Pendekar Lembah Naga Jilid 25 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Lembah Naga Jilid 25
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
DEMIKIANLAH, pada suatu malam, ketika mereka menaruh perhatian, mereka mendengar jendela kamar murid mereka terbuka perlahan kemudian mereka melihat berkelebatnya bayangan murid mereka itu keluar meninggalkan kamarnya, lalu meninggalkan rumah itu.

In Hong dan Bun Houw langsung membayangi dari jauh dan dengan penuh keheranan mereka melihat murid mereka itu memasuki sebuah hutan kecil di pinggir kota. Ketika tiba di padang rumput yang diterangi bulan purnama, di situ mereka melihat seorang laki-laki telah menanti kedatangan Sun Eng dan begitu mereka bertemu, keduanya saling rangkul dan saling berciuman dengan penuh gelora nafsu!

"Ah, kau datang juga... betapa aku sudah khawatir kau tidak dapat datang," terdengar pria itu berkata dan dengan hati mendongkol sekali Bun Houw dan In Hong mengenal bahwa pria itu bukan lain adalah Auw-kongcu!

"Aku tentu datang, kongcu, aku pun rindu sekali padamu."

"Ahhh, Eng-moi, engkau memang manis, sayang," kata Auw-kongcu.

Kini sepasang pendekar itu memandang dengan mata terbelatak ketika mereka melihat betapa murid mereka mandah saja dirangkul dan direbahkan di atas rumput, lalu digumuli pemuda itu dan bahkan tertawa cekikikan pada saat tangan pemuda itu meraba-raba lalu mulai membukai pakaiannya!

"Keparat!" In Hong memaki dan dia telah meloncat ke depan, tubuhnya melayang seperti seekor burung garuda menyambar dan di lain saat tubuh Aw-kongcu sudah diangkat dan dibantingnya, bagaikan membanting seekor anjing saja. Auw-kongcu berteriak kaget dan kesakitan.

"Anjing hina-dina!" kembali In Hong membentak ketika melihat muridnya dengan pakaian setengah terbuka itu menatapnya dengan mata terbelalak. "Manusia she Auw keparat, engkau memang sudah layak dibunuh!"

Akan tetapi tiba-tiba Sun Eng menubruk dan dara ini sudah berdiri menghadang subo-nya melindungi tubuh Aw-kongcu yang sudah merangkak bangun dengan muka ketakutan itu. Dengan muka merah sekali karena malu, akan tetapi sepasang matanya bersinar penuh keheranian Sun Eng menghadapi subo dan suhu-nya, lalu berkata dengan suara lantang.

"Subo tidak berhak membunuhnya! Subo tidak berhak memukulnya. Apakah kesalahan Ang-kongcu terhadap subo maka subo menyerangnya?"

Hampir In Hong tidak percaya mendengar pertanyaan itu. "Tidak berhak...? Dan dia... dia dan kau..."

"Memang aku telah menyerahkan diriku kepadanya! Aku telah menjadi... isterinya. Malah sudah lima kali aku menyerahkan diriku kepada laki-laki yang kucinta. Apa hubungannya ini dengan subo?" teriak Sun Eng menantang.

In Hong merasa mukanya seperti ditampar oleh tangan yang tak nampak, juga Bun Houw mengeluarkan seruan tertahan. Dara yang sejak kecil mereka pelihara, mereka didik dan mereka sayang itu kini berdiri tegak, menentang mereka bahkan berbicara dengan kasar, ber-aku dan tidak lagi menyebut teecu (murid) untuk diri sendiri!

"Sun Eng! Kau... kau...!" Saking marahnya, In Hong tak dapat melanjutkan kata-katanya, dan tangannya menyambar, mengirim pukulan maut ke arah kepala muridnya itu.

"Plakkk!" Tangan Bun Houw menahan lengannya.

"Sabarlah, Hong-moi, tak perlu kita menggunakan kekerasan."

In Hong terengah-engah saking marahnya.

"Suhu dan subo harus mengerti bahwa kami telah saling mencinta. Aku rela menyerahkan diri dan kehormatanku kepada orang yang kucinta, tapi mengapa suhu dan subo hendak menghalangi kami? Bahkan suhu dan subo sudah menolak pinangannya. Apakah suhu dan subo hendak mengulangi sikap dan perbuatan ayah suhu yang menolak dan tidak menyetujui perjodohan antara suhu dan subo yang saling mencinta?"

Ucapan-ucapan itu seperti ujung-ujung pedang berkarat yang menusuk hati sepasang pendekar itu. Wajah mereka menjadi pucat dan sejenak mereka tak mampu berkata-kata.

"Perbandinganmu itu tidak tepat, Sun Eng!" Bun Houw menahan kemarahannya. "Kalau engkau memilih pemuda yang tepat, kami tentu tidak akan mencampuri dan akan setuju saja. Akan tetapi, pilihanmu keliru. Yang kau pllih adalah pemuda yang berwatak busuk, seorang pemuda pemogoran, mata keranjang dan..."

"Suhu, selera orang memang tidak sama. Suhu mencinta subo maka tentu menganggap subo wanita yang paling baik di dunia ini, akan tetapi bagaimana pandangan ayah suhu yang tidak menyetujui subo menjadi isteri suhu? Tentu berbeda antara selera suhu dan ayah suhu, seperti juga selera antara aku dan suhu juga berbeda. Bagiku, Auw-kongcu adalah pria yang paling baik di dunia." Mendengar ini, sambil meringis menahan takut dan kaget, pemuda itu menggandeng tangan Sun Eng yang tersenyum kepadanya.

"Hemmm, pilihanmu yang kau lakukan dengan mata buta itu pun bukan soal yang terlalu berat, akan tetapi engkau telah menyerahkan kehormatan diri di luar pernikahan sah, apa hal itu patut dilakukan seorang gadis yang mengenal susila?" tanya In Hong dengan sepasang mata bersinar-sinar.

"Subo, bila aku menyerahkan kehormatan diriku kepada orang yang kucinta, itu tandanya aku cinta kepadanya! Auw-kongcu menghendaki bukti dari cintaku, dan bukti yang paling utama adalah penyerahan diri dan kehormatan. Maka aku menyerahkan, karena memang aku cinta kepadanya. Kami saling mencinta, maka apa lagi halangannya bagi kami untuk bermain cinta?"

"Bodoh! Orang semacam dia ini mana bisa dipercaya? Engkau akan disia-siakan setelah engkau dinodainya, akan dibuangnya setelah habis manis dan tinggal sepahnya. Butakah engkau tidak melihat bahaya itu?" bentak In Hong.

"Memang pendirian subo demikian, maka sampai kini pun subo tidak rela menyerahkan diri kepada suhu. Itu tandanya subo kurang mencinta suhu. Akan tetapi aku mencinta dan percaya kepada Auw-koko..., koko, bukankah engkau tidak akan pernah menyia-nyiakan diriku, bukan?"

Auw-kongcu merangkul. "Tentu saja tidak, sayang, aku bersumpah..."

Sungguh kasihan sekali Sun Eng. Dara remaja yang telah dibutakan oleh nafsunya sendiri itu dengan mudah tunduk dan menyerah, percaya akan bujukan manis seorang pria. Dia tidak tahu bahwa pria semacam Auw-kongcu ini hanya mengutamakan pemuasan birahi belaka.

Bagi pria macam ini, seperti kebanyakan pria di dunia, cinta adalah hubungan kelamin, cinta adalah pemuasan nafsu birahi! Jadi bagi mereka ini, bukti cinta adalah penyerahan diri seorang gadis kepadanya! Kalau tidak mau menyerahkan diri, berarti tidak cinta!

Betapa banyaknya gadis-gadis yang mau menyerahkan diri sebelum resmi menjadi isteri, sehingga mengandung dan membawa akibat-akibat yang amat menyedihkan. Tentu saja ada pula pria yang bertanggung jawab, tetapi hal ini tidak banyak dan lebih banyak yang melarikan atau menjauhkan diri karena memang cintanya hanya terletak pada pemuasan nafstu birahi belaka. Dan gadis-gadis yang dungu itu tidak mau membuka mata melihat kenyataan bahwa dalam hubungan di luar nikah ini, yang terancam adalah fihak wanita. Terancam keadaan jasmani dan keadaan rohaninya, terancam lahir batinnya. Tentu saja hal ini ada hubungannya dengan kebudayaan masyarakat setempat.

Karena itu, betapa pentingnya untuk mempelajari dengan sesungguhnya apa yang oleh kita dinamakan cinta itu! Apakah itu yang dinamakan cinta kalau cinta hanya mengejar pemuasan nafsu birahi belaka,? Dan yang amat menyedihkan, betapa pun kita selubungi dengan berbagai istilah muluk, namun pada dasarnya banyak di antara kita, juga para wanita, yang mempunyai anggapan bahwa hubungan kelamin adalah tanda cinta! Itu saja!

Ini bukanlah berarti bahwa kita harus menentang hubungan kelamin, bukan berarti kita menganggap bahwa cinta menolak hubungan kelamin. Sama sekali bukan!

Kita TIDAK BERPENDAPAT APA-APA, hanya mengajak kita semua untuk menyelami, untuk menyelidiki secara mendalam akan apa yang dinamakan cinta oleh kita semua itu. Cinta kasih tidak bersifat merusak, baik merusak badan mau pun batin. Maka sesudah melakukan hubungan badan lalu meninggalkannya dan merusak batinnya, jelas bahwa di situ sama sekali tidak terkandung cinta kasih, dan sepenuhnya hanya terisi oleh nafsu birahi belaka. Mengapa orang-orang muda buta terhadap hal yang gamblang ini?


Demikian pula halnya dengan Sun Eng. Gadis ini percaya sepenuhnya akan bujuk rayu Auw-kongcu, didorong oleh rangsangan serta dorongan nafsu birahinya sendiri, kemudian menyerahkan diri karena Auw-kongcu menuntut penyerahan diri sebagai bukti cintanya.

Bun Houw dan In Hong merasa sedih bukan main, sedih dan marah. "Sun Eng, engkau kelak akan menyesal! Bedebah ini menipumu, biar kubunuh dia!"

"Jangan subo bergerak! Jika subo hendak membunuhnya, bunuhlah dulu aku! Dan kalau subo membunuh kami berdua, itu hanya berarti bahwa subo merasa iri hati terhadap kami!" kata Sun Eng.

Sampai puyeng rasa kepala In Hong mendengar kalimat terakhir itu. Dia membelalakkan mata, wajahnya berubah beringas dan Bun Houw melihat sinar maut di dalam pandang mata kekasihnya. Cepat dia merangkulnya dan dengan marah dia berkata,

"Sun Eng, mulai saat ini, detik ini, engkau bukan murid kami lagi dan kami juga bukan guru-gurumu lagi! Biarlah kelak akan kupertanggung jawabkan hal ini dengan roh ayahmu yang dahulu menitipkan engkau kepadaku. Mulai saat ini juga segala perbuatanmu adalah menjadi tanggung jawabmu sendiri. Marilah, Hong-moi!" kata Bun Houw dan dia setengah memaksa kekasihnya meninggalkan hutan itu.

Sesudah tiba di luar hutan, tanpa tertahankan lagi In Hong menangis tersedu-sedu! Bun Houw merangkulnya, dan In Hong lalu menumpahkan semua rasa duka, penasaran dan marah itu melalui air matanya yang membasahi baju di dada Bun Houw.

Bun Houw merangkul sambil mengelus-elus rambut kepala kekasihnya menguras semua perasaannya. Sesudah tangis itu reda, In Hong mengangkat mukanya yang kini menjadi pucat dan basah air mata, memandang wajah Bun Houw.

"Houw-ko, aku tahu betapa sedih dan kecewa hatimu... ahhh, Houw-koko yang malang, betapa buruk nasib kita..."

Bun Houw menunduk. Dalam keadaan berduka yang membutuhkan hiburan itu mereka menemukan hiburan dalam diri masing-masing, dan tanpa mereka sengaja, kedua mulut itu bertemu dalam ciuman yang amat mendalam, penuh kemesraan, penuh permohonan untuk dihibur, untuk dilindungi, dan juga penuh kerinduan yang ditahan-tahan.

Malam itu bulan purnama. Karena memang keduanya telah bertahun-tahun menanggung rindu dendam yang sangat mendalam, yang mereka jaga dengan segala kekuatan batin mereka, sekarang setelah mereka berpelukan dan berciuman di dalam cahaya bulan, dan mungkin pula karena dipengaruhi peristiwa tadi, melihat murid mereka dan kekasihnya saling menumpahkan rasa cinta mereka melalui hubungan badan, maka pelukan mereka menjadi makin ketat dan ciuman mereka makin hangat.

Akhirnya sambil terengah-engah In Hong melepaskan ciuman dan pelukannya, lalu terisak melarikan diri pulang ke rumah, diikuti oleh Bun Houw yang napasnya juga agak terengah dan seluruh tubuhnya panas dingin.

Mereka tiba di dalam rumah, di ruangan dalam. Pintu dua buah kamar masing-masing masih terbuka. Mereka saling pandang, lalu seperti ada daya tarik luar biasa, keduanya saling tubruk, saling rangkul dan saling berciuman lagi. Akhirnya, Bun Houw memondong kekasihnya itu melangkah menuju ke pintu kamarnya.

Akan tetapi ketika tiba di depan pintunya, tiba-tiba In Hong meronta, melepaskan diri dan melangkah mundur. Kembali mereka saling berpandangan dan dari pandang mata mereka itu terpancar suara hati yang lebih jelas dari pada suara melalui kata-kata. Bun Houw menatap wajah yang cantik itu, melihat sinar mata kekasihnya yang harap-harap cemas dan bingung. Dia sadar lalu menunduk dan pada saat itu keduanya sudah mengeluarkan kata-kata yang sama dalam saat yang sama pula.

“Maafkan aku..."

"Maafkan aku..."

Keduanya saling pandang lagi, merasa lega sesudah saling minta maaf, kemudian Bun Houw memegang kedua pundak kekasihnya, memandang dengan tatapan penuh kasih sayang, lalu berbisik,

"Sudah terlalu lama kita menanggung derita... bagaimana kalau kita... eh, menengok ayah di Cin-ling-san...?" Tentu saja dengan ucapan ini Bun Houw membayangkan harapannya bahwa ayahnya sekarang sudah tidak marah lagi dan akan merestui perjodohan mereka setelah lewat sepuluh tahun lebih. Juga dia sudah merasa rindu kepada ibunya.

Akan tetapi In Hong mengerutkan alisnya. "Koko, selama ini, biar pun kita menanggung rindu dan tertekan derita batin, namun kita telah kuat bertahan. Kalau... kalau seandainya kita ke Cin-ling-san hanya untuk mendengar ayahmu masih menentang kita, kehancuran hati yang lebih hebat tentu akan kita derita dan belum tentu kita kuat bertahan seperti sekarang. Kenapa tidak menanti saatnya yang baik dan kita menyerahkan diri saja pada kehendak Tuhan?"

Bun Houw maklum betapa berat rasa hati kekasihnya untuk menghadap ayah bundanya setelah ditolak sebagai mantu! Dia hanya mengangguk, menarik napas, mencium dahi In Hong, kemudian membalikkan tubuh dan memasuki kamarnya, menutupkan daun pintu kamarnya, diikuti oleh pandang mata In Hong.

Wanita ini berlinang air mata dan hatinya merasa kasihan sekali. Betapa besar keinginan hatinya untuk menghibur hati Bun Houw, untuk melayaninya, untuk menyenangkannya, untuk menyerahkan dirinya!

Tiba-tiba dia teringat kepada Sun Eng dan dengan cepat dia pun memasuki kamarnya, merasa ngeri terhadap bayangan pikirannya sendiri karena kini dia dapat merasakan apa yang diperbuat oleh Sun Eng di dalam hutan tadi! Namun, dia mengerti benar bahwa hal itu adalah tidak benar, oleh karena itu, sampai bagaimana pun dia tidak akan melakukan apa yang diperbuat oleh Sun Eng!

Beberapa bulan semenjak peristiwa di dalam hutan itu yang mengakibatkan Sun Eng tak pernah kembali lagi ke rumah kedua orang gurunya, meninggalkan semua barang serta pakaiannya sebab kekasihnya yang kaya raya itu membelikan sebanyaknya pakaian baru untuknya, Bun Houw dan In Hong mendengar berita mengejutkan.

Mereka mendengar bahwa Auw-kongcu kedapatan tewas di dalam hutan di mana dia dahulu mengadakan pertemuan dengan Sun Eng dan menurut berita itu, pemuda Auw ini tewas dalam keadaan yang sangat mengerikan karena leher serta mukanya berlubang-lubang, berwarna kehijauan dan berbau wangi.

Tentu saja suami isteri ini terkejut bukan main karena luka-luka di leher dan muka seperti itu hanya dapat diakibatkan oleh senjata rahasia Siang-tok-swa (Pasir Beracun Wangi), yaitu senjata rahasia dari In Hong yang sudah diajarkan pula kepada Sun Eng! Mereka dapat menduga bahwa tentu Sun Eng yang sudah membunuh Auw-kongcu itu. Mereka lalu menyelidiki dan tahulah mereka bahwa memang Sun Eng yang membunuh pemuda itu karena mereka mendengar keterangan bahwa Auw-kongcu tidak mau mengawini gadis itu.

Bun Houw dan In Hong hanya dapat merasa berduka dan kasihan kepada murid mereka itu, akan tetapi di samping perasaan duka dan kasihan, terdapat perasaan marah yang besar terhadap murid yang dengan perbuatannya berarti juga menodakan nama mereka yang menjadi gurunya. Biar pun mereka berdua sudah tidak mengakuinya sebagai murid, namun baru penggunaan Siang-tok-swa ini saja sudah merupakan bukti langsung bahwa gadis itu adalah murid mereka.

Apa lagi ketika mereka mendengar berita bahwa kini setelah terlepas dari Auw-kongcu, Sun Eng bergaul dengan segala macam pemuda bangsawan mata keranjang yang kaya raya dan hidup berfoya-foya, terkenal sebagai seorang gadis yang mempunyai banyak pacar, hati sepasang pendekar ini menjadi semakin marah. Mereka memutuskan untuk tidak mau memusingkan lagi soal Sun Eng dan mencoba untuk melupakan bekas murid itu dengan tak pernah membicarakannya satu sama lain dan juga mengambil keputusan untuk tidak menceritakan tentang diri gadis itu kepada siapa pun juga.

Demikianlah, ketika Sun Eng tiba-tiba muncul di waktu sepasang pendekar ini bersama sepasang pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berada dalam penjara, dan gadis itu hendak menolong mereka, tentu saja Bun Houw dan In Hong menjadi marah lantas mengusir bekas murid itu. Dan peristiwa itu tentu saja memaksa mereka berdua untuk menceritakan tentang diri bekas murid itu kepada Yap Kun Liong dan isterinya.

"Tidak disangka perempuan hina itu muncul di sini, sungguh hanya untuk membikin kami berdua merasa malu dan penasaran!" kata In Hong dengan gemas, menutup penuturan Bun Houw yang kini telah menjadi suaminya.

Yap Kun Liong mendengarkan penuturan itu dan mengerutkan alisnya, berulang kali dia menarik napas panjang. "Ahh, anak itu patut dikasihani..."

"Tapi, Liong-ko, dia tak berakhlak, tak tahu malu, merusak nama kami!" In Hong berkata marah.

"Itulah, kalian hanya mengingat nama kalian saja, mengingat kepentingan kalian sendiri dan tidak pernah mengingat kebutuhan anak itu. Memang harus diakui bahwa anak itu lemah menghadapi nafsunya sendiri, akan tetapi jahatkah hal itu? Ataukah hal itu justru merupakan hal yang patut dikasihani, hal yang tidak terlepas dari pada pendidikan dan lingkungan? Kalian masih terlalu muda untuk mendidik, mungkin juga dia terlalu dimanja. Dia tidak jahat, buktinya, biar pun kalian telah membencinya, dia masih ingat budi, masih berani menempuh bahaya untuk menolong kalian. Hal ini saja membuktikan bahwa anak itu bukan orang yang tak ingat budi, bukan orang yang jahat. Dia hanya menjadi korban salah didik, salah asuhan sungguh pun kalian berdua tidak insyaf akan kesalahan kalian yang tidak disengaja."

Mendengar ini, In Hong dan Bun Houw tidak membantah lagi karena mereka juga dapat melihat kebenaran dalam ucapan Yap Kun Liong itu. Akan tetapi tentu saja In Hong tidak dapat menerima kesalahannya secara rela, maka secara diam-diam dia masih penasaran dan masih belum lenyap rasa bencinya kepada Sun Eng.

Sementara itu, di dalam gedung tempat tinggal Ciong-taijin, jaksa kota Po-teng di mana Ma-ciangkun bermalam, yaitu pembesar yang menjadi sahabat Lee-ciangkun, yang sudah membantu Ma Kit Su dalam menjaga para tahanan itu, datang beberapa orang tamu. Kedatangan mereka itu secara rahasia, tidak diketahui orang lain kecuali tuan rumah yang menyambut mereka dengan penuh hormat.

Tamu ini adalah Lee Siang atau Lee-ciangkun dari kota raja, Kim Hong Liu-nio, dan nenek Hek-hiat Mo-li. Ciong-taijin sendiri sampai merasa ngeri dan seram ketika dia berjumpa dengan nenek muka hitam yang sangat tua itu, dan memandang dengan penuh curiga kepada nenek itu, kemudian memandang dengan sinar mata penuh tanda tanya kepada sahabatnya dari kota raja itu.

Di samping ketiga orang ini, masih ada belasan orang tinggi besar, dan mereka ini adalah orang-orang yang menjadi pengikut Hek-hiat Mo-li, yang datang dari utara dan merupakan jagoan-jagoan dari utara yang oleh Raja Sabutai diberikan kepada gurunya supaya dapat membantu gurunya menghadapi musuh-musuhnya. Belasan orang ini diterima oleh para pembantu Ciong-taijin di tempat tersendiri dan dijamu oleh mereka.

Bagaimanakah Hek-hiat Mo-li bisa muncul di Po-teng? Seperti kita ketahui, penangkapan atas diri keempat orang pendekar itu adalah pelaksanaan siasat yang dilakukan oleh Lee Siang yang berdaya upaya untuk menyelamatkan kekasihnya dari ancaman hukuman mati oleh guru kekasihnya itu, yaitu waktu tiga bulan yang diberikan kepada Kim Hong Liu-nio untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng, hidup atau mati.

Maka setelah mereka mendengar berita bahwa siasat itu telah dilaksanakan dengan hasil baik, Kim Hong Liu-nio cepat menghadap gurunya dan melaporkan bahwa empat orang musuh besar itu telah ditawan dan kini sedang menuju ke kota raja.

"Mengingat lihainya mereka, sebaiknya kalau subo sendiri yang turun tangan membunuh mereka yang sudah ditawan dalam kerangkeng dan sedang dikawal menuju ke kota raja," kata Kim Hong Liu-nio.

Nenek itu terkekeh girang. "Bagus, begitu baru engkau muridku yang baik!"

Raja Sabutai juga merasa girang dan raja ini kemudian memilih tiga belas orang jagoan di antara para pengawal pribadinya dan memerintahkan mereka mengawal serta membantu gurunya yang hendak menewaskan musuh-musuh besar yang lihai itu.

Dengan cepat mereka pun berangkat menjemput Lee-ciangkun, kemudian bersama-sama menuju ke selatan untuk menyambut tawanan itu. Kini kebetulan mereka bertemu dengan rombongan tawanan yang sedang berhenti di Po-teng, karena itu Lee Siang lalu langsung membawa rombongannya itu ke gedung Ciong-taijin. Mereka berempat lalu mengadakan perundingan rahasia.

"Ciong-taijin, empat orang tawanan itu adalah orang-orang yang amat lihai dan berbahaya sekali. Sri Baginda sendiri sudah memberi perintah rahasia kepadaku bahwa mereka itu harus dapat dibunuh secepat mungkin, karena kalau mereka sampai lolos, mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin pemberontak yang amat membahayakan keamanan negara. Mengingat akan lihainya mereka, maka kami menunjuk locianpwe ini untuk melaksanakan perintah rahasia kaisar itu, dibantu oleh murid beliau ini." Dia memperkenalkan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio kepada Jaksa Ciong.

Oleh karena menganggap bahwa nenek dan muridnya yang cantik itu adalah pelaksana-pelaksana dari perintah rahasia kaisar, maka tentu saja Ciong-taijin memandang kepada mereka dengan penuh hormat dan juga takut karena memang wajah dan sikap nenek itu amat menakutkan.

Sambil duduk di atas bangku dengan tegak dan kedua lengannya disilangkan di depan dada, mukanya seperti topeng yang sama sekali tidak pernah bergerak, nenek itu tanpa memandang kepada Ciong-taijin berkata-kata dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh pembesar itu. Setelah berkata-kata agak lama, nenek itu diam dan muridnya yang cantik lalu berkata sambil memandang kepada tuan rumah.

"Ciong-taijin, guruku baru berkata bahwa untuk melaksanakan perintah kaisar membunuh empat orang itu tidaklah begitu mudah kalau tidak memperoleh bantuan taijin. Maka subo mengusulkan untuk membakar penjara di mana empat orang itu terkurung. Hal ini untuk mencegah agar mereka jangan sampai lolos, karena kalau sampal lolos, tentu kaisar akan marah dan taijin juga ikut bertanggung jawab."

Mendengar ini, wajah pembesar itu lantas berubah pucat dan keringat dingin membasahi lehernya. "Akan tetapi... membakar penjara...? Lalu... bagaimana dengan para tahanan yang lain? Tentu akan jatuh korban, mereka akan terbakar hidup-hidup!"

Agaknya untuk mendengarkan omongan pembesar itu, Hek-hiat Mo-li tidak memerlukan terjemahan muridnya. Memang sesungguhnya dia juga pandai bicara dalam bahasa Han, akan tetapi dasar wataknya agaknya aneh, dia terlalu memandang rendah terhadap para pembesar sehingga tidak mau bicara secara langsung kepada pembesar Ciong itu. Kini mendengar ucapan Ciong-taijin, dia cepat bicara dalam bahasanya sendiri yang kemudian disalin pula oleh muridnya.

"Menurut subo, tidak mengapa jika sampai jatuh beberapa orang korban karena bukankah mereka itu orang-orang berdosa yang layak mati? Juga, yang dibakar hanyalah sekeliling ruangan di mana keempat orang tahanan itu berada, jadi tidak akan membakar seluruh penjara, karena itu, andai kata ada orang tahanan yang ikut tewas, kami rasa tidak akan begitu banyak jumlahnya."

Akhirnya Ciong-taijin terpaksa menyetujui juga dan menyerahkan semua pelaksanaannya kepada Lee-ciangkun.

"Jangan khawatir, Ciong-taijin, saya yang bertanggung jawab akal hal ini!" kata Lee Siang dengan girang, karena kini terbuka harapan besar baginya untuk dapat memiliki Kim Hong Liu-nio secara resmi dan keselamatan kekasihnya itu tidak akan terancam lagi.

Siang hari itu juga mereka sudah melakukan persiapan. Tanpa diketahui orang, secara rahasia, ruangan penjara di mana empat orang pendekar itu dikurung ditimbuni kayu-kayu dan bahan bakar lainnya, dan dari ruangan itu hanya ada satu jurusan saja terbuka, yaitu di pintu yang akan dijaga ketat oleh Hek-hiat Mo-li dan orang-orang Mongol yang sudah mempersiapkan segalanya untuk mencegah empat orang pendekar itu keluar dari tempat tahanan dan akhirnya dapat mati terbakar di sebelah dalam.

Tidak ada orang tahu bahwa diam-diam ada dua orang yang mengikuti semua kesibukan itu dari jauh. Dua orang yang melakukan kegiatan secara terpisah ini bukan lain adalah Sun Eng dan Lie Seng.

Walau pun sudah diusir oleh suhu dan subo-nya, akan tetapi Sun Eng yang benar-benar mengkhawatirkan keselamatan kedua orang gurunya itu tidak pergi benar-benar, namun berkeliaran di sekitar tempat itu, di kota dan akhirnya kembali lagi ke dekat penjara. Dia melihat kesibukan penuh rahasia itu, melihat pula belasan orang tinggi besar yang meski pun mengenakan pakaian penjaga penjara namun gerak-geriknya mencurigakan. Selain mereka itu semua tinggi besar dan memiliki bentuk muka asing, juga gerak-gerik mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.

Sun Eng merasa makin gelisah. Dia melihat seorang komandan jaga yang nampak lelah dan kurang tidur, siang hari itu keluar dari lingkungan penjara, meloncat ke atas kudanya dan agaknya hendak pulang, karena di pintu penjara dia memesan kepada para penjaga agar berhati-hati dan menyatakan bahwa dia hendak beristirahat dan pulang sebentar.

Ketika komandan jaga ini melarikan kudanya, tiba di sebuah tikungan, tiba-tiba seorang wanita muda menyeberang jalan dengan tak terduga-duga. Komandan itu terkejut sekali, berusaha menahan namun sudah terlambat karena kaki depan kudanya sudah menerjang wanita itu yang terpelanting dan terbanting ke atas tanah. Komandan itu menghentikan kudanya dan lari menghampiri.

Wanita itu masih muda dan cantik sekali, dan kini terlentang pingsan, pakaiannya agak tersingkap sehingga memperlihatkan sebuah betis yang berkulit putih mulus!

Wanita itu mengeluh, lirih, merintih dengan mata masih terpejam, "Aauhhhh... tolonglah aku..."

Komandan itu menelan ludahnya. Ketika melihat wanita itu mengeluh dan menggeliat, dia menjadi terpesona, kemudian setelah melihat bahwa di situ tidak ada orang lain, dia lalu mengangkat tubuh yang setengah pingsan itu, segera membawanya ke atas kuda dan melarikan kudanya, bukan pulang ke rumahnya melainkan menuju ke tepi kota di mana terdapat sebuah pondok kosong, pondok ini adalah pondok tempat dia bersenang-senang dengan kawan-kawannya, jauh dari rumah dan isterinya!

Ketika komandan itu membaringkan tubuh yang hangat dan menggairahkan ketika berada dalam pelukannya tadi ke atas dipan, wanita itu kembali mengeluh dan mencoba untuk duduk.

"Auuuh, kakiku...," keluhnya.

"Mengapa kakimu, nona? Sakitkah? Coba kuperiksa." Komandan itu menghampiri lantas duduk di atas pembaringan.

Nona itu tidak membantah, segera melonjorkan kaki kirinya. Sang komandan yang mata keranjang itu lalu menyingkapkan celana kaki kiri, dan terus membukanya hingga ke lutut. Kembali dia menelan ludah melihat sebuah kaki yang bentuknya indah dan kulitnya putih halus dan hangat. Diusapnya kaki itu seperti orang memeriksa, akan tetapi usapannya itu makin kurang ajar, merupakan belaian dari tangannya yang gemetar.

"Aduh, sakit di situ... di bawah lutut...!" Wanita cantik itu mengeluh lagi.

Menduga bahwa lutut itu terkilir, sang komandan lantas mengurutnya dan menaruh obat, kemudian dibalutnya, "Tulangnya tidak patah, hanya terkilir, nona. Dalam waktu sehari saja akan sembuh kembali. Kau mengapa lari-lari menyeberang jalan sehingga tertabrak oleh kuda?"

Nona itu mengerling tajam, kemudian tersenyum malu-malu. "Aku... aku memang ingin melihatmu, ciangkun. Engkau begitu sering lewat dengan kudamu, dan aku... aku kagum melihat engkau begini gagah..."

Hampir komandan yang usianya sudah empat puluh tahun ini tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Matanya terbelalak dan mulutnya menyeringai. "Benarkah, nona? Dan setelah sekarang kita berhadapan, engkau mau apa?" tanyanya nakal, penuh pancingan dan bujukan, kemudian dia hendak merangkul.

Akan tetapi nona itu mencegahnya dengan kedua tangannya. "Ahhh, kakiku masih sakit sekali, ciangkun. Nanti kalau sudah sembuh, tentu boleh..."

"Boleh apa...?"

Wanita itu tersenyum malu, mengerling tajam seperti kilat, "Ihhh, engkau tentu mengerti sendiri. Sekarang, dipakai bergerak saja kakiku sakit, mari kita omong-omong saja dulu. Kalau tidak salah, ciangkun bekerja di penjara sana, bukan?"

"Benar, aku seorang di antara komandan penjara!" komandan itu menjawab bangga.

"Pantas pakaianmu begitu mentereng! Aku sudah menduga bahwa engkau tentu seorang perwira tinggi. Aku sering lewat dekat penjara hanya untuk dapat melihatmu, ciangkun."

"He-he-he, benarkah?" Komandan itu menyeringai sambil menelan ludah, kemudian dia mendekatkan hidungnya untuk mencium.

Wanita itu memalingkan mukanya, memberikan pipinya yang langsung dikecup dengan bernafsu oleh sang komandan, "Engkau manis, he-he-he, engkau cantik manis!"

Wanita itu mendorong dada komandan itu dengan kedua tangannya, dengan gerakan halus, "Sabarlah, ciangkun, kakiku tidak dapat digerakkan. Biarlah nanti... ehh, beberapa hari ini aku melihat kesibukan di dalam penjara, ada apakah? Apakah ada hubungannya dengan kereta kerangkeng di mana terdapat empat orang penjahat itu?" Secara sambil lalu wanita itu bertanya.

"Ha-ha-ha, rahasia manis, rahasia besar yang hanya diketahui oleh orang-orang penting macam aku ini. Tak boleh kuceritakan kepada siapa pun..."

Wanita itu cemberut lantas berusaha turun dari pembaringan, mukanya membayangkan kekecewaan dan kemarahan.

"Ehh, engkau mau ke mana?"

"Biarlah aku pergi. Biar pun engkau gagah dan tampan menarik, akan tetapi engkau tidak percaya kepadaku! Aku begini percaya kepadamu, mau kau bawa ke pondok ini, akan tetapi engkau masih menganggap aku orang asing yang tak boleh dipercaya. Untuk apa persahabatan berat sebelah ini dilanjutkan? Biarkan aku pergi!" Wanita itu terpincang-pincang hendak pergi.

"Ehh-ehh, nanti dulu... sayang, jangan marah. Aku hanya main-main. Siapakah namamu, manis?"

"Namaku Ang Bwee Hwa."

"Ang Bwee Hwa (Bunga Bwee Merah)? Heh-heh, nama yang bagus, sebagus orangnya. Dan aku bernama Ciok Kwan."

"Apa artinya perkenalan ini kalau kau tidak percaya..."

"Siapa bilang tidak percaya? Aku percaya padamu seratus prosen, manis."

"Kenapa kau tidak mau menceritakan rahasia orang tawanan itu?"

"Ssstttt, jangan keras-keras, aku takut terdengar orang. Dengar, mereka itu orang-orang penting dan berbahaya sekali sehingga sri baginda kaisar sendiri berkenan mengeluarkan perintah rahasia untuk membunuh mereka di sini..."

"Ohhh...?" Wanita itu terkejut dan sang komandan tersenyum karena tidak heran melihat seorang wanita lemah terkejut mendengar tentang pembunuhan. "Mengapa?"

"Aku sendiri tidak tahu, hanya menurut perintah atasanku, kami harus bersiap, dan karena empat orang itu sangat lihai, maka pelaksanaan pembunuhan itu akan dilakukan dengan membakar ruangan tahanan di mana mereka dikurung."

"Ahhh...!" kembali wanita itu terkejut dan membelalakkan mata.

"Dan untuk menjaga agar mereka tidak dapat lolos, kota raja telah mengirim jagoan yang mengerikan. Engkau tentu akan takut bila melihatnya, dia seorang nenek bermuka hitam seperti iblis, bersama seorang muridnya yang cantik sekali akan tetapi kabarnya murid itu pun lihai bukan main. Selain itu, masih ada belasan orang jagoan yang mengawal dan membantu mereka."

"Ihhh, mengerikan sekali. Kapan pembakaran itu akan dilaksanakan?"

"Sekarang juga, setelah lewat senja ini, untung aku sudah bebas tugas, karena tugasku hanya menjaga sampai sore ini, lalu diganti oleh petugas-petugas dari kota raja itu... eh, ada apa?" Komandan itu terkejut karena tiba-tiba berubahlah sikap wanita cantik itu. Tadi kelihatan begitu lemah ketakutan dan menderita nyeri, akan tetapi kini wajah yang manis itu kelihatan keras dan pandang matanya berkilat.

Akan tetapi wanita cantik yang bukan lain adalah Sun Eng itu kini sudah meloncat turun dari pembaringan. Ketika komandan Ciok itu mengulur tangan hendak meraih, tiba-tiba Sun Eng menampar dengan tangan kirinya, dengan kecepatan seperti kilat menyambar. Komandan Ciok hanya sempat menjerit satu kali lantas roboh dengan kepala retak-retak dan tewas seketika!

Dengan jantung berdebar tegang penuh kegelisahan mendengar berita itu, Sun Eng lalu berlari secepatnya menuju ke penjara. Senja telah mendatang dan cuaca mulai gelap. Dia khawatir kalau-kalau datangnya terlambat, maka dia mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat.

Sementara itu, di luar dan di dalam penjara terjadi kesibukan-kesibukan ketika Kim Hong Liu-nio sendiri bersama Lee Siang menyusun pasukan untuk menjaga dan mengeroyok empat orang pendekar yang hendak dibunuh itu. Juga Hek-hiat Mo-li bersama tiga belas orang pembantunya telah siap di pintu depan. Lampu-lampu sengaja belum dipasang oleh para penjaga sehingga keadaan di sana mulai gelap dan remang-remang. Para penjaga telah diganti dengan tenaga-tenaga baru yang pilihan.

Di dalam kegelapan senja yang mulai menyelimuti bumi itu mendadak terdengar teriakan melengking, teriakan dari seorang wanita dengan suara yang dikeluarkan melalui tenaga khikang sehingga terdengar menembus cuaca remang-remang itu.

"Suhuuuu...! Suboooo...! Keluarlah cepat, penjara hendak dibakar! Suhu dan subo sudah terjebak oleh musuh!"

Dan dari pintu depan penjara itu, muncullah seorang wanita yang bukan lain adalah Sun Eng. Para penjaga menjadi gempar dan cepat mereka menerjang dan mengurung, akan tetapi dengan Siang-tok-swa, pasir beracun harum yang digenggamnya, Sun Eng segera menyambut mereka sehingga dua orang penjaga memekik lantas roboh menutupi muka mereka. Berbareng dengan itu, Sun Eng telah mengelebatkan pedangnya dan roboh pula dua orang penjaga lain.

Keadaan menjadi makin geger, dan kini para penjaga mengurung rapat, belasan batang senjata ditujukan ke arah bayangan wanita yang mengamuk itu. Namun Sun Eng tidak menjadi gentar, pedangnya digerakkan dengan dahsyat dan yang nampak hanya sinarnya saja bergulung-gulung. Akhirnya, empat orang pengeroyok kehilangan senjata mereka, ada yang patah, ada pula yang terlempar entah ke mana!

"Suhuuuu...! Suboooo...! Keluarlah sebelum terlambat!" kembali Sun Eng berteriak sambil mengamuk dan amukannya membuat para pengeroyoknya menjadi gentar juga. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio menjadi marah.

"Dari mana datangnya bocah yang bosan hidup?!" bentaknya dan dengan gerakan yang dahsyat dan cepat sekali murid Hek-hiat Mo-li ini telah meloncat dan menyerang Sun Eng dengan tangan kirinya. Sebelum tangan kiri mengenai sasaran, sudah menyambar hawa panas dan terdengar suara berkerincingnya gelang-gelang emas di pergelangan tangan itu.

Sun Eng terkejut menyaksikan serangan yang dia tahu sangat ampuh ini, maka cepat dia mengelebatkan pedangnya dan menangkis ke arah pergelangan tangan yang bergelang itu untuk membacoknya buntung.

"Trikkk...!"

Sun Eng terkejut bukan kepalang karena wanita cantik yang berpakaian indah itu berani menangkis pedangnya dengan tangan kosong dan pada saat tangan itu bertemu dengan pedangnya, mucrat bunga api dan telapak tangannya terasa panas! Tahulah dia bahwa dia menghadapi seorang lawan tangguh yang tangannya terlindung benda kebal, maka dia sudah memutar pedangnya dan mengirim serangan bertubi-tubi ke arah lawan yang lihai itu.

Namun, dengan lincah dan ringannya, Kim Hong Liu-nio mengelak dan kadang-kadang menangkis dengan tangannya yang terlindung oleh sarung tangan tipis itu.

"Suhuuu...! Subooo...! Lekas keluar...!"

Akan tetapi Sun Eng segera menahan teriakannya karena pada saat itu ada sinar merah menyambar ke arah matanya. Dia cepat-cepat mengelak mundur sambil mengelebatkan pedangnya, namun sinar merah itu tidak takut kepada pedangnya dan ternyata itu adalah sehelai sabuk merah yang kini langsung menotok ke arah lehernya. Dia terkejut, cepat miringkan tubuh, akan tetapi tetap saja pundaknya kena tertotok ujung sabuk yang biar pun kehilangan sasaran leher, namun masih amat kuat sehingga Sun Eng terhuyung ke belakang.

"Cepppp!"

Pada waktu itu, dari belakang menyambar tusukan tombak dan serangan yang dilakukan selagi tubuh Sun Eng terhuyung ini tidak mampu ditangkis atau ditolak oleh dara itu yang hanya mampu membuang diri ke samping sehingga tetap saja belakang pundak kirinya tertusuk tombak.

Darah mengucur keluar dan Sun Eng menahan rasa nyeri yang menyengat-nyengat, terus memutar pedang dan mengamuk. Akan tetapi sinar merah dari sabuk di tangan Kim Hong Liu-nio menahan semua gerakannya, membuatnya tidak berdaya dan kembali dia yang kini terdesak dan terkurung oleh para penjaga yang mendapat hati kembali melihat betapa Kim Hong Liu-nio dapat menguasai amukan wanita muda itu.

Betapa pun lihainya Sun Eng yang telah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, akan tetapi karena memang tingkatnya kalah tinggi oleh Kim Hong Liu-nio, apa lagi karena dia sudah terluka dan dikeroyok oleh banyak penjaga, akhirnya kembali gadis itu harus terluka oleh bacokan golok yang merobek celana berikut kulit paha kanannya, membuat gerakannya makin kacau dan pakaiannya penuh dengan darah. Akan tetapi, seperti singa betina dia mengamuk terus dan setiap ada kesempatan, tentu dia berteriak agar suhu dan subo-nya segera melarikan diri!

"Perempuan sial!" Kim Hong Liu-nio marah karena dia khawatir kalau-kalau empat orang tawanan itu benar-benar dapat meloloskan diri oleh teriakan-teriakan itu. Maka dia segera melengking nyaring dan tiba-tiba ada cahaya api meluncur ke arah dahi Sun Eng. Itulah senjata rahasia berupa hio menyala yang amat hebat.

Sun Eng terkejut dan membuang diri ke belakang, akan tetapi tiba-tiba kaki kirinya terlibat ujung sabuk merah dan di lain saat dia sudah roboh terjengkang karena sabuk itu ditarik oleh Kim Hong Liu-nio. Melihat robohnya gadis ini, dua orang penjaga menubruk dengan golok mereka dan Sun Eng sudah tak berdaya lagi untuk mengelak atau menangkis. Akan tetapi dia membuka mata lebar-lebar, menyambut maut dengan mata terbuka!

"Tranggg-tranggg...!"

Pandang mata Sun Eng silau akibat berpijarnya bunga api dan kedua orang penjaga itu bersama golok mereka terjengkang ke kanan kiri, lantas tubuhnya disambar orang yang memiliki tangan kiri kuat bukan main sehingga sekali tarik saja dia sudah bangkit berdiri kembali. Ketika dia melirik, ternyata yang menolongnya adalah seorang pemuda tampan yang bertubuh tegap dan berwajah gagah. Pemuda itu bukan lain adalah Lie Seng!

Seperti kita ketahui, Lie Seng juga selalu membayangi keadaan ibunya, ayahnya dan dua orang paman dan bibinya itu, dan dia selalu mengamati keadaan penjara di mana empat orang itu ditawan. Dia pun terheran-heran melihat kesibukan para penjaga, tidak tahu apa yang akan terjadi.

Ketika dia melihat ada wanita mengamuk dan dikeroyok, terutama pada waktu wanita itu berteriak-teriak menyebut suhu dan subo ke dalam, dia sama tidak mengerti dan tidak tahu siapa wanita itu, siapa pula yang disebut suhu dan subo. Tentu saja dia tidak pernah menduga bahwa yang disebut suhu dan subo oleh wanita cantik itu adalah paman dan bibinya. Juga dia tidak tahu bahwa ayah tiri dan ibu kandungnya tidak pernah mempunyai murid seperti ini, maka Lie Seng menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa.

Akan tetapi dia merasa kagum akan kegagahan wanita itu dan baru setelah dia melihat gerakan wanita itu, dia menjadi terkejut. Dia mengenal dasar gerakan Thai-kek Sin-kun dalam langkah-langkah wanita itu dan hal ini berarti bahwa wanita ini memang masih ada hubungan perguruan dengan keluarganya! Maka melihat wanita itu terluka dan terancam bahaya maut, dia lalu meloncat turun tangan dan menolongnya, juga ingin tahu apa yang dimaksudkan oleh wanita itu ketika berteriak-teriak ke dalam.

Melihat munculnya seorang pemuda gagah perkasa yang dengan sekali berkelebat dan sekali tangkis langsung merobohkan dua orang pembantunya, Kim Hong Liu-nio menjadi marah bukan main.

"Tarr-tarrr-tarrr!" Tiga kali sinar merah sabuknya menyambar, melakukan totokan ke tiga jalan darah maut.

Akan tetapi dengan tenangnya Lie Seng mengangkat lengan menangkis dan setiap kali ditangkis, sinar merah sabuk itu terpental, dan untuk yang terakhir kalinya hampir saja Lie Seng berhasil menangkap ujung sabuk, akan tetapi dengan sentakan halus ujung sabuk itu melejit dan terlepas lagi dari pegangan Lie Seng bagaikan seekor ular bernyawa saja! Keduanya menjadi terkejut dan maklum akan kelihaian lawan masing-masing.

"Terima kasih, aku berhutang nyawa padamu!" kata Sun Eng dengan halus dan wanita ini sudah bangkit lagi dengan pedang di tangan, menyambut serbuan tiga orang pengeroyok dari samping.

Lie Seng juga menggerakkan kaki dan tangan, merobohkan dua orang pengeroyok lain. Kedua orang muda ini segera dikurung dan dikeroyok, akan tetapi Lie Seng menyambut mereka dengan seenaknya dan masih sempat bertanya-tanya kepada wanita gagah yang ditolongnya itu.

"Siapa yang kau sebut suhu dan subo-mu?"

"Cia Bun Houw dan Yap In Hong!"
Lie Seng terkejut. Ternyata wanita muda ini adalah murid paman bibinya! Dia sungguh merasa terheran-heran, akan tetapi karena dia tidak pernah mendengar tentang riwayat paman dan bibinya yang telah menghilang selama belasan tahun, maka dia pun percaya akan hal ini.

"Apa artinya teriakanmu bahwa mereka terjebak dan tempat ini akan dibakar?"

"Memang mau dibakar. Lihat di sana itu mereka sudah mulai membakar. Celaka, lekas minta suhu dan subo keluar!" teriak Sun Eng.

Melihat ini, Lie Seng terkejut sekali. Benar saja, di sebelah kiri ruangan penjara di mana ibunya dan yang lain-lain dikurung itu mulai berkobar api yang amat besar, tanda bahwa api itu bukan sembarangan kebakaran, melainkan kebakaran yang memang sudah diatur dengan diberi bahan bakar dan minyak.

"Ibu...! Ayah...! Paman dan bibi...! Lekas keluar, ruangan itu dibakar orang!" Dia berteriak dan karena Lie Seng mengerahkan khikang-nya, maka suaranya terdengar amat nyaring.

Sekarang giliran Sun Eng yang kaget setengah mati mendengar bahwa pemuda ini masih keluarga dari empat orang pendekar yang ditawan, dan menyebut paman dan bibi kepada suhu dan subo-nya!

Sementara itu, di dalam ruangan penjara itu, Bun Houw dan In Hong sama sekali tidak mempedulikan teriakan-teriakan Sun Eng tadi. Bahkan ketika Yap Kun Liong menyatakan keheranan dan kecurigaannya, Bun Houw berkata, "Harap Liong-ko jangan menghiraukan anak durhaka itu."

Ketika di luar terdengar ribut-ribut, empat orang pendekar ini hanya mendengarkan dan karena memang mereka tidak ingin memberontak, maka mereka diam saja. Biar pun ada golongan yang hendak menolong mereka lolos, mereka tidak akan mau meloloskan diri karena sebagai orang-orang gagah mereka hendak memperlihatkan kepada kaisar bahwa mereka itu bukanlah pemberontak-pemberontak seperti yang difitnahkan orang terhadap mereka. Akan tetapi, sesudah mereka berempat mendengar suara Lie Seng itu, mereka terkejut sekali.

"Celaka, kita benar-benar telah terjebak. Jadi penangkapan ini benar-benar hanya tipuan belaka dari musuh-musuh yang menghendaki kematian kita!" kata Yap Kun Liong. "Hayo kita loloskan diri dan bantu Lie Seng yang agaknya terkepung!"

Mereka cepat mengerahkan sinkang dan karena keempatnya adalah pendekar-pendekar sakti yang mempunyai kepandaian tinggi, maka begitu mereka mengerahkan sinkang dan menggerakkan kedua tangan, belenggu-belenggu di tangan mereka itu lantas patah-patah semua sehingga terdengar suara pletak-pletok.

Yap Kun Liong sedikit membantu isterinya karena di antara mereka berempat, hanya Cia Giok Keng yang tidak begitu kuat sinkang-nya. Sesudah terbebas dari belenggu, mereka berempat lalu menerjang pintu ruji baja itu dengan pengerahan tenaga. Karena pintu itu kuat bukan main, setelah empat kali menerjangnya, barulah pintu itu jebol.

"Awas senjata gelap!" Kun Liong berteriak dan mereka berempat cepat mengelak sambil menangkis anak panah yang datang berhamburan seperti hujan.

Mereka meloncat keluar dan melihat serombongan orang yang dipimpin Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio. Wanita cantik ini ternyata telah bergabung dengan subo-nya untuk membantu subo-nya membunuh empat orang musuh besar itu!

Kini mengertilah empat orang pendekar itu mengapa mereka ditangkap. Kiranya semua itu adalah tipuan belaka dan di balik semua itu berdiri musuh besar mereka ini! Teringat mereka akan cerita dari mendiang Hwa-i Sin-kai dan mereka mengerti bahwa tentu fitnah ini dilaksanakan oleh Panglima Lee Siang yang tergila-gila kepada Kim Hong Liu-nio yang juga telah menjebak sampai tewasnya Tio Sun.

"Ah, kiranya engkau iblis betina yang mengatur semua ini!" In Hong berteriak marah ketika melihat musuh besarnya itu.

"Heh-heh-heh, senang sekali melihat kalian akan mampus semua di tanganku, heh-heh!" Hek-hiat Mo-li tertawa.

Kim Hong Liu-nio cepat mengeluarkan aba-aba dalam bahasa Mongol. Tiga belas orang Mongol itu berbaris rapi dan menghadang sambil memasang kuda-kuda, tangan mereka memegang golok besar dan perisai. Ada pun di belakang mereka masih berdiri puluhan orang prajurit yang dikerahkan oleh Panglima Lee untuk membantu kekasihnya.

Jelaslah bagi empat orang pendekar itu bahwa mereka tidak mungkin dapat lolos begitu saja dan jalan satu-satunya hanyalah membuka jalan berdarah. Di belakang mereka ada ruangan yang mulai terbakar, di depan mereka menjaga nenek iblis itu bersama muridnya dengan dibantu begitu banyak prajurit.

Kembali Kim Hong Liu-nio mengeluarkan aba-aba dan empat orang pendekar itu terpaksa harus bergerak cepat, mengelak dan menangkis sebab kembali datang hujan anak panah. Kun Liong selalu melindungi isterinya, sedangkan Bun Houw dan In Hong tidak khawatir karena dengan Thian-te Sin-ciang mereka memperoleh kekebalan sehingga kedua lengan mereka berani menangkis anak-anak panah itu.

Dan pada saat itu pula, Hek-hiat Mo-li, Kim Hong Liu-nio beserta tiga belas orang Mongol itu sudah menerjang dengan sangat hebatnya, menyerang empat orang pendekar yang tidak bersenjata itu. Maka terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian di mana empat orang pendekar itu mengamuk untuk menyelamatkan diri mereka.

Sementara itu, sesudah Kim Hong Liu-nio membantu gurunya untuk menghadapi empat orang musuh mereka yang amat lihai, pimpinan para prajurit penjaga yang mengeroyok Lie Seng dan Sun Eng diambil alih oleh panglima Lee Siang sendiri. Panglima ini berteriak marah,

"Kalian berani memberontak terhadap pasukan pemerintah? Hayo menyerahlah sebelum menerima hukuman berat!"

Akan tetapi Sun Eng yang juga marah sekali dan tidak mempedulikan luka-lukanya itu menerjangnya sambil berteriak, "Engkau hanya mempergunakan nama pemerintah untuk menipu dan mencelakakan orang!"

Pedang di tangan Sun Eng menusuk dengan cepat. Lee Siang cepat menangkis dengan pedangnya. Akan tetapi begitu pedangnya tertangkis, dengan putaran tangannya wanita yang sudah luka-luka itu dapat meneruskan pedang yang tertangkis itu menjadi sabetan yang menyerempet pundak Lee Siang.

"Ahhh!" Lee Siang berteriak kesakitan kemudian bersama empat orang pengawalnya dia menubruk ke depan.

Lie Seng hendak melindungi Sun Eng, namun dia sendiri sedang dikepung oleh banyak prajurit sehingga dia terpaksa mengamuk menggunakan kaki dan tangannya, melempar-lemparkan serta merobohkan banyak orang yang mengepungnya bagaikan serombongan semut.

Sebetulnya, tingkat kepandaian Sun Eng masih jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaian Lee Siang dan beberapa orang pengawalnya. Akan tetapi gadis ini sudah luka-luka dan banyak mengeluarkan darah, maka gerakannya menjadi lemah dan tenaganya juga telah banyak berkurang. Sesudah dia berhasil membunuh dua orang pengeroyok lagi, akhirnya dia terdesak hebat sekali.

Lie Seng juga terkepung ketat dan sibuk sekali menghadapi para pengeroyoknya. Melihat ini, Sun Eng kemudian berseru, "Taihiap, kau larilah cepat, biar aku mencegah mereka menghalangimu! Cepat sebelum terlambat!"

Sun Eng mengerahkan tenaga terakhir untuk membuka jalan mendekati Lie Seng, tanpa mempedulikan luka baru di pangkal lengan kiri yang mengucurkan banyak darah. Melihat keadaan gadis itu yang pakaiannya penuh berlepotan darah, bahkan dari luka-lukanya itu mengucur banyak darah dan mukanya pucat sekali, Lie Seng menjadi terkejut, kagum dan juga terharu.

"Kau menyuruh aku lari? Dan kau sendiri?" tanyanya sambil menendang roboh seorang pengeroyok.

"Aku...? Biarlah, aku girang sekali dapat membalas budimu dan budi suhu serta subo! Kau larilah... selamat jalan...!" Sun Eng berkata dan karena bicara ini maka dia menjadi kurang waspada.

"Nona, awas...!" Lie Seng berteriak akan tetapi terlambat, tusukan pedang dari Lee Siang itu mengenai punggung Sun Eng.

Gadis ini menggeliat miringkan tubuhnya, dan walau pun dengan jalan itu pedang lawan tidak menembus punggungnya, akan tetapi tetap saja punggungnya terluka parah dan dia roboh terguling.

"Keparat curang!" Lie Seng berteriak marah dan menjadi beringas, cepat menubruk ke depan dan melancarkan pukulan dengan tenaga Thian-te Sin-ciang ke arah Lee Siang.

Panglima ini mencoba untuk mengelak, akan tetapi dia kalah cepat sehingga pukulan itu menyambar pelipisnya. Terdengar suara keras karena kepala panglima ini retak-retak dan tubuhnya roboh ke atas tanah, tewas seketika!

Lie Seng menyambar tubuh Sun Eng dan mengamuk, membuka jalan berdarah. Ketika dia melihat betapa empat orang pendekar dari dalam penjara sudah menerjang keluar, hatinya lega dan dia pun segera meloncat, merobohkan setiap orang penghalang, sambil memondong tubuh Sun Eng yang pingsan dan berlumuran darah itu, terus melarikan diri meninggalkan tempat berbahaya itu. Dia merasa yakin bahwa orang-orang seperti ibunya, ayah tirinya, paman serta bibinya itu pasti akan sanggup meloloskan diri dari kepungan musuh.

Dugaan Lie Seng tadi memang tidak berlebihan. Tingkat ilmu kepandaian empat orang pendekar itu sudah tinggi sekali, terutama sekali Yap Kun Liong, Cia Bun Houw,dan Yap In Hong. Seorang demi seorang, ketiga belas pengawal Mongol yang diandalkan sebagai pembantu-pembantu Hek-hiat Mo-li sendiri bersama Kim Hong Liu-nio, terdesak mundur dan mundur terus, apa lagi para pengawal penjaga, setiap kali empat orang pendekat itu bergerak, tentu ada yang terjungkal!

Hal ini sama sekali tidak pernah dapat disangka oleh Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, yang sudah merasa yakin akan dapat membunuh empat orang itu. Dan suasana menjadi tambah geger ketika ruangan itu terbakar hebat. Akan tetapi, empat orang itu telah keluar dari ruangan dan kini mengamuk di depan penjara.

Terdengar jerit mengerikan dari mulut Kim Hong Liu-nio pada saat dia melihat kekasihnya telah menggeletak tewas dengan kepala pecah! Dia menubruk kekasihnya dan menangis, tidak mempedulikan lagi kepada empat orang musuhnya.

Mundurnya Kim Hong Liu-nio dari pertempuran ini membuat Hek-hiat Mo-li makin lemah dan akhirnya empat orang pendekar itu dapat meloloskan diri dari kepungan dan secepat kilat mereka lenyap dari tempat itu menggunakan ginkang dengan loncatan-loncatan jauh. Hek-hiat Mo-li menyumpah-nyumpah dan malam itu juga nenek ini pergi meninggalkan kota itu, kembali ke utara dengan wajah muram, diikuti oleh muridnya yang terus-menerus menangis di sepanjang jalan!

"Sudah, apa perlunya menangis lagi? Engkau kini sudah bukan perawan lagi, dan dia sudah mampus. Di dunia ini masih banyak laki-laki, mengapa kau tangisi seorang laki-laki yang sudah mampus?" Hek-hiat Mo-li membentak.

Bentakan ini malah membuat Kim Hong Liu-nio menangis makin sedih sehingga gurunya menjadi makin marah dan meninggalkannya. Kim Hong Liu-nio mengikuti gurunya dengan terisak-isak, di dalam hati bersumpah untuk mencari jalan membunuh keluarga pendekar yang telah menewaskan kekasihnya itu!

Dendam, sakit hati, kemarahan dan kebencian meracuni kehidupan manusia. Dari mana timbulnya dendam yang melahirkan kebencian ini? Dendam-mendendam yang sebetulnya hanya merupakan rangkaian akibat dari tindakan-tindakan kekerasan, permusuhan serta kebendan itu pasti selalu timbul karena pementingan diri sendiri, karena merasa bahwa kesenangan dirinya terganggu oleh orang atau golongan lain.

Jadi jelaslah bahwa di mana ada pengagungan si aku, di sana pastilah timbul tindakan kekerasan yang dianggap sebagai tindakan pembelaan si aku atau pengejaran cita-cita dan kesenangan untuk si aku. Mengejar kesenangan seperti yang dicita-citakan untuk diri sendiri tak dapat tidak tentu menimbulkan tindakan kekerasan terhadap siapa saja yang dianggap merintangi tercapainya kesenangan yang dicita-citakan itu. Dan semua cita-cita adalah bayangan kesenangan yang diharapkan akan diperoleh, baik kesenangan untuk diri sendiri atau untuk keluargaNya, kelompokNya, bangsaNya dan lain-lain yang semuanya hanya merupakan perluasan dan pembesaran dari pada si aku juga.

Dan bagaimana terjadinya si aku, baik dalam keadaan tipis mau pun tebal, dalam batin kita? Si aku diciptakan oleh pikiran yang menimbulkan pengalaman dan ingatan tentang yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan, yang enak dan tidak enak. Pikiran mengenang pengalaman-pengalaman itu, membayangkan semua itu sehingga timbullah keinginan untuk mengulang yang enak dan membuang yang tidak enak.

Begitu pikiran bekerja mengenangkan itu semua, si aku pun muncullah. Si aku sebagai pemikir, si aku sebagai yang ingin mengulang, si aku yang ingin menghindarkan yang tidak enak. Makin lama si aku ini makin menebal dan akhirnya manusia menjadi hamba dari nafsu-nafsunya sendiri yang selalu ingin menikmati yang dianggap menyenangkan dan menjauhi yang dianggap tidak menyenangkan. Dan di dalam pergulatan ini terjadilah konflik-konflik di dalam batin yang mencetus keluar menjadi konflik antara manusia karena masing-masing hendak memperebutkan kesenangan bagi dirinya sendiri, dan kalau perlu menyingkirkan orang lain yang menjadi penghalang, dengan kekerasan tentu saja!

Oleh karena kenyataan itu, maka timbullah pernyataan yang harus kita ajukan kepada diri kita sendiri, yaitu: Dapatkah kita terbebas dari pikiran yang selalu mengenangkan yang enak-enak dan yang tidak enak-enak sehingga tidak timbul si aku yang selalu mengejar-ngejar kesenangan dan karenanya menimbulkan konflik dan kekerasan? Pertanyaan ini penting sekali bagi kehidupan kita dan sudah selayaknya kalau diajukan oleh setiap orang manusia hidup kepada dirinya sendiri! Kalau sudah begitu, barulah hidup ini mempunyai arti, bukan hanya menjadi ajang kesengsaraan dan penderitaan yang timbul dari konfilk dan permusuhan setiap hari.


Melihat keadaan Sun Eng yang mandi darah, Lie Seng menjadi gelisah bukan main. Dia melarikan Sun Eng yang pingsan itu jauh meninggalkan Po-teng dan memasuki daerah pegunungan yang sunyi, karena khawatir kalau-kalau ada pasukan yang mengejarnya, padahal dia membutuhkan tempat sunyi untuk dapat menolong gadis yang penuh luka itu.

Fajar telah menyingsing ketika akhirnya dia menghentikan larinya dan dia berada di atas puncak bukit yang lengang, di padang rumput yang luas dengan pohon-pohon tua di sana sini. Sinar matahari pagi menyinari wajah cantik manis yang pucat itu.

Lie Seng cepat menurunkan tubuh itu ke atas tanah bertilamkan rumput hijau di bawah pohon besar, lalu memeriksa keadaan gadis itu. Tubuhnya penuh luka, pada punggung, pundak dan paha. Cepat Lie Seng menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan darah yang masih menetes-netes.

Kemudian dia pergi mencari sumber air yang bening, mengambil air dengan daun dan mencuci luka-luka yang parah itu, terutama di paha dan punggung. Untuk ini terpaksa dia merobek celana di bagian paha dan baju di punggung. Dia tidak lagi ingat bahwa matanya melihat kulit paha yang putih mulus dan kulit punggung yang amat halus, melainkan sibuk mencuci luka itu penuh perhatian.

Untung bahwa luka-luka itu diakibatkan oleh senjata yang tidak beracun, pikirnya. Dengan mencuci bagian-bagian yang terluka itu, tentu saja jari-jari tangannya harus menyentuh dan mengusap kulit halus mulus itu, namun hal ini sama sekali tidak disadari olehnya.

Memang demikianlah! Selama pikiran tidak mengenang dan membayangkan apa-apa, selama pikiran kosong tidak sibuk dengan ingatan-ingatan masa lalu, dengan bayangan-bayangan kenikmatan dan kesenangan, maka segala sesuatu adalah bersih dan wajar.

Sungguh pun kita melihat manusia dengan kelamin lain dalam keadaan telanjang bulat umpamanya, bila pikiran ini tidak diisi dengan bayangan-bayangan kotor, maka keadaan telanjang dari manusia lain itu sama sekali tidak menimbulkan apa-apa, seperti kalau kita melihat ketelanjangan seekor kucing saja. Akan tetapi, begitu pikiran kita terisi dengan bayangan-bayangan yang muncul dari kenangan, bayangan-bayangan yang kita anggap menyenangkan, mendatangkan nikmat, maka mulailah nafsu bangkit, baik itu merupakan nafsu birahi, nafsu amarah, dan segala macam nafsu lagi.

Jelaslah bahwa nafsu-nafsu itu diciptakan oleh pikiran yang mengenangkan segala yang enak-enak dan yang tidak enak, yang menyenangkan dan sebaliknya. Jadi pikiran yang mengingat-ingat inilah sumber dari segala konflik batin yang akhirnya pasti akan tercetus keluar dan menjadi konflik lahir antara manusia.


Sun Eng mengeluh lirih kemudian merintih. Kini barulah lega hati Lie Seng karena hal ini menandakan bahwa dia sudah berhasil menyelamatkan dara itu. Setelah menaruh obat bubuk pada luka-luka itu dan membalutnya, dia lalu mengangkat tubuh bagian atas dari Sun Eng dengan memangkunya dan memberinya minum air jernih.

"Aahhh...!" Kembali Sun Eng mengeluh setelah minum beberapa teguk air dan membuka matanya.

Melihat betapa dia dipangku oleh seorang pemuda tampan dan gagah, sepasang mata yang jeli itu terbelalak, akan tetapi dia segera teringat bahwa pemuda ini adalah pemuda perkasa yang telah membantunya menghadapi pengeroyokan pasukan saat dia berusaha menyelamatkan suhu dan subo-nya. Sungguh aneh sekali. Mengapa sekarang pemuda ini memangkunya dan memandangnya demikian mesra?

"Apakah... apakah aku sudah mati?" dia bertanya dengan suara berbisik karena merasa tegang dan takut. Membayangkan bahwa dia sudah mati dalam usia semuda itu, hatinya merasa ngeri.

Semenjak tadi, sesudah dia berhasil mengobati dara itu sehingga siuman, Lie Seng mulai memperhatikan wajah gadis yang dipangkunya itu dan dia terpesona. Bagi dia, wajah itu sedemikian cantik jelitanya, sedemikian lembut hingga sekaligus mendatangkan perasaan suka dan iba di dalam hatinya.

Rasanya belum pernah dia berjumpa dengan seorang gadis seperti ini, apa lagi tadi dia pun melihat betapa gadis ini telah berusaha menyelamatkan keluarganya dengan taruhan nyawa. Hal ini saja sudah membuat dia merasa herhutang budi, kagum dan suka.

Dia seperti tenggelam ketika memandangi wajah dari gadis yang dirangkunya itu, maka ketika melihat mata dan bibir yang manis itu mengajukan pertanyaan seperti itu, dia pun tersenyum. Hatinya girang karena dia yakin bahwa gadis itu akan selamat.

"Jangan khawatir nona. Engkau sudah terhindar dari bahaya dan luka-lukamu tentu akan sembuh."

"Luka-luka...?" Sun Eng seperti baru teringat dan merasa terkejut.

Tadi dia tidak merasa apa-apa, hanya lemas dan terasa demikian nikmat rebah di atas pangkuan pemuda itu yang merangkul pundak dan menyangga tubuhnya. Kini, diingatkan akan luka-luka, tiba-tiba saja dia tersentak dan ingin duduk, akan tetapi seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, terutama sekali punggungnya.

"Aduhhhh... punggungku..." Dia menggeliat.

Lie Seng cepat membantunya duduk. "Maaf, aku... aku lupa dan menyentuh punggungmu yang terluka. Sebaiknya engkau duduk di atas rumput ini. Nah, begitu lebih enak, bukan? Engkau menderita banyak luka, nona, terutama yang agak parah adalah luka-luka pada paha, pundak dan punggung."

Sun Eng meraba paha dan pundaknya, melihat betapa pakaiannya di bagian luka-luka itu robek dan lukanya telah diobati dan dibalut. Dia mengangkat muka memandang pemuda yang duduk di depannya itu dan mendadak wajahnya berubah merah sekali, jantungnya berdebar tegang.

"Kau... kau yang mengobati luka-lukaku...?" tanyanya dan kedua matanya memandang penuh selidik.

Lie Seng mengangguk. "Bisa berbahaya kalau tidak cepat dicuci dan diobati. Maafkan aku yang telah lancang..."

"Maafkan? Ahhh, engkau sudah menolongku, menyelamatkan nyawaku, mengobatiku dan masih minta maaf? Engkau tentu seorang gagah perkasa yang sakti maka engkau dapat menyelamatkan aku dari kepungan begitu banyak lawan tangguh. Taihiap, aku berhutang nyawa padamu. Siapakah engkau?"

"Aku she Lie, bernama Seng. Engkau tak perlu bersikap sungkan padaku karena menurut pengakuanmu, engkau adalah murid dari Paman Cia Bun Houw, sedangkan dia adalah pamanku, karena dia adik kandung ibuku yang juga ikut tertawan bersama dengan paman dan bibi. Maka, kalau engkau murid mereka, berarti kita masih ada hubungan dan bukan orang lain."

"Ahhh...!" Sun Eng terbelalak dan wajahnya agak berubah, tidak lagi merah seperti tadi, melainkan agak kepucatan.

"Mengapa? Apakah luka-luka itu amat menyiksamu...?" Lie Seng mendekat dan pandang matanya penuh iba.

Melihat ini, Sun Eng menggelengkan kepalanya, menunduk dan memejamkan matanya, berusaha mengusir perasaan nyeri yang menikam hatinya. Teringat dia betapa suhu dan subo-nya amat membencinya, bahkan tidak sudi ketika dia berusaha menolong mereka.

Dan pemuda perkasa yang sudah menyelamatkan nyawanya ini, adalah keponakan dari suhu-nya! Dan hubungan antara dia dengan kedua gurunya telah putus, kelak pemuda ini tentu akan mendengar tentang dia, dan suhu serta subo-nya tentu akan bercerita banyak tentang dia!

Hal ini mendatangkan rasa nyeri di jantungnya, serasa tertusuk pedang berkarat. Dia tak akan ada harganya lagi dalam pandang mata pemuda ini. Pandang mata yang sekarang demikian penuh dengan kehalusan, iba dan mesra, tentu akan berubah menjadi marah, jijik dan benci.
Selanjutnya,

Pendekar Lembah Naga Jilid 25

Pendekar Lembah Naga Jilid 25
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
DEMIKIANLAH, pada suatu malam, ketika mereka menaruh perhatian, mereka mendengar jendela kamar murid mereka terbuka perlahan kemudian mereka melihat berkelebatnya bayangan murid mereka itu keluar meninggalkan kamarnya, lalu meninggalkan rumah itu.

In Hong dan Bun Houw langsung membayangi dari jauh dan dengan penuh keheranan mereka melihat murid mereka itu memasuki sebuah hutan kecil di pinggir kota. Ketika tiba di padang rumput yang diterangi bulan purnama, di situ mereka melihat seorang laki-laki telah menanti kedatangan Sun Eng dan begitu mereka bertemu, keduanya saling rangkul dan saling berciuman dengan penuh gelora nafsu!

"Ah, kau datang juga... betapa aku sudah khawatir kau tidak dapat datang," terdengar pria itu berkata dan dengan hati mendongkol sekali Bun Houw dan In Hong mengenal bahwa pria itu bukan lain adalah Auw-kongcu!

"Aku tentu datang, kongcu, aku pun rindu sekali padamu."

"Ahhh, Eng-moi, engkau memang manis, sayang," kata Auw-kongcu.

Kini sepasang pendekar itu memandang dengan mata terbelatak ketika mereka melihat betapa murid mereka mandah saja dirangkul dan direbahkan di atas rumput, lalu digumuli pemuda itu dan bahkan tertawa cekikikan pada saat tangan pemuda itu meraba-raba lalu mulai membukai pakaiannya!

"Keparat!" In Hong memaki dan dia telah meloncat ke depan, tubuhnya melayang seperti seekor burung garuda menyambar dan di lain saat tubuh Aw-kongcu sudah diangkat dan dibantingnya, bagaikan membanting seekor anjing saja. Auw-kongcu berteriak kaget dan kesakitan.

"Anjing hina-dina!" kembali In Hong membentak ketika melihat muridnya dengan pakaian setengah terbuka itu menatapnya dengan mata terbelalak. "Manusia she Auw keparat, engkau memang sudah layak dibunuh!"

Akan tetapi tiba-tiba Sun Eng menubruk dan dara ini sudah berdiri menghadang subo-nya melindungi tubuh Aw-kongcu yang sudah merangkak bangun dengan muka ketakutan itu. Dengan muka merah sekali karena malu, akan tetapi sepasang matanya bersinar penuh keheranian Sun Eng menghadapi subo dan suhu-nya, lalu berkata dengan suara lantang.

"Subo tidak berhak membunuhnya! Subo tidak berhak memukulnya. Apakah kesalahan Ang-kongcu terhadap subo maka subo menyerangnya?"

Hampir In Hong tidak percaya mendengar pertanyaan itu. "Tidak berhak...? Dan dia... dia dan kau..."

"Memang aku telah menyerahkan diriku kepadanya! Aku telah menjadi... isterinya. Malah sudah lima kali aku menyerahkan diriku kepada laki-laki yang kucinta. Apa hubungannya ini dengan subo?" teriak Sun Eng menantang.

In Hong merasa mukanya seperti ditampar oleh tangan yang tak nampak, juga Bun Houw mengeluarkan seruan tertahan. Dara yang sejak kecil mereka pelihara, mereka didik dan mereka sayang itu kini berdiri tegak, menentang mereka bahkan berbicara dengan kasar, ber-aku dan tidak lagi menyebut teecu (murid) untuk diri sendiri!

"Sun Eng! Kau... kau...!" Saking marahnya, In Hong tak dapat melanjutkan kata-katanya, dan tangannya menyambar, mengirim pukulan maut ke arah kepala muridnya itu.

"Plakkk!" Tangan Bun Houw menahan lengannya.

"Sabarlah, Hong-moi, tak perlu kita menggunakan kekerasan."

In Hong terengah-engah saking marahnya.

"Suhu dan subo harus mengerti bahwa kami telah saling mencinta. Aku rela menyerahkan diri dan kehormatanku kepada orang yang kucinta, tapi mengapa suhu dan subo hendak menghalangi kami? Bahkan suhu dan subo sudah menolak pinangannya. Apakah suhu dan subo hendak mengulangi sikap dan perbuatan ayah suhu yang menolak dan tidak menyetujui perjodohan antara suhu dan subo yang saling mencinta?"

Ucapan-ucapan itu seperti ujung-ujung pedang berkarat yang menusuk hati sepasang pendekar itu. Wajah mereka menjadi pucat dan sejenak mereka tak mampu berkata-kata.

"Perbandinganmu itu tidak tepat, Sun Eng!" Bun Houw menahan kemarahannya. "Kalau engkau memilih pemuda yang tepat, kami tentu tidak akan mencampuri dan akan setuju saja. Akan tetapi, pilihanmu keliru. Yang kau pllih adalah pemuda yang berwatak busuk, seorang pemuda pemogoran, mata keranjang dan..."

"Suhu, selera orang memang tidak sama. Suhu mencinta subo maka tentu menganggap subo wanita yang paling baik di dunia ini, akan tetapi bagaimana pandangan ayah suhu yang tidak menyetujui subo menjadi isteri suhu? Tentu berbeda antara selera suhu dan ayah suhu, seperti juga selera antara aku dan suhu juga berbeda. Bagiku, Auw-kongcu adalah pria yang paling baik di dunia." Mendengar ini, sambil meringis menahan takut dan kaget, pemuda itu menggandeng tangan Sun Eng yang tersenyum kepadanya.

"Hemmm, pilihanmu yang kau lakukan dengan mata buta itu pun bukan soal yang terlalu berat, akan tetapi engkau telah menyerahkan kehormatan diri di luar pernikahan sah, apa hal itu patut dilakukan seorang gadis yang mengenal susila?" tanya In Hong dengan sepasang mata bersinar-sinar.

"Subo, bila aku menyerahkan kehormatan diriku kepada orang yang kucinta, itu tandanya aku cinta kepadanya! Auw-kongcu menghendaki bukti dari cintaku, dan bukti yang paling utama adalah penyerahan diri dan kehormatan. Maka aku menyerahkan, karena memang aku cinta kepadanya. Kami saling mencinta, maka apa lagi halangannya bagi kami untuk bermain cinta?"

"Bodoh! Orang semacam dia ini mana bisa dipercaya? Engkau akan disia-siakan setelah engkau dinodainya, akan dibuangnya setelah habis manis dan tinggal sepahnya. Butakah engkau tidak melihat bahaya itu?" bentak In Hong.

"Memang pendirian subo demikian, maka sampai kini pun subo tidak rela menyerahkan diri kepada suhu. Itu tandanya subo kurang mencinta suhu. Akan tetapi aku mencinta dan percaya kepada Auw-koko..., koko, bukankah engkau tidak akan pernah menyia-nyiakan diriku, bukan?"

Auw-kongcu merangkul. "Tentu saja tidak, sayang, aku bersumpah..."

Sungguh kasihan sekali Sun Eng. Dara remaja yang telah dibutakan oleh nafsunya sendiri itu dengan mudah tunduk dan menyerah, percaya akan bujukan manis seorang pria. Dia tidak tahu bahwa pria semacam Auw-kongcu ini hanya mengutamakan pemuasan birahi belaka.

Bagi pria macam ini, seperti kebanyakan pria di dunia, cinta adalah hubungan kelamin, cinta adalah pemuasan nafsu birahi! Jadi bagi mereka ini, bukti cinta adalah penyerahan diri seorang gadis kepadanya! Kalau tidak mau menyerahkan diri, berarti tidak cinta!

Betapa banyaknya gadis-gadis yang mau menyerahkan diri sebelum resmi menjadi isteri, sehingga mengandung dan membawa akibat-akibat yang amat menyedihkan. Tentu saja ada pula pria yang bertanggung jawab, tetapi hal ini tidak banyak dan lebih banyak yang melarikan atau menjauhkan diri karena memang cintanya hanya terletak pada pemuasan nafstu birahi belaka. Dan gadis-gadis yang dungu itu tidak mau membuka mata melihat kenyataan bahwa dalam hubungan di luar nikah ini, yang terancam adalah fihak wanita. Terancam keadaan jasmani dan keadaan rohaninya, terancam lahir batinnya. Tentu saja hal ini ada hubungannya dengan kebudayaan masyarakat setempat.

Karena itu, betapa pentingnya untuk mempelajari dengan sesungguhnya apa yang oleh kita dinamakan cinta itu! Apakah itu yang dinamakan cinta kalau cinta hanya mengejar pemuasan nafsu birahi belaka,? Dan yang amat menyedihkan, betapa pun kita selubungi dengan berbagai istilah muluk, namun pada dasarnya banyak di antara kita, juga para wanita, yang mempunyai anggapan bahwa hubungan kelamin adalah tanda cinta! Itu saja!

Ini bukanlah berarti bahwa kita harus menentang hubungan kelamin, bukan berarti kita menganggap bahwa cinta menolak hubungan kelamin. Sama sekali bukan!

Kita TIDAK BERPENDAPAT APA-APA, hanya mengajak kita semua untuk menyelami, untuk menyelidiki secara mendalam akan apa yang dinamakan cinta oleh kita semua itu. Cinta kasih tidak bersifat merusak, baik merusak badan mau pun batin. Maka sesudah melakukan hubungan badan lalu meninggalkannya dan merusak batinnya, jelas bahwa di situ sama sekali tidak terkandung cinta kasih, dan sepenuhnya hanya terisi oleh nafsu birahi belaka. Mengapa orang-orang muda buta terhadap hal yang gamblang ini?


Demikian pula halnya dengan Sun Eng. Gadis ini percaya sepenuhnya akan bujuk rayu Auw-kongcu, didorong oleh rangsangan serta dorongan nafsu birahinya sendiri, kemudian menyerahkan diri karena Auw-kongcu menuntut penyerahan diri sebagai bukti cintanya.

Bun Houw dan In Hong merasa sedih bukan main, sedih dan marah. "Sun Eng, engkau kelak akan menyesal! Bedebah ini menipumu, biar kubunuh dia!"

"Jangan subo bergerak! Jika subo hendak membunuhnya, bunuhlah dulu aku! Dan kalau subo membunuh kami berdua, itu hanya berarti bahwa subo merasa iri hati terhadap kami!" kata Sun Eng.

Sampai puyeng rasa kepala In Hong mendengar kalimat terakhir itu. Dia membelalakkan mata, wajahnya berubah beringas dan Bun Houw melihat sinar maut di dalam pandang mata kekasihnya. Cepat dia merangkulnya dan dengan marah dia berkata,

"Sun Eng, mulai saat ini, detik ini, engkau bukan murid kami lagi dan kami juga bukan guru-gurumu lagi! Biarlah kelak akan kupertanggung jawabkan hal ini dengan roh ayahmu yang dahulu menitipkan engkau kepadaku. Mulai saat ini juga segala perbuatanmu adalah menjadi tanggung jawabmu sendiri. Marilah, Hong-moi!" kata Bun Houw dan dia setengah memaksa kekasihnya meninggalkan hutan itu.

Sesudah tiba di luar hutan, tanpa tertahankan lagi In Hong menangis tersedu-sedu! Bun Houw merangkulnya, dan In Hong lalu menumpahkan semua rasa duka, penasaran dan marah itu melalui air matanya yang membasahi baju di dada Bun Houw.

Bun Houw merangkul sambil mengelus-elus rambut kepala kekasihnya menguras semua perasaannya. Sesudah tangis itu reda, In Hong mengangkat mukanya yang kini menjadi pucat dan basah air mata, memandang wajah Bun Houw.

"Houw-ko, aku tahu betapa sedih dan kecewa hatimu... ahhh, Houw-koko yang malang, betapa buruk nasib kita..."

Bun Houw menunduk. Dalam keadaan berduka yang membutuhkan hiburan itu mereka menemukan hiburan dalam diri masing-masing, dan tanpa mereka sengaja, kedua mulut itu bertemu dalam ciuman yang amat mendalam, penuh kemesraan, penuh permohonan untuk dihibur, untuk dilindungi, dan juga penuh kerinduan yang ditahan-tahan.

Malam itu bulan purnama. Karena memang keduanya telah bertahun-tahun menanggung rindu dendam yang sangat mendalam, yang mereka jaga dengan segala kekuatan batin mereka, sekarang setelah mereka berpelukan dan berciuman di dalam cahaya bulan, dan mungkin pula karena dipengaruhi peristiwa tadi, melihat murid mereka dan kekasihnya saling menumpahkan rasa cinta mereka melalui hubungan badan, maka pelukan mereka menjadi makin ketat dan ciuman mereka makin hangat.

Akhirnya sambil terengah-engah In Hong melepaskan ciuman dan pelukannya, lalu terisak melarikan diri pulang ke rumah, diikuti oleh Bun Houw yang napasnya juga agak terengah dan seluruh tubuhnya panas dingin.

Mereka tiba di dalam rumah, di ruangan dalam. Pintu dua buah kamar masing-masing masih terbuka. Mereka saling pandang, lalu seperti ada daya tarik luar biasa, keduanya saling tubruk, saling rangkul dan saling berciuman lagi. Akhirnya, Bun Houw memondong kekasihnya itu melangkah menuju ke pintu kamarnya.

Akan tetapi ketika tiba di depan pintunya, tiba-tiba In Hong meronta, melepaskan diri dan melangkah mundur. Kembali mereka saling berpandangan dan dari pandang mata mereka itu terpancar suara hati yang lebih jelas dari pada suara melalui kata-kata. Bun Houw menatap wajah yang cantik itu, melihat sinar mata kekasihnya yang harap-harap cemas dan bingung. Dia sadar lalu menunduk dan pada saat itu keduanya sudah mengeluarkan kata-kata yang sama dalam saat yang sama pula.

“Maafkan aku..."

"Maafkan aku..."

Keduanya saling pandang lagi, merasa lega sesudah saling minta maaf, kemudian Bun Houw memegang kedua pundak kekasihnya, memandang dengan tatapan penuh kasih sayang, lalu berbisik,

"Sudah terlalu lama kita menanggung derita... bagaimana kalau kita... eh, menengok ayah di Cin-ling-san...?" Tentu saja dengan ucapan ini Bun Houw membayangkan harapannya bahwa ayahnya sekarang sudah tidak marah lagi dan akan merestui perjodohan mereka setelah lewat sepuluh tahun lebih. Juga dia sudah merasa rindu kepada ibunya.

Akan tetapi In Hong mengerutkan alisnya. "Koko, selama ini, biar pun kita menanggung rindu dan tertekan derita batin, namun kita telah kuat bertahan. Kalau... kalau seandainya kita ke Cin-ling-san hanya untuk mendengar ayahmu masih menentang kita, kehancuran hati yang lebih hebat tentu akan kita derita dan belum tentu kita kuat bertahan seperti sekarang. Kenapa tidak menanti saatnya yang baik dan kita menyerahkan diri saja pada kehendak Tuhan?"

Bun Houw maklum betapa berat rasa hati kekasihnya untuk menghadap ayah bundanya setelah ditolak sebagai mantu! Dia hanya mengangguk, menarik napas, mencium dahi In Hong, kemudian membalikkan tubuh dan memasuki kamarnya, menutupkan daun pintu kamarnya, diikuti oleh pandang mata In Hong.

Wanita ini berlinang air mata dan hatinya merasa kasihan sekali. Betapa besar keinginan hatinya untuk menghibur hati Bun Houw, untuk melayaninya, untuk menyenangkannya, untuk menyerahkan dirinya!

Tiba-tiba dia teringat kepada Sun Eng dan dengan cepat dia pun memasuki kamarnya, merasa ngeri terhadap bayangan pikirannya sendiri karena kini dia dapat merasakan apa yang diperbuat oleh Sun Eng di dalam hutan tadi! Namun, dia mengerti benar bahwa hal itu adalah tidak benar, oleh karena itu, sampai bagaimana pun dia tidak akan melakukan apa yang diperbuat oleh Sun Eng!

Beberapa bulan semenjak peristiwa di dalam hutan itu yang mengakibatkan Sun Eng tak pernah kembali lagi ke rumah kedua orang gurunya, meninggalkan semua barang serta pakaiannya sebab kekasihnya yang kaya raya itu membelikan sebanyaknya pakaian baru untuknya, Bun Houw dan In Hong mendengar berita mengejutkan.

Mereka mendengar bahwa Auw-kongcu kedapatan tewas di dalam hutan di mana dia dahulu mengadakan pertemuan dengan Sun Eng dan menurut berita itu, pemuda Auw ini tewas dalam keadaan yang sangat mengerikan karena leher serta mukanya berlubang-lubang, berwarna kehijauan dan berbau wangi.

Tentu saja suami isteri ini terkejut bukan main karena luka-luka di leher dan muka seperti itu hanya dapat diakibatkan oleh senjata rahasia Siang-tok-swa (Pasir Beracun Wangi), yaitu senjata rahasia dari In Hong yang sudah diajarkan pula kepada Sun Eng! Mereka dapat menduga bahwa tentu Sun Eng yang sudah membunuh Auw-kongcu itu. Mereka lalu menyelidiki dan tahulah mereka bahwa memang Sun Eng yang membunuh pemuda itu karena mereka mendengar keterangan bahwa Auw-kongcu tidak mau mengawini gadis itu.

Bun Houw dan In Hong hanya dapat merasa berduka dan kasihan kepada murid mereka itu, akan tetapi di samping perasaan duka dan kasihan, terdapat perasaan marah yang besar terhadap murid yang dengan perbuatannya berarti juga menodakan nama mereka yang menjadi gurunya. Biar pun mereka berdua sudah tidak mengakuinya sebagai murid, namun baru penggunaan Siang-tok-swa ini saja sudah merupakan bukti langsung bahwa gadis itu adalah murid mereka.

Apa lagi ketika mereka mendengar berita bahwa kini setelah terlepas dari Auw-kongcu, Sun Eng bergaul dengan segala macam pemuda bangsawan mata keranjang yang kaya raya dan hidup berfoya-foya, terkenal sebagai seorang gadis yang mempunyai banyak pacar, hati sepasang pendekar ini menjadi semakin marah. Mereka memutuskan untuk tidak mau memusingkan lagi soal Sun Eng dan mencoba untuk melupakan bekas murid itu dengan tak pernah membicarakannya satu sama lain dan juga mengambil keputusan untuk tidak menceritakan tentang diri gadis itu kepada siapa pun juga.

Demikianlah, ketika Sun Eng tiba-tiba muncul di waktu sepasang pendekar ini bersama sepasang pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berada dalam penjara, dan gadis itu hendak menolong mereka, tentu saja Bun Houw dan In Hong menjadi marah lantas mengusir bekas murid itu. Dan peristiwa itu tentu saja memaksa mereka berdua untuk menceritakan tentang diri bekas murid itu kepada Yap Kun Liong dan isterinya.

"Tidak disangka perempuan hina itu muncul di sini, sungguh hanya untuk membikin kami berdua merasa malu dan penasaran!" kata In Hong dengan gemas, menutup penuturan Bun Houw yang kini telah menjadi suaminya.

Yap Kun Liong mendengarkan penuturan itu dan mengerutkan alisnya, berulang kali dia menarik napas panjang. "Ahh, anak itu patut dikasihani..."

"Tapi, Liong-ko, dia tak berakhlak, tak tahu malu, merusak nama kami!" In Hong berkata marah.

"Itulah, kalian hanya mengingat nama kalian saja, mengingat kepentingan kalian sendiri dan tidak pernah mengingat kebutuhan anak itu. Memang harus diakui bahwa anak itu lemah menghadapi nafsunya sendiri, akan tetapi jahatkah hal itu? Ataukah hal itu justru merupakan hal yang patut dikasihani, hal yang tidak terlepas dari pada pendidikan dan lingkungan? Kalian masih terlalu muda untuk mendidik, mungkin juga dia terlalu dimanja. Dia tidak jahat, buktinya, biar pun kalian telah membencinya, dia masih ingat budi, masih berani menempuh bahaya untuk menolong kalian. Hal ini saja membuktikan bahwa anak itu bukan orang yang tak ingat budi, bukan orang yang jahat. Dia hanya menjadi korban salah didik, salah asuhan sungguh pun kalian berdua tidak insyaf akan kesalahan kalian yang tidak disengaja."

Mendengar ini, In Hong dan Bun Houw tidak membantah lagi karena mereka juga dapat melihat kebenaran dalam ucapan Yap Kun Liong itu. Akan tetapi tentu saja In Hong tidak dapat menerima kesalahannya secara rela, maka secara diam-diam dia masih penasaran dan masih belum lenyap rasa bencinya kepada Sun Eng.

Sementara itu, di dalam gedung tempat tinggal Ciong-taijin, jaksa kota Po-teng di mana Ma-ciangkun bermalam, yaitu pembesar yang menjadi sahabat Lee-ciangkun, yang sudah membantu Ma Kit Su dalam menjaga para tahanan itu, datang beberapa orang tamu. Kedatangan mereka itu secara rahasia, tidak diketahui orang lain kecuali tuan rumah yang menyambut mereka dengan penuh hormat.

Tamu ini adalah Lee Siang atau Lee-ciangkun dari kota raja, Kim Hong Liu-nio, dan nenek Hek-hiat Mo-li. Ciong-taijin sendiri sampai merasa ngeri dan seram ketika dia berjumpa dengan nenek muka hitam yang sangat tua itu, dan memandang dengan penuh curiga kepada nenek itu, kemudian memandang dengan sinar mata penuh tanda tanya kepada sahabatnya dari kota raja itu.

Di samping ketiga orang ini, masih ada belasan orang tinggi besar, dan mereka ini adalah orang-orang yang menjadi pengikut Hek-hiat Mo-li, yang datang dari utara dan merupakan jagoan-jagoan dari utara yang oleh Raja Sabutai diberikan kepada gurunya supaya dapat membantu gurunya menghadapi musuh-musuhnya. Belasan orang ini diterima oleh para pembantu Ciong-taijin di tempat tersendiri dan dijamu oleh mereka.

Bagaimanakah Hek-hiat Mo-li bisa muncul di Po-teng? Seperti kita ketahui, penangkapan atas diri keempat orang pendekar itu adalah pelaksanaan siasat yang dilakukan oleh Lee Siang yang berdaya upaya untuk menyelamatkan kekasihnya dari ancaman hukuman mati oleh guru kekasihnya itu, yaitu waktu tiga bulan yang diberikan kepada Kim Hong Liu-nio untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng, hidup atau mati.

Maka setelah mereka mendengar berita bahwa siasat itu telah dilaksanakan dengan hasil baik, Kim Hong Liu-nio cepat menghadap gurunya dan melaporkan bahwa empat orang musuh besar itu telah ditawan dan kini sedang menuju ke kota raja.

"Mengingat lihainya mereka, sebaiknya kalau subo sendiri yang turun tangan membunuh mereka yang sudah ditawan dalam kerangkeng dan sedang dikawal menuju ke kota raja," kata Kim Hong Liu-nio.

Nenek itu terkekeh girang. "Bagus, begitu baru engkau muridku yang baik!"

Raja Sabutai juga merasa girang dan raja ini kemudian memilih tiga belas orang jagoan di antara para pengawal pribadinya dan memerintahkan mereka mengawal serta membantu gurunya yang hendak menewaskan musuh-musuh besar yang lihai itu.

Dengan cepat mereka pun berangkat menjemput Lee-ciangkun, kemudian bersama-sama menuju ke selatan untuk menyambut tawanan itu. Kini kebetulan mereka bertemu dengan rombongan tawanan yang sedang berhenti di Po-teng, karena itu Lee Siang lalu langsung membawa rombongannya itu ke gedung Ciong-taijin. Mereka berempat lalu mengadakan perundingan rahasia.

"Ciong-taijin, empat orang tawanan itu adalah orang-orang yang amat lihai dan berbahaya sekali. Sri Baginda sendiri sudah memberi perintah rahasia kepadaku bahwa mereka itu harus dapat dibunuh secepat mungkin, karena kalau mereka sampai lolos, mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin pemberontak yang amat membahayakan keamanan negara. Mengingat akan lihainya mereka, maka kami menunjuk locianpwe ini untuk melaksanakan perintah rahasia kaisar itu, dibantu oleh murid beliau ini." Dia memperkenalkan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio kepada Jaksa Ciong.

Oleh karena menganggap bahwa nenek dan muridnya yang cantik itu adalah pelaksana-pelaksana dari perintah rahasia kaisar, maka tentu saja Ciong-taijin memandang kepada mereka dengan penuh hormat dan juga takut karena memang wajah dan sikap nenek itu amat menakutkan.

Sambil duduk di atas bangku dengan tegak dan kedua lengannya disilangkan di depan dada, mukanya seperti topeng yang sama sekali tidak pernah bergerak, nenek itu tanpa memandang kepada Ciong-taijin berkata-kata dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh pembesar itu. Setelah berkata-kata agak lama, nenek itu diam dan muridnya yang cantik lalu berkata sambil memandang kepada tuan rumah.

"Ciong-taijin, guruku baru berkata bahwa untuk melaksanakan perintah kaisar membunuh empat orang itu tidaklah begitu mudah kalau tidak memperoleh bantuan taijin. Maka subo mengusulkan untuk membakar penjara di mana empat orang itu terkurung. Hal ini untuk mencegah agar mereka jangan sampai lolos, karena kalau sampal lolos, tentu kaisar akan marah dan taijin juga ikut bertanggung jawab."

Mendengar ini, wajah pembesar itu lantas berubah pucat dan keringat dingin membasahi lehernya. "Akan tetapi... membakar penjara...? Lalu... bagaimana dengan para tahanan yang lain? Tentu akan jatuh korban, mereka akan terbakar hidup-hidup!"

Agaknya untuk mendengarkan omongan pembesar itu, Hek-hiat Mo-li tidak memerlukan terjemahan muridnya. Memang sesungguhnya dia juga pandai bicara dalam bahasa Han, akan tetapi dasar wataknya agaknya aneh, dia terlalu memandang rendah terhadap para pembesar sehingga tidak mau bicara secara langsung kepada pembesar Ciong itu. Kini mendengar ucapan Ciong-taijin, dia cepat bicara dalam bahasanya sendiri yang kemudian disalin pula oleh muridnya.

"Menurut subo, tidak mengapa jika sampai jatuh beberapa orang korban karena bukankah mereka itu orang-orang berdosa yang layak mati? Juga, yang dibakar hanyalah sekeliling ruangan di mana keempat orang tahanan itu berada, jadi tidak akan membakar seluruh penjara, karena itu, andai kata ada orang tahanan yang ikut tewas, kami rasa tidak akan begitu banyak jumlahnya."

Akhirnya Ciong-taijin terpaksa menyetujui juga dan menyerahkan semua pelaksanaannya kepada Lee-ciangkun.

"Jangan khawatir, Ciong-taijin, saya yang bertanggung jawab akal hal ini!" kata Lee Siang dengan girang, karena kini terbuka harapan besar baginya untuk dapat memiliki Kim Hong Liu-nio secara resmi dan keselamatan kekasihnya itu tidak akan terancam lagi.

Siang hari itu juga mereka sudah melakukan persiapan. Tanpa diketahui orang, secara rahasia, ruangan penjara di mana empat orang pendekar itu dikurung ditimbuni kayu-kayu dan bahan bakar lainnya, dan dari ruangan itu hanya ada satu jurusan saja terbuka, yaitu di pintu yang akan dijaga ketat oleh Hek-hiat Mo-li dan orang-orang Mongol yang sudah mempersiapkan segalanya untuk mencegah empat orang pendekar itu keluar dari tempat tahanan dan akhirnya dapat mati terbakar di sebelah dalam.

Tidak ada orang tahu bahwa diam-diam ada dua orang yang mengikuti semua kesibukan itu dari jauh. Dua orang yang melakukan kegiatan secara terpisah ini bukan lain adalah Sun Eng dan Lie Seng.

Walau pun sudah diusir oleh suhu dan subo-nya, akan tetapi Sun Eng yang benar-benar mengkhawatirkan keselamatan kedua orang gurunya itu tidak pergi benar-benar, namun berkeliaran di sekitar tempat itu, di kota dan akhirnya kembali lagi ke dekat penjara. Dia melihat kesibukan penuh rahasia itu, melihat pula belasan orang tinggi besar yang meski pun mengenakan pakaian penjaga penjara namun gerak-geriknya mencurigakan. Selain mereka itu semua tinggi besar dan memiliki bentuk muka asing, juga gerak-gerik mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.

Sun Eng merasa makin gelisah. Dia melihat seorang komandan jaga yang nampak lelah dan kurang tidur, siang hari itu keluar dari lingkungan penjara, meloncat ke atas kudanya dan agaknya hendak pulang, karena di pintu penjara dia memesan kepada para penjaga agar berhati-hati dan menyatakan bahwa dia hendak beristirahat dan pulang sebentar.

Ketika komandan jaga ini melarikan kudanya, tiba di sebuah tikungan, tiba-tiba seorang wanita muda menyeberang jalan dengan tak terduga-duga. Komandan itu terkejut sekali, berusaha menahan namun sudah terlambat karena kaki depan kudanya sudah menerjang wanita itu yang terpelanting dan terbanting ke atas tanah. Komandan itu menghentikan kudanya dan lari menghampiri.

Wanita itu masih muda dan cantik sekali, dan kini terlentang pingsan, pakaiannya agak tersingkap sehingga memperlihatkan sebuah betis yang berkulit putih mulus!

Wanita itu mengeluh, lirih, merintih dengan mata masih terpejam, "Aauhhhh... tolonglah aku..."

Komandan itu menelan ludahnya. Ketika melihat wanita itu mengeluh dan menggeliat, dia menjadi terpesona, kemudian setelah melihat bahwa di situ tidak ada orang lain, dia lalu mengangkat tubuh yang setengah pingsan itu, segera membawanya ke atas kuda dan melarikan kudanya, bukan pulang ke rumahnya melainkan menuju ke tepi kota di mana terdapat sebuah pondok kosong, pondok ini adalah pondok tempat dia bersenang-senang dengan kawan-kawannya, jauh dari rumah dan isterinya!

Ketika komandan itu membaringkan tubuh yang hangat dan menggairahkan ketika berada dalam pelukannya tadi ke atas dipan, wanita itu kembali mengeluh dan mencoba untuk duduk.

"Auuuh, kakiku...," keluhnya.

"Mengapa kakimu, nona? Sakitkah? Coba kuperiksa." Komandan itu menghampiri lantas duduk di atas pembaringan.

Nona itu tidak membantah, segera melonjorkan kaki kirinya. Sang komandan yang mata keranjang itu lalu menyingkapkan celana kaki kiri, dan terus membukanya hingga ke lutut. Kembali dia menelan ludah melihat sebuah kaki yang bentuknya indah dan kulitnya putih halus dan hangat. Diusapnya kaki itu seperti orang memeriksa, akan tetapi usapannya itu makin kurang ajar, merupakan belaian dari tangannya yang gemetar.

"Aduh, sakit di situ... di bawah lutut...!" Wanita cantik itu mengeluh lagi.

Menduga bahwa lutut itu terkilir, sang komandan lantas mengurutnya dan menaruh obat, kemudian dibalutnya, "Tulangnya tidak patah, hanya terkilir, nona. Dalam waktu sehari saja akan sembuh kembali. Kau mengapa lari-lari menyeberang jalan sehingga tertabrak oleh kuda?"

Nona itu mengerling tajam, kemudian tersenyum malu-malu. "Aku... aku memang ingin melihatmu, ciangkun. Engkau begitu sering lewat dengan kudamu, dan aku... aku kagum melihat engkau begini gagah..."

Hampir komandan yang usianya sudah empat puluh tahun ini tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Matanya terbelalak dan mulutnya menyeringai. "Benarkah, nona? Dan setelah sekarang kita berhadapan, engkau mau apa?" tanyanya nakal, penuh pancingan dan bujukan, kemudian dia hendak merangkul.

Akan tetapi nona itu mencegahnya dengan kedua tangannya. "Ahhh, kakiku masih sakit sekali, ciangkun. Nanti kalau sudah sembuh, tentu boleh..."

"Boleh apa...?"

Wanita itu tersenyum malu, mengerling tajam seperti kilat, "Ihhh, engkau tentu mengerti sendiri. Sekarang, dipakai bergerak saja kakiku sakit, mari kita omong-omong saja dulu. Kalau tidak salah, ciangkun bekerja di penjara sana, bukan?"

"Benar, aku seorang di antara komandan penjara!" komandan itu menjawab bangga.

"Pantas pakaianmu begitu mentereng! Aku sudah menduga bahwa engkau tentu seorang perwira tinggi. Aku sering lewat dekat penjara hanya untuk dapat melihatmu, ciangkun."

"He-he-he, benarkah?" Komandan itu menyeringai sambil menelan ludah, kemudian dia mendekatkan hidungnya untuk mencium.

Wanita itu memalingkan mukanya, memberikan pipinya yang langsung dikecup dengan bernafsu oleh sang komandan, "Engkau manis, he-he-he, engkau cantik manis!"

Wanita itu mendorong dada komandan itu dengan kedua tangannya, dengan gerakan halus, "Sabarlah, ciangkun, kakiku tidak dapat digerakkan. Biarlah nanti... ehh, beberapa hari ini aku melihat kesibukan di dalam penjara, ada apakah? Apakah ada hubungannya dengan kereta kerangkeng di mana terdapat empat orang penjahat itu?" Secara sambil lalu wanita itu bertanya.

"Ha-ha-ha, rahasia manis, rahasia besar yang hanya diketahui oleh orang-orang penting macam aku ini. Tak boleh kuceritakan kepada siapa pun..."

Wanita itu cemberut lantas berusaha turun dari pembaringan, mukanya membayangkan kekecewaan dan kemarahan.

"Ehh, engkau mau ke mana?"

"Biarlah aku pergi. Biar pun engkau gagah dan tampan menarik, akan tetapi engkau tidak percaya kepadaku! Aku begini percaya kepadamu, mau kau bawa ke pondok ini, akan tetapi engkau masih menganggap aku orang asing yang tak boleh dipercaya. Untuk apa persahabatan berat sebelah ini dilanjutkan? Biarkan aku pergi!" Wanita itu terpincang-pincang hendak pergi.

"Ehh-ehh, nanti dulu... sayang, jangan marah. Aku hanya main-main. Siapakah namamu, manis?"

"Namaku Ang Bwee Hwa."

"Ang Bwee Hwa (Bunga Bwee Merah)? Heh-heh, nama yang bagus, sebagus orangnya. Dan aku bernama Ciok Kwan."

"Apa artinya perkenalan ini kalau kau tidak percaya..."

"Siapa bilang tidak percaya? Aku percaya padamu seratus prosen, manis."

"Kenapa kau tidak mau menceritakan rahasia orang tawanan itu?"

"Ssstttt, jangan keras-keras, aku takut terdengar orang. Dengar, mereka itu orang-orang penting dan berbahaya sekali sehingga sri baginda kaisar sendiri berkenan mengeluarkan perintah rahasia untuk membunuh mereka di sini..."

"Ohhh...?" Wanita itu terkejut dan sang komandan tersenyum karena tidak heran melihat seorang wanita lemah terkejut mendengar tentang pembunuhan. "Mengapa?"

"Aku sendiri tidak tahu, hanya menurut perintah atasanku, kami harus bersiap, dan karena empat orang itu sangat lihai, maka pelaksanaan pembunuhan itu akan dilakukan dengan membakar ruangan tahanan di mana mereka dikurung."

"Ahhh...!" kembali wanita itu terkejut dan membelalakkan mata.

"Dan untuk menjaga agar mereka tidak dapat lolos, kota raja telah mengirim jagoan yang mengerikan. Engkau tentu akan takut bila melihatnya, dia seorang nenek bermuka hitam seperti iblis, bersama seorang muridnya yang cantik sekali akan tetapi kabarnya murid itu pun lihai bukan main. Selain itu, masih ada belasan orang jagoan yang mengawal dan membantu mereka."

"Ihhh, mengerikan sekali. Kapan pembakaran itu akan dilaksanakan?"

"Sekarang juga, setelah lewat senja ini, untung aku sudah bebas tugas, karena tugasku hanya menjaga sampai sore ini, lalu diganti oleh petugas-petugas dari kota raja itu... eh, ada apa?" Komandan itu terkejut karena tiba-tiba berubahlah sikap wanita cantik itu. Tadi kelihatan begitu lemah ketakutan dan menderita nyeri, akan tetapi kini wajah yang manis itu kelihatan keras dan pandang matanya berkilat.

Akan tetapi wanita cantik yang bukan lain adalah Sun Eng itu kini sudah meloncat turun dari pembaringan. Ketika komandan Ciok itu mengulur tangan hendak meraih, tiba-tiba Sun Eng menampar dengan tangan kirinya, dengan kecepatan seperti kilat menyambar. Komandan Ciok hanya sempat menjerit satu kali lantas roboh dengan kepala retak-retak dan tewas seketika!

Dengan jantung berdebar tegang penuh kegelisahan mendengar berita itu, Sun Eng lalu berlari secepatnya menuju ke penjara. Senja telah mendatang dan cuaca mulai gelap. Dia khawatir kalau-kalau datangnya terlambat, maka dia mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat.

Sementara itu, di luar dan di dalam penjara terjadi kesibukan-kesibukan ketika Kim Hong Liu-nio sendiri bersama Lee Siang menyusun pasukan untuk menjaga dan mengeroyok empat orang pendekar yang hendak dibunuh itu. Juga Hek-hiat Mo-li bersama tiga belas orang pembantunya telah siap di pintu depan. Lampu-lampu sengaja belum dipasang oleh para penjaga sehingga keadaan di sana mulai gelap dan remang-remang. Para penjaga telah diganti dengan tenaga-tenaga baru yang pilihan.

Di dalam kegelapan senja yang mulai menyelimuti bumi itu mendadak terdengar teriakan melengking, teriakan dari seorang wanita dengan suara yang dikeluarkan melalui tenaga khikang sehingga terdengar menembus cuaca remang-remang itu.

"Suhuuuu...! Suboooo...! Keluarlah cepat, penjara hendak dibakar! Suhu dan subo sudah terjebak oleh musuh!"

Dan dari pintu depan penjara itu, muncullah seorang wanita yang bukan lain adalah Sun Eng. Para penjaga menjadi gempar dan cepat mereka menerjang dan mengurung, akan tetapi dengan Siang-tok-swa, pasir beracun harum yang digenggamnya, Sun Eng segera menyambut mereka sehingga dua orang penjaga memekik lantas roboh menutupi muka mereka. Berbareng dengan itu, Sun Eng telah mengelebatkan pedangnya dan roboh pula dua orang penjaga lain.

Keadaan menjadi makin geger, dan kini para penjaga mengurung rapat, belasan batang senjata ditujukan ke arah bayangan wanita yang mengamuk itu. Namun Sun Eng tidak menjadi gentar, pedangnya digerakkan dengan dahsyat dan yang nampak hanya sinarnya saja bergulung-gulung. Akhirnya, empat orang pengeroyok kehilangan senjata mereka, ada yang patah, ada pula yang terlempar entah ke mana!

"Suhuuuu...! Suboooo...! Keluarlah sebelum terlambat!" kembali Sun Eng berteriak sambil mengamuk dan amukannya membuat para pengeroyoknya menjadi gentar juga. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio menjadi marah.

"Dari mana datangnya bocah yang bosan hidup?!" bentaknya dan dengan gerakan yang dahsyat dan cepat sekali murid Hek-hiat Mo-li ini telah meloncat dan menyerang Sun Eng dengan tangan kirinya. Sebelum tangan kiri mengenai sasaran, sudah menyambar hawa panas dan terdengar suara berkerincingnya gelang-gelang emas di pergelangan tangan itu.

Sun Eng terkejut menyaksikan serangan yang dia tahu sangat ampuh ini, maka cepat dia mengelebatkan pedangnya dan menangkis ke arah pergelangan tangan yang bergelang itu untuk membacoknya buntung.

"Trikkk...!"

Sun Eng terkejut bukan kepalang karena wanita cantik yang berpakaian indah itu berani menangkis pedangnya dengan tangan kosong dan pada saat tangan itu bertemu dengan pedangnya, mucrat bunga api dan telapak tangannya terasa panas! Tahulah dia bahwa dia menghadapi seorang lawan tangguh yang tangannya terlindung benda kebal, maka dia sudah memutar pedangnya dan mengirim serangan bertubi-tubi ke arah lawan yang lihai itu.

Namun, dengan lincah dan ringannya, Kim Hong Liu-nio mengelak dan kadang-kadang menangkis dengan tangannya yang terlindung oleh sarung tangan tipis itu.

"Suhuuu...! Subooo...! Lekas keluar...!"

Akan tetapi Sun Eng segera menahan teriakannya karena pada saat itu ada sinar merah menyambar ke arah matanya. Dia cepat-cepat mengelak mundur sambil mengelebatkan pedangnya, namun sinar merah itu tidak takut kepada pedangnya dan ternyata itu adalah sehelai sabuk merah yang kini langsung menotok ke arah lehernya. Dia terkejut, cepat miringkan tubuh, akan tetapi tetap saja pundaknya kena tertotok ujung sabuk yang biar pun kehilangan sasaran leher, namun masih amat kuat sehingga Sun Eng terhuyung ke belakang.

"Cepppp!"

Pada waktu itu, dari belakang menyambar tusukan tombak dan serangan yang dilakukan selagi tubuh Sun Eng terhuyung ini tidak mampu ditangkis atau ditolak oleh dara itu yang hanya mampu membuang diri ke samping sehingga tetap saja belakang pundak kirinya tertusuk tombak.

Darah mengucur keluar dan Sun Eng menahan rasa nyeri yang menyengat-nyengat, terus memutar pedang dan mengamuk. Akan tetapi sinar merah dari sabuk di tangan Kim Hong Liu-nio menahan semua gerakannya, membuatnya tidak berdaya dan kembali dia yang kini terdesak dan terkurung oleh para penjaga yang mendapat hati kembali melihat betapa Kim Hong Liu-nio dapat menguasai amukan wanita muda itu.

Betapa pun lihainya Sun Eng yang telah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, akan tetapi karena memang tingkatnya kalah tinggi oleh Kim Hong Liu-nio, apa lagi karena dia sudah terluka dan dikeroyok oleh banyak penjaga, akhirnya kembali gadis itu harus terluka oleh bacokan golok yang merobek celana berikut kulit paha kanannya, membuat gerakannya makin kacau dan pakaiannya penuh dengan darah. Akan tetapi, seperti singa betina dia mengamuk terus dan setiap ada kesempatan, tentu dia berteriak agar suhu dan subo-nya segera melarikan diri!

"Perempuan sial!" Kim Hong Liu-nio marah karena dia khawatir kalau-kalau empat orang tawanan itu benar-benar dapat meloloskan diri oleh teriakan-teriakan itu. Maka dia segera melengking nyaring dan tiba-tiba ada cahaya api meluncur ke arah dahi Sun Eng. Itulah senjata rahasia berupa hio menyala yang amat hebat.

Sun Eng terkejut dan membuang diri ke belakang, akan tetapi tiba-tiba kaki kirinya terlibat ujung sabuk merah dan di lain saat dia sudah roboh terjengkang karena sabuk itu ditarik oleh Kim Hong Liu-nio. Melihat robohnya gadis ini, dua orang penjaga menubruk dengan golok mereka dan Sun Eng sudah tak berdaya lagi untuk mengelak atau menangkis. Akan tetapi dia membuka mata lebar-lebar, menyambut maut dengan mata terbuka!

"Tranggg-tranggg...!"

Pandang mata Sun Eng silau akibat berpijarnya bunga api dan kedua orang penjaga itu bersama golok mereka terjengkang ke kanan kiri, lantas tubuhnya disambar orang yang memiliki tangan kiri kuat bukan main sehingga sekali tarik saja dia sudah bangkit berdiri kembali. Ketika dia melirik, ternyata yang menolongnya adalah seorang pemuda tampan yang bertubuh tegap dan berwajah gagah. Pemuda itu bukan lain adalah Lie Seng!

Seperti kita ketahui, Lie Seng juga selalu membayangi keadaan ibunya, ayahnya dan dua orang paman dan bibinya itu, dan dia selalu mengamati keadaan penjara di mana empat orang itu ditawan. Dia pun terheran-heran melihat kesibukan para penjaga, tidak tahu apa yang akan terjadi.

Ketika dia melihat ada wanita mengamuk dan dikeroyok, terutama pada waktu wanita itu berteriak-teriak menyebut suhu dan subo ke dalam, dia sama tidak mengerti dan tidak tahu siapa wanita itu, siapa pula yang disebut suhu dan subo. Tentu saja dia tidak pernah menduga bahwa yang disebut suhu dan subo oleh wanita cantik itu adalah paman dan bibinya. Juga dia tidak tahu bahwa ayah tiri dan ibu kandungnya tidak pernah mempunyai murid seperti ini, maka Lie Seng menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa.

Akan tetapi dia merasa kagum akan kegagahan wanita itu dan baru setelah dia melihat gerakan wanita itu, dia menjadi terkejut. Dia mengenal dasar gerakan Thai-kek Sin-kun dalam langkah-langkah wanita itu dan hal ini berarti bahwa wanita ini memang masih ada hubungan perguruan dengan keluarganya! Maka melihat wanita itu terluka dan terancam bahaya maut, dia lalu meloncat turun tangan dan menolongnya, juga ingin tahu apa yang dimaksudkan oleh wanita itu ketika berteriak-teriak ke dalam.

Melihat munculnya seorang pemuda gagah perkasa yang dengan sekali berkelebat dan sekali tangkis langsung merobohkan dua orang pembantunya, Kim Hong Liu-nio menjadi marah bukan main.

"Tarr-tarrr-tarrr!" Tiga kali sinar merah sabuknya menyambar, melakukan totokan ke tiga jalan darah maut.

Akan tetapi dengan tenangnya Lie Seng mengangkat lengan menangkis dan setiap kali ditangkis, sinar merah sabuk itu terpental, dan untuk yang terakhir kalinya hampir saja Lie Seng berhasil menangkap ujung sabuk, akan tetapi dengan sentakan halus ujung sabuk itu melejit dan terlepas lagi dari pegangan Lie Seng bagaikan seekor ular bernyawa saja! Keduanya menjadi terkejut dan maklum akan kelihaian lawan masing-masing.

"Terima kasih, aku berhutang nyawa padamu!" kata Sun Eng dengan halus dan wanita ini sudah bangkit lagi dengan pedang di tangan, menyambut serbuan tiga orang pengeroyok dari samping.

Lie Seng juga menggerakkan kaki dan tangan, merobohkan dua orang pengeroyok lain. Kedua orang muda ini segera dikurung dan dikeroyok, akan tetapi Lie Seng menyambut mereka dengan seenaknya dan masih sempat bertanya-tanya kepada wanita gagah yang ditolongnya itu.

"Siapa yang kau sebut suhu dan subo-mu?"

"Cia Bun Houw dan Yap In Hong!"
Lie Seng terkejut. Ternyata wanita muda ini adalah murid paman bibinya! Dia sungguh merasa terheran-heran, akan tetapi karena dia tidak pernah mendengar tentang riwayat paman dan bibinya yang telah menghilang selama belasan tahun, maka dia pun percaya akan hal ini.

"Apa artinya teriakanmu bahwa mereka terjebak dan tempat ini akan dibakar?"

"Memang mau dibakar. Lihat di sana itu mereka sudah mulai membakar. Celaka, lekas minta suhu dan subo keluar!" teriak Sun Eng.

Melihat ini, Lie Seng terkejut sekali. Benar saja, di sebelah kiri ruangan penjara di mana ibunya dan yang lain-lain dikurung itu mulai berkobar api yang amat besar, tanda bahwa api itu bukan sembarangan kebakaran, melainkan kebakaran yang memang sudah diatur dengan diberi bahan bakar dan minyak.

"Ibu...! Ayah...! Paman dan bibi...! Lekas keluar, ruangan itu dibakar orang!" Dia berteriak dan karena Lie Seng mengerahkan khikang-nya, maka suaranya terdengar amat nyaring.

Sekarang giliran Sun Eng yang kaget setengah mati mendengar bahwa pemuda ini masih keluarga dari empat orang pendekar yang ditawan, dan menyebut paman dan bibi kepada suhu dan subo-nya!

Sementara itu, di dalam ruangan penjara itu, Bun Houw dan In Hong sama sekali tidak mempedulikan teriakan-teriakan Sun Eng tadi. Bahkan ketika Yap Kun Liong menyatakan keheranan dan kecurigaannya, Bun Houw berkata, "Harap Liong-ko jangan menghiraukan anak durhaka itu."

Ketika di luar terdengar ribut-ribut, empat orang pendekar ini hanya mendengarkan dan karena memang mereka tidak ingin memberontak, maka mereka diam saja. Biar pun ada golongan yang hendak menolong mereka lolos, mereka tidak akan mau meloloskan diri karena sebagai orang-orang gagah mereka hendak memperlihatkan kepada kaisar bahwa mereka itu bukanlah pemberontak-pemberontak seperti yang difitnahkan orang terhadap mereka. Akan tetapi, sesudah mereka berempat mendengar suara Lie Seng itu, mereka terkejut sekali.

"Celaka, kita benar-benar telah terjebak. Jadi penangkapan ini benar-benar hanya tipuan belaka dari musuh-musuh yang menghendaki kematian kita!" kata Yap Kun Liong. "Hayo kita loloskan diri dan bantu Lie Seng yang agaknya terkepung!"

Mereka cepat mengerahkan sinkang dan karena keempatnya adalah pendekar-pendekar sakti yang mempunyai kepandaian tinggi, maka begitu mereka mengerahkan sinkang dan menggerakkan kedua tangan, belenggu-belenggu di tangan mereka itu lantas patah-patah semua sehingga terdengar suara pletak-pletok.

Yap Kun Liong sedikit membantu isterinya karena di antara mereka berempat, hanya Cia Giok Keng yang tidak begitu kuat sinkang-nya. Sesudah terbebas dari belenggu, mereka berempat lalu menerjang pintu ruji baja itu dengan pengerahan tenaga. Karena pintu itu kuat bukan main, setelah empat kali menerjangnya, barulah pintu itu jebol.

"Awas senjata gelap!" Kun Liong berteriak dan mereka berempat cepat mengelak sambil menangkis anak panah yang datang berhamburan seperti hujan.

Mereka meloncat keluar dan melihat serombongan orang yang dipimpin Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio. Wanita cantik ini ternyata telah bergabung dengan subo-nya untuk membantu subo-nya membunuh empat orang musuh besar itu!

Kini mengertilah empat orang pendekar itu mengapa mereka ditangkap. Kiranya semua itu adalah tipuan belaka dan di balik semua itu berdiri musuh besar mereka ini! Teringat mereka akan cerita dari mendiang Hwa-i Sin-kai dan mereka mengerti bahwa tentu fitnah ini dilaksanakan oleh Panglima Lee Siang yang tergila-gila kepada Kim Hong Liu-nio yang juga telah menjebak sampai tewasnya Tio Sun.

"Ah, kiranya engkau iblis betina yang mengatur semua ini!" In Hong berteriak marah ketika melihat musuh besarnya itu.

"Heh-heh-heh, senang sekali melihat kalian akan mampus semua di tanganku, heh-heh!" Hek-hiat Mo-li tertawa.

Kim Hong Liu-nio cepat mengeluarkan aba-aba dalam bahasa Mongol. Tiga belas orang Mongol itu berbaris rapi dan menghadang sambil memasang kuda-kuda, tangan mereka memegang golok besar dan perisai. Ada pun di belakang mereka masih berdiri puluhan orang prajurit yang dikerahkan oleh Panglima Lee untuk membantu kekasihnya.

Jelaslah bagi empat orang pendekar itu bahwa mereka tidak mungkin dapat lolos begitu saja dan jalan satu-satunya hanyalah membuka jalan berdarah. Di belakang mereka ada ruangan yang mulai terbakar, di depan mereka menjaga nenek iblis itu bersama muridnya dengan dibantu begitu banyak prajurit.

Kembali Kim Hong Liu-nio mengeluarkan aba-aba dan empat orang pendekar itu terpaksa harus bergerak cepat, mengelak dan menangkis sebab kembali datang hujan anak panah. Kun Liong selalu melindungi isterinya, sedangkan Bun Houw dan In Hong tidak khawatir karena dengan Thian-te Sin-ciang mereka memperoleh kekebalan sehingga kedua lengan mereka berani menangkis anak-anak panah itu.

Dan pada saat itu pula, Hek-hiat Mo-li, Kim Hong Liu-nio beserta tiga belas orang Mongol itu sudah menerjang dengan sangat hebatnya, menyerang empat orang pendekar yang tidak bersenjata itu. Maka terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian di mana empat orang pendekar itu mengamuk untuk menyelamatkan diri mereka.

Sementara itu, sesudah Kim Hong Liu-nio membantu gurunya untuk menghadapi empat orang musuh mereka yang amat lihai, pimpinan para prajurit penjaga yang mengeroyok Lie Seng dan Sun Eng diambil alih oleh panglima Lee Siang sendiri. Panglima ini berteriak marah,

"Kalian berani memberontak terhadap pasukan pemerintah? Hayo menyerahlah sebelum menerima hukuman berat!"

Akan tetapi Sun Eng yang juga marah sekali dan tidak mempedulikan luka-lukanya itu menerjangnya sambil berteriak, "Engkau hanya mempergunakan nama pemerintah untuk menipu dan mencelakakan orang!"

Pedang di tangan Sun Eng menusuk dengan cepat. Lee Siang cepat menangkis dengan pedangnya. Akan tetapi begitu pedangnya tertangkis, dengan putaran tangannya wanita yang sudah luka-luka itu dapat meneruskan pedang yang tertangkis itu menjadi sabetan yang menyerempet pundak Lee Siang.

"Ahhh!" Lee Siang berteriak kesakitan kemudian bersama empat orang pengawalnya dia menubruk ke depan.

Lie Seng hendak melindungi Sun Eng, namun dia sendiri sedang dikepung oleh banyak prajurit sehingga dia terpaksa mengamuk menggunakan kaki dan tangannya, melempar-lemparkan serta merobohkan banyak orang yang mengepungnya bagaikan serombongan semut.

Sebetulnya, tingkat kepandaian Sun Eng masih jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaian Lee Siang dan beberapa orang pengawalnya. Akan tetapi gadis ini sudah luka-luka dan banyak mengeluarkan darah, maka gerakannya menjadi lemah dan tenaganya juga telah banyak berkurang. Sesudah dia berhasil membunuh dua orang pengeroyok lagi, akhirnya dia terdesak hebat sekali.

Lie Seng juga terkepung ketat dan sibuk sekali menghadapi para pengeroyoknya. Melihat ini, Sun Eng kemudian berseru, "Taihiap, kau larilah cepat, biar aku mencegah mereka menghalangimu! Cepat sebelum terlambat!"

Sun Eng mengerahkan tenaga terakhir untuk membuka jalan mendekati Lie Seng, tanpa mempedulikan luka baru di pangkal lengan kiri yang mengucurkan banyak darah. Melihat keadaan gadis itu yang pakaiannya penuh berlepotan darah, bahkan dari luka-lukanya itu mengucur banyak darah dan mukanya pucat sekali, Lie Seng menjadi terkejut, kagum dan juga terharu.

"Kau menyuruh aku lari? Dan kau sendiri?" tanyanya sambil menendang roboh seorang pengeroyok.

"Aku...? Biarlah, aku girang sekali dapat membalas budimu dan budi suhu serta subo! Kau larilah... selamat jalan...!" Sun Eng berkata dan karena bicara ini maka dia menjadi kurang waspada.

"Nona, awas...!" Lie Seng berteriak akan tetapi terlambat, tusukan pedang dari Lee Siang itu mengenai punggung Sun Eng.

Gadis ini menggeliat miringkan tubuhnya, dan walau pun dengan jalan itu pedang lawan tidak menembus punggungnya, akan tetapi tetap saja punggungnya terluka parah dan dia roboh terguling.

"Keparat curang!" Lie Seng berteriak marah dan menjadi beringas, cepat menubruk ke depan dan melancarkan pukulan dengan tenaga Thian-te Sin-ciang ke arah Lee Siang.

Panglima ini mencoba untuk mengelak, akan tetapi dia kalah cepat sehingga pukulan itu menyambar pelipisnya. Terdengar suara keras karena kepala panglima ini retak-retak dan tubuhnya roboh ke atas tanah, tewas seketika!

Lie Seng menyambar tubuh Sun Eng dan mengamuk, membuka jalan berdarah. Ketika dia melihat betapa empat orang pendekar dari dalam penjara sudah menerjang keluar, hatinya lega dan dia pun segera meloncat, merobohkan setiap orang penghalang, sambil memondong tubuh Sun Eng yang pingsan dan berlumuran darah itu, terus melarikan diri meninggalkan tempat berbahaya itu. Dia merasa yakin bahwa orang-orang seperti ibunya, ayah tirinya, paman serta bibinya itu pasti akan sanggup meloloskan diri dari kepungan musuh.

Dugaan Lie Seng tadi memang tidak berlebihan. Tingkat ilmu kepandaian empat orang pendekar itu sudah tinggi sekali, terutama sekali Yap Kun Liong, Cia Bun Houw,dan Yap In Hong. Seorang demi seorang, ketiga belas pengawal Mongol yang diandalkan sebagai pembantu-pembantu Hek-hiat Mo-li sendiri bersama Kim Hong Liu-nio, terdesak mundur dan mundur terus, apa lagi para pengawal penjaga, setiap kali empat orang pendekat itu bergerak, tentu ada yang terjungkal!

Hal ini sama sekali tidak pernah dapat disangka oleh Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, yang sudah merasa yakin akan dapat membunuh empat orang itu. Dan suasana menjadi tambah geger ketika ruangan itu terbakar hebat. Akan tetapi, empat orang itu telah keluar dari ruangan dan kini mengamuk di depan penjara.

Terdengar jerit mengerikan dari mulut Kim Hong Liu-nio pada saat dia melihat kekasihnya telah menggeletak tewas dengan kepala pecah! Dia menubruk kekasihnya dan menangis, tidak mempedulikan lagi kepada empat orang musuhnya.

Mundurnya Kim Hong Liu-nio dari pertempuran ini membuat Hek-hiat Mo-li makin lemah dan akhirnya empat orang pendekar itu dapat meloloskan diri dari kepungan dan secepat kilat mereka lenyap dari tempat itu menggunakan ginkang dengan loncatan-loncatan jauh. Hek-hiat Mo-li menyumpah-nyumpah dan malam itu juga nenek ini pergi meninggalkan kota itu, kembali ke utara dengan wajah muram, diikuti oleh muridnya yang terus-menerus menangis di sepanjang jalan!

"Sudah, apa perlunya menangis lagi? Engkau kini sudah bukan perawan lagi, dan dia sudah mampus. Di dunia ini masih banyak laki-laki, mengapa kau tangisi seorang laki-laki yang sudah mampus?" Hek-hiat Mo-li membentak.

Bentakan ini malah membuat Kim Hong Liu-nio menangis makin sedih sehingga gurunya menjadi makin marah dan meninggalkannya. Kim Hong Liu-nio mengikuti gurunya dengan terisak-isak, di dalam hati bersumpah untuk mencari jalan membunuh keluarga pendekar yang telah menewaskan kekasihnya itu!

Dendam, sakit hati, kemarahan dan kebencian meracuni kehidupan manusia. Dari mana timbulnya dendam yang melahirkan kebencian ini? Dendam-mendendam yang sebetulnya hanya merupakan rangkaian akibat dari tindakan-tindakan kekerasan, permusuhan serta kebendan itu pasti selalu timbul karena pementingan diri sendiri, karena merasa bahwa kesenangan dirinya terganggu oleh orang atau golongan lain.

Jadi jelaslah bahwa di mana ada pengagungan si aku, di sana pastilah timbul tindakan kekerasan yang dianggap sebagai tindakan pembelaan si aku atau pengejaran cita-cita dan kesenangan untuk si aku. Mengejar kesenangan seperti yang dicita-citakan untuk diri sendiri tak dapat tidak tentu menimbulkan tindakan kekerasan terhadap siapa saja yang dianggap merintangi tercapainya kesenangan yang dicita-citakan itu. Dan semua cita-cita adalah bayangan kesenangan yang diharapkan akan diperoleh, baik kesenangan untuk diri sendiri atau untuk keluargaNya, kelompokNya, bangsaNya dan lain-lain yang semuanya hanya merupakan perluasan dan pembesaran dari pada si aku juga.

Dan bagaimana terjadinya si aku, baik dalam keadaan tipis mau pun tebal, dalam batin kita? Si aku diciptakan oleh pikiran yang menimbulkan pengalaman dan ingatan tentang yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan, yang enak dan tidak enak. Pikiran mengenang pengalaman-pengalaman itu, membayangkan semua itu sehingga timbullah keinginan untuk mengulang yang enak dan membuang yang tidak enak.

Begitu pikiran bekerja mengenangkan itu semua, si aku pun muncullah. Si aku sebagai pemikir, si aku sebagai yang ingin mengulang, si aku yang ingin menghindarkan yang tidak enak. Makin lama si aku ini makin menebal dan akhirnya manusia menjadi hamba dari nafsu-nafsunya sendiri yang selalu ingin menikmati yang dianggap menyenangkan dan menjauhi yang dianggap tidak menyenangkan. Dan di dalam pergulatan ini terjadilah konflik-konflik di dalam batin yang mencetus keluar menjadi konflik antara manusia karena masing-masing hendak memperebutkan kesenangan bagi dirinya sendiri, dan kalau perlu menyingkirkan orang lain yang menjadi penghalang, dengan kekerasan tentu saja!

Oleh karena kenyataan itu, maka timbullah pernyataan yang harus kita ajukan kepada diri kita sendiri, yaitu: Dapatkah kita terbebas dari pikiran yang selalu mengenangkan yang enak-enak dan yang tidak enak-enak sehingga tidak timbul si aku yang selalu mengejar-ngejar kesenangan dan karenanya menimbulkan konflik dan kekerasan? Pertanyaan ini penting sekali bagi kehidupan kita dan sudah selayaknya kalau diajukan oleh setiap orang manusia hidup kepada dirinya sendiri! Kalau sudah begitu, barulah hidup ini mempunyai arti, bukan hanya menjadi ajang kesengsaraan dan penderitaan yang timbul dari konfilk dan permusuhan setiap hari.


Melihat keadaan Sun Eng yang mandi darah, Lie Seng menjadi gelisah bukan main. Dia melarikan Sun Eng yang pingsan itu jauh meninggalkan Po-teng dan memasuki daerah pegunungan yang sunyi, karena khawatir kalau-kalau ada pasukan yang mengejarnya, padahal dia membutuhkan tempat sunyi untuk dapat menolong gadis yang penuh luka itu.

Fajar telah menyingsing ketika akhirnya dia menghentikan larinya dan dia berada di atas puncak bukit yang lengang, di padang rumput yang luas dengan pohon-pohon tua di sana sini. Sinar matahari pagi menyinari wajah cantik manis yang pucat itu.

Lie Seng cepat menurunkan tubuh itu ke atas tanah bertilamkan rumput hijau di bawah pohon besar, lalu memeriksa keadaan gadis itu. Tubuhnya penuh luka, pada punggung, pundak dan paha. Cepat Lie Seng menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan darah yang masih menetes-netes.

Kemudian dia pergi mencari sumber air yang bening, mengambil air dengan daun dan mencuci luka-luka yang parah itu, terutama di paha dan punggung. Untuk ini terpaksa dia merobek celana di bagian paha dan baju di punggung. Dia tidak lagi ingat bahwa matanya melihat kulit paha yang putih mulus dan kulit punggung yang amat halus, melainkan sibuk mencuci luka itu penuh perhatian.

Untung bahwa luka-luka itu diakibatkan oleh senjata yang tidak beracun, pikirnya. Dengan mencuci bagian-bagian yang terluka itu, tentu saja jari-jari tangannya harus menyentuh dan mengusap kulit halus mulus itu, namun hal ini sama sekali tidak disadari olehnya.

Memang demikianlah! Selama pikiran tidak mengenang dan membayangkan apa-apa, selama pikiran kosong tidak sibuk dengan ingatan-ingatan masa lalu, dengan bayangan-bayangan kenikmatan dan kesenangan, maka segala sesuatu adalah bersih dan wajar.

Sungguh pun kita melihat manusia dengan kelamin lain dalam keadaan telanjang bulat umpamanya, bila pikiran ini tidak diisi dengan bayangan-bayangan kotor, maka keadaan telanjang dari manusia lain itu sama sekali tidak menimbulkan apa-apa, seperti kalau kita melihat ketelanjangan seekor kucing saja. Akan tetapi, begitu pikiran kita terisi dengan bayangan-bayangan yang muncul dari kenangan, bayangan-bayangan yang kita anggap menyenangkan, mendatangkan nikmat, maka mulailah nafsu bangkit, baik itu merupakan nafsu birahi, nafsu amarah, dan segala macam nafsu lagi.

Jelaslah bahwa nafsu-nafsu itu diciptakan oleh pikiran yang mengenangkan segala yang enak-enak dan yang tidak enak, yang menyenangkan dan sebaliknya. Jadi pikiran yang mengingat-ingat inilah sumber dari segala konflik batin yang akhirnya pasti akan tercetus keluar dan menjadi konflik lahir antara manusia.


Sun Eng mengeluh lirih kemudian merintih. Kini barulah lega hati Lie Seng karena hal ini menandakan bahwa dia sudah berhasil menyelamatkan dara itu. Setelah menaruh obat bubuk pada luka-luka itu dan membalutnya, dia lalu mengangkat tubuh bagian atas dari Sun Eng dengan memangkunya dan memberinya minum air jernih.

"Aahhh...!" Kembali Sun Eng mengeluh setelah minum beberapa teguk air dan membuka matanya.

Melihat betapa dia dipangku oleh seorang pemuda tampan dan gagah, sepasang mata yang jeli itu terbelalak, akan tetapi dia segera teringat bahwa pemuda ini adalah pemuda perkasa yang telah membantunya menghadapi pengeroyokan pasukan saat dia berusaha menyelamatkan suhu dan subo-nya. Sungguh aneh sekali. Mengapa sekarang pemuda ini memangkunya dan memandangnya demikian mesra?

"Apakah... apakah aku sudah mati?" dia bertanya dengan suara berbisik karena merasa tegang dan takut. Membayangkan bahwa dia sudah mati dalam usia semuda itu, hatinya merasa ngeri.

Semenjak tadi, sesudah dia berhasil mengobati dara itu sehingga siuman, Lie Seng mulai memperhatikan wajah gadis yang dipangkunya itu dan dia terpesona. Bagi dia, wajah itu sedemikian cantik jelitanya, sedemikian lembut hingga sekaligus mendatangkan perasaan suka dan iba di dalam hatinya.

Rasanya belum pernah dia berjumpa dengan seorang gadis seperti ini, apa lagi tadi dia pun melihat betapa gadis ini telah berusaha menyelamatkan keluarganya dengan taruhan nyawa. Hal ini saja sudah membuat dia merasa herhutang budi, kagum dan suka.

Dia seperti tenggelam ketika memandangi wajah dari gadis yang dirangkunya itu, maka ketika melihat mata dan bibir yang manis itu mengajukan pertanyaan seperti itu, dia pun tersenyum. Hatinya girang karena dia yakin bahwa gadis itu akan selamat.

"Jangan khawatir nona. Engkau sudah terhindar dari bahaya dan luka-lukamu tentu akan sembuh."

"Luka-luka...?" Sun Eng seperti baru teringat dan merasa terkejut.

Tadi dia tidak merasa apa-apa, hanya lemas dan terasa demikian nikmat rebah di atas pangkuan pemuda itu yang merangkul pundak dan menyangga tubuhnya. Kini, diingatkan akan luka-luka, tiba-tiba saja dia tersentak dan ingin duduk, akan tetapi seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, terutama sekali punggungnya.

"Aduhhhh... punggungku..." Dia menggeliat.

Lie Seng cepat membantunya duduk. "Maaf, aku... aku lupa dan menyentuh punggungmu yang terluka. Sebaiknya engkau duduk di atas rumput ini. Nah, begitu lebih enak, bukan? Engkau menderita banyak luka, nona, terutama yang agak parah adalah luka-luka pada paha, pundak dan punggung."

Sun Eng meraba paha dan pundaknya, melihat betapa pakaiannya di bagian luka-luka itu robek dan lukanya telah diobati dan dibalut. Dia mengangkat muka memandang pemuda yang duduk di depannya itu dan mendadak wajahnya berubah merah sekali, jantungnya berdebar tegang.

"Kau... kau yang mengobati luka-lukaku...?" tanyanya dan kedua matanya memandang penuh selidik.

Lie Seng mengangguk. "Bisa berbahaya kalau tidak cepat dicuci dan diobati. Maafkan aku yang telah lancang..."

"Maafkan? Ahhh, engkau sudah menolongku, menyelamatkan nyawaku, mengobatiku dan masih minta maaf? Engkau tentu seorang gagah perkasa yang sakti maka engkau dapat menyelamatkan aku dari kepungan begitu banyak lawan tangguh. Taihiap, aku berhutang nyawa padamu. Siapakah engkau?"

"Aku she Lie, bernama Seng. Engkau tak perlu bersikap sungkan padaku karena menurut pengakuanmu, engkau adalah murid dari Paman Cia Bun Houw, sedangkan dia adalah pamanku, karena dia adik kandung ibuku yang juga ikut tertawan bersama dengan paman dan bibi. Maka, kalau engkau murid mereka, berarti kita masih ada hubungan dan bukan orang lain."

"Ahhh...!" Sun Eng terbelalak dan wajahnya agak berubah, tidak lagi merah seperti tadi, melainkan agak kepucatan.

"Mengapa? Apakah luka-luka itu amat menyiksamu...?" Lie Seng mendekat dan pandang matanya penuh iba.

Melihat ini, Sun Eng menggelengkan kepalanya, menunduk dan memejamkan matanya, berusaha mengusir perasaan nyeri yang menikam hatinya. Teringat dia betapa suhu dan subo-nya amat membencinya, bahkan tidak sudi ketika dia berusaha menolong mereka.

Dan pemuda perkasa yang sudah menyelamatkan nyawanya ini, adalah keponakan dari suhu-nya! Dan hubungan antara dia dengan kedua gurunya telah putus, kelak pemuda ini tentu akan mendengar tentang dia, dan suhu serta subo-nya tentu akan bercerita banyak tentang dia!

Hal ini mendatangkan rasa nyeri di jantungnya, serasa tertusuk pedang berkarat. Dia tak akan ada harganya lagi dalam pandang mata pemuda ini. Pandang mata yang sekarang demikian penuh dengan kehalusan, iba dan mesra, tentu akan berubah menjadi marah, jijik dan benci.
Selanjutnya,