lin Lin.

Dua orang dara kembar itu berdiri berdampingan dengan pedang di tangan, wajah mereka yang cantik itu memerah dan mereka siap bertanding mati-matian untuk melindungi ayah mereka.

Melihat betapa sang ayah berlutut minta ampun dengan wajah pucat namun sebaliknya dua orang anak kembar itu berdiri menentang dan melindungi ayah mereka dengan wajah merah, Ceng Han Houw bertepuk tangan memuji.

"Ha-ha-ha, sungguh mengherankan sekali seekor ular tanah yang merayap dapat memiliki dua orang anak seperti sepasang naga terbang di angkasa! Betapa gagahnya, alangkah cantiknya. Suci, biarkan aku menghadapi mereka!"

Sambil tersenyum manis pangeran itu melangkah maju mendekati sepasang dara kembar itu, memandang mereka penuh kagum. "Nona berdua sungguh manis dan gagah sekali, benarkah kalian hendak melindungi ayah kalian?"

"Akan kami bela sampai mati!" Lan Lan menjawab tegas sambil memandang pangeran itu dengan mata bersinar penuh ketekadan.

"Hemm, kalian hebat! Dari pada menggunakan kekerasan, bukankah lebih baik kalian ikut bersamaku menjadi kekasihku dan kami akan mengampuni ayah kalian?"

"Tidak sudi!" bentak Lin Lin marah.

"Lebih baik kami mati!" teriak pula Lan Lan.

Han Houw menoleh kepada suci-nya yang memandang dengan wajah dingin saja. "Lihat, suci, betapa gagahnya mereka ini! Sayang masih terlampau muda, seperti bunga belum mekar benar. Beri waktu satu dua tahun lagi dan mereka akan menjadi sepasang bunga yang semerbak harum dan hebat!" Kemudian pangeran ini kembali menghadapi Lan Lan dan Lin Lin. "Engkau belum tahu aku siapa, maka biarlah kita saling berkenalan melalui pertandingan. Nah, aku akan membunuh ayah kalian, kalian boleh membelanya!"

Dengan tertawanya yang memikat Han Houw lalu menggertak hendak memukul Kui Hok Boan. Melihat ini Lan Lan dan Lin Lin langsung menerjangnya dan menyerang dengan pedang mereka, bukan hanya untuk mencegah pangeran itu mengganggu ayah mereka melainkan juga untuk merobohkan pangeran yang ceriwis itu.

Akan tetapi, dengan sangat mudahnya Han Houw menghindarkan sambaran dua batang pedang itu sambil tertawa-tawa menggoda. Lan Lan dan Lin Lin menjadi makin marah dan mereka sudah nekat hendak mengadu nyawa. Hati kedua orang dara kembar ini sudah merasa sakit bukan main, bukan hanya sakit karena melihat penghinaan-penghinaan dua orang ini, terutama sekali sakit melihat sikap ayah mereka yang mereka anggap sangat pengecut dan memalukan itu.

Melihat ayahnya berlutut sambil meratap-ratap minta ampun, mereka tak dapat menahan rasa jijik dan malu, maka mereka nekat maju menentang dua orang itu biar pun mereka cukup maklum bahwa mereka, terutama wanita iblis musuh besar mereka itu, mempunyai kepandaian yang sangat lihai. Kini, melihat pangeran itu bermaksud kurang ajar terhadap mereka, Lan Lan dan Lin Lin sudah menyerangnya dengan nekat dan mati-matian, sambil mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga mereka.

Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa pangeran ini memiliki kepandaian yang amat hebat pula! Betapa pun mereka menyerang dengan ganasnya, namun tak pernah ujung pedang mereka dapat menyentuh tubuh pengeran itu yang hanya berloncatan ke sana-sini sambil tersenyum girang seperti seekor harimau yang mempermainkan dua ekor kelinci sebelum diterkamnya!

"Ha-ha-ha, cukuplah, kalian berdua benar-benar memiliki semangat berkobar-kobar, kelak akan menjadi kekasih yang menyenangkan sekali!" kata pangeran itu.

Akan tetapi ucapan ini bahkan makin mengobarkan api kemarahan di hati sepasang dara kembar itu, maka sambil berseru nyaring mereka menusukkan pedang mereka ke arah dada pangeran itu dengan kekuatan sepenuhnya. Tiba-tiba saja dua tangan pangeran itu bergerak mendahului.

"Tukk! Tukk!"

Jari tangan kanan kiri sudah berhasil menotok pundak kiri dua orang dara itu dan di lain saat dia sudah menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang sehingga Lan Lan dan Lin Lin tidak mampu berkutik lagi.

Ketika Lan Lan dan Lin Lin hendak menggerakkan tangan kiri, ternyata lengan kiri mereka sudah lumpuh tertotok, dan pada saat itu, sambil tersenyum Han Houw lantas melangkah maju dan mencium pipi dua orang dara kembar itu bergantian. Lan Lan dan Lin Lin hanya mampu menarik muka mereka untuk mengelak, akan tetapi tetap saja pipi mereka kena dicium!

"Lepaskan mereka!" Siong Bu meloncat ke depan diikuti oleh Beng Sin.

"Siong Bu! Beng Sin, jangan lancang. Mundur kalian!" bentak Kui Hok Boan yang masih berlutut.

Dua orang muda itu kembali menahan kemarahan mereka dan tidak jadi bergerak, malah mundur kembali. Sementara itu, Han Houw sudah menepuk pundak kanan Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang dara itu mengeluh lirih dan roboh dengan tubuh lemas!

"Ha-ha-ha, menyenangkan sekali! Eh, orang she Kui, aku mengampunkan engkau, akan tetapi engkau harus berjanji bahwa setahun lagi engkau akan menyerahkan kedua orang puterimu ini kepadaku. Antarkan saja ke istana dan cari aku, Pangeran Ceng Han Houw. Mengertikah engkau?"

Kui Hok Boan yang masih berlutut itu mengangguk-angguk. "Hamba mengerti dan hamba menghaturkan terima kasih atas anugerah ini, pangeran!" Dan memang orang she Kui itu girang bukan main. Kalau dua orang puterinya menjadi isteri pangeran, maka tentu saja derajatnya akan naik tinggi sekali!

"Suci, hayo kita cepat mengejar Sin Liong!" Han Houw berkata dan sekali berkelebat, dia lenyap dari situ. Kim Hong Liu-nio mendengus ke arah Kui Hok Boan, lalu berkelebat pula dan lenyap!

Kui Hok Boan, Siong Bu dan Beng Sin melongo keheranan dan bergidik melihat kelihaian dua orang yang seperti iblis itu. Kui Hok Boan lalu menghampiri dua orang puterinya dan membebaskan totokan atas diri mereka. Setelah dua orang puterinya itu bangkit berdiri, Kui Hok Boan mengelus jenggotnya memandang kepada mereka.

"Bagus sekali nasib kita, terutama sekali nasibmu, Lan dan Lin, kalian menjadi tunangan seorang pangeran."

Lan Lan dan Lin Lin memandang kepada ayah mereka dengan sepasang mata terbelalak, seolah-olah ditampar karena mereka sungguh tidak mengerti mengapa ayahnya bersikap serendah itu. Mereka mengeluh dan berlari memasuki rumah sambil menangis!

Kui Hok Boan menyangka bahwa mereka itu seperti biasanya anak-anak perawan kalau mendengar tentang perjodohan mereka, merasa malu dan menangis, maka dia mengikuti mereka dengan suara ketawa puas.

"Paman, sebaiknya paman membawa Lan-moi beserta Lin-moi dan cepat pergi dari sini!" tiba-tiba Kwan Siong Bu berkata.

Kui Hok Boan menghentikan tawanya dan memandang heran. "Ehh, kenapa?"

"Bu-ko benar, paman. Sebelum mereka itu datang lagi, sebaiknya paman dan kedua adik sudah pergi dari sini dan Lan-moi berdua Lin-moi tidak akan menjadi korban!"

"Eh, ehh, apakah kalian sudah menjadi gila? Lan Lan dan Lin Lin akan menjadi isteri atau setidaknya selir-selir seorang pangeran! Itu merupakan suatu kehormatan besar! Mereka akan hidup mulia dan mewah dalam istana, dan aku... aku akan disebut mertua pangeran. Ha-ha-ha, siapa kira kemuliaan akan kudapatkan melalui kedua anak kembarku itu!"

Siong Bu dan Beng Sin saling pandang dan muka mereka menjadi pucat. "Akan tetapi, paman! Lan-moi dan Lin-moi akan menjadi permainan pangeran keparat itu!" Siong Bu berseru.

"Dan mereka berdua tidak sudi menjadi permainan pangeran itu!" sambung Beng Sin.

Kui Hok Boan memandang kepada mereka berdua dengan alis berkerut. "Hal ini bukan urusan kalian dan kalian tidak usah mencampuri! Dan lain kali, tanpa perintahku, kalian tidak boleh lancang hendak turun tangan. Apa kalian sangka kalian akan dapat menang melawan pangeran dan suci-nya itu? Mereka adalah orang-orang sakti, selain sakti juga berkedudukan tinggi di istana! Menjadi musuh pangeran jelas celaka, sama saja dengan bunuh diri. Akan tetapi menjadi mertuanya, hemmm, bahkan derajat kalian sendiri akan ikut terangkat! Pergilah!"

Dua orang pemuda itu dengan wajah pucat lalu pergi meninggalkan Kui Hok Boan yang masih berseri-seri membayangkan betapa bahaya maut yang baru saja mengancam dia sekeluarga berubah menjadi berkah yang sama sekali tak pernah dimimpikannya! Menjadi mertua pangeran! Bayangkan saja!

Akan tetapi, bayangan-bayangan muluk dari Kui Hok Boan ini pada keesokan harinya berubah menjadi kebingungan dan kemarahan ketika melihat kedua orang puterinya tidak berada di dalam kamar mereka. Kamar itu sudah kosong dan dua orang puterinya telah lolos dan pergi meninggalkan rumah dengan membawa beberapa potong pakaian serta uang bekal, tanpa meninggalkan surat atau jejak.

Lan Lan dan Lin Lin sudah lolos dan pergi dari rumah itu karena mereka merasa muak dengan sikap ayah mereka, dan terutama sekali karena mereka tak sudi diserahkan oleh ayahnya kepada pangeran itu! Mereka berdua mengambil keputusan untuk minggat dan mencari Sin Liong karena dari pada ikut dengan ayah mereka yang berwatak pengecut, pengkhianat dan penjilat itu, mereka lebih suka ikut merantau bersama kakak tiri mereka!

Tentu saja Kui Hok Boan menjadi bingung dan panik bagaikan kebakaran jenggot! Bukan saja dia sudah kehilangan dua orang puteri yang dicintanya, akan tetapi juga kehilangan bayangan muluk itu, dan terutama sekali dia akan terancam bahaya dari pihak pangeran itu dan suci-nya bila mana sampai dia tidak dapat menemukan kembali dua orang puteri mereka.

"Siong Bu! Beng Sin! Apa kerja kalian ini sampai tidak tahu mereka itu melarikan diri? Hayo kalian pergi mencari mereka sampai dapat! Dan jangan pulang kalau belum berhasil menemukan mereka!" bentaknya dengan marah kepada dua orang pemuda itu.

Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin lalu membawa senjata dan pakaian, berangkat mencari dua dara kembar itu dan supaya lebih cepat bisa berhasil, mereka lalu berpencar, Siong Bu mengejar ke barat dan Beng Sin mengejar ke timur. Tinggal Kui Hok Boan seorang diri dan dia duduk termenung di depan rumah, wajahnya muram membayangkan kedukaan, kekecewaan dan kekhawatiran.

Setiap keinginan untuk menyenangkan diri sendiri SELALU mendatangkan pertentangan, kebencian dan kesengsaraan! Keinginan untuk menyenangkan diri sendiri ini dapat saja berselubung dengan pakaian atau istilah yang lebih tinggi, lebih halus atau lebih mulia, seperti demi kebahagiaan anak, demi kemajuan golongan, demi partai, demi agama, atau demi bangsa. Padahal, semua itu hanya berintikan ‘demi aku’ yang berarti pengejaran keinginan untuk senang pribadi itulah!

Di mana terdapat pamrih menyenangkan diri sendiri, di situ sudah pasti TIDAK ADA cinta kasih! Pamrih menyenangkan diri pribadi meniadakan cinta kasih, karena demi untuk mencapai kesenangan itu segala sesuatu adalah benar atau salah disesuaikan dengan tujuan mencapai kesenangan itu. Dan siapa pun juga orangnya, yang menjadi perintang untuk mencapai kesenangan bagi diri sendiri, sudah pasti akan ditentang, dibenci dan dimusuhi. Maka terjadilah pertentangan, permusuhan, kebencian, yang kesemuanya itu merupakan pintu-pintu yang lebar menuju jurang kesengsaraan.

Seperti juga Kui Hok Boan dalam menghadapi perkara itu. Bisa saja dia mengemukakan alasan bahwa kalau sampai kedua orang puterinya menjadi isteri atau selir pangeran, tentu dua orang puterinya itu akan berbahagia hidupnya. Seolah-olah kebahagiaan kedua orang puterinya itu dialah yang menentukan! Dan bila dua orang puterinya itu menentang, dia lalu menjadi marah, benci, duka, kecewa! Inikah yang dinamakan cinta kasih orang tua terhadap anaknya?

Betapa banyaknya orang tua yang baik disadarinya mau pun tidak, bertindak seperti Kui Hok Boan ini, dan toh masih merasa benar selalu. Benarnya sendiri! Orang tua seperti ini selalu menganggap bahwa dia LEBIH MENGERTI, lebih berpengalaman, lebih ini dan itu sehingga dia berhak menentukan jalan hidup anaknya menurut dia, dan kalau anaknya menurut tentu akan berbahagia! Semua diaturnya, dengan alasan demi anaknya demi kebahagiaan anaknya, akan tetapi kalau si anak menolak dia lantas menjadi marah dan membenci anaknya!

Inikah cinta kasih? Yang setiap saat berubah menjadi benci bila keinginannya dibantah? Betapa bodohnya, betapa butanya! Bukankah orang yang mencinta akan merasa turut berbahagia kalau melihat orang yang dicintanya itu berbahagia dan turut berduka kalau melihat orang yang dicintanya itu sengsara? Cinta yang menuntut kesenangan untuk diri pribadi sama sekali bukan cinta, melainkan nafsu memuaskan diri sendiri belaka.

Orang bisa saja, dan semua ini adalah karena lihainya sang pikiran, lihainya sang aku, menyelubungi pula si aku yang ingin senang sendiri itu dengan istilah yang muluk-muluk, seperti pengorbanan. Cinta adalah pengorbanan, katanya. Padahal, orang yang merasa telah berkorban diri demi cinta juga menginginkan kesenangan melalui pengorbanan itu, yang menimbulkan bangga diri merasa suci, dan sebagainya lagi yang tak lain tak bukan juga merupakan kesenangan, yang dikejar. Dan semua bentuk kesenangan, yang kasar, yang halus, yang rendah, yang tinggi, selalu pasti dibayangi oleh kekecewaan, kebosanan dan kedukaan.

Orang tua yang bijaksana tak akan mengekang anaknya, tidak akan menekan anaknya, tidak akan mempergunakan anaknya untuk menyenangkan diri sendiri, membanggakan diri sendiri, tidak akan memperalat si anak untuk mendatangkan kepuasan, kebanggaan, atau kesenangan bagi diri sendiri. Tidak mengekang, bukanlah berarti acuh tak acuh, bukan berarti tidak peduli kepada si anak. Sebaliknya malah.

Cinta kasih selalu diikuti perhatian yang menyeluruh! Perhatian terhadap si anak, bukan terhadap keinginan diri sendiri! Kalau di sini ada keinginan, maka satu-satunya keinginan hanyalah melihat anaknya menjadi seorang manusia yang bahagia, benar dan bajik, di samping pelajaran-pelajaran yang menjadi syarat dalam kehidupan di dunia ramai.

Sungguh patut disayangkan betapa hampir saja sebagian orang tua hanya ingin melihat anaknya menjadi orang yang berhasil, dalam arti kata menjadi kaya raya, berkedudukan tinggi, dihormati, tidak kalah oleh orang-orang lain, dan sebagainya lagi. Padahal, jelas nampak bahwa kebahagiaan bukan terletak dalam kesemuanya itu.


********************

"Eh, di manakah aku...?" Bi Cu membuka matanya dan ketika dia melihat bahwa dirinya berada di dalam pondongan Sin Liong, dia cepat meronta.

Sin Liong melepaskannya dan mereka berdiri saling pandang. Malam sudah berganti pagi biar pun sang matahari sendiri masih belum nampak cahayanya telah menciptakan sinar kuning keemasan yang cerah di permukaan bumi.

"Di mana kita...? Dan mengapa engkau memondongku ke tempat ini, Sin Liong?" Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada menegur dan pandang matanya penuh tuntutan.

"Ahh, engkau tidak tahu, Bi Cu. Semalam suntuk aku terpaksa berlari-lari memondongmu sampai ke sini akibat dikejar-kejar orang!" Sin Liong pura-pura mengomel dan memijit-mijit lengan kirinya yang memondong tadi.

"Semalam suntuk dikejar-kejar orang? Dan aku terus kau pondong? Aihhh, sungguh luar biasa sekali! Kenapa aku tidak terbangun? Padahal biasanya, walau pun aku sedang tidur nyenyak sekali, sedikit suara nyaring saja sudah cukup untuk membangunkan aku, apa lagi sampai dipondong dan dibawa lari semalaman suntuk! Aneh sekali!" Dara remaja itu memijit-mijit pelipisnya. "Dan aku masih merasa pening..."

"Tidak aneh karena engkau telah menjadi korban minuman yang mengandung obat bius."

"Aku? Dibius? Ahh, Sin Liong, apakah yang sudah terjadi? Bukankah kita tadinya menjadi tamu dari ayah tirimu... ahh, kini ingat aku! Apakah kau maksudkan arak itu mengandung obat bius?" Sepasang mata itu terbelalak dan bersinar-sinar demikian tajam seolah-olah dapat menembus dada Sin Liong.

Sin Liong menarik napas panjang, teringat akan pengkhianatan Kui Hok Boan dan juga pertolongan kedua orang adik tirinya. Sepanjang malam ketika dia melarikan diri, dua hal ini selalu terbayang di dalam ingatannya, membuat dia terheran-heran dan bingung. Ayah tirinya mengkhianatinya akan tetapi puteri-puteri ayah tirinya itu demikian baik kepadanya. Tidak tahu dia apakah hal itu akan membuat dia menangis atau tertawa!

"Bi Cu, dugaanmu benar. Arak yang disuguhkan kepada kita itu mengandung obat bius, sebab itu setelah minum beberapa cawan engkau lalu terbius dan tidur nyenyak semalam suntuk hingga engkau bahkan tak merasa bahwa engkau kubawa lari sepanjang malam."

"Akan tetapi... engkau sendiri kulihat juga minum arak itu, kenapa engkau tidak terbius?"

Gadis ini terlampau cerdas, kalau dia tidak berhati-hati, mana dia dapat menyembunyikan kepandaiannya? Matanya terlalu awas, otaknya terlalu tajam!

"Ah, aku pun tadinya sudah terbius dan sudah merasa pening ketika kita bersama menuju ke kamar kita masing-masing, akan tetapi belum kuceritakan kepadamu bahwa di dalam perantauanku, aku pernah bekerja kepada toko obat sehingga aku tahu gejalanya ketika itu. Karena pening itu aku dapat menduga bahwa aku minum obat bius, maka aku cepat menelan pil penawar racun yang kebetulan hanya tinggal sebuah dan selama ini kusimpan dalam saku baju. Pil itu menawarkan racun obat bius itu sehingga aku tidak sampai tidur nyenyak seperti engkau, Bi Cu."

"Ahh, engkau licik akan tetapi ceroboh, Sin Liong. Semestinya dalam keadaan seperti itu lebih baik kalau engkau memberikan obat itu kepadaku sehingga bukan aku yang terbius, melainkan engkau."

"Ehh? Kenapa begitu?"

"Kalau engkau yang terbius dan aku masih sadar, bukankah aku dapat melindungimu apa bila ada bahaya mengancam? Dalam keadaan semacam itu yang lebih kuat berkewajiban menghadapi bahaya yang mengancam."

Sin Liong tersenyum. "Baiklah, lain kali akan kuingat kata-katamu itu, Bi Cu."

"Sudahlah, buktinya engkau juga berhasil menyelamatkan diri kita, hanya kasihan, engkau harus memondongku semalam suntuk, tentu pegal-pegal rasa lenganmu."

Sin Liong memijit-mijit lengannya. "Seperti hampir patah rasanya!"

Akan tetapi sekarang teringat olehnya betapa hangat dan lunak tubuh yang dipondongnya semalam itu, biar pun ketika melarikan diri dia tidak ingat sama sekali akan hal itu, dan baru sekarang dia teringat yang membuat jantungnya berdebar aneh.

"Akan tetapi... mengapa ayah tirimu itu membius kita, Sin Liong? Padahal dia begitu baik dan ramah..." Bi Cu tiba-tiba menahan kata-katanya karena teringat kini betapa sinar mata tuan rumah itu amat kurang ajar seperti hendak menelanjanginya, sinar mata yang seperti dapat dia rasakan menjelajahi tubuhnya, sinar mata cabul!

Kembali Sin Liong menarik napas panjang. Inilah bagian-bagian yang paling sukar dalam pertanyaan-pertanyaan Bi Cu, dan dia tidak boleh berbohong. "Bi Cu, Kui Hok Boan itu hendak menangkap kita, hendak menyerahkan kita kepada pasukan pemerintah, bahkan dia telah mengirim surat kepada seorang perwira di kota raja, memberi tahukan mengenai adanya kita di rumahnya."

"Ahhh, sungguh jahat!" teriak Bi Cu. "Sungguh sikap manisnya itu hanya sebagai topeng domba di balik muka srigala! Akan tetapi... bagaimana engkau kemudian bisa mengetahui pengkhianatannya itu dan dapat melarikan diri, bahkan membawa aku yang masih terbius nyenyak?" Gadis itu memandang penuh perhatian pada wajah Sin Liong, seperti hendak menyelidiki keadaan pemuda itu.

"Kalau tidak ada Lan-moi dan Lin-moi, tentu sekarang kita sudah tertawan oleh pasukan kerajaan, Bi Cu. Tadi malam, tanpa diketahui orang lain Lin-moi memasuki kamarku lewat jendela lantas dia menceritakan semuanya. Dia bersama Lan-moi disuruh mengantarkan surat oleh ayah mereka untuk seorang perwira di kota raja. Karena merasa curiga mereka berdua membuka surat itu di tengah jalan maka tahulah mereka bahwa surat itu berisi pemberi tahuan bahwa kita berada di rumah mereka. Karena tidak berani membangkang, Lan-moi melanjutkan perjalanan ke kota raja, akan tetapi surat itu baru akan diserahkan pagi hari tadi, sedangkan Lin-moi bertugas pulang untuk memberi tahu kepada kita. Nah, setelah mendengar penuturan Lin-moi itu, aku lalu memasuki kamarmu lewat jendela dan membawamu kabur dari sana, dibantu oleh Lin-moi yang menarik perhatian para penjaga sehingga mudah bagiku untuk berlari keluar."

"Hebat sekali! Adik-adik tirimu itu sungguh manis dan gagah, Sin Liong, aku makin suka kepada mereka! Sungguh aneh, ayah tirimu itu demikian curang, akan tetapi sebaliknya anak-anaknya demikian baik. Bagaimana ini?"

Sin Liong menggelengkan kepala. "Aku sendiri pun tak mengerti, semalam suntuk dua hal yang berlawanan itu menghantui pikiranku."

"Aihhh, aku tahu! Tentu saja begitu..." Tiba-tiba Bi Cu berseru dan wajahnya berseri-seri, sikapnya seperti orang yang baru saja dapat memecahkan suatu teka-teki yang sulit.

"Apa yang kau tahu? Bagaimana?"

"Tentu saja! Ayah tirimu itu seorang yang curang dan khianat, pendeknya seorang yang jahat! Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin tidak menuruti watak ayah mereka, tetapi mewarisi watak gagah dan baik dari mendiang ibumu! Tentu saja begitu, maka mereka demikian baik."

Sin Liong mengangguk-angguk, dan dia dapat percaya pendapat ini, juga hatinya girang sebab ucapan Bi Cu itu sekaligus memuji-muji ibunya yang dikatakannya gagah dan baik, padahal Bi Cu belum pernah bertemu dengan ibunya.

"Sin Liong, marilah kita kembali ke sana. Aku harus menghajar ayah tirimu yang curang dan jahat itu!" tiba-tiba Bi Cu berkata sambil mengepal tinjunya.

Diam-diam Sin Liong tersenyum dalam hati melihat lagak ini. Dia tahu bahwa kepandaian Bi Cu masih jauh untuk dapat menandingi kepandaian ayah tirinya.

"Mana mungkin itu, Bi Cu? Sekarang pun agaknya sudah ada pasukan yang menuju ke dusun itu, bahkan setelah menerima penjelasan, tentu akan mengejar kita ke sini."

"Ohh! Kalau begitu, bagaimana baiknya? Di mana kita ini sekarang, dan hendak pergi ke mana?"

"Aku sengaja mengambil jalan pegunungan yang penuh hutan liar ini, Bi Cu. Aku berlari menuju ke barat dan setelah sampai di sini, kita menyusuri pegunungan ini membelok ke utara. Kita akan pergi ke Lembah Naga dan ke tempat tinggal mendiang ayahmu untuk menyelidiki kematian ayahmu, tanpa melewati kota raja."

"Baik, dan aku berterima kasih kepadamu, Sin Liong," Bi Cu memegang lengan pemuda itu. "Percayalah, kalau ada kesempatan, aku akan membalas pertolonganmu itu, dan aku tidak akan ogah untuk menggendongmu semalam suntuk!"

"Wah, kalau bisa jangan terjadi hal itu. Sebagai seorang laki-laki yang digendong seorang wanita, aku pasti akan ditertawakan orang,." Sin Liong menjawab. "Mari kita melanjutkan perjalanan. Di depan itu ada hutan besar, kita memasuki hutan dan mencari sesuatu yang dapat dimakan."

Demikianlah, pemuda dan pemudi remaja ini lalu melanjutkan perjalanan mereka, masuk keluar hutan, naik turun gunung dan jurang-jurang karena mereka melalui jalan liar yang sama sekali tidak mereka kenal. Penunjuk jalan mereka hanyalah matahari. Mereka tahu arah utara, yaitu jika pagi hari matahari berada di sebelah kanan mereka dan pada sore hari matahari berada di sebelah kiri mereka.

Kadang-kadang mereka melewati dusun pegunungan dan di setiap dusun mereka diterima dengan ramah dan baik oleh para penghuni dusun yang rata-rata berwatak polos, jujur dan penuh peri kemanusiaan itu. Akan tetapi Sin Liong dan Bi Cu yang masih hijau dan belum berpengalaman dalam taktik sebagai buronan itu tidak tahu bahwa justru di dusun-dusun inilah mereka meninggalkan jejak yang sangat jelas! Para pemburu mereka tentu akan mudah mencari keterangan tentang mereka di dusun-dusun ini, dan tentu para penghuni dusun yang jujur itu akan menceritakan kepada siapa pun juga tentang mereka berdua!

Mereka telah melakukan perjalanan beberapa hari lamanya dan mereka sudah melewati batas Propinsi Ho-pei dan Shen-si, melalui kaki Pegunungan Tai-hang-san. Pada hari itu, pagi-pagi sekali mereka telah tiba di depan sebatang sungai yang besar dan karena pada waktu itu banyak turun hujan, maka air sungai meluap dan membanjir! Tidak nampak satu pun perahu di sekitar tempat itu, maka dua orang muda itu berdiri di tepi pantai dengan bimbang ragu dan bingung.

"Wah, mengapa sungai ini menghalangi perjalanan kita?" Bi Cu mengomel dan bersungut-sungut.

"Aihh, Bi Cu, engkau sungguh tidak adil apa bila menyalahkan sungai ini. Sudah beratus tahun, mungkin ribuan tahun lamanya, sungai ini tentu sudah berada di sini dan mengalir tiada hentinya. Dan hari ini, kita yang muncul di sini. Mengapa kau menyalahkan dia yang tidak berdosa? Lebih tepat menyalahkan kita yang mengambil jalan sampai di sini."

Bi Cu semakin cemberut. "Menyalahkan sungai tidak benar, menyalahkan diri sendiri pun apa gunanya? Sekarang ini bagaimana? Menyeberang sungai ini tanpa perahu, sungguh tidak mungkin!"

"Heran mengapa tidak ada perahu di sini?" Sin Liong menoleh ke kanan kiri.

"Tidak heran! Sungai banjir begini, tentu para nelayan sudah pergi. Mau apa berperahu di tempat berbahaya begini? Ikan-ikan pun tentu pada sembunyi, dan tidak ada pelancong yang begitu gila untuk menyeberang. Tentu perahu-perahu itu sudah ditarik ke darat oleh para nelayan agar jangan diseret pergi oleh air bah."

"Wah-wah, agaknya engkau mengerti betul tentang kehidupan nelayan."

"Tentu saja! Suhu pernah mengajakku hidup beberapa bulan di perkampungan nelayan dan aku malah pernah membantu mereka mencari ikan."

"Kalau begitu engkau tentu pandai berenang?"

"Tentu saja!"

"Wah, engkau ini gadis si segala bisa!"

"Apa engkau tidak pandai berenang, Sin Liong?"

Tentu saja Sin Liong dapat berenang dengan baik, karena ketika dia hidup secara liar di dalam hutan pun dia sudah sering kali mandi di telaga kecil di dalam hutan yang cukup dalam. Akan tetapi dia menggelengkan kepala dan merenungi sungai itu, seperti hendak mengukur dan menaksir dengan pandang matanya apakah mungkin menyeberangi sungai lebar yang sedang banjir itu dengan cara berenang.

"Bi Cu, apakah engkau dapat berenang menyeberangi sungai ini?"

"Hanya orang gila yang akan berenang menyeberangi sungai banjir seperti ini! Dia tentu akan hanyut dan tewas. Tidak, kurasa aku tak akan mampu menyeberanginya, Sin Liong. Lebih baik kita mencari perahu. Kalau kita menyusuri tepi sungai, tentu akhirnya kita akan bertemu orang yang mempunyai perahu."

Sin Liong setuju dan mereka berdua lalu berjalan mengikuti aliran sungai yang menuju ke timur itu. Setelah matahari naik tinggi, mereka tiba di sebuah perkampungan nelayan dan benar seperti diduga oleh Bi Cu tadi, perahu-perahu nelayan itu mereka ungsikan sampai jauh ke daratan supaya jangan terseret oleh banjir, dan setiap perahu itu dicancang pada sebatang pohon.

Giranglah hati mereka berdua melihat ini, lantas dengan wajah berseri mereka berlari-lari menghampiri sebuah rumah yang berada pada barisan pertama. Sin Liong menghampiri daun pintu rumah itu dan mengetuknya. Ketukan itu seperti aba-aba saja karena serentak muncullah banyak orang dengan pakaian seragam. Pasukan tentara kerajaan! Melihat ini, Bi Cu mengeluarkan jerit tertahan.

"Ha, inilah mereka, buronan-buronan itu!" teriak seorang anggota pasukan.

"Tangkap mereka!" bentak seorang perwira.

"Bi Cu, lari...!" Sin Liong berseru, cepat menggandeng tangan gadis itu dan melarikan diri menjauhi dusun.

Hanya sebentar saja Bi Cu menjadi gugup. Dia lalu teringat bahwa dialah yang lebih kuat dari pada Sin Liong, maka dialah yang sepatutnya memimpin untuk menyelamatkan diri mereka berdua.

"Lekas... ke sungai...! Tak mungkin lari...!" katanya dan memang kini terdengar derap kaki kuda yang ditunggangi para anggota pasukan itu. Kini Bi Cu yang berbalik menarik tangan Sin Liong diajak lari menuju ke sungai.

Setelah tiba di tepi sungai Sin Liong berkata, "Tapi... tapi... mana mungkin kita berenang di air yang deras itu...?"

"Kita terpaksa, hanya jalan satu-satunya. Lihat, mereka sudah dekat! Hayo cepat!" Bi Cu menarik tangan Sin Liong dan keduanya terjun ke dalam air sungai!

Gelagapan juga Sin Liong ketika terseret arus air yang amat kuat. Bi Cu menggerakkan kaki tangan melawan arus sambil berusaha menarik pundak baju Sin Liong. Akan tetapi pada saat itu pula beberapa orang tentara telah meloncat turun dari atas punggung kuda mereka, memegang busur berikut anak panah, lalu mereka menyerang dua orang yang melarikan diri itu dengan anak panah.

Melihat ini, Sin Liong cepat menggerakkan tangan dan kaki untuk menangkis dan setiap anak panah yang datang menyambar tepat ke arah mereka, bisa diruntuhkannya dengan gerakan ini. Akan tetapi, gerakannya itu membuat Bi Cu menjadi sibuk bukan main. Dara ini tidak melihat adanya serangan itu karena dia sibuk melawan arus.

"Ahh... ehhh... kau jangan meronta-ronta... kau menurut sajalah kutarik... aku pasti akan menyelamatkanmu, Sin Liong...!" Bi Cu berkata dengan terengah-engah dan menarik Sin Liong makin ke tengah.

Arus air sungai itu makin deras dan kuat bukan main. Sin Liong merasakan hal ini dan dia terkejut bukan main. Bahaya di air ini ternyata lebih besar dari pada bahaya yang menanti di darat. Kenapa dia tadi menurut saja pada waktu ditarik oleh Bi Cu? Kenapa dia masih bersikeras untuk menyembunyikan kepandaiannya? Apa bila dia tadi berada di darat, dia masih mampu memanggul Bi Cu untuk melarikan diri dan serangan-serangan anak panah itu tidak ada artinya baginya. Namun, kini sudah terlanjur dan dia harus melawan arus air yang amat kuat itu.

"Menyelamlah... kita menyelam... itu mereka membawa anak panah...!" baru sekarang Bi Cu melihat pasukan anak panah itu berjajar di tepi sungai.

Bi Cu berusaha untuk menarik Sin Liong menyelam, dan Sin Liong tetap meronta untuk menangkisi anak panah yang menyambar-nyambar. Rontaannya ini membuat Bi Cu amat kewalahan dan akhirnya mereka terseret oleh arus air yang kuat hingga bergulingan dan gelagapan!

Sin Liong timbul kembali dan bisa melihat seorang pemuda berpakaian mewah di pantai. Agaknya pemuda itu mencegah pasukan anak panah untuk melakukan serangan, karena pemuda itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan tak jauh dari pemuda itu berdiri Kim Hong Liu-nio!

"Sin Liong... ah... hauppp...!" Bi Cu meraih-raih sehingga akhirnya mereka dapat saling berpegangan lagi.

"Jangan pergunakan anak panah, tapi tangkap mereka hidup-hidup!" terdengar Han Houw berseru. Kemudian dia berteriak pula, "Liong-te, mengapa kau membunuh diri? Aku akan menolongmu, jangan khawatir, tidak akan ada yang mengganggumu. Kau tangkaplah tali ini!" Han Houw segera melontarkan sehelai tali panjang dan tali itu meluncur cepat sekali, ujungnya terjatuh di dekat Sin Liong.

"Tidak... jangan pegang tali itu... mereka akan membunuhmu...!" Bi Cu membantah sambil merangkul Sin Liong, mencegah pemuda itu memegang ujung tali.

Karena ini, ujung tali itu terbawa hanyut oleh air sehingga terpaksa Han Houw menariknya kembali, menggulungnya dan kembali dia memutar-mutar tali di atas kepalanya.

"Liong-te, kau tangkap ujung tali, jangan khawatir, aku akan melindungimu!"

Tali itu dilemparkan dengan sangat kuatnya dan kini tepat mengenai tubuh Sin Liong yang cepat menangkapnya.

"Jangan, Sin Liong...!"

"Tidak apa-apa, Bi Cu. Dia adalah kakak angkatku, lebih baik kita di darat dari pada mati konyol di air. Di darat, setidaknya kita bisa membela diri." Kemudian ditambahnya sambil tersenyum, sengaja memanaskan hati gadis yang wataknya keras ini, "Apakah engkau takut menghadapi mereka di darat?"

"Aku?! Takut?!" Bi Cu membentak. "Hayo kita mendarat!"

Sin Liong saling berpegang tangan dengan Bi Cu, ada pun tangannya yang sebelah lagi memegangi ujung tali yang dia libatkan pada lengannya. Kini tali itu ditarik oleh Han Houw ke pinggir. Akan tetapi saking derasnya air, dua orang muda itu masih terbanting-banting dan terguling-guling.

Sesudah mereka tiba dalam jarak sekitar tiga meter dari tepi sungai, tiba-tiba Han Houw mengeluarkan seruan keras dan membetot tali itu sekuat tenaga. Karena tali itu melibat lengan Sin Liong, maka pemuda ini tertarik dan melayang ke atas bersama Bi Cu yang saling berpegang tangan dengan dia!
Selanjutnya,